Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 76

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 76 Karya Singgih Hadi Mintardja
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 76
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

WAJAH anak-anak muda itu sudah tidak murung lagi. Mereka sudah mendapatkan satu keyakinan bahwa keadaan mereka tentu akan berangsur baik. Bahkan mereka berharap akan mendapat tuntunan yang benar dan meningkat lagi.

Sepeninggal anak-anak muda itu, maka di banjar tinggallah anak-anak mudayang meronda, yang justru tidak ikut dalam latihan-latihan itu. Beberapa orang anak muda itu justru merasa beruntung bahwa mereka tidak mengalami kesulitan didalam diri mereka.

Sementara itu, ketika orang yang memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda pedukuhan tanpa menyadari bahaya yang mencengkamnya itu telah beristirahat, maka Mahisa Pukat tidak segera mendatangi Mahisa Murti. Tetapi ia lebih dahulu mendekati orang yang memiliki ilmu tangan timah itu.

Ketika ia duduk disampingnya, maka orang itu pun berkata, “Agaknya kau masih merasa perlu untuk menyusut kekuatanku lagi.”

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Kali ini tidak. Kau dapat memiliki kembali kekuatanmu besok. Mungkin hampir utuh jika kau sempat melakukan samadi dan berhasil menguasai pernafasan dan peredaran darahmu secara wajar. Besok kau sudah dapat meninggalkan tempat ini. Tetapi kau harus selalu ingat kepada pesanku. Aku sudah berusaha menahan diri untuk tidak membunuhmu meskipun kau sudah berniat membunuh muridmu itu yang akibatnya hampir saja membunuh banyak orang. Karena itu, maka kau jangan menambah hutangmu dengan melanggar pesanmu.”

“Kenapa kau tidak membunuhku saja?” bertanya orang itu, “bukankah dengan demikian kau yakin bahwa aku tidak akan dapat melanggar keinginanmu lagi?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang terpikir untuk melakukannya. Tetapi ternyata niat itu aku urungkan. Jika aku membunuhmu, maka yang terjadi bukan apa-apa lagi. Wajar, seperti kebanyakan orang. Membunuh karena orang itu dianggap berbahaya dan sudah berusaha membunuh orang lain. Sedangkan aku ingin melakukan yang lain. Tidak seperti kebanyakan orang. Terserah kepadamu, apakah kau dapat menghargai sikapku atau tidak. Tetapi ingat pesanku. Jika kau tidak menghargai sikapku, maka seisi padepokan Tangan Timah akan aku hancur leburkan. Aku akan melakukan justru melampaui tindakan yang diambil oleh orang-orang kebanyakan.”

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Aku akan beristirahat.” Demikianlah, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah beristirahat. Namun mereka seperti biasanya telah membagi waktu untuk tetap berjaga-jaga. Apalagi orang bertangan timah itu sudah memiliki kekuatannya yang hampir utuh kembali.

Tetapi ternyata malam itu ia tidak berbuat apa-apa. Ia justru duduk bersamadi untuk mendapatkan kekuatannya kembali, sehingga karena itu, ketika matahari terbit dipagi hari berikutnya, maka rasa-rasanya kekuatannya telah pulih seutuhnya. Namun demikian orang itu tidak dengan tergesa-gesa meninggalkan banjar sebelum anak-anak muda yang mengaku pengembara itu mendatanginya. Ia justru menunggu dan berniat untuk minta diri.

Sementara itu muridnya telah bangun pula dan bersiap-siap menunggu anak-anak muda padukuhan itu. Tetapi ia merasa cemas juga bahwa gurunya nampaknya telah pulih kembali. Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu dengan sengaja ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang yang semula berniat membunuh muridnya dengan cara yang sangat keji itu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak berbuat apa-apa terhadap muridnya itu. Bahkan ia tetap berada ditempatnya sambil menunggu.

Ketika satu dua anak-anak muda padukuhan itu telah hadir, maka Mahisa Pukat telah mendekati orang yang memang menunggunya itu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bagaimana dengan kau Ki Sanak?”

“Jika aku memang sudah tidak diperlukan lagi, aku akan mohon diri,” berkata orang itu.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau harus minta diri kepada banyak orang. Kepada muridmu, kepada anak-anak muda itu, kepada penunggu banjar ini dan kepada saudara-saudaraku. Nampaknya anak-anak yang meronda sudah pulang, sehingga kau tidak perlu minta diri kepada mereka.”

Orang itu tidak membantah. Ia memang minta diri kepada semua orang yang disebutkan oleh Mahisa Pukat itu. Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Pukat pun telah mempersilahkan orang yang telah menemukan unsur-unsur gerak yang benar itu berusaha bersama-sama dengan anak-anak muda padukuhan untuk memperbaiki unsur-unsur gerak mereka.

Selangkah demi selangkah, unsur-unsur gerak mereka telah dipelajari kembali, sehingga dengan demikian mereka tidak lagi melakukan unsur-unsur gerak yang berbahaya itu. Namun karena apa yang mereka peroleh juga baru dasarnya saja, maka tingkat itu pulalah yang dapat mereka bersihkan.

Dengan hati-hati mereka harus mengenali unsur-unsur gerak yang benar itu, sehingga mereka tidak akan terperosok lagi kedalam kesalahan-kesalahan yang dapat membahayakan jiwa mereka. Namun demikian Mahisa Pukat tidak sampai hati untuk membiarkan orang itu bekerja sendiri. Ia pun ikut mengawasinya untuk ikut melihat jika kesalahan itu masih terjadi, karena mereka sudah terlanjur terbiasa melakukan unsur-unsur gerak yang salah itu.

Namun ternyata semuanya berjalan lancar. Ilmu yang baru dasarnya saja dimiliki oleh anak-anak muda itu, telah mendapat perubahan-perubahan sebagaimana seharusnya. Namun dengan demikian, mereka seakan-akan harus mulai lagi dari unsur yang pertama. Namun dengan cepat mereka memasuki unsur-unsur berikutnya.

Anak-anak muda itu dengan segera dapat membedakan, apa yang telah terjadi di dalam diri mereka. Dengan unsur-unsur gerak yang sudah diperbaiki itu, mereka tidak merasa tulang-tulang mereka bagaikan retak serta otot-otot mereka hampir terputus. Meskipun mereka juga merasakan lelah, tetapi tanpa merasa disakiti oleh geraknya sendiri.

Tetapi ternyata sehari juga tidak cukup. Mereka memerlukan waktu lebih lama. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali, Mahisa Pukat harus bertahan semalam lagi.

Sementara itu, Mahisa Pukat telah sempat berbicara khususnya dengan Mahisa Murti. Orang yang hampir mengalami cidera karena geraknya sendiri itu, berniat untuk ikut bersama mereka ke manapun mereka pergi. Mengembara atau kembali ke padepokan.

“Tetapi orang itu sudah terlalu tua buat kita. Ia tentu lebih tua dari kita tidak hanya satu dua tahun,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi belum terhitung tua,” jawab Mahisa Pukat.

“Tetapi kita tidak akan dapat menganggapnya orang itu sebagai adik kita,” jawab Mahisa Murti, “sepantasnya ia menjadi kakak kita.”

“Apa salahnya kita sebut ia dengan kakak?” bertanya Mahisa Pukat.

“Jika ia kita tempatkan sebagai saudara tua kita, maka kita harus memperhitungkan perbandingan ilmu di antara kita dengan orang itu. Jika ia kita anggap saudara tua, maka akibat daripada itu, ia tentu dianggap memiliki lebih dari kita,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Apalagi jika mereka berada dalam satu perguruan. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, “Tetapi bukankah kita tidak harus mengangkatnya menjadi saudara kita sebagaimana Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Kita dapat menganggapnya sebagai kawan kita, atau sahabat kita atau bahkan paman kita.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Jika ia hanya ingin mengikut kita, baiklah. Kita tidak berkeberatan tanpa menganggapnya sebagai saudara kita. Atau katakanlah sebagai paman kita.”

Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Nanti aku akan mengatakannya kepadanya. Tolong, kau beritahu Mahisa Semu agar ia tidak terkejut jika ia tahu hal itu dengan tiba-tiba.”

Mahisa Murti mengangguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah aku yang memberitahukan kepadanya.”

“Tetapi itu berarti bahwa keberangkatan kita akan tertunda satu hari lagi,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya,”Kita akan sampai ke padepokan setelah rambut kita ubanan nanti.”

Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Tetapi ia tidak dapat berangkat lebih cepat. Ia tidak sampai hati membiarkan anak-anak padukuhan itu belum mendapatkan kepastian bahwa keadaan mereka cukup baik.

Meskipun hari itu mereka berlatih sampai malam, tetapibesok mereka masih harus kembali pagi-pagi sekali seperti hari itu untuk memastikan bahwa mereka tidak akan dikenai akibat yang buruk dari kesalahan-kesalahan mereka atas unsur-unsur gerak yang mereka pelajari.

Di hari berikutnya, pagi-pagi mereka telah berada di halaman banjar itu pula. Mereka telah mengulangi unsur-unsur gerak yang kemarin mereka pelajari. Ternyata mereka menjadi semakin menyadari kesalahan-kesalahan itu dan semakin memahami unsur-unsur gerak yang seharusnya. Dengan demikian apa yang mereka pelajari dalam sepuluh hari sebelumnya, telah dapat mereka betulkan sama sekali dalam dua hari itu.

Tetapi anak-anak muda itu menjadi kecewa ketika mereka tahu bahwa mereka tidak akan mendapatkan lebih dari itu. Mereka menjadi kecewa ketika orang yang mengajari mereka itu berkata bahwa ia akan meninggalkan banjar itu, bersama dengan anak-anak muda yang mengaku diri mereka sebagai pengembara.

“Kenapa guru tidak tinggal di banjar ini saja?” berkata seorang anak muda.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Jangan sebut aku guru. Aku merasa malu jika dipanggil guru di hadapan anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi itu. Ternyata ilmu mereka bukan saja jauh lebih tinggi dari ilmuku. Bahkan jauh lebih tinggi dari ilmu guruku. Karena itu, jangan panggil aku guru. Ternyata aku bukan apa-apa. Bahkan aku tidak berani menyebut sebagai seseorang yang mengenal olah kanuragan meskipun hanya dasarnya, karena aku tidak tahu bahwa ilmu yang aku kira dapat aku banggakan itu adalah ilmu yang hampir saja membunuhku. Lebih-lebih lagi membunuh kalian semuanya.”

“Jika demikian biarlah anak-anak muda itu mengajari kami,” teriak seseorang.

“Ia tidak mempunyai waktu untuk tinggal di sini lebih lama lagi,” jawab orang itu.

Tetapi anak-anak muda itu hampir berbareng berteriak, “Kami mohon. Satu atau dua hari saja.”

“Ia mempunyai tugas yang sangat penting,” jawab orangitu.

Namun anak-anak muda itu masih berteriak, “Hanya untuk satu dua hari. Mereka sudah ada di sini dua hari. Biarlah bertambah dua hari lagi.”

Anak-anak muda itu ternyata telah berteriak-teriak untuk minta mereka tinggal lebih lama lagi. Orang itu akhirnya tidak tahu bagaimana harus menjawab, sehingga ia pun telah berkata kepada Mahisa Pukat, “Silahkan menjawab sendiri Ki Sanak. Aku menjadi bingung.”

Mahisa Pukat yang melihat keinginan yang melonjak-lonjak di hati anak-anak muda itu memang menjadi bimbang. Ia tahu bahwa Mahisa Murti ingin mereka segera berangkat, berjalan dan sampai ke padepokan. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata kepada anak-anak muda itu, “Tunggulah. Aku akan berbicara dengan saudara-saudaraku.”

Mahisa Murti pun mendengar dan melihat anak-anak muda yang berteriak-teriak itu. Namun sebenarnya belajar olah kanuragan dalam dua hari itu hampir tidak ada artinya sama sekali. Tetapi persoalannya kemudian adalah, memenuhi keinginan beberapa orang meskipun hampir hanya sekedar membuang-buang waktu saja bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun Mahisa Murti pun ternyata tidak sampai hati mengecewakan anak-anak muda itu. Katanya kepada Mahisa Pukat, “Baiklah. Kita tunda lagi perjalanan kita dua hari.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berkata kepada anak-anak muda itu, “Kami telah sependapat untuk berada di sini dua hari lagi.”

Serentak anak-anak muda itu bersorak. Namun Mahisa Pukat pun berkata, “Sebenarnyalah aku ingin berkata dengan jujur, bahwa bagi olah kanuragan, dua hari adalah waktu yang hampir tidak berarti sama sekali.”

Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya. Seorang di antara mereka berkata, “Aku sudah memulainya.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia sadar bahwa keinginan telah menyala-nyala di dada anak-anak muda itu.

“Besok pagi-pagi kita akan mulai. Untuk menghemat waktu, aku minta kalian sudah memanasi kalian sebelumnya. Di dini hari kalian harus sudah bangun. Kemudian berlari-lari mengelilingi padukuhan ini beberapa kali agar darah kalian menjadi hangat. Kemudian pada saat matahari terbit kita akan mulai dengan latihan-latihan sekedarnya.”

