Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 90 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 90
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dengan keras telah mengacaukan kepungan lawan-lawannya. Bahkan orang bertubuh raksasa itu seakan-akan semakin tidak berdaya. Ketika ia menyerang Mahisa Murti dengan tombak yang diambilnya dari seorang cantrik, maka kemarahan Mahisa Murti yang tidak tertahankan lagi telah mematahkan tombak itu dengan pedangnya yang khusus. Pedang yang jarang ada duanya.

Sementara itu, Mahisa Pukat justru telah meloncat ke halaman dan berteriak lantang, “Marilah. Siapa yang ingin mati lebih dahulu?”

Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun berdiri termangu-mangu. Ia melihat orang-orang yang datang itu tidak seperti beberapa orang yang pernah datang sebelumnya. Tetapi orang-orang ini adalah orang-orang yang memang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Ia melihat beberapa orang cantrik yang melihat pertempuran itu dengan wajah yang penuh keragu-raguan.

Ketika kedua orang bertubuh raksasa serta beberapa orang cantrik yang bertempur itu tidak segera menyelesaikan pekerjaan mereka, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun berteriak, “Cepat. Selesaikan orang ini. He, para cantrik. Kali ini adalah saatnya kalian menunjukkan kesetiaan kalian kepada padepokan ini.”

Beberapa orang cantrik memang dengan serta merta telah menyerang keempat orang itu. Namun Mahisa Amping yang semula hanya berdiri tegang, tiba-tiba harus membela dirinya ketika seseorang ingin menangkapnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun menjadi semakin garang. Ia berloncatan menyerang orang-orang yang mengepungnya. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Namun setiap kali telah mematuk dan membentur senjata-senjata yang teracu di sekitarnya.

Orang bertubuh raksasa yang melawan Mahisa Pukat itu masih memegang bindinya. Beberapa kali bindinya telah membentur pedang Mahisa Pukat. Namun bindi itu semakin lama justru terasa menjadi semakin berat.

Ketika para cantrik yang bertempur itu menjadi semakin bingung menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun di antara mereka terdapat dua orang raksasa yang dianggap memiliki kekuatan yang sangat besar itu, maka orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun telah bersiap-siap untuk melibatkan diri.

Namun ternyata pertempuran itu telah menarik perhatian seisi padepokan itu. Para cantrik yang ada di bagian lain dari padepokan itu pun telah berlari-lari menuju ke bangsal kecil itu.

Tetapi sementara itu, ternyata Mahisa Murti telah melihat satu kemungkinan yang lain. Ketika lawannya menjadi semakin banyak, maka ia pun telah bertempur semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Murti itu pun berteriak,

“Marilah, siapa yang ingin menunjukkan kesetiaannya kepada padepokan ini? Siapakah yang merasa menjadi murid yang mendapat perlakuan sebagai layaknya murid sebuah padepokan? Siapakah yang tidak diperlakukan sebagai budak yang tidak berharga, lawan kami. Tetapi siapa yang merasa diperlakukan lebih rendah dari seekor binatang, sekarang adalah kesempatan bagi kalian untuk menunjukkan harga diri kalian.”

Suara Mahisa Murti yang lantang itu terdengar oleh para cantrik yang telah memenuhi setiap ruangan di sekitar bangsal kecil itu.

Sementara itu, Mahisa Semu yang mendengar suara Mahisa Murti itu tiba-tiba saja telah mempunyai pikiran tersendiri. Sekilas ia melihat Mahisa Amping yang berhasil melepaskan diri dari seorang cantrik yang nampaknya telah menyerangnya. Dengan cepat Mahisa Semu telah menarik tangan anak itu dan berusaha keluar dari lingkaran pertempuran.

“Ke mana?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Semu tidak menjawab. Sementara itu Wantilan yang melihat keduanya bergeser menjauh, menjadi cemas. Wantilan memang mengira bahwa Mahisa Semu akan menyingkirkan Mahisa Amping, sehingga karena itu, ia pun telah menyusulnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat keduanya meninggalkan arena, meskipun sambil berlari-lari mereka masih juga harus bertempur. Baru kemudian Wantilan menyadari apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Semu telah menemukan jalan menuju ke tempat orang-orang yang terikat. Bukan saja yang terikat di patok-patok di halaman yang dipanasi oleh terik matahari dan di rendam derasnya hujan, tetapi juga yang ada di dalam bilik-bilik yang sempit.

Wantilan yang tanggap segera melindunginya. Dengan kemampuannya Wantilan telah menahan beberapa orang yang mengejarnya, sementara Mahisa Semu sempat memutuskan tali beberapa orang yang terikat bersama Mahisa Amping. Satu dua orang memang tidak berdaya. Tetapi ada di antara mereka yang masih memiliki tenaga yang cukup.

“Bangkitlah,” teriak Mahisa Semu, “kami datang untuk menolong kalian.”

Orang-orang itu memang ragu-ragu. Mereka sudah terlalu lama mengalami nasib yang pahit sejak mereka berpengharapan untuk menyadap ilmu di padepokan itu. Tetapi yang mereka ketemukan adalah justru kesulitan dan kesengsaraan.

Mahisa Semu melihat keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika kalian tidak memanfaatkan saat ini, maka kalian tidak akan pernah mendapatkannya. Bahkan kalian justru akan mengalami keadaan yang lebih pahit lagi.”

Tetapi Mahisa Semu tidak mempunyai waktu lebih lama. Ia pun segera harus melawan orang-orang yang memburunya. Namun ia sempat berkata, “Lepaskan kawan-kawanmu. Pergilah dari neraka ini.”

Ketika Mahisa Semu kemudian bertempur melawan orang-orang yang mengejarnya, Mahisa Amping masih sempat memutuskan tali pengikat beberapa orang sambil berkata, “Tolong kawan-kawanmu. Ajak mereka pergi.”

Orang-orang yang kemudian telah bebas dari ikatannya itu pun masih saja ragu-ragu. Tetapi mereka menyadari bahwa keadaan menjadi semakin mendesak. Sementara Mahisa Semu bergeser meninggalkan arena dan berlari-lari menjauh diburu oleh beberapa orang cantrik. Namun nampaknya ada beberapa para cantrik yang mulai memperhatikan orang-orang yang telah dibebaskan itu.

“Cepat. Lepaskan kawan-kawanmu. Kau harus melawan mereka,” berkata Mahisa Amping yang juga mulai gelisah.

Kata-kata Mahisa Amping ternyata lebih menyentuh dari kata-kata Mahisa Semu, justru karena Mahisa Amping masih kanak-kanak. Karena itu, maka beberapa orang telah mulai menyadari keadaan. Dengan cepat mereka berusaha untuk melepaskan tali kawan-kawannya yang juga terikat. Bahkan mereka pun menyadari bahwa bukan hanya mereka saja yang terikat di padepokan itu. Tetapi di balik bilik-bilik yang lain, terdapat juga beberapa orang yang terikat.

“Hati-hati,” berkata Mahisa Amping, “ada dua atau tiga orang cantrik yang datang.”

Orang-orang yang ada di dalam bilik itu pun telah bersiap-siap. Mereka memang tidak dapat berdiam diri menghadapi kesempatan itu. Sementara Mahisa Amping telah berusaha untuk bersembunyi melekat dinding di sebelah pintu yang terbuka.

Dengan hati-hati para cantrik itu mendekati pintu bilik. Sementara orang-orang yang ada di dalamnya masih duduk di tempatnya meskipun mereka sebenarnya sudah tidak terikat lagi. Demikian ketiga orang cantrik itu masuk, maka Mahisa Amping telah menyerang mereka dengan tiba-tiba dari sisi pintu.

Seorang di antara para cantrik itu terkejut ketika tiba-tiba sebuah luwuk telah menghunjam di lambungnya. Demikian cantrik itu terhuyung-huyung jatuh, maka orang-orang yang telah dibebaskan itu pun segera bangkit. Beramai-ramai mereka menyerang dua orang cantrik yang lain tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.

Meskipun orang-orang yang terikat itu belum sempat menyadap ilmu kanuragan, tetapi mereka telah dibekali oleh perasaan dendam yang membakar jantung, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah menyerang para cantrik itu dengan beraninya. Ketiga orang cantrik yang tidak siap menghadapi keadaan itu ternyata menjadi tidak berdaya. Mereka pun terkapar dengan berlumuran darah.

Orang-orang yang terlepas dari ikatannya itu ternyata telah menemukan senjata. Karena itu, maka dengan pedang yang dirampasnya dari para cantrik itu, mereka telah berusaha untuk memutuskan tali pengikat dinding yang menyekat bilik mereka dengan bilik di sebelah. Mereka menganggap bahwa dengan cara itu mereka akan lebih cepat mencapai kawan-kawan mereka yang masih terikat. Jika mereka keluar dari bilik itu, maka mereka akan dapat mengundang para cantrik yang akan dapat menyerang dan menghalangi mereka.

Sebenarnyalah, ketika ijuk pengikat dinding sudah terputus, maka dengan mudah mereka dapat menembus ke bilik berikutnya. Beberapa orang pun kemudian telah dibebaskan pula. Meskipun ada juga di antara mereka yang tidak mampu lagi bangkit berdiri, tetapi beberapa orang lain masih cukup mempunyai tenaga untuk berbuat sesuatu. Ketika kemudian dinding berikutnya juga dikoyak dengan pedang yang tajam itu, orang-orang yang terikat pun telah dapat dibebaskan pula.

Orang-orang itu sempat memungut apa saja yang dapat mereka pergunakan sebagai senjata. Jika mereka bertemu dengan beberapa orang cantrik, maka mereka akan dapat melawannya beramai-ramai. Dengan demikian, maka orang-orang itu pun telah keluar dari bilik-bilik tahanan mereka. Tiga orang yang sempat merampas pedang itu pun berdiri di paling depan.

Dalam pada itu, mereka pun kemudian telah merayap sampai ke bagian lain dari padepokan itu. Beberapa orang yang sedang berlatih di bawah ancaman cambuk memang sedang termangu-mangu karena mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi. Sementara itu orang-orang yang melatih mereka sambil membawa cambuk pun agak kebingungan menghadapi keadaan yang tidak menentu.

Namun dalam pada itu, maka orang-orang yang bebas dari belenggu mereka itu pun tiba-tiba saja telah datang menyerang. Seorang di antara mereka berteriak nyaring, “Kita telah bebas. Kita harus membebaskan diri.”

Orang-orang yang baru melakukan latihan di bawah bayangan ujung cambuk itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, orang-orang yang baru saja merasa bebas dari belenggu perbudakan di padepokan itu pun telah menyerang para pelatih yang membawa cambuk itu tanpa peringatan sama sekali. Dendam dan kebencian membayang di wajah mereka yang garang.

Orang-orang yang membawa cambuk itu pun tidak sempat mengerti apa yang telah terjadi. Mereka menyadari keadaan setelah ujung pedang mematuk jantung mereka. Tetapi semuanya sudah terlambat. Para pelatih itu pun kemudian telah terkapar jatuh. Orang-orang yang sedang melakukan latihan itu pun masih juga ragu-ragu. Karena itu, orang-orang yang datang itu pun telah memberitahukan apa yang telah terjadi.

“Sekelompok orang yang tidak dikenal telah membebaskan kami,” berkata seorang di antara orang-orang yang dibebaskan itu, “sekarang, kita harus mempertahankan kebebasan ini. Jangan disia-siakan.”

Orang-orang itu pun mulai menyadari pula apa yang telah terjadi. Satu pemberontakan dari orang-orang yang untuk beberapa lama mengalami siksaan lahir dan batinnya. Orang-orang yang datang dengan penuh harapan untuk menyadap ilmu, namun telah terjerumus ke dalam sarang penyamun yang garang. Mereka yang terperosok ke neraka itu telah dirampas semua bekal yang mereka bawa.

Kemudian dengan latihan-latihan yang berat dan penuh penderitaan, mereka telah dirubah menjadi orang-orang yang kehilangan dirinya sendiri. Orang-orang yang tidak lagi berpribadi, sehingga mereka akan melakukan segala perintah dari orang-orang padepokan itu. Merampok, menyamun, merampas dan tindakan-tindakan lain yang sama sekali tidak terbayang sebelumnya. Namun tiba-tiba jiwa mereka terguncang lagi. Demikian tiba-tiba. Telinga mereka mulai mendengar kabar kebebasan yang telah mengejutkan mereka.

Beberapa saat mereka masih ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar suara mengancam, “Siapa yang tidak ingin ikut serta membebaskan diri, aku anggap berpihak kepada orang-orang padepokan ini.”

Ternyata ancaman itu sempat membangunkan mereka. Mereka pun dengan serta-merta telah berteriak sebagaimana orang-orang yang dibebaskan lebih dahulu.

“Kita bebas sekarang. Kita bebas.”

Mereka yang sedang berlatih itu telah memiliki senjata di tangan mereka, meskipun sangat sederhana. Parang yang telah berkarat atau pedang yang patah. Namun dengan senjata itu, maka mereka akan dapat menjadi bagian dari arus banjir bandang yang dahsyat yang melanda padepokan itu.

Sebenarnyalah, di padepokan itu telah terjadi pemberontakan. Orang-orang yang untuk waktu yang cukup lama mengalami tekanan lahir dan batin, tiba-tiba saja bagaikan ledakan yang sangat dahsyat melanda padepokan itu.

Para cantrik yang setia kepada orang yang mengaku sebagai Kiai Nagateleng itu akhirnya mengalami kesulitan. Orang-orang yang berontak itu telah menyerang mereka dengan liar.

Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang telah berhasil mengobarkan pemberontakan itu, telah ikut pula berada di antara mereka. Mahisa Semu dan Wantilan ternyata memiliki bekal kemampuan yang cukup. Mereka tidak lagi berlari-lari sambil bertempur. Tetapi kawan-kawan mereka menjadi cukup banyak.

Di bagian belakang dari padepokan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berbuat lebih banyak lagi. Namun mereka masih juga belum tahu pasti maksud Mahisa Semu dan Wantilan. Karena itu, maka mereka pun berusaha secepatnya menyelesaikan pertempuran itu. Mahisa Murti yang mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang keras telah mematahkan hampir semua senjata lawannya. Orang yang bertubuh raksasa yang menjadi sangat marah, ternyata tidak berdaya menghadapinya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka ayunan pedang Mahisa Murti yang tidak dapat ditahan lagi telah menyambar bahu orang itu. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Bukan saja karena perasaan sakit yang menyengat, tetapi juga karena kemarahan yang memuncak. Apalagi beberapa orang cantrik yang membantunya telah terlempar dari arena pertempuran. Sebagian dari mereka tidak lagi mampu untuk bangkit lagi.

Orang bertubuh raksasa yang terluka itu seakan-akan telah kehilangan akal. Karena itu, dengan liar ia pun telah menyerang Mahisa Murti yang juga menjadi marah menghadapi perlakuan orang-orang padepokan itu. Karena itu, maka ketika raksasa yang sangat marah itu dengan sisa tenaganya menyerangnya, maka Mahisa Murti justru telah membenturnya.

Kekuatan Mahisa Murti yang sangat besar itu ternyata telah mengakhiri pertempuran. Pedang Mahisa Murti tidak dapat ditahan oleh orang bertubuh raksasa itu, sehingga bukan saja sekedar melukainya, tetapi pedang itu telah menghunjam sampai ke jantung.

Orang bertubuh raksasa itu terdorong beberapa langkah. Ketika Mahisa Murti menarik pedangnya, maka raksasa itu pun telah roboh dan sama sekali tidak berdaya lagi untuk bangkit. Bahkan untuk selama-lamanya.

Kematian orang bertubuh raksasa itu memang sangat berpengaruh. Sementara itu orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu pun menggeram marah. Wajahnya menjadi merah, seakan-akan seluruh darahnya yang mendidih telah berkumpul di kepalanya.

Orang bertubuh raksasa itu adalah orang kepercayaannya yang harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang paling gawat di antara orang-orangnya dan orang-orang lain yang mempergunakan kekerasan. Ternyata orang itu terbunuh oleh anak muda yang semula dikiranya tidak berdaya, sehingga telah diperlakukan seperti orang-orang lain yang pernah datang ke padepokan itu.

Karena itu, maka orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun kemudian telah meloncat sambil menyibakkan orang-orangnya, “Minggir. Biar aku sendiri menyelesaikan orang ini.”

Mahisa Murti bergeser surut. Ia menyadari, meskipun orang itu bukan Kiai Nagateleng yang sebenarnya, tetapi ia tentu seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun harus semakin berhati-hati. Meskipun orang itu tidak sebesar dan sekuat orang bertubuh raksasa itu, namun dengan landasan ilmunya orang itu tentu seorang yang berbahaya. Apalagi ketika orang itu telah mengurai senjatanya. Dua batang tongkat besi yang dihubungkan dengan rantai yang tidak terlalu panjang.

Mahisa Murti pun kemudian telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi orang itu. Karena itu, maka ia pun telah bergeser ketempat yang lebih luas. Mahisa Murti ingin bertempur denga leluasa. Jika perlu dengan mempergunakan segala macam ilmu yang dimilikinya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti itu pun telah terlibat dalam pertempuran melawan orang yang disebut Kiai Nagateleng itu. Dalam sentuhan yang pertama, maka Mahisa Murti telah menyadari, bahwa ternyata orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Kekuatan tenaga cadangannya jauh melampaui kekuatan orang kebanyakan.

Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah menyelesaikan lawannya yang bertubuh raksasa itu. Lawannya tidak sempat mengetahui, kenapa ia menjadi demikian cepatnya kehilangan tenaganya, sehingga bindinya justru telah menjadi beban yang sangat berat. Ketika dengan susah payah ia mengangkat bindinya, maka ujung pedang lawannya yang muda itu telah terayun menyilang mengoyak dadanya.

Raksasa itu berteriak marah. Suaranya menggelegar bagaikan mengguncang pendapa kecil itu. Namun suaranya pun kemudian segera lenyap bagaikan disapu prahara. Raksasa itu jatuh terjerembab. Sekali ia menggeliat. Namun kemudian nafasnya pun terputus di kerongkongan.

Kematian kedua orang raksasa itu telah menggoyahkan keberanian para cantrik di padepokan itu. Meskipun mereka masih juga bertempur melawan Mahisa Pukat, namun jantung mereka terasa menjadi semakin keriput.

Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah karena perlakuan orang yang telah mencoba menjebaknya. Karena itu, ketika orang itu juga memasuki arena pertempuran, maka sasaran utamanya adalah orang itu.

Mahisa Pukat memang tidak memerlukan waktu terlalu lama. Beberapa kali terjadi sentuhan senjata, maka orang itu pun seakan-akan telah tidak berdaya lagi. Ternyata daya tahan orang itu terlalu lemah, meskipun ia memiliki kemampuan dan menguasai berbagai macam unsur gerak yang rumit.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, orang itu pun tidak mampu lagi melawan dengan baik serta mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Pukat, sehingga sejenak kemudian, maka ujung pedang Mahisa Pukat pun telah membelah lambungnya. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Namun kemudian orang itu pun telah jatuh terguling. Tidak seorang pun yang akan mampu menolongnya lagi.

Demikianlah, maka para cantrik yang berada dipadepokan itu dengan sadar, telah menjadi semakin cemas menghadapi keadaan. Apalagi ketika gelombang pemberontakan mulai terasa. Beberapa orang berlari-lari memasuki bagian dari padepokan itu yang disebut bangsal alit. Mereka berlari-lari seperti orang yang sedang mabuk sambil mengayun-ngayunkan senjata mereka.

Ketika para cantrik menyadari keadaan, maka jumlah orang-orang itu pun telah menjadi semakin banyak. Bahkan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun berada di antara mereka.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat mereka, maka barulah mereka menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi. Agaknya Mahisa Semu tanggap akan kata-katanya sehingga bersama Wantilan dan Mahisa Amping, mereka telah mampu menggugah kesadaran orang-orang yang untuk beberapa lama terbelenggu. Lahir dan batinnya.

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun menggeram, “Setan. Kalian telah menggangu ketenangan padepokanku. Tidak ada hukuman yang pantas daripada hukuman mati.”

Mahisa Murti sempat juga menjawab, “Kau telah menjebak puluhan orang ke dalam padepokanmu dengan memalsukan nama Kiai Nagateleng. Sekarang saatnya sudah tiba, bahwa padepokan ini harus dimusnahkan. Bukan kebiasaan kami menghancurkan padepokan seseorang. Tetapi karena tempat ini justru menjadi sarang kejahatan yang terselubung, yang justru menjadi sangat berbahaya.”

Kiai Nagateleng yang bukan sebenarnya itu menjadi semakin marah. Suaranya melengking tinggi, “Kau terlalu sombong. Tetapi kau harus menghadapi kenyataan yang barangkali tidak kau harapkan. Kau akan mati di sini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, maka pertempuran pun telah membakar seluruh padepokan. Orang-orang yang dibebaskan dari belenggu yang mengikat mereka lahir dan batin itu pun benar-benar telah memuntahkan dendam mereka.

Dengan garangnya mereka telah menyerang para cantrik yang setia kepada orang yang mengaku Ki Nagateleng itu. Betapapun para cantrik itu ditakuti sebelumnya, namun ketika dendam itu meledak, maka mereka sama sekali tidak berdaya. Apalagi dua orang raksasa yang menjadi hantu di padepokan itu telah terbunuh. Pertempuran memang telah terjadi di mana-mana. Tetapi kemudian seakan-akan berpusat di sekitar bangsal kecil itu.

Mahisa Pukat yang telah membunuh orang bertubuh raksasa itu, masih harus melawan sekelompok cantrik yang semakin semakin menjadi ragu-ragu melihat orang-orang yang mengamuk itu siap menyerang mereka pula. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus berusaha untuk melindungi diri mereka. Tidak seorangpun cantrik yang mendapat kesempatan untuk hidup jika mereka jatuh ke tangan orang-orang yang mendendam itu. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali mati namun sambil membunuh lawan-lawan mereka.

Tetapi, itu pun sulit mereka lakukan. Sehingga ada beberapa orang cantrik yang lebih baik memilih menghindar dari pertempuran. Ternyata memang ada beberapa orang cantrik yang berhasil melarikan diri dengan meloncati dinding padepokan itu dan berlari menjauhi melintas pematang dan lorong-lorong sempit. Namun demikian, sebagian besar dari mereka, benar-benar telah jatuh ke tangan orang-orang yang dendamnya telah membakar jantung.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah bertempur melawan orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng. Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng, yang menyadari bahwa Mahisa Murti yang berilmu tinggi itu, ternyata tidak berusaha menjajagi ilmunya. Beberapa lama ia sudah memperhatikan mahisa Murti bertempur dengan keras dan berhasil membunuh orang bertubuh raksasa yang menjadi kepercayaannya. Tetapi, orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu langsung bertempur dengan tataran ilmunya yang tertinggi.

Sebenarnyalah ia ingin dengan cepat menyelesaikan anak muda yang sangat berbahaya itu. Apalagi, ia sadar bahwa jika ia terlambat, maka orang-orangnya pun akan dihabiskan oleh mereka yang telah memberontak. Orang itu, setelah membinasakan anak-anak muda yang datang dan membuat onar di padepokannya, maka ia pun harus menguasai kembali orang-orang yang memberontak itu. Menghukum mereka dengan hukuman yang seberat-beratnya. Bahkan sebagian dari mereka memang harus dihukum sampai mati.

Tetapi ternyata Mahisa Murti memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu tidak segera mampu mengalahkannya. Dengan demikian, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun telah meningkatkan ilmu sampai ke puncak. Dengan demikian, maka orang itu menjadi sangat berbahaya dengan kemampuannya bergerak sangat cepat. Tubuhnya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah. Kakinya berloncatan membawa tubuhnya menyambar-nyambar. Ilmunya meringankan tubuh ternyata telah mampu membuat Mahisa Murti kadang-kadang kehilangan arah.

Namun Mahisa Murti yang bertempur dengan keras itu sekaligus telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap ilmu lawannya sehingga lawannya itu akan banyak kehilangan kekuatan dan kemampuannya. Demikianlah, maka dengan mengerahkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya, Mahisa Murti berusaha untuk mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Meskipun kadang-kadang Mahisa Murti harus berloncatan mengambil jarak.

Namun dengan demikian, orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu tidak mampu untuk segera mengalahkan Mahisa Murti sehingga ia tidak dapat dengan cepat menolong cantrik-cantriknya yang setia kepadanya. Mereka benar-benar telah dilanda arus dendam yang tidak terbendung lagi. Meskipun ada satu dua di antara mereka yang sempat melarikan diri, tetapi hampir semua cantrik di padepokan itu telah dimusnahkan.

Namun, orang-orang yang memberontak itu ternyata tertegun juga melihat pertempuran antara Mahisa Murti dan orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng. Mereka telah melihat pertempuran yang sulit mereka mengerti. Bahkan seakan-akan mereka tidak sempat lagi melihat yang manakah pemimpin dari padepokan itu dan yang manakah anak muda yang telah mengguncang kekuasaan orang yang menyebut Kiai Nagateleng itu.

Dengan garangnya maka senjata mereka pun berdentangan beradu. Tetapi kecepatan gerak orang itu memang sangat mengagumkan, sehingga ujung senjatanya yang meskipun tidak runcing itu, telah mampu mengoyak kulit di lengan Mahisa Murti. Bahkan tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai itu rasa-rasanya telah mampu meretakkan tulang-tulang di tubuhnya.

Beberapa kali tongkat itu menyentuh tubuh Mahisa Murti. Jika sentuhan itu justru pada ujungnya, maka meskipun ujung tongkat itu tumpul, namun mampu membuat luka di kulit lawannya. Tetapi jika tongkat itu memukul tubuhnya, maka sakitnya sampai ke tulang.

Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti benar-benar menjadi marah. Anak muda itu telah meningkatkan kemampuan, daya tahan dan tenaga cadangan di dalam dirinya sampai ke puncak. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin garang. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih belum mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Tongkat lawannya itu kadang-kadang masih sempat menembus pertahanannya. Meskipun benturan-benturan selalu terjadi, tetapi tongkat itu masih juga mampu mengenai tubuh Mahisa Murti.

Perasaan sakit telah menggigit seluruh tubuh Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, kekuatan ilmunya telah mulai terasa pengaruhnya atas lawannya itu. Semakin lama geraknya pun menjadi semakin lamban, sehingga pada suatu saat, Mahisa Murti tidak lagi merasa terlalu sulit untuk mengimbangi kccepatan geraknya. Tetapi pada saat yang demikian, tubuh Mahisa Murti pun telah menjadi semakin lemah. Bukan saja karena ia harus memeras tenaganya untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, tetapi tulang-tulangnya pun telah menjadi sakit di beberapa tempat.

Namun Mahisa Murti masih mampu menghentakkan sisa tenaganya. Sementara lawannya benar-benar telah kehilangan sebagian besar dari kekuatan dan kemampuannya. Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun sempat menjadi bingung atas dirinya sendiri. Ia merasa tubuhnya menjadi begitu cepat kehilangan kekuatan. Tangannya menjadi berat dan senjatanya pun menjadi semakin sulit untuk digerakkan. Apalagi kakinya bagaikan dibebani oleh gumpalan-gumpalan batu padas.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Murti berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Ia benar-benar tidak dapat memaafkan lawannya yang kecuali telah membuat banyak sekali penderitaan atas orang lain, ternyata bahwa ia pun telah melukainya. Karena itu, maka Mahisa Murti justru berusaha semakin banyak terjadi benturan-benturan kekuatan dan sentuhan-sentuhan senjata.

Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu akhirnya merasa bahwa tenaganya tidak akan mampu mengimbangi tenaga anak muda itu. Ia tidak sempat memecahkan teka-teki tentang dirinya sendiri, kenapa tenaganya menjadi terlalu cepat susut. Karena itu, maka orang yang disebut oleh para pengikutnya Kiai Nagateleng itu, justru telah melakukan satu kesalahan yang menentukan, karena ia berusaha menghindar dari arena pertempuran.

Nampaknya orang itu kurang memperhatikan keadaan medan dalam keseluruhan. Ketika orang itu mendapat kesempatan, maka orang itu pun telah meloncat dan berlari meninggalkan Mahisa Murti dengan sisa tenaganya. Sementara itu tenaga Mahisa Murti pun telah menjadi susut. Namun di samping Mahisa Murti, masih ada Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan orang-orang yang sedang memberontak itu.

Karena itu, demikian orang itu melarikan diri, maka sekelompok orang yang pernah mengalami penderitaan di padepokan itu telah melihatnya. Karena itu, maka beramai-ramai mereka telah mengejarnya. Di antara mereka terdapat Mahisa Semu dan Wantilan yang telah membakar keberanian orang-orang yang hampir saja menjadi putus asa dan kehilangan harapan untuk dapat hidup selayaknya.

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu terkejut mengalami kenyataan itu. Ternyata sudah tidak ada lagi cantrik yang mampu membantunya. Bahkan beberapa orang yang dianggapnya sudah masak untuk dijadikan alat oleh padepokan itu, ternyata justru telah ikut memberontak pula.

Beberapa orang telah berteriak-teriak seperti orang yang sedang memburu tupai. Dengan demikian, maka orang yang berada di bagian lain pun telah berdatangan pula. Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu masih sempat mengadakan perlawanan. Senjatanya sempat menerbangkan tiga pucuk senjata dan melukai dua orang. Tetapi orang itu sudah menjadi terlalu lemah sehingga ketika empat orang menghadangnya di depan serta beberapa orang memburunya dari belakang, maka ia benar-benar telah berputus asa.

Mahisa Murti yang sangat marah itu memang tidak berbuat lebih banyak. Selain tubuhnya memang merasa menjadi semakin lemah maka perasaan sakit pun telah merambat ke segenap bagian dari tubuhnya. Dibiarkannya apa yang terjadi. Sementara Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Pukat telah berada di dekatnya pula.

Tetapi orang yang disebut Kiai Nagateleng itu, sudah terlalu banyak kehilangan tenaga dan kemampuannya karena benturan dan sentuhan dengan Mahisa Murti. Karena itu, sulit baginya untuk menghadapi orang-orang yang telah memberontak itu. Karena itu, maka dalam keadaan putus asa maka orang itu telah memutar senjatanya. Tetapi tangannya benar-benar telah menjadi jauh susut. Sehingga dengan demikian, maka putaran senjatanya pun sama sekali tidak bertenaga pula.

Karena itulah, maka ketika orang-orang yang marah dan mendendam itu kemudian menyerangnya, orang yang disebut Kiai Nagateleng, yang sebelumnya sangat berkuasa di padepokan itu, sama sekali tidak berdaya untuk melindungi dirinya sendiri. Serangan yang datang dari depan dan dari belakang, membuat orang yang disebut Kiai Nagateleng itu kebingungan. Ketika beberapa pucuk senjata menyerangnya bersama-sama, maka orang itu tidak mampu lagi menangkis dan menghindarinya.

