PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 86
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 86
Karya Singgih Hadi Mintardja
TIDAK banyak anak-anak muda yang berdatangan seperti biasanya kecuali beberapa orang yang memang ditunjuk. Anak-anak muda yang lain masih berada di rumah Ki Bekel, sementara yang lain meronda berkeliling padukuhan. Gardu-gardu pun telah terisi. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga orang-orang yang sudah lebih tua, namun yang masih mampu dan berani bertempur seandainya hal itu harus dilakukan.
Namun agaknya malam itu sudah tidak akan terjadi sesuatu. Ki Buyut telah mengirimkan penghubung yang memberitahukan, bahwa segala sesuatunya telah dapat di atasi. Ki Buyut telah memberikan isyarat, bahwa keadaan sudah menjadi semakin baik.
Meskipun demikian Ki Bekel masih juga bersikap berhati-hati. Anak-anak muda pun masih juga bertebaran di seluruh padukuhan. Sedangkan di rumah nenek tua itu, justru tidak begitu penting untuk dijaga secara khusus. Beberapa orang saja yang ditugaskan untuk datang ke rumah itu. Ki Bekel sudah terlalu yakin, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan dapat menyelesaikan segala persoalan jika itu terjadi di rumah. nenek tua itu.
Sebenarnyalah malam itu memang tidak terjadi sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidur bergantian bersama anak-anak muda yang bertugas di rumah itu benar-benar sempat beristirahat dan tidur nyenyak. Justeru Mahisa Amping yang bermain macanan sampai lewat tengah malam.
Di hari berikutnya, padukuhan itu telah dinyatakan benar-benar tenang. Ki Buyut telah memberitahukan, bahwa malam mendatang, ampat orang pengawal sudah dapat dikirim lagi ke padukuhan itu, untuk membantu jika diperlukan, karena padukuhan itu nampaknya masih menjadi sasaran dendam orang-orang yang gagal mendapatkan keuntungan.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun merasa bahwa tugas mereka telah berakhir di padukuhan itu. Keduanya telah bersepakat di hari berikutnya mereka akan meneruskan perjalanan. Karena itu, maka hari itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekaligus mewakili saudara-saudaranya yang lain telah minta diri kepada Ki Bekel.
“Kau seharusnya minta diri pula kepada Ki Buyut,” berkata Ki Bekel.
“Aku kira sudah cukup di sini saja Ki Bekel. Namun aku mohon pada satu kesempatan Ki Bekel dapat menyampaikan permohonan diri kami kepada Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Aku menjadi kasihan kepada nenek yang menganggap kalian telah menjadi keluarga sendiri. Bahkan mungkin kalian telah dianggap sebagai ganti anak-anaknya yang telah tidak ada lagi,” berkata Ki Bekel.
“Tetapi apa boleh buat,” jawab Mahisa Murti, “kami akan segera mengemban tugas kami berikutnya.”
“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “sebagaimana pernah aku katakan. Biarlah nenek itu berada di rumahku ini jika ia tidak berkeberatan. Bukan karena kami ingin segera memiliki dan mempergunakan rumahnya yang besar itu, tetapi semata-mata untuk kepentingan nenek itu sendiri.”
“Kami mengerti,” jawab Mahisa Murti.
“Namun bagaimanapun juga, kami berharap bahwa pada suatu ketika kalian akan dapat singgah di sini lagi,” berkata Ki Bekel.
“Kami akan berusaha Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan kami mendapat kesempatan pada suatu saat.”
Beberapa orang bebahu pun telah menyatakan penyesalan mereka bahwa anak-anak muda yang mengaku pengembara itu akan segera meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka memang tidak akan dapat menahannya lebih lama lagi.
“Besok pagi-pagi kami akan meninggalkan padukuhan ini. Ki Bekel dan para bebahu tidak usah menjadi sibuk melepas kami. Kami mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Ki Bekel dan para penghuni padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Tetapi besok aku juga harus bertemu dengan nenek tua itu untuk minta agar ia bersedia tinggal di rumahku,” berkata Ki Bekel.
“Tetapi sudah tentu tidak akan terlalu pagi. Kami akan berangkat dini hari,” berkata Mahisa Murti pula.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia pun berkata, “Baiklah anak muda, jika kalian akan berangkat dini hari. Semoga kalian selamat di perjalanan. Aku berjanji untuk merawat nenek tua itu dengan baik. Ia pun tidak lagi tersisih dari pergaulan dengan tetangga-tetangganya, sehingga ia akan dapat hidup wajar di akhir batas umurnya.”
“Terima kasih Ki Bekel,” sahut Mahisa Murti, “mudah-mudahan yang kami tinggalkan pun tidak akan terganggu lagi. Kebangkitan dari penghuni padukuhan ini memberikan suasana baru sehingga padukuhan ini akan menjadi padukuhan yang akan dapat melindungi dirinya sendiri.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Mudah-mudahan aku mampu membangkitkan gairah perjuangan di padukuhan ini.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan rumah Ki Bekel. Mereka masih sempat minta diri kepada beberapa orang bebahu dan orang-orang padukuhan itu.
Malam yang kemudian menyelubungi padukuhan itu adalah malam terakhir bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kepada anak-anak muda yang ada di pendapa serta pengawal yang telah dikirim lagi dari padukuhan induk, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan dan bahkan Mahisa Amping telah minta diri. Besok dini hari mereka akan meninggalkan padukuhan itu.
Nenek tua yang menyerahkan rumah dan semua kekayaannya kepada padukuhan itu pun merasa sangat kecewa. Tetapi nenek itu mengerti, bahwa ia tidak akan dapat menahan para pengembara itu lebih lama lagi. Orang tua itu mencoba untuk mengerti, bahwa anak-anak muda itu tentu sedang menyongsong hari depan mereka yang lebih baik.
Malam yang terakhir itu terasa terlalu panjang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka masih selalu dibayangi oleh pesan orang yang dijumpainya di dapur rumah nenek tua itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bertekad untuk tidak ingkar. Mereka akan mempertahankan sepasang keris yang ternyata sedang diperebutkan itu.
Akhirnya saat yang mereka nantikan itu datang. Mahisa Murti yang telah bersiap bersama saudara-saudaranya itu, telah minta diri kepada nenek tua yang telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka sebelum berangkat meninggalkan rumah mereka.
Nenek tua itu memang menitikkan air mata. Tetapi ketabahannya sebagaimana ditunjukkannya bertahun-tahun selama ia hidup sendiri, telah membuatnya menjadi seorang nenek yang berhati baja. Kepergian para pengembara itu membuatnya merasa sangat kehilangan. Tetapi ia menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.
Sebelum matahari terbit, maka para pengembara yang ada di rumah nenek tua itu telah meninggalkan rumah itu. Mahisa Murti pun telah memberitahukan kepada nenek tua itu, bahwa Ki Bekel akan datang menjemputnya.
“Bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya nenek tua itu.
“Sebaiknya nenek memang tinggal saja di rumah Ki Bekel. Segala sesuatu yang nenek perlukan akan disediakan. Nenek menjadi semakin tua. Tubuh nenek akan menjadi semakin lemah, sementara itu, di sini nenek harus melakukan segala sesuatunya sendiri,” berkata Mahisa Murti.
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan menerima kesediaan Ki Bekel untuk membawa aku ke rumahnya.”
“Agaknya itu adalah yang terbaik bagi nenek sekarang ini,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sementara itu, rumah ini akan selalu dijaga dan dirawat oleh anak-anak muda. Sekali-sekali nenek akan dapat melihat rumah ini jika nenek merasa rindu.”
Mata nenek itu memang basah. Tetapi ia mencoba tersenyum smabil berkata, “Aku akan melakukannya.”
Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya melangkah keluar regol halaman, nenek itu berkata, “Aku selalu berdoa bagi keselamatan kalian.”
Dalam pada itu, anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas di rumah itu, masih belum meninggalkan tugasnya. Karena itu mereka pun sempat mengucapkan selamat jalan kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Salah seorang dari mereka khusus berpesan kepada Mahisa Amping, “Jika kita bertemu lagi, maka kau sudah tidak akan mungkin mengalahkan aku.”
Mahisa Amping tertawa. Katanya, “Kita akan melihat, kau atau aku yang akan maju lebih pesat.”
Beberapa saat kemudian maka mereka telah keluar dari regol padukuhan. Anak-anak muda yang masih berada di gardu pun telah mengucapkan selamat jalan kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti serta kelompok kecilnya telah mulai menyusuri jalan-jalan bulak lagi setelah beberapa hari tertahan di padukuhan itu. Mahisa Amping tidak setegar biasanya. Bagaimanapun juga, ia mendapat kesan tersendiri terhadap nenek tua yang ditinggalkannya. Mahisa Amping itu merasakan air mata nenek itu menitik di keningnya ketika ia memeluknya dan memberikan beberapa pesan kepadanya.
Mahisa Amping memang berjalan di paling depan. Tetapi kepalanya setiap kali ditengadahkannya. Rasa-rasanya ia berusaha menahan air mata yang membuat matanya menjadi panas. Anak itu belum pernah merasakan kehangatan pelukan nenek dan kakeknya. Karena itu, maka nenek tua itu seolah-olah adalah neneknya sendiri yang sangat mengasihinya.
Tetapi semakin lama, cerahnya pagi hari yang menjadi semakin terang. Sinar matahari yang mulai terasa sentuhannya dikulit tubuh. Serta angin yang semilir, telah membuat Mahisa Amping sedikit demi sedikit menjadi segar dan tegar. Ia mulai berlari-lari kecil. Berhenti di tanggul parit dan bahkan memanjat pohon gayam yang tumbuh dipinggir jalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat Amping mulai menjadi gembira, menjadi lega juga. Apalagi ketika anak itu sudah mulai berdendang meskipun suaranya agak sumbang. Namun demikian Mahisa Amping berlari-lari di depan, Mahisa Murti telah berkata berterus terang kepada Mahisa Semu dan Wantilan. Di perjalanan mereka akan menemui dua orang yang akan merampas sepasang senjata yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Dari mana kau tahu?”
“Orang itu yang menemui kami berdua di rumah nenek. Mereka tidak ingin mengganggu ketenangan padukuhan yang memang sudah menjadi gaduh itu. Karena itu, maka mereka berniat untuk menunggu kita di jalan,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah mereka tahu, kemana kita pergi?” bertanya Wantilan.
“Aku telah mengatakannya paman,” jawab Mahisa Murti.
“Kenapa kau harus mengatakan kepadanya? Bukankah kau dapat mengelabuinya?” bertanya Wantilan pula.
“Aku tidak dapat melakukannya. Jika orang itu tahu bahwa aku berkata tidak sebenarnya, maka mereka tentu akan melakukannya selagi kita masih berada di padukuhan itu. Dan itu akan berarti kegaduhan itu, karena kedua orang itu bukan orang kebanyakan. Mereka bukan sekedar Gegedug Gunung Palang. Tetapi mereka berdua adalah Naga Angkasa dan Naga Pratala,” jawab Mahisa Murti.
Wantilan dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wantilan pun bertanya, “Kau sudah mengenal kedua orang itu sebelumnya?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Kami baru mendengar namanya saja. Tetapi kami belum mengenalnya secara pribadi.”
Wantilan mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa akan terjadi lagi pertempuran yang sengit. Persoalannya terulang lagi. Memperebutkan pusaka yang dimiliki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Namun Wantilan tidak mengatakan sesuatu. Ia sadar, bahwa dalam hal itu, ia dan Mahisa Semu tidak akan banyak dapat berbuat sesuatu. Yang akan hadir dalam satu pertempuran adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Naga Angkasa dan Naga Pratala tentu memiliki atau setidak-tidaknya merasa memiliki ilmu setingkat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, kelima orang itu berjalan terus. Tetapi sampai lewat tengah hari mereka tidak bertemu dengan orang-orang yang disebutnya Naga Angkasa dan Naga Pratala. Bahkan sampai saatnya Mahisa Amping merasa lapar.
Lewat tengah hari, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertanya kepada Mahisa Amping, “Apakah kau sudah haus atau lapar?”
Seperti biasanya Mahisa Amping tidak mennyembunyikan jawabannya. Karena itu maka katanya, “Ya. Kita singgah di kedai yang pertama kita temui.”
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak menolaknya. Karena itu, maka ketika mereka sampai disebuah padukuhan yang cukup besar, mereka memang menjumpai sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Mahisa Amping lah yang pertama kali masuk ke dalam kedai itu. Namun tiba-tiba saja ia bergeser surut ketika ia melihat seseorang yang duduk di dalam kedai itu.
Tetapi orang itu dengan ramahnya berkata, “Marilah. Bukankah sudah haus?”
“Kau yang ada di dapur nenek itu?” bertanya Mahisa Amping.
“Kau memang luar biasa. Ingatanmu bagus sekali,” jawab orang itu, “aku memang orang yang kau temui di dapur rumah nenek tua itu.”
Mahisa Amping tidak sempat berkata apapun lagi. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melangkah masuk ke dalam kedai itu pula. Mereka pun terkejut melihat orang itu sudah berada di dalam kedai. Namun karena sikap orang itu wajar saja, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melangkah masuk dan duduk pula di dalam warung itu disusul oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
“Apakah kau sudah lama berada di kedai ini?” justru Mahisa Murti lah yang bertanya.
Orang itu tersenyum. Katanya,” belum. Seperti kau lihat, minumanku pun baru disiapkan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia memang melihat pelayan di kedai itu menghidangkan minuman dan kemudian makanan kepada orang yang mengaku bernama Naga Angkasa itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun segera mengambil tempat pula. Kepada pelayan kedai itu mereka telah memesan makanan dan minuman pula.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah bertanya kepada Naga Angkasa itu, “Kenapa kau sendiri? Di mana saudaramu itu?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ia merasa belum perlu hadir. Ia baru beristirahat. Saudaraku merasa perlu untuk menyiapkan diri menghadapi satu perjuangan yang berat.”
Tetapi pertanyaan Mahisa Pukat tidak terduga-duga, “begitu lemahkah saudaramu itu sehingga memerlukan waktu begitu lama untuk mempersiapkan dirinya?”
Kening orang itu berkerut. Tetapi ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Tidak anak muda. Bukan karena saudaraku itu terlalu lemah. Tetapi ia memang tidak pernah merendahkan orang lain. Apalagi seorang yang membawa pusaka yang jarang ada duanya di dunia ini.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah bersiap-siap sepanjang perjalanan kami hari ini. Aku kira, kalian sudah menunggu.”
“Ki Sanak,” berkata orang itu, “kami mohon maaf, bahwa hari ini kami tidak dapat menyambutmu.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kami telah menentukan bahwa besok kami akan menunggu kalian. Kami berada di bukit kecil di seberang bulak. Tetapi untuk mencapai bukit itu, kalian harus melewati lorong sempit, kemudian menyusuri tanggul sungai,” berkata orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa begitu rumit?”
“Tetapi tempat itu lebih baik buat bermain-main. Sepi dan tidak akan terganggu. Ah, barangkali kau pun akan merasa bahwa tempat itu sesuai dengan kepentingan kita jika kalian telah melihatnya,” desis Naga Angkasa.
Mahisa Pukat yang menjawabnya, “Apa yang kau anggap baik, akan baik juga buat kami.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Minumanmu sudah tersedia. Nanti dingin.”
Pembicaraan mereka pun kemudian terhenti. Masing-masing menikmati minuman dan makanan yang sudah disediakan oleh pelayan di kedai itu. Namun orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa itu ternyata telah selesai lebih dahulu. Sambil bangkit berdiri ia berkata, “Kalian tidak usah tergesa-gesa. Kami menunggu kalian besok”
Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Kami akan melewati tempat itu nanti.”
Dengan nada rendah Naga Angkasa itu menjawab, “Kau lihat matahari sudah menjadi semakin rendah. Apakah masih cukup waktu untuk bermain-main hari ini?”
“Apa hubungannya dengan matahari yang semakin rendah? Apakah jika matahari terbenam, segala-galanya harus berhenti?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat sorot mata Mahisa Pukat, maka orang itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa anak muda itu memiliki keyakinan yang sangat kuat atas dirinya.
“Jadi, bagaimana maumu?” bertanya orang itu kemudian.
“Kami akan melewati bukit itu. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan menunggu kami atau tidak. Tetapi tidak besok. Hari ini. Bagi kami, siang, malam atau kapan pun juga tidak ada bedanya sama sekali,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya pula, “Jika kalian tidak mau menunggu kami hari ini, maka terserah, kapan saja kalian akan menemui kami di sepanjang perjalanan kami. Tetapi kami tidak sempat menunggu kalian sampai besok, karena kami tidak merasa berkewajiban melakukan perintahmu atau memenuhi keinginanmu.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah itu sekedar alasan bahwa kalian tidak berani memenuhi tantangan kami?”
“Kami juga dapat bertanya sebaliknya, apakah niat kalian menunggu sampai besok bukan sekedar alasan agar kami sudah lewat?” Mahisa Pukat justru bertanya pula.
Jantung orang itu terasa berdenyut semakin cepat. Tetapi ia pun kemudian mencoba untuk tersenyum pula sambil berkata, “Baiklah. Kami menunggu kalian lewat hari ini. Kami juga tidak akan merasa terganggu jika malam turun.”
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Orang yang mengaku bernama Naga Angkasa itu pun kemudian telah menghampiri pemilik kedai, membayar harga minuman dan makanan, kemudian minta diri. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun telah selesai pula. Setelah membayar harga minuman dan makanan yang mereka makan, maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu.
“Kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mengangguk-angguk kecil. Mereka mengerti apa yang akan terjadi. Peristiwa yang berulang kembali. Orang-orang yang merasa berilmu itu telah berusaha untuk merampas sepasang pusaka yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
“Kita akan melewati bukit kecil sebagaimana dikatakan oleh orang itu,” berkata Mahisa Murti, “dan agaknya kita harus berhenti di tempat itu.
Mereka yang berjalan bersama-sama itu sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Bagaimanapun juga mereka memang harus bersiaga sepenuhnya. Meskipun yang menjadi sasaran adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun api itu akan dapat memercik kepada mereka jika mereka tidak berhati-hati.
Ternyata bahwa Mahisa Amping pun dianggap perlu untuk diberitahu dengan jelas apa yang mungkin terjadi, agar ia tidak terkejut dan tidak berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan kedudukannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingkar. Mereka telah menempuh jalan sebagaimaina dikatakan oleh orang yang mengku bernama Naga Angkasa. Mereka meninggalkan jalan di tengah-tengah bulak. Menempuh lorong kecil dan kemudin mengikuti tanggul sungai.
Bukit itu memang sudah nampak. Di kaki bukit kecil itu terdapat padang perdu yang cukup luas. Batu-batu padas nampak berserakan di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun. Satu dua memang terdapat batang pohon yang tumbuh menjulang. Tetapi tidak begitu banyak. Dengan hati-hati kelima orang itu telah memasuki padang perdu. Sementara itu matahari memang sudah menjadi semakin rendah.
“Kita berhenti di sini,” berkata Mahisa Murti, “aku kira kedua orang itu berada di sekitar tempat ini.”
Untuk beberapa saat kelima orang itu beristirahat. Panas matahari sudah menjadi semakin berkurang. Dibawah sebatang pohon yang rimbun terasa angin bertiup segar. Baru beberapa saat kemudian, mereka mendengar suara desis yang bergaung mengumandang. Suara itu seakan-akan bersumber dari ujung bukit kecil itu.
Namun ketika mereka memandang ke batu-batu padas di atas bukit, maka mereka melihat dua orang yang berdiri tegak bertolak pinggang. Hanya nampak beberapa jengkal saja. Namun suara bergaung itu terdengar lagi. Seperti suara sendaren dengan nada yang rendah yang ditiup keras-keras, memenuhi udara.
Demikian suara itu berhenti, maka kedua orang itu telah berlari, berloncatan di antara batu-batu padas. Tubuh mereka nampaknya sangat ringan. Tanpa kesulitan mereka menuruni tebing bukit yang hampir tegak. Beberapa saat kemudian kedua orang itu sudah berdiri beberapa langkah di depan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyongsong mereka. Namun sambil tertawa Naga Angkasa memperkenalkan saudaranya, “Adik seperguruanku, Naga Pratala.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Apakah kalian sudah lama menunggu?”
“Kami memang berada di tempat ini sejak kemarin,” jawab Naga Angkasa.
“Dan kalian telah mempertunjukkan satu permainan yang menarik,” berkata Mahisa Murti pula.
“Permainan apa?” bertanya Naga Angkasa.
“Kalian telah menggertak kami dengan gaung yang mengumandang menggetarkan langit,” jawab Mahisa Murti.
“Oo,” Naga Angkasa tertawa, “sama sekali bukan permainan kami. Di atas bukit itu ada sebuah lubang yang besar menusuk ke perut bukit itu. Di dalamnya terdapat sebuah goa yang besar dan dalam. Nah, jika angin bertiup cukup keras, maka lubang itu akan melontarkan gaung yang keras. Sama sekali bukan kemampuan kamilah yang telah membunyikannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf. Ternyata pengetahuanku tentang perbukitan dengan segala seluk beluknya sangat sempit. Tetapi juga karena aku sangat menghargai tingkat kemampuan kalian, sehingga aku mengira bahwa gaung itu adalah salah satu bentuk permainan kalian.”
“Itu wajar saja. Ketika kau datang, aku pun terkejut mendengar gaung yang mengumandang itu. Tetapi akhirnya aku sempat menemukan sumbernya,” berkata Naga Angkasa.
“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “sekarang kami sudah berada di sini. Bukankah kalian menunggu kedatangan kami? Sementara itu waktu kami hanya sedikit, sehingga kami akan segera meneruskan perjalanan setelah keperluan kalian dengan kami selesai.”
“Bagaimana jika kalian tidak sempat keluar dari tempat ini?” bertanya Naga Angkasa.
“Itu bukan pilihan kami,” jawab Mahisa Murti.
“Kami memang tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu, maka sebaiknya kita selesaikan saja persoalan kita dengan cara yang paling baik,” berkata Naga Angkasa.
“Cara yang bagaimana yang kalian tawarkan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kami akan membeli sepasang keris yang kalian bawa itu. Kalian dapat menawarkan dengan harga berapa saja. Kami akan berusaha untuk memenuhinya karena kami benar-benar memerlukannya,” berkata Naga Angkasa.
“Maaf Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “kami tidak akan melepaskan senjata kami dengan cara apa pun juga.”
Naga Angkasa tertawa. Katanya, “Aku sudah mengira. Karena itu, maka kami sudah bersiap-siap untuk merampas pusaka-pusaka itu. Bagaimana jika kita bertempur? Jika kalian kalah, kalian harus menyerahkan pusaka itu.”
Tetapi jawaban Mahisa Murti ternyata tegas, “Kami tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka kami. Kalah atau menang.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Itu artinya kami harus membunuh kalian.”
“Terserahlah,” jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian adalah anak-anak muda yang berhati batu. Sebenarnya kami tidak ingin membunuh kalian, karena kalian masih terlalu muda untuk mati. Tetapi jika itu adalah pilihan kalian, maka apa boleh buat.”
“Apakah kalian tidak mempunyai pemecahan lain?” tiba-tiba Naga Pratala bertanya, “aku merasa kasihan, bahwa kalian akan mati muda.”
“Aku mempunyai satu cara yang baik,” Mahisa Pukat lah yang menjawab.
“Katakan,” desis Naga Pratala yang nampaknya tidak begitu banyak bicara.
“Biarkan kami lewat,” jawab Mahisa Pukat.
Naga Angkasa tertawa. Katanya, “Itu bukan pemecahan.”
Tetapi Mahisa Pukat menjawab lagi, “Pemecahan yang lain, yang sebenarnya tidak kami kehendaki. Tetapi harus kami lakukan jika cara yang pertama gagal.”
“Katakan,” desis Naga Angkasa.
“Membunuh kalian,” jawab Mahisa Pukat.
Naga Angkasa mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “jadi kalian benar-benar merasa mampu untuk melawan kami?”
“Kenapa tidak?” jawab Mahisa Pukat.
“Bukankah kalian pernah mendengar nama kami? Naga Angkasa dan Naga Pratala? Salah seorang dari kalian telah bertanya tentang adik seperguruanku ketika kalian bertemu dengan aku? Jika demikian, maka seharusnya kalian menyadari, dengan siapa kalian berhadapan,” berkata Naga Angkasa.
Yang menjawab kemudian adalah Mahisa Murti, “Kesempatan kita sama. Kemungkinannya pun sama.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sejak semula aku memang sudah menduga bahwa kalian adalah anak-anak muda yang kurang berpengalaman, sehingga tidak dapat menempatkan diri dengan baik di antara mereka yang memiliki ilmu yang tinggi. Adalah satu kemalangan bahwa dalam keadaan kalian yang demikian, kalian telah memiliki sepasang pusaka itu. Ternyata pusaka itu tidak dapat membawa keberuntungan bagi kalian, tetapi justru sebaliknya. Kalian telah terjebak ke dalam satu kepercayaan yang salah seakan-akan dengan memiliki pusaka itu, kalian akan dapat menggapai bintang. Tetapi yang terjadi, kalian akan mati muda.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan, “jangan ganggu kami. Kami akan membuat perhitungan dengan kedua ekor Naga ini.”
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk kecil. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka mereka- pun telah membimbing Mahisa Amping untuk menepi.
“Anak itu luar biasa,” desis Naga Angkasa, “Jika kalian terbunuh nanti, maka aku akan memelihara anak itu dan aku pun akan memenuhi janjiku, melindungi padukuhan yang baru saja kalian tinggalkan.”
“Terima kasih,” Mahisa Pukat lah yang menyahut, “tetapi kami tidak dapat menjanjikan apa-apa jika kami telah membunuh kalian. Yang dapat kami lakukan satu-satunya adalah menguburkan kalian. Hanya itu.”
Wajah Naga Angkasa menjadi tegang. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Kita tidak akan membuang waktu terlalu banyak. Langit sudah menjadi suram. Sebentar lagi malam akan segera turun. Sedangkan kalian tidak lagi mau memperhitungkan waktu.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Sebaiknya kita cepat menyelesaikan persoalan kita.”
Kedua orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa dan Naga Pratala itu pun segera mempersiapkan diri. Yang muda di antara mereka memang tidak banyak berbicara. Tetapi kerut di keningnya serta sorot matanya mengisyaratkan bahwa Naga Pratala justru merupakan seorang yang sangat berbahaya.
Demikianlah, maka kedua orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa dan Naga Pratala itu telah menghadapi lawan mereka masing-masing. Naga Angkasa telah berhadapan dengan Mahisa Murti, sedangkan Naga Pratala berhadapan dengan Mahisa Pukat.
Naga Angkasa memandang langit sejenak. Bayangan senja telah mulai turun. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita justru akan bertempur di malam hari.”
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “bukankah kau tidak berkeberatan?”
“Tidak,” jawab Naga Angkasa, “justru sangat menarik. Kita akan menguji ketajaman penglihatan kita masing-masing.”
Mahisa Pukat tidak berbicara apa pun lagi. Naga Pratala pun memang tidak ingin bertanya apapun. Tetapi ia justru telah bersiap untuk mulai bertempur melawan Mahisa Pukat. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah bergeser mendekat. Sementara itu, Naga Pratala pun dengan tiba-tiba telah meloncat menyerang. Kedua jari-jarinya yang lurus dan kuncup pada ujungnya, mirip dengan kepala seekor ular. Sementara itu, Mahisa Pukat pun masih belum mempergunakan senjatanya pula.
Dengan demikian, maka kedua orang itu pun segera terlibat dalam pertempuran yang cepat. Naga Pratala ternyata memiliki kecepatan gerak yang tinggi. Bahkan kadang-kadang tidak terduga. Sekali ia meloncat menerkam. Namun kemudian berguling di tanah. Mulutnya berdesis, sementara tubuhnya menggeliat. Tangannya yang kuncup menyambar dengan cepat.
Tetapi Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan yang tinggi pula. Dengan mengungkapkan tenaga dasarnya, maka ia mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Kecepatannya bergerak pun mengangumkan pula. Dengan dukungan tenaga cadangan di dalam dirinya itu, maka kekuatannya pun berlipat-lipat.
Naga Pratala yang pendiam itu memang menjadi heran. Anak muda yang masih muda itu ternyata telah memiliki ilmu yang sangat tinggi yang bahkan mampu mengimbangi kemampuannya. Tetapi Naga Pratala itu belum sampai ke puncak. Semakin lama ia bergerak semakin cepat. Beberapa kali ia justru menjatuhkan diri dan menggeliat di tanah. Namun kemudian melenting tinggi. Kedua tangannya menyambar dengan cepatnya menggapai tubuh Mahisa Pukat.
Namun tidak mudah untuk menyentuh tubuh anak muda itu, karena Mahisa Pukat pun mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Ketika kedua tangannya menyambar dari arah yang berbeda, Mahisa Pukat justru meloncat tinggi. Berputar di udara dan demikian kedua kakinya menyentuh tanah, ia pun telah melenting pula menyerang dengan kaki terjulur.
Lawannya memang terkejut sehingga harus meloncat mundur, menghindar sambil mengambil jarak. Tetapi Mahisa Pukat tidak memberikan waktu kepada lawannya. Dengan cepat pula ia memburu dan menyerang dengan sengitnya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mulai bertempur melawan Naga Angkasa. Memang agak berbeda dengan saudara muda seperguruannya. Naga Angkasa lebih banyak meloncat tinggi, kemudian menyambar dengan tangkasnya. Namun unsur-unsur gerak pokoknya tidak berbeda dari Naga Pratala. Naga Angkasa agaknya lebih senang bergerak dan menyerang dari arah ketinggian.
Namun unsur yang nampak pada jari-jari tangannya, lambungnya yang mampu menggelit dan berputaran, lengannya sama sekali tidak berbeda dari Naga Pratala, karena sumbernya memang sama. Tetapi Naga Angkasa lebih banyak berbicara dari adik seperguruannya. Bahkan sekali-sekali ia tertawa jika tangannya hampir saja menyentuh tubuh Mahisa Murti. Tetapi jika ia terkejut karena serangan Mahisa Murti yang tiba-tiba dan tidak diduganya, maka ia pun telah mengumpat keras-keras.
