Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 109

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 109 Karya Singgih Hadi Mintardja
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 109
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ANAK-ANAK muda itu hanya dapat mengangguk-angguk. Harapan mereka menjadi lebih besar karena jumlah penerimaan itu bertambah seorang. Tetapi bagaimanapun juga harus ada di antara mereka yang tersisih.

“Semula kami menjadi cemas” berkata Manggala Pelayan Dalam itu, “bahwa yang memenuhi syarat tidak genap sepuluh orang. Namun ternyata justru lebih dari itu, meskipun akhirnya kami harus memilih sepuluh orang terbaik dari yang baik itu ditambah dengan seorang lagi.”

Anak-anak muda yang mendengarkan pernyataan itu termangu-mangu. Ternyata bahwa menurut Manggala Pelayan Dalam itu, mereka semua dapat dianggap memenuhi syarat. Tetapi karena hanya sebelas orang yang dapat diterima, maka tentu ada di antara mereka yang harus tersisih.

Namun Manggala Pelayan Dalam itu kemudian berkata, “Mereka yang tidak dapat diterima kali ini, jika pada kesempatan lain masih berniat untuk ikut dalam pendadaran, maka kepada mereka akan diberikan perhatian khusus. Mereka yang gagal kali ini akan mendapatkan pertanda yang dapat ditunjukkan pada kesempatan yang lain apabila masih dikehendaki.”

Demikianlah, maka kemudian Manggala Pelayan Dalam itu menyebut sepuluh orang di antara mereka yang diterima ditambah dengan seorang yang akan menjadi pemimpin kelompok mereka. Beberapa orang memang menjadi kecewa. Tetapi sekali lagi Gajah Saraya mengatakan kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat pertanda yang dapat mereka pergunakan pada kesempatan lain.

“Tidak genap setahun kami akan memanggil anak-anak muda lagi untuk mengisi kekosongan” berkata Gajah Saraya.

Dengan demikian, maka anak-anak muda itu pun diperkenankan untuk meninggalkan tempat pendadaran itu. Bagi mereka yang diterima, maka mereka mendapat waktu sepekan. Setelah sepekan mereka harus datang melaporkan diri di tempat pendadaran itu untuk selanjutnya mereka akan memasuki barak Pelayan Dalam. Pada kesempatan pertama, maka mereka akan berada di dalam barak latihan khusus bagi para Pelayan Dalam yang baru itu.

Mereka mengikuti latihan olah kanuragan untuk mendukung tugas-tugas mereka kemudian sebagai Pelayan Dalam yang akan lebih banyak berada di istana. Menjaga keselamatan seluruh isi istana, melayani Sri Maharaja dan keluarganya serta memelihara benda-benda yang ada di istana dan yang tidak kalah pentingnya, menjaga agar semua paugeran yang ditrapkan di istana dapat berlaku sebagaimana seharusnya.

Demikianlah, maka anak-anak muda itu pun telah minta diri kepada para petugas yang melakukan pendadaran terhadap mereka selama tiga tataran berturut-turut. Yang tidak dapat diterima pun nampaknya harus menerima kenyataan itu dengan ikhlas dengan harapan bahwa pada kesempatan lain mereka akan dapat diterima.

Kepada Mahisa Pukat mereka mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Bukan saja diterima menjadi Pelayan Dalam, tetapi justru langsung diangkat menjadi pemimpin kelompok dari antara mereka yang baru saja diterima.

Ternyata bahwa Mahisa Pukat pun menjadi gembira pula. Ia akan dapat mengatakan kepada Sasi bahwa ia telah diterima. Meskipun Arya Kuda Cemani adalah seorang Senopati yang dapat menilai kemampuannya, tetapi kepada Sasi ia tidak akan dapat mengatakan apapun seandainya ia tidak diterima menjadi Pelayan Dalam. Sasi akan dapat menganggapnya sebagai seorang yang hanya dapat membual tanpa dapat memberikan bukti.

Ketika ia sampai di rumah dan menyatakan bahwa ia dapat diterima maka Mahendra pun menjadi gembira pula. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Aku mempunyai prasangka buruk terhadap Gajah Saraya. Tetapi ternyata ia bukan orang yang curang. Ia melihat kenyataan yang dihadapinya dalam pendadaran yang telah dilangsungkan dengan jujur.”

Namun Mahisa Pukat telah menceriterakan pula usaha yang hampir saja menggagalkannya.

“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “persoalan itu jangan diperpanjang lagi. Kau sebaiknya menganggap bahwa persoalannya telah selesai.”

Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab, “Aku memang sudah berusaha untuk menganggap persoalan itu selesai ayah. Tetapi agaknya ayahnya ingin menegakkan wibawanya sebagai seorang Senopati. Entahlah, apa yang akan dilakukan.”

“Lewat Arya Kuda Cemani aku akan memberikan pesan, agar persoalannya tidak diperpanjang lagi.” berkata Mahendra.

“Tetapi ayahnya ingin agar anaknya benar-benar menjadi jera dan tidak melakukan hal yang serupa lagi.” desis Mahisa Pukat.

Mahendra tidak menjawab. Ia pun mengerti bahwa membiarkan anaknya melakukan kesalahan berarti mendorong agar hal itu dilakukan pula pada kesempatan yang lain.

Dalam pada itu, maka kegembiraan Mahisa Pukat pun telah didengar pula oleh Sasi. Ayahnya tidak dapat menahan keinginannya untuk menceriterakan kepada Sasi bahwa Mahisa Pukat secara khusus telah diterima. Bahkan tidak sekedar menjadi Pelayan Dalam. Tetapi menjadi pemimpin kelompok dari Pelayan Dalam yang baru diterima. Karena itu, ketika Mahisa Pukat datang mengunjunginya, sebelum Mahisa Pukat mengatakan sesuatu, Sasi telah lebih dahulu mengucapkan selamat kepadanya.

“Aku merasa gembira sekali, bahwa kau dapat diterima secara khusus dalam lingkungan Pelayan Dalam” berkata Sasi.

“Doa mu didengar oleh Yang Maha Agung, Sasi” jawab Mahisa Pukat.

“Ya. Satu kesempatan yang baik yang dianugerahkan oleh Yang Maha Agung kepada kita” berkata Sasi sambil menunduk

Kegembiraan itu ternyata telah meliputi seluruh keluarga Sasi. Kedua saudara laki-laki Sasi pun ikut merasa gembira pula. Meskipun ketika mereka tahu apa yang telah terjadi atas Mahisa Pukat selama pendadaran menjadi marah pula. Tetapi sebagaimana Mahendra, maka Arya Kuda Cemani pun berharap bahwa persoalan yang berhubungan dengan Sasi itu hendaknya dianggap selesai.

“Jika Senapati Sawungtuwuh akan mengambil tindakan terhadap anaknya, itu adalah persoalannya. Ia memang merasa perlu untuk mendidik anaknya agar menjadi seorang yang baik kelak” berkata Arya Kuda Cemani kepada anak-anaknya pada kesempatan yang lain.

Seperti yang diperintahkan oleh Manggala Gajah Saraya, maka sepekan kemudian anak-anak muda yang dinyatakan diterima menjadi Pelayan Dalam itu pun telah berada kembali di tempat mereka melakukan pendadaran. Seperti yang diperintahkan, maka mereka pun telah melaporkan diri akan kehadiran mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang menarik diri. Sebelas orang telah hadir di tempat yang ditentukan, termasuk anak muda bertubuh raksasa itu.

Seperti yang telah dinyatakan oleh Manggala Gajah Saraya, maka Mahisa Pukat telah langsung dinyatakan sebagai pemimpin kelompok dari para Pelayan Dalam yang baru itu. Dalam wisuda yang akan dilakukan beberapa hari kemudian, maka Mahisa Pukat sudah akan diwisuda menjadi pemimpin kelompok.

Beberapa orang Pelayan Dalam yang tidak sempat menyaksikan pendadaran itu memang merasa heran. Sejak mereka memasuki lingkungan Pelayan Dalam, belum pernah terjadi, seorang yang baru saja diterima langsung diangkat menjadi pemimpin kelompok. Biasanya yang akan memimpin sekelompok Pelayan Dalam yang baru itu adalah mereka yang sudah lebih tua. Yang telah sekitar empat tahun menjadi Pelayan Dalam.

Ketika hal itu mereka perbincangkan, maka beberapa orang Pelayan Dalam yang menyaksikan langsung dan bahkan bertugas pada saat-saat berlangsungnya pendadaran telah memberikan penjelasan apa yang telah mereka saksikan.

“Satu ceritera yang berlebih-lebihan” jawab seorang Pelayan Dalam yang telah bertugas lebih dari lima tahun, namun yang masih belum mendapat kesempatan untuk mendapatkan jabatan memimpin sebuah kelompok Pelayan Dalam.

“Aku dan beberapa orang kawan serta prajurit menyaksikan sendiri bagaimana ia mampu mengimbangi ketangkasan Manggala Gajah Saraya.”

“Tentu satu permainan dari Manggala Gajah Saraya. Apakah Mahisa Pukat itu masih sanak kadangnya?” bertanya Pelayan Dalam yang tidak mau menerima kenyataan tentang Mahisa Pukat.

“Sepengetahuanku bukan” jawab Pelayan Dalam yang menyaksikan langsung pendadaran itu, “jika kau melihat sendiri, maka pendapatmu tentu akan berubah.”

“Tidak” jawab kawannya yang tidak terlibat dalam pendadaran itu” Manggala Gajah Saraya dapat saja berbuat sesuatu untuk memberikan kesan agar salah seorang di antara mereka yang ikut dalam pendadaran nampak memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi semuanya itu adalah permainan saja”

“Jika tidak demikian, kenapa Manggala Gajah Saraya sendiri yang harus melakukan pendadaran? Apakah menurut pendapatnya tidak ada Pelayan Dalam yang pantas untuk melakukan pendadaran sebagaimana dilakukan terhadap para peserta yang lain?”

Pelayan Dalam yang menunggui pendadaran itu berdesis, “Aku bukannya tidak dapat menilai pendadaran yang dilakukan oleh Manggala. Menurut penglihatanku, Mahisa Pukat memang memiliki kelebihan yang jauh dari para peserta yang lain.”

“Ya. Mungkin. Dengan para peserta memang mungkin. Tetapi dari kami yang sudah bertahun-tahun bertugas sebagai Pelayan Dalam? Kami telah mengalami penempaan ilmu beberapa kali. Hampir setiap tahun kami melakukan latihan-latihan khusus selama dua tiga bulan selain latihan-latihan yang kami lakukan hampir setiap hari. Kau tentu mampu menilai kemampuan kita sendiri dibandingkan dengan kemampuan Mahisa Pukat itu."

“Mungkin kemampuan kita sebagai Pelayan Dalam. Kita memang sudah menguasai segala macam ketentuan dan paugeran yang ada di dalam istana ini. Kita sudah menguasai tugas-tugas kita seluruhnya. Sedangkan Mahisa Pukat sama sekali belum. Tetapi dalam olah kanuragan, mungkin agak lain. Ia memiliki dasar ilmu yang cukup tinggi.”

“Aku kurang yakin akan hal itu” jawab kawannya.

Pelayan Dalam yang mengikuti pendadaran itu tidak menjawab. Ia segan bertengkar dengan kawan sendiri tentang persoalan yang sulit dicari persesuaiannya. Bahkan ketika kawannya yang lain yang ikut pula menangani pendadaran itu mengatakan hal yang sama, namun Pelayan Dalam itu masih tidak yakin pula.

“Terserah” akhirnya Pelayan Dalam yang ikut menangani pendadaran itu melangkah pergi.

“Aku ingin melihat, apa yang dapat dilakukannya” berkata Pelayan Dalam yang tidak yakin akan kemampuan Mahisa Pukat itu.

Dalam pada itu, maka anak-anak muda yang sudah diterima menjadi Pelayan Dalam itu mulai memasuki barak untuk mendapatkan latihan-latihan dasar serta pengetahuan tentang tugas mereka. Mereka telah di tempatkan di barak khusus yang agak terpisah agar mereka dapat memusatkan perhatian mereka pada latihan-latihan yang tentu akan terasa cukup berat.

Mahisa Pukat yang ada di antara mereka sudah harus mulai mengemban tugasnya sebagai pemimpin kelompok. Namun seperti yang lain, Mahisa Pukat masih harus mengikuti latihan-latihan. Meskipun Mahisa Pukat dianggap memiliki ilmu yang cukup, tetapi ia harus mengerti dan memahami keseragaman yang harus dimiliki oleh Pelayan Dalam. Karena itu, sebelas orang yang mempunyai latar belakang dasar ilmu yang berbeda harus mengikuti latihan-latihan agar mereka dapat segera menyesuaikan diri dalam lingkungan Pelayan Dalam Apalagi pengetahuan tentang tugas-tugas mereka serta unggah-ungguh di dalam istana.

Mahisa Pukat yang diangkat sebagai pemimpin kelompok sama sekali tidak dengan semata-mata menunjukkan kelebihannya dari kawan-kawannya selain menjalankan tugasnya dengan baik yang memang agak berbeda dengan kawan-kawannya yang bukan pemimpin kelompok. Namun seperti juga kawan-kawannya Mahisa Pukat mengikuti setiap latihan dan peningkatan pengetahuan mereka tentang tugas-tugas Pelayan Dalam.

Baru setelah beberapa lama latihan-latihan itu berjalan, serta anak-anak muda yang diterima menjadi Pelayan Dalam itu telah meyakinkan para petugas bahwa mereka baik secara badani maupun secara jiwani akan mampu mengikuti masa-masa penempaan diri, sebelas orang itu telah diwisuda oleh Manggala Gajah Saraya. Mereka secara resmi telah diterima menjadi keluarga Pelayan Dalam meskipun mereka masih harus tetap berada di dalam barak latihan khusus untuk menjalani latihan-latihan yang berat dan melelahkan.

Tetapi anak-anak muda yang memang sudah mantap untuk memasuki dunianya itu tidak mengeluh. Mereka menjalankan tugas-tugas mereka dengan penuh gairah dan kemauan yang tinggi.

Semakin lama mereka berada di barak latihan, maka kelebihan Mahisa Pukat justru menjadi semakin nampak, disengaja atau tidak. Para pelatih dalam barak itu semakin merasa segan kepadanya meskipun hal itu tidak diinginkan oleh Mahisa Pukat sendiri. Betapapun ia berusaha untuk memperlihatkan kemampuan seperlunya saja, namun kadang-kadang diluar kehendaknya, kelebihannya itu pun telah mencuat dengan sendirinya.

Manggala Gajah Saraya yang mendengarkan setiap laporan tentang Pelayan Dalam yang baru itu merasa semakin mantap. Ia memang berharap bahwa Mahisa Pukat akan dengan cepat memanjat ke tataran yang lebih tinggi, justru karena ia mengenal Manggala Pelayan Dalam itu sudah mendengar pula bahwa Mahendra dan Arya Kuda Cemani mempunyai hubungan yang khusus justru karena anak-anak mereka yang sudah saling mengikat meskipun baru tersirat di dalam tingkah laku mereka.

Ternyata Mahisa Pukat tidak mengecewakan. Bukan saja Manggala Gajah Saraya, tetapi juga ayahnya dan Arya Kuda Cemani. Sampai akhir masa latihan serta pemantapan atas tugas yang bakal diembannya, Mahisa Pukat tetap menunjukkan kelebihannya. Ia pun telah menunjukkan kemampuannya memimpin sekelompok Pelayan Dalam yang diterima bersamanya. Ternyata pengalamannya memimpin sebuah padepokan telah memberikan bekal yang sangat berarti baginya.

Ketika masa latihan dasar serta pendalaman tentang tugas-tugas yang harus diembannya itu sudah selesai, maka Mahisa Pukat serta sekelompok Pelayan Dalam itu pun mulai mendapat tugas-tugasnya di istana. Sebagai sekelompok Pelayan Dalam yang baru, maka Mahisa Pukat dan kelompoknya telah mendapat tugas yang beban tanggung jawabnya tidak terlalu berat. Mereka mendapat tugas untuk menjaga dan melayani lingkungan kesatrian untuk membantu sekelompok Pelayan Dalam yang telah lebih dahulu bertugas di tempat itu.

