Utusan Raja Iblis - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Utusan Raja Iblis
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

"TOLOOONGGGG...!" Seruan itu menggema merayapi dinding jurang bertebing curam. Sekelebat bayangan melintas dari sela-sela pepohonan. Kejap berikut bayangan itu tampak melesat menuruni dinding tebing berjurang dalam. Dari tonjolan batu yang satu bayangan itu melompat ke tonjolan batu yang satunya lagi.

Zlap, zlap, zlap, zlap...! Weeeesss...!

Gerakan yang begitu cepat melebihi gerakan anak panah tampak menyambar sesuatu yang semula bergelayutan pada salah satu bibir batu. Benda yang disambar bukan sekadar singkong bakar atau pisang rebus, melainkan seraut wajah cantik berbibir ranum, tampak indah dan menggemaskan.

Dalam waktu yang amat singkat, wajah cantik yang semula bergelayutan di bibir batu dan nyaris terjun ke dasar jurang itu sekarang sudah ada di bawah pohon. Ternyata ia seorang gadis berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya yang ramping dan berkulit kuning mulus itu tampak masih bergetar. Kedua matanya yang berbulu lentik itu masih memejam kuat-kuat, ia belum sadar bahwa dirinya sudah berada dibawah pohon dengan aman.

Sosok tubuh kekar yang berbaju coklat dan bercelana putih lusuh itu berdiri di depan si gadis dengan bum bung tuak menyilang di punggungnya. Anak muda yang punya rambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah si tampan murid Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk.

"Tolooong...!"

"Husy! Jangan berteriak lagi! Kau sudah aman, Nona!" sentak Pendekar Mabuk dengan menahan rasa geli di dalam hatinya, ia segera meraih bumbung tuaknya karena ingin menenggak beberapa teguk tuak pelega tenggorokan. "Bukalah matamu, Nona. Kau sudah ada di daratan dengan aman," kata Suto Sinting.

Maka gadis yang berpakaian serba kuning dengan lengan bajunya yang longgar dan mempunyai belahan dada cukup lebar itu, segera membuka matanya pelan- pelan. Bibir ranum itu masih tampak gemetar, sehingga jika dipandang terlalu lama bisa bikin lawan jenisnya sesak napas karena diburu gairah dan kekaguman.

Pendekar Mabuk menenggak tuak sebentar, lalu melepaskan napasnya dengan lega. Ia sunggingkan senyuman kecil ketika si gadis akhirnya memandang kaget ke arahnya.

"Kkkau... kaaau... kaukah yang membawaku kemari?" tanya si gadis setelah terlebih dulu memperhatikan keadaan sekelilingnya dan menyadari bahwa dirinya sudah tidak bergelayutan pada dinding tebing seperti tadi.

"Ya, aku yang membawamu kemari."

"De... dengan cara bagaimana?!" tanyanya lagi masih kurang yakin.

"Menyambarmu dalam satu gerakan cepat yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman'."

"Hhmmm... apakah... apakah kau siluman?!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya yang berkesan geli namun penuh kesabaran. "Aku bukan siluman. Aku manusia biasa, sama sepertimu, Nona."

"Mengapa kau mempunyai gerak siluman?"

"Karena aku belajar bergerak cepat dengan gunakan ilmu peringan tubuh sehingga kecepatannya seperti siluman sedang bergerak."

Gadis itu memandang dengan dahi berkerut dan sorot pandangan matanya amat polos. "Apakah kau pernah... pernah... pernah melihat siluman bergerak?"

"Cerewet juga gadis ini," gumam Suto daiam hatinya. Namun yang disajikan di wajahnya adalah seulas senyum menawan, sesuai dengan ketampanannya yang sering membuat wanita berdebar-debar.

Si gadis tak mau tersenyum dan tetap memandang dalam kepolosan, seolah-olah ia menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tetapi yang dilakukan si Pendekar Mabuk bukan menjawab, melainkan ganti bertanya kepada gadis itu.

"Apakah kau ingin melihat siluman bergerak?"

Gadis itu mengangguk dengan lugu. Suto Sinting kian geli dan perdengarkan tawa yang mirip orang menggumam. "Sayang sekali siluman sedang mendapat sahabat baru yang cantik jadi ia tak mau bergerak."

"Sombong sekali siluman itu," gumam si gadis dengan wajah benar-benar tampak kecewa, seakan kelakar Suto Sinting itu dianggap ucapan yang sesungguhnya.

"Siapa kau sebenarnya, Nona? Dan mengapa kau bisa sampai nyaris mati masuk jurang begitu?"

"Namaku..., hmm... namaku: Kejora," jawab si gadis dengan ragu-ragu. Mata bundarnya yang berbulu lentik itu seperti takut memandang wajah Pendekar Mabuk. Bibirnya tak mau sunggingkan senyum sedikit pun, masih kelihatan sisa ketegangan dari rasa takut jatuh ke jurang tadi. Sebentar-sebentar ia menyingkap rambutnya yang sering meriap ke pipi kiri jika sedang menunduk. Rambut itu tampak lembut sepanjang punggung berwarna hitam mengkilap. Kejora berkata lagi, "Aku tadi jatuh ke tebing karena tergelincir saat berlari menghindari kejaran orang-orang Candi Bangkai."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi sedikit. "Candi Bangkai?!" gumamnya dengan merasa asing, karena baru kali itu mendengar nama Candi Bangkai. Lalu ia bertanya, "Candi Bangkai itu nama orang atau nama perguruan?!"

"Candi Bangkai itu nama sebuah bangunan angker yang letaknya di Bukit Pocong," jawab Kejora dengan lugu. "Apakah kau belum pernah mendengar kisah Candi Bangkai?!"

Si wajah tampan berhidung bangir itu gelengkan kepala. "Baru sekarang kudengar nama itu."

Kejora melirik ke sana-sini diliputi rasa waswas, kemudian kembali menatap Suto Sinting. "Candi Bangkai itu tempat angker yang dihuni oleh si Raja Iblis alias Barakoak."

"Hmmm... nama aneh lagi? Barakoak...?!" gumam Suto Sinting bagai bicara pada dirinya sendiri. Baru saja Suto Sinting ingin ajukan tanya lagi pada gadis berdada sekal itu, tiba-tiba mereka sama-sama dikejutkan oieh suara orang berseru dari arah belakang Suto Sinting.

"Itu dia anaknya...!"

Suara kasar bernada besar itu membuat Suto Sinting cepat berpaling dan Kejora tersentak dalam pekikan tertahan.

"Oooh...!" wajah si gadis berubah tegang kembali. Dua orang segera berlari menghampiri Kejora.

Suto Sinting cepat ambil sikap melindungi Kejora dengan tubuh memunggungi gadis itu. Suara Kejora terdengar bergetar dari belakang Suto Sinting.

"Itu... itu dia mereka! Mereka anak buah Barakoak!"

"Tenanglah, biar kuhadapi mereka," ujar Suto Sinting dengan dada kekarnya sedikit terbusung, bumbung tuaknya siap digantungkan di pundak agar sewaktu-waktu mudah diraih. Jempol tangan kanannya mengait tali bumbung tuak.

Dua orang bertampang sangar itu berhenti dalam jarak lima langkah di depan Pendekar Mabuk. Keduanya memandang Suto Sinting dengan sikap bermusuhan. Keduanya sama-sama berkumis lebat dan berbadan kekar. Namun yang satu berwajah lonjong dan berdagu runcing, kulitnya hitam tebal, mengenakan celana hitam dan rompi merah, ia berambut panjang sepundak dengan ikat kepala kain merah.

Orang yang satunya lagi berwajah bundar lebar dengan mata besar, rambutnya ikal pendek dengan ikat kepala tali tambang putih. Mengenakan pakaian abu-abu dengan baju lengan panjang longgar, juga berkulit hitam tebal. Usianya sekitar empat puluh tahun, sama seperti temannya yang bertubuh agak pendek darinya.

"Rujak Gada, tangkap gadis itu sebelum melarikan diri lagi! Tangkap!" perintah orang berwajah lonjong kepada temannya yang berpakaian abu-abu. Ternyata orang itu bernama Rujak Gada. Mungkin karena ia bersenjata besi berantai bandul bola berduri yang dapat untuk menghancurkan kepala atau tubuh lawannya seperti rujak bebek, maka ia dikenal dengan nama si Rujak Gada.

Kejora tampak kian ketakutan saat dipandang oleh Rujak Gada. Suaranya berbisik lirih dengan nada gemetar di belakang Suto Sinting. "Aku tak mau ditangkap mereka."

"Berlindunglah di balik pohon, biar aku bisa bergerak bebas menghadapi mereka, Kejora," kata Suto Sinting sedikit palingkan wajah, tapi matanya tetap mengarah pada dua orang berwajah sangar itu.

Kedua orang itu kini melangkah ke samping saling merenggangkan jarak. Masing-masing mencari kesempatan baik untuk bergerak maju. Rujak Gada terdengar berkata kepada temannya yang mengenakan rompi merah itu.

"Rupanya pemuda gelandangan itu ingin menjadi pahlawan, Cingur Barong. Hancurkan wajah tampannya itu dan aku akan menyambar si Kejora!"

Orang yang dipanggil Cingur Barong menggeram dengan mata melebar tertuju pada Suto Sinting. Tangannya yang berjari besar itu bergerak-gerak bagai ingin meremas kepala Suto Sinting hingga remuk. Tetapi Suto Sinting masih kelihatan kalem-kalem saja. Cingur Barong berseru kepada Pendekar Mabuk,

"Jangan cari penyakit di depan kami, Bocah Gembel! Menyingkirlah dan tak perlu menjadi pelindung gadis itu!"

"Aku hanya melindungi pihak yang lemah!" ucap Suto Sinting dengan tegas.

"Gadis itu tidak perlu kau lindungi. Kami punya urusan sendiri yang tidak berhak dicampuri oleh orang lain. Karena itu, sekali lagi kuperingatkan kepadamu, Bocah Gembel; menyingkirlah dari hadapan kami!"

"Jika kalian bisa singkirkan aku maka kalian dapat menangkap gadis itu!"

"Bangsat! Jangan menantang kami, Pemuda Dungu!" bentak Rujak Gada dengan sangat kasar.

Gertakan itu hanya membuat Pendekar Mabuk tersenyum tipis. Senyum itu makin membuat Rujak Gada menggeram tak sabar lagi. Maka, yang seharusnya ia bertugas menyambar Kejora, kini justru ia yang menyerang Suto Sinting lebih dulu.

"Kuhancurkan batok kepalamu, Setan Ingusan! Heeeeah...!" Rujak Gada bergerak maju dengan satu lompatan bertubuh memutar. Putaran tubuh itu melayangkan sebuah tendangan ke wajah Suto Sinting. Wuuuut...!

Suto Sinting menggeloyor bagai orang mabuk ingin tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tendangan kaki lawan, sehingga kaki itu akhirnya hanya berkelebat di atas kepalanya. Lalu dengan berlagak seorang mabuk yang jatuh ke samping, kaki Suto Sinting menyampar kaki lawannya. Weees...!

Plaaak...! Brrruk...!

Rujak Gada terpelanting jatuh akibat samparan kaki Suto Sinting. Pada saat itulah Cingur Barong melompat ke arah Kejora. Wuuuus...! Melihat Kejora dalam bahaya, Suto Sinting segera berguling di tanah satu kali, kemudian tubuhnya melenting ke atas dengan satu sentakan tangan kiri ke tanah. Wuuut...! Tubuh kekar itu melayang di udara ke arah Cingur Barong. Pertemuan di udara membuat mereka saling menghantamkan pukulannya.

"Modar kau!" Cingur Barong hantamkan kepalan tinjunya yang besar.

Taaab! Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan kiri. Lalu tangan kanannya menyodok ke depan dengan gerakan amat cepat.

Wuuuut...! Prrrok...!

"Uuuuhg...!" Cingur Barong tersentak mundur ke belakang dalam keadaan masih melayang, lalu segera jatuh tak berkeseimbangan lagi. Brrruk...!

Suto Sinting mendaratkan kakinya dengan limbung mirip orang yang sudah mabuk berat. Namun dalam sekejap ia tegak kembali dan tampak perkasa. Matanya melirik ke arah Kejora.

"Syukurlah ia telah bersembunyi di balik pohon," pikir Suto Sinting merasa tenang melihat Kejora berada di balik pohon, mengintip pertarungan itu dari sana.

Rujak Gada dan Cingur Barong sama-sama bangkit berdiri penuh nafsu amarah. Keduanya sama-sama menggeram dengan mata semakin memandang buas kepada Pendekar Mabuk.

"Kau benar-benar cari penyakit, Setan Bodoh!" bentak Rujak Gada. "Jangan merasa bangga dulu jika kau bisa membuat kami jatuh, karena kami hanya menjajal kemampuan ilmumu. Sekarang saatnya kami mengirimmu ke neraka!"

"Kebetulan aku belum tahu jalan ke sana!" ujar Suto Sinting menanggapi dengan tenang sekali. Bahkan di bibirnya tersungging senyum tipis yang membuat kedua lawannya kian penasaran.

Seeet...! Rujak Gada mencabut senjatanya; sepotong besi berongga yang ujungnya mempunyai bola berduri sebesar kepalan tangannya. Besi itu disentakkan ke depan, srrraak...! Ternyata mengeluarkan rantai panjang yang menjadi tali dari bola berduri itu. Kemudian bola besi berduri itu diputar-putar di atas kepala. Wuuung, wung, wuuung...!

"Hancurkan kepalanya, Rujak Gada! Jangan kasih ampun lagi padanya. Pantatku dibuatnya sakit karena membentur batu!" teriak Cingur Barong yang juga segera mencabut senjatanya; kapak dua mata.

"Heeeeaaat...!" Rujak Gada melompat sambil menyambarkan bola besi berduri itu ke arah kepala Suto Sinting.

Pendekar Mabuk tidak menghindar, namun justru mengangkat bambu bumbung tuaknya dan menangkis kedatangan bola besi berduri itu.

Traaang...!

Bola besi itu beradu dengan bambu bumbung tuak menimbulkan suara gemerentang bagai menghantam sepotong besi. Percikan api menyembur dari perpaduan bola besi berduri dengan bambu bumbung tuak. Ternyata bambu itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun, bahkan lecet sedikit juga tidak.

Tetapi Suto Sinting sedikit lengah, sehingga kaki lawannya yang kekar itu berhasil menendang ujung pundaknya. Deees...! Wuuut...! Pendekar Mabuk terpelanting ke belakang dan membentur pohon tak seberapa besar. Pohon itu bergetar, daunnya rontok sebagian. Lalu, Rujak Gada menyerang kembali dengan mengibaskan senjatanya. Wuuuut...! Suto Sinting cepat rendahkan badan, sehingga bola berduri itu kenai pohon tersebut.

Crraak...! Duaaar...!

Ledakan kecil terjadi setelah Suto Sinting berguling ke samping dengan gerakan seperti seekor harimau menghindari lawannya. Pohon yang terkena bola besi berduri itu menjadi somplak lebar akibat ledakan yang ditimbulkan oleh senjata tersebut. Rupanya senjata itu bukan saja mengandalkan keruncingan durinya, namun juga disaluri tenaga dalam cukup tinggi, sehingga jika menyentuh apa pun akan timbulkan ledakan yang menghancurkan benda tersebut.

"Aaauwww...!" terdengar suara Kejora menjerit. Mata Suto Sinting cepat dilayangkan ke tempat persembunyian Kejora. Rupanya saat itu Kejora sedang berpindah tempat karena hindari kedatangan Cingur Barong. Melihat keadaan yang membahayakan jauh dari jangkauannya, Pendekar Mabuk segera keluarkan jurus 'Jari Guntur' yang menggunakan sentilan jari tangan kanannya. Tuuuus...!

Wuuut...! Buuuhg...!

"Aaaahg...!" Cingur Barong terpekik karena pinggang kirinya seperti ditendang kuda jantan amat kuat. Sentilan jari yang mengeluarkan tenaga dalam tanpa sinar itu membuat tubuh Cingur Barong melayang dan terhempas hingga membetur sebongkah batu sebesar anak sapi. Ia mengerang kesakitan sambil menggeliat bangkit. Kepalanya berdarah akibat benturan dengan batu besar itu.

"Manusia busuk!" geram Rujak Gada setelah melihat temannya berdarah, ia memutar-mutar rantai bola berduri dengan kaki sesekali menghentak ke tanah. Hentakan itu adalah cara mengeluarkan tenaga dalam yang disalurkan melalui rantai tersebut. Akibatnya putaran rantai itu membuat bola besi berduri itu memercik-mercikkan bunga api merah dalam setiap putarannya.

"Habislah riwayatmu, Jahanaaaam...!" Rujak Gada berteriak sambil lakukan sentakan pada tangannya, zraaak...! Rantainya semakin panjang dan segera menyambar tubuh Suto Sinting. Wuuuung...!

Namun pada saat itu Suto Sinting sudah berkelebat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya menerjang Cingur Barong yang berlari mengejar Kejora.

Zlaaaap...! Brruuss...!

"Aaaaow...!" Cingur Barong terlempar ke tepian jurang akibat terjangan kaki Pendekar Mabuk. Pada saat ia bangkit kembali dengan menggeram kesakitan, Suto Sinting lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi dengan sebuah sentilan ke arah dada Cingur Barong. Tuuuss...!

Wuuuut...! Buuuhk...! Tenaga dalam yang terlepas dari sentilan jari Pendekar Mabuk tepat kenai bagian atas ulu hati Cingur Barong. Orang itu tersentak ke belakang, padahal di belakangnya adalah jurang bertebing curam. Keseimbangan tubuhnya pun hilang, dan akhirnya Cingur Barong jatuh kejurang.

"Aaaaa...!" jeritannya melengking tinggi menggema di sana-sini.

"Bangsaaaat...!" teriak Rujak Gada semakin murka, ia berlari dan melompat ke arah Suto Sinting dengan bola berduri yang masih memercik-mercikkan bunga api.

Suto Sinting rendahkan badan hingga berlutut satu kaki. Kemudian jarinya menyentil lagi dan tenaga dalam yang keluar menghantam perut Rujak Gada yang sedang melayang di udara. Duuuhb...!

"Heeeehg...!" Rujak Gada memekik tertahan, tubuhnya kian melambung tinggi dan berjungkir balik. Gerakan jungkir baliknya melewati batas tepian bibir jurang, akhirnya ia meluncur turun tanpa sempat berpijak lagi. Ia terkejut mengetahui dirinya telah tidak punya tempat berpijak.

"Aaaaaaowww...!" teriakannya pun menggema karena pantulan dinding tebing curam itu.

Suto Sinting memandang dengan jengkel dan menggerutu, "Yaaah... akhirnya dua-duanya masuk jurang?! Uuuh...! Dasar bodoh! Sudah tahu jurang ini dalam sekali, mau-maunya nyebur ke sana! Kalau begini aku tak bisa dapat keterangan apa sebab mereka mengejar si Kejora?! Sial! Punya lawan dua saja mati semua! Lain kali kalau tidak berilmu tinggi janganlah coba-coba melawanku. Mereka itu memang keras kepala dan berlagak jago! Kalau tahu ilmu mereka tak seberapa, aku tak mau melawannya dengan penuh semangat! Uuuh... menyebalkan sekali mereka itu! Jangan-jangan mereka memang punya kegemaran nyebur ke jurang?!"

Kedua orang Candi Bangkai sama-sama terlempar ke jurang. Teriakan mereka pun segera menghilang dalam beberapa kejap kemudian. Setelah itu, alam menjadi sepi, dan Suto Sinting segera menghela napas, melegakan dadanya yang tadi dipakai menahan napas beberapa kali. Ia tak memeriksa keadaan lawannya yang sudah masuk jurang itu. Yang menjadi pusat perhatiannya sekarang adalah gadis mungil yang punya kecantikan lugu itu.

"Hei, ke mana gadis itu tadi?!" sentak batin Suto Sinting karena kaget tak menemukan Kejora di sekitar tempat itu.

"Kejoraaaa...!" ia berusaha memanggil, namun tak mendapat jawaban. Gadis itu telah hilang; entah disambar anak buah Barakoak lainnya atau melarikan diri karena tak mau dekat-dekat dengan pertarungan tadi. Yang jelas Suto Sinting sudah menyusuri tempat itu, dan si gadis memang tak ditemukan.

"Jangan-jangan ia tergelincir masuk jurang lagi?!" pikir Suto Sinting.

Keputusan hati sang Pendekar Mabuk adalah mencari Kejora ke arah datangnya dua orang Candi Bangkai tadi. Hatinya menduga kuat bahwa Kejora ditangkap dan dibawa lari oleh teman Rujak Gada dan Cingur Barong yang tak ikut menampakkan diri selama pertarungan tadi. Namun ketika Suto Sinting ingin berkelebat mengejar ke arah yang diyakini, tiba-tiba ia mendengar seruan dari dasar jurang. Seruan itu terdengar kecil dan samar-samar.

"Tolooong...?!"

Suto Sinting segera periksa keadaan di bagian tebing curam itu. Ternyata yang berseru tadi adalah si Cingur Barong, ia tersangkut bebatuan yang menonjol pada dinding tebing, ia bergelayutan di sana dalam kedalaman yang sukar dijangkau lagi. Sementara itu, Rujak Gada juga mengalami nasib yang sama, tersangkut pada ujung bebatuan yang menonjol dari dinding tebing tandus itu. Jarak keduanya tak terlalu jauh, namun juga tak mudah saling menjangkau.

"Rujak Gadaaaa...! Tolong akuuu...! Tolong selamatkan jiwaku, Rujak Gadaaa...!"

Rujak Gada yang kebingungan mengangkat diri dari gelayutannya itu berseru jengkel, "Matamu buta, ya?! Apa kau tak lihat aku juga dalam bahaya begini?!"

"Di mana letak setia kawanmu, Rujak Gada?! Mengapa kau tak mau menolongkuuu...!"

"Mukamu sobek!" maki Rujak Gada. "Aku sendiri butuh pertolongan, bagaimana aku bisa menolongmu?!"

Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar pertengkaran mereka. Batinnya berkata, "Dasar orang-orang dungu! Sudah tahu saling dalam bahaya masih saja bertengkar!"

"Aaaaa...!" suara jeritan kecil itu kian mengecil, kemudian lenyap dan berganti teriakan lain.

"Rujak Gadaaaa...! Rujaaaak...!"

Rupanya Rujak Gada gagal mencapai tempat berpijak yang aman. Ia tergelincir dan jatuh ke dasar jurang yang masih jauh dari tempatnya tersangkut tadi.

"Rujaaak...!" teriak Cingur Barong dengan sedih melihat temannya tak terselamatkan lagi.

Suto Sinting akhirnya meninggalkan tebing itu setelah merasa tak akan mampu menyelamatkan Cingur Barong, ia melangkah ke arah yang dimaksud tadi sambil membatin kata, "Sudah mau mati masih memanggil-manggil tukang rujak! Ck, ck, ck... payah mereka itu!"

* * *

DUA

PENCARIAN si gadis lugu terhenti oleh suara ledakan dari arah barat. Pendekar Mabuk arahkan langkahnya ke barat karena rasa ingin tahu apa yang terjadi di sana.

"Pasti sebuah pertarungan!" pikirnya penuh harap, karena ia senang mengintai pertarungan untuk mengumpulkan pengetahuan tentang jurus-jurus yang ada di rimba persilatan. Pengintaian di lakukan dari balik semak bertanah tinggi. Dan mata yang tak pernah merah walau menenggak tuak sebanyak apa pun itu kini menjadi tegang terbelalak melihat tiga orang lelaki berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun, sedang berhadapan dengan lawan yang bertubuh menjijikkan.

Orang yang bertubuh menjijikkan itu mempunyai kulit dan daging yang lunak, membusuk, dan banyak belatung yang sedang menggerogotinya. Sebagian wajahnya telah somplak akibat dimakan kebusukan dan dibuat pesta para belatung. Orang tersebut tak lain adalah sesosok mayat yang sudah lama terkubur dan kini bangkit kembali. Pendekar Mabuk mengenali mayat itu, sehingga ia pun menjadi terkesiap di tempat sambil menggumam lirih pada dirinya sendiri.

"Mayat Resi Dirgantara...?! Oh, ternyata mayat itu masih bergentayangan akibat dibangkitkan oleh si Ratu Sangkar Mesum dulu?! Kusangka mayat itu sudah kembali ke kuburnya, ternyata ia masih berkeliaran dengan liar."

Peristiwa pertemuan Suto Sinting dengan mayat Resi Dirgantara terbayang kembali dalam benak. Wajah cantik jalang milik Ratu Sangkar Mesum juga muncul dalam ingatan Suto Sinting. Hatinya tersengat rasa panas ketika disadari bahwa wajah cantik itu adalah wajah orang yang menjadi musuh calon istrinya; Gusti Mahkota Sejati yang menjadi ratu di Puri Gerbang Surgawi alam nyata. Kala itu si Ratu Sangkar Mesum pergi meninggalkan Suto Sinting dalam keadaan terluka.

Apakah sekarang masih terluka, atau sudah sembuh, atau justru sudah mati, Suto Sinting tak pernah tahu. Ia hanya bisa mengenang peristiwa sebulan yang lalu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kipas Dewi Murka).

"Kini mayat itu menyerang tiga lelaki berwajah angker," kata hati Suto Sinting mengalihkan pikirannya. "Siapa ketiga lelaki berwajah angker itu? Gerak-geriknya menimbulkan kesan bahwa mereka dari aliran hitam atau... ah, yang jelas mereka tampaknya bukan orang baik-baik. Tak layak aku turut membantu mereka. Biarlah mereka selesaikan sendiri urusan mereka dengan mayat Resi Dirgantara. Tapi... oh, siapa yang bersembunyi di balik pohon seberang itu? Bocah kecil...?! Oh, ya... bocah kecil! Anak siapa dia? Mengapa berani mengintai di balik pohon? Apakah dia tidak takut dengan mayat Resi Dirgantara? Setidaknya ia akan jijik melihat keadaan mayat busuk berbelatung begitu!"

Pandangan mata Suto Sinting beralih kembali ke pertarungan. Mayat Resi Dirgantara dikurung tiga orang berwajah angker. Namun mayat hidup dengan biji matanya putih semua itu tidak melarikan diri. Ia justru tampak buas, mengangkat kedua tangannya yang berkuku panjang dan runcing itu, lalu mengeluarkan suara serak yang susah dimengerti.

"Kkkkraaahhkk...! Ggrrr, kkrrraakkhg...!"

Salah seorang menyerangnya dengan sebilah golok dari belakang. Orang itu melesat dalam satu lompatan tak seberapa tinggi, kemudian goloknya ditebaskan ke pundak si mayat hidup. Wuuut...! Tapi gerakan mayat hidup lebih cepat saat membalikkan badan. Weet...! Kemudian ketika golok itu menebas turun, ia menangkap dengan tangan kirinya. Zraaab...! Ia tak peduli telapak tangannya terluka karena ketajaman golok yang ditangkap. Namun tangan kirinya segera berkelebat mencakar tubuh lawannya dengan gerakan dari bawah ke atas.

Wuuut...! Brreeet...!

"Aaaaahg...!" orang itu memekik dengan wajah menyeringai. Perut hingga bagian dada robek parah akibat cabikan kuku runcing si mayat hidup. Tangan mayat tak mau melepaskan golok orang itu, dan si pemilik golok sendiri tak mau melepaskan senjatanya. Maka, cabikan cakar yang kedua terjadi dengan cukup mengenaskan.

Wuuut...! Breeeett...!

"Aaaauh...!" orang itu memekik karena wajahnya menjadi rusak bagai disabet lima mata pisau runcing yang amat tajam. Dan robekan ketiga tepat kenai leher orang tersebut.

Jrrub, breeettt...!

"Heeggrr...!" tentu saja orang tersebut tak bisa berteriak lagi. Ia segera tumbang sebelum kedua temannya maju menyerang.

Rupanya mayat itu tahu apakah lawannya masih hidup atau hanya pingsan saja. Ia melepaskan lawannya yang sudah tidak bernapas itu, lalu segera menghadapi kedua penyerangnya yang datang dari arah belakang. Wuuut...! Dalam satu putaran gerak, tangan si mayat berkelebat dari samping bawah ke samping atas. Gerakan tangan itu timbulkan sinar merah panjang bagai lidah api yang segera menyambar dua orang itu. Claaaap...!

Crraasss...! Lidah api dari sinar merah kenai tubuh kedua lawan dalam sekali serang. Akibatnya, tubuh kedua orang itu kepulkan asap putih dalam keadaan diam tertegun di tempat. Kejap berikutnya, ketika mereka masih saling heran, tiba-tiba asap menjadi tebal dan nyala api pun datang. Dalam waktu singkat keduanya segera terbungkus api sekujur tubuhnya. Wuuusss...!

"Aaaaow...!"

"Auuuh.... Panas, panas, panaaas...!"

Keduanya saling berjingkrak-jingkrak dalam upayanya memadamkan api, tapi api yang membungkus tubuh mereka tak mau padam juga. Keduanya segera berguling-guling namun api tak mau padam, sehingga akhirnya mereka meraung-raung dengan suara keras, dan akhirnya mereka diam tak berkutik dalam keadaan mati hangus menjadi arang tanpa serat daging maupun sisa pakaian mereka.

"Ganas sekali mayat itu?!" pikir Suto Sinting dengan sedikit cemas kepada bocah yang sedang mengintip dari balik pohon. Si bocah tampak masih tertarik dengan adegan itu, sehingga ia masih berada di tempatnya.

Mayat hidup mendiang Resi Dirgantara mengerang berkali-kali sambil bola matanya yang putih polos itu bergerak ke sana-sini. Akhirnya mayat itu melangkah gontai mendekati bocah kecil di balik pohon. Pendekar Mabuk tersentak kaget, lalu segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk selamatkan bocah tersebut.

Zlaaap...! Tiba di balik pohon, Pendekar Mabuk terperanjat kembali, karena bocah yang bersembunyi itu ternyata adalah gadis kecil berambut cekak warna pirang, seperti rambut jagung. Bocah itu pun terkejut melihat kehadiran Suto Sinting hingga terpekik dan segera melarikan diri.

"Hei, tunggu...!" seru Suto Sinting dengan cemas, karena bocah itu berlari ke arah datangnya mayat Resi Dirgantara, ia tak sadar bahwa pelariannya itu membuat si mayat hidup diam di tempat bagaikan menghadang mangsa datang. Ketika bocah itu tidak menengok ke belakang lagi, ia terpekik kaget melihat mayat hidup sudah ada di depannya dalam jarak tiga langkah.

"Aaaa...!" jeritannya cukup lengking dengan kedua bola matanya yang bundar mirip kelereng itu terbelalak lebar.

"Kkkrraahk...!" mayat tersebut menyeringai menampakkan mulutnya yang berbibir somplak, sebagian belatung tersembur keluar dari mulut itu. Kedua tangan si mayat merenggang hendak menyambar gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun itu.

Pendekar Mabuk cepat-cepat bergerak menerjang mayat itu dengan bumbung tuak dihantamkan dalam sekelebat. Zlaaap...! Wuuuut...!

Brrrruuss...! Mayat hidup itu terlempar akibat hantaman bumbung tuak. Belatungnya menyebar ke mana-mana, ia jatuh terpuruk bagai seonggok daging busuk. Namun hal itu tidak membuat si mayat hidup terpuruk selamanya, ia mulai bangkit perlahan-lahan, padahal biasanya orang yang terkena hantaman bumbung tuak itu akan menjadi lumpuh atau hancur tulangnya dan tak berdaya lagi.

Agaknya mayat Resi Dirgantara sukar mengalami kematian yang kedua, karena kekuatan gaib Ratu Sangkar Mesum yang dipakai membangkitkan mayat itu telah membuat kesaktian Resi Dirgantara bekerja kembali.

"Bahaya...!" geram Suto Sinting saat memandangi mayat yang muiai bergerak hendak bangkit itu. "Gadis kecil itu yang harus kuselamatkan lebih dulu!" pikirnya.

Tapi ketika ia berpaling memandang si gadis kecil, tiba-tiba gadis itu sentakkan kaki dan melompat pergi. Gadis kecil itu bergerak dengan lincah, bersalto dua kali di udara secara cepat. Wuuut, wuuut...! Kakinya menjejak batang pohon dan bersalto kembali ke belakang, lalu ia berpiak-piak, jungkir balik dengan menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu di tanah. Wes, wes, wes, wes...!

Wuuut...! Gadis itu tiba-tiba sudah berada di atas pohon, berdiri pada sebuah dahan. Kemudian sentakan kakinya membuat tubuh kecil itu melesat dari pohon ke pohon, melayang di udara dalam gerakan jungkir balik beberapa kali, kemudian menerabas dedaunan pohon dan melesat pergi entah kemana.

Pendekar Mabuk dibuat terpaku dan terbengong ditempat. "Edan gadis kecil itu! Gerakannya cepat sekali seperti anak menjangan. Aku harus memburu bocah itu dan ingin mengetahui siapa dia sebenarnya!"

Rasa penasaran Suto Sinting membuatnya berkelebat tinggalkan mayat Resi Dirgantara yang sudah mulai bangkit lagi itu. Zlaaap...! Gadis kecil yang lincah dan luar biasa gesitnya itu menjadi bahan buruan Suto Sinting. Agaknya gadis kecil berpakaian rompi kulit binatang berbulu hitam dan putih dengan celana pendeknya juga terbuat dari kulit binatang warna coklat rusa itu lebih menarik untuk diburu ketimbang gadis cantik Kejora.

Pendekar Mabuk hampir saja salah arah. Untung ia melihat gadis itu berlari biasa di sela-sela pepohonan. Pendekar Mabuk pun segera membelokkan arahnya, ia sengaja menguntit gadis kecil yang mengenakan kalung tali hitam dengan bandul batu merah delima sebesar kacang tanah. Lompatan demi lompatan yang dilakukan oleh si gadis kecil sangat menarik perhatian dan membuat hati Suto Sinting terkagum-kagum. Satu lompatan menghasilkan jarak yang panjang, yang tidak bisa dilakukan oleh orang dewasa tak berilmu. Suto Sinting tersenyum girang memperhatikan gadis kecil itu melompat-lompat dalam larinya.

"Benar-benar mirip anak menjangan mencari induknya," gumam hati Suto Sinting sambii geleng-geleng kepala. Rasa suka terhadap gadis kecil itu membuat Pendekar Mabuk tak mau hanya sekadar menguntit dan memperhatikan dari tempat tersembunyi, maka ia pun segera berkelebat menyusul gadis kecil itu, lalu menghadang si gadis kecil dengan lebih dulu bersembunyi di balik pohon. Ketika gadis kecil itu hendak melintasi jalan di depannya, Suto Sinting segera muncul dengan gerakan cepat, tahu-tahu ada di depan si gadis.

"Aaahh...?!" gadis kecil itu terpekik kaget. Matanya yang bundar indah mendelik dengan mulut ternganga, ia segera berbalik arah dan melesat pergi kembali ke arah semula. Namun Suto Sinting segera menyambar lengan si gadis kecil itu. Wuuuut...!

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" teriak si gadis dengan meronta-ronta.

"Jangan takut, Gadis Kecil! Aku bukan orang jahat! Ada yang ingin kutanyakan padamu, Dik!"

"Tidak mau! Aku tidak mau menjawab! Lepaskan akuuu...!" gadis itu ingin menangis karena jengkel tak bisa meronta lepas dari genggaman Suto Sinting. Sedangkan pemuda ganteng itu justru tertawa-tawa kegirangan melihat gadis kecil itu ingin menangis dan berwajah cemberut.

"Lepaskan aku...! Aku tidak mau diperkosa! Lepaskan...!"

"Husy! Siapa yang mau memperkosamu! Kau masih kecil dan tak pantas untuk menerima perlakuan sehina itu, Dik!"

Gadis itu akhirnya hentikan gerakannya, ia memandang Suto Sinting dengan sikap ketus dan berlagak angkuh. "Mau apa kau memegangi tanganku?!"

"Aku ingin kenal denganmu," Suto Sinting melepaskan genggamannya.

"Hmmm...!" gadis kecil itu buang muka dengan mencibir. Lagaknya bagai orang dewasa yang angkuh terhadap seorang lelaki. Ia berkata tanpa memandang Suto Sinting. "Apa perlunya berkenalan denganku? Aku masih kecil, belum pantas menjadi istrimu!"

Suto Sinting justru tertawa geli. Si gadis kecil melirik sinis, membuat Suto Sinting kian gemas dan kegelian memandang lagak tengil itu.

"Kalau kau mau cari seorang kekasih atau calon istri, carilah kakakku!"

"Oh, kau punya kakak?!"

Gadis kecil itu pandangi Suto Sinting dengan dagu terangkat sedikit, kedua tangannya bersedekap di dada. "Hmmm... boleh juga."

"Apanya yang boleh, Dik?"

"Ketampananmu boleh juga!"

"Gila! Kecil-kecil sudah bisa menilai ketampanan seorang lelaki?!" ucap Suto bagai ditujukan pada diri sendiri, tapi si gadis kecil menyahutnya.

"Apa sulitnya membedakan pria tampan dan pria berwajah kusut?!"

Suto Sinting tertawa dengan suara rendah. Gadis kecil itu agaknya mempunyai jalan pikiran dan kecerdasan menyamai gadis tujuh belas tahun. Bibirnya yang kecil, mungil, tipis, menandakan sebagai bibir gadis yang cerewet dan pandai bicara. "Siapa yang mengajarmu membedakan pria tampan dan pria kusut?" pancing Suto sambil membungkuk agar berhadapan wajah.

"Kakakku," jawabnya singkat bernada ketus, seakan membanggakan kakaknya. Kemudian ia bertanya, "Apakah kau orang Candi Bangkai?!"

"Bukan," jawab Suto Sinting dengan kerutkan dahinya, merasa aneh mendengar pertanyaan gadis sekecil itu yang menyebut-nyebut nama Candi Bangkai. Tapi sebelum Suto bicara, ternyata gadis kecil itu sudah lebih dulu perdengarkan suaranya yang kecil dan lucu.

"Kakakku bilang, pria yang tampan itu berwajah bersih dan enak dipandang, contohnya seperti kau! Tapi kalau pria yang kusut itu wajahnya sulit dipandang dan tak bisa dinikmati keindahannya, contohnya seperti tiga orang yang mengejarku tadi."

"Tiga orang yang mana?" Suto Sinting berkerut dahi.

"Yang tadi..., yang akhirnya dibunuh oleh manusia busuk itu!"

"O, jadi kau dikejar-kejar oleh tiga orang yang mati dibunuh mayat hidup itu?!"

"He, eh!" jawab si kecil dengan wajah bersungut-sungut. "Orang-orang Candi Bangkai memang beraninya hanya sama anak kecil!"

Makin tajam kerutan dahi Suto Sinting dalam memandang si gadis kecil itu. Hatinya berkata, "Jadi tiga orang berwajah angker tadi adalah orang-orang Candi Bangkai; anak buah si Raja iblis itu?! Hmmm... kalau begitu nasib gadis kecil ini sama dengan nasib si Kejora. Lalu, untuk apa orang-orang Candi Bangkai mengejar anak sekecil ini?!"

