Pisau Tanduk Hantu - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Pisau Tanduk Hantu
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
GUNUNG Kundalini dilapisi kabut tebal. Kabut pembawa hawa dingin itu menyelimuti puncak gunung. Dari gumpalan kabut tersebut muncul sesosok tubuh berlari menuruni lereng terjal. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam waktu singkat ia sudah mencapai kaki gunung tersebut.

Orang yang meluncur dari puncak gunung tersebut ternyata seorang wanita muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat dari usia tersebut. Ilmu awet ayu dan awet muda membuatnya tampak tetap segar, cantik, dan menggairahkan setiap lelaki.

Ia mengenakan pakaian model angkin ketat dan celana ketat warna ungu berhias benang emas. Dadanya yang sekal tampak mencuat mau keluar dibungkus pinjung ungu ketat itu. Gumpalan daging pada belahan dada terlihat mulus, membuat pria mana pun menelan ludah sendiri jika melihatnya. Pakaian menantang saraf lelaki itu dibungkus dengan jubah lengan panjang yang longgar berwarna ungu tua tanpa kancing. Pedang di punggungnya dibungkus pula oleh kain beludru warna ungu.

Siapa lagi tokoh cantik yang gemar berpetualang dengan pakaian serba ungu itu kalau bukan Pelangi Sutera alias Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang juga bekas panglima negeri dasar laut: Ringgit Kencana. Perempuan ini bukan perempuan sembarangan. Kesaktiannya cukup tinggi, karena ia menerima warisan seluruh ilmu yang ada pada diri seorang pertapa sakti kala ia menjadi pelayannya. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana.

Kesaktiannya itu membuat ia dikenal di kalangan tokoh tua berilmu tinggi, karena sebenarnya Sumbaruni adalah tokoh sakti yang masuk dalam aliran putih. Jika ia mau membuka perguruan sendiri, maka muridnya ditanggung banyak kaum lelaki. Tapi ia tidak mau membuka perguruan. Ilmunya hanya akan diturunkan kepada anaknya yang semata wayang, yaitu Logo. Anak jin yang bertubuh tinggi besar, berbadan kekar, gundul berkuncir tengah melengkung ke belakang, kegemarannya hanya mengenakan cawat, selebihnya polos tapi tidak merangsang. Kasih sayangnya kepada anak tunggalnya itu membuat Sumbaruni enggan mewariskan ilmunya kepada siapapun.

Tetapi kesaktiannya itu pernah dilumpuhkan oleh 'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menjadi kecil, semakin lama semakin seperti bocah. 'Racun Ludah Naga' adalah milik Syakuntala, Panglima Tanah Hindus, utusan Raja Kulana Baham. Ketika Syakuntala mengadu pertarungan dengan Pendekar Mabuk; Suto Sinting, Sumbaruni mendahului menyerang Syakuntala sebagai pembelaan diri dan unjuk kesetiaan terhadap Suto, sebab sebenarnya ia menyimpan hati dan cinta terang-terangan kepada si pendekar tampan muridnya Gila Tuak itu.

Saat melakukan pertarungan itulah, Sumbaruni terkena 'Racun Ludah Naga'. Tubuhnya makin lama semakin menyusut. Obatnya hanya dengan menelan Telur Mata Setan. Pendekar Mabuk-lah yang berusaha mencari Telur Mata Setan ke Gunung Kundalini. Dengan didampingi Teratai Kipas yang sebenarnya anak raja dari negeri Majageni itu, akhirnya Telur Mata Setan berhasil diperoleh Pendekar Mabuk, walaupun ada pihak lain yang menginginkannya, yaitu Resi Pakar Pantun, gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan yang juga terkena 'Racun Ludah Naga'.

Tetapi bagaimanapun Pendekar Mabuk lebih beruntung dan dapat membawa Telur Mata Setan ke pesanggrahan Nyai Guru Betari Ayu, di puncak Gunung Kundalini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Racun Gugah Jantan).

Setelah meminum Telur Mata Setan yang berisi cairan hijau manis, dan hanya bisa dilubangi dengan sinar tenaga dalam dari Suto Sinting itu, Sumbaruni yang sempat menjadi bocah cilik seperti berusia dua tahun kurang itu segera tertidur nyenyak. Pengaruh cairan hijau dalam telur berkulit kuning emas itu membuat Sumbaruni tertidur selama sehari semalam penuh.

Pada saat ia tertidur itulah tubuh kecilnya mengalami perubahan semakin besar, semakin menjadi dewasa, dan akhirnya menjadi seperti semula. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia telah menemukan tubuhnya pulih kembali, lengkap dengan kecantikannya dan kepadatan dadanya yang montok menggemaskan itu.

"Di mana Suto Sinting sekarang, Betari Ayu?" tanyanya kepada Nyai Guru Betari Ayu yang dalam urutan usia tergolong lebih muda dari Sumbaruni.

"Suto Sinting telah pergi," jawab Betari Ayu dengan kalem dan bijak.

"Mengapa dia tinggalkan diriku di puncak gunung ini? Lelaki macam apa dia itu? Tidak tanggung jawab! Bawa-bawa anak orang kemari lalu ditinggalkan begitu saja?! Apa dia sangka aku ini barang titipan?!" Sumbaruni ngomel dan menggerutu tak jelas bedanya.

Betari Ayu yang berpenampilan anggun dan tenang, namun nilai kecantikannya tak kalah dengan Sumbaruni itu hanya senyum-senyum saja. Ia tahu Sumbaruni sewot karena ia merasa ditinggalkan Suto. Padahal Sumbaruni suka sama Suto. Sedangkan Suto dijamin tidak punya cinta untuk Sumbaruni, sebab Betari Ayu sang pertapa itu yakin bahwa Suto hanya punya cinta kepada seorang penguasa Puri Gerbang Surgawi yang amat cantik jelita; Dyah Sariningrum, adik Betari Ayu sendiri. Tapi toh Betari Ayu tidak banyak cemburu dan curiga kepada hubungan Suto dengan Sumbaruni.

"Cinta bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja, juga oleh siapa saja. Cinta yang tumbuh bukan suatu kesalahan, karena cinta adalah bagian dari naluri dan kodrat. Sukar diatur pertumbuhannya. Setiap manusia punya benih cinta yang sewaktu-waktu dapat tumbuh merimbun indah. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti hakikat dari sebuah cinta yang sejati. Hanya adikku yang tahu persis hakikat cinta yang sejati, sehingga layaklah ia dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati," tutur Betari Ayu di depan murid setianya; Selendang Kubur.

Pada waktu itu Sumbaruni berada di pekarangan, lalu masuk lagi dan menemui Betari Ayu. "Ke mana perginya si pemuda sinting itu?"

"Mengantar Teratai Kipas ke Negeri Majageni!"

"Brengsek!" sentaknya menggeram. Rasa cemburu tumbuh di hati Sumbaruni. "Untuk apa dia mengantar gadis itu? Mengapa harus ke Majageni segala?"

"Karena Teratai Kipas ternyata putri raja Majageni yang bernama Prabu Wiloka. Gadis itu harus pulang untuk kelak mewarisi takhta kerajaan tersebut," kata Betari Ayu dengan jujur, karena dia adalah wanita yang tak pernah berbohong, terutama semenjak menjadi seorang guru di Perguruan Merpati Wingit. Apalagi sekarang ia sudah menjadi pertapa di pengasingannya, ia sama sekali pantang melakukan kebohongan. Melakukan pertarungan pun sudah tak mau.

"Aku akan menyusul ke Negeri Majageni dan mengobrak-abrik istananya!" kata Sumbaruni dengan kecemburuan berapi-api.

"Tak perlu bersikap begitu," kata Betari Ayu lembut sekali. "Kecemburuan jika tidak dikendalikan akan menjadi mata pedang yang tertajam bagi leher kita sendiri."

"Ah, tidak peduli! Pokoknya aku harus menyusul Suto Sinting kesana!"

"Menyusul itu boleh-boleh saja, tapi tak perlu buat keonaran di sana. Kasihan prajurit Majageni yang tidak punya kecemburuan jadi korban juga."

Itulah sebabnya Sumbaruni terburu-buru menuruni lereng gunung untuk mengejar Suto Sinting. Harapannya bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk itu di perjalanan, sehingga ia akan cegah si Pendekar Mabuk untuk tidak mengantarkan Teratai Kipas sampai ke Majageni.

Banyak wanita yang tergila-gila dengan Suto Sinting dan menjadi benar-benar sinting. Tapi yang sintingnya kelewat batas hanya ada dua wanita; Sumbaruni dan Angin Betina. Kecemburuannya sangat tinggi, nyawanya siap dikorbankan demi kecemburuan dan kesetiaan. Kepada dua wanita itu Pendekar Mabuk sudah berterus terang bahwa ia tak bisa membalas cinta dan kemesraan mereka, yang dapat dilakukan hanya persahabatan yang amat erat. Kepada keduanya juga sudah dijelaskan bahwa Suto Sinting hanya mencintai satu wanita di dunia yaitu Dyah Sariningrum. Tetapi mereka berdua tetap nekat mencintai Suto Sinting.

Cinta itulah yang dianggap cinta asmara sinting yang tak mau tahu kepada siapa hati Suto tertuju penuh kesetiaan. Mereka hanya berharap, moga-moga diperjalanan cinta Suto kandas dan beralih kepada mereka. Padahal Suto Sinting yakin betul bahwa cintanya kepada Dyah Sariningrum tak akan kandas di tengah jalan.

Ketika Teratai Kipas menanyakan padanya, "Apakah betul kau akan menikah dengan Dyah Sariningrum?"

Suto Sinting menjawab, "Ya. Tapi aku harus kalahkan dulu Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang tak akan insaf itu. Kepala tokoh sesat yang amat keji itulah maskawin yang akan kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum."

"Bagaimana jika kau gagal memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa?"

"Tak akan gagal!" jawab Suto penuh keyakinan. "Cepat atau lambat, Siluman Tujuh Nyawa harus dibinasakan agar tidak mengganggu kedamaian di muka bumi ini!"

"Apakah kau tak ingin beralih kepada perempuan lain?"

"Mengapa kau tanyakan begitu?"

"Sekadar ingin tahu, sebagai bekal jawabanku nanti kepada ayahku."

"Ada apa dengan ayahmu?"

"Dia ingin punya menantu sepertimu!" jawab Teratai Kipas terang-terangan.

"Kalau begitu kau harus mencari seorang calon suami yang berjiwa sepertiku; artinya memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan. Jangan mencari calon suami yang beraliran hitam!"

"Ya, aku akan mencarinya walau hal itu sangat sulit!"

Suto Sinting tertawa kecil. "Tidak sulit kalau kau mau tekun mencarinya. Di muka bumi ini bukan hanya aku pendekar beraliran putih yang punya ilmu tinggi dan berbudi baik. Bahkan ada yang lebih sakti dariku, ada yang lebih baik dariku, ada yang lebih tampan dariku."

"Tapi tidak ada yang lebih sinting darimu!" sahut Teratai Kipas sambil tertawa, Suto Sinting pun melepas tawa wibawa yang menawan hati.

Mereka melangkah menyusuri pantai, karena jalan tercepat sedikit hambatan untuk menuju Majageni adalah melalui jalan pantai. Tapi karena terik matahari membakar bumi tidak tanggung-tanggung, Suto Sinting memberi usul untuk beristirahat di bawah pohon rindang di depan langkah mereka itu. Teratai Kipas setuju karena semakin lama berjalan dengan Suto Sinting semakin lama pula ia menyimpan kebanggaan dalam hatinya.

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya beberapa teguk untuk menghapus dahaga. Teratai Kipas sudah mulai terbiasa meminum tuaknya Suto yang sebenarnya tidak memabukkan itu. Tuak tersebut tersimpan dalam bumbung bambu yang punya kadar tenaga sakti tersendiri, sehingga membuat tubuh menjadi segar, membuat luka menjadi cepat hilang, namun tidak membuat mabuk. Teratai Kipas juga meneguknya beberapa kali, dan badannya terasa lebih segar, rasa lelahnya hilang.

"Lama-lama aku akan ketagihan tuakmu kalau begini caranya," kata Teratai Kipas yang mempunyai nama asli Roro Padmi Wulintang.

"Carilah aku di rimba persilatan jika kau rindu dengan tuakku," kata Suto Sinting sambil duduk di atas batu sebatas lutut.

Teratai Kipas ingin mengatakan sesuatu namun urung karena ada suara yang didengar oleh mereka.

"Pendekar muda... tolonglah aku!"

Suara itu sangat jelas didengar oleh telinga mereka. Tapi mereka bingung mencari suara tersebut. Siapa yang bicara, dari mana arahnya, masih belum jelas. Suto Sinting hanya pandangi Teratai Kipas dan berkata pelan, "Apakah aku tidak salah dengar?"

"Aku sendiri mendengar suara orang minta tolong padamu. Tapi di mana orangnya? Akan kuperiksa di kerimbunan pohon sebelah sana...!"

Baru saja Teratai Kipas hendak bergerak tiba-tiba suara itu terdengar lagi, kali ini arahnya justru berlawanan dengan arah yang hendak dituju oleh Teratai Kipas.

"Aku di sini, Pendekar Muda. Tolonglah aku...!"

Pendekar Mabuk celingak-celinguk mencari sumber suara. Tak ada manusia di sekeliling mereka. Yang ada hanya gugusan batu-batu pantai, ada yang tingginya sampai sebatas dada manusia dewasa, ada yang hanya setinggi mata kaki saja. Suto Sinting penasaran hingga melompat ke atas batu yang agak tinggi. Wuuut...! Jleeg...! Dari ketinggian itu ia memandang sekeliling mencari si pemilik suara, tapi ia tidak menemukan siapa- siapa di sana.

"Apakah kau melihat seseorang di balik bebatuan sana?" tanya Teratai Kipas yang masih ada di bawah.

"Tidak ada siapa pun di sana-sini!"

Wuuut...! Suto Sinting pindah ke batu lain dengan lompatan yang amat cepat karena menggunakan ilmu peringan tubuh. Dari batu ke batu ia melompat mencari sumber suara tadi, namun hasilnya tetap nihil. Ia kembali berada di depan Teratai Kipas. Gadis yang mengenakan pakaian sebatas dada warna hijau muda dan dibungkus jubah kuning kunyit itu sengaja pandangi Suto Sinting dengan curiga. Lalu ia berkata pelan dalam jarak satu langkah dari hadapan Suto Sinting.

"Jangan-jangan kau yang bikin lelucon sekonyol ini?"

"Apakah kau pikir mulutku bergerak saat kita mendengar suara tadi? Perhatikan saja mulutku terus."

"Aku tidak mau," jawab Teratai Kipas sambil tersenyum.

"Kenapa?"

"Semakin lama memperhatikan bibirmu semakin gemetar tubuhku."

"Apa sebabnya?"

"Ingat bibir kekasihku yang telah tiada."

Suto Sinting tersenyum. "Apakah bibirku sama dengan bibir kekasihmu?"

"Justru jauh berbeda, makanya aku jadi ingat dia!" Jawab Teratai Kipas seenaknya saja dalam menjawab. Padahal yang benar bibir Suto jika terlalu lama dipandang terlalu cepat hadirkan debar-debar keindahan hati yang akan menuntut batin untuk mengecupnya pelan-pelan. Teratai Kipas tak mau terpikat, karena ia tahu tak akan mendapatkannya walau sekejap pun.

Suara aneh terdengar lagi pada saat Teratai Kipas kepergok senyuman Suto Sinting yang menawan hati itu. "Pendekar muda, hentikan kemesraanmu, tolonglah aku! Tolonglah...!"

Sekali lagi Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tengok sana-sini dan tetap tak ada manusia lain kecuali mereka berdua. Di laut hanya ada ombak yang tidak terlalu besar. Tak ada manusia berdiri di atas gelombang lautan. Akhirnya Suto Sinting mencoba bicara dengan si pemilik suara itu.

"Apakah kau mendengar suaraku juga?"

"Aku sangat mendengarnya, Pendekar Muda!"

Jawaban itu membuat Suto kembali beradu pandang dengan Teratai Kipas. Kemudian Pendekar Mabuk berbisik, "Jangan-jangan ada orang yang menggunakan Ilmu 'Suara Gaib', yaitu bicara dari jarak jauh melalui getaran angin."

"Apakah ilmu semacam itu memang ada?"

"Ya. Ada beberapa tokoh tua yang dulu mempunyai ilmu itu. Ada yang sudah hilang, ada yang masih menjaga keutuhan suara seperti itu. Salah satu di antaranya adalah Palupi, yang dulu dikenal dengan nama Tandu Terbang, murid dari Pendeta Arak Merah dari Tibet."

Rupanya percakapan itu didengar oleh seseorang yang tadi bicara, sehingga orang itu berkata kepada Suto Sinting, "Aku tidak memiliki ilmu 'Suara Gaib' seperti itu, Pendekar Muda! Aku ada di dekatmu. Di pantai ini juga!"

Tentu saja kata-kata itu membuat Suto dan Teratai Kipas sama-sama terperanjat. Mereka kembali tengok sana-sini, namun tetap saja tak melihat sesosok manusia lain di situ.

"Suaranya jelas suara lelaki tapi wujudnya tak bisa kulihat?" bisik Teratai Kipas. "Cobalah bicara terus dengannya aku akan melacak sumber suara tersebut. Pancing dia agar jangan berhenti bicara."

Suto Sinting mengangguk. Terdengar suara Suto bicara tak jelas arah pandangannya. "Siapa namamu, Sobat?"

"Aku yang berjuluk Bancak Doya!"

"Apakah kau mengenalku juga?"

"Tidak. Tapi melihat perawakanmu aku yakin kau seorang pendekar budiman."

"Kau terlalu memujiku, Bancak Doya! Kalau boleh kutahu, kau orang mana? Apa nama perguruanmu?"

"Aku ketua Perguruan Beruang Maut."

"O, ketua perguruan?! Lantas apa maksudmu mendatangiku dengan keadaan tak mau menunjukkan dirimu, Bancak Doya?"

Sementara itu, Teratai Kipas berjalan pelan-pelan menyusuri datangnya suara Bancak Doya itu. Semakin ke arah pantai semakin jelas suara yang didengarnya. Terdengar pula Bancak Doya berkata,

"Aku bukan tak mau menunjukkan diriku, tapi... Inilah kesulitanku, Pendekar Muda. Justru itu aku ingin minta tolong padamu."

"Apa yang harus kuperbuat untuk menolongmu?"

"Sempurnakanlah kematianku."

"Apa...?!" Suto Sinting terkejut.

Teratai Kipas berlari mendekati Suto dengan tegang. Kedua wajah tegang itu saling beradu pandang. Teratai Kipas berbisik, "Kulihat bayangannya di balik batu itu. Tapi tak ada wujud manusianya."

"Dia sembunyi di batu yang lain!" bisik Suto juga.

"Tidak ada. Yang kulihat hanya bayangannya ditanah."

Suto Sinting bergegas ke tempat yang dimaksud Teratai Kipas. Matanya memandang ke arah pasir pantai. Di sana memang ada bayangan manusia berdiri. Tapi wujud manusia itu sendiri tidak terlihat mata mereka. Orang yang tampak bayangannya itu bertubuh kurus dan agak jangkung. Benarkah begitu? Suto Sinting memandang ke langit karena menduga orang itu ada di angkasa atau di atas pohon. Mungkin saja berdiri di atas selembar daun.

"Aku tidak terlihat, Pendekar Muda," kata suara Bancak Doya, kali ini amat dekat dengan Suto Sinting, seakan ada di samping kanannya.

Suto yang terheran-heran segera menyipitkan mata untuk memandang sesuatu yang mungkin tak bisa terlihat oleh mata telanjang. Tetapi sesuatu itu tidak ada dalam pandangannya. "Bancak Doya, apa sebenarnya yang terjadi pada dirimu?" tanya Suto.

"Kematianku tidak sempurna, Pendekar Muda. Tolonglah sempurnakan kematianku agar tak membuatku bergentayangan begini."

Teratai Kipas bergidik merinding, tapi ia ikut bertanya, "Kematian yang bagaimana sebenarnya? Maukah kau menceritakannya kepada kami?"

Untuk sesaat yang terdengar hanyalah debur ombak siang. Bayangan hitam di pasir pantai bergerak. Lama-lama bayangan itu lenyap tak berbekas.

"Bayangannya hilang?!" ucap Teratai Kipas dengan nada heran dan tegang.

Tapi suara Bancak Doya terdengar kembali, "Aku ada di bawah pohon, jadi bayanganku tak terlihat, Nona. Jika aku di bawah terik matahari maka bayanganku akan timbul lagi."

"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto Sinting mulai menenangkan diri.

"Aku tidak tahu mengapa bisa begini, yang jelas aku merasa telah mati akibat suatu pertarungan."

"Kau bertarung melawan siapa, Bancak Doya?"

Suara yang bernada tua tapi belum terlalu lanjut usia itu terdengar lagi, "Seorang pencuri ingin menjarah harta pusakaku. Aku melawannya, tapi ilmunya cukup tinggi. Tenaga dalamnya besar sekali. Lima anak buahku mati dalam satu gebrakan. Aku sendiri berhasil dilumpuhkannya."

"Bagaimana caranya mengalahkan dirimu? Bukankah kau ketua perguruan? Berarti ilmumu tinggi."

"Pencuri itu mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Dia menikamkan pisaunya ke punggungku. Sebenarnya tak terlalu parah. Tikamannya sempat kuhindari, tapi punggungku tergores pisau itu. Dan tahu-tahu aku tak bisa menyentuh benda apa pun. Aku melarikan diri menabrak pohon. Tapi pohon itu ternyata bisa kutembus dengan tubuhku. Aku terkejut, lalu menyadari bahwa sisa anak buahku tak bisa melihatku lagi. Mereka menganggapku telah mati tanpa meninggalkan jasad. Mayatku tak ada, sehingga mereka tak bisa menguburku."

Nada suara itu kian lama semakin terdengar mengharu. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam, demikian pula Teratai Kipas. Setelah diam beberapa saat Suto Sinting berkata, "Menyedihkan sekali nasibmu. Tapi kau bisa melihatku dengan jelas?"

"Jelas sekali," jawab Bancak Doya. "Selama tujuh hari beberapa orang masih bisa melihatku, namun tak bisa menyentuhku, juga tak bisa kusentuh. Aku seperti bayangan tanpa raga. Lewat dari tujuh hari barulah mereka merasa kehilangan aku, dan aku hanya bisa melihat bayanganku. Aku berusaha mencari kesempurnaan dalam kematianku, tapi tak seorang pun mampu menyempurnakan kematian ini. Jika kau bisa, tolonglah aku, Pendekar Muda! Sempurnakan kematianku ini jika memang aku harus mati, dan jika memang aku masih hidup, pulihkanlah keadaanku seperti semula."

"Aku...," Suto Sinting diam sebentar, seperti ragu mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian barulah ia berkata, "Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan untuk dirimu, Bancak Doya. Tapi... sebaiknya akan kucoba menggunakan Ilmu 'Sembur Siluman' yang kumiliki! Bergeraklah kebawah sinar matahari biar kulihat bayanganmu."

Maka terdengarlah suara napas Bancak Doya yang bergerak menuju tempat panas. Bayangannya terlihat dibatu setinggi dada. Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut. Tuak yang di mulut segera disemburkan ke arah bayangan yang menempel pada batu itu.

Bwwruus...!

Bayangan itu lenyap. Suto Sinting dan Teratai Kipas menunggu kemunculan wujud raga Bancak Doya, tetapi hingga beberapa saat wujud raga itu tak terlihat. Suto Sinting mencoba bertanya, "Bancak Doya, kau masih melihatku?!"

Tak ada jawaban, tak ada suara. Suto Sinting heran dan bertanya dalam hati, "Mungkinkah kematiannya telah menjadi sempurna?"

* * *

DUA
NAPAS Sumbaruni terengah-engah. Bukan karena lelah berlari menyusul Pendekar Mabuk, tapi karena diburu oleh kecemburuan yang membuatnya terpaksa menahan napas, menahan kemarahan sendiri. Ia berhenti pada satu ketinggian tebing. Dari atas tebing landai itu ia dapat memandang ke bawah, mencari kemungkinan kelebatannya si pendekar tampan itu. Tapi yang dicari tidak kelihatan selintas bayangannya pun.

"Mungkinkah mereka sudah sampai ke Istana Majageni? Apakah Teratai Kipas juga mampu imbangi gerak lari cepatnya Pendekar Mabuk? Hmm... menurut teropong batinku, Teratai Kipas tidak mampu imbangi kecepatan Suto Sinting. Aku sendiri sering tertinggal jika mengikuti gerak larinya yang sinting itu!" pikir Sumbaruni sambil menatap kesana-sini.

Kejap berikut wanita yang masih tampak muda dan cantik itu terperanjat oleh suara langkah kaki yang berhenti di belakangnya, ia buru-buru palingkan wajah sambil siap-siap lepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi niat melepaskan pukulan jarak jauh tertahan begitu tahu siapa orang yang muncul di belakang.

"Celana kolor masuk ke tungku. Hangat sebentar disangka nasi. Kalau tak salah dugaanku. Engkaulah si cantik Sumbaruni."

Napas bekas istri jin itu terhempas lega. Ternyata orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal Sumbaruni sejak dulu. Di belakang sang Resi berdiri seorang lelaki kurus pendek berusia sekitar empat puluh tahun. Sumbaruni mengenal lelaki itu yang tak lain adalah pelayan si Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting, (Tentang Resi Pakar Pantun, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Telur Mata Setan).

"Apa maksudmu menemuiku di sini, Pakar Pantun?!"

"Hanya kebetulan saja," jawab sang Resi dengan santai. "Aku mencari si Malaikat Miskin. Dia lari dari pertarungannya denganku. Apakah kau melihat gelagat si Malaikat Miskin, Sumbaruni?"

"Tidak," Jawab Sumbaruni pendek dan tegas. Tapi hati Sumbaruni segera membatin, "Resi Pakar Pantun mencari Malaikat Miskin? Ada persoalan apa sehingga Malaikat Miskin dibuatnya lari terbirit-birit?"

Terdengar suara sang Resi bicara pada Kadal Ginting, "Rupanya musuh kita lari ke liang semut, Kadal Ginting!"

"Tak boleh dibiarkan begitu saja, Eyang Resi! Harus dicari sampai dapat daripada kelak bikin duri dalam hidup kita setelah kita mendapatkan Telur Mata Setan!"

Sumbaruni terperanjat dalam hatinya. Ia segera ingat bahwa Resi Pakar Pantun juga mencari Telur Mata Setan untuk sembuhkan sakit muridnya yang juga terkena 'Racun Ludah Naga' itu. Maka dengan cepat Sumbaruni berkata,

"Jika kalian ingin mencari Telur Mata Setan, sama saja kalian mencari bulu angin. Artinya, apa yang kalian cari tidak akan kalian dapatkan, karena Telur Mata Setan sudah kutelan dan membuatku menjadi seperti sediakala begini. Tidakkah kalian tahu bahwa bocah kecil yang digendong Selendang Kubur saat kalian datang ke pesanggrahan Betari Ayu itu adalah aku?"

"Ooo... pantas, pantas...," kata Resi Pakar Pantun. "Aku memang merasa pernah melihatmu belum lama ini, tapi di mana? Dan baru kuingat ternyata kau telah menjadi kecil dan digendong-gendong oleh Suto Sinting serta Selendang Kubur!" Resi Pakar Pantun mangigut-manggut.

Kadal Ginting menyahut kata, "Eyang Resi... kalau begitu kita gagal mencarikan obat penawar racun yang diderita Tuanku Nanpongoh?!"

Wajah tua Resi Pakar Pantun yang berbaju biksu warna abu-abu itu menjadi murung. Kecerahannya pudar berganti selaput duka membias di mata. Mata itu memandang jauh bagai menerawang di gumpalan awan duka. Tak lama terdengar pula suaranya yang lirih, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Celana kolor robek tengahnya. Ditambal nasi masih terbuka jua. Bagaimanapun kita hanya bisa berusaha. Tapi kematian bukan kita penentunya."

Sumbaruni masih diam saja, bagaikan sedang merenungi pantun sang Resi. Tapi kejap berikutnya ia mendengar suara Kadal Ginting yang ikut-ikutan bermain pantun dalam wajah duka pula.

"Celana kolor dibungkus pisang daun. Robek daunnya tinggal pisangnya..." Lalu diam sesaat bagai berpikir.

Resi Pakar Pantun tertarik dan segera bertanya pelan, "Apa maksudmu, Kadal Ginting?"

"Maksudnya yaaah... cuma sekadar memberi tahu kalau pisang itu bisa dibungkus dengan daun. Itu saja!"

Plaaak...!

Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun menampar wajah Kadal Ginting. Tamparan pelan tapi tenaga besar, tak heran membuat Kadal Ginting terjungkal ke samping sambil mengerang kesaakitan.

"Lain kali kalau bikin pantun harus ada artinya!" hardik Resi Pakar Pantun. "Misalnya begini: 'Celana kolor dibungkus pisang daun, robek daunnya tinggal pisangnya. Biar kecewaku sampai ke ubun-ubun, tapi masih ada pikiran untuk tugas lainnya'. Begitu, Tolol!"

"O, jadi begitulah contoh pantun tolol, Eyang Resi?"

"Hmmrrr...!" sang Resi menggeram jengkel karena penjelasannya disalah artikan. Tapi ia segera tidak pedulikan lagi akan kebodohan Kadal Ginting. Matanya menatap Sumbaruni kembali yang sejak tadi ingin tertawa tapi ditahan terus hingga mengulum senyum dan buang muka.

"Sumbaruni, maukah kau membantuku mencari Malaikat Miskin dan muridnya si Menak Goyang?"

"Apa persoalannya?"

"Baru sekarang kuingat bahwa Malaikat Miskin membunuh adikku dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Aku harus membalaskan kematian adikku dan merebut kembali pisau tersebut."

"Itu urusan pribadimu, mengapa kau ingin melibatkan diriku juga?"

"Jujur saja kukatakan padamu, aku belum tahu di mana tempat Malaikat Miskin membangun perguruannya. Daripada aku membuang waktu, lebih baik aku minta bantuanmu untuk mengantarku ke perguruannya. Barangkali saja kau tahu di mana letak perguruan si Malaikat Miskin itu. Tapi jika kau tidak tahu, aku tidak memaksamu dan akan kucari sendiri tempatnya itu."

Sumbaruni diam berpikir, ia masih ingat di mana letak Perguruan Tongkat Sakti yang diketuai oleh Malaikat Miskin itu. Ketika ia berubah menjadi bocah, ia pernah disandera di perguruan itu, sehingga ia masih ingat jalan menuju tempat tersebut. Hal yang dipikirkan Sumbaruni adalah: Haruskah ia ikut terlibat dalam perburuan pusaka Pisau Tanduk Hantu itu?

Menunggu jawaban dari Sumbaruni tak kunjung tiba, Resi Pakar Pantun berkata, "Celana kolor bersulam benang paku. Digondol anjing dibuat jamu. Tak ada ruginya kau menolongku. Hadiah besar kan kuberikan padamu."

Sungging senyum tipis berkesan sinis mekar di bibir manis Sumbaruni. Ia tak begitu tertarik dengan janji sang Resi. Tetapi ia penasaran dan ingin tahu bentuk hadiah yang akan diberikan padanya.

"Apa hadiah yang akan kau berikan padaku? Aku ingin tahu."

Resi Pakar Pantun menjawab, "Kunikahkan kau dengan pelayanku yang ganteng ini; Kadal Ginting!"

"Ah, Jangan begitu, Eyang...!" Kadal Ginting bersungut-sungut malu.

Sumbaruni menarik napas sesak dan berkata, "Apakah kau bicara menggunakan mulut dan pikiran? Atau hanya menggunakan mulut dan gigimu, Pakar Pantun?"

"Mengapa kau tersinggung? Apakah kau tak melihat bahwa wujud Kadal Ginting ini tak berapa jauh bedanya dengan Pendekar Mabuk?"

"Memang tak seberapa jauh, tapi untuk menjangkaunya bagaikan harus uluran tangan dari sini kerembulan. Kau menghinaku jika menawarkan hadiah seperti kepompong retak itu, Pakar Pantun!"

"Jangan menghinaku, Sumbaruni!" bentak Kadal Ginting. "Aku bukan seperti kepompong retak!"

"Maaf, aku jengkel dengan tuanmu itu, Kadal Ginting!" sesal Sumbaruni.

Kadal Ginting segera berpantun, "Celana kolor tersangkut getek. Hanyut terbawa air singgah di benua. Biar begini rupaku yang jelek. Tapi sekali lirik, perawan sedesa ikut semua."

Resi Pakar Pantun sebenarnya ingin tertawa mendengar rangkaian syair pantun itu, tapi karena bayangan kegagalannya kian nyata, rasa tawa itu terpendam amat dalam, rasa murka tumbuh membara. Sasaran murkanya tertuju pada Malaikat Miskin, sehingga ia pun segera berkata kepada Sumbaruni,

"Sumbaruni, aku mempunyai pusaka Jarum Jungkir Juling. Jika kau mau antarkan aku ke tempat Malaikat Miskin, kuberikan Jarum Jungkir Juling kepadamu."

Resi Pakar Pantun segera mengambil pusaka yang dimaksud. Caranya dengan mengurut jari tengah kanannya. Satu kali urut pelan-pelan, dari ujung jari itu muncul sepucuk Jarum warna putih mengkilat. Wut...! Jarum itu dicabut dari ujung jari tengah. Panjang jarum hanya seukuran tinggi kelingking.

"Jarum Jungkir Juling ini," katanya sambil mendekat dan menunjukkan Jarum tersebut, "...jika kau sentakkan dengan menahan napas di dada, maka akan keluar dari ujung jari tengahmu tiada habis-habisnya. Orang yang terkena Jarum Jungkir Juling punya dua kemungkinan; kalau tidak terjungkir langsung mati, ya matanya jadi juling seumur hidup. Tak ada ruginya kau memiliki jarum ini. Hanya dalam keadaan terpaksa saja kau bisa pergunakan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh lawan."

Kepala gadis yang sudah bukan gadis itu manggut-manggut empat hitungan. Suaranya terdengar pelan, bagaikan malas-malasan terucapkan, "Boleh, boleh, boleh... lumayan juga kesaktian jarummu ini, Resi!"

"Akan kuberikan padamu jika kita sudah tiba di depan perguruannya Malaikat Miskin. Aku berjanji dan tak akan ingkar padamu, Sumbaruni!"

Terbayang selintas kekasaran Malaikat Miskin saat Sumbaruni kecil ada di tangannya, yang menangis mencari Suto Sinting tapi justru ditampar mulutnya oleh Malaikat Miskin, maka Sumbaruni pun menyetujui perjanjian tersebut. "Tugasku hanya mengantarmu sampai di perguruan itu, aku tak mau ikut campur di dalamnya!"

"Baik. Begitu saja sudah cukup menolongku!" kata Resi Pakar Pantun.

"Tapi..., tunggu dulu," kata Sumbaruni sebelum mereka bergegas pergi. "Seingatku aku ditawan oleh Malaikat Miskin karena ia menuduh Suto Sinting sebagai pencuri pusakanya. Jadi kurasa Pisau Tanduk Hantu tidak ada di tangan Malaikat Miskin. Pisau itu di tangan seorang pencuri, entah siapa pencurinya. Yang jelas bukan Suto Sinting, sebab kala ia dituduh mencuri pusaka itu, ia ada bersamaku dan mencuri bukan merupakan sifat yang dimiliki oleh Suto Sinting!"

"Pikiranmu masih muda, Sumbaruni. Tak tahukah kau bahwa Malaikat Miskin itu orang licik? Mungkin saja ia sebarkan kabar tentang hilangnya Pisau Tanduk Hantu supaya orang-orang anggap ia sudah tidak berpusaka Pisau Tanduk Hantu. Dengan begitu tak ada orang yang mengusik ketenangannya dalam memiliki pusaka itu. Padahal sebenarnya Pisau Tanduk Hantu masih ada di tangannya, entah disembunyikan dimana!"

"Kalau memang menurut keyakinanmu begitu, terserah. Tapi tugas membawamu sampai di depan gerbang Perguruan Tongkat Sakti akan kukerjakan, dan jika kau ingkar janji tentang Jarum Jungkir Juling itu, kau akan berurusan denganku lebih parah lagi, Pakar Pantun!" ancam Sumbaruni yang merasa masih mampu menandingi kesaktian Resi Pakar Pantun.

Sumbaruni dan Resi Pakar Pantun tak mengerti bahwa kala itu Malaikat Miskin berpisah arah dengan muridnya; Menak Goyang. Sang murid kembali ke perguruan dan kerahkan bala bantuan untuk menyerang Bukit Kopong, sedangkan sang Guru sempatkan diri mencari Suto Sinting dan ingin membujuknya agar ikut membantu menyerang orang-orang Bukit Kopong. Sebab dalam hatinya, Malaikat Miskin punya keyakinan bahwa pencuri pisau pusaka itu dari tangannya adalah salah satu orang Bukit Kopong yang dipimpin oleh Cukak Tumbila, saudara seperguruannya sendiri.

Sedangkan Malaikat Miskin sendiri belum berhasil melacak kepergian Suto Sinting si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu, karena ia salah arah. Ia pergi ke arah barat, sedangkan Suto Sinting dan Teratai Kipas ke utara. Biar sampai buntung semua jari kakinya tidak akan ketemu jika salah satu tidak membelok arah yang sama.

Pendekar Mabuk bukan malah bertemu dengan Malaikat Miskin, melainkan justru bertemu dengan gadis berambut pirang. Jubahnya warna merah jambu transparan, hingga terbayang jelas bagian di balik jubah itu. Pakaian dalamnya hanya menutup bagian dada yang terpenting saja, juga bagian lain yang terpenting. Kain kuning yang menutup bagian terpenting itu hanya seukuran setelapak tangan saja, sisanya tali melingkari tubuh sebagai pengikat kain kuning.

Gadis berambut pirang panjang dan bertubuh elok menantang selera itu tak lain adalah Jelita Bule, anak buah Ratu Rangsang Madu yang pernah diutus untuk mencari Suto Sinting pada saat sang Ratu terkena 'Racun Bulan Madu' dari Nyai Sunti Rahim, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam serial Tabib Darah Tuak).

Melihat pelarian Jelita Bule yang tampak terburu-buru dan masih menggenggam pedang di tangannya, Pendekar Mabuk segera tanggap dan mengetahui adanya kesulitan yang dialami oleh Jelita Bule. Ia segera melesat dan menghadang langkah Jelita Bule. Tentu saja gadis berusia dua puluh tiga tahun yang bermata kebiru-biruan itu terhenti dengan kaget, tapi segera menjadi lega setelah mengetahui orang yang menghadangnya adalah Pendekar Mabuk.

"Oh, syukurlah aku bertemu denganmu, Suto Sinting!" ujar Jelita Bule dengan napas terengah-engah diburu ketegangan. Matanya yang berbulu lentik indah itu melirik Teratai Kipas dengan curiga.

Teratai Kipas sendiri punya cara memandang yang kurang bersahabat, sehingga Suto Sinting terpaksa menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Jelita Bule itu, dan menjelaskan kepada Jelita Bule tentang siapa Teratai Kipas. Hal itu dilakukan Pendekar Mabuk supaya tidak timbul saling salah paham dalam bersikap.

"Tampaknya kau dalam ketegangan yang mencekam, Jelita Bule. Apa yang telah terjadi pada dirimu?" tanya Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya.

"Seseorang ingin membunuhku!" jawab Jelita Bule setelah tarik napas panjang-panjang. Sambungnya lagi. "Sebetulnya aku diutus mencarimu oleh Gusti Ratu Rangsang Madu untuk sampaikan undangan perkawinan beliau. Tapi di perjalanan aku dan Pesona Indah dihadang oleh orang dekil yang ingin perkosa kami berdua. Kami melawan, tapi rupanya orang itu cukup sakti. Akhirnya aku segera melarikan diri, karena merasa ilmuku tak bisa tandingi ilmunya."

"Orang dekil?!" gumam Pendekar Mabuk sambil tundukkan kepala dan kerutkan dahi. Sebentar kemudian ia pandangi Teratai Kipas, seakan ingin minta pendapat pada Teratai Kipas tentang si orang dekil itu. Tapi Teratai Kipas tidak memberikan jawaban apa-apa. Suto Sinting segera bertanya, "Lalu di mana Pesona Indah? Kau tinggalkan?"

"Dia terluka, tapi dia pun lari ke arah lain dan orang itu masih mengejar Pesona Indah. Hanya saja ketika ia melihatku, ia berbalik mengejarku dan aku harus segera selamatkan diri. Dia..." Kata-kata itu terhenti, berubah menjadi kata-kata kaget, "Itu dia!"

Teratai Kipas sempat terlonjak kaget dan cepat pasang kuda-kuda untuk menghadang bahaya, sebab yang dituding Jelita Bule adalah arah belakangnya. Namun ketika Teratai Kipas berbalik ke belakang dan mengetahui yang datang adalah seorang gadis berpakaian tipis membayang seperti Jelita Bule, Teratai Kipas segera yakin bahwa gadis itu pasti teman Jelita Bule yang namanya sedang dipertanyakan oleh Pendekar Mabuk itu.

"Pesona Indah...?! Kau tidak apa-apa?!" Jelita Bule menghampirinya.

Pesona Indah mundur selangkah dan berkata, "Jangan dekati aku!"

Kata-kata itu bernada tegas tapi mengandung kesedihan. Pendekar Mabuk mendekati Jelita Bule yang terhenti seketika dalam jarak empat langkah sebelum mencapai Pesona Indah yang tampak berpakaian dalam warna kuning dan jubah tipisnya warna biru, berwajah mungil cantik, berambut hitam sepundak dengan poni di depan merata rapi.

Mereka heran melihat Pesona Indah yang murung itu tak mau didekati. Jelita Bule segera berkata, "Aku tahu kau terluka. Tapi kurasa kita sudah jumpa dengan Tabib Darah Tuak dan lukamu akan disembuhkan, Pesona Indah. Mengapa kau larang kami untuk mendekatimu?"

"Tuak itu tak ada gunanya lagi bagiku! Tak akan bisa menolongku karena...," Pesona Indah diam, dan akhirnya menangis dengan tundukkan wajahnya.

"Karena apa, Pesona Indah?!" desak Suto Sinting penasaran.

"Karena... karena aku tak bisa menelan tuak lagi," Jawab Pesona Indah bersama tangisnya.

"Aku tak mengerti maksud kata-katamu. Jelaskan, Pesona Indah!" desak Pendekar Mabuk sambil maju dua langkah.

Gadis itu tidak menjawab, tapi ia menghampiri pohon yang ada di sampingnya. Lalu ia menggerakkan tangannya memukul pohon besar itu dengan gerakan lambat sekali. Bluuusss...! Tangan itu menembus pohon. Mata mereka yang memandang menjadi terbelalak kaget dan heran. Mereka semakin tertegun setelah melihat Pesona Indah melangkah dan mampu menembus pohon tanpa mengguncangkan pohon itu sedikit pun. Ia menembus pohon bagai sesosok bayangan tanpa raga.

"Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Pesona Indah?!" gumam Jelita Bule dengan terheran-heran.

"Aku sudah tidak mempunyai raga lagi."

"Kau menjadi manusia tembus pohon?!"

"Lebih parah dari itu, aku tidak bisa menyentuh apa pun. Tak bisa merasakan memegang pedang atau memegang batu. Lihatlah...!" Pesona Indah mengangkat batu seukuran kepalanya, tapi batu itu tidak bisa terangkat karena tidak terpegang oleh Pesona Indah. Tangannya bagaikan bayangan yang dapat menembus batu, sehingga batu itu tak mampu disentuhnya sedikit pun.

"Ya, ampuuun... kau... kau...," Jelita Bule sukar bicara karena tegangnya.

Teratai Kipas yang sejak tadi diam saja dan ikut terheran-heran itu segera tarik napas panjang-panjang dan berkata, "Aku tahu apa yang telah terjadi."

Suto Sinting dan Jelita Bule pandangi Teratai Kipas dengan masing-masing dahi berkerut. Tapi sebelum Teratai Kipas bicara, tiba-tiba mereka mendengar suara tanpa rupa yang berkata;

"Nasibmu sama dengan nasibku, Nona!"

Sekali lagi mereka terkejut. Tapi Pendekar Mabuk yang cerdas itu cepat menghapal suara tersebut, sehingga ia berseru,

"Bancak Doya...?! Kaukah yang bicara itu?!"

"Benar, Pendekar Muda! Aku Bancak Doya!"

"Bukankah kematianmu telah kusempurnakan dengan semburan tuakku?"

"Belum, Pendekar Muda! Semburan tuakmu hanya dapat melenyapkan bayanganku. Tapi suaranya masih bisa kau dengar, bukan? Berarti kematianku belum sempurna, Pendekar Muda!"

"Suto, siapakah orang yang bicara tanpa rupa itu?" tanya Jelita Bule.

Pendekar Mabuk belum sempat menjelaskan sudah terdengar suara Bancak Doya yang agaknya bicara pada Pesona Indah, "Nona jubah biru, apakah kau melihatku saat ini?"

"Tid... tidak...!"

"Nanti kau akan melihatku kalau kau sudah berbentuk bayangan, dan mungkin juga setelah bayanganmu hilang. Ketahuilah, Nona jubah biru, dulu aku juga menjadi manusia tembus benda. Tak bisa memegang apa-apa. Tapi dalam tujuh hari kemudian orang-orang tak bisa melihatku, hanya bisa melihat bayanganku saja dan mendengar suaraku. Sekarang bayanganku sudah tidak terlihat lagi, tapi rupanya suaraku masih bisa didengar. Percayalah Nona jubah biru... kau akan mengalami urutan kejadian seperti yang kualami."

Pesona Indah semakin menangis, semua orang yang ada di situ bisa melihat sosok Pesona Indah tundukkan kepala dalam wajah dukanya. Suto Sinting dan dua wanita cantik yang berdiri di kanan-kirinya itu sama-sama tertegun, sepi dan hening beberapa saat lamanya, sampai akhirnya terdengar lagi suara Bancak Doya yang berkata kepada mereka semua,

"Nasib Nona jubah biru itu tak akan bisa tertolong lagi. Sebaiknya relakan saja ia mengalami hal yang sedang kualami ini."

