Pemburu Darah Satria

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Pemburu Darah Satria karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Pemburu Darah Satria
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

PENGEJARAN Pendekar Mabuk terhadap lawan utamanya; Siluman Tujuh Nyawa, terhenti di Pantai Karang Hantu. Dikatakan 'Karang Hantu' karena pantai itu mempunyai beberapa gugusan batu karang yang tinggi-tinggi dan berbentuk menyerupai sosok hantu beraneka bentuk. Ada yang mirip hantu merentangkan tangannya, ada yang mirip hantu hendak terbang, ada puia yang mirip hantu sedang duduk santai.

Kalau saja tokoh sesat yang paling terkutuk itu tidak melarikan diri, maka nama Siluman Tujuh Nyawa sudah tidak akan ada lagi di permukaan bumi ini. Pendekar Mabuk hampir saja berhasil tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa dengan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sayang, tokoh terkutuk itu mampu hindari jurus maut itu dan segera melarikan diri, masuk ke alam gaib. Pengejaran Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu pun dilakukan hingga ke alam gaib, namun dari alam tersebut ia melihat sesuatu yang terjadi di Pantai Karang Hantu. Maka pengejaran itu pun akhirnya tertunda entah sampai kapan lagi akan dilanjutkan.

"Sampai kapan pun dia tetap akan menjadi buruanku. Cepat atau lambat, kepalamu harus kupenggal, Durmala Sanca! Karena kepalamu itulah maskawin yang harus kuserahkan untuk meminang calon istriku, Dyah Sariningrum, pujaan hati!" ujar Suto Sinting dalam hati, sebagai janji sang Pendekar Mabuk yang tetap akan ditepati pada suatu saat nanti.

Pemuda berambut lemas lurus sepundak tanpa ikat kepala itu sengaja diam di atas gugusan karang berbentuk seperti hantu sedang merangkak. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih kusam dan sabuk merah itu menyempatkan diri untuk menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak itu ada di dalam bumbung bambu yang menjadi senjata sakti baginya, karena itu ke mana saja bambu bumbung tuak selalu dibawa-bawa dan menjadi ciri yang dikenali beberapa tokoh di rimba persilatan.

Mata bening yang sering menawan hati setiap wanita itu memandang lurus ke arah pertarungan di Pantai Karang Hantu. Pertarungan itu dilakukan oleh seorang wanita cantik yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berkutang hijau muda dengan celana sebetis warna hijau muda juga, dilapisi kain pembalut pinggul warna merah tua. Gadis berdada montok menggoda hati lelaki itu dengan gesitnya menghajar seorang nenek tua disanggul yang mengenakan jubah abu-abu. Nenek berambut putih disanggul acak-acakan itu telah dibuat terjungkal dan berguling-guling oleh pukulan tenaga dalam yang dilepaskan dari tangan si gadis berambut pendek sepundak dengan bagian depan diponi rata.

Melihat sang nenek yang sudah babak belur hingga keluarkan darah dari hidung dan mulutnya, Pendekar Mabuk menjadi iba hati dan tak tega membiarkannya. Maka ketika gadis itu ingin menghantamkan pukulan tenaga dalamnya yang telah membuat telapak tangannya menjadi merah membara, Pendekar Mabuk cepat lakukan tindakan penyelamatan terhadap nenek bungkuk yang diperkirakan sudah berusia delapan puluh tahun lebih itu. Dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mempunyai kecepatan gerak melebihi anak panah itu, Pendekar Mabuk menyambar sang nenek bagai elang menyambar anak ayam.

Wuuut...! Weeess...!

Dalam sekejap sang nenek sudah berpindah tempat, tujuh tombak di belakang gadis, berkutang hijau itu. Pendekar Mabuk berdiri di samping sang nenek yang terpuruk bersimpuh dengan napas tersengal-sengal menyedihkan. Sang gadis segera kebingungan mencari si nenek yang disangka menghilang ditelan bumi. Pukulan tenaga dalam yang membuat tangannya memancarkan warna merah membara itu diurungkan. Matanya mencari ke sana-sini sampai akhirnya menemukan di mana musuhnya berada. Gadis itu tampak terkesiap memandang kemunculan pemuda tampan bertubuh kekar, tegap, dan gagah.

"Tindakanmu keterlaluan, Nona. Bukan aku ingin mencampuri urusanmu dengan nenek itu, tapi aku hanya sekadar menyelamatkan pihak yang lemah," ujar Pendekar Mabuk mengajukan alasan lebih dulu sebelum menerima tuduhan dari sang gadis. Sambungnya lagi, "Kulihat, nenek ini tidak mempunyai ilmu yang seimbang untuk melawanmu, Nona. Kuharap kau mau hentikan murkamu dan membebaskan nenek ini!"

Gadis cantik berhidung bangir itu sunggingkan senyum dengan pandangan mata berkesan nakal. Senyum tipisnya itu sempat membuat hati Pendekar Mabuk berdesir. Dari bibirnya yang tampak legit dan pulen itu terdengar suara datar mirip orang menggumam. "Pancinganku mengenai sasaran!"

"Apa maksudmu berkata demikian, Nona?!"

"Ternyata benar apa kata orang. Dia sangat tampan dan menggairahkan!"

"Maksudmu, nenek ini sangat menggairahkan?!" tanya Suto Sinting dengan bingung.

Tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan meletus, menyemburkan segumpal asap tebal warna putih bergulung-gulung. Buusss...! Beberapa kejap berikutnya, asap itu lenyap tersapu angin pantai dan tubuh gadis itu pun sirna tanpa bekas dan tanpa sisa bayangan sedikit pun.

Pendekar Mabuk hanya tersentak kaget tanpa suara, namun wajahnya kelihatan terperangah tegang memandangi lenyapnya si gadis cantik bertubuh sekal menggemaskan tadi. "Setan cantik dari mana dia itu?" gumam hati Pendekar Mabuk.

Si murid sinting Gila Tuak itu akhirnya lepaskan diri dari rasa kagumnya, ia segera perhatikan si nenek yang makin lama badannya semakin melengkung ke depan dengan lemas, akhirnya keningnya membentur tanah bagai orang bersujud. Nenek tua itu keluarkan suara erangan kecil sebagai tanda bahwa ia sangat menderita sakit pada bagian tubuhnya.

"Nek, minumlah tuakku ini untuk sembuhkan luka-lukamu itu! Ayo, minumlah walau hanya seteguk saja," bujuk Suto Sinting sambil membangunkan nenek berjubah abu-abu itu.

Dengan bantuan Suto Sinting, tuak pun tertuang ke mulut sang nenek. Beberapa teguk tuak ditelannya. Sisanya disemburkan hingga mengenai wajah tampan si Pendekar Mabuk. Bwweerrs...!

"Sial! Kenapa kau semburkan ke wajahku?!" Suto Sinting agak menyentak dengan bergerak mundur, ia segera mengusap wajah dengan baju tanpa lengannya.

Sang nenek terkekeh-kekeh melihat Suto Sinting basah wajahnya.

"Jangan-jangan yang kutolong ini nenek gila?" pikir Pendekar Mabuk sambil mencoba mengamat-amati nenek bungkuk itu.

"Tuakmu bikin tenggorokanku gatal dan hatiku jadi tergeletik geli," ucap sang nenek dengan suara tuanya.

"Tapi... tapi tuak ini mempunyai khasiat menyembuhkan luka dalam waktu sangat singkat, Nek."

"Mungkin memang begitu, Anak Muda. Tapi tanpa tuakmu pun aku sudah bisa sembuhkan lukaku menggunakan hawa saktiku yang tidak kalah hebat dengan tuakmu, Nak."

Nenek itu telah berdiri walau tetap membungkuk. Suto Sinting merasa dongkol karena tuak saktinya diremehkan. Tapi kedongkolan itu hanya disimpan dalam hati dan ia bersikap tenang kembali.

"Siapa kau sebenarnya, Nek? Dan siapa lawanmu tadi?"

"Lawanku tadi adalah Awan Setangkai. Kau tak akan bisa kalahkan ilmunya Awan Setangkai, bahkan Pendekar Mabuk pun tak akan mampu melawannya."

"Nek, aku inilah yang bernama Pendekar Mabuk!"

"Ah, bohong! Pendekar Mabuk kok jalannya tidak sempoyongan?! Hmmm... ngibul!" nenek itu mencibir menjengkelkan.

Suto Sinting tarik napas dalam-dalam. "Pendekar Mabuk hanya sebuah gelar yang diberikan oleh guruku. Jurus-jurusku seperti orang mabuk, tapi aku tak pernah mabuk walau meminum segentong tuak ataupun arak."

"Omong kosong! Pendekar Mabuk itu berjiwa mesra. Sedangkan kau tidak berjiwa mesra. Buktinya kau tak mau memelukku."

Kata-kata itu cukup menggelikan hati Suto Sinting. Pendekar tampan itu pun sunggingkan senyum sambil berlagak buang muka. Hatinya malu dikatakan sebagai orang berjiwa mesra. Tapi akhirnya ia pun berkata dengan lembut kepada si nenek, seakan menunjukkan kemesraannya.

"Kalau kau masih muda, mungkin kau akan kupeluk dan kucium, Nek. Tapi karena kau sudah tua, aku takut terkena kutuk jika memeluk dan menciummu. Tapi sejujurnya kukatakan, akulah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Sang nenek memandang dengan sikap kurang percaya. Suto Sinting masih diam, berdiri di depan nenek itu sambil mengumbar senyum tipis yang memikat hati setiap perempuan muda. Nenek itu hanya berkerut dahi, kemudian menyuruh Pendekar Mabuk berlutut didepannya.

"Coba kemari, kuperiksa ketampananmu. Sebab menurut kabar dari orang-orang yang kudengar, Pendekar Mabuk itu berwajah tampan dan menawan."

Sambil berlutut di depan sang nenek Suto Sinting berkata, "Apakah wajahku kurang tampan menurutmu, Nek?"

"Mana kutahu, mataku sudah rabun. Jadi sulit membedakan mana wajah tampan dan mana wajah buruk. Hmmm...." Nenek itu manggut-manggut saat memeriksa wajah Pendekar Mabuk. Tangannya yang kurus dan berkulit keriput itu meraba-raba wajah Suto Sinting.

Pendekar tampan itu berkata dalam sebuah gumam. "Baru sekarang selama jadi pendekar wajahku diobok-obok oleh perempuan seburuk ini."

Rupanya si nenek tidak perhatikan ucapan yang menggumam itu. Atau mungkin juga ia tidak mendengar gumaman lirih tersebut, sehingga kedua tangannya masih tetap sibuk meraba-raba kepala dan wajah Suto Sinting.

"Apakah kau masih belum percaya kalau wajahku ini tampan?" tanya Suto Sinting sengaja bernada konyol.

Sang nenek diam saja. Tetapi secara tiba-tiba kesepuluh jari nenek bungkuk itu keluarkan kuku runcing berwarna hitam. Zrraak...! Kesepuluh kuku runcing itu dengan cepat ditancapkan di kedua pelipis Suto Sinting.

Jrrraab.!

"Aaaah...!" Suto Sinting memekik kesakitan. Bumbung tuak yang tadi ditentengnya kini dilepas. Kedua tangannya digunakan untuk melepaskan cengkeraman tangan si nenek bungkuk yang wajahnya berubah menjadi beringas dan liar itu. Matanya mendelik dengan mulut meringis keluarkan geram memanjang.

"Gggrrmmrn.!!"

"Aaahhg...! Aaahhg !"

Suto Sinting merasakan kuku-kuku yang menancap di pelipisnya itu makin bergerak ke dalam seakan tumbuh semakin panjang lagi. Wajah tampan itu mulai berlumur darah. Urat-urat di lengannya mengeras karena berusaha mencabut kedua tangan nenek bungkuk itu. Tapi agaknya tenaga Suto Sinting cepat menjadi lemah, sehingga ia hanya bisa mengerang-erang sambil memegangi kedua tangan si nenek.

Pandangan mata Suto Sinting mulai buram. Sekujur tubuhnya terasa panas. Tenaganya semakin terasa berkurang, ia mulai menduga ada racun yang telah menyebar di dalam kepalanya melalui kuku-kuku yang mencengkeramnya itu.

Wuuuut...! Brrruss...!

Sekelebat bayangan melesat dan menerjang nenek berjubah abu-abu. Terjangan itu bertenaga besar, sehingga sang nenek terpental dan jatuh berguling-guling di atas pasir pantai.

"Kampret busuk...!!" maki sang nenek dengan geram kemarahan lebih membesar lagi.

Terjangan kuat itu ternyata datang dari seorang pemuda berwajah tampan juga, mengenakan celana ungu dan baju tanpa lengan warna ungu pula. Pemuda tampan itu berusia sekitar dua puluh tahun, tampak lebih muda dari Pendekar Mabuk. Namun ia juga berbadan tegap dan kekar. Rambutnya lurus dikuncir satu. Ia mengenakan gelang kulit macan loreng di kedua tangannya. Pedang sarung perak terselip di pinggang. Bagian belakang telapak tangannya terdapat tato gambar seekor burung mengepakkan sayapnya. Pemuda itulah yang bernama Elang Samudera alias Adhiyaksa, adik dari Dewi Cintani yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari keganasan Selir Dewani, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).

Pendekar Mabuk belum menyadari siapa orang yang telah berhasil melemparkan tubuh nenek keji itu. Ia sibuk kelojotan sambil pegangi luka lubang di pelipis kanan-kirinya. Agaknya racun yang ada di sebuah kuku runcing si nenek bungkuk tadi semakin mengganas di dalam tubuh Suto Sinting, menyebar melalui darah dan menyerang bagian kepala, terutama bagian otak. Akibatnya ia tak mampu berpikir lagi, bahkan tak mempunyai gagasan untuk mengambil bumbung tuak dan menenggak tuak saktinya, ia hanya berguling-guling di pasir dengan mengerang kesakitan.

Sementara itu, Elang Samudera menjadi berang melihat sahabatnya dilukai sedemikian rupa. Nenek bungkuk itu segera dihantam dengan pukulan tenaga dalam dari jarak lima langkah. Claaap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan kiri Elang Samudera. Sasarannya jelas ke arah dada si nenek bungkuk. Tetapi rupanya nenek itu tak kalah tangkas, ia segera kibaskan tangannya dan dari kelima jari menyebarkan sinar merah yang melebar. Sinar merah itu menjadi penangkis datangnya sinar biru.

Blaaap...! Blegaaarrr...!

Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Gelombang ledakannya mempunyai daya hentak cukup besar, membuat beberapa gugusan batu karang berguncang, bahkan ada yang patah seketika, ombak pantai menyembur naik dan cukup tinggi.

Adhiyaksa sendiri terpental bagai dilemparkan oleh sebuah tenaga yang sangat kuat. Tubuhnya jatuh terbanting nyaris mengenai gugusan batu karang. Sedangkan nenek berjubah abu-abu itu hanya terlempar sekitar dua langkah. Tubuhnya segera berdiri tegak, dan tiba-tiba tubuh tua itu bagaikan meletus keluarkan asap hijau. Buuusss...!

Elang Samudera memandang samar-samar dalam keadaan tengkurap. Asap hijau itu sirna dan sosok penampilan nenek bungkuk itu berubah menjadi seorang gadis cantik berkutang hijau, bercelana sebetis warna hijau pula dengan kain penutup pinggul warna merah. Gadis itu berdada montok, berkulit kuning, berambut pendek diponi depan.

"Awan Setangkai...?!" gumam hati Eiang Samudera yang rupanya sejak tadi memperhatikan pertarungan si nenek dengan Awan Setangkai sampai datangnya Suto Sinting, ia baru muncul setelah melihat Suto Sinting dalam keadaan bahaya.

"Kurasa tugasku sudah cukup! Pendekar Mabuk sudah berhasil kulumpuhkan! Hi, hi,hi...!" Blaaas...! Gadis cantik itu pun pergi begitu saja. Elang Samudera tak bisa mengejarnya karena tulang-tulangnya terasa remuk.

* * *

DUA

SEBUAH pondok di lereng bukit menjadi tempat persinggahan Elang Samudera. Ia membawa Suto Sinting ke pondok itu, karena di situlah tempat tinggal Ki Palang Renggo dan istrinya; Nyai Sedap Malam. Ki Palang Renggo adalah sahabat dari gurunya Elang Samudera. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang gemar mengenakan jubah biru dengan baju dalam putih itu dulu pernah diselamatkan nyawanya oleh Pendeta Darah Api, sehingga hubungan suami-istri itu menjadi sangat akrab terhadap Pendeta Darah Api dan murid tunggalnya.

Ki Palang Renggo meski berwajah jenaka, namun menyimpan kharisma tersendiri dalam setiap penampilannya, ia berambut abu-abu sepanjang lewat pundak, mengenakan ikat kepala kain biru tua, berjenggot dan berkumis abu-abu tipis. Lelaki kurus dengan tinggi tubuh sedang itu mempunyai seorang istri cantik yang dikenal dengan nama Nyai Sedap Malam.

Jika Pendekar Mabuk tidak dalam keadaan terkena racun dan terganggu ingatannya, maka ia akan tertawa geli melihat Ki Palang Renggo yang berusia enam puluh tahun itu mempunyai istri yang usianya masih sekitar dua puluh tujuh tahun. Nyai Sedap Malam bukan saja berwajah cantik dengan tahi lalat kecil di sudut dagu kirinya, tapi juga bertubuh sekal dan berdada montok, ia gemar mengenakan jubah kuning garis-garis merah dengan pinjung dan celana sebetis warna merah pula.

Sepasang suami-istri itu mempunyai ilmu yang sejajar dan di kalangan para tokoh rimba persilatan mereka dikenal sebagai ahli racun. Sebenarnya tujuan Elang Samudera bukan ke pondoknya Ki Palang Renggo, melainkan menemui seorang sahabatnya yang tinggal tak jauh dari Pantai Hantu. Tetapi demi menyelamatkan jiwa Pendekar Mabuk, keperluan tersebut ditunda entah untuk beberapa saat.

"Menurutku," ujar Ki Palang Renggo,"... racun yang mengenai Pendekar Mabuk ini adalah racun 'Bayi Panggang', selain melumpuhkan semua urat juga melumpuhkan daya kerja otak manusia. Dan racun seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang dari Selat Bantai."

"Jangan ngomong sembarangan, Renggo!" tukas istrinya yang bertampang cantik tapi judes. Sambungnya lagi, "Orang-orang Pulau Koyang dan orang-orang Pegunungan Tibet juga mempunyai racun 'Bayi Panggang', hanya saja namanya berbeda. Orang-orang Pegunungan Tibet menamakan racun itu adalah racun 'Pucuk Pusar', karena penyembuhannya hanya bisa dilakukan dengan menyalurkan hawa murni melalui pusar si penderita. Sedangkan orang-orang Pulau Koyang menamakan racun itu racun 'Sawan Bayi', sebab bisa mengubah otak manusia menjadi seperti bayi, artinya tidak bisa berbuat apa-apa."

"Jika begitu, sebaiknya kita lakukan penyembuhan melalui pusar si Pendekar Mabuk ini. Tapi...," Ki Palang Renggo termenung sebentar.

Elang Samudera mengerutkan dahi dan ajukan tanya dengan nada heran. "Tapi kenapa, Ki?"

"Seingatku... murid si Gila Tuak ini tidak punya pusar."

"Menurut cerita orang-orang memang begitu," timpal sang istri.

Ki Palang Renggo menengok ke arah istrinya dan berkata, "Bagaimana jika meminjam pusarmu saja, Sayang?"

"Jaga bicaramu, Renggo!" sentak Nyai Sedap Malam dengan mata melotot.

Sang suami hanya tertawa terkekeh dan Elang Samudera sembunyikan senyum geli. Agaknya Nyai Sedap Malam tak pernah punya rasa takut kepada suaminya, sehingga dalam bersikap pun ia tampak seenaknya saja, seperti bersikap di depan teman sendiri. Namun walaupun Nyai Sedap Malam lebih galak dari suaminya, ia toh tetap saja ditaklukkan oleh sang suami. Buktinya si perempuan cantik itu bisa menjadi istri Ki Palang Renggo dan punya rasa cemburu cukup besar.