Sementara itu, maka malam pun semakin menjadi gelap. Di langit bintang-bintang gemerlapan. Angin malam ternyata bertiup semakin keras. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memang menjadi tegang. Bagaimanapun jauhnya jarak ilmu mereka, tetapi mereka dapat juga mengenali betapa pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun semakin meningkatkan ilmu mereka, karena lawan-lawan mereka pun melakukannya pula.
Naga Angkasa dan Naga Pratala memang menguasai beberapa jenis gerak seekor ular. Bahkan, seakan-akan berkepala dua, karena kedua tangannya itu bagaikan menjadi kepala ular yang sangat ganas. Mematuk dengan cepat dan kemudian menyambar dari segala arah. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak mudah mereka tundukkan. Sambaran-sambaran tangan mereka masih belum mengenai sasaran.
Namun Naga Pratala yang berwajah gelap dan pendiam, namun tatapan matanya yang tajam itu benar-benar mengejutkan Mahisa Pukat, ketika tiba-tiba saja ia menyerang dengan kakinya. Sebelumnya memang jarang sekali dilakukannya.
Namun Mahisa Pukat masih mampu menghindari serangan itu meskipun dengan sangat tergesa-gesa. Rupanya hal itulah yang diharapkan oleh lawannya. Demikian Mahisa Pukat bergeser, Naga Pratala telah menjatuhkan dirinya, menggeliat dan kedua tangannya mematuk kaki Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat melenting tinggi. Namun diluar dugaan, begitu ia menginjak tanah, serangan itu datang lagi. Naga Pratala telah berguling menggeliat dan tangannya ternyata mampu menyambar betis Mahisa Pukat. Mahisa Pukat memang terkejut. Dengan serta merta ia meloncat mengambil jarak beberapa langkah. Sementara Naga Pratala telah bangkit dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
Kaki Mahisa Pukat terasa sangat pedih. Bahkan menjadi panas. Sesuatu terasa mendesak untuk menelusuri urat-urat darahnya. Namun perasaan sakit yang sangat telah menggigit di arah lukanya. Mahisa Pukat memang menjauhi lawannya. Dengan cepat, ia sempat memukul denagn ujung jarinya tiga jalur urat di sekitar lukanya. Ternyata dari luka itu kemudian telah mengalir darah. Tidak terlalu banyak, namun tidak secair darah wajarnya. Beberapa kali Mahisa Pukat memang harus memukul lagi jalur urat darah di sekitarnya, sehingga darahnya menjadi lebih banyak mengalir.
Lawannya, Naga Pratala, memandanginya dengan tegang. Kemudian dengan nada dalam ia berdesis, “Kau mempunyai kemampuan menangkal racun?”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun darah yang mengalir dari lukanya pun kemudian semakin lama menjadi semakin cair. Dengan demikian maka perasaan pedih dan panas pun menjadi semakin susut.
“Anak iblis,” geram Naga Pratala, “kau dapat mengatasi racunku?”
Mahisa Pukat masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sempat mengambil obat dari kantung ikat pinggangnya, kemudian ditaburkannya pada lukanya. Baru kemudian ia berkata, “Racunmu racun yang sangat keras. Lukaku terasa sangat pedih dan panas. Hampir saja penangkal racunku tidak mampu mendorong bisa yang kau tanamkan ke dalam kulitku lewat kukumu yang tajam itu. Tetapi ternyata aku berhasil menolak kekuatan bisa yang kuat itu. Yang tinggal sekarang adalah luka biasa, sebagaimana kakiku tergores duri.”
Naga Pratala menggeram. Betapa kemarahan menggelegak di dalam dadanya, namun ia tidak dapat ingkar akan kenyataan yang dihadapinya. Anak muda itu memiliki penangkal racun yang kekuatannya melampaui kekuatan racunnya. Namun Naga Pratala tidak menghindar. Ia sudah bertekad untuk mengambil pusaka yang sepasang itu dari lawan-lawannya. Karena itu, maka ia pun telah meloncat pula menyerang Mahisa Pukat.
Sementara itu, Mahisa Murti pun harus meningkatkan ilmunya ketataran puncaknya ketika serangan-serangan Naga Angkasa menjadi semakin deras. Namun ketika Naga Angkasa melihat bahwa Mahisa Pukat mampu melawan bisa yang digoreskan Naga Pratala di tubuhnya, maka Naga Angkasa pun menduga bahwa lawannya itu tentu juga memiliki penangkal bisa yang kuat sebagaimana saudaranya. Karena itu, maka Naga Angkasa pun tidak lagi bertumpu pada kekuatan racunnya. Tetapi ia harus mempergunakan ilmunya yang dapat dipergunakannya untuk membunuh anak muda yang keras kepala itu.
Sejenak kemudian maka pertempuran pun semakin menjadi sengit. Naga Angkasa bagaikan berterbangan mengitari Mahisa Murti. Meskipun demikian, namun hampir setiap serangannya dapat dipatahkannya. Sambaran kuku-kukunya pada wajah Mahisa Murti sama sekali tidak berhasil menyentuh sasarannya. Bahkan semakin lama Naga Angkasa itu menjadi semakin gelisah. Hampir semua usahanya telah gagal.
Pada puncak kemarahannya, maka Naga Angkasa telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendukung kekuatan ilmunya yang tertinggi. Ilmu puncak yang jarang sekali dipergunakannya. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat, maka ia telah mempergunakan ilmunya itu.
Ketika serangan-serangan wadagnya tidak pernah berhasil mengenai tubuh Mahisa Murti, bahkan justru Mahisa Murti lah yang mulai menyentuh kulitnya, maka Naga Angkasa telah melepaskan ilmunya yang disebutnya Naga Pasa. Ketika ia menghentakkan tangannya ke arah lawannya, maka seakan-akan api telah meluncur terjulur memanjang seperti seutas tali yang membara.
Namun Mahisa Murti cepat tanggap. Kekuatan ilmu itu merupakan ilmu yang sangat berbahaya. Api yang terjulur seperti seutas tali itu akan dapat membelitnya dan membakar tubuhnya. Jika hal itu terjadi, maka sulit baginya untuk dapat melepaskan diri dan bertahan untuk tetap hidup. Karena itu, demikian bara yang berbentuk seutas tali itu terjulur, Mahisa Murti telah meloncat menghindarinya.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah terkejut melihat ilmu yang bagi mereka sangat mengerikan itu. Mereka melihat bagaimana Mahisa Murti menjatuhkan dirinya, berguling dan meloncat melenting tinggi ketika serangan itu datang beruntun.
Ternyata bukan hanya Naga Angkasa sajalah yang kemudian mempergunakan ilmunya itu. Naga Pratala pun telah mempergunakannya pula. Ilmu yang sama itu benar-benar telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengalami kesulitan. Naga Pratala yang lebih bergerak di atas tanah, bahkan kadang-kadang berguling dan menelusuri langkah-langkah kaki lawannya sambil mengeliat berputar. Namun yang tiba-tiba melenting tegak sambil menghentakkan tangannya untuk melontarkan serangannya.
Sedangkan Naga Angkasa bagaikan seekor burung yang terbang mengitari lawannya. Kemudian dengan kuku-kukunya yang tajam menyambar dengan cepat. Tetapi jika ia gagal, tiba-tiba saja ia telah tegak berdiri sambil menghentakkan kedua belah tangannya untuk melontarkan ilmunya, Naga Pasa.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang belum mapan itu harus berloncatan. Serangan yang gagal mengenai lawannya dan menghantam batu-batu padas telah menggetarkan jantung. Tali yang membara itu bagaikan membelit dan kemudian meremas sasarannya. Batu-batu padas pun telah diremukkannya hingga berserakan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin membiarkan diri mereka diburu oleh serangan-serangan lawannya tanpa membalasnya.
Sementara itu terdengar Naga Angkasa tertawa berkepanjangan. Dengan suara yang menggelegar memenuhi udara ia berkata, “jangan menyesal anak muda. Kau sebaiknya mengenal ilmu Naga Pasa. Ilmu yang jarang ada bandingnya disaat sekarang ini. Mungkin kau pernah mendengarnya atau bahkan menyaksikan kedahsyatannya. Namun jenis ilmu ini ada beberapa macam. Sesuai dengan tataran kemampuan landasan ilmunya masing-masing. Ilmu yang kau saksikan sekarang, adalah ilmu Naga Pasa pada tingkat tertinggi karena landasan ilmu kami adalah landasan tertinggi pula dari mereka yang mempelajari ilmu ini. Jika kau sempat mempelajarinya, maka kau pun akan mencapai tataran ilmu tertinggi, karena ternyata landasan ilmu kalian pun merupakan ilmu yang sangat tinggi. Tetapi jika kalian mampu menjalani laku untuk mewarisi ilmu Naga Pasa.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia sudah siap dengan kemampuan puncaknya pula. Bahkan Mahisa Murti telah mengerahkan segenap ilmu yang dimilikinya untuk mengatasi ilmu Naga Pasa. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak setengah-setengah menghadapi lawannya yang berilmu sangat tinggi itu. Ketika ia mendapatkan kesempatan, maka tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam pusakanya yang oleh pembuatnya disebut sebagai sebilah keris.
Naga Angkasa memang terkejut melihat Mahisa Murti telah menarik senjatanya. Bahkan Naga Pratala pun telah kehilangan waktu sekejap untuk menyaksikan keris yang bercahaya kehijau-hijauan itu. Sementara itu, Mahisa Pukat telah mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk menarik senjatanya pula.
“Bukan main,” desis Naga Angkasa, “kalian memang orang-orang muda yang berilmu sangat tinggi. Cahaya kehijauan itu tidak akan menyilaukan dan bahkan seakan-akan nyala lidah api jika tidak berada di tangan orang yang berilmu sangat tinggi.”
“Masih belum terlambat bagi kalian untuk menyingkir,” berkata Mahisa Murti.
“Tidak anak muda,” jawab Naga Angkasa, “justru karena itu aku menjadi semakin tertarik kepada pusaka itu. Sebelum kami benar-benar meremasmu dengan ilmu Naga Pasa, maka sebaiknya kau serahkan saja pusaka-pusaka itu.”
“Jangan melakukan pekerjaan sia-sia,” geram Mahisa Pukat, “kecuali jika kalian memang sudah bersedia mati.”
“Kau terlalu sombong anak muda. Betapa pun dahsyatnya pusaka seseorang, segala sesuatunya tergantung kepada tangan yang menggenggamnya,” berkata Naga Angkasa.
Ternyata kedua belah pihak tidak ada yang berniat mengurungkan pertempuran itu. Keduanya sudah bersiap untuk menghadapi akibat yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka pertempuran pun segera berlanjut.
Mahisa Murti berusaha untuk mengurangi tekanan ilmu yang dilontarkan dalam bentuk bara yang memanjang bagaikan seutas tali yang besar dan kuat yang mampu menjerat dan meremas sasarannya. Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya yang bagaikan menyala kehijau-hijauan.
Naga Angkasa pun telah meloncat menghindar. Ketika Mahisa Murti memburunya, maka Naga Angkasa itu telah mempergunakan senjatanya pula untuk menangkis serangan-serangan Mahisa Murti. Sepasang trisula yang tidak terlalu besar dan bertangkai tidak lebih dari sejengkal. Di tangannya, maka trisula itu bagaikan telah menyatu sebagai perpanjangan jari-jarinya yang kokoh kuat karena terbuat dari besi baja pilihan. Nampaknya Naga Angkasa memang ingin mencoba kemampuan senjata Mahisa Murti. Karena itu, beberapa kali Naga Angkasa telah menangkis serangan-serangan Mahisa Murti.
Tetapi terasa oleh Naga Angkasa, pengaruh dari kelebihan yang terdapat pada pusaka Mahisa Murti. Setiap terjadi benturan, maka terasa tangan Naga Angkasa bergetar. Trisulanya seolah-olah tidak bertenaga. Ketika pedang di tangan Mahisa Murti itu sempat terjepit di antara mata trisulanya, maka Naga Angkasa telah berusaha memutarnya agar senjata itu terlepas dari genggaman Mahisa Murti. Tetapi ternyata trisulanya seakan-akan justru telah melengkung. Dengan cepat Naga Angkasa mengurai himpitan trisulanya atas senjata Mahisa Murti. Namun ternyata bahwa trisulanya sama sekali tidak menjadi cacat.
“Gila,” geram Naga Angkasa yang kemudian menjadi semakin garang.
Demikian pula Naga Pratala. Ia pun telah bersenjata pula. Naga Pratala tidak mempergunakan sepasang trisula. Tetapi ia telah menggenggam sepasang pisau belati yang warnanya justru kehitam-hitaman. Namun Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi melihat warangan pada pisau-pisau belati itu, karena racun dan bisa tidak akan melumpuhkannya.
Namun Naga Pratala pun tidak mampu mengatasi permainan pedang Mahisa Pukat, sehingga pada satu kesempatan, Naga Pratala telah menyerang lagi dengan ilmunya Naga Pasa yang justru meluncur dari mata pisau belatinya. Tetapi Naga Pratala memang terkejut. Lontaran ilmunya seakan-akan telah menyusut dari lontaran ilmu itu sebelumnya. Meskipun ilmu yang luput dari sasarannya itu masih mampu membelah batu padas di lereng bukit kecil itu.
Tetapi Naga Pratala tidak menghiraukannya. Ia hanya menduga bahwa ia memang belum sempat mengumpulkan kekuatan serta pemusatan nalar budinya untuk ancang-ancang melontarkan ilmunya. Dengan demikian, maka Naga Pratala berniat untuk menghentakkan segenap kemampuannya pada serangan-serangan berikutnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat pun masih berusaha untuk meloncat menyerang dengan pedangnya. Namun kesempatan menjadi semakin sempit. Naga Pratala telah menyerangnya dengan ilmunya Naga Pasa. Tetapi demikian serangan itu meluncur luput dari sasaran karena Mahisa Pukat sempat menghindarinya, maka anak muda itu telah meloncat menyerangnya.
Dengan sepasang pisau belati Naga Pratala berusaha untuk menangkis setiap serangan. Tetapi karena senjata Mahisa Pukat lebih panjang, serta kemampuan ilmu pedangnya yang sangat tinggi, maka Naga Pratala lebih memusatkan serangan-serangannya dengan ilmunya Naga Pasa.
Akhirnya, Mahisa Pukat pun tidak lagi sempat mendekat. Serangan-serangan Naga Pratala datang beruntun meskipun Naga Pratala sendiri merasa heran, bahwa kemampuan ilmunya seakan-akan benar-benar telah menyusut. Sementara serangan-serangan itu datang berurutan, maka Mahisa Pukat telah mengurungkan niatnya untuk melumpuhkan lawannya dengan menyusut kekuatan serta ilmunya.
Ternyata cara itu sangat berbahaya baginya. Semakin dekat ia dengan sumber ilmu Naga Pasa itu, maka semakin sulit baginya untuk menghindarinya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah memutuskan untuk menyerang lawannya dari jarak yang tidak terlalu dekat. Mahisa Pukat tidak lagi berniat menyerang dengan pedangnya.
Yang bertempur tidak kalah garangnya adalah Naga Angkasa. Tangannya yang menggenggam trisula menyambar-nyambar mengerikan. Sekali-sekali, jika tangannya tidak mampu menjangkaunya, maka Naga Angkasa itu pun telah menyerang dengan ilmu Naga Pasa nya pula.
Seperti Mahisa Pukat, Mahisa Murti pun mengalami kesulitan untuk bertempur pada jarak yang dekat. Meskipun ia sudah berhasil menyusut ilmu lawannya, tetapi serangan-serangan ilmu Naga Pasa masih saja sangat membahayakannya. Karena itu, maka dalam keadaan yang sangat gawat, kedua anak muda itu sudah bertekad untuk mengakhiri pertempuran itu dengan ilmu puncak mereka.
Dalam pada itu, ketika serangan-serangan Naga Pratala datang susul menyusul, maka Mahisa Pukat harus berloncatan menghindarinya. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat harus menjatuhkan diri berguling-guling, kemudian melenting berdiri dan meloncat surut. Bahkan kemudian Mahisa Pukat itu dengan cepatnya bagaikan melayang keatas batu padas di tebing bukit kecil itu.
Naga Pratala sama sekali tidak melepaskannya. Ia pun meloncat ke tempat yang terbuka sehingga dengan jelas ia dapat melihat kedudukan Mahisa Pukat di atas batu padas di sebelah pohon perdu dalam keremangan malam. Ternyata bahwa Naga Pratala masih belum mengenal Mahisa Pukat dengan baik. Karena itu, maka ia tidak mengira bahwa Mahisa Pukat pun akan mampu menyerangnya dari jarak sejauh jangkauan ilmu Naga Pasa.
Karena itu, ketika Naga Pratala mengangkat sepasang pisau belatinya, maka Mahisa Pukat pun telah mengangkat pedang pusakanya yang menyala kehijau-hijauan. Demikian bara yang memanjang terjulur dari ujung kedua pisau belati Naga Pasa yang menyatu itu, maka dari lidah api yang menyala pada daun pedang Mahisa Pukat pun telah meluncur serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Naga Pratala terkejut melihat serangan itu. Tetapi semua itu terjadi begitu cepatnya. Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak berniat untuk menghindar. Ia tahu pasti bahwa kekuatan ilmu Naga Pratala dalam tataran tertinggi ilmu sudah susut, karena landasan pendukungnya telah dipengaruhi oleh sentuhan-sentuhan kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang lain.
Sementara itu Naga Pratala yang terkejut itu memang tidak sempat menghindar. Apalagi Naga Pratala sendiri tidak yakin apa yang sebenarnya sedang dihadapinya. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Bara yang terjulur memanjang itu telah membentur gumpalan cahaya yang kehijau-hijauan yang seakan-akan meluncur dari daun pedang anak muda itu.
Sebuah ledakan telah mengguncang udara malam. Getarannya seakan-akan saling mendorong di antara dua kekuatan ilmu yang sangat tinggi itu. Tetapi kekuatan ilmu Naga Pasa benar-benar sudah menyusut. Karena itu, maka getaran kekuatan ilmu itu seakan-akan telah terdorong oleh kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Mahisa Pukat justru langsung menelusuri arah balik menghantam tubuh Naga Pratala.
Ternyata bahwa kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang masih jauh lebih kuat itu telah menghantam tubuh Naga Pratala setelah mendorong dan merupakan kekuatan balik ilmu Naga Pasa sendiri. Dengan demikian, maka tubuh Naga Pratala itu telah terlempar beberapa langkah dan langsung jatuh terbanting di atas batu-batu padas.
Satu kenyataan yang tidak dapat diingkari. Naga Pratala tidak mampu bertahan. Getaran yang dahsyat telah mengguncang isi dadanya, melampaui kemampuan daya tahannya. Karena itu, maka Naga Pratala itu pun tidak akan dapat bangkit lagi untuk selamanya.
Naga Angkasa melihat, bagaimana adik seperguruannya itu terbanting jatuh dan tanpa dapat bergerak lagi. Diluar sadarnya, Naga Angkasa itu pun telah berteriak memanggil, “Pratala. Pratala.”
Tidak ada jawaban. Naga Pratala memang sudah tidak bernyawa lagi. Perlahan-lahan Naga Angkasa telah meninggalkan Mahisa Murti yang termangu-mangu. Dipandanginya saja Naga Angkasa yang melangkah mendekati adik seperguruannya. Sejenak kemudian Naga Angkasa pun telah berlutut disamping tubuh Naga Pratala. Sambil meraba tubuh yang masih hangat itu Naga Angkasa berkata dengan suaranya yang bergetar
“Kau tinggalkan aku. Selama ini nama kita saling berkaitan. Kita selalu bergerak berpasangan. Tetapi kini kau telah meninggalkan aku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan hati-hati telah melangkah mendekat. Pedang mereka masih tetap berada di tangan, sementara itu, mereka pun siap menghindar jika Naga Angkasa tiba-tiba saja telah menyerang. Tetapi Naga Angkasa ternyata tidak berbuat apa-apa. Ia justru telah menyelipkan senjatanya sambil berkata,
“Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Meskipun kami tahu bahwa kalian memiliki kemampuan yang sangat tinggi, tetapi yang kami hadapi adalah satu kenyataan yang jauh lebih tinggi dari perhitungan kami. Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh adik seperguruanku adalah ilmu kalian yang juga baru aku sadari setelah terlambat. Aku sudah mengira bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu.”
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” bertanya Mahisa murti.
“Aku sudah kehilangan sebagian dari kemampuanku. Seandainya Naga Pratala tidak terlambat sebagaimana aku sendiri, maka aku kira benturan ilmu kami dan ilmu kalian akan sangat menarik. Naga Pratala tidak akan mati dalam benturan ilmu yang pertama. Benturan itu tentu akan berulang dan berulang lagi. Mungkin Naga Pratala dan aku akan mati juga. Tetapi tentu tidak akan begitu cepatnya,” jawab Naga Angkasa. Lalu katanya pula, “Ternyata kalian memiliki ilmu yang hampir tidak dimiliki orang lagi sekarang ini. Dan itu sama sekali diluar perhitungan kami.”
“Jadi?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Kami sudah kalah. Aku sudah tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup untuk melawan kalian. Jika aku masih mencoba bertahan, aku berharap bahwa Naga Pratala akan dapat mengatasi lawannya. Namun ternyata lawan adik seperguruanku itu pun memiliki ilmu sebagaimana kau miliki. Dengan demikian maka sekarang tidak ada lagi gunanya aku melawan. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan membunuhku atau tidak,” jawab Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Agaknya Naga Angkasa benar-benar tidak ingin bertempur lagi. Ia merasa bahwa jika itu dilakukannya, maka tidak akan ada gunanya lagi.
“Jika kalian ingin membunuh aku, lakukanlah. Kalian dapat membunuhku dengan cara yang sama, sebagaimana kalian membunuh adik seperguruanku. Naga Angkasa tidak lagi mempunyai arti tanpa Naga Pratala,” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti lah yang menjawab, “Tidak Ki Sanak. Jika kau juga mati, maka tidak akan ada orang yang dapat menyelenggarakan tubuh kalian. Karena itu, maka biarlah kau tetap hidup. Kau akan dapat berbuat sesuatu bagi adik seperguruanmu. Sebenarnya tidak ada terlintas satu keinginan untuk membunuh seseorang. Tetapi kadang-kadang keadaan telah menyudutkan kami, sehingga kami harus melakukannya.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bangkit sambil berkata, “Kenapa kalian tidak membunuhku? Tentu bukan karena sekedar tidak ada orang yang dapat menimbuni tubuh kami dengan batu-batua padas?”
“Itulah yang menjadi keputusan kami. Kadang-kadang seseorang sulit untuk mengerti, kenapa ia melakukan sesuatu,” jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa memandang kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Pedang yang dipergunakan itu masih berada di dalam genggaman mereka. “Aku mohon maaf,” tiba-tiba saja Naga Angkasa berdesis, “bukan agar kalian membiarkan aku hidup. Hidup atau mati, aku akan tetap merasa wajib minta maaf kepada kalian, karena aku dan adik seperguruanku sudah berniat untuk merampas milik kalian yang sangat berharga itu.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan dapat melayani kalian terlalu lama. Kami akan meneruskan perjalanan kami.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata dengan suara parau, “Disamping ilmu-ilmu kalian yang dahsyat, ternyata kalian juga memiliki penangkal bisa yang sangat kuat. Karena itu, kalian adalah orang-orang yang sulit mendapatkan lawan sekarang ini.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Sudahlah. Persoalan di antara kita, kita anggap sudah selesai.”
Naga Angkasa mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih. Kalian memang orang-orang yang pilih tanding. Bukan saja soal olah kanuragan jaya kasantikan. Tetapi jarang orang yang memiliki kebesaran hati seperti kalian. Aku bukan orang yang mudah tunduk dan menyerah. Tetapi sikap kalian membuat aku benar-benar tidak berdaya. Bukan saja untuk kali ini. Tetapi bagiku, tanpa Naga Pratala, masa depanku tidak akan berarti apa-apa lagi. Pusaka dan ilmu yang tinggi, tidak akan dapat menolong memulihkan hatiku yang terbelah.”
“Karena itu, maka kau dapat berbuat sesuatu yang lebih baik di masa mendatang,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Aku memang merasa wajib untuk melakukannya. Aku berjanji untuk melakukan hal yang baik sebagaimana pernah kau jalani,” berkata Naga Angkasa.
“Mudah-mudahan hatimu tidak berubah,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk hormat ia berkata, “Semoga. Aku adalah orang yang lemah. Hatiku kadang-kadang seperti ujung ilalang yang hanyut ditiup searah angin. Namun akan aku mencoba untuk menganyam satu keyakinan hidup di masa mendatang, sehingga akan dapat menjadi sandaran yang kokoh bagiku. Satu pilihan yang tidak mudah bergeser dari alas satu sikap hidup.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Lakukanlah. Semoga Yang Maha Agung selalu memberi terang dihatimu.”
Naga Angkasa mengangguk kecil sambil berkata, “Aku akan selalu mohon terang dihatiku.”
Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa sudah cukup lama berada di bukit itu. Sebagaimana telah dikatakan, maka mereka akan segera melanjutkan perjalanan. Sementara mereka membiarkan Naga Angkasa itu mengurusi tubuh adik seperguruannya yang telah terbunuh dalam pertempuran itu.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka telah menambah kesan buram di dalam hati dengan kematian Naga Pratala. Sepasang pusaka yang telah mereka bawa itu, membuat mereka harus membunuh dan membunuh. Tetapi itu bukan berarti jika pusaka itu lepas dari tangan mereka tidak akan terjadi kematian-kematian yang beruntun karena pusaka itu.
“Kita membunuh sifat-sifat tamak dan dengki,” berkata Mahisa Muri di dalam hatinya, “hanya orang-orang yang demikian sajalah yang berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka ini. Sedangkan jika pusaka-pusaka itu jatuh ke tangan orang lain, mungkin akan dipergunakan untuk kepentingan yang lain pula. Bahkan untuk melawan kebenaran.”
Sementara itu, sekelompok kecil yang terdiri dari lima orang itu itu pun telah meninggalkan bukit kecil itu. Naga Angkasa sempat melihat langkah-langkah mereka di atas batu-batu padas yang terhampar di kaki bukit kecil itu. Semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang dalam kegelapan.
“Anak-anak yang luar biasa,” desis Naga Angkasa, “bukan saja kemampuannya dalam olah kanuragan. Tetapi jarang ada orang yang berjiwa besar seperti mereka.”
Namun Naga Angkasa pun kemudian kembali merenungi adik seperguruannya yang telah terbunuh. Ia sangat menyesal bahwa saudara seperguruannya itu telah terbunuh. Tetapi ia tidak menyesali anak muda yang telah membunuhnya. Tiba-tiba saja hati Naga Angkasa memang bagaikan terbuka. Ia melihat sikap Mahisa Pukat sebagai sikap yang sewajarnya.
“Anak muda itu hanya sekedar membela diri,” berkata Naga Angkasa kepada diri sendiri.
Ketika angin malam berhembus membawa udara yang dingin, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sudah jauh meninggalkan bukit kecil itu. Bintang-bintang di langit sudah bergeser semakin ke Barat. Selembar-selembar awan hanyut di alirkan angin yang semilir. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan dipaling depan sambil menunduk. Mereka telah menyusuri jalan yang tidak terlalu sempit. Tetapi juga bukan jalan yang agaknya menuju ke padukuhan yang ramai.
Sementara itu, Mahisa Semu dan Wantilan melihat bahwa Mahisa Amping nampaknya sudah menjadi letih dan bahkan kantuk. Tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluh. Ia berusaha untuk berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang-orang lain yang berjalan bersama-samanya itu. Namun Mahisa Semu akhirnya tidak sampai hati untuk tetap berdiam diri. Ia pun kemudian melangkah menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di depan.
“Mahisa Amping nampaknya sudah menjadi sangat letih meskipun ia tidak mengatakan sesuatu,” berkata Mahisa Semu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan terkejut mendengar kata-kata itu. Mereka pun telah berhenti dan kemudian melangkah mendekati Mahisa Amping.
“Kau sudah mengantuk?” bertanya Mahisa Murti yang melihat mata anak itu hampir terkatub.
Mahisa Amping tidak langsung menjawab. Ia memang ragu-ragu.
“Kau tentu letih dan mengantuk,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang lelah dan mengantuk seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kita akan berhenti dan beristirahat. Bukan hanya Mahisa Amping yang merasa lelah dan mengantuk, aku pun merasa lelah dan mengantuk.”
Demikianlah, maka mereka berlima pun telah mencari tempat untuk beristirahat. Mereka kemudian menemukan satu padang perdu yang sesuai mereka pergunakan untuk beristirahat. Sebuah pohon yang besar tumbuh di antara batu-batu padas. Akar-akarnya mencengkam dicelah-celahnya menusuk ke perut bumi.
Beberapa kali Mahisa Amping memandang pohon itu. Ada perasaan ngeri juga melihatnya. Pohon itu rasa-rasanya seperti raksasa yang akan menerkamnya. Tetapi karena ia tidak sendiri, maka ia pun telah memberanikan diri berbaring di antara Mahisa Semu dan Wantilan dibawah pohon raksasa itu.
“Kau tahu, pohon raksasa ini pohon apa?” bertanya Wantilan.
Mahisa Amping rasa-rasanya tidak dapat mengucapkannya, meskipun ia tahu bahwa pohon itu adalah pohon beringin.
“He, kau tidak tahu pohon apa ini?” desak Wantilan.
“Aku tahu,” jawab Mahisa Amping.
“Jika tahu, sebut. Pohon apa?” bertanya Mahisa Semu pula.
Dengan sedikit memaksa diri Mahisa Amping akhirnya menyebut juga, “Pohon beringin.”
Mahisa Semua dan Wantilan tertawa tertahan. Dengan nada dalam Mahisa Amping berkata, “Tentu benar. Aku tahu pasti.”
“Kenapa kau takut menyebutnya? Pohon beringin. Nah, bukankan tidak apa-apa?” bertanya Wantilan.
