Pawang Jenazah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Pawang Jenazah
Karya Suryadi

Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
ANGIN kuburan berhembus menyebarkan batu tanah basah. Hujan semalaman telah mengguyur tanah kuburan, membuat lembek lahan yang ada di sekitarnya. Kadang angin kuburan menghembuskan bau bangkai yang menusuk hidung, menyolok mata. Tentu saja mata orang penakut yang tercolok oleh bayangan ngerinya sendiri. Tetapi bau tanah kuburan itu tidak mengganggu pernapasan seorang pemuda yang tengah beristirahat di atas sebuah pohon. Pemuda itu menggunakan dahan berjajar sebagai tempat duduk dan batang pohon sebagai tempat bersandar.

Pemuda itu tampak santai sekali menikmati tuaknya yang sebentar-sebentar ditenggak dari bumbung bambu tempat penyimpanan tuak. Bumbung itu selalu dibawanya ke mana ia pergi, disandang di punggung bagaikan pedang keramat. Anehnya, sekian-kali ia meneguk tuak, tak ada rasa pusing di kepala. Tak ada ocehan mabuk dari mulutnya. Pemuda itu tetap tegar dan berjalan tanpa sempoyongan, berdiri tanpa limbung, berlari tanpa menabrak-nabrak. Dia bukan dewa, tapi dia lebih dikenal sebagai Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak.

Suto namanya. Karena ilmu yang dimiliki itu gila-gilaan, tak tanggung-tanggung keampuhannya, maka sering ia dikatakan sinting dalam segala tindakan. Gilanya ilmu yang dimiliki itulah yang membuat ia dipanggil Suto Sinting. Gurunya sendiri yang mengawali panggilan itu, sehingga sampai sekarang Suto pun tidak keberatan menggunakan nama kondang itu; Suto Sinting, Pendekar Mabuk.

Suto memang Pendekar Mabuk. Tapi ia tidak mabuk sembarang mabuk. Hanya dalam gerakan jurus-jurusnya saja yang kelihatan seperti keadaan orang sedang mabuk. Kadang ia seperti orang mau jatuh, tapi ternyata menyepak batu dan batunya mengenai lawan. Kadang seperti mau tersungkur, ternyata justru melepaskan pukulan dahsyat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-harinya di luar pertarungan ia tidak pernah merasa mabuk dan berjalan sempoyongan, ia tetap sebagai pemuda yang tegar, gagah, perkasa, dan menawan.

Angin kuburan kembali menghembuskan bau tak sedap. Tapi anehnya masih saja ada orang lewat di jalanan tak jauh dari kuburan itu. Sesekali pedagang daun memikul dagangannya untuk dijual ke pasar, atau pedagang kain mendorong gerobak tempat kainnya untuk ditawarkan ke perkampungan terdekat. Dan kali ini yang dilihat Suto adalah serombongan orang memikul tandu.

Empat orang pemikul tandu tertutup berseragam pakaian kuning. Enam orang di belakangnya mengawal tandu berseragam biru tua, lengkap dengan senjata dan perisai di tangan masing-masing. Empat orang di samping kanan kiri tandu berseragam hitam, juga menyandang pedang di punggung masing-masing. Empat orang lagi berjalan di depan tandu berseragam merah. Di depan keempat seragam merah itu berjalan dua orang yang mempunyai pakaian lebih bagus dengan warna masing-masing ungu dan hijau. Mereka berdua adalah perempuan-perempuan cantik berambut disanggul, sisanya dibiarkan terjulur kesamping.

Tandu tertutup itu berwarna merah dengan hiasan ukir kuning emas. Tingginya seukuran pundak orang dewasa. Dan agaknya orang yang ada di dalam tandu itu dalam keadaan duduk. Tandu itu mempunyai dua buah pintu kanan-kiri yang dilapisi dengan kain tirai penutup bagian atas pintunya itu. Tirai tersebut juga berwarna merah. Dari arah kanan terlihat samar-samar orang yang duduk di dalam tandu itu, karena tirai penutupnya berwarna merah transparan.

Ketika rombongan melewati jalan di depan kuburan, suatu keajaiban terjadi. Tanah kuburan bergetar. Langit menjadi gelap karena diselimuti awan hitam bergulung- gulung. Angin berhembus semakin kuat, sesekali terjadi loncatan petir di langit yang memercikkan nyala api biru bagai naga mengamuk. Para pembawa tandu tetap melangkah tanpa merasa gelisah. Tapi para pengawalnya mulai diliputi kegundahan. Dua orang yang berjalan paling depan sering memandang ke langit dengan cemas.

Dan tiba-tiba kuburan mengepulkan kabut putih kehitam-hitaman. Kabut itu makin lama semakin memenuhi tanah kuburan. Lalu, dengan mata kepala memandang jelas, Suto melihat tanah gundukan di setiap makam itu bergerak-gerak, kemudian retak. Tangan- tangan berbelatung warna hitam lumer mulai muncul dari dalam kubur.

Kejap berikutnya mereka yang menjadi penghuni tanah kuburan melompat keluar menerabas gundukan tanah yang menimbun jenazah mereka masing-masing. Ada yang sudah bertulang, ada yang sudah dimakan rayap, ada yang baru sebagian saja tubuhnya digerogoti rayap, ada yang masih baru dua-tiga hari dimakamkan. Semuanya menerobos keluar dari kubur masing-masing.

Brusss...!

Glegar guntur di langit menyambut kemunculan mereka. Blarrr...! Glur glur glur glur...! Suara itu menghilang. Blarrr...! Glur glur glur glur! Menghilang lagi.

Kini mereka yang baru bangkit dari kubur melangkah meninggalkan tempatnya, mereka mulai berdiri mendekati jalan yang akan dilewati oleh para pengusung tandu itu. Begitu para pengusung tandu dan rombongan muncul dari jalanan yang menanjak, para mayat yang bangkit dari kubur itu segera menyerang mereka.

"Kkkrrr...!" Mereka serukan suara tak jelas. Tapi langkah dan gerakan mereka terlihat jelas serba pasti.

"Lindungi sang putri...!" seru si baju ungu.

Mayat-mayat itu melompat menerjang mereka. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan menurut dugaan Suto lebih besar dari jumlah penggandaan tersebut. Mereka menyerang dengan jurus-jurus yang sulit dipelajari dan diingat. Kadang ada yang melayang bagai singa mau menerkam. Kadang ada yang menukik seperti burung pemakan bangkai. Ada pula yang merangkak dan menerkam leher lawannya bagaikan seekor kucing liar.

Pendekar Mabuk terbengong-bengong di atas pohon menyaksikan apa yang dianggapnya mimpi itu, Suto lupa berkedip, lupa meneguk tuaknya, bahkan lupa bergerak, ia terpukau dan terkesima oleh pemandangan mengerikan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Langit semakin gelap. Petir semakin bersahutan. Para rombongan tandu berjuang mempertahankan serangan lawan. Tapi tebasan pedang ataupun tusukan tombak mereka tidak dihiraukan oleh para mayat. Yang sudah terpenggal lengannya masih maju menyerang dengan kaki. Yang sudah terpotong kepalanya, kepala itu sendiri melesat terbang dan menggigit lawan. Bahkan yang tanpa kepala masih bisa mempermainkan jurus dan membuat lawan tewas. Malahan ada yang melepaskan pukulan jarak jauh yang tentu saja dialiri tenaga dalam cukup tinggi. Sinar merah, kuning, biru sering terlihat lepas dari tangan mereka, menghantam rombongan tandu dan menyebabkan kematian.

Agaknya para pengusung tandu maupun pengawalnya lebih mengutamakan menyelamatkan orang yang ada di dalam tandu tersebut. Dan para mayat sendiri berusaha menyerang orang di dalam tandu itu. Tangan-tangan mereka yang sudah terpotong melayang terbang dan berusaha menerobos tirai tandu. Dalam waktu singkat, rombongan tandu itu tinggal beberapa gelintir orang yang sama-sama terdesak.

Brakk...! Zlappp...!

Tandu hancur. Kayu-kayunya pecah berantakan. Para mayat kebingungan. Mereka bagaikan melihat kekosongan di dalam tandu. Kekosongan itu membuat mereka saling menggeram. Dua orang yang masih hidup itu segera dibunuh secara beramai-ramai. Dengan begitu, habis sudah orang-orang yang berada dalam rombongan tandu. Perempuan berpakaian ungu dan hijau itu pun mati dalam keadaan mengerikan. Sementara itu, para mayat segera kembali ke tempatnya masing-masing dengan tertib tanpa saling berebut. Ke mana orang yang ada di dalam tandu itu?

Sudah diselamatkan. Dibawa pergi orang berpakaian coklat dan celana putih, berambut panjang lurus meriap tanpa ikat kepala. Sang putri yang tadi dilindungi oleh mereka itu, sekarang berada di atas pundak kiri seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Mabuk?

"Mau dibawa ke mana orang ini?" pikir Pendekar Mabuk bingung sendiri setelah jauh dari tanah kuburan itu.

Terkesiap mata Suto setelah meletakkan orang yang dipanggulnya itu. Ternyata ia seorang perempuan cantik. Sungguh cantik sekali. Disuruh sumpah apa pun Suto berani! Perempuan itu cantik, mengenakan tusuk konde dari emas batangan sebesar sumpit. Ada dua tusuk konde yang menjadi penghias rambutnya itu. Sayang sekali perempuan itu pingsan. Mungkin takut melihat banyaknya mayat yang bangkit menyerangnya tadi. Bibir perempuan itu, sungguh menggetarkan hati setiap lelaki. Lembut kelihatannya. Merah segar, seperti buah yang ranum. Bentuknya pun sangat indah, tidak terlalu lebar, tidak pula terlalu kecil. Tidak tebal, tidak pula terlalu tipis.

Hidungnya mancung, bulu matanya lentik, alisnya tebal tapi teratur rapi. Kulit pipinya halus sekali, seperti kulit bayi. Warnanya putih. Demikian pula warna kulit tubuh lainnya. Suto memperhatikan perempuan yang dibaringkan di bawah pohon itu dengan takjub. Perempuan itu mengenakan pakaian yang tertutup sampai leher. Potongan baju Cina berwarna merah jambu itu sungguh amat serasi dengan kecantikannya. Dalam sepintas saja Suto Sinting sudah menduga bahwa perempuan itu pasti gadis dari negeri Cina.

Di samping terlihat dari bentuk pakaiannya, juga dari bentuk liontin kalungnya yang berwarna hijau muda itu membentuk gambaran seekor naga. Sulaman benang emas pada pakaiannya pun berbentuk seekor naga yang melilit dari kaki sampai ke pertengahan dada. Siapa dia? Siapa namanya? Ke mana arah tujuannya? Mengapa diserang mayat-mayat penghuni kubur?

Semua itu tak bisa diketahui Pendekar Mabuk karena gadis cantik jelita itu masih dalam keadaan pingsan. Pendekar Mabuk ingin menyadarkan gadis itu melalui tuaknya, yaitu dengan memasukkan tuak ke dalam mulut gadis itu, tapi tak bisa dilakukan karena mulut itu terkatup rapat. Sebenarnya bisa juga dilakukan dengan cara menyemburkan tuak di mulut Pendekar Mabuk ke dalam mulut gadis itu, tapi jelas ia harus menempelkan mulutnya ke mulut gadis itu.

"Jangan! Aku tak berani. Takut tak mau berhenti mulutku menempel terus di bibirnya! Tidak. Aku tidak boleh begitu! Aku sudah punya kekasih sendiri. Aku tak mau mengkhianati cintaku! Aku... aku... tapi ini demi pengobatan?! Apa salahnya? Yang penting tujuanku baik, tidak punya niat ingin mengecup bibirnya!"

Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan berpikir beberapa saat. Lalu, segera diteguknya air tuak dalam bumbung itu. Sisanya dibiarkan di mulut, tidak ikut ditelan. Pendekar Mabuk segera mendekati mulut gadis itu. Tapi begitu memandang semakin dekat keindahan bibir tersebut, tuak di mulut jadi tertelan sendiri. Glek...!

"Yah, habis tuaknya!" gumam Suto. Ia buru-buru menenggak tuak lagi. Disisakan sedikit di mulutnya. Cukup untuk disemburkan ke dalam mulut gadis itu. Tangan Pendekar Mabuk gemetar memegangi bibir gadis itu yang ingin dibukanya. Bibir pun akhirnya terbuka, Pendekar Mabuk mendekatkan mulutnya. Tapi sekali lagi tuak dalam mulutnya tertelan. Glek!

"Yah, habis lagi...!" Suto Sinting diam merenungkan dirinya sendiri. Mengapa hanya menyemburkan tuak dari mulutnya ke mulut gadis itu saja tak mampu dilakukannya? Padahal itu pekerjaan yang mudah.

"Hatiku berdebar-debar! Itu soalnya, jadi tak bisa tenang sewaktu mau menuangkan tuak dari mulutku ke mulutnya! Sebaiknya, kutunggu dulu beberapa saat supaya hatiku menjadi tenang dan tidak berdebar-debar," pikir Pendekar Mabuk sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Kejap selanjutnya, Pendekar Mabuk merasa hatinya sudah tidak berdebar-debar. Maka ia kembali meneguk tuaknya, sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut. Pelan-pelan didekati bibir gadis itu. Tangannya gemetar lagi ketika memegangi kepala gadis agar tak bergerak waktu mendapat sentuhan nanti. Pelan-pelan sekali mulut Suto mendekati mulut gadis itu. Mata memandang jelas-jelas bentuk keindahan dan kelembutan bibir itu. Tiba-tiba tuak di mulut kembali tertelan.

Glek...!

"Ah, masa bodohlah...!" Akhirnya Pendekar Mabuk tidak mau mengulangi hal itu. Ia tidak mau membuat gadis itu siuman melalui tuaknya. Bahkan ia berkata sendiri, "Cari air saja! Siram air. Beres!"

Baru saja ia bangkit mau mencari air untuk menyiram itu gadis, tiba-tiba ia melihat dua orang berkuda menghampirinya dengan tampang tergesa-gesa. Wajah mereka menampakkan sikap tak bersahabat. Yang berpakaian biru mempunyai kumis tebal melengkung ke bawah, kurus, wajah lonjong, mata cekung, rambutnya kucai. Tapi dilihat dari pakaian biru berompi putih dengan sulaman benang emas itu, agaknya orang tersebut mempunyai suatu jabatan di suatu tempat. Sedangkan yang satunya lagi juga mengenakan rompi bersulam benang emas, tapi warnanya hitam. Baju lengan panjang dan celananya berwarna kuning kunyit. Wajahnya bundar, berkumis tipis, rambutnya tak begitu panjang, diikat kain kuning.

Kedua orang itu segera pelankan laju kudanya ketika mendekati Suto. Yang berompi putih bermata cekung itu, segera meloncat turun dari kuda sebelum kuda berhenti total. Bahkan tali kekang kuda dilepaskan begitu saja. Sikapnya menampakkan tak sabar ingin segera melabrak Pendekar Mabuk. Sebilah pedang di pinggangnya dicabut, kemudian dengan tanpa bilang ini itu, langsung saja ditebaskan ke dada Pendekar Mabuk.

Wusss...!

Pendekar Mabuk hanya mundur satu langkah dengan gerakan kecil yang amat cepat. Kemudian ia berkata kepada orang itu, "Apa-apaan ini?! Mengapa kau menyerangku?!"

Orang itu menodongkan pedangnya ke arah wajah Pendekar Mabuk. Bahkan ujung pedang itu berada didepan leher persis, hanya berjarak kurang dari sejengkal. "Jangan berlagak bodoh, Anak muda!" geram orang berkumis melengkung ke bawah itu. "Kau telah membunuh para prajurit dan pengawalku!"

"Prajurit yang mana?" Suto bingung.

Pedang disentakkan sedikit sebagai gertakan. Pendekar Mabuk sentakkan kepala ke belakang, takut tergores pedang lehernya.

"Tak perlu banyak bicara lagi! Serahkan saja bayinya!" kata orang itu.

Dan Suto makin kerutkan dahi. "Bayi apa?! Kau pikir aku habis beranak?!" Pendekar Mabuk agak menyentak.

"Kuhitung tiga kali, jika bayinya tidak kau serahkan, kubunuh kau sekarang juga!"

"Bayinya siapa?!" bentak Pendekar Mabuk jengkel sendiri.

"Satu...!" orang itu mulai menghitung. Pedang semakin dekat.

"Tunggu dulu! Kau sangka aku ini apa? Pencuri bayi? Hm... amit-amit! Untuk apa aku mencuri bayi?!"

"Dua...!" orang itu menambah hitungannya. Wajahnya semakin tampak menggeram bengis. Matanya memancarkan nafsu untuk membunuh.

Dan Pendekar Mabuk merasa sangat terdesak dengan hitungan itu. Tiba-tiba jari tangan Suto menyentil ke atas. Tapp...!

"Aou...!" orang itu memekik kaget, pedangnya lepas dari tangan, ia buru-buru ingin memungutnya, tapi kaki Pendekar Mabuk dengan segera menendang pedang itu.

Beettt...!

Pedang ditendang Pendekar Mabuk bagian sampingnya lalu melayang terbang dan menancap di sebuah batang pohon. Jubb...! Hampir separo batang pedang amblas ke pohon itu.

Orang berwajah lonjong terbengong. Temannya yang masih berada di atas kuda juga terbengong. Orang berwajah lonjong masih pegangi bagian sikunya yang tadi terkena sentilan bertenaga dalam dari jari tangan Pendekar Mabuk. Bahkan ia tampak terkesiap ketika melihat sikunya memar, tulangnya bengkak.

Yang di atas kuda membatin, "Gila orang itu! Tendangan pedangnya tadi tak seberapa keras, tapi bisa menancap di pohon sebegitu dalam. Jika ia bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa lakukan hal itu!"

"Perwira Loyang...! Kita laporkan saja hal ini kepada Laksamana!" seru orang di atas kuda kepada si muka lonjong itu.

"Aku harus menghajar anak ini dulu, biar dia tahu adat!" geram Perwira Loyang. Kemudian ia menghantamkan pukulannya ke arah Suto dengan gerakan yang cukup berat.

Bettt ! Wuttt!

Perwira Loyang terkejut, bingung mencari orang yang tadi dihantamnya. Matanya terbelalak kesana-sini.

"Perwira Loyang anak itu ada dibelakangmu!"

Begitu si muka lonjong itu menoleh ke belakang, ia makin terkejut, karena ternyata orang yang dipukulnya itu sudah ada di belakangnya dalam jarak dua langkah. Tapi orang itu tidak balas menyerangnya. "Jahanam Kupret! Kau mau main-main denganku, hah?!" geram si muka lonjong. "Kubuat mampus kau sekarang juga! Hiiih...!"

Wusttt...! Perwira Loyang melancarkan tendangan kipas dengan berbalik melingkar kakinya menendang wajah Pendekar Mabuk dengan sentakan keras. Tetapi apa yang ditendang itu ternyata tempat yang kosong. Pendekar Mabuk telah lebih dulu melesat saat si muka lonjong bergerak memutar. Mata orang itu jelalatan mencari lawannya. Bahkan ia sempat mencari sampai tubuhnya berkeliling. Tapi ia tak melihat lawannya yang seharusnya tadi terkena tendangan jika tidak menghindar.

"Perwira Loyang... lawanmu ada di atas pohon!"

Mendongaklah si Perwira Loyang. Terbengong ia melihat Suto sudah berdiri di sebuah dahan dan sedang menenggak tuaknya. "Turun kau, kalau memang jagoan!" bentak Perwira Loyang.

"Perwira Loyang..."

"Diam!" bentak Perwira Loyang kepada temannya yang ada di atas kuda. Kemudian ia memandang Suto yang tahu-tahu sudah ada di atas pohon itu. Ia berseru, "Kalau kau tak mau turun, aku akan pergi!"

Tiba-tiba ada suara deru kuda berlarian dari arah barat. Rombongan berkuda itu sedang menuruni lereng sebuah bukit tak jauh dari tempat itu. Teman yang ada di atas kuda itu segera berseru,

"Mereka datang, Perwira Loyang...! Lekas kita lari...! Tinggalkan tempat ini, Perwira! Ayo, ayo, ayo...!"

Melihat rombongan berkuda menuruni bukit, Perwira Loyang segera melompat dan hinggap di punggung kuda. Lalu, bersama temannya ia memacu kuda secepat mungkin. Mereka tampak ketakutan dan dengan cepat meninggalkan tempat itu.

"Kenapa mereka takut sama rombongan berkuda itu?! Siapa sebenarnya rombongan berkuda itu?!" pikir Suto Sinting. "Ah, sial! Belum sempat aku bicara baik-baik, menanyakan siapa anak gadis ini, dan bayi apa yang dimaksud? Eh..., sudah pergi! Sial!" Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala.

* * *

DUA
ROMBONGAN berkuda itu terdiri dari delapan orang. Lima orang membelok ke arah kiri, tiga orang membelok ke arah kanan untuk temui Suto Sinting. Pada saat itu, Suto sedang mendekati gadis bergaun merah jambu yang masih dibaringkan di rerumputan bawah pohon, ia sedikit mengeluh dalam tarikan napasnya begitu mengetahui tiga dari kedelapan rombongan berkuda itu menuju ke arahnya. Dilihat dari wajah-wajah mereka, tak satu pun yang tampak bersahabat.

"Bakal ada perkara lagi kalau dilihat gelagatnya! Malas aku bermasalah dengan orang yang sebenarnya tidak punya perkara apa-apa padaku," pikir Pendekar Mabuk sambil berlagak tidak memperhatikan kedatangan tiga orang berkuda itu.

Ringkik kuda terdengar bagai jerit perawan. Kuda berhenti setelah mengangkat kedua kakinya ke atas. Penunggang kuda berbulu hitam berjambul coklat itu memandang Suto dengan wajah angker, ia berada di tengah kedua temannya yang tetap di atas punggung kuda, di kanan-kirinya. Orang yang ada di punggung kuda hitam berjambul coklat itu mengenakan pakaian hitam dengan sabuk merah dan ikat kepala merah. Kepalanya gundul plontos, tampak seperti semangka warna coklat. Matanya lebar dengan alis tebal dan berkumis lebat, ia mengenakan kalung manik-manik seperti tasbih yang berbandul kulit kerang warna kuning kecoklatan. Orang itu berseru kepada Suto dengan suara kasarnya,

"Cecunguk! Kau pilih kugantung secara baik-baik atau kuseret sampai mati?!"

Pendekar Mabuk masih berlagak sibuk menyadarkan gadis yang pingsan. Orang berkepala botak yang diikat kain merah itu merasa semakin jengkel dengan sikap Suto. Maka ia pun lebih keraskan lagi suaranya,

"Monyet kurap! Jawab pertanyaanku!"

Seperti layaknya orang tuli, Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya dengan santai. Sikapnya kian meremehkan orang beralis tebal itu, sehingga orang itu menggeram dengan gemas, kemudian dari atas punggung kudanya ia lepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sentakan tangan kiri ke depan.

Wuttt...!

Suto segera turunkan bumbung tuaknya setelah diangkat naik untuk dituangkan ke mulut. Pada saat itulah tenaga dalam yang dilepaskan dari punggung kuda melesat dan menghantam bumbung tuak itu.

Beggh...! Wusssh...!

Pukulan tenaga dalam yang bergelombang besar tanpa wujud itu membalik ke arah lawan dan menjadi lebih besar lagi dari ukuran semula. Orang berpakaian hitam itu tak menyangka sama sekali kalau pukulannya akan membalik arah, sehingga dengan serta-merta terhempas ke belakang dan terjungkal dari atas kudanya.

"Uhg...!"

Bluggh...! Badannya jatuh seperti kerbau terjungkal dari atas pohon. Kudanya terlonjak kaget dan mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik. Sementara itu, kedua orang di samping si kepala botak itu juga ikut terkejut yang membuat mereka hanya terbengong saja menyaksikan orang itu jatuh terjungkal dari atas punggung kudanya. Mereka tak bisa bilang apa-apa, karena mereka dicekam oleh perasaan heran yang cukup besar.

Dalam hati, lelaki yang bercelana hijau dan memakai rompi hijau itu membatin, "Kenapa dia jungkir balik begitu? Dia yang melepaskan pukulan ke arah anak muda itu, tapi dia sendiri yang jatuh dari atas kuda?! Jangan-jangan aku salah lihat?!"

Orang bermata lebar itu cepat-cepat bangkit dan membentak kedua penunggang kuda tersebut, "Mengapa kalian melotot saja?! Lekas turun! Turun dan hajar si cecunguk tuli itu!"

Jlegg, jlegg...!

Kedua orang itu turun dari atas punggung kuda hampir bersamaan. Mereka melompat dan mendarat di samping kuda masing-masing dengan sigap. Mata mereka sama tajamnya pandangi Suto Sinting yang sudah berdiri menghadap ke arah mereka. Kedua orang itu segera sentakkan kaki dan melompat ke atas dengan jurus tendangan layang yang siap menerjang Pendekar Mabuk secara bersamaan. Tetapi Pendekar Mabuk cepat kibaskan bumbung tuaknya dari kanan ke arah kiri.

Wuttt...!

Kibasan cepat itu menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam yang disalurkan melalui bumbung tersebut. Gelombang pukulan itu menghempas kuat dua tubuh yang sedang melayang ke arahnya. Akibatnya ke dua tubuh itu terpental kebelakang bagai diterjang badai besar.

Wusss...!

Brukk...! Masing-masing jatuh terjungkal di samping kuda masing-masing.

"Agaknya kau memang memaksa kami melakukan pencabutan nyawa sekarang juga, Cecunguk!" sentak orang berkepala gundul yang diikat kain merah bagaikan pita sebuah bingkisan itu. Ia maju dua tindak dan tak pedulikan dua temannya yang sedang berusaha bangkit kembali. Mata orang itu makin nanar, seakan mata itu sendiri ingin menelan Suto.

Tetapi tatapan mata nanar itu dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata yang tenang dan damai. Senyum Pendekar Mabuk itu pun mekar tanpa kesan permusuhan. "Mengapa kalian menyerangku? Apakah aku punya urusan dengan kalian? Padahal aku tidak kenal siapa kalian!" kata Suto tenang sekali.

"Jangan pura-pura bodoh di depanku, Cecunguk!" gertak orang berpakaian hitam itu.

"Namaku Suto, bukan Cecunguk" sanggah Pendekar Mabuk.

"Persetan dengan namamu! Yang jelas kau adalah cecunguknya si keparat itu!"

"Si keparat siapa "

"Laksamana Cho Yung!" sentak orang berpakaian abu-abu.

Pendekar Mabuk melepaskan tawa pelan namun berkesan kegelian. Dikibaskannya rambutnya yang meriap ke depan, lalu dengan tetap kalem ia ucapkan kata, "Aku malahan tidak tahu siapa itu Laksamana Cho Yung!"

"Terlalu banyak bicara dia, Ki!" kata si rompi hijau. "Hantam saja dia!"

"Memang bangsat dia! Haiiit...!"

Wesss...! Orang gundul itu cepat melompat dan menerjang Suto dengan sebuah tendangan kaki besarnya. Lompatan itu cukup cepat, kakinya dalam sekejap sudah sampai di depan mata Suto.

Maka dengan cepat pula Suto sedikit merendahkan badan dengan kaki merentang ke samping kanan-kiri, lalu kedua tangannya bergerak cepat menyodok bagian kemaluan lawannya.

Begg...! Tidak persis kena sasaran, tapi cukup membuat lawan tersentak ke atas dan terjungkir balik di udara tanpa keseimbangan.

Brukk...! Orang gundul itu jatuh dalam posisi miring. Tangannya tertindih dan terasa ngilu di pangkal lengannya. Sedangkan bagian dekat pangkal paha pun terasa panas-panas sakit akibat sentakan kedua tangan Pendekar Mabuk yang bertenaga tak begitu besar tadi. Orang itu mencoba berdiri dengan mendekap kemaluannya, dan berjalan mendekati kedua temannya sambil tertatih-tatih.

"Bunuh dia sekarang juga! Bunuh!" sentak si kepala gundul yang agaknya menjadi pimpinan orang-orang berkuda itu.

Yang berpakaian abu-abu cepat mencabut tombaknya dari selipan pelana kuda. Tombak itu berujung clurit tajam mengkilap. Sedangkan yang bercelana hijau cepat mengambil senjatanya berupa cangkul kecil bergagang sekitar tiga jengkal panjangnya. Mereka segera berlari menyerang Pendekar Mabuk.

Tetapi jari tangan Pendekar Mabuk lebih cepat dari gerakan kedua orang tersebut. Jari tangan itu bergerak menyentil dua kali ke arah depan. Tebb... tebb...! Sentilan itu tentu saja bukan sembarang sentilan. Suto Sinting mempunyai jurus sentil jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'. Sentilan 'Jari Guntur' mengenai punggung tangan para pemegang senjata. Seketika itu mereka berteriak kaget dan kesakitan.

"Aoow...!"

"Auh...!"

Tubuh mereka sendiri terpelanting ke belakang bagai ditendang kuda dari arah dada kanan masing-masing. Badan yang melintir itu menabrak perut kuda, bahkan ada yang jatuh persis di bawah kaki kuda. Hampir saja wajah orang yang jatuh itu diinjak kaki belakang kuda kalau saja ia tidak cepat berguling hindarkan diri dari gerakan kaki kuda yang melompat sambil menyentak.

Melihat kedua temannya atau anak buahnya mudah dirubuhkan begitu saja, si kepala gundul semakin marah. Maka, dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Pukulan tenaga dalam berkekuatan besar dihempaskan ke arah Pendekar Mabuk.

Wugggh...!

Suto terkejut, ia tak sempat menghindarkan diri hingga gelombang pukulan itu menghantam tubuhnya, terasa bagai ditabrak tembok besar sekujur tubuh Suto. Buggh...!

Wuttt...!

Hampir saja Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang akibat hempasan tenaga besar tersebut. Untung ia cepat sigap dan walau terhempas ke belakang dalam jarak lima langkah, namun ia bisa kuasai keseimbangan tubuh. Bagaikan bersalto Pendekar Mabuk mendaratkan kakinya dengan sigap kembali.

Kedua orang yang tadi senjatanya terlepas dari tangan itu segera meraih kembali senjata masing-masing. Mereka cepat berlari untuk menyerang Suto dengan senjata tersebut. Namun, Suto Sinting lekas hentakkan suaranya, "Tahan!"

Bentakan itu membuat kedua orang yang akan menyerangnya menjadi terhenti seketika. Mereka bahkan mundur satu tindak dengan mata masih memandang tajam pada Suto Sinting. Sedangkan orang botak di belakang mereka berseru,

"Serang dia! Bunuh sekarang juga!"

"Tahan!" bentak Suto lagi. Kedua orang itu lebih menurut dengan seruan Suto ketimbang dengan seruan si gundul. Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus 'Sentak Bidadari' yang bisa bikin keberanian orang surut dan menjadi penurut jika orang itu tidak berilmu tinggi, itulah ilmu warisan dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.

Si baju hitam berkepala gundul itu membatin, "Hebat juga si cecunguk ini?! Kurasakan ada getaran tersendiri dalam batinku kala kudengar dua kali sentakannya tadi! Sentakan itu agaknya mampu membuat keberanian Cangkul Lahat dan Tayub Jali menjadi hilang atau berkurang! Agaknya aku tak boleh sembrono berhadapan dengan dia!" Kemudian, dengan suara masih bernada keras orang gundul itu berseru kepada Tayub Jali dan Cangkul Lahat, "Tayub Jali, mundur kau...! Biar kuhadapi sendiri bocah ingusan itu!"

Orang berpakaian abu-abu yang bersenjatakan tombak berujung clurit itu segera mengundurkan diri. Tapi temannya masih tetap diam ditempat.

"Cangkul Lahat, mundur juga kau!" seru si kepala gundul.

Orang bersenjatakan cangkul kecil yang tajam itu pun segera mengundurkan diri, tak jauh dari depan kudanya. Setelah itu, si kepala gundul maju dua tindak dari tempatnya dan segera ucapkan kata kepada Pendekar Mabuk.

"Cukup lumayan permainanmu, Bocah Ingusan! Tapi jangan harap dengan modal permainan itu kau bisa tundukkan aku si Pawang Jenazah yang tak pernah kenal ampun kepada lawannya!" Ia tepuk dadanya sendiri, sombongkan diri.

Dari ucapannya itu Suto tahu bahwa si kepala botak itu bernama Pawang Jenazah. Jelas itu hanya nama julukan saja. Siapa nama aslinya, Pendekar Mabuk tak berminat untuk mengetahuinya. Suto hanya berkata, "Aku tak bermaksud menundukkan kamu, Pawang Jenazah! Aku hanya menahan seranganmu dan mengembalikannya, karena aku bukan orang bersalah!"

"Kau memang tidak bersalah, tapi juraganmu itu manusia yang penuh dengan kesalahan!"

"Aku tidak punya juragan! Aku juga tidak punya pimpinan!"

"Kau mau mengelak karena takut berhadapan denganku?! Kau mau pungkiri diri dan mengaku bukan anak buahnya Laksamana Cho?!"

"Memang bukan! Kau salah sangka, Pawang Jenazah!"

"Mataku belum bolong, Cecunguk! Kulihat kau tadi berunding dengan Perwira Loyang!"

"Aku tidak kenal dengan Perwira Loyang!" sanggah Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. "Kalau yang kau maksud Perwira Loyang adalah orang berkuda yang tadi berada di sini bersamaku itu, berarti kau salah duga, Pawang Jenazah! Aku bukan berunding atau berteman dengannya. Justru aku mencoba bertahan diri dari serangannya! Aku sendiri tak tahu, mengapa dia menyerangku dan menanyakan soal bayi?!"

"Omong kosong! Kau pandai berkilah dengan tujuan selamatkan diri dari jurusku yang sebenarnya, Cecunguk!"

"Kalau hanya untuk menyelamatkan diri, tak perlu aku berkilah menjelaskan duduk perkara sebenarnya, Pawang Jenazah! Sudah kubilang tadi, apa susahnya menundukkanmu dalam sekejap, seperti orang menarik uban dari kepalanya! Tapi bukan itu tujuanku bicara denganmu! Aku hanya tak ingin di antara kita ada salah pengertian, Pawang Jenazah!"

Pawang Jenazah yang berusia sekitar lima puluh tahun itu melirikkan matanya ke perempuan muda yang masih pingsan itu. Ia sedikit sipitkan mata, dan segera melebar kembali, sepertinya ia baru sadar siapa perempuan yang tergeletak pingsan itu. "Bagaimana dengan gadis itu?!" tanyanya, kepada Suto, dan dahi Suto semakin berkerut karena tidak jelas apa maksud pertanyaan itu.

"Apa yang kau tanyakan sebenarnya?"

"Bukankah kau bersama gadis itu?!"

"Ya. Dia kuselamatkan dari serangan para mayat yang bangkit dari kuburan!"

"O, jadi kau yang selamatkan dia?! Jahanam...!" geram Pawang Jenazah. "Berarti kau sudah terlalu dalam turut campur dalam urusanku, Cecunguk Busuk!”

Pawang Jenazah semakin tambah marah kelihatannya. Suto Sinting merasa heran dengan kemarahan Pawang Jenazah. Tapi segera paham setelah Pawang Jenazah ucapkan kata,

"Sia-sia kubangkitkan mayat-mayat itu jika hanya untuk membunuh orang-orang Cho, tanpa bisa membunuh gadis itu pula! Lancang sekali kau, Cecunguk! Mestinya gadis itu sudah mati diterkam habis oleh pasukan mayatku!"

"Kasihan dia! Melihat mayat sebanyak itu saja sudah pingsan, apalagi jika harus diterkam ramai-ramai oleh pasukan mayat! Pasti dia akan mati, bukan hanya pingsan!"

"Memang itu yang kumau!" bentak Pawang Jenazah. "Sekarang serahkan perempuan muda itu padaku!"

"Siapa perempuan itu, sehingga kau ingin membunuhnya?"

"Tak perlu tahu! Serahkan perempuan itu jika benar kau bukan anak buahnya Laksamana Cho!" suaranya makin meninggi, menandakan kemarahannya kian bertambah tinggi pula.

Pendekar Mabuk mempertimbangkan langkah sesaat. Jelas jika ia menyerahkan gadis cantik yang amat lembut itu, sama saja ia membunuh gadis itu. Tapi jika tidak, maka ia akan dianggap sebagai anak buah Laksamana Cho Yung. Agaknya antara Pawang Jenazah dan Laksamana Cho Yung telah terjadi perselisihan sengit yang membuat Pawang Jenazah harus membunuh orang-orangnya Laksamana Cho Yung. Jika Pawang Jenazah mau membunuh gadis bersumpit emas itu, berarti gadis tersebut adalah anak buahnya Laksamana Cho Yung. Tapi gadis itu belum tentu bersalah.

"Pawang Jenazah, sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau ingin membunuh semua orang-orangnya Laksamana Cho?"

"Kau tak perlu tahu! Serahkan saja perempuan itu padaku dan cepatlah minggat dari hadapanku! Jangan paksa aku bertarung denganmu seperti aku menghadapi Laksamana Cho!"

"Aku harus tahu perkara yang sebenarnya, supaya aku tidak memihak ke mana-mana! Setidaknya aku perlu pertimbangan supaya aku bisa tentukan langkah, apakah aku harus serahkan perempuan itu kepadamu atau kupertahankan!"

"Babi Burik!” umpat Pawang Jenazah. "Jangan sekali-kali kau punya niat untuk selamatkan perempuan itu, jika kau masih ingin hidup lebih lama lagi, Cecunguk! Sebaiknya cepatlah minggat dan tinggalkan perempuan itu!"

"Aku tidak bisa!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas. "Sebelum kutahu perkara yang sebenarnya antara kau dengan Laksamana Cho, aku tidak akan tinggalkan gadis itu!"

"Persetan dengan tekadmu! Rupanya tak ada waktu lagi bagimu untuk pertimbangkan langkah! Sebaiknya kulenyapkan juga kau, Cecunguk!"

Pawang Jenazah segera mengangkat tangannya dengan tenaga dikerahkan. Tangan yang berada di depan dada kanan-kiri itu mulai bergetar. Agaknya kali ini Pawang Jenazah tak mau main-main seperti tadi. Ia siap melepaskan jurus-jurus mautnya yang mematikan lawan. Matanya pun sudah mulai semburat merah bagai dibakar amukan amarah.

Suto tetap tenang, tapi penuh dengan kewaspadaan, ia sempat ucapkan kata kepada lawannya, "Jelaskan dulu persoalannya, supaya kalau toh aku mati, dapat mati dengan mata terpejam!"

"Persetan mau terpejam atau mendelik matamu nanti! Yang jelas, terimalah pukulan mautku ini! Hiaaah...!"

Wuttt...! Cahaya merah melesat dari kedua telapak tangan Pawang Jenazah. Cahaya itu berbentuk seperti uang logam yang menyala-nyala dan bergerak cepat ke arah Suto Sinting.

Oleh Pendekar Mabuk cahaya itu dapat dihindari dengan satu sentakan kaki secara pelan ke tanah dan tubuhnya terangkat melesat ke atas dan berjungkir balik satu kali di udara. Cahaya merah itu akhirnya menghantam pohon yang jauh di belakang Suto.

Duarr...! Duarr...!

Pohon itu pecah bagai disambar petir. Pawang Jenazah menggerakkan tangannya dengan cepat, wut wut wut...! Dua jari tahu-tahu sudah ada di dahinya. Dua jari yang ada di dahi itu disentakkan ke depan dan melesatlah sinar merah kecil seperti ranting panjang yang menuju ke arah tubuh gadis pingsan itu.

"Celaka! Dia mau menghancurkan gadis itu!" pikir Suto. Maka, dengan cepat Suto lompatkan diri menghadang sinar merah itu di samping tubuh gadis yang terbaring. Suto Sinting berguling sambil hadangkan bumbung tuaknya. Sinar merah seperti ranting mengenai bumbung tuak, dan memantul balik ke arah semula.

Zrubbb...! Wusss...!

"Bangsat!" teriak Pawang Jenazah sambil melompat menghindari sinar merah yang berubah menjadi lebih besar dan lebih cepat dari keadaan semula.

Dubb...! Blarrr...!

Ledakan itu amat mengejutkan. Seekor kuda milik Tayub Jali pecah tubuhnya tanpa sempat memekik lagi. Sempalan tubuh kuda itu menghantam ke kanan kiri, membuat Tayub Jali dan Cangkul Lahat terpental berlainan arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari tempat berdirinya semula.

"Aku harus melarikan gadis itu, supaya tahu perkara sebenarnya!" pikir Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia menyambut tubuh pingsan itu, ia panggul ke pundaknya dan cepat pergi bagaikan angin berhembus. Wuttt...! Pawang Jenazah terbengong sekejap, tak percaya dengan sebuah gerakan secepat yang dilihatnya.

* * *

TIGA
KALAU saja Pawang Jenazah bisa melihat arah larinya Pendekar Mabuk dan gadis itu, pasti ia akan mencegat dengan segala cara. Sayangnya, Pawang Jenazah hanya melihat Suto berkelebat pergi. Wesss...! Begitu saja, dan tak bisa dilacak ke mana arah perginya. Seandainya ia melakukan pencegatan, harus ke arah mana ia mencegatnya?

"Ke mana orang itu tadi, Ki Pawang?" tanya Cangkul Lahat, ia baru saja sadar dari terguling-gulingnya tadi. Tubuhnya bermandi darah kuda. Merah sekujur tubuh Cangkul Lahat, demikian pula tubuh Tayub Jali.

Pawang Jenazah tidak menjawab pertanyaan itu, karena hatinya masih berkecamuk, "Sehebat itukah anak buah Laksamana Cho? Mudah-mudahan dia memang bukan anak buah Laksamana Cho! Ilmunya cukup tinggi, itu terlihat dari caranya pergi dari depanku. Dia jelas sulit dikalahkan, sekalipun aku mampu menumbangkannya tapi harus dengan susah payah! Hmm... aku bisa kerahkan pasukan mayatku untuk melumpuhkan orang itu! Tapi itu soal nanti! Mudah saja! Sekarang yang penting aku harus temukan di mana kapal laksamana bersandar! Akan kuhancurkan kapal itu, dan kuhancurkan pula si keparat itu! Kalau perlu kujadikan dia bubur manusia yang pertama di jagad raya ini! Hmm...!"

Lalu ia melompat dengan satu sentakan kaki ke tanah, tubuhnya melayang dan berjungkir balik ke belakang. Kejap berikutnya Pawang Jenazah sudah bertengger di atas punggung kudanya. "Kita susul teman-teman kita kepantai! Kita susuri pantai sampai kita temukan kapal si keparat itu!" katanya kepada kedua anak buah tersebut. Tayub Jali terpaksa berboncengan satu kuda dengan Cangkul Lahat, karena kudanya telah pecah binasa tak berbentuk lagi.

Nun jauh di sisi sebelah sana, terdapat sebuah bangunan besar yang keadaannya sudah sebagian hancur. Bangunan itu konon dulunya bekas sebuah gedung perguruan silat aliran keluarga Sanjaya Laga. Keluarga tersebut cukup kesohor pada masanya. Kabar-kabarnya jurus-jurus yang dipakai dalam aliran silat Sanjaya Laga merupakan pengembangan dari jurus-jurus 'Shaolin'.

Hampir seratus tahun lewat, keluarga Sanjaya Laga dikalahkan oleh golongan hitam dari Tanah Tibet. Mereka berhasil menggempur habis kekuatan keluarga Sanjaya Laga, menjagal semua penghuni gedung kuno itu tanpa menguburkannya satu pun.

Dan sejak itulah aliran silat Sanjaya Laga punah dari permukaan bumi, tanpa ada penerusnya. Sejak itu, gedung beratap tinggi itu menjadi saksi bisu yang tinggal dalam kesunyian abadi. Temboknya menjadi hitam dan berlumut. Lantainya sudah ditumbuhi oleh rumput liar. Atap depan rubuh ke bawah, menutup jalan masuk gedung tersebut. Tapi melalui sisi samping ada lorong yang menuju bagian belakang gedung tersebut. Bagian belakang itu sendiri jarang terkena sinar matahari sehingga tempatnya menjadi lembab dan kotor.

Menurut kabar burung, gedung itu sering mengeluarkan suara aneh bila malam hari. Seperti suara orang berlatih jurus-jurus silat, atau seperti orang memekik kesakitan. Tak ada manusia yang mau lewat dekat-dekat situ bila malam hari. Selain gedung itu gelap tanpa sinar, juga sering menyebarkan bau bangkai membusuk. Orang-orang menamakannya sebagai Rumah Busuk.

Tak jauh dari gedung itu ada sebuah perkampungan. Tetapi Pendekar Mabuk tidak mau membawa gadis Cina yang masih pingsan itu ke perkampungan tersebut. Sekalipun Suto yakin akan mendapat tumpangan untuk bermalam di perkampungan tersebut, tapi ia memilih gedung kuno itu yang menjadi tempat menyembunyikan si Sumpit Emas tersebut.

Di dalam gedung kuno itu, Suto merasa heran setelah menemukan sebuah ruangan yang agaknya dulu bekas sebuah kamar. Kamar besar itu lain dari ruangan-ruangan yang ada di Rumah Busuk tersebut. Kamar besar itu berlantai bersih, berdinding putih, mempunyai empat tempat pelita yang menempel di dinding. Juga terdapat selembar tikar walau sudah rusak bagian tepinya. Kamar itu jelas ada yang merawat dan menempatinya. Walau tanpa jendela atau lubang angin satu pun kecuali pintu setinggi tiga tombak, tapi kamar itu tidak mengandung udara lembab seperti kamar-kamar lainnya.

Gadis berpakaian merah jambu itu dibaringkan oleh Suto di atas tikar tersebut. Hari sudah remang petang, sehingga Pendekar Mabuk terpaksa menyalakan keempat pelita dengan bantuan ranting kering yang dibakar oleh tenaga dalamnya dari ujung jari telunjuk. Ruangan itu menjadi terang, tapi tetap tak bisa terlihat dari luar rumah cahaya terangnya itu.

"Siapa penghuni kamar ini?" pikir Pendekar Mabuk sambil melangkah memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu. "Tak mungkin kamar itu bersih dengan sendirinya jika tidak ada penghuninya! Pasti ada orang yang bersembunyi di kamar itu, entah sudah berapa lama! Apa yang dilakukan orang itu selama bersembunyi di rumah yang terkesan angker ini, tak bisa kuterka. Tak ada tanda-tanda bekas makanan, berarti kamar itu tidak digunakan untuk makan. Tak ada tanda-tanda bekas gempuran, berarti kamar itu tidak dipakai untuk berlatih silat! Dan tak kucium bau wewangian, berarti tempat itu tidak dipakai untuk bermesraan! Lalu, ke mana orang yang menghuni kamar itu sekarang ini? Aku mau minta izin untuk menempatinya beberapa saat!"

Berulang kali Suto mengelilingi Rumah Busuk itu untuk mencari seseorang yang diduga menjadi penghuni kamar bersih itu, tapi ia tidak temukan apa-apa, kecuali seekor ular yang dapat segera dihancurkan kepalanya dengan pukulan jarak jauhnya. Pendekar Mabuk pun segera kembali masuk ke kamar itu dengan harapan gadis tersebut sudah siuman. Tapi ternyata gadis itu masih tetap terbujur bagai tidur nyenyak. Suto Sinting jadi berpikir,

"Mengapa gadis itu pingsan begitu lama? Umumnya orang pingsan tak sampai setengah hari sudah siuman! Tapi gadis ini sampai malam tiba masih saja belum siuman! Apa penyebabnya sampai ia bisa pingsan lama begini?"