Gadis kecil yang memakai giwang merah delima sebesar merica itu berkata bagai bicara pada diri sendiri. Wajah manisnya bersungut-sungut membuat bibir kecilnya itu meruncing lucu. "Sayang aku tak bisa melawan mereka. Kalau aku punya kesaktian tinggi, akan kutumbangkan si Raja iblis; Barakoak itu! Akan kugulung habis orang-orang Candi Bangkai!"

Ia memandang Suto Sinting dan menyambung kata, "Mungkin saat ini kakakku sudah tertangkap oleh mereka."

"Apakah kakakmu juga dikejar-kejar oleh mereka?!"

Gadis kecil itu mengangguk. Sorot matanya mulai tampak sedih. "Siapa kakakmu itu?!"

"Kejora!" jawabnya singkat, menyentak halus hati Suto Sinting. "Pantas, ternyata dia adik si Kejora," gumam Suto Sinting dalam hatinya.

Gadis itu mengalihkan pandang sebentar sambil berkata, "Jika Kejora tertangkap berarti aku tinggal berdua dengan kakakku yang sulung."

"O, kau masih punya kakak lagi?"

"Dua kakakku sudah tewas di tangan mereka. Demikian pula dengan Ayah dan ibuku, dibantai mereka dalam satu malam. Tapi kakakku yang sulung saat itu sedang pergi bersama Kejora. Jadi tidak ikut menjadi korban pembantaian kaki tangan Barakoak. Aku bisa lari loloskan diri melalui jalan belakang rumah. Sekarang kami tinggal tiga saudara; masih juga diburu-buru oleh Barakoak. Aku dan Kejora mencari kakak sulungku yang sedang menghubungi sahabat Ayah untuk meminta bantuan melawan orang-orang Candi Bangkai. Sampai sekarang kami belum berhasil bertemu dengan kakak sulungku. Aku dan Kejora berpencar karena pengejaran orang-orang jahat itu!"

"Tabah sekali ia menuturkan cerita itu," kata Suto Sinting dalam hati. "Ia tampak tegar walaupun menyimpan kesedihan atas kematian keluarganya."

Gadis kecil itu tiba-tiba berkata, "Kalau kau mau membantuku, nanti kukenalkan kepada kakak sulungku. Akan kubujuk dia agar mau menjadi kekasihmu."

Senyum mekar di bibir Pendekar Mabuk berkesan kaku; antara geli dan iba terhadap nasib gadis kecil itu. Namun ucapan itu tetap ditanggapi dengan baik oleh Pendekar Mabuk yang sudah berdiri tegak sejak tadi, karena si gadis naik ke atas batu hingga ketinggian mereka sejajar.

"Siapa nama kakakmu yang sulung itu?"

"Hening," jawab si gadis kecil dengan singkat tapi jelas.

"Nama yang aneh," gumam Suto Sinting. "Lalu namamu sendiri siapa?"

Gadis itu buang muka memandang ke arah lain, "Aku biasa dipanggil dengan nama: Menik."

"Menik siapa?"

"Menik... Menikmati apa adanya," jawab si gadis dengan mengulum senyum pertanda tidak sungguh-sungguh menjawab. Namun nama Menik adalah nama yang sebenarnya dimiliki si kecil tengil itu.

"Hening, kakakku itu, cantik sekali. Pantas menjadi istrimu. Kalau kau mau membantuku, kau tak akan kecewa mendapat hadiah berupa seorang istri secantik Hening," kata Menik dengan nada bicara seperti orang dewasa.

Suto Sinting tertawa sedikit keras, merasa sedang dibujuk anak kecil agar segera menikah dengan seorang wanita pilihan si kecil sendiri. Bagi Suto Sinting kejadian ini adalah kejadian yang lucu dan menggelikan sekali.

"Kenapa tertawa saja? Apakah kau tak punya keberanian menikahi seorang perempuan?!" sentak Menik semakin sok tua, dan Suto Sinting semakin tak bisa menjawab karena tawanya kian menjadi-jadi.

Tapi dalam hatinya pemuda tampan itu bertanya-tanya, "Seperti apakah kecantikan gadis bernama Hening itu, sehingga sang adik tampak berkeinginan sekali menjodohkan aku dengan kakaknya? Aku jadi ingin melihat kecantikan itu."

Pendekar Mabuk menjadi penasaran sekali; ingin melihat kecantikan kakak sulung Menik. Tetapi gadis kecil itu berkata,

"Kalau kau pernah melihat kecantikan seorang ratu dari Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, maka kau berarti sudah pernah melihat kecantikan kakak sulungku."

Suto Sinting kaget bukan kepalang. Gusti Mahkota Sejati adalah gelar yang dipakai Dyah Sariningrum, calon istri Suto yang sudah sering ditemuinya. Perempuan itu memang seorang ratu dari negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Tapi apakah berarti kakak sulung Menik itu adalah Dyah Sariningrum juga?

* * *

TIGA

GADIS kecil yang berpotongan seperti anak lelaki itu segera membawa Suto Sinting masuk ke sebuah gua tak jauh dari tempat mereka bertemu, ia menyuruh Suto Sinting agar buru-buru masuk ke gua dengan wajah tegang.

"Cepatlah masuk kalau kau tak ingin mati beku!"

Pendekar Mabuk heran mendengar seruan itu. "Hari sepanas ini kau bilang aku akan mati beku? Apa maksudmu, Menik?!" seru Suto yang masih ada di luar gua dengan tenang.

"Masuklah, nanti kujelaskan apa maksud kata-kataku! Cepat, cepat...!"

Dengan rasa ingin tahu, akhirnya Pendekar Mabuk menuruti keinginan si kecil Menik, ia masuk ke gua yang berlorong menjorok ke bawah. Agaknya lorong gua itu cukup panjang, sehingga ketika mereka bicara gemanya masih terdengar pada saat mulut mereka telah berhenti bicara.

"Kau ini senang bikin ulah yang bukan-bukan rupanya!" kata Suto Sinting sambil perhatikan si gadis yang memandang ke arah luar dengan mata menegang.

"Sekarang aku sudah ada di dalam gua mengikuti saranmu. Jelaskan apa maksudmu menarik-narikku dan membawaku ke dalam gua ini?!"

Baru saja Pendekar Mabuk berhenti bicara, tiba-tiba ia mendengar deru angin kencang dari kejauhan. Angin itu bagai suara lolongan serigala yang mengalun mendayu-dayu. Makin lama semakin jelas, pertanda semakin dekat pula hembusan angin tersebut. Suto Sinting menjadi bertambah heran hingga mengerutkan dahinya. Sementara itu, Menik masih ada tak jauh dari mulut gua dan memandang ke arah luar dengan tegang.

Hembusan angin kini benar-benar terasa menerpa alam sekitar gua itu. Cahaya matahari yang terang menjadi redup dalam waktu yang amat singkat, bahkan bisa dikatakan redup secara tiba-tiba. Hawa dingin mulai terasa membelai kulit lengan Suto Sinting yang mengenakan baju sebatas ketiak itu. Udara dingin itu semakin lama semakin menyerap ke pori-pori kulit, dan bertambah lama bertambah terasa menembus ke tulang belulang.

"Kita masuk ke tempat yang lebih dalam!" ajak Menik sambil menarik tangan Suto Sinting.

Mau tak mau Pendekar Mabuk yang saat itu seperti kambing congek karena serba heran dan bingung itu segera mengikuti langkah Menik. Mereka menuruni lorong gelap yang berdinding lembab. Hembusan udara dingin terasa masuk ke gua dan menerpa kulit tubuh mereka. Dalam keadaan gelap, Pendekar Mabuk hanya bisa mengikuti langkah kaki Menik yang berjalan lebih dulu, berlari-lari kecil sambil menuntun tangan Suto Sinting.

"Mau kau bawa ke mana aku ini, Menik?"

"Menyelamatkan diri!" jawab Menik. "Ikuti saja langkahku, kau tak akan terancam bahaya. Aku sudah sering masuk ke gua ini. Sepuluh langkah lagi dari sini aku menyimpan sebatang obor bambu pada dinding kanan kita. Tapi aku tak punya pematik untuk menyalakan sumbunya!"

Pendekar Mabuk kurang tertarik menanggapi kata-kata itu, karena hatinya berkecamuk sendiri tentang udara dingin yang masuk ke gua dan menerpa kulit tubuhnya. Udara dingin dan deru angin yang datang tadi merupakan suatu keanehan yang hampir-hampir tak dipercayai oleh Suto Sinting.

"Angin dingin apa sebenarnya yang berhembus di luar gua itu?! Dari mana asal datangnya angin yang membawa uap dingin itu?! Bagaimana gadis kecil ini bisa mengetahui akan datang angin dingin di tempat sepanas tadi?!"

Semakin menyusuri lorong ke dalam semakin tak terasa hembusan angin dinding itu. Kini yang dirasakan oleh Suto Sinting adalah kelembaban udara tanpa desiran angin setajam tadi. Sebatang obor telah dinyalakan dengan menggunakan gesekan bumbung tuak dengan batu untuk mendapatkan apinya.

Kini lorong itu menjadi terang, dan Menik membawa Suto Sinting lebih ke dalam lagi, hingga mereka menemukan tempat lega yang datar, langit-langitnya tinggi dan di salah satu sisinya terdapat tumpukan jerami. Tumpukan jerami itu agaknya pernah dipakai tidur oleh seseorang. Walaupun di situ terdapat bongkahan batu gunung, tapi jaraknya tak terlalu rapat sehinga memungkinkan seseorang untuk bergerak leluasa di tempat itu.

"Aku sering bermalam di sini!" kata Menik sambil melompat dan duduk di atas tumpukan jerami kering itu.

"Kau sering bermalam di sini? Bersama siapa?"

"Kadang-kadang bersama Kejora, kadang-kadang sendirian. Aku tak pernah bermalam di sini dengan seorang lelaki."

Suto Sinting tertawa geli mendengar kata-kata seperti itu terlontar dari mulut gadis kecil yang belum pantas bicara tentang lelaki. Tapi agaknya pembicaraan seperti itu bukan hal aneh lagi bagi Menik sendiri.

"Baru sekarang ada seorang lelaki yang kubawa masuk kemari, itu pun kalau bukan karena terpaksa, aku tak akan memberitahukan kepada siapa pun tempat ini."

Suto Sinting manggut-manggut sambil memandangi keadaan sekeliling, seakan memeriksa keamanan di tempat itu. Gadis kecil yang sok tua itu berkata lagi,

"Keadaan di sini aman-aman saja! Jangan khawatir; Naga Sokat sudah dibunuh oleh kakakku; Hening."

"Naga Sokat...?!" Suto buru-buru berpaling memandang Menik.

Gadis kecil itu tersenyum kecil. "Naga Sokat itu penunggu gua ini. Beberapa waktu yang lalu telah dibunuh oleh kakak sulungku karena sang Naga sering keluar dan menelan korban penduduk yang mencari kayu di sekitar sini. Tapi telur naga masih ada lima butir di kedalaman sana."

"Hahh...?! Telur naga masih ada di sana?!" Suto Sinting terkejut.

Gadis kecil itu cekikikan sambil melonjorkan kakinya dengan santai. "Kau ketakutan sekali, ya?! Padahal aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya bercanda dan menguji keberanianmu. Telur naga itu sudah kupecahkan beberapa bulan yang lalu. Tak ada anak naga di dalamnya."

Pendekar Mabuk malu hati dan salah tingkah sendiri ditertawakan anak sekecil Menik, ia tak mau memandang anak itu untuk menutupi rasa malunya, ia mencoba melangkah mengitari ruangan lebar tersebut, sementara obor bambu yang sebagai satu-satunya penerang ruangan diletakkan di atas sebuah batu setinggi pundak Suto yang atasnya terbelah sedikit.

"Kita istirahat di sini dulu, nanti kita keluar lagi dan aku akan tetap mencari kakak sulungku. Namun lebih dulu aku harus mencari kepastian di mana Kejora berada; tertangkap atau dalam pelarian. Setahuku ia dikejar-kejar oleh dua orang Candi Bangkai yang kukenal bernama Cingur Barong dan Rujak Gada."

"Mereka sudah masuk ke jurang!" kata Suto Sinting sambil melangkah mendekati tumpukan jerami kering.

"Siapa yang masuk ke jurang? Kakakku?!" gadis kecil itu menegang cemas.

"Cingur Barong dan Rujak Gada terlempar ke jurang saat melawanku."

"Ooh...?! Jadi kau berani melawan dua orang ganas itu?"

"Kalau bukan karena melindungi Kejora, aku tidak akan bentrok dengan Cingur Barong dan Rujak Gada."

"Kau...?!" Menik bangkit berdiri di atas jerami. "Benarkah kau sudah bertemu dengan Kejora?"

"Berpakaiankuning dan mengenakan kalung berbandul batu biru, bukan?!"

"Ah, benar!" sambil jarinya menjentik sok tahu. "Berarti kau memang sudah bertemu Kejora!"

Namun tiba-tiba sekeping logam melesat menuju kedadanya. Menik terperanjat lalu melompat ke samping. Lompatannya terlambat sedikit dan lengan Menik tergores benda tersebut. Craaas...!

"Aaaauh...!" pekiknya sambil menjatuhkan diri.

Pendekar Mabuk terkejut dan segera memandang ke arah datangnya benda itu. Dari sebuah lorong yang menjadi sambungan dari lorong tempat mereka datang tadi muncul seorang lelaki berkepala botak. Rambutnya tersisa di bagian tepi bawah saja, itu pun bisa dihitung jumlahnya. Lelaki itu bermata lebar dengan kumis kecil melengkung ke bawah.

"Ha, ha, ha, ha...!" lelaki itu tertawa melihat Menik jatuh dan merintih-rintih memegangi lukanya. "Akhirnya kau mati juga gadis tengil! Kau tak akan bisa lolos dari racun 'Gurun Tandus' yang akan membuat darahmu mengering dalam waktu singkat! Ha, ha, ha, ha...!"

"Menik...?!" Pendekar Mabuk mendekati gadis kecil itu dan berlutut memeriksa lukanya. Ternyata luka itu memancarkan warna merah bara berpijar-pijar, menandakan senjata rahasia bergerigi itu memang mempunyai racun berbahaya.

"Katamu di sini tak ada orang lain kecuali kita?! Mengapa orang itu ada di dalam lorong?!"

"Aku tak tahu, dia masuk sini sebelum kita datang. Uuhgg...!" Menik menyeringai semakin kuat. "Lakukan sesuatu untuk mengusir si Kelelawar Setan itu! Dia... dia orangnya Barakoak! Uuuhf...!"

Kelelawar Setan berseru kepada Pendekar Mabuk, "Hei, Anak muda tolol...! Jangan coba-coba menolong gadis itu. Dia keturunan iblis yang perlu dilenyapkan! He, he, he, he...!"

Pendekar Mabuk memandang dengan mata tajam, ia bangkit perlahan-lahan tanpa sepatah kata pun. Kelelawar Setan memperhatikan dengan tawa yang memuakkan hati Suto Sinting.

"Minggirlah kau, Anak muda tolol! Aku akan membawa gadis kecil itu ke Candi Bangkai sebelum ia menjadi mayat."

"Kau tak akan bisa menyentuhnya lagi dengan cara apa pun, Manusia Keji!" geram Pendekar Mabuk tampak menahan kemarahan. Napasnya membuat batu di depannya bergetar, karena jika sedang marah begitu maka napasnya akan berubah menjadi senjata maut yang bernama Napas Tuak Setan.

"Kalau begitu kau pun harus kutangkap dan kuserahkan kepada Tuanku Barakoak! Heeeaah...!" Kelelawar Setan lepaskan senjata rahasianya lagi ke arah Suto Sinting. Weeesss...!

Dengan cekatan Suto menghadangkan bumbung tuaknya dan senjata itu kenai bumbung tuak. Traaang...! Suaranya seperti mengenai logam baja. Senjata itu berbalik arah dengan gerakan lebih cepat lagi. Ziiing...!

"Edan!" pekik Kelelawar Setan yang terkejut melihat senjatanya meluncur dengan kecepatan lebih tinggi ke arahnya, ia segera melompat dalam satu hentakan.

Wuuuss...!

Tiba-tiba orang itu sudah berada di langit-langit dalam keadaan menggantung seperti seekor kelelawar, kedua kakinya menempel pada langit-langit dan tangannya melepaskan senjata bergerigi lagi. Zeeb, zeeeeb...!

Pendekar Mabuk segera berkelit dengan lakukan lompatan cepat untuk pindah tempat Trak, trak...! Senjata tersebut kenai batu dinding gua. Kelelawar Setan masih menempel di langit-langit, ia ingin lakukan serangan serupa lagi, tetapi Suto Sinting segera kirimkan sentilan 'Jari Guntur'-nya yang bertenaga dalam cukup besar itu. Tuuuus!

Buuuhg...! Tuuuus...! Krraaak...!

"Aaaauh...!" jerit Kelelawar Setan sambil melayang jatuh karena mata kakinya yang kiri remuk dihantam tenaga dalam 'Jari Guntur' itu. Sedangkan dadanya pun terasa sesak karena terkena jurus 'Jari Guntur' yang pertama, ia melayang jatuh tak bisa menjaga keseimbangan badannya.

Bruuuk...!

"Aaaoow...!" ia memekik lagi karena kepalanya membentur batu runcing dan batu itu menancap di bagian pelipisnya. Crrusss...!

Suto Sinting hentikan sebentar serangannya karena ia melihat keadaan Menik semakin parah. Sekujur tubuhnya mulai tampak memerah bagaikan kepiting rebus. "Menik...! Menik, bertahanlah! Minum tuakku ini beberapa teguk saja. Minumlah...!"

Dengan bantuan Suto Sinting, gadis kecil itu meneguk tuak tersebut, ia tak tahu kalau tuak itu adalah tuak sakti yang mampu menawarkan racun dan mengobati luka apa pun, sehingga Pendekar Mabuk sering pula dijuluki orang sebagai Tabib Darah Tuak.

Kelelawar Setan berhasil mencabut batu runcing dari kepalanya. Walau dalam keadaan berlumur darah, ia masih nekat lakukan serangan kepada Suto Sinting. "Bangsat kau, Jahanam! Heeeeahh...!"

Suto Sinting cepat balikkan badan ketika Kelelawar Setan menyerang dengan melepaskan tenaga dalamnya bersinar kuning. Slaaap...! Sinar kuning itu keluar dari tengah telapak tangannya. Bumbung tuak yang baru saja selesai ditutup kembali itu segera berkelebat menghadang sinar kuning itu. Akibatnya, sinar kuning itu menghantam bumbung tuak dan berbalik ke arah pemiliknya dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat lagi. Wuuusss...! Zrruub...!

"Heeegh...!" Kelelawar Setan mendelik ketika sinar kuning yang berubah besar itu menghantam telak dadanya. Tubuh kurus berpakaian hitam itu berubah menjadi berasap kuning seperti asap belerang. Kulit kepalanya tampak bergerak-gerak, urat-uratnya ingin menjebol keluar dari balik kulit. Tubuh itu bergetar yang semakin lama semakin terguncang-guncang karena kerasnya getaran. Agaknya ia tahu bahaya yang akan melanda dirinya, maka serta-merta ia berusaha melarikan diri keluar dari gua tersebut.

"Hhgggrr... hhhgggeerr... hhhgggrr...!"

Suara yang mirip gorila itu semakin menjauh, pertanda Kelelawar Setan benar-benar meninggalkan tempat itu. Si gadis kecil yang sudah mulai sembuh segera bangkit, ia pandangi luka goresan di lengannya. Ternyata luka itu telah merapat kembali dan kulit tersebut akhirnya mulus seperti sediakala tanpa goresan apa pun. Menik pun merasakan tubuhnya menjadi lebih segar dari sebelumnya.

"Boleh juga ilmumu!" kata Menik sambil manggut-manggut dalam senyum kebanggaannya. "Kelelawar Setan akan mati sebelum tiba di Candi Bangkai. Jurusnya itu tadi kukenali sebagai jurus penghancur jaringan tubuh manusia, termasuk dapat memutuskan seluruh urat yang ada dalam tubuh."

"Agaknya kau banyak tahu tentang jurus-jurus orang Candi Bangkai."

"Karena cukup lama kami berselisih dengan mereka. Terutama sejak kakek dan nenek buyut kami masih hidup."

"O, jadi...," Suto Sinting mendekat dengan membuka tutup bumbung tuaknya. "Kalian bermusuhan dengan Barakoak sejak semasa leluhurmu masih hidup?"

"Benar! Barakoak ingin menumpas habis aliran silat keluarga Sabang Wirata."

"Siapa Sabang Wirata itu?"

"Eyang buyut kami!" jawab Menik dengan suara kecilnya yang bening.

Pendekar Mabuk manggut-manggut setelah mendapat penjelasan singkat itu. Ia merenung beberapa saat, kemudian terdengar suara Menik bicara lagi kepadanya.

"Sebaiknya kita keluar sekarang juga. Kita pindah tempat persembunyian?!"

"Pindah tempat persembunyian?!" gumam Suto. "Jadi kita di sini bersembunyi?!"

"Kita bersembunyi dari amukan si Badai Kutub."

"Badai Kutub?! Siapa si Badai Kutub itu, Menik?!"

"Orang kepercayaan si Raja Iblis itu! Biasanya kalau Badai Kutub sudah turun tangan, berarti Barakoak mulai dibakar kemarahan. Dan agaknya keluargakulah yang dijadikan sasaran kemarahan si Barakoak."

"Tapi... tapi dari mana kau tahu kalau si Barakoak sudah dibakar kemarahan? Dari mana kau tahu kalau si Badai Kutub sudah turun tangan?!" tanya Pendekar Mabuk dengan wajah penuh keheranan.

Gadis kecil yang cerdas itu tersenyum angkuh. "Ternyata aku lebih sakti darimu!" ujar si kecil Menik.

Suto Sinting hanya tersipu-sipu sambil garuk-garuk kepala. Ia pun membatin kata, "Barangkali Menik mempunyai ilmu teropong jiwa. Tapi anak sekecil dia apakah benar punya ilmu teropong jiwa? Padahal ilmu teropong jiwa hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mampu mengendalikan indera keenamnya. Atau... aku sedang ditipu oleh si mungil yang cerdas itu?! Nyatanya sebelum aku dan dia masuk ke gua ini, tak ada orang yang bernama Badai Kutub dan menampakkan kemarahannya?! Ah, kurasa si mungil tengil ini memang pandai membual!"

Pendekar Mabuk akhirnya tertawa sendiri ketika ia mengikuti saran Menik untuk keluar dari dalam gua tersebut.

* * *

EMPAT

ALANGKAH terkejutnya Pendekar Mabuk begitu tiba di mulut gua. Ia berhenti lama sekali di situ sebelum teruskan langkah keluar dari gua tersebut. Wajah tampannya kini mirip pemuda tolol yang hanya bisa terbengong-bengong tanpa bisa ucapkan sepatah kata pun. Sementara si kecil Menik tampak tenang dan tak kelihatan terheran-heran.

"Beginilah jika si Badai Kutub turun tangan," kata si kecil Menik setelah menarik napas. Kedua tangannya segera bersedekap di dada bagai ingin memeluk tubuhnya sendiri.

Pendekar Mabuk masih membisu seribu kata dengan mata tak mau berkedip. Tetapi ia sempat menggumam dalam hatinya, "Pantas Menik memaksaku masuk ke dalam gua ini!" Lalu tanpa sadar kepalanya manggut-manggut kecil. Kini mata itu pun berkedip dan mulut terkatup, ludah diteguk untuk basahi kerongkongannya yang kering karena terlalu lama melongo. Pendekar Mabuk benar-benar tak pernah menduga sedikit pun bahwa keadaan di luar gua akan berubah menjadi padang salju.

Rumput tak terlihat lagi karena ketebalan salju yang melapisi tanah. Pepohonan yang semula berdaun hijau kini berubah menjadi putih. Bebatuan yang hitam pun berselimut salju tebal dan putih bagai gumpalan kapas. Hutan itu berubah menjadi hutan salju.

"Pantas sebelum aku dibawa masuk kemari, kurasakan hembusan angin yang menderu itu membawa udara dingin tak sewajarnya," pikir Suto Sinting saat memandangi alam sekelilingnya yang berubah menjadi serba putih itu. Ia merasa berada di wilayah kutub utara, walau sebenarnya ia belum pernah pergi ke sana. Tapi menurut cerita beberapa orang, beginilah keadaan di kutub utara; serba putih dan alamnya dilapisi busa-busa salju. Bahkan saat itu, mulut gua pun sebagian dilapisi oleh busa salju yang masih menyebarkan hawa dingin es.

"Rupanya kau sudah mengenali tanda-tanda kemarahan si Badai Kutub itu, sehingga kau segera membawaku masuk ke gua pada saat cahaya matahari masih terang benderang."

"Rumah kami sering diserang salju seperti ini jika Badai Kutub hendak datang menemui ayahku," kata Menik dengan sikap berdiri seperti orang dewasa. "Jika angin mulai terasa dingin pada saat matahari bersinar terang, itu berarti si Badai Kutub mulai lancarkan serangannya, ia ingin membuat lawannya kedinginan, kemudian ia akan menyerang dengan mudah. Dalam keadaan orang kedinginan dan menggigil, gerakan orang itu akan lamban dan kaku. Kesempatan seperti itulah yang dipakai oleh Badai Kutub untuk menghajar lawannya."

Sebelum mulut Suto Sinting bergerak ingin ucapkan kata, tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari tempat yang agak jauh. Suara itu adalah suara seorang wanita yang masih melekat dalam ingatan si Pendekar Mabuk.

"Tolooong...! Tolooong... long, long, long, long...!"

"Kejora...?!" Pendekar Mabuk tak sengaja menyebutkan nama itu bersamaan dengan Menik. Wajah mereka menjadi tegang secara serentak.

"Tolooong... long, long, long...!"

"Suaranya ada di sebelah timur!" kata Pendekar Mabuk.

"Bukan. Suara aslinya ada di barat," sanggah si kecil Menik yang dianggap Suto sok tahu.

"Ah, telingamu agak rusak, Menik. Suara itu ada di sebelah timur!"

"Tolooong... long, long, long...!"

Menik berlari lebih dulu dengan gerakan lincahnya, bersalto dan plik-plak beberapa kali tanpa pedulikan kaki dan tangan sering terendam busa salju. Pendekar Mabuk berseru memanggil gadis kecil itu.

"Menik, dia ada di sebelah timur!"

"Yang kau dengar itu pantulan gemanya! Kejora ada di sebelah barat!" lalu gadis itu teruskan langkahnya menuju ke barat.

Suto Sinting termenung sejenak. "Benar juga pendapatnya! Pantulan gema membuat Kejora seperti ada di timur. Hmmm... kalau begitu aku harus segera menyusul Menik!"

Gadis kecil yang lincah itu tiba-tiba lenyap dari penglihatan Suto Sinting. Pada saat Menik melompat ke balik semak berlapis salju, Suto masih bisa melihat gerakan itu. Namun ketika disusul, ternyata Menik tidak kelihatan lagi. Suto Sinting kehilangan arah, tak tahu ke mana arah yang diambil oleh Menik. Sementara itu, seruan minta tolong dari mulut seorang wanita terdengar kembali tanpa gema.

"Tolooong...!"

"Suara itu sangat dekat?!" Pendekar Mabuk berpaling ke arah kanan. Kemudian ia bergegas mendekati serumpun ilalang yang sebagian besar sudah dilapisi oleh busa-busa salju. Pada saat itu seekor kelinci meloncat-loncat karena suara kaki Suto menginjak salju yang dalamnya hampir sebetis. Kelinci itu lari ketakutan, namun akhirnya terperosok jatuh ke lubang yang tertutup busa-busa salju.

Tolooong...!"

Pendekar Mabuk tak jadi menghiraukan kelinci itu, karena suara Kejora semakin jelas ada di depannya. Maka ia pun berkelebat menuju ke tempat datangnya suara tersebut dengan tubuh menggigil kedinginan. Angin pun datang, berhembus agak kencang menerbangkan busa-busa salju. Tubuh Suto Sinting mulai dihinggapi busa-busa salju, ia sempat menduga akan datang kekuatan si Badai Kutub untuk menyergapnya, karena itu ia mempercepat langkahnya hingga tiba di tempat Kejora.

"Kejoraaa...?!" seru Pendekar Mabuk sambil memandang ke bawah. Ternyata Kejora masuk ke dalam sebuah sumur yang sudah dipenuhi oleh busa salju. Sumur itu agaknya sumur kering yang sudah tidak bermata air lagi. Tapi karena banyak salju yang masuk ke dalamnya maka tempat itu menjadi basah dan seperti berair.

"Tolonglah akuuu...!" seru Kejora. "Aku terperosok dan tak tahu bagaimana cara keluarnya!" gadis itu bicara dengan gemetar karena tubuhnya menggigil. Tubuh itu bagaikan dibungkus kapas, karena busa-busa salju menghujaninya, hingga rambutnya yang lemas dan lurus itu pun menjadi menggumpal karena dibungkus salju.

"Bertahanlah sebentar, aku akan mencari akar untuk menarikmu!"

Pendekar Mabuk segera mendapatkan akar gantung yang menyerupai tali. Ia memangkasnya dengan menyentakkan akar itu hingga putus. Akar-akar tersebut disambung saling mengait hingga menjadi panjang. Kemudian akar itu dijulurkan ke dalam sumur tersebut.

"Pegang erat-erat, aku akan menarikmu, Kejora!"

Angin masih berhembus menerbangkan busa-busa salju. Rambut dan tubuh Suto Sinting mulai banyak dihinggapi busa-busa salju, ia menggigil saat menarik tubuh Kejora dari dalam sumur. Tulang-tulangnya terasa ngilu karena kedinginan yang amat mencekam dan nyaris membekukan darah itu. Namun akhirnya gadis itu berhasil diselamatkan dan naik ke permukaan sumur.

"Kejora... kau tak apa-apa?!" Suto Sinting segera membantu Kejora untuk berdiri.

Napas gadis itu terengah-engah. "Aku lupa kalau di sini banyak lubang bekas penggalian harta karun yang tak pernah ada itu. Aku terperosok ke dalam lubang itu sebelum datang angin salju. Mulanya aku tak berani berteriak meminta tolong siapa pun, karena takut didengar anak buah Barakoak yang masih tersebar di mana-mana ingin menangkapku. Tapi lama-lama aku tak kuat menahan dingin."

Untuk memberikan kehangatan pada tubuh yang menggigil dibungkus salju 1tu, Pendekar Mabuk tak segan-segan melepaskan bajunya dan diselimutkan ke tubuh Kejora dari belakang, ia sendiri menjadi menggigil hingga giginya gemeletak.

"Sial! Dinginnya kelewat batas! Apakah aku harus meminta kembali bajuku? Ah, tak enak hati kalau sampai begitu. Malu pada Kejora. Sebaiknya kutenggak tuak beberapa teguk sebagai penghangat tubuhku."

Pendekar Mabuk segera membawa Kejora ke gua semula. Untuk mempercepat langkah ia harus menggendong Kejora dan membawanya lari dengan menggunakan 'Gerak Siluman'-nya. Dalam beberapa kejap saja ia sudah tiba di gua itu dan membawa masuk Kejora sampai ke tempat yang mirip ruangan dan masih diterangi nyala api obor.

"Hei, bagaimana mungkin kau bisa membawaku kemari? Bukankah gua ini adalah gua tempat kebiasaan adikku bermain?!"

"Apakah adikmu bernama Menik?!"

"Ya, dia bernama Menik. Apakah kau pernah jumpa dengannya?"

Suto Sinting segera menceritakan pertemuannya dengan Menik dan pertarungannya dengan Kelelawar Setan di tempat itu. "Ketika kami mendengar suaramu, kami segera mencari tempat di mana kau berada. Tapi Menik hilang dari pandanganku. Aku tak bisa temukan dia. Mungkin karena waktu itu aku segera mendengar seruanmu, jadi aku tak begitu punya waktu banyak untuk mencarinya."

"Ooh... Menik? Di mana kau sekarang, Adikku?!" ucap Kejora dengan nada bicara yang lemah dan wajah sendu hampir menangis.

Suto Sinting menjadi bingung jika gadis itu sampai menangis. Karenanya ia segera berkata kepada Kejora. "Tetaplah di sini, aku akan keluar mencari Menik. Jangan ke mana-mana sebelum aku datang kembali."

"Pasti dia terperosok di salah satu lubang sepertiku tadi."

"Kalau begitu aku akan mencarinya di sekitar tempat tadi! Tenanglah dan jangan cemas, Menik pasti berhasil kutemukan!" Suto Sinting berusaha meyakinkan kemampuannya agar Kejora tidak begitu sedih.

Baru saja Suto Sinting tiba di luar gua, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ledakan yang membuat beberapa busa salju berguguran dari ketinggiannya.

Blegaaar...!

"Ada pertarungan di sebelah timur?!" Ucapnya menegang dalam hati. Pendekar Mabuk bergegas ke timur karena ia gemar mengintip pertarungan. Tujuannya mencari Menik sempat dilupakan, ia lebih tertarik untuk melihat dulu siapa yang bertarung di sebelah timur itu. Langkah Suto Sinting terhenti sejenak karena ia menemukan sesosok mayat tergeletak dengan kepala terbenam di tumpukan salju. Mayat itu diperhatikan sesaat, ternyata si Kelelawar Setan telah tumbang tak bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, di antaranya; urat-urat dalam tubuhnya menghambur keluar dalam keadaan putus-putus, termasuk usus dan bagian dalam tubuh lainnya.

Kematian yang mengerikan itu pasti akibat terkena jurusnya sendiri yang bersinar kuning itu. Suto Sinting sempat bergidik menyaksikan keadaan mayat Kelelawar Setan yang mengerikan sekaligus menjijikkan itu. Maka mayat itu pun segera ditinggalkan, hasratnya untuk menyaksikan pertarungan kian menggebu-gebu.

Ternyata di sana terjadi pertarungan antara seorang lelaki berjubah abu-abu dengan celananya yang juga warna abu-abu. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh tahun lebih sedikit, tak sampai enam puluh tahun. Rambutnya masih hitam, namun tipis dan panjangnya sebatas punggung. Rambut itu tidak diikat sehingga meriap-riap tersapu angin yang masih membawa serpihan salju. Tubuh lelaki itu kurus dan tampangnya berkesan bengis. Mata cekung, kumis melengkung, dagu agak runcing dan ada bekas codet di rahang kanannya.

Lelaki itu bertarung melawan seorang wanita cantik berjubah tipis warna ungu, penutup dadanya yang montok itu warna merah dengan bintik-bintik putih bening, pakaian bawahnya berupa kain merah yang mempunyai belahan empat bagian. Bergerak sedikit saja belahan itu tersingkap dan menampakkan kulit pahanya yang putih mulus dan sekal. Perempuan yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu mempunyai pedang di punggungnya dengan sarung pedang dari logam kuning seperti emas berukir, ia memakai kalung rantai putih dengan bandul batuan warna hijau muda menyerupai, batuan giok.

"Kau tidak akan bisa lolos lagi, Dewi Hening!" geram lelaki itu dengan mata cekungnya memandang angker.

Pendekar Mabuk berkerut dahi, "Ooo... rupanya gadis cantik itu bernama Dewi Hening? Apakah dia kakak sulung Menik?! Hmmm... wajahnya memang cantik dan bentuk badannya menggiurkan, tapi ia tidak mempunyai kemiripan sama sekali dengan Dyah Sariningrum! Ngawur saja si kecil Menik itu. Eh, tapi... dari mana dia tahu Dyah Sariningrum? Apakah keluarganya mengenal calon istriku itu? Oh, aku lupa menanyakannya pada Menik."

Kecamuk hati Suto Sinting terhenti karena tiba-tiba lelaki berjubah abu-abu itu lepaskan pukulan anehnya berupa sinar berbentuk bintang-bintang kecil yang berhamburan menyerang Dewi Hening. Sinar berbentuk bintang-bintang itu berwarna biru, tak jelas kehebatan sinar itu, karena belum-belum Dewi Hening telah melawannya dengan sinar kuning berbintik-bintik bagaikan serbuk emas yang keluar dari telapak tangannya juga.

Zrrruubb...! Weerrsss...!

Kedua sinar itu bertemu di pertengahan jarak, saling bergulung-gulung menjadi suatu gumpalan yang akhirnya meledak di angkasa dengan keluarkan asap hitam membumbung tinggi ke langit.

Blegaaar...! Hentakan gelombang ledak itu membuat Dewi Hening terpental ke belakang dan jatuh dalam keadaan bersimpuh. Sementara itu, lelaki berjubah abu-abu hanya terpelanting beberapa langkah, dan segera berpegangan pada pohon hingga tak sampai jatuh ketanah.

"Heeeaaat...!" orang berjubah abu-abu itu melayang bagaikan terbang. Kedua tangannya terjulur ke depan. Masing-masing tangan mempunyai tiga jari yang mengeras lurus. Dari tiga jari itu keluar sinar-sinar merah tanpa putus. Enam sinar merah menghantam tubuh Dewi Hening secara bersamaan.

Zrrraab...! Weeess...!

Zlaaaap...! Sekelebat bayangan melintas di depan Dewi Hening. Enam sinar merah lurus tertahan oleh sebuah benda yang disilangkan mendatar di permukaan dada. Zeeebbss...!

Enam sinar itu membalik ke arah semula dengan lebih besar bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Wooooss...! Orang berjubah abu-abu itu baru saja mau turun dari gerakan melayangnya, ia terperanjat melihat sinarnya kembali ke arahnya dalam keadaan lebih besar, ia tak dapat menghindari lagi, akhirnya keenam sinar itu menghantamnya tanpa bisa ditangkis juga.

Syuuurrb...! Jegaaarrr...!

Ledakan dahsyat mengguncangkan bumi, membuat salju-salju berguguran. Asap hitam membubung tinggi bersama serpihan tubuh lelaki berjubah abu-abu yang hancur karena ilmunya sendiri yang dikembalikan itu. Dan bayangan yang menghadang di depan Dewi Hening itu tak lain adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Benda yang dihantam keenam sinar merah itu tak lain adalah bumbung tuak sakti.

Sisa udara dingin masih terasa menggigilkan persendian. Busa-busa salju sudah tidak turun lagi. Namun cuaca masih redup, matahari bagaikan dibungkus oleh kabut yang sulit diterobos oleh sinar panasnya. Pendekar Mabuk bergidik satu kali saat berhadapan dengan wanita cantik berambut sanggul kecil sisanya meriap dengan indah itu. Ia menjadi salah tingkah saat berhadap-hadapan dengan wanita itu, karena keadaannya masih bertelanjang dada.

