Peri Sendang Keramat - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Peri Sendang Keramat
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
LANGIT berwarna merah tembaga. Matahari fajar memantulkan sisa cahayanya yang semakin menipis. Lalu sang matahari pun pelan-pelan tersembul dari balik bukit sebagai tanda bahwa pagi kian menua. Matahari itu terlihat jelas dari ketinggian sebuah pohon.

Di pohon itu sepasang mala mula memandangi alam pagi. Pemuda tersebut berambut agak panjang, selewat pundak, lurus den lemas. Wajah tampannya bersih tanpa kumis dan jenggot. Pakaiannya masih itu-itu saja baju coklat tanpa lengan dan jarang dikancingkan, serta celana putih kusam, entah berapa hari sekali dicucinya. Tak lupa bumbung tuak selalu ada disampingnya. Kapan saja Ia butuhkan tinggal buka tutupnya langsung tuang isinya ke mulut, Glek, glek, glek...!

Ciri-ciri itu sangat dikenal di kalangan para tokoh persilatan. Hanya ada satu orang berciri tampan dan membawa bumbung tuak, yaitu Pendekar Mabuk murid sintingnya si Giia Tuak dan Bidadari Jalang. Orang lebih sering memanggiinya Suto. Karena limunya yang tinggi itu dianggap gila-gilaan, tingkah lakunya yang sering berani nekat itu juga dlanggap gila-gilaan, maka ia dikenal dengan nama Suto Sinting.

Namun agaknya sekarang ciri-ciri itu sedang jadi masalah bagi si tampan sinting itu. Bangun dari tidurnya di atas pohon, masalah itu langsung direnungkan. Dipikirkan dengan wajah penuh keprihatinan. Renungan itu terpaksa dihentikan karena di bawah terdengar suara langkah orang berlari menerabas semak. Suto Sinting belum mau turun dari atas pohon. Ia hanya melongok ke bawah melihat dari kerimbunan daun.

Rupanya yang melarikan diri terburu-buru itu adalah seorang gadis berambut kepang dua. Kepangnya cukup panjang sampai sebatas punggul. Satu kepangnya dililitkan ke leher. Mungkin kepang yang satunya juga dililitkan leher, tapi karena dipakai lari maka kepang yang satunya itu lepas.

la mengenakan pakaian merah jambu lengan panjang dirangkap rompi panjang sebatas paha warna biru muda berhias benang emas di tepiannya. Warna pakaian itu sangat serasi dan menambah kecantikannya, sesuai dengan warna kulitnya yang putih mulus. Tubuhnya sekal, tak begitu kurus juga tak begitu gemuk, usianya sekitar dua puluh dua tahun!

"Cantik juga anak itu?" gumam Suto lirih dari atas pohon. "Kenapa Ia berlari-lari katakutan begitu? Siapa yang mengejarnya? Lho... malah naik ke pohon ini? Wah, bagaimana ini? Oh, dia bisa memanjat pohon dengan cepat? Ya, ampun... mirip gerakan monyat ketakutan naik ke pohon?"

Tab, tab, tab, tab...! Gadis itu sudah ada di salah satu dahan berdaun rindang dalam waktu yang amat singkat. Padahal pohon itu tinggi, tapi si gadis berwajah imut-imut itu mampu memanjatnya dengan cepat sekali. Suto Sinting dibuatnya kagum, sebab ia merasa akan kalah jika beradu panjat pohon dengan gadis itu. Tapi Suto masih diam di atas gadis itu, sengaja tidak bergerak sedikit pun karena ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi terhadap diri si gadis berwajah imut-imut menggemaskan itu. Suto malah menikmati kecantikannya.

"Matanya bundar tapi tidak lebar. Bulu matanya lebat dan indah, bisa untuk kipas kalau ada debu masuk ke mata. Oh, mata itu begitu bening, seperti mata bayi tak berdosa. Hidungnya mancung tapi kecil, meruncing. Bibirnya, waaah... deg-degan juga aku melihat bibirnya yang kecil, mungil, indah, tampak selalu basah, bikin hati lelaki cepat pasrah. Sedangkan belahan dadanya yang tertutup baju sebagian itu tampak sekal, kencang, dan menonjol, tapi tidak berkesan jalang. Bentuk dada itu punya seni keindahan yang enak dipandang mata, tapi... yah, tentu saja lebih enak kalau di... di... dirujak babek!" Suto Sinting tertawa sendiri dalam hatinya.

Gadis itu masih ngos-ngosan dengan cuping hidungnya yang kecil berkembang-kempis. Matanya masih berkesan takut dalam menatap ke arah kedatangannya tadi. Gerakannya yang lincah, naik satu dahan lagi dengan cepat, dapat disimpulkan kebandelan gadis itu sering membuat orangtuanya jengkel.

Suto langsung beranggapan gadis itu nakal, dalam arti nakalnya lumrah, bukan nakal mesum. Mungkin sejak kecil ia lebih suka pakai celana pendek dan panjat-panjat pohon daripada bermain boneka atau masak-masakan dengan teman putri sebayanya.

Tak sadar Suto. Sinting menjadi suka sama gadis itu. Bukan cinta, tapi sekadar suka dengan kelincahan dan kemungilan wajahnya yang dapat mengundang tawa lucu dalam hati.

Gadis berpedang pendek di pinggangnya itu tak tahu kalau di atasnya ada orang, ia naik lebih tinggi lagi supaya tidak diketahui oleh pengejarnya. Sesekali wajahnya menunduk, matanya memandang ke bawah dengan rasa cemas menyertainya. Karena matanya meleng, tangan berikutnya meraih dahan diatas, tapi yang diraih adalah kaki Suto yang sedang duduk dengan berjuntai kaki.

Pleek...! Kaki itu dipegang. Sang gadis yang memandang ke bawah menjadi tegang. Diam tak bergerak dengan mata tak barani melirik ke atas. Suto Sinting senyum-senyum saja dan membiarkan kakinya dibuat pegangan. Tapi sang gadis sudah mulai curiga dan kian cemas dengan apa yang dipegangnya. ia menggumam gemetar, gumam itu didengar Suto juga.

"Wah... ular! Pasti ular"

Dengan masih belum berani melirik ke arah benda yang dipegangnya, tangan itu bergerak pelan sekali. Seakan meraba untuk menjajagi apa sebenarnya dipegangnya itu. Rabaannya sampai ke lima jari kaki Suto. Terdengar gadis itu berkata lirih,

“Wah, benar... pasti ular! Ular bermata lima, Celaka! Mati aku kalau begini. ini mata ular apa jalu ular?"

Si gadis segera meraih gagang pedangnya untuk dicabut. ia akan tebas ular yang dipegangnya itu dengan pedang. Tetapi sebelum pedang terhunus, Suto Sinting yang takut dipotong kakinya segera berkata menegur sopan,

"Aku bukan ular kok, Neng...!"

"Hahhh...!" gadis itu kaget dan memekik, segera memandang ke atas, menatap pemuda tampan sesaat, matanya menjadi redup, tubuhnya melemas dan ia pun jatuh melayang karena pingsan.

"Lho...? Kok malah pingsan?!" Suto segera bergerak turun dengan gunakan limu "Layang Raga'-nya. Wuuusss..,! Tubuh gadis yang hendak jatuh menerabas ranting dan dedaunan itu segera ditangkap. Plek...! Lalu tubuh yang ditopang dengan dua tangan itu dibawa turun dengan gerakan tubuh Suto yang lurus ke bawah dan menapak di tanah dengan tanpa guncangan keras.

Jleeg...! Ia berdiri tegak, tak limbung sedikit pun. Rupanya Pendekar Mabuk sudah kuasai jurus 'Layang Raga' separo bagian, sehingga tubuhnya bisa terangkat sendiri dari tanah dan turun sendiri dengan gerakan pelan. Tiga purnama yang lalu, ketika ia berhadapan dengan Dara Cupanggeni, jurus "Layang Raga' belum setinggi ini. Berkat latihan tekunnya di tengai samudera dengan tanpa menghiraukan kehidupan sekelilingnya, maka jurus 'Layang Raga' memcapai separo tingkat yang harus dilanjutkan lagi hingga mencapai satu tingkatan penuh.

Gadis itu segera sadar dari pingsannya seteiah diperciki air tuak dengan tangan. Begitu mata terbuka, kesadaran terjaga, gadis itu langsung memeluk Suto Sinting setelah Suto berkata,

"Aku manusia, bukan peri penunggu hutan ini!"

Pelukan gadis itu membuat Suto Sinting menjadi kaget dan ganti nyaris pingsan. Sebab pelukan itu disertai ciuman bertubi-tubi di pipinya. Gadis itu bahkan manja diliputi rasa girang dan haru. Tentu saja Suto Sinting berkata membatin,

“Gadis ini gila apa linglung? Tadi begitu melihatku langsung pingsan. Sekarang melihat yang kedua langsung menciumiku dengan menangis. Wah, wah, wah... bahaya ini! Aku harus bisa hentikan ciumannya ini. Tangisnya pun juga harus kuhentikan supaya Ia bisa diajak bicara...."

Pendekar Mabuk akhirnya berhasil merasakan ciuman dan menyingkirkan tangis. Jelasnya, mereka kini saling berhadapan dalam jarak dekat. Dekat sekali, sebab gadis itu belum mau lepaskan pelukannya. Kedua tangannya masih melingkar di pinggang Suto Sinting. Wajahnya sedikit mendongak karena tinggi tubuhnya lebih rendah dari Suto.

"Tolong jelaskan dulu, mengapa kau pingsan begitu melihatku dan menangis begitu melihat yang kedua kalinya?" tanya Suto Sinting.

"Bagaimana tidak pingsan? Kusangka kau benar-benar sudah mati!" jawab si gadis dengan mulut bersungut-sungut menampakkan kemanjaannya, "Hampir saja aku bunuh diri karena tak berani hidup tanpa dirimu!"

“Lalu kenapa kau mau bunuh diri?"

"Habis, aku takut kalau aku bunuh diri nanti mati beneran, kan repot!" ujarnya bersungut-sungut juga sambil tangannya memainkan tepian baju Suto.

Sebenarnya benak Suto Sinting diliputi keheranan yang besar. Ia tidak tahu siapa gadis itu. Ia merasa belum pernah kenal dan baru sekarang bertemu muka dengan gadis itu. Anak siapa, namanya siapa, rumahnya di mana, semuanya tidak dikatahui Suto Sinting. Tapi sikap gadis itu seolah-olah sudah sangat akrab dan cukup lama mengenal Suto Sinting. Aneh kan?

Anehnya lagi, Suto Sinting mau bertanya: 'siapa dirimu, siapa namamu' tapi Ia merasa ragu dan malu. Takut disangka sombong. Takut ada kata-kata yang mengecamnya, "Sejak menjadi pendekar terkenal kamu sambong, ya? Pura-pura tidak mengenal diriku. Huh... Mbok kalau jadi orang kesohor itu jangan sombong. Kacang ya kacang, tapi jangan lupa kulitnya...," dan sebagainya, dan sebagainya.

Karena itu, rasa ingin tahu dan keheranan yang besar hanya disimpan dalam hati Suto, ditangguhkan untuk beberapa saat. Pendekar Mabuk perlu melepaskan pelukan tangan gadis itu dulu dengan cara berlagak menenggak tuak.

"Lepaskan dulu tanganmu, aku mau minum tuak. Jangan sampai wajahmu kesampluk bumbung tuak ini. Sayang kan... bumbungnya," ledek Suto, dan gadis itu tertawa ceria seraya mencubit lengan Suto.

Cubitan itu membuat Suto terkejut berjingkat. Cubitan itu pelan, tapi sakitnya luar biasa. Begitu Suto Sinting menengok pada lengan yang dicubit gadis itu, "Ya ampuuun... bisa menjadi sehitam ini?" gumam Suto dalam hatinya. "Nyubit saja pakai tenaga dalam? Weh, gawat juga gadis ini!"

Untung tuak Suto itu punya khasiat penyembuhkan yang amat tinggi, sehingga warna memar hitam pada lengan yang habis dicubit bisa segera lenyap setelah menenggak tuak beberapa teguk. Sementara itu, si gadis melangkah mendekati jalan tempatnya detang tadi, melongok jauh sebentar, lalu kembali temui Suto.

"Ada apa di sana?" tanya Suto.

“Tidak ada siapa-siapa," jawab gadis bersuara merdu itu

"Lalu, kenapa kau lari ketakutan? Kenapa tadi kau bersembunyi di atas pohon? Siapa yang mengejarmu dan yang membuatmu ketakutan?" tanya Suto Sinting memancing penjelasen. Siapa tahu dari penjelasan itu Ia dapat kenali nama gadis tersebut, atau asal-usulnya.

Gadis itu duduk di sebatang kayu kering bekas pohon yang tumbang beberapa waktu yang lalu. Ia duduk bukan dengan sikap duduknya seorang puteri, melainkan seperti sikap duduknya seorang lelaki. kedua sikunya bertumpu menumpang kedua paha, dan badannya sedikit membungkuk. Tangannya mainkan sahelai rumput bertangkai.

"Aku dikejar-kejar oleh orangnya Tuanku Nanpongoh..."

Pendekar Mabuk memutus kata, “Siapa Tuanku Nanpongoh itu?”

Gadis mungil itu memandang Suto dengan sikap protes, "Jangan berlagak bodoh. Kau sudah tahu siapa orang itu."

Mau tak mau Suto Sinting hanya sunggingkan senyum berkesan canda. Padahal dalam hatinya membatin, “Sumpah mati aku belum tahu siapa Tuanku Nanpongoh itu. Tapi kalau aku ngotot, pasti gadis ini tidak percaya dan akan semakin ngotot, ia merasa sudah mengenalku. Perdebatan tak akan menjadi ada habisnya kalau aku ngotot menyatakan diri belum mengenalnya. Sebaiknya kuselidiki sendiri dari ceritanya nanti."

Suto Sinting segera ajukan tanya, "Kenapa kau dikejar-kejar oleh orangnya Tuanku Nanpongoh?"

Gadis itu memandang lagi dengan sikap kesal. "Pura-pura tidak tahu!" ucapnya dalam gerutu.

“Anggap saja aku tidak tahu, Tolong jelaskan."

Tapi sebejum gadis itu bicara, tiba-tiba dua kelebat bayangan melintas menerabas semak befukar. Tahu-tahu dua bayangan itu sudah berdiri di depan Suto dan gadis itu dalam sosok dua lelaki berwajah bengis. Kemunculannya membuat gadis itu kaget dan tarlonjak dari duduknya, langsung ambil sikap ke samping Suto, seakan ingin berlindung di belakang Pendekar Mabuk. Suto pun juga kaget, tapi tidak mau ikut-ikutan terlonjak seperti gadis itu. Rasa kagetnya dipendam dalam hati dan membuatnya tersedak nyaris batuk. Ia berbisik kepada gadis itu,

"Lain kali kalau kaget jangan begitu. Jantungku hampir copot!"

“Maaf, aku tidak sengaja kaget!" bisik gadis itu membalas.

Dua orang berwajah angker itu masih diam, tenang dan matanya mancarkan keganasan dari sorot matanya. Yang Satu segera melipat tangan di dada, wajahnya yang lonjong sedikit didongakkan, seakan ingin tunjukkan sebagai tokoh berilmu tinggi yang punya kharisma. Padahal menurut Suto tagaknya justru mirip patung berhala yang tidak laku dipuja lagi. Rambutnya tipis kucai, kumisnya juga tipis melengkung ke dagu, matanya sedikit kecil, badannya kurus, Pakaiannya serba hitam, senjata adalah berupa tombak bergagang pendek sekitar dua jengkal. Ujung tombaknya ditutup kayu hitam.

"Siapa mereka?" bisik Pendekar Mabuk sedikit miringkan kepala ke kiri, sebab gadis itu ada di sebelah kirinya.

"Kau pasti sudah mengenalnya," balas gadis itu membisik.

"Aku lupa."

Gadis itu mendesah kecil memendam kesal di hati, "Yang berpakaian hitam itu Sangkur Balang, yang berpakaian hijau adalah si Mulut Petir, Merekalh yang mengejarku. Mereka Orangnya Tuanku Nampongoh."

"Oh, ya. Aku ingat sekarang," kata Suto berpura-pura. Matanya segera pandangi sosok gemuk si baju hijau yang berjuiuk Mulut Petir itu. Mulutnya memang lebar dengan bibir tebal. Rambutnya pendek diikat kain merah. Matanya lebar, alisnya tebal, kumisnya juga tebal. Penampang wajahnya juga lebar dengan hidung tergolong besar. Bajunya yang tidak dikancingkan menampakkan permukaan dadanya sedikit berbulu dan keras. Perutnya agak membuncit, diikat dengan sabuk hitam. Sebilah golok terselip di sabuk itu.

"Apakah kau tak berani hadapi kedua orang itu?" bisik Suto lagi.

Gadis itu menjawab, "Berani. Tapi aku jijik jika menyentuh kulit mereka. Apalagi menyentuh kulitnya si Mulut Petir yang hitam keling itu, ah... susah cuci tangannya nanti."

Suto tersenyum menahan geli. "Hadapilah dulu dia, kalau macam-macam, biar aku yang maju!" Suto sengaja pancing demikian, karena dari percakapan gadis itu dengan dua orang tersebut pasti akan di kesimpulan lebih jelas tentang jati diri si gadis. Agaknya gadis mungil itu pun tak keberatan memenuhi permintaan Pendekar Mabuk. Saat bumbung tuak ditenggak, gadis itu maju tiga langkah di depan Suto Sinting, letak berdirinya sedikit ke kiri, sehingga Suto dapat melihat keadaan kedua orang angker itu tanpa terhalang apa-apa.

“Demi keselamatan bersama, kumohon kau pulang ke rumah, Dewi Angora!" kata Sangkur Balang menyebutkan nama gadis itu, sehingga Pendekar Mabuk menggumam dalam hatinya.

“Ooo... gadis itu bernama Dewi Angora. Cantik namanya."

Dewi Angora menjawab dengan ketus, "Pulang kerumah untuk apa? Kau tidak punya hak menyuruhku pulang atau ini-itu, Sangkur Bajang. Kau bukan saudaraku dan bukan apa-apaku! Aku mau pergi atau pulang itu urusanku!"

Si Mulut Petir yang bersuara besar itu berkata keras, "Kalau kau tak mau puiang, kami diberi wewenang untuk menyeretmu, Dewi Angora!"

"Siapa yang memberi wewenang? Tuanku Nanpongoh?!“ sambil Dewi Angora bertolak pinggang dalam sikap menantang.

"Keduanya," jawab Mulut Petir. "Tuanku Nanpongoh dan ayahmu, Ki Lurah Cekradayu!"

Kombali benak Suto mencatat kata-kata itu dan hatinya membatin, "O, gadis ini anak lurah? Bapaknya bernama Ki Lurah Cakradayu?! Hmm... nama yang belum kukenal. Tapi mungkin akan kukenal dalam waktu dekat.

Dewi Angora berkata katus lagi, "Apapun tugas kalian, sebaiknya tinggalkan saja. Katakan pada ayahku dan ketuamu tuanku Nanpongoh bahwa, Dewi Angora sudah tidak sendiri lagi! Suto Sinting belum mati. Buktinya ia ada di Sini. Jika kalian macam-macam, kekasihku ini tidak akan tinggal diam, Kalian akan kehilangan nyawa jika masih mencoba memaksaku pulang dan menikah dengan Tuanku Nanpongoh."

Terdengar suara Sangkur Balang bergumam mengejek, "Pemuda gembel begitu dibangga-bangga! Hemm...!"

“Tutup mulutmu, Sangkur Balang! Sekali lagi kudengar kau menghina kekasihkuaku, akan bertindak lebih kejam dari dirimu yang sebenarnya!" sentak Dewi Angora hanya ditertawakan oleh Mulut Petir.

"Ha, ha, ha, ha, ha."

Bbbrrr...! Daun-daun berguguran, tanah berguncang, getaran tanah sampai membuat pohon-pohon terjungkal nyaris tumbang. Sangkur Balang sendiri terbanting jatuh karena sikap berdirinya sedang garuk-garuk kaki kiri memakai kaki kanannya saat tawa itu terdengar. Sangkur Belang cepat berdiri dan menabok punggung Mulut Petir, Ploook...!

"Lain kali kalau tak ada bahaya jangan tertawa!" sentaknya dalam geram.

Suto Sinting membatin, “Hebat! Rupanya tawa si Mulut Petir selalu didisertai dengan gelombang tenaga dalam yang menggetarkan bumi? Padahal tawanya tadi tidak keras. Bagaimana jika ia tertawa keras dan terbahak-bahak? Pohon di belakangku itu pasti bisa tumbang."

Pikiran itu segera dilupakan sesaat, karena Suto Sining melihat si kurus Sangkur Balang itu maju dekati Dewi Angora. Gadis itu mundur satu tindak, merasa takut disentuh atau jijik melihat kulit Sangkur Bajang yang burik itu. Berbeda dengan kulit tubuh gemuknya Mulut Petir yang hitam keling berminyak. Keduanya memang menjijikkan bagi seorang gadis bersih seperti Dewi Angora.

Sangkur Balang perdengarkan suaranya yang mirip orang sakit gigi, “Pulanglah. Sebentar lagi kau akan menikah dengan Tuanku Nanpongoh. Perkawinan ini tak bisa dibatalkan, Dewi Angora. Ayahmu sudah setuju dan sudah menerima maskawin berupa perhiasan dan barang-barang lainnya sebanyak satu tandu. itu berarti ayahmu sudah setuju menjadi mertua Tuanku Nanpongoh!"

“Aku tidak sudi!" ucapnya tandas sampai mata gadis itu menyipit benci. "Pulangkan saja maskawin itu, aku tidak butuh maskawin! Siapa pun yang ingin memperistri diriku, aku cuma butuh maskawin sekerat hati yang berbalut cinta tulus seperti hati milik kekasihku ini, Pendekar Mabuk!"

"Penghinaan terhadap Tuanku Nanpongoh membuatnya murka dan seluruh keluargamu bisa dibantainya habis! Mungkin juga seluruh warga yang dipimpin ayahmu akan menerima nasib sama, dibantai habis!"

"Katakan Kepada Tuanku Nanpongoh, kalau dia mau lakukan hal itu, suruh lakukan secepatnya. Jangan sampai ia terbantai lebih dulu sebelum membantai keluargaku. Mengerti?!" hardik Dewi Angora tanpa takut.

Pendekar Mabuk menjadi pusat perhatian dua pasang mata orang-orang utusan itu. Sikap pendekar tampan tetap tenang-tenang saja. Mereka tampak benci. Bahkan Mulut Petir berkata kepada Sangkur Baiang.

“Habisi saja anak itu, biar tidak jadi Penghalang kebahagiaan Tuanku Nanpongoh!"

Sangkur Balang manggut-manggut, melangkah dekati Suto Sinting. Mata mereka beradu pandang sesaat membuat tegang Dewi Angora. Sebab gadis itu tahu, dua orang utusan Tuanku Nanpongoh dikenal sebagai orang-orang berilmu tinggi dan tidak segan-segan membunuh lawannya.

“Kau memang penghalang yang perlu dimusnahkan, Suto!" ucap Sangkur Balang, sepertinya sudah mengenal Suto Sinting bukan kali itu saja. "Kalau tempo hari kau bisa lolos dan melarikan diri dari si Mulut Petir, tapi sekarang dia bersamaku. Kau tak akan bisa larikan diri lagi dari incaran maut kami berdua, Suto Sinting!"

Sebenarnya Suto Sinting ingin berkata, "Aku belum pernah bertemu kalian, dan belum pernah lari dari pertarungan." Hanya saja, kata-katanya itu akan sia-sia jika dilorntarkan sekarang juga, sebab yang ada dalam jiwa kedua tokoh angker itu hanya memusnahkan penghalang perkawinan Tuanku Nanpongoh dengan Dewi Angora. Kelak anggapan itu akan dibantahnya, maka lebih baik Suto berkata lain,

"Kusarankan untuk berpikir dulu jika ingin bertindak Sangkur Balang!"

Sangkur Balang maju selangkah lagi, jaraknya hanya satu jangkauan. Suaranya masih menggeram seperti orang sakit gigi, "Berani-beraninya kau memberi saran padaku, hah?! Kau pikir siapa dirimu berani menasehati aku??"

“Aku hanya monghindari keributan. Tapi kalau kau tersinggung dengan saranku, terserah apa yang ingin kau lakukan. Aku siap menunggu di depanmu!"

“Keparat! Hihhh...!

Wuuut...! Tangan Sangkur Balang berkelebat menghantamkan telapakannya ke depan. Sasarannya adalah wajah Suto Sinting. Tapi dengan cepat Suto Sinting juga sentakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya diadu dengan telapak tangan lawan. Plaak.

Blaarr...!

Curahan tenaga dalam yang saling diadu itu menimbulkan sentakan kuat yang meledak dan memancarkan sinar merah. Sangkur Balang terlemparke belakang sampai membentur perut Mulut Petir, sedangkan Suto Sinting hanya mundur setindak.

Mulut Petir terbelalak melihat kekuatan Suto Sinting yang mampu mementalkan tubuh Sangkur Balang. Mata lebarnya terarah tajam pada Sulo, sementara Dewi Angora sengaja mundur ke samping pohon, menyerahkan perkara itu kepada Pendekar Mabuk yang dianggap kekasihnya itu.

“Ternyata dia menyimpan tenaga yang cukup besar," ujar Sangkur Balang setelah tegak berdiri disamping Mulut Petir yang masih pandangi Suto.

"Kurang ajar!" geram Mulut Petir. “Mundurlah, biar kuhabisi dia!” seraya Mulut Petir dekati Suto. Langkahnya bagai orang tak sabar, ingin segera menghajar lawannya. Tapi yang dihampiri tetap tenang-tenang saja, bahkan sempat sunggingkan senyum tipis berkesan meremehkan.

"Kuremukkan kepalamu, Bocah Gembel! Heaah...!"

Dalam jarak dua langkah si Mulut Petir berkelebat menendang Pendekar Mabuk, Wuuus...! Tendangan kaki kanan yang dibarengi dengan gerakan memutar itu segera ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan bumbung tuaknya yang dipegang dengan dua tangan. Bumbung yang dipegang tegak itu menjadi sasaran mata kaki Mujut Petir. Traaak...!

"Woaoow...!" Mulut Petir menjerit sembil tubuhnya terpelanting dalam gerakan berputar cepat. Benturan bumbung tuak dengan mata kaki itu menimbulkan bunyi seperti pecahnya mata kaki, karena kekuatan sebesar apa pun jika mengenai bumbung tuak akan berbalik menjadi dua kali lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Tak heran jika tubuh gemuk Mulut Petir itu tahu-tahu terkapar di samping semak dalam jarak enam langkah dari tempatnya berdiri tadi.

"Aaaow...!" Mulut Petir mengerang kesakitan sambil pegangi kaki kanannya. Ia masih duduk di tanah dengan mata terpejam menahan rasa Sakit yang luar biasa itu. Keadaan tersebut ganti membuat Sangkur Balang terperanjat heran, matanya terbuka lebar memandangi temannya.

Mulut Petir segera membuka mulutnya dan berteriak, "Huaaah...!"

Dari mulut itu keluar sinar biru bagaikan kilatan guntur yang meleset dan menerjang Suto Sinting. Clap, clap, clap...! Pendekar Mabuk tidak menangkis melainkan sentakkan kaki dalam gerakan miring dan tubuhnya melompat ke samping, bersalto dua kali hingga mendarat di sebelah kanan Sangkur Balang. Sedangkan tiga cahaya kilatan petir itu menghantam tiga pohon yang ada belakang Suto.

Duaaar...! Deeer...! Blegar...!

Tak ayal lagi, tiga pohon itu terbelah dan hancur. Hanya asap sisa terbakar yang mengepul dari tiga batang pohon yang segera tumbang itu. Ternyata pohon-pohon itu seperti habis disambar petir di musim hujan. Semuanya daunnya menjadi hitam dan berguguran.

Andai saja Dewi Angora tidak segera ikut melompat ke samping, maka ia akan menjadi korban, setidaknya cidera juga, karena pohon yang tadi dipakai tidur Suto dan dipanjatnya itu ikut tumbang dan pecah terbelah. Dewi Angora segera dekati Suto Sinting dan berkata pelan dalam nada tegang, “Kita tinggalkan saja mereka! Jangan layani!"

Tapi Suto Sinting hanya diam pandangi Sangkur Balang yang siap-siap lepaskan pukulan tenaga dalamnya dalam keadaan tangan membentuk cakar elang. Suto Sinting hanya melangkah menyamping. Jaraknya yang sekitar lima langkah itu dipertahankan. Bumbung tuaknya masih digenggam tangan kanan dengan melilit di telapak tangan itu. Kapan saja dapat digerakkan untuk menangkis serangan lawan.

Tetapi tiba-tiba seberkas sinar berasap warna hijau muda melesat dan menghantam dada Sangkur Balang. Slaap...! Weees...! Sangkur Balang segera lepaskan pukulan telapak tangan yang membentuk cakar itu. Sinar putih keluar dari tangan Sangkur Balang. Sinar putih itu tidak ditujukan kepada Suto melainkan dihantamkan ke sinar hijau yang ada di depannya. Claap...! Duaar...!

Wuuut...! Brrak...!

Sangkur Balang terjungkal ke belakang. Tubuhnya terlempar lagi bagaikan daun kering. Ia jatuh dalam posisi setengah bersalto. Pinggangnya terlipat dan menghantam seonggok batu. Buuhg...!

"Eeehg...!" Sangkur Balang mengerang. Wajahnya tampak memucat. Telinganya melelehkan darah. Seedangkan si Mulut Petir masih menyeringai kesakitan, tapi sambil mencari siapa orang yang melepaskan sinar hijau dari timur tadi.

Suto Sinting dan Dewi Angora bertanya-tanya demikian di hatinya. Namun Dewi Angora menjadi tegang setelah mendengar batuk beberapa kali.

"Celaka! Cepat kita tinggalkan tempat ini! Cepat Suto!" Ia menarik-narik tangan Suto, sedangkan masih heran dan bingung, mengapa Dewi Angora takut dengan suara orang batuk?

* * *

DUA
DESAKAN Dewi Angora terpaksa dituruti Suto karena gadis itu benar-benar sangat ketakutan. Bahkan menjadi panik. Suto jadi terpengaruh ikut panik juga, sehingga mereka berdua melesat tinggalkan tempat.

Mereka tiba ditepi sebuah sungai berair bening. Tanggulnya penuh dengan tanaman semacam pohon karet yang letaknya melengkung bagai menaungi tepian sungai. Tepian sungai itu berpasir, tetapi juga berbatu-batu besar. Tempat teduh tersebut dijadikan tempat istirahat bagi mereka berdua. Memang tak terlalu jauh dari tempat pertemuan mereka dengan dua utusan Tuanku Nanpongoh tadi, namun juga tersembunyi dan aman bagi perhitungan Suto.

Rasa ingin tahu yang kian mendesak hati Pendekar Mabuk itulah yang membuat mereka harus berhenti ditepi sungai berair jernih dan dangkal. Di situlah Suto Sinting mengajukan pertanyaan bersikap protes,

"Mengapa harus lari?!"

"Apakah kau tak mendengar suara orang batuk sejelas itu?"

"Memang kudengar suara orang batuk. Tapi kenapa harus takut dengan suara orang batuk?! Siapa saja bisa batuk. Aku pun bisa batuk. Dengar... uhuk, uhuk, uhuk...!" Suto memperagakan dirinya sedang batuk.

"Sudah, sudah, sudah!" sergah Dewi Angora dengan bersungut-sungut manja. Wajahnya dipalingkan, duduknya di batu memunggungi Suto. Dua kepang rambutnya sama-sama melilit leher.

Suto Sinting sedikit tersenyum pandangi kecemberutan gadis berusia sekitar dua puluh dus tahun itu. "Jelaskan, kenapa harus takut kepada suara orang batuk, Dewi?!"

"Kau sudah tahu! Kau sendiri tempo hari ketakutan mendengar suara batuk itu! Sekarang kau berlagak bodoh!"

Suto garuk-garuk kepala. Sulit membantah, karena hanya akan perpanjang masalah tanpa mendapat jawaban yang pasti Akhirnya Pendekar Mabuk membuka penyumbat mulut bumbung tuak, ia meneguk tuak setelah itu berkata, "Aku memang serba tidak tahu...," lalu tuak pun diteguk beberapa kali.

Saat itu wajah Dewi Angora pandangi Suto Sinting dengan sedikit curiga dan merasa aneh. Suaranya yang merdu itu terdengar berkata, "Apa saja yang tidak kau ketahui?"

"Segalanya!" jawab Suto setelah menutup kembali bumbung tuaknya. Ia duduk di depan Dewi Angora, satu kakinya masih menapak di tanah. Bumbung tuaknya ada di pangkuan. Pandangannya menyelidik sekeliling, sampai di sela-sela batu dan dedaunan yang jauh. Tapi mulutnya berucap kata tertuju pada Dewi Angora yang memandangi dengan heran,

“Aku tak tahu siapa dirimu sebenarnya, juga tak siapa Tuanku Nanpongoh itu. Aku tak pernah bertemu dengan ayahmu; Ki Lurah Cakradayu, dan... tak mengerti siapa orang yang tadi batuk dan kutakuti itu. Segalanya memang membuatku serba bingung."

"Apakah kau habis makan kecubung gongsena, Suto?!" tanya Dawi Angora Curiga.

Suto Sinting pandangi bumbung tuaknya dengan tersenyum, Hatinya berkata, “Benar dugaanku. Dia pasti tidak percaya dan akan ngotot. Agaknya selama aku berlatih ilmu "Layang Raga" telah terjadi aesuatu yang aneh di tanah ini."

Gadis berbibir ranum itu bangkit dan dekati Suto dengan pandangannya yang lembut dan bening. Mata Pendekar Mabuk sempat menatapnya pula, hatinya berdesir dipandangi oleh gadis secantik Dewi Angora. Desiran hati akan berubah menjadi debar-debar yang menggelisahkan jika Suto tidak segera buang pandangan ke arah bebatuan ditengah sungai itu.

"Apa yang terjadi pada dirimu sehingga kau lupa segalanya?"

Sulit menjelaskannya bagi Suto, akhirnya ia hanya berkata, "Aku melangkahi akar keramat, dan aku jadi lupa segalanya!"

Dewi Angora manggut-manggut, agaknya ia mau mempercayai kata-kata itu dengan sangat terpaksa, lalu, Dewi Angora berkata, "Suara batuk itu adalah suara batuknya pamanku! Dia orang berilmu tinggi. Dia kakak sulung ayahku, dia sangat sayang kepada keluargaku, terutama kepada ayahku. Kami sangat menghormati beliau, walaupun beliau hanya seorang nelayan."

“Seorang nelayan? Siapa namanya?"

"Apakah kau benar-benar tak ingat? Padahal kau sering bertemu beliau jika sedang jalan-jalan denganku di pantai."

Suto Sinting hanya gelengkan kepala. Dewi Angora kembali berkata, “Namanya Brajamusti, tapi ia dikenal dengan nama Batuk Maragam."

Suto Sinting kerutkan dahi pertanda heran dengan nama Batuk Maragam. Dewi Angora jelaskan pula, "Dia dikenal dengan nama Batuk Maragam, karena mempunyai suara batuk bermacam-macam. Dengan suara batuknya itu bisa membuat orang pecah kepalanya, tersumbat pernapasannya. Ilmu tenaga dalamnya dahsyat dapat disalurkan melalui suara batuknya. Sedangkan batuknya sendiri sebenarnya merupakan penyakit yang tak bisa sembuh sejak ia berguru di perguruan Sojiyama. Dan aku paling takut kepadanya. Takut menentang perintahnya. Walaupun ia sayang padaku. Tapi kalau menentang perintahnya aku bisa sakit selama empat puluh hari, karena hal itu pernah kualami sendiri."

"Menentang perintahnya saja bisa membuatmu sakit empat puluh hari? Hebat juga?! Berarti dia sudah mencapai tingkatan seorang begawan atau pertapa sakti?"

"Menurut cerita ayahku, Paman Batuk Maragam memang seorang pertapa. Dari sejak usia muda sampai sekitar usia tujuh puluh tahun, ia hidup di pegunungan sojiyama, memperdalam ilmu silatnya dan bertapa, Sekarang usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih, dan sudah hidup sebagai nelayan biasa."

"Hemmm..." Suto Sinting menggumam sambil manggut-manggut. "Berapa jumlah adik pamanmu itu?"

"Sebelas orang. Ayahku yang nomor tujuh. Tinggal ayahku dan Paman Batuk Maragam yang Masih hidup. Saudara yang lainnya sudah meninggal."

"Apakah dia mengenalku dan berhubungan dekat denganku?"

“Sejak kau menjadi kekasihku, kau pernah bilang kalau kau pernah bertemu empat mata dengan beliau dan diberi nasehat panjang-lebar. Itulah saat-saat terdekat antara kau dan Paman Batuk Maragam. Selebihnya hanya perjumpaan biasa jika kita sedang berkasih-kasihan di pantai pada malam purnama."

Kerutan dahi di kening pendekar tampan kian tajam. “Apakah kita sering berduaan di pantai?"

Dewi Angora memandang dengan sorot pandangan mata penuh kemesraan. Senyumnya juga mengandung arti yang sangat pribadi. Suto Sinting jadi salah tingkah. Untung Dewi Angora buru-buru berkata dengan lirih, yang membuat Suto Sinting semakin dalam menatap gadis itu.

"Kita telah saling jatuh cinta, Kita sudah sering berduaan, berkasihan, dan,.. apakah kau lupa dengan peristiwa hujan di gubuk tengah sawahku?"

"Apa yang kulakukan denganmu di sana?" tanya Suto langsung saja tanpa berpikir sebab ia merasa belum pernah lakukan apa-apa dengan gadis itu.

Dewi Angora tersenyum, menempelkan pipinya dilengan Suto, tangannya memainkan tepian baju Suto, tapi mulutnya berkata, "Itulah masa-masa indah yang pernah kita lewati sebanyak empat kali. Digubuk tengah sawah itulah pertama kali kutunjukkan kebesaran cintaku dengan menyerahkan mahkota kebanggaanku padamu."

Suto Sinting terperanjat, kepalanya tersentak kebelakang. Dewi Angora memandang dengan heran dan mulai diliputi kecemasan,

“Apakah kau benar-benar lupa?!"

"AK... aku merasa belum pernah melakukan hal itu!"

"Kau ingin mengingkarinya?"

“Bukan soal... bukan soal mengingkari. Tapi... tapi aku memang bukan pria yang kau maksud itu."

“Suto...?!" Dewi Angora sedikit menyentak dengan nada kian heran. "Rupanya kau ingin ingkari perbuatanmu itu " malam sampai menemui masalah setelah beberapa waktu yang lalu kukatakan padamu bahwa aku telah berbadan dua?"

"Hahhh...!" Suto Sinting semakin terbelalak mulutnya ternganga.

"Kau berjanji ingin menikahiku! Kau berjanji ingin menjadi suamiku yang baik, sayang kepadaku dan semua. Tapi sekarang... setelah sebulan yang lalu kukatakan bahwa aku punya gejala aneh, mungkin aku hamil, kau mulai berlagak lupa atas perbuatanmu!"

"Eh, hmmm... begini... tunggu, jangan marah dulu. Begini..."

"Sekarang setelah sebulan kita tak jumpa dan aku merasa benar-benar hamil, kau ingin menghindar dengan caramu seperti ini?!"

“Dewi, sabar dulu...! Jangan marah dulu" bujuk Suto dengan bingung.

Dewi Angora menangis, menjauhi Suto, duduk dibatu semula, Suto Sinting yang salah tingkah mendekati gadis itu dengan berdebar-debar.

Terdengar kata-kata Dewi Angora di sela tangisnya, "Telanjur kubulatkan tekadku untuk menolak rencana perkawinanku dengan saudagar kaya yang menjadi penguasa Pulau intan, karena aku ingin lari bersamamu. Dulu kau pernah berjanji ingin melarikan diriku jika lamaran Tuanku Nanpongoh diterima ayah. Sekarang malah kau ingin lari sendirian. Aku tidak mau! Aku harus ikut kau! Aku lebih baik mati jika hidup tanpamu. Aku tak berani hadapi penderitaan anakku yang kelak tanpa ayah, jika tidak bersamaku, Suto!"

"Wah, kacau kalau begini!" gerutu Suto Sinting dengan hati memendam kesal. Hati itu masih membatin, "Mimpi apa aku semalam sampai menemui masalah seperti ini. Tahu-tahu ada gadis mengaku kekasihku, mengaku hamil denganku dan menuntut kawin lari. Amit-amit jabang bayi... makanan apa yang sudah kutelan sejak kemarin sampai aku dianggap telah berbuat tak senonoh dengannya. Wah, kalau calon istriku; Dyah Sariningrum mendengar berita ini, bisa mengamuk habis-habisan padaku!"

Dengan sabar dan hati-hati, akhirnya Suto Sinting berhasil membujuk tangis itu hingga menjadi diam. Itupun dilakukan Suto dengan cara memeluk Dewi Angora dan mengusap-usap kepalanya. Kepala itu bagaikan makin dibenamkan di dada Suto Sinting. Sang gadis rasakan begitu damai hatinya, sehingga tangis pun bisa dihentikan.

"Apakah kau sudah bosan padaku, Suto?"

Suto Sinting diam saja. Bosan dan tidak, belum pernah dirasakan olehnya, jadi dia bingung menjawabnya. Tetapi untuk mengalihkan percakapan yang akan mendesaknya lagi, Suto Sinting punya bahan pertanyaan lain.

“Dewi, sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa kau tadi mengatakan aku dianggap sudah mati? Apa yang terjadi sebenarnya, Dewi?"

"Kalau kau lupa juga, akan kujelaskan asal kau mau menjadi suamiku!" .

Lagi-lagi Suto merasa dijepitkan pada satu tuntutan yang masih membingungkan dirinya itu. Akhirnya ia punya cara lain untuk mengatasi tuntutan itu dengan berkata penuh kelembutan, "Jelaskan dulu perkara sebenarnya, supaya aku bisa menyimpulkan apakah aku layak menjadi suamimu atau tidak. Kuharapkan, layak!"

Hati gadis itu terhibur dengan harapan yang diberikan Suto di akhir kata itu. Maka ia pun menjelaskan hal yang dibutuhkan Pendekar Mabuk.

“Sebulan yang lalu, ketika kau berjalan-jalan dipantai bersama ayahku, kalian diserang oleh tiga orang dari wetan. Ada dua nelayan yang baru pulang dari mencari ikan yang menjadi sakai bentrokan itu, Ayah dan kau sedang bicara tentang hubunganmu denganku. Lalu tiga orang itu menyerang kalian. Ayah terluka, dan kau dibawa lari oleh seorang wanita yang mampu bergerak dengan sangat cepat. Dilihat dari ciri-cirinya, wanita itu adalah orang yang tidak asing lagi bagi dua nelayan tersebut.

"Siapa wanita itu?”

“Peri Sendang Keramat!" jawab Dewi Angora yang membuat Suto berkerut heran.

"Siapa itu Peri Sendang Keramat?"

"Seorang tokoh sakti dari aliran hitam yang dulu pernah melawanmu. Kau lolos dan berhasil larikan diri dari Sendang Keramat, lalu bertemu dengan ayahku dan berkenalan denganku. Itu awal pertemuan kita. Tapi yang jelas, hampir setiap orang tahu, bahwa Peri Sendang Keramat adalah tokoh jahat yang kejam. Jika sesorang lolos darinya dan tertangkap lagi, maka bisa dipastikan orang itu akan mati, kepalanya dipenggal dibuang dijalanan, tubuhnya dibuang ke jurang. Kadang-kadang kepala korbannya dipajang di tengah hutan dengan caranya sendiri."

“Di! mana tempat tinggal perempuan kejam itu?"

Pertanyaan polos itu dipercayai oleh Dewi Angora sebagai pertanyaan yang tidak pura-pura, sehingga setelah diam sesaat ia pun menjawab, "Dia tinggal di Bukit Rongga Bumi. Kau yang mengatakan kepada keluargaku tentang tempat tinggal Sendang Keramat itu, sehingga kami tahu di mana letak dan arah Bukit Rongga Bumi."

"Aku...” Suto mau membantah bahwa ia tak pernah ceritakan tentang tempat itu kepada keluarga Dewi Angora, tapi niatnya tertunda karena tiba-tiba mendengar suara orang batuk dari arah tanggul.

“Uhuk, uhuk, uhuk...! Ihik, Ihik, ihik...! Uhuk, ihik, ahak, hooeek...! Cuilih...!"

Suara batuk itu membuat wajah Dewi Angora tegang. Gadis itu menjadi sangat ketakutan. ia segera menarik tangan Suto Sinting untuk melarikan diri dari tempat itu. “itu suara Paman Batuk Maragam...! Lekas lari"

Tapi tangan Suto Sinting justru menahan tarikan, tangan Dewi Angora dan berkata, "Jangan lari! Biar kuhadapi beliau."

"Kau jangan nekat! Beliau berilmu tinggi!"

"Aku akan hadapi bukan dengan pertarungan. Aku butuh bicara kepada beliau tentang hubungan kita!"

“Oh, Suto...! Aku takut kalau...!"

Tiba-tiba terdengar suara membalas, "Jangan takut, Dewi!"

Suara itu datangnya dari belakang mereka. Dewi Angora terkejut sekali ketika berpaling ke belakang, ternyata sosok tua itu sudah berdiri di sana. Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut heran, sebab sosok tua itu mempunyai potongan rambut persis sekali dengan dirinya, panjang selewat pundak, lurus, lemas, hanya bedanya yang ini berwarna putih rata. Rambutnya Suto panjang tapi hitam rata.

Raut wajah hampir mirip dengan ratu wajah Suto, terutama tulang pipi dan dagunya. Sisanya tak ada yang mirip dengan Suto kecuali ukuran tinggi tubuhnya. Badan kurus, sedikit bungkuk. Wajahnya mencerminkan kesabaran, seolah-olah bibir tuanya selalu dihiasi dengan senyum ketenangan. Ia mengenakan celana biru dan jubah kuning tanpa baju dalam. Tulang iganya kelihatan karena kekurusannya. Sabuk dari kulit ular warna hijau kecoklatan itu dikenakan untuk mengikat celana birunya.

Entah dari mana asalnya, tahu-tahu toko tua yang diperkirakan sudah berusia sembilan puluh tahun lewat itu muncul dibelakang mereka tanpa suara apa pun. Padahal suara batuknya terdengar diatas, ditanggul sebelah timur yang harus menyeberangi sungai lebar itu untuk mencapai tempat Suto dan Dewi Angora berada. Melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Suto segera dapat menyimpulkan bahwa tokoh tua itu memang berilmu tinggi walaupun penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan tidak membawa senjata apapun.

Dewi Angora berada dibelakang Suto, seakan berlindung di sana. Matanya masih menegang kala ia pandangi wajah pamannya. Sorot mata tokoh tua itu penuh getaran yang menyentuh hati dan jiwa bagi orang yang tak berilmu tinggi. Kalem, berkesan ramah tapi karismanya tinggi.