"Setahuku," kata Ki Palang Renggo, "... hanya ada satu cara untuk menawarkan kekuatan racun 'Bayi Panggang' ini, yaitu melalui jalan pusar. Tapi agaknya kali ini penyembuhan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja, karena anak muda ini tidak mempunyai pusar. Jadi aku tak tahu bagaimana harus bertindak menyelamatkan jiwa si murid sintingnya Gila Tuak ini? Padahal Gila Tuak adalah sahabatku juga"

"Dan aku kenal baik dengan si Bidadari Jalang, bibi gurunya anak muda ini!" sahut Nyai Sedap Malam.

"Rasa-rasanya tak enak hati jika kita tidak bisa tolong jiwa anak muda ini, Sayang."

Setelah merenung beberapa saat, Nyai Sedap Malam segera berkata bagai menemukan gagasan baru yang dapat diandalkan. "Mengapa kita tidak coba menuangkan tuak ke mulut si Suto ini? Bukankah tuak di dalam bumbung sakti itu adalah tuak penyembuh segala macam luka dan penyakit?"

Elang Samudera memandang ke arah bumbung tuak yang memang dibawa serta ketika ia memanggul tubuh Pendekar Mabuk dari Pantai Hantu itu. Elang Samudera pun segera berkata, "Kurasa itu gagasan yang sangat bagus, Nyai. Sebaiknya kita coba sekarang saja!"

"Nanti dulu!" cegah Ki Palang Renggo. "Sebaiknya kucoba dulu, apakah tuak ini masih bisa diminum atau sudah basi."

"Sudah, sudah!" sergah Nyai Sedap Malam, merampas bumbung tuak yang sudah di tangan suaminya. "Kau sudah berjanji tak akan minum tuak atau arak lagi jika aku mau menjadi istrimu, Renggo! Mengapa sekarang kau ingin meminum tuak ini?! Mau ingkar janji, ya? Mau berlagak lupa janjimu, hmm...?!"

Ki Palang Renggo hanya cengar-cengir dan membiarkan bumbung tuak direbut istrinya. "Aku sekadar mau mencicipi saja kok. Tidak ingin ingkar janji," ujarnya bernada tersipu.

"Tidak! Nanti kau mabuk lagi!" gertak sang istri.

"Ya, sudah kalau tidak kau izinkan, Nyai," kata Ki Palang Renggo dengan sikap mengalah dan sabar, namun tetap cengar-cengir sambil melirik Elang Samudera.

Suto Sinting masih dibaringkan di atas balai-balai bambu beralaskan tikar pandan. Tubuhnya terkulai lemas bagai tanpa daya sedikit pun. Tapi matanya masih bisa berkedip-kedip pertanda ia masih bernyawa. Hanya saja luka tusukan kesepuluh kuku runcing yang kenai kepalanya itu masih mengeluarkan darah walau hanya merembas, seperti gentong retak terisi air. Suto mendengar semua kata-kata mereka, tapi ia tak bisa menimpali sedikit pun. Ia benar-benar seperti bayi yang baru delapan hari.

Nyai Sedap Malam segera menuangkan tuak ke mulut Pendekar Mabuk. Tetapi mulut itu tidak bisa terbuka lebar, akibatnya tuak tumpah ke mana-mana. Mau tak mau Nyai Sedap Malam meminumkan tuak itu menggunakan sendok dari daun pisang. Dengan pelan-pelan Nyai Sedap Malam menyuapi Suto Sinting hingga tuak pun tertelan sedikit demi sedikit.

Ki Palang Renggo berbisik, "Kalau melihat dia begitu, aku suka merasa iri. Sebab sampai setua ini aku belum pernah disuapi olehnya seperti itu. Kadang aku heran, Elang... aku ini suaminya atau mertuanya?"

"Kurasa Ki Palang Renggo pantas menjadi suami merangkap mertua!" Lalu, mereka berdua cekikikan.

Nyai Sedap Malam memandang kesal, mendengus dengan wajah cemberut. Sementara mereka cekikikan, di luar rumah ada dua lelaki berbadan gemuk mendekati pondok tersebut. Kedua orang berbadan gemuk itu sama-sama berwajah sangar. Salah satu dari mereka mengenakan pakaian serba merah, dan yang satu lagi mengenakan pakaian serba hitam. Rupanya ia dua saudara kembar yang mempunyai wajah serupa. Brewokan, rambut botak depan, mata lebar berkesan ganas, dan sama-sama bersenjata pedang lebar. Di tepian pedang itu terdapat gelang-gelang besi sebesar tiga biji. Gagang pedang tersebut mempunyai hiasan di ujungnya berupa ronce-ronce benang merah, Kedua pedang itu sama-sama berada dalam genggaman tangan masing-masing.

"Kurasa inilah gubuk si Palang Renggo!" ujar si baju hitam dengan suara menggeram besar.

"Kalau begitu tunggu apa lagi! Robohkan saja gubuk itu!" si baju merah tampak tak sabar. Pandangan matanya kelihatan semakin nanar dan pedangnya mulai siap ditebaskan ke segala arah. Ketika ia hendak melangkah maju, saudara kembarnya yang berpakaian serba hitam itu mencekal pundaknya hingga langkah pun tertahan di tempat.

"Tunggu dulu, Mayat Bagus! Selidiki dulu keadaan pondok itu. Jangan-jangan si Palang Renggo memasang jebakan di sekeliling rumahnya ini!"

"Ah, tak mungkin! Palang Renggo tak secerdas itu! Percayalah, sekarang adalah saat terbaik untuk merajang habis tubuh si Palang Renggo itu, Setan Sewu!"

"Kau boleh sepelekan otak si Palang Renggo, tapi ingat... dia punya istri yang berotak cerdas! Mungkin saja si Sedap Malam, istrinya itu, memasang jebakan maut di sekeliling rumahnya ini! Sebaiknya kita panggil saja agar mereka keluar!"

Di dalam pondok kayu jati itu, mereka sedang perhatikan perubahan pada luka di kepala Pendekar Mabuk. Luka tersebut bergerak-gerak dan keluarkan asap kebiru-biruan. Semakin lama luka itu tampak merapat dengan sendirinya, karena beberapa teguk tuak telah ditelan Suto Sinting. Wajah Ki Palang Renggo dan Elang Samudera tampak ceria. Tapi Nyai Sedap Malam tetap tanpa senyum dan kelihatan tenang-tenang saja. Matanya memandang perubahan luka yang menjadi rapat dalam waktu singkat dengan hati menggumam kagum.

"Sakti sekali kekuatan di dalam tuaknya itu. Pantas jika sebagian orang menjulukinya si Tabib Darah Tuak."

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan Mayat Bagus yang lantang dan bernada murka itu.

"Palang Renggo! Keluar kau! Kami datang untuk bikin perhitungan denganmu! Keluar kau, Palang Renggo!"

Elang Samudera memandang Ki Palang Renggo dengan wajah tegang. Suaranya terdengar bergetar saat ia ajukan tanya, "Siapa yang berseru di luar itu, Ki?"

Nyai Sedap Malam yang menjawab, "Si Kembar dari Teluk Pare!"

"Siapa itu si Kembar dari Teluk Pare? Aku baru kali ini mendengar namanya, Nyai."

"Dia musuhku!" sahut Ki Palang Renggo setelah menarik napas panjang-panjang. Wajahnya tampak beku dan pandangan matanya memancarkan permusuhan yang terpendam.

"Biar kutemui saja mereka!" ujar Nyai Sedap Malam.

"Jangan! Mereka berurusan denganku dan...," kata-kata Ki Palang Renggo terhenti karena istrinya cepat-cepat melesat keluar rumah. Weeess..! Ki Palang Renggo justru kelihatan semakin gusar. Maka ia pun segera bergegas keluar menyusul istrinya dengan perasaan cemas.

Dua wajah brewok undurkan diri selangkah melihat kemunculan Nyai Sedap Malam. Keduanya sama-sama mulai angkat senjata dengan mata memancarkan dendam dan kebuasan. Nyai Sedap Malam hanya diam di tempat dalam jarak lima langkah dari kedua lawannya. Mata perempuan cantik itu pun tak kalah tajam dalam menatap dua tamunya.

Ki Palang Renggo segera tampil mendampingi istrinya dengan wajah dingin, seakan tak berperasaan apa pun. Ia tampak tenang sekali menghadapi kegarangan dua lawannya yang kemunculannya sudah diperkirakan sebelumnya.

"Bagus! Kalian memang lebih baik muncul berdua untuk menyambut kematian bersama," ucap si Mayat Bagus mengawali permusuhan hari itu.

Ki Palang Renggo hanya sunggingkan senyum sinis, namun sebelum ia perdengarkan suaranya, sang istri lebih dulu bicara ketus kepada Mayat Bagus dan si Setan Sewu,

"Apa yang kalian kehendaki dari kami, Iblis Kembar?!"

"Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa!" geram si Setan Sewu.

Sementara itu si Mayat Bagus menimpalinya, "Kami ingin merenggut nyawa suamimu itu yang telah membuat perguruan kami hancur dan kehilangan nyawa beberapa anggota kami! Jika kau ingin ikut ke neraka bersama arwah suamimu, kami siap mengirimkanmu sekarang juga. Perempuan Ganjen!"

Ki Palang Renggo segera berkata, "Sudah selayaknya perguruan sesat kalian itu hancur, bahkan bila perlu menjadi lebur bagaikan debu. Jika kalian datang bermaksud untuk menebus kehancuran perguruan itu, maka yang akan terjadi adalah kebalikannya. Kalian akan kehilangan nyawa dan aku tak akan menyisakan secuil pun nyawa kalian!"

"Jahanam kau! Heeeeaah...!" Setan Sewu lakukan lompatan cepat menerjang Ki Palang Renggo. Pedang lebarnya ditebaskan ke arah kepala tokoh tua itu, seakan ingin membelah kepala bagai membelah semangka. Wuuut...! Kelebatan pedang lebar menimbulkan hembusan angin panas dalam sekejap.

Tetapi hal itu tidak membuat Ki Palang Renggo terpojok, karena sebelum kelebatan pedang lebar itu datang, orang berambut campur uban itu telah melesat dari tempatnya, ia lakukan lompatan cepat dengan hanya sentakkan jempol kakinya ke tanah. Weess...! Dalam kejap berikut, Ki Palang Renggo sudah berada di belakang Setan Sewu. Ia berdiri tenang sambil menggenggam tongkatnya yang berkepala burung garuda, ia masih kelihatan tidak ingin lakukan serangan balik, sehingga sang lawan yang gagal membelah kepalanya tampak semakin bernafsu untuk membunuhnya.

"Heeaat...!" Setan Sewu bergerak lagi. Tetapi gerakannya tiba-tiba dipatahkan oleh pukulan tenaga dalam jarak jauh yang dilepaskan dari tangan kiri Nyai Sedap Malam. Wuuut...! Buuuhk...! Tubuh gemuk itu pun terlempar ke samping dan jatuh mirip nangka busuk. Bluuuhk...! "Bangsat! Kubeset wajah ayumu itu, Perempuan Laknat! Heeah!"

Wuuut...! Mayat Bagus menerjang Nyai Sedap Malam dengan pedang berkelebat ke sana-sini. Gerakan pedang itu amat cepat, sehingga sukar ditangkis atau dihindari oleh Nyai Sedap Malam. Namun ketika itu pula, Ki Palang Renggo segera sentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan masih tegak lurus. Weet! Claap...! Dari mulut kepala tongkat yang berbentuk kepala burung garuda itu keluar selarik sinar hijau bening yang berkerilap menghantam pinggang Mayat Bagus. Sluuubs...!

"Aaahg...!" Mayat Bagus jatuh terbanting dengan kerasnya. Pinggangnya menjadi hangus, bajunya terbakar, dan ia mengerang kesakitan tak bisa bangkit lagi. Wajahnya menjadi pucat bagaikan kehabisan darah. Matanya yang lebar mendelik menyeramkan, seakan sedang kesulitan merenggangkan nyawanya.

"Bajingan tengik!" geram Setan Sewu melihat saudara kembarnya terancam kematian. Ia segera lakukan lompatan bersalto yang melintasi kepala Nyai Sedap Malam. Wuk, wuk...! Jleeg..! Kedua kakinya mendarat dengan mantap di tanah samping si Setan Sewu. Ia segera meludahi Setan Sewu secara sembarangan saja. "Cuih...!"

Plok! Ludah itu mengenai lengan Setan Sewu. Dalam kejap berikut, luka hangus di pinggang Setan Sewu tampak mengering, mengepulkan asap tipis, lama-lama luka berlubang itu merapat sendiri. Tubuh si Setan Sewu menjadi sehat, dan cepat bangkit dengan tenaga siap tanding kembali.

"Heeeeaaat...!!" Setan Sewu lakukan serangan kembali, demikian juga halnya dengan si Mayat Bagus. Mereka bagai mempunyai jatah sendiri-sendiri; Setan Sewu menyerang Ki Palang Renggo, sedangkan Mayat Bagus menyerang Nyai Sedap Malam.

Pertarungan itu terjadi cukup seru, karena si kembar dari Teluk Pare itu sulit ditumbangkan. Jika salah satu terluka, yang satunya meludahi dan luka itu dapat lenyap dalam waktu beberapa kejap kemudian tubuhnya sehat kembali. Mereka menggunakan paduan jurus kembar yang sangat membahayakan keselamatan jiwa sepasang suami-istri itu. Tebasan pedang mereka beberapa kali nyaris merobek perut dan punggung pasangan suami-istri tersebut. Tapi karena suami-istri itu juga mempunyai ilmu yang sama-sama hebatnya, maka serangan si Kembar dari Teluk Pare itu selalu dapat dihindari.

"Heeaat...! Cuiih...!" Setan Sewu lakukan lompatan bagai terbang, sasarannya adalah punggung Ki Palang Renggo. Tetapi sambil lakukan lompatan melayang begitu, ia pun meludahi saudara kembarnya yang terkapar dalam keadaan dadanya hangus akibat pukulan telapak tangan Nyai Sedap Malam. Ludah itu kenai kaki si Mayat Bagus, sehingga luka bakar yang seharusnya telah menamatkan riwayatnya itu menjadi lenyap dalam beberapa kejap. Mayat Bagus bangkit kembali dan lakukan serangan kepada Nyai Sedap Malam.

Perempuan cantik itu terdesak karena mendapat serangan dari dua arah. Akibatnya, sebuah tendangan bertenaga dalam cukup tinggi mendarat di perutnya. Buuhk...! Tubuh Nyai Sedap Malam terlempar tujuh langkah jauhnya dan membentur sebatang pohon. Brruks...!

"Oohk...!" Nyai Sedap Malam semburkan darah segar dari mulutnya dalam keadaan jatuh tersimpuh di bawah pohon itu.

"Heeeaat...!"

"Heeeaah...!"

Dua manusia kembar itu segera lakukan lompatan bersalto mundur. Tahu-tahu mereka sudah tiba disamping kanan-kiri Ki Palang Renggo yang sedang terhenyak memandangi istrinya terluka. Sebelum Ki Palang Renggo lakukan gerakan, kedua tokoh aliran hitam dari Teluk Pare itu sudah lebih dulu lepaskan jurus pedang yang mempunyai gerakan sama dan seirama. Wuut, wuut..! Cear, breet...!

"Aahkk...!" Ki Palang Renggo tersentak, tubuhnya mengejang dengan kedua lutut sedikit terlipat, matanya mendelik dengan mulut ternganga menahan napas. Kedua pinggang kanan kirinya robek terkena tebasan pedang kedua lawannya. Darah pun memercik dari dua luka yang cukup dalam itu.

"Keparat kalian...!" Ki Palang Renggo menggeram dengan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Ia masih berusaha berdiri walau sebenarnya sudah tak mampu lagi.

"Renggooo...!" suara berat itu datang dari mulut Nyai Sedap Malam, ia melihat suaminya terluka parah dan sangat kecil harapannya untuk selamat. Maka ia pun mencoba untuk bangkit dan melepaskan pukulan ke arah lawan, sebab ia mendengar suara Setan Sewu berseru,

"Habisi saja orang ini!"

Namun ternyata Nyai Sedap Malam sudah kehilangan seluruh tenaganya akibat lukanya tadi. Ia nyaris tak mampu mengangkat tangan dan lakukan pukulan jarak jauh. Ia hanya bisa melihat suaminya terbungkuk-bungkuk menahan sakit, sementara Mayat Bagus telah mengangkat pedangnya kertas, demikian juga si Setan Sewu.

"Heeeaat...!" Mayat Bagus menebaskan pedangnya ke leher Ki Palang Renggo, sedangkan pedang Setan Sewu pun diayunkan ke arah punggung Ki Palang Renggo.

Clap, clap...! Dua sinar merah seperti potongan besi sejengkal telah melesat menghantam kedua pedang si Kembar dari Teluk Pare. Sinar merah itu datang dari dalam rumah, yang segera menimbulkan suara ledakan cukup mengejutkan si pemilik pedang.

Duar, duaar...!

Prrak, prrak...! Dua pedang itu segera hancur menjadi kepingan-kepingan sebesar kancing baju. Mayat Bagus dan Setan Sewu sama-sama terbelalak lebar melihat tangan mereka kini hanya menggenggam gagang pedang saja. Kedua mata lebar itu segera memandang ke arah rumah, dan dari rumah itu melompatlah sesosok tubuh kekar berpakaian ungu. Wuuut...! Jleeg...!

Elang Samudera tampil dengan gagahnya. Sinar merahnya tadi membuat ia menjadi lebih percaya diri bahwa kedua orang brewok itu akan mampu ditumbangkan. Karenanya ia tak segan-segan melangkah lebih dekat lagi sambil bersiap hadapi serangan balasan.

"Biadab kau! Serang anak babi itu! Heeaat...!" Setan Sewu menjadi amat murka.

Melihat saudara kembarnya sangat murka, si Mayat Bagus pun mengimbangi amukan tersebut, sehingga keduanya sama-sama lepaskan pukulan bersinar biru dari tangan kanan sambil lakukan lompatan ke depan. Wuuut, wuuut...! Kedua sinar biru itu mengarah ke dada Elang Samudera.

Tetapi anak muda itu pun telah siap dengan jurus simpanannya, ia merenggangkan kakinya dengan sedikit merendah, kedua tangannya menyentak ke depan dan dari telapak, tangan itu keluar selarik sinar merah besar yang segera beradu dengan kedua sinar biru dipertengahan jarak mereka. Slap, slaap...!

Blegaar, blaaarr...! Ledakan dahsyat menggema mengguncangkan bumi. Beberapa pohon menjadi bergetar dan daunnya berguguran. Atap rumah pun tersingkap karena hembusan gelombang daya ledak yang begitu kuat itu. Bahkan dua pintu rumah jati itu sempat tersentak keras hingga menimbulkan suara gaduh yang semakin menyeramkan. Bumi bagai diguncang gempa, hanya saja tanah tak sampai terbelah membentuk celah mengerikan.

Setan Sewu dan Mayat Bagus terlempar jauh berpisah arah. Elang Samudera sendiri terlempar hingga tubuhnya menabrak dinding rumah. Mayat Bagus terkapar dibawah pohon, dari lubang hidung dan telinga mengeluarkan darah kental, sedangkan mulutnya memuntahkan darah yang berwarna merah kehitam-hitaman. Keadaan saudara kembarnya lebih mengenaskan; tersangkut disalah satu dahan dalam keadaan kepala berlumur darah karena benturan yang amat kuat tadi.

"Mayat Bagus... ooh... tolong aku!" ia mengerang di sela keheningan.

Mayat Bagus tak menjawab selain berkata, "Tinggalkan tempat ini secepatnya!"

Elang Samudera diam tak bicara, karena tulangnya terasa patah semua akibat benturan kuat tadi. Tapi pada saat itu, seseorang muncul dari dalam rumah. Dia adalah Pendekar Mabuk.

* * *

TIGA

KEDUA orang Teluk Pare itu saling meludahi. Dengan saling meludahi, maka kekuatan sakti pada ludah itu menjadi saling menyembuhkan luka. Setan Sewu merasa kali ini menghadapi lawan yang berbahaya, karena mereka telah kehilangan senjata. Langkah terbaik baginya adalah melarikan diri. Mundur beberapa waktu untuk mengatur siasat kembali dalam menghadapi Elang Samudera.