"Sial! Aku tadi lupa meminta bajuku yang dipakai selimutan si Kejora. Terlalu terburu-buru sampai akhirnya aku keluar dari gua tanpa baju lagi. Iiih... malu juga jadinya, dia memandangi dadaku dengan sorot pandangan mata yang angkuh-angkuh nakal," ucap Suto Sinting dalam hatinya.

"Kaukah yang bernama Dewi Hening?!" ujar Suto Sinting menutupi rasa malu dan kikuknya.

Gadis berjubah ungu itu hanya anggukkan kepala. Senyumnya hampir tak terlihat karena begitu tipis namun berkesan anggun.

"Aku sahabat adikmu," sambung Suto Sinting karena Dewi Hening tak keluarkan kata sepatah pun. "Namaku... oh, ya... adikmu belum tahu kalau namaku Suto Sinting. Baru kepadamu aku memperkenalkan namaku."

Dewi Hening hanya memandang dengan dahi sedikit berkerut. Ada kesan bingung di wajah cantik berhidung kecil tapi mancung itu.

"Kau kakak sulung Menik?"

Anggukan Dewi Hening berulang-ulang dan tampak memburu. Wajahnya sedikit lebih ceria dari sebelumnya. Tapi ia tak mau membuka mulut sedikit pun, ia hanya pamerkan bibirnya yang mungil namun sepertinya terasa legit untuk dinikmati itu.

"Aku juga bersahabat dengan adikmu yang bernama Kejora. Dia adikmu juga, bukan?"

Kepala si cantik itu manggut-manggut kembali. Suto Sinting diam memandang menunggu jawaban, namun tak satu kata pun terlontar dari mulut Dewi Hening. Pemuda tampan berbadan kekar dan gagah itu akhirnya membatin,

"Jangan-jangan dia bisu? Oh, sayang sekali kalau dia benar-benar bisu. Cantik-cantik kok tak bisa bersuara, kasihan sekali. Tapi beruntung kalau punya istri dia; bagaimanapun tingkah suami tak akan kena omelan."

Tiba-tiba gadis berkalung batuan hijau sebesar petai sayur itu menggerak-gerakkan tangannya, memberi isyarat agar Suto Sinting mendekatinya. Dengan rasa heran Suto Sinting akhirnya menuruti keinginan gadis itu. Ia mendekat, dan si gadis juga mendekat ke arah telinga Suto. Lalu terdengar suara bernada bisik ditelinga Pendekar Mabuk.

"Sekarang di mana mereka?"

Suto Sinting menarik kepala dan memandang sejenak. "Maksudmu, Menik dan Kejora?!"

Dewi Hening anggukkan kepala satu kali, menunggu jawaban dari Suto Sinting yang kala itu sedang membatin, "Bisa ngomong kok?! Kenapa dia tak mau bersuara dan hanya mau berbisik saja? Tapi, ooh... bisikannya itu sungguh menggoda hatiku, terasa memancing hasratku untuk saling bermesraan. Aduh, jangan-jangan aku tak bisa kendalikan godaan suara yang membisik itu?"

Kecamuk batin Pendekar Mabuk segera dihentikan setelah ia melihat Dewi Hening menghempaskan napas dengan nada kesal. Rupanya ia menunggu jawaban dengan tak sabar. Maka Suto Sinting pun segera berkata kepadanya. "Kejora ada di dalam gua tak jauh dari sini. Sedangkan Menik... Menik entah ke mana. Saat aku menolong Kejora, aku kehilangan Menik. Dugaan Kejora, Menik terperosok di lubang-lubang mirip sumur bekas penggalian harta karun, di sebelah barat sana."

Dewi Hening memberi isyarat lagi agar Suto Sinting mendekat. Setelah pemuda tampan itu mendekat, si cantik itu berbisik di telinga Suto Sinting. "Aku akan pergi mencari Menik. Katakan kepada Kejora agar jangan ke mana-mana supaya kami bisa berkumpul. Aku tahu gua yang kau maksud, pasti yang biasa dipakai bermain si bungsu; Menik."

"Ya, memang di sana Kejora berada. Tapi tentang Menik, biarlah aku yang mencarinya. Kau saja yang langsung temui Kejora di dalam gua."

Dewi Hening memberi isyarat lagi, Suto Sinting mendekatkan telinga. Lalu perempuan muda itu bicara dalam bisikan, "Tapi kau yakin bahwa Menik tidak tertangkap orang-orangnya Barakoak?"

"Aku hanya berharap hal itu jangan terjadi pada diri Menik," jawab Suto Sinting setelah menarik diri.

Dewi Hening hembuskan napas pelan, kemudian segera berkelebat tinggalkan tempat. Suto Sinting agak bingung, tapi akhirnya mengikuti langkah Dewi Hening yang berlari dengan langkah lebar-lebar bagaikan rusa betina.

"Siapa lawanmu itu tadi, Dewi Hening? Apakah ia termasuk orangnya Barakoak?!"

Sambil tetap melangkah, Dewi Hening anggukkan kepala. Suto Sinting mengimbangi kecepatan langkah kaki perempuan itu. "Kudengar cerita dari Menik bahwa kau sedang menghubungi seorang sahabat untuk meminta bantuan guna melawan orang-orang Candi Bangkai. Mana sahabatmu itu?"

Langkah kaki dihentikan sejenak. Dewi Hening segera dekatkan diri dan berbisik di telinga Suto Sinting. "Dia sedang tidak ada di tempat."

"O, jadi usahamu gagal?"

"Kami harus bertahan untuk sementara waktu, sampai menunggu sahabatku itu pulang dari kepergiannya," jawabnya seperti orang berkasak-kusuk membicarakan kejelekan tetangga.

Suto Sinting tersenyum geli sendiri membayangkan hal itu. Sebelum mereka teruskan langkah, Dewi Hening berbisik kembali ke telinga Suto Sinting.

"Apakah kau Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu?!"

"Tak salah dugaanmu, akulah orangnya!" jawab Suto Sinting sedikit bangga karena namanya dikenal secara lengkap oleh gadis secantik Dewi Hening.

Bisikan itu datang lagi kepada Suto, "Kalau begitu aku meminta bantuanmu untuk menghadapi orang-orang Candi Bangkai. Aku akan memberikan sebuah hadiah untukmu sebagai upah bantuanmu. Apakah kau setuju?"

Pendekar Mabuk menarik kepala sedikit, memandangi Dewi Hening dalam senyum keramahan yang menawan, kemudian menjawab pertanyaan tersebut. "Tanpa hadiah pun akan kulakukan hal itu. Karena tugasku adalah melindungi kaum yang lemah, menegakkan kebenaran dan melawan kejahatan. Sebaiknya kita jangan bicara tentang upah atau hadiah."

"Terima kasih atas kesediaanmu," bisiknya pelan, lalu ia memandang dengan seulas senyum yang sedikit lebih lebar dari senyum tipisnya yang pertama tadi. Sejenak kemudian ia mendekati telinga Suto Sinting dan berbisik kembali, "Hati-hatilah, Barakoak sedang menyebar orang-orangnya untuk menangkap kami. Sudah hampir dua bulan usaha penangkapan itu mereka lakukan, namun belum satu pun dari kami yang berhasil ditangkap. Orang yang memihak kami akan menjadi musuh utama bagi Barakoak. Jadi bersiaplah juga menjadi musuh Barakoak; si Raja Iblis itu."

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum berkesan meremehkan kekuatan Barakoak. Namun akhirnya ia tanyakan juga hal itu kepada Dewi Hening. "Apakah kekuatan Barakoak cukup besar?!"

Dewi Hening anggukkan kepala. Ia berbisik kembali di telinga Suto Sinting, "Anak buahnya cukup banyak. Ilmunya pun sangat tinggi."

"Apa alasan Barakoak memusuhi keluargamu, Dewi Hening?"

Pertanyaan itu baru mau dijawab, tapi terpaksa dibatalkan karena mereka segera mendengar suara seruan Menik di tempat jauh. Suara itu menggema ke mana-mana.

"Lepaskan akuuu...! Lepaskaaaan...!"

* * *

LIMA

SEORANG lelaki agak gemuk memanggul tubuh Menik yang sudah tertotok jalan darahnya. Dua orang lelaki lainnya mengikuti dari belakang, satu orang lelaki kurus ada di depan sendiri bagai pemandu jalan. Mereka tak sadar bahwa di jalan yang akan mereka lewati, dua orang sedang menghadang di balik pohon besar yang masih terbungkus busa-busa salju. Dua orang itu tak lain adalah Suto Sinting dan Dewi Hening. Setelah tuak diteguk dua kali, Suto Sinting menerima bisikan dari perempuan cantik yang tak pernah mau bicara keras itu,

"Mereka telah menangkap Menik."

"Apa mau mereka menangkap anak seusia Menik?"

"Mereka akan membantai habis keluargaku."

"Mengapa mereka ingin membantai habis keluargamu?!"

Bisikan dari Dewi Hening terdengar bersama hembusan napas yang menggelitik di telinga dan menciptakan debaran indah di hati Pendekar Mabuk. "Eyang buyutku dan eyang buyutnya Barakoak bermusuhan; saling berebut kekuasaan. Ceritanya cukup panjang, nanti akan kujelaskan setelah Menik kita selamatkan."

"Kalau begitu serahkan mereka berempat padaku. Jangan keluar dari persembunyianmu."

"Tetapi si Badai Kutub ada bersama mereka."

"Badai Kutub?! Oh, ya... yang mana yang bernama Badai Kutub?"

"Orang kurus yang berjalan paling depan itu!"

Mata Suto Sinting menatap orang kurus berambut panjang warna putih perak berjubah biru tua dengan celananya yang berwarna hitam. Orang itu bertubuh jangkung, dan mempunyai gerakan yang ringan. Langkahnya hampir tak terlihat menyentuh tanah, seperti berjalan di permukaan lapisan salju yang menutupi tanah.

Sepuluh langkah sebelum mereka mencapai tempat penghadangan Suto Sinting dan Dewi Hening, orang bertongkat kepala babi itu telah lenyap bagai ditelan bumi. Tetapi ketiga orang lainnya bagaikan tak peduli dengan lenyapnya si Badai Kutub. Mereka tetap berlari membawa Menik. Sedangkan Suto Sinting dan Dewi Hening terperanjat dan menjadi bingung melihat lenyapnya si Badai Kutub.

"Ke mana perginya orang itu?!" tanya Suto Sinting dengan pelan, seakan ditujukan pada diri sendiri.

Dewi Hening ingin berbisik memberi jawaban, tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang di belakang mereka. "Aku di sini!"

Semakin terperanjat Suto Sinting dan Dewi Hening begitu menengok ke belakang, ternyata Badai Kutub sudah berdiri di sana dalam jarak empat langkah. Matanya yang cekung memandang dengan dingin, melebihi dinginnya busa-busa salju di sekitar tempat itu.

Rambutnya yang putih perak sepanjang punggung tanpa ikat kepala apa pun meriap-riap dihembus angin, sebagian rambut menyilang di wajahnya yang keras dan bertulang pipi menonjol itu. Pusat pandangan matanya tertuju pada Dewi Hening, seakan sedang mempengaruhi wanita cantik itu dengan kekuatan pada matanya. Sebelum Suto Sinting melangkah maju, Badai Kutub perdengarkan suaranya yang ditujukan kepada Dewi Hening.

"Kalian tinggal bertiga. Sebentar lagi kalian hanya berdua jika si kecil itu sudah dimusnahkan oleh Barakoak. Hanya ada dua pilihan yang harus kau ambil salah satu; musnah semuanya atau serahkan Panji-panji Agung kepada kami!"

Kemudian mata yang memandang dingin sekali itu beralih kepada Suto Sinting. "Jika kau ikut campur, kau akan mati bersama gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Dewi Hening tarik napas dalam-dalam. Suto Sinting menahan napas karena gurunya ikut diancam yang sama artinya menjadi bahan hinaan. Namun sebelum satu anggota tubuh mereka bergerak, Badai Kutub lenyap secara tiba-tiba. Laaap...! Tahu-tahu ia muncul di belakang mereka dan perdengarkan suara datarnya, "Keputusanmu hanya sampai batas esok siang!"

Dewi Hening dan Suto Sinting berbalik arah dengan hati terperanjat. Ternyata si Badai Kutub sudah berada dalam jarak lima langkah dari tempat mereka berdiri.

"Jika Panji-panji Agung tak kau serahkan, gadis kecil itu akan mati dan kalian pun segera menyusul hancur!" tambah si Badai Kutub.

Laaap...! Ia menghilang lagi dalam satu gerakan yang amat cepat, menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk. Tahu-tahu ia sudah ada di belakang mereka lagi. Kemunculan itu tak timbulkan suara apa pun, sehingga ketika mereka mencari dengan menengok ke belakang, mereka temukan orang itu sudah ada dalam jarak empat langkah. Namun pada saat itu tangan kirinya telah berkelebat seperti melemparkan sesuatu kepada Dewi Hening. Claaaap...!

Laaap...! Ia menghilang kembali sebelum sinar hijau bening yang dilemparkan itu akhirnya menghantam tubuh Dewi Hening, Rupanya kali ini Badai Kutub pindah di atas pohon. Berdiri dengan tegak di salah satu dahan dan memandang ke arah Suto Sinting. Sedangkan Suto Sinting dibuat bingung karena Dewi Hening mengejangkan tubuh dengan mata terbeliak. Pori-pori kulitnya mulai kepulkan asap tipis. Dari atas pohon segera terdengar suara Badai Kutub yang sengaja bicara kepada Pendekar Mabuk.

"Racun 'Sukma Beku' hanya bisa ditahan sampai malam tiba. Esok pagi jika Panji-panji Agung tidak diserahkan kepada kami, wanita itu akan kehilangan nyawa pada siang harinya. Jangan coba-coba menentangku, karena penawar racun 'Sukma Beku' ada padaku dan hanya aku yang mempunyai penawarnya."

Laaap...! Badai Kutub lenyap kembali setelah bicara datar bagai orang tak berperasaan sama sekali. Pendekar Mabuk tak sempat memburunya karena tubuh Dewi Hening segera tumbang berdebam ke tanah bersalju. Buukh...!

Orang-orang yang membawa Menik sudah tidak kelihatan ke mana arah kepergian mereka. Suto Sinting merasa sia-sia mengejar orang-orang itu, karena ia tak mau buang-buang waktu menghadapi Dewi Hening yang terkena racun 'Sukma Beku' itu. Tubuh Dewi Hening bagaikan batu kerasnya. Tak ada bagian tubuh yang mampu ditekuk sedikit pun. Sehelai rambutnya pun tak mampu dilipat karena kakunya. Tubuh yang membatu itu benar-benar tidak mempunyai bagian daging yang empuk, semuanya serba keras dan dingin sekali. Asap yang mengepul dari pori-pori kulit itu ternyata adalah uap es yang membentuk busa salju dan melapisi tubuh Dewi Hening.

"Menik tak akan mati, karena ia dijadikan sandera oleh mereka sampai esok siang. Sebaiknya kuselamatkan dulu kakak sulungnya ini, baru kususun rencana untuk membebaskan Menik," pikir Suto Sinting, lalu ia mengangkat tubuh yang keras dan dingin itu dan membawanya pergi ke gua.

Kejora yang menunggu di dalam gua terkejut melihat Suto Sinting datang membawa tubuh kakaknya yang tak bisa bergerak sedikit pun itu. Kejora menampakkan kecemasan dan kebodohannya dengan wajah tegang dan gerakan menjadi panik. Pendekar Mabuk meletakkan tubuh itu di atas tumpukan jerami.

"Hening...! Hening, kenapa kau jadi seperti batu es?! Hening, bicaralah padaku!" Kejora mengguncang- guncang tubuh kakaknya.

"Hening tak bisa bicara karena ia terkena racun 'Sukma Beku' dari si Badai Kutub."

"Racun 'Sukma Beku' itu racun apa?"

"Racun berbahaya," jawab Pendekar Mabuk sambil berpikir bagaimana cara menyembuhkan Dewi Hening.

"Racun berbahaya itu bisa membuat kakakku bagaimana?"

"Ya, begini! Kau lihat sendiri bagaimana keadaan kakakmu sekarang."

"Beku, keras seperti batu, badannya dingin dan berbusa salju."

"Kalau sudah tahu jangan tanya lagi," kata Suto Sinting agak jengkel.

Tapi gadis berwajah lugu dan polos itu justru ajukan tanya kembali sambil memandang ke arah Suto Sinting, penuh dengan kesungguhan dari rasa ingin tahunya. "Mengapa racun itu bisa bikin tubuh Dewi Hening jadi keras begini?"

"Mana aku tahu?! Pemilik racunnya bukan aku!"

Kejora manggut-manggut kecil, suara gumamnya pelan sekali. Pandangan matanya tertuju pada jasad sang kakak yang tak bergerak-gerak itu. Beberapa saat kemudian ia bertanya lagi kepada Suto Sinting. "Mengapa kau temukah kakakku, sedangkan yang kau cari adalah adikku?"

Pendekar Mabuk menarik napas mendengar pertanyaan lugu itu. Memang terasa jengkel dan menyebalkan, tapi keluguan Kejora memaksanya untuk menjawab dengan sabar, ia pun segera menceritakan pertemuannya dengan Dewi Hening dan nasib Menik yang telah tertangkap oleh pihak Candi Bangkai.

"Mengapa Menik mau tertangkap?"

"Siapa yang mau?!" sergah Suto Sinting. "Kalau dia tahu mau ditangkap dia tak akan mau. Kalau dia bisa loloskan diri dia akan loloskan diri. Pertanyaanmu kok aneh-aneh?!"

Kejora diam dan pandangi jasad kakaknya dengan wajah sedih yang berkesan polos. Pendekar Mabuk sempat membatin, "Gadis yang satu ini ternyata lebih bodoh dari adiknya; si Menik itu. Tapi agaknya dia membutuhkan orang yang sabar untuk menjelaskan apa pun yang ingin diketahuinya. Hmmm... kasihan juga keadaan otak Kejora. Cantik wajahnya kalau bebal otaknya bisa membuatnya terhina di mata lelaki."

Kejora memandang Suto Sinting yang sudah mengenakan bajunya kembali, "Kapan Menik dibebaskan? Atau... atau Menik akan dibunuh mereka?"

"Menik tidak akan dibunuh oleh mereka jika pihakmu bisa menyerahkah panji-panji Agung yang menjadi tuntutan mereka.!"

"Haaah...!" Kejora mendesah jengkel. "Dari dulu yang dituntut Panji-panji Agung terus. Mengapa mereka tidak menuntut minta beras atau jagung saja?"

Gerutuan itu sempat membuat Suto Sinting tersenyum kecil. Pandangan mata Suto Sintjng sempat tertuju pada sebilah pisau di pinggang Kejora. Pisau itu panjangnya tiga jengkal dengan sarung dan gagangnya terbuat dari perak ukir. Di ujung gagangnya ada batu berwarna merah sebesar biji salak, indah sekali pisau itu. Dalam hati si murid Gila Tuak bertanya-tanya,

"Itukah yang dimaksud Panji-panji Agung?! Karena tampaknya hanya pisau atau pedang Dewi Hening itu yang layak menjadi barang incaran Barakoak."

Kejora ajukan tanya kembali, "Kalau kita tidak bisa serahkan Panji-panji Agung, lantas sebagai gantinya kita harus serahkan apa pada mereka?"

"Nyawa," jawab Pendekar Mabuk setelah itu menarik napas dalam-dalam.

"Nyawa siapa yang kita serahkan? Nyawanya domba atau nyawanya ayam? Berapa ekor ayam yang mereka minta?"

Dengan menahan kesabaran Suto Sinting menjawab, "Kalau pihakmu tak bisa menyerahkan Panji-panji Agung, maka nyawamu, nyawa kakakmu dan nyawa adikmu itulah yang menjadi penggantinya."

"Aku tidak mau," ujarnya dengan cemberut manja. "Nyawaku hanya satu, kalau kuserahkan pada mereka, nanti aku bisa mati."

"Ya, pasti mati!" kata Suto Sinting bernada jengkel, namun dalam hati ia segera tertawa geli menyadari kebodohan Kejora yang polos itu.

Kejora merenung dan bicara sendiri, "Barakoak memang serakah, sudah punya nyawa masih menginginkan nyawa orang lain. Apakah aku harus menyerahkan nyawaku supaya Menik tetap hidup?"

Pendekar Mabuk tersenyum geli mendengar keluhan gadis kecil lugu itu. Pikirannya segera kembali pada keadaan Dewi Hening, ia belum tahu bagaimana harus menolong perempuan cantik itu. Dalam keadaan kaku, mulut Dewi Hening tak bisa dibuka dengan paksa. Berarti tak ada tuak yang bisa dimasukkan ke dalam mulut Dewi Hening. Padahal jika tuaknya bisa ditelan Dewi Hening, maka pengaruh racun 'Sukma Beku' akan sirna dan keadaan Dewi Hening akan sehat kembali.

"Sama saja membuka mulut arca, tak akan mungkin bisa dilakukan!" pikir Suto Sinting setelah melakukan percobaan membuka mulut Dewi Hening yang ternyata memang tidak bisa dilakukan itu. Sementara busa-busa salju masih terus bersumbulan dan membungkus kulit tubuh Dewi Hening.

Sambil berpikir mencari jalan keluar untuk menyelamatkan jiwa Dewi Hening, Suto Sinting sempat bertanya kepada Kejora, si gadis lugu itu. "Apakah kalian menyimpan Panji-panji Agung?"

"Aku tidak tahu," jawab Kejora. "Menurut cerita ibuku, keluarga kami memang mempunyai Panji-panji Agung."

"Ceritanya bagaimana?" tanggap Suto Sinting dengan rasa ingin tahu.

"Dulu, eyang buyut kami mempunyai Panji-panji Agung yang disebut juga Panji-panji Dewa, atau ada yang menyebutnya Panji-panji Mayat. Karena jika Panji-panji itu dibawa melewati kuburan, maka orang-orang yang telah mati itu akan bangkit lagi terkena kekuatan gaib dari panji-panji tersebut."

Dahi si tampan Suto berkerut sebentar, mulutnya menggumamkan kata lirih, "Sepertinya aku pernah mendengar nama Panji-panji Mayat. Kapan dan di mana aku mendengarnya?!"

Kejora teruskan penjelasan yang berupa rangkaian cerita dalam penuturan apa adanya. Pendekar Mabuk segera menyimak kembali penuturan itu. "Menurut cerita Nenek, ibu dari ayahku, bahwa Eyang Kurupati selalu bentrok dengan Eyang Sabang Wirata memperebutkan Panji-panji Agung..."

"Eyang Kurupati itu siapa?" potong Suto Sinting.

"Eyang Kurupati itu leluhurnya Barakoak, saudara tiri dari Eyang Sabang Wirata, leluhur kami," jawab Kejora dengan wajah lugu tanpa rasa bangga sedikit pun.

Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam gumam yang lirih. Kejora pun menyambung ceritanya lagi. "Menurut cerita Nenek, Eyang Sabang Wirata selalu mempertahankan Panji-panji Agung yang akan diwariskan kepada darah keturunannya. Sebab, menurut cerita Nenek, barang siapa yang mempunyai Panji-panji Agung, maka ia akan mempunyai keturunan panjang dan aliran silatnya akan berkembang terus dari masa ke masa.!"

"Panji-panji Agung itu milik siapa sebenarnya?"

"Mana aku tahu, waktu itu aku belum lahir," jawab Kejora dengan polosnya. "Tapi menurut cerita Nenek, Panji-panji Agung itu warisan dari guru Eyang Wirata dan Eyang Kurupati. Panji-panji itu sebuah pusaka yang mempunyai pengaruh gaib seperti yang kusebutkan tadi. Karena itu, pihak keturunan Eyang Kurupati ingin sekali memiliki Panji-panji Agung supaya aliran silatnya berkembang turun-temurun. Karena sepeninggalan guru mereka, Eyang Kurupati dan Eyang Sabang Wirata bermusuhan, ingin menjadi penguasa tunggal atas aliran silat yang mereka miliki. Eyang Kurupati menghendaki aliran silat Eyang Sabang Wirata hancur, hingga yang ada hanyalah aliran silat Kurupati."

"Pantas mereka mencoba membantai seluruh keluargamu. Apakah keturunan dari Eyang Sabang Wirata tinggal keluargamu saja?"

"Menurut cerita Nenek, ayahku mempunyai dua orang adik. Tetapi keluarga dari kedua adik ayahku sudah dibunuh sampai habis oleh Barakoak. Sekarang tinggal keluargaku yang menjadi sisa keturunan Eyang Sabang Wirata. Dan Barakoak adalah keturunan terakhir dari Eyang Kurupati. Barakoak tidak mempunyai saudara lagi, sebab ia lahir sebagai anak tunggal dan seorang ibu yang bersuamikan raksasa."

"Hahh...? Bersuami raksasa?!" Suto Sinting kaget.

"Menurut cerita nenek, ibunya Barakoak pernah menjadi istri seorang titisan raksasa yang bernama Gandapura..."

"Gandapura?!" Suto Sinting terkejut kembali. "Aku pernah mengenal nama Gandapura?" pikirnya sambil membayangkan beberapa peristiwa yang melibatkan nama Gandapura, manusia pemakan daging orang yang menjadi titisan raksasa itu adalah penguasa Pantai Ajal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan Tanpa Ajal).

Tetapi Gandapura akhirnya mati di tangan tokoh tua yang bernama Tua Bangka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Pemusnah Raga).

Suto Sinting membatin, "Agak susah membedakan mana yang benar; ibunya Barakoak pernah menjadi istri Gandapura atau pernah melayani Gandapura sampai akhirnya hamil dan mempunyai anak Barakoak?"

"Tunggu sebentar," ujar Pendekar Mabuk. "Jika benar Barakoak anak dari Gandapura, mengapa ia tidak minta bantuan Gandapura untuk merebut Panji-panji Agung itu?"

"Menurut cerita Nenek, Barakoak tidak diakui sebagai anak Gandapura dan ia tidak mewarisi ilmu apa-apa dari Gandapura."

"Ooo... begitu?!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Berarti ibunya Barakoak itu bukan asli istrinya Gandapura. Mungkin memang pernah melayani Gandapura dan akhirnya hamil, sedangkan Gandapura hanya sekadar mencari pemuas gairah saja."

"Menjadi pelayan kok bisa hamil? Memangnya diapakan kok bisa jadi hamil?"

"Melayani itu bukan berarti menjadi pelayan atau pesuruh, tapi tidur bersama Gandapura!"

"Tidur kok bisa hamil? Aku setiap malam tidur tapi tidak hamil-hamil?"

Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar pertanyaan polos itu. Terlalu riskan baginya untuk menjelaskan arti kata 'tidur', sehingga Pendekar Mabuk segera berkata, "Sekarang Panji-panji Agung ada di mana?"

"Aku tidak tahu," jawab Kejora tak mengejar jawaban dari pertanyaan semula.

"Apakah mendiang Ayah dan ibumu menyimpan Panji-panji Agung?"

"Yang kutahu, Ibu masih menyimpan panci buat memasak nasi dari bahan perunggu."

"Panci dengan panji-panji apakah ada kesamaannya?"

"Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah membuat panci," jawab Kejora dengan polosnya, membuat Suto menahan tawa geli hingga tubuhnya terguncang-guncang. Kebodohan itu sungguh menggelikan baginya, hampir saja Suto Sinting lupa bahwa ia harus menghadapi Dewi Hening yang terkena racun dan tidak bisa menelan tuak. Belum lagi ia harus memikirkan nasib si kecil Menik yang sewaktu-waktu bisa mati di tangan Barakoak.

"Barangkali aku harus lakukan penyembuhan dengan jurus 'Sembur Husada'," pikir Suto Sinting. "Tetapi semburan tuakku nanti dapat membuat Dewi Hening lupa akan diriku dan merasa belum pernah mengenalku. Hmmm... kurasa tak jadi soal, mumpung ia belum banyak mengenal siapa diriku. Jika memang jurus 'Sembur Husada' berhasil menyembuhkannya, aku harus menjelaskan dari ulang tentang pertemuanku dengannya atau tentang siapa diriku sebenarnya. Kurasa hanya jalan itulah yang bisa kutempuh untuk menyelamatkan keturunan terakhir pewaris aliran silat Sabang Wirata ini!"

Jurus penyembuh yang dinamakan 'Sembur Husada' memang jarang digunakan oleh Suto Sinting, kecuali terhadap orang yang belum mengenalnya. Sebab seseorang yang dapat sembuh dari lukanya akibat jurus 'Sembur Husada', ia akan lupa ingatan tentang diri Suto Sinting dan merasa seolah-olah belum pernah berkenalan dengan Pendekar Mabuk. Itulah sebabnya Suto Sinting lebih sering gunakan penyembuhan dengan cara meminumkan tuak kepada si penderita agar si penderita jika sembuh tetap ingat siapa diri Suto Sinting sebenarnya.

Tubuh yang dibungkus busa salju semakin tebal itu bagaikan gumpalan kapas yang teronggok di atas tumpukah jerami. Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sebagian tuak disisakan di mulutnya. Lalu dengan menahan napas panjang-panjang, tuak itu disemburkan ke sekujur tubuh Dewi Hening.

Brrrruusss...! Brrruuussss... Brrruuusss...!

Semburan itu dilakukan beberapa kali agar kekuatan sakti dari tuak menjadi lebih besar dan mempercepat hancurnya busa-busa salju yang tampaknya mulai mengkristal itu. Kejora memperhatikan hal itu dengan hati penuh rasa heran.

"Mengapa kau ludahi kakakku? Apa salahnya padamu?" tanya gadis lugu itu.

"Ini namanya penyembuhan. Aku sedang mengobati kakakmu."

"Menyembuhkan?!" dahi si cantik lugu itu berkerut tipis. "Menurut cerita Nenek, orang yang melakukan penyembuhan dengan cara meludahkan air kumur-kumurnya hanyalah Tabib Darah Tuak. Apakah kau Tabib Darah Tuak?"

Pendekar Mabuk tersenyum, "Apakah nenekmu masih hidup?"

"Sudah meninggal delapan bulan sebelum Ayah dan Ibu dibantai orang-orangnya Barakoak. Mengapa kau menanyakan nenekku? Apakah kau ingin menyusulnya dan bertanya tentang Tabib Darah Tuak?"

Agak menyinggung perasaan juga pertanyaan itu, tapi Suto Sinting segera memakluminya, ia hanya melebarkan senyum lalu berkata dengan menatap lekat- lekat wajah cantik yang polos itu. "Tabib Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk."

"Ya, menurut cerita Nenek memang begitu. Pendekar Mabuk itu bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tapi apakah kau kenal dengan Pendekar Mabuk?"

"Akulah yang bernama Suto Sinting," ujar pemuda itu pada akhirnya.

"Kalau kau Suto Sinting berarti kau kenal dengan Pendekar Mabuk?"

"Akulah Pendekar Mabuk, Tolol!" geram Suto jengkel sekali.

Gadis itu memandang tanpa rasa heran dan bangga. Justru yang timbul di wajah cantiknya adalah rona kebingunan yang terpendam. "Tapi menurut cerita Nenek, Pendekar Mabuk itu bertubuh kekar, gagah, ganteng, ke mana-mana membawa bumbung tuak."

"Apakah kau pikir aku kurang ganteng?" tanya Suto Sinting bernada jengkel-jengkel gemas. "Apakah kau pikir yang kubawa-bawa ini bumbung kandang jangkrik?!"

"Apakah yang kau minum tadi adalah tuak?"

"Bukan. Yang kuminum tadi air kelapa!" jawab Suto Sinting makin menampakkan kejengkelannya.

"Berarti kau bukan Pendekar Mabuk, sebab Pendekar Mabuk tidak pernah minum air kelapa."

"Terserah apa katamu sajalah...!" ujar Suto Sinting sambil bersungut-sungut jengkel.

* * *

ENAM

PENGOBATAN melalui 'Sembur Husada' ternyata berhasil membuat racun 'Sukma Beku' menjadi tawar. Tubuh yang terbungkus busa-busa salju itu mencair sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tubuh itu bersih oleh salju, hanya basah kuyup oleh cairan dingin. Mata indah Dewi Hening mulai terbuka.

"Minumlah tuak ini buat memulihkan tenagamu," saran Suto Sinting, dan Dewi Hening menurut saja. Tapi setelah ia bisa bangkit dan duduk di tempatnya, ia bertanya dalam bisikan,

"Siapa kau sebenarnya?"

Mau tak mau Suto Sinting menjelaskan perkara sebenarnya. Daya ingat Dewi Hening berangsur-angsur pulih, sehingga ia mulai mengenal siapa Suto Sinting, ia menjelaskan kepada Kejora bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang sering diceritakan mendiang nenek mereka. Kejora menjadi percaya, karena ia selalu mempercayai kata-kata kakaknya.

"Jika begitu, dialah kekasih Gusti Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum itu, Hening."

Dewi Hening anggukkan kepala, tapi Suto Sinting berkerut dahi. Sesuatu yang nyaris lupa ditanyakan kini teringat kembali. "Dari mana kalian mengenal nama Gusti Mahkota Sejati?"

Dewi Hening mendekatkan mulutnya di telinga Suto Sinting, lalu berbisik memberi jawaban. "Ibuku adalah sang Ratri, bekas prajuritnya Gusti Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum."

"Ooo...," Pendekar Mabuk hanya bisa melongo sambil manggut-manggut.

"Kami pernah berkunjung ke Pulau Serindu untuk bertatap muka dengan Gusti Mahkota Sejati, calon istrimu itu."

"Untuk apa kalian berkunjung ke Pulau Serindu?"

"Sekadar anjangsana. Ibu memperkenalkan anak-anaknya kepada Gusti Mahkota Sejati," bisik Dewi Hening. "Sebab itu, jangan coba-coba menggodaku, nanti jika Gusti Mahkota Sejati mengetahuinya, aku bisa ikut celaka!"

Pendekar Mabuk nyengir, malu-malu geli sambil garuk-garuk kepala. Percakapan mereka pun beralih pada nasib Menik dan Panji-panji Agung. Mereka berkumpul bertiga saling berdekatan, sebab Dewi Hening bicaranya selalu menggunakan suara membisik, sehingga tak bisa jelas jika didengar dari jarak empat langkah.

Sementara itu, suasana di luar gua telah menjadi gelap. Namun keadaan di dalam sama saja; hanya diterangi dengan sebatang api obor yang minyaknya dari sadapan getah sebuah pohon. Si kecil Menik yang membuat obor itu, hingga menimbulkan kekagumam bagi Pendekar Mabuk.

"Menik mempunyai otak yang bertolak belakang dengan kakaknya; Kejora. Dia anak yang cerdas sekali. Amat disayangkan jika harus mati di tangan Barakoak," pikir Suto Sinting. "Aku harus bisa menyelamatkan Menik, sebab ia adalah keturunan dari mantan prajurit Ibu Ratu Kartika Wangi."

Dewi Hening pun tahu bahwa Pendekar Mabuk adalah panglima sang Ratu Kartika Wangi, yaitu seorang Manggala Yudha negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib. Bukan karena Dewi Hening bisa melihat noda merah di kening Suto Sinting yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi saja, melainkan karena ibu mereka pernah menceritakan diri Pendekar Mabuk kepada anak-anaknya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

Pembicaraan tentang menyelamatkan Menik hanya dilakukan oleh Dewi Hening dan Pendekar Mabuk. Sementara si polos Kejora hanya sebagai pendengar saja. Sebab menurut pengakuan Dewi Hening, adiknya yang lugu itu tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk melawan orang-orang Candi Bangkai. Kejora kurang lincah dan tak setangkas Menik, ia sangat lamban dalam menuntut ilmu ajaran mendiang ayah mereka.

"Jika keluargamu tidak menyimpan Panji-panji Agung, lantas ke mana perginya pusaka itu?" tanya Suto Sinting kepada Dewi Hening.

"Barangkali dititipkan oleh seorang sahabat kakek yang amat setia," jawab Dewi Hening dengan suara bisik.

"Siapa sahabat kakekmu itu?"

"Resi Wulung Gading."

"Oooh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera teringat seorang tokoh tua yang amat dikenalnya; Resi Wulung Gading. Tokoh tua yang punya kesaktian tinggi itu tinggal di Lembah Sunyi yang menjadi pemegang pusaka terdahsyat; Pedang Kayu Petir. Hubungan Suto Sinting dengan tokoh tua itu bukan sekadar hubungan biasa, namun boleh dibilang luar biasa. Karena Resi Wulung Gading sesungguhnya adalah keponakan dari Nini Galih. Sedangkan orang yang bernama Nini Galih adalah guru dari Bidadari Jalang, dan Bidadari Jalang adalah salah satu gurunya Pendekar Mabuk.

Sudah terlalu sering Suto Sinting mencurahkan keluh kesahnya kepada Resi Wulung Gading, sehingga tokoh berkharisma tinggi itu dianggap seperti gurunya sendiri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cambuk Getar Bumi dan Pedang Kayu Petir).

Tiba-tiba Kejora yang dari tadi diam saja itu ikut bicara, ia berkata kepada kakak sulungnya dengan wajah polos. "Kalau begitu, kita pergi temui Resi Wulung Gading dan meminta Panji-panji Agung itu. Setelah kita dapatkan Panji-panji Agung, kita serahkan kepada Barakoak, lalu kita minta ia membebaskan Menik."

Plaaaak...! Tangan kakak sulungnya berkelebat menampar pipi Kejora. Gadis itu tersentak tanpa suara, kemudian berpaling muka dengan cemberut. Tamparan itu memang tak keras, tapi cukup membuat Kejora takut kepada sang kakak sulung. Pandangan mata Dewi Hening tak berani ditatapnya. Kejora akhirnya tundukkan kepala ketika Dewi Hening berkata dalam suara desah.

"Apa pun yang terjadi, kita harus pertahankan Panji-panji Agung sebagai warisan leluhur kita. Apakah kau mau aliran kita hancur dan tidak ada penerusnya?!"

"Begini saja," Suto Sinting menengahi ketegangan itu. "Aku akan datang sendiri ke Candi Bangkai untuk menyelamatkan Menik, kalian berdua tetaplah di sini, atau mencari tempat yang lebih aman lagi."

"Jangan!" sergah Kejora sambil memandang ke arah Suto. "Orang-orang Candi Bangkai itu jahat-jahat. Kau bisa dibunuhnya jika bermaksud membebaskan Menik. Kalau kau mati, kami tidak punya pelindung lagi. Siapa yang akan menolongku jika aku terperosok ke dalam lubang atau tergelincir di tebing jurang itu?"

Pendekar Mabuk tersenyum memberi ketenangan kepada Kejora. Ia menepuk-nepuk pundak gadis itu dengan lemah lembut, sementara Dewi Hening memperhatikan tanpa berkedip. "Jangan punya pikiran seperti itu, Kejora. Percayalah padaku, bahwa aku pasti bisa membebaskan Menik dalam keadaan hidup."