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia sudah menumpahkan beban didadanya. Demikian ia mengucapkan jenis pohon raksasa itu, maka rasa-rasanya jantungnya menjadi ringan.
“Tidurlah,” terdengar suara Mahisa Murti berat.
Sementara itu, justru Mahisa Pukat sudah lebih dahulu mendekur dibalik batang pohon raksasa itu. Nampaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi malam itu dengan berjaga-jaga. Sejenak kemudian, maka Mahisa Amping pun segera tertidur. Angin yang mengalir membuat tubuhnya terasa segar. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka pun kemudian telah tertidur pula.
Ketika fajar mulai membayang di langit, Mahisa Semu telah terbangun. Yang ditemuinya tidur di balik batang pohon raksasa itu adalah Mahisa Murti. Namun ia pun kemudian melihat Mahisa Pukat duduk beberapa langkah dari pohon itu, di atas seonggok batu padas. Mahisa Amping yang kemudian juga terbangun bersama Wantilan telah minta ijin kepada Mahisa Pukat untuk berlatih.
“Lakukan bertiga. Tetapi di atas bongkah batu-batu itu. Jangan kejutkan Mahisa Murti. Ia baru saja menggantikan aku yang agak terlambat terjaga. Sementara Mahisa Murti Tidak mau membangunkannya,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya kepada Mahisa Semu, “Tolong bantu anak itu.”
Ketiganya pun kemudian berdiri di atas bongkahan batu padas. Perlahan-lahan mereka mulai memusatkan nalar budi, mengatur pernafasan dan peredaran darah mereka. Baru kemudian mereka berlatih perlahan-lahan. Tidak dengan serta asal saja tenaganya dapat melakukannya.
Sudah beberapa lama Mahisa Amping tidak melakukannya. Karena itu, maka ia nampak menjadi sangat bergairah melakukan unsur-unsur gerak pojok dari unsur-unsur gerak perguruan yang diturunkan oleh Mahendra. Dengan lincahnya Mahisa Amping berloncatan. Tangannya bergerak dengan tangkas. Sekali memutar, kemudian meloncat kesamping.
“Seperti kata Naga Angkasa, anak itu adalah anak yang sangat baik,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya ketika ia melihat anak itu berloncatan.
Langit pun semakin lama menjadi semakin merah. Tidak orang berlatih dengan melepaskan unsur-unsur gerak yang bersamaan. Semakin lama menjadi semakin cepat. Tangannya, kakinya dan tubuhnya yang kecil itu telah dapat menunjukkan keperkasaannya sebagai seorang yang berlatih dalam olah kanuragan. Dalam latihan yang semakin cepat itu Mahisa Amping sekali meloncat ke kiri, kemudian berganti kekanan dan sebaliknya.
Mahisa Murti sendiri memang masih tidur nyenyak. Namun sinar matahari yang pertama justru telah jatuh dengan warna ke kuning-kuningan di tubuh Mahisa Murti, sehingga ia pun segera telah bangkit berdiri. Mahisa Murti melihat arah pandangan Mahisa Pukat. Dengan demikian ia telah melihat dasar-dasar ilmu kanuragan yang di peragakan Mahisa Amping dengan manis.
“Anak itu memiliki kecerdasan yang cukup tinggi,” berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah duduk pula disamping Mahisa Pukat. Hati keduanya memang menjadi berkembang melihat Mahisa Amping dengan latihan-latihannya.
Agak berbeda dari Mahisa Semu dan apalagi Wantilan. Mahisa Amping adalah seorang anak yang dengan murni menerima tuntunan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apa yang ada di dalam dirinya sebelumnya, telah dikosongkannya. Dari unsur yang pertama dikenalnya dalam olah kanuragan, maka unsur itu adalah unsur dari ilmu yang disadapnya dari kedua anak muda itu.
Mahisa Semu dan apalagi Wantilan, sebelumnya memang telah memiliki lambaran meskipun hanya selapis. Namun ternyata kemudian yang nampak pada wajah kemampuan olah kanuragan dari kedua orang itu juga ilmu yang diturunkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kadang-kadang memang ada warna lain yang muncul di antara unsur-unsur gerak itu.
Ketika matahari nampak naik di punggung bukit, maka mereka semakin tertarik kepada mereka yang sedang berlatih. Terutama Mahisa Amping. Tubuhnya yang kecil, tangannya dan kakinya yang masih pendek, bergerak dengan cepat dan cekatan.
“Mudah-mudahan mereka akan benar-benar menjadi seorang yang akan dapat menjadi panutan di padepokan kita,” desis Mahisa Pukat.
“Terutama anak itu. Dilihat dari umurnya, maka Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan, bukannya panutan di masa depan. Meskipun mereka akan dapat memperkuat kedudukan padepokan kita, tetapi mereka sebagaimana kita adalah panutan bagi masa sekarang. Sedangkan Mahisa Amping merupakan harapan bagi perkembangan padepokan kita di masa depan,” sahut Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membiarkan mereka bertiga berlatih. Mereka berloncatan dari satu batu ke batu yang lain. Mereka tidak lagi bergerak dengan unsur-unsur yang sama. Namun mereka telah menyesuaikan gerak mereka dengan kemungkinan gerak di mana mereka berdiri. Meskipun demikian, Mahisa Amping masih tetap menunjukkan harapan bagi masa mendatang.
Selagi ketiga orang itu berlatih, maka tiba-tiba saja telah nampak sesosok tubuh yang muncul dari arah matahari terbit. Memang agak silau untuk memperhatikannya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengenalinya, orang itu adalah Naga Angkasa. Tetapi ia datang sendiri. Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Mungkin setelah sempat merenung, Naga Angkasa mengambil keputusan lain. Mungkin ia siap untuk menuntut balas sampai batas kematiannya.
Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah bersiap. Naga Angkasa itu dapat memilih salah seorang dari keduanya untuk menjadi lawannya. Tetapi semakin dekat semakin ternyata bahwa sikapnya bukan sikap yang bermusuhan. Meskipun demikian, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah berhenti berlatih.
“Kenapa kalian berhenti,” berkata Naga Angkasa, “teruskan. Aku senang melihat kalian berlatih dengan sungguh-sungguh. Kalian mengembara sambil meningkatkan ilmu kalian dengan mempergunakan sanggar terbuka yang luas tanpa batas. Mempergunakan alat yang disediakan oleh alam yang ternyata tidak kalah dari alat-alat yang disediakan dalam sanggar dan dibuat oleh tangan manusia.”
Ketika orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang telah berdiri sambil mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
“Aku sama sekali tidak berniat buruk,” berkata Naga Angkasa.
“Marilah,” Mahisa Murti pun telah mempersiapkan.
Naga Angkasa pun mendekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkannya duduk di atas batu padas, sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengambil jarak. Naga Angkasa ternyata tidak tersinggung. Ia menyadari sikap hati-hati kedua orang anak muda itu karena kedatangannya.
“Aku datang justru untuk memberikan pengakuan, bahwa ilmuku sama sekali bukan imbangan dari ilmu kalian,” berkata Naga Angkasa.
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “namun ada sesuatu yang memang berada diluar jangkauan penalaran manusia.”
“Aku mengerti. Tidak seorang pun dapat mendahului kehendak Yang Maha Agung,” desis Naga Angkasa.
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Kau sadari itu?”
“Sebenarnya aku mengerti sejak awal dari petualanganku. Tetapi kadang-kadang pengertianku itu tersisih oleh ketamakan dan kedengkianku,” berkata Naga Angkasa, “sekarang aku sadar, bahwa kita tidak akan dapat melepaskan diri dari kehendak-Nya apa pun yang kita kehendaki.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk.
“Sebenarnya ada satu keinginanku yang ingin aku sampaikan kepada kalian,” berkata Naga Angkasa kemudian.
“Apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku ingin bergabung dengan kalian,” jawab Naga Angkasa, “selain mendapatkan kawan mengembara, maka aku akan dapat menambah ilmuku yang akan dapat aku sadap dari kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Murti berkata, “Kau adalah seorang yang berilmu tinggi.”
“Kau juga berkenan mengembara bersama kedua orang itu,” berkata Naga Angkasa.
Mahisa Murti ternyata justru tertawa. Dengan nada rendah ia berkata, “Mereka adalah pemula-pemula yang ingin memperdalam ilmu mereka. Berbeda dengan kau, yang telah memiliki kematangan ilmu yang bahkan sulit mencari bandingnya. Dengan demikian kau telah memiliki duniamu sendiri sesuai dengan kehendakmu.”
Naga Angkasa menarik dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kau telah mengguncang duniaku. Kau telah menghancurkan kebersamaanku dengan adik seperguruanku. Tetapi itu bukan salah kalian. Namun bagaimanapun juga keberadaanku telah terguncang. Lebih dari itu, tiba-tiba saja kau telah mampu berdiri di atas penghargaanku terhadap nilai seseorang. Kalian bagiku adalah memiliki kebesaran jiwa yang sulit aku mengerti.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “jangan memuji. Bagaimanapun juga kau memiliki kematangan seorang yang berilmu tinggi. Jika kau hanya ingin berjalan bersama kami, kami tidak berkeberatan. Tetapi tidak lebih dari bersama-sama itu saja.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnyalah aku telah kehilangan pengenalanku atas diriku sendiri. Mudah-mudahan aku segera mengerti apa yang telah terjadi atas diriku.”
“Sudahlah. Tidak ada yang perlu digelisahkan,” berkata Mahisa Murti, “sekarang, biarlah kita melihat anak-anak itu berlatih lagi.”
Naga Angkasa mengangguk. Katanya, “Silahkan.”
Mahisa Murti memandang langit sejenak. Langit yang cerah kebiru-biruan. Sementara itu matahari telah menjadi semakin tinggi. Namun Mahisa Murti telah memberikan isyarat kepada Mahisa Amping untuk berlatih lagi. Mahisa Amping yang sempat beristirahat sejenak karena kedatangan Naga Angkasa itu pun segera bersiap kembali. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Amping telah mulai melakukan latihan lagi bersama Mahisa Semu dan Wantilan. Semakin lama semakin cepat meskipun matahari terasa menjadi semakin panas. Tetapi sekali lagi latihan itu berhenti. Mereka telah mendengar suara orang tertawa. Suara yang dengan cepat dapat dikenal oleh Naga Angkasa.
“Guru,” desis Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut mendengar sebutan yang diucapkan oleh Naga Angkasa itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah bertanya diluar sadarnya, “Gurumu?”
“Ya,” jawab Naga Angkasa.
“Untuk apa ia datang kemari? Apakah kau sengaja membawanya kemari dan berpura-pura dengan sikapmu baru saja ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Aku sama sekali tidak berhubungan dengan guru sejak Naga Pratala meninggal semalam,” berkata Naga Angkasa.
“Nampaknya kau memang mendendam. Berbeda dengan kata-kata yang kau ucapkan,” berkata Mahisa Pukat dengan geram.
“Sama sekali tidak. Aku ingin meyakinkanmu,” berkata Naga Angkasa.
Mahisa Pukat pun kemudian terdiam. Dipandanginya orang yang datang dari arah yang berbeda dari arah kedatangan Naga Angkasa. Tetapi beberapa langkah dari anak-anak muda itu, orang itu pun berhenti.
“Apa yang kau lakukan di sini, Naga Angkasa?” bertanya gurunya.
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku ingin bergabung dengan mereka.”
Gurunya tertawa. Katanya, “Aku sudah menduga. Kematian adik seperguruanmu telah mengguncangkan akal budimu.”
“Maaf guru. Aku merasa bahwa aku masih mampu berpikir dengan bening,” jawab Naga Angkasa.
“Sebelumnya aku pernah berbangga dengan kau dan adik seperguruanmu. Kalian berdua seakan-akan telah menguasai sepertiga dari dunia kanuragan. Namun ketahanan jiwamu yang masih harus ditempa. Ketika kau mengalami guncangan yang sangat dahsyat terutama secara jiwani, maka kau benar-benar telah kehilangan pegangan. Kau justru akan bergabung dengan sekelompok orang yang telah membunuh adik seperguruanmu. Bukan bahkan sebaliknya, menuntut balas sejauh dapat kau lakukan. Bahkan, mati sekalipun akan kau hayati bagi kebesaran nama perguruanmu,” berkata gurunya.
“Ampun guru,” berkata Naga Angkasa selanjutnya, “Kebesaran jiwa anak-anak muda itu ternyata guncangannya jauh lebih besar dari kematian Naga Pratala. Karena itu, maka aku memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali ingin bergabung dengan mereka. Mungkin ilmuku cukup baik meskipun belum dapat menyamai ilmu mereka. Tetapi bagiku agaknya memang sudah cukup. Namun kekagumanku atas pribadi merekalah yang telah membuat aku ingin bergabung dengan mereka.”
“Apa pun alasanmu Naga Angkasa, tetapi bagiku, kau telah melakukan pengkhianatan yang sangat memalukan.”
“Ampun guru,” desis Naga Angkasa.
“Kau aku ampuni jika kau benar-benar mengurungkan niatmu untuk bergabung dengan mereka,” berkata gurunya.
Naga Angkasa memang menjadi bimbang. Ia adalah seorang murid yang telah ditempa oleh gurunya dengan cara yang terbiasa dilakukan dalam dunia kanuragan. Keras dan sama sekali tidak boleh meninggalkan jalur perintah gurunya.
Tetapi ternyata bahwa Naga Angkasa yang mempunyai pengalaman yang cukup luas itu masih memiliki nuraninya yang tidak terhapus selama ia berada di dalam perguruannya. Karena itu, ketika ia mengalami sentuhan pada dasar nuraninya yang paling dalam, maka Naga Angkasa itu pun menyadari bahwa ia adalah sosok yang berpribadi.
Karena itu, maka betapa pun ia masih menghormati gurunya, ia pun berkata, “Ampun guru. Aku mohon guru mengerti perasaanku kali ini. Aku sama sekali tidak ingin berkhianat. Tetapi aku juga tidak ingin mengingkari perasaanku. Seandainya aku tidak bergabung dengan anak-anak muda itu, namun aku tidak akan dapat memusuhinya lagi.”
“Tetapi adik seperguruanmu telah dibunuhnya,” berkata gurunya.
“Ya. Tetapi apakah kita dapat menyalahkan mereka? Kami berdualah yang datang kepada mereka untuk merampas milik mereka. Mereka mempertahankannya sehingga terjadi perkelahian. Naga Pratala kemudian terbunuh. Nah, apakah arti dari peristiwa itu?” Naga Angkasa justru bertanya.
“Jadi kau benar-benar sudah kehilangan ikatan persaudaraanmu sehingga kau anggap kematian Naga Pratala sebagai satu peristiwa yang wajar-wajar saja? Bahkan kau telah menyalahkannya dan menyalahkan diri sendiri? Aku bangga bahwa kalian berdua telah berusaha untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu sebagai lambang keinginan kalian mencapai sesuatu yang lebih bernilai dalam kehidupan kalian. Namun ternyata kau justru menyesalinya, menyalahkan diri sendiri dan sama sekali tidak menyesali kematian saudara seperguruanmu,” berkata gurunya.
Namun Naga Angkasa menjawab, “Tetapi bukankah wajar pula bahwa pemiliknya telah mempertahankannya? Kematian Naga Pratala adalah akibat dari benturan kepentingan yang tidak terpecahkan. Kami masing-masing berpegang pada sikap kami, sehingga akhirnya, maka satu-satunya penyelesaian yang dapat ditempuh adalah kematian.”
“Naga Pratala telah mati sebagai seorang laki-laki. Ia mati dalam usahanya untuk meraih cita-citanya. Sedang kau? Apa yang telah kau lakukan?” bertanya gurunya.
“Aku telah terlempar ke dalam satu kesadaran tentang tingkah laku kami selama ini,” jawab Naga Angkasa.
“Cukup,” berkata gurunya, “kau memang tidak pantas untuk diampuni lagi. Karena itu, maka kau akan menerima hukuman yang terberat yang dapat diberikan kepada seorang murid.”
Wajah Naga Angkasa menjadi tegang. Namun ia benar-benar sudah memutuskan untuk tidak dapat lagi mengikuti jalan hidup yang digariskan oleh gurunya, khususnya tentang kematian adik seperguruannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Guru. Selama ini aku adalah murid yang patuh. Sampai hari terakhir pun aku akan mempertahankan kepatuhanku itu sesuai dengan perkembangan jiwaku. Karena itu, maka aku telah bersiap untuk menerima hukuman yang paling berat itu. Aku tahu, guru tentu akan membunuh aku.”
“Benar,” jawab gurunya, “kau harus dihukum mati. Tetapi tidak sekarang. Nanti. Kau harus menyaksikan lebih dahulu kelebihan dari perguruan kita. Kau harus tahu bahwa kita akan dapat membunuh kedua orang itu jika kita sendiri berniat dengan sungguh-sungguh. Maka kau harus menyaksikan, bagaimana aku membunuh mereka. Baru kemudian aku membunuhmu.” Gurunya berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi aku masih memberimu kesempatan untuk hidup jika itu kau kehendaki. Jika saat aku membunuh kedua orang anak muda itu kau juga berhasil membunuh ketiga orang yang berlatih di tebing bukit itu, maka kau masih akan mendapat kesempatan untuk hidup.”
Naga Angkasa terkejut mendengar perintah gurunya itu. Karena itu, ia pun kemudian bertanya, “Apa hubungannya dengan ketiga orang yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini?”
“Tidak tahu menahu?” gurunya mengulang, “mereka adalah murid-murid anak muda itu. Karena itu, kau harus menebas semi yang akan tumbuh sebelum menjadi dahan yang kuat yang akan dapat roboh menimpa perguruan kita.”
Wajah Naga Angkasa menjadi semakin tegang. Namun ia pun kemudian menggeleng, “Aku tidak dapat melakukannya.”
“Terserah kepadamu,” jawab gurunya, “kau lakukan atau tidak. Jika hal itu kau lakukan, maka kau akan mendapatkan pengampunan. Tetapi jika tidak, maka kau akan mati setelah kedua orang itu mati. Dengan demikian kau akan melihat disaat terakhir kebesaran perguruan kita yang selama ini kita banggakan. Kau dan Naga Pratala bukan tidak mempunyai saudara seperguruan yang lain. Kau tahu itu. Meskipun sampai sekarang, Naga Angkasa dan Naga Pratala adalah murid terbaik, tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak dapat dihukum setelah membuat kesalahan terpenting dalam perguruan kita. Dengan demikian, maka akan menjadi satu pelajaran bagi saudara-saudara seperguruanmu, siapa pun yang bersalah, akan dihukum sesuai dengan ketentuan perguruan. Meskipun yang bersalah adalah Naga Angkasa.”
Naga Angkasa menjadi tegang. Tetapi ia sudah mengambil keputusan, bahwa ia akan mendengarkan suara nuraninya sendiri yang disadarinya lebih melekat pada dirinya daripada perintah gurunya. Karena itu, maka Naga Angkasa sama sekali tidak berniat untuk membunuh ketiga orang yang sama sekali tidak bersalah itu, meskipun akibatnya akan dapat mencekik lehernya sendiri.
Sementara itu, guru Naga Angkasa itu telah bersiap menghadapi kedua orang anak muda yang dianggapnya bersalah, karena telah membunuh salah seorang muridnya. Sambil menggeram ia berkata, “bersiaplah untuk mati anak-anak muda. Aku akan memperlihatkan kepada muridku yang berkhianat, betapa besar perguruan kami.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Keduanya menyadari, bahwa lawannya itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Muridnya, Naga Angkasa dan Naga Pratala sudah menunjukkan satu tataran yang tinggi, apalagi gurunya. Tetapi keduanya tidak boleh menyerah. Apa pun yang terjadi.
Karena itu, berpegang kepada pesan orang yang membuat sepasang keris itu, bahwa keris itu semakin dekat yang satu dengan yang lain, keduanya akan menjadi lebih berarti. Karena itu, maka keduanya tidak saling menjauh. Keduanya justru saling mendekat. Sementara itu pusaka-pusaka itu telah berada di tangan kedua anak muda itu.
Sementara itu guru Naga Angkasa itu pun telah memegang senjatanya. Sebilah tongkat besi. Tidak begitu panjang. Namun besi itu mempunyai bentuk yang khusus. Pada torngkat besi itu terlukis seekor ular yang membelit. Pada pangkal tongkat itu mencuat kepala ular yang terbuat dari baja putih pilihan. Guru Naga Angkasa itu pun menyadari, bahwa berdua, anak-anak muda itu tentu merupakan lawan yang berbahaya.
Demikian maka sejenak kemudian guru Naga Angkasa itu mulai menggerakkan tongkatnya. Semakin lama semakin cepat. Ayunan tongkat itu telah menimbulkan desir angin yang keras menampar tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi kedua anak muda itu pun bergerak cepat pula. Keduanya menjadi sangat berhati-hati terhadap ayunan tongkat itu. Jika tongkat itu menyentuhnya, maka tulang-tulangnya akan dapat dipatahkannya.
Namun ditangan kedua orang anak muda itu tergenggam senjata yang tidak kalah dahsyatnya. Demikian mereka mulai bertempur, maka daun pedang kedua orang anak muda itu mulai menyala. Lidah api berwarna kehijau-hijauan itu bagaikan gerigi yang akan dapat mengoyakkan kulit daging.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah berlangsung dengan sengitnya. Guru Naga Angkasa berloncatan sambil mengayunkan tongkat besinya. Namun kedua anak muda itu pun mampu bergerak dengan tangkas. Sepasang pusaka ditangan mereka ternyata menjadi sangat berbahaya. Bahkan jika senjata itu terayun dekat tubuhnya, terasa sambaran angin panas menyentuh kulitnya.
Tetapi guru Naga Angkasa itu sama sekali tidak terpengaruh. Daya tahannya sangat tinggi, sehingga ia berhasil mengatasinya tanpa kesulitan. Panas yang menyentuh kulitnya sama sekali tidak mempengaruhi perlawanannya. Namun ada satu hal yang tidak diduga oleh guru Naga Angkasa itu. Betapa pun tinggi ilmunya, namun dalam benturan-benturan pertama, ia tidak menyadari, bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
Karena itu, untuk beberapa saat guru Naga Angkasa itu telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan membenturkan senjatanya. Sekali-sekali benturan itu terjadi dengan keras namun sekali-sekali merupakan benturan yang tidak langsung. Namun beberapa saat kemudian, maka guru Naga Angkasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak sambil berteriak, “Pengecut yang licik. Kau mempergunakan ilmu seorang pencuri. Kau ambil milikku diluar pengetahuanku.”
“Apa yang telah aku lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau isap kekuatan dan kemampuanku dalam setiap benturan. Getaran itu terasa menghanyutkan dan melarutkan kekuatan dan kemampuanku,” geram orang itu.
“Bukankah itu salahmu sendiri? Kau harus mempelajari ilmu yang dapat bertahan atas keadaan seperti itu,” jawab Mahisa Murti.
“Persetan,” geram orang itu, “untunglah bahwa aku segera menyadari, meskipun kalian telah berhasil mencuri sebagian kecil dari kekuatan dan kemampuanku. Tetapi jangan mengira bahwa dengan demikian aku tidak mampu lagi membunuhmu.”
“Kita akan melihat, siapakah yang akan mampu bertahan untuk tetap hidup,” berkata Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti tidak sempat berkata selanjutnya. Orang itu segera menyambarnya dengan tongkatnya. Namun ketika Mahisa Murti menangkisnya, maka tongkat itu bagaikan menggeliat dan menghindari sentuhan dengan senjata Mahisa Murti.
Namun yang dilakukan kemudian oleh orang itu memang sangat mendebarkan jantung. Kepala ular pada tongkatnya itu seakan-akan benar-benar dapat mematuk seperti kepala seekor ular. Namun tidak untuk menggigit. Tetapi untuk memancarkan semacam cairan bisa yang sangat berbahaya, tanpa menyentuh lawannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga berusaha untuk menghindar. Meskipun mereka memiliki penangkal racun untuk melawan racun yang terkuat, namun mereka menganggap bahwa racun orang itu terlalu kuat. Sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk sedikit mungkin menyentuhnya.
Sementara Mahisa Murti menghindar, maka Mahisa Pukat telah mempergunakan senjatanya untuk menyerang. Demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, maka serangan guru Naga Angkasa itu tidak pernah memberikan kepuasan kepadanya. Setiap kali ia merasa bahwa sasarannya berhasil melepaskan diri. Namun dalam pada itu, ia pun selalu berusaha untuk menghindari sentuhan dengan senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi akhirnya guru Naga Angkasa itu pun menyadari, bahwa racunnya yang disemburkan lewat kepala ularnya, tidak berarti sama sekali. Kedua anak muda itu betapa pun tangkasnya, namun setitik dua titik, racunnya tentu ada yang mengenai mereka. Namun setelah bertempur beberapa lama, akibatnya tidak terasa sama sekali, sehingga guru Naga Angkasa itu pun mengumpat di dalam hati, “Anak iblis ini memang luar biasa. Selain mampu menghisap tenaga dan kemampuan orang lain, juga memiliki penangkal racun yang betapapun kuatnya.”
Dengan demikian, maka guru Naga Angkasa harus mempergunakan cara lain untuk menundukkan anak muda itu. Ia tidak dapat mempergunakan tongkatnya karena setiap benturan akan berakibat buruk baginya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh guru Naga Angkasa itu kemudian adalah mempergunakan jenis senjata yang lain yang bukan saja berbahaya karena bisanya, tetapi juga karena ketajamannya.
Ketika mereka bertempur semakin sengit, maka Mahisa Murti terkejut ketika seleret sinar menyambarnya. Bukan lontaran bara yang memanjang, tetapi pisau-pisau kecil yang berterbangan.
Guru Naga Angkasa itu menyadari, bahwa racun pisau itu pun tidak akan mampu melumpuhkan lawan-lawannya yang masih muda itu. Tetapi jika lontarannya dengan sekuat tenaga itu dapat mengenai sasarannya di arah dada, maka pisau kecil itu tentu akan menghunjam sampai ke jantung.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti berusaha untuk menghindarinya. Tetapi ternyata serangan itu begitu tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya. Mahisa Murti memperhitungkan bahwa orang itu tentu akan melontarkan ilmu Naga Pasa dalam tataran yang lebih tinggi dari yang pernah dilakukan oleh Naga Angkasa dan Naga Pratala. Namun ternyata yang dilakukan adalah lain. Sehingga tanda-tanda untuk menyerang pun tidak dikenal oleh Mahisa Murti sebagaimana ia pernah melihat Naga Angkasa melakukannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah terlambat sekejap. Ia tidak berhasil membebaskan diri dari ujung pisau itu meskipun pisau itu tidak mengenai dadanya. Tetapi pisau itu telah menyambar lengannya. Mahisa Murti berdesis menahan perasaan pedih yang terasa mematuk lengannya itu. Seperti serangan Naga Pratala yang mengenai kaki Mahisa Pukat, maka terasa luka itu menjadi sangat panas. Tetapi, Mahisa Murti tidak sempat tertegun terlalu lama. Guru Naga Angkasa itu telah bersiap pula untuk melakukan serangan berikutnya.
Namun serangan Mahisa Pukat telah mencegahnya. Ujung pedang Mahisa Pukat yang bagaikan menjulurkan lidah api itu telah mendesak lawannya untuk meloncat menghindar. Namun ia sama sekali tidak menangkis dengan tongkatnya yang dipeganginya dengan tangan kirinya. Sementara itu tangan kanannya telah bergerak dengan cepat sekali. Sebilah pisau kecil telah melayang dengan kecepatan yang sangat tinggi mengarah ke leher Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat yang melihat serangan serupa atas Mahisa Murti, membuatnya menjadi lebih berhati-hati. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah bergeser ke samping, sehingga pisau itu tidak mengenainya. Dalam pada itu Mahisa Murti pun telah menjulurkan pedangnya pula. Sementara lukanya yang bagaikan dijilat api itu telah mulai mendingin. Darah yang mencair mengalir dari lukanya menghanyutkan racun yang terdapat pada pisau-pisau kecil itu.
Guru Naga Angkasa mengumpat. Ia sadar, bahwa dengan demikian racunnya sama sekali tidak dapat bekerja di dalam tubuh lawan-lawannya itu. Apalagi pisau-pisaunya tidak selalu dapat mengenai sasaran-sasarannya, sementara kedua anak muda itu telah menyerang bergantian.
Tetapi guru Naga Angkasa itu masih memiliki beberapa buah pisau beracun. Yang penting baginya kemudian adalah bukan lagi racunnya. Tetapi ketajaman pisau-pisau kecil itu telah ternyata mampu mengoyakkan lengan Mahisa Murti. Jika ia berhasil mengoyak leher anak-anak muda itu, maka ia akan dapat segera menyelesaikan pertempuran itu.
Namun kedua orang anak muda itu ternyata mampu bergerak cepat sekali. Serangan-serangan mereka mulai membingungkan. Keduanya mampu mengisi serangan-serangan mereka dengan rapat sekali. Meskipun demikian, maka guru Naga Angkasa itu masih mampu berloncatan menghindari serangan dua buah pusaka yang mendebarkan itu. Kadang-kadang orang itu melenting tinggi bagaikan terbang. Namun kemudian berguling dan menggeliat seperti seekor ular.
Pada saat yang tidak terduga, maka pisau-pisaunya menyambar ke arah leher sebagaimana memang direncanakan. Tetapi serangan-serangan itu sulit untuk dapat mencapai sasaran, karena kedua orang anak muda itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun Naga Angkasa menyaksikan pertempuran itu masih juga berdebar-debar. Ia sadar, bahwa gurunya masih belum sampai ke ilmu puncaknya. Jika gurunya benar-benar mengetrapkan ilmunya Naga Pasa, apakah anak-anak muda itu akan mampu mengatasinya?
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata telah berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Keduanya berusaha menyusup di antara serangan-serangan lawan mereka untuk menggapainya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berusaha untuk membuat benturan-benturan betapa pun kecilnya.