"Yang penting Palang Renggo pasti mati akibat tebasan pedang kita tadi," ujarnya kepada si Mayat Bagus. "Soal anak muda itu, agaknya kita perlu menyusun siasat dan mengatur kekuatan lagi. Kelak kita pasti akan balas kekalahan kita tadi."

"Bagaimana jika ternyata si Palang Renggo tidak mati?"

"Tak mungkin! Dia pasti mati karena kita telah memotong beberapa ususnya. Apakah kau tak melihat potongan ususnya akibat tebasan pedangku tadi? Sayang sekali kalau kau tak melihatnya, Mayat Bagus."

Mayat Bagus diam saja, berusaha menghilangkan kesangsiannya. Ia merasa belum puas jika belum betul-betul melihat Ki Palang Renggo menjadi bangkai di depan matanya.

Kesangsian Mayat Bagus itu ada benarnya, sebab setelah mereka pergi, Pendekar Mabuk muncul dari rumah itu. Keadaan Suto Sinting telah sehat bagaikan tak pernah terkena racun apa pun, ia bergegas menolong Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam. Tuak saktinya itu berhasil selamatkan nyawa Ki Palang Renggo, walau memakan waktu sampai menjelang sore. Nyai Sedap Malam dan Elang Samudera pun terhindar dari luka setelah meminum tuak saktinya Suto Sinting.

"Aku akan menuntut balas atas perlakuan mereka terhadapmu," ujar Nyai Sedap Malam kepada suaminya yang tua itu.

"Tak perlu cari penyakit. Biarlah mereka menganggap aku telah binasa. Biar hati mereka puas dan tak bikin ulah lagi."

"Aku setuju dengan pendapat Ki Palang Renggo," kata Suto Sinting. "Dendam tidak akan membuat hidup kita tenang. Dendam hanya akan hadirkan petaka dalam perjalanan hidup kita."

Nyai Sedap Malam agaknya tak mau ngotot dengan pendapatnya, ia menarik napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak dendamnya dalam hati. "Apa kau juga punya dendam dengan orang yang melukaimu?"

"Maksudmu, dendam terhadap Awan Setangkai? Oh, tidak!" Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Aku tidak perlu menaruh dendam kepada siapa pun, Ki. Aku hanya perlu tahu, mengapa Awan Setangkai mencelakaiku sedemikian rupa, sedangkan aku belum pernah kenal dengannya, bertemu pun baru kali ini."

Bayangan saat mengamati pertarungan seorang nenek dengan seorang gadis masih melekat dalam ingatan Suto Sinting. Pertarungannya dengan nenek jelmaan Awan Setangkai juga masih lekat dalam benak Suto. Tak heran jika di hati pemuda tampan itu pun timbul rasa penasaran, ingin mengetahui apa maksud tindakan si Awan Setangkai itu.

"Jangan coba-coba mencari tahu tentang Awan Setangkai dan orang-orang Selat Bantai," ujar Nyai Sedap Malam. Kata-katanya yang datar itu diiringi dengan sorot pandangan mata yang datar pula. Seakan ia bicara dalam renungannya dan ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi Elang Samudera pun tahu bahwa kata- kata itu ditujukan untuk si Pendekar Mabuk.

"Mengapa kau melarangku begitu, Nyai?" tanya Suto Sinting setelah ia melirik Ki Palang Renggo, dan pak tua itu pun diam merenung bagai menyimpan sesuatu yang dirahasiakan dalam hatinya.

Pertanyaan Suto Sinting itu tidak segera mendapat jawaban yang diharapkan. Nyai Sedap Malam hanya katupkan bibirnya yang pulen dan tak bergerak bagaikan patung bernyawa.

Elang Samudera ikut penasaran, sehingga ia pun akhirnya ajukan tanya kepada Nyai Sedap Malam dengan sikap hati-hati. "Mengapa kau tidak menjawab pertanyaan Suto Sinting, Nyai? Ada apa di balik himbauanmu tadi? Aku sama sekali tak mengerti tentang si Awan Setangkai itu, Nyai. Tolong jelaskan pula untukku."

Nyai Sedap Malam angkat wajahnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju pada Elang Samudera yang berdiri di depannya dalam jarak empat langkah. Pemuda yang bahu kirinya bersandar pada dinding kayu jati itu mencoba menatapnya dengan penuh harap, ia ingin sekali mendengar penjelasan yang dimaksud. Tapi tiba-tiba ada dua orang berlari mendekati rumah tersebut.

Mereka bergegas keluar dan menemukan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan wajah bermandi peluh. Lelaki itu mengenakan baju putih celana hitam, tanpa membawa senjata apa pun. Rambutnya pendek dan penampilannya berkesan polos. Dari peluh dan helaan napasnya yang memburu, ia tampak habis menempuh perjalanan yang melelahkan. Ki Palang Renggo dan yang lainnya memandangi lelaki itu dengan perasaan asing, sebab tak satu pun yang mengenal lelaki itu.

Setelah sedikit membungkuk sebagai tanda menghormat, lelaki kurus itu berkata kepada Ki Palang Renggo, "Maaf, Kek... bolehkah aku meminta seteguk air untuk menghalau kehausanku ini?"

Pendekar Mabuk segera menyahut, "Minumlah tuakku ini!" seraya menyodorkan bumbung tuaknya. Tanpa sungkan lagi orang tersebut segera meraih bumbung tuak dan menenggak tuak beberapa teguk, ia bagai tak peduli lagi dengan pandangan mata mereka yang tertuju lekat-lekat kepadanya.

"Terima kasih, Kisanak," ucapnya sambil mengembalikan bumbung tuak. Napasnya masih terengah-engah, namun wajahnya mulai tampak berseri, tak sekering tadi.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Palang Renggo setelah orang itu diajaknya masuk ke rumah.

"Namaku.... Bawana, dari Pulau Dulang," jawab lelaki polos itu. "Tadi aku berpapasan dengan si Kembar dari Teluk Pare. Aku takut dibunuh oleh mereka, karena orang Teluk Pare tak suka dengan orang Pulau Dulang. Mereka mengenaliku sebagai orang Pulau Dulang. Karenanya aku segera melarikan diri sebelum mereka bernafsu untuk membunuhku."

"Mereka memang dari sini!" sahut Elang Samudera. "Mereka habis kuhajar dan segera melarikan diri. Jika tidak, si Kembar dari Teluk Pare itu sudah kehilangan nyawanya."

"O, pantas mereka tak mau mengejarku ketika mereka lihat aku menuju kemari, Nak."

"Kurasa kau bisa lanjutkan perjalananmu," kata Nyai Sedap Malam dengan nada angkuh, walau sebenarnya tak angkuh hatinya.

"Biarkan ia beristirahat sebentar, Sayangku," ujar Ki Palang Renggo. Sang istri hanya menarik napas bagai tak peduli keputusan sang tamu nantinya.

"Sebentar lagi petang akan datang. Bolehkah aku numpang bermalam di pondokmu ini, Kek?" kata Bawana, pancaran matanya menampakkan harapan yang berbinar-binar.

Ki Palang Renggo pandangi istrinya sebentar, setelah melihat sang istri tidak menampakkan rasa tak suka, Ki Palang Renggo pun menjawab pertanyaan tamunya. "Kami tidak mempunyai tempat tidur yang layak untuk seorang tamu, Tetapi jika kau mau tidur di sembarang tempat, kami tak keberatan menampungmu semalam dua malam. Asalkan kau tak boleh mengintipku jika aku nanti tidur dengan istriku."

Bawana tertawa pelan. "Itu tak mungkin kulakukan, Kek. Aku pergi dari Pulau Dulang bukan untuk berbuat tak senonoh seperti itu, melainkan untuk suatu tujuan yang suci."

"Apa tujuanmu pergi dari Pulau Dulang?" tanya Elang Samudera yang masih pandangi Bawana dengan sorot pandangan mata bersifat menyelidik.

Bawana menatap Elang Samudera dengan dahi sedikit berkerut. "Apakah... apakah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, Kisanak?"

Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam segera lemparkan pandangan matanya ke arah Suto Sinting. Elang Samudera pun melirik Suto Sinting beberapa saat, sementara Suto Sinting sendiri menatap Bawana dengan pandangan bernada heran.

"Mengapa kau menyangka diriku Pendekar Mabuk?" tanya Elang Samudera setelah lebih mendekat lagi.

"Karena... karena kepergianku dari Pulau Dulang memang untuk mencari Pendekar Mabuk. Aku ingin bertemu dengan beliau."

"Untuk apa?" tukas Suto Sinting.

"Aku ingin meminta bantuan Pendekar Mabuk untuk membunuh raksasa keji di pulau kami."

"Raksasa...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil melirik Ki Palang Renggo.

Lelaki tua itu pun akhirnya berkata, "Aku tahu letak Pulau Dulang, walau aku belum pernah singgah ke sana. Tapi setahuku, di sana tak ada raksasa. Kau jangan mengarang cerita yang bukan-bukan, Bawana!"

"Aku bicara yang sesungguhnya, Kek. Raksasa itu berbentuk hantu. Hmmm... maksudku, tak bisa dilihat seperti apa wujudnya. Dalam perjalanan mencari Pendekar Mabuk ini, semula aku bersama tiga temanku. Tetapi ketiga temanku hilang satu persatu saat melintasi hutan menuju pantai. Bahkan yang seorang lagi lenyap tanpa bangkai ketika kami menyeberangi lautan. Aku bersyukur sekali, karena aku berhasil lolos dari ancaman maut hantu raksasa itu dengan cara menyelam beberapa saat lamanya di dalam lautan. Penyeberanganku itu akhirnya kulanjutkan dengan berenang sampai ke pantai Karang Hantu."

Melihat kesungguhan pada wajah Bawana, Suto Sinting merasa yakin dengan cerita tersebut. Elang Samudera juga menilai bahwa Bawana bicara jujur sebagai orang yang selamat dari ancaman maut. Sedangkan Nyai Sedap Malam bagaikan tak peduli sedikit pun dengan cerita itu. Ki Palang Renggo tampak merenung dalam keragu-raguan.

"Apakah orang Pulau Dulang tak ada yang mampu menangkap hantu raksasa itu?" tanya Suto Sinting beberapa saat kemudian.

"Kami sudah mencobanya berulang kali, Kisanak. Tetapi setiap kami mengirimkan utusan untuk menangkap hantu raksasa itu, selalu saja utusan kami tak pernah kembali. Kami hanya bisa menemukan mayat utusan kami yang telah dalam keadaan mengenaskan. Hantu Raksasa itu kadang juga mendatangi desa kami dan merenggut korban beberapa penduduk. Akhirnya desa kami hanya tinggal beberapa gelintir manusia saja yang masih hidup, termasuk aku sendiri. Maka kami bersepakat untuk meminta bantuan Pendekar Mabuk yang kesaktiannya terbawa angin sampai ke telinga orang-orang Pulau Dulang."

"Akulah yang berjuluk Pendekar Mabuk," kata Suto Sinting setelah mereka saling membisu tiga helaan napas. Bawana tampak terkejut, matanya memandang Suto Sinting dengan tajam, berkesan antara percaya dan tidak.

"Benarkah kau orangnya?!" ucap Bawana dalam nada gumam.

"Apa yang membuatmu sangsi?" tanya Nyai Sedap Malam secara di luar dugaan. Namun ia tetap berdiri di depan jendela memandang ke arah luar, seakan menikmati senja yang akan tiba itu.

Mau tak mau Bawana pun menatap perempuan tersebut sambil berkata pelan, "Semuda inikah tokoh sakti yang kondang itu?"

"Apakah kau kira Pendekar Mabuk itu berusia sebayaku?" ujar Ki Palang Renggo.

Bawana menjadi tersipu sendiri, dan mulai kikuk dalam bersikap di depan Suto Sinting. "Kusangka memang berusia di atas lima puluh tahun," katanya. "Tapi jika kulihat ciri-ciri anak muda ini; baju coklat tanpa lengan, celana putih, bumbung tuak, rambut panjang dan wajah tampan... sepertinya memang dialah orang yang kucari-cari selama lima hari ini."

Suto Sinting menarik napas, melangkah dekati Nyai Sedap Malam, ia berkata dalam nada bisik, tapi Ki Palang Renggo yang berada tak jauh darinya mendengar bisikan itu. "Bagaimana menurut pendapatmu, Nyai?"

"Aku tak percaya dengan ceritanya. Baru sekarang kudengar ada hantu raksasa yang bergentayangan."

Ki Palang Renggo menyahut, "Kurasa ia memang dalam kesulitan, tapi agaknya bukan karena hantu raksasa."

Nyai Sedap Malam berkata lagi ketika Elang Samudera ikut bergabung dalam bisik-bisik itu. "Kalau kau percaya dengan ceritanya, terserah langkahmu. Kalau kau tak percaya, usir saja dia dan lupakan tentang cerita hantu raksasa itu."

"Agaknya aku cenderung percaya dengan kesulitannya," kata Suto Sinting, lalu ia melirik Elang Samudera dan menyambung kata, "Pandangan matanya memancarkan harapan yang mengibakan hati. Rasa-rasanya aku memang harus membantunya."

"Aku akan mendampingimu jika memang itu keputusanmu, Suto."

"Elang Samudera, kurasa kau mempunyai urusan sendiri yang belum selesai. Entah urusan apa, aku tak tahu. Tapi yang jelas, kau tak perlu ikut ke Pulau Dulang."

"Semua urusanku bisa kutangguhkan. Aku lebih memilih untuk ikut terlibat dalam urusanmu. Firasatku mengatakan, kau membutuhkan seorang teman dalam menghadapi hantu raksasa itu."

Nyai Sedap Malam segera berkata, "Jangan bodoh, Elang Samudera! Berurusan dengan misteri di Pulau Dulang sama saja bertarung nyawa secara sia-sia. Kalau kau mati, kau tak akan mendapat penghargaan dari orang Pulau Dulang. Masyarakat di Pulau Dulang hanya akan menghormati leluhurnya saja. Mereka tak akan peduli jasa orang lain. Bahkan untuk berterima kasih pun sulit mereka lakukan untuk orang lain. Masyarakat Pulau Dulang adalah masyarakat terasing, sehingga beberapa penduduk di pulau lainnya ada yang mengatakan, penduduk Pulau Dulang adalah penduduk terbuang yang tak pernah menjadi bahan pembicaraan baik di kedai-kedai maupun di perjalanan."

"Aku hanya ingin dampingi Pendekar Mabuk, Nyai. Bukan untuk mencari sanjungan atau penghargaan dari siapa pun."

"Jika begitu maumu, aku tak bisa melarangmu untuk pergi bersama si murid sinting Gila Tuak itu."

"Aku tetap tak setuju kalau kau ikut denganku Elang Samudera!" kata Suto Sinting membuat Elang Samudera menyimpan rasa kecewa dalam hatinya. Suto Sinting berkata lagi dengan lebih tegas, "Perjalananku ke Pulau Dulang adalah perjalanan biasa. Tak perlu harus didampingi oleh seorang ksatria gagah sepertimu!"

"Jika kau melarangku ikut, sama artinya kau tak mau bersahabat lagi denganku, Suto! Aku pun akan berusaha melupakan dirimu, Sobat!"

"Elang Samudera, kumohon jangan tersinggung dulu. Dengarkan penjelasanku."

"Aku tak butuh penjelasanmu. Hatiku telah mengambil keputusan; boleh atau tidak, aku tetap akan ikut ke Pulau Dulang. Karena aku sendiri penasaran dengan cerita kemunculan hantu raksasa itu."

Percakapan yang makin lama sudah bukan merupakan bisik-bisik lagi itu didengar oleh Bawana. Maka sang tamu pun segera menyela kata saat mereka sama-sama terbungkam.

"Jika memang kau keberatan, aku pun tak akan memaksamu, Pendekar Mabuk. Mungkin memang nasib kami harus berjuang melawan hantu raksasa yang sukar dilihat itu."

Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, kemudian melangkah dekati Bawana. Pundak lelaki kurus itu ditepuknya pelan. Pluk...! Lalu, ia pun berkata dengan nada ramah. "Jangan berkesimpulan seperti itu, Kang. Kesimpulan yang salah dapat membuat hatimu terluka dan membakar kebencian."

"Jadi... jadi maksudmu kau bersedia untuk datang ke Pulau Dulang dan melawan hantu raksasa itu?!"

Pendekar Mabuk tidak segera menjawab, namun matanya melirik ke arah Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam. Suami-istri itu hanya diam, tanpa memberikan isyarat apa pun. Bawana menjadi berdebar-debar karena merasa khawatir jika sampai Pendekar Mabuk tak mau ikut ke Pulau Dulang.

* * *

EMPAT

KABUT pagi mulai menipis. Pada saat itulah Pendekar Mabuk bergegas meninggalkan pondok Ki Palang Renggo menuju Pulau Dulang bersama Bawana dan Elang Samudera. Arah yang mereka tuju adalah Pantai Karang Hantu sebelah timur. Sebab menurut Bawana, di sana ada perkampungan nelayan dan ia mempunyai seorang kenalan yang memiliki perahu. Mereka bersepakat untuk menyewa perahu tersebut untuk menyeberang menuju Pulau Dulang.

Karena Bawana tidak mempunyai ilmu peringan tubuh, gerakan larinya tak bisa secepat Elang Samudera dan Suto Sinting, maka langkah mereka pun menjadi lamban. Untuk mencapai Pantai Karang Hantu sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari seperempat hari. Namun karena gerakan mereka lamban, maka waktu yang mereka butuhkan untuk tiba di Pantai Karang Hantu menjadi hampir setengah hari penuh.

Ketika mereka tiba di sebuah lembah, tak berapa jauh dari Pantai Karang Hantu, tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh kemunculan seorang perempuan cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun. Perempuan yang tampak masih gadis itu mengenakan baju biru tanpa lengan, sehingga kulitnya yang kuning mulus dapat terlihat dengan jelas. Rambutnya lurus dengan poni di bagian depan. Matanya bundar, hidungnya mancung, mempunyai bentuk wajah bulat telur.

Gadis bersabuk hitam dari kulit binatang itu menyelipkan pisau gagang tanduk rusa di pinggangnya. Pendekar Mabuk mengenal gadis itu sebagai murid Galak Gantung yang bernama Kabut Merana alias Murdaningsih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bayi Pembawa Petaka). Sedangkan Galak Gantung adalah tokoh tua sahabat si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Bernyawa).

Kabut Merana muncul dalam keadaan terhuyung-huyung dengan dada terluka dan mengeluarkan darah, ia menghamburkan diri dari pohon ke pohon sebagai upaya mempertahankan nyawa dan menggunakan sisa kekuatan yang ada. Setiap pohon yang dipeluknya meninggalkan bekas darah yang berlumuran.

Pendekar Mabuk cepat hampiri gadis itu dan segera menolongnya. "Kabut Merana...?!" sapa Suto Sinting dengan nada cemas. Tubuh gadis yang sekal itu segera tertangkap dalam pelukannya. Mata sang gadis mulai terbeliak-beliak dengan mulut ternganga sulit bicara. Wajah cantiknya telah pucat pasi seperti mayat.

"Baringkan dia, Suto. Lukanya cukup dalam dan parah sekali," kata Elang Samudera. Kemudian ia membantu Suto Sinting membaringkan tubuh Kabut Merana dan membuka mulut si gadis, sehingga Suto Sinting dapat tuangkan tuaknya sedikit demi sedikit.

Tuak tertelan dan Kabut Merana pun mulai memperoleh kekuatan kembali. Lukanya cepat mengering dan merapat, sehingga dalam beberapa kejap saja luka itu telah menjadi rata dan dada pun menjadi berkulit halus bagai tak pernah terluka oleh senjata tajam apa pun. Untung luka itu tepat ada di bagian atas gundukan kedua bukit di dadanya, sehingga mereka tak terlalu sungkan memandangi luka berlubang yang sepertinya bekas tusukan senjata tajam itu. Darah yang semula berlumuran di sekitar dada Kabut Merana pun menguap dan lenyap bagaikan terhembus angin. Kesaktian tuak sakti telah membuat Kabut Merana segera menyadari bahwa ia berada di dekat Pendekar Mabuk.

"Suto...?! Oh, syukurlah kau menemukan diriku. Jika tidak, mungkin nyawaku telah melayang karena luka tadi."

"Apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana?" tanya Suto Sinting setelah ia memperkenalkan Elang Samudera sebagai sahabat barunya, dan Bawana sebagai utusan dari Pulau Dulang.

