Perawan Titisan Peri

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Perawan Titisan Peri Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Perawan Titisan Peri
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

DENGAN didampingi dua ekor kuda di kanan-kirinya, lelaki berbaju merah itu menabuh bende berulang-ulang sambil serukan kata. Tiga kuda tersebut berjalan dengan santai menyusuri jalan pedesaan. Si penabuh bende yang menunggang kuda berbulu coklat muda itu mengenakan ikat kepala kaku dari bahan kain bercampur logam yang menjadi simbol sebuah kerajaan.

"Wara-wara... wara-wara...!" serunya dengan suara lantang dan garang. Para penduduk desa hentikan kerja mereka hanya untuk mendengarkan 'wara-wara' alias pengumuman yang dibawakan oleh si penabuh bende itu. "Gusti Ayu Sunggarini, putri dari Prabu Dasawalatama, membuka sayembara untuk umum. Barangnya siapa."

"Husy, bukan 'barangnya' siapa, tapi 'barang' siapa!" potong pengawal di samping kirinya.

"Maaf, keliru sedikit!" seru si penabuh bende. Ia mengulang kata-katanya kembali setelah bende ditabuh tiga kali.

Mung... mung... mung....

"Wara-wara. Gusti Ayu Sunggarini, putri mendiang Prabu Dasawalatama, membuka sayembara untuk umum. Barang siapa bisa menghidupkan kembali jenazah Prabu Dasawalatama, jika perempuan akan dijadikan kakak angkatnya dan berhak menerima sebagian warisan dari negeri Kincir Bantala, jika lelaki akan dijadikan suami tercinta Gusti Ayu Sunggarini!"

Mung, mung, mung!

"Sekali lagi, barang siapa bisa menghidupkan kembali jenazah Prabu Dasawalatama, ayahanda Gusti Ayu Sunggarini, maka jika orang itu lelaki akan dijadikan suaminya, jika orang itu perempuan akan diangkat sebagai kakak tertua Gusti Ayu Sunggarini!"

Orang-orang yang mendengar pengumuman itu saling berkasak-kusuk. Bahkan ketika petugas menyebar pengumuman dari kerajaan Kincir Bantala itu berhenti di bawah pohon rindang, tepat di tengah desa tersebut, mereka bertiga dikerumuni oleh para penduduk desa. Mereka yang berkerumun saling ajukan tanya dan saling membicarakan pengumuman itu antara yang satu dengan yang lainnya.

"Apakah Prabu Dasawalatama, raja dari Kincir Bantala itu telah meninggal dunia?!" tanya salah seorang penduduk.

Penabuh bende menjawab, "Kalau belum tewas tidak akan mendapat julukan 'jenazah', Tolol! Makanya dikatakan 'jenazah' karena Kanjeng Prabu telah meninggal dunia akibat sakit."

"Kenapa tidak segera dimakamkan saja?!" seru salah seorang lagi.

"Gusti Ayu Sunggarini telah membalsam jenazah ayahandanya dan bermaksud membangkitkannya kembali. Tetapi sampai sekarang, belum ada satu orang sakti mana pun yang mampu menghidupkan kembali Kanjeng Prabu Dasawalatama. Makanya Gusti Ayu Sunggarini mengadakan sayembara untuk kalian semua. Ayo, siapa saja yang merasa mampu menghidupkan kembali sang Prabu akan dijadikan suami Gusti Ayu Sunggarini, atau diangkat sebagai saudara tua Gusti Ayu Sunggarini dan mendapat hak waris sama seperti anak kandung keluarga Prabu Dasawalatama!"

Salah satu dari penduduk yang berkumpul di bawah pohon itu ada seorang pemuda berpakaian celana putih dan baju tanpa lengan warna coklat. Anak muda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu dari tadi memperhatikan si penabuh bende dan dua pengawalnya. Anak muda itu membawa bambu sedepa yang menjadi tempat menampung tuak. Siapa lagi pemuda tampan itu selain si murid sintingnya Gila Tuak yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk.

Di samping Suto Sinting berdiri pula dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, yang satu mengenakan pakaian hitam dan berbadan kurus, yang satu berpakaian hijau berbadan agak gemuk. Tiba-tiba saja yang berpakaian hijau berkata sambil menuding Suto Sinting.

"Nah, anak muda ini cocok sekali jadi suami Gusti Ayu Sunggarini!"

Yang berpakaian hitam menyahut, "O, iya! Ketampanannya sangat serasi dengan kecantikan Gusti Ayu Sunggarini. Cuma sayang, dia kumal dan hanya sebagai pedagang tuak keliling."

"Lho, biar sebagai pedagang tuak keliling, kalau memang bisa menghidupkan Prabu Dasawalatama, tentunya dia akan diangkat menjadi suami Gusti Ayu Sunggarini."

"Iya, ya...!" kata si baju hitam, ia segera bicara kepada Suto. "Hei, Anak muda...! Ikutlah sayembara itu. Siapa tahu kau beruntung, kau bisa menjadi suaminya Gusti Ayu Sunggarini. Jujur saja kukatakan padamu, ya... menjadi 'suami angkat' putri seorang raja itu enak lho! Kau ingin apa saja bisa terkabul. Bahkan mungkin kau bisa menjadi raja di negeri Kincir Bantala itu."

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum keramahan. Wajahnya yang ganteng itu memandang dua orang tersebut dengan sikap bersahabat. "Kang, kurasa sayembara ini terlalu mengada-ada. Orang sudah mati kok disayembarakan?! Aku sama sekali tidak tertarik dengan sayembara ini."

"Tentu saja kau tidak tertarik, karena kau tak punya kesaktian yang bisa membangkitkan mayat orang yang sudah mati!" ujar si baju hijau.

Suto Sinting justru tertawa pelan, lalu berkata kepada si baju hitam, "Katakan kepada si penabuh bende itu; di sini tidak ada dewa penyambung nyawa! Kalau mau cari dewa penyambung nyawa, suruh mereka pergi ke kayangan dan menemui dewa yang punya urusan soal nyawa."

Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk tinggalkan tempat itu dengan santainya. Delapan langkah kemudian ia berhenti untuk menenggak tuak dari bumbung yang dibawanya, kemudian berjalan lagi menjauhi kerumunan orang. Namun tiba-tiba langkahnya menjadi terhenti kembali karena mendengar derap langkah kaki kuda yang datang dari arah timur. Derap kaki kuda itu terdengar bukan hanya seekor, melainkan lebih dari tiga ekor.

Hal itu menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu segera palingkan wajah, memandang ke arah datangnya derap kaki kuda. Debu berhamburan membentuk kabut samar-samar. Ternyata yang datang bukan tiga ekor kuda, melainkan delapan ekor kuda yang berlari cepat menuju kerumunan orang.

"Siapa mereka itu? Tampaknya ada niat tak beres dalam benak mereka," pikir Suto sambil melangkah ke arah bawah pohon lain yang tumbuh di depan sebuah kedai nasi. Dari sana ia memperhatikan kedelapan orang tersebut yang membuat kerumunan menjadi bubar karena takut diterjang kuda mereka.

Delapan kuda itu ternyata tidak berhenti, melainkan tetap berlari cepat menerjang tiga utusan dari kerajaan Kincir Bantala. Tiga orang dari rombongan berkuda ganas itu mencabut pedang dan tiba-tiba pedang itu ditebaskan ke arah tiga orang utusan dari Kincir Bantala.

Wees, weees, wees...! Cras, cras...!

"Aaaa...!" Pekikan keras datangnya dari para penduduk yang berada jauh dari tempat tersebut. Sebagian orang memekik, sebagian lagi tertegun bengong tanpa bisa bicara, manakala mereka melihat dua pengawal penabuh bende itu kehilangan kepalanya dalam waktu yang amat singkat. Rombongan delapan penunggang kuda yang semuanya berpakaian seragam hitam bergaris-garis merah itu melaju bersama kuda mereka tanpa henti.

"Gilaaa...?!" gumam Suto Sinting dengan melongo. Dua kepala yang terpisah dari raganya itu menggelinding di tanah dengan darah berhamburan ke mana-mana. Tetapi rupanya si penabuh bende punya keberuntungan tersendiri, ia terkapar masih bernyawa, namun dadanya terluka karena sabetan pedang, sementara kepalanya bocor dan beberapa tulangnya patah karena terinjak-injak kuda saat ia jatuh ke tanah. Orang itu hanya bisa mengerang dengan suara pelan sekali, nyaris tak terdengar karena ramainya jerit dan kekacauan masyarakat desa yang diiiputi rasa takut itu.

"Mereka memenggal kepala dua orang Kincir Bantala" ujar seseorang dari depan kedai, tepat dibelakang Pendekar Mabuk.

"Tentu saja, sebab mereka orang-orang Kadipaten Pusar Langit," sahut orang yang satunya lagi, membuat Suto Sinting berpaling memandang mereka karena tertarik dengan percakapan itu.

"Yang mana orang Kadipaten Pusar Langit itu, Paman?" tanya Suto Sinting kepada lima orang yang ada di depan kedai itu.

"Itu tadi, yang jumlahnya delapan orang tadi!" jawab salah satu dari lima orang tersebut.

Temannya menimpali, "Kadipaten Pusar Langit adalah musuh bebuyutan Kerajaan Kincir Bantala. Setiap saat dan kapan saja mereka bertemu pasti saling bunuh!"

Ada yang berseru, "Lihat, si penabuh bende masih hidup!"

Semua mata tertuju pada si penabuh bende. Orang itu berusaha untuk bangkit dengan merangkak, namun keadaannya sangat lemah. Pendekar Mabuk segera menghampirinya disusul dengan empat-lima orang yang mendekati si penabuh benda dengan waswas.

"Oouh... oooh... bendeku... bendeku mana tadi..?!" ratap si penabuh bende sambil menyeringai menahan rasa sakit.

Tanpa bicara sepatah kata pun, Pendekar Mabuk segera mengangkat tubuh si penabuh bende dan membawanya ke kedai. Celoteh si penabuh bende berhamburan bersama erangan rasa sakitnya, ia dibaringkan di 'lincak', tempat duduk dari anyaman bambu yang ada di teras kedai.

"Uuhg...! Aduuuh... oooh... bendeku mana... pemukulnya mana... oooh... tubuhku sakit sekali! Bendeku rusak apa tidak, tolong selamatkan bende-ku."

Salah seorang yang mengerumuninya berseru, "Selamatkan dulu nyawamu, jangan pikirkan bende-mu, Tolol!"

Pendekar Mabuk segera membuka tutup bumbung tuaknya. Kemudian ia menyuruh si penabuh bende meminum tuak itu. "Minumlah tuakku. Minumlah walau sedikit biar rasa sakitmu berkurang," bujuk Suto Sinting dengan suara pelan.

Ada yang menggerutu di belakang Suto, "Bocah ini otaknya di mana?! Orang sakit dan terluka separah itu malah disuruh minum tuak? Kalau mau mabuk jangan ajak-ajak orang sekarat begitu! Kasihan dia! Bukannya diobati tapi malah mau diajak mabuk-mabukan!"

Tetapi tak satu pun kata-kata kecaman itu dipedulikan oleh Suto Sinting. Si penabuh bende tetap dibujuk untuk meminum tuak tersebut, sampai akhirnya orang tersebut mau meminum tuak tiga teguk. Glek, glek, glek!

"Uuhk, uhuk, uhuk, uhuk...!" si penabuh bende terbatuk-batuk.

Orang saling berceloteh mengecam Suto Sinting, tapi tak satu pun kecaman itu dilayani dengan sanggahan. Kecaman itu mulai berhenti setelah mereka saling terbengong melihat luka di dada si penabuh bende berasap tipis dan bergerak-gerak merapat sendiri. Semakin lama semakin rapat daging yang robek terkoyak itu, sampai akhirnya menjadi utuh seperti semula. Luka itu lenyap bersama sisa darah yang semula berlumuran di tubuh si penabuh bende.

"Edan! Luka itu bisa hilang dalam waktu singkat dan tak membekas sedikit pun?!"

Pakaian yang robek memang masih robek, tapi seluruh luka yang ada di tubuh si penabuh bende itu sirna tanpa bekas. Darah yang berceceran bagaikan menguap dalam waktu singkat. Wajah si penabuh bende tak terlihat sepucat tadi. Bahkan orang tersebut mampu bangkit dan duduk memandang heran sekujur tubuhnya.

"Lho... ke mana lukaku tadi?!" ujarnya dengan bingung. "Rasa sakitku...? Rasa sakitku kok ikut-ikutan hilang? Kenapa tak ada rasa perih atau panas sedikit pun, ya?!"

Mereka tidak ada yang tahu bahwa tuak yang ada dibumbung bawaan Suto Sinting itu adalah tuak sakti. Melalui tuak itu pula Suto mendapat julukan dari beberapa orang yang mengenalnya sebagai Tabib Darah Tuak. Tentu saja mereka terheran-heran melihat keampuhan tuak tersebut, walau sebenarnya yang mempunyai kesaktian bukan terletak pada tuaknya, melainkan pada bumbung bambu itu yang sebenarnya adalah jelmaan dari tokoh sakti eyang gurunya si Gila Tuak yang bernama: Wijayasura. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

"Anak muda itu ternyata punya kesaktian tinggi?!" bisik salah seorang kepada temannya. Kasak-kusuk segera terjadi di antara mereka.

Namun Suto Sinting tetap tidak peduli dengan kasak-kusuk itu. Bahkan tidak punya rasa bangga sedikit pun. Perhatiannya justru tertuju pada si penabuh bende. "Kusarankan agar sebaiknya kau pulang ke negerimu dan suruh gusti ayu-mu itu membatalkan sayembara itu."

Penabuh bende yang belum sadar bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh Suto Sinting segera memandang dengan dahi berkerut, bersikap kurang suka mendengar saran Suto. Dengan nada ketus orang itu berkata; "Enak saja kau menyuruhku begitu. Apa kepentinganmu, sehingga berani menyarankan agar gusti ayu-ku membatalkan sayembara itu?!"

"Ayahanda gusti ayu-mu sudah wafat. Biarlah beliau tenang di alam kelanggengan sana dengan cara disemayamkan baik-baik. Tak perlu disayembarakan untuk dihidupkan kembali. Setiap manusia mempunyai dua kodrat yang tak dapat disanggah lagi; lahir dan mati, datang dan pergi. Katakan begitu kepada gusti ayu-mu."

"Katakanlah sendiri, aku tak berani mengajukan saran seperti itu!" orang tersebut bersungut-sungut, lalu segera hendak pergi mencari bendenya.

"Hei, tunggu...!" cegah Suto Sinting. "Bawalah aku menghadap gusti ayu-mu, aku akan bicara sendiri tentang saran kutadi!"

Si penabuh bende memandang Suto Sinting dengan keheranan semakin tinggi. Namun sebelum ia bicara, tiba-tiba seorang lelaki tua berusia enam puluh tahun yang rambutnya tak begitu banyak beruban itu segera perdengarkan suaranya di belakang Suto Sinting.

"Anak muda, kusarankan agar kau tak perlu terlibat urusan dengan orang-orang Kincir Bantala. Sebab kau akan berurusan dengan orang Kadipaten Pusar Langit yang kabarnya sekarang sedang mengumpulkan orang-orang sakti yang dibayar untuk menumbangkan kerajaan Kincir Bantala. Kau bisa menjadi korban mereka, Anak muda."

Mendengar ucapan itu, si penabuh bende tergugah rasa pengabdiannya terhadap negerinya, ia segera berkata kepada Suto Sinting, "Jangan dengarkan omong kosong itu. Mari kuantar menghadap Gusti Ayu Sunggarini. Orang-orang Kadipaten Pusar Langit hanya mengumpulkan manusia rongsokan yang tak punya daya dan kekuatan apa-apa! Jangan takut dengan orang-orang Pusar Langit, mereka hanya berani main bokong! Sampai kapan pun mereka tak akan mampu menumbangkan kerajaan Kincir Bantala!"

Orang tua itu hanya memandang Suto Sinting dengan pundak menghentak naik satu kali, sebagai ganti ucapan, "Terserah kau sajalah, Nak!"

Sedangkan Suto Sinting hanya diam dalam keraguan yang penuh pertimbangan batin.

* * *

DUA

PENABUH bende itu mengaku bernama Kersa Gotri. Bekerja sebagai 'abdi dalem' di istana Kincir Bantala selama tujuh tahun. Sekarang usianya sudah mencapai tiga puluh lima tahun.

"Aku bukan seorang prajurit kerajaan, tetapi termasuk pelayan keluarga Kanjeng Prabu Dasawalatama," ujarnya kepada Suto Sinting ketika mereka dalam perjalanan menuju negeri Kincir Bantala.

Mereka sama-sama berjalan kaki, karena kuda berbulu coklat tunggangan Kersa Gotri telah melarikan diri saat diterjang delapan ekor kuda tunggangan orang kadipaten. Sedangkan dua ekor kuda milik pengawal yang terpenggal itu pun tak dapat digunakan lagi, yang satu kakinya patah karena jatuh, dan yang satunya lagi berlari liar bersama kuda tunggangan Kersa Gotri. Namun sebagai orang suruhan raja yang tugasnya ke sana-sini, termasuk mengirim surat atau menyebarkan pengumuman, Kersa Gotri tahu jalan pintas menuju negerinya. Jalan pintas itu ditempuh dengan cara menyusuri kaki gunung yang berhutan tak seberapa lebat.

"Sang Prabu wafat tujuh hari yang lalu. Sampai sekarang jenazahnya masih diawetkan oleh Gusti Ayu Sunggarini dengan cara dibalsam. Tindakan itu dilakukan oleh Gusti Ayu karena Gusti Ayu masih berharap ayahandanya bisa dibangkitkan lagi dari kematiannya."

"Apakah Gusti Ayu Sunggarini belum menyadari adanya kematian sebagai kodrat tiap manusia yang tak bisa ditolak lagi?"

"Semua punggawa negeri sudah mengingatkan hal itu, tapi Gusti Ayu tetap bersikeras bahwa ayahnya harus hidup lagi. Seakan ia tak bisa menerima kenyataan atas kematian tersebut. Gusti Ayu sangat mencintai sang Prabu, karena ia anak tunggal yang dimanjakan oleh ayahandanya."

"Bagaimana dengan ibunya?" tanya Suto sambil tetap melangkah.

"Ibunya sudah wafat sejak Gusti Ayu berusia sepuluh tahun, jadi cinta kasih yang diterima Gusti Ayu lebih banyak dirasakan datang dari sang Ayah."

"Mengapa dia sampai bersedia menjadi istri pemenang sayembara itu? Apakah ia belum bersuami?"

"Memang belum, Gusti Ayu merasa belum puas mengabdi dan melayani ayahandanya, sehingga beliau tak berminat untuk bersuami. Jika beliau bersuami, beliau takut perhatian dan kasih sayang untuk ayahandanya menjadi berkurang."

"Sungguh besar kesetiaan dan rasa baktinya kepada sang Ayah. Seandainya...."

Tiba-tiba kata-kata Pendekar Mabuk terhenti dengan sendirinya. Langkah kakinya pun ikut terhenti, sehingga Kersa Gotri berpaling memandangnya dengan heran.

