Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 115 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 115
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

DEMIKIANLAH, di saat Empu Sidikara berada di Padepokan Bajra Seta, maka tidak jemu-jemunya ia melihat kerja yang dilakukan oleh para cantrik di sela-sela latihan olah kanuragan. Jika para kesatria di Kesatrian Singasari harus juga menuntut pengetahuan tentang berbagai macam ilmu, termasuk ilmu bintang, kesusasteraan dan ilmu pemerintahan, maka para cantrik itu di samping mempelajari berbagai macam ilmu, namun mereka juga langsung melakukannya di lapangan. Mereka langsung turun dalam kerja sehingga apa yang mereka pelajari itu akan dapat diuji pelaksanaannya.

Namun, Empu Sidikara yang termasuk salah seorang guru di Kesatrian berkata di dalam hatinya, “Tetapi kebutuhan dari para kesatria itu memang jauh berbeda dari kebutuhan para cantrik.”

Karena itu, maka ia pun menyadari, apa yang dapat ditrapkan di Padepokan Bajra Seta, belum tentu dapat ditrapkan di Kesatrian. Dan hal ini agaknya juga disadari oleh Mahisa Pukat, sehingga jika ia mulai melakukan perubahan-perubahan, maka ia harus menilai setiap rencananya, apakah hal itu sesuai dengan kebutuhan para kesatria Singasari. Bahkan Mahisa Pukat pun harus mempertimbangkan kepentingan orang-orang, lain yang memberikan tuntunan tentang berbagai macam ilmu selain olah kanuragan bagi para kesatria itu.

Tetapi Empu Sidikara memang tidak terlalu lama berada di Padepokan Bajra Seta. Ketika mereka sudah bermalam dua malam, maka Mahendra merencanakan untuk kembali di keesokan harinya.

“Jadi ayah tinggal bermalam satu malam lagi?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku harus segera berada di Singasari lagi, Murti. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Bukankah aku tidak mempunyai lagi siapa-siapa yang dapat aku ajak berbincang selain Mahisa Pukat sendiri?” berkata Mahendra.

“Tidak. Ayah tentu mempunyai kawan untuk berbincang. Bukankah Empu Sidikara dapat membantu ayah?”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Empu Sidikara berada di Kasatrian.”

“Bukankah kesatrian juga berada dilingkungan istana?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Tetapi rumahku berada jauh di halaman belakang” sahut Mahendra.

Empu Sidikara tertawa. Katanya, “Aku akan membantu kesibukan Ki Mahendra menjelang perkawinan puteranya. Aku akan dapat melakukan apa saja. Sebelum, di saat upacara pernikahan berlangsung dan sesudahnya.”

Mahendra dan Mahisa Murti pun tertawa pula. Di sela-sela suara tertawanya Mahendra berkata, “Terima kasih Empu. Aku memang mencari orang yang dapat melakukan apa saja.”

Meskipun mereka seakan-akan hanya sekedar berkelakar, namun Empu Sidikara memang dengan sungguh-sungguh bersedia membantu kesibukan Mahendra sehubungan dengan pernikahan Mahisa Pukat.

Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Pukat pun mempersilahkan ayahnya dan Empu Sidikara untuk beristirahat, karena mereka akan bangun pagi-pagi benar dan selanjutnya kembali ke Singasari setelah beberapa hari beberapa di Padepokan Bajra Seta. Tetapi Mahendra dan Empu Sidikara memang tidak terbiasa tidur sebelum malam larut. Karena itu, maka mereka masih duduk-duduk di pendapa untuk beberapa lama.

Dalam pada itu, di luar padepokan, beberapa orang berkuda sedang memperhatikan Padepokan Bajra Seta dari kejauhan. Mereka melihat dinding yang cukup tinggi mengitari satu lingkungan yang cukup luas. Beberapa bangunan nampak membujur berjajar di dalam lingkungan dinding padepokan.

“Aku tidak mengira bahwa Padepokan Bajra Seta adalah padepokan yang besar” berkata seorang yang bertubuh sedang yang duduk di atas punggung kudanya di paling depan dari iring-iringan orang berkuda itu.

“Ya” jawab seorang yang bertubuh kekar yang berkuda di sebelahnya, “aku juga tidak membayangkan, bahwa padepokan Bajra Seta mempunyai lingkungan yang luas serta bangunan yang cukup banyak di dalamnya. Satu gambaran bahwa penghuni Padepokan itu cukup banyak pula.”

“Selain jumlahnya yang banyak, agaknya di Padepokan itu juga tinggal orang-orang berilmu tinggi. Yang sudah kita ketahui dua di antara mereka telah mampu mengejutkan kalian” berkata orang yang bertubuh sedang itu kemudian.

Kawannya yang bertubuh kekar itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Lalu, apakah kita tetap pada rencana kita mengambil orang yang aku katakan itu?”

Orang bertubuh sedang itu berpaling kepada seorang yang bertubuh kekurus-kurusan sambil berkata, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sendiri tidak mempunyai persoalan dengan orang itu. Tetapi jika kalian ingin tetap mengambilnya, maka kami akan melakukannya. Betapapun tinggi ilmu orang-orang padepokan ini, bagiku bukan masalah. Aku dan kedua orang kawanku akan dapat menyelesaikan mereka. Semuanya tergantung kepada kalian. Seandainya terjadi pertempuran, apakah kira-kira kalian dapat bertahan melawan isi padepokan ini?”

Orang yang bertubuh sedang itu termangu-mangu. Katanya, “Kami belum mengetahui kekuatan Padepokan Bajra Seta ini. Menurut pendapatku, padepokan ini tentu mempunyai kekuatan yang besar, sehingga kita perlu membuat pertimbangan sebaik-baiknya.”

“Sekarang harus kita nilai, apakah sikap orang yang mengaku orang Padepokan Bajra Seta itu sangat membahayakan kedudukan kita atau tidak?” bertanya orang yang kekurus-kurusan.

“Semuanya sudah aku ceriterakan” sahut orang bertubuh kekar, “mereka menganggap bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari perampokan.”

“Kau sudah mulai dengan langkah yang salah” berkata orang yang kekurus-kurusan itu, “kau merampok dengan mengatas-namakan diri orang Kediri.”

“Aku tidak merampok. Aku mengambil uang dari orang-orang kaya itu untuk aku kumpulkan sebagaimana sudah pernah dilakukan oleh orang-orang yang berjuang lebih dahulu dari kita. Sudah berapa kali hal seperti itu kita lakukan. Hasilnya cukup baik. Kita mendapat banyak dana bagi perjuangan kita.”

“Itulah yang aku sebut sebagai satu kebodohan.” berkata orang yang kekurus-kurusan itu, “berapa kali cara itu dilakukan. Tetapi cara itu tidak pernah menghasilkan dukungan yang sebenarnya bagi perjuangan kita.”

“Jadi, bagaimana yang tidak bodoh menurut pendapatmu?” bertanya orang yang bertubuh sedang.

“Yang kalian lakukan justru menimbulkan kebencian pada perjuangan yang sedang kalian lakukan. Jika mereka menuduh kita tempuh selama ini memang tidak ubahnya dengan cara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok berandal, perampok atau penyamun.”

Orang yang bertubuh kekar itu pun mengerutkan dahinya. Sementara orang yang kekurus-kurusan itu berkata selanjutnya, “Kalian seharusnya tidak mengancam atau menakut-nakuti orang dengan mengatas-namakan perjuangan yang sebenarnya kita lakukan. Tetapi kalian dapat mengatakan apa saja. Bahkan menyebut dirinya perampok sekalipun. Sebaliknya jika kita justru memberi, setidak-tidaknya memberikan harapan kepada orang banyak bahwa masa depan adalah satu masa yang lebih baik dari masa yang sedang mereka jalani sekarang. Tetapi jika kalian datang dengan mengancam, menakut-nakuti dan merampok, maka orang banyak itu akan membenci kalian dan membenci perjuangan kita semuanya.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian orang bertubuh kekar itu berkata, “Kenapa baru sekarang kau berkata begitu, justru saat kita menghadapi Padepokan Bajra Seta yang kita nilai sebagai sebuah padepokan yang besar dan kuat?”

“Jadi kau menuduh bahwa pendapatku timbul karena aku takut menghadapi kekuatan yang ada di Padepokan Bajra Seta?”

Orang bertubuh kekar itu tidak menjawab. Ia memang tidak ingin membuat orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu marah, karena ia memang seorang yang berilmu tinggi.

“Jika kau mengira demikian, maka kau salah” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “sudah aku katakan, jika kalian berniat untuk mengambil dua orang yang mengaku dari Padepokan Bajra Seta ini, aku akan mengambilnya tanpa perasaan takut sama sekali. Tetapi menurut pendapatku, cara-cara yang kau tempuh selama ini adalah salah.”

“Jadi sebaiknya apakah yang harus kita lakukan?” bertanya orang yang bertubuh sedang.

“Kita harus berbuat sebaliknya. Padepokan yang besar seperti Padepokan Bajra Seta ini harus kita dekati. Jika mungkin kita mengajak mereka untuk membantu perjuangan kita. Kita yakinkan mereka, bahwa perjuangan yang kami lakukan akan sangat berarti bagi rakyat banyak. Terutama Kediri.”

“Tetapi Padepokan Bajra Seta tidak terletak di tlatah Kediri” berkata orang yang bertubuh kekar.

“Kita dapat memberikan harapan atas Padepokan ini. Kelak jika Kediri bangkit, maka Padepokan ini akan mendapat kedudukan khusus meskipun daerah Singasari yang lain akan mengalami bentuk yang berbeda dari kedudukannya sekarang.”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu mengangguk-angguk. Karena itu, orang yang bertubuh sedang, yang memimpin seluruh kelompok itu kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan mencoba. Tetapi apa yang mula-mula harus kita lakukan?”

“Kita memasuki Padepokan ini. Kita sengaja datang untuk membiarkan persoalan yang pernah terjadi. Tetapi kita tidak akan menuntut sama sekali. Kita justru akan minta maaf karena sikap dan tingkah laku kita. Terutama kesan perampokan yang terjadi.”

Orang yang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu berkata, “Kaulah orangnya yang harus minta maaf atas kelakuanmu bersama sekelompok orang pada waktu itu. Kemudian persoalan ini akan aku ambil alih. Kita semuanya yang akan minta maaf dan kemudian memberikan penjelasan, harapan dan janji.”

Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Namun orang bertubuh sedang yang memimpin sekelompok orang-orang berkuda itu bertanya, “Apa kau berkeberatan?”

Orang bertubuh kekar itu berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

“Tentu kau mempunyai pilihan lain” berkata pemimpin sekelompok orang berkuda itu, “jika kau tidak mau minta maaf, maka kita akan melakukan rencana kita semula. Kita akan mengambil kedua orang dari Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi sudah tentu kita tidak tahu apakah kita akan berhasil atau tidak. Apakah kita masing-masing masih akan dapat keluar. Mungkin aku dan beberapa orang akan dapat melepaskan diri jika kita terjepit. Tetapi orang-orang yang hanya besar mulutnya tidak akan dapat berbuat banyak. Mereka akan dibantai oleh para cantrik di Padepokan Bajra Seta.”

Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia bukan termasuk seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka katanya, “Aku akan minta maaf kepada orang-orang Bajra Seta.”

“Bagus” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “jika demikian, marilah. Kita mendekati gerbang Padepokan Bajra Seta.”

Demikianlah, maka sekelompok orang-orang berkuda itu pun langsung menuju ke pintu gerbang Padepokan Bajra Seta. Dua orang yang bertugas di panggung di sebelah pintu gerbang itu segera memberi isyarat kepada para cantrik yang ada di sebelah pintu gerbang itu. Dengan cepat, cantrik yang bertugas di sebelah pintu gerbang itu pun telah menyampaikan pesan itu kepada para cantrik yang bertugas di gardu di sebelah bangunan induk Padepokan Bajra Seta.

Beberapa orang cantrik pun dengan cepat telah berlari ke pintu gerbang. Sebagian dari mereka telah memanjat naik ke atas panggung, sedangkan yang lain bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Empu Sidikara. dan Mahendra pun terkejut mendengar laporan tentang sekelompok orang-orang berkuda yang datang itu. Karena itu, maka mereka pun segera pergi ke pintu gerbang dan naik ke panggung.

Orang-orang berkuda itu berhenti diluar pintu gerbang. Orang yang bertubuh sedang itu pun telah mengangkat tangannya agar para cantrik itu mengetahui bahwa kedatangan mereka tidak berniat buruk dan bermusuhan.

Mahisa Murti yang sudah berada di atas panggung di sebelah pintu gerbang itu pun segera bertanya, “Siapakah kalian?”

Orang yang bertubuh sedang itu pun menjawab, “Kami ingin berbicara dengan orang Padepokan Bajra Seta yang pernah bertemu dengan sekelompok kawan kami, namun agaknya telah terjadi salah paham.”

Mahendra dan Empu Sidikara berpandangan sejenak. Dengan nada berat Empu Sidikara berbisik, “Orang yang berkuda di belakang orang yang berbicara itulah yang kita temui sedang merampok uang itu.”

“Ya” Mahendra mengangguk-angguk, “mungkin orang itu menjadi dendam.”

“Baiklah. Biarlah aku yang menerimanya” berkata Empu Sidikara yang kemudian melangkah maju melekat bibir pagar di panggungan itu. Lalu katanya kepada orang-orang berkuda itu, “Aku mengerti siapakah yang kalian maksud. Apakah kalian berniat mempersoalkannya lagi?”

“Tidak Ki Sanak. Tetapi kami ingin bertemu dan berbicara.” berkata pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu.

Empu Sidikara pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti. Ia adalah pemimpin Padepokan itu. Karena itu, maka ia harus mendapat keputusan dari Mahisa Murti, apakah orang-orang itu diperkenankan masuk atau tidak. Jika tidak, maka ia akan menerima orang-orang itu diluar padepokan.

Namun Mahisa Murti yang tanggap itu pun berkata, “Biarlah mereka masuk Empu. Kita akan berbicara dengan mereka."

Namun sementara itu, maka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah bersiap. Meskipun mereka masih tersebar, namun jika terjadi sesuatu, maka mereka akan dengan cepat bergerak.

Ketika Mahisa Murti melihat Sambega ada di antara para cantrik dan berdiri di dekat Wantilan, maka ia pun segera teringat saat-saat saudara seperguruan Sambega yang sedang memburunya, sehingga ia harus ikut campur pula. Dengan isyarat, maka Mahisa Murti memerintahkan para cantrik yang ada di gerbang untuk membuka pintunya.

Demikian pintu terbuka, maka Mahisa Murti yang masih ada di panggungan itu pun berkata, “Silahkan masuk Ki Sanak. Kita akan dapat berbicara lebih baik.”

Sekelompok orang-orang berkuda itu pun kemudian telah memasuki pintu gerbang meskipun agak ragu. Demikian orang terakhir melewati pintu, maka pintu gerbang itu pun telah ditutup kembali.

Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Ketika mereka melihat isi Padepokan Bajra Seta, maka jantung mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Di halaman itu para cantrik dalam kelompok-kelompok kecil tersebar di beberapa tempat. Namun nampak betapa mereka bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Mahisa Murti, Empu Sidikara dan Mahendra pun telah turun pula dari atas panggung.

Suasana pun menjadi tegang. Orang-orang berkuda itu tidak dapat mengkesampingkan kenyataan yang mereka hadapi, bahwa Padepokan Bajra Seta memang sebuah padepokan yang besar dan kuat. Seandainya mereka ingin memaksakan kehendak mereka untuk mengambil orang-orang yang mereka maksud, mereka tentu akan menghadapi kesulitan. Meskipun ada di antara orang-orang berkuda itu orang-orang yang berilmu tinggi. Namun menghadapi kenyataan yang ada di Padepokan Seta, maka mereka harus berpikir ulang.

Orang yang bertubuh sedang dan beberapa orang yang berilmu tinggi di antara orang-orang berkuda itu pun telah menyerahkan kuda mereka kepada kawan-kawannya yang lain, sementara mereka melangkah beberapa langkah maju.

Mahisa Murti, Mahendra dan Empu Sidikara pun telah melangkah mendekati mereka pula. Dengan nada rendah Empu Sidikara bertanya kepada orang yang bertubuh kekar, “Kau cari kami berdua? Apakah kau masih merasa mempunyai persoalan dengan kami? Bukankah kami sama sekali tidak merampas uang hasil rampokanmu itu?”

Orang bertubuh kekar itu mengerutkan dahinya. Jantungnya serasa berdetak semakin cepat. Namun yang menjawab adalah orang yang kekurus-kurusan itu, “Tidak Ki Sanak. Seandainya kami masih mempunyai persoalan, sama sekali tidak ingin membuat kesalah-pahaman baru. Justru kami datang untuk menjernihkan kesalah-pahaman itu.”

“Apakah kalian bermaksud baik atau ingin menantang kami?” bertanya Empu Sidikara.

Orang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin menyadari, bahwa sulit untuk memaksakan kehendak mereka terhadap orang-orang padepokan itu. Untunglah bahwa mereka sudah memakai cara yang lain untuk melakukan pendekatan dengan seisi padepokan itu.

Dengan nada rendah orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu berdesis, “Kami bermaksud baik Ki Sanak. Justru kami ingin mohon maaf atas kesalahan yang pernah kami buat.”

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang mempersilahkan, “Jika demikian, marilah. Kita duduk di pendapa. Kita dapat berbicara dengan cara yang lebih baik.”

Orang-orang itu tidak menolak. Beberapa orang di antara mereka mengikuti Mahisa Murti, Mahendra dan Empu Sidikara naik ke pendapa untuk dapat berbicara dengan lebih baik. Sementara itu beberapa orang yang lain, masih tetap berdiri di halaman sambil memegangi kuda-kuda mereka, termasuk mereka yang naik ke pendapa.

Demikian orang-orang itu naik ke pendapa sementara yang lain masih berdiri di halaman, maka terjadi pula pergeseran kelompok-kelompok cantrik yang ada di halaman. Wantilan dan Sambega bergeser ke dekat pendapa, sementara kelompok yang lain berdiri semakin dekat dengan pintu regol yang tertutup. Beberapa orang cantrik masih tetap berada di panggungan. Sedangkan yang lain lagi berdiri di sudut bangunan induk Padepokan Bajra Seta.

Mahisa Semu pun kemudian telah melangkah mendekati orang-orang berkuda yang masih berada di halaman bersama dengan tiga orang cantrik. Dengan ramah Mahisa Semu bertanya kepada mereka, “Ki Sanak, kenapa Ki Sanak tidak ikut naik ke pendapa? Bukankah Ki Sanak dapat ikut berbincang, atau setidak-tidaknya dapat duduk di tempat yang lebih hangat.”

Orang-orang itu memang merasa agak canggung mendapat pertanyaan demikian. Sebenarnyalah mereka sedang berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Jika pembicaraan di antara mereka yang duduk di pendapa itu tidak menemukan titik temu atau bahkan bersiap untuk segera bertindak. Namun bagaimanapun juga mereka tidak dapat menutup mata, betapa para cantrik padepokan itu bersikap. Karena itu, maka seorang di antara mereka menjawab

“Terima kasih Ki Sanak. Biar kami di sini saja menjaga kuda-kuda kami”

“Kuda-kuda itu dapat diikat di patok-patok yang sudah kami sediakan di pinggir halaman itu Ki Sanak” berkata Mahisa Semu.

“Terima kasih. Biarlah kami di sini” jawab orang itu.

Namun Mahisa Semu masih berkata selanjutnya, “Tempat ini adalah tempat tertutup Ki Sanak. Tidak akan ada kemungkinan bahwa kuda-kuda itu akan melarikan diri apalagi hilang diambil orang.”

“Tentu. Tentu. Kami tahu itu Ki Sanak” jawab orang itu.

“Atau kalian sudah terbiasa terlalu berhati-hati menghadapi perkembangan persoalan?” bertanya Mahisa Semu pula.

Wajah orang itu menegang sejenak. Anak itu masih terlalu muda. Namun sikapnya nampak meyakinkan. Karena itu, maka orang-orang itu harus menahan diri. Seorang yang lain justru telah menyahut, “Ki Sanak. Kami tidak akan terlalu lama berada di sini. Karena itu biarlah kami menunggu di sini saja.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika itu yang Ki Sanak kehendaki, silahkan.”

Orang-orang itu tidak menjawab, sementara Mahisa Semu melangkah meninggalkan orang itu. Tetapi tidak terlalu jauh.

Di pendapa, orang yang kekurus-kurusan itu sebagaimana yang mereka sepakati sebelum mereka memasuki Padepokan itu, telah menyatakan penyesalannya atas perbuatan orang yang bertubuh kekar itu. Karena itu, muka ia pun kemudian berkata kepada orang yang bertubuh kekar itu, “Kau harus minta maaf”

Orang yang bertubuh kekar itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka betapapun beratnya, tetapi ia pun kemudian memandangi Empu Sidikara dan Mahendra berganti-ganti, “Kami mencari kalian untuk minta maaf”

“Kaulah yang mula-mula harus minta maaf” berkata pemimpin kelompok itu, “kau sudah melakukan perbuatan yang tercela sehingga menimbulkan kesalah-pahaman dengan orang-orang Padepokan Bajra Seta.”

Orang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku mohon maaf. Waktu itu kami, maksudku aku dan orang-orang yang bersamaku waktu itu, bukan kami yang datang sekarang ini, telah melakukan satu perbuatan yang justru merugikan nama baik kami sendiri.”

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa kau merasa bahwa tindakanmu itu telah merugikan nama baikmu sendiri?”

Orang bertubuh kekar itu pun kemudian berpaling kepada orang yang kekurus-kurusan itu sambil berkata, “Aku telah mendapat tegoran dari para pemimpinku.”

“Ki Sanak” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “Orang ini telah melakukan pemerasan dan bahkan perampokan dengan mengatas namakan perjuangan yang sedang kami lakukan. Mungkin maksudnya baik. Ia ingin dengan cepat dapat mengumpulkan bekal yang mendukung perjuangan kami. Tetapi caranya justru sangat tercela. Dengan demikian orang-orang terutama yang langsung menjadi korban, tidak akan mendukung perjuangan kami.”

“Apakah sebenarnya yang kalian perjuangkan?” bertanya Mahendra.

“Kami adalah sekelompok orang yang menyadari, betapa pincangnya pemerintahan Singasari sekarang ini. Terutama dalam hubungannya dengan Kediri. Karena itu, maka kami ingin mengembalikan keadaan seperti sebelum Tumapel merampas kekuasaan Kediri dan kemudian mendirikan Singasari.” jawab orang yang kekurus-kurusan itu.

“Jadi itukah yang kalian sebut sebagai satu perjuangan?” bertanya Empu Sidikara.

“Sebenarnya kami tidak sekedar berjuang untuk mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum Singasari berdiri. Tetapi kami juga ingin mengembalikan hak yang pernah dirampas oleh Singasari. Terutama hak yang luas dari padepokan-padepokan yang ada di Kediri. Seperti halnya Padepokan Bajra Seta yang besar ini, pada masa kejayaan Kediri, padepokan seperti ini akan mendapat dukungan sepenuhnya dari istana. Bahkan padepokan Bajra Seta tentu akan mendapat bantuan yang besar sehingga padepokan ini akan berkembang dengan pesatnya. Nah, Ki Sanak. Jika kekuasaan Kediri pulih kembali, maka aku berani menjamin bahwa Padepokan Bajra Seta akan dapat menjadi padepokan yang jauh lebih besar dari sekarang serta memiliki berbagai macam perlengkapan yang lebih memadai.” berkata pemimpin kelompok itu.

Tetapi orang itu terkejut ketika Mahendra bertanya, “Ki Sanak. Siapakah kau sebenarnya? Apakah kedudukanmu sehingga kau berani memberikan janji seperti itu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku adalah salah seorang Senopati dari pasukan Kediri yang sedang mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan itu?”

“Siapakah yang telah mengangkatmu? Sri Baginda di Kediri atau siapa?” desak Mahendra.

Namun orang itu masih menjawab, “Tidak. Tentu tidak. Tetapi Ki Sanak tidak perlu mengetahui, siapakah yang telah mengangkat aku menjadi Senapati. Namun yang jelas, aku mempunyai kekuasaan yang cukup besar sebagaimana seorang Senapati perang yang menguasai satu wilayah tertentu yang luas.”

“Dan wilayah kuasamu sampai ke lingkungan ini yang justru berada di luar wilayah Kediri?” bertanya Mahendra pula.

“Kuasaku meliputi daerah yang luas sekali. Mungkin orang menganggap bahwa daerah kuasaku berada di luar daerah Kediri. Tetapi tentu Kediri sekarang yang kau maksud.”

“Sudahlah Ki Sanak” berkata Mahendra, “lupakanlah itu. Sebaiknya kita tidak terlalu banyak berharap. Kami sudah puas dengan keadaan kami sekarang. Padepokan kami sudah bergerak maju dengan pesat menurut penilaian kami. Karena itu, biarlah kami berjalan sebagaimana sekarang.”

“Ki Sanak” berkata orang yang kekurus-kurusan itu, “mungkin para pemimpin padepokan ini sekarang berpijak pada sikap sebagaimana kau katakan. Tetapi kenyataan akan berubah di daerah ini. Kalian harus mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Langkah yang cepat yang diambil oleh para pemimpin di Kediri harus kalian perhitungkan.”

“Terima kasih atas perhatian kalian terhadap Padepokan Bajra Seta ini. Tetapi kami mohon maaf, bahwa kami tidak dapat berbuat apa-apa.” desis Mahendra.

Orang yang kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pikirkan untuk bekerja bersama kami Ki Sanak. Kami tidak akan minta sesuatu dari kalian. Tetapi kami ingin meyakinkan kalian bahwa masa depan kalian akan menjadi semakin cerah.”

Empu Sidikara lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami sudah puas dengan keadaan kami sekarang. Bukan berarti kami menolak kerja sama dengan siapapun juga. Tetapi tidak untuk tujuan sebagaimana kalian katakan.”

Pemimpin kelompok itu mengerutkan dahinya. Namun orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu masih berkata dengan nada rendah, “Ki Sanak. Kami hanya menawarkan kemungkinan-kemungkinan. Semuanya terserah kepada Ki Sanak. Mungkin saat ini kalian masih belum sempat memikirkan kesempatan yang terbuka di masa-masa yang akan datang bagi padepokan kalian. Namun kami tidak menutup kemungkinan bahwa pada suatu saat Ki Sanak akan menyediakan diri bekerja bersama kami. Tentu saja dengan syarat-syarat yang kita bicarakan bersama. Mungkin kalian mempunyai syarat-syarat tertentu untuk dapat menerima uluran tangan kami.”

Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Aku minta Ki Sanak melupakan kami. Anggap saja bahwa kami tidak pernah kalian kenal, karena kami tidak akan pernah dapat bekerja bersama siapapun dengan tujuan sebagaimana yang Ki Sanak katakan.”

“Baiklah” berkata, orang yang kekurus-kurusan itu, “kami tidak akan memaksakan kehendak kami. Kami pun menyadari bahwa hal itu sekarang tidak dapat kami lakukan. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa kami akan selalu membuka kesempatan kepada Padepokan Bajra Seta untuk bekerja bersama kami. Karena aku yakin, bahwa kalian pun akan melihat bahwa masa depan tanah ini adalah milik Kediri.”

“Terima kasih atas kesempatan yang terbuka itu Ki Sanak.” jawab Mahendra, “tetapi sekali lagi kami beritahukan, bahwa kami bukanlah sekelompok orang yang kalian maksudkan.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk. Sambil berpaling kepada pemimpin kelompok itu ia berkata, “Marilah. Kita tidak dapat memaksa seseorang untuk mempunyai dasar pertimbangan yang sama untuk menanggapi satu persoalan. Karena itu, maka kita harus menghormati sikap yang berbeda ini. Meskipun kita selalu berharap bahwa pada suatu saat, akan terjadi pendekatan di antara kita dan Padepokan Bajra Seta.”

Pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia menjawab, “Baiklah. Kita tinggalkan tempat ini. Tetapi kita sudah minta maaf atas langkah kami yang salah sehingga menimbulkan salah paham dengan Padepokan Bajra Seta.”

Orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang harus mengakui kenyataan yang mereka jumpai di Padepokan Bajra Seta. Ternyata padepokan itu terlalu kuat untuk dipaksa menuruti kehendak mereka. Mereka juga tidak akan dapat memaksa mengambil orang Padepokan Bajra Seta yang pernah berselisih dengan orang bertubuh kekar itu.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta itu telah minta Mahendra, Empu Sidikara dan Mahisa Murti mengantar mereka sampai ke regol halaman padepokan. Kawan-kawan mereka yang menunggu di halaman telah minta diri pula. Juga kepada Mahisa Semu yang mendekati mereka ketika mereka akan meninggalkan padepokan.

Di regol, para cantrik yang bertugas, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sementara para cantrik yang di atas panggung di sebelah-menyebelah gerbang tidak melihat kelompok-kelompok lain di luar padepokan. Demikian pula cantrik yang bertugas di sudut-sudut belakang padepokan tidak memberikan isyarat apa-apa sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, bahwa kelompok orang berkuda itu datang bersama kelompok-kelompok yang lain.