Tetapi guru Naga Angkasa selalu menghindarinya. Ia sudah merasa bahwa benturan-benturan yang pernah terjadi pada permulaan dari pertempuran itu telah menyusut tenaga dan kemampuannya meskipun belum terlalu banyak. Jika benturan atau sentuhan masih akan terjadi lagi, berarti bahwa ilmu dan kemampuannya akan menjadi semakin susut lagi. Namun semakin lama, maka persediaan pisaunya menjadi semakin berkurang, sehingga akhirnya guru Naga Angkasa itu sudah tidak mempunyai pisau lagi untuk dilontarkan kepada kedua orang lawannya itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari bahwa pisau-pisau kecil lawannya telah habis. Namun mereka pun menyadari bahwa masih ada kemungkinan lain yang barangkali justru lebih berbahaya dari sekedar lontaran pisau-pisau kecil.
Sebenarnyalah guru Naga Angkasa itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika kedua anak muda itu menjadi semakin mendekat, sementara tongkatnya tidak akan pernah lagi dipergunakan untuk menangkis setiap serangan, maka guru Naga Angkasa itu telah memutuskan untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Jika ia tidak segera mempergunakannya, maka kedua pusaka anak-anak muda itu tentu akan mampu menggapainya.
Dengan demikian, maka guru Naga Angkasa itu telah mengambil jarak. Ia pun segera memusatkan nalar budinya. Ketika Ma-hisa Murti dan Mahisa Pukat siap untuk menyerangnya, maka lawan mereka itu pun telah menghentakkan ilmunya yang jarang ada duanya. Naga Pasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyadari betapa dahsyatnya ilmu itu, telah mempersiapkan diri mereka pula. Sehingga demikian ilmu Naga Pasa itu meluncur dari telapak tangan guru Naga Angkasa, Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat akan mampu membebaskan dirinya.
Tetapi ilmu itu memang sangat dahsyat. Tidak sekedar lontaran bara api yang terjulur memanjang. Tetapi yang terlontar dari telapak tangan orang itu adalah api yang menyala meluncur memanjang. Api yang menjulur itu pun seakan-akan merupakan uluran lidah api yang menyembur dengan dahsyatnya.
Ketika Mahisa Murti meloncat menghindari sambaran api itu, maka ternyata api yang terjulur memanjang itu mampu menyapu ke arah Mahisa Murti berloncatan. Dengan demikian maka Mahisa Murti telah meloncat dan meloncat menghindar. Demikian pula ketika api itu menyapu ke arah Mahisa Pukat. Api yang terjulur memanjang itu, bagaikan tali yang kemudian melingkar menjerat sasarannya.
Tetapi Mahisa Pukat sempat meloncat tinggi. Ketika lingkaran itu kemudian menjerat, Mahisa Pukat berhasil melepaskan dirinya meskipun perasaan sakit dan panasnya api telah menyengat tubuhnya. Demikian ujung api yang terjulur itu gagal menjerat Mahisa Pukat, maka api itu seakan-akan telah menjadi padam. Namun bukan berarti bahwa serangan-serangan guru Naga Angkasa itu berakhir.
Naga Angkasa sendiri menjadi sangat berdebar-debar. Hampir tidak ada orang yang pernah lolos dari serangan maut itu. Api yang disaat terakhir melingkar dan menjerat itu, biasanya akan meremukkan tulang-tulang seseorang sebagai dililit oleh seekor Naga. Namun panasnya api dari ilmu itu akan dapat membakar kulit daging orang yang terjerat itu. Namun anak muda itu berhasil melepaskan dirinya.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa bersyukur bahwa serangan gurunya tidak membunuh anak-anak muda itu. Namun Naga Angkasa juga merasa kekagumannya atas anak-anak yang masih muda yang telah memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tangkas berpikir itu justru telah meloncat saling menjauh. Mereka harus berusaha untuk mengatasi serangan ilmu lawannya. Bahkan ilmu itu bukan saja meluncur dan menyerang sasaran, namun kemampuannya menyapu daerah yang cukup luas, kemudian membuat lingkaran dan menjerat sasaran, telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mencari cara yang paling baik.
Guru Naga Angkasa itu memang termangu-mangu. Namun bahwa kedua anak muda itu telah berpencar, guru Naga Angkasa itu dapat mengerti. Bagi kedua anak muda itu, maka jarak diantara mereka akan sangat penting artinya. Sejenak kedua belah pihak saling mengamati lawannya. Kedua belah pihak telah memutuskan untuk sampai ke puncak ilmu mereka masing-masing.
Sejenak kemudian maka pertempuran yang menentukan itu pun telah mulai membakar lingkungan yang sebelumnya terasa tenang itu. Guru Naga Angkasa telah mulai melontarkan serangannya mengarah ke Mahisa Murti. Dengan tangkasnya Mahisa Murti meloncat menghindar. Namun ketika serangan lawannya itu bergerak menyusulnya dengan sapuan yang memanjang, maka Mahisa Murti justru menjatuhkan dirinya.
Tetapi serangan itu terputus. Mahisa Pukat tidak membiarkan Mahisa Murti mengalami kesulitan menghindari serangan yang sangat berbahaya itu. Tetapi dengan mengerahkan kemampuannya, Mahisa Pukat pun telah menyerang pula. Tidak dengan loncatan panjang serta pedang terjulur. Tetapi Mahisa Pukat telah menghentakkan pedangnya, sekaligus melontarkan ilmunya yang menggetarkan lawannya.
Guru Naga Angkasa melihat seleret sinar kehijauan meluncur ke arahnya. Karena itu, maka ia harus menghentikan serangannya. Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan lawannya yang masih muda itu. Namun yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sambil berguling guru Naga Angkasa itu telah mempersiapkan diri. Ketika ia melihat Mahisa Murti bangkit dan berdiri tegak, maka ia telah mengulangi serangannya sambil masih saja berbaring di atas tanah.
Mahisa Murti yang merasa baru saja terlepas dari serangan guru Naga Angkasa itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira bahwa serangan itu akan datang demikian cepatnya. Dengan serta merta Mahisa Murti pun sekali lagi telah menjatuhkan dirinya dan berguling menghindari sapuan ilmu lawannya.
Mahisa Murti memang dapat melepaskan diri dari lilitan ilmu Naga Pasa yang dahsyat itu. Namun sentuhan ilmu itu benar-benar telah membuat jantungnya berdebaran. Lengannya yang tersentuh ilmu itu menjadi bagaikan tersentuh oleh bara besi baja. Kulitnya, bahkan sebagian dagingnya telah terkelupas. Perasaan sakit yang sangat telah menggigit lukanya. Namun sebelum ilmu lawannya itu bergeser kembali ke arahnya, sekali lagi Mahisa Pukat telah menyerang.
Tetapi yang terakhir Mahisa Pukat tidak menyerang dengan hentakkan ilmunya. Tetapi ia sempat meloncat mendekat. Sambil mengulurkan pedangnya ia berusaha menggapai tubuh guru Naga Angkasa itu.
Guru Naga Angkasa yang sedang memusatkan perhatiannya kepada Mahisa Murti juga tersentak oleh serangan itu. Hampir diluar sadarnya guru Naga Angkasa itu telah mempergunakan tongkat di tangan kirinya untuk menangkis serangan itu.
Mahisa Pukat yang merasa mendapat kesempatan itu tidak segera menarik serangannya. Ia justru mencoba untuk mengungkit senjata lawannya. Mahisa Pukat sama sekali tidak berusaha untuk melemparkan tongkat lawannya itu. Tetapi dengan demikian maka pedangnya yang seakan-akan membelit itu mendapat kesempatan untuk mengetrapkan ilmunya yang lain.
Ketika guru Naga Angkasa itu sadar, maka ia pun telah meloncat menjauh sambil berteriak, “Kau licik. Licik sekali.”
Belitan pedang Mahisa Pukat memang agak lama, seolah-olah Mahisa Pukat ingin berusaha melepaskan pegangan guru Naga Angkasa itu atas tongkatnya. Namun dengan demikian maka Mahisa Pukat telah menyusut sebagian dari kekuatan dan kemampuan lawannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang telah terlepas dari kejaran ilmu lawannya tidak menyia-nyiakan waktu. Demikian guru Naga Angkasa itu terbebas dari serangan Mahisa Pukat sambil mengumpat-umpat, maka serangan Mahisa Murti pun telah meluncur seakan-akan meloncat dari ujung pedangnya yang kehijau-hijauan.
Tetapi serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Guru Naga Angkasa telah berhasil melenting keluar dari garis serangan. Namun demikian ia berdiri tegak, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah menggapainya. Demikian cepatnya mengarah langsung ke dada.
Tidak ada cara lain kecuali menangkis lagi serangan itu. Tetapi orang itu mengumpat semakin kasar, “Kau iblis yang licik. Kau mempergunakan ilmu pencuri serta pengecut.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia telah memburu lawannya sehingga seakan-akan lawannya tidak sempat melontarkan serangannya yang dahsyat berlandaskan ilmu Naga Pasa.
Tetapi guru Naga Pasa itu berhasil mengambil jarak dari Mahisa Pukat. Namun, sekali lagi Mahisa Murti sempat mendahuluinya menyerang. Ilmunya telah dilandasi oleh kemarahan yang luar biasa. Apalagi lengannya telah dilukai oleh ilmu Naga Pasa.
Guru Naga Angkasa itu memang harus berloncatan menghindari serangan itu. Tetapi sekaligus ia sempat menyerang Mahisa Pukat yang masih termangu-mangu. Mahisa Pukat memang sempat menghindar. Tetapi ternyata bahwa pundaknya masih juga tersentuh serangan itu.
Namun demikian orang itu menyerang Mahisa Pukat, Mahisa Murti lah yang berhasil meloncata mendekat. Bahkan ujung pedangnya sempat menggapai lawannya. Meskipun hanya segores tipis, tetapi ujung pedang itu telah melukai dada guru Naga Angkasa. Luka itu memang mempunyai akibat ganda. Susutnya kekuatan dan kemampuannya serta darahnya yang mulai menetes.
Guru Naga Angkasa itu menggeram marah. Anak-anak muda itu ternyata sulit untuk ditundukkan. Tetapi guru Naga Angkasa itu sama sekali tidak mampu mengingkari kenyataan. Kedua anak muda itu benar-benar anak muda yang berilmu tinggi. Meskipun sejak semula orang itu menyadari, apalagi karena seorang di antaranya telah berhasil membunuh muridnya, namun kenyataan yang dihadapinya masih mengejutkannya.
Anak-anak muda itu meskipun berhasil dilukainya, tetapi mereka juga berhasil melukainya. Bukan saja luka yang menggores kulitnya, tetapi anak-anak muda itu telah menyusut kekuatan dan kemampuannya, sehingga rasa-rasanya guru Naga Angkasa itu menjadi mulai letih. Tetapi bagaimanapun juga, guru Naga Angkasa itu berniat untuk membunuh anak-anak muda itu sebelum ia benar-benar akan menghukum muridnya yang dianggapnya berkhianat.
Untuk mengurangi kegelisahannya, tiba-tiba saja guru Naga Angkasa itu berteriak, “Cepat. Bunuh ketiga orang itu jika kau ingin aku ampuni. Jika aku selesai dengan kedua orang anak ini dan kau belum membunuh mereka bertiga, maka aku akan membunuhmu.”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak dapat merubah ketetapan hatinya. Ia tidak lagi ingin memusuhi anak-anak muda yang dianggapnya telah menyelamatkan hidupnya itu. Karena itu, maka Naga Angkasa itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping masih berada di tempatnya. Mereka memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat menyaksikan apa yang bakal terjadi. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mampu memenangkan pertempuran itu, maka mereka pun tentu akan terbunuh juga.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara kedua orang anak muda itu melawan guru Naga Angkasa menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah berhasil saling melukai. Goresan-goresan dan luka-luka bakar telah membekas di punggung Mahisa Murti. Sedangkan lambung Mahisa Pukat bagaikan telah disentuh bara.
Namun sementara itu, keadaan guru Naga Angkasa pun menjadi semakin sulit. Luka-lukanya menjadi semakin banyak. Serangan Mahisaa Murti dan Mahisa Pukat datang beruntun susul menyusul, sementara itu, sentuhan-sentuhan benar-benar telah menyusutkan kekuatan dan kemampuannya. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus berhati-hati. Guru Naga Angkasa benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu memiliki tekad yang mampu mengimbangi gejolak ilmunya, sehingga dengan demikian, mereka masih berjuang terus untuk mengatasi kesulitan demi kesulitan.
Kemarahan guru Naga Angkasa tidak terkekang lagi ketika ia merasa tenaganya menjadi semakin susut. Serangan-serangannya terhambur tidak lagi dengan perhitungan. Setiap saat dan kesempatan, guru Naga Angkasa telah melontarkan serangannya dan menyapu daerah yang luas. Namun setiap kali serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti telah mematahkan serangannya.
Tetapi akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai merasa letih setelah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat untuk dapat menyerang bersama-sama. Mahisa Pukat tanggap akan isyarat itu. Namun untuk mendapatkan kesempatan memang terlalu sulit. Tetapi keduanya telah berusaha untuk melakukannya.
Pada saat-saat terakhir, kedua belah pihak seakan-akan telah kehilangan kendali diri. Sasaran-sasaran mereka pun menjadi semakin kabur. Namun justru karena itu, maka serangan-serangan itu semakin sulit untuk diperhitungkan. Pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin berusaha untuk lebih cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Pada saat-saat kegarangan guru Naga Angkasa menjadi semakin memuncak, justru karena tenaganya terasa semakin susut, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk menyerang mereka dari arah yang berbeda. Namun sementara itu, kedua orang anak muda itu telah menjadi semakin mendekat.
Ketika kesempatan itu terbuka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat dengan cepat, bergabung menjadi satu. Kedua senjata mereka seakan-akan telah disatukan, sementara mereka memusatkan segenap tenaga dan kemampuan yang ada pada mereka.
Guru Naga Angkasa melihat kedua anak muda itu meloncat saling mendekat. Dengan serta merta orang itu telah melepaskan ilmunya, Naga Pasa, untuk menyerang kedua orang anak muda itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melepaskan ilmunya pula. Dilandasi dengan dasar kemampuan ilmu mereka Bajra Geni maka mereka telah melontarkan serangan didorong oleh penguasaan mereka atas ilmunya yang lain lewat ujung pedang mereka yang bagaikan menyala. Dengan demikian, maka kedua belah pihak telah saling menyerang dengan landasan ilmu masing-masing yang dahsyat.
...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...
Ketiga orang itu pun kemudian telah melangkah satu-satu mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menunggui guru Naga Angkasa. Ketiganya pun kemudian berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari tubuh guru Naga Angkasa yang terbaring itu.
“Aku akan menguburkannya. Hanya itu yang dapat aku lakukan sekarang ini sebagaimana aku lakukan atas adik seperguruanku,” desis Naga Angkasa.
Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara Naga Angkasa pun kemudian berkata pula, “Tetapi aku tidak tahu, siapa yang akan melakukannya atasku jika pada suatu saat aku harus mati apa pun alasannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berdiam diri. Namun ketika kemudian Naga Angkasa itu berdiri, Mahisa Murti pun berkata, “Kami akan membantumu.”
“Terima kasih,” berkata Naga Angkasa.
Dengan demikian, maka Naga Angkasa tidak melakukannya sendiri. Dengan alat-alat yang ada pada mereka, maka mereka telah mengubur guru Naga Angkasa itu di bawah sebatang pohon yang akan dapat dikenali oleh Naga Angkasa jika diperlukan. Dengan bebatuan Naga Angkasa memberikan pertanda pada kuburan itu. Sejenak Naga Angkasa berdiri dengan kepala tunduk merenungi seonggok bebatuan. Dibawah bebatuan itu gurunya terbaring membeku.
“Sekarang aku sendiri,” berkata Naga Angkasa tanpa berpaling kepada siapapun.
“Kau masih mempunyai beberapa orang suadara seperguruan,” berkata Mahisa Murti.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah mereka akan dapat menerima aku?”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Bukankah kau tahu sendiri apa yang telah dilakukan guru atasku?” Naga Angkasa itu justru bertanya.
“Ya,” Mahisa Murti mengangguk. Katanya kemudian, “Tetapi bukankah kau tidak bersalah?”
“Jika guru berniat menghukumku, maka aku tentu berbuat salah terhadap perguruanku,” jawab Naga Angkasa, “dengan demikian maka setiap murid dari perguruanku tentu akan mengutukku. Jika mungkin mereka pun akan dapat membunuhku. Bahkan mungkin saat ini ada di antara saudara-saudara seperguruanku yang mengawasi aku. Mungkin ada yang menyaksikan meskipun dari kejauhan apa yang terjadi atas guru, sementara aku di sini tidak berbuat apa-apa. Atau bahkan guru telah membawa satu dua orang muridnya untuk menyaksikan apa yang terjadi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Agaknya yang dikatakan oleh Naga Angkasa itu benar. Mungkin gurunya telah membawa satu dua orang muridnya dan ditinggalkannya di tempat yang agak jauh untuk menyaksikan apa yang akan terjadi.
“Karena itu,” berkata Naga angkasa, “biarlah aku pergi bersama kalian. Aku tidak akan bergabung dalam arti yang sebenarnya. Aku hanya ingin berjalan bersama kalian agar ada kawan yang dapat aku ajak berbicara. Kemudian pada suatu saat dapat saja kita berpisah jika kita sudah sampai pada kepentingan kita yang berbeda.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kau hanya ingin pergi bersamaku, maka sudah barang tentu aku tidak berkeberatan. Tetapi kita hanya seperjalanan. Tidak lebih dari itu.”
Naga Angkasa mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kita hanya seperjalanan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak keinginan Naga Angkasa. Karena itu, maka setelah mereka berbenah diri, maka mereka pun telah berjalan bersama. Naga Angkasa yang merasa dirinya sendiri, mendapat kawan seperjalanan.
“Kau akan pergi ke mana?” bertanya Mahisa Murti kepada Naga Angkasa.
“Aku tidak mempunyai tujuan lagi. Aku tidak dapat kembali ke padepokan. Karena itu, maka aku memang ingin bertualang. Mungkin aku dapat menempuh laku sebagaimana kalian jalani. Tapa ngrame. Mudah-mudahan dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah aku perbuat sebelumnya,“ Naga Angkasa berhenti sejenak, lalu “tetapi aku tidak memiliki bekal seperti kalian. Ilmuku masih jauh ketinggalan, sementara sebagian dari kekuatan dan ilmuku sudah kau hisap.”
“Hanya berlaku untuk sementara,” jawab Mahisa Murti, “kekuatan dan ilmumu akan pulih kembali selama beberapa saat. Mudah-mudahan esok saat matahari terbit kau sudah mendapatkan semuanya.”
Naga Angkasa mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Terima kasih. Dengan bekal yang lebih banyak, maka aku akan dapat berbuat lebih banyak dalam menjalani laku Tapa Ngrame.”
“Semoga kau berhasil. Bukankah dalam perjalananmu selama menjalani laku, kau akan memperdalam ilmumu?” bertanya Mahisa Pukat.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku memang berpikir demikian. Aku telah mewarisi semua unsur ilmu yang dimiliki guru. Tetapi masih terlalu wantah. Aku harus mengembangkannya.”
Demikianlah, maka perjalanan sekelompok kecil itu menjadi semakin ramai. Mereka menjadi berjumlah enam orang. Karena itu maka kelompok itu menjadi semakin menarik perhatian. Ketika mereka singgah di sebuah kedai, maka orang-orang yang sudah ada di dalam kedai itu pun saling bertanya-tanya. Enam orang datang bersama-sama.
Namun wajah-wajah dari orang-orang itu tidak nampak menakutkan. Apalagi ketika mereka mulai berbicara memesan makanan dan minuman. Maka nampaknya keenam orang itu cukup ramah dan bersikap baik. Meskipun demikian ketika keenam orang itu kemudian meninggalkan kedai itu, pemilik kedai itu pun sempat menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Sukurlah. Mereka ternyata orang baik-baik. Tetapi nampaknya ada luka-luka di tubuh mereka.”
Orang-orang yang ada di kedai itu pun mengangguk-angguk. Semula mereka memang mengira bahwa akan terjadi sesuatu dengan kehadiran enam orang sekaligus di kedai itu, meskipun seorang di antaranya adalah kanak-kanak. Tetapi anak itu pun telah membawa senjata di lambungnya.
Sementara itu, keenam orang itu telah berjalan semakin jauh. Sekali-sekali mereka berhenti jika Mahisa Amping nampak letih. Di sore hari mereka mandi di sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi airnya nampak jernih. Namun demikian, mereka sempat membuat orang-orang yang berada di sawah ketakutan. Senjata-senjata yang ada di lambung mereka memang membuat orang-orang yang melihat mereka menjadi cemas.
Ketika malam turun, keenam orang itu sengaja tidak bermalam di banjar. Mereka merasa bahwa kehadiran mereka akan dapat menimbulkan keresahan dari para penghuni padukuhan itu. Karena itu, maka mereka telah memilih tempat yang tidak akan mengganggu siapa pun meskipun sekedar mengganggu perasaan dan ketenangan. Di kaki sebuah bukit kecil mereka mendapatkan tempat yang cukup baik bagi mereka. Mahisa Amping yang kecil itu pun sudah terbiasa tidur di tempat terbuka.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga, mereka tidak dapat mempercayakan diri kepada Mahisa Semu dan Wantilan, justru karena di antara mereka terdapat Naga Angkasa. Meskipun menurut penglihatan lahiriah Naga Angkasa tidak berniat jahat, tetapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya tersimpan di hati orang itu.
Namun ternyata sampai dini hari tidak terjadi sesuatu yang penting. Naga Angkasa sendiri justru dapat beristirahat dengan baik. Hampir semalam suntuk ia tertidur nyenyak.
Sebelum matahari terbit, mereka semua telah bangun dan berbenah diri. Mereka tahu bahwa tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah parit yang cukup besar untuk mengalirkan air dari sebuah bendungan ke bulak persawahan. Dengan demikian mereka akan dapat mandi di sungai itu.
Tetapi ketika cahaya fajar semakin naik, maka Naga Angkasa yang dengan wajah tengadah memandang langit yang kemerahan terkejut melihat tiga bayangan sosok yang berdiri di atas bukit. Tiga bayangan yang kemudian menjadi semakin jelas.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berdiri di sebelah Naga Angkasa. Mereka pun melihat tiga sosok bayangan yang berdiri di atas bukit itu. Bahkan kemudian Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun telah melihat mereka pula.
“Siapa mereka?” bertanya Mahisa Murti, “apakah kau mengenalnya.”
“Ya. Aku mengenal mereka dengan baik. Mereka adalah adik-adik seperguruanku,” jawab Naga Angkasa.
“Apakah kau dapat menduga, untuk apa mereka datang menjumpaimu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tahu pasti,” jawab Naga Angkasa, “mereka datang untuk menghukumku.”
“Dan kau akan menyerahkan lehermu kepada mereka?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka akan bertindak atas nama guru yang sudah tidak ada,” desis Naga Angkasa.
“Apakah kau akan membiarkannya?” desak Mahisa Pukat pula.
Naga Angkasa termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat pun berkata, “Kau sudah berani menentukan sikap terhadap gurumu. Bagaimana sekarang terhadap saudara-saudara seperguruanmu?”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Aku telah menemukan kepribadianku sendiri. Aku telah terlepas dari ikatan perguruanku.”
“Jika demikian, kau tentu akan mempunyai sikap pribadi terhadap ketiga orang itu. Jika kau tidak berkeberatan, maka kami akan membantumu,” berkata Mahisa Murti.
“Tidak,” berkata Naga Angkasa, “ini adalah persoalanku.” Namun kemudian suara Naga Angkasa merendah, “tetapi apakah aku sudah memiliki seluruh kekuatanku kembali?”
“Tentu sudah,” jawab Mahisa Murti, “kekuatan dan ilmumu meskipun susut tetapi tidak seberapa.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku sudah memiliki kekuatan dan ilmuku dengan utuh, maka apa pun yang terjadi tentu sudah adil. Seandainya aku terbunuh oleh mereka, maka itu sudah menjadi batas hidupku. Kalian tidak usah turut campur justru kalian masih harus menyembuhkan luka-luka kalian sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka menyadari, bahwa persoalan itu memang persoalan perguruan Naga Angkasa. Sebaiknya mereka memang tidak turut campur. Apalagi sebagaimana dikatakan oleh Naga Angkasa, mereka memang masih harus menyembuhkan luka-luka mereka. Tetapi jika melihat jumlah lawan Naga Angkasa, maka mereka tidak dapat mengatakan adil. Kecuali jika mereka akan tampil seorang demi seorang.
Naga Angkasa yang seakan-akan tahu apa yang dipikirkan oleh kedua orang anak muda itu pun berkata, “Aku adalah murid tertua di perguruan kami. Karena itu, maka agaknya sudah adil jika aku harus melawan tiga orang adik-adik seperguruanku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka harus menyaksikan murid-murid perguruan Naga Angkasa itu berselisih. Nampaknya mereka memang sedang berada di simpang jalan.
Sementara itu, ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa yang ada di bukit kecil itu telah bergerak turun. Ketika mereka menjadi semakin dekat, seorang di antara mereka bertiga melangkah maju. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berkumis lebat. Di pergelangan tangannya di sebelah kiri melilit akar-akaran yang berwarna kehitam-hitaman. Sedang dipergelangan tangan kanannya dikenakannya kulit yang tebal dan lebar melingkari tangannya itu.
“Kakang Naga Angkasa,” geram orang itu. Suaranya seperti guruh yang menggelegar di langit.
“Ya,” jawab Naga Angkasa.
“Kakang seharusnya sudah merasa untuk apa aku datang menemui kakang pagi ini,” berkata orang bertubuh raksasa itu.
“Kau ingin temui saudara tuamu yang sudah lama tidak berjumpa,” berkata Naga Angkasa.
“Baiklah jika kakang Naga Angkasa tidak ingin mengatakannya. Tetapi kakang tentu tahu, bahwa kakang harus menyerahkan leher kakang untuk kami penggal. Sejak kematian kakang Naga Pratala dan kemudian guru, maka kakang sudah menimbun dosa di dalam diri kakang,” berkata orang bertubuh raksasa itu.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar, jika kau memandang dari sisi perguruan kita dengan tanpa menghiraukan landasan dasar nilai-nilai kehidupan secara umum.”
“Apa maksudmu?” bertanya raksasa itu.
“Ternyata di luar padepokan kita terdapat tatanan kehidupan yang sudah mapan. Kebenaran yang kita pegang teguh di dalam padepokan, harus diuji dengan kebenaran yang berlaku di dalam tatanan kehidupan yang lebih luas. Kita tidak dapat menganggap bahwa kita hidup dalam dunia kita sendiri sehingga segala sesuatunya dapat kita tentukan menurut penilaian kita tanpa menghiraukan tata nilai yang sudah mapan dan justru berlaku dalam tatanan kehidupan luas,” jawab Naga Angkasa.
“Aku tidak mengerti. Yang selama ini kita junjung tinggi adalah paugeran yang telah dibuat di dalam perguruan kita. Sikap hidup dan nilai-nilai kehidupan,” berkata raksasa itu.
“Dunia kita memang terlalu sempit selama ini. Coba katakan, apakah guru telah melakukan tindakan yang terpuji dengan memerintahkan kepada kami, maksudku aku dan Naga Pratala untuk merampas milik orang lain?” bertanya Naga Angkasa.
“Dari sisi itukah kau memandang? Apakah kau tidak berpikir tentang cita-cita dan gegayuhan? Guru tentu tidak akan memerintahkan kalian mengambil milik orang lain jika yang akan diambil itu tidak memiliki nilai-nilai tertentu yang lebih tinggi dari nilai-nilai kebenaran yang kau sebut mapan dan berlaku di dalam tatanan kehidupan yang luas itu,” berkata raksasa itu.
“Jika kau bertolak dari sana, maka apakah salah jika pemilik dari benda-benda tertentu yang kita anggap memiliki nilai melampaui nilai-nilai yang mapan itu membela diri?” bertanya Naga Angkasa.
Raksasa itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia berkata, “Setiap orang berhak membela diri serta mempertahankan haknya.”
“Jadi, jika demikian kau tidak akan dapat menyalahkan orang lain jika ia mempertahankan haknya,” berkata Naga Pratala.
“Sejak semula aku tidak berbicara tentang orang lain. Aku berbicara tentang kau, tentang kita, tentang perguruan kita,” berkata raksasa itu.
“Milik orang lain itu merupakan batas antara kita, perguruan kita dan orang lain yang telah kita koyakkan. Orang lain yang mempertahankan haknya itu telah terlibat ke dalam persoalan dengan kita. Orang lain itu telah membunuh Naga Pratala karena mempertahankan haknya,” berkata Naga Angkasa.
“Persoalannya adalah, bahwa kau tidak berbuat apa-apa karena kematian itu? Kau justru menyerah dan mohon ampun,” berkata raksasa itu.
“Aku tidak pernah menyerah dan mohon ampun. Tetapi yang dilakukan oleh orang lain itu telah membuka hatiku sehingga aku menemukan sikap pribadiku. Perguruan kita telah bersalah,” berkata Naga Angkasa, “Kemudian kalian tahu, bahwa aku tidak akan berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak yang bersalah. Ini adalah satu kebenaran menurut tatanan nilai kehidupan yang luas. Nah, kau tahu, apa kata guru dan apa kata kalian. Kau menganggap bahwa aku telah menimbun dosa di dalam diriku karena aku berpihak kepada kebenaran.”
“Ternyata kau menjadi cengeng. Tidak ada kebenaran tertinggi daripada menjalankan perintah guru,” berkata Raksasa itu...
Namun agaknya malam itu sudah tidak akan terjadi sesuatu. Ki Buyut telah mengirimkan penghubung yang memberitahukan, bahwa segala sesuatunya telah dapat di atasi. Ki Buyut telah memberikan isyarat, bahwa keadaan sudah menjadi semakin baik.
Meskipun demikian Ki Bekel masih juga bersikap berhati-hati. Anak-anak muda pun masih juga bertebaran di seluruh padukuhan. Sedangkan di rumah nenek tua itu, justru tidak begitu penting untuk dijaga secara khusus. Beberapa orang saja yang ditugaskan untuk datang ke rumah itu. Ki Bekel sudah terlalu yakin, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan dapat menyelesaikan segala persoalan jika itu terjadi di rumah. nenek tua itu.