"Ada apa, Suto?" tanyanya pelan, ia tahu pemuda yang bersamanya bernama Suto Sinting, tapi ia belum tahu bahwa Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk yang ilmunya cukup tinggi hingga dikatakan berilmu sinting.

"Aku mendengar suara langkah kaki di belakang kita. Agaknya ada orang yang ingin menguntit perjalanan kita, Kersa Gotri," bisik Suto sambil matanya melirik ke samping kanan.

"Aku tidak mendengar suara apa-apa," balas Kersa Gotri dalam bisikan. Ketika ia ingin berpaling ke belakang, Suto Sinting buru-buru menahannya dengan berkata,

"Jangan menengok ke belakang, biar kita dianggap tidak tahu apa-apa. Jalan terus saja, nanti setelah melewati batu besar itu kita segera bersembunyi di balik batu tersebut."

Pendekar Mabuk mencekal lengan Kersa Gotri dan setengah menarik agar berjalan kembali. Jurus 'Lacak Jantung' segera dipergunakan oleh Pendekar Mabuk, sehingga murid si Gila Tuak itu dapat mendengar suara detak jantung orang lain yang ada di belakangnya. Detak jantung itu hanya satu jenis, berarti hanya ada satu orang yang, mengikutinya dari belakang.

Wees...! Zlaap...!

Gerakan cepat melebihi anak panah yang melesat dari busur itu dilakukan Pendekar Mabuk dengan menggunakan Jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tangannya sempat menyambar tubuh Kersa Gotri, sehingga mereka berdua tampak seperti menghilang ditelan bumi. Tapi sebenarnya mereka bersembunyi di balik gugusan batu besar yang tingginya melebihi sebuah rumah.

"Kenapa kita tiba-tiba ada di sini?" bisik Kersa Gotri dengan heran, karena ia merasa terhempas terbang dalam sekejap.

"Kita bersembunyi di sini dulu. Aku ingin tahu siapa orang yang menguntit kita itu."

"Tapi aku merasa."

"Ssstt...!" potong Suto Sinting sambil berusaha membekap mulut Kersa Gotri.

Batu besar itu mempunyai celah sempit yang hanya cukup dimasuki oleh satu orang. Di dalam celah batu itulah Kersa Gotri berlindung di belakang Suto Sinting. Mereka tak bisa berdiri bersebelahan, sehingga kepala Kersa Gotri selalu ingin mendesak keluar untuk mengintai siapa orang yang menguntit mereka. Tapi kepala itu selalu ditekan oleh pundak Suto Sinting, membuat Kersa Gotri menjadi jengkel namun tak berani mendesak. Cukup lama mereka diam tanpa gerak dan bunyi di tempat itu. Penguntit mereka tidak kunjung lewat, sehingga hati mereka menjadi penasaran.

"Jangan-jangan tak ada apa-apa, hanya perasaanmu saja yang mengada-ada," bisik Kersa Gotri pelan sekali, persis di depan telinga Suto Sinting. Bisikan itu tidak mendapat jawaban kecuali gerakan jari Suto yang memberi isyarat agar Kersa Gotri tidak bersuara sedikit pun.

Wuuk, wuuk...! Jlegg!

Rupanya orang yang mengikuti mereka itu ada di atas batu besar tersebut. Orang itu kebingungan mencari Suto dan Kersa Gotri, akhirnya melompat turun dari atas batu dengan gerakan bersalto dua kali. Suto Sinting segera memberi isyarat agar mereka berjongkok, karena orang yang mengikuti mereka sekarang berdiri di depan celah batu dalam jarak sepuluh langkah. Orang itu clingak-clinguk mencari mereka dengan mata tajam memandang ke setiap penjuru.

"Perempuan...!" bisik Kersa Gotri sambil menyiapkan senjatanya yang sejak semula terselip di depan perut. Sebagai pesuruh raja, ia dibekali sebuah pusaka berupa keris bergagang hitam dalam bentuk kepala burung garuda. Seberapa tinggi kehebatan keris itu, Suto belum mengetahui karena memang Suto tak menghiraukan adanya senjata tersebut.

Apalagi sekarang, perhatian Suto Sinting lebih tertuju pada orang yang baru saja turun dari atas batu, sebab orang tersebut ternyata adalah seorang perempuan berusia muda, namun sudah tampak matang dalam bersikap. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Mengenakan pakaian jubah berlengan panjang dari kain halus berwarna biru muda. Rambutnya disanggul rapi dengan tusuk konde dari logam emas berbentuk kuncup bunga kenanga. Perempuan itu menggenggam pedang di tangan kirinya dengan sarung pedang dari logam kuningan berukiran dan gagangnya pun dari logam kuningan berukir.

Wajah perempuan itu cukup cantik, mempunyai hidung bangir dan bibir sedikit tebal tapi menggemaskan. Matanya tajam, namun mempunyai kebeningan yang enak dipandang. Bulu matanya lentik, alisnya tebal teratur rapi. ia mempunyai dada yang agak besar, namun tampak masih kencang penuh tantangan.

"Apakah kau kenal dengan perempuan itu?" bisik Suto Sinting pelan sekali.

"Melihat bentuk tusuk kondenya itu, kurasa ia orang Pasir Pitu,"

"Pasir Pitu itu nama kadipaten atau kesultanan?"

"Pasir Pitu nama perguruan di bukit tepi laut utara."

"Kau kenal, dengannya?"

Kersa Gotri gelengkan kepala. Pendekar Mabuk ingin berbisik lagi, kepalanya sudah menengok ke samping, tapi segera dibatalkan karena tiba-tiba datang angin aneh berhembus dari arah depan. Wuuurrss...! Angin aneh itu berhembus satu kali, menerbangkan dedaunan hijau kecil-kecil yang membuat perempuan berjubah biru muda itu segera melompat sambil mencabut pedangnya.

Wuuut...! Sraaang...!

Tring, tring, tring, tring, tring ..! Craaang...!

Daun-daun hijau yang berhamburan ke arahnya ditangkis cepat dengan pedangnya. Tangkisan itu membuat suara denting yang mengherankan, karena daun-daun hijau itu bagaikan kepingan logam tajam yang sukar dipatahkan atau dirobek dengan mata pedang. Daun-daun hijau itu berpentalan ke sana-sini, salah satu ada yang jatuh tepat di depan kaki Pendekar Mabuk. Daun yang jatuh di situ segera dipungut dan diperiksa. Pendekar Mabuk hanya menggumam dalam desah,

"Edan...! Daun selembut ini bisa berubah seperti baja pada saat beterbangan tadi. Pasti ada orang yang menyalurkan ilmu tenaga dalamnya melalui helai-helai daun tadi."

Kersa Gotri ikut memegang sehelai daun tersebut. Ternyata sangat lemas, tanpa tulang pengeras, tanpa tepian yang tajam. Kersa Gotri pun akhirnya bicara sendiri dengan suara bisik. "Daun selunak ini bisa menimbulkan suara denting saat ditangkis dengan pedang?! Apakah telingaku tadi tidak salah dengar?"

"Seseorang sedang lakukan serangan ke arah perempuan itu, Kersa Gotri."

"Begitukah?! Di mana orang yang menyerang perempuan itu?"

"Entahlah. Aku belum menemukan tempat persembunyiannya. Tapi yang jelas orang itu pasti berilmu tinggi, buktinya ia bisa menerbangkan daun-daun tadi dan mengubah tiap helai daun menjadi kepingan logam tajam mirip senjata rahasia. Untung perempuan itu cepat-cepat melakukan tangkisan, jika ia menganggap daun-daun itu adalah daun-daun biasa, mungkin tubuhnya saat ini sudah tercabik-cabik oleh ketajaman daun-daun tersebut."

"Berarti ilmu perempuan itu cukup tinggi. Buktinya ia bisa segera mengerti bahwa daun-daun itu bukan sembarang daun terbang."

Pendekar Mabuk manggut-manggut membenarkan ucapan Kersa Gotri. Kemudian perhatiannya terarah kembali kepada si perempuan yang sedang memandang ke sana-sini mencari penyerangnya. Namun mendadak angin aneh datang kembali, berhembus lebih kencang dari yang pertama.

Weeessss...!

Kali ini yang berhamburan bersama angin aneh itu adalah batu-batu kecil yang ukurannya lebih kecil dari kerikil. Jumlahnya ratusan batu yang masing-masing bagai menerjang tubuh perempuan tersebut. Namun rupanya perempuan itu mempunyai ilmu pedang yang cukup hebat. Dengan sekali kelebat saja, pedangnya menyebarkan asap mengelilingi tubuhnya. Asap putih agak tebal itu bagai menahan ratusan batu-batu kecil. Akibatnya, batu-batu itu saling pecah menimbulkan suara letusan dan memancarkan bunga api yang indah dipandang mata namun berbahaya jika mengenai tubuh manusia.

Wuuutt...! Buuusssh...!

Tar, tar, tar, tar, tar, tar, tar, traatar, tarrr...!

Angin hilang, batu-batu kecil pun lenyap, asap putih sirna. Perempuan berkulit kuning itu segera berseru tanpa arah yang pasti.

"Keluarlah dari persembunyianmu, Rangkak Dulang! Aku tahu kau ada di sini dan ingin berhadapan denganku! Keluar kau sekarang juga, Rangkak Dulang!"

"Ooh...?! Rangkak Dulang?!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan, bahkan buru-buru menutup mulutnya dengan mata menegang.

Suto Sinting yang menoleh ke belakang memperhatikan ketegangan mata Kersa Gotri, sehingga ia pun ajukan tanya kepada pesuruh raja Kincir Bantala itu. "Siapa yang bernama Rangkak Dulang itu? Apakah kau kenal dengannya?"

Kersa Gotri hanya mengangguk satu kali sambil melepas dekapan pada mulutnya. "Rangkak Dulang adalah tokoh sakti dari Gunung Rancak Hantu. Dia dikenal dengan julukan: Pawang Setan Binal."

"Aku baru sekarang mendengar nama itu," gumam Pendekar Mabuk bagai bicara sendiri, kemudian perhatiannya kembali ke arah depan.

Karena pada saat itu, seberkas sinar merah terbang dari balik kerimbunan semak. Bentuknya seperti kerikil pecahan batu lahar. Sinar merah itu jatuh ke tanah, buuusss...! Asap mengepul merah samar-samar, makin lama semakin hilang dan tampaklah sesosok tubuh kurus kering bagai tulang dibalut kulit keriput. Wajah hitam bermata lebar, rambut hitam meriap tak beraturan. Orang itu mengenakan pakaian abu-abu longgar, tanpa lengan baju. Pada ikat pinggangnya yang berwarna merah itu terselip sebuah senjata berupa trisula mata panah.

"Itu dia yang bernama Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal," bisik Kersa Gotri.

Pendekar Mabuk hanya menggumam sambil pandangan mata tertuju pada wajah bertulang saling bertonjolan dengan bola mata lebar berkesan dingin dalam menatap si perempuan jubah biru. Rambut hitamnya yang acak-acakan itu meriap merintangi sebagian wajahnya hingga Rangkak Dulang kelihatan sangat angker.

"Ternyata kau masih saja menjadi seorang pengecut, Rangkak Dulang! Percuma saja kau menyandang julukan Pawang Setan Binal, kalau melawanku saja harus dengan sembunyi-sembunyi. Rupanya kau takut mati di tanganku, Rangkak Dulang?!"

"Tutup mulutmu, Paras Kencani!" hardik si Rangkak Dulang dengan suara seraknya.

Mendengar nada suaranya, Suto Sinting dapat memperkirakan usia Rangkak Dulang sekitar enam puluh tahunan. Tangannya yang berkuku tajam dan runcing walau tak terlalu panjang itu segera terangkat untuk menuding perempuan cantik yang ternyata bernama Paras Kencani itu.

"Aku tak mau banyak bicara, Paras Kencani. Serahkan saja kitab pusaka itu atau kucabut nyawamu sekarang juga!"

"Aku tak memiliki kitab pusaka yang kau cari-cari sejak beberapa bulan yang lalu itu! Apakah kau kurang puas telah membantai orang-orangku dan mengobrak-abrik perguruanku hanya untuk suatu kesia-siaan itu? Bukankah kau telah tidak mendapatkan kitab pusaka itu?"

"Tentu saja, karena kitab pusaka itu kau simpan ditempat yang tak bisa kuketahui! Kau telah melapisinya dengan hawa murni sehingga tak bisa kutembus dengan indera ketujuhku."

"Persetan dengan dugaanmu! Yang jelas aku tidak memiliki kitab pusaka itu. Jika kau masih menghalangi langkahku, maka aku akan menyingkirkan dirimu secara paksa!"

"Kau tak akan mampu!" ucap Rangkak Dulang sambil menuding Paras Kencani. Jari yang menuding itu tiba-tiba keluarkan sinar kecil bagai benang kaku yang melesat menuju dada Paras Kencani. Claaap...! Sinar itu sangat kecil dan tipis, sehingga sukar dilihat oleh manusia biasa. Bahkan pandangan mata Suto Sinting hampir saja tak mampu melihat sinar tersebut. Karenanya Paras Kencani tak sempat menangkis dan menghindarinya. Juubs...!

"Uhg...!" Sinar merah sebesar benang jahit itu tepat kenai bawah pundak Paras Kencani. Hantaman sinar tersebut membuat Paras Kencani jatuh terkulai bagai tanpa tulang sama sekali. Tubuhnya yang sekal dan indah mengeluarkan asap samar-samar.

Zaab...! Pawang Setan Binal bergerak dekati Paras Kencani dengan gerakan bagaikan badai berhembus. Tiba di samping tubuh Paras Kencani ia keluarkan hardikannya lagi. "Di mana kitab pusaka itu?! Jika kau tak mau sebutkan, aku tak akan memberikan obat penawar racun 'Inti Mayat'. Selama ini tak ada orang yang dapat hidup lebih dari setengah hari setelah terkena racun 'Inti Mayat'-ku itu! Katakan, kau simpan di mana kitab itu?!"

"Buk... bukan ada padaku! Kitab itu... sudah direbut oleh... oleh..."

"Oleh siapa?!" desak Pawang Setan Binal dengan bentakan serak.

Paras Kencani tampak sukar keluarkan napasnya, namun ia berusaha dengan susah payah agar bisa bicara. "Kitab itu ada... ada pada... pada Perawan Titisan Peri!"

"Kucing Hutan?! Keparat bejat si Kucing Hutan!"

Zaaab...! Pawang Setan Binal melesat pergi bagaikan badai menghembus. Gerakannya itu timbulkan kepulan asap yang makin jauh semakin meruncing dan lenyap sama sekali. Paras Kencani ditinggalkan begitu saja tanpa diberi obat penawar racun seperti janjinya semula.

"Licik sekali dia...!" geram Suto Sinting sambil perhatikan ke arah lenyapnya si Pawang Setan Binal. Karena tak tega melihat keadaan Paras Kencani yang masih tetap keluarkan asap dari kulit tubuhnya, Pendekar Mabuk segera keluar dari persembunyiannya. Kersa Gotri pun mengikuti dari belakang. Mereka mendekati Paras Kencani yang kesulitan bernapas dengan wajah pucat pasi.

Melihat kedatangan Suto Sinting dan Kersa Gotri, Paras Kencani tak punya pilihan lain kecuali mengeluh kepada mereka, "Tolong... tolonglah aku. Jangan biarkan ragaku lumer dan menjadi busuk.... Oh, tol.. tolonglah aku...!"

Kersa Gotri berkata pelan di samping Suto, "Kabarnya, racun 'inti Mayat' dapat membuat korbannya menjadi lumer dan membusuk bagaikan bubur bangkai. Kurasa dia akan menjadi bubur bangkai dalam waktu tak lama lagi jika tak ada obat yang bisa menawarkan racun tersebut."

Pendekar Mabuk menggumam pendek, ia tampak tenang sekali, seolah-olah tak punya perasaan iba sedikit pun., ia justru menenggak tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...! Setelah itu baru berjongkok dekati Paras Kencani dan berkata,

"Minumlah tuak ini sebelum kau menjadi bubur bangkai. Walau belum tentu bisa menyelamatkan jiwamu, tapi setidaknya kau punya pengalaman pernah meminum tuaknya orang sinting sepertiku ini! Maukah kau ikut-ikutan sinting denganku?!"

* * *

TIGA

KERSA Gotri memang membantin, "Orang mau mati malah diajak sinting bersama. Benar-benar konyol anak ini."

Tapi gerutuan Kersa Gotri menjadi sirna, berganti rasa heran yang terkagum-kagum manakala Paras Kencani mau meminum tuak saktinya Suto Sinting, lalu asap yang mengepul dari kulit tubuhnya itu berhenti. Napas demi napas berikutnya, keadaan Paras Kencani menjadi segar dan merasa bertulang kembali, ia mampu bangkit berdiri dalam keadaan sehat. Bahkan merasa lebih segar daripada sebelum bertemu Rangkak Dulang tadi.

"Luar biasa khasiat tuak itu?" pujinya dalam hati penuh kekaguman yang disembunyikan. Kata hati pun berlanjut lagi, "Selama ini, setahuku memang tak pernah ada korban yang mampu hidup jika sudah terkena jurus racun 'Inti Mayat' milik si Rangkak Dulang itu. Tapi kenyataannya aku bisa selamat dan racun itu tak jadi membusukkan ragaku setelah minum tuak si ganteng itu. Hmmmm... beruntung sekali aku bertemu dengannya. Ternyata ia bukan pemuda yang buta perasaan manusiawinya."

Pandangan mata saling beradu dalam jarak empat langkah. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis sebagai keramahan yang selalu menghiasi wajah tampannya. Dalam keadaan begitu, ketampanannya menjadi bertambah memikat hati lawan jenisnya. Tak heran jika Paras Kencani menarik napas secara diam- diam dan menahan perasaan gundah di dalam hatinya yang seolah-olah ditaburi aneka bunga itu.

"Terima kasih atas pertolonganmu. Aku berhutang nyawa padamu, Pendekar muda!"

"Namaku Suto Sinting," ucap Pendekar Mabuk dengan kalem, namun bernada sedikit wibawa.

"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," gumam Paras Kencani bagaikan bicara pada dirinya sendiri.

"Apakah kau orang Perguruan Pasir Pitu?"

"Benar. Dari mana kau tahu, Suto Sinting?"

"Kersa Gotri yang mengatakan begitu padaku," jawab Suto sambil melangkah menyamping berlagak memandang ke arah lain. Lanjut Suto lagi, "Kami tahu kau orang Perguruan Pasir Pitu, tapi kami tidak tahu apa alasanmu mengikuti langkah kami sejak tadi."

Paras Kencani menarik napas menutupi rasa malunya, ia buang muka sebentar sambil mempertimbangkan jawabannya. Dalam hati sempat terucap kata, "Sebaiknya aku bicara terus terang saja pada mereka."

Lalu, mulutnya yang berbibir indah itu pun bergerak-gerak lontarkan kata dengan nada tegas, pandangan matanya tertuju ke arah Suto Sinting dan Kersa Gotri secara berganti-gantian. "Aku mengenali Kersa Gotri sebagai orangnya Prabu Dasawalatama. Ketika ia mengumumkan sayembara itu, aku tertarik dan segera mengikutinya secara diam-diam, karena aku tak tahu di mana negeri Kincir Bantala berada."