Namun gadis cantik itu segera kerutkan dahi saat diperkenalkan kepada Bawana. Matanya memandang tajam ke arah wajah polos Bawana, sehingga Suto Sinting menjadi tak enak hati dan segera mengalihkan perhatian dengan pertanyaannya tadi. Kabut Merana alihkan pandangannya ke arah Suto Sinting.

"Seseorang telah melukaiku dengan pedangnya. Kalau aku tak melarikan diri, mungkin aku telah mati ditangannya."

"Siapa orang itu?" desak Suto Sinting menjadi penasaran.

Kabut Merana tampak kikuk. Matanya melirik kearah Elang Samudera dan Bawana secara bergantian. Kebisuan mulutnya membuat Elang Samudera menjadi curiga dan segera bicara, dengan nada suara yang lembut.

"Jelaskan selengkapnya kepada Suto tentang apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana. Aku yakin kau mendapat kesulitan dan tentunya kami tak akan tinggal diam, karena kau sahabat Suto Sinting. Kami akan lindungi dirimu dari serangan siapa pun, Kabut Merana!"

Gadis itu segera memandang Suto dan berkata, "Aku perlu bicara empat mata denganmu, Suto."

Di dalam hatinya Pendekar Mabuk merasa heran atas permintaan Kabut Merana itu. Ia pun tak enak hati kepada Elang Samudera dan Bawana jika harus bicara empat mata bersama Kabut Merana. Namun agaknya si gadis benar-benar tak mau pembicaraannya didengar oleh kedua orang itu, sehingga Suto Sinting terpaksa menuruti kehendak si gadis. Kabut Merana melangkah ke sudut semak-semak, dan Pendekar Mabuk mengikutinya. Jarak mereka dengan Elang Samudera dan Bawana sekitar dua belas langkah.

"Siapa pemuda tampan itu?" bisik Kabut Merana dengan pandangan mata tak tertuju pada Elang Samudera.

Namun Pendekar Mabuk tahu persis bahwa yang dimaksud adalah Elang Samudera. Senyum pun tersungging di bibir Suto Sinting, kemudian disusul sebuah pertanyaan sindiran, "Apakah kau menyukainya?"

"Bukan soal itu! Aku khawatir dia orang Selat Bantai."

Mendengar kata 'Selat Bantai', Pendekar Mabuk cepat kerutkan dahi. Dalam hatinya berkata, "Mengapa Kabut Merana menyinggung-nyinggung soal orang Selat Bantai? Apakah ia pun mengenal Awan Setangkai, yang menurut Ki Palang Renggo adalah orang Selat Bantai itu?"

"Suto, jawablah pertanyaanku dengan jujur; apakah Elang Samudera itu adalah orang Selat Bantai?"

"Bukan," jawab Suto Sinting pelan sambil gelengkan kepala samar-samar. Katanya lagi, "Elang Samudera adalah muridnya Pendeta Darah Api dari Teluk Merah. Aku tak tahu apakah Teluk Merah ada hubungannya dengan Selat Bantai. Yang jelas, kulihat Elang Samudera bukan dari aliran hitam."

Kabut Merana menarik napas, melirik ke arah Elang Samudera yang sedang bicara pelan dengan Bawana. Agaknya gadis itu menahan kecurigaannya untuk sementara waktu. "Lalu, siapa lelaki berbaju putih dan bercelana hitam itu?"

"Bawana. Bukankah tadi sudah kuperkenalkan padamu?"

"Maksudku, apakah dia... ah, kurasa aku pernah melihatnya berkeliaran di wilayah Selat Bantai."

Suto Sinting kerutkan dahinya, ia memandang dalam keraguan kepada Kabut Merana. Tetapi gadis itu seakan ingin lebih meyakinkan anggapannya dengan berkata kepada Suto,

"Aku ingat, dia pernah kulihat menyelinap di belakang puri pemujaan. Aku semakin yakin, dia orang Selat Bantai, Suto!"

"Jika benar dia orang Selat Bantai, apa pendapat mu selanjutnya, Kabut Merana?" tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu cukup besar dan menggelisahkan hatinya.

"Jika benar dia seorang Selat Bantai, sebaiknya jauhilah dia, Suto! Jauhi semua orang dari Selat Bantai."

"Jelaskan alasanmu, Kabut Merana."

"Kau sedang menjadi bahan buruan orang-orang Selat Bantai. Penguasa Selat Bantai yang bernama Nyai Ratu Cendana Sutera sedang membutuhkan darah ksatria muda. Sasaran utamanya adalah dirimu, Suto. Sebab mereka tahu, kau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi."

"Untuk apa dia mencari seorang ksatria muda?"

"Tepat malam bulan purnama yang kurang tiga hari lagi ini, dia harus bercumbu dengan seorang ksatria muda, diutamakan yang berilmu tinggi. Menurut kabar yang kudengar dari seorang sahabat yang menjadi prajurit di Selat Bantai, bulan ini adalah bulan kesuburan bagi darah keturunan Selat Bantai. Pada bulan kesuburan inilah Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai kesempatan untuk menanamkan bibit keturunan dalam dirinya. Bulan kesuburan hanya terjadi setiap seratus tahun sekali bagi darah keturunan Selat Bantai. Bibit yang akan berhasil membuahkan keturunan adalah bibit seorang ksatria muda. Semakin tinggi ilmu ksatria muda itu semakin cepat pembibitannya. Keturunan yang lahir dari Nyai Ratu Cendana Sutera itulah yang nantinya akan menggantikan kekuasaan sang Ratu di wilayah Selat Bantai."

Pendekar Mabuk menarik napas, menenangkan jiwanya yang mulai bergolak karena mendengar penjelasan tersebut. "Kedengarannya seperti sesuatu yang tidak masuk akal," katanya. "Kurasa kepercayaan seperti itu sekarang sudah tidak dianut lagi oleh mereka."

"Siapa bilang?! Mereka adalah pengikut aliran hitam dari Selat Bantai. Dan mereka sangat percaya dengan peraturan kuno tinggalan leluhur mereka."

"Alangkah bodohnya mereka. Mengapa mereka tidak melakukan pembibitan di luar bulan kesuburan ini? Apakah mereka tak berminat untuk mencobanya dengan seorang lelaki sebelum bulan kesuburan itu tiba?"

Kabut Merana mendesah jengkel. "Percayalah, Suto! Sebaiknya jauhilah orang Selat Bantai. Selain mereka berilmu tinggi, mereka juga dari para wanita cantik yang punya daya pikat cukup kuat. Orang-orang Selat Bantai adalah para wanita yang dikutuk menjadi mandul sebelum bulan kesuburan tiba. Jadi tak satu pun dari wanita Selat Bantai yang bisa hasilkan keturunan."

Suto Sinting menggut-manggut. Kabut Merana berkata lagi, "Tapi pada bulan kesuburan nanti, semua wanita Selat Bantai terlepas dari kutuk kemandulannya. Saat itulah kesempatan emas bagi mereka, dari yang muda sampai yang tua, Untuk dapatkan benih lelaki demi mendapatkan keturunan. Kudengar kabar dari sabahatku itu, Nyai Ratu Cendana Sutera mengincarmu. Dia ingin mempunyai keturunan dari darah seorang pendekar sejati. Tentunya kau akan diperbudak oleh mereka, disuruh membuahi para wanita Selat Bantai satu persatu. Padahal jumlah mereka lebih dari seratus orang wanita. Menurut kepercayaan para wanita Selat Bantai, jika mereka dapatkan benih dari pria yang bekas dipakai ratu mereka, maka mereka akan berumur panjang dan keturunan mereka pun akan dianggap keluarga Nyai Ratu Cendana Sutera. Keturunan mereka diperlakukan sama dengan keturunan Nyai Ratu Cendana Sutera."

Suto Sinting tertawa kecil bernada geli, "Jika begitu, tentunya sang Ratu tidak akan membiarkan pria yang pernah membuahinya dipakai rebutan oleh para bawahannya?"

"Tidak, Suto! Setiap pria yang pernah menanamkan benih dalam diri Nyai Ratu, ia harus mati. Jika tidak mati, maka benih itu tidak akan menjadi janin. Dan biasanya sebelum pria itu dibunuh, maka ia akan digunakan sebagai pejantan bagi wanita-wanita pendukung Nyai Ratu. Setelah semua wanita mendapat bibit dari pria tersebut, maka mereka pun akan mengakhiri hidup pria itu."

Semakin geli sang Pendekar Mabuk mendengar penjelasan tersebut, ia menggumam bagai bicara pada dirinya sendiri. "Aliran sesat macam apa yang mereka anut sebenarnya? Kurasa semua itu hanya isapan jempol belaka, Kabut Merana. Semua penjelasan yang kau dengar dari sahabatmu itu hanya rekayasa dan kepalsuan belaka. Jangan mau percaya dengan cerita seperti itu, Kabut Merana. Sebab..."

"Ini bukan rekayasa, Suto! Kudengar kabar tentang mereka sudah cukup lama, sejak aku belum mengenalmu."

"O, ya?!" Suto Sinting kian lebarkan senyum dengan nada tak mau percayai hal itu.

"Satu lagi yang belum kau dengar, Suto...!" ujar Kabut Merana dengan berapi-api, menampakkan kesungguhannya dalam membeberkan rahasia perempuan Selat Bantai itu. "...jika pada bulan kesuburan yang datangnya hanya seratus tahun sekali itu sang Ratu tidak mendapatkan bibit ksatria muda berilmu tinggi, maka selamanya ia tidak akan mendapat keturunan lagi, kecuali ia mampu bertahan hidup sampai datangnya bulan kesuburan berikutnya. Karena itu..."

Sebelum kata-kata Kabut Merana selesai, tiba-tiba tubuh gadis itu tersentak ke depan dengan kepala terdongak dan wajah menyeringai. Suara pekik tertahan terlontar dari mulutnya. "Huuuggh!"

"Kabut Merana?!" seru Suto Sinting dengan terkejut.

Seruan itu membuat Elang Samudera dan Bawana lemparkan pandangan ke arah Kabut Merana. Kedua orang itu pun terperanjat melihat tubuh gadis itu kepulkan asap putih buram. Tubuh sekal itu akhirnya mengerut dan menjadi susut, lama-lama mengecil dan mengecil terus, hingga akhirnya jatuh terkulai menjadi seperti bocah berusia lima tahun.

"Suto, apa yang terjadi pada dirinya?!" Elang Samudera bernada tegang sambil bergegas menghampiri Kabut Merana yang telah menyusut dan menjadi seperti bocah berusia lima tahun.

Pendekar Mabuk tak bisa jelaskan apa yang sempat dilihatnya tadi, karena kala itu Pendekar Mabuk terkesima dan terkunci mulutnya, kelu lidahnya, karena ia segera menyadari bahwa Kabut Merana yang berubah seperti bocah berusia lima tahun itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Tak ada napas sedikit pun yang keluar dari mulut maupun hidungnya. Tak ada denyut nadi atau detak jantung yang menjadi tanda kehidupannya. Jika semua itu tak ada, maka Suto Sinting segera paham bahwa gadis itu telah tewas oleh sebuah serangan dari tempat tersembunyi tadi.

Serangan tersebut berupa seberkas sinar kecil warna pelangi yang menghantam punggung Kabut Merana dengan sangat cepat. Pendekar Mabuk tak sempat menyingkirkan Kabut Merana, juga tak sempat lakukan penangkisan dengan cara apa pun. Sinar berwarna pelangi itu muncul dan melesat dalam keadaan sangat tiba-tiba. Kecepatan gerak sinar pelangi itu nyaris tak bisa dilihat oleh mata kepala Suto Sinting sendiri.

"Dia... dia telah tiada, Suto!" ucap Elang Samudera dengan nada sedih.

Pendekar Mabuk segera tarik napas dan buang pandangan ke arah datangnya sinar pelangi tadi. Kemudian dalam kejap berikutnya, sosok Pendekar Mabuk telah lenyap dari depan Elang Samudera, karena si Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran terhadap pelakunya dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman yang mampu bergerak melebihi anak panah lepas dari busurnya. Zlaaap...! Weess.. !

"Suto...! Suto, tunggu dulu!" seru Elang Samudera, seperti anak kecil takut kehilangan kakaknya.

Sementara itu, Bawana hanya diam pandangi mayat kecil si Kabut Merana dengan mulut melongo dan mata tak berkedip. Orang yang melepaskan pukulan dahsyat tadi ternyata tidak ada di tempat datangnya sinar pelangi kecil itu. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya keliling tempat itu dengan masih pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap, zlaap, zlaap...! Dan Elang Samudera mencari berlawanan arah dengan Suto Sinting, agar ia bisa melakukan pengepungan terhadap si pembunuh Kabut Merana itu.

Di suatu sisi tempat, kedua pemuda tampan itu saling bertemu dan hentikan langkah mereka. Mata mereka masih memandang nanar kepada keadaan sekeliling, karena keduanya sama-sama penasaran tak menemukan siapa-siapa di tempat itu kecuali mereka sendiri.

"Aku melihat sinar pelangi sekelebat dan menghantam punggung Kabut Merana. Datangnya dari arah sini, tapi di sini tidak ada manusia sepotong pun kecuali kita berdua, Elang Samudera."

"Dugaanku juga begitu, pasti Kabut Merana terkena pukulan jarak jauh yang tersembunyi dan kau pasti akan mengejarnya. Aku tak mau kehilangan kau, Suto. Sehingga walaupun aku tahu pengejaran ini akan sia-sia, tapi aku tetap datang mendukungmu, Suto! Kalau boleh kutahu, sebenarnya apa yang dibicarakan gadis itu kepadamu?"

Pendekar Mabuk akhirnya ceritakan kecurigaan Kabut Merana terhadap diri Bawana. Seketika itu pula Elang Samudera tampak terperanjat dan menjadi cemas. Lalu ia bergerak lebih dulu dari Pendekar Mabuk.

"Celaka! Jangan-jangan Bawana adalah mata-mata dari Selat Bantai?! Kita harus segera menemuinya dan memaksanya bicara!"

Pendekar Mabuk bergerak ke arah semula. Zlaaap...! Ia tiba di samping mayat Kabut Merana lebih dulu. Elang Samudera sempat kaget melihat Suto sudah ada ditempat.

"Cepat sekali gerakan larinya?! Aku tak mungkin bisa mengungguli kecepatan geraknya itu."

"Hei, mana orang yang mencariku tadi?" ujar Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. Ternyata Bawana tidak ada di tempat dan tidak diketahui ke mana kepergian orang tersebut.

"Jangan-jangan dia memang orang Selat Bantai yang... yang ingin menangkapmu, Suto!" kata Elang Samudera setelah mendengar penjelasan singkat dari Suto tentang apa yang dituturkan Kabut Merana tadi.

"Jika begitu, cari si Bawana tadi dan paksa dia agar tunjukkan pada kita di mana letak Selat Bantai itu."

Pendekar Mabuk diam termenung menahan kemarahan dalam hatinya. Elang Samudera masih tetap berpaling ke sana-sini sambil berseru keras-keras.

"Bawana! Bawanaaa...! Di mana kau, Bawana...?!"

Suasana masih tetap sepi dan mulut mereka pun tetap terkunci walau sudah lima kali masing-masing dari mereka berteriak memanggil nama Bawana.

"Apa yang harus kita lakukan jika begini, Suto?" tanya Elang Samudera dengan penuh rasa membela pihak teman.

* * *

LIMA

DENGAN hati sedih, Pendekar Mabuk mengangkat mayat Kabut Merana yang menjadi kecil itu. Ia sempat berkata kepada Elang Samudera yang berdiri murung di sampingnya, "Aku harus bawa mayat Kabut Merana kepada Galak Gantung, gurunya. Ikutlah aku sebagai saksi atas peristiwa ini, Elang."

"Aku tak keberatan sedikit pun. Sebaliknya kita berangkat sekarang saja, dan menunda kepergian kita ke Pulau Dulang. Tapi..., tapi bagaimana dengan hilangnya Bawana itu? Apakah kita perlu mencarinya sampai ketemu?"

Pendekar Mabuk yang sudah jongkok di samping mayat Kabut Merana hentikan gerakannya, ia tak jadi mengangkat mayat Kabut Merana. Ada sesuatu yang perlu direnungkan sebentar, yaitu tentang hilangnya Bawana. Namun sebelum ia harus berkata lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan yang cukup dahsyat. Tanah tempat mereka berpijak terasa bergetar kuat menandakan ledakan itu terjadi tak seberapa jauh dari tempat mereka. Pendekar Mabuk cepat bangkit dan berwajah tegang. Matanya memandang tajam ke arah datangnya suara ledakan.

"Ada sebuah pertarungan di sebelah barat sana!"

"Jangan-jangan orang yang membunuh Kabut Merana sedang bertarung melawan musuh lainnya?"

"Kita periksa sebentar ke sana, Elang!"

Dalam waktu sangat singkat, Pendekar Mabuk dan Elang Samudera tiba di tempat pertarungan. Apa yang dilihat oleh mereka sangat mengejutkan Pendekar Mabuk, sebab ia tahu persis siapa orang yang saling mengadu kesaktian itu. Elang Samudera pun terperanjat melihat siapa yang bertarung dengan serunya itu, karena ia mengenal mereka. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata dengan nada menggumam,

"Awan Setangkai?!"

"Benar. Ternyata perempuan itu ada di sini. Mungkin juga perempuan itu yang membunuh Kabut Merana."

Pandangan mata Suto Sinting tertuju ke arah lawan perempuan itu yang berpakaian hitam dirangkap jubah tanpa lengan warna putih. Lelaki tua yang menjadi lawan Awan Setangkai itu berusia sekitar delapan puluh tahun, tapi gerakannya masih lincah dan gesit, ia mempunyai rambut panjang warna uban diikat ke belakang, jenggotnya putih pendek, tapi kumisnya lebat dan berwarna putih uban juga. Tokoh tua itu tak lain adalah sahabat si Gila Tuak yang dikenal dengan nama si Galak Gantung. Elang Samudera pernah bertemu Galak Gantung pada saat kakak perempuannya yang bernama Dewi Cintani itu menjadi manusia separo hewan, (Baca serial "Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).

"Rupanya Ki Galak Gantung sudah mengenal Awan Setangkai," ujar Elang Samudera, karena ia mendengar suara Galak Gantung berseru saat sebelum lanjutkan serangannya,

"Akan kuhanguskan tubuh licikmu itu. Awan Setangkai! Kau telah menyerang muridku dari belakang, tapi aku akan menyerangmu dari depan sebagai langkah penebus kelicikanmu!"

Galak Gantung sentakkan tangannya dalam satu lompatan. Dari telapak tangan itu melesat sinar merah yang segera berubah menjadi kobaran api begitu sinar merah melewati pertengahan jarak mereka. Wuuuss...!

Tapi dengan tenangnya Awan Setangkai mengibaskan tangan kanan bagai membuang segenggam daun. Kibasan itu ternyata hadirkan angin cukup besar dan memadamkan kobaran api yang sedang menuju ke arahnya. Wuuut...!Weess...!

Tubuh Galak Gantung yang melayang segera dihantam dengan pukulan jarak jauh berupa sinar kuning lebar. Sinar kuning itu keluar dari ujung-ujung jari Awan Setangkai yang disentakkan miring ke depan dalam keadaan keempat jarinya merapat. Suut...! Claaap...! Galak Gantung menangkisnya dengan sinar merah yang keluar dari ayunan tangan kiri dari belakang ke depan.

Wuut...! Clap, jegaaarrr...!

Awan Setangkai terlempar akibat gelombang ledakan dari perpaduan dua sinar tadi. Galak Gantung sendiri juga terlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik. Karena ledakan lebih dahsyat dari yang didengar Suto tadi telah membuat beberapa pohon tumbang serta gugusan batu pecah berhamburan. Bahkan Pendekar Mabuk dan Elang Samudera pun terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah dari tempat pengintaian mereka itu.

"Edan! Jurus apa yang dipakai mereka ini? Rasa-rasanya bumi mau kiamat, langit mau runtuh dan..." Elang Samudera tak bisa lanjutkan ucapannya karena mulutnya segera dibekap oleh Suto Sinting. Pendekar Mabuk bisikkan kata di telinga Elang Samudera.