"Akan kusembur dengan tuakku!" sambil Suto Sinting buru-buru hendak menenggak tuaknya. Tetapi suara Bancak Doya terdengar lagi,

"Percuma, Pendekar Muda...! Semburan tuakmu akan mempercepat Nona Jubah biru menjadi bentuk bayangan. Kau sembur lagi bayangan itu akan lenyap, dan suaranya tetap ada. Entah sampai kapan suaranya bisa kau dengar terus, seperti suaraku saat ini."

Pendekar Mabuk ragu, akhirnya tak jadi semburkan tuaknya. Pesona Indah berkata, "Aku harus menghadap Guru! Kuadukan hal ini kepada Guru!"

Plaaasss...! Pesona Indah berlari menembus pepohonan dan semak, apa saja diterjangnya tanpa menimbulkan angin dan gerakan lain.

"Ilmu apa yang membuat nasibnya menjadi seperti itu?" tanya Suto Sinting sambil matanya memandang Teratai Kipas.

* * *

TIGA
SEPERTI dugaan Teratai Kipas, sebuah pisau telah menggores lengan Pesona Indah. Memang begitulah menurut pengakuan Jelita Bule. Lawannya yang disebut sebagai laki-laki dekli itu bersenjatakan sebuah pisau. Ciri-ciri pisau itu adalah bergagang tanduk rusa purba warna kuning kecoklatan. Mata pisau runcing dari logam baja hitam. Panjangnya dari ujung sampai gagang sekitar dua jengkal. Sarung pisau itu juga terbuat dari tanduk rusa purba yang berukir.

"Itulah yang dinamakan Pisau Tanduk Hantu!" kata Teratai Kipas membuat suasana menjadi sepi sejenak karena mereka saling terkesima.

Jelita Bule bertanya, "Dari mana kau tahu tentang Pisau Tanduk Hantu?"

"Bekas guruku; Ki Selo Gantung, pernah menceritakan Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Malaikat Miskin. Tapi menurut Guru, pisau itu dulu bekas milik seseorang yang berhasil direbut oleh Malaikat Miskin."

"Apakah kau tahu kehebatannya?"

"Tentu saja tahu," jawab Teratai Kipas dengan tegas. "Pisau itu cukup digoreskan pada tubuh lawan. Sedikit goresan saja sudah bisa membuat lawan menderita luka seperti yang dialami oleh Pesona Indah dan Bancak Doya. Siapa pun yang tergores Pisau Tanduk Hantu tubuhnya akan berubah menjadi bayangan selama tujuh hari. Ia bisa dilihat tapi tak bisa disentuh dan juga tak bisa menyentuh apa pun. Selama tujuh hari menjadi bayangan, ia tetap bisa kirimkan suaranya ke pendengaran kita. Setelah tujuh hari, bayangan itu akan lenyap dan orang tersebut hanya bisa didengar suaranya saja tanpa bisa dilihat bentuknya. Setelah tujuh hari lagi, orang tersebut tak akan bisa didengar lagi suaranya karena ia sudah berada di alam kelanggengan. Alam kematian yang abadi!"

"Kenapa baru kau katakan sekarang?" tanya Suto Sinting bernada gerutu.

"Aku baru ingat kata-kata mendiang guruku setelah melihat dua korban; Bancak Doya dan Pesona Indah itu," jawab Teratai Kipas.

"Lalu, siapa pemilik pisau itu?"

"Si orang dekil itu!" kata Jelita Bule menyahut dengan geram tertahan.

"Seperti apa ciri-cirinya?" tanya Teratai Kipas.

"Mungkin Bancak Doya mengenalnya," kata Suto Sinting.

"Sayang sekali dia sudah pergi mengejar Pesona Indah. Mudah-mudahan ia bisa menenangkan hati Pesona Indah yang sangat menderita itu."

"Aku masih ingat ciri-cirinya," sambar Jelita Bule sambil berpaling menatap Suto Sinting dan Teratai Kipas.

"Coba sebutkan apa yang kau ingat, Jelita Bule!"

"Namanya tak kuketahui, tapi yang jelas wajahnya jelek, tak ada manisnya sedikit pun. Rambutnya abu-abu, kepala depan botak, celana merah, bajunya hitam, pendek, dan..."

"Si Maling Sakti!" sergah Teratai Kipas memutus kata-kata Jelita Bule.

"Maling Sakti?!" gumam Suto Sinting. "Apakah namanya Maling Sakti?"

"Banyak yang memberi julukan begitu. Tapi nama aslinya Durjana Belang. Sebab kalau ia marah wajahnya menjadi merah separo bagian."

"Kalau begitu dugaan kita dulu benar, Teratai," kata Suto Sinting.

"Memang orang itulah yang melarikan Sumbaruni kecil dan mencuri pusaka dari tangan Malaikat Miskin!"

Lalu terbayang kembali wajah si Maling Sakti di benak Suto Sinting. Teratai Kipas pernah dibuatnya hampir mati gara-gara melawan sosok pendek berwajah lugu tapi ternyata berilmu tinggi itu. Lebih lekat lagi bayangan si Maling Sakti setelah Jelita Bule berkata,

"Dia tidak bisa dibunuh, karena berulang kali pedangku menebas dadanya, namun ternyata ia kebal senjata. Kekuatan tenaga dalamnya sangat besar."

"Tentu saja, karena dia telah menelan Batu Sembur Getih!" sahut Teratai Kipas yang segera ingat saat Suto Sinting menuangkan tuaknya untuk obati si Maling Sakti, dan dari dalam bumbung bambunya itu keluar Batu Sembur Getih yang disimpan Suto dalam bumbung itu. Akibatnya batu tersebut tertelan oleh si Maling Sakti, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Telur Mata Setan).

"Maling Sakti bisa menjadi orang berbahaya sekali," kata Suto Sinting bagai menggumam pada diri sendiri. Tapi setelah itu ia memandang Teratai Kipas dan menyambung ucapannya, "Selain dia menjadi kebal serta bertenaga dalam ganda karena menelan Batu Sembur Getih, dia juga bersenjata Pisau Tanduk Hantu. Ini sangat berbahaya bagi orang lain. Pasti sikapnya akan semena-mena terhadap siapa saja!"

"Kalau begitu, kita cari dia untuk kita tumbangkan!" kata Jelita Bule.

"Pada dasarnya memang begitu, tapi bagaimana cara melawan orang yang berkekuatan ganda seperti Durjana Belang itu?" ujar Teratai Kipas. "Aku sendiri merasa semakin tak mampu untuk kalahkan ilmunya."

"Aku yang akan menghadapinya!" kata Suto Sinting dengan tegas dan yakin sekali akan kemampuannya.

Tiga sosok itu melesat menuju ke arah sungai. Karena menurut pengakuan Jelita Bule, Maling Sakti bertarung dengannya di tanggul sebuah sungai dan berhasil melukai Pesona Indah di sana juga. Harapan mereka sebelum mencapai tanggul sungai mereka sudah bisa bertemu dengan si Maling Sakti, sebab Maling Sakti tadi mengejar Jelita Bule.

Tapi ternyata yang mereka temui bukan si Maling Sakti, melainkan dua orang yang pernah berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Dua orang itu adalah orang-orang Bukit Kopong juga, anak buah dari Cukak Tumbila yang sangat penasaran untuk dapatkan pusaka peninggalan mendiang Ki Selo Gantung; bekas gurunya Teratai Kipas.

Kedua orang itu adalah Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dalam kisah 'Telur Mata Setan' telah diceritakan bahwa Roh Seribu Dewa mulanya bersatu dengan Neraka Berjalan dan Jeprak Kurap. Mereka adalah para pemburu pusaka untuk diperjual-belikan. Mereka menamakan diri: Tiga Pengawal Iblis. Tetapi setelah kematian Jeprak Kurap di tangan Teratai Kipas, mereka mengambil si Kumis Tengkorak untuk bergabung menjadi Tiga Pengawal iblis.

Namun dalam satu pertempuran dengan Pendekar Mabuk, Neraka Berjalan dibunuh oleh Malaikat Miskin, karena Malaikat Miskin ingin menciptakan budi supaya dibalas oleh Suto dengan cara bergabung menyerang orang-orang Bukit Kopong. Kini yang dinamakan Tiga Pengawal Iblis tinggal dua, yaitu Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dan agaknya mereka masih penasaran untuk dapatkan pusaka Tongkat Tulang Barong. Mereka menganggap kunci mendapatkan Tongkat Tulang Barong ada di tangan Teratai Kipas.

Tak heran jika mereka menyerang Teratai Kipas untuk mencederai wanita cantik itu karena mereka melihat tiga bayangan berkelebat. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh si Kumis Tengkorak yang kurus kerempeng mirip tengkorak tapi kumisnya panjang melengkung sampai lewat dagu.

Pukulan jarak jauh itu bersinar hijau lurus tertangkap oleh mata Jelita Bule yang posisinya tertinggal di belakang. Dengan cepat tangan Jelita Bule menyentak dan terlepaslah Jurus 'Kencana Lepas'-nya yang berwarna kuning keemasan. Sinar kuning itu menghantam sinar hijau setelah seruan Jelita Bule terdengar keras,

"Teratai, awaaas...!"

Blaaarrr...!

Ledakan keras terdengar saat kedua sinar itu berbenturan. Gelombang ledakan itu menghempas kuat, membuat tubuh Teratai Kipas yang sedang melompat itu terpelanting terbang dan jatuh tak terjaga keseimbangan tubuhnya. Bruus! Pendekar Mabuk dan Jelita Bule segera menghadap ke arah datangnya sinar hijau tadi. Teratai Kipas menggerutu tak jelas sambil berdiri kembali tanpa luka dan cacat apapun.

Dua orang muncul dari balik pepohonan jati besar. Si Kumis Tengkorak yang berbaju loreng hitam-merah dengan rambut ditumbuhi uban tidak merata, muncul lebih dulu. Disusul kemudian Roh Seribu Dewa yang berwajah angker tanpa ikat kepala karena rambutnya pendek, kumisnya lebat seperti sayap kelelawar, bajunya hitam, senjata di pinggangnya adalah trisula bergagang panjang. Kedua tokoh hitam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu sama-sama menatap Teratai Kipas yang tengah berjalan mendekati Suto.

"Rupanya kalian masih penasaran denganku?!" kata Suto Sinting.

"Sebelum gadis ini buka mulut tentang di mana pusaka Tongkat Tulang Barong disembunyikan, kami tetap akan mengganggu ketenangan kalian!" kata Roh Seribu Dewa yang bersuara berat.

Si Kumis Tengkorak menimpali, "Tapi kalau yang lainnya mau ikut-ikut cari perkara dengan kami, kami siap sedia melayaninya tanpa rasa gentar sedikit pun." Matanya melirik ke arah Jelita Bule yang berhidung mancung dan berkulit putih itu. Pandangan mata itu jelas pandangan mata nakal, karena keelokan tubuh Jelita Bule terlihat jelas dari balik pakaian tipisnya.

Teratai Kipas segera maju selangkah dari samping Suto dan berkata tanpa rasa takut sedikitpun, "Sampai mayatku ke liang kubur pun kalian tak akan dapatkan keterangan dari mulutku tentang Tongkat Tulang Barong itu!"

"Perempuan keras kepala akan dimakan rayap dalam waktu singkat!" ujar Kumis Tengkorak dengan nada tegas namun berkesan dingin.

"Apa maumu sekarang?!" bentak Teratai Kipas.

Roh Seribu Dewa menjawab, "Melumpuhkan dirimu agar mau bicara!"

"Biar aku saja yang menghadapi!" kata Jelita Bule.

"Jangan! Ini urusanku!" kata Teratai Kipas agak pelan.

Roh Seribu Dewa segera berkata, "Terlalu banyak berunding kalian ini! Heaaah...!"

Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh Roh Seribu Dewa. Sasarannya ke perut Teratai Kipas. Dengan cepat Teratai Kipas melompat ke atas dan pukulan bersinar biru bagai bola kecil itu melesat di tempat kosong. Tetapi karena di belakang Teratai Kipas ada Suto Sinting, maka Suto-lah yang menjadi sasaran bola biru itu.

Wuuut...!

Deeeb...! Weees...! Blaaar...!

Sinar biru itu ditangkis dengan bumbung tuaknya Suto Sinting. Sinar itu membalik arah lebih besar bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Roh Seribu Dewa tercengang melihat pukulannya membalik arah. Ia bagaikan terpaku di tempat. Untung kaki si Kumis Tengkorak segera menendangnya dari samping.

Duuug...!

Wuuus...! Brrruk...!

Roh Seribu Dewa jatuh terjengkang karena tendangan itu, tapi ia selamat dari pukulan sinarnya yang membalik itu. Sinar tersebut menghantam pohon jati dibelakangnya dan pohon itu langsung pecah menjadi berantakan. Duaaar!

"Auh...!" Roh Seribu Dewa terpekik kesakitan karena sepotong dahan pohon yang hancur jatuh menimpa ubun-ubunnya.

"Hiaaat...!" si Kumis Tengkorak melompat menyerang Teratai Kipas. Tangannya bergerak cepat membingungkan pandangan mata lawannya.

Tapi Teratai Kipas segera bersalto mundur dua kali, dan dengan kaki berlutut satu, ia telah mencabut kipasnya. Lalu kipas itu disentakkan ke depan dan dari ujung kipas yang masih terkatup itu keluar sinar merah lurus.

Claaap...!

"Huaaah...!" si Kumis Tengkorak menyentakkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan terbang di udara. Dari tangan itu keluar asap biru yang mengha- dang sintar merah.

Blaaarrrr...!

Ledakan yang timbul cukup hebat. Daya hempasnya bagaikan badai menyentak tubuh yang melayang itu. Tak urung tubuh si Kumis Tengkorak terpental menghantam salah satu pohon. Duuugh...!

"Oohg...!" Kumis Tengkorak terpekik. Tulang punggungnya terasa patah.

Tahan...!" seru Suto Sinting ketika Jelita Bule hendak bergerak menyerang Roh Seribu Dewa yang sudah cabut trisulanya. Seruan itu disangka tertuju pula kepada Teratai Kipas yang hendak menerjang si Kumis Tengkorak dengan kipasnya yang telah terbentang.

Gerakan Teratai Kipas pun terhenti seketika. Padahal maksud Suto Sinting mengingatkan Jelita Bule agar tidak ikut campur dalam perkara tersebut. Karena tak ada serangan dari pihak Teratai Kipas, maka Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak pun hentikan serangannya. Mereka bersifat menunggu, dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk, menyangka ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Pendekar Mabuk. Tapi setelah Pendekar Mabuk sendiri diam karena bingung merasa semuanya bungkam seketika, maka Roh Seribu Dewa pun berkata kepadanya,

"Kalau kau ingin membelanya, majulah! Aku yang akan merajang tubuhmu, Bocah Kampung!"

"Tidak. Aku tidak akan mau melawanmu lagi. Aku kasihan kepadamu. Jika melawan Teratai Kipas saja kalian keteter, mengapa kalian berharap melawanku? Kusarankan hilangkan saja harapan kalian untuk melawanku!"

"Kau sangka kami kalah melawanmu, hah?!" bentak Roh Seribu Dewa. "Coba terima jurus 'Trisula Kubur' ini, hiaaah...!"

"Heeeaaah...!" si Kumis Tengkorak ikut-ikutan menyerang Suto Sinting dalam satu lompatan. Namun baru saja mereka bergerak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan yang melintas di depan mereka seperti angin berhembus. Wuuut...!

Craasss...!

Bruuus...! Bayangan itu masuk ke semak-semak. Kemudian terdengar seperti berlari meninggalkan tempat itu dengan menerabas semak belukar dengan cepatnya. Suara gemerisik terdengar makin lama semakin menjauh.

Bukan hanya kedua tokoh hitam itu saja yang terkejut, melainkan Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu juga terperanjat melihat gerakan cepat sesosok bayangan yang segera menghilang itu. Lebih terkejut lagi setelah melihat perut si Kumis Tengkorak terluka kecil bagai tergores benda tajam. Sementara itu dada Roh Seribu Dewa juga tergores kecil, seperti terkena bulu bambu yang tajam. Darah yang keluar sangat sedikit. Bahkan luka itu sempat digaruk-garuk oleh Roh Seribu Dewa sambil menggeram marah,

"Setan mana tadi yang lewat di depan kita itu, Kumis Tengkorak? Kurang ajar! Apa maksudnya menghentikan gerakan kita?!"

Kumis Tengkorak hanya menjawab, "Entah!" tapi matanya tertuju pada Suto Sinting yang tadi sempat melompat mundur sekitar dua tindak. Tanpa menunggu kata-kata lainnya, Kumis Tengkorak melompat kembali menerjang Suto Sinting. "Hiaaat...!"

Suto Sinting lompat ke depan juga sambil kibaskan bumbung tuaknya ke arah badan Kumis Tengkorak. Wuuut...! Wuuusss...! Bumbung bambu itu terlihat jelas-jelas menghantam pinggang Kumis Tengkorak. Tapi bumbung bambu itu bagaikan menghantam bayangan. Bahkan tubuh itu masih bisa bergerak menerjang Pendekar Mabuk. Blaaass...!

"Lho...?!" terdengar suara kaget Kumis Tengkorak setelah berhasil berdiri di belakang Suto Sinting. Semua menjadi heran dan tegang, termasuk Suto sendiri.

"Kumis Tengkorak?!" seru Roh Seribu Dewa. "Kau bisa menembus raga si bocah kampungan itu?! Hebat...! Hebat sekali kau! Ha, ha, ha, ha...!"

"Hebat gundulmu!" sentak Kumis Tengkorak.

Pendekar Mabuk, Teratai Kipas, dan Jelita Bule segera mundur jauhi mereka berdua. Roh Seribu Dewa dihampiri oleh si Kumis Tengkorak dan terdengar pula ia berkata,

"Bukan aku yang sakti, tapi bocah kampungan itu yang sakti. Raganya tak bisa disentuh!"

"O, kukira kau yang menjadi sakti?! Ha, ha, ha, ha...! Minggir, biar kuhadapi sendiri si bocah kampungan yang mata keranjang itu!"

Sambil berkata demikian, tangan Roh Seribu Dewa menepiskan tubuh Kumis Tengkorak. Wuuusss...! Tangan itu bagaikan menepis bayangan. Tubuh si Kumis Tengkorak tak tersentuh oleh Roh Seribu Dewa. Tangan tersebut nyeplos dari lengan si Kumis Tengkorak sampai ke dada dan keluar lagi. Langkah kaki Roh Seribu Dewa terhenti, ia pandangi temannya yang kurus kering bermata cekung itu.

"Kau...?!" katanya dalam nada heran. "Kau yang sakti. Buktinya aku tak bisa menyentuh tubuhmu, Kumis Tengkorak!"

"Jangan ngomong sembaranganl Aku belum sesakti itu!" sentak Kumis Tengkorak. Ia mencoba menampar wajah Roh Seribu Dewa. Wuuut..., plooos...! Tamparan itu tidak mengenai sasaran, melainkan berkelebat tembus melintasi pertengahan wajah Roh Seribu Dewa. Keduanya sama- sama kaget.

"Ternyata kau yang sakti, Roh Seribu Dewa! Aku tak bisa menamparmu! Lihat!"

Plos... wuuus... plos...!

Kumis Tengkorak menampar wajah Roh Seribu Dewa, tapi selalu nyeplos seperti memukul asap. Roh Seribu Dewa terperangah dalam wajah bangga, lalu ia tertawa terbahak-bahak.

"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ternyata kita berdua menjadi sakti, tak bisa disentuh siapa pun! Hua, hah, hah, hah, haaa...!"

Plos, plos, plos, plos...!

Roh Seribu Dewa menendang dan memukul teman sendiri berulang kali untuk membuktikan dugaannya. Ternyata ia seperti memukul dan menendang asap.

"Lihat... buktinya kau pun tak bisa kupukul, Kumis Tengkorak! Dan lihat betapa saktinya kita" Roh Seribu Dewa berlari menembus pohon.

Blees! Plaaas...! Ploos!

Setiap pohon diterjangnya, dan tubuh Roh Seribu Dewa dapat menembusnya dengan mudah bagaikan gumpalan asap menerjang pepohonan, ia tertawa terbahak-bahak sambil lari sana-sini sengaja menabrak pohon atau gugusan batu.

"Huah, hah, ha, ha, ha, ha...! Kita menjadi sakti, Kumis Tengkorak! Lihat... lihat aku bisa menembus pohon! Tak ada getarannya sedikit pun. Lihat kesaktianku ini, sama dengan kau juga. Kalau tak percaya cobalah sendiri!"

Kumis Tengkorak penasaran. Tak peduli jadi tontonan tiga lawannya, ia berlari menembus pohon. Mulanya agak ragu. Kepalanya dulu yang dibenturkan ke pohon. Busss...! Kepala itu nongol di balik pohon sementara badannya masih ada di depan pohon. "He, he, he..., iya! Bisa begini?!"

Akhirnya Kumis Tengkorak tak segan-segan menembus pohon. Mereka berdua berlari-lari menerjang pepohonan dengan bangga dan gembira sekali.

Blas, blus... blas, blus... blas, blus...!

"Hiiaah, hiaah, hiaaahhh...! Kita bisa menembus pohon," Kumis Tengkorak jejingkrakan seperti anak kemarin sore. Mereka berdua bersuka ria dengan gembira, seakan memamerkan kesaktiannya yang baru di depan Suto Sinting. Terdengar suara Teratai Kipas berkata lirih, hanya Suto dan Jelita Bule yang mendengarnya,

"Manusia goblok! Dirinya sudah menjadi bayangan kok bangga? Disangkanya sakti?! Hmm...!"

"Menurutmu," kata Jelita Bule, "Orang yang berkelebat tadi adalah si Maling Sakti dengan pisaunya?"

"Benar," kata Teratai Kipas. "Pasti mereka telah tergores pisau si Maling Sakti. Lihat saja luka goresan di dada dan perut mereka itu!"

Suto Sinting tersenyum geli melihat Roh Seribu Dewa dan Kumis Tengkorak jejingkrakan lari sana-sini bahkan saling berbenturan tapi selalu lolos bagai dua asap beradu. Wuuus...! Dan mereka justru tertawa terbahak-bahak. Tawa dan kegembiraan mereka itulah yang membuat Suto Sinting menjadi geli melihatnya.

"Hei, Bocah Kampungan!" seru Roh Seribu Dewa, "Sekarang saatnya kita bertarung untuk menentukan mana yang boleh tetap hidup dan mana yang harus mati lebih dulu!"

Pendekar Mabuk lebarkan senyumnya, ia maju tiga langkah, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap di tempat. "Perlu kau ketahui, Roh Seribu Dewa," kata Suto Sinting, "Kalian bukan menjadi sakti, tapi justru kebalikannya! Kalian akan menderita dan sedih, karena sebentar lagi kalian tidak akan bisa dilihat siapa-siapa!"

"Itulah kehebatan kami!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bangga.

Kumis Tengkorak yang ada di samping kanan Roh Seribu Dewa segera berkata, "Kalau kau mulai takut, segeralah menyingkir dari hadapan kami, Bocah ingusan! Biar kami akan paksa Teratai Kipas untuk buka mulut!"

"Menyedihkan sekali!" kata Pendekar Mabuk. "Kalian berdua sebenarnya sudah mati karena tergores pisau orang yang berkelebat di depan kalian tadi!"

"Gundulmu iyu yang mati!" umpat Kumis Tengkorak sambil mengusap-usap kumisnya dengan bangga.

"Ambillah batu dan lemparkan padaku. Kalau kalian bisa mengambil batu, aku akan berguru kepada kalian!" kata Suto Sinting.

"Kurang ajar! Berani betul kau merendahkan ilmu orang sakti seperti kami ini, hah?! Akan kubuktikan...!" seru Roh Seribu Dewa. Lalu, ia mengambil batu yang tergeletak tidak jauh darinya.

Wuuut... ploos...! Ploos...!

Roh Seribu Dewa diam dalam keheranan memandangi batu itu. Kumis Tengkorak pun memandang dari tempatnya dengan dahi berkerut. Tangan Roh Seribu Dewa mendekati batu itu pelan-pelan bagai ingin menangkap kupu-kupu atau seekor capung. Lalu tangan itu bergerak cepat menyambar batu segenggam.

Wuut...!

Ploos...! Tangan menggenggam tapi batu masih tertinggal di tempatnya. Temannya berseru, "Goblok! Ambil batu saja tak becus!" Ia bergegas mendekat dan memungut batu itu. Bluus...! Sekali lagi ia menyambar batu itu.

Ploos...!

"Kok tidak bisa?!" si Kumis Tengkorak mulai heran dan curiga, ia bicara pada Roh Seribu Dewa, "Kita tak bisa menyentuh apa-apa?!"

"Entahlah. Sebenarnya kita ini sama-sama sakti atau sama-sama goblok?!"

Lalu, Suto Sinting berkata, "Percayalah padaku, kalian sebentar lagi akan menjadi manusia tanpa raga! Kalian telah terkena kekuatan sakti dari Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Durjana Belang alias si Maling Sakti itu!"

Roh Seribu Dewa menjadi gusar. "Tidak mungkin! Pisau Tanduk Hantu dimiliki oleh Malaikat Miskin dan..."

"Dan dicuri oleh teman kalian yang bernama si Maling Sakti!" sahut Teratai Kipas sambil mendekati Suto.nJelita Bule ikut mendekat pula.

"Dalam tujuh hari kalian akan tinggal bayangan dan suara saja!" sambung Jelita Bule menimpali ucapan Suto dan Teratai Kipas.

Roh Seribu Dewa saling pandang dengan Kumis Tengkorak. "Benarkah Durjana Belang sudah berhasil mencuri pisau Tanduk Hantu dari tangan si Malaikat Miskin?!"

Kumis Tengkorak berkata, "Mungkin saja, karena kudengar ada tokoh lain yang berani membayar Pisau Tanduk Hantu dengan harga mahal sekali!"

"Tap... tapi... tapi kenapa dia melukai kita? Kita kan teman?" Roh Seribu Dewa mulai tampak sedih.

"Entahlah," si Kumis Tengkorak tundukkan kepala dengan sedih pula. "Mungkin Durjana Belang tak suka pada kita yang selalu dipuji oleh sang Ketua!" sambil berkata begitu, tangannya mencoba memegang ranting-ranting semak, ternyata ranting itu tak tersentuh sedikit pun.

"Tak mungkin. Durjana Belang tak mungkin berhasil mencuri pisau itu. Kalau toh memang benar dia telah berhasil mencuri pisau itu, pasti dia tak akan melukai kita. Selama ini hubungan kita dengannya baik-baik saja, Kumis Tengkorak...! Kita tak pernah nakal padanya," suara Roh Seribu Dewa semakin parau bagai orang mau menangis.

"Mungkin...," Kumis Tengkorak semakin sedih. "Mungkin dia ingin menumpas habis kita, dan... dan ingin merebut kekuasaan untuk menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong!"

"Kalau begitu... kita harus cepat-cepat menghadap sang Ketua!"

"Baik. Kita adukan tindakan Maling Sakti yang membuat kita begini!"

Blaass...! Kedua orang itu pergi tanpa pamit, menembus pohon, menembus semak, menembus apa saja yang dilintasinya. Sementara itu, Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu memandang dengan tertegun sesaat, lalu Teratai Kipas berkata,

"Benarkah Maling Sakti bernafsu ingin menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong?!"

"Entahlah. Kita kejar saja dia!" ujar Suto sambil bergegas pergi.

* * *

EMPAT
MENJELANG senja, lereng bertanah datar menjadi tempat pertemuan yang menegangkan. Di situ ada gugusan bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Mudah dicapai dengan kekuatan tenaga peringan tubuh. Dinding bukit cadas kecil itu berbentuk datar, dalam arti tegak lurus. Bagian atas bukit kecil itu juga datar, tanpa pepohonan kecuali semak pendek dan bebatuan.

Dari atas bukit kecil itulah Pendekar Mabuk melompat turun dan bersalto dua kali, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap ada di atas. Suto Sinting mendaratkan kakinya tanpa bunyi karena mampu mengendalikan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan jurus 'Layang Raga'.

Kemunculan Pendekar Mabuk yang menyerupai dewa turun dari langit itu mengejutkan langkah kaki seseorang. Langkah itu terhenti seketika dalam jarak tujuh tindak di depannya sang pendekar tampan, murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.

"Eeh... kamu?" ujar orang itu sambil nyengir. Wajahnya lucu-lucu konyol. Enak ditampar. Lagaknya bagai orang tak berdosa apa pun. Barangkali itulah salah satu kemahiran si Maling Sakti, mampu menipu lawan dengan lagaknya yang seperti orang polos tanpa bersalah sedikit pun.

Tetapi sang pendekar tampan tetap waspada dan pandangi Maling Sakti dengan mata tak berkedip walau di bibirnya tersungging senyum tipis, ia melangkah tenang dekati Maling Sakti. Empat langkah kemudian berhenti.

"Hebat. Kau sekarang menjadi orang hebat, Maling Sakti!"

"Ah, jangan begitu," Maling Sakti bersungut-sungut malu bagai merendahkan diri. "Soal hebat itu kan sudah lama, masa baru kau tegur sekarang? Aku jadi malu sendiri."

"Mestinya kehebatanmu itu kau pergunakan untuk kebajikan, Maling Sakti."

"O, tentu! Tentu begitu, Suto Sinting!"

"Tapi tindakanmu belakangan ini konon lebih liar lagi dari sebelumnya. Mengapa kau bertindak lebih liar lagi?"

"Baru saja mau pulang ke tempat tinggalku. Kalau kau mau ikut singgah, aku tak keberatan kau singgah di tempat tinggalku."

"Hei, yang kutanyakan, mengapa kau bertindak lebih liar?!" tegas Suto.

"O, kau tanya begitu? Kudengar kau tanya dari mana aku sejak kemarin? Hmm... ah, kau mungkin salah tanya. Mengapa kau menganggap aku bertindak liar, Suto Sinting?"

"Karena kau telah melukai beberapa orang dengan pusaka curianmu itu!"

"Pusaka? Pusaka apa?!" Maling Sakti berwajah bingung, dahinya berkerut, matanya menatap tajam. Suto Sinting melirik ke arah atas bukit cadas itu.

Maling Sakti ikut-ikutan memandang ke atas, menatap Jelita Bule dan Teratai Kipas. Lalu ia nyengir sendiri dan berkata, "Rupanya kau semakin lengket dengan gadis mantan murid Ki Selo Gantung itu, Suto. Hmm... boleh juga!" Maling Sakti manggut-manggut. "Tapi menurutku lebih cantik yang berkulit putih dan berambut emas itu. Siapa dia, Suto?!"

"Apakah kau belum mengenal gadis itu?"

"O, menilai kecantikan itu merupakan keahlianku, Suto!"

"Yang kutanyakan, apakah kau tidak mengenal gadis itu?!" Suto agak keras lagi dalam bicaranya, sedikit bernada jengkel.

"Ooo... begitu? Ah, mana aku kenal dia? Bertemu pun baru sekarang!"

"Kau bohong, Maling Sakti!"

"Ya, ampuuun...! Berani sumpah disambar tumpeng, aku belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelum ini! Eh, ngomong-ngomong dia memakai pakaian atau tidak, Suto? Kok kelihatannya... anu sekali?! Hi, hi, hi, hi...!" Maling Sakti cengengesan.

Dari atas sana, percakapan itu terdengar oleh kedua wanita tersebut. Maka Teratai Kipas memberi isyarat kepada Jelita Bule agar turun bersama. Anggukan kepala Teratai Kipas membuat Jelita Bule segera melompat turun bagai seekor burung kehilangan bulunya.

Wuuus...!

Mata Maling Sakti terbelalak nakal. "Wow...!" ucapnya sambil tarik napas memandangi keadaan Jelita Bule yang berpakaian sangat tipis itu. Kedua wanita tersebut ada di sebelah kanan Suto Sinting dalam jarak empat langkah. Jelita Bule langsung menyapa si Maling Sakti,

"Kau jangan berlagak tak mengenaliku, Monyet Miskin! Kau telah bertarung denganku dan dengan temanku. Kau bermaksud mau memperkosa kami sekaligus! Kau telah melukai temanku dengan pisau pusakamu!"

"Hei, hei...?!" Maling Sakti kian bingung mirip pria linglung. "Kau bicara soal apa sebenarnya? Aku tidak penah bertarung denganmu dan tidak pernah bermaksud memperkosamu. Aku tidak punya pisau pusaka. Senjataku hanya golok, tapi itu pun sudah pecah ketika beradu dengan bumbung tuaknya Suto! Jangan mengada-ada, Nona aduhai!"

Pendekar Mabuk mengernyitkan alis, mengecilkan matanya. Dipandangi tubuh Maling Sakti secara diam-diam. Tak terlihat ada pisau di pinggangnya. Sementara itu Teratai Kipas berkata dalam nada pelan kepada Jelita Bule. "Apa kau tak salah lihat? Sudah yakin bahwa dia orangnya?"

"Ya. Dia orangnya! Dia yang mempunyai Pisau Tanduk Hantu itu!" jawab Jelita Bule dengan suara keras dan tegas.

"Maling Sakti," kata Suto Sinting, "Serahkan pisau itu, karena pusaka tersebut bukan milikmu!"

"Aku tidak memiliki pisau itu, Suto!" Maling Sakti bernada jengkel.

"Omong kosong!" bentak Jelita Bule. "Pasti kau sembunyikan di balik bajumu itu! Mengaku sajalah kau!"

"Belum. Belum pernah melihatnya," kata Maling Sakti salah dengar.

"Dia bilang; mengaku sajalah kau!" bentak Suto memperjelas.

"O, dia minta aku mengaku? Baik...! Nih, aku mengaku!" tubuh Maling Sakti dikeraskan. Dari kaki sampai kepala kaku semua.

Jelita Bule merasa dipermainkan. Maka dihampirinya Maling Sakti dan ditampar pipi orang itu dengan keras.

Plaaak...!

"Auh...!" Maling Sakti terpelanting memutar dua kali. Ia meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Katanya suruh mengaku! Begitu tubuhku sudah kubuat kaku, malah ditampar?! Bagaimana kau ini, Nona? Gilakah kau sebenarnya?!"

Teratai Kipas ikut jengkel dan menjelaskan, "Jangan berlagak bodoh, Durjana Belang! Yang dimaksud mengaku itu berkata jujur! Bukan tubuhnya dibuat menjadi kaku seperti kau tadi!"

"Tunggu dulu...," bisik Jelita Bule saat mereka berada di dekat Suto. "Dia bisa kutampar. Padahal waktu bertarung denganku dan Pesona Indah, tubuhnya bagaikan baja. Jangankan ditampar, ditendang saja tak bergeming sedikit pun. Sekarang... lihat, pipinya menjadi merah karena tamparanku?!"

"Coba lepaskan pukulan tenaga dalam yang tidak berbahaya!" bisik Teratai Kipas. Maka dengan serta-merta Jelita Bule lepaskan pukulan tenaga dalam dari arah samping ketika Suto mengajak bicara Maling Sakti.

Wuuut...! Sentakan tangan kiri Jelita Bule mempunyai hentakan tenaga dalam tanpa sinar yang hanya akan membuat orang terpukul dan tumbang. Beeeg...!

Wuuusss... brruk...!

Tubuh Maling Sakti terlempar empat tindak dari tempatnya dan jatuh terjungkal dengan berteriak kesakitan karena tulang sikunya membentur batu.

"Wadaaaow...! Kampret busuk!" Ia bergegas bangkit dan menjadi marah, tapi warna merah di wajahnya yang kanan hanya samar-samar, berarti kemarahannya tak seberapa tinggi. "Perempuan kebo! Kalau berani jangan membokong! Hadapi aku secara jantan!" umpat dan tantang si Maling Sakti.

Tapi Jelita Bule tidak layani tantangan itu. Ia bahkan berbisik kepada Suto dan Teratai Kipas. "Waktu bertarung denganku, dia tak bisa dihantam seperti tadi. Bahkan kugunakan jurus 'Kencana Lepas' ku, tapi tak mampu menembus atau melukai kulit tubuhnya. Sekarang kenapa dia bisa terjungkal hanya dengan pukulan tenaga dalam seringan itu?"

"Akan kugeledah dia!" ujar Suto pelan, lalu tinggalkan dua gadis itu dan dekati Maling Sakti. "Maling Sakti, jika kau benar tidak membawa Pisau Tanduk Hantu, maukah kau kugeledah?"

"Untuk apa kau membedahku?"

"Kugeledah!" tegas Suto lagi.

"O, mau menggeledahku? Boleh saja! Boleh...! Silakan!" Maling Sakti angkat kedua tangannya. Suto memeriksanya sampai kedua kaki dirabanya.

"Kalau perlu periksa juga mulutku ini. Haaa...?!" Maling Sakti buka mulutnya lebar-lebar.

Suto Sinting mendengus dan berpaling wajah. "Tak perlu. Aku belum terbiasa mencium bau pete!" ujar Suto Sinting sambil mendengus lagi lewat hidungnya, dan segera meninggalkan Maling Sakti.

"Bagaimana?" tanya Teratai Kipas.

"Tidak ada! Dia tidak menyelipkan pisau di mana-mana! Tak ada senjata apa pun kecuali senjatanya pribadi." "Ah, itu tak kubutuhkan!" kata Jelita Bule. "Tapi... siapa tahu disimpan pada sekitar 'senjata pribadinya' itu?"

Teratai Kipas ingin tertawa geli, "Coba kau yang geledah di daerah sekitar itu," ucapnya kepada Jelita Bule.

"Ih, amit-amit! Kau saja yang periksa kalau kau mau!"

Suto Sinting berkata, "Sudah, sudah. Sudah kuperiksa di sekitar situ juga tidak ada. Jangan-jangan memang bukan dia?"

"Suto ," seru Maling Sakti. "Apakah kau sudah puas menggeledahku?"

Suto Sinting diam, tak bisa menjawab. Sebab hatinya masih penasaran dan diiiputi keragu-raguan. Tapi akhirnya ia berkata juga, "Dari mana kau tadi?"

"Memang aku jarang gosok gigi," jawab Maling Sakti salah dengar.

"Kutanya; dari mana kau tadi?!"

"O, dari... dari mencari dua temanku; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Apakah kalian ada yang melihatnya?"

Tiga orang itu saling pandang. Teratai Kipas yang menjawab, "Ya, kami melihat mereka berdua. Tapi sekarang mereka sudah menjadi bayangan, tak bisa disentuh dan tak bisa menyentuh apa pun."

"Ah, kau bercanda saja! Yang kutanyakan, apakah kalian melihat mereka? Bukan menanyakan tentang cita-cita kalian!"

"Aku sudah menjawab pertanyaanmu! Bukan bicara soal cita-cita!" bentak Teratai Kipas, lalu Suto Sinting mengulangi jawaban Teratai Kipas tadi. Dan si Maling Sakti tampak terbengong heran.

"Mereka menjadi bayangan?! Ah, mana mungkin? ilmu mereka tak setinggi itu!"

"Karena seseorang telah menggoreskan Pisau Tanduk Hantu di tubuh mereka!" kata Suto lebih memperjelas lagi.

"Siapa yang menggunakan pisau itu? Hmmm..., si Malaikat Miskin maksudmu?"

"Kurasa bukan dia."

"Ah, pasti dia! Aku harus bikin perhitungan dengannya sekarang juga!" Maling Sakti bergegas pergi.

"Hei, mau ke mana kau?!"

"Ke Perguruan Tongkat Sakti, bikin perhitungan dengan si Maiaikat Miskin!"

"Kau tak akan bisa masuk ke pintu gerbangnya. Penjagaannya sangat ketat!" seru Teratai Kipas. Dari kejauhan si Maling Sakti berseru pula,

"Tak ada yang tak bisa kutembus walau seketat apa pun penjagaan di sana! Kalau kau tak percaya, kepalanya Malaikat Miskin akan kubawakan untukmu!" sambil langkahnya makin cepat dan akhirnya berlari menyelusup di balik semak. Kepergian Maling Sakti membuat Suto Sinting dan kedua wanita itu tertegun beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan kecamuk batinnya. Tiba-tiba terdengar suara Jelita Bule berkata lirih bagai tertuju untuk dirinyavsendiri,

"Mungkinkah ada Maling Sakti kembar?"

Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas sama-sama memandang Jelita Bule dengan cepat. Dahi mereka masih berkerut. Jelita Bule tambahkan kata lagi,

"Sebab setahuku memang dialah orangnya. Tapi mengapa dia bisa kupukul dan tidak membawa pisau tersebut?"

"Penipuan...," ucap Teratai Kipas pelan dan datar, seperti orang bicara sambil menerawang ke mana-mana.

"Penipuan bagaimana?" tanya Suto Sinting. Tapi Teratai Kipas tidak lanjutkan kata. Ia hanya tarik napas dalam-dalam dan berkata kepada Suto Sinting, "Keadaannya sudah seperti ini. Sekarang kita mau bagaimana menurutmu?"

Ganti si Pendekar Mabuk yang tarik napas, lalu menjawab dengan ketegasan yang masih bernada lembut, "Kurasa Jelita Bule pulang saja, sambil menjelaskan masalah ini kepada Ratu Rangsang Madu."

"Tapi aku harus meminta kepastianmu bahwa kau akan datang pada saat perkawinan Gusti Rangsang Madu nanti!"

"Kapan hal itu dilakukan?"

"Tepat malam purnama nanti. Tinggal beberapa hari lagi."

"Baik. Akan kuusahakan untuk datang. Tapi... siapa calon suaminya?"

"Calon suami Ratu Rangsang Madu tak lain adalah si tampan Pande Bungkus!"

"Hah...?!" Suto Sinting terkejut, matanya terbelalak. "Pande Bungkus? Si bocah polos tanpa ilmu apa pun itu?!"

"Benar. Kepolosannya itu yang membuat Gusti Ratuku terpikat olehnya!" kata Jelita Bule sambil tersenyum, lalu Suto Sinting termenung dan akhirnya tertawa sendiri sambil geleng-gelengkan kepala.

Terbayang wajah Pande Bungkus yang tampan, bertubuh kekar, berambut ikal selewat pundak diikat dengan kain putih, tapi di balik sosok penampilannya yang menawan itu dia adalah pemuda usia delapan belas tahun yang lugu, bahkan berkesan bodoh. Tak ada ilmu apa pun pada diri Pande Bungkus kecuali ilmu membidik sasaran dengan ketapelnya. Ketapel itu selalu menjadi kalung kebanggaan dan ke mana pun ia pergi selalu dibawanya. Pemuda desa yang dulu mempunyai ibu seorang pedagang nasi bungkus itu dikenal Suto Sinting pada saat terjadi banjir yang menerjang rumah pemuda tersebut.

Pada mulanya Pande Bungkus ingin menjadi murid Pendekar Mabuk, sehingga dengan penuh kesetiaan mendampingi Suto Sinting melakukan perjalanan ke Pulau Selayang, menyembuhkan Ratu Rangsang Madu. Tapi agaknya ia terjerat cinta di Pulau Selayang dan memilih menjadi suami sang Ratu ketimbang menjadi murid sang pendekar tampan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Tabib Darah Tuak).

"Setiap manusia mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri. Keberuntungan itu sendiri tak bisa direncanakan sematang mungkin, karena keberuntungan itu datang dari luar kemampuan daya pikir manusia," kata Suto Sinting menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Pande Bungkus dan siapa Ratu Rangsang Madu sebenarnya.

"Apakah keberuntunganku pun akan datang tak disangka-sangka? Terutama soal jodohku nanti?" pancing Teratai Kipas saat Jelita Bule sudah pergi sejak tadi.

Dan Suto Sinting memandangnya dalam senyuman yang lembut menawan. "Jodoh tidak bisa diatur sesuai dengan hasrat kita. Jodoh sudah punya kodrat sendiri. Kita hanya bisa menerka-nerka dan mencoba apakah seseorang yang kita cintai itu memang jodoh kita atau bukan. Jika bukan, maka perpisahan pun akan segera datang walau hati kita menaruh cinta sebesar gunung."

"Berarti hubunganmu dengan Dyah Sariningrum juga belum tentu merupakan jodohmu sepanjang masa?"

"Kira-kira begitu. Tapi kemungkinan melesat sangat kecil. Sebab guruku; si Gila Tuak sudah mengetahui wanita yang bagaimana yang akan menjadi jodohku nanti. Apabila dalam semadiku aku sampai menangis dan mencucurkan air mata darah ketika terbayang seorang wanita, maka dia itulah calon jodohku kelak, walaupun seribu wanita berteman dekat denganku."

"Apakah kau pernah mencucurkan air mata berdarah?"

"Ya. Saat kuterbayang wajahnya yang menderita dalam cengkeraman Siluman Tujuh Nyawa," jawab Suto terang-terangan sambil termenung membayangkan saat ia lakukan semadi di tempat tinggal gurunya, sebelum ia turun sebagai seorang pendekar penegak kebenaran dan keadilan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).

Percakapan yang dilakukan sambil jalan-jalan tiba-tiba terhenti bersama langkah mereka. Baik Suto Sinting maupun Teratai Kipas sama-sama terperanjat manakala mereka tahu-tahu melihat seorang kakek berdiri di atas sehelai daun sereh liar yang mirip seperti ilalang itu. Suto Sinting segera tarik napas lega dan hilangkan kekagetannya, tapi Teratai Kipas masih memandang penuh keheranan.

Buat Suto Sinting, bukan hal aneh lagi jika ia melihat kemunculan seorang kakek berpakaian serba putih, bahkan rambut, alis, dan bulu-bulu kakinya serba putih uban. Kakek itu tak lain adalah kakek misterius yang ditemuinya sebelum Suto menyelamatkan Pande Bungkus yang hanyut terbawa arus banjir beberapa waktu yang lalu.

"Siapa orang sakti itu?" bisik Teratai Kipas menganggap kakek itu orang sakti karena mampu berdiri di atas sehelai daun sereh tanpa patah.

Suto Sinting segera menjawab, "Dia itulah yang berjuluk Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh yang kau kenal lewat cerita-cerita gurumu. Bongkoh Sepuh sendiri dulu dikenal dengan nama si Setan Arak!"