Tetapi Mahisa Pukat tidak hanya menawarkan kesempatan itu kepada anak-anak muda yang telah ikut dalam latihan-latihan sepuluh hari yang salah langkah itu, tetapi ia juga memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang lain yang memang berniat untuk bersama-sama melakukan latihan-latihan sekedarnya dalam dua hari.”

Malam itu ternyata masih tersisa, sehingga anak-anak muda padukuhan itu, serta semua pihak masih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Demikian pula anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, meskipun kesempatan mereka menjadi lebih sempit karena ada di antara mereka yang harus berjaga-jaga.

Pagi-pagi benar, Mahisa Pukat telah siap. Mahisa Murti ternyata tidak sampai hati membiarkannya bekerja keras sendiri. Karena itu, maka ia pun telah bersiap pula, sementara Mahisa Semu harus mengurusi Mahisa Amping. Menjelang matahari terbit, maka anak-anak muda telah berdatangan. Kulit mereka telah basah oleh keringat, karena mereka telah berlari-lari mengelilingi padukuhan itu beberapa kali.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun dapat langsung memulainya. Mereka telah membagi kelompok anak-anak muda itu menjadi dua kelompok yang lebih kecil dan membagi halaman banjar itu menjadi dua. Mahisa Pukat dan sekelompok anak-anak muda ada di depan, sementara Mahisa Murti dengan kelompok yang lain ada di kebun belakang banjar.

Kedua anak muda yang mengaku pengembara itu sudah sepakat, bahwa sebagian besar yang mereka berikan adalah petunjuk-petunjuk, bagaimana mereka harus berlatih olah kanuragan. Keduanya memang sempat memberikan unsur gerak dasar yang harus dilakukan dan dikuasai benar-benar oleh anak-anak muda itu. Kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Murti memberikan kemungkinan-kemungkinan pengembangannya dalam memberikan beberapa contoh.

“Selanjutnya lebih banyak tergantung kepada kalian semuanya,” berkata Mahisa Murti kepada anak-anak muda, sebagaimana yang juga dikatakan oleh Mahisa Pukat, “seseorang yang cerdas dan cermat serta rajin dan tekun, akan dapat mengembangkannya sendiri dengan cepat. Sementara yang malas dan tidak mau berpikir, ia akan ketinggalan. Dalam waktu sebulan nanti, sudah akan kelihatan tingkat-tingkat kemampuan kalian. Namun aku minta, siapa yang berhasil, mohon kawan-kawannya dapat dituntun dengan baik.”

Demikianlah, dalam dua hari itu, siang dan malam, anak-anak muda padukuhan itu mendapatkan beberapa petunjuk arah yang harus mereka lakukan dalam pengembangan dasar-dasar ilmu yang mereka kuasai. Cara menggerakkan tangan dan kaki, serta mengembangkannya. Pokok-pokok persoalan dalam benturan kekerasan disesuaikan dengan penguasaan tubuh mereka serta latihan-latihan daya tahan, sebagaimana mereka lakukanpagi itu.

Sementara itu menurut pengamatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ternyata bahwa Wantilan sebenarnya memiliki landasan yang kuat untuk memperdalam ilmunya. Ia memiliki tenaga yang besar, ketahanan tubuh yang tinggi, yang ditempa oleh kesalahan dari unsur gerak ilmunya sendiri serta kecerdasan berpikir menghadapi persoalan-persoalan yang tiba-tiba saja harus dihadapi. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berharap bahwa orang itu masih akan dapat menjadi semakin maju di hari-hari mendatang.

Seperti yang dijanjikan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menuntunnya pula, memberikan dasar ilmu dari perguruannya yang dengan sangat berhati-hati dianyam dengan ilmu yang sudah dimiliki oleh orang itu, agar tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru di dalam tubuhnya karena benturan ilmu yang tidak mapan.

Ternyata, akibatnya memang mengejutkan. Bahwa Wantilan tidak mati karena ilmunya sendiri telah menunjukkan betapa kuatnya daya tahan tubuhnya. Betapa kuat tenaganya telah ternyata pula, bahwa ia mampu memecahkan hambatan-hambatan yang terdapat dalam unsur-unsur geraknya yang dengan sengaja dibuat salah dan saling terbalik susunannya.

Ketika semuanya itu teratasi dengan unsur-unsur gerak yang benar serta petunjuk-petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memasukkan unsur-unsur baru yang dapat melengkapi unsur-unsur geraknya sendiri, maka terjadi satu loncatan panjang peningkatan ilmunya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri terkejut karenanya.

“Luar biasa,” desis Mahisa Pukat, “ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.”

“Justru karena ia terbiasa mengalami kesulitan dari setiap geraknya. Ketika hal itu dibebaskannya, maka ia menjadi orang yang luar biasa,” sahut Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan ia sempat mencapai tataran tertinggi sehingga bersama-sama dengan Mahisa Semu akan dapat menjadi andalan bagi para cantrik di padepokan kita,” berkata Mahisa Pukat.

“Kita berharap saja,” desis Mahisa Murti.

Namun perjalanan mereka ternyata masih juga harus terhambat. Adalah diluar dugaan, bahwa ketika mereka berada di sebuah kedai, dua orang yang datang kemudian telah memperhatikan Wantilan dengan saksama, sementara Wantilan sendiri agaknya tidak memperhatikan keduanya, karena ia justru menghadapi nasi yang masih panas.

“Kenapa orang itu belum mati,” desis seorang di antara mereka.

“Menurut perhitungan Guru, orang itu harus sudah mati,” sahut yang lain.

“Ternyata ia tidak menempuh petualangan sepenuhnya sebagaimana diperintahkan oleh Guru, sehingga ia belum pernah menemukan lawan yang berilmu cukup tinggi, sehingga ia terbunuh jika tidak oleh lawannya juga oleh ilmunya sendiri,” desis orang yang pertama.

“Kita akan menyampaikannya kepada Guru, bahwa Wantilan ternyata masih hidup. Kita harus mencari Guru yang sudah agak lama meninggalkan padepokan,” berkata kawannya.

“Kita pun sudah agak lama pergi, hampir bersamaan dengan Wantilan itu,” sahut orang yang pertama. Namun kemudian katanya, “Kenapa kita harus melaporkannya kepada Guru. Kita dapat menyelesaikannya sekarang. Kita tantang orang itu bertempur. Maka ia akan mati sendiri jika ia melepaskan ilmunya semakin meningkat pada tataran yang semakin tinggi.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Satu pendapat yang bagus. Besok jika kita bertemu dengan Guru, kita akan memberitahukannya bahwa Wantilan telah mati. Ia telah menjalani hukuman atas kesalahan ayahnya.”

Keduanya mengangguk-angguk. Namun orang yang pertama berkata, “Biarkan saja ia menikmati makannya dahulu. Baru kemudian ia akan mati. Kita pun akan makan lebih dahulu.” Kedua orang itu ternyata masih sempat juga memesan makan dan minum, sementara mereka dengan sengaja tidak menarik perhatian Wantilan.

Tetapi tanpa sengaja, Wantilan telah berpaling ke arah mereka. Ia pun terkejut ketika dilihatnya dua orang saudara seperguruannya. Tiba-tiba saja ia berdiri dengan wajah gembira. “He, kau?” desis Wantilan.

Kedua orang itu pun tertawa pula. Tanpa menimbulkan kecurigaan keduanya pun telah menyapa Wantilan yang mendekatinya sambil berkata kepada anak-anak muda yang bersamanya, “Keduanya adalah saudara seperguruanku.”

Mahisa Murti, dan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah mengangguk hormat. Namun di dalam hati mereka telah timbul satu persoalan tentang kedua orang saudara seperguruan Wantilan itu. Apakah keduanya juga mengalami nasib seperti Wantilan, atau justru sebaliknya keduanya menjadi alat gurunya untuk melakukan sesuatu atau keduanya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi atas diri Wantilan.

Beberapa saat lamanya, Wantilan masih bercakap-cakap dengan kedua orang saudara seperguruannya itu, yang sikapnya semakin lama menjadi semakin dingin. Tetapi Wantilan tidak begitu memperhatikan perubahan sikap kedua orang saudara seperguruannya itu. Ia masih saja bersikap sewajarnya. Namun sekali-sekali ia tidak mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya dan sikap gurunya kepadanya.

Namun dalam pada itu, seorang di antara kedua saudara seperguruannya itu pun bertanya, “Apa kerjamu di sini Wantilan?”

Wantilan mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Bukankah guru memerintahkan aku untuk mencari pengalaman dan mengembara kemanapun juga? Dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk mengembangkan ilmu kanuraganku.”

“Apakah hasil pengembaraanmu itu?” bertanya saudara seperguruannya pula.

“Sayang,” suara Wantilan merendah, “belum ada. Aku masih tetap dungu seperti ketika aku meninggalkan padepokan.”

“Apakah kau tidak pernah menjajagi kemampuan olah kanuraganmu dengan orang lain yang memiliki ilmu yang bersumber dari perguruan yang berbeda?” bertanya saudara seperguruannya.

“Kebetulan aku tidak pernah menjumpai persoalan dengan orang-orang itu. Mereka adalah orang-orang baik yang justru lebih banyak menolong aku. Karena itu, aku memang belum pernah mendapat kesempatan untuk membenturkan ilmuku. Apalagi aku memang belum terlalu lama meninggalkan padepokan,” jawab Wantilan.

Tetapi saudara seperguruannya yang lain berkata, “Kau pergi lebih dahulu dari aku. Tetapi aku sudah banyak mempunyai pengalaman. Aku telah menolong seorang yang kebetulan menghadapi tiga orang penyamun yang akan membunuhnya. Aku juga telah membebaskan sebuah padukuhan yang akan dirampok orang. Bahkan pengalaman-pengalaman pribadi yang menarik sehingga ilmuku dapat berkembang.”

“Tetapi aku tidak pernah menjumpai apa-apa. Aku sudah menjelejahi padukuhan-padukuhan. Ketika aku berhenti dibanjar, justru aku mendapat suguhan yang baik. Di padukuhan itu tidak terjadi kekerasan apapun serta kehidupan padukuhan itu nampak tenang dan damai. Di padukuhan berikutnya, aku justru melihat pertunjukkan di tempat seorang yang mengadakan peralatan. Aku memang menunggu, mungkin ada orang yang akan mengganggu. Tetapi pertunjukkan itu berlangsung semalam suntuk dengan tenang tanpa kesulitan apapun juga. Dikesempatan lain aku telah menyelusuri bulak-bulak panjang di siang dan di malam hari. Namun tidak ada perampok atau penyamun. Aku memang pernah menolong seseorang. Tetapi seorang tua yang kebingungan karena tidak tahu jalan. Tidak ada kekerasan dan tidak ada permusuhan,” jawab Wantilan yang agaknya mulai menilai sikap kedua saudara seperguruannya itu.

“Siapakah orang-orang itu dan kenapa kau telah bergabung dengan mereka?” bertanya salah seorang di antara kedua saudara seperguruannya itu.

“Aku telah mengikuti mereka. Semula aku menyangka mereka orang jahat, karena sikapnya yang tidak menentu. Ternyata aku salah. Mereka adalan orang baik-baik. Justru anak-anak muda yang suka menolong sesama, sehingga karena itu, maka aku telah memperkenalkan diriku kepada mereka dan bahkan mengembara bersama-sama dengan mereka,” jawab Wantilan.

“Kenapa kau tidak mencoba ilmumu melawan mereka?” bertanya saudara seperguruannya.

“Mereka orang baik-baik. Mereka suka menolong orang lain. Aku tidak mempunyai alasan untuk berkelahi dengan mereka,” jawab Wantilan, “selain dari itu, bukankah lebih baik aku berkawan dengan orang yang baik hati daripada bermusuhan tanpa sebab.”

“Kau harus mencoba ilmumu,” saudara seperguruannya mulai tidak sabar, “itu adalah perintah Guru. Karena itu, kauharus mencari alasan apapun juga.”

“Tetapi mereka sama sekali tidak mengerti olah kanuragan. Sekali aku memukulnya, seorang di antara mereka akan mati. Apa gunanya? Apalagi ada kanak-kanak di antara mereka,” jawab Wantilan.

“Persetan,” geram saudara seperguruannya itu, “sekarang kau harus mencari alasan untuk berkelahi melawan mereka bertiga. Aku akan menyaksikannya. Apapun alasan yang akan kau buat. Aku tidak yakin bahwa mereka tidak mengenal olah kanuragan, apalagi mereka membawa senjata.”

Tetapi Wantilan menyahut, “Tidak. Aku tidak akan berkelahi dengan anak-anak yang baik itu. Apalagi mereka sanggup membayar makanan dan minuman yang aku makan dan aku minum di kedai ini.”

“Setan kau,” geram saudara seperguruannya yang tua, yang agaknya lebih garang, “jadi perintah Guru kau hargai lebih rendah dari makanan dan minuman di kedai ini?”

“Tidak,” jawab Wantilan, “bukan maksudku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sebaiknya aku tidak bertengkar dengan mereka.”

“Kau takut? Akulah yang akan membuat perkara dengan mereka. Kemudian kami akan melihat kau yang berkelahi atas nama kami. Kau dengar, bahwa kami datang atas nama Guru?” suara saudara seperguruannya mulai menjadi semakin keras.

“Jangan keras-keras. Anak-anak muda itu tidak boleh mendengarnya,” berkata Wantilan.

“Aku tidak peduli,” jawab saudara seperguruannya.