Sebenarnyalah bahwa kelompok itu memang tidak datang bersama kelompok yang lain. Ketika kemudian pintu dibuka, maka sekelompok orang berkuda itu pun segera keluar lewat pintu gerbang. Di luar pintu orang-orang itu berhenti sejenak. Beberapa orang sempat melambaikan tangannya kepada penghuni padepokan itu. Kemudian, sekelompok orang itu pun segera melarikan kuda mereka memasuki gelapnya malam. Sinar-sinar oncor di pintu gerbangpun kemudian tidak mampu lagi menggapai orang terakhir dari orang-orang berkuda itu.

Dalam pada itu, pintu gerbang Padepokan Bajra Seta itu pun segera ditutup. Sejenak kemudian, maka Mahendra, Empu Sidikara dan Mahisa Murti telah duduk pula di serambi. Ternyata kehadiran orang-orang berkuda itu sangat menarik untuk diperbincangkan.

“Apakah niat mereka sebenarnya datang ke padepokan ini” desis Mahendra, “tentu tidak sekedar minta maaf.”

“Memang sulit untuk ditebak” sahut Empu Sidikara, “tetapi mungkin mereka menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan dapat menimbulkan akibat buruk bagi kelompok itu sendiri, sebagaimana mereka katakan. Orang-orang yang menjadi korban tidak akan mendukung mereka dengan sepenuh hati. Padahal mereka memerlukan dukungan bukan hanya sekedar memberikan uang sebagaimana yang diminta.”

“Agaknya mereka ingin memancing kesediaan kita untuk membantu mereka” berkata Mahisa Murti, “mereka bukan saja memerlukan uang dan benda-benda berharga atau bahan makanan dan sebagainya, bahkan tenaga manusia sebagaimana pernah terjadi atas Kabuyutan Bumiagara.”

Mahendra mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murti berkata, “Nampaknya orang-orang yang pernah mengalami kegagalan itu tidak jemu-jemunya mencoba dan mencoba lagi.”

“Usaha mereka agaknya memang tidak akan pernah patah” desis Empu Sidikara.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu hal yang perlu mendapat perhatian dari Sri Maharaja. Bahkan secara khusus. Meskipun nampaknya hubungan antara Singasari dan Kediri berlangsung dengan baik, namun usaha-usaha sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang bangsawan, masih saja berlangsung. Berganti-ganti orang yang memimpin perlawanan terhadap kemapanan hubungan antara Singasari dan Kediri. Sampai saat-saat terakhir usaha itu memang selalu dapat digagalkan. Tetapi bukan berarti dapat diabaikan.”

Peristiwa malam itu ternyata telah mendorong Mahisa Murti untuk minta agar ayahnya dan Empu Sidikara untuk menunda keberangkatannya.

“Kenapa?” bertanya Mahendra.

“Tidak apa-apa ayah. Hanya sekedar untuk menenangkan perasaan. Jika ayah dan Empu Sidikara berangkat juga besok, maka aku akan merasa gelisah sampai aku sempat pergi ke Singasari untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi sesuatu pada ayah dan Empu di perjalanan ke Singasari.”

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah Ki Mahendra. Kita tentu tidak ingin membuat Angger Mahisa Murti selalu gelisah. Biarlah keberangkatan kita ditunda satu hari lagi.”

“Itu pun aku mohon agar tiga orang cantrik diperkenankan mengikuti perjalanan ayah dan Empu berdua ke Singasari. Mereka tidak akan mengawal ayah dan Empu. Tetapi sekedar memberikan ketenteraman dihatiku. Jika mereka kembali dua tiga hari lagi, maka mereka akan dapat mengatakan bahwa perjalanan ayah dan Empu selamat sampai di Singasari.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Terbersit perasaan bangga dihatinya atas kedua anaknya. Seperti juga Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun mencemaskannya karena ia sudah menjadi semakin tua. Namun kesadaran akan kecemasan anak-anaknya itulah yang membuatnya kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan menunda perjalananku kembali ke Singasari. Aku juga tidak berkeberatan jika kau mengirimkan tiga orang cantrik untuk pergi bersama kami ke Singasari.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga sebenarnya ia merasa cemas, bahwa ayahnya dan Empu Sidikara akan bertemu atau sengaja dicegat oleh orang-orang yang baru saja meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Meskipun mungkin mereka tidak tahu bahwa kedua orang yang pernah mereka temui diperjalanan itu akan menempuh perjalanan kembali ke Singasari.

Demikianlah, maka perjalanan Mahendra dan Empu Sidikara telah tertunda. Sementara itu, Mahisa Murti telah menunjuk tiga orang kepercayaannya untuk pergi bersama ayahnya dan Empu Sidikara kembali ke Singasari. Seorang di antara mereka adalah Wantilan. Sedang dua orang yang lain adalah dua orang cantrik terbaik di padepokan itu.

Tetapi orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta sama sekali tidak berniat mencegatnya. Mereka memang tidak tahu bahwa dua orang yang pernah berselisih paham dengan orang yang bertubuh kekar itu akan kembali ke Singasari. Apalagi orang-orang itu masih belum berputus-asa. Mereka masih akan mencoba untuk mendekat orang-orang padepokan itu. Sedikit demi sedikit tanpa menyakiti hati para pemimpinnya.

Tetapi ternyata bahwa cara itu tidak saja ditrapkan pada orang-orang Padepokan Bajra Seta. Orang yang kekurus-kurusan dan berilmu tinggi itu ternyata memiliki pikiran yang lebih jernih dari para pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. Jika mereka terbiasa melakukan kekerasan, maka orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu telah mendesak mereka untuk melakukan cara yang lain.

Dengan cermat orang itu mempelajari kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Kekerasan ternyata tidak banyak membawa hasil. Bahkan memancing kebencian dan jarak yang semakin jauh dengan orang-orang atau kelompok atau bahkan rakyat se Kabuyutan yang pernah menjadi korban. Mungkin cara itu akan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh orang-orang yang mendukung usaha untuk merubah tatanan hubungan antara Singasari Kediri itu tidak lagi mempergunakan cara yang keras dan kasar. Mereka mencoba membujuk, memberikan janji-janji dan harapan bagi banyak orang.

Dalam pada itu, Mahendra dan Empu Sidikara telah memperpanjang waktunya satu hari satu malam di Padepokan Bajra Seta. Baru di hari berikutnya, pagi-pagi benar Mahendra dan Empu Sidikara telah bersiap. Demikian pula tiga orang yang akan menyertainya pergi ke Singasari.

Menjelang fajar, maka lima orang berkuda telah siap untuk berangkat. Mahisa Murti melepaskan mereka di pintu gerbang Padepokan Bajra Seta. Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Murti melihat ayahnya yang sudah menjadi semakin tua duduk di punggung kudanya. Wajahnya, tubuhnya dan bahkan ketangkasannya sudah tidak lagi sebagaimana ayahnya beberapa tahun yang lalu. Meskipun sorot matanya serta wajahnya yang masih menunjukkan ketegaran jiwanya, namun wadagnya sudah semakin tidak mendukungnya lagi.

Tetapi Mahisa Murti tidak dapat mencegah ayahnya. Ia masih harus tetap memberikan keyakinan kepada ayahnya, bahwa hari-harinya masih tetap berarti. Bahwa ayahnya bukan seorang yang harus diletakkan di pintu sentong tengah sebagai hiasan saja.

Sebenarnyalah Mahendra sendiri merasa, bahwa belum waktunya baginya untuk menghabiskan sisa umurnya dengan duduk bertopang dagu di pringgitan. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahendra, Empu Sidikara dan ketiga orang yang menyertainya itu sudah berpacu menembus bulak-bulak persawahan. Mereka memacu kudanya semakin cepat. Perjalanan yang mereka tempuh adalah perjalanan yang panjang.

Ternyata apa yang dicemaskan oleh Mahisa Murti tidak terjadi. Tidak ada gangguan sama sekali diperjalanan. Juga saat mereka berhenti di kedai untuk beristirahat dan sekedar minum dan makan. Dengan demikian, maka perjalanan yang mereka tempuh lebih cepat dari perjalanan mereka saat mereka menuju ke Padepokan Bajra Seta, karena mereka terhenti beberapa saat diperjalanan untuk menyelesaikan persoalan yang disebut oleh orang-orang Kediri sebagai satu kesalah-pahaman.

Demikian Mahisa Pukat mendengar bahwa ayahnya datang, maka ia pun segera minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama untuk menemuinya.

“Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu telah datang?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

“Seorang Pelayan Dalam yang baru kembali telah melihat ayah dan Empu Sidikara pulang dari Padepokan Bajra Seta.” jawab Mahisa Pukat.

“Bukankah ayahmu tidak akan pergi lagi ke mana-mana?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran, ayah sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan panjang. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya ketika ayah berangkat. Karena itu, demikian ayah pulang, rasa-rasanya ingin segera mengetahui berita keselamatannya.”

Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya, “Baiklah. Pergilah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas ayahmu dan Empu Sidikara di perjalanan.”

Demikianlah maka Mahisa Pukat pun segera pulang ke rumah ayahnya. Meskipun rumah ayahnya juga berada di halaman istana, tetapi agak jauh menjorok ke belakang, sementara Kasatrian berada di arah samping istana Singasari. Ketika Mahisa Pukat naik ke tangga rumahnya, maka malam pun telah turun. Di pringgitan Mahisa Pukat melihat Wantilan dan dua orang cantrik padepokannya duduk bersama Empu Sidikara. Tubuh mereka masih basah oleh keringat. Sementara itu Mahendra sendiri masih berada di dalam.

Mahisa Pukat berada di rumah ayahnya sampai jauh malam. Banyak yang diceritakan oleh Mahendra dan Empu Sidikara, sementara pembantu di rumah Mahendra itu telah menghidangkan minuman dan makanan bahkan makan malam. Dalam kesempatan itu pula Mahendra telah mengatakan bahwa Mahisa Murti akan datang sepekan sebelum dan sesudah hari pernikahan Mahisa Pukat berlangsung.

“Kenapa hanya sepuluh hari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Sulit bagi Mahisa Murti untuk meninggalkan padepokan terlalu lama.” jawab Mahendra, “ia pun sudah berjanji bahwa Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan ikut serta bersamanya. Kecuali Wantilan. Ia harus tinggal untuk menunggui padepokan.”

Mahisa Pukat memandang Wantilan yang mengangguk-angguk. Katanya, “Paman dapat datang setelah Mahisa Murti kembali ke padepokan.”

Wantilan tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin menunggui pernikahanmu. Tetapi padepokan kita tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Meskipun ada orang lain yang dapat berbuat lebih baik dari padaku, namun rasa-rasanya aku ingin juga ikut menungguinya. Nah, setelah Mahisa Murti kembali ke padepokan, aku akan mempertimbangkannya.”

Demikianlah, maka baru lewat tengah malam Mahisa Pukat minta diri. Ia tahu bahwa ayahnya dan mereka yang baru datang dari padepokan itu perlu beristirahat. Ketika Mahisa Pukat kembali ke Kasatrian, ternyata bahwa Empu Sidikara telah kembali pula ke Kasatrian bersamanya.

Dalam pada itu sejak kedatangannya dari Padepokan Bajra Seta, Mahendra telah bersiap-siap untuk melakukan upacara pernikahan anaknya sebagaimana telah disetujui bersama dengan Arya Kuda Cemani. Seperti yang dijanjikan, maka Empu Sidikara pun telah ikut membantu sejauh dapat dilakukan disamping tugas-tugasnya di Kasatrian.

Ternyata bukan saja Empu Sidikara, tetapi beberapa orang yang bersama-sama tinggal di lingkungan istana telah ikut membantunya pula. Bahkan Pangeran Kuda Pratama pun telah menaruh perhatian yang besar terhadap rencana pernikahan Mahisa Pukat.

Dari hari ke hari kesibukan pun nampak semakin meningkat. Apalagi di rumah Arya Kuda Cemani. Persiapan-persiapan telah dilakukan sebaik-baiknya. Pernikahan yang telah mendapat restu dari Sri Maharaja itu tentu akan banyak mendapat perhatian dari para pemimpin di Singasari. Apalagi kedua orang tua dari mereka yang akan menikah adalah orang-orang yang banyak dikenal dilingkungan istana Singasari.

Di Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti pun telah mempersiapkan dirinya untuk menghadiri pernikahan Mahisa Pukat dengan Sasi. Bukan hanya persiapan keberangkatannya saja. Tetapi juga persiapan jiwani agar jantungnya tidak terguncang karenanya.

Wantilan yang telah berada kembali di Padepokan Bajra Seta bersama dua orang cantrik telah menceriterakan, persiapan-persiapan yang telah dilakukan oleh Mahendra dan Arya Kuda Cemani menjelang pernikahan Mahisa Pukat dengan Sasi.

“Kau diharap datang sebelum sepekan” berkata Wantilan.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak dapat meninggalkan padepokan ini terlalu lama. Jika orang-orang yang mengaku orang Kediri itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sikapnya yang manis itu, maka padepokan ini tentu akan menjadi sangat sibuk.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”

“Sepuluh hari bagiku sudah terhitung waktu yang sangat panjang.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Wantilan hanya mengangguk-angguk saja. Namun dalam pada itu, Wantilan memang merasa heran. Pada saat-saat terakhir, menjelang kepergiannya ke Singasari, Mahisa Murti benar-benar telah tenggelam di dalam sanggarnya. Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun telah ditempa jauh lebih berat dari hari-hari sebelumnya.

Bahkan Wantilan sendiri mendapat kesempatan lebih banyak pula untuk berlatih bersama Mahisa Murti, sehingga kesempatan itu menjadi sangat berarti baginya. Bahkan Wantilan yang mempunyai dasar ilmu yang berbeda dan bahkan hampir saja membinasakannya perlahan-lahan, telah dapat diluruskan dan bahkan selapis demi selapis telah meningkat semakin tinggi.

Yang kemudian dapat dibanggakan oleh Wantilan dalam perkembangan ilmunya adalah kemampuannya dalam ilmu pedang. Kemampuan itu seakan-akan begitu saja lahir dan berkembang di dalam dirinya dengan tuntunan yang tidak terlalu banyak dari Mahisa Murti. Bahkan kemudian ilmu pedang Wantilan merupakan salah satu dari ilmu puncaknya ketika dengan tuntunan Mahisa Murti, ilmu pedangnya mencapai satu tataran yang mampu melampaui sekedar kemampuan kewadagan.

Meskipun Wantilan tidak mempunyai senjata sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi dengan pedang yang dibuat secara khusus oleh seorang cantrik yang telah pernah berguru pada para ahli pembuat senjata di Singasari, maka ilmu pedang Wantilan merupakan ilmu kebanggaannya.

Sementara itu, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang sejak awal mempunyai landasan ilmu yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kemampuan mereka telah merambat sampai pada persiapan untuk memahami dasar-dasar ilmu tertinggi yang dimiliki Mahisa Murti, terutama dari jalur ilmu yang diwarisinya dari Mahendra. Kemampuan Aji Bajra Geni.

Namun karena Mahisa Amping masih terlalu muda, maka Mahisa Murti tidak dapat memberikan landasan ilmu setataran dengan Mahisa Semu, agar tidak justru mengganggu perkembangan kewadagan dan kejiwaannya. Tetapi setapak demi setapak, Mahisa Murti memang berniat untuk menyiapkan anak itu sebaik-baiknya. Bahkan menurut pengamatan Mahisa Murti, di dalam diri Mahisa Amping tersimpan bekal yang lebih baik dari anak-anak kebanyakan.

Dalam pada itu, Wantilan yang umurnya sudah lebih banyak dari Mahisa Murti, rasa-rasanya melihat sesuatu yang asing di dalam diri Mahisa Murti, justru menjelang pernikahan Mahisa Pukat. Wantilan telah menghubungkan keadaan Mahisa Murti itu dengan saat-saat Mahisa Murti pulang dari Singasari tanpa Mahisa Pukat. Saat itu ia pun melihat sikap yang asing itu yang perlahan-lahan menjadi semakin samar dan bahkan hilang. Namun tiba-tiba sikap itu kini dilihatnya lagi.

Namun Wantilan itu justru telah mengagumi Mahisa Murti yang dapat menyalurkan gejolak perasaannya itu dengan sikap yang justru memberikan arti baginya. Mahisa Murti yang nampaknya dicengkam oleh kegelisahan itu telah mengisi waktu-waktunya yang nampak gelisah itu dengan memperdalam ilmu serta memberikan tuntunan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Termasuk Wantilan sendiri, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan para cantrik.

Mahisa Murti tidak memberi kesempatan kepada dirinya sendiri untuk dilindas oleh perasaannya. Namun justru mendorongnya untuk melakukan pekerjaan yang sangat berarti baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi Wantilan tidak pernah bertanya kepada anak muda itu, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Bahkan sikap Mahendra yang sangat berhati-hati terhadap Mahisa Murti telah menambah keyakinannya, bahwa telah terjadi sesuatu yang menyentuh perasaan anak muda itu. Wantilan memang menghubungkan persoalan itu dengan pernikahan Mahisa Pukat yang akan berlangsung tidak terlalu lama lagi.

Demikianlah, saat-saat pernikahan itu pun menjadi semakin dekat. Wantilan memang melihat Mahisa Murti menjadi semakin murung. Tetapi ia menjadi semakin banyak berada di dalam sanggar. Sendiri atau dengan siapapun juga. Bahkan dengan beberapa orang cantrik terpilih.

Namun dalam pada itu, yang dianggap akan mengganggu padepokan Bajra Seta oleh orang-orang yang mengaku dari Kediri itu tidak pernah terjadi. Namun orang yang kekurus-kurusan yang pernah datang ke padepokan itu, telah pernah singgah pula untuk menemui Mahisa Murti. Orang itu masih saja menawarkan kesempatan untuk bekerja bersama menyusun keadaan baru dalam hubungan antara Singasari dan Kediri. Namun seperti sebelumnya, Mahisa Murti sama sekali tidak tergerak hatinya. Bahkan Mahisa Murti itu berharap agar orang itu tidak kembali lagi ke padepokannya.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi termangu-mangu karenanya. Dengan nada rendah ia berkata, “Anak muda. Sama sekali tidak ada niatku untuk menipumu. Aku, berkata sebenarnya, bahwa masa depan tanah ini tergantung pada keberhasilan perjuangan kami.”

Namun Mahisa Murti itu pun menjawab, “Ki Sanak. Kedudukan kami sekarang sudah cukup baik bagi kami. Kami tidak ingin mendapat lebih banyak lagi.”

“Anak muda” berkata orang itu, “setiap orang tentu memiliki cita-cita. Setiap orang ingin mendapat lebih dari yang pernah didapatkannya. Karena itu, kau yang masih muda, tentu ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi dari yang telah ada di tanganmu sekarang.”

“Kau benar Ki Sanak. Tetapi yang aku tidak sependapat adalah cara yang kau tawarkan kepadaku. Pada dasarnya aku tidak ingin menjadi pemberontak. Mungkin ada sesuatu yang tidak sesuai dengan jalan pikiranku sekarang ini yang terjadi di Singasari, tetapi jika aku menghendaki perubahan, aku tidak akan mempergunakan cara sebagaimana kau tawarkan.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia masih saja menahan diri. Katanya, “Baiklah anak muda. Mungkin kau masih belum mengerti sepenuhnya maksud dari perjuangan kami. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu saat kau akan mengerti.”

“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “aku minta, kau jangan kembali lagi kemari, karena itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Pendirianku tidak akan pernah goyah.”

Tetapi orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu berkata, “Aku akan minta diri. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu saat kau akan mengerti.”

Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab, “Jangan kau berharap, karena sebenarnyalah bahwa aku sudah mengerti apa yang kau maksud dengan perjuangan. Menurut pendapatku, yang kau maksud dengan perjuanganmu itu tidak lebih dari sebuah pemberontakan. Baik terhadap Singasari, maupun terhadap Kediri sendiri.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Mahisa Murti menyadari, bahwa orang itu sedang menahan diri karena jantungnya telah bergejolak. Namun orang itu berusaha tersenyum sambil berkata, “Baiklah anak muda. Aku mohon diri. Aku akan berdoa bagimu, agar kau segera menyadari kedudukanmu. Kau mempunyai kekuatan untuk menggapai satu ujud kehidupan yang baru yang jauh lebih baik dari sekarang. Mudah-mudahan kau akan bersedia bergerak di saat-saat mendatang.”

“Terima kasih atas kunjunganmu Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan kau tidak akan datang lagi kemari jika kau masih saja ingin berbicara tentang pemberontakanmu. Aku sama sekali tidak berkeberatan menerima kunjunganmu dan siapa saja, sepanjang tidak membawa persoalan yang sangat aku benci itu.”

Orang itu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku akan selalu ingat akan kata-katamu. Tetapi aku tidak akan berhenti berharap bahwa kau akan menemukan satu kesadaran yang sangat berarti bagi masa depanmu.”

“Jangan memaksa aku untuk mengusirmu dengan kasar Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “aku ingin berbuat sebaik-baiknya bagi tamu-tamuku sepanjang mereka tidak menyinggung perasaanku.”

Orang itu tersenyum. Namun kemudian ia pun meninggalkan padepokan Bajra Seta. Namun orang itu menyadari, bahwa anak muda yang memimpin Padepokan Bajra Seta itu adalah seorang yang mempunyai pijakan yang sangat kuat atas sikapnya sehingga tidak mudah untuk dapat diguncang.

Demikianlah, sepeninggal orang itu maka Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah terlepas dari himpitan perasaan yang terasa menyesakkan dadanya. Pada saat-saat terakhir, perasaan Mahisa Murti terasa agak terganggu. Ia sedang berusaha untuk memantapkan sikapnya menghadapi persoalan pribadinya. Bahkan Mahisa Murti sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Singasari ketika tiba-tiba saja muncul orang yang kekurus-kurusan itu yang selalu menawarkan kemungkinan hari depan yang lebih baik. Hampir saja Mahisa Murti kehilangan kesabarannya. Namun untunglah bahwa orang itu tidak mendesaknya sampai batas kesabaran Mahisa Murti.

Demikianlah, hari-hari pun berlalu. Di Singasari persiapan hari-hari pernikahan Mahisa Pukat menjadi semakin mendesak. Rumah Arya Kuda Cemani sudah mulai sibuk dengan berbagai macam pekerjaan yang berhubungan dengan upacara pernikahan itu.

Namun bagaimanapun juga perasaan Mahendra sebagai seorang ayah kadang-kadang terasa bergejolak pula jika ia mengingat anaknya yang berada di padepokan yang jauh. Namun ia merasa bersyukur bahwa Mahisa Murti ternyata mempunyai kesabaran, yang luas sehingga jalan yang dilalui Mahisa Pukat tidak banyak mengalami hambatan, bahkan tidak menimbulkan benturan kepentingan antara kedua orang anak laki-lakinya itu.

Demikianlah, hari-hari yang semakin dekat itu telah membuat Mahendra semakin tegang. Namun kebutuhan yang berhubungan dengan hari pernikahan Mahisa Pukat itu telah dilengkapinya. Demikian pula di rumah Arya Kuda Cemani. Kesibukannya pun menjadi semakin meningkat. Bahkan perempuan-perempuan mulai sibuk siang dan malam. Sementara itu Sasi sudah tidak diperkenankan lagi meninggalkan rumahnya.

Beberapa hari menjelang keberangkatannya ke Singasari, Mahisa Murti memang menjadi semakin gelisah. Di saat-saat lewat ia memang dapat mengekang perasaannya. Meskipun Mahisa Murti telah meyakinkan dirinya, bahwa ia masih akan tetap mampu mengendalikan diri, namun jika ia melihat saat-saat Sasi bersanding dengan Mahisa Pukat, maka perasaannya itu tentu akan tergetar juga. Tetapi apapun yang akan dihadapinya di Singasari, maka Mahisa Murti memang harus datang.

Dalam keadaan yang rumit itu, Mahisa Murti tidak mempunyai tempat sama sekali untuk mengurangi beban perasaannya. Ia masih belum dapat mengatakannya kepada Wantilan. Meskipun Wantilan baginya merupakan orang yang dituakannya, tetapi rasa-rasanya untuk menyatakan persoalan pribadinya dan apalagi menyangkut saudara laki-lakinya yang juga dikenal baik oleh Wantilan, masih juga terlalu berat.

Karena itu, maka Mahisa Murti telah berniat untuk membawa bebannya itu sendiri. Di Singasari mungkin ia dapat berbicara dengan ayahnya sekedar untuk mengurangi berat beban perasaannya itu. Namun sebelumnya, ia harus memikulnya sendiri. Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti menutupi kegelisahannya itu, Wantilan masih juga dapat melihatnya. Bahkan kemudian ia dapat juga berbicara dengan Sambega mengenai anak muda, pemimpin Padepokan Bajra Seta itu. Keduanya sependapat, bahwa Mahisa Murti memang sedang memikul beban perasaannya. Namun keduanya tidak ada yang bersedia menanyakannya.

“Aku tidak tahu, apakah hatinya akan terbuka” berkata Wantilan.

“Apalagi aku orang baru di sini,“ berkata Sambega, “aku masih belum tahu watak dan sifatnya sedalam-dalamnya. Karena itu, aku takut kalau justru aku melakukan kesalahan.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika saja angger Mahisa Murti mau membuka diri.”

Tetapi Mahisa Murti tetap tidak mengatakan kepada Wantilan dan siapapun di Padepokan Bajra Seta. Meskipun Mahisa Murti tahu, bahwa Wantilan sebenarnya telah membaca kegelisahan hatinya. Namun Mahisa Murti masih belum dapat mengatakan kepadanya.

Tetapi perasaan Wantilan sebagai orang yang lebih tua dari Mahisa Murti memang sudah menangkapnya sejak beberapa saat sebelum hari-hari yang pahit itu datang. Kegelisahan Mahisa Murti semakin nampak justru semakin dekat hari keberangkatannya ke Singasari.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti memang pernah berbicara dengan Wantilan, meskipun tidak berterus-terang. Namun ungkapan yang sedikit itu masih belum cukup kuat untuk mendorong Wantilan berbicara tentang persoalan yang rumit tentang pribadi anak muda itu. Apalagi untuk selanjutnya Mahisa Murti tidak pernah lagi menyinggung persoalan pribadinya itu.

Namun menjelang hari keberangkatannya, ternyata Mahisa Murti telah berdesah tentang kekalutan perasaannya ketika ia sedang duduk bersama Wantilan dan Sambega. “Sesuatu sedang menyulitkan perasaanku” desis Mahisa Murti.

Wantilan menarik nafas panjang. Katanya, “Sebenarnyalah kami melihat kegelisahan pada sikapmu di hari-hari terakhir ini, ngger. Tetapi aku tidak berani mempersoalkannya karena agaknya ada yang tersembunyi di hatimu.”

“Maaf paman” jawab Mahisa Murti, “tidak sepantasnya aku mengeluh dihadapan paman kedua.”

“Kalau saja kami dapat membantumu ngger” desis Sambega.

“Terima kasih paman. Aku tahu bahwa paman berdua tentu bersedia membantu memperingan perasaanku. Mungkin paman akan menghibur aku atau akan memberikan jalan keluar. Tetapi biarlah, sebaiknya pada kesempatan lain aku akan mengatakannya.”

“Tetapi kau membuat kami gelisah” berkata Wantilan.

“Maaf paman” jawab Mahisa Murti, “aku sama sekali tidak berniat membuat paman gelisah. Tetapi aku dapat mengerti kenapa paman gelisah melihat sikap dan tingkah lakuku. Meskipun aku berusaha untuk menyembunyikannya. Tetapi sulit bagiku untuk sama sekali menghapus kesan itu dari permukaan.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku yang sudah lebih tua ini hanya dapat menduga-duga, meskipun agak mendekati kebenaran serta sedikit keterangan yang sebagaimana pernah kau katakan kepadaku. Tetapi baiklah. Kami tidak akan mengatakan sesuatu sekarang ini. Namun kami hanya ingin berpesan, agar angger Mahisa Murti tetap mampu mengendalikan diri apapun yang sedang kau hadapi.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Ya paman”

“Bukankah besok kau akan berangkat ke Singasari?” bertanya Wantilan.

“Ya paman” jawab Mahisa Murti pula.

“Baiklah. Kau akan tetap sebagaimana kau sekarang, kemarin dan dahulu. Kau adalah seorang anak muda yang mampu menguasai diri. Kau tidak mudah hanyut oleh arus perasaanmu. Tetapi kau mampu mencari keseimbangan antara nalar dan perasaanmu itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun telah menduga-duga, apakah Wantilan benar-benar telah meraba persoalannya dengan tepat. Namun malam itu Mahisa Murti telah minta Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk bersiap-siap karena esok mereka akan pergi ke Singasari.

Berbeda dengan Mahisa Murti yang menjadi murung, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi gembira sekali. Mereka akan mendapat kesempatan untuk pergi ke Singasari dan menyaksikan Mahisa Pukat yang akan menikah. Karena itu, justru karena mereka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai esok, maka keduanya tidak segera dapat tidur. Mahisa Murti malam itu pun sulit untuk dapat memejamkan matanya namun karena alasan yang berbeda.