Ternyata tugas yang dibebankan kepada para Pelayan Dalam yang baru itu tidak terlalu menyenangkan. Beban tanggung jawab mereka memang tidak begitu berat. Tetapi keluarga istana yang masih remaja dan meningkat dewasa yang tinggal di Kesatrian itu mempunyai sifat dan watak yang berbeda-beda. Ada di antara mereka yang berhati lembut. Tetapi ada pula yang keras dan bahkan kasar meskipun mereka adalah keluarga dekat Sri Maharaja.

Namun untunglah bahwa di Kesatrian itu tinggal pula seorang Pangeran yang sudah setengah baya yang sengaja di tempatkan di Kesatrian untuk mengendalikan para keluarga istana yang nakal dan bahkan kadang-kadang sudah mengarah kepada kekasaran.

Pangeran Kuda Pratama yang bijaksana itulah merupakan tempat mengadu para Pelayan Dalam dan petugas lainnya di Kesatrian apabila mereka mendapat perlakuan yang kasar dari para penghuninya yang merasa diri mereka keluarga Sri Maharaja sehingga mereka seakan-akan dapat berbuat sekehendak hati mereka. Namun Pangeran Kuda Pratama mendapat wewenang sepenuhnya oleh Sri Maharaja untuk berbuat yang terbaik menurut pertimbangannya atas penghuni Kesatrian.

Mahisa Pukat dan kelompoknya yang bertugas di Kesatrian berusaha untuk menyesuaikan diri. Mahisa Pukat memerintahkan kepada kelompoknya agar mereka tidak mengambil langkah sendiri jika mereka menghadapi persoalan dengan para Kesatrian yang tinggal di Kesatrian itu.

“Adalah tugas kita melayani mereka dan menjaga keselamatan mereka” berkata Mahisa Pukat.

Para Pelayan Dalam itu juga mengerti. Tetapi mereka juga mempunyai perasaan dan harga diri sehingga kadang-kadang mereka harus mengeluh mengalami perlakuan yang kurang pantas.

Mahisa Pukat sendiri, yang terbiasa berada di padepokan sebagai salah satu dari dua orang pemimpinnya, merasa kedudukan itu terlalu menekan perasaannya. Bahkan kadang-kadang Mahisa Pukat merasa bahwa ternyata tugas-tugas Pelayan Dalam sama sekali tidak sesuai dengan gejolak jiwanya yang kadang-kadang meledak-ledak. Di dalam tugasnya Mahisa Pukat benar-benar merasa dirinya tidak lebih dari seorang pelayan. Setiap orang di Kesatrian dapat memberi perintah apapun juga. Kadang-kadang mereka membentak tanpa sebab. Bahkan mengumpat kasar.

Sehingga Mahisa Pukat sempat menjadi heran. Ia mengira bahwa para penghuni Kesatrian itu adalah anak-anak muda yang lembut, ramah dan menghargai orang lain sebagaimana keluarga Sri Maharaja yang sering dilihatnya di paseban. Tetapi di Kesatrian mereka seakan-akan orang lain dari yang dilihatnya di paseban itu. Tetapi, Pangeran Kuda Pratama ternyata mampu memberikan tuntunan kepada para Pelayan Dalam termasuk Mahisa Pukat. Namun juga mengendalikan para penghuni Kesatrian.

Dari para petugas yang lama Mahisa Pukat dan para Pelayan Dalam yang lain telah mendengar pengalaman mereka, sehingga mereka dapat menempatkan diri mereka sebaik-baiknya. Tetapi, pada satu kesempatan Mahisa Pukat pulang menemui ayahnya, maka ia pun telah menyatakan keluhan-keluhannya. Bagi Mahisa Pukat ternyata bahwa hidup di Padepokan terasa jauh lebih baik daripada berada di Kesatrian.

“Kau akan terbiasa dengan tugasmu” berkata ayahnya.

“Kadang-kadang perasaanku memberontak” jawab Mahisa Pukat.

“Kalian adalah orang-orang baru di Kesatrian. Apalagi kalian masih muda sehingga penghuni Kesatrian itu merasa bahwa mereka lebih senang berhubungan dengan kalian daripada dengan para Pelayan dalam yang lebih tua.”

“Bukan sekedar berhubungan” jawab Mahisa Pukat, “tetapi mereka memperlakukan kami kadang-kadang diluar batas-batas kesabaran kami. Mereka bukan saja membentak. Tetapi seorang di antara kawan-kawanku telah dipukulnya. Kawanku itu memang tidak membalas. Bukan karena ia pengecut. Tetapi justru karena ia merasa bahwa ia adalah seorang Pelayan Dalam.”

“Apakah hal itu tidak kau sampaikan kepada Pangeran Kuda Pratama?” bertanya Mahendra

“Ya. Terpaksa kami sampaikan. Anak muda yang memukul Pelayan Dalam itu memang dipanggil dan dimarahi. Tetapi nampaknya hal itu tidak berbekas sama sekali. Demikian ia berada di luar, maka sikapnya telah kembali lagi seperti semula. Mereka terlalu yakin bahwa kedudukan mereka jauh lebih tinggi dari seorang Pelayan Dalam” jawab Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti perasaan anaknya yang terbiasa hidup dalam sebuah padepokan. Namun kemudian Mahendra itu pun berkata, “Mahisa Pukat. Para kesatria di Kesatrian itu adalah anak-anak muda seperti kau dan kawan-kawanmu. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang mempunyai berbagai macam sifat dan watak. Bukankah di antara mereka yang keras atau katakanlah kasar itu terdapat pula anak muda yang baik dan ramah? Nah, bukankah sifat-sifat seperti itu terdapat dimana-mana? Maksudku, mereka tidak ubahnya dengan anak-anak muda yang lain. Ada yang pantas dicela tetapi juga ada yang seharusnya memang mendapat pujian.”

Mahisa Pukat mengangguk. Tetapi ia berkata, “Tetapi sifat itu ditrapkan atas kami, para Pelayan Dalam. Itulah yang membuat darah ini kadang-kadang menggelegak.”

“Mahisa Pukat” berkata Mahendra, “kau memang harus sering berhubungan dengan Pangeran Kuda Pratama. Ia orang yang baik menurut penilaianku. Bertanggung jawab dan memiliki keberanian. Lebih dari itu, ia adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Pangeran itu tentu akan selalu berusaha membantu tugas-tugasmu. Apalagi ia memang diserahi tugas untuk mengawasi isi dari Kesatrian itu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia memang sependapat bahwa Pangeran Kuda Pratama adalah seorang bangsawan yang baik dan mengerti perasaan dan tugas para Pelayan Dalam. Tetapi sudah tentu bahwa para Pelayan Dalam itu tidak akan selalu berada di sekitar Pangeran Kuda Pratama.

Seperti petunjuk ayahnya, maka selanjutnya Mahisa Pukat selalu berhubungan dengan Pangeran Kuda Pratama. Apalagi Pangeran Kuda Pratama telah memberikan kesempatan kepada Mahisa Pukat untuk menemuinya setiap saat diperlukan. Sementara itu para Pelayan Dalam yang lebih dahulu berada di Kesatrian dengan senang hati membantu dan ikut memecahkan masalah-masalah yang timbul terutama di hati para Pelayan Dalam.

“Aku tidak kerasan tinggal di neraka ini” berkata anak muda yang bertubuh raksasa.

Meskipun perasaan itu ada pula di hati Mahisa Pukat namun Mahisa Pukat sebagai pemimpin kelompok berusaha untuk menenangkan perasaan kawannya yang bertubuh raksasa itu.

“Kita akan bergayut pada kebaikan hati Pangeran Kuda Pratama” berkata Mahisa Pukat, “suatu ketika maka kita akan terbiasa dengan keadaan ini atau keadaan ini akan perlahan-lahan berubah.”

“Apa yang berubah?” bertanya Pelayan Dalam bertubuh raksasa itu.

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Meskipun agak ragu ia pun menjawab, “Kita berharap sikap anak-anak muda di Kesatrian ini dapat berubah.”

“Mereka sudah berada di Kesatrian ini sejak mereka meningkat remaja. Tetapi sikap mereka masih saja seperti itu. Aku tidak yakin bahwa sikap mereka akan dapat berubah. Seandainya perubahan itu terjadi, tentu sudah lama terjadi. Tetapi menurut para Pelayan Dalam yang terdahulu bertugas di sini, mereka memang bersikap seperti itu. Sejak dahulu dan agaknya akan sampai saatnya mereka meninggalkan Kesatrian. Tetapi yang datang kemudian akan bersikap seperti mereka juga. Angkuh, merasa dirinya berkuasa dan menganggap kita tidak lebih budak-budak rendah yang tidak berharga.”

“Sudahlah” potong Mahisa Pukat, “aku akan mencari jalan bersama-sama dengan pemimpin kelompok Pelayan Dalam yang terdahulu bertugas di sini. Kami akan menemui dan mohon petunjuk Pangeran Kuda Pratama.”

“Aku meragukan perubahan yang diharapkan terjadi. Aku sebenarnya agak menyesal, kenapa aku memasuki lingkungan ini. Kenapa aku tidak menjadi seorang prajurit saja. Aku lebih senang dilemparkan ke medan pertempuran daripada duduk di serambi Kesatrian ini sekedar untuk dibentak-bentak.”

Mahisa Pukat menepuk bahu anak muda bertubuh raksasa itu. Katanya, “Percayalah. Aku akan mencari jalan.”

Anak muda bertubuh raksasa itu memang diam. Tetapi terasa hatinya masih bergejolak. Meskipun ketika ia mendapat latihan khusus, ditempa badani dan jiwani, bayangan tugas sebagaimana dialami itu sudah disebut-sebut, tetapi ketika ia benar-benar harus mengalami, maka hatinya ternyata telah bergejolak.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang mencari cara untuk dapat sedikit pun mengurangi tekanan perasaan para Pelayan Dalam itu karena sikap para penghuni Kesatrian. Meskipun ada di antara mereka yang baik, ramah dan lembut, namun perbandingannya lebih kecil daripada mereka yang nakal, keras dan bahkan kasar.

Seperti yang dijanjikan, maka Mahisa Pukat telah menemui pemimpin kelompok Pelayan Dalam yang telah bertugas lebih dahulu. Mereka tidak lagi terdiri dari anak-anak muda sebagaimana kelompok yang dipimpin oleh Mahisa Pukat. Sebagian mereka adalah orang-orang yang telah meningkat meninggalkan usia mudanya. Di antara mereka pada umumnya sudah berkeluarga dan mempunyai satu dua orang anak.

Justru karena yang datang kemudian adalah anak-anak muda, maka yang kemudian seakan-akan mendapat beban lebih berat adalah anak-anak muda itu. Para penghuni Kesatrian itu lebih ringan memberikan perintah, membentak dan berlaku kasar terhadap Pelayan Dalam yang lebih muda daripada yang sudah berumur lebih banyak itu.

Dengan pemimpin kelompok Pelayan Dalam yang terdahulu bertugas di Kesatrian, Mahisa Pukat mengadakan beberapa pembicaraan. Pelayan Dalam yang bertugas di Kesatrian harus meningkatkan kewibawaan mereka dihadapan para penghuni Kesatrian tanpa dianggap menentang atau memberontak terhadap mereka. Ketika keduanya mendapatkan kesepakatan, maka keduanya telah menghadap Pangeran Kuda Pratama untuk menyampaikan rencana mereka apabila Pangeran Kuda Pratama memperkenankan.

Pangeran Kuda Pratama justru tersenyum mendengar rencana itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Rencana yang baik. Agaknya rencana ini datang dari yang muda-muda karena sebelumnya belum pernah ada rencana seperti ini.”

“Benar Pangeran” jawab pemimpin kelompok Pelayan Dalam yang terdahulu, “meskipun hal-hal yang sama pernah kami rasakan sebelumnya, namun kami tidak berpikir untuk mengambil langkah-langkah seperti yang direncanakan oleh Mahisa Pukat. Ternyata pendapatnya itu baik. Wibawa Pelayan Dalam akan naik tanpa menyakiti hati para penghuni kesatrian.”

“Baiklah. Aku akan mengaturnya” berkata Pangeran Kuda Pratama, “pada hari yang ditentukan, maka latihan khusus sebagaimana kalian rencanakan itu akan dilaksanakan di halaman belakang Kesatrian.”

Kedua orang pemimpin kelompok Pelayan Dalam yang bertugas di Kesatrian itu mengucapkan terima kasih. Sementara mereka menunggu waktu yang akan ditentukan oleh Pangeran Kuda Pratama, maka mereka telah mempersiapkan pelaksanaannya.

Ternyata Pangeran Kuda Pratama telah mengambil waktu yang terbaik yang dapat dipilihnya. Pada saat Pangeran Kuda Pratama memperingati hari dan pasaran saat Pangeran itu memasuki dan tinggal di kesatrian sambil mengemban tugasnya mengawasi para penghuni Kesatrian itu genap delapan tahun, maka Pangeran Kuda Pratama akan mengadakan semacam peringatan kecil-kecilan di halaman belakang Kesatrian.

“Kita adalah kesatria-kesatria Singasari” berkata Pangeran Kuda Pratama, “ciri dari sifat kesatria bukanlah mengagungkan diri, sombong dan merendahkan orang lain. Tapi salah satu dari ciri seorang kesatria adalah melindungi mereka yang lemah. Untuk itu kita harus memiliki kekuatan. Juga para kesatria. Tetapi karena acara seperti ini baru diselenggarakan untuk pertama kali, maka yang akan tampil kali ini adalah para Pelayan Dalam. Meskipun mereka bukan penghuni Kesatrian, tetapi mereka juga kesatria-kesatria Singasari. Karena ciri kesatria bukan dimana ia tinggal atau anak siapa mereka itu.”

Anak-anak muda dan remaja yang tinggal di Kesatrian itu sebagian sama sekali tidak mendengar kata-kata Pangeran Kuda Pratama. Mereka datang untuk ikut beramai-ramai, makan bersama dan bergurau di antara mereka. Mereka tidak begitu memperhatikan acara-acara apa yang akan ditampilkan dalam peringatan itu. Yang mereka tunggu-tunggu adalah suguhan yang tentu akan menyenangkan mereka.

Sementara itu Pangeran Kuda Pratama pun berkata, “Nah, sebelum kalian akan mendapat hidangan yang tentu kalian senangi, para Pelayan Dalam yang bertugas di Kesatrian akan menunjukkan kemampuan mereka. Jika kalian, para Kesatria Singasari yang tinggal di Kesatrian ingin turun ke gelanggang, kalian akan mendapat kesempatan, meskipun seperti yang sudah aku katakan, bahwa yang akan tampil kali ini terutama adalah Para Pelayan Dalam.”

Pernyataan itu agaknya dapat sedikit menarik perhatian. Tetapi seorang Pangeran yang meningkat dewasa tiba-tiba berteriak, “Paman, apa yang dapat mereka tunjukkan dihadapan kami? Latihan memasak sayur dan lauk pauk? Membuat minuman paling manis dengan gula yang paling sedikit? Atau latihan membawa nampan untuk menghidangkan makanan kepada kami sekarang ini?”

Anak-anak muda penghuni Kesatrian itu tiba-tiba tertawa berkepanjangan. Seorang yang lain berteriak, “Kami sudah mulai lapar paman.”

“Baiklah” berkata Pangeran Kuda Pratama, “kalian akan melihat, siapakah Pelayan Dalam yang sebenarnya. Apakah mereka memiliki kemampuan memasak, membawa nampan untuk menghidangkan suguhan atau sekedar terkantuk-kantuk di serambi Kesatrian. Atau kemampuan sebagai seorang laki-laki. Seorang Kesatria yang sanggup melindungi orang-orang yang lemah dan melindungi kalian yang tinggal di Kesatrian.”