Pendekar Mabuk segera memberikan hormat sekadarnya, Teratai Kipas ikut-ikutan karena merasa takut terkena kutuk sang tokoh tua nan sakti itu. Gerak kemunculannya tidak menimbulkan suara tidak pula menimbulkan hembusan angin. Teratai Kipas yakin, biasanya orang seperti Setan Merakyat dapat menghajar seseorang melalui ucapannya saja.

"Ada keperluan apa Eyang Bapa Guru Murdawira menemuiku di sini?" tanya Suto Sinting dengan menyebutkan nama asli si Setan Merakyat itu.

"Aku hanya ingin tanyakan kesiapanmu. Sudahkah kau siap menerima salah satu ilmuku yang hanya bisa kuturunkan pada pemuda tanpa pusar sepertimu?"

"Aku masih punya masalah, Bapa Guru. Aku belum siap menerima ilmumu."

"Masalahmu belum selesai? Oh, ya... baik. Akan kutunggu sampai masalahmu selesai, dan aku selalu membayang-bayangimu, Anak Muda. Tapi ketahuilah, aku baru saja bertemu dengan gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang untuk meminta izin menitipkan ilmuku kepadamu. Kedua gurumu itu setuju dan mengizinkannya. Tapi lebih baiknya lagi, kau memang harus menghadap dan bicara sendiri tentang izin itu kepada kedua gurumu tersebut."

"Nanti jika masalahku sudah rampung, aku akan menghadap kedua guruku ke Jurang Lindu dan ke Lembah Badai!"

"Baik. Kutunggu kesiapanmu. Tapi perlu kau ketahui, baru saja kau telah lakukan suatu kebodohan besar dalam sejarah hidupmu, Pendekar Mabuk."

Suto Sinting kaget dan memandang Setan Merakyat yang turun dari atas daun sereh liar itu. Suto pun bertanya, "Kebodohan apa yang telah kulakukan?"

"Melepaskan seorang pencuri yang sedang kau kejar-kejar itu."

"Maksudmu...?"

"Durjana Belang kau biarkan lari, padahal memang dialah yang sekarang ini memegang Pisau Tanduk Hantu. Aku merasakan sekali getaran gaib pisau pusaka itu saat ia kulihat sedang bicara denganmu tadi! Cari dia dan paksa supaya dia mengaku siapa dirinya sebenarnya!"

"Tap... tapi pisau itu tidak ada padanya, Eyang Bapa Guru."

"He, he, he, he...! Siapa bilang dia tak memiliki Pisau Tanduk Hantu? Kau telah tertipu mentah-mentah olehnya, Suto. Cari dia dan temukan pisau itu sebelum terlalu banyak makan korban."

* * *

LIMA
PERJALANAN pulang ke Negeri Majageni tertunda beberapa hari gara-gara Teratai Kipas harus membantu Suto Sinting menangani masalah Pisau Tanduk Hantu. Teratai Kipas sendiri merasa senang bisa mendampingi Pendekar Mabuk karena di balik susah payahnya terselip kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya saja. Tetapi Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati atas penundaan itu.

"Apa kata orangtuamu nanti jika kau tidak segera pulang? Prabu Wiloka pasti akan menyangka putri kesayangannya dilarikan oleh Pendekar Mabuk dan tak urung aku mendapat kecaman dari sang Prabu."

"Itu urusanku, biar aku yang menjelaskan kepada ayah tentang keterlambatan ini," ujar Teratai Kipas seakan siap membela Suto mati-matian jika terjadi kecaman atau tuduhan yang dilontarkan dari pihak istana.

Pendekar Mabuk tidak bisa memaksa Teratai Kipas lagi. Gadis itu pun agaknya keras kepala dalam urusan yang satu ini. Tiga hari telah lewat, Teratai Kipas masih tak ingin tinggalkan Suto Sinting.

"Sebelum masalah ini selesai aku belum ingin pulang ke istana," ujar Teratai Kipas. "Aku bukan hanya senang mendampingimu saja, tapi juga penasaran dan ingin tahu siapa pemegang Pisau Tanduk Hantu sebenarnya. Aku ingin ikut membela kebenaran. Setidaknya buat pengalaman hidupku sebelum aku kembali menjadi putri keraton Majageni. Kalau aku sudah menjadi putri keraton dan apalagi sudah menggantikan kedudukan ayahku, aku tak akan mudah ikut membantumu dalam menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan seperti saat ini. Jadi biarkanlah aku ikut untuk yang terakhir kali hidupku sebagai gadis pengembara."

Suto Sinting semakin tak bisa bicara apa-apa, sehingga ia hanya bisa angkat kedua pundak tanda pasrah. Pengejaran Suto terhadap Maling Sakti tak sengaja membawanya ke arah tempat berdirinya Perguruan Tongkat Sakti. Pengejaran ini terpaksa terhenti karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana-sini sepanjang jalan menuju Perguruan Tongkat Sakti. Mata Suto dan Teratai Kipas memandang dengan terheran-heran. Asap mengepul di pusat perguruan. Pintu gerbang perguruan hancur, hangus terbakar dan tinggal sisanya menghitam di sana-sini. Suasananya sepi dan mencekam. Bau daging bakar yang hangus menandakan banyaknya korban manusia yang ikut terbakar dalam reruntuhan itu.

"Seganas inikah Durjana Belang itu menurutmu, Teratai?" tanya Suto kepada Teratai Kipas, karena gadis itu tampak hanyut dalam lamunan ketegangan.

"Mungkin saja Durjana Belang bisa seganas ini. Entah dendam apa yang ia miliki terhadap Perguruan Tongkat Sakti, yang jelas ia berhasil menghancurkan perguruan ini. Mungkin bukan saja dendam karena kedua temannya; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak, dibunuh oleh Malaikat Miskin menggunakan pisau itu. Mungkin ada dendam lain yang..."

"Tunggu, tunggu...," Suto Sinting sengaja hentikan ucapan Teratai Kipas. "Apakah kau yakin bahwa si Maling Sakti punya anggapan bahwa Malaikat Miskin yang menggunakan Pisau Tanduk Hantu untuk membunuh kedua temannya? Bukankah pisau itu ada di tangan Maling Sakti sendiri? Tentunya ia tak akan menduga bahwa Malaikat Miskin-lah yang mencelakai kedua temannya itu?"

"Aku tak yakin dengan kata-kata Setan Merakyat. Sebab kita sudah menggeledah Maling Sakti dan pisau itu tidak ada padanya. Kita sudah coba serang dia melalui tenaga dalam Jelita Bule, tapi toh dia bisa tumbang. Kurasa dia bukan Maling Sakti yang memiliki Pisau Tanduk Hantu!"

"Setan Merakyat lebih tahu dari kita, Teratai. Aku cenderung mempercayai kata-katanya. Ingat, apakah orang yang kala itu menelan Batu Sembur Getih mempunyai perbedaan rupa maupun pakaiannya? Kurasa tidak. Ya dia itulah orangnya."

"Lalu, mengapa kala diserang Jelita Bule ia bisa terpental? Mestinya dia tidak bisa diserang, bahkan wajahnya tak bisa memar merah kala ditampar!"

"Mungkin ia bisa kendalikan kekuatan Batu Sembur Getih, sehingga di depan kita kekuatan Batu Sembur Getih bagaikan tidak berfungsi sama sekali. Di belakang kita kekuatan itu digunakan sebagaimana mestinya."

"Lalu tentang pisau itu?"

"Mungkin ia punya cara sendiri untuk menyembunyikannya."

Teratai Kipas diam, merenungkan pendapat Suto Sinting. Sambil merenungkan kata-kata itu matanya mengawasi reruntuhan Perguruan Tongkat Sakti. Langkahnya pelan, mengenali setiap mayat yang ada di sekitar tempat itu. Akhirnya terpetiklah gagasan baru dalam pemikiran Teratai Kipas.

"Kurasa ada seseorang yang telah berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan si Maling Sakti sebelum ia bertemu dengan kita tempo hari itu."

"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu pindah tangan?"

"Ya. Karena jika Maling Sakti mengamuk di sini, maka mayat-mayat ini tidak akan ada. Kalau toh ada hanya beberapa saja. Maling Sakti pasti membuat para korban menjadi manusia bayangan, ia akan menggoreskan pisau pusaka itu kepada para korban di sini. Tak mungkin hanya menggunakan kekuatan tenaga dalamnya saja jika memang Pisau Tanduk Hantu masih menjadi miliknya."

Kini ganti Pendekar Mabuk yang merenungkan kata-kata Teratai Kipas. Menurutnya, memang ada benarnya pendapat Teratai Kipas. Barangkali memang benar bahwa pisau tersebut sudah pindah tangan dan tidak ada pada diri Maling Sakti. Hal yang dipertanyakan adalah; siapa orang yang berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan Maling Sakti?

"Aneh, di sini tidak ada mayat Malaikat Miskin dan Menak Goyang," ujar Teratai Kipas seraya masih menatap ke sana-sini.

"Barangkali mereka kabur saat melihat kesaktian Durjana Belang menghancur-leburkan tempat ini!"

"Rasa-rasanya janggal sekali kalau Durjana Belang bisa membuat Malaikat Miskin terdesak dan melarikan diri."

"Mengapa janggal? Bukankah Durjana Belang telah menelan Batu Sembur Getih? Tentunya kekuatannya berlipat ganda dan dapat untuk mengalahkan kesaktian si Malaikat Miskin!"

Baru saja Teratai Kipas ingin ucapkan kata, tiba-tiba tubuhnya tersentak naik dan bersalto di udara satu kali. Wuuk...! Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah pandangi gerakan Teratai Kipas. Pada saat itu ia melihat seberkas sinar merah pecah-pecah sedang menerjang tubuh Teratai Kipas. Sinar merah pecah-pecah yang dihindari itu ganti menyerang ke arah Pendeka Mabuk, karena keadaan Suto berdiri sejajar dalam satu arah dengan Teratai Kipas.

Gerakan sinar merah yang cepat itu membuat Suto tak sempat mengambil bumbung tuaknya, sehingga tangan kirinya digunakan sebagai penghadang sinar merah tersebut. Dari tangan kiri Suto Sinting keluar sinar membara warna biru. Belum sempat melesat keluar, baru saja tersumbul dari telapak tangannya sudah harus dihantam oleh sinar merah pecah-pecah itu. Akibatnya sinar merah tersebut menghantam tangan kiri Suto Sinting dengan menimbulkan ledakan yang cukup besar.

Blaaarrr...!

Tentu saja tubuh Suto Sinting terhempas kehilangan keseimbangan, ia jatuh berjungkir balik di bawah pohon delapan langkah dari tempatnya berdiri semula. Sedangkan orang yang menyerang dengan sinar merah pecah-pecah itu segera muncul dari tempat persembunyiannya pada saat Teratai Kipas sudah mencabut kipasnya dan Suto Sinting berusaha bangkit dengan lemah.

"Malaikat Miskin...!" seru Teratai Kipas dengan sikap menantang. "Mengapa kau menyerang kami? Apakah kau ingin bikin perkara dengan Pendekar Mabuk?"

"Jangan berlagak bodoh, Kipas Sate!" ejek Malaikat Miskin dengan wajah penuh gumpalan amarah.

Pendekar Mabuk cepat-cepat minum tuaknya untuk menghilangkan rasa sakit dan luka dalam akibat menghadang pukulan jarak jauhnya si Malaikat Miskin tadi. Teratai Kipas sengaja memberikan kesempatan kepada Pendekar Mabuk untuk sembuhkan diri dengan tuak, sehingga untuk sementara Teratai Kipas bertekad melayani kemarahan Malaikat Miskin semampunya.

"Tak kusangka ternyata kalian berdua lebih kejam dari orang-orang Bukit Kopong! Sekian banyak muridku yang tak tahu apa-apa kalian jadikan korban dan perguruanku kalian bumi hanguskan seperti ini!"

"Bicaralah yang benar, Malaikat Miskin! Jangan memandang dengan sebelah mata!" pancing Teratai Kipas agar perhatian Malaikat Miskin tidak tertuju pada Pendekar Mabuk yang disangka masih terluka parah itu. Padahal Suto Sinting sudah mulai segar kembali setelah menenggak tuaknya. Bahkan ia sudah mampu berdiri dengan tegak dan melangkah dengan gagahnya.

"Kau hanya sekadar mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahanmu, Malaikat Miskin," kata Teratai Kipas dengan lantang. Tak ada hormat sedikit pun kepada bekas guru kekasihnya yang sudah tiada itu.

"Kalian ingin mengelak? Kalian sudah kepergok, tak mungkin bisa menghindar dari tuduhanku!" suara Malaikat Miskin cukup keras, ia melangkah dengan penuh waspada sambil bertumpu pada tongkatnya yang mempunyai tiga cabang bagian atasnya itu.

"Malaikat Miskin," seru Suto Sinting yang kini sudah berada di samping Teratai Kipas, "Siapa yang lakukan pembumihangusan perguruanmu ini! Apakah kau melihat kami melakukannya?"

"Siapa lagi jika bukan kalian!" bentak Malaikat Miskin yang mengenakan jubah abu-abu bertambal-tambal seperti gelandangan itu. "Ketika aku melihat kepulan asap dari kejauhan sana, aku mulai cemaskan perguruanku. Lalu kuhampiri kemari dan ternyata kutemukan kalian berdua ada di sini! Tentu saja aku tak bisa mengalihkan tuduhan kepada orang lain, sebab yang kutemukan di sini adalah kalian!"

"Justru kami sedang selidiki siapa menghancurkan perguruanmu ini!" sahut Teratai Kipas. Gadis itu tampak ngotot sekali karena hatinya panas dituduh sebagai pembantai orang-orang perguruan tersebut.

"Kalian tak perlu banyak mulut lagi! Sekarang terimalah pembalasanku inil Heaaahhh...!" si Malaikat Miskin tiba-tiba sentakkan tongkatnya ke depan. Dari tiga ranting di ujung tongkat itu keluar tiga sinar berwarna hijau lurus. Sasarannya tertuju kepada Suto Sinting dan Teratai Kipas; dua ke arah Suto, satu ke arah Teratai Kipas. Tentu saja serangan itu dihadapi oleh kedua orang tersebut. Suto Sinting menangkisnya memakai bumbung tuak, sedangkan Teratai Kipas menghadang sinar hijau dengan bentangan kipas emasnya itu.

Blaaar...! Drrabb...! Wuuurrrss...!

Teratai Kipas terpental karena tak kuat menahan sentakan sinar hijau yang bertenaga besar dan berbahaya itu. Tubuhnya melayang-layang dan membentur pohon. Sedangkan Suto Sinting masih tegak berdiri karena sinar hijau itu bisa dikembalikan dengan tangkisan bumbung tuaknya. Sekalipun tubuh Suto meliuk bagai orang mabuk hendak jatuh, namun gerakan bumbung tuaknya sangat tepat menangkis dua sinar hijau.

Kedua sinar hijau kembali ke pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Malaikat Miskin menggeragap dan segera melompat ke samping dan berguling-guling di tanah menghindari sinar hijaunya. Sinar itu akhirnya menghantam reruntuhan bangunan perguruannya yang masih tersisa. Reruntuhan itu hancur menjadi serbuk halus yang tak bisa terlihat lagi ke mana gerakannya. Sedangkan Malaikat Miskin bangkit dengan tongkatnya dan memandang akibat benturan hijau itu dengan mata terbelalak, terheran-heran.

"Sehebat itukah jurus sinar hijauku itu? Rasa-rasanya tak akan sampai membuat bangunan menjadi hancur selembut debu?! Gila! Bumbung tuak bocah itu benar-benar berbahaya!" Malaikat Miskin membatin.

Terdengar pula suara Suto Sinting yang tak mau melepaskan serangan balasan, "Kuingatkan sekali lagi, Malaikat Miskin..., jangan mengumbar kemarahanmu kepada kami! Kami bukan pelaku penghancuran ini!"

"Aku tak percaya!" geram Malaikat Miskin. Tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke depan. Claaap...! Sinar merah lurus melesat ke arah dada Suto Sinting.

Dengan cepat pula jurus 'Tangan Guntur' digunakan oleh Suto Sinting. Sinar biru melesat dari tangan Suto dan bertemu di pertengahan jarak dengan sinar merahnya Malaikat Miskin. Sinar-sinar itu tidak meledak tapi saling dorong bagai ingin mendesak ke arah lawan masing-masing.

Pertemuan sinar itu memancarkan sinar lebar memercik-mercik. Kadang bergerak mendekati Suto, kadang bergerak mendekati Malaikat Miskin. Rupanya kedua tokoh itu saling adu kekuatan tenaga dalam, sehingga keduanya sama-sama gemetar, sekujur tubuh mereka bergetar dan urat-urat di leher dan tangan saling bertonjolan keluar, bagai ingin merobek kulit tubuh mereka. Malaikat Miskin langsung bercucuran keringat bagai habis mandi, tapi Suto Sinting hanya berkeringat tipis di keningnya. Tiba-tiba Malaikat Miskin angkat tongkatnya dan dari salah satu ranting di atas tongkat itu memancarkan sinar hijau lagi.

Slaaap...!

Tapi gerakan Suto Sinting masih mampu melebihi kecepatan sinar tersebut. Bumbung tuaknya diarahkan ke depan dan sinar itu menghantam bumbung tuak, memantul balik dan membuat pusat perhatian Malaikat Miskin menjadi guncang.

Zlaaap...!

Malaikat Miskin terpaksa harus hindari sinar hijau yang mengarah ke dadanya. Sinar yang membias dari bumbung Suto itu dihindari dengan cara memiringkan badan. Tapi akibat menghindari sinar hijau, adu kekuatan dengan menggunakan sinar merahnya itu menjadi lemah. Akibatnya sinar biru Suto mendesak lebih kuat dan menghantam tubuh Malaikat Miskin.

Blaaarr...! Blegaaar...!

Sinar hijau menghantam pohon, tubuh Malaikat Miskin terpental karena dihantam ledakan kuat dari sinar birunya Suto Sinting. Dada tokoh tua itu menjadi hangus sampai pada kain bajunya yang tampak hitam bagaikan habis dibakar api berdaya panas tinggi.

"Huuuhhg...!" Malaikat Miskin mengerang di tempatnya jatuh, ia tersandar pada pohon dengan tongkatnya terlepas dari tangan kanan. Kedua tangan memegangi dadanya sambil menggeliat-geliat bagaikan terbakar dadanya.

"Maaf, kau memaksaku berbuat demikian, Malaikat Miskin!"

Tokoh tua itu diam saja. Ia segera ambil sikap berlutut dan memejamkan mata. Sementara itu, Pendekar Mabuk agak terkejut melihat Teratai Kipas terkapar di bawah pohon besar. Tubuhnya mulaimengepulkan asap dan tak bergerak. Dengan cepat dihampirinya tubuh gadis itu. Wajah pucat kebiru-biruan terlihat jelas di permukaan raut muka Teratai Kipas.

"Celaka! Hampir saja aku terlambat!" gumam Suto dengan cemas, lalu ia berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Teratai Kipas yang berbibir ranum menggemaskan itu.

Di seberang sana, Malaikat Miskin menggerakkan kedua tangannya pelan-pelan dari dada menuju ke tenggorokan, dan akhirnya ia memuntahkan darah kental warna hitam. Rupanya gerakan tangan itu adalah tenaga pembersih luka yang ada di dalam dadanya. Luka itu terbuang melalui mulut dan dalam bentuk cairan hitam kemerah-merahan, ia menyalurkan hawa murninya beberapa saat dan hal itu sengaja dibiarkan oleh Suto Sinting.

Kalau saja Suto Sinting mau melepaskan pukulan lagi ke arah Malaikat Miskin, pasti tokoh tua itu akan hancur atau tumbang tak bernyawa lagi. Serangan itu akan kena sasaran tanpa meleset. Tapi toh hal itu tidak mau dilakukan oleh Pendekar Mabuk, karena ia tidak harapkan Malaikat Miskin mati di tangannya, ia cenderung mengharapkan kesadaran Maiaikat Miskin tentang salah pahamnya itu.

Setelah beberapa saat kemudian, Teratai Kipas sudah pulih kesehatannya, Malaikat Miskin mampu berdiri tegak lagi, Suto Sinting segera berkata kepada Malaikat Miskin dengan nada tegasnya,

"Percuma saja kau melawanku, karena bukan aku yang bersalah. Seandainya aku mati di tanganmu, kau pun kelak akan menyesal jika mengetahui siapa yang menghancurkan perguruanmu ini, Malaikat Miskin! Kuingatkan sekali lagi, jangan memusuhi aku dan Teratai Kipas. Jika kau ingin membalas dendam, bukan kepada kami."

"Lalu kepada siapa?!" gertak Malaikat Miskin masih menampakkan keberangannya. Matanya masih memandang dengan tajam dan ganas.

"Kami tidak tahu secara pasti siapa pelakunya," kata Suto Sinting. "Tapi cobalah kau bicara dengan Durjana Belang!"

"Si Maling Sakti...?!"

"Benar. Sebab kami melihat beberapa korban yang berubah menjadi menusia bayangan, bahkan ada yang tinggal suaranya saja yang bisa kami dengar, sedangkan sosok tubuhnya lenyap tak terlihat."

"Itu pasti karena Pisau Tanduk Hantu!" sergah Malaikat Miskin dengan tegang, ia mulai tampak lebih gusar lagi. "Apakah pisau pusaka itu ada di tangannya dan dipergunakan olehnya untuk melawan seseorang?"

"Aku tak melihat dengan mata kepala sendiri. Tapi ada korban dan saksi mata yang memberikan keterangan kepadaku, bahwa Durjana Belang memegang Pisau Tanduk Hantu!"

"Keparat, bocah itu!" kegeraman Malaikat Miskin membuat tangannya menggenggam kencang, hingga tak sadar tongkatnya menjadi sedikit retak karena tergencet genggamannya yang beraliran tenaga dalam itu. Kreek...! Kejap berikutnya, suara Malaikat Miskin terdengar lagi, "Jadi menurutmu si Maling Sakti itu yang menghancurkan perguruanku?"

"Aku tidak berkata begitu," jawab Suto Sinting. "Karena aku tidak melihat sendiri saat perguruanmu dihancurkan oleh seseorang. Tetapi perlu kau ketahui, bahwa Maling Sakti menyimpan dendam kepadamu karena menyangka kaulah yang membuat Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak, temannya itu, menjadi manusia bayangan karena tergores pisau pusaka itu. Pada saat kami menggeledahnya, kami tidak menemukan pisau itu pada tubuhnya. Kami sendiri masih bingung, benarkah Maling Sakti yang menggenggam pisau pusakamu itu, atau ada Maling Sakti kembar yang lainnya?"

"Pantas kalau dia mendendam kepadaku, karena dulu dia pernah kutolak ketika melamar menjadi muridku. Tampangnya yang memang tampang maling itu mengkhawatirkan diriku, maka aku tak mau menerimanya sebagai murid. Beberapa waktu kemudian kudengar ia menjadi muridnya Cukak Tumbila sampai sekarang!" kata Malaikat Miskin dengan wajah masih tampak menahan amarah.

"Satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Malaikat Miskin. Apakah Pisau Tanduk Hantu bisa disembunyikan dengan cara lain yang membuat pusaka itu tidak bisa terjamah dan tidak bisa terlihat oleh orang lain?"

Malaikat Miskin diam sebentar, berpikir beberapa saat, setelah itu baru menjawab dengan nada tegasnya. "Tidak bisa! Pisau itu tidak bisa disembunyikan dengan cara gaib!"

Teratai Kipas bicara pada Suto Sinting dengan suara agak pelan, "Berarti pisau itu telah dijual kepada pemesannya sebelum ia bertemu kita!"

"Kepada siapa dia menjualnya?!" sergah Malaikat Miskin yang mendengar kata-kata Teratai Kipas, ia maju hingga jaraknya menjadi empat langkah di depan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.

"Kami hanya mempunyai dugaan saja," kata Suto Sinting. "Tapi kami belum dapat keterangan, kepada siapa ia menjual pisau itu kalau memang benar dia itulah pencuri Pisau Tanduk Hantu!"

"Ggrrrmm...!" Malaikat Miskin menggeram bagai singa buas. "Aku harus segera melabraknya! Akan kutuntut Cukak Tumbila atas perbuatan muridnya ini!"

Blaasss...!

"Malaikat Miskin!" seru Suto mengejar, "Buktikan dulu apakah benar si Maling Sakti yang terlibat masalah ini atau bukan dia?!"

Tapi Malaikat Miskin sudah menghilang. Seandainya ia mendengar seruan itu, ia tak punya waktu untuk menjawabnya. Dendam dan kemarahan telah menggumpal di dada. Hasrat untuk membalas orang yang mengacak-acak Bukit Kopong semakin membakar jiwa. Suto Sinting dan Teratai Kipas hanya bisa tertegun beberapa helaan napas.

Tak lama kemudian, Pendekar Mabuk menenggak tuaknya dan setelah itu berkata kepada Teratai Kipas. "Kita ikuti saja gerakan Malaikat Miskin. Kita ingin tahu apa yang terjadi di Bukit Kopong! Setidaknya jika si Maling Sakti benar-benar tidak bersalah, kita bisa selamatkan dia dengan membawanya lari dan menyembunyikannya, biar ia tidak menjadi korban salah sasaran dalam perkara ini!"

"Yang lebih penting adalah mencari tahu siapa sekarang pemegang Pisau Tanduk Hantu itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas, dan membuat Suto Sinting hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui gagasan tersebut.

* * *

ENAM
TANGAN Teratai Kipas segera ditarik oleh Suto Sinting. Tubuh gadis itu hampir jatuh kalau tidak segera dipeluk sang pendekar tampan. Mereka terbenam di semak-semak. Teratai Kipas berdebar-debar dan membatin,

"Oh, indahnya. Mengapa baru sekarang ia berbuat begini padaku? Padahal sudah cukup banyak semak-semak yang kami lewati. Seandainya di setiap semak-semak dia berbuat begini padaku, alangkah indahnya perjalanan hidup bersamanya."

Teratai Kipas mulai pasrah, ia memejamkan mata, menunggu serangan mesra berikutnya. Tapi sampai lama menunggu tak ada serangan mesra selanjutnya. Teratai Kipas yang sudah pejamkan mata itu segera melek kembali dan berbisik dengan bibir merekah dan suara mendesah, "Mengapa tak kau lanjutkan?"

"Apanya?" bisik Suto Sinting. "Aku menarikmu ke semak bukan untuk berbuat yang tidak-tidak, tapi membawamu sembunyi secepat mungkin."

"O, jadi... jadi kau mengajakku bersembunyi?"

"Benar. Kita mengintip dua orang yang ada di balik gugusan batu cadas itu!"

Seketika itu merah pula wajah Teratai Kipas menahan rasa malu bercampur kecewa. Hatinya membatin penuh gerutu, "Sial! Kalau tahu diajak sembunyi kenapa harus berdebar-debar penuh harap? Uuh...! Dasar pemuda sinting. Sayang saja dia tampan, kalau tak tampan malas aku menemaninya. Bikin hatiku malu sendiri jika begini!"

Apa yang dimaksud Suto Sinting ternyata adalah sepasang manusia berlainan jenis yang sedang berpelukan di balik gugusan batu cadas. Rupanya pasangan yang sedang berkasih-kasihan itulah yang membuat Suto Sinting hentikan langkahnya dalam perjalanan mencari sang pencuri Pisau Tanduk Hantu.

Teratai Kipas terbelalak kaget melihat pasangan yang sedang saling berpelukan, saling bercanda penuh tawa mengikik dan berbisik. Bukan adegan itu yang membuat Teratai Kipas terkejut dan terheran-heran, melainkan karena ia mengenali siapa pasangan yang berpelukan mesra di balik batuan cadas tersebut. Mulut Teratai Kipas menyebutkan nama mereka dengan lirih dan bernada desah keheranan.

"Menak Goyang...? Oh, dia... dia bercinta dengan si Maling Sakti?!"

"Titik terang mulai tampak nyata di depan kita, Teratai Kipas. Kita dengarkan saja percakapan mereka."

"Tapi... tapi kalau mereka berbuat yang bikin hati syur bagaimana?"

"Pejamkan matamu agar tak terbawa khayalannya," bisik Suto Sinting dengan senyum tipis mekar di bibirnya.

Teratai Kipas bersungut-sungut tak jelas maksudnya. Tapi perhatian Suto Sinting sudah telanjur terlempar ke arah Menak Goyang yang sedang dirangkul Maling Sakti. Menak Goyang yang cantik itu seakan pasrah-pasrah saja ketika dikecup lehernya oleh si Maling Sakti. Bahkan ia mendongak bagaikan memberi tempat agar bibir si Maling Sakti kian bebas menikmati kemulusan lehernya. Tawa mengikik dan tubuh menggelinjang kegelian membuat si Maling Sakti kian nakal. Hasrat kejantanannya ditampakkan dalam bentuk 'Kerajinan tangan' yang cekatan serta penuh semangat juang.

"Sial! Kenapa kita harus mengintip yang beginian?" gerutu Teratai Kipas yang wajahnya sangat dekat dengan wajah Pendekar Mabuk, sampai-sampai hembusan napas dari hidung Suto terasa menghangat di pipi kirinya. Teratai Kipas tundukkan kepala, tak berani melihat adegan panas yang dapat membangkitkan semangat kemesraannya, ia takut batinnya menuntut kepada Suto dan Suto tidak mau menuruti tuntutan itu.

Tapi agaknya Menak Goyang dan Maling Sakti sengaja membiarkan hasrat mereka saling menuntut keindahan yang lebih dalam. Menak Goyang tak segan-segan memberikan apa yang diharapkan Maling Sakti. Gadis itu tiada hentinya bergoyang mengikuti kebiasaannya yang membuatnya dijuluki Menak Goyang. Tak ada waktu untuk diam bagi Menak Goyang, apalagi dalam keadaan sedang bercumbu mesra, sampai-sampai Suto Sinting berkata lirih dalam candanya yang membisik di telinga Teratai Kipas,

"Goyang terus sampai pagiii...!"

"Ssst...!" Teratai Kipas menempelkan telunjuknya di bibir Suto Sinting.

Keduanya sama-sama duduk di rerumputan bawah pohon besar, memunggungi adegan panas yang sedang berlangsung di balik gugusan batu cadas itu. Ilalang memagari pohon itu, sehingga keadaan mereka sangat rapi dan aman dari jangkauan mata sepasang orang yang sedang berkencan tersebut. Suto Sinting sengaja mengajak bicara Teratai Kipas dengan suara pelan untuk mengalihkan khayalan yang masuk ke otak mereka karena mendengar suara rintihan dan erangan si Menak Goyang.

"Aku tidak menyangka sama sekali."

"Aku juga seperti mimpi melihat mereka di sini," ujar Teratai Kipas. "Aku jadi curiga terhadap Menak Goyang. Kurasa ada hubungannya dengan Pisau Tanduk Hantu."

"Maksudmu, dia bekerja sama dengan Maling Sakti dalam masalah pencurian pisau tersebut?"

"Benar! Pasti dia yang membantu Maling Sakti masuk ke benteng perguruannya. Sedikitnya dialah yang memberikan keterangan dan petunjuk tentang bagai mana caranya mencuri Pisau Tanduk Hantu."

"Masuk akal. Tapi atas dasar apa dia berbuat begitu?"

"Mungkin secara diam-diam dia sudah lama jatuh cinta kepada Maling Sakti?"

"Ya, ya... itu pun masuk akal. Jika memang begitu, berarti sikapnya yang keras hati menuduhku sebagal pencuri Pisau Tanduk Hantu itu adalah untuk mengalihkan perhatian Malaikat Miskin, supaya tidak menuduh dan menaruh curiga kepada Maling Sakti. Aku hanya dijadikan kambing hitam dalam hal ini!"

"Tapi ketika Malaikat Miskin menemui kita bersama Menak Goyang, bukankah Malaikat Miskin menjadi berbalik menuduh orang-orang Bukit Kopong sebagai pencurinya? Pikiran itu timbul karena mendapat laporan dari Menak Goyang dan Menak Goyang mempunyai gagasan itu dari kata-katamu dulu?"

"Benar. Tapi tentunya Menak Goyang tidak menyebutkan nama Maling Sakti sebagai tertuduh utama. Seandainya disebutkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti. Jadi dengan begitu Menak Goyang tampak bersungguh-sungguh dalam memihak Malaikat Miskin. Tentu saja hal itu sudah diperhitungkan, seandainya Maling Sakti menjadi tertuduh utama maka Maling Sakti dan Menak Goyang akan melawan Malaikat Miskin secara bersama-sama dengan menggunakan Pisau Tanduk Hantu itu!"

"Licik sekali mereka itu?"

"Cinta jika sudah menggila, membuat orang menjadi licik dan banyak akal."

"Ah, bodoh amat si Menak Goyang itu. Mengapa jatuh cintanya sama Maling Sakti? Apa yang diharapkan dari Maling Sakti itu? Rupa tak punya, kegagahan tak ada, kesaktian pun begitu-begitu saja. Kekayaan sama sekali tak ada!"

"Siapa yang bisa menyelam di hati manusia? Tak ada yang bisa kecuali orang itu sendiri. Tak ada yang tahu mengapa Menak Goyang mau jatuh cinta kepada Maling Sakti. Hanya Menak Goyang sendiri yang punya alasan kuat untuk langkahnya itu."

Percakapan mereka semakin panjang mengupas hubungan Menak Goyang dengan si Maling Sakti. Dengan memperpanjang percakapan berkasak-kusuk itu suara-suara kemesraan di balik batuan cadas tidak terdengar dan tidak menimbulkan khayalan indah menuntut batin. Tak terasa mereka sudah cukup lama berkasak-kusuk di balik kerimbunan semak, sehingga suara-suara mesra itu pun hilang dan berganti percakapan ringan penuh tawa cekikikan.

"Mereka sudah selesai berlayar. Kita dengarkan percakapannya," bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas, lalu keduanya berbalik arah, menyingkapkan daun-daun ilalang pelan-pelan.

Menak Goyang dan Durjana Belang sama-sama tidak tahu kalau dua pasang mata sedang memperhatikan mereka. Tak aneh lagi jika Menak Goyang bicaranya kelewat batas, sedikit ngeres, karena ingin memancing kemesraan lebih lama dengan Maling Sakti. Agaknya si Maling Sakti sudah cukup puas bercanda dengan nada ngeres, sehingga ia bicara ke masalah Pisau Tanduk Hantu.

"Hampir saja aku tertangkap basah oleh si Pendekar Mabuk kalau saja Pisau Tanduk Hantu tidak kau pimjam untuk mengalahkan lawanmu itu."

"Apakah mereka menggeledahmu?"

"Ya. Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas serta gadis yang bertarung denganku itu sempat menggeledahku. Tentu saja aku tetap tenang karena pisau ada di tanganmu dan kau gunakan membunuh Kadarwati, musuh lamamu yang menjadi anak buah si Bancak Doya itu. Aku sempat cemas dengan kekuatan Batu Sembur Getih. Untung aku mengikuti saranmu; dengan merelakan diri dipukul dan mengendurkan pernapasan, maka tubuhku bisa dipukul seseorang. Dengan begitu Pendekar Mabuk dan dua perempuan itu terbengong bingung melihat aku bisa dibuat jatuh dan bisa kena tampar. Aku sebenarnya ingin tertawa geli melihat kebodohan mereka, tapi aku bisa menahannya kuat-kuat dengan berpura-pura ingin melabrak gurumu. He, he, he, he...!"

"Sekarang bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu itu? Apakah tetap ingin kau jual kepada istri Adipati Kumitir?"

"Menurutmu sendiri bagaimana? Sebab dijual ataupun tidak pisau ini punya keuntungan sendiri bagi kita berdua. Istri Adipati Kumitir; Gusti Permeswari Prananingsih itu, berani membayar mahal pisau ini. Uangnya tak habis dimakan empat keturunan kita. Kita bisa pergi dari sini dan pindah ke Pulau Khayalan, hidup di sana sebagai suami istri yang kaya raya, Menak Goyang. Tapi jika pisau ini tidak kita jual, kita akan menjadi pasangan suami-istri yang ditakuti para tokoh dunia persilatan."

Menak Goyang yang bersandar dalam pelukan Maling Sakti tampak tetap menggoyang-goyangkan kakinya yang melonjor. Pakaian mereka sudah rapi, duduk mereka sedikit bergeser dari tempat cumbuan tadi. Menak Goyang tampak berpikir sebentar, kemudian bertanya, "Sebenarnya untuk apa Gusti Permeswari Prananingsih ingin memiliki pisau pusaka itu? Apakah beliau bicara padamu?" sambil Menak Goyang memainkan pisau yang ada dalam sarungnya yang terbuat dari tanduk rusa purba itu. Pisau itu jelas ada di tangan Menak Goyang, mata Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas melihatnya jelas-jelas.

Tapi mereka tidak mau segera bertindak. Pendekar Mabuk sendiri bermaksud mendengarkan semua percakapan kedua pencuri tersebut untuk bekal pengetahuan dirinya selanjutnya. Apalagi percakapan itu menyinggung-nyinggung nama Istri Adipati Kumitir.

Seperti diketahui oleh Suto, bahwa istri Adipati Kumitir dulu pernah dihebohkan sebagai istri Adipati yang dibawa lari oleh Suto Sinting. Padahal yang membawa lari adalah Suto palsu. Tetapi Suto asli tahu bahwa istri adipati itu memang tergila-gila oleh ketampanan Suto palsu, sehingga ketika sang Istri Adipati Kumitir bertemu dengan Suto asli, ia mengejar-ngejar dan mengharap belaian kemesraan. Perempuan itu agaknya memang tergila-gila dengan sosok penampilan Suto palsu, hingga lupa akan martabatnya sebagai istri seorang Adipati, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Peri Sendang Keramat).

Durjana Belang yang dikenal si Maling Sakti itu menjawab pertanyaan Menak Goyang, "Secara pasti aku tak tahu mengapa Gusti Permeswari Prananingsih berkeinginan sekali memiliki Pisau Tanduk Hantu. Tapi dalam salah satu percakapan aku sempat mendengar ia keceplosan bicara, bahwa ia sedang menyimpan dendam dan cinta kepada seorang pemuda tampan. Perempuan itu hanya punya dua pilihan, Jika cintanya tidak dilayani, pemuda itu harus dibunuh. Dan pisau itulah yang digunakan untuk menandingi pemuda tersebut nantinya!"

Kini pisau ada di tangan Maling Sakti, diamat-amati bagai penuh ungkapan sayang untuk melepaskan kepada pembelinya. Tapi di balik kerimbunan semak ilalang, Suto Sinting sempat tarik napas dalam-dalam sambil menyimpan kecemasan, hatinya pun membatin, "Jangan-jangan akulah pemuda yang sedang diincar oleh istri Adipati itu. Sebab agaknya sang istri Adipati penasaran sekali akan cintanya. Mungkin sampai sekarang ia masih tergila-gila padaku."

Batin ini berhenti berkecamuk, karena perhatian Suto Sinting tertuju kepada Maling Sakti dan Menak Goyang lagi. Waktu itu Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan gadis itu tampak kegirangan menerima ciuman tersebut. Setelah itu terdengar lagi si Maling Sakti berkata,

"Kalau bukan karena kebesaran cintamu, kurasa tak mungkin aku bisa mendapatkan Pisau Tanduk Hantu ini."

"Kalau bukan karena kau pandai memberikan kepuasan batin yang amat indah, tak mungkin aku mau mengorbankan diri mencuri pisau pusaka guruku itu!" sambil tangan Menak Goyang mencubit pipi Maling Sakti. Mereka tertawa cekikikan, karena tangan Maling Sakti mulai melakukan 'kerajinan tangan' lagi yang membuat Menak Goyang tanpak senang sekali menerimanya.

Teratai Kipas berbisik kepada Suto, "Ooo... rupanya si Maling Sakti dianggap pandai memberikan kebahagiaan batin, sehingga Menak Goyang cintanya terkojor-kojor kepada Maling Sakti."

"Itulah yang kukatakan tadi, kita tak bisa tahu hati seseorang yang sebenarnya. Hanya orang itulah yang mengetahui mengapa ia mau jatuh cinta kepada seseorang. Dan kebahagiaan batin seperti yang dikatakan Menak Goyang pun belum tentu sama dengan kebahagiaan batin yang kau harapkan. Karena setiap manusia berbeda selera batinnya."

Percakapan Suto Sinting segera berhenti karena tiba-tiba mulutnya didekap oleh tangan Teratai Kipas. Teratai Kipas melirik ke arah kiri. Ternyata lirikan itu merupakan isyarat agar Suto memandang ke arah kiri. Lalu Pendekar Mabuk terperanjat kaget, hampir saja ia keluar dari persembunyian itu jika tangannya tidak ditahan oleh Teratai Kipas.

"Kita lihat saja dulu dari sini!" bisik Teratai Kipas.

Seseorang muncul dan segera melesat ke arah Menak Goyang dan si Maling Sakti. Orang itulah yang membuat Suto Sinting terkejut, karena orang itu tak lain adalah wanita cantik bekas istri jin.

"Sumbaruni...?!" desah Suto Sinting dalam kecemasan.

Kehadiran Sumbaruni juga mengejutkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Mereka cepat-cepat melepaskan diri dari kemesraan. Berpisah dan saling berdiri dengan sikap siap hadapi serangan sewaktu-waktu. Tapi Sumbaruni tampak tenang. Bahkan senyumnya keilhatan mengejek kemesraan yang tadi sempat dipergokinya itu.

Mata Sumbaruni tertuju ke arah Pisau Tanduk Hantu yang ada di tangan si Maling Sakti. Sebelum Sumbaruni bicara, Menak Goyang lebih dulu menyapa,

"Siapa kau?! Mengapa datang menemui kami di sini? Apa maksudmu?"

"Menak Goyang, kau lupa padaku?"

Menak Goyang yang bergerak-gerak pinggulnya itu mengerutkan dahi menatap Sumbaruni. Beberapa saat kemudian terdengar Sumbaruni bicara lagi dengan sikap sinisnya.

"Ketika aku menjadi bocah kecil, kau pernah melarikan aku dari tangan Suto Sinting dan menyanderaku di perguruanmu! Demikian pula kau Durjana Belang, kau pernah menyerobotku dari gendongan orang Perguruan Tongkat Sakti dan menyembunyikan aku saat Siluman Tujuh Nyawa menghendaki diriku sebagai tumbal kesaktiannya. Aku masih ingat kalian."

"Sumbaruni...?" desah Menak Goyang agak ragu.

"Ya, akulah Sumbaruni, Menak Goyang! Dulu waktu aku menjadi bocah kecil kau bisa saja seenaknya memperlakukan diriku, memperdaya Suto Sinting agar mengaku sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu. Tapi ternyata kaulah biang keladi pencurian pusaka tersebut, Menak Goyang. Rupanya kau bekerja sama dengan Durjana Belang dalam pencurian Pisau Tanduk Hantu. Pantas kau ngotot sekali menuduh Suto Sinting sebagai pencurinya, hanya untuk menutupi kekasihmu itu agar tidak masuk dalam kecurigaan gurumu!"

"Tutup mulutmu, Setan!" bentak Menak Goyang merasa malu ditelanjangi kedoknya selama ini. Tapi bentakan itu justru menimbulkan tawa tipis bagi Sumbaruni yang tak merasa gentar sedikit pun menghadapi mereka berdua.

"Terus terang saja, apa maksudmu menemui kami, Sumbaruni?" kata Maling Sakti dengan tenang, tapi matanya tampak memandang nakal ke dada Sumbaruni.

"Aku tidak akan berurusan dengan kalian," ujar Sumbaruni. "Aku hanya ingin mencari seseorang dan kebetulan tersesat kemari. Tapi suatu kebetulan aku bisa bertemu denganmu, Menak Goyang. Aku membawa kabar buruk untukmu."

"Kabar buruk apa? Kau mau menyebar fitnah?"

"Apa untungnya aku memfitnah dirimu?"

"Barangkali kau ingin merebut kekasihku ini dari pelukanku?" sambil Menak Goyang melingkarkan tangannya ke pinggang Maling Sakti.

Sumbaruni hamburkan tawa kecil. "Apa aku ini perempuan sebodoh kamu? Suto Sinting adalah kekasihku. Jika dibandingkan kekasihmu seperti bumi yang diinjak-injak kebo dan langit yang dipenuhi bidadari."

"Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu, Betina Jalang!"

"Itulah sebabnya kau jangan gede rasa dulu. Tak perlu cemburu padaku. Aku hanya ingin menyampaikan kabar padamu bahwa seseorang sedang mengamuk di perguruanmu. Mungkin sekarang sudah selesai atau mungkin juga sedang berlangsung. Orang itu mencari gurumu dan menuntut kembalinya Pisau Tanduk Hantu itu. Jika kau tidak segera pulang ke perguruanmu, maka perguruanmu akan hancur tak tertolong lagi. Mungkin pula kau tak sempat melihat gurumu menghembuskan napas terakhir. Sebab orang itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmunya gurumu; Malaikat Miskin!"

"Siapa orang yang berani berkurang ajar seperti ini?! Sebutkan namanya!"

"Siapa lagi kalau bukan Resi Pakar Pantun!"

"Oh...?!" Menak Goyang terperanjat dan menjadi tegang. Sumbaruni lanjutkan kata saat Menak Goyang adu pandang dengan Maling Sakti.

"Resi Pakar Pantun merasa sebagai pewaris yang berhak memegang Pisau Tanduk Hantu itu. Pisau tersebut diperoleh gurumu dengan cara merebut dan membunuh adik Resi Pakar Pantun. Tentunya kau sudah paham tentang hal itu, Menak Goyang. Sekarang kusarankan cepatlah kembali ke perguruanmu sebelum Resi Pakar Pantun mengamuk disana!"

Teratai Kipas berbisik, "Rupanya Sumbaruni dan Menak Goyang belum tahu kalau Perguruan Tongkat Sakti sudah hancur."

"Ya. Dan rupanya bukan Maling Sakti yang menghancurkannya, melainkan si 'Tikar Rombeng' itu."