Pendekar Mabuk kembali meneguk tuaknya. Sempat ia berpikir ingin semburkan tuak ke dalam mulut gadis itu supaya siuman, tapi kembali hatinya bergemuruh jika memandang bibir perempuan itu, sehingga ia batalkan niatnya itu. Bahkan untuk memandang si baju merah jambu terlalu lama, Suto tak berani. Karena gemuruh dalam dadanya begitu kuat dan makin lama memandang makin menyentak-nyentak, sehingga ia berpikir lebih baik meninggalkan dulu gadis itu. Ia segera keluar rumah, memandang kegelapan malam yang sepi dan sunyi, menikmati suara derik jangkrik di kejauhan sana.

"Mungkinkah gadis itu terkena pukulan maut yang mematikan segala urat kesadarannya?! Seingatku, dia masih tetap di dalam tandu pada saat mayat-mayat itu menyerangnya. Belum sempat ia terjamah oleh mayat, aku sudah lebih dulu menyelamatkannya! Jadi, apa yang membuat dia pingsan selama ini? Rasa kaget! Rasa takut melihat mayat bangkit? Atau karena sesuatu hal yang belum kuketahui?"

Sambil bicara sendiri dalam hatinya, Suto Sinting meneguk tuaknya sesekali. Alam yang dibungkus malam gelap itu sama sekali tak timbulkan penglihatan apa pun. Nyamuk menyerang Suto. Nyamuk di situ besar-besar, sehingga terasa menepak seekor lalat yang menclok di pipi.

"Bisa mati dikeroyok nyamuk kalau aku di luar rumah terus. Sebaiknya aku ikut beristirahat sebentar di dalam kamar itu!" pikir Suto Sinting sambil melangkah masuk melalui lorong kecil menuju bagian belakang rumah. Tempat itu sedikit becek, namun punya bebatuan kering yang bisa digunakan sebagai tempat berpijak.

Pintu kamar yang tetap dibiarkan terbuka itu membuat bias cahaya lampu pelita menyorot ke luar. Dan karena pintu kamar terbuka, maka dari depan pintu saja Pendekar Mabuk sudah bisa melihat keadaan di dalam kamar. Langkah Suto Sinting terhenti dan matanya terkesiap dengan hati terperanjat kaget. Tubuh gadis itu sudah tidak ada di atas tikar.

"Hilang...?!" gumam Suto dalam keheranannya, lalu cepat-cepat ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu. Tertegun sejenak ia memandang tikar yang kosong. Tiba-tiba punggungnya terasa ditabrak oleh benda besar dan keras. Beggh...! Benda yang terasa menyentak punggung itu tidak mengenai bumbung bambunya, sehingga tubuh Suto tiba-tiba saja terpental ke depan dan terasa bagai dilemparkan oleh tenaga yang cukup besar. Pendekar Mabuk terjungkal dan membentur dinding dekat tikar.

Dugg...!

Buru-buru Pendekar Mabuk palingkan wajahnya ke arah pintu yang tadi dipunggunginya. Ternyata di sana sudah berdiri gadis bergaun merah jambu. Si Sumpit Emas memandang Suto Sinting penuh hasrat permusuhan. Sikap berdirinya yang sedikit renggang kaki itu menampakkan bahwa dirinya telah siap menyerang, atau diserang sewaktu-waktu.

Sedangkan Pendekar Mabuk saat itu diam terpana melihat kecantikan gadis itu jika tidak dalam keadaan pingsan. Pelan-pelan ia bangkit dengan mata tak berkedip. Tetapi, tiba-tiba gadis bersumpit emas itu kelebatkan tangannya yang bergaun lengan panjang lebar itu, wuttt...! Gerakannya seperti orang mengusir nyamuk di depannya. Lalu, terasa jelas ada gelombang berkekuatan besar menghantam badan Suto.

Buggh...!

Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia ingin tahu kekuatan apa yang bisa dikeluarkan oleh gadis bersumpit emas di rambutnya itu. Ternyata cukup besar. Suto sampai terhempas kuat-kuat dalam keadaan terlempar membentur dinding lagi bagian lengannya. Pandangan matanya sempat gelap sebentar saat menerima gelombang pukulan yang dilepaskan gadis itu. Suto segera kejap-kejapkan mata dan kibaskan kepala sebentar untuk membuang pandangan gelapnya itu.

Ketika ia memandang kembali ke arah pintu, ternyata gadis itu telah melompat ke dinding, lalu dengan cekatan sekali ia berlari merayapi dinding seperti seekor cecak. Plak plak plak plak! Dalam waktu singkat sudah mendekati langit-langit kamar tersebut.

"Gila itu bocah!" gumam Pendekar Mabuk dalam hati sambil mendongakkan kepala, memandangi tingkah gadis itu. "Rupanya dia punya ilmu cukup lumayan! Di samping bisa merayap seperti seekor cecak, juga punya tenaga dalam cukup besar! Jika orang kosong menerima pukulan tenaga dalamnya tadi pasti sudah rontok bagian dalam dadanya. Tapi... mengapa dia menyerangku begitu? Apakah dia belum tahu bahwa akulah yang menyelamatkan jiwanya dari ancaman serangan mayat- mayat tadi siang di kuburan?"

Mata bundar yang bening dari gadis itu memandang nanar pada Pendekar Mabuk. Dari caranya memandang, Suto tahu gadis itu ketakutan dan tak mau diserang. Ia berjaga diri dari ancaman maut yang disangkanya akan datang dari tangan Pendekar Mabuk.

"Turunlah!" kata Suto tanpa suara membentak, melainkan kalem.

Gadis itu diam saja, masih berpaling memandangi Suto dengan keadaan tangan dan kakinya menempel pada dinding. Melihat gadis itu diam saja, Suto melangkahkan kaki, maju dua tindak dari tempat berdirinya, kemudian berkata, "Turunlah, aku mau bicara denganmu!"

Tapi tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan terbang, ia melesat ke arah Pendekar Mabuk dengan sentakan kedua tangannya pada dinding, ia memekik saat menyerang terbang, "Hiaaat...!"

Sambil terbang, tangannya bergerak-gerak cepat memainkan jurus aneh yang sulit diikuti pandangan mata Pendekar Mabuk. Agaknya jurus itu cukup handal dan akan mencelakakan jiwa Pendekar Mabuk jika tidak segera menghindar. Maka, Pendekar Mabuk pun cepat menghindar dengan cara menggulingkan badan ke lantai dua kali. Wutt, wutt...!

Gerakan terbang cepat itu tak mengenai sasarannya. Akibatnya, tubuh yang terbang itu membentur dinding yang tadinya dipunggungi oleh Suto Sinting. Brukk...!

"Auh...!" gadis itu memekik karena tubuhnya bagai dihajarkan pada dinding, ia jatuh setelah itu dan menyeringai kesakitan. Keningnya diusap-usap karena terasa sakit diadu dengan dinding.

Pendekar Mabuk tertawa pelan melihat kejadian tersebut, ia dapat membayangkan alangkah sakitnya tubuh yang menabrak dinding dengan kecepatan lumayan keras itu. Suto Sinting sengaja tidak menolong gadis itu selain menertawakan.

Mendengar suara tawa Suto, gadis bersumpit emas itu cepat-cepat menahan diri untuk tidak meringis dan mengerang kesakitan, ia bahkan lekas bangkit dan menghadap Suto dengan tangan terangkat siap melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauhnya.

"Tunggu, tunggu...! Jangan serang aku!" Pendekar Mabuk menahannya dengan terburu-buru, ia melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Tapi gadis itu nekat melepaskan pukulan dari tangan kanannya yang telah terangkat di atas kepala itu.

"Hiaat...!" Wusss...!

Buhgg...! Gubrak...!

Suto terjengkang ke belakang. Jatuh dengan telentang. Punggungnya terganjal tabung tuak. Ia menyeringai menahan sakit, lalu dengan ayunan pinggulnya ia melenting ke atas, bangkit dengan kaki menapak sigap di lantai. Jlegg...!

"Jauhi aku, atau kubunuh kau!" ancam gadis itu.

"Keduanya tak ada yang kupilih! Aku hanya ingin jelaskan, bahwa aku bukan musuhmu!"

"Omong kosong!" sentak gadis itu. "Kau pasti orangnya Pawang Jenazah! Kau pasti salah satu dari mayat hidup yang menyerangku di dalam tandu!"

"Aha, kau salah duga, Nona Manis," jawab Suto Sinting sambil pamerkan senyumnya yang menggoda. Tapi nona manis itu masih saja tampilkan wajah cemberut. Pendekar Mabuk melanjutkan kata, "Kau memang tadi siang diserang oleh pasukan mayat di jalan depan kuburan itu. Tapi aku bukan salah satu anggota dari pasukan tersebut!”

"Baumu busuk. Bau bangkai! Kau pasti sesosok mayat!"

Pendekar Mabuk tertawa masam, "Itu bukan bauku. Itu bau rumah ini, Nona Manis! Kau tahu, sekarang kau kubawa ke Rumah Busuk ini, karena tak ada pilihan lain untuk sembunyikan dirimu!"

"Bohong! Kau dusta padaku! Hiaaat...!" Tangan gadis itu berkelebat dengan cepat bagai simpang-siur di depan wajahnya, lalu tiba-tiba ia melayang dengan tubuh berputar. Kain gaunnya sampai tampak mengembang indah. Tapi punggung telapak tangannya menghantam dada Suto dengan gerakan cukup cepat.

Duggh...!

"Auh...!" Suto terpekik karena menahan napas saat mendapat pukulan tersebut, ia mundur dua tindak. Gadis itu berkelebat memutar lagi, lalu tangannya yang kiri kembali menyodok ulu hati Suto memakai punggung telapak tangan yang menguncup.

Dess...!

Suto menahan pukulan kedua dengan telapak tangan kanannya. Sambil menahan pukulan, ia kerahkan sedikit tenaga dalamnya untuk mendorong tangan lawan. Wuttt...! Gadis itu terpelanting dalam keadaan lari mundur dan sempoyongan. Tubuhnya membentur dinding tak seberapa keras, tapi membuat ia berhenti dari terpelantingnya.

"Hiaaat...!" kembali ia segera menyerang dengan gerakan cepat. Kali ini dua jari tangannya melepaskan sinar kuning yang mengarah ke dada Suto Sinting. Wesss...!

"Kalau kutangkis dengan bumbung tuak, bisa membalik mengenai dirinya! Bahaya!" pikir Pendekar Mabuk, maka segera ia sentakkan kaki dan melompat ke atas tanpa bergerak maju. Sinar kuning itu melesat lewat bawah kaki Suto dan menembus dinding belakangnya. Bluss...!

"Edan! Dinding itu bolong tanpa semburkan debu sedikit pun?! Sakti juga sebenarnya gadis ini?! Tapi mengapa dia tadi tidak keluar dari tandu dan ikut menyerang mayat-mayat tersebut?" pikir Suto Sinting lagi setelah melihat dinding jadi bolong tanpa timbulkan semburan debu sedikit pun. Bolongnya dinding itu sebesar uang logam. Tepiannya berwarna hangus.

"Hiaaat...!" gadis itu kembali menyerang Pendekar Mabuk.

Kali ini dengan sebuah tendangan beruntun yang punya kecepatan cukup tinggi menurut ukuran kecepatan tendang seorang berilmu sedang. Tendangan beruntun ke arah wajah Pendekar Mabuk itu dihindari dengan meliuk-liuk kepala beberapa kali. Tak satu pun tendangan beruntun yang mampu mengenai wajah Suto. Tetapi dengan cepat bagaikan kelebatan anak panah, jari tangan Pendekar Mabuk menotok mata kaki gadis itu.

Takkk...!

"Aauuuh...!" gadis itu langsung mengerang panjang sambil terbungkuk-bungkuk memegangi mata kakinya.

Pendekar Mabuk membiarkan gadis itu menahan sakit, ia jauhi gadis itu, dan kini berada di sudut kamar kosong tanpa benda apa pun itu sambil menenggak tuaknya.

"Jahanam kau!" geram gadis itu sambil tetap membungkuk pegangi mata kakinya. Suto yang berdiri memandang gadis itu hanya tersenyum. Gadis itu tampak makin menggeram, ia ingin melompat dan menyerang Suto, Tapi ia tak mampu gerakkan tangan, kaki ataupun punggungnya yang tetap membungkuk, ia telah tertotok dan menjadi tak bisa bergerak kecuali kepalanya.

"Sudah kukatakan, aku bukan musuhmu!" kata Suto Sinting.

"Bebaskan aku jika kau bukan musuhku!" bentak gadis itu.

"Kau berjanji tak akan menyerangku lagi?"

"Itu tergantung keputusanku nanti!"

"Kalau begitu kau tidak akan kubebaskan! Dan, sepertinya aku sudah kehabisan waktu! Aku harus pergi sekarang juga untuk suatu urusan!" Pendekar Mabuk melangkahkan kakinya menuju ke pintu. Gadis itu memekik dengan suara kecilnya,

"Hai, bebaskan aku dulu!"

"Permisi! Sampai jumpa lagi di lain waktu!" Pendekar Mabuk keluar dari kamar itu, dan sang nona manis itu memekik keras,

"Bebaskan aku dulu! Jangan pergi kau, Gila!"

Sang nona manis mencoba gerakkan tubuhnya untuk melompat-lompat dalam keadaan membungkuk pegangi mata kakinya. Tapi tubuhnya bagaikan terpaku di lantai kamar itu. Ia berseru lebih keras lagi,

"Hai...! Gilaaa...! Jangan pergi! Jangan tinggal aku sendirian di tempat ini! Gilaaa...! Gila! Kuremukkan kepalamu kalau kau tak mau kembali! Haaai...! Kembali...!"

Suto sunggingkan senyum ketika mendengar teriakan gadis itu di luar rumah. Suara kecilnya yang melengking bagai pisau tajam merobek sunyinya malam. Segala sumpah serapah dan cacian terlontar karena kepanikan hati sang nona manis. Dan Pendekar Mabuk itu semakin tertawa geli dengan suara ditahan.

* * *

EMPAT
TIDAK setega itu Pendekar Mabuk terhadap gadis bersumpit emas. Meninggalkan sendirian di Rumah Busuk merupakan tindakan yang tergolong keji, karena sama saja menyiksa hati yang dicekam perasaan takut terhadap hantu-hantu Rumah Busuk. Tetapi agaknya gadis itu bukan seorang yang mudah menyerah. Setelah ia dibebaskan totokannya oleh Pendekar Mabuk, ia kembali menyerang dengan berbagai jurus, ia tetap mencurigai Suto sebagai komplotan Pawang Jenazah.

Sampai pada kejap berikutnya, Pendekar Mabuk berhasil menangkap tangan gadis itu yang hendak memukulnya dari belakang. Tangan itu ditariknya hingga tak sengaja gadis itu telah memeluk Pendekar Mabuk. Suto sengaja menjebaknya begitu, sehingga gadis berkulit putih itu menjadi merah wajahnya karena malu. Suto Sinting menertawakannya, si gadis bertambah garang. Kemudian ia menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan bercahaya kuning lagi. Tetapi cahaya kuning itu memantul balik setelah ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan tabung tempat tuaknya.

Wuttt...!

Wess...! Gadis itu melompat dan bersalto di udara dua kali. Sinar kuning kembali menembus dinding dan bolonglah dinding itu tanpa keluarkan debu sedikit pun. Lebar bolongan dinding itu lebih besar dari lobang dinding yang pertama. Dengan begitu, si gadis terbengong dan terheran-heran melihat kenyataan di depan mata. Mau tak mau di dalam hati nona manis itu mengakui kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk. Apalagi kala itu Suto pun berkata,

"Jangan serang aku lagi, Non! Karena ilmu yang kau serangkan padaku bisa membunuh dirimu sendiri!"

"Apakah kau tak punya ilmu apa-apa, sehingga sejak tadi kau tidak menyerangku?!" ucapnya dengan ketus.

"Tidak. Aku memang tidak punya ilmu apa-apa, tapi dapat membunuhmu dengan mudah kalau kau memaksanya terus!"

"Bunuhlah!" sentak gadis itu. "Bunuhlah aku! Itu lebih baik daripada kau biarkan aku tetap hidup!"

"Hidup itu indah, Nona!"

"Tidak! Hidup itu tidak ada indahnya sama sekali bagiku! Lekas, bunuhlah aku! Bunuhlah sekarang juga!" Gadis itu menangis, ia duduk bersandar dinding sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya makin lama semakin tampak menjadi. Agaknya gadis itu benar-benar menangis, dan bukan hanya berpura-pura saja.

Pendekar Mabuk jadi serba kikuk menghadapi gadis cantik yang menangis terisak-isak begitu. Tak mengerti Suto harus berbuat bagaimana meredakan tangis gadis itu. Yang dapat dilakukan Pendekar Mabuk hanya menenggak tuaknya sendiri beberapa teguk, kemudian berdiri di pintu memandang kegelapan, ia tunggu suara tangis itu hingga mereda dan makin lama menjadi semakin hilang.

Setelah itu, Suto mendekat nona manis itu dengan hati-hati dan tak berani menggodanya lagi. Ada duka yang tersekap di hati nona manis itu. Suto tahu duka tersebut sangat menekan batin dan menyiksa jiwa. Pendekar Mabuk semakin tertarik untuk mengetahui duka yang tampak sangat menyiksa itu. Karenanya, ia segera lontarkan kata dengan suara pelan dalam jarak berdiri empat langkah di samping gadis itu,

"Jika ada orang lewat tak jauh dari rumah ini, ia akan lari terbirit-birit karena menyangka mendengar suara tangis hantu dari Rumah Busuk ini! Dan menurutku, sebuah tangis tanpa alasan adalah tangis orang gila. Tapi aku yakin kau pasti punya alasan mengapa kau menangis sesedih itu, Nona Manis?"

Ucapan itu bagai tak dilayani oleh si nona manis Ketika Suto tampak makin mendekat, nona manis itu berdiri dan menjauh. Terdengar Suto bicara bagaikan bicara pada diri sendiri,

"Sungguh bukan maksudku membawamu ke tempat ini dan bermaksud jahat kepadamu! Yang kutahu, kau terjebak dalam tandu dari serbuan pasukan mayat itu. Kupikir kau perlu mendapat pertolongan karena semua pengawalmu mati dibantai oleh pasukan mayat tersebut. Maka aku pun bertindak menyelamatkan kamu dari ancaman maut pasukan mayat kubur itu. Di perjalanan, aku kebingungan membawa dirimu yang pingsan. Lalu datang Perwira Loyang dan segera menyerangku! Ia menghendaki bayi, yang menurutnya ada pada diriku!"

Gadis itu cepat palingkan pandang kepada Pendekar Mabuk, dan yang dipandang pun makin tertarik untuk teruskan penuturannya.

"Aku tidak tahu bayi apa yang dicarinya! Aku juga heran, mengapa ia menanyakan bayi dan tidak menyelamatkan kamu jika memang ia adalah orang-orangmu! Lebih heran lagi melihat Perwira Loyang cepat tinggalkan diriku setelah melihat rombongan Pawang Jenazah menuju ke arah kita! Lalu, terpaksa pula aku berhadapan dengan Pawang Jenazah karena ia sangka aku anak buah Laksamana Cho Yung! Bahkan ia ingin agar aku menyerahkan dirimu untuk dibunuhnya, karena dia tahu kau orangnya Laksamana Cho Yung. Maka, demi keselamatan jiwamu, aku segera melarikan diri dari hadapan Pawang Jenazah dan sembunyikan kamu di sini!"

Gadis itu berdiri dengan pundak bersandar dinding, ia tampak merenung karena sejak tadi yang dipandangi adalah lantai. Tapi Suto yakin apa yang dibicarakannya itu meresap dalam benak gadis itu.

Kini Pendekar Mabuk mencoba untuk lebih mendekat lagi sambil berkata, "Sampai di sini amanlah keadaan, tapi bingunglah pikiran. Kau menyerangku, bahkan kau memintaku membunuhmu! Kau menangis dan tak mau tahu siapa diriku sebenarnya. Sungguh ini merupakan pengalaman pahit bagiku, menolong orang, justru diserang. Menghindari serangan, justru diminta untuk membunuh! Sementara itu aku butuh keterangan darimu, siapa Laksamana Cho Yung itu sebenarnya? Siapa dirimu sendiri sebenarnya? Siapa bayi yang dimaksud Perwira Loyang itu? Ada masalah apa antara Laksamana Cho Yung dengan Pawang Jenazah, sehingga kau pun ingin dibunuhnya?! Jika kau orangnya Cho Yung, lantas mengapa Perwira Loyang tidak mempedulikan dirimu yang terkapar pingsan tak jauh dariku? Dan... semua itu merupakan teka-teki yang menuntut jawaban di dalam hati kecilku. Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa namamu, Nona manis!"

Gadis itu menarik napas dan penuhi rongga dadanya dengan udara. Kejap berikut itu lepaskan napas itu bagai ingin melegakan sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya, ia lemparkan pandang matanya kepada Suto beberapa saat lamanya, ia biarkan Pendekar Mabuk pun menatapnya dalam jarak tiga langkah dari tempatnya berdiri, kemudian ia merasa ada debaran kuat di dalam hatinya yang memaksa pandang matanya harus dilempar jauh-jauh, tak berani terlalu lama menatap sorot mata pemuda tampan yang menyandang bumbung tuak itu. Kejap lanjutnya lagi, terdengar suaranya yang bening kecil dan berkesan manja itu ucapkan kata,

"Namaku Bunga Bernyawa."

Sekalipun hanya pendek saja ucapan tersebut, namun cukup membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kelegaan. Bahkan Suto mengulang nama itu dengan perasaan kagum. "Bunga Bernyawa. Hmmm... indah sekali nama itu. Tapi aku yakin itu nama julukan saja."

"Ya. Ayahku yang menjuluki aku dengan nama Bunga Bernyawa!"

"Siapa ayahmu?"

"Kaisar Siauw-ong!" Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengarnya. Tertegun pula ia sejenak sambil pandangi gadis yang juga menatapnya itu. "Jadi kau putri seorang kaisar?"

"Benar. Laksamana Cho Yung adalah panglima laut yang memberontak kepada kaisarnya, yaitu ayahku sendiri. Agar ia tidak dikejar-kejar oleh tentara ayahku, ia menyandera aku sebagai jaminan keselamatannya, ia bawa aku berkeliling tanah Jawa bertahun-tahun lamanya."

Bunga Bernyawa bagai mengenang masa lalunya sambil melangkahkan kaki menjauhi Suto. Ia sekarang berada di pintu, memandang ke arah luar sebentar dengan penuh curiga. Tapi kejap berikutnya ia sudah kembali pandangi Pendekar Mabuk dengan tangan menopang pada dinding pintu.

"Laksamana Cho Yung bukan saja menjadikan aku sandera, namun juga sebagai gundiknya! Kapan saja ia membutuhkan kehangatan tubuhku aku harus siap melayaninya!"

"Mengapa kau tidak melawannya dengan ilmumu yang kurasa cukup tinggi itu?" tanya Suto sambil tetap berdiri di tempatnya.

Bunga Bernyawa gelengkan kepala. "Tidak mudah mengalahkan Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi, hampir setara dengan tingkat ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya, yaitu Dewa Maut, yang sudah lebih dulu dan lebih lama berkelana ditanah Jawa ini! Dulu, bersama adiknya dan kakaknya yang telah meninggal. Laksamana Cho Yung dikenal sebagai Thian-San Sam-Sian di negeriku. Artinya, Tiga Dewa dari Gunung Tian-San. Sejak mereka berpisah, Cho Yung masuk keprajuritan di negeriku, dan diangkat sebagai laksamana yang bertugas menguasai lautan sebagai panglima tempur laut. Jika ilmunya tidak tinggi, tentu saja ia tidak diangkat sebagai panglima laut oleh kaisar."

"Lalu, ia memberontak kepada pemerintahan kaisar?"

"Ya. Dia bersama beberapa anak buahnya melarikan diri dari negeriku. Dan akulah perisai ampuh baginya agar tidak diburu oleh tentara kaisar lainnya, karena jika itu dilakukan maka ia akan membunuhaku kapan saja. Ayahku sangat kebingungan dan sampai saat ini tak pernah lagi kudengar bagaimana nasib negeriku."

"Mengapa kau tak coba melarikan diri? Mengapa kau mau saja jadi gundik dan jadi budak nafsu Laksamana Cho Yung terus-terusan?"

"Tiga kali aku melarikan diri tapi selalu berhasil ditangkap kembali. Laksamana Cho Yung mengancam akan membunuh aku jika sekali lagi aku melarikan diri!"

"Dan kau takut untuk melarikan diri lagi karena ancaman itu?"

"Bukan ancaman itu yang membuatku takut, tapi soal lain."

"Soal lain apa?" desak Suto semakin ingin tahu.

"Soal kakakku."

"Apakah kakakmu juga dijadikan sandera oleh Laksamana Cho?"

"Memang tidak. Tapi jika aku tidak mati di tangannya, maka ia mengancam akan kembali ke negeriku dan menculik si Daun Bernyanyi, kakakku itu. Sedangkan aku tak mau kakakku ikut jadi korban kekejian Cho Yung. Biarlah aku sendiri yang korban, tapi saudaraku yang lain jangan."

Saat Bunga Bernyawa berkata begitu, tampak ada genangan air yang mulai menggenang di matanya.Genangan air itu membuat hati Pendekar Mabuktersentuh iba, lalu cepat memaklumi keadaan Bunga Bernyawa. Suto pun segera mengalihkan percakapan itu, "Bagaimana dengan bayi yang dicari oleh Perwira Loyang itu?"

Bunga Bernyawa tarik napas lagi dalam-dalam, kemudian melangkah mendekati Suto dan bersikap tegap berdiri di depan Suto dengan kaki sedikit renggang. Seolah-olah begitu mendengar soal bayi, ia ingin tunjukkan diri di depan Suto bahwa ia perempuan yang tegar dan tak mau menangis lagi. "Aku mendapat tugas untuk mencuri bayi."

"Bayi siapa?"

"Bayi seorang perempuan bernama Mayang Suri! Cho Yung tugaskan aku mencuri bayi itu dengan berpura-pura menjadi tabib, karena bayi itu dalam keadaan sedang sakit saat ini. Tapi setelah kulihat lucunya bayi itu, tampannya wajah bayi itu, aku tak tega melakukan penipuan terhadap ibu si bayi. Aku tak sampai hati menculik bayi itu!"

Suto kerutkan dahi saat ajukan tanya, "Untuk apa Laksamana Cho Yung menyuruhmu mencuri bayi?"

"Bayi itu adalah anak dari Dewa Maut. Dan menurut kepercayaan yang diterima Cho Yung dari seorang peramal sakti, Dewa Maut adalah lelaki mandul yang tak bisa punya keturunan. Apabila suatu saat Dewa Maut bisa punya keturunan, maka ia akan mati dan semua ilmunya pindah ke diri bayi itu. Laksamana Cho Yung ingin memiliki semua ilmu mendiang kakaknya itu. Menurut keterangan seorang sakti yang ditemuinya, ia dapat memiliki semua ilmu milik mendiang kakaknya itu dengan cara memakan jantung dan hati bayi tersebut. Karenanya ia perintahkan aku untuk mencuri bayi itu dengan mengaku sebagai tabib. Dia akan memakan jantung dan hati bayi itu untuk menambah kekuatan ilmu yang sudah dimilikinya! Pada dasarnya, Laksamana Cho Yung tidak rela jika ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya jatuh ke tangan orang lain. Karena ia percaya betul, bocah bayi itu bisa mengalahkan ilmu yang dimiliki Laksamana Cho Yung, jika usianya sudah mencapai sekitar delapan tahun. Sekarang bayi itu baru berusia tiga bulan! Ia tinggal bersama ibunya di lereng gunung."

Terdengar gumam kecil dari mulut Pendekar Mabuk yang terkatup sejak mendengarkan penjelasan itu. Kemudian Pendekar Mabuk mengangkat bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Saat itu terdengar Bunga Bernyawa melanjutkah kata-kata,

"Aku tak tega untuk menculik bayi itu, karenanya aku pulang bersama rombongan. Aku ingin ajukan alasan lain agar bukan aku yang ditugaskan menculik bayi tersebut. Tapi di tengah jalan, rombonganku diserang oleh orang-orang berkuda. Aku tertotok dari jarak jauh dan lumpuh sekujur tubuhku. Namun orang-orang berkuda itu bisa dibuat lari oleh anak buahku atau orang-orang yang ditugaskan mengawalku itu. Tapi mereka tak bisa melepaskan totokan yang membuatku lumpuh di dalam tandu. Sampai suatu saat kami melewati jalan dekat kuburan, dan mayat-mayat itu bangkit menyerang kami dengan liar. Aku masih bisa melihat pengawalku jatuh tunggang-langgang tak bernyawa lagi karena serangan mayat-mayat ganas itu. Tetapi tiba-tiba kepalaku terasa membentur sebuah bambu atau benda keras, yang membuat aku tak sadarkan diri dan tahu-tahu sudah ada disini!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu sunggingkan senyum kecil. Ternyata Bunga Bernyawa pingsan akibat terbentur gerakan cepat Suto saat menerabas masuk ke dalam tandu. Ujung bambu tuaknya membentur kepala Bunga Bernyawa dan membuatnya pingsan, namun membuat totokan itu terbebaskan. Pantas jika Bunga Bernyawa pingsan begitu lama, karena ia terkena benturan benda keramat yang punya kekuatan gaib dari bumbung tuak itu.

"Sekarang aku bingung, tak tahu harus berbuat apa," ujar Bunga Bernyawa seperti bicara pada dirinya sendiri, ia tundukkan kepala dengan raut wajah sendu. Katanya lagi, "Kalau aku harus pulang kepada Laksamana Cho Yung, jelas dia akan marah besar padaku. Apalagi kau telah melawan Perwira Loyang dan itu akan membuatnya makin marah. Dia amat cemburu dan tak suka tubuhku disentuh oleh lelaki lain. Bisa jadi aku pulang kepadanya hanya untuk dipancung leherku karena sudah dianggap perempuan yang menjijikkan. Jika aku harus pulang ke negeriku, aku tak punya kapal. Jika aku harus menetap di tanah Jawa, aku tak punya sanak saudara di sini! Jadi, menurutku ada baiknya jika aku mati saja! Dibunuh orang atau dimakan binatang hutan yang ganas, itu lebih baik daripada aku harus membunuh diriku sendiri."

"Masih banyak jalan lain yang bisa kau tempuh," kata Suto menenangkan hati Bunga Bernyawa. "Selain kamu, ada aku di sini!"

Bunga Bernyawa alihkan pandang menatap sorot mata Pendekat Mabuk. Ada kebeningan di mata Pendekar Mabuk itu yang terasa menyejukkan hati dan membuat debar-debar aneh yang menggelisahkan. Sekali pun kegelisahan itu menggoda jiwa, namun punya keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh Bunga Bernyawa sendiri. Sukar sekali Bunga Bernyawa hindari debaran indah itu, sampai akhirnya ia berkata tanpa sadar,

"Aku perempuan yang sudah kotor. Tak pantas didampingi pria tampan berbudi baik seperti dirimu."

"Aku mendampingi kamu hanya untuk selamatkan jiwamu!" jawab Pendekar Mabuk sambil mendekati wajah Bunga Bernyawa.

Pelan-pelan kepala Bunga Bernyawa tertunduk, pelan-pelan juga tangan Suto menyentuh dagu Bunga Bernyawa dan ditengadahkan. Kini mata mereka kembali saling pandang dengan lembut.

"Aku tahu kau bukan penjahat," kata Suto pelan sekali. "Aku tahu kau putri seorang kaisar yang tersesat di tanah Jawa ini. Kau terancam bahaya, baik dari Laksamana Cho Yung maupun dari Pawang Jenazah. Persoalannya dengan Laksamana Cho Yung sudah jelas kutahu, tapi persoalan dengan Pawang Jenazah belum kutahu. Mengapa dia bernafsu sekali untuk membunuhmu atau membunuh Laksamana Cho?"

"Laksamana Cho Yung telah membunuh istri Pawang Jenazah dan kedua anaknya! Pawang Jenazah menuntut kematian istri dan anaknya dengan tekad membantai habis semua orang-orangnya Laksamana Cho Yung. Siapa yang berada di pihak Laksamana Cho Yung, berarti menjadi lawannya. Dia sangka aku adalah orangnya Laksamana Cho, karena itu dia berkeras hati untuk bisa membunuh aku juga. Apalagi kulitku putih, mataku kecil, wajahku serumpun dengan wajah Laksamana Cho Yung. Ia makin benci melihat wajahku."

"O, ya! Aku paham sekarang," kata Suto masih dengan lembut seperti orang bicara soal cinta dari hati ke hati. Lanjutnya lagi, "Sekarang yang belum kupahami, bagaimana kau bisa siuman dari pingsan lamamu?"

"Seseorang telah menendangku," jawab Bunga Bernyawa.

"Aku tidak menendangmu tadi."

"Tapi kurasakan pinggangku ditendang perlahan dan membuatku kaget, lalu melompat bangun!"

"Aneh," ucap Pendekar Mabuk dalam desah lembut. "Kuperiksa sekeliling rumah ini tak ada manusia lain kecuali kita berdua!"

"Bagaimana dengan manusia berjubah putih tadi?"

Suto makin kerutkan dahi. "Si jubah putih yang mana?"

"Yang berkelebat keluar dari kamar ini sebelum kau masuk tadi!"

Terbungkam mulut Suto Sinting. Bingung ia menjawabnya. Lalu, cepat ia pergi memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu sampai pada bagian luarnya. Tapi tetap saja tak ia temukan manusia berjubah putih seperti yang dilihat Bunga Bernyawa saat baru siuman tadi.

"Bunga, aku tak temukan siapa pun di sini! Tak ada manusia berjubah putih seperti yang kau katakan tadi!" kata Pendekar Mabuk setelah kembali ke kamar bersih itu.

Bunga Bernyawa sendiri jadi kerutkan dahi dan merasa heran, ia mulai melirik penuh kecemasan dan ketegangan batin. "Kurasa arwah tokoh sakti yang pernah menempati rumah ini bermaksud menolongku. Dia pasti arwah tokoh beraliran putih!" kata Bunga Bernyawa dalam hatinya.

Suto buru-buru berkata alihkan pikiran Bunga Bernyawa agar tak merasa takut. "Kau masih ingat jalan menuju rumah bayi itu?"

"Masih. Apa maksudmu?"

"Kita ungsikan bayi itu bersama ibunya! Kita sembunyikan mereka sebelum orang-orangnya Laksamana Cho Yung lebih dulu menculik sang bayi!"

"Itu berarti kau akan berurusan dengan Laksamana Cho Yung!"

"Lebih baik aku berurusan dengan Laksamana Cho Yung daripada membiarkan bayi itu mati dibunuh pikiran sesat, dan daripada aku biarkan kau dipancung oleh manusia keji itu!" kata Suto yang membuat hati Bunga Bernyawa menjadi kian berdebar indah. Tapi ia pandai menutupi perasaannya itu.

"Jika kau punya tekad begitu, aku akan bawa kau kepada Mayang Suri dan bayinya! kata Bunga Bernyawa.

"Baiklah. Itu kita lakukan besok saja. Malam ini kau harus beristirahat. Tidurlah dengan nyenyak dan aku akan menjagamu!"

Bunga Bernyawa sunggingkan senyum manisnya. Jantung Suto menjadi berdetak kencang. Resah menjerat jiwa saat Bunga Bernyawa ucapkan kata,

"Sayang sekali tak selamanya kau mau menjaga hatiku. O, ya... siapa namamu, Pendekar tampan?"

"Suto...!"

"Oh, nama sederhana yang mudah diingat namun juga mudah dilupakan. Aku tak tahu harus pilih yang mana, mengingat atau melupakan?"

"Kusarankan untuk memilih melupakan saja! Biar hatimu tidak gelisah seperti malam ini!"

Semburat merah wajah cantik itu. Seperti pencuri yang ketahuan sedang sembunyikan barang curiannya di balik baju. Bunga Bernyawa malu karena Pendekar Mabuk mengetahui kegelisahannya, tapi ia bersikap tetap sembunyi rasa.

Esoknya mereka terbangun kaget. Pertama-tama Suto yang terkejut, karena ia sadar bahwa dirinya telah tertidur dalam keadaan duduk bersandar dinding. Kedua ia terkejut karena melihat keadaan kamar seperti hutan belukar. Kamar yang bersih dan terang tanpa benda apa pun kecuali tikar dan pelita, ternyata pagi itu sudah berubah menjadi kamar yang dipenuhi oleh rumput liar. Kotor dan lembab seperti halnya kamar-kamar lain di Rumah Busuk itu. Dan di situ, bau busuk masih samar-samar menjadi satu dengan bau tanah lembab pada lantainya.

"Bunga, bangun!" sentak Suto sengaja keras dan membuat gadis yang tidur di rerumputan itu terlonjak kaget, ia cepat bangkit dengan memainkan jurus sekejap. Setelah mengetahui dirinya berada di tengah rimbun ilalang, Bunga Bernyawa mulai kendurkan kuda-kudanya, ia menjadi kebingungan sendiri melihat kamar sudah berubah menjadi hutan belukar. Hanya ada sinar kecil dari atap yang bocor. Sinar itu adalah sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar berdinding lumut.

"Suto, mengapa keadaan kamar menjadi seperti ini?"

"Entahlah! Aku sendiri sejak tadi sedang pikirkan jawabannya."

"Jika begitu, semalam kita sudah berada di dalam kamar misterius, Suto! Kamar itu seakan disediakan untuk bermalam kita dan hanya satu malam, tak boleh lebih dari satu malam."

"Siapa yang menyediakan kamar sebersih tadi malam untuk kita. Rumah Busuk ini sudah tidak berpenghuni puluhan tahun lamanya. Keluarga Sanjaya Laga sudah terbantai habis oleh musuhnya."

"Mungkinkah orang berjubah putih yang menyiapkan kamar bersih itu untuk kita?"

"Seandainya benar dia, lantas siapa dia dan di mana dia sekarang?"

Bunga Bernyawa angkat bahu tanda tak bisa menjawab. Tapi ia katakan pula, "Roh penghuni rumah ini melihat ketulusan hatimu dalam menolongku, maka ia membantu kamu dengan memberikan tumpangan di kamar ini!"

"Aku tak yakin. Tapi... sudahlah, lupakan soal kamar ini! Ayo kita lekas tinggalkan rumah ini dan pergi ke rumah Mayang Suri!"

* * *

LIMA
ORANG berambut kepang satu panjang itu mengenakan topi persegi khas topi perwira pasukan Cina. Orang itu berkumis hitam, melengkung ke bawah bagai ingin memagari bibirnya. Jenggotnya pendek dan tipis. Usianya sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari bahan sejenis satin berkilap warna biru muda dengan celana putih. Baju birunya itu berlengan panjang dengan lis merah mengkilap juga. Baju itu dirangkap dengan jubah tanpa lengan warna merah darah berhias sulaman benang emas bergambar naga bersayap.

Siapa lagi orang berwajah keji dan berkesan galak itu jika bukan Laksamana Cho Yung, raja di atas kapal bertiang layar tiga itu. Matanya yang sipit itu memandang tajam kepada dua orang di hadapannya yang tundukan kepala dengan rasa takut dan hormat. Kedua orang itu adalah Perwira Loyang dan Jowala, si baju kuning yang saat bertemu dengan Suto tak mau turun dari punggung kuda.

"Memalukan sekali! Seorang perwira kapal semegah ini tak becus mengalahkan bocah ingusan seperti itu! Percuma kuangkat kau sebagai perwira di sini, tahu?!"

Plokk...!

Wajah lonjong bermata cekung itu hampir terlempar jauh karena tamparan kuat dari tangan Laksamana Cho Yung. Perwira Loyang kembali tundukkan kepala dengan menahan rasa panas pada pipinya.

"Lalu bagaimana dengan Bunga Bernyawa?!" sentak Laksamana Cho Yung dalam nada tanya.

Perwira Loyang menjawab, "Bunga Bernyawa terkapar pingsan, Tuan Laksamana!"

"Mengapa tak kau bawa pulang perempuan itu?"

Agak menggeragap Perwira Loyang menjawab, "Hmm... eh... anu... saya pikir, tugas saya hanya membawa pulang bayi Mayang Suri, bukan membawa pulang Nona Bunga Bernyawa, Tuan Laksamana!"

"Bodoh amat kau ini, hah?!"

Plokk...!

Kembali tamparan keras diterima Perwira Loyang pada pipi yang sama. Wajah kempotnya terasa mau lepas dari kepala. Perwira Loyang hanya kedip-kedipkan mata menahan rasa sakit di wajahnya. Jowala melirik sebentar, lalu tak berani melirik lagi karena Perwira Loyang juga meliriknya dengan rasa geram.

"Jadi Bunga Bernyawa bersama pemuda itu?"

"Betul, Tuan Laksamana!"

"Apa yang dilakukan pemuda itu terhadap Bunga?"

"Saya tidak tahu, Tuan Laksamana!"

Plokk...!

"Bodoh kau! Seharusnya kau tahu, apakah pemuda itu menyentuh tubuh Bunga Bernyawa, atau dipeluknya, atau diciuminya atau bahkan diajak tidur!"

"Disentuhnya, saya lihat, Tuan Laksamana!"

"Dan kau diam saja?!"

"Saya... saya... saya menanyakan bayi itu lalu..."

Plokk...!

Pipi yang sama yang mendapat tamparan keras. Perwira Loyang sampai merasakan sesak napas tua-nya. Wajahnya terasa dibakar dengan nyala api yang sangat panas. Tapi lagi-lagi yang bisa dilakukannya hanya tunduk kepala dan tak berani menatap mata Laksamana Cho Yung yang berbadan agak gemuk itu.

"Dengar, Perwira Loyang...!" kata Laksamana Cho Yung menahan rasa panas di dadanya akibat cemburu mendengar Bunga Bernyawa disentuh-sentuh oleh lelaki lain. Lalu, lanjutnya dalam suara geram yang tegas, "Kuperintahkan padamu, curi bayi itu dari Mayang Suri, lenyapkan Bunga Bernyawa, dan bunuh pemuda itu! Penggal kepalanya lalu bawa kemari kepala bocah ingusan itu! Mengerti?!"

"Mengerti, Tuan Laksamana!"

"Jika kau pulang tanpa membawa bayi Mayang Suri dan kepala anak muda itu, kuperintahkan agar kau menggantung dirimu sendiri di depan kapalku ini! Jelas?!"

"Jelas, Tuan Laksamana?!"

"Bawa beberapa orang untuk berjaga-jaga jika kalian kepergok Pawang Jenazah, habisi mereka sekalian! Jangan sisakan satu pun!"

"Baik, Tuan Laksamana!"

"Jalan!”

Plokkk...!

Satu tamparan sebagai ucapan selamat jalan diterima oleh Perwira Loyang. Tamparan keras itu juga sebagai ucapan selamat berjuang dan tunaikan tugas. Setiap kali akhir perintahnya, laksamana selalu memberikan tamparan keras kepada orang-orangnya. Karena itu, Perwira Loyang menganggap tamparan tersebut adalah belaian kasih sayang seorang atasan kepada bawahannya.

Mungkinkah hal itu membuat Jowala merasa iri? Tidak. Jowala tidak merasa iri. Baginya, lebih baik ia tidak mendapat belaian kasih sayang dari Laksamana Cho Yung, ketimbang harus tebal wajahnya karena sering dipakai bahan tamparan si orang bertangan besar itu. Lebih baik tak perlu mendapat ucapan selamat jalan atau selamat berjuang, daripada giginya rontok lagi seperti tempo hari, Ketika Jowala mendapat ucapan selamat jalan dari sang laksamana.

Tugas mencuri bayi sekarang ada di tangan Perwira Loyang. Hanya orang-orang terpilih dan dipercaya yang mendapat tugas penting seperti itu, sehingga walaupun kulit pipinya memar merah, tapi Perwira Loyang merasa bangga dalam hatinya karena dipercaya mengemban tugas penting itu. Ia membawa sepuluh orang berkuda. Tapi yang terpilih akhirnya hanya tiga orang termasuk Jowala sendiri, sisanya ditinggalkan karena kurang bisa menunggang kuda. Mereka melaju menyusuri pantai menuju kaki bukit di mana ada desa yang menjadi tempat tinggal bayi anak mendiang Dewa Maut itu.

Empat orang berkuda itu tiba-tiba menghentikan langkah kuda masing-masing ketika dilihatnya dari arah depan muncul lima orang berkuda. Lima orang itu adalah anak buah Pawang Jenazah yang memisahkan diri sejak Pawang Jenazah menemui Suto dan Bunga Bernyawa yang pingsan hari kemarin.

"Jowala, kau hadapi kelima orang itu bersama Rompa dan Gandra!"

"Itu soal mudah, Perwira Loyang! Asal jangan ada Pawang Jenazah!"

"O, jadi kau takut kepada Pawang Jenazah?"

"Bukan takut, tapi jijik! Aku tak bisa menyentuh kulit orang yang hidupnya bergaul akrab dengan mayat-mayat hidup itu! Jijik sekali!"

"Sudah jangan banyak dalih! Hadapi mereka dan habisi sekarang juga!" bentak Perwira Loyang dengan galak, ia memang selalu tampil galak jika di belakang Laksamana Cho Yung. Tapi jika ada di depan Laksamana Cho Yung, kegalakannya itu bagai lenyap tanpa bekas.

Sengaja Perwira Loyang mencari tempat teduh. Semilir angin dinikmatinya dengan santai sekali. Sementara matanya sesekali memandang ke arah kira-kira sepuluh tombak lebih, di mana terjadi pertarungan antara ketiga anak buahnya melawan lima orang anak buah Pawang Jenazah. Sesekali Perwira Loyang melepaskan tawa terkekeh-kekeh melihat lawannya dibuat berjungkir balik oleh Jowala atau Rompa.

Pedang dan golok anak buah Perwira Loyang berkelebat cepat dan memenggal beberapa kepala lawan. Yang sudah terlihat jelas menggelinding adalah dua kepala lawan. Kepala itu terpental saat dipenggal oleh pedang Gadra, menggelinding bagaikan bola dan berhenti tak jauh dari tempat Perwira Loyang yang tetap berada di atas punggung kuda.

"He he he he...! Kalau saja Pawang Jenazah melihat kepala itu, pasti dia akan lari terkencing-kencing menghindari seranganku! Dia belum pernah melihat kalau aku dan anak buahku sudah mengamuk, gunung pun tak mampu membendung amukan kami!" kata Perwira Loyang, bicara sendiri seperti orang gila.

"Ah, sayang sekali pedangku tak sempat kuambil! Pedang itu masih tertancap di pohon ketika aku menyerang anak muda itu! Brengsek! Siapa anak muda itu sebenarnya? Gatal tanganku ingin segera melawannya."

Derap kaki kuda mendekati Perwira Loyang. Tiga anak buahnya telah merampungkan tugas dengan cepat. Kelima orangnya Pawang Jenazah telah tak bernyawa semua.

"Perwira Loyang, keadaan sudah aman!"

"Mati semua?"

"Mati semua, Perwira!"

"Bagus! Mari kita lanjutkan langkah kita!"

"Arah mana yang lebih dulu kita tuju, Perwira?" tanya Gadra.

"Desa Karang Tunda! Kita curi bayi si Mayang Suri itu!" jawab Perwira Loyang. Jowala menyahut.

"Mengapa kita tidak cari pemuda yang membawa lari Nona Bunga Bernyawa dulu?"

"Kita tak tahu tempatnya secara pasti, Jowala!"

"Tapi Nona Bunga harus cepat diselamatkan dari tangan pemuda itu, sebelum pemuda itu sempat meniduri Nona Bunga, Perwira!"

"Kurasa hari ini pemuda itu sudah berhasil tiduri Nona Bunga!”

"Ya. Tapi mungkin baru satu atau dua kali!"

"Ah, lupakan dulu soal Bunga Bernyawa!" kata Perwira Loyang.

"Lebih baik kita pusatkan perhatian kita pada Desa Karang Tunda. Soal perempuan itu, soal kecil. Toh kita ditugaskan membunuh perempuan itu jika ketemu!"