"Aku tidak percaya," ketus Kejora sambil cemberut. "Barakoak punya pengawal sakti; Badai Kutub, misalnya. Dia orang yang sukar dikalahkan, apalagi untuk dibunuh itu sangat sulit. Belum lagi kalau kau terkena jurus 'Surya Benggala' seperti nasib adik ayahku, kau akan menjadi manusia kaca dan hancur jika disentuh seseorang. Barakoak sendiri bukan tokoh rendahan. Dia tak bisa dibunuh karena punya ilmu 'Urat Bumi', jika ditusuk dengan pedang, lukanya mengatup lagi begitu pedang dicabut dari tubuhnya. Bagaimana mungkin kau akan bisa melawan dan mengalahkan orang seperti mereka?"

"Kalau begitu, biarlah aku saja yang datang ke Candi Bangkai untuk membebaskan Menik," kata Dewi Hening dalam suara bisik mendesah.

"Jangan! Kau pun bisa mati jika melawan mereka. Buktinya kau tak bisa hindari jurus racun 'Sukma Beku'-nya si Badai Kutub. Kalau kau datang ke sana, berarti kau menyerahkan nyawa. Aku tak akan mempunyai seorang kakak lagi!" kata Kejora dengan wajah diliputi, rasa takut.

Dewi Hening tarik napas menahan kejengkelan atas sikap adiknya. "Jadi, sebaiknya kita biarkan saja Menik berada di tangan mereka!" sambungnya masih dalam bisikan.

"Jangan! Kalau Menik terlalu lama di tangan mereka, Menik pasti akan dibunuh, sebab Menik adalah keturunan paling akhir dari keluarga kita!"

"Jadi mestinya kita harus bagaimana, Dewi Kejoraaa...!" ujar Dewi Hening dengan jengkel, suara bisikannya sedikit keras dan tertekan.

Pendekar Mabuk tertawa kecil sambil melengos.

"Atau kau saja yang membebaskan Menik?" Dewi Hening bersuara desah lagi.

"Aku bisa mati kalau datang ke Candi Bangkai sendirian. Aku mau datang ke sana membebaskan Menik, tapi kalian berdua harus ikut dan menjaga keselamatanku."

Dewi Hening gemas sekali kepada adiknya hingga mendesah dalam satu sentakan lepas. Pendekar Mabuk dari tadi senyum-senyum saja mendengarkan perdebatan kakak-beradik; yang satu pintar, yang satunya bodoh karena kepolosan berpikirnya. Akhirnya Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya yang lembut dan enak didengar itu.

"Ada baiknya jika kita menghadap Resi Wulung Gading dan menanyakan tentang pusaka Panji-panji Agung itu. Pertama kita perlu tanyakan, apakah benar pusaka Panji-panji Agung ada pada Eyang Resi Wulung Gading. Kedua, andaikata memang benar, apakah Panji-panji Agung itu punya kekuatan tersendiri untuk melawan orang-orang seperti Barakoak itu? Ketiga, kita tanyakan seandainya Panji-panji Agung itu diserahkan kepada Barakoak apakah benar bisa membuat aliran silat leluhurmu ini akan hancur dan lenyap, karena tak ada penerusnya?"

"Itu akan membuang waktu," sela Dewi Hening dalam desahan. "Barakoak memberi waktu sampai esok pagi, menurut penjelasanmu tadi. Berarti kita tidak punya banyak waktu untuk menghadap Eyang Resi Wulung Gading."

"Jika begitu, sekarang kita tetapkan saja; aku akan pergi membebaskan Menik," kata Suto kepada Dewi Hening. "Lalu, kau pergi menghadap Eyang Resi Wulung Gading untuk membicarakan tentang pusaka Panji-panji Agung itu."

"Aku lebih baik ikut kau saja!" sergah Kejora.

"Candi Bangkai berbahaya bagi gadis seperti kau, Kejora. Lebih baik kau mendampingi kakakmu saja."

"Aku tak mau kena tampar lagi," ujar Kejora sambil cemberut. "Aku merasa aman jika pergi ke mana-mana bersamamu. Buktinya kau telah selamatkan nyawaku dua kali, sedangkan Hening belum pernah selamatkan nyawaku."

Dewi Hening tersenyum tipis memaklumi cara berpikir sang adik. Akhirnya ia pun berkata kepada Suto Sinting, "Biarlah aku menghadap Eyang Resi sendirian, ajaklah Kejora ke Candi Bangkai. Siapa tahu ia bisa punya keberanian sehingga tidak selalu menjadi gadis penakut seperti sekarang ini."

"Tapi..."

"Apakah kau malu berjalan dengan gadis sebodoh aku?" sergah Kejora sebelum Suto Sinting menolak dengan alasan tertentu.

Mendengar pertanyaan seperti itu, hati Suto Sinting menjadi iba. Alasan penolakan tak jadi dilontarkan, akhirnya Suto pun menyetujui rencana tersebut. Kejora tampak girang dan bersemangat, wajahnya berseri-seri dengan kecantikan yang menandingi kakaknya.

Esok paginya, mereka bergegas keluar dari dalam gua untuk mengerjakan tugas masing-masing. Semalaman Suto Sinting mengatur rencana berdua dengan Kejora yang akan menjadi pasangan dalam menyerang Candi Bangkai. Dewi Hening tertidur dengan nyenyak ketika Suto Sinting mengatur rencana dengan Kejora.

"Kau tak boleh jauh-jauh dariku, dan pisaumu tetap harus ada di tangan. Jika ada yang mendekatimu, langsung tancapkan pisau itu ke tubuh orang tersebut tak peduli kena bagian apanya saja, yang penting kau lakukan perlawanan."

"Kalau yang mendekat kau sendiri apakah aku harus menancapkan pisauku ini?" tanya Kejora.

"Kalau kau tega tak apa."

"Aku tak tega. Tapi bagaimana jika malam ini kulatih ketegaanku untuk menancapkan pisau ke tubuhmu?"

"Kau asli gila atau pura-pura gila?!" ujar Suto Sinting sedikit dongkol tapi juga merasa geli melihat kepolosan wajah Kejora saat berkata demikian.

"Sebaiknya tak kulakukan pada dirimu saja, ya? Nanti kalau kau kutancap pakai pisau ini, kau bisa mati. Karena menurut cerita Nenek, pisau ini beracun ganas."

"Syukurlah kalau kau masih punya sisa kewarasan sedikit," ucap Suto Sinting bagai orang menggerutu.

Mereka bertiga keluar dari gua pada saat embun pagi mulai sirna. Busa-busa salju telah tiada. Tinggal sisa cairannya yang membuat alam menjadi basah bagaikan habis hujan semalaman. Mereka bertiga akhirnya tiba di suatu persimpangan jalan dan harus lakukan perpisahan. Pendekar Mabuk dan Kejora ke arah Candi Bangkai, sedangkan Dewi Hening pergi ke arah yang berlawanan menuju Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading.

Namun sebelum mereka berpisah, mendadak mereka disergap oleh delapan orang berpakaian hitam. Delapan orang itu segera mengurung mereka dengan senjata masing-masing siap di tangan. Mereka mengenakan kain hitam untuk menutup bagian hidung hingga mulut, sedangkan bagian atasnya dibiarkan terbuka: ada yang memakai ikat kepala ada yang tidak.

Suto Sinting terkesiap melihat kehadiran mereka. Kejora menjadi tegang dan ketakutan. Tapi Dewi Hening bersikap tenang dengan matanya yang memandang tajam mengitari mereka satu-persatu.

"Siapa orang-orang ini?" bisik Suto Sinting yang merapatkan diri kepada Dewi Hening.

"Mereka adalah Gerombolan Rampok Setan yang mempunyai dendam padaku karena ketua mereka kubuntungi kakinya."

"Apa persoalannya sehingga kau buntungi kaki ketua mereka itu?"

"Mereka hendak merampok harta kami saat sebelum rumah kami dihancurleburkan oleh Barakoak," jawab Dewi Hening dalam bisikan.

Kejora berkata dengan suara lirih dan bergetar, "Kita lari saja, Hening. Jumlah mereka banyak dan punya senjata semua. Pasti senjata mereka tajam-tajam, Hening."

"Tutup telinga kalian, aku mau bicara pada mereka," bisik Dewi Hening yang membuat Suto Sinting berkerut dahi, tak paham maksud perintah Dewi Hening itu. Tetapi Kejora segera menutup telinganya dengan memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ia menyuruh Suto Sinting melakukan hal yang sama dengan tendangan kaki kecil.

"Tutup telingamu, Hening mau bicara pada mereka."

"Mengapa harus menutup telinga? Apakah aku tak boleh mendengar apa yang dibicarakan Hening kepada mereka?"

Karena tak jelas mendengar kata-kata Suto, maka gadis itu menjawab tanpa ada kaitannya dengan ucapan Suto tadi. "Aku tak tahu siapa nama ketua mereka. Aku belum pernah kenalan dengan ketua mereka."

Satu-satunya orang yang mengenakan penutup wajah warna merah adalah seorang lelaki berbadan kekar dan tinggi rambutnya panjang terurai diikat dengan kain merah. Orang itu lebih dulu keluarkan suaranya dengan menggeram penuh dendam.

"Kami datang untuk menebus penghinaanmu terhadap sang Ketua, Dewi Hening!"

Kakak sulung Kejora diam membisu, matanya memandang lurus pada orang yang bicara dengan suara besar. Pendekar Mabuk pandangi dua orang yang ada disamping kirinya, tapi telinganya menyimak kata apa pun yang keluar dari mulut mereka maupun dari mulut Dewi Hening nanti.

"Jika kau berhasil membuntungi kaki ketua kami, maka kami akan membuntungi kepalamu sebagai tebusannya. Itulah perintah yang kami terima dari sang Ketua."

Dewi Hening berkata dengan suara lepas, "Lakukan...!"

Tiba-tiba delapan orang pengepung itu tersentak dan menyeringai kesakitan. Semua memegang telinga secara serentak. Pendekar Mabuk sendiri merasakan ada rasa sakit di dalam gendang telinganya ketika mendengar Dewi Hening bicara dengan suara lepas, tanpa bisik- bisik.

"Celaka!" gumam Suto Sinting dalam hati. "Rupanya perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam pada gelombang suaranya. Pantas ia selalu berbicara dengan bisik-bisik. Jika ia bicara dengan suara lepas, maka gelombang suaranya itu dapat menyakitkan lawan bicaranya. Untung aku segera menarik napas dan menahan gelombang tenaga dalam yang masuk lewat lubang telingaku, jika tidak demikian aku pasti akan kesakitan sekali seperti mereka. Pantas pula kalau Kejora mendesakku untuk menutup telinga, rupanya ia tahu jika kakaknya mau bicara berarti akan keluar kekuatan tenaga dalam yang dapat merusakkan gendang telinga."

Pendekar Mabuk pun segera kendalikan napasnya untuk menyalurkan tenaga dalam yang dapat dipakai menutup pendengarannya, ia sengaja lakukan hal itu supaya ia tidak sama seperti yang lain; menutup telinga demi keselamatan gendang telinganya. Seorang pendekar memang harus bisa mengatasi hal seperti itu tanpa melakukan penutupan pada lubang telinga. Dan hal itu membuat Dewi Hening melirik Suto sebentar, menyimpan rasa kagumnya terhadap kekuatan Suto Sinting dalam menerima gelombang suara bertenaga tinggi itu.

"Tutup telingamu!" sentak Kejora dalam bisikan.

Tapi Suto Sinting hanya tersenyum dan pandangi tiga orang yang kini bergerak lebih merapat di samping kirinya.

Dewi Hening berkata dengan suara jelas, "Kalau kalian bisa, lakukan pembalasan padaku!"

"Aaaaa...!" mereka saling berteriak kesakitan begitu mendengar suara Dewi Hening. Bahkan dua orang jatuh berlutut di belakang Suto Sinting dan Kejora. Orang itu menyeringai dan meraung kesakitan. Lubang telinga mereka mulai berdarah.

Orang yang mengenakan penutup wajah warna merah itu segera berseru memberikan aba-aba, "Serang mereka! Seraaaaang...!"

Dewi Hening berteriak, "Heeaaaat...!" dengan tangan dan kaki memasang kuda-kuda sebagai pembuka jurus.

Tetapi orang-orang yang hendak maju menyerang itu saling terpental ke belakang dalam satu seruan kesakitan. Orang yang memakai penutup wajah warna merah juga tersentak ke belakang dan menggeram menahan rasa sakitnya. Akhirnya ia jatuh terduduk di tanah dengan telinga mulai berdarah. Dua orang yang mendekat dari samping kiri Pendekar Mabuk itu terguling-guling kelojotan sambil melepaskan senjata dan kedua tangannya memegangi telinga. Namun darah masih saja keluar dari telinga mereka.

"Hebat juga ilmu yang dimiliki Dewi Hening;" ujar Suto Sinting membatin sendiri. "Kalau aku tidak segera tanggap, pasti telingaku pun akan berdarah seperti mereka. Alangkah malunya jika aku sampai begitu?!"

Salah seorang dari kedelapan pengepung itu nekat menyerang Dewi Hening sambil menahan rasa sakit. Sebuah lompatan menerjang Dewi Hening dilakukan dari belakang. Tapi perempuan itu cepat balikkan badan dan hentakkan tangannya ke depan, tenaga dalam tanpa sinar terlepas dari telapak tangan itu.

"Hiaaah,..!" teriak Dewi Hening yang membuat orang itu menjerit lebih kuat lagi.

"Aaaaa...!" Tubuhnya melayang ke belakang dengan luka ganda; pertama luka karena pukulan tenaga dalam yang mengenai ulu hatinya, kedua luka pada telinganya yang menjadi rusak berat akibat suara teriakan Dewi Hening.

Teriakan itu sempat membuat kedua kaki Suto Sinting bergetar karena menahan tenaga dalam yang menusuk masuk ke telinganya. Dalam hati sang pendekar berkata, "Luar biasa! Mengapa tak digunakan melawan Badai Kutub dan Barakoak? Mungkinkah ilmu ini pernah dipakai oleh Dewi Hening, tapi tidak mampu membuat telinga Barakoak dan Badai Kutub pecah seperti orang-orang di sini?! Ooh... aku berkeringat dingin menahan kekuatan itu. Mudah-mudahan Dewi Hening dan Kejora tak memperhatikan keringat dinginku ini."

Suara teriakan tadi bukan saja membuat orang yang menyerang terpental dan terluka parah, tetapi beberapa pengepung lainnya juga semakin meraung-raung merasa telinganya bagai dipaku kuat-kuat.

"Tinggalkan setan betina itu! Cepat lariiii...!" seru orang berpenutup wajah warna merah. Sebagian dari mereka lari tunggang langgang menuju satu arah. Tiga orang lainnya masih tinggal di tempat karena tak mendengar seruan tersebut. Mata mereka terpejam kuat-kuat sambil mulutnya masih meraungkan rasa sakit.

"Aaaaahh... Aaaaoow...!"

Pendekar Mabuk mendekati tiga orang itu, mencolek salah satu dari ketiganya sambil berkata, "Heh temanmu sudah pada lari! Kau tak mau ikut lari?!"

"Haahh...?!" orang itu terkejut melihat teman-temannya sudah cukup jauh darinya. Maka ia pun mencolek dua temannya dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung.

Pendekar Mabuk tertawa geli melihat kebodohan tiga orang tersebut. Keadaan telah menjadi sepi kembali. Kejora melepaskan penutup telinganya dan bertanya kepada Pendekar Mabuk,

"Apakah telingamu terbuat dari baja?"

"Mungkin begitu," jawab Pendekar Mabuk seenaknya sambil cengar-cengir.

"Di mana kau pesan telinga sekuat itu? Aku ingin memesannya pula. Sebab kalau kakakku sedang marah, aku sering kena getahnya mendengar omelannya."

Pendekar Mabuk makin tertawa geli. Kejora geleng-geleng kepala merasa kagum dengan kekuatan telinga pemuda tampan itu. Lalu ia berkata kepada kakak sulungnya,

"Ilmu 'Guntur Swara' tidak berlaku untuk telinganya. Kalau kau melawan dia kau akan kalah, Hening."

Dewi Hening menjawab dengan suara membisik, "Karena dia kekasih Gusti Mahkota Sejati, tentu saja mempunyai ilmu lebih tinggi dariku."

"Bagaimana kalau kita menyerang Candi Bangkai bersama-sama saja? Kau bisa gunakan ilmu 'Guntur Swara' itu untuk melawan para kroco-kroconya Barakoak. Aku yang menghadapi Barakoak dan Badai Kutub!" Suto menyarankan.

Dewi Hening menggelengkan kepala dan menjawab dengan suara mendesah. "Mereka sudah terlatih mengendalikan tenaga dalam untuk melapisi gendang telinga. Kekuatan ilmuku ini sudah diketahui Barakoak, sehingga orang-orangnya pun sudah terlatih untuk menghadapi ilmuku ini."

"Baiklah, kalau begitu kita berjalan sesuai rencana semula saja. Hati-hati dalam perjalanan menuju Lembah Sunyi!" kata Suto Sinting berkesan akrab sekali.

Namun mendadak mereka terkejut mendengar suara dikejauhan, "Haiiyaaaa... hiya, hiya, hiyaaa...!"

Kejora terpekik, "Itu suara Menik...?!"

"Menik...?!" desah Dewi Hening dengan wajah menegang.

"Pasti dia berhasil meloloskan diri dan sekarang sedang dikejar-kejar oleh mereka!" tambah Kejora dengan berapi-api.

"Kalau begitu, kita cari ke mana arah larinya. Kita cegat orang-orang yang ingin menangkapnya kembali!" kata Suto Sinting dengan penuh semangat.

Mereka sama-sama menyimak suara Menik lagi dengan mempertajam pendengaran mereka. Tapi sampai beberapa saat lamanya suara Menik tidak terdengar lagi. Mereka menjadi cemas dan bertanya-tanya dalam hati,

"Apakah Menik tertangkap lagi, atau tewas dibunuh tanpa suara apa pun?!"

* * *

TUJUH

DARI ketinggian tempat mereka berada dapat dilihat gerakan seorang bocah yang melompat bersalto dan plik-plak beberapa kali. Kecepatan gerak yang mirip anak kijang itu merupakan ciri-ciri yang tak dapat disangkal lagi, bahwa bocah kecil itu tak lain adalah Dewi Menik yang lebih sering dipanggil Menik.

"Itu dia mereka...!" tuding Kejora ke arah tiga orang yang berlari-lari mengejar Menik.

"Hanya tiga orang yang mengejar Menik," gumam Suto Sinting. Tetapi pundaknya segera ditepuk oleh Dewi Hening, lalu perempuan itu menunjuk ke arah lebih belakang lagi. Ternyata ada empat orang yang sedang berpencar menghadang pelarian Menik.

"Hiyaaa... hiya, hiya, hiyaaaa...!" seru Menik sambil berlari dalam lompatan-lompatan cepat, lincah, dan gesit. Tahu-tahu ia sudah ada di atas pohon. Melompat dari dahan ke dahan, kemudian pindah lagi sudah ditanah. Menyelinap di sela-sela pohon hutan menuju lembah.

"Hei, lihat di sana...!" tuding Kejora dengan mata menegang.

"Oh, Badai Kutub itu turun tangan?!" gumam Pendekar Mabuk. "Kalian hadapi kroco-kroco, aku akan hadapi Badai Kutub setelah menyambar Menik."

"Tapi..."

Zlaaap...! Kejora tak jadi bicara karena Pendekar Mabuk sudah menghilang bagai ditelan bumi. Ia bergerak cepat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siiuman' yang punya kecepatan melebihi anak panah itu. Ketika Menik melompat ke dahan dalam gerakan salto cukup cepat, tahu-tahu tubuhnya disambar seseorang yang segera membawanya menjauh dari tempat itu. Weees ! Tapi gadis kecil itu menjerit karena kaget.

"Aaaaa...!"

Jeritan itu membuat para pengejarnya mengetahui ke mana arah gerakan si gadis kecil. Walaupun mulutnya buru-buru dibekap dengan tangan penyambarnya, tapi segalanya telah terlambat. Para pengejar membelokkan arah menuju tempat datangnya suara jeritan bocah tadi.

Zlap, zlaaapp...! Terpaksa orang yang menyambarnya berkelebat cepat tanpa bicara apa pun kepada Menik. Tahu-tahu mereka berdua sudah berada di puncak sebuah bukit yang tak seberapa tinggi. Di sana barulah Menik tahu bahwa orang yang telah menyambarnya itu adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting.

"Oh, kau rupanya?!"

"Suaramu membuat mereka tahu di mana arah gerakanmu. Maka lain kali kalau kau melarikan diri jangan disertai dengan jeritan atau teriakan agar pengejarmu tak tahu kau bergerak ke arah mana."

"Hmmm... ya, masuk akal juga penjelasanmu," kata si gadis kecil sambil manggut-manggut dengan lagak sok tuanya.

"Mengapa kau bisa tertangkap mereka?" tanya Suto Sinting, lalu ia menenggak tuaknya sambil mendengarkan jawaban dari Menik.

"Aku terperosok masuk ke lubang galian seperti sumur. Ketika aku berusaha keluar dari sana, tahu-tahu dua orang Candi Bangkai menangkapku dari belakang."

"Mengapa kau tak mau berteriak sehingga aku tahu dimana dirimu saat itu?"

"Aku hanya menghadapi persoalan kecil, tak perlu bantuanmu. Nyatanya toh aku bisa keluar sendiri dari lubang yang dalam itu?!"

Pendekar Mabuk menggantungkan bumbung tuak di pundaknya. Saat ia sedang berpikir mau dibawa ke mana gadis kecil itu, tiba-tiba si kecil ajukan tanya,

"Bagaimana kakakku; Kejora? Berhasil kau temukan?"

"Ya, berhasil. Bahkan aku berhasil bertemu dengan kakak sulungmu; Dewi Hening."

"Bagus sekali kerjamu," ujarnya sambil tersenyum dan dua tangannya segera bersedekap didada.

"Sok tua sekali kau. Tengil!" ujar Suto Sinting di sela senyum gelinya.

"Kau sudah bisa tertarik dengan kecantikan kakakku; Dewi Hening itu?"

Suto Sinting mencibir dan bersungut-sungut. "Katamu dia seperti Gusti Mahkota Sejati, nyatanya jauh berbeda!"

"Hik, hik, hik, hik...! Kau tertipu, ya? Aku memang menipumu, karena aku ingin memancing mata keranjangmu."

Suto Sinting tak jadi kecewa malainkan justru geli sendiri. Tawa mereka tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bernada dingin di belakang mereka.

"Puaskan tawa kalian, sebentar lagi nyawa si kecil itu akan lenyap!"

Pendekar Mabuk pandai menutupi rasa kagetnya. Begitu berpaling dan memandang orang yang bicara, ia masih bersikap tenang dan berkata dengan kalem, "Oh, rupanya kau sudah tak sabar menunggu ajalmu, Badai Kutub!"

Menik tampak sedikit cemas, matanya bergerak lincah ke sana-sini mencari tempat untuk berlari. Tetapi dari arah kanan kiri segera muncul dua orang Candi Bangkai yang tadi mengejar Menik dari belakang.

"Kalau bukan karena licik, kalian tak akan bisa menangkapku!" seru Menik dengan berani. "Kalau kalian memang berilmu tinggi, mari kita adu lari!"

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum mendengar ucapan Menik, ia tahu Menik sedang memancing mereka agar bisa lolos dari keadaan itu. Tapi agaknya mereka tidak terpancing oleh tantangan Menik. Suara si Badai Kutub terdengar menjawab tantangan itu.

"Percuma kami beradu lari denganmu, Anak Tikus! Nyawamu sebentar lagi melayang dan menyusul dua orangtuamu ke neraka. Untuk apa buang-buang tenaga dengan beradu lari?!"

"Kakak iparku ini tak akan tinggal diam, Pak Tua kurap!" ujar Menik sambil menepuk pinggang Suto Sinting, seakan menunjukkan bahwa Pendekar Mabuk itulah yang dimaksud sebagai kakak iparnya.

Tentu saja Pendekar Mabuk sedikit terperanjat mendengar keberanian gadis kecil berkata demikian, ia memandang Menik dan Menik tersenyum sambil mengerlingkan mata kirinya. "Kecil-kecil genit juga kau!" geram Suto Sinting seraya kembali memandang ke arah Badai Kutub.

"Serahkan bocah itu kepada kami, atau kami akan menghabisi riwayat hidupmu juga?!" ancam Badai Kutub, pada saat itu dari belakang Suto Sinting dan Menik muncul Dewi Hening dan Kejora. Sedangkan dari belakang Badai Kutub muncul beberapa orang yang tadi ingin menghadang pelarian Menik.

"Kejora, Hening...!" sapa Menik seenaknya tanpa menyebut kata 'kakak' kepada kedua gadis itu. "Untung kau cepat datang. Kita akan saksikan pertarungan seru!"

"Menik, ini semua gara-gara kau tertangkap jadi si Pendekar Mabuk akhirnya terpaksa bertarung melawan mereka!"

"Pendekar Mabuk?! Ohh... jadi pemuda ganteng itu Pendekar Mabuk yang sering diceritakan mendiang nenek kita? Pantaaasss...!" Menik manggut-manggut menggemaskan.

"Apa yang pantas?!"

"Pantas dia terkejut ketika kusebutkan nama Gusti Mahkota Sejati. Pantas pula dia punya wajah tak sebanding dengan wajah si Badai Kutub."

"Lindungi si tengil itu!" bisik Dewi Hening kepada Kejora. Kemudian Dewi Hening maju dua langkah sejajar dengan tempat berdirinya Suto Sinting.

"Bagus, kalian telah kumpul. Ini akan mempermudah kami menghancurkan kalian!" ujar Badai Kutub.

Suto Sinting berbisik kepada Dewi Hening, "Gunakan ilmu 'Guntur Swara'-mu untuk menyingkirkan yang lain."

"Tak mungkin bisa, sudah kubilang mereka cukup terlatih menghadapi suaraku dan lagi aku takut kedua adikku menjadi korban kekuatanku sendiri."

"Kalau begitu mundurlah, lindungi kedua adikmu itu!"

Sebelum Dewi Hening bergerak, lebih dulu terdengar suara Badai Kutub berkata kepada orang-orang di belakangnya, "Bunuh mereka semua, tak perlu ada yang tersisa!"

Badai Kutub mundur, orang-orang itu maju. Dewi Hening tak jadi mundur, melainkan justru melangkah maju menghadapi orang-orangnya Badai Kutub. Pedang pun dicabut dari sarungnya. Sraaang...! Mau tak mau Suto Sinting segera mundur menyerahkan pertarungan itu kepada Dewi Hening. Pendekar Mabuk cenderung menjaga Kejora dan Menik dari incaran Badai Kutub.

Wung, wung, wung...! Dewi Hening mainkan pedangnya sebagai pembuka jurus. Tiga orang bersenjata golok lebar maju menyerang dengan jurus kembar gerak.

"Heeeaaah...!"

Dewi Hening berkelebat dalam satu lompatan tinggi, bersalto satu kali dan ketika bergerak mendarat di belakang mereka pedangnya segera berkelebat. Wuuut...! Crras, cras, cras...!

"Aaaa...!" mereka memekik bersamaan. Ketiganya terbabat pedang Dewi Hening yang mempunyai jurus berbahaya dan sukar dilihat kecepatannya. Melihat gerakan jurus pedang itu, Pendekar Mabuk teringat pelajaran pedang yang diterimanya dari Ki Argapura. Menurutnya jurus pedang itu mirip dengan jurus 'Pedang Ekor Petir' yang pernah dipelajari, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

Laaaap...! Jleeeg...!

Badai Kutub sudah berada di belakang Menik dan Kejora. Suto Sinting segera berbalik arah dan memandang penuh waspada. Dugaannya mulai terbukti, Badai Kutub sengaja menyuruh para kroco maju menyerang sementara ia mencari kesempatan menyambar Menik atau membunuh langsung ketiga kakak-beradik itu. Tapi ternyata dua dari tiga kakak-beradik itu dalam penjagaan Pendekar Mabuk, sehingga kesempatan itu sulit diperoleh Badai Kutub.

Salah seorang kroco mencoba membokong mereka dengan melemparkan pisau ke arah punggung Menik. Tetapi Kejora segera menarik lengan adiknya dan pisau pun melesat ke arah kosong. Namun tangan Kejora segera mencabut pisaunya dan dilemparkan dalam gerakan yang tak bisa dilihat.

Wuuut...! Zeeeet...! Jrrrrub...!

"Aaaahhgg...!" pisau tiga jengkal itu menancap tepat di leher orang yang membokong. Begitu tangan Kejora disentakkan mundur, pisau itu lolos dengan sendirinya melesat kembali ke tangan Kejora.

Pendekar Mabuk sempat terkesima sebentar melihat kehebatan jurus pisau dan kedahsyatan pisau itu yang ternyata mempunyai keistimewaan sendiri, yaitu dapat kembali ke pemiliknya setelah menikam lawannya. Cukup dengan satu sentakan mundur tangan Kejora, pisau itu melayang balik dengan sendirinya.

"Pisau itu ternyata bukan sembarang pisau," kata hati Pendekar Mabuk. Kata-kata batinnya tak jadi dilanjutkan karena tiba-tiba ia melihat Badai Kutub lepaskan sinar putih bening dari ujung jari tengahnya.

Claaap...!

Pendekar Mabuk cepat sambar tubuh Menik dan bergerak ke samping dengan gerakan sangat cepat. Zlaaap...! Sinar putih bening yang diarahkan kepada Menik itu melesat lurus tanpa putus, akhirnya mengenai anak buahnya sendiri yang sedang mencari kesempatan untuk membokong Dewi Hening.

Zyyrruub...!

"Aaahg...!" pekikan pendek terdengar dari orang yang terkena sinar putih bening itu. Orang tersebut mengejang seketika dengan kedua tangan terangkat, kedua kaki merapat sedikit melengkung ke depan. Tubuh orang itu berasap putih, kejap berikut asap pun hilang dan sosok tubuh orang tersebut berubah menjadi patung kaca lengkap dengan goloknya.

Pendekar Mabuk terperanjat dan hatinya menggumam, "Jurus 'Surya Benggala'...?! Mungkin inilah yang diceritakan Kejora saat di dalam gua?! Dahsyat sekali!"

Orang yang berubah menjadi patung kaca bening itu tersentuh oleh jubah Dewi Hening. Seketika itu pula patung kaca menjadi pecah dalam bentuk serpihan beling kecil-kecil. Pyaaar...!

Rasa kagum Suto Sinting terpaksa diputus karena ia melihat lagi gerakan sinar putih bening meluncur dari jari tangan Badai Kutub, sasarannya ke arah Kejora. Saat itu Kejora sedang lengah perhatikan pecahan kaca. Pendekar Mabuk segera melesat dan menghadang kecepatan sinar putih bening tersebut. Zlaaap...! Seberkas sinar hijau melesat dari tangan Suto Sinting dan bertabrakan dengan sinar putih bening.

Claaap...! Blegaaarrr...!

Ledakan sangat tinggi terjadi akibat benturan sinar putih dengan sinar dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' milik Pendekar Mabuk. Ledakan itu membuat beberapa pohon tumbang dan puncak bukit bagai mau runtuh tertelan bumi. Badai Kutub terlempar ke belakang, demikian pula Suto Sinting. Kejora dan Menik terlempar berlainan arah. Dewi Hening terjungkal ke depan, pedangnya terlempar dan tepat menancap di dada lawan terakhirnya. Jrrrub...!

Pendekar Mabuk cepat bangkit dan memandang sekelilingnya. Menik terguling-guling menuruni lereng bukit. Badai Kutub berkelebat ingin menangkap anak itu, tapi Suto Sinting lebih dulu melesat menyambar tubuh Menik. Zlaaap...! Wuuut...!

"Jahanam kauuu...!" geram Badai Kutub, kemudian ia mengangkat kedua tangannya ke atas kepala membentuk cakar menyeramkan.

Pendekar Mabuk segera melepaskan Menik dan gadis kecil itu berlari dengan lincah, tahu-tahu sudah ada di atas pohon. Badai Kutub keluarkan asap hitam dari kedua tangannya. Asap hitam itu menyembur ke arah Pendekar Mabuk. Tak ada jalan lain untuk menghadapi asap hitam yang sudah pasti mengandung racun ganas itu kecuali dengan cara menghindarinya.

Zlaaap, zlaaap...! Suto Sinting sudah berada dibelakang Badai Kutub. Lelaki berjubah biru tua itu bingung mencari lawannya, lalu berbalik ke belakang. Pada waktu itulah Suto Sinting lepaskan jurus 'Surya Dewata'-nya, berupa sinar ungu sebesar lidi yang keluar dari kedua tangan yang saling merapat. Claaap...!

Bleeegaaar...! Ledakan dahsyat terdengar kembali, karena Badai Kutub menangkis sinar ungu itu dengan sinar putih beningnya yang tadi. Ledakan itu membuat tubuh Badai Kutub terlempar ke belakang dalam keadaan berasap, sedangkan Suto Sinting terjungkal dengan mulut semburkan darah kental.

"Sutooo...?!" pekik kejora sambil berlari menuruni lereng bukit. Gadis itu sangat cemas melihat keadaan Suto Sinting. Tetapi Suto Sinting segera bangkit menampakkan keperkasaannya.

Badai Kutub bangkit dengan tubuh masih berasap. Ternyata keadaannya cukup menyedihkan. Badannya menjadi hangus dengan rambut peraknya menjadi trondol dan hitam akibat terbakar gelombang ledakan tadi. Melihat keadaan lawannya lebih parah, Pendekar Mabuk menjadi lebih bersemangat lagi. Ia buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bersiaga lagi menghadapi serangan lawannya. Namun ternyata lawannya tak lakukan serangan melainkan justru melarikan diri.

Weeesss...!

Zlaaap...! Pendekar Mabuk mengejar dengan jurus 'Gerak Siluman' yang menjadi andalan larinya itu. Agaknya Badai Kutub merasakan lukanya sangat berbahaya dan tak mungkin bisa bertahan, ia akan kembali bertarung jika sudah sembuhkan lukanya. Tetapi Suto Sinting tak mau kehilangan kesempatan, ia mengejar terus lawannya yang berusaha menghindari pertarungan kedua. Pengejaran itu tak sadar memancing Suto Sinting untuk mendekati sebuah bukit, tempat bangunan batu bernama Candi Bangkai itu berdiri.

Di kaki bukit itu, tiba-tiba Badai Kutub hentikan langkahnya. Kedua tangannya mengejang keras di samping dada dengan telapak tangan terbuka. Suto Sinting berhenti mendadak karena gerakan kakinya terasa berat. Rupanya Badai Kutub keluarkan jurus andalannya berupa badai salju yang menghembuskan angin berkecepatan tinggi dengan hawa salju yang menggigilkan tulang. Suto Sinting menggeram jengkel merasa terjebak dalam udara dingin. Tapi ia berusaha untuk tetap maju dengan gerakan kaki yang amat berat. Sementara itu busa-busa salju mulai menerpa tubuhnya, membuat tubuh kekar itu bagai dihinggapi serat-serat kapas.

Tubuh yang hampir terjungkal karena desakan badai salju itu membuat Suto Sinting kian menggeram dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan. Akhirnya ia tak sabar lagi dan memekik keras-keras dengan mulut terbuka dan kaki menghentak ke bumi. "Heeeaaahh...!"

Pada saat itulah kekuatan dahsyat yang dinamakan Napas Tuak Setan terlepas dari mulut dan hidung Pendekar Mabuk. Napas Tuak Setan adalah kekuatan dahsyat yang menghadirkan badai besar tiada tandingnya.

Wuuuusss...! Wuuueerrr...!

Alam bergemuruh dengan guncangan mengerikan terjadi di bagian tanah. Langit bermega hitam bergulung- gulung memercikkan cahaya petir yang saling menggelegar bagaikan ingin meruntuhkan sang langit. Badai besar melanda bagian alam di depan Pendekar Mabuk. Pohon-pohon tumbang dan beterbangan dengan sangat mengerikan. Batu-batu pun sebagian pecah sebagian lagi beterbangan sebesar apa pun ukurannya. Tubuh Badai Kutub terlempar tanpa ampun lagi, tergencet pohon besar dengan batu sebesar rumah. Nyawanya jelas tak ada lagi. Tapi mayatnya akhirnya terlempar karena amukan badai.

Alam bagaikan kiamat, badai yang mengamuk mencapai di ketinggian bukit. Bangunan hitam dari batu yang bernama Candi Bangkai roboh tersapu badai yang mengamuk. Jerit dan teriakan orang sekarat saling bersahutan. Seluruh penghuni Candi Bangkai tersapu badai, terpental ke sana-sini, terbang tak tentu arah bersama pohon-pohon dan batu-batu yang terhempas sangat kuat.

"Jahanaaammm...!" Suara teriakan murka itu terdengar menggema, namun terbawa badai dan makin lama semakin menjauh, lalu hilang ditelan gemuruh badai. Teriakan itu datang dari mulut Barakoak, yang menamakan dirinya si Raja Iblis. Rupanya Barakoak juga ikut terlempar dan entah bagaimana nasibnya tak diketahui secara jelas oleh Pendekar Mabuk.

Yang jelas, tanah bukit itu longsor separo bagian, bangunan candi roboh menjadi tumpukan batu tanpa arti. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini, pada umumnya tergencet pohon atau batu besar yang tak sempat pecah. Sedangkan yang tidak mengalami gencetan terkapar tak bernyawa dalam keadaan luka parah jauh dari bukit itu.

Pendekar Mabuk terengah-engah saat badai telah berhenti. Dewi Hening dan kedua adiknya datang, dan mereka menjadi lega melihat Suto Sinting dalam keadaan selamat. Pemuda itu menenggak tuaknya beberapa teguk untuk mengembalikan tenaganya yang lemas karena tadi melawan badai salju. Kejora memeriksa keadaan sekeliling dengan mata mendelik tegang dan terheran-heran. Ia menemukan mayat Badai Kutub tergencet pohon dan batu besar.

Si kecil Menik berseru dari samping Kejora yang ada di dekat mayat itu, "Utusan si Raja Iblis tak bernyawa lagi! Jangan ada yang mau meminjamkan nyawanya!"

Dewi Hening tertawa kecil dalam desahan lembut. Pendekar Mabuk pun akhirnya tertawa seraya menyambut kedatangan Menik yang melompat dalam gerakan plik-plak, tahu-tahu berada di pundak Suto Sinting.

"Sakti sekali kau, Kang Pendekar!" ujarnya sambil mencubit hidung Suto Sinting. Kemudian ia berseru dari atas pundak Suto, "Ayo, siapa yang berani melawan kakak iparku ini!"

"Menik...?!" ucap Dewi Hening dalam desahan menghentak dan Kejora pun berucap sama dalam suara jelas. Keduanya sama-sama merasa cemas dan malu mendengar Menik menyebut 'kakak ipar' kepada Suto Sinting. Mereka berdua jadi tak enak hati, tapi Suto Sinting hanya terkekeh geli.