“Kenapa kami harus dilindungi? Kami memiliki kemampuan olah kanuragan. Sedang mereka hanyalah para pelayan. Bukan prajurit.” berkata salah seorang di antara mereka.

“Karena itu, marilah kita lihat apa yang dapat mereka lakukan” berkata Pangeran Kuda Pratama.

Beberapa macam pertanyaan telah timbul di hati anak-anak muda itu. Para bangsawan muda itu mulai menjadi jengkel. Mereka tidak tahu maksud Pangeran Kuda Pratama. Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Pratama lah yang kemudian seakan-akan tidak menghiraukan para bangsawan muda itu. Ia mulai bertepuk tangan. Seorang Pelayan Dalam telah datang mendekat dengan sebuah tombak pendek di tangan. Pelayan Dalam itu berdiri tegak di hadapan Pangeran Kuda Pratama.

“Mulailah” berkata Pangeran Kuda Pratama.

Pelayan Dalam itu mengangguk hormat. Kemudian membawa tombak pendeknya melangkah ke tengah-tengah arena di halaman belakang Kesatrian yang dikelilingi oleh anak-anak muda penghuni Kesatrian itu.

“He, apa yang akan dilakukannya?” teriak seorang bangsawan yang masih sangat muda.

“Dikiranya yang dibawanya itu galah jemuran pakaian” teriak yang lain.

Anak-anak muda itu tertawa. Mereka memang selalu melihat Pelayan Dalam yang bertugas di Kesatrian itu membawa senjata. Mereka pun tahu bahwa para Pelayan Dalam itu bertugas untuk berjaga-jaga dan melindungi istana dan isinya jika terjadi sesuatu. Tetapi mereka menganggap bahwa Pelayan Dalam bukan prajurit sebagaimana yang mereka ketahui. Kemampuan mereka tentu hanya sekedarnya saja. Tidak berkemampuan sebagaimana seorang prajurit.

Sekarang mereka melihat seorang Pelayan Dalam berdiri dengan tombaknya. Tombak yang setiap hari dibawanya hilir mudik di pintu-pintu gerbang Kesatrian. Namun Pelayan Dalam itu seakan-akan tidak mempedulikan teriakan-teriakan itu. Demikian pula Pangeran Kuda Pratama yang duduk tenang di tempatnya.

“Aku sudah lapar” teriak seorang bangsawan muda.

Yang terdengar adalah suara tertawa gemuruh. Namun dalam pada itu, Pelayan Dalam itu mulai menggerakkan tombaknya perlahan-lahan. Diputarnya tombaknya di sekitar badannya semakin lama semakin cepat. Kemudian Pelayan Dalam itu mulai mempermainkan tombaknya. Diperlihatkannya unsur-unsur gerak yang menarik dalam ilmu senjata khususnya tombak pendek. Tombak itu seakan-akan menangkis serangan yang datang, namun kemudian dengan satu putaran, tombak itu seakan-akan menggeliat dan tiba-tiba saja menusuk ke arah jantung lawannya.

Para bangsawan muda yang semula mentertawakan sikap Pelayan Dalam itu mulai terdiam. Mereka memang tidak mengira bahwa Pelayan Dalam itu mampu bermain-main dengan tombak yang setiap hari dibawanya kian kemari selama mereka bertugas.

Mereka yang sering lihat para prajurit yang bertugas diluar istana dan di longkangan-longkangan terpenting selalu menganggap bahwa prajurit itu memiliki kemampuan. Untuk bermain dengan senjatanya karena mereka seakan-akan telah menyatu dengan senjatanya itu. Tetapi mereka tidak menganggapnya demikian bagi Pelayan Dalam. Meskipun sejak para bangsawan itu masih berada di dalam dukungan pemomongnya, mereka sudah melihat kehadiran Pelayan Dalam, namun mereka kurang memahaminya. Dalam keadaan yang paling gawat sekalipun maka yang harus menanganinya adalah para prajurit. Bukan Pelayan Dalam.

Namun para bangsawan muda itu memang belum pernah mengalami sesuatu yang parah terjadi di Istana Singasari sejak mereka menyadari kehadiran mereka di istana itu. Karena itu, maka mereka belum pernah melihat betapa seorang Pelayan Dalam mempergunakan senjatanya untuk benar-benar bertempur untuk melindungi istana dan isinya. Di antara para penghuni Kesatrian itu memang masih ada yang teringat, bagaimana huru-hara melanda istana Singasari di saat-saat sebelum Sri Maharaja bertahta bersama adik sepupunya yang mendampinginya sebagai Ratu Angabaya.

Tetapi mereka tidak ingat lagi, apa yang dilakukan oleh para Pelayan Dalam. Yang mereka ingat meskipun sudah tidak jelas lagi, adalah adanya dua kelompok kekuatan yang bermusuhan. Orang-orang Sinelir dan orang-orang Rajasa. Para prajurit ternyata tidak dapat mengatasinya. Bahkan kelompok-kelompok itu yang ternyata berada dibawah perintah Sri Rangga Wuni dan Mahisa Cempaka telah berhasil menyingkirkan Tohjaya dari tahta Singasari, bahkan kemudian ternyata telah meninggal. Mereka tidak ingat, apa yang telah dilakukan oleh Pelayan Dalam Singasari.

Tetapi kemudian mereka melihat seorang Pelayan Dalam yang memperlihatkan kemampuan mereka dalam olahraga senjata. Tombak pendek ditangannya itu kemudian berputar seperti baling-baling. Melingkar, terayun, menebas dan mematuk dengan garangnya. Sementara kaki Pelayan Dalam itu berloncatan dengan tangkasnya.

Namun para bangsawan muda yang ada di Kesatrian itu menganggap bahwa hal itu hanyalah satu kebetulan saja. Tidak semua Pelayan Dalam mampu berbuat demikian. Bahkan mungkin seluruh Pelayan Dalam yang ada di Kesatrian itu hanya seorang saja yang dapat bermain senjata. Namun ternyata dugaan itu keliru. Ketika Pelayan Dalam itu selesai bermain tombak, maka telah memasuki arena dua orang Pelayan Dalam. Seorang bersenjata tombak dan seorang bersenjata pedang dan perisai di tangan kiri.

Setelah memberi hormat dan mendapat isyarat dari Pangeran Kuda Pratama, maka kedua orang Pelayan Dalam itu segera mempertunjukkan kemampuan mereka, mereka telah melakukan satu pertandingan yang mendebarkan. Seakan-akan mereka yang ujung-ujung-bertempur dengan mempergunakan senjata mereka yang ujung-ujungnya benar-benar tajam. Jika ujung-ujung senjata itu benar-benar menyentuh kulit maka kulit itu tentu akan terluka.

Namun kedua orang Pelayan Dalam itu ternyata cukup tangkas. Keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar. Menangkis dan menepis serangan lawan. Anak-anak muda yang tinggal di Kesatrian itu menjadi semakin tercenung di tempat mereka. Mereka tidak mengira bahwa para Pelayan Dalam itu mampu melakukan permainan seperti itu. Ternyata bahwa mereka juga memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit.

Karena itu, maka hati mereka memang menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang merasa sering melakukan kekasaran atas para Pelayan Dalam. Apalagi kemudian ketika Pelayan Dalam yang lain menunjukkan kemampuan mereka berdua. Bermain senjata di atas punggung kuda dan beberapa jenis ketangkasan yang lain. Sebenarnyalah para bangsawan muda itu benar-benar terpukau. Mau tidak mau mereka harus menghargai kemampuan para Pelayan Dalam itu.

Namun dalam pada itu, sekelompok bangsawan yang berada di sudut justru agak di belakang telah saling berbisik. Seorang di antara mereka adalah seorang bangsawan muda yang memiliki kelebihan dari para bangsawan yang lain. Anak muda itu dianggap sebagai anak muda yang memiliki kemampuan tertinggi di antara mereka. Anak muda yang paling disegani oleh anak-anak muda seisi Kesatrian itu.

Para bangsawan yang ada di sekitarnya, yang menjadi berdebar-debar tetapi juga merasa tersinggung melihat kemampuan para Pelayan Dalam itu telah menggelitik bangsawan muda yang dianggap memiliki kemampuan tertinggi itu.

“Kita harus menunjukkan bahwa yang mereka lakukan itu bukan satu hal yang mustahil” berkata salah seorang di antara mereka.

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya anak muda yang sebelumnya dianggap anak muda yang memiliki kemampuan tertinggi di Kesatrian. Ia lah yang telah memukul seorang di antara Pelayan Dalam yang baru saja bertugas di Kesatrian itu.

“Turunlah ke gelanggang. Tantanglah Pelayan Dalam yang ilmunya tertinggi. Jika kau mengalahkannya, maka yang lain tidak akan berani menyombongkan dirinya dengan bermain-main dihadapan kita seperti yang mereka lakukan itu.”

Bangsawan muda itu memang menjadi ragu-ragu. Ia melihat bahwa para Pelayan Dalam yang juga masih muda itu memang memiliki kemampuan yang mantap. Tetapi karena para bangsawan muda yang lain selalu menggelitiknya, maka akhirnya bangsawan muda itu pun bangkit berdiri dan berteriak, “Cukup. Hentikan permainan yang tidak berarti itu.”

Pangeran Kuda Pratama berpaling ke arah suara itu. Ia melihat bangsawan muda yang telah bangkit berdiri itu. Pangeran Kuda Pratama menarik nafas dalam-dalam. Ia memang berharap bahwa para bangsawan muda itu merasa tersinggung dan mencoba untuk menjajagi kemampuan para Pelayan Dalam itu. Karena itu, maka Pangeran Kuda Pratama itu pun berkata, “Marilah. Kemarilah. Katakan sekali lagi, apa yang kau kehendaki atas para Pelayan Dalam itu.”

Bangsawan muda itu melangkah maju. Beberapa orang yang lain telah mendorongnya sambil berdesis, “Lakukan. Lakukan. Tantang yang terbaik di antara mereka.”

Bangsawan muda itu memang melangkah maju mendekati Pangeran Kuda Pratama. Katanya, “Paman. Hentikan permainan yang tidak berarti apa-apa itu. Untuk apa sebenarnya mereka melakukan itu? Apakah mereka sekedar menyombongkan diri atau apa? Jika saja yang dipertunjukkan itu pantas ditonton dengan bobot yang cukup tinggi, maka kami akan berterima kasih. Setidaknya kami akan mendapatkan pengalaman baru dalam olah kanuragan. Tetapi yang mereka lakukan sama sekali tidak memberikan kesan apapun bagi kami yang sudah mendalami olah kanuragan.”

“Kau benar ngger” berkata Pangeran Kuda Pratama, “tetapi ada di antara kalian yang masih belum memiliki kemampuan apa-apa. Bagi mereka apa yang telah dipertontonkan itu akan sangat berarti.”

“Paman” berkata bangsawan muda itu, “aku ingin menunjukkan kepada para Pelayan Dalam, bahwa apa yang mereka lakukan itu bagi kami merupakan tontonan yang menjemukan.”

“Jadi kau akan mempertunjukkan dihadapan kami kemampuanmu olah kanuragan? Marilah, mulailah bermain di arena. Apakah kau memerlukan seorang kawan?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

“Ya.” jawab bangsawan muda itu, “aku memerlukan seorang kawan bermain. Pelayan Dalam yang terbaik di antara mereka.”

“Baiklah” berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian, “aku akan mempersilahkan Mahisa Pukat untuk menemani Sawung Kemara. Sawung Kemara yang telah menyadap dasar ilmu kanuragan, sehingga mungkin Sawung Kemara akan dapat menunjukkan arti dari olah kanuragan dan mungkin akan sangat berarti bagi para Pelayan Dalam.”

Mahisa Pukat yang disebut namanya telah melangkah maju dan berdiri dihadapan Pangeran Kuda Pratama. Sementara itu Sawung Kemara telah berdiri pula di arena. Sambil berdiri tegak menengadahkan dadanya, Sawung Kemara berkata, “He, apakah kau merasa bahwa kau pantas menemani aku dalam permainan ini?”

Mahisa Pukat yang sebelumnya telah mendapat ijin dan persetujuan dari Pangeran Kuda Pratama itu pun berkata, “Ya Pangeran. Aku sudah siap atas ijin Pangeran Kuda Pratama.”

Bangsawan muda itu mengerutkan dahinya. Ia menyadari bahwa dirinya masih belum diangkat dengan gelar Pangeran meskipun pada saatnya hal itu akan terjadi. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Wajahnya yang terangkat itu memandang berkeliling. Lalu katanya, “Baiklah. Tetapi jika terjadi sesuatu, itu bukan salahku. Aku sudah berusaha memperingatkanmu,”

“Terima kasih atas peringatan Pangeran. Tetapi bukankah aku ingin sekedar menambah pengetahuanku untuk memantapkan tugasku. Justru karena aku bertugas di Kesatrian.”

“Baiklah. Marilah. Kita akan bermain-main tanpa senjata. Tetapi jika kulitmu tidak cukup liat, maka jari-jariku akan dapat mengoyak perutmu.” berkata Sawung Kemara.

“Aku mohon agar hal seperti itu tidak terjadi. Bukankah kita sekedar bermain-main?” berkata Mahisa Pukat.

“Tetapi kadang-kadang kau mampu melindungi dirimu atau tidak. Jika kau merasa tidak, maka sebaiknya kita urungkan permainan ini, agar aku tidak dipersalahkan telah menganiaya seorang Pelayan Dalam meskipun terjadi dihadapan banyak saksi.”

“Aku akan mencoba melayani Pangeran” jawab Mahisa Pukat.

Namun para bangsawan muda itu terkejut. Ternyata, di halaman belakang Kesatrian itu telah hadir orang-orang yang tidak diduga sebelumnya. Sesaat sebelum Mahisa Pukat melayani Sawung Kemara, beberapa orang Pelayan Dalam yang tidak bertugas di Kesatrian itu datang. Seorang di antara mereka yang berdiri di paling depan berdiri tegak beberapa langkah dari Pangeran Kuda Pratama sambil bekata, “Ratu Angabaya berkenan hadir untuk menghormati Pangeran Kuda Pratama.”

“Ratu Angabaya?” bertanya Pangeran Kuda Pratama.

“Ya” jawab Pelayan Dalam, “Ratu Angabaya telah berada di pintu gerbang halaman belakang Kesatrian.”

Pangeran Kuda Pratama pun segera bangkit dan menyongsong Ratu Angabaya yang kemudian memasuki halaman belakang Kesatrian. “Aku ingin menyaksikan peringatan sewindu kehadiran Pangeran Kuda Pratama di Kesatrian untuk mengemban tugasnya.” berkata Ratu Angabaya.

“Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Ratu Angabaya” berkata Pangeran Kuda Pratama.

“Nah, sebaiknya acara ini dilanjutkan. Aku tidak akan mengganggu” berkata Sri Mahisa Cempaka yang bergelar Narasimha itu.

Suasana di halaman belakang Kesatrian itu telah berubah. Semuanya menjadi diam bagaikan membeku. Mahisa Pukat masih saja berdiri tegak. Demikian pula Sawung Kemara.

“Bukankah kalian ingin bermain bersama?” bertanya Ratu Angabaya

Hampir di luar sadarnya Mahisa Pukat pun mengangguk hormat. Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Hamba tuanku. Hamba ingin mendapatkan pengalaman baru dari Pangeran Sawung Kemara”

Ratu Angabaya itu tersenyum. Katanya, “Apakah kau anak Mahendra yang bernama Mahisa Pukat?”

“Hamba tuanku,” jawab Mahisa Pukat.

“Karena itu maka wajahmu mirip benar dengan wajah paman Mahendra.” berkata Ratu Angabaya. Namun katanya kemudian, “Silahkan. Aku ingin melihat kalian bermain-main untuk menggembirakan Pangeran Kuda Pratama.”

Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Namun ia pun segera mempersilahkan Ratu Angabaya Mahisa Cempaka yang bergelar Narashimha itu pun kemudian duduk di sebelah Pangeran Kuda Pratama sambil berkata, “Marilah. Mulailah. Aku ingin menyaksikannya.”