Demikianlah, pagi-pagi sekali, mereka bertiga sudah mempersiapkan diri. Mahisa Semu dan Mahisa Amping sebelum terang tanah, sudah mandi dan berpakaian rapi. Mereka juga membawa sebungkus pakaian mereka yang terbaik, yang akan mereka kenakan saat pernikahan Mahisa Pukat.

Menjelang fajar menyingsing maka mereka bertiga sudah selesai dengan makan pagi. Setelah beristirahat sambil minum minuman hangat, maka mereka pun segera minta diri kepada seisi padepokan untuk berangkat ke Singasari.

“Berhati-hatilah” pesan Wantilan, “perjalanan Ki Mahendra dengan angger Mahisa Pukat serta perjalanannya kemudian bersama Empu Sidikara mengalami hambatan.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Namun perjalanan paman dari Singasari bukankah tidak mengalami hambatan apapun?”

“Ya” Wantilan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mudah-mudahan perjalanan angger juga tidak mengalami hambatan.”

Mahisa Murti mengangguk kecil sambil berkata, “Doa paman serta seisi Padepokan Bajra Seta yang aku minta.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kami akan selalu berdoa ngger.”

Sebenarnyalah bahwa Wantilan dan Sambega melepas Mahisa Murti dengan jantung yang berdebaran bukan karena mereka mencemaskan keselamatan Mahisa Murti di perjalanan. Mereka tahu bahwa Mahisa Murti adalah orang yang berilmu tinggi, sementara Mahisa Semu pun telah disiapkan untuk mewarisi ilmu yang tertinggi itu pula. Bahkan Mahisa Amping yang kecil itu sudah memiliki bekal cukup diperjalanan.

Namun yang menggelisahkan Mahisa Murti justru keseimbangan penalaran dan perasaan Mahisa Murti menghadapi kenyataan di Singasari. Karena menurut dugaan Wantilan, kemurungan Mahisa Murti tentu ada hubungannya dengan pernikahan Mahisa Pukat.

Demikianlah, sebelum matahari terbit, ketiga orang itu pun telah meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Jalan-jalan yang mereka lalui masih sepi. Tetapi mendekati padukuhan yang besar di ujung bulak panjang, maka mulai nampak satu dua orang lewat sambil membawa obor. Mereka adalah orang-orang padukuhan kecil terdekat yang akan pergi menjual hasil kebunnya ke pasar. Tetapi obor belarak itu pun segera dipadamkan, karena langit telah menjadi semakin terang.

Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping itu pun melarikan kuda mereka di segarnya udara pagi. Seperti biasa, Mahisa Amping selalu berada di paling depan. Di belakangnya Mahisa Semu sekali-sekali menyusul dan melarikan kudanya di sebelah Mahisa Amping. Namun kemudian Mahisa Amping telah mendahuluinya lagi beberapa langkah.

Mahisa Murti mengikuti keduanya pada jarak tertentu. Jika keduanya menjadi semakin jauh, maka Mahisa Murti pun melarikan kudanya lebih cepat. Tetapi jika jaraknya menjadi terlalu dekat, maka Mahisa Murti telah memperlambat kudanya pula.

Di sepanjang perjalanan Mahisa Murti berusaha untuk tidak mengecewakan kedua orang anak itu. Itu pun berusaha nampak gembira seperti Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Dengan demikian maka perjalanan itu merupakan perjalanan yang menyenangkan bagi kedua orang anak muda itu. Udara terasa segar sementara jalan tidak terlalu ramai. Namun semakin jauh mereka menempuh perjalanan, maka matahari pun merambat semakin tinggi di langit. Panasnya mulai terasa gatal di kulit.

Namun Mahisa Amping masih saja berpacu di depan. Tetapi sekali-sekali ia pun berhenti menunggu Mahisa Semu dan Mahisa Murti. Ketika kemudian matahari sampai di puncak langit, maka Mahisa Amping mulai merasa haus. Mahisa Murti yang melihat keadaannya, telah mengajaknya berhenti di sebuah kedai yang terletak di sebelah pasar yang sudah mulai menjadi sepi. Namun masih juga ada sebagian di antara para pedagang yang menunggu orang-orang yang agak kesiangan pergi berbelanja.

Jika Mahisa Murti pergi dan kembali dari Singasari, ia sudah sering melihat kedai itu. Tetapi selama ini ia belum pernah singgah di kedai itu. Kedai yang nampaknya cukup besar dan cukup ramai dikunjungi orang. Seperti beberapa buah kedai yang lain, maka ada orang yang khusus melayani para penunggang kuda jika mereka memesan makan dan minum bagi kuda mereka. Demikian pula di kedai itu. Seorang anak muda telah siap memberikan minum dan makan bagi kuda Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Sementara itu, maka ketiga orang itu pun telah naik dan masuk ke dalam kedai itu. Ternyata di dalam kedai itu telah duduk beberapa orang yang datang lebih dahulu. Sekelompok anak muda duduk di sudut kedai itu. Mahisa Semu yang sempat menghitungnya berdesis, “Lima orang anak muda itu minum tuak.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu lama memperhatikan mereka. Anak-anak itu akan dapat menjadi salah paham.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sambil duduk ia pun berkata, “Apakah mereka tidak akan mabuk?”

“Mungkin mereka hanya minum sedikit.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Semu tidak bertanya lagi. Ia mulai memperhatikan makanan yang disediakan di kedai itu. Bahkan Mahisa Amping sempat berdiri di depan geledeg bambu untuk melihat-lihat jenis makanan yang tersedia.

“Panggil adikmu” desis Mahisa Murti.

Mahisa Semu pun kemudian telah mendekati Mahisa Amping dan menariknya, membawanya duduk bersama Mahisa Murti. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah memesan minuman dan makanan kepada pemilik kedai yang ternyata tidak begitu ramah bagaimana pemilik kedai yang pernah disinggahinya di sepanjang jalan ke Singasari. Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Yang penting baginya, mereka dapat mengobati lapar dan haus. Demikian pula kuda-kuda mereka.

Sementara itu, anak-anak muda itu masih saja minum tuak. Sebagaimana dilihat oleh Mahisa Murti, maka di kedai itu memang disediakan tuak. Agaknya para pembeli tidak pernah dibatasi, berapa saja mereka akan membeli, minum dan kemudian mulai mabuk. Tetapi agaknya hal yang demikian sudah terbiasa terjadi di kedai itu. Beberapa orang lain yang duduk minum dan makan sama sekali tidak menghiraukan mereka.

“Lihat, Mahisa Semu” berkata Mahisa Murti, “anak-anak muda itu mulai menjadi mabuk.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk, sementara Mahisa Amping menjadi heran melihat mereka yang mulai tertawa-tawa dan berbicara kesana kemari tanpa ujung pangkal. Namun Mahisa Murti telah memperingatkan kedua adik angkatnya itu sekali lagi, “Jangan memandangi mereka seperti itu. Nanti kalian akan dapat memancing persoalan.”

“Hanya karena dipandangi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Apalagi jika mereka menjadi mabuk. Kesadaran mereka tidak lagi dapat dikendalikan, sehingga mereka akan berbuat apa saja sesuai dengan gejolak perasaannya.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk, meskipun diluar sadar, sekali-sekali keduanya berpaling juga kepada mereka. Namun ketika minuman dan makanan dihidangkan maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang tidak lagi menghiraukan beberapa orang anak muda itu lagi. Mereka sibuk dengan minuman hangat dan makanan yang mereka pesan.

Namun dalam pada itu, ketika pembantu pemilik kedai itu menghidangkan minuman yang dipesan lagi oleh Mahisa Amping yang kehausan, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Ki Sanak. Anak-anak muda itu sudah mulai menjadi mabuk. Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja agar mereka tidak minum tuak lebih banyak lagi?”

Pembantu yang melayani pesanan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi tanpa tuak, maka kedai ini tidak akan mempunyai banyak pembeli.”

“Tetapi bukankah pembeli yang lain juga tidak memesan tuak sebagaimana anak-anak muda itu?” desis Mahisa Murti perlahan-lahan.

“Tetapi tidak cukup banyak. Apalagi menjelang sore hari. Yang banyak berdatangan di kedai ini adalah anak-anak muda yang pada umumnya memerlukan tuak.” jawab pembantu itu.

“Jika demikian, maka kedai ini akan dianggap kurang baik bagi kebanyakan orang” berkata Mahisa Murti, “kalian menarik pembeli dari golongan anak-anak muda yang sering mabuk tuak, tetapi kalian akan kehilangan pembeli lain yang tidak senang melihat anak-anak muda sekedar bermabuk-mabukan sementara orang lain bekerja keras untuk kepentingan masa depannya dan masa depan keluarganya.”

“Tetapi ini adalah kebijakan pemilik kedai ini, Ki Sanak” jawab orang itu.

Mahisa Murti memang tidak banyak berbicara lagi. Ia pun kemudian lebih banyak memperhatikan minuman dan makanannya sendiri sebagaimana Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun Mahisa Murti terkejut ketika kemudian tiba-tiba saja mendengar anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu tertawa hampir berbareng. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping berpaling, maka mereka melihat anak-anak muda itu justru memandangi mereka. Bahkan di antara mereka adalah pemilik kedai itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun pemilik kedai itu berkata lantang, “Nah, lihatlah betapa alimnya orang-orang itu. Mereka mencela kalian yang minum tuak di kedaiku ini.”

Mahisa Murti memang terkejut. Ia tidak mengira bahwa pemilik kedai yang agaknya mendengar laporan tentang persoalan yang dikatakannya telah langsung mengambil langkah sesuai dengan kebijaksanaannya itu. Mahisa Murti memang menyesal bahwa ia telah mencampuri persoalan pemilik kedai itu. Tetapi hal itu sudah terlanjur dilakukannya.

Ketika Mahisa Murti memandang pembantu yang diajaknya berbicara tentang anak-anak muda yang membeli tuak di kedai itu, orang itu menundukkan kepalanya. Sementara itu Mahisa Semu berdesis, “Pembantu itu agaknya telah mengatakannya kepada pemilik kedai ini.”

“Mungkin maksudnya baik. Mungkin ia sependapat dengan pendapatku dan menyampaikannya kepada pemilik kedai itu. Tetapi pemilik kedai itulah yang ternyata telah menentukan kebijaksanaan dan tidak mau merubahnya.” sahut Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengangguk-angguk, sementara Mahisa Amping masih sibuk menyuapi mulutnya. Tetapi kemudian ia pun bertanya, “Apa maksud pemilik kedai itu?”

“Entahlah” jawab Mahisa Murti yang mencoba untuk tidak menghiraukan lagi sikap pemilik kedai dan anak-anak muda yang mulai mabuk itu.

Tetapi pemilik kedai itu ternyata tidak berhenti sampai sekian. Ia masih berkata lagi, “Kehadirannya telah merusak ketenangan langganan-langgananku.”

“Apakah kita harus mengusirnya?” bertanya seorang anak muda yang juga sudah mulai mabuk.

“Terserah kepada kalian” berkata pemilik kedai itu, “tetapi jangan rusakkan perabot kedaiku ini.”

Anak muda itu tertawa. Sementara Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia tidak ingin menimbulkan persoalan. Tetapi ia tidak mengira bahwa pemilik kedai itu merasa tersinggung oleh pendapatnya yang dikatakannya kepada pembantunya. Namun untuk sementara Mahisa Murti masih duduk diam. Ia masih sempat menelan makanan yang dikunyahnya meskipun ia menjadi gelisah.

Sementara itu, dua orang anak muda telah bangkit berdiri. Tetapi keseimbangan penalarannya agaknya sudah terganggu. Perlahan-lahan keduanya mendekati Mahisa Murti yang masih duduk ditempanya. Ternyata beberapa orang yang ada di kedai itu tidak menghiraukan apa yang terjadi. Agaknya sikap anak-anak muda itu sudah sangat sering dilihatnya sehingga sudah menjadi terbiasa bagi mereka.

Kedua orang anak muda itu pun kemudian berdiri di belakang Mahisa Murti. Sambil tertawa seorang di antaranya berkata, “Ki Sanak. Jika kau tidak senang melihat kebiasaan kami, sebaiknya kau pergi saja. Jangan sesorah seperti seorang yang arif dan mengetahui baik dan buruk dengan sempurna.”

Mahisa Murti benar-benar tidak ingin membuat keributan, Karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Kami akan pergi.”

“Ternyata kau cukup bijaksana” berkata salah seorang dari kedua orang anak muda yang sudah mulai mabuk itu.

Mahisa Murti memang bangkit berdiri. Ia memberi isyarat kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Apalagi mereka sudah cukup minum dan makan, sehingga mereka akan dapat meneruskan perjalanan mereka ke Singasari. Kepada pemilik kedai yang masih berada di antara anak-anak muda yang mulai mabuk itu Mahisa Murti bertanya, “Berapa keping aku harus membayar?”

Pemilik kedai itu tertawa kecil. Katanya, “Aku senang kau singgah di kedaiku Ki Sanak. Tetapi lain kali kau tidak usah sesorah seperti itu. Kau tidak berwenang untuk merubah kebijaksanaanku, karena kedai ini adalah kedaiku.”

“Baik Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “tetapi berapa aku harus membayar?”

“Kali ini kau mendapat perlakuan khusus. Kau tidak usah membayar asal kau cepat pergi,” jawab pemilik kedai itu.

Wajah Mahisa Murti menjadi merah sesaat. Ia merasa tersinggung oleh kata-kata itu. Apalagi ketika kemudian terdengar anak-anak muda itu tertawa meledak. Bahkan beberapa orang lain di kedai itu tertawa pula. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak. Namun Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri.

Tetapi diluar dugaan, maka Mahisa Amping justru berkata, “Bukankah kebetulan sekali, kakang. Kita tidak usah membayar harga minuman dan makanan yang sudah kita makan dan kita minum. Lain kali kita datang lagi ke kedai ini dan sesorah lagi. Nah, kita akan mendapat perlakuan khusus dan tidak perlu membayar lagi.”

“Sst” Mahisa Semu berdesah. Tetapi anak itu justru menjawab, “Bukan salah kita. Bahkan jika kita membawa sebungkus besar makanan, maka kita tidak akan membayarnya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Semu yang mengetahui maksud Mahisa Murti agar tidak timbul keributan, telah menggandeng Mahisa Amping dan menuntunnya keluar.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu juga merasa tersinggung karena sikap pemilik kedai itu. Tetapi Mahisa Semu sudah dapat mengekang dirinya. Sementara Mahisa Amping yang sudah tumbuh remaja itu, masih belum dapat memilih sikap yang sebaik-baiknya sesuai dengan sikap Mahisa Murti. Bahkan ia masih juga berkata keras-keras, “Mereka mengira bahwa kakang Mahisa Murti tidak mempunyai uang untuk membayar harga makanan dan minuman itu.”

“Cukup” teriak pemilik kedai yang memang tidak begitu ramah itu, “aku sudah berbuat sebaik-baiknya bagi kalian yang mencoba untuk mengganggu ketenangan kedai ini. Tetapi kalian masih juga banyak tingkah.”

Mahisa Amping yang agaknya masih akan berbicara lagi telah didahului oleh Mahisa Semu. Katanya hampir berbisik, “sudahlah Amping. Kakang Mahisa Murti tidak ingin terjadi keributan.”

Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun semuanya sudah terlanjur dilakukannya. Pemilik kedai itu sudah terlanjur marah. Karena itu, ketika kemudian Mahisa Murti bergerak pula keluar, maka pemilik kedai itu menyusulnya sampai di luar pintu sambil berkata lantang, “Anak tidak tahu diri. Apa sebenarnya yang kau kehendaki.”

Mahisa Murti memberi isyarat agar Mahisa Amping tidak menjawab. Bahkan ia pun memberi isyarat agar mereka pergi ke kuda mereka dan meninggalkan tempat itu.

Tetapi anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu telah menyusulnya pula turun ke halaman. Bahkan seorang yang sudah lebih tua lagi yang tidak mabuk, telah pula berada di halaman. Dengan suara serak orang yang lebih tua itu berkata, “Kenapa kau sengaja membuat keributan di tempat ini? Kalian tentu sekedar orang lewat. Kami adalah orang-orang yang tinggal di sekitar tempat ini. Kami tidak pernah merasa terganggu oleh perbuatan anak-anak muda itu. Justru kenapa kalian mencoba untuk menumbuhkan persoalan di sini.”

Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak. Dua orang anak muda telah berdiri di dekat kuda-kuda Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. “Ki Sanak” berkata Mahisa Murti kemudian, “kami sama sekali tidak ingin membuat keributan. Kami hanya sekedar mengatakan pendapat kami. Jika kalian tidak sesuai, bukankah kami tidak dapat memaksakan pendapat kami itu.”

“Jadi buat apa kalian mengatakan pendapat kalian itu jika kalian tidak ingin membuat keributan” teriak seorang anak muda yang pandangan matanya sudah mulai berputar-putar karena pengaruh tuak.

“Aku sudah bersedia pergi. Tetapi kalian menahan kami dengan cara seperti ini.” berkata Mahisa Murti.

“Karena apa yang kalian lakukan sudah keterlaluan. Kalian bukan saja menyatakan pendapat lagi, tetapi kalian sudah menyinggung perasaan kami, merendahkan kami dan pokoknya perbuatan kalian tidak dapat kami maafkan.” berkata pemilik kedai itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan Mahisa Amping yang masih sangat muda itu. Karena itu, maka Mahisa Murti yang sudah tidak lagi dapat menghindar itu justru mencoba menjelaskan pendapatnya, “Ki Sanak. Baiklah. Jika persoalannya sudah tidak dapat dikesampingkan lagi, aku justru akan berbicara lebih banyak lagi.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi panas. Dengan geram ia berkata, “Tidak ada yang perlu kau katakan lagi.”

“Ada” jawab Mahisa Murti, “aku akan mengulangi pendapatku, bahwa tidak sebaiknya di kedai ini disediakan tuak dengan tidak terbatas. Membiarkan anak-anak muda mabuk di setiap saat. Selagi matahari masih belum turun ke barat, anak-anak muda itu telah mulai menjadi mabuk. Justru saat-saat mereka harus bekerja atau melakukan perbuatan apapun yang berarti. Di sawah, di pategalan atau di rumah atau dimana saja.”

“Mereka anak orang-orang yang berkecukupan” teriak pemilik kedai itu, “buat apa mereka harus bekerja keras?”

“Sekarang mereka anak-anak orang kaya. Tetapi kekayaan orang tua mereka tidak akan dapat berkembang dengan sendirinya. Bukankah orang tua mereka menjadi kaya karena mereka bekerja keras? Seandainya mereka mendapat warisan, bukankah warisan itu harus dikembangkan agar tidak menjadi semakin susut dan akhirnya habis tanpa arti sama sekali.”

“Mereka tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Sawah, ladang, ternak dan kekayaan mereka akan berkembang dengan sendirinya.” berkata seorang yang lebih tua dari anak-anak muda itu.

“Tetapi perbuatan mereka akan berpengaruh buruk terhadap anak-anak muda yang lain. Anak-anak muda yang bukan anak orang-orang kaya. Jika mereka meniru anak-anak orang kaya itu, maka kehidupan mereka akan menjadi semakin sulit. Sementara itu kehidupan mereka, keluarga mereka dan masa depan mereka menuntut kerja keras. Juga kampung halaman mereka, padukuhan mereka dan Kabuyutan mereka.”

“Cukup.” pemilik kedai itu berteriak. sementara itu seorang di antara anak-anak muda yang sedang mulai mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Murti sambil berkata, “Jika kau berbicara sepatah kata lagi, maka aku akan mengoyak mulutmu.”

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Mahisa Amping telah melangkah dan berdiri di antara anak muda yang mulai mabuk itu dengan Mahisa Murti. Sambil mendorong anak muda itu kuat-kuat Mahisa Amping berkata, “He orang mabuk. Kau mau apa?”

“Amping” desis Mahisa Semu.

Tetapi Mahisa Amping sudah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Kalian, orang-orang mabuk. Kalian mau apa? Dalam keadaan mabuk, kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi berdiri pun kalian tidak lagi dapat menjaga keseimbangan kalian.”

Tetapi anak muda yang didorong oleh Mahisa Amping itu menjadi sangat marah. Dalam keadaan setengah sadar, maka ia pun melangkah maju sambil mengayunkan tangannya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh apapun juga karena Mahisa Amping bergeser selangkah surut. Tetapi ayunan tangannya itu sendiri justru telah menyeretnya sehingga anak muda itu pun menjadi terhuyung-huyung. Apalagi ia dalam keadaan mulai mabuk.

Mahisa Amping memang masih belum dapat berpikir jauh. Ia masih mengikuti saja gejolak perasaannya. Karena itu, demikian ia melihat anak muda itu terhuyung-huyung, maka Mahisa Amping justru telah menarik tangannya, sehingga anak muda itu jatuh terjerembab.

Namun dengan demikian, maka tidak ada jalan lagi untuk menghindari pertengkaran. Mahisa Amping yang masih sangat muda itu tidak lagi dapat menahan dirinya. Namun Mahisa Amping benar-benar telah bersiap untuk berkelahi meskipun anak-anak muda yang mabuk itu adalah anak-anak muda yang lebih tua dan lebih besar dari padanya.

Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia dapat mengerti, bahwa Mahisa Amping menjadi sangat marah kepada orang-orang yang telah menyinggung perasaannya itu. Bahkan nampaknya Mahisa Semu pun sulit untuk menahan dirinya meskipun ia berusaha dengan sungguh-sungguh.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak lagi ingin mengelak. Bukan karena ia ingin berbuat semena-mena. Namun ia merasa bahwa sikapnya adalah benar. Pendapatnya tidak semestinya dianggap sebagai pendapat yang merusak ketenangan kedai itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti itu justru berkata, “Aku peringatkan kalian, agar kalian tidak mempergunakan kekerasan. Aku hanya mengatakan pendapat yang aku yakini benar. Jika kalian menganggap pendapatku itu salah, itu persoalan kalian. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa usaha yang tidak sepantasnya dilakukan, karena dengan demikian kedai ini sudah ikut mengaburkan masa depan anak-anak muda yang sering menjadi mabuk di kedai ini, justru tanpa menghitung waktu.”

Orang yang lebih tua dari anak-anak muda yang mulai mabuk itu justru telah berteriak, “Usir orang-orang ini. Jika mereka melawan, buat mereka menjadi jera.”

Anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu mulai bergerak. Namun Mahisa Murti pun bertanya, “Apa hubunganmu dengan pemilik kedai itu sehingga kau telah ikut mempertahankan sikapnya, tetapi kau sendiri tidak menjadi mabuk karenanya, atau sama sekali tidak minum tuak? Bukankah seharusnya kau peringatkan anak-anak muda yang terlalu banyak minum sehingga mereka menjadi mabuk itu?”

“Persetan, apa pedulimu” jawab orang itu, “yang penting, kau harus pergi atau kau akan dihajar di sini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu berpaling kepadanya, maka Mahisa Murti itu pun berkata, “Jangan kehilangan kendali diri Semu. Kau sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Aku akan mengendalikan adikmu.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak berbuat berlebih-lebihan. Apalagi anak-anak muda itu sedang mabuk.

Dalam pada itu, beberapa orang anak muda telah mengepung Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ada di antara mereka yang sudah benar-benar mabuk. Ada yang baru mulai. Tetapi ada yang masih sadar sepenuhnya apa yang tengah terjadi itu.

Orang yang sudah lebih tua dari mereka yang sedang mabuk itu serta pemilik kedai itu justru bergerak menepi. Mereka nampaknya tidak ingin melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun mereka telah memanas-manasi suasana sehingga anak-anak muda yang mulai mabuk itu menjadi marah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti sendiri tidak langsung ikut larut dalam perkelahian yang terjadi kemudian. Mahisa Murti mengamati kedua adik angkatnya itu dengan saksama. Ia tidak ingin keduanya tidak lagi mampu menahan diri sehingga melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya bagi anak-anak muda yang sedang mabuk itu.

Sejenak kemudian, telah terjadi perkelahian antara Mahisa Semu dan Mahisa Amping melawan beberapa orang anak muda yang sedang mabuk. Sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Amping, maka anak-anak muda itu tidak lagi mampu berkelahi sebaik-baiknya. Justru karena kesadarannya tidak lagi terkendali sepenuhnya, maka kepala mereka pun mulai menjadi pening oleh tuak. Karena itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping mempunyai kesempatan lebih baik untuk mengatasi lawan-lawannya.

Meskipun anak-anak muda itu jumlahnya berlipat banyaknya, namun justru karena mereka tidak menguasai penalarannya sepenuhnya ada di antara mereka yang tidak berkelahi sepenuhnya. Mereka hanya saling mendorong dan bahkan kemudian jatuh bersama-sama. Tetapi ternyata ada di antara mereka yang masih sepenuhnya menguasai diri mereka. Jika pengaruh tuak mulai menggelitik otaknya, maka mereka justru menjadi lebih berbahaya.

Orang-orang itulah yang kemudian mendapat perhatian sepenuhnya oleh Mahisa Semu sementara Mahisa Amping bermain-main dengan anak-anak muda yang dengan terhuyung-huyung berputaran di sekitarnya. Sekali-sekali mencoba memukul, namun ketika tubuhnya didorong ke samping, maka keseimbangannya tidak ingin dapat dikuasainya.

Tetapi tiga orang di antara mereka justru menjadi sangat berbahaya. Matanya mulai gelisah sementara bau tuak masih berhembus lewat sela-sela bibirnya. Ketiga orang anak muda itu mulai menyibak kawan-kawannya yang tidak lagi dapat menguasai dirinya sendiri.

Mahisa Semu yang melihat mereka memang menjadi berdebar-debar. Ia tidak membiarkan anak-anak muda itu bertindak langsung terhadap Mahisa Amping yang masih saja berloncatan di antara mereka yang sedang mabuk. Sekali-sekali ia mendorong anak-anak muda itu, sehingga mereka berjatuhan. Namun kemudian Mahisa Amping itu segera meloncat surut. Jika ada di antara lawan-lawannya itu menyerangnya, maka dengan mudah ia dapat menghindar dan membalas menyerang.

Tetapi agaknya tidak demikian dengan ketiga orang anak muda yang masih mampu menguasai penalarannya sepenuhnya meskipun otaknya sudah dipengaruhi oleh tuak itu. Justru karena itu, maka ketiganya menjadi sangat garang, sementara tenaganya masih tetap utuh dan bahkan seakan-akan menjadi bertambah-tambah.

Ketika kawan-kawannya menyibak, maka Mahisa Semu lah yang dengan cepat menghadapi mereka sambil berkata, “Apa yang akan kalian lakukan Ki Sanak.”

“Mengoyak mulutmu” geram salah seorang dari antara mereka.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya kami tidak bermaksud menimbulkan keributan.”

Tetapi seorang yang bertubuh kekar segera memotong, “Omong kosong. Kalian sudah mengacaukan ketenangan kami dengan tingkah laku kalian. Seandainya kalian dengan suka rela pergi meninggalkan kedai ini, kita tidak mempunyai persoalan lagi.”

“Kami sudah bersiap-siap untuk pergi” jawab Mahisa Semu.

“Tetapi mulut anak itu telah membuat kami sakit hati.” jawab anak muda yang lain.

Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Namun ia harus bersiap sebaik-baiknya. Ketiga orang anak muda itu mulai bergerak menyerangnya. Namun Mahisa Semu yang sudah terlatih, bahkan sudah mulai bersiap-siap untuk sampai ke puncak kemampuan ilmu Bajra Geni, telah bersiap pula menghadapi mereka.

Demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa Semu itu telah berkelahi pula menghadapi ketiga orang anak muda itu. Dengan kemampuannya yang semakin matang, maka Mahisa Semu berloncatan menyerang ketiga lawannya berganti-ganti. Namun ketiga orang yang sudah dipengaruhi oleh tuak itu pun berkelahi dengan garangnya. Mereka menyerang bersama-sama dari tiga arah yang berbeda.

Namun ternyata mereka berhadapan dengan anak muda yang memiliki kemampuan yang semakin matang. Karena itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah terlempar dan jatuh berguling di tanah. Ketika anak muda itu berusaha untuk bangkit dan bersiap dan berkelahi lagi, maka seorang kawannya yang lainlah yang berteriak kesakitan dan terbanting jatuh.

Tetapi anak-anak muda itu masih juga tidak menjadi jera. Meskipun agak kesakitan, tetapi keduanya telah bersiap pula untuk berkelahi, Sementara itu, seorang kawannya yang lain, telah meloncat menjauhi Mahisa Semu sebelum kedua orang kawannya bersiap. Baru kemudian mereka bertiga berloncatan mendekat lagi dari arah yang berbeda.

Sementara itu, Mahisa Amping masih juga bermain-main dengan beberapa orang anak-anak muda yang telah mulai menjadi mabuk. Anak itu justru berlari-lari berkeliling halaman. Namun kemudian tiba-tiba saja ia menyerang salah seorang dari mereka yang sedang terhuyung-huyung mengejarnya sehingga orang itu terjatuh justru menimpa kawan-kawannya.