“Aku berkeberatan,” jawab Wantilan tegas.

Kedua saudara seperguruannya itu termangu-mangu sejenak. Mereka mencoba menilai sikap Wantilan itu. Tetapi agaknya Wantilan benar-benar tidak mau mengindahkan kata-kata mereka. Bahkan Wantilan itu pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian jangan mengganggu kami. Sampai saat ini aku masih melakukan tugas yang diberikan oleh Guru. Mengembara untuk melakukan perbandingan ilmu dengan perguruan lain, sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu yang telah diajarkan kepadaku.”

“Jangan bodoh,” geram saudara seperguruannya yang tertua, “Kau sudah mendapat kesempatan sekarang.”

“Sudah aku katakan. Aku tidak mau,” jawab Wantilan.

“Kami akan memaksamu,” berkata yang tertua, “atau kau memilih untuk bertempur melawan kami berdua?”

Jawaban Wantilan memang mengejutkan. Katanya, “Sebenarnya aku tidak mau bertengkar dengan saudara sendiri. Tetapi jika kalian memaksa apa boleh buat.”

“Setan kau,” geram yang tertua, “jadi lebih senang bertempur dengan saudara sendiri daripada dengan anak-anak muda itu?”

“Ya,” jawab Wantilan semakin tegas.

“Bagus,” berkata yang muda, “kita akan bertempur di luar. Jika kau ingin, ajak kawan-kawanmu itu yang kau hargai lebih tinggi dari saudara-saudara seperguruanmu.”

“Marilah,” berkata Wantilan, “kita jangan merusakkan isi kedai ini.”

Dalam pada itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, bahkan Mahisa Amping dapat menangkap apa yang akan terjadi. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berdiri sambil berkata, “Tunggu. Apakah kalian tidak dapat mengatasi persoalan kalian dengan pembicaraan.”

“Jangan turut campur,” berkata Wantilan, “persoalan ini adalah persoalanku dengan saudara-saudara seperguruanku. Mereka memaksaku untuk berkelahi. Apa boleh buat.”

“Tetapi bukankah tidak pantas berkelahi dengan saudara sendiri?” bertanya Mahisa Murti.

“Pantas atau tidak pantas,” jawab Wantilan sambil melangkah keluar mengikuti kedua saudara seperguruannya.

Mahisa Murti yang sebenarnya telah mendengar sebagian besar dari pembicaraan Wantilan dan kedua orang saudara seperguruannya itu tidak dapat mencegahnya. Bahkan Mahisa Pukat-pun berkata kepadanya, “Nampaknya keduanya mendapat tugas gurunya. Mereka tahu bahwa ilmu Wantilan membahayakan jiwanya. Tetapi agaknya keduanya belum tahu perkembangan terakhir dari kemampuan Wantilan.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melihat apa yang terjadi di antara mereka.”

Demikianlah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah keluar dari kedai itu pula untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wantilan dengan saudara-saudara seperguruannya itu.

Dalam pada itu Wantilan dengan saudara-saudara seperguruannya telah berada di sebelah kedai itu. Sementara Mahisa Murti sempat berkata kepada pemilik kedai itu dari pintu butulan, “jangan cemas. Mereka sekedar bergurau karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan.”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tetap merasa cemas, bahwa telah terjadi perkelahian di halaman samping kedainya. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, meskipun mereka saudara seperguruan, tentu akan mempengaruhi para pembeli-pembelinya.

Dalam pada itu, Wantilan telah berdiri tegak menghadap ke arah kedua saudara seperguruannya yang marah. Dengan nada keras, saudaranya yang tua masih berkata, “Aku masih memberimu kesempatan, sehingga jika kau mati, bukan kamilah yang telah membunuhmu.”

“Tidak akan ada yang mati,” berkata Wantilan, “barangkali kita hanya sekedar ingin melihat, apakah ilmuku sudah berkembang atau belum meskipun aku belum pernah memperbandingkannya dengan ilmu dari perguruan lain.”

“Tidak. Lebih dari itu,” geram yang muda, “kami berwenang untuk menghukummu karena kau tidak mentaati perintah Guru.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku sedang melakukannya. Tetapi aku belum beruntung bertemu dengan orang-orang jahat yang pantas untuk mengukur ilmu,” jawab Wantilan.

“Tidak perlu orang jahat. Siapapun. Juga anak-anak muda itu,” geram yang tua.

“Sudah aku katakan, aku tidak akan mengganggu mereka,” jawab Wantilan.

“Bagus. Bersiaplah. Kita akan menjajagi ilmu kita masing-masing,” berkata yang muda. Lalu katanya kepada kakak seperguruannya, “biarlah aku yang menanganinya. Ia akan mati dan kita akan melaporkannya kepada Guru.”

Yang tua tidak menjawab. Namun ia mengangguk mengiakan. Sejenak kemudian kedua orang saudara seperguruan itu telah bersiap. Mereka melakukan unsur-unsur gerak yang serupa karena mereka memang bersumber dari satu perguruan. Namun nampak perkembangan yang sedikit memberikan warna yang lain pada keduanya.

Ketika saudara seperguruannya mulai menyerang, Wantilan telah meloncat menghindar. Tetapi saudara seperguruannya tidak melepaskannya. Ia bahkan memburu dengan serangan-serangan yang berbahaya. Wantilan tidak mau terus menerus diburu oleh serangan-serangan lawannya. Karena itu, maka ia pun telah bersiap untuk menyerang pula.

Namun saudara seperguruannya ternyata memang telah memberinya kesempatan. Ia berharap bahwa dengan menyerang dan bahkan melepaskan banyak tenaga dan kemampuannya, maka Wantilan akan terjebak oleh unsur-unsur geraknya sendiri.

Tetapi, saudara seperguruannya itu terkejut. Justru ketika ia memberikan kesempatan kepada Wantilan untuk menyerangnya, maka Wantilah telah memanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan kerasnya ia telah menyerang dengan tumitnya langsung mengenai lambung lawannya.

Saudara seperguruannya itu telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling di tanah. Namun dengan susah payah ia berhasil bertahan untuk tetap berdiri. Meskipun demikian orang itu terpaksa menyeringai menahan sakit. Lambungnya menjadi sangat nyeri, bahkan rasa-rasanya isi perutnya telah terangkat menyesakkan dadanya.

Wantilan tidak memburunya. Seakan-akan ia pun telah memberikan kesempatan kepada saudara seperguruannya itu untuk menilai apa yang telah terjadi, serta sedikit mengurangi rasa sakitnya dengan memijit-mijit perutnya.

Saudara seperguruan Wantilan yang telah membiarkannya menyerang memang menjadi heran. Wantilan sama sekali tidak menunjukkan akibat yang terjadi di dalam dirinya setelah ia bertempur beberapa lamanya. Bahkan saudara seperguruannya itu, baik yang tengah bertempur, maupun yang ada di luar gelanggang, tidak melihat unsur-unsur gerak yang dianggap salah atau bahkan dengan senjata diputar balikkan. Menurut pengamatan kedua saudara wajar sekali, sebagaimana mereka melakukannya.

Tetapi kedua orang itu mengira, bahwa kesalahan-kesalahan itu terdapat pada tingkat-tingkat ilmu berikutnya, sehingga karena itu, maka lawan Wantilan itu pun telah meningkatkan ilmunya pula sampai tataran yang lebih tinggi.

Dengan demikian maka keduanya telah bertempur semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat. Bahkan lawan Wantilan telah memancingnya untuk bertempur dengan loncatan-loncatan panjang. Menurut perhitungannya, semakin banyak ia mengeluarkan tenaga, maka semakin cepat tenaga dan unsur-unsur geraknya sendiri akan mencekiknya.

Tetapi setelah bertempur beberapa saat lamanya, Wantilan masih tetap tegar. Bahkan kedua orang saudara seperguruannya itu kadang-kadang terkejut jika Wantilan mempergunakan unsur-unsur gerak yang lain dari unsur-unsur gerak dari perguruan mereka sendiri.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang menyaksikan pertempuran itu termangu-mangu. Ada kecemasan di hati mereka, karena Wantilan yang belum lama berhasil menemukan unsur-unsur yang benar dari ilmunya. Namun dalam waktu yang singkat, Wantilan telah menempa diri melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur gerak yang lain, yang dijalin dengan rapi atas petunjuk dan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Unsur-unsur itulah yang berhasil dipergunakan oleh Wantilan untuk mengejutkan saudara seperguruannya. Beberapa kali saudara seperguruannya itu salah hitung. Langkah yang diambil oleh Wantilan kadang-kadang menjadi asing dengan tiba-tiba.

“Setan ini telah menyadap ilmu dari perguruan lain,” geram saudara seperguruannya, “bukan sekedar mengembangkan ilmu dari perguruan kami, tetapi benar-benar unsur baru yang disusupkan kedalamnya. Lebih baik menghadapi ilmu dari perguruan lain sama sekali daripada menghadapi ilmu yang berbaur seperti itu.”

Tetapi Wantilan tidak mendengar. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Satu latihan yang menarik. Sudah agak lama kita tidak berlatih bersama. Bahkan di perguruan pun aku jarang sekali, bahkan tidak pernah mendapat kesempatan untuk berlatih dengan saudara-saudara seperguruanku. Aku selalu mendapat latihan khusus dari Guru.”

“Persetan,” geram lawannya, “kau akan mati karena ilmumu sendiri.”

“Tentu tidak,” jawab Wantilan, “bahkan aku sekarang merasa sangat berterima kasih. Ternyata Guru telah memberikan lebih kepadaku daripada kepada kalian. Aku tidak melihat kalian mampu melakukan sebagaimana aku lakukan. Unsur-unsur simpanan yang dapat membuat kalian kebingungan.”

Saudara seperguruannya itu mengumpat. Dikerahkannya kemampuannya. Namun selapis ia meningkatkan ilmunya, Wantilan pun telah melakukannya pula. Bahkan unsur-unsur yang tidak pernah dikenalpun menjadi semakin sering membuat saudara-saudara seperguruannya itu kebingungan.

Wantilan tertawa. Katanya, “He, kenapa kau heran? Apakah Guru tidak pernah mengajarimu seperti itu?”

Saudara seperguruannya tidak sempat menjawab, ketika serangan Wantilan menyentuh lambungnya yang telah disakitinya sebelumnya. Karena itu, maka perasaan nyeri yang hampir dapat di atasinya itu telah kambuh lagi. Bahkan perutnya serasa menjadi mual. Saudara seperguruannya yang lain menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Bahkan ia mulai ragu-ragu atas keterangan gurunya sebelumnya.

Ternyata Wantilan nampaknya tidak terpengaruh oleh ilmunya sehingga akan dapat membunuhnya. Bahkan ia telah menunjukkan kelebihan sehingga unsur-unsur geraknya banyak yang tidak dapat dikenali oleh kedua orang saudara seperguruannya itu.

Semakin lama, memang nampaknya Wantilan semakin mendesak saudara seperguruannya. Semakin tinggi mereka meningkatkan ilmu mereka, maka Wantilan menjadi semakin sering mengenai tubuh saudara seperguruannya itu. Sementara itu, tidak nampak kemungkinan-kemungkinan buruk pada tubuh Wantilan

“Apakah Guru sudah menipu kami?” bertanya saudara seperguruannya yang tua itu kepada diri sendiri. Namun ia telah menjawabnya pula di dalam hatinya, “Tidak mungkin. Ayah Wantilan adalah seorang pengkhianat yang tidak sempat dihukum mati. Karena itu, hukuman itu harus ditanggung oleh Wantilan dengan cara lain.”

Tetapi adalah satu kenyataan bahwa saudaranya tidak dapat dengan segera mengalahkannya. Serta tidak pula terdapat tanda-tanda bahwa Wantilan akan terluka di bagian dalam tubuhnya, apalagi parah dan membunuhnya.

Beberapa saat kemudian, saudara seperguruan Wantilan itu menjadi benar-benar terdesak. Beberapa kali serangan Wantilan tidak dapat dielakkannya. Justru ketika ia meloncat menyerang Wantilan dengan ayunan tangannya mendatar, Wantilan telah merendah. Demikian cepatnya ia menjulurkan kakinya menghantam lambung lawannya yang terbuka, sehingga lawannya itu tergetar dan bahkan kemudian jatuh terguling.

Namun lawan Wantilan itu dengan cepat telah meloncat bangkit dan berdiri tegak. Meskipun demikian, lambungnya terasa semakin sakit. Beberapa kali Wantilan dengan sengaja telah menghantam lambungnya sehingga rasa-rasanya isi perutnya telah menjadi rontok.

Sekali lagi Wantilan memberinya kesempatan untuk memperbaiki keadaannya. Ia tidak langsung memburunya. Bahkan sambil tertawa ia berkata, “Apakah kita akan melanjutkan permainan ini? Permainan yang sangat menarik bagiku.”

“Iblis kau,” geram saudara seperguruannya, “kenapa kau tidak mati karena ilmumu?”

“Karena ilmuku? Bagaimana mungkin hal itu terjadi?” Wantilan justru bertanya, “Guru membekaliku dengan ilmu yang tentu sama dengan ilmu yang kalian pelajari. Tetapi agaknya Guru memberikan beberapa unsur yang tidak kalian ketahui,itu bukan salahku. Dan sudah tentu tidak akan membunuhku.”