Sebenarnyalah malam itu memang tidak terjadi sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tidur bergantian bersama anak-anak muda yang bertugas di rumah itu benar-benar sempat beristirahat dan tidur nyenyak. Justeru Mahisa Amping yang bermain macanan sampai lewat tengah malam.
Di hari berikutnya, padukuhan itu telah dinyatakan benar-benar tenang. Ki Buyut telah memberitahukan, bahwa malam mendatang, ampat orang pengawal sudah dapat dikirim lagi ke padukuhan itu, untuk membantu jika diperlukan, karena padukuhan itu nampaknya masih menjadi sasaran dendam orang-orang yang gagal mendapatkan keuntungan.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun merasa bahwa tugas mereka telah berakhir di padukuhan itu. Keduanya telah bersepakat di hari berikutnya mereka akan meneruskan perjalanan. Karena itu, maka hari itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sekaligus mewakili saudara-saudaranya yang lain telah minta diri kepada Ki Bekel.
“Kau seharusnya minta diri pula kepada Ki Buyut,” berkata Ki Bekel.
“Aku kira sudah cukup di sini saja Ki Bekel. Namun aku mohon pada satu kesempatan Ki Bekel dapat menyampaikan permohonan diri kami kepada Ki Buyut,” jawab Mahisa Murti.
“Aku menjadi kasihan kepada nenek yang menganggap kalian telah menjadi keluarga sendiri. Bahkan mungkin kalian telah dianggap sebagai ganti anak-anaknya yang telah tidak ada lagi,” berkata Ki Bekel.
“Tetapi apa boleh buat,” jawab Mahisa Murti, “kami akan segera mengemban tugas kami berikutnya.”
“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “sebagaimana pernah aku katakan. Biarlah nenek itu berada di rumahku ini jika ia tidak berkeberatan. Bukan karena kami ingin segera memiliki dan mempergunakan rumahnya yang besar itu, tetapi semata-mata untuk kepentingan nenek itu sendiri.”
“Kami mengerti,” jawab Mahisa Murti.
“Namun bagaimanapun juga, kami berharap bahwa pada suatu ketika kalian akan dapat singgah di sini lagi,” berkata Ki Bekel.
“Kami akan berusaha Ki Bekel,” jawab Mahisa Murti, “mudah-mudahan kami mendapat kesempatan pada suatu saat.”
Beberapa orang bebahu pun telah menyatakan penyesalan mereka bahwa anak-anak muda yang mengaku pengembara itu akan segera meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka memang tidak akan dapat menahannya lebih lama lagi.
“Besok pagi-pagi kami akan meninggalkan padukuhan ini. Ki Bekel dan para bebahu tidak usah menjadi sibuk melepas kami. Kami mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Ki Bekel dan para penghuni padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Tetapi besok aku juga harus bertemu dengan nenek tua itu untuk minta agar ia bersedia tinggal di rumahku,” berkata Ki Bekel.
“Tetapi sudah tentu tidak akan terlalu pagi. Kami akan berangkat dini hari,” berkata Mahisa Murti pula.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia pun berkata, “Baiklah anak muda, jika kalian akan berangkat dini hari. Semoga kalian selamat di perjalanan. Aku berjanji untuk merawat nenek tua itu dengan baik. Ia pun tidak lagi tersisih dari pergaulan dengan tetangga-tetangganya, sehingga ia akan dapat hidup wajar di akhir batas umurnya.”
“Terima kasih Ki Bekel,” sahut Mahisa Murti, “mudah-mudahan yang kami tinggalkan pun tidak akan terganggu lagi. Kebangkitan dari penghuni padukuhan ini memberikan suasana baru sehingga padukuhan ini akan menjadi padukuhan yang akan dapat melindungi dirinya sendiri.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Mudah-mudahan aku mampu membangkitkan gairah perjuangan di padukuhan ini.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah meninggalkan rumah Ki Bekel. Mereka masih sempat minta diri kepada beberapa orang bebahu dan orang-orang padukuhan itu.
Malam yang kemudian menyelubungi padukuhan itu adalah malam terakhir bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kepada anak-anak muda yang ada di pendapa serta pengawal yang telah dikirim lagi dari padukuhan induk, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan dan bahkan Mahisa Amping telah minta diri. Besok dini hari mereka akan meninggalkan padukuhan itu.
Nenek tua yang menyerahkan rumah dan semua kekayaannya kepada padukuhan itu pun merasa sangat kecewa. Tetapi nenek itu mengerti, bahwa ia tidak akan dapat menahan para pengembara itu lebih lama lagi. Orang tua itu mencoba untuk mengerti, bahwa anak-anak muda itu tentu sedang menyongsong hari depan mereka yang lebih baik.
Malam yang terakhir itu terasa terlalu panjang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka masih selalu dibayangi oleh pesan orang yang dijumpainya di dapur rumah nenek tua itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bertekad untuk tidak ingkar. Mereka akan mempertahankan sepasang keris yang ternyata sedang diperebutkan itu.
Akhirnya saat yang mereka nantikan itu datang. Mahisa Murti yang telah bersiap bersama saudara-saudaranya itu, telah minta diri kepada nenek tua yang telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka sebelum berangkat meninggalkan rumah mereka.
Nenek tua itu memang menitikkan air mata. Tetapi ketabahannya sebagaimana ditunjukkannya bertahun-tahun selama ia hidup sendiri, telah membuatnya menjadi seorang nenek yang berhati baja. Kepergian para pengembara itu membuatnya merasa sangat kehilangan. Tetapi ia menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.
Sebelum matahari terbit, maka para pengembara yang ada di rumah nenek tua itu telah meninggalkan rumah itu. Mahisa Murti pun telah memberitahukan kepada nenek tua itu, bahwa Ki Bekel akan datang menjemputnya.
“Bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya nenek tua itu.
“Sebaiknya nenek memang tinggal saja di rumah Ki Bekel. Segala sesuatu yang nenek perlukan akan disediakan. Nenek menjadi semakin tua. Tubuh nenek akan menjadi semakin lemah, sementara itu, di sini nenek harus melakukan segala sesuatunya sendiri,” berkata Mahisa Murti.
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan menerima kesediaan Ki Bekel untuk membawa aku ke rumahnya.”
“Agaknya itu adalah yang terbaik bagi nenek sekarang ini,” berkata Mahisa Murti kemudian, “sementara itu, rumah ini akan selalu dijaga dan dirawat oleh anak-anak muda. Sekali-sekali nenek akan dapat melihat rumah ini jika nenek merasa rindu.”
Mata nenek itu memang basah. Tetapi ia mencoba tersenyum smabil berkata, “Aku akan melakukannya.”
Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya melangkah keluar regol halaman, nenek itu berkata, “Aku selalu berdoa bagi keselamatan kalian.”
Dalam pada itu, anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas di rumah itu, masih belum meninggalkan tugasnya. Karena itu mereka pun sempat mengucapkan selamat jalan kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. Salah seorang dari mereka khusus berpesan kepada Mahisa Amping, “Jika kita bertemu lagi, maka kau sudah tidak akan mungkin mengalahkan aku.”
Mahisa Amping tertawa. Katanya, “Kita akan melihat, kau atau aku yang akan maju lebih pesat.”
Beberapa saat kemudian maka mereka telah keluar dari regol padukuhan. Anak-anak muda yang masih berada di gardu pun telah mengucapkan selamat jalan kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti serta kelompok kecilnya telah mulai menyusuri jalan-jalan bulak lagi setelah beberapa hari tertahan di padukuhan itu. Mahisa Amping tidak setegar biasanya. Bagaimanapun juga, ia mendapat kesan tersendiri terhadap nenek tua yang ditinggalkannya. Mahisa Amping itu merasakan air mata nenek itu menitik di keningnya ketika ia memeluknya dan memberikan beberapa pesan kepadanya.
Mahisa Amping memang berjalan di paling depan. Tetapi kepalanya setiap kali ditengadahkannya. Rasa-rasanya ia berusaha menahan air mata yang membuat matanya menjadi panas. Anak itu belum pernah merasakan kehangatan pelukan nenek dan kakeknya. Karena itu, maka nenek tua itu seolah-olah adalah neneknya sendiri yang sangat mengasihinya.
Tetapi semakin lama, cerahnya pagi hari yang menjadi semakin terang. Sinar matahari yang mulai terasa sentuhannya dikulit tubuh. Serta angin yang semilir, telah membuat Mahisa Amping sedikit demi sedikit menjadi segar dan tegar. Ia mulai berlari-lari kecil. Berhenti di tanggul parit dan bahkan memanjat pohon gayam yang tumbuh dipinggir jalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat Amping mulai menjadi gembira, menjadi lega juga. Apalagi ketika anak itu sudah mulai berdendang meskipun suaranya agak sumbang. Namun demikian Mahisa Amping berlari-lari di depan, Mahisa Murti telah berkata berterus terang kepada Mahisa Semu dan Wantilan. Di perjalanan mereka akan menemui dua orang yang akan merampas sepasang senjata yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Dari mana kau tahu?”
“Orang itu yang menemui kami berdua di rumah nenek. Mereka tidak ingin mengganggu ketenangan padukuhan yang memang sudah menjadi gaduh itu. Karena itu, maka mereka berniat untuk menunggu kita di jalan,” jawab Mahisa Murti.
“Apakah mereka tahu, kemana kita pergi?” bertanya Wantilan.
“Aku telah mengatakannya paman,” jawab Mahisa Murti.
“Kenapa kau harus mengatakan kepadanya? Bukankah kau dapat mengelabuinya?” bertanya Wantilan pula.
“Aku tidak dapat melakukannya. Jika orang itu tahu bahwa aku berkata tidak sebenarnya, maka mereka tentu akan melakukannya selagi kita masih berada di padukuhan itu. Dan itu akan berarti kegaduhan itu, karena kedua orang itu bukan orang kebanyakan. Mereka bukan sekedar Gegedug Gunung Palang. Tetapi mereka berdua adalah Naga Angkasa dan Naga Pratala,” jawab Mahisa Murti.
Wantilan dan Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wantilan pun bertanya, “Kau sudah mengenal kedua orang itu sebelumnya?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Kami baru mendengar namanya saja. Tetapi kami belum mengenalnya secara pribadi.”
Wantilan mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa akan terjadi lagi pertempuran yang sengit. Persoalannya terulang lagi. Memperebutkan pusaka yang dimiliki oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Namun Wantilan tidak mengatakan sesuatu. Ia sadar, bahwa dalam hal itu, ia dan Mahisa Semu tidak akan banyak dapat berbuat sesuatu. Yang akan hadir dalam satu pertempuran adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Naga Angkasa dan Naga Pratala tentu memiliki atau setidak-tidaknya merasa memiliki ilmu setingkat dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, kelima orang itu berjalan terus. Tetapi sampai lewat tengah hari mereka tidak bertemu dengan orang-orang yang disebutnya Naga Angkasa dan Naga Pratala. Bahkan sampai saatnya Mahisa Amping merasa lapar.
Lewat tengah hari, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertanya kepada Mahisa Amping, “Apakah kau sudah haus atau lapar?”
Seperti biasanya Mahisa Amping tidak mennyembunyikan jawabannya. Karena itu maka katanya, “Ya. Kita singgah di kedai yang pertama kita temui.”
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia tidak menolaknya. Karena itu, maka ketika mereka sampai disebuah padukuhan yang cukup besar, mereka memang menjumpai sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Mahisa Amping lah yang pertama kali masuk ke dalam kedai itu. Namun tiba-tiba saja ia bergeser surut ketika ia melihat seseorang yang duduk di dalam kedai itu.
Tetapi orang itu dengan ramahnya berkata, “Marilah. Bukankah sudah haus?”
“Kau yang ada di dapur nenek itu?” bertanya Mahisa Amping.
“Kau memang luar biasa. Ingatanmu bagus sekali,” jawab orang itu, “aku memang orang yang kau temui di dapur rumah nenek tua itu.”
Mahisa Amping tidak sempat berkata apapun lagi. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melangkah masuk ke dalam kedai itu pula. Mereka pun terkejut melihat orang itu sudah berada di dalam kedai. Namun karena sikap orang itu wajar saja, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melangkah masuk dan duduk pula di dalam warung itu disusul oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
“Apakah kau sudah lama berada di kedai ini?” justru Mahisa Murti lah yang bertanya.
Orang itu tersenyum. Katanya,” belum. Seperti kau lihat, minumanku pun baru disiapkan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia memang melihat pelayan di kedai itu menghidangkan minuman dan kemudian makanan kepada orang yang mengaku bernama Naga Angkasa itu. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun segera mengambil tempat pula. Kepada pelayan kedai itu mereka telah memesan makanan dan minuman pula.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah bertanya kepada Naga Angkasa itu, “Kenapa kau sendiri? Di mana saudaramu itu?”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ia merasa belum perlu hadir. Ia baru beristirahat. Saudaraku merasa perlu untuk menyiapkan diri menghadapi satu perjuangan yang berat.”
Tetapi pertanyaan Mahisa Pukat tidak terduga-duga, “begitu lemahkah saudaramu itu sehingga memerlukan waktu begitu lama untuk mempersiapkan dirinya?”
Kening orang itu berkerut. Tetapi ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Tidak anak muda. Bukan karena saudaraku itu terlalu lemah. Tetapi ia memang tidak pernah merendahkan orang lain. Apalagi seorang yang membawa pusaka yang jarang ada duanya di dunia ini.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sudah bersiap-siap sepanjang perjalanan kami hari ini. Aku kira, kalian sudah menunggu.”
“Ki Sanak,” berkata orang itu, “kami mohon maaf, bahwa hari ini kami tidak dapat menyambutmu.”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kami telah menentukan bahwa besok kami akan menunggu kalian. Kami berada di bukit kecil di seberang bulak. Tetapi untuk mencapai bukit itu, kalian harus melewati lorong sempit, kemudian menyusuri tanggul sungai,” berkata orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa begitu rumit?”
“Tetapi tempat itu lebih baik buat bermain-main. Sepi dan tidak akan terganggu. Ah, barangkali kau pun akan merasa bahwa tempat itu sesuai dengan kepentingan kita jika kalian telah melihatnya,” desis Naga Angkasa.
Mahisa Pukat yang menjawabnya, “Apa yang kau anggap baik, akan baik juga buat kami.”
Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Minumanmu sudah tersedia. Nanti dingin.”
Pembicaraan mereka pun kemudian terhenti. Masing-masing menikmati minuman dan makanan yang sudah disediakan oleh pelayan di kedai itu. Namun orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa itu ternyata telah selesai lebih dahulu. Sambil bangkit berdiri ia berkata, “Kalian tidak usah tergesa-gesa. Kami menunggu kalian besok”
Tetapi Mahisa Pukat berkata, “Kami akan melewati tempat itu nanti.”
Dengan nada rendah Naga Angkasa itu menjawab, “Kau lihat matahari sudah menjadi semakin rendah. Apakah masih cukup waktu untuk bermain-main hari ini?”
“Apa hubungannya dengan matahari yang semakin rendah? Apakah jika matahari terbenam, segala-galanya harus berhenti?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat sorot mata Mahisa Pukat, maka orang itu harus mengakui di dalam hatinya, bahwa anak muda itu memiliki keyakinan yang sangat kuat atas dirinya.
“Jadi, bagaimana maumu?” bertanya orang itu kemudian.
“Kami akan melewati bukit itu. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan menunggu kami atau tidak. Tetapi tidak besok. Hari ini. Bagi kami, siang, malam atau kapan pun juga tidak ada bedanya sama sekali,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya pula, “Jika kalian tidak mau menunggu kami hari ini, maka terserah, kapan saja kalian akan menemui kami di sepanjang perjalanan kami. Tetapi kami tidak sempat menunggu kalian sampai besok, karena kami tidak merasa berkewajiban melakukan perintahmu atau memenuhi keinginanmu.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah itu sekedar alasan bahwa kalian tidak berani memenuhi tantangan kami?”
“Kami juga dapat bertanya sebaliknya, apakah niat kalian menunggu sampai besok bukan sekedar alasan agar kami sudah lewat?” Mahisa Pukat justru bertanya pula.
Jantung orang itu terasa berdenyut semakin cepat. Tetapi ia pun kemudian mencoba untuk tersenyum pula sambil berkata, “Baiklah. Kami menunggu kalian lewat hari ini. Kami juga tidak akan merasa terganggu jika malam turun.”
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Orang yang mengaku bernama Naga Angkasa itu pun kemudian telah menghampiri pemilik kedai, membayar harga minuman dan makanan, kemudian minta diri. Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan saudara-saudaranya pun telah selesai pula. Setelah membayar harga minuman dan makanan yang mereka makan, maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu.
“Kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Semu dan Wantilan pun mengangguk-angguk kecil. Mereka mengerti apa yang akan terjadi. Peristiwa yang berulang kembali. Orang-orang yang merasa berilmu itu telah berusaha untuk merampas sepasang pusaka yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
“Kita akan melewati bukit kecil sebagaimana dikatakan oleh orang itu,” berkata Mahisa Murti, “dan agaknya kita harus berhenti di tempat itu.
Mereka yang berjalan bersama-sama itu sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Bagaimanapun juga mereka memang harus bersiaga sepenuhnya. Meskipun yang menjadi sasaran adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun api itu akan dapat memercik kepada mereka jika mereka tidak berhati-hati.
Ternyata bahwa Mahisa Amping pun dianggap perlu untuk diberitahu dengan jelas apa yang mungkin terjadi, agar ia tidak terkejut dan tidak berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan kedudukannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingkar. Mereka telah menempuh jalan sebagaimaina dikatakan oleh orang yang mengku bernama Naga Angkasa. Mereka meninggalkan jalan di tengah-tengah bulak. Menempuh lorong kecil dan kemudin mengikuti tanggul sungai.
Bukit itu memang sudah nampak. Di kaki bukit kecil itu terdapat padang perdu yang cukup luas. Batu-batu padas nampak berserakan di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun. Satu dua memang terdapat batang pohon yang tumbuh menjulang. Tetapi tidak begitu banyak. Dengan hati-hati kelima orang itu telah memasuki padang perdu. Sementara itu matahari memang sudah menjadi semakin rendah.
“Kita berhenti di sini,” berkata Mahisa Murti, “aku kira kedua orang itu berada di sekitar tempat ini.”
Untuk beberapa saat kelima orang itu beristirahat. Panas matahari sudah menjadi semakin berkurang. Dibawah sebatang pohon yang rimbun terasa angin bertiup segar. Baru beberapa saat kemudian, mereka mendengar suara desis yang bergaung mengumandang. Suara itu seakan-akan bersumber dari ujung bukit kecil itu.
Namun ketika mereka memandang ke batu-batu padas di atas bukit, maka mereka melihat dua orang yang berdiri tegak bertolak pinggang. Hanya nampak beberapa jengkal saja. Namun suara bergaung itu terdengar lagi. Seperti suara sendaren dengan nada yang rendah yang ditiup keras-keras, memenuhi udara.
Demikian suara itu berhenti, maka kedua orang itu telah berlari, berloncatan di antara batu-batu padas. Tubuh mereka nampaknya sangat ringan. Tanpa kesulitan mereka menuruni tebing bukit yang hampir tegak. Beberapa saat kemudian kedua orang itu sudah berdiri beberapa langkah di depan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyongsong mereka. Namun sambil tertawa Naga Angkasa memperkenalkan saudaranya, “Adik seperguruanku, Naga Pratala.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Apakah kalian sudah lama menunggu?”
“Kami memang berada di tempat ini sejak kemarin,” jawab Naga Angkasa.
“Dan kalian telah mempertunjukkan satu permainan yang menarik,” berkata Mahisa Murti pula.
“Permainan apa?” bertanya Naga Angkasa.
“Kalian telah menggertak kami dengan gaung yang mengumandang menggetarkan langit,” jawab Mahisa Murti.
“Oo,” Naga Angkasa tertawa, “sama sekali bukan permainan kami. Di atas bukit itu ada sebuah lubang yang besar menusuk ke perut bukit itu. Di dalamnya terdapat sebuah goa yang besar dan dalam. Nah, jika angin bertiup cukup keras, maka lubang itu akan melontarkan gaung yang keras. Sama sekali bukan kemampuan kamilah yang telah membunyikannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf. Ternyata pengetahuanku tentang perbukitan dengan segala seluk beluknya sangat sempit. Tetapi juga karena aku sangat menghargai tingkat kemampuan kalian, sehingga aku mengira bahwa gaung itu adalah salah satu bentuk permainan kalian.”
“Itu wajar saja. Ketika kau datang, aku pun terkejut mendengar gaung yang mengumandang itu. Tetapi akhirnya aku sempat menemukan sumbernya,” berkata Naga Angkasa.
“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “sekarang kami sudah berada di sini. Bukankah kalian menunggu kedatangan kami? Sementara itu waktu kami hanya sedikit, sehingga kami akan segera meneruskan perjalanan setelah keperluan kalian dengan kami selesai.”
“Bagaimana jika kalian tidak sempat keluar dari tempat ini?” bertanya Naga Angkasa.
“Itu bukan pilihan kami,” jawab Mahisa Murti.
“Kami memang tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu, maka sebaiknya kita selesaikan saja persoalan kita dengan cara yang paling baik,” berkata Naga Angkasa.
“Cara yang bagaimana yang kalian tawarkan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kami akan membeli sepasang keris yang kalian bawa itu. Kalian dapat menawarkan dengan harga berapa saja. Kami akan berusaha untuk memenuhinya karena kami benar-benar memerlukannya,” berkata Naga Angkasa.
“Maaf Ki Sanak,” jawab Mahisa Murti, “kami tidak akan melepaskan senjata kami dengan cara apa pun juga.”
Naga Angkasa tertawa. Katanya, “Aku sudah mengira. Karena itu, maka kami sudah bersiap-siap untuk merampas pusaka-pusaka itu. Bagaimana jika kita bertempur? Jika kalian kalah, kalian harus menyerahkan pusaka itu.”
Tetapi jawaban Mahisa Murti ternyata tegas, “Kami tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka kami. Kalah atau menang.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Itu artinya kami harus membunuh kalian.”
“Terserahlah,” jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian adalah anak-anak muda yang berhati batu. Sebenarnya kami tidak ingin membunuh kalian, karena kalian masih terlalu muda untuk mati. Tetapi jika itu adalah pilihan kalian, maka apa boleh buat.”
“Apakah kalian tidak mempunyai pemecahan lain?” tiba-tiba Naga Pratala bertanya, “aku merasa kasihan, bahwa kalian akan mati muda.”
“Aku mempunyai satu cara yang baik,” Mahisa Pukat lah yang menjawab.
“Katakan,” desis Naga Pratala yang nampaknya tidak begitu banyak bicara.
“Biarkan kami lewat,” jawab Mahisa Pukat.
Naga Angkasa tertawa. Katanya, “Itu bukan pemecahan.”
Tetapi Mahisa Pukat menjawab lagi, “Pemecahan yang lain, yang sebenarnya tidak kami kehendaki. Tetapi harus kami lakukan jika cara yang pertama gagal.”
“Katakan,” desis Naga Angkasa.
“Membunuh kalian,” jawab Mahisa Pukat.
Naga Angkasa mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “jadi kalian benar-benar merasa mampu untuk melawan kami?”
“Kenapa tidak?” jawab Mahisa Pukat.
“Bukankah kalian pernah mendengar nama kami? Naga Angkasa dan Naga Pratala? Salah seorang dari kalian telah bertanya tentang adik seperguruanku ketika kalian bertemu dengan aku? Jika demikian, maka seharusnya kalian menyadari, dengan siapa kalian berhadapan,” berkata Naga Angkasa.
Yang menjawab kemudian adalah Mahisa Murti, “Kesempatan kita sama. Kemungkinannya pun sama.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sejak semula aku memang sudah menduga bahwa kalian adalah anak-anak muda yang kurang berpengalaman, sehingga tidak dapat menempatkan diri dengan baik di antara mereka yang memiliki ilmu yang tinggi. Adalah satu kemalangan bahwa dalam keadaan kalian yang demikian, kalian telah memiliki sepasang pusaka itu. Ternyata pusaka itu tidak dapat membawa keberuntungan bagi kalian, tetapi justru sebaliknya. Kalian telah terjebak ke dalam satu kepercayaan yang salah seakan-akan dengan memiliki pusaka itu, kalian akan dapat menggapai bintang. Tetapi yang terjadi, kalian akan mati muda.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan, “jangan ganggu kami. Kami akan membuat perhitungan dengan kedua ekor Naga ini.”
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk kecil. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka mereka- pun telah membimbing Mahisa Amping untuk menepi.
“Anak itu luar biasa,” desis Naga Angkasa, “Jika kalian terbunuh nanti, maka aku akan memelihara anak itu dan aku pun akan memenuhi janjiku, melindungi padukuhan yang baru saja kalian tinggalkan.”
“Terima kasih,” Mahisa Pukat lah yang menyahut, “tetapi kami tidak dapat menjanjikan apa-apa jika kami telah membunuh kalian. Yang dapat kami lakukan satu-satunya adalah menguburkan kalian. Hanya itu.”
Wajah Naga Angkasa menjadi tegang. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Kita tidak akan membuang waktu terlalu banyak. Langit sudah menjadi suram. Sebentar lagi malam akan segera turun. Sedangkan kalian tidak lagi mau memperhitungkan waktu.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Sebaiknya kita cepat menyelesaikan persoalan kita.”
Kedua orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa dan Naga Pratala itu pun segera mempersiapkan diri. Yang muda di antara mereka memang tidak banyak berbicara. Tetapi kerut di keningnya serta sorot matanya mengisyaratkan bahwa Naga Pratala justru merupakan seorang yang sangat berbahaya.
Demikianlah, maka kedua orang yang menyebut dirinya Naga Angkasa dan Naga Pratala itu telah menghadapi lawan mereka masing-masing. Naga Angkasa telah berhadapan dengan Mahisa Murti, sedangkan Naga Pratala berhadapan dengan Mahisa Pukat.
Naga Angkasa memandang langit sejenak. Bayangan senja telah mulai turun. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita justru akan bertempur di malam hari.”
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “bukankah kau tidak berkeberatan?”
“Tidak,” jawab Naga Angkasa, “justru sangat menarik. Kita akan menguji ketajaman penglihatan kita masing-masing.”
Mahisa Pukat tidak berbicara apa pun lagi. Naga Pratala pun memang tidak ingin bertanya apapun. Tetapi ia justru telah bersiap untuk mulai bertempur melawan Mahisa Pukat. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah bergeser mendekat. Sementara itu, Naga Pratala pun dengan tiba-tiba telah meloncat menyerang. Kedua jari-jarinya yang lurus dan kuncup pada ujungnya, mirip dengan kepala seekor ular. Sementara itu, Mahisa Pukat pun masih belum mempergunakan senjatanya pula.
Dengan demikian, maka kedua orang itu pun segera terlibat dalam pertempuran yang cepat. Naga Pratala ternyata memiliki kecepatan gerak yang tinggi. Bahkan kadang-kadang tidak terduga. Sekali ia meloncat menerkam. Namun kemudian berguling di tanah. Mulutnya berdesis, sementara tubuhnya menggeliat. Tangannya yang kuncup menyambar dengan cepat.
Tetapi Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan yang tinggi pula. Dengan mengungkapkan tenaga dasarnya, maka ia mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Kecepatannya bergerak pun mengangumkan pula. Dengan dukungan tenaga cadangan di dalam dirinya itu, maka kekuatannya pun berlipat-lipat.
Naga Pratala yang pendiam itu memang menjadi heran. Anak muda yang masih muda itu ternyata telah memiliki ilmu yang sangat tinggi yang bahkan mampu mengimbangi kemampuannya. Tetapi Naga Pratala itu belum sampai ke puncak. Semakin lama ia bergerak semakin cepat. Beberapa kali ia justru menjatuhkan diri dan menggeliat di tanah. Namun kemudian melenting tinggi. Kedua tangannya menyambar dengan cepatnya menggapai tubuh Mahisa Pukat.
Namun tidak mudah untuk menyentuh tubuh anak muda itu, karena Mahisa Pukat pun mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Ketika kedua tangannya menyambar dari arah yang berbeda, Mahisa Pukat justru meloncat tinggi. Berputar di udara dan demikian kedua kakinya menyentuh tanah, ia pun telah melenting pula menyerang dengan kaki terjulur.
Lawannya memang terkejut sehingga harus meloncat mundur, menghindar sambil mengambil jarak. Tetapi Mahisa Pukat tidak memberikan waktu kepada lawannya. Dengan cepat pula ia memburu dan menyerang dengan sengitnya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mulai bertempur melawan Naga Angkasa. Memang agak berbeda dengan saudara muda seperguruannya. Naga Angkasa lebih banyak meloncat tinggi, kemudian menyambar dengan tangkasnya. Namun unsur-unsur gerak pokoknya tidak berbeda dari Naga Pratala. Naga Angkasa agaknya lebih senang bergerak dan menyerang dari arah ketinggian.
Namun unsur yang nampak pada jari-jari tangannya, lambungnya yang mampu menggelit dan berputaran, lengannya sama sekali tidak berbeda dari Naga Pratala, karena sumbernya memang sama. Tetapi Naga Angkasa lebih banyak berbicara dari adik seperguruannya. Bahkan sekali-sekali ia tertawa jika tangannya hampir saja menyentuh tubuh Mahisa Murti. Tetapi jika ia terkejut karena serangan Mahisa Murti yang tiba-tiba dan tidak diduganya, maka ia pun telah mengumpat keras-keras.
Sementara itu, maka malam pun semakin menjadi gelap. Di langit bintang-bintang gemerlapan. Angin malam ternyata bertiup semakin keras. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping memang menjadi tegang. Bagaimanapun jauhnya jarak ilmu mereka, tetapi mereka dapat juga mengenali betapa pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun semakin meningkatkan ilmu mereka, karena lawan-lawan mereka pun melakukannya pula.