Dengan demikian, yang dilakukan oleh Mahisa Amping tidak lebih dari sekedar bermain-main. Sementara itu anak-anak muda yang mengejarnya pun sudah menjadi jemu pula. Kepala mereka terasa pening sehingga ada di antara mereka yang justru menjadi mual dan merasa akan muntah-muntah.

Tetapi tiga orang yang menjadi semakin garang itu masih berkelahi melawan Mahisa Semu. Mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Bahkan mereka menjadi semakin garang oleh pengaruh tuak, namun yang belum terasa sangat mengganggu kesadaran mereka.

Dalam pada itu, pemilik kedai dan seorang yang meskipun masih nampak muda tetapi lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu, memperhatikan perkelahian itu dengan kening yang berkerut. Mereka nampaknya tidak begitu menghiraukan Mahisa Amping. Meskipun mereka merasa heran juga bahwa anak itu memiliki ketangkasan yang tinggi, namun mereka lebih memperhatikan Mahisa Semu.

Ternyata Mahisa Semu sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan ketiga orang anak muda yang berkelahi dengan garangnya. Bahkan anak-anak muda itu telah mulai merasa kesakitan. Sekali-sekali salah seorang dari mereka terlempar keluar lingkaran perkelahian yang menjadi semakin keras.

Tetapi wajah kedua orang itu menjadi cemas. Anak-anak muda itu nampaknya akan kehilangan kesempatan. Bahkan ketika tubuh mereka menjadi semakin terasa sakit, nyeri dan terasa pedih oleh goresan-goresan kerikil saat mereka terjatuh, perlawanan mereka pun menjadi semakin mengendor.

“Anak iblis itu harus dibuat jera” geram orang yang sedikit lebih tua dari anak-anak muda yang minum tuak itu.

“Ternyata dengan sedikit kemampuan, mereka berani mengganggu usaha kita” sahut pemilik kedai itu.

“Biarlah aku yang menghajarnya. Awasi anak yang tertua itu. Nampaknya ia juga memiliki kemampuan.” berkata orang itu.

Pemilik kedai itu mengangguk kecil. Dipandanginya Mahisa Murti yang mengamati kedua adiknya yang sedang berkelahi. Namun ternyata bahwa ia tidak perlu mencemaskan Mahisa Amping, karena Mahisa Amping lebih banyak bermain-main daripada berkelahi. Ia berlari-lari berputaran, meskipun sekali-sekali ia menyerang juga. Namun anak-anak muda yang mabuk itu akhirnya tidak menghiraukan anak itu lagi. Mereka kebanyakan merasa sangat terganggu oleh kepala mereka yang menjadi pening. Bahkan kemudian perutnya menjadi mual.

Sebagian dari mereka justru telah menjatuhkan diri di tangga kedai itu, sementara tinggal seorang saja yang masih berusaha mengejar untuk menangkap Mahisa Amping. Tetapi Mahisa Amping masih berlari-lari terus dan sekali-sekali berhenti untuk melawan. Bahkan Mahisa Amping kemudian telah bersiap untuk berkelahi. Bukan saja berlari-lari.

Sementara itu, orang yang sudah lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Semu yang masih berkelahi melawan tiga orang lawannya. Namun ketiga orang anak muda itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Tubuh mereka sudah terasa semakin lemah, sementara di beberapa tempat terdapat noda-noda kebiru-biruan. Wajah mereka menjadi lembab dan tulang-tulang mereka terasa nyeri. Goresan-goresan kerikil mulai menitikkan darah yang terasa menjadi pedih oleh keringat.

Orang yang lebih tua dari mereka itu pun tiba-tiba saja berteriak, “Minggir. Biarlah aku memberinya sedikit peringatan agar anak ini menjadi jera. Jika tidak, maka ia akan merasa menang dan berbuat lebih buruk lagi di kemudian hari.”

Ketiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi tuak itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika orang yang berteriak itu melangkah maju mendekati Mahisa Semu, maka anak-anak muda itu melangkah surut.

“Kami tidak dapat membiarkan kau dengan kebanggaanmu karena kau merasa dapat mengalahkan ketiga orang anak muda itu. Tetapi ingat, mereka dalam keadaan mabuk. Jika mereka memiliki kesadarannya sepenuhnya, maka kau akan mengalami nasib yang sangat buruk” berkata orang itu.

“Aku tidak mulai membuat keributan di sini” jawab Mahisa Semu, “aku hanya mempertahankan diri.”

“Saudaramu sudah membuat onar di sini. Kau dengan sombong mengangkat dadamu karena kau merasa menang melawan tiga orang anak muda. Karena itu, maka kau harus mendapat peringatan agar kau menjadi jera.” geram orang itu.

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menyadari, bahwa orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Ia sudah melihat, bagaimana Mahisa Semu itu berkelahi melawan tiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi oleh tuak. Sehingga orang itu tentu sudah mempunyai gambaran tentang kemampuan Mahisa Semu. Karena itu, maka menghadapi orang itu, Mahisa Semu harus berhati-hati. Bahkan diluar sadarnya, maka Mahisa Semu telah berpaling kepada Mahisa Murti.

Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk kecil. Ia tidak dapat lagi menarik segala persoalan yang sudah terjadi di kedai itu. Isyarat itu telah membesarkan hati Mahisa Semu. Karena itu, ketika orang yang lebih tua itu bersiap untuk mulai berkelahi, maka Mahisa Semu pun telah bersiap pula.

“Kau, kakakmu dan adikmu harus minta maaf kepada kami semuanya di sini, karena kalian sudah mengganggu ketenangan kami.” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Semu menjawab lantang, “Kalianlah yang harus minta maaf kepada kami karena kalian telah mengganggu perjalanan kami. Kami yang berniat baik telah kalian tanggapi dengan sikap yang buruk sekali. Karena itu, maka kalian memang pantas untuk mendapat peringatan.”

“Anak iblis kau” geram orang itu, “aku koyakkan mulutmu.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi orang itu. Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu telah meloncat menyerang, sehingga Mahisa Semu harus bergeser menghindarinya. Tetapi agaknya orang itu sudah benar-benar menjadi marah. Dengan garangnya orang itu memburu dan menyerang beruntun sehingga Mahisa Semu harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak.

Meskipun demikian, jantung Mahisa Semu sama sekali tidak tergetar karenanya. Dengan cermat ia mengamati tatanan gerak lawannya. Namun kemudian, anak muda itu telah bangkit untuk melakukan serangan-serangan pula. Yang terjadi kemudian bukan sekedar perkelahian antara orang-orang mabuk. Tetapi dua orang yang dengan penuh kesadaran mempergunakan kemampuannya untuk mengalahkan lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin keras. Ternyata orang yang lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu memang memiliki kemampuan olah kanuragan. Mahisa Murti yang memperhatikan perkelahian itu mengerutkan dahinya. Ia mulai menduga, bahwa orang yang berkelahi dengan Mahisa Semu itu adalah orang yang memang diupah oleh pemilik kedai itu untuk mengamankan kebijaksanaan pemilik kedai itu.

Dengan keras dan bahkan kasar orang itu menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Mahisa Semu yang terlatih itu masih tetap mampu mengimbanginya. Bahkan kemudian perlahan-lahan Mahisa Semu mulai mengatasinya. Namun orang itu juga bukan orang kebanyakan. Serangan-serangannya menjadi semakin keras. Orang itu berloncatan dengan cepatnya, sementara tubuhnya seakan-akan menjadi sangat ringan.

Tetapi Mahisa Semu ternyata mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Meskipun Mahisa Semu masih muda, tetapi ia tidak segera menjadi gelisah melihat kemampuan lawannya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka beberapa kali Mahisa Semu justru berhasil memotong gerak lawannya, sehingga lawannya itu justru terkejut karenanya.

Lawannya yang melihat Mahisa Semu mengalahkan ketiga orang anak muda yang telah dipengaruhi oleh tuak itu memang sudah menduga bahwa anak muda itu memiliki landasan ilmu kanuragan. Tetapi ia tidak mengira bahwa tataran kemampuan ilmu kanuragan anak muda itu sedemikian tinggi baginya, sehingga akhirnya ia mengalami kesulitan.

Tetapi ada satu hal kelebihan orang itu. Ia lebih tua dari Mahisa Semu. Ia pun ternyata memiliki pengalaman yang luas bertualang di dunia kekerasan. Karena itu berdasarkan atas pengalamannya, maka ia masih dapat bertahan lebih lama. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu membuat tipuan-tipuan sehingga Mahisa Semu kadang-kadang terkejut karenanya.

Meskipun demikian, ketangkasan Mahisa Semu memang membuat lawannya kadang-kadang harus berloncatan mundur. Kaki Mahisa Semu seakan-akan menggapai-gapai tubuhnya kemana pun ia menghindar. Sementara itu, kedua tangannya dengan rapat melindungi tubuhnya dari serangan-serangan lawannya yang dengan tiba-tiba menerpanya.

Demikianlah, perkelahian itu menjadi semakin seru. Pada saat-saat yang gawat, maka serangan-serangan Mahisa Semu sempat masuk menembus pertahanan lawannya. Ketika lawannya mengayunkan tangannya ke arah kening Mahisa Semu, maka Mahisa Semu dengan cepat merendah. Demikian tangan lawannya itu terayun, maka dengan cepat kaki Mahisa Semu yang memiringkan tubuhnya itu terjulur langsung mengenai bagian bawah ketiak lawannya.

Lawannya itu terdorong surut. Tetapi dengan berputar satu lingkaran dan sedikit merendah, ia pun segera mempersiapkan diri. Ketika kemudian Mahisa Semu meloncat memburunya, maka Mahisa Semu justru terkejut. Lawannya itu sempat bergeser selangkah ke samping. Namun kemudian ia meloncat maju dengan tangan kawannya yang terjulur lurus. Untunglah bahwa Mahisa Semu sempat memiringkan kepalanya, sehingga yang dikenai serangan lawannya itu hanyalah daun telinganya

Meskipun demikian rasa-rasanya daun telinganya itu menjadi panas. Bukan saja karena sengatan rasa sakit. Tetapi juga kemarahan yang menerpa jantungnya. Karena itu, maka Mahisa Semu menjadi semakin garang pula. Jika semula ia masih menghormati lawannya yang umurnya lebih tua daripadanya, maka kemudian, Mahisa Semu seakan-akan telah melupakannya. Anak muda itu telah mengerahkan tenaga dalamnya sejauh tingkat kemampuannya. Namun demikian, tenaga Mahisa Semu itu seakan-akan telah menjadi berlipat.

Dengan demikian, maka serangan-serangan Mahisa Semu menjadi semakin kuat dan semakin keras, sehingga dengan demikian, maka lawannya itu menjadi semakin mengalami kesulitan.

Pemilik kedai itu mulai menjadi gelisah. Anak itu ternyata bukan anak muda kebanyakan. Ia memiliki kelebihan dari bukan saja anak-anak muda sebayanya. Tetapi orang-orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu semakin lama semakin menguasai lawannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan semakin keras. Bahkan semakin banyak serangan-serangannya yang mampu menyusup dan menguak pertahanan lawannya.

Dengan demikian, maka keadaan orang itu menjadi semakin sulit sementara Mahisa Semu sudah terlanjur menjadi marah. Ketika serangan kakinya mengenai lambung lawannya, maka lawannya itu telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Mahisa Semu masih memburunya. Serangan berikutnya dilontarkannya dengan kakinya pula. Sambil memiringkan tubuhnya, maka serangannya datang meluncur dengan derasnya.

Orang itu tidak sempat menghindar. Serangan kaki itu ternyata tepat hinggap di dadanya. Ternyata serangan itu telah mengakhiri perlawanan orang itu. Ia terdorong dengan derasnya dan tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya. Orang itu pun kemudian telah jatuh terlentang. Demikian kerasnya sehingga tulang punggungnya serasa akan patah. Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka ia hanya dapat menyeringai menahan sakit. Bahkan kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.

Sementara itu, pemilik kedai itu pun menjadi gelisah. Mahisa Murti yang tidak terlibat dalam perkelahian itu telah berdiri di dekat pemilik kedai itu. Dengan nada dalam ia berdesis, “Ki Sanak. Apakah kau akan membantunya. Kau lihat, tidak ada yang dapat melawan adikku itu. Tetapi jika kau ingin, maka kau dapat melakukan. Atau kau akan mencobai aku sebagaimana pesannya tadi. Bukankah kau tadi dipesan untuk mengawasi aku.”

Pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti menggeram, maka ia mulai menjadi gemetar.

“Aku memiliki kemampuan berlipat dari adikku itu. Nah, jika kau ingin mencobanya, marilah. Aku akan mengajarimu agar kau sekali-sekali mau mendengarkan pendapat orang lain.”

Tetapi pemilik kedai itu justru berkata dengan suara bergetar, “Ki Sanak. Kami mohon maaf. Jangan sakiti kami.”

“Tetapi kawan-kawanmu sudah terlanjur kesakitan” desis Mahisa Murti, “supaya adil, maka kau pun harus disakiti.”

“Ampun. Aku mohon ampun Ki Sanak. Aku tidak akan mengulangi kesalahan ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Mahisa Amping berdiri bertolak pinggang. Ternyata ia berkelahi dengan salah seorang anak muda yang mabuk itu. Namun tidak terlalu lama, karena anak muda itu dengan mudah didorongnya jatuh. Bahkan beberapa kali.

Mahisa Semu pun masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Marilah. Aku ingin berbicara dengan kau dan kawanmu itu.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat di sekitarnya, ternyata masih ada beberapa orang yang berdiri di halaman kedainya itu. Justru bukan orang-orang yang semula ada di kedai itu. Mereka datang ketika mereka mendengar telah terjadi perkelahian di halaman kedai itu antara beberapa orang lewat yang sempat singgah dan dianggap mengganggu ketenangan orang-orang yang sering ribut di kedai itu karena mabuk.

Mahisa Semu pun kemudian melangkah mendekati lawannya yang punggungnya serasa patah itu. Katanya, “Bangkit dan dengar kata-kata kakakku.”

“Punggungku sakit sekali” desis orang itu.

“Kau mau bangkit atau aku patahkan kakimu?” geram Mahisa Semu sambil menangkap pergelangan kaki orang itu.

“Jangan. Jangan” minta orang itu.

“Jika demikian, cepat bangkit, sebelum aku kehabisan kesabaran.” bentak Mahisa Semu.

Dengan susah payah sambil menyeringai kesakitan orang itu mencoba untuk bangkit. Betapapun sakitnya, namun ia tidak ingin kakinya dipilin oleh anak muda itu sehingga patah.

Sementara itu Mahisa Amping sambil bertolak pinggang membentak anak muda yang mabuk itu, “Bangun. Dengar kakakku berbicara. Kau dan kawan-kawanmu harus merangkak mendekat dan mendengarkan kata-katanya.”

Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian memanggilnya. Demikian Mahisa Amping mendekat, Mahisa Murti pun berkata, “Mereka sedang mabuk. Sulit untuk mengerti kata-katamu.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dua orang di antara anak-anak muda yang mabuk itu telah muntah-muntah di halaman itu. Mahisa Amping memalingkan wajahnya sambil berdesis, “Mereka harus dihukum.”

“Bukan kita yang akan menghukumnya.” jawab Mahisa Murti.

“Siapa?” bertanya Mahisa Amping.

“Kita akan berbicara dengan pemilik kedai itu” desis Mahisa Murti.

Mahisa Amping justru termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi.

Orang yang kesakitan punggungnya dan pemilik kedai itu pun kemudian berdiri dengan wajah pucat di hadapan Mahisa Murti. Sementara beberapa orang datang dari rumah-rumah yang tidak terlalu jauh dari kedai itu, serta beberapa orang yang masih berada di pasar di sebelah.

Sebelum Mahisa Murti bertanya kepada kedua orang itu, Mahisa Murti justru bertanya kepada orang-orang yang berkerumun, “Nah, apakah kata kalian tentang kedai ini?”

Seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan melangkah maju mendekat sambil berkata, “Apakah maksud angger sebenarnya? Apakah yang angger maksud tentang anak-anak muda yang sering bermabuk-mabukan di kedai ini?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “apakah tidak ada akibat bagi para penghuni rumah di sekitar tempat ini atau mereka yang masih berada di pasar itu?”

Orang yang berambut ubanan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnyalah bahwa sudah agak lama kami ingin berbicara tentang hal itu. Tetapi pemilik kedai ini agaknya tidak senang mendengarkan pendapat kami.”

“Tidak” sahut pemilik kedai itu dengan serta merta. “Bukan maksudku. Tetapi selama ini memang tidak ada orang yang memberi aku petunjuk.”

“Kau jangan mengada-ada” bentak Mahisa Murti, “ketika aku menyatakan pendapatku, kau langsung menjadi marah. Kau panasi hati anak-anak muda itu, sehingga mereka menyerang kami.”

“Tetapi, bukan maksudku menolak pendapatmu ngger” jawab pemilik kedai itu.

“Ingat. Aku dapat berbuat apa saja terhadapmu. Aku dapat memukulmu sampai kepalamu menjadi retak. Kau lihat, bahwa orang-orang yang datang sekarang tidak semuanya akan membantumu.”

“Tetapi aku mau mendengarnya” orang itu mulai menjadi gagap. Ketika Mahisa Murti memandanginya dengan wajah yang bersungguh-sungguh orang itu berkata dengan suara yang menjadi gemetar lagi. “Ya. Ya. Aku akan mendengarnya.”

Sementara itu Mahisa Murti bertanya kepada orang yang rambutnya mulai beruban itu, “Bagaimana pendapat kalian?"

“Anak-anak muda yang mabuk itu kadang-kadang memang mengganggu,” jawab orang itu bahkan tidak mengenal waktu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara seorang perempuan berkata, “Anakku mulai minum tuak juga.”

Mahisa Murti memandangi pemilik kedai itu dengan tajamnya. Sementara itu pemilik kedai itu menjadi semakin cemas. Orang-orang yang biasanya berdiam diri dan tidak berani menyatakan sikapnya itu, telah mulai mengungkapkan perasaan mereka. Seorang demi seorang akan terpancing untuk menyatakan pendapatnya.

Sebenarnya bahwa orang-orang yang tinggal di sekitar kedai itu serta orang-orang yang terbiasa berada di pasar, ternyata sependapat, bahwa kedai yang menyediakan tuak itu kurang bijaksana. Apalagi pendapat beberapa orang perempuan yang anaknya sudah mulai dipengaruhi oleh tuak.

Mahisa Murti pun mengangguk-angguk sambil berkata kepada pemilik kedai itu, “Nah, kau dengar pendapat mereka. Mereka sebenarnya berkeberatan. Tetapi aku tidak tahu kenapa mereka selama ini hanya berdiam diri saja. Mungkin karena kau memiliki seorang upahan yang berilmu sebagaimana orang yang ternyata tidak dapat mengalahkah adikku itu.”

Tetapi orang itu tiba-tiba saja menyahut meskipun masih harus menyeringai menahan sakit, “Aku bukan orang upahan.”

“O” Mahisa Murti berpaling kepadanya, “jadi kenapa kau pertaruhkan dirimu untuk membelanya? Jika kau menerima upah untuk pekerjaan itu, maka namanya kau orang upahan, karena upah itulah yang menentukan, apakah kau akan melakukan pekerjaan itu atau bukan.”

“Tetapi aku bukan orang upahan” jawab orang itu.

“Jadi kenapa?” desak Mahisa Murti.

Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Tetapi pemilik kedai itulah yang kemudian menjawab, “Orang itulah yang memberikan tuak kepadaku. Semakin banyak anak-anak yang minum, maka semakin banyak pula tuaknya laku.”

Mahisa Murti berdesah perlahan. Katanya, “Jika demikian, maka kalian berdualah yang bertanggung jawab jika semakin banyak anak-anak muda yang menjadi terbiasa minum tuak. Mereka akan menjadi ketagihan. Bahkan semakin lama mereka minum semakin banyak. Tuak kalian memang menjadi semakin laris. Tetapi apakah kalian berpikir tentang akibatnya yang dapat terjadi atas anak-anak muda itu? Lihat, apa yang telah mereka kerjakan sejak pagi sampai sesiang ini? Duduk-duduk, minum tuak, mabuk kemudian muntah-muntah dan tidur atau mengganggu orang lain. Sementara itu anak-anak muda yang lain sedang sibuk bekerja keras untuk membentuk masa depan mereka.”

Pemilik kedai dan orang yang kesakitan di punggungnya itu tidak menjawab. Namun Mahisa Murti pun berkata terus, “Nah, sekarang terserah orang-orang yang tinggal di sekitar kedai ini. Kalian harus mendengarkan pendapat mereka. Aku sendiri memang sering lewat jalan ini. Aku sudah melihat orang keluar masuk kedai ini, termasuk anak-anak muda. Tetapi baru sekarang kami sempat singgah di sini dan menyaksikan apa yang ada di dalam kedai ini.”

Pemilik kedai dan orang yang kesakitan punggungnya itu hanya menundukkan kepala mereka saja. Tetapi mereka sama sekali tidak menjawab.

Dalam pada itu, Mahisa Murti masih berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya, “Ki Sanak. Selanjutnya terserah kepada kalian. Jika kalian memang menentang, maka sebaiknya kalian berbicara berterus-terang kepada pemilik kedai. Sementara itu, kalian jangan tergesa-gesa membebankan semua kesalahan kepada anak-anak muda itu. Mereka harus mendapat bimbingan dan petunjuk bahwa apa yang mereka lakukan bukan jalan terbaik bagi kehidupan mereka kelak.”

Seorang yang berambut ubanan itu berkata, “Kami memang memerlukan satu saat yang mengejutkan seperti ini. Dengan demikian, maka anak-anak itu akan melihat kenyataan yang mereka hadapi. Mereka semua sama sekali tidak menghargai apa yang telah ditentukan oleh banyak orang serta pemisahan anggapan atas yang baik dan yang buruk.”

Pemilik kedai dan orang yang punggungnya bagai patah itu semakin menunduk. Kemudian seorang pun berkata lantang, “Kita akan menutup kedai itu, nanti kalian pergi, maka kami masih berteka-teki, apakah akan ada perubahan yang terjadi di kedai ini. Bahkan mungkin kami, yang tentu akan dapat dikenali oleh pemilik kedai dan pembuat tuak itu, akan diancam oleh bahaya yang tidak akan dapat kami elakkan.”

“Jangan takut” berkata Mahisa Murti, “hal itu tidak akan terjadi. Setelah aku mengetahui keadaan ini, maka tempat ini akan selalu diawasi oleh para prajurit Singasari.”

“Prajurit Singasari? Bukankah Singasari masih jauh?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Ya. Singasari memang masih jauh. Tetapi prajurit itu akan datang dan menghubungi bebahu Kabuyutan yang membawahi tempat ini. Para prajurit itu akan dapat membicarakan persoalan kedai ini dengan Ki Buyut dan para bebahunya, sehingga pengawasan sehari-hari kedai ini ada di tangan mereka.”

“Bagus” berkata orang bertubuh kecil itu. Agaknya ia memiliki keberanian untuk berbicara lebih terbuka dari kawan-kawannya meskipun tubuhnya kecil. Kemudian ia pun berkata pula, “sebaiknya para prajurit itu memang berbicara dengan Ki Buyut. Jika mereka hanya berbicara dengan Ki Bekel, maka tidak akan ada artinya lagi.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita di sini semuanya tahu, apa yang dilakukan oleh Ki Bekel. Tetapi tidak seorang pun di antara kami yang berani berbicara. Kami pun tidak tahu dengan siapa kami harus berbicara.”

“Apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Pemilik kedai dan pembuat tuak itu memiliki ilmu dan kemampuan. Sedangkan Ki Bekel mempunyai kekuasaan yang juga bersandar pada kekuatan beberapa orang bebahunya. Sementara itu tuak menghasilkan uang. Nah…”

Tetapi seorang yang lain berteriak, “Bakar saja gubug yang telah menyesatkan itu. Dua adikku mulutnya telah mulai berbau tuak. Kelakuannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Mereka juga sering berada di kedai ini.”

Sementara itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kami serahkan pemilik kedai itu kepada kalian, apapun yang akan kalian lakukan. Namun satu hal yang perlu aku pesankan, kalian harus memperlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan sesama, karena mereka juga mempunyai perasaan serta nalar budi.”

“Kami akan menghukum mereka” teriaki seseorang.

“Itu tidak perlu” jawab Mahisa Murti, “tetapi kalian harus yakin, bahwa di kedai ini tidak akan dijual tuak.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti berkata sekali lagi, “Aku akan sering lewat jalan ini. Karena itu, maka kalian harus melakukan apa yang seharusnya kalian lakukan menurut pertimbangan nalar budi kalian. Meskipun sekali lagi aku peringatkan, mereka harus diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku mengerti. Sekarang akan melanjutkan perjalanan. Jika terjadi sesuatu, maka aku akan cepat mengerti.”

Orang-orang yang berkerumun itu pun mengangguk-angguk. Ketika seorang yang bertubuh kecil menyeruak kawan-kawannya dan kemudian berdiri di paling depan, Mahisa Murti pun bertanya, “Ada yang akan kau katakan?”

“Ya” jawab orang itu, “selama ini di antara kami memang tidak ada yang berani berbuat sesuatu. Pemilik kedai dan orang yang membuat tuak itu adalah orang-orang yang ditakuti. Mereka dapat berbuat apa saja terhadap kami. Jika uang itulah pusar dari persoalan yang sebenarnya kami hadapi di sini, sehingga Ki Bekel pun tidak berminat untuk menghentikan penjualan tuak di kedai ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti sekarang apa yang terjadi di sini. Baiklah. Aku berjanji, bahwa petugas dari Singasari akan menghubungi Ki Buyut.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Namun di wajah beberapa orang Mahisa Murti masih melihat keragu-raguan.

Karena itu Mahisa Murti pun berkata, “Kalian tidak usah takut atau ragu-ragu menghadapi persoalan ini. Tetapi juga tidak usah bertindak berlebihan sebagaimana dikatakan oleh beberapa orang untuk menghukum pemilik kedai itu dan pembuat tuak itu. Biarlah Ki Buyut menangani hal ini.”

“Sebenarnya kami tidak takut terhadap kedua orang itu” berkata seorang yang bertubuh kekar, “bahkan kami siap menghukumnya beramai-ramai. Jika selama ini kami hanya berdiam diri, karena kami memang menghormati sikap Ki Bekel. Tetapi tentu ada batas-batas tertentu. Yang kalian lakukan adalah semacam awal dari langkah-langkah baik yang dapat dilakukan di sini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun sebelum pembicaraan berkepanjangan, maka orang-orang itu tertegun. Orang yang siap untuk menghukum itu pun terdiam pula. Beberapa orang telah mendatangi tempat itu. Orang itulah yang disebut Ki Bekel.

“Apa yang terjadi di sini. Seseorang telah melaporkan bahwa ada orang yang berusaha mengacaukan ketenangan di tempat ini.” berkata Ki Bekel yang datang diiringi oleh beberapa orang bebahu yang memang sering menakut-nakuti orang-orang padukuhan yang cukup besar itu.

Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah maju sambil menjawab lantang, “Akulah orangnya. Bukankah kau Bekel yang berkuasa di padukuhan ini?”

“Ya. Aku penguasa padukuhan ini.” jawab Ki Bekel.

“Bagus” berkata Mahisa Murti, “aku pesan kepadamu, awasi kedai ini. Di kedai ini tidak boleh lagi dijual tuak yang dapat meracuni anak-anak muda. Bahkan mereka dalam keadaan mabuk telah mengganggu ketenangan padukuhan ini.”

“Siapa kau?” bertanya Ki Bekel.

“Siapapun aku, itu tidak penting. Tetapi dengar keteranganku. Orang-orang yang berkerumun ini sependapat, bahwa tidak sepantasnya di kedai ini dijual tuak, karena anak-anak mereka mulai dijalari penyakit minuman itu. Tetapi selama ini kau tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya.”

“Setan kau” geram Ki Bekel, “kau berbicara dengan aku, Ki Bekel yang berkuasa di padukuhan ini.”

“Aku tidak peduli. Orang-orang di sekitar kedai ini sudah mulai bangkit. Mereka tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Bahkan mereka sudah siap untuk bertindak, menghukum pemilik kedai dan penjual tuak itu. Tetapi itu bukan wewenang mereka. Tetapi wewenangmu.”

“Kau jangan mengigau seperti itu. Ingat, di sini aku mempunyai wewenang sepenuhnya. Aku dapat bertindak atasmu” berkata Ki Bekel.

Tetapi Mahisa Murti seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata, “Akan datang petugas dari Singasari untuk menata pergaulan hidup di padukuhan ini.”

Tetapi Ki Bekel yang marah itu menjawab lantang, “Omong kosong. Aku tidak percaya kepada kata-katamu itu.”

“Aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Tetapi pada saatnya petugas dari Singasari itu akan datang bersama sekelompok prajurit. Jika kau keras kepala, maka kau akan ditangkap.”