Seseorang yang bersenjata sebilah pedang yang telah berkarat, telah menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang yang disebut Kiai Nagateleng itu. Demikian pula seorang yang memiliki sebuah golok panjang. Sedangkan seorang yang mempunyai senjata sebilah tombak pendek yang ujungnya telah patah, telah menyerang pula dari samping. Tombak patahnya telah menusuk langsung masuk ke dalam lambungnya.

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu berteriak kesakitan. Tetapi orang-orang yang mendendam itu sama sekali tidak menghiraukan lagi. Serangan-serangan mereka pun justru semakin lama menjadi semakin kasar, sehingga akhirnya orang itu pun tidak lagi dapat berbuat sesuatu. Luka di tubuhnya menjadi arang keranjang. Seolah-olah tidak ada lagi bagian pada kulitnya yang tidak tersentuh ujung senjata.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun kemudian menyaksikan tubuh orang yang disebut Kiai Nagateleng itu terkapar diam di halaman padepokan bagian belakang. Kematiannya memang sangat mengerikan. Tetapi itu adalah buah dari perbuatannya sendiri. Ia telah menanamkan dendam di hati banyak orang yang disekapnya di padepokan itu. Dengan tipu muslihat orang itu telah menyerap banyak orang yang ingin berguru kepada Kiai Nagateleng.

Namun yang membuat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya heran, apakah Kiai Nagateleng yang sebenarnya tidak mengetahui akan kelicikan orang-orang padepokan itu, karena menurut perhitungan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, jarak antara padepokan Kiai Nagateleng yang sebenarnya dengan padepokan yang dihancurkan itu tidak terlalu jauh. Tetapi hal itu memang mungkin karena rahasia padepokan itu telah dipegang dengan sangat keras oleh para cantrik dan orang-orang kepercayaan Kiai Nagateleng yang bukan sebenarnya itu.

Demikianlah, maka pemberontakan di padepokan itu pun telah berakhir. Orang yang disebut Kiai Nagateleng dan para pengikutnya yang setia telah dihancurkan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat mencegah orang-orang yang marah itu membakar padepokan.

“Jika padepokan ini dibakar, lalu kalian akan berteduh di mana?” bertanya Mahisa Murti.

Orang-orang itu berpikir sejenak. Lalu mereka pun menyadari bahwa mereka masih dapat mempergunakan bangunan padepokan itu untuk tinggal sementara. Apalagi mereka tahu bahwa di lumbung terdapat padi cukup banyak. Untuk beberapa hari mereka tidak akan menjadi kelaparan. Bahkan mereka pun tahu, bahwa di sawah milik padepokan itu, padi telah menguning dan siap dipetik. Beberapa orang di antara mereka yang memberontak adalah orang-orang yang bagaikan budak dan pekerja paksa yang bekerja di sawah dan ladang milik padepokan itu.

Setelah keadaan menjadi agak tenang, maka Mahisa Murti-pun telah mengumpulkan mereka. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Yang pertama-tama harus kalian lakukan adalah menyelenggarakan sekian banyak mayat karena kalian telah membunuh mereka membabi buta. Kalian tidak memilih siapa yang sepantasnya dibunuh, dan siapa yang tidak. Mungkin di antara orang-orang yang kalian bunuh itu terdapat orang-orang yang sebenarnya juga ingin memberontak seperti kalian, tetapi mereka tidak mendapat kesempatan lagi. Setiap cantrik di padepokan ini tidak tahu perasaan sahabat yang paling dekat sekalipun terhadap kekuasaan orang yang disebut Kiai Nagateleng itu.”

Di sisa hari itu, maka orang-orang yang memberontak itu telah mengumpulkan mayat para pengikut orang yang disebut Kiai Nagateleng itu sendiri. Ternyata ketika mereka kemudian melihat mayat terbujur lintang di halaman padepokan itu di bagian belakang dan tengah, maka kepala mereka mulai menjadi pening. Mereka tidak mengira bahwa mereka beramai-ramai telah membunuh sekian banyak orang, yang seperti kata Mahisa Murti, sebagian dari mereka mungkin memang tidak berdosa.

Tetapi usaha membebaskan dari belenggu Kiai Nageteleng yang palsu itu memang menuntut banyak sekali pengorbanan. Di antara mereka yang memberontak, menuntut pembebasan itu-pun ada yang terpaksa tidak dapat ikut merasakan kebebasan mereka karena ujung senjata lawan mereka telah bersarang di jantung mereka.

Tetapi semuanya itu sudah terjadi. Yang terbunuh dalam pertempuran itu tidak akan dapat bangkit kembali. Namun pengorbanan yang harus diberikan tidaklah sia-sia. Di antara mereka yang memberontak terhadap kesewenang-wenangan itu berhasil juga mendapatkan kebebasannya.

Ternyata bahwa orang-orang yang tersisa di padepokan itu harus bekerja hampir semalam suntuk. Baru menjelang fajar mereka selesai. Sementara itu, beberapa orang yang lain telah bekerja keras pula menyiapkan makan dan minum bagi saudara-saudara mereka yang sedang mengumpulkan dan kemudian menguburkan mayat-mayat itu.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak dapat meninggalkan padepokan itu begitu saja. Sepeninggal pemimpin padepokan yang sekaligus pemimpin sekelompok perampok dan penyamun yang garang itu, maka harus ada langkah-langkah berikutnya yang ditrapkan di padepokan itu.

Di hari berikutnya Mahisa Murti masih belum mengambil sikap apapun. Orang-orang yang letih masih memerlukan waktu untuk beristirahat dan bahkan untuk menenangkan hati mereka yang bergejolak. Baru di hari berikutnya, Mahisa Murti telah memanggil semua orang yang ada di padepokan itu.

“Kita akan berbicara,” berkata Mahisa Murti, “tetapi aku kira, kalian dapat menunjuk beberapa orang yang kalian percaya untuk berbicara dengan kami. Sepuluh atau sebelas orang.”

Orang-orang yang masih ada di padepokan itu ternyata sependapat. Mereka kemudian telah menunjuk sepuluh orang yang dianggap paling berpengaruh dan paling menentukan dalam pemberontakan untuk merebut kebebasan mereka. Dengan sepuluh orang itulah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berbicara. Pada umumnya tidak seorang pun yang ingin menetap untuk selanjutnya di padepokan itu.

Seorang di antara mereka berkata, “Padepokan ini akan selalu menimbulkan mimpi buruk bagiku.”

Sedangkan yang lain berkata, “Setiap sudut padepokan akan selalu menghantui hidupku kemudian jika aku tidak meninggalkannya.”

Mahisa Murti pun dapat mengerti sikap itu. Tetapi ketika Mahisa Murti bertanya, “Kalian lalu akan pergi ke mana. Pulang ke rumah masing-masing atau ada rencana yang lain?”

Orang-orang itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, “Jika aku pulang tanpa membawa ilmu setitikpun, maka rasa-rasanya malu juga kepada keluarga dan tetangga, ketika aku berangkat, maka mereka berharap bahwa aku akan pulang dengan segenggam kemampuan. Setidak-tidaknya aku akan dapat menjadi pelindung keluarga. Tetapi ternyata aku telah terperosok ke dalam neraka ini.”

“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “aku akan melanjutkan perjalanan. Aku akan mengunjungi orang yang sebenarnya bernama Kiai Nagateleng. Aku akan menemuinya dan menceriterakan apa yang telah terjadi di sini. Jika padepokan Kiai Nagateleng dapat menampung kalian, mungkin kalian akan aku titipkan di padepokan itu. Tetapi jika padepokan Kiai Nagateleng adalah sebuah padepokan kecil, maka nanti aku akan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat kalian tempuh.”

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab seorang di antara mereka.

“Namun dalam pada itu, maka kalian harus tetap berada di padepokan ini. Kalian yang senasib harus dapat mengatur diri sebaik-baiknya. Dua orang di antara kalian akan menjadi pemimpin dan pembantunya. Untuk sementara kalian harus tunduk kepada keduanya. Namun dalam banyak hal kedua orang itu harus mencari bahan-bahan dan berbicara dengan baik di antara mereka dan yang lain yang ada di padepokan ini. Aku akan segera kembali untuk membuat langkah-langkah yang terbaik bagi kalian. Tidak lebih dari dua hari. Meskipun padepokan Kiai Nagateleng dapat aku tempuh beberapa waktu saja karena sudah tidak lagi terlalu jauh, namun yang mungkin akan lama adalah pembicaraan-pembicaraan tentang kemungkinan-kemungkinan itu.”

Orang-orang yang mewakili kawan-kawannya itu mengangguk. Atas permintaan Mahisa Murti, maka mereka telah menunjuk dua orang yang akan memimpin mereka untuk sementara, selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pergi selama dua hari.

Di hari berikutnya, ketika matahari terbit, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun telah meninggalkan padepokan itu. Perjalanan mereka sudah tidak panjang lagi. Mereka hanya akan melintasi dua bulak panjang dan dua buah padukuhan yang memang agak besar. Kemudian di padukuhan berikutnya mereka akan berbelok memasuki jalan yang lebih kecil menuju ke padepokan Kiai Nageteleng.

Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah singgah di kedai tempat mereka dijebak. Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan kepada pemilik kedai yang ketakutan itu apa yang telah terjadi.

“Aku tidak bersalah,” suara pemilik kedai itu gemetar, “jika aku sempat, aku selalu memberi peringatan kepada orang-orang yang dijebak. Tetapi jika hal itu diketahui oleh para pengikut dari padepokan yang dipalsukan itu, maka leherku akan di penggal.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk, ia dapat mengerti kesulitan pemilik kedai itu. Karena itu, maka ia tidak berbuat sesuatu atasnya kecuali menasehatkan, agar pemilik kedai itu lebih berhati-hati dan menjadi lebih berani untuk menyatakan kebenaran.

“Tetapi aku masih belum ingin mati,” berkata pemilik kedai itu.

“Seharusnya aku sekarang membunuhmu. Hari ini kau sudah mati. Aku mendendammu karena kau tidak berusaha mencegah sama sekali ketika aku dijerumuskan ke dalam neraka itu. Ternyata sebelum aku, berpuluh-puluh orang telah menjadi korban. Dirampok, disekap dalam padepokan, mengalami siksaan dan kemudian dijadikan budak. Sementara itu kau yang melihat peristiwa seperti itu berpuluh kali, kau sama sekali tidak berbuat apa-apa. Karena itu, sepantasnya kau memang ikut terbunuh seperti orang-orang padepokan itu,” geram Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Tetapi kau akan tetap hidup. Kau telah berhutang nyawa kepadaku. Karena itu, jika kau mati esok atau lusa atau sepekan lagi, maka umurmu sudah mendapatkan kelebihan dari yang seharusnya. Untuk itu, maka kau harus mempergunakan nyawa yang kau hutang daripadaku itu untuk melakukan kebaikan. Jika kelak ada orang yang melakukan pemalsuan lagi untuk melakukan pemerasan, perampokan dan kemudian perbudakan, maka kau tidak boleh takut lagi. Karena umurmu sebenarnya sudah bukan milikmu.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Nah, kami minta diri. Aku titipkan kepanjangan hidupmu itu kepadamu. Tetapi aku sudah mensyaratkan penggunaannya.”

Pemilik kedai itu masih merasa bingung. Ia tidak mengerti sepenuhnya kata-kata Mahisa Murti meskipun ia merasakan sebagai satu ancaman. Namun Mahisa Murti memang tidak menunggu orang itu menjawab. Ia pun telah meninggalkan kedai itu diikuti oleh saudara-saudaranya menuju ke sebuah padepokan lain yang memang menjadi tujuannya.

Tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak lagi sekedar menyampaikan pesan Kiai Patah untuk menyampaikan sekedar berita keselamatan dan kata-kata sandi yang tidak dimengerti artinya. Tetapi kata-kata sandi itu sudah memberikan arti bagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya karena dengan demikian mereka tidak terlambat meyakini, bahwa orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu bukan orang yang sebenarnya mereka cari.

Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya harus juga berbicara tentang orang-orang yang berada di padepokan yang baru saja mengalami kemelut karena beberapa orang telah memberontak untuk mendapatkan kebebasannya. Demikianlah, maka kelima orang itu telah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh. Mereka melintasi bulak dan padukuhan menuju kesebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng. Ketika mereka mendekati padepokan itu, maka mereka mulai membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

“Apakah seperti yang sudah kita bicarakan, hanya kalian berdua saja yang akan memasuki padepokan itu?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ya. Masih ada kemungkinan lain dapat terjadi di padepokan yang satu ini. Karena itu, biarlah aku dan Mahisa Pukat sajalah yang masuk ke dalamnya. Kalian menunggu di luar. Jika sampai senja aku tidak menemui kalian lagi, maka kalian harus bergeser mundur. Tetapi kalian tidak perlu pergi ke Padang Karautan. Tetapi kalian akan menunggu kami di padepokan yang baru saja kita bebaskan. Jika kami untuk selanjutnya tidak pula datang ke padepokan itu, maka terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian lakukan dengan padepokan itu.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Sementara itu Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Tetapi jika aku sampai kepada orang yang sebenarnya maka kalian akan segera kami beritahu. Karena itu kalian tidak perlu berada di tempat yang terlalu lama.”

Demikianlah, maka mereka berlima semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan yang mereka tuju. Mereka telah sampai ke Banyusasak dan kemudian berbelok mengikuti jalan yang lebih kecil menuju kepadepokan yang dihuni oleh Kiai Nagateleng. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berharap bahwa yang ada di padepokan itu adalah Kiai Nagateleng yang sebenarnya sebagaimana diebut-sebut oleh Kiai Patah.

“Kita sudah terlalu sering berhenti untuk waktu yang menjadi terlalu lama. Mudah-mudahan kita tidak akan berhenti terlalu lama di sini,” berkata Mahisa Pukat.

Seperti yang sudah mereka sepakati, maka yang kemudian mereka langsung menuju ke padepokan itu. Keduanya telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah melangkah menuju ke pintu gerbang sebuah padepokan yang ternyata lebih kecil dari padepokan yang baru saja berantakan karena pemberontakan yang kemudian tidak terkendali, sehingga harus jatuh banyak korban karenanya.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai ke pintu gerbang, mereka sama sekali tidak melihat penjaga di pintu gerbang itu. Tidak ada suasana kekerasan sama sekali di padepokan itu. Bahkan ketika mereka memasuki halaman padepokan, mereka sama sekali tidak melihat orang-orang bersenjata di halaman itu. Yang mereka lihat kemudian dua orang cantrik yang hampir bersamaan melangkah ke arah mereka berdua.

Dengan ramah seorang di antara mereka bertanya, “Selamat datang di padepokan kami Ki Sanak. Apakah Ki Sanak mempunyai kepentingan dengan kami atau salah seorang di antara kami?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Maaf Ki Sanak. Apakah padepokan ini padepokan tempat tinggal Ki Nagateleng?”

Kedua orang cantrik itu berpandangan sejenak. Wajah mereka menunjukkan gejolak di dalam hati mereka. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Apakah Ki Sanak mencari Kiai Nagateleng?”

“Ya. Kami ingin menghadap Kiai Nagateleng,” jawab Mahisa Murti.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah Ki Sanak membawa persoalan yang penting bagi Kiai Nagateleng?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “tetapi karena kami mendapat pesan dari seseorang, maka kami telah memerlukan singgah di padepokan ini untuk menyampaikan pesan itu?”

“Apakah pesan itu harus disampaikan langsung kepada Kiai Nagateleng?” bertanya cantrik itu.

“Ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti yang mulai berhati-hati.

Kedua cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Maaf Ki Sanak. Bukan karena kami ingin mempersulit Ki Sanak berdua. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian tidak akan dapat bertemu dengan Kiai Nagateleng.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kiai Nagateleng telah meninggal,” jawab cantrik itu dengan nada dalam.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Hampir bersamaan keduanya bertanya, “Kapan hal itu terjadi?”

Kedua cantrik itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka menjawab, “Hal itu terjadi dengan tidak terduga-duga. Kiai Nagateleng yang hampir sepanjang hari masih berada di antara kami yang bekerja dan berlatih, di sore harinya telah meninggalkan kami semua.”

“Tanpa sakit atau tanda-tanda lain?” bertanya Mahisa Pukat.

Cantrik itu menggeleng. Katanya, “Ketika senja mulai turun, Kiai Nagateleng memang nampak letih. Tetapi kami mengira bahwa pada usianya yang semakin lanjut, maka Kiai Nagateleng tentu akan lebih cepat menjadi letih. Kepada para cantrik Kiai Nagateleng ternyata telah membagi tugas. Tiga orang cantrik mendapat tugas untuk memimpin kawan-kawannya. Sementara yang lain telah mendapat petunjuk apa yang harus mereka lakukan kemudian. Hal itu memang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kami mengira bahwa Kiai Nagateleng memang sedang memberikan latihan kepada kami untuk pada suatu saat mandiri. Kemudian, ketika senja lewat Kiai Nageteleng berkata, “Aku akan tidur. Aku merasa sangat letih.”

Para cantrik memang merasa heran. Biasanya sebelum tengah malam, Kiai Nageteleng tidak pernah pergi ke pembaringan.

Namun Kiai Nageteleng berpesan, “Tepat tengah malam, tolong, bangunkan aku.”

“Sebenarnyalah tepat tengah malam dua orang cantrik akan membangunkannya. Tetapi Kiai Nagategeleng telah tidak ada. Tubuhnya terbujur lurus di pembaringannya. Kedua tangannya telah bersilang di dadanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Sementara kedua orang cantrik itu nampak menjadi sedih. Agaknya mereka telah mengenang kembali pimpinan padepokan mereka yang sudah pergi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi termangu-mangu sejenak.

Tetapi hampir di luar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Itu adalah pertanda bahwa Kiai Nagateleng tidak akan pernah mau menyulitkan para cantriknya. Sampai saat meninggalnya pun ia sama sekali tidak membuat orang lain mengalami kesulitan. Kecuali saat penyelenggaraan tubuhnya.”

“Ya. Kami pun berpikir demikian. Kiai Nageteleng tidak mau menjadi beban. Jika ia sakit untuk waktu yang lama, maka para cantriknyalah yang akan menjadi terlalu sibuk untuk beberapa lama. Tetapi Kiai Nagateleng adalah seorang yang mandiri sampai saat matinya,” desis cantrik itu.

“Tetapi kapan kematian itu terjadi?” desak Mahisa Pukat.

“Belum ada dua bulan,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka berdesis, “Baru saja.”

“Ya,” jawab cantrik itu, “baru saja.”

“Sayang sekali,” berkata Mahisa Murti, “kami telah terlambat.”

“Tetapi jika kau memang perlu dengan padukuhan kami, maka kami akan mempertemukan dengan orang yang kemudian mendapat tugas membimbing para cantrik,” jawab cantrik itu.

“Tiga orang cantrik seperti yang kau katakan?”

Cantrik itu menggeleng. Dengan nada rendah ia berkata, “Tiga orang cantrik itu memang mendapat tugas untuk memimpin kawan-kawan kami. Tetapi pada saatnya kami harus menyadari, bahwa ada orang yang lebih pantas dari ketiga orang cantrik itu yang dapat melakukan tugas Kiai Nagateleng. Meski pun Kiai Nagateleng sama sekali tidak menyebutnya, tetapi kamilah yang memohonnya agar ia menggantikan kedudukan Kiai Nagateleng melalui ketiga orang cantrik itu.”

“Siapakah orang itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Murid terpilih di antara para cantrik yang jauh lebih dahulu dari kami. Kami tahu bahwa ia telah mewarisi semua ilmu dan kemampuan Kiai Nagateleng, ditambah pengalaman pengembaraannya dan pengetahuan yang didapatnya selama pengembaraan itu. Karena itu, maka menurut penilaian kami, maka ia benar-benar mampu dan bahkan memiliki beberapa kelebihan dari Kiai Nagateleng sendiri.”

“Siapakah orang itu?” bertanya Mahisa Pukat mendesak.

“Kiai Semangin,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Nampaknya mereka menjadi ragu-ragu. Apakah ia perlu menjumpai orang yang diangkat oleh para cantrik menggantikan Kiai Nagateleng? Namun menurut pengamatan kedua orang anak muda itu, padepokan itu adalah padepokan yang tidak dibayangi oleh permusuhan dan kekerasan. Menilik sikap kedua orang cantrik itu, maka isi padepokan itu adalah jauh berbeda dari padepokan yang baru saja dilanda kekerasan.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Jika diperkenankan maka kami ingin bertemu dan menghadap Kiai Semangin.”

“Baiklah. Kami akan menyampaikannya,” jawab salah seorang cantrik.

Namun kemudian ternyata hanya seorang saja di antara kedua orang cantrik itu yang masuk ke bangunan induk padepokan itu, sementara yang lain mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat naik ke pendapa. Beberapa saat keduanya masih berbincang dengan cantrik yang menemui mereka. Namun kemudian cantrik yang seorang lagi telah keluar dari pendapa sambil berkata, “Ki Sanak berdua dipersilahkan menunggu. Sebentar lagi Kiai Semangin akan menemui Ki Sanak.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti sambil mengangguk.

Sementara itu, cantrik yang seorang lagi juga ikut mengundurkan diri bersama kawannya. Yang kemudian duduk di pendapa adalah tinggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun perasaan mereka merasa tenang. Mereka melihat dua orang cantrik yang lain sedang sibuk membersihkan halaman padepokan itu. Mereka telah memberikan satu suasana yang damai di hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Baru kemudian mereka melihat pintu pringgitan terbuka.

Kedua orang anak muda itu terkejut. Yang keluar dari pintu pringgitan itu adalah justru orang yang dikenalnya dengan nama Kiai Patah. Orang yang telah memberikan pesan kepada mereka untuk singgah di Banyusasak dan menemui Kiai Nagateleng.

Kiai Patah tersenyum melihat kedua anak muda itu. Sejenak kemudian, maka orang itu pun segera duduk di pendapa pula. Dengan agak gagap Mahisa Murti bertanya, “Tetapi apakah arti pesan Kiai itu?”

Orang yang di padepokan itu dikenal dengan nama Kiai Semangin itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Kalian ternyata telah datang terlambat. Kiai Nagateleng telah meninggal.”

“Dan ternyata Kiai berada di sini,” desis Mahisa Pukat.

“Nanti biarlah aku berceritera,” berkata Kiai Semangin itu, “Namun ternyata bahwa aku telah sampai di padepokan ini justru lebih dahulu dari kalian. Ke mana saja kalian selama ini? Aku kira kalian telah melupakan pesanku atau kalian memang tidak bersedia singgah di Banyusasak,”

“Kami ternyata harus menempuh perjalanan yang panjang. Kami sudah berniat untuk menjalani laku dengan tapa ngrame.” jawab Mahisa Murti.

“Apa yang kalian dapatkan dengan laku itu?” bertanya Kiai Patah yang juga disebut Kiai Semangin itu.

“Banyak sekali Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami mendapatkan banyak sanak kadang di perjalanan. Kami juga mendapatkan pengalaman yang sangat luas. Bukan saja mengembangkan ilmu yang kami miliki, tetapi kami juga mendapatkan pengalaman tentang ragam kehidupan. Kami telah menembus berbagai jenis dan warna dari kulit bumi ini.”

Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika kalian dapat memetik manfaat dari laku yang kalian jalani. Tetapi lebih dari itu, kalian telah memberikan arti dari hidup kalian bagi sesama. Jika kalian jalani laku tapa ngrame itu dengan baik, maka kalian telah menolong sesama yang mendapatkan kesulitan.”

“Kami memang telah mencoba melakukannya Kiai. Karena itu kami telah merasa bahwa kami telah mendapatkan banyak sanak kadang yang tersebar di mana-mana,” jawab Mahisa Murti.

Kiai Semangin yang juga bernama Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Bagus anak-anak muda. Kau telah mendapatkan banyak sekali bekal selama kalian menjalani laku. Karena itu, maka kalian akan kembali ke padepokan kalian dengan pengalaman yang luas sesuai dengan jerih payah yang pernah kalian jalani.”

Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Terima kasih Kiai. Mudah-mudahan kami dapat memanfaatkan pengalaman kami untuk kepentingan banyak orang.”

“Tentu, karena pengalaman kalian itu kalian dapatkan dengan laku tapa ngrame. Laku yang kalian jalani itu sudah memberikan manfaat kepada banyak orang. Apalagi peningkatan ilmumu karena pengalamanmu itu, tentu akan lebih berarti lagi bagi banyak orang,” sahut Kiai Patah.

Kedua anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Keduanya hanya mengangguk-angguk kecil saja.

“Nah,” berkata Kiai Patah, “kalian tentu tidak berkeberatan untuk bermalam di sini satu atau dua malam.”

Kedua orang anaka muda itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Kiai. Kami sekarang tidak hanya berdua.”

“Jadi?” dahi Kiai Patah berkerut.

“Kami sekarang berlima. Seorang anak muda bersama kami di perjalanan. Kemudian menyusul seorang yang kami anggap paman kami dan yang lain adalah seorang anak-anak. Dalam pertemuan kami dengan mereka seorang demi seorang telah mendorong kami untuk mengajak mereka bersama kami. Nampaknya mereka bergembira mendapat kesempatan itu,” jawab Mahisa Murti.

“Di mana mereka sekarang?” bertanya Kiai Patah.

“Mereka berhenti beberapa puluh patok di luar padepokan ini,” jawab Mahisa Murti.

“Kenapa? Kalian ragu-ragu membawa mereka kemari?” bertanya Kiai Patah pula.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kami memang ragu-ragu Kiai. Tetapi kami mempunyai alasan.”

“Kenapa?” desak Kiai Patah.

Mahisa Murti pun telah menceriterakan pengalamannya di padepokan yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari padepokan ini.

Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah mendengar tentang padepokan itu. Ketika Kiai Nagateleng masih hidup, maka Kiai Nagateleng selalu mencegah setiap usul untuk melakukan tindakan atas padepokan itu. Namun sekarang aku berpendirian lain. Aku telah berbicara dengan para cantrik di padepokan ini. Kami telah sepakat untuk menemui pimpinan padepokan itu dan minta agar mereka tidak lagi memanfaatkan nama Kiai Nagateleng. Apalagi untuk tujuan buruk sebagaimana mereka lakukan selama ini. Mungkin jiwaku tidak sejernih Kiai Nagateleng. Tetapi aku menganggap bahwa tindakan itu akan dapat menyelamatkan banyak orang.”

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Murti, “ternyata banyak orang yang telah terjebak ke dalam padepokan itu. Pada saat kami mencoba untuk membangunkan mereka, maka ternyata yang terjadi adalah satu ledakan yang dahsyat dan tidak terkendali. Banyak orang yang menjadi korban. Namun dengan demikian, padepokan itu telah benar-benar menjadi bersih.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku terlambat. Tetapi karena hal itu telah kalian tangani, maka aku kira akibatnya tidak akan banyak berbeda.”

Mahisa Murti sempat menyampaikan permohonan orang-orang yang masih berada di padepokan itu memasuki padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng yang sebenarnya. Namun ternyata yang ada kemudian adalah Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah.

“Aku tidak berkeberatan,” berkata Kiai Patah, “tetapi sudah tentu akan memerlukan persiapan. Kau lihat, padepokan ini adalah padepokan yang hanya kecil saja. Jika kami harus menampung beberapa orang lagi, maka padepokan ini harus diperluas. Tanah garapan yang mendukung makan kami sepanjang tahun pun harus diperuas pula, meskipun tidak akan timbul masalah. Kami sudah mendapat persediaan tanah cukup yang diberikan oleh Ki Buyut sewaktu-waktu kami memerlukannya. Tanah yang sekarang masih berupa hutan.”

“Kita akan menebangi hutan?” bertanya Mahisa Pukat.

Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku mengerti maksudmu. Tetapi hutan yang diberikan kepada kami telah diperhitungkan oleh Ki Buyut bahwa dengan membuat daerah hunian yang baru di hutan itu, maka lingkungan tidak akan terganggu. Hutan yang membujur di pinggir sungai itu akan dapat menjadi tanah pertanian yang baik tanpa mengurangi pengaruh hutan itu dalam keseluruhan, karena di sisi utara Kabuyutan ini masih terdapat hutan yang cukup luas. Demikian pula di sisi Timur.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Patah pun berkata, “Panggil kawan-kawanmu itu.”

“Maksud kami, kami akan kembali ke padepokan yang pecah itu untuk menyampaikan keputusan Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kemudian baru kami akan datang lagi ke padepokan ini.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Tetapi sekali lagi ia berkata, “Jika mereka benar-benar ingin tinggal di padukuhan ini, maka seperti aku katakan tadi, kita harus bekerja keras untuk menyiapkan segala sesuatunya. Bukan saja tempat, tetapi juga dukungan bekal hidup mereka selanjutnya.”

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Murti, “aku mengerti.”

“Tetapi, bukankah kau tidak tergesa-gesa kembali ke padepokan itu? Bukankah kau dapat memanggil ketiga orang saudaramu itu dan membawanya kemari, sedangkan kalian berdua pergi ke padepokan itu?” bertanya Kiai Patah.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kiai Patah bertanya selanjutnya, “Apakah kau masih dibayangi oleh keragu-raguan tentang padepokan ini sebagaimana padepokan yang baru saja pecah itu?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti dengan serta merta, “bagi kami, tidak ada keragu-raguan lagi atas padepokan ini.”

“Jika demikian, daripada kalian hilir mudik berlima, kenapa ketiga orang saudaramu itu tidak kau tinggalkan di sini saja?” bertanya Kiai Patah.

Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Ia memang masih mempunyai waktu cukup. Ia berjanji untuk kembali ke padepokan yang sedang pecah itu sekitar dua hari sejak ia berangkat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya kepada Mahisa Pukat, “Apakah kita akan memanggil saudara-saudara kita itu?”

“Baiklah,” jawab Mahisa Pukat, “biarlah mereka menunggu kita di sini.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kami akan memanggil mereka Kiai. Biarlah mereka menunggu kami di sini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri sejenak untuk memanggil saudara-saudara mereka setelah mereka yakin bahwa mereka telah memasuki satu lingkungan yang pasti.

Beberapa waktu kemudian, maka lima orang telah memasuki padepokan yang suasananya ternyata jauh berbeda dengan suasana padepokan yang telah mereka masuki sebelumnya. Suasana padepokan itu terasa tenang, tenteram dan sejuk. Rasa-rasanya padepokan itu merupakan satu lingkungan yang penuh kedamaian, meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tahu, bahwa di kedalaman sampai ke dasar, padepokan itu menyimpan kekuatan ilmu yang sangat dahsyat.

Ketika kemudian kelima orang itu telah duduk di pendapa ditemui oleh Kiai Patah, maka mereka pun telah berbicara tentang berbagai kemungkinan jika orang-orang yang tersesat di padepokan sebelah harus beringsut ke padepokan itu.

