Kapak Setan Kubur - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Kapak Setan Kubur
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
LEBIH dari dua puluh orang mengarak seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kakek berbadan kurus dan mengenakan pakaian abu-abu itu dalam keadaan tubuhnya dililit tali, hingga kedua tangannya tak bisa bergerak. Lehernya dikalungi tambang lalu dituntun seperti menuntun kambing bandot.

"Gantung dia! Gantung saja! Ayo, gantung! Sekali gantung tetap gantung!" seru mereka bersahutan dengan hentak-hentakkan kepalan tangannya ke atas.

Para pengarak itu bukan saja terdiri dari orang dewasa, malah ada yang masih remaja ikut-ikutan mengarak dan berteriak. Tapi yang menuntun kakek berambut putih pendek itu adalah seseorang yang berseragam keprajuritan, membawa pedang di pinggang. Sedangkan beberapa prajurit bertombak mengamankan daerah sekeliling. Dari ciri pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Kadipaten Balungan, adipatinya masih berusia sekitar lima puluh tahun kurang, bernama Adipati Janarsuma.

Wajah tua yang digiring ke bukit tak seberapa tinggi itu tampak bersungut-sungut bagai memendam kedongkolan. Bahkan ada yang mengatakan,

"Mau digantung bukannya sedih malah cemberut! Hoi, sedihlah kau! Kau ini mau digantung! Jangan cemberut!"

"Sesukaku! Mau cemberut, mau sedih, mau tersenyum, yang mau digantung aku, bukan kau! Kenapa kau yang ribut sendiri?!" ujar sang kakek sambil tetap melangkah dalam tuntunan tambang yang dipegangi seorang prajurit berpedang itu.

Pendekar Mabuk memperhatikan dari jarak tak seberapa jauh. Ia geli sendiri mendengar perdebatan tadi. Ia masih tetap kalem dengan pikiran mencoba mencari apa kesalahan si kakek bergigi depan tinggal dua itu. Sampai akhirnya rombongan pengarak itu lewat di depannya. Suto Sinting menyempatkan diri menegur salah seorang dari mereka.

"Mau diapakan itu kakek, Kang?"

"Mau digantung. Masa mau dicuci?!" jawab orang yang lebih tua usianya dari Pendekar Mabuk.

"Apa kesalahannya sampai orang setua itu mau digantung?"

"Memperkosa istri Kanjeng Adipati."

"Ah, yang benar saja, Kang?! Masa orang setua dia masih bisa memperkosa?"

"Kalau tak percaya cobalah sendiri!"

"Maksudmu kau menyuruhku mencoba memperkosa istri Adipati?"

"Goblok! Maksudku, cobalah tanya sendiri pada si Tua Bangka."

"Yang mana yang namanya Tua Bangka itu, Kang?"

"Ya itu, yang mau digantung itu!" sentak orang tersebut agak kesal melayani pertanyaan Pendekar Mabuk.

Ia belum tahu, atau memang tidak tahu bahwa pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dan celana putih sambil menyandang bumbung tuak di punggung itu adalah sang Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting itu. Karena tidak tahu maka ia berani bentak-bentak Suto Sinting. Seandainya ia tahu, mungkin ia akan bicara sopan dan lemah lembut. Sebab nama Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu sudah kesohor sebagai pendekar sakti yang ilmunya gila-gilaan.

Ternyata di atas bukit kecil itu sudah disediakan tiang gantungan, berbentuk tiang gawang dengan tali jerat terjulur di tengahnya. Di bawah tali jerat itu terdapat sebuah bangku bundar untuk tempat berdiri orang yang akan digantung. Bangku bundar itu akan ditendang atau ditarik oleh seorang petugas penggantungan, sehingga orang yang lehernya telah dijerat tali gantungan akan tergantung-gantung seperti kentongan di kelurahan.

Tua Bangka dipaksa naik ke atas bangku bundar itu. Dengan wajah masih bersungut-sungut dan mata memancarkan dendam, ia menuruti gertakan petugas penggantungan. "Masukkan kepalamu ke lingkaran tali itu!" bentak petugas penggantungan.

"Mana bisa?! Tanganku terikat begini kok disuruh memasukkan kepala ke tali. Mengambil talinya saja susah!" Tua Bangka ganti membentak.

"Kau saja yang mengalungkan tali itu," perintah petugas penggantungan kepada seorang prajurit.

"Pakai apa naiknya? Gantungannya tinggi begitu?!"

"Sini, naik di pundakku!"

Prajurit itu berdiri di pundak orang bertubuh kekar yang bertugas sebagai penggantung nanti. Dengan pelan-pelan orang yang diinjak pundaknya berdiri. Si prajurit terayun-ayun mau jatuh dan segera berpegangan kepala si Tua Bangka.

"Dasar prajurit tak tahu sopan, kepala orang tua dibuat pegangan!" gerutu si Tua Bangka.

"Waaah... tidak bisa, Kang!" seru prajurit itu kepada orang yang di bawahnya.

"Kenapa tidak bisa?!"

"Talinya ketinggian! Tidak akan bisa masuk sampai lehernya. Paling bisa hanya sampai batas hidung saja."

"Mana ada orang digantung sebatas hidung, Tolol!"

"Habis bagaimana kalau memang gantungannya ketinggian? Turun dulu, turun dulu."

Setelah prajurit itu turun dari pundak orang bertubuh kekar tanpa baju itu, segera terdengar seruan si orang kekar tersebut.

"Siapa yang bikin gantungan ini?! Kenapa bisa ketinggian?! Goblok!"

"Tenang saja, jangan marah dulu. Toh talinya masih bisa diturunkan sedikit," ujar kepala prajurit yang berpedang di pinggang. Lalu, ia menyuruh anak buahnya untuk menurunkan tali gantungan.

"Barjo... Bar, turunkan talinya biar bisa masuk ke leher si Tua Bangka!"

Sementara mereka sibuk membetulkan tali gantungan, orang-orang yang tadi mengarak Tua Bangka saling berkasak-kusuk, bahkan ada yang berteriak seenaknya.

"Huuhh! Terlalu lama! Penonton kecewa!"

"Gantung saja rambutnya, kalau jebol kan mati juga!" seru yang lain.

Pendekar Mabuk masih diam saja memperhatikan kesibukan para prajurit yang baginya cukup menggelikan itu. Ia menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bergeser agak ke depan, karena saat itu tali gantungan sudah dibetulkan dan sudah dimasukkan sampai ke leher si Tua Bangka.

Ketika prajurit memberi sambutan alakadarnya sebelum acara penggantungan dimulai. Ia berseru di depan mereka dengan berdiri di atas sebuah batu yang ada di samping tiang gantungan.

"Saudara-saudara sekalian, hari ini saudara-saudara akan menjadi saksi keadilan Kanjeng Adipati kita dengan menyaksikan acara penggantungan atas diri si Tua Bangka ini. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa Tua Bangka dijatuhi hukuman gantung karena mencoba memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, yaitu istri Kanjeng Adipati Janarsuma."

"Setuju! Setuju! Gantung saja penjahat tak tahu kesusilaan itu!"

"Sebelum acara penggantungan dimulai, mari kita mengheningkan cipta sebentar untuk mendoakan semoga arwah Tua Bangka diterima di sisi Yang Maha Kuasa. Berdoaaa... mulai!"

"Tunggu, tunggu...!" seru salah seorang. "Tidak usah didoakan. Arwah orang jahat biarkan saja masuk neraka!"

"Benar. Iya, benar tak usah didoakan!" sahut yang lain.

"Baiklah. Kalau begitu, hukuman gantung akan segera dimulai. Tapi sebelumnya, mari kita dengar kesan dan pesan dari orang yang akan kita gantung ini"

"Aah... tak usah, tak usah !" seru mereka. "Langsung gantung saja! Biar cepat selesai!"

"Baiklah, Saudara-saudara... kita mulai saja tanpa mendengarkan pesan dan kesan si Tua Bangka ini."

Kemudian petugas penggantungan yang berbadan kekar dan bertubuh tinggi tanpa baju itu segera membungkuk memegangi kaki bangku yang dipijak Tua Bangka, ia bersiap menarik bangku tersebut setelah mendapat aba-aba dari ketua prajurit.

Ketua prajurit berseru lebih keras lagi. "Hari ini, hukuman gantung terhadap si Tua Bangka dilaksanakan sebagai tindakan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Kanjeng Adipati sekeluarga. Setelah hitungan ketiga, hukuman segera dilaksanakan." Lalu ia mengambil napas panjang dan berseru, "Satuuu..."

Orang-orang diam tak bersuara. Tua Bangka menggerutu tak jelas sambil mulutnya cemberut.

"Duaaa!"

"Hentikan...!" tiba-tiba ada seruan yang membuat suasana sepi itu menjadi bergemuruh seperti lebah menggerutu.

Semua mata tertuju kepada si pemilik suara yang dianggap berani menahan aba-aba sang ketua prajurit. Pendekar Mabuk segera tampil ke depan mendekati tiang gantungan. Empat prajurit bersenjata tombak segera menghadang di depan Suto Sinting, membentuk pagar pengaman dengan tombak diacungkan ke arah depan.

Sang ketua prajurit memandang heran ke arah Suto, demikian pula sang petugas penggantungan yang sudah siap-siap menarik bangku. Tua Bangka sendiri ikut terperanjat melihat anak muda tampan yang berani menghentikan acara tersebut.

"Apa maksudmu menghentikan hitunganku, Anak Muda?!" tegur ketua prajurit dengan sentakan galaknya.

Murid si Gila Tuak itu tidak langsung menjawab melainkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Sementara itu beberapa mulut terdengar berkasak-kusuk dengan nada tegang.

"Apakah dia si Pendekar Mabuk, kok pakai minum tuak segala?"

"Sepertinya memang Pendekar Mabuk, ciri bumbung tuak dan pakaiannya memang seperti itu."

"Wah, gawat kalau memang dia si Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Pasti bakal jadi geger kalau si ketua membentak-bentaknya."

"Ah, masa' Pendekar Mabuk sampai di daerah kita ini? Mungkin dia hanya orang yang mirip Suto Sinting atau yang sengaja meniru penampilan Pendekar Mabuk, biar ditakuti orang."

Di antara para prajurit pun terjadi kasak-kusuk yang sama. Mereka ragu dan bahkan tidak percaya bahwa pemuda berbaju coklat itu adalah Pendekar Mabuk. Mereka juga menduga ada seseorang yang meniru penampilan Suto biar dianggap Pendekar Mabuk.

"Aku minta hukuman gantung ini dihentikan untuk sementara!" kata Suto Sinting kepada si ketua. "Jangan sampai kalian menggantung orang tak bersalah. Menggantung orang yang tak bersalah merupakan tindakan yang kejam dan patut ditentang."

"Yang kutanyakan, siapa dirimu! Bukan soal gantungan!" bentak sang ketua prajurit.

Dengan senyum kalem, Suto Sinting, menjawab, "Namaku Suto...!"

Prajurit di depan menyebut, "Pakai sinting apa tidak?!"

"Ya, pakai!" jawab Pendekar Mabuk. "Namaku Suto Sinting!"

"Ah, bukan. Suto Manyun, barangkali!" celetuk seseorang.

"Suto Sinting kok! Sumpah!" kata Pendekar Mabuk.

Ketua prajurit mendekati dengan langkah penuh kegeraman. "Jangan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ya?! Bisa dibacok para pengagumnya kau!" ia menuding-nuding Suto tanpa ada sopannya sedikit pun.

"Aku bukan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk. Aku memang Pendekar Mabuk, Paman."

Ada yang nyeletuk, "Kok dari tadi tidak mabuk-mabuk?!"

Seruan itu tidak dihiraukan. Sang ketua segera berkata kepada Suto, "Kami tidak percaya kalau kau Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting. Kuingatkan padamu, Anak muda... pergilah yang jauh dari sini dan jangan mengganggu jalannya hukuman gantung ini!"

Pendekar Mabuk malahan cengar-cengir membuat orang semakin tidak yakin kalau dia adalah murid siGila Tuak. Petugas penggantungan tak sabar menahan kejengkelannya, ia segera melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di depan Suto. Jleeg...!

"Mau pergi atau mau kugantung sekalian kau, hah!" bentaknya dengan mata mendelik.

"Sabar dulu, Kang. Sabarlah dulu... aku hanya ingin mengingatkan kau dan yang lainnya agar jangan menggantung orang yang tidak bersalah. Kasihan dia. Sudah kurus, ompong, eeh... digantung lagi! Padahal orang setua dia tidak usah digantung pun akan mati sendiri."

"Dia memang terbukti bersalah, mau memperkosa Gusti Ayu, istri Adipati kami! Mengapa kau masih mau membelanya, hah?!" bentak si petugas penggantungan dengan kasar.

"Orang setua dia mana mungkin mampu memperkosa?! Bayangkan saja, usianya sudah setua itu, badannya sudah sekurus itu, mana mungkin masih punya tenaga kejantanan untuk lakukan perkosaan? Jangankan memperkosa, dikasih secara cuma-cuma saja belum tentu dia mampu mengerjakan!"

Geerr...!

Beberapa orang tertawa mendengar kata-kata Pendekar Mabuk. Bahkan Tua Bangka ikut terkekeh-kekeh tanpa suara yang jelas. Tawa mereka membuat petugas penggantungan dan prajurit lainnya menjadi semakin dongkol dan geregetan. Si ketua prajurit keluarkan perintah kepada petugas penggantungan,

"Singa Parna, hancurkan mulutnya!"

Orang berbadan kekar tanpa baju yang ternyata bernama Singa Parna itu segera melayangkan pukulannya lurus ke mulut Suto Sinting.

Wuuuttt...!

Suto Sinting menghindar dengan meliukkan badan seperti orang mabuk yang ingin tumbang. Weesss...! Pukulan itu tidak mengenai sasaran. Suto tetap di tempat. Ketika tegak kembali, kaki Singa Parna menyambutnya dengan tendangan lurus kedepan.

Wuuttt...!

Badan si tampan itu meliuk kembali bagaikan orang mabuk sempoyongan. Weesss...! Tendangan itu meleset kembali. Singa Parna menjadi tambah jengkel. Maka diserangnya Pendekar Mabuk dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi.

Wuuutt, wuutt, wesss...! Wuuk, wukk, wuuss...!

Tak ada satu pun serangan yang bisa kenai tubuh Pendekar Mabuk. Padahal kaki Suto tidak bergeser sedikit pun, hanya badannya yang meliuk-liuk dengan cepat hindari serangan beruntun itu. Singa Parna sendiri menjadi ngos-ngosan dan merasa semakin dongkol karena serangannya yang bertubi-tubi itu tidak ada yang dapat mengenai sasaran.

"Monyet kurap kau!" bentaknya. Lalu ia menyerobot tombak seorang prajurit tak jauh darinya. Weett...! Dalam jarak satu tombak kurang, ia menghujamkan tombak itu ke perut Suto. Kaki kiri Suto bergeser ke samping. Weesss...! Tombak meleset dari sasaran. Singa Parna penasaran dan menghujamkan tombak itu secara bertubi-tubi.

Suuut, suut, suutt, wettt, weett, wuuss... weesss...!

Teb! Tombak berhasil dikempit pakai ketiak Suto Sinting, lalu disentakkan menyamping. Seet...! Kraakkk...! Tombak pun patah. Mata mereka terbelalak. Suara mereka mengaum kagum.

"Woooww...?!"

Senyum Suto Sinting masih mengembang menampakkan ketenangannya. Ketua prajurit mundur beberapa tindak, prajurit lainnya ikut mundur dengan wajah tegang. Singa Parna mau tak mau ikut mundur juga karena merasa mau ditinggal teman-temannya. Wajah mereka memandang dalam rona ketakutan. Tapi si ketua prajurit masih coba-coba tunjukkan sisa wibawanya dengan membentak tak sekeras tadi.

"Apa maumu sebenarnya, Orang Gila?!"

"Batalkan hukuman gantung ini!"

"Tidak bisa! Tua Bangka bersalah dan Kanjeng Adipati telah jatuhi hukuman gantung kepadanya, kami harus melaksanakan!"

"Baiklah, kalau begitu... bebaskan dia dan gantilah aku yang digantung."

"Hahh...?!" semua orang terperangah kaget.

"Bocah gendeng! Yang bersalah saja membela diri supaya tidak dihukum gantung, dia malah minta digantung. Kalau bukan bocah gendeng tidak ada yang berani senekat itu!" gerutu seseorang di belakang Suto Sinting.

Ketua prajurit berunding dengan Singa Parna dan beberapa anak buah lainnya. "Terlepas dia benar-benar Pendekar Mabuk atau hanya bocah ingusan yang mabuk, tapi dia sangat berbahaya bagi kita. Bisa-bisa menimbulkan korban di antara kita. Sebaiknya kita turuti saja kemauannya. Biarlah kita lepaskan si Tua Bangka dan kita ganti dia sebagai orang yang kita gantung!"

"Terserah keputusanmu. Yang penting jangan sampai kami disalahkan oieh Kanjeng Adipati," kata Singa Parna.

Para penonton menunggu keputusan dengan tegang. Satu dan yang lainnya saling berbisik-bisik membicarakan tuntutan pemuda tampan itu. Ada juga yang berkasak-kusuk membicarakan tentang hilangnya jemuran di belakang rumah. Tapi mereka akhirnya menghadap ke arah tiang gantung lagi setelah ketua prajurit berdiri di batu tinggi, tempat ia berdiri semula.

"Saudara-saudara, mohon perhatian! Mohon perhatian sebentar!" Suasana hening sejenak. "Saudara-saudara mendengar sendiri tuntutan bocah sinting itu. Dia bersedia menggantikan hukuman si Tua Bangka. Jadi, daripada ribut-ribut, tak baik didengar tetangga, maka kami setuju untuk menggantikan si Tua Bangka dengan bocah sinting itu!"

Lalu dengan suara keras penuh wibawa, ketua prajurit keluarkan perintah kepada Singa Parna yang masih berwajah geram itu. "Singa Parna, lepaskan si Tua Bangka dan ganti bocah itu yang kita gantung!"

"Tidak!" seru Tua Bangka. "Bocah itu tidak tahu menahu masalah ini. Jangan dia yang dijadikan korban. Aku saja yang digantung, biar Adipati kalian puas melihat keputusan lalimnya itu!"

"Goblok!" seru salah seorang penonton. "Mau dibebaskan biar bisa hidup kok malah ngotot! Huuh... dasar Tua Bangka tidak tahu diri!"

"Kenapa jadi kau yang sewot, Kang?!" tegur anak muda di sampingnya.

"Habis aku jengkel sekali dengan si Tua Bangka itu! Gobloknya melebihi ayam makan pedang!" jawabnya sambil bersungut-sungut.

Seruan itu tidak membuat keputusan berubah. Bahkan usul Tua Bangka tak dihiraukan oieh ketua prajurit, ia segera dibebaskan, Suto Sinting yang menggantikan. Sebelumnya Suto sempat temui Tua Bangka untuk menitipkan bumbung tuaknya.

"Tolong bawa bumbung tuak ini! Jaga baik-baik, Tua Bangka."

"Tidak mau!" sentak Tua Bangka. "Lebih baik aku yang digantung daripada disuruh membawa bumbung tuakmu."

"Tua Bangka, aku tahu kau tidak bersalah. Aku melihat kebenaran di pihakmu melalui sorot matamu dan air mukamu itu. Bawalah bumbung tuak ini..., aku punya rencana sendiri," kalimat terakhir itu bernada bisik.

Akhirnya orang tua berkulit keriput itu menurut apa kata Suto. Ia membawakan bumbung tuaknya dan membiarkan Suto Sinting diikat sekujur tubuhnya, hingga tangannya tidak bisa bergerak lagi. Kemudian ia dibawa naik ke bangku bundar itu.

"Waah... talinya kependekan. Naikkan lagi tali gantungan itu!" seru Singa Parna.

Akhirnya mereka membongkar ikatan tali gantungan dan meninggikan sesuai ukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk.

"Bikin susah saja bocah sinting itu! Tali sudah pas buat menggantung, gara-gara digantikan dia jadi harus dibongkar lagi. Huuh...! Rasa-rasanya aku kepingin mencolok matanya pakai tombak!" gerutu orang yang membongkar tali.

Kini tali penjerat leher sudah dikalungkan. Suto Sinting tetap tenang tanpa lakukan pemberontakan apa pun, tanpa perasaan sedih sedikit pun. Mereka memandang dengan penuh rasa kagum, namun ada juga yang punya rasa tak suka menganggap Suto bocah bodoh yang menjengkelkan hati.

"Hukuman gantung sebagai wakil si Tua Bangka segera dilaksanakan!" teriak ketua prajurit. "Sattuuu... duaaa... tigaaa...!"

Singa Parna tidak menarik bangku yang diinjak Suto Sinting, melainkan menendangnya sebagai luapan kejengkelan hatinya tadi.

Braakk...!

Kaki bangku patah seketika setelah ditendang Singa Parna. Maka tubuh Suto Sinting pun tergantung, lehernya terjerat tali gantungan. Seettt...!

"Huuu...!" orang-orang menggumam puas. "Mampuslah kau!" teriak yang jengkel.

"Selamat jalan, Bocah sinting!" seru yang lain.

Tua Bangka tertegun bengong melihat tubuh Suto Sinting tergantung dengan kepala terkulai mata terpejam, tapi mulutnya tidak menganga. Suto bahkan seperti sedang menyunggingkan senyum tipis. Dan mereka pun menjadi terheran-heran melihat senyum itu kian melebar. Bahkan mereka menjadi tersentak kaget ketika Suto Sinting membuka matanya.

Blaakk...!

"Haahh...?!" seru mereka serentak.

Pendekar Mabuk memandangi mereka dengan senyum jelas-jelas mekar di bibirnya. Wajahnya tidak menjadi pucat walau sudah tergantung sepuluh helaan napas lamanya. Bahkan ia berkata kepada si Tua Bangka,

"Awas, jangan miring bumbung itu nanti tuaknya tumpah."

Semakin tegang wajah mereka, semakin diliputi perasaan takut hati mereka. Tubuh yang jelas-jelas tergantung dengan kaki tanpa menapak apa pun masih bisa bicara sesantai itu. Tentu saja ketua prajurit pun menjadi sangat ketakutan.

"Celaka! Dia pasti siluman iseng! Cepat kabur! Lariii...!"

Mereka tidak tahu kalau Suto menggunakan jurus 'Layang Raga' yang membuat tubuhnya bisa mengambang di udara. Mereka menganggapSuto Sinting hantu yang gentayangan di siang hari. Maka satu seruan 'lari' membuat mereka bubar serentak, saling tabrak, saling injak, gaduh sekali suasananya. Ada yang menabrak pohon, ada yang jatuh tersungkur lalu dilewati delapan pasang kaki. Bahkan ada yang tertusuk tombak secara tidak sengaja, Lalu menjerit memegangi pahanya yang tertusuk tombak. Ia segera digotong oleh temannya. Salah seorang yang sudah berlari jauh terpaksa kembali lagi ke dekat tiang gantung.

"Sandalku ketinggalan!" ia memungut sandalnya dan kabur dengan secepat-cepatnya.

Yang tinggal di situ hanya Tua Bangka. Bengong-bengong, memandang ke sana-sini seperti orang pikun. Akhirnya ia memandang Suto Sinting dan terkejut melihat Suto masih hidup.

"Hahh...?!" lalu ia jatuh terkulai di tanah dengan lemas. Rasa kaget yang terlambat justru membuat Pendekar Mabuk tertawa geli.

"Hei, Tua Bangka... lepaskan tali pengikat tanganku ini, jangan duduk santai begitu!" kata Suto Sinting.

Tua Bangka geleng-geleng kepala dengan wajah begonya.

"Minum tuakku sedikit biar kau tidak linglung!" kata Suto.

Dengan gemetar Tua Bangka menenggak tuak Pendekar Mabuk.

"Sedikit saja! Jangan dihabiskan, Tolol!"

Tua Bangka sadar sudah terlalu banyak menenggak tuak. Akhirnya ia hentikan perbuatan itu, napasnya terengah-engah. Hatinya menjadi tenang. Kemudian ia melepaskan tali pengikat tubuh Suto. Tangan Suto pun melemparkan tali penjerat leher, dan ia bergerak turun pelan-pelan tanpa satu lompatan sedikit pun.Tua Bangka memandang tak berkedip gerakan tubuh yang turun secara pelan-pelan itu.

"Ck, ck, ck!" ia geleng-geleng kepala di depan Suto Sinting. "Jurus apa yang kau pakai itu, Anak Muda? Maukah kau mengajariku?"

* * *

DUA

KAKEK bergigi depan tinggal dua itu akhirnya mengikuti Suto Sinting. Padahal Suto Sinting sudah berkata kepadanya, "Kalau mau pergi ke suatu tempat, pergilah sana. Tak perlu mengikuti aku, Tua Bangka. Aku mau ke Pulau Jelaga, menolong seorang teman yang dalam kesulitan."

"Sebagai tanda terima kasihku atas tindakanmu menyelamatkan nyawaku, aku ingin ikut kau ke mana pun kau pergi, Suto."

Itulah sebabnya Suto Sinting melangkah bersama Tua Bangka, karena ia tak bisa menolak keinginan kakek berpakaian abu-abu itu. Dalam perjalanannya, Suto Sinting sempat bertanya kepada Tua Bangka tentang tuduhan memperkosa itu.

"Sebenarnya, seperti apa yang kau katakan kepada mereka, aku tidak mungkin bisa memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, sebab aku sudah... sudah tidak segesit dulu."

"Apa maksudmu tidak segesit dulu?"

"Artinya, kemampuanku memberi kemesraan kepada seorang perempuan sudah tidak ada. Sudah mati."

"Ooo...," Suto Sinting tertawa geli setelah memahami maksud kata-kata si Tua Bangka.

"Jangankan disuruh memperkosa, diberi secara cuma-cuma saja aku hanya bisa geleng-geleng kepala," sambung Tua Bangka.

"Lalu apa yang membuat Adipati Janarsuma menjatuhi hukuman gantung padamu?"

"Rasa sirik hati!"

"Sirik hati bagaimana?" desak Suto Sinting.

Tua Bangka sengaja berhenti di bawah pohon rindang, sekalian meluruskan napasnya yang bengkok karena perjalanan melelahkan itu. Mau tak mau Pendekar Mabuk ikut berhenti dan menenggak tuaknya. Tua Bangka terang-terangan meminta tuak itu karena haus, Suto Sinting memberikannya beberapa teguk.

"Aku ditangkap oleh prajurit kadipaten yang dipimpin Branjang Kawat pada saat aku merapatkan perahuku ke pantai," ujar Tua Bangka.

"Branjang Kawat itu ketua prajurit yang tadi mempimpin hukuman gantung?"

"Bukan. Branjang Kawat itu prajurit laga andalan sang Adipati."

"O, tunggu dulu... jadi kau punya perahu, Tua Bangka?"

"Ya. Aku menyimpannya di Teluk Karang. Karenanya kusarankan kau menuju ke arah barat daya, karena Teluk Karang ada di sana. Kau bisa gunakan perahuku untuk menyeberang ke Pulau Jelaga."

"Ooo... paham aku kalau begitu. Lalu, atas tuduhan apa kau ditangkap oleh Branjang Kawat?" tanya Suto yang masih penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya Tua Bangka itu.

"Dulu aku pernah mengabdi kepada sang Adipati sebagai juru taman. Tapi baru tiga purnama sudah dipecat, karena aku dianggap malas kerjaku hanya nonton Branjang Kawat melatih ilmu kanuragan kepada para prajurit kadipaten. Setelah beberapa waktu berlalu, tiba-tiba aku dicari mereka kembali dan ditangkap atas tuduhan mencuri sebuah pusaka. Padahal waktu aku pergi dari istana kadipaten, aku tidak mencuri apa-apa kecuali sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan."

"Pusaka apa maksudnya?" Suto Sinting makin tertarik.

"Nama pusaka itu adalah Kapak Setan Kubur."

Suto terkejut mendengar nama pusaka tersebut. "Kapak Setan Kubur pernah kudengar dari mulut Ayunda?" pikirnya, "Kalau tak salah ingat, seseorang yang mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka' hanya bisa dibunuh oleh Kapak Setan Kubur. Dan ilmu 'Mahkota Neraka' dimiliki oleh Gandapura, manusia titisan raksasa yang doyan makan daging manusia dan sekarang kabarnya sedang mengamuk di Pulau Jelaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan Tanpa Ajal). Tapi, apa benar Kapak Setan Kubur pernah dimiliki oleh Adipati Janarsuma?!"

Tua Bangka menjelaskan, "Aku tidak tahu apakah sang Adipati benar-benar punya pusaka seperti itu atau tidak, yang jelas aku dipaksa menyerahkan Kapak Setan Kubur. Tentu saja aku kebingungan dan tak bisa menuruti permintaan sang Adipati. Lalu, untuk menutup kabar tentang Kapak Setan Kubur agar tidak diketahui orang banyak, aku difitnah dengan tuduhan memperkosa istrinya. Aku mengelak, tapi tak mampu berbuat banyak karena Adipati kerahkan prajuritnya. Akhirnya aku dijatuhi hukuman gantung atas tuduhan itu. Tuduhan tersebut hanya sebagai alasan supaya aku bisa digantung, rakyat pun akan membenarkan keputusan sang Adipati. Padahal semua itu hanya gara-gara sang Adipati kecewa sekali terhadapku."

Gumam memanjang terdengar dari mulut Pendekar Mabuk yang manggut-manggut. Setelah diam dalam renungannya selama empat helaan napas, murid si Gila Tuak itu kembali ajukan tanya kepada si Tua Bangka. "Apakah sebelum kau dipecat dari kadipaten, kau pernah tahu bahwa sang Adipati mempunyai pusaka Kapak Setan Kubur?"

Tua Bangka menggeleng. "Aku tidak pernah dengar ia menyebut-nyebutkan nama pusaka itu. Soal punya dan tidak aku tidak mengerti, Suto."

"Kau tahu kekuatan sakti dalam pusaka Kapak Setan Kubur itu?"

Wajah tua bermata cekung itu gelengkan kepala. "Setahuku itu hanya isapan jempol."

"Lho, jempol siapa yang dihisap?"

"Artinya, hanya kabar bohong. Kapak Setan Kubur tidak ada. Sang Adipati mengarang-ngarang cerita saja. Maksud sebenarnya sudah kuketahui, ia menangkapku karena ia takut rahasia di dalam istana kubongkar kepada pihak lain."

"Rahasia apa itu?"

"Yaah... termasuk jalan rahasia yang langsung menuju pantai, termasuk kamar rahasia yang bisa tembus ke lorong menuju pantai untuk melarikan diri, dan... sebagainya. Adipati tak mau rahasia itu bocor dari mulutku. Lalu dia mengarang nama sebuah pusaka dan memfitnah kudemikian."

Pendekar Mabuk kembali termenung, ia sempat menggumam lirih dalam renungannya itu, "Kapak Setan Kubur hanya isapan jempol...? Tapi mengapa Ayunda pernah menyebutkannya? Bahkan katanya pusaka itu dimiliki oleh mendiang Nini Pucanggeni?!"

Tiba-tiba terdengar suara gelegar ledakan yang mengagetkan mereka berdua. Blegaarrr...!

"Apa itu!" Tua Bangka tersentak dan menjadi tegang.

"Gledek!" jawab Suto Sinting menenangkan diri, tapi hatinya penuh curiga.

"Gledek apa orang batuk?"

"Suaranya dari arah selatan sana. Kita lihat ada apa di balik lembah itu!"

Pendekar Mabuk dan Tua Bangka segera berlari kearah lembah sebelah selatan mereka. Tua Bangka tertinggal karena gerakannya lamban. Ternyata di balik lembah ada pertarungan seperti yang dibayangkan Pendekar Mabuk. Tetapi siapa yang bertarung, pada mulanya Suto tidak bisa menduga. Namun ketika ia melihat siapa yang bertarung, matanya menjadi terbelalak, karena ia merasa kenal dengan gadis cantik berbaju hitam dan celananya abu-abu. Gadis itu mempunyai rambut lurus sepundak dengan bagian depannya diponi. Wajah cantiknya berhidung mancung dan bermata bundar.

"Pinang Sari...?!" gumam Suto pada saat Tua Bangka sudah ada di sampingnya.

"Pinang Sari itu kekasihmu?" tanya Tua Bangka dalam bisik.

"Bukan. Kekasihku adalah Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi," jawab Suto, masih sempat membanggakan calon istrinya yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu. Lalu, ia menjelaskan siapa Pinang Sari yang dulu dikenalnya saat bertarung melawan Ayunda.

"Pinang Sari itu muridnya Nini Pucanggeni yang..."

"Pucanggeni?" gumam lirih Tua Bangka.

"Ya. Nini Pucanggeni. Kenapa termenung? Kau kenal dengan mendiang Nini Pucanggeni?"

Tua Bangka gelengkan kepala. "Namanya bagus, pasti orangnya cantik. Tapi... kau sebut dia 'mendiang'? Apakah dia sudah mati?"

"Sudah. Dibunuh oleh Ayunda, muridnya Nyai Gerhani Semi. Murid dan guru ini pun sudah mati dalam peristiwa Pertarungan Tanpa Ajal."

Tua Bangka menggumam dengan wajah datar. Lalu memandang ke arah pertarungan. "Lalu, lelaki yang bertarung melawan Pinang Sari itu siapa?" tanyanya.

"Aku tidak tahu. Baru sekarang kulihat wajah angker lelaki kerempeng itu."

Orang kerempeng yang menjadi lawan Pinang Sari itu memakai jubah coklat tua yang lusuh dengan celana merah tanpa baju dalam. Tulang iganya kelihatan bertonjolan. Wajahnya tampak angker, karena matanya biar kecil tapi memancarkan kebengisan. Rambutnya kucal, tipis, panjang sebatas punggung. Lelaki itu menyelipkan senjata di pinggangnya berupa pedang lengkung panjangnya satu lengan, tapi ukurannya cukup kecil.

Pedang itu belum dicabutnya, ia masih menggunakan tangan kosong dalam melawan Pinang Sari. Tangannya itu bagaikan besi yang mampu membuat pohon yang terhantam menjadi somplak besar. Pinang Sari masih tampakkan kelincahannya dengan melenting ke atas dan bersalto hindari serangan orang kurus itu.

Wuukkk...! Pinang Sari mendarat ke belakang orang kurus itu dalam jarak lima langkah. Orang kurus itu segera balikkan badan dan sentakkan satu tangannya ke depan. Wuuttt...!

Slaapp...!

Sinar merah lurus tanpa putus keluar dari tangan telapak tangannya. Sinar sebesar jempol kaki itu menghantam ke dada Pinang Sari. Tapi dengan cepat Pinang Sari mencabut trisula putihnya dan dihadangkan ke arah datangnya sinar merah tersebut.

Taarrr...! Terdengar suara letupan kecil saat sinar merah itu menabrak trisula. Kemudian trisula itu sendiri menyebarkan sinar hijau patah-patah, seperti jarum yang berjumlah puluhan batang. Praatak...!

Bleegarrr...!

Dentuman hebat terjadi cukup menakjubkan. Gelombang ledakan itu menyentak kuat dan membuat tubuh Pinang Sari terlempar ke sembarang arah sejauh delapan langkah. Tubuh orang kerempeng itu terpental naik ke atas dan melayang-layang kehilangan keseimbangan, lalu jatuh berdebam di tempatnya berdiri tadi. Bluukkk...!

"Dahsyat sekali...?! Ck, ck, ck...!" Tua Bangka geleng-gelengkan kepala penuh rasa kagum.

"Kau tunggu di sini, Tua Bangka. Aku akan membantu Pinang Sari."

Tua Bangka mencekal lengan Suto Sinting. "Jangan! Orang kurus itu punya kesaktian sangat dahsyat. Nanti kau mati kalau melawan dia."

"Akan kau lihat sendiri siapa yang tumbang nanti!"

"Jangan ke sana!" sentak Tua Bangka dengan roman wajah tegang. "Nanti aku berteriak lho kalau kau nekat kesana."

Suto Sinting tertawa tanpa suara mendengar ancaman seperti anak kecil itu. Matanya kembali menatap ke pertarungan. Ternyata Pinang Sari sudah siap berdiri menghadapi lawannya, walau dari mulutnya tampak ada darah yang mengalir membasahi dagu samping.

Orang kerempeng itu pun sudah berdiri dan maju dengan wajah berang. Sebelum mencapai jarak lima langkah di depan Pinang Sari, ia hentikan langkah dengan napas terengah-engah. "Pinang Sari, kalau kau tetap berkeras kepala, aku tak akan mengampunimu lagi. Kupecahkan kepalamu sekarang juga!"

Pinang Sari menjawab dengan berani, "Aku tak akan mundur melawanmu, Papan Rayap!"

Tua Bangka cekikikan, mulutnya buru-buru dibekap oleh Suto Sinting. "Sssttt...!"

Tangan itu disingkirkan oleh Tua Bangka. "Aku geli. Nama kok Papan Rayap. Apa tidak ada yang lebih bagus lagi?"

"Itu sebuah julukan saja, Tua Bangka. Mungkin karena tubuhnya kurus dan tipis seperti papan sehingga ia berjuluk Papan Rayap."

"Mungkin juga karena wajahnya mirip rayap jadi julukannya Papan Rayap, begitu ya?"

Pendekar Mabuk tak sempat menyimak ucapan Tua Bangka karena telinganya segera dipasang untuk mendengarkan perdebatan antara Pinang Sari dengan si Papan Rayap.

"Kau benar-benar masih meremehkan aku, Pinang Sari! Sebenarnya aku ragu untuk menghancurkanmu saat ini. Sebaiknya jangan paksa aku untuk berbuat lebih keji dari yang sudah kulakukan tadi. Serahkan saja pusaka Kapak Setan Kubur itu padaku, dan kau akan selamat sepanjang masa."

Suto Sinting kaget mendengar Kapak Setan Kubur diucapkan oleh si Papan Rayap. Tua Bangka pun tampak berkerut dahi dengan heran, tapi tak bicara apa-apa. Yang terdengar saat itu adalah suara Pinang Sari yang melengking tinggi.

"Koreklah telingamu dengan pedangmu, Papan Rayap. Sejak tadi sudah kukatakan, aku tidak tahu menahu tentang pusaka Kapak Setan Kubur!"

"Mendiang gurumu memiliki kapak itu!"

"Omong kosong!" bantah Pinang Sari. "Guru tidak pernah ceritakan soal pusaka itu. Beliau tak pernah menyinggung-nyinggung sedikit pun tentang pusaka tersebut. Kuharap kau jangan mengada-ada, Papan Rayap!"

"O, kau masih berlagak bodoh rupanya. Baiklah, aku terpaksa memberimu pelajaran yang ketiga. Hiaaatt...!" Sraang...!

Pedang lengkung ujungnya itu dicabut oleh Papan Rayap sambil lakukan serangan melompat ke depan. Wuuttt...! Kemudian ia tebaskan pedang itu ke pundak Pinang Sari. Sayangnya trisula putih masih dalam genggaman Pinang Sari, sehingga mampu untuk menangkis pedang tersebut.

Trang, trang, trang, blaarr...!

Ledakan terjadi lagi karena kedua senjata itu beradu dengan dialiri tenaga dalam. Sinar biru bening memercik sekejap, lalu sirna tanpa timbulkan asap apa pun. Papan Rayap semakin cepat membabatkan pedangnya ke arah lawan.

Bed, bed, bed, bed...!

Pinang Sari melompat-lompat hindari serangan pedang, namun pihak Papan Rayap mendesak terus dengan tebasan pedangnya ke berbagai arah. Sesekali Pinang Sari menangkis dengan trisulanya.

Trang, trang, trang, trang...!

Sampai pada satu ketika, pedang itu bergerak dengan gerakan meliuk dari bawah ke atas dan sukar ditangkis Pinang Sari karena ia sudah tertipu gerakan pedang sebelumnya.

Wuuttt...! Brreett...!

"Aaauh...!" Pinang Sari terpekik. Ulu hatinya bagaikan sedang dibedah oleh pedang lengkung itu. Ia segera tersentak mundur dan tergagap-gagap. Darah menyembur dari luka panjang tersebut.

Brrukk...! Pinang Sari jatuh terjengkang, kini ia terkapar dengan tubuh menggigil. Rupanya pedang si Papan Rayap beracun ganas. Dalam waktu cukup singkat tubuh Pinang Sari mulai dikerumuni rayap yang muncul dari dalam tanah akibat mencium bau racun pedang yang bercampur dengan darah. Binatang putih kecil-kecil itu semakin banyak jumlahnya dan membuat Pinang Sari menjerit karena jijik.

"Katakan di mana kau simpan kapak itu! Lekas! Kalau tidak kau katakan, akan kubiarkan rayap-rayap itu menggerogoti tubuhnya hingga menjadi tulang belulang!"

Namun sekelebat bayangan segera bergerak menerjang Papan Rayap. Bruuss...! Papan Rayap terpelanting dan jatuh dengan menyedihkan karena kepalanya bagaikan disambar kaki petir. Hampir saja ujung pedangnya menancap di lambung kiri.