“Aku tidak menunggu prajurit dari Singasari. Akulah yang akan menangkapmu sekarang.” teriak Ki Bekel...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 115

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 115
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

DEMIKIANLAH, di saat Empu Sidikara berada di Padepokan Bajra Seta, maka tidak jemu-jemunya ia melihat kerja yang dilakukan oleh para cantrik di sela-sela latihan olah kanuragan. Jika para kesatria di Kesatrian Singasari harus juga menuntut pengetahuan tentang berbagai macam ilmu, termasuk ilmu bintang, kesusasteraan dan ilmu pemerintahan, maka para cantrik itu di samping mempelajari berbagai macam ilmu, namun mereka juga langsung melakukannya di lapangan. Mereka langsung turun dalam kerja sehingga apa yang mereka pelajari itu akan dapat diuji pelaksanaannya.

Namun, Empu Sidikara yang termasuk salah seorang guru di Kesatrian berkata di dalam hatinya, “Tetapi kebutuhan dari para kesatria itu memang jauh berbeda dari kebutuhan para cantrik.”

Karena itu, maka ia pun menyadari, apa yang dapat ditrapkan di Padepokan Bajra Seta, belum tentu dapat ditrapkan di Kesatrian. Dan hal ini agaknya juga disadari oleh Mahisa Pukat, sehingga jika ia mulai melakukan perubahan-perubahan, maka ia harus menilai setiap rencananya, apakah hal itu sesuai dengan kebutuhan para kesatria Singasari. Bahkan Mahisa Pukat pun harus mempertimbangkan kepentingan orang-orang, lain yang memberikan tuntunan tentang berbagai macam ilmu selain olah kanuragan bagi para kesatria itu.

Tetapi Empu Sidikara memang tidak terlalu lama berada di Padepokan Bajra Seta. Ketika mereka sudah bermalam dua malam, maka Mahendra merencanakan untuk kembali di keesokan harinya.

“Jadi ayah tinggal bermalam satu malam lagi?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku harus segera berada di Singasari lagi, Murti. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Bukankah aku tidak mempunyai lagi siapa-siapa yang dapat aku ajak berbincang selain Mahisa Pukat sendiri?” berkata Mahendra.

“Tidak. Ayah tentu mempunyai kawan untuk berbincang. Bukankah Empu Sidikara dapat membantu ayah?”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Empu Sidikara berada di Kasatrian.”

“Bukankah kesatrian juga berada dilingkungan istana?” bertanya Mahisa Murti pula.

“Tetapi rumahku berada jauh di halaman belakang” sahut Mahendra.

Empu Sidikara tertawa. Katanya, “Aku akan membantu kesibukan Ki Mahendra menjelang perkawinan puteranya. Aku akan dapat melakukan apa saja. Sebelum, di saat upacara pernikahan berlangsung dan sesudahnya.”

Mahendra dan Mahisa Murti pun tertawa pula. Di sela-sela suara tertawanya Mahendra berkata, “Terima kasih Empu. Aku memang mencari orang yang dapat melakukan apa saja.”

Meskipun mereka seakan-akan hanya sekedar berkelakar, namun Empu Sidikara memang dengan sungguh-sungguh bersedia membantu kesibukan Mahendra sehubungan dengan pernikahan Mahisa Pukat.

Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Pukat pun mempersilahkan ayahnya dan Empu Sidikara untuk beristirahat, karena mereka akan bangun pagi-pagi benar dan selanjutnya kembali ke Singasari setelah beberapa hari beberapa di Padepokan Bajra Seta. Tetapi Mahendra dan Empu Sidikara memang tidak terbiasa tidur sebelum malam larut. Karena itu, maka mereka masih duduk-duduk di pendapa untuk beberapa lama.

Dalam pada itu, di luar padepokan, beberapa orang berkuda sedang memperhatikan Padepokan Bajra Seta dari kejauhan. Mereka melihat dinding yang cukup tinggi mengitari satu lingkungan yang cukup luas. Beberapa bangunan nampak membujur berjajar di dalam lingkungan dinding padepokan.

“Aku tidak mengira bahwa Padepokan Bajra Seta adalah padepokan yang besar” berkata seorang yang bertubuh sedang yang duduk di atas punggung kudanya di paling depan dari iring-iringan orang berkuda itu.

“Ya” jawab seorang yang bertubuh kekar yang berkuda di sebelahnya, “aku juga tidak membayangkan, bahwa padepokan Bajra Seta mempunyai lingkungan yang luas serta bangunan yang cukup banyak di dalamnya. Satu gambaran bahwa penghuni Padepokan itu cukup banyak pula.”

“Selain jumlahnya yang banyak, agaknya di Padepokan itu juga tinggal orang-orang berilmu tinggi. Yang sudah kita ketahui dua di antara mereka telah mampu mengejutkan kalian” berkata orang yang bertubuh sedang itu kemudian.

Kawannya yang bertubuh kekar itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Lalu, apakah kita tetap pada rencana kita mengambil orang yang aku katakan itu?”

Orang bertubuh sedang itu berpaling kepada seorang yang bertubuh kekurus-kurusan sambil berkata, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sendiri tidak mempunyai persoalan dengan orang itu. Tetapi jika kalian ingin tetap mengambilnya, maka kami akan melakukannya. Betapapun tinggi ilmu orang-orang padepokan ini, bagiku bukan masalah. Aku dan kedua orang kawanku akan dapat menyelesaikan mereka. Semuanya tergantung kepada kalian. Seandainya terjadi pertempuran, apakah kira-kira kalian dapat bertahan melawan isi padepokan ini?”

Orang yang bertubuh sedang itu termangu-mangu. Katanya, “Kami belum mengetahui kekuatan Padepokan Bajra Seta ini. Menurut pendapatku, padepokan ini tentu mempunyai kekuatan yang besar, sehingga kita perlu membuat pertimbangan sebaik-baiknya.”

“Sekarang harus kita nilai, apakah sikap orang yang mengaku orang Padepokan Bajra Seta itu sangat membahayakan kedudukan kita atau tidak?” bertanya orang yang kekurus-kurusan.

“Semuanya sudah aku ceriterakan” sahut orang bertubuh kekar, “mereka menganggap bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari perampokan.”

“Kau sudah mulai dengan langkah yang salah” berkata orang yang kekurus-kurusan itu, “kau merampok dengan mengatas-namakan diri orang Kediri.”

“Aku tidak merampok. Aku mengambil uang dari orang-orang kaya itu untuk aku kumpulkan sebagaimana sudah pernah dilakukan oleh orang-orang yang berjuang lebih dahulu dari kita. Sudah berapa kali hal seperti itu kita lakukan. Hasilnya cukup baik. Kita mendapat banyak dana bagi perjuangan kita.”

“Itulah yang aku sebut sebagai satu kebodohan.” berkata orang yang kekurus-kurusan itu, “berapa kali cara itu dilakukan. Tetapi cara itu tidak pernah menghasilkan dukungan yang sebenarnya bagi perjuangan kita.”

“Jadi, bagaimana yang tidak bodoh menurut pendapatmu?” bertanya orang yang bertubuh sedang.

“Yang kalian lakukan justru menimbulkan kebencian pada perjuangan yang sedang kalian lakukan. Jika mereka menuduh kita tempuh selama ini memang tidak ubahnya dengan cara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok berandal, perampok atau penyamun.”

Orang yang bertubuh kekar itu pun mengerutkan dahinya. Sementara orang yang kekurus-kurusan itu berkata selanjutnya, “Kalian seharusnya tidak mengancam atau menakut-nakuti orang dengan mengatas-namakan perjuangan yang sebenarnya kita lakukan. Tetapi kalian dapat mengatakan apa saja. Bahkan menyebut dirinya perampok sekalipun. Sebaliknya jika kita justru memberi, setidak-tidaknya memberikan harapan kepada orang banyak bahwa masa depan adalah satu masa yang lebih baik dari masa yang sedang mereka jalani sekarang. Tetapi jika kalian datang dengan mengancam, menakut-nakuti dan merampok, maka orang banyak itu akan membenci kalian dan membenci perjuangan kita semuanya.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian orang bertubuh kekar itu berkata, “Kenapa baru sekarang kau berkata begitu, justru saat kita menghadapi Padepokan Bajra Seta yang kita nilai sebagai sebuah padepokan yang besar dan kuat?”

“Jadi kau menuduh bahwa pendapatku timbul karena aku takut menghadapi kekuatan yang ada di Padepokan Bajra Seta?”

Orang bertubuh kekar itu tidak menjawab. Ia memang tidak ingin membuat orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu marah, karena ia memang seorang yang berilmu tinggi.

“Jika kau mengira demikian, maka kau salah” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “sudah aku katakan, jika kalian berniat untuk mengambil dua orang yang mengaku dari Padepokan Bajra Seta ini, aku akan mengambilnya tanpa perasaan takut sama sekali. Tetapi menurut pendapatku, cara-cara yang kau tempuh selama ini adalah salah.”

“Jadi sebaiknya apakah yang harus kita lakukan?” bertanya orang yang bertubuh sedang.

“Kita harus berbuat sebaliknya. Padepokan yang besar seperti Padepokan Bajra Seta ini harus kita dekati. Jika mungkin kita mengajak mereka untuk membantu perjuangan kita. Kita yakinkan mereka, bahwa perjuangan yang kami lakukan akan sangat berarti bagi rakyat banyak. Terutama Kediri.”

“Tetapi Padepokan Bajra Seta tidak terletak di tlatah Kediri” berkata orang yang bertubuh kekar.

“Kita dapat memberikan harapan atas Padepokan ini. Kelak jika Kediri bangkit, maka Padepokan ini akan mendapat kedudukan khusus meskipun daerah Singasari yang lain akan mengalami bentuk yang berbeda dari kedudukannya sekarang.”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu mengangguk-angguk. Karena itu, orang yang bertubuh sedang, yang memimpin seluruh kelompok itu kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan mencoba. Tetapi apa yang mula-mula harus kita lakukan?”

“Kita memasuki Padepokan ini. Kita sengaja datang untuk membiarkan persoalan yang pernah terjadi. Tetapi kita tidak akan menuntut sama sekali. Kita justru akan minta maaf karena sikap dan tingkah laku kita. Terutama kesan perampokan yang terjadi.”

Orang yang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu berkata, “Kaulah orangnya yang harus minta maaf atas kelakuanmu bersama sekelompok orang pada waktu itu. Kemudian persoalan ini akan aku ambil alih. Kita semuanya yang akan minta maaf dan kemudian memberikan penjelasan, harapan dan janji.”

Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Namun orang bertubuh sedang yang memimpin sekelompok orang-orang berkuda itu bertanya, “Apa kau berkeberatan?”

Orang bertubuh kekar itu berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

“Tentu kau mempunyai pilihan lain” berkata pemimpin sekelompok orang berkuda itu, “jika kau tidak mau minta maaf, maka kita akan melakukan rencana kita semula. Kita akan mengambil kedua orang dari Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi sudah tentu kita tidak tahu apakah kita akan berhasil atau tidak. Apakah kita masing-masing masih akan dapat keluar. Mungkin aku dan beberapa orang akan dapat melepaskan diri jika kita terjepit. Tetapi orang-orang yang hanya besar mulutnya tidak akan dapat berbuat banyak. Mereka akan dibantai oleh para cantrik di Padepokan Bajra Seta.”

Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia bukan termasuk seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka katanya, “Aku akan minta maaf kepada orang-orang Bajra Seta.”

“Bagus” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “jika demikian, marilah. Kita mendekati gerbang Padepokan Bajra Seta.”

Demikianlah, maka sekelompok orang-orang berkuda itu pun langsung menuju ke pintu gerbang Padepokan Bajra Seta. Dua orang yang bertugas di panggung di sebelah pintu gerbang itu segera memberi isyarat kepada para cantrik yang ada di sebelah pintu gerbang itu. Dengan cepat, cantrik yang bertugas di sebelah pintu gerbang itu pun telah menyampaikan pesan itu kepada para cantrik yang bertugas di gardu di sebelah bangunan induk Padepokan Bajra Seta.

Beberapa orang cantrik pun dengan cepat telah berlari ke pintu gerbang. Sebagian dari mereka telah memanjat naik ke atas panggung, sedangkan yang lain bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Mahisa Murti, Empu Sidikara. dan Mahendra pun terkejut mendengar laporan tentang sekelompok orang-orang berkuda yang datang itu. Karena itu, maka mereka pun segera pergi ke pintu gerbang dan naik ke panggung.

Orang-orang berkuda itu berhenti diluar pintu gerbang. Orang yang bertubuh sedang itu pun telah mengangkat tangannya agar para cantrik itu mengetahui bahwa kedatangan mereka tidak berniat buruk dan bermusuhan.

Mahisa Murti yang sudah berada di atas panggung di sebelah pintu gerbang itu pun segera bertanya, “Siapakah kalian?”

Orang yang bertubuh sedang itu pun menjawab, “Kami ingin berbicara dengan orang Padepokan Bajra Seta yang pernah bertemu dengan sekelompok kawan kami, namun agaknya telah terjadi salah paham.”

Mahendra dan Empu Sidikara berpandangan sejenak. Dengan nada berat Empu Sidikara berbisik, “Orang yang berkuda di belakang orang yang berbicara itulah yang kita temui sedang merampok uang itu.”

“Ya” Mahendra mengangguk-angguk, “mungkin orang itu menjadi dendam.”

“Baiklah. Biarlah aku yang menerimanya” berkata Empu Sidikara yang kemudian melangkah maju melekat bibir pagar di panggungan itu. Lalu katanya kepada orang-orang berkuda itu, “Aku mengerti siapakah yang kalian maksud. Apakah kalian berniat mempersoalkannya lagi?”

“Tidak Ki Sanak. Tetapi kami ingin bertemu dan berbicara.” berkata pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu.

Empu Sidikara pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti. Ia adalah pemimpin Padepokan itu. Karena itu, maka ia harus mendapat keputusan dari Mahisa Murti, apakah orang-orang itu diperkenankan masuk atau tidak. Jika tidak, maka ia akan menerima orang-orang itu diluar padepokan.

Namun Mahisa Murti yang tanggap itu pun berkata, “Biarlah mereka masuk Empu. Kita akan berbicara dengan mereka."

Namun sementara itu, maka para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah bersiap. Meskipun mereka masih tersebar, namun jika terjadi sesuatu, maka mereka akan dengan cepat bergerak.

Ketika Mahisa Murti melihat Sambega ada di antara para cantrik dan berdiri di dekat Wantilan, maka ia pun segera teringat saat-saat saudara seperguruan Sambega yang sedang memburunya, sehingga ia harus ikut campur pula. Dengan isyarat, maka Mahisa Murti memerintahkan para cantrik yang ada di gerbang untuk membuka pintunya.

Demikian pintu terbuka, maka Mahisa Murti yang masih ada di panggungan itu pun berkata, “Silahkan masuk Ki Sanak. Kita akan dapat berbicara lebih baik.”

Sekelompok orang-orang berkuda itu pun kemudian telah memasuki pintu gerbang meskipun agak ragu. Demikian orang terakhir melewati pintu, maka pintu gerbang itu pun telah ditutup kembali.

Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Ketika mereka melihat isi Padepokan Bajra Seta, maka jantung mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Di halaman itu para cantrik dalam kelompok-kelompok kecil tersebar di beberapa tempat. Namun nampak betapa mereka bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Mahisa Murti, Empu Sidikara dan Mahendra pun telah turun pula dari atas panggung.

Suasana pun menjadi tegang. Orang-orang berkuda itu tidak dapat mengkesampingkan kenyataan yang mereka hadapi, bahwa Padepokan Bajra Seta memang sebuah padepokan yang besar dan kuat. Seandainya mereka ingin memaksakan kehendak mereka untuk mengambil orang-orang yang mereka maksud, mereka tentu akan menghadapi kesulitan. Meskipun ada di antara orang-orang berkuda itu orang-orang yang berilmu tinggi. Namun menghadapi kenyataan yang ada di Padepokan Seta, maka mereka harus berpikir ulang.

Orang yang bertubuh sedang dan beberapa orang yang berilmu tinggi di antara orang-orang berkuda itu pun telah menyerahkan kuda mereka kepada kawan-kawannya yang lain, sementara mereka melangkah beberapa langkah maju.

Mahisa Murti, Mahendra dan Empu Sidikara pun telah melangkah mendekati mereka pula. Dengan nada rendah Empu Sidikara bertanya kepada orang yang bertubuh kekar, “Kau cari kami berdua? Apakah kau masih merasa mempunyai persoalan dengan kami? Bukankah kami sama sekali tidak merampas uang hasil rampokanmu itu?”

Orang bertubuh kekar itu mengerutkan dahinya. Jantungnya serasa berdetak semakin cepat. Namun yang menjawab adalah orang yang kekurus-kurusan itu, “Tidak Ki Sanak. Seandainya kami masih mempunyai persoalan, sama sekali tidak ingin membuat kesalah-pahaman baru. Justru kami datang untuk menjernihkan kesalah-pahaman itu.”

“Apakah kalian bermaksud baik atau ingin menantang kami?” bertanya Empu Sidikara.

Orang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin menyadari, bahwa sulit untuk memaksakan kehendak mereka terhadap orang-orang padepokan itu. Untunglah bahwa mereka sudah memakai cara yang lain untuk melakukan pendekatan dengan seisi padepokan itu.

Dengan nada rendah orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu berdesis, “Kami bermaksud baik Ki Sanak. Justru kami ingin mohon maaf atas kesalahan yang pernah kami buat.”

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang mempersilahkan, “Jika demikian, marilah. Kita duduk di pendapa. Kita dapat berbicara dengan cara yang lebih baik.”

Orang-orang itu tidak menolak. Beberapa orang di antara mereka mengikuti Mahisa Murti, Mahendra dan Empu Sidikara naik ke pendapa untuk dapat berbicara dengan lebih baik. Sementara itu beberapa orang yang lain, masih tetap berdiri di halaman sambil memegangi kuda-kuda mereka, termasuk mereka yang naik ke pendapa.

Demikian orang-orang itu naik ke pendapa sementara yang lain masih berdiri di halaman, maka terjadi pula pergeseran kelompok-kelompok cantrik yang ada di halaman. Wantilan dan Sambega bergeser ke dekat pendapa, sementara kelompok yang lain berdiri semakin dekat dengan pintu regol yang tertutup. Beberapa orang cantrik masih tetap berada di panggungan. Sedangkan yang lain lagi berdiri di sudut bangunan induk Padepokan Bajra Seta.

Mahisa Semu pun kemudian telah melangkah mendekati orang-orang berkuda yang masih berada di halaman bersama dengan tiga orang cantrik. Dengan ramah Mahisa Semu bertanya kepada mereka, “Ki Sanak, kenapa Ki Sanak tidak ikut naik ke pendapa? Bukankah Ki Sanak dapat ikut berbincang, atau setidak-tidaknya dapat duduk di tempat yang lebih hangat.”

Orang-orang itu memang merasa agak canggung mendapat pertanyaan demikian. Sebenarnyalah mereka sedang berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Jika pembicaraan di antara mereka yang duduk di pendapa itu tidak menemukan titik temu atau bahkan bersiap untuk segera bertindak. Namun bagaimanapun juga mereka tidak dapat menutup mata, betapa para cantrik padepokan itu bersikap. Karena itu, maka seorang di antara mereka menjawab

“Terima kasih Ki Sanak. Biar kami di sini saja menjaga kuda-kuda kami”

“Kuda-kuda itu dapat diikat di patok-patok yang sudah kami sediakan di pinggir halaman itu Ki Sanak” berkata Mahisa Semu.

“Terima kasih. Biarlah kami di sini” jawab orang itu.

Namun Mahisa Semu masih berkata selanjutnya, “Tempat ini adalah tempat tertutup Ki Sanak. Tidak akan ada kemungkinan bahwa kuda-kuda itu akan melarikan diri apalagi hilang diambil orang.”

“Tentu. Tentu. Kami tahu itu Ki Sanak” jawab orang itu.

“Atau kalian sudah terbiasa terlalu berhati-hati menghadapi perkembangan persoalan?” bertanya Mahisa Semu pula.

Wajah orang itu menegang sejenak. Anak itu masih terlalu muda. Namun sikapnya nampak meyakinkan. Karena itu, maka orang-orang itu harus menahan diri. Seorang yang lain justru telah menyahut, “Ki Sanak. Kami tidak akan terlalu lama berada di sini. Karena itu biarlah kami menunggu di sini saja.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika itu yang Ki Sanak kehendaki, silahkan.”

Orang-orang itu tidak menjawab, sementara Mahisa Semu melangkah meninggalkan orang itu. Tetapi tidak terlalu jauh.

Di pendapa, orang yang kekurus-kurusan itu sebagaimana yang mereka sepakati sebelum mereka memasuki Padepokan itu, telah menyatakan penyesalannya atas perbuatan orang yang bertubuh kekar itu. Karena itu, muka ia pun kemudian berkata kepada orang yang bertubuh kekar itu, “Kau harus minta maaf”

Orang yang bertubuh kekar itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka betapapun beratnya, tetapi ia pun kemudian memandangi Empu Sidikara dan Mahendra berganti-ganti, “Kami mencari kalian untuk minta maaf”

“Kaulah yang mula-mula harus minta maaf” berkata pemimpin kelompok itu, “kau sudah melakukan perbuatan yang tercela sehingga menimbulkan kesalah-pahaman dengan orang-orang Padepokan Bajra Seta.”

Orang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku mohon maaf. Waktu itu kami, maksudku aku dan orang-orang yang bersamaku waktu itu, bukan kami yang datang sekarang ini, telah melakukan satu perbuatan yang justru merugikan nama baik kami sendiri.”

Empu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa kau merasa bahwa tindakanmu itu telah merugikan nama baikmu sendiri?”

Orang bertubuh kekar itu pun kemudian berpaling kepada orang yang kekurus-kurusan itu sambil berkata, “Aku telah mendapat tegoran dari para pemimpinku.”

“Ki Sanak” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “Orang ini telah melakukan pemerasan dan bahkan perampokan dengan mengatas namakan perjuangan yang sedang kami lakukan. Mungkin maksudnya baik. Ia ingin dengan cepat dapat mengumpulkan bekal yang mendukung perjuangan kami. Tetapi caranya justru sangat tercela. Dengan demikian orang-orang terutama yang langsung menjadi korban, tidak akan mendukung perjuangan kami.”

“Apakah sebenarnya yang kalian perjuangkan?” bertanya Mahendra.

“Kami adalah sekelompok orang yang menyadari, betapa pincangnya pemerintahan Singasari sekarang ini. Terutama dalam hubungannya dengan Kediri. Karena itu, maka kami ingin mengembalikan keadaan seperti sebelum Tumapel merampas kekuasaan Kediri dan kemudian mendirikan Singasari.” jawab orang yang kekurus-kurusan itu.

“Jadi itukah yang kalian sebut sebagai satu perjuangan?” bertanya Empu Sidikara.

“Sebenarnya kami tidak sekedar berjuang untuk mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum Singasari berdiri. Tetapi kami juga ingin mengembalikan hak yang pernah dirampas oleh Singasari. Terutama hak yang luas dari padepokan-padepokan yang ada di Kediri. Seperti halnya Padepokan Bajra Seta yang besar ini, pada masa kejayaan Kediri, padepokan seperti ini akan mendapat dukungan sepenuhnya dari istana. Bahkan padepokan Bajra Seta tentu akan mendapat bantuan yang besar sehingga padepokan ini akan berkembang dengan pesatnya. Nah, Ki Sanak. Jika kekuasaan Kediri pulih kembali, maka aku berani menjamin bahwa Padepokan Bajra Seta akan dapat menjadi padepokan yang jauh lebih besar dari sekarang serta memiliki berbagai macam perlengkapan yang lebih memadai.” berkata pemimpin kelompok itu.

Tetapi orang itu terkejut ketika Mahendra bertanya, “Ki Sanak. Siapakah kau sebenarnya? Apakah kedudukanmu sehingga kau berani memberikan janji seperti itu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku adalah salah seorang Senopati dari pasukan Kediri yang sedang mempersiapkan pengambil alihan kekuasaan itu?”

“Siapakah yang telah mengangkatmu? Sri Baginda di Kediri atau siapa?” desak Mahendra.

Namun orang itu masih menjawab, “Tidak. Tentu tidak. Tetapi Ki Sanak tidak perlu mengetahui, siapakah yang telah mengangkat aku menjadi Senapati. Namun yang jelas, aku mempunyai kekuasaan yang cukup besar sebagaimana seorang Senapati perang yang menguasai satu wilayah tertentu yang luas.”

“Dan wilayah kuasamu sampai ke lingkungan ini yang justru berada di luar wilayah Kediri?” bertanya Mahendra pula.

“Kuasaku meliputi daerah yang luas sekali. Mungkin orang menganggap bahwa daerah kuasaku berada di luar daerah Kediri. Tetapi tentu Kediri sekarang yang kau maksud.”

“Sudahlah Ki Sanak” berkata Mahendra, “lupakanlah itu. Sebaiknya kita tidak terlalu banyak berharap. Kami sudah puas dengan keadaan kami sekarang. Padepokan kami sudah bergerak maju dengan pesat menurut penilaian kami. Karena itu, biarlah kami berjalan sebagaimana sekarang.”

“Ki Sanak” berkata orang yang kekurus-kurusan itu, “mungkin para pemimpin padepokan ini sekarang berpijak pada sikap sebagaimana kau katakan. Tetapi kenyataan akan berubah di daerah ini. Kalian harus mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Langkah yang cepat yang diambil oleh para pemimpin di Kediri harus kalian perhitungkan.”

“Terima kasih atas perhatian kalian terhadap Padepokan Bajra Seta ini. Tetapi kami mohon maaf, bahwa kami tidak dapat berbuat apa-apa.” desis Mahendra.

Orang yang kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pikirkan untuk bekerja bersama kami Ki Sanak. Kami tidak akan minta sesuatu dari kalian. Tetapi kami ingin meyakinkan kalian bahwa masa depan kalian akan menjadi semakin cerah.”

Empu Sidikara lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami sudah puas dengan keadaan kami sekarang. Bukan berarti kami menolak kerja sama dengan siapapun juga. Tetapi tidak untuk tujuan sebagaimana kalian katakan.”

Pemimpin kelompok itu mengerutkan dahinya. Namun orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu masih berkata dengan nada rendah, “Ki Sanak. Kami hanya menawarkan kemungkinan-kemungkinan. Semuanya terserah kepada Ki Sanak. Mungkin saat ini kalian masih belum sempat memikirkan kesempatan yang terbuka di masa-masa yang akan datang bagi padepokan kalian. Namun kami tidak menutup kemungkinan bahwa pada suatu saat Ki Sanak akan menyediakan diri bekerja bersama kami. Tentu saja dengan syarat-syarat yang kita bicarakan bersama. Mungkin kalian mempunyai syarat-syarat tertentu untuk dapat menerima uluran tangan kami.”

Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Aku minta Ki Sanak melupakan kami. Anggap saja bahwa kami tidak pernah kalian kenal, karena kami tidak akan pernah dapat bekerja bersama siapapun dengan tujuan sebagaimana yang Ki Sanak katakan.”

“Baiklah” berkata, orang yang kekurus-kurusan itu, “kami tidak akan memaksakan kehendak kami. Kami pun menyadari bahwa hal itu sekarang tidak dapat kami lakukan. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa kami akan selalu membuka kesempatan kepada Padepokan Bajra Seta untuk bekerja bersama kami. Karena aku yakin, bahwa kalian pun akan melihat bahwa masa depan tanah ini adalah milik Kediri.”

“Terima kasih atas kesempatan yang terbuka itu Ki Sanak.” jawab Mahendra, “tetapi sekali lagi kami beritahukan, bahwa kami bukanlah sekelompok orang yang kalian maksudkan.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk. Sambil berpaling kepada pemimpin kelompok itu ia berkata, “Marilah. Kita tidak dapat memaksa seseorang untuk mempunyai dasar pertimbangan yang sama untuk menanggapi satu persoalan. Karena itu, maka kita harus menghormati sikap yang berbeda ini. Meskipun kita selalu berharap bahwa pada suatu saat, akan terjadi pendekatan di antara kita dan Padepokan Bajra Seta.”

Pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia menjawab, “Baiklah. Kita tinggalkan tempat ini. Tetapi kita sudah minta maaf atas langkah kami yang salah sehingga menimbulkan salah paham dengan Padepokan Bajra Seta.”

Orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang harus mengakui kenyataan yang mereka jumpai di Padepokan Bajra Seta. Ternyata padepokan itu terlalu kuat untuk dipaksa menuruti kehendak mereka. Mereka juga tidak akan dapat memaksa mengambil orang Padepokan Bajra Seta yang pernah berselisih dengan orang bertubuh kekar itu.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta itu telah minta Mahendra, Empu Sidikara dan Mahisa Murti mengantar mereka sampai ke regol halaman padepokan. Kawan-kawan mereka yang menunggu di halaman telah minta diri pula. Juga kepada Mahisa Semu yang mendekati mereka ketika mereka akan meninggalkan padepokan.

Di regol, para cantrik yang bertugas, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sementara para cantrik yang di atas panggung di sebelah-menyebelah gerbang tidak melihat kelompok-kelompok lain di luar padepokan. Demikian pula cantrik yang bertugas di sudut-sudut belakang padepokan tidak memberikan isyarat apa-apa sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, bahwa kelompok orang berkuda itu datang bersama kelompok-kelompok yang lain.