“Kita harus membersihkan jiwa mereka dari perasaan dendam itu,” berkata Kiai Patah, “dan ini bukan pekerjaan yang mudah. Kita memerlukan waktu dan ketekunan. Sebelum aku yakin bahwa mereka telah bersih dari rasa dendam, maka barulah aku dapat memberikan tuntunan olah kanuragan kepada mereka. Selama mereka menyingkirkan perasaan dendam itu dari jiwa mereka, maka mereka harus bekerja keras untuk menyiapkan tempat tinggal bagi mereka serta lahan yang akan menjadi tanah pertanian bagi mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa hal itulah yang harus mereka katakan kepada orang-orang yang terperangkap ke dalam padepokan sebelah. Kedua anak muda itu pun mengerti, namun apa yang terjadi di padepokan itu tentu telah berkesan mendalam di dalam hati mereka. Mereka telah mengalami peristiwa-peristiwa yang smgat mengerikan. Mereka mengalami perlakuan yang sangat pahit sehingga tentu sulit bagi mereka untuk melupakannya.

Bahkan mereka akan dapat menganggap bahwa setiap orang cenderung melakukan hal seperti itu atas orang lain. Karena itu, jika orang-orang itu masih tetapi dibayangi oleh luka itu, maka mereka akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya apabila mereka memiliki kemampuan.

“Baiklah Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan berterus terang kepada mereka. Mereka harus bekerja keras sebelum mereka dapat tinggal di padepokan ini. Selebihnya, siapa yang tidak dapat melupakan dendamnya kepada orang lain, maka sebaiknya mereka tidak ikut bersama kami kembali ke padepokan ini.”

“Aku sependapat bahwa kau berterus terang kepada orang-orang itu. Tetapi tentu saja ada untung dan ada ruginya. Mereka yang mengetahui apa yang harus mereka lakukan, akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjalani paugeran yang dipersiapkan sebelumnya. Tetapi hal itu juga akan dapat memberi kesempatan seseorang berbuat pura-pura sekedar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan itu.”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ia justru bertanya, “Jadi bagaimana menurut Kiai?”

“Katakan saja bahwa mereka berkewajiban untuk bekerja keras. Menyiapkan tempat tinggal dan lahan-lahan baru. Itu saja. Selanjutnya aku akan melihat langsung apakah mereka dapat melupakan dendam mereka atau tidak. Bagi mereka yang nampaknya akan dapat melupakannya, maka kita akan menerima mereka dan membentuk mereka sesuai dengan pola sikap kita di padepokan ini,” berkata Kiai Patah.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Kiai Patah, bahwa orang-orang yang terperangkap itu akan mendapat penilaian langsung dari Kiai Patah ditilik dari sikap mereka sehari-hari setelah mereka berada di padepokan itu. Namun hari itu Mahisa Murti tidak sempat lagi kembali ke padepokan yang baru saja mengalami kegoncangan itu. Senja yang mulai turun telah menghambat kerja Mahisa Murti, sehingga ia harus menunggu sampai di keesokan harinya.

Ketika malam turun, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya segera dipersilahkan untuk beristirahat. Kiai Patah tahu bahwa mereka sedang letih karena peristiwa yang mereka alami di hari itu. Tetapi seperti biasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup berhati-hati. Mereka tidak tidur bersama-sama. Salah seorang di antara mereka harus tetap terjaga untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan itu.

Namun ternyata semalam suntuk mereka tidak mengalami sesuatu. Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah terbangun sebagaimana kebiasaan mereka tidur dumana pun juga. Di rumah-rumah yang hangat atau di udara terbuka yang dingin oleh embun dan angin basah.

Ketika matahari naik, sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat minta diri untuk kembali ke padepokan yang baru saja dibakar oleh pemberontakan itu, maka para cantrik telah mempersilahkan mereka untuk makan pagi.

“Di mana Kiai Semangin?” bertanya Mahisa Murti dengan agak berdebar-debar.

“Di sawah. Sudah menjadi kebiasaan Kiai Semangin untuk pergi ke sawah pagi-pagi benar. Sebentar lagi Kiai Semangin akan kembali. Tetapi sebelum Kiai Semangin berangkat, Kiai Semangin telah berpesan agar kami menyediakan makan pagi bagi kalian, karena Kiai Semangin tahu bahwa kalian akan pergi pagi-pagi benar,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “terima kasih. Kiai Semangin terlalu memperhatikan kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak menunggu Kiai Patah. Setelah makan pagi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta diri untuk kembali ke padepokan yang kemarin mereka tinggalkan. Jarak kedua padepokan itu memang tidak begitu jauh. Ketika langit menjadi cerah dan matahari memanjat langit sepenggalah, maka keduanya telah sampai ke padepokan yang kemarin mereka tinggalkan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah memanggil bukan saja orang yang diserahi memimpin padepokan itu untuk sementara, tetapi juga dengan semua orang yang masih tinggal. Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan pembicaraan-pembicaraan dengan pemimpin padepokan yang semula dipimpin oleh Kiai Nagateleng yang sebenarnya.

“Kiai Nagateleng telah tidak ada lagi. Tetapi yang memimpin padepokan itu kemudian adalah Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah,” berkata Mahisa Murti, “namun seperti yang dikatakannya, maka syaratnya untuk tinggal dan berguru kepada Kiai Patah adalah bekerja keras membangun tempat tinggal dan menyelenggarakan tanah persawahan. Karena kalian tidak saja bertempat tinggal di padepokan itu, tetapi kalian juga harus makan dan minum. Bahkan kalian juga akan menanam bukan saja padi dan jagung, tetapi juga pohon buah-buahan, kolam ikan dan peternakan.”

Beberapa orang saling berpandangan. Namun ternyata seorang di antara mereka berkata, “Menarik sekali. Satu kesempatan yang sangat baik untuk belajar tentang memelihara ikan di kolam-kolam serta berternak.”

“Jika kalian bersedia, maka Kiai Semangin akan dengan senang menerima kalian. Tetapi siapa yang tidak ingin bekerja keras, maka dipersilahkan untuk tidak usah pergi ke padepokan Kiai Nagateleng,” berkata Mahisa Murti, “namun kerja di padepokan yang sekarang dipimpin oleh Kiai Patah itu berdasarkan kerelaan hati kalian sendiri. Tidak akan ada yang memaksa kalian bekerja. Tidak akan ada yang membawa cambuk di antara kalian atau yang memaksa kalian bekerja berat seperti budak serta mengikat kalian di patok-patok sebagai hukuman jika kalian melakukan kesalahan.”

“Kami akan melakukan semuanya, anak muda,” berkata seseorang yang umurnya sudah agak tua dari Mahisa Murti, “di sini kami mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya. Kami harus bekerja keras melebihi seekor lembu atau kerbau. Karena itu, maka kerja keras yang macam apa pun akan kami lakukan, apalagi dengan satu keyakinan, bahwa hasil kerja itu adalah bagi kami pula akhirnya.”

“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya, “Bersiaplah. Besok kita akan pergi ke padepokan Kiai Semangin itu bersama-sama. Kita tinggalkan padepokan ini. Namun jika pada suatu saat kita akan mempergunakan lagi, maka padepokan ini akan dapat dibuka kembali, tatapi dengan jiwa dan watak yang tentu saja berbeda.”

Demikianlah, orang-orang yang tinggal di padepokan itu pun telah mempersiapkan diri mereka. Mereka telah membenahi milik mereka masing-masing. Tetapi sebagian dari mereka telah kehilangan hampir semua miliknya. Dengan bekal yang tersisa dari yang mereka bawa dari rumah di saat mereka berangkat untuk berguru, maka mereka telah mulai menganyam harapan-harapan baru.

Meskipun terlambat tetapi mereka masih mempunyai harapan untuk kembali kepada keluarga mereka dengan ilmu jenis apapun. Mungkin ilmu kanuragan. Tetapi mungkin juga ilmu bercocok tanam, berternak dan memelihara ikan di kolam-kolam. Semuanya itu akan bermanfaat bagi keluarga mereka yang mereka tinggalkan dan menunggu mereka kembali dengan kemampuan yang bertambah.

Demikianlah, maka di keesokan harinya, sebuah iring-iringan telah keluar dari padepokan itu. Padepokan yang juga merupakan kuburan bagi orang yang telah mengaku bernama Kiai Nagateleng bersama dengan para pengikutnya.

Namun sebelum mereka meninggalkan padepokan itu, Mahisa Murti telah memerintahkan untuk membenahi padepokan itu sehingga kelihatan tertib. Meskipun di sana-sini terdapat kerusakan, tetapi segala sesuatunya tidak ditinggalkan begitu saja berserakan.

Para penghuni padukuhan di sebelah menyebelah padepokan itu pada jarak yang agak jauh merasa gembira dengan hapusnya padepokan yang tidak lebih dari sarang perampok dan penyamun. Tetapi tidak seorang pun bahkan para bebahu padukuhan yang berani mengganggu gugat, karena padepokan itu memiliki kekuatan yang sangat besar.

Namun yang akhirnya dihancurkan oleh orang-orang yang ada di dalam padepokan itu sendiri meskipun apinya juga dijebak ke dalam padepokan itu. Namun padepokan itu sendiri ternyata telah menimbun minyak di dalam barak-baraknya sehingga ketika api disulut, ledakan yang dahsyat telah terjadi.

Orang-orang yang terjebak itu tidak memerlukan waktu yang panjang untuk mencapai padepokan berikutnya. Ketika mereka memasuki pintu gerbang padepokan, mereka langsung merasakan betapa jauh perbedaan suasana dari kedua padepokan itu.

Demikianlah, maka Kiai Patah sendiri telah menerima orang-orang yang menyatakan keinginannya untuk tinggal di padepokan itu. Satu jumlah yang terhitung banyak sejak padepokan itu didirikan. Biasanya tambahan penghuni padepokan itu tidak lebih dari satu dua orang. Itu pun belum tentu sebulan sekali. Namun kali ini beberapa orang bersama-sama telah datang dalam satu iring-iringan.

Setelah disuguhkan minum dan makanan, maka Kiai Patah pun telah menguraikan beberapa persyaratan untuk dapat diterima menjadi cantrik di padepokan itu. Bukan saja persyaratan lahiriah. Tetapi juga kesediaan jiwani untuk menerima ajaran yang akan diterima di padepokan itu.

Ternyata keterangan Kiai Patah telah membuat hati orang-orang itu merasa sejuk. Mereka belum pernah mendengar petunjuk dan petuah yang berarti bagi hidup mereka di hari kemudian. Ketika mereka terjebak ke dalam padepokan yang liar itu, yang mereka alami setiap hari adalah bentakan-bentakan kasar. Lecutan cambuk dan bahkan pukulan-pukulan carang bambu ampel yang melukai tubuh mereka. Satu dua di antara mereka pernah mengalami hukuman yang lebih berat. Diikat pada tonggak-tonggak di panasnya matahari dan di dinginnya embun di malam hari.

Karena itu, mereka merasa sangat berterima kasih bahwa mereka telah diterima di padepokan yang terasa sejuk bukan saja oleh hijaunya dedaunan di halaman, tetapi juga oleh sikap Kiai Patah dan para cantrik di padepokan itu.

“Malam nanti kalian akan tidur di serambi-serambi barak di padepokan ini,” berkata Kiai Patah, “kami masih belum dapat menyediakan tempat yang lebih baik. Kalian datang dengan tiba-tiba dalam jumlah yang terlalu banyak bagi padepokan kecil kami,” berkata Kiai Patah. Namun kemudian Kiai Patah itu pun berkata, “Tetapi apa yang telah aku katakan bukan berarti bahwa di padepokan ini tidak ada paugeran yang harus dilaksanakan dengan tertib. Setiap padepokan tentu memilikinya. Demikian padepokan ini. Kita harus menegakkan paugeran yang kita susun berdasarkan atas pertimbangan dari berbagai sudut. Pengalaman yang panjang serta perhitungan buat menghadapi masa depan. Kami pun mengenal hukuman bagi mereka yang melanggar paugeran. Namun kami tidak pernah menutup pintu bagi mereka yang merasa berkeberatan atas paugeran itu untuk meninggalkan padepokan ini. Padepokan tanpa ikatan paugeran yang kokoh tidak akan banyak berarti. Karena di padepokan, kalian akan ditempa untuk menyongsong masa depan yang keras dan berat.”

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak merasa berkeberatan. Sikap yang mereka hadapi di padepokan itu bagi mereka adalah sikap kebapaan yang menyejukkan.

Ketika orang-orang baru itu kemudian beristirahat, maka Kiai Patah telah menunjuk empat orang cantriknya yang terbaik untuk memimpin orang-orang itu. Keempat orang itu harus mengetahui dengan pasti sangkan-paran setiap orang yang datang ke padepokan mereka itu. Dari mana mereka datang, orang tua dan asal-usul mereka, serta untuk apa mereka datang berguru.

Keempat orang cantrik itu mendengarkan pesan Kiai Patah dengan saksama. Mereka sadar, bahwa mereka akan mendapat tugas yang berat. Selama ini mereka adalah orang-orang yang masih selalu mendapatkan bimbingan dalam banyak hal. Namun mereka akan segera mendapat tugas untuk membimbing beberapa orang meskipun mereka sadar, bahwa Kiai Patah tentu tidak akan melepaskan mereka.

“Kalian bukan lagi seorang cantrik atau jejanggan. Tetapi kalian akan diangkat menjadi Putut yang akan membantuku memimpin padepokan ini. Bahkan pada suatu saat kalian benar-benar akan menjadi pemimpin padepokan yang baik,” berkata Kiai Patah.

Keempat orang cantrik yang akan diwisuda menjadi Putut itu menundukkan kepala. Dengan sungguh-sungguh mereka mendengarkan pesan Kiai Patah lebih lanjut, “Kalian harus memantulkan kepemimpinan Kiai Nagateleng. Kalian akan menunjukkan kepada setiap orang yang berhubungan dengan padepokan ini, bahwa bekas tangan Kiai Nagateleng masih nampak jelas pada tangan-tangan kalian. Kesabaran, ketekunan dan kedamaian. Tetapi kalian adalah orang-orang yang siap menolong siapa pun yang mengalami kesulitan. Seperti anak-anak muda yang datang ke padepokan kami dan kemudian membawa orang-orang yang hampir putus asa itu kemari. Mereka menjalani laku dengan tapa ngrame. Satu laku yang termasuk salah satu dari laku yang terbaik. Yang berarti bagi banyak orang yang memerlukan pertolongannya.”

Keempat orang itu mengangguk-angguk kecil.

“Nah,” berkata Kiai Patah, “sebelum kalian mulai dengan tugas kalian, maka sebaiknya kalian melihat ke dalam diri kalian. Apakah kalian sudah benar-benar bersiap untuk tugas itu. Tentang ilmu kanuragan, aku yakin, bahwa kalian telah memiliki kemampuan sampai ke puncak ilmu yang diberikan oleh Kiai Nagateleng. Tetapi keutuhan seseorang tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi. Olah kanuragan.”

Keempat orang itu masih saja mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.”

“Tidak seorang pun yang tida mempunyai cacat. Kita masing-masing juga mempunyai cacat. Karena itu, maka hal itu harus kita sadari. Harus kita ketahui kelemahan dan kekurangan kita masing-masing sehingga akan dapat dilakukan yang paling baik dari antara yang cacat itu,” berkata Kiai Patah lebih lanjut.

“Kami berjanji Kiai,” jawab seorang di antara keempat orang itu, “apa yang akan kami lakukan adalah satu pengabdian. Mudah-mudahan kami dapat memberikan arti pada hidup kami.”

“Terima kasih,” berkata kiai Patah, “aku yang baru sesaat memegang pimpinan di padepokan ini, merupakan kepanjangan kebijaksanaan yang selama ini telah dirintis oleh Kiai Nagateleng. Kita semuanya harus berusaha untuk tidak menodai padepokan ini.”

Keempat orang itu mengangguk-angguk.

“Baiklah,” berkata Kiai Patah, “pada saatnya kita akan mulai dengan tugas yang bagi padepokan kecil ini terhitung tugas yang besar. Mudah-mudahan kita dapat melakukannya dengan baik. aku masih akan minta anak-anak muda itu untuk tinggal barang satu dua hari di padepokan ini. Mereka tentu akan dapat memberikan banyak petunjuk kepada kita, karena meskipun mereka masih muda, namun mereka telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Apalagi kini mereka telah memiliki sepasang keris yang nilainya sangat tinggi itu.”

Tetapi Kiai Patah sama sekali tidak pernah menyinggung sepasang keris yang disebut sebagai pedang itu dengan anak-anak muda itu sendiri. Kiai Patah yang mengerti arti dari sepasang pusaka itu ikut bersyukur bahwa pusaka itu justru jatuh ke tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Pusaka yang memiliki nilai yang sangat tinggi itu, akan menjadi sangat berbahaya jika jatuh ke tangan orang-orang yang berhati hitam.

Demikianlah, maka Kiai Patah pun kemudian telah menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pula. Meskipun agak ragu-ragu, tetapi Kiai Patah minta mereka untuk tinggal satu dua hari di padepokan itu.

“Aku tahu bahwa kalian ingin segera sampai ke padepokan. Tetapi kami mohon bantuan untuk mengatur segala sesuatunya karena kehadiran beberapa orang sekaligus di padepokan ini.”

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak dapat ingkar. Merekalah yang membawa orang-orang itu. Karena itu, maka mereka pun harus ikut bertanggung jawab. Baru setelah penempatan mereka menjadi tertib, maka mereka akan dapat meninggalkan padepokan itu dengan tenang.

Dalam pada itu, maka di hari berikutnya Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah ikut menentukan, di mana akan dibangun barak baru bagi orang-orang yang datang itu. Kemudian di hari berikutnya lagi, mereka sudah memasang patok di hutan-hutan yang memang dicadangkan bagi padepokan itu apabila diperlukan oleh Ki Buyut, sehingga dengan demikian maka pembukaan hutan yang dilakukan oleh para penghuni padepokan itu tidak akan mengganggu keseimbangan kehidupan.

Para pemimpin padepokan serta orang-orang yang baru datang itu kemudian telah berbicara, yang mana yang akan mereka kerjakan lebih dahulu. Apakah mereka akan menebas hutan untuk tanah persawahan dan pategalan atau mereka akan membangun barak-barak lebih dahulu.

Orang-orang yang baru datang di padepokan itu memang merasa canggung untuk ikut berbicara. Mereka tidak terbiasa menyatakan pendapatnya, apalagi di hadapan pimpinan padepokan. Mereka terbiasa melakukan perintah, bahkan mirip dengan perbudakan sehingga mereka sama sekali tidak berhak untuk menyatakan pendapat mereka.

Karena itu, ketika mereka dibawa ke dalam satu perundingan maka mereka benar-benar tidak banyak dapat mengeluarkan pendapat mereka, kecuali beberapa orang yang memang berjiwa besar dan tabah. Itu pun hanya sepatah-patah kata. Tetapi yang sepatah-sepatah itu dapat merupakan ungkapan dari perasaan mereka semuanva.

Akhirnya diputuskan, bahwa mereka akan membuka hutan lebih dahulu. Untuk sementara mereka sudah dapat berlindung di serambi-serambi dan di bangsal-bangsal kecil di padepokan, sehingga kebutuhan barak-barak yang lebih baik tidak terlalu mendesak.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ternyata tidak sampai hati meninggalkan orang-orang itu pada hari kedua. Ia pun tidak ingin melihat Kiai Patah menjadi terlalu sibuk. Demikian pula cantrik-eantriknya. Kehadiran sekian banyak orang memang memerlukan kerja yang keras dan tidak mengenal jenuh.

Ketika semuanya sudah siap, maka Kiai Patah telah menemui Ki Buyut untuk menyatakan bahwa mereka telah siap untuk benar-benar membuka hutan yang telah disediakan.

“Kami saat ini sangat memerlukan, Ki Buyut,” berkata Kiai Patah.

“Ternyata perhitunganku terbukti,” berkata Ki Buyut.

“Tentang apa Ki Buyut?” bertanya Kiai Patah yang dikenal dengan nama Kiai Semangin.

“Padepokan itu akan berkembang semakin besar. Tetapi kami sama sekali tidak berkeberatan. Kami merasa senang bahwa di Kabuyutan ini terdapat sebuah padepokan. Sementara itu padepokan yang lain telah terhapus dari Kabuyutan ini justru oleh para cantrik itu sendiri,” berkata Ki Buyut.

“Beberapa di antara mereka datang ke padepokan kami,” desis Kiai Semangin, “mereka benar-benar ingin berguru. Tetapi mereka telah terjebak.”

“Ternyata Kiai tidak perlu bertindak atas padepokan itu,” berkata Ki Buyut.

“Sebenarnya kami memang sudah bersiap-siap bersama dengan anak-anak muda Kabuyutan ini. Bukankah hal itu sudah dilaporkan kepada Ki Buyut?”

“Ya. Aku sudah menerima laporan itu dan aku sudah memerintahkan kepada setiap Bekel di Kabuyutan ini agar mereka ikut membantu. Bukan hanya Ki Bekel yang terletak di paling dekat dengan padepokan itu,” jawab Ki Buyut, “Namun Kiai tidak perlu melakukannya.”

“Ya. Yang Maha Agung masih melindungi para cantrik dan anak-anak muda di Kabuyutan ini, sehingga tidak perlu jatuh korban untuk membersihkan padepokan itu,” berkata Kiai Semangin. Lalu katanya pula, “Dan sekarang, aku harus bersiap untuk mengambil alih kedudukan padepokan itu sebagai tempat untuk menyadap ilmu. Bukan sebagai tempat perbudakan dan bahkan pembantaian.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi Kiai harus berhati-hati. Mereka sudah agak lama berada di padepokan itu. Meskipun mereka memberontak, namun mereka pun tentu telah disusupi oleh sifat dan watak dari padepokan itu.”

“Ya Ki Buyut,” jawab Kiai Semangin, “kami akan mencoba untuk bukan saja menempa mereka dalam berbagai macam ilmu, termasuk ilmu bertani dan berternak serta olah kanuragan, tetapi kami juga berusaha untuk mempengaruhi sifat dan watak mereka sehingga padepokan kami tidak akan mengalami persoalan dengan mereka kelak. Paugeran yang sudah ditanamkan oleh Kiai Nagateleng, hendaknya menjadi landasan padepokan kami untuk seterusnya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai memerlukan bantuan?”

“Terima kasih Ki Buyut,” berkata Kiai Semangin, “kami akan mencoba bekerja keras dengan tenaga yang ada pada kami. Hanya jika keadaan memaksa maka kami akan mohon bantuan dari Ki Buyut.”

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “aku sudah melakukan pengamatan seperlunya. Hutan yang kami sediakan bagi padepokan Kiai tidak akan mengganggu lingkungan kehidupan di sekitarnya. Juga lingkungan hutan itu sendiri. Karena itu, maka jika kalian sudah siap untuk mulai, silahkan. Jika kemudian ternyata kalian memerlukan bantuan kami, maka kami pun akan membantu sejauh dapat kami lakukan.”

“Terima kasih Ki Buyut,” jawab Kiai Semangin, “besok kami akan mulai menebang hutan itu. Sementara itu, kayu-kayunya akan dapat kami pergunakan untuk membangun barak-barak di padepokan kami bagi keluarga kami yang baru itu.”

Demikianlah, maka Kiai Semangin serta para penghuni padepokan yang lain, bukan saja yang baru datang, akan mulai dengan satu kerja yang cukup besar. Penghuni padepokan itu, atas ijin Ki Buyut telah mulai menebang kekayuan di hutan yang telah ditandai dengan patok-patok yang dihubungkan dengan tali lawe.

Pekerjaan itu bukan pekerjaan yang ringan. Mereka harus bekerja dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada di padepokan. Mereka pun harus sangat berhati-hati, karena merobohkan pohon-pohon besar adalah satu pekerjaan yang berbahaya. Jika pohon-pohon yang ditebang itu menimpa seseorang, maka orang itu tentu akan menjadi lumat.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ternyata telah melibatkan diri dalam kerja itu. Ia tidak dapat begitu saja meninggalkan Kiai Patah setelah menyerahkan beberapa orang dari padepokan yang rapuh dan dihancurkan dari dalam karena ketamakan para pemimpinnya itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah tertahan tidak hanya satu dua hari. Tetapi mereka telah sepekan berada di padepokan itu.

Dalam sepekan telah banyak yang dihasilkan. Satu daerah yang cukup luas telah terbentang. Meskipun masih belum diratakan karena pokok-pokok kayu yang ditebangi masih belum dapat diangkat seluruhnya. Tetapi sebagian dari hutan yang telah terbuka itu mulai dapat ditanami dengan palawija. Ubi kayu, jalar dan beberapa jenis tanaman yang lain.

Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang ada di padepokan itu untuk masa beberapa bulan lagi, tidak akan kekurangan bahan makanan. Namun sebelum mereka mulai dapat memetik hasil tanaman itu, maka padepokan itu masih harus membeli beras dan jagung, karena persediaan yang ada tidak mencukupi untuk makan para penghuninya yang dengan tiba-tiba telah bertambah dengan jumlah yang cukup banyak.

Sementara itu, para cantrik dari padepokan itu terutama mereka yang baru datang, telah membawa balok-balok kayu ke padepokan. Seisi padepokan itu mulai membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok membersihkan tanah yang sudah dibuka dan mengolah tanah sehingga dapat ditanami meskipun untuk sementara masih belum dapat ditanami dengan padi karena masih harus menyiapkan parit untuk mengalirkan air.

Sedang kelompok yang lain mulai membangun barak-barak yang akan dipergunakan bagi orang-orang baru yang untuk sementara masih di tempatkan di serambi-serambi dan bangsal-bangsal kecil yang biasanya untuk kepentingan-kepentingan lain dalam hubungannya dengan peningkatan kemampuan dalam berbagai macam ilmu bagi para cantrik.

Dalam pada itu, maka Kiai Patah mulai memberikan tugas-tugas kepemimpinan kepada empat orang yang disiapkan untuk diangkat menjadi pembantunya sebagai Putut. Setiap orang telah diserahi untuk memimpin sekelompok cantrik yang baru saja memasuki padepokan itu, sehingga mereka sama sekali belum memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan sama sekali.

“Tetapi kalian harus melihat apakah mereka sudah pernah serba sedikit mendapat tuntutan olah kanuragan di padepokannya yang lama meskipun dengan cara apa pun juga. Jika demikian maka mereka harus dibersihkan dahulu dari dasar-dasar ilmu kanuragan itu. Sehingga kemudian mereka bersama-sama akan mulai dari tataran yang paling rendah dan tidak dikotori dengan unsur-unsur dari jenis ilmu yang lain, apalagi yang berasal dari sumber yang keruh,” pesan Kiai Patah.

Keempat orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Bagaimana sekiranya anak-anak muda itu diminta untuk berada di padepokan ini bersama kita?”

Kiai Patah yang dikenal dengan nama Kiai Semangin itu menggeleng. Katanya, “Mereka adalah pemimpin dari sebuah padepokan yang barangkali lebih besar dari padepokan kita yang kecil ini.”

“Tetapi kenapa mereka mengembara?” bertanya yang lain.

“Bukankah aku pernah mengatakannya, bahwa bagi mereka pengembaraannya itu merupakan laku?” sahut Kiai Semangin.

Keempat orang itu mengangguk-angguk. Kiai Semangin memang pernah berceritera tentang laku yang dijalani oleh anak-anak muda itu. Tanpa Ngrame.

Namun selagi anak-anak muda itu masih di padepokan, maka keempat orang itu minta mereka untuk membantu menilai para cantrik yang baru saja datang itu. Tanpa setahu orang-orang itu, maka keempat putut itu telah melakukan pengamatan dan penilaian. Satu demi satu mereka telah dipanggil untuk menghadap. Para cantrik yang sudah dipersiapkan untuk menjadi Putut itu telah memancing keterangan dari para cantrik itu tentang diri mereka, sikap mereka serta tujuan mereka.

Dari pembicaraan itu maka akan tercermin sikap dan pribadi setiap orang di antara mereka. Ternyata bahwa Kiai Semangin yang menyaksikan pembicaraan antara para cantrik yang diangkat menjadi pembantunya itu telah mengajak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pula untuk ikut menilai. Pada umumnya orang-orang itu telah menjawab dengan jujur. Jika mereka berada di padepokan yang sudah terkoyak-koyak itu adalah karena mereka benar-benar telah terjebak.

Dengan demikian maka tidak ada kecurigaan lagi dari di antara para pemimpin padepokan itu terhadap orang-orang yang baru datang. Namun demikian Kiai Semangin masih juga berpesan kepada empat orang cantrik yang dipercaya itu untuk tetap berhati-hati. Mungkin pengaruh buruk selama mereka terjebak di padukuhan sebelah itu berhasil diendapkan. Tetapi pada suatu saat jika jiwa orang itu teraduk, maka mungkin sekali pengaruh itu akan mencuat lagi ke permukaan.

Karena itu, maka Kiai Semangin pun berkata, “Amati setiap pribadi dengan saksama. Jangan sekedar melihat ujud keseluruhan. Persoalan yang timbul terhadap seseorang akibatnya akan dapat berbeda jika persoalan yang sama timbul pada orang lain.”

Keempat orang yang dipercaya oleh Kiai Semangin itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan selalu memberikan laporan bagi setiap perkembangan,”

Namun dalam pada itu, ketika segalanya menjadi mapan, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun merasa bahwa mereka tidak perlu untuk terlalu lama berada di padepokan itu.

“Segala sesuatunya sudah menjadi semakin tertib. Barak telah dibangun, sementara tanah yang dibuka, sebagian sudah dapat ditanami palawija. Jika parit itu kemudian sudah mencapai tanah yang dibuka itu, maka akan segera dapat dibuat kotak-kotak sawah untuk menanam padi. Jika mereka menanam padi genjah, maka dalam tiga bulan mereka sudah dapat memetik hasilnya. Sedangkan jika musim hujan segera datang, maka tanpa menunggu parit itu, tanah itu akan segera dapat ditanami padi pula,” berkata Mahisa Murti.

Kiai Semangin mengangguk-angguk. Katanya, “Ya anak-anak muda. Nampaknya mereka memang sudah mapan. Dalam waktu yang tidak lama lagi, mereka akan dapat menempati barak-barak mereka yang baru. Meskipun tidak cukup baik, tetapi barak-barak itu akan cukup memadai.”

“Lebih dari cukup Kiai,” jawab Mahisa Murti, “beberapa orang yang tangannya terampil telah mampu menganyam dinding bambu yang kuat dengan rangkapan kepang yang dianyam halus sehingga udara di dalamnya tetap sejuk tetapi tidak dingin. Atap ijuk pun memberikan kehangatan di malam hari, tetapi tidak panas. Orang-orang itu tentu merasa sangat berterima kasih terhadap kelengkapan yang mereka terima di sini. Di tempat-tempat yang lama mereka berada di gubug-gubug yang tidak lebih baik dari kandang kuda. Tetapi lebih dari itu, perlakuan para pemimpin padepokan ini terasa jauh lebih baik dari yang pernah mereka alami di padepokan yang hancur itu.”