"Jadi kau ingin mengikuti sayembara itu?" potong Kersa Gotri. "Kau bisa menghidupkan jenazah mendiang Kanjeng Prabu?!"

"Aku bukan sang Pembeli Hidup," jawab Paras Kencani bernada tegas. "Aku hanya seorang guru dari sebuah perguruan yang sudah dihancurkan oleh Rangkak Dulang. Tapi aku mempunyai tujuan yang sama dengan Sunggarini, putri Dasawalatama itu."

"Tujuan sama bagaimana maksudmu?"

"Aku juga ingin menghidupkan murid-muridku yang telah dibantai oleh si Pawang Setan Binal itu. Karenanya aku segera pergi untuk mencari di mana Dasawalatama berada, karena sesungguhnya aku adalah sahabat Dasawalatama semasa mudanya."

"Hahh...?!" Kersa Gotri terkejut, demikian pula Suto Sinting yang memandang tajam dengan dahi berkerut. "Kalau begitu usiamu sama dengan Kanjeng Prabu Dasawalatama?"

"Benar, usiaku sejajar dengan Dasawalatama."

"Gila!"gumam Kersa Gotri. "Usia delapan puluh tahun seperti usia dua puluh tujuh tahun! Pasti memakai ilmu awet muda!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil tetap memandang ke arah Paras Kencani. Yang dipandang menjadi semakin gundah, hati berbunga-bunga resah, akhirnya mencoba alihkan pandangan ke arah lain. "Apa hubungannya Prabu Dasawalatama dengan niatmu yang ingin menghidupkan kembali murid-muridmu itu?" tanya Suto Sinting memecah keheningan yang terjadi selama empat helaan napas itu.

"Dasawalatama bersahabat akrab dengan tokoh dari puncak Bukit Wangi yang bernama Galak Gantung."

"Siapa?! Galak Gantung...?!" Suto Sinting tersentak kaget, karena ia pun kenal betul dengan tokoh yang menjadi sahabat karib gurunya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Bernyawa).

"Apakah kau juga mengenal si Galak Gantung?"

"Aku sangat kenal dengan beliau, karena beliau adalah sahabat guruku. Tapi apa hubungannya dengan niatmu tadi?"

"Dulu aku pernah mendengar Galak Gantung menitipkan sebuah pusaka kuno kepada Dasawalatama. Pusaka itu milik keturunan Nyai Parisupit. Pusaka itu bernama: Panji-panji Mayat atau Panji-panji Dewa. Pusaka itu dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati. Bahkan jika pusaka itu dibawa melewati kuburan, maka seluruh penghuni kuburan akan bangkit mengikuti Panji-panji Mayat dan menjadi pengikut si pemegang pusaka tersebut."

Hati pemuda tampan berhidung bangir yang punya badan tinggi dan tegap itu menjadi berdebar-debar. Sebab selama ini ia memang sedang memburu pusaka Panji-panji Mayat untuk diserahkan kepada tiga saudara yang menjadi ahli waris terakhir dari keturunan Nyai Parisupit. Tiga saudara itu adalah Dewi Hening, Dewi Kejora dan Dewi Menik. Namun sampai sekarang Pendekar Mabuk masih belum mengetahui siapa orang yang dititipi pusaka itu sebenarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Raja Iblis).

"Jadi, menurutmu Galak Gantung adalah orang yang dipercaya untuk menyimpan pusaka Panji-panji Mayat, lalu pusaka itu dititipkan kepada Prabu Dasawalatama?!" ujar Suto Sinting ingin meyakinkan kesimpulan hatinya.

"Benar," jawab Paras Kencani. "Sebab setahuku, Dasawalatama mempunyai ruang rahasia yang tak bisa dimasuki pencuri mana pun dan tak seorang pun walau kesaktiannya sangat tinggi bisa memasuki ruangan tersebut. Hanya Dasawalatama yang bisa memasuki ruangan rahasia Itu. Aku yakin pusaka tersebut tersimpan di dalam ruang rahasia itu."

"Tak mungkin," sangkal Kersa Gotri secara tiba-tiba. "Jika Prabu Dasawalatama menyimpan pusaka Panji-panji Mayat, tentunya Gusti Ayu Sunggarini tidak perlu membuka sayembara untuk menghidupkan kembali ayahandanya. Pasti Gusti Ayu akan menggunakan pusaka Panji-panji Mayat itu untuk menghidupkan kembali ayahandanya."

"Masuk akal sekali pemikiran Kersa Gotri itu," kata Suto kepada Paras Kencani.

"Justru aku ingin ke negeri Kincir Bantala untuk menemui Sunggarini setelah kudengar Dasawalatama telah mangkat. Aku perlu mengingatkan anak gadis si Dasawalatama itu tentang adanya pusaka tersebut. Tentunya aku pun ingin meminta bantuan padanya untuk membangkitkan jenazah murid-muridku yang sebagian besar masih kusimpan dalam ruangan hampa udara."

Pendekar Mabuk merasakan ada kebenaran dalam pemikiran Paras Kencani, ia sempat menjadi bingung sendiri menentukan langkah berikutnya. Kersa Gotri segera berkata, "Kalau begitu, sebaiknya kita bersama-sama menghadap Gusti Ayu Sunggarini untuk membicarakan pusaka tersebut!"

Suto Sinting beradu pandangan mata sebentar dengan Paras Kencani, setelah itu terdengar suaranya bernada lembut. "Tak ada pilihan lain yang lebih baik kecuali mengikuti saran Kersa Gotri."

Maka perjalanan menuju negeri Kincir Bantala dilanjutkan kembali. Kali ini Kersa Gotri berjalan paling depan sebagai pemandu, sementara Suto dan Paras Kencani berjalan di belakangnya dalam jarak empat langkah. Kersa Gotri bagaikan memberi kesempatan kepada kedua insan itu untuk saling lebih mengakrabkan diri, karena ia merasakan adanya pandangan aneh dari tiap tatapan mata Paras Kencani kepada Pendekar Mabuk.

"Aku memang mengaguminya," ujar Paras Kencani dalam hatinya. "Bahkan... aku tertarik padanya. Tapi aku harus tetap menjaga wibawaku sebagai seorang guru dari sebuah perguruan, walau perguruanku itu sekarang dalam keadaan hancur. Aku harus bisa menyimpan perasaan ini sampai kutahu bagaimana sikap sejatinya terhadapku. Bila perlu akan kusimpan selamanya, tak perlu pemuda itu mengetahuinya."

Pendekar Mabuk perlambat langkah karena ia harus meneguk tuaknya. Anehnya, secara tidak sadar langkah kaki Paras Kencani pun ikut-ikutan berhenti, seakan ia tak ingin Pendekar Mabuk ketinggalan langkah.

"Kuperhatikan sejak tadi kau sebentar-sebentar menenggak tuakmu, tapi tak kulihat kau menjadi mabuk. Kapan kau akan mabuk sebenarnya?" tanya Paras Kencani yang merasa heran melihat Suto Sinting tetap segar dan gagah walau minum tuak cukup banyak.

"Aku tak pernah mabuk kecuali sedang dalam pertarungan," jawab Suto Sinting sambil sunggingkan senyum yang jelas maknanya bagi Paras Kencani.

"Barangkali kau termasuk..."

"Awaaass...!" sentak Suto Sinting sambil menarik lengan Paras Kencani. Perempuan itu dibawanya berguling ke tanah dengan gerakan cepat.

Wuuutt...!

Rupanya pada saat itu mata jeli Pendekar Mabuk melihat kilatan benda yang melayang dari berbagai arah. Benda-benda kemilau itu menyerang mereka dari berbagai penjuru, seakan mengepung gerakan mereka. Beruntung sekali Suto Sinting punya gerakan naluri yang cukup tinggi, sehingga mereka berdua lolos dari lempengan logam berbentuk piringan bergerigi. Tetapi naas bagi Kersa Gotri yang tak sempat menghindar dan jauh dari jangkauan tangan Pendekar Mabuk. Dua piringan bergerigi menghantam leher dan punggungnya.

Zing, zing, zing, ziing...! Cras, craaabs...!

"Aaahk...!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya limbung dengan leher terkoyak nyaris terpotong.

"Kersaa...! Kersaaa. !" teriak Pendekar Mabuk yang menjadi tegang melihat Kersa Gotri terkapar berlumur darah, ia bergegas hampiri Kersa Gotri, tetapi tiba-tiba tiga piringan bergerigi melayang bersamaan dari kanan, kiri, dan belakangnya.

Zing, zing, ziiing!

"Awass...!" pekik Paras Kencani yang segera lakukan lompatan dari keadaan duduk.

Wuuusss...! Traang, blaaarr...!

Piringan bergerigi yang hendak menghantam punggung Suto Sinting berhasil ditebas dengan pedangnya. Tebasan itu bukan saja menimbulkan suara nyaring dan memancarkan bunga api, namun juga menimbulkan ledakan yang mempunyai daya hentak cukup kuat. Tubuh Paras Kencani sendiri terpental balik dan berguling-guling di semak ilalang. Sementara itu Pendekar Mabuk segera lakukan gerakan mirip orang mabuk; tubuhnya miring ke kiri seperti mau tumbang, namun tangannya cepat hantamkan bumbung tuak ke arah piringan yang datang dari arah kanannya.

Traak...! Zzziiing...!

Piringan yang datang dari kiri berhasil dihindari, sedangkan piringan yang dihantam dengan bambu tuaknya memantul balik dengan lebih cepat dari gerakan terbang aslinya. Piringan bergerigi yang berbalik arah itu menghantam sebatang pohon besar.

Jegaaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan senjata bergerigi dengan batang pohon. Ledakan itu membuat batang pohon retak hebat, daun-daunnya berguguran dan beberapa dahannya patah dengan mengepulkan asap. Batang pohon itu sendiri menjadi hangus bagai habis disambar petir.

"Kejadian itu membuat pemilik senjata menjadi terbengong melompong, karena tak menduga senjatanya dapat menimbulkan kekuatan sedahsyat itu. Bahkan si pemilik senjata sempat bergumam dalam hati dari persembunyiannya,

"Edan! Biasanya senjata itu hanya bisa memotong sebagian batang pohon dan menjadikan pohon terkelupas kulitnya. Tapi mengapa sekarang senjata 'Cakra Terbang' telah membuat pohon itu bagai disambar sepuluh petir murka?!"

Pendekar Mabuk tak jadi dekati Kersa Gotri, karena setelah itu dari kerimbunan semak muncul beberapa orang berpakaian hitam dengan garis-garis merah. Mereka muncul dari berbagai arah, sehingga keadaan Pendekar Mabuk dan Paras Kencani menjadi terkurung. Mereka yang mengurung telah menggenggam senjata masing-masing yang bukan dari lempengan piring bergerigi. Tetapi di pinggang masing-masing masih tampak tersimpan senjata piring bergerigi yang sewaktu- waktu dapat digunakan sebagai pengganti pedang atau golok pegangan mereka.

"Hati-hati, tampaknya mereka cukup ganas!" bisik Pendekar Mabuk kepada Paras Kencani. Tapi perempuan itu membalas bisikan dengan suara tenangnya.

"Aku tahu, mereka adalah orang Kadipaten Pusar Langit. Mereka pasti menyangka kita memihak Kincir Bantala."

"Jika begitu, kita harus bagaimana, menurutmu?!"

"Sudah telanjur begini, sulit dihindari. Hadapi saja mereka!"

"Aku setuju sekali!" gumam Suto Sinting. "Tapi sebaiknya biarkan aku sendiri yang menghadapi mereka. Mundurlah dan lindungi si Kersa Gotri."

"Percuma, dia sudah tidak bernyawa."

"Ooh... celaka!" geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi orang-orang yang mengepungnya. Jumlah mereka ada sepuluh orang, dan masing-masing mempunyai sorot pandangan mata sangat bermusuhan. Tapi agaknya Suto Sinting ingin mencoba untuk mengurangi timbulnya korban sia-sia dengan mencoba berunding secara baik-baik. Salah seorang dari mereka, yang berkalung tali hitam dengan bandul logam perak berbentuk bunga matahari itu berseru memberikan perintah kepada yang lain. Agaknya orang berkalung perak dan berkumis lebat itu adalah ketua kelompok tersebut.

"Bunuh mereka berdua! Jangan ada yang tersisa!"

"Tunggu!" sentak Suto Sinting sambil mengangkat bumbung bambu yang talinya melilit di tangan kanan. "Kalian salah duga. Kami berdua bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya akan menjadi tamu di sana!"

"Persetan dengan alasan kalian! Seorang tamu bagi Kincir Bantala adalah seorang musuh juga bagi Pusar Langit!"

"Kalau begitu kau saja yang berhadapan denganku. Mengapa harus mengajukan anak buahmu? Apakah kau takut mati lebih dulu dari anak buahmu?!" kata Suto Sinting sengaja memancing kemarahan orang berkumis lebat itu.

Orang tersebut menyeringai dengan menggeram marah. "Bangsat kau! Heeeaat...!"

Wuuuss...! Orang berkumis itu melompat maju dengan pedang menebas cepat. Sasarannya adalah leher Pendekar Mabuk yang akan dipenggal seperti Kersa Gotri itu. Tetapi Pendekar Mabuk bergerak limbung seperti orang mabuk mau jatuh. Tiba-tiba gerakannya yang miring ke kiri itu terhenti dan kakinya berkelebat cepat, lakukan tendangan memutar bersama-sama diputarnya tubuh, sedangkan bumbung tuaknya dihentakkan melintang di atas kepala hingga pedang itu tertahan.

Traang...! Beehg...!

"Ouh...!" orang itu memekik, pinggangnya terkena tendangan keras yang membuat napasnya bagai tersumbat dalam beberapa saat. Tubuh orang berkumis itu terpental ke samping dan terguling-guling. Suto Sinting cepat sentakkan bumbung tuaknya ke tanah, lalu tangannya bertumpu ujung bumbung dan menghentak, sehingga tubuhnya melayang berjungkir balik di atas bumbung tuak itu, Wuuukk...! Ketika ia mendaratkan kakinya di depan orang berkumis yang baru saja hendak berdiri, bumbung tuaknya ikut terbawa melambung dan dihantamkan ke arah pundak lawan. Wuung...! Duuggh...!

Krraakk...! Terdengar suara tulang patah dengan jelas sekali. Orang berkumis menjerit sekuat tenaga dengan tubuh terkulai tak berdaya.

"Aaaa...!" Mulutnya yang menganga keluarkan darah akibat pukulan bumbung bertenaga dalam cukup tinggi. Suto Sinting segera menginjak tangan kanan orang itu hingga pedangnya tak bisa digunakan untuk menebas. Bumbung tuak telah diangkat tepat di atas kepala orang yang jatuh telentang itu. Para pengepung lainnya bergerak maju, tapi segera tertahan begitu mendengar suara seruan Suto Sinting.

"Satu orang maju, kutumbuk hancur kepala ketua kalian ini!"

Rupanya mereka takut dengan ancaman Suto yang secara diam-diam dikagumi dalam hati masing-masing. Akibat ancaman itu, mereka mundur pelan-pelan dengan wajah tegang.

"Buang senjata kalian! Buang semua!" seru Suto Sinting dengan wajah menampakkan seakan benar-benar ingin menumbuk kepala orang berkumis yang mengerang tak berdaya.

Mereka membuang semua senjata, termasuk sisa senjata di pinggang masing-masing berupa piring bergerigi.

"Semua berkumpul di depanku!" perintah Suto Sinting dengan mata memandang tajam pada tiap-tiap wajah. Perintah tersebut dituruti oleh mereka demi keutuhan kepala ketua mereka.

"Sekali kuingatkan kepada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya orang-orang yang ingin datang bertamu untuk suatu keperluan. Jika kalian memusuhi kami, itu adalah tindakan yang amat keliru! Kalian bisa mati tanpa guna!"

Masing-masing wajah dipandangi lagi dengan sorot pandangan mata yang tajam. Paras Kencani sejak tadi hanya diam, memasang kuda-kuda sebagai sikap siaga, tapi memberi peluang kepada Suto Sinting untuk bertindak sekehendak hatinya. Mata perempuan itu pun memandang sekeliling dengan jeli dan penuh waspada.

Karenanya, ketika orang berkumis yang mengerang dalam keadaan sekarat itu berusaha mencabut pisau kecil dari pinggangnya dan ingin ditancapkan ke betis Suto Sinting, dengan cepat Paras Kencani lepaskan pukulan tenaga dalam berupa selarik sinar biru dari kedua ujung jarinya. Claaap...! Sinar biru sebesar kelingking itu melesat dan mengenai tangan kiri orang berkumis. Zuuub...!

Prraak...!

"Aaaauh...!" Orang berkumis itu semakin memekik tinggi dan panjang karena sinar biru itu telah membuat pergelangan tangan hancur hingga tangan kirinya tidak bertelapak tangan lagi. Rupanya sinar biru itu bukan hanya kenai tangan saja, melainkan, sebagian sinarnya ada yang mengenai mata kiri, sehingga mata itu pun hancur mengerikan dan akhirnya orang tersebut tak mampu keluarkan teriakan lagi. Ia menghembuskan napas terakhir setelah lima helaan napas terhitung sejak putusnya tangan kiri itu.

Hahhh..?! Mahesa Bakor mati?!" salah satu dari mereka berseru tertahan karena menjadi lebih tegang lagi.

Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya kecewa, karena ia tidak bermaksud membuat orang berkumis itu mati. Tetapi karena keadaan sudah telanjur begitu, maka ia segera berseru kepada orang-orang kadipaten itu. "Jika kalian tak segera pulang, maka kalian akan alami nasib seperti orang ini!"

Prajurit-prajurit kadipaten yang tergolong kelas menengah itu menjadi ketakutan. Sebab setahu mereka, orang bernama Mahesa Bakor itu adalah orang berilmu tinggi yang jarang terkena pukulan lawan. Jika sekarang Mahesa Bakor tumbang dalam waktu sesingkat itu, maka mereka berkesimpulan bahwa lawan mereka itu orang berilmu tinggi. Dengan alasan melaporkan kepada sang Adipati, mereka pun akhirnya melarikan diri tanpa memungut senjata masing-masing.

"Mestinya tak perlu harus sampai mati," ujar Suto Sinting dengan suara tenang kembali.

Paras Kencani menjawab masih dengan nada ketus. "Daripada ia melukaimu lebih baik kehilangan nyawa! Apakah kau tak suka dengan tindakanku itu?!"

Sebaris napas ditarik dan dihembuskan lepas-lepas. "Ya, sudahlah! Tak perlu dimasalahkan lagi. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana kita bisa sampai ke negeri Kincir Bantala jika penunjuk jalan kita telah tak bernyawa?!"

"Kita cari semampu kita. Tak mungkin kita tak berhasil menemukan negeri Kincir Bantala!"

"Seingatku, tadi Kersa Gotri berkata, kita akan menerabas hutan seberang lembah ini, memotong jalan lewat sana. Apakah kau tidak keberatan menerabas hutan lebat itu?!"

"Bersamamu tak pernah ada pekerjaan yang memberatkan bagiku. Apa pun akan kulakukan selama masih bersamamu," sambil matanya menatap lekat-lekat ke wajah Suto Sinting.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis dan keluarkan gumamlirih, "Aneh...!" ia menahan geli dengan membuang muka ke arah lain.