Sebenarnyalah bahwa kelompok itu memang tidak datang bersama kelompok yang lain. Ketika kemudian pintu dibuka, maka sekelompok orang berkuda itu pun segera keluar lewat pintu gerbang. Di luar pintu orang-orang itu berhenti sejenak. Beberapa orang sempat melambaikan tangannya kepada penghuni padepokan itu. Kemudian, sekelompok orang itu pun segera melarikan kuda mereka memasuki gelapnya malam. Sinar-sinar oncor di pintu gerbangpun kemudian tidak mampu lagi menggapai orang terakhir dari orang-orang berkuda itu.

Dalam pada itu, pintu gerbang Padepokan Bajra Seta itu pun segera ditutup. Sejenak kemudian, maka Mahendra, Empu Sidikara dan Mahisa Murti telah duduk pula di serambi. Ternyata kehadiran orang-orang berkuda itu sangat menarik untuk diperbincangkan.

“Apakah niat mereka sebenarnya datang ke padepokan ini” desis Mahendra, “tentu tidak sekedar minta maaf.”

“Memang sulit untuk ditebak” sahut Empu Sidikara, “tetapi mungkin mereka menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan dapat menimbulkan akibat buruk bagi kelompok itu sendiri, sebagaimana mereka katakan. Orang-orang yang menjadi korban tidak akan mendukung mereka dengan sepenuh hati. Padahal mereka memerlukan dukungan bukan hanya sekedar memberikan uang sebagaimana yang diminta.”

“Agaknya mereka ingin memancing kesediaan kita untuk membantu mereka” berkata Mahisa Murti, “mereka bukan saja memerlukan uang dan benda-benda berharga atau bahan makanan dan sebagainya, bahkan tenaga manusia sebagaimana pernah terjadi atas Kabuyutan Bumiagara.”

Mahendra mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murti berkata, “Nampaknya orang-orang yang pernah mengalami kegagalan itu tidak jemu-jemunya mencoba dan mencoba lagi.”

“Usaha mereka agaknya memang tidak akan pernah patah” desis Empu Sidikara.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu hal yang perlu mendapat perhatian dari Sri Maharaja. Bahkan secara khusus. Meskipun nampaknya hubungan antara Singasari dan Kediri berlangsung dengan baik, namun usaha-usaha sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang bangsawan, masih saja berlangsung. Berganti-ganti orang yang memimpin perlawanan terhadap kemapanan hubungan antara Singasari dan Kediri. Sampai saat-saat terakhir usaha itu memang selalu dapat digagalkan. Tetapi bukan berarti dapat diabaikan.”

Peristiwa malam itu ternyata telah mendorong Mahisa Murti untuk minta agar ayahnya dan Empu Sidikara untuk menunda keberangkatannya.

“Kenapa?” bertanya Mahendra.

“Tidak apa-apa ayah. Hanya sekedar untuk menenangkan perasaan. Jika ayah dan Empu Sidikara berangkat juga besok, maka aku akan merasa gelisah sampai aku sempat pergi ke Singasari untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi sesuatu pada ayah dan Empu di perjalanan ke Singasari.”

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah Ki Mahendra. Kita tentu tidak ingin membuat Angger Mahisa Murti selalu gelisah. Biarlah keberangkatan kita ditunda satu hari lagi.”

“Itu pun aku mohon agar tiga orang cantrik diperkenankan mengikuti perjalanan ayah dan Empu berdua ke Singasari. Mereka tidak akan mengawal ayah dan Empu. Tetapi sekedar memberikan ketenteraman dihatiku. Jika mereka kembali dua tiga hari lagi, maka mereka akan dapat mengatakan bahwa perjalanan ayah dan Empu selamat sampai di Singasari.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Terbersit perasaan bangga dihatinya atas kedua anaknya. Seperti juga Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun mencemaskannya karena ia sudah menjadi semakin tua. Namun kesadaran akan kecemasan anak-anaknya itulah yang membuatnya kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan menunda perjalananku kembali ke Singasari. Aku juga tidak berkeberatan jika kau mengirimkan tiga orang cantrik untuk pergi bersama kami ke Singasari.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga sebenarnya ia merasa cemas, bahwa ayahnya dan Empu Sidikara akan bertemu atau sengaja dicegat oleh orang-orang yang baru saja meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Meskipun mungkin mereka tidak tahu bahwa kedua orang yang pernah mereka temui diperjalanan itu akan menempuh perjalanan kembali ke Singasari.

Demikianlah, maka perjalanan Mahendra dan Empu Sidikara telah tertunda. Sementara itu, Mahisa Murti telah menunjuk tiga orang kepercayaannya untuk pergi bersama ayahnya dan Empu Sidikara kembali ke Singasari. Seorang di antara mereka adalah Wantilan. Sedang dua orang yang lain adalah dua orang cantrik terbaik di padepokan itu.

Tetapi orang-orang yang datang ke Padepokan Bajra Seta sama sekali tidak berniat mencegatnya. Mereka memang tidak tahu bahwa dua orang yang pernah berselisih paham dengan orang yang bertubuh kekar itu akan kembali ke Singasari. Apalagi orang-orang itu masih belum berputus-asa. Mereka masih akan mencoba untuk mendekat orang-orang padepokan itu. Sedikit demi sedikit tanpa menyakiti hati para pemimpinnya.

Tetapi ternyata bahwa cara itu tidak saja ditrapkan pada orang-orang Padepokan Bajra Seta. Orang yang kekurus-kurusan dan berilmu tinggi itu ternyata memiliki pikiran yang lebih jernih dari para pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. Jika mereka terbiasa melakukan kekerasan, maka orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu telah mendesak mereka untuk melakukan cara yang lain.

Dengan cermat orang itu mempelajari kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Kekerasan ternyata tidak banyak membawa hasil. Bahkan memancing kebencian dan jarak yang semakin jauh dengan orang-orang atau kelompok atau bahkan rakyat se Kabuyutan yang pernah menjadi korban. Mungkin cara itu akan dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh orang-orang yang mendukung usaha untuk merubah tatanan hubungan antara Singasari Kediri itu tidak lagi mempergunakan cara yang keras dan kasar. Mereka mencoba membujuk, memberikan janji-janji dan harapan bagi banyak orang.

Dalam pada itu, Mahendra dan Empu Sidikara telah memperpanjang waktunya satu hari satu malam di Padepokan Bajra Seta. Baru di hari berikutnya, pagi-pagi benar Mahendra dan Empu Sidikara telah bersiap. Demikian pula tiga orang yang akan menyertainya pergi ke Singasari.

Menjelang fajar, maka lima orang berkuda telah siap untuk berangkat. Mahisa Murti melepaskan mereka di pintu gerbang Padepokan Bajra Seta. Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Murti melihat ayahnya yang sudah menjadi semakin tua duduk di punggung kudanya. Wajahnya, tubuhnya dan bahkan ketangkasannya sudah tidak lagi sebagaimana ayahnya beberapa tahun yang lalu. Meskipun sorot matanya serta wajahnya yang masih menunjukkan ketegaran jiwanya, namun wadagnya sudah semakin tidak mendukungnya lagi.

Tetapi Mahisa Murti tidak dapat mencegah ayahnya. Ia masih harus tetap memberikan keyakinan kepada ayahnya, bahwa hari-harinya masih tetap berarti. Bahwa ayahnya bukan seorang yang harus diletakkan di pintu sentong tengah sebagai hiasan saja.

Sebenarnyalah Mahendra sendiri merasa, bahwa belum waktunya baginya untuk menghabiskan sisa umurnya dengan duduk bertopang dagu di pringgitan. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahendra, Empu Sidikara dan ketiga orang yang menyertainya itu sudah berpacu menembus bulak-bulak persawahan. Mereka memacu kudanya semakin cepat. Perjalanan yang mereka tempuh adalah perjalanan yang panjang.

Ternyata apa yang dicemaskan oleh Mahisa Murti tidak terjadi. Tidak ada gangguan sama sekali diperjalanan. Juga saat mereka berhenti di kedai untuk beristirahat dan sekedar minum dan makan. Dengan demikian, maka perjalanan yang mereka tempuh lebih cepat dari perjalanan mereka saat mereka menuju ke Padepokan Bajra Seta, karena mereka terhenti beberapa saat diperjalanan untuk menyelesaikan persoalan yang disebut oleh orang-orang Kediri sebagai satu kesalah-pahaman.

Demikian Mahisa Pukat mendengar bahwa ayahnya datang, maka ia pun segera minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama untuk menemuinya.

“Darimana kau mengetahui bahwa ayahmu telah datang?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

“Seorang Pelayan Dalam yang baru kembali telah melihat ayah dan Empu Sidikara pulang dari Padepokan Bajra Seta.” jawab Mahisa Pukat.

“Bukankah ayahmu tidak akan pergi lagi ke mana-mana?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran, ayah sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan panjang. Tetapi aku tidak dapat mencegahnya ketika ayah berangkat. Karena itu, demikian ayah pulang, rasa-rasanya ingin segera mengetahui berita keselamatannya.”

Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya, “Baiklah. Pergilah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas ayahmu dan Empu Sidikara di perjalanan.”

Demikianlah maka Mahisa Pukat pun segera pulang ke rumah ayahnya. Meskipun rumah ayahnya juga berada di halaman istana, tetapi agak jauh menjorok ke belakang, sementara Kasatrian berada di arah samping istana Singasari. Ketika Mahisa Pukat naik ke tangga rumahnya, maka malam pun telah turun. Di pringgitan Mahisa Pukat melihat Wantilan dan dua orang cantrik padepokannya duduk bersama Empu Sidikara. Tubuh mereka masih basah oleh keringat. Sementara itu Mahendra sendiri masih berada di dalam.

Mahisa Pukat berada di rumah ayahnya sampai jauh malam. Banyak yang diceritakan oleh Mahendra dan Empu Sidikara, sementara pembantu di rumah Mahendra itu telah menghidangkan minuman dan makanan bahkan makan malam. Dalam kesempatan itu pula Mahendra telah mengatakan bahwa Mahisa Murti akan datang sepekan sebelum dan sesudah hari pernikahan Mahisa Pukat berlangsung.

“Kenapa hanya sepuluh hari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Sulit bagi Mahisa Murti untuk meninggalkan padepokan terlalu lama.” jawab Mahendra, “ia pun sudah berjanji bahwa Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan ikut serta bersamanya. Kecuali Wantilan. Ia harus tinggal untuk menunggui padepokan.”

Mahisa Pukat memandang Wantilan yang mengangguk-angguk. Katanya, “Paman dapat datang setelah Mahisa Murti kembali ke padepokan.”

Wantilan tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin menunggui pernikahanmu. Tetapi padepokan kita tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Meskipun ada orang lain yang dapat berbuat lebih baik dari padaku, namun rasa-rasanya aku ingin juga ikut menungguinya. Nah, setelah Mahisa Murti kembali ke padepokan, aku akan mempertimbangkannya.”

Demikianlah, maka baru lewat tengah malam Mahisa Pukat minta diri. Ia tahu bahwa ayahnya dan mereka yang baru datang dari padepokan itu perlu beristirahat. Ketika Mahisa Pukat kembali ke Kasatrian, ternyata bahwa Empu Sidikara telah kembali pula ke Kasatrian bersamanya.

Dalam pada itu sejak kedatangannya dari Padepokan Bajra Seta, Mahendra telah bersiap-siap untuk melakukan upacara pernikahan anaknya sebagaimana telah disetujui bersama dengan Arya Kuda Cemani. Seperti yang dijanjikan, maka Empu Sidikara pun telah ikut membantu sejauh dapat dilakukan disamping tugas-tugasnya di Kasatrian.

Ternyata bukan saja Empu Sidikara, tetapi beberapa orang yang bersama-sama tinggal di lingkungan istana telah ikut membantunya pula. Bahkan Pangeran Kuda Pratama pun telah menaruh perhatian yang besar terhadap rencana pernikahan Mahisa Pukat.

Dari hari ke hari kesibukan pun nampak semakin meningkat. Apalagi di rumah Arya Kuda Cemani. Persiapan-persiapan telah dilakukan sebaik-baiknya. Pernikahan yang telah mendapat restu dari Sri Maharaja itu tentu akan banyak mendapat perhatian dari para pemimpin di Singasari. Apalagi kedua orang tua dari mereka yang akan menikah adalah orang-orang yang banyak dikenal dilingkungan istana Singasari.

Di Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti pun telah mempersiapkan dirinya untuk menghadiri pernikahan Mahisa Pukat dengan Sasi. Bukan hanya persiapan keberangkatannya saja. Tetapi juga persiapan jiwani agar jantungnya tidak terguncang karenanya.

Wantilan yang telah berada kembali di Padepokan Bajra Seta bersama dua orang cantrik telah menceriterakan, persiapan-persiapan yang telah dilakukan oleh Mahendra dan Arya Kuda Cemani menjelang pernikahan Mahisa Pukat dengan Sasi.

“Kau diharap datang sebelum sepekan” berkata Wantilan.

Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak dapat meninggalkan padepokan ini terlalu lama. Jika orang-orang yang mengaku orang Kediri itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sikapnya yang manis itu, maka padepokan ini tentu akan menjadi sangat sibuk.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”

“Sepuluh hari bagiku sudah terhitung waktu yang sangat panjang.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Wantilan hanya mengangguk-angguk saja. Namun dalam pada itu, Wantilan memang merasa heran. Pada saat-saat terakhir, menjelang kepergiannya ke Singasari, Mahisa Murti benar-benar telah tenggelam di dalam sanggarnya. Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun telah ditempa jauh lebih berat dari hari-hari sebelumnya.

Bahkan Wantilan sendiri mendapat kesempatan lebih banyak pula untuk berlatih bersama Mahisa Murti, sehingga kesempatan itu menjadi sangat berarti baginya. Bahkan Wantilan yang mempunyai dasar ilmu yang berbeda dan bahkan hampir saja membinasakannya perlahan-lahan, telah dapat diluruskan dan bahkan selapis demi selapis telah meningkat semakin tinggi.

Yang kemudian dapat dibanggakan oleh Wantilan dalam perkembangan ilmunya adalah kemampuannya dalam ilmu pedang. Kemampuan itu seakan-akan begitu saja lahir dan berkembang di dalam dirinya dengan tuntunan yang tidak terlalu banyak dari Mahisa Murti. Bahkan kemudian ilmu pedang Wantilan merupakan salah satu dari ilmu puncaknya ketika dengan tuntunan Mahisa Murti, ilmu pedangnya mencapai satu tataran yang mampu melampaui sekedar kemampuan kewadagan.

Meskipun Wantilan tidak mempunyai senjata sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi dengan pedang yang dibuat secara khusus oleh seorang cantrik yang telah pernah berguru pada para ahli pembuat senjata di Singasari, maka ilmu pedang Wantilan merupakan ilmu kebanggaannya.

Sementara itu, Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang sejak awal mempunyai landasan ilmu yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kemampuan mereka telah merambat sampai pada persiapan untuk memahami dasar-dasar ilmu tertinggi yang dimiliki Mahisa Murti, terutama dari jalur ilmu yang diwarisinya dari Mahendra. Kemampuan Aji Bajra Geni.

Namun karena Mahisa Amping masih terlalu muda, maka Mahisa Murti tidak dapat memberikan landasan ilmu setataran dengan Mahisa Semu, agar tidak justru mengganggu perkembangan kewadagan dan kejiwaannya. Tetapi setapak demi setapak, Mahisa Murti memang berniat untuk menyiapkan anak itu sebaik-baiknya. Bahkan menurut pengamatan Mahisa Murti, di dalam diri Mahisa Amping tersimpan bekal yang lebih baik dari anak-anak kebanyakan.

Dalam pada itu, Wantilan yang umurnya sudah lebih banyak dari Mahisa Murti, rasa-rasanya melihat sesuatu yang asing di dalam diri Mahisa Murti, justru menjelang pernikahan Mahisa Pukat. Wantilan telah menghubungkan keadaan Mahisa Murti itu dengan saat-saat Mahisa Murti pulang dari Singasari tanpa Mahisa Pukat. Saat itu ia pun melihat sikap yang asing itu yang perlahan-lahan menjadi semakin samar dan bahkan hilang. Namun tiba-tiba sikap itu kini dilihatnya lagi.

Namun Wantilan itu justru telah mengagumi Mahisa Murti yang dapat menyalurkan gejolak perasaannya itu dengan sikap yang justru memberikan arti baginya. Mahisa Murti yang nampaknya dicengkam oleh kegelisahan itu telah mengisi waktu-waktunya yang nampak gelisah itu dengan memperdalam ilmu serta memberikan tuntunan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Termasuk Wantilan sendiri, Mahisa Semu, Mahisa Amping dan para cantrik.

Mahisa Murti tidak memberi kesempatan kepada dirinya sendiri untuk dilindas oleh perasaannya. Namun justru mendorongnya untuk melakukan pekerjaan yang sangat berarti baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi Wantilan tidak pernah bertanya kepada anak muda itu, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Bahkan sikap Mahendra yang sangat berhati-hati terhadap Mahisa Murti telah menambah keyakinannya, bahwa telah terjadi sesuatu yang menyentuh perasaan anak muda itu. Wantilan memang menghubungkan persoalan itu dengan pernikahan Mahisa Pukat yang akan berlangsung tidak terlalu lama lagi.

Demikianlah, saat-saat pernikahan itu pun menjadi semakin dekat. Wantilan memang melihat Mahisa Murti menjadi semakin murung. Tetapi ia menjadi semakin banyak berada di dalam sanggar. Sendiri atau dengan siapapun juga. Bahkan dengan beberapa orang cantrik terpilih.

Namun dalam pada itu, yang dianggap akan mengganggu padepokan Bajra Seta oleh orang-orang yang mengaku dari Kediri itu tidak pernah terjadi. Namun orang yang kekurus-kurusan yang pernah datang ke padepokan itu, telah pernah singgah pula untuk menemui Mahisa Murti. Orang itu masih saja menawarkan kesempatan untuk bekerja bersama menyusun keadaan baru dalam hubungan antara Singasari dan Kediri. Namun seperti sebelumnya, Mahisa Murti sama sekali tidak tergerak hatinya. Bahkan Mahisa Murti itu berharap agar orang itu tidak kembali lagi ke padepokannya.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi termangu-mangu karenanya. Dengan nada rendah ia berkata, “Anak muda. Sama sekali tidak ada niatku untuk menipumu. Aku, berkata sebenarnya, bahwa masa depan tanah ini tergantung pada keberhasilan perjuangan kami.”

Namun Mahisa Murti itu pun menjawab, “Ki Sanak. Kedudukan kami sekarang sudah cukup baik bagi kami. Kami tidak ingin mendapat lebih banyak lagi.”

“Anak muda” berkata orang itu, “setiap orang tentu memiliki cita-cita. Setiap orang ingin mendapat lebih dari yang pernah didapatkannya. Karena itu, kau yang masih muda, tentu ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi dari yang telah ada di tanganmu sekarang.”

“Kau benar Ki Sanak. Tetapi yang aku tidak sependapat adalah cara yang kau tawarkan kepadaku. Pada dasarnya aku tidak ingin menjadi pemberontak. Mungkin ada sesuatu yang tidak sesuai dengan jalan pikiranku sekarang ini yang terjadi di Singasari, tetapi jika aku menghendaki perubahan, aku tidak akan mempergunakan cara sebagaimana kau tawarkan.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia masih saja menahan diri. Katanya, “Baiklah anak muda. Mungkin kau masih belum mengerti sepenuhnya maksud dari perjuangan kami. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu saat kau akan mengerti.”

“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “aku minta, kau jangan kembali lagi kemari, karena itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Pendirianku tidak akan pernah goyah.”

Tetapi orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu berkata, “Aku akan minta diri. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu saat kau akan mengerti.”

Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab, “Jangan kau berharap, karena sebenarnyalah bahwa aku sudah mengerti apa yang kau maksud dengan perjuangan. Menurut pendapatku, yang kau maksud dengan perjuanganmu itu tidak lebih dari sebuah pemberontakan. Baik terhadap Singasari, maupun terhadap Kediri sendiri.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Mahisa Murti menyadari, bahwa orang itu sedang menahan diri karena jantungnya telah bergejolak. Namun orang itu berusaha tersenyum sambil berkata, “Baiklah anak muda. Aku mohon diri. Aku akan berdoa bagimu, agar kau segera menyadari kedudukanmu. Kau mempunyai kekuatan untuk menggapai satu ujud kehidupan yang baru yang jauh lebih baik dari sekarang. Mudah-mudahan kau akan bersedia bergerak di saat-saat mendatang.”

“Terima kasih atas kunjunganmu Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan kau tidak akan datang lagi kemari jika kau masih saja ingin berbicara tentang pemberontakanmu. Aku sama sekali tidak berkeberatan menerima kunjunganmu dan siapa saja, sepanjang tidak membawa persoalan yang sangat aku benci itu.”

Orang itu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku akan selalu ingat akan kata-katamu. Tetapi aku tidak akan berhenti berharap bahwa kau akan menemukan satu kesadaran yang sangat berarti bagi masa depanmu.”

“Jangan memaksa aku untuk mengusirmu dengan kasar Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “aku ingin berbuat sebaik-baiknya bagi tamu-tamuku sepanjang mereka tidak menyinggung perasaanku.”

Orang itu tersenyum. Namun kemudian ia pun meninggalkan padepokan Bajra Seta. Namun orang itu menyadari, bahwa anak muda yang memimpin Padepokan Bajra Seta itu adalah seorang yang mempunyai pijakan yang sangat kuat atas sikapnya sehingga tidak mudah untuk dapat diguncang.

Demikianlah, sepeninggal orang itu maka Mahisa Murti pun menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah terlepas dari himpitan perasaan yang terasa menyesakkan dadanya. Pada saat-saat terakhir, perasaan Mahisa Murti terasa agak terganggu. Ia sedang berusaha untuk memantapkan sikapnya menghadapi persoalan pribadinya. Bahkan Mahisa Murti sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Singasari ketika tiba-tiba saja muncul orang yang kekurus-kurusan itu yang selalu menawarkan kemungkinan hari depan yang lebih baik. Hampir saja Mahisa Murti kehilangan kesabarannya. Namun untunglah bahwa orang itu tidak mendesaknya sampai batas kesabaran Mahisa Murti.

Demikianlah, hari-hari pun berlalu. Di Singasari persiapan hari-hari pernikahan Mahisa Pukat menjadi semakin mendesak. Rumah Arya Kuda Cemani sudah mulai sibuk dengan berbagai macam pekerjaan yang berhubungan dengan upacara pernikahan itu.

Namun bagaimanapun juga perasaan Mahendra sebagai seorang ayah kadang-kadang terasa bergejolak pula jika ia mengingat anaknya yang berada di padepokan yang jauh. Namun ia merasa bersyukur bahwa Mahisa Murti ternyata mempunyai kesabaran, yang luas sehingga jalan yang dilalui Mahisa Pukat tidak banyak mengalami hambatan, bahkan tidak menimbulkan benturan kepentingan antara kedua orang anak laki-lakinya itu.

Demikianlah, hari-hari yang semakin dekat itu telah membuat Mahendra semakin tegang. Namun kebutuhan yang berhubungan dengan hari pernikahan Mahisa Pukat itu telah dilengkapinya. Demikian pula di rumah Arya Kuda Cemani. Kesibukannya pun menjadi semakin meningkat. Bahkan perempuan-perempuan mulai sibuk siang dan malam. Sementara itu Sasi sudah tidak diperkenankan lagi meninggalkan rumahnya.

Beberapa hari menjelang keberangkatannya ke Singasari, Mahisa Murti memang menjadi semakin gelisah. Di saat-saat lewat ia memang dapat mengekang perasaannya. Meskipun Mahisa Murti telah meyakinkan dirinya, bahwa ia masih akan tetap mampu mengendalikan diri, namun jika ia melihat saat-saat Sasi bersanding dengan Mahisa Pukat, maka perasaannya itu tentu akan tergetar juga. Tetapi apapun yang akan dihadapinya di Singasari, maka Mahisa Murti memang harus datang.

Dalam keadaan yang rumit itu, Mahisa Murti tidak mempunyai tempat sama sekali untuk mengurangi beban perasaannya. Ia masih belum dapat mengatakannya kepada Wantilan. Meskipun Wantilan baginya merupakan orang yang dituakannya, tetapi rasa-rasanya untuk menyatakan persoalan pribadinya dan apalagi menyangkut saudara laki-lakinya yang juga dikenal baik oleh Wantilan, masih juga terlalu berat.

Karena itu, maka Mahisa Murti telah berniat untuk membawa bebannya itu sendiri. Di Singasari mungkin ia dapat berbicara dengan ayahnya sekedar untuk mengurangi berat beban perasaannya itu. Namun sebelumnya, ia harus memikulnya sendiri. Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti menutupi kegelisahannya itu, Wantilan masih juga dapat melihatnya. Bahkan kemudian ia dapat juga berbicara dengan Sambega mengenai anak muda, pemimpin Padepokan Bajra Seta itu. Keduanya sependapat, bahwa Mahisa Murti memang sedang memikul beban perasaannya. Namun keduanya tidak ada yang bersedia menanyakannya.

“Aku tidak tahu, apakah hatinya akan terbuka” berkata Wantilan.

“Apalagi aku orang baru di sini,“ berkata Sambega, “aku masih belum tahu watak dan sifatnya sedalam-dalamnya. Karena itu, aku takut kalau justru aku melakukan kesalahan.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika saja angger Mahisa Murti mau membuka diri.”

Tetapi Mahisa Murti tetap tidak mengatakan kepada Wantilan dan siapapun di Padepokan Bajra Seta. Meskipun Mahisa Murti tahu, bahwa Wantilan sebenarnya telah membaca kegelisahan hatinya. Namun Mahisa Murti masih belum dapat mengatakan kepadanya.

Tetapi perasaan Wantilan sebagai orang yang lebih tua dari Mahisa Murti memang sudah menangkapnya sejak beberapa saat sebelum hari-hari yang pahit itu datang. Kegelisahan Mahisa Murti semakin nampak justru semakin dekat hari keberangkatannya ke Singasari.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti memang pernah berbicara dengan Wantilan, meskipun tidak berterus-terang. Namun ungkapan yang sedikit itu masih belum cukup kuat untuk mendorong Wantilan berbicara tentang persoalan yang rumit tentang pribadi anak muda itu. Apalagi untuk selanjutnya Mahisa Murti tidak pernah lagi menyinggung persoalan pribadinya itu.

Namun menjelang hari keberangkatannya, ternyata Mahisa Murti telah berdesah tentang kekalutan perasaannya ketika ia sedang duduk bersama Wantilan dan Sambega. “Sesuatu sedang menyulitkan perasaanku” desis Mahisa Murti.

Wantilan menarik nafas panjang. Katanya, “Sebenarnyalah kami melihat kegelisahan pada sikapmu di hari-hari terakhir ini, ngger. Tetapi aku tidak berani mempersoalkannya karena agaknya ada yang tersembunyi di hatimu.”

“Maaf paman” jawab Mahisa Murti, “tidak sepantasnya aku mengeluh dihadapan paman kedua.”

“Kalau saja kami dapat membantumu ngger” desis Sambega.

“Terima kasih paman. Aku tahu bahwa paman berdua tentu bersedia membantu memperingan perasaanku. Mungkin paman akan menghibur aku atau akan memberikan jalan keluar. Tetapi biarlah, sebaiknya pada kesempatan lain aku akan mengatakannya.”

“Tetapi kau membuat kami gelisah” berkata Wantilan.

“Maaf paman” jawab Mahisa Murti, “aku sama sekali tidak berniat membuat paman gelisah. Tetapi aku dapat mengerti kenapa paman gelisah melihat sikap dan tingkah lakuku. Meskipun aku berusaha untuk menyembunyikannya. Tetapi sulit bagiku untuk sama sekali menghapus kesan itu dari permukaan.”

Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku yang sudah lebih tua ini hanya dapat menduga-duga, meskipun agak mendekati kebenaran serta sedikit keterangan yang sebagaimana pernah kau katakan kepadaku. Tetapi baiklah. Kami tidak akan mengatakan sesuatu sekarang ini. Namun kami hanya ingin berpesan, agar angger Mahisa Murti tetap mampu mengendalikan diri apapun yang sedang kau hadapi.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Ya paman”

“Bukankah besok kau akan berangkat ke Singasari?” bertanya Wantilan.

“Ya paman” jawab Mahisa Murti pula.

“Baiklah. Kau akan tetap sebagaimana kau sekarang, kemarin dan dahulu. Kau adalah seorang anak muda yang mampu menguasai diri. Kau tidak mudah hanyut oleh arus perasaanmu. Tetapi kau mampu mencari keseimbangan antara nalar dan perasaanmu itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun telah menduga-duga, apakah Wantilan benar-benar telah meraba persoalannya dengan tepat. Namun malam itu Mahisa Murti telah minta Mahisa Semu dan Mahisa Amping untuk bersiap-siap karena esok mereka akan pergi ke Singasari.

Berbeda dengan Mahisa Murti yang menjadi murung, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi gembira sekali. Mereka akan mendapat kesempatan untuk pergi ke Singasari dan menyaksikan Mahisa Pukat yang akan menikah. Karena itu, justru karena mereka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai esok, maka keduanya tidak segera dapat tidur. Mahisa Murti malam itu pun sulit untuk dapat memejamkan matanya namun karena alasan yang berbeda.