"Jangan bicara sekeras ini, nanti mereka mendengar dan mengetahui kehadiran kita di sini, Tolol!"

Elang Samudera menarik tangan yang menutup mulutnya dengan sedikit jengkel, ia ingin ucapkan sesuatu, namun tak jadi karena perhatiannya lebih tertarik pada apa yang akan dilakukan oleh Awan Setangkai. Perempuan itu tampaknya tidak mengalami luka parah walau terlempar tujuh langkah jauhnya, ia berdiri tegak dalam waktu singkat, sementara Galak Gantung justru memuntahkan darah dari mulutnya saat merangkak berusaha untuk bangkit lagi.

Awan Setangkai mengangkat kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan menghadang ke depan dan bagian belakang telapak tangan itu menempel di kening. Kedua kaki perempuan itu sedikit merenggang dan badannya tampak tegak. Matanya terpejam beberapa saat, dan tiba-tiba kedua tangan itu berkelebat ke depan bagai melemparkan pisau. Wut, wut! Slaaap...!

Dua sinar merah berbentuk pisau kecil melesat dari kedua tangan Angin Setangkai. Sinar merah itu mengarah lurus ke tubuh Galak Gantung. Tokoh tua tersebut terperanjat begitu sadar bahwa ada dua sinar merah berbentuk pisau mendekatinya, ia terlambat menghindar dan menangkis sinar tersebut. Sekalipun sudah berusaha mengelak ke samping kiri, tapi salah satu sinar merah itu berhasil menembus bagian bawah pundak kirinya.

Claasss...!

"Uaahk...!" Galak Gantung terpekik dengan tubuh mengejang sedikit melengkung ke belakang, ia dalam keadaan berlutut saat mendekap luka di bawah pundak kirinya. Luka tersebut berasap merah dan dalam sekejap tubuh Galak Gantung terjungkal ke belakang. Brruk...! "Aaahk...!" terdengar suaranya mengerang menahan sakit, seperti sedang mengalami sekarat.

Melihat hal itu, Suto Sinting merasa heran. Hatinya berkata, "Jika Galak Gantung saja bisa ditumbangkan oleh Awan Setangkai, berarti ilmu perempuan itu memang tinggi dan tak bisa diremehkan. Gila! Aku harus segera menolong Galak Gantung sebelum nyawanya melayang tinggalkan raga."

Lalu, ia berbisik kepala Elang Samudera, "Alihkan perhatian Awan Setangkai. Pancing dengan seranganmu agar ia tak memperhatikan Galak Gantung. Aku akan menolong Pak Tua itu sebelum ia mencapai ajal."

Tanpa banyak bicara Elang Samudera segera melemparkan sesuatu ke arah Awan Setangkai. Ternyata sebuah senjata rahasia berupa lempengan logam berbentuk bintang segi enam. Ziing...! Benda itu melayang ke punggung Awan Setangkai.

Tetapi agaknya Awan Setangkai mempunyai ketajaman rasa yang cukup tinggi, ia tahu ada benda yang melayang cepat di belakangnya. Maka ia segera balikkan badan sambil cabut pedangnya dan mengibas cepat. Semua gerakan memang dilakukan serba cepat dan tepat, sehingga senjata rahasia Elang Samudera berhasil ditangkis dan dibuang ke arah lain menggunakan pedangnya. Trringg...! Juurb...! Senjata itu menancap pada sebatang pohon agak jauh dari tempat Awan Setangkai berdiri.

Pendekar Mabuk sudah pergi sejak Elang Samudera melemparkan senjata rahasianya tadi. Jurus 'Gerak Siluman' membuat Suto Sinting tahu-tahu sudah berada di dekat Galak Gantung yang terkapar di bawah pohon tak berdaun, karena daunnya rontok semua akibat gelombang ledakan tadi. Pendekar Mabuk segera menyeret tubuh Galak Gantung ke balik pohon untuk menjaga kemungkinan diserang sewaktu-waktu, ia segera menuangkan tuak ke mulut Galak Gantung. Suto Sinting tak hiraukan dulu keadaan Elang Samudera. Ia tak tahu bahwa Elang Samudera pun kini telah mencabut pedangnya dan lakukan serangan ke arah Awan Setangkai.

Trang, trang, duaar...! Trang, tring, duaar...!

Perpaduan kedua pedang itu memercikkan bunga api yang sesekali timbulkan suara letusan cukup keras. Elang Samudera terdesak oleh serangan jurus pedang Awan Setangkai yang sukar dilihat gerakannya itu. Dalam hati Elang Samudera sempat berkata,

"Ternyata jurus pedangnya cukup hebat! Jurus pedangku tak berhasil menembus kecepatan geraknya. Setan! Aku harus lakukan perlawanan dari jarak jauh saja!"

Wuut! Elang Samudera sentakkan kaki dan melayang mundur, kemudian ia bersalto, balik dua kali. Plak, plak...! Tapi begitu kakinya mendarat dari gerakan saltonya, tiba-tiba Awan Setangkai sentakkan pedang ke depan, dan dari ujung pedang keluar sinar biru lurus sebesar lidi. Claap...!

"Aaahg...!" Elang Samudera terpekik karena sinar biru itu menembus ulu hatinya dengan telak. Tubuhnya segera bergetar dan kejap berikutnya jatuh terkulai bagai tak bertenaga lagi. Lubang kecil yang ada di ulu hatinya itu makin lama semakin melebar dan menampakkan warna hitam hangus bercampur darah yang merah kehitam-hitaman. Luka berlubang itu seolah-olah semakin lebar jika terkena hembusan angin, dan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuh menjadi sangat luar biasa.

"Aaaahhkk.,.!" Elang Samudera mengerang panjang, suaranya terdengar sampai di telinga Pendekar Mabuk.

Si murid sinting Gila Tuak itu segera berkelebat mengarah ke tempat Elang Samudera. Zlaaap...! Pada waktu itu Awan Setangkai sedang bergerak maju dekati Elang Samudera dengan pedang siap dihujamkan penuh kemarahan. Tetapi langkah perempuan itu menjadi terhenti ketika tahu-tahu ia dihadang seorang pemuda yang membawa bumbung tuak. Wajah si cantik ganas itu terperanjat jelas.

"Kkau... kau masih bisa hidup?!" gumamnya bernada heran. "Tak seorang pun bisa lolos dari racun 'Bayi Panggang'-ku, tapi mengapa kau sekarang masih tetap hidup?!"

"Hentikan keganasanmu, Awan Setangkai! Jangan paksa aku turun tangan menghancurkan tubuh mulusmu itu!" gertak Pendekar Mabuk tapi masih tampak tetap kalem.

"Kau harus kubunuh! Kau harus kulenyapkan sebelum..."

"Kalau begitu kita tentukan pertarungan pribadi di suatu tempat! Jangan libatkan orang lain hingga menjadi korban keganasanmu, Awan Setangkai!"

Perempuan cantik yang masih tampak muda dan menggairahkan itu diam sesaat, menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia perdengarkan suaranya bernada datar.

"Baik. Kutunggu kau di Pantai Karang Hantu sebelum matahari terbenam. Kuharap kau berani melayani tantanganku ini!" Blaaass. ! Perempuan cantik itu melesat pergi seperti menghilang dalam sekejap. Gerakannya sangat cepat, ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi. Jika Suto Sinting tidak terbiasa melihat gerakan angin, maka ia tidak akan tahu bahwa perempuan cantik itu sebenarnya lakukan lompatan jarak jauh yang amat cepat dan menuju ke arah pantai.

"Memang tinggi ilmunya!" gumam hati sang Pendekar Mabuk, ia tidak perhatikan lagi kepergian Awan Setangkai, kini yang menjadi pusat perhatiannya adalah nyawa Elang Samudera.

Pemuda tampan yang berusia lebih muda darinya itu dalam keadaan sedang merenggang nyawa. Sebentar lagi nyawa Elang Samudera akan lepas dari raganya akibat luka yang amat parah. Luka itu menjadi hebat hingga tampak menganga hampir memenuhi dada. Pendekar Mabuk tak banyak berpikir lagi, ia segera membuka mulut Elang Samudera dengan paksa dan mengucurkan tuaknya, tanpa peduli tuak itu menghambur membasahi wajah Elang Samudera. Tanpa lakukan tindakan seperti itu, Elang Samudera akan kehilangan nyawanya dan luka tersebut akan memakan seluruh bagian rongga dadanya.

"Ke mana perginya perempuan binal itu?!"

Tiba-tiba terdengar suara bernada geram. Oh, ternyata si Galak Gantung sudah menjadi sehat kembali berkat tuak sakti Suto yang tadi diminumkan dengan paksa juga itu. Pendekar Mabuk segera bangkit berdiri, karena ia merasa sudah cukup menuangkan tuak ke mulut Elang Samudera. Ia biarkan Elang Samudera menunggu kesembuhannya dalam keadaan terkapar di tanah bersampah daun kering.

"Dia sudah pergi, Ki," ujar Suto Sinting dengan sikap sungkan terhadap sahabat gurunya itu.

"Biadab dia! Mengapa kau biarkan perempuan itu pergi?! Apakah kau telah berhasil melukainya dan menjamin dia akan mati di suatu tempat?"

Pendekar Mabuk agak bingung memberi jawaban. Jika ia katakan yang sebenarnya, pasti Galak Gantung akan mengejar Awan Setangkai ke Pantai Karang Hantu. Hal itu sangat membahayakan jiwa Galak Gantung, sebab agaknya ilmu yang dimiliki Awan Setangkai mampu imbangi kesaktian Galak Gantung. Karenanya, Suto Sinting segera putuskan niatnya untuk tidak memberi jawaban yang sebenarnya demi keselamatan Galak Gantung.

"Dia memang pergi dalam keadaan terluka. Tapi aku tak berani pastikan apakah ia mampu mengobati lukanya atau tidak. Jika tidak, maka ia akan mati sebelum matahari terbenam nanti."

Agaknya jawaban itu kurang melegakan hati Galak Gantung yang berwajah berang, memancarkan sinar kemurkaan dari pandangan matanya yang dingin itu. "Ke mana arah kepergiannya?"

"Ke... ke selatan," jawab Suio Sinting, padahal Awan Setangkai pergi ke arah utara.

"Aku harus menyusulnya untuk buktikan apakah ia benar-benar telah mati atau masih hidup!"

"Tapi... tapi tunggu dulu, Ki Galak Gantung. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang Awan Setangkai itu," sergah Pendekar Mabuk yang membuat Galak Gantung menunda gerakannya yang ingin tinggalkan tempat itu.

Mata dingin si Galak Gantung memandang tajam ke arah Suto Sinting, terasa begitu dingin membekukan setiap denyut nadi di sekujur tubuh Suto Sinting. Namun dengan tarikan napas pelan dan memanjang, Pendekar Mabuk masih mampu tampilkan sikap tenang, kalem, dan sopan.

"Kurasa kau mengenal betul siapa si Awan Setangkai itu, Ki."

"Hmmm! Yang jelas, ia mengancam nyawamu. Hindari pertemuan dengan perempuan binal itu!" ujar Galak Gantung penuh wibawa.

"Akan kuturuti saranmu, Ki. Tapi aku ingin tahu siapa dia sebenarnya? Mengapa ia mengancam nyawaku?"

Elang Samudera mulai bisa menggeliat. Agaknya luka yang ada di dadanya telah lenyap dan mengatup rapat, kulit tubuhnya menjadi halus seperti sediakala, seakan tak pernah mengalami luka yang amat membahayakan jiwanya itu. Ia mencoba bangkit dengan perlahan-lahan.

Galak Gantung tak begitu peduli, perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang menunggu jawaban darinya itu. "Awan Setangkai adalah orang kedua di wilayah Selat Bantai, ia tangan kanannya Ratu Cendana Sutera."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam lirihnya. "Kulihat beberapa waktu sebelum tadi, ia bentrok dengan muridku, si Kabut Merana, ia lakukan kelicikan dalam serangannya, hingga kabut Merana terluka bagian dadanya. Aku segera mengalihkan perhatiannya dan berhasil memancingnya berlari mengejarku. Tapi aku tak tahu di mana Kabut Merana sekarang. Kurasa..."

"Dia telah tewas, Ki!" sahut Elang Samudera nyeplos begitu saja.

Galak Gantung terkesiap, matanya mengecil memancarkan murka yang tertahan. Pendekar Mabuk menyesali ucapan Elang Samudera yang dianggap gegabah itu. Namun Suto tak berani menegur saat itu juga. Ia hanya melirik menampakkan rasa kesal lewat pandangan matanya. Elang Samudera segera paham maksud lirik Suto Sinting, sehingga ia menjadi salah tingkah sendiri.

"Jika benar muridku tewas, di mana mayatnya?"

"Tak jauh dari sini, Ki," jawab Suto Sinting yang akhirnya bicara apa adanya, karena Galak Gantung sudah telanjur mendengar ucapan Elang Samudera. Padahal Suto Sinting bermaksud tidak memancing murka si Galak Gantung lebih besar lagi, sehingga tokoh tua itu tidak memburu Awan Setangkai. Sebab jika tokoh tua itu memburu Awan Setangkai, hal itu sangat mencemaskan hati Suto Sinting. Cemas jika nyawa Galak Gantung lenyap di tangan Awan Setangkai, cemas pula jika nyawa Awan Setangkai pergi dari raganya sebelum Suto Sinting mendapat keterangan banyak-banyak tentang alasan perempuan itu memburunya.

Akhirnya Suto Sinting dan Elang Samudera membawa Galak Gantung ke tempat di mana mayat Kabut Merana tergeletak di antara semak. Galak Gantung terkesiap dan menahan napas begitu melihat mayat muridnya menjadi kecil seperti mayat anak berusia lima tahun. Wajah tuanya memancarkan warna merah sebagai tanda murka yang paling tinggi. Namun agaknya Galak Gantung masih tetap berusaha menahan luapan murkanya sebelum bertemu dengan Awan Setangkai, ia berdiri pandangi mayat Kabut Merana dengan mulut terkatup membisu. Bebeberapa saat kemudian barulah terdengar suaranya yang bernada geram itu.

"Pasti si Awan Setangkai yang membunuhnya, ia mempunyai jurus 'Suryapati' yang dapat membuat tubuh lawannya menyusut dan menjadi sekecil ini."

"Adakah kemungkinan orang lain yang melakukannya, Ki?" tanya Suto Sinting dengan hati-hati.

"Tidak. Hanya si perempuan binal; Awan Setangkai saja yang memiliki jurus 'Suryapati' peninggalan mendiang neneknya; Nyai Pintal Sukma, bekas sahabatku semasa muda," jawab Galak Gantung dengan suara berat sebagai tanda menahan murka mati-matian, ia bicara tanpa memandang yang diajak bicara, karena sorot pandangan matanya tertuju lurus kemayat muridnya. Pandangan mata itu memancarkan berbagai rasa, antara dendam dan duka, benci dan haru.

"Aku harus segera memakamkan jenazah muridku sebelum menjadi bangkai," ucapnya pelan sekali, nyaris tidak terdengar. "Setelah selesai memakamkan muridku, akan kucari perempuan itu untuk kukirim ke neraka!"

"Aku sependapat denganmu, Ki. Tapi aku masih belum tahu, mengapa Kabut Merana terlibat pertikaian dengan Awan Setangkai?"

"Kabut Merana pernah membunuh adik si Awan Setangkai. Dendam itulah yang membuat Awan Setangkai mengejar Kabut Merana setelah muridku keluar dari istana Selat Bantai sehabis menghadiri perkawinan sahabatnya di sana. Sejak ia pamit padaku hendak menghadiri perkawinan sahabatnya di Selat Bantai, aku menjadi tak enak hati, karenanya kubayang-bayangi muridku itu dari kejauhan. Ternyata firasatku memang benar, ia menemui ajal sepulangnya dari Istana Selat Bantai."

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ditanyakan oleh Suto Sinting. Tetapi agaknya Galak Gantung tak sabar lagi, ingin segera memakamkan jenazah muridnya di tempat kediamannya; di puncak Bukit Wangi. Maka Pendekar Mabuk pun membiarkan Galak Gantung pergi membawa mayat Kabut Merana dengan terlebih dulu berkata kepada si tokoh tua itu,

"Maaf, aku tak bisa ikut menghadiri pemakaman Kabut Merana karena ada urusan yang sangat penting, Ki!"

Tokoh tua itu seolah-olah tak mendengar ucapan Pendekar Mabuk, ia mengangkat mayat muridnya, kemudian melesat dalam satu sentakan kaki. Ia bagaikan lenyap ditelan bumi karena kecepatan geraknya.

Elang Samudera mulai berani dekati Suto Sinting dan ajukan tanya dengan suara pelan, "Apakah kita tetap akan lanjutkan perjalanan ke Pulau Dulang? Atau mau mencari Bawana lebih dulu?"

"Ada sesuatu yang harus kukerjakan, Elang Samudera. Aku ingin kau mencari Bawana di sekitar sini, dan aku menyelesaikan urusanku. Kita bertemu di Pantai Karang Hantu nanti malam."

* * *

ENAM

TEBING curam, berdinding tegak lurus menjadi tempat penantian Awan Setangkai. Di atas tebing itu, perempuan cantik bermata galak itu lepaskan pukulan jarak jauh berupa cahaya biru sebesar jeruk purut. Weess...! Cahaya biru itu melesat dan menghantam seonggok batu karang di pertengahan pantai.

Blaaarr...!

Tujuannya hanya ingin memberi tahu Pendekar Msbuk yang sedang kebingungan mencarinya, bahwa ia ada di atas tebing curam itu menunggu menyelesaikan tantangannya. Pendekar Mabuk segera memandang ke arah tebing, lalu dalam sekejap ia pun lenyap, tahu-tahu sudah berada di atas tebing datar tersebut.

Awan Setangkai segera palingkan badan hingga berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Sorot pandangan matanya memancarkan permusuhan yang masih merupakan tanda tanya bagi hati Pendekar Mabuk sendiri. Mereka saling beradu pandang dalam jarak enam langkah. Masing-masing memperlihatkan ketenangan dan keberanian yang tanpa gentar sedikitpun.

"Kau sudah siap mati di tanganku, Pendekar Mabuk?!" ucap Awan Setangkai sengaja menggertak untuk ciutkan nyali Suto Sinting.

Tapi gertakan itu hanya ditertawakan oleh murid si Gila Tuak melalui senyum lebar yang memancarkan daya pikat mengagumkan setiap wanita. Hati perempuan cantik itu berdebar saat menyadari bahwa senyuman Suto Sinting itu ternyata begitu mengagumkan dan enak dipandang mata.

"Kapan pun aku siap mati di tanganmu, Nona Cantik," ujar Suto Sinting mulai gunakan 'aji rayuan gombal'-nya. Kata-kata seperti itu dilontarkan hanya untuk meremehan tantangan lawannya.

Awan Setangkai merasa diremehkan, namun ia tetap menjaga luapan kemarahannya agar tetap terkendali dan tetap tenang. Ia sunggingkan senyum tipis yang sangat dingin, sedingin salju kutub utara.

"Tapi sebelum kau berhasil membunuhku," kata Suto Sinting, "... kumohon lebih dulu kau jelaskan apa alasanmu memusuhiku, Awan Setangkai? Baru sekarang aku merasa benar-benar dimusuhi oleh gadis secantik kau."

"Kau tak perlu tahu alasan itu. Tetapi percayalah dengan kata-kataku, kematianmu mempunyai manfaat sendiri bagi pihak lain. Terutama pihakku!"

"Tapi merugikan pihak lain juga, terutama pihak kekasihku: Dyah Sariningrum."

"Aku tak kenal perempuan itu, sehingga aku tak perlu peduli dengannya. Yang jelas, aku tak ingin kau hidup lebih dari satu hari lagi."

"Agaknya nyawaku sangat menggairahkan bagi murkamu," ujar Suto Sinting sambil tersenyum kalem. "Tapi percayalah, Awan Setangkai... membunuh orang seperti diriku memang sangat mudah. Yang sulit adalah melumpuhkan ilmuku sebelum nyawaku melayang. Kalau tak percaya, cobalah bertanya pada arwah orang-orang yang memaksaku membunuhnya."

"Bicaramu semakin lama semakin membakar darahku, Pendekar Mabuk! Sebaiknya, kita mulai saja pertarungan ini dan bersiaplah untuk mati dalam satu gebrakan!"