“Meraka sudah kusuruh Pulang, walau harus membuat si Mulut Petir luka di bagian dadanya," kata tokoh yang dikenal dengan nama Batuk Maragam.

"Lalu untuk apa Paman menyusulku kemari?" kata Dewi Angora dengan cemberut manja yang membuat sang Paman tersenyum lebar.

"Dekatlah sini padaku, Dewi" ia melambaikan tangannya penuh keramahan. Tapi Dewi Angora semakin menjauhkan diri ke belakang Suto Sinting.

"Tidak! Aku tidak mau. Paman pasti akan membawaku pulang!"

"He, he, he...!" tokoh tua itu terkekeh, akhirnya batuk lagi, uhuk, uhuk, uhuk, uhuuwuuk...!

Suto Sinting merasa iba melihat begitu tuanya tubuh itu, sehingga batuk pun sampai terbungkuk-bungkuk. Napasnya terengah-engah ketika tubuhnya tegak kembali. Kini justru matanya memandangi Suto Sinting dan berkata pelan,

"Aku ingin membawa pulang Dewi. Apakah kau izinkan?"

Dengan menjaga kesopanan dan bersikap hormat Suto menjawab, "Jika Paman Batuk Maragam yang membawanya pulang, saya melepaskannya. Silahkan bawa Dewi Angora pulang ke rumah."

"Aku tidak mau!" sentak Dewi Angora sambil mendorong tubuh Suto. Tubuh itu tersentak ke depan, dan cepat tegak kembali. Batuk Maragam berkata,

“Tak boleh sekasar itu dengan seorang lelaki Dewi!"

"Aku tidak mau pulang, Paman! Aku tidak mau dikawinkan dengan Tuanku Nanpongoh! Aku mencintai Suto Sinting ini!"

"He, he, he, he, he...!" Batuk Maragam terkekeh lagi. Sikapnya cenderung digolongkan sebagai tokoh yang gemar cengengesan. Tapi pada saat ia diam dan memandang, wibawa dan kharismanya terpancar besar. Itutah kelebihan lain dari Batuk Maragam.

"Dulu waktu Paman masih muda, Paman juga ganteng seperti Suto, Dewi. Banyak gadis yang mengerumuni Paman, mengagumi mencintai. Tapi cinta hanya semusim padi saja. Jika sudah sampai pada tingginya, Ia akan berubah menjadi jerami. Kaku, tapi punya kehalusan tersendiri."

"Kalau Paman tahu begitu, kenapa Paman mau membawaku pulang?"

"Kau ingin kubawa pulang, pulang ke rumahku Dewi Angora! Bukan pulang ke rumahmu, sebab aku tahu sekarang Tuanku Nanpongoh sedang menunggumu disana," katanya dengan penuh kesabaran.

“Nanti Paman juga akan membawaku pulang dan mempertemukan aku dengan Ayah dan Tuanku Nanpongoh!" tuduh Dewi Angora dengan bersungut-sungut.

Orang tua berambut lemas itu geleng-gelengkan kepalanya. Ia segera melangkah dekati Suto Sinting, pandangi Suto dan berkata, "Rupanya kau sudah bisa lolos lagi dari ancaman maut Peri Sendang Keramat. Itu sudah kuduga. Aku tidak bersedih ketika mendengar kau tertangkap Peri Sendang Keramat dan orang-orang menyebarkan kabar bahwa kau pasti mati terpenggel oleh kekejaman Peri Sendang Keramat. Aku sama sekaii tak percaya, topi juga tak keluarkan bantahan."

"Sebenarnya, keadaan tidak seperti itu, Paman," jawab Suto dengan sopan.

Batuk Maragam diam memandang tak berkedip. lama-lama ia menggumam, "Tidak begitu...? Ya, mungkin memang tidak begitu. Sebab kau agak aneh Suto, tidak seperti biasanya."

“Dia masih Suto yang biasanya, Paman!" sahut Dewi Angora.

Tapi sang paman geleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, “Tidak, Dewi. Kulihat ada kelainan pada dirinya!"

Dewi Angora memandangi pamannya dengan heran. Lebih heran lagi setelah melihat sang paman rapatkan kaki. Lalu bungkukkan badan tanpa batuk dengan kedua tangan merapat di dada. Kejap berikut tegak lagi dan berkata,

"Maaf. Aku terlambat menghaturkan hormat pada Gusti Manggala Yudha..."

Suto menahan napas sesaat. Bingung menjawab ucapan itu, sedangkan Dewi Angora kian tajam dalam mengerutkan keningnya. Kian heran melihat pamannya memberi hormat kepada Suto dan menyebut Suto dengan gelar; Gusti Manggala Yudha. "Apa-apaan ini...?! pikir sang gadis dengan wajah menjadi linglung.

"Simpan hormatmu itu, Paman," ucap Suto bernada bisik, tapi didengar oleh Dewi Angora, sehingga sang gadis pun berkata dalam nada tanya,

“Apa maksud kalian berdua?!"

* * *

TIGA
JIKA Batuk Maragam bukan orang berilmu tinggi, Ia tak akan dapat melihat tanda merah ditengah dahi Suto, dekat perbatasan kedua alisnya. Bulatan marah kecil itu adalah tanda istimewa yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam galb. Ratu itulah calon mertua Suto Sinting. Tanda merah cerah merupakan simbol penghormatan tertinggi setelah sang ratu sendiri, dan Akan ditakuti atau disegani oleh para tokoh berilmu tinggi di rimba persilatan. Tanda merah itu merupakan peringatan bagi orang-orang berilmu tinggi agar tidak mengganggu Suto Sinting. Jika mereka tidak menghormat dan bermusuhan dengan Suto Sinting, maka mereka akan berurusan dengan Ratu Kartika Wangi yang dikenal sebagai 'Ratu Penguasa Kesaktian'. Sulit ditumbangkan manusia sesakti apapun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah)

Karenanya, Batuk Maragam merasa perlu menghormat agar tidak dianggap bermusuhan dengan pihak Kartika Wangi. Batuk Maragam segera tahu, bahwa tanda merah di kening Suto merupakan pangkat Manggala Yudha Kinasih di negeri alam gaib itu, yang berarti pula sebagai Panglima Perang andalan negeri alam gaib itu. Datuk Maragam tahu, bahwa Ratu Kartika Wangi tidak sembarangan memilih Panglima Perang andalannya jika orang itu bukan benar-benar orang berilmu tinggi dan baik budi pekertinya.

Sebab itu Batuk Maragam berkata, "Mengapa baru sekarang aku melihat pangkatmu yang tinggi itu, Pendekar Mabuk?!"

"Ada baiknya kalau kita bicara dirumah Paman Batuk Maragam saja" kata Suto menutupi rasa kikuknya karena melihat Dewi Angora terheran-heran.

Gadis itu segera berkata, "Aku mau kerumah Paman, tapi aku tidak dijebak dan dikawinkan dengan Tuanku Nanpongoh!"

Batuk Maragam berkata, "Kau punya Manggala Yudha. Kenapa takut?"

Baru saja mereka mau bergegas pergi, tiba-tiba terdengar deras suara kaki kuda menuju ketempat mereka berdua. Dari atas tanggul muncul tiga penunggang kuda bersenjatakan panah. Mereka ada ditaanggul Seberang sungai. Panah mereka direntangkan dan terarah kepada Pendekar Mabuk.

Empat orang penunggang kuda dari tanggul yang akan dilalui Suto juga muncul secara mengejutkan dengan anak panah terarah kepada Pendekar Mabuk. Disebelahnya muncul pula enam orang bersenjatakan tombak yang siap melemparkan tombak itu kearah mereka bertiga; Suto, Batuk Maragam, dan Dewi Angora.

Baru saja Suto ingin ucapkan kata kepada Batuk Maragam, dari arah hulu sungai muncul lima orang berkuda, dua diantaranya ada di seberang sungai. Pakaian kelima orang ini lebih bagus dari pakaian mereka yang ada diatas tanggul. Sedangkan tiga orang berkuda lainnya datang dari arah muara dengan senjata tombak siap dilemparkan.

Dewi Angora yang tegang berseru, "Paman, kita keseberang sungai!"

"Percuma! Kita telah terkepung. Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Batuk Maragamtubuhnya terguncang karena batuk, tapi setelah itu tampak tenang kembali.

Sedangkan Pendekar Mabuk masih celongak-celinguk dengan perasaan heran melihat orang-orang mengepungnya. Tapi keteganganya tidak terlalu senjata Dewi Angora yang semakin kuat memegangi lengan Suto yang kekar itu.

Lima orang berkuda yang mengenakan pakaian bagus-bagus itu mulai mendekati Suto Sinting, berhenti dalam jarak sekitar delapan langkah didepan Suto.

"Paman Batuk Maragam," kata Suto berbisik, "Apakah mereka orang-orangnya Tuanku Nanpongoh?"

"Bukan, Suto. Mereka orang-orang Kadipaten Kumitir. Aku mengenali pakaian seragam para prajurit andalannya yang ada di tanggul bagian hilir itu!"

Suto Sinting bertambah heran memandangi para prajurit yang berpakaian merah dengan rangkapan rompi hitam dan ikat kepala yang membungkus rambut berwarna merah pula itu. Hatinya membatin, "Aku tidak kenal mereka. Aku baru sekarang mendengar ada Kadipaten bernama Kadipaten Kumitir. Lalu, mengapa mereka mengarahkan senjata padaku? Apakah ini rekayasa Batuk Maragam?"

Tapi sang paman pun berkata pelan, "Agaknya mereka bermaksud tak baik pada kita, Suto. Bersiaplah dan waspadalah selalu. Juga kau, Dewi. Waspada!"

"Ta... tapi saya tidak kenal siapa mereka, Paman?!"

"Kita tanyakan kepada kelima perwiranya itu," sambil Batuk Maragam melangkah mendekati lima penunggang kuda yang ternyata berpangkat perwira itu. Suto Sinting ikut dampingi Batuk Maragam, sedangkan Dewi Angora ikut dibelakangnya, seakan tak mau jauh dari Suto Sinting.

Batuk Maragam berseru kepada lima orang yang masih duduk diatas kuda itu, "Apa maksud kalian mwngepung kami begini?! Jelaskan per... uhuk, uhuk, uhuk, uhuk... soalannya!"

Lima penunggang kuda masing-masing berwajah tegas, pandangan matanya tajam. Usia mereka sekitar empat puluh sampai iima puluh tahun. Badan mereka kekar-kekar. Tiga orang menyandang pedang di punggung, dua orang lagi menyandang pedang di pinggangnya. Pakaian mereka warna-warni, tepi terbuat dari kain mengkilap, berikat kepala kain tebal yang dilapisi lempengan kuningan atau perak dengan hiasan manik-manik bebatuan sebesar kacang tanah. Warna batuannya pun beraneka rupa.

Mendengar pertanyaan Batuk Maragam, orang berpakaian ungu yang ada ditengah barisan lima penunggang kuda itu segera maju bersama kudanya. ia hentikan kuda dalam jarak empat langkah di depan Batuk Maragam. Matanya yang tajam pandangi Batuk Maragam, lalu pandangi Suto dengan agak lama sedikit, berpindah memandang Dewi Angora sebentar, kembali ke Batuk Maragam, dan segera terdengar suaranya yang berat dan besar, sesuai dengan kumis lebatnya.

"Kalau tak salah lihat, kau yang bernama Batuk Maragam?!"

"Uhuk, uhuk, uhuk... uhuk, ihik, Ihik, ihik, ehek, ehek... hoooeceekkk...!"

"Hmmm... tak salah lagi!" gumam orang berpakaian ungu itu. Rupanya suara batuk yang beraneka nada itu sudah merupakan jawaban dari pertanyaannya tadi. Orang itu segera berkata lagi.

“Batuk Maragam, namamu cukup dikenak di sepanjang pesisir selatan tanah Jawa ini sebagai tokoh sakti berlimu tinggi beraliran putih. Sebaiknya tak perlu memihak sang durjana yang bermodal wajah tampan itu! Jika kau memihaknya, maka kau harus berhadapan denganku, Yosodigdaya!" Ia menepuk dadanya.

“Yosodigdaya," kata Batuk Maragam, "Persoalan apa yang membuat pihak kadipaten menuduh Pendekar Mabuk, Suto Sinting ini, sebagai sang durjana? Durjna itu berarti maling. Lalu, maling apa dia sebenarnya?"

“Tanyakan kepada si keparat itu sendiri!"

Suto Sinting yang segera dipandang Batuk Maragam segera berkata kepada Yosodigdaya, "Aku bukan pencuri! Aku tidak mengenal kalian."

"Tidak kenal?!" Yosodigdaya lebarkan mata. "Termasuk denganku kau tidak kenal?!"

"Baru sekarang aku bertemu denganmu, Perwira Yasodigdaya!" ujar Suto tegas-tegas. Berdirinya tegap tegak, dadanya membusung keras. Bumbung tuak ada di pundak kanannya.

"Hmm...!" Yosodigdaya sunggingkan senyum sinis. "Jangan kau berlagak tak mengenalku karena kau menggandeng wanita cantik itu, Suto Sinting! Aku yang membawamu ke kadipaten. Aku yang menemukanmu dalam perjalanan menyusuri pantai selatan. Aku yang memintamu menyembuhkan sakitnya Gusti Permaisuri Prananingsih. Enam hari kau dijamu dan dihormati sebagai perawat Istri Kanjeng Adipati. Begitu beliau sembuh, kau mencurinya dan membawanya lari!"

Tentu saja Suto Sinting terkejut dituduh membawa lari istri Adipati. Dewi Angora sendiri sampai terbelaiak dan terperangah mulutnya mendengar kata-kata Yosodigdaya. Batuk Maragam pandangi Suto dengan dahi sedikit berkerut karena bimbang hatinya.

"Kau memfitnahku, Yosodigdaya!" kata Suto Sintng dengan menahan kemarahan. "Tipu daya apa yang membuat mu harus memfitnahku begini? Aku benar-benar belum pernah bertemu denganmu, belum pernah datang ke Kadipaten, apalagi sembuhkan Gusti Permeswari, sama sekali belum pernah!"

"Persetan dengan pengakuanmu! Tiga bulan lamanya kami mencarimu, baru sekarang berhasil jumpa denganmu! Perintah sang Adipati adaiah membawa pulang dirimu untuk diadili dan menemukan kembali Gusti Permeswari!"

"Tidak bisa!" sahut Batuk Maragam, "Aku menghalangi pihakmu. Jika kau bermaksud membawa Suto sebagai tawanan!"

"Apaalasanmu, Batuk Maragam/?!" sentak Yosodidaya.

"Suto Sinting akan menikah dengan keponakanku Dewi Angora!" Batuk Maragam menuding keponakannya yang ada dibelakang Suto. Siapapun yang akan menghalangi pernikahan Dewi Angora dengan Suto Sinting harus berhadapan denganku! Tuanku Nanpongoh pun harus berhadapan denganku jika bermaksud menikahi Dewi Angora!"

"Sayang sekali," sindir Yosod!gdaya, "Seorang tokoh putih sepertimu sekarang telah berubah menjadi sesat, sebagai pelindung pencuri Istri orang! Umurmu tak akan panjang jika kau tidak segera berubah sikap. Batuk Maragam!"

“Mau panjang atau pendek, itu urusan yang diatas!" bantah Batuk Maragam. "Yang jelas, sampaikan kepada sang Adipati, bahwa Batuk Maragam mempertahankan Suto Sinting untuk diadili disana. Aku yakin ada pihak lain yang mengadu domba pihak kita baik sengaja maupun tidak sengaja!"

"Batuk Maragam!" sentak Yosodigdaya, "Jika kau berkeras kepala mempertahankan pencuri istri orang itu, kau akan menanggung akibatnya sendiri"

"Segala akibat akan kutanggung!"

"Baik!" geram Yosodigdaya, lalu Ia berseru, “Seraaang...!"

Maka para pemanah pun segera melepaskan anak panahnya ke arah mereka bertiga. Para pelempar tombak melemparkan tombaknya dengan Kecepatan tinggi. Tetapi Batuk Maragam segera membanting sesuatu dari tangannya ke tanah, dan letupan kecii pun terjadi. Duuusss...! Asap mengepul dan cepat membungkus mereka bertiga. Terdengar suara batuk dari dalam asap itu bersamaan dengan suara tombak saling beradu.

"Uhuk, ehek, ehek, uhuk, uhuk, ihik, Ihik, ahak, hok, hok, hok...!"

Trang, tring, trang, trak, trak, tring...!

Asap itu lenyap ketika Yosodigdaya mundur bersama kudanya. Asap hitam yang lenyap menimbulkan keheranan di wajah mereka, Suto Sinting, Dewi Angora, dan Batuk Maragam sudah tidak ada di tempat. Lenyap barsama asap. Semua malah mencari di sana-sini, tapi buronan mereka tidak ditemukan.

"Cari! Menyebar..." teriak Yosodigdaya. "Mereka pasti belum jauh dari sini! Lekas cari ke delapan penjuru!"

Mereka pun menyebar dengan tegang dan panik. Di sebuah bukit yang hauh darl sungai itu, tampak tiga sosok berdirl memperhatikan keadaan di kaki bukit. Mata mereka memandang ke sungai bening, memperhatikan kesibukan para prajurit mencari buronannya. Mereka bertiga ternyata adalah Suto Sinting, Dewi Angora, dan Batuk Maragam.

Kesaktian Batuk Maragam telah membawa mereka pindah tempat dalam sekejap diatas bukit tersebut jauh dari jangkauan mata para prajurit, karena mereka dihalang-halangi pepohonan rapat di puncak bukit itu.

Suto Sinting agak terkejut ketika mengalami kebutaan sekejap tadi dan tahu-tahu sudah berada di puncak bukit. Tapi Dewi Angora tidak merasa kaget karena ia tahu bahwa pamannya mempunyai iimu "Kelana Indera', yaitu sejauh mata memandang sejauh itu pula bisa berpindah tempat

“Luar biasa ilmu sang paman ini," pikir Suto. "Aku ingin mempelajarinya kalau Ia rela menurunkan padaku"

Dewi Angora yang sudah tidak ada dl samping Suto itu tampak murung, ia bahkan jauhi pamannya pula. Pandangannya sudah tidak ditujukan kepada para prajurit kadipaten yang kebingungan di kaki bukit itu, melainkan dilemparkan ke arah lain dengan penuh kedongkolan. Ia berdiri berlipat tangan, punggungnya disandarkan pada pohon.

Suto Sinting memperhatikan sebentar, lalu beralih perhatian kepada para prajurit di sana sambil mulutnya ucapkan kata kepada Batuk Maragam. "Kedatangan mereka seperti mimpi bagiku, Paman Batuk Maragam. Mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, mengapa justru pada saat kita baru pertama berjumpa?!"

"Baru pertama berjumpa?" gumam Batuk Maragam lalu ia manggut-manggut sambli pandangi Suto Sinting disampingnya. "Benarkah kau merasa baru pertama berjumpa?"

"Benar, Paman. Saya berani bersumpah apapun!"

Manggut-manggutnya kian jelas lagi. "Kebimbanganku semakin jelas. Tapi sulit dipercaya oleh pihak lain”

“Memang. Karenanya saya sengaja tidak banyak membantah kepada Dewi Angora. Perbantahan saya tadi sempat menggunakan alasan akar keramat yang terlangkahi, saya lupa segalanya. Padahal saya tidak melangkahi akar itu,"

"Sebenarnya aku ingin mempercayainya, tapi sulit percaya sepenuh hati,” kata Batuk Maragam, dan iapun Batuk kembali, “Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"

Hilangnya suara batuk berganti suara tangis mengisak yang terdengar. Suto Sinting segera berpaling ke arah Dewi Angora, Batuk Maragam juga berpaling kesana, Keduanya segera dekati Dewi Angora yang menangis dalam keadaan berdiri dan tundukkan kepala, satu tangannya digunakan untuk menutup wajah, satu lagi masih bersedekap di dada.

Batuk Maragam tampak sayang kepada keponakannya itu, sehingga diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya, didekapnya erat-erat bagai dilindungi jiwa dan raganya. Sang gadis semakin terisak-isak, sang paman pun mulai membujuknya,

"Banyak yang harus kita bicarakan bertiga, Dewi Angora. Banyak pula yang harus kita dengar dari pengakuan Suto Sinting. Tenanglah dulu, Dewi. Kita menghadapi teka-teki yang perlu pemecahan sacara tenang tapi tepat sasaran."

Sesaat kemudian, Dewi Angora pisahkan diri dari pamannya, lalu pandangi Suto dengan air mata masih berlinang. "Tak kusangka kau lakukan tindakan sehina itu. Suto! Mencuri istri orang adalah perbuatan para perampok sesat! Apalagi yang kau curi adalah istri seorang Adipati, alangkah celakanya dirimu nanti, Suto!"

Mendengar kecaman itu, Suto tarik napas dalam-dalam. Seakan sia-sia ingin ajukan pembelaan diri. Karena kejap berikut Dewi Angora berkata lagi,

"Jadi sebelum kau jumpa denganku, kau telah bawa istri orang dan sekarang entah kau sembunyikan dimana! Memalukan sekali! Kalau tahu jiwamu sebusuk itu aku tak mau dekat denganmu! Aku tak mau jadi kekasihmu sampai akhirnya aku harus mengandung bayimu!"

Batuk Maragam terkesiap karena kaget mendengar kata-kata keponakannya. Karena kagetnya lalu terbatuk-batuk lagi. "Uhuk, uhuk, uhuk, eik...! Uhuk...!"

"Apa benar begitu, Dewi?!" tanya Batuk Maragam.

Gadis itu hanya tundukkan wajah dan menutupnya dengan tangan sambil lanjutkan tangisnya. Batuk Maragam tampak sedih, ia menatap Suto Sinting bagaikan minta pendapat atas ketidaktahuannya terhadap apa yang diperbuat saat itu. Pendekar Mabuk mendekat satu langkah dan berkata pelan,

"Tadi ia pun mengaku begitu padaku, Paman. Tapi aku merasa tidak pernah beruat apa-apa dengannya. Ia menyebutkan rumah gubuk di tengah sawah sedangkan aku tidak pernah melihat rumah gubuk itu."

Dewi Angora mendengar ucapan itu segera menyambar dengan hardikan, "Tentu saja kau tidak merasa berbuat, karena kau ingin ingkar janji dan lari dari tanggung jawab!"

"Dewi, apa yang kukatakan kepada pamanmu itu bukan kebohongan. Mana berani aku membohongi paman Batuk Maragam, karena aku yakin beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku!"

Merasa mantap, Suto Sinting mendekati gadis itu dan menyambung ucapannya. "Aku bukan pencuri istri orang! Aku seorang pendekar yang dididik oleh guruku untuk tidak lakukan tindakan-tindakan sehina itu! Berani Sumpah apa pun kunyatakan, bahwa diriku tidak mencuri istrinya sang Adipati! Tidak! Bahkan mengenal pun baru tadi, sebelum kau bertemu dengan Mulut Petir dan Sangkur Balang! Selama ini aku tidak kenal siapa dirimu dan di mana rumahmu! Aku tidak tahu siapa ayahmu dan apa pangkatnya! Bahkan letak kediaman Peri Sendang Keramat pun tadi kutanyakan padamu karena aku benar-benar tidak berasal dari sana! Aku tidak kenal siapa itu Peri Sendang Keramat!"

"Omong kosong!" bantah Dewi Angora.

"Kurasa benar!" kata sebuah suara lain, bukan suara Batuk Maragam, bukan pula suara Suto Sinting sendiri. Suara itu berssal dari atas pohon. Maka, mereka bertiga serempak mendongak ke atas pohon, lalu tampaklah sesosok tubuh berjubah hijau muda turun dari atas pohon. Gerakan turunnya bagai orang berdiri tegak dan jubahnya berkelebat bagaikan sayap seekor burung merak.

Jleeg...! Wanita cantik berusia lebih tua dari Dewi Angora berdiri di depan mereka bertiga dengan mata jelinya menatap Suto lebih lama. Wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu kenakan pakaian pinjung sebatas dada warna coklat muda dari bahan bulu halus. Rambutnya disanggul sebagian, sisanya meriap sampai sepunggung. Tubuhnya sekal, kulitnya kuning langsat. Kecantikannya tampak nyala dalam bentuk kecantikan yang matang, yang jauh lebih dewasa dari kecantikan Dewi Angora. Perempuan berjubah hijau muda itu menyandang pedang pendek di pinggangnya.

Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut sebagai tanda heran dan merasa asing dengan perempuan itu. Sedangkan Dewi Angora menatap dengan sikap cemburu. Batuk Maragam tampak tenang, tapi sorot pandangan matanya tertuju pula kepada perempuan berhidung bangir itu.

"Kurasa dia memang bukan Suto Sinting yang kau kenal, Nona!"

"Siapa kau!" sentek Dewi Angora dengan tangisnya yang terhenti seketika.

"Aku Camar Sembilu, murid murtad dari Peri Sendang Keramat yang menolong Suto kabur dari cengkraman Peri Sendang Keramat!"

"Jadi...," kata-kata Dewi Angora terpotong oleh ucapan Batuk Maragam.

“Dari mana kau bisa tahu kalau pemuda ini bukan Suto Sinting yang dikenal oleh keponakanku itu?"

"Karena saat itu Suto Sinting sedang persiapkan diri untuk jalani hukuman gantung! la sedang diarak kepuncak Bukit Rongga Bumi. Peri Sendang Keramat sedang mengundang para tokoh tingkat tinggi untuk menyaksikan bahwa Suto Sinting akan jalani hukuman gantung. Peri Sendang Keramat punya kebanggaan tersendiri jika bisa menggantung murid si Gila Tuak. Nama besar Pendekar Mabuk akan digantikan oleh nama Peri Sendang Keramat."

"Jadi... siapa pemuda yang bersamaku itu, paman” tanya Dewi Angora.

"Ada Suto Sinting lain yang pertu dicurigai keberadaannya!" jawab Batuk Maragam membuat Dewi Angora dan Pendekar Mabuk memandanginya dengan berkerut tajam.

* * *

EMPAT
RUMAH kediaman Batuk Maragam ada ditanah tinggi tepi pantai, terpisah dari perumahan nelayan lainya. Tempat itu tidak begitu jauh dari permukaan pantai. Hanya dibutuhkan waktu beberapa helaan napas untuk mendaki sampai ke rumah tersebut. Dua buah sampan berada tak jauh dari jalanan mendaki menuju kediaman Batuk Maragam, satu sampan tengkurap karena bocor dan sedang dalam perbaikan, satu lainnya ditambatkan di perairan pantai, sebagai sarana mencari ikan bagi Batuk Maragam.

Pelita malam dinyalakan, menerangi yang tak seberapa jauh tapi dibangun dengan kayu-kayu kokoh. Rumah itu mempunyai loteng yang biasa digunakan untuk tidur, sedangkan lantai bawah lebih sering untuk melakukan kesibukan merajut jala atau memperbaiki peralatan mencari ikan.

Malam itu mereka ada dilantai atas. Dari sana dapat dilihat pemandangan laut yang luas membiru diterangi cahaya perak purnama. Di serambi loteng yang tidak seberapa lebar itu, Dewi Angora berdiri memandangi laut! Angin malam dibiarkan menerpa rambutnya yang dilepas dari kepangannya. Semilir angin malam membuat hati gundah sang gadis sedikit reda. Namun rasa perihnya masih sesekali dirasakan berdesir menyayat kalbu.

Di dalam dengan menggelar tikar pandan, Batuk Maragam berada didepan Suto sambil menikmati minuman teh panas. Bukan hanya Suto Sinting yang diajaknya bermalam disitu, melainkan Camar Sembilu pun ikut juga. Ia di butuhkan oleh Batuk Maragam sebagai saksi yang dapat meyakinkan Dewi Angora dan dirinya sendiri tentang adanya pemuda serupa dengan Suto Sinting.

Ketika Camar Sembilu menuang teh dari poci ke cangkirnya Suto, Pendekar Mabuk ajukan pertanyaan kepadanya, "Apakah pemuda itu juga mengaku bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk?"

"Ya. Bahkan ia juga mengaku murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," jawab Camar Sembilu.

"Kepadaku pun mengaku demikian," ujar Batuk Maragam menimpali.

"Juga membawa bumbung tuak?"

"Lengkap dengan pakaian yang kau pakai itu," kata Camar Sembilu. "Hanya anehnya, ketika dia menghadapi Sujali saat mau kabur dari Bukit Rongga Bumi, kulihat ilmunya tak seberapa tinggi. Malah dia hampir mati oleh Sujali. Padahal Sujali itu pengawal kelas keroco yang ilmunya terendah diantara orang-orang Peri Sendang Keramat. Kalau aku tidak turun tangan membantunya, Ia mati ditangan Sujali."

Hening tercipta sejenak, Dewi Angora masih belum mau bergabung dengan mereka. Tetapi telinganya sempat mendengarkan percakapan mereka secara samar-samar. Batuk Maragam sesekali memandang keponakannya penuh waspada. Karena ia tahu hati keponakannya sangat kecewa dengan adanya Suto kembar itu. Batuk Maragam khawatir sang keponakan patah hati, sempit pikiran, lalu bunuh diri dengan menikamkan pedangnya ke ulu hati. Karena ketika di perjalanan menuju rumah itu, Dewi Angora sempat berujar bunuh diri ketimbang mendapat malu karena kandungannya dan hidup penuh kecewa tanpa Suto Sinting yang dikenalnya.

Disaat hening itu, Suto Sinting kembali ajukan tanya kepada Camar Sembilu, "Mengapa kau mau membantu pemuda itu untuk lari dari Bukit Rongga Bumi?"

"Aku memang sudah terlanjur sakit hati kepada Peri Sendang Keramat. Dia membunuh adik lelaki yang bernama Dekso Luhur."

"Mengapa dibunuhnya?"

"Dekso Luhur adalah murid Peri Sendang Keramat juga, tetapi menolak diajak bercumbu dengannya, sehingga nyai Peri kecewa dan Dekso Luhur dipenggal, kepalanya digantungkan dijalanan menuju Pesanggrahan Sendang Keramat. Aku tak bisa lakukan pembalasan karena ilmuku tidak sebanding dengan ilmunya nyai Peri. Jadi aku memilih pergi dari Pesanggrahan Sendang Keramat, tak mau melihat mukanya lagi sebelum ilmuku menyamai ilmunya. Kebetulan niat itu sekarang dengan larinya pemuda yang bernama Suto Sinting itu."

Batuk Maragam terguncang-guncang badannya karena keluarkan batuk tiga nada. Setelah itu ia ajukan tanya kepada Camar Sembilu, "Apakah pemuda itu mulanya juga murid Peri Sendang Keramat?"

"Bukan. Dia pendatang baru," jawab Camar Sembilu.

"Kepadaku dia mengaku tawanan Peri Sendang Keramat,"

"Itu benar," tegas Camar Sembilu. "Sekitar tiga bulan yang lalu, pemuda itu datang ke Pesanggrahan Sendang Keramat dengan sangat mengejutkan. Tak tahu dari mana asalnya, tengah malam penjaga mendengar suara benda jatuh ke genangan air sendang. Sang nyai juga mendengarnya, sehingga ia keluar dari kamar dan memeriksa ke sendang yang dikeramatkan itu. Ternyata benda yang mencebur ke air sendang itu adalah seorang pemuda tanpa busana. Rupanya la nekat mandi disitu. Padahal sendang tersebut tak boleh dibuat mandi orang lelaki, karena khasiatnya bisa hilang..."

"Khasiat apa?” tanya Suto Sinting memotong.

"Sendang itu adalah sendang pengawet kecantikan. Wanita mana pun yang mandi disitu dalam keadaan cantik, maka seumur hidup kecantikannya tidak akan berubah. Walau usianya sudah seratus tahun, ia masih akan tetap cantik dan muda seperti saat Ia mandi di air sendang itu. Karenanya disebut Sendang Keramat. Nyai Peri yang menemukan sendang itu dan dikusainya. Karena itu setiap murid wanitanya pasti cantik-cantik dan awet muda karena diizinkan mandi disendang itu walau hanya satu kali itu sudah cukup. Tapi jika sendang itu dimasuki seorang lelaki, maka khasiatnya akan berubah. Bukan pengawet kecantikan, pengawet ketampanan. Maka lelaki yang masuk dan mandi di sendang itu biar sampai usia seratus tahun, wajahnya tetap seperti saat ia mandi itu dan tidak, berubah lagi."

Suto Sinting manggut-manggut. Batuk Maragam menyela kata, "Kudengar jika air sendang berubah menjadi pengawet ketampanan lelaki, ia tidak akan berubah lagi menjadi seperti semula walau dibuat mandi bidadari?"

"Ya. Memang begitu," kata Camar Sembilu. Karena itulah Nyai Peri marah besar kepada pemuda yang nekat mandi tanpa busana di sendang tersebut sebab air sendang tidak akan berubah menjadi air pengawet kecantikan lagi."

Kali ini Suto Sinting yang menyela kata, "Jadi kalau sekarang aku mandi di sendang itu, maka sampai usia seratus tahun aku masih tetap akan semuda ini dan wajahku juga tetap begini?"

"Kalau saja sendang itu sekarang masih ada, kau akan tetap tampan dan menawan seperti saat ini," kata Camar Sembilu sambil tersenyum malu. “Tapi sayang, Sendang Keramat sekarang sudah tak ada. Nyai Peri menimbunnya dengan tanah cadas dan bebatuan, Tempat itu sekarang menjadi tempat yang padat dan biasa digunakan untuk berlatih ilmu pedang para pengikutnya."

Batuk Maragam berkerut dahi, "Mengapa ditimbun?"

"Nyai Peri tidak ingin kaum lelaki awet tampan. Kurasa tindakan itu juga merupakan luapan dari kekecewaan hatinya."

"Hmmmm...," Batuk Maragam menggumam sambil manggut-manggut, tetapi segera tersentak-sentak oleh batuknya lagi yang lama-lama bisa bikin telinga rusak.

"Lalu bagaimana dengan nasib pemuda telanjang itu?" tanya Suto dengan sangat penasaran.

"Karena pemuda itu serupa dengan wajahmu, juga dengan tubuhnya sama denganmu, pokoknya tak ada yang beda darimu, maka pemuda itu selamanya akan awet muda dan tampan menawan sepertimu."

Pendekar Mabuk kerutkan dahinya, ada sesuatu yang dirasakan menggelitik aneh dalam benaknya. Lalu ia sempatkan diri untuk bertanya, "Apakah... apakah pemuda itu begitu mandi disendang tersebut langsung berubah menjadi seperti diriku, atau memang sebelumnya sudah seperti diriku?"

"Aku tidak melihat saat ia masuk ke sendang. Tapi yang kutahu, tentunya sebelum ia masuk ke sendang rupa dan wujudnya sudah seperti dirimu. Sebab tak pernah ada ceritanya seseorang mandi di sendangitu lalu berubah menjadi beda dengan wujud aslinya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut lagi dengan mata menatap Camar Sembilu. Tapi pikirannya menerawang dan berkecamuk mempercakapkan tentang pemuda yang punya wajah mirip dengannya. “Seingatku tak ada orang yang serupa denganku. Menurutguru, aku bukan anak kembar. Tapi mengapa ada pemuda yang serupa dengan diriku, dan mandi di Sendang Keramat itu?"

Camar Sembilu lanjutkan kata-katanya, bagai tak pedulikan Suto Sinting. Karena Camar Sembilu bicara lagi, Suto Sinting hentikan kecamuk di batinnya.

“Mestinya, pemuda yang mandi tanpa busana dipenggal malam itu juga oleh sang Nyai. Tetapi karena Ia tampan, dan sang Nyai mengenali wajah itu, maka niat memenggal pun diurungkan. Nyai Peri tahu kalau wajah itu adalah wajah murid si Gila Tuak, sebab dulu ketika bertarung dengan Mahendra di arena pertarungan, sang Nyai hadir di sana dan mengenali wajahmu. Konon wajahmu selalu melekat dalam benak sang Nyai. Tapi la selalu gagal menemuimu." (Tentang Mahendra silakan baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

"Berarti dia diberi pengampunan?" tanya Suto Sinting.

“Ya, selama dia mau dijadikan pria penghibur sang Nyai," kata Camar Sembilu menjelaskan. "Tetapi ia hanya tahan menjadi penghibur sang Nyai selama lima hari saja. Selanjutnya la tak tahan melayani sang! Sebab sang Nyai punya kebiasaan mencabuk lawan cumbunya lebih dulu sebelum mereka hanyut dalam kemesraan."

"Ya, secara pribadi dia pernah ceritakan hal itu juga kepadaku," kata Batuk Maragam. "Tetapi cerita iu tak pernah kututurkan keluarga adikku atau kepada Dewi sendiri."

Camar Sembilu lanjutkan kisahnya, "Karena ia melarian diri, sang Nyai jadl benci. Padahal semula semula sang sangat membanggakan pemuda itu. Bahkan ketika pemuda itu ditanya dan mengaku bernama Suto Sinting mengaku kehliangan pakaian serta bumbung tuaknya, sang Nyai perintahkan kepada para pengikutnya untuk mencarikan pakaian yang sama persis dengan pakaian sepertimu ini, Suto. Juga sang Nyai menyuruh mereka mencarikan bumbung tuak yang perbedaan dan ukuran yang tak jauh beda dari bumbung tuakmu it," Camar Sembilu menuding bumbung disamping Suto Sinting.

"Apakah dia juga doyan minum tuak?"

"Ya, tapi tidak sedoyan kau!" jawab Camar Sembilu.

Datuk Maragam berkata, "Maka tak heran kalau orang percaya bahwa dia adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. Aku pun percaya sepenuhnya, karena ciri-ciri penampilannya dan wajahnya adalah ciri-ciri yang sering dibicarakan para tokoh tingkat tinggi mengenai dirimu, Suto."

"Kalau begitu aku harus mencari pemuda itu!"

"Untuk apa?" tukas Batuk Maragam. "Jika muncul di Bkit ongga Bumi malah akan timbulkan persoalan lagi bagi dirimu!"

"Kau tak perlu ke sana, karena pemuda itu sebentar lagi akan digantung oleh Nyai Peri. Kalau tak salah dengar, sekitar dua-tiga hari lagi pelaksanaan hukuman gantung dilakukan di depan para tokoh yang mendapat undangan dari sang Nyai," ujar Camar Sembilu.

“Tapi dia merusak nama baikku! Kurasa dia mencuri dan membawa lari istri sang Adipati itu, Paman."

“Kurasa memang dia," kata Batuk Maragam yang segera terguncang-guncang karena batuknya memanjang. "Uhuk, ihik, uhuk, uhuk, eheek...!"

Nama baik Pendekar Mabuk telah dirusak oleh tindak tanduk seseorang yang serupa dengan dirinya. Sebentar lagi dunia persilatan akan gempar oleh banyaknya kecaman terhadap diri Pendekar Mabuk. Mungkin sekarang para tokoh tingkat tinggi! sedang ramai membicarakan sikap dan perilaku Pendekar Mabuk yang sangat hina dan memalukan itu.

Suto Sinting menarik napas merenungi nasib. Selama tiga bulan sepuluh hari ia pelajari ilmu 'Layang Raga' digugusan karang tengah samudera, ternyata mempunyai akibat sampingan seburuk ini. Suto Sinting sama sekali tidak menyangka kalau nama harumnya sebagai seorang pendekar akan jatuh dan terinjak-injak oleh perilaku seseorang yang kembar dengannya.

"Siapa orang itu sebenarnya?" pikir Suto menjelang tidur. "Apakah aku memang punya saudara kembar yang tidak diketahui oleh Guru maupun Bibl Guru. Jika memang dia saudara kembarku, mengapa prilakunya begitu hina, sampai-sampai membuat Dewi Angora ternoda dan hamil, Oh, kasihan sekali nasib Dewi Angora. Ia sudah telanjur jatuh cinta, sudah telanjur korbankan mahkota, sudah telanjur menentang kehendak orangtua, semua demi kekasihnya. Dan repotnya kekasihnya itu orang yang kembar dengan diriku. Tentu saja ia tetap berharap bersuamikan diriku. Lalu, bagaimana aku harus bersikap kepadanya?"

Beda lagi dengan pemikiran Batuk Maragam, "Aku sendiri tak tahu apakah aku harus menyelamat pemuda itu dari tiang gantungan, supaya menikahi Dewi yang sudah telanjur ternoda itu? Atau aku harus membujuk Suto supaya mau mengawini Dewi demi menyelamatkan masa depan Dewi dan anaknya? Atau membujuk Dewi agar menerima lamaran Tuanku Nanpongoh supaya aibnya tertutup oleh perkawinan itu? Tapi... agaknya cukup berbahaya jika sampai Tuanku Nanpongoh mengetahui bahwa Dewi sudah tidak suci lagi. Tentu ia akan marah dan menuntut kepada Cakradayu. Bisa-bisa karena kecewanya ia akan bunuh Dewi tanpa setahuku. Hmm... sulit juga mengatasi persoalan keponakanku itu."

Membebaskan pemuda yang mirip Suto Sinting bukan hal yang sulit buat Batuk Maragam. Sekalipun Ia pernah dengar kesakitan Peri Sendang Keramat. Namun ia merasa masih mampu mengimbangi kesaktiannya itu. Ia merasa sanggup mencuri pemuda itu walau dikurung dalam ruang bawah tanah sekalipun. Tetapi Batuk Maragam membayangkan apa jadinya jika Dewi Angora bersuamikan lelaki yang sudah berani membawa lari istri seorang adipati. Cepat atau lambat pihak Kadipaten akan menangkap pemuda itu, mungkin juga akan membunuhnya.

Sedangkan Dewi Angora berpikiran lain lagi, "Apapun yang terjadi, esok aku harus temui Peri Sendang Keramat dan membuktikan sendiri kebenaran cerita Camar Sembilu itu. Jika pemuda yang mau digantung itu adalah pemuda yang menodaiku, maka aku harus bisa membawanya lari dari genggaman Peri Sendang Keramat. Jika perlu bertarung, akan aku lawan kekuatan Peri Sendang Keramat. Mati tak jadi soal bagiku, ketimbang hidup dengan bayi tanpa ayah!"

Tapi alam pikiran Camar Sembilu saa sekali berbeda. Pada malam itu la tidur tak berapa jauh dari Dewi Angora. Namun kecamuk yang ada dalam benaknya bukan tertuju pada Dewi Angora. "Sangat kebetulan sekali aku bisa bertatap muka dengan Batuk Maragam. Aku ingin berguru padanya. Aku akan memohon padanya untuk menjadi muridnya. Ilmu kesaktiannya akan kupadukan dengan limu yang kudapat dari Nyai Peri, untuk kemudian aku gunakan membalas dendam atas kematian adikku kepada Nyai Peri sendiri. Cepat atau lambat aku harus bisa membalas kematian adikku. Dan untuk itu agaknya aku harus mengabdi dulu kepada Batuk Maragam. Mungkin harus menjadi pelayannya, atau membantu segala kesulitannya yang bisa kukerjakan. Kurasa Batuk Maragam tidak keberatan mengangkat murid padaku jika aku sudah mengabdi padanya."

Lewat tengah malam mereka belum ada yang tertidur walau tubuh mereka merebah dan mata mereka terpejam. Akibatnya, mereka mendengar suara langkah kaki yang berlari dari pantai mendaki tangga menuju rumah tersebut. Orang yang pertama kali bangun adalah Dewi Angora. Ia mendekati pamannya yang juga belum tidur nyenyak kecuali hanya pejamkan mata saja. Ia membangunkan dengan suara berbisik di tengah kegelapan ruangan tersebut.

"Paman...! Paman...!"

“Hmm...!"

"Ada suara langkah orang menuju kemari!"

"Biarkan!" jawab pamannya tenang saja.

Camar Sembilu segera bangkit terduduk dan berkata dalam bisik, "Aku juga mendengarnya. Tapi agaknya hanya satu orang."

"Aku takut dia adalah utusan dari Tuanku Nanpongoh."

Suto Sinting masih berbaring tapi ikut menyahut dalam bisikan, “Kalau memang dia, biar aku yang hadapi!"

"Tak perlu kau, aku pun sanggup," kata Camar Sembilu menunjukkan sikap memihak Dewi Angora agar mendapat simpati dari Batuk Maragam.

Karena mereka saling berkasak-kusuk brisik, maka Batuk Maragam pun bangkit dan berkata, “Baru satu orang yang berlari kalian sudah ribut. Bagaimana kalau yang berlari Orang seratus, kalian bisa... Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"

"O, maksudnya bisa batuk-batuk?" ujar Suto Sinting iseng saja. Tapi ia pun segera bangkit dan berdiri. Karena ruangan gelap, la melangkah dengan meraba-raba mencari pintu tangga menuju lantal bawah.

Plook...! Tangannya memegang seraut wajah dan Suto berkata pelan, "Jangan ikut turun, Dewi. Kau diatas saja. Biar aku yang turun memeriksa keadaan!"

Wajah yang dipegang Suto itu berkata, "Aku bukan Dewi..., uhuk, uhuk, uhuk!"

“Oh, maaf Paman...!" Suto Sintng malu dan geli.

"Wajah orang tua diobok-obok seenaknya saja!" gerutu Batuk Maragam.

Sebelum Suto Sinting habiskan tawa cekikikan yang tertahan, tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan kasar. Daarr, daarr, daar...! Mereka terkejut dengan suara keras itu. Suara gedoran pintu itu disusul oleh suara teriakan seseorang dari luar rumah.

"Pamaaan...! Paman Batuk Maragam...! Pamaan...!"

Dewi Angora berseru dengan suara berbisik, “Itu suara Donggala, Paman...!"

"Ya. Itu memang suaranya. Tapi ada apa dia sampai berteriak begitu?" tanya Batuk Maragam sambil turun kelantai bawah.

Mereka bertiga ikut turun karena rasa ingin tahunya begitu besar. Tapi karena Suto Sinting dan Camar Sembilu belum terbiasa turun tangga ditempat itu dalam keadaan gelap, akhirnya mereka jatuh saat menuruni tangga. Camar Sembilu yang jatuh terpeleset dan tubuhnya melayang menimpa Suto Sinting yang hampir mencapai tangga terakhir.

Bruuk...!

"Eeehg...!" Suto Sinting sibuk memegangi bumbung tuaknya, sehingga tangan kirinya hanya bisa menyambar pinggang Camar Sembilu tapi tangan kanannya tak bisa berpegangan apa-apa. Akibatnya Suto telentang dan tertindih tubuh Camar Sembilu dalam keadaan jatuh tengkurap di atasnya. Wajah mereka sempat saling cium tak disengaja, sedangkan perut Suto sempat merasa mual karena tersodok lutut Camar Sembilu.

"Aduh, bagaimana kau ini?" gerutu Suto Sinting.

"Maaf. Aku tak sengaja!"

"Aku tahu kau tak sengaja, kalau disengaja tidak hanya begini tentunya. Tapi... lekaslah berdiri, jangan ngobrol dalam keadaan begini, nanti mereka sangka kita sedang ini-itu tak beres!"

"O, ya... hampir saja aku lupa berdiri!" kata Camar Sembilu dengan rasa malu sekali.

Donggala masuk ketika ruangan sudah diterangi oleh nyala pelita bertangkai. Wajah itu amat tegang dan menakutkan karena didekati pelita tersebut. Wajah itu kelihatan berkeringat dan mereka juga melihat ada darah sedikit pada sudut bibir yang terluka.