Percakapan mereka berhenti sejenak, karena saat itu Menak Goyang membentak kepada Sumbaruni, "Kau tak perlu mengatur langkahku! Pergilah secepatnya! Biarkan kami melanjutkan kemesraan kami berdua! Kehadiranmu hanya mengganggu kemesraan dan kebahagiaan saja!"

Sumbaruni tertawa pelan. Teratai Kipas sempat berbisik pada Suto, "Apakah benar dia kekasihmu? Kudengar dia tadi mengaku sebagai kekasihmu."

"Siapa saja berhak dan boleh mengaku demikian. Tapi kenyataan yang membedakan kebenaran ucapan tersebut!" Jawab Suto Sinting sambil mata tetap mengawasi Sumbaruni, takut kalau tahu-tahu diserang dengan Pisau Tanduk Hantu.

"Aku memang tidak ingin berlama-lama di sini. Aku justru sedang mencari si Pakar Pantun. Dia punya janji padaku yang belum dilunasi! Aku akan menagihnya, jika perlu dengan kekerasan. Mulut orang tua itu memang perlu ditampar dengan pedang biar tidak bicara plin-plan lagi!"

Sumbaruni segera pergi meninggalkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Tapi dalam hati Suto Sinting menjadi gundah. "Dia mencari Resi Pakar Pantun? Mau menagih janji tentang apa? Jika ia sampai bertarung dengan Resi Pakar Pantun, itu sangat membahayakan keselamatannya. Ada baiknya kalau aku mengikuti Sumbaruni dulu dan mencegah niatnya bersikap kasar kepada Resi Pakar Pantun."

Teratai Kipas melihat kegundahan itu dari sorot pandangan mata Pendekar Mabuk. Gadis itu bagaikan cukup peka perasaannya, tahu apa yang dibatin Suto, sehingga ia berkata dengan nada sedikit ketus,

"Kalau kau mengikuti kepergian Sumbaruni, aku tak akan ikut. Biarlah aku pulang ke Majageni sendiri."

"Tapi... tapi Sumbaruni ingin lakukan sesuatu yang berbahaya!"

"Dan kau akan membelanya, bukan? Itu baik. Sebagai seorang kekasih memang bertugas melakukan pembelaan kepada wanita yang mencintainya. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak punya urusan dengan Sumbaruni. Pergilah sana dan biarkan aku pulang sendiri."

"Maksudku begini, Teratai...," ucapan Suto Sinting berhenti karena tiba-tiba ia tertarik dengan percakapan Maling Sakti dengan Menak Goyang.

"Lupakan saja tentang perguruanmu!" kata Maling Sakti. "Kau tak perlu harus kembali ke sana. Yang hancur biarlah hancur, kita melangkah sesuai dengan rencana kita sendiri."

Menak Goyang berkata, "Baiklah. Aku ikut apa saja rencanamu, asal kau jangan jauh-jauh dariku. Kalau perlu, sekarang juga kita menuju ke kadipaten Kumitir dan menjual pisau pusaka itu. Lalu, kita segera pergi ke Pulau Kayangan dan hidup bahagia di sana. Bukankah itu suatu impian yang indah, Durjana Belang?"

"Ya, Itu impian yang indah," sambil Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan sang gadis menyodorkan lebih dari pipi.

Tetapi percintaan dan kemesraan mereka terpaksa terhenti dan buyar oleh datangnya sebuah serangan bersinar merah yang mengarah kepada mereka. Claaap! Sinar merah itu melintas cepat menghantam punggung Menak Goyang yang sedang mencium Maling Sakti dengan berkobar-kobar.

Jraaab...!

"Aaah...!" Menak Goyang lepaskan ciumannya, tersentak mundur kepalanya, mengerang dalam keadaan tubuhnya menjadi hangus seketika. Rambutnya pun menjadi keriting dan akhirnya jatuh dalam keadaan kelojotan.

"Bangsaaat...!" teriak Maling Sakti marah besar. Wajahnya merah separo. Dan saat itu pula muncul di hadapannya sesosok tubuh berjubah tambal-tambal.

"Malaikat Miskin...?!" ucap Suto dengan tegang.

* * *

TUJUH
BERULANG KALI Suto Sinting ingin bergerak, tapi selalu ditahan oleh Teratai Kipas. Padahal di hati Suto Sinting sudah tak sabar, ingin segera mengamankan Pisau Tanduk Hantu itu.

"Biarkan mereka berurusan sendiri. Bukan pada tempatnya kalau kita ikut campur urusan mereka! Mereka adalah pemilik dan pencuri," Teratai Kipas memberikan alasan dan pengertian maksud menahannya.

"Tetapi pisau itu membahayakan! Bisa-bisa pisau itu memakan korban lagi kalau tidak segera diamankan. Malaikat Miskin yang menjadi korban berikutnya! Kita harus amankan pisau itu dari tangan si Maling Sakti."

"Kalau Maling Sakti menjadi korban, itu adalah hukumannya yang pernah membunuh adik Resi Pakar Pantun untuk merebut pisau itu!"

Suto Sinting diam termenung, namun matanya masih mengawasi ke arah pertemuan Malaikat Miskin dan Maling Sakti. Sementara itu, Menak Goyang agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya diam, kaku, hangus, dan tentunya sudah tidak bernapas sedikit pun.

"Kau seorang guru yang kejam, Malaikat Miskin! Muridmu kau bunuh dengan ilmu mautmu sendiri!"

"Membunuh murid murtad tidak ada salahnya!" kata Maiaikat Miskin dengan memandang tajam kepada si Maling Sakti. "Hukuman itu layak diterimanya karena rupanya dialah dalang pencurian pisau pusakaku itu!"

"Kau salah, Malaikat Miskin! Menak Goyang tidak ada sangkut pautnya dengan pisau ini!" sambil pisau pusaka itu ditunjukkan. "Hubunganku dengan Menak Goyang hanya sebatas hubungan cinta semata!"

"Omong kosong!" bentak Malaikat Miskin. "Sekarang tak perlu banyak bicara, serahkan pisau itu padaku, kau kubebaskan dari segala hukuman dan tuduhan!"

"Ini bukan pisaumu! Kau pun tidak berhak memiliki Pisau Tanduk Hantu. Sekarang aku tahu, bahwa pisau ini sebenarnya milik leluhurnya Resi Pakar Pantun! Kau memiliki pisau ini dari hasil merampasnya, Malaikat Miskin! Jadi aku semakin kuat mempertahankan pisau ini dari jangkauanmu!"

"Keparat! Kau memang bajingan busuk, Durjana Belang! Panggil gurumu dan suruh dia berhadapan denganku!" teriak Malaikat Miskin dengan berang.

Maling Sakti tersenyum sinis, "Tak perlu kau berhadapan dengan guruku, karena sebentar lagi Cukak Tumbila pun akan kutumbangkan dan aku akan berkuasa di Bukit Kopong! Siapa yang kehendaki pisau ini juga akan kutumbangkan. Durjana Belang harus berkuasa di antara para tokoh rimba persilatan. Dan pisau inilah yang akan mengadili siapa saja yang menentangku!"

"Babi sangit!" geram Malaikat Miskin dengan mulai mengangkat tongkatnya. "Kau berhadapan denganku, sama saja berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, Maling Pikun! Jangan sangka aku merasa gentar dengan senjata itu! Aku masih mampu merebutnya dari tanganmu! Lihat saja nanti!"

"Majulah kalau kau tak sayang nyawamu, Malaikat Gelandangan!"

Seet...! Pisau Itu dicabut dari sarungnya. Sarungnya dimasukkan ke ikat pinggang, sedangkan pisau berbesi baja hitam itu dimainkan dengan satu tangan oleh Maling Sakti. Gerakan jurus-jurus yang dipergunakan Maling Sakti tampak mantap dan meyakinkan, sepertinya ia memang sudah menguasai jurus berpisau tunggal. Lincah dan gesit dalam setiap gerakannya.

Malaikat Miskin segera sentakkan tongkatnya ke tanah. Duug...! Dari tanah memercik lidah api menyambar tubuh Maling Sakti. Wuuus...! Tetapi Maling Sakti segera lakukan lompatan dan berjungkir balik di udara. Wuuukk...! Ia menuju Malaikat Miskin dan segera menendangkan kakinya ke arah kepala lawan.

Wuuss...!

Dees...! Tongkat itu menghantam tepat mata kaki Maling Sakti. Pada saat menghantam, tampak ada sinar biru memercik sekejap. Claaap...!

"Auuh...!" Maling Sakti memekik, ia jatuh terpuruk karena kakinya terasa sakit, mata kaki bagaikan pecah karena hantaman tongkat bertenaga dalam tinggi. Tetapi keadaan itu justru membuat Malaikat Miskin tertegun sekejap.

"Kenapa ia hanya mengaduh sebentar? Mestinya kaki itu hancur dan tak tak bisa dipakai berjalan lagi. Untuk berdiri pun sudah tak mungkin mampu. Tapi ia ternyata masih bisa berdiri. Kakinya seperti merasa keseleo sedikit. Hebat juga kekuatan tenaga penahan luka pada kaki si Bocah Setan ini?!"

Saat tertegun itu, tiba-tiba tubuh Maling Sakti mampu melesat dan mengibaskan pisaunya ke arah dada Maiaikat Miskin. Wuuus...! Wuuut...! Malaikat Miskin tersentak mundur dan menjatuhkan diri di tanah. Jika tidak begitu perutnya akan robek terkena sabetan pisau maut tersebut. Begitu tubuh sampai di tanah, tiba-tiba tubuh itu berputar dengan menggunakan pinggulnya dan satu sentakan napas membuat tubuh itu melenting naik, lalu bersikap berdiri tegak. Jleeg...! Dan tongkatnya segera menebas ke arah kepala si Maling Sakti. Wuuut...! Cepat sekali gerakan tongkat itu, sehingga hampir-hampir kepala Maling Sakti remuk terhantam kepala tongkat.

Gerakan lincah si Maling Sakti membuat tubuhnya dalam waktu singkat sudah berada di tanah dalam keadaan tengkurap, ia berguling dengan kaki berputar naik, lalu menjejak perut Malaikat Miskin. Duuhg...!

"Heegh...!" Malaikat Miskin terpekik mendelik. Tubuhnya bagaikan dilanda badai. Terhempas kuat menghantam gugusan batu cadas yang tadi dipakai untuk bermesraan dengan Maling Sakti dan Menak Goyang. Bueehg...!

"Hiaaat...!" Tiba-tiba tubuh Maling Sakti melompat bagai seekor harimau hendak menerjang lawannya. Pisaunya terarah lurus ke tubuh Malaikat Miskin yang sedang merunduk hendak bangkit dengan berpegangan tongkatnya.

Tiba-tiba mata Malaikat Miskin melihat gerakan maut yang mengancam jiwanya. Seketika itu ia merebah kembali dan tongkatnya disodokkan ke depan. Wuuut...! Sodokan ke depan atas mengenai perut Maling Sakti. Duuhg, claap...! Sinar merah memercik dari ujung tongkat yang menyentuh perut Maling Sakti.

"Uhg...!" Maling Sakti hanya terpekik pelan, tubuhnya tertahan dan oleng ke kiri. Bruuk...! Lalu, wajahnya yang masih terangkat disapu oleh tendangan putar kaki Malaikat Miskin.

Plook...!

Tendangan itu cukup kuat dan keras, namun hanya membuat kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan membentur tanah empuk. Buuk...! Tapi wajah itu tetap utuh, tanpa luka dan tanpa darah. Malaikat Miskin cepat sentakkan badan dengan bertumpu pada tongkatnya. Badan melesat naik dan bersalto mundur dua kali. Wuk, wuk...!

"Edan!" gumamnya dalam hati setelah kakinya menapak di tanah dengan tegak. "Sodokan tongkatku tak membuatnya cedera apa pun?! Padahal biasanya sodokan tongkat membuat benda apa pun menjadi pecah, perut orang bisa jebol karena kualiri tenaga dalam yang bernama jurus 'Naga Beringas'. Tapi kenyataannya ia hanya terpental jatuh tak seberapa parah! Ilmu apa yang dimilikinya, sampai-sampai tendangan 'Sapu Neraka'-ku tidak bisa membuat kepalanya pecah. Mestinya kepalanya hancur saat terkena tendangan 'Sapu Neraka' yang tak pernah ada yang kuat menahannya itu?!"

Maling Sakti berdiri dalam keadaan tegap pula. Ia bagaikan tak mengalami rasa sakit pada kepala atau tubuh lainnya. Ia bahkan tersenyum sinis dan mulai pasang kuda-kuda lagi. Sempat pula si Maling Sakti berkata, "Jurus-jurusmu tidak berguna buat tubuhku, Malaikat Miskin! Keluarkan semua ilmumu dan aku siap menghadapinya!"

"Keparat! Monyet juling kau! Terimalah jurus 'Dewa Kilat' ini, heaaah...!" Malaikat Miskin segera putar-putarkan tongkatnya, lalu tongkat menyentak ke depan dengan digenggam dua tangan. Wuuukkk...! Dari ujung tongkat, tepat di pertengahan tiga ranting pendek itu, melesat sinar biru bergerak zig-zag bagaikan gerakan petir menyambar mangsanya. Zaap, zaap, zaap...!

Maling Sakti mengambil sikap berdiri dengan kaki merapat dan sedikit ditekuk lututnya ke depan. Pisau Tanduk Hantu digenggam di depan wajah, tangan kirinya menyangga tangan kanan yang menggenggam pisau. Kilatan cahaya biru itu masuk mengenai dada Maling Sakti.

Blegaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam sekeliling. Ledakan itu menimbulkan cahaya biru besar menyebar dan mengepulkan asap bergumpal-gumpal. Sebongkah batu yang ada di belakang Maling Sakti itu menjadi hancur berbongkah-bongkah. Pohon pun retak karena daya ledak yang menghempas sangat kuat. Beberapa tanaman semak tercabut dari akarnya dan menjadi kering dalam waktu empat helaan napas.

Namun ketika asap yang membungkus tubuh Maling Sakti itu mulai sirna, tampaklah samar-samar sosok Maling Sakti yang masih berdiri dengan kaki merapat. Sedikit pun tak ada yang luka, bahkan pakaiannya robek pun tidak. Tentu saja hal itu membuat si Malaikat Miskin terperangah bengong.

"Benar-benar gila orang ini?!" geram Malaikat Miskin lebih jengkel lagi. "Jurus 'Dewa Kilat' tak mempan menghancurkan tubuhnya? Padahal pohon saja retak, batu saja pecah, itu pun tak terkena langsung oleh kilatan cahaya biruku. Tapi dia... yang jelas-jelas dihantam cahaya biru, masih tetap utuh. Bahkan masih bisa meringis seperti kuda ganjen?! Setan alas!"

Durjana Belang yang wajahnya masih tampak merah separo karena pengaruh amarah dalam hatinya itu kini mengendurkan ketegangan uratnya. Senyumnya makin tampak seperti seringai iblis yang kegirangan menemukan mangsanya. Terucap pula kata-kata sombongnya kepada Malaikat Miskin, "Apakah masih ada jurusmu yang lebih dahsyat lagi, hah?! Keluarkan semua! Lepaskan padaku, aku akan menahannya!"

"Itu belum seberapa, Maling Kunyuk!" geram Malaikat Miskin. "Kali ini kau tak akan mampu menahan pukulan 'Tongkat Jenazah' yang tak pernah ada tandingannya. Hiaaah...! Hiaaah...!"

Wut, wut, wut...! Tubuh Malaikat Miskin berputar cepat mengelilingi Maling Sakti. Tongkatnya pun diputar cepat di atas kepala dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu keluar percikan-percikan bunga api dan membuat tongkat itu lama-lama menyala merah bagaikan besi terpanggang api yang membara.

Maling Sakti hanya diam dan terkekeh-kekeh saja. Ia tidak mengikuti gerakan lawan yang mengelilinginya dengan sangat cepat, hampir tak terlihat itu. Jurus itu membuat lawan tak mengerti kapan Malaikat Miskin hentikan gerakannya dan lepaskan jurusnya. Hanya saja, tiba-tiba tubuh itu bergerak lebih cepat lagi, lalu berhenti mendadak di belakang Maling Sakti. Tongkat yang membara merah panas itu dihantamkan ke kepala si Maling Sakti.

Wuuut...! Praak!

Blaaarrrr...!

Kembali ledakan dan asap berhamburan membungkus tubuh Maling Sakti. Teratai Kipas dan Suto Sinting sama-sama berpendapat bahwa kepala Maling Sakti pecah, karena terdengar suara benda pecah sebelum suara ledakan bergema menggetarkan pepohonan sekeliling. Namun alangkah terkejutnya mereka setelah mengetahui Maling Sakti tetap berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang, dan tertawa bagaikan kekeh tawa seorang kakek. Kepalanya masih utuh. Tapi tongkat andalan Malaikat Miskin pecah. Remuk menjadi beberapa bagian. Malaikat Miskin memandang dengan mata terbelalak tak bisa berkedip.

Dari persembunyiannya Pendekar Mabuk membatin, "Luar biasa kekebalannya! Dengan bekal ilmu kekebalan dan kelipatgandaan tenaga serta pisau itu, ia bisa menjadi tokoh sesat yang bertindak semena-mena. Agaknya aku harus bertindak cepat mengamankan pisau itu sebelum Malaikat Miskin menjadi korban."

Tetapi sebelum Suto Sinting bergerak, tiba-tiba ia terkejut melihat Maling Sakti melompat dengan sangat cepat, menerjang tubuh si Malaikat Miskin. Gerakannya itu jelas tak bisa dihindari karena menyerupai hembusan badai.

Wuuusss..! Tahu-tahu ia sudah berada di seberang sana, dari sisi kanan Malaikat Miskin pindah ke sisi kiri. Tentu saja orang yang dilintasinya menjadi terkejut dan menatapnya penuh keheranan.

"Monyet burik! Gerakannya lebih cepat dari gerakanku. Padahal setahuku, Cukak Tumbila sendiri tak mungkin mampu berkelebat secepat itu?! Dia seperti menghilang dan berbentuk angin lewat di depanku. Dan... dan... oh, celaka?!"

Malaikat Miskin menjadi tegang, karena ketika ia memandang ke bawah, ternyata pakaiannya telah robek dan kulit dadanya tergores benda tajam. Malaikat Miskin terpaku sejenak memandangi lukanya. Tubuhnya segera kelihatan gemetar. Ketegangan wajahnya kian jelas dan sangat menonjol.

Di sisi sana, Maling Sakti tertawa terkekeh-kekeh. "He, he, he, he.... Jangan kaget, itulah hukuman bagi orang yang nekat ingin melawanku, Malaikat Miskin! Sekarang kau baru percaya bahwa aku bukan tandinganmu. Tenaga dalammu tak akan mampu mencederai tubuhku, karena tanpa sengaja aku telah menelan Batu Sembur Getih yang mampu melipat gandakan tenaga dalamku dan memperkebal tubuhku! He, he, he, he...! Itulah akibatnya jika bandel Pisau Tanduk Hantu akhirnya memakan bekas majikannya sendiri! Kau tak akan bisa menyentuhku lagi, Malaikat Miskin. Kau akan lenyap setelah melewati tiga kali tujuh hari!"

"Bangsaaat...!" Malaikat Miskin yang sudah kehilangan tongkatnya itu mengamuk, ia menerjang tubuh Maling Sakti. Tapi tubuh itu hanya bisa dilewati saja, ditembus tanpa sentuhan apa pun. Tubuh Malaikat Miskin sudah menjadi bayangan tampak nyata, sebentar lagi akan menjadi bayangan hitam, lalu hanya tinggal suara, dan tujuh hari kemudian lenyap tanpa tinggalkan bekas apa pun. Malaikat Miskin mengamuk sejadi-jadinya, memukul, menghantam, menendang tapi semua itu hanya ditertawakan oleh Maling Sakti. Karena tubuh Maling Sakti tak bisa disentuh oleh Malaikat Miskin.

"Huaaahh...! Bangsat kau, Durjanaaa...!" teriak Malaikat Miskin dengan amat berang dan salah tingkah. Rasa sesalnya begitu tinggi, sehingga kemarahan yang tak bisa dilampiaskan membuatnya seperti orang kesurupan.

"Terlambat...!" gumam Suto Sinting bernada keluh, lemas, dan lirih.

"Tak perlu kau sesali, karena itulah hukuman bagi si perampas pusaka!" kata Teratai Kipas membujuk hati Pendekar Mabuk yang tampak kecewa dengan kelambatan tindakannya sendiri.

"Orang sedunia bisa dibuatnya menjadi bayangan semua oleh tindakan sewenang-wenangnya!Aku harus segera merampas pisau itu!" kata Suto Sinting, kali ini tanpa banyak memikirkan Teratai Kipas, ia melompat keluar dari balik kerimbunan semak.

Teratai Kipas akhirnya ikut muncul juga dan membuat kejutan tersendiri bagi si Maling Sakti. Sementara itu, bayangan sosok tubuh Malaikat Miskin berlari menerjang pepohonan sambil berseru dengan suara keras dan serak,

"Tunggu pembalasanku...! Kuadukan kau kepada Cukak Tumbila! Tunggu...!"

Maling Sakti tidak hiraukan teriakan yang makin lama semakin menjauh itu. Kini matanya lebih tertarik memperhatikan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas. Senyumnya bagaikan seringai bocah tanpa dosa, tapi pisau keramat itu masih nyata-nyata tergenggam oleh tangan kanannya.

Teratai Kipas mendahului bicara, "Kali ini kau tak bisa berlagak bodoh lagi, Durjana Belang! Semua rahasiamu sudah kami ketahui sejak tadi!"

"He, he, he.... Teratai Kipas dan Suto, kalian ingin rasakan juga bagaimana menjadi sosok tanpa raga? Mendekatlah kemari kalau kalian ingin seperti Malaikat Miskin itu! Tapi sebelumnya kuingatkan padamu, tak ada manusia lain yang mampu menandingiku; Batu Sembur Getih dan Pisau Tanduk Hantu telah menyatu dalam diriku! Tentunya kalian tahu bagaimana kehebatan dua pusaka itu jika menyatu dalam tubuh satu orang!"

Pendekar Mabuk masih tenang. Malahan ia sempat menenggak tuaknya beberapa teguk. Teratai Kipas yang berdiri tak jauh dari samping kiri Pendekar Mabuk segera berkata lagi, "Maling Sakti, kesombonganmu akan hancur jika kau berhadapan dengan Pendekar Mabuk, karena dia tak sama dengan pendekar lainnya! Jangan kau anggap setara dengan kesaktian Malaikat Miskin!"

"Hah, ha, ha, ha, ha, ha...! Benarkah begitu, Suto?"

Dengan kalem Pendekar Mabuk kasih jawaban, "Aku sekadar menegakkan mana yang benar dan melumpuhkan yang salah!"

"Tak perlu berbasa-basi lagi, Suto! Kau boleh bangga bisa mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa, tapi belum tentu bisa kalahkan Durjana Belang, si Maling Sakti ini!" sambil ia menepuk dada sendiri.

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, tetap tenang namun penuh waspada. Tiba-tiba ketika Suto Sinting ingin lepaskan kata, sekelebat bayangan muncul dan langsung menerjang si Maling Sakti.

Wuuut...! Brruuuus...!

Tubuh Maling Sakti terbuang dan jatuh membentur pohon. Tapi ia seperti tidak merasakan sakit sedikit pun. Dalam sekejap ia telah bangkit dan berdiri menatap bayangan yang baru datang. Orang tersebut segera disusul pelayannya yang selalu ketinggalan dalam bergerak.

Teratai Kipas berkata lirih kepada Suto, "Yaaah... si Tikar Rombeng muncul lagi! Cari penyakit saja orang ini?!"

Si Tikar Rombeng' alias Resi Pakar Pantun, memang muncul di situ dalam keadaan kebingungan mencari pencuri pusaka leluhurnya. Wajahnya tuanya menjadi ceria ketika ia melihat pisau tersebut ada di tangan Maling Sakti.

"Celana kolor buat bungkus batu. Dibuka sedikit baunya langu. Tujuh keliling kucari pusaka itu. Ternyata ada di tangan bocah dungu!"

Resi Pakar Pantun mengawali lagaknya yang gemar bermain pantun untuk mengungkapkan rasa. Ia tampak tenang dalam sikap berdiri yang masih berkesan gagah walau usianya sudah banyak.

Mata Pendekar Mabuk memperhatikan ke arah Resi Pakar Pantun, karena ia ingat Sumbaruni yang tadi mencari orang itu. Rasa khawatirnya membuat Pendekar Mabuk memancing keterangan dengan pertanyaan seakan tanpa maksud yang semestinya. "Resi Pakar Pantun, beruntung sekali kau datang kemari, karena aku ingin bertanya apakah kau tadi bertemu dengan Sumbaruni?"

"He, he, he, he.... Sumbaruni tak akan bisa mengejarku walau aku punya janji padanya. Aku tak akan penuhi janjiku sebelum berhasil merebut pusaka milik leluhurku itu!"

"Kalau boleh kusarankan, jangan teruskan niatmu Resi Pakar Pantun. Tapi aku berjanji akan merebutkan Pisau Tanduk Hantu itu dari tangannya dan akan kuserahkan padamu!" kata Suto Sinting yang mempunyai dugaan bahwa sang Resi akan tumbang jika melawan Maling Sakti.

"Celana kolor disambung-sambung menjadi sorban. Bayi sungsang hendak menuntut ilmu. Meski wajahku tua rambut beruban. Tapi tak bisa termakan kelicikanmu."

Pendekar Mabuk memandang Teratai Kipas. Gadis itu berkata lirih, "Agaknya ia tak butuh bantuanmu. Dia akan hadapi sendiri si Maling Sakti."

"Tapi dia bisa celaka dan bernasib seperti Malaikat Miskin!"

"Biarkan saja. Itu memang pilihannya."

Terdengar pula suara Maling Sakti bicara dengan Resi Pakar Pantun, "Bagiku kedatanganmu adalah hal yang menguntungkan, Resi Pakar Pantun! Dengan begitu aku tak perlu susah payah mencari orang yang akan merebut pisau ini. Aku tahu pisau ini milik leluhurmu, tapi karena sudah di tanganku, tentunya menjadi milikku. Aku tahu kau ingin merebutnya kembali, karena itu lakukanlah niatmu sekarang juga, aku akan melenyapkan ragamu seperti mereka yang mencoba menentangku!"

"Celana kolor tersangkut paku..."

"Robek?" potong Kadal Ginting.

"Belum," jawab Resi tak sadar, ia segera mendengus kesal dan mengulangi pantunnya yang ditujukan pada Maling Sakti. "Celana kolor tersangkut paku. Dilihat malu oleh sang tamu. Jangan remehkan ketuaanku. Sekali tepuk retaklah dadamu!"

Maling Sakti maju tiga langkah, Resi Pakar Pantun pun maju dua langkah. Sikap si Maling Sakti penuh tantangan, sementara Resi Pakar Pantun hanya diam dalam ketenangannya.

Teratai Kipas berbisik pada Suto, "Kali ini judulnya Celana Kolor, bukan Tikar Rombeng lagi!"

Belum sempat Suto menjawab, sudah terdengar suara Resi Pakar Pantun berkata, "Celana kolor basah ujungnya..."

"Tuh, benar kan? Celana kolor lagi?" bisik Teratai Kipas.

"Ssst...! Diamkan saja, biarkan sepuasnya dia bicara tentang celana kolor!"

"Iya, tapi aku risi membayangkannya."

"Jangan bayangkan bentuk celananya, tapi bayangkan seni pantunnya," bisik Suto Sinting.

Kasak-kusuk itu membuat sang Resi berhenti berpantun sebentar. Matanya melirik tak suka mendengar kasak-kusuk itu. Maka ia pun mengulang lagi, "Celana kolor basah ujungnya. Dicium perawan pingsan ibunya. Serahkan pisau itu kepada pemiliknya. Jangan sampai memakan korban pemegangnya."

Tawa Maling Sakti berkesan meremehkan. Tapi tawa itu tiba-tiba lenyap karena mendadak ia mendapat serangan pukulan jarak jauh dari tangan Kadal Ginting. Claaap...! Seberkas sinar kuning melesat dan menghantam pinggang Maling Sakti.

Duaaar...!

Tubuh Maling Sakti hanya terguncang sedikit, dan sinar kuning itu lenyap seketika setelah membentur pinggang Maling Sakti. Mata sang Resi sedikit terkesiap menahan rasa heran melihat Maling Sakti tak terluka sedikit pun oleh pukulan Kadal Ginting. Bahkan saat itu Kadal Ginting segera berkata pelan,

"Dia kebal pukulan, Eyang! Hati-hati!"

"Aku tahu, dan aku bisa mengatasinya sendiri. Kau mundurlah, Kadal Ginting. Biar kuhadapi sendiri bocah dogol ini!"

Maling Sakti pandangi wajah Kadal Ginting. Matanya tajam memandang dengan wajah menjadi belang, merah sebelah kanannya karena menahan kemarahan. Tiba-tiba dari mata itu keluar sinar kecil bagaikan benang lurus berwarna merah dan tertuju ke tubuh Kadal Ginting. Slaaap...!

Resi Pakar Pantun menahan dengan telapak tangan menghadang sinar kecil itu. Zeerrrbbb...! Sinar merah kecil bagaikan terkumpul di tangan Resi Pakar Pantun. Tangan itu cepat menggenggam, lalu melemparkan genggaman tersebut ke arah Maling Sakti.

Wuuut...! Claaap...!

Sinar merah terang menggumpal bagaikan bola, terlepas dari genggaman tangan sang Resi. Menghantam tubuh Maling Sakti yang tak sempat melompat menghindarinya. Jedaaar...! Ledakan mengejutkan terjadi, melepas hentakan keras. Tubuh Maling Sakti tersentak mundur tiga tindak, namun tak mengalami luka apa pun. Padahal tubuh itu tadi bagaikan dibungkus nyala api dalam sekejap. Tapi sehelai rambut pun tak ada yang terbakar.

Hal itu membuat Resi Pakar Pantun berkerut dahi pertanda memendam perasaan heran. Hatinya pun segera berkata, "Mestinya dia pecah karena sinarnya tadi. Tapi mengapa masih utuh? Rupanya ia punya ilmu kebal yang tak mempan pukulan tenaga dalam seperti itu tadi? Hmmm... baiklah. Dia boleh bangga punya ilmu kebal, tapi belum tentu bisa menahan jurus 'Tepuk Amai-amai'-ku ini"

Resi Pakar Pantun segera merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu tiba-tiba ia bertepuk satu kali. Plok...! Dari tepukan itu memercik sinar biru ke arah tubuh Maling Sakti. Seberkas sinar biru itu segera ditahan oleh telapak tangan kiri si Maling Sakti.

Claap...! Jleeb...! Sinar itu bagaikan masuk menembus telapak tangan. Tiba-tiba tangan tersebut menyentak ke depan dan keluarlah sinar biru tadi beriringan dengan sinar merah sejajar.

Sraaab...!

Melesatnya kedua sinar dihadang oleh kibasan tangan sang Resi yang menghadirkan semburan asap putih. Sinar-sinar itu masuk ke dalam asap putih, terbungkus menggumpal sekejap, lalu meledak dengan dahsyatnya, sangat diluar dugaan Suto Sinting dan Teratai Kipas.

Glegaaarrrr...!

Gelombang hentakannya begitu kuat, menyebar ke berbagai penjuru, membuat Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas nyaris terpelanting jatuh. Untung keduanya segera saling berpegangan dan bertahan pada batang pohon, sehingga mereka tak sampai terkapar seperti ynng dialami Resi Pakar Pantun. Sedangkan Maling Sakti sendiri tersentak mundur dan membentur dinding gugusan cadas. Jika tidak ia pasti akan jatuh terkapar seperti Resi Pakar Pantun dan Kadal Ginting yang tadi sempat terpekik kaget itu.

Melihat sang Resi jatuh terkapar dan berusaha bangkit lagi, Maling Sakti segera menyerang dengan gerakannya yang amat cepat Wuuut...! Hampir saja gerakan itu tak mampu dilihat oleh Suto Sinting karena cepatnya. Dan sang Resi sendiri nyaris diterjang tubuh Maling Sakti yang telah memasang Pisau Tanduk Hantu di depannya. Untung sang Resi jatuh kembali karena kakinya masih terasa lemas, sehingga terjangan itu mengenai tempat kosong.

Menyadari hal itu, sang Resi menjadi semakin tegang, ia cepat-cepat lepaskan jurusnya dengan memukul tanah satu kali. Blaaak...! Dan dari tanah itu mengalirlah tenaga dalam ke arah kaki si Maling Sakti, sehingga tubuh Maling Sakti terlempar terbang diluar dugaan. Wuuut...! Resi Pakar Pantun berdiri dengan satu lutut, kemudian ia bertepuk tangan beberapa kali. Plok, plok, plok, plaaak, plak, plok...!

Beberapa sinar kilat menghujani tubuh Maling Sakti yang sedang meluncur turun. Clap, clap, clap, clap...! Ledakan yang terjadi akibat sinar biru menghantam Maling Sakti itu terdengar beruntun sehingga menjadikan suara bergemuruh sambung-menyambung. Tanah dan pepohonan sekelilingnya ikut bergetar. Hawa panas menyebar sesuai arah angin berhembus. Tetapi tubuh Maling Sakti masih mampu mendarat dengan sigap dan tak mengalami cedera apa pun juga. Bahkan ia segera melayang bagaikan terbang menuju ke arah sang Resi dengan pisau siap ditorehkan.

"Heaaahh...!"

Sang Resi menangkis gerakan tangan berpisau yang berkelebat hendak menggores wajahnya. Plaaak...! Lalu tangan kanannya dihantamkan ke depan, dan disambut oleh hantaman tangan kiri si Maling Sakti. Plaaak...!

Duaaar...! Perpaduan kedua telapak tangan itu memercikkan sinar merah terang, dan suara ledakannya menghentak kuat, membuat kedua tubuh sama-sama terpelanting mundur.

Brrruk...!

"Aaaahg...!" Resi Pakar Pantun mendelik dengan tubuh menggeliat, berdiri dengan satu lutut bertumpu di tanah. Teratai Kipas memandang tegang ke arah Resi Pakar Pantun, karena mulut sang Resi segera memuntahkan darah segar. Wajah sang Resi menjadi pucat pasi, sementara itu wajah Maling Sakti masih segar bugar dan cepat-cepat bangkit dari jatuhnya tadi.

"Keparat busuk kau, Maling Singkong! Hiaaah...!" Kadal Ginting mencoba melakukan pembalasan atas apa yang diderita oleh majikannya, ia menyerang dengan gerakan tangan berseliweran cepat di depan wajah. Tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke depan dan gelombang hawa panas tinggi menerjang tubuh si Maling Sakti.

Wooosss...!

Tetapi orang itu hanya diam bagai dihembus hawa sejuk tanpa rasakan sengatan panas sedikit pun, sedangkan tanaman di belakangnya menjadi lekas layu dan mengering dalam dua kejap saja. Tapi Maling Sakti tak mengalami luka bakar sedikit pun. Bahkan ia maju dalam satu lompatan dan kakinya menendang dada Kadal Ginting.

Duuuhg...!

"Huaaahhg...!" Kadal Ginting terpental jauh dan jatuh terkapar di sana dalam keadaan menyemburkan darah dari mulutnya.

"Kalian berdua memang cari mampus!" bentak Maling Sakti. "Sekarang tibalah saatnya merubah nasibmu ini menjadi manusia tanpa raga, Resi Bodoh! Hiaaah!"

Maling Sakti berkelebat cepat menerjang sang Resi dengan pisau dikibaskan. Namun sebelum pisau itu mengenai tubuh sang Resi, tiba-tiba Suto Sinting bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah dilepaskan dari busurnya itu.

Zlaaap...! Duuusss...!

Kakinya berhasil menendang lengan Maling Sakti. Tubuh itu tersentak ke samping sehingga ketika tangannya berkelebat mengibaskan pisau, yang terkena pisau adalah dinding cadas di samping Resi Pakar Pantun. Jraaasss.,.! Namun lutut Maling Sakti menyentak maju dan tepat kenai dada sang Resi yang sedang kesakitan. Duuuhg...!

"Uuhhg...!" sang Resi kian mendelik, hidung dan telinganya mengucurkan darah segar. Sodokan lutut itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang amat besar, mampu memecahkan sebongkah batu marmer yang besarnya seperti kerbau. Jika sang Resi tidak dilapisi tenaga dalam kuat, dada itu pasti jebol seketika dan tak ada ampun lagi bagi keselamatan jiwanya. Untung sang Resi berlapiskan tenaga dalam besar, sehingga dada itu hanya mengalami luka dalam yang cukup parah, ia menjadi sukar bernapas, sekali bernapas tersentak-sentak. Wajahnya makin pucat bagaikan kapas putih.

Maling Sakti sangat marah, sebab mestinya ia sudah berhasil menggoreskan pisau itu ke tubuh Resi Pakar Pantun, tapi karena ditendang Pendekar Mabuk, sasarannya jadi meleset. Maka wajahnya yang merah separo itu semakin bertambah merah lagi. Kini Suto Sinting yang menjadi sasaran kemarahannya, karena ia tahu bahwa sang Resi sudah terluka parah dan mudah untuk dibereskan.

"Akhirnya kau ingin minta giliran juga, Suto Sinting!"

"Aku hanya menyelamatkan orang yang memang berhak memiliki pusaka itu!"

"Tak perlu banyak mulut, terimalah pisau maut ini! Hiaaah...!"

Maling Sakti melompat menerjang Pendekar Mabuk. Pisaunya berkelebat merobek tangan sang pendekar tampan. Tapi gerakan tangan Pendekar Mabuk cukup gesit. Dengan sedikit bergeser ke kanan, pisau itu berhasil membentur bumbung tuak sakti.

Blaaarrr...!

Benturan pisau dengan bumbung tuak mengakibatkan ledakan besar yang mementalkan tubuh Pendekar Mabuk. Tubuh itu kontan ke samping dan kepala sang pendekar tampan membentur batang pohon. Duuurr...! Pohon besar itu berguncang, daunnya berjatuhan karena mendapat benturan hebat dari kepala Suto Sinting. Mestinya kepala itu pecah, sedikitnya bocor karena benturannya sangat kuat. Tapi karena kepala itu juga dialiri tenaga dalam, maka yang dialami Suto Sinting hanya pusing dan berkunang-kunang. Pandangan matanya sedikit kabur.

Sedangkan tubuh Maling Sakti terpelanting membentur batu hingga batu itu mengalami keretakan di beberapa tempat. Tapi Maling Sakti bagaikan tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia cepat bangkit dan segera menyerang Suto lagi.

"Heaaat...!" ia berlari sebentar, lalu melompat sambil mengibaskan pisau ke punggung Suto Sinting yang tengah berusaha bangkit membelakangi.

"Sutooo...! Awaaass...!" teriak Teratai Kipas.

Suto Sinting mendengar jelas teriakan itu. Ia segera berbalik dan kakinya bergerak memutar. Plook...! Dengan tubuh condong ke kiri, kaki itu berhasil menendang wajah Maling Sakti sangat kuat. Akibatnya pisau itu tak sempat bergerak merobek kulit punggung Pendekar Mabuk. Tubuh si Maling Sakti jatuh ke samping dan berguling-guling.

Pendekar Mabuk melompat jauhi lawannya. Tubuhnya bergerak limbung bagaikan orang mabuk yang hampir jatuh. Tapi sebenarnya itulah jurus aneh milik Suto Sinting. Kadang menukik, kadang menggeloyor ke samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke belakang dan tepat kenai wajah Maling Sakti yang baru saja hendak bangkit.

Plaaak...!

Mau tak mau kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan membentur batang pohon jati dengan keras. Duuuhg...! Pohon itu bergetar karena kuatnya benturan. Tapi kepala Maling Sakti tetap utuh, tanpa luka ataupun lecet sama sekali. Bahkan ia bagaikan tak merasakan pusing sedikit pun, terbukti dapat bangkit dengan segera.

Suto Sinting cepat-cepat tenggak tuaknya. Glek, glek..! Cukup dua tegukan, sisanya disimpan di mulut. Karena pada waktu itu, Maling Sakti telah datang menyerangnya dengan pisau dihunjamkan ke dada Suto Sinting. Maka, kaki Suto segera menghentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara tepat pada saat pisau itu menghunjam.

Wuuut...!

Bruuusss...! Tuak di mulut disemburkan ke arah tangan yang memegang pisau. Tapi yang terkena semburan tuak bukan tangan saja, melainkan kepala Maling Sakti pun basah oleh air tuak. Jurus 'Sembur Siluman' dipergunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu membuat Maling Sakti terbelalak kaget dan terbengong-bengong. Pisau Tanduk Hantu lenyap dari tangannya. Lenyap tak berbekas apa pun kecuali sarungnya yang masih terselip di pinggang.

"Bangsat...?! Mana pisauku?! Mana pisau itu?!" Maling Sakti mencari-cari ke rerumputan, disangkanya pisau itu jatuh tak disadarinya. Padahal pisau itu lenyap, karena jurus 'Sembur Siluman' memang berguna melenyapkan benda apa pun yang disemburnya.

"Pisaumu telah lenyap! Tak akan bisa kau temukan lagi, karena jurus 'Sembur Siluman'-ku bertugas melenyapkan apa saja yang berhasil kusembur dengan tuak saktiku! Menyerahlah dan sadarlah, Maling Sakti! Di atas kekuatanmu masih ada kekuatan lain yang lebih tinggi, yaitu kekuatan Yang Maha Kuasa..."

"Persetan dengan celotehmu! Kalau kau tidak mengembalikan pisau itu, kuhancurkan kepalamu sekarang juga, Suto!" bentak Maling Sakti, ia tampak marah besar. Tangannya mulai membentuk cakar harimau, ia akan lepaskan jurus andalannya.

Namun sebelum itu, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat menghantam punggungnya. Sinar itu datang dari suara tepukan tangan Resi Pakar Pantun yang agaknya menghabiskan sisa tenaganya untuk mencoba tumbangkan si Maling Sakti. Sinar biru itu melesat cepat menghantam punggung Maling Sakti.

Claap...! Blaaarrr...!

Sinar menyilaukan mengembang. Asap mengepul membungkus tubuh Maling Sakti. Suto Sinting terpental mundur dua tindak, merapat di pohon. Tak lama kemudian terdengar suara merintih tertahan dari dalam kepulan asap itu. Angin bertiup menerbangkan kepulan asap, maka terlihat jelas sosok Maling Sakti yang amat menyedihkan. Tubuhnya terkelupas, pakaiannya compang-camping, hangus terbakar. Mulutnya keluarkan darah segar, demikian pula hidung dan telinganya. Daging tubuhnya tampak tersayat-sayat mengerikan, ia masih mencoba bertahan, tapi akhirnya tak kuat juga dan jatuh terkapar dengan erangan memanjang.

"Uuugghh...!"

Rupanya jurus 'Sembur Siluman' bukan saja melenyapkan Pisau Tanduk hantu namun juga melenyapkan kekuatan Batu Sembur Getih yang membuat kebal tubuh Maling Sakti. Akibat hilangnya kekebalan itu, maka kilatan cahaya biru dari jurus 'Tepuk Amai-amai' milik Resi Pakar Pantun itu telah berhasil menghancurkan raga si Maling Sakti. Bahkan dua helaan napas setelah si Maling Sakti jatuh, Suto Sinting yang mau mengobatinya dengan tuak menjadi terhenti langkahnya. Maling Sakti hembuskan napas terakhir, untuk kemudian tak mampu bernapas selama-lamanya. Ia mati dalam keadaan raganya hancur mengerikan.

Pendekar Mabuk segera menolong Resi Pakar Pantun dengan tuaknya. Kadal Ginting pun nyaris terlambat jika Suto tidak segera menuangkan tuak ke mulut si pelayan Resi Pakar Pantun itu. Ketika keadaan mulai membaik, Resi Pakar Pantun pun berkata kepada Suto Sinting,

"Celana kolor digelar di atas meja."

"Sudah, sudah..., pantunnya nanti saja," kata Pendekar Mabuk melihat napas sang Resi masih belum teratur. "Sekarang istirahatkan dulu ragamu, juga otakmu, supaya lukamu lekas sembuh dan tenagamu pulih kembali."

"Terima kasih atas bantuanmu... tapi, bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu?"

"Apakah kau masih ingin agar pisau itu menjadi sumber bencana bagi orang yang tak bersalah?"

Resi Pakar Pantun diam, menenangkan engahan napasnya. Teratai Kipas berkata kepadanya, "Relakan saja pisau itu lenyap daripada menjadi sumber bencana, tak urung kau juga yang menanggung dosanya, karena kau pewarisnya!"

"Ya sudahlah...," ujar sang Resi. "Celana kolor buat membungkus cincin. Golok tajam jangan dipakai gosok gigi. Rupanya tak ada lagi pilihan lain. Demi perdamaian manusia kurelakan pusaka itu pergi."

Kadal Ginting ikut-ikutan bermain pantun, karena ia merasakan badannya mulai segar kembali. "Celana kolor terbang ke angkasa, Disambar burung, burungnya mati..."

Karena lama tak ada lanjutannya, Resi Pakar Pantun melirik pelayannya yang ada di samping dan bertanya, "Lanjutannya bagaimana?"

"Saya hanya ingin kasih tahu ada burung goblok. Sudah tahu celana kolor masih saja disambar, akhirnya menutupi mata dan ia menabrak pohon! Mati!"

Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tertawa. Lebih geli lagi melihat kepala Kadal Ginting dikeplak oleh sang Resi.

Ploook!

"Hargailah pantun supaya umurmu panjang!"

"Apa hubungannya, Eyang?"

"Tidak ada!" jawabnya dengan kesal, dan itulah canda sang Resi yang merasa beruntung bertemu dengan Pendekar Mabuk yang ilmunya dianggap ilmu gila-gilaan. Tapi diam-diam sang Resi merasa kagum melihat sikap Suto Sinting yang tak mau gegabah membunuh lawan walau dengan mudah hal itu bisa dilakukan pada saat Maling Sakti kehilangan pisaunya tadi.

"Bukan manusianya yang dibunuh, tapi kejahatannya yang wajib dimatikan!" itulah pedoman Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak yang punya tugas menjadi penegak kebenaran di rimba persilatan.