"Kau perempuan yang terlalu yakin dengan diri sendiri," ujar Pendekar Mabuk dalam bingkai senyum ketenangannya.

Awan Setangkai melangkah ke samping pelan-pelan dengan mata memandang tajam, penuh waspada. Suto Sinting justru sempatkan diri menenggak tuaknya tanpa rasa takut diserang. Rupanya Pendekar Mabuk sudah terbiasa memancing lawannya dengan cara berlagak lengah meminum tuak. Awan Setangkai tak tahu kalau sedang dipancing, sehingga ketika ia gerakkan tangannya untuk melepaskan pukulan jarak jauh, tiba-tiba tangan kiri Suto Sinting melepaskan sentilan yang bernama jurus 'Jari Guntur' itu. Tes,tes...!

Behg, behg...!

"Uuhg...!" Awan Setangkai tersentak mundur dua langkah karena tenaga dalam yang keluar dari sentilan tangan Suto Sinting itu mempunyai kekuatan sebesar tendangan kuda jantan. Ulu hati gadis itu menjadi sakit dan pernapasannya terasa sesak sekali.

"Setan! Aku kecolongan!" geram Awan Setangkai dalam hatinya. "Uuh... sakitnya bukan main. Tulang igaku seperti ada yang patah dan ulu hatiku bagai dihantam balok besar. Kurang ajar betul dia! Awas, akan kubalas dengan caraku sendiri!"

Pendekar Mabuk sengaja pamerkan senyum kemenangan saat Awan Setangkai tegak kembali setelah menghirup udara banyak-banyak. Sikap yang ditampilkan gadis itu adalah sikap tenang, seakan tidak merasa heran dengan serangan Suto Sinting tadi. Ia bahkan berlagak melengos ke samping kanan. Tetapi tiba-tiba kepalanya menyentak ke kiri dengan pandangan mata tak berkedip. Wuuut...!

Dan seketika itu pula Suto Sinting terlempar ke samping bagai ada tenaga besar yang membantingnya. Brruuk...!

"Edan! Rupanya ia punya kekuatan tenaga dalam melalui pandangan matanya?!" pikir Suto Sinting sambil bergegas bangun. "Hmmm... boleh juga. Tapi dia belum tahu kalau aku pun mempunyai jurus 'Pranasukma' yang dapat melemparkan tubuh manusia sebesar apa pun dengan kekuatan pandangan batinku."

Jurus 'Pranasukma' adalah jurus yang mengandalkan kekuatan batin untuk memindahkan atau menghancurkan benda apa pun. Jurus ini pemberian dari tokoh sakti sahabat si Gila Tuak yang bernama Setan Merakyat. Menurut keterangan Setan Merakyat, jurus 'Pranasukma' hanya bisa digunakan sebanyak seratus kali. Ketika itu, jurus tersebut sudah digunakan oleh Setan Merakyat sendiri sebanyak empat kali, sedangkan setelah diturunkan kepada Suto Sinting, jurus itu sudah digunakan tujuh belas kali. Berarti jurus itu sekarang tinggal tujuh puluh sembilan kali lagi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Setan Rawa Bangkai).

Pendekar Mabuk berdiri tegak kembali, ia masih tampak kalem dengan senyum tipis menghias bibirnya. Tatapan matanya tertuju lekat-lekat ke wajah Awan Setangkai. Gadis itu sunggingkan senyum sinis sebagai tanda penghinaan atas serangan balasannya tadi.

"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa lakukan serangan licik seperti tadi? Hmmm... kau lihat sendiri aku pun bisa menyerangmu tanpa beranjak dari tempatku!" ujar Awan Setangkai dengan rasa bangga. Bahkan ia menambahkan kata ketika Suto Sinting hanya diam saja dan tetap sunggingkan senyuman yang menjengkelkan hati itu, "Sekarang apa lagi yang ingin kau lakukan? Aku sudah siap menerima seranganmu walau..."

Brruk...! Tiba-tiba tubuh Awan Setangkai terlempar ke belakang dan jatuh terbanting dalam keadaan telentang. Suto Sinting telah gunakan jurus 'Pranasukma' untuk mengecohkan sikap angkuh si gadis cantik itu. Dengan begitu, kini jurus 'Pranasukma' hanya bisa digunakan sebanyak tujuh puluh delapan kali lagi. Karena agaknya Suto Sinting tidak akan lakukan serangan kepada Awan Setangkai dengan jurus itu lagi. Cukup satu kali untuk membuat si gadis agar tak terlalu besar kepala.

"Setan kurap!" geram hati Awan Setangkai. "Rupanya ia memiliki kekuatan pandangan mata seperti yang kumiliki. Hmmm kalau begitu aku harus hati-hati melakukan tindakan kepadanya. Aku tak boleh lengah sedikit pun."

Pendekar Mabuk bicara dengan tawa kecilnya, "Kalau ku mau, aku bisa melemparkan tubuhmu sampai ke tengah samudera sana, atau kusangkutkan pada tepian matahari yang ingin tenggelam di cakrawala itu!"

"Hmmm...!" Awan Setangkai mencibir sinis sekali.

Suto Sinting berkata, "Tapi aku tak mau lakukan kekejian seperti itu, karena gadis secantik kau tak layak diperlakukan seperti itu. Gadis seperti kau lebih layak diperlakukan dengan lemah lembut dan penuh kemesraan."

"Tutup mulutmu, Biadab!" sentak Awan Setangkai dengan berang. "Kau tak perlu coba-coba merayuku dengan ungkapan yang menjijikkan seperti itu!"

"Kau menganggap ungkapan itu menjijikkan karena kau belum pernah merasakan betapa indahnya kemesraan dalam pelukan yang damai. Jika kau pernah merasakan, maka kau tidak akan berkata 'menjijikkan' tapi akan berkata 'melenakan'. Percayalah kau...?"

"Diaaamm...!" teriak Awan Setangkai sambil menutup kedua telinganya, ia tampak tegang sekali dan wajahnya menjadi sangat berang.

Suto Sinting sembunyikan perasaan herannya dalam hati melihat perubahan sikap lawannya. "Mengapa ia tampak seperti tersiksa sekali mendengar kemesraan yang kukatakan? Mengapa ia kelihatannya sangat ketakutan mendengar ucapan lembutku? Ada apa di balik kekuatan ilmunya itu? Akan kucoba bicara tentang kemesraan lagi!"

Awan Setangkai berkata keras, "Jangan buang-buang waktu lagi! Bersiaplah untuk mati di tanganku, Pendekar Mabuk!"

"Kau akan kehilangan kasih sayang dan kehangatan jika sampai aku mati di tanganmu. Kau tak akan tahu bahwa ada sekerat hati yang mengagumi kecantikanmu dan ingin memelukmu dengan penuh kasih sayang dan keindahan yang dapat menerbangkan khayalanmu. Kau..."

"Diam, diam, diaaam...!" teriaknya dengan semakin keras, lebih pantas dikatakan sebagai jeritan. "Kuhancurkan mulut busukmu, Setan Kurap! Hiaaah !"

Wuuut...! Awan Setangkai menerjang Suto Sinting dengan satu lompatan cepat. Pendekar Mabuk segera menyingkir dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap. Akibatnya gadis itu menerjang tempat kosong, sedangkan orang yang dituju sudah berada jauh di belakangnya. Dari sana Suto Sinting berseru melontarkan kata-kata bernada mesra.

"Kau tak pantas menyerangku, Awan Setangkai! Karena kau akan kupeluk dan kucium dengan penuh kelembutan dan cinta yang membara. Barangkali kau akan kuterbangkan ke puncak-puncak keindahan cinta yang akan berkesan sepanjang hidupmu..."

"Tidaaaakk...!" teriaknya sambil lakukan lompatan lagi dan seberkas cahaya merah keluar dari telapak tangannya. Claaap...! Weeess!

Blegaaar ! Ledakan dahsyat terjadi begitu hebatnya, mengguncangkan tebing, merontokkan bebatuan karang yang menjadi kulit dinding tebing itu. Bahkan ombak lautan yang berjarak sepuluh langkah dari ketinggian di atasnya pun menyemburkan kekuatan getar hingga ombak itu melambung tinggi bagaikan ingin ikut murka.

Ledakan itu timbul karena sinar merah tersebut ditangkis oleh Suto Sinting menggunakan bumbung tuaknya. Biasanya bumbung tuak itu bisa memantul-balikkan sinar pukulan lawan. Tetapi kali ini sinar itu justru meledak setelah kenai bumbung tuak. Berarti sinar merah itu mempunyai kekuatan maha dahsyat yang mungkin dapat meleburkan raga Suto Sinting menjadi debu jika sampai kenai tubuh Suto Sinting. Namun karena sinar mengenai bumbung tuak sakti, dan bumbung itu tidak lecet sedikit pun, maka yang terjadi adalah ledakan sedahsyat tadi.

Awan Setangkai masih menutup telinga dengan kedua tangannya. Napasnya terengah-engah dan kepalanya sedikit menunduk, ia bagaikan menyembunyikan ketakutan yang terpampang di wajahnya. Pendekar Mabuk semakin heran melihat kenyataan itu, dan berniat usil untuk menggunakan kalimat-kalimat mesra lagi. Dengan melangkah lebih mendekat lagi, Pendekar Mabuk pun gunakan kata-kata lembut yang merdu merayu.

"Jangan biarkan murkamu membunuh asmara yang timbul di batinku, Awan Setangkai. Asmara ini meratap ingin merenggut jiwamu untuk bersatu menjalin cinta dan keindahan."

"Tidak! Tidak ! Hentikan ucapanmu itu! Hentikan!"

"Tak ada kemesraan yang bisa dihentikan jika sudah berhadapan denganmu, Awan Setangkai. Kau adalah ratu kemesraan yang sangat mengagumkan dan patut dimuliakan. Rasa-rasanya sekarang pun hatiku telah meremas penuh keindahan pada tepian hatimu. Aku terkulai lemas dalam pelukanmu, Sayang."

"Tidaaaakk...! Hentikaaaan...! Hentikaaaan...!" teriak gadis aneh itu. Ia bagai mengalami rasa sakit yang begitu besar di telinganya, ia menahan kuat-kuat sambil berteriak-teriak hingga tubuhnya berkeringat dan jatuh terkulai berlutut.

"Remaslah jariku. Genggamlah tanganku. Semua menjadi milikmu, Awan Setangkai. Semua keindahan dan kemesraanku menjadi milikmu. Rasakan kehangatan bibirku yang merayap di lehermu, Awan Setangkai "

"Ooooh, tidaaaakk...!" Awan Setangkai akhirnya menangis terisak-isak bagai ditinggal mati neneknya. Kalimat-kalimat mesra itu seakan melumpuhkan kekuatan dan kegalakannya. Pendekar Mabuk diam terbengong memandangi Awan Setangkai terisak-isak sambil cucurkan air mata dan tetap menutup kedua telinga menggunakan kedua tangannya. "Tolong hentikan...! Hentikan kata-katamu itu. Ooh... aku tak sanggup lagi menerimanya...," pinta gadis itu dalam tangis.

"Gadis ini gila apa sinting sebenarnya? Mendengar rayuan mesra menjadi lumpuh tak berdaya. Aneh sekali?! Padahal rayuanku tidak menggunakan tenaga dalam dan ilmu apa pun kecuali ilmu 'menggombal' yang sejak kecil sudah ada padaku," pikir Suto Sinting sambil tetap pandangi tangis Awan Setangkai.

Gadis cantik itu masih berlutut dan tundukkan kepala, mendekap kedua telinganya sambil perdengarkan suara tangis samar-samar. Pendekar Mabuk justru menjadi bingung sendiri; antara ingin membujuk atau membiarkan semangat membunuh si gadis timbul kembali? Akhirnya ia berkata kepada Awan Setangkai depan suara pelan dan berkesan lembut,

"Apakah kita jadi bertarung mengadu nyawa? Mari sudah hampir gelap, cepat cabut pedangmu dan bunuhlah aku jika kau mampu, Awan Setangkai!"

Tiba-tiba gadis itu tegakkan badan, memandang dengan penuh nafsu membunuh, ia segera bangkit dan mencabut pedangnya. Namun sebelum pedang tercabut, Suto Sinting segera berkata,

"Kalau kau tega membunuh orang yang merindukan dirimu, mencintaimu dan berhasrat sekali mencium keningmu, maka bunuhlah sekarang juga. Biarlah kerinduan dan hasrat cintaku terkubur bersama jasadku. Aku rela mati ditangan gadis yang telah kupeluk mesra dalam khayalanku."

"Oooh...! Setaaan...! Hentikan kata-katamu itu! Hentikaaan...! Oh, jangan lagi bicara kemesraan dihadapanku. Aku... aku tak mampu menerimanya" Gadis itu menangis lagi, berlutut kembali, dan kekuatannya bagai sirna dalam beberapa waktu.

Pendekar Mabuk hanya berucap dalam batinnya. "Kurasa dia asli gila! Baru sekarang kutemukan seorang gadis yang bagaikan lumpuh begitu mendengar rayuan mesra. Hmm... jangan-jangan memang ia edan dari sananya."

Tangis itu tiba-tiba terhenti secara mengejutkan, berganti pekikan tertahan yang dibarengi gerakan tubuh tegak mengejang, wajah merenggang tegang, mulut ternganga dan mata mendelik lebar.

"Aaahk...!"

"Awan Setangkai...?!" sentak Suto Sinting dengan rasa kagetnya. Dahi pendekar tampan itu segera berkerut penuh keheranan. Awan Setangkai roboh ke depan tak berdaya lagi.

Pada saat tubuh itu roboh ke depan Suto Sinting melihat sebilah pisau kecil menancap di punggung Awan Setangkai. Pisau itu berukuran panjang setengah jengkal. Gagangnya terbuat dari logam kuning emas. Mata pisaunya terbenam seluruhnya di punggung Awan Setangkai. Hal yang membuat heran Suto Sinting adalah asap merah yang keluar dari luka tusukan pisau tersebut. Asap merah itu bercampur dengan busa kehitam-hitaman yang merembas keluar dari luka sekeliling pisau.

"Racun ganas...?!" gumam Suto Sinting dengan tegang. "Siapa pemilik pisau itu? Siapa orang yang telah menyerang Awan Setangkai? Tak kulihat ada bayangan di sebelah sana. Hmmm... jurus 'Lacak Jantung'-ku pun tak bisa menangkap detak jantung orang lain di sekitar sini? Gila! Pasti orang itu berilmu tinggi, hingga bisa sembunyikan detak jantungnya hingga tak tertangkap oleh jurus 'Lacak Jantung'-ku."

Pendekar Mabuk memandang dengan mata liar ke arah sekeliling tempat itu. Namun ia benar-benar tidak dapat melihat tanda-tanda kehidupan manusia lain di sekitar tempat tersebut. Sementara itu, luka di punggung Awan Setangkai semakin menyemburkan busa-busa hitam dan bau busuk menyebar ke mana-mana. Suto Sinting dalam kebimbingan antara membawa pergi Awan Setangkai untuk diselamatkan di tempat lain, atau memburu si penyerang' gelap itu?

* * *

TUJUH

TEBING karang itu ternyata berongga bagian bawahnya. Lorong yang tercipta secara alami membentuk goa bermulut lebar. Air laut dapat masuk sampai ke dalam lorong itu apabila sedang pasang. Beruntung sekali petang itu air laut tak pasang, sehingga lorong tersebut bisa digunakan sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu.

Dalam cahaya api unggun yang sengaja disusun di tengah lorong itu oleh Suto Sinting, wajah cantik Awan Setangkai tampak bagai memancarkan sinar kecantikannya. Gadis itu baru saja siuman dari pingsannya. Racun yang mengganas di tubuhnya telah berhasil dilumpuhkan oleh kesaktian tuak Suto sebelum berhasil merenggut jiwa gadis itu.

Luka bekas tusukan pisau kecil pun hilang. Tak membekas walau seujung jarum pun. Kini pisau setengah jengkal bergagang emas sedang diperhatikan oleh Awan Setangkai. Tangannya yang memegangi pisau tersebut masih tampak gemetar pertanda kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Namun beberapa saat kemudian, getaran pada tangan pun hilang, dan tubuh Awan Setangkai terasa sangat segar. Lebih segar dari saat-saat sebelum itu.

Suto Sinting sengaja tidak membuka suara, ia pandangi wajah cantik berbibir menggemaskan itu. Sekalipun tanpa senyum, namun tetap saja mempunyai daya pikat cukup besar. Pendekar Mabuk berdecak kagum dalam hati beberapa kali.

"Rupanya dia sudah mengetahui tindakanku."

Tiba-tiba Awan Setangkai bicara pelan bagai orang menggumam. Pendekar Mabuk mulai tertarik dengan ucapan kata itu, walau ia tak tahu persis kepada siapa ucapan kata itu ditujukannya. Tapi ia mencoba melebarkan percakapan di ujung petang itu dengan ajukan sebuah pertanyaan sederhana.

"Dia siapa maksudmu?"

Tanpa memandang Suto Sinting, Awan Setangkai menjawab, "Pemilik pisau ini!"

"Kau mengenal pemiliknya?"

"Si Penyamun Senja!"

Suto Sinting sedikit merasa heran mendengar nama Penyamun Senja. Baginya nama itu cukup unik. Tapi ia tak ingin membahas keunikannya, ia hanya ingin tahu, siapa si Penyamun Senja itu. Karenanya ia segera ajukan tanya kepada Awan Setangkai.

"Siapa orang yang bernama Penyamun Senja itu? Musuh lamamu atau lawan barumu?"

Awan Setangkai tarik napas panjang, wajahnya yang sejak tadi tertunduk pandangi pisau bergagang emas itu kini terangkat, sehingga tatapan matanya tertuju lurus ke mata Suto Sinting. Sejenak kemudian ia pun perdengarkan suaranya yang masih bernada ketus namun tak terlihat getar permusuhannya.

"Penyamun Senja adalah adik sepupu dari Nyai Ratu Cendana Sutera, namun juga sebagai pengawal pribadi sang Ratu."

Kini Suto Sinting terbungkam merenungi jawaban tadi. Jika benar pisau itu milik adik sepupu Ratu Cendana Sutera, berarti pisau itu salah sasaran. Tujuannya ke arah tubuh Suto Sinting, tapi mengenai punggung Awan Setangkai.

"Bukankah Awan Setangkai orang kepercayaan Ratu Cendana Sutera?" ujar Suto Sinting dalam hatinya.

Lalu, Suto terngiang kata-kata Nyai Sedap Malam saat sebelum ia, Elang Samudera dan Bawana meninggalkan rumah Ki Palang Renggo itu. Saat itu Nyai Sedap Malam bagai memberi pesan khusus untuk Suto Sinting karena bicaranya berbisik pelan seakan takut didengar Elang Samudera maupun Bawana.

"Jika bertemu dengan Awan Setangkai, hindarilah perempuan ganas itu. Ilmunya cukup tinggi. Dia adalah orang kepercayaan penguasa Selat Bantai yang paling berbahaya dari seluruh pengawal pribadi dan prajurit sang Ratu Cendana Sutera."

"Mengapa harus kuhindari?" potong Suto dengan rasa ingin tahu sekali.

Nyai Sedap Malam pun menjelaskan dengan berbisik, "Jika ia telah menyerangmu, berarti ia tak ingin bertemu denganmu dalam keadaan hidup, ia tetap akan memburu nyawamu sampai kapan pun. Itulah sifat orang-orang Selat Bantai."

Maka, setelah mendengar pengakuan Awan Setangkai tentang si pemilik pisau itu, Suto Sinting yakin betul bahwa pisau itu salah sasaran, ia berkata kepada Awan Setangkai.

"Orang yang bernama Penyamun Senja itu ternyata bukan orang yang tangkas, ia masih bisa salah sasaran dalam melemparkan pisau mautnya. Seharusnya ia bisa mengarahkan ke dadaku, karena saat itu keadaanku sangat terbuka tanpa pelindung apa pun. Tapi mengapa dia bisa salah lemparkan pisau itu ke punggungmu? Sungguh memalukan ketangkasan orang Selat Bantai itu rupanya."

"Sasaran pisau ini memang bukan dirimu. Sasarannya adalah nyawaku!" ujar Awan Setangkai dengan nada dingin.