“Anak iblis,” geram saudara seperguruan Wantilan yang tua, “aku tidak telaten melihat pertempuran itu. Kau Wantilan, kau sudah menyandang kesalahan dua kali. Pertama, kau harus mewarisi hukuman buat ayahmu yang berkhianat itu. Kedua kau telah berani melawan saudara-saudara tua seperguruanmu.”

“Siapa yang mengatakan bahwa kalian adalah saudara tuaku dalam perguruan? Aku selalu mendapat latihan khusus dan Guru tidak pernah menyebut tataranku dalam perguruan. Mungkin di antara kalian dapat menyebut yang manakah yang lebih tua dan yang manakah lebih muda. Tetapi tidak dengan aku. Kalian bukan kakak seperguruanku tetapi juga bukan adik. Aku telah mendapat tempat khusus di hadapan Guru. Latihan-latihan yang terpisah serta ilmu yang lebih lengkap. Itu saja. Sekarang kalian dapat membuktikan bahwa aku memiliki itu semua,” berkata Wantilan.

“Persetan dengan semuanya,” jawab saudaranya yang tua, “kita membawa pesan Guru. Kau harus mati apapun sebabnya. Karena itu, maka kami berdua sekarang siap membunuhmu, karena kau tidak mati dengan sendirinya.”

“Aku tidak tahu apa yang kau katakan itu,” jawab Wantilan, “aku tahu ayahku memang bersalah. Tetapi bukan aku. Dan guru kita tidak pernah menyebut-nyebut kesalahan ayah itu kepadaku.”

“Cukup,” jawab saudara yang tertua, “sekarang bersiaplah untuk mati. Aku tidak mempunyai banyak waktu sekarang.”

Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kalian akan maju bersama-sama?”

“Ya,” jawab saudara seperguruannya itu hampir bersamaan.

Wantilan tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Kita akan melihat, apa yang akan terjadi. Latihan ini akan menjadi semakin menarik bagiku.”

“Cukup,” geram yang tertua, “kau ternyata terlalu sombong. Tetapi jangan menyesal, bahwa kami telah menjalankan perintah Guru.”

“Tentu tidak. Jika Guru ingin membunuhku, ia dapat melakukannya sendiri. Tanpa kalian berdua. Kalian melakukan hal ini tentu karena kalian merasa iri bahwa Guru telah memberi aku lebih banyak dari kalian,” sahut Wantilan.

Kedua saudara seperguruannya itu memang tidak sabar lagi, keduanya segera bergerak memencar. Wantilan pun telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa melawan kedua orang saudara seperguruannya itu memang terlalu berat. Tetapi ia akan mencobanya. Ia telah mendapatkan beberapa petunjuk dari Gurunya meskipun terpaksa dilakukan bagaimana ia melakukan unsur-unsur yang benar. Dengan bekal wadagnya yang selalu mendapat tekanan karena kesalahan laku yang dijalaninya, maka ketika kesalahan itu telah dibebaskan, tubuhnya memiliki daya tahan jauh lebih besar dari saudara-saudara seperguruannya. Tetapi melawan dua orang sekaligus, tentu akan terasa sangat berat.

Sejenak kemudian, maka kedua orang saudara seperguruannya itu pun telah mulai menyerang dari arah yang berbeda. Mereka langsung mempergunakan tataran tertinggi dari ilmu yang telah mereka kuasai. Mereka masih berharap bahwa Wantilan akan mengerahkan segenap kemampuannya sehingga ilmunya akan membunuhnya dari dalam.

Wantilan memang telah mengerahkan segenap kemampuannya pula untuk melawan kedua orang saudara seperguruannya. Ia berusaha untuk dapat melawan mereka dari satu arah, sehingga Wantilan telah mempergunakan sebagian waktunya untuk berloncatan mengambil jarak dari kedua orang saudara seperguruannya. Namun ia pun kadang-kadang telah mengejutkan kedua orang saudara seperguruannya itu. Kadang-kadang diluar dugaan, dengan unsur gerak yang tidak dikenal oleh kedua orang saudara seperguruannya itu.

Dengan caranya itu, maka ternyata Wantilan masih mampu mengatasi kedua orang saudara seperguruannya meskipun mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, sementara Mahisa Amping pun nampaknya menjadi tegang melihat pertempuran itu.

Dengan mempergunakan akalnya, bukan saja ilmu dan kemampuannya, maka Wantilan mampu bertahan. Bahkan ia mulai dapat menyentuh tubuh kedua orang saudara seperguruannya itu berganti-ganti.

Kedua saudara seperguruannya itu pun menjadi sangat marah. Mereka benar-benar menjadi curiga, bahwa guru mereka telah berkata yang tidak sebenarnya tentang Wantilan, karena setelah mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan kedua orang saudara seperguruannya itu, tubuhnya sama sekali tidak terganggu oleh ilmunya. Bahkan menurut penglihatan kedua orang itu, maka unsur-unsur yang dipergunakan oleh Wantilan sama sekali tidak ada yang salah atau saling terbalik ungkapannya sehingga dapat membahayakan dirinya.

Wantilan yang seakan-akan dapat membaca isi hati kedua orang saudara seperguruannya itu kemudian berkata, “Apakah sebenarnya yang telah dikatakan Guru kepada kalian? Apakah benar kalian mendapat perintah untuk membunuhku dengan cara yang tidak sewajarnya atau apa?”

“Anak setan,” geram saudara seperguruannya yang tua,”apa yang sebenarnya terjadi atas dirimu?”

“Tidak apa-apa,” jawab Wantilan yang bahkan justru bertanya, “Kenapa?”

“Seharusnya kau mati karena ilmu sendiri,” geram yang tua.

“Beberapa kali kau mengatakannya. Apakah sebenarnya artinya? Aku tidak mengerti. Mana ada orang yang sedang bertempur mati karena ilmunya sendiri jika ia memang tidak sedang membunuh diri?” Wantilan bertanya.

Kedua orang saudara seperguruannya itu menggeram. Yang tertua ternyata tidak dapat menahan diri dan berkata, “Kau harus mati karena ilmumu meskipun kau tidak berniat untuk membunuh diri.”

“Mana mungkin,” jawab Wantilan.

“Mungkin sekali, karena Guru dengan sengaja telah mengajarkan unsur-unsur gerak yang salah yang akan dapat menyerang bagian dalam tubuhmu sendiri!” teriak saudara seperguruannya yang muda.

“Tetapi sebagaimana kau lihat, unsur-unsur gerakku benar. Tidak ada yang salah. Bagian dalam tubuhku pun masih tetap tegar meskipun aku harus mengerahkan kemampuanku karena aku harus bertempur melawan saudara seperguruanku berdua,” jawab Wantilan.

“Tidak mungkin Guru berbohong,” geram yang tua.

“Apakah kau akan mengingkari kenyataan bahwa aku tidak mati sekarang? Marilah. Kita akan membuktikan apakah aku mati karena ilmuku. Atau kalian ingin melihat unsur-unsur gerak yang aku kuasai?”

Diluar dugaan kedua orang saudara seperguruannya, maka Wantilan telah memperagakan ilmunya, ia telah memperlihatkan unsur-unsur gerak yang semula memang dengan sengaja dibuat tidak wajar oleh gurunya. Tatanan geraknya yang terbalik dan memang dapat merusakkan bagian dalam tubuhnya. Tetapi semuanya sudah dibenarkan, sehingga tidak lagi mengganggunya.

Karena itu, maka kedua saudara seperguruannya menjadi semakin curiga kepada Gurunya. Agaknya bukan Wantilan yang telah dibohonginya. Tetapi justru mereka berdua dan murid-muridnya yang lain, sementara Wantilan telah mendapatkan ilmu yang lebih baik dari mereka.

Kemarahan mereka pun tertuju pula kepada Gurunya. Namun mereka telah berniat untuk membunuh Wantilan apapun alasannya. Karena itu, maka yang tua pun menggeram, “jangan biarkan iblis ini tetap hidup.”

Kedua orang saudara seperguruannya yang untuk sesaat bagaikan dicengkam oleh keheranan sehingga mereka justru berdiri mematung, tiba-tiba telah meloncat dan menyerang lagi bersama-sama dengan puncak kemampuan yang telah mereka capai.

Pertempuran pun berlangsung lagi dengan sengitnya. Wantilan memang harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ia-pun merasa beruntung bahwa ilmunya telah dilengkapi dengan unsur-unsur gerak yang tidak segera dikenali oleh saudara-saudara seperguruannya.

Untuk beberapa lama Wantilan telah mempergunakan unsur-unsur gerak dari perguruannya tanpa unsur-unsur yang lain. Namun tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan unsur-unsur gerak yang lain, yang dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sehingga kedua orang saudara seperguruannya terkejut. Wantilan selalu dapat memanfaatkan saat-saat yang demikian untuk menyerang salah seorang dari keduanya, sehingga serangannya dapat mengenainya.

Beberapa kali hal itu terjadi. Namun saudara-saudara seperguruannya itu masih saja terkejut dan dibingungkan oleh sikap Wantilan yang masih saja tetap berusaha mempergunakan akalnya. Sekali dua kali, kedua saudara seperguruannya memang mampu mengatasi perasaan sakit oleh sentuhan tangan Wantilan. Namun ketika serangan Wantilan itu beberapa kali mengenainya, maka keduanya pun mulai dihinggapi perasaan sakit.

Saudara seperguruannya yang muda tidak dapat menahan sakit tanpa berteriak mengumpat ketika bahunya dikenai dengan kerasnya oleh serangan tumit Wantilan sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

Untunglah bahwa saudaranya yang tua telah berusaha untuk menyerang Wantilan, sehingga niat Wantilan untuk memburu saudaranya yang muda di antara keduanya itu urung. Tetapi ia sempat mengelak sehingga serangan itu tidak mengenainya. Tangan saudaranya seperguruan itu luput ketika menerkamnya di arah leher.

Namun demikian cepatnya, Wantilan justru telah menyerang pergelangan tangan saudara seperguruannya itu dengan sisi telapak tangannya justru pada saat ia bergeser menyamping dengan menarik satu kakinya. Tulang pergelangan tangan saudara seperguruannya itu rasa-rasanya memang akan retak sehingga ia pun telah berdesah kesakitan sambil meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak.

Namun Wantilan tidak melepaskannya. Selagi saudara seperguruannya yang lain belum siap, ia telah memanfaatkan waktu itu untuk mendesak salah seorang saudara seperguruannya. Justru yang tua di antara mereka berdua. Dengan tangkasnya Wantilan pun telah meloncat dengan loncatan panjang. Kemudian kakinya telah dilontarkannya menyamping langsung mengarah ke dada.

Saudara seperguruannya yang belum mapan benar telah bergeser ke samping. Namun Wantilan telah berputar sambil bertumpu pada satu kakinya. Kakinya yang lain yang bergerak mendatar dengan kerasnya justru telah menghantam dadanya yang disembunyikan di balik kedua tangannya yang menyilang. Namun serangan melingkar Wantilan demikian kerasnya, sehingga saudara seperguruannya itu telah terbanting jatuh tanpa dapai bertahan lagi.

Wantilan pun segera bersiap untuk memberikan serangan terakhir dan menghentikan perlawanan saudara seperguruannya itu. Tetapi saudaranya yang lain ternyata telah meloncat menyerangnya pula, sehingga ia harus menghindarinya. Namun saudara seperguruannya itu telah memburunya. Sambil meloncat maju, maka tangan saudara seperguruannya itu telah terjulur lurus ke arah kening.

Wantilan telah merendah pada lututnya, sehingga tangan saudara seperguruannya itu tidak mengenainya. Bahkan dengan tiba-tiba Wantilan telah menyerang dengan sapuan kakinya yang melingkar sehingga mengenai kedua kaki saudara seperguruannya itu.

Sapuan itu demikian kerasnya, sehingga saudara seperguruannya itu pun tidak mampu menyelamatkan keseimbangannya. Kedua kakinya tiba-tiba saja telah terlempar ke samping, sehingga tubuhnya telah roboh seperti sebatang pohon pisang.

Saudara seperguruannya itu telah berusaha untuk bangkit. Tetapi ternyata Wantilan yang masih juga berbaring itu telah menyerang lagi. Kakinya langsung mengenai kening saudara seperguruannya sehingga sekali lagi ia terbanting jatuh, justru kepalanya telah membentur tanah.

Orang itu memang tidak pingsan. Tetapi kepalanya menjadi sangat pening. Bahkan perutnya serasa menjadi mual dan hampir saja ia menjadi muntah-muntah. Sementara itu saudara seperguruannya yang lain telah bangkit pula. Meskipun dadanya serasa menjadi sesak, namun ia sudah siap untuk bertempur.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu memang masih nampak tegang. Tetapi ia pun mengerti, bahwa keadaan Wantilan menjadi lebih baik dari kedua orang saudara seperguruannya. Karena itu, maka ia pun hampir pasti, bahwa Wantilan akan dapat mengatasi kedua orang saudaranya.

Sebenarnyalah, bahwa kedua saudara seperguruan Wantilan itu sudah tidak berdaya. Yang tertua di antara mereka, rasa-rasanya tidak lagi dapat bernafas meskipun ia masih nampak garang. Tetapi sekali-sekali nampak ia terbungkuk-bungkuk ketika menarik nafas dengan susah payah. Sedangkan yang termuda di antara mereka berdua ternyata sudah tidak lagi dapat bangkit lagi. Dunia rasa-rasanya seperti berputar.