SELESAI

Pisau Tanduk Hantu

Serial Pendekar Mabuk
Pisau Tanduk Hantu
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
GUNUNG Kundalini dilapisi kabut tebal. Kabut pembawa hawa dingin itu menyelimuti puncak gunung. Dari gumpalan kabut tersebut muncul sesosok tubuh berlari menuruni lereng terjal. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam waktu singkat ia sudah mencapai kaki gunung tersebut.

Orang yang meluncur dari puncak gunung tersebut ternyata seorang wanita muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat dari usia tersebut. Ilmu awet ayu dan awet muda membuatnya tampak tetap segar, cantik, dan menggairahkan setiap lelaki.

Ia mengenakan pakaian model angkin ketat dan celana ketat warna ungu berhias benang emas. Dadanya yang sekal tampak mencuat mau keluar dibungkus pinjung ungu ketat itu. Gumpalan daging pada belahan dada terlihat mulus, membuat pria mana pun menelan ludah sendiri jika melihatnya. Pakaian menantang saraf lelaki itu dibungkus dengan jubah lengan panjang yang longgar berwarna ungu tua tanpa kancing. Pedang di punggungnya dibungkus pula oleh kain beludru warna ungu.

Siapa lagi tokoh cantik yang gemar berpetualang dengan pakaian serba ungu itu kalau bukan Pelangi Sutera alias Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang juga bekas panglima negeri dasar laut: Ringgit Kencana. Perempuan ini bukan perempuan sembarangan. Kesaktiannya cukup tinggi, karena ia menerima warisan seluruh ilmu yang ada pada diri seorang pertapa sakti kala ia menjadi pelayannya. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana.

Kesaktiannya itu membuat ia dikenal di kalangan tokoh tua berilmu tinggi, karena sebenarnya Sumbaruni adalah tokoh sakti yang masuk dalam aliran putih. Jika ia mau membuka perguruan sendiri, maka muridnya ditanggung banyak kaum lelaki. Tapi ia tidak mau membuka perguruan. Ilmunya hanya akan diturunkan kepada anaknya yang semata wayang, yaitu Logo. Anak jin yang bertubuh tinggi besar, berbadan kekar, gundul berkuncir tengah melengkung ke belakang, kegemarannya hanya mengenakan cawat, selebihnya polos tapi tidak merangsang. Kasih sayangnya kepada anak tunggalnya itu membuat Sumbaruni enggan mewariskan ilmunya kepada siapapun.

Tetapi kesaktiannya itu pernah dilumpuhkan oleh 'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menjadi kecil, semakin lama semakin seperti bocah. 'Racun Ludah Naga' adalah milik Syakuntala, Panglima Tanah Hindus, utusan Raja Kulana Baham. Ketika Syakuntala mengadu pertarungan dengan Pendekar Mabuk; Suto Sinting, Sumbaruni mendahului menyerang Syakuntala sebagai pembelaan diri dan unjuk kesetiaan terhadap Suto, sebab sebenarnya ia menyimpan hati dan cinta terang-terangan kepada si pendekar tampan muridnya Gila Tuak itu.

Saat melakukan pertarungan itulah, Sumbaruni terkena 'Racun Ludah Naga'. Tubuhnya makin lama semakin menyusut. Obatnya hanya dengan menelan Telur Mata Setan. Pendekar Mabuk-lah yang berusaha mencari Telur Mata Setan ke Gunung Kundalini. Dengan didampingi Teratai Kipas yang sebenarnya anak raja dari negeri Majageni itu, akhirnya Telur Mata Setan berhasil diperoleh Pendekar Mabuk, walaupun ada pihak lain yang menginginkannya, yaitu Resi Pakar Pantun, gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan yang juga terkena 'Racun Ludah Naga'.

Tetapi bagaimanapun Pendekar Mabuk lebih beruntung dan dapat membawa Telur Mata Setan ke pesanggrahan Nyai Guru Betari Ayu, di puncak Gunung Kundalini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Racun Gugah Jantan).

Setelah meminum Telur Mata Setan yang berisi cairan hijau manis, dan hanya bisa dilubangi dengan sinar tenaga dalam dari Suto Sinting itu, Sumbaruni yang sempat menjadi bocah cilik seperti berusia dua tahun kurang itu segera tertidur nyenyak. Pengaruh cairan hijau dalam telur berkulit kuning emas itu membuat Sumbaruni tertidur selama sehari semalam penuh.

Pada saat ia tertidur itulah tubuh kecilnya mengalami perubahan semakin besar, semakin menjadi dewasa, dan akhirnya menjadi seperti semula. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia telah menemukan tubuhnya pulih kembali, lengkap dengan kecantikannya dan kepadatan dadanya yang montok menggemaskan itu.

"Di mana Suto Sinting sekarang, Betari Ayu?" tanyanya kepada Nyai Guru Betari Ayu yang dalam urutan usia tergolong lebih muda dari Sumbaruni.

"Suto Sinting telah pergi," jawab Betari Ayu dengan kalem dan bijak.

"Mengapa dia tinggalkan diriku di puncak gunung ini? Lelaki macam apa dia itu? Tidak tanggung jawab! Bawa-bawa anak orang kemari lalu ditinggalkan begitu saja?! Apa dia sangka aku ini barang titipan?!" Sumbaruni ngomel dan menggerutu tak jelas bedanya.

Betari Ayu yang berpenampilan anggun dan tenang, namun nilai kecantikannya tak kalah dengan Sumbaruni itu hanya senyum-senyum saja. Ia tahu Sumbaruni sewot karena ia merasa ditinggalkan Suto. Padahal Sumbaruni suka sama Suto. Sedangkan Suto dijamin tidak punya cinta untuk Sumbaruni, sebab Betari Ayu sang pertapa itu yakin bahwa Suto hanya punya cinta kepada seorang penguasa Puri Gerbang Surgawi yang amat cantik jelita; Dyah Sariningrum, adik Betari Ayu sendiri. Tapi toh Betari Ayu tidak banyak cemburu dan curiga kepada hubungan Suto dengan Sumbaruni.

"Cinta bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja, juga oleh siapa saja. Cinta yang tumbuh bukan suatu kesalahan, karena cinta adalah bagian dari naluri dan kodrat. Sukar diatur pertumbuhannya. Setiap manusia punya benih cinta yang sewaktu-waktu dapat tumbuh merimbun indah. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti hakikat dari sebuah cinta yang sejati. Hanya adikku yang tahu persis hakikat cinta yang sejati, sehingga layaklah ia dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati," tutur Betari Ayu di depan murid setianya; Selendang Kubur.

Pada waktu itu Sumbaruni berada di pekarangan, lalu masuk lagi dan menemui Betari Ayu. "Ke mana perginya si pemuda sinting itu?"

"Mengantar Teratai Kipas ke Negeri Majageni!"

"Brengsek!" sentaknya menggeram. Rasa cemburu tumbuh di hati Sumbaruni. "Untuk apa dia mengantar gadis itu? Mengapa harus ke Majageni segala?"

"Karena Teratai Kipas ternyata putri raja Majageni yang bernama Prabu Wiloka. Gadis itu harus pulang untuk kelak mewarisi takhta kerajaan tersebut," kata Betari Ayu dengan jujur, karena dia adalah wanita yang tak pernah berbohong, terutama semenjak menjadi seorang guru di Perguruan Merpati Wingit. Apalagi sekarang ia sudah menjadi pertapa di pengasingannya, ia sama sekali pantang melakukan kebohongan. Melakukan pertarungan pun sudah tak mau.

"Aku akan menyusul ke Negeri Majageni dan mengobrak-abrik istananya!" kata Sumbaruni dengan kecemburuan berapi-api.

"Tak perlu bersikap begitu," kata Betari Ayu lembut sekali. "Kecemburuan jika tidak dikendalikan akan menjadi mata pedang yang tertajam bagi leher kita sendiri."

"Ah, tidak peduli! Pokoknya aku harus menyusul Suto Sinting kesana!"

"Menyusul itu boleh-boleh saja, tapi tak perlu buat keonaran di sana. Kasihan prajurit Majageni yang tidak punya kecemburuan jadi korban juga."

Itulah sebabnya Sumbaruni terburu-buru menuruni lereng gunung untuk mengejar Suto Sinting. Harapannya bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk itu di perjalanan, sehingga ia akan cegah si Pendekar Mabuk untuk tidak mengantarkan Teratai Kipas sampai ke Majageni.

Banyak wanita yang tergila-gila dengan Suto Sinting dan menjadi benar-benar sinting. Tapi yang sintingnya kelewat batas hanya ada dua wanita; Sumbaruni dan Angin Betina. Kecemburuannya sangat tinggi, nyawanya siap dikorbankan demi kecemburuan dan kesetiaan. Kepada dua wanita itu Pendekar Mabuk sudah berterus terang bahwa ia tak bisa membalas cinta dan kemesraan mereka, yang dapat dilakukan hanya persahabatan yang amat erat. Kepada keduanya juga sudah dijelaskan bahwa Suto Sinting hanya mencintai satu wanita di dunia yaitu Dyah Sariningrum. Tetapi mereka berdua tetap nekat mencintai Suto Sinting.

Cinta itulah yang dianggap cinta asmara sinting yang tak mau tahu kepada siapa hati Suto tertuju penuh kesetiaan. Mereka hanya berharap, moga-moga diperjalanan cinta Suto kandas dan beralih kepada mereka. Padahal Suto Sinting yakin betul bahwa cintanya kepada Dyah Sariningrum tak akan kandas di tengah jalan.

Ketika Teratai Kipas menanyakan padanya, "Apakah betul kau akan menikah dengan Dyah Sariningrum?"

Suto Sinting menjawab, "Ya. Tapi aku harus kalahkan dulu Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang tak akan insaf itu. Kepala tokoh sesat yang amat keji itulah maskawin yang akan kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum."

"Bagaimana jika kau gagal memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa?"

"Tak akan gagal!" jawab Suto penuh keyakinan. "Cepat atau lambat, Siluman Tujuh Nyawa harus dibinasakan agar tidak mengganggu kedamaian di muka bumi ini!"

"Apakah kau tak ingin beralih kepada perempuan lain?"

"Mengapa kau tanyakan begitu?"

"Sekadar ingin tahu, sebagai bekal jawabanku nanti kepada ayahku."

"Ada apa dengan ayahmu?"

"Dia ingin punya menantu sepertimu!" jawab Teratai Kipas terang-terangan.

"Kalau begitu kau harus mencari seorang calon suami yang berjiwa sepertiku; artinya memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan. Jangan mencari calon suami yang beraliran hitam!"

"Ya, aku akan mencarinya walau hal itu sangat sulit!"

Suto Sinting tertawa kecil. "Tidak sulit kalau kau mau tekun mencarinya. Di muka bumi ini bukan hanya aku pendekar beraliran putih yang punya ilmu tinggi dan berbudi baik. Bahkan ada yang lebih sakti dariku, ada yang lebih baik dariku, ada yang lebih tampan dariku."

"Tapi tidak ada yang lebih sinting darimu!" sahut Teratai Kipas sambil tertawa, Suto Sinting pun melepas tawa wibawa yang menawan hati.

Mereka melangkah menyusuri pantai, karena jalan tercepat sedikit hambatan untuk menuju Majageni adalah melalui jalan pantai. Tapi karena terik matahari membakar bumi tidak tanggung-tanggung, Suto Sinting memberi usul untuk beristirahat di bawah pohon rindang di depan langkah mereka itu. Teratai Kipas setuju karena semakin lama berjalan dengan Suto Sinting semakin lama pula ia menyimpan kebanggaan dalam hatinya.

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya beberapa teguk untuk menghapus dahaga. Teratai Kipas sudah mulai terbiasa meminum tuaknya Suto yang sebenarnya tidak memabukkan itu. Tuak tersebut tersimpan dalam bumbung bambu yang punya kadar tenaga sakti tersendiri, sehingga membuat tubuh menjadi segar, membuat luka menjadi cepat hilang, namun tidak membuat mabuk. Teratai Kipas juga meneguknya beberapa kali, dan badannya terasa lebih segar, rasa lelahnya hilang.

"Lama-lama aku akan ketagihan tuakmu kalau begini caranya," kata Teratai Kipas yang mempunyai nama asli Roro Padmi Wulintang.

"Carilah aku di rimba persilatan jika kau rindu dengan tuakku," kata Suto Sinting sambil duduk di atas batu sebatas lutut.

Teratai Kipas ingin mengatakan sesuatu namun urung karena ada suara yang didengar oleh mereka.

"Pendekar muda... tolonglah aku!"

Suara itu sangat jelas didengar oleh telinga mereka. Tapi mereka bingung mencari suara tersebut. Siapa yang bicara, dari mana arahnya, masih belum jelas. Suto Sinting hanya pandangi Teratai Kipas dan berkata pelan, "Apakah aku tidak salah dengar?"

"Aku sendiri mendengar suara orang minta tolong padamu. Tapi di mana orangnya? Akan kuperiksa di kerimbunan pohon sebelah sana...!"

Baru saja Teratai Kipas hendak bergerak tiba-tiba suara itu terdengar lagi, kali ini arahnya justru berlawanan dengan arah yang hendak dituju oleh Teratai Kipas.

"Aku di sini, Pendekar Muda. Tolonglah aku...!"

Pendekar Mabuk celingak-celinguk mencari sumber suara. Tak ada manusia di sekeliling mereka. Yang ada hanya gugusan batu-batu pantai, ada yang tingginya sampai sebatas dada manusia dewasa, ada yang hanya setinggi mata kaki saja. Suto Sinting penasaran hingga melompat ke atas batu yang agak tinggi. Wuuut...! Jleeg...! Dari ketinggian itu ia memandang sekeliling mencari si pemilik suara, tapi ia tidak menemukan siapa- siapa di sana.

"Apakah kau melihat seseorang di balik bebatuan sana?" tanya Teratai Kipas yang masih ada di bawah.

"Tidak ada siapa pun di sana-sini!"

Wuuut...! Suto Sinting pindah ke batu lain dengan lompatan yang amat cepat karena menggunakan ilmu peringan tubuh. Dari batu ke batu ia melompat mencari sumber suara tadi, namun hasilnya tetap nihil. Ia kembali berada di depan Teratai Kipas. Gadis yang mengenakan pakaian sebatas dada warna hijau muda dan dibungkus jubah kuning kunyit itu sengaja pandangi Suto Sinting dengan curiga. Lalu ia berkata pelan dalam jarak satu langkah dari hadapan Suto Sinting.

"Jangan-jangan kau yang bikin lelucon sekonyol ini?"

"Apakah kau pikir mulutku bergerak saat kita mendengar suara tadi? Perhatikan saja mulutku terus."

"Aku tidak mau," jawab Teratai Kipas sambil tersenyum.

"Kenapa?"

"Semakin lama memperhatikan bibirmu semakin gemetar tubuhku."

"Apa sebabnya?"

"Ingat bibir kekasihku yang telah tiada."

Suto Sinting tersenyum. "Apakah bibirku sama dengan bibir kekasihmu?"

"Justru jauh berbeda, makanya aku jadi ingat dia!" Jawab Teratai Kipas seenaknya saja dalam menjawab. Padahal yang benar bibir Suto jika terlalu lama dipandang terlalu cepat hadirkan debar-debar keindahan hati yang akan menuntut batin untuk mengecupnya pelan-pelan. Teratai Kipas tak mau terpikat, karena ia tahu tak akan mendapatkannya walau sekejap pun.

Suara aneh terdengar lagi pada saat Teratai Kipas kepergok senyuman Suto Sinting yang menawan hati itu. "Pendekar muda, hentikan kemesraanmu, tolonglah aku! Tolonglah...!"

Sekali lagi Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tengok sana-sini dan tetap tak ada manusia lain kecuali mereka berdua. Di laut hanya ada ombak yang tidak terlalu besar. Tak ada manusia berdiri di atas gelombang lautan. Akhirnya Suto Sinting mencoba bicara dengan si pemilik suara itu.

"Apakah kau mendengar suaraku juga?"

"Aku sangat mendengarnya, Pendekar Muda!"

Jawaban itu membuat Suto kembali beradu pandang dengan Teratai Kipas. Kemudian Pendekar Mabuk berbisik, "Jangan-jangan ada orang yang menggunakan Ilmu 'Suara Gaib', yaitu bicara dari jarak jauh melalui getaran angin."

"Apakah ilmu semacam itu memang ada?"

"Ya. Ada beberapa tokoh tua yang dulu mempunyai ilmu itu. Ada yang sudah hilang, ada yang masih menjaga keutuhan suara seperti itu. Salah satu di antaranya adalah Palupi, yang dulu dikenal dengan nama Tandu Terbang, murid dari Pendeta Arak Merah dari Tibet."

Rupanya percakapan itu didengar oleh seseorang yang tadi bicara, sehingga orang itu berkata kepada Suto Sinting, "Aku tidak memiliki ilmu 'Suara Gaib' seperti itu, Pendekar Muda! Aku ada di dekatmu. Di pantai ini juga!"

Tentu saja kata-kata itu membuat Suto dan Teratai Kipas sama-sama terperanjat. Mereka kembali tengok sana-sini, namun tetap saja tak melihat sesosok manusia lain di situ.

"Suaranya jelas suara lelaki tapi wujudnya tak bisa kulihat?" bisik Teratai Kipas. "Cobalah bicara terus dengannya aku akan melacak sumber suara tersebut. Pancing dia agar jangan berhenti bicara."

Suto Sinting mengangguk. Terdengar suara Suto bicara tak jelas arah pandangannya. "Siapa namamu, Sobat?"

"Aku yang berjuluk Bancak Doya!"

"Apakah kau mengenalku juga?"

"Tidak. Tapi melihat perawakanmu aku yakin kau seorang pendekar budiman."

"Kau terlalu memujiku, Bancak Doya! Kalau boleh kutahu, kau orang mana? Apa nama perguruanmu?"

"Aku ketua Perguruan Beruang Maut."

"O, ketua perguruan?! Lantas apa maksudmu mendatangiku dengan keadaan tak mau menunjukkan dirimu, Bancak Doya?"

Sementara itu, Teratai Kipas berjalan pelan-pelan menyusuri datangnya suara Bancak Doya itu. Semakin ke arah pantai semakin jelas suara yang didengarnya. Terdengar pula Bancak Doya berkata,

"Aku bukan tak mau menunjukkan diriku, tapi... Inilah kesulitanku, Pendekar Muda. Justru itu aku ingin minta tolong padamu."

"Apa yang harus kuperbuat untuk menolongmu?"

"Sempurnakanlah kematianku."

"Apa...?!" Suto Sinting terkejut.

Teratai Kipas berlari mendekati Suto dengan tegang. Kedua wajah tegang itu saling beradu pandang. Teratai Kipas berbisik, "Kulihat bayangannya di balik batu itu. Tapi tak ada wujud manusianya."

"Dia sembunyi di batu yang lain!" bisik Suto juga.

"Tidak ada. Yang kulihat hanya bayangannya ditanah."

Suto Sinting bergegas ke tempat yang dimaksud Teratai Kipas. Matanya memandang ke arah pasir pantai. Di sana memang ada bayangan manusia berdiri. Tapi wujud manusia itu sendiri tidak terlihat mata mereka. Orang yang tampak bayangannya itu bertubuh kurus dan agak jangkung. Benarkah begitu? Suto Sinting memandang ke langit karena menduga orang itu ada di angkasa atau di atas pohon. Mungkin saja berdiri di atas selembar daun.

"Aku tidak terlihat, Pendekar Muda," kata suara Bancak Doya, kali ini amat dekat dengan Suto Sinting, seakan ada di samping kanannya.

Suto yang terheran-heran segera menyipitkan mata untuk memandang sesuatu yang mungkin tak bisa terlihat oleh mata telanjang. Tetapi sesuatu itu tidak ada dalam pandangannya. "Bancak Doya, apa sebenarnya yang terjadi pada dirimu?" tanya Suto.

"Kematianku tidak sempurna, Pendekar Muda. Tolonglah sempurnakan kematianku agar tak membuatku bergentayangan begini."

Teratai Kipas bergidik merinding, tapi ia ikut bertanya, "Kematian yang bagaimana sebenarnya? Maukah kau menceritakannya kepada kami?"

Untuk sesaat yang terdengar hanyalah debur ombak siang. Bayangan hitam di pasir pantai bergerak. Lama-lama bayangan itu lenyap tak berbekas.

"Bayangannya hilang?!" ucap Teratai Kipas dengan nada heran dan tegang.

Tapi suara Bancak Doya terdengar kembali, "Aku ada di bawah pohon, jadi bayanganku tak terlihat, Nona. Jika aku di bawah terik matahari maka bayanganku akan timbul lagi."

"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto Sinting mulai menenangkan diri.

"Aku tidak tahu mengapa bisa begini, yang jelas aku merasa telah mati akibat suatu pertarungan."

"Kau bertarung melawan siapa, Bancak Doya?"

Suara yang bernada tua tapi belum terlalu lanjut usia itu terdengar lagi, "Seorang pencuri ingin menjarah harta pusakaku. Aku melawannya, tapi ilmunya cukup tinggi. Tenaga dalamnya besar sekali. Lima anak buahku mati dalam satu gebrakan. Aku sendiri berhasil dilumpuhkannya."

"Bagaimana caranya mengalahkan dirimu? Bukankah kau ketua perguruan? Berarti ilmumu tinggi."

"Pencuri itu mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Dia menikamkan pisaunya ke punggungku. Sebenarnya tak terlalu parah. Tikamannya sempat kuhindari, tapi punggungku tergores pisau itu. Dan tahu-tahu aku tak bisa menyentuh benda apa pun. Aku melarikan diri menabrak pohon. Tapi pohon itu ternyata bisa kutembus dengan tubuhku. Aku terkejut, lalu menyadari bahwa sisa anak buahku tak bisa melihatku lagi. Mereka menganggapku telah mati tanpa meninggalkan jasad. Mayatku tak ada, sehingga mereka tak bisa menguburku."

Nada suara itu kian lama semakin terdengar mengharu. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam, demikian pula Teratai Kipas. Setelah diam beberapa saat Suto Sinting berkata, "Menyedihkan sekali nasibmu. Tapi kau bisa melihatku dengan jelas?"

"Jelas sekali," jawab Bancak Doya. "Selama tujuh hari beberapa orang masih bisa melihatku, namun tak bisa menyentuhku, juga tak bisa kusentuh. Aku seperti bayangan tanpa raga. Lewat dari tujuh hari barulah mereka merasa kehilangan aku, dan aku hanya bisa melihat bayanganku. Aku berusaha mencari kesempurnaan dalam kematianku, tapi tak seorang pun mampu menyempurnakan kematian ini. Jika kau bisa, tolonglah aku, Pendekar Muda! Sempurnakan kematianku ini jika memang aku harus mati, dan jika memang aku masih hidup, pulihkanlah keadaanku seperti semula."

"Aku...," Suto Sinting diam sebentar, seperti ragu mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian barulah ia berkata, "Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan untuk dirimu, Bancak Doya. Tapi... sebaiknya akan kucoba menggunakan Ilmu 'Sembur Siluman' yang kumiliki! Bergeraklah kebawah sinar matahari biar kulihat bayanganmu."

Maka terdengarlah suara napas Bancak Doya yang bergerak menuju tempat panas. Bayangannya terlihat dibatu setinggi dada. Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut. Tuak yang di mulut segera disemburkan ke arah bayangan yang menempel pada batu itu.

Bwwruus...!

Bayangan itu lenyap. Suto Sinting dan Teratai Kipas menunggu kemunculan wujud raga Bancak Doya, tetapi hingga beberapa saat wujud raga itu tak terlihat. Suto Sinting mencoba bertanya, "Bancak Doya, kau masih melihatku?!"

Tak ada jawaban, tak ada suara. Suto Sinting heran dan bertanya dalam hati, "Mungkinkah kematiannya telah menjadi sempurna?"

* * *

DUA
NAPAS Sumbaruni terengah-engah. Bukan karena lelah berlari menyusul Pendekar Mabuk, tapi karena diburu oleh kecemburuan yang membuatnya terpaksa menahan napas, menahan kemarahan sendiri. Ia berhenti pada satu ketinggian tebing. Dari atas tebing landai itu ia dapat memandang ke bawah, mencari kemungkinan kelebatannya si pendekar tampan itu. Tapi yang dicari tidak kelihatan selintas bayangannya pun.

"Mungkinkah mereka sudah sampai ke Istana Majageni? Apakah Teratai Kipas juga mampu imbangi gerak lari cepatnya Pendekar Mabuk? Hmm... menurut teropong batinku, Teratai Kipas tidak mampu imbangi kecepatan Suto Sinting. Aku sendiri sering tertinggal jika mengikuti gerak larinya yang sinting itu!" pikir Sumbaruni sambil menatap kesana-sini.

Kejap berikut wanita yang masih tampak muda dan cantik itu terperanjat oleh suara langkah kaki yang berhenti di belakangnya, ia buru-buru palingkan wajah sambil siap-siap lepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi niat melepaskan pukulan jarak jauh tertahan begitu tahu siapa orang yang muncul di belakang.

"Celana kolor masuk ke tungku. Hangat sebentar disangka nasi. Kalau tak salah dugaanku. Engkaulah si cantik Sumbaruni."

Napas bekas istri jin itu terhempas lega. Ternyata orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal Sumbaruni sejak dulu. Di belakang sang Resi berdiri seorang lelaki kurus pendek berusia sekitar empat puluh tahun. Sumbaruni mengenal lelaki itu yang tak lain adalah pelayan si Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting, (Tentang Resi Pakar Pantun, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Telur Mata Setan).

"Apa maksudmu menemuiku di sini, Pakar Pantun?!"

"Hanya kebetulan saja," jawab sang Resi dengan santai. "Aku mencari si Malaikat Miskin. Dia lari dari pertarungannya denganku. Apakah kau melihat gelagat si Malaikat Miskin, Sumbaruni?"

"Tidak," Jawab Sumbaruni pendek dan tegas. Tapi hati Sumbaruni segera membatin, "Resi Pakar Pantun mencari Malaikat Miskin? Ada persoalan apa sehingga Malaikat Miskin dibuatnya lari terbirit-birit?"

Terdengar suara sang Resi bicara pada Kadal Ginting, "Rupanya musuh kita lari ke liang semut, Kadal Ginting!"

"Tak boleh dibiarkan begitu saja, Eyang Resi! Harus dicari sampai dapat daripada kelak bikin duri dalam hidup kita setelah kita mendapatkan Telur Mata Setan!"

Sumbaruni terperanjat dalam hatinya. Ia segera ingat bahwa Resi Pakar Pantun juga mencari Telur Mata Setan untuk sembuhkan sakit muridnya yang juga terkena 'Racun Ludah Naga' itu. Maka dengan cepat Sumbaruni berkata,

"Jika kalian ingin mencari Telur Mata Setan, sama saja kalian mencari bulu angin. Artinya, apa yang kalian cari tidak akan kalian dapatkan, karena Telur Mata Setan sudah kutelan dan membuatku menjadi seperti sediakala begini. Tidakkah kalian tahu bahwa bocah kecil yang digendong Selendang Kubur saat kalian datang ke pesanggrahan Betari Ayu itu adalah aku?"

"Ooo... pantas, pantas...," kata Resi Pakar Pantun. "Aku memang merasa pernah melihatmu belum lama ini, tapi di mana? Dan baru kuingat ternyata kau telah menjadi kecil dan digendong-gendong oleh Suto Sinting serta Selendang Kubur!" Resi Pakar Pantun mangigut-manggut.

Kadal Ginting menyahut kata, "Eyang Resi... kalau begitu kita gagal mencarikan obat penawar racun yang diderita Tuanku Nanpongoh?!"

Wajah tua Resi Pakar Pantun yang berbaju biksu warna abu-abu itu menjadi murung. Kecerahannya pudar berganti selaput duka membias di mata. Mata itu memandang jauh bagai menerawang di gumpalan awan duka. Tak lama terdengar pula suaranya yang lirih, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Celana kolor robek tengahnya. Ditambal nasi masih terbuka jua. Bagaimanapun kita hanya bisa berusaha. Tapi kematian bukan kita penentunya."

Sumbaruni masih diam saja, bagaikan sedang merenungi pantun sang Resi. Tapi kejap berikutnya ia mendengar suara Kadal Ginting yang ikut-ikutan bermain pantun dalam wajah duka pula.

"Celana kolor dibungkus pisang daun. Robek daunnya tinggal pisangnya..." Lalu diam sesaat bagai berpikir.

Resi Pakar Pantun tertarik dan segera bertanya pelan, "Apa maksudmu, Kadal Ginting?"

"Maksudnya yaaah... cuma sekadar memberi tahu kalau pisang itu bisa dibungkus dengan daun. Itu saja!"

Plaaak...!

Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun menampar wajah Kadal Ginting. Tamparan pelan tapi tenaga besar, tak heran membuat Kadal Ginting terjungkal ke samping sambil mengerang kesaakitan.

"Lain kali kalau bikin pantun harus ada artinya!" hardik Resi Pakar Pantun. "Misalnya begini: 'Celana kolor dibungkus pisang daun, robek daunnya tinggal pisangnya. Biar kecewaku sampai ke ubun-ubun, tapi masih ada pikiran untuk tugas lainnya'. Begitu, Tolol!"

"O, jadi begitulah contoh pantun tolol, Eyang Resi?"

"Hmmrrr...!" sang Resi menggeram jengkel karena penjelasannya disalah artikan. Tapi ia segera tidak pedulikan lagi akan kebodohan Kadal Ginting. Matanya menatap Sumbaruni kembali yang sejak tadi ingin tertawa tapi ditahan terus hingga mengulum senyum dan buang muka.

"Sumbaruni, maukah kau membantuku mencari Malaikat Miskin dan muridnya si Menak Goyang?"

"Apa persoalannya?"

"Baru sekarang kuingat bahwa Malaikat Miskin membunuh adikku dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Aku harus membalaskan kematian adikku dan merebut kembali pisau tersebut."

"Itu urusan pribadimu, mengapa kau ingin melibatkan diriku juga?"

"Jujur saja kukatakan padamu, aku belum tahu di mana tempat Malaikat Miskin membangun perguruannya. Daripada aku membuang waktu, lebih baik aku minta bantuanmu untuk mengantarku ke perguruannya. Barangkali saja kau tahu di mana letak perguruan si Malaikat Miskin itu. Tapi jika kau tidak tahu, aku tidak memaksamu dan akan kucari sendiri tempatnya itu."

Sumbaruni diam berpikir, ia masih ingat di mana letak Perguruan Tongkat Sakti yang diketuai oleh Malaikat Miskin itu. Ketika ia berubah menjadi bocah, ia pernah disandera di perguruan itu, sehingga ia masih ingat jalan menuju tempat tersebut. Hal yang dipikirkan Sumbaruni adalah: Haruskah ia ikut terlibat dalam perburuan pusaka Pisau Tanduk Hantu itu?

Menunggu jawaban dari Sumbaruni tak kunjung tiba, Resi Pakar Pantun berkata, "Celana kolor bersulam benang paku. Digondol anjing dibuat jamu. Tak ada ruginya kau menolongku. Hadiah besar kan kuberikan padamu."

Sungging senyum tipis berkesan sinis mekar di bibir manis Sumbaruni. Ia tak begitu tertarik dengan janji sang Resi. Tetapi ia penasaran dan ingin tahu bentuk hadiah yang akan diberikan padanya.

"Apa hadiah yang akan kau berikan padaku? Aku ingin tahu."

Resi Pakar Pantun menjawab, "Kunikahkan kau dengan pelayanku yang ganteng ini; Kadal Ginting!"

"Ah, Jangan begitu, Eyang...!" Kadal Ginting bersungut-sungut malu.

Sumbaruni menarik napas sesak dan berkata, "Apakah kau bicara menggunakan mulut dan pikiran? Atau hanya menggunakan mulut dan gigimu, Pakar Pantun?"

"Mengapa kau tersinggung? Apakah kau tak melihat bahwa wujud Kadal Ginting ini tak berapa jauh bedanya dengan Pendekar Mabuk?"

"Memang tak seberapa jauh, tapi untuk menjangkaunya bagaikan harus uluran tangan dari sini kerembulan. Kau menghinaku jika menawarkan hadiah seperti kepompong retak itu, Pakar Pantun!"

"Jangan menghinaku, Sumbaruni!" bentak Kadal Ginting. "Aku bukan seperti kepompong retak!"

"Maaf, aku jengkel dengan tuanmu itu, Kadal Ginting!" sesal Sumbaruni.

Kadal Ginting segera berpantun, "Celana kolor tersangkut getek. Hanyut terbawa air singgah di benua. Biar begini rupaku yang jelek. Tapi sekali lirik, perawan sedesa ikut semua."

Resi Pakar Pantun sebenarnya ingin tertawa mendengar rangkaian syair pantun itu, tapi karena bayangan kegagalannya kian nyata, rasa tawa itu terpendam amat dalam, rasa murka tumbuh membara. Sasaran murkanya tertuju pada Malaikat Miskin, sehingga ia pun segera berkata kepada Sumbaruni,

"Sumbaruni, aku mempunyai pusaka Jarum Jungkir Juling. Jika kau mau antarkan aku ke tempat Malaikat Miskin, kuberikan Jarum Jungkir Juling kepadamu."

Resi Pakar Pantun segera mengambil pusaka yang dimaksud. Caranya dengan mengurut jari tengah kanannya. Satu kali urut pelan-pelan, dari ujung jari itu muncul sepucuk Jarum warna putih mengkilat. Wut...! Jarum itu dicabut dari ujung jari tengah. Panjang jarum hanya seukuran tinggi kelingking.

"Jarum Jungkir Juling ini," katanya sambil mendekat dan menunjukkan Jarum tersebut, "...jika kau sentakkan dengan menahan napas di dada, maka akan keluar dari ujung jari tengahmu tiada habis-habisnya. Orang yang terkena Jarum Jungkir Juling punya dua kemungkinan; kalau tidak terjungkir langsung mati, ya matanya jadi juling seumur hidup. Tak ada ruginya kau memiliki jarum ini. Hanya dalam keadaan terpaksa saja kau bisa pergunakan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh lawan."

Kepala gadis yang sudah bukan gadis itu manggut-manggut empat hitungan. Suaranya terdengar pelan, bagaikan malas-malasan terucapkan, "Boleh, boleh, boleh... lumayan juga kesaktian jarummu ini, Resi!"

"Akan kuberikan padamu jika kita sudah tiba di depan perguruannya Malaikat Miskin. Aku berjanji dan tak akan ingkar padamu, Sumbaruni!"

Terbayang selintas kekasaran Malaikat Miskin saat Sumbaruni kecil ada di tangannya, yang menangis mencari Suto Sinting tapi justru ditampar mulutnya oleh Malaikat Miskin, maka Sumbaruni pun menyetujui perjanjian tersebut. "Tugasku hanya mengantarmu sampai di perguruan itu, aku tak mau ikut campur di dalamnya!"

"Baik. Begitu saja sudah cukup menolongku!" kata Resi Pakar Pantun.

"Tapi..., tunggu dulu," kata Sumbaruni sebelum mereka bergegas pergi. "Seingatku aku ditawan oleh Malaikat Miskin karena ia menuduh Suto Sinting sebagai pencuri pusakanya. Jadi kurasa Pisau Tanduk Hantu tidak ada di tangan Malaikat Miskin. Pisau itu di tangan seorang pencuri, entah siapa pencurinya. Yang jelas bukan Suto Sinting, sebab kala ia dituduh mencuri pusaka itu, ia ada bersamaku dan mencuri bukan merupakan sifat yang dimiliki oleh Suto Sinting!"

"Pikiranmu masih muda, Sumbaruni. Tak tahukah kau bahwa Malaikat Miskin itu orang licik? Mungkin saja ia sebarkan kabar tentang hilangnya Pisau Tanduk Hantu supaya orang-orang anggap ia sudah tidak berpusaka Pisau Tanduk Hantu. Dengan begitu tak ada orang yang mengusik ketenangannya dalam memiliki pusaka itu. Padahal sebenarnya Pisau Tanduk Hantu masih ada di tangannya, entah disembunyikan dimana!"

"Kalau memang menurut keyakinanmu begitu, terserah. Tapi tugas membawamu sampai di depan gerbang Perguruan Tongkat Sakti akan kukerjakan, dan jika kau ingkar janji tentang Jarum Jungkir Juling itu, kau akan berurusan denganku lebih parah lagi, Pakar Pantun!" ancam Sumbaruni yang merasa masih mampu menandingi kesaktian Resi Pakar Pantun.

Sumbaruni dan Resi Pakar Pantun tak mengerti bahwa kala itu Malaikat Miskin berpisah arah dengan muridnya; Menak Goyang. Sang murid kembali ke perguruan dan kerahkan bala bantuan untuk menyerang Bukit Kopong, sedangkan sang Guru sempatkan diri mencari Suto Sinting dan ingin membujuknya agar ikut membantu menyerang orang-orang Bukit Kopong. Sebab dalam hatinya, Malaikat Miskin punya keyakinan bahwa pencuri pisau pusaka itu dari tangannya adalah salah satu orang Bukit Kopong yang dipimpin oleh Cukak Tumbila, saudara seperguruannya sendiri.

Sedangkan Malaikat Miskin sendiri belum berhasil melacak kepergian Suto Sinting si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu, karena ia salah arah. Ia pergi ke arah barat, sedangkan Suto Sinting dan Teratai Kipas ke utara. Biar sampai buntung semua jari kakinya tidak akan ketemu jika salah satu tidak membelok arah yang sama.

Pendekar Mabuk bukan malah bertemu dengan Malaikat Miskin, melainkan justru bertemu dengan gadis berambut pirang. Jubahnya warna merah jambu transparan, hingga terbayang jelas bagian di balik jubah itu. Pakaian dalamnya hanya menutup bagian dada yang terpenting saja, juga bagian lain yang terpenting. Kain kuning yang menutup bagian terpenting itu hanya seukuran setelapak tangan saja, sisanya tali melingkari tubuh sebagai pengikat kain kuning.

Gadis berambut pirang panjang dan bertubuh elok menantang selera itu tak lain adalah Jelita Bule, anak buah Ratu Rangsang Madu yang pernah diutus untuk mencari Suto Sinting pada saat sang Ratu terkena 'Racun Bulan Madu' dari Nyai Sunti Rahim, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam serial Tabib Darah Tuak).

Melihat pelarian Jelita Bule yang tampak terburu-buru dan masih menggenggam pedang di tangannya, Pendekar Mabuk segera tanggap dan mengetahui adanya kesulitan yang dialami oleh Jelita Bule. Ia segera melesat dan menghadang langkah Jelita Bule. Tentu saja gadis berusia dua puluh tiga tahun yang bermata kebiru-biruan itu terhenti dengan kaget, tapi segera menjadi lega setelah mengetahui orang yang menghadangnya adalah Pendekar Mabuk.

"Oh, syukurlah aku bertemu denganmu, Suto Sinting!" ujar Jelita Bule dengan napas terengah-engah diburu ketegangan. Matanya yang berbulu lentik indah itu melirik Teratai Kipas dengan curiga.

Teratai Kipas sendiri punya cara memandang yang kurang bersahabat, sehingga Suto Sinting terpaksa menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Jelita Bule itu, dan menjelaskan kepada Jelita Bule tentang siapa Teratai Kipas. Hal itu dilakukan Pendekar Mabuk supaya tidak timbul saling salah paham dalam bersikap.

"Tampaknya kau dalam ketegangan yang mencekam, Jelita Bule. Apa yang telah terjadi pada dirimu?" tanya Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya.

"Seseorang ingin membunuhku!" jawab Jelita Bule setelah tarik napas panjang-panjang. Sambungnya lagi. "Sebetulnya aku diutus mencarimu oleh Gusti Ratu Rangsang Madu untuk sampaikan undangan perkawinan beliau. Tapi di perjalanan aku dan Pesona Indah dihadang oleh orang dekil yang ingin perkosa kami berdua. Kami melawan, tapi rupanya orang itu cukup sakti. Akhirnya aku segera melarikan diri, karena merasa ilmuku tak bisa tandingi ilmunya."

"Orang dekil?!" gumam Pendekar Mabuk sambil tundukkan kepala dan kerutkan dahi. Sebentar kemudian ia pandangi Teratai Kipas, seakan ingin minta pendapat pada Teratai Kipas tentang si orang dekil itu. Tapi Teratai Kipas tidak memberikan jawaban apa-apa. Suto Sinting segera bertanya, "Lalu di mana Pesona Indah? Kau tinggalkan?"

"Dia terluka, tapi dia pun lari ke arah lain dan orang itu masih mengejar Pesona Indah. Hanya saja ketika ia melihatku, ia berbalik mengejarku dan aku harus segera selamatkan diri. Dia..." Kata-kata itu terhenti, berubah menjadi kata-kata kaget, "Itu dia!"

Teratai Kipas sempat terlonjak kaget dan cepat pasang kuda-kuda untuk menghadang bahaya, sebab yang dituding Jelita Bule adalah arah belakangnya. Namun ketika Teratai Kipas berbalik ke belakang dan mengetahui yang datang adalah seorang gadis berpakaian tipis membayang seperti Jelita Bule, Teratai Kipas segera yakin bahwa gadis itu pasti teman Jelita Bule yang namanya sedang dipertanyakan oleh Pendekar Mabuk itu.

"Pesona Indah...?! Kau tidak apa-apa?!" Jelita Bule menghampirinya.

Pesona Indah mundur selangkah dan berkata, "Jangan dekati aku!"

Kata-kata itu bernada tegas tapi mengandung kesedihan. Pendekar Mabuk mendekati Jelita Bule yang terhenti seketika dalam jarak empat langkah sebelum mencapai Pesona Indah yang tampak berpakaian dalam warna kuning dan jubah tipisnya warna biru, berwajah mungil cantik, berambut hitam sepundak dengan poni di depan merata rapi.

Mereka heran melihat Pesona Indah yang murung itu tak mau didekati. Jelita Bule segera berkata, "Aku tahu kau terluka. Tapi kurasa kita sudah jumpa dengan Tabib Darah Tuak dan lukamu akan disembuhkan, Pesona Indah. Mengapa kau larang kami untuk mendekatimu?"

"Tuak itu tak ada gunanya lagi bagiku! Tak akan bisa menolongku karena...," Pesona Indah diam, dan akhirnya menangis dengan tundukkan wajahnya.

"Karena apa, Pesona Indah?!" desak Suto Sinting penasaran.

"Karena... karena aku tak bisa menelan tuak lagi," Jawab Pesona Indah bersama tangisnya.

"Aku tak mengerti maksud kata-katamu. Jelaskan, Pesona Indah!" desak Pendekar Mabuk sambil maju dua langkah.

Gadis itu tidak menjawab, tapi ia menghampiri pohon yang ada di sampingnya. Lalu ia menggerakkan tangannya memukul pohon besar itu dengan gerakan lambat sekali. Bluuusss...! Tangan itu menembus pohon. Mata mereka yang memandang menjadi terbelalak kaget dan heran. Mereka semakin tertegun setelah melihat Pesona Indah melangkah dan mampu menembus pohon tanpa mengguncangkan pohon itu sedikit pun. Ia menembus pohon bagai sesosok bayangan tanpa raga.

"Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Pesona Indah?!" gumam Jelita Bule dengan terheran-heran.

"Aku sudah tidak mempunyai raga lagi."

"Kau menjadi manusia tembus pohon?!"

"Lebih parah dari itu, aku tidak bisa menyentuh apa pun. Tak bisa merasakan memegang pedang atau memegang batu. Lihatlah...!" Pesona Indah mengangkat batu seukuran kepalanya, tapi batu itu tidak bisa terangkat karena tidak terpegang oleh Pesona Indah. Tangannya bagaikan bayangan yang dapat menembus batu, sehingga batu itu tak mampu disentuhnya sedikit pun.

"Ya, ampuuun... kau... kau...," Jelita Bule sukar bicara karena tegangnya.

Teratai Kipas yang sejak tadi diam saja dan ikut terheran-heran itu segera tarik napas panjang-panjang dan berkata, "Aku tahu apa yang telah terjadi."

Suto Sinting dan Jelita Bule pandangi Teratai Kipas dengan masing-masing dahi berkerut. Tapi sebelum Teratai Kipas bicara, tiba-tiba mereka mendengar suara tanpa rupa yang berkata;

"Nasibmu sama dengan nasibku, Nona!"

Sekali lagi mereka terkejut. Tapi Pendekar Mabuk yang cerdas itu cepat menghapal suara tersebut, sehingga ia berseru,

"Bancak Doya...?! Kaukah yang bicara itu?!"

"Benar, Pendekar Muda! Aku Bancak Doya!"

"Bukankah kematianmu telah kusempurnakan dengan semburan tuakku?"

"Belum, Pendekar Muda! Semburan tuakmu hanya dapat melenyapkan bayanganku. Tapi suaranya masih bisa kau dengar, bukan? Berarti kematianku belum sempurna, Pendekar Muda!"

"Suto, siapakah orang yang bicara tanpa rupa itu?" tanya Jelita Bule.

Pendekar Mabuk belum sempat menjelaskan sudah terdengar suara Bancak Doya yang agaknya bicara pada Pesona Indah, "Nona jubah biru, apakah kau melihatku saat ini?"

"Tid... tidak...!"

"Nanti kau akan melihatku kalau kau sudah berbentuk bayangan, dan mungkin juga setelah bayanganmu hilang. Ketahuilah, Nona jubah biru, dulu aku juga menjadi manusia tembus benda. Tak bisa memegang apa-apa. Tapi dalam tujuh hari kemudian orang-orang tak bisa melihatku, hanya bisa melihat bayanganku saja dan mendengar suaraku. Sekarang bayanganku sudah tidak terlihat lagi, tapi rupanya suaraku masih bisa didengar. Percayalah Nona jubah biru... kau akan mengalami urutan kejadian seperti yang kualami."

Pesona Indah semakin menangis, semua orang yang ada di situ bisa melihat sosok Pesona Indah tundukkan kepala dalam wajah dukanya. Suto Sinting dan dua wanita cantik yang berdiri di kanan-kirinya itu sama-sama tertegun, sepi dan hening beberapa saat lamanya, sampai akhirnya terdengar lagi suara Bancak Doya yang berkata kepada mereka semua,

"Nasib Nona jubah biru itu tak akan bisa tertolong lagi. Sebaiknya relakan saja ia mengalami hal yang sedang kualami ini."