* * *

EMPAT

SEBUAH desa tak seberapa luas dan hanya dihuni oleh beberapa puluh penduduk telah menjadi tempat persinggahan perjalanan Pendekar Mabuk. Petang yang meremang menuju malam, bagai mulut raksasa siap menelan bumi. Sebuah kedai menjadi sasaran sementara perjalanan Pendekar Mabuk dan Paras Kencani.

"Kedai ini tampak sepi-sepi saja," bisik Paras Kencani kepada Suto Sinting saat ia mulai duduk di bangku panjang itu.

"Suasana desa juga terasa lengang," timpal Suto Sinting. "Hanya sedikit orang yang keluar rumah, padahal kita masih di ujung petang, belum memasuki pertengahan malam."

Pemilik warung yang bertubuh kurus dan agak jangkung itu menyajikan pesanan mereka. Tentu saja Suto Sinting memesan sepoci arak lebih dulu setelah itu baru menambah bumbungnya dengan tuak yang baru.

"Mengapa suasananya sepi-sepi saja, Pak Tua?" tanya Paras Kencani.

"Memang beginilah keadaan desa kami sejak peristiwa itu."

"Peristiwa apa?!" sambar Suto Sinting menjadi penasaran.

"Peristiwa pembantaian yang terjadi setiap malam, selama tujuh malam berturut-turut."

Pendekar Mabuk saling beradu pandang dengan Paras Kencani. Dahi mereka sama-sama berkerut menandakan rasa heran terhadap kabar tersebut. Lalu, Suto Sinting ajukan tanya kepada Pak Tua pemilik kedai, "Pembantaian apa sebenarnya, Pak Tua?"

"Entahlah," jawab Pak Tua dengan wajah murung. "Keponakanku yang lelaki pun menjadi korban. Darahnya bagai dihirup habis oleh si pembantai malam. Kebanyakan para korban adalah lelaki dan mengalami pengeringan darah."

"Pantas masih sesore ini mereka jarang berani keluar rumah," gumam Paras Kencani.

"Tentu saja mereka takut malam akan terjadi pembantain lagi," kata Pak Tua. "Yang lebih menyedihkan lagi, pembantaian itu dilakukan secara terang-terangan, artinya walau ada saksi mata yang melihat kejadian itu, si pembantai tak menggubrisnya sama sekali."

"Seorang ibliskah dia?" tanya Paras Kencani.

"Aku kurang paham tentang dia. Hanya saja, beberapa orang yang menjadi saksi mata memberi keterangan yang sama, bahwa si pembantai itu adalah seorang perempuan cantik. Beberapa orang dari mereka ada yang mengatakan, bahwa perempuan itu adalah orang yang dikenal dengan nama Perawan Titisan Peri."

"Kucing Hutan!" sentak Suto seketika begitu mendengar nama Perawan Titisan Peri. Ia segera ingat tentang seorang perempuan cantik yang tinggal di Lembah Meong, karena ia memang pernah berhadapan dengan perempuan yang berpakaian seronok itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Bayangan Ungu).

"Aku juga pernah mendengar nama itu," kata Paras Kencani. "Tapi aku belum pernah beradu muka dengan si Perawan Titisan Peri itu. Hanya saja, aku pernah mendengar kabar bahwa perempuan aliran hitam itu berilmu tinggi dan mempunyai kegemaran meminum darah lelaki."

"Kabar yang kudengar juga begitu," kata Pendekar Mabuk. "Sejujurnya kukatakan padamu, bahwa perjalanan kali ini sebenarnya dalam upaya memburu si Kucing Hutan alias Perawan Titisan Peri."

Paras Kencani tampak terperanjat sesaat, matanya memandang Suto Sinting lebih lekat lagi. Tanpa diminta untuk menjelaskan, Pendekar Mabuk lebih dulu menceritakan peristiwa pertemuannya dengan Perawan Titisan Peri. Paras Kencani menjadi lebih terperanjat, karena Perawan Titisan Peri ternyata ada hubungannya dengan persoalan Pusaka Panji-panji Mayat.

"Dia memburu pusaka itu, dan tampaknya memang bernafsu sekali untuk memilikinya," ujar Suto Sinting yang segera meneguk tuak dari cangkirnya.

"Rupanya kau pun termasuk orang yang memburu pusaka Panji-panji Mayat!" kata Paras Kencani bernada sesal yang terlalu kentara.

"Usahaku memburu pusaka itu bukan untuk kumiliki. Aku hanya sekadar membantu keturunan Nyai Parisupit, yakni Dewi Hening, Dewi Kejora, dan Dewi Menik. Saat ini mereka berada di Lembah Sunyi, di kediaman Resi Wulung Gading. Mereka sengaja kusarankan untuk tetap di Lembah Sunyi, sementara aku berusaha mendapatkan pusaka itu untuk kuserahkan kepada mereka. Tapi sampai saat ini, aku belum tahu secara pasti siapa penyimpan pusaka kuno itu sebenarnya."

Paras Kencani diam termenung, entah apa yang berkecamuk dalam benaknya. Yang jelas di antara mereka berdua terjadi kebisuan, sampai akhirnya datang seorang tamu kedai berambut uban. Dia adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, mengenakan jubah merah kusam dengan ikat kepala pada rambutnya yang panjang sebahu berwarna hitam.

Tokoh tua itu menggenggam tongkat setinggi pundak dengan ujung tongkat berbentuk tengkorak monyet. Ia duduk dengan tenang, agak jauh dari tempat duduk Suto Sinting dan Paras Kencani. Lelaki tua bertubuh kurus itu memesan sepoci arak merah yang harganya cukup mahal dan hanya sedikit dimiliki oleh si pemilik kedai.

Pendekar Mabuk sengaja memandang ke arah tokoh tua yang duduk memunggmginya itu, tetapi Paras Kencani berpura-pura tidak melihat kehadiran tokoh tua tersebut. Bahkan, perempuan itu bagaikan enggan untuk palingkan wajah ke arah si tokoh tua. Namun saat orang itu tadi memasuki kedai, sepasang mata bening Paras Kencani sempat menatapnya sekilas, lalu buru-buru palingkan wajah.

"Melihat penampilannya yang tenang dan berkharisma, aku yakin ia bukan tamu kedai biasa. Pasti ia seorang tokoh berilmu tinggi," bisik Suto Sinting kepada Paras Kencani.

Wajah perempuan itu tampak menyimpan kegelisahan, namun berusaha untuk tetap tenang dan acuh tak acuh atas kehadiran tokoh berjubah merah itu. Paras Kencani sempat berkata dalam nada membisik, "Lupakan tentang dia."

"Hei, ada apa dengan dirimu? Mengapa kau sepertinya tak mau memandang ke arahnya? Apakah kau mengenalnya, Paras Kencani?"

Paras Kencani tidak langsung menjawab, ia melirik pedangnya yang digeletakkan di atas meja, tepat di samping kanannya. Di wajah cantiknya semakin terlihat keresahan yang berusaha ditutup rapat-rapat dengan ketenangan. Tetapi Pendekar Mabuk yang memperhatikan wajahnya sejak tadi tak bisa dibohongi oleh ketenangan palsunya. Pendekar Mabuk mengetahui ada sesuatu yang tak beres dan menggundahkan hati Paras Kencani, karenanya ia mendesak kembali dengan pertanyaan yang sama,

"Siapa orang itu sebenarnya, Paras Kencani?!"

"Ia dikenal dengan nama: Duta Raja."

"Mengapa kau tampak cemas sejak kehadirannya? Apakah Duta Raja itu musuhmu?!"

Paras Kencani meneguk minumannya satu kali. Ia bicara tanpa memandang Suto dan bersuara pelan, hingga Pendekar Mabuk perlu memasang pendengarannya tajam-tajam. "Dia pernah menjadi kekasihku. Dulu kami ingin hidup bersama. Tapi setelah kutahu dia adalah pengikut aliran Rangkak Dulang, maka kuputuskan hubungan cinta kasih kami sampai sekarang."

"Jadi... jadi dia muridnya Pawang Setan Binal?"

"Dia sahabat karibnya Pawang Setan Binal. Sampai sekarang kurasa dia masih bersahabat erat dengan tokoh hitam itu. Kurasa sekarang pun ia dalam upaya mencari kitab yang dulu diburu Rangkak Dulang. Pengabdiannya kepada Rangkak Dulang akibat sumpahnya yang berlebihan."

"Sumpah bagaimana?" desak Suto Sinting semakin ingin tahu.

"Dia pernah hampir mati terkena pukulan beracun yang sukar disembuhkan. Ketika itu ia bersumpah, barang siapa bisa selamatkan nyawanya, maka ia akan mengabdi dan bersaudara dengan orang itu. Ternyata Rangkak Dulang berhasil selamatkan nyawanya dari racun ganas itu. Maka, jadilah ia sahabat sekaligus pelayan si Pawang Setan Binal sesuai sumpah dan janjinya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam kecil yang nyaris tak terdengar. Matanya melirik sekejap ke arah Duta Raja, dan terkejut melihat Duta Raja ternyata tidak meletakkan pantatnya di atas bangku. Pantat Duta Raja mengambang di atas bangku, namun tetap dalam keadaan seperti duduk menempel pada bangku.

"O, rupanya ia ingin pamer diri padaku bahwa ia berilmu tinggi. Tapi apa perlunya ia pamer ilmu padaku? Apakah karena ia cemburu melihatku berduaan dengan Paras Kencani?" pikir Suto Sinting sambil sunggingkan senyum tipis nyaris tak kentara. Pendekar Mabuk tetap tenang, meneguk tuaknya dari cangkir dengan santai sekali. Duduknya semakin merapat mendekati Paras Kencani, seakan biar tampak mesra.

Pergeseran duduk itu membuat Paras Kencani merasa aneh dan heran, lalu ia melirik Pendekar Mabuk dengan curiga. Bahkan ia berbisik lirih sekali, "Apa maksudmu merapatkan diri padaku?"

"Aku ingin tahu apa maksudnya datang ke kedai ini. Sekadar kebetulan saja atau sengaja menguntitmu sejak tadi?"

"Ah, Suto... jangan memancing kemarahannya, aku bingung berpihak. Selama ini aku berusaha menghindari pertikaian dengannya. Aku tak mau melawannya, namun juga tak ingin diganggunya lagi."

"Apakah kau masih sayang padanya?"

"Aku memang tidak membencinya, Suto. Tapi aku juga tidak ingin didekati olehnya selama ia masih menjadi pengikut Rangkak Dulang. Apalagi kau tahu sendiri, Rangkak Dulang hampir saja membunuhku dengan racun 'Inti Mayat'-nya, aku semakin tak mau berurusan dengan Duta Raja."

"O, ya... aku lupa menanyakan sebuah kitab pusaka yang dikehendaki oleh si Pawang Setan Binal itu. Tentunya kau tidak keberatan menceritakan tentang kitab pusaka yang kalian perebutkan itu."

"Aku keberatan!" jawab Paras Kencani secara tegas dan jelas. Bahkan ia sempatkan diri menatap lekat-lekat ke wajah pemuda tampan di samping kanannya itu.

Suto Sinting menjadi sedikit salah tingkah, tapi ia segera menutupi perasaannya itu dengan sebuah penjelasan yang merupakan alasan dari rasa ingin tahunya. "Maksudku, jika aku tahu nama kitab pusaka itu, barangkah aku lebih bisa membantumu menyelamatkan diri dari ancaman Rangkak Dulang."

"Bagiku kitab itu sangat pribadi, Suto."

"Baiklah, mungkin memang sangat pribadi. Tapi apakah kau benar-benar menyimpan kitab pusaka itu? Jika memang tidak, mungkin aku akan mengambil sikap lain dalam menghadapi Rangkak Dulang. Tapi jika kau benar-benar menyimpan kitab pusaka itu, maka aku akan bertindak lebih tegas lagi terhadap Pawang Setan Binal itu. Dan yang perlu diketahui, benarkah kau pemilik kitab pusaka tersebut? Atau kau mempertahankan kitab itu untuk kepentingan pribadimu sendiri?"

Tiba tiba terdengar suara yang menyahut dari belakang mereka, "Aku tahu di mana kau sembunyikan kitab itu, Paras Kencani!"

Pendekar Mabuk dan perempuan cantik dari Perguruan Pasir Pitu itu terkejut mengetahui Duta Raja sudah ada di belakang mereka. Kehadirannya bagaikan hantu yang tahu-tahu menjelma tanpa suara dan tanda- tanda apa pun. Pendekar Mabuk cepat pandangi wajah Duta Raja yang tampak dingin tapi memancarkan kecemburuan. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum nyengir sambil sedikit bergeser jauhi Paras Kencani.

Dengan wajah ketus Paras Kencani segera buang muka, namun mulutnya lontarkan kata-kata untuk Duta Raja, "Apa perlumu ikut campur dalam percakapan kami?!"

"Aku hanya ingin mengingatkan dirimu, bahwa Rangkak Dulang tetap akan memburumu walau kau berhasil selamat dari racun 'Inti Mayat' itu. Karena setahu Rangkak Dulang, kaulah pencuri kitab pusaka tersebut!"

"Persetan dengan apa pun yang akan kalian perbuat pada diriku! Aku sudah siap menghadapi kalian berdua!" tegas Paras Kencani, namun tetap tak mau memandang langsung ke arah Duta Raja.

"Jangan libatkan aku dalam urusan kitab pusaka itu. Sekalipun aku tahu di mana kau menyimpan kitab tersebut, namun aku akan berlagak tidak mengetahuinya. Semua kulakukan dengan menghormati masa mudaku dan peristiwa indah yang pernah kita alami."

"Lupakan tentang peristiwa dan masa mudamu itu! Semua kuanggap lelah musnah ditelan zaman. Jika kau ingin membantu Rangkak Dulang untuk memperoleh kitab itu, kau boleh saja beradu kesaktian denganku! Kapan pun kau mau, aku siap menghadapimu atau si Pawang Setan Binal itu!"

Kali ini Paras Kencani memang mengadu pandangan mata dengan Duta Raja untuk menunjukkan sikap permusuhannya. Keadaan Paras Kencani pun telah berdiri di luar bangku, tangan kirinya telah menggenggam pedang yang sewaktu-waktu siap dicabut untuk melawan Duta Raja. Tetapi dalam hatinya masih timbul rasa tak tega jika harus melukai mantan kekasih itu. Duta Raja sendiri hanya diam saja dengan tongkat di tangan kanan. Pandangan matanya yang berkesan dingin itu belum mau lepas dari wajah Paras Kencani. Kesunyian yang mengandung ketegangan itu tiba-tiba buyar oleh suara jeritan dari luar kedai.

"Aaaa...!"

Semua terkejut, termasuk Pak Tua pemilik kedai. Wajah Pak Tua menjadi pucat pasi dan lebih tegang lagi, karena ia segera berkata bagai bicara pada dirinya sendiri, "Pasti korban si Perawan Titisan Peri itu!"

Mendengar ucapan Pak Tua, dengan cepat Suto Sinting melompat tinggalkan kedai tanpa permisi lagi. Wuuutt...! Paras Kencani terperanjat melihat Pendekar Mabuk berkelebat cepat, ia segera berkata kepada Pak Tua, pemilik kedai,

"Nanti kami kembali lagi!"

Wuuutt...! Paras Kencani pun ikut-ikutan melesat pergi menyusul Suto Sinting, ia tak peduli lagi dengan si Duta Raja yang merasa dongkol karena ditinggal pergi begitu saja. Paras Kencani hanya membatin dalam hatinya,

"Jangan sampai Suto terluka oleh keganasan si Perawan Titisan Peri! Aku tak ingin si tampan itu celaka!"

Sampai di tempat kejadian, ternyata yang terbunuh seorang perempuan muda dalam keadaan setengah bugil. Perempuan itu adalah pengantin baru yang mati terkapar di pelataran rumahnya. Menurut kabar dari pihak orangtua perempuan itu, seorang perempuan lain telah membawa lari suami perempuan itu saat mereka berdua sedang di kamar mandi.

"Perempuan itu jelas perempuan yang kemarin membunuh Sumpana," kata ayah korban. "Dia adalah si Perawan Titisan Peri!"

"Lari ke arah mana dia?" tanya salah seorang sesepuh desa.

"Ia berkelebat ke arah timur dengan cepat bagai menghilang."

Pendekar Mabuk menarik napas memandang ke arah timur. Dalam benaknya sempat berkata, "Berarti Kucing Hutan bersembunyi tak jauh dari desa ini. Mungkin ia meninggalkan Lembah Meong karena suatu alasan tertentu. Tapi... haruskah aku mengejarnya jika keterangan Paras Kencani itu memang benar, bahwa pusaka Panji-panji Mayat disimpan di ruang rahasia yang hanya bisa dimasuki oleh mendiang Prabu Dasawalatama?!"

Ada keraguan yang timbul di hati Pendekar Mabuk. Rasa percaya dengan keterangan Paras Kencani menjadi berkurang karena suatu pertimbangan yang baru saja muncul dalam otaknya. "Saat Paras Kencani dipaksa oleh Rangkak Dulang untuk serahkan kitab pusaka, ia mengatakan kitab itu ada di tangan Perawan Titisan Peri. Tetapi saat kusebutkan nama Perawan Titisan Peri, ia mengaku pernah mendengar nama itu namun belum pernah bertatap muka dengan Perawan Titisan Peri. Mana yang benar? Jika memang kitab itu ada di tangan Perawan Titisan Peri, tentunya Paras Kencani pernah beradu muka dengan perempuan peminum darah itu. Mengapa ia harus berbohong padaku?!"

* * *

LIMA

TOKOH tua berjubah merah kusam muncul di tempat pembunuhan. Kala itu Pendekar Mabuk sedang bergegas untuk kembali ke kedai. Tetapi belum jauh dari rumah korban sudah berpapasan dengan Duta Raja. Sikap dari Duta Raja yang berhenti di depan langkah Pendekar Mabuk menimbulkan kecurigaan tersendiri bagi pemuda tampan itu. Dengan tetap menjaga ketenangan sikapnya, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah tiga tindak di depan Duta Raja. Cahaya rembulan samar-samar menyinari wajah-wajah mereka.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, Anak muda," kata Duta Raja dengan nada tak ramah.

"Apakah kau ingin bicara tentang kitab pusaka yang dicari oleh majikanmu; si Pawang Setan Binal itu?! Kalau benar kau ingin bicara denganku tentang kitab tersebut, sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Aku tak pernah tahu tentang kitab tersebut."

"Ada yang lebih penting kau dengar dari kitab pusaka itu."

"Katakanlah, aku tak punya banyak waktu untuk bicara, karena aku tak mau terlalu lama meninggalkan Paras Kencani."

"Dia sudah pergi dari kedai!"

Pendekar Mabuk berkerut dahi, diliputi perasaan bimbang. Duta Raja berkata lagi dengan suaranya yang juga bernada dingin. "Pasti dia pergi searah dengan kepergian si Perawan Titisan Peri."

"Dari mana kau tahu?"

"Naluriku mengatakan demikian," jawab Duta Raja. "Paras Kencani bersekutu dengan Perawan Titisan Peri. Dia mendapat tugas mencari pusaka Panji-panji Mayat."