Para bangsawan muda yang lain pun benar-benar terdiam. Demikian pula Sawung Kemara pun menjadi berdebar-debar. Namun ada pula terpercik kegembiraan di hatinya bahwa Ratu Angabaya akan menyaksikan kemampuannya setelah ia berguru beberapa lama. Bahkan para bangsawan muda di Kesatrian itu menganggapnya sebagai seorang yang terbaik di antara mereka. Meskipun demikian ada juga sedikit keragu-raguan di hatinya setelah ia menyaksikan pameran ketrampilan para Pelayan Dalam sebelumnya. Karena ternyata mereka pun memiliki kemampuan.

Demikianlah atas isyarat Pangeran Kuda Pratama kedua orang yang telah berdiri di arena itu pun mempersiapkan diri. Mahisa Pukat yang sudah jauh lebih matang dari bangsawan muda itu telah bersiap untuk sekedar melayani saja. Meskipun demikian bangsawan muda itu kemudian harus merasa bangga kemampuannya tidak melampaui kemampuan para Pelayan Dalam. Jika para Pelayan Dalam lebih banyak mengalah, itu karena kedudukannya yang memaksanya berbuat demikian meskipun sebenarnya hatinya tidak ikhlas.

Sejenak kemudian, maka kedua orang di arena itu telah mulai bergeser. Bangsawan muda itu mulai menyerang, sementara Mahisa Pukat berkisar menghindar. Namun Sawung Kemara itu telah memburunya dengan serangan beruntun. Mahisa Pukat sama sekali tidak tergetar oleh serangan-serangan itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan menghindar. Meskipun serangan Sawung Kemara menjadi semakin cepat. Namun serangan-serangan itu tidak ada yang berhasil menyentuh tubuh Mahisa Pukat.

Untuk mengimbangi serangan-serangan itu, maka sekali-sekali Mahisa Pukat pun telah menyerangnya. Tidak untuk menembus pertahanan Sawung Kemara, tetapi sekedar untuk memberikan imbangan agar permainan itu tidak menjadi berat sebelah dan menjemukan.

Dengan demikian maka untuk beberapa saat permainan itu memang nampak seimbang. Keduanya saling menyerang dan menghindar. Para bangsawan muda itu pun menjadi tegang seakan-akan mereka melihat pertempuran yang sebenarnya dari dua orang yang memiliki kemampuan seimbang. Namun Pangeran Kuda Pratama masih saja tersenyum-senyum. Ia melihat apa yang sebenarnya terjadi. Demikian pula beberapa orang Pelayan Dalam yang berpengalaman yang mengantar Ratu Angabaya turun ke Kesatrian. Apalagi Ratu Angabaya itu sendiri. Ia tahu pasti apa yang sedang terjadi di arena itu.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat telah membiarkan lawannya yang muda itu berbuat apa saja. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat memancing agar lawannya bertanding semakin sengit. Loncatan-loncatannya menjadi semakin cepat dan panjang, apalagi Sawung Kemara berusaha untuk secepatnya dapat mengalahkan Pelayan Dalam yang dianggapnya terlalu sombong itu. Tetapi usahanya itu seakan-akan selalu sia-sia. Serangannya tidak pernah menyentuh sasaran. Sementara itu Pelayan Dalam itu masih saja berloncatan dengan tangkasnya.

Sawung Kemara mulai menjadi gelisah ketika. Usahanya sama sekali tidak berarti. Serangan-serangannya sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh Mahisa Pukat, sementara Mahisa Pukat masih tetap segar sebagaimana saat mereka mulai bertanding. Keringat semakin deras mengalir dari lubang-lubang kulit Sawung Kemara. Sejalan dengan itu, maka tenaganya pun mulai menjadi susut, sementara Mahisa Pukat masih saja memancing untuk bertanding pada jarak yang panjang.

Ketika nafasnya mulai menjadi terengah-engah, maka Mahisa Pukat mulai menggelitiknya dengan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya. Meskipun sentuhan-sentuhan itu tidak menyakitinya, tetapi sentuhan-sentuhan itu sangat menggelisahkan. Mahisa Pukat justru mengisyaratkan bahwa sentuhan-sentuhan itu semakin lama terasa menjadi semakin keras. Ketika tiga ujung jari Mahisa Pukat yang merapat menyentuh pundaknya, maka Sawung Kemara itu terdorong beberapa langkah surut sambil menyeringai menahan sakit yang mulai menyengat.

Tetapi Mahisa Pukat tidak memburunya. Ia justru berdiri tegak dengan kaki renggang menunggu Sawung Kemara memperbaiki kedudukannya yang goyah. Sawung Kemara memang segera mempersiapkan diri. Namun kegelisahannya semakin mencengkam jantungnya.

Mahisa Pukat memang tidak segera menyerang. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat, sementara Sawung Kemara menjadi semakin gelisah. Mahisa Pukat yang menjadi semakin dekat itu seakan-akan memandanginya dengan mata yang memancarkan api dendam yang menyorot ke wajahnya. Sementara itu suara langkahnya bagaikan derap gunung yang bergetar mendekatinya. Ia sama sekali tidak melihat bahwa Mahisa Pukat justru tersenyum kepadanya. Langkahnya perlahan-lahan untuk memberi kesempatan kepada Sawung Kemara mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Namun semakin dekat wajah Mahisa Pukat itu menjadi semakin mengerikan. Seperti seekor serigala yang menganga dengan taringnya yang tajam, matanya yang merah menyala serta lidahnya yang terjulur sambil menggeram. Sawung Kemara tiba-tiba kehilangan kendali atas dirinya. Kegelisahan dan bahkan ketakutan yang mencekam jantungnya membuatnya tidak berperhitungan lagi. Dengan serta merta Sawung Kemara itu berteriak nyaring sambil meloncat menerkam Mahisa Pukat. Ketakutan serta kecemasannya yang semakin besar membuatnya menjadi sangat garang.

Tetapi Mahisa Pukat tidak membentur serangan Sawung Kemara itu. Bahkan dengan cepat Mahisa Pukat menghindar sehingga terkaman Sawung Kemara tidak mengenai sasaran. Karena itu, justru bangsawan muda itu telah mengerahkan tenaga dan kemampuannya tanpa kendali, maka demikian terkamannya tidak mengenai sasaran, Sawung Kemara itu telah jatuh terjerembab.

Beberapa orang bangsawan muda yang menyaksikan permainan itu tidak dapat menahan tertawanya. Dengan serta merta mereka tertawa sambil bertepuk tangan. Namun ketika Sawung Kemara bangkit dan memandang berkeliling maka suara tertawa itu telah berhenti dengan sendirinya. Ketika Sawung Kemara memandang Ratu Angabaya, maka dilihatnya ia sedang tersenyum menyaksikannya. Demikian pula Pangeran Kuda Pratama.

Karena itu, maka Sawung Kemara itu pun menjadi semakin gelisah. Ternyata kemampuan para Pelayan Dalam itu jauh lebih tinggi dari yang diperkirakannya. Ia bukan saja melihat para Pelayan Dalam itu mempertunjukkan kemampuan mereka, tetapi ia sendiri sudah mencobanya. Namun ternyata bahwa kemampuannya agaknya dianggap tidak berarti apa-apa. Pelayan Dalam yang bernama Mahisa Pukat itu masih saja tetap tegar dan bahkan keringatnya seakan-akan sama sekali tidak mengembun dari lubang-lubang kulitnya.

Ternyata Pangeran Kuda Pratama melihat kesulitan bangsawan muda itu. Ia pun tidak berniat untuk mempermalukannya dihadapan banyak orang. Ia pun mengetahui bahwa Mahisa Pukat pun sama sekali tidak berniat untuk menyombongkan diri. Jika permainan itu dilakukan, semata-mata karena Mahisa Pukat ingin menempatkan kedudukan Pelayan Dalam pada tempat yang sewajarnya dihadapan para bangsawan muda itu.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Pratama itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Sudahlah. Permainan ini kita hentikan. Sudah terlalu lama kita duduk di sini, sementara hidangan telah disiapkan. Nah, siapa yang tidak setuju jika hidangan yang sudah siap itu disuguhkan sekarang.”

Hampir serentak anak-anak muda itu menyahut, “Setuju paman, setuju.”

Perhatian anak-anak muda itu dengan cepat beralih. Mereka kemudian telah berpaling dari arena itu ke hidangan yang telah disiapkan. Meskipun demikian, apa yang telah terjadi di arena itu bukannya tidak berkesan sama sekali.

Ketika kemudian beberapa orang pelayan menghidangkan minuman dan makanan, maka sambil makan bangsawan muda itu mulai merenung. Mereka mulai menilai penglihatan mereka pada permainan-permainan yang telah dilakukan di arena. Ketika seorang Pelayan Dalam memperagakan kemampuannya dalam olah kanuragan, olah senjata dan bahkan di punggung kuda. Kemudian permainan yang sudah dilakukan antara Sawung Kemara dan Mahisa Pukat.

Bagaimanapun juga mereka yang menyaksikan permainan itu mengerti, bahwa Sawung Kemara tidak mampu menundukkan Mahisa Pukat, meskipun mereka tidak melihat bahwa Mahisa Pukat mampu mengalahkan Sawung Kemara, namun setidak-tidaknya Sawung Kemara tidak dapat menang pula atas Mahisa Pukat.

Kehadiran Ratu Angabaya, yang sebenarnya memang sudah dihubungi oleh Pangeran Kuda Pratama, membuat peristiwa itu semakin membekas di hati para bangsawan muda. Ternyata Ratu Angabaya menyaksikan langsung betapa para Pelayan Dalam memiliki kemampuan jauh lebih baik dari bangsawan muda yang berada di Kesatrian. Bahkan pada kesempatan berikutnya, setelah bangsawan-bangsawan muda yang berada di Kesatrian itu selesai makan dan minum bersama-sama, Ratu Angabaya menganjurkan agar mereka meningkatkan kemampuan mereka

“Kalian dapat belajar kepada Mahisa Pukat. Pelayan Dalam yang Mahisa muda.” berkata Ratu Angabaya, “kecuali kalian yang masih berguru kepada beberapa orang guru yang sudah ditunjuk bagi kalian. Tetapi Mahisa Pukat setidak-tidaknya akan dapat menjadi kawan berlatih yang baik atas persetujuan guru kalian masing-masing. Pangeran Kuda Pratama akan dapat membicarakannya dengan guru kalian.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Kebanyakan dari mereka memang sedang berguru. Ada tiga orang guru yang ditunjuk bagi para bangsawan muda itu. Namun, masih ada dua orang di antara mereka yang belum mulai berguru. Mereka baru saja melewati usia dua belas tahun. Mereka pun termasuk penghuni baru di Kesatrian.

Demikianlah, maka untuk beberapa saat lamanya Ratu Angabaya masih saja berada di halaman belakang Kesatrian bersama-sama para penghuni Kesatrian. Ternyata bersama Ratu Angabaya para bangsawan muda itu sempat bergembira bersama-sama. Sikap yang diam membeku sejak kehadirannya, perlahan-lahan dapat dipecahkan karena sikap Ratu Angabaya itu sendiri. Tetapi, kegembiraan itu tidak berlangsung terlalu lama. Ratu Angabaya itu pun kemudian minta diri meninggalkan Kesatrian.

Ketika acara-acara itu pun selesai, maka sikap penghuni Kesatrian terhadap para Pelayan Dalam itu pun telah menjadi berubah. Mereka tidak lagi menganggap bahwa para Pelayan Dalam itu tidak lebih dari para Pelayan yang dapat diperlakukan sekehendak hati para bangsawan muda itu. Justru karena mereka mengetahui bahwa para Pelayan Dalam itu memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit, maka mereka pun menjadi agak segan karenanya.

Sementara itu, yang dikatakan oleh Ratu Angabaya tentang Mahisa Pukat memang telah menimbulkan pikiran baru bagi Pangeran Kuda Pratama. Dua orang penghuni Kesatrian yang masih baru itu masih belum mulai berguru kepada salah satu di antara tiga orang guru yang ditunjuk bagi para bangsawan muda itu. Karena itu, maka Pangeran Kuda Pratama telah berbicara dengan Mahisa Pukat, apakah ia bersedia untuk menjadi orang keempat yang memberikan tuntunan oleh kanuragan bagi kedua orang bangsawan muda itu.

“Tetapi bukanlah tugasku hanya sementara di Kesatrian?” bertanya Mahisa Pukat, “setiap saat aku dapat dipindahkan ke tempat yang lain.”

“Meskipun kau dipindahkan, tetapi tugasmu tentu masih di sekitar istana ini saja. Kau tidak akan bertugas di tempat lain karena kau seorang Pelayan Dalam. Jika Sri Maharaja atau Ratu Angabaya setuju, maka kau akan dapat ditetapkan menjadi salah seorang guru di Kesatrian. Itu kalau kau tidak berkeberatan.”

“Tentu saja aku akan menjalankan segala perintah. Tetapi agaknya hal itu akan dapat menghambat tugas-tugasku sebagai Pelayan Dalam. Sebagai seorang guru, maka waktuku tentu terikat karena di saat-saat yang telah ditetapkan aku harus berada di sanggar. Sementara itu setiap saat aku akan dapat menerima perintah yang harus aku jalankan pula. Jika waktu itu berhimpitan maka aku akan mengalami kesulitan. Sebagai seorang guru aku harus berada di tempat sesuai dengan waktu yang telah aku tetapkan sendiri. Jika aku tidak ada di tempat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan itu, maka murid-muridku pun tidak akan menghargai ketentuan-ketentuan itu. Bahkan ketentuan-ketentuan yang lain pula.”

Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bagaimana pendapatmu jika Manggala Pelayan Dalam, Gajah Saraya kemudian membebaskanmu dari tugas-tugas yang lain dan mengangkatmu menjadi pelatih khusus bagi kedua orang anak muda yang masih belum terlanjur diserahkan kepada orang lain itu.”

“Pangeran” berkata Mahisa Pukat kemudian, “sebenarnyalah bagaimana menurut pendapat Pangeran. Apakah aku pantas untuk menjadi guru dari kedua orang bangsawan muda itu?”

“Aku sudah mendengar beberapa tentang kau, Mahisa Pukat. Aku kenal baik dengan ayahmu, Ki Mahendra. Aku kenal baik dengan Arya Kuda Cemani. Aku pun tahu meskipun hanya dari pemberitahuan orang lain, apa yang pernah terjadi antara kau dan Senapati Sawungtuwuh. Juga yang telah kau lakukan atas Empu Damar. Karena itu, maka menurut pendapatku, kau memiliki kemampuan untuk menjadi salah seorang guru bagi para anak-anak muda penghuni Kesatrian ini. Lebih dari itu, kau akan dapat memberikan tuntunan bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga olah kajiwan.”

Mahisa Pukat hanya dapat menundukkan kepalanya. Ternyata Pangeran Kuda Pratama sudah mengetahui banyak sekali tentang dirinya Mahisa Pukat sama sekali tidak menyadari, bahwa Pangeran yang bertugas di Kesatrian itu menaruh perhatian demikian besarnya kepadanya. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak dapat mengelak lagi. Nampaknya Pangeran Kuda Pratama benar-benar berniat untuk menempatkannya di Kesatrian bukan saja sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam, tetapi juga sebagai seorang guru bagi kedua orang bangsawan muda yang masih belum mulai berguru. Karena itu maka Mahisa Pukat itu pun kemudian menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan Pangeran Kuda Pratama.

Namun persoalan lain yang tidak pernah diduga sebelumnya telah terjadi. Rencana untuk menempatkan Mahisa Pukat bukan saja sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam, tetapi juga sebagai guru itu telah menimbulkan persoalan pada tiga orang guru yang telah lebih dahulu ada di Kesatrian. Apalagi ketika murid-murid mereka menceriterakan bahwa para Pelayan Dalam itu memiliki kemampuan yang tinggi dan bahkan Sawung Kemara tidak mampu mengalahkan seorang di antara para Pelayan Dalam itu.