"Akan kusembur dengan tuakku!" sambil Suto Sinting buru-buru hendak menenggak tuaknya. Tetapi suara Bancak Doya terdengar lagi,

"Percuma, Pendekar Muda...! Semburan tuakmu akan mempercepat Nona Jubah biru menjadi bentuk bayangan. Kau sembur lagi bayangan itu akan lenyap, dan suaranya tetap ada. Entah sampai kapan suaranya bisa kau dengar terus, seperti suaraku saat ini."

Pendekar Mabuk ragu, akhirnya tak jadi semburkan tuaknya. Pesona Indah berkata, "Aku harus menghadap Guru! Kuadukan hal ini kepada Guru!"

Plaaasss...! Pesona Indah berlari menembus pepohonan dan semak, apa saja diterjangnya tanpa menimbulkan angin dan gerakan lain.

"Ilmu apa yang membuat nasibnya menjadi seperti itu?" tanya Suto Sinting sambil matanya memandang Teratai Kipas.

* * *

TIGA
SEPERTI dugaan Teratai Kipas, sebuah pisau telah menggores lengan Pesona Indah. Memang begitulah menurut pengakuan Jelita Bule. Lawannya yang disebut sebagai laki-laki dekli itu bersenjatakan sebuah pisau. Ciri-ciri pisau itu adalah bergagang tanduk rusa purba warna kuning kecoklatan. Mata pisau runcing dari logam baja hitam. Panjangnya dari ujung sampai gagang sekitar dua jengkal. Sarung pisau itu juga terbuat dari tanduk rusa purba yang berukir.

"Itulah yang dinamakan Pisau Tanduk Hantu!" kata Teratai Kipas membuat suasana menjadi sepi sejenak karena mereka saling terkesima.

Jelita Bule bertanya, "Dari mana kau tahu tentang Pisau Tanduk Hantu?"

"Bekas guruku; Ki Selo Gantung, pernah menceritakan Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Malaikat Miskin. Tapi menurut Guru, pisau itu dulu bekas milik seseorang yang berhasil direbut oleh Malaikat Miskin."

"Apakah kau tahu kehebatannya?"

"Tentu saja tahu," jawab Teratai Kipas dengan tegas. "Pisau itu cukup digoreskan pada tubuh lawan. Sedikit goresan saja sudah bisa membuat lawan menderita luka seperti yang dialami oleh Pesona Indah dan Bancak Doya. Siapa pun yang tergores Pisau Tanduk Hantu tubuhnya akan berubah menjadi bayangan selama tujuh hari. Ia bisa dilihat tapi tak bisa disentuh dan juga tak bisa menyentuh apa pun. Selama tujuh hari menjadi bayangan, ia tetap bisa kirimkan suaranya ke pendengaran kita. Setelah tujuh hari, bayangan itu akan lenyap dan orang tersebut hanya bisa didengar suaranya saja tanpa bisa dilihat bentuknya. Setelah tujuh hari lagi, orang tersebut tak akan bisa didengar lagi suaranya karena ia sudah berada di alam kelanggengan. Alam kematian yang abadi!"

"Kenapa baru kau katakan sekarang?" tanya Suto Sinting bernada gerutu.

"Aku baru ingat kata-kata mendiang guruku setelah melihat dua korban; Bancak Doya dan Pesona Indah itu," jawab Teratai Kipas.

"Lalu, siapa pemilik pisau itu?"

"Si orang dekil itu!" kata Jelita Bule menyahut dengan geram tertahan.

"Seperti apa ciri-cirinya?" tanya Teratai Kipas.

"Mungkin Bancak Doya mengenalnya," kata Suto Sinting.

"Sayang sekali dia sudah pergi mengejar Pesona Indah. Mudah-mudahan ia bisa menenangkan hati Pesona Indah yang sangat menderita itu."

"Aku masih ingat ciri-cirinya," sambar Jelita Bule sambil berpaling menatap Suto Sinting dan Teratai Kipas.

"Coba sebutkan apa yang kau ingat, Jelita Bule!"

"Namanya tak kuketahui, tapi yang jelas wajahnya jelek, tak ada manisnya sedikit pun. Rambutnya abu-abu, kepala depan botak, celana merah, bajunya hitam, pendek, dan..."

"Si Maling Sakti!" sergah Teratai Kipas memutus kata-kata Jelita Bule.

"Maling Sakti?!" gumam Suto Sinting. "Apakah namanya Maling Sakti?"

"Banyak yang memberi julukan begitu. Tapi nama aslinya Durjana Belang. Sebab kalau ia marah wajahnya menjadi merah separo bagian."

"Kalau begitu dugaan kita dulu benar, Teratai," kata Suto Sinting.

"Memang orang itulah yang melarikan Sumbaruni kecil dan mencuri pusaka dari tangan Malaikat Miskin!"

Lalu terbayang kembali wajah si Maling Sakti di benak Suto Sinting. Teratai Kipas pernah dibuatnya hampir mati gara-gara melawan sosok pendek berwajah lugu tapi ternyata berilmu tinggi itu. Lebih lekat lagi bayangan si Maling Sakti setelah Jelita Bule berkata,

"Dia tidak bisa dibunuh, karena berulang kali pedangku menebas dadanya, namun ternyata ia kebal senjata. Kekuatan tenaga dalamnya sangat besar."

"Tentu saja, karena dia telah menelan Batu Sembur Getih!" sahut Teratai Kipas yang segera ingat saat Suto Sinting menuangkan tuaknya untuk obati si Maling Sakti, dan dari dalam bumbung bambunya itu keluar Batu Sembur Getih yang disimpan Suto dalam bumbung itu. Akibatnya batu tersebut tertelan oleh si Maling Sakti, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Telur Mata Setan).

"Maling Sakti bisa menjadi orang berbahaya sekali," kata Suto Sinting bagai menggumam pada diri sendiri. Tapi setelah itu ia memandang Teratai Kipas dan menyambung ucapannya, "Selain dia menjadi kebal serta bertenaga dalam ganda karena menelan Batu Sembur Getih, dia juga bersenjata Pisau Tanduk Hantu. Ini sangat berbahaya bagi orang lain. Pasti sikapnya akan semena-mena terhadap siapa saja!"

"Kalau begitu, kita cari dia untuk kita tumbangkan!" kata Jelita Bule.

"Pada dasarnya memang begitu, tapi bagaimana cara melawan orang yang berkekuatan ganda seperti Durjana Belang itu?" ujar Teratai Kipas. "Aku sendiri merasa semakin tak mampu untuk kalahkan ilmunya."

"Aku yang akan menghadapinya!" kata Suto Sinting dengan tegas dan yakin sekali akan kemampuannya.

Tiga sosok itu melesat menuju ke arah sungai. Karena menurut pengakuan Jelita Bule, Maling Sakti bertarung dengannya di tanggul sebuah sungai dan berhasil melukai Pesona Indah di sana juga. Harapan mereka sebelum mencapai tanggul sungai mereka sudah bisa bertemu dengan si Maling Sakti, sebab Maling Sakti tadi mengejar Jelita Bule.

Tapi ternyata yang mereka temui bukan si Maling Sakti, melainkan dua orang yang pernah berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Dua orang itu adalah orang-orang Bukit Kopong juga, anak buah dari Cukak Tumbila yang sangat penasaran untuk dapatkan pusaka peninggalan mendiang Ki Selo Gantung; bekas gurunya Teratai Kipas.

Kedua orang itu adalah Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dalam kisah 'Telur Mata Setan' telah diceritakan bahwa Roh Seribu Dewa mulanya bersatu dengan Neraka Berjalan dan Jeprak Kurap. Mereka adalah para pemburu pusaka untuk diperjual-belikan. Mereka menamakan diri: Tiga Pengawal Iblis. Tetapi setelah kematian Jeprak Kurap di tangan Teratai Kipas, mereka mengambil si Kumis Tengkorak untuk bergabung menjadi Tiga Pengawal iblis.

Namun dalam satu pertempuran dengan Pendekar Mabuk, Neraka Berjalan dibunuh oleh Malaikat Miskin, karena Malaikat Miskin ingin menciptakan budi supaya dibalas oleh Suto dengan cara bergabung menyerang orang-orang Bukit Kopong. Kini yang dinamakan Tiga Pengawal Iblis tinggal dua, yaitu Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dan agaknya mereka masih penasaran untuk dapatkan pusaka Tongkat Tulang Barong. Mereka menganggap kunci mendapatkan Tongkat Tulang Barong ada di tangan Teratai Kipas.

Tak heran jika mereka menyerang Teratai Kipas untuk mencederai wanita cantik itu karena mereka melihat tiga bayangan berkelebat. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh si Kumis Tengkorak yang kurus kerempeng mirip tengkorak tapi kumisnya panjang melengkung sampai lewat dagu.

Pukulan jarak jauh itu bersinar hijau lurus tertangkap oleh mata Jelita Bule yang posisinya tertinggal di belakang. Dengan cepat tangan Jelita Bule menyentak dan terlepaslah Jurus 'Kencana Lepas'-nya yang berwarna kuning keemasan. Sinar kuning itu menghantam sinar hijau setelah seruan Jelita Bule terdengar keras,

"Teratai, awaaas...!"

Blaaarrr...!

Ledakan keras terdengar saat kedua sinar itu berbenturan. Gelombang ledakan itu menghempas kuat, membuat tubuh Teratai Kipas yang sedang melompat itu terpelanting terbang dan jatuh tak terjaga keseimbangan tubuhnya. Bruus! Pendekar Mabuk dan Jelita Bule segera menghadap ke arah datangnya sinar hijau tadi. Teratai Kipas menggerutu tak jelas sambil berdiri kembali tanpa luka dan cacat apapun.

Dua orang muncul dari balik pepohonan jati besar. Si Kumis Tengkorak yang berbaju loreng hitam-merah dengan rambut ditumbuhi uban tidak merata, muncul lebih dulu. Disusul kemudian Roh Seribu Dewa yang berwajah angker tanpa ikat kepala karena rambutnya pendek, kumisnya lebat seperti sayap kelelawar, bajunya hitam, senjata di pinggangnya adalah trisula bergagang panjang. Kedua tokoh hitam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu sama-sama menatap Teratai Kipas yang tengah berjalan mendekati Suto.

"Rupanya kalian masih penasaran denganku?!" kata Suto Sinting.

"Sebelum gadis ini buka mulut tentang di mana pusaka Tongkat Tulang Barong disembunyikan, kami tetap akan mengganggu ketenangan kalian!" kata Roh Seribu Dewa yang bersuara berat.

Si Kumis Tengkorak menimpali, "Tapi kalau yang lainnya mau ikut-ikut cari perkara dengan kami, kami siap sedia melayaninya tanpa rasa gentar sedikit pun." Matanya melirik ke arah Jelita Bule yang berhidung mancung dan berkulit putih itu. Pandangan mata itu jelas pandangan mata nakal, karena keelokan tubuh Jelita Bule terlihat jelas dari balik pakaian tipisnya.

Teratai Kipas segera maju selangkah dari samping Suto dan berkata tanpa rasa takut sedikitpun, "Sampai mayatku ke liang kubur pun kalian tak akan dapatkan keterangan dari mulutku tentang Tongkat Tulang Barong itu!"

"Perempuan keras kepala akan dimakan rayap dalam waktu singkat!" ujar Kumis Tengkorak dengan nada tegas namun berkesan dingin.

"Apa maumu sekarang?!" bentak Teratai Kipas.

Roh Seribu Dewa menjawab, "Melumpuhkan dirimu agar mau bicara!"

"Biar aku saja yang menghadapi!" kata Jelita Bule.

"Jangan! Ini urusanku!" kata Teratai Kipas agak pelan.

Roh Seribu Dewa segera berkata, "Terlalu banyak berunding kalian ini! Heaaah...!"

Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh Roh Seribu Dewa. Sasarannya ke perut Teratai Kipas. Dengan cepat Teratai Kipas melompat ke atas dan pukulan bersinar biru bagai bola kecil itu melesat di tempat kosong. Tetapi karena di belakang Teratai Kipas ada Suto Sinting, maka Suto-lah yang menjadi sasaran bola biru itu.

Wuuut...!

Deeeb...! Weees...! Blaaar...!

Sinar biru itu ditangkis dengan bumbung tuaknya Suto Sinting. Sinar itu membalik arah lebih besar bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Roh Seribu Dewa tercengang melihat pukulannya membalik arah. Ia bagaikan terpaku di tempat. Untung kaki si Kumis Tengkorak segera menendangnya dari samping.

Duuug...!

Wuuus...! Brrruk...!

Roh Seribu Dewa jatuh terjengkang karena tendangan itu, tapi ia selamat dari pukulan sinarnya yang membalik itu. Sinar tersebut menghantam pohon jati dibelakangnya dan pohon itu langsung pecah menjadi berantakan. Duaaar!

"Auh...!" Roh Seribu Dewa terpekik kesakitan karena sepotong dahan pohon yang hancur jatuh menimpa ubun-ubunnya.

"Hiaaat...!" si Kumis Tengkorak melompat menyerang Teratai Kipas. Tangannya bergerak cepat membingungkan pandangan mata lawannya.

Tapi Teratai Kipas segera bersalto mundur dua kali, dan dengan kaki berlutut satu, ia telah mencabut kipasnya. Lalu kipas itu disentakkan ke depan dan dari ujung kipas yang masih terkatup itu keluar sinar merah lurus.

Claaap...!

"Huaaah...!" si Kumis Tengkorak menyentakkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan terbang di udara. Dari tangan itu keluar asap biru yang mengha- dang sintar merah.

Blaaarrrr...!

Ledakan yang timbul cukup hebat. Daya hempasnya bagaikan badai menyentak tubuh yang melayang itu. Tak urung tubuh si Kumis Tengkorak terpental menghantam salah satu pohon. Duuugh...!

"Oohg...!" Kumis Tengkorak terpekik. Tulang punggungnya terasa patah.

Tahan...!" seru Suto Sinting ketika Jelita Bule hendak bergerak menyerang Roh Seribu Dewa yang sudah cabut trisulanya. Seruan itu disangka tertuju pula kepada Teratai Kipas yang hendak menerjang si Kumis Tengkorak dengan kipasnya yang telah terbentang.

Gerakan Teratai Kipas pun terhenti seketika. Padahal maksud Suto Sinting mengingatkan Jelita Bule agar tidak ikut campur dalam perkara tersebut. Karena tak ada serangan dari pihak Teratai Kipas, maka Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak pun hentikan serangannya. Mereka bersifat menunggu, dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk, menyangka ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Pendekar Mabuk. Tapi setelah Pendekar Mabuk sendiri diam karena bingung merasa semuanya bungkam seketika, maka Roh Seribu Dewa pun berkata kepadanya,

"Kalau kau ingin membelanya, majulah! Aku yang akan merajang tubuhmu, Bocah Kampung!"

"Tidak. Aku tidak akan mau melawanmu lagi. Aku kasihan kepadamu. Jika melawan Teratai Kipas saja kalian keteter, mengapa kalian berharap melawanku? Kusarankan hilangkan saja harapan kalian untuk melawanku!"

"Kau sangka kami kalah melawanmu, hah?!" bentak Roh Seribu Dewa. "Coba terima jurus 'Trisula Kubur' ini, hiaaah...!"

"Heeeaaah...!" si Kumis Tengkorak ikut-ikutan menyerang Suto Sinting dalam satu lompatan. Namun baru saja mereka bergerak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan yang melintas di depan mereka seperti angin berhembus. Wuuut...!

Craasss...!

Bruuus...! Bayangan itu masuk ke semak-semak. Kemudian terdengar seperti berlari meninggalkan tempat itu dengan menerabas semak belukar dengan cepatnya. Suara gemerisik terdengar makin lama semakin menjauh.

Bukan hanya kedua tokoh hitam itu saja yang terkejut, melainkan Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu juga terperanjat melihat gerakan cepat sesosok bayangan yang segera menghilang itu. Lebih terkejut lagi setelah melihat perut si Kumis Tengkorak terluka kecil bagai tergores benda tajam. Sementara itu dada Roh Seribu Dewa juga tergores kecil, seperti terkena bulu bambu yang tajam. Darah yang keluar sangat sedikit. Bahkan luka itu sempat digaruk-garuk oleh Roh Seribu Dewa sambil menggeram marah,

"Setan mana tadi yang lewat di depan kita itu, Kumis Tengkorak? Kurang ajar! Apa maksudnya menghentikan gerakan kita?!"

Kumis Tengkorak hanya menjawab, "Entah!" tapi matanya tertuju pada Suto Sinting yang tadi sempat melompat mundur sekitar dua tindak. Tanpa menunggu kata-kata lainnya, Kumis Tengkorak melompat kembali menerjang Suto Sinting. "Hiaaat...!"

Suto Sinting lompat ke depan juga sambil kibaskan bumbung tuaknya ke arah badan Kumis Tengkorak. Wuuut...! Wuuusss...! Bumbung bambu itu terlihat jelas-jelas menghantam pinggang Kumis Tengkorak. Tapi bumbung bambu itu bagaikan menghantam bayangan. Bahkan tubuh itu masih bisa bergerak menerjang Pendekar Mabuk. Blaaass...!

"Lho...?!" terdengar suara kaget Kumis Tengkorak setelah berhasil berdiri di belakang Suto Sinting. Semua menjadi heran dan tegang, termasuk Suto sendiri.

"Kumis Tengkorak?!" seru Roh Seribu Dewa. "Kau bisa menembus raga si bocah kampungan itu?! Hebat...! Hebat sekali kau! Ha, ha, ha, ha...!"

"Hebat gundulmu!" sentak Kumis Tengkorak.

Pendekar Mabuk, Teratai Kipas, dan Jelita Bule segera mundur jauhi mereka berdua. Roh Seribu Dewa dihampiri oleh si Kumis Tengkorak dan terdengar pula ia berkata,

"Bukan aku yang sakti, tapi bocah kampungan itu yang sakti. Raganya tak bisa disentuh!"

"O, kukira kau yang menjadi sakti?! Ha, ha, ha, ha...! Minggir, biar kuhadapi sendiri si bocah kampungan yang mata keranjang itu!"

Sambil berkata demikian, tangan Roh Seribu Dewa menepiskan tubuh Kumis Tengkorak. Wuuusss...! Tangan itu bagaikan menepis bayangan. Tubuh si Kumis Tengkorak tak tersentuh oleh Roh Seribu Dewa. Tangan tersebut nyeplos dari lengan si Kumis Tengkorak sampai ke dada dan keluar lagi. Langkah kaki Roh Seribu Dewa terhenti, ia pandangi temannya yang kurus kering bermata cekung itu.

"Kau...?!" katanya dalam nada heran. "Kau yang sakti. Buktinya aku tak bisa menyentuh tubuhmu, Kumis Tengkorak!"

"Jangan ngomong sembaranganl Aku belum sesakti itu!" sentak Kumis Tengkorak. Ia mencoba menampar wajah Roh Seribu Dewa. Wuuut..., plooos...! Tamparan itu tidak mengenai sasaran, melainkan berkelebat tembus melintasi pertengahan wajah Roh Seribu Dewa. Keduanya sama- sama kaget.

"Ternyata kau yang sakti, Roh Seribu Dewa! Aku tak bisa menamparmu! Lihat!"

Plos... wuuus... plos...!

Kumis Tengkorak menampar wajah Roh Seribu Dewa, tapi selalu nyeplos seperti memukul asap. Roh Seribu Dewa terperangah dalam wajah bangga, lalu ia tertawa terbahak-bahak.

"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ternyata kita berdua menjadi sakti, tak bisa disentuh siapa pun! Hua, hah, hah, hah, haaa...!"

Plos, plos, plos, plos...!

Roh Seribu Dewa menendang dan memukul teman sendiri berulang kali untuk membuktikan dugaannya. Ternyata ia seperti memukul dan menendang asap.

"Lihat... buktinya kau pun tak bisa kupukul, Kumis Tengkorak! Dan lihat betapa saktinya kita" Roh Seribu Dewa berlari menembus pohon.

Blees! Plaaas...! Ploos!

Setiap pohon diterjangnya, dan tubuh Roh Seribu Dewa dapat menembusnya dengan mudah bagaikan gumpalan asap menerjang pepohonan, ia tertawa terbahak-bahak sambil lari sana-sini sengaja menabrak pohon atau gugusan batu.

"Huah, hah, ha, ha, ha, ha...! Kita menjadi sakti, Kumis Tengkorak! Lihat... lihat aku bisa menembus pohon! Tak ada getarannya sedikit pun. Lihat kesaktianku ini, sama dengan kau juga. Kalau tak percaya cobalah sendiri!"

Kumis Tengkorak penasaran. Tak peduli jadi tontonan tiga lawannya, ia berlari menembus pohon. Mulanya agak ragu. Kepalanya dulu yang dibenturkan ke pohon. Busss...! Kepala itu nongol di balik pohon sementara badannya masih ada di depan pohon. "He, he, he..., iya! Bisa begini?!"

Akhirnya Kumis Tengkorak tak segan-segan menembus pohon. Mereka berdua berlari-lari menerjang pepohonan dengan bangga dan gembira sekali.

Blas, blus... blas, blus... blas, blus...!

"Hiiaah, hiaah, hiaaahhh...! Kita bisa menembus pohon," Kumis Tengkorak jejingkrakan seperti anak kemarin sore. Mereka berdua bersuka ria dengan gembira, seakan memamerkan kesaktiannya yang baru di depan Suto Sinting. Terdengar suara Teratai Kipas berkata lirih, hanya Suto dan Jelita Bule yang mendengarnya,

"Manusia goblok! Dirinya sudah menjadi bayangan kok bangga? Disangkanya sakti?! Hmm...!"

"Menurutmu," kata Jelita Bule, "Orang yang berkelebat tadi adalah si Maling Sakti dengan pisaunya?"

"Benar," kata Teratai Kipas. "Pasti mereka telah tergores pisau si Maling Sakti. Lihat saja luka goresan di dada dan perut mereka itu!"

Suto Sinting tersenyum geli melihat Roh Seribu Dewa dan Kumis Tengkorak jejingkrakan lari sana-sini bahkan saling berbenturan tapi selalu lolos bagai dua asap beradu. Wuuus...! Dan mereka justru tertawa terbahak-bahak. Tawa dan kegembiraan mereka itulah yang membuat Suto Sinting menjadi geli melihatnya.

"Hei, Bocah Kampungan!" seru Roh Seribu Dewa, "Sekarang saatnya kita bertarung untuk menentukan mana yang boleh tetap hidup dan mana yang harus mati lebih dulu!"

Pendekar Mabuk lebarkan senyumnya, ia maju tiga langkah, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap di tempat. "Perlu kau ketahui, Roh Seribu Dewa," kata Suto Sinting, "Kalian bukan menjadi sakti, tapi justru kebalikannya! Kalian akan menderita dan sedih, karena sebentar lagi kalian tidak akan bisa dilihat siapa-siapa!"

"Itulah kehebatan kami!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bangga.

Kumis Tengkorak yang ada di samping kanan Roh Seribu Dewa segera berkata, "Kalau kau mulai takut, segeralah menyingkir dari hadapan kami, Bocah ingusan! Biar kami akan paksa Teratai Kipas untuk buka mulut!"

"Menyedihkan sekali!" kata Pendekar Mabuk. "Kalian berdua sebenarnya sudah mati karena tergores pisau orang yang berkelebat di depan kalian tadi!"

"Gundulmu iyu yang mati!" umpat Kumis Tengkorak sambil mengusap-usap kumisnya dengan bangga.

"Ambillah batu dan lemparkan padaku. Kalau kalian bisa mengambil batu, aku akan berguru kepada kalian!" kata Suto Sinting.

"Kurang ajar! Berani betul kau merendahkan ilmu orang sakti seperti kami ini, hah?! Akan kubuktikan...!" seru Roh Seribu Dewa. Lalu, ia mengambil batu yang tergeletak tidak jauh darinya.

Wuuut... ploos...! Ploos...!

Roh Seribu Dewa diam dalam keheranan memandangi batu itu. Kumis Tengkorak pun memandang dari tempatnya dengan dahi berkerut. Tangan Roh Seribu Dewa mendekati batu itu pelan-pelan bagai ingin menangkap kupu-kupu atau seekor capung. Lalu tangan itu bergerak cepat menyambar batu segenggam.

Wuut...!

Ploos...! Tangan menggenggam tapi batu masih tertinggal di tempatnya. Temannya berseru, "Goblok! Ambil batu saja tak becus!" Ia bergegas mendekat dan memungut batu itu. Bluus...! Sekali lagi ia menyambar batu itu.

Ploos...!

"Kok tidak bisa?!" si Kumis Tengkorak mulai heran dan curiga, ia bicara pada Roh Seribu Dewa, "Kita tak bisa menyentuh apa-apa?!"

"Entahlah. Sebenarnya kita ini sama-sama sakti atau sama-sama goblok?!"

Lalu, Suto Sinting berkata, "Percayalah padaku, kalian sebentar lagi akan menjadi manusia tanpa raga! Kalian telah terkena kekuatan sakti dari Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Durjana Belang alias si Maling Sakti itu!"

Roh Seribu Dewa menjadi gusar. "Tidak mungkin! Pisau Tanduk Hantu dimiliki oleh Malaikat Miskin dan..."

"Dan dicuri oleh teman kalian yang bernama si Maling Sakti!" sahut Teratai Kipas sambil mendekati Suto.nJelita Bule ikut mendekat pula.

"Dalam tujuh hari kalian akan tinggal bayangan dan suara saja!" sambung Jelita Bule menimpali ucapan Suto dan Teratai Kipas.

Roh Seribu Dewa saling pandang dengan Kumis Tengkorak. "Benarkah Durjana Belang sudah berhasil mencuri pisau Tanduk Hantu dari tangan si Malaikat Miskin?!"

Kumis Tengkorak berkata, "Mungkin saja, karena kudengar ada tokoh lain yang berani membayar Pisau Tanduk Hantu dengan harga mahal sekali!"

"Tap... tapi... tapi kenapa dia melukai kita? Kita kan teman?" Roh Seribu Dewa mulai tampak sedih.

"Entahlah," si Kumis Tengkorak tundukkan kepala dengan sedih pula. "Mungkin Durjana Belang tak suka pada kita yang selalu dipuji oleh sang Ketua!" sambil berkata begitu, tangannya mencoba memegang ranting-ranting semak, ternyata ranting itu tak tersentuh sedikit pun.

"Tak mungkin. Durjana Belang tak mungkin berhasil mencuri pisau itu. Kalau toh memang benar dia telah berhasil mencuri pisau itu, pasti dia tak akan melukai kita. Selama ini hubungan kita dengannya baik-baik saja, Kumis Tengkorak...! Kita tak pernah nakal padanya," suara Roh Seribu Dewa semakin parau bagai orang mau menangis.

"Mungkin...," Kumis Tengkorak semakin sedih. "Mungkin dia ingin menumpas habis kita, dan... dan ingin merebut kekuasaan untuk menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong!"

"Kalau begitu... kita harus cepat-cepat menghadap sang Ketua!"

"Baik. Kita adukan tindakan Maling Sakti yang membuat kita begini!"

Blaass...! Kedua orang itu pergi tanpa pamit, menembus pohon, menembus semak, menembus apa saja yang dilintasinya. Sementara itu, Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu memandang dengan tertegun sesaat, lalu Teratai Kipas berkata,

"Benarkah Maling Sakti bernafsu ingin menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong?!"

"Entahlah. Kita kejar saja dia!" ujar Suto sambil bergegas pergi.

* * *

EMPAT
MENJELANG senja, lereng bertanah datar menjadi tempat pertemuan yang menegangkan. Di situ ada gugusan bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Mudah dicapai dengan kekuatan tenaga peringan tubuh. Dinding bukit cadas kecil itu berbentuk datar, dalam arti tegak lurus. Bagian atas bukit kecil itu juga datar, tanpa pepohonan kecuali semak pendek dan bebatuan.

Dari atas bukit kecil itulah Pendekar Mabuk melompat turun dan bersalto dua kali, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap ada di atas. Suto Sinting mendaratkan kakinya tanpa bunyi karena mampu mengendalikan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan jurus 'Layang Raga'.

Kemunculan Pendekar Mabuk yang menyerupai dewa turun dari langit itu mengejutkan langkah kaki seseorang. Langkah itu terhenti seketika dalam jarak tujuh tindak di depannya sang pendekar tampan, murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.

"Eeh... kamu?" ujar orang itu sambil nyengir. Wajahnya lucu-lucu konyol. Enak ditampar. Lagaknya bagai orang tak berdosa apa pun. Barangkali itulah salah satu kemahiran si Maling Sakti, mampu menipu lawan dengan lagaknya yang seperti orang polos tanpa bersalah sedikit pun.

Tetapi sang pendekar tampan tetap waspada dan pandangi Maling Sakti dengan mata tak berkedip walau di bibirnya tersungging senyum tipis, ia melangkah tenang dekati Maling Sakti. Empat langkah kemudian berhenti.

"Hebat. Kau sekarang menjadi orang hebat, Maling Sakti!"

"Ah, jangan begitu," Maling Sakti bersungut-sungut malu bagai merendahkan diri. "Soal hebat itu kan sudah lama, masa baru kau tegur sekarang? Aku jadi malu sendiri."

"Mestinya kehebatanmu itu kau pergunakan untuk kebajikan, Maling Sakti."

"O, tentu! Tentu begitu, Suto Sinting!"

"Tapi tindakanmu belakangan ini konon lebih liar lagi dari sebelumnya. Mengapa kau bertindak lebih liar lagi?"

"Baru saja mau pulang ke tempat tinggalku. Kalau kau mau ikut singgah, aku tak keberatan kau singgah di tempat tinggalku."

"Hei, yang kutanyakan, mengapa kau bertindak lebih liar?!" tegas Suto.

"O, kau tanya begitu? Kudengar kau tanya dari mana aku sejak kemarin? Hmm... ah, kau mungkin salah tanya. Mengapa kau menganggap aku bertindak liar, Suto Sinting?"

"Karena kau telah melukai beberapa orang dengan pusaka curianmu itu!"

"Pusaka? Pusaka apa?!" Maling Sakti berwajah bingung, dahinya berkerut, matanya menatap tajam. Suto Sinting melirik ke arah atas bukit cadas itu.

Maling Sakti ikut-ikutan memandang ke atas, menatap Jelita Bule dan Teratai Kipas. Lalu ia nyengir sendiri dan berkata, "Rupanya kau semakin lengket dengan gadis mantan murid Ki Selo Gantung itu, Suto. Hmm... boleh juga!" Maling Sakti manggut-manggut. "Tapi menurutku lebih cantik yang berkulit putih dan berambut emas itu. Siapa dia, Suto?!"

"Apakah kau belum mengenal gadis itu?"

"O, menilai kecantikan itu merupakan keahlianku, Suto!"

"Yang kutanyakan, apakah kau tidak mengenal gadis itu?!" Suto agak keras lagi dalam bicaranya, sedikit bernada jengkel.

"Ooo... begitu? Ah, mana aku kenal dia? Bertemu pun baru sekarang!"

"Kau bohong, Maling Sakti!"

"Ya, ampuuun...! Berani sumpah disambar tumpeng, aku belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelum ini! Eh, ngomong-ngomong dia memakai pakaian atau tidak, Suto? Kok kelihatannya... anu sekali?! Hi, hi, hi, hi...!" Maling Sakti cengengesan.

Dari atas sana, percakapan itu terdengar oleh kedua wanita tersebut. Maka Teratai Kipas memberi isyarat kepada Jelita Bule agar turun bersama. Anggukan kepala Teratai Kipas membuat Jelita Bule segera melompat turun bagai seekor burung kehilangan bulunya.

Wuuus...!

Mata Maling Sakti terbelalak nakal. "Wow...!" ucapnya sambil tarik napas memandangi keadaan Jelita Bule yang berpakaian sangat tipis itu. Kedua wanita tersebut ada di sebelah kanan Suto Sinting dalam jarak empat langkah. Jelita Bule langsung menyapa si Maling Sakti,

"Kau jangan berlagak tak mengenaliku, Monyet Miskin! Kau telah bertarung denganku dan dengan temanku. Kau bermaksud mau memperkosa kami sekaligus! Kau telah melukai temanku dengan pisau pusakamu!"

"Hei, hei...?!" Maling Sakti kian bingung mirip pria linglung. "Kau bicara soal apa sebenarnya? Aku tidak penah bertarung denganmu dan tidak pernah bermaksud memperkosamu. Aku tidak punya pisau pusaka. Senjataku hanya golok, tapi itu pun sudah pecah ketika beradu dengan bumbung tuaknya Suto! Jangan mengada-ada, Nona aduhai!"

Pendekar Mabuk mengernyitkan alis, mengecilkan matanya. Dipandangi tubuh Maling Sakti secara diam-diam. Tak terlihat ada pisau di pinggangnya. Sementara itu Teratai Kipas berkata dalam nada pelan kepada Jelita Bule. "Apa kau tak salah lihat? Sudah yakin bahwa dia orangnya?"

"Ya. Dia orangnya! Dia yang mempunyai Pisau Tanduk Hantu itu!" jawab Jelita Bule dengan suara keras dan tegas.

"Maling Sakti," kata Suto Sinting, "Serahkan pisau itu, karena pusaka tersebut bukan milikmu!"

"Aku tidak memiliki pisau itu, Suto!" Maling Sakti bernada jengkel.

"Omong kosong!" bentak Jelita Bule. "Pasti kau sembunyikan di balik bajumu itu! Mengaku sajalah kau!"

"Belum. Belum pernah melihatnya," kata Maling Sakti salah dengar.

"Dia bilang; mengaku sajalah kau!" bentak Suto memperjelas.

"O, dia minta aku mengaku? Baik...! Nih, aku mengaku!" tubuh Maling Sakti dikeraskan. Dari kaki sampai kepala kaku semua.

Jelita Bule merasa dipermainkan. Maka dihampirinya Maling Sakti dan ditampar pipi orang itu dengan keras.

Plaaak...!

"Auh...!" Maling Sakti terpelanting memutar dua kali. Ia meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Katanya suruh mengaku! Begitu tubuhku sudah kubuat kaku, malah ditampar?! Bagaimana kau ini, Nona? Gilakah kau sebenarnya?!"

Teratai Kipas ikut jengkel dan menjelaskan, "Jangan berlagak bodoh, Durjana Belang! Yang dimaksud mengaku itu berkata jujur! Bukan tubuhnya dibuat menjadi kaku seperti kau tadi!"

"Tunggu dulu...," bisik Jelita Bule saat mereka berada di dekat Suto. "Dia bisa kutampar. Padahal waktu bertarung denganku dan Pesona Indah, tubuhnya bagaikan baja. Jangankan ditampar, ditendang saja tak bergeming sedikit pun. Sekarang... lihat, pipinya menjadi merah karena tamparanku?!"

"Coba lepaskan pukulan tenaga dalam yang tidak berbahaya!" bisik Teratai Kipas. Maka dengan serta-merta Jelita Bule lepaskan pukulan tenaga dalam dari arah samping ketika Suto mengajak bicara Maling Sakti.

Wuuut...! Sentakan tangan kiri Jelita Bule mempunyai hentakan tenaga dalam tanpa sinar yang hanya akan membuat orang terpukul dan tumbang. Beeeg...!

Wuuusss... brruk...!

Tubuh Maling Sakti terlempar empat tindak dari tempatnya dan jatuh terjungkal dengan berteriak kesakitan karena tulang sikunya membentur batu.

"Wadaaaow...! Kampret busuk!" Ia bergegas bangkit dan menjadi marah, tapi warna merah di wajahnya yang kanan hanya samar-samar, berarti kemarahannya tak seberapa tinggi. "Perempuan kebo! Kalau berani jangan membokong! Hadapi aku secara jantan!" umpat dan tantang si Maling Sakti.

Tapi Jelita Bule tidak layani tantangan itu. Ia bahkan berbisik kepada Suto dan Teratai Kipas. "Waktu bertarung denganku, dia tak bisa dihantam seperti tadi. Bahkan kugunakan jurus 'Kencana Lepas' ku, tapi tak mampu menembus atau melukai kulit tubuhnya. Sekarang kenapa dia bisa terjungkal hanya dengan pukulan tenaga dalam seringan itu?"

"Akan kugeledah dia!" ujar Suto pelan, lalu tinggalkan dua gadis itu dan dekati Maling Sakti. "Maling Sakti, jika kau benar tidak membawa Pisau Tanduk Hantu, maukah kau kugeledah?"

"Untuk apa kau membedahku?"

"Kugeledah!" tegas Suto lagi.

"O, mau menggeledahku? Boleh saja! Boleh...! Silakan!" Maling Sakti angkat kedua tangannya. Suto memeriksanya sampai kedua kaki dirabanya.

"Kalau perlu periksa juga mulutku ini. Haaa...?!" Maling Sakti buka mulutnya lebar-lebar.

Suto Sinting mendengus dan berpaling wajah. "Tak perlu. Aku belum terbiasa mencium bau pete!" ujar Suto Sinting sambil mendengus lagi lewat hidungnya, dan segera meninggalkan Maling Sakti.

"Bagaimana?" tanya Teratai Kipas.

"Tidak ada! Dia tidak menyelipkan pisau di mana-mana! Tak ada senjata apa pun kecuali senjatanya pribadi." "Ah, itu tak kubutuhkan!" kata Jelita Bule. "Tapi... siapa tahu disimpan pada sekitar 'senjata pribadinya' itu?"

Teratai Kipas ingin tertawa geli, "Coba kau yang geledah di daerah sekitar itu," ucapnya kepada Jelita Bule.

"Ih, amit-amit! Kau saja yang periksa kalau kau mau!"

Suto Sinting berkata, "Sudah, sudah. Sudah kuperiksa di sekitar situ juga tidak ada. Jangan-jangan memang bukan dia?"

"Suto ," seru Maling Sakti. "Apakah kau sudah puas menggeledahku?"

Suto Sinting diam, tak bisa menjawab. Sebab hatinya masih penasaran dan diiiputi keragu-raguan. Tapi akhirnya ia berkata juga, "Dari mana kau tadi?"

"Memang aku jarang gosok gigi," jawab Maling Sakti salah dengar.

"Kutanya; dari mana kau tadi?!"

"O, dari... dari mencari dua temanku; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Apakah kalian ada yang melihatnya?"

Tiga orang itu saling pandang. Teratai Kipas yang menjawab, "Ya, kami melihat mereka berdua. Tapi sekarang mereka sudah menjadi bayangan, tak bisa disentuh dan tak bisa menyentuh apa pun."

"Ah, kau bercanda saja! Yang kutanyakan, apakah kalian melihat mereka? Bukan menanyakan tentang cita-cita kalian!"

"Aku sudah menjawab pertanyaanmu! Bukan bicara soal cita-cita!" bentak Teratai Kipas, lalu Suto Sinting mengulangi jawaban Teratai Kipas tadi. Dan si Maling Sakti tampak terbengong heran.

"Mereka menjadi bayangan?! Ah, mana mungkin? ilmu mereka tak setinggi itu!"

"Karena seseorang telah menggoreskan Pisau Tanduk Hantu di tubuh mereka!" kata Suto lebih memperjelas lagi.

"Siapa yang menggunakan pisau itu? Hmmm..., si Malaikat Miskin maksudmu?"

"Kurasa bukan dia."

"Ah, pasti dia! Aku harus bikin perhitungan dengannya sekarang juga!" Maling Sakti bergegas pergi.

"Hei, mau ke mana kau?!"

"Ke Perguruan Tongkat Sakti, bikin perhitungan dengan si Maiaikat Miskin!"

"Kau tak akan bisa masuk ke pintu gerbangnya. Penjagaannya sangat ketat!" seru Teratai Kipas. Dari kejauhan si Maling Sakti berseru pula,

"Tak ada yang tak bisa kutembus walau seketat apa pun penjagaan di sana! Kalau kau tak percaya, kepalanya Malaikat Miskin akan kubawakan untukmu!" sambil langkahnya makin cepat dan akhirnya berlari menyelusup di balik semak. Kepergian Maling Sakti membuat Suto Sinting dan kedua wanita itu tertegun beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan kecamuk batinnya. Tiba-tiba terdengar suara Jelita Bule berkata lirih bagai tertuju untuk dirinyavsendiri,

"Mungkinkah ada Maling Sakti kembar?"

Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas sama-sama memandang Jelita Bule dengan cepat. Dahi mereka masih berkerut. Jelita Bule tambahkan kata lagi,

"Sebab setahuku memang dialah orangnya. Tapi mengapa dia bisa kupukul dan tidak membawa pisau tersebut?"

"Penipuan...," ucap Teratai Kipas pelan dan datar, seperti orang bicara sambil menerawang ke mana-mana.

"Penipuan bagaimana?" tanya Suto Sinting. Tapi Teratai Kipas tidak lanjutkan kata. Ia hanya tarik napas dalam-dalam dan berkata kepada Suto Sinting, "Keadaannya sudah seperti ini. Sekarang kita mau bagaimana menurutmu?"

Ganti si Pendekar Mabuk yang tarik napas, lalu menjawab dengan ketegasan yang masih bernada lembut, "Kurasa Jelita Bule pulang saja, sambil menjelaskan masalah ini kepada Ratu Rangsang Madu."

"Tapi aku harus meminta kepastianmu bahwa kau akan datang pada saat perkawinan Gusti Rangsang Madu nanti!"

"Kapan hal itu dilakukan?"

"Tepat malam purnama nanti. Tinggal beberapa hari lagi."

"Baik. Akan kuusahakan untuk datang. Tapi... siapa calon suaminya?"

"Calon suami Ratu Rangsang Madu tak lain adalah si tampan Pande Bungkus!"

"Hah...?!" Suto Sinting terkejut, matanya terbelalak. "Pande Bungkus? Si bocah polos tanpa ilmu apa pun itu?!"

"Benar. Kepolosannya itu yang membuat Gusti Ratuku terpikat olehnya!" kata Jelita Bule sambil tersenyum, lalu Suto Sinting termenung dan akhirnya tertawa sendiri sambil geleng-gelengkan kepala.

Terbayang wajah Pande Bungkus yang tampan, bertubuh kekar, berambut ikal selewat pundak diikat dengan kain putih, tapi di balik sosok penampilannya yang menawan itu dia adalah pemuda usia delapan belas tahun yang lugu, bahkan berkesan bodoh. Tak ada ilmu apa pun pada diri Pande Bungkus kecuali ilmu membidik sasaran dengan ketapelnya. Ketapel itu selalu menjadi kalung kebanggaan dan ke mana pun ia pergi selalu dibawanya. Pemuda desa yang dulu mempunyai ibu seorang pedagang nasi bungkus itu dikenal Suto Sinting pada saat terjadi banjir yang menerjang rumah pemuda tersebut.

Pada mulanya Pande Bungkus ingin menjadi murid Pendekar Mabuk, sehingga dengan penuh kesetiaan mendampingi Suto Sinting melakukan perjalanan ke Pulau Selayang, menyembuhkan Ratu Rangsang Madu. Tapi agaknya ia terjerat cinta di Pulau Selayang dan memilih menjadi suami sang Ratu ketimbang menjadi murid sang pendekar tampan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Tabib Darah Tuak).

"Setiap manusia mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri. Keberuntungan itu sendiri tak bisa direncanakan sematang mungkin, karena keberuntungan itu datang dari luar kemampuan daya pikir manusia," kata Suto Sinting menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Pande Bungkus dan siapa Ratu Rangsang Madu sebenarnya.

"Apakah keberuntunganku pun akan datang tak disangka-sangka? Terutama soal jodohku nanti?" pancing Teratai Kipas saat Jelita Bule sudah pergi sejak tadi.

Dan Suto Sinting memandangnya dalam senyuman yang lembut menawan. "Jodoh tidak bisa diatur sesuai dengan hasrat kita. Jodoh sudah punya kodrat sendiri. Kita hanya bisa menerka-nerka dan mencoba apakah seseorang yang kita cintai itu memang jodoh kita atau bukan. Jika bukan, maka perpisahan pun akan segera datang walau hati kita menaruh cinta sebesar gunung."

"Berarti hubunganmu dengan Dyah Sariningrum juga belum tentu merupakan jodohmu sepanjang masa?"

"Kira-kira begitu. Tapi kemungkinan melesat sangat kecil. Sebab guruku; si Gila Tuak sudah mengetahui wanita yang bagaimana yang akan menjadi jodohku nanti. Apabila dalam semadiku aku sampai menangis dan mencucurkan air mata darah ketika terbayang seorang wanita, maka dia itulah calon jodohku kelak, walaupun seribu wanita berteman dekat denganku."

"Apakah kau pernah mencucurkan air mata berdarah?"

"Ya. Saat kuterbayang wajahnya yang menderita dalam cengkeraman Siluman Tujuh Nyawa," jawab Suto terang-terangan sambil termenung membayangkan saat ia lakukan semadi di tempat tinggal gurunya, sebelum ia turun sebagai seorang pendekar penegak kebenaran dan keadilan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).

Percakapan yang dilakukan sambil jalan-jalan tiba-tiba terhenti bersama langkah mereka. Baik Suto Sinting maupun Teratai Kipas sama-sama terperanjat manakala mereka tahu-tahu melihat seorang kakek berdiri di atas sehelai daun sereh liar yang mirip seperti ilalang itu. Suto Sinting segera tarik napas lega dan hilangkan kekagetannya, tapi Teratai Kipas masih memandang penuh keheranan.

Buat Suto Sinting, bukan hal aneh lagi jika ia melihat kemunculan seorang kakek berpakaian serba putih, bahkan rambut, alis, dan bulu-bulu kakinya serba putih uban. Kakek itu tak lain adalah kakek misterius yang ditemuinya sebelum Suto menyelamatkan Pande Bungkus yang hanyut terbawa arus banjir beberapa waktu yang lalu.

"Siapa orang sakti itu?" bisik Teratai Kipas menganggap kakek itu orang sakti karena mampu berdiri di atas sehelai daun sereh tanpa patah.

Suto Sinting segera menjawab, "Dia itulah yang berjuluk Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh yang kau kenal lewat cerita-cerita gurumu. Bongkoh Sepuh sendiri dulu dikenal dengan nama si Setan Arak!"