Seorang pemuda berwajah ganteng tapi masih tampak remaja berdiri dengan badan tegap. Pemuda itu memakai rompi hijau berhias benang emas pada tepiannya. Celananya juga hijau menyala berhias benang emas tepiannya. Sabuknya hitam, menyelipkan sebilah pedang dari sarung perak. Rambutnya panjang digulung tengah, sisanya meriap sampai sepundak, ia berdiri tegak dengan kaki sedikit terentang.

Suto Sinting kerutkan dahi, karena masih merasa asing dengan pemuda yang diperkirakan berusia sekitar sembilan belas tahun itu. Tua Bangka juga merasa asing dengan pemuda itu, sehingga berbisik kepada Suto Sinting.

"Siapa bocah ganteng itu?"

"Aku tak tahu, dan baru sekarang melihatnya. Kurasa dia kekasihnya Pinang Sari."

"Ooo... pantas dia berani menerjang Papan Rayap, mungkin untuk menunjukkan cintanya, sehingga ia lakukan bela pati buat si gadis cantik itu, ya?"

Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek dan anggukkan kepala. Karena saat itu Papan Rayap telah bangkit dan menatap pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebih tajam lagi.

"Siapa kau, Monyet sawah?!" gertak Papan Rayap. "Lancang sekali kakimu, berani menendang kepala orang setua aku. Mau cari modar kau, hah?!"

"Aku yang bernama Darah Prabu!" jawabnya tegas dengan suara mudanya. "Mungkin kau belum mengenalku, Papan Rayap. Karena memang baru sekarang aku diizinkan oleh guruku untuk turun gunung."

"Keparat! Siapa gurumu, Bocah kurap?!"

"Resi Badranaya!"

"Persetan dengan nama itu. Aku tidak kenal! Menyingkirlah dari sini dan jangan ikut campur urusanku lagi kalau kau mau selamat!"

"Kau langkahi dulu bangkaiku baru kau bisa teruskan urusanmu dengan kakakku; Pinang Sari!"

"Ooo... dia adiknya Pinang Sari?!" gumam Suto Sinting yang membuat Tua Bangka juga manggut-manggut.

"Darah Prabu!" sentak Papan Rayap. "Kalau memang itu yang menjadi tekadmu, terimalah jurus 'Pedang Jalang-ku ini! Heaaah...!"

Papan Rayap melompat dengan cepat bagaikan angin berhembus. Darah Prabu tidak menghindar, melainkan justru menyongsong terjangan Papan Rayap.

Wuusss...! Brruusss...! Praaang...!

Lalu keduanya saling melintas tukar tempat. Wuutt...! Jleegg...! Ternyata si Darah Prabu sudah menggenggam pedangnya dengan kokoh. Ia mendarat ke tanah dalam keadaan memunggungi Papan Rayap. Ujung pedangnya tampak basah oleh darah. Berarti Papan Rayap terluka oleh pedang itu.

Papan Rayap yang juga memunggungi Darah Prabu diam sesaat dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah. Kemudian ia balikkan badan secara pelan-pelan, demikian juga Darah Prabu. Lalu, tampaklah luka menganga di bawah pundak Papan Rayap. Luka itu mengucurkan darah segar hingga basahi bagian tubuh bawahnya.

"Bagus sekali gerakan pedang anak muda itu?" pikir Pendekar Mabuk. "Tapi ia tak perhatikan kalau Pinang Sari sudah mulai kelojotan diserang ratusan rayap begitu. Bahaya sekali kalau tak segera kutolong. Aku harus bertindak cepat."

"Hei, Suto... mau ke mana! Jangan ke sana nanti kamu kesabet pedang mereka!" cegah Tua Bangka sambil pegangi kain celana Pendekar Mabuk, membuat langkah Pendekar Mabuk tertahan.

"Aku mau selamatkan Pinang Sari! Lepaskan celanaku!"

"Jangan! Nanti kau celaka!"

"Tidak. Lepaskanlah... lepaskan...!" Wreekk...!

"Aduh, kau ini.... Lihat, celanaku malah robek begini?"

"Wah, maaf. Maaf sekali, Suto. Aku tak sengaja membuat pantatmu jadi mengintip begitu. Maaf...!" Tua Bangka jadi ketakutan. Untung robeknya celana tak terlalu lebar.

Suto Sinting menutupnya dengan menurunkan kain ikat pinggang hingga tak kentara kalau celananya robek. Dengan cepat ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu. Zlaappp...!

Sementara itu, Papan Rayap semakin garang, ia menjadi sangat murka karena tubuhnya sudah dilukai oleh anak muda itu. Dengan satu lompatan cepat lagi ia menyerang Darah Prabu.

"Heeeaaattt...!"

Darah Prabu lakukan sentakan kaki ke tanah, dan tubuhnya melambung tinggi dalam gerakan jungkir balik. Wuuutt...! Pedang lawan yang mengibas ke atas ditangkis dengan pedangnya.

Trang, trang, trang...!

Mereka sibuk lanjutkan pertarungan. Suto Sinting sibuk singkirkan rayap-rayap dari tubuh Pinang Sari yang telah lemas tak berdaya itu. Mulut gadis itu dingangakan dengan satu tangan, kemudian dituangi tuak ke dalamnya. Beberapa tuak tertelan oleh Pinang Sari, hingga gadis itu terbatuk-batuk. Namun tuak itulah yang menyelamatkannya dari luka racun. Tuak itulah yang membuat rayap-rayap merasa mabuk, sehingga pulang ke dalam tanah menurut tempatnya masing-masing.

Trang, trang, trang...! Duuaarrr...!

Ledakan itu mengagetkan Pendekar Mabuk. Suaranya bagai di depan telinga kanan, ia segera bangkit memandang ke arah pertarungan. Rupanya si kerempeng Papan Rayap lepaskan kekuatan tenaga dalamnya melalui pedang lengkungnya. Pertarungan pedang itu membuat ledakan cukup dahsyat karena keduanya menggunakan tenaga dalam. Tapi agaknya Darah Prabu masih kalah kuat. Ia terpental melambung dan jatuh ke semak-semak.

Brruusss...!

Namun keadaan Papan Rayap pun cukup berbahaya. Selain terluka pada bagian bawah pundak, separo wajahnya menjadi biru legam akibat gelombang ledakan tadi. Ia tampak limbung, tenaganya bagai berkurang sangat banyak. Namun ia masih berusaha memandang ke arah Pinang Sari. Ia sangat terkejut melihat kehadiran Pendekar Mabuk di samping Pinang Sari. Matanya masih berusaha memandang bengis kepada pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu.

"Siapa kau, Setan tengil...?!" gertaknya dengan tubuh agak terbungkuk-bungkuk karena menahan sakit dipundak. "Kaukah yang menyimpan Kapak Setan Kubur itu, hah?! Mengaku saja, atau kutebas sekalian lehermu!"

"Jangan galak-galak, nanti kau mati terpenggal pedangmu sendiri!" kata Suto Sinting dengan kalem.

"Keparat! Aku tak butuh pelajaranmu. Kau yang butuh pelajaranku. Heeaaah...!"

"Wah, nekat orang ini!" gumam Suto Sinting yang segera mengibaskan bumbung tuaknya untuk menyambut datangnya pedang si Papan Rayap.

Weesss...!

Praakk...!

Buuhhg...!

Pedang patah menjadi empat potong karena menghantam bumbung tuak Pendekar Mabuk. Kaki kanan Pendekar Mabuk pun berkelebat menendang tepat di ulu hati Papan Rayap. Orang itu terpental jauh hingga menabrak sebatang pohon tak terlalu besar.

Brruusk...!

"Aaahgg...!" darah segar menyembur dari mulut Papan Rayap. Matanya terbeliak dalam keadaan terbungkuk dan berlutut.

Darah Prabu mulai melangkah lagi dalam keadaan hidung berdarah. Matanya terkesiap melihat Papan Rayap berada kurang lebih delapan tombak darinya, ia juga tadi melihat Papan Rayap menyerang Pendekar Mabuk yang membuat pedang orang kerempeng itu patah dengan ringkihnya. Rasa kagum itu segera dipendam dan ia mendekati Papan Rayap. Pedang peraknya masih di tangan. Pedang itu hendak ditebaskan ke arah Papan Rayap.

"Tahan!" seru Suto Sinting.

* * *

TIGA

ORANG kerempeng bertampang angker itu segera larikan diri ketika gerakan pedang Darah Prabu terhenti oleh seruan Pendekar Mabuk. Bahkan ketika pemuda berompi hijau itu hendak mengejarnya, Suto Sinting mencegahnya dengan seruan pula. Akhirnya mereka berkumpul berempat. Pinang Sari mulai sehat, lukanya bagaikan mengatup dengan sendirinya setelah menenggak tuak saktinya Suto Sinting. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Begitu ia bangkit dan memandang ke arah Darah Prabu, ia langsung menghambur dan memeluk Darah Prabu. Pemuda ganteng berwajah remaja itu diciuminya beberapa kali dalam tawa kebahagiaan.

"Kau sudah diizinkan turun gunung oleh gurumu? Atau melarikan diri dengan kenakalanmu?!"

"Aku memang diizinkan turun gunung oleh Guru, Yu Pinang."

Pinang Sari mencubit pipi adiknya dengan gemas. Kemudian memperkenalkan adiknya kepada Pendekar Mabuk setelah terlebih dulu berkata.

"Syukurlah kau segera muncul, Suto. Racun pada pedang si Papan Rayap itu cukup berbahaya dan nyaris membuatku kehilangan nyawa."

"Dia memang tokoh alot tapi memualkan perut kalau dipandang terlalu lama."

"Yu Pinang, siapa orang ini? Apakah dia kekasihmu, Yu?"

Pinang Sari tersenyum malu. "Dia adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak."

"Ooh...?!" Darah Prabu tercengang kaget. "Murid Eyang Gila Tuak?!" sambil matanya membelalak memandangi Suto Sinting.

Suto tersenyum dan berkata, "Mengapa kau memanggil guruku dengan sebutan 'Eyang'?"

"Guruku sering bercerita tentang kehebatan Eyang Gila Tuak dan Eyang Bidadari Jalang. Aku jadi kagum kepada beliau. Guruku adalah sahabat beliau. Dan aku juga sering mendengar cerita tentang kehebatan murid Eyang Gila Tuak. Ternyata kaulah muridnya, Kang. Sungguh tak kusangka aku bisa bertemu dengan murid Eyang Gila Tuak secepat ini! Padahal aku baru turun gurun delapan hari dan mencari kakakku; Pinang Sari ini. Aku senang sekali bisa jumpa pendekar sakti, Yu Pinang."

Suto Sinting menyahut, "Kau pun cukup sakti, Darah Prabu. Gerakan pedangmu sangat mengagumkan."

"Oh, aku belum ada sekuku hitamnya dibandingkan dirimu, Kang Suto!"

Tua Bangka menimpali, "Anak yang baik. Semakin tinggi ilmunya semakin menunduk. Seperti setangkai padi, semakin berisi semakin tunduk. Kalau ingin punya ilmu lebih dahsyat lagi, bergurulah kepada Pendekar Mabuk ini, Nak!"

"Begitukah menurutmu, Kek?" Darah Prabu tersenyum, segera memandang Suto Sinting dan bertanya, "Apakah kau datang bersama kakekmu ini, Kang?"

"Aku bukan kakeknya Suto!" potong Tua Bangka. "Aku... aku adalah penasihatnya Pendekar Mabuk. Ya, penasihat pribadi!"

Suto Sinting melirik dengan sedikit bersungut-sungut. Tua Bangka tak enak hati, sehingga berkata kepada Darah Prabu, "Maksudnya, penasihat yang jarang sehat. He, he, he...!"

Tiba-tiba gadis cantik itu berkerut dahi dan berkata pelan, "Tua Bangka, aku sepertinya pernah melihatmu sebelum ini."

"O, ya?! Di mana kau melihatku, Anak manis?"

"Entah. Aku lupa. Tapi aku merasa pernah melihatmu. Mungkin... mungkin dalam mimpi."

"Memang dari muda aku sering menjadi impian para gadis," kata Tua Bangka dengan nada sombong, membuat Suto Sinting mencibir geli.

"Apakah kau kenal dengan Papan Rayap tadi, Darah Prabu?!" tanya Suto Sinting mengalihkan pembicaraan.

"Tidak. Aku tidak kenal dengan si Papan Rayap."

"Tapi kudengar kau tadi menyebutkan namanya."

"Ya, karena saat Yu Pinang berdebat dengan Papan Rayap, aku mendengar namanya disebutkan oleh Yu Pinang. Aku sengaja ingin melihat kehebatan kakakku, karenanya aku tak mau muncul dari persembunyianku di balik pohon sana tadi."

"Papan Rayap adalah orang Pantai Ajal," sahut Pinang Sari

"Pantai Ajal...?! Bukankah tempat itu adalah wilayah kekuasaan si pemakan daging manusia; Gandapura?!"

"Memang dia salah satu dari kaki-tangan si Gandapura!" kata Pinang Sari. "Sebab itu dia ditugaskan mencari pusaka Kapak Setan Kubur. Karena Gandapura mulai mendengar desas-desus munculnya pusaka Kapak Setan Kubur di rimba persilatan, ia menjadi cemas, sebab Kapak Setan Kubur dapat membuatnya tumbang, walau ia punya kesaktian yang bernama ilmu 'Mahkota Neraka'."

"Ilmu apa itu sebenarnya?" tanya Tua Bangka.

"Ilmu 'Mahkota Neraka' itu sebuah ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati. Orang itu bisa mati kalau ilmu tersebut sudah dititiskan ke orang lain, atau ia terkena pusaka Kapak Setan Kubur. Sebab itulah Gandapura menyuruh anak buahnya melenyapkan Kapak Setan Kubur, supaya tak akan ada orang yang bisa melawannya."

Tua Bangka manggut-manggut, tapi sepertinya tidak terlalu menggapai penjelasan tersebut, karena matanya melirik kanan-kiri dengan cemas. Sepertinya ia merasa takut kalau-kalau Papan Rayap muncul dari belakangnya dan menyerang mereka dengan ganas. Hanya Suto Sinting dan Darah Prabu saja yang memperhatikan penjelasan Pinang Sari, sehingga Suto Sinting segera ajukan tanya kepada gadis berponi indah itu.

"Bukankah dulu kau bilang padaku tidak tahu-menahu tentang Kapak Setan Kubur? Dan kau juga bilang bahwa mendiang gurumu tak pernah menyebut-nyebutkan pusaka itu? Tapi sekarang kau bisa menjelaskannya dengan lancar. Apakah sebenarnya kapak itu ada di tanganmu? Atau masih berada dalam pondok mendiang gurumu?"

"Tidak. Mendiang guruku memang tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Kapak Setan Kubur. Tapi ketika aku bertarung dengan Ayunda dan berhasil melumpuhkannya, sebelum akhirnya ia kubawa ke bukit pertarungan antara Eyang Poci Dewa dengan Ki Buyut Gerang itu, aku sempat tanyakan apa alasan Ayunda membunuh guruku dengan racunnya. Lalu ia jelaskan tentang dua tugas dari gurunya: Nyai Gerhani Semi, yaitu mengacaukan tiga perguruan, termasuk perguruanku sendiri, supaya perguruannya menjadi menonjol. Tugas kedua adalah merampas pusaka Kapak Setan Kubur dari tangan guruku. Padahal Guru tidak tahu menahu tentang Kapak Setan Kubur, sehingga Ayunda jengkel dan membunuh guruku. Dengan kematian guruku maka Ayunda bebas dari tugas mencari Kapak Setan Kubur."

Tua Bangka ikut-ikutan manggut-manggut setelah melihat Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut pula. Tapi tiba-tiba Darah Prabu berkata dengan sikapnya yang tenang.

"Sepertinya aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang seseorang yang tinggal di... di mana, ya? Ah, aku lupa nama tempatnya. Tapi aku masih ingat nama orangnya."

"Siapa nama orangnya?" sergah Suto Sinting dengan rasa ingin tahu menggebu-gebu.

Darah Prabu menjawab, "Namanya adalah Empu Tapak Rengat."

Pinang Sari tampak terperanjat. "Tidak mungkin, Darah Prabu. Empu Tapak Rengat tidak mungkin memiliki pusaka Kapak Setan Kubur."

"Apa alasanmu bilang begitu?" tanya Suto Sinting.

"Karena aku kenal baik dengan Empu Tapak Rengat yang tinggal di kaki Gunung Bunting."

"Nah, benar! Gunung Bunting nama tempat itu!" sahut Darah Prabu dengan bersemangat.

"Tapi itu tak mungkin, Darah Prabu. Guruku sahabat dekatnya Empu Tapak Rengat. Kata Guru, sudah selama dua puluh lima tahun Empu Tapak Rengat tidak mau berurusan dengan senjata atau pusaka apa-apa lagi, yaitu sejak istrinya meninggal akibat pusakanya sendiri yang haus darah itu: Keris Serap Getih. Jadi, menurutku Empu Tapak Rengat tidak menyimpan pusaka itu, sebab ia tidak mau punya pusaka dan senjata apa pun. Bahkan hidupnya cenderung menyepi dan tidak ingin mencampuri urusan duniawi lagi."

"Siapa tahu semua pusaka dan senjata diwariskan kepada muridnya?"

"Empu Tapak Rengat tidak mempunyai murid," kata Pinang Sari. "Satu-satunya yang ia miliki adalah seorang anak perempuan yang bernama: Tembang Selayang."

"Mungkin dialah yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur" sela Suto Sinting.

"Ah, kalian terlalu bodoh, dibohongi oleh cerita edan mau saja," kata Tua Bangka sambil bersungut-sungut.

Mereka memandang Tua Bangka dengan dahi berkerut dan senyum tipis. Tua Bangka menambahkan kata, "Dari muda sampai setua ini aku belum pernah mendengar nama pusaka aneh seperti itu. Itu tandanya kabar tentang pusaka Kapak Setan Kubur hanya isapan jempol; entah jempol tangan atau jempol kaki, yang jelas itu bohong semata!"

"Matanya siapa?" sela Suto Sinting menanggapi dengan santai juga.

"Mungkin mata kalian itulah yang dibohongi!" gerutu Tua Bangka.

Darah Prabu dan Pinang Sari menjadi heran dan menampakkan wajah keraguannya. Akhirnya Darah Prabu berkata, "Aku perlu tanyakan kepada Guru tentang kebenaran pusaka itu. Ada atau tidak, dan benarkah Empu Tapak Rengat tidak mau memegang senjata pusaka lagi. Aku perlu jawaban dari Guru secepatnya."

"Aku akan mendampingimu," kata Pinang Sari. "Aku juga perlu menceritakan kematian guruku kepada Resi Badranaya, sebab kudengar kabar dari seorang tokoh tua yang telah tiada; Resi Badranaya adalah kakak sepupu mendiang guruku."

Suto menyahut, "Kalau begitu aku akan ke Gunung Bunting untuk temui Empu Tapak Rengat. Akan kutanyakan kebenaran tentang pusaka itu juga."

"Baiklah, kita berpisah untuk sementara waktu Suto," kata Pinang Sari. "Sepertinya kita akan jumpa lagi dalam peristiwa Kapak Setan Kubur ini. Kita sama-sama mencari keterangan sejelas-jelasnya."

"Kau mau ikut siapa, Tua Bangka?" tanya Suto Sinting. "Ikut Pinang Sari atau ikut aku, atau mau pergi sendiri?"

Setelah berpikir dengan suara gumam tak jelas, Tua Bangka berkata, "Aku lebih baik ikut kau saja, Suto. Karena sepertinya aku butuh bantuanmu lagi."

"Soal apa itu?"

"Mencari cucuku yang hilang beberapa waktu yang lalu."

"Siapa cucumu itu, Tua Bangka?"

"Cawan Pamujan. Dia satu-satunya cucu kesayanganku yang masih hidup."

"Semuanya ada berapa cucu?"

"Ya, cuma satu. itu saja," sambil ia melangkah mendekati semak, memungut sebatang kayu kering yang enak dipakai untuk tongkat berjalan. Pada saat ia membungkuk, tiba-tiba seberkas kilatan cahaya pantulan matahari berkelebat menuju ke arah punggung si Tua Bangka. Gerakan datangnya kilatan cahaya menyilaukan itu terlihat oleh ekor mata Darah Prabu. Dengan cepat anak remaja itu mengibaskan tangan kanannya kesamping.

Wuutt...! Slaapp...! Tring !

Ternyata senjata rahasia seseorang yang diarahkan ke punggung Tua Bangka dihantam telak oleh senjata rahasianya Darah Prabu. Kedua benda kecil itu jatuh di samping Tua Bangka. Keadaan itu membuat wajah Suto Sinting dan Pinang Sari terperanjat seketika. Lalu kedua orang itu sama-sama memandang ke arah datangnya senjata rahasia yang ingin menyerang Tua Bangka itu. Sekelebat bayangan melesat dibalik kerimbunan pohon. Suto Sinting segera mengejarnya. Zlaapp! Langkahnya begitu cepat hingga mirip orang menghilang.

"Siapa yang mau membunuhku?" gumam Tua Bangka sambil memungut dua senjata rahasia yang saling menempel rekat itu. Yang satu berbentuk seperti bunga matahari, bergerigi runcing mengkilap, yang satu berbentuk seperti mata garpu tiga runcing, terbuat dari logam baja hitam.

"Yang ini senjataku," kata Darah Prabu sambil mengambil sekeping logam mirip mata garpu itu.

"Yang satunya ini milik siapa?"

"Ya, milik orang yang mau membunuhmu!" kata Pinang Sari kepada Tua Bangka.

"Senjata ini mempunyai racun ganas, terlihat ujung runcingnya berwarna kebiru-biruan," kata Darah Prabu.

"Kenapa bisa menempel menjadi satu dengan senjatamu?" tanya Pinang Sari kepada adiknya.

"Senjata rahasiaku ini terbuat dari baja sembrani. Mampu menyedot logam lain atau menempel di logam lain."

Tua Bangka segera mengambil posisi di belakang Pinang Sari dengan rasa takut ketika Suto Sinting menerabas ilalang dan muncul dengan memanggul seseorang di pundaknya.

Brrukkk...! Orang itu diletakkan ke tanah seperti membanting karung. Mata mereka memandang kepada orang yang baru saja ditangkap Pendekar Mabuk.

Suto bertanya kepada Tua Bangka. "Kau kenal dengan orang ini?"

Tua Bangka pandangi sosok lelaki muda berbadan kurus. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya pendek, mengenakan rompi hitam dan celana hitam. "Ak... aku... aku tidak kenal dengan anak ini. Mengapa kau tanyakan padaku, Suto? Kau pikir dia cucuku yang bernama Cawan Pamujan?!"

"Bukan begitu, Tua Bangka. Kuhantam dia dengan jurus 'Jari Guntur'-ku, dan ia pingsan seketika karena seranganku mengenai ulu hatinya. Orang ini yang berkelebat lari setelah kau diserang dengan senjata rahasia."

"Mengapa kau bawa kemari?! Nanti dia malah mudah membunuhku, Bodoh!" sentak Tua Bangka dengan kegugupannya karena masih merasa ngeri membayangkan senjata rahasia yang nyaris merenggut nyawanya itu.

"Kupikir kau kenal dengan anak ini, sehingga perlu didesak apa alasannya melemparkan senjata berbahaya ke punggungmu. Ternyata kau tidak mengenalnya. Hmmm... kau kenal dia, Darah Prabu?"

Anak muda belia itu gelengkan kepala. "Aku tidak mengenalnya, Kang. Aku juga tidak punya musuh seperti dia."

"Bagaimana dengan kau, Pinang Sari?"

Gadis itu menggeleng samar-samar. "Aku juga tidak mengenalnya. Tapi bisa kita tanyakan kalau dia sudah siuman nanti."

"Kalau begitu kubikin dia siuman sekarang juga!"

Claapp...! Tiba-tiba sinar merah berkelebat menerobos pertengahan jarak berdiri antara Pinang Sari dan Darah Prabu. Sinar sebesar lidi itu menghantam leher orang berompi hitam.

Jraab...! Taaarr...!

Letupan kecil terdengar bersamaan dengan pecahnya leher orang tersebut. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan mereka. Orang muda berompi hitam itu pun tak akan bangun selamanya karena lehernya hampir putus dihantam sinar merah tadi.

"Kurang ajar!" geram Suto Sinting, ia segera melesat ke arah datangnya sinar merah tadi. Zlaapp...!

"Pinang... jangan ikut mengejar! Nanti aku sendirian di sini!" Tua Bangka gemetar takut.

Gerakan si pemilik sinar merah itu cukup cepat, atau memang Pendekar Mabuk salah arah dalam mengejarnya. Orang tersebut tak berhasil ditangkap oleh Pendekar Mabuk. Beberapa saat lamanya Suto mencari orang itu ke beberapa arah, namun tetap tidak berhasil ditemukan.

"Agaknya aku sudah telanjur salah arah dalam mengejarnya. Sebaiknya aku segera kembali menemui Tua Bangka. Barangkali kakek ompong itu punya bayangan siapa kira-kira orang yang ingin membunuhnya itu."

Namun alangkah terkejutnya Suto begitu kembali ketempat semula, ternyata Tua Bangka sudah tidak ada ditempat. Pinang Sari dan Darah Prabu juga tidak ada ditempat. Yang tinggal hanya mayat orang berompihitam.

"Ke mana mereka perginya?!" pikir Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. "Apakah orang yang kukejar tadi yang membawa pergi mereka? Oh, kalau begitu aku tertipu oleh pancingannya?! Sial! Aku pasti tertipu olehnya, ia sengaja memancingku agar mengejarnya dengan cara membunuh orang berompi hitam itu. Pada saat aku tidak ada ia datang dan melumpuhkan mereka bertiga. Lalu mereka bertiga dibawanya pergi dan...," Suto Sinting diam sebentar. Ada kejanggalan yang ditemukan di tempat itu.

"Tak ada tanda-tanda pertarungan?! Setidaknya Darah Prabu atau Pinang Sari akan melakukan perlawanan jika orang itu menyerang mereka. Paling tidak bunyi ledakan tenaga dalam beradu pasti akan kudengar. Tapi dari tadi aku tidak mendengar suara ledakan apa pun. Dan tempat ini tidak menampakkan bekas terjadi pertarungan. Mungkinkah Tua Bangka, Darah Prabu, dan Pinang Sari dilumpuhkan dalam sekejap lalu mereka dibawa pergi? Dengan apa membawanya? Apakah orang itu tidak sendirian?"

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sesaat. Setelah itu diam berpikir sambil duduk di bawah pohon rindang. Matanya pandangi keadaan sekeliling dengan jeli. Lalu tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan jauh di seberang sana. Suto Sinting tidak mau kehilangan jejak lagi

"Pasti dialah orangnya yang tadi gagal kukejar!"

Zlaaap...! Ia bergerak dengan cepat bagaikan menghilang. Bayangan ungu itu dikejarnya dengan memotong arah gerak bayangan. Suto Sinting bermaksud menghadang orang tersebut. Kali ini usaha Pendekar Mabuk tidak sia-sia. Ia berhasil mencegat orang berpakaian ungu di kaki bukit. Orang itu pun hentikan langkah begitu melihat pemuda tampan berdiri menghadangnya dengan sikap tenang.

"Oh, ternyata dia seorang gadis?!" gumam Suto dalam hatinya.

Gadis itu mengenakan jubah ungu, tapi pinjung dalamnya berwarna merah tua. Celana ketatnya sebatas pertengahan betis itu juga berwarna merah tua dari kain beludru dihiasi manik-manik warna perak. Gadis yang diperkirakan berusia dua puluh tiga tahun itu bertahi lalat di sudut bibir atasnya. Kecantikannya menggetarkan hati. Hidungnya mancung dan matanya sedikit lebar namun tak bundar. Bulu matanya lentik dan alisnya tebal namun berbentuk indah. Ia berambut panjang dengan potongan rambut disanggul seluruhnya. Beberapa helai rambut berjuntai di kanan-kiri telinganya yang bergiwang ungu sebesar kacang tanah.

Gadis berkulit langsat itu pandangi Suto tiada berkedip. Bibirnya yang tak begitu mungil namun berbentuk indah menggemaskan itu masih tetap terkatup tanpa gerak sedikit pun. "Mau apa kau berdiri di depanku?!" hardik gadis itu dengan sikap berani.

"Kau yang membunuh orang berompi hitam itu! Aku perlu bicara padamu," kata Pendekar Mabuk bersikap langsung menuduh.

Agaknya gadis yang menyandang pedang di punggungnya itu terdesak dengan tuduhan Pendekar Mabuk. Akhirnya ia berkata dengan wajah kian ketus. "Memang aku yang membunuhnya, karena urusan pribadi yang tak bisa dicampuri orang lain."

"Boleh tahu urusan pribadimu itu?"

"Untuk apa kau tahu?"

"Karena kau telah membawa lari ketiga sahabatku itu."

"Jangan bicara seenak mulutmu! Bisa kurobek mulutmu kalau kau menuduhku yang bukan-bukan. Aku hanya membunuh Praguli! Tidak membawa lari tiga sahabatmu itu."

Suto sedikit berkerut dahi, hatinya diliputi kebimbangan dengan pengakuan tersebut. Melihat nada bicaranya, agaknya gadis itu bukan gadis yang takut bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Namun Suto Sinting mencoba untuk mempelajari gadis itu melalui beberapa pertanyaan yang diajukan.

"Apa alasanmu membunuh orang yang kau sebut sebagai Praguli itu?!"

"Dia anak buahnya Branjang Kawat! Dia yang membunuh adik seperguruanku," jawabnya bernada tegas dan menampakkan sikap kurang bersahabat.

"Branjang Kawat...?!" Pendekar Mabuk menggumam karena merasa pernah mendengar nama itu dari mulut Tua Bangka.

"Ya, Branjang Kawat, orang Kadipaten balungan yang suka berlagak jagoan itu! Apakah kau sahabatnya juga?!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem namun senyuman itu memancarkan daya tarik yang sempat membuat gadis itu berdesir hatinya. "Mengapa bukan Branjang Kawat yang kau bunuh untuk membalas dendammu itu?"

"Karena kulihat sendiri; Praguli yang menewaskan adik perguruanku sementara aku sedang bertarung dengan Branjang Kawat."

"Apakah kau unggul melawan Branjang Kawat?"

Gadis itu tidak langsung bicara, ia diam beberapa saat dengan mata masih tertuju tajam kepada Suto. Sementara itu pandangan mata Suto Sinting singgah sebentar di dada gadis itu, mengagumi kemontokan dada si gadis dan membayangkan sesuatu yang menggelitik dalam hatinya. Namun bayangan itu segera dibuang jauh-jauh oleh Suto Sinting, karena ia tak ingin hatinya tergoda dan hanyut oleh tantangan dada gadis itu.

"Ada kalanya manusia mengalami kelengahan, ada kalanya manusia menemukan masa kejayaannya. Sayang waktu aku melawan Branjang Kawat kelengahanku tercuri olehnya, sehingga ia hampir saja merenggut nyawaku kalau aku tak segera larikan diri."

"O, begitu? Jelasnya kau tak bisa unggul melawan Branjang Kawat. Begitu saja singkatnya." Suto Sinting sengaja bicara dengan senyum seakan mengejek kekalahan gadis itu. Yang dilakukan oleh si gadis hanya tarik napas dan segera mengalihkan pembicaraan.

"Jelaskan apa maksudmu menghadang langkahku?!"

"Aku ingin tahu namamu, Nona Cantik," jawab Suto Sinting makin berkesan menggoda.

Hati gadis itu agak jengkel dan berusaha ditahannya kuat-kuat. "Untuk apa kau mengetahui namaku?"

"Karena aku mencurigaimu membawa lari ketiga sahabatku."

"Kecurigaanmu tidak benar!"

"Itulah sebabnya aku ingin tahu namamu karena aku ingin meminta maaf padamu," bujuk Suto Sinting dengan suaranya yang lembut dan punya daya pesona tersendiri.

"Namaku... Tembang Selayang."

"Ooh...?!" Suto Sinting terperanjat kaget bukan main. Ia segera ingat kata-kata Pinang Sari tentang nama anak perempuan dari Empu Tapak Rengat.

"Bukankah Pinang Sari mengatakan bahwa Empu Tapak Rengat hanya punya satu anak yang bernama Tembang Selayang?" pikir Suto Sinting. "Jadi, apa hubungan gadis ini dengan hilangnya ketiga sahabatku itu?"

* * *

EMPAT

ANGIN senja mulai berhembus ketika Pendekar Mabuk melangkah bersama Tembang Selayang. Arah tujuan mereka ke kaki Gunung Bunting. Mereka ingin temui Empu Tapak Rengat karena Pendekar Mabuk berbicara tentang pusaka Kapak Setan Kubur.

"Aku memang pernah dengar nama pusaka itu dari ayahku, tapi aku tidak pernah diserahi pusaka tersebut," kata Tembang Selayang. "Kata Ayah, Kapak Setan Kubur bukan miliknya. Suatu saat seorang sahabat menitipkan kepadanya, tapi sejak Ayah tidak mau membuat senjata lagi, tidak mau mempunyai senjata dan pusaka apa pun lagi, pusaka itu dikembalikan kepada pemiliknya."

"Siapa pemiliknya itu?"

"Aku tidak jelas, karena Ayah tidak sebutkan nama pemilik Kapak Setan Kubur itu. Karenanya ada baiknya kita temui ayahku saja dan kau bisa tanyakan sendiri padanya. Aku akan bicara dengan guruku tentang kebenaran adanya ilmu 'Mahkota Neraka' itu."

Gadis cantik itu bicara sambil sesekali pandangi wajah Suto Sinting, ia menyimpan perasaan kagum dan menyembunyikan getaran hati yang menggelitik keindahan dalam khayalnya. Pendekar Mabuk berlagak tidak tahu hal itu dan tetap memusatkan perhatian ke hal pembicaraan pusaka Kapak Setan Kubur itu.

"Menurutku kau jangan pergi menemui gurumu dulu. Bantulah aku mencari tempat tinggal ayahmu itu, kita dengar sendiri penjelasan dari beliau. Setelah itu, barulah kau dan aku menemui gurumu."

Tembang Selayang diam tak berucap kata apa pun. Pandangan matanya dilayangkan ke arah jauh. Pendekar Mabuk pun kembali ajukan tanya,

"Apakah kau keberatan dengan usulku?"

Tembang Selayang sunggingkan senyum tipis sambil gelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak keberatan. Hanya saja aku khawatir."

"Apa yang kau khawatirkan?"

"Aku khawatir kalau Ayah menduga aku pulang membawa calon suami."

Kini pemuda tampan murid si Gila Tuak yang ganti tertawa. Tak keras tapi punya daya tarik tersendiri. "Menurutmu," Suto mengalihkan perhatian. "... pusaka Kapak Setan Kubur itu memang ada atau tidak?"

"Memang ada, karena ayahku pernah memegang dan menyimpannya."

"Hmm..., pendapatmu itu sama dengan pendapat Darah Prabu dan Pinang Sari."

"Siapa mereka itu?!" Tembang Selayang menampakkan sikap asing terhadap kedua nama tersebut.

"Mereka adalah murid Nini Pucanggeni dan Resi Badranaya."

"Oh, ya! Nama Nini Pucanggeni pernah kudengar dan nama Resi Badranaya juga pernah kudengar. Kalau tak salah mereka adalah sahabat ayahku."

"Menurut pengakuan mereka memang begitu. Tapi si Tua Bangka tidak percaya kalau pusaka itu memang ada."

"Hmmm... siapa lagi si Tua Bangka itu?!"

"Bekas orang Kadipaten Balungan yang sudah dipecat dan ditangkap kembali dengan tuduhan mau memperkosa Istri Adipati. Padahal kenyataannya tidak demikian, ia dijatuhi hukuman mati karena dituduh mencuri pusakanya sang Adipati yang bernama Kapak Setan Kubur!"

"Oh...?!" Tembang Selayang agak bingung. "Apakah pusaka itu sudah pernah ada di tangan sang Adipati?!"

"Menurut si Tua Bangka, sang Adipati tidak pernah punya pusaka seperti itu. Tua Bangka yakin kalau sang Adipati hanya mengarang-ngarang cerita tentang pusaka, pada dasarnya hanya ingin melenyapkan Tua Bangka, sebab Tua Bangka tahu beberapa rahasia di dalam istana, termasuk jalan rahasia yang bisa tembus sampai ke pantai."

Tembang Selayang tarik napas dalam-dalam. "Agak memusingkan juga perkara pusaka itu. Hanya ayahku yang bisa menjawabnya dengan benar. Sayang waktu itu Ayah tidak bicara tentang ilmu 'Mahkota Neraka', sehingga aku perlu menanyakan kepada Guru akan hal itu. Agaknya Ayah tidak tahu adanya ilmu 'Mahkota Neraka' yang bisa bikin orang tak bisa mati itu."

"Yang kuherankan sekarang adalah, siapa orang yang menculik tiga sahabatku itu?! Apakah orang dari Kadipaten Balungan juga, atau dari pihaknya Gandapura? Sebab kekalahan Papan Rayap bisa membuat orang-orangnya Gandapura menjadi marah besar dan menuntut balas atas kekalahan itu."

Langkah mereka menuju ke Gunung Bunting terhenti oleh pemandangan yang menarik perhatian. Sesosok mayat mereka temukan tergeletak di rerumputan dalam keadaan hangus menjadi arang. Suto Sinting berdebar-debar karena menyangka mayat yang tak jelas bentuk dan rupanya itu adalah salah satu dari ketiga sahabatnya yang hilang.

"Jangan-jangan dia adalah Pinang Sari?!"

"Apakah kau yakin mayat ini adalah mayat seorang perempuan?"

"Hmm... sulit diyakini. Sama sekali tak bisa dikenali jenisnya; pria atau wanita? Tak ada sisa pakaian dan rambut sedikit pun."

"Aku yakin mayat ini adalah mayat lelaki."

"Dari mana kau tahu?"

"Tak ada sisa perhiasan menempel di raga hangus ini."

Suto Sinting manggut-manggut membenarkan dugaan Tembang Selayang. Mayat yang sudah tidak berasap sedikit pun itu benar-benar tak ubahnya dengan seonggok arang menyerupai orang meringkuk. Sangat sukar untuk dikenali ciri-cirinya. Tak ada senjata apa pun yang tertinggal di sekitar mayat hangus itu.

"Kalau mayat ini Pinang Sari, pasti trisulanya tertinggal, atau setidaknya ada bentuk arang yang menyerupai bentuk trisula. Demikian pula jika mayat arang ini adalah Darah Prabu, pasti pedangnya akan tertinggal membekas. Hmmm..."

"Bagaimana kalau sahabatmu yang satu itu? Siapa? O, ya si Tua Bangka Itu?"

"Tua Bangka...?!" Suto Sinting memegangi dagunya dengan memandangi mayat arang Itu. "Tua Bangka tidak bersenjata apa-apa. Mungkin juga mayat ini adalah mayat si Tua Bangka. Tapi... tapi apa iya Tua Bangka mati terbunuh sekejam ini? Siapa pelakunya? Mengapa Pinang Sari dan Darah Prabu tidak membelanya?!"

"Tunggu...!" tiba-tiba Tembang Selayang teringat sesuatu hingga nada bicaranya menyentak mengagetkan Pendekar Mabuk. "Aku ingat sesuatu, tentang cerita dari ayahku yang ada hubungannya dengan pusaka Kapak Setan Kubur itu."

"Penjelasan yang bagaimana?"

"Kapak Setan Kubur dapat untuk membakar hangus seorang lawan jika yang digunakan adalah kesaktian sinar biru kapak tersebut. Kata Ayah, sinar biru dari kapak itu akan membuat seorang lawan bagaikan disergap puluhan petir sehingga dalam sekejap saja akan menjadi arang hangus seperti mayat ini."

Suto Sinting agak menegang. "Maksudmu, kau akan mengatakan bahwa mayat ini adalah korban dari Kapak Setan Kubur?"

"Aku tak yakin begitu, tapi aku jadi teringat cerita Ayah tentang kesaktian kapak tersebut. Barangkali saja orang ini terkena sinar birunya Kapak Setan Kubur. Jika ia terkena sinar merahnya kapak pusaka itu tidak akan menjadi hangus, melainkan akan menjadi terpotong-potong sebanyak tiga puluh tiga bagian."

"Oh, jadi kapak itu bisa keluarkan dua sinar berbahaya?"

"Tiga sinar," tukas Tembang Selayang. "Satu lagi adalah sinar hijau dari kapak pusaka itu, bisa membuat lawannya mati tercabik-cabik seperti dicakar puluhan beruang ganas."

Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat, dalam keadaan berdiri melipat tangan di dada. "Hati kecilku mengatakan, bahwa mayat ini bukan Tua Bangka," kata Suto Sinting setelah merenung panjang. "Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Kita harus cepat sampai ke kaki Gunung Bunting sebelum hari menjadi gelap."