“Nah,” berkata Wantilan kemudian, “apakah kita masih akan berlatih terus?”

“Iblis kau,” geram saudara seperguruannya.

Wantilan tertawa. Katanya tanpa menghiraukan umpatan itu, “Aku senang mendapat kesempatan seperti ini.”

Saudara seperguruannya menggeretakkan giginya oleh kemarahan yang menghentak. Apalagi ketika ia melihat Wantilan berdiri sambil tersenyum memandanginya. Tubuhnya nampak tetap tegar, tanpa kesulitan apapun di dalam bagian dalam tubuhnya itu. Ilmu yang dikuasainya adalah ilmu yang benar sebagaimana dikuasai oleh saudara seperguruannya itu. Bahkan Wantilan ternyata memiliki unsur-unsur gerak yang belum dikenal oleh saudara-saudara seperguruannya itu.

“Kenapa kau diam saja? Marilah, masih banyak kesempatan jika kau menghendaki sebelum kita bertemu dengan Guru. Jika kau sudah menjadi jemu hari ini, kita dapat melanjutkannya lain kali. Besok atau kapan saja. Kita dapat membuat kesepakatan,” berkata Wantilan.

“Jangan banyak bicara,” geram saudara seperguruannya itu, “kalau kau akan membunuh kami berdua, lakukanlah. Bunuhlah kami karena kami sudah berniat untuk membunuhmu.”

“Kenapa aku harus membunuh saudara seperguruan sendiri? Benar-benar satu sikap yang tidak akan dimengerti oleh siapapun. Juga jika kau ingin membunuh aku, maka aku juga tidak akan pernah dapat mengerti. Tetapi aku kira kalian hanya sekedar ingin bergurau.”

“Kau dengan sengaja menghina kami. Tetapi bunuhlah kami. Jika hal ini tidak kau lakukan, maka kau akan menyesal,” berkata saudara seperguruannya itu.

“Kenapa aku harus menyesal karena tidak membunuh saudara sendiri?” Wantilan justru bertanya.

Saudara seperguruannya semakin merasa tersinggung. Karena itu maka katanya, “Ingat Wantilan. Kapanpun juga kami tetap berusaha untuk membunuhmu. Kami tidak berhasil hari ini. Tetapi pada suatu saat, kami akan melakukannya lagi bersama saudara-saudara seperguruanku. Tidak hanya dua atau tiga orang, tetapi seperguruan kami bersama Guru.”

Wantilan mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya saudara seperguruannya.

“Kalian memang lucu sekali. Aku tidak mengira kalau kalian senang bergurau,” berkata Wantilan, “tetapi latihan-latihan yang lebih baik akan sangat bermanfaat bagiku. Apalagi jika guru bersedia hadir.”

“Setan kau,” geram saudara seperguruannya itu, “sekarang kau masih dapat tertawa. Tetapi tidak lama lagi, tubuhmu akan terbaring mati di tanah. Tidak seorang pun akan merasa sedih akan kematianmu.”

“Jadi kau bersungguh-sungguh?” bertanya Wantilan.

“Aku bersungguh-sungguh,” saudara seperguruannya itu membentak. Lalu katanya pula, “Karena itu, jika kau ingin membunuh kami lakukanlah sekarang, agar kau tidak akan menyesal kelak di saat matimu.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sayang sekali bahwa harus berakhir begini. Ketika aku memasuki sanggar untuk pertama kali, aku tidak akan mengira bahwa aku harus bermusuhan dengan saudara seperguruan sendiri. Tetapi jika kalian memang ingin membunuhku pada kesempatan lain, aku akan menunggu. Aku akan meyakinkan kepada kalian, bahwa hal seperti itu tidak mudah kalian lakukan atasku. Apalagi aku berkeyakinan bahwa mati hidup seseorang itu tergantung kepada kuasa Yang Maha Agung.”

“Persetan,” geram saudara seperguruan, “kau terlalu sombong.”

“Saudara-saudaraku,” berkata Wantilan, “kali ini aku tidak membunuh kalian. Aku benar-benar tidak berniat melakukannya. Tetapi jika sekali lagi kalian menggangguku, maka aku akan benar-benar membunuh kalian. Sekarang saja ilmuku sudah lebih baik dari ilmu kalian, apalagi di saat-saat mendatang.”

Saudara seperguruannya menggeram. Sementara itu Wantilan berkata, “Aku akan pergi. Aku menunggu kapan kalian ingin menemuiku lagi untuk membunuh diri.”

Wantilan tidak menunggu, ia pun kemudian telah melangkah pergi mendekati Mahisa Murti dan saudara-saudaranya. “Marilah. Aku memang tidak ingin membunuhnya sekarang,” berkata Wantilan.

Kelima orang itu pun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Mahisa Amping sempat berlari-lari memasuki kedai itu kembali untuk menyerahkan uang kepada pemilik kedai yang ketakutan di dalam kedainya. Namun pemilik kedai itu merasa bersyukur bahwa tidak terjadi pembunuhan dihalaman kedainya. Jika demikian, maka ia berpendapat bahwa kedainya tidak akan dikunjungi orang lagi.

Saudara seperguruan Wantilan yang tertua itu pun telah berusaha membantu adik seperguruannya dan dibawa masuk kembali ke dalam kedai itu. Mereka masih sempat beristirahat sambil minum untuk menyegarkan tubuh mereka, yang rasa-rasanya sudah tidak berdaya sama sekali itu.

Tetapi keduanya ternyata benar-benar mendendamnya. Tidak hanya kepada Wantilan. Tetapi juga kepada gurunya, karena mereka merasa bahwa guru mereka telah menipu mereka berdua dan beberapa orang saudara seperguruannya yang lain, karena gurunya mengatakan, bahwa Wantilan pada suatu saat tentu akan terbunuh oleh ilmunya sendiri. Tetapi ternyata bahwa kenyataannya sama sekali tidak demikian.

Yang tertua di antara mereka itu pun berkata, “ternyata Wantilan justru memiliki kelebihan dari kita.”

“Apakah maksud Guru sebenarnya? Bukankah ayah Wantilan sudah dinyatakan berkhianat dan harus dihukum mati? Tetapi karena ia sudah mati sendiri, maka hukuman itu dibebankan kepada anaknya,” desis yang muda.

“Apakah Guru menganggap bahwa keputusan itu tidak adil, sehingga dengan diam-diam telah melindungi Wantilan?” bertanya yang tua.

“Bukankah keputusan itu datang dari Guru sendiri?” sahut yang muda.

Yang tua mengangguk-angguk. Sementara itu tubuhnya terasa masih sakit dan nyeri. Namun minuman hangat telah membuat tubuh mereka menjadi agak segar. “Kita harus memecahkan masalah ini. Kita harus bertemu dengan saudara-saudara seperguruan kita. Kita akan membuat perhitungan. Siapapun yang kita temui lebih dahulu. Guru atau Wantilan,” geram yang tua.

“Tetapi apakah kita akan berani melawan Guru? Bukankah dengan demikian kita dapat dianggap berkhianat dan akan mendapat hukuman yang paling berat?” desis yang muda.

“Kita tidak akan melawan Guru. Kita hanya akan melaporkan pengalaman ini dan mohon pertanggungan jawab,” jawab yang tua, yang hatinya benar-benar merasa disakiti oleh Wantilan.

“Jika kita bertemu dengan Guru, apakah kita berani melakukannya?” bertanya yang muda.

Yang tua termangu-mangu. Tetapi ia pun berkata, “Tetapi kita harus mendapat jawaban, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Guru.”

Yang muda tidak bertanya lagi. Nafasnya masih saja terengah-engah. Ia sempat meneguk minumannya beberapa teguk lagi. Namun rasa-rasanya badannya terlalu lemah. Yang tuapun kemudian terdiam merenungi peristiwa yang baru saja terjadi.

Sementara itu, Wantilan telah menjadi semakin jauh. Namun ia pun berkata kepada anak-anak muda yang mengaku pengembara itu, “Keduanya tentu tidak akan tinggal diam. Aku tahu watak mereka. Pada suatu saat, aku harus menemuinya lagi. Tetapi aku yakin bahwa mereka akan datang bersama lebih dari lima orang sehingga aku tidak akan mungkin dapat melawan mereka. “ Wantilan berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi aku pun cemas bahwa mereka akan datang kepada Guru untuk minta pertanggungan jawab kenapa aku tidak mati oleh ilmuku sendiri.”

“Gurumu tentu mempunyai akal sehingga ia akan dapat memberikan beberapa alasan,” berkata Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas mereka,” desis Wantilan.

“Tetapi aku setuju dengan caramu membuat saudara-saudara seperguruanmu mencurigai gurumu,” berkata Mahisa Pukat, “dengan demikian maka gurumu harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Mungkin sikap murid-muridnya itu akan dapat menjadi cambuk baginya di masa mendatang.”

“Aku juga berharap demikian,” berkata Watilan, “mudah-mudahan saudara-saudara seperguruanku yang mempertanyakan tentang aku tidak dianggap berkhianat dan langsung mendapat hukuman sebagaimana yang pernah terjadi di perguruan kami. Nampaknya aku pun telah mendapat hukuman itu, namun dengan cara tersendiri.”

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “jika saudara-saudara seperguruanmu datang lagi kepadamu dengan niat buruk, maka biarlah kami membantumu.”

“Terima kasih,” jawab Wantilan, “mudah-mudahan mereka tidak akan datang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Semu bertanya, “Apakah mereka tahu arah perjalanan kita?”

“Tidak. Tetapi orang-orang yang mendendam itu tidak akan segan menelusurinya. Mereka akan dapat bertanya kepada siapa saja, apakah mereka melihat lima orang yang lewat bersama seorang anak kecil. Mereka akan mempergunakan cara apapun untuk mencari jejak kita,” berkata Wantilan.

Mahisa Pukat tertawa kecil sambil berkata, “Mudah-mudahan mereka menemukan kita di padepokan.”

“Justru jangan sampai ke padepokan,” berkata Wantilan.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Yang kemudian akan bermusuhan adalah dua perguruan,” jawab Wantilan, “perguruan kami dan perguruan kalian. Jika demikian maka permusuhan itu akan berkepanjangan.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mahisa Murti-pun kemudian berkata, “Kau benar. Seharusnya kita tidak memancing permusuhan antara perguruan. Kita akan membatasi diri sehingga permusuhan itu pun menjadi terbatas pula.”

“Tetapi bagaimanakah sikap kita jika jejak kita mereka ketemukan di padepokan kita?” bertanya Mahisa Semu.

“Kita akan bersikap tidak bermusuhan,” jawab Mahisa Murti. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi jika sikap kita mendapat tanggapan lain, apa boleh buat.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku tidak ingin terjadi permusuhan antara perguruan. Kesalahan ini ada padaku.”

Sebenarnyalah bahwa kedua orang saudara seperguruan Wantilan itu tidak melepaskannya begitu saja. Banyak hal yang ingin mereka ketahui, karena ternyata bahwa apa yang dikatakan oleh guru mereka sama sekali tidak benar, sedangkan mereka sebelumnya terlalu percaya bahwa gurunya tidak akan pernah membohongi mereka. Karena itu, maka tentu ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Apakah pada gurunya atau pada Wantilan.

Ternyata bahwa kedua orang saudara seperguruan Wantilan itu telah mencari saudara-saudara seperguruannya. Yang tertua di antara mereka, yang menggantikan tugas gurunya jika gurunya itu tidak ada telah dihubunginya pula.

“Aku tidak percaya,” berkata orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat.

“Kau harus membuktikannya,” berkata saudara seperguruannya yang telah dikalahkan oleh Wantilan.

Orang itu termangu-mangu. Tetapi ceritera tentang Wantilan itu nampaknya sangat meyakinkannya. Tetapi orang itu kemudian berkata, “Aku melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Guru. Wantilan telah berlatih dengan cara yang salah. Tetapi Guru mampu menjaga kemungkinan buruk itu terjadi disaat-saat latihan. Karena itu, maka latihan Wantilan selalu dipisahkan dan dilakukan untuk waktu-waktu yang singkat. Tetapi jika ia memaksa diri untuk mengerahkan segenap ilmunya, maka ia akan mengalami kesulitan dan bahkan ia sudah terbunuh.”

“Kenapa tidak terjadi sebelumnya? Apakah ia tidak pernah melakukan latihan dengan bersungguh-sungguh?” bertanya orang yang dikalahkan oleh Wantilan.

“Sudah aku katakan. Guru dapat menjaga kemungkinan itu. Latihan-latihan yang dilakukan kadang-kadang memang cukup berat, meskipun sebenarnya sama sekali tidak meningkatkan ilmunya, bahkan sebaliknya. Aku berani bertaruh dengan nyawaku, bahwa Guru benar-benar melakukan demikian,” jawab saudaranya yang tertua.

“Iblis manakah yang telah menuntun Wantilan sehingga ia mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, atau berhasil mengatasinya dengan ketahanan tubuhnya. Tetapi menilik unsur-unsur gerak yang diperlihatkan waktu kami bertempur melawannya, semuanya mapan dan benar,” jawab saudara seperguruannya yang telah bertempur melawan Wantilan itu.