Empu Kamenjangan, guru Sawung Kemara yang mendengar ceritera tentang pertandingan itu menggeram, “Licik sekali. Anak itu masih terlalu hijau untuk dinilai dari sisi olah kanuragan.”

Apalagi ketika Empu Kamenjangan itu mengetahui bahwa Pelayan Dalam yang bertanding melawan Sawung Kemara adalah Pelayan Dalam yang diusulkan untuk membimbing dua orang bangsawan yang masih sangat muda di antara para bangsawan yang ada di Kesatrian itu. Dengan nada marah Empu Kamenjangan berkata, “Anak yang baru mampu mengimbangi Sawung Kemara itu sudah dianggap mumpuni dan diusulkan untuk menjadi guru dari kedua orang bangsawan muda yang baru tumbuh itu.”

Kedua orang guru yang lain, yang bersama-sama dengan Empu Kamenjangan membimbing para bangsawan muda itu sependapat dengan Empu Kamenjangan, bahwa Pelayan Dalam itu dianggap masih belum waktunya untuk menjadi salah seorang guru bagi kedua orang bangsawan yang masih terlalu muda itu.

“Keduanya adalah anak yang baik, yang memiliki hari depan yang cerah jika mereka berada dibawah bimbingan tangan yang baik. Karena itu, aku merasa berkeberatan jika keduanya akan dibimbing oleh Pelayan Dalam yang baru datang dan memiliki kemampuan seimbang dengan Sawung Kemara.”

Ternyata keberatan Empu Kamenjangan itu benar-benar disampaikan kepada Pangeran Kuda Pratama. Empu Kamenjangan menganggap bahwa pengusulan Mahisa Pukat itu terlalu tergesa-gesa.

“Tetapi kedua anak itu sudah semakin besar. Ia tumbuh menjadi remaja yang harus meninggalkan dunia anak-anaknya.”

“Pangeran benar,” jawab Empu Kamenjangan, “keduanya memang harus mulai. Yang kami maksudkan dengan tergesa-gesa bukan kapan keduanya harus mulai. Tetapi penunjukkan Pelayan Dalam itu. Apakah tidak ada orang lain yang lebih baik dari Pelayan Dalam itu? Apakah di antara kami bertiga tidak mampu membimbing kedua orang bangsawan muda itu sehingga harus ditunjuk orang lain yang masih diragukan kemampuannya?”

Pangeran Kuda Pratama menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mungkin menyebut apa saja yang telah dilakukan oleh Mahisa Pukat, karena hal itu tentu tidak diinginkan oleh Mahisa Pukat sendiri yang kemudian dikenalnya sebagai seorang yang rendah hati. Tetapi Pangeran Kuda Pratama itu harus menjawab Katanya, “Empu Kamenjangan. Kedua anak-anak itu masih melangkah pada tataran permulaan. Seandainya Mahisa Pukat masih belum mempunyai kemampuan cukup tinggi bukankah apa yang dimilikinya itu sudah cukup bagi kedua anak-anak itu?”

“Pangeran” jawab Empu Kamenjangan, “justru keduanya masih sedang tumbuh. Keduanya memerlukan tuntutan yang terbaik agar landasan yang tersusun dalam diri mereka adalah landasan yang terkuat bagi mereka. Apalagi menurut pengamatan kami, kedua orang bangsawan muda itu memiliki dasar yang sangat kuat, sehingga jika mereka mendapatkan bimbingan yang terbaik, maka keduanya akan dapat menjadi orang yang terbaik pula.”

Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Aku sependapat Empu. Tetapi biarlah kami mencobanya. Apakah Mahisa Pukat dapat melakukan tugasnya dengan baik atau tidak.”

“Kami sudah membicarakannya Pangeran. Kami meragukannya.”

Pangeran Kuda Pratama itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia sama sekali tidak ingin merubah niatnya untuk menyerahkan kedua orang anak yang sedang tumbuh itu kepada Mahisa Pukat. Keduanya harus tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan saja menjadi anak muda yang berlandaskan ilmu yang baik, tetapi juga sifat dan wataknya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Empu. Aku sudah berbicara dengan Ratu Angabaya dan bahkan sudah disampaikan pula kepada Sri Maharaja. Ternyata baik Ratu Angabaya maupun Sri Maharaja tidak berkeberatan untuk menyerahkan kedua bangsawan muda itu kepada Mahisa Pukat.”

“Tetapi, baik Ratu Angabaya maupun Sri Maharaja belum mengetahui siapakah Mahisa Pukat itu,” jawab Empu Kamenjangan.

“Ratu Angabaya menyaksikan permainan para Pelayan Dalam itu di halaman belakang Kesatrian,” jawab Pangeran Kuda Pratama.

“Sayang. Kami tidak mendapat kesempatan hadir waktu itu. Seandainya saja kami hadir, mungkin kami dapat memberikan pendapat kami lebih terperinci tentang Pelayan Dalam itu” berkata Empu Kamenjangan.

Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Tetapi aku dan Ratu Angabaya hadir waktu itu. Kami melihat apa yang dilakukan oleh para Pelayan Dalam termasuk Mahisa Pukat.”

“Jika saja kami juga melihatnya” desis Empu Kamenjangan.

“Apakah Empu tidak percaya kepadaku dan kepada Ratu Angabaya serta beberapa orang perwira Pelayan Dalam yang menyertai Ratu Angabaya waktu itu? Apakah Empu tidak mengakui bahwa aku dan Ratu Angabaya juga memiliki kemampuan olah kanuragan sebagaimana Empu Kamenjangan?”

Empu Kamenjangan terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan tergesa-gesa Empu Kamenjangan menjawab, “Tentu, tentu Pangeran. Pangeran dan Ratu Angabaya memiliki kemampuan yang tinggi.”

...Sepertinya ada bagian cerita yang terlewat di buku aslinya...

Ternyata semakin lama anak-anak yang masih terlalu muda itu pun semakin tertarik dengan permainan-permainan yang dilakukan bersama Mahisa Pukat. Bukan saja setiap pagi berlari-lari dan bekejaran di halaman belakang Kesatrian, tetapi Mahisa Pukat kadang-kadang telah membawa mereka keluar istana. Dengan ujud dan pakaian orang kebanyakan, keduanya kadang-kadang telah menempuh perjalanan yang agak panjang. Bahkan mendaki bukit-bukit kecil. Melihat alam yang luas dari lereng perbukitan. Satu hal yang jarang sekali mereka lakukan sebelumnya.

Ternyata alam itu sangat menarik bagi keduanya. Mahisa Pukat sering menceriterakan betapa luasnya alam ini. Terdiri dari ngarai, lembah, bukit-bukit dan bahkan gunung-gunung yang tinggi yang nampak dari kejauhan. Jauh di belakang cakrawala lautan yang luas terbentang seakan-akan tanpa tepi.

“Di malam hari kita melihat bintang-bintang di langit” berkata Mahisa Pukat.

“Menarik sekali” desis salah seorang dari kedua orang anak muda itu.

“Semakin kalian menjadi besar, maka harus semakin banyak yang kalian lihat. Bukan saja alam yang mengagumkan ini. Tetapi kalian juga harus semakin dekat dengan Pencipta Alam ini.” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Kedua bangsawan muda itu mengangguk-angguk. Ternyata alam telah memberikan kesan yang lain dari sekedar melihat istana, halaman yang dibatasi oleh dinding-dinding istana dan bilik-bilik yang dihiasi dengan perabot yang mahal.

Namun Mahisa Pukat tidak saja mengajak mereka melihat lembah dan lereng-lereng pegunungan yang hijau segar. Tetapi Mahisa Pukat juga mengajak kedua bangsawan muda itu memasuki padukuhan-padukuhan kecil. Mereka sempat melihat kehidupan rakyat Singasari. Melihat rumah-rumah bambu beratap ilalang. Anak-anak yang telanjang berlari-larian di sepanjang pematang mengejar kambing yang mereka gembalakan.

Kehidupan di padesan itu memang menimbulkan beberapa pertanyaan di hati bangsawan-bangsawan muda itu. Pakaian mereka yang kusut. Tubuh mereka yang kekurus-kurusan. Namun keduanya melihat wajah-wajah yang cerah anak-anak padesan yang duduk sambil meniup seruling di saat kambing dan lembu mereka makan rumput segar di ara-ara yang hijau.

“Ternyata kehidupan itu beraneka” desis salah seorang bangsawan muda itu.

“Ya” sahut yang seorang lagi, “di istana kita melihat segalanya seakan-akan hanya senada. Tetapi dalam kehidupan yang lebih luas kita melihat warna-warna yang berbeda-beda. Itulah yang menarik.”

“Dan jiwa kita pun akan menjadi semakin kaya. Pandangan kita akan luas karena penglihatan kita juga semakin banyak dan beraneka itulah” sahut Mahisa Pukat.

Keduanya justru menjadi semakin senang bergaul dengan Mahisa Pukat. Bahkan kadang-kadang tanpa mengatakan siapa mereka sebenarnya, Mahisa Pukat mengajak mereka berhubungan dengan orang-orang di padesan. Berbicara dengan mereka dan mengetahui serba sedikit seluk-beluk kehidupan mereka. Ternyata pengetahuan itu merupakan kelebihan bangsawan-bangsawan muda itu dari bangsawan-bangsawan yang lain yang lebih tua.

Dengan pandangan yang lebih luas dan beraneka itulah, maka permainan kedua anak itu pun menjadi berkembang. Mereka memiliki ketrampilan mendaki lereng-lereng perbukitan. Menuruni lembah-lembah yang terjal. Kaki mereka pun menjadi semakin kuat dan telapak kaki mereka menjadi menebal.

Selain mengamati, memanjat dan menuruni lereng dan lembah-lembah pegunungan, maka mereka pun diajak oleh Mahisa Pukat untuk memperhatikan berjenis-jenis binatang di tepi-tepi hutan. Mereka sempat melihat bagaimana seekor kera dengan terampil memanjat pepohonan. Seekor kelinci yang berlari dengan cepat menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar menghindari duri-duri tajam. Seekor anak kambing yang berloncatan dan berlari-lari di lereng bukit saling mengejar. Seekor ular yang dengan diam-diam dan licik mengintai mangsanya menyusup tanpa menimbulkan keributan.

Mereka juga memandang dan mengamati burung-burung di langit. Burung sikatan yang lincah dengan cekatan. Burung srigunting yang mampu menantang dan melawan burung-burung yang lebih besar dan kuat. Burung bangau yang lamban tetapi sangat sabar menanti mangsanya sambil berdiri di sebelah kakinya di pinggir rawa-rawa. Ternyata semuanya itu tidak pernah diperhatikan oleh bangsawan-bangsawan yang lain di Kesatrian.

Tetapi Mahisa Pukat juga menganjurkan agar kedua orang muridnya itu mengikuti kegiatan yang dilakukan di Kesatrian. Keduanya juga belajar menari seperti yang lain. Belajar unggah-ungguh sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka, meskipun sebagian dari anak-anak muda itu hanya mengetrapkannya dalam pertemuan-pertemuan resmi atau jika mereka menghadap di istana, karena apa yang mereka lakukan sehari-hari di Kesatrian diluar pengamatan Pangeran Kuda Pratama sama sekali tidak lagi mengingat unggah-ungguh dan tatanan yang seharusnya berlaku.

Meskipun demikian, ternyata kedua orang anak yang baru memasuki masa remajanya itu menjadi agak asing dari anak-anak muda penghuni Kesatrian yang lain. Justru karena keduanya berada dalam asuhan seorang guru yang lain dengan mempergunakan cara yang lain pula dalam menuntun kedua murid-muridnya itu. Kedua orang remaja itu memang merasa keterasingan mereka. Keduanya jarang sekali terlibat dalam kegiatan-kegiatan bersama dengan para penghuni Kesatrian yang lain. Mereka kadang-kadang sengaja ditinggalkan dan tidak diajak serta apabila para penghuni Kesatrian itu melakukan sesuatu.

Ketika hal itu mereka sampaikan kepada Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat pun menasehatkan kepada mereka, agar mereka bersabar dan berusaha mengikuti semua kegiatan sebanyak-banyaknya.

“Jika kita tidak menjauhi mereka, maka pada suatu saat mereka pun tidak akan memencilkan kita. Mereka tahu bahwa kita sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap mereka” berkata Mahisa Pukat.

Kedua remaja itu memang sudah terlanjur terikat pada Mahisa Pukat. Karena itu, maka mereka percaya kepada gurunya yang masih muda itu.

Sementara itu, dengan tugasnya yang baru Mahisa Pukat menjadi semakin sibuk. Ia tidak saja memimpin sekelompok Pelayan Dalam yang masih baru, tetapi juga harus menuntun dua orang remaja di Kesatrian itu. Tugas yang bukan sekedar main-main, karena ia harus mempertanggung jawabkan hasilnya kelak. Kedua remaja itu harus tumbuh dan berkembang menjadi remaja yang baik dan memenuhi keinginan para bangsawan di istana Singasari. Setidak-tidaknya keduanya harus memiliki kemampuan seimbang dengan yang lain, yang berguru tidak kepada Mahisa Pukat.

Dengan tugas rangkapnya itu, maka kesempatan Mahisa Pukat untuk meninggalkan Kesatrian menjadi semakin sempit. Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu ia dapat pulang ke rumah menemui ayahnya dan bahkan juga sekali-sekali sempat menemui Sasi di rumahnya.

Meskipun dengan demikian, Sasi menjadi jarang bertemu dengan Mahisa Pukat, namun Sasi merasa berbangga pula bahwa Mahisa Pukat bukan lagi anak muda yang hanya berlalu-lalang di jalan-jalan Kotaraja. Tetapi ia sudah mempunyai pegangan yang mapan. Meskipun tidak lebih dari seorang Pelayan Dalam, namun karena ia masih muda, maka kesempatan masih luas terbentang di hadapannya. Seandainya Mahisa Pukat mampu meniti kesempatan, maka ia tentu akan meningkat pada kedudukan yang lebih baik.

Dalam pada itu, setelah beberapa lama Mahisa Pukat telah mulai dengan dasar-dasar olah kanuragan yang meskipun tidak langsung, tetapi sudah lebih mengarah lagi. Kedua remaja itu diajaknya untuk bertanding kecepatan berlari. Kemudian meloncat setinggi-tingginya yang dapat mereka lakukan. Meloncat pula sejauh-jauhnya. Menggerakkan seluruh anggauta badannya dan menguasai tubuhnya sebaik-baiknya. Baru kemudian, mereka diperkenalkan dengan unsur-unsur gerak yang paling sederhana.

“Kalian tidak usah tergesa-gesa” berkata Mahisa Pukat, “kalian masih sangat muda sehingga kalian mempunyai kesempatan yang sangat luas”

Kedua remaja itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak mengeluh. Mereka lakukan semua petunjuk Mahisa Pukat sebaik-baiknya. Bagi Mahisa Pukat, kedua remaja itu memang berbeda dengan Mahisa Amping. Mahisa Amping yang pada dasarnya sudah ditempa sejak kanak-kanak oleh keadaan dan lingkungannya, maka ia memiliki beberapa kelebihan dari kedua remaja itu. Meskipun demikian kedua remaja itu pun akan dapat ditempa sehingga menjadi remaja yang memiliki kelebihan, karena pada dasarnya keduanya adalah remaja yang baik. Berbadan kokoh kuat dan berotak cerdas sehingga Mahisa Pukat jarang menemui kesulitan menghadapi keduanya.

Pada waktu-waktu selanjutnya, selain unsur-unsur gerak yang masih sederhana, Mahisa Pukat pun masih tetap membawa mereka ke tempat-tempat terbuka. Justru di alam terbuka itu mereka menemukan lebih banyak dari sekedar hilir-mudik di istana. Dalam waktu yang terhitung singkat, maka Mahisa Pukat telah dapat melihat perubahan pada kedua remaja tersebut. Tubuh mereka nampak menjadi semakin kuat. Gerak mereka menjadi cepat dan cekatan. Pernafasan mereka menjadi semakin teratur sementara tubuh mereka semakin dapat mereka kuasai dengan baik. Karena itu, maka ketika mereka harus mempelajari unsur-unsur gerak pada tataran selanjutnya, maka mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan.