SELESAI


Utusan Raja Iblis

Serial Pendekar Mabuk
Utusan Raja Iblis
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

"TOLOOONGGGG...!" Seruan itu menggema merayapi dinding jurang bertebing curam. Sekelebat bayangan melintas dari sela-sela pepohonan. Kejap berikut bayangan itu tampak melesat menuruni dinding tebing berjurang dalam. Dari tonjolan batu yang satu bayangan itu melompat ke tonjolan batu yang satunya lagi.

Zlap, zlap, zlap, zlap...! Weeeesss...!

Gerakan yang begitu cepat melebihi gerakan anak panah tampak menyambar sesuatu yang semula bergelayutan pada salah satu bibir batu. Benda yang disambar bukan sekadar singkong bakar atau pisang rebus, melainkan seraut wajah cantik berbibir ranum, tampak indah dan menggemaskan.

Dalam waktu yang amat singkat, wajah cantik yang semula bergelayutan di bibir batu dan nyaris terjun ke dasar jurang itu sekarang sudah ada di bawah pohon. Ternyata ia seorang gadis berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya yang ramping dan berkulit kuning mulus itu tampak masih bergetar. Kedua matanya yang berbulu lentik itu masih memejam kuat-kuat, ia belum sadar bahwa dirinya sudah berada dibawah pohon dengan aman.

Sosok tubuh kekar yang berbaju coklat dan bercelana putih lusuh itu berdiri di depan si gadis dengan bum bung tuak menyilang di punggungnya. Anak muda yang punya rambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah si tampan murid Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk.

"Tolooong...!"

"Husy! Jangan berteriak lagi! Kau sudah aman, Nona!" sentak Pendekar Mabuk dengan menahan rasa geli di dalam hatinya, ia segera meraih bumbung tuaknya karena ingin menenggak beberapa teguk tuak pelega tenggorokan. "Bukalah matamu, Nona. Kau sudah ada di daratan dengan aman," kata Suto Sinting.

Maka gadis yang berpakaian serba kuning dengan lengan bajunya yang longgar dan mempunyai belahan dada cukup lebar itu, segera membuka matanya pelan- pelan. Bibir ranum itu masih tampak gemetar, sehingga jika dipandang terlalu lama bisa bikin lawan jenisnya sesak napas karena diburu gairah dan kekaguman.

Pendekar Mabuk menenggak tuak sebentar, lalu melepaskan napasnya dengan lega. Ia sunggingkan senyuman kecil ketika si gadis akhirnya memandang kaget ke arahnya.

"Kkkau... kaaau... kaukah yang membawaku kemari?" tanya si gadis setelah terlebih dulu memperhatikan keadaan sekelilingnya dan menyadari bahwa dirinya sudah tidak bergelayutan pada dinding tebing seperti tadi.

"Ya, aku yang membawamu kemari."

"De... dengan cara bagaimana?!" tanyanya lagi masih kurang yakin.

"Menyambarmu dalam satu gerakan cepat yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman'."

"Hhmmm... apakah... apakah kau siluman?!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya yang berkesan geli namun penuh kesabaran. "Aku bukan siluman. Aku manusia biasa, sama sepertimu, Nona."

"Mengapa kau mempunyai gerak siluman?"

"Karena aku belajar bergerak cepat dengan gunakan ilmu peringan tubuh sehingga kecepatannya seperti siluman sedang bergerak."

Gadis itu memandang dengan dahi berkerut dan sorot pandangan matanya amat polos. "Apakah kau pernah... pernah... pernah melihat siluman bergerak?"

"Cerewet juga gadis ini," gumam Suto daiam hatinya. Namun yang disajikan di wajahnya adalah seulas senyum menawan, sesuai dengan ketampanannya yang sering membuat wanita berdebar-debar.

Si gadis tak mau tersenyum dan tetap memandang dalam kepolosan, seolah-olah ia menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Tetapi yang dilakukan si Pendekar Mabuk bukan menjawab, melainkan ganti bertanya kepada gadis itu.

"Apakah kau ingin melihat siluman bergerak?"

Gadis itu mengangguk dengan lugu. Suto Sinting kian geli dan perdengarkan tawa yang mirip orang menggumam. "Sayang sekali siluman sedang mendapat sahabat baru yang cantik jadi ia tak mau bergerak."

"Sombong sekali siluman itu," gumam si gadis dengan wajah benar-benar tampak kecewa, seakan kelakar Suto Sinting itu dianggap ucapan yang sesungguhnya.

"Siapa kau sebenarnya, Nona? Dan mengapa kau bisa sampai nyaris mati masuk jurang begitu?"

"Namaku..., hmm... namaku: Kejora," jawab si gadis dengan ragu-ragu. Mata bundarnya yang berbulu lentik itu seperti takut memandang wajah Pendekar Mabuk. Bibirnya tak mau sunggingkan senyum sedikit pun, masih kelihatan sisa ketegangan dari rasa takut jatuh ke jurang tadi. Sebentar-sebentar ia menyingkap rambutnya yang sering meriap ke pipi kiri jika sedang menunduk. Rambut itu tampak lembut sepanjang punggung berwarna hitam mengkilap. Kejora berkata lagi, "Aku tadi jatuh ke tebing karena tergelincir saat berlari menghindari kejaran orang-orang Candi Bangkai."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi sedikit. "Candi Bangkai?!" gumamnya dengan merasa asing, karena baru kali itu mendengar nama Candi Bangkai. Lalu ia bertanya, "Candi Bangkai itu nama orang atau nama perguruan?!"

"Candi Bangkai itu nama sebuah bangunan angker yang letaknya di Bukit Pocong," jawab Kejora dengan lugu. "Apakah kau belum pernah mendengar kisah Candi Bangkai?!"

Si wajah tampan berhidung bangir itu gelengkan kepala. "Baru sekarang kudengar nama itu."

Kejora melirik ke sana-sini diliputi rasa waswas, kemudian kembali menatap Suto Sinting. "Candi Bangkai itu tempat angker yang dihuni oleh si Raja Iblis alias Barakoak."

"Hmmm... nama aneh lagi? Barakoak...?!" gumam Suto Sinting bagai bicara pada dirinya sendiri. Baru saja Suto Sinting ingin ajukan tanya lagi pada gadis berdada sekal itu, tiba-tiba mereka sama-sama dikejutkan oieh suara orang berseru dari arah belakang Suto Sinting.

"Itu dia anaknya...!"

Suara kasar bernada besar itu membuat Suto Sinting cepat berpaling dan Kejora tersentak dalam pekikan tertahan.

"Oooh...!" wajah si gadis berubah tegang kembali. Dua orang segera berlari menghampiri Kejora.

Suto Sinting cepat ambil sikap melindungi Kejora dengan tubuh memunggungi gadis itu. Suara Kejora terdengar bergetar dari belakang Suto Sinting.

"Itu... itu dia mereka! Mereka anak buah Barakoak!"

"Tenanglah, biar kuhadapi mereka," ujar Suto Sinting dengan dada kekarnya sedikit terbusung, bumbung tuaknya siap digantungkan di pundak agar sewaktu-waktu mudah diraih. Jempol tangan kanannya mengait tali bumbung tuak.

Dua orang bertampang sangar itu berhenti dalam jarak lima langkah di depan Pendekar Mabuk. Keduanya memandang Suto Sinting dengan sikap bermusuhan. Keduanya sama-sama berkumis lebat dan berbadan kekar. Namun yang satu berwajah lonjong dan berdagu runcing, kulitnya hitam tebal, mengenakan celana hitam dan rompi merah, ia berambut panjang sepundak dengan ikat kepala kain merah.

Orang yang satunya lagi berwajah bundar lebar dengan mata besar, rambutnya ikal pendek dengan ikat kepala tali tambang putih. Mengenakan pakaian abu-abu dengan baju lengan panjang longgar, juga berkulit hitam tebal. Usianya sekitar empat puluh tahun, sama seperti temannya yang bertubuh agak pendek darinya.

"Rujak Gada, tangkap gadis itu sebelum melarikan diri lagi! Tangkap!" perintah orang berwajah lonjong kepada temannya yang berpakaian abu-abu. Ternyata orang itu bernama Rujak Gada. Mungkin karena ia bersenjata besi berantai bandul bola berduri yang dapat untuk menghancurkan kepala atau tubuh lawannya seperti rujak bebek, maka ia dikenal dengan nama si Rujak Gada.

Kejora tampak kian ketakutan saat dipandang oleh Rujak Gada. Suaranya berbisik lirih dengan nada gemetar di belakang Suto Sinting. "Aku tak mau ditangkap mereka."

"Berlindunglah di balik pohon, biar aku bisa bergerak bebas menghadapi mereka, Kejora," kata Suto Sinting sedikit palingkan wajah, tapi matanya tetap mengarah pada dua orang berwajah sangar itu.

Kedua orang itu kini melangkah ke samping saling merenggangkan jarak. Masing-masing mencari kesempatan baik untuk bergerak maju. Rujak Gada terdengar berkata kepada temannya yang mengenakan rompi merah itu.

"Rupanya pemuda gelandangan itu ingin menjadi pahlawan, Cingur Barong. Hancurkan wajah tampannya itu dan aku akan menyambar si Kejora!"

Orang yang dipanggil Cingur Barong menggeram dengan mata melebar tertuju pada Suto Sinting. Tangannya yang berjari besar itu bergerak-gerak bagai ingin meremas kepala Suto Sinting hingga remuk. Tetapi Suto Sinting masih kelihatan kalem-kalem saja. Cingur Barong berseru kepada Pendekar Mabuk,

"Jangan cari penyakit di depan kami, Bocah Gembel! Menyingkirlah dan tak perlu menjadi pelindung gadis itu!"

"Aku hanya melindungi pihak yang lemah!" ucap Suto Sinting dengan tegas.

"Gadis itu tidak perlu kau lindungi. Kami punya urusan sendiri yang tidak berhak dicampuri oleh orang lain. Karena itu, sekali lagi kuperingatkan kepadamu, Bocah Gembel; menyingkirlah dari hadapan kami!"

"Jika kalian bisa singkirkan aku maka kalian dapat menangkap gadis itu!"

"Bangsat! Jangan menantang kami, Pemuda Dungu!" bentak Rujak Gada dengan sangat kasar.

Gertakan itu hanya membuat Pendekar Mabuk tersenyum tipis. Senyum itu makin membuat Rujak Gada menggeram tak sabar lagi. Maka, yang seharusnya ia bertugas menyambar Kejora, kini justru ia yang menyerang Suto Sinting lebih dulu.

"Kuhancurkan batok kepalamu, Setan Ingusan! Heeeeah...!" Rujak Gada bergerak maju dengan satu lompatan bertubuh memutar. Putaran tubuh itu melayangkan sebuah tendangan ke wajah Suto Sinting. Wuuuut...!

Suto Sinting menggeloyor bagai orang mabuk ingin tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tendangan kaki lawan, sehingga kaki itu akhirnya hanya berkelebat di atas kepalanya. Lalu dengan berlagak seorang mabuk yang jatuh ke samping, kaki Suto Sinting menyampar kaki lawannya. Weees...!

Plaaak...! Brrruk...!

Rujak Gada terpelanting jatuh akibat samparan kaki Suto Sinting. Pada saat itulah Cingur Barong melompat ke arah Kejora. Wuuuus...! Melihat Kejora dalam bahaya, Suto Sinting segera berguling di tanah satu kali, kemudian tubuhnya melenting ke atas dengan satu sentakan tangan kiri ke tanah. Wuuut...! Tubuh kekar itu melayang di udara ke arah Cingur Barong. Pertemuan di udara membuat mereka saling menghantamkan pukulannya.

"Modar kau!" Cingur Barong hantamkan kepalan tinjunya yang besar.

Taaab! Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan kiri. Lalu tangan kanannya menyodok ke depan dengan gerakan amat cepat.

Wuuuut...! Prrrok...!

"Uuuuhg...!" Cingur Barong tersentak mundur ke belakang dalam keadaan masih melayang, lalu segera jatuh tak berkeseimbangan lagi. Brrruk...!

Suto Sinting mendaratkan kakinya dengan limbung mirip orang yang sudah mabuk berat. Namun dalam sekejap ia tegak kembali dan tampak perkasa. Matanya melirik ke arah Kejora.

"Syukurlah ia telah bersembunyi di balik pohon," pikir Suto Sinting merasa tenang melihat Kejora berada di balik pohon, mengintip pertarungan itu dari sana.

Rujak Gada dan Cingur Barong sama-sama bangkit berdiri penuh nafsu amarah. Keduanya sama-sama menggeram dengan mata semakin memandang buas kepada Pendekar Mabuk.

"Kau benar-benar cari penyakit, Setan Bodoh!" bentak Rujak Gada. "Jangan merasa bangga dulu jika kau bisa membuat kami jatuh, karena kami hanya menjajal kemampuan ilmumu. Sekarang saatnya kami mengirimmu ke neraka!"

"Kebetulan aku belum tahu jalan ke sana!" ujar Suto Sinting menanggapi dengan tenang sekali. Bahkan di bibirnya tersungging senyum tipis yang membuat kedua lawannya kian penasaran.

Seeet...! Rujak Gada mencabut senjatanya; sepotong besi berongga yang ujungnya mempunyai bola berduri sebesar kepalan tangannya. Besi itu disentakkan ke depan, srrraak...! Ternyata mengeluarkan rantai panjang yang menjadi tali dari bola berduri itu. Kemudian bola besi berduri itu diputar-putar di atas kepala. Wuuung, wung, wuuung...!

"Hancurkan kepalanya, Rujak Gada! Jangan kasih ampun lagi padanya. Pantatku dibuatnya sakit karena membentur batu!" teriak Cingur Barong yang juga segera mencabut senjatanya; kapak dua mata.

"Heeeeaaat...!" Rujak Gada melompat sambil menyambarkan bola besi berduri itu ke arah kepala Suto Sinting.

Pendekar Mabuk tidak menghindar, namun justru mengangkat bambu bumbung tuaknya dan menangkis kedatangan bola besi berduri itu.

Traaang...!

Bola besi itu beradu dengan bambu bumbung tuak menimbulkan suara gemerentang bagai menghantam sepotong besi. Percikan api menyembur dari perpaduan bola besi berduri dengan bambu bumbung tuak. Ternyata bambu itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun, bahkan lecet sedikit juga tidak.

Tetapi Suto Sinting sedikit lengah, sehingga kaki lawannya yang kekar itu berhasil menendang ujung pundaknya. Deees...! Wuuut...! Pendekar Mabuk terpelanting ke belakang dan membentur pohon tak seberapa besar. Pohon itu bergetar, daunnya rontok sebagian. Lalu, Rujak Gada menyerang kembali dengan mengibaskan senjatanya. Wuuuut...! Suto Sinting cepat rendahkan badan, sehingga bola berduri itu kenai pohon tersebut.

Crraak...! Duaaar...!

Ledakan kecil terjadi setelah Suto Sinting berguling ke samping dengan gerakan seperti seekor harimau menghindari lawannya. Pohon yang terkena bola besi berduri itu menjadi somplak lebar akibat ledakan yang ditimbulkan oleh senjata tersebut. Rupanya senjata itu bukan saja mengandalkan keruncingan durinya, namun juga disaluri tenaga dalam cukup tinggi, sehingga jika menyentuh apa pun akan timbulkan ledakan yang menghancurkan benda tersebut.

"Aaauwww...!" terdengar suara Kejora menjerit. Mata Suto Sinting cepat dilayangkan ke tempat persembunyian Kejora. Rupanya saat itu Kejora sedang berpindah tempat karena hindari kedatangan Cingur Barong. Melihat keadaan yang membahayakan jauh dari jangkauannya, Pendekar Mabuk segera keluarkan jurus 'Jari Guntur' yang menggunakan sentilan jari tangan kanannya. Tuuuus...!

Wuuut...! Buuuhg...!

"Aaaahg...!" Cingur Barong terpekik karena pinggang kirinya seperti ditendang kuda jantan amat kuat. Sentilan jari yang mengeluarkan tenaga dalam tanpa sinar itu membuat tubuh Cingur Barong melayang dan terhempas hingga membetur sebongkah batu sebesar anak sapi. Ia mengerang kesakitan sambil menggeliat bangkit. Kepalanya berdarah akibat benturan dengan batu besar itu.

"Manusia busuk!" geram Rujak Gada setelah melihat temannya berdarah, ia memutar-mutar rantai bola berduri dengan kaki sesekali menghentak ke tanah. Hentakan itu adalah cara mengeluarkan tenaga dalam yang disalurkan melalui rantai tersebut. Akibatnya putaran rantai itu membuat bola besi berduri itu memercik-mercikkan bunga api merah dalam setiap putarannya.

"Habislah riwayatmu, Jahanaaaam...!" Rujak Gada berteriak sambil lakukan sentakan pada tangannya, zraaak...! Rantainya semakin panjang dan segera menyambar tubuh Suto Sinting. Wuuuung...!

Namun pada saat itu Suto Sinting sudah berkelebat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya menerjang Cingur Barong yang berlari mengejar Kejora.

Zlaaaap...! Brruuss...!

"Aaaaow...!" Cingur Barong terlempar ke tepian jurang akibat terjangan kaki Pendekar Mabuk. Pada saat ia bangkit kembali dengan menggeram kesakitan, Suto Sinting lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi dengan sebuah sentilan ke arah dada Cingur Barong. Tuuuss...!

Wuuuut...! Buuuhk...! Tenaga dalam yang terlepas dari sentilan jari Pendekar Mabuk tepat kenai bagian atas ulu hati Cingur Barong. Orang itu tersentak ke belakang, padahal di belakangnya adalah jurang bertebing curam. Keseimbangan tubuhnya pun hilang, dan akhirnya Cingur Barong jatuh kejurang.

"Aaaaa...!" jeritannya melengking tinggi menggema di sana-sini.

"Bangsaaaat...!" teriak Rujak Gada semakin murka, ia berlari dan melompat ke arah Suto Sinting dengan bola berduri yang masih memercik-mercikkan bunga api.

Suto Sinting rendahkan badan hingga berlutut satu kaki. Kemudian jarinya menyentil lagi dan tenaga dalam yang keluar menghantam perut Rujak Gada yang sedang melayang di udara. Duuuhb...!

"Heeeehg...!" Rujak Gada memekik tertahan, tubuhnya kian melambung tinggi dan berjungkir balik. Gerakan jungkir baliknya melewati batas tepian bibir jurang, akhirnya ia meluncur turun tanpa sempat berpijak lagi. Ia terkejut mengetahui dirinya telah tidak punya tempat berpijak.

"Aaaaaaowww...!" teriakannya pun menggema karena pantulan dinding tebing curam itu.

Suto Sinting memandang dengan jengkel dan menggerutu, "Yaaah... akhirnya dua-duanya masuk jurang?! Uuuh...! Dasar bodoh! Sudah tahu jurang ini dalam sekali, mau-maunya nyebur ke sana! Kalau begini aku tak bisa dapat keterangan apa sebab mereka mengejar si Kejora?! Sial! Punya lawan dua saja mati semua! Lain kali kalau tidak berilmu tinggi janganlah coba-coba melawanku. Mereka itu memang keras kepala dan berlagak jago! Kalau tahu ilmu mereka tak seberapa, aku tak mau melawannya dengan penuh semangat! Uuuh... menyebalkan sekali mereka itu! Jangan-jangan mereka memang punya kegemaran nyebur ke jurang?!"

Kedua orang Candi Bangkai sama-sama terlempar ke jurang. Teriakan mereka pun segera menghilang dalam beberapa kejap kemudian. Setelah itu, alam menjadi sepi, dan Suto Sinting segera menghela napas, melegakan dadanya yang tadi dipakai menahan napas beberapa kali. Ia tak memeriksa keadaan lawannya yang sudah masuk jurang itu. Yang menjadi pusat perhatiannya sekarang adalah gadis mungil yang punya kecantikan lugu itu.

"Hei, ke mana gadis itu tadi?!" sentak batin Suto Sinting karena kaget tak menemukan Kejora di sekitar tempat itu.

"Kejoraaaa...!" ia berusaha memanggil, namun tak mendapat jawaban. Gadis itu telah hilang; entah disambar anak buah Barakoak lainnya atau melarikan diri karena tak mau dekat-dekat dengan pertarungan tadi. Yang jelas Suto Sinting sudah menyusuri tempat itu, dan si gadis memang tak ditemukan.

"Jangan-jangan ia tergelincir masuk jurang lagi?!" pikir Suto Sinting.

Keputusan hati sang Pendekar Mabuk adalah mencari Kejora ke arah datangnya dua orang Candi Bangkai tadi. Hatinya menduga kuat bahwa Kejora ditangkap dan dibawa lari oleh teman Rujak Gada dan Cingur Barong yang tak ikut menampakkan diri selama pertarungan tadi. Namun ketika Suto Sinting ingin berkelebat mengejar ke arah yang diyakini, tiba-tiba ia mendengar seruan dari dasar jurang. Seruan itu terdengar kecil dan samar-samar.

"Tolooong...?!"

Suto Sinting segera periksa keadaan di bagian tebing curam itu. Ternyata yang berseru tadi adalah si Cingur Barong, ia tersangkut bebatuan yang menonjol pada dinding tebing, ia bergelayutan di sana dalam kedalaman yang sukar dijangkau lagi. Sementara itu, Rujak Gada juga mengalami nasib yang sama, tersangkut pada ujung bebatuan yang menonjol dari dinding tebing tandus itu. Jarak keduanya tak terlalu jauh, namun juga tak mudah saling menjangkau.

"Rujak Gadaaaa...! Tolong akuuu...! Tolong selamatkan jiwaku, Rujak Gadaaa...!"

Rujak Gada yang kebingungan mengangkat diri dari gelayutannya itu berseru jengkel, "Matamu buta, ya?! Apa kau tak lihat aku juga dalam bahaya begini?!"

"Di mana letak setia kawanmu, Rujak Gada?! Mengapa kau tak mau menolongkuuu...!"

"Mukamu sobek!" maki Rujak Gada. "Aku sendiri butuh pertolongan, bagaimana aku bisa menolongmu?!"

Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar pertengkaran mereka. Batinnya berkata, "Dasar orang-orang dungu! Sudah tahu saling dalam bahaya masih saja bertengkar!"

"Aaaaa...!" suara jeritan kecil itu kian mengecil, kemudian lenyap dan berganti teriakan lain.

"Rujak Gadaaaa...! Rujaaaak...!"

Rupanya Rujak Gada gagal mencapai tempat berpijak yang aman. Ia tergelincir dan jatuh ke dasar jurang yang masih jauh dari tempatnya tersangkut tadi.

"Rujaaak...!" teriak Cingur Barong dengan sedih melihat temannya tak terselamatkan lagi.

Suto Sinting akhirnya meninggalkan tebing itu setelah merasa tak akan mampu menyelamatkan Cingur Barong, ia melangkah ke arah yang dimaksud tadi sambil membatin kata, "Sudah mau mati masih memanggil-manggil tukang rujak! Ck, ck, ck... payah mereka itu!"

* * *

DUA

PENCARIAN si gadis lugu terhenti oleh suara ledakan dari arah barat. Pendekar Mabuk arahkan langkahnya ke barat karena rasa ingin tahu apa yang terjadi di sana.

"Pasti sebuah pertarungan!" pikirnya penuh harap, karena ia senang mengintai pertarungan untuk mengumpulkan pengetahuan tentang jurus-jurus yang ada di rimba persilatan. Pengintaian di lakukan dari balik semak bertanah tinggi. Dan mata yang tak pernah merah walau menenggak tuak sebanyak apa pun itu kini menjadi tegang terbelalak melihat tiga orang lelaki berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun, sedang berhadapan dengan lawan yang bertubuh menjijikkan.

Orang yang bertubuh menjijikkan itu mempunyai kulit dan daging yang lunak, membusuk, dan banyak belatung yang sedang menggerogotinya. Sebagian wajahnya telah somplak akibat dimakan kebusukan dan dibuat pesta para belatung. Orang tersebut tak lain adalah sesosok mayat yang sudah lama terkubur dan kini bangkit kembali. Pendekar Mabuk mengenali mayat itu, sehingga ia pun menjadi terkesiap di tempat sambil menggumam lirih pada dirinya sendiri.

"Mayat Resi Dirgantara...?! Oh, ternyata mayat itu masih bergentayangan akibat dibangkitkan oleh si Ratu Sangkar Mesum dulu?! Kusangka mayat itu sudah kembali ke kuburnya, ternyata ia masih berkeliaran dengan liar."

Peristiwa pertemuan Suto Sinting dengan mayat Resi Dirgantara terbayang kembali dalam benak. Wajah cantik jalang milik Ratu Sangkar Mesum juga muncul dalam ingatan Suto Sinting. Hatinya tersengat rasa panas ketika disadari bahwa wajah cantik itu adalah wajah orang yang menjadi musuh calon istrinya; Gusti Mahkota Sejati yang menjadi ratu di Puri Gerbang Surgawi alam nyata. Kala itu si Ratu Sangkar Mesum pergi meninggalkan Suto Sinting dalam keadaan terluka.

Apakah sekarang masih terluka, atau sudah sembuh, atau justru sudah mati, Suto Sinting tak pernah tahu. Ia hanya bisa mengenang peristiwa sebulan yang lalu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kipas Dewi Murka).

"Kini mayat itu menyerang tiga lelaki berwajah angker," kata hati Suto Sinting mengalihkan pikirannya. "Siapa ketiga lelaki berwajah angker itu? Gerak-geriknya menimbulkan kesan bahwa mereka dari aliran hitam atau... ah, yang jelas mereka tampaknya bukan orang baik-baik. Tak layak aku turut membantu mereka. Biarlah mereka selesaikan sendiri urusan mereka dengan mayat Resi Dirgantara. Tapi... oh, siapa yang bersembunyi di balik pohon seberang itu? Bocah kecil...?! Oh, ya... bocah kecil! Anak siapa dia? Mengapa berani mengintai di balik pohon? Apakah dia tidak takut dengan mayat Resi Dirgantara? Setidaknya ia akan jijik melihat keadaan mayat busuk berbelatung begitu!"

Pandangan mata Suto Sinting beralih kembali ke pertarungan. Mayat Resi Dirgantara dikurung tiga orang berwajah angker. Namun mayat hidup dengan biji matanya putih semua itu tidak melarikan diri. Ia justru tampak buas, mengangkat kedua tangannya yang berkuku panjang dan runcing itu, lalu mengeluarkan suara serak yang susah dimengerti.

"Kkkkraaahhkk...! Ggrrr, kkrrraakkhg...!"

Salah seorang menyerangnya dengan sebilah golok dari belakang. Orang itu melesat dalam satu lompatan tak seberapa tinggi, kemudian goloknya ditebaskan ke pundak si mayat hidup. Wuuut...! Tapi gerakan mayat hidup lebih cepat saat membalikkan badan. Weet...! Kemudian ketika golok itu menebas turun, ia menangkap dengan tangan kirinya. Zraaab...! Ia tak peduli telapak tangannya terluka karena ketajaman golok yang ditangkap. Namun tangan kirinya segera berkelebat mencakar tubuh lawannya dengan gerakan dari bawah ke atas.

Wuuut...! Brreeet...!

"Aaaaahg...!" orang itu memekik dengan wajah menyeringai. Perut hingga bagian dada robek parah akibat cabikan kuku runcing si mayat hidup. Tangan mayat tak mau melepaskan golok orang itu, dan si pemilik golok sendiri tak mau melepaskan senjatanya. Maka, cabikan cakar yang kedua terjadi dengan cukup mengenaskan.

Wuuut...! Breeeett...!

"Aaaauh...!" orang itu memekik karena wajahnya menjadi rusak bagai disabet lima mata pisau runcing yang amat tajam. Dan robekan ketiga tepat kenai leher orang tersebut.

Jrrub, breeettt...!

"Heeggrr...!" tentu saja orang tersebut tak bisa berteriak lagi. Ia segera tumbang sebelum kedua temannya maju menyerang.

Rupanya mayat itu tahu apakah lawannya masih hidup atau hanya pingsan saja. Ia melepaskan lawannya yang sudah tidak bernapas itu, lalu segera menghadapi kedua penyerangnya yang datang dari arah belakang. Wuuut...! Dalam satu putaran gerak, tangan si mayat berkelebat dari samping bawah ke samping atas. Gerakan tangan itu timbulkan sinar merah panjang bagai lidah api yang segera menyambar dua orang itu. Claaaap...!

Crraasss...! Lidah api dari sinar merah kenai tubuh kedua lawan dalam sekali serang. Akibatnya, tubuh kedua orang itu kepulkan asap putih dalam keadaan diam tertegun di tempat. Kejap berikutnya, ketika mereka masih saling heran, tiba-tiba asap menjadi tebal dan nyala api pun datang. Dalam waktu singkat keduanya segera terbungkus api sekujur tubuhnya. Wuuusss...!

"Aaaaow...!"

"Auuuh.... Panas, panas, panaaas...!"

Keduanya saling berjingkrak-jingkrak dalam upayanya memadamkan api, tapi api yang membungkus tubuh mereka tak mau padam juga. Keduanya segera berguling-guling namun api tak mau padam, sehingga akhirnya mereka meraung-raung dengan suara keras, dan akhirnya mereka diam tak berkutik dalam keadaan mati hangus menjadi arang tanpa serat daging maupun sisa pakaian mereka.

"Ganas sekali mayat itu?!" pikir Suto Sinting dengan sedikit cemas kepada bocah yang sedang mengintip dari balik pohon. Si bocah tampak masih tertarik dengan adegan itu, sehingga ia masih berada di tempatnya.

Mayat hidup mendiang Resi Dirgantara mengerang berkali-kali sambil bola matanya yang putih polos itu bergerak ke sana-sini. Akhirnya mayat itu melangkah gontai mendekati bocah kecil di balik pohon. Pendekar Mabuk tersentak kaget, lalu segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk selamatkan bocah tersebut.

Zlaaap...! Tiba di balik pohon, Pendekar Mabuk terperanjat kembali, karena bocah yang bersembunyi itu ternyata adalah gadis kecil berambut cekak warna pirang, seperti rambut jagung. Bocah itu pun terkejut melihat kehadiran Suto Sinting hingga terpekik dan segera melarikan diri.

"Hei, tunggu...!" seru Suto Sinting dengan cemas, karena bocah itu berlari ke arah datangnya mayat Resi Dirgantara, ia tak sadar bahwa pelariannya itu membuat si mayat hidup diam di tempat bagaikan menghadang mangsa datang. Ketika bocah itu tidak menengok ke belakang lagi, ia terpekik kaget melihat mayat hidup sudah ada di depannya dalam jarak tiga langkah.

"Aaaa...!" jeritannya cukup lengking dengan kedua bola matanya yang bundar mirip kelereng itu terbelalak lebar.

"Kkkrraahk...!" mayat tersebut menyeringai menampakkan mulutnya yang berbibir somplak, sebagian belatung tersembur keluar dari mulut itu. Kedua tangan si mayat merenggang hendak menyambar gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun itu.

Pendekar Mabuk cepat-cepat bergerak menerjang mayat itu dengan bumbung tuak dihantamkan dalam sekelebat. Zlaaap...! Wuuuut...!

Brrrruuss...! Mayat hidup itu terlempar akibat hantaman bumbung tuak. Belatungnya menyebar ke mana-mana, ia jatuh terpuruk bagai seonggok daging busuk. Namun hal itu tidak membuat si mayat hidup terpuruk selamanya, ia mulai bangkit perlahan-lahan, padahal biasanya orang yang terkena hantaman bumbung tuak itu akan menjadi lumpuh atau hancur tulangnya dan tak berdaya lagi.

Agaknya mayat Resi Dirgantara sukar mengalami kematian yang kedua, karena kekuatan gaib Ratu Sangkar Mesum yang dipakai membangkitkan mayat itu telah membuat kesaktian Resi Dirgantara bekerja kembali.

"Bahaya...!" geram Suto Sinting saat memandangi mayat yang muiai bergerak hendak bangkit itu. "Gadis kecil itu yang harus kuselamatkan lebih dulu!" pikirnya.

Tapi ketika ia berpaling memandang si gadis kecil, tiba-tiba gadis itu sentakkan kaki dan melompat pergi. Gadis kecil itu bergerak dengan lincah, bersalto dua kali di udara secara cepat. Wuuut, wuuut...! Kakinya menjejak batang pohon dan bersalto kembali ke belakang, lalu ia berpiak-piak, jungkir balik dengan menggunakan kedua tangannya untuk bertumpu di tanah. Wes, wes, wes, wes...!

Wuuut...! Gadis itu tiba-tiba sudah berada di atas pohon, berdiri pada sebuah dahan. Kemudian sentakan kakinya membuat tubuh kecil itu melesat dari pohon ke pohon, melayang di udara dalam gerakan jungkir balik beberapa kali, kemudian menerabas dedaunan pohon dan melesat pergi entah kemana.

Pendekar Mabuk dibuat terpaku dan terbengong ditempat. "Edan gadis kecil itu! Gerakannya cepat sekali seperti anak menjangan. Aku harus memburu bocah itu dan ingin mengetahui siapa dia sebenarnya!"

Rasa penasaran Suto Sinting membuatnya berkelebat tinggalkan mayat Resi Dirgantara yang sudah mulai bangkit lagi itu. Zlaaap...! Gadis kecil yang lincah dan luar biasa gesitnya itu menjadi bahan buruan Suto Sinting. Agaknya gadis kecil berpakaian rompi kulit binatang berbulu hitam dan putih dengan celana pendeknya juga terbuat dari kulit binatang warna coklat rusa itu lebih menarik untuk diburu ketimbang gadis cantik Kejora.

Pendekar Mabuk hampir saja salah arah. Untung ia melihat gadis itu berlari biasa di sela-sela pepohonan. Pendekar Mabuk pun segera membelokkan arahnya, ia sengaja menguntit gadis kecil yang mengenakan kalung tali hitam dengan bandul batu merah delima sebesar kacang tanah. Lompatan demi lompatan yang dilakukan oleh si gadis kecil sangat menarik perhatian dan membuat hati Suto Sinting terkagum-kagum. Satu lompatan menghasilkan jarak yang panjang, yang tidak bisa dilakukan oleh orang dewasa tak berilmu. Suto Sinting tersenyum girang memperhatikan gadis kecil itu melompat-lompat dalam larinya.

"Benar-benar mirip anak menjangan mencari induknya," gumam hati Suto Sinting sambii geleng-geleng kepala. Rasa suka terhadap gadis kecil itu membuat Pendekar Mabuk tak mau hanya sekadar menguntit dan memperhatikan dari tempat tersembunyi, maka ia pun segera berkelebat menyusul gadis kecil itu, lalu menghadang si gadis kecil dengan lebih dulu bersembunyi di balik pohon. Ketika gadis kecil itu hendak melintasi jalan di depannya, Suto Sinting segera muncul dengan gerakan cepat, tahu-tahu ada di depan si gadis.

"Aaahh...?!" gadis kecil itu terpekik kaget. Matanya yang bundar indah mendelik dengan mulut ternganga, ia segera berbalik arah dan melesat pergi kembali ke arah semula. Namun Suto Sinting segera menyambar lengan si gadis kecil itu. Wuuuut...!

"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!" teriak si gadis dengan meronta-ronta.

"Jangan takut, Gadis Kecil! Aku bukan orang jahat! Ada yang ingin kutanyakan padamu, Dik!"

"Tidak mau! Aku tidak mau menjawab! Lepaskan akuuu...!" gadis itu ingin menangis karena jengkel tak bisa meronta lepas dari genggaman Suto Sinting. Sedangkan pemuda ganteng itu justru tertawa-tawa kegirangan melihat gadis kecil itu ingin menangis dan berwajah cemberut.

"Lepaskan aku...! Aku tidak mau diperkosa! Lepaskan...!"

"Husy! Siapa yang mau memperkosamu! Kau masih kecil dan tak pantas untuk menerima perlakuan sehina itu, Dik!"

Gadis itu akhirnya hentikan gerakannya, ia memandang Suto Sinting dengan sikap ketus dan berlagak angkuh. "Mau apa kau memegangi tanganku?!"

"Aku ingin kenal denganmu," Suto Sinting melepaskan genggamannya.

"Hmmm...!" gadis kecil itu buang muka dengan mencibir. Lagaknya bagai orang dewasa yang angkuh terhadap seorang lelaki. Ia berkata tanpa memandang Suto Sinting. "Apa perlunya berkenalan denganku? Aku masih kecil, belum pantas menjadi istrimu!"

Suto Sinting justru tertawa geli. Si gadis kecil melirik sinis, membuat Suto Sinting kian gemas dan kegelian memandang lagak tengil itu.

"Kalau kau mau cari seorang kekasih atau calon istri, carilah kakakku!"

"Oh, kau punya kakak?!"

Gadis kecil itu pandangi Suto Sinting dengan dagu terangkat sedikit, kedua tangannya bersedekap di dada. "Hmmm... boleh juga."

"Apanya yang boleh, Dik?"

"Ketampananmu boleh juga!"

"Gila! Kecil-kecil sudah bisa menilai ketampanan seorang lelaki?!" ucap Suto bagai ditujukan pada diri sendiri, tapi si gadis kecil menyahutnya.

"Apa sulitnya membedakan pria tampan dan pria berwajah kusut?!"

Suto Sinting tertawa dengan suara rendah. Gadis kecil itu agaknya mempunyai jalan pikiran dan kecerdasan menyamai gadis tujuh belas tahun. Bibirnya yang kecil, mungil, tipis, menandakan sebagai bibir gadis yang cerewet dan pandai bicara. "Siapa yang mengajarmu membedakan pria tampan dan pria kusut?" pancing Suto sambil membungkuk agar berhadapan wajah.

"Kakakku," jawabnya singkat bernada ketus, seakan membanggakan kakaknya. Kemudian ia bertanya, "Apakah kau orang Candi Bangkai?!"

"Bukan," jawab Suto Sinting dengan kerutkan dahinya, merasa aneh mendengar pertanyaan gadis sekecil itu yang menyebut-nyebut nama Candi Bangkai. Tapi sebelum Suto bicara, ternyata gadis kecil itu sudah lebih dulu perdengarkan suaranya yang kecil dan lucu.

"Kakakku bilang, pria yang tampan itu berwajah bersih dan enak dipandang, contohnya seperti kau! Tapi kalau pria yang kusut itu wajahnya sulit dipandang dan tak bisa dinikmati keindahannya, contohnya seperti tiga orang yang mengejarku tadi."

"Tiga orang yang mana?" Suto Sinting berkerut dahi.

"Yang tadi..., yang akhirnya dibunuh oleh manusia busuk itu!"

"O, jadi kau dikejar-kejar oleh tiga orang yang mati dibunuh mayat hidup itu?!"

"He, eh!" jawab si kecil dengan wajah bersungut-sungut. "Orang-orang Candi Bangkai memang beraninya hanya sama anak kecil!"

Makin tajam kerutan dahi Suto Sinting dalam memandang si gadis kecil itu. Hatinya berkata, "Jadi tiga orang berwajah angker tadi adalah orang-orang Candi Bangkai; anak buah si Raja iblis itu?! Hmmm... kalau begitu nasib gadis kecil ini sama dengan nasib si Kejora. Lalu, untuk apa orang-orang Candi Bangkai mengejar anak sekecil ini?!"