Jantung terasa bagai ditarik seketika. Pendekar Mabuk nyaris tersedak karena kaget mendengar ucapan Duta Raja tentang Paras Kencani. Duta Raja sedikit menjauh, memandang purnama yang mengintip di balik mega. Tapi suaranya terdengar jelas ke telinga Pendekar Mabuk.

"Rangkak Dulang membantai habis anak buahnya dan menghancurkan Perguruan Pasir Pitu. Paras Kencani kalah tanding dengan Rangkak Dulang, lalu bergabung dengan Perawan Titisan Peri. Ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh Paras Kencani. Pertama, ingin meminjam kekuatan si Kucing Hutan untuk membalas dendam kepada Rangkak Dulang. Kedua, ingin mendapat perlindungan dari Kucing Hutan untuk mendapatkan Panji-panji Mayat, karena ia ingin menghidupkan kembali murid-muridnya yang terbantai oleh Rangkak Dulang."

Duta Raja berpaling memandang Pendekar Mabuk yang masih tertegun bengong, antara percaya dan tidak mendengar penjelasan tersebut. Duta Raja mendekati Pendekar Mabuk dan berkata, "Hati-hati dengan perempuan itu. Dia bukan saja licin bagaikan belut, tapi juga licik bagaikan ular!"

"Haruskah aku mempercayai kata-katamu, Duta Raja?"

"Aku tak memaksamu untuk percaya. Tapi setidaknya kau punya bekal jika kau berhadapan dengan Paras Kencani lagi. Kusarankan tak perlu temui dia dan lupakan tentang dia! Kau masih muda, masih punya kesempatan lebih panjang untuk mencari perempuan yang lebih cantik dari Paras Kencani."

Pendekar Mabuk masih tertegun di tempat, ia bagai tersihir dan tak bisa berbuat apa-apa ketika Duta Raja pergi meninggalkannya. Arah kepergiannya menuju ke perbatasan desa. Berarti Duta Raja tidak kembali lagi ke kedai.

"Benarkah Paras Kencani bersekutu dengan Perawan Titisan Peri?!" pikir Suto Sinting masih berdiri di tempat. "Berarti hampir saja aku terkecoh oleh pengakuan perempuan itu. Mungkin ia ingin memanfaatkan kekuatanku menembus negeri Kincir Bantala untuk mengambil pusaka Panji-panji Mayat. Barangkali apa yang dikatakan tentang pusaka tersebut memang benar-benar tersimpan di sebuah kamar rahasia di negeri Kincir Bantala. Tetapi niatnya bukan hanya untuk menghidupkan kembali murid-muridnya, melainkan ingin menyerahkan pusaka Panji-panji Mayat kepada Kucing Hutan. Kurasa, dengan menyerahkan pusaka tersebut, Kucing Hutan bersedia membalaskan dendam Paras Kencani kepada Rangkak Dulang atau si Pawang Setan Binal."

Kaki pun mulai melangkah pelan-pelan sambil benak berkecamuk terus. Saat beberapa langkah lagi sampai di kedai, Suto Sinting sempat berkata pada dirinya sendiri.

"Aku harus bisa segera bertemu dengan Gusti Ayu Sunggarini sebelum Paras Kencani tiba di negeri itu. Aku khawatir Paras Kencani berhasil membujuk Gusti Ayu Sunggarini untuk menunjukkan kamar rahasia mendiang Prabu Dasawalatama. Jika hal itu terjadi, besar kemungkinan ia akan menggunakan berbagai cara untuk masuk ke kamar tersebut dan mengambil pusaka Panji-panji Mayat. Tetapi... ah, lagi-lagi aku selalu dibuat bingung arah mana yang harus kuambil agar tiba di negeri Kincir Bantala?!"

Duduk di kedai merenung sendirian membuat Pak Tua pemilik kedai tertarik untuk mendekatinya. Dengan hati-hati Pak Tua pemilik kedai mengajak Pendekar Mabuk bicara dengan mengajukan sebuah pertanyaan, "Perawan Titisan Peri memakan korban lagi, Nak?"

"Benar, Pak Tua."

"Dan teman perempuanmu juga menjadi korban?"

Pendekar Mabuk memandang tajam ke arah Pak Tua pemilik kedai. "Apa maksud pertanyaanmu, Pak Tua?"

"Sebab kulihat ketika teman perempuanmu tadi bergegas menyusulmu, si tua bangka berjubah merah itu juga berkelebat menyusulnya. Aku khawatir teman perempuanmu menjadi sasaran si jubah merah."

"Mengapa kau berkata begitu?"

"Karena menurut dugaanku, si jubah merah adalah teman si pembantai yang haus darah itu. Setiap kali akan terjadi korban pembantain selalu diawali dengan kemunculan si jubah merah tadi."

"Maksudmu... Duta Raja itu?!"

"Aku tak tahu namanya. Tapi sudah empat kali dia selalu muncul di kedaiku, dan beberapa saat kemudian terjadilah pembantain yang dilakukan oleh Perawan Titisan Peri. Jika bukan karena kerja sama, mengapa kemunculannya selalu bertepatan dengan peristiwa pembantaian itu?"

"Edan!" geram Suto Sinting dalam hati sambil garuk-garuk kepala. "Sekarang semakin membingungkan lagi. Pak Tua ini memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan si Duta Raja. Mana yang benar? Siapa sebenarnya yang bekerja sama dengan si Kucing Hutan itu? Paras Kencani atau Duta Raja?!"

Paras Kencani memang tak pernah muncul lagi sampai pagi menyingsing. Pendekar Mabuk terpaksa harus tinggalkan desa itu seorang diri. Tapi sebelumnya ia sempat menemui Pak Tua pemilik kedai. "Kalau aku mau ke negeri Kincir Bantala, tahukah kau arah mana yang harus kutuju, Pak Tua?"

"Kau bisa berjalan terus ke arah utara, melewati sebuah lembah di kaki perbukitan cadas, dan akan menjumpai sebuah sungai besar. Di seberang sungai itulah tanah wilayah negeri Kincir Bantala."

"Terima kasih atas bantuanmu, Pak Tua."

"Apakah kau ingin mengikuti sayembara membangkitkan jenazah Prabu Dasawalatama, Nak?"

"Tidak. Aku hanya ingin bicara dengan putri sang Prabu saja."

"Berhati-hatilah, karena negeri itu sedang berselisih dengan Kadipaten Pusar Langit. Dan kudengar Adipati Pusar Langit sedang menyewa beberapa orang berilmu tinggi aliran hitam untuk menumbangkan negeri Kincir Bantala."

"Terima kasih atas saranmu, Pak Tua!"

Perjalanan pagi menyusuri kaki perbukitan pun dilakukan seorang diri oleh Pendekar Mabuk. Wajah Paras Kencani masih membayang terus di pelupuk mata. Bukan karena rasa cinta, melainkan karena penjelasan dari Duta Raja bagai menghantui pikiran terus-menerus. Pertimbangan demi pertimbangan telah membuat langkah kaki Pendekar Mabuk tak terasa telah menyusuri kaki perbukitan cadas yang jarang ditumbuhi pepohonan. Perbukitan itu terasa kering dan tandus, sekalipun dua tiga pohon tampak di sana-sini.

Akhirnya langkah itu pun terhenti manakala mata Pendekar Mabuk memandang ke puncak perbukitan yang membujur dari barat ke timur. Di atas perbukitan yang tandus itu terlihat gerakan dua orang sedang lakukan pertarungan cukup sengit. Seorang perempuan berusia tiga puluh tahun sedang menghadapi serangan tokoh tua berjubah merah kusam. Tokoh tua itu tak lain adalah Duta Raja yang saat itu sedang menghantamkan tongkatnya ke tubuh perempuan cantik berambut terurai sepunggung.

Kalau saja perempuan itu tidak cepat rundukkan badan, maka kepalanya akan terhantam gerakan tongkat si Duta Raja yang berkelebat cepat tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Wuuukk...! Pada saat itulah perempuan berpakaian terusan warna biru ketat menghantamkan pukulan dua jarinya ke arah perut Duta Raja. Sett...! Sodokan dua jari ke depan memang tidak kenai perut lawannya, tapi sinar hijau lurus yang keluar dari dua jari itu menghantam ke arah pusar si Duta Raja.

Claaapp...!

Dengan tangkas Duta Raja sentakkan tongkatnya ke tanah hingga tubuhnya melayang ke atas dalam keadaan kedua tangan masih bertumpu pada tongkat. Sinar hijau itu lolos dari perutnya. Tubuh Duta Raja berjungkir balik dengan cepat bagai seekor garuda terbang ke arah belakang perempuan bertubuh elok itu.

Weeess...! Jlegg...!

Perempuan itu sempat bingung menghadapi lawannya. Karena ketika lawannya melintas di atas kepala dan mendaratkan kaki di tanah belakangnya, tongkat sang lawan terlepas dan bergerak menyodok sendiri dari arah depan. Perempuan itu lebih mengkhawatirkan serangan dari arah belakangnya, sehingga ia berusaha cepat balikkan badan. Tapi tongkat lawan sudah lebih dulu menyodok telak mengenai pinggangnya. Dugg...!

"Aaahg...!" perempuan itu terpekik bagai tak sadar, suaranya cukup keras menandakan rasa sakitnya pun amat tinggi, ia jatuh terkulai bagai tak bertenaga lagi. Tongkat itu jatuh begitu saja, lalu Duta Raja segera melompati tubuh yang jatuh terkulai dan menyambar tongkatnya dengan menggunakan kaki.

Wuuutt...! Taaabb...!

Dalam sekejap tongkat sudah berada di tangan Duta Raja, dan kedua kakinya menapak dengan tegap di tanah seberang perempuan yang sedang menggeliat kesakitan. Rupanya sodokan tongkat itu bukan sekadar sodokan biasa, melainkan mempunyai kekuatan tenaga dalam tinggi yang mampu membengkakkan semua bagian dalam tubuh. Napas perempuan itu tak bisa dihela lagi, hingga ia ternganga-nganga berusaha menghirup udara sebanyak mungkin.

Duta Raja tak mau membiarkan lawannya hanya kesakitan, ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya melesat lurus ke atas, lalu tongkatnya disentakkan sedikit ke arah perempuan itu. Seberkas sinar lurus warna merah keluar dari ujung tongkat dan mengarah pada punggung perempuan tersebut, Clappp..!

Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan sinar biru dari kedua tangan disentakkan ke depan. Clappp...! Jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan sinar biru itu menghantam sinar merah dari tongkat Duta Raja.

Blegaarrr...! Ledakan dahsyat mengguncang perbukitan. Sebagian lereng bukit mengalami longsor, bebatuannya berhamburan menggelinding ke bawah. Ledakan itu menghadirkan gelombang berdaya sentak tinggi, sehingga tubuh Duta Raja terlempar ke belakang dan jatuh terpelanting.

Brrruukkk...!

Pendekar Mabuk sengaja mematahkan serangan Duta Raja, karena perempuan yang nyaris mati oleh sinar merah dari ujung tongkat itu tak lain adalah Merpati Liar, murid mendiang Nyai Parisupit yang bukan dari pihak keluarga. Merpati Liar merupakan orang yang berusaha menyelamatkan pusaka Panji-panji Mayat agar tidak jatuh ke tangan orang yang bukan ahli waris Nyai Parisupit. Pendekar Mabuk berjumpa dengan Merpati Liar ketika ia dituduh berada di pihak Perawan Titisan Peri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Buronan).

Apa persoalan yang terjadi antara Merpati Liar dengan Duta Raja, belum jelas diketahui oleh Pendekar Mabuk. Namun nalurinya mengatakan bahwa ia harus memihak Merpati Liar. Setidaknya menyelamatkan perempuan itu dari ancaman jurus mautnya Duta Raja, mengingat Duta Raja adalah pelayan dan sahabat erat Rangkak Dulang, sedangkan Rangkak Dulang adalah tokoh aliran hitam.

Tetapi sebelum Suto Sinting tiba di atas perbukitan, Merpati Liar masih sempat bangkit walau hanya bisa merangkak dengan bertumpu kedua tangannya. Pandangan matanya yang tajam itu berusaha menatap Duta Raja. Pada waktu itu Duta Raja menggeram penuh kemarahan akibat kegagalannya membunuh lawan. Ketika Duta Raja setengah berdiri, kepala Merpati Liar mengibas ke kanan. Weeess...! Tubuh Duta Raja yang berjarak delapan langkah darinya terbuang dan membentur sebongkah batu besar. Brruss...!

Walaupun Suto kini sudah mencapai puncak bukit yang memang tak seberapa tinggi itu, tapi ia segera hentikan langkah dan gerakan demi melihat Merpati Liar lakukan serangan dengan jurus 'Kendali Netra'-nya yang mempunyai kekuatan pada pandangan mata. Dengan menatap Duta Raja, ia dapat melemparkan tokoh tua itu ke atas, ke bawah atau ke mana saja. Bahkan kali ini setelah Duta Raja dilemparkan dengan kekuatan matanya ke atas dan jatuh terjungkal di tanah tak berumput, Merpati Liar segera memandang sebongkah batu berukuran sebesar gentong air. Batu itu tiba-tiba terangkat sendiri dan melayang menghantam tubuh Duta Raja.

Wuuuttt...! Praakk...!

Sayang sekali sebelum batu itu sampai di tubuh Duta Raja, keadaan Duta Raja telah berjongkok bersiap untuk bangkit. Maka batu besar yang melayang ke arahnya segera dihantam dengan tusukan dua jari kirinya yang melepaskan segumpal tenaga dalam cukup tinggi. Suuutt..! Tak heran jika batu itu hancur menjadi berkeping-keping sebelum kenai sasarannya. Duta Raja segera bangkit dan melompat ke kiri, menyambar tongkatnya yang tergeletak di tanah dengan menggunakan satu kaki.

Wuuutt...! Taaab...!

Tongkat tergenggam kembali di tangannya. Tubuh Duta Raja bagaikan menghilang. Weess...! Tahu-tahu sudah berada di atas sebongkah batu cadas lebih besar lagi. Ia masih tampak segar dan sehat walau pakaiannya menjadi kotor akibat dibanting ke sana-sini dengan kekuatan mata Merpati Liar.

"Hentikan...!" seru Suto Sinting begitu melihat Merpati Liar beradu pandangan mata dengan Duta Raja.

Perpaduan pandangan mata itu rupanya saling berusaha menjatuhkan lawan. Tubuh tokoh tua itu bergerak-gerak bagai lidi dihembus angin di atas sebuah batu. Tetapi tubuh Merpati Liar juga bergetar dalam keadaan berlutut dengan kedua tangan merentang kuat. Di pertengahan jarak keduanya terjadi percikan bunga api beberapa kali yang mengeluarkan letupan-letupan kecil. Dari situlah Suto Sinting tahu bahwa mereka sedang beradu kekuatan tenaga dalam melalui pandangan mata. Karenanya, Suto Sinting perlu mengulang seruannya tadi dengan suara lebih keras lagi.

"Hentikaaan...!"

Wuuuk...! Beeehg...!

"Aaaahg...!" Duta Raja memekik panjang, tubuhnya terlempar bagaikan dihantam tenaga amat besar. Tubuh itu akhirnya jatuh ke lereng bukit dan terguling-guling tanpa ampun lagi. Sementara itu, Merpati Liar terengah-engah dengan tubuh bersimpuh lemas.

"Merpati, lekas minum tuakku ini!"

Sementara Merpati Liar meneguk tuak Suto, tampak Duta Raja berkelebat pergi larikan diri dalam keadaan terhuyung-huyung. Agaknya ia terluka bagian dalam cukup parah oleh serangan Merpati Liar, sehingga merasa perlu menyingkir untuk sembuhkan lukanya lebih dulu.

"Aku harus mengejarnya!" ujar Merpati Liar begitu selesai meminum tuak dan melihat Duta Raja melarikan diri.

"Jangan, Merpati! Tunggu tenagamu pulih kembali." Pendekar Mabuk sengaja menahan karena ia tahu kekuatan Merpati Liar belum pulih seperti sediakala. Rasa sakit di seluruh tubuh memang sudah hilang, tapi Merpati Liar harus menunggu waktu sekitar lima puluh hitungan untuk memulihkan kekuatannya yang tadi hilang akibat sodokan tongkat lawan.

"Aku tak ingin kehilangan dia, Suto!"

Pendekar Mabuk sengaja menghadang di depan Merpati Liar, sikapnya tetap tenang seakan memasang wibawa untuk menundukkan keinginan perempuan cantik itu. "Mengejar dan menangkapnya itu persoalan mudah. Aku sanggup lakukan sendiri. Tapi sebelumnya aku perlu tahu, mengapa kau bentrok dengannya?"

"Duta Raja menyerangku lebih dulu, karena ia tahu aku murid mendiang Guru Nyai Parisupit. Pasti dia tahu bahwa aku adalah salah satu dari orang yang akan merintangi niatnya memperoleh pusaka Panji-panji Mayat!"

Dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Jadi, dia ingin mendapatkan pusaka Panji-panji Mayat? Apa alasannya?"

"Duta Raja adalah adik si Kucing Hutan!"

"O, ya...?!" Suto Sinting terbelalak bengong. Kabar itu seperti petir menyambar di ujung hidungnya.

* * *

ENAM

SATU pertanyaan tersimpan dalam batin Suto Sinting, "Jika Duta Raja ternyata adalah adik dari Kucing Hutan atau Perawan Titisan Peri, lalu bagaimana dengan Paras Kencani sendiri?"

Merpati Liar membersihkan pakaiannya yang kotor akibat jatuh tadi. Rambutnya yang panjang kini disatukan ke belakang dan diikat dengan seutas akar kecil. Perempuan itu tampak semakin cantik dalam keadaan rambut dikebelakangkan, ia menjadi serba kikuk setelah sadar sejak tadi dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang dari dulu dikagumi oleh hatinya, namun tak pernah dinyatakan lewat ucapan.

"Bagaimana kau bisa sampai di perbukitan ini, Suto?" Merpati Liar mengalihkan rasa agar tak semakin salah tingkah.

"Sejak kau lari mengejar Perawan Titisan Peri itu, aku segera menyusulmu setelah lebih dulu menyuruh Hantu Laut dan Kadal Ginting pergi ke Lembah Sunyi untuk menemui Resi Wulung Gading," tutur Pendekar Mabuk sehabis menenggak tuaknya tiga tegukan.

Lanjutnya lagi, "Sementara itu pula, Resi Badranaya pulang ke padepokannya bersama muridnya; Darah Prabu. Aku sengaja menyusulmu karena khawatir terjadi sesuatu pada dirimu jika berhadapan dengan si Kucing Hutan."

Merpati Liar menarik napas, ada perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir indah begitu mendengar pengakuan Suto Sinting, ia masih bisa membayangkan peristiwa pertarungan Kucing Hutan dengan Resi Badranaya yang membuat Suto Sinting dan dirinya segera mengambil alih pertarungan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan).

"Sayang sekali aku tidak tahu ke mana arah pengejaranmu kala itu, sampai akhirnya aku berjumpa dengan penabuh bende dari negeri Kincir Bantala yang menyebarkan sayembara. Kersa Gotri, si penabuh bende yang menjadi wakil suara Gusti Ayu Sunggarini itu sempat membawaku ke negeri Kincir Bantala. Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan seorang tokoh wanita yang usianya sudah mencapai delapan puluh tahunan, tapi penampilannya masih muda dan cantik."