Perubahan yang terjadi pada kedua remaja itu tidak luput dari perhatian ketiga orang guru anak-anak muda penghuni Kesatrian itu. Di dasar hatinya yang paling dalam mereka mengakui, bahwa perkembangan kedua orang remaja itu ternyata cukup memuaskan. Meskipun tidak meningkat dengan serta-merta. Namun ketiga orang guru anak-anak muda di Kesatrian itu telah menemui Pangeran Kuda Pratama untuk memberikan wawasan tentang kedua orang remaja itu.

“Mereka terlalu banyak bermain-main saja” berkata salah seorang dari mereka.

Namun Pangeran. Kuda Pratama menjawab, “Mereka sedang belajar sambil bermain. Tetapi permainan mereka sama sekali tidak bertentangan dengan jalur yang harus mereka jalani dalam menimpa ilmu kanuragan. Aku senang dengan cara yang dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Anak-anak itu sama sekali tidak merasa terpaksa berlatih di sanggar yang tertutup rapat dan pengab.”

Tanggapan Pangeran Kuda Pratama itu membuat Empu Kamenjangan dan kawan-kawannya menjadi semakin membenci Mahisa Pukat yang masih belum merasa kenal dengan baik itu. Menurut Empu Kamenjangan maka Mahisa Pukat ternyata telah mendapat tempat yang paling baik di antara para guru di Kesatrian. Meskipun Pangeran Kuda Pratama sudah menjelaskan kepada mereka, bahwa cara yang ditempuh oleh Mahisa Pukat itu memang masih selalu dalam pengamatan namun agaknya Pangeran Kuda Pratama cenderung menganggap bahwa cara Mahisa Pukat itu lebih baik dari cara guru-guru yang lain.

“Marilah kita lihat bersama-sama” berkata Pangeran Kuda Pratama, “jika ternyata kemudian Mahisa Pukat tidak berhasil dengan caranya, maka segala sesuatunya tentu perlu ditinjau kembali. Kami tentu juga tidak ingin mengorbankan kedua orang remaja yang sedang tumbuh itu.”

“Kasihan mereka” berkata Empu Kamenjangan, “mereka akan menjadi korban penjajagan kemampuan Mahisa Pukat.”

“Tentu sekarang kita belum dapat mengatakan demikian” jawab Pangeran Kuda Pratama, “sudah aku katakan. Aku senang dengan cara yang ditempuh Mahisa Pukat. Tetapi sudah tentu aku tidak akan melepaskan penilaian yang wajar. Karena persoalannya akan menyangkut masa depan dua orang remaja di Kesatrian ini.”

Empu Kamenjangan memang mengangguk-angguk. Tetapi di hatinya tersimpan kebencian yang semakin mendalam kepada Mahisa Pukat. Apalagi Mahisa Pukat mempergunakan cara yang lebih disenangi oleh Pangeran Kuda Pratama.

Bagaimanapun juga perasaan ketiga orang guru yang lain, namun Mahisa Pukat berjalan terus sebagaimana ia memulainya. Ia masih saja membawa murid-muridnya keluar dinding istana. Apalagi Empu Kamenjangan dan kedua orang guru yang lain seakan-akan tidak memberikan kesempatan untuk berlatih di sanggar. Hampir setiap saat sanggar itu tengah dipergunakan untuk berlatih dibawah bimbingan ketiga orang guru yang sudah lebih dahulu berada di Kesatrian.

Pangeran Kuda Pratama memperhatikan perkembangan tuntunan atas penghuni Kesatrian itu dengan saksama. Setidak-tidaknya ia melihat ketiga orang guru yang sebelumnya berada di Kesatrian itu bekerja lebih keras. Dengan demikian maka anak-anak muda di Kesatrian itu pun harus mengikuti perkembangan ketiga orang gurunya. Mereka juga berlatih lebih keras dari yang sudah mereka lakukan.

“Satu akibat yang baik dari kehadiranmu” berkata Pangeran Kuda Pratama kepada Mahisa Pukat.

“Ya Pangeran” jawab Mahisa Pukat.

“Meskipun setiap kali aku minta mereka meningkatkan latihan-latihan mereka setiap saat, tanpa ada dorongan seperti kehadiranmu, maka Empu Kamenjangan tentu tidak akan menjadi serajin sekarang” berkata Pangeran Kuda Pratama. Lalu katanya selanjutnya, “Dengan demikian maka kehadiranmu sudah memberikan arti tersendiri.”

Mahisa Pukat tersenyum sambil mengangguk hormat. Katanya, “Agaknya itu adalah arti terpenting dari kehadiranku di sini.”

Pangeran Kuda Pratama pun tertawa. Katanya, “Teruskan caramu. Aku senang. Mudah-mudahan kau berhasil.”

“Pangeran” berkata Mahisa Pukat, “setiap saat aku menunggu penilaian Pangeran atas cara yang aku lakukan. Jika cara itu salah, maka sebelum terlambat, aku harus merubahnya.”

“Sampai sekarang aku tidak melihat keberatannya. Namun agaknya kau juga harus sering mempergunakan sanggar itu. Bukankah waktunya sudah terbagi dengan baik.”

“Namun kami jarang sekali mendapat kesempatan itu. Hampir setiap saat sanggar itu terpakai. Bahkan saat-saat yang seharusnya kami pergunakan. Mungkin mereka tahu bahwa kami memang jarang mempergunakan sanggar itu. Tetapi di musim basah, maka kami memang harus berlatih lebih banyak di dalam sanggar.” berkata Mahisa Pukat.

“Karena itu sebaiknya waktu yang menjadi bagianmu kau pergunakan seperlunya, agar kesempatan itu tetap dapat kau pergunakan pada saat-saat mendatang. Jika waktumu sudah sering dipergunakan oleh orang lain, maka pada saatnya kau benar-benar tidak mempunyai kesempatan mempergunakan sanggar.”

Mahisa Pukat mengangguk kecil sambil menjawab, “Baik Pangeran. Aku akan melakukannya.”

Seperti petunjuk Pangeran Kuda Pratama, maka Mahisa Pukat pun mulai mengambil waktu yang diperuntukkan baginya sepenuhnya. Meskipun mula-mula sedikit menimbulkan persoalan, tetapi akhirnya ketiga orang guru yang lain harus mengikuti petunjuk waktu yang sudah disediakan. Sementara itu, pada kesempatan yang lain Mahisa Pukat masih tetap sering membawa kedua remaja itu keluar istana. Bahkan keluar Kotaraja.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat merasa sering terganggu oleh para penghuni Kesatrian yang sering memaksa untuk melihat kedua remaja itu berlatih di sanggar. Justru karena mereka baru mulai, maka unsur-unsur yang dipelajari oleh kedua remaja itu nampaknya memang masih terlalu sederhana, sehingga kadang-kadang para penghuni yang lain menganggap bahwa kemajuan yang dicapai oleh kedua remaja itu terlalu lamban.

Namun yang mereka lihat hanyalah ujud kewadagannya. Mereka tidak mengerti bahwa tenaga yang tersimpan di dalam unsur-unsur gerak itu jauh lebih berat dari yang dimiliki oleh anak-anak muda yang lain. Dalam pada itu, selain memberikan tuntunan kanuragan, ternyata Mahisa Pukat dapat pula membantu kedua remaja itu mempelajari ilmu yang lain. Mahisa Pukat dapat membantu kedua remaja itu mempelajari kesusastraan, ilmu hitung dan bahkan pengenalan pada tingkat pertama atas bintang-bintang dan musim.

Para penghuni Kesatrian itu selain mempunyai guru-guru dalam olah kanuragan, mereka juga diwajibkan berguru dalam ilmu-ilmu yang lain. Mereka mempelajari kesusastraan, ilmu hitung dan awal dari ilmu perbintangan dan musim serta macam-macam pengetahuan yang lain yang akan berarti sebagai bekal hidup mereka. Tetapi, anak-anak muda di Kesatrian itu sebagian besar tidak begitu tertarik kepada ilmu pengetahuan yang lain dari ilmu kanuragan. Meskipun mereka terpaksa mengikutinya juga pada waktu-waktu yang telah ditentukan, namun mereka lambat sekali memperoleh kemajuan.

Berbeda dengan mereka adalah kedua orang remaja yang kebetulan juga berguru kepada Mahisa Pukat. Karena Mahisa Pukat sendiri tertarik pada beberapa jenis pengetahuan itu, maka sambil meningkatkan pengetahuannya sendiri, Mahisa Pukat sering ikut menunggui kedua remaja itu belajar dan bahkan di saat-saat mereka menerima pelajaran dari guru mereka dalam bidang yang lain kecuali kanuragan.

Dengan demikian, maka justru Mahisa Pukat lah yang menjadi paling akrab dengan guru yang membimbing kedua remaja itu. Justru karena umurnya yang masih terlalu muda, maka keduanya mendapat waktu tersendiri meskipun dibawah bimbingan guru yang sama dengan anak-anak muda yang lain.

Namun karena kedua remaja itu seakan-akan selalu terpisah dari anak-anak muda yang lain, maka hubungan mereka dengan anak-anak muda penghuni Kesatrian itu rasa-rasanya tetap saja ada jarak. Bagaimanapun juga kedua remaja itu berusaha melarutkan diri dalam pergaulan di Kesatrian, namun mereka kadang-kadang memang sengaja ditinggalkan oleh yang lain.

Tetapi kedua orang remaja itu tidak menjadi berkecil hati. Meskipun mereka lebih muda dari yang lain, namun pandangan mereka menjadi lebih luas. Dada mereka seakan-akan menjadi lebih lapang, Cara berpikir mereka yang masih sangat muda itu justru lebih mapan.

Semuanya itu tidak terlepas dari pengamatan Pangeran Kuda Pratama. Namun Pangeran itu pun melihat pula, tiga orang guru yang telah lebih dahulu ada di Kesatrian itu ternyata menjadi semakin mendendam kepada Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Pukat sendiri nampaknya tidak banyak menghiraukan mereka. Tetapi, sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat juga menjadi semakin berhati-hati terhadap ketiga orang guru yang juga selalu datang bertugas di Kesatrian itu.

Namun, ternyata bahwa ketiga orang guru itu tidak ingin langsung menjajagi kemampuan Mahisa Pukat. Empu Kamenjangan telah berusaha untuk meminjam tangan saudara seperguruannya. Empu Sidikara.

“Jajagi kemampuan anak itu Empu” berkata Empu Kamenjangan kepada adik seperguruannya.

“Apakah aku harus menyelesaikannya kakang?” bertanya Empu Sidikara.

“Tidak. Aku hanya ingin tahu sejauh manakah kemampuannya dalam olah kanuragan. Ia telah diangkat pula menjadi salah seorang guru bagi penghuni Kesatrian Singasari. Bahkan Pangeran Kuda Pratama ternyata senang terhadap cara yang dipergunakannya selama ini. Cara yang berbeda dari cara yang kami pergunakan.”

“Hanya untuk menjajagi?” bertanya Empu Sidikara.

“Ya. Jadi kau sudah tahu tataran kemampuannya, maka biarlah ia tetap dalam tugasnya. Ukuran kemampuannya akan menentukan keberhasilannya atas kedua orang muridnya di Kesatrian.”

“Baiklah kakang” jawab Empu Sidikara.

“Anak itu sering membawa murid-muridnya keluar Kotaraja. Bahkan sampai ke lereng bukit-bukit kecil itu. Kau dapat mencari kesempatan untuk menemuinya.” pesan Empu Kamenjangan.

“Di hadapan kedua muridnya?” bertanya Empu Sidikara.

“Aku kira tidak ada salahnya. Biarlah muridnya menyadari, bahwa guru mereka sama sekali tidak berarti.” jawab Empu Kamenjangan.

“Baiklah. Aku akan menunggu kesempatan untuk dapat menemuinya di lereng bukit kecil itu. Aku akan membuatnya jera dan memaksanya mengakui kekurangannya.” berkata Empu Sidikara.

Demikianlah, maka Empu Sidikara itu memang berusaha untuk dapat memenuhi permintaan Empu Kamenjangan untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat. Seorang pemimpin kelompok Pelayan Dalam yang juga ditugaskan sebagai guru dalam ilmu kanuragan atas dua orang remaja di Kesatrian.

Beberapa hari Empu Sidikara memperhatikan bukit kecil itu. Namun akhirnya waktu yang dinantinya itu pun datang. Empu Sidikara melihat Mahisa Pukat berlari-lari bersama kedua orang muridnya ke lereng bukit di pagi-pagi sekali sebagaimana dikatakan oleh Empu Kamenjangan.

Dengan cepat Empu Sidikara telah menyusulnya ke lereng bukit. Ketika Mahisa Pukat mengajak kedua muridnya mengatur pernafasannya di lereng bukit, maka Empu Sidikara itu pun melangkah mendekati mereka. Untuk beberapa saat Empu Sidikara tidak berbuat sesuatu selain memperhatikan mereka bertiga.

...Sepertinya ada bagian cerita yang terlewatkan pada buku aslinya...

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin yakin bahwa orang itu tentu sedang membuat persoalan untuk dijadikan bibit pertengkaran. Namun Mahisa Pukat telah siap menghadapinya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak ingin menghindar. Meskipun demikian Mahisa Pukat tidak semata-mata menanggapi persoalan yang sedang ditumbuhkan oleh orang yang menyebut namanya Empu Sidikara itu.

Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, “Ki Sanak. Tentu aku tidak dapat menyanggupinya bahwa setiap hari aku membawa keduanya kemari. Aku tidak mempunyai wewenang mutlak atas keduanya. Berbeda dengan wewenang seorang guru atas murid-muridnya di sebuah padepokan. Aku diangkat sebagai seorang guru di Kesatrian. Karena itu maka wewenangku atas murid-muridku memang terbatas.”

“Jangan membuat bermacam-macam alasan. Aku memerlukan kedua anak muda itu. Kau harus membawanya setiap hari kemari. Keduanya pantas menjadi muridku.” sahut Empu Sidikara.

Mahisa Pukat berpaling kepada kedua orang remaja dari Kesatrian itu. Keduanya memang menjadi bingung sehingga keduanya justru mematung memperhatikan gurunya yang sedang berbicara dengan orang yang tidak dikenalnya tentang diri mereka.

Namun akhirnya Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Empu Sidikara. Kenapa kau tidak berterus-terang saja? Bukankah kau ingin menjajagi kemampuanku? Mungkin atas keinginanmu sendiri, tetapi mungkin pula atas permintaan orang lain. Kita sebelumnya tidak saling mengenal. Kita tidak mempunyai kepentingan apapun yang saling berkaitan apalagi berbenturan. Tiba-tiba saja kau datang untuk mengungkit tentang kedudukanku sebagai guru. Nah, sebodoh-bodoh orang tentu akan timbul pertanyaan di dalam dirinya. Apa sebenarnya yang kau kehendaki.”

Empu Sidikara pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku tidak akan ingkar. Tetapi kau tidak perlu tahu apa kepentinganku sebenarnya Aku memang ingin menjajagi kemampuanmu.”

“Nah, dengan demikian kau tidak membuat aku menjadi bingung dan berteka-teki. Demikian pula kedua orang muridku. Jika kau datang dan langsung menantangku, maka kedua orang muridku tentu akan senang karena mereka berkesempatan untuk melihat apa saja yang dapat dilakukan oleh gurunya”

Wajah Empu Sidikara menjadi tegang. Ternyata Pelayan Dalam muda yang juga diangkat menjadi guru di Kesatrian itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya. Agaknya anak muda itu memang terlalu yakin akan kemampuannya sehingga ia siap menghadapi siapa saja meskipun belum dikenalnya tingkat kemampuannya.

Justru karena itu, maka Empu Sidikara pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Mahisa Pukat. Apalagi menurut Empu Kamenjangan, Pangeran Kuda Pratama nampaknya sangat menghargai Pelayan Dalam yang masih muda itu.

