Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 102

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 102
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KI BUYUT berusaha untuk menenangkan hatinya. Tetapi kegelisahannya telah membuat suaranya menjadi bergetar, “Saudara-saudara para Bekel yang memimpin padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Bumiagara. Tegak dan runtuhnya Kabuyutan ini tergantung kepada kalian dan rakyat Bumiagara. Karena itu, maka aku hanya akan mendengarkan suara kalian yang mewakili rakyat Bumiagara.”

Wajah para prajurit itu pun menjadi semakin tegang. Mereka tidak segera tahu maksud kata-kata Ki Buyut itu. Sementara itu para Bekel pun telah berteriak-teriak dengan riuhnya, “Kami menolak. Kami menolak.”

Kelima orang prajurit yang berada di pendapa itu bergeser mendekati Ki Bekel. Seorang di antara mereka berkata, “Ingat Ki Buyut. Kami tidak sekedar mengancam atau bahkan main-main. Apa yang kami katakan akan kami lakukan. Kami benar-benar telah siap.”

Namun kelima orang itu terkejut ketika Ki Buyut kemudian berkata, “Kabuyutan ini bukan milikku. Kabuyutan ini milik seluruh rakyat, sehingga aku akan tunduk kepada kehendak mereka sementara kalian mendengar sendiri apa yang mereka katakan.”

“Dengan demikian maka aku tidak dapat berkata lain kecuali menirukan apa yang mereka katakan. Mereka ternyata menolak permintaan kalian. Maka aku pun harus menolaknya pula.”

“Apakah kau sadari sikapmu itu Ki Buyut?” bertanya orang tertua di antara para prajurit itu.

“Aku sadar sepenuhnya Ki Sanak. Dengarlah sekali lagi, bahwa aku sekedar mewakili mereka menyampaikan keputusan mereka. Ternyata mereka telah menolak. Karena itu, maka aku pun harus menolak pula.”

“Kau jangan menjadi gila, Ki Buyut. Kau harus dapat membuat perhitungan bahwa keputusan itu sama halnya dengan menghancurkan Kabuyutanmu sendiri.”

“Apapun yang terjadi Ki Sanak. Permintaanmu memang permintaan yang gila. Tidak masuk akal dan hanya orang-orang yang tidak waras sajalah yang akan bersedia menerimanya.”

“Apakah kau tidak akan menyesal?” bertanya orang tertua itu dengan dahi berkerut.

“Tidak. Aku tidak akan menyesal. Aku tahu pasti apa yang aku lakukan,” jawab Ki Buyut.

“Baiklah. Jika Ki Buyut dan orang-orang Bumiagara sendiri menghendaki hancurnya Kabuyutan ini, maka aku akan melaksanakannya. Aku akan menghubungi Senapati yang memimpin pasukan yang sudah siap menghancurkan Kabuyutan ini,” geram orang tertua dari antara kelima orang prajurit itu.

“Tidak Ki Sanak,” berkata Ki Buyut, “Ki Sanak tidak akan dapat menghubungi mereka. Kami akan menahan Ki Sanak berlima di sini.”

“Gila,” orang tertua di antara para prajurit itu berteriak dengan marah.

“Apa boleh buat,” jawab Ki Buyut, “seandainya Kabuyutan ini akan hancur, biarlah hancur bersama kita dan kalian berlima. Seperti kami, maka kalian pun tidak mempunyai pilihan.”

“Wajah kelima orang itu pun menjadi merah oleh kemarahan yang menghentak jantung mereka. Hampir berbareng mereka bangkit berdiri sambil berkata, “Ki Buyut, kau jangan kehilangan akal. Jika aku tidak kembali hari ini, maka besok pagi-pagi saat matahari terbit, maka Kabuyutan ini akan dihancur lumatkan. Tidak seorang pun yang akan tinggal hidup.”

Tetapi jawaban Ki Buyut membuat kelima orang itu semakin marah, “Kalian dan kami memang tidak mempunyai pilihan. Seandainya kami membiarkan kalian pergi, tetapi kami tidak menyerahkan apa yang kalian minta, maka Kabuyutan ini juga akan kalian hancurkan. Karena itu lebih baik, kami menahan kalian di sini. Setidak-tidaknya kami akan dapat membunuh lima orang dari antara para prajurit Kediri.”

“Tetapi hukuman kalian akan menjadi semakin berat jika kami tidak kembali hari ini,” geram prajurit yang tertua itu.

“Kami, orang-orang Bumiagara tidak peduli,” jawab Ki Buyut.

Ketika kelima orang itu hampir bersama-sama menarik senjatanya, maka Ki Jagabaya, para bebahu dan para Bekel pun segera bangkit pula. Mereka pun segera menarik senjata-senjata mereka pula.

“Jangan bodoh,” berkata Ki Buyut, “jika kau mencoba melawan orang-orang Bumiagara yang sedang marah, maka akibatnya akan sangat pahit bagi kalian. Mungkin kalian akan dapat dihukum picis di halaman Kabuyutan ini sebelum kawan-kawanmu memasuki halaman rumah ini biarlah mereka melihat tubuh-tubuh kalian yang terikat pada tiang di halaman ini dengan penuh luka.”

“Apakah kau kira para prajurit Kediri tidak dapat memperlakukan kalian seperti yang kalian katakan itu? Kalianpun akan dapat diikat pada tiang-tiang di halaman. Kepanasan di siang hari dan kedinginan di malam hari. Sementara itu, setiap prajurit akan melukai kulit kalian dan membubuhkan garam pada luka itu sampai kalian mati,” geram prajurit yang tertua itu.

Namun Ki Buyut berkata, “Kalian telah mengajar kami pelaksanaan dari hukum picis itu. Karena itu menyerahlah agar kami tidak perlu melaksanakannya sebagaimana kau katakan.”

“Kami adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Meskipun kami hanya berlima, namun kami akan dapat menghancurkan kalian semuanya,” teriak prajurit itu.

“Kau jangan mencoba menakut-nakuti kami. Bukankah kau sendiri mengakui, bahwa anak-anak muda kami telah berlatih seperti prajurit dan kemampuan kami setingkat dengan prajurit pula? Nah, apakah dengan demikian, kau berlima akan dapat melawan kami, para Bekel dan bebahu Kabuyutan Bumiagara?” bertanya Ki Buyut.

Kelima orang prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun di wajah mereka membayang kemarahan yang membakar jantung. Namun mereka harus menghadapi kenyataan bahwa di hadapan mereka berdiri lebih dari lima puluh orang. Para Bekel, Ki Buyut dan para bebahu. Kemudian beberapa anak muda yang tiba-tiba sudah ada di regol halaman Kabuyutan itu. Demikian pula kelima orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Karena itu, maka kelima orang itu memang merasa tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi lawan yang demikian banyaknya.

Sambil mengacukan pedang yang diterimanya dari para para cantrik Ki Buyut berkata, “Letakkan senjata kalian. Jika kalian menyerah maka kalian akan kami perlakukan sebagai tawanan dengan cara yang baik. Tetapi jika kawan-kawanmu datang dengan cara yang kasar sebelum kami semuanya akan dibantai oleh kawan-kawanmu.”

Kelima orang prajurit ku memang menjadi ragu-ragu. Namun kemudian orang yang tertua di antara mereka meletakkan pedangnya sambil berkata, “Kau akan sangat menyesali perbuatanmu sekarang ini.”

“Sudah aku katakan. Kami akan mempertahankan kampung halaman kami dengan segenap kemampuan kami, apapun yang terjadi. Meskipun seandainya kami harus dibantai, bahkan seisi padukuhan sekalipun, kami sama sekali tidak akan menyesal.” jawab Ki Buyut.

Kelima orang prajurit itu akhirnya harus meletakkan senjata mereka di hadapan Ki Buyut dan para Bekel dari Kabuyutan Bumiagara. Betapa sakit hati mereka nampak pada wajah-wajah mereka yang menjadi merah padam. Namun mereka tidak dapat mengelak. Agaknya orang-orang Bumiagara itu justru telah menjadi putus asa sehingga mereka tidak dapat membuat perhitungan lagi. Bahkan condong untuk melakukan bunuh diri bersama-sama.

Demikian kelima prajurit itu meletakkan senjatanya, maka Ki Buyut itu pun berkata, “Mereka adalah tawanan kami.” Lalu katanya kepada Ki Jagabaya, “Tempatkan mereka di bilik gandok itu. Mereka tidak boleh keluar dan melarikan diri dari bilik tahannya. Kami akan menunggu sampai kawan-kawan mereka datang.”

“Mereka akan membinasakan seisi padukuhan ini,” geram salah seorang dari para prajurit yang menentang atasannya itu.

Namun Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah mendorong mereka sambil berkata, “Masuklah kedalam bilikmu. Kalian masih beruntung, bahwa kalian diperlakukan baik di Kabuyutan ini. Namun jangan menyesal bahwa perlakuan kami akan berubah jika kawan- kawanmu benar-benar datang dan mengganggu ketenangan hidup kami.”

Para prajurit yang tidak tunduk kepada Sri Baginda di Kediri itu memang terdorong beberapa langkah. Namun orang tertua di antara mereka masih berkata lantang, “Ingat, jika saat matahari terbenam aku belum kembali pada kesatuanku, maka besok pagi-pagi menjelang fajar, padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara ini akan menjadi karang abang. Segala yang hidup akan dimusnahkan. Segala macam bangunan akan dihancurkan menjadi debu. Kabuyutan Bumiagara tentu hanya tinggal namanya saja, karena bekasnyapun tidak akan dapat dilihat lagi.”

“Cukup Ki Sanak,” berkata Ki Buyut, “aku sudah memperhitungkan bahwa hal seperti itu akan dapat terjadi. Tetapi sudah tentu kalian tidak akan dapat melihat, karena kalian akan mengalami kesulitan di akhir hidup kalian menjelang peristiwa yang mengerikan itu terjadi atas Kabuyutan Bumiagara. Karena itu, kami persilahkan kalian memasuki dunia antara, menjelang hari-hari terakhir kalian.”

“Kalian menjadi gila karena berputus-asa,” geram orang yang bertubuh tinggi tegap dan berkumis lebat.

“Kau benar. Kami sedang berputus asa dan sedang bersama-sama membunuh diri. Tetapi sudah tentu bersama dengan kalian berlima dan beberapa orang prajurit yang akan terbunuh dalam pertempuran yang akan terjadi, betapapun tidak seimbangnya, karena kami akan bertempur tanpa memperhitungkan hidup dan mati. Namun perkenankanlah aku bertanya, apakah kawan-kawanmu akan berani berbuat demikian? Bukankah kalian sedang membutuhkan banyak tenaga untuk melakukan perlawanan terhadap Sri Baginda di Kediri? Apakah kalian akan merelakan kawan-kawan kalian terbunuh di sini? Ingat, dengan demikian maka kawan-kawan kalian yang terbunuh di sini akan menjadi tidak berharga sama sekali bagi perjuangan anda, termasuk kalian berlima. Tentu nilainya akan berbeda dengan kawan-kawan kalian yang gugur dalam memperjuangkan cita-cita kalian apapun ujudnya,” berkata Ki Buyut.

Wajah para prajurit itu menjadi merah padam. Namun mereka tidak menjawab lagi. Yang terdengar adalah geram kemarahan dan kebencian. Sementara itu Ki Jagabaya telah mendorong mereka untuk melangkah lagi menuju kebilik yang telah disediakan bagi mereka.

“Kita tidak dapat berbicara dengan orang-orang gila,” geram orang tertua di antara para prajurit itu.

“Tetapi mereka benar-benar akan menyesal,” desis yang lain, “kawan-kawan kita tidak akan sekedar main-main. Mereka berkata sebenarnya.”

“Jangan mencoba mempengaruhi kami dengan igauan itu,” potong Ki Jagabaya yang mengawal mereka.

“Kau dapat menyombongkan dirimu sekarang. Tetapi besok kau akan merangkak dibawah kaki kawan-kawanku untuk mohon pengampunan,” geram oranga tertua di antara para prajurit itu.

“Apapun yang akan aku lakukan, kau tidak akan melihatnya,” jawab Ki Jagabaya.

“Setan kau,” geram orang itu.

“Tutup mulutmu, atau aku akan menyumbatnya dengan ujung pedangku?” bentak Ki Jagabaya, “kau tidak akan dapat berbuat apa-apa sekarang.”

Para prajurit itu pun terdiam. Mereka menyadari, bahwa Ki Jagabaya dan orang-orang Kabuyutan Bumiagara sudah menjadi putus-asa. Mereka sudah tidak mempunyai harapan lagi apapun yang mereka lakukan. Sehingga mereka akan dapat berbuat di luar dugaan.

Setelah kelima orang itu dimasukkan ke dalam bilik di gandok serta diselarak dari luar serta dijaga dengan rapat, maka Ki Buyut pun telah memerintahkan para Bekel untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kepada para Bekel Ki Buyut berkata,

“Kita akan memusatkan pertahanan kita di beberapa pedesaan di Padukuhan induk, sebaiknya keluarga para pengawal, bebahu dan bahkan semuanya diungsikan ke pedesaan-pedesaan di padukuhan induk. Jika yang dikatakan oleh para prajurit itu benar, maka baru besok pagi para prajurit yang melawan pemerintahan di Kediri itu akan mulai bergerak. Kita masih mempunyai waktu hari ini dan malam nanti untuk mengungsikan isi padukuhan-padukuhan yang lain. Seandainya kita akan ditumpas, biarlah kita lebur menjadi debu bersama-sama di padukuhan induk. Namun dalam ruang yang lebih sempit, maka kita akan dapat memberikan perlawanan lebih baik.”

Dengan demikian para Bekel itu pun segera minta diri. Mereka akan segera mempersiapkan seisi padukuhannya untuk mengungsi, namun sekaligus untuk mempersiapkan perlawanan bersama di padukuhan induk itu.

Sebenarnyalah padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara menjadi sangat sibuk. Ki Buyut dan para bebahu telah memberikan perintah agar setiap orang, setiap keluarga, bersedia menerima pengungsi dari padukuhan-padukuhan lain dilingkungan Kabuyutan Bumiagara. Bukan hanya sanak-kadang saja yang diterima di setiap keluarga, tetapi siapapun yang menyatakan diri untuk menumpang di setiap keluarga. Para Bekel pun telah memerintahkan untuk membawa semua isi lumbung dan apapun yang mungkin dibawa.

“Masih ada waktu,” berkata para Bekel, “hari ini dan malam nanti. Yang tidak dapat membawa sekaligus, dapat diulang kemudian satu atau dua kali sampai menjelang dini malam nanti.”

Kesibukan di Kabuyutan Bumiagara bagaikan sarang semut yang mendapat percikan air. Orang-orang yang hilir mudik dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain untuk menghubungi sanak kadang yang akan bersama-sama mengungsi ke padukuhan induk. Yang lain harus hilir mudik dari padukuhannya ke padukuhan induk karena mereka tidak dapat membawa barang-barang mereka serta bahan pangan sekaligus. Pedati pun beriringan dari satu padukuhan ke padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara dengan mengangkut apa saja yang dapat dibawa selain bahan pangan dan pakaian.

Di padukuhan induk para bebahu telah bersiap mengatur arus para pengungsi di beberapa padesan yang termasuk padukuhan induk. Padesan yang akan dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir. Dengan demikian maka daerah Kabuyutan Bumiagara serasa menjadi sangat sempit. Sementara itu, anak-anak muda, para pengawal dan bahkan hampir semua laki-laki telah mempersiapkan diri untuk mempertahankan harga diri mereka serta kampung halaman meskipun mereka akan musnah sama sekali.

Sementara itu, perwira dari sekelompok prajurit Kediri yang ada di sekitar Kabuyutan Bumiagara itu memang menunggu kelima orang penghubung yang telah mereka kirim untuk memeras Kabuyutan Bumiagara yang mereka anggap pernah menjerumuskan mereka ke Padepokan Bajra Seta. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Kabuyutan Bumiagara tidak dengan begitu saja menyerahkan apa yang mereka minta.

Seratus limapuluh orang dan lima atau enam pedati beras dan jagung. Bahkan orang-orang Bumiagara telah dengan berani menahan kelima orang penghubung itu. Namun ketika matahari sudah melewati puncak langit, maka perwira yang memimpin sekelompok prajurit Kediri yang menolak tunduk kepada atasan mereka itu mulai gelisah.