"Hmmm...!" Merpati Liar sempat mencibir sinis, kemudian segera ajukan tanya, "Siapa nama perempuan itu?"

"Paras Kencani," jawab Suto Sinting tenang, namun membuat Merpati Liar terperangah dan memandang dengan tajam.

Suto menjadi heran melihat perubahan wajah itu. "Mengapa kau terkejut? Apakah kau kenal dengan Paras Kencani?"

"Ketua Perguruan Pasir Pitu!"

"Memang benar. Perguruannya dihancurkan oleh Rangkak Dulang dan..."

"Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal itu?!"

"Benar. Apakah kau juga kenal dengan tokoh aliran hitam itu."

"Aku pernah bertarung dengannya beberapa tahun yang silam, karena suatu urusan pribadi. Kami sama-sama terluka parah, lalu sama-sama sepakat untuk menunda pertarungan. Sampai sekarang aku belum pernah bertemu lagi dengannya!"

"Sekarang dia sedang mengejar Kucing Hutan, karena mengejar sebuah kitab pusaka yang menurut pengakuan Paras Kencani kitab itu ada di tangan Kucing Hutan. Aku sempat selamatkan Paras Kencani yang terkena pukulan beracunnya si Pawang Setan Binal itu."

"Hemm...!" Merpati Liar mencibir lagi. Setiap Suto Sinting sebutkan nama Paras Kencani, wajah Merpati Liar menampakkan kesinisannya. Keanehan itu disimpan dalam hati Suto selama menuturkan perjalanannya hingga sampai di perbukitan itu. Sambil menuruni lereng perbukitan, Suto masih melanjutkan ceritanya.

"Sejak semalam aku berpisah dengan Paras Kencani, dan sampai saat ini aku tak tahu dengan pasti ke mana perginya. Aku pun masih sangsi dengan keterangan Duta Raja tentang persekongkolan Paras Kencani dengan si Kucing Hutan."

Merpati Liar sengaja hentikan langkah tepat dibawah pohon teduh. "Paras Kencani itu cucunya Gajahloka!"

Pendekar Mabuk terperangah kaget. "Cucunya Gajahloka?!" Otak murid si Gila Tuak segera mengingat silsilah keluarga Nyai Parisupit yang mempunyai paman tiri Eyang Kurupati. Sedangkan Eyang Kurupati mempunyai anak Gajahloka. Gajahloka mempunyai tiga anak, yang bungsu adalah ibu dari Barakoak, yang dikenal dengan nama si Raja Iblis. Salah satu anak dari Gajahloka mempunyai keturunan yang sekarang masih hidup, dan Paras Kencani itulah keturunan dari anak Gajahloka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pembantai Raksasa).

"Berarti tujuannya menemui Gusti Ayu Sunggarini bukan sekadar untuk meminjam pusaka buat menghidupkan murid-muridnya, melainkan memang ingin menguasai pusaka Panji-panji Mayat itu?!"

"Dugaanmu tak salah lagi!" ujar Merpati Liar dengan tegas. "Barangkali karena ia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk merebut Panji-panji Mayat, maka ia pergunakan dirimu sebagai penambah kekuatannya."

"Tapi dia tidak tahu bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak. Dia hanya mengenalku sebagai Suto Sinting, bukan sebagai Pendekar Mabuk."

"Omong kosong! Ciri-ciri penampilanmu sudah dikenal di rimba persilatan. Sebagai ketua perguruan, Paras Kencani pasti mengenali ciri-cirimu sebagai Pendekar Mabuk, ia hanya berpura-pura tolol supaya niat busuknya tidak kau ketahui!"

Mendengar keterangan itu, Pendekar Mabuk menjadi tertegun lama. Ia sama sekali tak menduga kalau Paras Kencani ternyata keturunan dari Eyang Kurupati. Hampir saja ia terjebak dan terpedaya oleh kepura-puraan Paras Kencani.

"Tapi anehnya, mengapa malam itu ia menghilang dariku? Apakah benar ia mengikuti pelarian si Kucing Hutan?"

"Menurutku apa yang dikatakan Duta Raja tentang si Paras Kencani itu tidak benar. Mungkin Duta Raja hanya merasa sirik karena ia gagal menjadi pendamping hidup si Paras Kencani. Mungkin juga ia cemburu melihat kau berduaan dengan Paras Kencani, sehingga ia perlu menyebar fitnah seperti itu agar kau menjauhi Paras Kencani."

"Rasa-rasanya... pendapatmu itu ada benarnya," gumam Suto Sinting sambil menerawang dalam keadaan tertegun di tempat.

Merpati Liar yang bersikap angkuh di depan Suto Sinting itu perdengarkan suaranya lagi, "Barangkali apa yang dikatakan oleh Paras Kencani tentang kamar rahasia dari Prabu Dasawalatama itu memang benar-benar ada. Sebab, sudah lama kudengar kabar bahwa Paras Kencani berteman akrab dengan Dasawalatama ketika Dasawalatama belum menjadi raja dan belum mencapai puncak kejayaannya. Setahuku juga, Dasawalatama berteman akrab pula dengan Galak Gantung."

"Karena itulah aku bertekad ingin temui Gusti Ayu Sunggarini, putri tunggal mendiang Prabu Dasawalatama itu." "Apakah kau sanggup menahan diri?"

Pendekar Mabuk pandangi Merpati Liar dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu, Merpati?!"

Dengan melengos ke arah lain, Merpati Liar menjawab bernada dingin, "Sunggarini punya kecantikan yang memikat tiap lelaki. Apakah kau sanggup untuk tidak terpikat olehnya?"

Pendekar Mabuk tertawa pendek. Merpati Liar berkata lagi, "Kalau kau sanggup untuk tidak terpikat oleh Sunggarini, akan kuantar kau ke kerajaan Kincir Bantala."

"Kau pernah ke sana?!"

"Sunggarini adalah sahabatku." Hanya itu jawaban dari mulut Merpati Liar. Pendekar Mabuk menunggu keterangan tambahannya, namun Merpati Liar tetap katupkan bibirnya yang bikin hati geregetan itu.

"Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu," ujar Suto Sinting. "Menurut keterangan Paras Kencani, Duta Raja adalah sahabat sekaligus pelayannya Rangkak Dulang. Benarkah itu?"

"Setahuku, dulu memang begitu. Tapi belakangan ini Duta Raja tidak memihak lagi kepada Rangkak Dulang, karena ia tahu bahwa kakaknya; si Kucing Hutan, telah menjalin permusuhan dengan Rangkak Dulang. Tentu saja Duta Raja yang dulu pernah menjadi utusan mendiang Raja Dulang segera berbalik sikap memihak kakaknya. Karena itu Rangkak Dulang pun benci kepada Duta Raja dan menggolongkan Duta Raja sebagai musuhnya."

"O, begitu ceritanya?! Lengkap sekali kau mengetahui cerita itu. Dari mana kau dapat mengetahuinya, Merpati?!"

"Duta Raja, Paras Kencani dan aku sendiri, pernah bersatu melumpuhkan kekuatan negeri seberang. Tiga tahun lamanya kami bersatu dan saling mengenal diri, kemudian setelah negeri seberang runtuh, kami saling berpisah."

Murid si Gila Tuak menggumam dan manggut-manggut, merasakan kelegaan dalam hatinya setelah mengetahui segala sesuatu yang sejak kemarin menjadi ganjalan hatinya. Sebenarnya ia ingin ajukan pertanyaan lagi kepada Merpati Liar. Namun niat itu tertunda karena tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan menggelegar dari arah utara.

Blegaarrr...!

Pendekar Mabuk beradu pandang dengan Merpati Liar. "Ada yang mengadu ilmu di sebelah utara!" ucap Suto Sinting seperti bicara pada diri sendiri.

Merpati Liar hanya membungkam diri, tapi pandangan matanya segera diarahkan ke utara. Tampak kepulan asap hitam membubung tinggi dari balik sebuah bukit cadas. Dapat dibayangkan, alangkah dahsyat ilmu yang mereka pertarungkan di sana. Hal itu sangat menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga tanpa menunggu pertimbangan Merpati Liar, Suto segera melesat ke arah kepulan asap hitam itu.

"Aku akan menengoknya ke sana!"

Zlaaapp...! Pendekar Mabuk bagaikan menghilang karena kecepatan bergeraknya yang menyerupai hembusan angin, melebihi kecepatan anak panah. Merpati Liar tak mau tinggal diam di tempat, ia pun bergerak cepat menggunakan ilmu peringan tubuhnya hingga mirip orang terbang. Weeess...!

Ternyata di balik bukit cadas itu terjadi pertarungan cukup seru. Pendekar Mabuk yang mengintai dari atas bukit sangat mengenali dua tokoh yang sering beradu kesaktian. Mereka tak lain adalah Pawang Setan Binal sedang menghajar seorang perempuan buta berpakaian biru laut yang menyandang panah dan busur di punggungnya. Perempuan buta itu tak lain adalah Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita yang cacat matanya saat melawan Peluh Setanggi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Buronan).

Merpati Liar baru saja tiba saat Dewi Geladak Ayu terjungkal oleh pukulan jarak jauh si Pawang Setan Binal. Hanya dengan kelebatan tangan kiri bagai menyambar air, tubuh Dewi Geladak Ayu dibuat terjungkal bagai dihantam tenaga dalam cukup besar. Bahkan perempuan cantik dari aliran hitam itu sempat memuntahkan darah kental dari mulutnya. Tangannya meraba-raba mencari tempat pegangan, namun tempat pegangan itu tak ditemukan di sekitar tempatnya jatuh.

"Di mana si Kucing Hutan? Kutahu kau berdua dengannya beberapa waktu yang lalu? Katakan saja di mana dia daripada aku harus mencabut nyawamu, Geladak Ayu!" Dengan napas terengah-engah, Dewi Geladak Ayu menjawab dengan nada geram.

"Persetan dengan si Kucing Hutan! Kalau aku berdua dengannya bukan lantaran aku bersekutu dengannya, tapi karena aku diperdaya olehnya. Kalau kau mencari Kucing Hutan, aku pun sedang mencarinya untuk menuntut balas tindakannya padaku tempo hari. Tapi jika kau tidak percaya padaku, apa pun maumu akan kulayani walau mataku telah buta, Rangkak Dulang!"

"Keparat!" geram si Pawang Setan Binal. "Kutelanjangi tubuhmu sebagai upah sesumbarmu itu, Geladak Ayu!"

Weeess...! Weeesss...! Wut, wut, wut, wut...!

Pendekar Mabuk terbelalak bengong karena kagum melihat kecepatan gerak si Pawang Setan Binal. Lelaki tua yang kurus kerontang itu berkelebat mengitari Dewi Geladak Ayu. Rupanya ia mencabik-cabik pakaian tipis perempuan itu dengan menggunakan kuku-kuku tajamnya. Gerakannya bagaikan sebentuk hembusan angin topan yang mengelilingi Dewi Geladak Ayu. Weeesss...! Dalam kejap tertentu ia menjauh dan muncul pada jarak tujuh langkah dari si bajak laut wanita itu.

"Oooh...?!" Dewi Geladak Ayu terpekik tertahan setelah meraba tubuhnya ternyata tidak terbungkus kain lagi. Kain yang membungkus tubuh eloknya telah tercabik-cabik hingga terlepas seluruhnya.

"Gila! Ck, ck, ck...!" Pendekar Mabuk geleng-gelengkan kepala melihat Dewi Geladak Ayu tidak berpakaian lagi. Merpati Liar segera menotok tengkuk kepala Suto Sinting. Tees...!

"Uuhg...!" Suto terpekik lirih. Kemudian ia menjadi berdebar-debar tegang setelah matanya tak bisa dipakai untuk memandang. Tangan Suto mencoba mengucal kedua matanya, namun pandangan yang dapat dilihatnya hanya warna hitam berbintik-bintik merah dan kuning.

"Merpati...! Gila kau!" gerutunya pelan sekali. "Mengapa kau totok diriku hingga menjadi buta?! Lepaskan totokanmu ini, Merpati!"

"Matamu harus dipenjara agar tidak menjadi jalang melihat Geladak Ayu tanpa busana."

"Merpati, aku tidak memandang ke arah tubuh Geladak Ayu. Aku... aku... oh, lepaskan totokanmu ini, lekas!"

"Mata nakalmu tak bisa kupercaya!" ujar Merpati Liar dengan tetap membiarkan Suto Sinting dalam kebutaan.

Sementara itu, Rangkak Dulang masih tetap menganggap Dewi Geladak Ayu bersekongkol dengan Kucing Hutan, ia tetap mendesak agar Dewi Geladak Ayu memberitahukan di mana Kucing Hutan berada. Tetapi perempuan yang sudah tak berbusana lagi itu tetap ngotot, bahkan melepaskan pukulan bersinar merah secara membabi buta.

Clap, clap, clap, clap...! Wess, weess, weesss...!

Pawang Setan Binal menghindari tiap serangan itu dengan sangat mudah. Tubuhnya bagai sulit dihantam dengan sinar-sinar merah itu. Akibatnya, beberapa batu dan dinding bukit menjadi sasaran sinar merahnya Dewi Geladak Ayu.

Blaarr, blaarr, Jegaarr... blegarr..!

Batu dan dinding bukit hancur. Tanah dan bukit itu berguncang karena ledakan dahsyat yang terjadi saat itu. Dewi Geladak Ayu mengamuk tanpa hiraukan keadaan tubuhnya yang tidak berpakaian lagi itu. Bahkan busur serta anak panahnya telah terpental entah ke mana pada saat ia dikelilingi Rangkak Dulang tadi.

"Heeeaaatt...!"

Dengan menggunakan mata batinnya, Dewi Geladak Ayu lakukan serangan dengan sebuah lompatan mirip terbang ke arah lawannya. Rangkak Dulang hanya menghindar mundur tanpa gerakan bersalto. Zaaab...! Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, lima langkah dari tempat berdirinya semula.

Rupanya serangan membabi buta Dewi Geladak Ayu semakin membangkitkan kemarahan Pawang Setan Binal. Maka dengan mengangkat tangan kanannya ke depan, dari kuku jari kelingking melesat selarik sinar biru sebesar lidi. Claapp...! Sinar itu tepat kenai pinggang Dewi Geladak Ayu. Jeerb...!

Blegaaarrr...!

Pinggang dan perut Dewi Geladak Ayu jebol seketika. Tentu saja tokoh bajak laut wanita itu akhirnya terkapar tanpa nyawa lagi. Rangkak Dulang hanya memandanginya dengan dingin, kemudian cepat-cepat pergi dengan menimbulkan asap yang bergerak makin jauh makin menipis dan lenyap.

"Merpati! Merpati lepaskan totokanmu!" Suto Sinting ribut sendiri, berusaha melepaskan totokan dengan tangan sendiri tapi tidak berhasil. Padahal hatinya sangat penasaran mendengar suara ledakan dan pekik pertarungan tadi.

Pendekar Mabuk mencoba meminum tuaknya untuk membebaskan totokan yang membutakan matanya. Tetapi tuak tidak menolong. Mata masih tidak bisa digunakan untuk memandang sebagaimana mestinya. Jari-jari tangannya menotok leher dan beberapa bagian tubuhnya sendiri: des, des, des, des...!

"Aaauh...!" ia justru kesakitan karena totokannya sendiri. Sementara itu totokan Merpati Liar masih mengunci urat matanya hingga tak bisa dipakai untuk melihat apa-apa.

"Merpati! Lepaskan totokan ini! Lekaslah, Merpati... aku ingin melihat pertarungan itu! Hei, Merpati...?! Merpati di mana kau?!"

Suto Sinting akhirnya diam dengan merasa heran. Telinganya ditelengkan untuk menangkap dengus napas Merpati Liar. Bahkan jurus 'Lacak Jantung' digunakan untuk mendengar detak jantung Merpati Liar. Tetapi ternyata tak ada suara detak jantung sedikit pun, kecuali detak jantungnya sendiri. Pendekar Mabuk menjadi cemas manakala ia sadari keadaan di sekelilingnya sangat sepi. Ia dapat menduga bahwa Merpati Liar tidak ada di sampingnya.

"Celaka! Dia telah meninggalkan aku dalam keadaan buta begini?! Kurang ajar! Awas nanti jika kudapatkan, akan kubalas dengan tindakan yang lebih menjengkelkan lagi!" geram Suto Sinting sambil mencoba melangkah dengan tangan meraba-raba.

* * *

TUJUH

Merpati Liar sengaja pergi mendekati mayat Dewi Geladak Ayu. Ia menutup mayat yang telanjang itu dengan tanah di sekitarnya. Selesai melakukan hal itu, barulah ia bergegas kembali menemui Suto Sinting.

"Aaaa...!"

"Sutooo...!" seru Merpati Liar dengan tegang saat melihat Suto tergelincir dari atas bukit dan jatuh berguling-guling menuruni lerengnya.

Weeesss...! Merpati Liar segera bergerak dan menahan gerakan tubuh Suto yang hampir saja membentur batu besar pada bagian kepalanya. Wuuutt...! Tubuh kekar Suto Sinting disambar dengan kedua tangan, seakan hal itu dilakukan dengan ringan, tanpa beban berat sedikit pun. Jika bukan dilakukan dengan tenaga dalam, tak mungkin Merpati Liar dapat menyambar tubuh kekar Suto seperti menyambar selembar sarung.

"Kucing kurap kau, Merpati!" maki Pendekar Mabuk sambil menahan rasa jengkel. "Gara-gara mataku kau buat buta, aku tergelincir dari atas bukit! Uuuh... sakitnya tulang pinggangku!"

Merpati Liar tertawa kecil, tapi Suto Sinting tak bisa melihat senyuman si cantik yang menjengkelkan itu. Hati pendekar tampan hanya bisa menggeram dongkol, lalu segera menerima bumbung tuaknya yang diambilkan oleh Merpati Liar. Bumbung tuak itu tadi sempat terlempar jauh dari Suto Sinting. Untung tak ada orang yang menyambarnya, sehingga Suto dapat segera menenggak tuak beberapa teguk untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuhnya tadi.

Deebb...! Merpati Liar pun segera melepaskan kunci totokannya. Dengan begitu penglihatan Pendekar Mabuk menjadi terang kembali. Tapi rasa dongkol masih menyumbat relung hatinya, hanya saja karena ia segera tertarik pada mayat Dewi Geladak Ayu, maka rasa dongkol itu tidak dihiraukan lagi olehnya.

"Geladak Ayu tewas...?!"

"Rangkak Dulang murka dan membunuhnya. Perutnya jebol, mengerikan sekali. Karena itu kututup dulu dengan tanah supaya kau tak dapat melihat lukanya dan melihat... dadanya," kata-kata terakhir itu diucapkan dengan pelan sekali.

Pendekar Mabuk hanya menarik napas dan geleng-geleng kepala merasakan kekecewaan besar yang terpaksa harus ditelannya. "Kali ini kau sangat mengecewakan diriku, Merpati. Tingkahmu seperti anak-anak. Aku kan sudah dewasa, sudah pantas memandang keindahan perabot seorang wanita cantik seperti Dewi Geladak Ayu. Bukan hal tabu lagi barang seperti itu untuk kupandangi"

"Kawini saja mayat si Geladak Ayu," ketus Merpati Liar dengan tangan ditangkringkan di atas gagang pisau kembarnya yang terselip di pinggang kiri.