Demikianlah, pagi-pagi sekali, mereka bertiga sudah mempersiapkan diri. Mahisa Semu dan Mahisa Amping sebelum terang tanah, sudah mandi dan berpakaian rapi. Mereka juga membawa sebungkus pakaian mereka yang terbaik, yang akan mereka kenakan saat pernikahan Mahisa Pukat.

Menjelang fajar menyingsing maka mereka bertiga sudah selesai dengan makan pagi. Setelah beristirahat sambil minum minuman hangat, maka mereka pun segera minta diri kepada seisi padepokan untuk berangkat ke Singasari.

“Berhati-hatilah” pesan Wantilan, “perjalanan Ki Mahendra dengan angger Mahisa Pukat serta perjalanannya kemudian bersama Empu Sidikara mengalami hambatan.”

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Namun perjalanan paman dari Singasari bukankah tidak mengalami hambatan apapun?”

“Ya” Wantilan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mudah-mudahan perjalanan angger juga tidak mengalami hambatan.”

Mahisa Murti mengangguk kecil sambil berkata, “Doa paman serta seisi Padepokan Bajra Seta yang aku minta.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kami akan selalu berdoa ngger.”

Sebenarnyalah bahwa Wantilan dan Sambega melepas Mahisa Murti dengan jantung yang berdebaran bukan karena mereka mencemaskan keselamatan Mahisa Murti di perjalanan. Mereka tahu bahwa Mahisa Murti adalah orang yang berilmu tinggi, sementara Mahisa Semu pun telah disiapkan untuk mewarisi ilmu yang tertinggi itu pula. Bahkan Mahisa Amping yang kecil itu sudah memiliki bekal cukup diperjalanan.

Namun yang menggelisahkan Mahisa Murti justru keseimbangan penalaran dan perasaan Mahisa Murti menghadapi kenyataan di Singasari. Karena menurut dugaan Wantilan, kemurungan Mahisa Murti tentu ada hubungannya dengan pernikahan Mahisa Pukat.

Demikianlah, sebelum matahari terbit, ketiga orang itu pun telah meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Jalan-jalan yang mereka lalui masih sepi. Tetapi mendekati padukuhan yang besar di ujung bulak panjang, maka mulai nampak satu dua orang lewat sambil membawa obor. Mereka adalah orang-orang padukuhan kecil terdekat yang akan pergi menjual hasil kebunnya ke pasar. Tetapi obor belarak itu pun segera dipadamkan, karena langit telah menjadi semakin terang.

Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping itu pun melarikan kuda mereka di segarnya udara pagi. Seperti biasa, Mahisa Amping selalu berada di paling depan. Di belakangnya Mahisa Semu sekali-sekali menyusul dan melarikan kudanya di sebelah Mahisa Amping. Namun kemudian Mahisa Amping telah mendahuluinya lagi beberapa langkah.

Mahisa Murti mengikuti keduanya pada jarak tertentu. Jika keduanya menjadi semakin jauh, maka Mahisa Murti pun melarikan kudanya lebih cepat. Tetapi jika jaraknya menjadi terlalu dekat, maka Mahisa Murti telah memperlambat kudanya pula.

Di sepanjang perjalanan Mahisa Murti berusaha untuk tidak mengecewakan kedua orang anak itu. Itu pun berusaha nampak gembira seperti Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Dengan demikian maka perjalanan itu merupakan perjalanan yang menyenangkan bagi kedua orang anak muda itu. Udara terasa segar sementara jalan tidak terlalu ramai. Namun semakin jauh mereka menempuh perjalanan, maka matahari pun merambat semakin tinggi di langit. Panasnya mulai terasa gatal di kulit.

Namun Mahisa Amping masih saja berpacu di depan. Tetapi sekali-sekali ia pun berhenti menunggu Mahisa Semu dan Mahisa Murti. Ketika kemudian matahari sampai di puncak langit, maka Mahisa Amping mulai merasa haus. Mahisa Murti yang melihat keadaannya, telah mengajaknya berhenti di sebuah kedai yang terletak di sebelah pasar yang sudah mulai menjadi sepi. Namun masih juga ada sebagian di antara para pedagang yang menunggu orang-orang yang agak kesiangan pergi berbelanja.

Jika Mahisa Murti pergi dan kembali dari Singasari, ia sudah sering melihat kedai itu. Tetapi selama ini ia belum pernah singgah di kedai itu. Kedai yang nampaknya cukup besar dan cukup ramai dikunjungi orang. Seperti beberapa buah kedai yang lain, maka ada orang yang khusus melayani para penunggang kuda jika mereka memesan makan dan minum bagi kuda mereka. Demikian pula di kedai itu. Seorang anak muda telah siap memberikan minum dan makan bagi kuda Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.

Sementara itu, maka ketiga orang itu pun telah naik dan masuk ke dalam kedai itu. Ternyata di dalam kedai itu telah duduk beberapa orang yang datang lebih dahulu. Sekelompok anak muda duduk di sudut kedai itu. Mahisa Semu yang sempat menghitungnya berdesis, “Lima orang anak muda itu minum tuak.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu lama memperhatikan mereka. Anak-anak itu akan dapat menjadi salah paham.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sambil duduk ia pun berkata, “Apakah mereka tidak akan mabuk?”

“Mungkin mereka hanya minum sedikit.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Semu tidak bertanya lagi. Ia mulai memperhatikan makanan yang disediakan di kedai itu. Bahkan Mahisa Amping sempat berdiri di depan geledeg bambu untuk melihat-lihat jenis makanan yang tersedia.

“Panggil adikmu” desis Mahisa Murti.

Mahisa Semu pun kemudian telah mendekati Mahisa Amping dan menariknya, membawanya duduk bersama Mahisa Murti. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah memesan minuman dan makanan kepada pemilik kedai yang ternyata tidak begitu ramah bagaimana pemilik kedai yang pernah disinggahinya di sepanjang jalan ke Singasari. Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Yang penting baginya, mereka dapat mengobati lapar dan haus. Demikian pula kuda-kuda mereka.

Sementara itu, anak-anak muda itu masih saja minum tuak. Sebagaimana dilihat oleh Mahisa Murti, maka di kedai itu memang disediakan tuak. Agaknya para pembeli tidak pernah dibatasi, berapa saja mereka akan membeli, minum dan kemudian mulai mabuk. Tetapi agaknya hal yang demikian sudah terbiasa terjadi di kedai itu. Beberapa orang lain yang duduk minum dan makan sama sekali tidak menghiraukan mereka.

“Lihat, Mahisa Semu” berkata Mahisa Murti, “anak-anak muda itu mulai menjadi mabuk.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk, sementara Mahisa Amping menjadi heran melihat mereka yang mulai tertawa-tawa dan berbicara kesana kemari tanpa ujung pangkal. Namun Mahisa Murti telah memperingatkan kedua adik angkatnya itu sekali lagi, “Jangan memandangi mereka seperti itu. Nanti kalian akan dapat memancing persoalan.”

“Hanya karena dipandangi?” bertanya Mahisa Amping.

“Ya. Apalagi jika mereka menjadi mabuk. Kesadaran mereka tidak lagi dapat dikendalikan, sehingga mereka akan berbuat apa saja sesuai dengan gejolak perasaannya.” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk, meskipun diluar sadar, sekali-sekali keduanya berpaling juga kepada mereka. Namun ketika minuman dan makanan dihidangkan maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang tidak lagi menghiraukan beberapa orang anak muda itu lagi. Mereka sibuk dengan minuman hangat dan makanan yang mereka pesan.

Namun dalam pada itu, ketika pembantu pemilik kedai itu menghidangkan minuman yang dipesan lagi oleh Mahisa Amping yang kehausan, maka Mahisa Murti pun berdesis, “Ki Sanak. Anak-anak muda itu sudah mulai menjadi mabuk. Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja agar mereka tidak minum tuak lebih banyak lagi?”

Pembantu yang melayani pesanan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi tanpa tuak, maka kedai ini tidak akan mempunyai banyak pembeli.”

“Tetapi bukankah pembeli yang lain juga tidak memesan tuak sebagaimana anak-anak muda itu?” desis Mahisa Murti perlahan-lahan.

“Tetapi tidak cukup banyak. Apalagi menjelang sore hari. Yang banyak berdatangan di kedai ini adalah anak-anak muda yang pada umumnya memerlukan tuak.” jawab pembantu itu.

“Jika demikian, maka kedai ini akan dianggap kurang baik bagi kebanyakan orang” berkata Mahisa Murti, “kalian menarik pembeli dari golongan anak-anak muda yang sering mabuk tuak, tetapi kalian akan kehilangan pembeli lain yang tidak senang melihat anak-anak muda sekedar bermabuk-mabukan sementara orang lain bekerja keras untuk kepentingan masa depannya dan masa depan keluarganya.”

“Tetapi ini adalah kebijakan pemilik kedai ini, Ki Sanak” jawab orang itu.

Mahisa Murti memang tidak banyak berbicara lagi. Ia pun kemudian lebih banyak memperhatikan minuman dan makanannya sendiri sebagaimana Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun Mahisa Murti terkejut ketika kemudian tiba-tiba saja mendengar anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu tertawa hampir berbareng. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping berpaling, maka mereka melihat anak-anak muda itu justru memandangi mereka. Bahkan di antara mereka adalah pemilik kedai itu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun pemilik kedai itu berkata lantang, “Nah, lihatlah betapa alimnya orang-orang itu. Mereka mencela kalian yang minum tuak di kedaiku ini.”

Mahisa Murti memang terkejut. Ia tidak mengira bahwa pemilik kedai yang agaknya mendengar laporan tentang persoalan yang dikatakannya telah langsung mengambil langkah sesuai dengan kebijaksanaannya itu. Mahisa Murti memang menyesal bahwa ia telah mencampuri persoalan pemilik kedai itu. Tetapi hal itu sudah terlanjur dilakukannya.

Ketika Mahisa Murti memandang pembantu yang diajaknya berbicara tentang anak-anak muda yang membeli tuak di kedai itu, orang itu menundukkan kepalanya. Sementara itu Mahisa Semu berdesis, “Pembantu itu agaknya telah mengatakannya kepada pemilik kedai ini.”

“Mungkin maksudnya baik. Mungkin ia sependapat dengan pendapatku dan menyampaikannya kepada pemilik kedai itu. Tetapi pemilik kedai itulah yang ternyata telah menentukan kebijaksanaan dan tidak mau merubahnya.” sahut Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengangguk-angguk, sementara Mahisa Amping masih sibuk menyuapi mulutnya. Tetapi kemudian ia pun bertanya, “Apa maksud pemilik kedai itu?”

“Entahlah” jawab Mahisa Murti yang mencoba untuk tidak menghiraukan lagi sikap pemilik kedai dan anak-anak muda yang mulai mabuk itu.

Tetapi pemilik kedai itu ternyata tidak berhenti sampai sekian. Ia masih berkata lagi, “Kehadirannya telah merusak ketenangan langganan-langgananku.”

“Apakah kita harus mengusirnya?” bertanya seorang anak muda yang juga sudah mulai mabuk.

“Terserah kepada kalian” berkata pemilik kedai itu, “tetapi jangan rusakkan perabot kedaiku ini.”

Anak muda itu tertawa. Sementara Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia tidak ingin menimbulkan persoalan. Tetapi ia tidak mengira bahwa pemilik kedai itu merasa tersinggung oleh pendapatnya yang dikatakannya kepada pembantunya. Namun untuk sementara Mahisa Murti masih duduk diam. Ia masih sempat menelan makanan yang dikunyahnya meskipun ia menjadi gelisah.

Sementara itu, dua orang anak muda telah bangkit berdiri. Tetapi keseimbangan penalarannya agaknya sudah terganggu. Perlahan-lahan keduanya mendekati Mahisa Murti yang masih duduk ditempanya. Ternyata beberapa orang yang ada di kedai itu tidak menghiraukan apa yang terjadi. Agaknya sikap anak-anak muda itu sudah sangat sering dilihatnya sehingga sudah menjadi terbiasa bagi mereka.

Kedua orang anak muda itu pun kemudian berdiri di belakang Mahisa Murti. Sambil tertawa seorang di antaranya berkata, “Ki Sanak. Jika kau tidak senang melihat kebiasaan kami, sebaiknya kau pergi saja. Jangan sesorah seperti seorang yang arif dan mengetahui baik dan buruk dengan sempurna.”

Mahisa Murti benar-benar tidak ingin membuat keributan, Karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Kami akan pergi.”

“Ternyata kau cukup bijaksana” berkata salah seorang dari kedua orang anak muda yang sudah mulai mabuk itu.

Mahisa Murti memang bangkit berdiri. Ia memberi isyarat kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Apalagi mereka sudah cukup minum dan makan, sehingga mereka akan dapat meneruskan perjalanan mereka ke Singasari. Kepada pemilik kedai yang masih berada di antara anak-anak muda yang mulai mabuk itu Mahisa Murti bertanya, “Berapa keping aku harus membayar?”

Pemilik kedai itu tertawa kecil. Katanya, “Aku senang kau singgah di kedaiku Ki Sanak. Tetapi lain kali kau tidak usah sesorah seperti itu. Kau tidak berwenang untuk merubah kebijaksanaanku, karena kedai ini adalah kedaiku.”

“Baik Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “tetapi berapa aku harus membayar?”

“Kali ini kau mendapat perlakuan khusus. Kau tidak usah membayar asal kau cepat pergi,” jawab pemilik kedai itu.

Wajah Mahisa Murti menjadi merah sesaat. Ia merasa tersinggung oleh kata-kata itu. Apalagi ketika kemudian terdengar anak-anak muda itu tertawa meledak. Bahkan beberapa orang lain di kedai itu tertawa pula. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak. Namun Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri.

Tetapi diluar dugaan, maka Mahisa Amping justru berkata, “Bukankah kebetulan sekali, kakang. Kita tidak usah membayar harga minuman dan makanan yang sudah kita makan dan kita minum. Lain kali kita datang lagi ke kedai ini dan sesorah lagi. Nah, kita akan mendapat perlakuan khusus dan tidak perlu membayar lagi.”

“Sst” Mahisa Semu berdesah. Tetapi anak itu justru menjawab, “Bukan salah kita. Bahkan jika kita membawa sebungkus besar makanan, maka kita tidak akan membayarnya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara Mahisa Semu yang mengetahui maksud Mahisa Murti agar tidak timbul keributan, telah menggandeng Mahisa Amping dan menuntunnya keluar.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu juga merasa tersinggung karena sikap pemilik kedai itu. Tetapi Mahisa Semu sudah dapat mengekang dirinya. Sementara Mahisa Amping yang sudah tumbuh remaja itu, masih belum dapat memilih sikap yang sebaik-baiknya sesuai dengan sikap Mahisa Murti. Bahkan ia masih juga berkata keras-keras, “Mereka mengira bahwa kakang Mahisa Murti tidak mempunyai uang untuk membayar harga makanan dan minuman itu.”

“Cukup” teriak pemilik kedai yang memang tidak begitu ramah itu, “aku sudah berbuat sebaik-baiknya bagi kalian yang mencoba untuk mengganggu ketenangan kedai ini. Tetapi kalian masih juga banyak tingkah.”

Mahisa Amping yang agaknya masih akan berbicara lagi telah didahului oleh Mahisa Semu. Katanya hampir berbisik, “sudahlah Amping. Kakang Mahisa Murti tidak ingin terjadi keributan.”

Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun semuanya sudah terlanjur dilakukannya. Pemilik kedai itu sudah terlanjur marah. Karena itu, ketika kemudian Mahisa Murti bergerak pula keluar, maka pemilik kedai itu menyusulnya sampai di luar pintu sambil berkata lantang, “Anak tidak tahu diri. Apa sebenarnya yang kau kehendaki.”

Mahisa Murti memberi isyarat agar Mahisa Amping tidak menjawab. Bahkan ia pun memberi isyarat agar mereka pergi ke kuda mereka dan meninggalkan tempat itu.

Tetapi anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu telah menyusulnya pula turun ke halaman. Bahkan seorang yang sudah lebih tua lagi yang tidak mabuk, telah pula berada di halaman. Dengan suara serak orang yang lebih tua itu berkata, “Kenapa kau sengaja membuat keributan di tempat ini? Kalian tentu sekedar orang lewat. Kami adalah orang-orang yang tinggal di sekitar tempat ini. Kami tidak pernah merasa terganggu oleh perbuatan anak-anak muda itu. Justru kenapa kalian mencoba untuk menumbuhkan persoalan di sini.”

Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak. Dua orang anak muda telah berdiri di dekat kuda-kuda Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. “Ki Sanak” berkata Mahisa Murti kemudian, “kami sama sekali tidak ingin membuat keributan. Kami hanya sekedar mengatakan pendapat kami. Jika kalian tidak sesuai, bukankah kami tidak dapat memaksakan pendapat kami itu.”

“Jadi buat apa kalian mengatakan pendapat kalian itu jika kalian tidak ingin membuat keributan” teriak seorang anak muda yang pandangan matanya sudah mulai berputar-putar karena pengaruh tuak.

“Aku sudah bersedia pergi. Tetapi kalian menahan kami dengan cara seperti ini.” berkata Mahisa Murti.

“Karena apa yang kalian lakukan sudah keterlaluan. Kalian bukan saja menyatakan pendapat lagi, tetapi kalian sudah menyinggung perasaan kami, merendahkan kami dan pokoknya perbuatan kalian tidak dapat kami maafkan.” berkata pemilik kedai itu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan Mahisa Amping yang masih sangat muda itu. Karena itu, maka Mahisa Murti yang sudah tidak lagi dapat menghindar itu justru mencoba menjelaskan pendapatnya, “Ki Sanak. Baiklah. Jika persoalannya sudah tidak dapat dikesampingkan lagi, aku justru akan berbicara lebih banyak lagi.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi panas. Dengan geram ia berkata, “Tidak ada yang perlu kau katakan lagi.”

“Ada” jawab Mahisa Murti, “aku akan mengulangi pendapatku, bahwa tidak sebaiknya di kedai ini disediakan tuak dengan tidak terbatas. Membiarkan anak-anak muda mabuk di setiap saat. Selagi matahari masih belum turun ke barat, anak-anak muda itu telah mulai menjadi mabuk. Justru saat-saat mereka harus bekerja atau melakukan perbuatan apapun yang berarti. Di sawah, di pategalan atau di rumah atau dimana saja.”

“Mereka anak orang-orang yang berkecukupan” teriak pemilik kedai itu, “buat apa mereka harus bekerja keras?”

“Sekarang mereka anak-anak orang kaya. Tetapi kekayaan orang tua mereka tidak akan dapat berkembang dengan sendirinya. Bukankah orang tua mereka menjadi kaya karena mereka bekerja keras? Seandainya mereka mendapat warisan, bukankah warisan itu harus dikembangkan agar tidak menjadi semakin susut dan akhirnya habis tanpa arti sama sekali.”

“Mereka tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Sawah, ladang, ternak dan kekayaan mereka akan berkembang dengan sendirinya.” berkata seorang yang lebih tua dari anak-anak muda itu.

“Tetapi perbuatan mereka akan berpengaruh buruk terhadap anak-anak muda yang lain. Anak-anak muda yang bukan anak orang-orang kaya. Jika mereka meniru anak-anak orang kaya itu, maka kehidupan mereka akan menjadi semakin sulit. Sementara itu kehidupan mereka, keluarga mereka dan masa depan mereka menuntut kerja keras. Juga kampung halaman mereka, padukuhan mereka dan Kabuyutan mereka.”

“Cukup.” pemilik kedai itu berteriak. sementara itu seorang di antara anak-anak muda yang sedang mulai mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Murti sambil berkata, “Jika kau berbicara sepatah kata lagi, maka aku akan mengoyak mulutmu.”

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Mahisa Amping telah melangkah dan berdiri di antara anak muda yang mulai mabuk itu dengan Mahisa Murti. Sambil mendorong anak muda itu kuat-kuat Mahisa Amping berkata, “He orang mabuk. Kau mau apa?”

“Amping” desis Mahisa Semu.

Tetapi Mahisa Amping sudah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Kalian, orang-orang mabuk. Kalian mau apa? Dalam keadaan mabuk, kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi berdiri pun kalian tidak lagi dapat menjaga keseimbangan kalian.”

Tetapi anak muda yang didorong oleh Mahisa Amping itu menjadi sangat marah. Dalam keadaan setengah sadar, maka ia pun melangkah maju sambil mengayunkan tangannya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh apapun juga karena Mahisa Amping bergeser selangkah surut. Tetapi ayunan tangannya itu sendiri justru telah menyeretnya sehingga anak muda itu pun menjadi terhuyung-huyung. Apalagi ia dalam keadaan mulai mabuk.

Mahisa Amping memang masih belum dapat berpikir jauh. Ia masih mengikuti saja gejolak perasaannya. Karena itu, demikian ia melihat anak muda itu terhuyung-huyung, maka Mahisa Amping justru telah menarik tangannya, sehingga anak muda itu jatuh terjerembab.

Namun dengan demikian, maka tidak ada jalan lagi untuk menghindari pertengkaran. Mahisa Amping yang masih sangat muda itu tidak lagi dapat menahan dirinya. Namun Mahisa Amping benar-benar telah bersiap untuk berkelahi meskipun anak-anak muda yang mabuk itu adalah anak-anak muda yang lebih tua dan lebih besar dari padanya.

Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia dapat mengerti, bahwa Mahisa Amping menjadi sangat marah kepada orang-orang yang telah menyinggung perasaannya itu. Bahkan nampaknya Mahisa Semu pun sulit untuk menahan dirinya meskipun ia berusaha dengan sungguh-sungguh.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak lagi ingin mengelak. Bukan karena ia ingin berbuat semena-mena. Namun ia merasa bahwa sikapnya adalah benar. Pendapatnya tidak semestinya dianggap sebagai pendapat yang merusak ketenangan kedai itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti itu justru berkata, “Aku peringatkan kalian, agar kalian tidak mempergunakan kekerasan. Aku hanya mengatakan pendapat yang aku yakini benar. Jika kalian menganggap pendapatku itu salah, itu persoalan kalian. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa usaha yang tidak sepantasnya dilakukan, karena dengan demikian kedai ini sudah ikut mengaburkan masa depan anak-anak muda yang sering menjadi mabuk di kedai ini, justru tanpa menghitung waktu.”

Orang yang lebih tua dari anak-anak muda yang mulai mabuk itu justru telah berteriak, “Usir orang-orang ini. Jika mereka melawan, buat mereka menjadi jera.”

Anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu mulai bergerak. Namun Mahisa Murti pun bertanya, “Apa hubunganmu dengan pemilik kedai itu sehingga kau telah ikut mempertahankan sikapnya, tetapi kau sendiri tidak menjadi mabuk karenanya, atau sama sekali tidak minum tuak? Bukankah seharusnya kau peringatkan anak-anak muda yang terlalu banyak minum sehingga mereka menjadi mabuk itu?”

“Persetan, apa pedulimu” jawab orang itu, “yang penting, kau harus pergi atau kau akan dihajar di sini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu berpaling kepadanya, maka Mahisa Murti itu pun berkata, “Jangan kehilangan kendali diri Semu. Kau sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Aku akan mengendalikan adikmu.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak berbuat berlebih-lebihan. Apalagi anak-anak muda itu sedang mabuk.

Dalam pada itu, beberapa orang anak muda telah mengepung Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ada di antara mereka yang sudah benar-benar mabuk. Ada yang baru mulai. Tetapi ada yang masih sadar sepenuhnya apa yang tengah terjadi itu.

Orang yang sudah lebih tua dari mereka yang sedang mabuk itu serta pemilik kedai itu justru bergerak menepi. Mereka nampaknya tidak ingin melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun mereka telah memanas-manasi suasana sehingga anak-anak muda yang mulai mabuk itu menjadi marah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti sendiri tidak langsung ikut larut dalam perkelahian yang terjadi kemudian. Mahisa Murti mengamati kedua adik angkatnya itu dengan saksama. Ia tidak ingin keduanya tidak lagi mampu menahan diri sehingga melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya bagi anak-anak muda yang sedang mabuk itu.

Sejenak kemudian, telah terjadi perkelahian antara Mahisa Semu dan Mahisa Amping melawan beberapa orang anak muda yang sedang mabuk. Sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Amping, maka anak-anak muda itu tidak lagi mampu berkelahi sebaik-baiknya. Justru karena kesadarannya tidak lagi terkendali sepenuhnya, maka kepala mereka pun mulai menjadi pening oleh tuak. Karena itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping mempunyai kesempatan lebih baik untuk mengatasi lawan-lawannya.

Meskipun anak-anak muda itu jumlahnya berlipat banyaknya, namun justru karena mereka tidak menguasai penalarannya sepenuhnya ada di antara mereka yang tidak berkelahi sepenuhnya. Mereka hanya saling mendorong dan bahkan kemudian jatuh bersama-sama. Tetapi ternyata ada di antara mereka yang masih sepenuhnya menguasai diri mereka. Jika pengaruh tuak mulai menggelitik otaknya, maka mereka justru menjadi lebih berbahaya.

Orang-orang itulah yang kemudian mendapat perhatian sepenuhnya oleh Mahisa Semu sementara Mahisa Amping bermain-main dengan anak-anak muda yang dengan terhuyung-huyung berputaran di sekitarnya. Sekali-sekali mencoba memukul, namun ketika tubuhnya didorong ke samping, maka keseimbangannya tidak ingin dapat dikuasainya.

Tetapi tiga orang di antara mereka justru menjadi sangat berbahaya. Matanya mulai gelisah sementara bau tuak masih berhembus lewat sela-sela bibirnya. Ketiga orang anak muda itu mulai menyibak kawan-kawannya yang tidak lagi dapat menguasai dirinya sendiri.

Mahisa Semu yang melihat mereka memang menjadi berdebar-debar. Ia tidak membiarkan anak-anak muda itu bertindak langsung terhadap Mahisa Amping yang masih saja berloncatan di antara mereka yang sedang mabuk. Sekali-sekali ia mendorong anak-anak muda itu, sehingga mereka berjatuhan. Namun kemudian Mahisa Amping itu segera meloncat surut. Jika ada di antara lawan-lawannya itu menyerangnya, maka dengan mudah ia dapat menghindar dan membalas menyerang.

Tetapi agaknya tidak demikian dengan ketiga orang anak muda yang masih mampu menguasai penalarannya sepenuhnya meskipun otaknya sudah dipengaruhi oleh tuak itu. Justru karena itu, maka ketiganya menjadi sangat garang, sementara tenaganya masih tetap utuh dan bahkan seakan-akan menjadi bertambah-tambah.

Ketika kawan-kawannya menyibak, maka Mahisa Semu lah yang dengan cepat menghadapi mereka sambil berkata, “Apa yang akan kalian lakukan Ki Sanak.”

“Mengoyak mulutmu” geram salah seorang dari antara mereka.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya kami tidak bermaksud menimbulkan keributan.”

Tetapi seorang yang bertubuh kekar segera memotong, “Omong kosong. Kalian sudah mengacaukan ketenangan kami dengan tingkah laku kalian. Seandainya kalian dengan suka rela pergi meninggalkan kedai ini, kita tidak mempunyai persoalan lagi.”

“Kami sudah bersiap-siap untuk pergi” jawab Mahisa Semu.

“Tetapi mulut anak itu telah membuat kami sakit hati.” jawab anak muda yang lain.

Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Namun ia harus bersiap sebaik-baiknya. Ketiga orang anak muda itu mulai bergerak menyerangnya. Namun Mahisa Semu yang sudah terlatih, bahkan sudah mulai bersiap-siap untuk sampai ke puncak kemampuan ilmu Bajra Geni, telah bersiap pula menghadapi mereka.

Demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa Semu itu telah berkelahi pula menghadapi ketiga orang anak muda itu. Dengan kemampuannya yang semakin matang, maka Mahisa Semu berloncatan menyerang ketiga lawannya berganti-ganti. Namun ketiga orang yang sudah dipengaruhi oleh tuak itu pun berkelahi dengan garangnya. Mereka menyerang bersama-sama dari tiga arah yang berbeda.

Namun ternyata mereka berhadapan dengan anak muda yang memiliki kemampuan yang semakin matang. Karena itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah terlempar dan jatuh berguling di tanah. Ketika anak muda itu berusaha untuk bangkit dan bersiap dan berkelahi lagi, maka seorang kawannya yang lainlah yang berteriak kesakitan dan terbanting jatuh.

Tetapi anak-anak muda itu masih juga tidak menjadi jera. Meskipun agak kesakitan, tetapi keduanya telah bersiap pula untuk berkelahi, Sementara itu, seorang kawannya yang lain, telah meloncat menjauhi Mahisa Semu sebelum kedua orang kawannya bersiap. Baru kemudian mereka bertiga berloncatan mendekat lagi dari arah yang berbeda.

Sementara itu, Mahisa Amping masih juga bermain-main dengan beberapa orang anak-anak muda yang telah mulai menjadi mabuk. Anak itu justru berlari-lari berkeliling halaman. Namun kemudian tiba-tiba saja ia menyerang salah seorang dari mereka yang sedang terhuyung-huyung mengejarnya sehingga orang itu terjatuh justru menimpa kawan-kawannya.