“Kenapa mereka belum kembali,” berkata perwira itu.

“Orang-orang Bumiagara tentu memerlukan waktu,” sahut salah seorang pembantunya.

“Seharusnya mereka telah kembali dengan membawa seratus limapuluh orang anak muda dan enam pedati yang kita minta itu.” gumam perwira yang memimpin kelompok itu. “Semalam dan setengah hari adalah waktu yang cukup panjang. Apalagi anak-anak muda Bumiagara telah mengalami latihan-latihan yang cukup baik sehingga mereka memiliki kemampuan prajurit.”

“Apakah ada niat orang-orang Bumiagara untuk melawan kita?” bertanya seorang pembantunya yang lain.

“Mustahil. Mereka tahu kekuatan kita. Mereka tentu menyadari bahwa mereka tidak akan mampu melawan kita. Mereka pun mengerti bahwa melawan akan berarti kehancuran mutlak,” desis perwira itu.

Namun kegelisahan itu pun memuncak ketika matahari menjadi semakin rendah. Bahkan ketika malam turun, kelima orang prajurit itu ternyata belum kembali.

“Setan orang-orang Bumiagara,” geram pemimpin sekelompok prajurit Kediri yang melawan atasannya itu, “jika malam ini kelima orang kawan kita itu tidak kembali, maka esok pagi-pagi Kabuyutan Bumiagara akan menjadi debu. Mereka, orang-orang Bumiagara telah menjerumuskan kita ke Padepokan Bajra Seta sehingga menyebabkan beberapa kawan kita gugur. Sekarang mereka menolak dan bahkan menawan kelima orang kawan kita yang lain, seolah-olah mereka memiliki hak dan kemampuan untuk melakukannya. Dengan demikian maka mereka tidak akan mendapat pengampunan lagi. Seluruh Kabuyutan Bumiagara akan menjadi rata dengan tanah. Semua yang hidup akan mati dan semua hak milik yang ada akan menjadi milik kita.”

Namun dalam pada itu seorang di antara pembantunya bertanya, “Apakah kita tidak mempertimbangkan, bahwa dengan demikian kawan-kawan kita akan berkurang lagi. Meskipun kita dapat menumpas seisi Kabuyutan, namun di antara kita tentu ada yang gugur. Apalagi kita tahu bahwa para pengawal Kabuyutan dan anak-anak mudanya memiliki kemampuan prajurit. Meskipun jumlah kita lebih banyak jika kita mengerahkan semua prajurit yang kita bawa, namun agaknya orang-orang Bumiagara sudah kehilangan penalarannya. Mereka akan dapat menjadi liar dan bahkan buas karena mereka tidak lagi sempat berpikir.”

“Jadi, apakah kita harus membiarkan kawan-kawan kita itu tertawan atau bahkan sudah dibunuh oleh mereka? Jika kita membiarkannya, maka kebiasaan buruk itu akan berulang. Mereka akan dengan beraninya menghina dan merendahkan harga diri kita,” sahut pemimpinnya.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Nah, jika demikian kita tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan memasuki Kabuyutan Bumiagara besok pagi-pagi benar. Malam ini kita akan mempersiapkan seluruh pasukan kita. Semakin banyak prajurit yang datang ke Kabuyutan itu, maka semakin cepat kita menyelesaikan mereka,” geram pemimpinnya.

Sebenarnyalah prajurit Kediri yang tidak tunduk kepada atasannya itu telah dipersiapkan. Malam itu juga mereka telah menyusun kekuatan. Mereka akan memasuki Kabuyutan Bumiagara dari tiga arah.

“Kita akan langsung menuju ke padukuhan induk. Jika ada perlawanan di padukuhan-padukuhan lain, maka kalian berhak untuk menghancurkan mereka tanpa ragu-ragu. Kita memang akan menghancurkan seluruh Kabuyutan yang telah menghina kita itu.”

Ketika para prajurit itu telah berada di tempat mereka masing-masing, ternyata mereka masih sempat beristirahat beberapa saat. Mereka masih sempat tidur menjelang dini, karena demikian matahari terbit, mereka harus sudah mulai bergerak menuju ke padukuhan induk.

Sementara itu, para pengawal, anak-anak muda dan bahkan hampir semua orang laki-laki Kabuyutan Bumiagara telah bersiap untuk bertempur sampai batas terakhir. Mereka semua sudah bersiap untuk mati. Bahkan mereka sudah pasrah dan merelakan seluruh keluarga mereka seandainya seisi Kabuyutan itu benar-benar akan dibantai. Sementara itu, para pengawal Kabuyutan Bumiagara atas perintah Ki Jagabaya telah menanam lima buah patok kayu yang kuat di halaman Kabuyutan. Kelimanya telah dipersiapkan dengan beberapa utas tali.

“Jika para prajurit itu benar-benar menyerang, maka kelima orang prajurit itu akan mati terikat pada patok-patok itu,” berkata Ki Jagabaya. Namun katanya kemudian, “Tetapi kita akan membunuh mereka setelah orang pertama memasuki halaman rumah ini. Biarlah mereka melihat apa yang terjadi sebagaimana kita melihat kehancuran Kabuyutan kita. Meskipun lima orang prajurit itu sama sekali tidak seimbang dengan seisi Kabuyutan kita, namun kita sudah menunjukkan harga diri kita sebagai manusia, bukan sekedar cacing tanah yang hanya dapat menggeliat tanpa memberikan perlawanan apapun juga.”

Sebenarnyalah semalam suntuk Kabuyutan Bumiagara dicengkam oleh kegelisahan dan ketegangan. Namun orang-orang Bumiagara memang sudah berbulat hati untuk melakukan perlawanan. Meskipun demikian, hampir di setiap rumah, nampak orang-orang yang dicengkam oleh ketegangan itu berdoa. Perempuan dan kanak- kanak yang sudah tumbuh menjelang remaja. Mereka masih memohon agar terjadi keajaiban di atas Kabuyutan Bumiagara.

Demikian ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, maka semua laki-laki di Bumiagara yang belum merasa pikun telah bersiaga. Memang sekali-sekali timbul penyesalan atas tingkah laku Ki Buyut yang ternyata akibatnya sangat parah bagi Kabuyutannya. Namun mereka tidak dapat memutar lajunya matahari. Mereka harus berdiri menyongsong waktu mendatang. Karena mereka tidak akan dapat kembali ke masa lampau, meskipun apa yang terjadi adalah kelanjutan masa lampau itu.

Ketika langit menjadi merah, maka di dinding padesan yang termasuk padukuhan induk, para pengawal telah bersiap dengan busur dan anak panah. Yang lain lembing bambu yang runcing telah siap untuk di lemparkan jika lawan mereka datang. Selain itu, maka di pinggang mereka pun tergantung pedang. Sedangkan yang lain telah mempersiapkan tombak pendek, canggah, kapak dan berbagai jenis senjata yang lain.

Sebenarnyalah saat itu prajurit Kediri yang melawan atasannya itu pun sudah bersiap untuk bergerak. Pemimpin mereka telah membakar jantung setiap prajurit untuk menjadi marah pula, sehingga mereka akan dapat berbuat apa saja. Pemimpin itu telah mengatakan kepada para prajuritnya, bahwa kawan-kawan mereka agaknya sudah dibunuh oleh orang-orang Bumiagara. Karena itu, demikian langit menjadi terang oleh lontaran sinar matahari pertama, tanpa perintah lagi, maka tiga kelompok prajurit telah bergerak dari tiga arah menuju ke padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara.

Orang-orang yang mengamati keadaanpun segera melaporkan gerakan itu. Karena itu, maka pertahanan Kabuyutan Bumiagara pun segera menyesuaikan diri. Sementara itu, Ki Jagabaya pun telah memerintahkan kepada para pengawal yang ada di Kabuyutan untuk mengeluarkan dan mengikat kelima orang prajurit yang mereka tahan.

Para prajurit itu, meronta-ronta dan bahkan berusaha untuk melawan. Namun mereka tidak berdaya menghadapi anak-anak muda Bumiagara yang sedang marah itu. Karena itu, maka akhirnya mereka berlima telah terikat erat-erat pada patok-patok yang ditanam kuat-kuat di halaman rumah Ki Buyut Bumiagara.

Sementara itu, Ki Buyut sendiri bersama dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah berada di dinding desa yang diperhitungkan akan berhadapan dengan pasukan induk para prajurit Kediri yang memberontak terhadap kekuasaan Sri Baginda itu. Adapun cantrik yang lain telah menyebar ke padesan-padesan yang lain berbaur dengan para pengawal. Mereka dapat memberikan petunjuk kepada para pengawal menghadapi keadaan yang gawat.

Beberapa saat kemudian, ketika sinar matahari telah jatuh di atas tanah yang lembab, maka para prajurit itu telah mendekati padesan di padukuhan induk. Di sepanjang gerakan mereka melintasi padukuhan-padukuhan lain di Kabuyutan Bumiagara mereka sama sekali tidak menjumpai perlawanan. Namun ketika mereka mendekati padesan di padukuhan induk, maka barulah mereka menyadari, bahwa mereka telah ditunggu oleh orang-orang Bumiagara di dinding padesan.

Dengan demikian maka mereka harus menjadi lebih berhati-hati. Mereka sadar bahwa di balik dinding padesan itu, tentu telah siap ujung-ujung senjata yang akan menyambut mereka, jika mereka meloncati dinding atau memecahkan pintu regol padesan untuk masuk ke dalamnya. Namun mereka tahu pasti, bahwa yang ada dipadesan itu tidak lebih dari anak-anak muda Bumiagara.

Dengan demikian, maka para prajurit itu sama sekali tidak menjadi tegang atau apalagi gentar. Meskipun beberapa orang mengatakan bahwa anak-anak muda Bumiagara telah berlatih dengan sungguh-sungguh sehingga memiliki kemampuan prajurit, namun pada prajurit itu masih tetap menganggap bahwa mereka masih berada pada tataran yang lebih rendah dari seorang prajurit yang sebenarnya. Sehingga dengan demikian, maka yang akan mereka lakukan di Kabuyutan itu tidak lebih sulit dari menebas rimbunnya semak-semak ilalang.

Sementara itu anak-anak muda Bumiagara memang menunggu di balik dinding padesan. Mereka tidak menunjukkan ujung-ujung anak panah dan lembing.

“Tunggu sampai mereka mendekat dan dapat dijangkau oleh lontaran anak panahmu.” pesan seorang di antara para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang ada di antara mereka.

Sebenarnyalah anak-anak muda yang siap mempertahankan Kabuyutan mereka itu dengan jantung yang bergejolak berusaha untuk tetap menguasai diri. Mereka menunggu hingga para prajurit itu mendekat, mencapai jarak lontaran anak panah mereka.

Sebenarnyalah para prajurit itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar teriakan nyaring. Kemudian seperti hujan anak panah telah meluncur dari balik dinding padesan itu. Sebenarnyalah anak panah itu benar-benar anak panah yang mampu menembus kulit mereka. Karena itu, selagi para prajurit itu masih belum menyadari apa yang terjadi karena terkejut, maka beberapa anak panah telah benar-benar menancap di tubuh mereka.

Para prajurit itu telah berteriak marah. Namun anak panah itu masih saja meluncur dari balik dinding padesan. Tetapi para prajurit itu telah menyadari keadaan. Dengan senjata mereka masing-masing, para prajurit itu berusaha untuk menangkis serangan anak panah itu. Bahkan beberapa orang prajurit yang berperisai segera maju mendahului kawan-kawannya. Meskipun demikian, anak panah itu masih saja meluncur terus. Namun tidak lagi mampu menahan arus serangan para prajurit Kediri itu.

Tetapi para prajurit itu telah terkejut pula ketika yang meluncur kemudian bukan saja anak panah. Tetapi juga lembing yang dilontarkan ke udara dan jatuh menimpa para prajurit itu seperti jatuhnya serangan dari langit. Para prajurit itu mengumpat-umpat. Korban memang sudah jatuh. Namun dengan demikian maka para prajurit itu menjadi semakin marah dan mendendam. Rasa-rasanya mereka benar-benar telah siap untuk membunuh dan membantai setiap orang yang mereka temui. Siapapun mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, para prajurit itu telah mencapai dinding padesan. Hampir bersamaan pula dari ketiga jurusan. Sementara itu, para pengawal, anak-anak muda dan orang-orang Bumiagara yang lain telah siap pula menerima mereka. Demikian para prajurit itu meloncati dinding, maka ujung-ujung senjata pun telah menyambut mereka.

Namun, prajurit-prajurit Kediri itu adalah prajurit yang cukup berpengalaman. Karena itu, maka segera terjadi pertempuran yang sengit. Para prajurit yang berpengalaman itu telah diterima dengan garangnya pula oleh orang-orang Bumiagara. Orang-orang yang sudah tidak berpengharapan lagi. Namun justru karena itu maka mereka telah bertempur bagaikan harimau luka.

Orang-orang Bumiagara yang berjaga-jaga diregol padesan-pun telah memencar pula. Ternyata tidak ada seorang prajurit-pun yang mencoba menerobos masuk lewat regol padesan.

Dalam waktu yang singkat, maka telah terjadi dengan sengitnya. Kedua belah pihak bertempur dengan garang dan tanpa mengekang diri sama sekali. Para prajurit Kediri itu mendendam sampai keujung rambut, sementara oarng-orang Bumiagara tidak lagi mengharapkan akan dapat keluar dari lingkaran pertempuran itu. Mereka tentu akan mati membela kehormatan dan martabat tanah kelahirannya. Kampung halamannya yang akan menjadi korban pemerasan dari sekelompok orang yang telah memberontak terhadap Sri Baginda di Kediri itu.

Di padesan dilingkungan padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara yang menghadap ke arah pasukan induk yang datang menyerang itu, Ki Buyut sendirilah yang memimpin orang-orangnya untuk bertahan. Tanpa mengenal gentar Ki Buyut dengan pedang panjangnya telah bertempur langsung menghadapi para prajurit Kediri itu.

Dengan demikian maka orang-orang Bumiagara pun telah mengikuti jejaknya. Bersama dua orang cantrik Padepokan Bajra Seta. Orang-orang Bumiagara itu telah mengamuk seperti orang yang kehilangan nalar. Mereka sama sekali tidak memikirkan lagi, apakah mereka akan menang atau kalah. Yang penting bagi orang-orang Bumiagara adalah mempertahankan harga diri mereka. Sementara mereka sadar, bahwa mereka akan dihancurkan oleh lawan mereka. Lambat atau cepat.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya, dengan kasar dan bahkan liar. Mereka yang bertempur tidak mempunyai pikiran lain kecuali membunuh sebanyak-banyaknya. Baik para prajurit maupun orang-orang Bumiagara.

Namun dengan demikian, segera dapat diketahui bahwa orang-orang Bumiagara segera telah terdesak. Pemimpin prajurit Kediri yang memasuki sebuah desa di padukuhan induk yang dipertahankan anak-anak muda baik yang menjadi pengawal atau bukan pengawal bahkan oleh hampir semua laki-laki, yang dipimpin langsung oleh Ki Buyut bersama dua orang cantrik telah berteriak,

“Menyerahlah. Jika kalian menyerah dan bersedia memenuhi permintaan kami maka kami akan mempertimbangkan lagi hukuman yang telah kami jatuhkan terhadap Kabuyutan ini. Tetapi jika tidak, maka kami akan memusnahkan Kabuyutan ini sehingga yang tinggal hanyalah namanya saja. Semua yang hidup akan mati. Dan semua yang berujud akan musnah menjadi debu.”

Ternyata Ki Buyut mendengar teriakan itu. Karena itu ia pun menjawab, “Itu lebih baik bagi kami daripada menyerahkan seratus limapuluh anak muda dari Kabuyutan ini. Satu jumlah yang tidak masuk akal sama sekali.”

“Jika demikian, maka kalian akan menyesal,” teriak pemimpin prajurit itu.

“Tidak seorang pun akan menyesal,” jawab Ki Buyut, “jika kami semua terbunuh, maka tidak akan ada yang sempat menyesali keadaan yang bagaimanapun buruknya.”