Kiai Semangin mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Jika kalian memang harus meninggalkan kami, maka aku tidak akan dapat menahan kalian lebih lama lagi. Aku pun tahu bahwa kalian sudah terlalu lama mengembara. Banyak perubahan telah terjadi. Tetapi sayang, bahwa Kiai Nagateleng sudah tidak ada.”

“Kami juga menyesal Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi kami tidak mengetahui bahwa kami akan terlambat.”

“Aku berharap bahwa Kiai Nagateleng akan dapat membantu kalian dalam banyak hal. Tetapi nampaknya kalian sudah tidak hanya berdua,” berkata Kiai Patah tanpa menyebut-kepentingan kedua orang anak muda itu.

Mahisa Murti di luar sadarnya telah berpaling kepada Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Baru sejenak kemudian Kiai Patah yang disebut Kiai Semangin itu bertanya, “Kapan kalian akan berangkat?”

“Besok kami akan meneruskan perjalanan,” jawab Mahisa Murti.

“Malam nanti kita akan berkumpul. Mungkin ada pesan yang dapat kau berikan kepada para cantrik, khususnya yang kau bawa dari padepokan sebelah,” berkata Kiai Semangin.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baik Kiai. Nanti kami akan minta diri.”

Namun dalam pada itu, ketika Kiai Patah sempat berbicara hanya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada kesempatan lain, maka Kiai Patah itu pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu dengan orang-orang yang menyertaimu?”

“Seorang yang kami anggap paman kami adalah orang yang menyatakan diri untuk menyertai perjalanan kami. Ia hanya ingin tinggal bersama kami. Tidak lebih. Sedangkan kedua orang yang lain, aku harapkan akan dapat menjadi kekuatan masa datang. Terutama anak itu.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku melihat kelebihannya. Ketika ada waktu, tanpa orang lain, anak itu berlatih di pinggir hutan. Sementara yang lain beristirahat, anak itu mempergunakan waktu sebaik-baiknya tanpa orang lain. Namun aku ingin berpesan, jagalah agar anak itu tidak terlalu sering berlatih tanpa pengawasan seperti yang sempat aku lihat di pinggir hutan saat kami membuka hutan itu.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Ternyata keduanya terlalu sibuk bersama para cantrik, sehingga mereka tidak melihat anak itu berlatih sendiri.

“Anak itu melakukan gerakan yang sebenarnya masih belum perlu dilakukannya, meskipun ia dapat melakukan dengan baik,” berkata Kiai Patah.

“Terima kasih Kiai,” desis Mahisa Murti.

“Nampaknya anak itu memang sulit dikendalikan,” sambung Mahisa Pukat.

“Agaknya memang demikian,” desis Kiai Patah, “tetapi kami berusaha sebaik-baiknya untuk mencegahnya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, mengiakan. Ternyata ketajaman penglihatan Kiai Patah telah menangkap sesuatu yang memang perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi lebih dari itu, peringatan itu merupakan peringatan baginya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata masih belum dapat menempatkan dirinya benar-benar sebagai seorang guru yang lengkap. Mereka bukan saja harus memberikan pengetahuan, tetapi juga mengawasi dengan tertib, apa yang dilakukan oleh murid-muridnya, justru dengan bahan-bahan yang telah diberikannya.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Aku ternyata masih harus banyak belajar untuk mampu benar-benar bertindak sebagai seorang guru. Tetapi untuk selanjutnya aku akan belajar dari pengalaman dan petunjuk-petunjuk dari siapa pun juga. Apa yang Kiai nasehatkan kepada kami berdua adalah sangat berarti. Bukan sekedar perhatian kami terhadap anak itu. Tetapi adalah dasar dari kekurangan itu sendiri.”

Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Tidak ada orang yang mempunyai bekal yang lengkap. Tentu ada kekurangan-kekurangannya. Mungkin secara kebetulan aku melihat kekurangan kalian. Tetapi, pada kesempatan lain, kalian atau orang lain akan melihat kekuranganku,” Kiai Patah itu berhenti sejenak, lalu “Tetapi menurut pengamatanmu, anak itu memang menyimpan sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak-anak sebayanya. Satu yang pasti, kemauan anak itu sangat besar untuk dapat menerima warisan yang kalian berikan kepadanya. Ia tidak ingin mengecewakan guru-gurunya yang dengan sungguh-sungguh telah mengasuhnya meskipun dengan cara yang khusus, karena kalian selama ini masih dalam pengembaraan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat berdesis, “Kami memang baru mempersiapkannya Kiai. Tetapi ternyata anak itu maju terlalu pesat, sehingga kamilah yang telah terseret arus kemauannya.”

Kiai Patah mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku sependapat. Karena itu, maka kalian sebaiknya melakukan pengamatan khusus dengan teliti terhadap semua kemungkinan dalam dirinya. Kalian harus mencari kekuatan yang paling menonjol di antara kekuatan-kekuatannya. Dengan demikian, kalian akan dapat memanfaatkan kekuatan itu untuk mengembangkan ilmu anak itu. Mungkin dengan demikian, kalian akan dapat lebih cepat mencapai satu tataran yang kalian kehendaki pada anak itu. Sudah tentu bahwa kalian tidak akan dapat membuat anak itu menguasai terlalu banyak hal. Jika kalian berdua memiliki berbagai macam ilmu itu, karena kalian dapat mengungkit kekuatan di dalam diri anak itu, mungkin ia akan dapat menjadi seorang anak muda seperti kalian.”

“Mudah-mudahan Kiai,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi yang kita bicarakan itu adalah kelebihan anak itu dalam ilmu kanuragan,” berkata Kiai Patah.

“Jadi?” bertanya Mahisa Murti.

“Keutuhan seseorang tidak hanya terdapat dalam ilmu kanuragan dan pengetahuan tentang lingkungannya,” berkata Kiai Patah, “tetapi kita juga harus berbicara tentang sifat dan wataknya, Jika ia memiliki ilmu dan pengetahuan, namun sifat serta wataknya tidak mendukungnya, maka ia justru akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Karena itu, jika kalian ingin membentuk anak itu, kalian harus membentuknya dalam keutuhannya. Ilmu, pengetahuan dan wataknya, sehingga keseluruhan pribadinya dapat kalian banggakan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Aku mengerti Kiai.”

“Hal ini berlaku juga terhadap murid-murid yang lain. Nampaknya anak muda yang kau bawa mengembara itu juga akan kau bentuk menjadi seorang yang berilmu tinggi. Meskipun bekal alami yang ada di dalam dirinya tidak sekuat anak itu, tetapi anak muda itu juga mempunyai kesungguhan. Ia akan dapat menyadap ilmu yang kalian berikan dengan baik,” berkata Kiai Patah selanjutnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Sementara Kiai Patah berkata pula, “Memang agak berbeda dengan orang yang kalian sebut Paman Wantilan. Ia sudah terbentuk. Namun sayang bahwa dasar dari ilmunya nampaknya kurang meyakinkan. Aku tidak dapat melihat dengan pasti karena untuk itu aku harus melihatnya benar-benar bertempur atau melepaskan semua unsur gerak dalam satu latihan khusus. Tetapi sekilas dapat aku tangkap beberapa kekurangan dasar pada orang itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan. Sampai saat ini ia masih belum ketinggalan dari anak muda yang kau sebut Mahisa Semu itu. Tetapi perkembangan ilmu anak muda itu akan jauh lebih cepat dari Wantilan. Namun demikian, kau tidak boleh mengecewakannya. Meskipun menurut pengakuannya ia hanya akan sekedar ikut menyertai kalian, tetapi tentu ia ingin meningkatkan ilmunya pula. Dan itu masih memungkinkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng menjawab, “Ya Kiai.”

“Nah, ternyata kalian akan benar-benar disebut sebagai guru. Hal itu akan memaksa kalian untuk bertanggung jawab atas sebutan itu,” berkata Kiai Patah pula.

Kiai Patah masih memberikan beberapa pesan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka memang masih memerlukan banyak pengalaman untuk dapat menjadi seorang guru yang baik. Namun menurut Kiai Patah, kedua anak muda itu telah memiliki ilmu yang cukup. Meskipun Kiai Patah sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang sepasang pusaka yang juga dikenalinya itu, namun Kiai Patah merasa semakin yakin akan kemampuan kedua orang anak muda itu.

Seperti yang direncanakan, maka ketika malam turun, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berkumpul bersama-sama para cantrik dari padepokan itu. Termasuk para cantrik yang baru. Justru pertemuan itu lebih banyak diperuntukkan bagi mereka, karena Mahisa Murti dan saudara-saudaranya akan minta diri.

Ketika salah seorang di antara para cantrik yang baru itu diberi kesempatan untuk berbicara mewakili kawan-kawannya, maka dengan tulis ia mengucapkan terima kasih atas bantuan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sehingga mereka dapat keluar dari neraka yang mengerikan itu.

“Tanpa bantuan kalian, barangkali kami masih berada di dalam kerangkeng-kerangkeng yang sempit dan pengab. Bahkan ada di antara kami yang diikat dengan tiang-tiang bilik yang sempit dan gelap. Ada pula yang diikat pada tiang-tiang di halaman sehingga di siang hari dibakar oleh teriknya cahaya matahari, sedangkan di malam hari, basah oleh titik-titik embun yang dingin. Yang lain selalu dilecuti dalam latihan-latihan yang ternyata tidak berarti sama sekali dengan cambuk, cemeti atau rotan,” berkata orang itu dengan suara yang patah-patah. Kemudian, “Sekarang kami merasakan kebebasan itu. Kami yang semula merasa bahwa derajad kami tidak lebih baik dari seekor binatang, kini kami merasa bahwa kami telah dianggap sebagaimana manusia yang lain. Karena itu, maka kami justru merasa, bahwa kami telah berhutang budi tanpa dapat untuk membayar kembali dengan cara apa pun juga.”

Mahisa Murti lah yang kemudian berbicara kepada mereka. Selain minta diri, maka Mahisa Murti pun berkata, “Pengalaman pahit itu hendaknya menjadi pendorong bagi kalian, bahwa kalian tidak akan memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Meskipun seandainya kalian mampu melakukannya karena kalian berilmu. Tetapi kalian harus selalu ingat, bahwa betapa pun tinggi ilmu seseorang, namun di hadapan Yang Maha Agung, kita tidak lebih dari sebutir debu yang tidak berarti sama sekali. Karena itu, selagi kita masih sempat, maka kita harus menunjukkan pengabdian kita yang tulus terhadap Yang Maha Agung dan sesama.”

Ternyata pesan Mahisa Murti benar-benar mampu meresap ke dalam hati para cantrik yang merasa telah ditolongnya. Mereka memang merasa berat untuk melepaskan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu meninggalkan mereka. Bagi mereka, Mahisa Murti dan saudara-saudarnya adalah orang-orang yang sangat berarti bagi hidup mereka.

Tetapi Mahisa Murti berkata kepada mereka, “Kiai Semangin mengerti segala-galanya. Bahkan Kiai Nagateleng yang sebenarnya pun telah mengetahui bahwa ada sebuah padepokan yang telah menjebak banyak orang. Tetapi Kiai Semangin tidak dapat bergerak dengan tergesa-gesa sebelum mendapat cukup bahan-bahan dan bukti yang meyakinkan.”

Namun Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah itu memotong, “Tetapi ternyata bahwa anak-anak muda itulah yang datang menolong kalian. Selama itu agaknya aku hanya mempunyai niat saja, tanpa berbuat apa-apa. Sementara anak-anak muda itu telah melakukannya dan ternyata apa yang mereka perbuat menjadi sangat berarti bagi kalian.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Kami adalah sekedar penyambung kuasa tangan Yang Maha Agung.”

Demikianlah, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sempat berbincang sampai jauh malam. Namun akhirnya Kiai Patah pun menutup pertemuan itu. Katanya, “Berilah kesempatan anak-anak muda itu beristirahat.”

Namun ketika pertemuan itu benar-benar selesai, Mahisa Amping telah memejamkan matanya meskipun ia masih tetap duduk di tempatnya.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dan saudara-saudara-nya pun telah kembali ke dalam bilik mereka. Mereka benar-benar ingin beristirahat, karena esok mereka akan menempuh perjalanan yang panjang. Kembali ke padepokan Bajra Geni. Padepokan yang masih baru dan yang ditunggui oleh Mahendra, ayah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah terlalu tua untuk melakukan tugas-tugas yang berat, sehingga Mahendra telah menghentikan pekerjaannya, berdagang wesi aji dan batu-batu berharga.

Malam itu tidak terjadi sesuatu yang dapat mengganggu istirahat mereka. Pagi-pagi benar kelima orang itu pun telah berbenah diri. Tetapi ternyata beberapa orang cantrik telah bangun lebih pagi lagi utnuk menyiapkan makan pagi mereka. Sambil makan Mahisa Murti masih sempat juga memberikan pesan kepada beberapa orang cantrik yang mewakili kawan-kawannya, bahwa hutan yang dibuka itu harus mereka anggap sebagai sahabat mereka. Karena itu, mereka tidak dapat berbuat sesuka hati.

Demikianlah menjelang matahari naik, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bersiap meninggalkan padepokan yang dipimpin oleh Kiai Semangin itu. Namun sebelum mereka meninggalkan regol padepokan, Mahisa Murti masih juga berkata, “Pada suatu saat, aku ingin kembali lagi ke padepokan ini. Padepokan ini terhitung sudah tidak terlalu jauh lagi dari padepokan kami meskipun masih harus bermalam di perjalanan. Kiai masih belum berceritera tentang Kiai sendiri selama kami berada di sini.”

Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Tidak ada yang penting yang harus aku ceriterakan sepeninggal kalian. Tetapi baiklah. Aku akan sangat berterima kasih jika kalian datang ke padepokan ini bersama Ki Mahendra.”

“Ayah sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan jauh,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Bagaimana jika Kiai kami jemput untuk berkunjung ke padepokan kami?”

“Tentu aku tidak berkeberatan,” berkata Kiai Patah. “namun sebelumnya salamku kepada ayahmu itu.”

Demikianlah, maka kedua anak muda itu bersama saudara-saudara angkat mereka meninggalkan padepokan itu. Orang-orang yang merasa berhutang budi kepadanya telah mengantar mereka keluar dari pintu gerbang.

Seorang yang mewakili kawan-kawannya berkata dengan kata yang sendat, “jangan lupakan kami.”

Mahisa Murti menepuk bahunya sambil berkata, “Aku akan berusaha untuk kembali jika mungkin. Tetapi pesanku, bersungguh-sungguhlah. Mudah-mudahan kau berhasil. Jangan lupakan sangkan paraning dumadi.”

“Kami mohon doa restu,” berkata orang itu.

“Kita semua akan selalu berdoa,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu melepas Mahisa Murti dan saudara-saudaranya dengan hati yang berat. Namun mereka tidak dapat menahan mereka dengan cara apa pun juga.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka mereka telah melangkah semakin jauh. Seperti biasa, Mahisa Amping berjalan di paling depan. Jika ia melihat sebatang pohon, telapak kakinya rasa-rasanya digelitik untuk memanjat. Tetapi ia sudah mampu menahan diri karena saudara-saudara angkatnya tidak begitu senang melihatnya memanjat pohon tanpa maksud apa-apa.

Beberapa saat kemudian, maka mereka telah turun ke jalan yang lebih besar di padukuhan Banyusasak. Mereka pun kemudian telah berada di jalan dari Padang Karautan yang telah menjadi ramai menuju ke Singasari. Dibandingkan dengan perjalanan panjang yang telah mereka tempuh, maka jalan menuju ke padepokan mereka sudah tidak terlalu jauh lagi. Mereka tidak berniat untuk singgah di Kotaraja. Tetapi mereka akan mengambil jalan pintas langsung menuju ke padepokan Bajra Seta.

Namun di perjalanan yang sudah tidak terlalu jauh lagi itu, masih dapat saja terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan mereka. Perjalanan yang dapat mereka tempuh dalam sehari lebih sedikit itu, mungkin justru akan berkepanjangan atau bahkan telah membawa mereka menjauhi padepokan yang mereka tuju.

Tetapi mereka sudah berniat untuk kembali setelah mereka menempuh perjalanan cukup panjang. Namun dengan demikian, maka mereka pun telah memetik pengalaman yang sangat berharga di sepanjang jalan. Banyak peristiwa yang terjadi. Bahkan kadang-kadang sangat berbahaya sehingga nyawa mereka harus mereka pertaruhkan.

Ternyata bahwa Yang Maha Agung masih melindungi mereka, sehingga mereka telah menempuh perjalanan kembali ke padepokan mereka. Menembus segala macam hambatan dan mengatasi segala macam kesulitan. Tetapi betapa pun pendeknya jarak di hadapan mereka, namun mereka masih belum sampai ke padepokan.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka panas pun mulai terasa menggigit kulit. Meskipun demikian mereka berjalan terus. Mereka tidak lagi merasakan betapa jalan-jalan bagaikan membara di tengah hari. Apalagi ketika matahari sedikit melampaui puncaknya. Tetapi mereka sudah terbiasa untuk mengatasi perasaan itu. Mereka sudah terbiasa berjalan di panggang oleh panasnya sinar matahari.

Namun ketika matahari mulai turun, Mahisa Murti mulai memperhatikan Mahisa Amping. Bagaimana pun juga ia masih seorang kanak-kanak yang memiliki daya tahan yang berbeda dari yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis kepada Mahisa Semu, “Amping agaknya sudah lapar.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita makan terlalu pagi.”

“Kita akan singgah di sebuah kedai. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan kita,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Banyak hal memang dapat terjadi. Tetapi mereka memang tidak dapat mengabaikan keadaan Mahisa Amping yang masih kanak-kanak itu. Karena itu, di sebuah padukuhan yang besar, mereka telah singgah di sebuah kedai. Kedai itu pun termasuk kedai yang termasuk besar pula.

Nampaknya kedai itu cukup banyak dikunjungi orang. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masuk ke dalam kedai itu, maka beberapa orang sudah lebih dahulu ada di dalamnya. Nampaknya kedai itu juga mampu memberikan suasana yang tenang bagi para pengunjungnya. Berbagai macam makanan dan minuman disediakan di dalam kedai itu, sehingga mereka yang membelinya dapat memilih sesuai dengn selera mereka masing-masing.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun kemudian telah memilih tempat di sudut kedai itu. Mereka duduk di atas sebuah amben bambu yang tidak begitu besar, yang justru sesuai dipergunakan oleh lima orang. Mereka pun kemudian telah memesan minuman dan makanan bagi mereka berlima.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang sudah berusaha untuk tidak tertarik kepada apa pun juga yang terjadi di kedai itu. Mereka sudah dalam perjalanan pulang. Jaraknya pun sudah tidak lagi terlalu jauh.

“Rasa-rasanya tidak ada yang lebih baik bagiku sekarang daripada segera sampai ke padepokan Bajra Seta,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Amping tiba-tiba perhatianya mulai tertarik kepada seseorang. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Orang itu tentu membawa banyak uang.”

“Sst,” desis Mahisa Murti, “jika ada orang yang mendengar akan dapat terjadi salah paham.”

“Bukankah aku berbicara perlahan sekali?” justru Mahisa Amping telah bertanya.

“Ya. Tetapi jika ada orang yang mendengar akan dapat salah paham. Mereka dapat saja mengira bahwa kita cepat tertarik kepada barang-barang berharga. Atau bahkan orang lain dapat mengira bahwa kita memang telah mengikutinya sejak lama,” desis Mahisa Pukat.

Anak itu menganguk-angguk. Namun ia nampak gelisah. Beberapa kali ia bangkit berdiri. Dan ia pun kemudian kembali duduk di tempatnya.

“Ada apa sebenarnya dengan kau?” bertanya Mahisa Semu.

Anak itu menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah kita berjalan terus. Aku sudah cukup.”

“Kau memang sudah. Tetapi yang lain belum,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Karena itu, maka kita harus bersabar menunggu mereka. Selain itu, kita juga memanfaatkan saat seperti ini untuk beristirahat. Bukankah kita sudah tidak perlu berjalan berhari-hari lagi. Besok kita akan sampai ke padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang mencoba untuk menjadi tenang dan duduk kembali di tempatnya. Tetapi setiap kali ia selalu berpaling kepada orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mulai memperhatikan Mahisa Amping. Mereka tidak begitu tertarik kepada orang itu. Namun Mahisa Amping nampaknya sangat terpengaruh oleh kehadiran orang itu. Bahkan kemudian keduanya mulai bertanya-tanya, kenapa Mahisa Amping menjadi sangat gelisah.

Keduanya justru mulai mengingat kembali apa yang pernah terjadi. Kadang-kadang penggraita anak itu menjadi sangat tajam. Ia merasa cemas bahwa sesuatu akan terjadi dengan orang yang dikatakannya membawa banyak uang itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menahan diri. Semuanya itu masih sekedar dugaan saja, bahwa Mahisa Amping memiliki ketajaman penglihatan jauh melampaui orang kebanyakan. Bahkan terhadap apa yang belum terjadi. Setidak-tidaknya penglihatan perasaannya meskipun tidak begitu jelas bagi anak itu sendiri.

Untuk beberapa saat Mahisa Amping memang tidak memperhatikan orang itu lagi. Tetapi kemudian beberapa kali ia berpaling dan semakin lama semakin nampak gelisah. Namun akhirnya, semuanya pun telah selesai pula. Karena itu, maka mereka telah memenuhi permintaan Mahisa Amping untuk segera meninggalkan tempat itu. Setelah membayar harga makanan dan minuman bagi mereka berlima maka mereka pun telah keluar pula dari kedai itu.

Di pintu, mereka berpapasan dengan dua orang yang memasuki kedai itu. Seorang berwajah murah dan yang seorang lagi nampak pucat. Mahisa Amping tiba-tiba saja berpegangan kain panjang Mahisa Pukat dengan erat. Beberapa kali ia memandangi kedua orang yang memasuki kedai itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memperhatikan orang itu pula. Beberapa saat lamanya keduanya berdiri di depan pintu. Kemudian mereka pun melangkah masuk dan duduk tidak jauh dari orang yang disebut membawa banyak uang itu. Ketika perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertuju kepada orang itu, maka Mahisa Amping pun berkata,

“Marilah. Kita akan pergi. Semakin cepat kita sampai ke padepokan itu menjadi semakin baik bagi kita. Rasa-rasanya aku ingin segera melihat apa yang ada di dalam padepokan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah melangkah pula. Mahisa Semu dan Wantilan yang perhatiannya tertuju ke tempat lain, telah melangkah pula mengikutinya. Tetapi sebelum mereka menjauhi kedai itu, maka tiba-tiba saja tiga orang bersama-sama telah keluar dari kedai dan tergesa-gesa melangkah menuju ke arah yang sama dengan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, bahkan mendahuluinya.

Mahisa Amping masih nampak cemas. Nampaknya ia tidak menjadi ketakutan bagi keselamatannya sendiri. Tetapi ia mencemaskan bahwa sesuatu akan terjadi.

“Marilah,” tiba-tiba Mahisa Amping menarik kain panjang Mahisa Pukat untuk berjalan lebih cepat.

“Kau ini kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Amping tidak menjawab, tetapi ia masih saja menarik kain panjang Mahisa Pukat dan mengajaknya berjalan lebih cepat. Mahisa Murti yang menjadi heran pula melihat sikap Mahisa Amping telah mengikutinya berjalan lebih cepat lagi di samping Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan berlari-lari kecil menyusul mereka.

“Kenapa begini tergesa-gesa,” berkata Wantilan.

“Mahisa Amping yang tergesa-gesa,” jawab Mahisa Pukat.

“Apa yang kau kejar Amping?” bertanya Mahisa Semu.

“Anak ini seperti melihat seekor burung lepas dari sangkarnya,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Amping sendiri tidak menjawab. Ia tidak lagi menarik kain panjang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berjalan dengan cepat mengikutinya. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan mengikutinya di belakang berjarak beberapa langkah.

“Ada apa sebenarnya?” bertanya Wantilan kepada Mahisa Semu.

“Nampaknya anak itu tertarik kepada ketiga orang yang berjalan mendahului kita,” jawab Mahisa Semu.

“Ada apa dengan mereka?” bertanya Wantilan.

“Entahlah,” jawab Mahisa Semu.

Keduanya pun kemudian terdiam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di belakang Mahisa Amping masih saja berjalan cepat. Namun kemudian Mahisa Amping telah memperlambat langkahnya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berjalan semakin lambat pula.

Ketiga orang yang berjalan di hadapan mereka memang menjadi semakin jauh. Ketiganya sama sekali tidak menghiraukan kelima orang yang berjalan di belakang mereka, karena kelima orang itu mereka anggap tidak mengikuti mereka. Kelima orang itu sudah berjalan ke arah itu justru lebih dahulu dari mereka yang kemudian mendahului.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian melihat ketiga orang itu berbelok ke kiri meninggalkan jalan yang mereka lalui itu.

“Kita berjalan terus,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Amping tiba-tiba berhenti. Dengan nada rendah ia berkata, “Apakah kita tidak berbelok ke kiri seperti ketiga orang itu?”

“Bukankah kau senang jika kita lebih cepat sampai ke padepokan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tetapi hatiku menjadi berdebar-debar melihat orang itu. Aku melihat wajah orang itu kadang-kadang menjadi hitam, tetapi kadang-kadang tampak putih seperti tidak berdarah. Aneh bukan?” jawab anak itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Mereka memang sudah menduga, bahwa ada sesuatu di dalam diri anak itu yang melebihi orang kebanyakan. Tetapi tidak selalu dapat diangkat dari dasar hatinya ke permukaan, sehingga karena itu, maka ia kadang-kadang seolah-olah mendapat satu isyarat tentang sesuatu hal. Kadang-kadang tidak.

“Jika ia sempat mengembangkannya dengan tuntunan orang yang memiliki ilmu dan kemampuan, mungkin ia akan memiliki sesuatu yang jarang dimiliki orang lain,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.

“Bagaimana? Apakah kita dapat berbelok? Jika jarak yang harus kita tempuh terlalu jauh, kita akan berhenti dan kembali lagi ke jalan ini,” berkata anak itu.

“Apa yang terlalu jauh? Aku tidak tahu ukuran apa yang harus kita pakai untuk menentukan bahwa kita sudah terlalu jauh memasuki jalan itu jika kita memang berniat untuk berbelok ke kiri,” berkata Mahisa Murti.

Anak itu juga menjadi bingung. Tetapi anak itu dapat juga menjawab, “Ukurannya adalah apabila kita sudah jemu mengikuti orang itu, kita kembali. Sekarang kita tentu belum jemu. Setidak-tidaknya aku belum.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi kita tidak akan mengikuti orang itu tanpa batas.”

“Ya,” jawab Mahisa Amping.

Berlima mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai ke simpangan yang dilalui oleh ketiga orang itu, barulah mereka tahu, bahwa simpangan itu adalah sekedar lorong kecil yang nampaknya jarang dilalui orang. Tetapi memenuhi permintaan Mahisa Amping, maka mereka berlima telah menempuh jalan itu.

“Kakiku mulai terasa pedih,” berkata Mahisa Semu.

“Kau bohong,” sahut Mahisa Amping, “kita sudah menempuh perjalanan yang panjang sekali. Kau tidak pernah mengeluh seperti itu.”

Yang mendengar jawaban Mahisa Amping itu tersenyum. Tetapi Mahisa Semu masih mencoba menjawab, “Tetapi selama ini kita berjalan di atas jalan yang baik. Rata dan halus.”

“Kau bohong lagi,” Mahisa Amping membantah.

“Jalan ini berbatu-batu tajam,” berkata Mahisa Semu pula.

“Kita pernah berjalan melewati jalan berbatu-batu padas. Melewati padang perdu yang penuh dengan duri. Kita pernah melalui jalan yang jauh lebih buruk dari ini,” berkata Mahisa Amping.

Mahisa Semu mengerutkan dahinya. Sementara Wantilan tertawa tertahan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja tersenyum sambil berjalan dibelakang Mahisa Amping. Ternyata mereka berjalan beberapa lama. Tetapi mereka tidak melihat lagi ketiga orang yang berjalan di hadapan mereka.

“Orang-orang itu telah hilang,” desis Mahisa Semu, “kita tidak akan dapat menemukan mereka lagi.”

Mahisa Amping berpaling sejenak. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan anak itu berjalan sambil berlari-lari kecil di paling depan. Beberapa lama mereka berjalan, maka mereka sampai ke sebuah tanggul sungai. Gerumbul-gerumbul perdu yang liar tumbuh di sepanjang tanggul itu.

“Tunggu,” desis Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Amping memang berhenti. Tetapi wajahnya nampak tegang. Bahkan ia pun bertanya, “Kenapa kita berhenti?”

“Apakah kita akan menuruni tebing sungai itu dan akan menyeberang?” bertanya Mahisa Murti, “apakah kita belum jemu mengikutinya jalan ini?”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan melihat ke sebelah tanggul. Jika kita tidak melihat sesuatu, kita akan kembali.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kau tinggal di sini. Biarlah aku melihat tanggul itu.”

Bersama Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun telah melangkah dengan hati-hati mendekati tanggul. Mereka berhenti sambil berjongkok dibalik batang-batang perdu yang tumbuh di atas tanggal itu. Perasaan mereka nampaknya telah menahan agar mereka tidak dengan serta merta melewati tanggul.

Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperhatikan jalan setapak yang menuruni tebing rendah sungai itu. Tetapi mereka berdua tidak turun lewat jalan setapak itu. Bahkan penggraita mereka yang tajam seakan-akan memberikan isyarat, bahwa ada sesuatu dibalik tanggul itu.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser justru menjauhi jalan setapak yang menuruni tebing, mereka menjadi semakin curiga. Di sebelah mereka melihat sungai itu berbelok tajam. Ketika mereka menguak gerumbul-gerumbul perdu dengan sangat berhati-hati, maka mereka terkejut. Ditepian mereka melihat beberapa orang yang tampaknya sedang membicarakan sesuatu yang penting, dibalik kelokan yang tajam itu...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 90

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 90
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAHISA MURTI dengan keras telah mengacaukan kepungan lawan-lawannya. Bahkan orang bertubuh raksasa itu seakan-akan semakin tidak berdaya. Ketika ia menyerang Mahisa Murti dengan tombak yang diambilnya dari seorang cantrik, maka kemarahan Mahisa Murti yang tidak tertahankan lagi telah mematahkan tombak itu dengan pedangnya yang khusus. Pedang yang jarang ada duanya.

Sementara itu, Mahisa Pukat justru telah meloncat ke halaman dan berteriak lantang, “Marilah. Siapa yang ingin mati lebih dahulu?”

Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun berdiri termangu-mangu. Ia melihat orang-orang yang datang itu tidak seperti beberapa orang yang pernah datang sebelumnya. Tetapi orang-orang ini adalah orang-orang yang memang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Ia melihat beberapa orang cantrik yang melihat pertempuran itu dengan wajah yang penuh keragu-raguan.

Ketika kedua orang bertubuh raksasa serta beberapa orang cantrik yang bertempur itu tidak segera menyelesaikan pekerjaan mereka, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun berteriak, “Cepat. Selesaikan orang ini. He, para cantrik. Kali ini adalah saatnya kalian menunjukkan kesetiaan kalian kepada padepokan ini.”

Beberapa orang cantrik memang dengan serta merta telah menyerang keempat orang itu. Namun Mahisa Amping yang semula hanya berdiri tegang, tiba-tiba harus membela dirinya ketika seseorang ingin menangkapnya.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun menjadi semakin garang. Ia berloncatan menyerang orang-orang yang mengepungnya. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Namun setiap kali telah mematuk dan membentur senjata-senjata yang teracu di sekitarnya.

Orang bertubuh raksasa yang melawan Mahisa Pukat itu masih memegang bindinya. Beberapa kali bindinya telah membentur pedang Mahisa Pukat. Namun bindi itu semakin lama justru terasa menjadi semakin berat.

Ketika para cantrik yang bertempur itu menjadi semakin bingung menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun di antara mereka terdapat dua orang raksasa yang dianggap memiliki kekuatan yang sangat besar itu, maka orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun telah bersiap-siap untuk melibatkan diri.

Namun ternyata pertempuran itu telah menarik perhatian seisi padepokan itu. Para cantrik yang ada di bagian lain dari padepokan itu pun telah berlari-lari menuju ke bangsal kecil itu.

Tetapi sementara itu, ternyata Mahisa Murti telah melihat satu kemungkinan yang lain. Ketika lawannya menjadi semakin banyak, maka ia pun telah bertempur semakin keras. Bahkan tiba-tiba saja Mahisa Murti itu pun berteriak,

“Marilah, siapa yang ingin menunjukkan kesetiaannya kepada padepokan ini? Siapakah yang merasa menjadi murid yang mendapat perlakuan sebagai layaknya murid sebuah padepokan? Siapakah yang tidak diperlakukan sebagai budak yang tidak berharga, lawan kami. Tetapi siapa yang merasa diperlakukan lebih rendah dari seekor binatang, sekarang adalah kesempatan bagi kalian untuk menunjukkan harga diri kalian.”

Suara Mahisa Murti yang lantang itu terdengar oleh para cantrik yang telah memenuhi setiap ruangan di sekitar bangsal kecil itu.

Sementara itu, Mahisa Semu yang mendengar suara Mahisa Murti itu tiba-tiba saja telah mempunyai pikiran tersendiri. Sekilas ia melihat Mahisa Amping yang berhasil melepaskan diri dari seorang cantrik yang nampaknya telah menyerangnya. Dengan cepat Mahisa Semu telah menarik tangan anak itu dan berusaha keluar dari lingkaran pertempuran.

“Ke mana?” bertanya Mahisa Amping.

Mahisa Semu tidak menjawab. Sementara itu Wantilan yang melihat keduanya bergeser menjauh, menjadi cemas. Wantilan memang mengira bahwa Mahisa Semu akan menyingkirkan Mahisa Amping, sehingga karena itu, ia pun telah menyusulnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang melihat keduanya meninggalkan arena, meskipun sambil berlari-lari mereka masih juga harus bertempur. Baru kemudian Wantilan menyadari apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Semu telah menemukan jalan menuju ke tempat orang-orang yang terikat. Bukan saja yang terikat di patok-patok di halaman yang dipanasi oleh terik matahari dan di rendam derasnya hujan, tetapi juga yang ada di dalam bilik-bilik yang sempit.

Wantilan yang tanggap segera melindunginya. Dengan kemampuannya Wantilan telah menahan beberapa orang yang mengejarnya, sementara Mahisa Semu sempat memutuskan tali beberapa orang yang terikat bersama Mahisa Amping. Satu dua orang memang tidak berdaya. Tetapi ada di antara mereka yang masih memiliki tenaga yang cukup.

“Bangkitlah,” teriak Mahisa Semu, “kami datang untuk menolong kalian.”

Orang-orang itu memang ragu-ragu. Mereka sudah terlalu lama mengalami nasib yang pahit sejak mereka berpengharapan untuk menyadap ilmu di padepokan itu. Tetapi yang mereka ketemukan adalah justru kesulitan dan kesengsaraan.

Mahisa Semu melihat keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika kalian tidak memanfaatkan saat ini, maka kalian tidak akan pernah mendapatkannya. Bahkan kalian justru akan mengalami keadaan yang lebih pahit lagi.”

Tetapi Mahisa Semu tidak mempunyai waktu lebih lama. Ia pun segera harus melawan orang-orang yang memburunya. Namun ia sempat berkata, “Lepaskan kawan-kawanmu. Pergilah dari neraka ini.”

Ketika Mahisa Semu kemudian bertempur melawan orang-orang yang mengejarnya, Mahisa Amping masih sempat memutuskan tali pengikat beberapa orang sambil berkata, “Tolong kawan-kawanmu. Ajak mereka pergi.”

Orang-orang yang kemudian telah bebas dari ikatannya itu pun masih saja ragu-ragu. Tetapi mereka menyadari bahwa keadaan menjadi semakin mendesak. Sementara Mahisa Semu bergeser meninggalkan arena dan berlari-lari menjauh diburu oleh beberapa orang cantrik. Namun nampaknya ada beberapa para cantrik yang mulai memperhatikan orang-orang yang telah dibebaskan itu.

“Cepat. Lepaskan kawan-kawanmu. Kau harus melawan mereka,” berkata Mahisa Amping yang juga mulai gelisah.

Kata-kata Mahisa Amping ternyata lebih menyentuh dari kata-kata Mahisa Semu, justru karena Mahisa Amping masih kanak-kanak. Karena itu, maka beberapa orang telah mulai menyadari keadaan. Dengan cepat mereka berusaha untuk melepaskan tali kawan-kawannya yang juga terikat. Bahkan mereka pun menyadari bahwa bukan hanya mereka saja yang terikat di padepokan itu. Tetapi di balik bilik-bilik yang lain, terdapat juga beberapa orang yang terikat.

“Hati-hati,” berkata Mahisa Amping, “ada dua atau tiga orang cantrik yang datang.”

Orang-orang yang ada di dalam bilik itu pun telah bersiap-siap. Mereka memang tidak dapat berdiam diri menghadapi kesempatan itu. Sementara Mahisa Amping telah berusaha untuk bersembunyi melekat dinding di sebelah pintu yang terbuka.

Dengan hati-hati para cantrik itu mendekati pintu bilik. Sementara orang-orang yang ada di dalamnya masih duduk di tempatnya meskipun mereka sebenarnya sudah tidak terikat lagi. Demikian ketiga orang cantrik itu masuk, maka Mahisa Amping telah menyerang mereka dengan tiba-tiba dari sisi pintu.

Seorang di antara para cantrik itu terkejut ketika tiba-tiba sebuah luwuk telah menghunjam di lambungnya. Demikian cantrik itu terhuyung-huyung jatuh, maka orang-orang yang telah dibebaskan itu pun segera bangkit. Beramai-ramai mereka menyerang dua orang cantrik yang lain tanpa memberi kesempatan untuk membela diri.

Meskipun orang-orang yang terikat itu belum sempat menyadap ilmu kanuragan, tetapi mereka telah dibekali oleh perasaan dendam yang membakar jantung, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah menyerang para cantrik itu dengan beraninya. Ketiga orang cantrik yang tidak siap menghadapi keadaan itu ternyata menjadi tidak berdaya. Mereka pun terkapar dengan berlumuran darah.

Orang-orang yang terlepas dari ikatannya itu ternyata telah menemukan senjata. Karena itu, maka dengan pedang yang dirampasnya dari para cantrik itu, mereka telah berusaha untuk memutuskan tali pengikat dinding yang menyekat bilik mereka dengan bilik di sebelah. Mereka menganggap bahwa dengan cara itu mereka akan lebih cepat mencapai kawan-kawan mereka yang masih terikat. Jika mereka keluar dari bilik itu, maka mereka akan dapat mengundang para cantrik yang akan dapat menyerang dan menghalangi mereka.

Sebenarnyalah, ketika ijuk pengikat dinding sudah terputus, maka dengan mudah mereka dapat menembus ke bilik berikutnya. Beberapa orang pun kemudian telah dibebaskan pula. Meskipun ada juga di antara mereka yang tidak mampu lagi bangkit berdiri, tetapi beberapa orang lain masih cukup mempunyai tenaga untuk berbuat sesuatu. Ketika kemudian dinding berikutnya juga dikoyak dengan pedang yang tajam itu, orang-orang yang terikat pun telah dapat dibebaskan pula.

Orang-orang itu sempat memungut apa saja yang dapat mereka pergunakan sebagai senjata. Jika mereka bertemu dengan beberapa orang cantrik, maka mereka akan dapat melawannya beramai-ramai. Dengan demikian, maka orang-orang itu pun telah keluar dari bilik-bilik tahanan mereka. Tiga orang yang sempat merampas pedang itu pun berdiri di paling depan.

Dalam pada itu, mereka pun kemudian telah merayap sampai ke bagian lain dari padepokan itu. Beberapa orang yang sedang berlatih di bawah ancaman cambuk memang sedang termangu-mangu karena mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi. Sementara itu orang-orang yang melatih mereka sambil membawa cambuk pun agak kebingungan menghadapi keadaan yang tidak menentu.

Namun dalam pada itu, maka orang-orang yang bebas dari belenggu mereka itu pun tiba-tiba saja telah datang menyerang. Seorang di antara mereka berteriak nyaring, “Kita telah bebas. Kita harus membebaskan diri.”

Orang-orang yang baru melakukan latihan di bawah bayangan ujung cambuk itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu, orang-orang yang baru saja merasa bebas dari belenggu perbudakan di padepokan itu pun telah menyerang para pelatih yang membawa cambuk itu tanpa peringatan sama sekali. Dendam dan kebencian membayang di wajah mereka yang garang.

Orang-orang yang membawa cambuk itu pun tidak sempat mengerti apa yang telah terjadi. Mereka menyadari keadaan setelah ujung pedang mematuk jantung mereka. Tetapi semuanya sudah terlambat. Para pelatih itu pun kemudian telah terkapar jatuh. Orang-orang yang sedang melakukan latihan itu pun masih juga ragu-ragu. Karena itu, orang-orang yang datang itu pun telah memberitahukan apa yang telah terjadi.

“Sekelompok orang yang tidak dikenal telah membebaskan kami,” berkata seorang di antara orang-orang yang dibebaskan itu, “sekarang, kita harus mempertahankan kebebasan ini. Jangan disia-siakan.”

Orang-orang itu pun mulai menyadari pula apa yang telah terjadi. Satu pemberontakan dari orang-orang yang untuk beberapa lama mengalami siksaan lahir dan batinnya. Orang-orang yang datang dengan penuh harapan untuk menyadap ilmu, namun telah terjerumus ke dalam sarang penyamun yang garang. Mereka yang terperosok ke neraka itu telah dirampas semua bekal yang mereka bawa.

Kemudian dengan latihan-latihan yang berat dan penuh penderitaan, mereka telah dirubah menjadi orang-orang yang kehilangan dirinya sendiri. Orang-orang yang tidak lagi berpribadi, sehingga mereka akan melakukan segala perintah dari orang-orang padepokan itu. Merampok, menyamun, merampas dan tindakan-tindakan lain yang sama sekali tidak terbayang sebelumnya. Namun tiba-tiba jiwa mereka terguncang lagi. Demikian tiba-tiba. Telinga mereka mulai mendengar kabar kebebasan yang telah mengejutkan mereka.

Beberapa saat mereka masih ragu-ragu. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar suara mengancam, “Siapa yang tidak ingin ikut serta membebaskan diri, aku anggap berpihak kepada orang-orang padepokan ini.”

Ternyata ancaman itu sempat membangunkan mereka. Mereka pun dengan serta-merta telah berteriak sebagaimana orang-orang yang dibebaskan lebih dahulu.

“Kita bebas sekarang. Kita bebas.”

Mereka yang sedang berlatih itu telah memiliki senjata di tangan mereka, meskipun sangat sederhana. Parang yang telah berkarat atau pedang yang patah. Namun dengan senjata itu, maka mereka akan dapat menjadi bagian dari arus banjir bandang yang dahsyat yang melanda padepokan itu.

Sebenarnyalah, di padepokan itu telah terjadi pemberontakan. Orang-orang yang untuk waktu yang cukup lama mengalami tekanan lahir dan batin, tiba-tiba saja bagaikan ledakan yang sangat dahsyat melanda padepokan itu.

Para cantrik yang setia kepada orang yang mengaku sebagai Kiai Nagateleng itu akhirnya mengalami kesulitan. Orang-orang yang berontak itu telah menyerang mereka dengan liar.

Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang telah berhasil mengobarkan pemberontakan itu, telah ikut pula berada di antara mereka. Mahisa Semu dan Wantilan ternyata memiliki bekal kemampuan yang cukup. Mereka tidak lagi berlari-lari sambil bertempur. Tetapi kawan-kawan mereka menjadi cukup banyak.

Di bagian belakang dari padepokan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berbuat lebih banyak lagi. Namun mereka masih juga belum tahu pasti maksud Mahisa Semu dan Wantilan. Karena itu, maka mereka pun berusaha secepatnya menyelesaikan pertempuran itu. Mahisa Murti yang mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang keras telah mematahkan hampir semua senjata lawannya. Orang yang bertubuh raksasa yang menjadi sangat marah, ternyata tidak berdaya menghadapinya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka ayunan pedang Mahisa Murti yang tidak dapat ditahan lagi telah menyambar bahu orang itu. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Bukan saja karena perasaan sakit yang menyengat, tetapi juga karena kemarahan yang memuncak. Apalagi beberapa orang cantrik yang membantunya telah terlempar dari arena pertempuran. Sebagian dari mereka tidak lagi mampu untuk bangkit lagi.

Orang bertubuh raksasa yang terluka itu seakan-akan telah kehilangan akal. Karena itu, dengan liar ia pun telah menyerang Mahisa Murti yang juga menjadi marah menghadapi perlakuan orang-orang padepokan itu. Karena itu, maka ketika raksasa yang sangat marah itu dengan sisa tenaganya menyerangnya, maka Mahisa Murti justru telah membenturnya.

Kekuatan Mahisa Murti yang sangat besar itu ternyata telah mengakhiri pertempuran. Pedang Mahisa Murti tidak dapat ditahan oleh orang bertubuh raksasa itu, sehingga bukan saja sekedar melukainya, tetapi pedang itu telah menghunjam sampai ke jantung.

Orang bertubuh raksasa itu terdorong beberapa langkah. Ketika Mahisa Murti menarik pedangnya, maka raksasa itu pun telah roboh dan sama sekali tidak berdaya lagi untuk bangkit. Bahkan untuk selama-lamanya.

Kematian orang bertubuh raksasa itu memang sangat berpengaruh. Sementara itu orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu pun menggeram marah. Wajahnya menjadi merah, seakan-akan seluruh darahnya yang mendidih telah berkumpul di kepalanya.

Orang bertubuh raksasa itu adalah orang kepercayaannya yang harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang paling gawat di antara orang-orangnya dan orang-orang lain yang mempergunakan kekerasan. Ternyata orang itu terbunuh oleh anak muda yang semula dikiranya tidak berdaya, sehingga telah diperlakukan seperti orang-orang lain yang pernah datang ke padepokan itu.

Karena itu, maka orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun kemudian telah meloncat sambil menyibakkan orang-orangnya, “Minggir. Biar aku sendiri menyelesaikan orang ini.”

Mahisa Murti bergeser surut. Ia menyadari, meskipun orang itu bukan Kiai Nagateleng yang sebenarnya, tetapi ia tentu seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun harus semakin berhati-hati. Meskipun orang itu tidak sebesar dan sekuat orang bertubuh raksasa itu, namun dengan landasan ilmunya orang itu tentu seorang yang berbahaya. Apalagi ketika orang itu telah mengurai senjatanya. Dua batang tongkat besi yang dihubungkan dengan rantai yang tidak terlalu panjang.

Mahisa Murti pun kemudian telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi orang itu. Karena itu, maka ia pun telah bergeser ketempat yang lebih luas. Mahisa Murti ingin bertempur denga leluasa. Jika perlu dengan mempergunakan segala macam ilmu yang dimilikinya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti itu pun telah terlibat dalam pertempuran melawan orang yang disebut Kiai Nagateleng itu. Dalam sentuhan yang pertama, maka Mahisa Murti telah menyadari, bahwa ternyata orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Kekuatan tenaga cadangannya jauh melampaui kekuatan orang kebanyakan.

Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah menyelesaikan lawannya yang bertubuh raksasa itu. Lawannya tidak sempat mengetahui, kenapa ia menjadi demikian cepatnya kehilangan tenaganya, sehingga bindinya justru telah menjadi beban yang sangat berat. Ketika dengan susah payah ia mengangkat bindinya, maka ujung pedang lawannya yang muda itu telah terayun menyilang mengoyak dadanya.

Raksasa itu berteriak marah. Suaranya menggelegar bagaikan mengguncang pendapa kecil itu. Namun suaranya pun kemudian segera lenyap bagaikan disapu prahara. Raksasa itu jatuh terjerembab. Sekali ia menggeliat. Namun kemudian nafasnya pun terputus di kerongkongan.

Kematian kedua orang raksasa itu telah menggoyahkan keberanian para cantrik di padepokan itu. Meskipun mereka masih juga bertempur melawan Mahisa Pukat, namun jantung mereka terasa menjadi semakin keriput.

Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah karena perlakuan orang yang telah mencoba menjebaknya. Karena itu, ketika orang itu juga memasuki arena pertempuran, maka sasaran utamanya adalah orang itu.

Mahisa Pukat memang tidak memerlukan waktu terlalu lama. Beberapa kali terjadi sentuhan senjata, maka orang itu pun seakan-akan telah tidak berdaya lagi. Ternyata daya tahan orang itu terlalu lemah, meskipun ia memiliki kemampuan dan menguasai berbagai macam unsur gerak yang rumit.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian, orang itu pun tidak mampu lagi melawan dengan baik serta mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Pukat, sehingga sejenak kemudian, maka ujung pedang Mahisa Pukat pun telah membelah lambungnya. Terdengar orang itu berteriak nyaring. Namun kemudian orang itu pun telah jatuh terguling. Tidak seorang pun yang akan mampu menolongnya lagi.

Demikianlah, maka para cantrik yang berada dipadepokan itu dengan sadar, telah menjadi semakin cemas menghadapi keadaan. Apalagi ketika gelombang pemberontakan mulai terasa. Beberapa orang berlari-lari memasuki bagian dari padepokan itu yang disebut bangsal alit. Mereka berlari-lari seperti orang yang sedang mabuk sambil mengayun-ngayunkan senjata mereka.

Ketika para cantrik menyadari keadaan, maka jumlah orang-orang itu pun telah menjadi semakin banyak. Bahkan Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun berada di antara mereka.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat mereka, maka barulah mereka menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi. Agaknya Mahisa Semu tanggap akan kata-katanya sehingga bersama Wantilan dan Mahisa Amping, mereka telah mampu menggugah kesadaran orang-orang yang untuk beberapa lama terbelenggu. Lahir dan batinnya.

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun menggeram, “Setan. Kalian telah menggangu ketenangan padepokanku. Tidak ada hukuman yang pantas daripada hukuman mati.”

Mahisa Murti sempat juga menjawab, “Kau telah menjebak puluhan orang ke dalam padepokanmu dengan memalsukan nama Kiai Nagateleng. Sekarang saatnya sudah tiba, bahwa padepokan ini harus dimusnahkan. Bukan kebiasaan kami menghancurkan padepokan seseorang. Tetapi karena tempat ini justru menjadi sarang kejahatan yang terselubung, yang justru menjadi sangat berbahaya.”

Kiai Nagateleng yang bukan sebenarnya itu menjadi semakin marah. Suaranya melengking tinggi, “Kau terlalu sombong. Tetapi kau harus menghadapi kenyataan yang barangkali tidak kau harapkan. Kau akan mati di sini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, maka pertempuran pun telah membakar seluruh padepokan. Orang-orang yang dibebaskan dari belenggu yang mengikat mereka lahir dan batin itu pun benar-benar telah memuntahkan dendam mereka.

Dengan garangnya mereka telah menyerang para cantrik yang setia kepada orang yang mengaku Ki Nagateleng itu. Betapapun para cantrik itu ditakuti sebelumnya, namun ketika dendam itu meledak, maka mereka sama sekali tidak berdaya. Apalagi dua orang raksasa yang menjadi hantu di padepokan itu telah terbunuh. Pertempuran memang telah terjadi di mana-mana. Tetapi kemudian seakan-akan berpusat di sekitar bangsal kecil itu.

Mahisa Pukat yang telah membunuh orang bertubuh raksasa itu, masih harus melawan sekelompok cantrik yang semakin semakin menjadi ragu-ragu melihat orang-orang yang mengamuk itu siap menyerang mereka pula. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus berusaha untuk melindungi diri mereka. Tidak seorangpun cantrik yang mendapat kesempatan untuk hidup jika mereka jatuh ke tangan orang-orang yang mendendam itu. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali mati namun sambil membunuh lawan-lawan mereka.

Tetapi, itu pun sulit mereka lakukan. Sehingga ada beberapa orang cantrik yang lebih baik memilih menghindar dari pertempuran. Ternyata memang ada beberapa orang cantrik yang berhasil melarikan diri dengan meloncati dinding padepokan itu dan berlari menjauhi melintas pematang dan lorong-lorong sempit. Namun demikian, sebagian besar dari mereka, benar-benar telah jatuh ke tangan orang-orang yang dendamnya telah membakar jantung.

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah bertempur melawan orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng. Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng, yang menyadari bahwa Mahisa Murti yang berilmu tinggi itu, ternyata tidak berusaha menjajagi ilmunya. Beberapa lama ia sudah memperhatikan mahisa Murti bertempur dengan keras dan berhasil membunuh orang bertubuh raksasa yang menjadi kepercayaannya. Tetapi, orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu langsung bertempur dengan tataran ilmunya yang tertinggi.

Sebenarnyalah ia ingin dengan cepat menyelesaikan anak muda yang sangat berbahaya itu. Apalagi, ia sadar bahwa jika ia terlambat, maka orang-orangnya pun akan dihabiskan oleh mereka yang telah memberontak. Orang itu, setelah membinasakan anak-anak muda yang datang dan membuat onar di padepokannya, maka ia pun harus menguasai kembali orang-orang yang memberontak itu. Menghukum mereka dengan hukuman yang seberat-beratnya. Bahkan sebagian dari mereka memang harus dihukum sampai mati.

Tetapi ternyata Mahisa Murti memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu tidak segera mampu mengalahkannya. Dengan demikian, maka orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu pun telah meningkatkan ilmu sampai ke puncak. Dengan demikian, maka orang itu menjadi sangat berbahaya dengan kemampuannya bergerak sangat cepat. Tubuhnya seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah. Kakinya berloncatan membawa tubuhnya menyambar-nyambar. Ilmunya meringankan tubuh ternyata telah mampu membuat Mahisa Murti kadang-kadang kehilangan arah.

Namun Mahisa Murti yang bertempur dengan keras itu sekaligus telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap ilmu lawannya sehingga lawannya itu akan banyak kehilangan kekuatan dan kemampuannya. Demikianlah, maka dengan mengerahkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya, Mahisa Murti berusaha untuk mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Meskipun kadang-kadang Mahisa Murti harus berloncatan mengambil jarak.

Namun dengan demikian, orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu tidak mampu untuk segera mengalahkan Mahisa Murti sehingga ia tidak dapat dengan cepat menolong cantrik-cantriknya yang setia kepadanya. Mereka benar-benar telah dilanda arus dendam yang tidak terbendung lagi. Meskipun ada satu dua di antara mereka yang sempat melarikan diri, tetapi hampir semua cantrik di padepokan itu telah dimusnahkan.

Namun, orang-orang yang memberontak itu ternyata tertegun juga melihat pertempuran antara Mahisa Murti dan orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng. Mereka telah melihat pertempuran yang sulit mereka mengerti. Bahkan seakan-akan mereka tidak sempat lagi melihat yang manakah pemimpin dari padepokan itu dan yang manakah anak muda yang telah mengguncang kekuasaan orang yang menyebut Kiai Nagateleng itu.

Dengan garangnya maka senjata mereka pun berdentangan beradu. Tetapi kecepatan gerak orang itu memang sangat mengagumkan, sehingga ujung senjatanya yang meskipun tidak runcing itu, telah mampu mengoyak kulit di lengan Mahisa Murti. Bahkan tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai itu rasa-rasanya telah mampu meretakkan tulang-tulang di tubuhnya.

Beberapa kali tongkat itu menyentuh tubuh Mahisa Murti. Jika sentuhan itu justru pada ujungnya, maka meskipun ujung tongkat itu tumpul, namun mampu membuat luka di kulit lawannya. Tetapi jika tongkat itu memukul tubuhnya, maka sakitnya sampai ke tulang.

Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti benar-benar menjadi marah. Anak muda itu telah meningkatkan kemampuan, daya tahan dan tenaga cadangan di dalam dirinya sampai ke puncak. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin garang. Meskipun demikian, Mahisa Murti masih belum mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Tongkat lawannya itu kadang-kadang masih sempat menembus pertahanannya. Meskipun benturan-benturan selalu terjadi, tetapi tongkat itu masih juga mampu mengenai tubuh Mahisa Murti.

Perasaan sakit telah menggigit seluruh tubuh Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, kekuatan ilmunya telah mulai terasa pengaruhnya atas lawannya itu. Semakin lama geraknya pun menjadi semakin lamban, sehingga pada suatu saat, Mahisa Murti tidak lagi merasa terlalu sulit untuk mengimbangi kccepatan geraknya. Tetapi pada saat yang demikian, tubuh Mahisa Murti pun telah menjadi semakin lemah. Bukan saja karena ia harus memeras tenaganya untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, tetapi tulang-tulangnya pun telah menjadi sakit di beberapa tempat.

Namun Mahisa Murti masih mampu menghentakkan sisa tenaganya. Sementara lawannya benar-benar telah kehilangan sebagian besar dari kekuatan dan kemampuannya. Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu pun sempat menjadi bingung atas dirinya sendiri. Ia merasa tubuhnya menjadi begitu cepat kehilangan kekuatan. Tangannya menjadi berat dan senjatanya pun menjadi semakin sulit untuk digerakkan. Apalagi kakinya bagaikan dibebani oleh gumpalan-gumpalan batu padas.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Murti berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Ia benar-benar tidak dapat memaafkan lawannya yang kecuali telah membuat banyak sekali penderitaan atas orang lain, ternyata bahwa ia pun telah melukainya. Karena itu, maka Mahisa Murti justru berusaha semakin banyak terjadi benturan-benturan kekuatan dan sentuhan-sentuhan senjata.

Orang yang menyebut dirinya Kiai Nagateleng itu akhirnya merasa bahwa tenaganya tidak akan mampu mengimbangi tenaga anak muda itu. Ia tidak sempat memecahkan teka-teki tentang dirinya sendiri, kenapa tenaganya menjadi terlalu cepat susut. Karena itu, maka orang yang disebut oleh para pengikutnya Kiai Nagateleng itu, justru telah melakukan satu kesalahan yang menentukan, karena ia berusaha menghindar dari arena pertempuran.

Nampaknya orang itu kurang memperhatikan keadaan medan dalam keseluruhan. Ketika orang itu mendapat kesempatan, maka orang itu pun telah meloncat dan berlari meninggalkan Mahisa Murti dengan sisa tenaganya. Sementara itu tenaga Mahisa Murti pun telah menjadi susut. Namun di samping Mahisa Murti, masih ada Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan orang-orang yang sedang memberontak itu.

Karena itu, demikian orang itu melarikan diri, maka sekelompok orang yang pernah mengalami penderitaan di padepokan itu telah melihatnya. Karena itu, maka beramai-ramai mereka telah mengejarnya. Di antara mereka terdapat Mahisa Semu dan Wantilan yang telah membakar keberanian orang-orang yang hampir saja menjadi putus asa dan kehilangan harapan untuk dapat hidup selayaknya.

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu terkejut mengalami kenyataan itu. Ternyata sudah tidak ada lagi cantrik yang mampu membantunya. Bahkan beberapa orang yang dianggapnya sudah masak untuk dijadikan alat oleh padepokan itu, ternyata justru telah ikut memberontak pula.

Beberapa orang telah berteriak-teriak seperti orang yang sedang memburu tupai. Dengan demikian, maka orang yang berada di bagian lain pun telah berdatangan pula. Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu masih sempat mengadakan perlawanan. Senjatanya sempat menerbangkan tiga pucuk senjata dan melukai dua orang. Tetapi orang itu sudah menjadi terlalu lemah sehingga ketika empat orang menghadangnya di depan serta beberapa orang memburunya dari belakang, maka ia benar-benar telah berputus asa.

Mahisa Murti yang sangat marah itu memang tidak berbuat lebih banyak. Selain tubuhnya memang merasa menjadi semakin lemah maka perasaan sakit pun telah merambat ke segenap bagian dari tubuhnya. Dibiarkannya apa yang terjadi. Sementara Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Pukat telah berada di dekatnya pula.

Tetapi orang yang disebut Kiai Nagateleng itu, sudah terlalu banyak kehilangan tenaga dan kemampuannya karena benturan dan sentuhan dengan Mahisa Murti. Karena itu, sulit baginya untuk menghadapi orang-orang yang telah memberontak itu. Karena itu, maka dalam keadaan putus asa maka orang itu telah memutar senjatanya. Tetapi tangannya benar-benar telah menjadi jauh susut. Sehingga dengan demikian, maka putaran senjatanya pun sama sekali tidak bertenaga pula.

Karena itulah, maka ketika orang-orang yang marah dan mendendam itu kemudian menyerangnya, orang yang disebut Kiai Nagateleng, yang sebelumnya sangat berkuasa di padepokan itu, sama sekali tidak berdaya untuk melindungi dirinya sendiri. Serangan yang datang dari depan dan dari belakang, membuat orang yang disebut Kiai Nagateleng itu kebingungan. Ketika beberapa pucuk senjata menyerangnya bersama-sama, maka orang itu tidak mampu lagi menangkis dan menghindarinya.

Seseorang yang bersenjata sebilah pedang yang telah berkarat, telah menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang yang disebut Kiai Nagateleng itu. Demikian pula seorang yang memiliki sebuah golok panjang. Sedangkan seorang yang mempunyai senjata sebilah tombak pendek yang ujungnya telah patah, telah menyerang pula dari samping. Tombak patahnya telah menusuk langsung masuk ke dalam lambungnya.