Raut wajah Suto Sinting menampakkan keheranannya. "Apakah... apakah kau bermusuhan dengan Penyamun Senja? Bukankah kau dan Penyamun Senja sama-sama orang Selat Bantai dan sama-sama memburuku?"

"Memang. Tapi masing-masing punya tujuan yang berbeda."

"Bisa kau jelaskan mengapa bisa berbeda tujuan?"

Awan Setangkai tidak segera berikan jawaban, ia diam beberapa saat, memandangi pisau itu kembali. Lalu, pisau dilemparkan ke arah belakang bagai dibuang begitu saja. Tapi rupanya gerakannya punya tekanan jurus tersendiri, sehingga pisau itu dapat menancap kuat di sela-sela dinding karang.

Craaak...!

Suto Sinting terbengong melihat pisau itu menancap di dinding karang. Semakin terbengong lagi ketika Awan Setangkai menuding pisau itu dengan telunjuknya dan dari telunjuk keluar sinar putih perak kecil sekali. Sinar itu menghantam gagang pisau lalu pisaupun meledak. Duaar...! Pisau hancur bersama serpihan dinding karang. Mulut melompong Pendekar Mabuk segera dikatupkan karena malu dipandangi gadis cantik itu. Sang gadis segera ajukan tanya yang membuat Suto Sinting sedikit menggeragap.

"Mengapa kau selamatkan nyawaku dari racun pisau itu?!"

"Hmmm... ehh... aku... aku tak sengaja menyelamatkan nyawamu. Aku hanya... hanya menyangka kau kehausan, lalu kuberi minum tuakku, dan... entah mengapa kau tak jadi mati."

Awah Setangkai mencibir sinis. Tapi dalam hatinya tahu bahwa jawaban Suto Sinting hanya sekadar menutupi kenyataan yang ada. Ia tetap merasa diselamatkan oleh Pendekar Mabuk.

"Apakah jika sudah begini aku harus batalkan rencanaku menghabisi nyawanya?" ujar Awan Setangkai dalam hati. "Dia telah selamatkan nyawaku dari racun amat ganas itu. Dia telah mengetahui kelemahanku jika mendengar rayuan. Apakah aku masih bisa membunuhnya seperti rencana semula?"

Pendekar Mabuk menengok tuaknya yang tinggal sepertiga bumbung itu. Awan Setangkai memperhatikan tiada berkedip dengan dada berguncang tak menentu rasa. Suto Sinting tahu dirinya sedang diresahkan oleh Awan Setangkai, dan ia berlagak acuh tak acuh terhadap pandangan gadis itu.

"Katakan, mengapa kau selamatkan nyawaku dari racun itu?!" desak Awan Setangkai.

"Sudah kukatakan tadi; aku tidak sengaja menyelamatkanmu!"

"Hmm...!" Awan Setangkai mencibir lagi. "Kalau begitu kau pendekar yang bodoh."

"Mungkin memang begitu."

"Sementara kau selamatkan nyawaku, kau sendiri terancam oleh kematian dariku. Apakah kau tak perhitungkan hal itu?"

"Kalau kau mau membunuhku, kurasa sudah sejak tadi kau menyerangku. Tapi mengapa tidak kau lakukan?"

Awan Setangkai salah tingkah sendiri, ia berkata sekenanya, "Aku sedang malas membunuh," sambil ia palingkan wajah tak berani menatap Suto Sinting yang memandangnya dengan pancaran sorot mata menggetarkan hati.

Pendekar tampan itu tersenyum, bahkan tertawa kecil tanpa suara. Tangannya meraih ranting kering dan bermain api unggun. "Kurasa kau seorang manusia, bukan seekor binatang. Kau pasti punya perasaan manusiawi, yang tidak akan membunuh seseorang yang telah menyelamatkan nyawamu dari maut. Aku percaya kau bukan iblis betina yang menjelma menjadi Awan Setangkai. Kau wanita yang punya kelembutan tersembunyi dan..."

"Cukup!" sentak Awan Setangkai merasa takut mendengar rayuan lagi. Matanya yang bening bundar itu memandang tajam kepada Suto Sinting, dan oleh Suto hanya dilirik sebentar bersama senyum yang melebar geli. "Jangan coba-coba merayuku lagi. Aku semakin muak padamu!"

"Aku tahu kelemahanmu sekarang," ucapan lirih Suto Sinting itu menggelisahkan hati Awan Setangkai. "Tapi aku tak akan lakukan hal yang membuatmu sakit. Aku tak akan merayumu lagi," kata Suto dengan tenang. "Aku hanya ingin tahu, mengapa kau tampak menderita bila mendengar rayuan? Jelaskanlah padaku, setidaknya sebagai bekal sebelum rohku kau kirim ke neraka nanti."

Setelah diam beberapa saat, Awan Setangkai menjawab, "Aku dikutuk oleh bibiku sendiri karena dituduh berbuat tak senonoh dengan pamanku. Kutukan itu membuat seluruh tubuhku menjadi sakit dan tenagaku lenyap jika mendengar rayuan seorang lelaki yang menggetarkan hatiku. Sampai sekarang aku tak bisa hindari kutukan tersebut, sementara bibiku sendiri sudah tewas."

"Menyedihkan sekali," gumam Suto Sinting dengan seulas senyum lembut mekar di bibir dan membuat hati Awan Setangkai berdesir indah. Tapi sang hati mendesah jengkel karena sebenarnya ia tak ingin merasakan desiran itu.

"Desiran ini hanya membuatku tak tega membunuhnya," ujar batin si gadis yang merasa serba salah itu.

"Lalu, mengapa kau ingin sekali membunuhku. Apakah aku punya salah padamu? Atau kau punya dendam padaku?"

"Apakah kau tak bersedia untuk mati?" Awan Setangkai justru ganti bertanya, dan Suto Sinting tertawa pelan, cukup berwibawa.

"Siapa orangnya yang bersedia mati sebelum menikmati keindahan cintanya? Kurasa kau sendiri tidak bersedia mati semuda ini, bukan?"

"Kematianmu demi menyelamatkan berkembangnya darah keturunan sesat. Jika kau tetap hidup, maka kemaksiatan, kekejian dan kebiadaban tetap akan berlangsung di Selat Bantai."

Kening si murid sinting Gila Tuak itu berkerut menandakan bingung mengartikan penjelasan Awan Setangkai. Bahkan kini suara Suto Sinting pun terdengar bagai orang menggumam, "Aku tak jelas dengan keteranganmu itu."

"Pakai otakmu, jangan pakai dengkulmu!" katanya dengan ketus.

"Setahuku kau orang Selat Bantai, dan menurutmu orang yang bernama Penyamun Senja itu juga orang Selat Bantai. Lalu, apa hubungannya antara rencanamu dengan tindakan Penyamun Senja itu. Awan Setangkai?"

Gadis cantik itu bangkit, memandang petang dari ambang mulut gua, kemudian kembali lagi kedalam dan mendekati gugusan api unggun, ia tetap berdiri memandangi nyala api yang membuat suasana didalam lorong gua itu menjadi temaram.

"Kalau kau tidak kubunuh, maka kau akan menjadi pria pembenih bagi Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya. Karena pada malam purnama nanti, bulan kesuburan telah datang. Nyai Ratu akan menangkapmu dan memaksamu dengan berbagai cara untuk membuahi kandungannya. Pada malam bulan kesuburan itulah, Nyai Ratu dan orang-orang Selat Bantai bebas dari kemandulan. Mereka akan hamil dan mempunyai anak. Semakin tinggi ilmu orang yang menanamkan bibit keturunan kepada mereka, semakin panjang pula usia mereka, juga anak mereka kelak akan menjadi ksatria-ksatria tangguh. Sebab itulah maka kau diburu oleh Nyai Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya. Mereka sepakat memilih kau sebagai pria penanam keturunan. Kau akan dipaksa melayani mereka dalam waktu tujuh hari."

"Alangkah indahnya," canda Suto Sinting yang merasa tak kaget lagi karena sudah mendengar keterangan dari Kabut Merana.

"Ya, memang indah. Tapi ketahuilah, setelah tujuh hari nanti kau harus dibunuh sehingga rohmu akan menitis pada bayi-bayi yang mereka kandung itu."

"Lalu, mengapa sekarang belum ada tujuh hari, bahkan belum dimulai pembenihan, kau sudah ingin membunuhku?"

"Karena aku ingin menggagalkan rencana mereka yang hanya mempunyai kesempatan seratus tahun sekali itu. Aku tak ingin mereka berkembang baik, karena tingkat kekejaman mereka sudah melampaui batas. Aku sebagai orang terdekat Nyai Ratu pun merasa tak setuju dengan kekejian mereka. Sebab itulah, dengan membunuhmu maka aku berarti menggagalkan kemunculan orang-orang sesat yang akan menjadi penerus sifat mereka."

"Jadi, singkat cerita, kau menjadi pembangkang kekuasaan Nyai Ratu Cendana Sutera?"

"Terserah apa kata mereka; pembangkang atau penentang, aku tak pernah peduli. Yang terpikir olehku adalah menghancurkan kekuasaan lalim di Selat Bantai itu."

"Mengapa kau ingin menghancurkan kekuasaan ratumu sendiri?" desak Suto Sinting menandakan rasa ingin tahunya kian bertambah besar lagi.

"Selat Bantai dulu merupakan kekuasaan dari nenekku. Tetapi nenekku ditumbangkan oleh ibunya Nyai Ratu Cendana Sutera. Sekarang aku ganti akan merebut kekuasaan itu dan menggunakan malam bulan kesuburan sebagai jembatan menuju kehancuran kekuasaan Nyai Ratu Cendana Sutera. Aku harus bisa membunuh ksatria tangguh yang akan menjadi tumbal keturunan mereka. Kebetulan, ksatria tangguh itu adalah kau. Jadi, kumohon kau memaklumi jika aku berniat membunuhmu."

"Niat membunuh kok harus dimaklumi? Yang benar saja kau!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut membuat Awan Setangkai terpaksa salah tingkah kembali.

"Jadi, kau ingin aku merelakan diriku kau bunuh?"

Awan Setangkai menjawab, "Itu hanya untuk menggagalkan kemunculan keturunan mereka."

"Apa pun alasannya. Jelas aku tak akan merelakan diriku kau bunuh atau dijadikan tumbal mereka."

Awan Setangkai menarik napas panjang, terasa sulit mengambil sikap di depan Pendekar Mabuk. Sebagian hatinya menyalahkan rencananya sendiri, sebagian hati lagi membenarkan. Ia hanya bisa berkata, "Yang jelas, rencanaku menghancurkan ksatria pilihan mereka ternyata sudah diketahui Nyai Ratu, sehingga Nyai Ratu mengutus Penyamun Senja itu membunuhku. Itulah sebabnya maka ia tidak menyerangmu, melainkan menyerangku dengan pisau beracun ganas tadi."

Kini si Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai jelas terhadap persoalan yang dihadapinya. Jika ia tidak dibunuh Awan Setangkai, maka ia akan dijadikan pembenih Ratu Cendana Sutera dan orang-orangnya setelah itu baru dibunuh. Baginya, semua sama saja; sama-sama mengancam nyawanya. Tapi agaknya ia punya pilihan lain dalam bersikap.

"Bagaimana menurutmu, jika aku datang menemui Ratu Cendana Sutera? Apakah kau setuju?"

"Aku setuju setelah kau datang ke sana tanpa nyawa!" jawab Awan Setangkai tegas dan ketus.

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalemnya, ia masih duduk di atas batu setinggi betis. "Aku ke sana bukan untuk melayani mereka."

"Lalu mau apa kau ke sana? Melawan mereka?! Hmmm...! Kau tak akan mampu melawan kesaktian Nyai Ratu Cendana Sutera. Melawanku saja kau hampir terteter, apalagi melawan ratuku?!" Awan Setangkai tampak berang, karena hatinya diliputi kecemasan yang cukup besar.

"Tapi jika kau harus membunuhku, itu tindakan yang kurang bijaksana, Awan Setangkai. Kurasa ada langkah yang lebih bijaksana dari niatmu membunuhku itu."

"Rencana apa?!"

"Misalnya, dengan cara menyembunyikan diriku sampai batas bulan kesuburan itu berakhir baru aku muncul kembali. Bukankah itu lebih bijaksana daripada harus membunuhku?" Suto bicara dengan bersungut-sungut pula seperti orang memohon belas kasihan. Padahal dalam otaknya ia sudah mempunyai rencana sendiri yang mungkin akan mengejutkan Awan Setangkai.

"Kau tak akan bisa bersembunyi ke mana pun juga. Walau kau berada di liang semut yang paling dalam, atau berada di perut bumi. Ratu Cendana Sutera tetap dapat menemukan dirimu, karena ia mempunyai ilmu 'Kelana iblis', yang dapat menunjukkan di mana orang yang dicarinya berada."

Pendekar Mabuk diam termenung, ia membatin, "Jika benar begitu, memang tak ada tempat lagi bagiku untuk bersembunyi."

Awan Setangkai lanjutkan kata-katanya yang tadi, "Sebab itulah Penyamun Senja mengetahui di mana aku berada saat kita di Pantai Karang Hantu. Nyai Ratu pun dapat mengetahui rencanaku membunuhmu untuk menggagalkan malam bulan kesuburan itu, sehingga ia mengutus Penyamun Senja untuk membunuhku di Pantai Karang Hantu."

"Kalau begitu," Suto Sinting bangkit dan melangkah sedikit jauhi api unggun. Sambungnya lagi, "... berarti tak ada tempat lagi bagiku untuk bersembunyi. Lalu, untuk apa harus lari ke sana-sini jika akhirnya tertangkap juga? Lebih baik kutemui ratumu itu dan kutantang beradu nyawa dalam pertarungan!"

Awan Setangkai memandang sambil geleng-gelengkan kepala. "Sama saja kau bunuh diri jika menantang pertarungan pribadi dengan Nyai Ratu."

"Tapi aku akan mati secara terhormat. Bukan mati sebagai budak birahinya, bukan mati sebagai tumbal keturunannya! Aku seorang pendekar, aku harus mati secara terhormat, Awan Setangkai!" ucap Suto Sinting semakin tegas lagi.

"Bagaimana jika kau mati di tanganku dalam pertarungan pribadi tanpa gunakan rayuanmu?"

"Mati di tanganmu itu tidak terhormat, Awan Setangkai! Tak beda dengan mati konyol!"

Awan Setangkai hembuskan napas. Dalam hatinya berkata, "Seandainya kau setuju dengan pertarungan kita, belum tentu aku tega membunuhmu, karena kau ternyata bukan pria yang pantas dibunuh tanpa kesalahan besar. Bukan kau yang salah sebenarnya, tetapi semua itu kulakukan demi menggagalkan rencana Nyai Ratu. Sementara itu, aku tak berani bertarung melawan Nyai Ratu secara pribadi. Aku tahu bahwa aku akan hancur dalam satu gebrakan saja jika melawan Nyai Ratu."

* * *

DELAPAN

MENGINGAT Ratu Cendana Sutera mempunyai ilmu 'Kelana Iblis', maka tak ada jalan lain kecuali dengan menantang pertarungan sang Ratu Cendana Sutera. Meskipun Awan Setangkai tidak setuju dan menentang keras rencana itu, tapi Suto Sinting tetap ngotot ingin lakukan pertarungan di suatu tempat bersama Ratu Cendana Sutera.

Di ujung pagi, ketika mereka bangkit dari tidur yang saling berjauhan itu, Awan Setangkai bagaikan menemukan kesegaran dalam pikirannya, ia menyatakan sikap setujunya terhadap rencana Suto Sinting untuk lakukan pertarungan melawan Nyai Ratu Cendana Sutera.

"Tapi jika kau mati dalam pertarungan itu, aku akan menggantikanmu dan akan bertarung sampai mati pula."

"Mengapa begitu?" tanya Suto Sinting setelah meneguk tuaknya beberapa kali.

"Karena aku tak sudi mati di tangan para pengawal Nyai Ratu. Lebih baik aku mati di tangan Ratu, karena itu lebih terhormat bagiku ketimbang mati di tangan bawahannya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil sunggingkan senyum tipis, kemudian terdengar suaranya berkata bagai menggumam, "Aku salut dengan tekad dan keberanianmu! Kau gadis cantik yang punya perhitungan matang, dalam menyambut kematian!"

Awan Setangkai hanya sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi senyum itu justru menambah kecantikannya semakin memancar menggoda hati setiap lelaki, termasuk si Pendekar Mabuk sendiri. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke Selat Bantai dan menantang pertarungan dengan Nyai Ratu Cendana Sutera. Dalam hal ini, Awan Setangkai bersedia sebagai pihak perantara yang akan menghadap sang Ratu dan menyampaikan tantangan Suto Sinting.

Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka menuruni lembah dan melihat sekelebat bayangan berlari melintas di hutan depan mereka. Bayangan itu tampak sebagai sosok seseorang berpakaian putih-hitam yang mempunyai kecepatan gerak cukup tinggi, walau tidak seperti gerakan Suto Sinting jika berlari gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.

Di belakang orang yang berlari cepat itu tampak seseorang mengejarnya dengan gerakan yang sama cepat. Namun agaknya si pengejar segera meningkatkan kecepatan larinya, hingga dalam beberapa kejap saja ia dapat memburu lawannya. Orang berpakaian putih-hitam terjungkal saat diterjang dari belakang oleh lawannya.

Brrruus...!

"Aaahg...!" orang itu terpekik tertahan, namun tampak segera bangkit kembali dengan memasang kuda- kudanya. Pendekar Mabuk segera ambil tempat untuk bersembunyi.

Awan Setangkai mengikutinya dengan dahi berkerut-kerut. Lalu ia berbisik kepada Suto Sinting dari balik semak-semak itu, "Kalau tak salah lihat, orang berbaju ungu itu adalah sahabatmu yang kala itu menerjangku saat kita di Pantai Karang Hantu. Aku masih punya perhitungan tersendiri dengannya."

Suto Sinting hanya nyengir pendek. "Dia memang sahabatku. Namanya Elang Samudera. Tapi kumohon lupakan tentang perhitungan itu. Jangan coba-coba melawannya, nanti aku menjadi tak simpati lagi padamu. Lebih baik bersahabatlah, seperti halnya diriku yang tak membalas racunmu waktu itu."

"Ssst...! Sudah, sudah! Perhatikan saja percakapan mereka. Agaknya sahabatmu itu menuduh Bawana sebagai..."

"Hei, kau tahu nama lelaki berpakaian putih-hitam itu, rupanya?" potong Suto Sinting.

"Tentu saja, aku mengenalnya. Bawana adalah orang Pulau Dulang yang sudah bersekutu dengan Ratu Cendana Sutera. Dia orang kuat di Pulau Dulang. Tapi demi upah besar dari sang Ratu, dia mau lakukan kerjasama, mengerjakan apa pun perintah Ratu Cendana Sutera."

"Ooo.. jadi dia memang benar sebagai orang Pulau Dulang? Tapi ia juga bekerja untuk Ratu Cendana Sutera?"

Awan Setangkai mengiyakan dalam gumam. Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu tak bicara lagi, sebab suara Bawana terdengar menyentak keras kepala Elang Samudera.

"Kalau benar aku orang Selat Bantai, kau mau apa?!"

"Nah, begitu lebih bagus. Kau telah mengaku secara tak langsung!" kata Elang Samudera. "Kita tinggal main perhitungan saja; mengapa kau membawaku dan Pendekar Mabuk keluar dari pondok Ki Palang Renggo?"

"Yang ingin kubawa bukan kau, Bocah Kencur! Yang ingin kubawa adalah Pendekar Mabuk, ia akan kujebak masuk dalam perangkap Nyai Ratu Cendana Sutera. Sebab memang aku diupah oleh beliau untuk menangkap Pendekar Mabuk dalam keadaan hidup-hidup. Aku terpaksa harus merendah dan menggunakan siasat supaya di antara kami tak terjadi pertarungan yang membahayakan nyawa si Pendekar Mabuk. Tapi rupanya si murid Galak Gantung, musuh lamaku itu, mulai membuka rahasia dengan berkasak-kusuk kepada Pendekar Mabuk, ia pernah melihatku berada di istana Selat Bantai. Aku jadi waswas, dan terpaksa pergi untuk mengatur siasat baru."

"Manusia licik!" geram Elang Samudera.