“Bagus,” teriak pemimpin prajurit yang marah sampai keubun-ubun. Katanya kemudian sambil menggeretakkan giginya, “nampaknya kalian memang menghendaki Kabuyutan kalian musnah.”

Tidak terdengar jawaban. Namun pertempuran pun menjadi semakin garang. Kedua belah pihak benar-benar seperti orang-orang yang kehilangan akal. Mereka tidak lagi sempat mempergunakan nalar mereka lagi. Mata mereka seakan-akan telah menjadi gelap meskipun mereka masih dapat membedakan kawan dan lawan.

Tetapi, orang-orang Bumiagara memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Arus serangan prajurit Kediri yang tidak tunduk kepada pimpinan mereka itu bagaikan banjar bandang yang tidak terbendung. Namun dalam pada itu, ketika orang-orang Bumiagara sudah sampai ke puncak keputus-asaannya telah terjadi satu keajaiban yang tidak pernah diduga sebelumnya.

Ketika para prajurit Kediri itu mendesak orang-orang Bumiagara semakin ke dalam memasuki padesan-padesan di padukuhan induk, maka telah terdengar suara sangkakala yang bergaung di udara. Semakin lama terdengar semakin mendekati padesan-padesan di padukuhan induk.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit Kediri dan bahkan beberapa orang Bumiagara sempat melihat apa yang ada di luar padukuhan induk itu. Ketika didesak oleh keinginan untuk mengetahui suara apa yang bergaung itu, maka beberapa orang Bumiagara yang sempat menghindari pertempuran beberapa saat telah memanjat pepohonan. Demikian pula beberapa orang prajurit dari Kediri itu. Mereka sekedar ingin dapat melihat dari atas dinding padesan yang memang tidak terlalu tinggi.

Ternyata mereka telah dikejutkan oleh penglihatan mereka. Baik orang-orang Bumiagara, maupun para prajurit Kediri yang tidak patuh kepada atasannya itu. Orang-orang Bumiagara tidak tahu pasti apa yang sebenarnya mereka lihat karena mereka tidak pernah melihat sebelumnya ciri-ciri khusus dari apa yang mereka lihat. Namun para prajurit Kediri itulah yang berteriak, “Prajurit Kediri dari pasukan berkuda khusus.”

Pemimpin prajurit Kediri yang tidak tunduk kepada Sri Baginda itu terkejut. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya lantang, “Apa yang kau katakan?”

“Di luar berbaris pasukan berkuda khusus dengan tunggul Turangga Kencana,” jawab prajurit yang sempat melihat itu.

“Jangan mengigau,” bentak pemimpinnya.

“Aku memang melihatnya,” jawab prajurit itu.

Pemimpin prajurit Kediri yang tidak tunduk kepada pimpinannya menjadi tegang. Namun dalam pada itu, orang-orang Bumiagara yang melihat pasukan itu masih belum mengerti arti dari tunggul Turangga Kencana. Mereka juga tidak mengerti ciri-ciri dari Umbul-umbul dan rontek serta kalebet yang dibawa pasukan berkuda itu. Mereka pun tidak mengerti, apakah prajurit yang datang itu kawan atau pihak lain dari para prajurit yang telah lebih dahulu menyerang Kabuyutan Bumiagara itu.

Beberapa kali masih terdengar suara sangkakala yang justru semakin melekat di dinding padesan di padukuhan induk itu. Dengan demikian, maka umbul-umbul, rontek dan kelebet dari pasukan berkuda itu ujungnya telah nampak dari dalam dinding oleh orang-orang yang bertempur itu dari kedua belah pihak, sehingga pimpinan prajuti Kediri itu pun telah melihat pula ciri-ciri dari pasukan yang datangitu. Apalagi ketika ia sempat melihat tunggul Turangga Kencana. Maka pemimpin prajurit yang menyerang Kabuyutan Bumiagara itu percaya, bahwa yang ada di luar dinding adalah pasukan berkuda khusus dari Kediri.

Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa membawa kedua orang pengawalnya untuk memanjat dinding untuk berbicara langsung dengan Senapati dari pasukan yang datang itu. Apakah sebenarnya maksud kedatangan mereka. Demikian ia berdiri di atas dinding, maka Senapati dari pasukan berkuda itu telah mendekatinya sambil bertanya, “Siapa kau yang nampaknya ingin berbicara dengan aku? Aku adalah Senapati dari pasukan berkuda ini.”

“Apa maksudmu datang kemari?” bertanya pemimpin prajurit itu.

Tetapi Senapati dari pasukan berkuda yang di sisinya seorang prajurit yang membawa tunggul Turangga Kencana serta kelebet ciri khusus dari pasukan berkuda itu masih bertanya, “Siapa kau dan apa kedudukanmu?”

“Aku Senapati prajurit Kediri,” jawab orang itu.

“Dari kesatuan apa? Kenapa kau tidak menunjukkan ciri kesatuanmu?” bertanya Senapati dari pasukan berkuda itu.

Pemimpin prajurit Kediri itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apa hakmu menanyakan ciri-ciri kesatuan kami yang tidak berada dalam satu jalur kepemimpinan dengan kesatuanmu. Panglima pasukan kami tidak tunduk kepada panglima pasukanmu, karena kami tidak dari kesatuan pasukan berkuda khusus yang bertunggul Turangga Kencana.”

“Karena itu sebut kesatuanmu dan tunggul ciri pasukanmu?” teriak Senapati pasukan berkuda itu.

“Tidak ada gunanya,” jawab pemimpin prajurit yang berdiri di atas dinding itu.

“Jika demikian, maka demi nama baik serta citra prajurit Kediri maka aku perintahkan, atas nama Senapati Agung prajurit Kediri yang mengemban kebijaksanaan Sri Baginda, agar kalian meletakkan senjata, karena apa yang kalian lakukan di sini tidak sejalan dengan kebijaksanaannya.”

“Kau tidak berhak melakukan apa-apa di sini. Seandainya aku melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Senapati Agung di Kediri, maka itu adalah tanggung jawabku.”

Pemimpin prajurit Kediri yang berdiri di atas dinding itu pun berteriak. Lalu katanya pula masih berteriak, “Aku berada di wilayah Singasari.”

“Aku datang bersama beberapa orang perwira Singasari yang mengesahkan tindakan yang aku ambil. Karena itu kalian harus tunduk kepada perintah kami atau kami akan memaksa dengan kekerasan, karena pasukan kami juga bersenjata seperti kalian.” Senapati itu semakin menjadi marah.

Tetapi pemimpin prajurit yang menentang perintah Sri Baginda itu nampaknya juga tidak mau tunduk. Ia memang tidak mempunyai pilihan. Seandainya ia menyerah, maka ia akan diadili sebagai seorang pengkhianat, sehingga tidak mustahil bahwa lehernya akan dipertaruhkan. Sedangkan apa yang telah dilakukannya, nampaknya tidak akan dapat dihentikan pula. Pertempuran terjadi dengan sangat garangnya.

Namun pemimpin prajurit itu menyadari, jika prajurit Kediri dari pasukan berkuda itu turun ke medan, maka keadaannya akan menjadi terbalik sama sekali. Yang akan bertempur dengan putus asa bukan lagi orang-orang Bumiagara, tetapi orang-orangnya.

Ternyata bahwa mimpi buruk itu akan terjadi. Senapati dari pasukan berkuda itu pun kemudian berkata, “Aku perintahkan sekali lagi. Letakkan senjata kalian dan kalian harus berkumpul di luar regol padukuhan.”

Sebenarnyalah tidak ada pilihan lain kecuali bersikap seperti orang-orang Bumiagara. Melakukan perlawanan habis-habisan. Karena itu, maka katanya, “Jumlah kalian tidak seberapa meskipun kalian merasa bahwa prajurit dari pasukan berkuda adalah prajurit pilihan. Tetapi itu hanya sebuah mimpi dari prajurit yang jarang melihat medan. Sekarang, kalian akan menghadapi pasukan khusus dari kesatuan pengawal perbatasan. Yang justru sedang mengemban tugas menyusup dari Singasari memburu kejahatan. Kalian seharusnya mendukung tugas-tugas kami, bukan malahan menghambat pelaksanaannya.”

“Kalian tidak usah membual. Jika kalian menjalankan tugas, kalian tentu dapat menunjukkan pertanda tugas kalian.”

“Persetan,” geram pemimpin prajurit yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri, “jangan menyesal jika kalian akan kami hancurkan di sini.”

Pemimpin prajurit Kediri yang telah menyerang Bumiagara itu segera memberikan isyarat kepada kedua orang pengawalnya untuk menyiapkan sebagian dari pasukannya untuk menghadapi prajurit Kediri dari pasukan berkuda itu, yang menurut penglihatannya jumlahnya tidak terlalu banyak. Apalagi pemimpin prajurit itu menganggap bahwa Senapati dari pasukan berkuda itu tidak mengetahui bahwa pasukannya telah dibagi menjadi tiga bagian sementara yang lain telah menyerang dari arah yang berbeda.

Dalam pada itu, Senapati dari pasukan berkuda itu pun segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bersiap. Lima orang di antaranya diperintahkan untuk menjaga kuda-kuda mereka yang ditambatkan di pepohonan di luar padukuhan. Sementara yang lain pun segera berlari-larian ke arah dinding desa yang tidak terlalu tinggi.

Sementara itu sebagian prajurit Kediri yang telah menyerang Bumiagara telah ditarik untuk menyongsong prajurit berkuda yang datang menyusul itu. Pemimpin prajurit yang menyerang Bumiagara itu telah menempatkan diri untuk menghadapi prajurit Kediri dari pasukan berkuda yang dinilainya lebih berbahaya.

Namun dalam pada itu, dengan ditariknya sebagian dari prajurit Kediri yang menyerang Bumiagara, maka tekanan terhadap pengawal dan anak-anak muda Bumiagara terasa berkurang. Ki Buyut dan kedua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang memimpin orang-orang Bumiagara itu merasa dapat sedikit bernafas. Sementara itu anak- anak mudanya masih bertempur dengan garangnya.

Sejenak kemudian, para prajurit dari pasukan berkuda itu pun tela meloncati dinding padesan. Demikian mereka meloncat turun maka lawan mereka telah menyongsongnya. Sementara pemimpin prajurit yang menyerang Bumiagara itu berteriak sengaja untuk mengganggu pemusatan perhatian dan para prajurit berkuda itu. Katanya,

“Kau kira bahwa apa yang kau lakukan itu akan menyelesaikan persoalan dan menolong orang-orang Bumiagara? Ketahuilah bahwa pasukan kami yang besar tidak hanya memasuki padukuhan induk dari satu jurusan. Seandainya kalian dapat mendesak kami di medan ini, namun di medan yang lain, Bumiagara akan dihancurkan dan bahkan dimusnahkan. Sementara itu akan datang gilirannya bahwa kalianpun akan kami musnakan. Pasukan kami akan dapat kami panggil ke medan ini setiap saat, karena mereka akan dengan cepat menyelesaikan tugas mereka membantai orang-orang Bumiagara.”

Namun Senapati yang memimpin prajurit Kediri dari pasukan berkuda itu justru tertawa. Katanya, “Petugas-petugas sandi kami telah mengetahui segala-galanya yang terjadi di Bumiagara. Kami memang sedang melacak pasukan Kediri yang telah melawan kebijaksanaan Senapati Agung di Kediri. Tetapi pada saatnya kami sadari bahwa pasukan kami terlalu kecil, sementara kami tidak sempat lagi untuk kembali ke Singasari. Karena itu, maka kami telah menghubungi Padepokan Bajra Seta yang pada suatu saat juga pernah berhubungan dengan kawan-kawan kalian. Atau bahkan mungkin ada di antara kalian yang saat itu berhasil melarikan diri dari Padepokan Bajra Seta.”

Pemimpin prajurit yang menyerang Bajra Seta itu mengeram. Dengan kemarahan yang menyala di dalam dadanya ia menggeram, “Iblis kau. Apapun yang kau lakukan, kami akan memusnakan kalian pada saatnya nanti.”

Dua kelompok gabungan antara prajurit berkuda dan para cantrik Padepokan Bajra Seta telah membantu orang-orang Bumiagara di kedua medan yang lain. Mereka akan menyelesaikan pertempuran dengan cara mereka. Kedua orang pemimpin Padepokan Bajra Seta telah berada di kedua medan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi diri bersama beberapa orang cantriknya. Sehingga akhir dari pertempuran ini telah dapat diduga.

Pemimpin prajurit yang memimpin serangan ke Kabuyutan Bumiagara itu menggeretakkan giginya. Namun sudah tidak ada jalan kembali. Sementara orang-orang Bumiagara telah bertempur tanpa kendali. Mereka mengamuk seperti harimau yang terluka. Karena itu, maka pemimpin prajurit yang melawan kebijaksanaan Senapati Agung di Kediri itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur sampai akhir.

Demikianlah maka pertempuran pun telah membakar seluruh padukuhan induk Bumiagara dan berpusat ditiga medan yang semakin lama menjadi semakin sengit. Kehadiran prajurit berkuda dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta telah benar-benar mempengaruhi keseimbangan. Dengan kehadiran mereka, maka sebagian dari prajurit Kediri yang melawan pimpinan mereka itu harus meninggalkan lawan-lawan mereka untuk menghadapinya. Mereka yang dengan penuh dendam berniat membantai orang-orang Bumiagara, ternyata harus menghadapi lawan yang lain, yang memiliki kemampuan prajurit pilihan.

Kehadiran prajurit Kediri bersama-sama dengan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu benar-benar satu keajaiban Sebagaimana dimohon oleh orang-orang Bumiagara. Ternyata doa mereka yang ketakutan di tempat-tempat mereka mengungsi telah didengar oleh Yang Maha Agung, sehingga telah menggerakkan para prajurit Kediri dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta untuk turun kemedan pertempuran.

Sebenarnyalah bahwa prajurit Kediri yang menyerang Kabuyutan Bumiagara itu tidak lagi berpengharapan. Meskipun untuk beberapa saat mereka mampu bertahan, namun mereka segera menemui kesulitan ketika mereka mendapat tekanan dari dua sisi kekuatan yang ternyata sulit untuk ditahan.

Namun, pemimpin prajurit yang melawan perintah atasannya itu berkeras untuk bertempur sampai kemampuan terakhir. Sikap Ki Buyut Bumiagara yang putus asa itu telah menyelinap kedalam jantungnya sehingga ia pun telah melakukannya pula. Daripada mengorbankan harga dirinya apalagi dengan kesadaran bahwa ia akan dibebani tanggung jawab atas peristiwa di Bumiagara itu serta bayangan hukuman yang akan disandangnya, maka ia memilih untuk bertempur sampai akhir.

“Aku tidak mau diperas sampai darahku kering untuk mengaku jalur yang aku anut sampai ke pimpinan tertinggi dari para pemimpin Kediri yang sadar akan harga dirinya,” berkata pemimpin prajurit itu kepada diri sendiri. Karena itu memilih untuk menyelesaikan tekadnya sampai sekian.

Demikianlah pertempuran pun menjadi semakin lama semakin garang, keras dan bahkan menjadi buas dan liar. Orang-orang Bumiagara memang mulai berpengharapan. Tetapi mereka sudah terlanjur bertempur dengan cara yang sudah mereka mulai dalam keputus-asaan.

Sementara itu, prajurit-prajurit Kediri yang menyerang Bumiagara itu pun kemudian telah dihinggapi perasaan yang sama dengan orang-orang Bumiagara, sehingga mereka pun telah kehilangan kendali perasaan mereka.

Sementara itu di kedua medan yang lain, telah bertempur pula dengan garangnya, para prajurit Kediri dari pasukan berkuda yang jumlahnya tidak terlalu banyak bergabung dengan para cantrik Padepokan Bajra Seta. Mereka memasuki medan dengan jumlah yang terbatas. Tetapi mereka adalah prajurit pilihan bersama para cantrik yang terpilih pula.