“Keteranganmu menggelitik aku utnuk melihatnya,” berkata yang tertua, “sebaiknya kita ketemukan orang itu dan kita bawa menghadap Guru. Baru kita akan tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.”

Saudara-saudara seperguruannya ternyata sependapat. Mereka yang ada di padepokan telah membagi diri. Lima orang di antara para murid akan mencari Wantilan. Selebihnya berada di padepokan.

“Jika kita bertemu dengan Guru lebih dahulu, kita mohon Guru untuk bersama kami mencari Wantilan dan memecahkanteka-teki ini,” berkata yang tertua.

Tiba-tiba saja yang lain bertanya, “Kenapa kita tidak minta petunjuk kakek Guru.”

“Tidak. Kakek guru tentu akan berpendirian lain. Kakek tidak akan pernah sependapat jika kita berbicara tentang hukuman bagi seorang pengkhianat. Kakek orang yang terlalu baik. Tetapi justru karena itu perguruan kita tidak pernah berkembang serta tidak pernah mendapat pengakuan dari padepokan-padepokan yang lain. Mereka bahkan belum pernah mendengar nama perguruan kita. Guru menganggap bahwa kita cukup menguasai ilmu dan hanya dipergunakan untuk menolong sesama. Jika tidak ada persoalan, maka kita tidak lebih dari orang-orang kebanyakan yang tidak berilmu apa-apa,” jawab yang tertua. Lalu katanya, “Berbeda dengan Guru. Guru ternyata lebih bergelora. Guru memberikan petunjuk agar kita menunjukkan tingkat kemampuan kita yang tinggi, sehingga orang-orang dari perguruan lain akan menghormati kita.”

Saudara-saudara seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja. Namun ternyata mereka tidak membantah. Mereka memang telah mengurungkan niat untuk menemui kakek guru mereka yang tinggal justru diluar padepokan, karena kakek guru mereka lebih senang tinggal di tempat yang sepi dilereng bukit, yang seakan-akan tidak lagi berhubungan dengan sesama, meskipun sekali-sekali kakek guru mereka juga turun mengunjungi padukuhan yang terdekat. Sehingga dengan demikian maka hubungannya dengan sesama tidak terputus sama sekali.

Demikianlah maka lima orang saudara seperguruan telah meninggalkan padepokan mereka. Mereka mengambil alas perburuan mereka dari kedai di mana dua orang saudara seperguruannya bertempur melawan Wantilan. Kemudian dengan cara seperti yang diperhitungkan oleh Wantilan, mereka telah berusaha menyusulnya. Sebenarnyalah banyak orang yang dapat memberikan keterangan tentang lima orang yang berjalan menyusuri jalan-jalan padukuhan.

“Mereka adalah saudara-saudara kami,” berkata yang tertua kepada setiap orang yang ditanya disepanjang jalan, “nampaknya mereka tersesat, karena saudara kami yang berangkat kemudian telah sampai ke tempat kami.”

“Tetapi mereka tidak menunjukkan sikap seperti orang yang kebingungan,” sahut salah seorang di antara mereka yang mendapat pertanyaan tentang Wantilan.

Saudara seperguruannya itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Mungkin mereka tidak mengalami kebingungan. Justru karena mereka tidak tahu, bahwa mereka telah tersesat.”

Orang yang pernah melihat kelima orang yang ditanyakan itu memang menjadi termangu-mangu. Rasa-rasanya aneh bahwa kelima orang itu masih belum menyadari bahwa mereka tersesat setelah berjalan sekian lama, sehingga orang yang akan dikunjungi sempat menyusulnya. Tetapi orang itu tidak bertanya lagi. Ia merasa cukup jika ia memenuhi dengan menunjukkan arah perjalanan kelima orang itu dua hari yang lalu.

Tetapi perjalanan Wantilan memang sangat lamban. Bersama Mahisa Murti dan saudara-saudaranya mereka beberapa kali berhenti untuk beristirahat. Apalagi Mahisa Amping masih terlalu kecil untuk berjalan terus-menerus sepanjang teriknya matahari.

Sedangkan saudara-saudara seperguruan Wantilan itu berjalan tanpa berhenti. Seakan-akan siang malam mereka berjalan terus. Sekali-sekali mereka memang beristirahat di kedai-kedai dan di malam hari berhenti sejenak di pategalan untuk tidur beberapa saat. Dengan demikian maka jarak antara Wantilan dan saudara seperguruannya menjadi semakin dekat.

Sementara itu Wantilan di sepanjang perjalanan di saat-saat Mahisa Amping ingin berhenti dibawah sebatang pohon yang rimbun, sempat melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena pada dasarnya ia sudah memiliki kemampuan dasar dari olah kanuragan, maka ia dengan cepat mampu menguasai beberapa jenis unsur gerak yang terpilih dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sementara itu Mahisa Semu pun sempat meningkatkan ilmu pedangnya. Semakin lama maka pedang Mahisa Semu seakan-akan telah melekat dengan telapak tangannya jika ia sudah mengerahkan ilmunya. Ilmu pedangnya dengan cepat pula berkembang. Justru karena Mahisa Semu merasa dirinya paling lemah di antara mereka. Dengan memperdalam ilmu pedang, maka ia akan dapat mengurangi kelemahannya, karena pedangnya adalah bukan pedang kebanyakan sehingga akan ikut menentukan tingkat kemampuannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa heran juga melihat kemajuan Mahisa Semu dalam ilmu pedang. Meskipun demikian bukan berarti kemampuannya dalam olah kanuragan tanpa senjata tidak berkembang. Tetapi perkembangannya tidak sepesat perkembangan ilmu pedangnya. Dengan perjalanan yang lamban itu, maka akhirnya saudara-saudara seperguruannya benar-benar dapat menyusulnya sebelum mereka mendekati padepokannya. Kelima orang itu terkejut ketika menjelang fajar mereka melihat saudara-saudara seperguruan Wantilan itu berjalan mendekati mereka.

“Mereka telah datang,” berkata Wantilan yang kebetulantelah terjaga.

Mahisa Murti pun telah terbangun pula, sementara Mahisa Pukat masih menggeliat sedangkan Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih tidur nyenyak di sebuah pategalan yang kering, sehingga jarang sekali dikunjungi oleh pemiliknya.

Saudara seperguruan Wantilan yang tertua, segera mengenali Wantilan di keremangan cahaya fajar. Apalagi ketika kemudian cahaya matahari mulai membayang di langit. Wantilan pun segera bangkit sambil membenahi pakaiannya. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah bangkit pula sambil menyentuh Mahisa Pukat yang masih saja berbaring.

“Siapa yang datang?” bertanya Mahisa Pukat.

Wantilan-lah yang menjawab, “saudara-saudara seperguruanku. Lima orang.”

Mahisa Pukat nampaknya masih segan untuk bangkit berdiri. Karena itu, maka ia pun telah duduk sambil memeluk lututnya. “Begitu setia saudara-saudara seperguruanmu sehingga mereka dengan susah payah mencarimu,” gumam Mahisa Pukat.

“Bukankah aku sudah mengatakannya bahwa mereka tentu akan mencari aku,” berkata Wantilan.

“Ya paman,” jawab Mahisa Pukat yang masih saja duduk memeluk lutut, “ternyata dugaan paman benar.”

Sementara itu, kelima orang saudara seperguruan Wantilan itu telah berdiri beberapa langkah di hadapannya. Dengan nada berat saudara seperguruannya itu berkata, “Wantilan. Kami telah mengikuti jejakmu dari jarak yang sangat jauh.”

“Terima kasih saudara-saudaraku. Aku memang sudah mengira bahwa kalian akan menyusulku. Tetapi semuanya itu akan sia-sia. Karena tidak ada masalah yang dapat kita persoalkan lagi,” berkata Wantilan.

“Tidak,” berkata saudara seperguruannya yang paling tua di antara mereka, “kau harus ikut kami kembali ke perguruan. Persoalan yang timbul karena kau harus dipecahkan.”

“Persoalan apa lagi,” berkata Wantilan.

“Kau jangan berpura-pura tidak tahu. Kau tahu pasti apa yang seharusnya terjadi atas dirimu. Saudara-saudaramu pernah mengatakan kepadamu,” jawab saudaranya yang dianggap tertua.

“Jadi benar kata mereka bahwa Guru sengaja membunuhku dengan caranya?” bertanya Wantilan.

“Ya. Aku tahu pasti, karena aku sering menungguimu bahkan jika Guru berhalangan, aku telah mewakilinya,” jawab orang itu.

Wantilan termangu-mangu. Namun ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Ternyata kalian tidak tahu apa yang telah terjadi. Bahkan murid yang dianggap tertua di antara murid-muridnya yang lain pun tidak mengerti pula. Lalu apa yang sebenarnya kau ketahui tentang ilmu dari perguruan kita jika kau juga menyangka Guru akan membunuhku? Sementara semakin lama kau menjadi semakin matang dengan ilmuku.”

“Kita akan menghadap Guru,” bentak saudara seperguruannya yang dianggap tertua itu, yang bahkan sering menggantikan kedudukan Gurunya, “dengan demikian semuanya akan menjadi jelas. Jika Guru benar-benar memanjakanmu, apa boleh buat. Tetapi jika Guru memang ingin membunuhmu dengan caranya, tetapi gagal, maka kau akan mati.”

“Tidak. Aku tidak akan ikut bersamamu. Aku akan menemui Guru kapan aku ingin dan tanpa kalian,” jawab Wantilan tegas.

“Jadi kau menolak?” geram yang tertua.

“Aku menolak. Kalian tidak mempunyai hak apapun atasku. Meskipun kita bersaudara karena guru kita sama, tetapi kedudukan kita berbeda. Aku mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu dengan cara tersendiri. Tidak sama dengan kalian.Unsur-unsur gerak yang aku terima sebagai kelengkapan ilmuku-pun jauh lebih banyak dari yang kalian ketahui. Nah, apa lagi?”

“Sikapmu menyakiti hati kami,” berkata yang tertua, “semula aku tidak yakin akan sikapmu itu ketika kedua orang saudara kita mengatakan kepadaku. Begitu sombong dan tidak tahu diri. Namun ketika sekarang aku menghadapimu langsung, maka aku menjadi percaya. Betapa sombongnya kau.”

“Apapun yang kau katakan, tetapi aku menolak untuk ikut bersama kalian,” berkata Wantilan.

“Aku akan memaksamu,” geram yang tertua di antara saudara-saudara seperguruannya itu, “kau tahu, bahwa aku telah mendapat kesempatan setiap kali mewakili Guru. Juga dalam soal-soal yang penting. Aku adalah satu-satunya murid yang tahu pasti, apa yang telah diajarkan Guru kepadamu. Karena itu, maka jika kau melawan aku, maka sama artinya kau berani melawan Guru.”

“Jangan memutar balikkan kenyataan. Justru siapa yang ingin mencelakai aku, maka ia telah melawan Guru, karena Guru sendiri telah membuatku lebih baik dari kalian,” berkata Wantilan.

“Jika demikian, aku harus memaksamu,” berkata saudaranya yang dianggap tertua itu.

Beberapa orang saudara seperguruannya yang ikut serta itu telah bergerak pula. Tetapi yang tertua di antara mereka berkata, “Jangan. Biarlah aku sendiri yang akan memaksanya. Jika aku gagal berarti apa yang dikatakan itu benar. Ia telah memiliki ilmu sebagaimana Guru sendiri.”

Saudara-saudara sepeguruannya termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata, “Tetapi ia akan sangat berbahaya bagi kita.”

“Jika hal itu memang dikehendaki oleh Guru, apa boleh buat,” jawab yang tertua.

Demikianlah, maka yang tertua itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita akan melihat, siapakah yang terbaik di antara kita. Berarti kita akan melihat, siapakah yang mendapat kepercayaan tertinggi dari Guru. Tetapi jika kau kalah, dan kau mampu bertahan untuk hidup, maka kau harus bersedia menghadap Guru.”

Wantilan tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan. Tidak ada orang yang dapat memaksa aku, kapan aku harus menghadap Guru. Itu tergantung kepadaku sendiri kapan saja aku kehendaki.”

Saudara seperguruannya yang dianggap tertua itu berkata, “Bagus. Jika demikian maka kau benar-benar akan mati.”

Orang itu telah memberi isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk bergeser. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser menjauh. Demikian pula Mahisa Semu dan menggandeng Mahisa Amping yang masih mengusap matanya dengan tangannya.

Wantilan pun segera berhadapan dengan saudara seperguruannya yang dianggap tertua. Wantilan pun tahu, bahwa orang itu telah mendapat kepercayaan tertinggi dari gurunya, Wantilan pun tahu pula bahwa orang itu telah mendapat kesempatan orang gurunya untuk menungguinya ketika ia melakukan latihan-latihan dengan cara yang salah. Karena itu, maka orang itu adalah orang yang akan dapat menjadi sangat berbahaya baginya. Orang itu tentu memiliki sebagian besar dari kemampuan gurunya.

Tetapi Wantilan telah memperbaiki semua kesalahannya. Ia justru dapat memanfaatkan ketahanan tubuhnya yang terbiasa mengalami tekanan disaat-saat ia berlatih. Lebih dari itu, bahwa ia telah menguasai beberapa bagian dari unsur-unsur gerak dari cabang perguruan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta kemampuannya untuk menjalin dengan ilmunya sendiri dengan bantuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, merupakan bekal yang sangatbernilai baginya untuk menghadapi saudara seperguruannya yang di perguruannya memiliki ilmu yang tertinggi serta mendapat kepercayaan terbesar dari gurunya.