"Justru itu sebelum kita bunuh kita manfaatkan dulu untuk menikmati kehangatan tubuhnya," kata Jowala. "Sudah lama aku sering mengincarnya, aku sangat berselera padanya. Tapi aku tak berani berbuat apa-apa karena dia masih jadi gundiknya Laksamana Cho Yung! Sekarang dia sudah seperti dibuang oleh laksamana. Rasa-rasanya sangat bodoh jika aku tak manfaatkan kesempatan emas ini untuk melampiaskan impianku selama ini, Perwira! Tidakkah kau sendiri punya gairah untuk menikmati kehangatan dan keindahan tubuh Nona Bunga, Perwira?"

"Aku sudah tak pernah punya gairah lagi kepada perempuan!"

"Ha ha ha ha...!" tawa Jowala yang segera diikuti oleh tawa Gadra dan Rompa. Tapi tiba-tiba tawa Rompa terhenti dengan satu sentakan suara tertahan.

"Huhhg...!"

Tubuh Rompa segera limbung dan jatuh terjungkal dari atas kuda. Cepat-cepat semua temannya memandang sekeliling, karena mereka melihat sekelebat pisau melayang dan menancap di dada kiri Rompa, tepat di bagian jantungnya. Mereka sudah berada di hutan, sehingga mereka segera menyusuri tiap pohon yang ada di sekelilingnya. Mereka juga pandangi bagian atas pohon untuk mencari penyerang gelap. Tapi sampai beberapa lama mereka tidak temukan di mana letak persembunyian penyerang gelap itu.

"Bangsat...! Keluar kau!" teriak Perwira Loyang dengan mata galaknya mulai menjadi liar dan buas. Gadra memeriksa mayat Rompa dan segera berkata, "Rompa mati, Perwira!"

Plokk...!

Tangan Perwira Loyang menampar keras mulut Gadra hingga orang itu mengerang kesakitan. Dengan geram Perwira Loyang ucapkan kata, "Jangan anggap aku orang bodoh, tahu?! Tanpa kau katakan begitu, aku sudah tahu kalau Rompa mati! Yang penting bukan mencari nyawa Rompa, tapi cari penyerang gelapnya!"

Gadra segera melesat pergi untuk mencari penyerang gelap, ia menerabas tiap semak-belukar untuk membuktikan kepada Perwira Loyang bahwa ia telah melakukan tugas mencari penyerang gelap itu. Jowala sendiri juga melesat pergi berpencar, mencari ke arah lain. Kini tinggal Perwira Loyang sendirian di dekat kuda-kuda yang mereka tambatkan secara asal-asalan itu.

"Di mana orang itu kira-kira?" pikir Perwira Loyang, "Tak mungkin pisau itu melayang sendiri tanpa ada yang melemparkannya! Hmm... sepi sekali hutan ini! Suara binatang pun tak kudengar sejak tadi. Jangan-jangan hutan ini angker?!"

Sambil berkata begitu bulu kuduk Perwira Loyang berdiri. Matanya jelalatan ke mana-mana dengan tegang. Gerakannya lebih sering merapat dekat kudanya. Di tengah sepinya suasana hutan itu, tiba-tiba terdengar suara jerit yang menggema,

"Aaaa...!"

Hati Perwira Loyang tersentak kaget. Jerit itu berasal dari tempat perginya Gadra. Perwira Loyang bergumam lirih, "Suara Gadra itu tadi! Ada apa dengan dia?" Kemudian, Perwira Loyang serukan suaranya, "Gadra...?! Ada apa di sana?! Kau baik-baik saja, bukan?!"

Tak ada jawaban yang terdengar. Sepi tetap sunyi, dan hati Perwira Loyang menjadi makin jengkel karena waswas, ia menggerutu sendiri dengan suara lepas. "Dasar orang bisu!"

Tanpa senjata apa pun, Perwira Loyang masih bersiap menunggu lawan di tempat. Badannya memutar ke sana-sini, takut ada serangan mendadak dari penyerang gelap, ia sempat melirik mayat Rompa, lalu timbul gagasan untuk mencabut pisau ukuran sejengkal dari dada mayat Rompa. Pisau itu akan digunakan untuk melempar atau menyerang siapa pun yang tahu-tahu menyerangnya dari belakang. Sunyinya hutan kembali dirobek oleh suara jeritan yang memanjang.

"Aaaa...!"

Dalam hati Perwira Loyang berkata dalam keluh. "Wah, itu suara Jowala! Apakah dia dalam bahaya? Oh, sebaiknya aku segera mencari Jowala ke arah kiri sana!"

Baru saja Perwira Loyang mau bergerak pergi tinggalkan tempat, tiba-tiba terdengar suara, krosak...! Ia berpaling ke belakang. Pisau hampir saja dilemparkan. Ternyata Gadra yang keluar dari rimbunan semak di sebelah kanannya itu. Gadra berdiri dengan mata memandang Perwira Loyang, membuat yang dipandang berseru membentak,

"Mengapa kupanggil tak menyahut, hah?! Sudah tuli dan bisukah kamu, Gadra?!"

Gadra diam saja. Perwira Loyang makin jengkel tak mendapat jawaban dari anak buahnya, ia segera menghampiri anak buahnya itu dan ditamparnya keras-keras.

Plokkk...!

"Lain kali kau harus jawab setiap seruanku, mengerti?!"

Tiba-tiba tubuh Gadra meliuk dan rubuh ke depan. Brukk...!

"Hah...?!" Perwira Loyang terbelalak kaget. Ternyata di punggung Gadra telah menancap sebuah pisau yang lebih besar dari pisau yang menancap di dada Rompa itu. Pisau yang bergagang besar wama hitam itu menancap hampir habis. Tinggal sisa sedikit bagian tajamnya yang terlihat di punggung Gadra.

"Jahanam! Rupanya anak ini telah mati sejak tadi!" geram Perwira Loyang dengan rasa sesal akibat tamparannya tadi, dan rasa jengkel akibat tindakan seseorang yang telah menewaskan Gadra.

Tubuh Gadra yang tengkurap dengan kepala miring, wajahnya tampak pucat dan matanya mendelik itu, akhirnya hanya dilangkahi oleh Perwira Loyang. Karena kejap berikutnya ia melihat Jowala muncul dari balik pohon, tempatnya pergi tadi. Jowala hanya berdiri dengan mata memandang Gadra tak berkedip, ia berdiri tak bergerak, sehingga Perwira Loyang semakin tegang dan cemas. Hatinya membatin,

"Yaah... mati juga Jowala akhirnya!” Perwira Loyang menghampiri Jowala dan dengan hati sedih ia berkata di depan orang itu, "Siapa yang membunuhmu? Katakan! Akan kubalaskan supaya arwahmu tidak penasaran di alam baka sana, Jowala! Siapa yang membunuhmu?"

"Tidak ada, Perwira!" jawab Jowala dengan datar dan lemas.

Perwira Loyang kerutkan dahi, lalu cepat meraih pundak Jowala dan memutar tubuh orang itu. Ia periksa bagian punggungnya, ternyata tak ada pisau menancap seperti tubuh Gadra tadi. Maka, Perwira Loyang bertanya tanpa sadar, "Tak ada pisau di punggungmu? Kapan kau mencabutnya?!"

"Aku tak tertancap pisau seperti Gadra, Perwira! Tapi aku berhasil membelah dada orang itu!"

"Orang itu siapa? Seperti apa ciri-cirinya? Kau mengenalnya?'

Jowala menjawab, "Siapa lagi jika bukan anak buahnya Pawang Jenazah, Perwira!"

Dan tiba-tiba dari arah belakang Perwira Loyang, dari tempat munculnya mayat Gadra tadi, muncul pula seorang bersenjata cangkul kecil. Orang itu segera melemparkan cangkulnya dalam gerakan berputar. Sambil melepaskan cangkulnya, ia juga melepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kirinya berupa sinar hijau melesat cepat.

"Awas!" seru Jowala seketika itu, tangannya segera singkirkan Perwira Loyang hingga orang itu jatuh ke samping. Jowala cepat kibaskan pedang besarnya untuk menangkis cangkul yang membahayakan itu.

Trakk...! Zrubb...!

"Aahg...!" Sinar hijau itu menghantam dada Jowala sekalipun ia berhasil menyingkirkan cangkul kecil itu. Sinar hijau membuat dada Jowala membiru seketika. Tapi pada saat itu, Jowala sempat kibaskan tangan kanannya dalam gerakan memutar dari belakang ke depan, dan pedang besarnya itu melesat cepat ke arah Cangkul Lahat.

Jrubb...!

"Nghh...!" Cangkul Lahat tak mampu berteriak. Pedang besar itu menancap di perutnya. Hampir separo bagian yang terbenam di perut. Dan hal itu membuat Cangkul Lahat tak sanggup berdiri lebih lama lagi. Ia pun rubuh dengan bersimbah darah dan mata tak berkedip walau sudah tak bernyawa seujung kukupun.

"Jowala! Lain kali kau tak boleh singkirkan aku begitu saja! Kau harus... harus...!" Perwira Loyang tak melanjutkan kata, karena ia melihat dada Jowala makin membiru, dan Jowala mendelik tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata ia telah mati dalam keadaan berdiri.

"Jowala...?" gumam Perwira Loyang pelan, penuh sesal dan kesedihan, ia tepuk-tepuk pipi orang itu. Jowala tetap tak mau bernapas lagi. Bahkan tepukan pelan itu membuat tubuh tak bernyawa itu jatuh berdebam seperti jatuhnya tubuh mayat Gadra tadi.

"Bangsat! Habis sudah anak buahku!" geram Perwira Loyang dengan darah makin mendidih dan murka siap terlepaskan. Tapi ia tak punya sasaran untuk melepaskan murkanya, sehingga hanya napasnya yang terengah-engah melawan nafsu amarahnya sendiri.

Tetapi, tiba-tiba ia melihat mayat Rompa pelan-pelan bangkit berdiri dengan mata membelalak putih. Mayat itu pun kini menjadi tegak. Perwira Loyang merasa lega, ternyata ada satu anak buahnya yang masih bisa diharapkan bantuannya.

"Rompa...! Oh, syukurlah kalau kau masih hidup!" Perwira Loyang mendekati Rompa. Tapi tiba-tiba tangan Rompa bergerak mencakar wajah lonjong berkumis turun itu. Crass...!

"Edan!" pekik Perwira Loyang. Untung ia cepat kibaskan tangan untuk menangkis cakaran tangan Rompa yang tiba-tiba, sehingga kulit lengannya koyak sedikit terkena cakaran itu.

"Gggrrr...!" Rompa menyeringai, menampakkan giginya dengan mengeluarkan suara geram keganasan. Matanya yang putih terasa lebih mengerikan dalam keadaan melangkah pelan, setindak demi setindak.

Mendadak, Perwira Loyang dikejutkan kembali dengan bangkitnya mayat Gadra. Pelan gerakannya, putih matanya, menyeringai, dan mengeluarkan geram dengan tangan sedikit terangkat, siap menerkam dan mencakar lawannya.

"Pasti ini pekerjaan si Pawang Jenazah! Bangkai busuk dia itu!"

Disusul kemudian bangkitnya mayat Jowala yang sama seramnya dan sama ganasnya dengan mayat Rompa dan Gandra. Kini, Perwira Loyang telah dikepung oleh mayat temannya sendiri. Ia menjadi tegang dan kebingungan menghadapinya.

* * *

ENAM
MAYANG Suri perempuan yang lugu, anak seorang kepala desa yang sudah almarhum. Dia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia perempuan yang punya ilmu, namun tak terlalu tinggi. Dia perempuan cantik berkulit hitam manis. Banyak pemuda desa yang terpikat oleh kecantikannya, tapi hanya bertepuk sebelah tangan.

Ketika desa itu diserang oleh perampok-perampok dari kulon, muncul seorang penolong yang sudah cukup banyak usianya tapi masih kelihatan awet muda. Penolong itu adalah Dewa Maut. Dalam pengelanaannya itulah, Dewa Maut terpikat oleh Mayang Suri, lalu mereka saling jatuh cinta dan menikah. Tapi hanya tiga bulan pernikahan itu berlangsung.

Ketika benih dalam kandungan Mayang Suri berubah menjadi janin, Dewa Maut pun mati dibunuh oleh seorang musuh lamanya. Pada saat benih itu berubah menjadi janin, saat itulah hilang semua ilmu yang dimiliki oleh Dewa Maut. Di sebuah rumah warisan orangtuanya, Mayang Suri tinggal bersama bayinya, juga tinggal bersama istri kakaknya yang belum mempunyai keturunan itu. Sekalipun Mayang Suri hidup sebagai janda, tapi kecantikannya masih mengundang selera banyak lelaki. Tak jarang Mayang Suri harus menghindari niat lelaki yang bermaksud mendekati dan mempersuntingnya.

Karena itu, kedatangan Pendekar Mabuk ke rumah Mayang Suri sempat dicurigai sebagai pria yang ingin memperistri Mayang Suri. Kedatangan Suto itu jadi bahan perhatian para tetangga dan jadi bahan kasak-kusuk di antara mereka. Kedatangan Suto bersama Bunga Bernyawa disambut oleh Sulasih, istri dari kakaknya Mayang Suri. Sulasih masih muda, sebaya dengan Mayang Suri. Sulasih tak berkedip saat pertama menerima kedatangan Suto. Matanya memandang kagum terhadap ketampanan dan daya tarik yang terpancar dari mata Pendekar Mabuk itu.

Dalam hatinya, Sulasih membantin, "Kalau Mayang Suri menolak lamaran pemuda tampan ini, sungguh bodoh otaknya! Dalam kurun waktu sepuluh tahun lagi, belum tentu Mayang bisa bertemu dengan pemuda setampan tamu yang satu ini!Dia sangat menawan dan mendebarkan hati. Kalau saja aku belum bersuami, tak menolak jika aku dilamar oleh pemuda ini! Oh, sungguh beruntung Mayang Suri bisa mendapatkan pemuda tampan sebagai pengganti suaminya. Jujur saja hatiku mengatakan, pemuda ini jauh lebih gagah, lebih tampan dan lebih mendebarkan hati dibanding Dewa Maut, bekas suami Mayang itu!"

Bunga Bernyawa merasa tak enak melihat Pendekar Mabuk dipandangi terus-menerus oleh Sulasih. Maka, dengan sedikit ketus Bunga Bernyawa segera ajukan pertanyaan kepada Sulasih, "Kami ingin bertemu dengan Mayang Suri! Jika dia ada tolong panggilkan, jika tidak ada tolong sebutkan kemana perginya!"

"Oh, hmmm... ya, ada! Mayang Suri ada di belakang. Dia sedang menyusui anaknya! Sebentar, saya panggilkan dia!" kata Sulasih, tapi matanya tidak memandang Bunga Bernyawa, melainkan menatap ke arah Suto Sinting, ia pun bergegas pergi dengan perasaan sayang meninggalkan Suto di serambi depan.

Sesampai di kamar Mayang Suri, Sulasih segera menceritakan ketampanan Pendekar Mabuk dengan sangat berapi-api dan tertawa-tawa penuh riang, ia katakan, "Tak rugi kau bersuamikan dia! Sudahlah, lekas temui pemuda itu. Dia datang bersama tabib yang kemarin hari datang ingin mengobati bayimu itu!"

"Tabib...?! Tabib cantik itu? Ah, aku curiga sama tabib itu!" kata Mayang Suri dengan dahi berkerut.

"Mengapa curiga?"

"Adakah seorang tabib secantik itu?"

"Dia tabib dari negeri Cina, tempat asal bekas suamimu itu!"

"Sekalipun dari negeri Cina, tapi aku sangsi dan curiga dengan tabib itu. Caranya memandangku, caranya memandangi bayiku ini, sepertinya dia punya maksud-maksud lain yang tersembunyi di balik kebaikannya! Perasaanku jadi tak enak."

"Kalau begitu, lupakanlah tentang tabib itu, curahkan perhatianmu pada pemuda tampan itu! Dia bukan hanya tampan, tapi kelihatannya berilmu tinggi juga, Mayang! Kuharap kau tidak menolaknya jika ia ingin melamarmu sebagal istrinya!"

"Ah, kau ini!" Mayang Suri menjadi tersipu malu sendiri. Tapi hatinya jadi berdebar-debar kendati ia belum melihat setampan apakah pemuda yang diceritakan kakak iparnya itu. Dengan mengenakan baju kebaya panjang warna hijau tua dan kain coklat muda, angkin warna kuning, Mayang Suri menemui tamunya di serambi depan. Seperti apa kata Sulasih, pemuda itu memang tampan menurut penilaian Mayang Suri. Tampan dan punya daya tarik yang menggetarkan hati. Lebih tampan dan lebih menarik dari bekas suaminya.

Tapi seperti apa kata Sulasih juga, pemuda itu datang bersama tabib cantik yang kemarin ingin membawa anaknya untuk diobati. Mayang Suri cemas saat matanya beradu pandang dengan Bunga Bernyawa, ia juga sedikit heran, mengapa sekarang tabib cantik itu datang tanpa diusung dengan tandu kehormatan?

"Mayang, aku datang lagi bersama... bersama seorang temanku ini yang bernama Suto, Pendekar Mabuk!" kata Bunga bernyawa.

"Anakku sudah sembuh. Panasnya sudah turun. Kurasa tak perlu seorang tabib lagi!" kata Mayang Suri sambil menggendong bayinya.

"Kedatangan kami bukan untuk melakukan pengobatan," kata Suto, "Kami datang untuk menolongmu dan bayi itu, Mayang Suri."

"Kami tidak butuh pertolongan kalian! Jadi sebaiknya kalian segera tinggalkan aku dan bayiku ini! Jangan ganggu kami lagi."

Bunga Bernyawa segera menyahut, "Ini demi keselamatanmu dan keselamatan bayimu, Mayang Suri!"

"Hmm... aku... aku merasa dalam keadaan baik-baik saja! Bayiku juga baik-baik saja! Tak ada yang perlu kalian perbuat untuk kami!"

"Kamu belum tahu yang sebenarnya. Bayimu dalam ancaman bahaya, Mayang Suri! Kami harus selamatkan bayimu!" kata Bunga Bernyawa lagi.

"Terima kasih! Tapi aku merasa masih mampu menyelamatkan bayiku!"

Suto segera menyahut dengan suara lembut, "Ada bahaya yang mengancam bayimu. Bahaya itu tidak kau ketahui datangnya, tapi aku dan Bunga Bernyawa tahu persis, bahwa bahaya itu mengancam keselamatan bayimu, Mayang Suri. Jadi, sebaiknya ikutlah kami pergi, tinggalkan rumah ini untuk bersembunyi di tempat yang aman untuk bayimu!"

Mayang Suri berdiri dan mundur mendekati pintu arah dalam, "Tidak! Aku tak mau pergi bersama kalian! Aku tak mau serahkan bayi ini!"

"Mayang Suri, percayalah...!" Pendekar Mabuk berdiri dan maju setindak. "Percayalah padaku, aku tidak akan mencelakai bayimu sedikit pun!"

"Tidak! Sebaiknya tinggalkan saja kami, dan kalian tak perlu datang lagi kemari!"

Dari arah luar halaman rumah itu terdengar seseorang berseru, "Mayang...! Ada apa ...?!"

Lelaki berpakaian biru tua itu bergegas mendekati Mayang Suri. Sulasih pun muncul dari dalam dengan perasaan heran melihat ketegangan tersebut. Lelaki yang menyandang golok di pinggang, berwajah kaku, keras, rambut ikal badan besar itu segera ajukan tanya kepada Pendekar Mabuk dengan sikap tidak bersahabat, "Siapa kau? Mau apa datang kemari?"

"Aku Suto, dan itu temanku, Bunga Bernyawa dari negeri Cina!"

"Apa perlumu kemari? Katakan!" bentak lelaki berbaju biru yang ternyata adalah kakak Mayang Suri bernama Wicaksono, suami Sulasih.

"Jangan kasar-kasar, Kang," bisik Sulasih dan terdengar di telinga Pendekar Mabuk.

"Kamu tak perlu ikut bicara!" kata Wicaksono kepada istrinya.

"Kulihat dia punya gelagat tak baik terhadap Mayang Suri!"

Mayang Suri segera berkata, "Mereka ingin membawa bayiku, Kang!"

"Apa...?! Ingin membawa bayimu?! Apa mereka pikir kita ini orang gila?! Seenaknya saja mau bawa pergi bayi ini?! Tidak! Aku tidak izinkan bayimu dibawa pergi oleh siapa pun!"

Suto berkata dengan sabar, "Bayi itu akan dicuri orang! Percayalah! Cepat atau lambat, akan ada orang datang mencuri bayi itu!"

"Kalianlah pencurinya!" bentak Wicaksono dengan mata melotot kepada Pendekar Mabuk. Sesekali memandang ke Bunga Bernyawa.

Bunga Bernyawa berkata dengan nada tersinggung, "Jangan menuduh kami begitu! Itu namanya kamu pancing bentrokan dengan kami!"

"Kalian yang memancing bentrokan! Kalian yang mencari-cari masalah!" sambil Wicaksono menuding-nuding Suto dan Bunga.

Bunga Bernyawa mulai panas hati melihat sikap Wicaksono. Suto tahu, Bunga Bernyawa menggeletakkan giginya dan ingin melepaskan pukulan kepada Wicaksono, tapi Pendekar Mabuk menggeleng kecil tak kentara. Hanya Bunga Bernyawa yang tahu gerakan geleng kepala yang berarti larangan untuk berbuat kasar.

"Keluar kalian dari rumahku ini! Keluar!" bentak Wicaksono semakin berani, ia bahkan mendorong-dorong Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk terdesak mundur.

"Jangan paksa aku bertindak kasar terhadap kalian! Keluar sana!" tambah Wicaksono. Mayang Suri dan Sulasih hanya pandangi tindakan Wicaksono dengan hati berdebar-debar.

"Kang Wicaksono, jangan kasar begitu terhadap tamu!" Sulasih akhirnya coba mengingatkan suaminya. Tapi sang suami tambah berang karena mulai ada unsur kecemburuan melihat sikap istrinya seperti membela Suto yang tampan itu.

"Terhadap tamu macam dia tak perlu kita bersikap sopan! Kalau kau mau ikut dia, keluarlah juga sana!"

"Bukan begitu, Kang!" Sulasih mulai takut.

"Wicaksono," kata Pendekar Mabuk kemudian. "Izinkan aku menjelaskan duduk perkaranya masalah bayi itu!"

"Aku tidak butuh penjelasan muslihatmu, Setan! Hiih...!"

Behgg...!

Pendekar Mabuk terpental keluar dari serambi dan jatuh di halaman karena pukulan telapak tangan Wicaksono. Pukulan itu menghentak kuat ke dada Suto dengan secara tiba-tiba. Tak sempat Suto menghindar dan menangkisnya, karena tidak menyangka Wicaksono akan melepaskan pukulan sekeras itu. Akibatnya, Pendekar Mabuk bagai terlempar dengan tubuh terbang, ia jatuh terduduk dipelataran. Wicaksono segera mengejar dengan bernafsu untuk menghajar tamunya.

Tapi Bunga Bernyawa segera melompat dan bersalto satu kali. Dalam kejap berikut ia sudah berada di arah kanan Wicaksono yang mau melepaskan tendangan ke arah Pendekar Mabuk. Bunga Bernyawa cepat berseru, "Jangan sekali lagi sentuh dia, Wicaksono!"

Berpaling cepat Wicaksono kepada Bunga Bernyawa. Wajahnya menampakkan geram kemarahan yang tertahan. Dengan garang ia berkata, "Kalau kalian tak mau aku bertindak kasar, cepatlah pergi dari rumahku ini! Sekarang juga, pergi kalian!"

Pendekar Mabuk bangkit dan tarik napas dalam-dalam untuk menahan kesabaran di dalam hatinya. Lalu, ia berkata, "Kau akan menyesal jika tak mau turuti saran kami. Wicaksono!"

"Persetan dengan saranmu! Hiaaat...!"

Wicaksono melepaskan pukulan jarak jauhnya walau sebenarnya jarak mereka hanya empat langkah. Tetapi sebelum tangannya berkelebat maju dalam satu sentakan, tubuh Bunga Bernyawa sudah lebih cepat bergerak menyerang. Satu lompatan ringan bertenaga berat dilakukan oleh Bunga Bernyawa. Tendangan kaki dalam lompatan itu tepat mengenai lengan Wicaksono. Tapi karena tendangan itu bertenaga berat maka tubuh Wicaksono pun terhempas ke samping dan terguling-guling.

Bukk...! Brukkk...!

Wicaksono semakin garang, ia cepat bangkit dan memandang angker kepada Bunga Bernyawa. Nona manis itu hanya sunggingkan senyum sinis dengan wajah angkuhnya, ia berdiri sigap dan siap menghadapi serangan dari Wicaksono. Sementara itu, Pendekar Mabuk tak mau mencegah Bunga Bernyawa, karena menurutnya Wicaksono memang perlu diberi pelajaran sedikit dari Bunga Bernyawa. Tak perlu dirinya sendiri yang turun tangan. Cukup Bunga Bernyawa saja sudah bisa bikin Wicaksono jera. Suto yakin, Wicaksono tak bisa mengungguli ilmu Bunga Bernyawa. Buktinya, ketika Wicaksono melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak sepuluh langkah, Bunga Bernyawa juga melepaskan pukulan jarak jauhnya sebagai tandingan pukulan Wicaksono.

"Heaaah...!" Bunga Bernyawa bertahan dalam posisi berdiri tegak dan kakinya sedikit merenggang, tangannya yang satu di depan dada keluarkan tenaga hingga sedikit bergetar. Sementara itu Wicaksono menggunakan kedua telapak tangannya untuk bertahan melawan tenaga jarak jauh yang terasa ingin mendorong tubuhnya dengan kuat. Tiba-tiba Wicaksono menyentak pendek kedua tangannya itu.

"Hiaat...!"

Wuttt...! Bunga Bernyawa nyaris terpelanting jika tak segera melepaskan pertahanannya dan ia melenting di udara sambil bersalto satu kali. Jika Bunga Bernyawa masih mempertahankan sikapnya maka ia akan terdorong keras ke belakang dan mungkin tubuhnya akan membentur tembok halaman yang berjarak lima langkah di belakangnya itu.

Suto sedikit terkejut melihat kekuatan Wicaksono. "Rupanya dia punya isi cukup lumayan!" pikir Pendekar Mabuk. "Dilihat dari sentakan tangannya yang pendek saja tapi bisa membuat Bunga Bernyawa hampir terpental, itu tandanya Wicaksono tak boleh dianggap ringan oleh Bunga Bernyawa. Kalau Bunga Bernyawa meremehkannya, Wicaksono bisa melukainya!"

Rupanya Bunga Bernyawa pun membatin demikian. Karena itu, Bunga Bernyawa mulai tak mau menganggap remeh Wicaksono dan lebih berhati-hati lagi.

"Jangan paksakan diri melawanku jika ilmumu baru seujung rambut, Nona! Kau bisa kubunuh dalam waktu sekejap!" seru Wicaksono.

"Majulah kalau memang kau mampu membunuhku!" tantang Bunga Bernyawa.

"Kurang ajar! Hiaaat...!"

Wicaksono berlari menyerang, Bunga Bernyawa pun berlari maju menyambut serangan lawan. Mereka sama- sama lompat dan melesat di udara. Keduanya saling adu pukulan dengan menggunakan kedua telapak tangan mereka. Blapp...! Benturan telapak tangan mereka timbulkan nyala api putih berpendar sekejap. Kemudian, Bunga Bernyawa terpental ke belakang dan Wicaksono pun demikian. Bunga Bernyawa bersalto balik dan mampu mendarat dengan tepat, sedangkan Wicaksono terlempar dengan hilang keseimbangan badan, ia jatuh membentur sebuah pohon dengan kerasnya, hingga dedaunan pohon berguncang dan sebagian ada yang rontok.

"Aaahg...!" Wicaksono sentakkan napas dan keluar darah dari mulutnya.

"Kaaang...!” seru Sulasih dengan tegang, ia segera lari mendapatkan suaminya dan menolongnya untuk berdiri.

Wicaksono sontakkan darah kembali dari mulutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi. Mayang Suri juga cemas. Sambil menggendong bayinya ia bergegas mendekati kakaknya.

Sementara itu Bunga Bernyawa dipandangi Pendekar Mabuk dengan tajam, seakan menerima teguran keras dari Suto. Bahkan ketika Suto mendekat terdengar suaranya berbisik, "Terlalu lepas kendali kau!"

"Aku jengkel sekali padanya!"

Terdengar Mayang Suri berseru dari tempat kakaknya yang lemas itu, "Kalian harus bertanggung jawab atas luka dalam Wicaksono!"

Pendekar Mabuk bergegas hampiri Mayang Suri. "Suruh minum tuak ini sedikit, luka dalamnya akan sembuh! Percayalah! Ini bukan racun!"

Bunga Bernyawa tambahkan kata, "Kalau kami bermaksud jahat, mudah sekali membunuh kakakmu sekarang juga. Tak perlu Suto kasih minum tuak untuk obat luka dalam itu!"

Wicaksono terpaksa meneguk sedikit tuak bumbung Pendekar Mabuk, karena ia tak tahan lagi merasakan panas di dalam dada dan perutnya yang seperti dibakar oleh semburan api lahar. Dan setelah ia teguk sedikit tuak itu, ia merasakan ada perubahan yang melegakan. Rasa panas seperti semburan api lahar itu menjadi dingin. Sekujur tubuhnya justru merasa segar dalam waktu yang amat singkat.

Suto segera berkata di depan Mayang Suri dan Wicaksono yang masih didampingi Sulasih, "Maafkan kami. Jika maksud baik kami dianggap jahat, kami akan pergi secepatnya. Tapi perlu kalian ketahui, bayi itu diincar oleh orang sesat bernama Laksamana Cho Yung. Dia adalah adik dari Dewa Maut!"

"Itu nama almarhum suamiku!" sahut Mayang Suri.

"Benar. Aku tahu hal itu. Tapi kau tak tahu kalau bayimu telah menjadi bayi sakti, karena semua ilmu Dewa Maut ada di dalam diri bayi itu. Dalam usia delapan tahun bayi itu bisa menumbangkan orang berilmu tinggi seperti Laksamana Cho Yung. Karena itu, Laksamana Cho Yung mengincar bayimu, dia ingin memiliki semua ilmu mendiang kakaknya, dan dia tak rela jika ilmu itu jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tangan keponakannya sendiri!"

"Dengan cara apa dia mau mengambil ilmu yang sudah menitis di dalam bayi itu?l" kata Wicaksono mulai mau mengerti keadaan sebenarnya, dan oleh Bunga Bernyawa dijawab,

"Bayi itu akan diambil hati dan jantungnya untuk dimakan Laksamana Cho Yung. Dengan begitu, semua ilmu milik Dewa Maut telah menyatu di dalam diri Laksamana Cho Yung."

"Jadi bayiku akan dibunuhnya untuk diambil jantung dan hatinya?" Mayang Suri menjadi tegang.

"Kalau kau tak percaya, tunggulah beberapa waktu lagi, pasti akan datang utusan dari Laksamana Cho Yung untuk mengambil bayimu, entah secara tipu muslihat atau secara paksa!" kata Suto, kemudian Bunga Bernyawa tambahkan kata,

"Utusan pertama adalah aku! Ingat, kemarin aku datang dengan menyamar sebagai tabib. Tapi hatiku tak tega melihat bayi itu harus kuserahkan kepada Laksamana Cho Yung. Maka kubatalkan niatku walau untuk itu aku harus pertaruhkan nyawaku sebagai gantinya!"

Pendekar Mabuk tambahkan kata juga, "Lalu, kami sepakat untuk menyelamatkan bayi itu dengan membawanya lari dari rumah ini! Bukan hanya bayi itu yang harus lari dan bersembunyi, tapi tentunya bersama ibunya juga. Bila perlu seluruh penghuni rumah ini mengungsi dulu untuk sementara! Aku akan tangani sendiri kekejian Laksamana Cho Yung itu!" ,

"Mengungsilah demi keselamatan kalian, toh hanya sementara! Jika keadaan sudah aman kembali, kalian bisa tinggal di rumah ini lagi!" sahut Bunga Bernyawa.

Suto pun kembali berkata, "Tapi jika kalian menolak uluran tangan kami, kami tak keberatan untuk tinggalkan kalian sekarang juga!"

Mayang Suri dan Wicaksono saling pandang dalam kebimbangan.

* * *

TUJUH
RUPANYA nama Laksamana Cho Yung sudah bukan nama asing lagi bagi telinga Wicaksono. Ia tahu, Laksamana Cho Yung sedang berurusan dengan Pawang Jenazah karena telah membunuh anak dan istri Pawang Jenazah. Wicaksono juga tahu, Laksamana Cho Yung orang berilmu tinggi yang sudah cukup lama berkelana di tanah Jawa tanpa tujuan yang jelas. Tapi Wicaksono tidak tahu bahwa Laksamana Cho Yung ternyata adik dari Dewa Maut, bekas iparnya itu.

Mendengar penjelasan dari Bunga Bernyawa dan Pendekar Mabuk, Wicaksono pun akhirnya putuskan untuk menyerang Laksamana Cho Yung. Mayang Suri disarankan untuk melarikan bayinya, bersembunyi di suatu tempat dalam penjagaan Suto dan Bunga Bernyawa. Tempat persembunyian sudah disepakati. Mayang Suri mempunyai kakek Eyang Juru Taman, yang tinggal di sebuah pegunungan bernama Pegunungan Mahagiri.

Eyang Juru Taman adalah adik dari kakek Mayang Suri. Menurut Wicaksono, tempat yang paling aman untuk sembunyikan bayi itu adalah di Pegunungan Mahagiri, karena tempat itu cukup jauh dari pantai, jauh dari jangkauan orang-orang rimba persilatan. Bahkan Sulasih pun disarankan untuk ikut mengungsi ke Pegunungan Mahagiri.

"Sebaiknya kau tak perlu temui Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi dan sangat mudah mencabut nyawa orang. Dia merasa dirinya seperti dewa, sehingga segala tindakannya dianggapnya benar!" kata Bunga Bernyawa kepada Wicaksono.

Tapi Wicaksono tak pernah gentar dan takut dengan kekuatan manusia mana pun juga. Wicaksono beranggapan, jika Laksamana Cho tidak segera dilenyapkan maka bayi Mayang Suri tetap akan menjadi incaran maut terus-menerus.

"Aku dengar kabar ada dua orang kuat di pihak Laksamana Cho, yaitu Perwira Loyang dan si Ular Setan! Hanya dua orang itu yang tergolong kuat, sisanya hanya cecunguk biasa yang hanya dengan dua-tiga jurus mudah ditumbangkan!" kata Wicaksono. "Dan aku sudah ukur kekuatan Perwira Loyang serta si Ular Setan! Aku merasa mampu menumbangkan mereka berdua! Bahkan untuk tumbangkan Laksamana Cho Yung, aku punya jurus simpanan tersendiri! Jadi kalian tidak perlu cemaskan diriku! Pergi dan bersembunyilah sebelum mereka menjamah bayi itu!"

Bayi itu akan menjadi orang sakti menurut pemikiran Wicaksono. Jika sampai bayi itu mati, Mayang Suri tak punya kekuatan apa pun dimasa tuanya nanti. Wicaksono berpikir sampai ke situ, sehingga dengan penuh semangat ia harus bisa membunuh Laksamana Cho Yung. Sebenarnya Wicaksono mempunyai tiga sahabat baik yang sering bantu membantu dalam beberapa hal. Mereka juga orang-orang berilmu tinggi. Tetapi dalam masalah ini, Wicaksono tidak mau melibatkan ketiga temannya itu.

ia merasa mampu bergerak sendiri untuk tandingi Laksamana Cho Yung. Seandainya dia harus mati, dia cukup bangga bisa mati demi membela nyawa keponakannya. Wicaksono sangat sayang kepada bayi Mayang Suri itu, karena sekian lama ia menikah dengan Sulasih tapi belum dikaruniai keturunan. Jadi bayi Mayang Suri itu sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri yang harus dibela dengan selembar nyawanya.

Wicaksono segera gunakan aji 'Bayu Gegana', yaitu ilmu yang bisa membuatnya bergerak secepat angin. Sasarannya adalah Pantai Gelagah, karena Wicaksono pernah melihat kapal besar bersandar di sana. Kapal itu mempunyai hiasan pada haluannya, yaitu seekor naga bermahkota. Menurut dugaan Wicaksono, kapal itu pasti milik Laksamana Cho Yung, karena punya ciri budaya Cina. Kapal itulah yang jadi sasaran utama Wicaksono. Dan dengan menggunakan aji 'Bayu Gegana' ia dapat menempuh waktu setengah hari untuk mencapai Pantai Gelagah.

Tetapi baru mencapai separo perjalanan, tiba-tiba ia terhenti karena melihat seorang penunggang kuda melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Dalam sekelebat pandang, Wicaksono dapat mengenali si penunggang kuda yang mengenakan pakaian biru berompi putih. Tak salah lagi dugaan Wicaksono, bahwa orang itu adalah Perwira Loyang. Dulu Wicaksono pernah bertemu dengan Perwira Loyang dalam bentrokan kecil di sebuah kedai. Tetapi Perwira Loyang tidak mau melayani tantangan Wicaksono, karena ia punya urusan penting yang harus diselesaikan.

"Barangkali aku harus mengawali dari sini," kata Wicaksono dalam hatinya. "Perwira Loyang harus kubunuh, selagi ia sendirian! Tapi, mengapa ia pacu kudanya begitu cepat? ia seperti dikejar setan yang membuatnya ketakutan. Hmmm... siapa orang yang mengejarnya itu? Tak tampak ada kuda di belakangnya!"

Perwira Loyang memang sedang melarikan diri. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, ia akan habis dirajang oleh mayat teman-temannya sendiri. Mengalahkan mayat-mayat yang dibangkitkan dengan ilmu pembangkit mayat bukan hal yang mudah. Sebab mayat-mayat itu tak bisa dibunuh begitu saja. Satu-satunya cara terbaik adalah meloloskan diri dari serangan para mayat tersebut. Dan Perwira Loyang berhasil meloloskan diri, hingga walaupun sudah jauh dari maut ia masih memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.

Tetapi kuda itu tiba-tiba meringkik dan melonjak ke depan. Kedua kakinya diangkat naik dan mengais-ngais udara. Perwira Loyang hampir saja terlonjak dan terjungkal ke belakang kalau tidak kuat-kuat memegang tali kekang kudanya.

"Ada apa ini?! Mengapa kudaku jadi seperti ketakutan?!" pikir Perwira Loyang. Kuda itu melonjak-lonjak terus sambil meringkik panjang. Seakan kuda tersebut tak mau bergerak maju dan ingin menghindari sesuatu. Bahkan sesekali sang kuda melompat ke sana kemari tanpa tujuan, bagai orang yang menahan rasa sakit akibat terbakar api pantatnya. Perwira Loyang segera mengendalikan amukan kuda, ia berusaha mengatasi gerakan kuda yang menjadi liar itu dengan tetap bertahan duduk dipelananya.

"Hhrrr... hiah hiah hiah...! Ck ck ck...! Ck ckck...!"

"Iiieeehhkkk...!" Kuda makin meringkik keras dan panjang, ia melompat-lompat liar. Sentakannya sangat keras, sehingga Perwira Loyang hilang keseimbangan dan jatuh terjungkal dari atas punggung kuda.

Brukk..! Sedangkan sang kuda segera lari tinggalkan Perwira Loyang, melaju cepat ke tempat asal kedatangannya. "Monyet Kudis!" geram Perwira Loyang sambil bangkit dan membersihkan tanah yang melekat di pakaiannya. "Kenapa kuda itu lari terbirit-birit? Apakah di depan sana ada pasukan mayat yang dikendalikan oleh ilmunya si Pawang Jenazah?!"

Perwira Loyang tak tahu, bahwa di balik semak-belukar tak jauh dari depannya itu, Wicaksono bersembunyi rapat-rapat dan ingin mencelakakan lawannya. Wicaksono menggunakan sebatang ilalang yang direntangkan, lalu ditiup bagian tepian ilalang itu. Tiupan tersebut menimbulkan suara yang tak bisa tertangkap oleh pendengaran manusia, namun cukup jelas diterima pendengaran hewan. Tiupan itu menghadirkan suara melengking tinggi bagi kuda dan menusuk-nusuk gendang telinga hingga kuda tersebut merasa kesakitan.

Itulah sebabnya kuda tunggangan Perwira Loyang berjingkrak-jingkrak dengan liar, karena ia memberontak tak mau maju lebih ke depan lagi. Telinganya terasa sakit sekali jika semakin mendekati rimbunan semak di depannya.

Wicaksono tersenyum melihat kuda itu lari terbirit- birit. Bahkan beberapa burung yang ada di pepohonan sekitarnya juga beterbangan dan merasa sakit mendengar bunyi yang tak tertangkap telinga manusia itu. Wicaksono merasa menang dalam satu jurus, walau ilmu meniup tepian ilalang itu tidak membutuhkan tenaga dalam sedikit pun, kecuali hanya pengetahuan tentang getaran suara. Salah tiup pun tak akan hasilkan suara aneh bagi para binatang.

Perwira Loyang baru saja ingin melangkah tapi tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dari samping. Suara gemuruh itu membuat Perwira Loyang berpaling memandang, dan begitu mengetahui apa yang terjadi, ia segera melentingkan tubuh, melayang di udara dan bersalto ke belakang satu kali. Kakinya baru saja menapak di tanah namun sudah harus dljejakkan lagi, dan bersalto lagi ke belakang dengan gesit.

Brukkk...!

Sebuah pohon berbatang lurus, besar dan tinggi, tiba-tiba roboh melintang di depan Perwira Loyang. Kalau saja Perwira Loyang tidak cepat melentingkan tubuh ke udara dan bersalto dua kali, pasti tubuhnya akan gepeng tergencet batang pohon besar itu.

"Monyet Miskin!" seru Perwira Loyang dengan marahnya. "Siapa yang berani mengganggu perjalananku, hah?! Keluar dan tampakkan batang hidungmu!"

Kejap berikutnya, Perwira Loyang curiga pada rimbunan semak di seberang pohon tumbang itu. Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya dan terlepaslah pukulan tenaga dalam bersinar putih melesat cepat menghantam rimbunan semak itu.

Wuttt...! Crasss...! Brusss...!

Rimbunan semak itu terbakar dalam sekejap. Nyala apinya cepat padam dan kepulan asapnya cepat hilang. Tapi rimbunan semak itu menjadi hangus berdebu hitam tanpa ada ilalang yang tumbuh lagi. Pada saat sebelum sinar putih menghantam rimbunan semak, terlebih dulu sesosok tubuh melesat tinggi dan bersalto ke arah samping pohon tumbang.

Wutt...! Tubuh itu tahu-tahu bertengger di atas akar pohon yang terdongkel keluar dari tanahnya. Dan orang yang baru muncul itu segera memperdengarkan tawanya. Walau tak terbahak-bahak, namun memanjang dan berkesan menantang.

"Monyet Rabun! Rupanya kau yang mengganggu perjalananku?!" geram Perwira Loyang yang sudah mengenal Wicaksono. Ia segera teringat pertentangan dengan Wicaksono di dalam kedai beberapa waktu yang silam. "Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Wicaksono?! Apakah kau ingin melanjutkan persoalan di kedai beberapa waktu yang lalu?!"

"Ada persoalan lain yang perlu kuselesaikan!" kata Wicaksono dengan tetap bertolak pinggang. "Sebelumnya aku ingin tahu, ke mana arah tujuan pergimu, Perwira Loyang?!"

"Kepergianku tidak punya urusan denganmu, Wicaksono!"

"Mungkin aku bisa bantu kamu jika tahu arah dan tujuanmu! Seperti kau ketahui, aku tak segan-segan turun tangan membantu kesulitan orang jika ada upahnya!"

Perwira Loyang diam berpikir, "Kalau memang dia mengharapkan upah, tak ada jeleknya jika dia kusuruh membantuku dalam melakukan tugas dari laksamana. Aku sudah kehilangan anak buah. Aku perlu orang yang bisa menolongku, terutama untuk menghadapi Pawang Jenazah, sementara aku menculik bayi Mayang Suri. Aku butuh perisai untuk menahan gerakan Pawang Jenazah, setidaknya menghambat serangannya yang diarahkan kepadaku! Dan agaknya, Wicaksono punya ilmu lumayan tinggi, bisa kujadikan perisai sementara!"

"Tua Pikun...! Mengapa diam saja?!" seru Wicaksono.

"Berapa upah yang harus kubayarkan kepadamu, Wicaksono?!"

"Tergantung apa tugas yang harus kulakukan? Itulah sebabnya, sebutkan ke mana tujuanmu dan apa tugas yang ingin kau lakukan?"

"Aku ingin pergi ke rumah perempuan bernama Mayang Suri untuk mencuri bayinya! Kau kenal nama Mayang Suri?!"

Wicaksono mendidih darahnya seketika itu. Tapi ia berusaha untuk menahan luapan amarahnya untuk sesaat. Tangannya yang telah menggenggam kuat-kuat itu kembali dikendurkan. Lalu, dengan suara keras dan datar, Wicaksono berseru, "Aku sangat kenal dengan nama itu dan tahu persis di mana dia tinggal!"

"Bagus! Lalu, berapa upah yang kau minta?"

"Hanya sekeping nyawa!" jawab Wicaksono.

"Nyawa siapa?" Perwira Loyang kerutkan dahi.

"Nyawa siapa lagi kalau bukan nyawamu, Perwira Loyang!" geram Wicaksono, dan jawaban itu membuat Perwira Loyang terkesiap. Karena Perwira Loyang belum tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dariMayang Suri, maka ia merasa sangat heran mendengar jawaban tersebut.

"Apa maksudmu bicara begitu, Wicaksono!"

"Karena untuk mencuri bayi Mayang Suri, kau harus bisa melangkahi dulu mayatku!"

"Oh, rupanya Mayang Suri itu kekasihmu?!"

"Aku kakaknya! Aku paman dari bayi itu!"

"Heh heh heh heh...!" Perwira Loyang tertawa, merasa geli sendiri. Bagimana mungkin dia mengajak Wicaksono kerja sama untuk mencuri bayi Mayang Suri jika ternyata Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri alias paman dari bayi itu sendiri? Perwira Loyang menertawakan kebodohannya sendiri.

"Kalau begitu," kata Perwira Loyang, "Kaulah orang pertama yang harus kusingkirkan, Wicaksono!"

"Bukan aku orang pertama yang harus kau singkirkan, tapi akulah orang pertama yang akan singkirkan nyawamu dari raga! Hiaaat...!"

Wicaksono melepaskan serangan lebih dulu. Ia hantamkan pukulan jarak jauhnya dari atas batang pohon tumbang itu dengan satu sentakkan tangan kanannya yang berkelebat dari atas kepala kedepan.

Begggh...! Pukulan tanpa sinar itu tepat mengenai dada Perwira Loyang. Orang itu terjungkal ke belakang bagai semangka yang dilemparkan begitu saja. Sementara itu, Wicaksono terus mencecar dengan sentakkan tangan yang melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Perwira Loyang berulang kali gagal untuk bangkit dan balas menyerang, ia terguling-guling bagai bola yang dipermainkan anak kecil.

"Hiaaah...!" dalam kejap berikut, Perwira Loyang berhasil sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali dan hinggap di tempat kosong, bebas dari incaran Wicaksono.

"Wicaksono! Rupanya kau memang cari mampus dan perlu kulenyapkan sebelum kucuri keponakanmu itu!"

"Kau tak akan bisa temui keponakanku! Dia sudah berada di tempat yang aman! Kau tak akan bisa mencari Pegunungan Mahagiri, bahkan mencapai ke sana pun tak akan bisa, sebab Bunga Bernyawa dan Suto Sinting menjaga ketat bayi itu! Kau tak akan bisa kalahkan kedua penjaga tersebut, Perwira Loyang!"

"Bunga Bernyawa...?!" gumam Perwira Loyang. "Ternyata dia justru melindungi bayi itu! Keparat betul perempuan cantik itu!"