Dengan nada berat Empu Sidikara itu pun berkata, “Anak muda. Jika demikian maka bersiaplah. Kita akan bermain-main sejenak. Mudah-mudahan kedua orang muridmu tidak menjadi ketakutan karena aku tidak bermaksud apa-apa selain menjajagi kemampuanmu dan memaksamu untuk mengakui, bahwa kau masih belum pantas untuk menjadi guru di Kesatrian.”

Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Kepada kedua orang bangsawan muda yang menjadi muridnya itu ia berkata, “Minggirlah. Aku akan bermain-main sebentar. Kalian tidak usah cemas. Empu Sidikara tidak akan berbuat apa-apa selain berniat untuk memaksa aku mengakui bahwa aku bukan seorang guru yang baik. Sedangkan aku akan bertahan dan memaksanya mengakui, bahwa aku memang pantas untuk menjadi seorang guru di Kesatrian Singasari.”

Kedua orang remaja penghuni Kesatrian itu termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Pukat pun telah mendorongnya menepi dan bahkan duduk diatas sebuah batu yang besar. Namun bagaimanapun juga kedua remaja itu menjadi tegang. Keduanya memang menganggap bahwa gurunya adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun menghadapi seorang yang sudah jauh lebih tua dan nampak sangat meyakinkan, keduanya menjadi cemas.

Sejenak kemudian Mahisa Pukat pun telah bersiap. Namun ia sadar, bahwa Empu Sidikara adalah seorang yang berilmu tinggi. Ia teringat kepada Empu Damar yang pernah dikalahkannya. Mungkin Empu Sidikara itu memiliki kemampuan sebagaimana Empu Damar atau bahkan lebih tinggi.

Tetapi seperti biasanya Mahisa Pukat tidak ingin mengalahkan lawannya dengan serta-merta. Ia ingin mengalahkan lawannya dengan ilmu yang hanya selapis lebih tinggi dari lawannya itu. Hanya jika sangat diperlukan ia terpaksa mempergunakan puncak kemampuannya.

Empu Sidikara pun kemudian telah bersiap pula. Keduanya berdiri pada jarak beberapa langkah. Empu Sidikara memang meragukan kemampuan Mahisa Pukat yang masih muda itu. Tetapi ia tidak ingin merendahkannya. Demikianlah, maka keduanya sudah bersiap untuk bertempur. Meskipun Empu Sidikara hanya ingin sekedar menjajagi, namun kemungkinan yang lebih gawat akan dapat terjadi.

Sejenak, kemudian maka keduanya pun mulai bergeser. Bahkan Empu Sidikara telah mulai memancing Mahisa Pukat. Mahisa Pukat yang meloncat selangkah surut telah menyerang pula. Namun serangannya seperti serangan Empu Sidikara masih belum berbahaya.

Kedua orang remaja dari istana Singasari itu menjadi semakin tegang. Mereka melihat gurunya mulai menghindar dan menyerang. Demikian pula orang yang bernama Empu Sidikara itu. Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat.

Kedua remaja yang memang sudah terikat pada Mahisa Pukat itu semakin mengagumi gurunya ketika ia melihat gurunya berloncatan dengan cepat. Namun mereka pun menjadi cemas juga karena lawan gurunya itu pun menjadi semakin garang.

Mahisa Pukat dan Empu Sidikara memang bergerak semakin cepat. Empu Sidikara yang nampaknya sangat meyakinkan itu mulai berusaha untuk mencari kelemahan Mahisa Pukat. Tetapi Empu Sidikara ternyata mulai menjajaginya dari tataran yang paling rendah. Dengan unsur-unsur gerak yang paling sederhana, bahkan unsur-unsur yang telah dikenal dengan baik oleh kedua murid Mahisa Pukat itu.

Mahisa Pukat memang agak tersinggung. Tetapi ia masih selalu mengendalikan dirinya. Ia masih saja melayani Empu Sidikara yang ingin menjajagi ilmunya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat yakin bahwa Empu Sidikara tentu mempunyai hubungan dengan salah seorang dari ketiga orang guru yang telah lebih dahulu berada di Kesatrian atau salah seorang daripada mereka. Bahkan mungkin sekali bahwa Empu Sidikara mempunyai hubungan dengan Empu Kamenjangan.

Justru karena Empu Sidikara mulai dari tataran yang paling rendah, maka Mahisa Pukat mampu melihat beberapa ciri yang khusus dari unsur gerak Empu Sidikara itu sama dengan unsur gerak yang dilihatkan pada unsur-unsur gerak Sawung Kemara. Karena itu, maka dugaan Mahisa Pukat bahwa Empu Sidikara mempunyai hubungan dengan Empu Kamenjangan menjadi semakin kuat.

Bahkan ketika Mahisa Pukat menjadi semakin yakin, ia pun berkata sambil menghindari serangan Empu Sidikara, “Empu. Aku pernah melihat unsur-unsur gerak sebagaimana Empu peragakan kali ini. Barangkali bagi Empu memang sekedar dasar-dasar dari ilmu yang Empu miliki. Namun justru karena itu, persamaan itu menjadi semakin jelas.”

“Aku tidak tahu maksudmu” sahut Empu Sidikara.

“Aku pernah bermain-main bersama Pangeran Sawung Kemara. Ternyata unsur-unsur gerak yang aku lihat pada Pangeran itu sama dengan dasar-dasar unsur gerak Empu Sidikara, justru karena Empu beranjak dari dasar ilmu yang Empu miliki. Sedangkan Pangeran Sawung Kemara adalah murid Empu Kamenjangan.”

“Jadi kau menganggap bahwa aku mempunyai hubungan dengan Empu Kamenjangan?” bertanya Empu Sidikara.

“Hanya dugaanku, berdasarkan pada pengamatanku atas ciri-ciri dari ilmu yang Empu miliki dan ilmu yang tumurun dari Empu Kamenjangan.” jawab Mahisa Pukat.

Empu Sidikara sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia justru meningkatkan ilmunya ke tataran yang lebih tinggi. Ia memang menyesal bahwa ia berangkat dari dasar ilmunya yang paling sederhana. Ia memang bermaksud memanaskan hati Mahisa Pukat yang masih muda itu. Jika hatinya terbakar, maka ia tentu akan segera berusaha dengan cepat mengalahkannya. Tetapi yang terjadi justru tidak demikian. Mahisa Pukat itu justru berusaha mengenali ciri-ciri dasar dari ilmu yang memang bersumber dari perguruan yang sama dengan Empu Kamenjangan.

“Tetapi itu tidak penting” berkata Empu Sidikara di dalam hatinya untuk menghapus perasaan kecewanya. “Yang penting aku dapat membuktikan bahwa anak itu tidak sepantasnya menjadi guru di Kesatrian Singasari.”

Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya itu pun semakin lama menjadi semakin meningkat. Empu Sidikara dengan cepat ingin menyembunyikan unsur-unsur dasar pada ilmunya sebagaimana yang dapat dilihat oleh Mahisa Pukat pada Pangeran Sawung Kemara. Namun persamaan itu sudah terlanjur dilihat oleh Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka keduanya pun bergerak semakin lama semakin cepat. Empu Sidikara lah yang kemudian merasa tidak perlu lagi mempermainkan perasaan Mahisa Pukat, karena ternyata hati anak muda itu tidak mudah terbakar. Meskipun masih muda, tetapi Mahisa Pukat itu mampu mengendalikan perasaannya dengan sebaik-baiknya. Getar perasaannya sama sekali tidak nampak mempengaruhinya ketika ia memanasinya dengan menjajagi kemampuan anak muda itu dari tataran yang paling rendah.

Bahkan sebaliknya, anak muda itu justru selalu mengimbanginya. Pada saat Empu Sidikara masih berada pada tataran terendah, Mahisa Pukat sama sekali tidak berusaha mendahuluinya dan menyelesaikannya dengan cepat. Tetapi Mahisa Pukat pun melawannya dengan landasan ilmunya dari tataran yang paling rendah pula.

“Hanya orang yang terlalu yakin akan kemampuannya yang dapat berbuat demikian” berkata Empu Sidikara di dalam hatinya.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, maka kedua orang remaja dari Kesatrian Singasari itu pun menjadi semakin bingung. Mereka mulai tidak mengerti atas apa yang terjadi. Mereka tidak tahu siapakah di antara keduanya yang terdesak dan mendesak. Yang mereka ketahui, keduanya berloncatan dengan cepat dan bahkan semakin keras pula. Benturan-benturan pun segera terjadi. Kadang-kadang Empu Sidikara terdesak mundur. Namun kemudian Mahisa Pukat lah yang harus bergeser surut. Serangan demi serangan telah dilontarkan dari kedua belah pihak. Dengan mata kecilnya kedua remaja itu mulai melihat bahwa serangan-serangan kedua belah pihak mulai menyentuh lawannya.

Tetapi ternyata bahwa hal itu tidak mudah dilakukannya. Mahisa Pukat pun masih juga mampu meningkatkan ilmunya sebagaimana Empu Sidikara itu sendiri. Karena itu, maka kegelisahan telah mecengkam jantungnya. Apalagi ketika ia sudah merambah ke ilmu puncaknya.

“Darimana anak iblis ini menyadap ilmunya” geram Empu Sidikara di dalam hatinya. Bagi Empu Sidikara, Mahisa Pukat selain merupakan anak yang baru lahir kemarin sore, juga merupakan orang baru di Kotaraja.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat memang terhitung belum begitu lama berada di Kotaraja sejak ia mengunjungi ayahnya dan terkait oleh seorang gadis sehingga ia tidak ikut kembali ke padepokannya. Ternyata anak muda yang sebelumnya tidak dikenalnya itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Dalam kegelisahannya itu, maka Empu Sidikara pun telah berteriak, “He, anak ingusan. Aku sekarang percaya bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi yang pantas kau pergunakan sebagai bekal untuk menyatakan kesediaanmu menjadi salah seorang guru di Kesatrian. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau akan mampu mengalahkan aku.”

“Aku tidak ingin mengalahkanmu, empu” jawab Mahisa Pukat, “yang aku lakukan adalah sekedar mempertahankan diri. Justru karena kau ingin menjajagi kemampuanku, maka kau harus sampai ke puncak. Karena jika tidak mau kau gagal melakukan penjajagan itu.”

Empu Sidikara menggeram. Ia merasa seakan-akan anak muda itu mulai merendahkannya. Agaknya ia merasa akan dapat bertahan sampai puncak kemampuannya. Karena itu, maka Empu Sidikara itu pun berkata, “Anak muda. Jika kau masih tetap bertahan sementara aku masih terus meningkatkan ilmuku, maka pada saat aku akan kehilangan pengendalian diri. Ilmuku akan mungkin menyakitimu. Bahkan mungkin melukaimu.”

“Jadi bagaimana sebaiknya menurut Empu. Apakah aku harus menyerah sampai di sini? Jika demikian Empu tentu akan menjadi tidak puas. Empu tidak akan dapat menilai hasil penjajagan yang Empu lakukan. Jika orang lain bertanya kepada Empu sampai dimana kemampuanku, maka Empu hanya akan dapat mengatakan bahwa sampai pada tataran ini anak muda itu belum dapat aku kalahkan."

Empu Sidikara itu menggeram. Dengan marah ia berkata, “Baiklah anak muda. Aku akan menjajagi kemampuanmu sampai tuntas. Tetapi jika karena itu kau mati, aku sama sekali tidak bertanggung jawab. Biarlah kedua bangsawan remaja itu menjadi saksi, bahwa kau sendirilah yang telah mendambakan kematianmu.”

“Tidak mPu. Sama sekali tidak. Aku sama sekali tidak ingin mati dalam pertandingan penjajagan ini. Sebenarnyalah mPu, karena Empu ingin menjajagi kemampuanku, telah timbul niat pula dihatiku untuk menjajagi kemampuan Empu Sidikara. Bahkan mungkin aku juga ingin mengetahui tataran kemampuanku” jawab Mahisa Pukat.

“Ternyata kau memang sombong. Baiklah. Tetapi seperti yang aku katakan, jika karena penjajagan ini kau terbunuh, itu bukan salahku.”

“Jika Empu bersikap demikian, maka aku pun akan bersikap seperti itu juga. Justru karena Empu ingin menjajagi ilmuku dan karena itu maka dengan tidak sengaja aku membunuh mPu, maka itu pun bukan salahku. Aku sama sekali tidak bertanggung jawab karena bukan aku yang memaksakan pertempuran. Kedua orang bangsawan remaja itu akan menjadi saksi” sahut Mahisa Pukat.

Kemarahan Empu Sidikara benar-benar telah menghentakkan ilmunya. Anak muda itu benar-benar tidak mau mengakui kekalahannya, apakah anak muda itu akan tetap mampu bertahan atau akan luluh menjadi debu oleh ilmunya. Dengan demikian, maka Empu Sidikara benar-benar telah sampai pada puncak kemampuannya. Ilmunya yang jarang dilontarkannya, telah siap dilepaskannya jika Mahisa Pukat masih tetap bertahan.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat memang tidak ingin menyatakan dirinya kalah pada tataran itu dan menghentikan penjajagan yang dilakukan oleh Empu Sidikara itu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Namun jika hal itu terjadi karena ia harus mempertahankan hidupnya, maka apaboleh buat.

Kedua murid Mahisa Pukat itu semakin lama menjadi semakin gelisah. Pertempuran di antara keduanya menjadi semakin tidak dapat dimengertinya. Namun mereka sadar bahwa pertempuran itu menjadi semakin keras dan cepat.

Mahisa Pukat memang melihat bagaimana Empu Sidikara mencapai batas ilmu puncaknya, ia sadar bahwa sejenak kemudian, Empu Sidikara tentu akan mempergunakan ilmu pamungkasnya. Namun justru karena itu, maka Mahisa Pukat telah mendahuluinya tanpa diketahui oleh lawannya. Mahisa Pukat justru telah mempergunakan ilmunya yang mampu seakan-akan menghisap tenaga lawannya. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Pukat telah berusaha untuk menyerang dan membenturkan serangan-serangannya pada tubuh lawannya.

Empu Sidikara memang terkejut melihat perubahan tata gerak lawannya yang masih muda yang menjadi semakin cepat dan garang. Dengan demikian maka Empu Sidikara pun harus mengimbanginya. Beberapa kali ia memang harus mengatur serangan Mahisa Pukat untuk menangkisnya karena serangan-serangan itu datang beruntun dengan cepatnya, sehingga Empu Sidikara tidak sempat mengelak. Namun dengan demikian Empu mengira bahwa Mahisa Pukat mulai menjadi gelisah karena ilmu Empu Sidikara menjadi semakin meningkat, bahkan mendekati puncak ilmu pamungkasnya.

Sambil mengelak dan menangkis serangan-serangan yang datang beruntung, Empu Sidikara sempat berkata, “He, anak muda. Apakah kau mulai berputus asa? Agaknya kau tahu bahwa aku akan segera menyelesaikan permainan ini dengan ilmu pamungkasku. Jika kau tetap bertahan dan tidak menghentikan perlawananmu, maka kau benar-benar akan hancur menjadi debu. Kau tentu belum pernah melihat bagaimana ilmu Jwala Geni membakar dan melumatkan sasarannya menjadi debu yang kemudian hanyut diterbangkan angin.”

“Menarik sekali” jawab Mahisa Pukat. Tetapi ia masih saja menyerang dengan garangnya. Yang menjadi sasaran Mahisa Pukat tidak untuk menyakiti lawannya atau bahwa melukainya atau lebih-lebih lagi mematahkan tulang-tulangnya. Ia hanya sekedar ingin menyentuh lawannya itu.

Sambil berusaha untuk menyentuh tubuh lawannya bahkan pada ujung jari sekalipun, Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Tetapi mPu, kau tidak akan sempat sampai ke puncak ilmumu. Kau harus menyadari bahwa aku pun ingin menyelesaikan permainan ini. Aku telah sampai pada satu kesimpulan tingkat kemampuanmu, sehingga aku merasa cukup memahami betapa tingginya ilmumu.”