Naga Angkasa dan Naga Pratala memang menguasai beberapa jenis gerak seekor ular. Bahkan, seakan-akan berkepala dua, karena kedua tangannya itu bagaikan menjadi kepala ular yang sangat ganas. Mematuk dengan cepat dan kemudian menyambar dari segala arah. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak mudah mereka tundukkan. Sambaran-sambaran tangan mereka masih belum mengenai sasaran.
Namun Naga Pratala yang berwajah gelap dan pendiam, namun tatapan matanya yang tajam itu benar-benar mengejutkan Mahisa Pukat, ketika tiba-tiba saja ia menyerang dengan kakinya. Sebelumnya memang jarang sekali dilakukannya.
Namun Mahisa Pukat masih mampu menghindari serangan itu meskipun dengan sangat tergesa-gesa. Rupanya hal itulah yang diharapkan oleh lawannya. Demikian Mahisa Pukat bergeser, Naga Pratala telah menjatuhkan dirinya, menggeliat dan kedua tangannya mematuk kaki Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat melenting tinggi. Namun diluar dugaan, begitu ia menginjak tanah, serangan itu datang lagi. Naga Pratala telah berguling menggeliat dan tangannya ternyata mampu menyambar betis Mahisa Pukat. Mahisa Pukat memang terkejut. Dengan serta merta ia meloncat mengambil jarak beberapa langkah. Sementara Naga Pratala telah bangkit dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang.
Kaki Mahisa Pukat terasa sangat pedih. Bahkan menjadi panas. Sesuatu terasa mendesak untuk menelusuri urat-urat darahnya. Namun perasaan sakit yang sangat telah menggigit di arah lukanya. Mahisa Pukat memang menjauhi lawannya. Dengan cepat, ia sempat memukul denagn ujung jarinya tiga jalur urat di sekitar lukanya. Ternyata dari luka itu kemudian telah mengalir darah. Tidak terlalu banyak, namun tidak secair darah wajarnya. Beberapa kali Mahisa Pukat memang harus memukul lagi jalur urat darah di sekitarnya, sehingga darahnya menjadi lebih banyak mengalir.
Lawannya, Naga Pratala, memandanginya dengan tegang. Kemudian dengan nada dalam ia berdesis, “Kau mempunyai kemampuan menangkal racun?”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun darah yang mengalir dari lukanya pun kemudian semakin lama menjadi semakin cair. Dengan demikian maka perasaan pedih dan panas pun menjadi semakin susut.
“Anak iblis,” geram Naga Pratala, “kau dapat mengatasi racunku?”
Mahisa Pukat masih tetap berdiam diri. Tetapi ia sempat mengambil obat dari kantung ikat pinggangnya, kemudian ditaburkannya pada lukanya. Baru kemudian ia berkata, “Racunmu racun yang sangat keras. Lukaku terasa sangat pedih dan panas. Hampir saja penangkal racunku tidak mampu mendorong bisa yang kau tanamkan ke dalam kulitku lewat kukumu yang tajam itu. Tetapi ternyata aku berhasil menolak kekuatan bisa yang kuat itu. Yang tinggal sekarang adalah luka biasa, sebagaimana kakiku tergores duri.”
Naga Pratala menggeram. Betapa kemarahan menggelegak di dalam dadanya, namun ia tidak dapat ingkar akan kenyataan yang dihadapinya. Anak muda itu memiliki penangkal racun yang kekuatannya melampaui kekuatan racunnya. Namun Naga Pratala tidak menghindar. Ia sudah bertekad untuk mengambil pusaka yang sepasang itu dari lawan-lawannya. Karena itu, maka ia pun telah meloncat pula menyerang Mahisa Pukat.
Sementara itu, Mahisa Murti pun harus meningkatkan ilmunya ketataran puncaknya ketika serangan-serangan Naga Angkasa menjadi semakin deras. Namun ketika Naga Angkasa melihat bahwa Mahisa Pukat mampu melawan bisa yang digoreskan Naga Pratala di tubuhnya, maka Naga Angkasa pun menduga bahwa lawannya itu tentu juga memiliki penangkal bisa yang kuat sebagaimana saudaranya. Karena itu, maka Naga Angkasa pun tidak lagi bertumpu pada kekuatan racunnya. Tetapi ia harus mempergunakan ilmunya yang dapat dipergunakannya untuk membunuh anak muda yang keras kepala itu.
Sejenak kemudian maka pertempuran pun semakin menjadi sengit. Naga Angkasa bagaikan berterbangan mengitari Mahisa Murti. Meskipun demikian, namun hampir setiap serangannya dapat dipatahkannya. Sambaran kuku-kukunya pada wajah Mahisa Murti sama sekali tidak berhasil menyentuh sasarannya. Bahkan semakin lama Naga Angkasa itu menjadi semakin gelisah. Hampir semua usahanya telah gagal.
Pada puncak kemarahannya, maka Naga Angkasa telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendukung kekuatan ilmunya yang tertinggi. Ilmu puncak yang jarang sekali dipergunakannya. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat, maka ia telah mempergunakan ilmunya itu.
Ketika serangan-serangan wadagnya tidak pernah berhasil mengenai tubuh Mahisa Murti, bahkan justru Mahisa Murti lah yang mulai menyentuh kulitnya, maka Naga Angkasa telah melepaskan ilmunya yang disebutnya Naga Pasa. Ketika ia menghentakkan tangannya ke arah lawannya, maka seakan-akan api telah meluncur terjulur memanjang seperti seutas tali yang membara.
Namun Mahisa Murti cepat tanggap. Kekuatan ilmu itu merupakan ilmu yang sangat berbahaya. Api yang terjulur seperti seutas tali itu akan dapat membelitnya dan membakar tubuhnya. Jika hal itu terjadi, maka sulit baginya untuk dapat melepaskan diri dan bertahan untuk tetap hidup. Karena itu, demikian bara yang berbentuk seutas tali itu terjulur, Mahisa Murti telah meloncat menghindarinya.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah terkejut melihat ilmu yang bagi mereka sangat mengerikan itu. Mereka melihat bagaimana Mahisa Murti menjatuhkan dirinya, berguling dan meloncat melenting tinggi ketika serangan itu datang beruntun.
Ternyata bukan hanya Naga Angkasa sajalah yang kemudian mempergunakan ilmunya itu. Naga Pratala pun telah mempergunakannya pula. Ilmu yang sama itu benar-benar telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengalami kesulitan. Naga Pratala yang lebih bergerak di atas tanah, bahkan kadang-kadang berguling dan menelusuri langkah-langkah kaki lawannya sambil mengeliat berputar. Namun yang tiba-tiba melenting tegak sambil menghentakkan tangannya untuk melontarkan serangannya.
Sedangkan Naga Angkasa bagaikan seekor burung yang terbang mengitari lawannya. Kemudian dengan kuku-kukunya yang tajam menyambar dengan cepat. Tetapi jika ia gagal, tiba-tiba saja ia telah tegak berdiri sambil menghentakkan kedua belah tangannya untuk melontarkan ilmunya, Naga Pasa.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang belum mapan itu harus berloncatan. Serangan yang gagal mengenai lawannya dan menghantam batu-batu padas telah menggetarkan jantung. Tali yang membara itu bagaikan membelit dan kemudian meremas sasarannya. Batu-batu padas pun telah diremukkannya hingga berserakan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin membiarkan diri mereka diburu oleh serangan-serangan lawannya tanpa membalasnya.
Sementara itu terdengar Naga Angkasa tertawa berkepanjangan. Dengan suara yang menggelegar memenuhi udara ia berkata, “jangan menyesal anak muda. Kau sebaiknya mengenal ilmu Naga Pasa. Ilmu yang jarang ada bandingnya disaat sekarang ini. Mungkin kau pernah mendengarnya atau bahkan menyaksikan kedahsyatannya. Namun jenis ilmu ini ada beberapa macam. Sesuai dengan tataran kemampuan landasan ilmunya masing-masing. Ilmu yang kau saksikan sekarang, adalah ilmu Naga Pasa pada tingkat tertinggi karena landasan ilmu kami adalah landasan tertinggi pula dari mereka yang mempelajari ilmu ini. Jika kau sempat mempelajarinya, maka kau pun akan mencapai tataran ilmu tertinggi, karena ternyata landasan ilmu kalian pun merupakan ilmu yang sangat tinggi. Tetapi jika kalian mampu menjalani laku untuk mewarisi ilmu Naga Pasa.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia sudah siap dengan kemampuan puncaknya pula. Bahkan Mahisa Murti telah mengerahkan segenap ilmu yang dimilikinya untuk mengatasi ilmu Naga Pasa. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak setengah-setengah menghadapi lawannya yang berilmu sangat tinggi itu. Ketika ia mendapatkan kesempatan, maka tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam pusakanya yang oleh pembuatnya disebut sebagai sebilah keris.
Naga Angkasa memang terkejut melihat Mahisa Murti telah menarik senjatanya. Bahkan Naga Pratala pun telah kehilangan waktu sekejap untuk menyaksikan keris yang bercahaya kehijau-hijauan itu. Sementara itu, Mahisa Pukat telah mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk menarik senjatanya pula.
“Bukan main,” desis Naga Angkasa, “kalian memang orang-orang muda yang berilmu sangat tinggi. Cahaya kehijauan itu tidak akan menyilaukan dan bahkan seakan-akan nyala lidah api jika tidak berada di tangan orang yang berilmu sangat tinggi.”
“Masih belum terlambat bagi kalian untuk menyingkir,” berkata Mahisa Murti.
“Tidak anak muda,” jawab Naga Angkasa, “justru karena itu aku menjadi semakin tertarik kepada pusaka itu. Sebelum kami benar-benar meremasmu dengan ilmu Naga Pasa, maka sebaiknya kau serahkan saja pusaka-pusaka itu.”
“Jangan melakukan pekerjaan sia-sia,” geram Mahisa Pukat, “kecuali jika kalian memang sudah bersedia mati.”
“Kau terlalu sombong anak muda. Betapa pun dahsyatnya pusaka seseorang, segala sesuatunya tergantung kepada tangan yang menggenggamnya,” berkata Naga Angkasa.
Ternyata kedua belah pihak tidak ada yang berniat mengurungkan pertempuran itu. Keduanya sudah bersiap untuk menghadapi akibat yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka pertempuran pun segera berlanjut.
Mahisa Murti berusaha untuk mengurangi tekanan ilmu yang dilontarkan dalam bentuk bara yang memanjang bagaikan seutas tali yang besar dan kuat yang mampu menjerat dan meremas sasarannya. Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya yang bagaikan menyala kehijau-hijauan.
Naga Angkasa pun telah meloncat menghindar. Ketika Mahisa Murti memburunya, maka Naga Angkasa itu telah mempergunakan senjatanya pula untuk menangkis serangan-serangan Mahisa Murti. Sepasang trisula yang tidak terlalu besar dan bertangkai tidak lebih dari sejengkal. Di tangannya, maka trisula itu bagaikan telah menyatu sebagai perpanjangan jari-jarinya yang kokoh kuat karena terbuat dari besi baja pilihan. Nampaknya Naga Angkasa memang ingin mencoba kemampuan senjata Mahisa Murti. Karena itu, beberapa kali Naga Angkasa telah menangkis serangan-serangan Mahisa Murti.
Tetapi terasa oleh Naga Angkasa, pengaruh dari kelebihan yang terdapat pada pusaka Mahisa Murti. Setiap terjadi benturan, maka terasa tangan Naga Angkasa bergetar. Trisulanya seolah-olah tidak bertenaga. Ketika pedang di tangan Mahisa Murti itu sempat terjepit di antara mata trisulanya, maka Naga Angkasa telah berusaha memutarnya agar senjata itu terlepas dari genggaman Mahisa Murti. Tetapi ternyata trisulanya seakan-akan justru telah melengkung. Dengan cepat Naga Angkasa mengurai himpitan trisulanya atas senjata Mahisa Murti. Namun ternyata bahwa trisulanya sama sekali tidak menjadi cacat.
“Gila,” geram Naga Angkasa yang kemudian menjadi semakin garang.
Demikian pula Naga Pratala. Ia pun telah bersenjata pula. Naga Pratala tidak mempergunakan sepasang trisula. Tetapi ia telah menggenggam sepasang pisau belati yang warnanya justru kehitam-hitaman. Namun Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi melihat warangan pada pisau-pisau belati itu, karena racun dan bisa tidak akan melumpuhkannya.
Namun Naga Pratala pun tidak mampu mengatasi permainan pedang Mahisa Pukat, sehingga pada satu kesempatan, Naga Pratala telah menyerang lagi dengan ilmunya Naga Pasa yang justru meluncur dari mata pisau belatinya. Tetapi Naga Pratala memang terkejut. Lontaran ilmunya seakan-akan telah menyusut dari lontaran ilmu itu sebelumnya. Meskipun ilmu yang luput dari sasarannya itu masih mampu membelah batu padas di lereng bukit kecil itu.
Tetapi Naga Pratala tidak menghiraukannya. Ia hanya menduga bahwa ia memang belum sempat mengumpulkan kekuatan serta pemusatan nalar budinya untuk ancang-ancang melontarkan ilmunya. Dengan demikian, maka Naga Pratala berniat untuk menghentakkan segenap kemampuannya pada serangan-serangan berikutnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat pun masih berusaha untuk meloncat menyerang dengan pedangnya. Namun kesempatan menjadi semakin sempit. Naga Pratala telah menyerangnya dengan ilmunya Naga Pasa. Tetapi demikian serangan itu meluncur luput dari sasaran karena Mahisa Pukat sempat menghindarinya, maka anak muda itu telah meloncat menyerangnya.
Dengan sepasang pisau belati Naga Pratala berusaha untuk menangkis setiap serangan. Tetapi karena senjata Mahisa Pukat lebih panjang, serta kemampuan ilmu pedangnya yang sangat tinggi, maka Naga Pratala lebih memusatkan serangan-serangannya dengan ilmunya Naga Pasa.
Akhirnya, Mahisa Pukat pun tidak lagi sempat mendekat. Serangan-serangan Naga Pratala datang beruntun meskipun Naga Pratala sendiri merasa heran, bahwa kemampuan ilmunya seakan-akan benar-benar telah menyusut. Sementara serangan-serangan itu datang berurutan, maka Mahisa Pukat telah mengurungkan niatnya untuk melumpuhkan lawannya dengan menyusut kekuatan serta ilmunya.
Ternyata cara itu sangat berbahaya baginya. Semakin dekat ia dengan sumber ilmu Naga Pasa itu, maka semakin sulit baginya untuk menghindarinya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah memutuskan untuk menyerang lawannya dari jarak yang tidak terlalu dekat. Mahisa Pukat tidak lagi berniat menyerang dengan pedangnya.
Yang bertempur tidak kalah garangnya adalah Naga Angkasa. Tangannya yang menggenggam trisula menyambar-nyambar mengerikan. Sekali-sekali, jika tangannya tidak mampu menjangkaunya, maka Naga Angkasa itu pun telah menyerang dengan ilmu Naga Pasa nya pula.
Seperti Mahisa Pukat, Mahisa Murti pun mengalami kesulitan untuk bertempur pada jarak yang dekat. Meskipun ia sudah berhasil menyusut ilmu lawannya, tetapi serangan-serangan ilmu Naga Pasa masih saja sangat membahayakannya. Karena itu, maka dalam keadaan yang sangat gawat, kedua anak muda itu sudah bertekad untuk mengakhiri pertempuran itu dengan ilmu puncak mereka.
Dalam pada itu, ketika serangan-serangan Naga Pratala datang susul menyusul, maka Mahisa Pukat harus berloncatan menghindarinya. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat harus menjatuhkan diri berguling-guling, kemudian melenting berdiri dan meloncat surut. Bahkan kemudian Mahisa Pukat itu dengan cepatnya bagaikan melayang keatas batu padas di tebing bukit kecil itu.
Naga Pratala sama sekali tidak melepaskannya. Ia pun meloncat ke tempat yang terbuka sehingga dengan jelas ia dapat melihat kedudukan Mahisa Pukat di atas batu padas di sebelah pohon perdu dalam keremangan malam. Ternyata bahwa Naga Pratala masih belum mengenal Mahisa Pukat dengan baik. Karena itu, maka ia tidak mengira bahwa Mahisa Pukat pun akan mampu menyerangnya dari jarak sejauh jangkauan ilmu Naga Pasa.
Karena itu, ketika Naga Pratala mengangkat sepasang pisau belatinya, maka Mahisa Pukat pun telah mengangkat pedang pusakanya yang menyala kehijau-hijauan. Demikian bara yang memanjang terjulur dari ujung kedua pisau belati Naga Pasa yang menyatu itu, maka dari lidah api yang menyala pada daun pedang Mahisa Pukat pun telah meluncur serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Naga Pratala terkejut melihat serangan itu. Tetapi semua itu terjadi begitu cepatnya. Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak berniat untuk menghindar. Ia tahu pasti bahwa kekuatan ilmu Naga Pratala dalam tataran tertinggi ilmu sudah susut, karena landasan pendukungnya telah dipengaruhi oleh sentuhan-sentuhan kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang lain.
Sementara itu Naga Pratala yang terkejut itu memang tidak sempat menghindar. Apalagi Naga Pratala sendiri tidak yakin apa yang sebenarnya sedang dihadapinya. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Bara yang terjulur memanjang itu telah membentur gumpalan cahaya yang kehijau-hijauan yang seakan-akan meluncur dari daun pedang anak muda itu.
Sebuah ledakan telah mengguncang udara malam. Getarannya seakan-akan saling mendorong di antara dua kekuatan ilmu yang sangat tinggi itu. Tetapi kekuatan ilmu Naga Pasa benar-benar sudah menyusut. Karena itu, maka getaran kekuatan ilmu itu seakan-akan telah terdorong oleh kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Mahisa Pukat justru langsung menelusuri arah balik menghantam tubuh Naga Pratala.
Ternyata bahwa kekuatan ilmu Mahisa Pukat yang masih jauh lebih kuat itu telah menghantam tubuh Naga Pratala setelah mendorong dan merupakan kekuatan balik ilmu Naga Pasa sendiri. Dengan demikian, maka tubuh Naga Pratala itu telah terlempar beberapa langkah dan langsung jatuh terbanting di atas batu-batu padas.
Satu kenyataan yang tidak dapat diingkari. Naga Pratala tidak mampu bertahan. Getaran yang dahsyat telah mengguncang isi dadanya, melampaui kemampuan daya tahannya. Karena itu, maka Naga Pratala itu pun tidak akan dapat bangkit lagi untuk selamanya.
Naga Angkasa melihat, bagaimana adik seperguruannya itu terbanting jatuh dan tanpa dapat bergerak lagi. Diluar sadarnya, Naga Angkasa itu pun telah berteriak memanggil, “Pratala. Pratala.”
Tidak ada jawaban. Naga Pratala memang sudah tidak bernyawa lagi. Perlahan-lahan Naga Angkasa telah meninggalkan Mahisa Murti yang termangu-mangu. Dipandanginya saja Naga Angkasa yang melangkah mendekati adik seperguruannya. Sejenak kemudian Naga Angkasa pun telah berlutut disamping tubuh Naga Pratala. Sambil meraba tubuh yang masih hangat itu Naga Angkasa berkata dengan suaranya yang bergetar
“Kau tinggalkan aku. Selama ini nama kita saling berkaitan. Kita selalu bergerak berpasangan. Tetapi kini kau telah meninggalkan aku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan hati-hati telah melangkah mendekat. Pedang mereka masih tetap berada di tangan, sementara itu, mereka pun siap menghindar jika Naga Angkasa tiba-tiba saja telah menyerang. Tetapi Naga Angkasa ternyata tidak berbuat apa-apa. Ia justru telah menyelipkan senjatanya sambil berkata,
“Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Meskipun kami tahu bahwa kalian memiliki kemampuan yang sangat tinggi, tetapi yang kami hadapi adalah satu kenyataan yang jauh lebih tinggi dari perhitungan kami. Satu hal yang tidak diperhitungkan oleh adik seperguruanku adalah ilmu kalian yang juga baru aku sadari setelah terlambat. Aku sudah mengira bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu.”
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” bertanya Mahisa murti.
“Aku sudah kehilangan sebagian dari kemampuanku. Seandainya Naga Pratala tidak terlambat sebagaimana aku sendiri, maka aku kira benturan ilmu kami dan ilmu kalian akan sangat menarik. Naga Pratala tidak akan mati dalam benturan ilmu yang pertama. Benturan itu tentu akan berulang dan berulang lagi. Mungkin Naga Pratala dan aku akan mati juga. Tetapi tentu tidak akan begitu cepatnya,” jawab Naga Angkasa. Lalu katanya pula, “Ternyata kalian memiliki ilmu yang hampir tidak dimiliki orang lagi sekarang ini. Dan itu sama sekali diluar perhitungan kami.”
“Jadi?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Kami sudah kalah. Aku sudah tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup untuk melawan kalian. Jika aku masih mencoba bertahan, aku berharap bahwa Naga Pratala akan dapat mengatasi lawannya. Namun ternyata lawan adik seperguruanku itu pun memiliki ilmu sebagaimana kau miliki. Dengan demikian maka sekarang tidak ada lagi gunanya aku melawan. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan membunuhku atau tidak,” jawab Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Agaknya Naga Angkasa benar-benar tidak ingin bertempur lagi. Ia merasa bahwa jika itu dilakukannya, maka tidak akan ada gunanya lagi.
“Jika kalian ingin membunuh aku, lakukanlah. Kalian dapat membunuhku dengan cara yang sama, sebagaimana kalian membunuh adik seperguruanku. Naga Angkasa tidak lagi mempunyai arti tanpa Naga Pratala,” berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti lah yang menjawab, “Tidak Ki Sanak. Jika kau juga mati, maka tidak akan ada orang yang dapat menyelenggarakan tubuh kalian. Karena itu, maka biarlah kau tetap hidup. Kau akan dapat berbuat sesuatu bagi adik seperguruanmu. Sebenarnya tidak ada terlintas satu keinginan untuk membunuh seseorang. Tetapi kadang-kadang keadaan telah menyudutkan kami, sehingga kami harus melakukannya.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia bangkit sambil berkata, “Kenapa kalian tidak membunuhku? Tentu bukan karena sekedar tidak ada orang yang dapat menimbuni tubuh kami dengan batu-batua padas?”
“Itulah yang menjadi keputusan kami. Kadang-kadang seseorang sulit untuk mengerti, kenapa ia melakukan sesuatu,” jawab Mahisa Murti.
Naga Angkasa memandang kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Pedang yang dipergunakan itu masih berada di dalam genggaman mereka. “Aku mohon maaf,” tiba-tiba saja Naga Angkasa berdesis, “bukan agar kalian membiarkan aku hidup. Hidup atau mati, aku akan tetap merasa wajib minta maaf kepada kalian, karena aku dan adik seperguruanku sudah berniat untuk merampas milik kalian yang sangat berharga itu.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan dapat melayani kalian terlalu lama. Kami akan meneruskan perjalanan kami.”
Naga Angkasa mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata dengan suara parau, “Disamping ilmu-ilmu kalian yang dahsyat, ternyata kalian juga memiliki penangkal bisa yang sangat kuat. Karena itu, kalian adalah orang-orang yang sulit mendapatkan lawan sekarang ini.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Sudahlah. Persoalan di antara kita, kita anggap sudah selesai.”
Naga Angkasa mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih. Kalian memang orang-orang yang pilih tanding. Bukan saja soal olah kanuragan jaya kasantikan. Tetapi jarang orang yang memiliki kebesaran hati seperti kalian. Aku bukan orang yang mudah tunduk dan menyerah. Tetapi sikap kalian membuat aku benar-benar tidak berdaya. Bukan saja untuk kali ini. Tetapi bagiku, tanpa Naga Pratala, masa depanku tidak akan berarti apa-apa lagi. Pusaka dan ilmu yang tinggi, tidak akan dapat menolong memulihkan hatiku yang terbelah.”
“Karena itu, maka kau dapat berbuat sesuatu yang lebih baik di masa mendatang,” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Aku memang merasa wajib untuk melakukannya. Aku berjanji untuk melakukan hal yang baik sebagaimana pernah kau jalani,” berkata Naga Angkasa.
“Mudah-mudahan hatimu tidak berubah,” berkata Mahisa Murti kemudian.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk hormat ia berkata, “Semoga. Aku adalah orang yang lemah. Hatiku kadang-kadang seperti ujung ilalang yang hanyut ditiup searah angin. Namun akan aku mencoba untuk menganyam satu keyakinan hidup di masa mendatang, sehingga akan dapat menjadi sandaran yang kokoh bagiku. Satu pilihan yang tidak mudah bergeser dari alas satu sikap hidup.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Lakukanlah. Semoga Yang Maha Agung selalu memberi terang dihatimu.”
Naga Angkasa mengangguk kecil sambil berkata, “Aku akan selalu mohon terang dihatiku.”
Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa sudah cukup lama berada di bukit itu. Sebagaimana telah dikatakan, maka mereka akan segera melanjutkan perjalanan. Sementara mereka membiarkan Naga Angkasa itu mengurusi tubuh adik seperguruannya yang telah terbunuh dalam pertempuran itu.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun telah melanjutkan perjalanan. Mereka telah menambah kesan buram di dalam hati dengan kematian Naga Pratala. Sepasang pusaka yang telah mereka bawa itu, membuat mereka harus membunuh dan membunuh. Tetapi itu bukan berarti jika pusaka itu lepas dari tangan mereka tidak akan terjadi kematian-kematian yang beruntun karena pusaka itu.
“Kita membunuh sifat-sifat tamak dan dengki,” berkata Mahisa Muri di dalam hatinya, “hanya orang-orang yang demikian sajalah yang berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka ini. Sedangkan jika pusaka-pusaka itu jatuh ke tangan orang lain, mungkin akan dipergunakan untuk kepentingan yang lain pula. Bahkan untuk melawan kebenaran.”
Sementara itu, sekelompok kecil yang terdiri dari lima orang itu itu pun telah meninggalkan bukit kecil itu. Naga Angkasa sempat melihat langkah-langkah mereka di atas batu-batu padas yang terhampar di kaki bukit kecil itu. Semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang dalam kegelapan.
“Anak-anak yang luar biasa,” desis Naga Angkasa, “bukan saja kemampuannya dalam olah kanuragan. Tetapi jarang ada orang yang berjiwa besar seperti mereka.”
Namun Naga Angkasa pun kemudian kembali merenungi adik seperguruannya yang telah terbunuh. Ia sangat menyesal bahwa saudara seperguruannya itu telah terbunuh. Tetapi ia tidak menyesali anak muda yang telah membunuhnya. Tiba-tiba saja hati Naga Angkasa memang bagaikan terbuka. Ia melihat sikap Mahisa Pukat sebagai sikap yang sewajarnya.
“Anak muda itu hanya sekedar membela diri,” berkata Naga Angkasa kepada diri sendiri.
Ketika angin malam berhembus membawa udara yang dingin, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sudah jauh meninggalkan bukit kecil itu. Bintang-bintang di langit sudah bergeser semakin ke Barat. Selembar-selembar awan hanyut di alirkan angin yang semilir. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan dipaling depan sambil menunduk. Mereka telah menyusuri jalan yang tidak terlalu sempit. Tetapi juga bukan jalan yang agaknya menuju ke padukuhan yang ramai.
Sementara itu, Mahisa Semu dan Wantilan melihat bahwa Mahisa Amping nampaknya sudah menjadi letih dan bahkan kantuk. Tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluh. Ia berusaha untuk berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang-orang lain yang berjalan bersama-samanya itu. Namun Mahisa Semu akhirnya tidak sampai hati untuk tetap berdiam diri. Ia pun kemudian melangkah menyusul Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berjalan di depan.
“Mahisa Amping nampaknya sudah menjadi sangat letih meskipun ia tidak mengatakan sesuatu,” berkata Mahisa Semu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan terkejut mendengar kata-kata itu. Mereka pun telah berhenti dan kemudian melangkah mendekati Mahisa Amping.
“Kau sudah mengantuk?” bertanya Mahisa Murti yang melihat mata anak itu hampir terkatub.
Mahisa Amping tidak langsung menjawab. Ia memang ragu-ragu.
“Kau tentu letih dan mengantuk,” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi ia memang lelah dan mengantuk seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kita akan berhenti dan beristirahat. Bukan hanya Mahisa Amping yang merasa lelah dan mengantuk, aku pun merasa lelah dan mengantuk.”
Demikianlah, maka mereka berlima pun telah mencari tempat untuk beristirahat. Mereka kemudian menemukan satu padang perdu yang sesuai mereka pergunakan untuk beristirahat. Sebuah pohon yang besar tumbuh di antara batu-batu padas. Akar-akarnya mencengkam dicelah-celahnya menusuk ke perut bumi.
Beberapa kali Mahisa Amping memandang pohon itu. Ada perasaan ngeri juga melihatnya. Pohon itu rasa-rasanya seperti raksasa yang akan menerkamnya. Tetapi karena ia tidak sendiri, maka ia pun telah memberanikan diri berbaring di antara Mahisa Semu dan Wantilan dibawah pohon raksasa itu.
“Kau tahu, pohon raksasa ini pohon apa?” bertanya Wantilan.
Mahisa Amping rasa-rasanya tidak dapat mengucapkannya, meskipun ia tahu bahwa pohon itu adalah pohon beringin.
“He, kau tidak tahu pohon apa ini?” desak Wantilan.
“Aku tahu,” jawab Mahisa Amping.
“Jika tahu, sebut. Pohon apa?” bertanya Mahisa Semu pula.
Dengan sedikit memaksa diri Mahisa Amping akhirnya menyebut juga, “Pohon beringin.”
Mahisa Semua dan Wantilan tertawa tertahan. Dengan nada dalam Mahisa Amping berkata, “Tentu benar. Aku tahu pasti.”
“Kenapa kau takut menyebutnya? Pohon beringin. Nah, bukankan tidak apa-apa?” bertanya Wantilan.
Mahisa Amping tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia sudah menumpahkan beban didadanya. Demikian ia mengucapkan jenis pohon raksasa itu, maka rasa-rasanya jantungnya menjadi ringan.
“Tidurlah,” terdengar suara Mahisa Murti berat.