Prajurit Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri serta telah menyerang Bumiagara karena orang-orang Bumiagara menolak untuk diperas itu, harus memeras kemampuan mereka. Meskipun jumlah lawan mereka yang baru tidak terlalu banyak, tetapi dengan membagi kekuatan, maka para prajurit Kediri yang menyerang Bumiagara itu telah mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, para pengawal, anak-anak muda serta laki-laki Bumiagara yang ikut bertempur menjadi berbesar hati ketika mereka menyadari, bahwa telah datang sepasukan prajurit dan para cantrik dari Bajra Seta untuk membantu mereka dapat memperingan beban orang-orang Bumiagara. Bahkan orang-orang Bumiagara telah berpengharapan lagi. Mereka mulai melihat kemungkinan yang lain dari kehancuran dan kebinasaan yang bakal terjadi di Bumiagara.

Namun harapan itu sama sekali tidak mengendorkan tekad mereka untuk bertempur dengan sepenuh kemampuan. Ketika sebagian dari lawan mereka harus bertempur menghadapi para prajurit dan cantrik yang datang membantu mereka, maka orang-orang Bumiagara itu telah bersorak gemuruh. Seakan-akan mereka meneriakkan sorak kemenangan atas lawan mereka, meskipun hal itu belum terjadi.

Para prajurit Kediri yang menyerang Bumiagara itu mengumpat sejadi-jadinya. Sambil mengayunkan senjata mereka, mereka berusaha untuk mendesak terutama orang-orang Bumiagara. Mereka ingin menyelesaikan orang-orang Bumiagara lebih dahulu, meskipun sebagian dari mereka terpaksa menahan arus serangan pasukan yang baru datang itu.

Ternyata para prajurit Kediri dari pasukan berkuda dan para cantrik itu mempunyai kekuatan yang besar meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada pula di kedua pasukan itu. Mahisa Murti di satu medan dan Mahisa Pukat berada di medan yang lain.

Ternyata kedua orang itu sulit untuk ditahan meskipun oleh sekelompok orang sekalipun. Bersama pasukannya keduanya menerobos pertahanan lawan dan berusaha bergabung dengan orang-orang Bumiagara yang tidak memiliki pengalaman sebagaimana para prajurit. Mereka hanya memiliki keberanian dan tekad untuk mempertahankan harga diri mereka sebagai orang-orang Bumiagara yang akan diperas oleh para prajurit-prajurit Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda itu.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, di medan yang lain ternyata mempunyai kebijaksanaan yang sama yang ternyata agak berbeda dengan Senapati prajurit Kediri yang bertempur melawan pimpinan prajurit yang menyerang Bumiagara itu. Senapati itu berusaha untuk menjepit lawannya dari dua arah. Pasukannya sendiri dari satu arah dan orang-orang Bumiagara dari arah yang lain.

Namun, akibatnya hampir sama bagi prajurit yang menyerang Bumiagara itu. Meskipun para prajurit dari pasukan berkuda itu tidak berusaha membelah pasukan lawannya dan bergabung dengan orang-orang Bumiagara sekaligus melindungi mereka, namun dengan menghisap sebagian dari para prajurit yang menyerang Bumiagara maka orang-orang Bumiagara itu merasa mendapat kesempatan untuk memberikan perlawanan.

Sebenarnyalah, bahwa para prajurit Kediri yang menyerang Bumiagara itu mengalami kesulitan yang tidak akan dapat mereka atasi. Pasukan berkuda yang jumlahnya tidak terlalu banyak itu bersama-sama dengan para cantrik dari Padepokan serta orang-orang Bumiagara merupakan kekuatan yang sulit untuk dapat dikalahkan.

Berbeda dengan pasukan induk para prajurit Kediri yang menyerang Bumiagara, yang mengikuti jejak serta perintah pimpinannya yang pantang menyerah, maka di medan yang lain, para prajurit itu mempunyai sikap yang lain. Tanpa pemimpin mereka yang menjadi putus asa dan tidak berpengharapan lagi karena ia merasa bertanggung jawab, serta kemungkinan untuk diperas keterangannya dan bahkan tiang gantungan, maka prajurit-prajurit itu merasa lebih baik menyerah daripada harus dibantai oleh orang-orang Bumiagara. Mereka berharap bahwa para prajurit dari pasukan berkuda serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu mau melindungi mereka.

Karena itu, setelah mereka tidak melihat lagi kemungkinan lain, maka para prajurit yang diserahi pimpinan di kedua medan itu menganggap bahwa menyerah dan minta perlindungan para prajurit pasukan berkuda serta para cantrik adalah jalan yang terbaik.

Adalah satu hal yang mereka harapkan bahwa ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah berteriak, “Masih ada kesempatan untuk menyerah.”

Para prajurit yang menyerang Bumiagara itu semula memang ragu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mempunyai kebijaksanaan yang sama itu telah mengulanginya, sehingga para prajurit itu segera mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Beberapa orang di antara mereka langsung melepaskan senjata-senjata mereka. Namun yang lain sempat mengambil jarak.

Yang kemudian menjadi sibuk adalah para prajurit dari pasukan berkuda serta para cantrik. Ternyata sulit sekali bagi mereka untuk menahan arus kemarahan orang-orang Bumiagara, telah timbul harapan untuk dapat mempertahankan Kabuyutan mereka, namun darah mereka tidak segera dapat didinginkan. Tangan mereka yang menggenggam senjata masih saja gemetar sementara jantung mereka masih tetap membara.

Namun para prajurit dari pasukan berkuda dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencegah agar tidak terjadi pembantaian atas orang-orang yang sudah menyerah itu. Tetapi akhirnya usaha mereka berhasil. Meskipun para prajurit dari pasukan berkuda serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu harus mengancam orang-orang Bumiagara.

Berbeda dengan kedua medan yang lain, maka para prajurit yang bertempur di medan yang langsung dipimpin oleh para Senopati masing-masing, justru tidak dapat dihentikan. Beberapa kali Senopati prajurit dari pasukan berkuda itu meneriakkan kesempatan untuk menyerah. Tetapi pimpinan prajurit yang menyerang Bumiagara itu sama sekali tidak menghiraukan. Setiap kali justru meneriakkan perintah kepada para prajuritnya untuk melawan sampai kemungkinan terakhir.

“Bagi seorang prajurit,” teriak pemimpin prajurit yang memberontak itu, “dari pada mati di tiang gantungan, lebih baik mati di pertempuran dengan pedang di tangan.”

“Tetapi bunuh diri adalah salah satu laku yang tidak terpuji.” berkata Senopati dari pasukan berkuda itu dengan lantang, “sebagai seorang laki-laki jantan kalian harus berani melihat kenyataan. Kalian harus mengakui bahwa kalian tidak akan dapat melawan kekuatan yang nyata-nyata kalian hadapi. Jika kalian ingin berjuang sampai mati, untuk apa sebenarnya kalian berjuang dengan mempertaruhkan nyawa kalian? Untuk tegaknya Kediri atau untuk mendapatkan sekedar bekal dan harta benda di Kabuyutan Bumiagara atau untuk melakukan perampokan dan pemerasan di Kabuyutan-Kabuyutan yang lain? Itukah yang ingin kalian lakukan sebagai seorang prajurit?”

“Jangan terpengaruh oleh kata-katanya yang mencerminkan kecemasannya setelah melihat keperkasaan kita,” teriak pemimpin prajurit yang melawan perintah itu.

Kadang-kadang memang terbersit keraguan-keraguan di hati para prajurit yang melawan perintah itu. Namun setiap pimpinannya meneriakkan perintah-perintah yang membakar jantung mereka, maka darah mereka pun telah mendidih lagi, sehingga senjata mereka pun telah terangkat dan terayun kembali.

Namun lawan mereka memang lebih kuat dan lebih banyak. Para prajurit dari pasukan berkuda itu, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, namun mereka memiliki kemampuan yang tidak kalah dar para prajurit yang memberontak itu. Sementara itu orang-orang Bumiagara yang melawan dengan darah yang bergelora, merupakan lawan yang cukup berat.

Dengan demikian, maka semakin lama para prajurit itu semakin mengalami kesulitan. Jumlah mereka pun semakin berkurang karena setiap kali satu dua di antara mereka jatuh terkulai di tanah. Ada di antara mereka yang terbunuh, namun ada pula yang terluka parah sehingga tidak mampu bangkita lagi untuk bertempur.

Namun para prajurit itu benar-benar tidak berniat untuk menyerah. Meskipun jumlah mereka semakin susut, tetapi yang masih hidup telah memberikan perlawanan tanpa kendali. Seakan-akan mereka udah tidak mampu lagi berpikir dan membuat perhitungan atas pertempuran yang terjadi.

Senapati dari pasukan berkuda itu masih saja setiap kali memperingatkan agar para prajurit yang memberontak itu menyerah saja. Namun suaranya hilang ditelan oleh teriakan-teriakan pemimpin prajurit yang memberontak itu membakar hati para pengikutnya.

Sementara pertempuran masih menyala di medan pertempuran antara kedua pasukan induk itu, maka di kedua medan yang lain, keadannya sudah jauh berbeda. Meskipun para prajurit dari pasukan berkuda dan para cantrik masih harus mengawasi orang-orang Bumiagara yang mendendam, namun agaknya mereka benar-benar telah menguasai keadaan.

Karena itu, maka para prajurit dari pasukan berkuda itu telah membagi diri. Sekelompok di antara mereka telah diperintahkan untuk pergi ke pasukan induk. Perintah itu semula diberikan oleh perwira yang memimpin pasukan berkuda yang bertempur bersama para cantrik yang dipimpin oleh Mahisa Murti. Namun ia pun telah memerintahkan dua orang untuk menghubungi pasukan di medan yang lain agar memberikan perintah yang sama.

Dengan demikian maka dua kelompok pasukan berkuda meskipun jumlahnya tidak begitu banyak, tetapi telah menambah jumlah prajurit dari pasukan berkuda yang bertempur di medan yang masih dibakar oleh pertempuran yang semakin liar itu. Dengan putus asa prajurit yang memberontak itu bertempur tanpa perhitungan lagi. Mereka mengamuk seperti orang-orang mabuk yang kehilangan akal. Namun, kedatangan kelompok-kelompok prajurit dari pasukan berkuda itu agaknya akan mempercepat penyelesaian. Meskipun dua kelompok prajurit berkuda itu tidak banyak jumlahnya namun kehadiran mereka telah menentukan akhir dari pertempuran itu.

Sementara itu, pemimpin dari para prajurit yang memberontak itu telah bertempur tanpa perhitungan lagi. Dengan garangnya ia menyerang Senapati prajurit berkuda yang ternyata telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. Namun, malang bagi Senapati perajurit yang telah memberontak itu. Ternyata yang dihadapi kemudian bukan saja Senapati dari prajurit berkuda yang memiliki kemampuan yang tinggi itu. Dua orang prajurit yang melihat pertempuran itu telah mencampurinya karena keduanya tidak lagi berhadapan dengan lawan setelah dua kelompok prajurit dari pasukan berkuda dari medan yang lain datang untuk membantu.

Dengan demikian, maka perlawanan pemimpin prajurit yang menyerang dan memeras Bumiagara itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika ia menjadi semakin terdesak, serta segores luka telah menyilang didadanya, ia pun berteriak, “Kalian bukan prajurit sejati. Dengan licik kalian telah bertempur bertiga melawan seorang. Jika kalian benar-benar prajurit sejati, maka kita akan menyelesaikan persoalan kita seorang lawan seorang.”

“Kita tidak berperang tanding,” jawab Senapati prajurit dari pasukan berkuda itu. “Karena itu tidak ada kewajiban untuk bertempur seorang melawan seorang. Dalam perang brubuh, maka siapa pun boleh berhadapan dengan siapapun. Kenapa kau tidak memerintahkan prajurit-prajuritmu untuk membantumu sehingga kita dapat berhadapan seorang melawan seorang?”

“Setan kau,” geram pemimpin prajurit yang memberontak itu, “kau kerahkan prajurit-prajurit dalam jumlah yang lebih besar dari prajuritku. Sementara itu orang-orang Bumiagara telah menjadi seperti orang-orang kesurupan.”

“Jumlah prajuritmu sebenarnya cukup besar. Tetapi seorang demi seorang telah kehilangan kesempatan untuk bertempur terus. Karena itu, menyerahlah. Aku masih memberimu kesempatan.”

“Persetan. Sudah aku katakan, bahwa aku pantang menyerah. Kematian nampaknya lebih terhormat daripada menjadi seorang tawanan yang diikat kaki dan tangannya,” jawab pemimpin prajurit yang memberontak itu.

Senapati itu pun kemudian telah kehilangan kesabarannya. Karena itu maka ia pun telah meneriakkan perintah, “Siapa yang tidak mau menyerah, tidak ada pilihan lain lagi kecuali dibinasakan.”

Perintah itu pun seakan-akan telah mengumandang diseluruh medan pertempuran. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun segera sampai kepuncaknya. Para prajurit dari pasukan berkuda itu seakan-akan memang telah kehilangan kesabarannya, sehingga dengan demikian maka mereka pun benar-benar berniat untuk menyelesaikan lawan mereka sampai orang yang terakhir jika mereka memang berkeras untuk tidak mau menyerah.

Sementara itu, pemimpin dari para prajurit yang memberontak itu benar-benar tidak mau menyerah. Dengan garang ia melawan ketiga orang prajurit dari pasukan berkuda itu. Seorang di antara mereka adalah justru Senapatinya. Namun pemimpin prajurit yang memberontak itu tidak dapat bertahan terlalu lama. Segores lagi luka telah mengoyak lengannya. Kemudian pundaknya dan punggungnya.

Tetapi prajurit yang terluka itu justru menjadi semakin garang. Ia seakan-akan tidak merasa betapa pedih menggigit kulit dagingnya. Bahkan sekali-sekali terdengar ia berteriak marah dam mengumpat dengan kasar. Tetapi pada suatu saat, ia pun sampai kepada batas kemampuan wadagnya. Ketika darah semakin banyak mengalir serta tenaganya bagaikan telah terperas habis, maka ia pun menjadi terhuyung-huyung. Bahkan hampir saja kehilangan kemampuannya untuk berdiri dalam keseimbangannya.

Dalam keadaan yang demikian, maka sambil menjulurkan, pedangnya, Senapati pasukan berkuda itu berkata, “Menyerahlah. Ini kesempatan terakhir bagimu.”

Tetapi yang terjadi memang sangat mengejutkan. Dengan serta merta, serta mempergunakan tenaga terakhirnya, pemimpin prajurit yang telah memberontak itu meloncat ke arah ujung pedang yang terjulur untuk mengancamnya itu. Demikian tiba-tiba sehinggga Senapati dari pasukan berkuda itu tidak sempat menarik pedangnya. Karena, itu, maka ujung pedang Senapati dari pasukan berkuda itu telah terhunjam didadanya.

Masih terdengar pemimpin prajurit yang memberontak itu berteriak penuh kemarahan dan kebencian. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara. Namun suara itu pun kemudian seakan-akan telah meluncur naik ke langit dan hilang ditelan mulut-mulut lembah yang menganga di tepi Kabuyutan itu.

Sejenak suasana menjadi hening. Orang-orang yang sedang bertempur itu seakan-akan telah membeku sejenak. Namun kemudian mereka pun segera sadar dari mimpi buruk yang telah terjadi itu. Namun ketika pertempuran itu mulai lagi, terdengar suara Senapati itu mengumandang, “Letakkan senjata. Tidak ada pilihan lagi bagi kalian tanpa pemimpin kalian itu.”

Bagi para prajurit Kediri yang memberontak itu, teriakan Senapati prajurit dari pasukan berkuda itu rasa-rasanya memang menjadi berbeda. Jika semula teriakan yang selalu disambut oleh pimpinan mereka itu seakan-akan justru membakar jantung mereka, namun teriakan yang terakhir, setelah pimpinan mereka terbunuh di peperangan, suara itu bagaikan ancaman hukuman mati bagi mereka yang tidak mau mendengarnya. Karena itu, maka keberanian yang menyala dalam keputusasaan itu sekan-akan telah menjadi redup.

Ketika Senapati itu sekali lagi memberi kesempatan, maka mereka tidak menunggu lagi. Berebutan mereka menyerahkan diri kepada para prajurit dari pasukan berkuda dan justru menghindari orang-orang Bumiagara yang seakan-akan tidak lagi mampu menahan diri. Namun prajurit dari pasukan berkuda itu pun tanggap akan keadaan. Apalagi mereka yang datang dari medan yang lain. Dengan tangkasnya mereka berusaha untuk menahan agar orang-orang Bumiagara tidak bertindak di luar kendali.