Wusss...! Tiba-tiba Wicaksono melepaskan jurus mautnya dari telapak kaki yang ditendangkan ke depan. Jurus maut itu berupa cahaya merah membara sebesar tampah yang melesat menghantam Perwira Loyang. Tetapi, Perwira Loyang hanya terkesiap sejenak, lalu cepat menghindarkan diri dan membuat cahaya merah besar itu menghantam pohon di belakang Perwira Loyang.

Dubb...! Wesss...!

Ternyata sinar merah besar itu tidak menghancurkan pohon tersebut, melainkan membalik mengejar Perwira Loyang, ia sempat menggeragap sebentar melihat sinar merah itu memantul balik ke arahnya. Maka, dengan cepat ia sentakkan dua jarinya ke depan, dan dari dua jari itu melesat sinar biru bagaikan tombak panjang. Sinar biru itu menghantam laju kecepatan terbang sinar merah besar itu.

Blarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Dua pohon rubuh seketika karena terhantam gelombang ledakan itu. Sementara tubuh Perwira Loyang masih tegar berdiri dan tubuh Wicaksono terlempar tiga tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula. Melihat lawannya jatuh terguling-guling, Perwira Loyang segera berseru, "Sekarang saatnya menghabisimu, Wicaksono! Hiaah...!"

Clappp...! Kedua tangan Perwira Loyang menyilang di dada lalu ditarik ke kanan-kiri bersamaan. Keluarlah sinar biru bagai meteor yang melesat dari mata kanannya. Sinar itu bergerak cepat dan menghantam tubuh Wicaksono yang baru saja bergegas untuk bangkit berdiri.

Blarrr...! Sinar biru dari mata yang mirip meteor jatuh itu menghantam telak tubuh Wicaksono, dan dalam seketika itu juga tubuh Wicaksono retak dari batas pertengahan kepala sampai ke bawah perutnya. Tubuh itu bagaikan ingin terbelah menjadi dua bagian. Seluruh isi perutnya tersembur keluar, dan Wicaksono pun menghembuskan napas terakhir dalam keadaan terkapar di tanah.

Tubuh mayat Wicaksono sangat mengerikan dilihat orang. Bahkan Perwira Loyang sendiri buru-buru palingkan wajah tak kuat pandangi tubuh yang terbelah itu. Ia segera tarik napas dan menahan rasa ingin muntah melihat isi perut Wicaksono berhamburan. Perwira Loyang merasa malu jika sampai dilihat orang dirinya muntah akibat jurus mautnya mengenai lawan.

"Aku harus cepat pergi ke Pegunungan Mahagiri! Ya. Seingatku tadi Wicaksono sebutkan Pegunungan Mahagiri sebagai tempat persembunyian Mayang Suri dan bayinya! Persetan dengan Bunga Bernyawa dan Suto, kuhajar habis mereka kalau menghalangiku, biar nasibnya seperti Wicaksono!"

Perwira Loyang bicara sendiri sambil tinggalkan tempat itu. Ia tak tahu ada orang yang mendengar kata-katanya tersebut. Orang itu berkerudung jubah hitam dariataskepalasampaikaki.Orang itu berwajah putih, tampan, dan membawa senjata El Maut, berupa tongkat berujung sabit panjang.

Kelebatan orang berjubah hitam sempat tertangkap oleh ekor mata Perwira Loyang. Karenanya Perwira Loyang cepat palingkan pandang ke arah kirinya. Di sana tadi ia seperti melihat kelebatan hitam. Tapi tiba- tiba dari sebelah kanannya muncul orang berpakaian hitam pula, bajunya tak berlengan, sabuknya merah, kepalanya gundul, tapi alisnya tebal. Siapa lagi kalau bukan si Pawang Jenazah yang rupanya sejak tadi sudah memperhatikan pertarungan Perwira Loyang dengan Wicaksono.

Pada saat Pawang Jenazah tiba di tempat pertarungan, keadaan Perwira Loyang sedang kebingungan menghadapi sinar merah dari Wicaksono tadi. Dari situlah Pawang Jenazah mengikuti pertarungan itu. Jadi ia tak sempat mengikuti tawar-tawaran upah antara Wicaksono dengan Perwira Loyang, sehingga Pawang Jenazah tak tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri.

Melihat kemunculan Pawang Jenazah, mata Perwira Loyang segera melirik kanan-kiri dan sekelilingnya. Ia takut tahu-tahu disergap pasukan mayat dari berbagai arah. Gerak mata takutnya itu ditertawakan oleh Pawang Jenazah.

"Ha ha ha ha...! Kali ini aku sengaja menghadangmu sendirian, Perwira Loyang! Tak perlu takut dengan pasukan mayatku! Belum saatnya aku kerahkan pasukan mayat untuk melawanmu! Karena membunuhmu tak perlu kerahkan pasukan mayat! Membunuhmu cukup dengan membalikkan tanganku sudah selesai! Aku sudah tak berminat mempermainkan nyalimu seperti di sana! Aku akan mencabut nyawamu sekarang juga."

"Ha ha ha ha...!"

"Tutup bacotmu, Setan Kubur!” bentak Perwira Loyang. "Apa kau ingin menerima nasib seperti Wicaksono, lawanku itu?!"

"Oh, mengerikan sekali! Aku takut! Hiii...!" Pawang Jenazah mengejek sambil tertawa.

Tapi tiba-tiba Perwira Loyang melepaskan pukulan jurus lain yang melesat dari punggung kedua telapak tangannya. Sinar hijau pendar-pendar berkelebat ke arah Pawang Jenazah. Wuttt...!

Tetapi Pawang Jenazah segera kibaskan tangannya dengan lemas. Dari kuku-kuku tangannya memancar asap bagaikan kabut putih menggumpal. Dan kabut itu menjadi perisai dirinya dari serangan sinar hijau. Kabut itu membungkus sepasang sinar hijau tepat di depan mata PawangJenazah. Rupanya ia tahu apa yang akan terjadi, sehingga ia cepat sentakkan kaki dan melesat menjauhi gumpalan kabut itu. Kejap berikut terdengar letupan kecil bagai teredam gumpalan asap tersebut.

Blabbb...! Rupanya sinar hijau itu pecah bersamaan, dan asap putih pun menyebar buyar, lalu hilang terbawa angin. Sementara itu, Perwira Loyang terbengong kecewa karena serangannya mudah dibekap dengan gumpalan kabut putih.

Pada saat ia terbengong itulah, Pawang Jenazah melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Perwira Loyang. Pukulan itu keluar dari tangan kanannya, berupa gelombang bercahaya merah melingkar-lingkar membungkus tubuh Perwira Loyang.

Zrrrub...!

"Aaagh...!" Perwira Loyang mengejang tubuhnya dan menggerinjal-gerinjal kelojotan. Ia bagai dikurung dalam kobaran api yang amat panas. Rambutnya menjadi rontok. Bahkan sebagian rambut menjadi susut, dan kepala mulai botak tak teratur. Kumis dan alisnya pun terbakar hangus, hilang sebagian. Tinggal sisanya yang memendek. Untung ia cepat bisa melepaskan diri dari kurungan sinar merah bergelombang-gelombang itu dengan sentakan tenaga dalam yang disalurkan lewat kakinya.

Tubuh itu melesat keluar dari kurungan sinar maut, dan berjungkir balik di tanah. Tapi sebagian tubuh sudah mulai melepuh. Melihat keadaannya cukup parah, Perwira Loyang merasa perlu selamatkan diri lebih dulu. Maka ia pun segera melesat lari dan meninggalkan Pawang Jenazah. Tetapi lawannya tak mau melepaskan dia begitu saja. Pawang Jenazah pun cepat mengejarnya.

* * *

DELAPAN
LAKSAMANA Cho Yung terbengong melihat Perwira Loyang datang menghadap dalam keadaan seperti tikus kebakaran. Wajahnya menjadi lucu karena rambutnya yang diplontos keriting dan berbau sangit. Kumisnya menjadi plontos, bahkan alisnya pun habis. Kulit tubuhnya hitam mengkilat bercampur warna merah matang.

"Apakah kau Perwira Loyang?!" ucap Laksamana Cho Yung dalam keraguan hati. Dan Perwira Loyang menjawab sambil tundukkan kepala.

"Benar, Tuan Laksamana! Sayalah Perwira Loyang!"

Plokk...! Bonyok sudah pipi Perwira Loyang mendapat tamparan Laksamana Cho Yung yang sudah seperti langganan itu.

Laksamana Cho Yung membentak, "Mengapa kau sampai seperti ini, hah?! Siapa yang membuatmu mirip kambing guling begini, hah?!"

"Pawang Jenazah, Tuanku!" Plokk...!

"Mengapa kau biarkan dia membuatmu sampai seperti ini? Bodoh! Seharusnya kau lawan dia dan jangan mau dibuat seperti babi panggang begini!" bentak Laksamana Cho Yung lagi.

Dongkol sekali hati Perwira Loyang mendengar ucapan seperti itu. Siapa orangnya yang mau dibuat seperti babi panggang jika bukan karena kalah ilmu? Sudah nasibnya seperti babi panggang, masih saja kena gampar seenaknya. Pipi yang sudah matang karena terbakar itu menjadi bonyok dan lembek.

"Sekarang di mana Pawang Jenazah itu?"

"Sedang menuju kemari, mengejar saya, Tuan Laksamana!"

"Mengapa kau izinkan, tolol!" Plokk...! Bentakan itu makin keras, demikian pula tamparan itu juga semakin keras.

Mata Perwira Loyang berkunang-kunang seketika itu juga. Tapi ia sempat ucapkan kata, "Saya... saya hanya mau kasih tahu kepada Tuan, bahwa Mayang Suri menyembunyikan bayinya di Pegunungan Mahagiri. Ia dijaga oleh Nona Bunga Bernyawa dan Suto, si pemuda yang menolong Bunga Bernyawa dari serbuan mayat-mayat di kuburan itu, Tuanku. Dan... dan..."

Brukk ! Perwira Loyang rubuh karena tak tahan lagi. Kepalanya semakin sakit, matanya kian buram, ia jatuh pingsan di depan Laksamana Cho Yung. Sialnya lagi, Laksamana Cho Yung justru menjadi geram dan mengangkat tubuh yang pingsan itu dengan cengkeraman tangan kirinya lalu berteriak membentak di depan wajah Perwira Loyang,

"Sudah tahu bayi itu dibawa lari ke sana, mengapa kau tak mengejarnya dan justru pulang ke kapal? Bodoh! Bodoh sekali kau!"

Plokkk...! Brukk!

Wajah pingsan itu makin bonyok. Makin pingsan juga nasib Perwira Loyang. Kalau saja ia tak pingsan maka ia akan terpekik keras karena tamparan yang paling keras yang terakhir diterimanya itu telahmembuat pipinya jadi terkelupas.

"Ular Setan...!" panggil Laksamana Cho Yung dengan berang.

Segera muncul dari ruang nakhoda seorang berpakaian kuning berhias sulaman benang merah bergambar seekor ular kobra. Orang itu membawa pedang besar yang tak bisa diselipkan di pinggang. Gagang pedangnya mempunyai kuncer-kuncer benang merah sutera. Orang itu berambut botak bagian depan, tapi bagian belakangnya panjang sampai melewati pundak. Alisnya tebal bagai mau menyambung antara yang kiri dengan yang kanan. Matanya liar dan dahinya selalu berkerut, giginya agak tonggos, sehingga ia tampak selalu cemberut. Dialah yang dijuluki oleh Laksamana Cho Yung sebagai si Ular Setan!

"Hadang serangan Pawang Jenazah yang sedang menuju kemari mengejar Perwira Loyang!" perintah Laksamana Cho dengan tegas.

"Baik!" jawab Ular Setan dengan pendek, karena memang ia termasuk orang yang tak suka banyak bicara. Tanpa menunggu perintah lagi ia segera melompat dari geladak dan pijakan kakinya ke pasir pantai dengan meniti tambang penambat kapal yang diikatkan di pohon kelapa yang ada di pantai. Pedang besarnya yang bermata lebar dengan ujung sedikit lengkung itu berkuatan terkena pantulan sinar matahari.

Tetapi baru saja Ular Setan pijakkan kakinya di pasir pantai, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh bagai puluhan kaki berlarian menuju ke arahnya, ia memandang ke belakang, ternyata benar dugaannya, ada puluhan kaki berlari menuju ke kapal berlayar tiga itu.

"Apa itu...?!" gumamnya dengan mata terkesiap. Semakin dikecilkan matanya semakin tajam ia memandang. Rombongan orang berpakaian compang-camping dengan rambut acak-acakan, bahkan ada yang bertubuh somplak sana-sini sedang bergegas bagai pasukan yang siap menyerbu. Ular Setan makin terkesiap setelah ia sadari bahwa puluhan orang yang berlari mendekati kapal itu adalah mayat-mayat yang berlumur tanah kuburan.

"Celakaaa...! Eh, bahayaaa...! Bahaya...!" Sejenak para awak kapal di sana saling bingung, saling tak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh Ular Setan. Mereka segera pandangi sekeliling, lalu melihat rombongan mayat sedang menuju ke arah kapal. Mereka segera serukan tanda bahaya, sehingga Laksamana Cho Yung keluar dari kamarnya dan ikut memandang ke arah pantai.

Dengan cepat ia serukan perintah, "Serang mereka! Lenyapkan!" Maka saling berebutan para awak kapal mencari senjatanya. Mereka turun dari geladak dan bergabung dengan Ular Setan.

Salah seorang dari mereka berseru, "Lihat...! Dari barat juga ada!" sambil orang itu menuding ke arah barat.

Ternyata dari arah sana datang juga serombongan mayat yang sudah dibangkitkan oleh ilmu pembangkit mayat. Mayat itu bukan hanya bisa bangkit dan berjalan, tapi sebagian besar ilmu yang dimiliki Pawang Jenazah disalurkan kepada mayat-mayat tersebut, sehingga para orang mati itu bisa memainkan jurus-jurus maut seperti layaknya orang berilmu tinggi. Padahal di antara mereka ada pula yang masih bocah, yang perempuan, dan yang sudah menjadi nenek pikun. Begitu bangkit langsung menjadi liar dan ganas, mampu memainkan jurus silat berilmu tinggi.

Pertarungan antara para mayat dengan para awak kapal terjadi dengan sengitnya. Ular Setan berhasil tetaskan pedangnya beberapa kali ke leher para mayat. Banyak yang terpenggal kepalanya, tapi masih bisa hidup dan menyerang dengan gigih. Mereka saling mengerang dan seringaikan wajahnya hingga suara hiruk-pikuk memenuhi sekitar kapal mirip sekali dengan keramaian suasana di pasar.

Suara riuh itu diselingi jerit dan pekik dari anak buah Laksamana Cho Yung yang mati diterkam mayat. Satu orang dipakai rebutan lima atau enam mayat. Tubuh mereka dicabik-cabik habis tanpa peduli apakah tubuh itu sudah mati lebih dulu ataubelum. Sebagian pasukan mayat itu memanjat ke kapal melalui tambang pengikat, atau ada yang menggunakan ilmu peringan tubuh dengan sekali sentak sudah bisa melayang dan hinggap di tepian geladak. Mereka menyerang masuk ke kamar-kamar dan memporak-porandakan keadaan di atas kapal itu.

Laksamana Cho Yung ikut menyerang para mayat dengan pedangnya yang sering pancarkan sinar hijau itu. Tapi semakin banyak yang dipenggal, semakin bertambah jumlah penyerangnya. Karena kepala yang dipenggal bisa melayang sendiri dan tubuh tanpa kepala bisa menyerang sendiri. Tangan yang terpotong putus pun bisa bergerak menyerang lawannya dengan liar.

Tubuh Perwira Loyang yang saat itu masih jatuh pingsan di geladak menjadi sasaran empuk bagi para mayat rakus. Tubuh Perwira Loyang habis dikoyak-koyaknya, hingga tak lagi berbentuk jasad manusia tanpa nyawa. Lebih mirip seonggok daging busuk yang mengerikan.

Melihat banyaknya jumlah mayat dan keganasannya yang mengerikan, Laksamana Cho Yung segera menyingkir dari kapal dan berlari ke pantai. Tapi di pantai pun ia dihadang oleh tujuh mayat, satu di antaranya sudah tidak berkepala lagi. Laksamana Cho Yung terpaksa menghadapi mereka untuk buka jalan. Sementara itu, Ular Setan pun tampak masih gigih menghadapi mayat-mayat yang mengeroyoknya tanpa ampun lagi itu. Pedangnya berkelebat ke sana-sini, malah kadang-kadang hampir membabat kakinya sendiri karena simpang-siur gerakan pedang.

"Ular Setan...! Cepat lari...!" teriak Laksamana Cho Yung ketika melihat kapalnya digulingkan oleh mayat-mayat yang semakin banyak menyerang ke arah kapal itu. Kapal besar tersebut seperti kotak tempat wayang kulit, yang dapat dengan mudah dijungkir-balikkan.

Brakkk...! Brrrusss...! Krakkk...!

Serangan tak tanggung-tanggung itu membuat Laksamana Cho Yung merasa perlu melarikan diri. Apalagi dari sekian banyak orang, hanya dia dan Ular Setan yang masih bertahan hidup, sedangkan jumlah penyerang semakin bertambah saja rasanya, walau hanya berupa potongan tangan atau kepala. Jelas hal itu tidak mungkin mampu dibereskan hanya dengan dua orang saja.

Laksamana Cho Yung berlari cepat diikuti oleh si Ular Setan yang sudah terluka di bagian punggungnya. Tapi luka itu tak dihiraukan. Bahkan luka koyak di bagian kepala yang tidak ditumbuhi rambut itu pun dibiarkan saja, walaupun ada darah yang mengalir sampai ke sela-sela cuping hidungnya. Cukup jauh Laksamana Cho Yung melarikan diri tanpa berhenti, sementara Ular Setan sudah hampir kehabisan napasnya. Tapi karena patuh, ia tetap ikuti ke mana pun larinya Laksamana Cho Yung.

Mereka memang selamat dari serbuan mayat-mayat rakus yang bersikap ganas melebihi setan itu. Tapi mereka lupa bahwa pawangnya masih belum muncul dalam pertarungan di kapal. Orang yang memiliki ilmu pembangkit mayat seperti yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat dari Pulau Mayat itu, ternyata sengaja mengejar Laksamana Cho Yung dari arah lain. Sampai pada suatu tempat, di kaki sebuah bukit, Pawang Jenazah menghadang langkah Laksamana Cho Yung dengan sangat mengejutkan, ia muncul dari balik kerimbunan pohon bambu dan langsung melepaskan pukulan bersinar merah dari tangannya.

Wusss...! Sinar merah berbentuk percikan bintang besar itu melesat ke arah kepala Laksamana Cho Yung. Melihat kilatan sinar merah itu, Laksamana Cho Yung cepat merundukkan kepala lalu menggulingkan badan ke tanah.

Wuttt...! Sinar itu lolos dan dapat dihindari. Tapi Ular Setan yang mengikuti Laksamana Cho Yung dari belakang itu tak tahu adanya sinar yang melesat. Ketika ia mengetahuinya, sinar yang sudah ada di depan mata Ular Setan itu memang mengincar kepala si Ular Setan.

Blarrr...! Meledaklah sinar merah itu, karena meledak pula kepala Ular Setan hingga tinggal bagian tubuhnya saja. Tubuh itu masih bergerak-gerak membabatkan pedang besarnya ke sana-sini dengan ngawur. Lama-lama berhenti, dan rubuh tak bergerak lagi.

"Ular Setan...?!" pekik Laksamana Cho Yung dalam ketegangannya, ia mendelik melihat kepala Ular Setan menjadi serpihan kecil.

"Bodoh kau!" maki Laksamana Cho dengan menyesal sekali dan marah tak terlampiaskan. "Sudah tahu ada sinar merah mengapa tidak segera menundukkan kepala, Tolol! Kalau ke sini cuma mau mati, kenapa harus repot-repot ikut lari! Diam saja di kapal sana, kau juga akan mati sendiri dihancurkan mayat-mayat itu! Oh, Ular Bodoh...! Kenapa kau mati dengan sia-sia, hah?!"

Terdengar suara Pawang Jenazah menyahut dalam tawanya, "Kau pun akan mati dengan sia-sia, Laksamana Cho!"

Melihat lawannya berdiri dengan tegak dan tampakjumawa sekali, Laksamana Cho Yung segera bangkit dan menggeram sampai kepalanya gemetar. "Kematian ini harus kau tebus dengan nyawamu. Pawang Jenazah!"

"Aku sudah siap. Tapi apakah kau sudah siap juga. Laksamana?"

"Babi buntung kau! Sudah sejak dari dulu aku siap melawanmu!"

"Bagus! Berarti kematian istri dan anakku hampir selesai kutebus! Tak kuizinkan siapa pun orangmu hidup menikmati udara segar di permukaan bumi ini! Gundikmu pun akan kucari dan kulumat habis, seperti aku melumat daun sirih!"

"Hiaaat...!" Laksamana Cho Yung tebaskan pedang kedepan. Pedang itu keluarkan sinar merah menyebar dalam bentuk pipih. Sinar itu menghantam tubuh Pawang Jenazah.

Tetapi, tangan Pawang Jenazah lebih dulu berkelebat dan keluarkan kabut yang menggumpal. Kabut itu menerkam sinar merah dan terjadi letupan kecil, blaab...! Kemudian kabut menyebar pecah dan lenyap bersama angin. Sinar merah dari pedang itu pun tak kelihatan lagi.

"Jahanam...!" geram Laksamana Cho Yung melihat sinar merahnya bisa diredam dengan kabut. Maka, segera ia memutar-mutarkan pedangnya dengan cepat di samping kanan. Dan tiba-tiba pedang itu disentakkan keatas, lalu dari ujung pedang itu keluar sinar hijau melesat ke arah Pawang Jenazah.

Zlabbb...! Kilatan cahaya hijau begitu cepat. Pawang Jenazah tak sempat menangkis, ia hanya bisa menghindar dengan melayang bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya. Lompatan itu sedikit telat, karena sinar hijau tersebut membentur batu besar di belakang Pawang Janazah, batu itu pecah menjadi serpihan dan beberapa bagian melesat cepat menghantam betis dan paha Pawang Jenazah.

Jrusss...! Crapp...!

"Aaahg...!" Pawang Jenazah berguling di tanah dengan kesakitan. Rupanya sinar hijau dari pedang itu bisa membuat benda padat yang terkena sasaran menjadi pecah dan pecahannya pasti berbentuk runcing, dan masih mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup hebat. Terbukti, dua pecahan batu itu menjadi runcing dan menancap di paha dan betis Pawang Jenazah. Dua pecahan batu itu sepertinya telah mengandung kekuatan hawa panas yang membuat daging betis dan paha menjadi terbakar pada bagian lukanya. Hitam hangus seketika.

"Bangsat kau, Cho...!" geram Pawang Jenazah sambil menahan rasa sakitnya. Lalu, ia melepaskan pukulan bergelombang merah yang pernah membungkus tubuh Perwira Loyang. Pukulan itu dilepaskan dalam keadaan sedikit merebah di tanah.

Wuttts...! Laksamana Cho Yung segera sentakkan pedangnya ke depan seperti menusuk udara. Dan pedang itu keluarkan sinar merah juga yang berbentuk seperti api terbang’ Sinar merah itu menembus lingkaran sinar merah bergelombang. Akibatnya, timbul satu perpaduan keras antara dua tenaga dalam berkekuatan tinggi yang sama-sama meledak di pertengahan jarak.

Blarrr...!

Laksamana Cho Yung tersentak bagai terbarg ke belakang. Brasss...! Tubuhnya bagai dilemparkan dengan kasar ke arah rimbunan batang bambu. Empat batang bambu itu patah seketika terkena benturan tubuh Laksamana Cho Yung. Sedangkan Pawang Jenazah pun terpental jauh, berguling-guling sampai membentur gugusan batu cadas.

"Dia memang cukup tangguh," pikir Laksamana Cho Yung. "Ledakan tadi membuat dadaku terasa panas. Berbahaya kalau kugunakan untuk melawannya lagi. Aku harus cepat lari untuk temukan bayi itu! Aku harus segera makan jantung dan hati bayi itu, supaya ilmu Dewa Maut meresap dalam diriku dan bisa kupakai untuk kalahkan pawang bangsat itu!" Maka dengan cepat Laksamana Cho Yung tinggalkan tempat pertarungannya.

Terdengar suara Pawang Jenazah berseru, "Hoi...! Mau ke mana kau, Bajingan! Ke liang semut pun akan kukejar kau...!" Pawang Jenazah bergegas mengejarnya, tapi ia jatuh tersungkur karena rasa sakit di kaki kirinya sangat menyiksa. Sekali pun demikian, Pawang Jenazah tak mau menyerah, ia mencoba bangkit lagi dan berusaha mengejar Laksamana Cho Yung.

Namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang berpakaian hitam, berkerudung hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dengan bibir biru dan tepian mata hitam. Tampak masih muda namun berwajah dingin. Tanpa senyum sedikit pun. Ia menggenggam tongkat El Maut yang berujung sabit panjang melengkung.

Dialah orang yang diburu Pendekar Mabuk selama ini, yaitu, Siluman Tujuh Nyawa. Pawang Jenazah tak kenal orang itu, hanya pernah mendengar nama julukan tersebut disebutkan beberapa orang di kedai makan. Itulah sebabnya Pawang Jenazah kerutkan dahi saat berhadapan muka dengan orang paling keji di dunia itu.

"Jangan kejar dia sekarang!" kata Siluman Tujuh Nyawa. "Kau bisa temui dia, juga Bunga Bernyawa, si putri Cina yang cantik itu, juga Mayang Suri dan bayinya... mereka ada di Pegunungan Mahagiri! Di sana ada pula Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting! Bunuh Pendekar Mabuk itu, karena dia yang akan menjadi penghalangmu untuk melenyapkan Bunga Bernyawa. Aku akan membantumu, Pawang Jenazah!"

Tiba-tiba dari jari tangan Siluman Tujuh Nyawa keluarkan sinar putih menembus luka di kaki Pawang Jenazah. Kejap berikutnya luka itu menjadi kering, bahkan pulih seperti sediakala. Tak ada bekas dan tak ada sisa sakit sedikit pun. Pawang Jenazah terheran-heran.

* * *

SEMBILAN
PEGUNUNGAN Mahagiri mempunyai tebing-tebing curam, jurang yang dalam dan udara dingin yang membekukan darah. Perjalanan yang sudah ditempuh oleh rombongan Mayang Suri sudah memakan waktu tiga hari. Pesanggrahan Eyang Juru Taman tinggal separo hari lagi dari tempat istirahat mereka.

Pendekar Mabuk tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika bayi itu kubawa lebih dulu untuk mencapai pesanggrahan Eyang Juru Taman? Aku takut bayi itu menjadi sakit karena udara yang begini dingin!"

"Tidak. Bagaimanapun aku harus tetap bersama anakku," kata Mayang Suri. Ia mendekap anaknya yang dibungkus kain tebal.

"Kau masih curiga padaku, Mayang Suri?"

"Aku tidak curiga! Tapi sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi bayiku! Kalau dia mati, harus mati bersamaku!"

Bunga Bernyawa cepat ucapkan kata kepada Suto Sinting, "Sebaiknya memang bayi itu tetap ada dalam pelukan ibunya! Barangkali dia butuh minum sewaktu-waktu."

"Baiklah, aku mengerti! Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih tebal lagi! Udara sedingin ini bisa bikin dia mati membeku kalau tak dihangatkan!" kata Suto.

"Sebaiknya kita teruskan perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih ada sisa matahari!" kata Sulasih yang membawa kain pembungkus pakaian-pakaian bayi.

"Aku setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama beristirahat bisa bikin urat-urat kita kaku membeku!"

Maka, mereka pun kembali teruskan langkah menyusuri tebing. Tanpa diduga-duga, sebuah benda melesat dari arah belakang mereka. Sebatang ranting kering berukuran kecil menghantam punggung Mayang Suri. Deggg...!

"Ahhg...!" Mayang Suri tersentak dengan mulut ternganga dan mata terpejam merasakan sakit. Tubuhnya jadi limbung dan kakinya lemas, ia terkulai jatuh ke jurang di sebelah kirinya.

"Mayaaaang...!" teriak Sulasih dengan tegang.

Tubuh Mayang Suri terlihat jelas melayang dan tetap memeluk bayinya. Melihat hal itu, Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki lalu melompat ke jurang itu dengan gerakan cepat ia mendahului tubuh Mayang Suri dan bayinya, ia menghadang gerakan tubuh Mayang Suri yang melayang menerabas semak dedaunan.

Debbb...! Tubuh Mayang Suri tertahan tangan Pendekar Mabuk. Bayinya nyaris terlepas dari gendongan. Untung tangan Suto cepat meraih selimut bayi dan berhasil ditarik kembali ke gendongan Mayang Suri. Kini tubuh Mayang Suri dan bayinya ada dalam topangan kedua tangan Suto Sinting. Mayang Suri tampak mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi biru. Ini pertanda pukulan tenaga dalam beracun telah mengenainya. Pukulan beracun itu disalurkan melalui ranting kering yang mengenai punggung Mayang Suri.

Pendekar Mabuk menahan napasnya beberapa saat, ia hanya berdiri di atas sebatang ranting pohon hijau yang besarnya seukuran kelingking. Jika bukan dengan menggunakan ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sudah tentu ranting hijau kecil itu tak akan mampu menyangga tubuh Suto dan Mayang Suri bersama bayinya. Dengan satu sentakan kaki pelan, tubuh Suto sudah bisa melesat naik, dan kaki itu menjejak lagi sebatang dahan kecil, lalu tubuh makin naik lagi, akhirnya tiba di permukaan tebing. Jleggg...!

"Suto, oh... syukurlah! Syukurlah Mayang dan bayinya selamat!" kata Sulasih. "Oh, tapi mengapa wajahnya menjadi biru begini?"

"Dia terkena pukulan beracun!" kata Suto sambil berusaha meletakkan tubuh Mayang Suri, dan Sulasih cepat mengambil bayi yang menangis sejak berada dalam topangan tangan Suto tadi.

"Mana Bunga...?!" Suto mencari Bunga Bernyawa yang tak kelihatan di antara mereka.

Sulasih menjawab dengan tegang juga, "Bunga mengejar orang di balik gugusan tanah itu!"

"Orang siapa?"

"Entahlah! Sepertinya orang itu dari negeri Cina juga!"

"Laksamana Cho...?!" gumam Pendekar Mabuk, ia ingin cepat menyusul Bunga Bernyawa, tapi keadaan wajah Mayang Suri makin membiru. Maka, cepat-cepat ia membuka mulut perempuan hitam manis itu dan ia tuangkan tuak ke dalam mulut itu. Glek glek glek...! Tuak terminum oleh Mayang Suri.

"Jaga bayi itu dan Mayang, aku menyusul Bunga!" kata Suto kepada Sulasih. Ia merasa lega jika Mayang Suri sudah minum tuaknya, karena tuak itu adalah penangkal racun yang paling ampuh.

Benar dugaan Suto, Laksamana Cho Yung sedang berhadapan dengan Bunga Bernyawa. Tentunya orang itulah yang melemparkan ranting dan sengaja mencelakai Mayang Suri supaya ia bisa merebut bayinya dengan mudah. Dan jika bukan dengan ilmu tinggi, tak mungkin Laksamana Cho Yung bisa menyusul rombongan Mayang Suri hanya dalam waktu satu hari satu malam. Tentunya ilmu tinggi yang digunakan dapat mempercepat gerakan larinya tanpa harus menguras tenaga terlalu berlebihan.

Tapi agaknya Laksamana Cho Yung sudah membulatkan tekadnya untuk membunuh gundiknya itu. Bunga Bernyawa segera kirimkan jurus maut yang pernah membuat dinding kamar berlubang tanpa semburkan debu. Namun agaknya jurus maut itu masih bisa ditangkis oleh pedang laksamana dan membalik arah kepada Bunga Bernyawa sendiri.

Bahkan dalam jurus selanjutnya, Bunga Bernyawa terdesak dan terpental dalam keadaan keluarkan darah dari lubang hidung dan mulutnya. Laksamana Cho Yung segera pergunakan pedangnya untuk menebas leher Bunga Bernyawa. Tetapi tiba-tiba lelaki itu dikejutkan oleh melesatnya sinar hijau kecil yang menghantam pedangnya.

Trakkk...! Pedang itu patah menjadi dua bagian. Sinar hijau itu melesat dari jari tangan Pendekar Mabuk yang disentilkan dalam jarak delapan langkah. Mata Laksamana Cho tak berkedip memandang pedang pusakanya yang patah begitu saja. Geram kemarahannya begitu tinggi hingga wajahnya menjadi merah. Matanya membelalak tajam dan buas saat memandang Suto. Pada saat itu, Pendekar Mabuk dengan tenangnya menenggak tuak dalam bumbung beberapa teguk.

"Setan kumal!" geram Laksamana Cho Yung. "Jadi kaulah budak nafsu perempuan lacur itu, hah?!"

Suto Sinting tetap diam, hanya memandang dengan senyum tipis di bibirnya. Melihat sikap begitu, Laksamana Cho Yung semakin geram, darahnya bagaikan mendidih.

"Kalau kau mau awet hidup, jangan campuri urusanku!"

"Kalau kau sendiri mau awet hidup, jangan ganggu Bunga Bernyawa ataupun Mayang Suri dan bayinya!"

"Setan Kudis! Aku adalah paman dari bayi Mayang Suri!"

"Kau bukan paman, Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!"

"Rupanya kau bocah ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah?! Bagus! Dengan begitu aku tak segan-segan membunuhmu!"

"Apakah kau akan menyambung pedangmu lagi, Laksamana Cho?!" sindir Suto sambil sunggingkan senyum mengejek.

Laksamana Cho tak bisa tahan amarah lagi. Maka dengan cepat ia angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia sentakkan kedua tangan itu ke depan bagai mencakar udara secara bersamaan. Wrusss...! Percikan bintang-bintang hijau menebar dalam kecepatan laju mengarah kepada Pendekar Mabuk. Kecepatannya itu sangat tinggi, sehingga Suto hanya bisa menghindar dalam satu lompatan ke samping. Percikan bintang hijau itu melesat di depan Pendekar Mabuk, lalu bumbung tuaknya dihadangkan. Percikan bintang mengenai bumbung tuak. Zrriipp...!

Kali ini tenaga dalam yang berbentuk percikan bintang kecil-kecil itu menyerap masuk ke bumbung tersebut. Suto sendiri sepertinya sempat terkejut walau disembunyikan. Tak pernah ada pukulan bersinar yang bisa meresap menembus bumbung tuak. Biasanya memantul balik.

Sementara itu, Laksamana Cho Yung juga terheran-heran melihat pukulan mautnya terserap masuk ke dalam bumbung tuak bambu itu. Biasanya akan melenyapkan benda apa pun yang dihantamnya.

Terjadi getaran hebat di dalam bumbung tuak. Suara air mendidih bagai terjadi di dalam bumbung. Getaran itu membuat tangan Suto yang memeganginya ikut berguncang-guncang. Rasa penasaran membuat Suto akhirnya membuka tutup bumbung bambu itu dalam posisi dihadapkan ke arah Laksamana Cho.

Wosss...!

Ternyata dari dalam bumbung menyemburlah kobaran api yang cukup dahsyat. Kobaran api itu bukan hanya besar namun juga cepat. Api yang menyembur segera menerkam tubuh Laksamana Cho Yung. Orang itu tak sempat menghindar karena terperangah kaget mengetahui bumbung tuak menyemburkan api begitu besarnya, bisa untuk membakar hutan.

Akibatnya, tubuh Laksamana Cho terbakar seluruhnya. Mula-mula Laksamana Cho diam saja, bersemadi dan kerahkan hawa dingin dari dalam dirinya. Tapi api itu semakin lama bukan semakin padam, melainkan semakin besar. Pakaian Laksamana Cho mulai terbakar, demikian pula kumis dan rambutnya. Akhirnya Laksamana Cho Yung jejingkrakan dengan panik, ia berteriak-teriak sambil mengguling-gulingkan badan di semak dan rerumputan. Gulingan badan itu membuat api bertambah besar kobarannya.

"Aaa...! Woaaa! Huaaa...!" Laksamana Cho Yung berteriak-teriak dengan kelojotan. Badannya mulai menjadi hangus, semua pakaian dan rambut sudah habis terbakar. Kini ia bergelimpangan seperti mengenakan seragam hitam. Api masih terus membungkusnya sampai akhirnya tubuh itu tak bergerak lagi. Menjadi hangus seluruhnya, dan tetap dibungkus api. Sampai akhirnya tubuh Laksamana Cho Yung menjadi tinggal arang, api itu masih tetap membungkus mayat Laksamana Cho Yung.

"Api itu menjadi api abadi yang akan membungkus jasadnya sampai habis tak berbekas lagi," kata Suto kepada Bunga Bernyawa.

"Ilmumu memang gila-gilaan. Sinting!" kata Bunga Bernyawa sambil terbatuk-batuk.

Suto memandang kepucatan wajah Bunga Bernyawa, ia menjadi cemas. Cepat ia mengangkat dagu gadis itu dan memandangi dengan tajam, lalu ia ucapkan kata, "Kau terkena pukulan tinggi! Lekas minum tuakku ini!"

Pendekar Mabuk memeriksa bumbung tuaknya, ternyata masih berisi tuak separo bumbung. Tuak itu diminumnya dulu, karena takut beracun setelah dipakai merendam jurus pukulan laksamana tadi. Ternyata tuak itu tidak beracun, maka segera diminumkan kepada Bunga Bernyawa.

"Kita lanjutkan perjalanan, Bunga!"

"Bagaimana dengan Mayang Suri?"

"Dia aman bersama bayinya!"

Kemudian Suto dan Bunga Bernyawa bergegas ke tempat Sulasih dan Mayang Suri beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat ternyata di sana sudah ada Pawang Jenazah yang menggendong bayinya Mayang Suri. Sedangkan Sulasih dan Mayang Suri tertotok tak dapat bergerak sedikit pun kecuali hanya mencucurkan air mata. Bunga Bernyawa juga membelalakkan matanya dengan kaget. Bayi itu digendong oleh Pawang Jenazah dengan satu tangan, siap dilemparkan ke jurang. Tegang dan berdebar-debar hati Bunga Bernyawa. Suto pun sebenarnya juga merasa tegang, tapi ia bisa sembunyikan perasaannya dan tetap berpenampilan kalem.

"Hei, Cecunguk! Aku tahu kau melindungi perempuan itu! Kulihat kau sudah membunuh Laksamana Cho, dan itu adalah kelancangan yang paling kubenci!" kata Pawang Jenazah. "Kau telah membuat aku kecewa, karena nyawa Laksamana Cho Yung adalah milikku! Akulah yang berhak membunuhnya! Tapi kau telah menduluinya! Sekarang, serahkan perempuan itu, atau kulemparkan bayi ini kejurang?"

Bunga Bernyawa memandang Suto setelah sampai sekian lama Suto tidak kasih jawaban apa-apa. Suto bahkan menenggak tuaknya lagi sedikit. Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang Jenazah. Hal ini membuat Pawang Jenazah semakin garang.

"Kuhitung tiga kali kalau kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini kulemparkan ke jurang!" gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi masih tetap menangis memilukan hati.

"Untuk apa kau kehendaki perempuan ini?!" tanya Suto kalem.

"Dia harus mati juga, karena dia gundiknya Laksamana Cho!"

"Dia sudah bukan gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang kekejian Laksamana Cho Yung!"

"Aku tahu! Tapi saat Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku, perempuan itu masih menjadi istri gelapnya!"

"Apakah dia ikut andil membunuh anak dan istrimu?!"

"Memang tidak! Tapi dia adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan kubiarkan satu pun orangnya Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!"

"Kau tak adil, Pawang Jenazah!"

"Persetan dengan kesimpulan dan penilaianmu! Kumulai menghitung ancaman tadi. Satu...!"

Bunga Bernyawa menatap Pendekar Mabuk, lalu Ia bisikkan kata, "Biar kuhadapi dia! Yang penting selamatkan bayi itu!"

"Tenang. Sabar saja dan jangan panik. Aku akan segera melompat ke jurang pada saat ia lemparkan bayi itu!" bisik Suto Sinting.

Terdengar suara Pawang Jenazah tak sabar diri lagi, "Dua...!"

"Pawang Jenazah...!" kata Suto. "Kalaupun kuserahkan perempuan ini kepadamu, mana mungkin kau bisa membunuhnya?!"

Berdiri telinga Pawang Jenazah, merah daun telinga itu. "Kau pikir sulit membunuh perempuan itu?!"

"Kecuali ilmumu tinggi, tentu saja mudah membunuh Bunga Bernyawa! Tapi kupikir ilmumu tak sebanding dengan ilmu yang dimiliki putri kaisar ini!"

"Setan!" geram Pawang Jenazah. "Cecunguk ingusan macam kalian menganggap berilmu lebih tinggi dariku?!"

"Kalau memang kau berilmu tinggi, hadapilah perempuan ini dengan ksatria! Aku berani bertaruh nyawa, dua jurus saja nyawamu sudah melayang dan mungkin hinggap di nyawa seekor kambing gunung!"

"Bangsat! Sesumbarmu bikin dadaku mau jebol! Kulayani tantangan kalian!" bentak Pawang Jenazah.

Dan pada saat itu, Suto melepaskan sentilan 'Jari Guntur' yang mengarah di bawah ketiak lawan.

Debb...! Srekk...!

Terkunci sudah semua persendian Pawang Jenazah. Orang itu tak dapat menggerakkan anggota tubuhnya, kecuali hanya bisa berkedip-kedip dan bicara lewat gerakan mulutnya. "Bangsat! Kau telah totok aku rupanya!" geram Pawang Jenazah.

Tess, tess...! Suto membebaskan totokan pada tubuh Mayang Suri dan Sulasih. Kedua perempuan itu kembali bisa bergerak bebas. Mayang Suri segera merebut bayinya dari tangan Pawang Jenazah. Orang itu tak bisa berbuat banyak, tak bisa mempertahankan bayi itu, karena jarinya pun sulit digerakkan.

"Oh, anakku...!" Mayang Suri menangisi anaknya sambil memeluknya. Bayi itu menangis beberapa saat, lalu diam karena disusui oleh ibunya. Sambil menyusui bayinya ia dibawa pergi oleh Bunga Bernyawa dan Sulasih.

"Pergilah sampai ke pesanggrahan Eyang Juru Taman, biar aku yang menghadapi orang ini!" kata Pendekar Mabuk kepada Bunga Bernyawa.

Kemudian, Bunga Bernyawa pun membawa mereka meneruskan perjalanan setelah ia berbisik dalam harapan yang tak tertahan lagi, "Kau harus menyusulku ke sana! Jangan dustai aku!”

Suto hanya sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. Kemudian Bunga Bernyawa pun merasa lega. Cepat-cepat ia membawa Mayang Suri ke tempat tujuan. Sementara itu, Suto masih membiarkan Pawang Jenazah tertotok jalan darahnya dan tak bisa menggerakkan badannya sedikit pun. Pendekar Mabuk tenang-tenang saja sambil sesekali menenggak tuaknya.

Tapi di luar dugaan, ada seseorang yang melepaskan totokan itu dari jarak jauh. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dan membawa senjata El Maut. Siapa lagi jika bukan Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, dengan terlepasnya totokan itu, Pawang Jenazah merasa bebas bergerak, lalu melepaskan serangan mautnya ke arah Pendekar Mabuk. Suto sendiri jadi menggeragap taksiap.

Wusss...!

"Mampuslah kau seperti laksamana keparat itu!" sentak Pawang Jenazah. Cahaya merah bergelombang menyerang Pendekar Mabuk. Cahaya itu yang dipakai membungkus Perwira Loyang dan membuat orang itu jadi terbakar rambutnya. Kali ini akan digunakan membakar tubuh Suto, tetapi Pawang Jenazah tak tahu bahwa gerakan Pendekar Mabuk yang mirip orang mabuk itu merupakan jurus maut yang membahayakan lawan.

Bumbung tempat tuak berkelebat ke depan secara tak sengaja. Dan gelombang merah itu menghantam bumbung, lalu membalik menjadi lebih besar lagi. Pawang Jenazah terkejut dan terpaku di tempat melihat gerakan gelombang sinar merah membalik ke arahnya, bahkan kini membungkus dirinya sendiri dalam suara gemuruh seperti deru api terhembus angin.

"Aaah...! Aaah...! Bangsat...! Auuh...!" Pawang Jenazah kebingungan mengatasi gelombang panas yang melebihi lahar gunung berapi itu. Ia oleng ke sana-sini, sampai akhirnya tak sengaja kakinya tergelincir dan masuk ke jurang yang dalam itu. "Aaaa...!" Pawang Jenazah menjerit keras-keras, menggema memenuhi dinding tebing, makin lama semakin mengecil suaranya.

Wuttt...!

Sekelebat bayangan hitam terlihat Pendekar Mabuk melintas di belakangnya. Tongkat El Maut terlihat pula olehnya. Cepat ia berseru, "Durmala Sanca! Berhenti kau!"

Siluman Tujuh Nyawa tetap melesat pergi. Arahnya ke pesanggrahan. Pendekar Mabuk cemas, takut kalau-kalau bayi itu diculik dan direbut oleh Siluman Tujuh Nyawa. Bunga Bernyawa tak mungkin bisa menghadapi siluman itu. Karenanya, Suto pun segera menggunakan gerak siluman juga, yang bisa melesat pergi dengan cepat bagaikan angin badai.

Wesss...!

"Celaka! Jangan sampai aku terlambat tiba di samping Bunga!" pikir Pendekar Mabuk dalam pelariannya.

Rombongan Bunga Bernyawa belum tiba di pesanggrahan. Bahkan dari ketinggian tempat yang mereka lalui, mereka masih bisa melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Pawang Jenazah. Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang berkerudung hitam dan berwajah putih. Siluman Tujuh Nyawa sudah menghadang di depan Mayang Suri. Ia langsung berkata,

"Serahkan bayi itu padaku!"

Mendadak tubuhnya tersentak. Siluman Tujuh Nyawa terkena pukulan 'Guntur Perkasa' dari Pendekar Mabuk, ia terpental ke belakang dan tak sempat melepaskan pukulan balasan. Karena pada saat itu, Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus pukulan 'Manggala'-nya. Tetapi Siluman Tujuh Nyawa masih bisa menghindar, dan cepat melarikan diri bagaikan petir yang melesat pergi. Karena pukulan 'Guntur Perkasa' itu akan membuat tubuhnya cepat membusuk jika tidak segera terobati. Semakin banyak terkena angin semakin cepat tubuh itu menjadi busuk, itulah sebabnya Siluman Tujuh Nyawa merasa perlu menghilang lagi untuk sembuhkan lukanya yang mengancam jiwa itu.

"Suto, mau ke mana kau?!" teriak Bunga Bernyawa ketika Suto bergegas pergi mengejar Siluman Tujuh Nyawa.

"Aku harus kejar dia! Dia musuh utamaku!"

"Aku... aku bagaimana?!" Bunga Bernyawa berseru dalam kebingungannya.

Akhirnya Pendekar Mabuk menghampiri nona manis itu. Suto pandangi gadis itu, lalu berkata dengan lembut, "Untuk sementara, tinggallah bersama Mayang Suri. Jagalah dulu bayinya! Jangan ke mana-mana! Nanti aku datang lagi kepadamu!"

"Aku... aku ingin pulang ke negeriku!"

"Aku akan atur perjalanan pulangmu! Tapi aku harus kejar Siluman Tujuh Nyawa itu! Percayalah, aku akan jemput kamu nanti!"

Pendekar Mabuk terburu-buru pergi, karena takut kehilangan jejak musuhnya. Sementara itu, Bunga Bernyawa, Mayang Suri, dan Sulasih hanya geleng-gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum kebanggaan terhadap diri Pendekar Mabuk.