Gadis kecil yang memakai giwang merah delima sebesar merica itu berkata bagai bicara pada diri sendiri. Wajah manisnya bersungut-sungut membuat bibir kecilnya itu meruncing lucu. "Sayang aku tak bisa melawan mereka. Kalau aku punya kesaktian tinggi, akan kutumbangkan si Raja iblis; Barakoak itu! Akan kugulung habis orang-orang Candi Bangkai!"

Ia memandang Suto Sinting dan menyambung kata, "Mungkin saat ini kakakku sudah tertangkap oleh mereka."

"Apakah kakakmu juga dikejar-kejar oleh mereka?!"

Gadis kecil itu mengangguk. Sorot matanya mulai tampak sedih. "Siapa kakakmu itu?!"

"Kejora!" jawabnya singkat, menyentak halus hati Suto Sinting. "Pantas, ternyata dia adik si Kejora," gumam Suto Sinting dalam hatinya.

Gadis itu mengalihkan pandang sebentar sambil berkata, "Jika Kejora tertangkap berarti aku tinggal berdua dengan kakakku yang sulung."

"O, kau masih punya kakak lagi?"

"Dua kakakku sudah tewas di tangan mereka. Demikian pula dengan Ayah dan ibuku, dibantai mereka dalam satu malam. Tapi kakakku yang sulung saat itu sedang pergi bersama Kejora. Jadi tidak ikut menjadi korban pembantaian kaki tangan Barakoak. Aku bisa lari loloskan diri melalui jalan belakang rumah. Sekarang kami tinggal tiga saudara; masih juga diburu-buru oleh Barakoak. Aku dan Kejora mencari kakak sulungku yang sedang menghubungi sahabat Ayah untuk meminta bantuan melawan orang-orang Candi Bangkai. Sampai sekarang kami belum berhasil bertemu dengan kakak sulungku. Aku dan Kejora berpencar karena pengejaran orang-orang jahat itu!"

"Tabah sekali ia menuturkan cerita itu," kata Suto Sinting dalam hati. "Ia tampak tegar walaupun menyimpan kesedihan atas kematian keluarganya."

Gadis kecil itu tiba-tiba berkata, "Kalau kau mau membantuku, nanti kukenalkan kepada kakak sulungku. Akan kubujuk dia agar mau menjadi kekasihmu."

Senyum mekar di bibir Pendekar Mabuk berkesan kaku; antara geli dan iba terhadap nasib gadis kecil itu. Namun ucapan itu tetap ditanggapi dengan baik oleh Pendekar Mabuk yang sudah berdiri tegak sejak tadi, karena si gadis naik ke atas batu hingga ketinggian mereka sejajar.

"Siapa nama kakakmu yang sulung itu?"

"Hening," jawab si gadis kecil dengan singkat tapi jelas.

"Nama yang aneh," gumam Suto Sinting. "Lalu namamu sendiri siapa?"

Gadis itu buang muka memandang ke arah lain, "Aku biasa dipanggil dengan nama: Menik."

"Menik siapa?"

"Menik... Menikmati apa adanya," jawab si gadis dengan mengulum senyum pertanda tidak sungguh-sungguh menjawab. Namun nama Menik adalah nama yang sebenarnya dimiliki si kecil tengil itu.

"Hening, kakakku itu, cantik sekali. Pantas menjadi istrimu. Kalau kau mau membantuku, kau tak akan kecewa mendapat hadiah berupa seorang istri secantik Hening," kata Menik dengan nada bicara seperti orang dewasa.

Suto Sinting tertawa sedikit keras, merasa sedang dibujuk anak kecil agar segera menikah dengan seorang wanita pilihan si kecil sendiri. Bagi Suto Sinting kejadian ini adalah kejadian yang lucu dan menggelikan sekali.

"Kenapa tertawa saja? Apakah kau tak punya keberanian menikahi seorang perempuan?!" sentak Menik semakin sok tua, dan Suto Sinting semakin tak bisa menjawab karena tawanya kian menjadi-jadi.

Tapi dalam hatinya pemuda tampan itu bertanya-tanya, "Seperti apakah kecantikan gadis bernama Hening itu, sehingga sang adik tampak berkeinginan sekali menjodohkan aku dengan kakaknya? Aku jadi ingin melihat kecantikan itu."

Pendekar Mabuk menjadi penasaran sekali; ingin melihat kecantikan kakak sulung Menik. Tetapi gadis kecil itu berkata,

"Kalau kau pernah melihat kecantikan seorang ratu dari Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, maka kau berarti sudah pernah melihat kecantikan kakak sulungku."

Suto Sinting kaget bukan kepalang. Gusti Mahkota Sejati adalah gelar yang dipakai Dyah Sariningrum, calon istri Suto yang sudah sering ditemuinya. Perempuan itu memang seorang ratu dari negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Tapi apakah berarti kakak sulung Menik itu adalah Dyah Sariningrum juga?

* * *

TIGA

GADIS kecil yang berpotongan seperti anak lelaki itu segera membawa Suto Sinting masuk ke sebuah gua tak jauh dari tempat mereka bertemu, ia menyuruh Suto Sinting agar buru-buru masuk ke gua dengan wajah tegang.

"Cepatlah masuk kalau kau tak ingin mati beku!"

Pendekar Mabuk heran mendengar seruan itu. "Hari sepanas ini kau bilang aku akan mati beku? Apa maksudmu, Menik?!" seru Suto yang masih ada di luar gua dengan tenang.

"Masuklah, nanti kujelaskan apa maksud kata-kataku! Cepat, cepat...!"

Dengan rasa ingin tahu, akhirnya Pendekar Mabuk menuruti keinginan si kecil Menik, ia masuk ke gua yang berlorong menjorok ke bawah. Agaknya lorong gua itu cukup panjang, sehingga ketika mereka bicara gemanya masih terdengar pada saat mulut mereka telah berhenti bicara.

"Kau ini senang bikin ulah yang bukan-bukan rupanya!" kata Suto Sinting sambil perhatikan si gadis yang memandang ke arah luar dengan mata menegang.

"Sekarang aku sudah ada di dalam gua mengikuti saranmu. Jelaskan apa maksudmu menarik-narikku dan membawaku ke dalam gua ini?!"

Baru saja Pendekar Mabuk berhenti bicara, tiba-tiba ia mendengar deru angin kencang dari kejauhan. Angin itu bagai suara lolongan serigala yang mengalun mendayu-dayu. Makin lama semakin jelas, pertanda semakin dekat pula hembusan angin tersebut. Suto Sinting menjadi bertambah heran hingga mengerutkan dahinya. Sementara itu, Menik masih ada tak jauh dari mulut gua dan memandang ke arah luar dengan tegang.

Hembusan angin kini benar-benar terasa menerpa alam sekitar gua itu. Cahaya matahari yang terang menjadi redup dalam waktu yang amat singkat, bahkan bisa dikatakan redup secara tiba-tiba. Hawa dingin mulai terasa membelai kulit lengan Suto Sinting yang mengenakan baju sebatas ketiak itu. Udara dingin itu semakin lama semakin menyerap ke pori-pori kulit, dan bertambah lama bertambah terasa menembus ke tulang belulang.

"Kita masuk ke tempat yang lebih dalam!" ajak Menik sambil menarik tangan Suto Sinting.

Mau tak mau Pendekar Mabuk yang saat itu seperti kambing congek karena serba heran dan bingung itu segera mengikuti langkah Menik. Mereka menuruni lorong gelap yang berdinding lembab. Hembusan udara dingin terasa masuk ke gua dan menerpa kulit tubuh mereka. Dalam keadaan gelap, Pendekar Mabuk hanya bisa mengikuti langkah kaki Menik yang berjalan lebih dulu, berlari-lari kecil sambil menuntun tangan Suto Sinting.

"Mau kau bawa ke mana aku ini, Menik?"

"Menyelamatkan diri!" jawab Menik. "Ikuti saja langkahku, kau tak akan terancam bahaya. Aku sudah sering masuk ke gua ini. Sepuluh langkah lagi dari sini aku menyimpan sebatang obor bambu pada dinding kanan kita. Tapi aku tak punya pematik untuk menyalakan sumbunya!"

Pendekar Mabuk kurang tertarik menanggapi kata-kata itu, karena hatinya berkecamuk sendiri tentang udara dingin yang masuk ke gua dan menerpa kulit tubuhnya. Udara dingin dan deru angin yang datang tadi merupakan suatu keanehan yang hampir-hampir tak dipercayai oleh Suto Sinting.

"Angin dingin apa sebenarnya yang berhembus di luar gua itu?! Dari mana asal datangnya angin yang membawa uap dingin itu?! Bagaimana gadis kecil ini bisa mengetahui akan datang angin dingin di tempat sepanas tadi?!"

Semakin menyusuri lorong ke dalam semakin tak terasa hembusan angin dinding itu. Kini yang dirasakan oleh Suto Sinting adalah kelembaban udara tanpa desiran angin setajam tadi. Sebatang obor telah dinyalakan dengan menggunakan gesekan bumbung tuak dengan batu untuk mendapatkan apinya.

Kini lorong itu menjadi terang, dan Menik membawa Suto Sinting lebih ke dalam lagi, hingga mereka menemukan tempat lega yang datar, langit-langitnya tinggi dan di salah satu sisinya terdapat tumpukan jerami. Tumpukan jerami itu agaknya pernah dipakai tidur oleh seseorang. Walaupun di situ terdapat bongkahan batu gunung, tapi jaraknya tak terlalu rapat sehinga memungkinkan seseorang untuk bergerak leluasa di tempat itu.

"Aku sering bermalam di sini!" kata Menik sambil melompat dan duduk di atas tumpukan jerami kering itu.

"Kau sering bermalam di sini? Bersama siapa?"

"Kadang-kadang bersama Kejora, kadang-kadang sendirian. Aku tak pernah bermalam di sini dengan seorang lelaki."

Suto Sinting tertawa geli mendengar kata-kata seperti itu terlontar dari mulut gadis kecil yang belum pantas bicara tentang lelaki. Tapi agaknya pembicaraan seperti itu bukan hal aneh lagi bagi Menik sendiri.

"Baru sekarang ada seorang lelaki yang kubawa masuk kemari, itu pun kalau bukan karena terpaksa, aku tak akan memberitahukan kepada siapa pun tempat ini."

Suto Sinting manggut-manggut sambil memandangi keadaan sekeliling, seakan memeriksa keamanan di tempat itu. Gadis kecil yang sok tua itu berkata lagi,

"Keadaan di sini aman-aman saja! Jangan khawatir; Naga Sokat sudah dibunuh oleh kakakku; Hening."

"Naga Sokat...?!" Suto buru-buru berpaling memandang Menik.

Gadis kecil itu tersenyum kecil. "Naga Sokat itu penunggu gua ini. Beberapa waktu yang lalu telah dibunuh oleh kakak sulungku karena sang Naga sering keluar dan menelan korban penduduk yang mencari kayu di sekitar sini. Tapi telur naga masih ada lima butir di kedalaman sana."

"Hahh...?! Telur naga masih ada di sana?!" Suto Sinting terkejut.

Gadis kecil itu cekikikan sambil melonjorkan kakinya dengan santai. "Kau ketakutan sekali, ya?! Padahal aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya bercanda dan menguji keberanianmu. Telur naga itu sudah kupecahkan beberapa bulan yang lalu. Tak ada anak naga di dalamnya."

Pendekar Mabuk malu hati dan salah tingkah sendiri ditertawakan anak sekecil Menik, ia tak mau memandang anak itu untuk menutupi rasa malunya, ia mencoba melangkah mengitari ruangan lebar tersebut, sementara obor bambu yang sebagai satu-satunya penerang ruangan diletakkan di atas sebuah batu setinggi pundak Suto yang atasnya terbelah sedikit.

"Kita istirahat di sini dulu, nanti kita keluar lagi dan aku akan tetap mencari kakak sulungku. Namun lebih dulu aku harus mencari kepastian di mana Kejora berada; tertangkap atau dalam pelarian. Setahuku ia dikejar-kejar oleh dua orang Candi Bangkai yang kukenal bernama Cingur Barong dan Rujak Gada."

"Mereka sudah masuk ke jurang!" kata Suto Sinting sambil melangkah mendekati tumpukan jerami kering.

"Siapa yang masuk ke jurang? Kakakku?!" gadis kecil itu menegang cemas.

"Cingur Barong dan Rujak Gada terlempar ke jurang saat melawanku."

"Ooh...?! Jadi kau berani melawan dua orang ganas itu?"

"Kalau bukan karena melindungi Kejora, aku tidak akan bentrok dengan Cingur Barong dan Rujak Gada."

"Kau...?!" Menik bangkit berdiri di atas jerami. "Benarkah kau sudah bertemu dengan Kejora?"

"Berpakaiankuning dan mengenakan kalung berbandul batu biru, bukan?!"

"Ah, benar!" sambil jarinya menjentik sok tahu. "Berarti kau memang sudah bertemu Kejora!"

Namun tiba-tiba sekeping logam melesat menuju kedadanya. Menik terperanjat lalu melompat ke samping. Lompatannya terlambat sedikit dan lengan Menik tergores benda tersebut. Craaas...!

"Aaaauh...!" pekiknya sambil menjatuhkan diri.

Pendekar Mabuk terkejut dan segera memandang ke arah datangnya benda itu. Dari sebuah lorong yang menjadi sambungan dari lorong tempat mereka datang tadi muncul seorang lelaki berkepala botak. Rambutnya tersisa di bagian tepi bawah saja, itu pun bisa dihitung jumlahnya. Lelaki itu bermata lebar dengan kumis kecil melengkung ke bawah.

"Ha, ha, ha, ha...!" lelaki itu tertawa melihat Menik jatuh dan merintih-rintih memegangi lukanya. "Akhirnya kau mati juga gadis tengil! Kau tak akan bisa lolos dari racun 'Gurun Tandus' yang akan membuat darahmu mengering dalam waktu singkat! Ha, ha, ha, ha...!"

"Menik...?!" Pendekar Mabuk mendekati gadis kecil itu dan berlutut memeriksa lukanya. Ternyata luka itu memancarkan warna merah bara berpijar-pijar, menandakan senjata rahasia bergerigi itu memang mempunyai racun berbahaya.

"Katamu di sini tak ada orang lain kecuali kita?! Mengapa orang itu ada di dalam lorong?!"

"Aku tak tahu, dia masuk sini sebelum kita datang. Uuhgg...!" Menik menyeringai semakin kuat. "Lakukan sesuatu untuk mengusir si Kelelawar Setan itu! Dia... dia orangnya Barakoak! Uuuhf...!"

Kelelawar Setan berseru kepada Pendekar Mabuk, "Hei, Anak muda tolol...! Jangan coba-coba menolong gadis itu. Dia keturunan iblis yang perlu dilenyapkan! He, he, he, he...!"

Pendekar Mabuk memandang dengan mata tajam, ia bangkit perlahan-lahan tanpa sepatah kata pun. Kelelawar Setan memperhatikan dengan tawa yang memuakkan hati Suto Sinting.

"Minggirlah kau, Anak muda tolol! Aku akan membawa gadis kecil itu ke Candi Bangkai sebelum ia menjadi mayat."

"Kau tak akan bisa menyentuhnya lagi dengan cara apa pun, Manusia Keji!" geram Pendekar Mabuk tampak menahan kemarahan. Napasnya membuat batu di depannya bergetar, karena jika sedang marah begitu maka napasnya akan berubah menjadi senjata maut yang bernama Napas Tuak Setan.

"Kalau begitu kau pun harus kutangkap dan kuserahkan kepada Tuanku Barakoak! Heeeaah...!" Kelelawar Setan lepaskan senjata rahasianya lagi ke arah Suto Sinting. Weeesss...!

Dengan cekatan Suto menghadangkan bumbung tuaknya dan senjata itu kenai bumbung tuak. Traaang...! Suaranya seperti mengenai logam baja. Senjata itu berbalik arah dengan gerakan lebih cepat lagi. Ziiing...!

"Edan!" pekik Kelelawar Setan yang terkejut melihat senjatanya meluncur dengan kecepatan lebih tinggi ke arahnya, ia segera melompat dalam satu hentakan.

Wuuuss...!

Tiba-tiba orang itu sudah berada di langit-langit dalam keadaan menggantung seperti seekor kelelawar, kedua kakinya menempel pada langit-langit dan tangannya melepaskan senjata bergerigi lagi. Zeeb, zeeeeb...!

Pendekar Mabuk segera berkelit dengan lakukan lompatan cepat untuk pindah tempat Trak, trak...! Senjata tersebut kenai batu dinding gua. Kelelawar Setan masih menempel di langit-langit, ia ingin lakukan serangan serupa lagi, tetapi Suto Sinting segera kirimkan sentilan 'Jari Guntur'-nya yang bertenaga dalam cukup besar itu. Tuuuus!

Buuuhg...! Tuuuus...! Krraaak...!

"Aaaauh...!" jerit Kelelawar Setan sambil melayang jatuh karena mata kakinya yang kiri remuk dihantam tenaga dalam 'Jari Guntur' itu. Sedangkan dadanya pun terasa sesak karena terkena jurus 'Jari Guntur' yang pertama, ia melayang jatuh tak bisa menjaga keseimbangan badannya.

Bruuuk...!

"Aaaoow...!" ia memekik lagi karena kepalanya membentur batu runcing dan batu itu menancap di bagian pelipisnya. Crrusss...!

Suto Sinting hentikan sebentar serangannya karena ia melihat keadaan Menik semakin parah. Sekujur tubuhnya mulai tampak memerah bagaikan kepiting rebus. "Menik...! Menik, bertahanlah! Minum tuakku ini beberapa teguk saja. Minumlah...!"

Dengan bantuan Suto Sinting, gadis kecil itu meneguk tuak tersebut, ia tak tahu kalau tuak itu adalah tuak sakti yang mampu menawarkan racun dan mengobati luka apa pun, sehingga Pendekar Mabuk sering pula dijuluki orang sebagai Tabib Darah Tuak.

Kelelawar Setan berhasil mencabut batu runcing dari kepalanya. Walau dalam keadaan berlumur darah, ia masih nekat lakukan serangan kepada Suto Sinting. "Bangsat kau, Jahanam! Heeeeahh...!"

Suto Sinting cepat balikkan badan ketika Kelelawar Setan menyerang dengan melepaskan tenaga dalamnya bersinar kuning. Slaaap...! Sinar kuning itu keluar dari tengah telapak tangannya. Bumbung tuak yang baru saja selesai ditutup kembali itu segera berkelebat menghadang sinar kuning itu. Akibatnya, sinar kuning itu menghantam bumbung tuak dan berbalik ke arah pemiliknya dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat lagi. Wuuusss...! Zrruub...!

"Heeegh...!" Kelelawar Setan mendelik ketika sinar kuning yang berubah besar itu menghantam telak dadanya. Tubuh kurus berpakaian hitam itu berubah menjadi berasap kuning seperti asap belerang. Kulit kepalanya tampak bergerak-gerak, urat-uratnya ingin menjebol keluar dari balik kulit. Tubuh itu bergetar yang semakin lama semakin terguncang-guncang karena kerasnya getaran. Agaknya ia tahu bahaya yang akan melanda dirinya, maka serta-merta ia berusaha melarikan diri keluar dari gua tersebut.

"Hhgggrr... hhhgggeerr... hhhgggrr...!"

Suara yang mirip gorila itu semakin menjauh, pertanda Kelelawar Setan benar-benar meninggalkan tempat itu. Si gadis kecil yang sudah mulai sembuh segera bangkit, ia pandangi luka goresan di lengannya. Ternyata luka itu telah merapat kembali dan kulit tersebut akhirnya mulus seperti sediakala tanpa goresan apa pun. Menik pun merasakan tubuhnya menjadi lebih segar dari sebelumnya.

"Boleh juga ilmumu!" kata Menik sambil manggut-manggut dalam senyum kebanggaannya. "Kelelawar Setan akan mati sebelum tiba di Candi Bangkai. Jurusnya itu tadi kukenali sebagai jurus penghancur jaringan tubuh manusia, termasuk dapat memutuskan seluruh urat yang ada dalam tubuh."

"Agaknya kau banyak tahu tentang jurus-jurus orang Candi Bangkai."

"Karena cukup lama kami berselisih dengan mereka. Terutama sejak kakek dan nenek buyut kami masih hidup."

"O, jadi...," Suto Sinting mendekat dengan membuka tutup bumbung tuaknya. "Kalian bermusuhan dengan Barakoak sejak semasa leluhurmu masih hidup?"

"Benar! Barakoak ingin menumpas habis aliran silat keluarga Sabang Wirata."

"Siapa Sabang Wirata itu?"

"Eyang buyut kami!" jawab Menik dengan suara kecilnya yang bening.

Pendekar Mabuk manggut-manggut setelah mendapat penjelasan singkat itu. Ia merenung beberapa saat, kemudian terdengar suara Menik bicara lagi kepadanya.

"Sebaiknya kita keluar sekarang juga. Kita pindah tempat persembunyian?!"

"Pindah tempat persembunyian?!" gumam Suto. "Jadi kita di sini bersembunyi?!"

"Kita bersembunyi dari amukan si Badai Kutub."

"Badai Kutub?! Siapa si Badai Kutub itu, Menik?!"

"Orang kepercayaan si Raja Iblis itu! Biasanya kalau Badai Kutub sudah turun tangan, berarti Barakoak mulai dibakar kemarahan. Dan agaknya keluargakulah yang dijadikan sasaran kemarahan si Barakoak."

"Tapi... tapi dari mana kau tahu kalau si Barakoak sudah dibakar kemarahan? Dari mana kau tahu kalau si Badai Kutub sudah turun tangan?!" tanya Pendekar Mabuk dengan wajah penuh keheranan.

Gadis kecil yang cerdas itu tersenyum angkuh. "Ternyata aku lebih sakti darimu!" ujar si kecil Menik.

Suto Sinting hanya tersipu-sipu sambil garuk-garuk kepala. Ia pun membatin kata, "Barangkali Menik mempunyai ilmu teropong jiwa. Tapi anak sekecil dia apakah benar punya ilmu teropong jiwa? Padahal ilmu teropong jiwa hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mampu mengendalikan indera keenamnya. Atau... aku sedang ditipu oleh si mungil yang cerdas itu?! Nyatanya sebelum aku dan dia masuk ke gua ini, tak ada orang yang bernama Badai Kutub dan menampakkan kemarahannya?! Ah, kurasa si mungil tengil ini memang pandai membual!"

Pendekar Mabuk akhirnya tertawa sendiri ketika ia mengikuti saran Menik untuk keluar dari dalam gua tersebut.

* * *

EMPAT

ALANGKAH terkejutnya Pendekar Mabuk begitu tiba di mulut gua. Ia berhenti lama sekali di situ sebelum teruskan langkah keluar dari gua tersebut. Wajah tampannya kini mirip pemuda tolol yang hanya bisa terbengong-bengong tanpa bisa ucapkan sepatah kata pun. Sementara si kecil Menik tampak tenang dan tak kelihatan terheran-heran.

"Beginilah jika si Badai Kutub turun tangan," kata si kecil Menik setelah menarik napas. Kedua tangannya segera bersedekap di dada bagai ingin memeluk tubuhnya sendiri.

Pendekar Mabuk masih membisu seribu kata dengan mata tak mau berkedip. Tetapi ia sempat menggumam dalam hatinya, "Pantas Menik memaksaku masuk ke dalam gua ini!" Lalu tanpa sadar kepalanya manggut-manggut kecil. Kini mata itu pun berkedip dan mulut terkatup, ludah diteguk untuk basahi kerongkongannya yang kering karena terlalu lama melongo. Pendekar Mabuk benar-benar tak pernah menduga sedikit pun bahwa keadaan di luar gua akan berubah menjadi padang salju.

Rumput tak terlihat lagi karena ketebalan salju yang melapisi tanah. Pepohonan yang semula berdaun hijau kini berubah menjadi putih. Bebatuan yang hitam pun berselimut salju tebal dan putih bagai gumpalan kapas. Hutan itu berubah menjadi hutan salju.

"Pantas sebelum aku dibawa masuk kemari, kurasakan hembusan angin yang menderu itu membawa udara dingin tak sewajarnya," pikir Suto Sinting saat memandangi alam sekelilingnya yang berubah menjadi serba putih itu. Ia merasa berada di wilayah kutub utara, walau sebenarnya ia belum pernah pergi ke sana. Tapi menurut cerita beberapa orang, beginilah keadaan di kutub utara; serba putih dan alamnya dilapisi busa-busa salju. Bahkan saat itu, mulut gua pun sebagian dilapisi oleh busa salju yang masih menyebarkan hawa dingin es.

"Rupanya kau sudah mengenali tanda-tanda kemarahan si Badai Kutub itu, sehingga kau segera membawaku masuk ke gua pada saat cahaya matahari masih terang benderang."

"Rumah kami sering diserang salju seperti ini jika Badai Kutub hendak datang menemui ayahku," kata Menik dengan sikap berdiri seperti orang dewasa. "Jika angin mulai terasa dingin pada saat matahari bersinar terang, itu berarti si Badai Kutub mulai lancarkan serangannya, ia ingin membuat lawannya kedinginan, kemudian ia akan menyerang dengan mudah. Dalam keadaan orang kedinginan dan menggigil, gerakan orang itu akan lamban dan kaku. Kesempatan seperti itulah yang dipakai oleh Badai Kutub untuk menghajar lawannya."

Sebelum mulut Suto Sinting bergerak ingin ucapkan kata, tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari tempat yang agak jauh. Suara itu adalah suara seorang wanita yang masih melekat dalam ingatan si Pendekar Mabuk.

"Tolooong...! Tolooong... long, long, long, long...!"

"Kejora...?!" Pendekar Mabuk tak sengaja menyebutkan nama itu bersamaan dengan Menik. Wajah mereka menjadi tegang secara serentak.

"Tolooong... long, long, long...!"

"Suaranya ada di sebelah timur!" kata Pendekar Mabuk.

"Bukan. Suara aslinya ada di barat," sanggah si kecil Menik yang dianggap Suto sok tahu.

"Ah, telingamu agak rusak, Menik. Suara itu ada di sebelah timur!"

"Tolooong... long, long, long...!"

Menik berlari lebih dulu dengan gerakan lincahnya, bersalto dan plik-plak beberapa kali tanpa pedulikan kaki dan tangan sering terendam busa salju. Pendekar Mabuk berseru memanggil gadis kecil itu.

"Menik, dia ada di sebelah timur!"

"Yang kau dengar itu pantulan gemanya! Kejora ada di sebelah barat!" lalu gadis itu teruskan langkahnya menuju ke barat.

Suto Sinting termenung sejenak. "Benar juga pendapatnya! Pantulan gema membuat Kejora seperti ada di timur. Hmmm... kalau begitu aku harus segera menyusul Menik!"

Gadis kecil yang lincah itu tiba-tiba lenyap dari penglihatan Suto Sinting. Pada saat Menik melompat ke balik semak berlapis salju, Suto masih bisa melihat gerakan itu. Namun ketika disusul, ternyata Menik tidak kelihatan lagi. Suto Sinting kehilangan arah, tak tahu ke mana arah yang diambil oleh Menik. Sementara itu, seruan minta tolong dari mulut seorang wanita terdengar kembali tanpa gema.

"Tolooong...!"

"Suara itu sangat dekat?!" Pendekar Mabuk berpaling ke arah kanan. Kemudian ia bergegas mendekati serumpun ilalang yang sebagian besar sudah dilapisi oleh busa-busa salju. Pada saat itu seekor kelinci meloncat-loncat karena suara kaki Suto menginjak salju yang dalamnya hampir sebetis. Kelinci itu lari ketakutan, namun akhirnya terperosok jatuh ke lubang yang tertutup busa-busa salju.

Tolooong...!"

Pendekar Mabuk tak jadi menghiraukan kelinci itu, karena suara Kejora semakin jelas ada di depannya. Maka ia pun berkelebat menuju ke tempat datangnya suara tersebut dengan tubuh menggigil kedinginan. Angin pun datang, berhembus agak kencang menerbangkan busa-busa salju. Tubuh Suto Sinting mulai dihinggapi busa-busa salju, ia sempat menduga akan datang kekuatan si Badai Kutub untuk menyergapnya, karena itu ia mempercepat langkahnya hingga tiba di tempat Kejora.

"Kejoraaa...?!" seru Pendekar Mabuk sambil memandang ke bawah. Ternyata Kejora masuk ke dalam sebuah sumur yang sudah dipenuhi oleh busa salju. Sumur itu agaknya sumur kering yang sudah tidak bermata air lagi. Tapi karena banyak salju yang masuk ke dalamnya maka tempat itu menjadi basah dan seperti berair.

"Tolonglah akuuu...!" seru Kejora. "Aku terperosok dan tak tahu bagaimana cara keluarnya!" gadis itu bicara dengan gemetar karena tubuhnya menggigil. Tubuh itu bagaikan dibungkus kapas, karena busa-busa salju menghujaninya, hingga rambutnya yang lemas dan lurus itu pun menjadi menggumpal karena dibungkus salju.

"Bertahanlah sebentar, aku akan mencari akar untuk menarikmu!"

Pendekar Mabuk segera mendapatkan akar gantung yang menyerupai tali. Ia memangkasnya dengan menyentakkan akar itu hingga putus. Akar-akar tersebut disambung saling mengait hingga menjadi panjang. Kemudian akar itu dijulurkan ke dalam sumur tersebut.

"Pegang erat-erat, aku akan menarikmu, Kejora!"

Angin masih berhembus menerbangkan busa-busa salju. Rambut dan tubuh Suto Sinting mulai banyak dihinggapi busa-busa salju, ia menggigil saat menarik tubuh Kejora dari dalam sumur. Tulang-tulangnya terasa ngilu karena kedinginan yang amat mencekam dan nyaris membekukan darah itu. Namun akhirnya gadis itu berhasil diselamatkan dan naik ke permukaan sumur.

"Kejora... kau tak apa-apa?!" Suto Sinting segera membantu Kejora untuk berdiri.

Napas gadis itu terengah-engah. "Aku lupa kalau di sini banyak lubang bekas penggalian harta karun yang tak pernah ada itu. Aku terperosok ke dalam lubang itu sebelum datang angin salju. Mulanya aku tak berani berteriak meminta tolong siapa pun, karena takut didengar anak buah Barakoak yang masih tersebar di mana-mana ingin menangkapku. Tapi lama-lama aku tak kuat menahan dingin."

Untuk memberikan kehangatan pada tubuh yang menggigil dibungkus salju 1tu, Pendekar Mabuk tak segan-segan melepaskan bajunya dan diselimutkan ke tubuh Kejora dari belakang, ia sendiri menjadi menggigil hingga giginya gemeletak.

"Sial! Dinginnya kelewat batas! Apakah aku harus meminta kembali bajuku? Ah, tak enak hati kalau sampai begitu. Malu pada Kejora. Sebaiknya kutenggak tuak beberapa teguk sebagai penghangat tubuhku."

Pendekar Mabuk segera membawa Kejora ke gua semula. Untuk mempercepat langkah ia harus menggendong Kejora dan membawanya lari dengan menggunakan 'Gerak Siluman'-nya. Dalam beberapa kejap saja ia sudah tiba di gua itu dan membawa masuk Kejora sampai ke tempat yang mirip ruangan dan masih diterangi nyala api obor.

"Hei, bagaimana mungkin kau bisa membawaku kemari? Bukankah gua ini adalah gua tempat kebiasaan adikku bermain?!"

"Apakah adikmu bernama Menik?!"

"Ya, dia bernama Menik. Apakah kau pernah jumpa dengannya?"

Suto Sinting segera menceritakan pertemuannya dengan Menik dan pertarungannya dengan Kelelawar Setan di tempat itu. "Ketika kami mendengar suaramu, kami segera mencari tempat di mana kau berada. Tapi Menik hilang dari pandanganku. Aku tak bisa temukan dia. Mungkin karena waktu itu aku segera mendengar seruanmu, jadi aku tak begitu punya waktu banyak untuk mencarinya."

"Ooh... Menik? Di mana kau sekarang, Adikku?!" ucap Kejora dengan nada bicara yang lemah dan wajah sendu hampir menangis.

Suto Sinting menjadi bingung jika gadis itu sampai menangis. Karenanya ia segera berkata kepada Kejora. "Tetaplah di sini, aku akan keluar mencari Menik. Jangan ke mana-mana sebelum aku datang kembali."

"Pasti dia terperosok di salah satu lubang sepertiku tadi."

"Kalau begitu aku akan mencarinya di sekitar tempat tadi! Tenanglah dan jangan cemas, Menik pasti berhasil kutemukan!" Suto Sinting berusaha meyakinkan kemampuannya agar Kejora tidak begitu sedih.

Baru saja Suto Sinting tiba di luar gua, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ledakan yang membuat beberapa busa salju berguguran dari ketinggiannya.

Blegaaar...!

"Ada pertarungan di sebelah timur?!" Ucapnya menegang dalam hati. Pendekar Mabuk bergegas ke timur karena ia gemar mengintip pertarungan. Tujuannya mencari Menik sempat dilupakan, ia lebih tertarik untuk melihat dulu siapa yang bertarung di sebelah timur itu. Langkah Suto Sinting terhenti sejenak karena ia menemukan sesosok mayat tergeletak dengan kepala terbenam di tumpukan salju. Mayat itu diperhatikan sesaat, ternyata si Kelelawar Setan telah tumbang tak bernyawa. Keadaannya amat mengerikan, di antaranya; urat-urat dalam tubuhnya menghambur keluar dalam keadaan putus-putus, termasuk usus dan bagian dalam tubuh lainnya.

Kematian yang mengerikan itu pasti akibat terkena jurusnya sendiri yang bersinar kuning itu. Suto Sinting sempat bergidik menyaksikan keadaan mayat Kelelawar Setan yang mengerikan sekaligus menjijikkan itu. Maka mayat itu pun segera ditinggalkan, hasratnya untuk menyaksikan pertarungan kian menggebu-gebu.

Ternyata di sana terjadi pertarungan antara seorang lelaki berjubah abu-abu dengan celananya yang juga warna abu-abu. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh tahun lebih sedikit, tak sampai enam puluh tahun. Rambutnya masih hitam, namun tipis dan panjangnya sebatas punggung. Rambut itu tidak diikat sehingga meriap-riap tersapu angin yang masih membawa serpihan salju. Tubuh lelaki itu kurus dan tampangnya berkesan bengis. Mata cekung, kumis melengkung, dagu agak runcing dan ada bekas codet di rahang kanannya.

Lelaki itu bertarung melawan seorang wanita cantik berjubah tipis warna ungu, penutup dadanya yang montok itu warna merah dengan bintik-bintik putih bening, pakaian bawahnya berupa kain merah yang mempunyai belahan empat bagian. Bergerak sedikit saja belahan itu tersingkap dan menampakkan kulit pahanya yang putih mulus dan sekal. Perempuan yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu mempunyai pedang di punggungnya dengan sarung pedang dari logam kuning seperti emas berukir, ia memakai kalung rantai putih dengan bandul batuan warna hijau muda menyerupai, batuan giok.

"Kau tidak akan bisa lolos lagi, Dewi Hening!" geram lelaki itu dengan mata cekungnya memandang angker.

Pendekar Mabuk berkerut dahi, "Ooo... rupanya gadis cantik itu bernama Dewi Hening? Apakah dia kakak sulung Menik?! Hmmm... wajahnya memang cantik dan bentuk badannya menggiurkan, tapi ia tidak mempunyai kemiripan sama sekali dengan Dyah Sariningrum! Ngawur saja si kecil Menik itu. Eh, tapi... dari mana dia tahu Dyah Sariningrum? Apakah keluarganya mengenal calon istriku itu? Oh, aku lupa menanyakannya pada Menik."

Kecamuk hati Suto Sinting terhenti karena tiba-tiba lelaki berjubah abu-abu itu lepaskan pukulan anehnya berupa sinar berbentuk bintang-bintang kecil yang berhamburan menyerang Dewi Hening. Sinar berbentuk bintang-bintang itu berwarna biru, tak jelas kehebatan sinar itu, karena belum-belum Dewi Hening telah melawannya dengan sinar kuning berbintik-bintik bagaikan serbuk emas yang keluar dari telapak tangannya juga.

Zrrruubb...! Weerrsss...!

Kedua sinar itu bertemu di pertengahan jarak, saling bergulung-gulung menjadi suatu gumpalan yang akhirnya meledak di angkasa dengan keluarkan asap hitam membumbung tinggi ke langit.

Blegaaar...! Hentakan gelombang ledak itu membuat Dewi Hening terpental ke belakang dan jatuh dalam keadaan bersimpuh. Sementara itu, lelaki berjubah abu-abu hanya terpelanting beberapa langkah, dan segera berpegangan pada pohon hingga tak sampai jatuh ketanah.

"Heeeaaat...!" orang berjubah abu-abu itu melayang bagaikan terbang. Kedua tangannya terjulur ke depan. Masing-masing tangan mempunyai tiga jari yang mengeras lurus. Dari tiga jari itu keluar sinar-sinar merah tanpa putus. Enam sinar merah menghantam tubuh Dewi Hening secara bersamaan.

Zrrraab...! Weeess...!

Zlaaaap...! Sekelebat bayangan melintas di depan Dewi Hening. Enam sinar merah lurus tertahan oleh sebuah benda yang disilangkan mendatar di permukaan dada. Zeeebbss...!

Enam sinar itu membalik ke arah semula dengan lebih besar bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Wooooss...! Orang berjubah abu-abu itu baru saja mau turun dari gerakan melayangnya, ia terperanjat melihat sinarnya kembali ke arahnya dalam keadaan lebih besar, ia tak dapat menghindari lagi, akhirnya keenam sinar itu menghantamnya tanpa bisa ditangkis juga.

Syuuurrb...! Jegaaarrr...!

Ledakan dahsyat mengguncangkan bumi, membuat salju-salju berguguran. Asap hitam membubung tinggi bersama serpihan tubuh lelaki berjubah abu-abu yang hancur karena ilmunya sendiri yang dikembalikan itu. Dan bayangan yang menghadang di depan Dewi Hening itu tak lain adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Benda yang dihantam keenam sinar merah itu tak lain adalah bumbung tuak sakti.

Sisa udara dingin masih terasa menggigilkan persendian. Busa-busa salju sudah tidak turun lagi. Namun cuaca masih redup, matahari bagaikan dibungkus oleh kabut yang sulit diterobos oleh sinar panasnya. Pendekar Mabuk bergidik satu kali saat berhadapan dengan wanita cantik berambut sanggul kecil sisanya meriap dengan indah itu. Ia menjadi salah tingkah saat berhadap-hadapan dengan wanita itu, karena keadaannya masih bertelanjang dada.