Pendekar Mabuk segera memberikan hormat sekadarnya, Teratai Kipas ikut-ikutan karena merasa takut terkena kutuk sang tokoh tua nan sakti itu. Gerak kemunculannya tidak menimbulkan suara tidak pula menimbulkan hembusan angin. Teratai Kipas yakin, biasanya orang seperti Setan Merakyat dapat menghajar seseorang melalui ucapannya saja.

"Ada keperluan apa Eyang Bapa Guru Murdawira menemuiku di sini?" tanya Suto Sinting dengan menyebutkan nama asli si Setan Merakyat itu.

"Aku hanya ingin tanyakan kesiapanmu. Sudahkah kau siap menerima salah satu ilmuku yang hanya bisa kuturunkan pada pemuda tanpa pusar sepertimu?"

"Aku masih punya masalah, Bapa Guru. Aku belum siap menerima ilmumu."

"Masalahmu belum selesai? Oh, ya... baik. Akan kutunggu sampai masalahmu selesai, dan aku selalu membayang-bayangimu, Anak Muda. Tapi ketahuilah, aku baru saja bertemu dengan gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang untuk meminta izin menitipkan ilmuku kepadamu. Kedua gurumu itu setuju dan mengizinkannya. Tapi lebih baiknya lagi, kau memang harus menghadap dan bicara sendiri tentang izin itu kepada kedua gurumu tersebut."

"Nanti jika masalahku sudah rampung, aku akan menghadap kedua guruku ke Jurang Lindu dan ke Lembah Badai!"

"Baik. Kutunggu kesiapanmu. Tapi perlu kau ketahui, baru saja kau telah lakukan suatu kebodohan besar dalam sejarah hidupmu, Pendekar Mabuk."

Suto Sinting kaget dan memandang Setan Merakyat yang turun dari atas daun sereh liar itu. Suto pun bertanya, "Kebodohan apa yang telah kulakukan?"

"Melepaskan seorang pencuri yang sedang kau kejar-kejar itu."

"Maksudmu...?"

"Durjana Belang kau biarkan lari, padahal memang dialah yang sekarang ini memegang Pisau Tanduk Hantu. Aku merasakan sekali getaran gaib pisau pusaka itu saat ia kulihat sedang bicara denganmu tadi! Cari dia dan paksa supaya dia mengaku siapa dirinya sebenarnya!"

"Tap... tapi pisau itu tidak ada padanya, Eyang Bapa Guru."

"He, he, he, he...! Siapa bilang dia tak memiliki Pisau Tanduk Hantu? Kau telah tertipu mentah-mentah olehnya, Suto. Cari dia dan temukan pisau itu sebelum terlalu banyak makan korban."

* * *

LIMA
PERJALANAN pulang ke Negeri Majageni tertunda beberapa hari gara-gara Teratai Kipas harus membantu Suto Sinting menangani masalah Pisau Tanduk Hantu. Teratai Kipas sendiri merasa senang bisa mendampingi Pendekar Mabuk karena di balik susah payahnya terselip kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya saja. Tetapi Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati atas penundaan itu.

"Apa kata orangtuamu nanti jika kau tidak segera pulang? Prabu Wiloka pasti akan menyangka putri kesayangannya dilarikan oleh Pendekar Mabuk dan tak urung aku mendapat kecaman dari sang Prabu."

"Itu urusanku, biar aku yang menjelaskan kepada ayah tentang keterlambatan ini," ujar Teratai Kipas seakan siap membela Suto mati-matian jika terjadi kecaman atau tuduhan yang dilontarkan dari pihak istana.

Pendekar Mabuk tidak bisa memaksa Teratai Kipas lagi. Gadis itu pun agaknya keras kepala dalam urusan yang satu ini. Tiga hari telah lewat, Teratai Kipas masih tak ingin tinggalkan Suto Sinting.

"Sebelum masalah ini selesai aku belum ingin pulang ke istana," ujar Teratai Kipas. "Aku bukan hanya senang mendampingimu saja, tapi juga penasaran dan ingin tahu siapa pemegang Pisau Tanduk Hantu sebenarnya. Aku ingin ikut membela kebenaran. Setidaknya buat pengalaman hidupku sebelum aku kembali menjadi putri keraton Majageni. Kalau aku sudah menjadi putri keraton dan apalagi sudah menggantikan kedudukan ayahku, aku tak akan mudah ikut membantumu dalam menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan seperti saat ini. Jadi biarkanlah aku ikut untuk yang terakhir kali hidupku sebagai gadis pengembara."

Suto Sinting semakin tak bisa bicara apa-apa, sehingga ia hanya bisa angkat kedua pundak tanda pasrah. Pengejaran Suto terhadap Maling Sakti tak sengaja membawanya ke arah tempat berdirinya Perguruan Tongkat Sakti. Pengejaran ini terpaksa terhenti karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana-sini sepanjang jalan menuju Perguruan Tongkat Sakti. Mata Suto dan Teratai Kipas memandang dengan terheran-heran. Asap mengepul di pusat perguruan. Pintu gerbang perguruan hancur, hangus terbakar dan tinggal sisanya menghitam di sana-sini. Suasananya sepi dan mencekam. Bau daging bakar yang hangus menandakan banyaknya korban manusia yang ikut terbakar dalam reruntuhan itu.

"Seganas inikah Durjana Belang itu menurutmu, Teratai?" tanya Suto kepada Teratai Kipas, karena gadis itu tampak hanyut dalam lamunan ketegangan.

"Mungkin saja Durjana Belang bisa seganas ini. Entah dendam apa yang ia miliki terhadap Perguruan Tongkat Sakti, yang jelas ia berhasil menghancurkan perguruan ini. Mungkin bukan saja dendam karena kedua temannya; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak, dibunuh oleh Malaikat Miskin menggunakan pisau itu. Mungkin ada dendam lain yang..."

"Tunggu, tunggu...," Suto Sinting sengaja hentikan ucapan Teratai Kipas. "Apakah kau yakin bahwa si Maling Sakti punya anggapan bahwa Malaikat Miskin yang menggunakan Pisau Tanduk Hantu untuk membunuh kedua temannya? Bukankah pisau itu ada di tangan Maling Sakti sendiri? Tentunya ia tak akan menduga bahwa Malaikat Miskin-lah yang mencelakai kedua temannya itu?"

"Aku tak yakin dengan kata-kata Setan Merakyat. Sebab kita sudah menggeledah Maling Sakti dan pisau itu tidak ada padanya. Kita sudah coba serang dia melalui tenaga dalam Jelita Bule, tapi toh dia bisa tumbang. Kurasa dia bukan Maling Sakti yang memiliki Pisau Tanduk Hantu!"

"Setan Merakyat lebih tahu dari kita, Teratai. Aku cenderung mempercayai kata-katanya. Ingat, apakah orang yang kala itu menelan Batu Sembur Getih mempunyai perbedaan rupa maupun pakaiannya? Kurasa tidak. Ya dia itulah orangnya."

"Lalu, mengapa kala diserang Jelita Bule ia bisa terpental? Mestinya dia tidak bisa diserang, bahkan wajahnya tak bisa memar merah kala ditampar!"

"Mungkin ia bisa kendalikan kekuatan Batu Sembur Getih, sehingga di depan kita kekuatan Batu Sembur Getih bagaikan tidak berfungsi sama sekali. Di belakang kita kekuatan itu digunakan sebagaimana mestinya."

"Lalu tentang pisau itu?"

"Mungkin ia punya cara sendiri untuk menyembunyikannya."

Teratai Kipas diam, merenungkan pendapat Suto Sinting. Sambil merenungkan kata-kata itu matanya mengawasi reruntuhan Perguruan Tongkat Sakti. Langkahnya pelan, mengenali setiap mayat yang ada di sekitar tempat itu. Akhirnya terpetiklah gagasan baru dalam pemikiran Teratai Kipas.

"Kurasa ada seseorang yang telah berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan si Maling Sakti sebelum ia bertemu dengan kita tempo hari itu."

"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu pindah tangan?"

"Ya. Karena jika Maling Sakti mengamuk di sini, maka mayat-mayat ini tidak akan ada. Kalau toh ada hanya beberapa saja. Maling Sakti pasti membuat para korban menjadi manusia bayangan, ia akan menggoreskan pisau pusaka itu kepada para korban di sini. Tak mungkin hanya menggunakan kekuatan tenaga dalamnya saja jika memang Pisau Tanduk Hantu masih menjadi miliknya."

Kini ganti Pendekar Mabuk yang merenungkan kata-kata Teratai Kipas. Menurutnya, memang ada benarnya pendapat Teratai Kipas. Barangkali memang benar bahwa pisau tersebut sudah pindah tangan dan tidak ada pada diri Maling Sakti. Hal yang dipertanyakan adalah; siapa orang yang berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan Maling Sakti?

"Aneh, di sini tidak ada mayat Malaikat Miskin dan Menak Goyang," ujar Teratai Kipas seraya masih menatap ke sana-sini.

"Barangkali mereka kabur saat melihat kesaktian Durjana Belang menghancur-leburkan tempat ini!"

"Rasa-rasanya janggal sekali kalau Durjana Belang bisa membuat Malaikat Miskin terdesak dan melarikan diri."

"Mengapa janggal? Bukankah Durjana Belang telah menelan Batu Sembur Getih? Tentunya kekuatannya berlipat ganda dan dapat untuk mengalahkan kesaktian si Malaikat Miskin!"

Baru saja Teratai Kipas ingin ucapkan kata, tiba-tiba tubuhnya tersentak naik dan bersalto di udara satu kali. Wuuk...! Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah pandangi gerakan Teratai Kipas. Pada saat itu ia melihat seberkas sinar merah pecah-pecah sedang menerjang tubuh Teratai Kipas. Sinar merah pecah-pecah yang dihindari itu ganti menyerang ke arah Pendeka Mabuk, karena keadaan Suto berdiri sejajar dalam satu arah dengan Teratai Kipas.

Gerakan sinar merah yang cepat itu membuat Suto tak sempat mengambil bumbung tuaknya, sehingga tangan kirinya digunakan sebagai penghadang sinar merah tersebut. Dari tangan kiri Suto Sinting keluar sinar membara warna biru. Belum sempat melesat keluar, baru saja tersumbul dari telapak tangannya sudah harus dihantam oleh sinar merah pecah-pecah itu. Akibatnya sinar merah tersebut menghantam tangan kiri Suto Sinting dengan menimbulkan ledakan yang cukup besar.

Blaaarrr...!

Tentu saja tubuh Suto Sinting terhempas kehilangan keseimbangan, ia jatuh berjungkir balik di bawah pohon delapan langkah dari tempatnya berdiri semula. Sedangkan orang yang menyerang dengan sinar merah pecah-pecah itu segera muncul dari tempat persembunyiannya pada saat Teratai Kipas sudah mencabut kipasnya dan Suto Sinting berusaha bangkit dengan lemah.

"Malaikat Miskin...!" seru Teratai Kipas dengan sikap menantang. "Mengapa kau menyerang kami? Apakah kau ingin bikin perkara dengan Pendekar Mabuk?"

"Jangan berlagak bodoh, Kipas Sate!" ejek Malaikat Miskin dengan wajah penuh gumpalan amarah.

Pendekar Mabuk cepat-cepat minum tuaknya untuk menghilangkan rasa sakit dan luka dalam akibat menghadang pukulan jarak jauhnya si Malaikat Miskin tadi. Teratai Kipas sengaja memberikan kesempatan kepada Pendekar Mabuk untuk sembuhkan diri dengan tuak, sehingga untuk sementara Teratai Kipas bertekad melayani kemarahan Malaikat Miskin semampunya.

"Tak kusangka ternyata kalian berdua lebih kejam dari orang-orang Bukit Kopong! Sekian banyak muridku yang tak tahu apa-apa kalian jadikan korban dan perguruanku kalian bumi hanguskan seperti ini!"

"Bicaralah yang benar, Malaikat Miskin! Jangan memandang dengan sebelah mata!" pancing Teratai Kipas agar perhatian Malaikat Miskin tidak tertuju pada Pendekar Mabuk yang disangka masih terluka parah itu. Padahal Suto Sinting sudah mulai segar kembali setelah menenggak tuaknya. Bahkan ia sudah mampu berdiri dengan tegak dan melangkah dengan gagahnya.

"Kau hanya sekadar mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahanmu, Malaikat Miskin," kata Teratai Kipas dengan lantang. Tak ada hormat sedikit pun kepada bekas guru kekasihnya yang sudah tiada itu.

"Kalian ingin mengelak? Kalian sudah kepergok, tak mungkin bisa menghindar dari tuduhanku!" suara Malaikat Miskin cukup keras, ia melangkah dengan penuh waspada sambil bertumpu pada tongkatnya yang mempunyai tiga cabang bagian atasnya itu.

"Malaikat Miskin," seru Suto Sinting yang kini sudah berada di samping Teratai Kipas, "Siapa yang lakukan pembumihangusan perguruanmu ini! Apakah kau melihat kami melakukannya?"

"Siapa lagi jika bukan kalian!" bentak Malaikat Miskin yang mengenakan jubah abu-abu bertambal-tambal seperti gelandangan itu. "Ketika aku melihat kepulan asap dari kejauhan sana, aku mulai cemaskan perguruanku. Lalu kuhampiri kemari dan ternyata kutemukan kalian berdua ada di sini! Tentu saja aku tak bisa mengalihkan tuduhan kepada orang lain, sebab yang kutemukan di sini adalah kalian!"

"Justru kami sedang selidiki siapa menghancurkan perguruanmu ini!" sahut Teratai Kipas. Gadis itu tampak ngotot sekali karena hatinya panas dituduh sebagai pembantai orang-orang perguruan tersebut.

"Kalian tak perlu banyak mulut lagi! Sekarang terimalah pembalasanku inil Heaaahhh...!" si Malaikat Miskin tiba-tiba sentakkan tongkatnya ke depan. Dari tiga ranting di ujung tongkat itu keluar tiga sinar berwarna hijau lurus. Sasarannya tertuju kepada Suto Sinting dan Teratai Kipas; dua ke arah Suto, satu ke arah Teratai Kipas. Tentu saja serangan itu dihadapi oleh kedua orang tersebut. Suto Sinting menangkisnya memakai bumbung tuak, sedangkan Teratai Kipas menghadang sinar hijau dengan bentangan kipas emasnya itu.

Blaaar...! Drrabb...! Wuuurrrss...!

Teratai Kipas terpental karena tak kuat menahan sentakan sinar hijau yang bertenaga besar dan berbahaya itu. Tubuhnya melayang-layang dan membentur pohon. Sedangkan Suto Sinting masih tegak berdiri karena sinar hijau itu bisa dikembalikan dengan tangkisan bumbung tuaknya. Sekalipun tubuh Suto meliuk bagai orang mabuk hendak jatuh, namun gerakan bumbung tuaknya sangat tepat menangkis dua sinar hijau.

Kedua sinar hijau kembali ke pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Malaikat Miskin menggeragap dan segera melompat ke samping dan berguling-guling di tanah menghindari sinar hijaunya. Sinar itu akhirnya menghantam reruntuhan bangunan perguruannya yang masih tersisa. Reruntuhan itu hancur menjadi serbuk halus yang tak bisa terlihat lagi ke mana gerakannya. Sedangkan Malaikat Miskin bangkit dengan tongkatnya dan memandang akibat benturan hijau itu dengan mata terbelalak, terheran-heran.

"Sehebat itukah jurus sinar hijauku itu? Rasa-rasanya tak akan sampai membuat bangunan menjadi hancur selembut debu?! Gila! Bumbung tuak bocah itu benar-benar berbahaya!" Malaikat Miskin membatin.

Terdengar pula suara Suto Sinting yang tak mau melepaskan serangan balasan, "Kuingatkan sekali lagi, Malaikat Miskin..., jangan mengumbar kemarahanmu kepada kami! Kami bukan pelaku penghancuran ini!"

"Aku tak percaya!" geram Malaikat Miskin. Tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke depan. Claaap...! Sinar merah lurus melesat ke arah dada Suto Sinting.

Dengan cepat pula jurus 'Tangan Guntur' digunakan oleh Suto Sinting. Sinar biru melesat dari tangan Suto dan bertemu di pertengahan jarak dengan sinar merahnya Malaikat Miskin. Sinar-sinar itu tidak meledak tapi saling dorong bagai ingin mendesak ke arah lawan masing-masing.

Pertemuan sinar itu memancarkan sinar lebar memercik-mercik. Kadang bergerak mendekati Suto, kadang bergerak mendekati Malaikat Miskin. Rupanya kedua tokoh itu saling adu kekuatan tenaga dalam, sehingga keduanya sama-sama gemetar, sekujur tubuh mereka bergetar dan urat-urat di leher dan tangan saling bertonjolan keluar, bagai ingin merobek kulit tubuh mereka. Malaikat Miskin langsung bercucuran keringat bagai habis mandi, tapi Suto Sinting hanya berkeringat tipis di keningnya. Tiba-tiba Malaikat Miskin angkat tongkatnya dan dari salah satu ranting di atas tongkat itu memancarkan sinar hijau lagi.

Slaaap...!

Tapi gerakan Suto Sinting masih mampu melebihi kecepatan sinar tersebut. Bumbung tuaknya diarahkan ke depan dan sinar itu menghantam bumbung tuak, memantul balik dan membuat pusat perhatian Malaikat Miskin menjadi guncang.

Zlaaap...!

Malaikat Miskin terpaksa harus hindari sinar hijau yang mengarah ke dadanya. Sinar yang membias dari bumbung Suto itu dihindari dengan cara memiringkan badan. Tapi akibat menghindari sinar hijau, adu kekuatan dengan menggunakan sinar merahnya itu menjadi lemah. Akibatnya sinar biru Suto mendesak lebih kuat dan menghantam tubuh Malaikat Miskin.

Blaaarr...! Blegaaar...!

Sinar hijau menghantam pohon, tubuh Malaikat Miskin terpental karena dihantam ledakan kuat dari sinar birunya Suto Sinting. Dada tokoh tua itu menjadi hangus sampai pada kain bajunya yang tampak hitam bagaikan habis dibakar api berdaya panas tinggi.

"Huuuhhg...!" Malaikat Miskin mengerang di tempatnya jatuh, ia tersandar pada pohon dengan tongkatnya terlepas dari tangan kanan. Kedua tangan memegangi dadanya sambil menggeliat-geliat bagaikan terbakar dadanya.

"Maaf, kau memaksaku berbuat demikian, Malaikat Miskin!"

Tokoh tua itu diam saja. Ia segera ambil sikap berlutut dan memejamkan mata. Sementara itu, Pendekar Mabuk agak terkejut melihat Teratai Kipas terkapar di bawah pohon besar. Tubuhnya mulaimengepulkan asap dan tak bergerak. Dengan cepat dihampirinya tubuh gadis itu. Wajah pucat kebiru-biruan terlihat jelas di permukaan raut muka Teratai Kipas.

"Celaka! Hampir saja aku terlambat!" gumam Suto dengan cemas, lalu ia berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Teratai Kipas yang berbibir ranum menggemaskan itu.

Di seberang sana, Malaikat Miskin menggerakkan kedua tangannya pelan-pelan dari dada menuju ke tenggorokan, dan akhirnya ia memuntahkan darah kental warna hitam. Rupanya gerakan tangan itu adalah tenaga pembersih luka yang ada di dalam dadanya. Luka itu terbuang melalui mulut dan dalam bentuk cairan hitam kemerah-merahan, ia menyalurkan hawa murninya beberapa saat dan hal itu sengaja dibiarkan oleh Suto Sinting.

Kalau saja Suto Sinting mau melepaskan pukulan lagi ke arah Malaikat Miskin, pasti tokoh tua itu akan hancur atau tumbang tak bernyawa lagi. Serangan itu akan kena sasaran tanpa meleset. Tapi toh hal itu tidak mau dilakukan oleh Pendekar Mabuk, karena ia tidak harapkan Malaikat Miskin mati di tangannya, ia cenderung mengharapkan kesadaran Maiaikat Miskin tentang salah pahamnya itu.

Setelah beberapa saat kemudian, Teratai Kipas sudah pulih kesehatannya, Malaikat Miskin mampu berdiri tegak lagi, Suto Sinting segera berkata kepada Malaikat Miskin dengan nada tegasnya,

"Percuma saja kau melawanku, karena bukan aku yang bersalah. Seandainya aku mati di tanganmu, kau pun kelak akan menyesal jika mengetahui siapa yang menghancurkan perguruanmu ini, Malaikat Miskin! Kuingatkan sekali lagi, jangan memusuhi aku dan Teratai Kipas. Jika kau ingin membalas dendam, bukan kepada kami."

"Lalu kepada siapa?!" gertak Malaikat Miskin masih menampakkan keberangannya. Matanya masih memandang dengan tajam dan ganas.

"Kami tidak tahu secara pasti siapa pelakunya," kata Suto Sinting. "Tapi cobalah kau bicara dengan Durjana Belang!"

"Si Maling Sakti...?!"

"Benar. Sebab kami melihat beberapa korban yang berubah menjadi menusia bayangan, bahkan ada yang tinggal suaranya saja yang bisa kami dengar, sedangkan sosok tubuhnya lenyap tak terlihat."

"Itu pasti karena Pisau Tanduk Hantu!" sergah Malaikat Miskin dengan tegang, ia mulai tampak lebih gusar lagi. "Apakah pisau pusaka itu ada di tangannya dan dipergunakan olehnya untuk melawan seseorang?"

"Aku tak melihat dengan mata kepala sendiri. Tapi ada korban dan saksi mata yang memberikan keterangan kepadaku, bahwa Durjana Belang memegang Pisau Tanduk Hantu!"

"Keparat, bocah itu!" kegeraman Malaikat Miskin membuat tangannya menggenggam kencang, hingga tak sadar tongkatnya menjadi sedikit retak karena tergencet genggamannya yang beraliran tenaga dalam itu. Kreek...! Kejap berikutnya, suara Malaikat Miskin terdengar lagi, "Jadi menurutmu si Maling Sakti itu yang menghancurkan perguruanku?"

"Aku tidak berkata begitu," jawab Suto Sinting. "Karena aku tidak melihat sendiri saat perguruanmu dihancurkan oleh seseorang. Tetapi perlu kau ketahui, bahwa Maling Sakti menyimpan dendam kepadamu karena menyangka kaulah yang membuat Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak, temannya itu, menjadi manusia bayangan karena tergores pisau pusaka itu. Pada saat kami menggeledahnya, kami tidak menemukan pisau itu pada tubuhnya. Kami sendiri masih bingung, benarkah Maling Sakti yang menggenggam pisau pusakamu itu, atau ada Maling Sakti kembar yang lainnya?"

"Pantas kalau dia mendendam kepadaku, karena dulu dia pernah kutolak ketika melamar menjadi muridku. Tampangnya yang memang tampang maling itu mengkhawatirkan diriku, maka aku tak mau menerimanya sebagai murid. Beberapa waktu kemudian kudengar ia menjadi muridnya Cukak Tumbila sampai sekarang!" kata Malaikat Miskin dengan wajah masih tampak menahan amarah.

"Satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Malaikat Miskin. Apakah Pisau Tanduk Hantu bisa disembunyikan dengan cara lain yang membuat pusaka itu tidak bisa terjamah dan tidak bisa terlihat oleh orang lain?"

Malaikat Miskin diam sebentar, berpikir beberapa saat, setelah itu baru menjawab dengan nada tegasnya. "Tidak bisa! Pisau itu tidak bisa disembunyikan dengan cara gaib!"

Teratai Kipas bicara pada Suto Sinting dengan suara agak pelan, "Berarti pisau itu telah dijual kepada pemesannya sebelum ia bertemu kita!"

"Kepada siapa dia menjualnya?!" sergah Malaikat Miskin yang mendengar kata-kata Teratai Kipas, ia maju hingga jaraknya menjadi empat langkah di depan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.

"Kami hanya mempunyai dugaan saja," kata Suto Sinting. "Tapi kami belum dapat keterangan, kepada siapa ia menjual pisau itu kalau memang benar dia itulah pencuri Pisau Tanduk Hantu!"

"Ggrrrmm...!" Malaikat Miskin menggeram bagai singa buas. "Aku harus segera melabraknya! Akan kutuntut Cukak Tumbila atas perbuatan muridnya ini!"

Blaasss...!

"Malaikat Miskin!" seru Suto mengejar, "Buktikan dulu apakah benar si Maling Sakti yang terlibat masalah ini atau bukan dia?!"

Tapi Malaikat Miskin sudah menghilang. Seandainya ia mendengar seruan itu, ia tak punya waktu untuk menjawabnya. Dendam dan kemarahan telah menggumpal di dada. Hasrat untuk membalas orang yang mengacak-acak Bukit Kopong semakin membakar jiwa. Suto Sinting dan Teratai Kipas hanya bisa tertegun beberapa helaan napas.

Tak lama kemudian, Pendekar Mabuk menenggak tuaknya dan setelah itu berkata kepada Teratai Kipas. "Kita ikuti saja gerakan Malaikat Miskin. Kita ingin tahu apa yang terjadi di Bukit Kopong! Setidaknya jika si Maling Sakti benar-benar tidak bersalah, kita bisa selamatkan dia dengan membawanya lari dan menyembunyikannya, biar ia tidak menjadi korban salah sasaran dalam perkara ini!"

"Yang lebih penting adalah mencari tahu siapa sekarang pemegang Pisau Tanduk Hantu itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas, dan membuat Suto Sinting hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui gagasan tersebut.

* * *

ENAM
TANGAN Teratai Kipas segera ditarik oleh Suto Sinting. Tubuh gadis itu hampir jatuh kalau tidak segera dipeluk sang pendekar tampan. Mereka terbenam di semak-semak. Teratai Kipas berdebar-debar dan membatin,

"Oh, indahnya. Mengapa baru sekarang ia berbuat begini padaku? Padahal sudah cukup banyak semak-semak yang kami lewati. Seandainya di setiap semak-semak dia berbuat begini padaku, alangkah indahnya perjalanan hidup bersamanya."

Teratai Kipas mulai pasrah, ia memejamkan mata, menunggu serangan mesra berikutnya. Tapi sampai lama menunggu tak ada serangan mesra selanjutnya. Teratai Kipas yang sudah pejamkan mata itu segera melek kembali dan berbisik dengan bibir merekah dan suara mendesah, "Mengapa tak kau lanjutkan?"

"Apanya?" bisik Suto Sinting. "Aku menarikmu ke semak bukan untuk berbuat yang tidak-tidak, tapi membawamu sembunyi secepat mungkin."

"O, jadi... jadi kau mengajakku bersembunyi?"

"Benar. Kita mengintip dua orang yang ada di balik gugusan batu cadas itu!"

Seketika itu merah pula wajah Teratai Kipas menahan rasa malu bercampur kecewa. Hatinya membatin penuh gerutu, "Sial! Kalau tahu diajak sembunyi kenapa harus berdebar-debar penuh harap? Uuh...! Dasar pemuda sinting. Sayang saja dia tampan, kalau tak tampan malas aku menemaninya. Bikin hatiku malu sendiri jika begini!"

Apa yang dimaksud Suto Sinting ternyata adalah sepasang manusia berlainan jenis yang sedang berpelukan di balik gugusan batu cadas. Rupanya pasangan yang sedang berkasih-kasihan itulah yang membuat Suto Sinting hentikan langkahnya dalam perjalanan mencari sang pencuri Pisau Tanduk Hantu.

Teratai Kipas terbelalak kaget melihat pasangan yang sedang saling berpelukan, saling bercanda penuh tawa mengikik dan berbisik. Bukan adegan itu yang membuat Teratai Kipas terkejut dan terheran-heran, melainkan karena ia mengenali siapa pasangan yang berpelukan mesra di balik batuan cadas tersebut. Mulut Teratai Kipas menyebutkan nama mereka dengan lirih dan bernada desah keheranan.

"Menak Goyang...? Oh, dia... dia bercinta dengan si Maling Sakti?!"

"Titik terang mulai tampak nyata di depan kita, Teratai Kipas. Kita dengarkan saja percakapan mereka."

"Tapi... tapi kalau mereka berbuat yang bikin hati syur bagaimana?"

"Pejamkan matamu agar tak terbawa khayalannya," bisik Suto Sinting dengan senyum tipis mekar di bibirnya.

Teratai Kipas bersungut-sungut tak jelas maksudnya. Tapi perhatian Suto Sinting sudah telanjur terlempar ke arah Menak Goyang yang sedang dirangkul Maling Sakti. Menak Goyang yang cantik itu seakan pasrah-pasrah saja ketika dikecup lehernya oleh si Maling Sakti. Bahkan ia mendongak bagaikan memberi tempat agar bibir si Maling Sakti kian bebas menikmati kemulusan lehernya. Tawa mengikik dan tubuh menggelinjang kegelian membuat si Maling Sakti kian nakal. Hasrat kejantanannya ditampakkan dalam bentuk 'Kerajinan tangan' yang cekatan serta penuh semangat juang.

"Sial! Kenapa kita harus mengintip yang beginian?" gerutu Teratai Kipas yang wajahnya sangat dekat dengan wajah Pendekar Mabuk, sampai-sampai hembusan napas dari hidung Suto terasa menghangat di pipi kirinya. Teratai Kipas tundukkan kepala, tak berani melihat adegan panas yang dapat membangkitkan semangat kemesraannya, ia takut batinnya menuntut kepada Suto dan Suto tidak mau menuruti tuntutan itu.

Tapi agaknya Menak Goyang dan Maling Sakti sengaja membiarkan hasrat mereka saling menuntut keindahan yang lebih dalam. Menak Goyang tak segan-segan memberikan apa yang diharapkan Maling Sakti. Gadis itu tiada hentinya bergoyang mengikuti kebiasaannya yang membuatnya dijuluki Menak Goyang. Tak ada waktu untuk diam bagi Menak Goyang, apalagi dalam keadaan sedang bercumbu mesra, sampai-sampai Suto Sinting berkata lirih dalam candanya yang membisik di telinga Teratai Kipas,

"Goyang terus sampai pagiii...!"

"Ssst...!" Teratai Kipas menempelkan telunjuknya di bibir Suto Sinting.

Keduanya sama-sama duduk di rerumputan bawah pohon besar, memunggungi adegan panas yang sedang berlangsung di balik gugusan batu cadas itu. Ilalang memagari pohon itu, sehingga keadaan mereka sangat rapi dan aman dari jangkauan mata sepasang orang yang sedang berkencan tersebut. Suto Sinting sengaja mengajak bicara Teratai Kipas dengan suara pelan untuk mengalihkan khayalan yang masuk ke otak mereka karena mendengar suara rintihan dan erangan si Menak Goyang.

"Aku tidak menyangka sama sekali."

"Aku juga seperti mimpi melihat mereka di sini," ujar Teratai Kipas. "Aku jadi curiga terhadap Menak Goyang. Kurasa ada hubungannya dengan Pisau Tanduk Hantu."

"Maksudmu, dia bekerja sama dengan Maling Sakti dalam masalah pencurian pisau tersebut?"

"Benar! Pasti dia yang membantu Maling Sakti masuk ke benteng perguruannya. Sedikitnya dialah yang memberikan keterangan dan petunjuk tentang bagai mana caranya mencuri Pisau Tanduk Hantu."

"Masuk akal. Tapi atas dasar apa dia berbuat begitu?"

"Mungkin secara diam-diam dia sudah lama jatuh cinta kepada Maling Sakti?"

"Ya, ya... itu pun masuk akal. Jika memang begitu, berarti sikapnya yang keras hati menuduhku sebagal pencuri Pisau Tanduk Hantu itu adalah untuk mengalihkan perhatian Malaikat Miskin, supaya tidak menuduh dan menaruh curiga kepada Maling Sakti. Aku hanya dijadikan kambing hitam dalam hal ini!"

"Tapi ketika Malaikat Miskin menemui kita bersama Menak Goyang, bukankah Malaikat Miskin menjadi berbalik menuduh orang-orang Bukit Kopong sebagai pencurinya? Pikiran itu timbul karena mendapat laporan dari Menak Goyang dan Menak Goyang mempunyai gagasan itu dari kata-katamu dulu?"

"Benar. Tapi tentunya Menak Goyang tidak menyebutkan nama Maling Sakti sebagai tertuduh utama. Seandainya disebutkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti. Jadi dengan begitu Menak Goyang tampak bersungguh-sungguh dalam memihak Malaikat Miskin. Tentu saja hal itu sudah diperhitungkan, seandainya Maling Sakti menjadi tertuduh utama maka Maling Sakti dan Menak Goyang akan melawan Malaikat Miskin secara bersama-sama dengan menggunakan Pisau Tanduk Hantu itu!"

"Licik sekali mereka itu?"

"Cinta jika sudah menggila, membuat orang menjadi licik dan banyak akal."

"Ah, bodoh amat si Menak Goyang itu. Mengapa jatuh cintanya sama Maling Sakti? Apa yang diharapkan dari Maling Sakti itu? Rupa tak punya, kegagahan tak ada, kesaktian pun begitu-begitu saja. Kekayaan sama sekali tak ada!"

"Siapa yang bisa menyelam di hati manusia? Tak ada yang bisa kecuali orang itu sendiri. Tak ada yang tahu mengapa Menak Goyang mau jatuh cinta kepada Maling Sakti. Hanya Menak Goyang sendiri yang punya alasan kuat untuk langkahnya itu."

Percakapan mereka semakin panjang mengupas hubungan Menak Goyang dengan si Maling Sakti. Dengan memperpanjang percakapan berkasak-kusuk itu suara-suara kemesraan di balik batuan cadas tidak terdengar dan tidak menimbulkan khayalan indah menuntut batin. Tak terasa mereka sudah cukup lama berkasak-kusuk di balik kerimbunan semak, sehingga suara-suara mesra itu pun hilang dan berganti percakapan ringan penuh tawa cekikikan.

"Mereka sudah selesai berlayar. Kita dengarkan percakapannya," bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas, lalu keduanya berbalik arah, menyingkapkan daun-daun ilalang pelan-pelan.

Menak Goyang dan Durjana Belang sama-sama tidak tahu kalau dua pasang mata sedang memperhatikan mereka. Tak aneh lagi jika Menak Goyang bicaranya kelewat batas, sedikit ngeres, karena ingin memancing kemesraan lebih lama dengan Maling Sakti. Agaknya si Maling Sakti sudah cukup puas bercanda dengan nada ngeres, sehingga ia bicara ke masalah Pisau Tanduk Hantu.

"Hampir saja aku tertangkap basah oleh si Pendekar Mabuk kalau saja Pisau Tanduk Hantu tidak kau pimjam untuk mengalahkan lawanmu itu."

"Apakah mereka menggeledahmu?"

"Ya. Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas serta gadis yang bertarung denganku itu sempat menggeledahku. Tentu saja aku tetap tenang karena pisau ada di tanganmu dan kau gunakan membunuh Kadarwati, musuh lamamu yang menjadi anak buah si Bancak Doya itu. Aku sempat cemas dengan kekuatan Batu Sembur Getih. Untung aku mengikuti saranmu; dengan merelakan diri dipukul dan mengendurkan pernapasan, maka tubuhku bisa dipukul seseorang. Dengan begitu Pendekar Mabuk dan dua perempuan itu terbengong bingung melihat aku bisa dibuat jatuh dan bisa kena tampar. Aku sebenarnya ingin tertawa geli melihat kebodohan mereka, tapi aku bisa menahannya kuat-kuat dengan berpura-pura ingin melabrak gurumu. He, he, he, he...!"

"Sekarang bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu itu? Apakah tetap ingin kau jual kepada istri Adipati Kumitir?"

"Menurutmu sendiri bagaimana? Sebab dijual ataupun tidak pisau ini punya keuntungan sendiri bagi kita berdua. Istri Adipati Kumitir; Gusti Permeswari Prananingsih itu, berani membayar mahal pisau ini. Uangnya tak habis dimakan empat keturunan kita. Kita bisa pergi dari sini dan pindah ke Pulau Khayalan, hidup di sana sebagai suami istri yang kaya raya, Menak Goyang. Tapi jika pisau ini tidak kita jual, kita akan menjadi pasangan suami-istri yang ditakuti para tokoh dunia persilatan."

Menak Goyang yang bersandar dalam pelukan Maling Sakti tampak tetap menggoyang-goyangkan kakinya yang melonjor. Pakaian mereka sudah rapi, duduk mereka sedikit bergeser dari tempat cumbuan tadi. Menak Goyang tampak berpikir sebentar, kemudian bertanya, "Sebenarnya untuk apa Gusti Permeswari Prananingsih ingin memiliki pisau pusaka itu? Apakah beliau bicara padamu?" sambil Menak Goyang memainkan pisau yang ada dalam sarungnya yang terbuat dari tanduk rusa purba itu. Pisau itu jelas ada di tangan Menak Goyang, mata Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas melihatnya jelas-jelas.

Tapi mereka tidak mau segera bertindak. Pendekar Mabuk sendiri bermaksud mendengarkan semua percakapan kedua pencuri tersebut untuk bekal pengetahuan dirinya selanjutnya. Apalagi percakapan itu menyinggung-nyinggung nama Istri Adipati Kumitir.

Seperti diketahui oleh Suto, bahwa istri Adipati Kumitir dulu pernah dihebohkan sebagai istri Adipati yang dibawa lari oleh Suto Sinting. Padahal yang membawa lari adalah Suto palsu. Tetapi Suto asli tahu bahwa istri adipati itu memang tergila-gila oleh ketampanan Suto palsu, sehingga ketika sang Istri Adipati Kumitir bertemu dengan Suto asli, ia mengejar-ngejar dan mengharap belaian kemesraan. Perempuan itu agaknya memang tergila-gila dengan sosok penampilan Suto palsu, hingga lupa akan martabatnya sebagai istri seorang Adipati, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Peri Sendang Keramat).

Durjana Belang yang dikenal si Maling Sakti itu menjawab pertanyaan Menak Goyang, "Secara pasti aku tak tahu mengapa Gusti Permeswari Prananingsih berkeinginan sekali memiliki Pisau Tanduk Hantu. Tapi dalam salah satu percakapan aku sempat mendengar ia keceplosan bicara, bahwa ia sedang menyimpan dendam dan cinta kepada seorang pemuda tampan. Perempuan itu hanya punya dua pilihan, Jika cintanya tidak dilayani, pemuda itu harus dibunuh. Dan pisau itulah yang digunakan untuk menandingi pemuda tersebut nantinya!"

Kini pisau ada di tangan Maling Sakti, diamat-amati bagai penuh ungkapan sayang untuk melepaskan kepada pembelinya. Tapi di balik kerimbunan semak ilalang, Suto Sinting sempat tarik napas dalam-dalam sambil menyimpan kecemasan, hatinya pun membatin, "Jangan-jangan akulah pemuda yang sedang diincar oleh istri Adipati itu. Sebab agaknya sang istri Adipati penasaran sekali akan cintanya. Mungkin sampai sekarang ia masih tergila-gila padaku."

Batin ini berhenti berkecamuk, karena perhatian Suto Sinting tertuju kepada Maling Sakti dan Menak Goyang lagi. Waktu itu Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan gadis itu tampak kegirangan menerima ciuman tersebut. Setelah itu terdengar lagi si Maling Sakti berkata,

"Kalau bukan karena kebesaran cintamu, kurasa tak mungkin aku bisa mendapatkan Pisau Tanduk Hantu ini."

"Kalau bukan karena kau pandai memberikan kepuasan batin yang amat indah, tak mungkin aku mau mengorbankan diri mencuri pisau pusaka guruku itu!" sambil tangan Menak Goyang mencubit pipi Maling Sakti. Mereka tertawa cekikikan, karena tangan Maling Sakti mulai melakukan 'kerajinan tangan' lagi yang membuat Menak Goyang tanpak senang sekali menerimanya.

Teratai Kipas berbisik kepada Suto, "Ooo... rupanya si Maling Sakti dianggap pandai memberikan kebahagiaan batin, sehingga Menak Goyang cintanya terkojor-kojor kepada Maling Sakti."

"Itulah yang kukatakan tadi, kita tak bisa tahu hati seseorang yang sebenarnya. Hanya orang itulah yang mengetahui mengapa ia mau jatuh cinta kepada seseorang. Dan kebahagiaan batin seperti yang dikatakan Menak Goyang pun belum tentu sama dengan kebahagiaan batin yang kau harapkan. Karena setiap manusia berbeda selera batinnya."

Percakapan Suto Sinting segera berhenti karena tiba-tiba mulutnya didekap oleh tangan Teratai Kipas. Teratai Kipas melirik ke arah kiri. Ternyata lirikan itu merupakan isyarat agar Suto memandang ke arah kiri. Lalu Pendekar Mabuk terperanjat kaget, hampir saja ia keluar dari persembunyian itu jika tangannya tidak ditahan oleh Teratai Kipas.

"Kita lihat saja dulu dari sini!" bisik Teratai Kipas.

Seseorang muncul dan segera melesat ke arah Menak Goyang dan si Maling Sakti. Orang itulah yang membuat Suto Sinting terkejut, karena orang itu tak lain adalah wanita cantik bekas istri jin.

"Sumbaruni...?!" desah Suto Sinting dalam kecemasan.

Kehadiran Sumbaruni juga mengejutkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Mereka cepat-cepat melepaskan diri dari kemesraan. Berpisah dan saling berdiri dengan sikap siap hadapi serangan sewaktu-waktu. Tapi Sumbaruni tampak tenang. Bahkan senyumnya keilhatan mengejek kemesraan yang tadi sempat dipergokinya itu.

Mata Sumbaruni tertuju ke arah Pisau Tanduk Hantu yang ada di tangan si Maling Sakti. Sebelum Sumbaruni bicara, Menak Goyang lebih dulu menyapa,

"Siapa kau?! Mengapa datang menemui kami di sini? Apa maksudmu?"

"Menak Goyang, kau lupa padaku?"

Menak Goyang yang bergerak-gerak pinggulnya itu mengerutkan dahi menatap Sumbaruni. Beberapa saat kemudian terdengar Sumbaruni bicara lagi dengan sikap sinisnya.

"Ketika aku menjadi bocah kecil, kau pernah melarikan aku dari tangan Suto Sinting dan menyanderaku di perguruanmu! Demikian pula kau Durjana Belang, kau pernah menyerobotku dari gendongan orang Perguruan Tongkat Sakti dan menyembunyikan aku saat Siluman Tujuh Nyawa menghendaki diriku sebagai tumbal kesaktiannya. Aku masih ingat kalian."

"Sumbaruni...?" desah Menak Goyang agak ragu.

"Ya, akulah Sumbaruni, Menak Goyang! Dulu waktu aku menjadi bocah kecil kau bisa saja seenaknya memperlakukan diriku, memperdaya Suto Sinting agar mengaku sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu. Tapi ternyata kaulah biang keladi pencurian pusaka tersebut, Menak Goyang. Rupanya kau bekerja sama dengan Durjana Belang dalam pencurian Pisau Tanduk Hantu. Pantas kau ngotot sekali menuduh Suto Sinting sebagai pencurinya, hanya untuk menutupi kekasihmu itu agar tidak masuk dalam kecurigaan gurumu!"

"Tutup mulutmu, Setan!" bentak Menak Goyang merasa malu ditelanjangi kedoknya selama ini. Tapi bentakan itu justru menimbulkan tawa tipis bagi Sumbaruni yang tak merasa gentar sedikit pun menghadapi mereka berdua.

"Terus terang saja, apa maksudmu menemui kami, Sumbaruni?" kata Maling Sakti dengan tenang, tapi matanya tampak memandang nakal ke dada Sumbaruni.

"Aku tidak akan berurusan dengan kalian," ujar Sumbaruni. "Aku hanya ingin mencari seseorang dan kebetulan tersesat kemari. Tapi suatu kebetulan aku bisa bertemu denganmu, Menak Goyang. Aku membawa kabar buruk untukmu."

"Kabar buruk apa? Kau mau menyebar fitnah?"

"Apa untungnya aku memfitnah dirimu?"

"Barangkali kau ingin merebut kekasihku ini dari pelukanku?" sambil Menak Goyang melingkarkan tangannya ke pinggang Maling Sakti.

Sumbaruni hamburkan tawa kecil. "Apa aku ini perempuan sebodoh kamu? Suto Sinting adalah kekasihku. Jika dibandingkan kekasihmu seperti bumi yang diinjak-injak kebo dan langit yang dipenuhi bidadari."

"Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu, Betina Jalang!"

"Itulah sebabnya kau jangan gede rasa dulu. Tak perlu cemburu padaku. Aku hanya ingin menyampaikan kabar padamu bahwa seseorang sedang mengamuk di perguruanmu. Mungkin sekarang sudah selesai atau mungkin juga sedang berlangsung. Orang itu mencari gurumu dan menuntut kembalinya Pisau Tanduk Hantu itu. Jika kau tidak segera pulang ke perguruanmu, maka perguruanmu akan hancur tak tertolong lagi. Mungkin pula kau tak sempat melihat gurumu menghembuskan napas terakhir. Sebab orang itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmunya gurumu; Malaikat Miskin!"

"Siapa orang yang berani berkurang ajar seperti ini?! Sebutkan namanya!"

"Siapa lagi kalau bukan Resi Pakar Pantun!"

"Oh...?!" Menak Goyang terperanjat dan menjadi tegang. Sumbaruni lanjutkan kata saat Menak Goyang adu pandang dengan Maling Sakti.

"Resi Pakar Pantun merasa sebagai pewaris yang berhak memegang Pisau Tanduk Hantu itu. Pisau tersebut diperoleh gurumu dengan cara merebut dan membunuh adik Resi Pakar Pantun. Tentunya kau sudah paham tentang hal itu, Menak Goyang. Sekarang kusarankan cepatlah kembali ke perguruanmu sebelum Resi Pakar Pantun mengamuk disana!"

Teratai Kipas berbisik, "Rupanya Sumbaruni dan Menak Goyang belum tahu kalau Perguruan Tongkat Sakti sudah hancur."

"Ya. Dan rupanya bukan Maling Sakti yang menghancurkannya, melainkan si 'Tikar Rombeng' itu."