Hati Empu Sidikara benar-benar telah terbakar. Karena itu, maka ia tidak mempunyai perhitungan lain kecuali dengan cepat menghentikan perlawanan Mahisa Pukat yang dianggapnya terlalu sombong itu. Tetapi ketika Empu Sidikara mengambil jarak untuk mendapat kesempatan melepaskan ilmunya Jwala Geni, maka ia merasa sesuatu yang asing pada dirinya.

Demikian ia memusatkan nalar budinya, siap untuk melepas ilmu Jwala Geni yang akan dapat menghancurkan lawannya menjadi debu, maka terasa ada kekosongan di dalam dirinya. Ancang-ancang yang diambilnya, ternyata tidak mampu menjadi pancadan lontaran ilmu Jwala Geni. Bahkan Empu Sidikara itu sempat merasakan betapa tulang-tulangnya menjadi lemah dan urat-urat nadinya tidak berdaya. Bahkan tenaganya pun telah menyusut dengan cepatnya.

Mahisa Pukat memang tidak memburu Empu Sidikara. Meskipun Empu Sidikara masih mampu berdiri tegak dan kokoh, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk mendukung lontaran ilmunya Jwala Geni. Jika ia memaksakannya, maka ia akan dapat kehabisan tenaga sementara ilmu yang terlontar tidak cukup kuat untuk menghancurkan lawannya. Apalagi lawannya mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Untuk beberapa saat lamanya Empu Sidikara berdiri termangu-mangu. Justru karena Mahisa Pukat tidak memburunya, maka Empu Sidikara sempat membuat penilaian tentang ilmunya serta kemampuan lawannya.

Namun tiba-tiba Empu Sidikara menemukan sebab, karena tiba-tiba saja tenaganya bagaikan telah terserap habis. Dengan wajah merah membara ia menuding wajah Mahisa Pukat sambil berkata, “Licik kau. kau curi sebagian tenaga dan kemampuanku. Kau tentu mempergunakan ilmu itu untuk mencegah aku melontarkan ilmu Jwala Geni.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Aku hanya berusaha untuk menyelamatkanmu Empu.”

“Jangan omong kosong. Apa hubungannya ilmumu ini dengan keselamatanku. Bukankah kau akan memanfaatkan kemenanganmu dengan caramu ini untuk semakin menyombongkan diri? Sementara kau tidak berani menghadapi aku dengan lontaran ilmu Jwala Geni?”

“Empu. Aku belum pernah melihat apalagi mengalami serangan dengan ilmu yang disebut Jwala Geni. Tetapi Empu tidak dapat menyombongkan ilmu Jwala Geni seakan-akan tidak ada ilmu lain yang dapat menandinginya.” sahut Mahisa Pukat.

“Memang tidak ada yang menandinginya. Jika aku sempat melepaskan ilmu Jwala Geni, maka kau benar-benar akan menjadi debu.” geram Empu Sidikara.

“Tidak. Seperti sudah aku katakan, bahwa aku justru ingin menyelamatkan mPu. Jika Empu mempergunakan ilmu pamungkas yang Empu miliki itu, maka aku pun akan dapat mempergunakannya pula. Ilmu pamungkasku tentu tidak akan kalah dahsyatnya dengan ilmu yang Empu sebut dengan Jwala Geni itu.”

“Omong kosong, kau tentu takut menghadapi kekuatan ilmu Jwala Waja sehingga kau harus mempergunakan ilmumu yang licik itu.” geram Empu Sidikara.

“Tidak” bentak Mahisa Pukat. Hatinya memang mulai menjadi panas. “Marilah. Kita akan mencoba, ilmu siapakah yang mempunyai kekuatan yang lebih tinggi.”

“Aku tidak mampu melakukannya sekarang” jawab Empu Sidikara.

“Kau tidak perlu melakukannya sekarang, Empu” berkata Mahisa Pukat, “tetapi aku ingin menunjukkan kemampuan ilmuku. Pada kesempatan lain, jika tenaga dan kemampuan Empu telah pulih, Empu dapat membuat perbandingannya.”

Empu Sidikara tidak mengerti maksud Mahisa Pukat. Namun ia melihat Mahisa Pukat itu pun kemudian berdiri menghadap tebing padas. Sementara dua orang bangsawan remaja dari Kesatrian Singasari itu memandanginya dengan tegang.

Dalam waktu yang pendek, Mahisa Pukat telah memusatkan nalar budinya. Kemudian dengan kaki renggang ia memandangi tebing itu dengan tajamnya. Bukan saja kedua bangsawan remaja itu yang menjadi tegang. Tetapi juga Empu Sidikara. Ia melihat gejolak di dalam diri Mahisa Pukat, seakan-akan lahar yang mendidih di dalam kawah gunung berapi yang hampir meledak.

Demikianlah sesaat kemudian Mahisa Pukat telah menggerakkan satu kakinya ke depan. Lututnya sedikit merendah sambil menghentakkan kedua belah tangannya dengan telapak tangan terbuka mengarah ke tebing berbatu-batu padas. Mahisa Pukat memang menghentakkan segenap kemampuannya. Selain ilmunya yang mampu melontarkan serangan dari jarak jauh, ia pun telah melepaskan kekuatan yang diwarisinya dari ayahnya, Mahendra. Puncak dari kekuatan ilmu andalannya.

Meskipun Mahisa Pukat tidak membawa kerisnya yang berwarna kehijau-hijauan, namun dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada di dalamnya, anak muda itu sanggup melontarkan serangan yang sangat dahsyat.

Empu Sidikara terkejut sekali melihat akibat serangan Mahisa Pukat. Tebing batu padas itu menggelegar runtuh berserakan sehingga bekasnya nampak seperti sebuah gua meskipun tidak terlalu dalam. Dengan wajah tegang ia memandang Mahisa Pukat dan sasarannya itu berganti-ganti. Sementara itu kedua murid Mahisa Pukat itu justru bagaikan membeku di tempatnya

Baru sejenak kemudian, Mahisa Pukat itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berpaling dan melangkah mendekati Empu Sidikara yang seperti orang baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang menghentak jantungnya sehingga berdegup semakin cepat dan semakin keras.

“Empu” berkata Mahisa Pukat, “aku sudah menunjukkan kemampuanku. Untuk menjajagi dan memperbandingkan dengan kemampuan Empu Sidikara, maka dalam beberapa hari lagi, jika Empu Sidikara telah menjadi pulih kembali, kita akan bertemu lagi. Kita tidak usah berkelahi seperti anak-anak berebut oleh-oleh dari ibunya. Empu dapat melepaskan serangan dengan sasaran di sebelah sasaran kekuatan dan kemampuanku itu. Dengan demikian maka Empu akan mendapatkan perbandingan ilmu yang Empu kehendaki. Empu dapat menceriterakannya kepada orang-orang yang ingin tahu apakah aku pantas untuk menjadi guru di Kesatrian atau tidak. Tetapi ingat Empu, Empu hanya pantas mengatakan kepada orang-orang yang terbatas, karena aku bukan orang yang bangga dengan kesombongan yang tidak berarti apa-apa.”

Empu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia mendekati Mahisa Pukat yang masih berdiri tegak. Dengan nada dalam Empu Sidikara berkata, “Anak muda. Aku sudah melihat dan bahkan mengalami benturan dengan ilmumu. Semula aku tidak mengira sama sekali bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Apalagi menilik umurmu yang masih sangat muda. Tetapi kemudian aku tidak dapat ingkar. Bahwa ilmumu jauh lebih tinggi dari ilmuku. Sekarang, kau dapat berbuat apa saja atasku yang sudah kehilangan sebagian dari tenaga dan kemampuanku. Aku terlambat menyadari bahwa kau memiliki ilmu yang sudah jarang dimiliki orang lain itu. Namun ternyata bahwa kau memiliki ilmu yang lain yang lebih keras dan dengan cepat mampu mengatasi lawanmu. Tetapi kau tidak mempergunakannya. Karena sebenarnyalah jika aku mempergunakan ilmuku Aji Jwala Geni dan kau membenturnya dengan ilmumu yang sangat tinggi itu, maka seperti katamu, akulah yang akan menjadi debu.”

“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “bukankah dengan demikian tugasmu sudah selesai? Kau sudah berhasil menjajagi ilmuku. Dengan demikian maka persoalan kita sudah selesai.”

“Aku masih harus mengucapkan terima kasih kepadamu anak muda.” berkata Empu Sidikara.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Karena kau tidak melumatkankan tubuhku” jawab Empu Sidikara.

“Kita tidak akan membicarakannya lagi. Sekarang, aku minta diri. Aku sudah terlalu lama berada di sini. Bukankah dengan sisa tenagamu kau masih dapat menuruni tebing dan pulang ke rumahmu?”

“Ya. Aku masih dapat pulang ke rumah dan bertemu dengan keluargaku. Mereka tentu juga akan berterima kasih setelah mereka mendengarkan ceriteraku tentang kau anak muda.” jawab Empu Sidikara. Lalu katanya pula, “Seperti pesanmu, aku akan menyampaikan hasil pengamatanku kepada orang-orang yang sebenarnya memang telah minta kepadaku untuk menjajagi kemampuanmu. Untuk membuat kau malu kepada dirimu sendiri bahwa kau telah bersedia menjadi guru di Kesatrian. Namun ternyata bukan kau yang harus malu. Tetapi orang-orang yang ingin menjajagi kemampuanmu itulah yang harus malu karena kau benar-benar pantas bahkan melampaui ketiga orang guru yang telah ada di Kesatrian.”

“Baiklah mPu. Jika kau ingin orang lain yang terbatas itu mengetahui tataran ilmuku, bukan maksudku untuk menyombongkan diriku. Tetapi semata-mata agar di Kesatrian itu terdapat ketenangan. Juga di antara bangsawan-bangsawan muda yang tinggal di Kesatrian itu.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti anak muda”

Mahisa Pukat pun kemudian berpaling kepada kedua orang muridnya. Katanya, “Sudahlah. Lupakanlah. Anggaplah bahwa yang kau saksikan benar-benar hanya sebuah permainan.”

“Tetapi…” remaja-remaja itu menjadi gagap.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Seseorang yang mau belajar dengan tekun, ia dapat mencapai satu tataran ilmu yang meyakinkan. Ilmu apapun juga yang dipelajarinya.”

“Apakah kami juga dapat melakukannya?” bertanya salah seorang dari kedua remaja itu.

“Tentu” jawab Mahisa Pukat, “jika kau belajar dengan sungguh-sungguh. Tidak malas dan tidak segan berlatih dengan sebaik-baiknya. Ilmu itu memang tidak akan dapat datang dengan sendirinya. Guru-guru dalam ilmu apapun tidak akan dapat dengan meniup ubun-ubun muridnya dan lengan tiba-tiba muridnya menjadi seorang yang mumpuni. Seorang murid akan memiliki kemampuan gurunya jika ia mau bekerja keras dan menurut segala petunjuk baik yang diberikan oleh gurunya.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Di dalam jantung mereka terbersit janji kepada diri sendiri, bahwa mereka akan bekerja keras untuk dapat mewarisi ilmu yang tidak masuk penalaran mereka.

Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah mengajak kedua orang remaja itu kembali ke Istana. Sambil memandang matahari yang tinggi di langit Mahisa Pukat berkata, “Kita sudah terlalu lama berada di sini. Sebaiknya kita cepat kembali sebelum kalian dicari karena kalian terlalu lama tidak nampak di Kesatrian.”

Kedua remaja itu pun kemudian bersama-sama Mahisa Pukat meninggalkan tempat itu. Dengan nada datar Mahisa Pukat minta diri kepada Empu Sidikara. Kepada kedua muridnya Mahisa Pukat pun berkata, “Minta dirilah kepada Empu Sidikara.”

Kedua orang remaja itu memang menjadi ragu-ragu. Namun ketika sekali lagi Mahisa Pukat meminta kepada mereka, maka mereka pun telah minta diri pula kepada Empu Sidikara.

Empu Sidikara tersenyum. Di luar dugaan kedua remaja itu Empu Sidikara berkata, “Belajarlah dengan baik Raden. Kau telah mendapatkan seorang guru yang bukan saja berilmu sangat tinggi, tetapi juga orang yang sangat baik.”

“Kau tidak usah memuji mPu. Mereka masih terlalu muda untuk mendengarkan pujian sehingga akan dapat membekas terlalu dalam di hati mereka.” berkata Mahisa Pukat.

“Kalau aku berpura-pura itu memang akan sangat berbahaya bagi mereka. Tetapi aku berkata sebenarnya dan dengan hati yang ikhlas. Meskipun mereka masih terlalu muda untuk mendengarkan pujian, tetapi karena itu memang satu kebenaran, maka pujian itu tidak akan memberikan cacat di hati mereka.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun percaya bahwa Empu Sidikara memberikan pujian itu dengan hati yang jernih setelah ia berhasil menguasai perasaannya. Ia memang tidak dapat ingkar dari kenyataan tentang Pelayan Dalam muda yang dihadapinya.

Bahkan Empu Sidikara itu pun kemudian berdesis, “Seharusnya kau tidak menjadi seorang Pelayan Dalam”.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tidak yakin bahwa Manggala Pelayan Dalam itu memiliki kelebihan dari padamu.” desis Empu Sidikara.

“Yang diperlukan seorang Manggala bukan sekedar kemampuan dalam olah kanuragan” jawab Mahisa Pukat, “tetapi juga wibawa dan kemampuan memimpin anak buahnya. Pengalaman tentu akan ikut menentukan keberhasilan seorang Manggala.”

Empu Sidikara mengangguk-angguk. Namun di antara senyumnya ia berkata, “Pandanganmu tentang kehidupan ternyata lebih luas dari yang aku duga. Apalagi dibandingkan dengan umurmu yang masih sangat muda itu.”

“Sudahlah” berkata Mahisa Pukat, “hari sudah terlalu siang sekarang. Kami tidak terbiasa sampai sesiang ini keluar dari istana Singasari.”

Empu Sidikara menganggguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia hanya memandangi saja Mahisa Pukat yang kemudian meninggalkan tempat itu bersama kedua muridnya yang masih remaja.

Sepeninggal Mahisa Pukat dan kedua muridnya, Empu Sidikara merenungi bekas sentuhan ilmu Mahisa Pukat pada tebing pegunungan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Empu Sidikara masih juga mengagumi tingkat kemampuan Mahisa Pukat yang masih muda itu. Di luar sadarnya ia berdesis, “Jika ia seumur aku kelak, apa saja yang dapat dilakukannya. Ilmunya akan dapat meruntuhkan gunung dan mampu mengeringkan lautan.”

Empu Sidikara itu kemudian bahkan duduk di sebongkah batu padas yang besar. Sambil merenungi dataran hijau di depannya yang luas Empu Sidikara merenungi dirinya sendiri.

“Untunglah anak muda itu seorang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi landasan watak dan sifatnya pun terlalu baik. Ia tidak dengan geram menghancurkan aku di sini meskipun aku hampir saja melakukannya. Seandainya ia tidak memiliki ilmu rangkap dan tidak menghentikan perlawananku, maka tubuhku pun akan lumat seperti batu padas itu.” berkata orang itu di dalam hatinya

Sambil menarik nafas panjang ia pun bergumam, “Empu Kamenjangan harus tahu, bahwa anak muda itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia bukan saja pantas untuk menjadi guru di Kesatrian, tetapi ia adalah guru yang terbaik.”

Baru beberapa saat kemudian, Empu Sidikara itu bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan tempat itu. Ia berjalan dengan sangat berhati-hati. Tenaganya memang terasa jauh susut. Tetapi ia masih mampu berjalan cukup panjang sampai ke tempat tinggalnya meskipun harus beristirahat beberapa kali.

“Seperti kata Pelayan Dalam muda itu, tenaga dan kemampuanku akan dapat pulih kembali” berkata Empu Sidikara di dalam hatinya untuk memenangkan kegelisahannya. Tetapi ia percaya bahwa Mahisa Pukat tidak akan mencelakainya...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.