"Ada apa Donggala?"

"Paman... celaka paman...!"

"Aku tidak celaka!" kata Batuk Maragam. "Kenapa kau bilang aku celaka?!"

"Maksudku... maksudku... bukan paman yang celaka, tapi..., tapi..." napas Donggala terengah-engah bagaikan sulit dipakai berbicara.

"Duduklah dulu, tenangkan diri, atur pernapasan, baru bicara."

Suto Sinting berbisik kepada Dewi Angora, "Siapa Donggala itu?"

"Salah satu pelayan di rumahku," jawab Dewi Angora dengan wajah cemas.

Donggala yang berbadan tak terlalu kurus itu memandang Dewi Angora, ia segera berkata, "Nona... sebaiknya Nona segera pulang!"

"Kenapa? Ada apa di rumah?"

"Tuanku Nanpongoh murka. Ancamannya benar-benar dilakukan!"

"Ancaman apa?" tanya Batuk Maragam.

"Jika sampai matahari tenggelam nona tidak pulang, Tuanku Nanpongoh akan hancurkan desa kita dengan mengerahkan anak buahnya dari Pulau intan! Dan malam ini mereka sedang membantai para penduduk desa yang tak bersalah!"

"Celaka!" geram Batuk Maragam. Sedangkan Dewi Angora terkejut tak bisa bicara lagi. Mereka sama-sama bungkam sekitar tiga helaan napas. Tiba-tiba Suto Sinting perdengarkan suaranya,

"Dewi tetap saja di sini. Paman jaga Dewi Angora bersama Camar Sembilu. Aku akan ke sana bersama Donggala sebagai penunjuk jalannya!"

“Saya... saya tidak berani balik ke sana, Tuan Muda!" kata Donggala.

Batuk Maragam letakkan lentera di meja kecil, kemudian berkata kepada Suto Sinting, "Rencanamu terbalik Anak Muda! Kau yang harus tinggal di sini menjaga Dewi Angora, aku akan selamatkan keluarga adikku di sana!"

"Tapi, Paman....”

"Hanya itu yang bisa kau lakukan, Anak Muda!" kata Batuk Maragam dengan tenang tapi berwibawa.

"Kalau begitu," kata Camar Sembilu, "Aku ikut Paman..!”

“Untuk apa? Menyusahkan diriku?"

"Aku ingin bantu me...."

"Kau tetap di sini bersama Suto dan Dewi. Donggala ikut aku!"

Donggala tak bisa menolak. Tak berani beralasan lagi seperti saat Suto Sinting memutuskan rencananya pertamanya tadi. Suto Sinting pun tak berani menolak usulan Batuk Maragam, sehingga Ia hanya diam ketika Donggala dan Batuk Maragam pergi menuju desa tempat tinggal Dewi Angora.

Beberapa saat setelah kepergian mereka, Camar Sembilu keluar dan berkelebat pergi menyusul Batuk Maragam. Satu-satunya penunjuk jalan yang dipakainya adalah mengikuti suara batuknya tokoh tua yang berilmu tinggi itu.

* * *

LIMA
CAHAYA rembulan masih memantulkan warna perak di permukaan air laut. Suasana pantai kian malam semakin terang oleh cahaya tersebut. Debur suara ombaknya sesekali bergemuruh memecah sunyi. Irama malam seperti itu sengaja dinikmati Pendekar Mabuk dari serambi lantai atas. Ia sengaja berdiri di sana untuk melihat kemungkinan bahaya datang mengancam Dewi Angora.

Gadis itu berbaring di atas tikar dalam gundah yang meresah. Sebaris harapan terucap lewat kata batinnya, "Semoga tak ada korban di pihak keluargaku. Semoga Paman Batuk Maragam bisa cepat atasi keributan di sana. Tuanku Nanpongoh memang layak dimusnahkan. Mudah-mudahan Paman bisa menumpasnya sampai ke akar-akarnya. Tapi sekalipun aku terlepas dari Tuanku Nanpongoh, aku pun harus menghadapi masalahku sendiri yang kuanggap terberat. Siapa yang mau ikut menanggung penderitaanku jika sudah begini? Maukah Suto Sinting yang ada disini memenuhi harapan hatiku? Ah, sepertinya Ia tidak tertarik padaku. Dia terlalu dingin untuk bersikap mesra padaku. Andai saja Ia mau menggantikan pemuda kembarannya itu, tentu hatiku tak akan sepahit ini. Dia pasii tidak mau menggantikan pemuda kembarannya itu. Dia pasti sudah punya kekasih sendiri. Tapi... mengapa malam ini dia mau menjagaku dengan setia? Mengapa dia tidak pergi saja dan tak usah menghiraukanku lagi? Apakah sikapnya ini punya arti tersendiri bagi hatinya? Apakah... apakah dia punya rasa sayang kepadaku?"

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya di serambi loteng. Ruangan loteng sengaja tetap digelapkan, tanpa penerangan apa pun. Buat Dewi Angora, suasana seperti itu dapat menumbuhkan hasrat kemesraan dalam hatinya, khayalannya melambung tinggi dalam pelukan Suto Sinting.

Tapi bagi Suto Sinting, suasana itu hanya hadirkan ketenangan dan kenyamanan semata. Tak ada bayangan mesra dalam khayalnya. Justru yang terpikir dalam benaknya adalah mengatasi nama baiknya yang telah dihancurkan oleh pemuda serupa dengannya itu. Lalu ia pun mencoba menerka-nerka siapa sebenarnya orang yang punya wajah dan penampilan kembar dengannya itu. Satu-satunya dugaan yang terlintas dalam benak Suto adalah kekuatan gaib yang ada pada diri Embun Salju, wanita cantik ketua Perguruan Elang Putih yang memiliki kalung pusaka bernama kalung Lintang Suci.

"Bukankah kalung itu telah ditentukan kembali oleh Citradani? Bukankah kalung itu mempunyai kekuatan dapat mengubah-ubah diri sesuai keinginan pemakainya? Dulu, ketika kalung itu di tangan Tandak Ayu, perempuan itu bisa berubah menjadi kelinci. Bukankah hal-hal seperti itu bisa dilakukan oleh Embun Salju dan anak buahnya yang merubah diri menjadi Suto Sinting. (Tentang Kalung Lintang Suci, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas)

Dugaan itu segera disanggah sendiri oleh Suto, "Tapi apa maksudnya Embun Salju memanfaatkan kalung itu untuk merubah diri menjadi sepertiku? Kurasa hubungan ku tak ada cacat dimatanya, hubunganku dengan pihak Elang Putih baik-baik saja. Ah, rasa-rasanya... tidak mungkin Embun Salju yang melakukan pengembaran wajahku itu. Lalu siapa jika bukan dia...?"

Percakapan batin itu terputus karena sesuatu yang membuat Pendekar Mabuk agak terperanjat. Dua bayangan muncul dari arah berlawanan dengan arah kepergian Batuk Maragam. Dua sosok bayangan itu berlari mendekati sampan yang ditambatkan. Suto Sinting merapatkan diri kedinding serambi, matanya memandang tajam ke arah dua sosok bayangan itu.

“Hmmm... ternyata mereka adalah Sangkur Balang dan si Mulut Petir. Rupanya si Mulut Petir punya ramuan khusus yang bisa sembuhkan lukanya dalam waktu hanya sehari itu? Kakinya masih kelihatan sedikit pincang, tapi tampaknya tak menimbulkan rasa sakit baginya."

Suto Sinting masih diam di serambi loteng. Ia sengaja tidak memberitahukan Dewi Angora tentang kedatangan dua orang itu supaya Dewi Angora tidak menjadi panik dan ketakutan.

"Kedatangan mereka kemari pasti untuk mencari Dewi Angora. Rupanya tugas menemukan kembali Dewi Angora dibebankan di pundak mereka berdua, sedangkan orang-orangnya Tuanku Nanpongoh lainnya bertugas mengacau para penduduk desa dan menyerang Ki Lurah Cakradayu. Hmmm... agaknya aku harus melumpuhkan dua orang ini biar tidak menjadi penyakit lagi Dewi Angora!"

Dengan satu hentakan kecil kaki kirinya, Suto Sinting melesat loncat dari loteng dengan bersalto tiga kali. Kakinya mendarat di tanah tanpa suara apa pun karena penguasaan Ilmu "Layang Raga'-nya.

Ketika dua orang itu menaiki tangga tanah dari pantai menuju ke rumah Batuk Maragam, Pendekar Mabuk dengan gerakan kilatnya menerjang mereka secara serempak.

Bruuss...!

Cahaya rembulan kurang bisa dipakai untuk melihat bayangan yang berkelebat, sehingga dua utusan Tuanku Nanpongoh itu terpental dan menggelinding kembali ke pasir pantai. Pada saat tubuh mereka sampai di pasir pantai, Suto Sinting sudah berdiri tegak sana sejak tadi.

“Monyet burik!" maki si Mulut Petir. "Rupanya kau yang menjaga rumah itu!"

Suto Sinting Sunggingkan senyum sinis, “Memang aku yang bertanggung jawab atas keselamatan Dewi Angora!"

"Riwayatmu cukup sampal malam ini juga, Suto Sinting!" geram Sangkur Baiung sambil mengerjap-ngerjapkan matanya karena kelilipan pasir saat tersungkur tadi.

Suto Sinting tidak merasa gentar dengan ancaman tadi, justru ia balik mengancam mereka, "Jika kalian tak ingin ada yang cedera, jangan ganggu Dewi Angora lagi. Sampaikan kata-kataku ini kepada Tuanku Nanpongoh juga."

“Lancang betul kau berani Mengancam kami begitu, hah?!" sentak si Mulut Pstir. "Kau Perlu mendapat pelajaran pertama dari kelancangan mu itu. Haaaaah...!"

Sentakan mulut yang menganga lebar itu mengeluarkan cahaya biru petir.

Clap, clap, clap...!

Tiga cahaya biru petir melesat dan menghantam kearah Suto Sinting. Namun dengan satu kali lompatan kesamping, Pendekar Mabuk mampu menangkis cahaya itu dengan gerakan cepat bumbung tuaknya. Dub, dub, dub....! Tiga cahaya petir kenai bumbung tuak dan memantul balik dengan gerakan lebih cepat dan lebih besar. Zlap, zlap, zlap...!

“Mulut Petir, awaaas...!" seru Sangkur Balang yang melihat tiga sinar biru petir berukuran besar melesat ke arah si Mulut Petir.

Orang gemuk itu segera terperangah dan sentakkan kaki untuk melenting di udara, hindari tiga sinar biru besar tersebut. Tapi agaknya gerakan itu terlambat. Dua sinar memang lolos dari tubuhnya, tapi satu sinar sempat melesat naik dan mengenai pahanya.

Blaaar...! Blegaaar...! Dua sinar yang lolos menghantam dinding batu karang hingga timbulkan ledakan yang menggelegar.

"Aooh...!" Si Mulut Petir menyeringai kesakitan, jatuh terkapar di pasir dalam keadaan kaki kirinya hancur sampai batas pangkal paha. Orang gemuk itu mengerang panjang, makin lama suara erangannya semakin mengecil dan segera hilang bersama lenyapnya nyawa. Tubuh si Mulut Petir menjadi hitam hangus serta berasap bagaikan disambar petir lima kilatan. Bau daging hangus pun menyebar sejenak dan tercium oleh Suto dan Sangkur Balang.

Suara ledakan dan pekikan tadi membuat Dewi Angora tersentak kaget dari baringannya. Ia segera lari ke serambi loteng untuk melihat apa yang terjadi di pantai. Gadis itu terbelalak kaget melihat Suto Sinting ternyata sudah bertarung dengan dua utusan Tuanku Nanpongoh.

“Celaka! Dia dikeroyok dua orang? Mengapa dia tidak bilang padaku?! Tapi... oh, agaknya si Mulut Petir sudah tak berkutik tagi, tinggal Sangkur Balang. Sebaiknya aku tak perlu ikut campur. Kulihat saja kehebatannya dari sini!" Pikir gadis itu dengan hati berdebar-debar.

Melihat temannya tumbang tak bernyawa, Sangkur Balang menjadi murka. Maka dicabutlah senjatanya yang berupa tombak pendek tiga jengkal yang ujungnya ditutup sarung dari kayu itu, Sest...! Tombak kini dibuka tutupnya, ternyata ujung tombak itu memancarkan sinar merah seperti besi terpanggang api. Sinar merah bara tersebut membuat gerakan berkelebat kesana-sini dan indah dipandang pada malam hari seperti saat itu.

"Kali ini kau harus mati, Suto! Harus mati!"

Sangkur Balang melompat dengan tombak dihujamkan ke dada Suto Sinting. Tetapi Pendekar Mabuk cepat-cepat jongkokkan badan, lalu berguling ke belakang dengan kaki menendang ke atas. Akibatnya, tombak yang tidak mengenal sasaran itu membawa tubuh Sangkur Balang melayang di atas Suto. Tubuh itu menjdi sasaran tendangan kaki Suto yang bertenaga dalam cukup besar. Beehg!

Wuuus...! Brrruk...!

Tubuh Sangkur Batang terpental ke samping atas cukup tinggi. Ketika tubuh itu bergerak turun dengan cepat, keseimbangannya hilang dan akhirnya tubuh itu terbanting di atas pasir pantai. Sangkur Balang menyeringai karena jatuh terduduk. Tulang ekornya terasa ngilu sekali.

"Larilah! Pergi sana yang jauh. Aku tak akan mengejarmu!" kata Pendekar Mabuk dengan sikap kalem dan berdiri dengan kaki mgrenggang.

"Setan keropos kau! Jangan merasa bangga bisa membuatku begini!” geram Sangkur Balang dengan berusaha bangkit sedikit menggeloyor, tapi segera tegak kembali. "Terimalah senjataku ini, Setan Keriput! Hiaaah...!"

Wuuusss...! Tombak bertangkai tiga jengkal itu dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk. Tombak itu melesat dengan cepat. Pendekar Mabuk pun segera sentakkan napas, dan sentakan napas itu membuat tubuhnya melayang naik dengan sendirinya. Wuuut...! Jurus 'Layang Raga' digunakan untuk hindari tombak tersebut. Tapi di luar dugaan, ternyata tombak itu bisa menukik ke atas sendiri.

Weeesss...! Pantat Suto Sinting dijadikan sasaran ujung tombak itu. Tentu saja Pendekar Mabuk menjadi kaget dan secara gerak naluri tubuhnya berjungkir balik di udara dalam gerakan salto dua kali. Wuk, wuuk...! la pun segera mendarat di fepan sebatang pohon kelapa yang tumbang melengkung ke pantai.

Ternyata tombak itu bagaikan musuh yang haus mangsa, ia dapat berbelok sendiri dalam terbangnya dan melesat kembali ke arah Suto Sinting. Dengan cepat Suto Sinting melompat ke samping dan tombak itu akhirnya menancap di batang kelapa belakang Suto.

Jraaab...!

Suto baru saja mau menghantamnya dengan bumbung bambu biar tombak itu pecah, tapi tiba-tiba terdengar Suara suitan dari Sangkur Balang.

“Siluuut...!" Sangkur Balang memasukkan dua jarinya ke mulut biar bisa timbulkan suitan, Dan secara mengherankan tombak itu lepas sendiri dari batang kelapa yang langsung kering karena dihunjam tombak itu. Setelah lepas dari batang kelapa, tombak pun cepat kembali ke pemiliknya, lalu tertangkap kuat oleh tangan Sangkur Balang. Taab...!

Suto Sinting terkesima sejenak melihat tombak itu bagaikan bernyawa dan bisa kembali dengan panggilan khusus, Dalam hatinya, Suto Sinting pun membatin, "Aku tak boleh menghindar saja, harus menyerang. Dia sangat berbahaya bagi Dewi Angora ataupun bagi orang lain. Senjatanya harus kuhancurkan dan pemiliknya kupaksa lari dari sini. Ia akan kubuat jera mengganggu keluarga Dewi Angora!"

Tepat kata batin Suto itu selesai terucap, pekik kebuasan Sangkur Balang kembali terdengar dengan memanjang. Lelaki bertubuh kurus tinggi itu melayang dengan gerakan memutar cepat bagaikan baling-baling. Tombaknya dipasangkan kedepan dengan sewaktu-waktu dapat untuk merobek leher lawan.

“Heaaaaah...!"

Gerakan memutarnya yang cepat itu hampir saja membuat Suto Sinting tergores ujung tombak jika tidak segera melompat ke samping dan menghantamkan bumbung tuaknya ke arah sinar merah bara yang mempunyai titik dalam putaran itu. Buuhg...! Praak...! Blaaar...!

Hantaman bumbung sakti itu tepat kenai sasaran. Sinar merah bara itu pecah dan meledak, berarti senjata tombak terbang itu hancur dihantam bumbung. Namun ledakan yang timbul sangat diluar dugaan Suto Sinting. Ledakan itu cukup dahsyat, sempat mengguncangkan tanah pantai sekejap.

Tubuh Sangkur Baiang terlempar jauh, hampir mencapai sampan yang ditambatkan. Dan Suto Sinting tidak menyangka bahwa tubuh itu menjadi hancur bagian dadanya akibat terkena ledakan dahsyat tadi. Tentu saja Sangkur Balang terkapar disana tanpa nyawa lagi. Tubuhnya berasap sebentar, dan segera padam karena riak pantai mengguyurnya hingga menimbulkan suara; Jroooos...! Bagaikan besi panas dimasukkan ke dalam air.

Kejadian tersebut membuat Dewi Angora terpaku di tempat. Hatinya membatin, "Suto yang kukenal tidak mempunyai ilmu sedahsyat itu. Bumbung tuaknya tidak berguna sebagai senjta, dan tidak bisa dipakai untuk apa-apa. Buat tempat tuak pun harus ditambal dulu bawahnya agar tak bocor. Tapi bumbung tuak yang digunakan memukul Sangkur Balang itu alangkah hebatnya, bisa membuat senjata pusaka tombak bernyawa itu hancur bersama pemiliknya. Dulu Suto yang kukenal lari terbirit-birit menghadapi si Mulut Petir. Sekarang, Suto yang ini malah merobohkan kedua lawannya. Hebat sekali jurus-jurus dan gerakannya. Oh, aku semakin tambah menyesal, mengapa aku bertemu dan bercinta dengan Suto Sinting yang palsu? Mengapa tidak dengan yang ini saja?"

Mata Pendekar Mabuk memandangi alam sekelilingnya, mencari kemungkinan sisa bahaya yang masih tertinggal. Pada saat itu, Dewi Angora bergegas menghampiri Suto Sinting. Gadis itu melompat dari loteng dan menapakkan kakinya di tanah dengan tegak. Tubuhnya cepat melesat ke arah pantai. Matanya memandangi dua korban yang saling berjauhan itu.

"Tinggalkan rumah ini," kata Suto Siniing. "Klta cari tempat persembunyian yang lebih aman."

"Apakah menurutmu rumah ini sudah tak aman lagi?"

"Kemungkinan datangnya bala bantuan bisa saja terjadi. Daripada kau terjebak di sini, lebih baik kita hindari kemungkinan itu."

Dewi Angora tampak bimbang. ia memandang arah jauh, tempat kepergian Batuk Maragam dan Donggala. Suto Sinting mencekal tangan Dewi Angora,

“Lekas pergi dari sini!"

Gadis itu tak punya pilihan lain. Langkah Pendekar Mabuk diikutinya. Pikirnya, kemana pun pergi asal bersama Pendekar Mabuk yang ini, Ia pasti akan aman, Dalam hati Dewi Angora telanjur merasa kagum terhadap sikap si tampan ini yang punya perbedaan jauh dengan sikap si tampan yang mau digantung Peri Sendang Keramat itu. Jurus-jurusnya membuat Dewi Angora sempat berpikiran ingin mempelajarinya. Tapi pikiran itu untuk sementara disingkirkan, karena Ia masih butuh pemikiran lain yang lebih penting, menyelamatkan diri dari Tuanku Nanpongoh dan menentukan Sikap menghadapi nasibnya itu.

Beruntung sekali semakin malam semakin cerah. Cahaya purnama menyinari bumi, sehingga kegelapan malam mampu membuat jalan setapak terlihat, lubang dan batu pun terlihat, hingga langkah mereka tak samai terjeblos atau terantuk batu. Sinar rembulan itu pula yang membuat mata Suto Sinting segera menangkap sekelebat bayangan melintas dihutan sebelah kanannya. Bayangan itu tampak menuju kearahnya, sehingga Suto Sinting segera tarik tubuh Dewi Angora dan berkelebat kebalik pohon besar.

"Ada apa? Kenapa kita bersembunyi?" bisik Dewi Angora.

"Ada yang menuju kemarii" jawab Suto dalam bisik an pula.

“Siapa? Orangnya Tuanku Nanpongoh?"

"Kita lihat saja. Awas, kepalamu agak merunduk!" tangan Suto Sinting tak segan-segan menekan Kepala gadis itu. Rambut sang gadis masih diurai, belum dikepang lagi, sehingga angin malam sesekali menerbangkan rambut itu menutup wajahnya sendiri, Dewi Angora segera menggulung rambul asal jadi.

Sosok bayangan yang berkelebat itu berhenti dalam jarak delapan langkah dari pohon yang digunakan Suto bersembunyi. Sosok itu kini tampak jelas karena berada dalam sorotan sinar rembulan bebas dedaunan. Berambut putih dikonde tengah. Jenggot putih tak begitu panjang, pakaian kuning lusuh, membawa tongkat berujung bola licin dari besi, Badannya sedikit bungkuk. Dan Suto sangat mengenali sosok itu yang tak lain adalah si Bongkok Sepuh, tokoh sakti bekas kekasih gelap Bidadari Jalang semasa Bidadari Jalang belum berpindah ke aliran putih. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Maha Sakti).

"Keluarlah, Suto! Mengapa harus bersembunyi disana?"

Seruan Bongkok Sepuh membuat Suto Sinting tersenyum. Lalu dengan menggandeng tangan Dewi Angora, Suto Sinting pun segera keluar dari persembunyiannya. Ia membaur dalam cahaya rembulan yang tak terhalang dedaunan itu.

"Kusangka orang lain. Aku perlu sembunyikan gadis ini!" kata Suto kepada Bongkok Sepuh.

Tokoh tua itu tersenyum kecil. "Aku sengaja mencarimu selama dua hari ini.

"Untuk apa?"

"Ada yang lebih penting kau perhatikan daripada gadismu itu."

“Jelaskaniah, Ki Bongkok Sepuh."

"Aku mendapat undangan untuk menyaksikan hukuman gantung atas dirimu. Aku tak percaya, sehingga aku mencoba mencarimu di mana-mana. Sampei tadi malam aku tidak bertemu denganmu, sehingga kesimpulanku mengatakan bahwa undangan Peri Sendang Keramat itu memang benar. Suto Sinting akan dihukum gantung. Karenanya aku bergegas menuju ke Jurang Lindu untuk temui gurumu. Tapi ternyata tadi kulihat kau berlari membawa gadis ini. Sekarang bertemu denganku di sini. Aku jadi tak mengerti, permainan apa sebenarnya yang kau jalankan bersama Peri Sendang Keramat itu, Pendekar Mabuk?"

“Aku tidak ikut dalam permainan itu, Ki Bongkok Sepuh. Justru aku mencari kebenarannya. Barangkali kau pun berupaya mencari kebenaran dari semua yang kau dengar tentang diriku, Ki Bongkok Sepuh."

Bongkok Sepuh yang dulu dikenal dengan nama Setan Arak itu manggut-mangut. "Ya, banyak hal yang kudengar tentang dirimu. Semuanya kabar yang memalukan. Adipati Kumitir mencarimu juga, karena menuduhmu mencuri istrinya dan dibawa lari entah ke mana. Kudengar pula, kau memperkosa anak seorang petani miskin yang kecantikannya tidak seberapa itu, Ada kabar lagi yang kudengar tentang dirimu menodai murid Raja Maut yang bernama Srimurti."

"Apa...?!" Suto Sinting terkejut mendengar berita terakhir itu, "Srimurti murid Raja Maut ternoda?!"

"Raja Maut sekarang sedang mencarimu. Tapi mungkin dia sudah mendapat undangan dari Peri Sendang Keramat, sehingga barangkali Raja Maut sedang menuju ke sana. Karena acara penggantungan dirimu akan dipercepat, esok siang pelaksanaan hukuman gantung itu akan dilakukan Peri Sendang Keramat. Apakah kau baru saja lolos dari Bukit Rongga Bumi?"

Suto Sinting menarik napas dalam-dalam. Dewi Angora memandanginya dengan hati iba. Ia pun membatin, "Kasihan pemuda ini. Namanya menjadi cemar gara-gara ulah seseorang yang mirip dengannya."

"Ceritanya begini, Ki Bongkok Sepuh..." Suto Sinting pun menceritakan segalanya secara singkat dan lengkap. Dewi Angora menimpali, ikut memperkuat cerita Suto Sinting. Akhirnya Bongkok Sepuh pun berkata,

"Kalau begitu, bawalah gadis itu ke pondokku. Barangkali kita bisa bicara lebih banyak lagi di sana!"

Tawaran itu tak ditolak oleh Suto, karena ia memang mencari tempat untuk menyembunyikan Dawi Angora. Pondok itu terletak di lereng bukit, di dalam hutan yang lebat dan sukar dijelajahi orang jika bukan orang yang tinggal di dalamnya. Suto Sinting bisa mencapai tempat itu dengan mudah, karena Bongkok Sepuh yang membimbingnya.

"Dewi, istirahattah dan jangan berpikir apa-apa. Kau butuh ketenangan. Di sini kau aman, ada aku, juga ada Ki Bongkok Sepuh. Tak ada orang yang tahu tempat ini," kata Suto Sinting menenangkan gadis yang tampak letih itu.

"Kau tak akan pergi, bukan?" Dewi Angore menampakkan kecemasannya.

Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum menawan. Maksudnya membuat yakin dan tenang hati gadis itu. Tapi yang terjadi adalah senyuman mendebarkan hati sang gadis, hingga sang gadis pun berandai-andai dalam lamunan menjelang tidurnya.

Percakapan yang terjadi antara Suto Sinting dengan Bongkok Sepuh sangat serius. Mereka bagaikan bicara dari hati ke hati. Bongkok Sepuh tampak memikirkan sekali nasib Suto Sinting yang menjadi cemar karena ulah seseorang.

"Memang ada beberapa tokoh sakti yang bisa mengubah diri menjadi diri orang lain. Tapi biasanya jika sudah sampai mau digantung seperti itu, Ia pasti tampakkan wajah aslinya," kata Bongkok Sepuh. "Tapi agaknya orang itu tidak mau tampakkan wajah aslinya walau sudah tahu menjadi tawanan Peri Sendang Keramat dan esok akan digantung."

"Barangkali pengaruh mandi di air sendang itulah yang membuat Ia tak bisa berubah ke wujud aslinya, Ki Bongkok Sepuh."

"Ya, memang bisa jadi begitu. Tapi kita lihat nanti siapa sebenarnya yang digantung itu."

“Bagaimana menurutmu kalau aku hadir di acar penggantungan itu, Ki?”

"Kau harus berpenampilan beda. Pakaianmu ganti, kalau perlu pakailah tudung agar wajahmu tidak terlalu nyata dilihat orang. Hmm... aku punya jubah hitam, dulu sering kupakai ke mana-mana. Tapi sekarang aku tak betah memakai jubah hitam itu. Kau bisa memakainya sebagai pelapis pakaianmu itu."

“Mengapa aku harus menyamar, Ki?"

"Supaya Peri Sendang Keramat merasa puas, telah menggantung Pendekar Mabuk. Tapi sebenarnya terkecoh oleh kebodohannya sendiri!"

"Baiklah. Jika begitu aku esok akan berangkat ke Bukit Rongga Bumi."

“Lalu bagaimana dengan gadis itu?"

"Blarah di sini dulu bersamamu, Ki Bongkok Sepuh. Aku titip dia.”

Bongkok Sepuh bersungut-sungut dalam. "Sejak kapan aku jadi petugas penitipan gadis...?1" dan Suto Sinting hanya tersenyum geli.

* * *

ENAM
Atas pertimbangan pribadi, Suto Sinting memtuskan rencananya untuk menemui gurunya lebih dulu. Ia harus segera melesat ke Jurang Lindu dan bicara tentang masalahnya kepada si Giia Tuak. Jika perlu juga bicara dengan Bibi Gurunya: Bidadari Jalang. Karenanya, Sulo Sinting pamit meninggalkan pondok ki Bongkok Sepuh itu pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit dan menyinari raut wajahnya yang sedang dikecam orang banyak itu.

Namun ketika matahari mulai menyinari bumi, langkah Suto Sinting terhenti pula oleh suara tawa yang mengikik-ngikik bagaikan kuntilanak kesiangan. Suara tawa itu mengundang perhatian Suto Sinting karena ia mendengar namanya disebut-sebut. Maka bergegaslah ia menuju kerimbunan semak di sebelah barat.

"Hi, hi, hi, hi, hi...! Aku tahu kau diam saja karena terlalu letih, Suto. Kita istirahat dulu kalau memang kau letih! Hi, hi, hi,..!"

Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, masih cantik dan berbadan sekal, menggairahkan. Perempuan itu sedang memeluk pohon, sesekali menciuminya dengan pakaian compang-camping karena dilepas dengan tergesa-gesa. Sebagian pahanya kelihatan tanpa penutup lagi. Mulus dan putih. Rambutnya terurai dengan belahan dada terbuka sebagian. Perempuan itu selalu berbicara dengan pohon dan mengusap-usap bagaikan penuh gairah kemesraan yang dibanggakan.

“Nanti setejah istirahat, kita berlayar lagi ya, Suto...?! Kau jangan pergi meninggalkan aku lagi, nanti aku sedih dan tak bisa tertawa...," pahon itu diajaknya bicara. Suto Sinting yang mengintip dari celah ilalang merasa heran dan kasihan. Perempuan itu menyangka pohon tersebut adalah Suto Sintung yang digandrunginya.

“Ini harus dihentikan. Kasihan dia. Bisa rusak tubuhnya karens digosok-gosokkan ke pohon terus," pikir Suto Sinting, lalu ia muncul dari balik semak dan menyapa dengan suara lembutnya.

“Dia bukan Suto. Dia hanya aebatang pohon."

"Ooh...?!" perempuan cantik itu terkejut dengan mulut melongo ketika memandang Pendekar Mabuk. Ia juga memandangi pohon itu dan berkata, “Memang itu pohon! Tapi kaulah yang kulihat disini, Suto! Ooh... sayukurlah, akhirnya kau datang juga, Sayangku...!”

Perempuan itu menghamburkan pelukan. Suto Sinting mundur beberapa tindak. Tap! perempuan itu mengejar dan akhirnya Suto tertangkap. Ia dipeluk dan diciuminya. Suto Sinttng risi, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit menyentakkan tubuh perempuan yang belum dikenalnya itu.

"Mengapa kau sekasar itu, Suto Sinting? Oh, jangan begitu, Sayang... dekatlah kepadaku. Peluklah aku selama-lamanya, seperti janjimu waktu kita berdua masih berada di istana kadipaten, Sayang...!"

Suto Sinting melompat menjauh. Lalu batinnya berkata, "Berarti perempuan ini adalah Gusti Permeswari Prananingsih? Oh, kasihan sekali. Ia dibuat gila oleh pemuda yang serupa denganku itu. Ia tidak tahu siapa pemuda itu sebenarnya."

Prananingsih melangkah gontai dekati Suto Sinting. “Ayolah, Suto-ku sayang... dekatlah kemari. Kita sudah lama tak jumpa. Kucari kau ke mana-mana tapi tak ada. Aku rindu padamu, Suto-ku sayang..."

Suto Sinting diam kala didekati Prananingsih. Tiba-tiba dua jari tangannya menotok bagian leher istri adipati itu, Teeb...! Dan sang istri adipati pun terkulai lemas tak berdaya. Suto Sinting segera menyambar tubuh itu agar tak sampai jatuh ke tanah.

"Apa yang harus kulakukan setalah kutotok begini?" pikirnya. "Hmm... agaknya aku harus kembali kepondoknya Ki Bongkok Sepuh untuk menitipkan perempuan ini. Setelah acara di Bukit Rangga Bumi selesai, perempuan ini harus kukembalikan kepada sang Adipati?"

Suto Sinting segera berkelebat kembali ke pondok si Bongkok Sepuh, Tapi nasib sial menyertainya terus. Di perjalanan di hadang oleh tiga Orang berkuda, Satu di antaranya adalah Yosodigdaya, perwira Kadipaten Kumitir yang ditugaskan menangkap Suto dan membewa pulang Gusti Permeswari Prananingsih. Suto Sinting sempat cemas ketika tahu siapa orang yang menghadangnya kala itu. Hatinya membatin,

"Sial! Pasti dugaannya semakin kuat tentang diriku, karena aku kepergok sedang membawa Prananingsih! Yah, apa boleh buat. Harus kuhadapi dengan tabah dan bijaksana sebisa mungkin!"

Yosodigdaya melompat turun dari kudanya. Wuuut...! Jleeg...! Dua orang anak buahnya mengikuti gerakan itu, turun dari kudanya. Kini ketiganya melangkah mendekati Suto Sinting yang memanggul tubuh Prananingsih sambil membawa bumbung tuak di pundak kanannya,

"Akhirnya kau tertangkap basah, Suto Sinting!" geram Yosodigdaya.

“Kau salah sangka, Yosodigdaya. Justru aku baru saja menemukan gustimu ini dalam keadaan gila. Aku menotoknya supaya ia tidak salah sangka padaku, karena aku dianggap Suto yang melarikan dirinya dari kadipaten."

"Karena kenyataannya memang kaulah orangny! Kau mau mengelak bagaimana lagi jika bukti sudah jelas ada di tanganmu!" sentak Yosodigdaya dengan mata memandang berang.

“Kau sulit diberi pengertian, Yosodigdaya! Sekarang apa maumu, terserah! Aku akan ikuti apa kemauanmu,"

"Serahkan gustiku itu!"

"Ambillah!"

Wuuus...! Tubuh perempuan itu dilemparkan oleh Suto Sinting bagaikan melemparkan guling saja, Tubuh itu melayang dan menerjang Yosodigdaya. Bruuss...! Yosodigdaya tak siap, dan akhirnya ia jatuh diterjang tubuh itu. Ia tertindih tubuh Prananingsih. Kedua anak buahnya memandang dengan bengong dan menjadi takut karena Yosodigdaya seorang perwira berani bertumpuk raga dengan istri adipatinya.

"Perwira, lekas bangun! Kalau Kanjeng Adipati melihat, kau bisa dipancung dianggap serong dengan Gusti Permesweri!"

"Serong matamu!" sentak Yosodigdaya dengan jengkel sekali. “Apa kau tak tahu kalau tubuh ini dilemparkan kepadaku secara tiba-tiba? Aku jatuh! Kalian jangan melongo saja! Angkat tubuh Gusti Permeswari dan tangkap Suto Sinting!"

Seorang anak buah mengangkat tubuh Prananingssih, seorang lagi segera menyerang Suta Sinting dengan tombaknya. Ia melompat cepat dengan tombak dan dihunjamkan ke dada Suto Sinting, Orang itu tahu siapa lawannya, sehingga dalam satu gebrakan saja Ia berhasil dibuat terjungkal oleh Suto Sinting, lehernya terlipat di tanah dan berteriak-teriak meraung dalam keadaan tetap nungging.

"Aaaoouh... tolooong...! Uuuuhh...! Tolong, leherku pataaah...!"

Yosodigdaya yang sudah terbebas dari tubuh Prananingsih itu segera hampiri anak buahnya itu dan menendang pantatnya dengan kuat. Duk...! Gusraak...! Orang itu terjungkir dan jatuh telentang di semak kering. Raungan panjangnya tak dihiraukan olehYosodigdaya. Perwira berkumis lebat itu segera hampir Suto Sinting dan mencabut pedangnya, Sreaang...!

"Kau mau menyereh menjadi tawananku atau harus kubuat cacat lebih dulu?!" hardik Yosodigdaya.

"Aku tidak bersalah, Aku tak mau jadi tawanan. Sebaiknya bawalah pulang Gusti Permeswari itu dan lepaskan totokannya. Kurasa kau bisa melepaskannya karena aku menotoknya ditempat yang mudah terlepas kembali."

"Setan! Malah kasih nasiha! Kau benar-benar memuakkan! Heaaah...!"

Yosodigdaya melompat cepat dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi Suto Sinting melompat mundur dua tindak, lalu jarinya menyentil ke arah Yosodigdaya. Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' yang mempunyai kekuatan tenaga dalam seperti tendangan kuda itu dilepaskan. Tenaga yang terlepas dua kali tepat mengenai ulu hati dan pusar Yosodigdaya.

"Heeegh...!" Yasodigdaya terpental sambil mengerang dengan suara tartahan. Tubuhnya yang besar melayang dan jatuh menindih tubuh orang yang merintih karena tulang lehernya terkilir itu. Buuuhg...!

"Wadoow biyuung...!" jerit orang itu semakin kesakitan, karena betis Yosodigdaya yang keras menghantam wajahnya, tubuh Yosodigdaya menimpa perutnya. Orang itu jadi sengsara sekali nasibnya.

Seorang yang tadi meletakkan tubuh Prananingsih dipelana kuda segera maju menyerang Suto dengan mencabut tombaknya. Tetapi Suto Sinting segera menudingkan telunjuknya sambil berseru menggertak,

"Maju satu langkah lagi, hilang nyawamu!"

Orang itu cepat-cepat hentikan langkahnya. Wajahnya yang semula menegang penuh kemarahan jadi mengendor. Senyumnya terbias kaku dan canggung sekali. Padahal Suto Sinting hanya menggertaknya karena tak ingin sakiti orang yang ikut-ikutan salah paham itu. Suto Sinting jadi ingin tertawa melihat orang itu mundur sambil angkat tangan sepundak, senyum orang itu sangat lucu bagi hati Pendekar Mabuk.

"Silakan maju kalau kau mau nekat!" gertak Suto lagi.

Orang itu geleng-gelengkan kepala. "Kalau pakai kehilangan nyawa, aku tak sanggup...!" katanya sesampainya didepan kuda tunggangannya sendiri.

Yosodigdaya berusaha bangkit tapi roboh keWajahnya pucat, dan la memuntahkan isi perutny hingga mengotori kaki orang yang tadi ditindihnya itu. la bukan muntah darah, hanya muntah isi perutnya saja! Apa yang tadi atau kemarin dimakan keluar kembali dalam keadaan perut mual, tubuh lemas, dan napas terasa sesak.

Suto Sinting segera berseru, "Kalau kau ingin tahu siapa orang yang mencuri Gusti Permeswari-mu datanglah ke Bukit Rongga Bumi nanti siang! Orang itubsedang menjalani hukuman gantung di sana! Kalau kalian tak datang, kau tak akan tahu siapa yang bersalah sebenarnya!"

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Suto Sinting segera berkelebat pergi meneruskan rencananya, menuju Jurang Lindu untuk temui gurunya, Yosodigdaya tak bisa mengejar karena keadaannya sangat lemah. Pukulan 'Jari Guntur-nya Suto Sinting membuatnya jera menghadapi pemuda tampan itu. Tapi hatinya masih gemas dan ingin membalas.

“Bawa pulang Gusti Permeswari!" katanya kepada kedua anak buahnya itu. "Panggil Rahutama dan Guntara, Suruh mereka susul aku di Bukit Rongga Bumi!. Kita akan lihat kenyataan yang sebenarnya!"

"Perwira...!" kata prajurit yang tadi tak jadi menyerang Suto, "Jangan datang ke Bukit Rongga Bumi. Itu wilayah kekuasaan Peri Sendang Keramat!"

“Tak peduli kekuasaan siapa, aku ingin turuti kemauan si bangsat tadi!" sentak Yosodigdaya yang masih jengkel atas kekalahannya itu.

Perjalanan Suto yang terburu-buru itu kali ini sengaja dipotong oleh sesosok tubuh kurus dan tinggi berjubah putih kusam. Jenggotnya panjang, rambutnya juga panjang warna abu-abu. Tongkatnya dari akar meliuk-liuk seperti ular. Tokoh yang menghadang Suto Sinting kali ini sangat dikenal oleh Pendekar Mabuk. Orang itu tak lain adalah Prasonco yang dikenal dengan nama Raja Maut.

"Raja Maut," sapa Suto Sinting dengan baik-baik, sekalipun ia sudah mengetahui maksud penghadangan Raja Maut kali ini, pasti ada hubungannya dengan berita yang disampaikan Bongkok Sepuh kepada Suto itu. Suto Sinting sedikit tak enak hati walau masih bisa bersikap tenang. “Rupanya ada sesuatu yang amat penting sehingg kau menemuiku dengan sangat mendadak, Raja Maut?!"

"Benar. Ada perkara yang harus kita selesaikan, Suto!" kata Raja Maut dengan suara sedikit sumbang. Mungkin ia memendam rasa marah atas nasib muridnya; Srimurti, yang mengaku telah di nodai oleh Suto Sinting.

“Aku akan selesaikan secara baik kalau memang kita punya masalah. Katakan saja apa masalahnya, Raja Maut."

“Pertama aku ingin tahu, apakah kau kali ini berhasil lolos dari tangan Peri Sendang Keramat? Sebab setahuku Peri Sendang Keramat mengirim undangan padaku agar menghadiri pelaksanaan hukum gantung atas dirimu hari ini juga. Tapi mengapa kau masih berkeliaran di sini? Apakah kau lolos dari cengkeramannya, Suto Sinting?"

“Tidak,” jawab Suto Sinting sambil tersenyum, "Aku tidak pernah tertangkap oleh Peri Sendang Keramat, dan belum pernah dijatuhi hukuman apa-apa olehnya. Perlu kau ketahui, bahwa aku baru saja dari pondok Ki Bongkok Sepuh atau si Setan Arak. Kau bisa tanyakan kepadanya, Raja Maut,"

Tokoh tua yang biasanya ramah kepada Suto Sinting itu mulai tampak dihinggapi kebimbangan. Pandangannya tertuju tajam ke arah Suto Sinting, tapi mulutnya masih bungkam untuk beberapa saat, menandakan ada sesuatu yang ingin dikatakan tapi harus dipertimbangkan masak-masak.

Suto Sinting mendahului membuka kebisuan diam lara mereka dengan berkata, “Apakah persoalanmu itu menyangkut tentang murid tunggalmu, Srimurti?"

"Benar."

"Aku juga mendengarnya dari Bongkok Sepuh. Aku sempat terkejut."

"Mengapa harus terkejut?" sindir Raja Maut.

"Karena aku tidak pernah melakukannya."

"Kau berlagak terkejut untuk mengelak dari tuduhan? Hmm...! Srimurti bukan gadis buta. Ia bisa membedakan siapa Suto Sinting dan siapa yang bukan, Suto Sinting."

“Jadi kau tetap yakin bahwa akulah yang menodai murid tunggalmu itu?"

"Aku hanya mengharapkan tanggung jawabmu. Lebih dari itu tidak!" tegas Raja Maut dengan nada penuh wibawa.

"Tanggung jawab seperti apa? Kau maksudkan, aku harus mengawini Srimurti?"

"Sudah sepantasnya begitu, karena kau telah menodainya, Srimurti tidak keberatan kau kawini. Dia sudah bicara jujur padaku."

Suto Sinting tertawa kecil. "Raja Maut, kalau memang itu perbuatanku, aku tak akan mengelak sedikitpun. Aku akan sanggup mengawini Srimurti, tapi karena bukan perbuatanku, maka aku menolak untuk dituntut tanggung jawab."

Raja Maut melangkah ke samping dengan senyum sinis. "Kali ini rimba persilatan akan dibuat gempar oleh adanya sikap seorang pendekar tersohor yang berbuat nista terhadap diri seorang gadis! Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan dibuat malu oleh tingkah lakumu yang tak senonoh itu, Suto Sinting!"

"Sejak kapan kau tidak percaya lagi denganku, Raja Maut?"

"Sejak kau menodai muridku!" jawabnya tegas dan sedikit menyentak. Agaknya kesabaran Raja Maut kian menipis.

Suto Sinting hati-hati dalam bersikap, karena ia tidak ingin terjadi pertarungan berdarah hanya karena kesalahpahaman itu. Dengan sabar dan kalem Suto pun berkata,

"Ada baiknya kalau kita sama-sama ke Bukit Rongga Bumi untuk melihat apakah di sana ada Suto Sinting kembar atau tidak. Jika tidak, berarti akulah yang berbuat nista itu. Jika ada, berarti dialah orangnya, Raja Maut."

“Kau hanya mengulur waktu dan mencari dalih untuk lepas tanggung jawab! Aku terpaksa ambil kekerasan untuk memaksa tanggung jawabmu, Suto Sinting!"

“Jangan terpancing fitnah, Raja Maut. Fitnah hanya akan memecahkan persahabatan kita saja!"

“Aku tak butuh saranmu, Pendekar Jalang! Heaaahh...!"

Raja Maut berkelebat cepat sekali dan menerjang Suto Sinting. Telapak tangannya dihantamkan ke Suto Sinting. Tetapi dengan cekatan Suto Sinting juga menghantamkan telapak tangan kirinya hingga kedua telapak tangan itu saling beradu kuat.

Duaaaaaarrrr...!

Sinar merah terang memercik sekejap dari peraduan dua telapak tangan itu. Adu kekuatan tenaga dalam membuat suara ledakan yang menimbulkan gelombang panas menghentak di tubuh mereka. Dua-duanya sama-sama terpelanting ke belakang, sama jauhnya, sama jauhnya, sama pula lukanya.

Raja Maut melelehkan darah dari hidungnya, Suto Sinting juga melelehkan darah dari hidung. Agaknya kekuatan mereka sama-sama besar, sehingga keduanya sama-sama menjadi korban kesalahpahaman itu.

"Kumohon hentikan amarahmu, Raja Maut!" pinta Suto Sinting masih ingin mengalah.

Tetapi Raja Maut rupanya sudah telanjur marah. Sehingga ia tidak berkata apa-apa melainkan segera lepaskan serangan kembali kearah Suto. Kali ini ia menyerang dengan cara bergerak cepat bagaikan menghilang dan tahu-tahu sudah berada di belakang Suto Sinting. Slaaap...! Suto Sinting cepat palingkan wajah, tepat pada saat itu tongkat Raja Maut berkelebat menghantam kepalanya.

Wuuus...! Traak...!

Suto Sinting putar tubuhnya bersama ayunan bumbung tuaknya. Kedua benda itu saling berbenturan dan kembali timbulkan ledakan lebih dahsyat dari yang pertama, Blegaaar...!

Tongkat itu berisi tenaga dalam penuh. Bumbung tuak Suto Sinting juga berisi tenaga sakti penuh. Benturannya membuat kilatan cahaya merah lagi yang lebih lebar dan lebih terang dari yang tadi. Keduanya kembali terjungkal. Sama-sama terpelanting jatuh dengan telinga berdarah dan hidung pun makin berdarah. Luka itu diderita sama persis, sehingga sukar membedakan mana yang menang sebenarnya. Dalam waktu singkat. keduanya pun sama-sama cepat berdiri dan bersiap menyerang ataupun menerima serangan.