Orang yang disebut Kiai Nagateleng itu berteriak kesakitan. Tetapi orang-orang yang mendendam itu sama sekali tidak menghiraukan lagi. Serangan-serangan mereka pun justru semakin lama menjadi semakin kasar, sehingga akhirnya orang itu pun tidak lagi dapat berbuat sesuatu. Luka di tubuhnya menjadi arang keranjang. Seolah-olah tidak ada lagi bagian pada kulitnya yang tidak tersentuh ujung senjata.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun kemudian menyaksikan tubuh orang yang disebut Kiai Nagateleng itu terkapar diam di halaman padepokan bagian belakang. Kematiannya memang sangat mengerikan. Tetapi itu adalah buah dari perbuatannya sendiri. Ia telah menanamkan dendam di hati banyak orang yang disekapnya di padepokan itu. Dengan tipu muslihat orang itu telah menyerap banyak orang yang ingin berguru kepada Kiai Nagateleng.

Namun yang membuat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya heran, apakah Kiai Nagateleng yang sebenarnya tidak mengetahui akan kelicikan orang-orang padepokan itu, karena menurut perhitungan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, jarak antara padepokan Kiai Nagateleng yang sebenarnya dengan padepokan yang dihancurkan itu tidak terlalu jauh. Tetapi hal itu memang mungkin karena rahasia padepokan itu telah dipegang dengan sangat keras oleh para cantrik dan orang-orang kepercayaan Kiai Nagateleng yang bukan sebenarnya itu.

Demikianlah, maka pemberontakan di padepokan itu pun telah berakhir. Orang yang disebut Kiai Nagateleng dan para pengikutnya yang setia telah dihancurkan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat mencegah orang-orang yang marah itu membakar padepokan.

“Jika padepokan ini dibakar, lalu kalian akan berteduh di mana?” bertanya Mahisa Murti.

Orang-orang itu berpikir sejenak. Lalu mereka pun menyadari bahwa mereka masih dapat mempergunakan bangunan padepokan itu untuk tinggal sementara. Apalagi mereka tahu bahwa di lumbung terdapat padi cukup banyak. Untuk beberapa hari mereka tidak akan menjadi kelaparan. Bahkan mereka pun tahu, bahwa di sawah milik padepokan itu, padi telah menguning dan siap dipetik. Beberapa orang di antara mereka yang memberontak adalah orang-orang yang bagaikan budak dan pekerja paksa yang bekerja di sawah dan ladang milik padepokan itu.

Setelah keadaan menjadi agak tenang, maka Mahisa Murti-pun telah mengumpulkan mereka. Dengan lantang Mahisa Murti berkata, “Yang pertama-tama harus kalian lakukan adalah menyelenggarakan sekian banyak mayat karena kalian telah membunuh mereka membabi buta. Kalian tidak memilih siapa yang sepantasnya dibunuh, dan siapa yang tidak. Mungkin di antara orang-orang yang kalian bunuh itu terdapat orang-orang yang sebenarnya juga ingin memberontak seperti kalian, tetapi mereka tidak mendapat kesempatan lagi. Setiap cantrik di padepokan ini tidak tahu perasaan sahabat yang paling dekat sekalipun terhadap kekuasaan orang yang disebut Kiai Nagateleng itu.”

Di sisa hari itu, maka orang-orang yang memberontak itu telah mengumpulkan mayat para pengikut orang yang disebut Kiai Nagateleng itu sendiri. Ternyata ketika mereka kemudian melihat mayat terbujur lintang di halaman padepokan itu di bagian belakang dan tengah, maka kepala mereka mulai menjadi pening. Mereka tidak mengira bahwa mereka beramai-ramai telah membunuh sekian banyak orang, yang seperti kata Mahisa Murti, sebagian dari mereka mungkin memang tidak berdosa.

Tetapi usaha membebaskan dari belenggu Kiai Nageteleng yang palsu itu memang menuntut banyak sekali pengorbanan. Di antara mereka yang memberontak, menuntut pembebasan itu-pun ada yang terpaksa tidak dapat ikut merasakan kebebasan mereka karena ujung senjata lawan mereka telah bersarang di jantung mereka.

Tetapi semuanya itu sudah terjadi. Yang terbunuh dalam pertempuran itu tidak akan dapat bangkit kembali. Namun pengorbanan yang harus diberikan tidaklah sia-sia. Di antara mereka yang memberontak terhadap kesewenang-wenangan itu berhasil juga mendapatkan kebebasannya.

Ternyata bahwa orang-orang yang tersisa di padepokan itu harus bekerja hampir semalam suntuk. Baru menjelang fajar mereka selesai. Sementara itu, beberapa orang yang lain telah bekerja keras pula menyiapkan makan dan minum bagi saudara-saudara mereka yang sedang mengumpulkan dan kemudian menguburkan mayat-mayat itu.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang tidak dapat meninggalkan padepokan itu begitu saja. Sepeninggal pemimpin padepokan yang sekaligus pemimpin sekelompok perampok dan penyamun yang garang itu, maka harus ada langkah-langkah berikutnya yang ditrapkan di padepokan itu.

Di hari berikutnya Mahisa Murti masih belum mengambil sikap apapun. Orang-orang yang letih masih memerlukan waktu untuk beristirahat dan bahkan untuk menenangkan hati mereka yang bergejolak. Baru di hari berikutnya, Mahisa Murti telah memanggil semua orang yang ada di padepokan itu.

“Kita akan berbicara,” berkata Mahisa Murti, “tetapi aku kira, kalian dapat menunjuk beberapa orang yang kalian percaya untuk berbicara dengan kami. Sepuluh atau sebelas orang.”

Orang-orang yang masih ada di padepokan itu ternyata sependapat. Mereka kemudian telah menunjuk sepuluh orang yang dianggap paling berpengaruh dan paling menentukan dalam pemberontakan untuk merebut kebebasan mereka. Dengan sepuluh orang itulah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya berbicara. Pada umumnya tidak seorang pun yang ingin menetap untuk selanjutnya di padepokan itu.

Seorang di antara mereka berkata, “Padepokan ini akan selalu menimbulkan mimpi buruk bagiku.”

Sedangkan yang lain berkata, “Setiap sudut padepokan akan selalu menghantui hidupku kemudian jika aku tidak meninggalkannya.”

Mahisa Murti pun dapat mengerti sikap itu. Tetapi ketika Mahisa Murti bertanya, “Kalian lalu akan pergi ke mana. Pulang ke rumah masing-masing atau ada rencana yang lain?”

Orang-orang itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, “Jika aku pulang tanpa membawa ilmu setitikpun, maka rasa-rasanya malu juga kepada keluarga dan tetangga, ketika aku berangkat, maka mereka berharap bahwa aku akan pulang dengan segenggam kemampuan. Setidak-tidaknya aku akan dapat menjadi pelindung keluarga. Tetapi ternyata aku telah terperosok ke dalam neraka ini.”

“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “aku akan melanjutkan perjalanan. Aku akan mengunjungi orang yang sebenarnya bernama Kiai Nagateleng. Aku akan menemuinya dan menceriterakan apa yang telah terjadi di sini. Jika padepokan Kiai Nagateleng dapat menampung kalian, mungkin kalian akan aku titipkan di padepokan itu. Tetapi jika padepokan Kiai Nagateleng adalah sebuah padepokan kecil, maka nanti aku akan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat kalian tempuh.”

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab seorang di antara mereka.

“Namun dalam pada itu, maka kalian harus tetap berada di padepokan ini. Kalian yang senasib harus dapat mengatur diri sebaik-baiknya. Dua orang di antara kalian akan menjadi pemimpin dan pembantunya. Untuk sementara kalian harus tunduk kepada keduanya. Namun dalam banyak hal kedua orang itu harus mencari bahan-bahan dan berbicara dengan baik di antara mereka dan yang lain yang ada di padepokan ini. Aku akan segera kembali untuk membuat langkah-langkah yang terbaik bagi kalian. Tidak lebih dari dua hari. Meskipun padepokan Kiai Nagateleng dapat aku tempuh beberapa waktu saja karena sudah tidak lagi terlalu jauh, namun yang mungkin akan lama adalah pembicaraan-pembicaraan tentang kemungkinan-kemungkinan itu.”

Orang-orang yang mewakili kawan-kawannya itu mengangguk. Atas permintaan Mahisa Murti, maka mereka telah menunjuk dua orang yang akan memimpin mereka untuk sementara, selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pergi selama dua hari.

Di hari berikutnya, ketika matahari terbit, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun telah meninggalkan padepokan itu. Perjalanan mereka sudah tidak panjang lagi. Mereka hanya akan melintasi dua bulak panjang dan dua buah padukuhan yang memang agak besar. Kemudian di padukuhan berikutnya mereka akan berbelok memasuki jalan yang lebih kecil menuju ke padepokan Kiai Nageteleng.

Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah singgah di kedai tempat mereka dijebak. Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan kepada pemilik kedai yang ketakutan itu apa yang telah terjadi.

“Aku tidak bersalah,” suara pemilik kedai itu gemetar, “jika aku sempat, aku selalu memberi peringatan kepada orang-orang yang dijebak. Tetapi jika hal itu diketahui oleh para pengikut dari padepokan yang dipalsukan itu, maka leherku akan di penggal.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk, ia dapat mengerti kesulitan pemilik kedai itu. Karena itu, maka ia tidak berbuat sesuatu atasnya kecuali menasehatkan, agar pemilik kedai itu lebih berhati-hati dan menjadi lebih berani untuk menyatakan kebenaran.

“Tetapi aku masih belum ingin mati,” berkata pemilik kedai itu.

“Seharusnya aku sekarang membunuhmu. Hari ini kau sudah mati. Aku mendendammu karena kau tidak berusaha mencegah sama sekali ketika aku dijerumuskan ke dalam neraka itu. Ternyata sebelum aku, berpuluh-puluh orang telah menjadi korban. Dirampok, disekap dalam padepokan, mengalami siksaan dan kemudian dijadikan budak. Sementara itu kau yang melihat peristiwa seperti itu berpuluh kali, kau sama sekali tidak berbuat apa-apa. Karena itu, sepantasnya kau memang ikut terbunuh seperti orang-orang padepokan itu,” geram Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Tetapi kau akan tetap hidup. Kau telah berhutang nyawa kepadaku. Karena itu, jika kau mati esok atau lusa atau sepekan lagi, maka umurmu sudah mendapatkan kelebihan dari yang seharusnya. Untuk itu, maka kau harus mempergunakan nyawa yang kau hutang daripadaku itu untuk melakukan kebaikan. Jika kelak ada orang yang melakukan pemalsuan lagi untuk melakukan pemerasan, perampokan dan kemudian perbudakan, maka kau tidak boleh takut lagi. Karena umurmu sebenarnya sudah bukan milikmu.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Murti berkata, “Nah, kami minta diri. Aku titipkan kepanjangan hidupmu itu kepadamu. Tetapi aku sudah mensyaratkan penggunaannya.”

Pemilik kedai itu masih merasa bingung. Ia tidak mengerti sepenuhnya kata-kata Mahisa Murti meskipun ia merasakan sebagai satu ancaman. Namun Mahisa Murti memang tidak menunggu orang itu menjawab. Ia pun telah meninggalkan kedai itu diikuti oleh saudara-saudaranya menuju ke sebuah padepokan lain yang memang menjadi tujuannya.

Tetapi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak lagi sekedar menyampaikan pesan Kiai Patah untuk menyampaikan sekedar berita keselamatan dan kata-kata sandi yang tidak dimengerti artinya. Tetapi kata-kata sandi itu sudah memberikan arti bagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya karena dengan demikian mereka tidak terlambat meyakini, bahwa orang yang mengaku Kiai Nagateleng itu bukan orang yang sebenarnya mereka cari.

Namun Mahisa Murti dan saudara-saudaranya harus juga berbicara tentang orang-orang yang berada di padepokan yang baru saja mengalami kemelut karena beberapa orang telah memberontak untuk mendapatkan kebebasannya. Demikianlah, maka kelima orang itu telah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh. Mereka melintasi bulak dan padukuhan menuju kesebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng. Ketika mereka mendekati padepokan itu, maka mereka mulai membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

“Apakah seperti yang sudah kita bicarakan, hanya kalian berdua saja yang akan memasuki padepokan itu?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ya. Masih ada kemungkinan lain dapat terjadi di padepokan yang satu ini. Karena itu, biarlah aku dan Mahisa Pukat sajalah yang masuk ke dalamnya. Kalian menunggu di luar. Jika sampai senja aku tidak menemui kalian lagi, maka kalian harus bergeser mundur. Tetapi kalian tidak perlu pergi ke Padang Karautan. Tetapi kalian akan menunggu kami di padepokan yang baru saja kita bebaskan. Jika kami untuk selanjutnya tidak pula datang ke padepokan itu, maka terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian lakukan dengan padepokan itu.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Sementara itu Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Tetapi jika aku sampai kepada orang yang sebenarnya maka kalian akan segera kami beritahu. Karena itu kalian tidak perlu berada di tempat yang terlalu lama.”

Demikianlah, maka mereka berlima semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan yang mereka tuju. Mereka telah sampai ke Banyusasak dan kemudian berbelok mengikuti jalan yang lebih kecil menuju kepadepokan yang dihuni oleh Kiai Nagateleng. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berharap bahwa yang ada di padepokan itu adalah Kiai Nagateleng yang sebenarnya sebagaimana diebut-sebut oleh Kiai Patah.

“Kita sudah terlalu sering berhenti untuk waktu yang menjadi terlalu lama. Mudah-mudahan kita tidak akan berhenti terlalu lama di sini,” berkata Mahisa Pukat.

Seperti yang sudah mereka sepakati, maka yang kemudian mereka langsung menuju ke padepokan itu. Keduanya telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah melangkah menuju ke pintu gerbang sebuah padepokan yang ternyata lebih kecil dari padepokan yang baru saja berantakan karena pemberontakan yang kemudian tidak terkendali, sehingga harus jatuh banyak korban karenanya.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai ke pintu gerbang, mereka sama sekali tidak melihat penjaga di pintu gerbang itu. Tidak ada suasana kekerasan sama sekali di padepokan itu. Bahkan ketika mereka memasuki halaman padepokan, mereka sama sekali tidak melihat orang-orang bersenjata di halaman itu. Yang mereka lihat kemudian dua orang cantrik yang hampir bersamaan melangkah ke arah mereka berdua.

Dengan ramah seorang di antara mereka bertanya, “Selamat datang di padepokan kami Ki Sanak. Apakah Ki Sanak mempunyai kepentingan dengan kami atau salah seorang di antara kami?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Maaf Ki Sanak. Apakah padepokan ini padepokan tempat tinggal Ki Nagateleng?”

Kedua orang cantrik itu berpandangan sejenak. Wajah mereka menunjukkan gejolak di dalam hati mereka. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Apakah Ki Sanak mencari Kiai Nagateleng?”

“Ya. Kami ingin menghadap Kiai Nagateleng,” jawab Mahisa Murti.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah Ki Sanak membawa persoalan yang penting bagi Kiai Nagateleng?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “tetapi karena kami mendapat pesan dari seseorang, maka kami telah memerlukan singgah di padepokan ini untuk menyampaikan pesan itu?”

“Apakah pesan itu harus disampaikan langsung kepada Kiai Nagateleng?” bertanya cantrik itu.

“Ya Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti yang mulai berhati-hati.

Kedua cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Maaf Ki Sanak. Bukan karena kami ingin mempersulit Ki Sanak berdua. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian tidak akan dapat bertemu dengan Kiai Nagateleng.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kiai Nagateleng telah meninggal,” jawab cantrik itu dengan nada dalam.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Hampir bersamaan keduanya bertanya, “Kapan hal itu terjadi?”

Kedua cantrik itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka menjawab, “Hal itu terjadi dengan tidak terduga-duga. Kiai Nagateleng yang hampir sepanjang hari masih berada di antara kami yang bekerja dan berlatih, di sore harinya telah meninggalkan kami semua.”

“Tanpa sakit atau tanda-tanda lain?” bertanya Mahisa Pukat.

Cantrik itu menggeleng. Katanya, “Ketika senja mulai turun, Kiai Nagateleng memang nampak letih. Tetapi kami mengira bahwa pada usianya yang semakin lanjut, maka Kiai Nagateleng tentu akan lebih cepat menjadi letih. Kepada para cantrik Kiai Nagateleng ternyata telah membagi tugas. Tiga orang cantrik mendapat tugas untuk memimpin kawan-kawannya. Sementara yang lain telah mendapat petunjuk apa yang harus mereka lakukan kemudian. Hal itu memang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kami mengira bahwa Kiai Nagateleng memang sedang memberikan latihan kepada kami untuk pada suatu saat mandiri. Kemudian, ketika senja lewat Kiai Nageteleng berkata, “Aku akan tidur. Aku merasa sangat letih.”

Para cantrik memang merasa heran. Biasanya sebelum tengah malam, Kiai Nageteleng tidak pernah pergi ke pembaringan.

Namun Kiai Nageteleng berpesan, “Tepat tengah malam, tolong, bangunkan aku.”

“Sebenarnyalah tepat tengah malam dua orang cantrik akan membangunkannya. Tetapi Kiai Nagategeleng telah tidak ada. Tubuhnya terbujur lurus di pembaringannya. Kedua tangannya telah bersilang di dadanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Sementara kedua orang cantrik itu nampak menjadi sedih. Agaknya mereka telah mengenang kembali pimpinan padepokan mereka yang sudah pergi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi termangu-mangu sejenak.

Tetapi hampir di luar sadarnya Mahisa Murti berkata, “Itu adalah pertanda bahwa Kiai Nagateleng tidak akan pernah mau menyulitkan para cantriknya. Sampai saat meninggalnya pun ia sama sekali tidak membuat orang lain mengalami kesulitan. Kecuali saat penyelenggaraan tubuhnya.”

“Ya. Kami pun berpikir demikian. Kiai Nageteleng tidak mau menjadi beban. Jika ia sakit untuk waktu yang lama, maka para cantriknyalah yang akan menjadi terlalu sibuk untuk beberapa lama. Tetapi Kiai Nagateleng adalah seorang yang mandiri sampai saat matinya,” desis cantrik itu.

“Tetapi kapan kematian itu terjadi?” desak Mahisa Pukat.

“Belum ada dua bulan,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka berdesis, “Baru saja.”

“Ya,” jawab cantrik itu, “baru saja.”

“Sayang sekali,” berkata Mahisa Murti, “kami telah terlambat.”

“Tetapi jika kau memang perlu dengan padukuhan kami, maka kami akan mempertemukan dengan orang yang kemudian mendapat tugas membimbing para cantrik,” jawab cantrik itu.

“Tiga orang cantrik seperti yang kau katakan?”

Cantrik itu menggeleng. Dengan nada rendah ia berkata, “Tiga orang cantrik itu memang mendapat tugas untuk memimpin kawan-kawan kami. Tetapi pada saatnya kami harus menyadari, bahwa ada orang yang lebih pantas dari ketiga orang cantrik itu yang dapat melakukan tugas Kiai Nagateleng. Meski pun Kiai Nagateleng sama sekali tidak menyebutnya, tetapi kamilah yang memohonnya agar ia menggantikan kedudukan Kiai Nagateleng melalui ketiga orang cantrik itu.”

“Siapakah orang itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Murid terpilih di antara para cantrik yang jauh lebih dahulu dari kami. Kami tahu bahwa ia telah mewarisi semua ilmu dan kemampuan Kiai Nagateleng, ditambah pengalaman pengembaraannya dan pengetahuan yang didapatnya selama pengembaraan itu. Karena itu, maka menurut penilaian kami, maka ia benar-benar mampu dan bahkan memiliki beberapa kelebihan dari Kiai Nagateleng sendiri.”

“Siapakah orang itu?” bertanya Mahisa Pukat mendesak.

“Kiai Semangin,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Nampaknya mereka menjadi ragu-ragu. Apakah ia perlu menjumpai orang yang diangkat oleh para cantrik menggantikan Kiai Nagateleng? Namun menurut pengamatan kedua orang anak muda itu, padepokan itu adalah padepokan yang tidak dibayangi oleh permusuhan dan kekerasan. Menilik sikap kedua orang cantrik itu, maka isi padepokan itu adalah jauh berbeda dari padepokan yang baru saja dilanda kekerasan.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Jika diperkenankan maka kami ingin bertemu dan menghadap Kiai Semangin.”

“Baiklah. Kami akan menyampaikannya,” jawab salah seorang cantrik.

Namun kemudian ternyata hanya seorang saja di antara kedua orang cantrik itu yang masuk ke bangunan induk padepokan itu, sementara yang lain mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat naik ke pendapa. Beberapa saat keduanya masih berbincang dengan cantrik yang menemui mereka. Namun kemudian cantrik yang seorang lagi telah keluar dari pendapa sambil berkata, “Ki Sanak berdua dipersilahkan menunggu. Sebentar lagi Kiai Semangin akan menemui Ki Sanak.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Murti sambil mengangguk.

Sementara itu, cantrik yang seorang lagi juga ikut mengundurkan diri bersama kawannya. Yang kemudian duduk di pendapa adalah tinggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun perasaan mereka merasa tenang. Mereka melihat dua orang cantrik yang lain sedang sibuk membersihkan halaman padepokan itu. Mereka telah memberikan satu suasana yang damai di hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu. Baru kemudian mereka melihat pintu pringgitan terbuka.

Kedua orang anak muda itu terkejut. Yang keluar dari pintu pringgitan itu adalah justru orang yang dikenalnya dengan nama Kiai Patah. Orang yang telah memberikan pesan kepada mereka untuk singgah di Banyusasak dan menemui Kiai Nagateleng.

Kiai Patah tersenyum melihat kedua anak muda itu. Sejenak kemudian, maka orang itu pun segera duduk di pendapa pula. Dengan agak gagap Mahisa Murti bertanya, “Tetapi apakah arti pesan Kiai itu?”

Orang yang di padepokan itu dikenal dengan nama Kiai Semangin itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Kalian ternyata telah datang terlambat. Kiai Nagateleng telah meninggal.”

“Dan ternyata Kiai berada di sini,” desis Mahisa Pukat.

“Nanti biarlah aku berceritera,” berkata Kiai Semangin itu, “Namun ternyata bahwa aku telah sampai di padepokan ini justru lebih dahulu dari kalian. Ke mana saja kalian selama ini? Aku kira kalian telah melupakan pesanku atau kalian memang tidak bersedia singgah di Banyusasak,”

“Kami ternyata harus menempuh perjalanan yang panjang. Kami sudah berniat untuk menjalani laku dengan tapa ngrame.” jawab Mahisa Murti.

“Apa yang kalian dapatkan dengan laku itu?” bertanya Kiai Patah yang juga disebut Kiai Semangin itu.

“Banyak sekali Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kami mendapatkan banyak sanak kadang di perjalanan. Kami juga mendapatkan pengalaman yang sangat luas. Bukan saja mengembangkan ilmu yang kami miliki, tetapi kami juga mendapatkan pengalaman tentang ragam kehidupan. Kami telah menembus berbagai jenis dan warna dari kulit bumi ini.”

Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika kalian dapat memetik manfaat dari laku yang kalian jalani. Tetapi lebih dari itu, kalian telah memberikan arti dari hidup kalian bagi sesama. Jika kalian jalani laku tapa ngrame itu dengan baik, maka kalian telah menolong sesama yang mendapatkan kesulitan.”

“Kami memang telah mencoba melakukannya Kiai. Karena itu kami telah merasa bahwa kami telah mendapatkan banyak sanak kadang yang tersebar di mana-mana,” jawab Mahisa Murti.

Kiai Semangin yang juga bernama Kiai Patah itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Bagus anak-anak muda. Kau telah mendapatkan banyak sekali bekal selama kalian menjalani laku. Karena itu, maka kalian akan kembali ke padepokan kalian dengan pengalaman yang luas sesuai dengan jerih payah yang pernah kalian jalani.”

Kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Terima kasih Kiai. Mudah-mudahan kami dapat memanfaatkan pengalaman kami untuk kepentingan banyak orang.”

“Tentu, karena pengalaman kalian itu kalian dapatkan dengan laku tapa ngrame. Laku yang kalian jalani itu sudah memberikan manfaat kepada banyak orang. Apalagi peningkatan ilmumu karena pengalamanmu itu, tentu akan lebih berarti lagi bagi banyak orang,” sahut Kiai Patah.

Kedua anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Keduanya hanya mengangguk-angguk kecil saja.

“Nah,” berkata Kiai Patah, “kalian tentu tidak berkeberatan untuk bermalam di sini satu atau dua malam.”

Kedua orang anaka muda itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Kiai. Kami sekarang tidak hanya berdua.”

“Jadi?” dahi Kiai Patah berkerut.

“Kami sekarang berlima. Seorang anak muda bersama kami di perjalanan. Kemudian menyusul seorang yang kami anggap paman kami dan yang lain adalah seorang anak-anak. Dalam pertemuan kami dengan mereka seorang demi seorang telah mendorong kami untuk mengajak mereka bersama kami. Nampaknya mereka bergembira mendapat kesempatan itu,” jawab Mahisa Murti.

“Di mana mereka sekarang?” bertanya Kiai Patah.

“Mereka berhenti beberapa puluh patok di luar padepokan ini,” jawab Mahisa Murti.

“Kenapa? Kalian ragu-ragu membawa mereka kemari?” bertanya Kiai Patah pula.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kami memang ragu-ragu Kiai. Tetapi kami mempunyai alasan.”

“Kenapa?” desak Kiai Patah.

Mahisa Murti pun telah menceriterakan pengalamannya di padepokan yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari padepokan ini.

Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah mendengar tentang padepokan itu. Ketika Kiai Nagateleng masih hidup, maka Kiai Nagateleng selalu mencegah setiap usul untuk melakukan tindakan atas padepokan itu. Namun sekarang aku berpendirian lain. Aku telah berbicara dengan para cantrik di padepokan ini. Kami telah sepakat untuk menemui pimpinan padepokan itu dan minta agar mereka tidak lagi memanfaatkan nama Kiai Nagateleng. Apalagi untuk tujuan buruk sebagaimana mereka lakukan selama ini. Mungkin jiwaku tidak sejernih Kiai Nagateleng. Tetapi aku menganggap bahwa tindakan itu akan dapat menyelamatkan banyak orang.”

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Murti, “ternyata banyak orang yang telah terjebak ke dalam padepokan itu. Pada saat kami mencoba untuk membangunkan mereka, maka ternyata yang terjadi adalah satu ledakan yang dahsyat dan tidak terkendali. Banyak orang yang menjadi korban. Namun dengan demikian, padepokan itu telah benar-benar menjadi bersih.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku terlambat. Tetapi karena hal itu telah kalian tangani, maka aku kira akibatnya tidak akan banyak berbeda.”

Mahisa Murti sempat menyampaikan permohonan orang-orang yang masih berada di padepokan itu memasuki padepokan yang dipimpin oleh Kiai Nagateleng yang sebenarnya. Namun ternyata yang ada kemudian adalah Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah.

“Aku tidak berkeberatan,” berkata Kiai Patah, “tetapi sudah tentu akan memerlukan persiapan. Kau lihat, padepokan ini adalah padepokan yang hanya kecil saja. Jika kami harus menampung beberapa orang lagi, maka padepokan ini harus diperluas. Tanah garapan yang mendukung makan kami sepanjang tahun pun harus diperuas pula, meskipun tidak akan timbul masalah. Kami sudah mendapat persediaan tanah cukup yang diberikan oleh Ki Buyut sewaktu-waktu kami memerlukannya. Tanah yang sekarang masih berupa hutan.”

“Kita akan menebangi hutan?” bertanya Mahisa Pukat.

Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Aku mengerti maksudmu. Tetapi hutan yang diberikan kepada kami telah diperhitungkan oleh Ki Buyut bahwa dengan membuat daerah hunian yang baru di hutan itu, maka lingkungan tidak akan terganggu. Hutan yang membujur di pinggir sungai itu akan dapat menjadi tanah pertanian yang baik tanpa mengurangi pengaruh hutan itu dalam keseluruhan, karena di sisi utara Kabuyutan ini masih terdapat hutan yang cukup luas. Demikian pula di sisi Timur.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, Kiai Patah pun berkata, “Panggil kawan-kawanmu itu.”

“Maksud kami, kami akan kembali ke padepokan yang pecah itu untuk menyampaikan keputusan Kiai,” jawab Mahisa Murti, “kemudian baru kami akan datang lagi ke padepokan ini.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Tetapi sekali lagi ia berkata, “Jika mereka benar-benar ingin tinggal di padukuhan ini, maka seperti aku katakan tadi, kita harus bekerja keras untuk menyiapkan segala sesuatunya. Bukan saja tempat, tetapi juga dukungan bekal hidup mereka selanjutnya.”

“Ya Kiai,” jawab Mahisa Murti, “aku mengerti.”

“Tetapi, bukankah kau tidak tergesa-gesa kembali ke padepokan itu? Bukankah kau dapat memanggil ketiga orang saudaramu itu dan membawanya kemari, sedangkan kalian berdua pergi ke padepokan itu?” bertanya Kiai Patah.

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kiai Patah bertanya selanjutnya, “Apakah kau masih dibayangi oleh keragu-raguan tentang padepokan ini sebagaimana padepokan yang baru saja pecah itu?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti dengan serta merta, “bagi kami, tidak ada keragu-raguan lagi atas padepokan ini.”

“Jika demikian, daripada kalian hilir mudik berlima, kenapa ketiga orang saudaramu itu tidak kau tinggalkan di sini saja?” bertanya Kiai Patah.

Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Ia memang masih mempunyai waktu cukup. Ia berjanji untuk kembali ke padepokan yang sedang pecah itu sekitar dua hari sejak ia berangkat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya kepada Mahisa Pukat, “Apakah kita akan memanggil saudara-saudara kita itu?”

“Baiklah,” jawab Mahisa Pukat, “biarlah mereka menunggu kita di sini.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kami akan memanggil mereka Kiai. Biarlah mereka menunggu kami di sini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri sejenak untuk memanggil saudara-saudara mereka setelah mereka yakin bahwa mereka telah memasuki satu lingkungan yang pasti.

Beberapa waktu kemudian, maka lima orang telah memasuki padepokan yang suasananya ternyata jauh berbeda dengan suasana padepokan yang telah mereka masuki sebelumnya. Suasana padepokan itu terasa tenang, tenteram dan sejuk. Rasa-rasanya padepokan itu merupakan satu lingkungan yang penuh kedamaian, meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tahu, bahwa di kedalaman sampai ke dasar, padepokan itu menyimpan kekuatan ilmu yang sangat dahsyat.

Ketika kemudian kelima orang itu telah duduk di pendapa ditemui oleh Kiai Patah, maka mereka pun telah berbicara tentang berbagai kemungkinan jika orang-orang yang tersesat di padepokan sebelah harus beringsut ke padepokan itu.