SELESAI

Pawang Jenazah

Serial Pendekar Mabuk
Pawang Jenazah
Karya Suryadi

Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
ANGIN kuburan berhembus menyebarkan batu tanah basah. Hujan semalaman telah mengguyur tanah kuburan, membuat lembek lahan yang ada di sekitarnya. Kadang angin kuburan menghembuskan bau bangkai yang menusuk hidung, menyolok mata. Tentu saja mata orang penakut yang tercolok oleh bayangan ngerinya sendiri. Tetapi bau tanah kuburan itu tidak mengganggu pernapasan seorang pemuda yang tengah beristirahat di atas sebuah pohon. Pemuda itu menggunakan dahan berjajar sebagai tempat duduk dan batang pohon sebagai tempat bersandar.

Pemuda itu tampak santai sekali menikmati tuaknya yang sebentar-sebentar ditenggak dari bumbung bambu tempat penyimpanan tuak. Bumbung itu selalu dibawanya ke mana ia pergi, disandang di punggung bagaikan pedang keramat. Anehnya, sekian-kali ia meneguk tuak, tak ada rasa pusing di kepala. Tak ada ocehan mabuk dari mulutnya. Pemuda itu tetap tegar dan berjalan tanpa sempoyongan, berdiri tanpa limbung, berlari tanpa menabrak-nabrak. Dia bukan dewa, tapi dia lebih dikenal sebagai Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak.

Suto namanya. Karena ilmu yang dimiliki itu gila-gilaan, tak tanggung-tanggung keampuhannya, maka sering ia dikatakan sinting dalam segala tindakan. Gilanya ilmu yang dimiliki itulah yang membuat ia dipanggil Suto Sinting. Gurunya sendiri yang mengawali panggilan itu, sehingga sampai sekarang Suto pun tidak keberatan menggunakan nama kondang itu; Suto Sinting, Pendekar Mabuk.

Suto memang Pendekar Mabuk. Tapi ia tidak mabuk sembarang mabuk. Hanya dalam gerakan jurus-jurusnya saja yang kelihatan seperti keadaan orang sedang mabuk. Kadang ia seperti orang mau jatuh, tapi ternyata menyepak batu dan batunya mengenai lawan. Kadang seperti mau tersungkur, ternyata justru melepaskan pukulan dahsyat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-harinya di luar pertarungan ia tidak pernah merasa mabuk dan berjalan sempoyongan, ia tetap sebagai pemuda yang tegar, gagah, perkasa, dan menawan.

Angin kuburan kembali menghembuskan bau tak sedap. Tapi anehnya masih saja ada orang lewat di jalanan tak jauh dari kuburan itu. Sesekali pedagang daun memikul dagangannya untuk dijual ke pasar, atau pedagang kain mendorong gerobak tempat kainnya untuk ditawarkan ke perkampungan terdekat. Dan kali ini yang dilihat Suto adalah serombongan orang memikul tandu.

Empat orang pemikul tandu tertutup berseragam pakaian kuning. Enam orang di belakangnya mengawal tandu berseragam biru tua, lengkap dengan senjata dan perisai di tangan masing-masing. Empat orang di samping kanan kiri tandu berseragam hitam, juga menyandang pedang di punggung masing-masing. Empat orang lagi berjalan di depan tandu berseragam merah. Di depan keempat seragam merah itu berjalan dua orang yang mempunyai pakaian lebih bagus dengan warna masing-masing ungu dan hijau. Mereka berdua adalah perempuan-perempuan cantik berambut disanggul, sisanya dibiarkan terjulur kesamping.

Tandu tertutup itu berwarna merah dengan hiasan ukir kuning emas. Tingginya seukuran pundak orang dewasa. Dan agaknya orang yang ada di dalam tandu itu dalam keadaan duduk. Tandu itu mempunyai dua buah pintu kanan-kiri yang dilapisi dengan kain tirai penutup bagian atas pintunya itu. Tirai tersebut juga berwarna merah. Dari arah kanan terlihat samar-samar orang yang duduk di dalam tandu itu, karena tirai penutupnya berwarna merah transparan.

Ketika rombongan melewati jalan di depan kuburan, suatu keajaiban terjadi. Tanah kuburan bergetar. Langit menjadi gelap karena diselimuti awan hitam bergulung- gulung. Angin berhembus semakin kuat, sesekali terjadi loncatan petir di langit yang memercikkan nyala api biru bagai naga mengamuk. Para pembawa tandu tetap melangkah tanpa merasa gelisah. Tapi para pengawalnya mulai diliputi kegundahan. Dua orang yang berjalan paling depan sering memandang ke langit dengan cemas.

Dan tiba-tiba kuburan mengepulkan kabut putih kehitam-hitaman. Kabut itu makin lama semakin memenuhi tanah kuburan. Lalu, dengan mata kepala memandang jelas, Suto melihat tanah gundukan di setiap makam itu bergerak-gerak, kemudian retak. Tangan- tangan berbelatung warna hitam lumer mulai muncul dari dalam kubur.

Kejap berikutnya mereka yang menjadi penghuni tanah kuburan melompat keluar menerabas gundukan tanah yang menimbun jenazah mereka masing-masing. Ada yang sudah bertulang, ada yang sudah dimakan rayap, ada yang baru sebagian saja tubuhnya digerogoti rayap, ada yang masih baru dua-tiga hari dimakamkan. Semuanya menerobos keluar dari kubur masing-masing.

Brusss...!

Glegar guntur di langit menyambut kemunculan mereka. Blarrr...! Glur glur glur glur...! Suara itu menghilang. Blarrr...! Glur glur glur glur! Menghilang lagi.

Kini mereka yang baru bangkit dari kubur melangkah meninggalkan tempatnya, mereka mulai berdiri mendekati jalan yang akan dilewati oleh para pengusung tandu itu. Begitu para pengusung tandu dan rombongan muncul dari jalanan yang menanjak, para mayat yang bangkit dari kubur itu segera menyerang mereka.

"Kkkrrr...!" Mereka serukan suara tak jelas. Tapi langkah dan gerakan mereka terlihat jelas serba pasti.

"Lindungi sang putri...!" seru si baju ungu.

Mayat-mayat itu melompat menerjang mereka. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan menurut dugaan Suto lebih besar dari jumlah penggandaan tersebut. Mereka menyerang dengan jurus-jurus yang sulit dipelajari dan diingat. Kadang ada yang melayang bagai singa mau menerkam. Kadang ada yang menukik seperti burung pemakan bangkai. Ada pula yang merangkak dan menerkam leher lawannya bagaikan seekor kucing liar.

Pendekar Mabuk terbengong-bengong di atas pohon menyaksikan apa yang dianggapnya mimpi itu, Suto lupa berkedip, lupa meneguk tuaknya, bahkan lupa bergerak, ia terpukau dan terkesima oleh pemandangan mengerikan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Langit semakin gelap. Petir semakin bersahutan. Para rombongan tandu berjuang mempertahankan serangan lawan. Tapi tebasan pedang ataupun tusukan tombak mereka tidak dihiraukan oleh para mayat. Yang sudah terpenggal lengannya masih maju menyerang dengan kaki. Yang sudah terpotong kepalanya, kepala itu sendiri melesat terbang dan menggigit lawan. Bahkan yang tanpa kepala masih bisa mempermainkan jurus dan membuat lawan tewas. Malahan ada yang melepaskan pukulan jarak jauh yang tentu saja dialiri tenaga dalam cukup tinggi. Sinar merah, kuning, biru sering terlihat lepas dari tangan mereka, menghantam rombongan tandu dan menyebabkan kematian.

Agaknya para pengusung tandu maupun pengawalnya lebih mengutamakan menyelamatkan orang yang ada di dalam tandu tersebut. Dan para mayat sendiri berusaha menyerang orang di dalam tandu itu. Tangan-tangan mereka yang sudah terpotong melayang terbang dan berusaha menerobos tirai tandu. Dalam waktu singkat, rombongan tandu itu tinggal beberapa gelintir orang yang sama-sama terdesak.

Brakk...! Zlappp...!

Tandu hancur. Kayu-kayunya pecah berantakan. Para mayat kebingungan. Mereka bagaikan melihat kekosongan di dalam tandu. Kekosongan itu membuat mereka saling menggeram. Dua orang yang masih hidup itu segera dibunuh secara beramai-ramai. Dengan begitu, habis sudah orang-orang yang berada dalam rombongan tandu. Perempuan berpakaian ungu dan hijau itu pun mati dalam keadaan mengerikan. Sementara itu, para mayat segera kembali ke tempatnya masing-masing dengan tertib tanpa saling berebut. Ke mana orang yang ada di dalam tandu itu?

Sudah diselamatkan. Dibawa pergi orang berpakaian coklat dan celana putih, berambut panjang lurus meriap tanpa ikat kepala. Sang putri yang tadi dilindungi oleh mereka itu, sekarang berada di atas pundak kiri seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Mabuk?

"Mau dibawa ke mana orang ini?" pikir Pendekar Mabuk bingung sendiri setelah jauh dari tanah kuburan itu.

Terkesiap mata Suto setelah meletakkan orang yang dipanggulnya itu. Ternyata ia seorang perempuan cantik. Sungguh cantik sekali. Disuruh sumpah apa pun Suto berani! Perempuan itu cantik, mengenakan tusuk konde dari emas batangan sebesar sumpit. Ada dua tusuk konde yang menjadi penghias rambutnya itu. Sayang sekali perempuan itu pingsan. Mungkin takut melihat banyaknya mayat yang bangkit menyerangnya tadi. Bibir perempuan itu, sungguh menggetarkan hati setiap lelaki. Lembut kelihatannya. Merah segar, seperti buah yang ranum. Bentuknya pun sangat indah, tidak terlalu lebar, tidak pula terlalu kecil. Tidak tebal, tidak pula terlalu tipis.

Hidungnya mancung, bulu matanya lentik, alisnya tebal tapi teratur rapi. Kulit pipinya halus sekali, seperti kulit bayi. Warnanya putih. Demikian pula warna kulit tubuh lainnya. Suto memperhatikan perempuan yang dibaringkan di bawah pohon itu dengan takjub. Perempuan itu mengenakan pakaian yang tertutup sampai leher. Potongan baju Cina berwarna merah jambu itu sungguh amat serasi dengan kecantikannya. Dalam sepintas saja Suto Sinting sudah menduga bahwa perempuan itu pasti gadis dari negeri Cina.

Di samping terlihat dari bentuk pakaiannya, juga dari bentuk liontin kalungnya yang berwarna hijau muda itu membentuk gambaran seekor naga. Sulaman benang emas pada pakaiannya pun berbentuk seekor naga yang melilit dari kaki sampai ke pertengahan dada. Siapa dia? Siapa namanya? Ke mana arah tujuannya? Mengapa diserang mayat-mayat penghuni kubur?

Semua itu tak bisa diketahui Pendekar Mabuk karena gadis cantik jelita itu masih dalam keadaan pingsan. Pendekar Mabuk ingin menyadarkan gadis itu melalui tuaknya, yaitu dengan memasukkan tuak ke dalam mulut gadis itu, tapi tak bisa dilakukan karena mulut itu terkatup rapat. Sebenarnya bisa juga dilakukan dengan cara menyemburkan tuak di mulut Pendekar Mabuk ke dalam mulut gadis itu, tapi jelas ia harus menempelkan mulutnya ke mulut gadis itu.

"Jangan! Aku tak berani. Takut tak mau berhenti mulutku menempel terus di bibirnya! Tidak. Aku tidak boleh begitu! Aku sudah punya kekasih sendiri. Aku tak mau mengkhianati cintaku! Aku... aku... tapi ini demi pengobatan?! Apa salahnya? Yang penting tujuanku baik, tidak punya niat ingin mengecup bibirnya!"

Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan berpikir beberapa saat. Lalu, segera diteguknya air tuak dalam bumbung itu. Sisanya dibiarkan di mulut, tidak ikut ditelan. Pendekar Mabuk segera mendekati mulut gadis itu. Tapi begitu memandang semakin dekat keindahan bibir tersebut, tuak di mulut jadi tertelan sendiri. Glek...!

"Yah, habis tuaknya!" gumam Suto. Ia buru-buru menenggak tuak lagi. Disisakan sedikit di mulutnya. Cukup untuk disemburkan ke dalam mulut gadis itu. Tangan Pendekar Mabuk gemetar memegangi bibir gadis itu yang ingin dibukanya. Bibir pun akhirnya terbuka, Pendekar Mabuk mendekatkan mulutnya. Tapi sekali lagi tuak dalam mulutnya tertelan. Glek!

"Yah, habis lagi...!" Suto Sinting diam merenungkan dirinya sendiri. Mengapa hanya menyemburkan tuak dari mulutnya ke mulut gadis itu saja tak mampu dilakukannya? Padahal itu pekerjaan yang mudah.

"Hatiku berdebar-debar! Itu soalnya, jadi tak bisa tenang sewaktu mau menuangkan tuak dari mulutku ke mulutnya! Sebaiknya, kutunggu dulu beberapa saat supaya hatiku menjadi tenang dan tidak berdebar-debar," pikir Pendekar Mabuk sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Kejap selanjutnya, Pendekar Mabuk merasa hatinya sudah tidak berdebar-debar. Maka ia kembali meneguk tuaknya, sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut. Pelan-pelan didekati bibir gadis itu. Tangannya gemetar lagi ketika memegangi kepala gadis agar tak bergerak waktu mendapat sentuhan nanti. Pelan-pelan sekali mulut Suto mendekati mulut gadis itu. Mata memandang jelas-jelas bentuk keindahan dan kelembutan bibir itu. Tiba-tiba tuak di mulut kembali tertelan.

Glek...!

"Ah, masa bodohlah...!" Akhirnya Pendekar Mabuk tidak mau mengulangi hal itu. Ia tidak mau membuat gadis itu siuman melalui tuaknya. Bahkan ia berkata sendiri, "Cari air saja! Siram air. Beres!"

Baru saja ia bangkit mau mencari air untuk menyiram itu gadis, tiba-tiba ia melihat dua orang berkuda menghampirinya dengan tampang tergesa-gesa. Wajah mereka menampakkan sikap tak bersahabat. Yang berpakaian biru mempunyai kumis tebal melengkung ke bawah, kurus, wajah lonjong, mata cekung, rambutnya kucai. Tapi dilihat dari pakaian biru berompi putih dengan sulaman benang emas itu, agaknya orang tersebut mempunyai suatu jabatan di suatu tempat. Sedangkan yang satunya lagi juga mengenakan rompi bersulam benang emas, tapi warnanya hitam. Baju lengan panjang dan celananya berwarna kuning kunyit. Wajahnya bundar, berkumis tipis, rambutnya tak begitu panjang, diikat kain kuning.

Kedua orang itu segera pelankan laju kudanya ketika mendekati Suto. Yang berompi putih bermata cekung itu, segera meloncat turun dari kuda sebelum kuda berhenti total. Bahkan tali kekang kuda dilepaskan begitu saja. Sikapnya menampakkan tak sabar ingin segera melabrak Pendekar Mabuk. Sebilah pedang di pinggangnya dicabut, kemudian dengan tanpa bilang ini itu, langsung saja ditebaskan ke dada Pendekar Mabuk.

Wusss...!

Pendekar Mabuk hanya mundur satu langkah dengan gerakan kecil yang amat cepat. Kemudian ia berkata kepada orang itu, "Apa-apaan ini?! Mengapa kau menyerangku?!"

Orang itu menodongkan pedangnya ke arah wajah Pendekar Mabuk. Bahkan ujung pedang itu berada didepan leher persis, hanya berjarak kurang dari sejengkal. "Jangan berlagak bodoh, Anak muda!" geram orang berkumis melengkung ke bawah itu. "Kau telah membunuh para prajurit dan pengawalku!"

"Prajurit yang mana?" Suto bingung.

Pedang disentakkan sedikit sebagai gertakan. Pendekar Mabuk sentakkan kepala ke belakang, takut tergores pedang lehernya.

"Tak perlu banyak bicara lagi! Serahkan saja bayinya!" kata orang itu.

Dan Suto makin kerutkan dahi. "Bayi apa?! Kau pikir aku habis beranak?!" Pendekar Mabuk agak menyentak.

"Kuhitung tiga kali, jika bayinya tidak kau serahkan, kubunuh kau sekarang juga!"

"Bayinya siapa?!" bentak Pendekar Mabuk jengkel sendiri.

"Satu...!" orang itu mulai menghitung. Pedang semakin dekat.

"Tunggu dulu! Kau sangka aku ini apa? Pencuri bayi? Hm... amit-amit! Untuk apa aku mencuri bayi?!"

"Dua...!" orang itu menambah hitungannya. Wajahnya semakin tampak menggeram bengis. Matanya memancarkan nafsu untuk membunuh.

Dan Pendekar Mabuk merasa sangat terdesak dengan hitungan itu. Tiba-tiba jari tangan Suto menyentil ke atas. Tapp...!

"Aou...!" orang itu memekik kaget, pedangnya lepas dari tangan, ia buru-buru ingin memungutnya, tapi kaki Pendekar Mabuk dengan segera menendang pedang itu.

Beettt...!

Pedang ditendang Pendekar Mabuk bagian sampingnya lalu melayang terbang dan menancap di sebuah batang pohon. Jubb...! Hampir separo batang pedang amblas ke pohon itu.

Orang berwajah lonjong terbengong. Temannya yang masih berada di atas kuda juga terbengong. Orang berwajah lonjong masih pegangi bagian sikunya yang tadi terkena sentilan bertenaga dalam dari jari tangan Pendekar Mabuk. Bahkan ia tampak terkesiap ketika melihat sikunya memar, tulangnya bengkak.

Yang di atas kuda membatin, "Gila orang itu! Tendangan pedangnya tadi tak seberapa keras, tapi bisa menancap di pohon sebegitu dalam. Jika ia bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa lakukan hal itu!"

"Perwira Loyang...! Kita laporkan saja hal ini kepada Laksamana!" seru orang di atas kuda kepada si muka lonjong itu.

"Aku harus menghajar anak ini dulu, biar dia tahu adat!" geram Perwira Loyang. Kemudian ia menghantamkan pukulannya ke arah Suto dengan gerakan yang cukup berat.

Bettt ! Wuttt!

Perwira Loyang terkejut, bingung mencari orang yang tadi dihantamnya. Matanya terbelalak kesana-sini.

"Perwira Loyang anak itu ada dibelakangmu!"

Begitu si muka lonjong itu menoleh ke belakang, ia makin terkejut, karena ternyata orang yang dipukulnya itu sudah ada di belakangnya dalam jarak dua langkah. Tapi orang itu tidak balas menyerangnya. "Jahanam Kupret! Kau mau main-main denganku, hah?!" geram si muka lonjong. "Kubuat mampus kau sekarang juga! Hiiih...!"

Wusttt...! Perwira Loyang melancarkan tendangan kipas dengan berbalik melingkar kakinya menendang wajah Pendekar Mabuk dengan sentakan keras. Tetapi apa yang ditendang itu ternyata tempat yang kosong. Pendekar Mabuk telah lebih dulu melesat saat si muka lonjong bergerak memutar. Mata orang itu jelalatan mencari lawannya. Bahkan ia sempat mencari sampai tubuhnya berkeliling. Tapi ia tak melihat lawannya yang seharusnya tadi terkena tendangan jika tidak menghindar.

"Perwira Loyang... lawanmu ada di atas pohon!"

Mendongaklah si Perwira Loyang. Terbengong ia melihat Suto sudah berdiri di sebuah dahan dan sedang menenggak tuaknya. "Turun kau, kalau memang jagoan!" bentak Perwira Loyang.

"Perwira Loyang..."

"Diam!" bentak Perwira Loyang kepada temannya yang ada di atas kuda. Kemudian ia memandang Suto yang tahu-tahu sudah ada di atas pohon itu. Ia berseru, "Kalau kau tak mau turun, aku akan pergi!"

Tiba-tiba ada suara deru kuda berlarian dari arah barat. Rombongan berkuda itu sedang menuruni lereng sebuah bukit tak jauh dari tempat itu. Teman yang ada di atas kuda itu segera berseru,

"Mereka datang, Perwira Loyang...! Lekas kita lari...! Tinggalkan tempat ini, Perwira! Ayo, ayo, ayo...!"

Melihat rombongan berkuda menuruni bukit, Perwira Loyang segera melompat dan hinggap di punggung kuda. Lalu, bersama temannya ia memacu kuda secepat mungkin. Mereka tampak ketakutan dan dengan cepat meninggalkan tempat itu.

"Kenapa mereka takut sama rombongan berkuda itu?! Siapa sebenarnya rombongan berkuda itu?!" pikir Suto Sinting. "Ah, sial! Belum sempat aku bicara baik-baik, menanyakan siapa anak gadis ini, dan bayi apa yang dimaksud? Eh..., sudah pergi! Sial!" Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala.

* * *

DUA
ROMBONGAN berkuda itu terdiri dari delapan orang. Lima orang membelok ke arah kiri, tiga orang membelok ke arah kanan untuk temui Suto Sinting. Pada saat itu, Suto sedang mendekati gadis bergaun merah jambu yang masih dibaringkan di rerumputan bawah pohon, ia sedikit mengeluh dalam tarikan napasnya begitu mengetahui tiga dari kedelapan rombongan berkuda itu menuju ke arahnya. Dilihat dari wajah-wajah mereka, tak satu pun yang tampak bersahabat.

"Bakal ada perkara lagi kalau dilihat gelagatnya! Malas aku bermasalah dengan orang yang sebenarnya tidak punya perkara apa-apa padaku," pikir Pendekar Mabuk sambil berlagak tidak memperhatikan kedatangan tiga orang berkuda itu.

Ringkik kuda terdengar bagai jerit perawan. Kuda berhenti setelah mengangkat kedua kakinya ke atas. Penunggang kuda berbulu hitam berjambul coklat itu memandang Suto dengan wajah angker, ia berada di tengah kedua temannya yang tetap di atas punggung kuda, di kanan-kirinya. Orang yang ada di punggung kuda hitam berjambul coklat itu mengenakan pakaian hitam dengan sabuk merah dan ikat kepala merah. Kepalanya gundul plontos, tampak seperti semangka warna coklat. Matanya lebar dengan alis tebal dan berkumis lebat, ia mengenakan kalung manik-manik seperti tasbih yang berbandul kulit kerang warna kuning kecoklatan. Orang itu berseru kepada Suto dengan suara kasarnya,

"Cecunguk! Kau pilih kugantung secara baik-baik atau kuseret sampai mati?!"

Pendekar Mabuk masih berlagak sibuk menyadarkan gadis yang pingsan. Orang berkepala botak yang diikat kain merah itu merasa semakin jengkel dengan sikap Suto. Maka ia pun lebih keraskan lagi suaranya,

"Monyet kurap! Jawab pertanyaanku!"

Seperti layaknya orang tuli, Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya dengan santai. Sikapnya kian meremehkan orang beralis tebal itu, sehingga orang itu menggeram dengan gemas, kemudian dari atas punggung kudanya ia lepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sentakan tangan kiri ke depan.

Wuttt...!

Suto segera turunkan bumbung tuaknya setelah diangkat naik untuk dituangkan ke mulut. Pada saat itulah tenaga dalam yang dilepaskan dari punggung kuda melesat dan menghantam bumbung tuak itu.

Beggh...! Wusssh...!

Pukulan tenaga dalam yang bergelombang besar tanpa wujud itu membalik ke arah lawan dan menjadi lebih besar lagi dari ukuran semula. Orang berpakaian hitam itu tak menyangka sama sekali kalau pukulannya akan membalik arah, sehingga dengan serta-merta terhempas ke belakang dan terjungkal dari atas kudanya.

"Uhg...!"

Bluggh...! Badannya jatuh seperti kerbau terjungkal dari atas pohon. Kudanya terlonjak kaget dan mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik. Sementara itu, kedua orang di samping si kepala botak itu juga ikut terkejut yang membuat mereka hanya terbengong saja menyaksikan orang itu jatuh terjungkal dari atas punggung kudanya. Mereka tak bisa bilang apa-apa, karena mereka dicekam oleh perasaan heran yang cukup besar.

Dalam hati, lelaki yang bercelana hijau dan memakai rompi hijau itu membatin, "Kenapa dia jungkir balik begitu? Dia yang melepaskan pukulan ke arah anak muda itu, tapi dia sendiri yang jatuh dari atas kuda?! Jangan-jangan aku salah lihat?!"

Orang bermata lebar itu cepat-cepat bangkit dan membentak kedua penunggang kuda tersebut, "Mengapa kalian melotot saja?! Lekas turun! Turun dan hajar si cecunguk tuli itu!"

Jlegg, jlegg...!

Kedua orang itu turun dari atas punggung kuda hampir bersamaan. Mereka melompat dan mendarat di samping kuda masing-masing dengan sigap. Mata mereka sama tajamnya pandangi Suto Sinting yang sudah berdiri menghadap ke arah mereka. Kedua orang itu segera sentakkan kaki dan melompat ke atas dengan jurus tendangan layang yang siap menerjang Pendekar Mabuk secara bersamaan. Tetapi Pendekar Mabuk cepat kibaskan bumbung tuaknya dari kanan ke arah kiri.

Wuttt...!

Kibasan cepat itu menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam yang disalurkan melalui bumbung tersebut. Gelombang pukulan itu menghempas kuat dua tubuh yang sedang melayang ke arahnya. Akibatnya ke dua tubuh itu terpental kebelakang bagai diterjang badai besar.

Wusss...!

Brukk...! Masing-masing jatuh terjungkal di samping kuda masing-masing.

"Agaknya kau memang memaksa kami melakukan pencabutan nyawa sekarang juga, Cecunguk!" sentak orang berkepala gundul yang diikat kain merah bagaikan pita sebuah bingkisan itu. Ia maju dua tindak dan tak pedulikan dua temannya yang sedang berusaha bangkit kembali. Mata orang itu makin nanar, seakan mata itu sendiri ingin menelan Suto.

Tetapi tatapan mata nanar itu dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata yang tenang dan damai. Senyum Pendekar Mabuk itu pun mekar tanpa kesan permusuhan. "Mengapa kalian menyerangku? Apakah aku punya urusan dengan kalian? Padahal aku tidak kenal siapa kalian!" kata Suto tenang sekali.

"Jangan pura-pura bodoh di depanku, Cecunguk!" gertak orang berpakaian hitam itu.

"Namaku Suto, bukan Cecunguk" sanggah Pendekar Mabuk.

"Persetan dengan namamu! Yang jelas kau adalah cecunguknya si keparat itu!"

"Si keparat siapa "

"Laksamana Cho Yung!" sentak orang berpakaian abu-abu.

Pendekar Mabuk melepaskan tawa pelan namun berkesan kegelian. Dikibaskannya rambutnya yang meriap ke depan, lalu dengan tetap kalem ia ucapkan kata, "Aku malahan tidak tahu siapa itu Laksamana Cho Yung!"

"Terlalu banyak bicara dia, Ki!" kata si rompi hijau. "Hantam saja dia!"

"Memang bangsat dia! Haiiit...!"

Wesss...! Orang gundul itu cepat melompat dan menerjang Suto dengan sebuah tendangan kaki besarnya. Lompatan itu cukup cepat, kakinya dalam sekejap sudah sampai di depan mata Suto.

Maka dengan cepat pula Suto sedikit merendahkan badan dengan kaki merentang ke samping kanan-kiri, lalu kedua tangannya bergerak cepat menyodok bagian kemaluan lawannya.

Begg...! Tidak persis kena sasaran, tapi cukup membuat lawan tersentak ke atas dan terjungkir balik di udara tanpa keseimbangan.

Brukk...! Orang gundul itu jatuh dalam posisi miring. Tangannya tertindih dan terasa ngilu di pangkal lengannya. Sedangkan bagian dekat pangkal paha pun terasa panas-panas sakit akibat sentakan kedua tangan Pendekar Mabuk yang bertenaga tak begitu besar tadi. Orang itu mencoba berdiri dengan mendekap kemaluannya, dan berjalan mendekati kedua temannya sambil tertatih-tatih.

"Bunuh dia sekarang juga! Bunuh!" sentak si kepala gundul yang agaknya menjadi pimpinan orang-orang berkuda itu.

Yang berpakaian abu-abu cepat mencabut tombaknya dari selipan pelana kuda. Tombak itu berujung clurit tajam mengkilap. Sedangkan yang bercelana hijau cepat mengambil senjatanya berupa cangkul kecil bergagang sekitar tiga jengkal panjangnya. Mereka segera berlari menyerang Pendekar Mabuk.

Tetapi jari tangan Pendekar Mabuk lebih cepat dari gerakan kedua orang tersebut. Jari tangan itu bergerak menyentil dua kali ke arah depan. Tebb... tebb...! Sentilan itu tentu saja bukan sembarang sentilan. Suto Sinting mempunyai jurus sentil jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'. Sentilan 'Jari Guntur' mengenai punggung tangan para pemegang senjata. Seketika itu mereka berteriak kaget dan kesakitan.

"Aoow...!"

"Auh...!"

Tubuh mereka sendiri terpelanting ke belakang bagai ditendang kuda dari arah dada kanan masing-masing. Badan yang melintir itu menabrak perut kuda, bahkan ada yang jatuh persis di bawah kaki kuda. Hampir saja wajah orang yang jatuh itu diinjak kaki belakang kuda kalau saja ia tidak cepat berguling hindarkan diri dari gerakan kaki kuda yang melompat sambil menyentak.

Melihat kedua temannya atau anak buahnya mudah dirubuhkan begitu saja, si kepala gundul semakin marah. Maka, dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Pukulan tenaga dalam berkekuatan besar dihempaskan ke arah Pendekar Mabuk.

Wugggh...!

Suto terkejut, ia tak sempat menghindarkan diri hingga gelombang pukulan itu menghantam tubuhnya, terasa bagai ditabrak tembok besar sekujur tubuh Suto. Buggh...!

Wuttt...!

Hampir saja Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang akibat hempasan tenaga besar tersebut. Untung ia cepat sigap dan walau terhempas ke belakang dalam jarak lima langkah, namun ia bisa kuasai keseimbangan tubuh. Bagaikan bersalto Pendekar Mabuk mendaratkan kakinya dengan sigap kembali.

Kedua orang yang tadi senjatanya terlepas dari tangan itu segera meraih kembali senjata masing-masing. Mereka cepat berlari untuk menyerang Suto dengan senjata tersebut. Namun, Suto Sinting lekas hentakkan suaranya, "Tahan!"

Bentakan itu membuat kedua orang yang akan menyerangnya menjadi terhenti seketika. Mereka bahkan mundur satu tindak dengan mata masih memandang tajam pada Suto Sinting. Sedangkan orang botak di belakang mereka berseru,

"Serang dia! Bunuh sekarang juga!"

"Tahan!" bentak Suto lagi. Kedua orang itu lebih menurut dengan seruan Suto ketimbang dengan seruan si gundul. Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus 'Sentak Bidadari' yang bisa bikin keberanian orang surut dan menjadi penurut jika orang itu tidak berilmu tinggi, itulah ilmu warisan dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.

Si baju hitam berkepala gundul itu membatin, "Hebat juga si cecunguk ini?! Kurasakan ada getaran tersendiri dalam batinku kala kudengar dua kali sentakannya tadi! Sentakan itu agaknya mampu membuat keberanian Cangkul Lahat dan Tayub Jali menjadi hilang atau berkurang! Agaknya aku tak boleh sembrono berhadapan dengan dia!" Kemudian, dengan suara masih bernada keras orang gundul itu berseru kepada Tayub Jali dan Cangkul Lahat, "Tayub Jali, mundur kau...! Biar kuhadapi sendiri bocah ingusan itu!"

Orang berpakaian abu-abu yang bersenjatakan tombak berujung clurit itu segera mengundurkan diri. Tapi temannya masih tetap diam ditempat.

"Cangkul Lahat, mundur juga kau!" seru si kepala gundul.

Orang bersenjatakan cangkul kecil yang tajam itu pun segera mengundurkan diri, tak jauh dari depan kudanya. Setelah itu, si kepala gundul maju dua tindak dari tempatnya dan segera ucapkan kata kepada Pendekar Mabuk.

"Cukup lumayan permainanmu, Bocah Ingusan! Tapi jangan harap dengan modal permainan itu kau bisa tundukkan aku si Pawang Jenazah yang tak pernah kenal ampun kepada lawannya!" Ia tepuk dadanya sendiri, sombongkan diri.

Dari ucapannya itu Suto tahu bahwa si kepala botak itu bernama Pawang Jenazah. Jelas itu hanya nama julukan saja. Siapa nama aslinya, Pendekar Mabuk tak berminat untuk mengetahuinya. Suto hanya berkata, "Aku tak bermaksud menundukkan kamu, Pawang Jenazah! Aku hanya menahan seranganmu dan mengembalikannya, karena aku bukan orang bersalah!"

"Kau memang tidak bersalah, tapi juraganmu itu manusia yang penuh dengan kesalahan!"

"Aku tidak punya juragan! Aku juga tidak punya pimpinan!"

"Kau mau mengelak karena takut berhadapan denganku?! Kau mau pungkiri diri dan mengaku bukan anak buahnya Laksamana Cho?!"

"Memang bukan! Kau salah sangka, Pawang Jenazah!"

"Mataku belum bolong, Cecunguk! Kulihat kau tadi berunding dengan Perwira Loyang!"

"Aku tidak kenal dengan Perwira Loyang!" sanggah Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. "Kalau yang kau maksud Perwira Loyang adalah orang berkuda yang tadi berada di sini bersamaku itu, berarti kau salah duga, Pawang Jenazah! Aku bukan berunding atau berteman dengannya. Justru aku mencoba bertahan diri dari serangannya! Aku sendiri tak tahu, mengapa dia menyerangku dan menanyakan soal bayi?!"

"Omong kosong! Kau pandai berkilah dengan tujuan selamatkan diri dari jurusku yang sebenarnya, Cecunguk!"

"Kalau hanya untuk menyelamatkan diri, tak perlu aku berkilah menjelaskan duduk perkara sebenarnya, Pawang Jenazah! Sudah kubilang tadi, apa susahnya menundukkanmu dalam sekejap, seperti orang menarik uban dari kepalanya! Tapi bukan itu tujuanku bicara denganmu! Aku hanya tak ingin di antara kita ada salah pengertian, Pawang Jenazah!"

Pawang Jenazah yang berusia sekitar lima puluh tahun itu melirikkan matanya ke perempuan muda yang masih pingsan itu. Ia sedikit sipitkan mata, dan segera melebar kembali, sepertinya ia baru sadar siapa perempuan yang tergeletak pingsan itu. "Bagaimana dengan gadis itu?!" tanyanya, kepada Suto, dan dahi Suto semakin berkerut karena tidak jelas apa maksud pertanyaan itu.

"Apa yang kau tanyakan sebenarnya?"

"Bukankah kau bersama gadis itu?!"

"Ya. Dia kuselamatkan dari serangan para mayat yang bangkit dari kuburan!"

"O, jadi kau yang selamatkan dia?! Jahanam...!" geram Pawang Jenazah. "Berarti kau sudah terlalu dalam turut campur dalam urusanku, Cecunguk Busuk!”

Pawang Jenazah semakin tambah marah kelihatannya. Suto Sinting merasa heran dengan kemarahan Pawang Jenazah. Tapi segera paham setelah Pawang Jenazah ucapkan kata,

"Sia-sia kubangkitkan mayat-mayat itu jika hanya untuk membunuh orang-orang Cho, tanpa bisa membunuh gadis itu pula! Lancang sekali kau, Cecunguk! Mestinya gadis itu sudah mati diterkam habis oleh pasukan mayatku!"

"Kasihan dia! Melihat mayat sebanyak itu saja sudah pingsan, apalagi jika harus diterkam ramai-ramai oleh pasukan mayat! Pasti dia akan mati, bukan hanya pingsan!"

"Memang itu yang kumau!" bentak Pawang Jenazah. "Sekarang serahkan perempuan muda itu padaku!"

"Siapa perempuan itu, sehingga kau ingin membunuhnya?"

"Tak perlu tahu! Serahkan perempuan itu jika benar kau bukan anak buahnya Laksamana Cho!" suaranya makin meninggi, menandakan kemarahannya kian bertambah tinggi pula.

Pendekar Mabuk mempertimbangkan langkah sesaat. Jelas jika ia menyerahkan gadis cantik yang amat lembut itu, sama saja ia membunuh gadis itu. Tapi jika tidak, maka ia akan dianggap sebagai anak buah Laksamana Cho Yung. Agaknya antara Pawang Jenazah dan Laksamana Cho Yung telah terjadi perselisihan sengit yang membuat Pawang Jenazah harus membunuh orang-orangnya Laksamana Cho Yung. Jika Pawang Jenazah mau membunuh gadis bersumpit emas itu, berarti gadis tersebut adalah anak buahnya Laksamana Cho Yung. Tapi gadis itu belum tentu bersalah.

"Pawang Jenazah, sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau ingin membunuh semua orang-orangnya Laksamana Cho?"

"Kau tak perlu tahu! Serahkan saja perempuan itu padaku dan cepatlah minggat dari hadapanku! Jangan paksa aku bertarung denganmu seperti aku menghadapi Laksamana Cho!"

"Aku harus tahu perkara yang sebenarnya, supaya aku tidak memihak ke mana-mana! Setidaknya aku perlu pertimbangan supaya aku bisa tentukan langkah, apakah aku harus serahkan perempuan itu kepadamu atau kupertahankan!"

"Babi Burik!” umpat Pawang Jenazah. "Jangan sekali-kali kau punya niat untuk selamatkan perempuan itu, jika kau masih ingin hidup lebih lama lagi, Cecunguk! Sebaiknya cepatlah minggat dan tinggalkan perempuan itu!"

"Aku tidak bisa!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas. "Sebelum kutahu perkara yang sebenarnya antara kau dengan Laksamana Cho, aku tidak akan tinggalkan gadis itu!"

"Persetan dengan tekadmu! Rupanya tak ada waktu lagi bagimu untuk pertimbangkan langkah! Sebaiknya kulenyapkan juga kau, Cecunguk!"

Pawang Jenazah segera mengangkat tangannya dengan tenaga dikerahkan. Tangan yang berada di depan dada kanan-kiri itu mulai bergetar. Agaknya kali ini Pawang Jenazah tak mau main-main seperti tadi. Ia siap melepaskan jurus-jurus mautnya yang mematikan lawan. Matanya pun sudah mulai semburat merah bagai dibakar amukan amarah.

Suto tetap tenang, tapi penuh dengan kewaspadaan, ia sempat ucapkan kata kepada lawannya, "Jelaskan dulu persoalannya, supaya kalau toh aku mati, dapat mati dengan mata terpejam!"

"Persetan mau terpejam atau mendelik matamu nanti! Yang jelas, terimalah pukulan mautku ini! Hiaaah...!"

Wuttt...! Cahaya merah melesat dari kedua telapak tangan Pawang Jenazah. Cahaya itu berbentuk seperti uang logam yang menyala-nyala dan bergerak cepat ke arah Suto Sinting.

Oleh Pendekar Mabuk cahaya itu dapat dihindari dengan satu sentakan kaki secara pelan ke tanah dan tubuhnya terangkat melesat ke atas dan berjungkir balik satu kali di udara. Cahaya merah itu akhirnya menghantam pohon yang jauh di belakang Suto.

Duarr...! Duarr...!

Pohon itu pecah bagai disambar petir. Pawang Jenazah menggerakkan tangannya dengan cepat, wut wut wut...! Dua jari tahu-tahu sudah ada di dahinya. Dua jari yang ada di dahi itu disentakkan ke depan dan melesatlah sinar merah kecil seperti ranting panjang yang menuju ke arah tubuh gadis pingsan itu.

"Celaka! Dia mau menghancurkan gadis itu!" pikir Suto. Maka, dengan cepat Suto lompatkan diri menghadang sinar merah itu di samping tubuh gadis yang terbaring. Suto Sinting berguling sambil hadangkan bumbung tuaknya. Sinar merah seperti ranting mengenai bumbung tuak, dan memantul balik ke arah semula.

Zrubbb...! Wusss...!

"Bangsat!" teriak Pawang Jenazah sambil melompat menghindari sinar merah yang berubah menjadi lebih besar dan lebih cepat dari keadaan semula.

Dubb...! Blarrr...!

Ledakan itu amat mengejutkan. Seekor kuda milik Tayub Jali pecah tubuhnya tanpa sempat memekik lagi. Sempalan tubuh kuda itu menghantam ke kanan kiri, membuat Tayub Jali dan Cangkul Lahat terpental berlainan arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari tempat berdirinya semula.

"Aku harus melarikan gadis itu, supaya tahu perkara sebenarnya!" pikir Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia menyambut tubuh pingsan itu, ia panggul ke pundaknya dan cepat pergi bagaikan angin berhembus. Wuttt...! Pawang Jenazah terbengong sekejap, tak percaya dengan sebuah gerakan secepat yang dilihatnya.

* * *

TIGA
KALAU saja Pawang Jenazah bisa melihat arah larinya Pendekar Mabuk dan gadis itu, pasti ia akan mencegat dengan segala cara. Sayangnya, Pawang Jenazah hanya melihat Suto berkelebat pergi. Wesss...! Begitu saja, dan tak bisa dilacak ke mana arah perginya. Seandainya ia melakukan pencegatan, harus ke arah mana ia mencegatnya?

"Ke mana orang itu tadi, Ki Pawang?" tanya Cangkul Lahat, ia baru saja sadar dari terguling-gulingnya tadi. Tubuhnya bermandi darah kuda. Merah sekujur tubuh Cangkul Lahat, demikian pula tubuh Tayub Jali.

Pawang Jenazah tidak menjawab pertanyaan itu, karena hatinya masih berkecamuk, "Sehebat itukah anak buah Laksamana Cho? Mudah-mudahan dia memang bukan anak buah Laksamana Cho! Ilmunya cukup tinggi, itu terlihat dari caranya pergi dari depanku. Dia jelas sulit dikalahkan, sekalipun aku mampu menumbangkannya tapi harus dengan susah payah! Hmm... aku bisa kerahkan pasukan mayatku untuk melumpuhkan orang itu! Tapi itu soal nanti! Mudah saja! Sekarang yang penting aku harus temukan di mana kapal laksamana bersandar! Akan kuhancurkan kapal itu, dan kuhancurkan pula si keparat itu! Kalau perlu kujadikan dia bubur manusia yang pertama di jagad raya ini! Hmm...!"

Lalu ia melompat dengan satu sentakan kaki ke tanah, tubuhnya melayang dan berjungkir balik ke belakang. Kejap berikutnya Pawang Jenazah sudah bertengger di atas punggung kudanya. "Kita susul teman-teman kita kepantai! Kita susuri pantai sampai kita temukan kapal si keparat itu!" katanya kepada kedua anak buah tersebut. Tayub Jali terpaksa berboncengan satu kuda dengan Cangkul Lahat, karena kudanya telah pecah binasa tak berbentuk lagi.

Nun jauh di sisi sebelah sana, terdapat sebuah bangunan besar yang keadaannya sudah sebagian hancur. Bangunan itu konon dulunya bekas sebuah gedung perguruan silat aliran keluarga Sanjaya Laga. Keluarga tersebut cukup kesohor pada masanya. Kabar-kabarnya jurus-jurus yang dipakai dalam aliran silat Sanjaya Laga merupakan pengembangan dari jurus-jurus 'Shaolin'.

Hampir seratus tahun lewat, keluarga Sanjaya Laga dikalahkan oleh golongan hitam dari Tanah Tibet. Mereka berhasil menggempur habis kekuatan keluarga Sanjaya Laga, menjagal semua penghuni gedung kuno itu tanpa menguburkannya satu pun.

Dan sejak itulah aliran silat Sanjaya Laga punah dari permukaan bumi, tanpa ada penerusnya. Sejak itu, gedung beratap tinggi itu menjadi saksi bisu yang tinggal dalam kesunyian abadi. Temboknya menjadi hitam dan berlumut. Lantainya sudah ditumbuhi oleh rumput liar. Atap depan rubuh ke bawah, menutup jalan masuk gedung tersebut. Tapi melalui sisi samping ada lorong yang menuju bagian belakang gedung tersebut. Bagian belakang itu sendiri jarang terkena sinar matahari sehingga tempatnya menjadi lembab dan kotor.

Menurut kabar burung, gedung itu sering mengeluarkan suara aneh bila malam hari. Seperti suara orang berlatih jurus-jurus silat, atau seperti orang memekik kesakitan. Tak ada manusia yang mau lewat dekat-dekat situ bila malam hari. Selain gedung itu gelap tanpa sinar, juga sering menyebarkan bau bangkai membusuk. Orang-orang menamakannya sebagai Rumah Busuk.

Tak jauh dari gedung itu ada sebuah perkampungan. Tetapi Pendekar Mabuk tidak mau membawa gadis Cina yang masih pingsan itu ke perkampungan tersebut. Sekalipun Suto yakin akan mendapat tumpangan untuk bermalam di perkampungan tersebut, tapi ia memilih gedung kuno itu yang menjadi tempat menyembunyikan si Sumpit Emas tersebut.

Di dalam gedung kuno itu, Suto merasa heran setelah menemukan sebuah ruangan yang agaknya dulu bekas sebuah kamar. Kamar besar itu lain dari ruangan-ruangan yang ada di Rumah Busuk tersebut. Kamar besar itu berlantai bersih, berdinding putih, mempunyai empat tempat pelita yang menempel di dinding. Juga terdapat selembar tikar walau sudah rusak bagian tepinya. Kamar itu jelas ada yang merawat dan menempatinya. Walau tanpa jendela atau lubang angin satu pun kecuali pintu setinggi tiga tombak, tapi kamar itu tidak mengandung udara lembab seperti kamar-kamar lainnya.

Gadis berpakaian merah jambu itu dibaringkan oleh Suto di atas tikar tersebut. Hari sudah remang petang, sehingga Pendekar Mabuk terpaksa menyalakan keempat pelita dengan bantuan ranting kering yang dibakar oleh tenaga dalamnya dari ujung jari telunjuk. Ruangan itu menjadi terang, tapi tetap tak bisa terlihat dari luar rumah cahaya terangnya itu.

"Siapa penghuni kamar ini?" pikir Pendekar Mabuk sambil melangkah memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu. "Tak mungkin kamar itu bersih dengan sendirinya jika tidak ada penghuninya! Pasti ada orang yang bersembunyi di kamar itu, entah sudah berapa lama! Apa yang dilakukan orang itu selama bersembunyi di rumah yang terkesan angker ini, tak bisa kuterka. Tak ada tanda-tanda bekas makanan, berarti kamar itu tidak digunakan untuk makan. Tak ada tanda-tanda bekas gempuran, berarti kamar itu tidak dipakai untuk berlatih silat! Dan tak kucium bau wewangian, berarti tempat itu tidak dipakai untuk bermesraan! Lalu, ke mana orang yang menghuni kamar itu sekarang ini? Aku mau minta izin untuk menempatinya beberapa saat!"

Berulang kali Suto mengelilingi Rumah Busuk itu untuk mencari seseorang yang diduga menjadi penghuni kamar bersih itu, tapi ia tidak temukan apa-apa, kecuali seekor ular yang dapat segera dihancurkan kepalanya dengan pukulan jarak jauhnya. Pendekar Mabuk pun segera kembali masuk ke kamar itu dengan harapan gadis tersebut sudah siuman. Tapi ternyata gadis itu masih tetap terbujur bagai tidur nyenyak. Suto Sinting jadi berpikir,

"Mengapa gadis itu pingsan begitu lama? Umumnya orang pingsan tak sampai setengah hari sudah siuman! Tapi gadis ini sampai malam tiba masih saja belum siuman! Apa penyebabnya sampai ia bisa pingsan lama begini?"