Dengan demikian, yang dilakukan oleh Mahisa Amping tidak lebih dari sekedar bermain-main. Sementara itu anak-anak muda yang mengejarnya pun sudah menjadi jemu pula. Kepala mereka terasa pening sehingga ada di antara mereka yang justru menjadi mual dan merasa akan muntah-muntah.

Tetapi tiga orang yang menjadi semakin garang itu masih berkelahi melawan Mahisa Semu. Mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Bahkan mereka menjadi semakin garang oleh pengaruh tuak, namun yang belum terasa sangat mengganggu kesadaran mereka.

Dalam pada itu, pemilik kedai dan seorang yang meskipun masih nampak muda tetapi lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu, memperhatikan perkelahian itu dengan kening yang berkerut. Mereka nampaknya tidak begitu menghiraukan Mahisa Amping. Meskipun mereka merasa heran juga bahwa anak itu memiliki ketangkasan yang tinggi, namun mereka lebih memperhatikan Mahisa Semu.

Ternyata Mahisa Semu sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan ketiga orang anak muda yang berkelahi dengan garangnya. Bahkan anak-anak muda itu telah mulai merasa kesakitan. Sekali-sekali salah seorang dari mereka terlempar keluar lingkaran perkelahian yang menjadi semakin keras.

Tetapi wajah kedua orang itu menjadi cemas. Anak-anak muda itu nampaknya akan kehilangan kesempatan. Bahkan ketika tubuh mereka menjadi semakin terasa sakit, nyeri dan terasa pedih oleh goresan-goresan kerikil saat mereka terjatuh, perlawanan mereka pun menjadi semakin mengendor.

“Anak iblis itu harus dibuat jera” geram orang yang sedikit lebih tua dari anak-anak muda yang minum tuak itu.

“Ternyata dengan sedikit kemampuan, mereka berani mengganggu usaha kita” sahut pemilik kedai itu.

“Biarlah aku yang menghajarnya. Awasi anak yang tertua itu. Nampaknya ia juga memiliki kemampuan.” berkata orang itu.

Pemilik kedai itu mengangguk kecil. Dipandanginya Mahisa Murti yang mengamati kedua adiknya yang sedang berkelahi. Namun ternyata bahwa ia tidak perlu mencemaskan Mahisa Amping, karena Mahisa Amping lebih banyak bermain-main daripada berkelahi. Ia berlari-lari berputaran, meskipun sekali-sekali ia menyerang juga. Namun anak-anak muda yang mabuk itu akhirnya tidak menghiraukan anak itu lagi. Mereka kebanyakan merasa sangat terganggu oleh kepala mereka yang menjadi pening. Bahkan kemudian perutnya menjadi mual.

Sebagian dari mereka justru telah menjatuhkan diri di tangga kedai itu, sementara tinggal seorang saja yang masih berusaha mengejar untuk menangkap Mahisa Amping. Tetapi Mahisa Amping masih berlari-lari terus dan sekali-sekali berhenti untuk melawan. Bahkan Mahisa Amping kemudian telah bersiap untuk berkelahi. Bukan saja berlari-lari.

Sementara itu, orang yang sudah lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Semu yang masih berkelahi melawan tiga orang lawannya. Namun ketiga orang anak muda itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Tubuh mereka sudah terasa semakin lemah, sementara di beberapa tempat terdapat noda-noda kebiru-biruan. Wajah mereka menjadi lembab dan tulang-tulang mereka terasa nyeri. Goresan-goresan kerikil mulai menitikkan darah yang terasa menjadi pedih oleh keringat.

Orang yang lebih tua dari mereka itu pun tiba-tiba saja berteriak, “Minggir. Biarlah aku memberinya sedikit peringatan agar anak ini menjadi jera. Jika tidak, maka ia akan merasa menang dan berbuat lebih buruk lagi di kemudian hari.”

Ketiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi tuak itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika orang yang berteriak itu melangkah maju mendekati Mahisa Semu, maka anak-anak muda itu melangkah surut.

“Kami tidak dapat membiarkan kau dengan kebanggaanmu karena kau merasa dapat mengalahkan ketiga orang anak muda itu. Tetapi ingat, mereka dalam keadaan mabuk. Jika mereka memiliki kesadarannya sepenuhnya, maka kau akan mengalami nasib yang sangat buruk” berkata orang itu.

“Aku tidak mulai membuat keributan di sini” jawab Mahisa Semu, “aku hanya mempertahankan diri.”

“Saudaramu sudah membuat onar di sini. Kau dengan sombong mengangkat dadamu karena kau merasa menang melawan tiga orang anak muda. Karena itu, maka kau harus mendapat peringatan agar kau menjadi jera.” geram orang itu.

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menyadari, bahwa orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Ia sudah melihat, bagaimana Mahisa Semu itu berkelahi melawan tiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi oleh tuak. Sehingga orang itu tentu sudah mempunyai gambaran tentang kemampuan Mahisa Semu. Karena itu, maka menghadapi orang itu, Mahisa Semu harus berhati-hati. Bahkan diluar sadarnya, maka Mahisa Semu telah berpaling kepada Mahisa Murti.

Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk kecil. Ia tidak dapat lagi menarik segala persoalan yang sudah terjadi di kedai itu. Isyarat itu telah membesarkan hati Mahisa Semu. Karena itu, ketika orang yang lebih tua itu bersiap untuk mulai berkelahi, maka Mahisa Semu pun telah bersiap pula.

“Kau, kakakmu dan adikmu harus minta maaf kepada kami semuanya di sini, karena kalian sudah mengganggu ketenangan kami.” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Semu menjawab lantang, “Kalianlah yang harus minta maaf kepada kami karena kalian telah mengganggu perjalanan kami. Kami yang berniat baik telah kalian tanggapi dengan sikap yang buruk sekali. Karena itu, maka kalian memang pantas untuk mendapat peringatan.”

“Anak iblis kau” geram orang itu, “aku koyakkan mulutmu.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi orang itu. Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu telah meloncat menyerang, sehingga Mahisa Semu harus bergeser menghindarinya. Tetapi agaknya orang itu sudah benar-benar menjadi marah. Dengan garangnya orang itu memburu dan menyerang beruntun sehingga Mahisa Semu harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak.

Meskipun demikian, jantung Mahisa Semu sama sekali tidak tergetar karenanya. Dengan cermat ia mengamati tatanan gerak lawannya. Namun kemudian, anak muda itu telah bangkit untuk melakukan serangan-serangan pula. Yang terjadi kemudian bukan sekedar perkelahian antara orang-orang mabuk. Tetapi dua orang yang dengan penuh kesadaran mempergunakan kemampuannya untuk mengalahkan lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin keras. Ternyata orang yang lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu memang memiliki kemampuan olah kanuragan. Mahisa Murti yang memperhatikan perkelahian itu mengerutkan dahinya. Ia mulai menduga, bahwa orang yang berkelahi dengan Mahisa Semu itu adalah orang yang memang diupah oleh pemilik kedai itu untuk mengamankan kebijaksanaan pemilik kedai itu.

Dengan keras dan bahkan kasar orang itu menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Mahisa Semu yang terlatih itu masih tetap mampu mengimbanginya. Bahkan kemudian perlahan-lahan Mahisa Semu mulai mengatasinya. Namun orang itu juga bukan orang kebanyakan. Serangan-serangannya menjadi semakin keras. Orang itu berloncatan dengan cepatnya, sementara tubuhnya seakan-akan menjadi sangat ringan.

Tetapi Mahisa Semu ternyata mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Meskipun Mahisa Semu masih muda, tetapi ia tidak segera menjadi gelisah melihat kemampuan lawannya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka beberapa kali Mahisa Semu justru berhasil memotong gerak lawannya, sehingga lawannya itu justru terkejut karenanya.

Lawannya yang melihat Mahisa Semu mengalahkan ketiga orang anak muda yang telah dipengaruhi oleh tuak itu memang sudah menduga bahwa anak muda itu memiliki landasan ilmu kanuragan. Tetapi ia tidak mengira bahwa tataran kemampuan ilmu kanuragan anak muda itu sedemikian tinggi baginya, sehingga akhirnya ia mengalami kesulitan.

Tetapi ada satu hal kelebihan orang itu. Ia lebih tua dari Mahisa Semu. Ia pun ternyata memiliki pengalaman yang luas bertualang di dunia kekerasan. Karena itu berdasarkan atas pengalamannya, maka ia masih dapat bertahan lebih lama. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu membuat tipuan-tipuan sehingga Mahisa Semu kadang-kadang terkejut karenanya.

Meskipun demikian, ketangkasan Mahisa Semu memang membuat lawannya kadang-kadang harus berloncatan mundur. Kaki Mahisa Semu seakan-akan menggapai-gapai tubuhnya kemana pun ia menghindar. Sementara itu, kedua tangannya dengan rapat melindungi tubuhnya dari serangan-serangan lawannya yang dengan tiba-tiba menerpanya.

Demikianlah, perkelahian itu menjadi semakin seru. Pada saat-saat yang gawat, maka serangan-serangan Mahisa Semu sempat masuk menembus pertahanan lawannya. Ketika lawannya mengayunkan tangannya ke arah kening Mahisa Semu, maka Mahisa Semu dengan cepat merendah. Demikian tangan lawannya itu terayun, maka dengan cepat kaki Mahisa Semu yang memiringkan tubuhnya itu terjulur langsung mengenai bagian bawah ketiak lawannya.

Lawannya itu terdorong surut. Tetapi dengan berputar satu lingkaran dan sedikit merendah, ia pun segera mempersiapkan diri. Ketika kemudian Mahisa Semu meloncat memburunya, maka Mahisa Semu justru terkejut. Lawannya itu sempat bergeser selangkah ke samping. Namun kemudian ia meloncat maju dengan tangan kawannya yang terjulur lurus. Untunglah bahwa Mahisa Semu sempat memiringkan kepalanya, sehingga yang dikenai serangan lawannya itu hanyalah daun telinganya

Meskipun demikian rasa-rasanya daun telinganya itu menjadi panas. Bukan saja karena sengatan rasa sakit. Tetapi juga kemarahan yang menerpa jantungnya. Karena itu, maka Mahisa Semu menjadi semakin garang pula. Jika semula ia masih menghormati lawannya yang umurnya lebih tua daripadanya, maka kemudian, Mahisa Semu seakan-akan telah melupakannya. Anak muda itu telah mengerahkan tenaga dalamnya sejauh tingkat kemampuannya. Namun demikian, tenaga Mahisa Semu itu seakan-akan telah menjadi berlipat.

Dengan demikian, maka serangan-serangan Mahisa Semu menjadi semakin kuat dan semakin keras, sehingga dengan demikian, maka lawannya itu menjadi semakin mengalami kesulitan.

Pemilik kedai itu mulai menjadi gelisah. Anak itu ternyata bukan anak muda kebanyakan. Ia memiliki kelebihan dari bukan saja anak-anak muda sebayanya. Tetapi orang-orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu semakin lama semakin menguasai lawannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan semakin keras. Bahkan semakin banyak serangan-serangannya yang mampu menyusup dan menguak pertahanan lawannya.

Dengan demikian, maka keadaan orang itu menjadi semakin sulit sementara Mahisa Semu sudah terlanjur menjadi marah. Ketika serangan kakinya mengenai lambung lawannya, maka lawannya itu telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Mahisa Semu masih memburunya. Serangan berikutnya dilontarkannya dengan kakinya pula. Sambil memiringkan tubuhnya, maka serangannya datang meluncur dengan derasnya.

Orang itu tidak sempat menghindar. Serangan kaki itu ternyata tepat hinggap di dadanya. Ternyata serangan itu telah mengakhiri perlawanan orang itu. Ia terdorong dengan derasnya dan tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya. Orang itu pun kemudian telah jatuh terlentang. Demikian kerasnya sehingga tulang punggungnya serasa akan patah. Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka ia hanya dapat menyeringai menahan sakit. Bahkan kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.

Sementara itu, pemilik kedai itu pun menjadi gelisah. Mahisa Murti yang tidak terlibat dalam perkelahian itu telah berdiri di dekat pemilik kedai itu. Dengan nada dalam ia berdesis, “Ki Sanak. Apakah kau akan membantunya. Kau lihat, tidak ada yang dapat melawan adikku itu. Tetapi jika kau ingin, maka kau dapat melakukan. Atau kau akan mencobai aku sebagaimana pesannya tadi. Bukankah kau tadi dipesan untuk mengawasi aku.”

Pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti menggeram, maka ia mulai menjadi gemetar.

“Aku memiliki kemampuan berlipat dari adikku itu. Nah, jika kau ingin mencobanya, marilah. Aku akan mengajarimu agar kau sekali-sekali mau mendengarkan pendapat orang lain.”

Tetapi pemilik kedai itu justru berkata dengan suara bergetar, “Ki Sanak. Kami mohon maaf. Jangan sakiti kami.”

“Tetapi kawan-kawanmu sudah terlanjur kesakitan” desis Mahisa Murti, “supaya adil, maka kau pun harus disakiti.”

“Ampun. Aku mohon ampun Ki Sanak. Aku tidak akan mengulangi kesalahan ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Mahisa Amping berdiri bertolak pinggang. Ternyata ia berkelahi dengan salah seorang anak muda yang mabuk itu. Namun tidak terlalu lama, karena anak muda itu dengan mudah didorongnya jatuh. Bahkan beberapa kali.

Mahisa Semu pun masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Marilah. Aku ingin berbicara dengan kau dan kawanmu itu.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat di sekitarnya, ternyata masih ada beberapa orang yang berdiri di halaman kedainya itu. Justru bukan orang-orang yang semula ada di kedai itu. Mereka datang ketika mereka mendengar telah terjadi perkelahian di halaman kedai itu antara beberapa orang lewat yang sempat singgah dan dianggap mengganggu ketenangan orang-orang yang sering ribut di kedai itu karena mabuk.

Mahisa Semu pun kemudian melangkah mendekati lawannya yang punggungnya serasa patah itu. Katanya, “Bangkit dan dengar kata-kata kakakku.”

“Punggungku sakit sekali” desis orang itu.

“Kau mau bangkit atau aku patahkan kakimu?” geram Mahisa Semu sambil menangkap pergelangan kaki orang itu.

“Jangan. Jangan” minta orang itu.

“Jika demikian, cepat bangkit, sebelum aku kehabisan kesabaran.” bentak Mahisa Semu.

Dengan susah payah sambil menyeringai kesakitan orang itu mencoba untuk bangkit. Betapapun sakitnya, namun ia tidak ingin kakinya dipilin oleh anak muda itu sehingga patah.

Sementara itu Mahisa Amping sambil bertolak pinggang membentak anak muda yang mabuk itu, “Bangun. Dengar kakakku berbicara. Kau dan kawan-kawanmu harus merangkak mendekat dan mendengarkan kata-katanya.”

Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian memanggilnya. Demikian Mahisa Amping mendekat, Mahisa Murti pun berkata, “Mereka sedang mabuk. Sulit untuk mengerti kata-katamu.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dua orang di antara anak-anak muda yang mabuk itu telah muntah-muntah di halaman itu. Mahisa Amping memalingkan wajahnya sambil berdesis, “Mereka harus dihukum.”

“Bukan kita yang akan menghukumnya.” jawab Mahisa Murti.

“Siapa?” bertanya Mahisa Amping.

“Kita akan berbicara dengan pemilik kedai itu” desis Mahisa Murti.

Mahisa Amping justru termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi.

Orang yang kesakitan punggungnya dan pemilik kedai itu pun kemudian berdiri dengan wajah pucat di hadapan Mahisa Murti. Sementara beberapa orang datang dari rumah-rumah yang tidak terlalu jauh dari kedai itu, serta beberapa orang yang masih berada di pasar di sebelah.

Sebelum Mahisa Murti bertanya kepada kedua orang itu, Mahisa Murti justru bertanya kepada orang-orang yang berkerumun, “Nah, apakah kata kalian tentang kedai ini?”

Seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan melangkah maju mendekat sambil berkata, “Apakah maksud angger sebenarnya? Apakah yang angger maksud tentang anak-anak muda yang sering bermabuk-mabukan di kedai ini?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “apakah tidak ada akibat bagi para penghuni rumah di sekitar tempat ini atau mereka yang masih berada di pasar itu?”

Orang yang berambut ubanan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnyalah bahwa sudah agak lama kami ingin berbicara tentang hal itu. Tetapi pemilik kedai ini agaknya tidak senang mendengarkan pendapat kami.”

“Tidak” sahut pemilik kedai itu dengan serta merta. “Bukan maksudku. Tetapi selama ini memang tidak ada orang yang memberi aku petunjuk.”

“Kau jangan mengada-ada” bentak Mahisa Murti, “ketika aku menyatakan pendapatku, kau langsung menjadi marah. Kau panasi hati anak-anak muda itu, sehingga mereka menyerang kami.”

“Tetapi, bukan maksudku menolak pendapatmu ngger” jawab pemilik kedai itu.

“Ingat. Aku dapat berbuat apa saja terhadapmu. Aku dapat memukulmu sampai kepalamu menjadi retak. Kau lihat, bahwa orang-orang yang datang sekarang tidak semuanya akan membantumu.”

“Tetapi aku mau mendengarnya” orang itu mulai menjadi gagap. Ketika Mahisa Murti memandanginya dengan wajah yang bersungguh-sungguh orang itu berkata dengan suara yang menjadi gemetar lagi. “Ya. Ya. Aku akan mendengarnya.”

Sementara itu Mahisa Murti bertanya kepada orang yang rambutnya mulai beruban itu, “Bagaimana pendapat kalian?"

“Anak-anak muda yang mabuk itu kadang-kadang memang mengganggu,” jawab orang itu bahkan tidak mengenal waktu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara seorang perempuan berkata, “Anakku mulai minum tuak juga.”

Mahisa Murti memandangi pemilik kedai itu dengan tajamnya. Sementara itu pemilik kedai itu menjadi semakin cemas. Orang-orang yang biasanya berdiam diri dan tidak berani menyatakan sikapnya itu, telah mulai mengungkapkan perasaan mereka. Seorang demi seorang akan terpancing untuk menyatakan pendapatnya.

Sebenarnya bahwa orang-orang yang tinggal di sekitar kedai itu serta orang-orang yang terbiasa berada di pasar, ternyata sependapat, bahwa kedai yang menyediakan tuak itu kurang bijaksana. Apalagi pendapat beberapa orang perempuan yang anaknya sudah mulai dipengaruhi oleh tuak.

Mahisa Murti pun mengangguk-angguk sambil berkata kepada pemilik kedai itu, “Nah, kau dengar pendapat mereka. Mereka sebenarnya berkeberatan. Tetapi aku tidak tahu kenapa mereka selama ini hanya berdiam diri saja. Mungkin karena kau memiliki seorang upahan yang berilmu sebagaimana orang yang ternyata tidak dapat mengalahkah adikku itu.”

Tetapi orang itu tiba-tiba saja menyahut meskipun masih harus menyeringai menahan sakit, “Aku bukan orang upahan.”

“O” Mahisa Murti berpaling kepadanya, “jadi kenapa kau pertaruhkan dirimu untuk membelanya? Jika kau menerima upah untuk pekerjaan itu, maka namanya kau orang upahan, karena upah itulah yang menentukan, apakah kau akan melakukan pekerjaan itu atau bukan.”

“Tetapi aku bukan orang upahan” jawab orang itu.

“Jadi kenapa?” desak Mahisa Murti.

Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Tetapi pemilik kedai itulah yang kemudian menjawab, “Orang itulah yang memberikan tuak kepadaku. Semakin banyak anak-anak yang minum, maka semakin banyak pula tuaknya laku.”

Mahisa Murti berdesah perlahan. Katanya, “Jika demikian, maka kalian berdualah yang bertanggung jawab jika semakin banyak anak-anak muda yang menjadi terbiasa minum tuak. Mereka akan menjadi ketagihan. Bahkan semakin lama mereka minum semakin banyak. Tuak kalian memang menjadi semakin laris. Tetapi apakah kalian berpikir tentang akibatnya yang dapat terjadi atas anak-anak muda itu? Lihat, apa yang telah mereka kerjakan sejak pagi sampai sesiang ini? Duduk-duduk, minum tuak, mabuk kemudian muntah-muntah dan tidur atau mengganggu orang lain. Sementara itu anak-anak muda yang lain sedang sibuk bekerja keras untuk membentuk masa depan mereka.”

Pemilik kedai dan orang yang kesakitan di punggungnya itu tidak menjawab. Namun Mahisa Murti pun berkata terus, “Nah, sekarang terserah orang-orang yang tinggal di sekitar kedai ini. Kalian harus mendengarkan pendapat mereka. Aku sendiri memang sering lewat jalan ini. Aku sudah melihat orang keluar masuk kedai ini, termasuk anak-anak muda. Tetapi baru sekarang kami sempat singgah di sini dan menyaksikan apa yang ada di dalam kedai ini.”

Pemilik kedai dan orang yang kesakitan punggungnya itu hanya menundukkan kepala mereka saja. Tetapi mereka sama sekali tidak menjawab.

Dalam pada itu, Mahisa Murti masih berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya, “Ki Sanak. Selanjutnya terserah kepada kalian. Jika kalian memang menentang, maka sebaiknya kalian berbicara berterus-terang kepada pemilik kedai. Sementara itu, kalian jangan tergesa-gesa membebankan semua kesalahan kepada anak-anak muda itu. Mereka harus mendapat bimbingan dan petunjuk bahwa apa yang mereka lakukan bukan jalan terbaik bagi kehidupan mereka kelak.”

Seorang yang berambut ubanan itu berkata, “Kami memang memerlukan satu saat yang mengejutkan seperti ini. Dengan demikian, maka anak-anak itu akan melihat kenyataan yang mereka hadapi. Mereka semua sama sekali tidak menghargai apa yang telah ditentukan oleh banyak orang serta pemisahan anggapan atas yang baik dan yang buruk.”

Pemilik kedai dan orang yang punggungnya bagai patah itu semakin menunduk. Kemudian seorang pun berkata lantang, “Kita akan menutup kedai itu, nanti kalian pergi, maka kami masih berteka-teki, apakah akan ada perubahan yang terjadi di kedai ini. Bahkan mungkin kami, yang tentu akan dapat dikenali oleh pemilik kedai dan pembuat tuak itu, akan diancam oleh bahaya yang tidak akan dapat kami elakkan.”

“Jangan takut” berkata Mahisa Murti, “hal itu tidak akan terjadi. Setelah aku mengetahui keadaan ini, maka tempat ini akan selalu diawasi oleh para prajurit Singasari.”

“Prajurit Singasari? Bukankah Singasari masih jauh?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Ya. Singasari memang masih jauh. Tetapi prajurit itu akan datang dan menghubungi bebahu Kabuyutan yang membawahi tempat ini. Para prajurit itu akan dapat membicarakan persoalan kedai ini dengan Ki Buyut dan para bebahunya, sehingga pengawasan sehari-hari kedai ini ada di tangan mereka.”

“Bagus” berkata orang bertubuh kecil itu. Agaknya ia memiliki keberanian untuk berbicara lebih terbuka dari kawan-kawannya meskipun tubuhnya kecil. Kemudian ia pun berkata pula, “sebaiknya para prajurit itu memang berbicara dengan Ki Buyut. Jika mereka hanya berbicara dengan Ki Bekel, maka tidak akan ada artinya lagi.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita di sini semuanya tahu, apa yang dilakukan oleh Ki Bekel. Tetapi tidak seorang pun di antara kami yang berani berbicara. Kami pun tidak tahu dengan siapa kami harus berbicara.”

“Apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Pemilik kedai dan pembuat tuak itu memiliki ilmu dan kemampuan. Sedangkan Ki Bekel mempunyai kekuasaan yang juga bersandar pada kekuatan beberapa orang bebahunya. Sementara itu tuak menghasilkan uang. Nah…”

Tetapi seorang yang lain berteriak, “Bakar saja gubug yang telah menyesatkan itu. Dua adikku mulutnya telah mulai berbau tuak. Kelakuannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Mereka juga sering berada di kedai ini.”

Sementara itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kami serahkan pemilik kedai itu kepada kalian, apapun yang akan kalian lakukan. Namun satu hal yang perlu aku pesankan, kalian harus memperlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan sesama, karena mereka juga mempunyai perasaan serta nalar budi.”

“Kami akan menghukum mereka” teriaki seseorang.

“Itu tidak perlu” jawab Mahisa Murti, “tetapi kalian harus yakin, bahwa di kedai ini tidak akan dijual tuak.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti berkata sekali lagi, “Aku akan sering lewat jalan ini. Karena itu, maka kalian harus melakukan apa yang seharusnya kalian lakukan menurut pertimbangan nalar budi kalian. Meskipun sekali lagi aku peringatkan, mereka harus diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku mengerti. Sekarang akan melanjutkan perjalanan. Jika terjadi sesuatu, maka aku akan cepat mengerti.”

Orang-orang yang berkerumun itu pun mengangguk-angguk. Ketika seorang yang bertubuh kecil menyeruak kawan-kawannya dan kemudian berdiri di paling depan, Mahisa Murti pun bertanya, “Ada yang akan kau katakan?”

“Ya” jawab orang itu, “selama ini di antara kami memang tidak ada yang berani berbuat sesuatu. Pemilik kedai dan orang yang membuat tuak itu adalah orang-orang yang ditakuti. Mereka dapat berbuat apa saja terhadap kami. Jika uang itulah pusar dari persoalan yang sebenarnya kami hadapi di sini, sehingga Ki Bekel pun tidak berminat untuk menghentikan penjualan tuak di kedai ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti sekarang apa yang terjadi di sini. Baiklah. Aku berjanji, bahwa petugas dari Singasari akan menghubungi Ki Buyut.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Namun di wajah beberapa orang Mahisa Murti masih melihat keragu-raguan.

Karena itu Mahisa Murti pun berkata, “Kalian tidak usah takut atau ragu-ragu menghadapi persoalan ini. Tetapi juga tidak usah bertindak berlebihan sebagaimana dikatakan oleh beberapa orang untuk menghukum pemilik kedai itu dan pembuat tuak itu. Biarlah Ki Buyut menangani hal ini.”

“Sebenarnya kami tidak takut terhadap kedua orang itu” berkata seorang yang bertubuh kekar, “bahkan kami siap menghukumnya beramai-ramai. Jika selama ini kami hanya berdiam diri, karena kami memang menghormati sikap Ki Bekel. Tetapi tentu ada batas-batas tertentu. Yang kalian lakukan adalah semacam awal dari langkah-langkah baik yang dapat dilakukan di sini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun sebelum pembicaraan berkepanjangan, maka orang-orang itu tertegun. Orang yang siap untuk menghukum itu pun terdiam pula. Beberapa orang telah mendatangi tempat itu. Orang itulah yang disebut Ki Bekel.

“Apa yang terjadi di sini. Seseorang telah melaporkan bahwa ada orang yang berusaha mengacaukan ketenangan di tempat ini.” berkata Ki Bekel yang datang diiringi oleh beberapa orang bebahu yang memang sering menakut-nakuti orang-orang padukuhan yang cukup besar itu.

Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah maju sambil menjawab lantang, “Akulah orangnya. Bukankah kau Bekel yang berkuasa di padukuhan ini?”

“Ya. Aku penguasa padukuhan ini.” jawab Ki Bekel.

“Bagus” berkata Mahisa Murti, “aku pesan kepadamu, awasi kedai ini. Di kedai ini tidak boleh lagi dijual tuak yang dapat meracuni anak-anak muda. Bahkan mereka dalam keadaan mabuk telah mengganggu ketenangan padukuhan ini.”

“Siapa kau?” bertanya Ki Bekel.

“Siapapun aku, itu tidak penting. Tetapi dengar keteranganku. Orang-orang yang berkerumun ini sependapat, bahwa tidak sepantasnya di kedai ini dijual tuak, karena anak-anak mereka mulai dijalari penyakit minuman itu. Tetapi selama ini kau tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya.”

“Setan kau” geram Ki Bekel, “kau berbicara dengan aku, Ki Bekel yang berkuasa di padukuhan ini.”

“Aku tidak peduli. Orang-orang di sekitar kedai ini sudah mulai bangkit. Mereka tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Bahkan mereka sudah siap untuk bertindak, menghukum pemilik kedai dan penjual tuak itu. Tetapi itu bukan wewenang mereka. Tetapi wewenangmu.”

“Kau jangan mengigau seperti itu. Ingat, di sini aku mempunyai wewenang sepenuhnya. Aku dapat bertindak atasmu” berkata Ki Bekel.

Tetapi Mahisa Murti seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata, “Akan datang petugas dari Singasari untuk menata pergaulan hidup di padukuhan ini.”

Tetapi Ki Bekel yang marah itu menjawab lantang, “Omong kosong. Aku tidak percaya kepada kata-katamu itu.”

“Aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Tetapi pada saatnya petugas dari Singasari itu akan datang bersama sekelompok prajurit. Jika kau keras kepala, maka kau akan ditangkap.”

“Aku tidak menunggu prajurit dari Singasari. Akulah yang akan menangkapmu sekarang.” teriak Ki Bekel...