"Kita akan bermalam di perjalanan," kata Tembang Selayang. "Tak cukup waktu untuk tiba di pondok ayahku hanya dalam satu malam. Kita akan melewati Desa Panganbumi dan bermalam di sana. Aku tahu tempat penginapan di desa itu."

Desa Panganbumi adalah sebuah desa yang sudah cukup maju, karena letaknya hanya sehari semalam mencapai Kotaraja. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak yang menjadi pedagang hasil bumi ketimbang yang menjadi petani tulen. Mereka menjual panenan hasil bumi kepada orang Kotaraja. Bahkan belakangan ini lebih sering pedagang dari Kotaraja yang datang sendiri di Desa Panganbumi untuk membeli hasil bumi secara ijon; dibeli dengan harga murah sebelum waktunya panen.

Selewat petang perjalanan mereka tiba di desa tersebut. Sebenarnya Suto Sinting akan gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mempercepat langkahnya segera tiba di kaki Gunung Bunting sebelum petang tiba. Namun ia khawatir gadis cantik bermata tajam itu tertinggal, atau tak mampu mengimbangi gerak cepatnya, sehingga yang akan dialami Suto bukan tiba di kaki Gunung Bunting melainkan tersesat ke arah lain.

Memasuki desa itu, mereka disambut dengan peristiwa hiruk-pikuknya para penjudi dadu koprok. Mereka membentuk kelompok sendiri-sendiri dengan penerangan obor. Suasananya cukup ramai, bahkan ada suara gamelan berkumandang menghiasi irama malam.

"Ramai sekali desa ini?" gumam Suto Sinting sambil melangkah di samping Tembang Selayang.

"Biasanya tak seramai ini. Berarti ada yang punya hajat sehingga suasana desa menjadi seramai ini."

"Sepertinya dugaanmu memang benar. Ada yang punya hajat, karena kudengar ada suara gamelan berbunyi. Pasti ada tontonan di suatu tempat."

"Kita langsung menuju penginapan saja. Di sana juga ada kedai makan. Kau bisa mengisi bumbung tuakmu, Suto," kata Tembang Selayang yang sudah mengetahui siapa Suto Sinting sejak sebelum Suto menceritakan tentang Kapak Setan Kubur tadi.

Agaknya gadis itu sudah sering singgah di Desa Panganbumi. Ia banyak mengetahui beberapa tempat penting, seperti penginapan, rumah tabib, balai desa dan sebagainya. Bahkan ia juga mempunyai beberapa kenalan di desa tersebut. Ketika mereka masuk ke penginapan yang bagian bawahnya digunakan untuk membuka kedai makan, seorang lelaki muda berwajah polos menyapanya dengan ramah.

"Tembang Selayang, ahai... kenapa baru muncul sekarang? Dari mana saja kau?"

"Ada yang harus kukerjakan di tempat jauh, Wiraga."

Anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun dengan tampang polosnya itu berkata lagi sedikit pelan, "Adhiyasa mencarimu terus. Hampir setiap bertemu denganku menanyakan dirimu, Tembang Selayang."

Gadis itu hanya sunggingkan senyum kaku. Rupanya ia tak enak hati kata-kata tersebut ikut didengar oleh Suto Sinting, ia segera mengajak Suto untuk duduk di salah satu bangku kosong. Sementara itu, para pengunjung kedai lainnya sibuk dengan percakapan masing-masing.

Wiraga yang berpakaian serba biru dirangkap rompi merah tua itu segera mendekati tempat duduk Tembang Selayang, ia duduk di depan Tembang Selayang, sedangkan Pendekar Mabuk duduk di samping Tembang Selayang. "Adhiyasa ingin sekali jumpa denganmu, Tembang Selayang. Temuilah dia, tapi..."

"Sampaikan salamku saja kepada Adhiyasa jika kau bertemu dengannya."

"Kurasa kami akan lama tidak saling jumpa."

"Kenapa begitu?"

"Adhiyasa sedang pergi. Sudah dua purnama ini tak menampakkan batang hidungnya!"

"Pergi ke mana?" tanya Tembang Selayang pelan, seakan tak mau didengar Pendekar Mabuk.

"Kabarnya ia sedang memburu pusaka Kapak Setan Kubur."

"Hahh...?!" Tembang Selayang kaget. "Mengapa Adhiyasa memburu pusaka itu?"

"Ia diupah seseorang, ia ingin dapatkan upah tinggi, hasilnya akan dipakai untuk kawin."

"Edan-edanan dia itu!" gerutu Tembang Selayang dengan bersungut-sungut. "Apakah dia tahu di mana pusaka itu berada?"

"Kudengar ia sudah mendapat keterangan dari orang yang menyuruhnya, hanya saja ia tidak mau bilang padaku siapa orang yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Mulanya ia mencarimu karena ingin mengajakmu mencari pusaka itu."

Tembang Selayang tarik napas dalam-dalam. Ia diam dengan wajah cemberut. Entah apa artinya; mungkin kurang setuju dengan langkah Adhiyasa, mungkin juga jengkel karena tak bisa bertemu Adhiyasa. "Wiraga, pergilah sana dan biarkan aku bicara berdua dengan sahabatku ini."

"O, ya! Aku memang akan pergi. Mau nonton wayang."

"Siapa yang punya hajat?"

"Ki Lurah mengawinkan putrinya; Murda Rukmi."

Setelah itu Wiraga pergi. Ki Punjul, pemilik kedai dan penginapan yang sudah mengenal Tembang Selayang itu, segera datang melayani mereka berdua. Suto Sinting memesan tuak sebumbung penuh, dan tuak dalam poci kecil.

"Ki Punjul, aku butuh kamar untuk bermalam. Apakah masih ada kamar kosong?"

"Masih ada, Tembang. Kau bisa gunakan kamar di lantai atas. Nanti kusuruh pelayanku menyiapkan kamar untukmu. Agaknya kalian ingin berbulan madu, ya? He, he, he, he...!"

"Bulan madu...!" gerutu Tembang Selayang bersungut-sungut. Lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun itu dibiarkan pergi ke dapur sambil menghabiskan tawanya.

"Apa yang kuduga benar-benar terjadi; mereka akan sangka aku datang membawa kekasihku," ujar Tembang Selayang tanpa memandang Suto Sinting, namun sang pendekar tahu ucapan itu ditujukan padanya, ia hanya tertawa kecil dan memandangi orang-orang yang berkunjung ke kedai tersebut.

Sesaat kemudian Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan suara yang pelan dan berkesan hati-hati sekali agar tidak menyinggung perasaan gadis itu. "Siapa Adhiyasa itu, Tembang?"

"Sahabatku," jawab Tembang Selayang pelan tanpa ada kemarahan. Sepertinya ia masih memendam kedongkolan.

"Sahabat dekat atau sahabat jauh?" pancing Suto dengan mengulum senyum.

"Jangan cemburu."

"Lho, aku tidak cemburu. Jangan salah sangka. Aku hanya ingin tahu, sebab kudengar ia juga sedang memburu pusaka itu demi mengejar upah besar dari seseorang. Mungkin kau bisa memberitahukan padaku, siapa orang yang mengupahnya itu?"

"Aku tak tahu. Kami sudah dua purnama tidak saling jumpa. Dia adalah sahabatku, tapi... tapi dia sepertinya punya hati padaku, hanya saja aku tidak mau melayani maksudnya yang ingin mencintaiku."

"Aha...! Seharusnya kau melayaninya semasa kau menyimpan hati pula padanya."

"Cukup!" hardik gadis itu. "Aku tak ingin bicara soal itu," Ia semakin cemberut, tapi Pendekar Mabuk semakin cengar-cengir geli.

Setelah saling meneguk minuman dan menelan makanan, Pendekar Mabuk mulai membuka percakapan lagi dengan suara pelan bagaikan berbisik. Untuk itu duduknya lebih merapat lagi. "Murid siapa Adhiyasa itu?"

"Lima tingkat di bawahku."

"O, jadi kalian saudara seperguruan?"

"Ya. Tapi ketika aku meninggalkan perguruan, dia baru masuk, sehingga aku semula tidak tahu kalau ia juga murid dari Nyai Guru Guntur Ayu."

Pendekar Mabuk terkesiap pandangi Tembang Selayang. "Kalau begitu kau kenal dengan Dinada?!"

"O, ya. Aku kenal dengannya. Dinada atau Milasi adalah seangkatan denganku. Kami sama-sama keluar dari perguruan terutama setelah perguruan dipegang oleh Merak Cabul. Kami tidak sepaham dengan tujuan si Merak Cabul."

Pendekar Mabuk menggumam panjang danm anggut-manggut, terbayang wajah gadis cantik peniup seruling yang bernama Dinada. Ia jadi rindu ingin bertemu gadis itu. Terbayang pula kelincahan Dinada kala gadis itu mempermainkan Suto dengan serulingnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gelang Naga Dewa).

"Apakah dia kekasihmu?"

"Bukan. Kenapa nada pertanyaanmu penuh curiga?"

"Pemuda tampan sepertimu biasanya di mana-mana punya banyak 'demenan' alias gundik."

"Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa agak keras karena geli sekali mendengar kata-kata itu. Ia buru-buru menutup mulut setelah sadar bahwa saat itu ia berada di kedai, ia juga menjadi malu ketika orang-orang memperhatikan kearahnya.

Akibat tawa yang terlepas itu, seorang lelaki gemuk berkumis lebat dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala biru itu mendekati Suto Sinting. Lelaki bergelang bahar hitam itu menepuk pundak Tembang Selayang sambil berkata nakal.

"Tembang Selayang... rupanya kau sekarang punya pemuas dahaga semuda itu, hmm...?! Pantas aku tak pernah melihatmu. Wajahmu pucat sekali. Apakah dikurung terus oleh anak muda itu?"

Teebb...! Tembang Selayang mencekal tangan orang tersebut tanpa memandangnya. Wajahnya dingin dan ketus. "Jangan macam-macam padaku, Guci Kopong!"

Krraakk...! Terdengar seperti suara tulang patah. Guci Kopong meringis dengan mata terpejam. Mulutnya ternganga karena menahan rasa sakit.

"Ada yang ingin kau katakan lagi padaku?!" pertanyaan itu bernada datar dan dingin, tanpa diikuti pandangan mata ke arah orang yang ditanya.

Guci Kopong tak bisa menjawab karena genggaman tangan Tembang Selayang bagaikan kian meremukkan pergelangan tangannya. Pendekar Mabuk hanya memandanginya tanpa berbuat apa-apa. Senyumnya mekar di bibir, seakan menertawakan orang gemuk yang berlagak jagoan itu.

"Hei, lepaskan dia, Tembang!" seru orang berbadan agak kurus dari Guci Kopong. Orang berbaju kuning dan berkumis melengkung ke bawah itu segera melompat dari tempat duduknya ingin menyerang Tembang Selayang.

Suto Sinting segera sentilkan jarinya. Deess...! Tenaga dalam berkekuatan tendangan kuda jantan dilepaskan melalui sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Orang berbaju kuning langsung terbang kembali arah dan jatuh di atas meja.

Brakkk...!

"Uuhg...!" ia mendelik dan memegangi ulu hatinya bagaikan sukar bernapas.

Tembang Selayang bangkit dan menghentakkan sikunya ke belakang sambil lepaskan genggaman tangannya. Buuhg...!

"Heegh...!" Guci Kopong terpelanting ke belakang dan menabrak seorang pembeli lainnya yang sedang memunggunginya.

Brakkk...!

Tembang Selayang berbalik arah menghadapi lawannya, sedangkan Suto Sinting masih tetap duduk dengan santai. Satu kakinya ditumpangkan di bangku dalam keadaan setengah bersila, ia tersenyum-senyum memandangi kedua orang yang bermaksud cari gara-gara itu.

Guci Kopong tersiram kuah santan pada wajahnya, sedangkan orang berbaju kuning itu terkena sambal di bagian rambutnya. Mereka sama-sama berdiri dengan wajah masih menyeringai menahan rasa sakit. Tembang Selayang tahu, bahwa Suto Sinting tadi ikut membantunya menyerang orang berbaju kuning, sehingga ia berkata kepada orang itu dengan mata galaknya.

"Bawa kakakmu pergi dari sini dan jangan boleh menggangguku lagi, Pawang Kera!"

"Kau mematahkan tangan kakakku, Tembang Selayang! Aku harus membalas dengan mematahkan batang lehermu, Keparat! Hiaaah...!"

Baru saja si Pawang Kera menggerakkan tangannya membuka jurus keranya, tiba-tiba Suto Sinting sentilkan kembali 'Jari Guntur'-nya secara diam-diam. Deess...!

"Uhaaghh...!" Pawang Kera terbungkuk dan muntah ditempat membuat orang-orang menggerutu benci. Yang makan segera meninggalkan makanannya karena jijik. Kedua orang kakak-beradik itu akhirnya meninggalkan kedai setelah diperingatkan oleh orang-orang sekelilingnya.

"Sudah, pergi saja kalian! Bikin kacau di sini saja! Kami mau makan, bukan mau melihat orang berlagak jago!"

Di pintu menuju keluar, Guci Kopong berseru tinggalkan ancaman sambil menyangga tangan kanan yang remuk tulangnya itu. "Tunggu kalian di sini! Kami akan datang bersama ketua kami!"

"Panggil ketua perguruanmu!" tantang Tembang Selayang. "Kami tak takut. Kami menunggu di sini sampai esok pagi!"

"Awas kau, Tembang! Kau akan mati hangus dan menjadi arang atau terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian!" geram Guci Kopong, setelah itu ia ditarik oleh Pawang Kera agar segera pergi tinggalkan kedai.

Suasana tenang kembali. Tembang Selayang menyatakan bersedia mengganti kerugian atas kerusakan yang terjadi di situ. Tapi pemilik kedai berkata, "Tak perlu. Kau sudah mengusir mereka, aku sudah cukup berterima kasih. Sebab mereka kalau terlalu lama di sini, daganganku bisa habis tanpa ada uangnya. Mereka tak pernah mau bayar apa saja yang mereka makan di sini."

"Kita lanjutkan percakapan kita di kamar saja." ajak Tembang Selayang.

Suto Sinting tidak menolak, karena ia memang ingin melonjorkan badan agak santai sebentar. Pelayan yang mengurus persewaan kamar segera mengantarkan Tembang Selayang dan Suto Sinting ke kamar lantai atas. Penginapan itu mempunyai dua lantai dengan sepuluh kamar sewaan. Pada umumnya yang menyewa kamar di situ membawa perempuan malam atau gundik mereka, sehingga Suto agak kikuk dan tak enak hati karena ia tahu orang-orang itu menyangka Tembang Selayang adalah gundiknya. Tapi gadis itu lebih bersikap masa bodoh, sehingga Suto Sinting pun akhirnya ikut-ikutan bersikap demikian untuk menenangkan jiwanya.

"Siapa mereka berdua tadi, Tembang Selayang?!"

"Pawang Kera dan Guci Kopong. Mereka orang-orang Perguruan Monyet Sakti, ketuanya bernama: Dewa Beruk."

"Baru sekarang kudengar nama-nama mereka. Hmm... Dewa Beruk?" Suto menggumamkan nama itu seakan punyamakna tersendiri.

"Tak perlu kau risaukan mereka. Aku masih sanggup hadapi sepuluh orang Monyet Sakti! Ketua mereka sendiri ilmunya masih sejajar denganku."

"Bukan itu yang kupikirkan, tapi ancaman mereka."

Tembang Selayang sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan kekhawatiran Suto Sinting, ia segera merebahkan badan di atas dipan sebelum Suto menggunakan dipan itu.

"Jangan pikirkan ancaman itu. Biasanya mereka hanya besar mulut, jarang terbukti. Orang-orang Perguruan Monyet Sakti hanya banyak berkoar, di mana-mana meninggalkan sesumbar dan ancaman, tapi ilmu mereka sebenarnya sangat kecil."

Suto Sinting tersenyum dekati Tembang Selayang, ia berdiri di samping dipan menatap gadis yang berbaring dengan pedang didekap di dadanya. "Sial. Hatiku deg-degan memandang ia berbaring begini?!" gerutu Suto dalam hati, tapi di mulutnya ia berkata lain.

"Aku tak takut pada ancaman mereka. Tapi aku menemukan kejanggalan yang perlu kita pikirkan."

"Kejanggalan apa?"

"Guci Kopong tadi bilang, akan datang memanggil ketuanya dan seakan ketuanya sanggup membuat kita mati hangus menjadi arang atau terpotong tiga puluh tiga bagian."

"Itu sesumbarnya saja."

"Mungkin memang benar. Tapi dari mana ia bisa sesumbar begitu kalau bukan karena ia pernah melihat bukti? Dan siapa orang yang bisa bertindak begitu jika bukan orang yang memiliki Kapak Setan Kubur?!"

Tembang Selayang diam sebentar merenungkan, tiba-tiba ia tersentak bangkit dan menatap tegang kepada Suto Sinting. "Benar juga! Berarti pusaka Kapak Setan Kubur ada di tangan Dewa Beruk?!"

Suto Sinting hanya angkat bahu dengan senyum tipisnya.

* * *

LIMA

PERGURUAN Monyet Sakti terletak di lereng Gunung Bunting sebelah barat. Jika ingin ke sana harus melewati kaki Gunung Bunting, yang berarti harus melewati pondok tempat tinggal Empu Tapak Rengat. Sebelum membuktikan apakah pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk, Suto Sinting sangat setuju untuk tetap singgah dan temui ayah Tembang Selayang seperti rencana semula. Perjalanan ke kaki Gunung Bunting memakan waktu kurang dari seperempat hari. Suto Sinting menggerutu dan berkata,

"Kalau tahu tidak sejauh ini, mendingan tadi malam kita lanjutkan perjalanan, tak perlu bermalam di penginapan Ki Punjul."

"Naluriku menghendaki begitu, dan ternyata kita akan memperoleh tanda-tanda siapa pemegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Coba kalau kita tidak bermalam di desa itu, kita tidak bertemu Guci Kopong dan Pawang Kera, sehingga tidak mempunyai bayangan siapa pemegang pusaka tersebut?"

"Benar juga," jawab Suto akhirnya menyerah dalam perdebatan itu. "Tapi ada satu hal yang membuatku merasa janggal tentang dirimu."

"Tentang hubunganku dengan Adhiyasa?! Oh, kau masih tak percaya kalau aku tidak mencintai Adhiyasa?"

"Bukan soal itu, Manis," kata Suto dengan tersenyum geli. Lalu ia tampak bersungguh-sungguh dalam ucapannya. "Kau mengatakan bahwa gurumu adalah Nyai Guntur Ayu, kau satu perguruan dengan Dinada."

"Benar. Apakah kau tak percaya?"

"Bukan soal tak percaya. Tapi kau bilang akan bertanya pada gurumu tentang ilmu 'Mahkota Neraka'."

"Memang, karena guruku banyak tahu tentang ilmu-ilmu kelas tinggi itu."

"Tapi bukankah Nyai Guntur Ayu sudah meninggal?"

"Ya, memang sudah meninggal."

"Lalu, bagaimana kau mau bertanya kepada orang yang sudah meninggal? Aku merasa janggal membayangkannya."

Tembang Selayang sunggingkan senyum tipis berkesan meremehkan pertanyaan itu. Tetapi ia segera bicara dengan sungguh-sungguh tanpa ada kesan membohongi Pendekar Mabuk. "Hanya aku murid dari Nyai Guru Guntur Ayu yang bisa bicara dengan makam Guru, karena akulah satu-satunya murid yang berhasil pelajari ilmu 'Roh wicara'. Murid lainnya tidak berhasil pelajari ilmu itu. Bahkan anak Nyai Guru sendiri; Aswarani, tidak bisa kuasai ilmu 'Roh wicara'itu."

"Aswarani...?! Maksudmu si Anak Petir itu?!"

"Ya. Dia adalah putri tunggal Nyai Guru Guntur Ayu. Kau pernah kenal dia?"

"Pernah," jawab Suto Sinting, tak lanjutkan penjelasannya. Suto tak ingin ceritakan bahwa Anak Petir yang menjadi perempuan sesat itu telah mati di tangannya dalam satu pertempuran, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gelang Naga Dewa).

Percakapan mereka terhenti karena mata mereka memandang kepulan asap di balik kerimbunan hutan. Kepulan asap itu membubung tinggi berwarna hitam. Tembang Selayang menjadi tegang dan berkata dengan suara gemetar, "Ada kebakaran di sana. Padahal di sana adalah pondok kediaman ayahku?! Adakah sesuatu yang terjadi terhadap ayahku?!"

"Cepat kita ke sana!" seru Suto Sinting, kemudian ia melesat lebih dulu. Separo kecepatan dari jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan, sehingga kecepatannya bisa sejajar dengan kecepatan gerak Tembang Selayang. Tapi ternyata gadis itu bergerak lebih cepat lagi, sehingga Suto perlu menambah kecepatan geraknya supaya tetap sejajar. Mereka terperangah ketika tiba di suatu ketinggian lereng dan memandang ke bawah. Sebuah rumah gubuk terbakar dengan kobaran api membubung tinggi.

"Ayaaaah...!" teriak Tembang Selayang memandang tiga orang yang sedang menghajar lelaki tua berbadan kurus dengan kain selempang sebagai ganti pakaiannya yang berwarna putih lusuh itu. Orang tua berambut abu-abu dengan usia sekitar enam puluh tahun itu tak lain adalah Empu Tapak Rengat.

Kemudian terdengar suara gadis itu mengalunkan tembang yang lembut mendayu-dayu dengan suaranya yang jernih dan berkesan teduh.

"Awan putih ditelan mendung. Matahari diam membisu seribu kata. Dewa-dewa palingkan muka tak mau bicara. Awan putih hancur di ujung gerhana. Adakah damai di atas sana yang mampu mengusir petaka. Bidadari suci menitikkan kebeningan dari celah duka. Karena tiada tangan yang menggapai menolongnya."

Suara lembut itu bagaikan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Matahari yang memancarkan sinarnya dengan terang menjadi redup. Kobaran api pun kian menyusut. Pertarungan di bawah sana menjadi terhenti, mereka saling bungkam dan membisu, diam tertunduk seakan meresapi syair tembang yang mengalun lembut menggores hati.

Tak berbeda halnya dengan Pendekar Mabuk yang juga menunduk. Hatinya menjadi sedih, terbayang masa anak-anaknya yang menyedihkan. Terbayang wajah ayahnya yang tersiksa oleh kekejaman orang-orangnya Kombang Hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).

"Celaka! Aku hampir menangis dicekam masa lalu yang amat menyedihkan. Mengapa aku jadi membayangkan peristiwa itu? Oh, syair tembang dan suara merdunya ternyata mempunyai kekuatan yang melumpuhkan hati orang yang mendengarnya. Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku harus mengimbangi dengan menjaga pernapasanku agar teratur dan memusatkan perhatianku pada musuh bebuyutan: Siluman Tujuh Nyawa," pikir Suto Sinting.

Ternyata tiga orang yang menyerang Empu Tapak Rengat itu juga mengalami hal yang sama dengan Pendekar Mabuk. Teringat masa-masa yang amat menyedihkan, kenangan masa anak-anak atau pun peristiwa duka apa saja kembali bermunculan dalam ingatan mereka. Suara dan syair tembang itu ternyata mampu menggugah ingatan duka masa lalu bagi siapa pun yang mendengarnya.

Tiga orang berambut pendek dengan usia rata-rata empat puluh tahun itu akhirnya terisak-isak. Mereka menangis dan tak mampu menahan air matanya. Ada yang langsung terduduk di tanah dan tersengguk-sengguk, ada yang sambil berdiri, ada pula yang hanya sekadar jongkok dan meraung-raung ingat kematian ibunya.

"Huaaa.... Huaaa.... Ibuuu... kenapa kau tinggalkan aku sendirian, Ibuuu...!" orang berbaju merah itu meraung-raung bagaikan baru saja Ibunya meninggal di depan mata.

Nyala api yang semula berkobar semakin lama semakin surut dan akhirnya padam. Angin berhembus agak kencang, dan matahari tertutup mega hitam hingga suasana mendung tercipta saat itu juga. Alunan suara Tembang Selayang ternyata mampu mempengaruhi alam, sehingga dedaunan pun menjadi layu dan udara membawa embun dingin yang terasa membasah di kulit tubuh manusia.

Empu Tapak Rengat juga tertunduk dalam sikap duduknya yang bersila. Agaknya ia pun dicekam duka karena terkenang kematian istrinya yang menjadi tumbal sebuah pusaka miliknya itu. Namun agaknya Empu Tapak Rengat mengetahui kehadiran duka itu tidak sewajarnya, sehingga ia mencoba melawannya dengan lakukan semadi seadanya.

"Hentikanlah tembangmu, mereka telah berhenti menyerang ayahmu!" bisik Suto Sinting yang menjadi tegar karena menenggak tuak agak banyak.

Wuusss...! Tembang Selayang melompat menuruni lereng dengan lincah, kakinya menapak dari atas batu yang satu ke batu lainnya dalam jarak lebar. Pendekar Mabuk hanya gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlapp...! Tahu-tahu sudah ada di depan tiga orang berambut pendek yang sedang menangis itu. Kejap berikutnya barulah Tembang Selayang tiba di tempat tersebut, ia langsung menghajar ketiga orang itu dengan gerakan cepatnya.

Plak, plok, duhg, prakkk, bruss...!

Tiga orang yang sedang menangis menjadi semakin mengerang karena kesakitan. Dukanya hilang tapi rasa sakitnya datang mengejutkan sekali. Mereka segera bangkit satu persatu dengan murkanya. Mata mereka saling memandang Tembang Selayang yang berdiri tegar, seakan tak mudah ditumbangkan.

"Keparat perempuan itu! Habisi dia!" teriak yang berpakaian hitam. Maka kedua orang yang berpakaian merah dan abu-abu itu segera menerjang Tembang Selayang.

"Heeaaahh...!"

Blarrr...!

Rupanya gadis itu tak mau membuang waktu menunda dendam. Kedua telapak tangannya disentakkan ke depan secara bersamaan, dan melesatlah sinar biru menghantam tubuh mereka masing-masing.

Brrruuss...! Gusrakk...!

Kedua orang itu terkapar dengan kulit tubuh mengelupas merah. Mata mereka terbelalak tak bisa berkedip dengan mulut ternganga bagaikan mencari udara untuk ditelannya. Kejap berikutnya tubuh-tubuh yang mengejang itu akhirnya terkulai lemas dan napas mereka pun lenyap saat itu juga.

"Bangsat kau!" teriak orang yang berpakaian hitam. "Kau harus menebus nyawa dua rekanku dengan nyawamu dan nyawa si tua peot itu!" ia menuding Empu Tapak Rengat.

Orang berpakaian hitam itu mencabut goloknya dan memutar-mutarkan dengan cepat. Kilatan cahaya putih perak sesekali tampak melesat dari putaran golok di atas kepala tersebut. Kilatan cahaya putih perak itu menyambar tubuh Tembang Selayang. Namun gadis itu menghindarinya dengan melompat ke sana kemari dengan licah, sampai akhirnya berada di belakang orang berbaju hitam. Sebuah tendangan samping diarahkan ke punggung orang berbaju hitam.

Wuuttt...! Duhhgg...!

"Heeegh...!" orang itu terpekik keras dan tersentak sampai terjungkal ke tanah.

Suto Sinting tersenyum kagum, karena ia tahu tendangan itu punya kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Terbukti lawan yang terkena tendangan Tembang Selayang itu langsung mengerang dengan mata mendelik dan wajahnya menjadi biru legam. Memang aneh, yang ditendang punggungnya yang biru legam wajahnya. Itulah pemusatan tenaga dalam yang disalurkan melalui telapak kaki Tembang Selayang. Tendangan itu cukup berat, sang lawan tak bisa menahannya, sampai akhirnya semburkan darah dari mulutnya.

Brruusss...! Sekitar empat helaan napas, orang itu pun tak berkutik lagi. Diam tanpa napas tanpa nyawa.

"Ayah...!" seru Tembang Selayang, ia bergegas hampiri Empu Tapak Rengat yang masih duduk bersila di tanah dengan kepala tertunduk.

"Ayah, aku datang...! Aku yang datang, Ayah...!" gadis itu berlutut di hadapan ayahnya.

Suto Sinting memperhatikan penuh curiga kepada Empu Tapak Rengat yang membiarkan kedatangan anaknya. Beberapa saat kemudian, Suto Sinting segera berseru kepada Tembang Selayang. "Dia terluka berat bagian dalamnya!"

Tembang Selayang terperanjat, ia segera mengangkat wajah sang Ayah. Ternyata wajah itu bukan saja pucat pasi melainkan biru bagaikan mayat yang hampir membusuk. "Ayaaaah...!" seru Tembang Selayang sambil mendekap tubuh sang Ayah.

Pendekar Mabuk bergegas memeriksanya sesaat, tanpa pedulikan tangis Tembang Selayang. "Baringkan di tempat teduh!" kata Suto. "Kurasakan denyut nadinya masih ada."

Pukulan tenaga dalam yang mengandung racun telah kenai bagian dada Empu Tapak Rengat. Terlambat sedikit saja, nyawa sang Empu akan melayang. Untung Suto Sinting bergerak cepat dan berhasil meminumkan tuak ke mulut Empu Tapak Rengat dengan dibantu Tembang Selayang. Beberapa saat kemudian, Empu Tapak Rengat tersedak dan terbatuk-batuk. Itulah tanda kesadarannya pulih kembali, tapi kekuatannya belum seberapa pulih.

"Biarkan ia berbaring dulu, biar tenaganya terkumpul kembali," ujar Suto Sinting.

Tembang Selayang masih menangis dalam kecemasan. Suto Sinting menghiburnya. Karena jaraknya cukup dekat, maka Tembang Selayang pun jatuhkan kepala ke dada Pendekar Mabuk, kemudian ia dipeluk dan diusap-usap rambutnya oleh sang pendekar tampan itu.

"Tenangkan hatimu. Ayahmu selamat. Sebentar lagi akan bisa kita ajak bicara. Tenanglah, Tembang Selayang"

Pondok sang Empu terbakar habis. Sisanya berupa bangunan hitam yang tak bisa digunakan lagi. Tembang Selayang menatap dengan hati duka. Iba terhadap nasib sang Ayah yang hidup menyendiri tanpa istri dan anak, karena Tembang Selayang jarang pulang menjenguk orang tuanya.

"Kalau saja kedua kakakku masih hidup, tentu Ayah tidak akan sendirian dalam menjalani masa tuanya. Sayang kedua kakakku meninggal dalam usia masih bocah, sehingga Ayah hidup sendiri dan aku tak bisa menungguinya."

"Mulai sekarang menetaplah bersama ayahmu, agar beliau ada yang merawatnya di masa tua ini."

"Ya, baru saja hatiku mengatakan begitu. Aku ingin menetap dengan Ayah. Tapi agaknya aku harus mendengar dulu keterangan dari Ayah tentang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Aku penasaran sekali, dan tak ingin pusaka itu jatuh di tangan Dewa Beruk."

Empu Tapak Rengat ternyata mempunyai garis tangan seperti tanah yang retak. Barangkali karena garis tangan yang lebar dan sangat jelas dilihat itulah maka ia berjuluk Empu Tapak Rengat. Orang berjenggot pendek abu-abu tanpa kumis itu sudah dalam keadaan sehat berkat tuak saktinya Pendekar Mabuk. Mereka berbicara di bawah pohon rindang yang mempunyai batu setinggi lutut orang dewasa. Sang Empu duduk di sana, sementara Tembang Selayang bersila di rerumputan. Pendekar Mabuk berdiri dua langkah ke samping kanan Tembang Selayang.

"Rupanya dunia persilatan sekarang sedang dilanda geger pusaka Kapak Setan Kubur," kata kakek yang kepalanya mengenakan sorban putih itu."

"Memang benar, Ayah. Justru aku dan Pendekar Mabuk datang kemari untuk menemui Ayah dan menanyakan tentang kebenaran pusaka tersebut," kata Tembang Selayang. "Tapi terlebih dulu aku ingin mengetahui, siapa tiga orang yang menyerang Ayah dan membakar pondok itu?"

"Mereka orang-orang bayaran. Mereka disuruh mencari pusaka Kapak Setan Kubur dengan upah yang tinggi. Entah siapa yang memberitahukan kepada mereka, yang jelas mereka tahu bahwa aku pernah menyimpan pusaka itu. Lalu mereka mendesakku dengan kasar, dan aku mencobanya melawan karena merasa tidak bersalah."

"Siapa yang mengupah mereka bertiga itu, Ayah?"

"Adipati Janarsuma."

Jawaban itu mengejutkan Tembang Selayang dan Pendekar Mabuk. Mereka berdua saling pandang dengan dahi berkerut.

"Aku sendiri tidak tahu persis, yang mana yang bernama Adipati Janarsuma itu," kata Empu Tapak Rengat. "Yang jelas orang itu sangat membutuhkan pusaka tersebut. Kalau tidak, ia tidak akan mengirimkan orang bayaran untuk mencari pusaka Kapak Setan Kubur."

"Apakah pusaka itu memang ada, Ki?" tanya Pendekar Mabuk.

"Memang ada, dan aku pernah menyimpannya!" jawab Empu Tapak Rengat dengan tegas dan jelas. "Pusaka itu berupa kapak dengan tiga mata, kanan-kiri dan ujung depan. Panjangnya hanya sekitar dua jengkal, mata kapaknya pun tak seberapa lebar, terbuat dari logam emas. Tangkainya terbuat dari perak ukir. Ujung bawah tangkainya itu berlubang."

"Seperti pipa, begitu?"

"Benar. Dan jika lubang itu ditiup dengan kekuatan tenaga dalam, maka mata kapak itu akan terbang sendiri-sendiri memburu mangsanya, lalu hinggap kembali ke tempat semula jika sudah kenai lawan."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dan tampak senang sekali mendengar keterangan tersebut. Tembang Selayang diam memandangi ayahnya dengan rasa kagum terhadap kapak pusaka itu.

"Karena ukurannya tak seberapa besar, dan tangkainya dari logam kosong, maka kapak pusaka itu sangat ringan dan mudah dibawa ke mana-mana. Tetapi jika ditebaskan dari atas ke bawah, maka dalam jarak sejauh dua puluh tombak pun masih bisa keluarkan sinar merah menyerang lawan. Orang yang terkena sinar merah itu akan terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian."

"Hebat sekali?!" gumam Suto Sinting semakin yakin lagi dengan keterangan Tembang Selayang saat di perjalanan kemarin.

"Jika kapak ditebaskan dari kiri ke kanan, akan keluarkan sinar biru yang dapat membuat lawan mati hangus menjadi arang dalam sekejap. Jika ditebaskan dari kanan ke kiri, akan keluarkan sinar hijau yang membuat lawan mati dalam keadaan tercabik-cabik mengerikan. Jika lawan hanya tergores oleh salah satu mata kapak, maka lukanya tidak akan sembuh dengan obat apa pun dan tubuhnya akan cepat membusuk karena racun pada mata kapak itu."

"Sebenarnya siapa pemilik pusaka itu, Ayah?" tanya sang gadis bertahi lalat di bibir atas yang membuat ia kelihatan semakin cantik dan manis.

"Pemilik aslinya adalah Ratu Rias Pundi, beliau penguasa Pulau Singkang, yang sekarang menjadi seorang pertapa di Gunung Parang. Pusaka itu adalah warisan Eyang sang Ratu. Tetapi karena sekarang Ratu Rias Pundi sudah menjadi pertapa, maka pusaka itu dipercayakan kepada adiknya. Adiknya itu adalah sahabatku, bernama Sanupati, tinggal di..."

Tiba-tiba sekelebat sinar putih hampir menyatu dengan sinar matahari berkelebat menghantam pinggang Suto Sinting. Dess!

"Uhhg...?!" Suto tersentak dengan mata mendelik, kemudian jatuh terkulai tak sadarkan diri. Brrukk!

"Suto...?!" pekik Tembang Selayang dengan wajah tegang. Tembang Selayang baru mau bergerak, tiba-tiba sinar putih melesat lagi, nyaris tak terlihat bentuknya karena menyatu dengan cahaya matahari. Slapp...! Dess !

"Aaahg...!" Tembang Selayang mengejang karena terhantam sinar yang mirip cermin terkena pantulan sinar matahari itu. Akibat punggungnya terkena sinar putih, Tembang Selayang terkulai tak sadarkan diri.

Tentu saja Suto Sinting tidak dapat lakukan apa-apa, karena ia dilumpuhkan lebih dulu oleh si penyerang gelap itu. Untuk beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk bagaikan cucian basah yang tanpatulang sedikitpun. Ia menjadi siuman ketika hari menjelang senja. Hembusan angin senja yang merontokkan dedaunan membuatnya tergugah dari masa pingsannya, ia segera bangkit dengan badan terasa lemas sekali.

"Empu...! Empu Tapak Rengat?!"

Wajah tegang Suto Sinting lebih mirip orang yang baru saja bangun tidur, ia bingung mencari Empu Tapak Rengat telah menghilang dari tempat duduknya di atas batu setinggi lutut itu. Tetapi tak jauh darinya masih tampak utuh Tembang Selayang terkulai belum sadarkan diri. Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya. Glek, glek, glek, glek...! Badannya terasa segar kembali. Kekuatan dan tenaga bagaikan pulih secara berangsur-angsur.

Kemudian ia segera menyadarkan Tembang Selayang dengan tuaknya juga. Gadis itu segera menegang ketika mengetahui bahwa sang Ayah sudah tidak ada di tempat, ia bergegas mencari ke berbagai tempat sekitarnya, tapi sang Ayah tetap tidak ada. Pendekar Mabuk pun gagal mencari sang Empu walau sempat mengacak-acak reruntuhan pondok yang hangus itu.

"Ayahku pasti diculik oleh si penyerang kita tadi!" geram Tembang Selayang.

"Kurasa memang begitu. Kita dilumpuhkan, tapi ayahmu dibawanya lari entah dengan cara bagaimana."

"Kurang ajar! Kuhabisi nyawa orang itu kalau sampai beradu muka denganku!" geram sang gadis semakin kuat. Kedua tangannya mengepal kencang, giginya menggeletuk penuh dendam.

Setelah sama-sama diam sesaat, tiba-tiba Suto Sinting punya gagasan baru dan segera berkata kepada Tembang Selayang. "Kau mau ikut aku ke Kadipaten Balungan?"

Tembang Selayang kerutkan dahi. "Maksudmu, Adipati Janarsuma yang menculik ayahku?"

"Utusannya yang melakukan penculikan itu!" tegas Suto. "Tentunya sang Adipati yakin betul bahwa pusaka itu ada ditangan ayahmu dan disembunyikan disuatu tempat, sehingga karena ayahmu tidak bisa dibujuk dengan cara apa pun, maka ia menculiknya. Tentunya sang Adipati dapat bertindak semaunya sendiri terhadap ayahmu selama ayahmu ada dalam tawanannya. Yang penting ia harus membuat ayahmu mengaku di mana pusaka itu disembunyikan!"

"Keparat! Kalau begitu ayahku akan disiksa oleh sang Adipati?!"

"Besar kemungkinan begitulah kira-kiranya. Kalau kita tak bergerak cepat, ayahmu bisa jadi korban salah sasaran. Sang Adipati pasti belum tahu bahwa Kapak Setan Kubur sudah di tangan Dewa Beruk."

Tembang Selayang menenangkan diri, mengatur pernapasannya yang dibakar api kemarahan. Setelah diam beberapa saat, suaranya pun diperdengarkan kembali. "Apakah kau yakin pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk yang ilmunya tak seberapa tinggi itu?"

"Firasatku mengatakan demikian."

"Kalau begitu aku akan ke Perguruan Monyet Sakti untuk mengambil Kapak Setan Kubur dan kuserahkan kepada Adipati Janarsuma sebagai tebusan mengambil ayahku!"

"Hmmm... kalau begitu aku ikut kau dulu ke sana. Kita hadapi bersama si Dewa Beruk kalau benar ia menggunakan kapak pusaka itu untuk melawan kita."

Pendekar Mabuk berpikiran begitu karena ia khawatir akan keselamatan Tembang Selayang; si cantik berdada sekal itu. Dalam bayangan Suto, jika memang kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, maka Dewa Beruk akan menggunakannya untuk melawan siapa saja yang ingin merampas kapak pusaka tersebut. Dan keyakinan Suto mengatakan, bahwa Tembang Selayang akan celaka jika berhadapan dengan lawan yang bersenjata kapak pusaka itu. Tanpa banyak berunding lagi mereka segera berkelebat menuju lereng gunung tersebut yang menghadap ke arah barat.

"Cari jalan terdekat agar sebelum petang tiba kita sudah sampai di perguruan itu!" kata Suto Sinting kepada Tembang Selayang.

Namun mendadak langkah mereka terhenti karena Suto terpekik melihat ke arah lembah sebelah kanannya. "Tunggu...! Siapa itu yang terkapar di sana!"

Tembang Selayang kerutkan dahi menatap ke arah lembah.

* * *

ENAM

ORANG yang terkapar itu kenakan pakaian abu-abu, rambutnya putih, badannya kurus dan gigi depannya tinggal dua. Pendekar Mabuk segera terperanjat pandangi tubuh yang terkapar itu.