Sementara itu, justru Mahisa Pukat sudah lebih dahulu mendekur dibalik batang pohon raksasa itu. Nampaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi malam itu dengan berjaga-jaga. Sejenak kemudian, maka Mahisa Amping pun segera tertidur. Angin yang mengalir membuat tubuhnya terasa segar. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan. Mereka pun kemudian telah tertidur pula.
Ketika fajar mulai membayang di langit, Mahisa Semu telah terbangun. Yang ditemuinya tidur di balik batang pohon raksasa itu adalah Mahisa Murti. Namun ia pun kemudian melihat Mahisa Pukat duduk beberapa langkah dari pohon itu, di atas seonggok batu padas. Mahisa Amping yang kemudian juga terbangun bersama Wantilan telah minta ijin kepada Mahisa Pukat untuk berlatih.
“Lakukan bertiga. Tetapi di atas bongkah batu-batu itu. Jangan kejutkan Mahisa Murti. Ia baru saja menggantikan aku yang agak terlambat terjaga. Sementara Mahisa Murti Tidak mau membangunkannya,” berkata Mahisa Pukat. Lalu katanya kepada Mahisa Semu, “Tolong bantu anak itu.”
Ketiganya pun kemudian berdiri di atas bongkahan batu padas. Perlahan-lahan mereka mulai memusatkan nalar budi, mengatur pernafasan dan peredaran darah mereka. Baru kemudian mereka berlatih perlahan-lahan. Tidak dengan serta asal saja tenaganya dapat melakukannya.
Sudah beberapa lama Mahisa Amping tidak melakukannya. Karena itu, maka ia nampak menjadi sangat bergairah melakukan unsur-unsur gerak pojok dari unsur-unsur gerak perguruan yang diturunkan oleh Mahendra. Dengan lincahnya Mahisa Amping berloncatan. Tangannya bergerak dengan tangkas. Sekali memutar, kemudian meloncat kesamping.
“Seperti kata Naga Angkasa, anak itu adalah anak yang sangat baik,” berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya ketika ia melihat anak itu berloncatan.
Langit pun semakin lama menjadi semakin merah. Tidak orang berlatih dengan melepaskan unsur-unsur gerak yang bersamaan. Semakin lama menjadi semakin cepat. Tangannya, kakinya dan tubuhnya yang kecil itu telah dapat menunjukkan keperkasaannya sebagai seorang yang berlatih dalam olah kanuragan. Dalam latihan yang semakin cepat itu Mahisa Amping sekali meloncat ke kiri, kemudian berganti kekanan dan sebaliknya.
Mahisa Murti sendiri memang masih tidur nyenyak. Namun sinar matahari yang pertama justru telah jatuh dengan warna ke kuning-kuningan di tubuh Mahisa Murti, sehingga ia pun segera telah bangkit berdiri. Mahisa Murti melihat arah pandangan Mahisa Pukat. Dengan demikian ia telah melihat dasar-dasar ilmu kanuragan yang di peragakan Mahisa Amping dengan manis.
“Anak itu memiliki kecerdasan yang cukup tinggi,” berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun telah duduk pula disamping Mahisa Pukat. Hati keduanya memang menjadi berkembang melihat Mahisa Amping dengan latihan-latihannya.
Agak berbeda dari Mahisa Semu dan apalagi Wantilan. Mahisa Amping adalah seorang anak yang dengan murni menerima tuntunan dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Apa yang ada di dalam dirinya sebelumnya, telah dikosongkannya. Dari unsur yang pertama dikenalnya dalam olah kanuragan, maka unsur itu adalah unsur dari ilmu yang disadapnya dari kedua anak muda itu.
Mahisa Semu dan apalagi Wantilan, sebelumnya memang telah memiliki lambaran meskipun hanya selapis. Namun ternyata kemudian yang nampak pada wajah kemampuan olah kanuragan dari kedua orang itu juga ilmu yang diturunkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kadang-kadang memang ada warna lain yang muncul di antara unsur-unsur gerak itu.
Ketika matahari nampak naik di punggung bukit, maka mereka semakin tertarik kepada mereka yang sedang berlatih. Terutama Mahisa Amping. Tubuhnya yang kecil, tangannya dan kakinya yang masih pendek, bergerak dengan cepat dan cekatan.
“Mudah-mudahan mereka akan benar-benar menjadi seorang yang akan dapat menjadi panutan di padepokan kita,” desis Mahisa Pukat.
“Terutama anak itu. Dilihat dari umurnya, maka Mahisa Semu dan apalagi paman Wantilan, bukannya panutan di masa depan. Meskipun mereka akan dapat memperkuat kedudukan padepokan kita, tetapi mereka sebagaimana kita adalah panutan bagi masa sekarang. Sedangkan Mahisa Amping merupakan harapan bagi perkembangan padepokan kita di masa depan,” sahut Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat membiarkan mereka bertiga berlatih. Mereka berloncatan dari satu batu ke batu yang lain. Mereka tidak lagi bergerak dengan unsur-unsur yang sama. Namun mereka telah menyesuaikan gerak mereka dengan kemungkinan gerak di mana mereka berdiri. Meskipun demikian, Mahisa Amping masih tetap menunjukkan harapan bagi masa mendatang.
Selagi ketiga orang itu berlatih, maka tiba-tiba saja telah nampak sesosok tubuh yang muncul dari arah matahari terbit. Memang agak silau untuk memperhatikannya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengenalinya, orang itu adalah Naga Angkasa. Tetapi ia datang sendiri. Namun bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Mungkin setelah sempat merenung, Naga Angkasa mengambil keputusan lain. Mungkin ia siap untuk menuntut balas sampai batas kematiannya.
Karena itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah bersiap. Naga Angkasa itu dapat memilih salah seorang dari keduanya untuk menjadi lawannya. Tetapi semakin dekat semakin ternyata bahwa sikapnya bukan sikap yang bermusuhan. Meskipun demikian, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah berhenti berlatih.
“Kenapa kalian berhenti,” berkata Naga Angkasa, “teruskan. Aku senang melihat kalian berlatih dengan sungguh-sungguh. Kalian mengembara sambil meningkatkan ilmu kalian dengan mempergunakan sanggar terbuka yang luas tanpa batas. Mempergunakan alat yang disediakan oleh alam yang ternyata tidak kalah dari alat-alat yang disediakan dalam sanggar dan dibuat oleh tangan manusia.”
Ketika orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang telah berdiri sambil mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
“Aku sama sekali tidak berniat buruk,” berkata Naga Angkasa.
“Marilah,” Mahisa Murti pun telah mempersiapkan.
Naga Angkasa pun mendekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersilahkannya duduk di atas batu padas, sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengambil jarak. Naga Angkasa ternyata tidak tersinggung. Ia menyadari sikap hati-hati kedua orang anak muda itu karena kedatangannya.
“Aku datang justru untuk memberikan pengakuan, bahwa ilmuku sama sekali bukan imbangan dari ilmu kalian,” berkata Naga Angkasa.
“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “namun ada sesuatu yang memang berada diluar jangkauan penalaran manusia.”
“Aku mengerti. Tidak seorang pun dapat mendahului kehendak Yang Maha Agung,” desis Naga Angkasa.
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Kau sadari itu?”
“Sebenarnya aku mengerti sejak awal dari petualanganku. Tetapi kadang-kadang pengertianku itu tersisih oleh ketamakan dan kedengkianku,” berkata Naga Angkasa, “sekarang aku sadar, bahwa kita tidak akan dapat melepaskan diri dari kehendak-Nya apa pun yang kita kehendaki.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk.
“Sebenarnya ada satu keinginanku yang ingin aku sampaikan kepada kalian,” berkata Naga Angkasa kemudian.
“Apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku ingin bergabung dengan kalian,” jawab Naga Angkasa, “selain mendapatkan kawan mengembara, maka aku akan dapat menambah ilmuku yang akan dapat aku sadap dari kalian.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Murti berkata, “Kau adalah seorang yang berilmu tinggi.”
“Kau juga berkenan mengembara bersama kedua orang itu,” berkata Naga Angkasa.
Mahisa Murti ternyata justru tertawa. Dengan nada rendah ia berkata, “Mereka adalah pemula-pemula yang ingin memperdalam ilmu mereka. Berbeda dengan kau, yang telah memiliki kematangan ilmu yang bahkan sulit mencari bandingnya. Dengan demikian kau telah memiliki duniamu sendiri sesuai dengan kehendakmu.”
Naga Angkasa menarik dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kau telah mengguncang duniaku. Kau telah menghancurkan kebersamaanku dengan adik seperguruanku. Tetapi itu bukan salah kalian. Namun bagaimanapun juga keberadaanku telah terguncang. Lebih dari itu, tiba-tiba saja kau telah mampu berdiri di atas penghargaanku terhadap nilai seseorang. Kalian bagiku adalah memiliki kebesaran jiwa yang sulit aku mengerti.”
“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “jangan memuji. Bagaimanapun juga kau memiliki kematangan seorang yang berilmu tinggi. Jika kau hanya ingin berjalan bersama kami, kami tidak berkeberatan. Tetapi tidak lebih dari bersama-sama itu saja.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnyalah aku telah kehilangan pengenalanku atas diriku sendiri. Mudah-mudahan aku segera mengerti apa yang telah terjadi atas diriku.”
“Sudahlah. Tidak ada yang perlu digelisahkan,” berkata Mahisa Murti, “sekarang, biarlah kita melihat anak-anak itu berlatih lagi.”
Naga Angkasa mengangguk. Katanya, “Silahkan.”
Mahisa Murti memandang langit sejenak. Langit yang cerah kebiru-biruan. Sementara itu matahari telah menjadi semakin tinggi. Namun Mahisa Murti telah memberikan isyarat kepada Mahisa Amping untuk berlatih lagi. Mahisa Amping yang sempat beristirahat sejenak karena kedatangan Naga Angkasa itu pun segera bersiap kembali. Demikian pula Mahisa Semu dan Wantilan.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Amping telah mulai melakukan latihan lagi bersama Mahisa Semu dan Wantilan. Semakin lama semakin cepat meskipun matahari terasa menjadi semakin panas. Tetapi sekali lagi latihan itu berhenti. Mereka telah mendengar suara orang tertawa. Suara yang dengan cepat dapat dikenal oleh Naga Angkasa.
“Guru,” desis Naga Angkasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut mendengar sebutan yang diucapkan oleh Naga Angkasa itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah bertanya diluar sadarnya, “Gurumu?”
“Ya,” jawab Naga Angkasa.
“Untuk apa ia datang kemari? Apakah kau sengaja membawanya kemari dan berpura-pura dengan sikapmu baru saja ini?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tidak. Aku sama sekali tidak berhubungan dengan guru sejak Naga Pratala meninggal semalam,” berkata Naga Angkasa.
“Nampaknya kau memang mendendam. Berbeda dengan kata-kata yang kau ucapkan,” berkata Mahisa Pukat dengan geram.
“Sama sekali tidak. Aku ingin meyakinkanmu,” berkata Naga Angkasa.
Mahisa Pukat pun kemudian terdiam. Dipandanginya orang yang datang dari arah yang berbeda dari arah kedatangan Naga Angkasa. Tetapi beberapa langkah dari anak-anak muda itu, orang itu pun berhenti.
“Apa yang kau lakukan di sini, Naga Angkasa?” bertanya gurunya.
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku ingin bergabung dengan mereka.”
Gurunya tertawa. Katanya, “Aku sudah menduga. Kematian adik seperguruanmu telah mengguncangkan akal budimu.”
“Maaf guru. Aku merasa bahwa aku masih mampu berpikir dengan bening,” jawab Naga Angkasa.
“Sebelumnya aku pernah berbangga dengan kau dan adik seperguruanmu. Kalian berdua seakan-akan telah menguasai sepertiga dari dunia kanuragan. Namun ketahanan jiwamu yang masih harus ditempa. Ketika kau mengalami guncangan yang sangat dahsyat terutama secara jiwani, maka kau benar-benar telah kehilangan pegangan. Kau justru akan bergabung dengan sekelompok orang yang telah membunuh adik seperguruanmu. Bukan bahkan sebaliknya, menuntut balas sejauh dapat kau lakukan. Bahkan, mati sekalipun akan kau hayati bagi kebesaran nama perguruanmu,” berkata gurunya.
“Ampun guru,” berkata Naga Angkasa selanjutnya, “Kebesaran jiwa anak-anak muda itu ternyata guncangannya jauh lebih besar dari kematian Naga Pratala. Karena itu, maka aku memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali ingin bergabung dengan mereka. Mungkin ilmuku cukup baik meskipun belum dapat menyamai ilmu mereka. Tetapi bagiku agaknya memang sudah cukup. Namun kekagumanku atas pribadi merekalah yang telah membuat aku ingin bergabung dengan mereka.”
“Apa pun alasanmu Naga Angkasa, tetapi bagiku, kau telah melakukan pengkhianatan yang sangat memalukan.”
“Ampun guru,” desis Naga Angkasa.
“Kau aku ampuni jika kau benar-benar mengurungkan niatmu untuk bergabung dengan mereka,” berkata gurunya.
Naga Angkasa memang menjadi bimbang. Ia adalah seorang murid yang telah ditempa oleh gurunya dengan cara yang terbiasa dilakukan dalam dunia kanuragan. Keras dan sama sekali tidak boleh meninggalkan jalur perintah gurunya.
Tetapi ternyata bahwa Naga Angkasa yang mempunyai pengalaman yang cukup luas itu masih memiliki nuraninya yang tidak terhapus selama ia berada di dalam perguruannya. Karena itu, ketika ia mengalami sentuhan pada dasar nuraninya yang paling dalam, maka Naga Angkasa itu pun menyadari bahwa ia adalah sosok yang berpribadi.
Karena itu, maka betapa pun ia masih menghormati gurunya, ia pun berkata, “Ampun guru. Aku mohon guru mengerti perasaanku kali ini. Aku sama sekali tidak ingin berkhianat. Tetapi aku juga tidak ingin mengingkari perasaanku. Seandainya aku tidak bergabung dengan anak-anak muda itu, namun aku tidak akan dapat memusuhinya lagi.”
“Tetapi adik seperguruanmu telah dibunuhnya,” berkata gurunya.
“Ya. Tetapi apakah kita dapat menyalahkan mereka? Kami berdualah yang datang kepada mereka untuk merampas milik mereka. Mereka mempertahankannya sehingga terjadi perkelahian. Naga Pratala kemudian terbunuh. Nah, apakah arti dari peristiwa itu?” Naga Angkasa justru bertanya.
“Jadi kau benar-benar sudah kehilangan ikatan persaudaraanmu sehingga kau anggap kematian Naga Pratala sebagai satu peristiwa yang wajar-wajar saja? Bahkan kau telah menyalahkannya dan menyalahkan diri sendiri? Aku bangga bahwa kalian berdua telah berusaha untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu sebagai lambang keinginan kalian mencapai sesuatu yang lebih bernilai dalam kehidupan kalian. Namun ternyata kau justru menyesalinya, menyalahkan diri sendiri dan sama sekali tidak menyesali kematian saudara seperguruanmu,” berkata gurunya.
Namun Naga Angkasa menjawab, “Tetapi bukankah wajar pula bahwa pemiliknya telah mempertahankannya? Kematian Naga Pratala adalah akibat dari benturan kepentingan yang tidak terpecahkan. Kami masing-masing berpegang pada sikap kami, sehingga akhirnya, maka satu-satunya penyelesaian yang dapat ditempuh adalah kematian.”
“Naga Pratala telah mati sebagai seorang laki-laki. Ia mati dalam usahanya untuk meraih cita-citanya. Sedang kau? Apa yang telah kau lakukan?” bertanya gurunya.
“Aku telah terlempar ke dalam satu kesadaran tentang tingkah laku kami selama ini,” jawab Naga Angkasa.
“Cukup,” berkata gurunya, “kau memang tidak pantas untuk diampuni lagi. Karena itu, maka kau akan menerima hukuman yang terberat yang dapat diberikan kepada seorang murid.”
Wajah Naga Angkasa menjadi tegang. Namun ia benar-benar sudah memutuskan untuk tidak dapat lagi mengikuti jalan hidup yang digariskan oleh gurunya, khususnya tentang kematian adik seperguruannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Guru. Selama ini aku adalah murid yang patuh. Sampai hari terakhir pun aku akan mempertahankan kepatuhanku itu sesuai dengan perkembangan jiwaku. Karena itu, maka aku telah bersiap untuk menerima hukuman yang paling berat itu. Aku tahu, guru tentu akan membunuh aku.”
“Benar,” jawab gurunya, “kau harus dihukum mati. Tetapi tidak sekarang. Nanti. Kau harus menyaksikan lebih dahulu kelebihan dari perguruan kita. Kau harus tahu bahwa kita akan dapat membunuh kedua orang itu jika kita sendiri berniat dengan sungguh-sungguh. Maka kau harus menyaksikan, bagaimana aku membunuh mereka. Baru kemudian aku membunuhmu.” Gurunya berhenti sejenak, lalu katanya, “Tetapi aku masih memberimu kesempatan untuk hidup jika itu kau kehendaki. Jika saat aku membunuh kedua orang anak muda itu kau juga berhasil membunuh ketiga orang yang berlatih di tebing bukit itu, maka kau masih akan mendapat kesempatan untuk hidup.”
Naga Angkasa terkejut mendengar perintah gurunya itu. Karena itu, ia pun kemudian bertanya, “Apa hubungannya dengan ketiga orang yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini?”
“Tidak tahu menahu?” gurunya mengulang, “mereka adalah murid-murid anak muda itu. Karena itu, kau harus menebas semi yang akan tumbuh sebelum menjadi dahan yang kuat yang akan dapat roboh menimpa perguruan kita.”
Wajah Naga Angkasa menjadi semakin tegang. Namun ia pun kemudian menggeleng, “Aku tidak dapat melakukannya.”
“Terserah kepadamu,” jawab gurunya, “kau lakukan atau tidak. Jika hal itu kau lakukan, maka kau akan mendapatkan pengampunan. Tetapi jika tidak, maka kau akan mati setelah kedua orang itu mati. Dengan demikian kau akan melihat disaat terakhir kebesaran perguruan kita yang selama ini kita banggakan. Kau dan Naga Pratala bukan tidak mempunyai saudara seperguruan yang lain. Kau tahu itu. Meskipun sampai sekarang, Naga Angkasa dan Naga Pratala adalah murid terbaik, tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak dapat dihukum setelah membuat kesalahan terpenting dalam perguruan kita. Dengan demikian, maka akan menjadi satu pelajaran bagi saudara-saudara seperguruanmu, siapa pun yang bersalah, akan dihukum sesuai dengan ketentuan perguruan. Meskipun yang bersalah adalah Naga Angkasa.”
Naga Angkasa menjadi tegang. Tetapi ia sudah mengambil keputusan, bahwa ia akan mendengarkan suara nuraninya sendiri yang disadarinya lebih melekat pada dirinya daripada perintah gurunya. Karena itu, maka Naga Angkasa sama sekali tidak berniat untuk membunuh ketiga orang yang sama sekali tidak bersalah itu, meskipun akibatnya akan dapat mencekik lehernya sendiri.
Sementara itu, guru Naga Angkasa itu telah bersiap menghadapi kedua orang anak muda yang dianggapnya bersalah, karena telah membunuh salah seorang muridnya. Sambil menggeram ia berkata, “bersiaplah untuk mati anak-anak muda. Aku akan memperlihatkan kepada muridku yang berkhianat, betapa besar perguruan kami.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Keduanya menyadari, bahwa lawannya itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Muridnya, Naga Angkasa dan Naga Pratala sudah menunjukkan satu tataran yang tinggi, apalagi gurunya. Tetapi keduanya tidak boleh menyerah. Apa pun yang terjadi.
Karena itu, berpegang kepada pesan orang yang membuat sepasang keris itu, bahwa keris itu semakin dekat yang satu dengan yang lain, keduanya akan menjadi lebih berarti. Karena itu, maka keduanya tidak saling menjauh. Keduanya justru saling mendekat. Sementara itu pusaka-pusaka itu telah berada di tangan kedua anak muda itu.
Sementara itu guru Naga Angkasa itu pun telah memegang senjatanya. Sebilah tongkat besi. Tidak begitu panjang. Namun besi itu mempunyai bentuk yang khusus. Pada torngkat besi itu terlukis seekor ular yang membelit. Pada pangkal tongkat itu mencuat kepala ular yang terbuat dari baja putih pilihan. Guru Naga Angkasa itu pun menyadari, bahwa berdua, anak-anak muda itu tentu merupakan lawan yang berbahaya.
Demikian maka sejenak kemudian guru Naga Angkasa itu mulai menggerakkan tongkatnya. Semakin lama semakin cepat. Ayunan tongkat itu telah menimbulkan desir angin yang keras menampar tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi kedua anak muda itu pun bergerak cepat pula. Keduanya menjadi sangat berhati-hati terhadap ayunan tongkat itu. Jika tongkat itu menyentuhnya, maka tulang-tulangnya akan dapat dipatahkannya.
Namun ditangan kedua orang anak muda itu tergenggam senjata yang tidak kalah dahsyatnya. Demikian mereka mulai bertempur, maka daun pedang kedua orang anak muda itu mulai menyala. Lidah api berwarna kehijau-hijauan itu bagaikan gerigi yang akan dapat mengoyakkan kulit daging.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah berlangsung dengan sengitnya. Guru Naga Angkasa berloncatan sambil mengayunkan tongkat besinya. Namun kedua anak muda itu pun mampu bergerak dengan tangkas. Sepasang pusaka ditangan mereka ternyata menjadi sangat berbahaya. Bahkan jika senjata itu terayun dekat tubuhnya, terasa sambaran angin panas menyentuh kulitnya.
Tetapi guru Naga Angkasa itu sama sekali tidak terpengaruh. Daya tahannya sangat tinggi, sehingga ia berhasil mengatasinya tanpa kesulitan. Panas yang menyentuh kulitnya sama sekali tidak mempengaruhi perlawanannya. Namun ada satu hal yang tidak diduga oleh guru Naga Angkasa itu. Betapa pun tinggi ilmunya, namun dalam benturan-benturan pertama, ia tidak menyadari, bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
Karena itu, untuk beberapa saat guru Naga Angkasa itu telah bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan membenturkan senjatanya. Sekali-sekali benturan itu terjadi dengan keras namun sekali-sekali merupakan benturan yang tidak langsung. Namun beberapa saat kemudian, maka guru Naga Angkasa itu meloncat surut untuk mengambil jarak sambil berteriak, “Pengecut yang licik. Kau mempergunakan ilmu seorang pencuri. Kau ambil milikku diluar pengetahuanku.”
“Apa yang telah aku lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau isap kekuatan dan kemampuanku dalam setiap benturan. Getaran itu terasa menghanyutkan dan melarutkan kekuatan dan kemampuanku,” geram orang itu.
“Bukankah itu salahmu sendiri? Kau harus mempelajari ilmu yang dapat bertahan atas keadaan seperti itu,” jawab Mahisa Murti.
“Persetan,” geram orang itu, “untunglah bahwa aku segera menyadari, meskipun kalian telah berhasil mencuri sebagian kecil dari kekuatan dan kemampuanku. Tetapi jangan mengira bahwa dengan demikian aku tidak mampu lagi membunuhmu.”
“Kita akan melihat, siapakah yang akan mampu bertahan untuk tetap hidup,” berkata Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti tidak sempat berkata selanjutnya. Orang itu segera menyambarnya dengan tongkatnya. Namun ketika Mahisa Murti menangkisnya, maka tongkat itu bagaikan menggeliat dan menghindari sentuhan dengan senjata Mahisa Murti.
Namun yang dilakukan kemudian oleh orang itu memang sangat mendebarkan jantung. Kepala ular pada tongkatnya itu seakan-akan benar-benar dapat mematuk seperti kepala seekor ular. Namun tidak untuk menggigit. Tetapi untuk memancarkan semacam cairan bisa yang sangat berbahaya, tanpa menyentuh lawannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga berusaha untuk menghindar. Meskipun mereka memiliki penangkal racun untuk melawan racun yang terkuat, namun mereka menganggap bahwa racun orang itu terlalu kuat. Sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk sedikit mungkin menyentuhnya.
Sementara Mahisa Murti menghindar, maka Mahisa Pukat telah mempergunakan senjatanya untuk menyerang. Demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, maka serangan guru Naga Angkasa itu tidak pernah memberikan kepuasan kepadanya. Setiap kali ia merasa bahwa sasarannya berhasil melepaskan diri. Namun dalam pada itu, ia pun selalu berusaha untuk menghindari sentuhan dengan senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi akhirnya guru Naga Angkasa itu pun menyadari, bahwa racunnya yang disemburkan lewat kepala ularnya, tidak berarti sama sekali. Kedua anak muda itu betapa pun tangkasnya, namun setitik dua titik, racunnya tentu ada yang mengenai mereka. Namun setelah bertempur beberapa lama, akibatnya tidak terasa sama sekali, sehingga guru Naga Angkasa itu pun mengumpat di dalam hati, “Anak iblis ini memang luar biasa. Selain mampu menghisap tenaga dan kemampuan orang lain, juga memiliki penangkal racun yang betapapun kuatnya.”
Dengan demikian, maka guru Naga Angkasa harus mempergunakan cara lain untuk menundukkan anak muda itu. Ia tidak dapat mempergunakan tongkatnya karena setiap benturan akan berakibat buruk baginya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh guru Naga Angkasa itu kemudian adalah mempergunakan jenis senjata yang lain yang bukan saja berbahaya karena bisanya, tetapi juga karena ketajamannya.
Ketika mereka bertempur semakin sengit, maka Mahisa Murti terkejut ketika seleret sinar menyambarnya. Bukan lontaran bara yang memanjang, tetapi pisau-pisau kecil yang berterbangan.
Guru Naga Angkasa itu menyadari, bahwa racun pisau itu pun tidak akan mampu melumpuhkan lawan-lawannya yang masih muda itu. Tetapi jika lontarannya dengan sekuat tenaga itu dapat mengenai sasarannya di arah dada, maka pisau kecil itu tentu akan menghunjam sampai ke jantung.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti berusaha untuk menghindarinya. Tetapi ternyata serangan itu begitu tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya. Mahisa Murti memperhitungkan bahwa orang itu tentu akan melontarkan ilmu Naga Pasa dalam tataran yang lebih tinggi dari yang pernah dilakukan oleh Naga Angkasa dan Naga Pratala. Namun ternyata yang dilakukan adalah lain. Sehingga tanda-tanda untuk menyerang pun tidak dikenal oleh Mahisa Murti sebagaimana ia pernah melihat Naga Angkasa melakukannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah terlambat sekejap. Ia tidak berhasil membebaskan diri dari ujung pisau itu meskipun pisau itu tidak mengenai dadanya. Tetapi pisau itu telah menyambar lengannya. Mahisa Murti berdesis menahan perasaan pedih yang terasa mematuk lengannya itu. Seperti serangan Naga Pratala yang mengenai kaki Mahisa Pukat, maka terasa luka itu menjadi sangat panas. Tetapi, Mahisa Murti tidak sempat tertegun terlalu lama. Guru Naga Angkasa itu telah bersiap pula untuk melakukan serangan berikutnya.
Namun serangan Mahisa Pukat telah mencegahnya. Ujung pedang Mahisa Pukat yang bagaikan menjulurkan lidah api itu telah mendesak lawannya untuk meloncat menghindar. Namun ia sama sekali tidak menangkis dengan tongkatnya yang dipeganginya dengan tangan kirinya. Sementara itu tangan kanannya telah bergerak dengan cepat sekali. Sebilah pisau kecil telah melayang dengan kecepatan yang sangat tinggi mengarah ke leher Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat yang melihat serangan serupa atas Mahisa Murti, membuatnya menjadi lebih berhati-hati. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat telah bergeser ke samping, sehingga pisau itu tidak mengenainya. Dalam pada itu Mahisa Murti pun telah menjulurkan pedangnya pula. Sementara lukanya yang bagaikan dijilat api itu telah mulai mendingin. Darah yang mencair mengalir dari lukanya menghanyutkan racun yang terdapat pada pisau-pisau kecil itu.
Guru Naga Angkasa mengumpat. Ia sadar, bahwa dengan demikian racunnya sama sekali tidak dapat bekerja di dalam tubuh lawan-lawannya itu. Apalagi pisau-pisaunya tidak selalu dapat mengenai sasaran-sasarannya, sementara kedua anak muda itu telah menyerang bergantian.
Tetapi guru Naga Angkasa itu masih memiliki beberapa buah pisau beracun. Yang penting baginya kemudian adalah bukan lagi racunnya. Tetapi ketajaman pisau-pisau kecil itu telah ternyata mampu mengoyakkan lengan Mahisa Murti. Jika ia berhasil mengoyak leher anak-anak muda itu, maka ia akan dapat segera menyelesaikan pertempuran itu.
Namun kedua orang anak muda itu ternyata mampu bergerak cepat sekali. Serangan-serangan mereka mulai membingungkan. Keduanya mampu mengisi serangan-serangan mereka dengan rapat sekali. Meskipun demikian, maka guru Naga Angkasa itu masih mampu berloncatan menghindari serangan dua buah pusaka yang mendebarkan itu. Kadang-kadang orang itu melenting tinggi bagaikan terbang. Namun kemudian berguling dan menggeliat seperti seekor ular.
Pada saat yang tidak terduga, maka pisau-pisaunya menyambar ke arah leher sebagaimana memang direncanakan. Tetapi serangan-serangan itu sulit untuk dapat mencapai sasaran, karena kedua orang anak muda itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun Naga Angkasa menyaksikan pertempuran itu masih juga berdebar-debar. Ia sadar, bahwa gurunya masih belum sampai ke ilmu puncaknya. Jika gurunya benar-benar mengetrapkan ilmunya Naga Pasa, apakah anak-anak muda itu akan mampu mengatasinya?
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata telah berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Keduanya berusaha menyusup di antara serangan-serangan lawan mereka untuk menggapainya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berusaha untuk membuat benturan-benturan betapa pun kecilnya.