"Sial! Aku tadi lupa meminta bajuku yang dipakai selimutan si Kejora. Terlalu terburu-buru sampai akhirnya aku keluar dari gua tanpa baju lagi. Iiih... malu juga jadinya, dia memandangi dadaku dengan sorot pandangan mata yang angkuh-angkuh nakal," ucap Suto Sinting dalam hatinya.

"Kaukah yang bernama Dewi Hening?!" ujar Suto Sinting menutupi rasa malu dan kikuknya.

Gadis berjubah ungu itu hanya anggukkan kepala. Senyumnya hampir tak terlihat karena begitu tipis namun berkesan anggun.

"Aku sahabat adikmu," sambung Suto Sinting karena Dewi Hening tak keluarkan kata sepatah pun. "Namaku... oh, ya... adikmu belum tahu kalau namaku Suto Sinting. Baru kepadamu aku memperkenalkan namaku."

Dewi Hening hanya memandang dengan dahi sedikit berkerut. Ada kesan bingung di wajah cantik berhidung kecil tapi mancung itu.

"Kau kakak sulung Menik?"

Anggukan Dewi Hening berulang-ulang dan tampak memburu. Wajahnya sedikit lebih ceria dari sebelumnya. Tapi ia tak mau membuka mulut sedikit pun, ia hanya pamerkan bibirnya yang mungil namun sepertinya terasa legit untuk dinikmati itu.

"Aku juga bersahabat dengan adikmu yang bernama Kejora. Dia adikmu juga, bukan?"

Kepala si cantik itu manggut-manggut kembali. Suto Sinting diam memandang menunggu jawaban, namun tak satu kata pun terlontar dari mulut Dewi Hening. Pemuda tampan berbadan kekar dan gagah itu akhirnya membatin,

"Jangan-jangan dia bisu? Oh, sayang sekali kalau dia benar-benar bisu. Cantik-cantik kok tak bisa bersuara, kasihan sekali. Tapi beruntung kalau punya istri dia; bagaimanapun tingkah suami tak akan kena omelan."

Tiba-tiba gadis berkalung batuan hijau sebesar petai sayur itu menggerak-gerakkan tangannya, memberi isyarat agar Suto Sinting mendekatinya. Dengan rasa heran Suto Sinting akhirnya menuruti keinginan gadis itu. Ia mendekat, dan si gadis juga mendekat ke arah telinga Suto. Lalu terdengar suara bernada bisik ditelinga Pendekar Mabuk.

"Sekarang di mana mereka?"

Suto Sinting menarik kepala dan memandang sejenak. "Maksudmu, Menik dan Kejora?!"

Dewi Hening anggukkan kepala satu kali, menunggu jawaban dari Suto Sinting yang kala itu sedang membatin, "Bisa ngomong kok?! Kenapa dia tak mau bersuara dan hanya mau berbisik saja? Tapi, ooh... bisikannya itu sungguh menggoda hatiku, terasa memancing hasratku untuk saling bermesraan. Aduh, jangan-jangan aku tak bisa kendalikan godaan suara yang membisik itu?"

Kecamuk batin Pendekar Mabuk segera dihentikan setelah ia melihat Dewi Hening menghempaskan napas dengan nada kesal. Rupanya ia menunggu jawaban dengan tak sabar. Maka Suto Sinting pun segera berkata kepadanya. "Kejora ada di dalam gua tak jauh dari sini. Sedangkan Menik... Menik entah ke mana. Saat aku menolong Kejora, aku kehilangan Menik. Dugaan Kejora, Menik terperosok di lubang-lubang mirip sumur bekas penggalian harta karun, di sebelah barat sana."

Dewi Hening memberi isyarat lagi agar Suto Sinting mendekat. Setelah pemuda tampan itu mendekat, si cantik itu berbisik di telinga Suto Sinting. "Aku akan pergi mencari Menik. Katakan kepada Kejora agar jangan ke mana-mana supaya kami bisa berkumpul. Aku tahu gua yang kau maksud, pasti yang biasa dipakai bermain si bungsu; Menik."

"Ya, memang di sana Kejora berada. Tapi tentang Menik, biarlah aku yang mencarinya. Kau saja yang langsung temui Kejora di dalam gua."

Dewi Hening memberi isyarat lagi, Suto Sinting mendekatkan telinga. Lalu perempuan muda itu bicara dalam bisikan, "Tapi kau yakin bahwa Menik tidak tertangkap orang-orangnya Barakoak?"

"Aku hanya berharap hal itu jangan terjadi pada diri Menik," jawab Suto Sinting setelah menarik diri.

Dewi Hening hembuskan napas pelan, kemudian segera berkelebat tinggalkan tempat. Suto Sinting agak bingung, tapi akhirnya mengikuti langkah Dewi Hening yang berlari dengan langkah lebar-lebar bagaikan rusa betina.

"Siapa lawanmu itu tadi, Dewi Hening? Apakah ia termasuk orangnya Barakoak?!"

Sambil tetap melangkah, Dewi Hening anggukkan kepala. Suto Sinting mengimbangi kecepatan langkah kaki perempuan itu. "Kudengar cerita dari Menik bahwa kau sedang menghubungi seorang sahabat untuk meminta bantuan guna melawan orang-orang Candi Bangkai. Mana sahabatmu itu?"

Langkah kaki dihentikan sejenak. Dewi Hening segera dekatkan diri dan berbisik di telinga Suto Sinting. "Dia sedang tidak ada di tempat."

"O, jadi usahamu gagal?"

"Kami harus bertahan untuk sementara waktu, sampai menunggu sahabatku itu pulang dari kepergiannya," jawabnya seperti orang berkasak-kusuk membicarakan kejelekan tetangga.

Suto Sinting tersenyum geli sendiri membayangkan hal itu. Sebelum mereka teruskan langkah, Dewi Hening berbisik kembali ke telinga Suto Sinting.

"Apakah kau Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu?!"

"Tak salah dugaanmu, akulah orangnya!" jawab Suto Sinting sedikit bangga karena namanya dikenal secara lengkap oleh gadis secantik Dewi Hening.

Bisikan itu datang lagi kepada Suto, "Kalau begitu aku meminta bantuanmu untuk menghadapi orang-orang Candi Bangkai. Aku akan memberikan sebuah hadiah untukmu sebagai upah bantuanmu. Apakah kau setuju?"

Pendekar Mabuk menarik kepala sedikit, memandangi Dewi Hening dalam senyum keramahan yang menawan, kemudian menjawab pertanyaan tersebut. "Tanpa hadiah pun akan kulakukan hal itu. Karena tugasku adalah melindungi kaum yang lemah, menegakkan kebenaran dan melawan kejahatan. Sebaiknya kita jangan bicara tentang upah atau hadiah."

"Terima kasih atas kesediaanmu," bisiknya pelan, lalu ia memandang dengan seulas senyum yang sedikit lebih lebar dari senyum tipisnya yang pertama tadi. Sejenak kemudian ia mendekati telinga Suto Sinting dan berbisik kembali, "Hati-hatilah, Barakoak sedang menyebar orang-orangnya untuk menangkap kami. Sudah hampir dua bulan usaha penangkapan itu mereka lakukan, namun belum satu pun dari kami yang berhasil ditangkap. Orang yang memihak kami akan menjadi musuh utama bagi Barakoak. Jadi bersiaplah juga menjadi musuh Barakoak; si Raja Iblis itu."

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum berkesan meremehkan kekuatan Barakoak. Namun akhirnya ia tanyakan juga hal itu kepada Dewi Hening. "Apakah kekuatan Barakoak cukup besar?!"

Dewi Hening anggukkan kepala. Ia berbisik kembali di telinga Suto Sinting, "Anak buahnya cukup banyak. Ilmunya pun sangat tinggi."

"Apa alasan Barakoak memusuhi keluargamu, Dewi Hening?"

Pertanyaan itu baru mau dijawab, tapi terpaksa dibatalkan karena mereka segera mendengar suara seruan Menik di tempat jauh. Suara itu menggema ke mana-mana.

"Lepaskan akuuu...! Lepaskaaaan...!"

* * *

LIMA

SEORANG lelaki agak gemuk memanggul tubuh Menik yang sudah tertotok jalan darahnya. Dua orang lelaki lainnya mengikuti dari belakang, satu orang lelaki kurus ada di depan sendiri bagai pemandu jalan. Mereka tak sadar bahwa di jalan yang akan mereka lewati, dua orang sedang menghadang di balik pohon besar yang masih terbungkus busa-busa salju. Dua orang itu tak lain adalah Suto Sinting dan Dewi Hening. Setelah tuak diteguk dua kali, Suto Sinting menerima bisikan dari perempuan cantik yang tak pernah mau bicara keras itu,

"Mereka telah menangkap Menik."

"Apa mau mereka menangkap anak seusia Menik?"

"Mereka akan membantai habis keluargaku."

"Mengapa mereka ingin membantai habis keluargamu?!"

Bisikan dari Dewi Hening terdengar bersama hembusan napas yang menggelitik di telinga dan menciptakan debaran indah di hati Pendekar Mabuk. "Eyang buyutku dan eyang buyutnya Barakoak bermusuhan; saling berebut kekuasaan. Ceritanya cukup panjang, nanti akan kujelaskan setelah Menik kita selamatkan."

"Kalau begitu serahkan mereka berempat padaku. Jangan keluar dari persembunyianmu."

"Tetapi si Badai Kutub ada bersama mereka."

"Badai Kutub?! Oh, ya... yang mana yang bernama Badai Kutub?"

"Orang kurus yang berjalan paling depan itu!"

Mata Suto Sinting menatap orang kurus berambut panjang warna putih perak berjubah biru tua dengan celananya yang berwarna hitam. Orang itu bertubuh jangkung, dan mempunyai gerakan yang ringan. Langkahnya hampir tak terlihat menyentuh tanah, seperti berjalan di permukaan lapisan salju yang menutupi tanah.

Sepuluh langkah sebelum mereka mencapai tempat penghadangan Suto Sinting dan Dewi Hening, orang bertongkat kepala babi itu telah lenyap bagai ditelan bumi. Tetapi ketiga orang lainnya bagaikan tak peduli dengan lenyapnya si Badai Kutub. Mereka tetap berlari membawa Menik. Sedangkan Suto Sinting dan Dewi Hening terperanjat dan menjadi bingung melihat lenyapnya si Badai Kutub.

"Ke mana perginya orang itu?!" tanya Suto Sinting dengan pelan, seakan ditujukan pada diri sendiri.

Dewi Hening ingin berbisik memberi jawaban, tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara orang di belakang mereka. "Aku di sini!"

Semakin terperanjat Suto Sinting dan Dewi Hening begitu menengok ke belakang, ternyata Badai Kutub sudah berdiri di sana dalam jarak empat langkah. Matanya yang cekung memandang dengan dingin, melebihi dinginnya busa-busa salju di sekitar tempat itu.

Rambutnya yang putih perak sepanjang punggung tanpa ikat kepala apa pun meriap-riap dihembus angin, sebagian rambut menyilang di wajahnya yang keras dan bertulang pipi menonjol itu. Pusat pandangan matanya tertuju pada Dewi Hening, seakan sedang mempengaruhi wanita cantik itu dengan kekuatan pada matanya. Sebelum Suto Sinting melangkah maju, Badai Kutub perdengarkan suaranya yang ditujukan kepada Dewi Hening.

"Kalian tinggal bertiga. Sebentar lagi kalian hanya berdua jika si kecil itu sudah dimusnahkan oleh Barakoak. Hanya ada dua pilihan yang harus kau ambil salah satu; musnah semuanya atau serahkan Panji-panji Agung kepada kami!"

Kemudian mata yang memandang dingin sekali itu beralih kepada Suto Sinting. "Jika kau ikut campur, kau akan mati bersama gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Dewi Hening tarik napas dalam-dalam. Suto Sinting menahan napas karena gurunya ikut diancam yang sama artinya menjadi bahan hinaan. Namun sebelum satu anggota tubuh mereka bergerak, Badai Kutub lenyap secara tiba-tiba. Laaap...! Tahu-tahu ia muncul di belakang mereka dan perdengarkan suara datarnya, "Keputusanmu hanya sampai batas esok siang!"

Dewi Hening dan Suto Sinting berbalik arah dengan hati terperanjat. Ternyata si Badai Kutub sudah berada dalam jarak lima langkah dari tempat mereka berdiri.

"Jika Panji-panji Agung tak kau serahkan, gadis kecil itu akan mati dan kalian pun segera menyusul hancur!" tambah si Badai Kutub.

Laaap...! Ia menghilang lagi dalam satu gerakan yang amat cepat, menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk. Tahu-tahu ia sudah ada di belakang mereka lagi. Kemunculan itu tak timbulkan suara apa pun, sehingga ketika mereka mencari dengan menengok ke belakang, mereka temukan orang itu sudah ada dalam jarak empat langkah. Namun pada saat itu tangan kirinya telah berkelebat seperti melemparkan sesuatu kepada Dewi Hening. Claaaap...!

Laaap...! Ia menghilang kembali sebelum sinar hijau bening yang dilemparkan itu akhirnya menghantam tubuh Dewi Hening, Rupanya kali ini Badai Kutub pindah di atas pohon. Berdiri dengan tegak di salah satu dahan dan memandang ke arah Suto Sinting. Sedangkan Suto Sinting dibuat bingung karena Dewi Hening mengejangkan tubuh dengan mata terbeliak. Pori-pori kulitnya mulai kepulkan asap tipis. Dari atas pohon segera terdengar suara Badai Kutub yang sengaja bicara kepada Pendekar Mabuk.

"Racun 'Sukma Beku' hanya bisa ditahan sampai malam tiba. Esok pagi jika Panji-panji Agung tidak diserahkan kepada kami, wanita itu akan kehilangan nyawa pada siang harinya. Jangan coba-coba menentangku, karena penawar racun 'Sukma Beku' ada padaku dan hanya aku yang mempunyai penawarnya."

Laaap...! Badai Kutub lenyap kembali setelah bicara datar bagai orang tak berperasaan sama sekali. Pendekar Mabuk tak sempat memburunya karena tubuh Dewi Hening segera tumbang berdebam ke tanah bersalju. Buukh...!

Orang-orang yang membawa Menik sudah tidak kelihatan ke mana arah kepergian mereka. Suto Sinting merasa sia-sia mengejar orang-orang itu, karena ia tak mau buang-buang waktu menghadapi Dewi Hening yang terkena racun 'Sukma Beku' itu. Tubuh Dewi Hening bagaikan batu kerasnya. Tak ada bagian tubuh yang mampu ditekuk sedikit pun. Sehelai rambutnya pun tak mampu dilipat karena kakunya. Tubuh yang membatu itu benar-benar tidak mempunyai bagian daging yang empuk, semuanya serba keras dan dingin sekali. Asap yang mengepul dari pori-pori kulit itu ternyata adalah uap es yang membentuk busa salju dan melapisi tubuh Dewi Hening.

"Menik tak akan mati, karena ia dijadikan sandera oleh mereka sampai esok siang. Sebaiknya kuselamatkan dulu kakak sulungnya ini, baru kususun rencana untuk membebaskan Menik," pikir Suto Sinting, lalu ia mengangkat tubuh yang keras dan dingin itu dan membawanya pergi ke gua.

Kejora yang menunggu di dalam gua terkejut melihat Suto Sinting datang membawa tubuh kakaknya yang tak bisa bergerak sedikit pun itu. Kejora menampakkan kecemasan dan kebodohannya dengan wajah tegang dan gerakan menjadi panik. Pendekar Mabuk meletakkan tubuh itu di atas tumpukan jerami.

"Hening...! Hening, kenapa kau jadi seperti batu es?! Hening, bicaralah padaku!" Kejora mengguncang- guncang tubuh kakaknya.

"Hening tak bisa bicara karena ia terkena racun 'Sukma Beku' dari si Badai Kutub."

"Racun 'Sukma Beku' itu racun apa?"

"Racun berbahaya," jawab Pendekar Mabuk sambil berpikir bagaimana cara menyembuhkan Dewi Hening.

"Racun berbahaya itu bisa membuat kakakku bagaimana?"

"Ya, begini! Kau lihat sendiri bagaimana keadaan kakakmu sekarang."

"Beku, keras seperti batu, badannya dingin dan berbusa salju."

"Kalau sudah tahu jangan tanya lagi," kata Suto Sinting agak jengkel.

Tapi gadis berwajah lugu dan polos itu justru ajukan tanya kembali sambil memandang ke arah Suto Sinting, penuh dengan kesungguhan dari rasa ingin tahunya. "Mengapa racun itu bisa bikin tubuh Dewi Hening jadi keras begini?"

"Mana aku tahu?! Pemilik racunnya bukan aku!"

Kejora manggut-manggut kecil, suara gumamnya pelan sekali. Pandangan matanya tertuju pada jasad sang kakak yang tak bergerak-gerak itu. Beberapa saat kemudian ia bertanya lagi kepada Suto Sinting. "Mengapa kau temukah kakakku, sedangkan yang kau cari adalah adikku?"

Pendekar Mabuk menarik napas mendengar pertanyaan lugu itu. Memang terasa jengkel dan menyebalkan, tapi keluguan Kejora memaksanya untuk menjawab dengan sabar, ia pun segera menceritakan pertemuannya dengan Dewi Hening dan nasib Menik yang telah tertangkap oleh pihak Candi Bangkai.

"Mengapa Menik mau tertangkap?"

"Siapa yang mau?!" sergah Suto Sinting. "Kalau dia tahu mau ditangkap dia tak akan mau. Kalau dia bisa loloskan diri dia akan loloskan diri. Pertanyaanmu kok aneh-aneh?!"

Kejora diam dan pandangi jasad kakaknya dengan wajah sedih yang berkesan polos. Pendekar Mabuk sempat membatin, "Gadis yang satu ini ternyata lebih bodoh dari adiknya; si Menik itu. Tapi agaknya dia membutuhkan orang yang sabar untuk menjelaskan apa pun yang ingin diketahuinya. Hmmm... kasihan juga keadaan otak Kejora. Cantik wajahnya kalau bebal otaknya bisa membuatnya terhina di mata lelaki."

Kejora memandang Suto Sinting yang sudah mengenakan bajunya kembali, "Kapan Menik dibebaskan? Atau... atau Menik akan dibunuh mereka?"

"Menik tidak akan dibunuh oleh mereka jika pihakmu bisa menyerahkah panji-panji Agung yang menjadi tuntutan mereka.!"

"Haaah...!" Kejora mendesah jengkel. "Dari dulu yang dituntut Panji-panji Agung terus. Mengapa mereka tidak menuntut minta beras atau jagung saja?"

Gerutuan itu sempat membuat Suto Sinting tersenyum kecil. Pandangan mata Suto Sintjng sempat tertuju pada sebilah pisau di pinggang Kejora. Pisau itu panjangnya tiga jengkal dengan sarung dan gagangnya terbuat dari perak ukir. Di ujung gagangnya ada batu berwarna merah sebesar biji salak, indah sekali pisau itu. Dalam hati si murid Gila Tuak bertanya-tanya,

"Itukah yang dimaksud Panji-panji Agung?! Karena tampaknya hanya pisau atau pedang Dewi Hening itu yang layak menjadi barang incaran Barakoak."

Kejora ajukan tanya kembali, "Kalau kita tidak bisa serahkan Panji-panji Agung, lantas sebagai gantinya kita harus serahkan apa pada mereka?"

"Nyawa," jawab Pendekar Mabuk setelah itu menarik napas dalam-dalam.

"Nyawa siapa yang kita serahkan? Nyawanya domba atau nyawanya ayam? Berapa ekor ayam yang mereka minta?"

Dengan menahan kesabaran Suto Sinting menjawab, "Kalau pihakmu tak bisa menyerahkan Panji-panji Agung, maka nyawamu, nyawa kakakmu dan nyawa adikmu itulah yang menjadi penggantinya."

"Aku tidak mau," ujarnya dengan cemberut manja. "Nyawaku hanya satu, kalau kuserahkan pada mereka, nanti aku bisa mati."

"Ya, pasti mati!" kata Suto Sinting bernada jengkel, namun dalam hati ia segera tertawa geli menyadari kebodohan Kejora yang polos itu.

Kejora merenung dan bicara sendiri, "Barakoak memang serakah, sudah punya nyawa masih menginginkan nyawa orang lain. Apakah aku harus menyerahkan nyawaku supaya Menik tetap hidup?"

Pendekar Mabuk tersenyum geli mendengar keluhan gadis kecil lugu itu. Pikirannya segera kembali pada keadaan Dewi Hening, ia belum tahu bagaimana harus menolong perempuan cantik itu. Dalam keadaan kaku, mulut Dewi Hening tak bisa dibuka dengan paksa. Berarti tak ada tuak yang bisa dimasukkan ke dalam mulut Dewi Hening. Padahal jika tuaknya bisa ditelan Dewi Hening, maka pengaruh racun 'Sukma Beku' akan sirna dan keadaan Dewi Hening akan sehat kembali.

"Sama saja membuka mulut arca, tak akan mungkin bisa dilakukan!" pikir Suto Sinting setelah melakukan percobaan membuka mulut Dewi Hening yang ternyata memang tidak bisa dilakukan itu. Sementara busa-busa salju masih terus bersumbulan dan membungkus kulit tubuh Dewi Hening.

Sambil berpikir mencari jalan keluar untuk menyelamatkan jiwa Dewi Hening, Suto Sinting sempat bertanya kepada Kejora, si gadis lugu itu. "Apakah kalian menyimpan Panji-panji Agung?"

"Aku tidak tahu," jawab Kejora. "Menurut cerita ibuku, keluarga kami memang mempunyai Panji-panji Agung."

"Ceritanya bagaimana?" tanggap Suto Sinting dengan rasa ingin tahu.

"Dulu, eyang buyut kami mempunyai Panji-panji Agung yang disebut juga Panji-panji Dewa, atau ada yang menyebutnya Panji-panji Mayat. Karena jika Panji-panji itu dibawa melewati kuburan, maka orang-orang yang telah mati itu akan bangkit lagi terkena kekuatan gaib dari panji-panji tersebut."

Dahi si tampan Suto berkerut sebentar, mulutnya menggumamkan kata lirih, "Sepertinya aku pernah mendengar nama Panji-panji Mayat. Kapan dan di mana aku mendengarnya?!"

Kejora teruskan penjelasan yang berupa rangkaian cerita dalam penuturan apa adanya. Pendekar Mabuk segera menyimak kembali penuturan itu. "Menurut cerita Nenek, ibu dari ayahku, bahwa Eyang Kurupati selalu bentrok dengan Eyang Sabang Wirata memperebutkan Panji-panji Agung..."

"Eyang Kurupati itu siapa?" potong Suto Sinting.

"Eyang Kurupati itu leluhurnya Barakoak, saudara tiri dari Eyang Sabang Wirata, leluhur kami," jawab Kejora dengan wajah lugu tanpa rasa bangga sedikit pun.

Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam gumam yang lirih. Kejora pun menyambung ceritanya lagi. "Menurut cerita Nenek, Eyang Sabang Wirata selalu mempertahankan Panji-panji Agung yang akan diwariskan kepada darah keturunannya. Sebab, menurut cerita Nenek, barang siapa yang mempunyai Panji-panji Agung, maka ia akan mempunyai keturunan panjang dan aliran silatnya akan berkembang terus dari masa ke masa.!"

"Panji-panji Agung itu milik siapa sebenarnya?"

"Mana aku tahu, waktu itu aku belum lahir," jawab Kejora dengan polosnya. "Tapi menurut cerita Nenek, Panji-panji Agung itu warisan dari guru Eyang Wirata dan Eyang Kurupati. Panji-panji itu sebuah pusaka yang mempunyai pengaruh gaib seperti yang kusebutkan tadi. Karena itu, pihak keturunan Eyang Kurupati ingin sekali memiliki Panji-panji Agung supaya aliran silatnya berkembang turun-temurun. Karena sepeninggalan guru mereka, Eyang Kurupati dan Eyang Sabang Wirata bermusuhan, ingin menjadi penguasa tunggal atas aliran silat yang mereka miliki. Eyang Kurupati menghendaki aliran silat Eyang Sabang Wirata hancur, hingga yang ada hanyalah aliran silat Kurupati."

"Pantas mereka mencoba membantai seluruh keluargamu. Apakah keturunan dari Eyang Sabang Wirata tinggal keluargamu saja?"

"Menurut cerita Nenek, ayahku mempunyai dua orang adik. Tetapi keluarga dari kedua adik ayahku sudah dibunuh sampai habis oleh Barakoak. Sekarang tinggal keluargaku yang menjadi sisa keturunan Eyang Sabang Wirata. Dan Barakoak adalah keturunan terakhir dari Eyang Kurupati. Barakoak tidak mempunyai saudara lagi, sebab ia lahir sebagai anak tunggal dan seorang ibu yang bersuamikan raksasa."

"Hahh...? Bersuami raksasa?!" Suto Sinting kaget.

"Menurut cerita nenek, ibunya Barakoak pernah menjadi istri seorang titisan raksasa yang bernama Gandapura..."

"Gandapura?!" Suto Sinting terkejut kembali. "Aku pernah mengenal nama Gandapura?" pikirnya sambil membayangkan beberapa peristiwa yang melibatkan nama Gandapura, manusia pemakan daging orang yang menjadi titisan raksasa itu adalah penguasa Pantai Ajal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan Tanpa Ajal).

Tetapi Gandapura akhirnya mati di tangan tokoh tua yang bernama Tua Bangka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Pemusnah Raga).

Suto Sinting membatin, "Agak susah membedakan mana yang benar; ibunya Barakoak pernah menjadi istri Gandapura atau pernah melayani Gandapura sampai akhirnya hamil dan mempunyai anak Barakoak?"

"Tunggu sebentar," ujar Pendekar Mabuk. "Jika benar Barakoak anak dari Gandapura, mengapa ia tidak minta bantuan Gandapura untuk merebut Panji-panji Agung itu?"

"Menurut cerita Nenek, Barakoak tidak diakui sebagai anak Gandapura dan ia tidak mewarisi ilmu apa-apa dari Gandapura."

"Ooo... begitu?!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Berarti ibunya Barakoak itu bukan asli istrinya Gandapura. Mungkin memang pernah melayani Gandapura dan akhirnya hamil, sedangkan Gandapura hanya sekadar mencari pemuas gairah saja."

"Menjadi pelayan kok bisa hamil? Memangnya diapakan kok bisa jadi hamil?"

"Melayani itu bukan berarti menjadi pelayan atau pesuruh, tapi tidur bersama Gandapura!"

"Tidur kok bisa hamil? Aku setiap malam tidur tapi tidak hamil-hamil?"

Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar pertanyaan polos itu. Terlalu riskan baginya untuk menjelaskan arti kata 'tidur', sehingga Pendekar Mabuk segera berkata, "Sekarang Panji-panji Agung ada di mana?"

"Aku tidak tahu," jawab Kejora tak mengejar jawaban dari pertanyaan semula.

"Apakah mendiang Ayah dan ibumu menyimpan Panji-panji Agung?"

"Yang kutahu, Ibu masih menyimpan panci buat memasak nasi dari bahan perunggu."

"Panci dengan panji-panji apakah ada kesamaannya?"

"Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah membuat panci," jawab Kejora dengan polosnya, membuat Suto menahan tawa geli hingga tubuhnya terguncang-guncang. Kebodohan itu sungguh menggelikan baginya, hampir saja Suto Sinting lupa bahwa ia harus menghadapi Dewi Hening yang terkena racun dan tidak bisa menelan tuak. Belum lagi ia harus memikirkan nasib si kecil Menik yang sewaktu-waktu bisa mati di tangan Barakoak.

"Barangkali aku harus lakukan penyembuhan dengan jurus 'Sembur Husada'," pikir Suto Sinting. "Tetapi semburan tuakku nanti dapat membuat Dewi Hening lupa akan diriku dan merasa belum pernah mengenalku. Hmmm... kurasa tak jadi soal, mumpung ia belum banyak mengenal siapa diriku. Jika memang jurus 'Sembur Husada' berhasil menyembuhkannya, aku harus menjelaskan dari ulang tentang pertemuanku dengannya atau tentang siapa diriku sebenarnya. Kurasa hanya jalan itulah yang bisa kutempuh untuk menyelamatkan keturunan terakhir pewaris aliran silat Sabang Wirata ini!"

Jurus penyembuh yang dinamakan 'Sembur Husada' memang jarang digunakan oleh Suto Sinting, kecuali terhadap orang yang belum mengenalnya. Sebab seseorang yang dapat sembuh dari lukanya akibat jurus 'Sembur Husada', ia akan lupa ingatan tentang diri Suto Sinting dan merasa seolah-olah belum pernah berkenalan dengan Pendekar Mabuk. Itulah sebabnya Suto Sinting lebih sering gunakan penyembuhan dengan cara meminumkan tuak kepada si penderita agar si penderita jika sembuh tetap ingat siapa diri Suto Sinting sebenarnya.

Tubuh yang dibungkus busa salju semakin tebal itu bagaikan gumpalan kapas yang teronggok di atas tumpukah jerami. Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sebagian tuak disisakan di mulutnya. Lalu dengan menahan napas panjang-panjang, tuak itu disemburkan ke sekujur tubuh Dewi Hening.

Brrrruusss...! Brrruuussss... Brrruuusss...!

Semburan itu dilakukan beberapa kali agar kekuatan sakti dari tuak menjadi lebih besar dan mempercepat hancurnya busa-busa salju yang tampaknya mulai mengkristal itu. Kejora memperhatikan hal itu dengan hati penuh rasa heran.

"Mengapa kau ludahi kakakku? Apa salahnya padamu?" tanya gadis lugu itu.

"Ini namanya penyembuhan. Aku sedang mengobati kakakmu."

"Menyembuhkan?!" dahi si cantik lugu itu berkerut tipis. "Menurut cerita Nenek, orang yang melakukan penyembuhan dengan cara meludahkan air kumur-kumurnya hanyalah Tabib Darah Tuak. Apakah kau Tabib Darah Tuak?"

Pendekar Mabuk tersenyum, "Apakah nenekmu masih hidup?"

"Sudah meninggal delapan bulan sebelum Ayah dan Ibu dibantai orang-orangnya Barakoak. Mengapa kau menanyakan nenekku? Apakah kau ingin menyusulnya dan bertanya tentang Tabib Darah Tuak?"

Agak menyinggung perasaan juga pertanyaan itu, tapi Suto Sinting segera memakluminya, ia hanya melebarkan senyum lalu berkata dengan menatap lekat- lekat wajah cantik yang polos itu. "Tabib Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk."

"Ya, menurut cerita Nenek memang begitu. Pendekar Mabuk itu bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tapi apakah kau kenal dengan Pendekar Mabuk?"

"Akulah yang bernama Suto Sinting," ujar pemuda itu pada akhirnya.

"Kalau kau Suto Sinting berarti kau kenal dengan Pendekar Mabuk?"

"Akulah Pendekar Mabuk, Tolol!" geram Suto jengkel sekali.

Gadis itu memandang tanpa rasa heran dan bangga. Justru yang timbul di wajah cantiknya adalah rona kebingunan yang terpendam. "Tapi menurut cerita Nenek, Pendekar Mabuk itu bertubuh kekar, gagah, ganteng, ke mana-mana membawa bumbung tuak."

"Apakah kau pikir aku kurang ganteng?" tanya Suto Sinting bernada jengkel-jengkel gemas. "Apakah kau pikir yang kubawa-bawa ini bumbung kandang jangkrik?!"

"Apakah yang kau minum tadi adalah tuak?"

"Bukan. Yang kuminum tadi air kelapa!" jawab Suto Sinting makin menampakkan kejengkelannya.

"Berarti kau bukan Pendekar Mabuk, sebab Pendekar Mabuk tidak pernah minum air kelapa."

"Terserah apa katamu sajalah...!" ujar Suto Sinting sambil bersungut-sungut jengkel.

* * *

ENAM

PENGOBATAN melalui 'Sembur Husada' ternyata berhasil membuat racun 'Sukma Beku' menjadi tawar. Tubuh yang terbungkus busa-busa salju itu mencair sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tubuh itu bersih oleh salju, hanya basah kuyup oleh cairan dingin. Mata indah Dewi Hening mulai terbuka.

"Minumlah tuak ini buat memulihkan tenagamu," saran Suto Sinting, dan Dewi Hening menurut saja. Tapi setelah ia bisa bangkit dan duduk di tempatnya, ia bertanya dalam bisikan,

"Siapa kau sebenarnya?"

Mau tak mau Suto Sinting menjelaskan perkara sebenarnya. Daya ingat Dewi Hening berangsur-angsur pulih, sehingga ia mulai mengenal siapa Suto Sinting, ia menjelaskan kepada Kejora bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang sering diceritakan mendiang nenek mereka. Kejora menjadi percaya, karena ia selalu mempercayai kata-kata kakaknya.

"Jika begitu, dialah kekasih Gusti Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum itu, Hening."

Dewi Hening anggukkan kepala, tapi Suto Sinting berkerut dahi. Sesuatu yang nyaris lupa ditanyakan kini teringat kembali. "Dari mana kalian mengenal nama Gusti Mahkota Sejati?"

Dewi Hening mendekatkan mulutnya di telinga Suto Sinting, lalu berbisik memberi jawaban. "Ibuku adalah sang Ratri, bekas prajuritnya Gusti Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum."

"Ooo...," Pendekar Mabuk hanya bisa melongo sambil manggut-manggut.

"Kami pernah berkunjung ke Pulau Serindu untuk bertatap muka dengan Gusti Mahkota Sejati, calon istrimu itu."

"Untuk apa kalian berkunjung ke Pulau Serindu?"

"Sekadar anjangsana. Ibu memperkenalkan anak-anaknya kepada Gusti Mahkota Sejati," bisik Dewi Hening. "Sebab itu, jangan coba-coba menggodaku, nanti jika Gusti Mahkota Sejati mengetahuinya, aku bisa ikut celaka!"

Pendekar Mabuk nyengir, malu-malu geli sambil garuk-garuk kepala. Percakapan mereka pun beralih pada nasib Menik dan Panji-panji Agung. Mereka berkumpul bertiga saling berdekatan, sebab Dewi Hening bicaranya selalu menggunakan suara membisik, sehingga tak bisa jelas jika didengar dari jarak empat langkah.

Sementara itu, suasana di luar gua telah menjadi gelap. Namun keadaan di dalam sama saja; hanya diterangi dengan sebatang api obor yang minyaknya dari sadapan getah sebuah pohon. Si kecil Menik yang membuat obor itu, hingga menimbulkan kekagumam bagi Pendekar Mabuk.

"Menik mempunyai otak yang bertolak belakang dengan kakaknya; Kejora. Dia anak yang cerdas sekali. Amat disayangkan jika harus mati di tangan Barakoak," pikir Suto Sinting. "Aku harus bisa menyelamatkan Menik, sebab ia adalah keturunan dari mantan prajurit Ibu Ratu Kartika Wangi."

Dewi Hening pun tahu bahwa Pendekar Mabuk adalah panglima sang Ratu Kartika Wangi, yaitu seorang Manggala Yudha negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib. Bukan karena Dewi Hening bisa melihat noda merah di kening Suto Sinting yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi saja, melainkan karena ibu mereka pernah menceritakan diri Pendekar Mabuk kepada anak-anaknya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

Pembicaraan tentang menyelamatkan Menik hanya dilakukan oleh Dewi Hening dan Pendekar Mabuk. Sementara si polos Kejora hanya sebagai pendengar saja. Sebab menurut pengakuan Dewi Hening, adiknya yang lugu itu tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk melawan orang-orang Candi Bangkai. Kejora kurang lincah dan tak setangkas Menik, ia sangat lamban dalam menuntut ilmu ajaran mendiang ayah mereka.

"Jika keluargamu tidak menyimpan Panji-panji Agung, lantas ke mana perginya pusaka itu?" tanya Suto Sinting kepada Dewi Hening.

"Barangkali dititipkan oleh seorang sahabat kakek yang amat setia," jawab Dewi Hening dengan suara bisik.

"Siapa sahabat kakekmu itu?"

"Resi Wulung Gading."

"Oooh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera teringat seorang tokoh tua yang amat dikenalnya; Resi Wulung Gading. Tokoh tua yang punya kesaktian tinggi itu tinggal di Lembah Sunyi yang menjadi pemegang pusaka terdahsyat; Pedang Kayu Petir. Hubungan Suto Sinting dengan tokoh tua itu bukan sekadar hubungan biasa, namun boleh dibilang luar biasa. Karena Resi Wulung Gading sesungguhnya adalah keponakan dari Nini Galih. Sedangkan orang yang bernama Nini Galih adalah guru dari Bidadari Jalang, dan Bidadari Jalang adalah salah satu gurunya Pendekar Mabuk.

Sudah terlalu sering Suto Sinting mencurahkan keluh kesahnya kepada Resi Wulung Gading, sehingga tokoh berkharisma tinggi itu dianggap seperti gurunya sendiri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cambuk Getar Bumi dan Pedang Kayu Petir).

Tiba-tiba Kejora yang dari tadi diam saja itu ikut bicara, ia berkata kepada kakak sulungnya dengan wajah polos. "Kalau begitu, kita pergi temui Resi Wulung Gading dan meminta Panji-panji Agung itu. Setelah kita dapatkan Panji-panji Agung, kita serahkan kepada Barakoak, lalu kita minta ia membebaskan Menik."

Plaaaak...! Tangan kakak sulungnya berkelebat menampar pipi Kejora. Gadis itu tersentak tanpa suara, kemudian berpaling muka dengan cemberut. Tamparan itu memang tak keras, tapi cukup membuat Kejora takut kepada sang kakak sulung. Pandangan mata Dewi Hening tak berani ditatapnya. Kejora akhirnya tundukkan kepala ketika Dewi Hening berkata dalam suara desah.

"Apa pun yang terjadi, kita harus pertahankan Panji-panji Agung sebagai warisan leluhur kita. Apakah kau mau aliran kita hancur dan tidak ada penerusnya?!"

"Begini saja," Suto Sinting menengahi ketegangan itu. "Aku akan datang sendiri ke Candi Bangkai untuk menyelamatkan Menik, kalian berdua tetaplah di sini, atau mencari tempat yang lebih aman lagi."

"Jangan!" sergah Kejora sambil memandang ke arah Suto. "Orang-orang Candi Bangkai itu jahat-jahat. Kau bisa dibunuhnya jika bermaksud membebaskan Menik. Kalau kau mati, kami tidak punya pelindung lagi. Siapa yang akan menolongku jika aku terperosok ke dalam lubang atau tergelincir di tebing jurang itu?"

Pendekar Mabuk tersenyum memberi ketenangan kepada Kejora. Ia menepuk-nepuk pundak gadis itu dengan lemah lembut, sementara Dewi Hening memperhatikan tanpa berkedip. "Jangan punya pikiran seperti itu, Kejora. Percayalah padaku, bahwa aku pasti bisa membebaskan Menik dalam keadaan hidup."