“Kita harus membersihkan jiwa mereka dari perasaan dendam itu,” berkata Kiai Patah, “dan ini bukan pekerjaan yang mudah. Kita memerlukan waktu dan ketekunan. Sebelum aku yakin bahwa mereka telah bersih dari rasa dendam, maka barulah aku dapat memberikan tuntunan olah kanuragan kepada mereka. Selama mereka menyingkirkan perasaan dendam itu dari jiwa mereka, maka mereka harus bekerja keras untuk menyiapkan tempat tinggal bagi mereka serta lahan yang akan menjadi tanah pertanian bagi mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa hal itulah yang harus mereka katakan kepada orang-orang yang terperangkap ke dalam padepokan sebelah. Kedua anak muda itu pun mengerti, namun apa yang terjadi di padepokan itu tentu telah berkesan mendalam di dalam hati mereka. Mereka telah mengalami peristiwa-peristiwa yang smgat mengerikan. Mereka mengalami perlakuan yang sangat pahit sehingga tentu sulit bagi mereka untuk melupakannya.

Bahkan mereka akan dapat menganggap bahwa setiap orang cenderung melakukan hal seperti itu atas orang lain. Karena itu, jika orang-orang itu masih tetapi dibayangi oleh luka itu, maka mereka akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya apabila mereka memiliki kemampuan.

“Baiklah Kiai,” berkata Mahisa Murti, “kami akan berterus terang kepada mereka. Mereka harus bekerja keras sebelum mereka dapat tinggal di padepokan ini. Selebihnya, siapa yang tidak dapat melupakan dendamnya kepada orang lain, maka sebaiknya mereka tidak ikut bersama kami kembali ke padepokan ini.”

“Aku sependapat bahwa kau berterus terang kepada orang-orang itu. Tetapi tentu saja ada untung dan ada ruginya. Mereka yang mengetahui apa yang harus mereka lakukan, akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjalani paugeran yang dipersiapkan sebelumnya. Tetapi hal itu juga akan dapat memberi kesempatan seseorang berbuat pura-pura sekedar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan itu.”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun ia justru bertanya, “Jadi bagaimana menurut Kiai?”

“Katakan saja bahwa mereka berkewajiban untuk bekerja keras. Menyiapkan tempat tinggal dan lahan-lahan baru. Itu saja. Selanjutnya aku akan melihat langsung apakah mereka dapat melupakan dendam mereka atau tidak. Bagi mereka yang nampaknya akan dapat melupakannya, maka kita akan menerima mereka dan membentuk mereka sesuai dengan pola sikap kita di padepokan ini,” berkata Kiai Patah.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Kiai Patah, bahwa orang-orang yang terperangkap itu akan mendapat penilaian langsung dari Kiai Patah ditilik dari sikap mereka sehari-hari setelah mereka berada di padepokan itu. Namun hari itu Mahisa Murti tidak sempat lagi kembali ke padepokan yang baru saja mengalami kegoncangan itu. Senja yang mulai turun telah menghambat kerja Mahisa Murti, sehingga ia harus menunggu sampai di keesokan harinya.

Ketika malam turun, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya segera dipersilahkan untuk beristirahat. Kiai Patah tahu bahwa mereka sedang letih karena peristiwa yang mereka alami di hari itu. Tetapi seperti biasanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup berhati-hati. Mereka tidak tidur bersama-sama. Salah seorang di antara mereka harus tetap terjaga untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan itu.

Namun ternyata semalam suntuk mereka tidak mengalami sesuatu. Ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah terbangun sebagaimana kebiasaan mereka tidur dumana pun juga. Di rumah-rumah yang hangat atau di udara terbuka yang dingin oleh embun dan angin basah.

Ketika matahari naik, sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat minta diri untuk kembali ke padepokan yang baru saja dibakar oleh pemberontakan itu, maka para cantrik telah mempersilahkan mereka untuk makan pagi.

“Di mana Kiai Semangin?” bertanya Mahisa Murti dengan agak berdebar-debar.

“Di sawah. Sudah menjadi kebiasaan Kiai Semangin untuk pergi ke sawah pagi-pagi benar. Sebentar lagi Kiai Semangin akan kembali. Tetapi sebelum Kiai Semangin berangkat, Kiai Semangin telah berpesan agar kami menyediakan makan pagi bagi kalian, karena Kiai Semangin tahu bahwa kalian akan pergi pagi-pagi benar,” jawab cantrik itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “terima kasih. Kiai Semangin terlalu memperhatikan kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak menunggu Kiai Patah. Setelah makan pagi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah minta diri untuk kembali ke padepokan yang kemarin mereka tinggalkan. Jarak kedua padepokan itu memang tidak begitu jauh. Ketika langit menjadi cerah dan matahari memanjat langit sepenggalah, maka keduanya telah sampai ke padepokan yang kemarin mereka tinggalkan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah memanggil bukan saja orang yang diserahi memimpin padepokan itu untuk sementara, tetapi juga dengan semua orang yang masih tinggal. Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan pembicaraan-pembicaraan dengan pemimpin padepokan yang semula dipimpin oleh Kiai Nagateleng yang sebenarnya.

“Kiai Nagateleng telah tidak ada lagi. Tetapi yang memimpin padepokan itu kemudian adalah Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah,” berkata Mahisa Murti, “namun seperti yang dikatakannya, maka syaratnya untuk tinggal dan berguru kepada Kiai Patah adalah bekerja keras membangun tempat tinggal dan menyelenggarakan tanah persawahan. Karena kalian tidak saja bertempat tinggal di padepokan itu, tetapi kalian juga harus makan dan minum. Bahkan kalian juga akan menanam bukan saja padi dan jagung, tetapi juga pohon buah-buahan, kolam ikan dan peternakan.”

Beberapa orang saling berpandangan. Namun ternyata seorang di antara mereka berkata, “Menarik sekali. Satu kesempatan yang sangat baik untuk belajar tentang memelihara ikan di kolam-kolam serta berternak.”

“Jika kalian bersedia, maka Kiai Semangin akan dengan senang menerima kalian. Tetapi siapa yang tidak ingin bekerja keras, maka dipersilahkan untuk tidak usah pergi ke padepokan Kiai Nagateleng,” berkata Mahisa Murti, “namun kerja di padepokan yang sekarang dipimpin oleh Kiai Patah itu berdasarkan kerelaan hati kalian sendiri. Tidak akan ada yang memaksa kalian bekerja. Tidak akan ada yang membawa cambuk di antara kalian atau yang memaksa kalian bekerja berat seperti budak serta mengikat kalian di patok-patok sebagai hukuman jika kalian melakukan kesalahan.”

“Kami akan melakukan semuanya, anak muda,” berkata seseorang yang umurnya sudah agak tua dari Mahisa Murti, “di sini kami mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya. Kami harus bekerja keras melebihi seekor lembu atau kerbau. Karena itu, maka kerja keras yang macam apa pun akan kami lakukan, apalagi dengan satu keyakinan, bahwa hasil kerja itu adalah bagi kami pula akhirnya.”

“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti. Lalu katanya, “Bersiaplah. Besok kita akan pergi ke padepokan Kiai Semangin itu bersama-sama. Kita tinggalkan padepokan ini. Namun jika pada suatu saat kita akan mempergunakan lagi, maka padepokan ini akan dapat dibuka kembali, tatapi dengan jiwa dan watak yang tentu saja berbeda.”

Demikianlah, orang-orang yang tinggal di padepokan itu pun telah mempersiapkan diri mereka. Mereka telah membenahi milik mereka masing-masing. Tetapi sebagian dari mereka telah kehilangan hampir semua miliknya. Dengan bekal yang tersisa dari yang mereka bawa dari rumah di saat mereka berangkat untuk berguru, maka mereka telah mulai menganyam harapan-harapan baru.

Meskipun terlambat tetapi mereka masih mempunyai harapan untuk kembali kepada keluarga mereka dengan ilmu jenis apapun. Mungkin ilmu kanuragan. Tetapi mungkin juga ilmu bercocok tanam, berternak dan memelihara ikan di kolam-kolam. Semuanya itu akan bermanfaat bagi keluarga mereka yang mereka tinggalkan dan menunggu mereka kembali dengan kemampuan yang bertambah.

Demikianlah, maka di keesokan harinya, sebuah iring-iringan telah keluar dari padepokan itu. Padepokan yang juga merupakan kuburan bagi orang yang telah mengaku bernama Kiai Nagateleng bersama dengan para pengikutnya.

Namun sebelum mereka meninggalkan padepokan itu, Mahisa Murti telah memerintahkan untuk membenahi padepokan itu sehingga kelihatan tertib. Meskipun di sana-sini terdapat kerusakan, tetapi segala sesuatunya tidak ditinggalkan begitu saja berserakan.

Para penghuni padukuhan di sebelah menyebelah padepokan itu pada jarak yang agak jauh merasa gembira dengan hapusnya padepokan yang tidak lebih dari sarang perampok dan penyamun. Tetapi tidak seorang pun bahkan para bebahu padukuhan yang berani mengganggu gugat, karena padepokan itu memiliki kekuatan yang sangat besar.

Namun yang akhirnya dihancurkan oleh orang-orang yang ada di dalam padepokan itu sendiri meskipun apinya juga dijebak ke dalam padepokan itu. Namun padepokan itu sendiri ternyata telah menimbun minyak di dalam barak-baraknya sehingga ketika api disulut, ledakan yang dahsyat telah terjadi.

Orang-orang yang terjebak itu tidak memerlukan waktu yang panjang untuk mencapai padepokan berikutnya. Ketika mereka memasuki pintu gerbang padepokan, mereka langsung merasakan betapa jauh perbedaan suasana dari kedua padepokan itu.

Demikianlah, maka Kiai Patah sendiri telah menerima orang-orang yang menyatakan keinginannya untuk tinggal di padepokan itu. Satu jumlah yang terhitung banyak sejak padepokan itu didirikan. Biasanya tambahan penghuni padepokan itu tidak lebih dari satu dua orang. Itu pun belum tentu sebulan sekali. Namun kali ini beberapa orang bersama-sama telah datang dalam satu iring-iringan.

Setelah disuguhkan minum dan makanan, maka Kiai Patah pun telah menguraikan beberapa persyaratan untuk dapat diterima menjadi cantrik di padepokan itu. Bukan saja persyaratan lahiriah. Tetapi juga kesediaan jiwani untuk menerima ajaran yang akan diterima di padepokan itu.

Ternyata keterangan Kiai Patah telah membuat hati orang-orang itu merasa sejuk. Mereka belum pernah mendengar petunjuk dan petuah yang berarti bagi hidup mereka di hari kemudian. Ketika mereka terjebak ke dalam padepokan yang liar itu, yang mereka alami setiap hari adalah bentakan-bentakan kasar. Lecutan cambuk dan bahkan pukulan-pukulan carang bambu ampel yang melukai tubuh mereka. Satu dua di antara mereka pernah mengalami hukuman yang lebih berat. Diikat pada tonggak-tonggak di panasnya matahari dan di dinginnya embun di malam hari.

Karena itu, mereka merasa sangat berterima kasih bahwa mereka telah diterima di padepokan yang terasa sejuk bukan saja oleh hijaunya dedaunan di halaman, tetapi juga oleh sikap Kiai Patah dan para cantrik di padepokan itu.

“Malam nanti kalian akan tidur di serambi-serambi barak di padepokan ini,” berkata Kiai Patah, “kami masih belum dapat menyediakan tempat yang lebih baik. Kalian datang dengan tiba-tiba dalam jumlah yang terlalu banyak bagi padepokan kecil kami,” berkata Kiai Patah. Namun kemudian Kiai Patah itu pun berkata, “Tetapi apa yang telah aku katakan bukan berarti bahwa di padepokan ini tidak ada paugeran yang harus dilaksanakan dengan tertib. Setiap padepokan tentu memilikinya. Demikian padepokan ini. Kita harus menegakkan paugeran yang kita susun berdasarkan atas pertimbangan dari berbagai sudut. Pengalaman yang panjang serta perhitungan buat menghadapi masa depan. Kami pun mengenal hukuman bagi mereka yang melanggar paugeran. Namun kami tidak pernah menutup pintu bagi mereka yang merasa berkeberatan atas paugeran itu untuk meninggalkan padepokan ini. Padepokan tanpa ikatan paugeran yang kokoh tidak akan banyak berarti. Karena di padepokan, kalian akan ditempa untuk menyongsong masa depan yang keras dan berat.”

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak merasa berkeberatan. Sikap yang mereka hadapi di padepokan itu bagi mereka adalah sikap kebapaan yang menyejukkan.

Ketika orang-orang baru itu kemudian beristirahat, maka Kiai Patah telah menunjuk empat orang cantriknya yang terbaik untuk memimpin orang-orang itu. Keempat orang itu harus mengetahui dengan pasti sangkan-paran setiap orang yang datang ke padepokan mereka itu. Dari mana mereka datang, orang tua dan asal-usul mereka, serta untuk apa mereka datang berguru.

Keempat orang cantrik itu mendengarkan pesan Kiai Patah dengan saksama. Mereka sadar, bahwa mereka akan mendapat tugas yang berat. Selama ini mereka adalah orang-orang yang masih selalu mendapatkan bimbingan dalam banyak hal. Namun mereka akan segera mendapat tugas untuk membimbing beberapa orang meskipun mereka sadar, bahwa Kiai Patah tentu tidak akan melepaskan mereka.

“Kalian bukan lagi seorang cantrik atau jejanggan. Tetapi kalian akan diangkat menjadi Putut yang akan membantuku memimpin padepokan ini. Bahkan pada suatu saat kalian benar-benar akan menjadi pemimpin padepokan yang baik,” berkata Kiai Patah.

Keempat orang cantrik yang akan diwisuda menjadi Putut itu menundukkan kepala. Dengan sungguh-sungguh mereka mendengarkan pesan Kiai Patah lebih lanjut, “Kalian harus memantulkan kepemimpinan Kiai Nagateleng. Kalian akan menunjukkan kepada setiap orang yang berhubungan dengan padepokan ini, bahwa bekas tangan Kiai Nagateleng masih nampak jelas pada tangan-tangan kalian. Kesabaran, ketekunan dan kedamaian. Tetapi kalian adalah orang-orang yang siap menolong siapa pun yang mengalami kesulitan. Seperti anak-anak muda yang datang ke padepokan kami dan kemudian membawa orang-orang yang hampir putus asa itu kemari. Mereka menjalani laku dengan tapa ngrame. Satu laku yang termasuk salah satu dari laku yang terbaik. Yang berarti bagi banyak orang yang memerlukan pertolongannya.”

Keempat orang itu mengangguk-angguk kecil.

“Nah,” berkata Kiai Patah, “sebelum kalian mulai dengan tugas kalian, maka sebaiknya kalian melihat ke dalam diri kalian. Apakah kalian sudah benar-benar bersiap untuk tugas itu. Tentang ilmu kanuragan, aku yakin, bahwa kalian telah memiliki kemampuan sampai ke puncak ilmu yang diberikan oleh Kiai Nagateleng. Tetapi keutuhan seseorang tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi. Olah kanuragan.”

Keempat orang itu masih saja mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.”

“Tidak seorang pun yang tida mempunyai cacat. Kita masing-masing juga mempunyai cacat. Karena itu, maka hal itu harus kita sadari. Harus kita ketahui kelemahan dan kekurangan kita masing-masing sehingga akan dapat dilakukan yang paling baik dari antara yang cacat itu,” berkata Kiai Patah lebih lanjut.

“Kami berjanji Kiai,” jawab seorang di antara keempat orang itu, “apa yang akan kami lakukan adalah satu pengabdian. Mudah-mudahan kami dapat memberikan arti pada hidup kami.”

“Terima kasih,” berkata kiai Patah, “aku yang baru sesaat memegang pimpinan di padepokan ini, merupakan kepanjangan kebijaksanaan yang selama ini telah dirintis oleh Kiai Nagateleng. Kita semuanya harus berusaha untuk tidak menodai padepokan ini.”

Keempat orang itu mengangguk-angguk.

“Baiklah,” berkata Kiai Patah, “pada saatnya kita akan mulai dengan tugas yang bagi padepokan kecil ini terhitung tugas yang besar. Mudah-mudahan kita dapat melakukannya dengan baik. aku masih akan minta anak-anak muda itu untuk tinggal barang satu dua hari di padepokan ini. Mereka tentu akan dapat memberikan banyak petunjuk kepada kita, karena meskipun mereka masih muda, namun mereka telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Apalagi kini mereka telah memiliki sepasang keris yang nilainya sangat tinggi itu.”

Tetapi Kiai Patah sama sekali tidak pernah menyinggung sepasang keris yang disebut sebagai pedang itu dengan anak-anak muda itu sendiri. Kiai Patah yang mengerti arti dari sepasang pusaka itu ikut bersyukur bahwa pusaka itu justru jatuh ke tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Pusaka yang memiliki nilai yang sangat tinggi itu, akan menjadi sangat berbahaya jika jatuh ke tangan orang-orang yang berhati hitam.

Demikianlah, maka Kiai Patah pun kemudian telah menemui Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pula. Meskipun agak ragu-ragu, tetapi Kiai Patah minta mereka untuk tinggal satu dua hari di padepokan itu.

“Aku tahu bahwa kalian ingin segera sampai ke padepokan. Tetapi kami mohon bantuan untuk mengatur segala sesuatunya karena kehadiran beberapa orang sekaligus di padepokan ini.”

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya tidak dapat ingkar. Merekalah yang membawa orang-orang itu. Karena itu, maka mereka pun harus ikut bertanggung jawab. Baru setelah penempatan mereka menjadi tertib, maka mereka akan dapat meninggalkan padepokan itu dengan tenang.

Dalam pada itu, maka di hari berikutnya Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah ikut menentukan, di mana akan dibangun barak baru bagi orang-orang yang datang itu. Kemudian di hari berikutnya lagi, mereka sudah memasang patok di hutan-hutan yang memang dicadangkan bagi padepokan itu apabila diperlukan oleh Ki Buyut, sehingga dengan demikian maka pembukaan hutan yang dilakukan oleh para penghuni padepokan itu tidak akan mengganggu keseimbangan kehidupan.

Para pemimpin padepokan serta orang-orang yang baru datang itu kemudian telah berbicara, yang mana yang akan mereka kerjakan lebih dahulu. Apakah mereka akan menebas hutan untuk tanah persawahan dan pategalan atau mereka akan membangun barak-barak lebih dahulu.

Orang-orang yang baru datang di padepokan itu memang merasa canggung untuk ikut berbicara. Mereka tidak terbiasa menyatakan pendapatnya, apalagi di hadapan pimpinan padepokan. Mereka terbiasa melakukan perintah, bahkan mirip dengan perbudakan sehingga mereka sama sekali tidak berhak untuk menyatakan pendapat mereka.

Karena itu, ketika mereka dibawa ke dalam satu perundingan maka mereka benar-benar tidak banyak dapat mengeluarkan pendapat mereka, kecuali beberapa orang yang memang berjiwa besar dan tabah. Itu pun hanya sepatah-patah kata. Tetapi yang sepatah-sepatah itu dapat merupakan ungkapan dari perasaan mereka semuanva.

Akhirnya diputuskan, bahwa mereka akan membuka hutan lebih dahulu. Untuk sementara mereka sudah dapat berlindung di serambi-serambi dan di bangsal-bangsal kecil di padepokan, sehingga kebutuhan barak-barak yang lebih baik tidak terlalu mendesak.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ternyata tidak sampai hati meninggalkan orang-orang itu pada hari kedua. Ia pun tidak ingin melihat Kiai Patah menjadi terlalu sibuk. Demikian pula cantrik-eantriknya. Kehadiran sekian banyak orang memang memerlukan kerja yang keras dan tidak mengenal jenuh.

Ketika semuanya sudah siap, maka Kiai Patah telah menemui Ki Buyut untuk menyatakan bahwa mereka telah siap untuk benar-benar membuka hutan yang telah disediakan.

“Kami saat ini sangat memerlukan, Ki Buyut,” berkata Kiai Patah.

“Ternyata perhitunganku terbukti,” berkata Ki Buyut.

“Tentang apa Ki Buyut?” bertanya Kiai Patah yang dikenal dengan nama Kiai Semangin.

“Padepokan itu akan berkembang semakin besar. Tetapi kami sama sekali tidak berkeberatan. Kami merasa senang bahwa di Kabuyutan ini terdapat sebuah padepokan. Sementara itu padepokan yang lain telah terhapus dari Kabuyutan ini justru oleh para cantrik itu sendiri,” berkata Ki Buyut.

“Beberapa di antara mereka datang ke padepokan kami,” desis Kiai Semangin, “mereka benar-benar ingin berguru. Tetapi mereka telah terjebak.”

“Ternyata Kiai tidak perlu bertindak atas padepokan itu,” berkata Ki Buyut.

“Sebenarnya kami memang sudah bersiap-siap bersama dengan anak-anak muda Kabuyutan ini. Bukankah hal itu sudah dilaporkan kepada Ki Buyut?”

“Ya. Aku sudah menerima laporan itu dan aku sudah memerintahkan kepada setiap Bekel di Kabuyutan ini agar mereka ikut membantu. Bukan hanya Ki Bekel yang terletak di paling dekat dengan padepokan itu,” jawab Ki Buyut, “Namun Kiai tidak perlu melakukannya.”

“Ya. Yang Maha Agung masih melindungi para cantrik dan anak-anak muda di Kabuyutan ini, sehingga tidak perlu jatuh korban untuk membersihkan padepokan itu,” berkata Kiai Semangin. Lalu katanya pula, “Dan sekarang, aku harus bersiap untuk mengambil alih kedudukan padepokan itu sebagai tempat untuk menyadap ilmu. Bukan sebagai tempat perbudakan dan bahkan pembantaian.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi Kiai harus berhati-hati. Mereka sudah agak lama berada di padepokan itu. Meskipun mereka memberontak, namun mereka pun tentu telah disusupi oleh sifat dan watak dari padepokan itu.”

“Ya Ki Buyut,” jawab Kiai Semangin, “kami akan mencoba untuk bukan saja menempa mereka dalam berbagai macam ilmu, termasuk ilmu bertani dan berternak serta olah kanuragan, tetapi kami juga berusaha untuk mempengaruhi sifat dan watak mereka sehingga padepokan kami tidak akan mengalami persoalan dengan mereka kelak. Paugeran yang sudah ditanamkan oleh Kiai Nagateleng, hendaknya menjadi landasan padepokan kami untuk seterusnya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai memerlukan bantuan?”

“Terima kasih Ki Buyut,” berkata Kiai Semangin, “kami akan mencoba bekerja keras dengan tenaga yang ada pada kami. Hanya jika keadaan memaksa maka kami akan mohon bantuan dari Ki Buyut.”

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “aku sudah melakukan pengamatan seperlunya. Hutan yang kami sediakan bagi padepokan Kiai tidak akan mengganggu lingkungan kehidupan di sekitarnya. Juga lingkungan hutan itu sendiri. Karena itu, maka jika kalian sudah siap untuk mulai, silahkan. Jika kemudian ternyata kalian memerlukan bantuan kami, maka kami pun akan membantu sejauh dapat kami lakukan.”

“Terima kasih Ki Buyut,” jawab Kiai Semangin, “besok kami akan mulai menebang hutan itu. Sementara itu, kayu-kayunya akan dapat kami pergunakan untuk membangun barak-barak di padepokan kami bagi keluarga kami yang baru itu.”

Demikianlah, maka Kiai Semangin serta para penghuni padepokan yang lain, bukan saja yang baru datang, akan mulai dengan satu kerja yang cukup besar. Penghuni padepokan itu, atas ijin Ki Buyut telah mulai menebang kekayuan di hutan yang telah ditandai dengan patok-patok yang dihubungkan dengan tali lawe.

Pekerjaan itu bukan pekerjaan yang ringan. Mereka harus bekerja dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada di padepokan. Mereka pun harus sangat berhati-hati, karena merobohkan pohon-pohon besar adalah satu pekerjaan yang berbahaya. Jika pohon-pohon yang ditebang itu menimpa seseorang, maka orang itu tentu akan menjadi lumat.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya ternyata telah melibatkan diri dalam kerja itu. Ia tidak dapat begitu saja meninggalkan Kiai Patah setelah menyerahkan beberapa orang dari padepokan yang rapuh dan dihancurkan dari dalam karena ketamakan para pemimpinnya itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah tertahan tidak hanya satu dua hari. Tetapi mereka telah sepekan berada di padepokan itu.

Dalam sepekan telah banyak yang dihasilkan. Satu daerah yang cukup luas telah terbentang. Meskipun masih belum diratakan karena pokok-pokok kayu yang ditebangi masih belum dapat diangkat seluruhnya. Tetapi sebagian dari hutan yang telah terbuka itu mulai dapat ditanami dengan palawija. Ubi kayu, jalar dan beberapa jenis tanaman yang lain.

Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang ada di padepokan itu untuk masa beberapa bulan lagi, tidak akan kekurangan bahan makanan. Namun sebelum mereka mulai dapat memetik hasil tanaman itu, maka padepokan itu masih harus membeli beras dan jagung, karena persediaan yang ada tidak mencukupi untuk makan para penghuninya yang dengan tiba-tiba telah bertambah dengan jumlah yang cukup banyak.

Sementara itu, para cantrik dari padepokan itu terutama mereka yang baru datang, telah membawa balok-balok kayu ke padepokan. Seisi padepokan itu mulai membagi diri menjadi dua kelompok. Satu kelompok membersihkan tanah yang sudah dibuka dan mengolah tanah sehingga dapat ditanami meskipun untuk sementara masih belum dapat ditanami dengan padi karena masih harus menyiapkan parit untuk mengalirkan air.

Sedang kelompok yang lain mulai membangun barak-barak yang akan dipergunakan bagi orang-orang baru yang untuk sementara masih di tempatkan di serambi-serambi dan bangsal-bangsal kecil yang biasanya untuk kepentingan-kepentingan lain dalam hubungannya dengan peningkatan kemampuan dalam berbagai macam ilmu bagi para cantrik.

Dalam pada itu, maka Kiai Patah mulai memberikan tugas-tugas kepemimpinan kepada empat orang yang disiapkan untuk diangkat menjadi pembantunya sebagai Putut. Setiap orang telah diserahi untuk memimpin sekelompok cantrik yang baru saja memasuki padepokan itu, sehingga mereka sama sekali belum memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan sama sekali.

“Tetapi kalian harus melihat apakah mereka sudah pernah serba sedikit mendapat tuntutan olah kanuragan di padepokannya yang lama meskipun dengan cara apa pun juga. Jika demikian maka mereka harus dibersihkan dahulu dari dasar-dasar ilmu kanuragan itu. Sehingga kemudian mereka bersama-sama akan mulai dari tataran yang paling rendah dan tidak dikotori dengan unsur-unsur dari jenis ilmu yang lain, apalagi yang berasal dari sumber yang keruh,” pesan Kiai Patah.

Keempat orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Bagaimana sekiranya anak-anak muda itu diminta untuk berada di padepokan ini bersama kita?”

Kiai Patah yang dikenal dengan nama Kiai Semangin itu menggeleng. Katanya, “Mereka adalah pemimpin dari sebuah padepokan yang barangkali lebih besar dari padepokan kita yang kecil ini.”

“Tetapi kenapa mereka mengembara?” bertanya yang lain.

“Bukankah aku pernah mengatakannya, bahwa bagi mereka pengembaraannya itu merupakan laku?” sahut Kiai Semangin.

Keempat orang itu mengangguk-angguk. Kiai Semangin memang pernah berceritera tentang laku yang dijalani oleh anak-anak muda itu. Tanpa Ngrame.

Namun selagi anak-anak muda itu masih di padepokan, maka keempat orang itu minta mereka untuk membantu menilai para cantrik yang baru saja datang itu. Tanpa setahu orang-orang itu, maka keempat putut itu telah melakukan pengamatan dan penilaian. Satu demi satu mereka telah dipanggil untuk menghadap. Para cantrik yang sudah dipersiapkan untuk menjadi Putut itu telah memancing keterangan dari para cantrik itu tentang diri mereka, sikap mereka serta tujuan mereka.

Dari pembicaraan itu maka akan tercermin sikap dan pribadi setiap orang di antara mereka. Ternyata bahwa Kiai Semangin yang menyaksikan pembicaraan antara para cantrik yang diangkat menjadi pembantunya itu telah mengajak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pula untuk ikut menilai. Pada umumnya orang-orang itu telah menjawab dengan jujur. Jika mereka berada di padepokan yang sudah terkoyak-koyak itu adalah karena mereka benar-benar telah terjebak.

Dengan demikian maka tidak ada kecurigaan lagi dari di antara para pemimpin padepokan itu terhadap orang-orang yang baru datang. Namun demikian Kiai Semangin masih juga berpesan kepada empat orang cantrik yang dipercaya itu untuk tetap berhati-hati. Mungkin pengaruh buruk selama mereka terjebak di padukuhan sebelah itu berhasil diendapkan. Tetapi pada suatu saat jika jiwa orang itu teraduk, maka mungkin sekali pengaruh itu akan mencuat lagi ke permukaan.

Karena itu, maka Kiai Semangin pun berkata, “Amati setiap pribadi dengan saksama. Jangan sekedar melihat ujud keseluruhan. Persoalan yang timbul terhadap seseorang akibatnya akan dapat berbeda jika persoalan yang sama timbul pada orang lain.”

Keempat orang yang dipercaya oleh Kiai Semangin itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan selalu memberikan laporan bagi setiap perkembangan,”

Namun dalam pada itu, ketika segalanya menjadi mapan, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun merasa bahwa mereka tidak perlu untuk terlalu lama berada di padepokan itu.

“Segala sesuatunya sudah menjadi semakin tertib. Barak telah dibangun, sementara tanah yang dibuka, sebagian sudah dapat ditanami palawija. Jika parit itu kemudian sudah mencapai tanah yang dibuka itu, maka akan segera dapat dibuat kotak-kotak sawah untuk menanam padi. Jika mereka menanam padi genjah, maka dalam tiga bulan mereka sudah dapat memetik hasilnya. Sedangkan jika musim hujan segera datang, maka tanpa menunggu parit itu, tanah itu akan segera dapat ditanami padi pula,” berkata Mahisa Murti.

Kiai Semangin mengangguk-angguk. Katanya, “Ya anak-anak muda. Nampaknya mereka memang sudah mapan. Dalam waktu yang tidak lama lagi, mereka akan dapat menempati barak-barak mereka yang baru. Meskipun tidak cukup baik, tetapi barak-barak itu akan cukup memadai.”