Rupanya Raja Maut lebih bernafsu menyerang demi mempertahankan tuntutan muridnya, sehingga ia melompat lebih dulu dengan tongkat siap disodokkan. "Heaaaaah...!"

Suto Sinting pun segera jejakkan kaki dengan pelan, tapi tubuhnya melayang cepat menyongsong tubuh Raja Maut. Ia siap menghantamkan bumbung tuak kearah tongkat tersebut. Namun sebelum mereka saling beradu kekuatan, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dengan sangat cepat. Wuuuutt...! Tahu-tahu bayangan itu tiba di pertengahan jarak antara Suto Sinting dengan Raja Maut. Kedua kaki orang itu menendang kekanan-kiri secara bersamaan. Tongkat terpental bersama tubuh Raja Maut yang terjungkir balik ke belakang, sedangkan bumbung tuak Pendekar Mabuk tidak ditendangnya melainkan sedikit dihindari dan kaki orang itu masuk ke pundak Suto Sinting. Dees...!

Wuuussss...!

Suto Sinting terpental ke belakang bagaikan diseruduk lima ekor banteng. Hampir saja ia terbanting kepohon karena kerasnya tenaga penendang tad.

Kejap berikut sesosok tubuh berjubah kuning dan bercelana biru tampak berdiri di pertengahan jarak Pendekar Mabuk dengan Raja Maut. Ketika kedua orang yang saling tumbang tadi bangkit berdiri dengan kekuatan masih sepenuh tadi, Raja Maut segera sipitkan matanya menatap sosok berjubah kuning itu. Kemudian terdengar suaranya menggeram penuh kejengkelan.

“Batuk Maragam...! Setan kau!"

“Uhuk, Uhuk, uhuuuk...! Ihik, Ihik, Ihik...!" Batuk Maragam tidak menanggapi cacian itu melainkan justru terbatuk-batuk dengan dua nada yang terdengar lucu bagi seseorang yang memperhatikan dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Camar Sembilu yang datang bersama Batuk Maragam.

“Paman...," sapa Suto Sinting sambil mendekatinya setelah itu baru meneguk tuaknya beberapa kali.

Batuk Maragam pandangi Suto Sinting dan Raja Maut secara bergantian. Lalu, terdengar la berkata kepada kedua orang itu. "Untuk apa kalian lakukan pertarungan ini?"

Batuk Maragam yang sudah mengenal Raja Maut itu menatap dengan mata lembut dan bibir dihiasi senyum tipis sekali. "Kenapa kau menyerang anak muda ini, Prasonco? Apakah kau belum tahu dia muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang?"

“Justru karena aku tahu dia Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak, maka aku menuntut tanggung jawabnya dengan cara keras. Karena sudah kucoba dengan cara baik-baik tapi ia tetap ingin mengelak dari tanggung jawabnya yang telah menodai murid tunggalku: Srimurti!"

Senyum Batuk Maragam kian lebar, berkesan cengengesan, "Nasibmu hampir sama denganku, Prasonco! Aku juga hampir saja marah kepada anak muda itu, karena kusangka dialah yang membuat keponakanku hamil. Ternyata kita sama-sama terkecoh oleh tindakan seseorang yang mempunyai ciri-ciri sama persis dengan Pendekar Mabuk itu!"

“Aku tak paham maksud bicaramu, Batuk Maragam!” geram Raja Maut dengan pandangan matanya masih berkesan angker.

“Kali ini kita para tokoh tua dihadapkan pada satu persoalan menjengkelkan. Ada dua Pendekar Mabuk; yang satu asli, yang satu palsu. Yang asli ada di sini, yang palsu ada di Bukit Rongga Bumi dalam tawanan Peri Sendang Keramat!"

Raja Maut melangkah tegas mendekati Batuk Maragam dan bertanya, "Dari .ana kau tahu kalau yang ada di sini adalah yang asli?"

"Apakah kau tak bisa melihat tanda merah di keningnya?" bisik Batuk Maragam dengan tersenyum. Senyum itu tiba-tiba hilang karena ia harus terbatuk-batuk sampai membungkuk-bungkuk.

Raja Maut tak pedulikan batuknya orang itu, tapi matanya lebih penting tertuju pada noda merah kecil di kening Suto. Raja Maut bisa melihatnya, karena ilmunya tinggi.

Terdengar lagi suara Batuk Maragam kepada Raja Maut, "Warna merah itu masih cerah. Kalau dia sudah pernah tidur dengan perempuan, maka warna merah menjadi keruh. Apakah kau masih belum paham dengan tanda penghormatan dari Kartika Wangi?"

Raja Maut bagaikan terpojok. Mulutnya bungkam. Ketegangannya mulai mengendur, ia melangkah jauhi mereka dan berdiri di bawah pohon, merenungi segala tindakan dan rencananya.

Sementara itu, Suto Sinting beranikan diri bertanya kepada Batuk Maragam. "Paman, bagaimana dengan Ki Lurah Cakradayu? Apakah...!"

“Cakradayu selamat!" sahut Batuk Maragam. "Tapi ibu Dewi Angora tak tertolong bersama kedua adiknya."

"Kami terlambat datang," timpal Camar Sembilu.

Batuk Maragam berkata, "Damaikan hati kalian, aku akan mengejar Tuanku Nanpongoh ke Pulau intan bersama Camar Sembilu"

Raja Maut palingkan wajah memandang Batuk Maragam, la mendekati sambil berseru, "Ada apa dengan sahabatku; Lurah Cakradayu?"

Batuk Maragam menjelaskan secara singkat tentang keganasan Tuanku Nanpongoh itu. Lalu, Raja Maut berkata, “Aku di pihakmu, Brajamusti! Jangan lakukan penyerangan ke Pulau Intan saat-saat sekarang. Tuanku Nanpongoh pasti siapkan benteng bernyawa untuk menahan kedatangan kita. Cari saat yang baik untuk lakukan pembalasan yang keji itu! Sekarang dimana anak gadis Lurah Cakradayu?"

"Ku titipkan pada Setan Arak alias si Bongkok Sepuh!" jawab Suto Sinting karena Batuk Maragam mandangnya meminta jawaban pula.

"Mengapa kau titipkan di sana?"

“Mulut Petir dan Sangkur Balang menyerang rumah paman Batuk Maragam. Mereka memang bisa ku lumpuhkan, tapi aku khawatir akan ada yang lainnya menyusul dan mengambil Dewi Angora. Jadi kuselamatkan dia, kusembunyikan di pondok si Setan Arak itu!"

“Aku ingin ke sana untuk menemuinya!" kata Raja Maut.

"Aku tetap akan ke Pulau Intan. Siapa tahu Tuanku Nanpongoh baru sampai Selat Makam, aku bisa menggempurnya disana! kata Batuk Maragam. "Camar Sembilu, kita berangkat sekarang!"

"Baik!" jawab Camar Sembilu bersikap patuh dengan harapan dapat diangkat menjadi murid Batuk Maragam yang bernama asli Brajamusti itu.

"Apakah tak ada yang berminat hadiri penggantungan di Bukit Rongga Bumi?!" ucap Suto membuat mereka berhenti dari gerakan masing-masing dan saling pandang dengan kebimbangan hati.

* * *

TUJUH
Bukit Rongga Bumi bertentangan arah dengan Jurang Lindu. Menurut perkiraan Suto Sinting, ia tidak akan mencapai Bukit Rongga Bumi kalau harus ke Jurang Lindu menemui gurunya lebih dulu. Sekalipun Pendekar Mabuk pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang mampu berlari cepat melebihi kecepatan anak panah itu, tetap saja ia akan tiba di Buki Rongga Bumi menjelang matahari tenggelam jika bertolak dari Jurang Lindu hari sudah siang.

"Aku akan ketinggalan acara hukuman gantung itu jika harus ke Jurang Lindu. Waktunya sudah terlalu siang. Sebaiknya aku langsung saja ke Bukit Rongga Bumi biar tidak ketinggalan acara penggantungan pemuda kembaranku itu!" pikir Suto sambil membelokkan arah pelariannya.

Agar tidak terhalang hambatan lagi Suto Sinting berlari melalui pohon demi pohon. Dengan begitu kemungkinan dihadang orang sangat kecil. Tapi siapa orang yang bisa hindari hambatan yang sudah terjadi dalam garis hidupnya? Sekalipun Pendekar Mabuk telah gunakan jalan pohon, tetap saja langkahnya terhambat oleh sesuatu yang membuatnya terus berhenti. Sesuatu yang menghentikan langkah itu tak lain adalah terilhatnya sebuah pertarungan dikaki sebuah bukit.

Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa melewatkan begitu saja jika melihat pertarungan. Pasti ia dekati dan ia perhatikan jurus-jurusnya. Karena itu, Pendekar Mabuk sedikit belokkan arah menuju kaki bukit untuk melihat pertarungan yang terjadi disana.

"Oh...?! Ternyata dia yang bertarung?!" Suto Sinting terkejut dan membatin kata dengan tegang. Ia semakin lebih mendekati daerah pertarungan itu, maka semakin jelas matanya memandang siapa-siapa yang bertarung di sana.

Wanita cantik berwajah liar, rambutnya acak-acak-an, pakaiannya seperti terbuat dari kulit warna hitam. Siapa lagi wanita yang punya ciri seperi itu kalau bukan Angin Betina, salah satu wanita yang tidak pernah rela jika Suto Sinting diganggu orang dan bertekad ingin melindungi Suto Sinting dengan mengorbankan nyawanya. Rasa cinta di hati Angin Betina itulah yang membuat wanita itu berani pertaruhkan nyawanya demi keselamatan sang pendekar tampan itu.

Tetapi siapa lawan Angin Betina kini? Suto Sinting sempat lupa dengan perempuan berusia lima puluh tahun yang masih tampak cantik dengan rambut disanggul dan beruban tipis. Tubuhnya yang kurus masih tampak segar dan punya bentuk dada yang masih tergolong menantang. Perempuan berjubah hitam itu tak lain adalah Nyai Gandrik, penguasa Pulau Lanang yang menjadi bibinya Lancang Puri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kitab Lorong Zaman). Suto Sinting teringat nama itu setelah pertarungan tersabut terhenti sejenak dan Angin Betina berseru dengan berangnya,

"Sampai mati pun kau tak akan tahu di mana Kitab Lorong Zaman itu berada, Nyai Gandrik!"

Barulah Pendekar Mabuk membatin, “Ooo... iya! Dia adalah bibinya Lancang Puri yang bernama Nyai Gandrik, tokoh sesat dari Pulau Lanang...!" sambil kepala Suto Sinting manggut-manggut.

Terdengar suara Nyai Gandrik berucap dengan nada dingin, “Kalau begitu aku terpaksa harus melenyapkan nyawamu, Perawan Liar! Kau sekarang sendirian! Tak akan ada yang memihakmu lagi, sebab Pendekar Mabuk sebentar lagi akan digantung oleh Peri Sendang Karamat. Kegagalanku menculiknya dari gua itu merupakan hal yang menguntungkan sendiri untuk kepentinganku merebut Kitab Lorong Zaman itu."

"Siapa yang kau culik? Pendekar Mabuk?! Hmm... Tak mungkin kau bisa menculik pemuda sakti itu, Nyai Gandrik. Jangan mengigau di siang hari!"

Tawa kecil Nyai Gandrik melambangkan kemenangan yang tersembunyi. Lalu ia berkata dengan melangkah tiga tindak, “Dengar, Angin Betina... tentunya kau masih kala ingat murid Nyai Sunti Rahim terjebak kemesraan Suto Sinting di dalam gua?! Aku tahu kau ikut andil dalam mempersiapkan tempat untuk kencan mereka. Kuperhatikan terus saat Suto Sinting meraya Perawan Maha Sakti. Aku sampai tergoda oleh rayuannya secara diam-diam. Maka ketika kau pergi meninggalkan gua itu, dan Suto Sinting masuk membawa Dara Cupanggeni, aku menunggu kesempatan baik untuk menculik Suto Sinting."

Angin Betina berkerut dahi, pikirannya melayang pada tiga purnama yang lalu, saat ia dan Suto Sinting berusaha mengalahkan Perawan Maha Sakti yang mempunyai dua ilmu yang berbahaya itu. Perawan Maha Sakti dianggap gadis yang berbahaya karena mempunyai ilmu 'Darah Gaib' yang membuatnya selain tak bisa dikenai senjata tajam juga tak bisa ditembus sinar tenaga dalam siapa pun, dan Ilmu keduanya yang ditakuti para tokoh berlimu tinggi adalah 'Bias Dewa'. Ilmu tersebut dapat membuat lawannya mati terkena sinar merah dari ujung jari telunjuknya. Selama sinar merah itu melesat menghantam lawan, semua benda alam tak bergerak, alam menjadi mati dalam sekejap. Dan kedua Ilmu itu hanya bisa dimiliki oleh perempuan yang masih gadis, yang masih terjaga keperawanannya.

Suto Sinting dan Angin Betina bersepakat menjebak Perawan Maha Sakti agar hilang keperawannya, dengan begitu kedua Ilmu berbahaya bagi keselamatan manusia di bumi itu akan lenyap. Maka dipergunakanlah sosok Dewa Rayu yang diubah wujudnya menjadi seperi Suto Sinting dengan Ilmu 'Seberang Raga'-nya sang Pendekar Mabuk, (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Mabuk dalam epieode Perawan Maha Sakti)

Suto Sinting di persembunyian masih menyimak kata-kata Nyai Gandrik. Sang Nyai kala itu berkata,

"Jujur saja kukatakan padamu yang sebentar lagi mati ditanganku, Angin Betina, bahwa kala itu aku bermaksud mencari Dewa Rayu, tapi karena yang ketemu Suto Sinting, aku jadi punya niat membawa Suto Sinting ke Pulau Lanang sebagai ganti Dewa Rayu untuk kebutuhan kemesraanku. Aku berhasil masuk ke dalam gua dan melihat Suto Sinting bercumbu dengan Perawan Maha Sakti. Mereka kutotok, Suto Sinting kubawa lari dengan Ilmu 'Selayang Mega'-ku yang mampu terbang dari pohon ke pohon."

Angin Betina menjadi semakin ingin tahu, sebab ia juga mendengar kabar bahwa nanti siang Suto Sinting akan digantung oleh Peri Sendang Keramat. Karenanya, Angin Betina segera memancing pertanyaan kepada Nyai Gandrik, "Kau hanya membual untuk membanggakan diri didepanku, Nyai Gandrik. Buktinya kenapa Suto Sinting bisa ada di tangan Peri Sendang Keramat?!"

"Itu karena nasib sialku!" jawab Nyai Gandrik. “Suto Sinting terlepas dari gendonganku. Maklum ia kubawa dalam keadaan tanpa busana. Pada waktu itu aku sedang dang melintasi pepohonan yang ada dl Pesanggrahan Sendang Keramat di Bukit Rongga Bumi. Suto Sinting jatuh tercebur ke sendang itu. Aku tak berani mengambilnya lagi karena pasti akan berurusan dengan Peri Sendang Keramat. Sedangkan Peri Sendang Keramat kuakui mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Maka kutinggalkan saja Suto Sinting disana. Dan ternyata dugaanku benar. Ia akan dihukum gantung oleh Peri Sendang Keramat siang ini juga. Kekalahan ku tempo hari telah tertebus dengan secara tidak langsung."

Suto Sinting terbengong hingga mulutnya melongo. Namun ia masih tetap ada di persembunyiannya. Hanya saja hatinya pun membatin bagai bicara sendiri, “Ooo... pantas! Kala itu aku melepas Ilmu 'Seberang Raga'-ku, jadi Dewa Rayu masih berwujud seperti diriku. Dan ketika dia masuk ke Sendang Keramat itu, wajanya akan tetap abadi karena dia saat itu sudah masuk ke sendang tersebut. Rupanya Dewa Rayu itulah pemuda kembaranku!"

Pendekar Mabuk hentikan celoteh batinnya karena Angin Betina berseru dengan suara lantang, "Kau bodoh, Nyai Gandrik! Orang yang kau culik itu bukan Pendekar Mabuk melainkan Dewa Rayu yang sedang terkena 'Racun Cumbu Abadi' darimu! Kami memanfaatkan dia untuk melenyapkan ilmu yang ada pada Perawan Maha Sakti. Caranya dengan merubah wujudnya menjadi seperti Suto Sinting. Dan ternyata Perawan Maha Sakti tergiur, lalu hilanglah kedua ilmu mautnya itu"

Sungging senyum Angin Betina bernada sinis, menertawakan kebodohan Nyai Gandrik. Tokoh berbahaya itu merasa jengkel dan kecewa sehingga mencoba membantah penjelasan itu.

"Tidak mungkin! Aku yakin betul dia adaiah Suto Sinting!"

"Ha, ha, ha, ha..!" Angin Betina tertawa seperti lelaki. “Itulah kebodohanmu, Nyai Gandrik! Ternyata bagaimanapun tingginya ilmumu masih lebih tinggi dari Pendekar Mabuk. Buktinya kau pun terkecoh dengan permainan ilmu 'Seberang Raga'-nya si Pendekar Mabuk. Ha, ha, ha, ha...! Kusarankan kau berguru ke Tibet saja biar ilmumu bisa menyamai ilmunya Suto Sinting"

"Keparaat...! Heeeaaah..,!"

Panas hati sang Nyai membuatnya segera lepaskan pukulan ganda dari telapak tangannya sambil lakukan lompatan menerjang. Angin Betina cepat cabut pedangnya. Sraang...! Wees,..! Pedang itu dikibaskan kesamping dan melesatlah sinar putih perak dari sisi tajam pedang itu. Sinar putih perak menyebar lebar membendung sinar hijaunya Nyai Gandrik yang terlepas dari kedua telapak tangannya itu.

Blaaar... blegaaar...!

Wuuuurrr...! Daun-daun berguguran, bumi pun berguncang beberapa saat. Tiga pohon tumbang ditempat yang berbeda. Angin badai datang bagaikan memecah sebar dari pertemuan dua sinar tersebut. Tubuh Angin Betina terkapar dalam keadaan wajah biru legam karena terkena ledakan dahsyat tadi. Tubuh itu tak mampu bergerak selain hanya tersengal-sengal bagai sedang sekarat. Rupanya Ilmu tenaga dalamnya kalah besar dengan Nyai Gandrik. Terbukti Nyai Gandrik hanya terpelanting ke belakang dan dalam sekejap sudah mampu berdiri tegak tanpa cedera apa pun.

“Kumusnahkan kau seperti halnya saat aku memusnahkan Pendeta Jantung Dewa dan Mata Lima! Hiaaah...!" pekikan itu diiringi menyemburnya asap Kuning memancarkan cahaya kuning juga. Tapi cahaya dan asap kuning itu diarahkan ke langit, untuk kemudian bergerak turun tepat ke arah tubuh Angin Betina yang masih dalam keadaan sekarat itu.

Suto Sinting melihat bahaya besar mengancam jiwa Angin Betina. Ia segera keluar dari persembunyiannya sambil lepaskan sinar ungu dari partemuan ujung telapak tangannya. Claaap...! Sinar ungu itu menghantam sinar kuning yang masih di angkasa, lalu dentum ledakan menggelegar menggema ke mana-mana.

Bleceng...!

Alam bagai dilanda kiamat beberapa kejap. Semuanya terguncang, langit pun menjadi berwarna keruh karena dilapisi kabut abu-abu. Nyai Gandrik terjungkal dalam berdirinya karena tanah yang dipljaknya menyentak bergelombang, demikian pula Suto Sintingbyang segera menghindar dari tempat itu karena sebuahbpohon besar tumbang ke arahnya. Brrruuuk...!

Pada saat Suto Sinting melompat menghindari pohon tumbang itulah. Nyai Gandrik terkejut melihat sosok Suto Sinting, lalu Ia segera lepaskan pukulan jarak jauhnya yang berwarna hijau seperti yang dilepaskan untuk Angin Betina tadi. Claaap...! Sinar hijau itu menghantam Suto Sintng. Sambil berguling dan langsung berdiri dengan satu kaki berlutut, Suto Sinting hadangkan bambu tuaknya.

Blaaar...!

Ledakan, terjadi saat bambu tuak dihantam sinar hijau. Sinar itu memang berbalik arah lebih besar dan lebih cepat, namun sempat membuat tubuh Pendekar Mabuk terpelanting dan terseret angin besar hingga membentur pohon yang baru saja tumbang tadi.

Buuhg...!

"Eeggh...!" Suto Sinting menyeringai dan menggeliat karena tulang rusuknya beradu keras dengan batang-pohon tersebut. Sedangkan Nyai Gandrik melompat,ke sana-sini hindari kembalinya sinar hijaunya itu. la masih bisa lolos dari sinar tersebut, dan segera bangkit berdiri tegak setelah dentum menggelegar terdengar akibat sinar hijaunya merobohkan tiga pohon disana.

“Kulumpuhkan ilmu sintingmu sekarang Pendekar Mabuk! Heaaah...!"

Nyai Gandrik baru saja mau lepaskan jurus maut dari kesepuluh jari-jarinya yang sudah diarahkan kepada Suto Sinting. Tapi tiba-tiba sesosok bayangan menerjangnya dari belakang. Braaasss...!

"Aaahg...!" Nyal Gandrik mengerang sambil tersungkur jatuh mencium tanah.

Sesosok bayangan yang menerjang itu segera berdiri didepan Nyai Gandrik dalam jarak tiga langkah. Ketika Nyai Gandrik berusaha bangkit sambil menyentakkan tangannya untuk sebuah pukulan bersinar hijau. Orang tersebut lebih dulu melepaskan selarik sinar merah dari pangkal pergelangan tangan. Claaap...!

Jlaaab...! Sinar itu menghantam leher Nyai Gandrik. Leher itu bolong seketika. Akibatnya Nyai Gandrik hanya bisa mengerang seperti ayam disembelih, kejap berikutnya tak mampu bernapas lagi. Nyawa pun segera pergi tinggalkan raganya yang mengeras kaku tak bisa ditekuk lagi.

Suto Sinting bangkit pandangi tokoh berpakaian merah yang baru saja mengalahkan Nyai Gandrik tersebut. Tokoh itu berjalan mencari pohon, lalu duduk dibawah pohon dengan kepala terkulai miring dan suara dengkurnya terdengar jelas. Matanya terpejam, tidurnya tampak nyenyak. Tokoh siapa lagi yang bisa bertarung sambil tidur kalau bukan Ki Gendeng Sekarat.

Tawa geli Suto Sinting hanya terlontar dalam hati, tapi badannya sempat terguncang karena tawa dan senyuman gelinya itu. Ia segera dekati Ki Gendeng Sekarat dengan sedikit meringis karena masih terasa sakit di bagian tulang rusuknya. “Untung kau datang, Ki Gendeng Sekarat!"

Orang yang tidur itu menjawab, "Jangan bicara denganku, aku sedang tidur. Selamatkan dulu Angin Betina itu!" sambil tangannya menuding ke arah Angin Betina yang terkapar dengan sisa napas tinggal sejimpit. Sekalipun tidur, tapi Ki Gendeng Sekarat yang menjadi abdi dan utusan Dyah Sariningrum, calon Istri Pendekar Mabuk itu, masih bisa menunjuk arah yang benar atas apa yang dimaksudkan oleh kata-katanya itu.

Hampir saja Angin Betina terbang ke tepi neraka kalau saja Suto Sinting terlambat meminumkan tuak kepada wanita cantik liar itu. Berkat tuak saktinya Suto Sinting, Angin Betina tak jadi tamasya ke tepi neraka. Luka-tukanya cepat sembuh, bahkan la mulai bisa melangkah dekati Pendekar Mabuk yang sedang bicara dengan Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan tetap tertidur itu.

"Gusti Mahkota Sejati, calon Istrimu itu, mendengar kabar yang bukan-bukan tentang dirimu, Suto. Jadi aku diutus untuk melihat kenyataan yang ada di sini. Beliau sempat murung mendengar kau membawa lari istri Adipati, dan menodai kesucian murid Raja Maut,"

Suto Sinting tertawa kecil. “Apakah dia tak bisa melihat warna merah di keningku, keruh-atau tetap bening, Kan bisa dilihatnya?"

"Dalam keadaan cemas begitu, beliau sempat mengaku buta warna mendadak, tak bisa bedakan warna keruh dan cerah. Berita yang menyebutkan kau mau digantung oleh Peri Sendang Keramat juga membuat beliau hampir murka. Kalau tidak kubujuk, beliau akan datang kemari bersama pasukan dari negeri Puri Gerbang Surgawi yang di Pulau Serindu. Kukatakan kepada Gusti Dyah Sariningrum, agar jangan bergerak dulu sebelum mendapat kabar batin dariku. Demiklan pula calon mertuamu: Gusti Ratu Kartika Wangi, sudah stapkan pasukannya untuk menyerang Peri Sendang Karamat untuk membebaskanmu dari hukuman gantung itu. Melalui hubungan batin kukatakan kepada beliau agar menahan pasukan para Perwira Alam Gaib sebelum mendapat kabar batin dariku!"

"Gila...,” gumam Suto Sinting dalam senyum sambil geleng-geleng kepala. “Apakah Gusti Ratu Kartika Wangi sendiri tidak bisa meneropong kenyataan yang ada disini?”

“Teropong batin kami mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama melihat kau dalam tawanan Peri Sendang Keramat. Jadi mereka mulai dibakar murka dan persiapkan pasukan penyebar murka!" ujar Ki Gendeng Sekarat dengan suara paraunya karena sambil tertidur.

Pada saat selesai bicara demikian, Ki Gendeng Sekarat bagaikan melihat Angin Betina mendekat, lalu ia berkata kepada Angin Betina, "Lain kali jangan melawan Nyai Gandrik, ilmu tinggi, bukan tandinganmu!

"Baik, Ki. Lain kali aku tak akan melawannya lagi!"

Ki Gendeng Sekarat menyahut, "Tentu saja, sebab dia sudah kukirim ke lembah neraka!"

Suto Sinting sunggingkan senyum, lalu pandangi Angin Betina yang sudah nampak segar kembali itu. Angin Betina segera berucap kata, "Aku baru mau menuju ke Bukit Rongga Bumi!"

"Untuk apa?"

"Menantang pertarungan dengan Peri Sendang Keramat."

Suto tertawa pelan. Pipi Angin Betina dicubitnya. "Kau mau mati, berani-beraninya melawan Peri Sendang Keramat?"

"Mau," jawab Angin Betina sambil mengangguk polos, karena ia merasa lebih baik mati daripada tidak bisa bebaskan Suto dari tiang gantungan.

"Sebenarnya bagaimana ini, Suto? Aku sendiri sempat bingung memikirkannya" kata Ki Gendeng Sekarat seperti orang malas bicara.

Angin Betina segera menjelaskan apa yang diceritakan Nyai Gandrik tadi. Suto Sinting pun menimpalinya, "Aku sendiri mendengar ucapan Nyai Gandrik sebelum kau di senangnya tadi. Tak kusangka ilmu 'Seberang Raga'-ku berakibat sampai menggegerkan dunia persilatan. Sebaiknya kita segera ke Bukit Rongga Bumi saja. Kudengar palaksanaan hukuman gantung dilakukan tepat tengah hari. Sekarang tinggal beberapa waktu lagi."

"Ya, tapi kau jangan tampil polos begitu!" kata Ki Gendeng Sekarat. Tak jauh dari sini ada rumah sahabatku. Kita singgah sebentar kesana untuk meminjam pakaian untuk menutupi wujudmu!"

* * *

DELAPAN
Bukit Rongga Bumi merupakan anak dari gunung Tonggak Jagat. Ada gugusan tanah membentuk tebing dilereng Gunung Tonggak Jagat. Dari tebing itu terlihat kesibukan orang-orang di Bukit Rongga Bumi. Ditepi tebing itulah berdiri sesosok tubuh berjubah hitam lengan panjang. Kain jubahnya sampai menyentuh tanah. Sosok aneh itu berdiri dengan tudung hitam yang lebar menutupi sebagian wajahnya. Sosok itu diam tak bergerak bagaikan patung.

Sementara itu, dikaki bukit Rongga Bumi terjadi pertarungan secara berkelompok, sekitar delapan kelompok pertarungan menghadirkan jerit dan denting dari mulut mereka yang tewas dan senjata mereka yang saling beradu. Pertarungan itu terjadi antara pihak anak buah Nyai Peri Sendang Keramat dengan pihak lain yang menentang hukuman gantung terhadap diri Suto Sinting.

Seorang perempuan cantik berjubah kuning emas muncul dari dalam pesanggrahan. Perempuan cantik berjubah kuning emas itu mempunyai rambut panjang meriap, dengan sanggul kecil di tengah kepala. Disanggulnya ada hiasan dari lempengan emas berukir. Pedangnya berwarna putih, semuanya terbuat dari logam anti karat, termasuk sarung pedangnya sendiri. Orang itulah yang berjuluk Peri Sendang Keramat.

Dengan ilmu kesaktiannya melalui suara, ia berseru menggema menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. “Hentikan pertarungan ini! Hentikaaan...!"

Beberapa saat kemudian suasana menjadi sepi. Hening mencekam. Mereka bagaikan terkesima mendengar suara sang Nyai. Pedang mereka mulai disarungkan pelan-pelan agar tak timbulkan bunyi di sela keheningan itu. Sedangkan orang bertudung hitam masih diam di bibir tebing memandangi suasana disana.

Terdengar lagi suara Nyai Sendang Keramat berseru menggema, penuh wibawa dan kharisman yang menggetarkan jiwa manusia. "Kalian ku undang kemari hanya untuk saksikan acara penggantungan diri Pendekar Mabuk! Bukan kusuruh bertarung melawanku! Kalian akan binasa semua jika melawan kekuatanku!"

Hening kembali tercipta. Sejenak kemudian terdengar lagi suara sang Nyai, "Hukuman untuk Pendekar Mabuk telah kupikir masak-masak. Tidak jadi kugantung, melainkan akan kupancung dan kepalanya akan kupamerkan keliling tanah Jawa ini, bila perlu kupamerkan dari pulau ke pulau melalui samudera luas, bahwa akulah yang sanggup memancung kepala Pendekar Mabuk itu!"

Seseorang yang menentang hukuman itu berseru, "Itu terlalu kejam, Nyai! Kurasa kau...."

“Diaam...!" bentak Peri Sendang Keramat sambil menuding orang itu, dan seberkas sinar biru melesat lurus menghantam dada orang yang berseru. Claaap...!

Orang yang terkena sinar biru itu diam saja. Tapi berikutnya ia roboh dan pecah menjadi serpihan-serpihan kecil menggunduk ditempatnya berdiri, bagai seonggok sampah batuan kristal.

"Sekarang para undanganku naik ke puncak bukit, hari sudah siang!" serunya lagi.

Maka mereka pun bergegas naik ke puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu. Ternyata di puncak bukit sudah dipersiapkan panggung dan alat pemancung. Sang tawanan dibawa naik ke panggung dengan diseret-seret dan diperlakukan secara kasar sekali. Seorang algojo siap dengan pedang lebarnya yang tajam dan berkilauan terkena sinar matahari.

Orang bertudung hitam di bibir tebing masih diam saja. Tak bergerak sedikit pun. Tapi matanya memandangi setiap undangan yang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap diri Pendekar Mabuk. Orang bertudung hitam itu sempat tersenyum ketika melihat orang-orang yang datang ke tempat itu. Hampir semuanya dikenal oleh si tudung hitam. Ia menyebutkan nama-nama itu dalam hatinya.

"Mega Dewi datang, dia sudah lama tak kujumpa, sekarang muncul di sana. Oh, Citradani pun datang, Embun Salju? Hebat. Ternyata Peri Sendang Keramat benar-benar mengundang para tokoh sakti untuk unjuk kehebatannya...."

Nyai Peri Sendang Keramat naik ke panggung, sementara orang yang mau dipancungnya sudah disiapkan dalam keadaan separo tubuhnya terjepit balok kayu pemasung. Lehernya terjulur dan siap dipancung dengan mudah. Sang Nyai berseru di depan para undangan yang hadir dengan wajah duka,

“Dengar kalian semua! Siapa pun yang berani menyerangku, maka Suto Sinting ini akan mati sebelum terpancung. Karena aku telah tanamkan jurus 'Sukma Silang' ke dalam dirinya. Jika seseorang berani melukaiku, berarti tawanan itu yang akan terluka. Jika seseorang membunuhku, berarti pemuda itu yang terbunuh. Kalian hanya bisa menyaksikan saja pelaksanaan hukuman ini dengan tenang dan tertib."

Tak ada yang bicara kecuali berpikir mencari jalan membebaskan Suto Sinting dalam jepitan kayu pemasung itu. Sedangkan si Tudung Hitam dari tadi menyebutkan nama-nama para undangan yang datang ketempat itu.

"Hmmm... Delima Gusti datang juga, oh... dia menangis? Dan itu, yang di belakangnya kalau tak salah adalah Palupi bersama Purnama Laras, oh... mereka bersama Hantu Tari dan Nyai Paras Murai? Di sana ada juga Rindu Malam dan Kelana Cinta. Oh, rupanya mereka pengawal terdepan dari rombongan Ratu Asmaradani? Wah, ratu dari dasar laut itu datang juga rupanya? Di sebelah sana ada Ki Sonokeling dan Ki Argapura. Oh, Yosodigdaya juga hadir bersama dua Perwira lainnya. Lalu... nah, itu dia juga Raja Maut dan si Setan Arak. Lho... Dewi Angora juga dibawanya pula kemari? Edan itu orang-orang tua. Dewi Angora disembunyikan kok malah dibawa kemari? Nah, di sebelah sana tampak pula Intan Selaksa, penjaga Kuil Swanalingga."

Mata si Tudung Hitam masih menatap ke sana-sini tanpa menghiraukan panasnya matahari yang membuat tubuhnya berkeringat ditutup jubah hitam yang rapat sampai leher itu. Ia masih menyebutkan nama-nama para undangan.

"Kirana...? Oh, Kirana juga datang bersama Jongos Daki?! Lalu di sana juga ada Ki Darma Paksi dan Arum Kafan, Ki Jangkar Langit, Sumping Rengganis yang dulu dikutuk jadi serigaia itu, juga... Tabib Awan Putih, Ki Medang Wengi, Roro Manis, oh... rombongan Ratu Pekat juga datang? Ya, ampuuun... dia bersama Badai Kelabu, Tengkorak Terbang dan, ah... si Singo Bodong dan Hantu Laut ikut juga. Waaah... seru juga kalau semuanya menyerang Peri Sendang Keramat. Hmmm... dia Batuk Maragam akhirnya datang juga bersama Camar Sembilu dan... Oh, mereka bertemu Gendeng Sekarat dan Angin Betina. Apa yang mereka rembuk disana itu? Dan... hai, Dayang Kesumat datang juga dan... oh, itu sepertinya Selendang Kubur. Ya, Selendang Kubur datang juga mendampingi Nyai Betari, ah... tak enak aku jadinya. Kebanyakan yang hadir wanita-wanita cantik.

Memang benar, yang hadir wanita-wanita cantik, yang telah lama tidak pernah muncul, kini muncul kembali seakan ikut menghantarkan kematian Pendekar Mabuk. Tapi mereka tak bisa berontak menyerang Peri Sendang Keramat karena sama saja menyerang tubuh sang tawanan itu. Ada yang terisak dalam tangis, ada yang hanya menitikkan air mata melihat Suto Sinting siap dipancung. Ada pula yang hanya diam menyimpan dendam. Tapi yang lebih mencengangkan si Tudung Hitam adalah kemunculan tiga sosok tokoh sakti yang berjalan dengan tenang. Mereka adalah Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan satu lagi... Sumbaruni, bekas istri jin yang jatuh cinta kepada Suto.

Kerumunan orang itu bergerak membuka memberi jalan ketika dua guru Pendekar Mabuk itu datang menuju ke panggung. Gila Tuak dan Bidadari Jalang ada didepan berdampingan, sedangkan Sumbaruni ada dibelakangnya. Peri Sendang Keramat menyambut kedatangan tiga tokoh sakti itu dengan tawa kegirangan.

"Aku yakin kalian akan datang, Gila Tuak dan Bidadari Jalang! Tapi aku tak sangka kalau Sumbaruni ikut bersamamu!" kata Peri Sendang Keramat.

Sumbaruni maju ke depan, melompat naik ke panggung. Jleeg...! Dua pengawal panggung mendekat ingin menangkapnya, tapi Sumbaruni berkelebat memutar tubuh bagaikan angin puyuh. Weees...!

Brrruk...! Dua orang itu tumbang seketika, mereka terbelah. Sumbaruni sudah menggenggam pedang berlumur darah. Pengawal lainnya mau maju,bPeri Sendang Keramat menahan mereka dengan isyarat tangan.

"Terlalu lancang kau Sumbaruni!" geram Nyai Peri Sendang Keramat.

"Kutantang kau di depan para tokoh yang berkumpul disini" seru Sumbaruni. Matanya memandang dengan amat marah. “Kalau kau menang melawanku, boleh penggal leher Pendekar Mabuk itu. Tapi kalau aku unggul melawanmu, bebaskan dia! Kalau kau tak mau layani tantanganku, berarti kau tunjukkan di depan para tokoh itu bahwa kau tak punya nyali sedikit pun!"

“Bukan karena tak punya nyali, tapi aku jijik melawan bekas istri jin! Dengar, Suto Sinting akan kubebaskan jika kedua gurunya itu bersujud di depanku dan memintakan ampun terhadap kesalahan muridnya!"

Maka bergemuruhlah para undangan mendengar ucapan itu. Mereka memandang Peri Sendang Keramat dengan tegang. Ucapan utu dianggap terlalu berani. Ada yang menggeram ingin menyerang, namun ingat bahwa ilmu 'Sukma Silang' dipergunakan oleh Peri Sendang Keramat, jadi mereka harus menahan kemrahan. Bidadari Jalang sendiri yang hampir saja bergegas maju menerjang wanita berjubah kuning emas, segera dicekal tangannya oleh si Gila Tuak yang tampil tenang dan dingin sejak tadi.

“Sumbaruni, turun kau!" seru Gila Tuak. Sumbaruni tak berani membantah, ia segera melompat turun dengan hati memendam kemarahan besar. Kejap berikutnya, Gila Tuak yang berjubah kuning kusam dengan pakaian serba hijau itu naik ke panggung. Jleeeg...!

"Berlututlah kau dan meminta ampun padaku, maka muridmu kubebaskan!"

“Kalau muridku bersalah, hukumlah! Tapi kalau tidak bersalah, kau akan dihukum oleh para undangan ini!"

"Dia jelas bersalah, membuat air Sendang Keramat menjadi tawar!" bentak Peri Sendang Keramat.

“Aku akan bicara dulu dengan muridku!" kata Gila Tuak dengan tegas.

"Silakan!"

Gila Tuak hampiri pemuda yang sudah terpasung dengan kepala terjulur itu. Jejak telapak kakinya meninggalkan kepalanya asap putih, kayu panggung terbakar hangus. Peri Sendang Keramat memandang bekas tapak Gila Tuak itu, kemudian Segera memandang tawanannya sebagai penutup kecemasan hatinya.

Rambut tawanan itu dicengkeram dan kepalanya didongakkan oleh Gila Tuak. Dipandanginya wajah tawanan itu beberapa saat, lalu Gila Tuak bertanya, Jadi Kau telah membuat tawar air Sendang Keramat?"

"Benar!" jawab tawanan itu bagai bukan keluar dari lubuk hatinya sendiri.

Gila Tuak melepaskan kepala tawanan, kemudian kembali menatap Peri Sendang Keramat. "Hukumlah dia, tak perlu aku meminta ampun padamu!" ucapnya tegas.

Orang-orang bergemuruh, kaget dan heranan, sebab mereka menyangka Gila Tuak akan menentang tindakan hukuman itu.

Peri Sendang Keramat berseru, "Kau tidak menyesal muridmu mati di tanganku, Gila Tuak?!"

"Tidak!" jawabnya lagi tegas, kemudian Gila Tuak melompat turun dari panggung dan dekati Bidadari Jalang yang berdampingan dengan Sumbaruni.

Bidadari Jalang segera berbisik dalam geram, "Biarkan aku melawannya!"

“Jangan! bisik Glia Tuak yang didengar oleh Bidadari Jalang dan Sumbaruni. "Dia bukan Suto Sinting. Tak ada tanda merah di dahinya."

Bidadari Jalang dan Sumbaruni segera berpaling menatap Gila Tuak. Tapi yang ditatap tak mau balas memandang melainkan menatap ke arah panggung.

Terdengar suara sang Nyai, "Terpaksa hukuman ini kulaksanakan karena keras kepala dari guru-gurunya...! Pemancung...! Penggai dia!"

“Aaaa...!" suara jerit bersahutan ketika kepala tawanan itu dipenggal putus oleh algojo bertubuh besar. Tangis meratap dan jerit kematian membaur membuat gaduh suasana setempat. Para gadis yang simpati dan menaruh hati diam-diam kepada Suto Sinting tak mampu menahan tangis. Bahkan Embun Salju jatuh pingsan, entah karena memendam cinta atau karena kasihan, tak jelas artinya. Kirana jatuh tersimpuh bagai kehilangan tenaga. Delima Gusti terpelanting membentur pohon karena tubuhnya juga menjadi lemas.

“Keparaaat kaaau... Perii edaaaan...!" teriak seorang gadis yang berkelebat menyerang Peri Sendang Keramat dengan menghunus pedang. Wanita muda itu tak lain adalah Srimurti, murid tunggal Raja Maut. Semua orang terkejut melihat Srimurti menyerang dalam satu lompatan cepat. Wuwut...!

Tapi dengan sentakkan tangan kiri, Peri Sendang Keramat sudah bisa membuat tubuh Srimurti berbalik arah dalam keadaan berasap. Beesss...! Lalu tubuh murid Raja Maut itu terkapar di depan Ki Madang Wengi tanpa nyawa lagi.

"Jahanam..." Raja Maut mau menyerang tapi Gila Tuak menghadang.

"Tahan amarahmu!"

Raja Maut tak berani maju kecuali napasnya ngos-ngosan dengan wajah merah padam menandakan luapan murka yang amat besar.

"Jangan timbulkan korban lagi!" kata Glia Tuak dengan wibawanya. Lalu ia melompat ke panggung dan berseru ketika Peri Sendang Keramat menenteng rambut kepala yang terpotong itu dalam senyum kemenangannya.

“Tenanglah kalian! Tenang...! Aku bukan tak mau membela muridku! Tapi karena memang tawanan yang dipenggal itu bukan muridku. Dia bukan Suto Sinting! Sebagai buktinya, kalian mungkin banyak yang sudah mengetahuinya, bahwa Suto Sinting juga dikenal sebagai bocah tanpa pusar! Jika korban yang telah terpancung itu mempunyai pusar, berarti dia bukan Suto. Tapi Jika tidak mempunyai pusar, berarti mamang benar dia adalah muridku"

Gila tuak berpaling memandang Peri Sendang Keramat, "Buktikan kepada kami kalau dia memang Suto Sinting!"

Peri Sendang Keramat agak ragu, tapi ia segera berseru kepada pengawalnya, "Periksa perutnya! Cepaaat...!"

Pengawal mengambil badan tawanan yang sudah terpisah dari kepalanya itu. Baju korban dibuka, sabuknya dilepas, semua mata tertuju ke perut korban. Pengawal itu berseru kepada Peri Sendang Keramat, “Dia mempunyai pusar, Nyai!"

"Hahhh.,.?1" suara kejutan itu hampir terucap oleh setiap mulut, kecuali orang-orang tertentu yang tidak ikut terkejut. Mereka justru tersenyum melihat Peri Sendang Keramat terbengong di tempat dengan masih menenteng kepala korban secara sadis.

"Berarti dia bukan Suto Sinting!" tegas Glia Tuak, lalu segera melompat turun dari panggung. Wajah-wajah yang semula menangis kini tersenyum sambil tetap menangis bahagia. Orang yang pingsan berusaha dibangunkan dan segera jatuh pingsan lagi karena kaget bahwa yang dipancung itu ternyata bukan Suto. Pingsan kebahagiaan itu didiamkan oleh para sahabat atau pengawalnya, termasuk Embun Saiju.

Tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melintas diatas kepala mereka. Wees...! Sosok bayangan hitam itu berdiri di panggung dengan tudung hitamnya yang menutup sebagian wajah. Semua orang terperanjat dan terbungkam melihat tokoh asing itu. Hening tercipta sejurus. Lalu terdengar suara Peri Sendang Keramat berseru kepada sosok berjubah hitam dan bertudung hitam itu.

"Buka tudungmu, atau kuhancurkan kau sekarang juga! Tak sopan kau datang dengan bertudung begitu!"

Sosok berjubah hitam itu diam saja. Tapi kakinya segera berkelebat cepat memandang kepala korban yang masih ditenteng Nyai Peri Sendang Keramat. Wuuut...!

Praaak!

Kepala itu hancur, hanya sisa rambut yang masih tergenggam di Nyai Peri Sendang Keramat, Murka sang Nyai pun meluap, Ia segera lepaskan pukulan bersinar biru dari ujung jarinya. Claaap...!

Zlaap...! Si Tudung Hitam lenyap, tapi sebenarnya bergerak pindah tempat di belakang Peri Sendang Keramat. Sinar biru tadi hilang di seberang jurang. Sang Nyai segera berbalik dengan sebuah tendangan putar bertenaga dalam tinggi. Si tudung hitam menghindar mundur, tapi terpelanting karena angin tendangan itu sangat besar. Tudungnya terbang bertepatan dengan terlepasnya sinar hijau dari telapak tangannya yang menerjang tubuh Peri Sendang Keramat.

Claaap...! Blaaar...!

Jurus 'Pecah Raga' menghancurkan tubuh Peri Sendang Keramat. Pada saat itu pula para undangan bersorak kegirangan. Sorak itu lebih keras lagi ketika orang tersebut melepaskan jubah hitamnya dan membuang ke sembarang tempat. Bumbung bambu tuak tampak terikat melintang di punggungnya. Sosok itu tak lain adalah Pendekar Mabuk yang asli; Suto Sinting.

“Sutooo...!" teriak mereka bersahutan dengan kegirangan.

Suto Sinting tak hiraukan para pengawal Peri Sendang Keramat bubar berlarian ke berbagai arah. Suto Sinting segera melompat turun dan berlutut didepan keedua gurunya; Gila Tuak serta Bidadari Jalang. “Ampuni saya, Guru!"

"Bangkit dan pergilah cepat! Banyak gadis yang ingin memelukmu! Lekas!" kata Gila Tuak yang membuat Suto Sinting jadi kebingungan diserbu mereka, dan Bidadari Jalang sempat sunggingkan senyum geli melihat Suto Sinting menghilang dari hadapan mereka. Zlaaap...!

Gila Tuak sempat berbisik kepada Bidadari Jalang, “Lain kali kalau punya murid jangan beri dia ajian pemikat! Begitulah jadinya kalau ajian pemikat kau berikan kepadanya!"

"Kalau bukan begitu, bukan murid murid Bidadari Jalang!" jawab Bidadari Jalang sambil melangkah pergi mengikuti Gila Tuak, menemui beberapa sahabatnya.