“Bersiaplah,” geram orang itu.

Wantilan tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bersiap. Saudara-saudara seperguruannya yang lain menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka yakin akan saudara seperguruannya yang mereka anggap saudara tertua itu, karena orang itu bahkan sudah mendapat hak dari guru mereka untuk menggantikannya dalam keadaan tertentu.

Sebenarnyalah, bahwa Wantilan sendiri memang menjadi berdebar-debar. Ia pun tahu bahwa orang itu adalah murid yang terdekat dengan gurunya. Ia pernah ikut serta menunggui latihan-latihan yang diberikan secara khusus oleh gurunya, sehingga orang itu tahu pasti tingkat kemampuan serta kemungkinan yang dapat terjadi atas Wantilan. Namun beberapa hal yang tidak diketahui oleh orang itu, bahwa Wantilan telah memperbaiki semua kesalahannya, memanfaatkan ketahanan tubuhnya yang justru terlatih mengalami tekanan dan kesulitan, serta unsur-unsur gerak yang asing bagi perguruannya, namun telah terjalin dengan ilmunya itu.

Sejenak kemudian, keduanya telah mulai dengan pertempuran yang akan menjadi arena perbandingan ilmu antara dua orang saudara seperguruan. Keduanya mulai saling menyerang meskipun masih lebih banyak sekedar menjajagi tingkat kemampuan masing-masing, meskipun keduanya adalah saudara seperguruan.

Tetapi Wantilan telah bermain-main dengan bara ketika ia menunjukkan unsur-unsur gerak yang salah meskipun perlahan-lahan untuk menjaga agar urut-urutannya tidak terputus, sekedar memberikan kesan yang salah kepada saudara seperguruannya itu.

Saudara seperguruannya itu pun mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Ternyata Wantilan akan bertempur dengan mempergunakan unsur-unsur gerak yang akan dapat membunuhnya. Beberapa unsur yang diperlihatkan Wantilan itu ternyata memang telah terasa akibatnya yang kurang baik bagi urat-uratnya. Tetapi karena Wantilan cukup berhati-hati, maka akibat itu tidak mengganggunya.

Saudara seperguruannya yang masih melihat kesalahan itu memperhitungkan, jika ia berhasil memancing pertempuran yang lebih keras, sehingga Wantilan bergerak lebih banyak dan mempergunakan tenaga dan kemampuannya lebih besar, maka akibatnya akan parah bagi bagian dalam tubuhnya. Karena itu, maka saudara seperguruan Wantilan itu telah berusaha untuk bertempur dengan keras dan pada jarak yang panjang.

Namun ketika pertempuran itu benar-benar menjadi semakin cepat dan semakin keras, maka unsur-unsur gerak Wantilan telah berubah. Ia tidak lagi melakukan kesalahan-kesalahan sebagaimana telah dilihat oleh saudara seperguruannya. Tetapi saudara seperguruannya itu tidak segera menyadarinya. Untuk beberapa lama saudara seperguruannya itu masih menganggap Wantilan melakukan kesalahan-kesalahan.

Memang jika Wantilan sempat mengambil jarak, ia masih juga menunjukkan beberapa kesalahan dalam gerak-gerak yang lamban. Tetapi jika ia sudah mulai bertempur dengan cepat dan keras, maka semuanya berada di jalur yang seharusnya dari ilmunya.

Meskipun demikian, saudara seperguruannya itu ternyata memang memiliki kelebihan dari semua murid di perguruannya. Orang itu adalah seorang di antara para murid yang memiliki kemampuan paling lengkap dan paling matang. Karena itu, setelah mereka bertempur beberapa lama, ternyata bahwa Wantilan mulai terdesak.

Meskipun demikian saudara seperguruannya itu masih juga merasa heran bahwa Wantilan masih juga dapat bertahan. Bagian dalam tubuhnya sama sekali tidak menjadi rusak dan apalagi membunuhnya. Bahkan setelah mereka bertempur dengan keras dan bahkan kasar, Wantilan masih tetap garang. Namun akhirnya, ketika saudara seperguruannya itu berhasil mendesaknya, maka ia mulai melihat bahwa tidak ada yang salah pada unsur-unsur gerak Wantilan.

Saudara seperguruannya itu memang menjadi heran. Bahkan hampir tidak percaya atas kenyataan yang dihadapinya. Ia sendiri pernah melihat bahkan ikut terlibat dalam latihan-latihan yang sengaja dibuat salah itu. Tetapi kini Wantilan mampu bertempur melawannya dengan cara yang seluruhnya benar.

“Iblis manakah yang telah memberi tahukan kesalahan-kesalahan itu kepadanya?” bertanya saudara seperguruannya itu kepada diri sendiri. Tetapi itulah kenyataan yang dihadapinya. Namun dalam pada itu, saudara seperguruannya itu masih juga mampu mendesak Wantilan semakin berat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat mengikuti perkembangan unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Wantilan. Semula ia masih menunjukkan kesalahan-kesalahannya. Namun kemudian ia tidak lagi melakukannya. Namun ia masih bertempur dengan keterbatasan ilmu yang dikuasainya dari perguruannya. Ilmu yang sudah tentu tidak akan mampu mengimbangi saudara seperguruannya yang dianggap tertua di padepokannya itu.

Namun akhirnya Wantilan telah terpaksa mempergunakan unsur-unsur gerak yang asing bagi saudara seperguruannya itu. Dengan akalnya Wantilan berusaha untuk dapat memancing kebingungan pada saudara seperguruannya itu. Dengan demikian, maka saudara seperguruannya itu mulai melihat unsur-unsur yang tidak pernah dilihat dilakukan oleh siapapun dalam perguruannya. Gurunya juga tidak. Namun hal itu tidak akan membingungkan saudara seperguruannya jika Wantilan tidak mempergunakan nalarnya.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang menjadi tegang ketika mereka melihat Wantilan mulai terdesak. Namun kemudian mereka melihat, bahwa Wantilan telah mempergunakan akalnya untuk mengimbangi tingkat ilmu saudara seperguruannya yang lebih tinggi.

Untuk beberapa saat Wantilan bertempur hanya dengan mempergunakan ilmu dari perguruannya saja. Unsur-unsur gerak yang sama dengan saudara seperguruannya walaupun kematangannya kalah setingkat. Dengan demikian maka saudara seperguruannya itu dengan mengerahkan kemampuannya segera berhasil mendesak Wantilan beberapa langkah surut. Bahkan Wantilan tidak lagi mendapat kesempatan untuk membalas serangan dengan serangan.

Tetapi demikian ia terdesak, maka tiba-tiba saja ia telah mempergunakan unsur-unsur gerak yang disadapnya dari ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan tiba-tiba ia meloncat menyerang dengan unsur-unsur yang mengejutkan saudara seperguruannya, karena sebelumnya saudara seperguruannya itu seakan-akan selalu mampu menebak apa yang akan dilakukan oleh Wantilan.

Namun ketika tiba-tiba saja unsur-unsur geraknya berubah, maka saudara seperguruannya yang memiliki kemapanan ilmu lebih tinggi itu terkejut. Sehingga Wantilan dapat mempergunakan saat yang sekejap itu untuk membalas menyerang.

Demikian saudara seperguruannya itu menyadari, maka Wantilan telah kembali mempergunakan unsur-unsur yang telah dikenal dengan baik oleh saudara seperguruannya itu. Namun ternyata bahwa dengan cara yang tiba-tiba itu Wantilan berhasil menusukkan serangannya ke tubuh saudara seperguruannya.

“Licik,” geram saudara seperguruannya, “kau telah mempergunakan tipuan-tipuan untuk melawan ilmu yang sama-sama kita pelajari.”

“Tidak,” jawab Wantilan, “sama sekali bukan tipuan.”

Saudara seperguruannya menjadi termangu-mangu ketika kemudian Wantilan telah menyerang pula dengan tiba-tiba dengan mempergunakan ilmunya yang telah dijalin dengan unsur-unsur gerak yang asing itu. Dengan cara itu Wantilan ternyata mampu memperpanjang pertahanannya. Bahkan beberapa kali ia telah dapat mengenai tubuh saudara seperguruannya itu.

Namun semakin lama saudara seperguruannya itu menjadi semakin hati-hati. Dengan cermat ia memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba. Sehingga dengan demikian maka saudara seperguruannya itu mampu memperhitungkannya. Karena itu, maka pertempuran selanjutnya merupakan pertempuran yang cepat, keras namun dengan perhitungan-perhitungan yang cermat.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tersenyum melihat pertempuran itu. Kedua belah pihak menjadi sangat berhati-hati. Namun Wantilan setiap kali memang masih saja dapat mengejutkan saudara seperguruannya. Tetapi kemudian ia pun segera terdesak karena ilmu saudara seperguruannya itu memang lebih tinggi.

Tetapi kelebihan Wantilan yang lain adalah justru terletak pada daya tahannya. Ia memiliki daya tahan yang lebih baik dari semua saudara-saudara seperguruannya justru dalam latihan-latihan sebelumnya ia terbiasa mengalami hambatan yang parah dari dalam dirinya. Karena itu, maka ketika kekuatan saudara seperguruannya sudah mulai susut, maka Wantilan masih saja berada pada puncak kekuatannya.

Beberapa orang saudara seperguruan Wantilan yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Mereka memang menjadi sangat heran, bahwa saudara seperguruan mereka yang mereka anggap sebagai saudara tertua itu tidak dapat dengan cepat mengalahkan Wantilan. Apalagi saudara mereka yang tertua itu telah ikut bersama gurunya menunggui latihan-latihan Wantilan dengan cara yang sesat. Namun dalam pada itu, ternyata Wantilan masih saja mampu bertahan.

Wantilan seakan-akan telah dapat membaca sorot mata keheranan dari saudara-saudara seperguruannya yang lain. Apalagi ketika ia pun merasakan bahwa daya tahannya tidak mampu lagi untuk tetap mempertahankan kekuatan dan ketangkasannya lebih lama. Karena itu, maka ia pun telah berusaha mempengaruhi lawannya. Ia ingin membuat lawannya semakin bertanya-tanya. Katanya, “He, bukankah sudah kau lihat, bahwa aku memiliki unsur yang lebih kaya darimu?”

“Persetan,” geram saudara seperguruannya, “tetapi kau belum mencapai kematangan ilmu dasar perguruan kita, sehingga aku akan segera dapat membunuhmu.”

Wantilan memaksa diri untuk tertawa. Katanya, “Kau jangan telalu sombong. Ternyata kau tetap tidak mampu mengalahkan aku. Lihat, matahari yang hampir mencapai puncaknya. Hampir setengah hari kita bertempur. Justru kaulah yang nampak kelelahan lebih dahulu.”

Saudara seperguruannya menggeram. Dengan kemarahan yang semakin menyala didalam dadanya, ia menyerang semakin sengit. Namun tiba-tiba saja ia terkejut lagi ketika Wantilan yangmengambil jarak, dengan tiba-tiba telah menyerangnya dengan unsur-unsur gerak yang asing.

Hal seperti itu sudah dilakukan beberapa kali. Tetapi saudara seperguruannya itu kadang-kadang masih juga berhasil di kelabuinya sehingga pukulan kaki Wantilan tiba-tiba saja telah dapat menyusup pertahanan saudara seperguruannya yang agaknya telah melakukan satu kelalaian. Ternyata serangan itu telah mengguncangkan keseimbangan saudara seperguruannya. Beberapa langkah ia bergeser surut sambil menahan sakit.

Wantilan yang mampu mengenai lawannya itu pun telah tergetar pula. Tetapi karena justru ia menyerang dengan ancang-ancang maka Wantilan pun kemudian berdiri tegak dengan tegarnya.

Saudara seperguruannya telah mengumpat. Dengan geramnya ia berkata, “Kita akan bertemur sampai salah seorang di antara kita mati. Bahkan kau mampu mengenaiku bukan karena kemampuanmu yang tinggi, tetapi justru karena kelengahanku.”

“Apapun sebabnya, tetapi aku akan mengenaimu lagi sampai kau terduduk di tanah dan menyerah. Apakah aku akan membunuh atau tidak, itu terserah kepadaku,” berkata Wantilan.

Gejolak perasaan saudara seperguruannya tidak tertahankan lagi. Ia pun segera bersiap untuk bertempur antara hidup dan mati. Tetapi pertempuran itu tiba-tiba saja telah terhenti. Mereka telah mendengar suara tertawa. Semua orang yang ada di pategalan itu berpaling ke arah suara itu. Dua orang telah keluar dari balik sebatang pohon perdu.

Wantilan, dan saudara-saudara seperguruannya yang lain, yang telah memusuhinya itu tiba-tiba saja mengangguk hormatsambil berdesis, “Guru dan Kakek Guru.”

Kedua orang itu telah melangkah mendati arena pertempuran. Yang kemudian menjadi berdebar-debar adalah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Orang-orang itu akan dapat berbahaya bagi mereka. Jika Guru Wantilan itu telah melaporkan kepada gurunya pula, maka orang itu tentu memiliki ilmu yang tinggi.