"Tua Bangka...?!" serunya sambil lebih mendekat lagi, Tembang Selayang mengikuti dari belakang.

Tua Bangka terengah-engah bagaikan baru sadar dari pingsannya. Mulutnya ingin ucapkan sesuatu tapi tak mampu. Badannya lemas, mengangkat salah satu tangan pun bagaikan tak mampu lagi. Wajah tua itu menghiba hati Suto dan Tembang Selayang.

"Beri dia minuman tuakmu biar tenaganya pulih!" ujar Tembang Selayang, sepertinya mengingatkan Pendekar Mabuk yang tertegun mematung pandangi si Tua Bangka itu.

Setelah terbatuk-batuk karena terlalu banyak menenggak tuak, Tua Bangka mulai kelihatan sehat. Matanya dikerjap-kerjapkan seakan membuang kerabunan pandangannya.

"Tua Bangka, apa yang terjadi pada dirimu?"

Tua Bangka pandangi Suto Sinting dengan mata sedikit menyipit dan mulut melongo bagaikan linglung.

"Aku Suto...! Suto Sinting! Masih ingat?" seraya Suto Sinting menepuk-nepuk dadanya.

"Ooh... oh, kau...? Kau Pendekar Mabuk? Oooh... syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi, Suto! Jangan jauh-jauh lagi dariku, Suto. Aku takut...! Takut sekali," wajah Tua Bangka berubah tegang.

"Takut kepada siapa?! Katakan yang sebenarnya, Tua Bangka!" desak Pendekar Mabuk masih jongkok di depan Tua Bangka yang duduk ditanah.

"Orang itu... orang yang tadi itu..."

"Yang mana? Apakah tadi ada orang lewat sini?"

Tua Bangka mengangguk seperti anak kecil. "Tadi dia memergokiku dan membantingku di sini, lalu lalu habis dibanting ditinggal pergi begitu saja, tidak ditolong, tidak diapa-apakan. Ooh... orang itu jahat sekali, Suto!"

"Bagaimana ciri-ciri orangnya?!" tanya Tembang Selayang.

"Orangnya... kurus, tua, rambutnya abu-abu memakai... memakai kain sorban putih. Pakaiannya... hanya kain putih dililitkan lalu diselempangkan ke pundak kiri."

"Berjenggot pendek warna abu-abu pula?" tanya gadis itu ikut penasaran.

"Iya, iya... betul. Berjenggot pendek dan tidak punya kumis."

"Tak mungkin!" tiba-tiba Tembang Selayang menyentak dan menarik diri. Ia memalingkan wajah dengan rona kebingungan.

"Mengapa kau bilang tak mungkin? Apakah kau tahu ciri-ciri orang tersebut?"

"Tentu saja tahu. Itu ciri-ciri ayahku."

Suto Sinting tertegun sesaat membayangkan Empu Tapak Rengat, kemudian angguk-anggukkan kepala sambil menggumam lirih.

"Hmmm... ya, ya... itu memang ciri-ciri ayahmu."

"Tapi tak mungkin Ayah lakukan tindakan sekasar itu kepada orang setua ini?!" sangkal Tembang Selayang.

Suto Sinting jadi bingung sendiri, sebab menurutnya Empu Tapak Rengat memang tak mungkin bersikap kasar terhadap orang seusia Tua Bangka itu. "Pinang Sari dan Darah Prabu bagaimana?!" tanya Pendekar Mabuk kepada Tua Bangka.

"Mereka... mereka... entahlah. Sejak aku dihantam dari belakang oleh seseorang, aku tak ingat apa-apa lagi. Aku sadar sudah berada di dalam sebuah gubuk. Kemudian mataku ditutup dengan kain hitam, mulutku disumbat, dan aku segera ditotok. Setelah ditotok dibawa pergi entah ke mana," tutur Tua Bangka seperti anak kecil mengadu kepada kakaknya.

"Apakah yang menotok dan yang membawamu pergi orang berciri-ciri seperti tadi?"

"Iiy... Iya! Orang berjenggot pendek abu-abu itu! Kurasa dia pula yang memukulku saat kau mengejar orang yang membunuh pemuda berompi hitam itu, Suto."

"Aku tak percaya," gumam Tembang Selayang dengan pelan menandakan ia sendiri merasa ragu terhadap rasa tidak percayanya itu.

"Apa maksud orang yang membawamu kemari itu?" tanya Suto Sinting.

"Dia sangka aku orang Kadipaten Balungan. Dia menduga aku abdinya sang Adipati Janarsuma. Dia ingin membunuhku. Tapi setelah kujelaskan bahwa aku sendiri hampir mati digantung oleh sang Adipati, ia tak jadi membunuhku. Tapi ia membantingku dengan jengkel di sini sampai aku tak bisa bernapas beberapa saat, lalu aku pingsan. Orang itu sendiri pergi, entah ke mana perginya aku tak tahu, sebab aku pingsan."

Suto Sinting semakin bingung. Pertama-tama dilihatnya Empu Tapak Rengat bertarung melawan tiga orang bayaran yang diutus oleh Adipati Janarsuma. Kemudian sang Empu akhirnya hilang setelah Suto dan Tembang Selayang terkena pukulan dari tempat tersembunyi. Ketika Suto siuman, sang Empu sudah lenyap. Padahal menurut Suto yang menghantamnya dari tempat persembunyian bukan sang Empu sendiri. Lalu, sekarang ditemukan Tua Bangka mengaku mau diserahkan kepada sang Adipati, dan akhirnya dibanting dengan jengkel setelah Tua Bangka mengaku sebagai buronan sang Adipati Janarsuma.

"Lalu, apa maksud Empu Tapak Rengat sebenarnya?" pikir Pendekar Mabuk dalam renungannya. "Ada di pihak mana sebenarnya Empu Tapak Rengat itu?"

Tembang Selayang tak enak hati melihat Suto termenung, ia yakin yang direnungkan adalah ayahnya, ia yakin Suto Sinting bercuriga buruk kepada ayahnya. Se dangkan ia sendiri juga punya pertanyaan yang membingungkan tentang ayahnya itu. Akhirnya Tembang Selayang berkata kepada Suto Sinting.

"Sebaiknya kau urus dulu orang tua ini. Biarkan aku datang sendiri ke Perguruan Monyet Sakti untuk merebut Kapak Setan Kuburitu."

"Jangan gegabah dulu. Persoalannya agak meleset dari perkiraan kita. Ternyata ayahmu tidak diculik oleh sang Adipati."

Tembang Selayang diam, seakan mengakui bahwa ayahnya memang tidak diculik oleh orang utusan sang Adipati. Tapi ia tidak mempunyai keputusan apa pun karena dicekam oleh kebimbangan bertindak.

Pendekar Mabuk berkata lagi, sementara Tua Bangka hanya menjadi pendengar yang sesekali memandang jauh karena takut diserang seseorang lagi. "Kau dengar sendiri kata-kata ayahmu, bahwa pusaka itu sebenarnya milik Ratu Rias Pundi. Kemudian sang Ratu menjadi pertapa, dan pusaka itu diserahkan kepada adik sang Ratu yang bernama Sanupati. Sang Ratu adalah penguasa Pulau Singkang. Jadi, sekarang langkah kita adalah pergi ke Pulau Singkang mencari Sanupati, si pemilik pusaka tersebut."

"Tapi tadi kau yakin kalau pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, ketua Perguruan Monyet Sakti?! Kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Bukan berubah," tegas Suto Sinting. "Kita perlu tanyakan di mana letak kelemahan pusaka itu. Jika kita sudah mengetahui kelemahan pusaka itu, kita dapat melawan Dewa Beruk yang bersenjata kapak pusaka itu!"

"Terlalu membuang waktu!" sahut Tembang Selayang. "Ingat, pihak Kadipaten Balungan juga menghendaki pusaka itu. Jangan sampai kita didului oleh mereka. Jika kita harus ke Pulau Singkang dulu, begitu kembali ke lereng gunung ini, bisa-bisa pusaka sudah berpindah tangan."

Pendekar Mabuk tarik napas mempertimbangkan langkahnya. Tua Bangka masih terbengong melongo memamerkan dua gigi depannya tanpa bisa memberi pendapat dan pandangan apa-apa. Barangkali ia malu karena pusaka itu ternyata memang ada. Tak ada pilihan yang lebih baik saat itu kecuali menyetujui rencana Tembang Selayang. Perhitungan gadis itu dinggap lebih benar oleh Pendekar Mabuk. Kecuali Dewa Beruk sukar ditumbangkan dengan pusaka itu, maka rencana kedua akan dipakai, yaitu pergi ke Pulau Singkang dan menemui orang yang bernama Sanupati untuk menanyakan kelemahan pusaka Kapak Setan Kubur.

"Kalian mau ke mana?" tanya Tua Bangka.

"Ke Perguruan Monyet Sakti. Kami akan temui Dewa Beruk untuk mengambil Kapak Setan Kubur," jawab Suto. "Kau ikut kami, Tua Bangka."

"Tidak," Tua Bangka mundur. "Aku tidak mau ikut kalian. Nanti aku celaka diserang lawan kalian."

"Atau kau mau tinggal di sini dulu? Siapa tahu orang yang membantingmu itu muncul lagi?"

"Oh, tidak! Aku tidak mau dibanting lagi. Kalau begitu... baiklah, aku ikut kalian. Tapi kalian harus lindungi keselamatanku!" kata Tua Bangka seperti anak kecil minta jaminan.

Mereka bergegas menuju lereng sebelah barat. Namun lagi-lagi langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok mayat yang tergeletak di jalanan dalam keadaan menyedihkan. Sosok mayat itu terkapar tanpa nyawa dalam keadaan tercabik-cabik, sekujur tubuhnya bagaikan dirajang-rajang dengan puluhan mata pisau yang tajam. Tak ada bagian tubuh yang tampak utuh. Sampai pada daun telinga pun tercabik-cabik berlumuran darah.

"Ooh...?!" Tua Bangka bergidik merinding sambil jauhi mayat itu. "Pasti di sini ada binatang buas yang telah berhasil menumbangkan orang ini."

"Bukan binatang buas," gumam Tembang Selayang.

Suto membenarkan pendapat Tembang Selayang. "Ya, memang bukan binatang buas. Tapi seseorang yang bersenjata Kapak Setan Kubur. Pasti ia gunakan sinar hijaunya kapak tersebut, sehingga tubuh mayat itu tercabik-cabik mengerikan begini."

Tembang Selayang memperhatikan mayat itu beberapa saat, karena khawatir kalau-kalau mayat itu adalah mayat ayahnya sendiri. Tapi setelah dilihat dari jenis pakaiannya yang bukan putih tapi coklat muda, maka Tembang Selayang pun hembuskan napas lega, karena yakin bahwa mayat itu bukan ayahnya.

Mereka lanjutkan perjalanan dengan kesimpulan semakin kuat, bahwa mereka sudah semakin dekat dengan pusaka Kapak Setan Kubur.

"Waspada dan hati-hati, kita sudah semakin dekat dengan pusaka itu," kata Suto Sinting mengingatkan Tembang Selayang, tapi yang menjadi ketakutan Tua Bangka. Orang bergigi depan tinggal dua itu lebih merapat kepada Suto, melangkah sambil memegangi tali bumbung tuak Suto karena merasa takut mendapat serangan dadakan.

"Kalau kau gelayuti begini langkahku tak bisa bebas, Tua Bangka. Tenang sajalah, aku tak akan biarkan pusaka itu menyantap tubuh tuamu!"

Tua Bangka bersungut-sungut dengan gerutuan tidak jelas, ia melepaskan pegangannya dan memberanikan diri untuk berjalan agak jauh dari Pendekar Mabuk. Hal itu membuat Pendekar Mabuk sempat tersenyum geli memperhatikan lagak Tua Bangka yang tak mau dibilang pengecut itu.

Senja kian menipis ketika mereka tiba di lereng sebelah barat Gunung Bunting. Langkah mereka diperlamban dengan mata mulai menegang karena mereka mulai mencium bau asap bakaran. Mata mereka menatap penuh waspada. Angin senja bertiup menggeraikan rambut mereka.

"Ooh... Suto, lihat itu!" seru Tua Bangka sambil merapatkan diri pada Suto Sinting.

Apa yang dituding Tua Bangka menjadi pusat perhatian mereka. Tiga sosok mayat terkapar dalam keadaan mengerikan, yang satu tercabik-cabik, satunya lagi terbakar hangus menjadi arang, dan yang satunya lagi terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Diperkirakan potongan itu berjumlah tiga puluh tiga bagian.

"Semakin jelas, seseorang telah menggunakan pusaka Kapak Setan Kubur dalam waktu belum terlalu lama dari kedatangan kita ini, Tembang Selayang."

"Ya, aku pun berpendapat demikian. Tapi siapa mereka ini?"

Tua Bangka tiba-tiba berkata, "Tombak mereka ada dibawah batu itu."

"Oh benar. Mereka bersenjata tombak dan... dilihat dari jenis hiasan benang bawah mata tombak itu, sepertinya mereka para prajurit sebuah negeri," gumam Tembang Selayang.

"Benar. Aku ingat tombak ini merupakan ciri tombak prajurit Kadipaten Balungan!" ujar Tembang Selayang dengan wajah tegang. "Aku masih hafal ciri-ciri tombak mereka.

Suto Sinting dan Tembang Selayang saling beradu pandang.

"Kadipaten Balungan...?! Mungkinkah orang kadipaten sudah mendului kita merebut Kapak Setan Kubur, Suto?"

"Tak menutup kemungkinan, hal itu bisa saja terjadi. Mungkin mereka mendapat kabar dari seseorang bahwa kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk. Hanya saja, apakah mereka berhasil merebut kapak pusaka itu atau masih tetap bertahan di tangan Dewa Beruk?!"

Langkah mereka semakin cepat menuju pusat perguruan. Sepanjang jalan ditemukan mayat bergelimpangan. Ada yang mati dengan ciri-ciri kedahsyatan Kapak Setan Kubur, ada pula yang mati karena tebasan senjata tajam lainnya. Mayat-mayat itu bukan hanya menandakan sebagai ciri prajurit Kadipaten Balungan, namun terdapat pula mayat orang Perguruan Monyet Sakti.

"Tak dapat dipungkiri lagi, Suto... belum lama ini pasti terjadi pertarungan antara orang kadipaten dengan orangnya Dewa Beruk," ujar Tembang Selayang.

"Ya, benar. Kita lihat saja bagaimana keadaan di pusat perguruan itu!"

Ternyata keadaan di pusat Perguruan Monyet Sakti semakin menyedihkan. Perguruan hancur, porak-poranda, terbakar di sana-sini. Nyaris tak ada bangunan yang tersisa. Mayat pun semakin banyak bergelimpangan, jumlahnya lebih dari tiga puluh mayat. Bahkan ada beberapa ekor kuda yang mati menjadi hangus atau terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian.

Tua Bangka memandang dengan wajah sangat tegang. Langkahnya tak jauh dari Pendekar Mabuk. Matanya mendelik memandangisekelilingnya. "Gila! Di mana si Cawan Pamujan kalau begini?" gumamnya mencari sang cucu.

"Mengapa kau mencari cucumu di sini, Tua Bangka?"

"Aku takut kalau cucuku mengalami nasib seperti ini!" ujar Tua Bangka dengan wajah menyeringai antara sedih dan ketakutan.

Mereka melangkah semakin ke dalam bekas benteng perguruan. Ternyata hampir seluruh murid perguruan binasa. Beberapa prajurit kadipaten pun tampak mati mengenaskan.

Tembang Selayang berseru, "Dewa Beruk...! Keluarlah, aku yang datang; Tembang Selayang! Keluarlah Dewa Beruuuk...!"

Tak ada jawaban apa pun yang mereka peroleh. Suara tak ada, gerakan pun tak ada. Yang ada hanya sisa asap kebakaran yang merambah bagai mempercepat datangnya sang petang.

"Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi," kata Suto Sinting kepada Tembang Selayang."

"Mengerikan sekali!" gumam Tua Bangka dengan wajah tetap tegang.

Mereka memeriksa seluruh tempat, dan ternyata memang tak ada satu pun korban pertarungan yang bisa diselamatkan.

"Aku tak temukan mayat Dewa Beruk," kata Tembang Selayang. "Berarti dia melarikan diri atau lakukan pengejaran bagi prajurit kadipaten yang selamat!"

"Jika dia memegang Kapak Setan Kubur, tak mungkin ia mundur dan melarikan diri. Pasti maju menyerang atau mengejar," kata Suto Sinting dengan penuh keyakinan.

Mereka bergegas menuju ke Kadipaten Balungan. Tetapi langkah mereka terhambat malam, Tua Bangka tak berani lakukan perjalanan malam. Mau tak mau mereka bermalam kembali ke Desa Panganbumi. Sasaran mereka adalah penginapan Ki Punjul, tempat Suto dan Tembang Selayang bertemu dengan Guci Kopong serta Pawang Kera. Dalam hati mereka merasa heran karena mereka tidak menemukan mayat Guci Kopong dan Pawang Kera. Dugaan yang ada pada mereka adalah pengejaran yang dilakukan oleh Dewa Beruk terhadap orang-orang kadipaten diikuti pula oleh beberapa murid perguruan, di antaranya Guci Kopong dan Pawang Kera.

"Atau barangkali mereka mati hangus menjadi arang yang sukar kita kenali ciri-cirinya itu?"

"Mungkin saja begitu," jawab Suto Sinting saat mereka mengadakan percakapan di penginapan tersebut.

Desa itu menjadi desa yang sepi dan sunyi. Tidak seramai malam yang lalu. Tentu saja hal itu menimbulkan pertanyaan di batin Suto Sinting, sehingga ia pun ajukan pertanyaan kepada Ki Punjul, si pemilik kedai dan penginapan itu.

"Mengapa sepi sekali, Ki? Malam kemarin begitu ramai. Banyak pembeli yang berkunjung ke kedai ini."

"Yah, maklum saja habis terjadi peristiwa mengerikan sebelum sore tiba tadi," jawab Ki Punjul dengan waswas.

"Peristiwa apa yang terjadi itu, Ki Punjul?"

"Dewa Beruk mengamuk karena perguruannya dibumihanguskan oleh orang kadipaten."

Jawaban Ki Punjul membuat mata Tembang Selayang menatapnya tak berkedip. Tua Bangka ikut-ikutan memandang Ki Punjul dengan hasrat mendengarkan cerita seru. Ki Punjul menjelaskan kembali apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Ada dua prajurit yang lari kemari, masuk ke dalam kedai ini. Tapi mereka segera dilempar keluar oleh Guci Kopong, lalu di sana mereka disambut oleh Dewa Beruk yang bersenjata kapak dari emas. Kedua prajurit itu akhirnya hangus dan menjadi arang tak berbentuk lagi. Mengerikan sekali untuk dikenang. Senjatanya sangat ganas, kurasa orang kadipaten akan dibantai habis oleh Dewa Beruk yang murka itu."

Semakin jelas sekarang, bahwa pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk. Cerita tersebut membuat Suto dan Tembang Selayang tertegun beberapa saat. Tua Bangka ikut-ikutan termenung, bagaikan sedang membayangkan kengerian dari pertarungan tersebut.

"Sekarang ke mana perginya Dewa Beruk, Ki?" tanya Tembang Selayang.

"Mereka menuju ke kadipaten Balungan. Tentunya yang menjadi sasaran mereka adalah sang Adipati Janarsuma, karena beliaulah yang memerintahkan menyerang Perguruan Monyet Sakti untuk dapatkan kapak emas itu."

"Berapa orang yang mengikuti Dewa Beruk, Ki?" tanya Suto Sinting.

"Hanya dua orang; si Guci Kopong dan Pawang Kera, serta seorang gadis yang agaknya menjadi tawanan Dewa Beruk."

"Seorang gadis?!" Tembang Selayang bergumam heran sambil menatap Ki Punjul. Suto Sinting dan Tua Bangka pun memandang Ki Punjul dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ya, seorang gadis berpakaian kuning kunyit, berwajah cantik dan masih muda."

"Dari mana kau tahu kalau gadis itu menjadi tawanan Dewa Beruk?"

"Kedua tangannya selalu dalam ikatan, dan Pawang Kera yang menjaganya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Tua Bangka tampak gelisah, ia ditepuk oleh Suto dan berkata, "Jangan takut, ia tidak akan bisa memperlakukan dirimu seperti gadis itu karena kau bersamaku dan bersama Tembang Selayang."

Tua Bangka ambil napas dalam-dalam, lalu terbatuk-batuk sesaat. Suara tuanya terdengar kembali bernada mirip orang menggerutu. "Kalau kalian lakukan pertarungan mana sempat menjagaku?! Aku bisa dihantam oleh anak buahnya yang satu lagi."

Pendekar Mabuk menertawakan kecemasan Tua Bangka. Beberapa saat kemudian Tua Bangka berkata lagi, "Aku tak perlu ikut ke kadipaten. Aku tinggal di penginapan sini saja. Orang kadipaten akan mengeroyokku karena peristiwa tempo hari itu."

"Kalau kau di sini, aku tak bisa menjagamu," kata Suto Sinting. "Tapi kalau kau memang merasa aman di sini, yakin bahwa Dewa Beruk atau yang lainnya tak akan muncul di sini, ya silakan saja kalau kau mau tinggal di penginapan ini. Tapi jika terjadi sesuatu yang mencelakan dirimu, jangan salahkan diriku dan Tembang Selayang"

Tua Bangka garuk-garuk kepala. Semalaman ia tak tidur karena memikirkan hal itu. Paginya ketika Suto dan Tembang Selayang berangkat ke kadipaten, Tua Bangka memutuskan untuk ikut mereka. Karena ia ingat janjinya kepada Suto Sinting yang telah menyelamatkan nyawanya dari tiang gantungan, bahwa ia akan ikut Pendekar Mabuk ke mana pun anak muda itu pergi.

Rupanya perbatasan wilayah Kadipaten Balungan telah terjadi pertarungan seru antara orangorang kadipaten dengan Dewa Beruk. Jumlah yang melibatkan diri dalam pertarungan itu sekitar sepuluh prajurit dari kelas teri sampai kelas kakap. Branjang Kawat pun ada di antara mereka. Orang pilihan sang Adipati itu tidak lakukan pertarungan secepatnya, namun mencoba mempelajari kelemahan Dewa Beruk yang bersenjatakan Kapak Setan Kubur itu.

Guci Kopong dan Pawang Kera ikut ambil bagian juga sebagal pihak pembela Dewa Beruk. Melihat tingkah laku Dewa Beruk, Branjang Kawat yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar dengan celana serta rompinya yang berwarna biru tua itu, segera melesat dari tempat berdirinya dan tahu-tahu menebaskan pedangnya ke punggung Guci Kopong.

Wuutt...! Craass...!

"Aaaahhg...!" Guci Kopong memekik dalam keadaan punggung terbelah.

Dewa Beruk segera berpaling menatap kematian anak buahnya yang berbadan gemuk itu. Orang berjubah hitam yang sebentar-sebentar garuk-garuk badan itu segera bersalto ke belakang dan kakinya mendarat di tanah depan Branjang Kawat.

"Bangsat kau! Tebus kematian anak buahku ini dengan nyawamu! Hiaaat...!" Dewa Beruk sentakkan kaki dan melenting di udara pada saat Branjang Kawat menebaskan pedangnya.

Pedang lewat di bawah kaki Dewa Beruk, lalu kapak emas bermata tiga yang digenggamnya sejak tadi itu dikibaskan dari kiri ke kanan.

Wuuuttt...!

Claapp...! Sinar biru keluar dari mata kapak berbentuk gerakan tak beraturan dan sukar diketahui ke mana arah gerakan sinar itu, kemudian sinar biru tersebut menyambar tubuh Branjang Kawat.

Jrraaab...!

Bleegaarrr...!

Tak ada suara yang timbul dari Branjang Kawat. Tubuh itu langsung berasap dan rubuh tak berkutik. Keadaannya sudah hitam menjadi arang berasap dengan senjata pedangnya ikut-ikutan menjadi cairan kental yang meleleh lumer dan akhirnya membeku tak berbentuk lagi.

Sementara itu, Singa Parnayang ikut dalam pertempuran itu berhasil membokong Pawang Kera dengan tombaknya. Tombak bermata tiga itu dihujamkan ke punggung Pawang Kera, ketika orang itu sedang menangkis serangan lawan dari depan.

Jruubb...!

"Aaahgg...!" Pawang Kera memekik keras sekali dengan tubuh melengkung ke depan, kemudian rubuh tak bernyawa.

Dewa Beruk semakin buas, murkanya dilepaskan tiada batas. Pada waktu itu, rombongan Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Namun mereka tidak segera bertindak karena perlu mempelajari keadaan setempat. Tiba-tiba Tua Bangka berseru dengan mata melebar dan wajah menegang,

"Cucuku...! Cawan...! Cawan Pamujan! Oooh... itu dia cucuku! Cawan Pamujaaan...!"

Seorang gadis yang kedua tangannya diikat ke belakang berseru memanggil Tua Bangka. "Kakeeek...!"

Gadis berpakaian hijau muda dengan rambut di konde dua itu segera berlari menerobos hiruk-pikuknya pertarungan. Gadis cantik berwajah imut-imut itu membuat pandangan mata Pendekar Mabuk terpana beberapa saat. Tua Bangka segera berlari tertatih-tatih menyambut kedatangan cucunya. Suto Sinting dan Tembang Selayang menjadi cemas.

"Tua Bangka, jangan mendekati pertarungan! Tua Bangka, kembaliii...!" teriak Pendekar Mabuk. Namun si Tua Bangka tidak pedulikan seruan itu. Ia tetap berlari menyongsong cucunya; si Cawan Pamujan.

Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak cepat dan menyambar gadis itu. Pada saat sang gadis disambar Suto, kilatan cahaya merah mengarah kepada mereka. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan, zlaaap...! Ia bergerak lebih cepat dari cahaya merah yang datang dari kapak emas tersebut. Gerakan Suto Sinting yang kedua itu disertai raihan tangan kirinya sehingga menyambar tubuh kurus si Tua Bangka.

Gelegar ledakan berbunyi saling bersahutan. Tenaga dalam orang-orang kadipaten diadu dengan kekuatan dahsyat yang keluar dari Kapak Setan Kubur itu. Pendekar Mabuk berhasil selamatkan Cawan Pamujan dan Tua Bangka dari hujan sinar yang dikeluarkan dari kapak maut tersebut. Murka sang Dewa Beruk membuat ia melepaskan sinar itu ke sembarang arah, sehingga korban pun berjatuhan.

"Cawan...! Ooh, cucuku... untung kau selamat, Nak. Untung kau masih hidup!" Tua Bangka memeluk cucunya, si Cawan Pamujan.

Sementara itu, Tembang Selayang buru-buru melepaskan tali pengikat yang menjerat kedua tangan gadis berwajah mungil manis itu, sehingga sang gadis berkulit kuning langsat itu pun bisa memeluk kakeknya dalam tangis.

"Kakek... aku takut, Kek...!"

"Kau nakal, akibatnya begini! Kau tidak bisa kendalikan nafsumu, dan hampir saja nyawamu melayang!" sang kakek ngomel dengan hati girang, sebentar-sebentar memeluk cucunya.

"Sebaiknya menyingkir di bawah pohon sana supaya kau dan cucumu aman, Tua Bangka!" saran Tembang Selayang, karena ia bersiap akan menghadapi Dewa Beruk bersama Pendekar Mabuk.

"Dia membawa kapak itu, Kek. Dia merampasnya, dan membunuh orang banyak dengan kapak itu!" celoteh Cawan Pamujan dengan cerewet dan bernada manja.

Tiba-tiba hening tercipta bagai membungkam alam. Rupanya sekian banyak orang kadipaten telah berhasil ditumbangkan oleh Dewa Beruk. Keadaan itu membuat Suto Sinting, Tembang Selayang, Tua Bangka, dan Cawan Pamujan menjadi terbungkam sambil memandangi Dewa Beruk yang masih garuk-garuk ketiaknya. Orang berjubah hitam yang punya wajah angker itu segera menatap ke arah rombongan Suto Sinting. Pada saat itu Suto sempat berbisik pelan kepada Tembang Selayang,

"Jagai aku. Biar aku yang maju sebagai umpan kapak itu. Akan kuhadapi dengan bumbung tuakku!"

"Baik. Majulah, kujagai dari sini!"

Dewa Beruk garuk-garuk perut dengan tangan kirinya sambil berseru dengan ganasnya. "Kalian juga kehendaki kapak ini? Majulah kalau kalian ingin kupotong-potong, atau kubakar hangus seperti orang-orang kadipaten itu!"

Pendekar Mabuk cepat-cepat menenggak tuak, tapi tidak semuanya ditelan. Sisanya dibendung dalam mulut untuk disemburkan. Dan pada waktu itu Dewa Beruk tak sabar ingin menuntaskan murkanya. Maka kapak emas itu segera dikibaskan dari atas ke bawah.

Wuuutt...! Claapp...! Wut, wut, wut, wut, wut...!

Gerakan sinar merah yang keluar dari kapak itu zigzag ke sana-sini sukar diikuti oleh pandangan mata. Sinar merah adalah sinar yang akan memotong tubuh Pendekar Mabuk menjadi tiga puluh tiga bagian. Namun karena di mulut Pendekar Mabuk sudah tersimpan tuak yang sebenarnya ingin digunakan untuk menyembur kapak itu dengan jurus 'Sembur Siluman', supaya kapak menjadi lenyap dari genggaman Dewa Beruk, terpaksa kali ini yang digunakan Suto Sinting adalah jurus ' Sembur Wiwaha', yang mampu memercikkan api dari semburan tuaknya dan membakar kemana-mana.

Brruusss...!

Pendekar Mabuk lakukan semburan tuak ketika sinar merah itu mendekat ke arahnya. Percikan api keluar dari mulut Pendekar Mabuk dan menyergap sinar merahnya Kapak Setan Kubur.

Zraabbb..! Blegaarr...!

Pendekar Mabuk terpental dengan tubuh melambung tinggi. Ledakan itu cukup ganas dan dahsyat sekali, mengguncangkan tanah, merubuhkan dua pohon, mendatangkan angin membadai dalam sekejap. Tembang Selayang pun terpental jatuh karena gelombang ledak yang menyentak kuat itu. Dewa Beruk terlempar ke belakang dan berguling-guling. Tua Bangka rubuh sambil melindungi cucunya hingga tubuhnya tertindih sang cucu. Ia terbatuk-batuk dan mengerang kesakitan. Namun sang cucu segera membantunya untuk bangkit, sedangkan Pendekar Mabuk pun baru saja berdiri kembali dari keadaan yang membantingnya tadi.

Zlaappp...! Suto Sinting maju lebih dekat. Kini jaraknya hanya tiga langkah dari samping Dewa Beruk yang sedang berusaha bangkit lagi itu. Kaki Suto Sinting segera menendang leher Dewa Beruk dengan kuatnya.

Wuuuttt...! Deess...!

"Uuhg...!" Dewa Beruk terlempar dan jatuh tak berapa jauh dari Tua Bangka. Ia segera meniup gagang kapak pusaka itu. Puih...! Dan tiga mata kapak pun terbang berputar-putar menerjang Suto Sinting. Seketika itu pula, Tua Bangka melompat maju dan kakinya menendang tangan Dewa Beruk yang masih pegangi gagang kapak, menunggu kembalinya tiga mata kapak.

Deesss...! Wuuuttt...!

Gagang kapak terpental terbang dalam ketinggian melebihi pucuk pohon. Dewa Beruk terperangah bengong. Sementara itu, Tua Bangka cepat sentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya pun melesat ke atas cukup tinggi, ia bersalto satu kali di udara dan tangannya segera menyambar gagang kapak tersebut.

Wuuuttt...! Teeb...!

Suto Sinting kebingungan hindari tiga mata kapak yang menyerangnya, ia terpaksa gunakan bumbung tuaknya untuk menangkis. Wuuusss...!

Dar, dar, dar...! Tiap mata kapak yang menghantam bumbung tuak selalu timbulkan ledakan dan nyala api merah yang memercik. Ketiga mata kapak itu tetap terbang memutar dan kembali ke tempat semula. Pada saat itu Tua Bangka acungkan gagang kapak ke atas, lalu tiga mata kapak itu hinggap ke ujung gagangnya dan menjadi rekat seperti sedia kala.

Tembang Selayang, Suto Sinting, dan Dewa Beruk sama-sama terperanjat melihat Kapak Setan Kubur kini ada di tangan Tua Bangka. Sesuatu yang membuat Tembang Selayang sulit kedipkan mata adalah gerakan salto Tua Bangka yang melesat tinggi itu adalah gerakan yang tak pernah dibayangkan Tembang Selayang. Ternyata Tua Bangka mampu melakukannya.

"Keparat kau, orang peot!" geram Dewa Beruk sambil garuk-garuk lengannya, ia belum sempat bergerak, tahu-tahu Tua Bangka lakukan gerakan yang sukar dilihat mata manusia biasa.

Wuuutt...!

Kakinya menendang Dewa Beruk dengan berputar cepat. Tendangan bertubi-tubi yang amat cepat itu mengenai kepala Dewa Beruk secara beruntun, lebih dari sepuluh kali tendangan.

Plak, plak, plak, plok, plok...!

Dan tendangan terakhir adalah gerakan memutar yang sangat cepat. Praaak...! Tua Bangka diam dalam keadaan pasang kuda-kuda dan kapak terangkat ke atas. Dewa Beruk terlempar dengan wajah berlumur darah, ia jatuh tepat di samping Suto Sinting. Agaknya Dewa Beruk masih penasaran. Dengan menggerang buas ia bangkit dan karena yang terdekat adalah Suto Sinting, maka ia lepaskan pukulan tenaga dalam andalannya ke arah Suto Sinting.

Pendekar Mabuk melihat gelagat yang akan membahayakan nyawanya. Belum sempat tangan Dewa Beruk bergerak, Suto telah memutar tubuhnya dengan cepat dan nyaris tak terlihat sedikit pun. Bumbung tuaknya dilayangkan dan menghantam punggung Dewa Beruk.

Wuuutt...! Grraakkk...!

Ada suara tulang remuk bersamaan terlemparnya tubuh Dewa Beruk ke arah Tua Bangka. Mulut orang itu semburkan darah ke mana-mana. Tua Bangka menyambutnya dengan kibasan kapak emas yang membelah dari dada ke perut.

Breett...!

"Uuuhhg...!" Dewa Beruk akhirnya terkulai, jatuh berlutut dalam keadaan dadanya terbelah hingga perut, kemudian ia jatuh tersungkur ke depan dan selanjutnya tidak bernapas lagi.

Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya karena wajahnya memar membiru akibat geiombang ledakan yang membuat tubuhnya terbanting tadi. Pada saat itu, Tua Bangka bermaksud memenggal kepala Dewa Beruk. Tapi tiba-tiba sebuah seruan terdengar di sela kesunyian alam.

"Cukup, Tua Bangka!"

Semua mata memandang ke arah orang yang berseru itu. Ternyata Empu Tapak Rengat muncul bersama Pinang Sari, dan Darah Prabu. Mereka sangat terkejut, terutama Suto dan Tembang Selayang. Gadis itu segera berseru dan berlari memanggil ayahnya. "Ayaaah...!"

Empu Tapak Rengat mengusap-usap punggung anak gadisnya. "Ayah tak apa-apa! Tenanglah."

Suto Sinting segera bertanya, "Dari mana saja kau, Ki Empu Tapak Rengat?!"

"Tanyakan pada Tua Bangka itu. Dia yang menculikku dan memenjarakan diriku di dalam gua. Ternyata di situ juga ada Pinang Sari dan adiknya; Darah Prabu."

"Benar!" seru Pinang Sari dengan wajah kesal. "Aku dan Darah Prabu ditotok oleh Tua Bangka dan disembunyikan dalam gua. Pintu gua ditutup dengan batu berlapis tenaga dalam yang selalu membuatku terpental jika mendekatinya, Suto. Untung ada Empu Tapak Rengat ini, sehingga batu itu bisa dijinakkan dan kami bisa keluar dari gua!"

Suto Sinting pandangi Tua Bangka dengan dahi berkerut dan mata memancarkan ketajaman. Tua Bangka hanya nyengir dan garuk-garuk kepala. Empu Tapak Rengat segera mendekat dan berkata,

"Lain kali aku tidak suka dengan permainan seperti ini, Sanupati!"

"Maafkan aku, semua demi menyelamatkan pusaka ini. Sekarang kalau kalian mau menghukumku, silakan! Aku memang bersalah terhadap kalian."

"Ayah... berarti orang yang bernama Sanupati itu adalah si Tua Bangka ini?!"

"Benar, Anakku. Dialah adik dari Ratu Rias Pundi yang masa mudanya senang ugal-ugalan. Setelah bertemu denganku menjadi pria pendiam. Dan Nyai Pucanggeni, adalah bekas kekasihnya semasa muda."

"Ooo..., pantas aku seperti pernah melihatnya. Rupanya dulu aku pernah ikut Guru menemui seseorang di sebuah bukit untuk lakukan percakapan rahasia, dan orang itu adalah dia, Ki Empu!" Pinang Sari cepat menyahut.

Suto Sinting agak dongkol karena selama ini merasa terkecoh oleh penampilan Tua Bangka yang berlagak polos, lugu, dan bodoh itu. Ternyata orang yang mau digantung itu adalah orang berilmu tinggi. "Apa maksudmu bersandiwara seperti itu, Tua Bangka?!" tanya Suto agak menggertak.

Tua Bangka nyengir dan garuk-garuk kepala, seperti orang malu karena merasa bersalah. "Semua terpaksa kulakukan untuk sembunyikan siapa diriku. Dengan begitu orang tidak akan mengejar-ngejarku untuk dapatkan Kapak Setan Kubur ini. Orang akan mengejar orang lain, dan aku hanya membayang-bayangi saja. Aku hanya akan bergerak jika Kapak Setan Kubur dan cucuku sudah ada di depan mataku. Saat itulah orang akan tahu bahwa akulah pemiliknya."

"Kakek," kata Cawan Pamujan. "Maafkan kesalahanku. Semua ini gara-gara kelancanganku mencuri pusaka itu untuk membunuh Gandapura!"

Suto Sinting terkejut. "Kau ingin membunuh titisan raksasa itu?!"

"Ya, aku ingin membalas dendam padanya, karena kekasihku dimakan olehnya!" jawab Cawan Pamujan dengan ketus, seakan tak mau disalahkan oleh orang lain kecuali oleh kakeknya sendiri.

"Mengapa bisa jatuh ke tangan Dewa Beruk?" tanya Tembang Selayang.

"Dia menyergapku dari belakang. Aku dilumpuhkan, lalu kapak diambil olehnya, dan aku dijadikan tawanan, mau dipakai pemuas gairahnya. Tapi belum sampai terjadi. Sumpah, aku masih suci kok!" Cawan Pemujan memandang Suto, "Sumpah, aku masih suci!"

"Masa bodoh!" jawab Suto dengan jengkel dan menyingkir dua langkah dari depan gadis itu. Sikap tersebut membuat Empu Tapak Rengat tersenyum geli, demikian pula Tua Bangka alias Ki Sanupati itu. Namun dalam hati Suto Sinting sempat membatin dalam renungannya,

"Pantas sang Adipati menangkap Tua Bangka dan memaksa Tua Bangka serahkan kapak itu karena ia tahu bahwa Tua Bangka memilikinya. Pantas Tua Bangka menyebarkan kabar palsu bahwa Kapak Setan Kubur itu hanya isapan jempol belaka, maksudnya supaya tak banyak yang memburu pusaka tersebut. Tapi, yang membuatku masih merasa heran adalah sikap sang Adipati Janarsuma. Mengapa ia sangat berkeinginan untuk memiiiki Kapak Setan Kubur, sampai mengorbankan sekian banyak prajuritnya? Apa yang ingin dilakukan oleh sang Adipati jika Kapak Setan Kubur ada di tangannya?"

Tua Bangka mendekati Pinang Sari dan Darah Prabu. "Maafkan aku, aku terpaksa menyembunyikan kalian dulu supaya kalian tak menyebar kabar bahwa akulah pemilik pusaka ini. Sebab jika kalian bertanya kepada Badranaya, ia akan sebutkan nama Sanupati alias Tua Bangka. Jadi, sebelum kalian temui sahabatku; si Badranaya atau gurumu, Darah Prabu, aku terpaksa mencegah dengan cara sembunyikan diri kalian. Kalau kalian merasa perlu menghukumku, hukumlah sekarang juga. Aku tak akan mendendam pada kalian."

Pinang Sari menjawab ketus, "Hukumanku hanya suatu permintaan; jaga cucumu, jangan sampai terlalu dekat dengan Pendekar Mabuk. Karena ia pandai menjerat hati wanita!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil melengos. Tua Bangka, Empu Tapak Rengat, dan Darah Prabu juga tertawa. Sedangkan Tembang Selayang hanya tersenyum-senyum dan Cawan Pamujan cemberut malu, sembunyi di belakang kakeknya.