Pendekar Mabuk kembali meneguk tuaknya. Sempat ia berpikir ingin semburkan tuak ke dalam mulut gadis itu supaya siuman, tapi kembali hatinya bergemuruh jika memandang bibir perempuan itu, sehingga ia batalkan niatnya itu. Bahkan untuk memandang si baju merah jambu terlalu lama, Suto tak berani. Karena gemuruh dalam dadanya begitu kuat dan makin lama memandang makin menyentak-nyentak, sehingga ia berpikir lebih baik meninggalkan dulu gadis itu. Ia segera keluar rumah, memandang kegelapan malam yang sepi dan sunyi, menikmati suara derik jangkrik di kejauhan sana.

"Mungkinkah gadis itu terkena pukulan maut yang mematikan segala urat kesadarannya?! Seingatku, dia masih tetap di dalam tandu pada saat mayat-mayat itu menyerangnya. Belum sempat ia terjamah oleh mayat, aku sudah lebih dulu menyelamatkannya! Jadi, apa yang membuat dia pingsan selama ini? Rasa kaget! Rasa takut melihat mayat bangkit? Atau karena sesuatu hal yang belum kuketahui?"

Sambil bicara sendiri dalam hatinya, Suto Sinting meneguk tuaknya sesekali. Alam yang dibungkus malam gelap itu sama sekali tak timbulkan penglihatan apa pun. Nyamuk menyerang Suto. Nyamuk di situ besar-besar, sehingga terasa menepak seekor lalat yang menclok di pipi.

"Bisa mati dikeroyok nyamuk kalau aku di luar rumah terus. Sebaiknya aku ikut beristirahat sebentar di dalam kamar itu!" pikir Suto Sinting sambil melangkah masuk melalui lorong kecil menuju bagian belakang rumah. Tempat itu sedikit becek, namun punya bebatuan kering yang bisa digunakan sebagai tempat berpijak.

Pintu kamar yang tetap dibiarkan terbuka itu membuat bias cahaya lampu pelita menyorot ke luar. Dan karena pintu kamar terbuka, maka dari depan pintu saja Pendekar Mabuk sudah bisa melihat keadaan di dalam kamar. Langkah Suto Sinting terhenti dan matanya terkesiap dengan hati terperanjat kaget. Tubuh gadis itu sudah tidak ada di atas tikar.

"Hilang...?!" gumam Suto dalam keheranannya, lalu cepat-cepat ia melangkahkan kaki memasuki kamar itu. Tertegun sejenak ia memandang tikar yang kosong. Tiba-tiba punggungnya terasa ditabrak oleh benda besar dan keras. Beggh...! Benda yang terasa menyentak punggung itu tidak mengenai bumbung bambunya, sehingga tubuh Suto tiba-tiba saja terpental ke depan dan terasa bagai dilemparkan oleh tenaga yang cukup besar. Pendekar Mabuk terjungkal dan membentur dinding dekat tikar.

Dugg...!

Buru-buru Pendekar Mabuk palingkan wajahnya ke arah pintu yang tadi dipunggunginya. Ternyata di sana sudah berdiri gadis bergaun merah jambu. Si Sumpit Emas memandang Suto Sinting penuh hasrat permusuhan. Sikap berdirinya yang sedikit renggang kaki itu menampakkan bahwa dirinya telah siap menyerang, atau diserang sewaktu-waktu.

Sedangkan Pendekar Mabuk saat itu diam terpana melihat kecantikan gadis itu jika tidak dalam keadaan pingsan. Pelan-pelan ia bangkit dengan mata tak berkedip. Tetapi, tiba-tiba gadis bersumpit emas itu kelebatkan tangannya yang bergaun lengan panjang lebar itu, wuttt...! Gerakannya seperti orang mengusir nyamuk di depannya. Lalu, terasa jelas ada gelombang berkekuatan besar menghantam badan Suto.

Buggh...!

Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia ingin tahu kekuatan apa yang bisa dikeluarkan oleh gadis bersumpit emas di rambutnya itu. Ternyata cukup besar. Suto sampai terhempas kuat-kuat dalam keadaan terlempar membentur dinding lagi bagian lengannya. Pandangan matanya sempat gelap sebentar saat menerima gelombang pukulan yang dilepaskan gadis itu. Suto segera kejap-kejapkan mata dan kibaskan kepala sebentar untuk membuang pandangan gelapnya itu.

Ketika ia memandang kembali ke arah pintu, ternyata gadis itu telah melompat ke dinding, lalu dengan cekatan sekali ia berlari merayapi dinding seperti seekor cecak. Plak plak plak plak! Dalam waktu singkat sudah mendekati langit-langit kamar tersebut.

"Gila itu bocah!" gumam Pendekar Mabuk dalam hati sambil mendongakkan kepala, memandangi tingkah gadis itu. "Rupanya dia punya ilmu cukup lumayan! Di samping bisa merayap seperti seekor cecak, juga punya tenaga dalam cukup besar! Jika orang kosong menerima pukulan tenaga dalamnya tadi pasti sudah rontok bagian dalam dadanya. Tapi... mengapa dia menyerangku begitu? Apakah dia belum tahu bahwa akulah yang menyelamatkan jiwanya dari ancaman serangan mayat- mayat tadi siang di kuburan?"

Mata bundar yang bening dari gadis itu memandang nanar pada Pendekar Mabuk. Dari caranya memandang, Suto tahu gadis itu ketakutan dan tak mau diserang. Ia berjaga diri dari ancaman maut yang disangkanya akan datang dari tangan Pendekar Mabuk.

"Turunlah!" kata Suto tanpa suara membentak, melainkan kalem.

Gadis itu diam saja, masih berpaling memandangi Suto dengan keadaan tangan dan kakinya menempel pada dinding. Melihat gadis itu diam saja, Suto melangkahkan kaki, maju dua tindak dari tempat berdirinya, kemudian berkata, "Turunlah, aku mau bicara denganmu!"

Tapi tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan terbang, ia melesat ke arah Pendekar Mabuk dengan sentakan kedua tangannya pada dinding, ia memekik saat menyerang terbang, "Hiaaat...!"

Sambil terbang, tangannya bergerak-gerak cepat memainkan jurus aneh yang sulit diikuti pandangan mata Pendekar Mabuk. Agaknya jurus itu cukup handal dan akan mencelakakan jiwa Pendekar Mabuk jika tidak segera menghindar. Maka, Pendekar Mabuk pun cepat menghindar dengan cara menggulingkan badan ke lantai dua kali. Wutt, wutt...!

Gerakan terbang cepat itu tak mengenai sasarannya. Akibatnya, tubuh yang terbang itu membentur dinding yang tadinya dipunggungi oleh Suto Sinting. Brukk...!

"Auh...!" gadis itu memekik karena tubuhnya bagai dihajarkan pada dinding, ia jatuh setelah itu dan menyeringai kesakitan. Keningnya diusap-usap karena terasa sakit diadu dengan dinding.

Pendekar Mabuk tertawa pelan melihat kejadian tersebut, ia dapat membayangkan alangkah sakitnya tubuh yang menabrak dinding dengan kecepatan lumayan keras itu. Suto Sinting sengaja tidak menolong gadis itu selain menertawakan.

Mendengar suara tawa Suto, gadis bersumpit emas itu cepat-cepat menahan diri untuk tidak meringis dan mengerang kesakitan, ia bahkan lekas bangkit dan menghadap Suto dengan tangan terangkat siap melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauhnya.

"Tunggu, tunggu...! Jangan serang aku!" Pendekar Mabuk menahannya dengan terburu-buru, ia melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Tapi gadis itu nekat melepaskan pukulan dari tangan kanannya yang telah terangkat di atas kepala itu.

"Hiaat...!" Wusss...!

Buhgg...! Gubrak...!

Suto terjengkang ke belakang. Jatuh dengan telentang. Punggungnya terganjal tabung tuak. Ia menyeringai menahan sakit, lalu dengan ayunan pinggulnya ia melenting ke atas, bangkit dengan kaki menapak sigap di lantai. Jlegg...!

"Jauhi aku, atau kubunuh kau!" ancam gadis itu.

"Keduanya tak ada yang kupilih! Aku hanya ingin jelaskan, bahwa aku bukan musuhmu!"

"Omong kosong!" sentak gadis itu. "Kau pasti orangnya Pawang Jenazah! Kau pasti salah satu dari mayat hidup yang menyerangku di dalam tandu!"

"Aha, kau salah duga, Nona Manis," jawab Suto Sinting sambil pamerkan senyumnya yang menggoda. Tapi nona manis itu masih saja tampilkan wajah cemberut. Pendekar Mabuk melanjutkan kata, "Kau memang tadi siang diserang oleh pasukan mayat di jalan depan kuburan itu. Tapi aku bukan salah satu anggota dari pasukan tersebut!”

"Baumu busuk. Bau bangkai! Kau pasti sesosok mayat!"

Pendekar Mabuk tertawa masam, "Itu bukan bauku. Itu bau rumah ini, Nona Manis! Kau tahu, sekarang kau kubawa ke Rumah Busuk ini, karena tak ada pilihan lain untuk sembunyikan dirimu!"

"Bohong! Kau dusta padaku! Hiaaat...!" Tangan gadis itu berkelebat dengan cepat bagai simpang-siur di depan wajahnya, lalu tiba-tiba ia melayang dengan tubuh berputar. Kain gaunnya sampai tampak mengembang indah. Tapi punggung telapak tangannya menghantam dada Suto dengan gerakan cukup cepat.

Duggh...!

"Auh...!" Suto terpekik karena menahan napas saat mendapat pukulan tersebut, ia mundur dua tindak. Gadis itu berkelebat memutar lagi, lalu tangannya yang kiri kembali menyodok ulu hati Suto memakai punggung telapak tangan yang menguncup.

Dess...!

Suto menahan pukulan kedua dengan telapak tangan kanannya. Sambil menahan pukulan, ia kerahkan sedikit tenaga dalamnya untuk mendorong tangan lawan. Wuttt...! Gadis itu terpelanting dalam keadaan lari mundur dan sempoyongan. Tubuhnya membentur dinding tak seberapa keras, tapi membuat ia berhenti dari terpelantingnya.

"Hiaaat...!" kembali ia segera menyerang dengan gerakan cepat. Kali ini dua jari tangannya melepaskan sinar kuning yang mengarah ke dada Suto Sinting. Wesss...!

"Kalau kutangkis dengan bumbung tuak, bisa membalik mengenai dirinya! Bahaya!" pikir Pendekar Mabuk, maka segera ia sentakkan kaki dan melompat ke atas tanpa bergerak maju. Sinar kuning itu melesat lewat bawah kaki Suto dan menembus dinding belakangnya. Bluss...!

"Edan! Dinding itu bolong tanpa semburkan debu sedikit pun?! Sakti juga sebenarnya gadis ini?! Tapi mengapa dia tadi tidak keluar dari tandu dan ikut menyerang mayat-mayat tersebut?" pikir Suto Sinting lagi setelah melihat dinding jadi bolong tanpa timbulkan semburan debu sedikit pun. Bolongnya dinding itu sebesar uang logam. Tepiannya berwarna hangus.

"Hiaaat...!" gadis itu kembali menyerang Pendekar Mabuk.

Kali ini dengan sebuah tendangan beruntun yang punya kecepatan cukup tinggi menurut ukuran kecepatan tendang seorang berilmu sedang. Tendangan beruntun ke arah wajah Pendekar Mabuk itu dihindari dengan meliuk-liuk kepala beberapa kali. Tak satu pun tendangan beruntun yang mampu mengenai wajah Suto. Tetapi dengan cepat bagaikan kelebatan anak panah, jari tangan Pendekar Mabuk menotok mata kaki gadis itu.

Takkk...!

"Aauuuh...!" gadis itu langsung mengerang panjang sambil terbungkuk-bungkuk memegangi mata kakinya.

Pendekar Mabuk membiarkan gadis itu menahan sakit, ia jauhi gadis itu, dan kini berada di sudut kamar kosong tanpa benda apa pun itu sambil menenggak tuaknya.

"Jahanam kau!" geram gadis itu sambil tetap membungkuk pegangi mata kakinya. Suto yang berdiri memandang gadis itu hanya tersenyum. Gadis itu tampak makin menggeram, ia ingin melompat dan menyerang Suto, Tapi ia tak mampu gerakkan tangan, kaki ataupun punggungnya yang tetap membungkuk, ia telah tertotok dan menjadi tak bisa bergerak kecuali kepalanya.

"Sudah kukatakan, aku bukan musuhmu!" kata Suto Sinting.

"Bebaskan aku jika kau bukan musuhku!" bentak gadis itu.

"Kau berjanji tak akan menyerangku lagi?"

"Itu tergantung keputusanku nanti!"

"Kalau begitu kau tidak akan kubebaskan! Dan, sepertinya aku sudah kehabisan waktu! Aku harus pergi sekarang juga untuk suatu urusan!" Pendekar Mabuk melangkahkan kakinya menuju ke pintu. Gadis itu memekik dengan suara kecilnya,

"Hai, bebaskan aku dulu!"

"Permisi! Sampai jumpa lagi di lain waktu!" Pendekar Mabuk keluar dari kamar itu, dan sang nona manis itu memekik keras,

"Bebaskan aku dulu! Jangan pergi kau, Gila!"

Sang nona manis mencoba gerakkan tubuhnya untuk melompat-lompat dalam keadaan membungkuk pegangi mata kakinya. Tapi tubuhnya bagaikan terpaku di lantai kamar itu. Ia berseru lebih keras lagi,

"Hai...! Gilaaa...! Jangan pergi! Jangan tinggal aku sendirian di tempat ini! Gilaaa...! Gila! Kuremukkan kepalamu kalau kau tak mau kembali! Haaai...! Kembali...!"

Suto sunggingkan senyum ketika mendengar teriakan gadis itu di luar rumah. Suara kecilnya yang melengking bagai pisau tajam merobek sunyinya malam. Segala sumpah serapah dan cacian terlontar karena kepanikan hati sang nona manis. Dan Pendekar Mabuk itu semakin tertawa geli dengan suara ditahan.

* * *

EMPAT
TIDAK setega itu Pendekar Mabuk terhadap gadis bersumpit emas. Meninggalkan sendirian di Rumah Busuk merupakan tindakan yang tergolong keji, karena sama saja menyiksa hati yang dicekam perasaan takut terhadap hantu-hantu Rumah Busuk. Tetapi agaknya gadis itu bukan seorang yang mudah menyerah. Setelah ia dibebaskan totokannya oleh Pendekar Mabuk, ia kembali menyerang dengan berbagai jurus, ia tetap mencurigai Suto sebagai komplotan Pawang Jenazah.

Sampai pada kejap berikutnya, Pendekar Mabuk berhasil menangkap tangan gadis itu yang hendak memukulnya dari belakang. Tangan itu ditariknya hingga tak sengaja gadis itu telah memeluk Pendekar Mabuk. Suto sengaja menjebaknya begitu, sehingga gadis berkulit putih itu menjadi merah wajahnya karena malu. Suto Sinting menertawakannya, si gadis bertambah garang. Kemudian ia menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan bercahaya kuning lagi. Tetapi cahaya kuning itu memantul balik setelah ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan tabung tempat tuaknya.

Wuttt...!

Wess...! Gadis itu melompat dan bersalto di udara dua kali. Sinar kuning kembali menembus dinding dan bolonglah dinding itu tanpa keluarkan debu sedikit pun. Lebar bolongan dinding itu lebih besar dari lobang dinding yang pertama. Dengan begitu, si gadis terbengong dan terheran-heran melihat kenyataan di depan mata. Mau tak mau di dalam hati nona manis itu mengakui kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk. Apalagi kala itu Suto pun berkata,

"Jangan serang aku lagi, Non! Karena ilmu yang kau serangkan padaku bisa membunuh dirimu sendiri!"

"Apakah kau tak punya ilmu apa-apa, sehingga sejak tadi kau tidak menyerangku?!" ucapnya dengan ketus.

"Tidak. Aku memang tidak punya ilmu apa-apa, tapi dapat membunuhmu dengan mudah kalau kau memaksanya terus!"

"Bunuhlah!" sentak gadis itu. "Bunuhlah aku! Itu lebih baik daripada kau biarkan aku tetap hidup!"

"Hidup itu indah, Nona!"

"Tidak! Hidup itu tidak ada indahnya sama sekali bagiku! Lekas, bunuhlah aku! Bunuhlah sekarang juga!" Gadis itu menangis, ia duduk bersandar dinding sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya makin lama semakin tampak menjadi. Agaknya gadis itu benar-benar menangis, dan bukan hanya berpura-pura saja.

Pendekar Mabuk jadi serba kikuk menghadapi gadis cantik yang menangis terisak-isak begitu. Tak mengerti Suto harus berbuat bagaimana meredakan tangis gadis itu. Yang dapat dilakukan Pendekar Mabuk hanya menenggak tuaknya sendiri beberapa teguk, kemudian berdiri di pintu memandang kegelapan, ia tunggu suara tangis itu hingga mereda dan makin lama menjadi semakin hilang.

Setelah itu, Suto mendekat nona manis itu dengan hati-hati dan tak berani menggodanya lagi. Ada duka yang tersekap di hati nona manis itu. Suto tahu duka tersebut sangat menekan batin dan menyiksa jiwa. Pendekar Mabuk semakin tertarik untuk mengetahui duka yang tampak sangat menyiksa itu. Karenanya, ia segera lontarkan kata dengan suara pelan dalam jarak berdiri empat langkah di samping gadis itu,

"Jika ada orang lewat tak jauh dari rumah ini, ia akan lari terbirit-birit karena menyangka mendengar suara tangis hantu dari Rumah Busuk ini! Dan menurutku, sebuah tangis tanpa alasan adalah tangis orang gila. Tapi aku yakin kau pasti punya alasan mengapa kau menangis sesedih itu, Nona Manis?"

Ucapan itu bagai tak dilayani oleh si nona manis Ketika Suto tampak makin mendekat, nona manis itu berdiri dan menjauh. Terdengar Suto bicara bagaikan bicara pada diri sendiri,

"Sungguh bukan maksudku membawamu ke tempat ini dan bermaksud jahat kepadamu! Yang kutahu, kau terjebak dalam tandu dari serbuan pasukan mayat itu. Kupikir kau perlu mendapat pertolongan karena semua pengawalmu mati dibantai oleh pasukan mayat tersebut. Maka aku pun bertindak menyelamatkan kamu dari ancaman maut pasukan mayat kubur itu. Di perjalanan, aku kebingungan membawa dirimu yang pingsan. Lalu datang Perwira Loyang dan segera menyerangku! Ia menghendaki bayi, yang menurutnya ada pada diriku!"

Gadis itu cepat palingkan pandang kepada Pendekar Mabuk, dan yang dipandang pun makin tertarik untuk teruskan penuturannya.

"Aku tidak tahu bayi apa yang dicarinya! Aku juga heran, mengapa ia menanyakan bayi dan tidak menyelamatkan kamu jika memang ia adalah orang-orangmu! Lebih heran lagi melihat Perwira Loyang cepat tinggalkan diriku setelah melihat rombongan Pawang Jenazah menuju ke arah kita! Lalu, terpaksa pula aku berhadapan dengan Pawang Jenazah karena ia sangka aku anak buah Laksamana Cho Yung! Bahkan ia ingin agar aku menyerahkan dirimu untuk dibunuhnya, karena dia tahu kau orangnya Laksamana Cho Yung. Maka, demi keselamatan jiwamu, aku segera melarikan diri dari hadapan Pawang Jenazah dan sembunyikan kamu di sini!"

Gadis itu berdiri dengan pundak bersandar dinding, ia tampak merenung karena sejak tadi yang dipandangi adalah lantai. Tapi Suto yakin apa yang dibicarakannya itu meresap dalam benak gadis itu.

Kini Pendekar Mabuk mencoba untuk lebih mendekat lagi sambil berkata, "Sampai di sini amanlah keadaan, tapi bingunglah pikiran. Kau menyerangku, bahkan kau memintaku membunuhmu! Kau menangis dan tak mau tahu siapa diriku sebenarnya. Sungguh ini merupakan pengalaman pahit bagiku, menolong orang, justru diserang. Menghindari serangan, justru diminta untuk membunuh! Sementara itu aku butuh keterangan darimu, siapa Laksamana Cho Yung itu sebenarnya? Siapa dirimu sendiri sebenarnya? Siapa bayi yang dimaksud Perwira Loyang itu? Ada masalah apa antara Laksamana Cho Yung dengan Pawang Jenazah, sehingga kau pun ingin dibunuhnya?! Jika kau orangnya Cho Yung, lantas mengapa Perwira Loyang tidak mempedulikan dirimu yang terkapar pingsan tak jauh dariku? Dan... semua itu merupakan teka-teki yang menuntut jawaban di dalam hati kecilku. Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa namamu, Nona manis!"

Gadis itu menarik napas dan penuhi rongga dadanya dengan udara. Kejap berikut itu lepaskan napas itu bagai ingin melegakan sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya, ia lemparkan pandang matanya kepada Suto beberapa saat lamanya, ia biarkan Pendekar Mabuk pun menatapnya dalam jarak tiga langkah dari tempatnya berdiri, kemudian ia merasa ada debaran kuat di dalam hatinya yang memaksa pandang matanya harus dilempar jauh-jauh, tak berani terlalu lama menatap sorot mata pemuda tampan yang menyandang bumbung tuak itu. Kejap lanjutnya lagi, terdengar suaranya yang bening kecil dan berkesan manja itu ucapkan kata,

"Namaku Bunga Bernyawa."

Sekalipun hanya pendek saja ucapan tersebut, namun cukup membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kelegaan. Bahkan Suto mengulang nama itu dengan perasaan kagum. "Bunga Bernyawa. Hmmm... indah sekali nama itu. Tapi aku yakin itu nama julukan saja."

"Ya. Ayahku yang menjuluki aku dengan nama Bunga Bernyawa!"

"Siapa ayahmu?"

"Kaisar Siauw-ong!" Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengarnya. Tertegun pula ia sejenak sambil pandangi gadis yang juga menatapnya itu. "Jadi kau putri seorang kaisar?"

"Benar. Laksamana Cho Yung adalah panglima laut yang memberontak kepada kaisarnya, yaitu ayahku sendiri. Agar ia tidak dikejar-kejar oleh tentara ayahku, ia menyandera aku sebagai jaminan keselamatannya, ia bawa aku berkeliling tanah Jawa bertahun-tahun lamanya."

Bunga Bernyawa bagai mengenang masa lalunya sambil melangkahkan kaki menjauhi Suto. Ia sekarang berada di pintu, memandang ke arah luar sebentar dengan penuh curiga. Tapi kejap berikutnya ia sudah kembali pandangi Pendekar Mabuk dengan tangan menopang pada dinding pintu.

"Laksamana Cho Yung bukan saja menjadikan aku sandera, namun juga sebagai gundiknya! Kapan saja ia membutuhkan kehangatan tubuhku aku harus siap melayaninya!"

"Mengapa kau tidak melawannya dengan ilmumu yang kurasa cukup tinggi itu?" tanya Suto sambil tetap berdiri di tempatnya.

Bunga Bernyawa gelengkan kepala. "Tidak mudah mengalahkan Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi, hampir setara dengan tingkat ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya, yaitu Dewa Maut, yang sudah lebih dulu dan lebih lama berkelana ditanah Jawa ini! Dulu, bersama adiknya dan kakaknya yang telah meninggal. Laksamana Cho Yung dikenal sebagai Thian-San Sam-Sian di negeriku. Artinya, Tiga Dewa dari Gunung Tian-San. Sejak mereka berpisah, Cho Yung masuk keprajuritan di negeriku, dan diangkat sebagai laksamana yang bertugas menguasai lautan sebagai panglima tempur laut. Jika ilmunya tidak tinggi, tentu saja ia tidak diangkat sebagai panglima laut oleh kaisar."

"Lalu, ia memberontak kepada pemerintahan kaisar?"

"Ya. Dia bersama beberapa anak buahnya melarikan diri dari negeriku. Dan akulah perisai ampuh baginya agar tidak diburu oleh tentara kaisar lainnya, karena jika itu dilakukan maka ia akan membunuhaku kapan saja. Ayahku sangat kebingungan dan sampai saat ini tak pernah lagi kudengar bagaimana nasib negeriku."

"Mengapa kau tak coba melarikan diri? Mengapa kau mau saja jadi gundik dan jadi budak nafsu Laksamana Cho Yung terus-terusan?"

"Tiga kali aku melarikan diri tapi selalu berhasil ditangkap kembali. Laksamana Cho Yung mengancam akan membunuh aku jika sekali lagi aku melarikan diri!"

"Dan kau takut untuk melarikan diri lagi karena ancaman itu?"

"Bukan ancaman itu yang membuatku takut, tapi soal lain."

"Soal lain apa?" desak Suto semakin ingin tahu.

"Soal kakakku."

"Apakah kakakmu juga dijadikan sandera oleh Laksamana Cho?"

"Memang tidak. Tapi jika aku tidak mati di tangannya, maka ia mengancam akan kembali ke negeriku dan menculik si Daun Bernyanyi, kakakku itu. Sedangkan aku tak mau kakakku ikut jadi korban kekejian Cho Yung. Biarlah aku sendiri yang korban, tapi saudaraku yang lain jangan."

Saat Bunga Bernyawa berkata begitu, tampak ada genangan air yang mulai menggenang di matanya.Genangan air itu membuat hati Pendekar Mabuktersentuh iba, lalu cepat memaklumi keadaan Bunga Bernyawa. Suto pun segera mengalihkan percakapan itu, "Bagaimana dengan bayi yang dicari oleh Perwira Loyang itu?"

Bunga Bernyawa tarik napas lagi dalam-dalam, kemudian melangkah mendekati Suto dan bersikap tegap berdiri di depan Suto dengan kaki sedikit renggang. Seolah-olah begitu mendengar soal bayi, ia ingin tunjukkan diri di depan Suto bahwa ia perempuan yang tegar dan tak mau menangis lagi. "Aku mendapat tugas untuk mencuri bayi."

"Bayi siapa?"

"Bayi seorang perempuan bernama Mayang Suri! Cho Yung tugaskan aku mencuri bayi itu dengan berpura-pura menjadi tabib, karena bayi itu dalam keadaan sedang sakit saat ini. Tapi setelah kulihat lucunya bayi itu, tampannya wajah bayi itu, aku tak tega melakukan penipuan terhadap ibu si bayi. Aku tak sampai hati menculik bayi itu!"

Suto kerutkan dahi saat ajukan tanya, "Untuk apa Laksamana Cho Yung menyuruhmu mencuri bayi?"

"Bayi itu adalah anak dari Dewa Maut. Dan menurut kepercayaan yang diterima Cho Yung dari seorang peramal sakti, Dewa Maut adalah lelaki mandul yang tak bisa punya keturunan. Apabila suatu saat Dewa Maut bisa punya keturunan, maka ia akan mati dan semua ilmunya pindah ke diri bayi itu. Laksamana Cho Yung ingin memiliki semua ilmu mendiang kakaknya itu. Menurut keterangan seorang sakti yang ditemuinya, ia dapat memiliki semua ilmu milik mendiang kakaknya itu dengan cara memakan jantung dan hati bayi tersebut. Karenanya ia perintahkan aku untuk mencuri bayi itu dengan mengaku sebagai tabib. Dia akan memakan jantung dan hati bayi itu untuk menambah kekuatan ilmu yang sudah dimilikinya! Pada dasarnya, Laksamana Cho Yung tidak rela jika ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya jatuh ke tangan orang lain. Karena ia percaya betul, bocah bayi itu bisa mengalahkan ilmu yang dimiliki Laksamana Cho Yung, jika usianya sudah mencapai sekitar delapan tahun. Sekarang bayi itu baru berusia tiga bulan! Ia tinggal bersama ibunya di lereng gunung."

Terdengar gumam kecil dari mulut Pendekar Mabuk yang terkatup sejak mendengarkan penjelasan itu. Kemudian Pendekar Mabuk mengangkat bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Saat itu terdengar Bunga Bernyawa melanjutkah kata-kata,

"Aku tak tega untuk menculik bayi itu, karenanya aku pulang bersama rombongan. Aku ingin ajukan alasan lain agar bukan aku yang ditugaskan menculik bayi tersebut. Tapi di tengah jalan, rombonganku diserang oleh orang-orang berkuda. Aku tertotok dari jarak jauh dan lumpuh sekujur tubuhku. Namun orang-orang berkuda itu bisa dibuat lari oleh anak buahku atau orang-orang yang ditugaskan mengawalku itu. Tapi mereka tak bisa melepaskan totokan yang membuatku lumpuh di dalam tandu. Sampai suatu saat kami melewati jalan dekat kuburan, dan mayat-mayat itu bangkit menyerang kami dengan liar. Aku masih bisa melihat pengawalku jatuh tunggang-langgang tak bernyawa lagi karena serangan mayat-mayat ganas itu. Tetapi tiba-tiba kepalaku terasa membentur sebuah bambu atau benda keras, yang membuat aku tak sadarkan diri dan tahu-tahu sudah ada disini!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu sunggingkan senyum kecil. Ternyata Bunga Bernyawa pingsan akibat terbentur gerakan cepat Suto saat menerabas masuk ke dalam tandu. Ujung bambu tuaknya membentur kepala Bunga Bernyawa dan membuatnya pingsan, namun membuat totokan itu terbebaskan. Pantas jika Bunga Bernyawa pingsan begitu lama, karena ia terkena benturan benda keramat yang punya kekuatan gaib dari bumbung tuak itu.

"Sekarang aku bingung, tak tahu harus berbuat apa," ujar Bunga Bernyawa seperti bicara pada dirinya sendiri, ia tundukkan kepala dengan raut wajah sendu. Katanya lagi, "Kalau aku harus pulang kepada Laksamana Cho Yung, jelas dia akan marah besar padaku. Apalagi kau telah melawan Perwira Loyang dan itu akan membuatnya makin marah. Dia amat cemburu dan tak suka tubuhku disentuh oleh lelaki lain. Bisa jadi aku pulang kepadanya hanya untuk dipancung leherku karena sudah dianggap perempuan yang menjijikkan. Jika aku harus pulang ke negeriku, aku tak punya kapal. Jika aku harus menetap di tanah Jawa, aku tak punya sanak saudara di sini! Jadi, menurutku ada baiknya jika aku mati saja! Dibunuh orang atau dimakan binatang hutan yang ganas, itu lebih baik daripada aku harus membunuh diriku sendiri."

"Masih banyak jalan lain yang bisa kau tempuh," kata Suto menenangkan hati Bunga Bernyawa. "Selain kamu, ada aku di sini!"

Bunga Bernyawa alihkan pandang menatap sorot mata Pendekat Mabuk. Ada kebeningan di mata Pendekar Mabuk itu yang terasa menyejukkan hati dan membuat debar-debar aneh yang menggelisahkan. Sekali pun kegelisahan itu menggoda jiwa, namun punya keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh Bunga Bernyawa sendiri. Sukar sekali Bunga Bernyawa hindari debaran indah itu, sampai akhirnya ia berkata tanpa sadar,

"Aku perempuan yang sudah kotor. Tak pantas didampingi pria tampan berbudi baik seperti dirimu."

"Aku mendampingi kamu hanya untuk selamatkan jiwamu!" jawab Pendekar Mabuk sambil mendekati wajah Bunga Bernyawa.

Pelan-pelan kepala Bunga Bernyawa tertunduk, pelan-pelan juga tangan Suto menyentuh dagu Bunga Bernyawa dan ditengadahkan. Kini mata mereka kembali saling pandang dengan lembut.

"Aku tahu kau bukan penjahat," kata Suto pelan sekali. "Aku tahu kau putri seorang kaisar yang tersesat di tanah Jawa ini. Kau terancam bahaya, baik dari Laksamana Cho Yung maupun dari Pawang Jenazah. Persoalannya dengan Laksamana Cho Yung sudah jelas kutahu, tapi persoalan dengan Pawang Jenazah belum kutahu. Mengapa dia bernafsu sekali untuk membunuhmu atau membunuh Laksamana Cho?"

"Laksamana Cho Yung telah membunuh istri Pawang Jenazah dan kedua anaknya! Pawang Jenazah menuntut kematian istri dan anaknya dengan tekad membantai habis semua orang-orangnya Laksamana Cho Yung. Siapa yang berada di pihak Laksamana Cho Yung, berarti menjadi lawannya. Dia sangka aku adalah orangnya Laksamana Cho, karena itu dia berkeras hati untuk bisa membunuh aku juga. Apalagi kulitku putih, mataku kecil, wajahku serumpun dengan wajah Laksamana Cho Yung. Ia makin benci melihat wajahku."

"O, ya! Aku paham sekarang," kata Suto masih dengan lembut seperti orang bicara soal cinta dari hati ke hati. Lanjutnya lagi, "Sekarang yang belum kupahami, bagaimana kau bisa siuman dari pingsan lamamu?"

"Seseorang telah menendangku," jawab Bunga Bernyawa.

"Aku tidak menendangmu tadi."

"Tapi kurasakan pinggangku ditendang perlahan dan membuatku kaget, lalu melompat bangun!"

"Aneh," ucap Pendekar Mabuk dalam desah lembut. "Kuperiksa sekeliling rumah ini tak ada manusia lain kecuali kita berdua!"

"Bagaimana dengan manusia berjubah putih tadi?"

Suto makin kerutkan dahi. "Si jubah putih yang mana?"

"Yang berkelebat keluar dari kamar ini sebelum kau masuk tadi!"

Terbungkam mulut Suto Sinting. Bingung ia menjawabnya. Lalu, cepat ia pergi memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu sampai pada bagian luarnya. Tapi tetap saja tak ia temukan manusia berjubah putih seperti yang dilihat Bunga Bernyawa saat baru siuman tadi.

"Bunga, aku tak temukan siapa pun di sini! Tak ada manusia berjubah putih seperti yang kau katakan tadi!" kata Pendekar Mabuk setelah kembali ke kamar bersih itu.

Bunga Bernyawa sendiri jadi kerutkan dahi dan merasa heran, ia mulai melirik penuh kecemasan dan ketegangan batin. "Kurasa arwah tokoh sakti yang pernah menempati rumah ini bermaksud menolongku. Dia pasti arwah tokoh beraliran putih!" kata Bunga Bernyawa dalam hatinya.

Suto buru-buru berkata alihkan pikiran Bunga Bernyawa agar tak merasa takut. "Kau masih ingat jalan menuju rumah bayi itu?"

"Masih. Apa maksudmu?"

"Kita ungsikan bayi itu bersama ibunya! Kita sembunyikan mereka sebelum orang-orangnya Laksamana Cho Yung lebih dulu menculik sang bayi!"

"Itu berarti kau akan berurusan dengan Laksamana Cho Yung!"

"Lebih baik aku berurusan dengan Laksamana Cho Yung daripada membiarkan bayi itu mati dibunuh pikiran sesat, dan daripada aku biarkan kau dipancung oleh manusia keji itu!" kata Suto yang membuat hati Bunga Bernyawa menjadi kian berdebar indah. Tapi ia pandai menutupi perasaannya itu.

"Jika kau punya tekad begitu, aku akan bawa kau kepada Mayang Suri dan bayinya! kata Bunga Bernyawa.

"Baiklah. Itu kita lakukan besok saja. Malam ini kau harus beristirahat. Tidurlah dengan nyenyak dan aku akan menjagamu!"

Bunga Bernyawa sunggingkan senyum manisnya. Jantung Suto menjadi berdetak kencang. Resah menjerat jiwa saat Bunga Bernyawa ucapkan kata,

"Sayang sekali tak selamanya kau mau menjaga hatiku. O, ya... siapa namamu, Pendekar tampan?"

"Suto...!"

"Oh, nama sederhana yang mudah diingat namun juga mudah dilupakan. Aku tak tahu harus pilih yang mana, mengingat atau melupakan?"

"Kusarankan untuk memilih melupakan saja! Biar hatimu tidak gelisah seperti malam ini!"

Semburat merah wajah cantik itu. Seperti pencuri yang ketahuan sedang sembunyikan barang curiannya di balik baju. Bunga Bernyawa malu karena Pendekar Mabuk mengetahui kegelisahannya, tapi ia bersikap tetap sembunyi rasa.

Esoknya mereka terbangun kaget. Pertama-tama Suto yang terkejut, karena ia sadar bahwa dirinya telah tertidur dalam keadaan duduk bersandar dinding. Kedua ia terkejut karena melihat keadaan kamar seperti hutan belukar. Kamar yang bersih dan terang tanpa benda apa pun kecuali tikar dan pelita, ternyata pagi itu sudah berubah menjadi kamar yang dipenuhi oleh rumput liar. Kotor dan lembab seperti halnya kamar-kamar lain di Rumah Busuk itu. Dan di situ, bau busuk masih samar-samar menjadi satu dengan bau tanah lembab pada lantainya.

"Bunga, bangun!" sentak Suto sengaja keras dan membuat gadis yang tidur di rerumputan itu terlonjak kaget, ia cepat bangkit dengan memainkan jurus sekejap. Setelah mengetahui dirinya berada di tengah rimbun ilalang, Bunga Bernyawa mulai kendurkan kuda-kudanya, ia menjadi kebingungan sendiri melihat kamar sudah berubah menjadi hutan belukar. Hanya ada sinar kecil dari atap yang bocor. Sinar itu adalah sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar berdinding lumut.

"Suto, mengapa keadaan kamar menjadi seperti ini?"

"Entahlah! Aku sendiri sejak tadi sedang pikirkan jawabannya."

"Jika begitu, semalam kita sudah berada di dalam kamar misterius, Suto! Kamar itu seakan disediakan untuk bermalam kita dan hanya satu malam, tak boleh lebih dari satu malam."

"Siapa yang menyediakan kamar sebersih tadi malam untuk kita. Rumah Busuk ini sudah tidak berpenghuni puluhan tahun lamanya. Keluarga Sanjaya Laga sudah terbantai habis oleh musuhnya."

"Mungkinkah orang berjubah putih yang menyiapkan kamar bersih itu untuk kita?"

"Seandainya benar dia, lantas siapa dia dan di mana dia sekarang?"

Bunga Bernyawa angkat bahu tanda tak bisa menjawab. Tapi ia katakan pula, "Roh penghuni rumah ini melihat ketulusan hatimu dalam menolongku, maka ia membantu kamu dengan memberikan tumpangan di kamar ini!"

"Aku tak yakin. Tapi... sudahlah, lupakan soal kamar ini! Ayo kita lekas tinggalkan rumah ini dan pergi ke rumah Mayang Suri!"

* * *

LIMA
ORANG berambut kepang satu panjang itu mengenakan topi persegi khas topi perwira pasukan Cina. Orang itu berkumis hitam, melengkung ke bawah bagai ingin memagari bibirnya. Jenggotnya pendek dan tipis. Usianya sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari bahan sejenis satin berkilap warna biru muda dengan celana putih. Baju birunya itu berlengan panjang dengan lis merah mengkilap juga. Baju itu dirangkap dengan jubah tanpa lengan warna merah darah berhias sulaman benang emas bergambar naga bersayap.

Siapa lagi orang berwajah keji dan berkesan galak itu jika bukan Laksamana Cho Yung, raja di atas kapal bertiang layar tiga itu. Matanya yang sipit itu memandang tajam kepada dua orang di hadapannya yang tundukan kepala dengan rasa takut dan hormat. Kedua orang itu adalah Perwira Loyang dan Jowala, si baju kuning yang saat bertemu dengan Suto tak mau turun dari punggung kuda.

"Memalukan sekali! Seorang perwira kapal semegah ini tak becus mengalahkan bocah ingusan seperti itu! Percuma kuangkat kau sebagai perwira di sini, tahu?!"

Plokk...!

Wajah lonjong bermata cekung itu hampir terlempar jauh karena tamparan kuat dari tangan Laksamana Cho Yung. Perwira Loyang kembali tundukkan kepala dengan menahan rasa panas pada pipinya.

"Lalu bagaimana dengan Bunga Bernyawa?!" sentak Laksamana Cho Yung dalam nada tanya.

Perwira Loyang menjawab, "Bunga Bernyawa terkapar pingsan, Tuan Laksamana!"

"Mengapa tak kau bawa pulang perempuan itu?"

Agak menggeragap Perwira Loyang menjawab, "Hmm... eh... anu... saya pikir, tugas saya hanya membawa pulang bayi Mayang Suri, bukan membawa pulang Nona Bunga Bernyawa, Tuan Laksamana!"

"Bodoh amat kau ini, hah?!"

Plokk...!

Kembali tamparan keras diterima Perwira Loyang pada pipi yang sama. Wajah kempotnya terasa mau lepas dari kepala. Perwira Loyang hanya kedip-kedipkan mata menahan rasa sakit di wajahnya. Jowala melirik sebentar, lalu tak berani melirik lagi karena Perwira Loyang juga meliriknya dengan rasa geram.

"Jadi Bunga Bernyawa bersama pemuda itu?"

"Betul, Tuan Laksamana!"

"Apa yang dilakukan pemuda itu terhadap Bunga?"

"Saya tidak tahu, Tuan Laksamana!"

Plokk...!

"Bodoh kau! Seharusnya kau tahu, apakah pemuda itu menyentuh tubuh Bunga Bernyawa, atau dipeluknya, atau diciuminya atau bahkan diajak tidur!"

"Disentuhnya, saya lihat, Tuan Laksamana!"

"Dan kau diam saja?!"

"Saya... saya... saya menanyakan bayi itu lalu..."

Plokk...!

Pipi yang sama yang mendapat tamparan keras. Perwira Loyang sampai merasakan sesak napas tua-nya. Wajahnya terasa dibakar dengan nyala api yang sangat panas. Tapi lagi-lagi yang bisa dilakukannya hanya tunduk kepala dan tak berani menatap mata Laksamana Cho Yung yang berbadan agak gemuk itu.

"Dengar, Perwira Loyang...!" kata Laksamana Cho Yung menahan rasa panas di dadanya akibat cemburu mendengar Bunga Bernyawa disentuh-sentuh oleh lelaki lain. Lalu, lanjutnya dalam suara geram yang tegas, "Kuperintahkan padamu, curi bayi itu dari Mayang Suri, lenyapkan Bunga Bernyawa, dan bunuh pemuda itu! Penggal kepalanya lalu bawa kemari kepala bocah ingusan itu! Mengerti?!"

"Mengerti, Tuan Laksamana!"

"Jika kau pulang tanpa membawa bayi Mayang Suri dan kepala anak muda itu, kuperintahkan agar kau menggantung dirimu sendiri di depan kapalku ini! Jelas?!"

"Jelas, Tuan Laksamana?!"

"Bawa beberapa orang untuk berjaga-jaga jika kalian kepergok Pawang Jenazah, habisi mereka sekalian! Jangan sisakan satu pun!"

"Baik, Tuan Laksamana!"

"Jalan!”

Plokkk...!

Satu tamparan sebagai ucapan selamat jalan diterima oleh Perwira Loyang. Tamparan keras itu juga sebagai ucapan selamat berjuang dan tunaikan tugas. Setiap kali akhir perintahnya, laksamana selalu memberikan tamparan keras kepada orang-orangnya. Karena itu, Perwira Loyang menganggap tamparan tersebut adalah belaian kasih sayang seorang atasan kepada bawahannya.

Mungkinkah hal itu membuat Jowala merasa iri? Tidak. Jowala tidak merasa iri. Baginya, lebih baik ia tidak mendapat belaian kasih sayang dari Laksamana Cho Yung, ketimbang harus tebal wajahnya karena sering dipakai bahan tamparan si orang bertangan besar itu. Lebih baik tak perlu mendapat ucapan selamat jalan atau selamat berjuang, daripada giginya rontok lagi seperti tempo hari, Ketika Jowala mendapat ucapan selamat jalan dari sang laksamana.

Tugas mencuri bayi sekarang ada di tangan Perwira Loyang. Hanya orang-orang terpilih dan dipercaya yang mendapat tugas penting seperti itu, sehingga walaupun kulit pipinya memar merah, tapi Perwira Loyang merasa bangga dalam hatinya karena dipercaya mengemban tugas penting itu. Ia membawa sepuluh orang berkuda. Tapi yang terpilih akhirnya hanya tiga orang termasuk Jowala sendiri, sisanya ditinggalkan karena kurang bisa menunggang kuda. Mereka melaju menyusuri pantai menuju kaki bukit di mana ada desa yang menjadi tempat tinggal bayi anak mendiang Dewa Maut itu.

Empat orang berkuda itu tiba-tiba menghentikan langkah kuda masing-masing ketika dilihatnya dari arah depan muncul lima orang berkuda. Lima orang itu adalah anak buah Pawang Jenazah yang memisahkan diri sejak Pawang Jenazah menemui Suto dan Bunga Bernyawa yang pingsan hari kemarin.

"Jowala, kau hadapi kelima orang itu bersama Rompa dan Gandra!"

"Itu soal mudah, Perwira Loyang! Asal jangan ada Pawang Jenazah!"

"O, jadi kau takut kepada Pawang Jenazah?"

"Bukan takut, tapi jijik! Aku tak bisa menyentuh kulit orang yang hidupnya bergaul akrab dengan mayat-mayat hidup itu! Jijik sekali!"

"Sudah jangan banyak dalih! Hadapi mereka dan habisi sekarang juga!" bentak Perwira Loyang dengan galak, ia memang selalu tampil galak jika di belakang Laksamana Cho Yung. Tapi jika ada di depan Laksamana Cho Yung, kegalakannya itu bagai lenyap tanpa bekas.

Sengaja Perwira Loyang mencari tempat teduh. Semilir angin dinikmatinya dengan santai sekali. Sementara matanya sesekali memandang ke arah kira-kira sepuluh tombak lebih, di mana terjadi pertarungan antara ketiga anak buahnya melawan lima orang anak buah Pawang Jenazah. Sesekali Perwira Loyang melepaskan tawa terkekeh-kekeh melihat lawannya dibuat berjungkir balik oleh Jowala atau Rompa.

Pedang dan golok anak buah Perwira Loyang berkelebat cepat dan memenggal beberapa kepala lawan. Yang sudah terlihat jelas menggelinding adalah dua kepala lawan. Kepala itu terpental saat dipenggal oleh pedang Gadra, menggelinding bagaikan bola dan berhenti tak jauh dari tempat Perwira Loyang yang tetap berada di atas punggung kuda.

"He he he he...! Kalau saja Pawang Jenazah melihat kepala itu, pasti dia akan lari terkencing-kencing menghindari seranganku! Dia belum pernah melihat kalau aku dan anak buahku sudah mengamuk, gunung pun tak mampu membendung amukan kami!" kata Perwira Loyang, bicara sendiri seperti orang gila.

"Ah, sayang sekali pedangku tak sempat kuambil! Pedang itu masih tertancap di pohon ketika aku menyerang anak muda itu! Brengsek! Siapa anak muda itu sebenarnya? Gatal tanganku ingin segera melawannya."

Derap kaki kuda mendekati Perwira Loyang. Tiga anak buahnya telah merampungkan tugas dengan cepat. Kelima orangnya Pawang Jenazah telah tak bernyawa semua.

"Perwira Loyang, keadaan sudah aman!"

"Mati semua?"

"Mati semua, Perwira!"

"Bagus! Mari kita lanjutkan langkah kita!"

"Arah mana yang lebih dulu kita tuju, Perwira?" tanya Gadra.

"Desa Karang Tunda! Kita curi bayi si Mayang Suri itu!" jawab Perwira Loyang. Jowala menyahut.

"Mengapa kita tidak cari pemuda yang membawa lari Nona Bunga Bernyawa dulu?"

"Kita tak tahu tempatnya secara pasti, Jowala!"

"Tapi Nona Bunga harus cepat diselamatkan dari tangan pemuda itu, sebelum pemuda itu sempat meniduri Nona Bunga, Perwira!"

"Kurasa hari ini pemuda itu sudah berhasil tiduri Nona Bunga!”

"Ya. Tapi mungkin baru satu atau dua kali!"

"Ah, lupakan dulu soal Bunga Bernyawa!" kata Perwira Loyang.

"Lebih baik kita pusatkan perhatian kita pada Desa Karang Tunda. Soal perempuan itu, soal kecil. Toh kita ditugaskan membunuh perempuan itu jika ketemu!"