Percakapan mereka berhenti sejenak, karena saat itu Menak Goyang membentak kepada Sumbaruni, "Kau tak perlu mengatur langkahku! Pergilah secepatnya! Biarkan kami melanjutkan kemesraan kami berdua! Kehadiranmu hanya mengganggu kemesraan dan kebahagiaan saja!"

Sumbaruni tertawa pelan. Teratai Kipas sempat berbisik pada Suto, "Apakah benar dia kekasihmu? Kudengar dia tadi mengaku sebagai kekasihmu."

"Siapa saja berhak dan boleh mengaku demikian. Tapi kenyataan yang membedakan kebenaran ucapan tersebut!" Jawab Suto Sinting sambil mata tetap mengawasi Sumbaruni, takut kalau tahu-tahu diserang dengan Pisau Tanduk Hantu.

"Aku memang tidak ingin berlama-lama di sini. Aku justru sedang mencari si Pakar Pantun. Dia punya janji padaku yang belum dilunasi! Aku akan menagihnya, jika perlu dengan kekerasan. Mulut orang tua itu memang perlu ditampar dengan pedang biar tidak bicara plin-plan lagi!"

Sumbaruni segera pergi meninggalkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Tapi dalam hati Suto Sinting menjadi gundah. "Dia mencari Resi Pakar Pantun? Mau menagih janji tentang apa? Jika ia sampai bertarung dengan Resi Pakar Pantun, itu sangat membahayakan keselamatannya. Ada baiknya kalau aku mengikuti Sumbaruni dulu dan mencegah niatnya bersikap kasar kepada Resi Pakar Pantun."

Teratai Kipas melihat kegundahan itu dari sorot pandangan mata Pendekar Mabuk. Gadis itu bagaikan cukup peka perasaannya, tahu apa yang dibatin Suto, sehingga ia berkata dengan nada sedikit ketus,

"Kalau kau mengikuti kepergian Sumbaruni, aku tak akan ikut. Biarlah aku pulang ke Majageni sendiri."

"Tapi... tapi Sumbaruni ingin lakukan sesuatu yang berbahaya!"

"Dan kau akan membelanya, bukan? Itu baik. Sebagai seorang kekasih memang bertugas melakukan pembelaan kepada wanita yang mencintainya. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak punya urusan dengan Sumbaruni. Pergilah sana dan biarkan aku pulang sendiri."

"Maksudku begini, Teratai...," ucapan Suto Sinting berhenti karena tiba-tiba ia tertarik dengan percakapan Maling Sakti dengan Menak Goyang.

"Lupakan saja tentang perguruanmu!" kata Maling Sakti. "Kau tak perlu harus kembali ke sana. Yang hancur biarlah hancur, kita melangkah sesuai dengan rencana kita sendiri."

Menak Goyang berkata, "Baiklah. Aku ikut apa saja rencanamu, asal kau jangan jauh-jauh dariku. Kalau perlu, sekarang juga kita menuju ke kadipaten Kumitir dan menjual pisau pusaka itu. Lalu, kita segera pergi ke Pulau Kayangan dan hidup bahagia di sana. Bukankah itu suatu impian yang indah, Durjana Belang?"

"Ya, Itu impian yang indah," sambil Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan sang gadis menyodorkan lebih dari pipi.

Tetapi percintaan dan kemesraan mereka terpaksa terhenti dan buyar oleh datangnya sebuah serangan bersinar merah yang mengarah kepada mereka. Claaap! Sinar merah itu melintas cepat menghantam punggung Menak Goyang yang sedang mencium Maling Sakti dengan berkobar-kobar.

Jraaab...!

"Aaah...!" Menak Goyang lepaskan ciumannya, tersentak mundur kepalanya, mengerang dalam keadaan tubuhnya menjadi hangus seketika. Rambutnya pun menjadi keriting dan akhirnya jatuh dalam keadaan kelojotan.

"Bangsaaat...!" teriak Maling Sakti marah besar. Wajahnya merah separo. Dan saat itu pula muncul di hadapannya sesosok tubuh berjubah tambal-tambal.

"Malaikat Miskin...?!" ucap Suto dengan tegang.

* * *

TUJUH
BERULANG KALI Suto Sinting ingin bergerak, tapi selalu ditahan oleh Teratai Kipas. Padahal di hati Suto Sinting sudah tak sabar, ingin segera mengamankan Pisau Tanduk Hantu itu.

"Biarkan mereka berurusan sendiri. Bukan pada tempatnya kalau kita ikut campur urusan mereka! Mereka adalah pemilik dan pencuri," Teratai Kipas memberikan alasan dan pengertian maksud menahannya.

"Tetapi pisau itu membahayakan! Bisa-bisa pisau itu memakan korban lagi kalau tidak segera diamankan. Malaikat Miskin yang menjadi korban berikutnya! Kita harus amankan pisau itu dari tangan si Maling Sakti."

"Kalau Maling Sakti menjadi korban, itu adalah hukumannya yang pernah membunuh adik Resi Pakar Pantun untuk merebut pisau itu!"

Suto Sinting diam termenung, namun matanya masih mengawasi ke arah pertemuan Malaikat Miskin dan Maling Sakti. Sementara itu, Menak Goyang agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya diam, kaku, hangus, dan tentunya sudah tidak bernapas sedikit pun.

"Kau seorang guru yang kejam, Malaikat Miskin! Muridmu kau bunuh dengan ilmu mautmu sendiri!"

"Membunuh murid murtad tidak ada salahnya!" kata Maiaikat Miskin dengan memandang tajam kepada si Maling Sakti. "Hukuman itu layak diterimanya karena rupanya dialah dalang pencurian pisau pusakaku itu!"

"Kau salah, Malaikat Miskin! Menak Goyang tidak ada sangkut pautnya dengan pisau ini!" sambil pisau pusaka itu ditunjukkan. "Hubunganku dengan Menak Goyang hanya sebatas hubungan cinta semata!"

"Omong kosong!" bentak Malaikat Miskin. "Sekarang tak perlu banyak bicara, serahkan pisau itu padaku, kau kubebaskan dari segala hukuman dan tuduhan!"

"Ini bukan pisaumu! Kau pun tidak berhak memiliki Pisau Tanduk Hantu. Sekarang aku tahu, bahwa pisau ini sebenarnya milik leluhurnya Resi Pakar Pantun! Kau memiliki pisau ini dari hasil merampasnya, Malaikat Miskin! Jadi aku semakin kuat mempertahankan pisau ini dari jangkauanmu!"

"Keparat! Kau memang bajingan busuk, Durjana Belang! Panggil gurumu dan suruh dia berhadapan denganku!" teriak Malaikat Miskin dengan berang.

Maling Sakti tersenyum sinis, "Tak perlu kau berhadapan dengan guruku, karena sebentar lagi Cukak Tumbila pun akan kutumbangkan dan aku akan berkuasa di Bukit Kopong! Siapa yang kehendaki pisau ini juga akan kutumbangkan. Durjana Belang harus berkuasa di antara para tokoh rimba persilatan. Dan pisau inilah yang akan mengadili siapa saja yang menentangku!"

"Babi sangit!" geram Malaikat Miskin dengan mulai mengangkat tongkatnya. "Kau berhadapan denganku, sama saja berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, Maling Pikun! Jangan sangka aku merasa gentar dengan senjata itu! Aku masih mampu merebutnya dari tanganmu! Lihat saja nanti!"

"Majulah kalau kau tak sayang nyawamu, Malaikat Gelandangan!"

Seet...! Pisau Itu dicabut dari sarungnya. Sarungnya dimasukkan ke ikat pinggang, sedangkan pisau berbesi baja hitam itu dimainkan dengan satu tangan oleh Maling Sakti. Gerakan jurus-jurus yang dipergunakan Maling Sakti tampak mantap dan meyakinkan, sepertinya ia memang sudah menguasai jurus berpisau tunggal. Lincah dan gesit dalam setiap gerakannya.

Malaikat Miskin segera sentakkan tongkatnya ke tanah. Duug...! Dari tanah memercik lidah api menyambar tubuh Maling Sakti. Wuuus...! Tetapi Maling Sakti segera lakukan lompatan dan berjungkir balik di udara. Wuuukk...! Ia menuju Malaikat Miskin dan segera menendangkan kakinya ke arah kepala lawan.

Wuuss...!

Dees...! Tongkat itu menghantam tepat mata kaki Maling Sakti. Pada saat menghantam, tampak ada sinar biru memercik sekejap. Claaap...!

"Auuh...!" Maling Sakti memekik, ia jatuh terpuruk karena kakinya terasa sakit, mata kaki bagaikan pecah karena hantaman tongkat bertenaga dalam tinggi. Tetapi keadaan itu justru membuat Malaikat Miskin tertegun sekejap.

"Kenapa ia hanya mengaduh sebentar? Mestinya kaki itu hancur dan tak tak bisa dipakai berjalan lagi. Untuk berdiri pun sudah tak mungkin mampu. Tapi ia ternyata masih bisa berdiri. Kakinya seperti merasa keseleo sedikit. Hebat juga kekuatan tenaga penahan luka pada kaki si Bocah Setan ini?!"

Saat tertegun itu, tiba-tiba tubuh Maling Sakti mampu melesat dan mengibaskan pisaunya ke arah dada Maiaikat Miskin. Wuuus...! Wuuut...! Malaikat Miskin tersentak mundur dan menjatuhkan diri di tanah. Jika tidak begitu perutnya akan robek terkena sabetan pisau maut tersebut. Begitu tubuh sampai di tanah, tiba-tiba tubuh itu berputar dengan menggunakan pinggulnya dan satu sentakan napas membuat tubuh itu melenting naik, lalu bersikap berdiri tegak. Jleeg...! Dan tongkatnya segera menebas ke arah kepala si Maling Sakti. Wuuut...! Cepat sekali gerakan tongkat itu, sehingga hampir-hampir kepala Maling Sakti remuk terhantam kepala tongkat.

Gerakan lincah si Maling Sakti membuat tubuhnya dalam waktu singkat sudah berada di tanah dalam keadaan tengkurap, ia berguling dengan kaki berputar naik, lalu menjejak perut Malaikat Miskin. Duuhg...!

"Heegh...!" Malaikat Miskin terpekik mendelik. Tubuhnya bagaikan dilanda badai. Terhempas kuat menghantam gugusan batu cadas yang tadi dipakai untuk bermesraan dengan Maling Sakti dan Menak Goyang. Bueehg...!

"Hiaaat...!" Tiba-tiba tubuh Maling Sakti melompat bagai seekor harimau hendak menerjang lawannya. Pisaunya terarah lurus ke tubuh Malaikat Miskin yang sedang merunduk hendak bangkit dengan berpegangan tongkatnya.

Tiba-tiba mata Malaikat Miskin melihat gerakan maut yang mengancam jiwanya. Seketika itu ia merebah kembali dan tongkatnya disodokkan ke depan. Wuuut...! Sodokan ke depan atas mengenai perut Maling Sakti. Duuhg, claap...! Sinar merah memercik dari ujung tongkat yang menyentuh perut Maling Sakti.

"Uhg...!" Maling Sakti hanya terpekik pelan, tubuhnya tertahan dan oleng ke kiri. Bruuk...! Lalu, wajahnya yang masih terangkat disapu oleh tendangan putar kaki Malaikat Miskin.

Plook...!

Tendangan itu cukup kuat dan keras, namun hanya membuat kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan membentur tanah empuk. Buuk...! Tapi wajah itu tetap utuh, tanpa luka dan tanpa darah. Malaikat Miskin cepat sentakkan badan dengan bertumpu pada tongkatnya. Badan melesat naik dan bersalto mundur dua kali. Wuk, wuk...!

"Edan!" gumamnya dalam hati setelah kakinya menapak di tanah dengan tegak. "Sodokan tongkatku tak membuatnya cedera apa pun?! Padahal biasanya sodokan tongkat membuat benda apa pun menjadi pecah, perut orang bisa jebol karena kualiri tenaga dalam yang bernama jurus 'Naga Beringas'. Tapi kenyataannya ia hanya terpental jatuh tak seberapa parah! Ilmu apa yang dimilikinya, sampai-sampai tendangan 'Sapu Neraka'-ku tidak bisa membuat kepalanya pecah. Mestinya kepalanya hancur saat terkena tendangan 'Sapu Neraka' yang tak pernah ada yang kuat menahannya itu?!"

Maling Sakti berdiri dalam keadaan tegap pula. Ia bagaikan tak mengalami rasa sakit pada kepala atau tubuh lainnya. Ia bahkan tersenyum sinis dan mulai pasang kuda-kuda lagi. Sempat pula si Maling Sakti berkata, "Jurus-jurusmu tidak berguna buat tubuhku, Malaikat Miskin! Keluarkan semua ilmumu dan aku siap menghadapinya!"

"Keparat! Monyet juling kau! Terimalah jurus 'Dewa Kilat' ini, heaaah...!" Malaikat Miskin segera putar-putarkan tongkatnya, lalu tongkat menyentak ke depan dengan digenggam dua tangan. Wuuukkk...! Dari ujung tongkat, tepat di pertengahan tiga ranting pendek itu, melesat sinar biru bergerak zig-zag bagaikan gerakan petir menyambar mangsanya. Zaap, zaap, zaap...!

Maling Sakti mengambil sikap berdiri dengan kaki merapat dan sedikit ditekuk lututnya ke depan. Pisau Tanduk Hantu digenggam di depan wajah, tangan kirinya menyangga tangan kanan yang menggenggam pisau. Kilatan cahaya biru itu masuk mengenai dada Maling Sakti.

Blegaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam sekeliling. Ledakan itu menimbulkan cahaya biru besar menyebar dan mengepulkan asap bergumpal-gumpal. Sebongkah batu yang ada di belakang Maling Sakti itu menjadi hancur berbongkah-bongkah. Pohon pun retak karena daya ledak yang menghempas sangat kuat. Beberapa tanaman semak tercabut dari akarnya dan menjadi kering dalam waktu empat helaan napas.

Namun ketika asap yang membungkus tubuh Maling Sakti itu mulai sirna, tampaklah samar-samar sosok Maling Sakti yang masih berdiri dengan kaki merapat. Sedikit pun tak ada yang luka, bahkan pakaiannya robek pun tidak. Tentu saja hal itu membuat si Malaikat Miskin terperangah bengong.

"Benar-benar gila orang ini?!" geram Malaikat Miskin lebih jengkel lagi. "Jurus 'Dewa Kilat' tak mempan menghancurkan tubuhnya? Padahal pohon saja retak, batu saja pecah, itu pun tak terkena langsung oleh kilatan cahaya biruku. Tapi dia... yang jelas-jelas dihantam cahaya biru, masih tetap utuh. Bahkan masih bisa meringis seperti kuda ganjen?! Setan alas!"

Durjana Belang yang wajahnya masih tampak merah separo karena pengaruh amarah dalam hatinya itu kini mengendurkan ketegangan uratnya. Senyumnya makin tampak seperti seringai iblis yang kegirangan menemukan mangsanya. Terucap pula kata-kata sombongnya kepada Malaikat Miskin, "Apakah masih ada jurusmu yang lebih dahsyat lagi, hah?! Keluarkan semua! Lepaskan padaku, aku akan menahannya!"

"Itu belum seberapa, Maling Kunyuk!" geram Malaikat Miskin. "Kali ini kau tak akan mampu menahan pukulan 'Tongkat Jenazah' yang tak pernah ada tandingannya. Hiaaah...! Hiaaah...!"

Wut, wut, wut...! Tubuh Malaikat Miskin berputar cepat mengelilingi Maling Sakti. Tongkatnya pun diputar cepat di atas kepala dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu keluar percikan-percikan bunga api dan membuat tongkat itu lama-lama menyala merah bagaikan besi terpanggang api yang membara.

Maling Sakti hanya diam dan terkekeh-kekeh saja. Ia tidak mengikuti gerakan lawan yang mengelilinginya dengan sangat cepat, hampir tak terlihat itu. Jurus itu membuat lawan tak mengerti kapan Malaikat Miskin hentikan gerakannya dan lepaskan jurusnya. Hanya saja, tiba-tiba tubuh itu bergerak lebih cepat lagi, lalu berhenti mendadak di belakang Maling Sakti. Tongkat yang membara merah panas itu dihantamkan ke kepala si Maling Sakti.

Wuuut...! Praak!

Blaaarrrr...!

Kembali ledakan dan asap berhamburan membungkus tubuh Maling Sakti. Teratai Kipas dan Suto Sinting sama-sama berpendapat bahwa kepala Maling Sakti pecah, karena terdengar suara benda pecah sebelum suara ledakan bergema menggetarkan pepohonan sekeliling. Namun alangkah terkejutnya mereka setelah mengetahui Maling Sakti tetap berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang, dan tertawa bagaikan kekeh tawa seorang kakek. Kepalanya masih utuh. Tapi tongkat andalan Malaikat Miskin pecah. Remuk menjadi beberapa bagian. Malaikat Miskin memandang dengan mata terbelalak tak bisa berkedip.

Dari persembunyiannya Pendekar Mabuk membatin, "Luar biasa kekebalannya! Dengan bekal ilmu kekebalan dan kelipatgandaan tenaga serta pisau itu, ia bisa menjadi tokoh sesat yang bertindak semena-mena. Agaknya aku harus bertindak cepat mengamankan pisau itu sebelum Malaikat Miskin menjadi korban."

Tetapi sebelum Suto Sinting bergerak, tiba-tiba ia terkejut melihat Maling Sakti melompat dengan sangat cepat, menerjang tubuh si Malaikat Miskin. Gerakannya itu jelas tak bisa dihindari karena menyerupai hembusan badai.

Wuuusss..! Tahu-tahu ia sudah berada di seberang sana, dari sisi kanan Malaikat Miskin pindah ke sisi kiri. Tentu saja orang yang dilintasinya menjadi terkejut dan menatapnya penuh keheranan.

"Monyet burik! Gerakannya lebih cepat dari gerakanku. Padahal setahuku, Cukak Tumbila sendiri tak mungkin mampu berkelebat secepat itu?! Dia seperti menghilang dan berbentuk angin lewat di depanku. Dan... dan... oh, celaka?!"

Malaikat Miskin menjadi tegang, karena ketika ia memandang ke bawah, ternyata pakaiannya telah robek dan kulit dadanya tergores benda tajam. Malaikat Miskin terpaku sejenak memandangi lukanya. Tubuhnya segera kelihatan gemetar. Ketegangan wajahnya kian jelas dan sangat menonjol.

Di sisi sana, Maling Sakti tertawa terkekeh-kekeh. "He, he, he, he.... Jangan kaget, itulah hukuman bagi orang yang nekat ingin melawanku, Malaikat Miskin! Sekarang kau baru percaya bahwa aku bukan tandinganmu. Tenaga dalammu tak akan mampu mencederai tubuhku, karena tanpa sengaja aku telah menelan Batu Sembur Getih yang mampu melipat gandakan tenaga dalamku dan memperkebal tubuhku! He, he, he, he...! Itulah akibatnya jika bandel Pisau Tanduk Hantu akhirnya memakan bekas majikannya sendiri! Kau tak akan bisa menyentuhku lagi, Malaikat Miskin. Kau akan lenyap setelah melewati tiga kali tujuh hari!"

"Bangsaaat...!" Malaikat Miskin yang sudah kehilangan tongkatnya itu mengamuk, ia menerjang tubuh Maling Sakti. Tapi tubuh itu hanya bisa dilewati saja, ditembus tanpa sentuhan apa pun. Tubuh Malaikat Miskin sudah menjadi bayangan tampak nyata, sebentar lagi akan menjadi bayangan hitam, lalu hanya tinggal suara, dan tujuh hari kemudian lenyap tanpa tinggalkan bekas apa pun. Malaikat Miskin mengamuk sejadi-jadinya, memukul, menghantam, menendang tapi semua itu hanya ditertawakan oleh Maling Sakti. Karena tubuh Maling Sakti tak bisa disentuh oleh Malaikat Miskin.

"Huaaahh...! Bangsat kau, Durjanaaa...!" teriak Malaikat Miskin dengan amat berang dan salah tingkah. Rasa sesalnya begitu tinggi, sehingga kemarahan yang tak bisa dilampiaskan membuatnya seperti orang kesurupan.

"Terlambat...!" gumam Suto Sinting bernada keluh, lemas, dan lirih.

"Tak perlu kau sesali, karena itulah hukuman bagi si perampas pusaka!" kata Teratai Kipas membujuk hati Pendekar Mabuk yang tampak kecewa dengan kelambatan tindakannya sendiri.

"Orang sedunia bisa dibuatnya menjadi bayangan semua oleh tindakan sewenang-wenangnya!Aku harus segera merampas pisau itu!" kata Suto Sinting, kali ini tanpa banyak memikirkan Teratai Kipas, ia melompat keluar dari balik kerimbunan semak.

Teratai Kipas akhirnya ikut muncul juga dan membuat kejutan tersendiri bagi si Maling Sakti. Sementara itu, bayangan sosok tubuh Malaikat Miskin berlari menerjang pepohonan sambil berseru dengan suara keras dan serak,

"Tunggu pembalasanku...! Kuadukan kau kepada Cukak Tumbila! Tunggu...!"

Maling Sakti tidak hiraukan teriakan yang makin lama semakin menjauh itu. Kini matanya lebih tertarik memperhatikan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas. Senyumnya bagaikan seringai bocah tanpa dosa, tapi pisau keramat itu masih nyata-nyata tergenggam oleh tangan kanannya.

Teratai Kipas mendahului bicara, "Kali ini kau tak bisa berlagak bodoh lagi, Durjana Belang! Semua rahasiamu sudah kami ketahui sejak tadi!"

"He, he, he.... Teratai Kipas dan Suto, kalian ingin rasakan juga bagaimana menjadi sosok tanpa raga? Mendekatlah kemari kalau kalian ingin seperti Malaikat Miskin itu! Tapi sebelumnya kuingatkan padamu, tak ada manusia lain yang mampu menandingiku; Batu Sembur Getih dan Pisau Tanduk Hantu telah menyatu dalam diriku! Tentunya kalian tahu bagaimana kehebatan dua pusaka itu jika menyatu dalam tubuh satu orang!"

Pendekar Mabuk masih tenang. Malahan ia sempat menenggak tuaknya beberapa teguk. Teratai Kipas yang berdiri tak jauh dari samping kiri Pendekar Mabuk segera berkata lagi, "Maling Sakti, kesombonganmu akan hancur jika kau berhadapan dengan Pendekar Mabuk, karena dia tak sama dengan pendekar lainnya! Jangan kau anggap setara dengan kesaktian Malaikat Miskin!"

"Hah, ha, ha, ha, ha, ha...! Benarkah begitu, Suto?"

Dengan kalem Pendekar Mabuk kasih jawaban, "Aku sekadar menegakkan mana yang benar dan melumpuhkan yang salah!"

"Tak perlu berbasa-basi lagi, Suto! Kau boleh bangga bisa mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa, tapi belum tentu bisa kalahkan Durjana Belang, si Maling Sakti ini!" sambil ia menepuk dada sendiri.

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, tetap tenang namun penuh waspada. Tiba-tiba ketika Suto Sinting ingin lepaskan kata, sekelebat bayangan muncul dan langsung menerjang si Maling Sakti.

Wuuut...! Brruuuus...!

Tubuh Maling Sakti terbuang dan jatuh membentur pohon. Tapi ia seperti tidak merasakan sakit sedikit pun. Dalam sekejap ia telah bangkit dan berdiri menatap bayangan yang baru datang. Orang tersebut segera disusul pelayannya yang selalu ketinggalan dalam bergerak.

Teratai Kipas berkata lirih kepada Suto, "Yaaah... si Tikar Rombeng muncul lagi! Cari penyakit saja orang ini?!"

Si Tikar Rombeng' alias Resi Pakar Pantun, memang muncul di situ dalam keadaan kebingungan mencari pencuri pusaka leluhurnya. Wajahnya tuanya menjadi ceria ketika ia melihat pisau tersebut ada di tangan Maling Sakti.

"Celana kolor buat bungkus batu. Dibuka sedikit baunya langu. Tujuh keliling kucari pusaka itu. Ternyata ada di tangan bocah dungu!"

Resi Pakar Pantun mengawali lagaknya yang gemar bermain pantun untuk mengungkapkan rasa. Ia tampak tenang dalam sikap berdiri yang masih berkesan gagah walau usianya sudah banyak.

Mata Pendekar Mabuk memperhatikan ke arah Resi Pakar Pantun, karena ia ingat Sumbaruni yang tadi mencari orang itu. Rasa khawatirnya membuat Pendekar Mabuk memancing keterangan dengan pertanyaan seakan tanpa maksud yang semestinya. "Resi Pakar Pantun, beruntung sekali kau datang kemari, karena aku ingin bertanya apakah kau tadi bertemu dengan Sumbaruni?"

"He, he, he, he.... Sumbaruni tak akan bisa mengejarku walau aku punya janji padanya. Aku tak akan penuhi janjiku sebelum berhasil merebut pusaka milik leluhurku itu!"

"Kalau boleh kusarankan, jangan teruskan niatmu Resi Pakar Pantun. Tapi aku berjanji akan merebutkan Pisau Tanduk Hantu itu dari tangannya dan akan kuserahkan padamu!" kata Suto Sinting yang mempunyai dugaan bahwa sang Resi akan tumbang jika melawan Maling Sakti.

"Celana kolor disambung-sambung menjadi sorban. Bayi sungsang hendak menuntut ilmu. Meski wajahku tua rambut beruban. Tapi tak bisa termakan kelicikanmu."

Pendekar Mabuk memandang Teratai Kipas. Gadis itu berkata lirih, "Agaknya ia tak butuh bantuanmu. Dia akan hadapi sendiri si Maling Sakti."

"Tapi dia bisa celaka dan bernasib seperti Malaikat Miskin!"

"Biarkan saja. Itu memang pilihannya."

Terdengar pula suara Maling Sakti bicara dengan Resi Pakar Pantun, "Bagiku kedatanganmu adalah hal yang menguntungkan, Resi Pakar Pantun! Dengan begitu aku tak perlu susah payah mencari orang yang akan merebut pisau ini. Aku tahu pisau ini milik leluhurmu, tapi karena sudah di tanganku, tentunya menjadi milikku. Aku tahu kau ingin merebutnya kembali, karena itu lakukanlah niatmu sekarang juga, aku akan melenyapkan ragamu seperti mereka yang mencoba menentangku!"

"Celana kolor tersangkut paku..."

"Robek?" potong Kadal Ginting.

"Belum," jawab Resi tak sadar, ia segera mendengus kesal dan mengulangi pantunnya yang ditujukan pada Maling Sakti. "Celana kolor tersangkut paku. Dilihat malu oleh sang tamu. Jangan remehkan ketuaanku. Sekali tepuk retaklah dadamu!"

Maling Sakti maju tiga langkah, Resi Pakar Pantun pun maju dua langkah. Sikap si Maling Sakti penuh tantangan, sementara Resi Pakar Pantun hanya diam dalam ketenangannya.

Teratai Kipas berbisik pada Suto, "Kali ini judulnya Celana Kolor, bukan Tikar Rombeng lagi!"

Belum sempat Suto menjawab, sudah terdengar suara Resi Pakar Pantun berkata, "Celana kolor basah ujungnya..."

"Tuh, benar kan? Celana kolor lagi?" bisik Teratai Kipas.

"Ssst...! Diamkan saja, biarkan sepuasnya dia bicara tentang celana kolor!"

"Iya, tapi aku risi membayangkannya."

"Jangan bayangkan bentuk celananya, tapi bayangkan seni pantunnya," bisik Suto Sinting.

Kasak-kusuk itu membuat sang Resi berhenti berpantun sebentar. Matanya melirik tak suka mendengar kasak-kusuk itu. Maka ia pun mengulang lagi, "Celana kolor basah ujungnya. Dicium perawan pingsan ibunya. Serahkan pisau itu kepada pemiliknya. Jangan sampai memakan korban pemegangnya."

Tawa Maling Sakti berkesan meremehkan. Tapi tawa itu tiba-tiba lenyap karena mendadak ia mendapat serangan pukulan jarak jauh dari tangan Kadal Ginting. Claaap...! Seberkas sinar kuning melesat dan menghantam pinggang Maling Sakti.

Duaaar...!

Tubuh Maling Sakti hanya terguncang sedikit, dan sinar kuning itu lenyap seketika setelah membentur pinggang Maling Sakti. Mata sang Resi sedikit terkesiap menahan rasa heran melihat Maling Sakti tak terluka sedikit pun oleh pukulan Kadal Ginting. Bahkan saat itu Kadal Ginting segera berkata pelan,

"Dia kebal pukulan, Eyang! Hati-hati!"

"Aku tahu, dan aku bisa mengatasinya sendiri. Kau mundurlah, Kadal Ginting. Biar kuhadapi sendiri bocah dogol ini!"

Maling Sakti pandangi wajah Kadal Ginting. Matanya tajam memandang dengan wajah menjadi belang, merah sebelah kanannya karena menahan kemarahan. Tiba-tiba dari mata itu keluar sinar kecil bagaikan benang lurus berwarna merah dan tertuju ke tubuh Kadal Ginting. Slaaap...!

Resi Pakar Pantun menahan dengan telapak tangan menghadang sinar kecil itu. Zeerrrbbb...! Sinar merah kecil bagaikan terkumpul di tangan Resi Pakar Pantun. Tangan itu cepat menggenggam, lalu melemparkan genggaman tersebut ke arah Maling Sakti.

Wuuut...! Claaap...!

Sinar merah terang menggumpal bagaikan bola, terlepas dari genggaman tangan sang Resi. Menghantam tubuh Maling Sakti yang tak sempat melompat menghindarinya. Jedaaar...! Ledakan mengejutkan terjadi, melepas hentakan keras. Tubuh Maling Sakti tersentak mundur tiga tindak, namun tak mengalami luka apa pun. Padahal tubuh itu tadi bagaikan dibungkus nyala api dalam sekejap. Tapi sehelai rambut pun tak ada yang terbakar.

Hal itu membuat Resi Pakar Pantun berkerut dahi pertanda memendam perasaan heran. Hatinya pun segera berkata, "Mestinya dia pecah karena sinarnya tadi. Tapi mengapa masih utuh? Rupanya ia punya ilmu kebal yang tak mempan pukulan tenaga dalam seperti itu tadi? Hmmm... baiklah. Dia boleh bangga punya ilmu kebal, tapi belum tentu bisa menahan jurus 'Tepuk Amai-amai'-ku ini"

Resi Pakar Pantun segera merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu tiba-tiba ia bertepuk satu kali. Plok...! Dari tepukan itu memercik sinar biru ke arah tubuh Maling Sakti. Seberkas sinar biru itu segera ditahan oleh telapak tangan kiri si Maling Sakti.

Claap...! Jleeb...! Sinar itu bagaikan masuk menembus telapak tangan. Tiba-tiba tangan tersebut menyentak ke depan dan keluarlah sinar biru tadi beriringan dengan sinar merah sejajar.

Sraaab...!

Melesatnya kedua sinar dihadang oleh kibasan tangan sang Resi yang menghadirkan semburan asap putih. Sinar-sinar itu masuk ke dalam asap putih, terbungkus menggumpal sekejap, lalu meledak dengan dahsyatnya, sangat diluar dugaan Suto Sinting dan Teratai Kipas.

Glegaaarrrr...!

Gelombang hentakannya begitu kuat, menyebar ke berbagai penjuru, membuat Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas nyaris terpelanting jatuh. Untung keduanya segera saling berpegangan dan bertahan pada batang pohon, sehingga mereka tak sampai terkapar seperti ynng dialami Resi Pakar Pantun. Sedangkan Maling Sakti sendiri tersentak mundur dan membentur dinding gugusan cadas. Jika tidak ia pasti akan jatuh terkapar seperti Resi Pakar Pantun dan Kadal Ginting yang tadi sempat terpekik kaget itu.

Melihat sang Resi jatuh terkapar dan berusaha bangkit lagi, Maling Sakti segera menyerang dengan gerakannya yang amat cepat Wuuut...! Hampir saja gerakan itu tak mampu dilihat oleh Suto Sinting karena cepatnya. Dan sang Resi sendiri nyaris diterjang tubuh Maling Sakti yang telah memasang Pisau Tanduk Hantu di depannya. Untung sang Resi jatuh kembali karena kakinya masih terasa lemas, sehingga terjangan itu mengenai tempat kosong.

Menyadari hal itu, sang Resi menjadi semakin tegang, ia cepat-cepat lepaskan jurusnya dengan memukul tanah satu kali. Blaaak...! Dan dari tanah itu mengalirlah tenaga dalam ke arah kaki si Maling Sakti, sehingga tubuh Maling Sakti terlempar terbang diluar dugaan. Wuuut...! Resi Pakar Pantun berdiri dengan satu lutut, kemudian ia bertepuk tangan beberapa kali. Plok, plok, plok, plaaak, plak, plok...!

Beberapa sinar kilat menghujani tubuh Maling Sakti yang sedang meluncur turun. Clap, clap, clap, clap...! Ledakan yang terjadi akibat sinar biru menghantam Maling Sakti itu terdengar beruntun sehingga menjadikan suara bergemuruh sambung-menyambung. Tanah dan pepohonan sekelilingnya ikut bergetar. Hawa panas menyebar sesuai arah angin berhembus. Tetapi tubuh Maling Sakti masih mampu mendarat dengan sigap dan tak mengalami cedera apa pun juga. Bahkan ia segera melayang bagaikan terbang menuju ke arah sang Resi dengan pisau siap ditorehkan.

"Heaaahh...!"

Sang Resi menangkis gerakan tangan berpisau yang berkelebat hendak menggores wajahnya. Plaaak...! Lalu tangan kanannya dihantamkan ke depan, dan disambut oleh hantaman tangan kiri si Maling Sakti. Plaaak...!

Duaaar...! Perpaduan kedua telapak tangan itu memercikkan sinar merah terang, dan suara ledakannya menghentak kuat, membuat kedua tubuh sama-sama terpelanting mundur.

Brrruk...!

"Aaaahg...!" Resi Pakar Pantun mendelik dengan tubuh menggeliat, berdiri dengan satu lutut bertumpu di tanah. Teratai Kipas memandang tegang ke arah Resi Pakar Pantun, karena mulut sang Resi segera memuntahkan darah segar. Wajah sang Resi menjadi pucat pasi, sementara itu wajah Maling Sakti masih segar bugar dan cepat-cepat bangkit dari jatuhnya tadi.

"Keparat busuk kau, Maling Singkong! Hiaaah...!" Kadal Ginting mencoba melakukan pembalasan atas apa yang diderita oleh majikannya, ia menyerang dengan gerakan tangan berseliweran cepat di depan wajah. Tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke depan dan gelombang hawa panas tinggi menerjang tubuh si Maling Sakti.

Wooosss...!

Tetapi orang itu hanya diam bagai dihembus hawa sejuk tanpa rasakan sengatan panas sedikit pun, sedangkan tanaman di belakangnya menjadi lekas layu dan mengering dalam dua kejap saja. Tapi Maling Sakti tak mengalami luka bakar sedikit pun. Bahkan ia maju dalam satu lompatan dan kakinya menendang dada Kadal Ginting.

Duuuhg...!

"Huaaahhg...!" Kadal Ginting terpental jauh dan jatuh terkapar di sana dalam keadaan menyemburkan darah dari mulutnya.

"Kalian berdua memang cari mampus!" bentak Maling Sakti. "Sekarang tibalah saatnya merubah nasibmu ini menjadi manusia tanpa raga, Resi Bodoh! Hiaaah!"

Maling Sakti berkelebat cepat menerjang sang Resi dengan pisau dikibaskan. Namun sebelum pisau itu mengenai tubuh sang Resi, tiba-tiba Suto Sinting bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah dilepaskan dari busurnya itu.

Zlaaap...! Duuusss...!

Kakinya berhasil menendang lengan Maling Sakti. Tubuh itu tersentak ke samping sehingga ketika tangannya berkelebat mengibaskan pisau, yang terkena pisau adalah dinding cadas di samping Resi Pakar Pantun. Jraaasss.,.! Namun lutut Maling Sakti menyentak maju dan tepat kenai dada sang Resi yang sedang kesakitan. Duuuhg...!

"Uuhhg...!" sang Resi kian mendelik, hidung dan telinganya mengucurkan darah segar. Sodokan lutut itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang amat besar, mampu memecahkan sebongkah batu marmer yang besarnya seperti kerbau. Jika sang Resi tidak dilapisi tenaga dalam kuat, dada itu pasti jebol seketika dan tak ada ampun lagi bagi keselamatan jiwanya. Untung sang Resi berlapiskan tenaga dalam besar, sehingga dada itu hanya mengalami luka dalam yang cukup parah, ia menjadi sukar bernapas, sekali bernapas tersentak-sentak. Wajahnya makin pucat bagaikan kapas putih.

Maling Sakti sangat marah, sebab mestinya ia sudah berhasil menggoreskan pisau itu ke tubuh Resi Pakar Pantun, tapi karena ditendang Pendekar Mabuk, sasarannya jadi meleset. Maka wajahnya yang merah separo itu semakin bertambah merah lagi. Kini Suto Sinting yang menjadi sasaran kemarahannya, karena ia tahu bahwa sang Resi sudah terluka parah dan mudah untuk dibereskan.

"Akhirnya kau ingin minta giliran juga, Suto Sinting!"

"Aku hanya menyelamatkan orang yang memang berhak memiliki pusaka itu!"

"Tak perlu banyak mulut, terimalah pisau maut ini! Hiaaah...!"

Maling Sakti melompat menerjang Pendekar Mabuk. Pisaunya berkelebat merobek tangan sang pendekar tampan. Tapi gerakan tangan Pendekar Mabuk cukup gesit. Dengan sedikit bergeser ke kanan, pisau itu berhasil membentur bumbung tuak sakti.

Blaaarrr...!

Benturan pisau dengan bumbung tuak mengakibatkan ledakan besar yang mementalkan tubuh Pendekar Mabuk. Tubuh itu kontan ke samping dan kepala sang pendekar tampan membentur batang pohon. Duuurr...! Pohon besar itu berguncang, daunnya berjatuhan karena mendapat benturan hebat dari kepala Suto Sinting. Mestinya kepala itu pecah, sedikitnya bocor karena benturannya sangat kuat. Tapi karena kepala itu juga dialiri tenaga dalam, maka yang dialami Suto Sinting hanya pusing dan berkunang-kunang. Pandangan matanya sedikit kabur.

Sedangkan tubuh Maling Sakti terpelanting membentur batu hingga batu itu mengalami keretakan di beberapa tempat. Tapi Maling Sakti bagaikan tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia cepat bangkit dan segera menyerang Suto lagi.

"Heaaat...!" ia berlari sebentar, lalu melompat sambil mengibaskan pisau ke punggung Suto Sinting yang tengah berusaha bangkit membelakangi.

"Sutooo...! Awaaass...!" teriak Teratai Kipas.

Suto Sinting mendengar jelas teriakan itu. Ia segera berbalik dan kakinya bergerak memutar. Plook...! Dengan tubuh condong ke kiri, kaki itu berhasil menendang wajah Maling Sakti sangat kuat. Akibatnya pisau itu tak sempat bergerak merobek kulit punggung Pendekar Mabuk. Tubuh si Maling Sakti jatuh ke samping dan berguling-guling.

Pendekar Mabuk melompat jauhi lawannya. Tubuhnya bergerak limbung bagaikan orang mabuk yang hampir jatuh. Tapi sebenarnya itulah jurus aneh milik Suto Sinting. Kadang menukik, kadang menggeloyor ke samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke belakang dan tepat kenai wajah Maling Sakti yang baru saja hendak bangkit.

Plaaak...!

Mau tak mau kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan membentur batang pohon jati dengan keras. Duuuhg...! Pohon itu bergetar karena kuatnya benturan. Tapi kepala Maling Sakti tetap utuh, tanpa luka ataupun lecet sama sekali. Bahkan ia bagaikan tak merasakan pusing sedikit pun, terbukti dapat bangkit dengan segera.

Suto Sinting cepat-cepat tenggak tuaknya. Glek, glek..! Cukup dua tegukan, sisanya disimpan di mulut. Karena pada waktu itu, Maling Sakti telah datang menyerangnya dengan pisau dihunjamkan ke dada Suto Sinting. Maka, kaki Suto segera menghentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara tepat pada saat pisau itu menghunjam.

Wuuut...!

Bruuusss...! Tuak di mulut disemburkan ke arah tangan yang memegang pisau. Tapi yang terkena semburan tuak bukan tangan saja, melainkan kepala Maling Sakti pun basah oleh air tuak. Jurus 'Sembur Siluman' dipergunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu membuat Maling Sakti terbelalak kaget dan terbengong-bengong. Pisau Tanduk Hantu lenyap dari tangannya. Lenyap tak berbekas apa pun kecuali sarungnya yang masih terselip di pinggang.

"Bangsat...?! Mana pisauku?! Mana pisau itu?!" Maling Sakti mencari-cari ke rerumputan, disangkanya pisau itu jatuh tak disadarinya. Padahal pisau itu lenyap, karena jurus 'Sembur Siluman' memang berguna melenyapkan benda apa pun yang disemburnya.

"Pisaumu telah lenyap! Tak akan bisa kau temukan lagi, karena jurus 'Sembur Siluman'-ku bertugas melenyapkan apa saja yang berhasil kusembur dengan tuak saktiku! Menyerahlah dan sadarlah, Maling Sakti! Di atas kekuatanmu masih ada kekuatan lain yang lebih tinggi, yaitu kekuatan Yang Maha Kuasa..."

"Persetan dengan celotehmu! Kalau kau tidak mengembalikan pisau itu, kuhancurkan kepalamu sekarang juga, Suto!" bentak Maling Sakti, ia tampak marah besar. Tangannya mulai membentuk cakar harimau, ia akan lepaskan jurus andalannya.

Namun sebelum itu, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat menghantam punggungnya. Sinar itu datang dari suara tepukan tangan Resi Pakar Pantun yang agaknya menghabiskan sisa tenaganya untuk mencoba tumbangkan si Maling Sakti. Sinar biru itu melesat cepat menghantam punggung Maling Sakti.

Claap...! Blaaarrr...!

Sinar menyilaukan mengembang. Asap mengepul membungkus tubuh Maling Sakti. Suto Sinting terpental mundur dua tindak, merapat di pohon. Tak lama kemudian terdengar suara merintih tertahan dari dalam kepulan asap itu. Angin bertiup menerbangkan kepulan asap, maka terlihat jelas sosok Maling Sakti yang amat menyedihkan. Tubuhnya terkelupas, pakaiannya compang-camping, hangus terbakar. Mulutnya keluarkan darah segar, demikian pula hidung dan telinganya. Daging tubuhnya tampak tersayat-sayat mengerikan, ia masih mencoba bertahan, tapi akhirnya tak kuat juga dan jatuh terkapar dengan erangan memanjang.

"Uuugghh...!"

Rupanya jurus 'Sembur Siluman' bukan saja melenyapkan Pisau Tanduk hantu namun juga melenyapkan kekuatan Batu Sembur Getih yang membuat kebal tubuh Maling Sakti. Akibat hilangnya kekebalan itu, maka kilatan cahaya biru dari jurus 'Tepuk Amai-amai' milik Resi Pakar Pantun itu telah berhasil menghancurkan raga si Maling Sakti. Bahkan dua helaan napas setelah si Maling Sakti jatuh, Suto Sinting yang mau mengobatinya dengan tuak menjadi terhenti langkahnya. Maling Sakti hembuskan napas terakhir, untuk kemudian tak mampu bernapas selama-lamanya. Ia mati dalam keadaan raganya hancur mengerikan.

Pendekar Mabuk segera menolong Resi Pakar Pantun dengan tuaknya. Kadal Ginting pun nyaris terlambat jika Suto tidak segera menuangkan tuak ke mulut si pelayan Resi Pakar Pantun itu. Ketika keadaan mulai membaik, Resi Pakar Pantun pun berkata kepada Suto Sinting,

"Celana kolor digelar di atas meja."

"Sudah, sudah..., pantunnya nanti saja," kata Pendekar Mabuk melihat napas sang Resi masih belum teratur. "Sekarang istirahatkan dulu ragamu, juga otakmu, supaya lukamu lekas sembuh dan tenagamu pulih kembali."

"Terima kasih atas bantuanmu... tapi, bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu?"

"Apakah kau masih ingin agar pisau itu menjadi sumber bencana bagi orang yang tak bersalah?"

Resi Pakar Pantun diam, menenangkan engahan napasnya. Teratai Kipas berkata kepadanya, "Relakan saja pisau itu lenyap daripada menjadi sumber bencana, tak urung kau juga yang menanggung dosanya, karena kau pewarisnya!"

"Ya sudahlah...," ujar sang Resi. "Celana kolor buat membungkus cincin. Golok tajam jangan dipakai gosok gigi. Rupanya tak ada lagi pilihan lain. Demi perdamaian manusia kurelakan pusaka itu pergi."

Kadal Ginting ikut-ikutan bermain pantun, karena ia merasakan badannya mulai segar kembali. "Celana kolor terbang ke angkasa, Disambar burung, burungnya mati..."

Karena lama tak ada lanjutannya, Resi Pakar Pantun melirik pelayannya yang ada di samping dan bertanya, "Lanjutannya bagaimana?"

"Saya hanya ingin kasih tahu ada burung goblok. Sudah tahu celana kolor masih saja disambar, akhirnya menutupi mata dan ia menabrak pohon! Mati!"

Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tertawa. Lebih geli lagi melihat kepala Kadal Ginting dikeplak oleh sang Resi.

Ploook!

"Hargailah pantun supaya umurmu panjang!"

"Apa hubungannya, Eyang?"

"Tidak ada!" jawabnya dengan kesal, dan itulah canda sang Resi yang merasa beruntung bertemu dengan Pendekar Mabuk yang ilmunya dianggap ilmu gila-gilaan. Tapi diam-diam sang Resi merasa kagum melihat sikap Suto Sinting yang tak mau gegabah membunuh lawan walau dengan mudah hal itu bisa dilakukan pada saat Maling Sakti kehilangan pisaunya tadi.

"Bukan manusianya yang dibunuh, tapi kejahatannya yang wajib dimatikan!" itulah pedoman Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak yang punya tugas menjadi penegak kebenaran di rimba persilatan.

SELESAI