"Maksudku, hal yang sangat mengecewakan adalah karena aku tak bisa melihat pertarungan seru antara Dewi Geladak Ayu dengan Rangkak Dulang. Seharusnya..."

Kata-kata itu terhenti seketika karena Merpati Liar tiba-tiba menendang tubuh Pendekar Mabuk dengan keras.

Wuuutt...! Beeehg !

Weeess...! Tubuh pemuda tampan itu terpental melayang dan jatuh berguling-guling. Tali bumbung tuaknya sengaja digenggam erat-erat agar tak terpisah darinya.

"Perempuan kecut! Apa-apaan dia sebenarnya?!" geram hati Pendekar Mabuk setelah cepat-cepat berdiri kembali. Rupanya pada saat Merpati Liar selesai melayangkan tendangannya ke arah Suto Sinting, ia sendiri segera bersalto ke belakang dalam gerakan plik-plak beberapa kali dengan cepat. Gerakan plik-plak-nya yang terakhir sempat membuat Merpati Liar jatuh berlutut, dan ketika Suto telah berdiri serta memandangnya, perempuan itu sedang berdiri dari jongkoknya.

Namun ada sesuatu yang lebih menarik perhatian Pendekar Mabuk dan membuat dahinya berkerut heran. Sebatang tombak tertancap di tanah tempatnya berdiri sebelum ditendang Merpati Liar. Tombak itu berpita merah panjang pada ujungnya. Seluruh mata tombak terbenam di tanah, sedangkan pita merahnya terkulai di tanah.

"Tombak siapa itu?!" gumam Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip. Kemudian pandangan matanya segera beralih ke arah datangnya tombak. Ternyata di sana telah berdiri tiga orang lelaki berbadan kekar dan berwajah tak bersahabat. Usia mereka rata- rata sekitar empat puluh tahun.

"O, rupanya tendangan Merpati Liar tadi bermaksud menyelamatkan diriku dari lemparan tombak yang datang dari ketiga orang itu?! Hmmm... memang lebih baik terkena tendangan Merpati Liar daripada kelilipan tombak!" gumam Suto dalam hatinya.

Pendekar Mabuk segera melangkah menghampiri Merpati Liar, sedangkan perempuan itu pun juga melangkah menghampirinya. Mereka bertemu di dekat mayat Dewi Geladak Ayu. Keduanya sama-sama menghadap ke arah datangnya tiga orang kekar yang sedang menghampiri mereka.

"Siapa tiga orang itu, Merpati?!" tanya Suto Sinting dalam bisikan.

"Entahlah. Tapi menurutku mereka bukan orang negeri Kincir Bantala. Mungkin anak buahnya si Geladak Ayu. Biar kuhadapimereka!"

Satu dari tiga lelaki kekar itu mengenakan rompi ketat warna merah beludru bersulam benang emas. Lelaki itu berkumis tipis, menyandang keris di perutnya, ia memakai ikat kepala kaku dari kain beludru merah juga yang bersulam benang emas. Sedangkan dua lelaki di kanan-kirinya mengenakan rompi panjang dari kain biasa warna hijau dan hitam. Kedua orang itu menggenggam tombak berujung pedang besar. Dapat disimpulkan, tombak yang tertancap di tanah itu pasti senjata milik si rompi merah.

Ketika mereka hentikan langkah dalam jarak lima tindak dari Suto Sinting dan Merpati Liar, lelaki berompi merah maju satu langkah, sebagai tanda bahwa ia yang mewakili kedua lelaki di kanan-kirinya itu. Dengan mata nanar tanpa kesan bersahabat, lelaki itu lebih dulu perdengarkan suaranya yang bernada besar.

"Hanya kebetulan saja kalian masih bisa bernapas didepanku. Mestinya salah satu dari kalian modar di ujung tombakku! Tapi percayalah, sebentar lagi kalian akan kukirim ke neraka, karena tak ada orang Kincir Bantala yang akan hidup lebih lama jika kami yang berjuluk Iblis Tiga Paksa telah bertindak!"

"Kami bukan orang Kincir Bantala!" ucap Merpati Liar dengan ketus dan dingin. "Kami tak kenal siapa kalian, dan kami tak punya urusan dengan kalian!"

"Ha, ha, ha.,.! Rupanya perempuan cantik itu budek kupingnya," ujar lelaki yang memakai rompi merah kepada orang berbaju hitam.

Maka orang berbaju hitam tanpa lengan itu berkata kepada Merpati Liar, "Kami adalah Iblis Tiga Paksa yang disewa oleh Adipati Pusar Langit untuk membantai habis orang orang Kincir Bantala!"

"Sekali lagi kutegaskan pada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Tetapi jika kalian bosan hidup, aku akan mewakili El Maut untuk merenggut nyawa kalian!"

Pendekar Mabuk sengaja diam saja. Tapi matanya tak lepas dari ketiga orang tersebut. Terutama yang berbaju hijau, tampak sudah menggeram dengan tangan menggenggam tombak menjadi kuat. Agaknya mereka tersinggung dengan ucapan Merpati Liar.

"Perempuan bermulut lebar! Kurobek mulutmu sekarang juga. Heeeah...!"

Orang berompi merah lakukan lompatan ke atas sambil tangannya menyentak ke depan. Telapak tangannya itu mengeluarkan seberkas sinar hijau tertuju ke arah Merpati Liar. Dengan kaki merendah, Merpati Liar juga menyentakkan telapak tangannya ke depan, dan sinar merah tanpa putus melesat dari telapak tangan. Sinar merah itu menahan datangnya sinar hijau dan akhirnya meledak di pertengahan jarak.

Blegaaarr..!

Orang berompi merah yang melayang ke atas menjadi terpental tak tentu arah. Rupanya gelombang ledakan itu keluarkan angin menyerupai badai yang mampu menerbangkan tubuh orang tersebut, sementara tubuh Merpati Liar sendiri terdorong mundur tiga tindak.

Kedua orang berpakaian hijau dan hitam segera bertindak menyusul serangan si rompi merah. Namun baru saja mereka mengangkat tombaknya, kedua tangan Suto Sinting menyentil ke arah depan. Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan oleh Pendekar Mabuk. Sentilan yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar itu tepat mengenai ulu hati kedua orang tersebut. Dub, dub...!

"Heeggh..!" keduanya sama-sama terpekik dengan tubuh melengkung ke depan dan terdorong mundur dengan cepat. Keduanya sama-sama jatuh terkapar bagaikan dibanting tangan, raksasa. Buhgg...!

"Biarkan aku saja yang melayaninya!" hardik Merpati Liar kepada Pendekar Mabuk.

Murid si Gila Tuak hanya bisa sunggingkan senyum tipis sambil angkat bahu satu kali. Kemudian ia sengaja melangkah ke tempat lain, memberikan kesempatan kepada Merpati Liar untuk melawan ketiga orang sewaan Adipati Pusar Langit itu.

Merpati Liar berdiri tegak dengan kaki sedikit merentang. Matanya mulai memandang tajam ke arah lelaki berompi merah. Sebilah keris yang terselip didepan perut lelaki itu dipandanginya, lalu kepalanya menyentak ke atas samping. Maka keris itu pun terbang sendiri terbuang jauh bersama sarungnya.

Weeess...!

Si pemiiik keris tercengang bengong. Pada saat itu tiba-tiba tubuhnya bagai ada yang melemparkan ke arah samping. Wuuutt...! Brrrukk...!

"Aaaoh...!" Orang itu menjerit kesakitan karena kepalanya bagaikan dibenturkan dengan sebongkah batu besar. Tenaga yang melemparkan orang itu adalah tenaga yang datang dari pandangan mata Merpati Liar.

Wuuut, brruk,..! Wuuutt, brruukk...! Weeess, prrok...!

"Aaaauh, aaah... aaaow... tolong, aaaauh...!" Orang berompi merah menjerit-jerit kesakitan karena tubuhnya dilemparkan ke sana-sini, dibentur-benturkan batu ataupun pohon yang ada tak jauh darinya. Jurus 'Kendali Netra'-nya Merpati Liar membuat orang itu babak belur dan kehabisan tenaga. Sementara itu, kedua temannya hanya bisa memandang dengan kagum dan mulutnya ternganga bengong.

"Kenapa si Golo itu?! Mengapa ia membenturkan diri ke batu dan pohon?!" ujar si baju hitam.

"Perempuan itu menggunakan kekuatan mata! Serang dia sekarang juga! Heeeeaaah...!"

Kedua orang yang ingin maju menyerang itu tiba-tiba saling beradu kepala. Merpati Liar menggunakan kekuatan matanya untuk mengadu kepala kedua orang itu dengan kerasnya. Prraaakk...!

"Aaaoww...!"

Wees, praaakk...!

"Aaaohh...!"

Kedua orang itu berlumur darah, kepala mereka saling bocor. Bahkan terakhir kalinya tubuh mereka terlempar tinggi-tinggi saat kepala Merpati Liar menyentak ke atas. Tubuh yang terlempar tinggi itu akhirnya jatuh dalam keadaan kepala dibawah.

Brruukk...!

"Ouhgg...!" Kedua orang itu mengalami patah tulang lehernya. Kepalanya yang sudah berlumur darah semakin bocor lagi karena mereka jatuh ke tempat yang keras. Pada saat itu segera terdengar suara si lelaki berompi merah.

"Lariii...! Cepat lariii...!"

Dengan sempoyongan, mereka akhirnya melarikan diri ke arah selatan. Rupanya Merpati Liar sangat berang kepada mereka, sehingga ia pun segera mengejarnya. Weeess...!

"Merpati...! Tak perlu dikejar!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tak dihiraukan oleh Merpati Liar. Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala melihat Merpati Liar mengejar tiga orang tersebut.

"Perempuan itu kalau sudah marah membahayakan sekali! Aku harus mencegahnya!" pikir Suto Sinting yang segera menyusul Merpati Liar. Zlapp...!

"Tahan amarahmu, Merpati. Tak perlu kau semarah itu kepada mereka!" kata Suto Sinting yang tiba-tiba muncul di depan langkah Merpati Liar, membuat langkah perempuan itu akhirnya terhenti. "Mereka harus diberi pelajaran biar jera!"

"Kurasa pelajaran untuk mereka sudah cukup. Mereka kabur, itu tandanya mereka jera melawanmu, Merpati! Tahanlah luapan amarahmu itu, nanti dapat mencelakakan diri sendiri."

Bujukan Pendekar Mabuk lambat laun berhasil menurunkan kemarahan Merpati Liar. Walau wajah perempuan itu masih cemberut, tapi helaan napasnya sudah tidak memburu seperti tadi.

"Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita menuju Kincir Bantala!" usul Suto.

Merpati Liar tidak menjawab, namun melangkah lebih dulu sehingga diikuti oleh Pendekar Mabuk setelah sang pendekar tampan menenggak tuaknya tiga kali. Akhirnya mereka tiba di tanggul sebuah sungai lebar. Menurut keterangan Pak Tua pemilik kedai, sungai itu adalah perbatasan tanah negeri Kincir Bantala. Merpati Liar sendiri hentikan langkah dan berkata,

"Kita harus menyeberangi sungai itu. Di seberang sanalah istana negeri Kincir Bantala berada."

"Tak ada jembatan yang dekat dari tempat kita ini. Merpati?!"

"Seorang berilmu tinggi sepertimu, apakah masih membutuhkan jembatan untuk menyeberangi sungai?!" ucap Merpati Liar dengan nada melecehkan pertanyaan Suto Sinting tadi.

Pendekar Mabuk hanya menyeringai, kemudian segera memetik beberapa daun selebar telapak tangan. "Kita menyeberang sekarang juga, Merpati!"

Pendekar Mabuk segera lemparkan helai demi helai daun yang dipetiknya. Pluk, pluk, pluk, pluk! Daun-daun itu mengambang di permukaan air sungai. Kemudian Pendekar Mabuk menyeberangi sungai itu dengan menggunakan daun-daun tersebut sebagai alas pijakan kakinya.

Tab, tab, tab, tab, tab...! Jleeggg...!

Merpati Liar rupanya tak mau kalah ilmu dengan Pendekar Mabuk. Daun-daun bekas pijakan kaki Suto Sinting digunakan sebagai pijakan kakinya, sehingga ia seperti berjalan di atas permukaan air sungai yang tak seberapa deras itu.

Tab, tab, tab, tab...! Jlegg...!

Keduanya kini telah tiba di seberang sungai. Merpati Liar segera naik ke tanggul diikuti oleh Pendekar Mabuk. Tepat pada saat itu, Suto melihat sekelebat bayangan berlari di sela-sela pepohonan jati.

"Ssstt...! Kita ikuti dia!" bisik Suto Sinting.

Merpati Liar kerutkan dahinya memandang bayangan yang berkelebat menjauhi tanggul sungai. Mulutnya sempat menggumam dengan nada menggeram.

"Duta Raja...?! Rupanya dia lebih dulu sampai di sini!"

"Ia sudah berhasil menyembuhkan luka pertarungannya denganmu tadi."

"Ya, dan... dan kurasa ia sedang menuju ke Istana Kincir Bantala."

"Apakah ia juga menghendaki Panji-panji Mayat?!"

"Tentu saja, sebab ia berpihak kepada kakak perempuannya; Perawan Titisan Peri! Bukankah Perawan Titisan Peri bernafsu sekali untuk memiliki pusakaitu?"

"Tapi bagaimana ia bisa tahu bahwa pusaka itu ada di Istana Kincir Bantala?!"

* * *

DELAPAN

LANGKAH Duta Raja terhenti karena dihadang oleh tokoh yang baru saja menghilang dari penglihatan Merpati Liar. Mau tak mau Pendekar Mabuk menahan gerakan Merpati Liar dan mengajaknya bersembunyi di balik kerimbunan pohon.

"Mau apa si Pawang Setan Binal itu?!" bisik Pendekar Mabuk.

"Tentunya dia punya urusan sendiri dengan Duta Raja. Kita lihat saja sejauh mana Pawang Setan Binal melepaskan kebenciannya kepada Duta Raja."

Pandangan mata yang dingin bagai menusuk tulang membuat Duta Raja menarik napas, ia sadar kali ini ia berhadapan dengan tokoh yang lebih tinggi ilmunya. Namun ia tidak menampakkan rasa takut ataupun gentar sedikit pun. Ia menghadapi Rangkak Dulang dengan sikap tenang.

"Aku terpaksa menghadangmu, Pengkhianat!" ujar Rangkak Dulang menampakkan kebenciannya.

"Aku tak punya urusan lagi denganmu, Rangkak Dulang. Kumohon, jangan menggangguku lagi. Aku sudah cukup berbakti kepadamu selama dua puluh tahun melayanimu dan bersahabat denganmu. Kita tak punya urusan apa-apa lagi."

"Siapa bilang?" gumam Rangkak Dulang. "Sekarang kau memihak kakak perempuanmu; si Perawan Titisan Peri itu. Pasti kau tahu di mana perempuan laknat itu!"

"Bicaralah yang ramah kepadaku, Rangkak Dulang!"

"Persetan dengan keramahan, kau tidak membutuhkan dan aku pun tidak membutuhkannya. Yang kubutuhkan adalah si Kucing Hutan yang rakus darah itu! Di mana dia sekarang?!"

"Untuk apa kau mencari kakakku?!"

"Dia telah merebut kitab pusaka dari tangan Paras Kencani! Kitab itu harus kumiliki!"

"Oh, kurasa kau telah dikelabuhi oleh Paras Kencani. Kakakku tidak memiliki kitab pusaka dan tidak pernah merebutnya dari Paras Kencani. Urusan yang dihadapi Kucing Hutan adalah memiliki pusaka kuno yang bernama Panji-panji Mayat. Aku ditugaskan mencurinya dari istana Kincir Bantala."

"Omong kosong! Pusaka itu sudah tidak ada, hilang entah ke mana!"

"Pusaka itu masih ada!" bantah Duta Raja. "Paras Kencani berhasil dilumpuhkan saat keluar dari kedai bersama pemuda tampan yang kurasa ia adalah murid si Gila Tuak. Kuserahkan Paras Kencani kepada Kucing Hutan yang malam itu berhasil membawa seorang lelaki untuk diambil darahnya. Di tempat kediaman kami, Paras Kencani tak tahan menerima siksaan dari kakakku, sehingga sebelum ia menghembuskan napas terakhir, ia telah menyebutkan di mana pusaka Panji-panji Mayat berada. Karena itu, aku ditugaskan oleh Kucing Hutan untuk mencuri pusaka tersebut yang tersimpan di salah satu kamar rahasia di dalam Istana Kincir Bantala."

"Bualanmu berlebihan, Duta Raja!"

"Aku bicara tentang kenyataan. Aku dan Kucing Hutan tak pernah bicara tentang kitab pusaka. Yang kami bicarakan belakangan ini hanya pusaka Panji-panji Mayat."

Dari persembunyian Suto Sinting menggumam lirih sekali dan berbisik kepada Merpati Liar, "O, rupanya waktu aku memeriksa di rumah korban pembantain si Kucing Hutan, Duta Raja sempat melumpuhkan Paras Kencani dan menyerahkan kepada Kucing Hutan yang sedang membawa lari lelaki suami korban."

"Dan sekarang Paras Kencani sudah meninggal akibat siksaan keji si Kucing Hutan."

"Tapi dari mana Kucing Hutan mengetahui bahwa Paras Kencani punya rahasia tentang pusaka Panji-panji Mayat itu?"

"Duta Raja berhubungan lama dengan Paras Kencani. Tentunya ia tahu Paras Kencani keturunan dari Gajahloka. Mungkin juga Paras Kencani dulu pernah menceritakan tentang pusaka tersebut kepada Duta Raja, sehingga saat Kucing Hutan membutuhkan pusaka itu, Duta Raja mengorbankan Paras Kencani sebagai kunci rahasia penyimpanan pusaka tersebut. Lagi pula "

"Ssst...!" potong Suto Sinting. "Ceritanya nanti saja. Sekarang perhatikan kedua orang itu, agaknya Duta Raja bersikeras melawan Rangkak Dulang."

Duta Raja memang masih berdiri tenang dengan tongkat digenggamnya. Tetapi Rangkak Dulang sudah tak bisa menahan kemarahannya. Rangkak Dulang tidak mempercayai keterangan Duta Raja dan tetap mendesak agar Duta Raja menyebutkan di mana Perawan Titisan Peri berada. Sampai akhirnya Duta Raja berkata dengan tegas-tegas.

"Jika kau ingin mengusik kakakku, kau harus melangkahi mayatku lebih dulu, Rangkak Dulang!"

"Biadab mulutmu, Duta Raja!" geram Rangkak Dulang. Matanya memandang semakin tajam dan dingin. Rahangnya kelihatan menggeletuk kuat. Rangkak Dulang mengangkat tangan kirinya dengan jari-jari membentuk cakar terarah kepada Duta Raja.

Wuuutt...! Srraabb.!

Lima larik sinar biru sebesar lidi keluar berkuatan dari tiap ujung kuku tangan tersebut. Duta Raja segera memutar tongkatnya dengan gerakan sangat cepat. Putaran tongkat itu keluarkan cahaya merah lebar yang menjadi perisai datangnya lima sinar biru.Claaapp..!