Memang sulit untuk meredakan kemarahan orang-orang Bumiagara yang semula telah berputus-asa. Mereka seakan-akan bertempur sambil memejamkan mata mereka. Namun akhirnya setelah dengan sungguh-sungguh berusaha, prajurit dari pasukan berkuda itu mampu melerai pertempuran itu meskipun di sana-sini justru telah terjadi ketegangan antara orang-orang Bumiagara dengan pasukan berkuda itu sendiri.

Namun akhirnya Ki Buyut sendiri telah memerintahkan agar orang-orang Bumiagara segera menyarungkan senjata mereka. “Perang telah selesai,” berkata Ki Buyut, “satu keajaiban telah terjadi. Bumiagara tidak binasa. Kita masih melihat bangunan yang tegak di atas tanah Bumiagara dan sudah tentu keluarga kita masih melihat bangunan yang tegak di atas tanah Bumiagara dan sudah tentu keluarga kita masih selamat di tempat-tempat pengungsian mereka.”

Suara Ki Buyut itu ternyata telah menyentuh setiap hati orang-orang Bumiagara. Karena itu, maka mereka pun telah mengendorkan deru jantung di dalam dada mereka. Beberapa orang telah menyarungkan senjata mereka meskipun masih ada yang ragu-ragu.

Demikianlah, pertempuran di seluruh medan di Kabuyutan Bumiagara telah benar-benar selesai. Prajurit Kediri yang memberontak dan berniat untuk memeras Kabuyutan Bumiagara telah menyerah setelah mereka mengorbankan kawan-kawan mereka dan bahkan pimpinan mereka. Yang tersisa di antara mereka harus merelakan diri mereka menjadi tawanan.

Mereka sadar, bahwa sebagai orang prajurit yang menentang kebijaksanaan Senapati Agung Kediri, mereka tentu akan mendapat hukuman yang berat. Namun tanggung jawab mereka sebagian telah dipikul oleh pimpinan mereka yang telah terbunuh di peperangan. Bahkan telah membunuh dirinya sendiri dengan mendorong dirinya sendiri ke ujung pedang lawannya. Meskipun demikian mereka tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya serta mencuci tangan.

Di sisa hari itu, padukuhan induk Bumiagara menjadi sibuk. Bukan lagi terjadi pertempuran, tetapi mereka tengah mengumpulkan tubuh anak-anak muda, para pengawal dan bahkan orang-orang yang sudah lebih tua yang gugur di peperangan. Mereka juga mengumpulkan orang-orang Bumiagara yang telah terluka.

Demikian pula telah dilakukan oleh para prajurit Kediri dari pasukan berkuda. Bahkan juga para tawanan yang dijaga dengan ketat oleh para prajurit dari pasukan berkuda. Para prajurit dari pasukan berkuda tidak menyerahkan pengawasan para tawanan kepada orang-orang Bumiagara. Namun mereka lebih percaya kepada para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, karena orang-orang Bumiagara yang masih saja marah itu akan dapat berbuat sesuatu di luar dugaan terhadap para prajurit yang mereka anggap hampir saja memusnahkan Kabuyutan mereka.

Ternyata tugas itu tidak dapat dengan cepat diselesaikan. Ketika langit menjadi gelap, maka obor-obor pun telah dipasang dimana-mana. Juga oncor jarak dan bahkan obor-obor belarak.

Sementara itu di pendapa rumah Ki Buyut, Senapati dari pasukan berkuda, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk dengan beberapa orang bebahu Kabuyutan dan beberapa orang perwira prajurit dari pasukan berkuda.

Berulang kali Ki Buyut mengucapkan terima kasih atas kehadiran prajurit dari pasukan berkuda Kediri serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang telah menyelamatkan Kabuyutan Bumiagara.

“Yang terjadi adalah satu keajaiban. Kami sama sekali tidak mengira bahwa kami akan mendapat pertolongan. Kami sudah berputus-asa dan menduga bahwa esok pagi, matahari yang terbit tidak akan dapat melihat lagi Kabuyutan Bumiagara tergelar di muka bumi. Namun ternyata bahwa sampai saat ini Bumiagara masih utuh. Jika ada korban yang jatuh, itu adalah tumbal bagi keselamatan Kabuyutan ini. Bahkan bukan saja orang-orang Bumiagara yang gugur di pertempuran, tetapi juga para prajurit dari pasukan berkuda dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta,” berkata Ki Buyut itu dengan bersungguh-sungguh.

“Itu adalah kewajiban kami,” berkata Senapati dari pasukan berkuda itu.

Ki Buyut termangu-mangu. Dengan nada dalam ia berkata, “Kami sudah berputus asa. Rasa-rasanya tidak ada yang dapat menolong kami. Kabuyutan ini pasti akan hancur menjadi debu. Semua yang hidup akan mati dan semua ujud akan lebur. Hanya keajaiban sajalah yang dapat menyelamatkan Kabuyutan ini. Keajaiban karya Yang Maha Agung sendiri.”

“Bersukurlah kepada Yang Maha Agung,” berkata Mahisa Murti, “Yang terjadi memang satu keajaiban. Namun, lantaran dari keajaiban ini adalah kerja keras para petugas sandi dari Kediri bekerja sama dengan petugas-petugas sandi dari Singasari.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara itu ia melihat Ki Jagabaya berada di halaman. Lima orang prajurit Kediri yang datang untuk memeras Kabuyutan Bumiagara itu masih terikat pada tiang di halaman Kabuyutan.

Sambil berdiri di hadapan mereka Ki Jagabaya berkata, “Nah, sekarang kalian melihat, bahwa bukan kalian yang menentukan hidup matinya orang-orang Bumiagara. Yang kau duga akan lenyap bersama lenyapnya Kabuyutan Bumiagara ternyata tidak terjadi. Meskipun jatuh korban dari antara orang-orang Bumiagara, bahkan para prajurit Kediri dan para cantrik Padepokan Bajra Seta, namun sebagian besar dari kami masih tetap hidup. Sebaliknya prajurit Kediri yang memberontak itu, termasuk kalian, yang kalian harapkan akan dapat meratakan Kabuyutan ini dan membawa harta benda yang ada di atasnya sebagai barang rampasan, hanyalah sekedar sebuah mimpi yang buruk.”

Kelima orang yang terikat itu tidak berani lagi mengangkat wajah mereka. Mereka tahu apa yang telah terjadi di Bumiagara. Pasukan Kediri yang datang bersamanya untuk memeras Kabuyutan itu telah dihancurkan mutlak. Memang masih ada yang hidup di antara mereka, namun mereka telah menjadi tawanan. Mereka tidak mempunyai kesempatan lagi untuk bangkit, karena mereka jatuh ketangan para prajurit Kediri yang tiba-tiba saja datang.

“Kalian akan digiring sebagai tawanan dengan kaki dan tangan terikat menuju ke Kediri. Jarak yang panjang. Namun itu adalah akibat yang wajar dari tingkah laku kalian sendiri.” berkata Ki Jagabaya.

Kelima orang itu masih tetap, menunduk. Sementara Ki Jagabaya masih berkata, “untunglah, bahwa kami belum melaksanakan ancaman kami untuk menghukum kalian dengan hukuman picis. Seandainya hal itu kami laksanakan, maka kalian akan mengalami penderitaan yang sangat pedih.”

Yang terdengar adalah desah yang panjang. Orang-orang itu memang merasa ngeri membayangkan hukuman picis yang akan ditrapkan atas mereka. Karena itu, di samping kegelisahan bahwa mereka akan menjadi tawanan, ada juga sepercik perasaan sukur, bahwa mereka tidak mengalami hukuman picis.

Ki Buyut yang menyaksikan pembicaraan Ki Jagabaya dengan kelima orang yang lebih banyak menunduk itu hanya dapat menarik nafas dalam, sementara para perwira Prajurit Kediri dari pasukan berkuda serta salah seorang perwira dari Singasari yang menyertai pasukan itu dapat menangkap apa yang akan dilakukan oleh orang-orang Bumiagara atas mereka.

“Merekalah yang telah datang memasuki Kabuyutan untuk menyampaikan tuntutan mereka dalam usaha mereka memeras Kabuyutan ini,” berkata Ki Buyut.

“Apakah mereka langsung ditangkap?” bertanya Senapati pasukan berkuda itu.

“Ya. Kami tidak memberi kesempatan mereka meninggalkan Kabuyutan,” jawab Ki Buyut.

“Itukah sebabnya maka prajurit-prajurit yang memberontak itu mempergunakan kekerasan?” bertanya Senapati itu pula.

“Ya. Tetapi kami memang tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Ki Buyut, “mereka telah melakukan pemerasan yang tidak masuk akal. Mereka minta beberapa pedati beras. Itu tidak membuat kami kehilangan akal. Namun ketika mereka minta sejumlah anak-anak muda, bahkan tidak tanggung-tanggung, maka kami justru kehilangan akal. Kami berniat untuk membunuh diri bersama-sama se Kabuyutan.”

“Berapa orang yang diminta?” bertanya Mahisa Pukat.

“Seratus lima puluh,” jawab Ki Buyut.

“Seratus lima puluh,” Mahisa Pukat mengulang.

Ki Buyut mengangguk, sementara Senapati pasukan berkuda itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Memang satu hal yang tidak masuk akal.”

Senapati itu pun telah menceriterakan pula bagaimana para petugas sandi Kediri dan Singasari bekerja keras, sehingga mereka dapat mengikuti gerak sepasukan prajurit Kediri. Namun ternyata perhitungan mereka salah. Pasukan itu terlalu besar untuk langsung disergap oleh para prajurit Kediri.

Sementara itu para petugas sandi mendapat keterangan tentang hubungan buruk antara prajurit Kediri yang memberontak itu dengan Kabuyutan Bumiagara. Karena mereka tidak sempat lagi menghubungi Kediri maupun Singasari, maka mereka telah menghubungi Padepokan Bajra Seta atas petunjuk salah seorang perwira Singasari yang ikut dalam pasukan berkuda dari Kediri itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat ingkar, terutama kepada diri sendiri, bahwa ketamakannya telah membawa akibat yang panjang dan mengerikan. Keinginannya mengambil seorang cantrik dari Bumiagara mengakibatkan berbagai peristiwa yang minta korban jiwa. Bahkan terlalu banyak. Namun yang sudah terlanjur terjadi itu memang tidak akan dapat dihapuskan dari kenyataan.

Di hari berikutnya, maka Bumiagara telah berbenah diri. Orang-orang yang mengungsi ke padukuhan induk telah dianjurkan untuk kembali ke padukuhan masing-masing. Namun ada di antara mereka yang sudah tidak lengkap lagi. Anak laki-laki yang diharapkan menjadi lanjaran keluarga mereka, suami yang belum setahun menikah, kakak atau adik, ternyata tinggallah namanya saja. Mereka telah gugur di pertempuran untuk mempertahankan harga diri Kabuyutan Bumiagara serta pemerasan yang tidak masuk akal. Namun yang gugur itu tidak sebanyak anak-anak muda yang dituntut oleh prajurit Kediri yang telah memberontak itu.

Prajurit Kediri serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta tidak tergesa-gesa meninggalkan Kabuyutan itu. Mereka masih diminta untuk ikut berjaga-jaga. Mungkin masih dapat terjadi sesuatu di Kabuyutan itu. Namun para petugas sandi dari Kediri telah meyakinkan, bahwa kekuatan para prajurit yang memberontak itu telah dipatahkan. Bukan hanya di Kabuyutan Bumiagara, tetapi juga di tempat lain. Bahkan di tlatah Kediri sendiri.

Tetapi Senapati prajurit dari pasukan berkuda itu berkata, “Tetapi benih perlawanan itu masih belum dapat dilenyapkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ikut mendengarkan pembicaraan itu mengangguk-angguk. Bahkan seorang petugas sandi dari Singasari dalam pembicaraan terpisah tanpa diketahui oleh para pimpinan prajurit Kediri mengatakan, bahwa benih perlawanan itu masih saja menjadi semacam peletik api di dalam sekamnya para bangsawan Kediri. Di dalam istana benih-benih itu masih saja terdapat, sehingga tidak mustahil bahwa pergolakan itu akan berkepanjangan.

Sementara itu, setelah keadaan menjadi tenang kembali para perwira dari pasukan berkuda itu serta para petugas dari Singasari yang mengikuti usaha penangkapan para prajurit yang memberontak itu menganggap bahwa tugas mereka sudah selesai. Karena itu, maka mereka akan segera kembali ke Kediri sambil membawa para tawanan.

“Kami akan mengantar sampai keperbatasan,” berkata salah seorang perwira dari Singasari, “agar tidak terjadi salah paham dengan prajurit Singasari jika mereka berpapasan.”

Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri pula setelah beberapa hari berada di Kabuyutan itu bersama para prajurit Kediri dari pasukan berkuda serta beberapa perwira prajurit Singasari yang menyertainya. Para cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu pun merasa bahwa tugas mereka pun telah selesai pula.

Bukan hanya orang-orang Bumiagara yang mengucapkan terima kasih tidak berkeputusan karena mereka merasa telah diselamatkan, namun Senapati dari pasukan berkuda Kediri itu pun mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.

“Tanpa bantuan Padepokan Bajra Seta, kami tidak akan dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan atas pundak kami,” berkata Senapati dari Kediri itu.

“Kami pun merasa terpanggil untuk tugas ini,” jawab Mahisa Murti, “karena itu, maka kami pun merasa sekedar melakukan tugas kami. Diminta atau tidak diminta sepanjang kami ketahui.”

Demikianlah, hari itu Bumiagara telah melepaskan para prajurit Kediri dan beberapa orang Prajurit Singasari serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta meninggalkan Kabuyutan. Sepeninggal mereka, maka rasa-rasanya Bumiagara menjadi sepi. Namun kesepian itu telah menggugah para pengawal dan anak-anak mudanya untuk berjaga-jaga sepenuhnya. Sementara regol-regolpun mendapat pengawasan yang bersungguh-sungguh.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berada di Padepokannya masih saja membicarakan benih-benih perlawanan yang ada di Kediri. Rasa-rasanya Kediri masih saja sulit menerima kenyataan tentang kedudukan Kediri terhadap Singasari sejak Sri Rajasa berhasil mengalahkan Kediri. Terutama beberapa orang yang masih saja merasa kagum atas kebesaran Kediri di masa lalu.

“Apakah Sri Maharaja di Singasari sudah mengetahuinya?” desis Mahisa Pukat.

“Agaknya laporan tentu sudah sampai kepada Sri Maharaja itu. Bahkan mungkin Sri Maharaja telah melakukan langkah-langkah yang akan dapat mengatasi gejolak yang meskipun tidak nampak langsung dipermukaan itu pada suatu saat akan dapat mengguncang bukan saja hubungan antara Singasari dan Kediri, tetapi bahkan lebih dari itu,” sahut Mahisa Murti.

“Jika kita mendapat kesempatan, kita akan berbicara dengan ayah,” berkata Mahisa Pukat, “rasa-rasanya tidak bertanggungjawab untuk tidak ikut memikirkan hal ini meskipun kita bukan orang-orang yang berwenang.”

“Tetapi kita adalah orang Singasari yang memang mempunyai kewajiban untuk ikut memelihara kelestarian tegaknya Singasari serta hubungan yang mantap dengan Kediri,” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun bagi Mahisa Pukat, kewajiban itu tidak terlalu mengikat. Karena itu katanya, “Aku sependapat. Tetapi bukankah kita dapat melakukannya tanpa harus meninggalkan tugas kita di padepokan ini?”

“Tentu,” jawab Mahisa Murti, “kita dapat melakukannya sebagaimana kita melakukan pekerjaan kita sebelumnya. Tetapi kita tidak perlu harus menjadi petugas sandi di Kediri lagi.”

Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi ia mulai membayangkan sebuah pengembaraan lagi. Bahkan mungkin ditlatah Kediri sebagaimana pernah dilakukannya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memutuskan untuk memantapkan kedudukan mereka lebih dahulu. Setidak-tidaknya pengakuan atas kehadiran padepokan mereka secara luas. Lebih dari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa berkewajiban untuk ikut serta bersama-sama dengan Kabuyutan-kabuyutan di sekitar padepokannya untuk menjadikan lingkungan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

“Mudah-mudahan tidak ada lagi pertentangan dan benturan kekuatan yang banyak menyita tenaga, pikiran, harta benda dan bahkan jiwa,” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Dengan demikian kita mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti bagi kesejahteraan hidup kita, Padepokan kita dan sesama kita,” sahut Mahisa Pukat.

Demikianlah, maka di saat-saat terakhir, Padepokan Bajra Seta telah memperluas hubungannya dengan padukuhan-padukuhan, Kabuyutan-kabuyutan dan lingkungan yang semakin luas. Bahkan pengaruh Padepokan Bajra Seta telah meluas sampai ke Kabuyutan Bumiagara. Kabuyutan Sembaga dan Kabuyutan-kabuyutan lain yang merasakan manfaatnya berhubungan dengan padepokan Bajra Seta.

Sementara itu lingkungan pengaruh Bajra Seta itu pun nampak menjadi semakin luas. Sawah pun nampak hijau sepanjang musim karena telah dibangun beberapa buah bendungan dan berpuluh-puluh susukan dan anak susukan. Beratus-ratus patok parit yang membelah kotak-kotak persawahan serta ladang yang semula kering di musim panas.

Dengan demikian lembah pun menjadi hijau seperti permadani yang dibentangkan dari cakrawala sampai ke cakrawala. Sedangkan lereng-lereng bukitpun telah digarap pula, sehingga menjadi hijau oleh rimbunnya hutan yang memanjat gunung.

Padepokan Bajra Seta dan lingkungan di sekitarnyapun sempat merasakan betapa mereka hidup dalam ketenangan dan ketenteraman serta kedamaian hati. Namun bukan berarti bahwa mereka tidak mau bekerja keras buat menyongsong masa depan yang lebih baik.

Sementara itu, di Padepokan Bajra Seta, para cantrik dengan tenang sempat menempa diri. Mempelajari berbagai macam ilmu yang akan memberikan arti bagi kehidupan mereka kelak. Bukan hanya ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Mereka mulai mengenal letak dan tabit bintang-bintang dilangit. Mereka mengenal watak musim dalam hubungannya dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai. Mereka mengenal jenis serangga yang dapat menjadi kawan dan lawan dalam bercocok tanam.

Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa rindu kepada keluarganya. Kepada ayah mereka dan kepada kakak mereka yang telah menjadi seorang Akuwu. Karena itu, selagi mereka tidak melihat ancaman dan bahaya atas lingkungan hidup mereka, maka keduanya pun berniat untuk pergi ke Singasari, menemui ayah mereka yang sudah semakin tua. Agaknya ayah mereka sudah malas untuk bepergian jauh, sehingga karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatlah yang sebaiknya mengunjunginya.

“Ada baiknya kita juga berbicara dengan ayah tentang Kediri dan perkembangannya,” berkata Mahisa Pukat.

“Agaknya kitalah yang justru harus menimba keterangan,” sahut Mahisa Murti, “selama ini kita seakan-akan telah terpisah dari para prajurit baik dari Singasari maupun Kediri, sehingga kita tidak mendapat keterangan apapun tentang perkembangan terakhir baik di Kediri maupun di Singasari, atau hubungan antara keduanya.”

“Kita dapat menemui perwira prajurit Singasari yang datang bersama prajurit Kediri dari pasukan berkuda itu. Nampaknya perwira itu percaya kepada kita,” berkata Mahisa Pukat.

“Ya. Kita dapat menemuinya di Singasari. Tetapi kita tidak akan tenggelam kedalam persoalan itu.”

“Kita dapat berbincang dengan ayah,” desis Mahisa Pukat kemudian.

Demikianlah, keduanya telah merencanakan untuk berkunjung ke Singasari. Mereka hanya pergi berdua saja tanpa membawa Mahisa Amping, Mahisa Semu maupun Wantilan. Mereka bertiga justru diminta untuk ikut serta mengamati perkembangan Padepokan Bajra Seta selama keduanya pergi. Kepada Mahisa Amping, Mahisa Murti berpesan,

“Kau tidak boleh lupa dengan tanaman di halaman Padepokan kita. Jika para cantrik lupa atau terlambat menyiram, maka kewajibanmu untuk mengingatkan mereka. Kau juga harus selalu mengamati sanggar dalam, agar tidak menjadi kotor dan nampak tidak terpelihara. Semua alat dan senjata yang ada harus tetap bersih, karena aku tahu, bahwa kau, Mahisa Semu dan paman Wantilan akan selalu mempergunakannya.”

Mahisa Amping mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku akan melakukannya dengan baik kakang.”

“Kau juga tidak boleh lupa memberi makan beberapa ekor burung diserambi sanggar itu,” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Amping, tertawa. Katanya, “Setiap saat aku mempunyai kesempatan, aku selalu melihat burung-burung itu.”

Mahisa Pukat tersenyum sambil menepuk bahu anak itu. Katanya, “Kami tidak akan terlalu lama berada di Singasari.”

Tetapi Mahisa Ampinglah yang kemudian tersenyum. Katanya, “Mungkin kakang tidak terlalu lama berada di Singasari. Tetapi perjalanan kembali dari Singasari akan dapat ditempuh dalam waktu yang berbulan-bulan. Bahkan mungkin bertahun-tahun.”

“Tentu tidak,” Mahisa Murti tersenyum pula, “kami tidak sengaja melakukan pengembaraan. Karena itu, seandainya tertunda di perjalanan juga tidak akan terlalu lama.”

“Aku pernah ikut dalam perjalanan yang pernah kakang lakukan sebelumnya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada berat Mahisa Murti menjawab, “Tetapi kali ini tidak. Kami berusaha untuk tidak terlalu lama di perjalanan pulang.”

Demikianlah, maka setelah mempersiapkan Padepokan Bajra Seta serta berbenah diri seperlunya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah meninggalkan Padepokan. Menurut Perhitungannya keadaan sudah menjadi semakin baik. Tata kehidupan di Padepokan dan sekitarnyapun telah menjadi semakin tenang, sehingga suasananya memang memungkinkan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan Padepokannya.

Tidak ada hambatan apapun di sepanjang perjalanan menuju ke Singasari. Ketika mereka memasuki lingkungan istana Singasari, maka mereka pun segera diantar menuju ke tempat tinggal ayahnya. Ayahnya menerima kedatangan kedua anaknya dengan gembira sekali. Ia memang sudah agak lama merindukannya, sementara ia sendiri sudah merasa malas untuk bepergian agak jauh.

Setelah menanyakan keselamatan kedua anaknya serta Padepokan Bajra Seta, maka Mahendra pun berkata, “Aku mendengar dari Arya Kuda Cemani bahwa kau berdua baru saja terlibat dalam pertempuran melawan sepasukan prajurit Kediri yang telah memberontak dan berusaha memeras sebuah Kabuyutan.”

“Siapakah Arya Kuda Cemani itu ayah?” bertanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng.

“Seorang perwira dari prajurit sandi di Singasari yang waktu itu mengikuti gerak prajurit Kediri dari pasukan berkuda di tlatah Singasari,” jawab Mahendra.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti masih juga bertanya, “Apakah juga yang disebut Raden Kuda Wereng?”

“Ya,” jawab Mahendra, “Arya Kuda Cemani juga disebut Raden Kuda Wereng. Seorang perwira prajurit sandi yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Arya Kuda Cemani memang digelari Raden Kuda Wereng. Perwira prajurit sandi itu dianggap memiliki Aji Panglimunan, sehingga pada saat tertentu ia dapat menghilang dari pandangan orang kebanyakan.”

“Tetapi apakah Arya Kuda Cemani itu benar-benar dapat menghilang?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku tudak tahu. Tetapi Raden Kuda Wereng itu senang mengenakan pakaian serba hitam. Ia jarang mengenakan perhiasan yang apalagi berkilat atau bercahaya, sehingga memberikan kesan bahwa ia adalah orang yang sangat sederhana. Namun dengan demikian ia tidak mudah terlihat di dalam kegelapan atau penyamaran di antara semak-semak dan pohon-pohon perdu,” jawab Mahendra.

“Jadi tidak mengatakan demikian. Menurut orang banyak, ia memang memiliki Aji Panglimunan, sehingga ia dapat hilang begitu tiba-tiba tanpa memerlukan kesempatan untuk bersembunyi,” berkata Mahendra kemudian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja mengangguk-angguk. Meskipun demikian, keduanya memang masih ragu-ragu karena ayahnya pun tidak mengatakannya dengan tegas.

Namun dalam pada itu ayahnya pun berkata, “besok kita akan pergi kerumahnya. Ia sudah pernah membicarakan kalian berdua di medan pertempuran di Kabuyutan Bumiagara. Arya Kuda Cemani tentu senang menerima kedatanganmu.”

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diminta untuk berada di Singasari untuk beberapa hari. Selain mengunjungi beberapa orang yang pernah mengenal mereka, maka jika ada kesempatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan diajak untuk menghadap Sri Maharaja Singasari.

Sebenarnyalah dihari berikutnya, Mahendra telah mengajak kedua anaknya untuk mengunjungi Arya Kuda Cemani. Seorang Senapati prajurit sandi yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Namun Mahendra itu pun berkata kepada kedua anaknya,

“Meskipun ia berilmu tinggi, namun ia adalah seorang pendiam. Tidak banyak kata-katanya. Apalagi ia seorang yang rendah hati. Ia sama sekali tidak mengagungkan kelebihannya serta kedudukannya. Orang yang belum mengenalnya tentu menganggapnya sebagai seorang kebanyakan. Itulah sebabnya ia tidak begitu nampak menonjol di antara para prajurit-prajurit,” berkata Mahisa Murti sambil mengangguk- angguk. “Meskipun demikian, terpancar juga wibawanya dari sikapnya itu.”

“Seutuhnya ia seorang yang baik,” desis Mahendra.

Demikianlah maka setelah melewati jalan-jalan di Kotaraja, maka mereka pun sampai kesebuah rumah yang meskipun tidak terlalu besar tetapi nampak bersih dan teratur. Sejak mereka memasuki regol halaman, mereka sudah melihat, bahwa baik halamannya maupun rumahnya nampak terpelihara dengan rapi. Beberapa jenis pohon bunga tumbuh di sudut-sudut halaman. Kembang soka, arum dalu dan ceplok piring. Di sebelah menyebelah regolpun tumbuh sepasang pohon kemuning. Di tempat yang dipagari dekat seketheng sebelah kanan ditanami sekelompok kembang melati.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi halaman rumah itu dengan dada yang terasa sejuk dan segar. Keduanya juga berusaha mengajari cantrik-cantrik di Padepokan Bajra Seta untuk mengatur halaman dengan sebaik-baiknya. Namun ternyata bahwa halaman rumah Raden Kuda Wereng itu nampak demikian asri sehingga langsung menyentuh perasaan kedua anak muda itu.

Ketika orang juru taman melihat kedatangan Mahendra dengan kedua orang anaknya, maka juru taman itu pun dengan tergesa-gesa menyongsongnya. “Kami ingin bertemu dengan Arya Kuda Cemani,” berkata Mahendra.

“Silahkan naik ke pendapa, Ki Sanak,” jawab juru taman itu, “aku akan menyampaikannya kepada tuanku, Arya Kuda Cemani.”

“Katakan kepada Arya Kuda Cemani, bahwa aku adalah Mahendra dengan dua orang anaknya.” pesan Maaendra.

“Baik Ki Sanak,” juru taman itu mengangguk hormat.

Mahendra dengan kedua anaknya menunggu beberapa saat di pendapa sebelum kemudian Arya Kuda Cemani itu keluar dari pintu pringgitan.

Kedatangan Mahendra bersama kedua orang anak laki-lakinya ternyata disambut gembira oleh Arya Kuda Cemani. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku kira, kedua orang anak muda ini tidak bersedia singgah di rumahku.”

“Dengan senang hati kami mempergunakan kesempatan ini untuk singgah di rumah ini,” jawab Mahisa Murti sambil mengangguk.

“Kami belum mempunyai kesempatan untuk berbicara panjang ketika kami bertemu di Padepokan Bajra Seta dan selanjutnya langsung menuju ke Kabuyutan Bumiagara,” berkata Arya Kuda Cemani kemudian. Lalu katanya kepada Mahendra, “Aku hanya sempat berbicara beberapa kali dengan kedua anak laki-laki Ki Mahendra. Sehingga agaknya aku masih ingin berbicara lebih panjang lagi. Masih ada beberapa hal yang belum sempat aku katakan kepada mereka berdua.”

“Itulah sebabnya, aku membawanya kemari. Biarlah Raden sempat berbicara apa saja yang masih tersisa,” desis Mahendra.

Raden Kuda Wereng yang juga bergelar Arya Kuda Cemani itu tersenyum. Katanya, “Aku telah mendengar banyak tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Seorang Senapati, yang pernah berada di Padepokan Bajra Seta pernah berceritera tentang keduanya. Ternyata dalam usianya yang masih sangat muda itu, kedua memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Ah, Raden terlalu memuji mereka. Keduanya sebenarnya tidak mempunyai kelebihan apa-apa,” sahut Mahendra.

“Ki Mahendra memang seorang yang suka merendahkan diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa kedua anak muda yang memimpin sebuah padepokan itu memiliki kelebihan yang berjarak sangat jauh dengan anak-anak muda sebayanya. Meskipun di Kabuyutan Bumiagara aku tidak melihat sesuatu yang mencuat dari kemampuan para prajurit, namun banyak orang yang telah membicarakan kalian berdua terutama ketika sekelompok prajurit Kediri yang memberontak itu datang ke Padepokan Bajra Seta yang membuat mereka justru mendendam kepada Kabuyutan Bumiagara, karena mereka menganggap bahwa Kabuyutan Bumiagara telah menjerumuskan mereka kedalam bencana. Karena itu, maka mereka datang kembali ke Bumiagara untuk memeras Kabuyutan itu sehingga menjadi kering. Namun usaha itu pun telah gagal pula, karena para petugas sandi Kediri yang bekerja sama dengan petugas sandi Singasari dapat menelusuri jejak para prajurit Kediri yang melawan kebijaksanaan Senapati Agung mereka. Namun karena ternyata ada yang luput dari pengamatan para petugas sandi dan baru disadari kemudian, maka para prajurit Kediri yang memberontak itu datang ke Padepokan Bajra Seta.”

“Padepokan kami juga pernah diselamatkan oleh prajurit Singasari ketika prajurit Kediri yang memberontak itu datang ke Padepokan kami,” jawab Mahisa Murti.

Raden Kuda Wereng itu tertawa, katanya, “Sebenarnyalah Padepokan Bajra Seta adalah sebuah padepokan yang mempunyai banyak kelebihan dari padepokan-padepokan yang lain. Bukan hanya pada segi oleh kanuragan, tetapi para cantrik dari Padepokan itu mempunyai kelebihan pula dalam ilmu-ilmu yang lain. Bahkan ilmu perbintangan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukata hanya tersenyum saja. Namun ketika Mahendra akan menjawab, maka pembicaraan mereka pun telah terputus. Dari pintu pringgitan seorang gadis keluar sambil membawa hi dangan. Minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Di luar sadarnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandangi wajah gadis itu dengan tajamnya. Bahkan hampir tidak berkedip. Namun tiba-tiba keduanya menunduk ketika Raden Kuda Wereng itu berkata, “Anakku perempuan satu-satunya. Dua anakku yang lain adalah laki-laki.”

Yang menyahut kemudian adalah Mahendra, “Siapakah namanya?”

Raden Kuda Wereng menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berkata kepada anak gadisnya, “Pamanmu Mahendra ingin tahu, siapa namamu.”

Tetapi gadis itu justru tersipu-sipu. Bahkan setelah meletakkan hidangan bagi tamu-tamunya ia pun tergesa-gesa meninggalkan pendapa dan masuk kembali ke ruang dalam.

Raden Kuda Wereng hanya tersenyum saja. Namun kemudian katanya, “Anakku memang pemalu. Ia tidak terbiasa berhubungan dengan orang lain kecuali keluarganya sendiri. Apalagi ibunya memang lebih senang anak gadisnya selalu tinggal di rumah.”