SELESAI

Peri Sendang Keramat

Serial Pendekar Mabuk
Peri Sendang Keramat
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
LANGIT berwarna merah tembaga. Matahari fajar memantulkan sisa cahayanya yang semakin menipis. Lalu sang matahari pun pelan-pelan tersembul dari balik bukit sebagai tanda bahwa pagi kian menua. Matahari itu terlihat jelas dari ketinggian sebuah pohon.

Di pohon itu sepasang mala mula memandangi alam pagi. Pemuda tersebut berambut agak panjang, selewat pundak, lurus den lemas. Wajah tampannya bersih tanpa kumis dan jenggot. Pakaiannya masih itu-itu saja baju coklat tanpa lengan dan jarang dikancingkan, serta celana putih kusam, entah berapa hari sekali dicucinya. Tak lupa bumbung tuak selalu ada disampingnya. Kapan saja Ia butuhkan tinggal buka tutupnya langsung tuang isinya ke mulut, Glek, glek, glek...!

Ciri-ciri itu sangat dikenal di kalangan para tokoh persilatan. Hanya ada satu orang berciri tampan dan membawa bumbung tuak, yaitu Pendekar Mabuk murid sintingnya si Giia Tuak dan Bidadari Jalang. Orang lebih sering memanggiinya Suto. Karena limunya yang tinggi itu dianggap gila-gilaan, tingkah lakunya yang sering berani nekat itu juga dlanggap gila-gilaan, maka ia dikenal dengan nama Suto Sinting.

Namun agaknya sekarang ciri-ciri itu sedang jadi masalah bagi si tampan sinting itu. Bangun dari tidurnya di atas pohon, masalah itu langsung direnungkan. Dipikirkan dengan wajah penuh keprihatinan. Renungan itu terpaksa dihentikan karena di bawah terdengar suara langkah orang berlari menerabas semak. Suto Sinting belum mau turun dari atas pohon. Ia hanya melongok ke bawah melihat dari kerimbunan daun.

Rupanya yang melarikan diri terburu-buru itu adalah seorang gadis berambut kepang dua. Kepangnya cukup panjang sampai sebatas punggul. Satu kepangnya dililitkan ke leher. Mungkin kepang yang satunya juga dililitkan leher, tapi karena dipakai lari maka kepang yang satunya itu lepas.

la mengenakan pakaian merah jambu lengan panjang dirangkap rompi panjang sebatas paha warna biru muda berhias benang emas di tepiannya. Warna pakaian itu sangat serasi dan menambah kecantikannya, sesuai dengan warna kulitnya yang putih mulus. Tubuhnya sekal, tak begitu kurus juga tak begitu gemuk, usianya sekitar dua puluh dua tahun!

"Cantik juga anak itu?" gumam Suto lirih dari atas pohon. "Kenapa Ia berlari-lari katakutan begitu? Siapa yang mengejarnya? Lho... malah naik ke pohon ini? Wah, bagaimana ini? Oh, dia bisa memanjat pohon dengan cepat? Ya, ampun... mirip gerakan monyat ketakutan naik ke pohon?"

Tab, tab, tab, tab...! Gadis itu sudah ada di salah satu dahan berdaun rindang dalam waktu yang amat singkat. Padahal pohon itu tinggi, tapi si gadis berwajah imut-imut itu mampu memanjatnya dengan cepat sekali. Suto Sinting dibuatnya kagum, sebab ia merasa akan kalah jika beradu panjat pohon dengan gadis itu. Tapi Suto masih diam di atas gadis itu, sengaja tidak bergerak sedikit pun karena ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi terhadap diri si gadis berwajah imut-imut menggemaskan itu. Suto malah menikmati kecantikannya.

"Matanya bundar tapi tidak lebar. Bulu matanya lebat dan indah, bisa untuk kipas kalau ada debu masuk ke mata. Oh, mata itu begitu bening, seperti mata bayi tak berdosa. Hidungnya mancung tapi kecil, meruncing. Bibirnya, waaah... deg-degan juga aku melihat bibirnya yang kecil, mungil, indah, tampak selalu basah, bikin hati lelaki cepat pasrah. Sedangkan belahan dadanya yang tertutup baju sebagian itu tampak sekal, kencang, dan menonjol, tapi tidak berkesan jalang. Bentuk dada itu punya seni keindahan yang enak dipandang mata, tapi... yah, tentu saja lebih enak kalau di... di... dirujak babek!" Suto Sinting tertawa sendiri dalam hatinya.

Gadis itu masih ngos-ngosan dengan cuping hidungnya yang kecil berkembang-kempis. Matanya masih berkesan takut dalam menatap ke arah kedatangannya tadi. Gerakannya yang lincah, naik satu dahan lagi dengan cepat, dapat disimpulkan kebandelan gadis itu sering membuat orangtuanya jengkel.

Suto langsung beranggapan gadis itu nakal, dalam arti nakalnya lumrah, bukan nakal mesum. Mungkin sejak kecil ia lebih suka pakai celana pendek dan panjat-panjat pohon daripada bermain boneka atau masak-masakan dengan teman putri sebayanya.

Tak sadar Suto. Sinting menjadi suka sama gadis itu. Bukan cinta, tapi sekadar suka dengan kelincahan dan kemungilan wajahnya yang dapat mengundang tawa lucu dalam hati.

Gadis berpedang pendek di pinggangnya itu tak tahu kalau di atasnya ada orang, ia naik lebih tinggi lagi supaya tidak diketahui oleh pengejarnya. Sesekali wajahnya menunduk, matanya memandang ke bawah dengan rasa cemas menyertainya. Karena matanya meleng, tangan berikutnya meraih dahan diatas, tapi yang diraih adalah kaki Suto yang sedang duduk dengan berjuntai kaki.

Pleek...! Kaki itu dipegang. Sang gadis yang memandang ke bawah menjadi tegang. Diam tak bergerak dengan mata tak barani melirik ke atas. Suto Sinting senyum-senyum saja dan membiarkan kakinya dibuat pegangan. Tapi sang gadis sudah mulai curiga dan kian cemas dengan apa yang dipegangnya. ia menggumam gemetar, gumam itu didengar Suto juga.

"Wah... ular! Pasti ular"

Dengan masih belum berani melirik ke arah benda yang dipegangnya, tangan itu bergerak pelan sekali. Seakan meraba untuk menjajagi apa sebenarnya dipegangnya itu. Rabaannya sampai ke lima jari kaki Suto. Terdengar gadis itu berkata lirih,

“Wah, benar... pasti ular! Ular bermata lima, Celaka! Mati aku kalau begini. ini mata ular apa jalu ular?"

Si gadis segera meraih gagang pedangnya untuk dicabut. ia akan tebas ular yang dipegangnya itu dengan pedang. Tetapi sebelum pedang terhunus, Suto Sinting yang takut dipotong kakinya segera berkata menegur sopan,

"Aku bukan ular kok, Neng...!"

"Hahhh...!" gadis itu kaget dan memekik, segera memandang ke atas, menatap pemuda tampan sesaat, matanya menjadi redup, tubuhnya melemas dan ia pun jatuh melayang karena pingsan.

"Lho...? Kok malah pingsan?!" Suto segera bergerak turun dengan gunakan limu "Layang Raga'-nya. Wuuusss..,! Tubuh gadis yang hendak jatuh menerabas ranting dan dedaunan itu segera ditangkap. Plek...! Lalu tubuh yang ditopang dengan dua tangan itu dibawa turun dengan gerakan tubuh Suto yang lurus ke bawah dan menapak di tanah dengan tanpa guncangan keras.

Jleeg...! Ia berdiri tegak, tak limbung sedikit pun. Rupanya Pendekar Mabuk sudah kuasai jurus 'Layang Raga' separo bagian, sehingga tubuhnya bisa terangkat sendiri dari tanah dan turun sendiri dengan gerakan pelan. Tiga purnama yang lalu, ketika ia berhadapan dengan Dara Cupanggeni, jurus "Layang Raga' belum setinggi ini. Berkat latihan tekunnya di tengai samudera dengan tanpa menghiraukan kehidupan sekelilingnya, maka jurus 'Layang Raga' memcapai separo tingkat yang harus dilanjutkan lagi hingga mencapai satu tingkatan penuh.

Gadis itu segera sadar dari pingsannya seteiah diperciki air tuak dengan tangan. Begitu mata terbuka, kesadaran terjaga, gadis itu langsung memeluk Suto Sinting setelah Suto berkata,

"Aku manusia, bukan peri penunggu hutan ini!"

Pelukan gadis itu membuat Suto Sinting menjadi kaget dan ganti nyaris pingsan. Sebab pelukan itu disertai ciuman bertubi-tubi di pipinya. Gadis itu bahkan manja diliputi rasa girang dan haru. Tentu saja Suto Sinting berkata membatin,

“Gadis ini gila apa linglung? Tadi begitu melihatku langsung pingsan. Sekarang melihat yang kedua langsung menciumiku dengan menangis. Wah, wah, wah... bahaya ini! Aku harus bisa hentikan ciumannya ini. Tangisnya pun juga harus kuhentikan supaya Ia bisa diajak bicara...."

Pendekar Mabuk akhirnya berhasil merasakan ciuman dan menyingkirkan tangis. Jelasnya, mereka kini saling berhadapan dalam jarak dekat. Dekat sekali, sebab gadis itu belum mau lepaskan pelukannya. Kedua tangannya masih melingkar di pinggang Suto Sinting. Wajahnya sedikit mendongak karena tinggi tubuhnya lebih rendah dari Suto.

"Tolong jelaskan dulu, mengapa kau pingsan begitu melihatku dan menangis begitu melihat yang kedua kalinya?" tanya Suto Sinting.

"Bagaimana tidak pingsan? Kusangka kau benar-benar sudah mati!" jawab si gadis dengan mulut bersungut-sungut menampakkan kemanjaannya, "Hampir saja aku bunuh diri karena tak berani hidup tanpa dirimu!"

“Lalu kenapa kau mau bunuh diri?"

"Habis, aku takut kalau aku bunuh diri nanti mati beneran, kan repot!" ujarnya bersungut-sungut juga sambil tangannya memainkan tepian baju Suto.

Sebenarnya benak Suto Sinting diliputi keheranan yang besar. Ia tidak tahu siapa gadis itu. Ia merasa belum pernah kenal dan baru sekarang bertemu muka dengan gadis itu. Anak siapa, namanya siapa, rumahnya di mana, semuanya tidak dikatahui Suto Sinting. Tapi sikap gadis itu seolah-olah sudah sangat akrab dan cukup lama mengenal Suto Sinting. Aneh kan?

Anehnya lagi, Suto Sinting mau bertanya: 'siapa dirimu, siapa namamu' tapi Ia merasa ragu dan malu. Takut disangka sombong. Takut ada kata-kata yang mengecamnya, "Sejak menjadi pendekar terkenal kamu sambong, ya? Pura-pura tidak mengenal diriku. Huh... Mbok kalau jadi orang kesohor itu jangan sombong. Kacang ya kacang, tapi jangan lupa kulitnya...," dan sebagainya, dan sebagainya.

Karena itu, rasa ingin tahu dan keheranan yang besar hanya disimpan dalam hati Suto, ditangguhkan untuk beberapa saat. Pendekar Mabuk perlu melepaskan pelukan tangan gadis itu dulu dengan cara berlagak menenggak tuak.

"Lepaskan dulu tanganmu, aku mau minum tuak. Jangan sampai wajahmu kesampluk bumbung tuak ini. Sayang kan... bumbungnya," ledek Suto, dan gadis itu tertawa ceria seraya mencubit lengan Suto.

Cubitan itu membuat Suto terkejut berjingkat. Cubitan itu pelan, tapi sakitnya luar biasa. Begitu Suto Sinting menengok pada lengan yang dicubit gadis itu, "Ya ampuuun... bisa menjadi sehitam ini?" gumam Suto dalam hatinya. "Nyubit saja pakai tenaga dalam? Weh, gawat juga gadis ini!"

Untung tuak Suto itu punya khasiat penyembuhkan yang amat tinggi, sehingga warna memar hitam pada lengan yang habis dicubit bisa segera lenyap setelah menenggak tuak beberapa teguk. Sementara itu, si gadis melangkah mendekati jalan tempatnya detang tadi, melongok jauh sebentar, lalu kembali temui Suto.

"Ada apa di sana?" tanya Suto.

“Tidak ada siapa-siapa," jawab gadis bersuara merdu itu

"Lalu, kenapa kau lari ketakutan? Kenapa tadi kau bersembunyi di atas pohon? Siapa yang mengejarmu dan yang membuatmu ketakutan?" tanya Suto Sinting memancing penjelasen. Siapa tahu dari penjelasan itu Ia dapat kenali nama gadis tersebut, atau asal-usulnya.

Gadis itu duduk di sebatang kayu kering bekas pohon yang tumbang beberapa waktu yang lalu. Ia duduk bukan dengan sikap duduknya seorang puteri, melainkan seperti sikap duduknya seorang lelaki. kedua sikunya bertumpu menumpang kedua paha, dan badannya sedikit membungkuk. Tangannya mainkan sahelai rumput bertangkai.

"Aku dikejar-kejar oleh orangnya Tuanku Nanpongoh..."

Pendekar Mabuk memutus kata, “Siapa Tuanku Nanpongoh itu?”

Gadis mungil itu memandang Suto dengan sikap protes, "Jangan berlagak bodoh. Kau sudah tahu siapa orang itu."

Mau tak mau Suto Sinting hanya sunggingkan senyum berkesan canda. Padahal dalam hatinya membatin, “Sumpah mati aku belum tahu siapa Tuanku Nanpongoh itu. Tapi kalau aku ngotot, pasti gadis ini tidak percaya dan akan semakin ngotot, ia merasa sudah mengenalku. Perdebatan tak akan menjadi ada habisnya kalau aku ngotot menyatakan diri belum mengenalnya. Sebaiknya kuselidiki sendiri dari ceritanya nanti."

Suto Sinting segera ajukan tanya, "Kenapa kau dikejar-kejar oleh orangnya Tuanku Nanpongoh?"

Gadis itu memandang lagi dengan sikap kesal. "Pura-pura tidak tahu!" ucapnya dalam gerutu.

“Anggap saja aku tidak tahu, Tolong jelaskan."

Tapi sebejum gadis itu bicara, tiba-tiba dua kelebat bayangan melintas menerabas semak befukar. Tahu-tahu dua bayangan itu sudah berdiri di depan Suto dan gadis itu dalam sosok dua lelaki berwajah bengis. Kemunculannya membuat gadis itu kaget dan tarlonjak dari duduknya, langsung ambil sikap ke samping Suto, seakan ingin berlindung di belakang Pendekar Mabuk. Suto pun juga kaget, tapi tidak mau ikut-ikutan terlonjak seperti gadis itu. Rasa kagetnya dipendam dalam hati dan membuatnya tersedak nyaris batuk. Ia berbisik kepada gadis itu,

"Lain kali kalau kaget jangan begitu. Jantungku hampir copot!"

“Maaf, aku tidak sengaja kaget!" bisik gadis itu membalas.

Dua orang berwajah angker itu masih diam, tenang dan matanya mancarkan keganasan dari sorot matanya. Yang Satu segera melipat tangan di dada, wajahnya yang lonjong sedikit didongakkan, seakan ingin tunjukkan sebagai tokoh berilmu tinggi yang punya kharisma. Padahal menurut Suto tagaknya justru mirip patung berhala yang tidak laku dipuja lagi. Rambutnya tipis kucai, kumisnya juga tipis melengkung ke dagu, matanya sedikit kecil, badannya kurus, Pakaiannya serba hitam, senjata adalah berupa tombak bergagang pendek sekitar dua jengkal. Ujung tombaknya ditutup kayu hitam.

"Siapa mereka?" bisik Pendekar Mabuk sedikit miringkan kepala ke kiri, sebab gadis itu ada di sebelah kirinya.

"Kau pasti sudah mengenalnya," balas gadis itu membisik.

"Aku lupa."

Gadis itu mendesah kecil memendam kesal di hati, "Yang berpakaian hitam itu Sangkur Balang, yang berpakaian hijau adalah si Mulut Petir, Merekalh yang mengejarku. Mereka Orangnya Tuanku Nampongoh."

"Oh, ya. Aku ingat sekarang," kata Suto berpura-pura. Matanya segera pandangi sosok gemuk si baju hijau yang berjuiuk Mulut Petir itu. Mulutnya memang lebar dengan bibir tebal. Rambutnya pendek diikat kain merah. Matanya lebar, alisnya tebal, kumisnya juga tebal. Penampang wajahnya juga lebar dengan hidung tergolong besar. Bajunya yang tidak dikancingkan menampakkan permukaan dadanya sedikit berbulu dan keras. Perutnya agak membuncit, diikat dengan sabuk hitam. Sebilah golok terselip di sabuk itu.

"Apakah kau tak berani hadapi kedua orang itu?" bisik Suto lagi.

Gadis itu menjawab, "Berani. Tapi aku jijik jika menyentuh kulit mereka. Apalagi menyentuh kulitnya si Mulut Petir yang hitam keling itu, ah... susah cuci tangannya nanti."

Suto tersenyum menahan geli. "Hadapilah dulu dia, kalau macam-macam, biar aku yang maju!" Suto sengaja pancing demikian, karena dari percakapan gadis itu dengan dua orang tersebut pasti akan di kesimpulan lebih jelas tentang jati diri si gadis. Agaknya gadis mungil itu pun tak keberatan memenuhi permintaan Pendekar Mabuk. Saat bumbung tuak ditenggak, gadis itu maju tiga langkah di depan Suto Sinting, letak berdirinya sedikit ke kiri, sehingga Suto dapat melihat keadaan kedua orang angker itu tanpa terhalang apa-apa.

“Demi keselamatan bersama, kumohon kau pulang ke rumah, Dewi Angora!" kata Sangkur Balang menyebutkan nama gadis itu, sehingga Pendekar Mabuk menggumam dalam hatinya.

“Ooo... gadis itu bernama Dewi Angora. Cantik namanya."

Dewi Angora menjawab dengan ketus, "Pulang kerumah untuk apa? Kau tidak punya hak menyuruhku pulang atau ini-itu, Sangkur Bajang. Kau bukan saudaraku dan bukan apa-apaku! Aku mau pergi atau pulang itu urusanku!"

Si Mulut Petir yang bersuara besar itu berkata keras, "Kalau kau tak mau puiang, kami diberi wewenang untuk menyeretmu, Dewi Angora!"

"Siapa yang memberi wewenang? Tuanku Nanpongoh?!“ sambil Dewi Angora bertolak pinggang dalam sikap menantang.

"Keduanya," jawab Mulut Petir. "Tuanku Nanpongoh dan ayahmu, Ki Lurah Cekradayu!"

Kombali benak Suto mencatat kata-kata itu dan hatinya membatin, "O, gadis ini anak lurah? Bapaknya bernama Ki Lurah Cakradayu?! Hmm... nama yang belum kukenal. Tapi mungkin akan kukenal dalam waktu dekat.

Dewi Angora berkata katus lagi, "Apapun tugas kalian, sebaiknya tinggalkan saja. Katakan pada ayahku dan ketuamu tuanku Nanpongoh bahwa, Dewi Angora sudah tidak sendiri lagi! Suto Sinting belum mati. Buktinya ia ada di Sini. Jika kalian macam-macam, kekasihku ini tidak akan tinggal diam, Kalian akan kehilangan nyawa jika masih mencoba memaksaku pulang dan menikah dengan Tuanku Nanpongoh."

Terdengar suara Sangkur Balang bergumam mengejek, "Pemuda gembel begitu dibangga-bangga! Hemm...!"

“Tutup mulutmu, Sangkur Balang! Sekali lagi kudengar kau menghina kekasihkuaku, akan bertindak lebih kejam dari dirimu yang sebenarnya!" sentak Dewi Angora hanya ditertawakan oleh Mulut Petir.

"Ha, ha, ha, ha, ha."

Bbbrrr...! Daun-daun berguguran, tanah berguncang, getaran tanah sampai membuat pohon-pohon terjungkal nyaris tumbang. Sangkur Balang sendiri terbanting jatuh karena sikap berdirinya sedang garuk-garuk kaki kiri memakai kaki kanannya saat tawa itu terdengar. Sangkur Belang cepat berdiri dan menabok punggung Mulut Petir, Ploook...!

"Lain kali kalau tak ada bahaya jangan tertawa!" sentaknya dalam geram.

Suto Sinting membatin, “Hebat! Rupanya tawa si Mulut Petir selalu didisertai dengan gelombang tenaga dalam yang menggetarkan bumi? Padahal tawanya tadi tidak keras. Bagaimana jika ia tertawa keras dan terbahak-bahak? Pohon di belakangku itu pasti bisa tumbang."

Pikiran itu segera dilupakan sesaat, karena Suto Sining melihat si kurus Sangkur Balang itu maju dekati Dewi Angora. Gadis itu mundur satu tindak, merasa takut disentuh atau jijik melihat kulit Sangkur Bajang yang burik itu. Berbeda dengan kulit tubuh gemuknya Mulut Petir yang hitam keling berminyak. Keduanya memang menjijikkan bagi seorang gadis bersih seperti Dewi Angora.

Sangkur Balang perdengarkan suaranya yang mirip orang sakit gigi, “Pulanglah. Sebentar lagi kau akan menikah dengan Tuanku Nanpongoh. Perkawinan ini tak bisa dibatalkan, Dewi Angora. Ayahmu sudah setuju dan sudah menerima maskawin berupa perhiasan dan barang-barang lainnya sebanyak satu tandu. itu berarti ayahmu sudah setuju menjadi mertua Tuanku Nanpongoh!"

“Aku tidak sudi!" ucapnya tandas sampai mata gadis itu menyipit benci. "Pulangkan saja maskawin itu, aku tidak butuh maskawin! Siapa pun yang ingin memperistri diriku, aku cuma butuh maskawin sekerat hati yang berbalut cinta tulus seperti hati milik kekasihku ini, Pendekar Mabuk!"

"Penghinaan terhadap Tuanku Nanpongoh membuatnya murka dan seluruh keluargamu bisa dibantainya habis! Mungkin juga seluruh warga yang dipimpin ayahmu akan menerima nasib sama, dibantai habis!"

"Katakan Kepada Tuanku Nanpongoh, kalau dia mau lakukan hal itu, suruh lakukan secepatnya. Jangan sampai ia terbantai lebih dulu sebelum membantai keluargaku. Mengerti?!" hardik Dewi Angora tanpa takut.

Pendekar Mabuk menjadi pusat perhatian dua pasang mata orang-orang utusan itu. Sikap pendekar tampan tetap tenang-tenang saja. Mereka tampak benci. Bahkan Mulut Petir berkata kepada Sangkur Baiang.

“Habisi saja anak itu, biar tidak jadi Penghalang kebahagiaan Tuanku Nanpongoh!"

Sangkur Balang manggut-manggut, melangkah dekati Suto Sinting. Mata mereka beradu pandang sesaat membuat tegang Dewi Angora. Sebab gadis itu tahu, dua orang utusan Tuanku Nanpongoh dikenal sebagai orang-orang berilmu tinggi dan tidak segan-segan membunuh lawannya.

“Kau memang penghalang yang perlu dimusnahkan, Suto!" ucap Sangkur Balang, sepertinya sudah mengenal Suto Sinting bukan kali itu saja. "Kalau tempo hari kau bisa lolos dan melarikan diri dari si Mulut Petir, tapi sekarang dia bersamaku. Kau tak akan bisa larikan diri lagi dari incaran maut kami berdua, Suto Sinting!"

Sebenarnya Suto Sinting ingin berkata, "Aku belum pernah bertemu kalian, dan belum pernah lari dari pertarungan." Hanya saja, kata-katanya itu akan sia-sia jika dilorntarkan sekarang juga, sebab yang ada dalam jiwa kedua tokoh angker itu hanya memusnahkan penghalang perkawinan Tuanku Nanpongoh dengan Dewi Angora. Kelak anggapan itu akan dibantahnya, maka lebih baik Suto berkata lain,

"Kusarankan untuk berpikir dulu jika ingin bertindak Sangkur Balang!"

Sangkur Balang maju selangkah lagi, jaraknya hanya satu jangkauan. Suaranya masih menggeram seperti orang sakit gigi, "Berani-beraninya kau memberi saran padaku, hah?! Kau pikir siapa dirimu berani menasehati aku??"

“Aku hanya monghindari keributan. Tapi kalau kau tersinggung dengan saranku, terserah apa yang ingin kau lakukan. Aku siap menunggu di depanmu!"

“Keparat! Hihhh...!

Wuuut...! Tangan Sangkur Balang berkelebat menghantamkan telapakannya ke depan. Sasarannya adalah wajah Suto Sinting. Tapi dengan cepat Suto Sinting juga sentakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya diadu dengan telapak tangan lawan. Plaak.

Blaarr...!

Curahan tenaga dalam yang saling diadu itu menimbulkan sentakan kuat yang meledak dan memancarkan sinar merah. Sangkur Balang terlemparke belakang sampai membentur perut Mulut Petir, sedangkan Suto Sinting hanya mundur setindak.

Mulut Petir terbelalak melihat kekuatan Suto Sinting yang mampu mementalkan tubuh Sangkur Balang. Mata lebarnya terarah tajam pada Sulo, sementara Dewi Angora sengaja mundur ke samping pohon, menyerahkan perkara itu kepada Pendekar Mabuk yang dianggap kekasihnya itu.

“Ternyata dia menyimpan tenaga yang cukup besar," ujar Sangkur Balang setelah tegak berdiri disamping Mulut Petir yang masih pandangi Suto.

"Kurang ajar!" geram Mulut Petir. “Mundurlah, biar kuhabisi dia!” seraya Mulut Petir dekati Suto. Langkahnya bagai orang tak sabar, ingin segera menghajar lawannya. Tapi yang dihampiri tetap tenang-tenang saja, bahkan sempat sunggingkan senyum tipis berkesan meremehkan.

"Kuremukkan kepalamu, Bocah Gembel! Heaah...!"

Dalam jarak dua langkah si Mulut Petir berkelebat menendang Pendekar Mabuk, Wuuus...! Tendangan kaki kanan yang dibarengi dengan gerakan memutar itu segera ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan bumbung tuaknya yang dipegang dengan dua tangan. Bumbung yang dipegang tegak itu menjadi sasaran mata kaki Mujut Petir. Traaak...!

"Woaoow...!" Mulut Petir menjerit sembil tubuhnya terpelanting dalam gerakan berputar cepat. Benturan bumbung tuak dengan mata kaki itu menimbulkan bunyi seperti pecahnya mata kaki, karena kekuatan sebesar apa pun jika mengenai bumbung tuak akan berbalik menjadi dua kali lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Tak heran jika tubuh gemuk Mulut Petir itu tahu-tahu terkapar di samping semak dalam jarak enam langkah dari tempatnya berdiri tadi.

"Aaaow...!" Mulut Petir mengerang kesakitan sambil pegangi kaki kanannya. Ia masih duduk di tanah dengan mata terpejam menahan rasa Sakit yang luar biasa itu. Keadaan tersebut ganti membuat Sangkur Balang terperanjat heran, matanya terbuka lebar memandangi temannya.

Mulut Petir segera membuka mulutnya dan berteriak, "Huaaah...!"

Dari mulut itu keluar sinar biru bagaikan kilatan guntur yang meleset dan menerjang Suto Sinting. Clap, clap, clap...! Pendekar Mabuk tidak menangkis melainkan sentakkan kaki dalam gerakan miring dan tubuhnya melompat ke samping, bersalto dua kali hingga mendarat di sebelah kanan Sangkur Balang. Sedangkan tiga cahaya kilatan petir itu menghantam tiga pohon yang ada belakang Suto.

Duaaar...! Deeer...! Blegar...!

Tak ayal lagi, tiga pohon itu terbelah dan hancur. Hanya asap sisa terbakar yang mengepul dari tiga batang pohon yang segera tumbang itu. Ternyata pohon-pohon itu seperti habis disambar petir di musim hujan. Semuanya daunnya menjadi hitam dan berguguran.

Andai saja Dewi Angora tidak segera ikut melompat ke samping, maka ia akan menjadi korban, setidaknya cidera juga, karena pohon yang tadi dipakai tidur Suto dan dipanjatnya itu ikut tumbang dan pecah terbelah. Dewi Angora segera dekati Suto Sinting dan berkata pelan dalam nada tegang, “Kita tinggalkan saja mereka! Jangan layani!"

Tapi Suto Sinting hanya diam pandangi Sangkur Balang yang siap-siap lepaskan pukulan tenaga dalamnya dalam keadaan tangan membentuk cakar elang. Suto Sinting hanya melangkah menyamping. Jaraknya yang sekitar lima langkah itu dipertahankan. Bumbung tuaknya masih digenggam tangan kanan dengan melilit di telapak tangan itu. Kapan saja dapat digerakkan untuk menangkis serangan lawan.

Tetapi tiba-tiba seberkas sinar berasap warna hijau muda melesat dan menghantam dada Sangkur Balang. Slaap...! Weees...! Sangkur Balang segera lepaskan pukulan telapak tangan yang membentuk cakar itu. Sinar putih keluar dari tangan Sangkur Balang. Sinar putih itu tidak ditujukan kepada Suto melainkan dihantamkan ke sinar hijau yang ada di depannya. Claap...! Duaar...!

Wuuut...! Brrak...!

Sangkur Balang terjungkal ke belakang. Tubuhnya terlempar lagi bagaikan daun kering. Ia jatuh dalam posisi setengah bersalto. Pinggangnya terlipat dan menghantam seonggok batu. Buuhg...!

"Eeehg...!" Sangkur Balang mengerang. Wajahnya tampak memucat. Telinganya melelehkan darah. Seedangkan si Mulut Petir masih menyeringai kesakitan, tapi sambil mencari siapa orang yang melepaskan sinar hijau dari timur tadi.

Suto Sinting dan Dewi Angora bertanya-tanya demikian di hatinya. Namun Dewi Angora menjadi tegang setelah mendengar batuk beberapa kali.

"Celaka! Cepat kita tinggalkan tempat ini! Cepat Suto!" Ia menarik-narik tangan Suto, sedangkan masih heran dan bingung, mengapa Dewi Angora takut dengan suara orang batuk?

* * *

DUA
DESAKAN Dewi Angora terpaksa dituruti Suto karena gadis itu benar-benar sangat ketakutan. Bahkan menjadi panik. Suto jadi terpengaruh ikut panik juga, sehingga mereka berdua melesat tinggalkan tempat.

Mereka tiba ditepi sebuah sungai berair bening. Tanggulnya penuh dengan tanaman semacam pohon karet yang letaknya melengkung bagai menaungi tepian sungai. Tepian sungai itu berpasir, tetapi juga berbatu-batu besar. Tempat teduh tersebut dijadikan tempat istirahat bagi mereka berdua. Memang tak terlalu jauh dari tempat pertemuan mereka dengan dua utusan Tuanku Nanpongoh tadi, namun juga tersembunyi dan aman bagi perhitungan Suto.

Rasa ingin tahu yang kian mendesak hati Pendekar Mabuk itulah yang membuat mereka harus berhenti ditepi sungai berair jernih dan dangkal. Di situlah Suto Sinting mengajukan pertanyaan bersikap protes,

"Mengapa harus lari?!"

"Apakah kau tak mendengar suara orang batuk sejelas itu?"

"Memang kudengar suara orang batuk. Tapi kenapa harus takut dengan suara orang batuk?! Siapa saja bisa batuk. Aku pun bisa batuk. Dengar... uhuk, uhuk, uhuk...!" Suto memperagakan dirinya sedang batuk.

"Sudah, sudah, sudah!" sergah Dewi Angora dengan bersungut-sungut manja. Wajahnya dipalingkan, duduknya di batu memunggungi Suto. Dua kepang rambutnya sama-sama melilit leher.

Suto Sinting sedikit tersenyum pandangi kecemberutan gadis berusia sekitar dua puluh dus tahun itu. "Jelaskan, kenapa harus takut kepada suara orang batuk, Dewi?!"

"Kau sudah tahu! Kau sendiri tempo hari ketakutan mendengar suara batuk itu! Sekarang kau berlagak bodoh!"

Suto garuk-garuk kepala. Sulit membantah, karena hanya akan perpanjang masalah tanpa mendapat jawaban yang pasti Akhirnya Pendekar Mabuk membuka penyumbat mulut bumbung tuak, ia meneguk tuak setelah itu berkata, "Aku memang serba tidak tahu...," lalu tuak pun diteguk beberapa kali.

Saat itu wajah Dewi Angora pandangi Suto Sinting dengan sedikit curiga dan merasa aneh. Suaranya yang merdu itu terdengar berkata, "Apa saja yang tidak kau ketahui?"

"Segalanya!" jawab Suto setelah menutup kembali bumbung tuaknya. Ia duduk di depan Dewi Angora, satu kakinya masih menapak di tanah. Bumbung tuaknya ada di pangkuan. Pandangannya menyelidik sekeliling, sampai di sela-sela batu dan dedaunan yang jauh. Tapi mulutnya berucap kata tertuju pada Dewi Angora yang memandangi dengan heran,

“Aku tak tahu siapa dirimu sebenarnya, juga tak siapa Tuanku Nanpongoh itu. Aku tak pernah bertemu dengan ayahmu; Ki Lurah Cakradayu, dan... tak mengerti siapa orang yang tadi batuk dan kutakuti itu. Segalanya memang membuatku serba bingung."

"Apakah kau habis makan kecubung gongsena, Suto?!" tanya Dawi Angora Curiga.

Suto Sinting pandangi bumbung tuaknya dengan tersenyum, Hatinya berkata, “Benar dugaanku. Dia pasti tidak percaya dan akan ngotot. Agaknya selama aku berlatih ilmu "Layang Raga" telah terjadi aesuatu yang aneh di tanah ini."

Gadis berbibir ranum itu bangkit dan dekati Suto dengan pandangannya yang lembut dan bening. Mata Pendekar Mabuk sempat menatapnya pula, hatinya berdesir dipandangi oleh gadis secantik Dewi Angora. Desiran hati akan berubah menjadi debar-debar yang menggelisahkan jika Suto tidak segera buang pandangan ke arah bebatuan ditengah sungai itu.

"Apa yang terjadi pada dirimu sehingga kau lupa segalanya?"

Sulit menjelaskannya bagi Suto, akhirnya ia hanya berkata, "Aku melangkahi akar keramat, dan aku jadi lupa segalanya!"

Dewi Angora manggut-manggut, agaknya ia mau mempercayai kata-kata itu dengan sangat terpaksa, lalu, Dewi Angora berkata, "Suara batuk itu adalah suara batuknya pamanku! Dia orang berilmu tinggi. Dia kakak sulung ayahku, dia sangat sayang kepada keluargaku, terutama kepada ayahku. Kami sangat menghormati beliau, walaupun beliau hanya seorang nelayan."

“Seorang nelayan? Siapa namanya?"

"Apakah kau benar-benar tak ingat? Padahal kau sering bertemu beliau jika sedang jalan-jalan denganku di pantai."

Suto Sinting hanya gelengkan kepala. Dewi Angora kembali berkata, “Namanya Brajamusti, tapi ia dikenal dengan nama Batuk Maragam."

Suto Sinting kerutkan dahi pertanda heran dengan nama Batuk Maragam. Dewi Angora jelaskan pula, "Dia dikenal dengan nama Batuk Maragam, karena mempunyai suara batuk bermacam-macam. Dengan suara batuknya itu bisa membuat orang pecah kepalanya, tersumbat pernapasannya. Ilmu tenaga dalamnya dahsyat dapat disalurkan melalui suara batuknya. Sedangkan batuknya sendiri sebenarnya merupakan penyakit yang tak bisa sembuh sejak ia berguru di perguruan Sojiyama. Dan aku paling takut kepadanya. Takut menentang perintahnya. Walaupun ia sayang padaku. Tapi kalau menentang perintahnya aku bisa sakit selama empat puluh hari, karena hal itu pernah kualami sendiri."

"Menentang perintahnya saja bisa membuatmu sakit empat puluh hari? Hebat juga?! Berarti dia sudah mencapai tingkatan seorang begawan atau pertapa sakti?"

"Menurut cerita ayahku, Paman Batuk Maragam memang seorang pertapa. Dari sejak usia muda sampai sekitar usia tujuh puluh tahun, ia hidup di pegunungan sojiyama, memperdalam ilmu silatnya dan bertapa, Sekarang usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih, dan sudah hidup sebagai nelayan biasa."

"Hemmm..." Suto Sinting menggumam sambil manggut-manggut. "Berapa jumlah adik pamanmu itu?"

"Sebelas orang. Ayahku yang nomor tujuh. Tinggal ayahku dan Paman Batuk Maragam yang Masih hidup. Saudara yang lainnya sudah meninggal."

"Apakah dia mengenalku dan berhubungan dekat denganku?"

“Sejak kau menjadi kekasihku, kau pernah bilang kalau kau pernah bertemu empat mata dengan beliau dan diberi nasehat panjang-lebar. Itulah saat-saat terdekat antara kau dan Paman Batuk Maragam. Selebihnya hanya perjumpaan biasa jika kita sedang berkasih-kasihan di pantai pada malam purnama."

Kerutan dahi di kening pendekar tampan kian tajam. “Apakah kita sering berduaan di pantai?"

Dewi Angora memandang dengan sorot pandangan mata penuh kemesraan. Senyumnya juga mengandung arti yang sangat pribadi. Suto Sinting jadi salah tingkah. Untung Dewi Angora buru-buru berkata dengan lirih, yang membuat Suto Sinting semakin dalam menatap gadis itu.

"Kita telah saling jatuh cinta, Kita sudah sering berduaan, berkasihan, dan,.. apakah kau lupa dengan peristiwa hujan di gubuk tengah sawahku?"

"Apa yang kulakukan denganmu di sana?" tanya Suto langsung saja tanpa berpikir sebab ia merasa belum pernah lakukan apa-apa dengan gadis itu.

Dewi Angora tersenyum, menempelkan pipinya dilengan Suto, tangannya memainkan tepian baju Suto, tapi mulutnya berkata, "Itulah masa-masa indah yang pernah kita lewati sebanyak empat kali. Digubuk tengah sawah itulah pertama kali kutunjukkan kebesaran cintaku dengan menyerahkan mahkota kebanggaanku padamu."

Suto Sinting terperanjat, kepalanya tersentak kebelakang. Dewi Angora memandang dengan heran dan mulai diliputi kecemasan,

“Apakah kau benar-benar lupa?!"

"AK... aku merasa belum pernah melakukan hal itu!"

"Kau ingin mengingkarinya?"

“Bukan soal... bukan soal mengingkari. Tapi... tapi aku memang bukan pria yang kau maksud itu."

“Suto...?!" Dewi Angora sedikit menyentak dengan nada kian heran. "Rupanya kau ingin ingkari perbuatanmu itu " malam sampai menemui masalah setelah beberapa waktu yang lalu kukatakan padamu bahwa aku telah berbadan dua?"

"Hahhh...!" Suto Sinting semakin terbelalak mulutnya ternganga.

"Kau berjanji ingin menikahiku! Kau berjanji ingin menjadi suamiku yang baik, sayang kepadaku dan semua. Tapi sekarang... setelah sebulan yang lalu kukatakan bahwa aku punya gejala aneh, mungkin aku hamil, kau mulai berlagak lupa atas perbuatanmu!"

"Eh, hmmm... begini... tunggu, jangan marah dulu. Begini..."

"Sekarang setelah sebulan kita tak jumpa dan aku merasa benar-benar hamil, kau ingin menghindar dengan caramu seperti ini?!"

“Dewi, sabar dulu...! Jangan marah dulu" bujuk Suto dengan bingung.

Dewi Angora menangis, menjauhi Suto, duduk dibatu semula, Suto Sinting yang salah tingkah mendekati gadis itu dengan berdebar-debar.

Terdengar kata-kata Dewi Angora di sela tangisnya, "Telanjur kubulatkan tekadku untuk menolak rencana perkawinanku dengan saudagar kaya yang menjadi penguasa Pulau intan, karena aku ingin lari bersamamu. Dulu kau pernah berjanji ingin melarikan diriku jika lamaran Tuanku Nanpongoh diterima ayah. Sekarang malah kau ingin lari sendirian. Aku tidak mau! Aku harus ikut kau! Aku lebih baik mati jika hidup tanpamu. Aku tak berani hadapi penderitaan anakku yang kelak tanpa ayah, jika tidak bersamaku, Suto!"

"Wah, kacau kalau begini!" gerutu Suto Sinting dengan hati memendam kesal. Hati itu masih membatin, "Mimpi apa aku semalam sampai menemui masalah seperti ini. Tahu-tahu ada gadis mengaku kekasihku, mengaku hamil denganku dan menuntut kawin lari. Amit-amit jabang bayi... makanan apa yang sudah kutelan sejak kemarin sampai aku dianggap telah berbuat tak senonoh dengannya. Wah, kalau calon istriku; Dyah Sariningrum mendengar berita ini, bisa mengamuk habis-habisan padaku!"

Dengan sabar dan hati-hati, akhirnya Suto Sinting berhasil membujuk tangis itu hingga menjadi diam. Itupun dilakukan Suto dengan cara memeluk Dewi Angora dan mengusap-usap kepalanya. Kepala itu bagaikan makin dibenamkan di dada Suto Sinting. Sang gadis rasakan begitu damai hatinya, sehingga tangis pun bisa dihentikan.

"Apakah kau sudah bosan padaku, Suto?"

Suto Sinting diam saja. Bosan dan tidak, belum pernah dirasakan olehnya, jadi dia bingung menjawabnya. Tetapi untuk mengalihkan percakapan yang akan mendesaknya lagi, Suto Sinting punya bahan pertanyaan lain.

“Dewi, sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa kau tadi mengatakan aku dianggap sudah mati? Apa yang terjadi sebenarnya, Dewi?"

"Kalau kau lupa juga, akan kujelaskan asal kau mau menjadi suamiku!" .

Lagi-lagi Suto merasa dijepitkan pada satu tuntutan yang masih membingungkan dirinya itu. Akhirnya ia punya cara lain untuk mengatasi tuntutan itu dengan berkata penuh kelembutan, "Jelaskan dulu perkara sebenarnya, supaya aku bisa menyimpulkan apakah aku layak menjadi suamimu atau tidak. Kuharapkan, layak!"

Hati gadis itu terhibur dengan harapan yang diberikan Suto di akhir kata itu. Maka ia pun menjelaskan hal yang dibutuhkan Pendekar Mabuk.

“Sebulan yang lalu, ketika kau berjalan-jalan dipantai bersama ayahku, kalian diserang oleh tiga orang dari wetan. Ada dua nelayan yang baru pulang dari mencari ikan yang menjadi sakai bentrokan itu, Ayah dan kau sedang bicara tentang hubunganmu denganku. Lalu tiga orang itu menyerang kalian. Ayah terluka, dan kau dibawa lari oleh seorang wanita yang mampu bergerak dengan sangat cepat. Dilihat dari ciri-cirinya, wanita itu adalah orang yang tidak asing lagi bagi dua nelayan tersebut.

"Siapa wanita itu?”

“Peri Sendang Keramat!" jawab Dewi Angora yang membuat Suto berkerut heran.

"Siapa itu Peri Sendang Keramat?"

"Seorang tokoh sakti dari aliran hitam yang dulu pernah melawanmu. Kau lolos dan berhasil larikan diri dari Sendang Keramat, lalu bertemu dengan ayahku dan berkenalan denganku. Itu awal pertemuan kita. Tapi yang jelas, hampir setiap orang tahu, bahwa Peri Sendang Keramat adalah tokoh jahat yang kejam. Jika sesorang lolos darinya dan tertangkap lagi, maka bisa dipastikan orang itu akan mati, kepalanya dipenggal dibuang dijalanan, tubuhnya dibuang ke jurang. Kadang-kadang kepala korbannya dipajang di tengah hutan dengan caranya sendiri."

“Di! mana tempat tinggal perempuan kejam itu?"

Pertanyaan polos itu dipercayai oleh Dewi Angora sebagai pertanyaan yang tidak pura-pura, sehingga setelah diam sesaat ia pun menjawab, "Dia tinggal di Bukit Rongga Bumi. Kau yang mengatakan kepada keluargaku tentang tempat tinggal Sendang Keramat itu, sehingga kami tahu di mana letak dan arah Bukit Rongga Bumi."

"Aku...” Suto mau membantah bahwa ia tak pernah ceritakan tentang tempat itu kepada keluarga Dewi Angora, tapi niatnya tertunda karena tiba-tiba mendengar suara orang batuk dari arah tanggul.

“Uhuk, uhuk, uhuk...! Ihik, Ihik, ihik...! Uhuk, ihik, ahak, hooeek...! Cuilih...!"

Suara batuk itu membuat wajah Dewi Angora tegang. Gadis itu menjadi sangat ketakutan. ia segera menarik tangan Suto Sinting untuk melarikan diri dari tempat itu. “itu suara Paman Batuk Maragam...! Lekas lari"

Tapi tangan Suto Sinting justru menahan tarikan, tangan Dewi Angora dan berkata, "Jangan lari! Biar kuhadapi beliau."

"Kau jangan nekat! Beliau berilmu tinggi!"

"Aku akan hadapi bukan dengan pertarungan. Aku butuh bicara kepada beliau tentang hubungan kita!"

“Oh, Suto...! Aku takut kalau...!"

Tiba-tiba terdengar suara membalas, "Jangan takut, Dewi!"

Suara itu datangnya dari belakang mereka. Dewi Angora terkejut sekali ketika berpaling ke belakang, ternyata sosok tua itu sudah berdiri di sana. Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut heran, sebab sosok tua itu mempunyai potongan rambut persis sekali dengan dirinya, panjang selewat pundak, lurus, lemas, hanya bedanya yang ini berwarna putih rata. Rambutnya Suto panjang tapi hitam rata.

Raut wajah hampir mirip dengan ratu wajah Suto, terutama tulang pipi dan dagunya. Sisanya tak ada yang mirip dengan Suto kecuali ukuran tinggi tubuhnya. Badan kurus, sedikit bungkuk. Wajahnya mencerminkan kesabaran, seolah-olah bibir tuanya selalu dihiasi dengan senyum ketenangan. Ia mengenakan celana biru dan jubah kuning tanpa baju dalam. Tulang iganya kelihatan karena kekurusannya. Sabuk dari kulit ular warna hijau kecoklatan itu dikenakan untuk mengikat celana birunya.

Entah dari mana asalnya, tahu-tahu toko tua yang diperkirakan sudah berusia sembilan puluh tahun lewat itu muncul dibelakang mereka tanpa suara apa pun. Padahal suara batuknya terdengar diatas, ditanggul sebelah timur yang harus menyeberangi sungai lebar itu untuk mencapai tempat Suto dan Dewi Angora berada. Melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Suto segera dapat menyimpulkan bahwa tokoh tua itu memang berilmu tinggi walaupun penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan tidak membawa senjata apapun.

Dewi Angora berada dibelakang Suto, seakan berlindung di sana. Matanya masih menegang kala ia pandangi wajah pamannya. Sorot mata tokoh tua itu penuh getaran yang menyentuh hati dan jiwa bagi orang yang tak berilmu tinggi. Kalem, berkesan ramah tapi karismanya tinggi.