"Tanpa kelicikan, siapa pun akan binasa dimakan kebodohannya sendiri!"

"Hemm...!" Elang Samudera mendengus sinis.

"Sekarang apa maumu, hah?!" bentak Bawana bernada menantang. "Selagi tak ada Pendekar Mabuk, aku tak keberatan melenyapkan nyawamu sekarang juga, jika memang itu maumu!"

"Kau tak akan berhasil membawa Pendekar Mabuk kepada Ratu Cendana Sutera! Selagi aku masih ada dan masih bisa bernapas, kau akan sia-sia menggunakan siasat dan kelicikanmu untuk menjebak Pendekar Mabuk!"

"Kalau begitu, berarti aku harus melenyapkan dirimu lebih dulu. Dan terimalah awal kehancuranmu ini, Bocah Dungu! Heeaah...!"

Bawana menyerang lebih dulu dengan tangan kosong. Suatu lompatan cepat dilakukan menerjang Elang Samudera. Sambil melompat, ia melepaskan jarum-jarum hitam dari tangannya.

Weeerrss...!

Elang Samudera segera hindari jarum-jarum hitam itu dengan melenting tinggi ke atas dan melepaskan pukulan bercahaya hijau mirip bintang berekor. Claaap...! Sinar hijau itu menghantam kepala Bawana. Sayang, sebelum kenai kepala, Bawana Sudah lebih dulu menghentakkan tangan kirinya, dan seberkas sinar merah melesat menghantam sinar hijaunya Elang Samudera itu. Claap...!

Blegaaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi dan mengguncangkan beberapa pohon di sekitar tempat itu. Tetapi agaknya kedua orang yang bertarung itu tidak hiraukan ledakan tersebut. Bawana yang semula tampak polos dan seperti orang tak berilmu itu tiba-tiba melambung tinggi ke udara dalam gerakan bersalto beberapa kali. Wuk, wuk, wuk...! Lalu, ia segera mendaratkan kakinya ke bumi. Jleeg...!

"Gila!" sentak Suto Sinting dengan suara tertahan, ia sangat terkejut, sama seperti Elang Samudera.

Karena pada saat Bawana menapakkan kakinya kembali ke tanah, orang kurus itu berubah menjadi manusia tinggi, besar, dan berwajah lebar. Bawana menjadi raksasa yang tingginya dua kali lebih tinggi dari Pendekar Mabuk. Kakinya besar, tangannya besar, mulutnya lebar. Matanya membelalak besar menyeramkan. Perubahan badannya yang kurus itu kini menjadi gemuk seperti badan dua kerbau dijadikan satu. Elang Samudera segera mencabut pedangnya sambil bergerak mundur.

Saat itu, Awan Setangkai berbisik kepada Suto Sinting, "Temanmu itu akan tumbang diinjak-injak Bawana. Jika ia sudah menjadi raksasa seperti itu, ilmunya lebih tinggi lagi dan sukar ditumbangkan lawan."

"Seandainya kau yang melawannya, apa yang akan kau lakukan?"

"Akan kuhantam mata kakinya, karena di situlah letak kekuatannya. Jika mata kakinya pecah, walau cuma salah satu, maka ia akan lemah dan berubah kembali menjadi manusia biasa!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kecil. Tapi Awan Setangkai segera sadar bahwa ia telah terjebak oleh pertanyaan Suto Sinting, sehingga tanpa sadar ia mencubit pinggang Suto Sinting dan menggerutu di dekat telinga pemuda tampan itu.

"Setan kau! Pandai sekali lidahmu membuat jebakan seperti itu! Aku sampai tak merasa telah terpancing membeberkan rahasia yang seharusnya hanya aku dan orang-orang tertentu yang mengetahuinya."

"Kau sendiri mengetahui rahasia itu dari Bawana, bukan?"

"Bukan! Aku mengetahui rahasia itu dari Nyai Ratu. Semua orang Selat Bantai mengetahui rahasia tersebut. Karenanya, Bawana ciut nyali jika harus bentrok dengan orang Selat Bantai," tutur Awan Setangkai sambil memperhatikan Elang Samudera yang tampak kewalahan menghadapi serangan ganas si raksasa Bawana itu. "Kalau kau tak turun tangan, temanmu itu sebentar lagi pasti akan menjadi mayat yang mengerikan!" bisik gadis itu.

Baru saja Awan Setangkai berkata demikian, tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat jelas tubuh Elang Samudera dibanting kuat-kuat oleh raksasa Bawana. Pedang yang ditebaskan Elang Samudera berhasil dihindari. Tangan Elang Samudera disambar oleh raksasa Bawana, kemudian disabetkan di pohon. Buuurrk...!

"Aauh...!" pekik Elang Samudera. Kemudian tubuh itu dibanting ke tanah berbatu. Brrus...!

"Aauuh...!" teriakan itu lebih keras dari yang pertama, sebab kepala Elang Samudera mulai bocor, darah mengalir berlumuran membasahi wajah dan tubuhnya. Ditambah lagi kaki raksasa Bawana segera menginjak kepala itu dengan sentakan keras, bagai seseorang menginjak seekor semut.

Zlaaap...! Duuk...!

Pendekar Mabuk cepat bertindak melihat temannya terancam mati di kaki raksasa Bawana. Ia berkelebat dan bergulingan melewati celah kedua kaki raksasa itu. Bumbung tuaknya segera menyodok ke depan dan tepat kenai mata kaki si raksasa Bawana. Praaak...!

"Aaaaoow...!" teriakan keras bersuara besar itu menggetarkan pepohonan. Mata kaki raksasa itu pecah akibat sodokan bambu tuak yang mempunyai tenaga dalam cukup besar. Tubuh raksasa itu segera tumbang dan berguling-guling sambil perdengarkan suara meraung panjang. Ketika gerakan tergulingnya berhenti, raksasa Bawana sudah tidak ada lagi. Kini Bawana berubah menjadi manusia biasa seperti sediakala.

"Elang, minum tuakku sedikit saja! Jangan semuanya!" kata Suto Sinting sambil serahkan bumbung tuaknya, ia biarkan Elang Samudera berusaha menenggak tuak sendiri, sementara matanya memperhatikan Bawana yang dikhawatirkan menyerang secara mendadak.

"Suto, untung kau datang tepat waktu. Kalau terlambat sedikit, kepalaku sudah menjadi tepung diinjaknya!" kata Elang Samudera yang sudah mulai tampak sehat kembali, lukanya telah mengering, dalam kejap berikutnya akan lenyap tanpa bekas.

Bumbung tuak sudah dikembalikan ke tangan Suto Sinting. Tetapi pada saat itu, seberkas sinar merah melesat menghantam Elang Samudera dari samping kiri. Claap...! Suto Sinting segera menendang perut Elang Samudera hingga pemuda itu terjungkal ke belakang. Dengan gerakan menggeloyor seperti orang mabuk, bumbung tuak Suto Sinting dihadangkan dan menjadi sasaran sinar merah tersebut.

Blegaaar...!

Sinar merah tidak memantul balik, melainkan justru pecah dengan menimbulkan ledakan bergelombang kuat. Itu pertanda orang yang memiliki sinar merah tersebut bukan orang sembarang, setidaknya berilmu cukup tinggi. Suto Sinting terpelanting dan jatuh berguling-guling membentur akar pohon besar. Pada saat itu, Bawana bangkit dengan satu lutut dan melepaskan pukulan bersinar hijau ke arah Suto Sinting sebagai ungkapan kemarahannya. Wuuut...!

Tapi sinar hijau itu segera meledak di pertengahan jarak karena kemunculan sinar putih perak dari dalam semak belukar. Claap...! Blaaarr...!

Sinar putih itu milik Awan Setangkai yang segera muncul dalam satu lompatan langsung menyerang Bawana. Lelaki kurus itu terkejut dan tak sempat hindari serangan Awan Setangkai yang tak diduga-duga itu. Maka dalam keadaan terperangah kaget, dada Bawana terkena tendangan bertenaga dalam tinggi. Buuuhk...!

"Hoaaaeek..!" Darah segar menyembur dari mulut Bawana yang terpental ke belakang. Darah itu bukan saja menyembur dari mulut, namun juga menyembur dari hidung dan telinga.

Agaknya tendangan Awan Setangkai merupakan tendangan maut yang tak pernah ingkar janji dari kematian lawan. Terbukti setelah Bawana terkapar dan tersentak-sentak tiga kali, napas terakhirnya pun dihembuskan lepas. Tubuh Bawana terkulai lemas dan tak bergerak untuk selama-lamanya.

"Awas...!" seru Elang Samudera yang berada di belakang Awan Setangkai. Pekikan keras itu timbul karena ia melihat datangnya sebilah pisau yang melesat dan mengarah ke punggung Awan Setangkai.

Maka secara gerak naluri, Awan Setangkai putarkan badan dan sentakkan kaki ke tanah. Tubuh gadis cantik berkutang hijau itu meluncur naik ke atas dalam gerakan berputar indah. Wuuusss...! Akibatnya pisau yang mengarah kepadanya tidak menemui sasaran, dan justru menancap pada sebatang pohon jauh di samping mayat Bawana.

Elang Samudera segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa sinar hijau lagi ke arah semak-semak tempat datangnya pisau dan sinar merah yang nyaris mengenainya tadi. Claap...!

Gusrrak...! Blaaar...!

Dari semak itu melesat sesosok tubuh ramping berambut panjang terurai, mengenakan jubah tak berlengan warna kuning bintik-bintik merah, ia adalah seorang wanita muda, yang usianya masih sekitar dua puluh lima tahunan. Jika ia tidak lakukan lompatan keluar dari semak, maka ia akan terhantam sinar hijaunya Elang Samudera.

Wuuut...! Jleeg...!

Mata beningnya memandang tajam sekeliling tempat itu tanpa gerakan kepala sedikit pun. Elang Samudera sempat terperangah memandang kecantikan gadis berjubah kuning bintik-bintik merah itu. Demikian pula halnya dengan Suto Sinting yang nyaris lupa berkedip memandang bagian dada si gadis yang tampak montok dan sedikit terbuka bagian atasnya. Kemulusan kulit dada itu bagai sebuah tantangan yang sulit dihindari bagi setiap lelaki.

Melihat Pendekar Mabuk tampak bersahabat dengan Awan Setangkai, maka Elang Samudera pun segera bergabung dengan mereka, ia sempat mendengar Suto Sinting ajukan tanya dalam bisikan pelan,

"Siapa orang itu, Awan Setangkai?!"

"Dia yang bernama Penyamun Senja!"

"Ooo...." Suto Sinting manggut-manggut kecil. "Kurasa lebih cocok lagi kalau bernama penyamun cinta!"

Awan Setangkai tidak mendengar, tapi Elang Samudera mendengar ucapan Suto Sinting yang lirih mirip orang menggumam itu, sehingga ia menambahkan kata, "Akan lebih pantas jika bernama Penyamun..."

"Ssst...!" Suto Sinting menghardik lirih, membuat Elang Samudera agak kecewa karena tak jadi lanjutkan ucapannya.

"Mundurlah kalian," bisik Awan Setangkai. "Biar kutangani sendiri gadis itu!"

Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling pandang sejenak. Elang Samudera sentakkan pundak, tanda terserah kepada Pendekar Mabuk; harus mundur atau ikut menyerang. Tetapi Pendekar Mabuk beri isyarat agar mereka berdua mundur dan menjadi penonton yang baik saja. Maka kedua pemuda tampan itu pun mengambil tempat di bawah pohon berakar besar. Sementara itu, Awan Setangkai maju dua langkah, dan Penyamun Senja juga maju dua langkah, hingga mereka menjadi berjarak sekitar enam langkah.

"Sudah siapkah kau menjadi pengkhianat, Awan Setangkai?!"

"Yang perlu kau ketahui, aku sudah siap mati membela Pendekar Mabuk!" jawab Awan Setangkai membuat Elang Samudera terbelalak geli memandang Pendekar Mabuk.

Si Pendekar Mabuk sengaja mencibir sambil busungkan dada seakan merasa bangga. Kekonyolan itu membuat Elang Samudera tertawa tertahan sambil melengos ke arah lain.

"Hei, lihat...! Apa yang mereka lakukan itu?!" bisik Suto Sinting bernada tegang.

Elang Samudera segera lemparkan pandangan ke arah dua wanita cantik itu. Elang Samudera juga terperanjat dan wajahnya menegang saat melihat tubuh Penyamun Senja bergerak-gerak melebar bagaikan kerupuk sedang mekar di penggorengan. Tangannya membengkak, kakinya, wajahnya, semuanya membengkak besar sampai akhirnya Penyamun Senja menjadi sosok perempuan bertubuh tinggi besar menyerupai raksasa perempuan. Wajah cantiknya sudah berganti menyeramkan karena pembengkakan itu.

Sedangkan Awan Setangkai juga mengalami perubahan. Tubuhnya mulai keluarkan bulu yang makin lama semakin lebat. Wajahnya membengkak dengan mulut maju ke depan. Kaki dan tangannya keluarkan kuku panjang berwarna hitam. Bulu-bulu itu semakin lama semakin lebat, demikian pula bulu di daun telinganya yang menjadi lebar dan tinggi. Sampai akhirnya Awan Setangkai berubah total menjadi seekor serigala besar yang bertaring dan bermata merah.

"Gggrrr.,.!" serigala itu mengerang dan tetap berdiri dengan dua kaki. Raksasa di depannya juga mengerang dengan melebarkan mata dan membuka mulutnya lebar-lebar.

"Gila! Benar-benar gila mereka itu!" gumam Suto Sinting terheran-heran.

Elang Samudera berbisik pula padanya, "Persis seperti kata Nyai Sedap Malam kepadaku tempo hari, bahwa orang-orang Selat Bantai ilmunya tinggi-tinggi. Jika anak buah Ratu Cendana Sutera saja bisa berubah seperti itu, bagaimana ratunya sendiri, ya? Pasti lebih sakti dari mereka!"

"Elang, mundurlah sedikit lagi. Agaknya pertarungan ini akan melebar sampai ke mana-mana!"

"Mengapa kau tak turun tangan saja, biar urusannya cepat selesai?" ujar Elang Samudera sambil berlindung di balik pohon.

"Awan Setangkai akan kecewa jika aku turun tangan sekarang."

Kedua pemuda itu segera hentikan kasak-kusuknya, karena Awan Setangkai yang berubah menjadi manusia serigala itu segera melompat menyambut terjangan raksasa Penyamun Senja. Wuut...!

"Grrraaow...!"

"Grrraaa...!"

Brus, brus, braass...! Buuhk, crak, bruus...!

Kedua makhluk aneh itu bertarung dengan liar dan buas. Sekalipun dalam wujud seperti itu, mereka masih mampu bergerak dengan cepat, lincah, dan tangkas. Kadang mereka melambung tinggi, dan salah satu melepaskan sinar dari mata atau tangan mereka, lalu sinar itu saling beradu di udara dan timbulkan ledakan yang menggelegar.

Pertarungan itu membuat pepohonan rusak, ada yang tumbang dan ada pula yang patah karena hantaman tangan si raksasa Penyamun Senja. Bebatuan terbang kemana-mana diterjang amukan mereka. Semak belukar rusak dan morat-marit tak karuan. Tanah bergetar terus bagai dilanda gempa yang tiada hentinya. Suara gaduh membuat telinga terasa seperti ditusuk-tusuk dengan lidi.

Pendekar Mabuk dan Elang Samudera berulang kali pejamkan mata karena terkena hembusan angin gerakan mereka yang sesekali mengandung udara panas. Tapi pada saat berikutnya, mata Suto Sinting tak mau berkedip karena melihat serigala itu dihajar habis-habisan oleh raksasa Penyamun Senja. Darah mulai mengucur dari mulut panjang serigala Awan Setangkai.

Namun kejap berikutnya, raksasa Penyamun Senja berhasil ditumbangkan oleh serudukan kepala serigala yang agaknya mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar. Raksasa itu tumbang dan diterkam oleh serigala. Kemudian mereka bergulat di tanah hingga menyebarkan debu-debu yang mengepul bagaikan asap. Raksasa itu pun tampak berdarah karena gigitan mulut serigala. Dan pada kejap berikut, keduanya sama-sama bangkit lalu sama-sama mengadu pukulan.

Plaak...! Blegaaar...!

Kedua makhluk besar itu saling terpental. Tubuh mereka sama-sama berasap. Ketika asap hilang terhembus angin, tubuh mereka telah berubah menjadi seperti semula sebagai wanita-wanita cantik yahg mengagumkan kaum pria. Tetapi agaknya Awan Setangkai mengalami luka parah di bagian dalamnya. Darah kental keluar dari mulut dan hidung. Wajahnya menjadi pucat dan memar membiru.

Tetapi Penyamun Senja sendiri juga mengalami luka cukup parah. Wajahnya rusak karena cakaran kuku serigala tadi. Bagian bawah leher koyak bagai bekas gigitan binatang buas. Dadanya menjadi hitam di sebelah kiri, pertanda bekas pukulan tenaga dalam cukup tinggi, ia juga keluarkan darah dari mulutnya, namun tampak masih punya tenaga untuk lanjutkan pertarungan.

"Awan Setangkai kehabisan tenaga. Tampaknya ia akan diserang lagi oleh Penyamun Senja. Bahaya! Aku harus segera turun tangan jika begitu!" pikir Pendekar Mabuk.

Penyamun Senja cabut salah satu pisau yang ada dipinggangnya. Pisau bergagang kuningan bagaikan emas itu dilemparkan ke arah Awan Setangkai dengan gerakan cepat dan nyaris tak terlihat. Wuuut...! Kala itu Awan Setangkai sedang terengah-engah dalam keadaan setengah merangkak, ia tak tahu bahwa pinggangnya sedang dijadikan sasaran pisau beracun ganas itu. Gerakan pisau yang mirip anak panah tak akan bisa dihindari lagi oleh Awan Setangkai.

Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Tahu-tahu dia sudah berdiri dengan satu lutut di depan Awan Setangkai. Pisau yang menuju ke arahnya segera ditangkis dengan bumbung tuaknya. Traang...! Weess...! Pisau itu berbalik arah dan bergerak lebih cepat dari gerakan semula.

Weeess...! Jruub...!

"Uuhg...!" Penyamun Senja mendelik, ia bagai tak percaya dengan apa yang dialami saat itu; pisaunya sendiri menancap di dada kiri, tepat di bagian jantungnya. Penyamun Senja mencoba untuk bertahan, tangannya ingin mencabut pisau yang masuk sampai separo gagangnya ikut terbenam pada dada tersebut. Tapi kekuatan Penyamun Senja segera lenyap termakan racunnya sendiri, ia akhirnya limbung, lalu tumbang dalam keadaan telungkup. Bruuuk...! Gagang pisau semakin terbenam ke tubuh Penyamun Senja akibat beradu dengan tanah. Dan tubuh Penyamun Senja tak bisa bergerak lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir tanpa mengalami sekarat lebih lama lagi.

"Tamat sudah riwayatnya," gumam Suto Sinting, lalu ia segera ingat dengan Awan Setangkai dan memberinya minum tuak. "Cepat minum! Cepat, sebelum lukamu merenggut jiwa!" desak Pendekar Mabuk, ia membantu menuangkan tuak ke mulut Awan Setangkai. Akhirnya tuak tersebut berhasil diteguk Awan Setangkai. Luka yang nyaris menewaskan itu bisa terobati, Awan Setangkai pun mulai tampak segar kembali.

"Hei, ke mana si Elang Samudera? Tadi dia kutinggalkan di balik pohon itu?!" ujar Suto Sinting dengan bingung, mencari Elang Samudera yang tidak terlihat di sekitar tempat itu.

"Mungkin dia pergi karena punya urusan sendiri," kata Awan Setangkai sambil membantu memeriksa keadaan sekitar tempat itu. Tiba-tiba ia berkata bagai berbisik di samping Pendekar Mabuk, "Aku punya firasat lain."

"Firasat apa?"

"Jangan-jangan Elang Samudera diculik utusan Nyai Ratu Cendana Sutera. Biasanya Nyai Ratu selalu mengirimkan utusan berjumlah dua orang. Penyamun Senja pasti ada temannya, dan temannya itu telah menotok Elang Samudera lalu diculiknya."

"Benarkah begitu?!" gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut menandakan keragu-raguannya.

SELESAI


Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.