“Bukankah hal yang wajar sekali?” sahut Mahendra, “namun karena aku tidak mempunyai anak perempuan, maka aku tidak pernah menaruh perhatian berlebihan terhadap anak-anakku. Apalagi setelah mereka menjadi dewasa.”

“Tetapi Ki Mahendra telah berhasil mengantarkan anak-anak Ki Mahendra pada satu keadaan yang mantap. Mereka menjadi anak-anak yang mapan. Bukan saja memiliki pengetahuan yang cukup, tetapi mereka juga dibekali dengan sifat dan watak yang baik,” berkata Raden Kuda Wereng.

“Raden telah memuji lagi,” desis Mahendra.

“Bukan sekedar memuji,” jawab Raden Kuda Wereng, “tetapi bukankah anak laki-laki Ki Mahendra yang tertua menjadi Akuwu di Sangling dan dua yang lain telah berhasil mendirikan sebuah padepokan yang terkemuka. Papokan yang masih muda, dipimpin oleh orang-orang yang masih sangat muda pula, tetapi nama serta pengaruhnya telah menjadi cukup luas. Bahkan telah mendapat perhatian khusus dari Sri Maharaja.”

“Tetapi itu bukan satu kelebihan yang pantas mendapat pujian yang berlebihan,” sahut Mahendra.

“Sebenarnyalah aku iri kepada Ki Mahendra,” berkata Raden Kuda Wereng, “kedua anakku yang laki-laki tidak memiliki kelebihan apapun juga. Mereka memang telah diterima menjadi calon prajurit. Tetapi apa yang mereka capai tidak lebih baik dari calon-calon prajurit yang lain. Sebelumnya, ketika keduanya aku serahkan berguru kepada seorang yang aku anggap memiliki kemampuan yang tinggi, ternyata tidak memenuhi sebagaimana aku harapkan. Karena itu mereka aku tarik kembali dan aku masukkan dalam barak calon prajurit.”

“Mereka akan menjadi seorang prajurit yang baik,” berkata Mahendra kemudian.

“Mudah-mudahan.” Raden Kuda Wereng mengangguk-angguk, “meskipun mereka tidak menjadi seorang prajurit pilihan, asal mereka menjadi prajurit yang baik, itu sudah cukup bagiku.”

Sementara itu Mahis Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat langsung ikut berbicara justru karena Raden Kuda Wereng sedang memperbandingkan kedua anaknya dengan mereka. Namun beberapa saat kemudian. Raden Kuda Wereng telah mengalihkan pembicaraan mereka. Senapati itu telah bertanya berbagai hal tentang padepokan Bajra Seta. Namun masih juga sekali-sekali membayangkan kekecewaannya atas kedua orang anak laki-lakinya.

Dalam pada itu, setelah beberapa lama Mahendra berada di rumah Raden Kuda Wereng, maka ia pun telah mohon diri. Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, rasa-rasanya mereka baru sesaat saja duduk di pendapa rumah Raden Kuda Wereng. Mereka mengharap anak gadis Raden Kuda Wereng itu keluar lagi dari ruang dalam. Apalagi ikut menemui mereka di pendapa.

“Raden Kuda Wereng tidak menyebut namanya,” berkata kedua orang anak muda itu di dalam hatinya.

Namun ternyata Raden Kuda Wereng tidak melepas mereka pergi. Katanya, “Sudah saatnya makan siang. Aku ingin menjamu Ki Mahendra dengan kedua orang anak laki-lakinya makan. Meskipun hanya seadanya.”

Mahendra tidak dapat menolak. Karena itu, maka mereka telah menunggu hidangan makan yang sedang disiapkan oleh isterinya. Raden Kuda Wereng pun kemudian telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk masuk ke ruang dalam. Sementara itu ternyata isterinya dan anak gadisnya tengah mempersiapkan makan bagi ketiga orang tamunya itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian mereka duduk di ruang dalam itu, maka mereka pun melihat gadis itu dengan sigapnya membantu ibunya mengatur mangkuk-mangkuk di atas tikar pandan yartg putih. Ceting nasi dan tenong-tenong kecil berisi lauk pauk serta mangkuk-mangkuk minuman.

Beberapa saat kemudian, isteri Raden Kuda Wereng itu telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan. Namun kemudian katanya, “Tetapi maaf, kami tidak dapat mengantarkan kalian makan. Silahkan makan apa adanya.”

Keduanya memang segera meninggalkan ruang dalam. Sementara Raden Kuda Wereng lah yang kemudian mempersilahkan ketiganya untuk makan bersamanya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk memperhatikan anak perempuan Raden Kuda Wereng itu lebih seksama. Menurut penilaian keduanya, gadis itu memang seorang gadis yang cantik, tangkas dan nampaknya meskipun anak seoran Senapati yang terpandang di Singasari, namun gadis itu bukan seorang merasa dirinya lebih terhormat dari orang kebanyakan.

Dengan demikian ternyata bahwa anak gadis Raden Kuda Wereng itu telah mendapat perhatian khusus dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sehingga karena itu, maka setelah keduanya pulang dari rumah Raden Kuda Wereng yang juga bernama Arya Kuda Cemani maka di luar sadar kedua anak muda itu telah mempercakapkan gadis itu.

Namun Mahisa Pukatpun kemudian berkata, “Tetapi sampai kita pulang, kita belum tahu nama gadis itu.”

Meskipun perhatian Mahisa Murti tertarik pula kepada gadis itu, tetapi Mahisa Murti tidak begitu terbuka seperti Mahisa Pukat. Mahisa Murti kadang-kadang hanya tersenyum saja mendengar Mahisa Pukat dengan berterus terang memuji gadis itu.

“Kau pernah melihat gadis secantik itu?” bertanya Mahisa Pukat. Katanya pula, “Sayang, ia seorang pemalu.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Gadis itu memang pemalu. Tetapi bukankah itu wajar sekali? Gadis itu tidak sepantasnya berbuat lebih dari yang telah dilakukannya.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya gadis itu lebih banyak dikurung di dalam rumahnya. Tetapi jika demikian, ia tidak akaih mengenal orang lain kecuali ayah, ibu dan saudara-saudaranya sendiri.”

“Itu wajar sekali. Tetapi bukan berarti ia tidak mengenal orang lain. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu gadis-gadis yang dikurung di dalam rumahnya dapat berhubungan dengan orang lain. Dalam keramaian-keramaian atau upacara-upacara yang dapat dihadirinya. Gadis-gadis itu akan bertemu dan bercanda dengan kawan-kawannya yang dikenalnya sejak sebelum ia menginjak dewasa. Kawan-kawan bermain di masa kanak-kanak.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Jika demikian, apakah gadis-gadis itu tidak akan pernah mendapat kawan baru selain kawan-kawan lamanya?”

“Kesempatan itu selalu ada,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Namun dalam kediamannya, Mahisa Pukat masih saja mengenang gadis anak Raden Kuda Wereng yang disebut-sebut memiliki Aji Panglimunan itu.

Ternyata perhatian anak-anaknya terhadap gadis itu tidak luput dari perhatian Mahendra. Sebagai orang tua ia mengerti, bahwa anak-anaknya telah memperhatikan gadis Raden Kuda Wereng itu. Namun justru karena itu, timbul kecemasan dihati Mahendra, bahwa anaknya kedua-duanya tertarik pada seorang gadis.

“Agaknya aku terlalu berprasangka,” berkata Mahendra di dalam hatinya. Namun justru karena itu, maka Mahendra tidak lagi ingin membawa anak-anaknya kerumah Raden Kuda Wereng.

Kecuali memperhitungkan kedua anaknya yang telah dewasa, ia pun memperhitungkan derajad Raden Kuda Wereng, seorang Senapati yang tepandang. Meskipun Mahendra adalah seorang yang juga dihormati di Singasari karena hubungannya yang dekat dengan Sri Maharaja, namun ia bukan seorang yang memiliki kedudukan sebagaimana Mahisa Agni dan Witantra semasa hidupnya. Dengan demikian, Mahendra sama sekali tidak membicarakan lagi kunjungannya kepada Raden Kuda Wereng. Apalagi berbicara tentang niat untuk berkunjung lagi.

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berharap bahwa ayahnya akan mengajaknya lagi berkunjung. Tetapi ternyata sampai mendekati saat mereka kembali ke padepokan, ayahnya tidak membawanya lagi mengunjungi Raden Kuda Wereng. Bahkan seperti yang dikatakan oleh ayahnya, keduanya telah dibawa menghadap Sri Baginda ketika mereka mendapat kesempatan.

Namun yang tidak disangka-sangka telah terjadi. Arya Kuda Cemani telah menyelenggarakan satu keramaian kecil. Arya Kuda Cemani yang merasa sangat bergembira bahwa kedua anaknya yang menjadi calon prajurit telah benar-benar diterima dan diwisuda menjadi prajurit telah mengundang beberapa orang sanak kadangnya untuk menyatakan kegembiraannya itu. Ternyata di antara mereka yang diundang adalah Mahendra dengan kedua orang anak laki-lakinya yang sedang berada di Singasari.

Mahendra memang menjadi bingung. Seandainya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendengar langsung utusan yang mengundang mereka, maka Mahendra akan mengatakan, bahwa kedua anaknya sedang bersiap-siap untuk pulang ke Padepokan. Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah menyatakan kesediaan mereka untuk datang.

Dengan demikian maha Mahendra tidak mempunyai alasan untuk tidak datang ke keramaian kecil itu bersama dengan kedua orang anaknya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ternyata memang menaruh perhatian yang besar sekali atas undangan itu.

Sebenarnyalah, bahwa Mahendra dan kedua anaknya benar-benar telah datang sekali lagi berkunjung kerumah Arya Kuda Cemani. Keramaian itu sendiri, meskipun tidak dikunjungi terlalu banyak orang, namun cukup ramai. Kegembiraan benar-benar meliputi semua yang hadir dalam pertemuan itu.

Ternyata bahwa keramaian itu telah memperkenalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan gadis Arya Kuda Cemani. Gadis yang disangkanya pemalu itu, ternyata pandai juga menyesuaikan dirinya. Bahkan gadis itu cepat menjadi akrab dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ketika gadis itu kemudian menghidangkan suguhan bagi para tamu, maka tanpa diminta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah ikut membantunya di samping beberapa orang sanak kadang Arya Kuda Cemani yang terdekat. Kemanakan-kemanakannya dan beberapa orang tetangga. Meskipun isteri Arya Kuda Cemani telah mempersilahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk duduk saja di antara para tamu, namun keduanya ternyata masih saja tetap membantu.

“Kalian diundang untuk dilayani di sini,” berkata gadis itu, “bukan untuk melayani.”

Tetapi Mahisa Pukat menjawab, “Apa salahnya kami membantu? Tamu ternyata terlalu banyak bagi beberapa orang sinoman.”

Anak perempuan Arya Kuda Cemani hanya tersenyum saja. Dua orang sepupunya, juga gadis sebayanya, ikut juga tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Sementara itu, Mahendra duduk tidak terlalu jauh dari Arya Kuda Cemani. Ketika hidangan sudah disuguhkan, maka Arya Kuda Cemani telah menyatakan kepentingannya mengadakan keramaian kecil itu. “Meskipun sederhana, kami ingin mengungkapkan kegembiraan kami.”

Arya Kuda Cemani itu pun kemudian telah memanggil kedua anak laki-lakinya untuk dihadapkan kepada sanak-kadang serta orang-orang terdekat yang diundang oleh Arya Kuda Cemani.

“Mereka telah menjadi prajurit,” berkata Arya Kuda Cemani kemudian dengan bangga.

Yang hadir mengangguk-angguk. Sementara itu Mahendra pun berdesis, “Mereka masih sangat muda.”

“Sebenarnya juga tidak,” jawab Arya Kuda Cemani, “tentu umur mereka tidak jauh dari anak-anak Ki Mahendra.”

Mahendra hanya mengangguk-angguk saja, sementara Arya Kuda Cemani minta kedua anaknya duduk di antara para tamu untuk mengantarkan mereka makan bersama. Ternyata beberapa kawan dari kedua anak laki-laki Arya Kuda Cemani itu ikut pula dalam pertemuan itu. Mereka ikut bergembira bersama keluarga Arya Kuda Cemani.

Namun dalam pada itu, ketika para tamu sedang menikmati alunan suara gamelan yang ngerangin, seorang diri kawan kedua anak Arya Kuda Cemani itu berkata, “He, bukankah kau ingin memperkenalkan kami dengan adik perempuanmu?”

Kedua orang anak laki-laki Arya Kuda Cemani itu tersenyum. Yang tertua di antara mereka berkata, “Kau jangan tergesa-gesa. Hidangan masih akan berlanjut. Baru minuman dan makanan. Nanti kita akan disuguhi makan. Adikku ikut menghidangkan suguhan itu bersama-sama dengan anak-anak muda dan gadis-gadis yang lain.”

“Aku tahu,” jawab kawannya, “aku sudah melihatnya tadi. Biar saja orang lain menghidangkan suguhan itu. Bukan adikmu.”

Tetapi kakak yang tertua itu berkata, “Itu sudah menjadi kesenangannya. Duduk sajalah. Kita makan dahulu. Nanti, setelah makan, aku perkenalkan kau dengan adikku dan gadis-gadis sepupuku itu. Kita masih mempunyai banyak waktu.”

“Sesudah makan pertemuan ini akan bubar. Kami akan kehilangan kesempatan itu.”

“Tidak. Setelah makan, tamu-tamu memang akan bubar. Tetapi anak-anak muda dan gadis-gadis itu tentu akan tinggal untuk memanfaatkan kesempatan ini. Kesempatan yang jarang mereka dapat. Sementara itu, gamelan itu akan dipukul sepanjang malam,” jawab anak Arya Kuda Cemani yang muda.

Tamu-tamunya mengangguk-angguk. Meskipun mereka agak kecewa tetapi mereka tidak memaksa. Demikianlah, keramaian kecil itu berlangsung sampai jauh malam. Ternyata orang-orang tua itu dengan telaten menikmati suara gamelan yang mengalunkan gending-gending yang kadang-kadang terdengar lembut menyentuh hati. Namun kemudian menghentak keras sesaat. Tetapi kemudian iramanya kembali menurun.

Namun akhirnya anak-anak muda itu tidak sabar. Katanya, “Kami akan turun dari pendapa. Kami akan berada di serambi gandok. Ajak adikmu kesana. Juga gadis-gadis yang lain. Bukankah hidangan sudah semuanya disuguhkan?”

Kedua orang anak Arya Kuda Cemani tidak dapat mengelak lagi. Makan memang sudah dihidangkan. Namun nampaknya tamu-tamu masih menikmati irama gamelan. Tetapi dengan demikian, didapur orang menjadi sibuk lagi untuk membuat hidangan berikutnya didini hari.

Demikianlah, beberapa orang anak muda yang juga baru diwisuda menjadi prajurit telah turun dari pendapa dan berkumpul di serambi gandok. Kedua orang anak Arya Kuda Cemanipun kemudian telah pergi ke dapur. Karena mereka tidak melihat adik perempuannya maka yang tertuapun bertanya, “Sasi dimana ibu?”

“Untuk apa kau cari adikmu? Apakah ada yang masih belum mendapat hidangan?” bertanya ibunya.

“Tidak ibu. Beberapa orang kawanku, yang juga diwisuda bersamaku ingin berkenalan dengan Sasi dan gadis-gadis yang lain. Hanya berkenalan saja ibu,” jawab anaknya yang tertua.

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Anak-anak yang menghidangkan minuman dan makanan itu sedang beristirahat di gladri kanan. Bawa saja kawan-kawanmu kesana. Jangan ajak adikmu ke pendapa.”

“Mereka sudah tidak berada di pendapa. Mereka ada di serambi gandok,” jawab anaknya yang tertua.

Namun ibunya tetap berkata, “Bawa saja kawan-kawanmu masuk ke gladri. Adikmu tidak sendiri di sana.”

Kedua orang anak Arya Cemani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian yang muda berkata, “Marilah. Kita ajak mereka ke gladri. Kita justru akan dapat lebih bebas berbicara, bergurau atau apa saja tanpa mengganggu para tamu.”