"Justru itu sebelum kita bunuh kita manfaatkan dulu untuk menikmati kehangatan tubuhnya," kata Jowala. "Sudah lama aku sering mengincarnya, aku sangat berselera padanya. Tapi aku tak berani berbuat apa-apa karena dia masih jadi gundiknya Laksamana Cho Yung! Sekarang dia sudah seperti dibuang oleh laksamana. Rasa-rasanya sangat bodoh jika aku tak manfaatkan kesempatan emas ini untuk melampiaskan impianku selama ini, Perwira! Tidakkah kau sendiri punya gairah untuk menikmati kehangatan dan keindahan tubuh Nona Bunga, Perwira?"

"Aku sudah tak pernah punya gairah lagi kepada perempuan!"

"Ha ha ha ha...!" tawa Jowala yang segera diikuti oleh tawa Gadra dan Rompa. Tapi tiba-tiba tawa Rompa terhenti dengan satu sentakan suara tertahan.

"Huhhg...!"

Tubuh Rompa segera limbung dan jatuh terjungkal dari atas kuda. Cepat-cepat semua temannya memandang sekeliling, karena mereka melihat sekelebat pisau melayang dan menancap di dada kiri Rompa, tepat di bagian jantungnya. Mereka sudah berada di hutan, sehingga mereka segera menyusuri tiap pohon yang ada di sekelilingnya. Mereka juga pandangi bagian atas pohon untuk mencari penyerang gelap. Tapi sampai beberapa lama mereka tidak temukan di mana letak persembunyian penyerang gelap itu.

"Bangsat...! Keluar kau!" teriak Perwira Loyang dengan mata galaknya mulai menjadi liar dan buas. Gadra memeriksa mayat Rompa dan segera berkata, "Rompa mati, Perwira!"

Plokk...!

Tangan Perwira Loyang menampar keras mulut Gadra hingga orang itu mengerang kesakitan. Dengan geram Perwira Loyang ucapkan kata, "Jangan anggap aku orang bodoh, tahu?! Tanpa kau katakan begitu, aku sudah tahu kalau Rompa mati! Yang penting bukan mencari nyawa Rompa, tapi cari penyerang gelapnya!"

Gadra segera melesat pergi untuk mencari penyerang gelap, ia menerabas tiap semak-belukar untuk membuktikan kepada Perwira Loyang bahwa ia telah melakukan tugas mencari penyerang gelap itu. Jowala sendiri juga melesat pergi berpencar, mencari ke arah lain. Kini tinggal Perwira Loyang sendirian di dekat kuda-kuda yang mereka tambatkan secara asal-asalan itu.

"Di mana orang itu kira-kira?" pikir Perwira Loyang, "Tak mungkin pisau itu melayang sendiri tanpa ada yang melemparkannya! Hmm... sepi sekali hutan ini! Suara binatang pun tak kudengar sejak tadi. Jangan-jangan hutan ini angker?!"

Sambil berkata begitu bulu kuduk Perwira Loyang berdiri. Matanya jelalatan ke mana-mana dengan tegang. Gerakannya lebih sering merapat dekat kudanya. Di tengah sepinya suasana hutan itu, tiba-tiba terdengar suara jerit yang menggema,

"Aaaa...!"

Hati Perwira Loyang tersentak kaget. Jerit itu berasal dari tempat perginya Gadra. Perwira Loyang bergumam lirih, "Suara Gadra itu tadi! Ada apa dengan dia?" Kemudian, Perwira Loyang serukan suaranya, "Gadra...?! Ada apa di sana?! Kau baik-baik saja, bukan?!"

Tak ada jawaban yang terdengar. Sepi tetap sunyi, dan hati Perwira Loyang menjadi makin jengkel karena waswas, ia menggerutu sendiri dengan suara lepas. "Dasar orang bisu!"

Tanpa senjata apa pun, Perwira Loyang masih bersiap menunggu lawan di tempat. Badannya memutar ke sana-sini, takut ada serangan mendadak dari penyerang gelap, ia sempat melirik mayat Rompa, lalu timbul gagasan untuk mencabut pisau ukuran sejengkal dari dada mayat Rompa. Pisau itu akan digunakan untuk melempar atau menyerang siapa pun yang tahu-tahu menyerangnya dari belakang. Sunyinya hutan kembali dirobek oleh suara jeritan yang memanjang.

"Aaaa...!"

Dalam hati Perwira Loyang berkata dalam keluh. "Wah, itu suara Jowala! Apakah dia dalam bahaya? Oh, sebaiknya aku segera mencari Jowala ke arah kiri sana!"

Baru saja Perwira Loyang mau bergerak pergi tinggalkan tempat, tiba-tiba terdengar suara, krosak...! Ia berpaling ke belakang. Pisau hampir saja dilemparkan. Ternyata Gadra yang keluar dari rimbunan semak di sebelah kanannya itu. Gadra berdiri dengan mata memandang Perwira Loyang, membuat yang dipandang berseru membentak,

"Mengapa kupanggil tak menyahut, hah?! Sudah tuli dan bisukah kamu, Gadra?!"

Gadra diam saja. Perwira Loyang makin jengkel tak mendapat jawaban dari anak buahnya, ia segera menghampiri anak buahnya itu dan ditamparnya keras-keras.

Plokkk...!

"Lain kali kau harus jawab setiap seruanku, mengerti?!"

Tiba-tiba tubuh Gadra meliuk dan rubuh ke depan. Brukk...!

"Hah...?!" Perwira Loyang terbelalak kaget. Ternyata di punggung Gadra telah menancap sebuah pisau yang lebih besar dari pisau yang menancap di dada Rompa itu. Pisau yang bergagang besar wama hitam itu menancap hampir habis. Tinggal sisa sedikit bagian tajamnya yang terlihat di punggung Gadra.

"Jahanam! Rupanya anak ini telah mati sejak tadi!" geram Perwira Loyang dengan rasa sesal akibat tamparannya tadi, dan rasa jengkel akibat tindakan seseorang yang telah menewaskan Gadra.

Tubuh Gadra yang tengkurap dengan kepala miring, wajahnya tampak pucat dan matanya mendelik itu, akhirnya hanya dilangkahi oleh Perwira Loyang. Karena kejap berikutnya ia melihat Jowala muncul dari balik pohon, tempatnya pergi tadi. Jowala hanya berdiri dengan mata memandang Gadra tak berkedip, ia berdiri tak bergerak, sehingga Perwira Loyang semakin tegang dan cemas. Hatinya membatin,

"Yaah... mati juga Jowala akhirnya!” Perwira Loyang menghampiri Jowala dan dengan hati sedih ia berkata di depan orang itu, "Siapa yang membunuhmu? Katakan! Akan kubalaskan supaya arwahmu tidak penasaran di alam baka sana, Jowala! Siapa yang membunuhmu?"

"Tidak ada, Perwira!" jawab Jowala dengan datar dan lemas.

Perwira Loyang kerutkan dahi, lalu cepat meraih pundak Jowala dan memutar tubuh orang itu. Ia periksa bagian punggungnya, ternyata tak ada pisau menancap seperti tubuh Gadra tadi. Maka, Perwira Loyang bertanya tanpa sadar, "Tak ada pisau di punggungmu? Kapan kau mencabutnya?!"

"Aku tak tertancap pisau seperti Gadra, Perwira! Tapi aku berhasil membelah dada orang itu!"

"Orang itu siapa? Seperti apa ciri-cirinya? Kau mengenalnya?'

Jowala menjawab, "Siapa lagi jika bukan anak buahnya Pawang Jenazah, Perwira!"

Dan tiba-tiba dari arah belakang Perwira Loyang, dari tempat munculnya mayat Gadra tadi, muncul pula seorang bersenjata cangkul kecil. Orang itu segera melemparkan cangkulnya dalam gerakan berputar. Sambil melepaskan cangkulnya, ia juga melepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kirinya berupa sinar hijau melesat cepat.

"Awas!" seru Jowala seketika itu, tangannya segera singkirkan Perwira Loyang hingga orang itu jatuh ke samping. Jowala cepat kibaskan pedang besarnya untuk menangkis cangkul yang membahayakan itu.

Trakk...! Zrubb...!

"Aahg...!" Sinar hijau itu menghantam dada Jowala sekalipun ia berhasil menyingkirkan cangkul kecil itu. Sinar hijau membuat dada Jowala membiru seketika. Tapi pada saat itu, Jowala sempat kibaskan tangan kanannya dalam gerakan memutar dari belakang ke depan, dan pedang besarnya itu melesat cepat ke arah Cangkul Lahat.

Jrubb...!

"Nghh...!" Cangkul Lahat tak mampu berteriak. Pedang besar itu menancap di perutnya. Hampir separo bagian yang terbenam di perut. Dan hal itu membuat Cangkul Lahat tak sanggup berdiri lebih lama lagi. Ia pun rubuh dengan bersimbah darah dan mata tak berkedip walau sudah tak bernyawa seujung kukupun.

"Jowala! Lain kali kau tak boleh singkirkan aku begitu saja! Kau harus... harus...!" Perwira Loyang tak melanjutkan kata, karena ia melihat dada Jowala makin membiru, dan Jowala mendelik tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata ia telah mati dalam keadaan berdiri.

"Jowala...?" gumam Perwira Loyang pelan, penuh sesal dan kesedihan, ia tepuk-tepuk pipi orang itu. Jowala tetap tak mau bernapas lagi. Bahkan tepukan pelan itu membuat tubuh tak bernyawa itu jatuh berdebam seperti jatuhnya tubuh mayat Gadra tadi.

"Bangsat! Habis sudah anak buahku!" geram Perwira Loyang dengan darah makin mendidih dan murka siap terlepaskan. Tapi ia tak punya sasaran untuk melepaskan murkanya, sehingga hanya napasnya yang terengah-engah melawan nafsu amarahnya sendiri.

Tetapi, tiba-tiba ia melihat mayat Rompa pelan-pelan bangkit berdiri dengan mata membelalak putih. Mayat itu pun kini menjadi tegak. Perwira Loyang merasa lega, ternyata ada satu anak buahnya yang masih bisa diharapkan bantuannya.

"Rompa...! Oh, syukurlah kalau kau masih hidup!" Perwira Loyang mendekati Rompa. Tapi tiba-tiba tangan Rompa bergerak mencakar wajah lonjong berkumis turun itu. Crass...!

"Edan!" pekik Perwira Loyang. Untung ia cepat kibaskan tangan untuk menangkis cakaran tangan Rompa yang tiba-tiba, sehingga kulit lengannya koyak sedikit terkena cakaran itu.

"Gggrrr...!" Rompa menyeringai, menampakkan giginya dengan mengeluarkan suara geram keganasan. Matanya yang putih terasa lebih mengerikan dalam keadaan melangkah pelan, setindak demi setindak.

Mendadak, Perwira Loyang dikejutkan kembali dengan bangkitnya mayat Gadra. Pelan gerakannya, putih matanya, menyeringai, dan mengeluarkan geram dengan tangan sedikit terangkat, siap menerkam dan mencakar lawannya.

"Pasti ini pekerjaan si Pawang Jenazah! Bangkai busuk dia itu!"

Disusul kemudian bangkitnya mayat Jowala yang sama seramnya dan sama ganasnya dengan mayat Rompa dan Gandra. Kini, Perwira Loyang telah dikepung oleh mayat temannya sendiri. Ia menjadi tegang dan kebingungan menghadapinya.

* * *

ENAM
MAYANG Suri perempuan yang lugu, anak seorang kepala desa yang sudah almarhum. Dia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia perempuan yang punya ilmu, namun tak terlalu tinggi. Dia perempuan cantik berkulit hitam manis. Banyak pemuda desa yang terpikat oleh kecantikannya, tapi hanya bertepuk sebelah tangan.

Ketika desa itu diserang oleh perampok-perampok dari kulon, muncul seorang penolong yang sudah cukup banyak usianya tapi masih kelihatan awet muda. Penolong itu adalah Dewa Maut. Dalam pengelanaannya itulah, Dewa Maut terpikat oleh Mayang Suri, lalu mereka saling jatuh cinta dan menikah. Tapi hanya tiga bulan pernikahan itu berlangsung.

Ketika benih dalam kandungan Mayang Suri berubah menjadi janin, Dewa Maut pun mati dibunuh oleh seorang musuh lamanya. Pada saat benih itu berubah menjadi janin, saat itulah hilang semua ilmu yang dimiliki oleh Dewa Maut. Di sebuah rumah warisan orangtuanya, Mayang Suri tinggal bersama bayinya, juga tinggal bersama istri kakaknya yang belum mempunyai keturunan itu. Sekalipun Mayang Suri hidup sebagai janda, tapi kecantikannya masih mengundang selera banyak lelaki. Tak jarang Mayang Suri harus menghindari niat lelaki yang bermaksud mendekati dan mempersuntingnya.

Karena itu, kedatangan Pendekar Mabuk ke rumah Mayang Suri sempat dicurigai sebagai pria yang ingin memperistri Mayang Suri. Kedatangan Suto itu jadi bahan perhatian para tetangga dan jadi bahan kasak-kusuk di antara mereka. Kedatangan Suto bersama Bunga Bernyawa disambut oleh Sulasih, istri dari kakaknya Mayang Suri. Sulasih masih muda, sebaya dengan Mayang Suri. Sulasih tak berkedip saat pertama menerima kedatangan Suto. Matanya memandang kagum terhadap ketampanan dan daya tarik yang terpancar dari mata Pendekar Mabuk itu.

Dalam hatinya, Sulasih membantin, "Kalau Mayang Suri menolak lamaran pemuda tampan ini, sungguh bodoh otaknya! Dalam kurun waktu sepuluh tahun lagi, belum tentu Mayang bisa bertemu dengan pemuda setampan tamu yang satu ini!Dia sangat menawan dan mendebarkan hati. Kalau saja aku belum bersuami, tak menolak jika aku dilamar oleh pemuda ini! Oh, sungguh beruntung Mayang Suri bisa mendapatkan pemuda tampan sebagai pengganti suaminya. Jujur saja hatiku mengatakan, pemuda ini jauh lebih gagah, lebih tampan dan lebih mendebarkan hati dibanding Dewa Maut, bekas suami Mayang itu!"

Bunga Bernyawa merasa tak enak melihat Pendekar Mabuk dipandangi terus-menerus oleh Sulasih. Maka, dengan sedikit ketus Bunga Bernyawa segera ajukan pertanyaan kepada Sulasih, "Kami ingin bertemu dengan Mayang Suri! Jika dia ada tolong panggilkan, jika tidak ada tolong sebutkan kemana perginya!"

"Oh, hmmm... ya, ada! Mayang Suri ada di belakang. Dia sedang menyusui anaknya! Sebentar, saya panggilkan dia!" kata Sulasih, tapi matanya tidak memandang Bunga Bernyawa, melainkan menatap ke arah Suto Sinting, ia pun bergegas pergi dengan perasaan sayang meninggalkan Suto di serambi depan.

Sesampai di kamar Mayang Suri, Sulasih segera menceritakan ketampanan Pendekar Mabuk dengan sangat berapi-api dan tertawa-tawa penuh riang, ia katakan, "Tak rugi kau bersuamikan dia! Sudahlah, lekas temui pemuda itu. Dia datang bersama tabib yang kemarin hari datang ingin mengobati bayimu itu!"

"Tabib...?! Tabib cantik itu? Ah, aku curiga sama tabib itu!" kata Mayang Suri dengan dahi berkerut.

"Mengapa curiga?"

"Adakah seorang tabib secantik itu?"

"Dia tabib dari negeri Cina, tempat asal bekas suamimu itu!"

"Sekalipun dari negeri Cina, tapi aku sangsi dan curiga dengan tabib itu. Caranya memandangku, caranya memandangi bayiku ini, sepertinya dia punya maksud-maksud lain yang tersembunyi di balik kebaikannya! Perasaanku jadi tak enak."

"Kalau begitu, lupakanlah tentang tabib itu, curahkan perhatianmu pada pemuda tampan itu! Dia bukan hanya tampan, tapi kelihatannya berilmu tinggi juga, Mayang! Kuharap kau tidak menolaknya jika ia ingin melamarmu sebagal istrinya!"

"Ah, kau ini!" Mayang Suri menjadi tersipu malu sendiri. Tapi hatinya jadi berdebar-debar kendati ia belum melihat setampan apakah pemuda yang diceritakan kakak iparnya itu. Dengan mengenakan baju kebaya panjang warna hijau tua dan kain coklat muda, angkin warna kuning, Mayang Suri menemui tamunya di serambi depan. Seperti apa kata Sulasih, pemuda itu memang tampan menurut penilaian Mayang Suri. Tampan dan punya daya tarik yang menggetarkan hati. Lebih tampan dan lebih menarik dari bekas suaminya.

Tapi seperti apa kata Sulasih juga, pemuda itu datang bersama tabib cantik yang kemarin ingin membawa anaknya untuk diobati. Mayang Suri cemas saat matanya beradu pandang dengan Bunga Bernyawa, ia juga sedikit heran, mengapa sekarang tabib cantik itu datang tanpa diusung dengan tandu kehormatan?

"Mayang, aku datang lagi bersama... bersama seorang temanku ini yang bernama Suto, Pendekar Mabuk!" kata Bunga bernyawa.

"Anakku sudah sembuh. Panasnya sudah turun. Kurasa tak perlu seorang tabib lagi!" kata Mayang Suri sambil menggendong bayinya.

"Kedatangan kami bukan untuk melakukan pengobatan," kata Suto, "Kami datang untuk menolongmu dan bayi itu, Mayang Suri."

"Kami tidak butuh pertolongan kalian! Jadi sebaiknya kalian segera tinggalkan aku dan bayiku ini! Jangan ganggu kami lagi."

Bunga Bernyawa segera menyahut, "Ini demi keselamatanmu dan keselamatan bayimu, Mayang Suri!"

"Hmm... aku... aku merasa dalam keadaan baik-baik saja! Bayiku juga baik-baik saja! Tak ada yang perlu kalian perbuat untuk kami!"

"Kamu belum tahu yang sebenarnya. Bayimu dalam ancaman bahaya, Mayang Suri! Kami harus selamatkan bayimu!" kata Bunga Bernyawa lagi.

"Terima kasih! Tapi aku merasa masih mampu menyelamatkan bayiku!"

Suto segera menyahut dengan suara lembut, "Ada bahaya yang mengancam bayimu. Bahaya itu tidak kau ketahui datangnya, tapi aku dan Bunga Bernyawa tahu persis, bahwa bahaya itu mengancam keselamatan bayimu, Mayang Suri. Jadi, sebaiknya ikutlah kami pergi, tinggalkan rumah ini untuk bersembunyi di tempat yang aman untuk bayimu!"

Mayang Suri berdiri dan mundur mendekati pintu arah dalam, "Tidak! Aku tak mau pergi bersama kalian! Aku tak mau serahkan bayi ini!"

"Mayang Suri, percayalah...!" Pendekar Mabuk berdiri dan maju setindak. "Percayalah padaku, aku tidak akan mencelakai bayimu sedikit pun!"

"Tidak! Sebaiknya tinggalkan saja kami, dan kalian tak perlu datang lagi kemari!"

Dari arah luar halaman rumah itu terdengar seseorang berseru, "Mayang...! Ada apa ...?!"

Lelaki berpakaian biru tua itu bergegas mendekati Mayang Suri. Sulasih pun muncul dari dalam dengan perasaan heran melihat ketegangan tersebut. Lelaki yang menyandang golok di pinggang, berwajah kaku, keras, rambut ikal badan besar itu segera ajukan tanya kepada Pendekar Mabuk dengan sikap tidak bersahabat, "Siapa kau? Mau apa datang kemari?"

"Aku Suto, dan itu temanku, Bunga Bernyawa dari negeri Cina!"

"Apa perlumu kemari? Katakan!" bentak lelaki berbaju biru yang ternyata adalah kakak Mayang Suri bernama Wicaksono, suami Sulasih.

"Jangan kasar-kasar, Kang," bisik Sulasih dan terdengar di telinga Pendekar Mabuk.

"Kamu tak perlu ikut bicara!" kata Wicaksono kepada istrinya.

"Kulihat dia punya gelagat tak baik terhadap Mayang Suri!"

Mayang Suri segera berkata, "Mereka ingin membawa bayiku, Kang!"

"Apa...?! Ingin membawa bayimu?! Apa mereka pikir kita ini orang gila?! Seenaknya saja mau bawa pergi bayi ini?! Tidak! Aku tidak izinkan bayimu dibawa pergi oleh siapa pun!"

Suto berkata dengan sabar, "Bayi itu akan dicuri orang! Percayalah! Cepat atau lambat, akan ada orang datang mencuri bayi itu!"

"Kalianlah pencurinya!" bentak Wicaksono dengan mata melotot kepada Pendekar Mabuk. Sesekali memandang ke Bunga Bernyawa.

Bunga Bernyawa berkata dengan nada tersinggung, "Jangan menuduh kami begitu! Itu namanya kamu pancing bentrokan dengan kami!"

"Kalian yang memancing bentrokan! Kalian yang mencari-cari masalah!" sambil Wicaksono menuding-nuding Suto dan Bunga.

Bunga Bernyawa mulai panas hati melihat sikap Wicaksono. Suto tahu, Bunga Bernyawa menggeletakkan giginya dan ingin melepaskan pukulan kepada Wicaksono, tapi Pendekar Mabuk menggeleng kecil tak kentara. Hanya Bunga Bernyawa yang tahu gerakan geleng kepala yang berarti larangan untuk berbuat kasar.

"Keluar kalian dari rumahku ini! Keluar!" bentak Wicaksono semakin berani, ia bahkan mendorong-dorong Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk terdesak mundur.

"Jangan paksa aku bertindak kasar terhadap kalian! Keluar sana!" tambah Wicaksono. Mayang Suri dan Sulasih hanya pandangi tindakan Wicaksono dengan hati berdebar-debar.

"Kang Wicaksono, jangan kasar begitu terhadap tamu!" Sulasih akhirnya coba mengingatkan suaminya. Tapi sang suami tambah berang karena mulai ada unsur kecemburuan melihat sikap istrinya seperti membela Suto yang tampan itu.

"Terhadap tamu macam dia tak perlu kita bersikap sopan! Kalau kau mau ikut dia, keluarlah juga sana!"

"Bukan begitu, Kang!" Sulasih mulai takut.

"Wicaksono," kata Pendekar Mabuk kemudian. "Izinkan aku menjelaskan duduk perkaranya masalah bayi itu!"

"Aku tidak butuh penjelasan muslihatmu, Setan! Hiih...!"

Behgg...!

Pendekar Mabuk terpental keluar dari serambi dan jatuh di halaman karena pukulan telapak tangan Wicaksono. Pukulan itu menghentak kuat ke dada Suto dengan secara tiba-tiba. Tak sempat Suto menghindar dan menangkisnya, karena tidak menyangka Wicaksono akan melepaskan pukulan sekeras itu. Akibatnya, Pendekar Mabuk bagai terlempar dengan tubuh terbang, ia jatuh terduduk dipelataran. Wicaksono segera mengejar dengan bernafsu untuk menghajar tamunya.

Tapi Bunga Bernyawa segera melompat dan bersalto satu kali. Dalam kejap berikut ia sudah berada di arah kanan Wicaksono yang mau melepaskan tendangan ke arah Pendekar Mabuk. Bunga Bernyawa cepat berseru, "Jangan sekali lagi sentuh dia, Wicaksono!"

Berpaling cepat Wicaksono kepada Bunga Bernyawa. Wajahnya menampakkan geram kemarahan yang tertahan. Dengan garang ia berkata, "Kalau kalian tak mau aku bertindak kasar, cepatlah pergi dari rumahku ini! Sekarang juga, pergi kalian!"

Pendekar Mabuk bangkit dan tarik napas dalam-dalam untuk menahan kesabaran di dalam hatinya. Lalu, ia berkata, "Kau akan menyesal jika tak mau turuti saran kami. Wicaksono!"

"Persetan dengan saranmu! Hiaaat...!"

Wicaksono melepaskan pukulan jarak jauhnya walau sebenarnya jarak mereka hanya empat langkah. Tetapi sebelum tangannya berkelebat maju dalam satu sentakan, tubuh Bunga Bernyawa sudah lebih cepat bergerak menyerang. Satu lompatan ringan bertenaga berat dilakukan oleh Bunga Bernyawa. Tendangan kaki dalam lompatan itu tepat mengenai lengan Wicaksono. Tapi karena tendangan itu bertenaga berat maka tubuh Wicaksono pun terhempas ke samping dan terguling-guling.

Bukk...! Brukkk...!

Wicaksono semakin garang, ia cepat bangkit dan memandang angker kepada Bunga Bernyawa. Nona manis itu hanya sunggingkan senyum sinis dengan wajah angkuhnya, ia berdiri sigap dan siap menghadapi serangan dari Wicaksono. Sementara itu, Pendekar Mabuk tak mau mencegah Bunga Bernyawa, karena menurutnya Wicaksono memang perlu diberi pelajaran sedikit dari Bunga Bernyawa. Tak perlu dirinya sendiri yang turun tangan. Cukup Bunga Bernyawa saja sudah bisa bikin Wicaksono jera. Suto yakin, Wicaksono tak bisa mengungguli ilmu Bunga Bernyawa. Buktinya, ketika Wicaksono melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak sepuluh langkah, Bunga Bernyawa juga melepaskan pukulan jarak jauhnya sebagai tandingan pukulan Wicaksono.

"Heaaah...!" Bunga Bernyawa bertahan dalam posisi berdiri tegak dan kakinya sedikit merenggang, tangannya yang satu di depan dada keluarkan tenaga hingga sedikit bergetar. Sementara itu Wicaksono menggunakan kedua telapak tangannya untuk bertahan melawan tenaga jarak jauh yang terasa ingin mendorong tubuhnya dengan kuat. Tiba-tiba Wicaksono menyentak pendek kedua tangannya itu.

"Hiaat...!"

Wuttt...! Bunga Bernyawa nyaris terpelanting jika tak segera melepaskan pertahanannya dan ia melenting di udara sambil bersalto satu kali. Jika Bunga Bernyawa masih mempertahankan sikapnya maka ia akan terdorong keras ke belakang dan mungkin tubuhnya akan membentur tembok halaman yang berjarak lima langkah di belakangnya itu.

Suto sedikit terkejut melihat kekuatan Wicaksono. "Rupanya dia punya isi cukup lumayan!" pikir Pendekar Mabuk. "Dilihat dari sentakan tangannya yang pendek saja tapi bisa membuat Bunga Bernyawa hampir terpental, itu tandanya Wicaksono tak boleh dianggap ringan oleh Bunga Bernyawa. Kalau Bunga Bernyawa meremehkannya, Wicaksono bisa melukainya!"

Rupanya Bunga Bernyawa pun membatin demikian. Karena itu, Bunga Bernyawa mulai tak mau menganggap remeh Wicaksono dan lebih berhati-hati lagi.

"Jangan paksakan diri melawanku jika ilmumu baru seujung rambut, Nona! Kau bisa kubunuh dalam waktu sekejap!" seru Wicaksono.

"Majulah kalau memang kau mampu membunuhku!" tantang Bunga Bernyawa.

"Kurang ajar! Hiaaat...!"

Wicaksono berlari menyerang, Bunga Bernyawa pun berlari maju menyambut serangan lawan. Mereka sama- sama lompat dan melesat di udara. Keduanya saling adu pukulan dengan menggunakan kedua telapak tangan mereka. Blapp...! Benturan telapak tangan mereka timbulkan nyala api putih berpendar sekejap. Kemudian, Bunga Bernyawa terpental ke belakang dan Wicaksono pun demikian. Bunga Bernyawa bersalto balik dan mampu mendarat dengan tepat, sedangkan Wicaksono terlempar dengan hilang keseimbangan badan, ia jatuh membentur sebuah pohon dengan kerasnya, hingga dedaunan pohon berguncang dan sebagian ada yang rontok.

"Aaahg...!" Wicaksono sentakkan napas dan keluar darah dari mulutnya.

"Kaaang...!” seru Sulasih dengan tegang, ia segera lari mendapatkan suaminya dan menolongnya untuk berdiri.

Wicaksono sontakkan darah kembali dari mulutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi. Mayang Suri juga cemas. Sambil menggendong bayinya ia bergegas mendekati kakaknya.

Sementara itu Bunga Bernyawa dipandangi Pendekar Mabuk dengan tajam, seakan menerima teguran keras dari Suto. Bahkan ketika Suto mendekat terdengar suaranya berbisik, "Terlalu lepas kendali kau!"

"Aku jengkel sekali padanya!"

Terdengar Mayang Suri berseru dari tempat kakaknya yang lemas itu, "Kalian harus bertanggung jawab atas luka dalam Wicaksono!"

Pendekar Mabuk bergegas hampiri Mayang Suri. "Suruh minum tuak ini sedikit, luka dalamnya akan sembuh! Percayalah! Ini bukan racun!"

Bunga Bernyawa tambahkan kata, "Kalau kami bermaksud jahat, mudah sekali membunuh kakakmu sekarang juga. Tak perlu Suto kasih minum tuak untuk obat luka dalam itu!"

Wicaksono terpaksa meneguk sedikit tuak bumbung Pendekar Mabuk, karena ia tak tahan lagi merasakan panas di dalam dada dan perutnya yang seperti dibakar oleh semburan api lahar. Dan setelah ia teguk sedikit tuak itu, ia merasakan ada perubahan yang melegakan. Rasa panas seperti semburan api lahar itu menjadi dingin. Sekujur tubuhnya justru merasa segar dalam waktu yang amat singkat.

Suto segera berkata di depan Mayang Suri dan Wicaksono yang masih didampingi Sulasih, "Maafkan kami. Jika maksud baik kami dianggap jahat, kami akan pergi secepatnya. Tapi perlu kalian ketahui, bayi itu diincar oleh orang sesat bernama Laksamana Cho Yung. Dia adalah adik dari Dewa Maut!"

"Itu nama almarhum suamiku!" sahut Mayang Suri.

"Benar. Aku tahu hal itu. Tapi kau tak tahu kalau bayimu telah menjadi bayi sakti, karena semua ilmu Dewa Maut ada di dalam diri bayi itu. Dalam usia delapan tahun bayi itu bisa menumbangkan orang berilmu tinggi seperti Laksamana Cho Yung. Karena itu, Laksamana Cho Yung mengincar bayimu, dia ingin memiliki semua ilmu mendiang kakaknya, dan dia tak rela jika ilmu itu jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tangan keponakannya sendiri!"

"Dengan cara apa dia mau mengambil ilmu yang sudah menitis di dalam bayi itu?l" kata Wicaksono mulai mau mengerti keadaan sebenarnya, dan oleh Bunga Bernyawa dijawab,

"Bayi itu akan diambil hati dan jantungnya untuk dimakan Laksamana Cho Yung. Dengan begitu, semua ilmu milik Dewa Maut telah menyatu di dalam diri Laksamana Cho Yung."

"Jadi bayiku akan dibunuhnya untuk diambil jantung dan hatinya?" Mayang Suri menjadi tegang.

"Kalau kau tak percaya, tunggulah beberapa waktu lagi, pasti akan datang utusan dari Laksamana Cho Yung untuk mengambil bayimu, entah secara tipu muslihat atau secara paksa!" kata Suto, kemudian Bunga Bernyawa tambahkan kata,

"Utusan pertama adalah aku! Ingat, kemarin aku datang dengan menyamar sebagai tabib. Tapi hatiku tak tega melihat bayi itu harus kuserahkan kepada Laksamana Cho Yung. Maka kubatalkan niatku walau untuk itu aku harus pertaruhkan nyawaku sebagai gantinya!"

Pendekar Mabuk tambahkan kata juga, "Lalu, kami sepakat untuk menyelamatkan bayi itu dengan membawanya lari dari rumah ini! Bukan hanya bayi itu yang harus lari dan bersembunyi, tapi tentunya bersama ibunya juga. Bila perlu seluruh penghuni rumah ini mengungsi dulu untuk sementara! Aku akan tangani sendiri kekejian Laksamana Cho Yung itu!" ,

"Mengungsilah demi keselamatan kalian, toh hanya sementara! Jika keadaan sudah aman kembali, kalian bisa tinggal di rumah ini lagi!" sahut Bunga Bernyawa.

Suto pun kembali berkata, "Tapi jika kalian menolak uluran tangan kami, kami tak keberatan untuk tinggalkan kalian sekarang juga!"

Mayang Suri dan Wicaksono saling pandang dalam kebimbangan.

* * *

TUJUH
RUPANYA nama Laksamana Cho Yung sudah bukan nama asing lagi bagi telinga Wicaksono. Ia tahu, Laksamana Cho Yung sedang berurusan dengan Pawang Jenazah karena telah membunuh anak dan istri Pawang Jenazah. Wicaksono juga tahu, Laksamana Cho Yung orang berilmu tinggi yang sudah cukup lama berkelana di tanah Jawa tanpa tujuan yang jelas. Tapi Wicaksono tidak tahu bahwa Laksamana Cho Yung ternyata adik dari Dewa Maut, bekas iparnya itu.

Mendengar penjelasan dari Bunga Bernyawa dan Pendekar Mabuk, Wicaksono pun akhirnya putuskan untuk menyerang Laksamana Cho Yung. Mayang Suri disarankan untuk melarikan bayinya, bersembunyi di suatu tempat dalam penjagaan Suto dan Bunga Bernyawa. Tempat persembunyian sudah disepakati. Mayang Suri mempunyai kakek Eyang Juru Taman, yang tinggal di sebuah pegunungan bernama Pegunungan Mahagiri.

Eyang Juru Taman adalah adik dari kakek Mayang Suri. Menurut Wicaksono, tempat yang paling aman untuk sembunyikan bayi itu adalah di Pegunungan Mahagiri, karena tempat itu cukup jauh dari pantai, jauh dari jangkauan orang-orang rimba persilatan. Bahkan Sulasih pun disarankan untuk ikut mengungsi ke Pegunungan Mahagiri.

"Sebaiknya kau tak perlu temui Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi dan sangat mudah mencabut nyawa orang. Dia merasa dirinya seperti dewa, sehingga segala tindakannya dianggapnya benar!" kata Bunga Bernyawa kepada Wicaksono.

Tapi Wicaksono tak pernah gentar dan takut dengan kekuatan manusia mana pun juga. Wicaksono beranggapan, jika Laksamana Cho tidak segera dilenyapkan maka bayi Mayang Suri tetap akan menjadi incaran maut terus-menerus.

"Aku dengar kabar ada dua orang kuat di pihak Laksamana Cho, yaitu Perwira Loyang dan si Ular Setan! Hanya dua orang itu yang tergolong kuat, sisanya hanya cecunguk biasa yang hanya dengan dua-tiga jurus mudah ditumbangkan!" kata Wicaksono. "Dan aku sudah ukur kekuatan Perwira Loyang serta si Ular Setan! Aku merasa mampu menumbangkan mereka berdua! Bahkan untuk tumbangkan Laksamana Cho Yung, aku punya jurus simpanan tersendiri! Jadi kalian tidak perlu cemaskan diriku! Pergi dan bersembunyilah sebelum mereka menjamah bayi itu!"

Bayi itu akan menjadi orang sakti menurut pemikiran Wicaksono. Jika sampai bayi itu mati, Mayang Suri tak punya kekuatan apa pun dimasa tuanya nanti. Wicaksono berpikir sampai ke situ, sehingga dengan penuh semangat ia harus bisa membunuh Laksamana Cho Yung. Sebenarnya Wicaksono mempunyai tiga sahabat baik yang sering bantu membantu dalam beberapa hal. Mereka juga orang-orang berilmu tinggi. Tetapi dalam masalah ini, Wicaksono tidak mau melibatkan ketiga temannya itu.

ia merasa mampu bergerak sendiri untuk tandingi Laksamana Cho Yung. Seandainya dia harus mati, dia cukup bangga bisa mati demi membela nyawa keponakannya. Wicaksono sangat sayang kepada bayi Mayang Suri itu, karena sekian lama ia menikah dengan Sulasih tapi belum dikaruniai keturunan. Jadi bayi Mayang Suri itu sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri yang harus dibela dengan selembar nyawanya.

Wicaksono segera gunakan aji 'Bayu Gegana', yaitu ilmu yang bisa membuatnya bergerak secepat angin. Sasarannya adalah Pantai Gelagah, karena Wicaksono pernah melihat kapal besar bersandar di sana. Kapal itu mempunyai hiasan pada haluannya, yaitu seekor naga bermahkota. Menurut dugaan Wicaksono, kapal itu pasti milik Laksamana Cho Yung, karena punya ciri budaya Cina. Kapal itulah yang jadi sasaran utama Wicaksono. Dan dengan menggunakan aji 'Bayu Gegana' ia dapat menempuh waktu setengah hari untuk mencapai Pantai Gelagah.

Tetapi baru mencapai separo perjalanan, tiba-tiba ia terhenti karena melihat seorang penunggang kuda melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Dalam sekelebat pandang, Wicaksono dapat mengenali si penunggang kuda yang mengenakan pakaian biru berompi putih. Tak salah lagi dugaan Wicaksono, bahwa orang itu adalah Perwira Loyang. Dulu Wicaksono pernah bertemu dengan Perwira Loyang dalam bentrokan kecil di sebuah kedai. Tetapi Perwira Loyang tidak mau melayani tantangan Wicaksono, karena ia punya urusan penting yang harus diselesaikan.

"Barangkali aku harus mengawali dari sini," kata Wicaksono dalam hatinya. "Perwira Loyang harus kubunuh, selagi ia sendirian! Tapi, mengapa ia pacu kudanya begitu cepat? ia seperti dikejar setan yang membuatnya ketakutan. Hmmm... siapa orang yang mengejarnya itu? Tak tampak ada kuda di belakangnya!"

Perwira Loyang memang sedang melarikan diri. Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, ia akan habis dirajang oleh mayat teman-temannya sendiri. Mengalahkan mayat-mayat yang dibangkitkan dengan ilmu pembangkit mayat bukan hal yang mudah. Sebab mayat-mayat itu tak bisa dibunuh begitu saja. Satu-satunya cara terbaik adalah meloloskan diri dari serangan para mayat tersebut. Dan Perwira Loyang berhasil meloloskan diri, hingga walaupun sudah jauh dari maut ia masih memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.

Tetapi kuda itu tiba-tiba meringkik dan melonjak ke depan. Kedua kakinya diangkat naik dan mengais-ngais udara. Perwira Loyang hampir saja terlonjak dan terjungkal ke belakang kalau tidak kuat-kuat memegang tali kekang kudanya.

"Ada apa ini?! Mengapa kudaku jadi seperti ketakutan?!" pikir Perwira Loyang. Kuda itu melonjak-lonjak terus sambil meringkik panjang. Seakan kuda tersebut tak mau bergerak maju dan ingin menghindari sesuatu. Bahkan sesekali sang kuda melompat ke sana kemari tanpa tujuan, bagai orang yang menahan rasa sakit akibat terbakar api pantatnya. Perwira Loyang segera mengendalikan amukan kuda, ia berusaha mengatasi gerakan kuda yang menjadi liar itu dengan tetap bertahan duduk dipelananya.

"Hhrrr... hiah hiah hiah...! Ck ck ck...! Ck ckck...!"

"Iiieeehhkkk...!" Kuda makin meringkik keras dan panjang, ia melompat-lompat liar. Sentakannya sangat keras, sehingga Perwira Loyang hilang keseimbangan dan jatuh terjungkal dari atas punggung kuda.

Brukk..! Sedangkan sang kuda segera lari tinggalkan Perwira Loyang, melaju cepat ke tempat asal kedatangannya. "Monyet Kudis!" geram Perwira Loyang sambil bangkit dan membersihkan tanah yang melekat di pakaiannya. "Kenapa kuda itu lari terbirit-birit? Apakah di depan sana ada pasukan mayat yang dikendalikan oleh ilmunya si Pawang Jenazah?!"

Perwira Loyang tak tahu, bahwa di balik semak-belukar tak jauh dari depannya itu, Wicaksono bersembunyi rapat-rapat dan ingin mencelakakan lawannya. Wicaksono menggunakan sebatang ilalang yang direntangkan, lalu ditiup bagian tepian ilalang itu. Tiupan tersebut menimbulkan suara yang tak bisa tertangkap oleh pendengaran manusia, namun cukup jelas diterima pendengaran hewan. Tiupan itu menghadirkan suara melengking tinggi bagi kuda dan menusuk-nusuk gendang telinga hingga kuda tersebut merasa kesakitan.

Itulah sebabnya kuda tunggangan Perwira Loyang berjingkrak-jingkrak dengan liar, karena ia memberontak tak mau maju lebih ke depan lagi. Telinganya terasa sakit sekali jika semakin mendekati rimbunan semak di depannya.

Wicaksono tersenyum melihat kuda itu lari terbirit- birit. Bahkan beberapa burung yang ada di pepohonan sekitarnya juga beterbangan dan merasa sakit mendengar bunyi yang tak tertangkap telinga manusia itu. Wicaksono merasa menang dalam satu jurus, walau ilmu meniup tepian ilalang itu tidak membutuhkan tenaga dalam sedikit pun, kecuali hanya pengetahuan tentang getaran suara. Salah tiup pun tak akan hasilkan suara aneh bagi para binatang.

Perwira Loyang baru saja ingin melangkah tapi tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dari samping. Suara gemuruh itu membuat Perwira Loyang berpaling memandang, dan begitu mengetahui apa yang terjadi, ia segera melentingkan tubuh, melayang di udara dan bersalto ke belakang satu kali. Kakinya baru saja menapak di tanah namun sudah harus dljejakkan lagi, dan bersalto lagi ke belakang dengan gesit.

Brukkk...!

Sebuah pohon berbatang lurus, besar dan tinggi, tiba-tiba roboh melintang di depan Perwira Loyang. Kalau saja Perwira Loyang tidak cepat melentingkan tubuh ke udara dan bersalto dua kali, pasti tubuhnya akan gepeng tergencet batang pohon besar itu.

"Monyet Miskin!" seru Perwira Loyang dengan marahnya. "Siapa yang berani mengganggu perjalananku, hah?! Keluar dan tampakkan batang hidungmu!"

Kejap berikutnya, Perwira Loyang curiga pada rimbunan semak di seberang pohon tumbang itu. Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya dan terlepaslah pukulan tenaga dalam bersinar putih melesat cepat menghantam rimbunan semak itu.

Wuttt...! Crasss...! Brusss...!

Rimbunan semak itu terbakar dalam sekejap. Nyala apinya cepat padam dan kepulan asapnya cepat hilang. Tapi rimbunan semak itu menjadi hangus berdebu hitam tanpa ada ilalang yang tumbuh lagi. Pada saat sebelum sinar putih menghantam rimbunan semak, terlebih dulu sesosok tubuh melesat tinggi dan bersalto ke arah samping pohon tumbang.

Wutt...! Tubuh itu tahu-tahu bertengger di atas akar pohon yang terdongkel keluar dari tanahnya. Dan orang yang baru muncul itu segera memperdengarkan tawanya. Walau tak terbahak-bahak, namun memanjang dan berkesan menantang.

"Monyet Rabun! Rupanya kau yang mengganggu perjalananku?!" geram Perwira Loyang yang sudah mengenal Wicaksono. Ia segera teringat pertentangan dengan Wicaksono di dalam kedai beberapa waktu yang silam. "Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Wicaksono?! Apakah kau ingin melanjutkan persoalan di kedai beberapa waktu yang lalu?!"

"Ada persoalan lain yang perlu kuselesaikan!" kata Wicaksono dengan tetap bertolak pinggang. "Sebelumnya aku ingin tahu, ke mana arah tujuan pergimu, Perwira Loyang?!"

"Kepergianku tidak punya urusan denganmu, Wicaksono!"

"Mungkin aku bisa bantu kamu jika tahu arah dan tujuanmu! Seperti kau ketahui, aku tak segan-segan turun tangan membantu kesulitan orang jika ada upahnya!"

Perwira Loyang diam berpikir, "Kalau memang dia mengharapkan upah, tak ada jeleknya jika dia kusuruh membantuku dalam melakukan tugas dari laksamana. Aku sudah kehilangan anak buah. Aku perlu orang yang bisa menolongku, terutama untuk menghadapi Pawang Jenazah, sementara aku menculik bayi Mayang Suri. Aku butuh perisai untuk menahan gerakan Pawang Jenazah, setidaknya menghambat serangannya yang diarahkan kepadaku! Dan agaknya, Wicaksono punya ilmu lumayan tinggi, bisa kujadikan perisai sementara!"

"Tua Pikun...! Mengapa diam saja?!" seru Wicaksono.

"Berapa upah yang harus kubayarkan kepadamu, Wicaksono?!"

"Tergantung apa tugas yang harus kulakukan? Itulah sebabnya, sebutkan ke mana tujuanmu dan apa tugas yang ingin kau lakukan?"

"Aku ingin pergi ke rumah perempuan bernama Mayang Suri untuk mencuri bayinya! Kau kenal nama Mayang Suri?!"

Wicaksono mendidih darahnya seketika itu. Tapi ia berusaha untuk menahan luapan amarahnya untuk sesaat. Tangannya yang telah menggenggam kuat-kuat itu kembali dikendurkan. Lalu, dengan suara keras dan datar, Wicaksono berseru, "Aku sangat kenal dengan nama itu dan tahu persis di mana dia tinggal!"

"Bagus! Lalu, berapa upah yang kau minta?"

"Hanya sekeping nyawa!" jawab Wicaksono.

"Nyawa siapa?" Perwira Loyang kerutkan dahi.

"Nyawa siapa lagi kalau bukan nyawamu, Perwira Loyang!" geram Wicaksono, dan jawaban itu membuat Perwira Loyang terkesiap. Karena Perwira Loyang belum tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dariMayang Suri, maka ia merasa sangat heran mendengar jawaban tersebut.

"Apa maksudmu bicara begitu, Wicaksono!"

"Karena untuk mencuri bayi Mayang Suri, kau harus bisa melangkahi dulu mayatku!"

"Oh, rupanya Mayang Suri itu kekasihmu?!"

"Aku kakaknya! Aku paman dari bayi itu!"

"Heh heh heh heh...!" Perwira Loyang tertawa, merasa geli sendiri. Bagimana mungkin dia mengajak Wicaksono kerja sama untuk mencuri bayi Mayang Suri jika ternyata Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri alias paman dari bayi itu sendiri? Perwira Loyang menertawakan kebodohannya sendiri.

"Kalau begitu," kata Perwira Loyang, "Kaulah orang pertama yang harus kusingkirkan, Wicaksono!"

"Bukan aku orang pertama yang harus kau singkirkan, tapi akulah orang pertama yang akan singkirkan nyawamu dari raga! Hiaaat...!"

Wicaksono melepaskan serangan lebih dulu. Ia hantamkan pukulan jarak jauhnya dari atas batang pohon tumbang itu dengan satu sentakkan tangan kanannya yang berkelebat dari atas kepala kedepan.

Begggh...! Pukulan tanpa sinar itu tepat mengenai dada Perwira Loyang. Orang itu terjungkal ke belakang bagai semangka yang dilemparkan begitu saja. Sementara itu, Wicaksono terus mencecar dengan sentakkan tangan yang melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Perwira Loyang berulang kali gagal untuk bangkit dan balas menyerang, ia terguling-guling bagai bola yang dipermainkan anak kecil.

"Hiaaah...!" dalam kejap berikut, Perwira Loyang berhasil sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali dan hinggap di tempat kosong, bebas dari incaran Wicaksono.

"Wicaksono! Rupanya kau memang cari mampus dan perlu kulenyapkan sebelum kucuri keponakanmu itu!"

"Kau tak akan bisa temui keponakanku! Dia sudah berada di tempat yang aman! Kau tak akan bisa mencari Pegunungan Mahagiri, bahkan mencapai ke sana pun tak akan bisa, sebab Bunga Bernyawa dan Suto Sinting menjaga ketat bayi itu! Kau tak akan bisa kalahkan kedua penjaga tersebut, Perwira Loyang!"

"Bunga Bernyawa...?!" gumam Perwira Loyang. "Ternyata dia justru melindungi bayi itu! Keparat betul perempuan cantik itu!"