“Meraka sudah kusuruh Pulang, walau harus membuat si Mulut Petir luka di bagian dadanya," kata tokoh yang dikenal dengan nama Batuk Maragam.

"Lalu untuk apa Paman menyusulku kemari?" kata Dewi Angora dengan cemberut manja yang membuat sang Paman tersenyum lebar.

"Dekatlah sini padaku, Dewi" ia melambaikan tangannya penuh keramahan. Tapi Dewi Angora semakin menjauhkan diri ke belakang Suto Sinting.

"Tidak! Aku tidak mau. Paman pasti akan membawaku pulang!"

"He, he, he...!" tokoh tua itu terkekeh, akhirnya batuk lagi, uhuk, uhuk, uhuk, uhuuwuuk...!

Suto Sinting merasa iba melihat begitu tuanya tubuh itu, sehingga batuk pun sampai terbungkuk-bungkuk. Napasnya terengah-engah ketika tubuhnya tegak kembali. Kini justru matanya memandangi Suto Sinting dan berkata pelan,

"Aku ingin membawa pulang Dewi. Apakah kau izinkan?"

Dengan menjaga kesopanan dan bersikap hormat Suto menjawab, "Jika Paman Batuk Maragam yang membawanya pulang, saya melepaskannya. Silahkan bawa Dewi Angora pulang ke rumah."

"Aku tidak mau!" sentak Dewi Angora sambil mendorong tubuh Suto. Tubuh itu tersentak ke depan, dan cepat tegak kembali. Batuk Maragam berkata,

“Tak boleh sekasar itu dengan seorang lelaki Dewi!"

"Aku tidak mau pulang, Paman! Aku tidak mau dikawinkan dengan Tuanku Nanpongoh! Aku mencintai Suto Sinting ini!"

"He, he, he, he, he...!" Batuk Maragam terkekeh lagi. Sikapnya cenderung digolongkan sebagai tokoh yang gemar cengengesan. Tapi pada saat ia diam dan memandang, wibawa dan kharismanya terpancar besar. Itutah kelebihan lain dari Batuk Maragam.

"Dulu waktu Paman masih muda, Paman juga ganteng seperti Suto, Dewi. Banyak gadis yang mengerumuni Paman, mengagumi mencintai. Tapi cinta hanya semusim padi saja. Jika sudah sampai pada tingginya, Ia akan berubah menjadi jerami. Kaku, tapi punya kehalusan tersendiri."

"Kalau Paman tahu begitu, kenapa Paman mau membawaku pulang?"

"Kau ingin kubawa pulang, pulang ke rumahku Dewi Angora! Bukan pulang ke rumahmu, sebab aku tahu sekarang Tuanku Nanpongoh sedang menunggumu disana," katanya dengan penuh kesabaran.

“Nanti Paman juga akan membawaku pulang dan mempertemukan aku dengan Ayah dan Tuanku Nanpongoh!" tuduh Dewi Angora dengan bersungut-sungut.

Orang tua berambut lemas itu geleng-gelengkan kepalanya. Ia segera melangkah dekati Suto Sinting, pandangi Suto dan berkata, "Rupanya kau sudah bisa lolos lagi dari ancaman maut Peri Sendang Keramat. Itu sudah kuduga. Aku tidak bersedih ketika mendengar kau tertangkap Peri Sendang Keramat dan orang-orang menyebarkan kabar bahwa kau pasti mati terpenggel oleh kekejaman Peri Sendang Keramat. Aku sama sekaii tak percaya, topi juga tak keluarkan bantahan."

"Sebenarnya, keadaan tidak seperti itu, Paman," jawab Suto dengan sopan.

Batuk Maragam diam memandang tak berkedip. lama-lama ia menggumam, "Tidak begitu...? Ya, mungkin memang tidak begitu. Sebab kau agak aneh Suto, tidak seperti biasanya."

“Dia masih Suto yang biasanya, Paman!" sahut Dewi Angora.

Tapi sang paman geleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, “Tidak, Dewi. Kulihat ada kelainan pada dirinya!"

Dewi Angora memandangi pamannya dengan heran. Lebih heran lagi setelah melihat sang paman rapatkan kaki. Lalu bungkukkan badan tanpa batuk dengan kedua tangan merapat di dada. Kejap berikut tegak lagi dan berkata,

"Maaf. Aku terlambat menghaturkan hormat pada Gusti Manggala Yudha..."

Suto menahan napas sesaat. Bingung menjawab ucapan itu, sedangkan Dewi Angora kian tajam dalam mengerutkan keningnya. Kian heran melihat pamannya memberi hormat kepada Suto dan menyebut Suto dengan gelar; Gusti Manggala Yudha. "Apa-apaan ini...?! pikir sang gadis dengan wajah menjadi linglung.

"Simpan hormatmu itu, Paman," ucap Suto bernada bisik, tapi didengar oleh Dewi Angora, sehingga sang gadis pun berkata dalam nada tanya,

“Apa maksud kalian berdua?!"

* * *

TIGA
JIKA Batuk Maragam bukan orang berilmu tinggi, Ia tak akan dapat melihat tanda merah ditengah dahi Suto, dekat perbatasan kedua alisnya. Bulatan marah kecil itu adalah tanda istimewa yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam galb. Ratu itulah calon mertua Suto Sinting. Tanda merah cerah merupakan simbol penghormatan tertinggi setelah sang ratu sendiri, dan Akan ditakuti atau disegani oleh para tokoh berilmu tinggi di rimba persilatan. Tanda merah itu merupakan peringatan bagi orang-orang berilmu tinggi agar tidak mengganggu Suto Sinting. Jika mereka tidak menghormat dan bermusuhan dengan Suto Sinting, maka mereka akan berurusan dengan Ratu Kartika Wangi yang dikenal sebagai 'Ratu Penguasa Kesaktian'. Sulit ditumbangkan manusia sesakti apapun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah)

Karenanya, Batuk Maragam merasa perlu menghormat agar tidak dianggap bermusuhan dengan pihak Kartika Wangi. Batuk Maragam segera tahu, bahwa tanda merah di kening Suto merupakan pangkat Manggala Yudha Kinasih di negeri alam gaib itu, yang berarti pula sebagai Panglima Perang andalan negeri alam gaib itu. Datuk Maragam tahu, bahwa Ratu Kartika Wangi tidak sembarangan memilih Panglima Perang andalannya jika orang itu bukan benar-benar orang berilmu tinggi dan baik budi pekertinya.

Sebab itu Batuk Maragam berkata, "Mengapa baru sekarang aku melihat pangkatmu yang tinggi itu, Pendekar Mabuk?!"

"Ada baiknya kalau kita bicara dirumah Paman Batuk Maragam saja" kata Suto menutupi rasa kikuknya karena melihat Dewi Angora terheran-heran.

Gadis itu segera berkata, "Aku mau kerumah Paman, tapi aku tidak dijebak dan dikawinkan dengan Tuanku Nanpongoh!"

Batuk Maragam berkata, "Kau punya Manggala Yudha. Kenapa takut?"

Baru saja mereka mau bergegas pergi, tiba-tiba terdengar deras suara kaki kuda menuju ketempat mereka berdua. Dari atas tanggul muncul tiga penunggang kuda bersenjatakan panah. Mereka ada ditaanggul Seberang sungai. Panah mereka direntangkan dan terarah kepada Pendekar Mabuk.

Empat orang penunggang kuda dari tanggul yang akan dilalui Suto juga muncul secara mengejutkan dengan anak panah terarah kepada Pendekar Mabuk. Disebelahnya muncul pula enam orang bersenjatakan tombak yang siap melemparkan tombak itu kearah mereka bertiga; Suto, Batuk Maragam, dan Dewi Angora.

Baru saja Suto ingin ucapkan kata kepada Batuk Maragam, dari arah hulu sungai muncul lima orang berkuda, dua diantaranya ada di seberang sungai. Pakaian kelima orang ini lebih bagus dari pakaian mereka yang ada diatas tanggul. Sedangkan tiga orang berkuda lainnya datang dari arah muara dengan senjata tombak siap dilemparkan.

Dewi Angora yang tegang berseru, "Paman, kita keseberang sungai!"

"Percuma! Kita telah terkepung. Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Batuk Maragamtubuhnya terguncang karena batuk, tapi setelah itu tampak tenang kembali.

Sedangkan Pendekar Mabuk masih celongak-celinguk dengan perasaan heran melihat orang-orang mengepungnya. Tapi keteganganya tidak terlalu senjata Dewi Angora yang semakin kuat memegangi lengan Suto yang kekar itu.

Lima orang berkuda yang mengenakan pakaian bagus-bagus itu mulai mendekati Suto Sinting, berhenti dalam jarak sekitar delapan langkah didepan Suto.

"Paman Batuk Maragam," kata Suto berbisik, "Apakah mereka orang-orangnya Tuanku Nanpongoh?"

"Bukan, Suto. Mereka orang-orang Kadipaten Kumitir. Aku mengenali pakaian seragam para prajurit andalannya yang ada di tanggul bagian hilir itu!"

Suto Sinting bertambah heran memandangi para prajurit yang berpakaian merah dengan rangkapan rompi hitam dan ikat kepala yang membungkus rambut berwarna merah pula itu. Hatinya membatin, "Aku tidak kenal mereka. Aku baru sekarang mendengar ada Kadipaten bernama Kadipaten Kumitir. Lalu, mengapa mereka mengarahkan senjata padaku? Apakah ini rekayasa Batuk Maragam?"

Tapi sang paman pun berkata pelan, "Agaknya mereka bermaksud tak baik pada kita, Suto. Bersiaplah dan waspadalah selalu. Juga kau, Dewi. Waspada!"

"Ta... tapi saya tidak kenal siapa mereka, Paman?!"

"Kita tanyakan kepada kelima perwiranya itu," sambil Batuk Maragam melangkah mendekati lima penunggang kuda yang ternyata berpangkat perwira itu. Suto Sinting ikut dampingi Batuk Maragam, sedangkan Dewi Angora ikut dibelakangnya, seakan tak mau jauh dari Suto Sinting.

Batuk Maragam berseru kepada lima orang yang masih duduk diatas kuda itu, "Apa maksud kalian mwngepung kami begini?! Jelaskan per... uhuk, uhuk, uhuk, uhuk... soalannya!"

Lima penunggang kuda masing-masing berwajah tegas, pandangan matanya tajam. Usia mereka sekitar empat puluh sampai iima puluh tahun. Badan mereka kekar-kekar. Tiga orang menyandang pedang di punggung, dua orang lagi menyandang pedang di pinggangnya. Pakaian mereka warna-warni, tepi terbuat dari kain mengkilap, berikat kepala kain tebal yang dilapisi lempengan kuningan atau perak dengan hiasan manik-manik bebatuan sebesar kacang tanah. Warna batuannya pun beraneka rupa.

Mendengar pertanyaan Batuk Maragam, orang berpakaian ungu yang ada ditengah barisan lima penunggang kuda itu segera maju bersama kudanya. ia hentikan kuda dalam jarak empat langkah di depan Batuk Maragam. Matanya yang tajam pandangi Batuk Maragam, lalu pandangi Suto dengan agak lama sedikit, berpindah memandang Dewi Angora sebentar, kembali ke Batuk Maragam, dan segera terdengar suaranya yang berat dan besar, sesuai dengan kumis lebatnya.

"Kalau tak salah lihat, kau yang bernama Batuk Maragam?!"

"Uhuk, uhuk, uhuk... uhuk, ihik, Ihik, ihik, ehek, ehek... hoooeceekkk...!"

"Hmmm... tak salah lagi!" gumam orang berpakaian ungu itu. Rupanya suara batuk yang beraneka nada itu sudah merupakan jawaban dari pertanyaannya tadi. Orang itu segera berkata lagi.

“Batuk Maragam, namamu cukup dikenak di sepanjang pesisir selatan tanah Jawa ini sebagai tokoh sakti berlimu tinggi beraliran putih. Sebaiknya tak perlu memihak sang durjana yang bermodal wajah tampan itu! Jika kau memihaknya, maka kau harus berhadapan denganku, Yosodigdaya!" Ia menepuk dadanya.

“Yosodigdaya," kata Batuk Maragam, "Persoalan apa yang membuat pihak kadipaten menuduh Pendekar Mabuk, Suto Sinting ini, sebagai sang durjana? Durjna itu berarti maling. Lalu, maling apa dia sebenarnya?"

“Tanyakan kepada si keparat itu sendiri!"

Suto Sinting yang segera dipandang Batuk Maragam segera berkata kepada Yosodigdaya, "Aku bukan pencuri! Aku tidak mengenal kalian."

"Tidak kenal?!" Yosodigdaya lebarkan mata. "Termasuk denganku kau tidak kenal?!"

"Baru sekarang aku bertemu denganmu, Perwira Yasodigdaya!" ujar Suto tegas-tegas. Berdirinya tegap tegak, dadanya membusung keras. Bumbung tuak ada di pundak kanannya.

"Hmm...!" Yosodigdaya sunggingkan senyum sinis. "Jangan kau berlagak tak mengenalku karena kau menggandeng wanita cantik itu, Suto Sinting! Aku yang membawamu ke kadipaten. Aku yang menemukanmu dalam perjalanan menyusuri pantai selatan. Aku yang memintamu menyembuhkan sakitnya Gusti Permaisuri Prananingsih. Enam hari kau dijamu dan dihormati sebagai perawat Istri Kanjeng Adipati. Begitu beliau sembuh, kau mencurinya dan membawanya lari!"

Tentu saja Suto Sinting terkejut dituduh membawa lari istri Adipati. Dewi Angora sendiri sampai terbelaiak dan terperangah mulutnya mendengar kata-kata Yosodigdaya. Batuk Maragam pandangi Suto dengan dahi sedikit berkerut karena bimbang hatinya.

"Kau memfitnahku, Yosodigdaya!" kata Suto Sintng dengan menahan kemarahan. "Tipu daya apa yang membuat mu harus memfitnahku begini? Aku benar-benar belum pernah bertemu denganmu, belum pernah datang ke Kadipaten, apalagi sembuhkan Gusti Permeswari, sama sekali belum pernah!"

"Persetan dengan pengakuanmu! Tiga bulan lamanya kami mencarimu, baru sekarang berhasil jumpa denganmu! Perintah sang Adipati adaiah membawa pulang dirimu untuk diadili dan menemukan kembali Gusti Permeswari!"

"Tidak bisa!" sahut Batuk Maragam, "Aku menghalangi pihakmu. Jika kau bermaksud membawa Suto sebagai tawanan!"

"Apaalasanmu, Batuk Maragam/?!" sentak Yosodidaya.

"Suto Sinting akan menikah dengan keponakanku Dewi Angora!" Batuk Maragam menuding keponakannya yang ada dibelakang Suto. Siapapun yang akan menghalangi pernikahan Dewi Angora dengan Suto Sinting harus berhadapan denganku! Tuanku Nanpongoh pun harus berhadapan denganku jika bermaksud menikahi Dewi Angora!"

"Sayang sekali," sindir Yosod!gdaya, "Seorang tokoh putih sepertimu sekarang telah berubah menjadi sesat, sebagai pelindung pencuri Istri orang! Umurmu tak akan panjang jika kau tidak segera berubah sikap. Batuk Maragam!"

“Mau panjang atau pendek, itu urusan yang diatas!" bantah Batuk Maragam. "Yang jelas, sampaikan kepada sang Adipati, bahwa Batuk Maragam mempertahankan Suto Sinting untuk diadili disana. Aku yakin ada pihak lain yang mengadu domba pihak kita baik sengaja maupun tidak sengaja!"

"Batuk Maragam!" sentak Yosodigdaya, "Jika kau berkeras kepala mempertahankan pencuri istri orang itu, kau akan menanggung akibatnya sendiri"

"Segala akibat akan kutanggung!"

"Baik!" geram Yosodigdaya, lalu Ia berseru, “Seraaang...!"

Maka para pemanah pun segera melepaskan anak panahnya ke arah mereka bertiga. Para pelempar tombak melemparkan tombaknya dengan Kecepatan tinggi. Tetapi Batuk Maragam segera membanting sesuatu dari tangannya ke tanah, dan letupan kecii pun terjadi. Duuusss...! Asap mengepul dan cepat membungkus mereka bertiga. Terdengar suara batuk dari dalam asap itu bersamaan dengan suara tombak saling beradu.

"Uhuk, ehek, ehek, uhuk, uhuk, ihik, Ihik, ahak, hok, hok, hok...!"

Trang, tring, trang, trak, trak, tring...!

Asap itu lenyap ketika Yosodigdaya mundur bersama kudanya. Asap hitam yang lenyap menimbulkan keheranan di wajah mereka, Suto Sinting, Dewi Angora, dan Batuk Maragam sudah tidak ada di tempat. Lenyap barsama asap. Semua malah mencari di sana-sini, tapi buronan mereka tidak ditemukan.

"Cari! Menyebar..." teriak Yosodigdaya. "Mereka pasti belum jauh dari sini! Lekas cari ke delapan penjuru!"

Mereka pun menyebar dengan tegang dan panik. Di sebuah bukit yang hauh darl sungai itu, tampak tiga sosok berdirl memperhatikan keadaan di kaki bukit. Mata mereka memandang ke sungai bening, memperhatikan kesibukan para prajurit mencari buronannya. Mereka bertiga ternyata adalah Suto Sinting, Dewi Angora, dan Batuk Maragam.

Kesaktian Batuk Maragam telah membawa mereka pindah tempat dalam sekejap diatas bukit tersebut jauh dari jangkauan mata para prajurit, karena mereka dihalang-halangi pepohonan rapat di puncak bukit itu.

Suto Sinting agak terkejut ketika mengalami kebutaan sekejap tadi dan tahu-tahu sudah berada di puncak bukit. Tapi Dewi Angora tidak merasa kaget karena ia tahu bahwa pamannya mempunyai iimu "Kelana Indera', yaitu sejauh mata memandang sejauh itu pula bisa berpindah tempat

“Luar biasa ilmu sang paman ini," pikir Suto. "Aku ingin mempelajarinya kalau Ia rela menurunkan padaku"

Dewi Angora yang sudah tidak ada dl samping Suto itu tampak murung, ia bahkan jauhi pamannya pula. Pandangannya sudah tidak ditujukan kepada para prajurit kadipaten yang kebingungan di kaki bukit itu, melainkan dilemparkan ke arah lain dengan penuh kedongkolan. Ia berdiri berlipat tangan, punggungnya disandarkan pada pohon.

Suto Sinting memperhatikan sebentar, lalu beralih perhatian kepada para prajurit di sana sambil mulutnya ucapkan kata kepada Batuk Maragam. "Kedatangan mereka seperti mimpi bagiku, Paman Batuk Maragam. Mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, mengapa justru pada saat kita baru pertama berjumpa?!"

"Baru pertama berjumpa?" gumam Batuk Maragam lalu ia manggut-manggut sambli pandangi Suto Sinting disampingnya. "Benarkah kau merasa baru pertama berjumpa?"

"Benar, Paman. Saya berani bersumpah apapun!"

Manggut-manggutnya kian jelas lagi. "Kebimbanganku semakin jelas. Tapi sulit dipercaya oleh pihak lain”

“Memang. Karenanya saya sengaja tidak banyak membantah kepada Dewi Angora. Perbantahan saya tadi sempat menggunakan alasan akar keramat yang terlangkahi, saya lupa segalanya. Padahal saya tidak melangkahi akar itu,"

"Sebenarnya aku ingin mempercayainya, tapi sulit percaya sepenuh hati,” kata Batuk Maragam, dan iapun Batuk kembali, “Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"

Hilangnya suara batuk berganti suara tangis mengisak yang terdengar. Suto Sinting segera berpaling ke arah Dewi Angora, Batuk Maragam juga berpaling kesana, Keduanya segera dekati Dewi Angora yang menangis dalam keadaan berdiri dan tundukkan kepala, satu tangannya digunakan untuk menutup wajah, satu lagi masih bersedekap di dada.

Batuk Maragam tampak sayang kepada keponakannya itu, sehingga diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya, didekapnya erat-erat bagai dilindungi jiwa dan raganya. Sang gadis semakin terisak-isak, sang paman pun mulai membujuknya,

"Banyak yang harus kita bicarakan bertiga, Dewi Angora. Banyak pula yang harus kita dengar dari pengakuan Suto Sinting. Tenanglah dulu, Dewi. Kita menghadapi teka-teki yang perlu pemecahan sacara tenang tapi tepat sasaran."

Sesaat kemudian, Dewi Angora pisahkan diri dari pamannya, lalu pandangi Suto dengan air mata masih berlinang. "Tak kusangka kau lakukan tindakan sehina itu. Suto! Mencuri istri orang adalah perbuatan para perampok sesat! Apalagi yang kau curi adalah istri seorang Adipati, alangkah celakanya dirimu nanti, Suto!"

Mendengar kecaman itu, Suto tarik napas dalam-dalam. Seakan sia-sia ingin ajukan pembelaan diri. Karena kejap berikut Dewi Angora berkata lagi,

"Jadi sebelum kau jumpa denganku, kau telah bawa istri orang dan sekarang entah kau sembunyikan dimana! Memalukan sekali! Kalau tahu jiwamu sebusuk itu aku tak mau dekat denganmu! Aku tak mau jadi kekasihmu sampai akhirnya aku harus mengandung bayimu!"

Batuk Maragam terkesiap karena kaget mendengar kata-kata keponakannya. Karena kagetnya lalu terbatuk-batuk lagi. "Uhuk, uhuk, uhuk, eik...! Uhuk...!"

"Apa benar begitu, Dewi?!" tanya Batuk Maragam.

Gadis itu hanya tundukkan wajah dan menutupnya dengan tangan sambil lanjutkan tangisnya. Batuk Maragam tampak sedih, ia menatap Suto Sinting bagaikan minta pendapat atas ketidaktahuannya terhadap apa yang diperbuat saat itu. Pendekar Mabuk mendekat satu langkah dan berkata pelan,

"Tadi ia pun mengaku begitu padaku, Paman. Tapi aku merasa tidak pernah beruat apa-apa dengannya. Ia menyebutkan rumah gubuk di tengah sawah sedangkan aku tidak pernah melihat rumah gubuk itu."

Dewi Angora mendengar ucapan itu segera menyambar dengan hardikan, "Tentu saja kau tidak merasa berbuat, karena kau ingin ingkar janji dan lari dari tanggung jawab!"

"Dewi, apa yang kukatakan kepada pamanmu itu bukan kebohongan. Mana berani aku membohongi paman Batuk Maragam, karena aku yakin beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku!"

Merasa mantap, Suto Sinting mendekati gadis itu dan menyambung ucapannya. "Aku bukan pencuri istri orang! Aku seorang pendekar yang dididik oleh guruku untuk tidak lakukan tindakan-tindakan sehina itu! Berani Sumpah apa pun kunyatakan, bahwa diriku tidak mencuri istrinya sang Adipati! Tidak! Bahkan mengenal pun baru tadi, sebelum kau bertemu dengan Mulut Petir dan Sangkur Balang! Selama ini aku tidak kenal siapa dirimu dan di mana rumahmu! Aku tidak tahu siapa ayahmu dan apa pangkatnya! Bahkan letak kediaman Peri Sendang Keramat pun tadi kutanyakan padamu karena aku benar-benar tidak berasal dari sana! Aku tidak kenal siapa itu Peri Sendang Keramat!"

"Omong kosong!" bantah Dewi Angora.

"Kurasa benar!" kata sebuah suara lain, bukan suara Batuk Maragam, bukan pula suara Suto Sinting sendiri. Suara itu berssal dari atas pohon. Maka, mereka bertiga serempak mendongak ke atas pohon, lalu tampaklah sesosok tubuh berjubah hijau muda turun dari atas pohon. Gerakan turunnya bagai orang berdiri tegak dan jubahnya berkelebat bagaikan sayap seekor burung merak.

Jleeg...! Wanita cantik berusia lebih tua dari Dewi Angora berdiri di depan mereka bertiga dengan mata jelinya menatap Suto lebih lama. Wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu kenakan pakaian pinjung sebatas dada warna coklat muda dari bahan bulu halus. Rambutnya disanggul sebagian, sisanya meriap sampai sepunggung. Tubuhnya sekal, kulitnya kuning langsat. Kecantikannya tampak nyala dalam bentuk kecantikan yang matang, yang jauh lebih dewasa dari kecantikan Dewi Angora. Perempuan berjubah hijau muda itu menyandang pedang pendek di pinggangnya.

Suto Sinting memandang dengan dahi berkerut sebagai tanda heran dan merasa asing dengan perempuan itu. Sedangkan Dewi Angora menatap dengan sikap cemburu. Batuk Maragam tampak tenang, tapi sorot pandangan matanya tertuju pula kepada perempuan berhidung bangir itu.

"Kurasa dia memang bukan Suto Sinting yang kau kenal, Nona!"

"Siapa kau!" sentek Dewi Angora dengan tangisnya yang terhenti seketika.

"Aku Camar Sembilu, murid murtad dari Peri Sendang Keramat yang menolong Suto kabur dari cengkraman Peri Sendang Keramat!"

"Jadi...," kata-kata Dewi Angora terpotong oleh ucapan Batuk Maragam.

“Dari mana kau bisa tahu kalau pemuda ini bukan Suto Sinting yang dikenal oleh keponakanku itu?"

"Karena saat itu Suto Sinting sedang persiapkan diri untuk jalani hukuman gantung! la sedang diarak kepuncak Bukit Rongga Bumi. Peri Sendang Keramat sedang mengundang para tokoh tingkat tinggi untuk menyaksikan bahwa Suto Sinting akan jalani hukuman gantung. Peri Sendang Keramat punya kebanggaan tersendiri jika bisa menggantung murid si Gila Tuak. Nama besar Pendekar Mabuk akan digantikan oleh nama Peri Sendang Keramat."

"Jadi... siapa pemuda yang bersamaku itu, paman” tanya Dewi Angora.

"Ada Suto Sinting lain yang pertu dicurigai keberadaannya!" jawab Batuk Maragam membuat Dewi Angora dan Pendekar Mabuk memandanginya dengan berkerut tajam.

* * *

EMPAT
RUMAH kediaman Batuk Maragam ada ditanah tinggi tepi pantai, terpisah dari perumahan nelayan lainya. Tempat itu tidak begitu jauh dari permukaan pantai. Hanya dibutuhkan waktu beberapa helaan napas untuk mendaki sampai ke rumah tersebut. Dua buah sampan berada tak jauh dari jalanan mendaki menuju kediaman Batuk Maragam, satu sampan tengkurap karena bocor dan sedang dalam perbaikan, satu lainnya ditambatkan di perairan pantai, sebagai sarana mencari ikan bagi Batuk Maragam.

Pelita malam dinyalakan, menerangi yang tak seberapa jauh tapi dibangun dengan kayu-kayu kokoh. Rumah itu mempunyai loteng yang biasa digunakan untuk tidur, sedangkan lantai bawah lebih sering untuk melakukan kesibukan merajut jala atau memperbaiki peralatan mencari ikan.

Malam itu mereka ada dilantai atas. Dari sana dapat dilihat pemandangan laut yang luas membiru diterangi cahaya perak purnama. Di serambi loteng yang tidak seberapa lebar itu, Dewi Angora berdiri memandangi laut! Angin malam dibiarkan menerpa rambutnya yang dilepas dari kepangannya. Semilir angin malam membuat hati gundah sang gadis sedikit reda. Namun rasa perihnya masih sesekali dirasakan berdesir menyayat kalbu.

Di dalam dengan menggelar tikar pandan, Batuk Maragam berada didepan Suto sambil menikmati minuman teh panas. Bukan hanya Suto Sinting yang diajaknya bermalam disitu, melainkan Camar Sembilu pun ikut juga. Ia di butuhkan oleh Batuk Maragam sebagai saksi yang dapat meyakinkan Dewi Angora dan dirinya sendiri tentang adanya pemuda serupa dengan Suto Sinting.

Ketika Camar Sembilu menuang teh dari poci ke cangkirnya Suto, Pendekar Mabuk ajukan pertanyaan kepadanya, "Apakah pemuda itu juga mengaku bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk?"

"Ya. Bahkan ia juga mengaku murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," jawab Camar Sembilu.

"Kepadaku pun mengaku demikian," ujar Batuk Maragam menimpali.

"Juga membawa bumbung tuak?"

"Lengkap dengan pakaian yang kau pakai itu," kata Camar Sembilu. "Hanya anehnya, ketika dia menghadapi Sujali saat mau kabur dari Bukit Rongga Bumi, kulihat ilmunya tak seberapa tinggi. Malah dia hampir mati oleh Sujali. Padahal Sujali itu pengawal kelas keroco yang ilmunya terendah diantara orang-orang Peri Sendang Keramat. Kalau aku tidak turun tangan membantunya, Ia mati ditangan Sujali."

Hening tercipta sejenak, Dewi Angora masih belum mau bergabung dengan mereka. Tetapi telinganya sempat mendengarkan percakapan mereka secara samar-samar. Batuk Maragam sesekali memandang keponakannya penuh waspada. Karena ia tahu hati keponakannya sangat kecewa dengan adanya Suto kembar itu. Batuk Maragam khawatir sang keponakan patah hati, sempit pikiran, lalu bunuh diri dengan menikamkan pedangnya ke ulu hati. Karena ketika di perjalanan menuju rumah itu, Dewi Angora sempat berujar bunuh diri ketimbang mendapat malu karena kandungannya dan hidup penuh kecewa tanpa Suto Sinting yang dikenalnya.

Disaat hening itu, Suto Sinting kembali ajukan tanya kepada Camar Sembilu, "Mengapa kau mau membantu pemuda itu untuk lari dari Bukit Rongga Bumi?"

"Aku memang sudah terlanjur sakit hati kepada Peri Sendang Keramat. Dia membunuh adik lelaki yang bernama Dekso Luhur."

"Mengapa dibunuhnya?"

"Dekso Luhur adalah murid Peri Sendang Keramat juga, tetapi menolak diajak bercumbu dengannya, sehingga nyai Peri kecewa dan Dekso Luhur dipenggal, kepalanya digantungkan dijalanan menuju Pesanggrahan Sendang Keramat. Aku tak bisa lakukan pembalasan karena ilmuku tidak sebanding dengan ilmunya nyai Peri. Jadi aku memilih pergi dari Pesanggrahan Sendang Keramat, tak mau melihat mukanya lagi sebelum ilmuku menyamai ilmunya. Kebetulan niat itu sekarang dengan larinya pemuda yang bernama Suto Sinting itu."

Batuk Maragam terguncang-guncang badannya karena keluarkan batuk tiga nada. Setelah itu ia ajukan tanya kepada Camar Sembilu, "Apakah pemuda itu mulanya juga murid Peri Sendang Keramat?"

"Bukan. Dia pendatang baru," jawab Camar Sembilu.

"Kepadaku dia mengaku tawanan Peri Sendang Keramat,"

"Itu benar," tegas Camar Sembilu. "Sekitar tiga bulan yang lalu, pemuda itu datang ke Pesanggrahan Sendang Keramat dengan sangat mengejutkan. Tak tahu dari mana asalnya, tengah malam penjaga mendengar suara benda jatuh ke genangan air sendang. Sang nyai juga mendengarnya, sehingga ia keluar dari kamar dan memeriksa ke sendang yang dikeramatkan itu. Ternyata benda yang mencebur ke air sendang itu adalah seorang pemuda tanpa busana. Rupanya la nekat mandi disitu. Padahal sendang tersebut tak boleh dibuat mandi orang lelaki, karena khasiatnya bisa hilang..."

"Khasiat apa?” tanya Suto Sinting memotong.

"Sendang itu adalah sendang pengawet kecantikan. Wanita mana pun yang mandi disitu dalam keadaan cantik, maka seumur hidup kecantikannya tidak akan berubah. Walau usianya sudah seratus tahun, ia masih akan tetap cantik dan muda seperti saat Ia mandi di air sendang itu. Karenanya disebut Sendang Keramat. Nyai Peri yang menemukan sendang itu dan dikusainya. Karena itu setiap murid wanitanya pasti cantik-cantik dan awet muda karena diizinkan mandi disendang itu walau hanya satu kali itu sudah cukup. Tapi jika sendang itu dimasuki seorang lelaki, maka khasiatnya akan berubah. Bukan pengawet kecantikan, pengawet ketampanan. Maka lelaki yang masuk dan mandi di sendang itu biar sampai usia seratus tahun, wajahnya tetap seperti saat ia mandi itu dan tidak, berubah lagi."

Suto Sinting manggut-manggut. Batuk Maragam menyela kata, "Kudengar jika air sendang berubah menjadi pengawet ketampanan lelaki, ia tidak akan berubah lagi menjadi seperti semula walau dibuat mandi bidadari?"

"Ya. Memang begitu," kata Camar Sembilu. Karena itulah Nyai Peri marah besar kepada pemuda yang nekat mandi tanpa busana di sendang tersebut sebab air sendang tidak akan berubah menjadi air pengawet kecantikan lagi."

Kali ini Suto Sinting yang menyela kata, "Jadi kalau sekarang aku mandi di sendang itu, maka sampai usia seratus tahun aku masih tetap akan semuda ini dan wajahku juga tetap begini?"

"Kalau saja sendang itu sekarang masih ada, kau akan tetap tampan dan menawan seperti saat ini," kata Camar Sembilu sambil tersenyum malu. “Tapi sayang, Sendang Keramat sekarang sudah tak ada. Nyai Peri menimbunnya dengan tanah cadas dan bebatuan, Tempat itu sekarang menjadi tempat yang padat dan biasa digunakan untuk berlatih ilmu pedang para pengikutnya."

Batuk Maragam berkerut dahi, "Mengapa ditimbun?"

"Nyai Peri tidak ingin kaum lelaki awet tampan. Kurasa tindakan itu juga merupakan luapan dari kekecewaan hatinya."

"Hmmmm...," Batuk Maragam menggumam sambil manggut-manggut, tetapi segera tersentak-sentak oleh batuknya lagi yang lama-lama bisa bikin telinga rusak.

"Lalu bagaimana dengan nasib pemuda telanjang itu?" tanya Suto dengan sangat penasaran.

"Karena pemuda itu serupa dengan wajahmu, juga dengan tubuhnya sama denganmu, pokoknya tak ada yang beda darimu, maka pemuda itu selamanya akan awet muda dan tampan menawan sepertimu."

Pendekar Mabuk kerutkan dahinya, ada sesuatu yang dirasakan menggelitik aneh dalam benaknya. Lalu ia sempatkan diri untuk bertanya, "Apakah... apakah pemuda itu begitu mandi disendang tersebut langsung berubah menjadi seperti diriku, atau memang sebelumnya sudah seperti diriku?"

"Aku tidak melihat saat ia masuk ke sendang. Tapi yang kutahu, tentunya sebelum ia masuk ke sendang rupa dan wujudnya sudah seperti dirimu. Sebab tak pernah ada ceritanya seseorang mandi di sendangitu lalu berubah menjadi beda dengan wujud aslinya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut lagi dengan mata menatap Camar Sembilu. Tapi pikirannya menerawang dan berkecamuk mempercakapkan tentang pemuda yang punya wajah mirip dengannya. “Seingatku tak ada orang yang serupa denganku. Menurutguru, aku bukan anak kembar. Tapi mengapa ada pemuda yang serupa dengan diriku, dan mandi di Sendang Keramat itu?"

Camar Sembilu lanjutkan kata-katanya, bagai tak pedulikan Suto Sinting. Karena Camar Sembilu bicara lagi, Suto Sinting hentikan kecamuk di batinnya.

“Mestinya, pemuda yang mandi tanpa busana dipenggal malam itu juga oleh sang Nyai. Tetapi karena Ia tampan, dan sang Nyai mengenali wajah itu, maka niat memenggal pun diurungkan. Nyai Peri tahu kalau wajah itu adalah wajah murid si Gila Tuak, sebab dulu ketika bertarung dengan Mahendra di arena pertarungan, sang Nyai hadir di sana dan mengenali wajahmu. Konon wajahmu selalu melekat dalam benak sang Nyai. Tapi la selalu gagal menemuimu." (Tentang Mahendra silakan baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

"Berarti dia diberi pengampunan?" tanya Suto Sinting.

“Ya, selama dia mau dijadikan pria penghibur sang Nyai," kata Camar Sembilu menjelaskan. "Tetapi ia hanya tahan menjadi penghibur sang Nyai selama lima hari saja. Selanjutnya la tak tahan melayani sang! Sebab sang Nyai punya kebiasaan mencabuk lawan cumbunya lebih dulu sebelum mereka hanyut dalam kemesraan."

"Ya, secara pribadi dia pernah ceritakan hal itu juga kepadaku," kata Batuk Maragam. "Tetapi cerita iu tak pernah kututurkan keluarga adikku atau kepada Dewi sendiri."

Camar Sembilu lanjutkan kisahnya, "Karena ia melarian diri, sang Nyai jadl benci. Padahal semula semula sang sangat membanggakan pemuda itu. Bahkan ketika pemuda itu ditanya dan mengaku bernama Suto Sinting mengaku kehliangan pakaian serta bumbung tuaknya, sang Nyai perintahkan kepada para pengikutnya untuk mencarikan pakaian yang sama persis dengan pakaian sepertimu ini, Suto. Juga sang Nyai menyuruh mereka mencarikan bumbung tuak yang perbedaan dan ukuran yang tak jauh beda dari bumbung tuakmu it," Camar Sembilu menuding bumbung disamping Suto Sinting.

"Apakah dia juga doyan minum tuak?"

"Ya, tapi tidak sedoyan kau!" jawab Camar Sembilu.

Datuk Maragam berkata, "Maka tak heran kalau orang percaya bahwa dia adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. Aku pun percaya sepenuhnya, karena ciri-ciri penampilannya dan wajahnya adalah ciri-ciri yang sering dibicarakan para tokoh tingkat tinggi mengenai dirimu, Suto."

"Kalau begitu aku harus mencari pemuda itu!"

"Untuk apa?" tukas Batuk Maragam. "Jika muncul di Bkit ongga Bumi malah akan timbulkan persoalan lagi bagi dirimu!"

"Kau tak perlu ke sana, karena pemuda itu sebentar lagi akan digantung oleh Nyai Peri. Kalau tak salah dengar, sekitar dua-tiga hari lagi pelaksanaan hukuman gantung dilakukan di depan para tokoh yang mendapat undangan dari sang Nyai," ujar Camar Sembilu.

“Tapi dia merusak nama baikku! Kurasa dia mencuri dan membawa lari istri sang Adipati itu, Paman."

“Kurasa memang dia," kata Batuk Maragam yang segera terguncang-guncang karena batuknya memanjang. "Uhuk, ihik, uhuk, uhuk, eheek...!"

Nama baik Pendekar Mabuk telah dirusak oleh tindak tanduk seseorang yang serupa dengan dirinya. Sebentar lagi dunia persilatan akan gempar oleh banyaknya kecaman terhadap diri Pendekar Mabuk. Mungkin sekarang para tokoh tingkat tinggi! sedang ramai membicarakan sikap dan perilaku Pendekar Mabuk yang sangat hina dan memalukan itu.

Suto Sinting menarik napas merenungi nasib. Selama tiga bulan sepuluh hari ia pelajari ilmu 'Layang Raga' digugusan karang tengah samudera, ternyata mempunyai akibat sampingan seburuk ini. Suto Sinting sama sekali tidak menyangka kalau nama harumnya sebagai seorang pendekar akan jatuh dan terinjak-injak oleh perilaku seseorang yang kembar dengannya.

"Siapa orang itu sebenarnya?" pikir Suto menjelang tidur. "Apakah aku memang punya saudara kembar yang tidak diketahui oleh Guru maupun Bibl Guru. Jika memang dia saudara kembarku, mengapa prilakunya begitu hina, sampai-sampai membuat Dewi Angora ternoda dan hamil, Oh, kasihan sekali nasib Dewi Angora. Ia sudah telanjur jatuh cinta, sudah telanjur korbankan mahkota, sudah telanjur menentang kehendak orangtua, semua demi kekasihnya. Dan repotnya kekasihnya itu orang yang kembar dengan diriku. Tentu saja ia tetap berharap bersuamikan diriku. Lalu, bagaimana aku harus bersikap kepadanya?"

Beda lagi dengan pemikiran Batuk Maragam, "Aku sendiri tak tahu apakah aku harus menyelamat pemuda itu dari tiang gantungan, supaya menikahi Dewi yang sudah telanjur ternoda itu? Atau aku harus membujuk Suto supaya mau mengawini Dewi demi menyelamatkan masa depan Dewi dan anaknya? Atau membujuk Dewi agar menerima lamaran Tuanku Nanpongoh supaya aibnya tertutup oleh perkawinan itu? Tapi... agaknya cukup berbahaya jika sampai Tuanku Nanpongoh mengetahui bahwa Dewi sudah tidak suci lagi. Tentu ia akan marah dan menuntut kepada Cakradayu. Bisa-bisa karena kecewanya ia akan bunuh Dewi tanpa setahuku. Hmm... sulit juga mengatasi persoalan keponakanku itu."

Membebaskan pemuda yang mirip Suto Sinting bukan hal yang sulit buat Batuk Maragam. Sekalipun Ia pernah dengar kesakitan Peri Sendang Keramat. Namun ia merasa masih mampu mengimbangi kesaktiannya itu. Ia merasa sanggup mencuri pemuda itu walau dikurung dalam ruang bawah tanah sekalipun. Tetapi Batuk Maragam membayangkan apa jadinya jika Dewi Angora bersuamikan lelaki yang sudah berani membawa lari istri seorang adipati. Cepat atau lambat pihak Kadipaten akan menangkap pemuda itu, mungkin juga akan membunuhnya.

Sedangkan Dewi Angora berpikiran lain lagi, "Apapun yang terjadi, esok aku harus temui Peri Sendang Keramat dan membuktikan sendiri kebenaran cerita Camar Sembilu itu. Jika pemuda yang mau digantung itu adalah pemuda yang menodaiku, maka aku harus bisa membawanya lari dari genggaman Peri Sendang Keramat. Jika perlu bertarung, akan aku lawan kekuatan Peri Sendang Keramat. Mati tak jadi soal bagiku, ketimbang hidup dengan bayi tanpa ayah!"

Tapi alam pikiran Camar Sembilu saa sekali berbeda. Pada malam itu la tidur tak berapa jauh dari Dewi Angora. Namun kecamuk yang ada dalam benaknya bukan tertuju pada Dewi Angora. "Sangat kebetulan sekali aku bisa bertatap muka dengan Batuk Maragam. Aku ingin berguru padanya. Aku akan memohon padanya untuk menjadi muridnya. Ilmu kesaktiannya akan kupadukan dengan limu yang kudapat dari Nyai Peri, untuk kemudian aku gunakan membalas dendam atas kematian adikku kepada Nyai Peri sendiri. Cepat atau lambat aku harus bisa membalas kematian adikku. Dan untuk itu agaknya aku harus mengabdi dulu kepada Batuk Maragam. Mungkin harus menjadi pelayannya, atau membantu segala kesulitannya yang bisa kukerjakan. Kurasa Batuk Maragam tidak keberatan mengangkat murid padaku jika aku sudah mengabdi padanya."

Lewat tengah malam mereka belum ada yang tertidur walau tubuh mereka merebah dan mata mereka terpejam. Akibatnya, mereka mendengar suara langkah kaki yang berlari dari pantai mendaki tangga menuju rumah tersebut. Orang yang pertama kali bangun adalah Dewi Angora. Ia mendekati pamannya yang juga belum tidur nyenyak kecuali hanya pejamkan mata saja. Ia membangunkan dengan suara berbisik di tengah kegelapan ruangan tersebut.

"Paman...! Paman...!"

“Hmm...!"

"Ada suara langkah orang menuju kemari!"

"Biarkan!" jawab pamannya tenang saja.

Camar Sembilu segera bangkit terduduk dan berkata dalam bisik, "Aku juga mendengarnya. Tapi agaknya hanya satu orang."

"Aku takut dia adalah utusan dari Tuanku Nanpongoh."

Suto Sinting masih berbaring tapi ikut menyahut dalam bisikan, “Kalau memang dia, biar aku yang hadapi!"

"Tak perlu kau, aku pun sanggup," kata Camar Sembilu menunjukkan sikap memihak Dewi Angora agar mendapat simpati dari Batuk Maragam.

Karena mereka saling berkasak-kusuk brisik, maka Batuk Maragam pun bangkit dan berkata, “Baru satu orang yang berlari kalian sudah ribut. Bagaimana kalau yang berlari Orang seratus, kalian bisa... Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"

"O, maksudnya bisa batuk-batuk?" ujar Suto Sinting iseng saja. Tapi ia pun segera bangkit dan berdiri. Karena ruangan gelap, la melangkah dengan meraba-raba mencari pintu tangga menuju lantal bawah.

Plook...! Tangannya memegang seraut wajah dan Suto berkata pelan, "Jangan ikut turun, Dewi. Kau diatas saja. Biar aku yang turun memeriksa keadaan!"

Wajah yang dipegang Suto itu berkata, "Aku bukan Dewi..., uhuk, uhuk, uhuk!"

“Oh, maaf Paman...!" Suto Sintng malu dan geli.

"Wajah orang tua diobok-obok seenaknya saja!" gerutu Batuk Maragam.

Sebelum Suto Sinting habiskan tawa cekikikan yang tertahan, tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan kasar. Daarr, daarr, daar...! Mereka terkejut dengan suara keras itu. Suara gedoran pintu itu disusul oleh suara teriakan seseorang dari luar rumah.

"Pamaaan...! Paman Batuk Maragam...! Pamaan...!"

Dewi Angora berseru dengan suara berbisik, “Itu suara Donggala, Paman...!"

"Ya. Itu memang suaranya. Tapi ada apa dia sampai berteriak begitu?" tanya Batuk Maragam sambil turun kelantai bawah.

Mereka bertiga ikut turun karena rasa ingin tahunya begitu besar. Tapi karena Suto Sinting dan Camar Sembilu belum terbiasa turun tangga ditempat itu dalam keadaan gelap, akhirnya mereka jatuh saat menuruni tangga. Camar Sembilu yang jatuh terpeleset dan tubuhnya melayang menimpa Suto Sinting yang hampir mencapai tangga terakhir.

Bruuk...!

"Eeehg...!" Suto Sinting sibuk memegangi bumbung tuaknya, sehingga tangan kirinya hanya bisa menyambar pinggang Camar Sembilu tapi tangan kanannya tak bisa berpegangan apa-apa. Akibatnya Suto telentang dan tertindih tubuh Camar Sembilu dalam keadaan jatuh tengkurap di atasnya. Wajah mereka sempat saling cium tak disengaja, sedangkan perut Suto sempat merasa mual karena tersodok lutut Camar Sembilu.

"Aduh, bagaimana kau ini?" gerutu Suto Sinting.

"Maaf. Aku tak sengaja!"

"Aku tahu kau tak sengaja, kalau disengaja tidak hanya begini tentunya. Tapi... lekaslah berdiri, jangan ngobrol dalam keadaan begini, nanti mereka sangka kita sedang ini-itu tak beres!"

"O, ya... hampir saja aku lupa berdiri!" kata Camar Sembilu dengan rasa malu sekali.