“Lebih dari cukup Kiai,” jawab Mahisa Murti, “beberapa orang yang tangannya terampil telah mampu menganyam dinding bambu yang kuat dengan rangkapan kepang yang dianyam halus sehingga udara di dalamnya tetap sejuk tetapi tidak dingin. Atap ijuk pun memberikan kehangatan di malam hari, tetapi tidak panas. Orang-orang itu tentu merasa sangat berterima kasih terhadap kelengkapan yang mereka terima di sini. Di tempat-tempat yang lama mereka berada di gubug-gubug yang tidak lebih baik dari kandang kuda. Tetapi lebih dari itu, perlakuan para pemimpin padepokan ini terasa jauh lebih baik dari yang pernah mereka alami di padepokan yang hancur itu.”

Kiai Semangin mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah anak-anak muda. Jika kalian memang harus meninggalkan kami, maka aku tidak akan dapat menahan kalian lebih lama lagi. Aku pun tahu bahwa kalian sudah terlalu lama mengembara. Banyak perubahan telah terjadi. Tetapi sayang, bahwa Kiai Nagateleng sudah tidak ada.”

“Kami juga menyesal Kiai,” jawab Mahisa Murti, “tetapi kami tidak mengetahui bahwa kami akan terlambat.”

“Aku berharap bahwa Kiai Nagateleng akan dapat membantu kalian dalam banyak hal. Tetapi nampaknya kalian sudah tidak hanya berdua,” berkata Kiai Patah tanpa menyebut-kepentingan kedua orang anak muda itu.

Mahisa Murti di luar sadarnya telah berpaling kepada Mahisa Pukat. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Baru sejenak kemudian Kiai Patah yang disebut Kiai Semangin itu bertanya, “Kapan kalian akan berangkat?”

“Besok kami akan meneruskan perjalanan,” jawab Mahisa Murti.

“Malam nanti kita akan berkumpul. Mungkin ada pesan yang dapat kau berikan kepada para cantrik, khususnya yang kau bawa dari padepokan sebelah,” berkata Kiai Semangin.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baik Kiai. Nanti kami akan minta diri.”

Namun dalam pada itu, ketika Kiai Patah sempat berbicara hanya dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada kesempatan lain, maka Kiai Patah itu pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu dengan orang-orang yang menyertaimu?”

“Seorang yang kami anggap paman kami adalah orang yang menyatakan diri untuk menyertai perjalanan kami. Ia hanya ingin tinggal bersama kami. Tidak lebih. Sedangkan kedua orang yang lain, aku harapkan akan dapat menjadi kekuatan masa datang. Terutama anak itu.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku melihat kelebihannya. Ketika ada waktu, tanpa orang lain, anak itu berlatih di pinggir hutan. Sementara yang lain beristirahat, anak itu mempergunakan waktu sebaik-baiknya tanpa orang lain. Namun aku ingin berpesan, jagalah agar anak itu tidak terlalu sering berlatih tanpa pengawasan seperti yang sempat aku lihat di pinggir hutan saat kami membuka hutan itu.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Ternyata keduanya terlalu sibuk bersama para cantrik, sehingga mereka tidak melihat anak itu berlatih sendiri.

“Anak itu melakukan gerakan yang sebenarnya masih belum perlu dilakukannya, meskipun ia dapat melakukan dengan baik,” berkata Kiai Patah.

“Terima kasih Kiai,” desis Mahisa Murti.

“Nampaknya anak itu memang sulit dikendalikan,” sambung Mahisa Pukat.

“Agaknya memang demikian,” desis Kiai Patah, “tetapi kami berusaha sebaik-baiknya untuk mencegahnya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk, mengiakan. Ternyata ketajaman penglihatan Kiai Patah telah menangkap sesuatu yang memang perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi lebih dari itu, peringatan itu merupakan peringatan baginya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata masih belum dapat menempatkan dirinya benar-benar sebagai seorang guru yang lengkap. Mereka bukan saja harus memberikan pengetahuan, tetapi juga mengawasi dengan tertib, apa yang dilakukan oleh murid-muridnya, justru dengan bahan-bahan yang telah diberikannya.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai. Aku ternyata masih harus banyak belajar untuk mampu benar-benar bertindak sebagai seorang guru. Tetapi untuk selanjutnya aku akan belajar dari pengalaman dan petunjuk-petunjuk dari siapa pun juga. Apa yang Kiai nasehatkan kepada kami berdua adalah sangat berarti. Bukan sekedar perhatian kami terhadap anak itu. Tetapi adalah dasar dari kekurangan itu sendiri.”

Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Tidak ada orang yang mempunyai bekal yang lengkap. Tentu ada kekurangan-kekurangannya. Mungkin secara kebetulan aku melihat kekurangan kalian. Tetapi, pada kesempatan lain, kalian atau orang lain akan melihat kekuranganku,” Kiai Patah itu berhenti sejenak, lalu “Tetapi menurut pengamatanmu, anak itu memang menyimpan sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak-anak sebayanya. Satu yang pasti, kemauan anak itu sangat besar untuk dapat menerima warisan yang kalian berikan kepadanya. Ia tidak ingin mengecewakan guru-gurunya yang dengan sungguh-sungguh telah mengasuhnya meskipun dengan cara yang khusus, karena kalian selama ini masih dalam pengembaraan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat berdesis, “Kami memang baru mempersiapkannya Kiai. Tetapi ternyata anak itu maju terlalu pesat, sehingga kamilah yang telah terseret arus kemauannya.”

Kiai Patah mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku sependapat. Karena itu, maka kalian sebaiknya melakukan pengamatan khusus dengan teliti terhadap semua kemungkinan dalam dirinya. Kalian harus mencari kekuatan yang paling menonjol di antara kekuatan-kekuatannya. Dengan demikian, kalian akan dapat memanfaatkan kekuatan itu untuk mengembangkan ilmu anak itu. Mungkin dengan demikian, kalian akan dapat lebih cepat mencapai satu tataran yang kalian kehendaki pada anak itu. Sudah tentu bahwa kalian tidak akan dapat membuat anak itu menguasai terlalu banyak hal. Jika kalian berdua memiliki berbagai macam ilmu itu, karena kalian dapat mengungkit kekuatan di dalam diri anak itu, mungkin ia akan dapat menjadi seorang anak muda seperti kalian.”

“Mudah-mudahan Kiai,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi yang kita bicarakan itu adalah kelebihan anak itu dalam ilmu kanuragan,” berkata Kiai Patah.

“Jadi?” bertanya Mahisa Murti.

“Keutuhan seseorang tidak hanya terdapat dalam ilmu kanuragan dan pengetahuan tentang lingkungannya,” berkata Kiai Patah, “tetapi kita juga harus berbicara tentang sifat dan wataknya, Jika ia memiliki ilmu dan pengetahuan, namun sifat serta wataknya tidak mendukungnya, maka ia justru akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Karena itu, jika kalian ingin membentuk anak itu, kalian harus membentuknya dalam keutuhannya. Ilmu, pengetahuan dan wataknya, sehingga keseluruhan pribadinya dapat kalian banggakan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Aku mengerti Kiai.”

“Hal ini berlaku juga terhadap murid-murid yang lain. Nampaknya anak muda yang kau bawa mengembara itu juga akan kau bentuk menjadi seorang yang berilmu tinggi. Meskipun bekal alami yang ada di dalam dirinya tidak sekuat anak itu, tetapi anak muda itu juga mempunyai kesungguhan. Ia akan dapat menyadap ilmu yang kalian berikan dengan baik,” berkata Kiai Patah selanjutnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Sementara Kiai Patah berkata pula, “Memang agak berbeda dengan orang yang kalian sebut Paman Wantilan. Ia sudah terbentuk. Namun sayang bahwa dasar dari ilmunya nampaknya kurang meyakinkan. Aku tidak dapat melihat dengan pasti karena untuk itu aku harus melihatnya benar-benar bertempur atau melepaskan semua unsur gerak dalam satu latihan khusus. Tetapi sekilas dapat aku tangkap beberapa kekurangan dasar pada orang itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak mempunyai kemampuan. Sampai saat ini ia masih belum ketinggalan dari anak muda yang kau sebut Mahisa Semu itu. Tetapi perkembangan ilmu anak muda itu akan jauh lebih cepat dari Wantilan. Namun demikian, kau tidak boleh mengecewakannya. Meskipun menurut pengakuannya ia hanya akan sekedar ikut menyertai kalian, tetapi tentu ia ingin meningkatkan ilmunya pula. Dan itu masih memungkinkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng menjawab, “Ya Kiai.”

“Nah, ternyata kalian akan benar-benar disebut sebagai guru. Hal itu akan memaksa kalian untuk bertanggung jawab atas sebutan itu,” berkata Kiai Patah pula.

Kiai Patah masih memberikan beberapa pesan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka memang masih memerlukan banyak pengalaman untuk dapat menjadi seorang guru yang baik. Namun menurut Kiai Patah, kedua anak muda itu telah memiliki ilmu yang cukup. Meskipun Kiai Patah sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang sepasang pusaka yang juga dikenalinya itu, namun Kiai Patah merasa semakin yakin akan kemampuan kedua orang anak muda itu.

Seperti yang direncanakan, maka ketika malam turun, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah berkumpul bersama-sama para cantrik dari padepokan itu. Termasuk para cantrik yang baru. Justru pertemuan itu lebih banyak diperuntukkan bagi mereka, karena Mahisa Murti dan saudara-saudaranya akan minta diri.

Ketika salah seorang di antara para cantrik yang baru itu diberi kesempatan untuk berbicara mewakili kawan-kawannya, maka dengan tulis ia mengucapkan terima kasih atas bantuan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sehingga mereka dapat keluar dari neraka yang mengerikan itu.

“Tanpa bantuan kalian, barangkali kami masih berada di dalam kerangkeng-kerangkeng yang sempit dan pengab. Bahkan ada di antara kami yang diikat dengan tiang-tiang bilik yang sempit dan gelap. Ada pula yang diikat pada tiang-tiang di halaman sehingga di siang hari dibakar oleh teriknya cahaya matahari, sedangkan di malam hari, basah oleh titik-titik embun yang dingin. Yang lain selalu dilecuti dalam latihan-latihan yang ternyata tidak berarti sama sekali dengan cambuk, cemeti atau rotan,” berkata orang itu dengan suara yang patah-patah. Kemudian, “Sekarang kami merasakan kebebasan itu. Kami yang semula merasa bahwa derajad kami tidak lebih baik dari seekor binatang, kini kami merasa bahwa kami telah dianggap sebagaimana manusia yang lain. Karena itu, maka kami justru merasa, bahwa kami telah berhutang budi tanpa dapat untuk membayar kembali dengan cara apa pun juga.”

Mahisa Murti lah yang kemudian berbicara kepada mereka. Selain minta diri, maka Mahisa Murti pun berkata, “Pengalaman pahit itu hendaknya menjadi pendorong bagi kalian, bahwa kalian tidak akan memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Meskipun seandainya kalian mampu melakukannya karena kalian berilmu. Tetapi kalian harus selalu ingat, bahwa betapa pun tinggi ilmu seseorang, namun di hadapan Yang Maha Agung, kita tidak lebih dari sebutir debu yang tidak berarti sama sekali. Karena itu, selagi kita masih sempat, maka kita harus menunjukkan pengabdian kita yang tulus terhadap Yang Maha Agung dan sesama.”

Ternyata pesan Mahisa Murti benar-benar mampu meresap ke dalam hati para cantrik yang merasa telah ditolongnya. Mereka memang merasa berat untuk melepaskan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya itu meninggalkan mereka. Bagi mereka, Mahisa Murti dan saudara-saudarnya adalah orang-orang yang sangat berarti bagi hidup mereka.

Tetapi Mahisa Murti berkata kepada mereka, “Kiai Semangin mengerti segala-galanya. Bahkan Kiai Nagateleng yang sebenarnya pun telah mengetahui bahwa ada sebuah padepokan yang telah menjebak banyak orang. Tetapi Kiai Semangin tidak dapat bergerak dengan tergesa-gesa sebelum mendapat cukup bahan-bahan dan bukti yang meyakinkan.”

Namun Kiai Semangin yang juga disebut Kiai Patah itu memotong, “Tetapi ternyata bahwa anak-anak muda itulah yang datang menolong kalian. Selama itu agaknya aku hanya mempunyai niat saja, tanpa berbuat apa-apa. Sementara anak-anak muda itu telah melakukannya dan ternyata apa yang mereka perbuat menjadi sangat berarti bagi kalian.”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Kami adalah sekedar penyambung kuasa tangan Yang Maha Agung.”

Demikianlah, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sempat berbincang sampai jauh malam. Namun akhirnya Kiai Patah pun menutup pertemuan itu. Katanya, “Berilah kesempatan anak-anak muda itu beristirahat.”

Namun ketika pertemuan itu benar-benar selesai, Mahisa Amping telah memejamkan matanya meskipun ia masih tetap duduk di tempatnya.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dan saudara-saudara-nya pun telah kembali ke dalam bilik mereka. Mereka benar-benar ingin beristirahat, karena esok mereka akan menempuh perjalanan yang panjang. Kembali ke padepokan Bajra Geni. Padepokan yang masih baru dan yang ditunggui oleh Mahendra, ayah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah terlalu tua untuk melakukan tugas-tugas yang berat, sehingga Mahendra telah menghentikan pekerjaannya, berdagang wesi aji dan batu-batu berharga.

Malam itu tidak terjadi sesuatu yang dapat mengganggu istirahat mereka. Pagi-pagi benar kelima orang itu pun telah berbenah diri. Tetapi ternyata beberapa orang cantrik telah bangun lebih pagi lagi utnuk menyiapkan makan pagi mereka. Sambil makan Mahisa Murti masih sempat juga memberikan pesan kepada beberapa orang cantrik yang mewakili kawan-kawannya, bahwa hutan yang dibuka itu harus mereka anggap sebagai sahabat mereka. Karena itu, mereka tidak dapat berbuat sesuka hati.

Demikianlah menjelang matahari naik, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah bersiap meninggalkan padepokan yang dipimpin oleh Kiai Semangin itu. Namun sebelum mereka meninggalkan regol padepokan, Mahisa Murti masih juga berkata, “Pada suatu saat, aku ingin kembali lagi ke padepokan ini. Padepokan ini terhitung sudah tidak terlalu jauh lagi dari padepokan kami meskipun masih harus bermalam di perjalanan. Kiai masih belum berceritera tentang Kiai sendiri selama kami berada di sini.”

Kiai Patah tersenyum. Katanya, “Tidak ada yang penting yang harus aku ceriterakan sepeninggal kalian. Tetapi baiklah. Aku akan sangat berterima kasih jika kalian datang ke padepokan ini bersama Ki Mahendra.”

“Ayah sudah terlalu tua untuk menempuh perjalanan jauh,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya, “Bagaimana jika Kiai kami jemput untuk berkunjung ke padepokan kami?”

“Tentu aku tidak berkeberatan,” berkata Kiai Patah. “namun sebelumnya salamku kepada ayahmu itu.”

Demikianlah, maka kedua anak muda itu bersama saudara-saudara angkat mereka meninggalkan padepokan itu. Orang-orang yang merasa berhutang budi kepadanya telah mengantar mereka keluar dari pintu gerbang.

Seorang yang mewakili kawan-kawannya berkata dengan kata yang sendat, “jangan lupakan kami.”

Mahisa Murti menepuk bahunya sambil berkata, “Aku akan berusaha untuk kembali jika mungkin. Tetapi pesanku, bersungguh-sungguhlah. Mudah-mudahan kau berhasil. Jangan lupakan sangkan paraning dumadi.”

“Kami mohon doa restu,” berkata orang itu.

“Kita semua akan selalu berdoa,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu melepas Mahisa Murti dan saudara-saudaranya dengan hati yang berat. Namun mereka tidak dapat menahan mereka dengan cara apa pun juga.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka mereka telah melangkah semakin jauh. Seperti biasa, Mahisa Amping berjalan di paling depan. Jika ia melihat sebatang pohon, telapak kakinya rasa-rasanya digelitik untuk memanjat. Tetapi ia sudah mampu menahan diri karena saudara-saudara angkatnya tidak begitu senang melihatnya memanjat pohon tanpa maksud apa-apa.

Beberapa saat kemudian, maka mereka telah turun ke jalan yang lebih besar di padukuhan Banyusasak. Mereka pun kemudian telah berada di jalan dari Padang Karautan yang telah menjadi ramai menuju ke Singasari. Dibandingkan dengan perjalanan panjang yang telah mereka tempuh, maka jalan menuju ke padepokan mereka sudah tidak terlalu jauh lagi. Mereka tidak berniat untuk singgah di Kotaraja. Tetapi mereka akan mengambil jalan pintas langsung menuju ke padepokan Bajra Seta.

Namun di perjalanan yang sudah tidak terlalu jauh lagi itu, masih dapat saja terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan mereka. Perjalanan yang dapat mereka tempuh dalam sehari lebih sedikit itu, mungkin justru akan berkepanjangan atau bahkan telah membawa mereka menjauhi padepokan yang mereka tuju.

Tetapi mereka sudah berniat untuk kembali setelah mereka menempuh perjalanan cukup panjang. Namun dengan demikian, maka mereka pun telah memetik pengalaman yang sangat berharga di sepanjang jalan. Banyak peristiwa yang terjadi. Bahkan kadang-kadang sangat berbahaya sehingga nyawa mereka harus mereka pertaruhkan.

Ternyata bahwa Yang Maha Agung masih melindungi mereka, sehingga mereka telah menempuh perjalanan kembali ke padepokan mereka. Menembus segala macam hambatan dan mengatasi segala macam kesulitan. Tetapi betapa pun pendeknya jarak di hadapan mereka, namun mereka masih belum sampai ke padepokan.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka panas pun mulai terasa menggigit kulit. Meskipun demikian mereka berjalan terus. Mereka tidak lagi merasakan betapa jalan-jalan bagaikan membara di tengah hari. Apalagi ketika matahari sedikit melampaui puncaknya. Tetapi mereka sudah terbiasa untuk mengatasi perasaan itu. Mereka sudah terbiasa berjalan di panggang oleh panasnya sinar matahari.

Namun ketika matahari mulai turun, Mahisa Murti mulai memperhatikan Mahisa Amping. Bagaimana pun juga ia masih seorang kanak-kanak yang memiliki daya tahan yang berbeda dari yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdesis kepada Mahisa Semu, “Amping agaknya sudah lapar.”

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita makan terlalu pagi.”

“Kita akan singgah di sebuah kedai. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan kita,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Semu mengangguk-angguk. Banyak hal memang dapat terjadi. Tetapi mereka memang tidak dapat mengabaikan keadaan Mahisa Amping yang masih kanak-kanak itu. Karena itu, di sebuah padukuhan yang besar, mereka telah singgah di sebuah kedai. Kedai itu pun termasuk kedai yang termasuk besar pula.

Nampaknya kedai itu cukup banyak dikunjungi orang. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masuk ke dalam kedai itu, maka beberapa orang sudah lebih dahulu ada di dalamnya. Nampaknya kedai itu juga mampu memberikan suasana yang tenang bagi para pengunjungnya. Berbagai macam makanan dan minuman disediakan di dalam kedai itu, sehingga mereka yang membelinya dapat memilih sesuai dengn selera mereka masing-masing.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun kemudian telah memilih tempat di sudut kedai itu. Mereka duduk di atas sebuah amben bambu yang tidak begitu besar, yang justru sesuai dipergunakan oleh lima orang. Mereka pun kemudian telah memesan minuman dan makanan bagi mereka berlima.

Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang sudah berusaha untuk tidak tertarik kepada apa pun juga yang terjadi di kedai itu. Mereka sudah dalam perjalanan pulang. Jaraknya pun sudah tidak lagi terlalu jauh.

“Rasa-rasanya tidak ada yang lebih baik bagiku sekarang daripada segera sampai ke padepokan Bajra Seta,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Amping tiba-tiba perhatianya mulai tertarik kepada seseorang. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Orang itu tentu membawa banyak uang.”

“Sst,” desis Mahisa Murti, “jika ada orang yang mendengar akan dapat terjadi salah paham.”

“Bukankah aku berbicara perlahan sekali?” justru Mahisa Amping telah bertanya.

“Ya. Tetapi jika ada orang yang mendengar akan dapat salah paham. Mereka dapat saja mengira bahwa kita cepat tertarik kepada barang-barang berharga. Atau bahkan orang lain dapat mengira bahwa kita memang telah mengikutinya sejak lama,” desis Mahisa Pukat.

Anak itu menganguk-angguk. Namun ia nampak gelisah. Beberapa kali ia bangkit berdiri. Dan ia pun kemudian kembali duduk di tempatnya.

“Ada apa sebenarnya dengan kau?” bertanya Mahisa Semu.

Anak itu menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah kita berjalan terus. Aku sudah cukup.”

“Kau memang sudah. Tetapi yang lain belum,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Karena itu, maka kita harus bersabar menunggu mereka. Selain itu, kita juga memanfaatkan saat seperti ini untuk beristirahat. Bukankah kita sudah tidak perlu berjalan berhari-hari lagi. Besok kita akan sampai ke padepokan Bajra Seta.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang mencoba untuk menjadi tenang dan duduk kembali di tempatnya. Tetapi setiap kali ia selalu berpaling kepada orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya mulai memperhatikan Mahisa Amping. Mereka tidak begitu tertarik kepada orang itu. Namun Mahisa Amping nampaknya sangat terpengaruh oleh kehadiran orang itu. Bahkan kemudian keduanya mulai bertanya-tanya, kenapa Mahisa Amping menjadi sangat gelisah.

Keduanya justru mulai mengingat kembali apa yang pernah terjadi. Kadang-kadang penggraita anak itu menjadi sangat tajam. Ia merasa cemas bahwa sesuatu akan terjadi dengan orang yang dikatakannya membawa banyak uang itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menahan diri. Semuanya itu masih sekedar dugaan saja, bahwa Mahisa Amping memiliki ketajaman penglihatan jauh melampaui orang kebanyakan. Bahkan terhadap apa yang belum terjadi. Setidak-tidaknya penglihatan perasaannya meskipun tidak begitu jelas bagi anak itu sendiri.

Untuk beberapa saat Mahisa Amping memang tidak memperhatikan orang itu lagi. Tetapi kemudian beberapa kali ia berpaling dan semakin lama semakin nampak gelisah. Namun akhirnya, semuanya pun telah selesai pula. Karena itu, maka mereka telah memenuhi permintaan Mahisa Amping untuk segera meninggalkan tempat itu. Setelah membayar harga makanan dan minuman bagi mereka berlima maka mereka pun telah keluar pula dari kedai itu.

Di pintu, mereka berpapasan dengan dua orang yang memasuki kedai itu. Seorang berwajah murah dan yang seorang lagi nampak pucat. Mahisa Amping tiba-tiba saja berpegangan kain panjang Mahisa Pukat dengan erat. Beberapa kali ia memandangi kedua orang yang memasuki kedai itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memperhatikan orang itu pula. Beberapa saat lamanya keduanya berdiri di depan pintu. Kemudian mereka pun melangkah masuk dan duduk tidak jauh dari orang yang disebut membawa banyak uang itu. Ketika perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertuju kepada orang itu, maka Mahisa Amping pun berkata,

“Marilah. Kita akan pergi. Semakin cepat kita sampai ke padepokan itu menjadi semakin baik bagi kita. Rasa-rasanya aku ingin segera melihat apa yang ada di dalam padepokan itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah melangkah pula. Mahisa Semu dan Wantilan yang perhatiannya tertuju ke tempat lain, telah melangkah pula mengikutinya. Tetapi sebelum mereka menjauhi kedai itu, maka tiba-tiba saja tiga orang bersama-sama telah keluar dari kedai dan tergesa-gesa melangkah menuju ke arah yang sama dengan Mahisa Murti dan saudara-saudaranya, bahkan mendahuluinya.

Mahisa Amping masih nampak cemas. Nampaknya ia tidak menjadi ketakutan bagi keselamatannya sendiri. Tetapi ia mencemaskan bahwa sesuatu akan terjadi.

“Marilah,” tiba-tiba Mahisa Amping menarik kain panjang Mahisa Pukat untuk berjalan lebih cepat.

“Kau ini kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Amping tidak menjawab, tetapi ia masih saja menarik kain panjang Mahisa Pukat dan mengajaknya berjalan lebih cepat. Mahisa Murti yang menjadi heran pula melihat sikap Mahisa Amping telah mengikutinya berjalan lebih cepat lagi di samping Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan berlari-lari kecil menyusul mereka.

“Kenapa begini tergesa-gesa,” berkata Wantilan.

“Mahisa Amping yang tergesa-gesa,” jawab Mahisa Pukat.

“Apa yang kau kejar Amping?” bertanya Mahisa Semu.

“Anak ini seperti melihat seekor burung lepas dari sangkarnya,” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Amping sendiri tidak menjawab. Ia tidak lagi menarik kain panjang Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berjalan dengan cepat mengikutinya. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan mengikutinya di belakang berjarak beberapa langkah.

“Ada apa sebenarnya?” bertanya Wantilan kepada Mahisa Semu.

“Nampaknya anak itu tertarik kepada ketiga orang yang berjalan mendahului kita,” jawab Mahisa Semu.

“Ada apa dengan mereka?” bertanya Wantilan.

“Entahlah,” jawab Mahisa Semu.

Keduanya pun kemudian terdiam. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di belakang Mahisa Amping masih saja berjalan cepat. Namun kemudian Mahisa Amping telah memperlambat langkahnya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berjalan semakin lambat pula.

Ketiga orang yang berjalan di hadapan mereka memang menjadi semakin jauh. Ketiganya sama sekali tidak menghiraukan kelima orang yang berjalan di belakang mereka, karena kelima orang itu mereka anggap tidak mengikuti mereka. Kelima orang itu sudah berjalan ke arah itu justru lebih dahulu dari mereka yang kemudian mendahului.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian melihat ketiga orang itu berbelok ke kiri meninggalkan jalan yang mereka lalui itu.

“Kita berjalan terus,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Amping tiba-tiba berhenti. Dengan nada rendah ia berkata, “Apakah kita tidak berbelok ke kiri seperti ketiga orang itu?”

“Bukankah kau senang jika kita lebih cepat sampai ke padepokan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tetapi hatiku menjadi berdebar-debar melihat orang itu. Aku melihat wajah orang itu kadang-kadang menjadi hitam, tetapi kadang-kadang tampak putih seperti tidak berdarah. Aneh bukan?” jawab anak itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Mereka memang sudah menduga, bahwa ada sesuatu di dalam diri anak itu yang melebihi orang kebanyakan. Tetapi tidak selalu dapat diangkat dari dasar hatinya ke permukaan, sehingga karena itu, maka ia kadang-kadang seolah-olah mendapat satu isyarat tentang sesuatu hal. Kadang-kadang tidak.

“Jika ia sempat mengembangkannya dengan tuntunan orang yang memiliki ilmu dan kemampuan, mungkin ia akan memiliki sesuatu yang jarang dimiliki orang lain,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.

“Bagaimana? Apakah kita dapat berbelok? Jika jarak yang harus kita tempuh terlalu jauh, kita akan berhenti dan kembali lagi ke jalan ini,” berkata anak itu.

“Apa yang terlalu jauh? Aku tidak tahu ukuran apa yang harus kita pakai untuk menentukan bahwa kita sudah terlalu jauh memasuki jalan itu jika kita memang berniat untuk berbelok ke kiri,” berkata Mahisa Murti.

Anak itu juga menjadi bingung. Tetapi anak itu dapat juga menjawab, “Ukurannya adalah apabila kita sudah jemu mengikuti orang itu, kita kembali. Sekarang kita tentu belum jemu. Setidak-tidaknya aku belum.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi kita tidak akan mengikuti orang itu tanpa batas.”

“Ya,” jawab Mahisa Amping.

Berlima mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai ke simpangan yang dilalui oleh ketiga orang itu, barulah mereka tahu, bahwa simpangan itu adalah sekedar lorong kecil yang nampaknya jarang dilalui orang. Tetapi memenuhi permintaan Mahisa Amping, maka mereka berlima telah menempuh jalan itu.

“Kakiku mulai terasa pedih,” berkata Mahisa Semu.

“Kau bohong,” sahut Mahisa Amping, “kita sudah menempuh perjalanan yang panjang sekali. Kau tidak pernah mengeluh seperti itu.”

Yang mendengar jawaban Mahisa Amping itu tersenyum. Tetapi Mahisa Semu masih mencoba menjawab, “Tetapi selama ini kita berjalan di atas jalan yang baik. Rata dan halus.”

“Kau bohong lagi,” Mahisa Amping membantah.

“Jalan ini berbatu-batu tajam,” berkata Mahisa Semu pula.

“Kita pernah berjalan melewati jalan berbatu-batu padas. Melewati padang perdu yang penuh dengan duri. Kita pernah melalui jalan yang jauh lebih buruk dari ini,” berkata Mahisa Amping.

Mahisa Semu mengerutkan dahinya. Sementara Wantilan tertawa tertahan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja tersenyum sambil berjalan dibelakang Mahisa Amping. Ternyata mereka berjalan beberapa lama. Tetapi mereka tidak melihat lagi ketiga orang yang berjalan di hadapan mereka.

“Orang-orang itu telah hilang,” desis Mahisa Semu, “kita tidak akan dapat menemukan mereka lagi.”

Mahisa Amping berpaling sejenak. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan anak itu berjalan sambil berlari-lari kecil di paling depan. Beberapa lama mereka berjalan, maka mereka sampai ke sebuah tanggul sungai. Gerumbul-gerumbul perdu yang liar tumbuh di sepanjang tanggul itu.

“Tunggu,” desis Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Amping memang berhenti. Tetapi wajahnya nampak tegang. Bahkan ia pun bertanya, “Kenapa kita berhenti?”

“Apakah kita akan menuruni tebing sungai itu dan akan menyeberang?” bertanya Mahisa Murti, “apakah kita belum jemu mengikutinya jalan ini?”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan melihat ke sebelah tanggul. Jika kita tidak melihat sesuatu, kita akan kembali.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kau tinggal di sini. Biarlah aku melihat tanggul itu.”

Bersama Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti pun telah melangkah dengan hati-hati mendekati tanggul. Mereka berhenti sambil berjongkok dibalik batang-batang perdu yang tumbuh di atas tanggal itu. Perasaan mereka nampaknya telah menahan agar mereka tidak dengan serta merta melewati tanggul.

Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memperhatikan jalan setapak yang menuruni tebing rendah sungai itu. Tetapi mereka berdua tidak turun lewat jalan setapak itu. Bahkan penggraita mereka yang tajam seakan-akan memberikan isyarat, bahwa ada sesuatu dibalik tanggul itu.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser justru menjauhi jalan setapak yang menuruni tebing, mereka menjadi semakin curiga. Di sebelah mereka melihat sungai itu berbelok tajam. Ketika mereka menguak gerumbul-gerumbul perdu dengan sangat berhati-hati, maka mereka terkejut. Ditepian mereka melihat beberapa orang yang tampaknya sedang membicarakan sesuatu yang penting, dibalik kelokan yang tajam itu...