SELESAI


Kapak Setan Kubur

Serial Pendekar Mabuk
Kapak Setan Kubur
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
LEBIH dari dua puluh orang mengarak seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kakek berbadan kurus dan mengenakan pakaian abu-abu itu dalam keadaan tubuhnya dililit tali, hingga kedua tangannya tak bisa bergerak. Lehernya dikalungi tambang lalu dituntun seperti menuntun kambing bandot.

"Gantung dia! Gantung saja! Ayo, gantung! Sekali gantung tetap gantung!" seru mereka bersahutan dengan hentak-hentakkan kepalan tangannya ke atas.

Para pengarak itu bukan saja terdiri dari orang dewasa, malah ada yang masih remaja ikut-ikutan mengarak dan berteriak. Tapi yang menuntun kakek berambut putih pendek itu adalah seseorang yang berseragam keprajuritan, membawa pedang di pinggang. Sedangkan beberapa prajurit bertombak mengamankan daerah sekeliling. Dari ciri pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Kadipaten Balungan, adipatinya masih berusia sekitar lima puluh tahun kurang, bernama Adipati Janarsuma.

Wajah tua yang digiring ke bukit tak seberapa tinggi itu tampak bersungut-sungut bagai memendam kedongkolan. Bahkan ada yang mengatakan,

"Mau digantung bukannya sedih malah cemberut! Hoi, sedihlah kau! Kau ini mau digantung! Jangan cemberut!"

"Sesukaku! Mau cemberut, mau sedih, mau tersenyum, yang mau digantung aku, bukan kau! Kenapa kau yang ribut sendiri?!" ujar sang kakek sambil tetap melangkah dalam tuntunan tambang yang dipegangi seorang prajurit berpedang itu.

Pendekar Mabuk memperhatikan dari jarak tak seberapa jauh. Ia geli sendiri mendengar perdebatan tadi. Ia masih tetap kalem dengan pikiran mencoba mencari apa kesalahan si kakek bergigi depan tinggal dua itu. Sampai akhirnya rombongan pengarak itu lewat di depannya. Suto Sinting menyempatkan diri menegur salah seorang dari mereka.

"Mau diapakan itu kakek, Kang?"

"Mau digantung. Masa mau dicuci?!" jawab orang yang lebih tua usianya dari Pendekar Mabuk.

"Apa kesalahannya sampai orang setua itu mau digantung?"

"Memperkosa istri Kanjeng Adipati."

"Ah, yang benar saja, Kang?! Masa orang setua dia masih bisa memperkosa?"

"Kalau tak percaya cobalah sendiri!"

"Maksudmu kau menyuruhku mencoba memperkosa istri Adipati?"

"Goblok! Maksudku, cobalah tanya sendiri pada si Tua Bangka."

"Yang mana yang namanya Tua Bangka itu, Kang?"

"Ya itu, yang mau digantung itu!" sentak orang tersebut agak kesal melayani pertanyaan Pendekar Mabuk.

Ia belum tahu, atau memang tidak tahu bahwa pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dan celana putih sambil menyandang bumbung tuak di punggung itu adalah sang Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting itu. Karena tidak tahu maka ia berani bentak-bentak Suto Sinting. Seandainya ia tahu, mungkin ia akan bicara sopan dan lemah lembut. Sebab nama Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu sudah kesohor sebagai pendekar sakti yang ilmunya gila-gilaan.

Ternyata di atas bukit kecil itu sudah disediakan tiang gantungan, berbentuk tiang gawang dengan tali jerat terjulur di tengahnya. Di bawah tali jerat itu terdapat sebuah bangku bundar untuk tempat berdiri orang yang akan digantung. Bangku bundar itu akan ditendang atau ditarik oleh seorang petugas penggantungan, sehingga orang yang lehernya telah dijerat tali gantungan akan tergantung-gantung seperti kentongan di kelurahan.

Tua Bangka dipaksa naik ke atas bangku bundar itu. Dengan wajah masih bersungut-sungut dan mata memancarkan dendam, ia menuruti gertakan petugas penggantungan. "Masukkan kepalamu ke lingkaran tali itu!" bentak petugas penggantungan.

"Mana bisa?! Tanganku terikat begini kok disuruh memasukkan kepala ke tali. Mengambil talinya saja susah!" Tua Bangka ganti membentak.

"Kau saja yang mengalungkan tali itu," perintah petugas penggantungan kepada seorang prajurit.

"Pakai apa naiknya? Gantungannya tinggi begitu?!"

"Sini, naik di pundakku!"

Prajurit itu berdiri di pundak orang bertubuh kekar yang bertugas sebagai penggantung nanti. Dengan pelan-pelan orang yang diinjak pundaknya berdiri. Si prajurit terayun-ayun mau jatuh dan segera berpegangan kepala si Tua Bangka.

"Dasar prajurit tak tahu sopan, kepala orang tua dibuat pegangan!" gerutu si Tua Bangka.

"Waaah... tidak bisa, Kang!" seru prajurit itu kepada orang yang di bawahnya.

"Kenapa tidak bisa?!"

"Talinya ketinggian! Tidak akan bisa masuk sampai lehernya. Paling bisa hanya sampai batas hidung saja."

"Mana ada orang digantung sebatas hidung, Tolol!"

"Habis bagaimana kalau memang gantungannya ketinggian? Turun dulu, turun dulu."

Setelah prajurit itu turun dari pundak orang bertubuh kekar tanpa baju itu, segera terdengar seruan si orang kekar tersebut.

"Siapa yang bikin gantungan ini?! Kenapa bisa ketinggian?! Goblok!"

"Tenang saja, jangan marah dulu. Toh talinya masih bisa diturunkan sedikit," ujar kepala prajurit yang berpedang di pinggang. Lalu, ia menyuruh anak buahnya untuk menurunkan tali gantungan.

"Barjo... Bar, turunkan talinya biar bisa masuk ke leher si Tua Bangka!"

Sementara mereka sibuk membetulkan tali gantungan, orang-orang yang tadi mengarak Tua Bangka saling berkasak-kusuk, bahkan ada yang berteriak seenaknya.

"Huuhh! Terlalu lama! Penonton kecewa!"

"Gantung saja rambutnya, kalau jebol kan mati juga!" seru yang lain.

Pendekar Mabuk masih diam saja memperhatikan kesibukan para prajurit yang baginya cukup menggelikan itu. Ia menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bergeser agak ke depan, karena saat itu tali gantungan sudah dibetulkan dan sudah dimasukkan sampai ke leher si Tua Bangka.

Ketika prajurit memberi sambutan alakadarnya sebelum acara penggantungan dimulai. Ia berseru di depan mereka dengan berdiri di atas sebuah batu yang ada di samping tiang gantungan.

"Saudara-saudara sekalian, hari ini saudara-saudara akan menjadi saksi keadilan Kanjeng Adipati kita dengan menyaksikan acara penggantungan atas diri si Tua Bangka ini. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa Tua Bangka dijatuhi hukuman gantung karena mencoba memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, yaitu istri Kanjeng Adipati Janarsuma."

"Setuju! Setuju! Gantung saja penjahat tak tahu kesusilaan itu!"

"Sebelum acara penggantungan dimulai, mari kita mengheningkan cipta sebentar untuk mendoakan semoga arwah Tua Bangka diterima di sisi Yang Maha Kuasa. Berdoaaa... mulai!"

"Tunggu, tunggu...!" seru salah seorang. "Tidak usah didoakan. Arwah orang jahat biarkan saja masuk neraka!"

"Benar. Iya, benar tak usah didoakan!" sahut yang lain.

"Baiklah. Kalau begitu, hukuman gantung akan segera dimulai. Tapi sebelumnya, mari kita dengar kesan dan pesan dari orang yang akan kita gantung ini"

"Aah... tak usah, tak usah !" seru mereka. "Langsung gantung saja! Biar cepat selesai!"

"Baiklah, Saudara-saudara... kita mulai saja tanpa mendengarkan pesan dan kesan si Tua Bangka ini."

Kemudian petugas penggantungan yang berbadan kekar dan bertubuh tinggi tanpa baju itu segera membungkuk memegangi kaki bangku yang dipijak Tua Bangka, ia bersiap menarik bangku tersebut setelah mendapat aba-aba dari ketua prajurit.

Ketua prajurit berseru lebih keras lagi. "Hari ini, hukuman gantung terhadap si Tua Bangka dilaksanakan sebagai tindakan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Kanjeng Adipati sekeluarga. Setelah hitungan ketiga, hukuman segera dilaksanakan." Lalu ia mengambil napas panjang dan berseru, "Satuuu..."

Orang-orang diam tak bersuara. Tua Bangka menggerutu tak jelas sambil mulutnya cemberut.

"Duaaa!"

"Hentikan...!" tiba-tiba ada seruan yang membuat suasana sepi itu menjadi bergemuruh seperti lebah menggerutu.

Semua mata tertuju kepada si pemilik suara yang dianggap berani menahan aba-aba sang ketua prajurit. Pendekar Mabuk segera tampil ke depan mendekati tiang gantungan. Empat prajurit bersenjata tombak segera menghadang di depan Suto Sinting, membentuk pagar pengaman dengan tombak diacungkan ke arah depan.

Sang ketua prajurit memandang heran ke arah Suto, demikian pula sang petugas penggantungan yang sudah siap-siap menarik bangku. Tua Bangka sendiri ikut terperanjat melihat anak muda tampan yang berani menghentikan acara tersebut.

"Apa maksudmu menghentikan hitunganku, Anak Muda?!" tegur ketua prajurit dengan sentakan galaknya.

Murid si Gila Tuak itu tidak langsung menjawab melainkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Sementara itu beberapa mulut terdengar berkasak-kusuk dengan nada tegang.

"Apakah dia si Pendekar Mabuk, kok pakai minum tuak segala?"

"Sepertinya memang Pendekar Mabuk, ciri bumbung tuak dan pakaiannya memang seperti itu."

"Wah, gawat kalau memang dia si Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Pasti bakal jadi geger kalau si ketua membentak-bentaknya."

"Ah, masa' Pendekar Mabuk sampai di daerah kita ini? Mungkin dia hanya orang yang mirip Suto Sinting atau yang sengaja meniru penampilan Pendekar Mabuk, biar ditakuti orang."

Di antara para prajurit pun terjadi kasak-kusuk yang sama. Mereka ragu dan bahkan tidak percaya bahwa pemuda berbaju coklat itu adalah Pendekar Mabuk. Mereka juga menduga ada seseorang yang meniru penampilan Suto biar dianggap Pendekar Mabuk.

"Aku minta hukuman gantung ini dihentikan untuk sementara!" kata Suto Sinting kepada si ketua. "Jangan sampai kalian menggantung orang tak bersalah. Menggantung orang yang tak bersalah merupakan tindakan yang kejam dan patut ditentang."

"Yang kutanyakan, siapa dirimu! Bukan soal gantungan!" bentak sang ketua prajurit.

Dengan senyum kalem, Suto Sinting, menjawab, "Namaku Suto...!"

Prajurit di depan menyebut, "Pakai sinting apa tidak?!"

"Ya, pakai!" jawab Pendekar Mabuk. "Namaku Suto Sinting!"

"Ah, bukan. Suto Manyun, barangkali!" celetuk seseorang.

"Suto Sinting kok! Sumpah!" kata Pendekar Mabuk.

Ketua prajurit mendekati dengan langkah penuh kegeraman. "Jangan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ya?! Bisa dibacok para pengagumnya kau!" ia menuding-nuding Suto tanpa ada sopannya sedikit pun.

"Aku bukan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk. Aku memang Pendekar Mabuk, Paman."

Ada yang nyeletuk, "Kok dari tadi tidak mabuk-mabuk?!"

Seruan itu tidak dihiraukan. Sang ketua segera berkata kepada Suto, "Kami tidak percaya kalau kau Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting. Kuingatkan padamu, Anak muda... pergilah yang jauh dari sini dan jangan mengganggu jalannya hukuman gantung ini!"

Pendekar Mabuk malahan cengar-cengir membuat orang semakin tidak yakin kalau dia adalah murid siGila Tuak. Petugas penggantungan tak sabar menahan kejengkelannya, ia segera melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di depan Suto. Jleeg...!

"Mau pergi atau mau kugantung sekalian kau, hah!" bentaknya dengan mata mendelik.

"Sabar dulu, Kang. Sabarlah dulu... aku hanya ingin mengingatkan kau dan yang lainnya agar jangan menggantung orang yang tidak bersalah. Kasihan dia. Sudah kurus, ompong, eeh... digantung lagi! Padahal orang setua dia tidak usah digantung pun akan mati sendiri."

"Dia memang terbukti bersalah, mau memperkosa Gusti Ayu, istri Adipati kami! Mengapa kau masih mau membelanya, hah?!" bentak si petugas penggantungan dengan kasar.

"Orang setua dia mana mungkin mampu memperkosa?! Bayangkan saja, usianya sudah setua itu, badannya sudah sekurus itu, mana mungkin masih punya tenaga kejantanan untuk lakukan perkosaan? Jangankan memperkosa, dikasih secara cuma-cuma saja belum tentu dia mampu mengerjakan!"

Geerr...!

Beberapa orang tertawa mendengar kata-kata Pendekar Mabuk. Bahkan Tua Bangka ikut terkekeh-kekeh tanpa suara yang jelas. Tawa mereka membuat petugas penggantungan dan prajurit lainnya menjadi semakin dongkol dan geregetan. Si ketua prajurit keluarkan perintah kepada petugas penggantungan,

"Singa Parna, hancurkan mulutnya!"

Orang berbadan kekar tanpa baju yang ternyata bernama Singa Parna itu segera melayangkan pukulannya lurus ke mulut Suto Sinting.

Wuuuttt...!

Suto Sinting menghindar dengan meliukkan badan seperti orang mabuk yang ingin tumbang. Weesss...! Pukulan itu tidak mengenai sasaran. Suto tetap di tempat. Ketika tegak kembali, kaki Singa Parna menyambutnya dengan tendangan lurus kedepan.

Wuuttt...!

Badan si tampan itu meliuk kembali bagaikan orang mabuk sempoyongan. Weesss...! Tendangan itu meleset kembali. Singa Parna menjadi tambah jengkel. Maka diserangnya Pendekar Mabuk dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi.

Wuuutt, wuutt, wesss...! Wuuk, wukk, wuuss...!

Tak ada satu pun serangan yang bisa kenai tubuh Pendekar Mabuk. Padahal kaki Suto tidak bergeser sedikit pun, hanya badannya yang meliuk-liuk dengan cepat hindari serangan beruntun itu. Singa Parna sendiri menjadi ngos-ngosan dan merasa semakin dongkol karena serangannya yang bertubi-tubi itu tidak ada yang dapat mengenai sasaran.

"Monyet kurap kau!" bentaknya. Lalu ia menyerobot tombak seorang prajurit tak jauh darinya. Weett...! Dalam jarak satu tombak kurang, ia menghujamkan tombak itu ke perut Suto. Kaki kiri Suto bergeser ke samping. Weesss...! Tombak meleset dari sasaran. Singa Parna penasaran dan menghujamkan tombak itu secara bertubi-tubi.

Suuut, suut, suutt, wettt, weett, wuuss... weesss...!

Teb! Tombak berhasil dikempit pakai ketiak Suto Sinting, lalu disentakkan menyamping. Seet...! Kraakkk...! Tombak pun patah. Mata mereka terbelalak. Suara mereka mengaum kagum.

"Woooww...?!"

Senyum Suto Sinting masih mengembang menampakkan ketenangannya. Ketua prajurit mundur beberapa tindak, prajurit lainnya ikut mundur dengan wajah tegang. Singa Parna mau tak mau ikut mundur juga karena merasa mau ditinggal teman-temannya. Wajah mereka memandang dalam rona ketakutan. Tapi si ketua prajurit masih coba-coba tunjukkan sisa wibawanya dengan membentak tak sekeras tadi.

"Apa maumu sebenarnya, Orang Gila?!"

"Batalkan hukuman gantung ini!"

"Tidak bisa! Tua Bangka bersalah dan Kanjeng Adipati telah jatuhi hukuman gantung kepadanya, kami harus melaksanakan!"

"Baiklah, kalau begitu... bebaskan dia dan gantilah aku yang digantung."

"Hahh...?!" semua orang terperangah kaget.

"Bocah gendeng! Yang bersalah saja membela diri supaya tidak dihukum gantung, dia malah minta digantung. Kalau bukan bocah gendeng tidak ada yang berani senekat itu!" gerutu seseorang di belakang Suto Sinting.

Ketua prajurit berunding dengan Singa Parna dan beberapa anak buah lainnya. "Terlepas dia benar-benar Pendekar Mabuk atau hanya bocah ingusan yang mabuk, tapi dia sangat berbahaya bagi kita. Bisa-bisa menimbulkan korban di antara kita. Sebaiknya kita turuti saja kemauannya. Biarlah kita lepaskan si Tua Bangka dan kita ganti dia sebagai orang yang kita gantung!"

"Terserah keputusanmu. Yang penting jangan sampai kami disalahkan oieh Kanjeng Adipati," kata Singa Parna.

Para penonton menunggu keputusan dengan tegang. Satu dan yang lainnya saling berbisik-bisik membicarakan tuntutan pemuda tampan itu. Ada juga yang berkasak-kusuk membicarakan tentang hilangnya jemuran di belakang rumah. Tapi mereka akhirnya menghadap ke arah tiang gantung lagi setelah ketua prajurit berdiri di batu tinggi, tempat ia berdiri semula.

"Saudara-saudara, mohon perhatian! Mohon perhatian sebentar!" Suasana hening sejenak. "Saudara-saudara mendengar sendiri tuntutan bocah sinting itu. Dia bersedia menggantikan hukuman si Tua Bangka. Jadi, daripada ribut-ribut, tak baik didengar tetangga, maka kami setuju untuk menggantikan si Tua Bangka dengan bocah sinting itu!"

Lalu dengan suara keras penuh wibawa, ketua prajurit keluarkan perintah kepada Singa Parna yang masih berwajah geram itu. "Singa Parna, lepaskan si Tua Bangka dan ganti bocah itu yang kita gantung!"

"Tidak!" seru Tua Bangka. "Bocah itu tidak tahu menahu masalah ini. Jangan dia yang dijadikan korban. Aku saja yang digantung, biar Adipati kalian puas melihat keputusan lalimnya itu!"

"Goblok!" seru salah seorang penonton. "Mau dibebaskan biar bisa hidup kok malah ngotot! Huuh... dasar Tua Bangka tidak tahu diri!"

"Kenapa jadi kau yang sewot, Kang?!" tegur anak muda di sampingnya.

"Habis aku jengkel sekali dengan si Tua Bangka itu! Gobloknya melebihi ayam makan pedang!" jawabnya sambil bersungut-sungut.

Seruan itu tidak membuat keputusan berubah. Bahkan usul Tua Bangka tak dihiraukan oieh ketua prajurit, ia segera dibebaskan, Suto Sinting yang menggantikan. Sebelumnya Suto sempat temui Tua Bangka untuk menitipkan bumbung tuaknya.

"Tolong bawa bumbung tuak ini! Jaga baik-baik, Tua Bangka."

"Tidak mau!" sentak Tua Bangka. "Lebih baik aku yang digantung daripada disuruh membawa bumbung tuakmu."

"Tua Bangka, aku tahu kau tidak bersalah. Aku melihat kebenaran di pihakmu melalui sorot matamu dan air mukamu itu. Bawalah bumbung tuak ini..., aku punya rencana sendiri," kalimat terakhir itu bernada bisik.

Akhirnya orang tua berkulit keriput itu menurut apa kata Suto. Ia membawakan bumbung tuaknya dan membiarkan Suto Sinting diikat sekujur tubuhnya, hingga tangannya tidak bisa bergerak lagi. Kemudian ia dibawa naik ke bangku bundar itu.

"Waah... talinya kependekan. Naikkan lagi tali gantungan itu!" seru Singa Parna.

Akhirnya mereka membongkar ikatan tali gantungan dan meninggikan sesuai ukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk.

"Bikin susah saja bocah sinting itu! Tali sudah pas buat menggantung, gara-gara digantikan dia jadi harus dibongkar lagi. Huuh...! Rasa-rasanya aku kepingin mencolok matanya pakai tombak!" gerutu orang yang membongkar tali.

Kini tali penjerat leher sudah dikalungkan. Suto Sinting tetap tenang tanpa lakukan pemberontakan apa pun, tanpa perasaan sedih sedikit pun. Mereka memandang dengan penuh rasa kagum, namun ada juga yang punya rasa tak suka menganggap Suto bocah bodoh yang menjengkelkan hati.

"Hukuman gantung sebagai wakil si Tua Bangka segera dilaksanakan!" teriak ketua prajurit. "Sattuuu... duaaa... tigaaa...!"

Singa Parna tidak menarik bangku yang diinjak Suto Sinting, melainkan menendangnya sebagai luapan kejengkelan hatinya tadi.

Braakk...!

Kaki bangku patah seketika setelah ditendang Singa Parna. Maka tubuh Suto Sinting pun tergantung, lehernya terjerat tali gantungan. Seettt...!

"Huuu...!" orang-orang menggumam puas. "Mampuslah kau!" teriak yang jengkel.

"Selamat jalan, Bocah sinting!" seru yang lain.

Tua Bangka tertegun bengong melihat tubuh Suto Sinting tergantung dengan kepala terkulai mata terpejam, tapi mulutnya tidak menganga. Suto bahkan seperti sedang menyunggingkan senyum tipis. Dan mereka pun menjadi terheran-heran melihat senyum itu kian melebar. Bahkan mereka menjadi tersentak kaget ketika Suto Sinting membuka matanya.

Blaakk...!

"Haahh...?!" seru mereka serentak.

Pendekar Mabuk memandangi mereka dengan senyum jelas-jelas mekar di bibirnya. Wajahnya tidak menjadi pucat walau sudah tergantung sepuluh helaan napas lamanya. Bahkan ia berkata kepada si Tua Bangka,

"Awas, jangan miring bumbung itu nanti tuaknya tumpah."

Semakin tegang wajah mereka, semakin diliputi perasaan takut hati mereka. Tubuh yang jelas-jelas tergantung dengan kaki tanpa menapak apa pun masih bisa bicara sesantai itu. Tentu saja ketua prajurit pun menjadi sangat ketakutan.

"Celaka! Dia pasti siluman iseng! Cepat kabur! Lariii...!"

Mereka tidak tahu kalau Suto menggunakan jurus 'Layang Raga' yang membuat tubuhnya bisa mengambang di udara. Mereka menganggapSuto Sinting hantu yang gentayangan di siang hari. Maka satu seruan 'lari' membuat mereka bubar serentak, saling tabrak, saling injak, gaduh sekali suasananya. Ada yang menabrak pohon, ada yang jatuh tersungkur lalu dilewati delapan pasang kaki. Bahkan ada yang tertusuk tombak secara tidak sengaja, Lalu menjerit memegangi pahanya yang tertusuk tombak. Ia segera digotong oleh temannya. Salah seorang yang sudah berlari jauh terpaksa kembali lagi ke dekat tiang gantung.

"Sandalku ketinggalan!" ia memungut sandalnya dan kabur dengan secepat-cepatnya.

Yang tinggal di situ hanya Tua Bangka. Bengong-bengong, memandang ke sana-sini seperti orang pikun. Akhirnya ia memandang Suto Sinting dan terkejut melihat Suto masih hidup.

"Hahh...?!" lalu ia jatuh terkulai di tanah dengan lemas. Rasa kaget yang terlambat justru membuat Pendekar Mabuk tertawa geli.

"Hei, Tua Bangka... lepaskan tali pengikat tanganku ini, jangan duduk santai begitu!" kata Suto Sinting.

Tua Bangka geleng-geleng kepala dengan wajah begonya.

"Minum tuakku sedikit biar kau tidak linglung!" kata Suto.

Dengan gemetar Tua Bangka menenggak tuak Pendekar Mabuk.

"Sedikit saja! Jangan dihabiskan, Tolol!"

Tua Bangka sadar sudah terlalu banyak menenggak tuak. Akhirnya ia hentikan perbuatan itu, napasnya terengah-engah. Hatinya menjadi tenang. Kemudian ia melepaskan tali pengikat tubuh Suto. Tangan Suto pun melemparkan tali penjerat leher, dan ia bergerak turun pelan-pelan tanpa satu lompatan sedikit pun.Tua Bangka memandang tak berkedip gerakan tubuh yang turun secara pelan-pelan itu.

"Ck, ck, ck!" ia geleng-geleng kepala di depan Suto Sinting. "Jurus apa yang kau pakai itu, Anak Muda? Maukah kau mengajariku?"

* * *

DUA

KAKEK bergigi depan tinggal dua itu akhirnya mengikuti Suto Sinting. Padahal Suto Sinting sudah berkata kepadanya, "Kalau mau pergi ke suatu tempat, pergilah sana. Tak perlu mengikuti aku, Tua Bangka. Aku mau ke Pulau Jelaga, menolong seorang teman yang dalam kesulitan."

"Sebagai tanda terima kasihku atas tindakanmu menyelamatkan nyawaku, aku ingin ikut kau ke mana pun kau pergi, Suto."

Itulah sebabnya Suto Sinting melangkah bersama Tua Bangka, karena ia tak bisa menolak keinginan kakek berpakaian abu-abu itu. Dalam perjalanannya, Suto Sinting sempat bertanya kepada Tua Bangka tentang tuduhan memperkosa itu.

"Sebenarnya, seperti apa yang kau katakan kepada mereka, aku tidak mungkin bisa memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, sebab aku sudah... sudah tidak segesit dulu."

"Apa maksudmu tidak segesit dulu?"

"Artinya, kemampuanku memberi kemesraan kepada seorang perempuan sudah tidak ada. Sudah mati."

"Ooo...," Suto Sinting tertawa geli setelah memahami maksud kata-kata si Tua Bangka.

"Jangankan disuruh memperkosa, diberi secara cuma-cuma saja aku hanya bisa geleng-geleng kepala," sambung Tua Bangka.

"Lalu apa yang membuat Adipati Janarsuma menjatuhi hukuman gantung padamu?"

"Rasa sirik hati!"

"Sirik hati bagaimana?" desak Suto Sinting.

Tua Bangka sengaja berhenti di bawah pohon rindang, sekalian meluruskan napasnya yang bengkok karena perjalanan melelahkan itu. Mau tak mau Pendekar Mabuk ikut berhenti dan menenggak tuaknya. Tua Bangka terang-terangan meminta tuak itu karena haus, Suto Sinting memberikannya beberapa teguk.

"Aku ditangkap oleh prajurit kadipaten yang dipimpin Branjang Kawat pada saat aku merapatkan perahuku ke pantai," ujar Tua Bangka.

"Branjang Kawat itu ketua prajurit yang tadi mempimpin hukuman gantung?"

"Bukan. Branjang Kawat itu prajurit laga andalan sang Adipati."

"O, tunggu dulu... jadi kau punya perahu, Tua Bangka?"

"Ya. Aku menyimpannya di Teluk Karang. Karenanya kusarankan kau menuju ke arah barat daya, karena Teluk Karang ada di sana. Kau bisa gunakan perahuku untuk menyeberang ke Pulau Jelaga."

"Ooo... paham aku kalau begitu. Lalu, atas tuduhan apa kau ditangkap oleh Branjang Kawat?" tanya Suto yang masih penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya Tua Bangka itu.

"Dulu aku pernah mengabdi kepada sang Adipati sebagai juru taman. Tapi baru tiga purnama sudah dipecat, karena aku dianggap malas kerjaku hanya nonton Branjang Kawat melatih ilmu kanuragan kepada para prajurit kadipaten. Setelah beberapa waktu berlalu, tiba-tiba aku dicari mereka kembali dan ditangkap atas tuduhan mencuri sebuah pusaka. Padahal waktu aku pergi dari istana kadipaten, aku tidak mencuri apa-apa kecuali sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan."

"Pusaka apa maksudnya?" Suto Sinting makin tertarik.

"Nama pusaka itu adalah Kapak Setan Kubur."

Suto terkejut mendengar nama pusaka tersebut. "Kapak Setan Kubur pernah kudengar dari mulut Ayunda?" pikirnya, "Kalau tak salah ingat, seseorang yang mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka' hanya bisa dibunuh oleh Kapak Setan Kubur. Dan ilmu 'Mahkota Neraka' dimiliki oleh Gandapura, manusia titisan raksasa yang doyan makan daging manusia dan sekarang kabarnya sedang mengamuk di Pulau Jelaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan Tanpa Ajal). Tapi, apa benar Kapak Setan Kubur pernah dimiliki oleh Adipati Janarsuma?!"

Tua Bangka menjelaskan, "Aku tidak tahu apakah sang Adipati benar-benar punya pusaka seperti itu atau tidak, yang jelas aku dipaksa menyerahkan Kapak Setan Kubur. Tentu saja aku kebingungan dan tak bisa menuruti permintaan sang Adipati. Lalu, untuk menutup kabar tentang Kapak Setan Kubur agar tidak diketahui orang banyak, aku difitnah dengan tuduhan memperkosa istrinya. Aku mengelak, tapi tak mampu berbuat banyak karena Adipati kerahkan prajuritnya. Akhirnya aku dijatuhi hukuman gantung atas tuduhan itu. Tuduhan tersebut hanya sebagai alasan supaya aku bisa digantung, rakyat pun akan membenarkan keputusan sang Adipati. Padahal semua itu hanya gara-gara sang Adipati kecewa sekali terhadapku."

Gumam memanjang terdengar dari mulut Pendekar Mabuk yang manggut-manggut. Setelah diam dalam renungannya selama empat helaan napas, murid si Gila Tuak itu kembali ajukan tanya kepada si Tua Bangka. "Apakah sebelum kau dipecat dari kadipaten, kau pernah tahu bahwa sang Adipati mempunyai pusaka Kapak Setan Kubur?"

Tua Bangka menggeleng. "Aku tidak pernah dengar ia menyebut-nyebutkan nama pusaka itu. Soal punya dan tidak aku tidak mengerti, Suto."

"Kau tahu kekuatan sakti dalam pusaka Kapak Setan Kubur itu?"

Wajah tua bermata cekung itu gelengkan kepala. "Setahuku itu hanya isapan jempol."

"Lho, jempol siapa yang dihisap?"

"Artinya, hanya kabar bohong. Kapak Setan Kubur tidak ada. Sang Adipati mengarang-ngarang cerita saja. Maksud sebenarnya sudah kuketahui, ia menangkapku karena ia takut rahasia di dalam istana kubongkar kepada pihak lain."

"Rahasia apa itu?"

"Yaah... termasuk jalan rahasia yang langsung menuju pantai, termasuk kamar rahasia yang bisa tembus ke lorong menuju pantai untuk melarikan diri, dan... sebagainya. Adipati tak mau rahasia itu bocor dari mulutku. Lalu dia mengarang nama sebuah pusaka dan memfitnah kudemikian."

Pendekar Mabuk kembali termenung, ia sempat menggumam lirih dalam renungannya itu, "Kapak Setan Kubur hanya isapan jempol...? Tapi mengapa Ayunda pernah menyebutkannya? Bahkan katanya pusaka itu dimiliki oleh mendiang Nini Pucanggeni?!"

Tiba-tiba terdengar suara gelegar ledakan yang mengagetkan mereka berdua. Blegaarrr...!

"Apa itu!" Tua Bangka tersentak dan menjadi tegang.

"Gledek!" jawab Suto Sinting menenangkan diri, tapi hatinya penuh curiga.

"Gledek apa orang batuk?"

"Suaranya dari arah selatan sana. Kita lihat ada apa di balik lembah itu!"

Pendekar Mabuk dan Tua Bangka segera berlari kearah lembah sebelah selatan mereka. Tua Bangka tertinggal karena gerakannya lamban. Ternyata di balik lembah ada pertarungan seperti yang dibayangkan Pendekar Mabuk. Tetapi siapa yang bertarung, pada mulanya Suto tidak bisa menduga. Namun ketika ia melihat siapa yang bertarung, matanya menjadi terbelalak, karena ia merasa kenal dengan gadis cantik berbaju hitam dan celananya abu-abu. Gadis itu mempunyai rambut lurus sepundak dengan bagian depannya diponi. Wajah cantiknya berhidung mancung dan bermata bundar.

"Pinang Sari...?!" gumam Suto pada saat Tua Bangka sudah ada di sampingnya.

"Pinang Sari itu kekasihmu?" tanya Tua Bangka dalam bisik.

"Bukan. Kekasihku adalah Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi," jawab Suto, masih sempat membanggakan calon istrinya yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu. Lalu, ia menjelaskan siapa Pinang Sari yang dulu dikenalnya saat bertarung melawan Ayunda.

"Pinang Sari itu muridnya Nini Pucanggeni yang..."

"Pucanggeni?" gumam lirih Tua Bangka.

"Ya. Nini Pucanggeni. Kenapa termenung? Kau kenal dengan mendiang Nini Pucanggeni?"

Tua Bangka gelengkan kepala. "Namanya bagus, pasti orangnya cantik. Tapi... kau sebut dia 'mendiang'? Apakah dia sudah mati?"

"Sudah. Dibunuh oleh Ayunda, muridnya Nyai Gerhani Semi. Murid dan guru ini pun sudah mati dalam peristiwa Pertarungan Tanpa Ajal."

Tua Bangka menggumam dengan wajah datar. Lalu memandang ke arah pertarungan. "Lalu, lelaki yang bertarung melawan Pinang Sari itu siapa?" tanyanya.

"Aku tidak tahu. Baru sekarang kulihat wajah angker lelaki kerempeng itu."

Orang kerempeng yang menjadi lawan Pinang Sari itu memakai jubah coklat tua yang lusuh dengan celana merah tanpa baju dalam. Tulang iganya kelihatan bertonjolan. Wajahnya tampak angker, karena matanya biar kecil tapi memancarkan kebengisan. Rambutnya kucal, tipis, panjang sebatas punggung. Lelaki itu menyelipkan senjata di pinggangnya berupa pedang lengkung panjangnya satu lengan, tapi ukurannya cukup kecil.

Pedang itu belum dicabutnya, ia masih menggunakan tangan kosong dalam melawan Pinang Sari. Tangannya itu bagaikan besi yang mampu membuat pohon yang terhantam menjadi somplak besar. Pinang Sari masih tampakkan kelincahannya dengan melenting ke atas dan bersalto hindari serangan orang kurus itu.

Wuukkk...! Pinang Sari mendarat ke belakang orang kurus itu dalam jarak lima langkah. Orang kurus itu segera balikkan badan dan sentakkan satu tangannya ke depan. Wuuttt...!

Slaapp...!

Sinar merah lurus tanpa putus keluar dari tangan telapak tangannya. Sinar sebesar jempol kaki itu menghantam ke dada Pinang Sari. Tapi dengan cepat Pinang Sari mencabut trisula putihnya dan dihadangkan ke arah datangnya sinar merah tersebut.

Taarrr...! Terdengar suara letupan kecil saat sinar merah itu menabrak trisula. Kemudian trisula itu sendiri menyebarkan sinar hijau patah-patah, seperti jarum yang berjumlah puluhan batang. Praatak...!

Bleegarrr...!

Dentuman hebat terjadi cukup menakjubkan. Gelombang ledakan itu menyentak kuat dan membuat tubuh Pinang Sari terlempar ke sembarang arah sejauh delapan langkah. Tubuh orang kerempeng itu terpental naik ke atas dan melayang-layang kehilangan keseimbangan, lalu jatuh berdebam di tempatnya berdiri tadi. Bluukkk...!

"Dahsyat sekali...?! Ck, ck, ck...!" Tua Bangka geleng-gelengkan kepala penuh rasa kagum.

"Kau tunggu di sini, Tua Bangka. Aku akan membantu Pinang Sari."

Tua Bangka mencekal lengan Suto Sinting. "Jangan! Orang kurus itu punya kesaktian sangat dahsyat. Nanti kau mati kalau melawan dia."

"Akan kau lihat sendiri siapa yang tumbang nanti!"

"Jangan ke sana!" sentak Tua Bangka dengan roman wajah tegang. "Nanti aku berteriak lho kalau kau nekat kesana."

Suto Sinting tertawa tanpa suara mendengar ancaman seperti anak kecil itu. Matanya kembali menatap ke pertarungan. Ternyata Pinang Sari sudah siap berdiri menghadapi lawannya, walau dari mulutnya tampak ada darah yang mengalir membasahi dagu samping.

Orang kerempeng itu pun sudah berdiri dan maju dengan wajah berang. Sebelum mencapai jarak lima langkah di depan Pinang Sari, ia hentikan langkah dengan napas terengah-engah. "Pinang Sari, kalau kau tetap berkeras kepala, aku tak akan mengampunimu lagi. Kupecahkan kepalamu sekarang juga!"

Pinang Sari menjawab dengan berani, "Aku tak akan mundur melawanmu, Papan Rayap!"

Tua Bangka cekikikan, mulutnya buru-buru dibekap oleh Suto Sinting. "Sssttt...!"

Tangan itu disingkirkan oleh Tua Bangka. "Aku geli. Nama kok Papan Rayap. Apa tidak ada yang lebih bagus lagi?"

"Itu sebuah julukan saja, Tua Bangka. Mungkin karena tubuhnya kurus dan tipis seperti papan sehingga ia berjuluk Papan Rayap."

"Mungkin juga karena wajahnya mirip rayap jadi julukannya Papan Rayap, begitu ya?"

Pendekar Mabuk tak sempat menyimak ucapan Tua Bangka karena telinganya segera dipasang untuk mendengarkan perdebatan antara Pinang Sari dengan si Papan Rayap.

"Kau benar-benar masih meremehkan aku, Pinang Sari! Sebenarnya aku ragu untuk menghancurkanmu saat ini. Sebaiknya jangan paksa aku untuk berbuat lebih keji dari yang sudah kulakukan tadi. Serahkan saja pusaka Kapak Setan Kubur itu padaku, dan kau akan selamat sepanjang masa."

Suto Sinting kaget mendengar Kapak Setan Kubur diucapkan oleh si Papan Rayap. Tua Bangka pun tampak berkerut dahi dengan heran, tapi tak bicara apa-apa. Yang terdengar saat itu adalah suara Pinang Sari yang melengking tinggi.

"Koreklah telingamu dengan pedangmu, Papan Rayap. Sejak tadi sudah kukatakan, aku tidak tahu menahu tentang pusaka Kapak Setan Kubur!"

"Mendiang gurumu memiliki kapak itu!"

"Omong kosong!" bantah Pinang Sari. "Guru tidak pernah ceritakan soal pusaka itu. Beliau tak pernah menyinggung-nyinggung sedikit pun tentang pusaka tersebut. Kuharap kau jangan mengada-ada, Papan Rayap!"

"O, kau masih berlagak bodoh rupanya. Baiklah, aku terpaksa memberimu pelajaran yang ketiga. Hiaaatt...!" Sraang...!

Pedang lengkung ujungnya itu dicabut oleh Papan Rayap sambil lakukan serangan melompat ke depan. Wuuttt...! Kemudian ia tebaskan pedang itu ke pundak Pinang Sari. Sayangnya trisula putih masih dalam genggaman Pinang Sari, sehingga mampu untuk menangkis pedang tersebut.

Trang, trang, trang, blaarr...!

Ledakan terjadi lagi karena kedua senjata itu beradu dengan dialiri tenaga dalam. Sinar biru bening memercik sekejap, lalu sirna tanpa timbulkan asap apa pun. Papan Rayap semakin cepat membabatkan pedangnya ke arah lawan.

Bed, bed, bed, bed...!

Pinang Sari melompat-lompat hindari serangan pedang, namun pihak Papan Rayap mendesak terus dengan tebasan pedangnya ke berbagai arah. Sesekali Pinang Sari menangkis dengan trisulanya.

Trang, trang, trang, trang...!

Sampai pada satu ketika, pedang itu bergerak dengan gerakan meliuk dari bawah ke atas dan sukar ditangkis Pinang Sari karena ia sudah tertipu gerakan pedang sebelumnya.

Wuuttt...! Brreett...!

"Aaauh...!" Pinang Sari terpekik. Ulu hatinya bagaikan sedang dibedah oleh pedang lengkung itu. Ia segera tersentak mundur dan tergagap-gagap. Darah menyembur dari luka panjang tersebut.

Brrukk...! Pinang Sari jatuh terjengkang, kini ia terkapar dengan tubuh menggigil. Rupanya pedang si Papan Rayap beracun ganas. Dalam waktu cukup singkat tubuh Pinang Sari mulai dikerumuni rayap yang muncul dari dalam tanah akibat mencium bau racun pedang yang bercampur dengan darah. Binatang putih kecil-kecil itu semakin banyak jumlahnya dan membuat Pinang Sari menjerit karena jijik.

"Katakan di mana kau simpan kapak itu! Lekas! Kalau tidak kau katakan, akan kubiarkan rayap-rayap itu menggerogoti tubuhnya hingga menjadi tulang belulang!"

Namun sekelebat bayangan segera bergerak menerjang Papan Rayap. Bruuss...! Papan Rayap terpelanting dan jatuh dengan menyedihkan karena kepalanya bagaikan disambar kaki petir. Hampir saja ujung pedangnya menancap di lambung kiri.