Donggala masuk ketika ruangan sudah diterangi oleh nyala pelita bertangkai. Wajah itu amat tegang dan menakutkan karena didekati pelita tersebut. Wajah itu kelihatan berkeringat dan mereka juga melihat ada darah sedikit pada sudut bibir yang terluka.

"Ada apa Donggala?"

"Paman... celaka paman...!"

"Aku tidak celaka!" kata Batuk Maragam. "Kenapa kau bilang aku celaka?!"

"Maksudku... maksudku... bukan paman yang celaka, tapi..., tapi..." napas Donggala terengah-engah bagaikan sulit dipakai berbicara.

"Duduklah dulu, tenangkan diri, atur pernapasan, baru bicara."

Suto Sinting berbisik kepada Dewi Angora, "Siapa Donggala itu?"

"Salah satu pelayan di rumahku," jawab Dewi Angora dengan wajah cemas.

Donggala yang berbadan tak terlalu kurus itu memandang Dewi Angora, ia segera berkata, "Nona... sebaiknya Nona segera pulang!"

"Kenapa? Ada apa di rumah?"

"Tuanku Nanpongoh murka. Ancamannya benar-benar dilakukan!"

"Ancaman apa?" tanya Batuk Maragam.

"Jika sampai matahari tenggelam nona tidak pulang, Tuanku Nanpongoh akan hancurkan desa kita dengan mengerahkan anak buahnya dari Pulau intan! Dan malam ini mereka sedang membantai para penduduk desa yang tak bersalah!"

"Celaka!" geram Batuk Maragam. Sedangkan Dewi Angora terkejut tak bisa bicara lagi. Mereka sama-sama bungkam sekitar tiga helaan napas. Tiba-tiba Suto Sinting perdengarkan suaranya,

"Dewi tetap saja di sini. Paman jaga Dewi Angora bersama Camar Sembilu. Aku akan ke sana bersama Donggala sebagai penunjuk jalannya!"

“Saya... saya tidak berani balik ke sana, Tuan Muda!" kata Donggala.

Batuk Maragam letakkan lentera di meja kecil, kemudian berkata kepada Suto Sinting, "Rencanamu terbalik Anak Muda! Kau yang harus tinggal di sini menjaga Dewi Angora, aku akan selamatkan keluarga adikku di sana!"

"Tapi, Paman....”

"Hanya itu yang bisa kau lakukan, Anak Muda!" kata Batuk Maragam dengan tenang tapi berwibawa.

"Kalau begitu," kata Camar Sembilu, "Aku ikut Paman..!”

“Untuk apa? Menyusahkan diriku?"

"Aku ingin bantu me...."

"Kau tetap di sini bersama Suto dan Dewi. Donggala ikut aku!"

Donggala tak bisa menolak. Tak berani beralasan lagi seperti saat Suto Sinting memutuskan rencananya pertamanya tadi. Suto Sinting pun tak berani menolak usulan Batuk Maragam, sehingga Ia hanya diam ketika Donggala dan Batuk Maragam pergi menuju desa tempat tinggal Dewi Angora.

Beberapa saat setelah kepergian mereka, Camar Sembilu keluar dan berkelebat pergi menyusul Batuk Maragam. Satu-satunya penunjuk jalan yang dipakainya adalah mengikuti suara batuknya tokoh tua yang berilmu tinggi itu.

* * *

LIMA
CAHAYA rembulan masih memantulkan warna perak di permukaan air laut. Suasana pantai kian malam semakin terang oleh cahaya tersebut. Debur suara ombaknya sesekali bergemuruh memecah sunyi. Irama malam seperti itu sengaja dinikmati Pendekar Mabuk dari serambi lantai atas. Ia sengaja berdiri di sana untuk melihat kemungkinan bahaya datang mengancam Dewi Angora.

Gadis itu berbaring di atas tikar dalam gundah yang meresah. Sebaris harapan terucap lewat kata batinnya, "Semoga tak ada korban di pihak keluargaku. Semoga Paman Batuk Maragam bisa cepat atasi keributan di sana. Tuanku Nanpongoh memang layak dimusnahkan. Mudah-mudahan Paman bisa menumpasnya sampai ke akar-akarnya. Tapi sekalipun aku terlepas dari Tuanku Nanpongoh, aku pun harus menghadapi masalahku sendiri yang kuanggap terberat. Siapa yang mau ikut menanggung penderitaanku jika sudah begini? Maukah Suto Sinting yang ada disini memenuhi harapan hatiku? Ah, sepertinya Ia tidak tertarik padaku. Dia terlalu dingin untuk bersikap mesra padaku. Andai saja Ia mau menggantikan pemuda kembarannya itu, tentu hatiku tak akan sepahit ini. Dia pasii tidak mau menggantikan pemuda kembarannya itu. Dia pasti sudah punya kekasih sendiri. Tapi... mengapa malam ini dia mau menjagaku dengan setia? Mengapa dia tidak pergi saja dan tak usah menghiraukanku lagi? Apakah sikapnya ini punya arti tersendiri bagi hatinya? Apakah... apakah dia punya rasa sayang kepadaku?"

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya di serambi loteng. Ruangan loteng sengaja tetap digelapkan, tanpa penerangan apa pun. Buat Dewi Angora, suasana seperti itu dapat menumbuhkan hasrat kemesraan dalam hatinya, khayalannya melambung tinggi dalam pelukan Suto Sinting.

Tapi bagi Suto Sinting, suasana itu hanya hadirkan ketenangan dan kenyamanan semata. Tak ada bayangan mesra dalam khayalnya. Justru yang terpikir dalam benaknya adalah mengatasi nama baiknya yang telah dihancurkan oleh pemuda serupa dengannya itu. Lalu ia pun mencoba menerka-nerka siapa sebenarnya orang yang punya wajah dan penampilan kembar dengannya itu. Satu-satunya dugaan yang terlintas dalam benak Suto adalah kekuatan gaib yang ada pada diri Embun Salju, wanita cantik ketua Perguruan Elang Putih yang memiliki kalung pusaka bernama kalung Lintang Suci.

"Bukankah kalung itu telah ditentukan kembali oleh Citradani? Bukankah kalung itu mempunyai kekuatan dapat mengubah-ubah diri sesuai keinginan pemakainya? Dulu, ketika kalung itu di tangan Tandak Ayu, perempuan itu bisa berubah menjadi kelinci. Bukankah hal-hal seperti itu bisa dilakukan oleh Embun Salju dan anak buahnya yang merubah diri menjadi Suto Sinting. (Tentang Kalung Lintang Suci, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas)

Dugaan itu segera disanggah sendiri oleh Suto, "Tapi apa maksudnya Embun Salju memanfaatkan kalung itu untuk merubah diri menjadi sepertiku? Kurasa hubungan ku tak ada cacat dimatanya, hubunganku dengan pihak Elang Putih baik-baik saja. Ah, rasa-rasanya... tidak mungkin Embun Salju yang melakukan pengembaran wajahku itu. Lalu siapa jika bukan dia...?"

Percakapan batin itu terputus karena sesuatu yang membuat Pendekar Mabuk agak terperanjat. Dua bayangan muncul dari arah berlawanan dengan arah kepergian Batuk Maragam. Dua sosok bayangan itu berlari mendekati sampan yang ditambatkan. Suto Sinting merapatkan diri kedinding serambi, matanya memandang tajam ke arah dua sosok bayangan itu.

“Hmmm... ternyata mereka adalah Sangkur Balang dan si Mulut Petir. Rupanya si Mulut Petir punya ramuan khusus yang bisa sembuhkan lukanya dalam waktu hanya sehari itu? Kakinya masih kelihatan sedikit pincang, tapi tampaknya tak menimbulkan rasa sakit baginya."

Suto Sinting masih diam di serambi loteng. Ia sengaja tidak memberitahukan Dewi Angora tentang kedatangan dua orang itu supaya Dewi Angora tidak menjadi panik dan ketakutan.

"Kedatangan mereka kemari pasti untuk mencari Dewi Angora. Rupanya tugas menemukan kembali Dewi Angora dibebankan di pundak mereka berdua, sedangkan orang-orangnya Tuanku Nanpongoh lainnya bertugas mengacau para penduduk desa dan menyerang Ki Lurah Cakradayu. Hmmm... agaknya aku harus melumpuhkan dua orang ini biar tidak menjadi penyakit lagi Dewi Angora!"

Dengan satu hentakan kecil kaki kirinya, Suto Sinting melesat loncat dari loteng dengan bersalto tiga kali. Kakinya mendarat di tanah tanpa suara apa pun karena penguasaan Ilmu "Layang Raga'-nya.

Ketika dua orang itu menaiki tangga tanah dari pantai menuju ke rumah Batuk Maragam, Pendekar Mabuk dengan gerakan kilatnya menerjang mereka secara serempak.

Bruuss...!

Cahaya rembulan kurang bisa dipakai untuk melihat bayangan yang berkelebat, sehingga dua utusan Tuanku Nanpongoh itu terpental dan menggelinding kembali ke pasir pantai. Pada saat tubuh mereka sampai di pasir pantai, Suto Sinting sudah berdiri tegak sana sejak tadi.

“Monyet burik!" maki si Mulut Petir. "Rupanya kau yang menjaga rumah itu!"

Suto Sinting Sunggingkan senyum sinis, “Memang aku yang bertanggung jawab atas keselamatan Dewi Angora!"

"Riwayatmu cukup sampal malam ini juga, Suto Sinting!" geram Sangkur Baiung sambil mengerjap-ngerjapkan matanya karena kelilipan pasir saat tersungkur tadi.

Suto Sinting tidak merasa gentar dengan ancaman tadi, justru ia balik mengancam mereka, "Jika kalian tak ingin ada yang cedera, jangan ganggu Dewi Angora lagi. Sampaikan kata-kataku ini kepada Tuanku Nanpongoh juga."

“Lancang betul kau berani Mengancam kami begitu, hah?!" sentak si Mulut Pstir. "Kau Perlu mendapat pelajaran pertama dari kelancangan mu itu. Haaaaah...!"

Sentakan mulut yang menganga lebar itu mengeluarkan cahaya biru petir.

Clap, clap, clap...!

Tiga cahaya biru petir melesat dan menghantam kearah Suto Sinting. Namun dengan satu kali lompatan kesamping, Pendekar Mabuk mampu menangkis cahaya itu dengan gerakan cepat bumbung tuaknya. Dub, dub, dub....! Tiga cahaya petir kenai bumbung tuak dan memantul balik dengan gerakan lebih cepat dan lebih besar. Zlap, zlap, zlap...!

“Mulut Petir, awaaas...!" seru Sangkur Balang yang melihat tiga sinar biru petir berukuran besar melesat ke arah si Mulut Petir.

Orang gemuk itu segera terperangah dan sentakkan kaki untuk melenting di udara, hindari tiga sinar biru besar tersebut. Tapi agaknya gerakan itu terlambat. Dua sinar memang lolos dari tubuhnya, tapi satu sinar sempat melesat naik dan mengenai pahanya.

Blaaar...! Blegaaar...! Dua sinar yang lolos menghantam dinding batu karang hingga timbulkan ledakan yang menggelegar.

"Aooh...!" Si Mulut Petir menyeringai kesakitan, jatuh terkapar di pasir dalam keadaan kaki kirinya hancur sampai batas pangkal paha. Orang gemuk itu mengerang panjang, makin lama suara erangannya semakin mengecil dan segera hilang bersama lenyapnya nyawa. Tubuh si Mulut Petir menjadi hitam hangus serta berasap bagaikan disambar petir lima kilatan. Bau daging hangus pun menyebar sejenak dan tercium oleh Suto dan Sangkur Balang.

Suara ledakan dan pekikan tadi membuat Dewi Angora tersentak kaget dari baringannya. Ia segera lari ke serambi loteng untuk melihat apa yang terjadi di pantai. Gadis itu terbelalak kaget melihat Suto Sinting ternyata sudah bertarung dengan dua utusan Tuanku Nanpongoh.

“Celaka! Dia dikeroyok dua orang? Mengapa dia tidak bilang padaku?! Tapi... oh, agaknya si Mulut Petir sudah tak berkutik tagi, tinggal Sangkur Balang. Sebaiknya aku tak perlu ikut campur. Kulihat saja kehebatannya dari sini!" Pikir gadis itu dengan hati berdebar-debar.

Melihat temannya tumbang tak bernyawa, Sangkur Balang menjadi murka. Maka dicabutlah senjatanya yang berupa tombak pendek tiga jengkal yang ujungnya ditutup sarung dari kayu itu, Sest...! Tombak kini dibuka tutupnya, ternyata ujung tombak itu memancarkan sinar merah seperti besi terpanggang api. Sinar merah bara tersebut membuat gerakan berkelebat kesana-sini dan indah dipandang pada malam hari seperti saat itu.

"Kali ini kau harus mati, Suto! Harus mati!"

Sangkur Balang melompat dengan tombak dihujamkan ke dada Suto Sinting. Tetapi Pendekar Mabuk cepat-cepat jongkokkan badan, lalu berguling ke belakang dengan kaki menendang ke atas. Akibatnya, tombak yang tidak mengenal sasaran itu membawa tubuh Sangkur Balang melayang di atas Suto. Tubuh itu menjdi sasaran tendangan kaki Suto yang bertenaga dalam cukup besar. Beehg!

Wuuus...! Brrruk...!

Tubuh Sangkur Batang terpental ke samping atas cukup tinggi. Ketika tubuh itu bergerak turun dengan cepat, keseimbangannya hilang dan akhirnya tubuh itu terbanting di atas pasir pantai. Sangkur Balang menyeringai karena jatuh terduduk. Tulang ekornya terasa ngilu sekali.

"Larilah! Pergi sana yang jauh. Aku tak akan mengejarmu!" kata Pendekar Mabuk dengan sikap kalem dan berdiri dengan kaki mgrenggang.

"Setan keropos kau! Jangan merasa bangga bisa membuatku begini!” geram Sangkur Balang dengan berusaha bangkit sedikit menggeloyor, tapi segera tegak kembali. "Terimalah senjataku ini, Setan Keriput! Hiaaah...!"

Wuuusss...! Tombak bertangkai tiga jengkal itu dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk. Tombak itu melesat dengan cepat. Pendekar Mabuk pun segera sentakkan napas, dan sentakan napas itu membuat tubuhnya melayang naik dengan sendirinya. Wuuut...! Jurus 'Layang Raga' digunakan untuk hindari tombak tersebut. Tapi di luar dugaan, ternyata tombak itu bisa menukik ke atas sendiri.

Weeesss...! Pantat Suto Sinting dijadikan sasaran ujung tombak itu. Tentu saja Pendekar Mabuk menjadi kaget dan secara gerak naluri tubuhnya berjungkir balik di udara dalam gerakan salto dua kali. Wuk, wuuk...! la pun segera mendarat di fepan sebatang pohon kelapa yang tumbang melengkung ke pantai.

Ternyata tombak itu bagaikan musuh yang haus mangsa, ia dapat berbelok sendiri dalam terbangnya dan melesat kembali ke arah Suto Sinting. Dengan cepat Suto Sinting melompat ke samping dan tombak itu akhirnya menancap di batang kelapa belakang Suto.

Jraaab...!

Suto baru saja mau menghantamnya dengan bumbung bambu biar tombak itu pecah, tapi tiba-tiba terdengar Suara suitan dari Sangkur Balang.

“Siluuut...!" Sangkur Balang memasukkan dua jarinya ke mulut biar bisa timbulkan suitan, Dan secara mengherankan tombak itu lepas sendiri dari batang kelapa yang langsung kering karena dihunjam tombak itu. Setelah lepas dari batang kelapa, tombak pun cepat kembali ke pemiliknya, lalu tertangkap kuat oleh tangan Sangkur Balang. Taab...!

Suto Sinting terkesima sejenak melihat tombak itu bagaikan bernyawa dan bisa kembali dengan panggilan khusus, Dalam hatinya, Suto Sinting pun membatin, "Aku tak boleh menghindar saja, harus menyerang. Dia sangat berbahaya bagi Dewi Angora ataupun bagi orang lain. Senjatanya harus kuhancurkan dan pemiliknya kupaksa lari dari sini. Ia akan kubuat jera mengganggu keluarga Dewi Angora!"

Tepat kata batin Suto itu selesai terucap, pekik kebuasan Sangkur Balang kembali terdengar dengan memanjang. Lelaki bertubuh kurus tinggi itu melayang dengan gerakan memutar cepat bagaikan baling-baling. Tombaknya dipasangkan kedepan dengan sewaktu-waktu dapat untuk merobek leher lawan.

“Heaaaaah...!"

Gerakan memutarnya yang cepat itu hampir saja membuat Suto Sinting tergores ujung tombak jika tidak segera melompat ke samping dan menghantamkan bumbung tuaknya ke arah sinar merah bara yang mempunyai titik dalam putaran itu. Buuhg...! Praak...! Blaaar...!

Hantaman bumbung sakti itu tepat kenai sasaran. Sinar merah bara itu pecah dan meledak, berarti senjata tombak terbang itu hancur dihantam bumbung. Namun ledakan yang timbul sangat diluar dugaan Suto Sinting. Ledakan itu cukup dahsyat, sempat mengguncangkan tanah pantai sekejap.

Tubuh Sangkur Baiang terlempar jauh, hampir mencapai sampan yang ditambatkan. Dan Suto Sinting tidak menyangka bahwa tubuh itu menjadi hancur bagian dadanya akibat terkena ledakan dahsyat tadi. Tentu saja Sangkur Balang terkapar disana tanpa nyawa lagi. Tubuhnya berasap sebentar, dan segera padam karena riak pantai mengguyurnya hingga menimbulkan suara; Jroooos...! Bagaikan besi panas dimasukkan ke dalam air.

Kejadian tersebut membuat Dewi Angora terpaku di tempat. Hatinya membatin, "Suto yang kukenal tidak mempunyai ilmu sedahsyat itu. Bumbung tuaknya tidak berguna sebagai senjta, dan tidak bisa dipakai untuk apa-apa. Buat tempat tuak pun harus ditambal dulu bawahnya agar tak bocor. Tapi bumbung tuak yang digunakan memukul Sangkur Balang itu alangkah hebatnya, bisa membuat senjata pusaka tombak bernyawa itu hancur bersama pemiliknya. Dulu Suto yang kukenal lari terbirit-birit menghadapi si Mulut Petir. Sekarang, Suto yang ini malah merobohkan kedua lawannya. Hebat sekali jurus-jurus dan gerakannya. Oh, aku semakin tambah menyesal, mengapa aku bertemu dan bercinta dengan Suto Sinting yang palsu? Mengapa tidak dengan yang ini saja?"

Mata Pendekar Mabuk memandangi alam sekelilingnya, mencari kemungkinan sisa bahaya yang masih tertinggal. Pada saat itu, Dewi Angora bergegas menghampiri Suto Sinting. Gadis itu melompat dari loteng dan menapakkan kakinya di tanah dengan tegak. Tubuhnya cepat melesat ke arah pantai. Matanya memandangi dua korban yang saling berjauhan itu.

"Tinggalkan rumah ini," kata Suto Siniing. "Klta cari tempat persembunyian yang lebih aman."

"Apakah menurutmu rumah ini sudah tak aman lagi?"

"Kemungkinan datangnya bala bantuan bisa saja terjadi. Daripada kau terjebak di sini, lebih baik kita hindari kemungkinan itu."

Dewi Angora tampak bimbang. ia memandang arah jauh, tempat kepergian Batuk Maragam dan Donggala. Suto Sinting mencekal tangan Dewi Angora,

“Lekas pergi dari sini!"

Gadis itu tak punya pilihan lain. Langkah Pendekar Mabuk diikutinya. Pikirnya, kemana pun pergi asal bersama Pendekar Mabuk yang ini, Ia pasti akan aman, Dalam hati Dewi Angora telanjur merasa kagum terhadap sikap si tampan ini yang punya perbedaan jauh dengan sikap si tampan yang mau digantung Peri Sendang Keramat itu. Jurus-jurusnya membuat Dewi Angora sempat berpikiran ingin mempelajarinya. Tapi pikiran itu untuk sementara disingkirkan, karena Ia masih butuh pemikiran lain yang lebih penting, menyelamatkan diri dari Tuanku Nanpongoh dan menentukan Sikap menghadapi nasibnya itu.

Beruntung sekali semakin malam semakin cerah. Cahaya purnama menyinari bumi, sehingga kegelapan malam mampu membuat jalan setapak terlihat, lubang dan batu pun terlihat, hingga langkah mereka tak samai terjeblos atau terantuk batu. Sinar rembulan itu pula yang membuat mata Suto Sinting segera menangkap sekelebat bayangan melintas dihutan sebelah kanannya. Bayangan itu tampak menuju kearahnya, sehingga Suto Sinting segera tarik tubuh Dewi Angora dan berkelebat kebalik pohon besar.

"Ada apa? Kenapa kita bersembunyi?" bisik Dewi Angora.

"Ada yang menuju kemarii" jawab Suto dalam bisik an pula.

“Siapa? Orangnya Tuanku Nanpongoh?"

"Kita lihat saja. Awas, kepalamu agak merunduk!" tangan Suto Sinting tak segan-segan menekan Kepala gadis itu. Rambut sang gadis masih diurai, belum dikepang lagi, sehingga angin malam sesekali menerbangkan rambut itu menutup wajahnya sendiri, Dewi Angora segera menggulung rambul asal jadi.

Sosok bayangan yang berkelebat itu berhenti dalam jarak delapan langkah dari pohon yang digunakan Suto bersembunyi. Sosok itu kini tampak jelas karena berada dalam sorotan sinar rembulan bebas dedaunan. Berambut putih dikonde tengah. Jenggot putih tak begitu panjang, pakaian kuning lusuh, membawa tongkat berujung bola licin dari besi, Badannya sedikit bungkuk. Dan Suto sangat mengenali sosok itu yang tak lain adalah si Bongkok Sepuh, tokoh sakti bekas kekasih gelap Bidadari Jalang semasa Bidadari Jalang belum berpindah ke aliran putih. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Maha Sakti).

"Keluarlah, Suto! Mengapa harus bersembunyi disana?"

Seruan Bongkok Sepuh membuat Suto Sinting tersenyum. Lalu dengan menggandeng tangan Dewi Angora, Suto Sinting pun segera keluar dari persembunyiannya. Ia membaur dalam cahaya rembulan yang tak terhalang dedaunan itu.

"Kusangka orang lain. Aku perlu sembunyikan gadis ini!" kata Suto kepada Bongkok Sepuh.

Tokoh tua itu tersenyum kecil. "Aku sengaja mencarimu selama dua hari ini.

"Untuk apa?"

"Ada yang lebih penting kau perhatikan daripada gadismu itu."

“Jelaskaniah, Ki Bongkok Sepuh."

"Aku mendapat undangan untuk menyaksikan hukuman gantung atas dirimu. Aku tak percaya, sehingga aku mencoba mencarimu di mana-mana. Sampei tadi malam aku tidak bertemu denganmu, sehingga kesimpulanku mengatakan bahwa undangan Peri Sendang Keramat itu memang benar. Suto Sinting akan dihukum gantung. Karenanya aku bergegas menuju ke Jurang Lindu untuk temui gurumu. Tapi ternyata tadi kulihat kau berlari membawa gadis ini. Sekarang bertemu denganku di sini. Aku jadi tak mengerti, permainan apa sebenarnya yang kau jalankan bersama Peri Sendang Keramat itu, Pendekar Mabuk?"

“Aku tidak ikut dalam permainan itu, Ki Bongkok Sepuh. Justru aku mencari kebenarannya. Barangkali kau pun berupaya mencari kebenaran dari semua yang kau dengar tentang diriku, Ki Bongkok Sepuh."

Bongkok Sepuh yang dulu dikenal dengan nama Setan Arak itu manggut-mangut. "Ya, banyak hal yang kudengar tentang dirimu. Semuanya kabar yang memalukan. Adipati Kumitir mencarimu juga, karena menuduhmu mencuri istrinya dan dibawa lari entah ke mana. Kudengar pula, kau memperkosa anak seorang petani miskin yang kecantikannya tidak seberapa itu, Ada kabar lagi yang kudengar tentang dirimu menodai murid Raja Maut yang bernama Srimurti."

"Apa...?!" Suto Sinting terkejut mendengar berita terakhir itu, "Srimurti murid Raja Maut ternoda?!"

"Raja Maut sekarang sedang mencarimu. Tapi mungkin dia sudah mendapat undangan dari Peri Sendang Keramat, sehingga barangkali Raja Maut sedang menuju ke sana. Karena acara penggantungan dirimu akan dipercepat, esok siang pelaksanaan hukuman gantung itu akan dilakukan Peri Sendang Keramat. Apakah kau baru saja lolos dari Bukit Rongga Bumi?"

Suto Sinting menarik napas dalam-dalam. Dewi Angora memandanginya dengan hati iba. Ia pun membatin, "Kasihan pemuda ini. Namanya menjadi cemar gara-gara ulah seseorang yang mirip dengannya."

"Ceritanya begini, Ki Bongkok Sepuh..." Suto Sinting pun menceritakan segalanya secara singkat dan lengkap. Dewi Angora menimpali, ikut memperkuat cerita Suto Sinting. Akhirnya Bongkok Sepuh pun berkata,

"Kalau begitu, bawalah gadis itu ke pondokku. Barangkali kita bisa bicara lebih banyak lagi di sana!"

Tawaran itu tak ditolak oleh Suto, karena ia memang mencari tempat untuk menyembunyikan Dawi Angora. Pondok itu terletak di lereng bukit, di dalam hutan yang lebat dan sukar dijelajahi orang jika bukan orang yang tinggal di dalamnya. Suto Sinting bisa mencapai tempat itu dengan mudah, karena Bongkok Sepuh yang membimbingnya.

"Dewi, istirahattah dan jangan berpikir apa-apa. Kau butuh ketenangan. Di sini kau aman, ada aku, juga ada Ki Bongkok Sepuh. Tak ada orang yang tahu tempat ini," kata Suto Sinting menenangkan gadis yang tampak letih itu.

"Kau tak akan pergi, bukan?" Dewi Angore menampakkan kecemasannya.

Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum menawan. Maksudnya membuat yakin dan tenang hati gadis itu. Tapi yang terjadi adalah senyuman mendebarkan hati sang gadis, hingga sang gadis pun berandai-andai dalam lamunan menjelang tidurnya.

Percakapan yang terjadi antara Suto Sinting dengan Bongkok Sepuh sangat serius. Mereka bagaikan bicara dari hati ke hati. Bongkok Sepuh tampak memikirkan sekali nasib Suto Sinting yang menjadi cemar karena ulah seseorang.

"Memang ada beberapa tokoh sakti yang bisa mengubah diri menjadi diri orang lain. Tapi biasanya jika sudah sampai mau digantung seperti itu, Ia pasti tampakkan wajah aslinya," kata Bongkok Sepuh. "Tapi agaknya orang itu tidak mau tampakkan wajah aslinya walau sudah tahu menjadi tawanan Peri Sendang Keramat dan esok akan digantung."

"Barangkali pengaruh mandi di air sendang itulah yang membuat Ia tak bisa berubah ke wujud aslinya, Ki Bongkok Sepuh."

"Ya, memang bisa jadi begitu. Tapi kita lihat nanti siapa sebenarnya yang digantung itu."

“Bagaimana menurutmu kalau aku hadir di acar penggantungan itu, Ki?”

"Kau harus berpenampilan beda. Pakaianmu ganti, kalau perlu pakailah tudung agar wajahmu tidak terlalu nyata dilihat orang. Hmm... aku punya jubah hitam, dulu sering kupakai ke mana-mana. Tapi sekarang aku tak betah memakai jubah hitam itu. Kau bisa memakainya sebagai pelapis pakaianmu itu."

“Mengapa aku harus menyamar, Ki?"

"Supaya Peri Sendang Keramat merasa puas, telah menggantung Pendekar Mabuk. Tapi sebenarnya terkecoh oleh kebodohannya sendiri!"

"Baiklah. Jika begitu aku esok akan berangkat ke Bukit Rongga Bumi."

“Lalu bagaimana dengan gadis itu?"

"Blarah di sini dulu bersamamu, Ki Bongkok Sepuh. Aku titip dia.”

Bongkok Sepuh bersungut-sungut dalam. "Sejak kapan aku jadi petugas penitipan gadis...?1" dan Suto Sinting hanya tersenyum geli.

* * *

ENAM
Atas pertimbangan pribadi, Suto Sinting memtuskan rencananya untuk menemui gurunya lebih dulu. Ia harus segera melesat ke Jurang Lindu dan bicara tentang masalahnya kepada si Giia Tuak. Jika perlu juga bicara dengan Bibi Gurunya: Bidadari Jalang. Karenanya, Sulo Sinting pamit meninggalkan pondok ki Bongkok Sepuh itu pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit dan menyinari raut wajahnya yang sedang dikecam orang banyak itu.

Namun ketika matahari mulai menyinari bumi, langkah Suto Sinting terhenti pula oleh suara tawa yang mengikik-ngikik bagaikan kuntilanak kesiangan. Suara tawa itu mengundang perhatian Suto Sinting karena ia mendengar namanya disebut-sebut. Maka bergegaslah ia menuju kerimbunan semak di sebelah barat.

"Hi, hi, hi, hi, hi...! Aku tahu kau diam saja karena terlalu letih, Suto. Kita istirahat dulu kalau memang kau letih! Hi, hi, hi,..!"

Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, masih cantik dan berbadan sekal, menggairahkan. Perempuan itu sedang memeluk pohon, sesekali menciuminya dengan pakaian compang-camping karena dilepas dengan tergesa-gesa. Sebagian pahanya kelihatan tanpa penutup lagi. Mulus dan putih. Rambutnya terurai dengan belahan dada terbuka sebagian. Perempuan itu selalu berbicara dengan pohon dan mengusap-usap bagaikan penuh gairah kemesraan yang dibanggakan.

“Nanti setejah istirahat, kita berlayar lagi ya, Suto...?! Kau jangan pergi meninggalkan aku lagi, nanti aku sedih dan tak bisa tertawa...," pahon itu diajaknya bicara. Suto Sinting yang mengintip dari celah ilalang merasa heran dan kasihan. Perempuan itu menyangka pohon tersebut adalah Suto Sintung yang digandrunginya.

“Ini harus dihentikan. Kasihan dia. Bisa rusak tubuhnya karens digosok-gosokkan ke pohon terus," pikir Suto Sinting, lalu ia muncul dari balik semak dan menyapa dengan suara lembutnya.

“Dia bukan Suto. Dia hanya aebatang pohon."

"Ooh...?!" perempuan cantik itu terkejut dengan mulut melongo ketika memandang Pendekar Mabuk. Ia juga memandangi pohon itu dan berkata, “Memang itu pohon! Tapi kaulah yang kulihat disini, Suto! Ooh... sayukurlah, akhirnya kau datang juga, Sayangku...!”

Perempuan itu menghamburkan pelukan. Suto Sinting mundur beberapa tindak. Tap! perempuan itu mengejar dan akhirnya Suto tertangkap. Ia dipeluk dan diciuminya. Suto Sinttng risi, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit menyentakkan tubuh perempuan yang belum dikenalnya itu.

"Mengapa kau sekasar itu, Suto Sinting? Oh, jangan begitu, Sayang... dekatlah kepadaku. Peluklah aku selama-lamanya, seperti janjimu waktu kita berdua masih berada di istana kadipaten, Sayang...!"

Suto Sinting melompat menjauh. Lalu batinnya berkata, "Berarti perempuan ini adalah Gusti Permeswari Prananingsih? Oh, kasihan sekali. Ia dibuat gila oleh pemuda yang serupa denganku itu. Ia tidak tahu siapa pemuda itu sebenarnya."

Prananingsih melangkah gontai dekati Suto Sinting. “Ayolah, Suto-ku sayang... dekatlah kemari. Kita sudah lama tak jumpa. Kucari kau ke mana-mana tapi tak ada. Aku rindu padamu, Suto-ku sayang..."

Suto Sinting diam kala didekati Prananingsih. Tiba-tiba dua jari tangannya menotok bagian leher istri adipati itu, Teeb...! Dan sang istri adipati pun terkulai lemas tak berdaya. Suto Sinting segera menyambar tubuh itu agar tak sampai jatuh ke tanah.

"Apa yang harus kulakukan setalah kutotok begini?" pikirnya. "Hmm... agaknya aku harus kembali kepondoknya Ki Bongkok Sepuh untuk menitipkan perempuan ini. Setelah acara di Bukit Rangga Bumi selesai, perempuan ini harus kukembalikan kepada sang Adipati?"

Suto Sinting segera berkelebat kembali ke pondok si Bongkok Sepuh, Tapi nasib sial menyertainya terus. Di perjalanan di hadang oleh tiga Orang berkuda, Satu di antaranya adalah Yosodigdaya, perwira Kadipaten Kumitir yang ditugaskan menangkap Suto dan membewa pulang Gusti Permeswari Prananingsih. Suto Sinting sempat cemas ketika tahu siapa orang yang menghadangnya kala itu. Hatinya membatin,

"Sial! Pasti dugaannya semakin kuat tentang diriku, karena aku kepergok sedang membawa Prananingsih! Yah, apa boleh buat. Harus kuhadapi dengan tabah dan bijaksana sebisa mungkin!"

Yosodigdaya melompat turun dari kudanya. Wuuut...! Jleeg...! Dua orang anak buahnya mengikuti gerakan itu, turun dari kudanya. Kini ketiganya melangkah mendekati Suto Sinting yang memanggul tubuh Prananingsih sambil membawa bumbung tuak di pundak kanannya,

"Akhirnya kau tertangkap basah, Suto Sinting!" geram Yosodigdaya.

“Kau salah sangka, Yosodigdaya. Justru aku baru saja menemukan gustimu ini dalam keadaan gila. Aku menotoknya supaya ia tidak salah sangka padaku, karena aku dianggap Suto yang melarikan dirinya dari kadipaten."

"Karena kenyataannya memang kaulah orangny! Kau mau mengelak bagaimana lagi jika bukti sudah jelas ada di tanganmu!" sentak Yosodigdaya dengan mata memandang berang.

“Kau sulit diberi pengertian, Yosodigdaya! Sekarang apa maumu, terserah! Aku akan ikuti apa kemauanmu,"

"Serahkan gustiku itu!"

"Ambillah!"

Wuuus...! Tubuh perempuan itu dilemparkan oleh Suto Sinting bagaikan melemparkan guling saja, Tubuh itu melayang dan menerjang Yosodigdaya. Bruuss...! Yosodigdaya tak siap, dan akhirnya ia jatuh diterjang tubuh itu. Ia tertindih tubuh Prananingsih. Kedua anak buahnya memandang dengan bengong dan menjadi takut karena Yosodigdaya seorang perwira berani bertumpuk raga dengan istri adipatinya.

"Perwira, lekas bangun! Kalau Kanjeng Adipati melihat, kau bisa dipancung dianggap serong dengan Gusti Permesweri!"

"Serong matamu!" sentak Yosodigdaya dengan jengkel sekali. “Apa kau tak tahu kalau tubuh ini dilemparkan kepadaku secara tiba-tiba? Aku jatuh! Kalian jangan melongo saja! Angkat tubuh Gusti Permeswari dan tangkap Suto Sinting!"

Seorang anak buah mengangkat tubuh Prananingssih, seorang lagi segera menyerang Suta Sinting dengan tombaknya. Ia melompat cepat dengan tombak dan dihunjamkan ke dada Suto Sinting, Orang itu tahu siapa lawannya, sehingga dalam satu gebrakan saja Ia berhasil dibuat terjungkal oleh Suto Sinting, lehernya terlipat di tanah dan berteriak-teriak meraung dalam keadaan tetap nungging.

"Aaaoouh... tolooong...! Uuuuhh...! Tolong, leherku pataaah...!"

Yosodigdaya yang sudah terbebas dari tubuh Prananingsih itu segera hampiri anak buahnya itu dan menendang pantatnya dengan kuat. Duk...! Gusraak...! Orang itu terjungkir dan jatuh telentang di semak kering. Raungan panjangnya tak dihiraukan olehYosodigdaya. Perwira berkumis lebat itu segera hampir Suto Sinting dan mencabut pedangnya, Sreaang...!

"Kau mau menyereh menjadi tawananku atau harus kubuat cacat lebih dulu?!" hardik Yosodigdaya.

"Aku tidak bersalah, Aku tak mau jadi tawanan. Sebaiknya bawalah pulang Gusti Permeswari itu dan lepaskan totokannya. Kurasa kau bisa melepaskannya karena aku menotoknya ditempat yang mudah terlepas kembali."

"Setan! Malah kasih nasiha! Kau benar-benar memuakkan! Heaaah...!"

Yosodigdaya melompat cepat dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi Suto Sinting melompat mundur dua tindak, lalu jarinya menyentil ke arah Yosodigdaya. Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' yang mempunyai kekuatan tenaga dalam seperti tendangan kuda itu dilepaskan. Tenaga yang terlepas dua kali tepat mengenai ulu hati dan pusar Yosodigdaya.

"Heeegh...!" Yasodigdaya terpental sambil mengerang dengan suara tartahan. Tubuhnya yang besar melayang dan jatuh menindih tubuh orang yang merintih karena tulang lehernya terkilir itu. Buuuhg...!

"Wadoow biyuung...!" jerit orang itu semakin kesakitan, karena betis Yosodigdaya yang keras menghantam wajahnya, tubuh Yosodigdaya menimpa perutnya. Orang itu jadi sengsara sekali nasibnya.

Seorang yang tadi meletakkan tubuh Prananingsih dipelana kuda segera maju menyerang Suto dengan mencabut tombaknya. Tetapi Suto Sinting segera menudingkan telunjuknya sambil berseru menggertak,

"Maju satu langkah lagi, hilang nyawamu!"

Orang itu cepat-cepat hentikan langkahnya. Wajahnya yang semula menegang penuh kemarahan jadi mengendor. Senyumnya terbias kaku dan canggung sekali. Padahal Suto Sinting hanya menggertaknya karena tak ingin sakiti orang yang ikut-ikutan salah paham itu. Suto Sinting jadi ingin tertawa melihat orang itu mundur sambil angkat tangan sepundak, senyum orang itu sangat lucu bagi hati Pendekar Mabuk.

"Silakan maju kalau kau mau nekat!" gertak Suto lagi.

Orang itu geleng-gelengkan kepala. "Kalau pakai kehilangan nyawa, aku tak sanggup...!" katanya sesampainya didepan kuda tunggangannya sendiri.

Yosodigdaya berusaha bangkit tapi roboh keWajahnya pucat, dan la memuntahkan isi perutny hingga mengotori kaki orang yang tadi ditindihnya itu. la bukan muntah darah, hanya muntah isi perutnya saja! Apa yang tadi atau kemarin dimakan keluar kembali dalam keadaan perut mual, tubuh lemas, dan napas terasa sesak.

Suto Sinting segera berseru, "Kalau kau ingin tahu siapa orang yang mencuri Gusti Permeswari-mu datanglah ke Bukit Rongga Bumi nanti siang! Orang itubsedang menjalani hukuman gantung di sana! Kalau kalian tak datang, kau tak akan tahu siapa yang bersalah sebenarnya!"

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Suto Sinting segera berkelebat pergi meneruskan rencananya, menuju Jurang Lindu untuk temui gurunya, Yosodigdaya tak bisa mengejar karena keadaannya sangat lemah. Pukulan 'Jari Guntur-nya Suto Sinting membuatnya jera menghadapi pemuda tampan itu. Tapi hatinya masih gemas dan ingin membalas.

“Bawa pulang Gusti Permeswari!" katanya kepada kedua anak buahnya itu. "Panggil Rahutama dan Guntara, Suruh mereka susul aku di Bukit Rongga Bumi!. Kita akan lihat kenyataan yang sebenarnya!"

"Perwira...!" kata prajurit yang tadi tak jadi menyerang Suto, "Jangan datang ke Bukit Rongga Bumi. Itu wilayah kekuasaan Peri Sendang Keramat!"

“Tak peduli kekuasaan siapa, aku ingin turuti kemauan si bangsat tadi!" sentak Yosodigdaya yang masih jengkel atas kekalahannya itu.

Perjalanan Suto yang terburu-buru itu kali ini sengaja dipotong oleh sesosok tubuh kurus dan tinggi berjubah putih kusam. Jenggotnya panjang, rambutnya juga panjang warna abu-abu. Tongkatnya dari akar meliuk-liuk seperti ular. Tokoh yang menghadang Suto Sinting kali ini sangat dikenal oleh Pendekar Mabuk. Orang itu tak lain adalah Prasonco yang dikenal dengan nama Raja Maut.

"Raja Maut," sapa Suto Sinting dengan baik-baik, sekalipun ia sudah mengetahui maksud penghadangan Raja Maut kali ini, pasti ada hubungannya dengan berita yang disampaikan Bongkok Sepuh kepada Suto itu. Suto Sinting sedikit tak enak hati walau masih bisa bersikap tenang. “Rupanya ada sesuatu yang amat penting sehingg kau menemuiku dengan sangat mendadak, Raja Maut?!"

"Benar. Ada perkara yang harus kita selesaikan, Suto!" kata Raja Maut dengan suara sedikit sumbang. Mungkin ia memendam rasa marah atas nasib muridnya; Srimurti, yang mengaku telah di nodai oleh Suto Sinting.

“Aku akan selesaikan secara baik kalau memang kita punya masalah. Katakan saja apa masalahnya, Raja Maut."

“Pertama aku ingin tahu, apakah kau kali ini berhasil lolos dari tangan Peri Sendang Keramat? Sebab setahuku Peri Sendang Keramat mengirim undangan padaku agar menghadiri pelaksanaan hukum gantung atas dirimu hari ini juga. Tapi mengapa kau masih berkeliaran di sini? Apakah kau lolos dari cengkeramannya, Suto Sinting?"

“Tidak,” jawab Suto Sinting sambil tersenyum, "Aku tidak pernah tertangkap oleh Peri Sendang Keramat, dan belum pernah dijatuhi hukuman apa-apa olehnya. Perlu kau ketahui, bahwa aku baru saja dari pondok Ki Bongkok Sepuh atau si Setan Arak. Kau bisa tanyakan kepadanya, Raja Maut,"

Tokoh tua yang biasanya ramah kepada Suto Sinting itu mulai tampak dihinggapi kebimbangan. Pandangannya tertuju tajam ke arah Suto Sinting, tapi mulutnya masih bungkam untuk beberapa saat, menandakan ada sesuatu yang ingin dikatakan tapi harus dipertimbangkan masak-masak.

Suto Sinting mendahului membuka kebisuan diam lara mereka dengan berkata, “Apakah persoalanmu itu menyangkut tentang murid tunggalmu, Srimurti?"

"Benar."

"Aku juga mendengarnya dari Bongkok Sepuh. Aku sempat terkejut."

"Mengapa harus terkejut?" sindir Raja Maut.

"Karena aku tidak pernah melakukannya."

"Kau berlagak terkejut untuk mengelak dari tuduhan? Hmm...! Srimurti bukan gadis buta. Ia bisa membedakan siapa Suto Sinting dan siapa yang bukan, Suto Sinting."

“Jadi kau tetap yakin bahwa akulah yang menodai murid tunggalmu itu?"

"Aku hanya mengharapkan tanggung jawabmu. Lebih dari itu tidak!" tegas Raja Maut dengan nada penuh wibawa.

"Tanggung jawab seperti apa? Kau maksudkan, aku harus mengawini Srimurti?"

"Sudah sepantasnya begitu, karena kau telah menodainya, Srimurti tidak keberatan kau kawini. Dia sudah bicara jujur padaku."

Suto Sinting tertawa kecil. "Raja Maut, kalau memang itu perbuatanku, aku tak akan mengelak sedikitpun. Aku akan sanggup mengawini Srimurti, tapi karena bukan perbuatanku, maka aku menolak untuk dituntut tanggung jawab."

Raja Maut melangkah ke samping dengan senyum sinis. "Kali ini rimba persilatan akan dibuat gempar oleh adanya sikap seorang pendekar tersohor yang berbuat nista terhadap diri seorang gadis! Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan dibuat malu oleh tingkah lakumu yang tak senonoh itu, Suto Sinting!"

"Sejak kapan kau tidak percaya lagi denganku, Raja Maut?"

"Sejak kau menodai muridku!" jawabnya tegas dan sedikit menyentak. Agaknya kesabaran Raja Maut kian menipis.

Suto Sinting hati-hati dalam bersikap, karena ia tidak ingin terjadi pertarungan berdarah hanya karena kesalahpahaman itu. Dengan sabar dan kalem Suto pun berkata,

"Ada baiknya kalau kita sama-sama ke Bukit Rongga Bumi untuk melihat apakah di sana ada Suto Sinting kembar atau tidak. Jika tidak, berarti akulah yang berbuat nista itu. Jika ada, berarti dialah orangnya, Raja Maut."

“Kau hanya mengulur waktu dan mencari dalih untuk lepas tanggung jawab! Aku terpaksa ambil kekerasan untuk memaksa tanggung jawabmu, Suto Sinting!"

“Jangan terpancing fitnah, Raja Maut. Fitnah hanya akan memecahkan persahabatan kita saja!"

“Aku tak butuh saranmu, Pendekar Jalang! Heaaahh...!"

Raja Maut berkelebat cepat sekali dan menerjang Suto Sinting. Telapak tangannya dihantamkan ke Suto Sinting. Tetapi dengan cekatan Suto Sinting juga menghantamkan telapak tangan kirinya hingga kedua telapak tangan itu saling beradu kuat.

Duaaaaaarrrr...!

Sinar merah terang memercik sekejap dari peraduan dua telapak tangan itu. Adu kekuatan tenaga dalam membuat suara ledakan yang menimbulkan gelombang panas menghentak di tubuh mereka. Dua-duanya sama-sama terpelanting ke belakang, sama jauhnya, sama jauhnya, sama pula lukanya.

Raja Maut melelehkan darah dari hidungnya, Suto Sinting juga melelehkan darah dari hidung. Agaknya kekuatan mereka sama-sama besar, sehingga keduanya sama-sama menjadi korban kesalahpahaman itu.

"Kumohon hentikan amarahmu, Raja Maut!" pinta Suto Sinting masih ingin mengalah.

Tetapi Raja Maut rupanya sudah telanjur marah. Sehingga ia tidak berkata apa-apa melainkan segera lepaskan serangan kembali kearah Suto. Kali ini ia menyerang dengan cara bergerak cepat bagaikan menghilang dan tahu-tahu sudah berada di belakang Suto Sinting. Slaaap...! Suto Sinting cepat palingkan wajah, tepat pada saat itu tongkat Raja Maut berkelebat menghantam kepalanya.

Wuuus...! Traak...!

Suto Sinting putar tubuhnya bersama ayunan bumbung tuaknya. Kedua benda itu saling berbenturan dan kembali timbulkan ledakan lebih dahsyat dari yang pertama, Blegaaar...!

Tongkat itu berisi tenaga dalam penuh. Bumbung tuak Suto Sinting juga berisi tenaga sakti penuh. Benturannya membuat kilatan cahaya merah lagi yang lebih lebar dan lebih terang dari yang tadi. Keduanya kembali terjungkal. Sama-sama terpelanting jatuh dengan telinga berdarah dan hidung pun makin berdarah. Luka itu diderita sama persis, sehingga sukar membedakan mana yang menang sebenarnya. Dalam waktu singkat. keduanya pun sama-sama cepat berdiri dan bersiap menyerang ataupun menerima serangan.