Blegaaarr !

Duta Raja terlempar sejauh lima langkah. Tubuhnya terbanting dengan kuat hingga membuat bumi seolah-olah semakin berguncang. Padahal tanpa jatuhnya tubuh itu, bumi pun sudah berguncang akibat ledakan dahsyat tersebut. Pohon-pohon di sekitar tempat itu menjadi bergetar dan daun-daun berguguran.

Rangkak Dulang masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser dari tempatnya. Matanya memandang tajam ke arah Duta Raja yang sedang berusaha untuk bangkit. Namun tiba-tiba tubuh Rangkak Dulang bagaikan menghilang. Zaabb...! Tahu-tahu muncul di samping kiri Duta Raja. Tentu saja kemunculannya sempat membuat Duta Raja terperanjat. Belum habis rasa kagetnya, Duta Raja telah menerima pukulan telapak tangan Rangkak Dulang pada pelipisnya.

Plaaakk...! Dueerr...!

Hantaman itu menimbulkan suara ledakan yang membisingkan telinga. Duta Raja terpental lagi dan berguling-guling. Tongkatnya terlepas dari genggaman tangan. Telinganya berdarah, separo wajahnya menjadi hitam menyedihkan. Asap mengepul dari pori-pori kulit wajahnya. Duta Raja tak bisa bicara, bahkan merintih pun sudah tak mampu. Tubuhnya terkapar dengan bersandar pada sebatang pohon besar. Keadaan itu membuat mulut Duta Raja tampak mengucurkan darah yang berbusa-busa. Kelopak matanya sudah tak sanggup untuk dibuka lagi, tarikan napasnya tampak tersengal-sengal dan memberat.

Sekalipun demikian, agaknya Rangkak Dulang masih belum puas menghajar lawannya, ia segera melepaskan pukulan tenaga dalam berbentuk sinar merah tak kentara yang keluar dari ujung dua jari tangannya yang disentakkan ke depan.

"Racun 'Inti Mayat'...?!" bisik Pendekar Mabuk dengan tegang.

Namun pada saat sinar sebesar benang itu melesat ke arah dada Duta Raja, tiba-tiba muncul sinar hijau bening menghantam ujung sinar merah tersebut. Claaap...!

Jegaaarr...! Dentuman dahsyat terdengar kembali. Disusul kemudian dengan kemunculan seorang perempuan cantik seperti masih berusia dua puluh lima tahun. Matanya biru bening, hidungnya mancung, alisnya tebal rapi, bulu matanya lentik. Rambutnya terurai lepas sepunggung, ia mengenakan kutang tipis penutup dada montoknya berwarna ungu, dilapisi jubah sutera ungu.

"Kucing Hutan datang?!" sentak Pendekar Mabuk dalam nada membisik.

"Saatnya untuk melumpuhkan si Perawan Titisan Peri itu!" geram Merpati Liar. Ia ingin bergerak keluar dari persembunyiannya, tapi ditahan oleh Pendekar Mabuk.

"Biarkan dulu ia berurusan dengan Pawang Setan Binal! Hematlah tenagamu, siapa tahu Perawan Titisan Peri itu hancur di tangan Rangkak Dulang."

Rupanya pada saat terjadi ledakan dahsyat itu, gelombang hentakannya menghantam dada Duta Raja. Akibatnya, napas yang sepotong itu pun akhirnya lenyap seketika. Duta Raja tak bernyawa lagi di depan kakaknya yang masih tampak muda belia itu.

"Keparat kau, Rangkak Dulang! Kau telah membunuh adikku, harus kau tebus dengan seluruh darah dan dagingmu!"

"Kau pun akan mengalami nasib seperti adikmu, Kucing Hutan. Tapi akan kubebaskan dari murkaku jika kau mau serahkan kitab Lorong Zaman yang kau rampas dari tangan Paras Kencani!"

Pendekar Mabuk terperanjat sekali mendengar nama Kitab Lorong Zaman, sebab ia tahu persis di mana kitab itu berada.

"Kitab Lorong Zaman adalah kitab yang mempelajari ilmu untuk tembus waktu, bisa melompat ke masa lalu dan masa datang," bisik Merpati Liar seakan tak mau ketinggalan pengetahuannya tentang kitab tersebut.

Tapi pikiran mereka tidak tertuju pada kitab itu lagi, karena tampaknya Kucing Hutan tak sanggup menahan murkanya terhadap Rangkak Dulang, ia segera melepaskan serangannya berupa sepasang sinar biru lurus dari kedua matanya. Claaapp..!

Zaaab...! Rangkak Dulang bagaikan lenyap ditelan bumi. Tahu-tahu ia berada di belakang Kucing Hutan. Sementara sepasang sinar biru itu menghantam pepohonan dan membuat dua pohon itu hancur menjadi serbuk lembut tanpa suara menggelegar.

Zuuurrb...! Weerrsss...!

"Uuuaaaoooww...!" Perawan Titisan Peri mengerang setelah lakukan lompatan cepat ke arah sebatang pohon, lalu kakinya menjejak pohon itu dan tubuhnya melesat ke arah lain sambil bersalto. Ketika kakinya mendarat ke tanah, tubuhnya membungkuk dan mengerang seperti seekor kucing murka. Rangkak Dulang sempat dibuat bingung hingga tak jadi melepaskan serangannya.

Wuuub...! Rangkak Dulang berubah menjadi asap, dari kepulan asap itu muncul sinar merah sebesar kelereng. Sinar merah itu bergerak melayang-layang memburu Kucing Hutan menimbulkan cahaya merah kecil bagai ekor bintang jatuh. Wut, wut, wut, wut...! Sinar merah sebagai ganti perwujudan Rangkak Dulang bergerak mengejar Kucing Hutan.

Slap, Slaaapp...! Kucing Hutan bersalto di udara dan tahu-tahu sudah berada di atas pohon, ia mengerang dengan buas, menampakkan giginya yang bertaring pendek. "Oooeewww..! Oooeeoooww...!"

Weeess...! Sinar merah mengejar ke atas pohon. Zlab, zlab..! Perawan Titisan Peri itu lenyap dalam sekejap, muncul di pohon lain. Lenyap lagi, dan muncul kembali sudah di tanah. Jleeg...!

Sinar merah bergerak memburunya. Tapi pada saat sinar itu melayang di udara, Perawan Titisan Peri melepaskan pukulan bersinar biru dari telapak tangannya. Claaapp...! Sinar sebesar jari telunjuk Itu menghantam sinar merah tersebut.

Blegaaarr...!

Dentuman dahsyat mengguncang alam sekitar tempat itu. Pohon-pohon tumbang, tanah bagaikan dijungkirbalikkan oleh tangan-tangan raksasa. Sinar merah jelmaan Rangkak Dulang itu pecah dan padam seketika. Dan itulah tanda kematian bagi si Pawang Setan Binal.

Namun amukan alam akibat gelombang ledakan yang dahsyat telah membuat tubuh Merpati Liar terlempar keluar dari persembunyiannya. Suto Sinting pun terjungkal ke semak-semak lain setelah lebih dulu tanah yang dipijaknya menghentak ke atas bagai mengalami ledakan dari kedalamannya.

Brrrukk...! Merpati Liar jatuh terguling di tanah depan Perawan Titisan Peri. Melihat kemunculan Merpati Liar, Perawan Titisan Peri menyeringai sambil mengerang bagaikan kegirangan.

"Ooeeegggrrr...!"

Merpati Liar cepat bangkit dan pasang kuda-kuda. Pisau kembarnya dicabut dari pinggang. Tetapi baru saja pisau itu dicabut, Kucing Hutan sudah menerjang lebih dulu. Wuuutt...! Brrrukk...! Pisau kembar itu bisa terpental dari kedua tangan Merpati Liar . Sementara itu, tubuh Merpati Liar pun terdorong mundur dan jatuh membentur pohon yang baru saja tumbang.

"Perempuan picisan! Rupanya kau ada di sini untuk menghalangi niatku mendapatkan pusaka itu, hah?!" hardik Perawan Titisan Peri.

Merpati Liar bergegas bangkit dengan penuh waspada. Matanya yang tajam pandangi si Kucing Hutan yang bergerak ke sana-sini didepannya.

"Kau akan mati menelan murkaku jika masih tetap ingin menghalangi niatku! Aku tahu kau murid Parisupit, tapi jangan harap aku merasa gentar dengan murid Parisupit yang bertugas melindungi pusaka Panji-panji Mayat itu! Apa pun jadinya, pusaka itu harus kuperoleh! Siapa yang menghalangiku akan kuhancurkan dan rohnya kukirim ke neraka!"

"Jahanam kau, Kucing Hutan!" geram Merpati Liar. "Hiaaah...!"

Merpati Liar sentakkan kepalanya bagai ingin melemparkan tubuh Kucing Hutan dengan kekuatan matanya. Tetapi Kucing Hutan diam tak bergerak dengan pandangan mata tetap tertuju pada Merpati Liar. Perawan Titisan Peri juga sentakkan kepalanya bagai Ingin membuang tubuh Merpati Liar dengan kekuatan pandangan matanya.

"Hiaaahh..!"

Merpati Liar mengokohkan kuda-kuda, menjaga keseimbangan tubuhnya. Tubuh itu hanya merasa bergerak sedikit namun bisa cepat dikuasai. Rupanya si Kucing Hutan juga mempunyai kekuatan melemparkan lawan dengan pandangan mata. Akibatnya kedua perempuan itu saling mengerahkan tenaganya dari jarak enam langkah, tubuh mereka sama-sama gemetar karena berjuang keras menumbangkan lawan.

"Hiaaah...!"

"Hhheeeah...!"

Mereka saling mengerang dengan suara tertahan. Urat-urat leher saling keluar bertonjolan. Wajah mereka menjadi berkulit merah, sama-sama mendelik dengan gigi menyeringai.

"Hentikan! Hentikaaan...!" seru Pendekar Mabuk yang mencemaskan keselamatan Merpati Liar. Tapi kedua wanita itu bagai tak mendengar seruan tersebut. Mereka masih saling mengerahkan tenaga dan saling serang melalui pandangan mata.

"Sebaiknya kulepaskan jurus 'Jari Guntur'-ku agar Merpati Liar tak kalah tenaga," pikir Suto Sinting.

Namun baru saja ia bersiap ingin menyentil Kucing Hutan dari jarak jauh, tiba-tiba sekelebat bayangan melesat dan menerjang Kucing Hutan dari arah samping kanan.

Wuuutt...! Bruuss...!

"Aaahg...!" Kucing Hutan memekik tertahan. Perawan Titisan Peri itu terjungkal dan berguling-guling bagai diterjang sebongkah batu gunung. Namun ia cepat bangkit, tak mempedulikan rasa sakitnya. Matanya segera memandang orang yang baru datang.

"Kaaau...!" geram Perawan Titisan Peri.

Pendekar Mabuk terperangah dengan mulut ternganga melihat orang yang baru datang itu. Sedangkan Merpati Liar pun agak terkejut sejenak. Suto Sinting tak berkedip memandangi gadis berambut acak-acakan dengan pakaian hitam yang lekat dengan tubuh, seperti terbuat dari bahan karet. Pedang bergagang hitam disandang di punggungnya. Suto Sinting tak akan lupa dengan wajah cantik berkesan liar dan ganas itu.

"Angin Betina?!" ucap Suto Sinting membuat Merpati Liar terperanjat kembali karena tak menyangka Suto Sinting kenal dengan gadis itu.

Merpati Liar tak pernah tahu bahwa Suto cukup lama mengenal Angin Betina sebagai gadis yang tak rela jika Suto Sinting dilukai orang karena perasaan cinta yang ada didalam hati gadis itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Seruling Malaikat).

Tetapi saat itu bukan saat saling membeberkan kisah lama. Karena pada saat itu, Perawan Titisan Peri semakin murka setelah mendapat serangan telak dari Angin Betina. Matanya memandang Angin Betina yang berdiri di depan Merpati Liar seakan menjadi perisai bagi Merpati Liar.

"Laknat busuk kau! Heeeaahh...!" Kucing Hutan sentakkan kedua tangannya ke depan dan dari kedua telapak tangan itu keluar sepasang sinar besar warna marah membara. Wooosss...!

"Angin Betina, minggir kau!" seru Merpati Liar.

Tetapi Angin Betina tak mau menyingkir, bahkan ia mengerahkan tenaganya dan menyentakkan kedua tangannya juga ke depan, dari telapak tangan keluar sepasang sinar putih perak sebesar kelingking. Claaap...! Sinar putih perak beradu dengan sinar merah besar di pertengahan jarak.

Blegaaarrr...!

Angin Betina terlempar ke belakang menabrak Merpati Liar. Keduanya saling berguling-guling dalam hempasan hawa panas akibat ledakan dahsyat itu. Sedangkan Perawan Titisan Peri hanya terlempar ke belakang dalam keadaan masih bisa berdiri dan punggungnya membentur potongan batang pohon yang tadi patah akibat guncangan hebat. Beeegh...!

"Kalau aku tak turun tangan, bisa berbahaya kedua perempuan itu!" pikir Suto Sinting yang juga ikut terpental akibat sentakan gelombang ledak tersebut. Ia segera melompat ke pertengahan jarak, menghadap ke arah Perawan Titisan Peri.

Tetapi pada saat itu, Perawan Titisan Peri tampak semakin liar dan ganas, ia menyentakkan kedua tangannya ke langit. "Heeeaaahhh..!"

Blegaarr...! Kilatan cahaya petir menyambar, langit menjadi redup tertutup mega hitam dalam waktu sangat singkat. Kemudian dari langit turun hujan merah yang mengerikan. Hujan itu adalah hujan bara panas yang dapat membuat kulit hangus ataupun melepuh.

"Aaauh...! Uuuh..! Aaah...!"

Mereka saling terpekik karena tubuhnya dihujani bara panas. Tapi anehnya si Kucing Hutan tidak merasakan panas sedikit pun walau tubuhnya juga terkena hujan bara. Pendekar Mabuk sempat kelabakan menghadapi hujan bara itu. Sambil melompat ke sana-sini ia berusaha menenggak tuaknya untuk menahan rasa panas. Tiba-tiba dengan hati dongkol, Pendekar Mabuk sentakkan suara dalam keadaan mendongak ke langit.

"Heeeaahh...!"

Jurus 'Napas Tuak Setan' terlepas dari hembusan napas Pendekar Mabuk. Angin badai datang dengan gila-gilaan. Untung arahnya ke langit, sehingga hujan bara itu bagai dipindahkan ke arah lain dalam waktu sangat singkat. Gelegar suara guntur bersahutan membuat langit bagai mau pecah.

Kucing Hutan terperangah melihat hujan bara buatannya berhasil disingkirkan oleh Pendekar Mabuk. Dengan sangat murka ia segera mencabut pisau garpunya sebagai senjata berbahaya yang mengandung racun ganas. "Keparat kau! Terimalah pisau ini sekarang juga, hiaaah...!"

Tangan Pendekar Mabuk tiba-tiba menghentak ke depan dalam keadaan miring, napas terhembus dalam satu sentakan melalui hidung. Fuihh..!

Clap, clap, clap, clap...! Cahaya perak berbentuk bintang kecil-kecil keluar dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Cahaya perak itu tak bisa dilihat jika bukan oleh mata orang berilmu tinggi. Bintang-bintang itu menghantam dada Perawan Titisan Peri secara beruntun. Zuurrt, Kemudian perempuan itu diam tak bergerak bagaikan patung.

Pendekar Mabuk telah mempergunakan jurus 'Yudha' pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum, calon istrinya itu. Akibatnya, satu demi satu tubuh Kucing Hutan terpotong dengan sendirinya. Ruas demi ruas bagian tubuh itu berjatuhan sampai akhirnya Perawan Titisan Peri itu menjadi setumpuk potongan tubuh yang tak bisa disambung sambung lagi.

"Akhirnya ia mati dengan jurus 'Yudha'-ku juga!" gumam hati Pendekar Mabuk sambil menghempaskan napas kelegaan. Kejap berikutnya, ia segera hampiri Merpati Liar dan Angin Betina yang mengalami luka bakar karena hujan bara tadi. Mereka segera diberi minum tuak, sehingga dalam waktu singkat luka bakar itu hilang, rasa panas pun sirna.

"Angin Betina... bagaimana mungkin kau bisa tahu aku berada di sini?!" tanya Pendekar Mabuk dalam keheranannya.

"Aku diutus oleh Resi Wulung Gading untuk menemui Sunggarini agar membatalkan sayembaranya itu," jawab Angin Betina dengan nada tegas. Sesekali ia melirik Merpati Liar yang ada di samping kirinya. Katanya lagi, "Heboh pusaka Panji-panji Mayat sampai ke telinga Resi Wulung Gading. Walau sebenarnya dari dulu aku memburu pusaka itu, tapi setelah mendapat penjelasan dari Resi Wulung Gading, niatku untuk memiliki pusaka itu menjadi kubatalkan."

"Apa alasan Resi Wulung Gading menyuruh Sunggarini membatalkan sayembaranya?"

"Takut pusaka kuno itu semakin banyak yang memburu untuk menghidupkan mendiang Prabu Dasawalatama. Padahal pusaka Panji-panji Mayat yang ada ditangan Batuk Maragam telah diserahkan kepada Resi Wulung Gading dan sekarang sudah diterima oleh Dewi Hening, sebagai pewaris pusaka yang sebenarnya."

"O, jadi pusaka itu sebenarnya ada ditangan Batuk Maragam?"

"Betul. Sedangkan yang disimpan oleh Prabu Dasawalatama adalah tiruannya, untuk mengecohkan para pemburu pusaka seperti si Perawan Titisan Peri itu."

"Hmmm...!" Suto Sinting manggut-manggut. "Tapi... tapi ada satu masalah lagi yang belum kuketahui. Kucing Hutan, Rangkak Dulang, dan Paras Kencani memperebutkan sebuah kitab pusaka yang bernama Kitab Lorong Zaman. Padahal setahuku kitab itu ada di tanganmu. Apakah benar kitab itu dicuri oleh Paras Kencani?!"

"Hanya tiruannya juga yang dicuri Paras Kencani beberapa waktu yang lalu."

"Ooo... hanya kitab tiruannya?!"

"Kitab yang asli kusimpan di suatu tempat setelah isinya selesai kupelajari," kata Angin Betina.

"Hei, tunggu sebentar...!" sela Merpati Liar. "Sejak kapan kalian saling kenal sehingga ngobrol seenaknya sendiri begitu hah?"

"Cukup lama," jawab Pendekar Mabuk. "Dan kau sendiri, sejak kapan mengenal Angin Betina, sahabat eratku ini?!"

Merpati Liar menjawab, "Dia adikku...!"

"Hahh...?!" Pendekar Mabuk memandang dengan mata melebar.

Angin Betina berkata kepada kakaknya, "Suto adalah kekasihku!"

"Haahh...?!" kini Merpati Liar yang membelalakkan mata, lalu menatap Suto Sinting dengan tak berkedip.

Hal itu membuat Angin Betina hanya bisa berkerut dahi memandangi kakaknya dengan perasaan heran, ia tak tahu bahwa kakaknya pun terpikat oleh ketampanan Suto Sinting yang hanya terpendam dalam hati.

SELESAI


DENDAM SELIR MALAM

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.