Seorang pemuda berwajah ganteng tapi masih tampak remaja berdiri dengan badan tegap. Pemuda itu memakai rompi hijau berhias benang emas pada tepiannya. Celananya juga hijau menyala berhias benang emas tepiannya. Sabuknya hitam, menyelipkan sebilah pedang dari sarung perak. Rambutnya panjang digulung tengah, sisanya meriap sampai sepundak, ia berdiri tegak dengan kaki sedikit terentang.

Suto Sinting kerutkan dahi, karena masih merasa asing dengan pemuda yang diperkirakan berusia sekitar sembilan belas tahun itu. Tua Bangka juga merasa asing dengan pemuda itu, sehingga berbisik kepada Suto Sinting.

"Siapa bocah ganteng itu?"

"Aku tak tahu, dan baru sekarang melihatnya. Kurasa dia kekasihnya Pinang Sari."

"Ooo... pantas dia berani menerjang Papan Rayap, mungkin untuk menunjukkan cintanya, sehingga ia lakukan bela pati buat si gadis cantik itu, ya?"

Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek dan anggukkan kepala. Karena saat itu Papan Rayap telah bangkit dan menatap pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebih tajam lagi.

"Siapa kau, Monyet sawah?!" gertak Papan Rayap. "Lancang sekali kakimu, berani menendang kepala orang setua aku. Mau cari modar kau, hah?!"

"Aku yang bernama Darah Prabu!" jawabnya tegas dengan suara mudanya. "Mungkin kau belum mengenalku, Papan Rayap. Karena memang baru sekarang aku diizinkan oleh guruku untuk turun gunung."

"Keparat! Siapa gurumu, Bocah kurap?!"

"Resi Badranaya!"

"Persetan dengan nama itu. Aku tidak kenal! Menyingkirlah dari sini dan jangan ikut campur urusanku lagi kalau kau mau selamat!"

"Kau langkahi dulu bangkaiku baru kau bisa teruskan urusanmu dengan kakakku; Pinang Sari!"

"Ooo... dia adiknya Pinang Sari?!" gumam Suto Sinting yang membuat Tua Bangka juga manggut-manggut.

"Darah Prabu!" sentak Papan Rayap. "Kalau memang itu yang menjadi tekadmu, terimalah jurus 'Pedang Jalang-ku ini! Heaaah...!"

Papan Rayap melompat dengan cepat bagaikan angin berhembus. Darah Prabu tidak menghindar, melainkan justru menyongsong terjangan Papan Rayap.

Wuusss...! Brruusss...! Praaang...!

Lalu keduanya saling melintas tukar tempat. Wuutt...! Jleegg...! Ternyata si Darah Prabu sudah menggenggam pedangnya dengan kokoh. Ia mendarat ke tanah dalam keadaan memunggungi Papan Rayap. Ujung pedangnya tampak basah oleh darah. Berarti Papan Rayap terluka oleh pedang itu.

Papan Rayap yang juga memunggungi Darah Prabu diam sesaat dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah. Kemudian ia balikkan badan secara pelan-pelan, demikian juga Darah Prabu. Lalu, tampaklah luka menganga di bawah pundak Papan Rayap. Luka itu mengucurkan darah segar hingga basahi bagian tubuh bawahnya.

"Bagus sekali gerakan pedang anak muda itu?" pikir Pendekar Mabuk. "Tapi ia tak perhatikan kalau Pinang Sari sudah mulai kelojotan diserang ratusan rayap begitu. Bahaya sekali kalau tak segera kutolong. Aku harus bertindak cepat."

"Hei, Suto... mau ke mana! Jangan ke sana nanti kamu kesabet pedang mereka!" cegah Tua Bangka sambil pegangi kain celana Pendekar Mabuk, membuat langkah Pendekar Mabuk tertahan.

"Aku mau selamatkan Pinang Sari! Lepaskan celanaku!"

"Jangan! Nanti kau celaka!"

"Tidak. Lepaskanlah... lepaskan...!" Wreekk...!

"Aduh, kau ini.... Lihat, celanaku malah robek begini?"

"Wah, maaf. Maaf sekali, Suto. Aku tak sengaja membuat pantatmu jadi mengintip begitu. Maaf...!" Tua Bangka jadi ketakutan. Untung robeknya celana tak terlalu lebar.

Suto Sinting menutupnya dengan menurunkan kain ikat pinggang hingga tak kentara kalau celananya robek. Dengan cepat ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu. Zlaappp...!

Sementara itu, Papan Rayap semakin garang, ia menjadi sangat murka karena tubuhnya sudah dilukai oleh anak muda itu. Dengan satu lompatan cepat lagi ia menyerang Darah Prabu.

"Heeeaaattt...!"

Darah Prabu lakukan sentakan kaki ke tanah, dan tubuhnya melambung tinggi dalam gerakan jungkir balik. Wuuutt...! Pedang lawan yang mengibas ke atas ditangkis dengan pedangnya.

Trang, trang, trang...!

Mereka sibuk lanjutkan pertarungan. Suto Sinting sibuk singkirkan rayap-rayap dari tubuh Pinang Sari yang telah lemas tak berdaya itu. Mulut gadis itu dingangakan dengan satu tangan, kemudian dituangi tuak ke dalamnya. Beberapa tuak tertelan oleh Pinang Sari, hingga gadis itu terbatuk-batuk. Namun tuak itulah yang menyelamatkannya dari luka racun. Tuak itulah yang membuat rayap-rayap merasa mabuk, sehingga pulang ke dalam tanah menurut tempatnya masing-masing.

Trang, trang, trang...! Duuaarrr...!

Ledakan itu mengagetkan Pendekar Mabuk. Suaranya bagai di depan telinga kanan, ia segera bangkit memandang ke arah pertarungan. Rupanya si kerempeng Papan Rayap lepaskan kekuatan tenaga dalamnya melalui pedang lengkungnya. Pertarungan pedang itu membuat ledakan cukup dahsyat karena keduanya menggunakan tenaga dalam. Tapi agaknya Darah Prabu masih kalah kuat. Ia terpental melambung dan jatuh ke semak-semak.

Brruusss...!

Namun keadaan Papan Rayap pun cukup berbahaya. Selain terluka pada bagian bawah pundak, separo wajahnya menjadi biru legam akibat gelombang ledakan tadi. Ia tampak limbung, tenaganya bagai berkurang sangat banyak. Namun ia masih berusaha memandang ke arah Pinang Sari. Ia sangat terkejut melihat kehadiran Pendekar Mabuk di samping Pinang Sari. Matanya masih berusaha memandang bengis kepada pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu.

"Siapa kau, Setan tengil...?!" gertaknya dengan tubuh agak terbungkuk-bungkuk karena menahan sakit dipundak. "Kaukah yang menyimpan Kapak Setan Kubur itu, hah?! Mengaku saja, atau kutebas sekalian lehermu!"

"Jangan galak-galak, nanti kau mati terpenggal pedangmu sendiri!" kata Suto Sinting dengan kalem.

"Keparat! Aku tak butuh pelajaranmu. Kau yang butuh pelajaranku. Heeaaah...!"

"Wah, nekat orang ini!" gumam Suto Sinting yang segera mengibaskan bumbung tuaknya untuk menyambut datangnya pedang si Papan Rayap.

Weesss...!

Praakk...!

Buuhhg...!

Pedang patah menjadi empat potong karena menghantam bumbung tuak Pendekar Mabuk. Kaki kanan Pendekar Mabuk pun berkelebat menendang tepat di ulu hati Papan Rayap. Orang itu terpental jauh hingga menabrak sebatang pohon tak terlalu besar.

Brruusk...!

"Aaahgg...!" darah segar menyembur dari mulut Papan Rayap. Matanya terbeliak dalam keadaan terbungkuk dan berlutut.

Darah Prabu mulai melangkah lagi dalam keadaan hidung berdarah. Matanya terkesiap melihat Papan Rayap berada kurang lebih delapan tombak darinya, ia juga tadi melihat Papan Rayap menyerang Pendekar Mabuk yang membuat pedang orang kerempeng itu patah dengan ringkihnya. Rasa kagum itu segera dipendam dan ia mendekati Papan Rayap. Pedang peraknya masih di tangan. Pedang itu hendak ditebaskan ke arah Papan Rayap.

"Tahan!" seru Suto Sinting.

* * *

TIGA

ORANG kerempeng bertampang angker itu segera larikan diri ketika gerakan pedang Darah Prabu terhenti oleh seruan Pendekar Mabuk. Bahkan ketika pemuda berompi hijau itu hendak mengejarnya, Suto Sinting mencegahnya dengan seruan pula. Akhirnya mereka berkumpul berempat. Pinang Sari mulai sehat, lukanya bagaikan mengatup dengan sendirinya setelah menenggak tuak saktinya Suto Sinting. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Begitu ia bangkit dan memandang ke arah Darah Prabu, ia langsung menghambur dan memeluk Darah Prabu. Pemuda ganteng berwajah remaja itu diciuminya beberapa kali dalam tawa kebahagiaan.

"Kau sudah diizinkan turun gunung oleh gurumu? Atau melarikan diri dengan kenakalanmu?!"

"Aku memang diizinkan turun gunung oleh Guru, Yu Pinang."

Pinang Sari mencubit pipi adiknya dengan gemas. Kemudian memperkenalkan adiknya kepada Pendekar Mabuk setelah terlebih dulu berkata.

"Syukurlah kau segera muncul, Suto. Racun pada pedang si Papan Rayap itu cukup berbahaya dan nyaris membuatku kehilangan nyawa."

"Dia memang tokoh alot tapi memualkan perut kalau dipandang terlalu lama."

"Yu Pinang, siapa orang ini? Apakah dia kekasihmu, Yu?"

Pinang Sari tersenyum malu. "Dia adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak."

"Ooh...?!" Darah Prabu tercengang kaget. "Murid Eyang Gila Tuak?!" sambil matanya membelalak memandangi Suto Sinting.

Suto tersenyum dan berkata, "Mengapa kau memanggil guruku dengan sebutan 'Eyang'?"

"Guruku sering bercerita tentang kehebatan Eyang Gila Tuak dan Eyang Bidadari Jalang. Aku jadi kagum kepada beliau. Guruku adalah sahabat beliau. Dan aku juga sering mendengar cerita tentang kehebatan murid Eyang Gila Tuak. Ternyata kaulah muridnya, Kang. Sungguh tak kusangka aku bisa bertemu dengan murid Eyang Gila Tuak secepat ini! Padahal aku baru turun gurun delapan hari dan mencari kakakku; Pinang Sari ini. Aku senang sekali bisa jumpa pendekar sakti, Yu Pinang."

Suto Sinting menyahut, "Kau pun cukup sakti, Darah Prabu. Gerakan pedangmu sangat mengagumkan."

"Oh, aku belum ada sekuku hitamnya dibandingkan dirimu, Kang Suto!"

Tua Bangka menimpali, "Anak yang baik. Semakin tinggi ilmunya semakin menunduk. Seperti setangkai padi, semakin berisi semakin tunduk. Kalau ingin punya ilmu lebih dahsyat lagi, bergurulah kepada Pendekar Mabuk ini, Nak!"

"Begitukah menurutmu, Kek?" Darah Prabu tersenyum, segera memandang Suto Sinting dan bertanya, "Apakah kau datang bersama kakekmu ini, Kang?"

"Aku bukan kakeknya Suto!" potong Tua Bangka. "Aku... aku adalah penasihatnya Pendekar Mabuk. Ya, penasihat pribadi!"

Suto Sinting melirik dengan sedikit bersungut-sungut. Tua Bangka tak enak hati, sehingga berkata kepada Darah Prabu, "Maksudnya, penasihat yang jarang sehat. He, he, he...!"

Tiba-tiba gadis cantik itu berkerut dahi dan berkata pelan, "Tua Bangka, aku sepertinya pernah melihatmu sebelum ini."

"O, ya?! Di mana kau melihatku, Anak manis?"

"Entah. Aku lupa. Tapi aku merasa pernah melihatmu. Mungkin... mungkin dalam mimpi."

"Memang dari muda aku sering menjadi impian para gadis," kata Tua Bangka dengan nada sombong, membuat Suto Sinting mencibir geli.

"Apakah kau kenal dengan Papan Rayap tadi, Darah Prabu?!" tanya Suto Sinting mengalihkan pembicaraan.

"Tidak. Aku tidak kenal dengan si Papan Rayap."

"Tapi kudengar kau tadi menyebutkan namanya."

"Ya, karena saat Yu Pinang berdebat dengan Papan Rayap, aku mendengar namanya disebutkan oleh Yu Pinang. Aku sengaja ingin melihat kehebatan kakakku, karenanya aku tak mau muncul dari persembunyianku di balik pohon sana tadi."

"Papan Rayap adalah orang Pantai Ajal," sahut Pinang Sari

"Pantai Ajal...?! Bukankah tempat itu adalah wilayah kekuasaan si pemakan daging manusia; Gandapura?!"

"Memang dia salah satu dari kaki-tangan si Gandapura!" kata Pinang Sari. "Sebab itu dia ditugaskan mencari pusaka Kapak Setan Kubur. Karena Gandapura mulai mendengar desas-desus munculnya pusaka Kapak Setan Kubur di rimba persilatan, ia menjadi cemas, sebab Kapak Setan Kubur dapat membuatnya tumbang, walau ia punya kesaktian yang bernama ilmu 'Mahkota Neraka'."

"Ilmu apa itu sebenarnya?" tanya Tua Bangka.

"Ilmu 'Mahkota Neraka' itu sebuah ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati. Orang itu bisa mati kalau ilmu tersebut sudah dititiskan ke orang lain, atau ia terkena pusaka Kapak Setan Kubur. Sebab itulah Gandapura menyuruh anak buahnya melenyapkan Kapak Setan Kubur, supaya tak akan ada orang yang bisa melawannya."

Tua Bangka manggut-manggut, tapi sepertinya tidak terlalu menggapai penjelasan tersebut, karena matanya melirik kanan-kiri dengan cemas. Sepertinya ia merasa takut kalau-kalau Papan Rayap muncul dari belakangnya dan menyerang mereka dengan ganas. Hanya Suto Sinting dan Darah Prabu saja yang memperhatikan penjelasan Pinang Sari, sehingga Suto Sinting segera ajukan tanya kepada gadis berponi indah itu.

"Bukankah dulu kau bilang padaku tidak tahu-menahu tentang Kapak Setan Kubur? Dan kau juga bilang bahwa mendiang gurumu tak pernah menyebut-nyebutkan pusaka itu? Tapi sekarang kau bisa menjelaskannya dengan lancar. Apakah sebenarnya kapak itu ada di tanganmu? Atau masih berada dalam pondok mendiang gurumu?"

"Tidak. Mendiang guruku memang tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Kapak Setan Kubur. Tapi ketika aku bertarung dengan Ayunda dan berhasil melumpuhkannya, sebelum akhirnya ia kubawa ke bukit pertarungan antara Eyang Poci Dewa dengan Ki Buyut Gerang itu, aku sempat tanyakan apa alasan Ayunda membunuh guruku dengan racunnya. Lalu ia jelaskan tentang dua tugas dari gurunya: Nyai Gerhani Semi, yaitu mengacaukan tiga perguruan, termasuk perguruanku sendiri, supaya perguruannya menjadi menonjol. Tugas kedua adalah merampas pusaka Kapak Setan Kubur dari tangan guruku. Padahal Guru tidak tahu menahu tentang Kapak Setan Kubur, sehingga Ayunda jengkel dan membunuh guruku. Dengan kematian guruku maka Ayunda bebas dari tugas mencari Kapak Setan Kubur."

Tua Bangka ikut-ikutan manggut-manggut setelah melihat Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut pula. Tapi tiba-tiba Darah Prabu berkata dengan sikapnya yang tenang.

"Sepertinya aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang seseorang yang tinggal di... di mana, ya? Ah, aku lupa nama tempatnya. Tapi aku masih ingat nama orangnya."

"Siapa nama orangnya?" sergah Suto Sinting dengan rasa ingin tahu menggebu-gebu.

Darah Prabu menjawab, "Namanya adalah Empu Tapak Rengat."

Pinang Sari tampak terperanjat. "Tidak mungkin, Darah Prabu. Empu Tapak Rengat tidak mungkin memiliki pusaka Kapak Setan Kubur."

"Apa alasanmu bilang begitu?" tanya Suto Sinting.

"Karena aku kenal baik dengan Empu Tapak Rengat yang tinggal di kaki Gunung Bunting."

"Nah, benar! Gunung Bunting nama tempat itu!" sahut Darah Prabu dengan bersemangat.

"Tapi itu tak mungkin, Darah Prabu. Guruku sahabat dekatnya Empu Tapak Rengat. Kata Guru, sudah selama dua puluh lima tahun Empu Tapak Rengat tidak mau berurusan dengan senjata atau pusaka apa-apa lagi, yaitu sejak istrinya meninggal akibat pusakanya sendiri yang haus darah itu: Keris Serap Getih. Jadi, menurutku Empu Tapak Rengat tidak menyimpan pusaka itu, sebab ia tidak mau punya pusaka dan senjata apa pun. Bahkan hidupnya cenderung menyepi dan tidak ingin mencampuri urusan duniawi lagi."

"Siapa tahu semua pusaka dan senjata diwariskan kepada muridnya?"

"Empu Tapak Rengat tidak mempunyai murid," kata Pinang Sari. "Satu-satunya yang ia miliki adalah seorang anak perempuan yang bernama: Tembang Selayang."

"Mungkin dialah yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur" sela Suto Sinting.

"Ah, kalian terlalu bodoh, dibohongi oleh cerita edan mau saja," kata Tua Bangka sambil bersungut-sungut.

Mereka memandang Tua Bangka dengan dahi berkerut dan senyum tipis. Tua Bangka menambahkan kata, "Dari muda sampai setua ini aku belum pernah mendengar nama pusaka aneh seperti itu. Itu tandanya kabar tentang pusaka Kapak Setan Kubur hanya isapan jempol; entah jempol tangan atau jempol kaki, yang jelas itu bohong semata!"

"Matanya siapa?" sela Suto Sinting menanggapi dengan santai juga.

"Mungkin mata kalian itulah yang dibohongi!" gerutu Tua Bangka.

Darah Prabu dan Pinang Sari menjadi heran dan menampakkan wajah keraguannya. Akhirnya Darah Prabu berkata, "Aku perlu tanyakan kepada Guru tentang kebenaran pusaka itu. Ada atau tidak, dan benarkah Empu Tapak Rengat tidak mau memegang senjata pusaka lagi. Aku perlu jawaban dari Guru secepatnya."

"Aku akan mendampingimu," kata Pinang Sari. "Aku juga perlu menceritakan kematian guruku kepada Resi Badranaya, sebab kudengar kabar dari seorang tokoh tua yang telah tiada; Resi Badranaya adalah kakak sepupu mendiang guruku."

Suto menyahut, "Kalau begitu aku akan ke Gunung Bunting untuk temui Empu Tapak Rengat. Akan kutanyakan kebenaran tentang pusaka itu juga."

"Baiklah, kita berpisah untuk sementara waktu Suto," kata Pinang Sari. "Sepertinya kita akan jumpa lagi dalam peristiwa Kapak Setan Kubur ini. Kita sama-sama mencari keterangan sejelas-jelasnya."

"Kau mau ikut siapa, Tua Bangka?" tanya Suto Sinting. "Ikut Pinang Sari atau ikut aku, atau mau pergi sendiri?"

Setelah berpikir dengan suara gumam tak jelas, Tua Bangka berkata, "Aku lebih baik ikut kau saja, Suto. Karena sepertinya aku butuh bantuanmu lagi."

"Soal apa itu?"

"Mencari cucuku yang hilang beberapa waktu yang lalu."

"Siapa cucumu itu, Tua Bangka?"

"Cawan Pamujan. Dia satu-satunya cucu kesayanganku yang masih hidup."

"Semuanya ada berapa cucu?"

"Ya, cuma satu. itu saja," sambil ia melangkah mendekati semak, memungut sebatang kayu kering yang enak dipakai untuk tongkat berjalan. Pada saat ia membungkuk, tiba-tiba seberkas kilatan cahaya pantulan matahari berkelebat menuju ke arah punggung si Tua Bangka. Gerakan datangnya kilatan cahaya menyilaukan itu terlihat oleh ekor mata Darah Prabu. Dengan cepat anak remaja itu mengibaskan tangan kanannya kesamping.

Wuutt...! Slaapp...! Tring !

Ternyata senjata rahasia seseorang yang diarahkan ke punggung Tua Bangka dihantam telak oleh senjata rahasianya Darah Prabu. Kedua benda kecil itu jatuh di samping Tua Bangka. Keadaan itu membuat wajah Suto Sinting dan Pinang Sari terperanjat seketika. Lalu kedua orang itu sama-sama memandang ke arah datangnya senjata rahasia yang ingin menyerang Tua Bangka itu. Sekelebat bayangan melesat dibalik kerimbunan pohon. Suto Sinting segera mengejarnya. Zlaapp! Langkahnya begitu cepat hingga mirip orang menghilang.

"Siapa yang mau membunuhku?" gumam Tua Bangka sambil memungut dua senjata rahasia yang saling menempel rekat itu. Yang satu berbentuk seperti bunga matahari, bergerigi runcing mengkilap, yang satu berbentuk seperti mata garpu tiga runcing, terbuat dari logam baja hitam.

"Yang ini senjataku," kata Darah Prabu sambil mengambil sekeping logam mirip mata garpu itu.

"Yang satunya ini milik siapa?"

"Ya, milik orang yang mau membunuhmu!" kata Pinang Sari kepada Tua Bangka.

"Senjata ini mempunyai racun ganas, terlihat ujung runcingnya berwarna kebiru-biruan," kata Darah Prabu.

"Kenapa bisa menempel menjadi satu dengan senjatamu?" tanya Pinang Sari kepada adiknya.

"Senjata rahasiaku ini terbuat dari baja sembrani. Mampu menyedot logam lain atau menempel di logam lain."

Tua Bangka segera mengambil posisi di belakang Pinang Sari dengan rasa takut ketika Suto Sinting menerabas ilalang dan muncul dengan memanggul seseorang di pundaknya.

Brrukkk...! Orang itu diletakkan ke tanah seperti membanting karung. Mata mereka memandang kepada orang yang baru saja ditangkap Pendekar Mabuk.

Suto bertanya kepada Tua Bangka. "Kau kenal dengan orang ini?"

Tua Bangka pandangi sosok lelaki muda berbadan kurus. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Rambutnya pendek, mengenakan rompi hitam dan celana hitam. "Ak... aku... aku tidak kenal dengan anak ini. Mengapa kau tanyakan padaku, Suto? Kau pikir dia cucuku yang bernama Cawan Pamujan?!"

"Bukan begitu, Tua Bangka. Kuhantam dia dengan jurus 'Jari Guntur'-ku, dan ia pingsan seketika karena seranganku mengenai ulu hatinya. Orang ini yang berkelebat lari setelah kau diserang dengan senjata rahasia."

"Mengapa kau bawa kemari?! Nanti dia malah mudah membunuhku, Bodoh!" sentak Tua Bangka dengan kegugupannya karena masih merasa ngeri membayangkan senjata rahasia yang nyaris merenggut nyawanya itu.

"Kupikir kau kenal dengan anak ini, sehingga perlu didesak apa alasannya melemparkan senjata berbahaya ke punggungmu. Ternyata kau tidak mengenalnya. Hmmm... kau kenal dia, Darah Prabu?"

Anak muda belia itu gelengkan kepala. "Aku tidak mengenalnya, Kang. Aku juga tidak punya musuh seperti dia."

"Bagaimana dengan kau, Pinang Sari?"

Gadis itu menggeleng samar-samar. "Aku juga tidak mengenalnya. Tapi bisa kita tanyakan kalau dia sudah siuman nanti."

"Kalau begitu kubikin dia siuman sekarang juga!"

Claapp...! Tiba-tiba sinar merah berkelebat menerobos pertengahan jarak berdiri antara Pinang Sari dan Darah Prabu. Sinar sebesar lidi itu menghantam leher orang berompi hitam.

Jraab...! Taaarr...!

Letupan kecil terdengar bersamaan dengan pecahnya leher orang tersebut. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan mereka. Orang muda berompi hitam itu pun tak akan bangun selamanya karena lehernya hampir putus dihantam sinar merah tadi.

"Kurang ajar!" geram Suto Sinting, ia segera melesat ke arah datangnya sinar merah tadi. Zlaapp...!

"Pinang... jangan ikut mengejar! Nanti aku sendirian di sini!" Tua Bangka gemetar takut.

Gerakan si pemilik sinar merah itu cukup cepat, atau memang Pendekar Mabuk salah arah dalam mengejarnya. Orang tersebut tak berhasil ditangkap oleh Pendekar Mabuk. Beberapa saat lamanya Suto mencari orang itu ke beberapa arah, namun tetap tidak berhasil ditemukan.

"Agaknya aku sudah telanjur salah arah dalam mengejarnya. Sebaiknya aku segera kembali menemui Tua Bangka. Barangkali kakek ompong itu punya bayangan siapa kira-kira orang yang ingin membunuhnya itu."

Namun alangkah terkejutnya Suto begitu kembali ketempat semula, ternyata Tua Bangka sudah tidak ada ditempat. Pinang Sari dan Darah Prabu juga tidak ada ditempat. Yang tinggal hanya mayat orang berompihitam.

"Ke mana mereka perginya?!" pikir Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. "Apakah orang yang kukejar tadi yang membawa pergi mereka? Oh, kalau begitu aku tertipu oleh pancingannya?! Sial! Aku pasti tertipu olehnya, ia sengaja memancingku agar mengejarnya dengan cara membunuh orang berompi hitam itu. Pada saat aku tidak ada ia datang dan melumpuhkan mereka bertiga. Lalu mereka bertiga dibawanya pergi dan...," Suto Sinting diam sebentar. Ada kejanggalan yang ditemukan di tempat itu.

"Tak ada tanda-tanda pertarungan?! Setidaknya Darah Prabu atau Pinang Sari akan melakukan perlawanan jika orang itu menyerang mereka. Paling tidak bunyi ledakan tenaga dalam beradu pasti akan kudengar. Tapi dari tadi aku tidak mendengar suara ledakan apa pun. Dan tempat ini tidak menampakkan bekas terjadi pertarungan. Mungkinkah Tua Bangka, Darah Prabu, dan Pinang Sari dilumpuhkan dalam sekejap lalu mereka dibawa pergi? Dengan apa membawanya? Apakah orang itu tidak sendirian?"

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sesaat. Setelah itu diam berpikir sambil duduk di bawah pohon rindang. Matanya pandangi keadaan sekeliling dengan jeli. Lalu tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan jauh di seberang sana. Suto Sinting tidak mau kehilangan jejak lagi

"Pasti dialah orangnya yang tadi gagal kukejar!"

Zlaaap...! Ia bergerak dengan cepat bagaikan menghilang. Bayangan ungu itu dikejarnya dengan memotong arah gerak bayangan. Suto Sinting bermaksud menghadang orang tersebut. Kali ini usaha Pendekar Mabuk tidak sia-sia. Ia berhasil mencegat orang berpakaian ungu di kaki bukit. Orang itu pun hentikan langkah begitu melihat pemuda tampan berdiri menghadangnya dengan sikap tenang.

"Oh, ternyata dia seorang gadis?!" gumam Suto dalam hatinya.

Gadis itu mengenakan jubah ungu, tapi pinjung dalamnya berwarna merah tua. Celana ketatnya sebatas pertengahan betis itu juga berwarna merah tua dari kain beludru dihiasi manik-manik warna perak. Gadis yang diperkirakan berusia dua puluh tiga tahun itu bertahi lalat di sudut bibir atasnya. Kecantikannya menggetarkan hati. Hidungnya mancung dan matanya sedikit lebar namun tak bundar. Bulu matanya lentik dan alisnya tebal namun berbentuk indah. Ia berambut panjang dengan potongan rambut disanggul seluruhnya. Beberapa helai rambut berjuntai di kanan-kiri telinganya yang bergiwang ungu sebesar kacang tanah.

Gadis berkulit langsat itu pandangi Suto tiada berkedip. Bibirnya yang tak begitu mungil namun berbentuk indah menggemaskan itu masih tetap terkatup tanpa gerak sedikit pun. "Mau apa kau berdiri di depanku?!" hardik gadis itu dengan sikap berani.

"Kau yang membunuh orang berompi hitam itu! Aku perlu bicara padamu," kata Pendekar Mabuk bersikap langsung menuduh.

Agaknya gadis yang menyandang pedang di punggungnya itu terdesak dengan tuduhan Pendekar Mabuk. Akhirnya ia berkata dengan wajah kian ketus. "Memang aku yang membunuhnya, karena urusan pribadi yang tak bisa dicampuri orang lain."

"Boleh tahu urusan pribadimu itu?"

"Untuk apa kau tahu?"

"Karena kau telah membawa lari ketiga sahabatku itu."

"Jangan bicara seenak mulutmu! Bisa kurobek mulutmu kalau kau menuduhku yang bukan-bukan. Aku hanya membunuh Praguli! Tidak membawa lari tiga sahabatmu itu."

Suto sedikit berkerut dahi, hatinya diliputi kebimbangan dengan pengakuan tersebut. Melihat nada bicaranya, agaknya gadis itu bukan gadis yang takut bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Namun Suto Sinting mencoba untuk mempelajari gadis itu melalui beberapa pertanyaan yang diajukan.

"Apa alasanmu membunuh orang yang kau sebut sebagai Praguli itu?!"

"Dia anak buahnya Branjang Kawat! Dia yang membunuh adik seperguruanku," jawabnya bernada tegas dan menampakkan sikap kurang bersahabat.

"Branjang Kawat...?!" Pendekar Mabuk menggumam karena merasa pernah mendengar nama itu dari mulut Tua Bangka.

"Ya, Branjang Kawat, orang Kadipaten balungan yang suka berlagak jagoan itu! Apakah kau sahabatnya juga?!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem namun senyuman itu memancarkan daya tarik yang sempat membuat gadis itu berdesir hatinya. "Mengapa bukan Branjang Kawat yang kau bunuh untuk membalas dendammu itu?"

"Karena kulihat sendiri; Praguli yang menewaskan adik perguruanku sementara aku sedang bertarung dengan Branjang Kawat."

"Apakah kau unggul melawan Branjang Kawat?"

Gadis itu tidak langsung bicara, ia diam beberapa saat dengan mata masih tertuju tajam kepada Suto. Sementara itu pandangan mata Suto Sinting singgah sebentar di dada gadis itu, mengagumi kemontokan dada si gadis dan membayangkan sesuatu yang menggelitik dalam hatinya. Namun bayangan itu segera dibuang jauh-jauh oleh Suto Sinting, karena ia tak ingin hatinya tergoda dan hanyut oleh tantangan dada gadis itu.

"Ada kalanya manusia mengalami kelengahan, ada kalanya manusia menemukan masa kejayaannya. Sayang waktu aku melawan Branjang Kawat kelengahanku tercuri olehnya, sehingga ia hampir saja merenggut nyawaku kalau aku tak segera larikan diri."

"O, begitu? Jelasnya kau tak bisa unggul melawan Branjang Kawat. Begitu saja singkatnya." Suto Sinting sengaja bicara dengan senyum seakan mengejek kekalahan gadis itu. Yang dilakukan oleh si gadis hanya tarik napas dan segera mengalihkan pembicaraan.

"Jelaskan apa maksudmu menghadang langkahku?!"

"Aku ingin tahu namamu, Nona Cantik," jawab Suto Sinting makin berkesan menggoda.

Hati gadis itu agak jengkel dan berusaha ditahannya kuat-kuat. "Untuk apa kau mengetahui namaku?"

"Karena aku mencurigaimu membawa lari ketiga sahabatku."

"Kecurigaanmu tidak benar!"

"Itulah sebabnya aku ingin tahu namamu karena aku ingin meminta maaf padamu," bujuk Suto Sinting dengan suaranya yang lembut dan punya daya pesona tersendiri.

"Namaku... Tembang Selayang."

"Ooh...?!" Suto Sinting terperanjat kaget bukan main. Ia segera ingat kata-kata Pinang Sari tentang nama anak perempuan dari Empu Tapak Rengat.

"Bukankah Pinang Sari mengatakan bahwa Empu Tapak Rengat hanya punya satu anak yang bernama Tembang Selayang?" pikir Suto Sinting. "Jadi, apa hubungan gadis ini dengan hilangnya ketiga sahabatku itu?"

* * *

EMPAT

ANGIN senja mulai berhembus ketika Pendekar Mabuk melangkah bersama Tembang Selayang. Arah tujuan mereka ke kaki Gunung Bunting. Mereka ingin temui Empu Tapak Rengat karena Pendekar Mabuk berbicara tentang pusaka Kapak Setan Kubur.

"Aku memang pernah dengar nama pusaka itu dari ayahku, tapi aku tidak pernah diserahi pusaka tersebut," kata Tembang Selayang. "Kata Ayah, Kapak Setan Kubur bukan miliknya. Suatu saat seorang sahabat menitipkan kepadanya, tapi sejak Ayah tidak mau membuat senjata lagi, tidak mau mempunyai senjata dan pusaka apa pun lagi, pusaka itu dikembalikan kepada pemiliknya."

"Siapa pemiliknya itu?"

"Aku tidak jelas, karena Ayah tidak sebutkan nama pemilik Kapak Setan Kubur itu. Karenanya ada baiknya kita temui ayahku saja dan kau bisa tanyakan sendiri padanya. Aku akan bicara dengan guruku tentang kebenaran adanya ilmu 'Mahkota Neraka' itu."

Gadis cantik itu bicara sambil sesekali pandangi wajah Suto Sinting, ia menyimpan perasaan kagum dan menyembunyikan getaran hati yang menggelitik keindahan dalam khayalnya. Pendekar Mabuk berlagak tidak tahu hal itu dan tetap memusatkan perhatian ke hal pembicaraan pusaka Kapak Setan Kubur itu.

"Menurutku kau jangan pergi menemui gurumu dulu. Bantulah aku mencari tempat tinggal ayahmu itu, kita dengar sendiri penjelasan dari beliau. Setelah itu, barulah kau dan aku menemui gurumu."

Tembang Selayang diam tak berucap kata apa pun. Pandangan matanya dilayangkan ke arah jauh. Pendekar Mabuk pun kembali ajukan tanya,

"Apakah kau keberatan dengan usulku?"

Tembang Selayang sunggingkan senyum tipis sambil gelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak keberatan. Hanya saja aku khawatir."

"Apa yang kau khawatirkan?"

"Aku khawatir kalau Ayah menduga aku pulang membawa calon suami."

Kini pemuda tampan murid si Gila Tuak yang ganti tertawa. Tak keras tapi punya daya tarik tersendiri. "Menurutmu," Suto mengalihkan perhatian. "... pusaka Kapak Setan Kubur itu memang ada atau tidak?"

"Memang ada, karena ayahku pernah memegang dan menyimpannya."

"Hmm..., pendapatmu itu sama dengan pendapat Darah Prabu dan Pinang Sari."

"Siapa mereka itu?!" Tembang Selayang menampakkan sikap asing terhadap kedua nama tersebut.

"Mereka adalah murid Nini Pucanggeni dan Resi Badranaya."

"Oh, ya! Nama Nini Pucanggeni pernah kudengar dan nama Resi Badranaya juga pernah kudengar. Kalau tak salah mereka adalah sahabat ayahku."

"Menurut pengakuan mereka memang begitu. Tapi si Tua Bangka tidak percaya kalau pusaka itu memang ada."

"Hmmm... siapa lagi si Tua Bangka itu?!"

"Bekas orang Kadipaten Balungan yang sudah dipecat dan ditangkap kembali dengan tuduhan mau memperkosa Istri Adipati. Padahal kenyataannya tidak demikian, ia dijatuhi hukuman mati karena dituduh mencuri pusakanya sang Adipati yang bernama Kapak Setan Kubur!"

"Oh...?!" Tembang Selayang agak bingung. "Apakah pusaka itu sudah pernah ada di tangan sang Adipati?!"

"Menurut si Tua Bangka, sang Adipati tidak pernah punya pusaka seperti itu. Tua Bangka yakin kalau sang Adipati hanya mengarang-ngarang cerita tentang pusaka, pada dasarnya hanya ingin melenyapkan Tua Bangka, sebab Tua Bangka tahu beberapa rahasia di dalam istana, termasuk jalan rahasia yang bisa tembus sampai ke pantai."

Tembang Selayang tarik napas dalam-dalam. "Agak memusingkan juga perkara pusaka itu. Hanya ayahku yang bisa menjawabnya dengan benar. Sayang waktu itu Ayah tidak bicara tentang ilmu 'Mahkota Neraka', sehingga aku perlu menanyakan kepada Guru akan hal itu. Agaknya Ayah tidak tahu adanya ilmu 'Mahkota Neraka' yang bisa bikin orang tak bisa mati itu."

"Yang kuherankan sekarang adalah, siapa orang yang menculik tiga sahabatku itu?! Apakah orang dari Kadipaten Balungan juga, atau dari pihaknya Gandapura? Sebab kekalahan Papan Rayap bisa membuat orang-orangnya Gandapura menjadi marah besar dan menuntut balas atas kekalahan itu."

Langkah mereka menuju ke Gunung Bunting terhenti oleh pemandangan yang menarik perhatian. Sesosok mayat mereka temukan tergeletak di rerumputan dalam keadaan hangus menjadi arang. Suto Sinting berdebar-debar karena menyangka mayat yang tak jelas bentuk dan rupanya itu adalah salah satu dari ketiga sahabatnya yang hilang.

"Jangan-jangan dia adalah Pinang Sari?!"

"Apakah kau yakin mayat ini adalah mayat seorang perempuan?"

"Hmm... sulit diyakini. Sama sekali tak bisa dikenali jenisnya; pria atau wanita? Tak ada sisa pakaian dan rambut sedikit pun."

"Aku yakin mayat ini adalah mayat lelaki."

"Dari mana kau tahu?"

"Tak ada sisa perhiasan menempel di raga hangus ini."

Suto Sinting manggut-manggut membenarkan dugaan Tembang Selayang. Mayat yang sudah tidak berasap sedikit pun itu benar-benar tak ubahnya dengan seonggok arang menyerupai orang meringkuk. Sangat sukar untuk dikenali ciri-cirinya. Tak ada senjata apa pun yang tertinggal di sekitar mayat hangus itu.

"Kalau mayat ini Pinang Sari, pasti trisulanya tertinggal, atau setidaknya ada bentuk arang yang menyerupai bentuk trisula. Demikian pula jika mayat arang ini adalah Darah Prabu, pasti pedangnya akan tertinggal membekas. Hmmm..."

"Bagaimana kalau sahabatmu yang satu itu? Siapa? O, ya si Tua Bangka Itu?"

"Tua Bangka...?!" Suto Sinting memegangi dagunya dengan memandangi mayat arang Itu. "Tua Bangka tidak bersenjata apa-apa. Mungkin juga mayat ini adalah mayat si Tua Bangka. Tapi... tapi apa iya Tua Bangka mati terbunuh sekejam ini? Siapa pelakunya? Mengapa Pinang Sari dan Darah Prabu tidak membelanya?!"

"Tunggu...!" tiba-tiba Tembang Selayang teringat sesuatu hingga nada bicaranya menyentak mengagetkan Pendekar Mabuk. "Aku ingat sesuatu, tentang cerita dari ayahku yang ada hubungannya dengan pusaka Kapak Setan Kubur itu."

"Penjelasan yang bagaimana?"

"Kapak Setan Kubur dapat untuk membakar hangus seorang lawan jika yang digunakan adalah kesaktian sinar biru kapak tersebut. Kata Ayah, sinar biru dari kapak itu akan membuat seorang lawan bagaikan disergap puluhan petir sehingga dalam sekejap saja akan menjadi arang hangus seperti mayat ini."

Suto Sinting agak menegang. "Maksudmu, kau akan mengatakan bahwa mayat ini adalah korban dari Kapak Setan Kubur?"

"Aku tak yakin begitu, tapi aku jadi teringat cerita Ayah tentang kesaktian kapak tersebut. Barangkali saja orang ini terkena sinar birunya Kapak Setan Kubur. Jika ia terkena sinar merahnya kapak pusaka itu tidak akan menjadi hangus, melainkan akan menjadi terpotong-potong sebanyak tiga puluh tiga bagian."

"Oh, jadi kapak itu bisa keluarkan dua sinar berbahaya?"

"Tiga sinar," tukas Tembang Selayang. "Satu lagi adalah sinar hijau dari kapak pusaka itu, bisa membuat lawannya mati tercabik-cabik seperti dicakar puluhan beruang ganas."

Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat, dalam keadaan berdiri melipat tangan di dada. "Hati kecilku mengatakan, bahwa mayat ini bukan Tua Bangka," kata Suto Sinting setelah merenung panjang. "Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Kita harus cepat sampai ke kaki Gunung Bunting sebelum hari menjadi gelap."