Rupanya Raja Maut lebih bernafsu menyerang demi mempertahankan tuntutan muridnya, sehingga ia melompat lebih dulu dengan tongkat siap disodokkan. "Heaaaaah...!"

Suto Sinting pun segera jejakkan kaki dengan pelan, tapi tubuhnya melayang cepat menyongsong tubuh Raja Maut. Ia siap menghantamkan bumbung tuak kearah tongkat tersebut. Namun sebelum mereka saling beradu kekuatan, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dengan sangat cepat. Wuuuutt...! Tahu-tahu bayangan itu tiba di pertengahan jarak antara Suto Sinting dengan Raja Maut. Kedua kaki orang itu menendang kekanan-kiri secara bersamaan. Tongkat terpental bersama tubuh Raja Maut yang terjungkir balik ke belakang, sedangkan bumbung tuak Pendekar Mabuk tidak ditendangnya melainkan sedikit dihindari dan kaki orang itu masuk ke pundak Suto Sinting. Dees...!

Wuuussss...!

Suto Sinting terpental ke belakang bagaikan diseruduk lima ekor banteng. Hampir saja ia terbanting kepohon karena kerasnya tenaga penendang tad.

Kejap berikut sesosok tubuh berjubah kuning dan bercelana biru tampak berdiri di pertengahan jarak Pendekar Mabuk dengan Raja Maut. Ketika kedua orang yang saling tumbang tadi bangkit berdiri dengan kekuatan masih sepenuh tadi, Raja Maut segera sipitkan matanya menatap sosok berjubah kuning itu. Kemudian terdengar suaranya menggeram penuh kejengkelan.

“Batuk Maragam...! Setan kau!"

“Uhuk, Uhuk, uhuuuk...! Ihik, Ihik, Ihik...!" Batuk Maragam tidak menanggapi cacian itu melainkan justru terbatuk-batuk dengan dua nada yang terdengar lucu bagi seseorang yang memperhatikan dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Camar Sembilu yang datang bersama Batuk Maragam.

“Paman...," sapa Suto Sinting sambil mendekatinya setelah itu baru meneguk tuaknya beberapa kali.

Batuk Maragam pandangi Suto Sinting dan Raja Maut secara bergantian. Lalu, terdengar la berkata kepada kedua orang itu. "Untuk apa kalian lakukan pertarungan ini?"

Batuk Maragam yang sudah mengenal Raja Maut itu menatap dengan mata lembut dan bibir dihiasi senyum tipis sekali. "Kenapa kau menyerang anak muda ini, Prasonco? Apakah kau belum tahu dia muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang?"

“Justru karena aku tahu dia Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak, maka aku menuntut tanggung jawabnya dengan cara keras. Karena sudah kucoba dengan cara baik-baik tapi ia tetap ingin mengelak dari tanggung jawabnya yang telah menodai murid tunggalku: Srimurti!"

Senyum Batuk Maragam kian lebar, berkesan cengengesan, "Nasibmu hampir sama denganku, Prasonco! Aku juga hampir saja marah kepada anak muda itu, karena kusangka dialah yang membuat keponakanku hamil. Ternyata kita sama-sama terkecoh oleh tindakan seseorang yang mempunyai ciri-ciri sama persis dengan Pendekar Mabuk itu!"

“Aku tak paham maksud bicaramu, Batuk Maragam!” geram Raja Maut dengan pandangan matanya masih berkesan angker.

“Kali ini kita para tokoh tua dihadapkan pada satu persoalan menjengkelkan. Ada dua Pendekar Mabuk; yang satu asli, yang satu palsu. Yang asli ada di sini, yang palsu ada di Bukit Rongga Bumi dalam tawanan Peri Sendang Keramat!"

Raja Maut melangkah tegas mendekati Batuk Maragam dan bertanya, "Dari .ana kau tahu kalau yang ada di sini adalah yang asli?"

"Apakah kau tak bisa melihat tanda merah di keningnya?" bisik Batuk Maragam dengan tersenyum. Senyum itu tiba-tiba hilang karena ia harus terbatuk-batuk sampai membungkuk-bungkuk.

Raja Maut tak pedulikan batuknya orang itu, tapi matanya lebih penting tertuju pada noda merah kecil di kening Suto. Raja Maut bisa melihatnya, karena ilmunya tinggi.

Terdengar lagi suara Batuk Maragam kepada Raja Maut, "Warna merah itu masih cerah. Kalau dia sudah pernah tidur dengan perempuan, maka warna merah menjadi keruh. Apakah kau masih belum paham dengan tanda penghormatan dari Kartika Wangi?"

Raja Maut bagaikan terpojok. Mulutnya bungkam. Ketegangannya mulai mengendur, ia melangkah jauhi mereka dan berdiri di bawah pohon, merenungi segala tindakan dan rencananya.

Sementara itu, Suto Sinting beranikan diri bertanya kepada Batuk Maragam. "Paman, bagaimana dengan Ki Lurah Cakradayu? Apakah...!"

“Cakradayu selamat!" sahut Batuk Maragam. "Tapi ibu Dewi Angora tak tertolong bersama kedua adiknya."

"Kami terlambat datang," timpal Camar Sembilu.

Batuk Maragam berkata, "Damaikan hati kalian, aku akan mengejar Tuanku Nanpongoh ke Pulau intan bersama Camar Sembilu"

Raja Maut palingkan wajah memandang Batuk Maragam, la mendekati sambil berseru, "Ada apa dengan sahabatku; Lurah Cakradayu?"

Batuk Maragam menjelaskan secara singkat tentang keganasan Tuanku Nanpongoh itu. Lalu, Raja Maut berkata, “Aku di pihakmu, Brajamusti! Jangan lakukan penyerangan ke Pulau Intan saat-saat sekarang. Tuanku Nanpongoh pasti siapkan benteng bernyawa untuk menahan kedatangan kita. Cari saat yang baik untuk lakukan pembalasan yang keji itu! Sekarang dimana anak gadis Lurah Cakradayu?"

"Ku titipkan pada Setan Arak alias si Bongkok Sepuh!" jawab Suto Sinting karena Batuk Maragam mandangnya meminta jawaban pula.

"Mengapa kau titipkan di sana?"

“Mulut Petir dan Sangkur Balang menyerang rumah paman Batuk Maragam. Mereka memang bisa ku lumpuhkan, tapi aku khawatir akan ada yang lainnya menyusul dan mengambil Dewi Angora. Jadi kuselamatkan dia, kusembunyikan di pondok si Setan Arak itu!"

“Aku ingin ke sana untuk menemuinya!" kata Raja Maut.

"Aku tetap akan ke Pulau Intan. Siapa tahu Tuanku Nanpongoh baru sampai Selat Makam, aku bisa menggempurnya disana! kata Batuk Maragam. "Camar Sembilu, kita berangkat sekarang!"

"Baik!" jawab Camar Sembilu bersikap patuh dengan harapan dapat diangkat menjadi murid Batuk Maragam yang bernama asli Brajamusti itu.

"Apakah tak ada yang berminat hadiri penggantungan di Bukit Rongga Bumi?!" ucap Suto membuat mereka berhenti dari gerakan masing-masing dan saling pandang dengan kebimbangan hati.

* * *

TUJUH
Bukit Rongga Bumi bertentangan arah dengan Jurang Lindu. Menurut perkiraan Suto Sinting, ia tidak akan mencapai Bukit Rongga Bumi kalau harus ke Jurang Lindu menemui gurunya lebih dulu. Sekalipun Pendekar Mabuk pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang mampu berlari cepat melebihi kecepatan anak panah itu, tetap saja ia akan tiba di Buki Rongga Bumi menjelang matahari tenggelam jika bertolak dari Jurang Lindu hari sudah siang.

"Aku akan ketinggalan acara hukuman gantung itu jika harus ke Jurang Lindu. Waktunya sudah terlalu siang. Sebaiknya aku langsung saja ke Bukit Rongga Bumi biar tidak ketinggalan acara penggantungan pemuda kembaranku itu!" pikir Suto sambil membelokkan arah pelariannya.

Agar tidak terhalang hambatan lagi Suto Sinting berlari melalui pohon demi pohon. Dengan begitu kemungkinan dihadang orang sangat kecil. Tapi siapa orang yang bisa hindari hambatan yang sudah terjadi dalam garis hidupnya? Sekalipun Pendekar Mabuk telah gunakan jalan pohon, tetap saja langkahnya terhambat oleh sesuatu yang membuatnya terus berhenti. Sesuatu yang menghentikan langkah itu tak lain adalah terilhatnya sebuah pertarungan dikaki sebuah bukit.

Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa melewatkan begitu saja jika melihat pertarungan. Pasti ia dekati dan ia perhatikan jurus-jurusnya. Karena itu, Pendekar Mabuk sedikit belokkan arah menuju kaki bukit untuk melihat pertarungan yang terjadi disana.

"Oh...?! Ternyata dia yang bertarung?!" Suto Sinting terkejut dan membatin kata dengan tegang. Ia semakin lebih mendekati daerah pertarungan itu, maka semakin jelas matanya memandang siapa-siapa yang bertarung di sana.

Wanita cantik berwajah liar, rambutnya acak-acak-an, pakaiannya seperti terbuat dari kulit warna hitam. Siapa lagi wanita yang punya ciri seperi itu kalau bukan Angin Betina, salah satu wanita yang tidak pernah rela jika Suto Sinting diganggu orang dan bertekad ingin melindungi Suto Sinting dengan mengorbankan nyawanya. Rasa cinta di hati Angin Betina itulah yang membuat wanita itu berani pertaruhkan nyawanya demi keselamatan sang pendekar tampan itu.

Tetapi siapa lawan Angin Betina kini? Suto Sinting sempat lupa dengan perempuan berusia lima puluh tahun yang masih tampak cantik dengan rambut disanggul dan beruban tipis. Tubuhnya yang kurus masih tampak segar dan punya bentuk dada yang masih tergolong menantang. Perempuan berjubah hitam itu tak lain adalah Nyai Gandrik, penguasa Pulau Lanang yang menjadi bibinya Lancang Puri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kitab Lorong Zaman). Suto Sinting teringat nama itu setelah pertarungan tersabut terhenti sejenak dan Angin Betina berseru dengan berangnya,

"Sampai mati pun kau tak akan tahu di mana Kitab Lorong Zaman itu berada, Nyai Gandrik!"

Barulah Pendekar Mabuk membatin, “Ooo... iya! Dia adalah bibinya Lancang Puri yang bernama Nyai Gandrik, tokoh sesat dari Pulau Lanang...!" sambil kepala Suto Sinting manggut-manggut.

Terdengar suara Nyai Gandrik berucap dengan nada dingin, “Kalau begitu aku terpaksa harus melenyapkan nyawamu, Perawan Liar! Kau sekarang sendirian! Tak akan ada yang memihakmu lagi, sebab Pendekar Mabuk sebentar lagi akan digantung oleh Peri Sendang Karamat. Kegagalanku menculiknya dari gua itu merupakan hal yang menguntungkan sendiri untuk kepentinganku merebut Kitab Lorong Zaman itu."

"Siapa yang kau culik? Pendekar Mabuk?! Hmm... Tak mungkin kau bisa menculik pemuda sakti itu, Nyai Gandrik. Jangan mengigau di siang hari!"

Tawa kecil Nyai Gandrik melambangkan kemenangan yang tersembunyi. Lalu ia berkata dengan melangkah tiga tindak, “Dengar, Angin Betina... tentunya kau masih kala ingat murid Nyai Sunti Rahim terjebak kemesraan Suto Sinting di dalam gua?! Aku tahu kau ikut andil dalam mempersiapkan tempat untuk kencan mereka. Kuperhatikan terus saat Suto Sinting meraya Perawan Maha Sakti. Aku sampai tergoda oleh rayuannya secara diam-diam. Maka ketika kau pergi meninggalkan gua itu, dan Suto Sinting masuk membawa Dara Cupanggeni, aku menunggu kesempatan baik untuk menculik Suto Sinting."

Angin Betina berkerut dahi, pikirannya melayang pada tiga purnama yang lalu, saat ia dan Suto Sinting berusaha mengalahkan Perawan Maha Sakti yang mempunyai dua ilmu yang berbahaya itu. Perawan Maha Sakti dianggap gadis yang berbahaya karena mempunyai ilmu 'Darah Gaib' yang membuatnya selain tak bisa dikenai senjata tajam juga tak bisa ditembus sinar tenaga dalam siapa pun, dan Ilmu keduanya yang ditakuti para tokoh berlimu tinggi adalah 'Bias Dewa'. Ilmu tersebut dapat membuat lawannya mati terkena sinar merah dari ujung jari telunjuknya. Selama sinar merah itu melesat menghantam lawan, semua benda alam tak bergerak, alam menjadi mati dalam sekejap. Dan kedua Ilmu itu hanya bisa dimiliki oleh perempuan yang masih gadis, yang masih terjaga keperawanannya.

Suto Sinting dan Angin Betina bersepakat menjebak Perawan Maha Sakti agar hilang keperawannya, dengan begitu kedua Ilmu berbahaya bagi keselamatan manusia di bumi itu akan lenyap. Maka dipergunakanlah sosok Dewa Rayu yang diubah wujudnya menjadi seperi Suto Sinting dengan Ilmu 'Seberang Raga'-nya sang Pendekar Mabuk, (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Mabuk dalam epieode Perawan Maha Sakti)

Suto Sinting di persembunyian masih menyimak kata-kata Nyai Gandrik. Sang Nyai kala itu berkata,

"Jujur saja kukatakan padamu yang sebentar lagi mati ditanganku, Angin Betina, bahwa kala itu aku bermaksud mencari Dewa Rayu, tapi karena yang ketemu Suto Sinting, aku jadi punya niat membawa Suto Sinting ke Pulau Lanang sebagai ganti Dewa Rayu untuk kebutuhan kemesraanku. Aku berhasil masuk ke dalam gua dan melihat Suto Sinting bercumbu dengan Perawan Maha Sakti. Mereka kutotok, Suto Sinting kubawa lari dengan Ilmu 'Selayang Mega'-ku yang mampu terbang dari pohon ke pohon."

Angin Betina menjadi semakin ingin tahu, sebab ia juga mendengar kabar bahwa nanti siang Suto Sinting akan digantung oleh Peri Sendang Keramat. Karenanya, Angin Betina segera memancing pertanyaan kepada Nyai Gandrik, "Kau hanya membual untuk membanggakan diri didepanku, Nyai Gandrik. Buktinya kenapa Suto Sinting bisa ada di tangan Peri Sendang Keramat?!"

"Itu karena nasib sialku!" jawab Nyai Gandrik. “Suto Sinting terlepas dari gendonganku. Maklum ia kubawa dalam keadaan tanpa busana. Pada waktu itu aku sedang dang melintasi pepohonan yang ada dl Pesanggrahan Sendang Keramat di Bukit Rongga Bumi. Suto Sinting jatuh tercebur ke sendang itu. Aku tak berani mengambilnya lagi karena pasti akan berurusan dengan Peri Sendang Keramat. Sedangkan Peri Sendang Keramat kuakui mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Maka kutinggalkan saja Suto Sinting disana. Dan ternyata dugaanku benar. Ia akan dihukum gantung oleh Peri Sendang Keramat siang ini juga. Kekalahan ku tempo hari telah tertebus dengan secara tidak langsung."

Suto Sinting terbengong hingga mulutnya melongo. Namun ia masih tetap ada di persembunyiannya. Hanya saja hatinya pun membatin bagai bicara sendiri, “Ooo... pantas! Kala itu aku melepas Ilmu 'Seberang Raga'-ku, jadi Dewa Rayu masih berwujud seperti diriku. Dan ketika dia masuk ke Sendang Keramat itu, wajanya akan tetap abadi karena dia saat itu sudah masuk ke sendang tersebut. Rupanya Dewa Rayu itulah pemuda kembaranku!"

Pendekar Mabuk hentikan celoteh batinnya karena Angin Betina berseru dengan suara lantang, "Kau bodoh, Nyai Gandrik! Orang yang kau culik itu bukan Pendekar Mabuk melainkan Dewa Rayu yang sedang terkena 'Racun Cumbu Abadi' darimu! Kami memanfaatkan dia untuk melenyapkan ilmu yang ada pada Perawan Maha Sakti. Caranya dengan merubah wujudnya menjadi seperti Suto Sinting. Dan ternyata Perawan Maha Sakti tergiur, lalu hilanglah kedua ilmu mautnya itu"

Sungging senyum Angin Betina bernada sinis, menertawakan kebodohan Nyai Gandrik. Tokoh berbahaya itu merasa jengkel dan kecewa sehingga mencoba membantah penjelasan itu.

"Tidak mungkin! Aku yakin betul dia adaiah Suto Sinting!"

"Ha, ha, ha, ha..!" Angin Betina tertawa seperti lelaki. “Itulah kebodohanmu, Nyai Gandrik! Ternyata bagaimanapun tingginya ilmumu masih lebih tinggi dari Pendekar Mabuk. Buktinya kau pun terkecoh dengan permainan ilmu 'Seberang Raga'-nya si Pendekar Mabuk. Ha, ha, ha, ha...! Kusarankan kau berguru ke Tibet saja biar ilmumu bisa menyamai ilmunya Suto Sinting"

"Keparaat...! Heeeaaah..,!"

Panas hati sang Nyai membuatnya segera lepaskan pukulan ganda dari telapak tangannya sambil lakukan lompatan menerjang. Angin Betina cepat cabut pedangnya. Sraang...! Wees,..! Pedang itu dikibaskan kesamping dan melesatlah sinar putih perak dari sisi tajam pedang itu. Sinar putih perak menyebar lebar membendung sinar hijaunya Nyai Gandrik yang terlepas dari kedua telapak tangannya itu.

Blaaar... blegaaar...!

Wuuuurrr...! Daun-daun berguguran, bumi pun berguncang beberapa saat. Tiga pohon tumbang ditempat yang berbeda. Angin badai datang bagaikan memecah sebar dari pertemuan dua sinar tersebut. Tubuh Angin Betina terkapar dalam keadaan wajah biru legam karena terkena ledakan dahsyat tadi. Tubuh itu tak mampu bergerak selain hanya tersengal-sengal bagai sedang sekarat. Rupanya Ilmu tenaga dalamnya kalah besar dengan Nyai Gandrik. Terbukti Nyai Gandrik hanya terpelanting ke belakang dan dalam sekejap sudah mampu berdiri tegak tanpa cedera apa pun.

“Kumusnahkan kau seperti halnya saat aku memusnahkan Pendeta Jantung Dewa dan Mata Lima! Hiaaah...!" pekikan itu diiringi menyemburnya asap Kuning memancarkan cahaya kuning juga. Tapi cahaya dan asap kuning itu diarahkan ke langit, untuk kemudian bergerak turun tepat ke arah tubuh Angin Betina yang masih dalam keadaan sekarat itu.

Suto Sinting melihat bahaya besar mengancam jiwa Angin Betina. Ia segera keluar dari persembunyiannya sambil lepaskan sinar ungu dari partemuan ujung telapak tangannya. Claaap...! Sinar ungu itu menghantam sinar kuning yang masih di angkasa, lalu dentum ledakan menggelegar menggema ke mana-mana.

Bleceng...!

Alam bagai dilanda kiamat beberapa kejap. Semuanya terguncang, langit pun menjadi berwarna keruh karena dilapisi kabut abu-abu. Nyai Gandrik terjungkal dalam berdirinya karena tanah yang dipljaknya menyentak bergelombang, demikian pula Suto Sintingbyang segera menghindar dari tempat itu karena sebuahbpohon besar tumbang ke arahnya. Brrruuuk...!

Pada saat Suto Sinting melompat menghindari pohon tumbang itulah. Nyai Gandrik terkejut melihat sosok Suto Sinting, lalu Ia segera lepaskan pukulan jarak jauhnya yang berwarna hijau seperti yang dilepaskan untuk Angin Betina tadi. Claaap...! Sinar hijau itu menghantam Suto Sintng. Sambil berguling dan langsung berdiri dengan satu kaki berlutut, Suto Sinting hadangkan bambu tuaknya.

Blaaar...!

Ledakan, terjadi saat bambu tuak dihantam sinar hijau. Sinar itu memang berbalik arah lebih besar dan lebih cepat, namun sempat membuat tubuh Pendekar Mabuk terpelanting dan terseret angin besar hingga membentur pohon yang baru saja tumbang tadi.

Buuhg...!

"Eeggh...!" Suto Sinting menyeringai dan menggeliat karena tulang rusuknya beradu keras dengan batang-pohon tersebut. Sedangkan Nyai Gandrik melompat,ke sana-sini hindari kembalinya sinar hijaunya itu. la masih bisa lolos dari sinar tersebut, dan segera bangkit berdiri tegak setelah dentum menggelegar terdengar akibat sinar hijaunya merobohkan tiga pohon disana.

“Kulumpuhkan ilmu sintingmu sekarang Pendekar Mabuk! Heaaah...!"

Nyai Gandrik baru saja mau lepaskan jurus maut dari kesepuluh jari-jarinya yang sudah diarahkan kepada Suto Sinting. Tapi tiba-tiba sesosok bayangan menerjangnya dari belakang. Braaasss...!

"Aaahg...!" Nyal Gandrik mengerang sambil tersungkur jatuh mencium tanah.

Sesosok bayangan yang menerjang itu segera berdiri didepan Nyai Gandrik dalam jarak tiga langkah. Ketika Nyai Gandrik berusaha bangkit sambil menyentakkan tangannya untuk sebuah pukulan bersinar hijau. Orang tersebut lebih dulu melepaskan selarik sinar merah dari pangkal pergelangan tangan. Claaap...!

Jlaaab...! Sinar itu menghantam leher Nyai Gandrik. Leher itu bolong seketika. Akibatnya Nyai Gandrik hanya bisa mengerang seperti ayam disembelih, kejap berikutnya tak mampu bernapas lagi. Nyawa pun segera pergi tinggalkan raganya yang mengeras kaku tak bisa ditekuk lagi.

Suto Sinting bangkit pandangi tokoh berpakaian merah yang baru saja mengalahkan Nyai Gandrik tersebut. Tokoh itu berjalan mencari pohon, lalu duduk dibawah pohon dengan kepala terkulai miring dan suara dengkurnya terdengar jelas. Matanya terpejam, tidurnya tampak nyenyak. Tokoh siapa lagi yang bisa bertarung sambil tidur kalau bukan Ki Gendeng Sekarat.

Tawa geli Suto Sinting hanya terlontar dalam hati, tapi badannya sempat terguncang karena tawa dan senyuman gelinya itu. Ia segera dekati Ki Gendeng Sekarat dengan sedikit meringis karena masih terasa sakit di bagian tulang rusuknya. “Untung kau datang, Ki Gendeng Sekarat!"

Orang yang tidur itu menjawab, "Jangan bicara denganku, aku sedang tidur. Selamatkan dulu Angin Betina itu!" sambil tangannya menuding ke arah Angin Betina yang terkapar dengan sisa napas tinggal sejimpit. Sekalipun tidur, tapi Ki Gendeng Sekarat yang menjadi abdi dan utusan Dyah Sariningrum, calon Istri Pendekar Mabuk itu, masih bisa menunjuk arah yang benar atas apa yang dimaksudkan oleh kata-katanya itu.

Hampir saja Angin Betina terbang ke tepi neraka kalau saja Suto Sinting terlambat meminumkan tuak kepada wanita cantik liar itu. Berkat tuak saktinya Suto Sinting, Angin Betina tak jadi tamasya ke tepi neraka. Luka-tukanya cepat sembuh, bahkan la mulai bisa melangkah dekati Pendekar Mabuk yang sedang bicara dengan Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan tetap tertidur itu.

"Gusti Mahkota Sejati, calon Istrimu itu, mendengar kabar yang bukan-bukan tentang dirimu, Suto. Jadi aku diutus untuk melihat kenyataan yang ada di sini. Beliau sempat murung mendengar kau membawa lari istri Adipati, dan menodai kesucian murid Raja Maut,"

Suto Sinting tertawa kecil. “Apakah dia tak bisa melihat warna merah di keningku, keruh-atau tetap bening, Kan bisa dilihatnya?"

"Dalam keadaan cemas begitu, beliau sempat mengaku buta warna mendadak, tak bisa bedakan warna keruh dan cerah. Berita yang menyebutkan kau mau digantung oleh Peri Sendang Keramat juga membuat beliau hampir murka. Kalau tidak kubujuk, beliau akan datang kemari bersama pasukan dari negeri Puri Gerbang Surgawi yang di Pulau Serindu. Kukatakan kepada Gusti Dyah Sariningrum, agar jangan bergerak dulu sebelum mendapat kabar batin dariku. Demiklan pula calon mertuamu: Gusti Ratu Kartika Wangi, sudah stapkan pasukannya untuk menyerang Peri Sendang Karamat untuk membebaskanmu dari hukuman gantung itu. Melalui hubungan batin kukatakan kepada beliau agar menahan pasukan para Perwira Alam Gaib sebelum mendapat kabar batin dariku!"

"Gila...,” gumam Suto Sinting dalam senyum sambil geleng-geleng kepala. “Apakah Gusti Ratu Kartika Wangi sendiri tidak bisa meneropong kenyataan yang ada disini?”

“Teropong batin kami mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama melihat kau dalam tawanan Peri Sendang Keramat. Jadi mereka mulai dibakar murka dan persiapkan pasukan penyebar murka!" ujar Ki Gendeng Sekarat dengan suara paraunya karena sambil tertidur.

Pada saat selesai bicara demikian, Ki Gendeng Sekarat bagaikan melihat Angin Betina mendekat, lalu ia berkata kepada Angin Betina, "Lain kali jangan melawan Nyai Gandrik, ilmu tinggi, bukan tandinganmu!

"Baik, Ki. Lain kali aku tak akan melawannya lagi!"

Ki Gendeng Sekarat menyahut, "Tentu saja, sebab dia sudah kukirim ke lembah neraka!"

Suto Sinting sunggingkan senyum, lalu pandangi Angin Betina yang sudah nampak segar kembali itu. Angin Betina segera berucap kata, "Aku baru mau menuju ke Bukit Rongga Bumi!"

"Untuk apa?"

"Menantang pertarungan dengan Peri Sendang Keramat."

Suto tertawa pelan. Pipi Angin Betina dicubitnya. "Kau mau mati, berani-beraninya melawan Peri Sendang Keramat?"

"Mau," jawab Angin Betina sambil mengangguk polos, karena ia merasa lebih baik mati daripada tidak bisa bebaskan Suto dari tiang gantungan.

"Sebenarnya bagaimana ini, Suto? Aku sendiri sempat bingung memikirkannya" kata Ki Gendeng Sekarat seperti orang malas bicara.

Angin Betina segera menjelaskan apa yang diceritakan Nyai Gandrik tadi. Suto Sinting pun menimpalinya, "Aku sendiri mendengar ucapan Nyai Gandrik sebelum kau di senangnya tadi. Tak kusangka ilmu 'Seberang Raga'-ku berakibat sampai menggegerkan dunia persilatan. Sebaiknya kita segera ke Bukit Rongga Bumi saja. Kudengar palaksanaan hukuman gantung dilakukan tepat tengah hari. Sekarang tinggal beberapa waktu lagi."

"Ya, tapi kau jangan tampil polos begitu!" kata Ki Gendeng Sekarat. Tak jauh dari sini ada rumah sahabatku. Kita singgah sebentar kesana untuk meminjam pakaian untuk menutupi wujudmu!"

* * *

DELAPAN
Bukit Rongga Bumi merupakan anak dari gunung Tonggak Jagat. Ada gugusan tanah membentuk tebing dilereng Gunung Tonggak Jagat. Dari tebing itu terlihat kesibukan orang-orang di Bukit Rongga Bumi. Ditepi tebing itulah berdiri sesosok tubuh berjubah hitam lengan panjang. Kain jubahnya sampai menyentuh tanah. Sosok aneh itu berdiri dengan tudung hitam yang lebar menutupi sebagian wajahnya. Sosok itu diam tak bergerak bagaikan patung.

Sementara itu, dikaki bukit Rongga Bumi terjadi pertarungan secara berkelompok, sekitar delapan kelompok pertarungan menghadirkan jerit dan denting dari mulut mereka yang tewas dan senjata mereka yang saling beradu. Pertarungan itu terjadi antara pihak anak buah Nyai Peri Sendang Keramat dengan pihak lain yang menentang hukuman gantung terhadap diri Suto Sinting.

Seorang perempuan cantik berjubah kuning emas muncul dari dalam pesanggrahan. Perempuan cantik berjubah kuning emas itu mempunyai rambut panjang meriap, dengan sanggul kecil di tengah kepala. Disanggulnya ada hiasan dari lempengan emas berukir. Pedangnya berwarna putih, semuanya terbuat dari logam anti karat, termasuk sarung pedangnya sendiri. Orang itulah yang berjuluk Peri Sendang Keramat.

Dengan ilmu kesaktiannya melalui suara, ia berseru menggema menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. “Hentikan pertarungan ini! Hentikaaan...!"

Beberapa saat kemudian suasana menjadi sepi. Hening mencekam. Mereka bagaikan terkesima mendengar suara sang Nyai. Pedang mereka mulai disarungkan pelan-pelan agar tak timbulkan bunyi di sela keheningan itu. Sedangkan orang bertudung hitam masih diam di bibir tebing memandangi suasana disana.

Terdengar lagi suara Nyai Sendang Keramat berseru menggema, penuh wibawa dan kharisman yang menggetarkan jiwa manusia. "Kalian ku undang kemari hanya untuk saksikan acara penggantungan diri Pendekar Mabuk! Bukan kusuruh bertarung melawanku! Kalian akan binasa semua jika melawan kekuatanku!"

Hening kembali tercipta. Sejenak kemudian terdengar lagi suara sang Nyai, "Hukuman untuk Pendekar Mabuk telah kupikir masak-masak. Tidak jadi kugantung, melainkan akan kupancung dan kepalanya akan kupamerkan keliling tanah Jawa ini, bila perlu kupamerkan dari pulau ke pulau melalui samudera luas, bahwa akulah yang sanggup memancung kepala Pendekar Mabuk itu!"

Seseorang yang menentang hukuman itu berseru, "Itu terlalu kejam, Nyai! Kurasa kau...."

“Diaam...!" bentak Peri Sendang Keramat sambil menuding orang itu, dan seberkas sinar biru melesat lurus menghantam dada orang yang berseru. Claaap...!

Orang yang terkena sinar biru itu diam saja. Tapi berikutnya ia roboh dan pecah menjadi serpihan-serpihan kecil menggunduk ditempatnya berdiri, bagai seonggok sampah batuan kristal.

"Sekarang para undanganku naik ke puncak bukit, hari sudah siang!" serunya lagi.

Maka mereka pun bergegas naik ke puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu. Ternyata di puncak bukit sudah dipersiapkan panggung dan alat pemancung. Sang tawanan dibawa naik ke panggung dengan diseret-seret dan diperlakukan secara kasar sekali. Seorang algojo siap dengan pedang lebarnya yang tajam dan berkilauan terkena sinar matahari.

Orang bertudung hitam di bibir tebing masih diam saja. Tak bergerak sedikit pun. Tapi matanya memandangi setiap undangan yang datang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap diri Pendekar Mabuk. Orang bertudung hitam itu sempat tersenyum ketika melihat orang-orang yang datang ke tempat itu. Hampir semuanya dikenal oleh si tudung hitam. Ia menyebutkan nama-nama itu dalam hatinya.

"Mega Dewi datang, dia sudah lama tak kujumpa, sekarang muncul di sana. Oh, Citradani pun datang, Embun Salju? Hebat. Ternyata Peri Sendang Keramat benar-benar mengundang para tokoh sakti untuk unjuk kehebatannya...."

Nyai Peri Sendang Keramat naik ke panggung, sementara orang yang mau dipancungnya sudah disiapkan dalam keadaan separo tubuhnya terjepit balok kayu pemasung. Lehernya terjulur dan siap dipancung dengan mudah. Sang Nyai berseru di depan para undangan yang hadir dengan wajah duka,

“Dengar kalian semua! Siapa pun yang berani menyerangku, maka Suto Sinting ini akan mati sebelum terpancung. Karena aku telah tanamkan jurus 'Sukma Silang' ke dalam dirinya. Jika seseorang berani melukaiku, berarti tawanan itu yang akan terluka. Jika seseorang membunuhku, berarti pemuda itu yang terbunuh. Kalian hanya bisa menyaksikan saja pelaksanaan hukuman ini dengan tenang dan tertib."

Tak ada yang bicara kecuali berpikir mencari jalan membebaskan Suto Sinting dalam jepitan kayu pemasung itu. Sedangkan si Tudung Hitam dari tadi menyebutkan nama-nama para undangan yang datang ketempat itu.

"Hmmm... Delima Gusti datang juga, oh... dia menangis? Dan itu, yang di belakangnya kalau tak salah adalah Palupi bersama Purnama Laras, oh... mereka bersama Hantu Tari dan Nyai Paras Murai? Di sana ada juga Rindu Malam dan Kelana Cinta. Oh, rupanya mereka pengawal terdepan dari rombongan Ratu Asmaradani? Wah, ratu dari dasar laut itu datang juga rupanya? Di sebelah sana ada Ki Sonokeling dan Ki Argapura. Oh, Yosodigdaya juga hadir bersama dua Perwira lainnya. Lalu... nah, itu dia juga Raja Maut dan si Setan Arak. Lho... Dewi Angora juga dibawanya pula kemari? Edan itu orang-orang tua. Dewi Angora disembunyikan kok malah dibawa kemari? Nah, di sebelah sana tampak pula Intan Selaksa, penjaga Kuil Swanalingga."

Mata si Tudung Hitam masih menatap ke sana-sini tanpa menghiraukan panasnya matahari yang membuat tubuhnya berkeringat ditutup jubah hitam yang rapat sampai leher itu. Ia masih menyebutkan nama-nama para undangan.

"Kirana...? Oh, Kirana juga datang bersama Jongos Daki?! Lalu di sana juga ada Ki Darma Paksi dan Arum Kafan, Ki Jangkar Langit, Sumping Rengganis yang dulu dikutuk jadi serigaia itu, juga... Tabib Awan Putih, Ki Medang Wengi, Roro Manis, oh... rombongan Ratu Pekat juga datang? Ya, ampuuun... dia bersama Badai Kelabu, Tengkorak Terbang dan, ah... si Singo Bodong dan Hantu Laut ikut juga. Waaah... seru juga kalau semuanya menyerang Peri Sendang Keramat. Hmmm... dia Batuk Maragam akhirnya datang juga bersama Camar Sembilu dan... Oh, mereka bertemu Gendeng Sekarat dan Angin Betina. Apa yang mereka rembuk disana itu? Dan... hai, Dayang Kesumat datang juga dan... oh, itu sepertinya Selendang Kubur. Ya, Selendang Kubur datang juga mendampingi Nyai Betari, ah... tak enak aku jadinya. Kebanyakan yang hadir wanita-wanita cantik.

Memang benar, yang hadir wanita-wanita cantik, yang telah lama tidak pernah muncul, kini muncul kembali seakan ikut menghantarkan kematian Pendekar Mabuk. Tapi mereka tak bisa berontak menyerang Peri Sendang Keramat karena sama saja menyerang tubuh sang tawanan itu. Ada yang terisak dalam tangis, ada yang hanya menitikkan air mata melihat Suto Sinting siap dipancung. Ada pula yang hanya diam menyimpan dendam. Tapi yang lebih mencengangkan si Tudung Hitam adalah kemunculan tiga sosok tokoh sakti yang berjalan dengan tenang. Mereka adalah Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan satu lagi... Sumbaruni, bekas istri jin yang jatuh cinta kepada Suto.

Kerumunan orang itu bergerak membuka memberi jalan ketika dua guru Pendekar Mabuk itu datang menuju ke panggung. Gila Tuak dan Bidadari Jalang ada didepan berdampingan, sedangkan Sumbaruni ada dibelakangnya. Peri Sendang Keramat menyambut kedatangan tiga tokoh sakti itu dengan tawa kegirangan.

"Aku yakin kalian akan datang, Gila Tuak dan Bidadari Jalang! Tapi aku tak sangka kalau Sumbaruni ikut bersamamu!" kata Peri Sendang Keramat.

Sumbaruni maju ke depan, melompat naik ke panggung. Jleeg...! Dua pengawal panggung mendekat ingin menangkapnya, tapi Sumbaruni berkelebat memutar tubuh bagaikan angin puyuh. Weees...!

Brrruk...! Dua orang itu tumbang seketika, mereka terbelah. Sumbaruni sudah menggenggam pedang berlumur darah. Pengawal lainnya mau maju,bPeri Sendang Keramat menahan mereka dengan isyarat tangan.

"Terlalu lancang kau Sumbaruni!" geram Nyai Peri Sendang Keramat.

"Kutantang kau di depan para tokoh yang berkumpul disini" seru Sumbaruni. Matanya memandang dengan amat marah. “Kalau kau menang melawanku, boleh penggal leher Pendekar Mabuk itu. Tapi kalau aku unggul melawanmu, bebaskan dia! Kalau kau tak mau layani tantanganku, berarti kau tunjukkan di depan para tokoh itu bahwa kau tak punya nyali sedikit pun!"

“Bukan karena tak punya nyali, tapi aku jijik melawan bekas istri jin! Dengar, Suto Sinting akan kubebaskan jika kedua gurunya itu bersujud di depanku dan memintakan ampun terhadap kesalahan muridnya!"

Maka bergemuruhlah para undangan mendengar ucapan itu. Mereka memandang Peri Sendang Keramat dengan tegang. Ucapan utu dianggap terlalu berani. Ada yang menggeram ingin menyerang, namun ingat bahwa ilmu 'Sukma Silang' dipergunakan oleh Peri Sendang Keramat, jadi mereka harus menahan kemrahan. Bidadari Jalang sendiri yang hampir saja bergegas maju menerjang wanita berjubah kuning emas, segera dicekal tangannya oleh si Gila Tuak yang tampil tenang dan dingin sejak tadi.

“Sumbaruni, turun kau!" seru Gila Tuak. Sumbaruni tak berani membantah, ia segera melompat turun dengan hati memendam kemarahan besar. Kejap berikutnya, Gila Tuak yang berjubah kuning kusam dengan pakaian serba hijau itu naik ke panggung. Jleeeg...!

"Berlututlah kau dan meminta ampun padaku, maka muridmu kubebaskan!"

“Kalau muridku bersalah, hukumlah! Tapi kalau tidak bersalah, kau akan dihukum oleh para undangan ini!"

"Dia jelas bersalah, membuat air Sendang Keramat menjadi tawar!" bentak Peri Sendang Keramat.

“Aku akan bicara dulu dengan muridku!" kata Gila Tuak dengan tegas.

"Silakan!"

Gila Tuak hampiri pemuda yang sudah terpasung dengan kepala terjulur itu. Jejak telapak kakinya meninggalkan kepalanya asap putih, kayu panggung terbakar hangus. Peri Sendang Keramat memandang bekas tapak Gila Tuak itu, kemudian Segera memandang tawanannya sebagai penutup kecemasan hatinya.

Rambut tawanan itu dicengkeram dan kepalanya didongakkan oleh Gila Tuak. Dipandanginya wajah tawanan itu beberapa saat, lalu Gila Tuak bertanya, Jadi Kau telah membuat tawar air Sendang Keramat?"

"Benar!" jawab tawanan itu bagai bukan keluar dari lubuk hatinya sendiri.

Gila Tuak melepaskan kepala tawanan, kemudian kembali menatap Peri Sendang Keramat. "Hukumlah dia, tak perlu aku meminta ampun padamu!" ucapnya tegas.

Orang-orang bergemuruh, kaget dan heranan, sebab mereka menyangka Gila Tuak akan menentang tindakan hukuman itu.

Peri Sendang Keramat berseru, "Kau tidak menyesal muridmu mati di tanganku, Gila Tuak?!"

"Tidak!" jawabnya lagi tegas, kemudian Gila Tuak melompat turun dari panggung dan dekati Bidadari Jalang yang berdampingan dengan Sumbaruni.

Bidadari Jalang segera berbisik dalam geram, "Biarkan aku melawannya!"

“Jangan! bisik Glia Tuak yang didengar oleh Bidadari Jalang dan Sumbaruni. "Dia bukan Suto Sinting. Tak ada tanda merah di dahinya."

Bidadari Jalang dan Sumbaruni segera berpaling menatap Gila Tuak. Tapi yang ditatap tak mau balas memandang melainkan menatap ke arah panggung.

Terdengar suara sang Nyai, "Terpaksa hukuman ini kulaksanakan karena keras kepala dari guru-gurunya...! Pemancung...! Penggai dia!"

“Aaaa...!" suara jerit bersahutan ketika kepala tawanan itu dipenggal putus oleh algojo bertubuh besar. Tangis meratap dan jerit kematian membaur membuat gaduh suasana setempat. Para gadis yang simpati dan menaruh hati diam-diam kepada Suto Sinting tak mampu menahan tangis. Bahkan Embun Salju jatuh pingsan, entah karena memendam cinta atau karena kasihan, tak jelas artinya. Kirana jatuh tersimpuh bagai kehilangan tenaga. Delima Gusti terpelanting membentur pohon karena tubuhnya juga menjadi lemas.

“Keparaaat kaaau... Perii edaaaan...!" teriak seorang gadis yang berkelebat menyerang Peri Sendang Keramat dengan menghunus pedang. Wanita muda itu tak lain adalah Srimurti, murid tunggal Raja Maut. Semua orang terkejut melihat Srimurti menyerang dalam satu lompatan cepat. Wuwut...!

Tapi dengan sentakkan tangan kiri, Peri Sendang Keramat sudah bisa membuat tubuh Srimurti berbalik arah dalam keadaan berasap. Beesss...! Lalu tubuh murid Raja Maut itu terkapar di depan Ki Madang Wengi tanpa nyawa lagi.

"Jahanam..." Raja Maut mau menyerang tapi Gila Tuak menghadang.

"Tahan amarahmu!"

Raja Maut tak berani maju kecuali napasnya ngos-ngosan dengan wajah merah padam menandakan luapan murka yang amat besar.

"Jangan timbulkan korban lagi!" kata Glia Tuak dengan wibawanya. Lalu ia melompat ke panggung dan berseru ketika Peri Sendang Keramat menenteng rambut kepala yang terpotong itu dalam senyum kemenangannya.

“Tenanglah kalian! Tenang...! Aku bukan tak mau membela muridku! Tapi karena memang tawanan yang dipenggal itu bukan muridku. Dia bukan Suto Sinting! Sebagai buktinya, kalian mungkin banyak yang sudah mengetahuinya, bahwa Suto Sinting juga dikenal sebagai bocah tanpa pusar! Jika korban yang telah terpancung itu mempunyai pusar, berarti dia bukan Suto. Tapi Jika tidak mempunyai pusar, berarti mamang benar dia adalah muridku"

Gila tuak berpaling memandang Peri Sendang Keramat, "Buktikan kepada kami kalau dia memang Suto Sinting!"

Peri Sendang Keramat agak ragu, tapi ia segera berseru kepada pengawalnya, "Periksa perutnya! Cepaaat...!"

Pengawal mengambil badan tawanan yang sudah terpisah dari kepalanya itu. Baju korban dibuka, sabuknya dilepas, semua mata tertuju ke perut korban. Pengawal itu berseru kepada Peri Sendang Keramat, “Dia mempunyai pusar, Nyai!"

"Hahhh.,.?1" suara kejutan itu hampir terucap oleh setiap mulut, kecuali orang-orang tertentu yang tidak ikut terkejut. Mereka justru tersenyum melihat Peri Sendang Keramat terbengong di tempat dengan masih menenteng kepala korban secara sadis.

"Berarti dia bukan Suto Sinting!" tegas Glia Tuak, lalu segera melompat turun dari panggung. Wajah-wajah yang semula menangis kini tersenyum sambil tetap menangis bahagia. Orang yang pingsan berusaha dibangunkan dan segera jatuh pingsan lagi karena kaget bahwa yang dipancung itu ternyata bukan Suto. Pingsan kebahagiaan itu didiamkan oleh para sahabat atau pengawalnya, termasuk Embun Saiju.

Tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melintas diatas kepala mereka. Wees...! Sosok bayangan hitam itu berdiri di panggung dengan tudung hitamnya yang menutup sebagian wajah. Semua orang terperanjat dan terbungkam melihat tokoh asing itu. Hening tercipta sejurus. Lalu terdengar suara Peri Sendang Keramat berseru kepada sosok berjubah hitam dan bertudung hitam itu.

"Buka tudungmu, atau kuhancurkan kau sekarang juga! Tak sopan kau datang dengan bertudung begitu!"

Sosok berjubah hitam itu diam saja. Tapi kakinya segera berkelebat cepat memandang kepala korban yang masih ditenteng Nyai Peri Sendang Keramat. Wuuut...!

Praaak!

Kepala itu hancur, hanya sisa rambut yang masih tergenggam di Nyai Peri Sendang Keramat, Murka sang Nyai pun meluap, Ia segera lepaskan pukulan bersinar biru dari ujung jarinya. Claaap...!

Zlaap...! Si Tudung Hitam lenyap, tapi sebenarnya bergerak pindah tempat di belakang Peri Sendang Keramat. Sinar biru tadi hilang di seberang jurang. Sang Nyai segera berbalik dengan sebuah tendangan putar bertenaga dalam tinggi. Si tudung hitam menghindar mundur, tapi terpelanting karena angin tendangan itu sangat besar. Tudungnya terbang bertepatan dengan terlepasnya sinar hijau dari telapak tangannya yang menerjang tubuh Peri Sendang Keramat.

Claaap...! Blaaar...!

Jurus 'Pecah Raga' menghancurkan tubuh Peri Sendang Keramat. Pada saat itu pula para undangan bersorak kegirangan. Sorak itu lebih keras lagi ketika orang tersebut melepaskan jubah hitamnya dan membuang ke sembarang tempat. Bumbung bambu tuak tampak terikat melintang di punggungnya. Sosok itu tak lain adalah Pendekar Mabuk yang asli; Suto Sinting.

“Sutooo...!" teriak mereka bersahutan dengan kegirangan.

Suto Sinting tak hiraukan para pengawal Peri Sendang Keramat bubar berlarian ke berbagai arah. Suto Sinting segera melompat turun dan berlutut didepan keedua gurunya; Gila Tuak serta Bidadari Jalang. “Ampuni saya, Guru!"

"Bangkit dan pergilah cepat! Banyak gadis yang ingin memelukmu! Lekas!" kata Gila Tuak yang membuat Suto Sinting jadi kebingungan diserbu mereka, dan Bidadari Jalang sempat sunggingkan senyum geli melihat Suto Sinting menghilang dari hadapan mereka. Zlaaap...!

Gila Tuak sempat berbisik kepada Bidadari Jalang, “Lain kali kalau punya murid jangan beri dia ajian pemikat! Begitulah jadinya kalau ajian pemikat kau berikan kepadanya!"

"Kalau bukan begitu, bukan murid murid Bidadari Jalang!" jawab Bidadari Jalang sambil melangkah pergi mengikuti Gila Tuak, menemui beberapa sahabatnya.

SELESAI