Wusss...! Tiba-tiba Wicaksono melepaskan jurus mautnya dari telapak kaki yang ditendangkan ke depan. Jurus maut itu berupa cahaya merah membara sebesar tampah yang melesat menghantam Perwira Loyang. Tetapi, Perwira Loyang hanya terkesiap sejenak, lalu cepat menghindarkan diri dan membuat cahaya merah besar itu menghantam pohon di belakang Perwira Loyang.

Dubb...! Wesss...!

Ternyata sinar merah besar itu tidak menghancurkan pohon tersebut, melainkan membalik mengejar Perwira Loyang, ia sempat menggeragap sebentar melihat sinar merah itu memantul balik ke arahnya. Maka, dengan cepat ia sentakkan dua jarinya ke depan, dan dari dua jari itu melesat sinar biru bagaikan tombak panjang. Sinar biru itu menghantam laju kecepatan terbang sinar merah besar itu.

Blarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Dua pohon rubuh seketika karena terhantam gelombang ledakan itu. Sementara tubuh Perwira Loyang masih tegar berdiri dan tubuh Wicaksono terlempar tiga tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula. Melihat lawannya jatuh terguling-guling, Perwira Loyang segera berseru, "Sekarang saatnya menghabisimu, Wicaksono! Hiaah...!"

Clappp...! Kedua tangan Perwira Loyang menyilang di dada lalu ditarik ke kanan-kiri bersamaan. Keluarlah sinar biru bagai meteor yang melesat dari mata kanannya. Sinar itu bergerak cepat dan menghantam tubuh Wicaksono yang baru saja bergegas untuk bangkit berdiri.

Blarrr...! Sinar biru dari mata yang mirip meteor jatuh itu menghantam telak tubuh Wicaksono, dan dalam seketika itu juga tubuh Wicaksono retak dari batas pertengahan kepala sampai ke bawah perutnya. Tubuh itu bagaikan ingin terbelah menjadi dua bagian. Seluruh isi perutnya tersembur keluar, dan Wicaksono pun menghembuskan napas terakhir dalam keadaan terkapar di tanah.

Tubuh mayat Wicaksono sangat mengerikan dilihat orang. Bahkan Perwira Loyang sendiri buru-buru palingkan wajah tak kuat pandangi tubuh yang terbelah itu. Ia segera tarik napas dan menahan rasa ingin muntah melihat isi perut Wicaksono berhamburan. Perwira Loyang merasa malu jika sampai dilihat orang dirinya muntah akibat jurus mautnya mengenai lawan.

"Aku harus cepat pergi ke Pegunungan Mahagiri! Ya. Seingatku tadi Wicaksono sebutkan Pegunungan Mahagiri sebagai tempat persembunyian Mayang Suri dan bayinya! Persetan dengan Bunga Bernyawa dan Suto, kuhajar habis mereka kalau menghalangiku, biar nasibnya seperti Wicaksono!"

Perwira Loyang bicara sendiri sambil tinggalkan tempat itu. Ia tak tahu ada orang yang mendengar kata-katanya tersebut. Orang itu berkerudung jubah hitam dariataskepalasampaikaki.Orang itu berwajah putih, tampan, dan membawa senjata El Maut, berupa tongkat berujung sabit panjang.

Kelebatan orang berjubah hitam sempat tertangkap oleh ekor mata Perwira Loyang. Karenanya Perwira Loyang cepat palingkan pandang ke arah kirinya. Di sana tadi ia seperti melihat kelebatan hitam. Tapi tiba- tiba dari sebelah kanannya muncul orang berpakaian hitam pula, bajunya tak berlengan, sabuknya merah, kepalanya gundul, tapi alisnya tebal. Siapa lagi kalau bukan si Pawang Jenazah yang rupanya sejak tadi sudah memperhatikan pertarungan Perwira Loyang dengan Wicaksono.

Pada saat Pawang Jenazah tiba di tempat pertarungan, keadaan Perwira Loyang sedang kebingungan menghadapi sinar merah dari Wicaksono tadi. Dari situlah Pawang Jenazah mengikuti pertarungan itu. Jadi ia tak sempat mengikuti tawar-tawaran upah antara Wicaksono dengan Perwira Loyang, sehingga Pawang Jenazah tak tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri.

Melihat kemunculan Pawang Jenazah, mata Perwira Loyang segera melirik kanan-kiri dan sekelilingnya. Ia takut tahu-tahu disergap pasukan mayat dari berbagai arah. Gerak mata takutnya itu ditertawakan oleh Pawang Jenazah.

"Ha ha ha ha...! Kali ini aku sengaja menghadangmu sendirian, Perwira Loyang! Tak perlu takut dengan pasukan mayatku! Belum saatnya aku kerahkan pasukan mayat untuk melawanmu! Karena membunuhmu tak perlu kerahkan pasukan mayat! Membunuhmu cukup dengan membalikkan tanganku sudah selesai! Aku sudah tak berminat mempermainkan nyalimu seperti di sana! Aku akan mencabut nyawamu sekarang juga."

"Ha ha ha ha...!"

"Tutup bacotmu, Setan Kubur!” bentak Perwira Loyang. "Apa kau ingin menerima nasib seperti Wicaksono, lawanku itu?!"

"Oh, mengerikan sekali! Aku takut! Hiii...!" Pawang Jenazah mengejek sambil tertawa.

Tapi tiba-tiba Perwira Loyang melepaskan pukulan jurus lain yang melesat dari punggung kedua telapak tangannya. Sinar hijau pendar-pendar berkelebat ke arah Pawang Jenazah. Wuttt...!

Tetapi Pawang Jenazah segera kibaskan tangannya dengan lemas. Dari kuku-kuku tangannya memancar asap bagaikan kabut putih menggumpal. Dan kabut itu menjadi perisai dirinya dari serangan sinar hijau. Kabut itu membungkus sepasang sinar hijau tepat di depan mata PawangJenazah. Rupanya ia tahu apa yang akan terjadi, sehingga ia cepat sentakkan kaki dan melesat menjauhi gumpalan kabut itu. Kejap berikut terdengar letupan kecil bagai teredam gumpalan asap tersebut.

Blabbb...! Rupanya sinar hijau itu pecah bersamaan, dan asap putih pun menyebar buyar, lalu hilang terbawa angin. Sementara itu, Perwira Loyang terbengong kecewa karena serangannya mudah dibekap dengan gumpalan kabut putih.

Pada saat ia terbengong itulah, Pawang Jenazah melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Perwira Loyang. Pukulan itu keluar dari tangan kanannya, berupa gelombang bercahaya merah melingkar-lingkar membungkus tubuh Perwira Loyang.

Zrrrub...!

"Aaagh...!" Perwira Loyang mengejang tubuhnya dan menggerinjal-gerinjal kelojotan. Ia bagai dikurung dalam kobaran api yang amat panas. Rambutnya menjadi rontok. Bahkan sebagian rambut menjadi susut, dan kepala mulai botak tak teratur. Kumis dan alisnya pun terbakar hangus, hilang sebagian. Tinggal sisanya yang memendek. Untung ia cepat bisa melepaskan diri dari kurungan sinar merah bergelombang-gelombang itu dengan sentakan tenaga dalam yang disalurkan lewat kakinya.

Tubuh itu melesat keluar dari kurungan sinar maut, dan berjungkir balik di tanah. Tapi sebagian tubuh sudah mulai melepuh. Melihat keadaannya cukup parah, Perwira Loyang merasa perlu selamatkan diri lebih dulu. Maka ia pun segera melesat lari dan meninggalkan Pawang Jenazah. Tetapi lawannya tak mau melepaskan dia begitu saja. Pawang Jenazah pun cepat mengejarnya.

* * *

DELAPAN
LAKSAMANA Cho Yung terbengong melihat Perwira Loyang datang menghadap dalam keadaan seperti tikus kebakaran. Wajahnya menjadi lucu karena rambutnya yang diplontos keriting dan berbau sangit. Kumisnya menjadi plontos, bahkan alisnya pun habis. Kulit tubuhnya hitam mengkilat bercampur warna merah matang.

"Apakah kau Perwira Loyang?!" ucap Laksamana Cho Yung dalam keraguan hati. Dan Perwira Loyang menjawab sambil tundukkan kepala.

"Benar, Tuan Laksamana! Sayalah Perwira Loyang!"

Plokk...! Bonyok sudah pipi Perwira Loyang mendapat tamparan Laksamana Cho Yung yang sudah seperti langganan itu.

Laksamana Cho Yung membentak, "Mengapa kau sampai seperti ini, hah?! Siapa yang membuatmu mirip kambing guling begini, hah?!"

"Pawang Jenazah, Tuanku!" Plokk...!

"Mengapa kau biarkan dia membuatmu sampai seperti ini? Bodoh! Seharusnya kau lawan dia dan jangan mau dibuat seperti babi panggang begini!" bentak Laksamana Cho Yung lagi.

Dongkol sekali hati Perwira Loyang mendengar ucapan seperti itu. Siapa orangnya yang mau dibuat seperti babi panggang jika bukan karena kalah ilmu? Sudah nasibnya seperti babi panggang, masih saja kena gampar seenaknya. Pipi yang sudah matang karena terbakar itu menjadi bonyok dan lembek.

"Sekarang di mana Pawang Jenazah itu?"

"Sedang menuju kemari, mengejar saya, Tuan Laksamana!"

"Mengapa kau izinkan, tolol!" Plokk...! Bentakan itu makin keras, demikian pula tamparan itu juga semakin keras.

Mata Perwira Loyang berkunang-kunang seketika itu juga. Tapi ia sempat ucapkan kata, "Saya... saya hanya mau kasih tahu kepada Tuan, bahwa Mayang Suri menyembunyikan bayinya di Pegunungan Mahagiri. Ia dijaga oleh Nona Bunga Bernyawa dan Suto, si pemuda yang menolong Bunga Bernyawa dari serbuan mayat-mayat di kuburan itu, Tuanku. Dan... dan..."

Brukk ! Perwira Loyang rubuh karena tak tahan lagi. Kepalanya semakin sakit, matanya kian buram, ia jatuh pingsan di depan Laksamana Cho Yung. Sialnya lagi, Laksamana Cho Yung justru menjadi geram dan mengangkat tubuh yang pingsan itu dengan cengkeraman tangan kirinya lalu berteriak membentak di depan wajah Perwira Loyang,

"Sudah tahu bayi itu dibawa lari ke sana, mengapa kau tak mengejarnya dan justru pulang ke kapal? Bodoh! Bodoh sekali kau!"

Plokkk...! Brukk!

Wajah pingsan itu makin bonyok. Makin pingsan juga nasib Perwira Loyang. Kalau saja ia tak pingsan maka ia akan terpekik keras karena tamparan yang paling keras yang terakhir diterimanya itu telahmembuat pipinya jadi terkelupas.

"Ular Setan...!" panggil Laksamana Cho Yung dengan berang.

Segera muncul dari ruang nakhoda seorang berpakaian kuning berhias sulaman benang merah bergambar seekor ular kobra. Orang itu membawa pedang besar yang tak bisa diselipkan di pinggang. Gagang pedangnya mempunyai kuncer-kuncer benang merah sutera. Orang itu berambut botak bagian depan, tapi bagian belakangnya panjang sampai melewati pundak. Alisnya tebal bagai mau menyambung antara yang kiri dengan yang kanan. Matanya liar dan dahinya selalu berkerut, giginya agak tonggos, sehingga ia tampak selalu cemberut. Dialah yang dijuluki oleh Laksamana Cho Yung sebagai si Ular Setan!

"Hadang serangan Pawang Jenazah yang sedang menuju kemari mengejar Perwira Loyang!" perintah Laksamana Cho dengan tegas.

"Baik!" jawab Ular Setan dengan pendek, karena memang ia termasuk orang yang tak suka banyak bicara. Tanpa menunggu perintah lagi ia segera melompat dari geladak dan pijakan kakinya ke pasir pantai dengan meniti tambang penambat kapal yang diikatkan di pohon kelapa yang ada di pantai. Pedang besarnya yang bermata lebar dengan ujung sedikit lengkung itu berkuatan terkena pantulan sinar matahari.

Tetapi baru saja Ular Setan pijakkan kakinya di pasir pantai, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh bagai puluhan kaki berlarian menuju ke arahnya, ia memandang ke belakang, ternyata benar dugaannya, ada puluhan kaki berlari menuju ke kapal berlayar tiga itu.

"Apa itu...?!" gumamnya dengan mata terkesiap. Semakin dikecilkan matanya semakin tajam ia memandang. Rombongan orang berpakaian compang-camping dengan rambut acak-acakan, bahkan ada yang bertubuh somplak sana-sini sedang bergegas bagai pasukan yang siap menyerbu. Ular Setan makin terkesiap setelah ia sadari bahwa puluhan orang yang berlari mendekati kapal itu adalah mayat-mayat yang berlumur tanah kuburan.

"Celakaaa...! Eh, bahayaaa...! Bahaya...!" Sejenak para awak kapal di sana saling bingung, saling tak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh Ular Setan. Mereka segera pandangi sekeliling, lalu melihat rombongan mayat sedang menuju ke arah kapal. Mereka segera serukan tanda bahaya, sehingga Laksamana Cho Yung keluar dari kamarnya dan ikut memandang ke arah pantai.

Dengan cepat ia serukan perintah, "Serang mereka! Lenyapkan!" Maka saling berebutan para awak kapal mencari senjatanya. Mereka turun dari geladak dan bergabung dengan Ular Setan.

Salah seorang dari mereka berseru, "Lihat...! Dari barat juga ada!" sambil orang itu menuding ke arah barat.

Ternyata dari arah sana datang juga serombongan mayat yang sudah dibangkitkan oleh ilmu pembangkit mayat. Mayat itu bukan hanya bisa bangkit dan berjalan, tapi sebagian besar ilmu yang dimiliki Pawang Jenazah disalurkan kepada mayat-mayat tersebut, sehingga para orang mati itu bisa memainkan jurus-jurus maut seperti layaknya orang berilmu tinggi. Padahal di antara mereka ada pula yang masih bocah, yang perempuan, dan yang sudah menjadi nenek pikun. Begitu bangkit langsung menjadi liar dan ganas, mampu memainkan jurus silat berilmu tinggi.

Pertarungan antara para mayat dengan para awak kapal terjadi dengan sengitnya. Ular Setan berhasil tetaskan pedangnya beberapa kali ke leher para mayat. Banyak yang terpenggal kepalanya, tapi masih bisa hidup dan menyerang dengan gigih. Mereka saling mengerang dan seringaikan wajahnya hingga suara hiruk-pikuk memenuhi sekitar kapal mirip sekali dengan keramaian suasana di pasar.

Suara riuh itu diselingi jerit dan pekik dari anak buah Laksamana Cho Yung yang mati diterkam mayat. Satu orang dipakai rebutan lima atau enam mayat. Tubuh mereka dicabik-cabik habis tanpa peduli apakah tubuh itu sudah mati lebih dulu ataubelum. Sebagian pasukan mayat itu memanjat ke kapal melalui tambang pengikat, atau ada yang menggunakan ilmu peringan tubuh dengan sekali sentak sudah bisa melayang dan hinggap di tepian geladak. Mereka menyerang masuk ke kamar-kamar dan memporak-porandakan keadaan di atas kapal itu.

Laksamana Cho Yung ikut menyerang para mayat dengan pedangnya yang sering pancarkan sinar hijau itu. Tapi semakin banyak yang dipenggal, semakin bertambah jumlah penyerangnya. Karena kepala yang dipenggal bisa melayang sendiri dan tubuh tanpa kepala bisa menyerang sendiri. Tangan yang terpotong putus pun bisa bergerak menyerang lawannya dengan liar.

Tubuh Perwira Loyang yang saat itu masih jatuh pingsan di geladak menjadi sasaran empuk bagi para mayat rakus. Tubuh Perwira Loyang habis dikoyak-koyaknya, hingga tak lagi berbentuk jasad manusia tanpa nyawa. Lebih mirip seonggok daging busuk yang mengerikan.

Melihat banyaknya jumlah mayat dan keganasannya yang mengerikan, Laksamana Cho Yung segera menyingkir dari kapal dan berlari ke pantai. Tapi di pantai pun ia dihadang oleh tujuh mayat, satu di antaranya sudah tidak berkepala lagi. Laksamana Cho Yung terpaksa menghadapi mereka untuk buka jalan. Sementara itu, Ular Setan pun tampak masih gigih menghadapi mayat-mayat yang mengeroyoknya tanpa ampun lagi itu. Pedangnya berkelebat ke sana-sini, malah kadang-kadang hampir membabat kakinya sendiri karena simpang-siur gerakan pedang.

"Ular Setan...! Cepat lari...!" teriak Laksamana Cho Yung ketika melihat kapalnya digulingkan oleh mayat-mayat yang semakin banyak menyerang ke arah kapal itu. Kapal besar tersebut seperti kotak tempat wayang kulit, yang dapat dengan mudah dijungkir-balikkan.

Brakkk...! Brrrusss...! Krakkk...!

Serangan tak tanggung-tanggung itu membuat Laksamana Cho Yung merasa perlu melarikan diri. Apalagi dari sekian banyak orang, hanya dia dan Ular Setan yang masih bertahan hidup, sedangkan jumlah penyerang semakin bertambah saja rasanya, walau hanya berupa potongan tangan atau kepala. Jelas hal itu tidak mungkin mampu dibereskan hanya dengan dua orang saja.

Laksamana Cho Yung berlari cepat diikuti oleh si Ular Setan yang sudah terluka di bagian punggungnya. Tapi luka itu tak dihiraukan. Bahkan luka koyak di bagian kepala yang tidak ditumbuhi rambut itu pun dibiarkan saja, walaupun ada darah yang mengalir sampai ke sela-sela cuping hidungnya. Cukup jauh Laksamana Cho Yung melarikan diri tanpa berhenti, sementara Ular Setan sudah hampir kehabisan napasnya. Tapi karena patuh, ia tetap ikuti ke mana pun larinya Laksamana Cho Yung.

Mereka memang selamat dari serbuan mayat-mayat rakus yang bersikap ganas melebihi setan itu. Tapi mereka lupa bahwa pawangnya masih belum muncul dalam pertarungan di kapal. Orang yang memiliki ilmu pembangkit mayat seperti yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat dari Pulau Mayat itu, ternyata sengaja mengejar Laksamana Cho Yung dari arah lain. Sampai pada suatu tempat, di kaki sebuah bukit, Pawang Jenazah menghadang langkah Laksamana Cho Yung dengan sangat mengejutkan, ia muncul dari balik kerimbunan pohon bambu dan langsung melepaskan pukulan bersinar merah dari tangannya.

Wusss...! Sinar merah berbentuk percikan bintang besar itu melesat ke arah kepala Laksamana Cho Yung. Melihat kilatan sinar merah itu, Laksamana Cho Yung cepat merundukkan kepala lalu menggulingkan badan ke tanah.

Wuttt...! Sinar itu lolos dan dapat dihindari. Tapi Ular Setan yang mengikuti Laksamana Cho Yung dari belakang itu tak tahu adanya sinar yang melesat. Ketika ia mengetahuinya, sinar yang sudah ada di depan mata Ular Setan itu memang mengincar kepala si Ular Setan.

Blarrr...! Meledaklah sinar merah itu, karena meledak pula kepala Ular Setan hingga tinggal bagian tubuhnya saja. Tubuh itu masih bergerak-gerak membabatkan pedang besarnya ke sana-sini dengan ngawur. Lama-lama berhenti, dan rubuh tak bergerak lagi.

"Ular Setan...?!" pekik Laksamana Cho Yung dalam ketegangannya, ia mendelik melihat kepala Ular Setan menjadi serpihan kecil.

"Bodoh kau!" maki Laksamana Cho dengan menyesal sekali dan marah tak terlampiaskan. "Sudah tahu ada sinar merah mengapa tidak segera menundukkan kepala, Tolol! Kalau ke sini cuma mau mati, kenapa harus repot-repot ikut lari! Diam saja di kapal sana, kau juga akan mati sendiri dihancurkan mayat-mayat itu! Oh, Ular Bodoh...! Kenapa kau mati dengan sia-sia, hah?!"

Terdengar suara Pawang Jenazah menyahut dalam tawanya, "Kau pun akan mati dengan sia-sia, Laksamana Cho!"

Melihat lawannya berdiri dengan tegak dan tampakjumawa sekali, Laksamana Cho Yung segera bangkit dan menggeram sampai kepalanya gemetar. "Kematian ini harus kau tebus dengan nyawamu. Pawang Jenazah!"

"Aku sudah siap. Tapi apakah kau sudah siap juga. Laksamana?"

"Babi buntung kau! Sudah sejak dari dulu aku siap melawanmu!"

"Bagus! Berarti kematian istri dan anakku hampir selesai kutebus! Tak kuizinkan siapa pun orangmu hidup menikmati udara segar di permukaan bumi ini! Gundikmu pun akan kucari dan kulumat habis, seperti aku melumat daun sirih!"

"Hiaaat...!" Laksamana Cho Yung tebaskan pedang kedepan. Pedang itu keluarkan sinar merah menyebar dalam bentuk pipih. Sinar itu menghantam tubuh Pawang Jenazah.

Tetapi, tangan Pawang Jenazah lebih dulu berkelebat dan keluarkan kabut yang menggumpal. Kabut itu menerkam sinar merah dan terjadi letupan kecil, blaab...! Kemudian kabut menyebar pecah dan lenyap bersama angin. Sinar merah dari pedang itu pun tak kelihatan lagi.

"Jahanam...!" geram Laksamana Cho Yung melihat sinar merahnya bisa diredam dengan kabut. Maka, segera ia memutar-mutarkan pedangnya dengan cepat di samping kanan. Dan tiba-tiba pedang itu disentakkan keatas, lalu dari ujung pedang itu keluar sinar hijau melesat ke arah Pawang Jenazah.

Zlabbb...! Kilatan cahaya hijau begitu cepat. Pawang Jenazah tak sempat menangkis, ia hanya bisa menghindar dengan melayang bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya. Lompatan itu sedikit telat, karena sinar hijau tersebut membentur batu besar di belakang Pawang Janazah, batu itu pecah menjadi serpihan dan beberapa bagian melesat cepat menghantam betis dan paha Pawang Jenazah.

Jrusss...! Crapp...!

"Aaahg...!" Pawang Jenazah berguling di tanah dengan kesakitan. Rupanya sinar hijau dari pedang itu bisa membuat benda padat yang terkena sasaran menjadi pecah dan pecahannya pasti berbentuk runcing, dan masih mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup hebat. Terbukti, dua pecahan batu itu menjadi runcing dan menancap di paha dan betis Pawang Jenazah. Dua pecahan batu itu sepertinya telah mengandung kekuatan hawa panas yang membuat daging betis dan paha menjadi terbakar pada bagian lukanya. Hitam hangus seketika.

"Bangsat kau, Cho...!" geram Pawang Jenazah sambil menahan rasa sakitnya. Lalu, ia melepaskan pukulan bergelombang merah yang pernah membungkus tubuh Perwira Loyang. Pukulan itu dilepaskan dalam keadaan sedikit merebah di tanah.

Wuttts...! Laksamana Cho Yung segera sentakkan pedangnya ke depan seperti menusuk udara. Dan pedang itu keluarkan sinar merah juga yang berbentuk seperti api terbang’ Sinar merah itu menembus lingkaran sinar merah bergelombang. Akibatnya, timbul satu perpaduan keras antara dua tenaga dalam berkekuatan tinggi yang sama-sama meledak di pertengahan jarak.

Blarrr...!

Laksamana Cho Yung tersentak bagai terbarg ke belakang. Brasss...! Tubuhnya bagai dilemparkan dengan kasar ke arah rimbunan batang bambu. Empat batang bambu itu patah seketika terkena benturan tubuh Laksamana Cho Yung. Sedangkan Pawang Jenazah pun terpental jauh, berguling-guling sampai membentur gugusan batu cadas.

"Dia memang cukup tangguh," pikir Laksamana Cho Yung. "Ledakan tadi membuat dadaku terasa panas. Berbahaya kalau kugunakan untuk melawannya lagi. Aku harus cepat lari untuk temukan bayi itu! Aku harus segera makan jantung dan hati bayi itu, supaya ilmu Dewa Maut meresap dalam diriku dan bisa kupakai untuk kalahkan pawang bangsat itu!" Maka dengan cepat Laksamana Cho Yung tinggalkan tempat pertarungannya.

Terdengar suara Pawang Jenazah berseru, "Hoi...! Mau ke mana kau, Bajingan! Ke liang semut pun akan kukejar kau...!" Pawang Jenazah bergegas mengejarnya, tapi ia jatuh tersungkur karena rasa sakit di kaki kirinya sangat menyiksa. Sekali pun demikian, Pawang Jenazah tak mau menyerah, ia mencoba bangkit lagi dan berusaha mengejar Laksamana Cho Yung.

Namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang berpakaian hitam, berkerudung hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dengan bibir biru dan tepian mata hitam. Tampak masih muda namun berwajah dingin. Tanpa senyum sedikit pun. Ia menggenggam tongkat El Maut yang berujung sabit panjang melengkung.

Dialah orang yang diburu Pendekar Mabuk selama ini, yaitu, Siluman Tujuh Nyawa. Pawang Jenazah tak kenal orang itu, hanya pernah mendengar nama julukan tersebut disebutkan beberapa orang di kedai makan. Itulah sebabnya Pawang Jenazah kerutkan dahi saat berhadapan muka dengan orang paling keji di dunia itu.

"Jangan kejar dia sekarang!" kata Siluman Tujuh Nyawa. "Kau bisa temui dia, juga Bunga Bernyawa, si putri Cina yang cantik itu, juga Mayang Suri dan bayinya... mereka ada di Pegunungan Mahagiri! Di sana ada pula Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting! Bunuh Pendekar Mabuk itu, karena dia yang akan menjadi penghalangmu untuk melenyapkan Bunga Bernyawa. Aku akan membantumu, Pawang Jenazah!"

Tiba-tiba dari jari tangan Siluman Tujuh Nyawa keluarkan sinar putih menembus luka di kaki Pawang Jenazah. Kejap berikutnya luka itu menjadi kering, bahkan pulih seperti sediakala. Tak ada bekas dan tak ada sisa sakit sedikit pun. Pawang Jenazah terheran-heran.

* * *

SEMBILAN
PEGUNUNGAN Mahagiri mempunyai tebing-tebing curam, jurang yang dalam dan udara dingin yang membekukan darah. Perjalanan yang sudah ditempuh oleh rombongan Mayang Suri sudah memakan waktu tiga hari. Pesanggrahan Eyang Juru Taman tinggal separo hari lagi dari tempat istirahat mereka.

Pendekar Mabuk tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika bayi itu kubawa lebih dulu untuk mencapai pesanggrahan Eyang Juru Taman? Aku takut bayi itu menjadi sakit karena udara yang begini dingin!"

"Tidak. Bagaimanapun aku harus tetap bersama anakku," kata Mayang Suri. Ia mendekap anaknya yang dibungkus kain tebal.

"Kau masih curiga padaku, Mayang Suri?"

"Aku tidak curiga! Tapi sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi bayiku! Kalau dia mati, harus mati bersamaku!"

Bunga Bernyawa cepat ucapkan kata kepada Suto Sinting, "Sebaiknya memang bayi itu tetap ada dalam pelukan ibunya! Barangkali dia butuh minum sewaktu-waktu."

"Baiklah, aku mengerti! Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih tebal lagi! Udara sedingin ini bisa bikin dia mati membeku kalau tak dihangatkan!" kata Suto.

"Sebaiknya kita teruskan perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih ada sisa matahari!" kata Sulasih yang membawa kain pembungkus pakaian-pakaian bayi.

"Aku setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama beristirahat bisa bikin urat-urat kita kaku membeku!"

Maka, mereka pun kembali teruskan langkah menyusuri tebing. Tanpa diduga-duga, sebuah benda melesat dari arah belakang mereka. Sebatang ranting kering berukuran kecil menghantam punggung Mayang Suri. Deggg...!

"Ahhg...!" Mayang Suri tersentak dengan mulut ternganga dan mata terpejam merasakan sakit. Tubuhnya jadi limbung dan kakinya lemas, ia terkulai jatuh ke jurang di sebelah kirinya.

"Mayaaaang...!" teriak Sulasih dengan tegang.

Tubuh Mayang Suri terlihat jelas melayang dan tetap memeluk bayinya. Melihat hal itu, Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki lalu melompat ke jurang itu dengan gerakan cepat ia mendahului tubuh Mayang Suri dan bayinya, ia menghadang gerakan tubuh Mayang Suri yang melayang menerabas semak dedaunan.

Debbb...! Tubuh Mayang Suri tertahan tangan Pendekar Mabuk. Bayinya nyaris terlepas dari gendongan. Untung tangan Suto cepat meraih selimut bayi dan berhasil ditarik kembali ke gendongan Mayang Suri. Kini tubuh Mayang Suri dan bayinya ada dalam topangan kedua tangan Suto Sinting. Mayang Suri tampak mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi biru. Ini pertanda pukulan tenaga dalam beracun telah mengenainya. Pukulan beracun itu disalurkan melalui ranting kering yang mengenai punggung Mayang Suri.

Pendekar Mabuk menahan napasnya beberapa saat, ia hanya berdiri di atas sebatang ranting pohon hijau yang besarnya seukuran kelingking. Jika bukan dengan menggunakan ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sudah tentu ranting hijau kecil itu tak akan mampu menyangga tubuh Suto dan Mayang Suri bersama bayinya. Dengan satu sentakan kaki pelan, tubuh Suto sudah bisa melesat naik, dan kaki itu menjejak lagi sebatang dahan kecil, lalu tubuh makin naik lagi, akhirnya tiba di permukaan tebing. Jleggg...!

"Suto, oh... syukurlah! Syukurlah Mayang dan bayinya selamat!" kata Sulasih. "Oh, tapi mengapa wajahnya menjadi biru begini?"

"Dia terkena pukulan beracun!" kata Suto sambil berusaha meletakkan tubuh Mayang Suri, dan Sulasih cepat mengambil bayi yang menangis sejak berada dalam topangan tangan Suto tadi.

"Mana Bunga...?!" Suto mencari Bunga Bernyawa yang tak kelihatan di antara mereka.

Sulasih menjawab dengan tegang juga, "Bunga mengejar orang di balik gugusan tanah itu!"

"Orang siapa?"

"Entahlah! Sepertinya orang itu dari negeri Cina juga!"

"Laksamana Cho...?!" gumam Pendekar Mabuk, ia ingin cepat menyusul Bunga Bernyawa, tapi keadaan wajah Mayang Suri makin membiru. Maka, cepat-cepat ia membuka mulut perempuan hitam manis itu dan ia tuangkan tuak ke dalam mulut itu. Glek glek glek...! Tuak terminum oleh Mayang Suri.

"Jaga bayi itu dan Mayang, aku menyusul Bunga!" kata Suto kepada Sulasih. Ia merasa lega jika Mayang Suri sudah minum tuaknya, karena tuak itu adalah penangkal racun yang paling ampuh.

Benar dugaan Suto, Laksamana Cho Yung sedang berhadapan dengan Bunga Bernyawa. Tentunya orang itulah yang melemparkan ranting dan sengaja mencelakai Mayang Suri supaya ia bisa merebut bayinya dengan mudah. Dan jika bukan dengan ilmu tinggi, tak mungkin Laksamana Cho Yung bisa menyusul rombongan Mayang Suri hanya dalam waktu satu hari satu malam. Tentunya ilmu tinggi yang digunakan dapat mempercepat gerakan larinya tanpa harus menguras tenaga terlalu berlebihan.

Tapi agaknya Laksamana Cho Yung sudah membulatkan tekadnya untuk membunuh gundiknya itu. Bunga Bernyawa segera kirimkan jurus maut yang pernah membuat dinding kamar berlubang tanpa semburkan debu. Namun agaknya jurus maut itu masih bisa ditangkis oleh pedang laksamana dan membalik arah kepada Bunga Bernyawa sendiri.

Bahkan dalam jurus selanjutnya, Bunga Bernyawa terdesak dan terpental dalam keadaan keluarkan darah dari lubang hidung dan mulutnya. Laksamana Cho Yung segera pergunakan pedangnya untuk menebas leher Bunga Bernyawa. Tetapi tiba-tiba lelaki itu dikejutkan oleh melesatnya sinar hijau kecil yang menghantam pedangnya.

Trakkk...! Pedang itu patah menjadi dua bagian. Sinar hijau itu melesat dari jari tangan Pendekar Mabuk yang disentilkan dalam jarak delapan langkah. Mata Laksamana Cho tak berkedip memandang pedang pusakanya yang patah begitu saja. Geram kemarahannya begitu tinggi hingga wajahnya menjadi merah. Matanya membelalak tajam dan buas saat memandang Suto. Pada saat itu, Pendekar Mabuk dengan tenangnya menenggak tuak dalam bumbung beberapa teguk.

"Setan kumal!" geram Laksamana Cho Yung. "Jadi kaulah budak nafsu perempuan lacur itu, hah?!"

Suto Sinting tetap diam, hanya memandang dengan senyum tipis di bibirnya. Melihat sikap begitu, Laksamana Cho Yung semakin geram, darahnya bagaikan mendidih.

"Kalau kau mau awet hidup, jangan campuri urusanku!"

"Kalau kau sendiri mau awet hidup, jangan ganggu Bunga Bernyawa ataupun Mayang Suri dan bayinya!"

"Setan Kudis! Aku adalah paman dari bayi Mayang Suri!"

"Kau bukan paman, Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!"

"Rupanya kau bocah ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah?! Bagus! Dengan begitu aku tak segan-segan membunuhmu!"

"Apakah kau akan menyambung pedangmu lagi, Laksamana Cho?!" sindir Suto sambil sunggingkan senyum mengejek.

Laksamana Cho tak bisa tahan amarah lagi. Maka dengan cepat ia angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia sentakkan kedua tangan itu ke depan bagai mencakar udara secara bersamaan. Wrusss...! Percikan bintang-bintang hijau menebar dalam kecepatan laju mengarah kepada Pendekar Mabuk. Kecepatannya itu sangat tinggi, sehingga Suto hanya bisa menghindar dalam satu lompatan ke samping. Percikan bintang hijau itu melesat di depan Pendekar Mabuk, lalu bumbung tuaknya dihadangkan. Percikan bintang mengenai bumbung tuak. Zrriipp...!

Kali ini tenaga dalam yang berbentuk percikan bintang kecil-kecil itu menyerap masuk ke bumbung tersebut. Suto sendiri sepertinya sempat terkejut walau disembunyikan. Tak pernah ada pukulan bersinar yang bisa meresap menembus bumbung tuak. Biasanya memantul balik.

Sementara itu, Laksamana Cho Yung juga terheran-heran melihat pukulan mautnya terserap masuk ke dalam bumbung tuak bambu itu. Biasanya akan melenyapkan benda apa pun yang dihantamnya.

Terjadi getaran hebat di dalam bumbung tuak. Suara air mendidih bagai terjadi di dalam bumbung. Getaran itu membuat tangan Suto yang memeganginya ikut berguncang-guncang. Rasa penasaran membuat Suto akhirnya membuka tutup bumbung bambu itu dalam posisi dihadapkan ke arah Laksamana Cho.

Wosss...!

Ternyata dari dalam bumbung menyemburlah kobaran api yang cukup dahsyat. Kobaran api itu bukan hanya besar namun juga cepat. Api yang menyembur segera menerkam tubuh Laksamana Cho Yung. Orang itu tak sempat menghindar karena terperangah kaget mengetahui bumbung tuak menyemburkan api begitu besarnya, bisa untuk membakar hutan.

Akibatnya, tubuh Laksamana Cho terbakar seluruhnya. Mula-mula Laksamana Cho diam saja, bersemadi dan kerahkan hawa dingin dari dalam dirinya. Tapi api itu semakin lama bukan semakin padam, melainkan semakin besar. Pakaian Laksamana Cho mulai terbakar, demikian pula kumis dan rambutnya. Akhirnya Laksamana Cho Yung jejingkrakan dengan panik, ia berteriak-teriak sambil mengguling-gulingkan badan di semak dan rerumputan. Gulingan badan itu membuat api bertambah besar kobarannya.

"Aaa...! Woaaa! Huaaa...!" Laksamana Cho Yung berteriak-teriak dengan kelojotan. Badannya mulai menjadi hangus, semua pakaian dan rambut sudah habis terbakar. Kini ia bergelimpangan seperti mengenakan seragam hitam. Api masih terus membungkusnya sampai akhirnya tubuh itu tak bergerak lagi. Menjadi hangus seluruhnya, dan tetap dibungkus api. Sampai akhirnya tubuh Laksamana Cho Yung menjadi tinggal arang, api itu masih tetap membungkus mayat Laksamana Cho Yung.

"Api itu menjadi api abadi yang akan membungkus jasadnya sampai habis tak berbekas lagi," kata Suto kepada Bunga Bernyawa.

"Ilmumu memang gila-gilaan. Sinting!" kata Bunga Bernyawa sambil terbatuk-batuk.

Suto memandang kepucatan wajah Bunga Bernyawa, ia menjadi cemas. Cepat ia mengangkat dagu gadis itu dan memandangi dengan tajam, lalu ia ucapkan kata, "Kau terkena pukulan tinggi! Lekas minum tuakku ini!"

Pendekar Mabuk memeriksa bumbung tuaknya, ternyata masih berisi tuak separo bumbung. Tuak itu diminumnya dulu, karena takut beracun setelah dipakai merendam jurus pukulan laksamana tadi. Ternyata tuak itu tidak beracun, maka segera diminumkan kepada Bunga Bernyawa.

"Kita lanjutkan perjalanan, Bunga!"

"Bagaimana dengan Mayang Suri?"

"Dia aman bersama bayinya!"

Kemudian Suto dan Bunga Bernyawa bergegas ke tempat Sulasih dan Mayang Suri beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat ternyata di sana sudah ada Pawang Jenazah yang menggendong bayinya Mayang Suri. Sedangkan Sulasih dan Mayang Suri tertotok tak dapat bergerak sedikit pun kecuali hanya mencucurkan air mata. Bunga Bernyawa juga membelalakkan matanya dengan kaget. Bayi itu digendong oleh Pawang Jenazah dengan satu tangan, siap dilemparkan ke jurang. Tegang dan berdebar-debar hati Bunga Bernyawa. Suto pun sebenarnya juga merasa tegang, tapi ia bisa sembunyikan perasaannya dan tetap berpenampilan kalem.

"Hei, Cecunguk! Aku tahu kau melindungi perempuan itu! Kulihat kau sudah membunuh Laksamana Cho, dan itu adalah kelancangan yang paling kubenci!" kata Pawang Jenazah. "Kau telah membuat aku kecewa, karena nyawa Laksamana Cho Yung adalah milikku! Akulah yang berhak membunuhnya! Tapi kau telah menduluinya! Sekarang, serahkan perempuan itu, atau kulemparkan bayi ini kejurang?"

Bunga Bernyawa memandang Suto setelah sampai sekian lama Suto tidak kasih jawaban apa-apa. Suto bahkan menenggak tuaknya lagi sedikit. Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang Jenazah. Hal ini membuat Pawang Jenazah semakin garang.

"Kuhitung tiga kali kalau kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini kulemparkan ke jurang!" gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi masih tetap menangis memilukan hati.

"Untuk apa kau kehendaki perempuan ini?!" tanya Suto kalem.

"Dia harus mati juga, karena dia gundiknya Laksamana Cho!"

"Dia sudah bukan gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang kekejian Laksamana Cho Yung!"

"Aku tahu! Tapi saat Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku, perempuan itu masih menjadi istri gelapnya!"

"Apakah dia ikut andil membunuh anak dan istrimu?!"

"Memang tidak! Tapi dia adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan kubiarkan satu pun orangnya Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!"

"Kau tak adil, Pawang Jenazah!"

"Persetan dengan kesimpulan dan penilaianmu! Kumulai menghitung ancaman tadi. Satu...!"

Bunga Bernyawa menatap Pendekar Mabuk, lalu Ia bisikkan kata, "Biar kuhadapi dia! Yang penting selamatkan bayi itu!"

"Tenang. Sabar saja dan jangan panik. Aku akan segera melompat ke jurang pada saat ia lemparkan bayi itu!" bisik Suto Sinting.

Terdengar suara Pawang Jenazah tak sabar diri lagi, "Dua...!"

"Pawang Jenazah...!" kata Suto. "Kalaupun kuserahkan perempuan ini kepadamu, mana mungkin kau bisa membunuhnya?!"

Berdiri telinga Pawang Jenazah, merah daun telinga itu. "Kau pikir sulit membunuh perempuan itu?!"

"Kecuali ilmumu tinggi, tentu saja mudah membunuh Bunga Bernyawa! Tapi kupikir ilmumu tak sebanding dengan ilmu yang dimiliki putri kaisar ini!"

"Setan!" geram Pawang Jenazah. "Cecunguk ingusan macam kalian menganggap berilmu lebih tinggi dariku?!"

"Kalau memang kau berilmu tinggi, hadapilah perempuan ini dengan ksatria! Aku berani bertaruh nyawa, dua jurus saja nyawamu sudah melayang dan mungkin hinggap di nyawa seekor kambing gunung!"

"Bangsat! Sesumbarmu bikin dadaku mau jebol! Kulayani tantangan kalian!" bentak Pawang Jenazah.

Dan pada saat itu, Suto melepaskan sentilan 'Jari Guntur' yang mengarah di bawah ketiak lawan.

Debb...! Srekk...!

Terkunci sudah semua persendian Pawang Jenazah. Orang itu tak dapat menggerakkan anggota tubuhnya, kecuali hanya bisa berkedip-kedip dan bicara lewat gerakan mulutnya. "Bangsat! Kau telah totok aku rupanya!" geram Pawang Jenazah.

Tess, tess...! Suto membebaskan totokan pada tubuh Mayang Suri dan Sulasih. Kedua perempuan itu kembali bisa bergerak bebas. Mayang Suri segera merebut bayinya dari tangan Pawang Jenazah. Orang itu tak bisa berbuat banyak, tak bisa mempertahankan bayi itu, karena jarinya pun sulit digerakkan.

"Oh, anakku...!" Mayang Suri menangisi anaknya sambil memeluknya. Bayi itu menangis beberapa saat, lalu diam karena disusui oleh ibunya. Sambil menyusui bayinya ia dibawa pergi oleh Bunga Bernyawa dan Sulasih.

"Pergilah sampai ke pesanggrahan Eyang Juru Taman, biar aku yang menghadapi orang ini!" kata Pendekar Mabuk kepada Bunga Bernyawa.

Kemudian, Bunga Bernyawa pun membawa mereka meneruskan perjalanan setelah ia berbisik dalam harapan yang tak tertahan lagi, "Kau harus menyusulku ke sana! Jangan dustai aku!”

Suto hanya sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. Kemudian Bunga Bernyawa pun merasa lega. Cepat-cepat ia membawa Mayang Suri ke tempat tujuan. Sementara itu, Suto masih membiarkan Pawang Jenazah tertotok jalan darahnya dan tak bisa menggerakkan badannya sedikit pun. Pendekar Mabuk tenang-tenang saja sambil sesekali menenggak tuaknya.

Tapi di luar dugaan, ada seseorang yang melepaskan totokan itu dari jarak jauh. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dan membawa senjata El Maut. Siapa lagi jika bukan Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, dengan terlepasnya totokan itu, Pawang Jenazah merasa bebas bergerak, lalu melepaskan serangan mautnya ke arah Pendekar Mabuk. Suto sendiri jadi menggeragap taksiap.

Wusss...!

"Mampuslah kau seperti laksamana keparat itu!" sentak Pawang Jenazah. Cahaya merah bergelombang menyerang Pendekar Mabuk. Cahaya itu yang dipakai membungkus Perwira Loyang dan membuat orang itu jadi terbakar rambutnya. Kali ini akan digunakan membakar tubuh Suto, tetapi Pawang Jenazah tak tahu bahwa gerakan Pendekar Mabuk yang mirip orang mabuk itu merupakan jurus maut yang membahayakan lawan.

Bumbung tempat tuak berkelebat ke depan secara tak sengaja. Dan gelombang merah itu menghantam bumbung, lalu membalik menjadi lebih besar lagi. Pawang Jenazah terkejut dan terpaku di tempat melihat gerakan gelombang sinar merah membalik ke arahnya, bahkan kini membungkus dirinya sendiri dalam suara gemuruh seperti deru api terhembus angin.

"Aaah...! Aaah...! Bangsat...! Auuh...!" Pawang Jenazah kebingungan mengatasi gelombang panas yang melebihi lahar gunung berapi itu. Ia oleng ke sana-sini, sampai akhirnya tak sengaja kakinya tergelincir dan masuk ke jurang yang dalam itu. "Aaaa...!" Pawang Jenazah menjerit keras-keras, menggema memenuhi dinding tebing, makin lama semakin mengecil suaranya.

Wuttt...!

Sekelebat bayangan hitam terlihat Pendekar Mabuk melintas di belakangnya. Tongkat El Maut terlihat pula olehnya. Cepat ia berseru, "Durmala Sanca! Berhenti kau!"

Siluman Tujuh Nyawa tetap melesat pergi. Arahnya ke pesanggrahan. Pendekar Mabuk cemas, takut kalau-kalau bayi itu diculik dan direbut oleh Siluman Tujuh Nyawa. Bunga Bernyawa tak mungkin bisa menghadapi siluman itu. Karenanya, Suto pun segera menggunakan gerak siluman juga, yang bisa melesat pergi dengan cepat bagaikan angin badai.

Wesss...!

"Celaka! Jangan sampai aku terlambat tiba di samping Bunga!" pikir Pendekar Mabuk dalam pelariannya.

Rombongan Bunga Bernyawa belum tiba di pesanggrahan. Bahkan dari ketinggian tempat yang mereka lalui, mereka masih bisa melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Pawang Jenazah. Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang berkerudung hitam dan berwajah putih. Siluman Tujuh Nyawa sudah menghadang di depan Mayang Suri. Ia langsung berkata,

"Serahkan bayi itu padaku!"

Mendadak tubuhnya tersentak. Siluman Tujuh Nyawa terkena pukulan 'Guntur Perkasa' dari Pendekar Mabuk, ia terpental ke belakang dan tak sempat melepaskan pukulan balasan. Karena pada saat itu, Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus pukulan 'Manggala'-nya. Tetapi Siluman Tujuh Nyawa masih bisa menghindar, dan cepat melarikan diri bagaikan petir yang melesat pergi. Karena pukulan 'Guntur Perkasa' itu akan membuat tubuhnya cepat membusuk jika tidak segera terobati. Semakin banyak terkena angin semakin cepat tubuh itu menjadi busuk, itulah sebabnya Siluman Tujuh Nyawa merasa perlu menghilang lagi untuk sembuhkan lukanya yang mengancam jiwa itu.

"Suto, mau ke mana kau?!" teriak Bunga Bernyawa ketika Suto bergegas pergi mengejar Siluman Tujuh Nyawa.

"Aku harus kejar dia! Dia musuh utamaku!"

"Aku... aku bagaimana?!" Bunga Bernyawa berseru dalam kebingungannya.

Akhirnya Pendekar Mabuk menghampiri nona manis itu. Suto pandangi gadis itu, lalu berkata dengan lembut, "Untuk sementara, tinggallah bersama Mayang Suri. Jagalah dulu bayinya! Jangan ke mana-mana! Nanti aku datang lagi kepadamu!"

"Aku... aku ingin pulang ke negeriku!"

"Aku akan atur perjalanan pulangmu! Tapi aku harus kejar Siluman Tujuh Nyawa itu! Percayalah, aku akan jemput kamu nanti!"

Pendekar Mabuk terburu-buru pergi, karena takut kehilangan jejak musuhnya. Sementara itu, Bunga Bernyawa, Mayang Suri, dan Sulasih hanya geleng-gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum kebanggaan terhadap diri Pendekar Mabuk.

SELESAI