"Kita akan bermalam di perjalanan," kata Tembang Selayang. "Tak cukup waktu untuk tiba di pondok ayahku hanya dalam satu malam. Kita akan melewati Desa Panganbumi dan bermalam di sana. Aku tahu tempat penginapan di desa itu."

Desa Panganbumi adalah sebuah desa yang sudah cukup maju, karena letaknya hanya sehari semalam mencapai Kotaraja. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak yang menjadi pedagang hasil bumi ketimbang yang menjadi petani tulen. Mereka menjual panenan hasil bumi kepada orang Kotaraja. Bahkan belakangan ini lebih sering pedagang dari Kotaraja yang datang sendiri di Desa Panganbumi untuk membeli hasil bumi secara ijon; dibeli dengan harga murah sebelum waktunya panen.

Selewat petang perjalanan mereka tiba di desa tersebut. Sebenarnya Suto Sinting akan gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mempercepat langkahnya segera tiba di kaki Gunung Bunting sebelum petang tiba. Namun ia khawatir gadis cantik bermata tajam itu tertinggal, atau tak mampu mengimbangi gerak cepatnya, sehingga yang akan dialami Suto bukan tiba di kaki Gunung Bunting melainkan tersesat ke arah lain.

Memasuki desa itu, mereka disambut dengan peristiwa hiruk-pikuknya para penjudi dadu koprok. Mereka membentuk kelompok sendiri-sendiri dengan penerangan obor. Suasananya cukup ramai, bahkan ada suara gamelan berkumandang menghiasi irama malam.

"Ramai sekali desa ini?" gumam Suto Sinting sambil melangkah di samping Tembang Selayang.

"Biasanya tak seramai ini. Berarti ada yang punya hajat sehingga suasana desa menjadi seramai ini."

"Sepertinya dugaanmu memang benar. Ada yang punya hajat, karena kudengar ada suara gamelan berbunyi. Pasti ada tontonan di suatu tempat."

"Kita langsung menuju penginapan saja. Di sana juga ada kedai makan. Kau bisa mengisi bumbung tuakmu, Suto," kata Tembang Selayang yang sudah mengetahui siapa Suto Sinting sejak sebelum Suto menceritakan tentang Kapak Setan Kubur tadi.

Agaknya gadis itu sudah sering singgah di Desa Panganbumi. Ia banyak mengetahui beberapa tempat penting, seperti penginapan, rumah tabib, balai desa dan sebagainya. Bahkan ia juga mempunyai beberapa kenalan di desa tersebut. Ketika mereka masuk ke penginapan yang bagian bawahnya digunakan untuk membuka kedai makan, seorang lelaki muda berwajah polos menyapanya dengan ramah.

"Tembang Selayang, ahai... kenapa baru muncul sekarang? Dari mana saja kau?"

"Ada yang harus kukerjakan di tempat jauh, Wiraga."

Anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun dengan tampang polosnya itu berkata lagi sedikit pelan, "Adhiyasa mencarimu terus. Hampir setiap bertemu denganku menanyakan dirimu, Tembang Selayang."

Gadis itu hanya sunggingkan senyum kaku. Rupanya ia tak enak hati kata-kata tersebut ikut didengar oleh Suto Sinting, ia segera mengajak Suto untuk duduk di salah satu bangku kosong. Sementara itu, para pengunjung kedai lainnya sibuk dengan percakapan masing-masing.

Wiraga yang berpakaian serba biru dirangkap rompi merah tua itu segera mendekati tempat duduk Tembang Selayang, ia duduk di depan Tembang Selayang, sedangkan Pendekar Mabuk duduk di samping Tembang Selayang. "Adhiyasa ingin sekali jumpa denganmu, Tembang Selayang. Temuilah dia, tapi..."

"Sampaikan salamku saja kepada Adhiyasa jika kau bertemu dengannya."

"Kurasa kami akan lama tidak saling jumpa."

"Kenapa begitu?"

"Adhiyasa sedang pergi. Sudah dua purnama ini tak menampakkan batang hidungnya!"

"Pergi ke mana?" tanya Tembang Selayang pelan, seakan tak mau didengar Pendekar Mabuk.

"Kabarnya ia sedang memburu pusaka Kapak Setan Kubur."

"Hahh...?!" Tembang Selayang kaget. "Mengapa Adhiyasa memburu pusaka itu?"

"Ia diupah seseorang, ia ingin dapatkan upah tinggi, hasilnya akan dipakai untuk kawin."

"Edan-edanan dia itu!" gerutu Tembang Selayang dengan bersungut-sungut. "Apakah dia tahu di mana pusaka itu berada?"

"Kudengar ia sudah mendapat keterangan dari orang yang menyuruhnya, hanya saja ia tidak mau bilang padaku siapa orang yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Mulanya ia mencarimu karena ingin mengajakmu mencari pusaka itu."

Tembang Selayang tarik napas dalam-dalam. Ia diam dengan wajah cemberut. Entah apa artinya; mungkin kurang setuju dengan langkah Adhiyasa, mungkin juga jengkel karena tak bisa bertemu Adhiyasa. "Wiraga, pergilah sana dan biarkan aku bicara berdua dengan sahabatku ini."

"O, ya! Aku memang akan pergi. Mau nonton wayang."

"Siapa yang punya hajat?"

"Ki Lurah mengawinkan putrinya; Murda Rukmi."

Setelah itu Wiraga pergi. Ki Punjul, pemilik kedai dan penginapan yang sudah mengenal Tembang Selayang itu, segera datang melayani mereka berdua. Suto Sinting memesan tuak sebumbung penuh, dan tuak dalam poci kecil.

"Ki Punjul, aku butuh kamar untuk bermalam. Apakah masih ada kamar kosong?"

"Masih ada, Tembang. Kau bisa gunakan kamar di lantai atas. Nanti kusuruh pelayanku menyiapkan kamar untukmu. Agaknya kalian ingin berbulan madu, ya? He, he, he, he...!"

"Bulan madu...!" gerutu Tembang Selayang bersungut-sungut. Lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun itu dibiarkan pergi ke dapur sambil menghabiskan tawanya.

"Apa yang kuduga benar-benar terjadi; mereka akan sangka aku datang membawa kekasihku," ujar Tembang Selayang tanpa memandang Suto Sinting, namun sang pendekar tahu ucapan itu ditujukan padanya, ia hanya tertawa kecil dan memandangi orang-orang yang berkunjung ke kedai tersebut.

Sesaat kemudian Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan suara yang pelan dan berkesan hati-hati sekali agar tidak menyinggung perasaan gadis itu. "Siapa Adhiyasa itu, Tembang?"

"Sahabatku," jawab Tembang Selayang pelan tanpa ada kemarahan. Sepertinya ia masih memendam kedongkolan.

"Sahabat dekat atau sahabat jauh?" pancing Suto dengan mengulum senyum.

"Jangan cemburu."

"Lho, aku tidak cemburu. Jangan salah sangka. Aku hanya ingin tahu, sebab kudengar ia juga sedang memburu pusaka itu demi mengejar upah besar dari seseorang. Mungkin kau bisa memberitahukan padaku, siapa orang yang mengupahnya itu?"

"Aku tak tahu. Kami sudah dua purnama tidak saling jumpa. Dia adalah sahabatku, tapi... tapi dia sepertinya punya hati padaku, hanya saja aku tidak mau melayani maksudnya yang ingin mencintaiku."

"Aha...! Seharusnya kau melayaninya semasa kau menyimpan hati pula padanya."

"Cukup!" hardik gadis itu. "Aku tak ingin bicara soal itu," Ia semakin cemberut, tapi Pendekar Mabuk semakin cengar-cengir geli.

Setelah saling meneguk minuman dan menelan makanan, Pendekar Mabuk mulai membuka percakapan lagi dengan suara pelan bagaikan berbisik. Untuk itu duduknya lebih merapat lagi. "Murid siapa Adhiyasa itu?"

"Lima tingkat di bawahku."

"O, jadi kalian saudara seperguruan?"

"Ya. Tapi ketika aku meninggalkan perguruan, dia baru masuk, sehingga aku semula tidak tahu kalau ia juga murid dari Nyai Guru Guntur Ayu."

Pendekar Mabuk terkesiap pandangi Tembang Selayang. "Kalau begitu kau kenal dengan Dinada?!"

"O, ya. Aku kenal dengannya. Dinada atau Milasi adalah seangkatan denganku. Kami sama-sama keluar dari perguruan terutama setelah perguruan dipegang oleh Merak Cabul. Kami tidak sepaham dengan tujuan si Merak Cabul."

Pendekar Mabuk menggumam panjang danm anggut-manggut, terbayang wajah gadis cantik peniup seruling yang bernama Dinada. Ia jadi rindu ingin bertemu gadis itu. Terbayang pula kelincahan Dinada kala gadis itu mempermainkan Suto dengan serulingnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gelang Naga Dewa).

"Apakah dia kekasihmu?"

"Bukan. Kenapa nada pertanyaanmu penuh curiga?"

"Pemuda tampan sepertimu biasanya di mana-mana punya banyak 'demenan' alias gundik."

"Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa agak keras karena geli sekali mendengar kata-kata itu. Ia buru-buru menutup mulut setelah sadar bahwa saat itu ia berada di kedai, ia juga menjadi malu ketika orang-orang memperhatikan kearahnya.

Akibat tawa yang terlepas itu, seorang lelaki gemuk berkumis lebat dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala biru itu mendekati Suto Sinting. Lelaki bergelang bahar hitam itu menepuk pundak Tembang Selayang sambil berkata nakal.

"Tembang Selayang... rupanya kau sekarang punya pemuas dahaga semuda itu, hmm...?! Pantas aku tak pernah melihatmu. Wajahmu pucat sekali. Apakah dikurung terus oleh anak muda itu?"

Teebb...! Tembang Selayang mencekal tangan orang tersebut tanpa memandangnya. Wajahnya dingin dan ketus. "Jangan macam-macam padaku, Guci Kopong!"

Krraakk...! Terdengar seperti suara tulang patah. Guci Kopong meringis dengan mata terpejam. Mulutnya ternganga karena menahan rasa sakit.

"Ada yang ingin kau katakan lagi padaku?!" pertanyaan itu bernada datar dan dingin, tanpa diikuti pandangan mata ke arah orang yang ditanya.

Guci Kopong tak bisa menjawab karena genggaman tangan Tembang Selayang bagaikan kian meremukkan pergelangan tangannya. Pendekar Mabuk hanya memandanginya tanpa berbuat apa-apa. Senyumnya mekar di bibir, seakan menertawakan orang gemuk yang berlagak jagoan itu.

"Hei, lepaskan dia, Tembang!" seru orang berbadan agak kurus dari Guci Kopong. Orang berbaju kuning dan berkumis melengkung ke bawah itu segera melompat dari tempat duduknya ingin menyerang Tembang Selayang.

Suto Sinting segera sentilkan jarinya. Deess...! Tenaga dalam berkekuatan tendangan kuda jantan dilepaskan melalui sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Orang berbaju kuning langsung terbang kembali arah dan jatuh di atas meja.

Brakkk...!

"Uuhg...!" ia mendelik dan memegangi ulu hatinya bagaikan sukar bernapas.

Tembang Selayang bangkit dan menghentakkan sikunya ke belakang sambil lepaskan genggaman tangannya. Buuhg...!

"Heegh...!" Guci Kopong terpelanting ke belakang dan menabrak seorang pembeli lainnya yang sedang memunggunginya.

Brakkk...!

Tembang Selayang berbalik arah menghadapi lawannya, sedangkan Suto Sinting masih tetap duduk dengan santai. Satu kakinya ditumpangkan di bangku dalam keadaan setengah bersila, ia tersenyum-senyum memandangi kedua orang yang bermaksud cari gara-gara itu.

Guci Kopong tersiram kuah santan pada wajahnya, sedangkan orang berbaju kuning itu terkena sambal di bagian rambutnya. Mereka sama-sama berdiri dengan wajah masih menyeringai menahan rasa sakit. Tembang Selayang tahu, bahwa Suto Sinting tadi ikut membantunya menyerang orang berbaju kuning, sehingga ia berkata kepada orang itu dengan mata galaknya.

"Bawa kakakmu pergi dari sini dan jangan boleh menggangguku lagi, Pawang Kera!"

"Kau mematahkan tangan kakakku, Tembang Selayang! Aku harus membalas dengan mematahkan batang lehermu, Keparat! Hiaaah...!"

Baru saja si Pawang Kera menggerakkan tangannya membuka jurus keranya, tiba-tiba Suto Sinting sentilkan kembali 'Jari Guntur'-nya secara diam-diam. Deess...!

"Uhaaghh...!" Pawang Kera terbungkuk dan muntah ditempat membuat orang-orang menggerutu benci. Yang makan segera meninggalkan makanannya karena jijik. Kedua orang kakak-beradik itu akhirnya meninggalkan kedai setelah diperingatkan oleh orang-orang sekelilingnya.

"Sudah, pergi saja kalian! Bikin kacau di sini saja! Kami mau makan, bukan mau melihat orang berlagak jago!"

Di pintu menuju keluar, Guci Kopong berseru tinggalkan ancaman sambil menyangga tangan kanan yang remuk tulangnya itu. "Tunggu kalian di sini! Kami akan datang bersama ketua kami!"

"Panggil ketua perguruanmu!" tantang Tembang Selayang. "Kami tak takut. Kami menunggu di sini sampai esok pagi!"

"Awas kau, Tembang! Kau akan mati hangus dan menjadi arang atau terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian!" geram Guci Kopong, setelah itu ia ditarik oleh Pawang Kera agar segera pergi tinggalkan kedai.

Suasana tenang kembali. Tembang Selayang menyatakan bersedia mengganti kerugian atas kerusakan yang terjadi di situ. Tapi pemilik kedai berkata, "Tak perlu. Kau sudah mengusir mereka, aku sudah cukup berterima kasih. Sebab mereka kalau terlalu lama di sini, daganganku bisa habis tanpa ada uangnya. Mereka tak pernah mau bayar apa saja yang mereka makan di sini."

"Kita lanjutkan percakapan kita di kamar saja." ajak Tembang Selayang.

Suto Sinting tidak menolak, karena ia memang ingin melonjorkan badan agak santai sebentar. Pelayan yang mengurus persewaan kamar segera mengantarkan Tembang Selayang dan Suto Sinting ke kamar lantai atas. Penginapan itu mempunyai dua lantai dengan sepuluh kamar sewaan. Pada umumnya yang menyewa kamar di situ membawa perempuan malam atau gundik mereka, sehingga Suto agak kikuk dan tak enak hati karena ia tahu orang-orang itu menyangka Tembang Selayang adalah gundiknya. Tapi gadis itu lebih bersikap masa bodoh, sehingga Suto Sinting pun akhirnya ikut-ikutan bersikap demikian untuk menenangkan jiwanya.

"Siapa mereka berdua tadi, Tembang Selayang?!"

"Pawang Kera dan Guci Kopong. Mereka orang-orang Perguruan Monyet Sakti, ketuanya bernama: Dewa Beruk."

"Baru sekarang kudengar nama-nama mereka. Hmm... Dewa Beruk?" Suto menggumamkan nama itu seakan punyamakna tersendiri.

"Tak perlu kau risaukan mereka. Aku masih sanggup hadapi sepuluh orang Monyet Sakti! Ketua mereka sendiri ilmunya masih sejajar denganku."

"Bukan itu yang kupikirkan, tapi ancaman mereka."

Tembang Selayang sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan kekhawatiran Suto Sinting, ia segera merebahkan badan di atas dipan sebelum Suto menggunakan dipan itu.

"Jangan pikirkan ancaman itu. Biasanya mereka hanya besar mulut, jarang terbukti. Orang-orang Perguruan Monyet Sakti hanya banyak berkoar, di mana-mana meninggalkan sesumbar dan ancaman, tapi ilmu mereka sebenarnya sangat kecil."

Suto Sinting tersenyum dekati Tembang Selayang, ia berdiri di samping dipan menatap gadis yang berbaring dengan pedang didekap di dadanya. "Sial. Hatiku deg-degan memandang ia berbaring begini?!" gerutu Suto dalam hati, tapi di mulutnya ia berkata lain.

"Aku tak takut pada ancaman mereka. Tapi aku menemukan kejanggalan yang perlu kita pikirkan."

"Kejanggalan apa?"

"Guci Kopong tadi bilang, akan datang memanggil ketuanya dan seakan ketuanya sanggup membuat kita mati hangus menjadi arang atau terpotong tiga puluh tiga bagian."

"Itu sesumbarnya saja."

"Mungkin memang benar. Tapi dari mana ia bisa sesumbar begitu kalau bukan karena ia pernah melihat bukti? Dan siapa orang yang bisa bertindak begitu jika bukan orang yang memiliki Kapak Setan Kubur?!"

Tembang Selayang diam sebentar merenungkan, tiba-tiba ia tersentak bangkit dan menatap tegang kepada Suto Sinting. "Benar juga! Berarti pusaka Kapak Setan Kubur ada di tangan Dewa Beruk?!"

Suto Sinting hanya angkat bahu dengan senyum tipisnya.

* * *

LIMA

PERGURUAN Monyet Sakti terletak di lereng Gunung Bunting sebelah barat. Jika ingin ke sana harus melewati kaki Gunung Bunting, yang berarti harus melewati pondok tempat tinggal Empu Tapak Rengat. Sebelum membuktikan apakah pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk, Suto Sinting sangat setuju untuk tetap singgah dan temui ayah Tembang Selayang seperti rencana semula. Perjalanan ke kaki Gunung Bunting memakan waktu kurang dari seperempat hari. Suto Sinting menggerutu dan berkata,

"Kalau tahu tidak sejauh ini, mendingan tadi malam kita lanjutkan perjalanan, tak perlu bermalam di penginapan Ki Punjul."

"Naluriku menghendaki begitu, dan ternyata kita akan memperoleh tanda-tanda siapa pemegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Coba kalau kita tidak bermalam di desa itu, kita tidak bertemu Guci Kopong dan Pawang Kera, sehingga tidak mempunyai bayangan siapa pemegang pusaka tersebut?"

"Benar juga," jawab Suto akhirnya menyerah dalam perdebatan itu. "Tapi ada satu hal yang membuatku merasa janggal tentang dirimu."

"Tentang hubunganku dengan Adhiyasa?! Oh, kau masih tak percaya kalau aku tidak mencintai Adhiyasa?"

"Bukan soal itu, Manis," kata Suto dengan tersenyum geli. Lalu ia tampak bersungguh-sungguh dalam ucapannya. "Kau mengatakan bahwa gurumu adalah Nyai Guntur Ayu, kau satu perguruan dengan Dinada."

"Benar. Apakah kau tak percaya?"

"Bukan soal tak percaya. Tapi kau bilang akan bertanya pada gurumu tentang ilmu 'Mahkota Neraka'."

"Memang, karena guruku banyak tahu tentang ilmu-ilmu kelas tinggi itu."

"Tapi bukankah Nyai Guntur Ayu sudah meninggal?"

"Ya, memang sudah meninggal."

"Lalu, bagaimana kau mau bertanya kepada orang yang sudah meninggal? Aku merasa janggal membayangkannya."

Tembang Selayang sunggingkan senyum tipis berkesan meremehkan pertanyaan itu. Tetapi ia segera bicara dengan sungguh-sungguh tanpa ada kesan membohongi Pendekar Mabuk. "Hanya aku murid dari Nyai Guru Guntur Ayu yang bisa bicara dengan makam Guru, karena akulah satu-satunya murid yang berhasil pelajari ilmu 'Roh wicara'. Murid lainnya tidak berhasil pelajari ilmu itu. Bahkan anak Nyai Guru sendiri; Aswarani, tidak bisa kuasai ilmu 'Roh wicara'itu."

"Aswarani...?! Maksudmu si Anak Petir itu?!"

"Ya. Dia adalah putri tunggal Nyai Guru Guntur Ayu. Kau pernah kenal dia?"

"Pernah," jawab Suto Sinting, tak lanjutkan penjelasannya. Suto tak ingin ceritakan bahwa Anak Petir yang menjadi perempuan sesat itu telah mati di tangannya dalam satu pertempuran, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gelang Naga Dewa).

Percakapan mereka terhenti karena mata mereka memandang kepulan asap di balik kerimbunan hutan. Kepulan asap itu membubung tinggi berwarna hitam. Tembang Selayang menjadi tegang dan berkata dengan suara gemetar, "Ada kebakaran di sana. Padahal di sana adalah pondok kediaman ayahku?! Adakah sesuatu yang terjadi terhadap ayahku?!"

"Cepat kita ke sana!" seru Suto Sinting, kemudian ia melesat lebih dulu. Separo kecepatan dari jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan, sehingga kecepatannya bisa sejajar dengan kecepatan gerak Tembang Selayang. Tapi ternyata gadis itu bergerak lebih cepat lagi, sehingga Suto perlu menambah kecepatan geraknya supaya tetap sejajar. Mereka terperangah ketika tiba di suatu ketinggian lereng dan memandang ke bawah. Sebuah rumah gubuk terbakar dengan kobaran api membubung tinggi.

"Ayaaaah...!" teriak Tembang Selayang memandang tiga orang yang sedang menghajar lelaki tua berbadan kurus dengan kain selempang sebagai ganti pakaiannya yang berwarna putih lusuh itu. Orang tua berambut abu-abu dengan usia sekitar enam puluh tahun itu tak lain adalah Empu Tapak Rengat.

Kemudian terdengar suara gadis itu mengalunkan tembang yang lembut mendayu-dayu dengan suaranya yang jernih dan berkesan teduh.

"Awan putih ditelan mendung. Matahari diam membisu seribu kata. Dewa-dewa palingkan muka tak mau bicara. Awan putih hancur di ujung gerhana. Adakah damai di atas sana yang mampu mengusir petaka. Bidadari suci menitikkan kebeningan dari celah duka. Karena tiada tangan yang menggapai menolongnya."

Suara lembut itu bagaikan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Matahari yang memancarkan sinarnya dengan terang menjadi redup. Kobaran api pun kian menyusut. Pertarungan di bawah sana menjadi terhenti, mereka saling bungkam dan membisu, diam tertunduk seakan meresapi syair tembang yang mengalun lembut menggores hati.

Tak berbeda halnya dengan Pendekar Mabuk yang juga menunduk. Hatinya menjadi sedih, terbayang masa anak-anaknya yang menyedihkan. Terbayang wajah ayahnya yang tersiksa oleh kekejaman orang-orangnya Kombang Hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).

"Celaka! Aku hampir menangis dicekam masa lalu yang amat menyedihkan. Mengapa aku jadi membayangkan peristiwa itu? Oh, syair tembang dan suara merdunya ternyata mempunyai kekuatan yang melumpuhkan hati orang yang mendengarnya. Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku harus mengimbangi dengan menjaga pernapasanku agar teratur dan memusatkan perhatianku pada musuh bebuyutan: Siluman Tujuh Nyawa," pikir Suto Sinting.

Ternyata tiga orang yang menyerang Empu Tapak Rengat itu juga mengalami hal yang sama dengan Pendekar Mabuk. Teringat masa-masa yang amat menyedihkan, kenangan masa anak-anak atau pun peristiwa duka apa saja kembali bermunculan dalam ingatan mereka. Suara dan syair tembang itu ternyata mampu menggugah ingatan duka masa lalu bagi siapa pun yang mendengarnya.

Tiga orang berambut pendek dengan usia rata-rata empat puluh tahun itu akhirnya terisak-isak. Mereka menangis dan tak mampu menahan air matanya. Ada yang langsung terduduk di tanah dan tersengguk-sengguk, ada yang sambil berdiri, ada pula yang hanya sekadar jongkok dan meraung-raung ingat kematian ibunya.

"Huaaa.... Huaaa.... Ibuuu... kenapa kau tinggalkan aku sendirian, Ibuuu...!" orang berbaju merah itu meraung-raung bagaikan baru saja Ibunya meninggal di depan mata.

Nyala api yang semula berkobar semakin lama semakin surut dan akhirnya padam. Angin berhembus agak kencang, dan matahari tertutup mega hitam hingga suasana mendung tercipta saat itu juga. Alunan suara Tembang Selayang ternyata mampu mempengaruhi alam, sehingga dedaunan pun menjadi layu dan udara membawa embun dingin yang terasa membasah di kulit tubuh manusia.

Empu Tapak Rengat juga tertunduk dalam sikap duduknya yang bersila. Agaknya ia pun dicekam duka karena terkenang kematian istrinya yang menjadi tumbal sebuah pusaka miliknya itu. Namun agaknya Empu Tapak Rengat mengetahui kehadiran duka itu tidak sewajarnya, sehingga ia mencoba melawannya dengan lakukan semadi seadanya.

"Hentikanlah tembangmu, mereka telah berhenti menyerang ayahmu!" bisik Suto Sinting yang menjadi tegar karena menenggak tuak agak banyak.

Wuusss...! Tembang Selayang melompat menuruni lereng dengan lincah, kakinya menapak dari atas batu yang satu ke batu lainnya dalam jarak lebar. Pendekar Mabuk hanya gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlapp...! Tahu-tahu sudah ada di depan tiga orang berambut pendek yang sedang menangis itu. Kejap berikutnya barulah Tembang Selayang tiba di tempat tersebut, ia langsung menghajar ketiga orang itu dengan gerakan cepatnya.

Plak, plok, duhg, prakkk, bruss...!

Tiga orang yang sedang menangis menjadi semakin mengerang karena kesakitan. Dukanya hilang tapi rasa sakitnya datang mengejutkan sekali. Mereka segera bangkit satu persatu dengan murkanya. Mata mereka saling memandang Tembang Selayang yang berdiri tegar, seakan tak mudah ditumbangkan.

"Keparat perempuan itu! Habisi dia!" teriak yang berpakaian hitam. Maka kedua orang yang berpakaian merah dan abu-abu itu segera menerjang Tembang Selayang.

"Heeaaahh...!"

Blarrr...!

Rupanya gadis itu tak mau membuang waktu menunda dendam. Kedua telapak tangannya disentakkan ke depan secara bersamaan, dan melesatlah sinar biru menghantam tubuh mereka masing-masing.

Brrruuss...! Gusrakk...!

Kedua orang itu terkapar dengan kulit tubuh mengelupas merah. Mata mereka terbelalak tak bisa berkedip dengan mulut ternganga bagaikan mencari udara untuk ditelannya. Kejap berikutnya tubuh-tubuh yang mengejang itu akhirnya terkulai lemas dan napas mereka pun lenyap saat itu juga.

"Bangsat kau!" teriak orang yang berpakaian hitam. "Kau harus menebus nyawa dua rekanku dengan nyawamu dan nyawa si tua peot itu!" ia menuding Empu Tapak Rengat.

Orang berpakaian hitam itu mencabut goloknya dan memutar-mutarkan dengan cepat. Kilatan cahaya putih perak sesekali tampak melesat dari putaran golok di atas kepala tersebut. Kilatan cahaya putih perak itu menyambar tubuh Tembang Selayang. Namun gadis itu menghindarinya dengan melompat ke sana kemari dengan licah, sampai akhirnya berada di belakang orang berbaju hitam. Sebuah tendangan samping diarahkan ke punggung orang berbaju hitam.

Wuuttt...! Duhhgg...!

"Heeegh...!" orang itu terpekik keras dan tersentak sampai terjungkal ke tanah.

Suto Sinting tersenyum kagum, karena ia tahu tendangan itu punya kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Terbukti lawan yang terkena tendangan Tembang Selayang itu langsung mengerang dengan mata mendelik dan wajahnya menjadi biru legam. Memang aneh, yang ditendang punggungnya yang biru legam wajahnya. Itulah pemusatan tenaga dalam yang disalurkan melalui telapak kaki Tembang Selayang. Tendangan itu cukup berat, sang lawan tak bisa menahannya, sampai akhirnya semburkan darah dari mulutnya.

Brruusss...! Sekitar empat helaan napas, orang itu pun tak berkutik lagi. Diam tanpa napas tanpa nyawa.

"Ayah...!" seru Tembang Selayang, ia bergegas hampiri Empu Tapak Rengat yang masih duduk bersila di tanah dengan kepala tertunduk.

"Ayah, aku datang...! Aku yang datang, Ayah...!" gadis itu berlutut di hadapan ayahnya.

Suto Sinting memperhatikan penuh curiga kepada Empu Tapak Rengat yang membiarkan kedatangan anaknya. Beberapa saat kemudian, Suto Sinting segera berseru kepada Tembang Selayang. "Dia terluka berat bagian dalamnya!"

Tembang Selayang terperanjat, ia segera mengangkat wajah sang Ayah. Ternyata wajah itu bukan saja pucat pasi melainkan biru bagaikan mayat yang hampir membusuk. "Ayaaaah...!" seru Tembang Selayang sambil mendekap tubuh sang Ayah.

Pendekar Mabuk bergegas memeriksanya sesaat, tanpa pedulikan tangis Tembang Selayang. "Baringkan di tempat teduh!" kata Suto. "Kurasakan denyut nadinya masih ada."

Pukulan tenaga dalam yang mengandung racun telah kenai bagian dada Empu Tapak Rengat. Terlambat sedikit saja, nyawa sang Empu akan melayang. Untung Suto Sinting bergerak cepat dan berhasil meminumkan tuak ke mulut Empu Tapak Rengat dengan dibantu Tembang Selayang. Beberapa saat kemudian, Empu Tapak Rengat tersedak dan terbatuk-batuk. Itulah tanda kesadarannya pulih kembali, tapi kekuatannya belum seberapa pulih.

"Biarkan ia berbaring dulu, biar tenaganya terkumpul kembali," ujar Suto Sinting.

Tembang Selayang masih menangis dalam kecemasan. Suto Sinting menghiburnya. Karena jaraknya cukup dekat, maka Tembang Selayang pun jatuhkan kepala ke dada Pendekar Mabuk, kemudian ia dipeluk dan diusap-usap rambutnya oleh sang pendekar tampan itu.

"Tenangkan hatimu. Ayahmu selamat. Sebentar lagi akan bisa kita ajak bicara. Tenanglah, Tembang Selayang"

Pondok sang Empu terbakar habis. Sisanya berupa bangunan hitam yang tak bisa digunakan lagi. Tembang Selayang menatap dengan hati duka. Iba terhadap nasib sang Ayah yang hidup menyendiri tanpa istri dan anak, karena Tembang Selayang jarang pulang menjenguk orang tuanya.

"Kalau saja kedua kakakku masih hidup, tentu Ayah tidak akan sendirian dalam menjalani masa tuanya. Sayang kedua kakakku meninggal dalam usia masih bocah, sehingga Ayah hidup sendiri dan aku tak bisa menungguinya."

"Mulai sekarang menetaplah bersama ayahmu, agar beliau ada yang merawatnya di masa tua ini."

"Ya, baru saja hatiku mengatakan begitu. Aku ingin menetap dengan Ayah. Tapi agaknya aku harus mendengar dulu keterangan dari Ayah tentang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Aku penasaran sekali, dan tak ingin pusaka itu jatuh di tangan Dewa Beruk."

Empu Tapak Rengat ternyata mempunyai garis tangan seperti tanah yang retak. Barangkali karena garis tangan yang lebar dan sangat jelas dilihat itulah maka ia berjuluk Empu Tapak Rengat. Orang berjenggot pendek abu-abu tanpa kumis itu sudah dalam keadaan sehat berkat tuak saktinya Pendekar Mabuk. Mereka berbicara di bawah pohon rindang yang mempunyai batu setinggi lutut orang dewasa. Sang Empu duduk di sana, sementara Tembang Selayang bersila di rerumputan. Pendekar Mabuk berdiri dua langkah ke samping kanan Tembang Selayang.

"Rupanya dunia persilatan sekarang sedang dilanda geger pusaka Kapak Setan Kubur," kata kakek yang kepalanya mengenakan sorban putih itu."

"Memang benar, Ayah. Justru aku dan Pendekar Mabuk datang kemari untuk menemui Ayah dan menanyakan tentang kebenaran pusaka tersebut," kata Tembang Selayang. "Tapi terlebih dulu aku ingin mengetahui, siapa tiga orang yang menyerang Ayah dan membakar pondok itu?"

"Mereka orang-orang bayaran. Mereka disuruh mencari pusaka Kapak Setan Kubur dengan upah yang tinggi. Entah siapa yang memberitahukan kepada mereka, yang jelas mereka tahu bahwa aku pernah menyimpan pusaka itu. Lalu mereka mendesakku dengan kasar, dan aku mencobanya melawan karena merasa tidak bersalah."

"Siapa yang mengupah mereka bertiga itu, Ayah?"

"Adipati Janarsuma."

Jawaban itu mengejutkan Tembang Selayang dan Pendekar Mabuk. Mereka berdua saling pandang dengan dahi berkerut.

"Aku sendiri tidak tahu persis, yang mana yang bernama Adipati Janarsuma itu," kata Empu Tapak Rengat. "Yang jelas orang itu sangat membutuhkan pusaka tersebut. Kalau tidak, ia tidak akan mengirimkan orang bayaran untuk mencari pusaka Kapak Setan Kubur."

"Apakah pusaka itu memang ada, Ki?" tanya Pendekar Mabuk.

"Memang ada, dan aku pernah menyimpannya!" jawab Empu Tapak Rengat dengan tegas dan jelas. "Pusaka itu berupa kapak dengan tiga mata, kanan-kiri dan ujung depan. Panjangnya hanya sekitar dua jengkal, mata kapaknya pun tak seberapa lebar, terbuat dari logam emas. Tangkainya terbuat dari perak ukir. Ujung bawah tangkainya itu berlubang."

"Seperti pipa, begitu?"

"Benar. Dan jika lubang itu ditiup dengan kekuatan tenaga dalam, maka mata kapak itu akan terbang sendiri-sendiri memburu mangsanya, lalu hinggap kembali ke tempat semula jika sudah kenai lawan."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dan tampak senang sekali mendengar keterangan tersebut. Tembang Selayang diam memandangi ayahnya dengan rasa kagum terhadap kapak pusaka itu.

"Karena ukurannya tak seberapa besar, dan tangkainya dari logam kosong, maka kapak pusaka itu sangat ringan dan mudah dibawa ke mana-mana. Tetapi jika ditebaskan dari atas ke bawah, maka dalam jarak sejauh dua puluh tombak pun masih bisa keluarkan sinar merah menyerang lawan. Orang yang terkena sinar merah itu akan terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian."

"Hebat sekali?!" gumam Suto Sinting semakin yakin lagi dengan keterangan Tembang Selayang saat di perjalanan kemarin.

"Jika kapak ditebaskan dari kiri ke kanan, akan keluarkan sinar biru yang dapat membuat lawan mati hangus menjadi arang dalam sekejap. Jika ditebaskan dari kanan ke kiri, akan keluarkan sinar hijau yang membuat lawan mati dalam keadaan tercabik-cabik mengerikan. Jika lawan hanya tergores oleh salah satu mata kapak, maka lukanya tidak akan sembuh dengan obat apa pun dan tubuhnya akan cepat membusuk karena racun pada mata kapak itu."

"Sebenarnya siapa pemilik pusaka itu, Ayah?" tanya sang gadis bertahi lalat di bibir atas yang membuat ia kelihatan semakin cantik dan manis.

"Pemilik aslinya adalah Ratu Rias Pundi, beliau penguasa Pulau Singkang, yang sekarang menjadi seorang pertapa di Gunung Parang. Pusaka itu adalah warisan Eyang sang Ratu. Tetapi karena sekarang Ratu Rias Pundi sudah menjadi pertapa, maka pusaka itu dipercayakan kepada adiknya. Adiknya itu adalah sahabatku, bernama Sanupati, tinggal di..."

Tiba-tiba sekelebat sinar putih hampir menyatu dengan sinar matahari berkelebat menghantam pinggang Suto Sinting. Dess!

"Uhhg...?!" Suto tersentak dengan mata mendelik, kemudian jatuh terkulai tak sadarkan diri. Brrukk!

"Suto...?!" pekik Tembang Selayang dengan wajah tegang. Tembang Selayang baru mau bergerak, tiba-tiba sinar putih melesat lagi, nyaris tak terlihat bentuknya karena menyatu dengan cahaya matahari. Slapp...! Dess !

"Aaahg...!" Tembang Selayang mengejang karena terhantam sinar yang mirip cermin terkena pantulan sinar matahari itu. Akibat punggungnya terkena sinar putih, Tembang Selayang terkulai tak sadarkan diri.

Tentu saja Suto Sinting tidak dapat lakukan apa-apa, karena ia dilumpuhkan lebih dulu oleh si penyerang gelap itu. Untuk beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk bagaikan cucian basah yang tanpatulang sedikitpun. Ia menjadi siuman ketika hari menjelang senja. Hembusan angin senja yang merontokkan dedaunan membuatnya tergugah dari masa pingsannya, ia segera bangkit dengan badan terasa lemas sekali.

"Empu...! Empu Tapak Rengat?!"

Wajah tegang Suto Sinting lebih mirip orang yang baru saja bangun tidur, ia bingung mencari Empu Tapak Rengat telah menghilang dari tempat duduknya di atas batu setinggi lutut itu. Tetapi tak jauh darinya masih tampak utuh Tembang Selayang terkulai belum sadarkan diri. Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya. Glek, glek, glek, glek...! Badannya terasa segar kembali. Kekuatan dan tenaga bagaikan pulih secara berangsur-angsur.

Kemudian ia segera menyadarkan Tembang Selayang dengan tuaknya juga. Gadis itu segera menegang ketika mengetahui bahwa sang Ayah sudah tidak ada di tempat, ia bergegas mencari ke berbagai tempat sekitarnya, tapi sang Ayah tetap tidak ada. Pendekar Mabuk pun gagal mencari sang Empu walau sempat mengacak-acak reruntuhan pondok yang hangus itu.

"Ayahku pasti diculik oleh si penyerang kita tadi!" geram Tembang Selayang.

"Kurasa memang begitu. Kita dilumpuhkan, tapi ayahmu dibawanya lari entah dengan cara bagaimana."

"Kurang ajar! Kuhabisi nyawa orang itu kalau sampai beradu muka denganku!" geram sang gadis semakin kuat. Kedua tangannya mengepal kencang, giginya menggeletuk penuh dendam.

Setelah sama-sama diam sesaat, tiba-tiba Suto Sinting punya gagasan baru dan segera berkata kepada Tembang Selayang. "Kau mau ikut aku ke Kadipaten Balungan?"

Tembang Selayang kerutkan dahi. "Maksudmu, Adipati Janarsuma yang menculik ayahku?"

"Utusannya yang melakukan penculikan itu!" tegas Suto. "Tentunya sang Adipati yakin betul bahwa pusaka itu ada ditangan ayahmu dan disembunyikan disuatu tempat, sehingga karena ayahmu tidak bisa dibujuk dengan cara apa pun, maka ia menculiknya. Tentunya sang Adipati dapat bertindak semaunya sendiri terhadap ayahmu selama ayahmu ada dalam tawanannya. Yang penting ia harus membuat ayahmu mengaku di mana pusaka itu disembunyikan!"

"Keparat! Kalau begitu ayahku akan disiksa oleh sang Adipati?!"

"Besar kemungkinan begitulah kira-kiranya. Kalau kita tak bergerak cepat, ayahmu bisa jadi korban salah sasaran. Sang Adipati pasti belum tahu bahwa Kapak Setan Kubur sudah di tangan Dewa Beruk."

Tembang Selayang menenangkan diri, mengatur pernapasannya yang dibakar api kemarahan. Setelah diam beberapa saat, suaranya pun diperdengarkan kembali. "Apakah kau yakin pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk yang ilmunya tak seberapa tinggi itu?"

"Firasatku mengatakan demikian."

"Kalau begitu aku akan ke Perguruan Monyet Sakti untuk mengambil Kapak Setan Kubur dan kuserahkan kepada Adipati Janarsuma sebagai tebusan mengambil ayahku!"

"Hmmm... kalau begitu aku ikut kau dulu ke sana. Kita hadapi bersama si Dewa Beruk kalau benar ia menggunakan kapak pusaka itu untuk melawan kita."

Pendekar Mabuk berpikiran begitu karena ia khawatir akan keselamatan Tembang Selayang; si cantik berdada sekal itu. Dalam bayangan Suto, jika memang kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, maka Dewa Beruk akan menggunakannya untuk melawan siapa saja yang ingin merampas kapak pusaka tersebut. Dan keyakinan Suto mengatakan, bahwa Tembang Selayang akan celaka jika berhadapan dengan lawan yang bersenjata kapak pusaka itu. Tanpa banyak berunding lagi mereka segera berkelebat menuju lereng gunung tersebut yang menghadap ke arah barat.

"Cari jalan terdekat agar sebelum petang tiba kita sudah sampai di perguruan itu!" kata Suto Sinting kepada Tembang Selayang.

Namun mendadak langkah mereka terhenti karena Suto terpekik melihat ke arah lembah sebelah kanannya. "Tunggu...! Siapa itu yang terkapar di sana!"

Tembang Selayang kerutkan dahi menatap ke arah lembah.

* * *

ENAM

ORANG yang terkapar itu kenakan pakaian abu-abu, rambutnya putih, badannya kurus dan gigi depannya tinggal dua. Pendekar Mabuk segera terperanjat pandangi tubuh yang terkapar itu.