"Aku tidak percaya," ketus Kejora sambil cemberut. "Barakoak punya pengawal sakti; Badai Kutub, misalnya. Dia orang yang sukar dikalahkan, apalagi untuk dibunuh itu sangat sulit. Belum lagi kalau kau terkena jurus 'Surya Benggala' seperti nasib adik ayahku, kau akan menjadi manusia kaca dan hancur jika disentuh seseorang. Barakoak sendiri bukan tokoh rendahan. Dia tak bisa dibunuh karena punya ilmu 'Urat Bumi', jika ditusuk dengan pedang, lukanya mengatup lagi begitu pedang dicabut dari tubuhnya. Bagaimana mungkin kau akan bisa melawan dan mengalahkan orang seperti mereka?"

"Kalau begitu, biarlah aku saja yang datang ke Candi Bangkai untuk membebaskan Menik," kata Dewi Hening dalam suara bisik mendesah.

"Jangan! Kau pun bisa mati jika melawan mereka. Buktinya kau tak bisa hindari jurus racun 'Sukma Beku'-nya si Badai Kutub. Kalau kau datang ke sana, berarti kau menyerahkan nyawa. Aku tak akan mempunyai seorang kakak lagi!" kata Kejora dengan wajah diliputi, rasa takut.

Dewi Hening tarik napas menahan kejengkelan atas sikap adiknya. "Jadi, sebaiknya kita biarkan saja Menik berada di tangan mereka!" sambungnya masih dalam bisikan.

"Jangan! Kalau Menik terlalu lama di tangan mereka, Menik pasti akan dibunuh, sebab Menik adalah keturunan paling akhir dari keluarga kita!"

"Jadi mestinya kita harus bagaimana, Dewi Kejoraaa...!" ujar Dewi Hening dengan jengkel, suara bisikannya sedikit keras dan tertekan.

Pendekar Mabuk tertawa kecil sambil melengos.

"Atau kau saja yang membebaskan Menik?" Dewi Hening bersuara desah lagi.

"Aku bisa mati kalau datang ke Candi Bangkai sendirian. Aku mau datang ke sana membebaskan Menik, tapi kalian berdua harus ikut dan menjaga keselamatanku."

Dewi Hening gemas sekali kepada adiknya hingga mendesah dalam satu sentakan lepas. Pendekar Mabuk dari tadi senyum-senyum saja mendengarkan perdebatan kakak-beradik; yang satu pintar, yang satunya bodoh karena kepolosan berpikirnya. Akhirnya Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya yang lembut dan enak didengar itu.

"Ada baiknya jika kita menghadap Resi Wulung Gading dan menanyakan tentang pusaka Panji-panji Agung itu. Pertama kita perlu tanyakan, apakah benar pusaka Panji-panji Agung ada pada Eyang Resi Wulung Gading. Kedua, andaikata memang benar, apakah Panji-panji Agung itu punya kekuatan tersendiri untuk melawan orang-orang seperti Barakoak itu? Ketiga, kita tanyakan seandainya Panji-panji Agung itu diserahkan kepada Barakoak apakah benar bisa membuat aliran silat leluhurmu ini akan hancur dan lenyap, karena tak ada penerusnya?"

"Itu akan membuang waktu," sela Dewi Hening dalam desahan. "Barakoak memberi waktu sampai esok pagi, menurut penjelasanmu tadi. Berarti kita tidak punya banyak waktu untuk menghadap Eyang Resi Wulung Gading."

"Jika begitu, sekarang kita tetapkan saja; aku akan pergi membebaskan Menik," kata Suto kepada Dewi Hening. "Lalu, kau pergi menghadap Eyang Resi Wulung Gading untuk membicarakan tentang pusaka Panji-panji Agung itu."

"Aku lebih baik ikut kau saja!" sergah Kejora.

"Candi Bangkai berbahaya bagi gadis seperti kau, Kejora. Lebih baik kau mendampingi kakakmu saja."

"Aku tak mau kena tampar lagi," ujar Kejora sambil cemberut. "Aku merasa aman jika pergi ke mana-mana bersamamu. Buktinya kau telah selamatkan nyawaku dua kali, sedangkan Hening belum pernah selamatkan nyawaku."

Dewi Hening tersenyum tipis memaklumi cara berpikir sang adik. Akhirnya ia pun berkata kepada Suto Sinting, "Biarlah aku menghadap Eyang Resi sendirian, ajaklah Kejora ke Candi Bangkai. Siapa tahu ia bisa punya keberanian sehingga tidak selalu menjadi gadis penakut seperti sekarang ini."

"Tapi..."

"Apakah kau malu berjalan dengan gadis sebodoh aku?" sergah Kejora sebelum Suto Sinting menolak dengan alasan tertentu.

Mendengar pertanyaan seperti itu, hati Suto Sinting menjadi iba. Alasan penolakan tak jadi dilontarkan, akhirnya Suto pun menyetujui rencana tersebut. Kejora tampak girang dan bersemangat, wajahnya berseri-seri dengan kecantikan yang menandingi kakaknya.

Esok paginya, mereka bergegas keluar dari dalam gua untuk mengerjakan tugas masing-masing. Semalaman Suto Sinting mengatur rencana berdua dengan Kejora yang akan menjadi pasangan dalam menyerang Candi Bangkai. Dewi Hening tertidur dengan nyenyak ketika Suto Sinting mengatur rencana dengan Kejora.

"Kau tak boleh jauh-jauh dariku, dan pisaumu tetap harus ada di tangan. Jika ada yang mendekatimu, langsung tancapkan pisau itu ke tubuh orang tersebut tak peduli kena bagian apanya saja, yang penting kau lakukan perlawanan."

"Kalau yang mendekat kau sendiri apakah aku harus menancapkan pisauku ini?" tanya Kejora.

"Kalau kau tega tak apa."

"Aku tak tega. Tapi bagaimana jika malam ini kulatih ketegaanku untuk menancapkan pisau ke tubuhmu?"

"Kau asli gila atau pura-pura gila?!" ujar Suto Sinting sedikit dongkol tapi juga merasa geli melihat kepolosan wajah Kejora saat berkata demikian.

"Sebaiknya tak kulakukan pada dirimu saja, ya? Nanti kalau kau kutancap pakai pisau ini, kau bisa mati. Karena menurut cerita Nenek, pisau ini beracun ganas."

"Syukurlah kalau kau masih punya sisa kewarasan sedikit," ucap Suto Sinting bagai orang menggerutu.

Mereka bertiga keluar dari gua pada saat embun pagi mulai sirna. Busa-busa salju telah tiada. Tinggal sisa cairannya yang membuat alam menjadi basah bagaikan habis hujan semalaman. Mereka bertiga akhirnya tiba di suatu persimpangan jalan dan harus lakukan perpisahan. Pendekar Mabuk dan Kejora ke arah Candi Bangkai, sedangkan Dewi Hening pergi ke arah yang berlawanan menuju Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading.

Namun sebelum mereka berpisah, mendadak mereka disergap oleh delapan orang berpakaian hitam. Delapan orang itu segera mengurung mereka dengan senjata masing-masing siap di tangan. Mereka mengenakan kain hitam untuk menutup bagian hidung hingga mulut, sedangkan bagian atasnya dibiarkan terbuka: ada yang memakai ikat kepala ada yang tidak.

Suto Sinting terkesiap melihat kehadiran mereka. Kejora menjadi tegang dan ketakutan. Tapi Dewi Hening bersikap tenang dengan matanya yang memandang tajam mengitari mereka satu-persatu.

"Siapa orang-orang ini?" bisik Suto Sinting yang merapatkan diri kepada Dewi Hening.

"Mereka adalah Gerombolan Rampok Setan yang mempunyai dendam padaku karena ketua mereka kubuntungi kakinya."

"Apa persoalannya sehingga kau buntungi kaki ketua mereka itu?"

"Mereka hendak merampok harta kami saat sebelum rumah kami dihancurleburkan oleh Barakoak," jawab Dewi Hening dalam bisikan.

Kejora berkata dengan suara lirih dan bergetar, "Kita lari saja, Hening. Jumlah mereka banyak dan punya senjata semua. Pasti senjata mereka tajam-tajam, Hening."

"Tutup telinga kalian, aku mau bicara pada mereka," bisik Dewi Hening yang membuat Suto Sinting berkerut dahi, tak paham maksud perintah Dewi Hening itu. Tetapi Kejora segera menutup telinganya dengan memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ia menyuruh Suto Sinting melakukan hal yang sama dengan tendangan kaki kecil.

"Tutup telingamu, Hening mau bicara pada mereka."

"Mengapa harus menutup telinga? Apakah aku tak boleh mendengar apa yang dibicarakan Hening kepada mereka?"

Karena tak jelas mendengar kata-kata Suto, maka gadis itu menjawab tanpa ada kaitannya dengan ucapan Suto tadi. "Aku tak tahu siapa nama ketua mereka. Aku belum pernah kenalan dengan ketua mereka."

Satu-satunya orang yang mengenakan penutup wajah warna merah adalah seorang lelaki berbadan kekar dan tinggi rambutnya panjang terurai diikat dengan kain merah. Orang itu lebih dulu keluarkan suaranya dengan menggeram penuh dendam.

"Kami datang untuk menebus penghinaanmu terhadap sang Ketua, Dewi Hening!"

Kakak sulung Kejora diam membisu, matanya memandang lurus pada orang yang bicara dengan suara besar. Pendekar Mabuk pandangi dua orang yang ada disamping kirinya, tapi telinganya menyimak kata apa pun yang keluar dari mulut mereka maupun dari mulut Dewi Hening nanti.

"Jika kau berhasil membuntungi kaki ketua kami, maka kami akan membuntungi kepalamu sebagai tebusannya. Itulah perintah yang kami terima dari sang Ketua."

Dewi Hening berkata dengan suara lepas, "Lakukan...!"

Tiba-tiba delapan orang pengepung itu tersentak dan menyeringai kesakitan. Semua memegang telinga secara serentak. Pendekar Mabuk sendiri merasakan ada rasa sakit di dalam gendang telinganya ketika mendengar Dewi Hening bicara dengan suara lepas, tanpa bisik- bisik.

"Celaka!" gumam Suto Sinting dalam hati. "Rupanya perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam pada gelombang suaranya. Pantas ia selalu berbicara dengan bisik-bisik. Jika ia bicara dengan suara lepas, maka gelombang suaranya itu dapat menyakitkan lawan bicaranya. Untung aku segera menarik napas dan menahan gelombang tenaga dalam yang masuk lewat lubang telingaku, jika tidak demikian aku pasti akan kesakitan sekali seperti mereka. Pantas pula kalau Kejora mendesakku untuk menutup telinga, rupanya ia tahu jika kakaknya mau bicara berarti akan keluar kekuatan tenaga dalam yang dapat merusakkan gendang telinga."

Pendekar Mabuk pun segera kendalikan napasnya untuk menyalurkan tenaga dalam yang dapat dipakai menutup pendengarannya, ia sengaja lakukan hal itu supaya ia tidak sama seperti yang lain; menutup telinga demi keselamatan gendang telinganya. Seorang pendekar memang harus bisa mengatasi hal seperti itu tanpa melakukan penutupan pada lubang telinga. Dan hal itu membuat Dewi Hening melirik Suto sebentar, menyimpan rasa kagumnya terhadap kekuatan Suto Sinting dalam menerima gelombang suara bertenaga tinggi itu.

"Tutup telingamu!" sentak Kejora dalam bisikan.

Tapi Suto Sinting hanya tersenyum dan pandangi tiga orang yang kini bergerak lebih merapat di samping kirinya.

Dewi Hening berkata dengan suara jelas, "Kalau kalian bisa, lakukan pembalasan padaku!"

"Aaaaa...!" mereka saling berteriak kesakitan begitu mendengar suara Dewi Hening. Bahkan dua orang jatuh berlutut di belakang Suto Sinting dan Kejora. Orang itu menyeringai dan meraung kesakitan. Lubang telinga mereka mulai berdarah.

Orang yang mengenakan penutup wajah warna merah itu segera berseru memberikan aba-aba, "Serang mereka! Seraaaaang...!"

Dewi Hening berteriak, "Heeaaaat...!" dengan tangan dan kaki memasang kuda-kuda sebagai pembuka jurus.

Tetapi orang-orang yang hendak maju menyerang itu saling terpental ke belakang dalam satu seruan kesakitan. Orang yang memakai penutup wajah warna merah juga tersentak ke belakang dan menggeram menahan rasa sakitnya. Akhirnya ia jatuh terduduk di tanah dengan telinga mulai berdarah. Dua orang yang mendekat dari samping kiri Pendekar Mabuk itu terguling-guling kelojotan sambil melepaskan senjata dan kedua tangannya memegangi telinga. Namun darah masih saja keluar dari telinga mereka.

"Hebat juga ilmu yang dimiliki Dewi Hening;" ujar Suto Sinting membatin sendiri. "Kalau aku tidak segera tanggap, pasti telingaku pun akan berdarah seperti mereka. Alangkah malunya jika aku sampai begitu?!"

Salah seorang dari kedelapan pengepung itu nekat menyerang Dewi Hening sambil menahan rasa sakit. Sebuah lompatan menerjang Dewi Hening dilakukan dari belakang. Tapi perempuan itu cepat balikkan badan dan hentakkan tangannya ke depan, tenaga dalam tanpa sinar terlepas dari telapak tangan itu.

"Hiaaah,..!" teriak Dewi Hening yang membuat orang itu menjerit lebih kuat lagi.

"Aaaaa...!" Tubuhnya melayang ke belakang dengan luka ganda; pertama luka karena pukulan tenaga dalam yang mengenai ulu hatinya, kedua luka pada telinganya yang menjadi rusak berat akibat suara teriakan Dewi Hening.

Teriakan itu sempat membuat kedua kaki Suto Sinting bergetar karena menahan tenaga dalam yang menusuk masuk ke telinganya. Dalam hati sang pendekar berkata, "Luar biasa! Mengapa tak digunakan melawan Badai Kutub dan Barakoak? Mungkinkah ilmu ini pernah dipakai oleh Dewi Hening, tapi tidak mampu membuat telinga Barakoak dan Badai Kutub pecah seperti orang-orang di sini?! Ooh... aku berkeringat dingin menahan kekuatan itu. Mudah-mudahan Dewi Hening dan Kejora tak memperhatikan keringat dinginku ini."

Suara teriakan tadi bukan saja membuat orang yang menyerang terpental dan terluka parah, tetapi beberapa pengepung lainnya juga semakin meraung-raung merasa telinganya bagai dipaku kuat-kuat.

"Tinggalkan setan betina itu! Cepat lariiii...!" seru orang berpenutup wajah warna merah. Sebagian dari mereka lari tunggang langgang menuju satu arah. Tiga orang lainnya masih tinggal di tempat karena tak mendengar seruan tersebut. Mata mereka terpejam kuat-kuat sambil mulutnya masih meraungkan rasa sakit.

"Aaaaahh... Aaaaoow...!"

Pendekar Mabuk mendekati tiga orang itu, mencolek salah satu dari ketiganya sambil berkata, "Heh temanmu sudah pada lari! Kau tak mau ikut lari?!"

"Haahh...?!" orang itu terkejut melihat teman-temannya sudah cukup jauh darinya. Maka ia pun mencolek dua temannya dan segera melarikan diri dengan terhuyung-huyung.

Pendekar Mabuk tertawa geli melihat kebodohan tiga orang tersebut. Keadaan telah menjadi sepi kembali. Kejora melepaskan penutup telinganya dan bertanya kepada Pendekar Mabuk,

"Apakah telingamu terbuat dari baja?"

"Mungkin begitu," jawab Pendekar Mabuk seenaknya sambil cengar-cengir.

"Di mana kau pesan telinga sekuat itu? Aku ingin memesannya pula. Sebab kalau kakakku sedang marah, aku sering kena getahnya mendengar omelannya."

Pendekar Mabuk makin tertawa geli. Kejora geleng-geleng kepala merasa kagum dengan kekuatan telinga pemuda tampan itu. Lalu ia berkata kepada kakak sulungnya,

"Ilmu 'Guntur Swara' tidak berlaku untuk telinganya. Kalau kau melawan dia kau akan kalah, Hening."

Dewi Hening menjawab dengan suara membisik, "Karena dia kekasih Gusti Mahkota Sejati, tentu saja mempunyai ilmu lebih tinggi dariku."

"Bagaimana kalau kita menyerang Candi Bangkai bersama-sama saja? Kau bisa gunakan ilmu 'Guntur Swara' itu untuk melawan para kroco-kroconya Barakoak. Aku yang menghadapi Barakoak dan Badai Kutub!" Suto menyarankan.

Dewi Hening menggelengkan kepala dan menjawab dengan suara mendesah. "Mereka sudah terlatih mengendalikan tenaga dalam untuk melapisi gendang telinga. Kekuatan ilmuku ini sudah diketahui Barakoak, sehingga orang-orangnya pun sudah terlatih untuk menghadapi ilmuku ini."

"Baiklah, kalau begitu kita berjalan sesuai rencana semula saja. Hati-hati dalam perjalanan menuju Lembah Sunyi!" kata Suto Sinting berkesan akrab sekali.

Namun mendadak mereka terkejut mendengar suara dikejauhan, "Haiiyaaaa... hiya, hiya, hiyaaa...!"

Kejora terpekik, "Itu suara Menik...?!"

"Menik...?!" desah Dewi Hening dengan wajah menegang.

"Pasti dia berhasil meloloskan diri dan sekarang sedang dikejar-kejar oleh mereka!" tambah Kejora dengan berapi-api.

"Kalau begitu, kita cari ke mana arah larinya. Kita cegat orang-orang yang ingin menangkapnya kembali!" kata Suto Sinting dengan penuh semangat.

Mereka sama-sama menyimak suara Menik lagi dengan mempertajam pendengaran mereka. Tapi sampai beberapa saat lamanya suara Menik tidak terdengar lagi. Mereka menjadi cemas dan bertanya-tanya dalam hati,

"Apakah Menik tertangkap lagi, atau tewas dibunuh tanpa suara apa pun?!"

* * *

TUJUH

DARI ketinggian tempat mereka berada dapat dilihat gerakan seorang bocah yang melompat bersalto dan plik-plak beberapa kali. Kecepatan gerak yang mirip anak kijang itu merupakan ciri-ciri yang tak dapat disangkal lagi, bahwa bocah kecil itu tak lain adalah Dewi Menik yang lebih sering dipanggil Menik.

"Itu dia mereka...!" tuding Kejora ke arah tiga orang yang berlari-lari mengejar Menik.

"Hanya tiga orang yang mengejar Menik," gumam Suto Sinting. Tetapi pundaknya segera ditepuk oleh Dewi Hening, lalu perempuan itu menunjuk ke arah lebih belakang lagi. Ternyata ada empat orang yang sedang berpencar menghadang pelarian Menik.

"Hiyaaa... hiya, hiya, hiyaaaa...!" seru Menik sambil berlari dalam lompatan-lompatan cepat, lincah, dan gesit. Tahu-tahu ia sudah ada di atas pohon. Melompat dari dahan ke dahan, kemudian pindah lagi sudah ditanah. Menyelinap di sela-sela pohon hutan menuju lembah.

"Hei, lihat di sana...!" tuding Kejora dengan mata menegang.

"Oh, Badai Kutub itu turun tangan?!" gumam Pendekar Mabuk. "Kalian hadapi kroco-kroco, aku akan hadapi Badai Kutub setelah menyambar Menik."

"Tapi..."

Zlaaap...! Kejora tak jadi bicara karena Pendekar Mabuk sudah menghilang bagai ditelan bumi. Ia bergerak cepat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siiuman' yang punya kecepatan melebihi anak panah itu. Ketika Menik melompat ke dahan dalam gerakan salto cukup cepat, tahu-tahu tubuhnya disambar seseorang yang segera membawanya menjauh dari tempat itu. Weees ! Tapi gadis kecil itu menjerit karena kaget.

"Aaaaa...!"

Jeritan itu membuat para pengejarnya mengetahui ke mana arah gerakan si gadis kecil. Walaupun mulutnya buru-buru dibekap dengan tangan penyambarnya, tapi segalanya telah terlambat. Para pengejar membelokkan arah menuju tempat datangnya suara jeritan bocah tadi.

Zlap, zlaaapp...! Terpaksa orang yang menyambarnya berkelebat cepat tanpa bicara apa pun kepada Menik. Tahu-tahu mereka berdua sudah berada di puncak sebuah bukit yang tak seberapa tinggi. Di sana barulah Menik tahu bahwa orang yang telah menyambarnya itu adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting.

"Oh, kau rupanya?!"

"Suaramu membuat mereka tahu di mana arah gerakanmu. Maka lain kali kalau kau melarikan diri jangan disertai dengan jeritan atau teriakan agar pengejarmu tak tahu kau bergerak ke arah mana."

"Hmmm... ya, masuk akal juga penjelasanmu," kata si gadis kecil sambil manggut-manggut dengan lagak sok tuanya.

"Mengapa kau bisa tertangkap mereka?" tanya Suto Sinting, lalu ia menenggak tuaknya sambil mendengarkan jawaban dari Menik.

"Aku terperosok masuk ke lubang galian seperti sumur. Ketika aku berusaha keluar dari sana, tahu-tahu dua orang Candi Bangkai menangkapku dari belakang."

"Mengapa kau tak mau berteriak sehingga aku tahu dimana dirimu saat itu?"

"Aku hanya menghadapi persoalan kecil, tak perlu bantuanmu. Nyatanya toh aku bisa keluar sendiri dari lubang yang dalam itu?!"

Pendekar Mabuk menggantungkan bumbung tuak di pundaknya. Saat ia sedang berpikir mau dibawa ke mana gadis kecil itu, tiba-tiba si kecil ajukan tanya,

"Bagaimana kakakku; Kejora? Berhasil kau temukan?"

"Ya, berhasil. Bahkan aku berhasil bertemu dengan kakak sulungmu; Dewi Hening."

"Bagus sekali kerjamu," ujarnya sambil tersenyum dan dua tangannya segera bersedekap didada.

"Sok tua sekali kau. Tengil!" ujar Suto Sinting di sela senyum gelinya.

"Kau sudah bisa tertarik dengan kecantikan kakakku; Dewi Hening itu?"

Suto Sinting mencibir dan bersungut-sungut. "Katamu dia seperti Gusti Mahkota Sejati, nyatanya jauh berbeda!"

"Hik, hik, hik, hik...! Kau tertipu, ya? Aku memang menipumu, karena aku ingin memancing mata keranjangmu."

Suto Sinting tak jadi kecewa malainkan justru geli sendiri. Tawa mereka tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara bernada dingin di belakang mereka.

"Puaskan tawa kalian, sebentar lagi nyawa si kecil itu akan lenyap!"

Pendekar Mabuk pandai menutupi rasa kagetnya. Begitu berpaling dan memandang orang yang bicara, ia masih bersikap tenang dan berkata dengan kalem, "Oh, rupanya kau sudah tak sabar menunggu ajalmu, Badai Kutub!"

Menik tampak sedikit cemas, matanya bergerak lincah ke sana-sini mencari tempat untuk berlari. Tetapi dari arah kanan kiri segera muncul dua orang Candi Bangkai yang tadi mengejar Menik dari belakang.

"Kalau bukan karena licik, kalian tak akan bisa menangkapku!" seru Menik dengan berani. "Kalau kalian memang berilmu tinggi, mari kita adu lari!"

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum mendengar ucapan Menik, ia tahu Menik sedang memancing mereka agar bisa lolos dari keadaan itu. Tapi agaknya mereka tidak terpancing oleh tantangan Menik. Suara si Badai Kutub terdengar menjawab tantangan itu.

"Percuma kami beradu lari denganmu, Anak Tikus! Nyawamu sebentar lagi melayang dan menyusul dua orangtuamu ke neraka. Untuk apa buang-buang tenaga dengan beradu lari?!"

"Kakak iparku ini tak akan tinggal diam, Pak Tua kurap!" ujar Menik sambil menepuk pinggang Suto Sinting, seakan menunjukkan bahwa Pendekar Mabuk itulah yang dimaksud sebagai kakak iparnya.

Tentu saja Pendekar Mabuk sedikit terperanjat mendengar keberanian gadis kecil berkata demikian, ia memandang Menik dan Menik tersenyum sambil mengerlingkan mata kirinya. "Kecil-kecil genit juga kau!" geram Suto Sinting seraya kembali memandang ke arah Badai Kutub.

"Serahkan bocah itu kepada kami, atau kami akan menghabisi riwayat hidupmu juga?!" ancam Badai Kutub, pada saat itu dari belakang Suto Sinting dan Menik muncul Dewi Hening dan Kejora. Sedangkan dari belakang Badai Kutub muncul beberapa orang yang tadi ingin menghadang pelarian Menik.

"Kejora, Hening...!" sapa Menik seenaknya tanpa menyebut kata 'kakak' kepada kedua gadis itu. "Untung kau cepat datang. Kita akan saksikan pertarungan seru!"

"Menik, ini semua gara-gara kau tertangkap jadi si Pendekar Mabuk akhirnya terpaksa bertarung melawan mereka!"

"Pendekar Mabuk?! Ohh... jadi pemuda ganteng itu Pendekar Mabuk yang sering diceritakan mendiang nenek kita? Pantaaasss...!" Menik manggut-manggut menggemaskan.

"Apa yang pantas?!"

"Pantas dia terkejut ketika kusebutkan nama Gusti Mahkota Sejati. Pantas pula dia punya wajah tak sebanding dengan wajah si Badai Kutub."

"Lindungi si tengil itu!" bisik Dewi Hening kepada Kejora. Kemudian Dewi Hening maju dua langkah sejajar dengan tempat berdirinya Suto Sinting.

"Bagus, kalian telah kumpul. Ini akan mempermudah kami menghancurkan kalian!" ujar Badai Kutub.

Suto Sinting berbisik kepada Dewi Hening, "Gunakan ilmu 'Guntur Swara'-mu untuk menyingkirkan yang lain."

"Tak mungkin bisa, sudah kubilang mereka cukup terlatih menghadapi suaraku dan lagi aku takut kedua adikku menjadi korban kekuatanku sendiri."

"Kalau begitu mundurlah, lindungi kedua adikmu itu!"

Sebelum Dewi Hening bergerak, lebih dulu terdengar suara Badai Kutub berkata kepada orang-orang di belakangnya, "Bunuh mereka semua, tak perlu ada yang tersisa!"

Badai Kutub mundur, orang-orang itu maju. Dewi Hening tak jadi mundur, melainkan justru melangkah maju menghadapi orang-orangnya Badai Kutub. Pedang pun dicabut dari sarungnya. Sraaang...! Mau tak mau Suto Sinting segera mundur menyerahkan pertarungan itu kepada Dewi Hening. Pendekar Mabuk cenderung menjaga Kejora dan Menik dari incaran Badai Kutub.

Wung, wung, wung...! Dewi Hening mainkan pedangnya sebagai pembuka jurus. Tiga orang bersenjata golok lebar maju menyerang dengan jurus kembar gerak.

"Heeeaaah...!"

Dewi Hening berkelebat dalam satu lompatan tinggi, bersalto satu kali dan ketika bergerak mendarat di belakang mereka pedangnya segera berkelebat. Wuuut...! Crras, cras, cras...!

"Aaaa...!" mereka memekik bersamaan. Ketiganya terbabat pedang Dewi Hening yang mempunyai jurus berbahaya dan sukar dilihat kecepatannya. Melihat gerakan jurus pedang itu, Pendekar Mabuk teringat pelajaran pedang yang diterimanya dari Ki Argapura. Menurutnya jurus pedang itu mirip dengan jurus 'Pedang Ekor Petir' yang pernah dipelajari, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

Laaaap...! Jleeeg...!

Badai Kutub sudah berada di belakang Menik dan Kejora. Suto Sinting segera berbalik arah dan memandang penuh waspada. Dugaannya mulai terbukti, Badai Kutub sengaja menyuruh para kroco maju menyerang sementara ia mencari kesempatan menyambar Menik atau membunuh langsung ketiga kakak-beradik itu. Tapi ternyata dua dari tiga kakak-beradik itu dalam penjagaan Pendekar Mabuk, sehingga kesempatan itu sulit diperoleh Badai Kutub.

Salah seorang kroco mencoba membokong mereka dengan melemparkan pisau ke arah punggung Menik. Tetapi Kejora segera menarik lengan adiknya dan pisau pun melesat ke arah kosong. Namun tangan Kejora segera mencabut pisaunya dan dilemparkan dalam gerakan yang tak bisa dilihat.

Wuuut...! Zeeeet...! Jrrrrub...!

"Aaaahhgg...!" pisau tiga jengkal itu menancap tepat di leher orang yang membokong. Begitu tangan Kejora disentakkan mundur, pisau itu lolos dengan sendirinya melesat kembali ke tangan Kejora.

Pendekar Mabuk sempat terkesima sebentar melihat kehebatan jurus pisau dan kedahsyatan pisau itu yang ternyata mempunyai keistimewaan sendiri, yaitu dapat kembali ke pemiliknya setelah menikam lawannya. Cukup dengan satu sentakan mundur tangan Kejora, pisau itu melayang balik dengan sendirinya.

"Pisau itu ternyata bukan sembarang pisau," kata hati Pendekar Mabuk. Kata-kata batinnya tak jadi dilanjutkan karena tiba-tiba ia melihat Badai Kutub lepaskan sinar putih bening dari ujung jari tengahnya.

Claaap...!

Pendekar Mabuk cepat sambar tubuh Menik dan bergerak ke samping dengan gerakan sangat cepat. Zlaaap...! Sinar putih bening yang diarahkan kepada Menik itu melesat lurus tanpa putus, akhirnya mengenai anak buahnya sendiri yang sedang mencari kesempatan untuk membokong Dewi Hening.

Zyyrruub...!

"Aaahg...!" pekikan pendek terdengar dari orang yang terkena sinar putih bening itu. Orang tersebut mengejang seketika dengan kedua tangan terangkat, kedua kaki merapat sedikit melengkung ke depan. Tubuh orang itu berasap putih, kejap berikut asap pun hilang dan sosok tubuh orang tersebut berubah menjadi patung kaca lengkap dengan goloknya.

Pendekar Mabuk terperanjat dan hatinya menggumam, "Jurus 'Surya Benggala'...?! Mungkin inilah yang diceritakan Kejora saat di dalam gua?! Dahsyat sekali!"

Orang yang berubah menjadi patung kaca bening itu tersentuh oleh jubah Dewi Hening. Seketika itu pula patung kaca menjadi pecah dalam bentuk serpihan beling kecil-kecil. Pyaaar...!

Rasa kagum Suto Sinting terpaksa diputus karena ia melihat lagi gerakan sinar putih bening meluncur dari jari tangan Badai Kutub, sasarannya ke arah Kejora. Saat itu Kejora sedang lengah perhatikan pecahan kaca. Pendekar Mabuk segera melesat dan menghadang kecepatan sinar putih bening tersebut. Zlaaap...! Seberkas sinar hijau melesat dari tangan Suto Sinting dan bertabrakan dengan sinar putih bening.

Claaap...! Blegaaarrr...!

Ledakan sangat tinggi terjadi akibat benturan sinar putih dengan sinar dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' milik Pendekar Mabuk. Ledakan itu membuat beberapa pohon tumbang dan puncak bukit bagai mau runtuh tertelan bumi. Badai Kutub terlempar ke belakang, demikian pula Suto Sinting. Kejora dan Menik terlempar berlainan arah. Dewi Hening terjungkal ke depan, pedangnya terlempar dan tepat menancap di dada lawan terakhirnya. Jrrrub...!

Pendekar Mabuk cepat bangkit dan memandang sekelilingnya. Menik terguling-guling menuruni lereng bukit. Badai Kutub berkelebat ingin menangkap anak itu, tapi Suto Sinting lebih dulu melesat menyambar tubuh Menik. Zlaaap...! Wuuut...!

"Jahanam kauuu...!" geram Badai Kutub, kemudian ia mengangkat kedua tangannya ke atas kepala membentuk cakar menyeramkan.

Pendekar Mabuk segera melepaskan Menik dan gadis kecil itu berlari dengan lincah, tahu-tahu sudah ada di atas pohon. Badai Kutub keluarkan asap hitam dari kedua tangannya. Asap hitam itu menyembur ke arah Pendekar Mabuk. Tak ada jalan lain untuk menghadapi asap hitam yang sudah pasti mengandung racun ganas itu kecuali dengan cara menghindarinya.

Zlaaap, zlaaap...! Suto Sinting sudah berada dibelakang Badai Kutub. Lelaki berjubah biru tua itu bingung mencari lawannya, lalu berbalik ke belakang. Pada waktu itulah Suto Sinting lepaskan jurus 'Surya Dewata'-nya, berupa sinar ungu sebesar lidi yang keluar dari kedua tangan yang saling merapat. Claaap...!

Bleeegaaar...! Ledakan dahsyat terdengar kembali, karena Badai Kutub menangkis sinar ungu itu dengan sinar putih beningnya yang tadi. Ledakan itu membuat tubuh Badai Kutub terlempar ke belakang dalam keadaan berasap, sedangkan Suto Sinting terjungkal dengan mulut semburkan darah kental.

"Sutooo...?!" pekik kejora sambil berlari menuruni lereng bukit. Gadis itu sangat cemas melihat keadaan Suto Sinting. Tetapi Suto Sinting segera bangkit menampakkan keperkasaannya.

Badai Kutub bangkit dengan tubuh masih berasap. Ternyata keadaannya cukup menyedihkan. Badannya menjadi hangus dengan rambut peraknya menjadi trondol dan hitam akibat terbakar gelombang ledakan tadi. Melihat keadaan lawannya lebih parah, Pendekar Mabuk menjadi lebih bersemangat lagi. Ia buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bersiaga lagi menghadapi serangan lawannya. Namun ternyata lawannya tak lakukan serangan melainkan justru melarikan diri.

Weeesss...!

Zlaaap...! Pendekar Mabuk mengejar dengan jurus 'Gerak Siluman' yang menjadi andalan larinya itu. Agaknya Badai Kutub merasakan lukanya sangat berbahaya dan tak mungkin bisa bertahan, ia akan kembali bertarung jika sudah sembuhkan lukanya. Tetapi Suto Sinting tak mau kehilangan kesempatan, ia mengejar terus lawannya yang berusaha menghindari pertarungan kedua. Pengejaran itu tak sadar memancing Suto Sinting untuk mendekati sebuah bukit, tempat bangunan batu bernama Candi Bangkai itu berdiri.

Di kaki bukit itu, tiba-tiba Badai Kutub hentikan langkahnya. Kedua tangannya mengejang keras di samping dada dengan telapak tangan terbuka. Suto Sinting berhenti mendadak karena gerakan kakinya terasa berat. Rupanya Badai Kutub keluarkan jurus andalannya berupa badai salju yang menghembuskan angin berkecepatan tinggi dengan hawa salju yang menggigilkan tulang. Suto Sinting menggeram jengkel merasa terjebak dalam udara dingin. Tapi ia berusaha untuk tetap maju dengan gerakan kaki yang amat berat. Sementara itu busa-busa salju mulai menerpa tubuhnya, membuat tubuh kekar itu bagai dihinggapi serat-serat kapas.

Tubuh yang hampir terjungkal karena desakan badai salju itu membuat Suto Sinting kian menggeram dengan mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan. Akhirnya ia tak sabar lagi dan memekik keras-keras dengan mulut terbuka dan kaki menghentak ke bumi. "Heeeaaahh...!"

Pada saat itulah kekuatan dahsyat yang dinamakan Napas Tuak Setan terlepas dari mulut dan hidung Pendekar Mabuk. Napas Tuak Setan adalah kekuatan dahsyat yang menghadirkan badai besar tiada tandingnya.

Wuuuusss...! Wuuueerrr...!

Alam bergemuruh dengan guncangan mengerikan terjadi di bagian tanah. Langit bermega hitam bergulung- gulung memercikkan cahaya petir yang saling menggelegar bagaikan ingin meruntuhkan sang langit. Badai besar melanda bagian alam di depan Pendekar Mabuk. Pohon-pohon tumbang dan beterbangan dengan sangat mengerikan. Batu-batu pun sebagian pecah sebagian lagi beterbangan sebesar apa pun ukurannya. Tubuh Badai Kutub terlempar tanpa ampun lagi, tergencet pohon besar dengan batu sebesar rumah. Nyawanya jelas tak ada lagi. Tapi mayatnya akhirnya terlempar karena amukan badai.

Alam bagaikan kiamat, badai yang mengamuk mencapai di ketinggian bukit. Bangunan hitam dari batu yang bernama Candi Bangkai roboh tersapu badai yang mengamuk. Jerit dan teriakan orang sekarat saling bersahutan. Seluruh penghuni Candi Bangkai tersapu badai, terpental ke sana-sini, terbang tak tentu arah bersama pohon-pohon dan batu-batu yang terhempas sangat kuat.

"Jahanaaammm...!" Suara teriakan murka itu terdengar menggema, namun terbawa badai dan makin lama semakin menjauh, lalu hilang ditelan gemuruh badai. Teriakan itu datang dari mulut Barakoak, yang menamakan dirinya si Raja Iblis. Rupanya Barakoak juga ikut terlempar dan entah bagaimana nasibnya tak diketahui secara jelas oleh Pendekar Mabuk.

Yang jelas, tanah bukit itu longsor separo bagian, bangunan candi roboh menjadi tumpukan batu tanpa arti. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini, pada umumnya tergencet pohon atau batu besar yang tak sempat pecah. Sedangkan yang tidak mengalami gencetan terkapar tak bernyawa dalam keadaan luka parah jauh dari bukit itu.

Pendekar Mabuk terengah-engah saat badai telah berhenti. Dewi Hening dan kedua adiknya datang, dan mereka menjadi lega melihat Suto Sinting dalam keadaan selamat. Pemuda itu menenggak tuaknya beberapa teguk untuk mengembalikan tenaganya yang lemas karena tadi melawan badai salju. Kejora memeriksa keadaan sekeliling dengan mata mendelik tegang dan terheran-heran. Ia menemukan mayat Badai Kutub tergencet pohon dan batu besar.

Si kecil Menik berseru dari samping Kejora yang ada di dekat mayat itu, "Utusan si Raja Iblis tak bernyawa lagi! Jangan ada yang mau meminjamkan nyawanya!"

Dewi Hening tertawa kecil dalam desahan lembut. Pendekar Mabuk pun akhirnya tertawa seraya menyambut kedatangan Menik yang melompat dalam gerakan plik-plak, tahu-tahu berada di pundak Suto Sinting.

"Sakti sekali kau, Kang Pendekar!" ujarnya sambil mencubit hidung Suto Sinting. Kemudian ia berseru dari atas pundak Suto, "Ayo, siapa yang berani melawan kakak iparku ini!"

"Menik...?!" ucap Dewi Hening dalam desahan menghentak dan Kejora pun berucap sama dalam suara jelas. Keduanya sama-sama merasa cemas dan malu mendengar Menik menyebut 'kakak ipar' kepada Suto Sinting. Mereka berdua jadi tak enak hati, tapi Suto Sinting hanya terkekeh geli.

SELESAI