Kedua orang anak muda itu pun kemudian telah memanggil kawan-kawannya dan membawanya ke gladri sebelah kanan. Ternyata di gladri terdapat beberapa orang yang sedang duduk-duduk sambil bergurau. Mereka adalah anak-anak muda yang telah membantu menghidangkan suguhan kepada para tamu yang ada di pendapa. Karena suguhan berikutnya sedang dipersiapkan, maka mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat. Karena mereka terdiri dari anak-anak muda, maka kelompok kecil itu telah menjadi riuh.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ada di antara mereka mula-mula merasa canggung. Meskipun umur mereka masih terhitung muda meskipun agak lebih tua dari anak-anak muda yang berkumpul itu, namun pengalaman hidup mereka yang luas serta kedudukan mereka di Padepokan Bajra Seta telah membuat mereka agak terpisah dari kehidupan anak-anak muda itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat menyesuaikan dirinya.

Namun bagi Sasi, keduanya yang nampak lebih dewasa dari kawan-kawannya itu justru telah menarik perhatiannya. Sasi yang jarang berhubungan dengan orang lain selain keluarganya sendiri itu seakan-akan telah menemukan seorang kawan yang lain dari kawan-kawannya yang pandai bergurau saja. Namun kedua orang anak Mahendra itu nampak lebih matang dan kadang-kadang sikapnya memang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Sasi merasa betapa kedua orang anak muda itu memiliki wibawa yang lebih besar dari kawan-kawannya.

Kedatangan kawan-kawan kedua anak Raden Kuda Wereng itu menambah gladri itu menjadi semakin ramai. Sasilah yang memperkenalkan kedua kakaknya kepada kawan-kawannya yang masih belum mengenalnya.

“Kakakku yang tua bernama Kuda Semedi, sedangkan yang muda namanya Kuda Semeni.”

“Itulah adikku,” berkata Kuda Semedi. Lalu katanya, “Nah, sebaiknya kalian juga memperkenalkan diri. Biarlah pertemuan kecil ini menjadi tidak kalah ramainya dengan pertemuan di pendapa.”

Sebenarnyalah sekelompok kecil anak-anak muda itu telah meramaikan suasanan di rumah Raden Kuda Wereng. Gladri itu memang menjadi semakin ramai tanpa mengganggu para tamu di pendapa. Kawan-kawan kedua anak Arya Kuda Cemani itu pun telah berbaur dengan anak-anak muda yang terdiri dari saudara-saudara Sasi dan kawan-kawannya.

Namun dalam pada itu, dalam suasana yang semakin ramai itu, dalam penglihatan mata hati Sasi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak-anak muda yang lain dari anak-anak muda yang ada di gladri itu. Bahkan juga kedua kakaknya dan kawan-kawannya yang telah ditetapkan menjadi prajurit.

Karena itu, maka di luar sadarnya, Sasi justru selalu dekat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Rasa-rasanya keduanya akan dapat melindunginya jika sesuatu terjadi atas mereka. Beberapa orang kawan Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak memperhatikan lagi secara khusus adik Kuda Semedi dan Kuda Semeni itu, karena mereka telah berbicara dengan riuhnya di antara anak-anak muda dan gadis-gadis yang lain.

Tetapi seorang di antara kawan Kuda Semedi dan Kuda Semeni itu merasa terganggu dengan kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun ia berusaha untuk mendekati Sasi, namun ternyata Sasi tidak menghiraukannya sama sekali. Karena itulah, maka anak muda itu pun berbisik ditelinga Kuda Semedi, “Siapakah kedua orang anak muda itu?”

Kuda Semedi menggeleng. Katanya, “Aku belum mengenalnya sebelumnya. Di antara sanak-kadang sendiri, memang terdapat tetangga-tetangga kawan Sasi yang belum aku kenal.”

Anak muda yang juga telah diwisuda menjadi prajurit itu berkata, “Kuda Semedi. Terus terang, aku tertarik kepada adikmu. Aku datang untuk mengenalnya lebih dekat. Beri aku kesempatan.”

“Bukankah aku tidak menghalanginya?” bertanya Kuda Semedi.

“Tetapi kedua orang anak muda itu. Nampaknya keduanya lain daripada yang lain. Apakah ada hubungan khusus antara adikmu dengan salah seorang di antara mereka?”

“Tidak. Tentu tidak, karena aku belum pernah melihat mereka berdua sebelumnya. Atau, barangkali hubungan itu terjadi selama aku berada di barak calon prajurit itu.” sahut Kuda Semedi.

“Usahakan agar keduanya meninggalkan gladri ini.” berkata kawan Kuda Semedi itu.

Wajah Kuda Semedi menegang. Katanya, “Bagaimana hal itu dapat aku lakukan. Aku tidak tahu bagaimana mereka ada di sini. Jangan-jangan aku akan membuat persoalan dengan orang yang kurang aku kenal.”

“Terserah caramu. Tetapi bagaimana usahamu agar Sasi meninggalkan kedua anak muda itu,” berkata kawan Kuda Semedi itu.

Kuda Semedi memang menjadi agak bingung. Demikian pula Kuda Semeni. Namun keduanya tidak ingin membuat kawannya itu menjadi kecewa. Apalagi kawannya itu adalah anak Senapati yang memimpin barak barak mereka.

Sasi termangu-mangu sejenak. Sementara Kuda Semedi pun berkata, “Mungkin ia seorang Pelayan Dalam. Mungkin sekali-sekali Sri Baginda pernah berbicara dengan orang itu. Dengan demikian ia merasa seolah-olah Sri Maharaja telah minta nasehat kepadanya. Bahkan ia berkata kepada orang lain, bahwa ia seorang penasehat Sri Baginda.”

“Entahlah,” jawab Sasi, “bertanya kepada ayah. Tetapi anak muda itu telah mendapat suguhan di pendapa. Dan aku tidak merasa perlu untuk mengantarnya ke dapur atau ketempat lain serta membawa hidangan khusus kepadanya.”

Tetapi Kuda Semedi itu berkata, “Tolonglah Sasi. Kau tahu bahwa kedudukanku sebagai prajurit tergantung kepada ayahnya.”

“Jika kau lakukan tugas-tugasmu dengan baik, maka kau tentu tidak akan mengalami kesulitan dengan kedudukanmu itu,” berkata Sasi pula, “jika Senapati pun itu mempersulit kedudukanmu karena sikap anaknya, maka kau dapat mengatakannya kepada ayah. Ayah bukannya orang yang tidak berkedudukan sama sekali. Apalagi anak muda itu juga menyangkutkan ayahnya dalam persoalan yang seharusnya kalian selesaikan sendiri.”

“Tetapi hal seperti itu memang sering terjadi Sasi,” berkata Kuda Semeni, “jika kau mau membantu kami sedikit saja, maka kita tidak usah membawa-bawa nama ayah dalam persoalan yang kecil ini, Kau mengerti?”

Sasi termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Aku akan membantumu. Tetapi aku hanya akan menghidangkan suguhan itu saja. Kemudian kalian berdua mengawaninya makan. Aku harus menemui saudara-saudara dan kawan-kawan kita yang telah membantu menghidangkan suguhan itu.”

Kuda Semedi dan Kuda Semeni saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Kuda Semedi berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya. Kau tunggu di pintu serambi.”

Kuda Semedi pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawannya sementara Kuda Semeni telah membawa Sasi keluar pintu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang termangu-mangu melihat Sasi meninggalkan ruangan itu. Tetapi mereka tidak dapat mencegahnya. Apalagi anak-anak muda yang duduk di sebelah-menyebelahnya masih saja berbicara kepadanya tanpa menghiraukan Sasi yang telah pergi. Demikian pula beberapa orang gadis saudara-saudara dan kawan-kawan Sasi.

Demikianlah, Sasi telah mempersilahkan Lembu Atak untuk pergi ke serambi belakang dan duduk di atas tikar pandan yang putih yang bergaris biru, hijau dan merah. Ketika Sasi pergi ke dapur mengambil hidangan, maka Kuda Semedi pun berkata, “Aku telah mengatakan bahwa kau masih belum mendapat hidangan, karena itu, maka kau lapar dan ingin makan, tetapi tidak dilihat orang lain.”

“Ternyata kau pandai juga mengelabui adikmu.”

“Tetapi Sasi tidak percaya. Ia sendiri yang telah menghidangkan makan buatmu di pendapa. Malahan ia berkata bahwa kau telah menggamitnya,” berkata Kuda Semedi.

“Aku tidak sengaja menyentuhnya, justru saat aku beringsut ketika ia menghidangkan makan,” jawab Lembu Atak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Lalu apa lagi alasanmu yang kau katakan kepada adikmu?”

“Tidak ada. Aku mengatakan terus-terang, bahwa ia ingin mengenalmu lebih dekat,” jawab Kuda Semedi.

“Dan adikmu tidak berkeberatan?” bertanya Lembu Atak.

“Adikku hanya akan mengambil hidangan buatmu. Kemudian ia akan mempersilahkanmu makan di sini meskipun ia sudah tahu bahwa kau sudah makan,” jawab Kuda Semedi.

“Buat apa aku makan sendiri di sini. Atau barangkali bersama kalian?” berkata Lembu Atak sambil bersungut.

“Kita menunggu Sasi. Kita akan melihat, apa yang akan dilakukannya,” desis Kuda Semedi.

Lembu Atak tidak menyahut lagi. Ia menunggu Sasi datang membawa hidangan. Langkahnya telah terdengar memasuki serambi belakang.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, Sasi memasuki serambi membawa nampan berisi hidangan. Minuman panas, nasi dan lauk-pauknya yang kemudian diletakkannya di depan Lembu Atak. “Marilah, silahkan makan. Kakakku berdua akan menemani makan,” berkata Sasi sambil bangkit berdiri.

“Tunggu,” sahut Lembu atak tanpa malu-malu, “kau duduk saja di sini menemani aku makan.”

“Aku masih akan menemui tamu-tamuku yang ada di gladri,” jawab Sasi sambil bergeser menjauh.

“Biarlah kakakmu saja menemui tamu-tamu di gladri itu. Bukankah mereka bukan tamu? Bukankah mereka adalah saudara sepupumu atau bahkan tetangga-tetanggamu?” berkata Lembu Atak kemudian.

“Maaf,” berkata Sasi, “aku akan menemui tamu-tamuku yang jumlahnya jauh lebih banyak dari hanya seorang di sini. Apalagi kedua kakakku ada di sini pula. Bukankah kau kawan kedua kakakku di barak prajurit?”

Sasi tidak menunggu lagi. Ia pun segera melangkah pergi, sementara Lembu Atak itu memanggil, “Sasi, Sasi.”

Sasi memang menoleh. Bahkan mengangkat tangannya. Tetapi ia tidak berhenti.

Wajah Lembu Atak menjadi merah. Dengan geram ia berkata kepada Kuda Semedi dan Kuda Semeni, “Kenapa kalian tidak mencegahnya? Bahkan seakan-akan tidak mempedulikannya?”

“Kami kenal benar watak gadis itu,” jawab Kuda Semedi, “jika ia suah berkata tidak, maka kami tidak akan dapat memaksanya. Ia termasuk gadis yang keras kepala.”

“Siapakah kedua orang kawannya itu?” bertanya Lembu Atak.

“Tidak begitu jelas bagiku. Namanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Anak Mahendra, yang menurut Sasi, salah seorang penasehat Sri Maharaja,” jawab Kuda Semedi.

“Adikmu telah bermimpi. Atau anak itu telah membohonginya. Hanya ada beberapa orang penasehat di istana,” jawab Lembu Atak.

“Aku juga sudah mengatakannya. Tetapi adikku tidak mau mengerti. Mungkin kawannya itu memang seorang pembual.”

“Mulutnya memang harus disumbat,” geram Lembu Atak.

“Kau mau apa?” bertanya Kuda Semedi, “Apakah kau akan membuat gaduh pertemuan ini?”

“Tidak,” jawab Lembu Atak, “aku belum gila. Ayahku ada di sini pula. Tetapi bukankah mereka akan pulang setelah pertemuan ini selesai? Jika aku akan membuat perhitungan dengan mereka, tentu tidak di rumah ini dan tentu tidak di depan hidung ayahku. Tetapi di jalan pulang atau dimana saja aku dapat menemukan mereka.”

“Tetapi kau juga harus memikirkan Sasi,” berkata Kuda Semeni, “ia akan menjadi sangat malu jika terjadi perkelahian karena gadis itu. Seakan-akan telah terjadi semacam rebutan.”

“Kenapa Sasi menjadi malu? Ia dapat menjadi bangga, bahwa dirinya telah diperebutkan oleh anak-anak muda dari lingkungan atas. Bukankah aku anak seorang Senapati ternama di Singasari? Aku tidak peduli siapakah kedua anak muda itu.”

Kuda Semedi dan Kuda Semeni saling berpandangan sejenak. Namun Kuda Semedi pun berkata, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kami tidak ikut campur persoalanmu dengan anak-anak muda itu.”

“Jangan cemas. Aku tidak akan membawa-bawa namamu dan nama keluarga di sini. Yang penting, persoalanku dengan kedua orang anak muda itu dapat aku selesaikan dengan cara seorang laki-laki. Mudah-mudahan mereka cukup jantan untuk menanggapi.”

Kuda Semedi dan Kuda Semeni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Lembu Atak adalah seorang yang juga keras hati. Apalagi ia sadar sepenuhnya bahwa ayahnya adalah seorang Senapati yang memiliki wibawa yang tinggi serta kedudukan yang kuat. Ia merasa bahwa ia akan dapat bersandar kepada ayahnya jika ia mengalami kesulitan karena tingkah lakunya.

Dengan demikian maka Lembu Atak itu telah mengurungkan niatnya untuk makan karena Sasi tidak mau menemaninya. Karena itu maka ia pun berkata kepada Kuda Semedi dan Kuda Semeni, “Aku akan kembali ke pendapa. Mudah-mudahan ayah sudah pulang.”

Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak mencegahnya. Bahkan ketika Kuda Semedi mengantarkan Lembu Atak ke pendapa, Kuda Semeni telah kembali ke gladri menemui kawan-kawannya yang masih bergurau bersama anak-anak muda dan gadis-gadis yang membantu menghidangkan suguhan bagi para tamu. Tetapi ketika mereka mengetahui bahwa Lembu Atak ada di pendapa, maka mereka pun telah ikut pergi kependapa pula meskipun sebenarnya mereka masih lebih senang duduk di gladri.

Namun demikian mereka berada di pendapa, ternyata Lembu Atak telah menceriterakan kepada kawan-kawannya itu tentang kedua orang anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ceriteranya telah ditambah dan dikurangi sehingga menjadi satu ceritera yang telah menggelitik prajurit-prajurit muda yang baru saja diwisuda itu.

“Apakah mereka tidak tahu, bahwa kami telah melewati sebuah pendadaran yang berat, sehingga kami akan dapat membuatnya menjadi menyesal sepanjang umurnya?” desis salah seorang di antara para prajurit muda itu.

“Mereka menganggap Sasi telah menjadi hak mereka, sehingga Sasi tidak boleh berhubungan dengan siapapun juga,” berkata Lembu Atak, “bahkan Kuda Semedi dan Kuda Semenipun tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Sasi sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal itu. Tetapi gadis itu menjadi ketakutan.”

“Kuda Semedi dan Kuda Semeni juga ketakutan?” bertanya salah seorang di antara prajurit-prajurit muda itu.

“Mereka sama sekali tidak takut,” jawab Lembu Atak sambil memandang Kuda Semedi dan Kuda Semeni yang telah berada di pendapa pula. “Tetapi Kuda Semedi dan Kuda Semeni telah mencemaskan keadaan adiknya jika adiknya sendiri di rumah, karena Kuda Semedi dan Kuda Semeni akan lebih banyak berada dibarak.”

“Bukankah ada ayahnya yang juga seorang Senapati?” bertanya kawannya yang lain.

“Ayahnya adalah seorang Senapati dari prajurit sandi, sehingga tugasnya tidak dapat diperhitungkan waktunya,” jawab Lembu Atak. Lalu katanya pula, “Aku menjadi kasihan kepadanya...”

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.