Tetapi guru Naga Angkasa selalu menghindarinya. Ia sudah merasa bahwa benturan-benturan yang pernah terjadi pada permulaan dari pertempuran itu telah menyusut tenaga dan kemampuannya meskipun belum terlalu banyak. Jika benturan atau sentuhan masih akan terjadi lagi, berarti bahwa ilmu dan kemampuannya akan menjadi semakin susut lagi. Namun semakin lama, maka persediaan pisaunya menjadi semakin berkurang, sehingga akhirnya guru Naga Angkasa itu sudah tidak mempunyai pisau lagi untuk dilontarkan kepada kedua orang lawannya itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari bahwa pisau-pisau kecil lawannya telah habis. Namun mereka pun menyadari bahwa masih ada kemungkinan lain yang barangkali justru lebih berbahaya dari sekedar lontaran pisau-pisau kecil.
Sebenarnyalah guru Naga Angkasa itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika kedua anak muda itu menjadi semakin mendekat, sementara tongkatnya tidak akan pernah lagi dipergunakan untuk menangkis setiap serangan, maka guru Naga Angkasa itu telah memutuskan untuk mempergunakan ilmu puncaknya. Jika ia tidak segera mempergunakannya, maka kedua pusaka anak-anak muda itu tentu akan mampu menggapainya.
Dengan demikian, maka guru Naga Angkasa itu telah mengambil jarak. Ia pun segera memusatkan nalar budinya. Ketika Ma-hisa Murti dan Mahisa Pukat siap untuk menyerangnya, maka lawan mereka itu pun telah menghentakkan ilmunya yang jarang ada duanya. Naga Pasa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyadari betapa dahsyatnya ilmu itu, telah mempersiapkan diri mereka pula. Sehingga demikian ilmu Naga Pasa itu meluncur dari telapak tangan guru Naga Angkasa, Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat akan mampu membebaskan dirinya.
Tetapi ilmu itu memang sangat dahsyat. Tidak sekedar lontaran bara api yang terjulur memanjang. Tetapi yang terlontar dari telapak tangan orang itu adalah api yang menyala meluncur memanjang. Api yang menjulur itu pun seakan-akan merupakan uluran lidah api yang menyembur dengan dahsyatnya.
Ketika Mahisa Murti meloncat menghindari sambaran api itu, maka ternyata api yang terjulur memanjang itu mampu menyapu ke arah Mahisa Murti berloncatan. Dengan demikian maka Mahisa Murti telah meloncat dan meloncat menghindar. Demikian pula ketika api itu menyapu ke arah Mahisa Pukat. Api yang terjulur memanjang itu, bagaikan tali yang kemudian melingkar menjerat sasarannya.
Tetapi Mahisa Pukat sempat meloncat tinggi. Ketika lingkaran itu kemudian menjerat, Mahisa Pukat berhasil melepaskan dirinya meskipun perasaan sakit dan panasnya api telah menyengat tubuhnya. Demikian ujung api yang terjulur itu gagal menjerat Mahisa Pukat, maka api itu seakan-akan telah menjadi padam. Namun bukan berarti bahwa serangan-serangan guru Naga Angkasa itu berakhir.
Naga Angkasa sendiri menjadi sangat berdebar-debar. Hampir tidak ada orang yang pernah lolos dari serangan maut itu. Api yang disaat terakhir melingkar dan menjerat itu, biasanya akan meremukkan tulang-tulang seseorang sebagai dililit oleh seekor Naga. Namun panasnya api dari ilmu itu akan dapat membakar kulit daging orang yang terjerat itu. Namun anak muda itu berhasil melepaskan dirinya.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa bersyukur bahwa serangan gurunya tidak membunuh anak-anak muda itu. Namun Naga Angkasa juga merasa kekagumannya atas anak-anak yang masih muda yang telah memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang tangkas berpikir itu justru telah meloncat saling menjauh. Mereka harus berusaha untuk mengatasi serangan ilmu lawannya. Bahkan ilmu itu bukan saja meluncur dan menyerang sasaran, namun kemampuannya menyapu daerah yang cukup luas, kemudian membuat lingkaran dan menjerat sasaran, telah membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mencari cara yang paling baik.
Guru Naga Angkasa itu memang termangu-mangu. Namun bahwa kedua anak muda itu telah berpencar, guru Naga Angkasa itu dapat mengerti. Bagi kedua anak muda itu, maka jarak diantara mereka akan sangat penting artinya. Sejenak kedua belah pihak saling mengamati lawannya. Kedua belah pihak telah memutuskan untuk sampai ke puncak ilmu mereka masing-masing.
Sejenak kemudian maka pertempuran yang menentukan itu pun telah mulai membakar lingkungan yang sebelumnya terasa tenang itu. Guru Naga Angkasa telah mulai melontarkan serangannya mengarah ke Mahisa Murti. Dengan tangkasnya Mahisa Murti meloncat menghindar. Namun ketika serangan lawannya itu bergerak menyusulnya dengan sapuan yang memanjang, maka Mahisa Murti justru menjatuhkan dirinya.
Tetapi serangan itu terputus. Mahisa Pukat tidak membiarkan Mahisa Murti mengalami kesulitan menghindari serangan yang sangat berbahaya itu. Tetapi dengan mengerahkan kemampuannya, Mahisa Pukat pun telah menyerang pula. Tidak dengan loncatan panjang serta pedang terjulur. Tetapi Mahisa Pukat telah menghentakkan pedangnya, sekaligus melontarkan ilmunya yang menggetarkan lawannya.
Guru Naga Angkasa melihat seleret sinar kehijauan meluncur ke arahnya. Karena itu, maka ia harus menghentikan serangannya. Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan lawannya yang masih muda itu. Namun yang ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sambil berguling guru Naga Angkasa itu telah mempersiapkan diri. Ketika ia melihat Mahisa Murti bangkit dan berdiri tegak, maka ia telah mengulangi serangannya sambil masih saja berbaring di atas tanah.
Mahisa Murti yang merasa baru saja terlepas dari serangan guru Naga Angkasa itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira bahwa serangan itu akan datang demikian cepatnya. Dengan serta merta Mahisa Murti pun sekali lagi telah menjatuhkan dirinya dan berguling menghindari sapuan ilmu lawannya.
Mahisa Murti memang dapat melepaskan diri dari lilitan ilmu Naga Pasa yang dahsyat itu. Namun sentuhan ilmu itu benar-benar telah membuat jantungnya berdebaran. Lengannya yang tersentuh ilmu itu menjadi bagaikan tersentuh oleh bara besi baja. Kulitnya, bahkan sebagian dagingnya telah terkelupas. Perasaan sakit yang sangat telah menggigit lukanya. Namun sebelum ilmu lawannya itu bergeser kembali ke arahnya, sekali lagi Mahisa Pukat telah menyerang.
Tetapi yang terakhir Mahisa Pukat tidak menyerang dengan hentakkan ilmunya. Tetapi ia sempat meloncat mendekat. Sambil mengulurkan pedangnya ia berusaha menggapai tubuh guru Naga Angkasa itu.
Guru Naga Angkasa yang sedang memusatkan perhatiannya kepada Mahisa Murti juga tersentak oleh serangan itu. Hampir diluar sadarnya guru Naga Angkasa itu telah mempergunakan tongkat di tangan kirinya untuk menangkis serangan itu.
Mahisa Pukat yang merasa mendapat kesempatan itu tidak segera menarik serangannya. Ia justru mencoba untuk mengungkit senjata lawannya. Mahisa Pukat sama sekali tidak berusaha untuk melemparkan tongkat lawannya itu. Tetapi dengan demikian maka pedangnya yang seakan-akan membelit itu mendapat kesempatan untuk mengetrapkan ilmunya yang lain.
Ketika guru Naga Angkasa itu sadar, maka ia pun telah meloncat menjauh sambil berteriak, “Kau licik. Licik sekali.”
Belitan pedang Mahisa Pukat memang agak lama, seolah-olah Mahisa Pukat ingin berusaha melepaskan pegangan guru Naga Angkasa itu atas tongkatnya. Namun dengan demikian maka Mahisa Pukat telah menyusut sebagian dari kekuatan dan kemampuan lawannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang telah terlepas dari kejaran ilmu lawannya tidak menyia-nyiakan waktu. Demikian guru Naga Angkasa itu terbebas dari serangan Mahisa Pukat sambil mengumpat-umpat, maka serangan Mahisa Murti pun telah meluncur seakan-akan meloncat dari ujung pedangnya yang kehijau-hijauan.
Tetapi serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Guru Naga Angkasa telah berhasil melenting keluar dari garis serangan. Namun demikian ia berdiri tegak, maka ujung pedang Mahisa Pukat telah menggapainya. Demikian cepatnya mengarah langsung ke dada.
Tidak ada cara lain kecuali menangkis lagi serangan itu. Tetapi orang itu mengumpat semakin kasar, “Kau iblis yang licik. Kau mempergunakan ilmu pencuri serta pengecut.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia telah memburu lawannya sehingga seakan-akan lawannya tidak sempat melontarkan serangannya yang dahsyat berlandaskan ilmu Naga Pasa.
Tetapi guru Naga Pasa itu berhasil mengambil jarak dari Mahisa Pukat. Namun, sekali lagi Mahisa Murti sempat mendahuluinya menyerang. Ilmunya telah dilandasi oleh kemarahan yang luar biasa. Apalagi lengannya telah dilukai oleh ilmu Naga Pasa.
Guru Naga Angkasa itu memang harus berloncatan menghindari serangan itu. Tetapi sekaligus ia sempat menyerang Mahisa Pukat yang masih termangu-mangu. Mahisa Pukat memang sempat menghindar. Tetapi ternyata bahwa pundaknya masih juga tersentuh serangan itu.
Namun demikian orang itu menyerang Mahisa Pukat, Mahisa Murti lah yang berhasil meloncata mendekat. Bahkan ujung pedangnya sempat menggapai lawannya. Meskipun hanya segores tipis, tetapi ujung pedang itu telah melukai dada guru Naga Angkasa. Luka itu memang mempunyai akibat ganda. Susutnya kekuatan dan kemampuannya serta darahnya yang mulai menetes.
Guru Naga Angkasa itu menggeram marah. Anak-anak muda itu ternyata sulit untuk ditundukkan. Tetapi guru Naga Angkasa itu sama sekali tidak mampu mengingkari kenyataan. Kedua anak muda itu benar-benar anak muda yang berilmu tinggi. Meskipun sejak semula orang itu menyadari, apalagi karena seorang di antaranya telah berhasil membunuh muridnya, namun kenyataan yang dihadapinya masih mengejutkannya.
Anak-anak muda itu meskipun berhasil dilukainya, tetapi mereka juga berhasil melukainya. Bukan saja luka yang menggores kulitnya, tetapi anak-anak muda itu telah menyusut kekuatan dan kemampuannya, sehingga rasa-rasanya guru Naga Angkasa itu menjadi mulai letih. Tetapi bagaimanapun juga, guru Naga Angkasa itu berniat untuk membunuh anak-anak muda itu sebelum ia benar-benar akan menghukum muridnya yang dianggapnya berkhianat.
Untuk mengurangi kegelisahannya, tiba-tiba saja guru Naga Angkasa itu berteriak, “Cepat. Bunuh ketiga orang itu jika kau ingin aku ampuni. Jika aku selesai dengan kedua orang anak ini dan kau belum membunuh mereka bertiga, maka aku akan membunuhmu.”
Naga Angkasa termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak dapat merubah ketetapan hatinya. Ia tidak lagi ingin memusuhi anak-anak muda yang dianggapnya telah menyelamatkan hidupnya itu. Karena itu, maka Naga Angkasa itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping masih berada di tempatnya. Mereka memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat menyaksikan apa yang bakal terjadi. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mampu memenangkan pertempuran itu, maka mereka pun tentu akan terbunuh juga.
Dalam pada itu, maka pertempuran antara kedua orang anak muda itu melawan guru Naga Angkasa menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah berhasil saling melukai. Goresan-goresan dan luka-luka bakar telah membekas di punggung Mahisa Murti. Sedangkan lambung Mahisa Pukat bagaikan telah disentuh bara.
Namun sementara itu, keadaan guru Naga Angkasa pun menjadi semakin sulit. Luka-lukanya menjadi semakin banyak. Serangan Mahisaa Murti dan Mahisa Pukat datang beruntun susul menyusul, sementara itu, sentuhan-sentuhan benar-benar telah menyusutkan kekuatan dan kemampuannya. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus berhati-hati. Guru Naga Angkasa benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu memiliki tekad yang mampu mengimbangi gejolak ilmunya, sehingga dengan demikian, mereka masih berjuang terus untuk mengatasi kesulitan demi kesulitan.
Kemarahan guru Naga Angkasa tidak terkekang lagi ketika ia merasa tenaganya menjadi semakin susut. Serangan-serangannya terhambur tidak lagi dengan perhitungan. Setiap saat dan kesempatan, guru Naga Angkasa telah melontarkan serangannya dan menyapu daerah yang luas. Namun setiap kali serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti telah mematahkan serangannya.
Tetapi akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai merasa letih setelah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan isyarat kepada Mahisa Pukat untuk dapat menyerang bersama-sama. Mahisa Pukat tanggap akan isyarat itu. Namun untuk mendapatkan kesempatan memang terlalu sulit. Tetapi keduanya telah berusaha untuk melakukannya.
Pada saat-saat terakhir, kedua belah pihak seakan-akan telah kehilangan kendali diri. Sasaran-sasaran mereka pun menjadi semakin kabur. Namun justru karena itu, maka serangan-serangan itu semakin sulit untuk diperhitungkan. Pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin berusaha untuk lebih cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Pada saat-saat kegarangan guru Naga Angkasa menjadi semakin memuncak, justru karena tenaganya terasa semakin susut, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk menyerang mereka dari arah yang berbeda. Namun sementara itu, kedua orang anak muda itu telah menjadi semakin mendekat.
Ketika kesempatan itu terbuka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat dengan cepat, bergabung menjadi satu. Kedua senjata mereka seakan-akan telah disatukan, sementara mereka memusatkan segenap tenaga dan kemampuan yang ada pada mereka.
Guru Naga Angkasa melihat kedua anak muda itu meloncat saling mendekat. Dengan serta merta orang itu telah melepaskan ilmunya, Naga Pasa, untuk menyerang kedua orang anak muda itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melepaskan ilmunya pula. Dilandasi dengan dasar kemampuan ilmu mereka Bajra Geni maka mereka telah melontarkan serangan didorong oleh penguasaan mereka atas ilmunya yang lain lewat ujung pedang mereka yang bagaikan menyala. Dengan demikian, maka kedua belah pihak telah saling menyerang dengan landasan ilmu masing-masing yang dahsyat.
...Sepertinya ada bagian cerita yang hilang di sini...
Ketiga orang itu pun kemudian telah melangkah satu-satu mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menunggui guru Naga Angkasa. Ketiganya pun kemudian berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari tubuh guru Naga Angkasa yang terbaring itu.
“Aku akan menguburkannya. Hanya itu yang dapat aku lakukan sekarang ini sebagaimana aku lakukan atas adik seperguruanku,” desis Naga Angkasa.
Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara Naga Angkasa pun kemudian berkata pula, “Tetapi aku tidak tahu, siapa yang akan melakukannya atasku jika pada suatu saat aku harus mati apa pun alasannya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berdiam diri. Namun ketika kemudian Naga Angkasa itu berdiri, Mahisa Murti pun berkata, “Kami akan membantumu.”
“Terima kasih,” berkata Naga Angkasa.
Dengan demikian, maka Naga Angkasa tidak melakukannya sendiri. Dengan alat-alat yang ada pada mereka, maka mereka telah mengubur guru Naga Angkasa itu di bawah sebatang pohon yang akan dapat dikenali oleh Naga Angkasa jika diperlukan. Dengan bebatuan Naga Angkasa memberikan pertanda pada kuburan itu. Sejenak Naga Angkasa berdiri dengan kepala tunduk merenungi seonggok bebatuan. Dibawah bebatuan itu gurunya terbaring membeku.
“Sekarang aku sendiri,” berkata Naga Angkasa tanpa berpaling kepada siapapun.
“Kau masih mempunyai beberapa orang suadara seperguruan,” berkata Mahisa Murti.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah mereka akan dapat menerima aku?”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Bukankah kau tahu sendiri apa yang telah dilakukan guru atasku?” Naga Angkasa itu justru bertanya.
“Ya,” Mahisa Murti mengangguk. Katanya kemudian, “Tetapi bukankah kau tidak bersalah?”
“Jika guru berniat menghukumku, maka aku tentu berbuat salah terhadap perguruanku,” jawab Naga Angkasa, “dengan demikian maka setiap murid dari perguruanku tentu akan mengutukku. Jika mungkin mereka pun akan dapat membunuhku. Bahkan mungkin saat ini ada di antara saudara-saudara seperguruanku yang mengawasi aku. Mungkin ada yang menyaksikan meskipun dari kejauhan apa yang terjadi atas guru, sementara aku di sini tidak berbuat apa-apa. Atau bahkan guru telah membawa satu dua orang muridnya untuk menyaksikan apa yang terjadi.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Agaknya yang dikatakan oleh Naga Angkasa itu benar. Mungkin gurunya telah membawa satu dua orang muridnya dan ditinggalkannya di tempat yang agak jauh untuk menyaksikan apa yang akan terjadi.
“Karena itu,” berkata Naga angkasa, “biarlah aku pergi bersama kalian. Aku tidak akan bergabung dalam arti yang sebenarnya. Aku hanya ingin berjalan bersama kalian agar ada kawan yang dapat aku ajak berbicara. Kemudian pada suatu saat dapat saja kita berpisah jika kita sudah sampai pada kepentingan kita yang berbeda.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kau hanya ingin pergi bersamaku, maka sudah barang tentu aku tidak berkeberatan. Tetapi kita hanya seperjalanan. Tidak lebih dari itu.”
Naga Angkasa mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kita hanya seperjalanan.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menolak keinginan Naga Angkasa. Karena itu, maka setelah mereka berbenah diri, maka mereka pun telah berjalan bersama. Naga Angkasa yang merasa dirinya sendiri, mendapat kawan seperjalanan.
“Kau akan pergi ke mana?” bertanya Mahisa Murti kepada Naga Angkasa.
“Aku tidak mempunyai tujuan lagi. Aku tidak dapat kembali ke padepokan. Karena itu, maka aku memang ingin bertualang. Mungkin aku dapat menempuh laku sebagaimana kalian jalani. Tapa ngrame. Mudah-mudahan dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang pernah aku perbuat sebelumnya,“ Naga Angkasa berhenti sejenak, lalu “tetapi aku tidak memiliki bekal seperti kalian. Ilmuku masih jauh ketinggalan, sementara sebagian dari kekuatan dan ilmuku sudah kau hisap.”
“Hanya berlaku untuk sementara,” jawab Mahisa Murti, “kekuatan dan ilmumu akan pulih kembali selama beberapa saat. Mudah-mudahan esok saat matahari terbit kau sudah mendapatkan semuanya.”
Naga Angkasa mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Terima kasih. Dengan bekal yang lebih banyak, maka aku akan dapat berbuat lebih banyak dalam menjalani laku Tapa Ngrame.”
“Semoga kau berhasil. Bukankah dalam perjalananmu selama menjalani laku, kau akan memperdalam ilmumu?” bertanya Mahisa Pukat.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku memang berpikir demikian. Aku telah mewarisi semua unsur ilmu yang dimiliki guru. Tetapi masih terlalu wantah. Aku harus mengembangkannya.”
Demikianlah, maka perjalanan sekelompok kecil itu menjadi semakin ramai. Mereka menjadi berjumlah enam orang. Karena itu maka kelompok itu menjadi semakin menarik perhatian. Ketika mereka singgah di sebuah kedai, maka orang-orang yang sudah ada di dalam kedai itu pun saling bertanya-tanya. Enam orang datang bersama-sama.
Namun wajah-wajah dari orang-orang itu tidak nampak menakutkan. Apalagi ketika mereka mulai berbicara memesan makanan dan minuman. Maka nampaknya keenam orang itu cukup ramah dan bersikap baik. Meskipun demikian ketika keenam orang itu kemudian meninggalkan kedai itu, pemilik kedai itu pun sempat menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Sukurlah. Mereka ternyata orang baik-baik. Tetapi nampaknya ada luka-luka di tubuh mereka.”
Orang-orang yang ada di kedai itu pun mengangguk-angguk. Semula mereka memang mengira bahwa akan terjadi sesuatu dengan kehadiran enam orang sekaligus di kedai itu, meskipun seorang di antaranya adalah kanak-kanak. Tetapi anak itu pun telah membawa senjata di lambungnya.
Sementara itu, keenam orang itu telah berjalan semakin jauh. Sekali-sekali mereka berhenti jika Mahisa Amping nampak letih. Di sore hari mereka mandi di sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi airnya nampak jernih. Namun demikian, mereka sempat membuat orang-orang yang berada di sawah ketakutan. Senjata-senjata yang ada di lambung mereka memang membuat orang-orang yang melihat mereka menjadi cemas.
Ketika malam turun, keenam orang itu sengaja tidak bermalam di banjar. Mereka merasa bahwa kehadiran mereka akan dapat menimbulkan keresahan dari para penghuni padukuhan itu. Karena itu, maka mereka telah memilih tempat yang tidak akan mengganggu siapa pun meskipun sekedar mengganggu perasaan dan ketenangan. Di kaki sebuah bukit kecil mereka mendapatkan tempat yang cukup baik bagi mereka. Mahisa Amping yang kecil itu pun sudah terbiasa tidur di tempat terbuka.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga, mereka tidak dapat mempercayakan diri kepada Mahisa Semu dan Wantilan, justru karena di antara mereka terdapat Naga Angkasa. Meskipun menurut penglihatan lahiriah Naga Angkasa tidak berniat jahat, tetapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya tersimpan di hati orang itu.
Namun ternyata sampai dini hari tidak terjadi sesuatu yang penting. Naga Angkasa sendiri justru dapat beristirahat dengan baik. Hampir semalam suntuk ia tertidur nyenyak.
Sebelum matahari terbit, mereka semua telah bangun dan berbenah diri. Mereka tahu bahwa tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah parit yang cukup besar untuk mengalirkan air dari sebuah bendungan ke bulak persawahan. Dengan demikian mereka akan dapat mandi di sungai itu.
Tetapi ketika cahaya fajar semakin naik, maka Naga Angkasa yang dengan wajah tengadah memandang langit yang kemerahan terkejut melihat tiga bayangan sosok yang berdiri di atas bukit. Tiga bayangan yang kemudian menjadi semakin jelas.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah berdiri di sebelah Naga Angkasa. Mereka pun melihat tiga sosok bayangan yang berdiri di atas bukit itu. Bahkan kemudian Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun telah melihat mereka pula.
“Siapa mereka?” bertanya Mahisa Murti, “apakah kau mengenalnya.”
“Ya. Aku mengenal mereka dengan baik. Mereka adalah adik-adik seperguruanku,” jawab Naga Angkasa.
“Apakah kau dapat menduga, untuk apa mereka datang menjumpaimu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Aku tahu pasti,” jawab Naga Angkasa, “mereka datang untuk menghukumku.”
“Dan kau akan menyerahkan lehermu kepada mereka?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mereka akan bertindak atas nama guru yang sudah tidak ada,” desis Naga Angkasa.
“Apakah kau akan membiarkannya?” desak Mahisa Pukat pula.
Naga Angkasa termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat pun berkata, “Kau sudah berani menentukan sikap terhadap gurumu. Bagaimana sekarang terhadap saudara-saudara seperguruanmu?”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Aku telah menemukan kepribadianku sendiri. Aku telah terlepas dari ikatan perguruanku.”
“Jika demikian, kau tentu akan mempunyai sikap pribadi terhadap ketiga orang itu. Jika kau tidak berkeberatan, maka kami akan membantumu,” berkata Mahisa Murti.
“Tidak,” berkata Naga Angkasa, “ini adalah persoalanku.” Namun kemudian suara Naga Angkasa merendah, “tetapi apakah aku sudah memiliki seluruh kekuatanku kembali?”
“Tentu sudah,” jawab Mahisa Murti, “kekuatan dan ilmumu meskipun susut tetapi tidak seberapa.”
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku sudah memiliki kekuatan dan ilmuku dengan utuh, maka apa pun yang terjadi tentu sudah adil. Seandainya aku terbunuh oleh mereka, maka itu sudah menjadi batas hidupku. Kalian tidak usah turut campur justru kalian masih harus menyembuhkan luka-luka kalian sendiri.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun mereka menyadari, bahwa persoalan itu memang persoalan perguruan Naga Angkasa. Sebaiknya mereka memang tidak turut campur. Apalagi sebagaimana dikatakan oleh Naga Angkasa, mereka memang masih harus menyembuhkan luka-luka mereka. Tetapi jika melihat jumlah lawan Naga Angkasa, maka mereka tidak dapat mengatakan adil. Kecuali jika mereka akan tampil seorang demi seorang.
Naga Angkasa yang seakan-akan tahu apa yang dipikirkan oleh kedua orang anak muda itu pun berkata, “Aku adalah murid tertua di perguruan kami. Karena itu, maka agaknya sudah adil jika aku harus melawan tiga orang adik-adik seperguruanku.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka harus menyaksikan murid-murid perguruan Naga Angkasa itu berselisih. Nampaknya mereka memang sedang berada di simpang jalan.
Sementara itu, ketiga orang saudara seperguruan Naga Angkasa yang ada di bukit kecil itu telah bergerak turun. Ketika mereka menjadi semakin dekat, seorang di antara mereka bertiga melangkah maju. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berkumis lebat. Di pergelangan tangannya di sebelah kiri melilit akar-akaran yang berwarna kehitam-hitaman. Sedang dipergelangan tangan kanannya dikenakannya kulit yang tebal dan lebar melingkari tangannya itu.
“Kakang Naga Angkasa,” geram orang itu. Suaranya seperti guruh yang menggelegar di langit.
“Ya,” jawab Naga Angkasa.
“Kakang seharusnya sudah merasa untuk apa aku datang menemui kakang pagi ini,” berkata orang bertubuh raksasa itu.
“Kau ingin temui saudara tuamu yang sudah lama tidak berjumpa,” berkata Naga Angkasa.
“Baiklah jika kakang Naga Angkasa tidak ingin mengatakannya. Tetapi kakang tentu tahu, bahwa kakang harus menyerahkan leher kakang untuk kami penggal. Sejak kematian kakang Naga Pratala dan kemudian guru, maka kakang sudah menimbun dosa di dalam diri kakang,” berkata orang bertubuh raksasa itu.
Naga Angkasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar, jika kau memandang dari sisi perguruan kita dengan tanpa menghiraukan landasan dasar nilai-nilai kehidupan secara umum.”
“Apa maksudmu?” bertanya raksasa itu.
“Ternyata di luar padepokan kita terdapat tatanan kehidupan yang sudah mapan. Kebenaran yang kita pegang teguh di dalam padepokan, harus diuji dengan kebenaran yang berlaku di dalam tatanan kehidupan yang lebih luas. Kita tidak dapat menganggap bahwa kita hidup dalam dunia kita sendiri sehingga segala sesuatunya dapat kita tentukan menurut penilaian kita tanpa menghiraukan tata nilai yang sudah mapan dan justru berlaku dalam tatanan kehidupan luas,” jawab Naga Angkasa.
“Aku tidak mengerti. Yang selama ini kita junjung tinggi adalah paugeran yang telah dibuat di dalam perguruan kita. Sikap hidup dan nilai-nilai kehidupan,” berkata raksasa itu.
“Dunia kita memang terlalu sempit selama ini. Coba katakan, apakah guru telah melakukan tindakan yang terpuji dengan memerintahkan kepada kami, maksudku aku dan Naga Pratala untuk merampas milik orang lain?” bertanya Naga Angkasa.
“Dari sisi itukah kau memandang? Apakah kau tidak berpikir tentang cita-cita dan gegayuhan? Guru tentu tidak akan memerintahkan kalian mengambil milik orang lain jika yang akan diambil itu tidak memiliki nilai-nilai tertentu yang lebih tinggi dari nilai-nilai kebenaran yang kau sebut mapan dan berlaku di dalam tatanan kehidupan yang luas itu,” berkata raksasa itu.
“Jika kau bertolak dari sana, maka apakah salah jika pemilik dari benda-benda tertentu yang kita anggap memiliki nilai melampaui nilai-nilai yang mapan itu membela diri?” bertanya Naga Angkasa.
Raksasa itu termangu-mangu. Dengan nada rendah ia berkata, “Setiap orang berhak membela diri serta mempertahankan haknya.”
“Jadi, jika demikian kau tidak akan dapat menyalahkan orang lain jika ia mempertahankan haknya,” berkata Naga Pratala.
“Sejak semula aku tidak berbicara tentang orang lain. Aku berbicara tentang kau, tentang kita, tentang perguruan kita,” berkata raksasa itu.
“Milik orang lain itu merupakan batas antara kita, perguruan kita dan orang lain yang telah kita koyakkan. Orang lain yang mempertahankan haknya itu telah terlibat ke dalam persoalan dengan kita. Orang lain itu telah membunuh Naga Pratala karena mempertahankan haknya,” berkata Naga Angkasa.
“Persoalannya adalah, bahwa kau tidak berbuat apa-apa karena kematian itu? Kau justru menyerah dan mohon ampun,” berkata raksasa itu.
“Aku tidak pernah menyerah dan mohon ampun. Tetapi yang dilakukan oleh orang lain itu telah membuka hatiku sehingga aku menemukan sikap pribadiku. Perguruan kita telah bersalah,” berkata Naga Angkasa, “Kemudian kalian tahu, bahwa aku tidak akan berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak yang bersalah. Ini adalah satu kebenaran menurut tatanan nilai kehidupan yang luas. Nah, kau tahu, apa kata guru dan apa kata kalian. Kau menganggap bahwa aku telah menimbun dosa di dalam diriku karena aku berpihak kepada kebenaran.”
“Ternyata kau menjadi cengeng. Tidak ada kebenaran tertinggi daripada menjalankan perintah guru,” berkata Raksasa itu...