"Tua Bangka...?!" serunya sambil lebih mendekat lagi, Tembang Selayang mengikuti dari belakang.

Tua Bangka terengah-engah bagaikan baru sadar dari pingsannya. Mulutnya ingin ucapkan sesuatu tapi tak mampu. Badannya lemas, mengangkat salah satu tangan pun bagaikan tak mampu lagi. Wajah tua itu menghiba hati Suto dan Tembang Selayang.

"Beri dia minuman tuakmu biar tenaganya pulih!" ujar Tembang Selayang, sepertinya mengingatkan Pendekar Mabuk yang tertegun mematung pandangi si Tua Bangka itu.

Setelah terbatuk-batuk karena terlalu banyak menenggak tuak, Tua Bangka mulai kelihatan sehat. Matanya dikerjap-kerjapkan seakan membuang kerabunan pandangannya.

"Tua Bangka, apa yang terjadi pada dirimu?"

Tua Bangka pandangi Suto Sinting dengan mata sedikit menyipit dan mulut melongo bagaikan linglung.

"Aku Suto...! Suto Sinting! Masih ingat?" seraya Suto Sinting menepuk-nepuk dadanya.

"Ooh... oh, kau...? Kau Pendekar Mabuk? Oooh... syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi, Suto! Jangan jauh-jauh lagi dariku, Suto. Aku takut...! Takut sekali," wajah Tua Bangka berubah tegang.

"Takut kepada siapa?! Katakan yang sebenarnya, Tua Bangka!" desak Pendekar Mabuk masih jongkok di depan Tua Bangka yang duduk ditanah.

"Orang itu... orang yang tadi itu..."

"Yang mana? Apakah tadi ada orang lewat sini?"

Tua Bangka mengangguk seperti anak kecil. "Tadi dia memergokiku dan membantingku di sini, lalu lalu habis dibanting ditinggal pergi begitu saja, tidak ditolong, tidak diapa-apakan. Ooh... orang itu jahat sekali, Suto!"

"Bagaimana ciri-ciri orangnya?!" tanya Tembang Selayang.

"Orangnya... kurus, tua, rambutnya abu-abu memakai... memakai kain sorban putih. Pakaiannya... hanya kain putih dililitkan lalu diselempangkan ke pundak kiri."

"Berjenggot pendek warna abu-abu pula?" tanya gadis itu ikut penasaran.

"Iya, iya... betul. Berjenggot pendek dan tidak punya kumis."

"Tak mungkin!" tiba-tiba Tembang Selayang menyentak dan menarik diri. Ia memalingkan wajah dengan rona kebingungan.

"Mengapa kau bilang tak mungkin? Apakah kau tahu ciri-ciri orang tersebut?"

"Tentu saja tahu. Itu ciri-ciri ayahku."

Suto Sinting tertegun sesaat membayangkan Empu Tapak Rengat, kemudian angguk-anggukkan kepala sambil menggumam lirih.

"Hmmm... ya, ya... itu memang ciri-ciri ayahmu."

"Tapi tak mungkin Ayah lakukan tindakan sekasar itu kepada orang setua ini?!" sangkal Tembang Selayang.

Suto Sinting jadi bingung sendiri, sebab menurutnya Empu Tapak Rengat memang tak mungkin bersikap kasar terhadap orang seusia Tua Bangka itu. "Pinang Sari dan Darah Prabu bagaimana?!" tanya Pendekar Mabuk kepada Tua Bangka.

"Mereka... mereka... entahlah. Sejak aku dihantam dari belakang oleh seseorang, aku tak ingat apa-apa lagi. Aku sadar sudah berada di dalam sebuah gubuk. Kemudian mataku ditutup dengan kain hitam, mulutku disumbat, dan aku segera ditotok. Setelah ditotok dibawa pergi entah ke mana," tutur Tua Bangka seperti anak kecil mengadu kepada kakaknya.

"Apakah yang menotok dan yang membawamu pergi orang berciri-ciri seperti tadi?"

"Iiy... Iya! Orang berjenggot pendek abu-abu itu! Kurasa dia pula yang memukulku saat kau mengejar orang yang membunuh pemuda berompi hitam itu, Suto."

"Aku tak percaya," gumam Tembang Selayang dengan pelan menandakan ia sendiri merasa ragu terhadap rasa tidak percayanya itu.

"Apa maksud orang yang membawamu kemari itu?" tanya Suto Sinting.

"Dia sangka aku orang Kadipaten Balungan. Dia menduga aku abdinya sang Adipati Janarsuma. Dia ingin membunuhku. Tapi setelah kujelaskan bahwa aku sendiri hampir mati digantung oleh sang Adipati, ia tak jadi membunuhku. Tapi ia membantingku dengan jengkel di sini sampai aku tak bisa bernapas beberapa saat, lalu aku pingsan. Orang itu sendiri pergi, entah ke mana perginya aku tak tahu, sebab aku pingsan."

Suto Sinting semakin bingung. Pertama-tama dilihatnya Empu Tapak Rengat bertarung melawan tiga orang bayaran yang diutus oleh Adipati Janarsuma. Kemudian sang Empu akhirnya hilang setelah Suto dan Tembang Selayang terkena pukulan dari tempat tersembunyi. Ketika Suto siuman, sang Empu sudah lenyap. Padahal menurut Suto yang menghantamnya dari tempat persembunyian bukan sang Empu sendiri. Lalu, sekarang ditemukan Tua Bangka mengaku mau diserahkan kepada sang Adipati, dan akhirnya dibanting dengan jengkel setelah Tua Bangka mengaku sebagai buronan sang Adipati Janarsuma.

"Lalu, apa maksud Empu Tapak Rengat sebenarnya?" pikir Pendekar Mabuk dalam renungannya. "Ada di pihak mana sebenarnya Empu Tapak Rengat itu?"

Tembang Selayang tak enak hati melihat Suto termenung, ia yakin yang direnungkan adalah ayahnya, ia yakin Suto Sinting bercuriga buruk kepada ayahnya. Se dangkan ia sendiri juga punya pertanyaan yang membingungkan tentang ayahnya itu. Akhirnya Tembang Selayang berkata kepada Suto Sinting.

"Sebaiknya kau urus dulu orang tua ini. Biarkan aku datang sendiri ke Perguruan Monyet Sakti untuk merebut Kapak Setan Kuburitu."

"Jangan gegabah dulu. Persoalannya agak meleset dari perkiraan kita. Ternyata ayahmu tidak diculik oleh sang Adipati."

Tembang Selayang diam, seakan mengakui bahwa ayahnya memang tidak diculik oleh orang utusan sang Adipati. Tapi ia tidak mempunyai keputusan apa pun karena dicekam oleh kebimbangan bertindak.

Pendekar Mabuk berkata lagi, sementara Tua Bangka hanya menjadi pendengar yang sesekali memandang jauh karena takut diserang seseorang lagi. "Kau dengar sendiri kata-kata ayahmu, bahwa pusaka itu sebenarnya milik Ratu Rias Pundi. Kemudian sang Ratu menjadi pertapa, dan pusaka itu diserahkan kepada adik sang Ratu yang bernama Sanupati. Sang Ratu adalah penguasa Pulau Singkang. Jadi, sekarang langkah kita adalah pergi ke Pulau Singkang mencari Sanupati, si pemilik pusaka tersebut."

"Tapi tadi kau yakin kalau pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, ketua Perguruan Monyet Sakti?! Kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Bukan berubah," tegas Suto Sinting. "Kita perlu tanyakan di mana letak kelemahan pusaka itu. Jika kita sudah mengetahui kelemahan pusaka itu, kita dapat melawan Dewa Beruk yang bersenjata kapak pusaka itu!"

"Terlalu membuang waktu!" sahut Tembang Selayang. "Ingat, pihak Kadipaten Balungan juga menghendaki pusaka itu. Jangan sampai kita didului oleh mereka. Jika kita harus ke Pulau Singkang dulu, begitu kembali ke lereng gunung ini, bisa-bisa pusaka sudah berpindah tangan."

Pendekar Mabuk tarik napas mempertimbangkan langkahnya. Tua Bangka masih terbengong melongo memamerkan dua gigi depannya tanpa bisa memberi pendapat dan pandangan apa-apa. Barangkali ia malu karena pusaka itu ternyata memang ada. Tak ada pilihan yang lebih baik saat itu kecuali menyetujui rencana Tembang Selayang. Perhitungan gadis itu dinggap lebih benar oleh Pendekar Mabuk. Kecuali Dewa Beruk sukar ditumbangkan dengan pusaka itu, maka rencana kedua akan dipakai, yaitu pergi ke Pulau Singkang dan menemui orang yang bernama Sanupati untuk menanyakan kelemahan pusaka Kapak Setan Kubur.

"Kalian mau ke mana?" tanya Tua Bangka.

"Ke Perguruan Monyet Sakti. Kami akan temui Dewa Beruk untuk mengambil Kapak Setan Kubur," jawab Suto. "Kau ikut kami, Tua Bangka."

"Tidak," Tua Bangka mundur. "Aku tidak mau ikut kalian. Nanti aku celaka diserang lawan kalian."

"Atau kau mau tinggal di sini dulu? Siapa tahu orang yang membantingmu itu muncul lagi?"

"Oh, tidak! Aku tidak mau dibanting lagi. Kalau begitu... baiklah, aku ikut kalian. Tapi kalian harus lindungi keselamatanku!" kata Tua Bangka seperti anak kecil minta jaminan.

Mereka bergegas menuju lereng sebelah barat. Namun lagi-lagi langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok mayat yang tergeletak di jalanan dalam keadaan menyedihkan. Sosok mayat itu terkapar tanpa nyawa dalam keadaan tercabik-cabik, sekujur tubuhnya bagaikan dirajang-rajang dengan puluhan mata pisau yang tajam. Tak ada bagian tubuh yang tampak utuh. Sampai pada daun telinga pun tercabik-cabik berlumuran darah.

"Ooh...?!" Tua Bangka bergidik merinding sambil jauhi mayat itu. "Pasti di sini ada binatang buas yang telah berhasil menumbangkan orang ini."

"Bukan binatang buas," gumam Tembang Selayang.

Suto membenarkan pendapat Tembang Selayang. "Ya, memang bukan binatang buas. Tapi seseorang yang bersenjata Kapak Setan Kubur. Pasti ia gunakan sinar hijaunya kapak tersebut, sehingga tubuh mayat itu tercabik-cabik mengerikan begini."

Tembang Selayang memperhatikan mayat itu beberapa saat, karena khawatir kalau-kalau mayat itu adalah mayat ayahnya sendiri. Tapi setelah dilihat dari jenis pakaiannya yang bukan putih tapi coklat muda, maka Tembang Selayang pun hembuskan napas lega, karena yakin bahwa mayat itu bukan ayahnya.

Mereka lanjutkan perjalanan dengan kesimpulan semakin kuat, bahwa mereka sudah semakin dekat dengan pusaka Kapak Setan Kubur.

"Waspada dan hati-hati, kita sudah semakin dekat dengan pusaka itu," kata Suto Sinting mengingatkan Tembang Selayang, tapi yang menjadi ketakutan Tua Bangka. Orang bergigi depan tinggal dua itu lebih merapat kepada Suto, melangkah sambil memegangi tali bumbung tuak Suto karena merasa takut mendapat serangan dadakan.

"Kalau kau gelayuti begini langkahku tak bisa bebas, Tua Bangka. Tenang sajalah, aku tak akan biarkan pusaka itu menyantap tubuh tuamu!"

Tua Bangka bersungut-sungut dengan gerutuan tidak jelas, ia melepaskan pegangannya dan memberanikan diri untuk berjalan agak jauh dari Pendekar Mabuk. Hal itu membuat Pendekar Mabuk sempat tersenyum geli memperhatikan lagak Tua Bangka yang tak mau dibilang pengecut itu.

Senja kian menipis ketika mereka tiba di lereng sebelah barat Gunung Bunting. Langkah mereka diperlamban dengan mata mulai menegang karena mereka mulai mencium bau asap bakaran. Mata mereka menatap penuh waspada. Angin senja bertiup menggeraikan rambut mereka.

"Ooh... Suto, lihat itu!" seru Tua Bangka sambil merapatkan diri pada Suto Sinting.

Apa yang dituding Tua Bangka menjadi pusat perhatian mereka. Tiga sosok mayat terkapar dalam keadaan mengerikan, yang satu tercabik-cabik, satunya lagi terbakar hangus menjadi arang, dan yang satunya lagi terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Diperkirakan potongan itu berjumlah tiga puluh tiga bagian.

"Semakin jelas, seseorang telah menggunakan pusaka Kapak Setan Kubur dalam waktu belum terlalu lama dari kedatangan kita ini, Tembang Selayang."

"Ya, aku pun berpendapat demikian. Tapi siapa mereka ini?"

Tua Bangka tiba-tiba berkata, "Tombak mereka ada dibawah batu itu."

"Oh benar. Mereka bersenjata tombak dan... dilihat dari jenis hiasan benang bawah mata tombak itu, sepertinya mereka para prajurit sebuah negeri," gumam Tembang Selayang.

"Benar. Aku ingat tombak ini merupakan ciri tombak prajurit Kadipaten Balungan!" ujar Tembang Selayang dengan wajah tegang. "Aku masih hafal ciri-ciri tombak mereka.

Suto Sinting dan Tembang Selayang saling beradu pandang.

"Kadipaten Balungan...?! Mungkinkah orang kadipaten sudah mendului kita merebut Kapak Setan Kubur, Suto?"

"Tak menutup kemungkinan, hal itu bisa saja terjadi. Mungkin mereka mendapat kabar dari seseorang bahwa kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk. Hanya saja, apakah mereka berhasil merebut kapak pusaka itu atau masih tetap bertahan di tangan Dewa Beruk?!"

Langkah mereka semakin cepat menuju pusat perguruan. Sepanjang jalan ditemukan mayat bergelimpangan. Ada yang mati dengan ciri-ciri kedahsyatan Kapak Setan Kubur, ada pula yang mati karena tebasan senjata tajam lainnya. Mayat-mayat itu bukan hanya menandakan sebagai ciri prajurit Kadipaten Balungan, namun terdapat pula mayat orang Perguruan Monyet Sakti.

"Tak dapat dipungkiri lagi, Suto... belum lama ini pasti terjadi pertarungan antara orang kadipaten dengan orangnya Dewa Beruk," ujar Tembang Selayang.

"Ya, benar. Kita lihat saja bagaimana keadaan di pusat perguruan itu!"

Ternyata keadaan di pusat Perguruan Monyet Sakti semakin menyedihkan. Perguruan hancur, porak-poranda, terbakar di sana-sini. Nyaris tak ada bangunan yang tersisa. Mayat pun semakin banyak bergelimpangan, jumlahnya lebih dari tiga puluh mayat. Bahkan ada beberapa ekor kuda yang mati menjadi hangus atau terpotong menjadi tiga puluh tiga bagian.

Tua Bangka memandang dengan wajah sangat tegang. Langkahnya tak jauh dari Pendekar Mabuk. Matanya mendelik memandangisekelilingnya. "Gila! Di mana si Cawan Pamujan kalau begini?" gumamnya mencari sang cucu.

"Mengapa kau mencari cucumu di sini, Tua Bangka?"

"Aku takut kalau cucuku mengalami nasib seperti ini!" ujar Tua Bangka dengan wajah menyeringai antara sedih dan ketakutan.

Mereka melangkah semakin ke dalam bekas benteng perguruan. Ternyata hampir seluruh murid perguruan binasa. Beberapa prajurit kadipaten pun tampak mati mengenaskan.

Tembang Selayang berseru, "Dewa Beruk...! Keluarlah, aku yang datang; Tembang Selayang! Keluarlah Dewa Beruuuk...!"

Tak ada jawaban apa pun yang mereka peroleh. Suara tak ada, gerakan pun tak ada. Yang ada hanya sisa asap kebakaran yang merambah bagai mempercepat datangnya sang petang.

"Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi," kata Suto Sinting kepada Tembang Selayang."

"Mengerikan sekali!" gumam Tua Bangka dengan wajah tetap tegang.

Mereka memeriksa seluruh tempat, dan ternyata memang tak ada satu pun korban pertarungan yang bisa diselamatkan.

"Aku tak temukan mayat Dewa Beruk," kata Tembang Selayang. "Berarti dia melarikan diri atau lakukan pengejaran bagi prajurit kadipaten yang selamat!"

"Jika dia memegang Kapak Setan Kubur, tak mungkin ia mundur dan melarikan diri. Pasti maju menyerang atau mengejar," kata Suto Sinting dengan penuh keyakinan.

Mereka bergegas menuju ke Kadipaten Balungan. Tetapi langkah mereka terhambat malam, Tua Bangka tak berani lakukan perjalanan malam. Mau tak mau mereka bermalam kembali ke Desa Panganbumi. Sasaran mereka adalah penginapan Ki Punjul, tempat Suto dan Tembang Selayang bertemu dengan Guci Kopong serta Pawang Kera. Dalam hati mereka merasa heran karena mereka tidak menemukan mayat Guci Kopong dan Pawang Kera. Dugaan yang ada pada mereka adalah pengejaran yang dilakukan oleh Dewa Beruk terhadap orang-orang kadipaten diikuti pula oleh beberapa murid perguruan, di antaranya Guci Kopong dan Pawang Kera.

"Atau barangkali mereka mati hangus menjadi arang yang sukar kita kenali ciri-cirinya itu?"

"Mungkin saja begitu," jawab Suto Sinting saat mereka mengadakan percakapan di penginapan tersebut.

Desa itu menjadi desa yang sepi dan sunyi. Tidak seramai malam yang lalu. Tentu saja hal itu menimbulkan pertanyaan di batin Suto Sinting, sehingga ia pun ajukan pertanyaan kepada Ki Punjul, si pemilik kedai dan penginapan itu.

"Mengapa sepi sekali, Ki? Malam kemarin begitu ramai. Banyak pembeli yang berkunjung ke kedai ini."

"Yah, maklum saja habis terjadi peristiwa mengerikan sebelum sore tiba tadi," jawab Ki Punjul dengan waswas.

"Peristiwa apa yang terjadi itu, Ki Punjul?"

"Dewa Beruk mengamuk karena perguruannya dibumihanguskan oleh orang kadipaten."

Jawaban Ki Punjul membuat mata Tembang Selayang menatapnya tak berkedip. Tua Bangka ikut-ikutan memandang Ki Punjul dengan hasrat mendengarkan cerita seru. Ki Punjul menjelaskan kembali apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Ada dua prajurit yang lari kemari, masuk ke dalam kedai ini. Tapi mereka segera dilempar keluar oleh Guci Kopong, lalu di sana mereka disambut oleh Dewa Beruk yang bersenjata kapak dari emas. Kedua prajurit itu akhirnya hangus dan menjadi arang tak berbentuk lagi. Mengerikan sekali untuk dikenang. Senjatanya sangat ganas, kurasa orang kadipaten akan dibantai habis oleh Dewa Beruk yang murka itu."

Semakin jelas sekarang, bahwa pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk. Cerita tersebut membuat Suto dan Tembang Selayang tertegun beberapa saat. Tua Bangka ikut-ikutan termenung, bagaikan sedang membayangkan kengerian dari pertarungan tersebut.

"Sekarang ke mana perginya Dewa Beruk, Ki?" tanya Tembang Selayang.

"Mereka menuju ke kadipaten Balungan. Tentunya yang menjadi sasaran mereka adalah sang Adipati Janarsuma, karena beliaulah yang memerintahkan menyerang Perguruan Monyet Sakti untuk dapatkan kapak emas itu."

"Berapa orang yang mengikuti Dewa Beruk, Ki?" tanya Suto Sinting.

"Hanya dua orang; si Guci Kopong dan Pawang Kera, serta seorang gadis yang agaknya menjadi tawanan Dewa Beruk."

"Seorang gadis?!" Tembang Selayang bergumam heran sambil menatap Ki Punjul. Suto Sinting dan Tua Bangka pun memandang Ki Punjul dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ya, seorang gadis berpakaian kuning kunyit, berwajah cantik dan masih muda."

"Dari mana kau tahu kalau gadis itu menjadi tawanan Dewa Beruk?"

"Kedua tangannya selalu dalam ikatan, dan Pawang Kera yang menjaganya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Tua Bangka tampak gelisah, ia ditepuk oleh Suto dan berkata, "Jangan takut, ia tidak akan bisa memperlakukan dirimu seperti gadis itu karena kau bersamaku dan bersama Tembang Selayang."

Tua Bangka ambil napas dalam-dalam, lalu terbatuk-batuk sesaat. Suara tuanya terdengar kembali bernada mirip orang menggerutu. "Kalau kalian lakukan pertarungan mana sempat menjagaku?! Aku bisa dihantam oleh anak buahnya yang satu lagi."

Pendekar Mabuk menertawakan kecemasan Tua Bangka. Beberapa saat kemudian Tua Bangka berkata lagi, "Aku tak perlu ikut ke kadipaten. Aku tinggal di penginapan sini saja. Orang kadipaten akan mengeroyokku karena peristiwa tempo hari itu."

"Kalau kau di sini, aku tak bisa menjagamu," kata Suto Sinting. "Tapi kalau kau memang merasa aman di sini, yakin bahwa Dewa Beruk atau yang lainnya tak akan muncul di sini, ya silakan saja kalau kau mau tinggal di penginapan ini. Tapi jika terjadi sesuatu yang mencelakan dirimu, jangan salahkan diriku dan Tembang Selayang"

Tua Bangka garuk-garuk kepala. Semalaman ia tak tidur karena memikirkan hal itu. Paginya ketika Suto dan Tembang Selayang berangkat ke kadipaten, Tua Bangka memutuskan untuk ikut mereka. Karena ia ingat janjinya kepada Suto Sinting yang telah menyelamatkan nyawanya dari tiang gantungan, bahwa ia akan ikut Pendekar Mabuk ke mana pun anak muda itu pergi.

Rupanya perbatasan wilayah Kadipaten Balungan telah terjadi pertarungan seru antara orangorang kadipaten dengan Dewa Beruk. Jumlah yang melibatkan diri dalam pertarungan itu sekitar sepuluh prajurit dari kelas teri sampai kelas kakap. Branjang Kawat pun ada di antara mereka. Orang pilihan sang Adipati itu tidak lakukan pertarungan secepatnya, namun mencoba mempelajari kelemahan Dewa Beruk yang bersenjatakan Kapak Setan Kubur itu.

Guci Kopong dan Pawang Kera ikut ambil bagian juga sebagal pihak pembela Dewa Beruk. Melihat tingkah laku Dewa Beruk, Branjang Kawat yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar dengan celana serta rompinya yang berwarna biru tua itu, segera melesat dari tempat berdirinya dan tahu-tahu menebaskan pedangnya ke punggung Guci Kopong.

Wuutt...! Craass...!

"Aaaahhg...!" Guci Kopong memekik dalam keadaan punggung terbelah.

Dewa Beruk segera berpaling menatap kematian anak buahnya yang berbadan gemuk itu. Orang berjubah hitam yang sebentar-sebentar garuk-garuk badan itu segera bersalto ke belakang dan kakinya mendarat di tanah depan Branjang Kawat.

"Bangsat kau! Tebus kematian anak buahku ini dengan nyawamu! Hiaaat...!" Dewa Beruk sentakkan kaki dan melenting di udara pada saat Branjang Kawat menebaskan pedangnya.

Pedang lewat di bawah kaki Dewa Beruk, lalu kapak emas bermata tiga yang digenggamnya sejak tadi itu dikibaskan dari kiri ke kanan.

Wuuuttt...!

Claapp...! Sinar biru keluar dari mata kapak berbentuk gerakan tak beraturan dan sukar diketahui ke mana arah gerakan sinar itu, kemudian sinar biru tersebut menyambar tubuh Branjang Kawat.

Jrraaab...!

Bleegaarrr...!

Tak ada suara yang timbul dari Branjang Kawat. Tubuh itu langsung berasap dan rubuh tak berkutik. Keadaannya sudah hitam menjadi arang berasap dengan senjata pedangnya ikut-ikutan menjadi cairan kental yang meleleh lumer dan akhirnya membeku tak berbentuk lagi.

Sementara itu, Singa Parnayang ikut dalam pertempuran itu berhasil membokong Pawang Kera dengan tombaknya. Tombak bermata tiga itu dihujamkan ke punggung Pawang Kera, ketika orang itu sedang menangkis serangan lawan dari depan.

Jruubb...!

"Aaahgg...!" Pawang Kera memekik keras sekali dengan tubuh melengkung ke depan, kemudian rubuh tak bernyawa.

Dewa Beruk semakin buas, murkanya dilepaskan tiada batas. Pada waktu itu, rombongan Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Namun mereka tidak segera bertindak karena perlu mempelajari keadaan setempat. Tiba-tiba Tua Bangka berseru dengan mata melebar dan wajah menegang,

"Cucuku...! Cawan...! Cawan Pamujan! Oooh... itu dia cucuku! Cawan Pamujaaan...!"

Seorang gadis yang kedua tangannya diikat ke belakang berseru memanggil Tua Bangka. "Kakeeek...!"

Gadis berpakaian hijau muda dengan rambut di konde dua itu segera berlari menerobos hiruk-pikuknya pertarungan. Gadis cantik berwajah imut-imut itu membuat pandangan mata Pendekar Mabuk terpana beberapa saat. Tua Bangka segera berlari tertatih-tatih menyambut kedatangan cucunya. Suto Sinting dan Tembang Selayang menjadi cemas.

"Tua Bangka, jangan mendekati pertarungan! Tua Bangka, kembaliii...!" teriak Pendekar Mabuk. Namun si Tua Bangka tidak pedulikan seruan itu. Ia tetap berlari menyongsong cucunya; si Cawan Pamujan.

Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak cepat dan menyambar gadis itu. Pada saat sang gadis disambar Suto, kilatan cahaya merah mengarah kepada mereka. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan, zlaaap...! Ia bergerak lebih cepat dari cahaya merah yang datang dari kapak emas tersebut. Gerakan Suto Sinting yang kedua itu disertai raihan tangan kirinya sehingga menyambar tubuh kurus si Tua Bangka.

Gelegar ledakan berbunyi saling bersahutan. Tenaga dalam orang-orang kadipaten diadu dengan kekuatan dahsyat yang keluar dari Kapak Setan Kubur itu. Pendekar Mabuk berhasil selamatkan Cawan Pamujan dan Tua Bangka dari hujan sinar yang dikeluarkan dari kapak maut tersebut. Murka sang Dewa Beruk membuat ia melepaskan sinar itu ke sembarang arah, sehingga korban pun berjatuhan.

"Cawan...! Ooh, cucuku... untung kau selamat, Nak. Untung kau masih hidup!" Tua Bangka memeluk cucunya, si Cawan Pamujan.

Sementara itu, Tembang Selayang buru-buru melepaskan tali pengikat yang menjerat kedua tangan gadis berwajah mungil manis itu, sehingga sang gadis berkulit kuning langsat itu pun bisa memeluk kakeknya dalam tangis.

"Kakek... aku takut, Kek...!"

"Kau nakal, akibatnya begini! Kau tidak bisa kendalikan nafsumu, dan hampir saja nyawamu melayang!" sang kakek ngomel dengan hati girang, sebentar-sebentar memeluk cucunya.

"Sebaiknya menyingkir di bawah pohon sana supaya kau dan cucumu aman, Tua Bangka!" saran Tembang Selayang, karena ia bersiap akan menghadapi Dewa Beruk bersama Pendekar Mabuk.

"Dia membawa kapak itu, Kek. Dia merampasnya, dan membunuh orang banyak dengan kapak itu!" celoteh Cawan Pamujan dengan cerewet dan bernada manja.

Tiba-tiba hening tercipta bagai membungkam alam. Rupanya sekian banyak orang kadipaten telah berhasil ditumbangkan oleh Dewa Beruk. Keadaan itu membuat Suto Sinting, Tembang Selayang, Tua Bangka, dan Cawan Pamujan menjadi terbungkam sambil memandangi Dewa Beruk yang masih garuk-garuk ketiaknya. Orang berjubah hitam yang punya wajah angker itu segera menatap ke arah rombongan Suto Sinting. Pada saat itu Suto sempat berbisik pelan kepada Tembang Selayang,

"Jagai aku. Biar aku yang maju sebagai umpan kapak itu. Akan kuhadapi dengan bumbung tuakku!"

"Baik. Majulah, kujagai dari sini!"

Dewa Beruk garuk-garuk perut dengan tangan kirinya sambil berseru dengan ganasnya. "Kalian juga kehendaki kapak ini? Majulah kalau kalian ingin kupotong-potong, atau kubakar hangus seperti orang-orang kadipaten itu!"

Pendekar Mabuk cepat-cepat menenggak tuak, tapi tidak semuanya ditelan. Sisanya dibendung dalam mulut untuk disemburkan. Dan pada waktu itu Dewa Beruk tak sabar ingin menuntaskan murkanya. Maka kapak emas itu segera dikibaskan dari atas ke bawah.

Wuuutt...! Claapp...! Wut, wut, wut, wut, wut...!

Gerakan sinar merah yang keluar dari kapak itu zigzag ke sana-sini sukar diikuti oleh pandangan mata. Sinar merah adalah sinar yang akan memotong tubuh Pendekar Mabuk menjadi tiga puluh tiga bagian. Namun karena di mulut Pendekar Mabuk sudah tersimpan tuak yang sebenarnya ingin digunakan untuk menyembur kapak itu dengan jurus 'Sembur Siluman', supaya kapak menjadi lenyap dari genggaman Dewa Beruk, terpaksa kali ini yang digunakan Suto Sinting adalah jurus ' Sembur Wiwaha', yang mampu memercikkan api dari semburan tuaknya dan membakar kemana-mana.

Brruusss...!

Pendekar Mabuk lakukan semburan tuak ketika sinar merah itu mendekat ke arahnya. Percikan api keluar dari mulut Pendekar Mabuk dan menyergap sinar merahnya Kapak Setan Kubur.

Zraabbb..! Blegaarr...!

Pendekar Mabuk terpental dengan tubuh melambung tinggi. Ledakan itu cukup ganas dan dahsyat sekali, mengguncangkan tanah, merubuhkan dua pohon, mendatangkan angin membadai dalam sekejap. Tembang Selayang pun terpental jatuh karena gelombang ledak yang menyentak kuat itu. Dewa Beruk terlempar ke belakang dan berguling-guling. Tua Bangka rubuh sambil melindungi cucunya hingga tubuhnya tertindih sang cucu. Ia terbatuk-batuk dan mengerang kesakitan. Namun sang cucu segera membantunya untuk bangkit, sedangkan Pendekar Mabuk pun baru saja berdiri kembali dari keadaan yang membantingnya tadi.

Zlaappp...! Suto Sinting maju lebih dekat. Kini jaraknya hanya tiga langkah dari samping Dewa Beruk yang sedang berusaha bangkit lagi itu. Kaki Suto Sinting segera menendang leher Dewa Beruk dengan kuatnya.

Wuuuttt...! Deess...!

"Uuhg...!" Dewa Beruk terlempar dan jatuh tak berapa jauh dari Tua Bangka. Ia segera meniup gagang kapak pusaka itu. Puih...! Dan tiga mata kapak pun terbang berputar-putar menerjang Suto Sinting. Seketika itu pula, Tua Bangka melompat maju dan kakinya menendang tangan Dewa Beruk yang masih pegangi gagang kapak, menunggu kembalinya tiga mata kapak.

Deesss...! Wuuuttt...!

Gagang kapak terpental terbang dalam ketinggian melebihi pucuk pohon. Dewa Beruk terperangah bengong. Sementara itu, Tua Bangka cepat sentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya pun melesat ke atas cukup tinggi, ia bersalto satu kali di udara dan tangannya segera menyambar gagang kapak tersebut.

Wuuuttt...! Teeb...!

Suto Sinting kebingungan hindari tiga mata kapak yang menyerangnya, ia terpaksa gunakan bumbung tuaknya untuk menangkis. Wuuusss...!

Dar, dar, dar...! Tiap mata kapak yang menghantam bumbung tuak selalu timbulkan ledakan dan nyala api merah yang memercik. Ketiga mata kapak itu tetap terbang memutar dan kembali ke tempat semula. Pada saat itu Tua Bangka acungkan gagang kapak ke atas, lalu tiga mata kapak itu hinggap ke ujung gagangnya dan menjadi rekat seperti sedia kala.

Tembang Selayang, Suto Sinting, dan Dewa Beruk sama-sama terperanjat melihat Kapak Setan Kubur kini ada di tangan Tua Bangka. Sesuatu yang membuat Tembang Selayang sulit kedipkan mata adalah gerakan salto Tua Bangka yang melesat tinggi itu adalah gerakan yang tak pernah dibayangkan Tembang Selayang. Ternyata Tua Bangka mampu melakukannya.

"Keparat kau, orang peot!" geram Dewa Beruk sambil garuk-garuk lengannya, ia belum sempat bergerak, tahu-tahu Tua Bangka lakukan gerakan yang sukar dilihat mata manusia biasa.

Wuuutt...!

Kakinya menendang Dewa Beruk dengan berputar cepat. Tendangan bertubi-tubi yang amat cepat itu mengenai kepala Dewa Beruk secara beruntun, lebih dari sepuluh kali tendangan.

Plak, plak, plak, plok, plok...!

Dan tendangan terakhir adalah gerakan memutar yang sangat cepat. Praaak...! Tua Bangka diam dalam keadaan pasang kuda-kuda dan kapak terangkat ke atas. Dewa Beruk terlempar dengan wajah berlumur darah, ia jatuh tepat di samping Suto Sinting. Agaknya Dewa Beruk masih penasaran. Dengan menggerang buas ia bangkit dan karena yang terdekat adalah Suto Sinting, maka ia lepaskan pukulan tenaga dalam andalannya ke arah Suto Sinting.

Pendekar Mabuk melihat gelagat yang akan membahayakan nyawanya. Belum sempat tangan Dewa Beruk bergerak, Suto telah memutar tubuhnya dengan cepat dan nyaris tak terlihat sedikit pun. Bumbung tuaknya dilayangkan dan menghantam punggung Dewa Beruk.

Wuuutt...! Grraakkk...!

Ada suara tulang remuk bersamaan terlemparnya tubuh Dewa Beruk ke arah Tua Bangka. Mulut orang itu semburkan darah ke mana-mana. Tua Bangka menyambutnya dengan kibasan kapak emas yang membelah dari dada ke perut.

Breett...!

"Uuuhhg...!" Dewa Beruk akhirnya terkulai, jatuh berlutut dalam keadaan dadanya terbelah hingga perut, kemudian ia jatuh tersungkur ke depan dan selanjutnya tidak bernapas lagi.

Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya karena wajahnya memar membiru akibat geiombang ledakan yang membuat tubuhnya terbanting tadi. Pada saat itu, Tua Bangka bermaksud memenggal kepala Dewa Beruk. Tapi tiba-tiba sebuah seruan terdengar di sela kesunyian alam.

"Cukup, Tua Bangka!"

Semua mata memandang ke arah orang yang berseru itu. Ternyata Empu Tapak Rengat muncul bersama Pinang Sari, dan Darah Prabu. Mereka sangat terkejut, terutama Suto dan Tembang Selayang. Gadis itu segera berseru dan berlari memanggil ayahnya. "Ayaaah...!"

Empu Tapak Rengat mengusap-usap punggung anak gadisnya. "Ayah tak apa-apa! Tenanglah."

Suto Sinting segera bertanya, "Dari mana saja kau, Ki Empu Tapak Rengat?!"

"Tanyakan pada Tua Bangka itu. Dia yang menculikku dan memenjarakan diriku di dalam gua. Ternyata di situ juga ada Pinang Sari dan adiknya; Darah Prabu."

"Benar!" seru Pinang Sari dengan wajah kesal. "Aku dan Darah Prabu ditotok oleh Tua Bangka dan disembunyikan dalam gua. Pintu gua ditutup dengan batu berlapis tenaga dalam yang selalu membuatku terpental jika mendekatinya, Suto. Untung ada Empu Tapak Rengat ini, sehingga batu itu bisa dijinakkan dan kami bisa keluar dari gua!"

Suto Sinting pandangi Tua Bangka dengan dahi berkerut dan mata memancarkan ketajaman. Tua Bangka hanya nyengir dan garuk-garuk kepala. Empu Tapak Rengat segera mendekat dan berkata,

"Lain kali aku tidak suka dengan permainan seperti ini, Sanupati!"

"Maafkan aku, semua demi menyelamatkan pusaka ini. Sekarang kalau kalian mau menghukumku, silakan! Aku memang bersalah terhadap kalian."

"Ayah... berarti orang yang bernama Sanupati itu adalah si Tua Bangka ini?!"

"Benar, Anakku. Dialah adik dari Ratu Rias Pundi yang masa mudanya senang ugal-ugalan. Setelah bertemu denganku menjadi pria pendiam. Dan Nyai Pucanggeni, adalah bekas kekasihnya semasa muda."

"Ooo..., pantas aku seperti pernah melihatnya. Rupanya dulu aku pernah ikut Guru menemui seseorang di sebuah bukit untuk lakukan percakapan rahasia, dan orang itu adalah dia, Ki Empu!" Pinang Sari cepat menyahut.

Suto Sinting agak dongkol karena selama ini merasa terkecoh oleh penampilan Tua Bangka yang berlagak polos, lugu, dan bodoh itu. Ternyata orang yang mau digantung itu adalah orang berilmu tinggi. "Apa maksudmu bersandiwara seperti itu, Tua Bangka?!" tanya Suto agak menggertak.

Tua Bangka nyengir dan garuk-garuk kepala, seperti orang malu karena merasa bersalah. "Semua terpaksa kulakukan untuk sembunyikan siapa diriku. Dengan begitu orang tidak akan mengejar-ngejarku untuk dapatkan Kapak Setan Kubur ini. Orang akan mengejar orang lain, dan aku hanya membayang-bayangi saja. Aku hanya akan bergerak jika Kapak Setan Kubur dan cucuku sudah ada di depan mataku. Saat itulah orang akan tahu bahwa akulah pemiliknya."

"Kakek," kata Cawan Pamujan. "Maafkan kesalahanku. Semua ini gara-gara kelancanganku mencuri pusaka itu untuk membunuh Gandapura!"

Suto Sinting terkejut. "Kau ingin membunuh titisan raksasa itu?!"

"Ya, aku ingin membalas dendam padanya, karena kekasihku dimakan olehnya!" jawab Cawan Pamujan dengan ketus, seakan tak mau disalahkan oleh orang lain kecuali oleh kakeknya sendiri.

"Mengapa bisa jatuh ke tangan Dewa Beruk?" tanya Tembang Selayang.

"Dia menyergapku dari belakang. Aku dilumpuhkan, lalu kapak diambil olehnya, dan aku dijadikan tawanan, mau dipakai pemuas gairahnya. Tapi belum sampai terjadi. Sumpah, aku masih suci kok!" Cawan Pemujan memandang Suto, "Sumpah, aku masih suci!"

"Masa bodoh!" jawab Suto dengan jengkel dan menyingkir dua langkah dari depan gadis itu. Sikap tersebut membuat Empu Tapak Rengat tersenyum geli, demikian pula Tua Bangka alias Ki Sanupati itu. Namun dalam hati Suto Sinting sempat membatin dalam renungannya,

"Pantas sang Adipati menangkap Tua Bangka dan memaksa Tua Bangka serahkan kapak itu karena ia tahu bahwa Tua Bangka memilikinya. Pantas Tua Bangka menyebarkan kabar palsu bahwa Kapak Setan Kubur itu hanya isapan jempol belaka, maksudnya supaya tak banyak yang memburu pusaka tersebut. Tapi, yang membuatku masih merasa heran adalah sikap sang Adipati Janarsuma. Mengapa ia sangat berkeinginan untuk memiiiki Kapak Setan Kubur, sampai mengorbankan sekian banyak prajuritnya? Apa yang ingin dilakukan oleh sang Adipati jika Kapak Setan Kubur ada di tangannya?"

Tua Bangka mendekati Pinang Sari dan Darah Prabu. "Maafkan aku, aku terpaksa menyembunyikan kalian dulu supaya kalian tak menyebar kabar bahwa akulah pemilik pusaka ini. Sebab jika kalian bertanya kepada Badranaya, ia akan sebutkan nama Sanupati alias Tua Bangka. Jadi, sebelum kalian temui sahabatku; si Badranaya atau gurumu, Darah Prabu, aku terpaksa mencegah dengan cara sembunyikan diri kalian. Kalau kalian merasa perlu menghukumku, hukumlah sekarang juga. Aku tak akan mendendam pada kalian."

Pinang Sari menjawab ketus, "Hukumanku hanya suatu permintaan; jaga cucumu, jangan sampai terlalu dekat dengan Pendekar Mabuk. Karena ia pandai menjerat hati wanita!"

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil melengos. Tua Bangka, Empu Tapak Rengat, dan Darah Prabu juga tertawa. Sedangkan Tembang Selayang hanya tersenyum-senyum dan Cawan Pamujan cemberut malu, sembunyi di belakang kakeknya.

SELESAI