Tetapi apa boleh buat. Jika terpaksa harus mereka hadapi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akan bersiap. Mereka telah membekali dirinya dengan ilmu yang telah menjadi matang meskipun keduanya masih muda sekali.

Orang yang disebut kakek guru itu tiba-tiba berkata kepada guru Wantilan, “Inikah anak-anak muda yang kau sebut?”

“Ya Guru,” jawab guru Wantilan.

Orang itu tertawa. Ia sudah mendekati usia senjanya sehingga rambutnya yang putih nampak berjuntai di bawah ikat kepalanya yang melilit di dahinya. Orang itu mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan. Bahkan Mahisa Murti telah berdesis, “jaga Mahisa Amping. Nampaknya orang ini cukup berbahaya.”

Mahisa Semu mengangguk. Jika mereka bertempur bersungguh-sungguh, maka mereka akan menghadapi lawan yang lebih banyak. Tetapi Mahisa Semu pun harus menyesuaikan dirinya. Meskipun belum meningkat pada ilmu yang tinggi, tetapi ia telah memiliki ilmu pedang yang pantas dibanggakan.

Namun dalam pada itu, orang yang disebut kakek guru itu pun berkata, “Pantas bahwa anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi.”

“Maksud Guru?” bertanya guru Wantilan.

“Meskipun seandainya aku terjun ke medan, aku tidak akan mampu berbuat banyak,” jawab orang itu, “apalagi aku belum yakin bahwa yang bersalah adalah mereka.”

Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kakek Guru datang untuk menghukum aku?”

“Tidak. Tidak,” jawab orang yang disebut kakek guru itu, “bukankah kau tidak bersalah? Gurumu sendiri sudah mengakui, bahwa kau tidak bersalah! Yang dianggap bersalah adalah ayahmu. Itu pun masih harus dinilai dari sudut mana kesalahan itu ditrapkan kepada ayahmu.”

Wantilan mengerutkan keningnya. Sementara kakek guru itu berkata, “Gurumu telah mengatakan segala-galanya kepadaku. Karena itu, maka cucu-cucu muridku yang telah salah paham, aku minta untuk menghentikan permusuhan ini.”

“Tetapi semuanya masih sangat kabur bagiku,” berkata saudara seperguruan Wantilan yang dianggap tertua itu.

“Nanti aku yang akan menjelaskan,” berkata kakek gurunya, “sekarang, sebaiknya kau minta maaf kepada Wantilan.”

Saudara-saudara seperguruannya saling berpadangan sejenak. Namun kakek gurunya itu pun kemudian berkata selanjutnya, “Ia sama sekali tidak bersalah. Tetapi guru kalianlah yang bersalah. Hampir saja Wantilan menjadi korban kedengkian yang berlebihan tanpa pengendalian diri.”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya saudara seperguruan yang tertua itu.

“Kau tahu apa yang terjadi. Kau tahu bahwa gurumu telah memberikan unsur-unsur yang menyesatkan Wantilan sehingga ia akan dapat mati terbunuh oleh ilmunya sendiri jika ia mengerahkan segenap kemampuannya,” berkata kakek gurunya.

“Tetapi ia tidak mati,” jawab yang tertua. “Ia bahkan mampu mengalahkan dua orang Saudara seperguruan kami! Sedangkan aku, yang tertua, yang sudah mendapat wewenang mewakili guru, sama sekali tidak dapat mengalahkannya.”

Kakek gurunya itu tertawa. Ia berpaling kepada muridnya yang menjadi guru orang-orang yang sedang bertengkar itu. Katanya, “Apakah kau dapat menjelaskan, kenapa Wantilan tidak mati?”

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia justru bertanya, “Apakah aku harus menjelaskannya?”

Gurunya tertawa. Ia mengerti, bahwa muridnya itu akan sulit untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Biarlah aku yang mengatakannya.” Ia berhenti sebentar, lalu, “dengarlah baik-baik. Wantilan tidak akan mati karena ilmunya sendiri. Ia telah menguasai ilmu dari perguruan kita dengan baik. Tidak ada kesalahan apapun sebagaimana kalian lihat.”

Cucu-cucu muridnya termangu-mangu. Yang tertua itu pun bertanya, “Bagaimana hal itu dapat terjadi, kakek Guru. Aku sendiri ikut memberikan latihan-latihan kepadanya dengan unsur yang telah diputar balikkan.”

“Tetapi kesalahan itu diketahuinya sehingga ia sempat memperbaikinya. Kau tahu siapakah yang menuntunnya sehingga Wantilan dapat menguasai unsur-unsur gerak yang benar?” bertanya kakek gurunya itu.

Murid yang tertua itu pun menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak.”

“Tentu?” ulang kakek gurunya. Lalu katanya, “Yang memperbaiki kesalahan itu adalah gurumu sendiri.”

“Guru?” beberapa orang muridnya bertanya hampir berbareng.

“Ya,” jawab kakek gurunya, “jika kalian tidak yakin, bertanyalah kepada Gurumu.”

“Apakah hal itu benar Guru?” bertanya yang tertua.

“Ya,” jawab gurunya.

“Kenapa hal itu Guru lakukan?” bertanya yang tertua.

“Setelah aku menyadari, bahwa akulah yang bersalah,” jawab gurunya. Lalu katanya, “karena itu, maka kalian pun harus minta maaf kepada Wantilan sebagaimana kakek gurumu minta kepadamu.”

Murid-muridnya merasa ragu-ragu. Seakan-akan mereka tidak yakin akan pendengarannya. Karena itu, maka yang tertua berkata, “Aku tidak percaya. Tentu ada sebab-sebabnya yang mendesak. Mungkin kakek guru telah memaksa guru untuk melakukan hal itu atau sebab-sebab lain.”

“Memang ada sebab-sebab itu,” jawab kekek gurunya, “gurumu telah bertemu dengan orang-orang yang telah meluruskan kesalahan itu.”

“Jadi Guru terpaksa melakukannya apapun alasannya?” bertanya yang tertua.

“Mula-mula memang terasa terpaksa,” jawab gurunya, “tetapi akhirnya aku menyadari, bahwa sebaiknya aku memang melakukannya.”

“Aku tidak yakin,” jawab yang tertua, “siapakah yang telah memaksa Guru untuk melakukan hal itu?”

Gurunya memang ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi orang yang disebutnya kekek Guru itulah yang menjawab, “Anak-anak muda itu.”

Semua orang telah berpaling kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat, dan Mahisa Semu dan sekali-sekali mereka memandang Mahisa Amping.

“Anak-anak muda itulah yang telah memaksa Gurumu untuk mengajari agar Wantilan menemukan unsur-unsur yang benar,” jawab kakek Gurunya.

“Anak iblis,” geram murid yang tertua itu, “Jika demikian, maka akan menjadi kewajiban kita memaksa mereka untuk tunduk kepada kemauan kita. Bahkan jika perlu kita akan melenyapkan mereka bersama-sama dengan Wantilan.”

“Tunggu,” desis kakek Gurunya, “jika gurumu tidak mampu melawan orang itu, apakah kalian akan melakukannya?”

“Di sini sekarang ada Guru, ada kakek Guru, ada saudara-saudara seperguruanku. Bukankah kita cukup kuat untuk menghancurkan anak-anak muda itu?” sahut murid yang tertua itu.

Tetapi kakek Gurunya itu tertawa. Katanya, “Terus terang. Aku tidak berani melakukannya.”

“Kenapa kakek Guru tidak berani melakukannya? Bersama Guru dan kami?” desak yang tertua.

“Ilmuku tidak akan mampu mengimbangi ilmu Bajra Geni yang matang. Bahkan dasar ilmu yang paling bawah sekalipun tidak akan dapat aku lawan,” jawab kakek guru itu.

Justru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang terkejut. Orang tua itu ternyata dapat menyebut sumber ilmu mereka. Karena itu hampir diluar sadarnya Mahisa Pukat bertanya, “Kakek. Apakah yang kau maksud dengan ilmu Bajra Geni?”

“Kalian tentu mempunyai hubungan dengan mereka yang memiliki ilmu Bajra Geni. Salah satu di antara tiga, Witantra, Mahendra atau Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo telah terbunuh ketika ia masih muda. Sekarang Witantra dan Mahendra tentu sudah tua pula. Lebih tua dari aku sekarang ini,” jawab orang itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Orang itu dapat menyebut nama-nama itu dengan pasti. Tentu orang itu mengenal salah seorang di antaranya. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Nama-nama yang penah kau dengar itu apakah pernah kau kenal orangnya?”

“Dari jalur yang manakah yang mengalir ke dalam dirimu anak muda? Ketika ia melihat Wantilan bertempur, maka aku-pun mengerti sebagian besar dari kemungkinan yang telah terjadi.”

Mahisa Murti ternyata masih mengulangi pertanyaannya, “Apakah kau mengenal orang-orang yang kau sebut namanya itu?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak anak muda. Tetapi aku pernah melihat, bagaimana mereka melepaskan unsur-unsur gerak ciri dari perguruan mereka. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali, sehingga aku dapat mengenalinya. Wantilan, betapapun rendahnya tataran ilmunya yang dipelajarinya dari kalian berdua, namun sudah menunjukkan ciri-ciri itu, sehingga aku menduga, bahwa kalian bersumber dari perguruan yang memiliki landasan ilmu puncak Bajra Geni.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Aku tidak dapat menyebut ciri perguruanku sebagaimana kau katakan. Tetapi aku bukan apa-apa dibanding dengan perguruan Bajra Geni.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan mengelabui orang tua. Semula aku ingin menjajagi sendiri. Tetapi niat itu aku urungkan. Jika salah paham itu berkembang, maka aku tentu akan terkapar mati di sini. Karena itu, maka niat itu telah aku cegah dengan penalaran yang panjang.”

“Terima kasih, bahwa kami tidak harus melayanimu, karena kami tahu, bahwa kau adalah orang berilmu tinggi. Muridmu dan muridnya lagi termasuk Wantilan adalah contoh dari tingkat kemampuan pada tataran-tataran tertentu. Sehingga tataran puncaknya tentu akan sangat mengagumkan,” berkata Mahisa Murti.

“Kau terlalu merendah,” berkata orang itu, “namun itu agaknya ciri dari perguruan yang mempunyai landasan ilmu Bajra Geni.”

Mahisa Murti hanya menarik nafas panjang, sementara orang itu berkata selanjutnya, “Baiklah. Aku mohon maaf atas nama murid dan cucu muridku. Jika Wantilan sudah berniat bersama dengan kalian, maka kami sama sekali tidak akan dapat menahannya,”

“Tidak ada yang harus dimaafkan. Kalian semuanya tidak bersalah kepadaku dan saudara-saudaraku. Tetapi cucu muridmu yang lain agaknya telah berbuat salah terhadap Wantilan, apalagi mereka telah berniat membunuhnya. Bukan sekedar ancaman, tetapi benar-benar akan dilakukan. Terserah kepadamu dan kepada muridmu, guru dari orang-orang itu, apakah mereka dapat dianggap bersalah, atau kesalahannya itu sekedar akibat kesalahan muridmu. Tetapi mereka harus minta maaf kepada Wantilan,” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Aku dan muridku sudah memerintahkan kepada mereka untuk minta maaf,” desis orang itu yang kemudian telah mendekati cucu muridnya yang tertua. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bukankah kau belum secara jujur minta maaf? Bukan sekedar karena kalian takut dan hormat kepadaku?”

Cucu muridnya itu pun termangu-mangu. Namun memang tidak ada pilihan lain, bahwa mereka memang harus minta maaf. Apalagi ketika kakek gurunya itu berkata, “Jika kalian tidak mau minta maaf, maka aku tidak ikut bertanggung jawab apa yang akan terjadi atas kalian, karena Wantilan dan anak-anak muda dari perguruan yang memiliki landasan ilmu Bajra Geni itu tentu akan bertindak terhadap kalian. Tetapi jika kalian mau dengan tulus minta maaf, maka persoalannya tentu akan lain.”

Cucu-cucu muridnya itu termangu-mangu. Namun akhirnya guru mereka berkata, “Kesempatannya tinggal sedikit.”

Yang tertua di antara murid-muridnya itu pun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara yang berat, ia pun telah berkata seorang demi seorang, “Aku minta maaf, Wantilan. Atas nama semua saudara-saudaraku.”

Wantilan justru termangu-mangu sejenak. Tetapi ia punkemudian berkata, “Baiklah. Kita akan menganggap persoalan di antara kita sudah selesai.”

“Syukurlah,” desis kakek gurunya, “ternyata kau cukup bijaksana.”

“Rasa-rasanya itu adalah akhir yang paling baik dari perselisihan yang tidak ada ujung pangkalnya,” berkata Wantilan.

“Aku memang terlalu banyak membuat kesalahan,” berkata gurunya, “sejak sekarang, kau tidak perlu merasa dibebani persoalan yang menyangkut kesalahan yang telah dibuat oleh ayahmu. Ternyata guru, juga kakek gurumu, menganggap bahwa ayahmu tidak bersalah. Untunglah bahwa kau telah bertemu dengan anak-anak muda yang mengaku sebagai pengembara itu, sehingga kau selamat dari rencana pembunuhanku yang keji. Jika mereka tidak melihat kesalahan dalam unsur-unsur gerakmu, maka mungkin kau benar-benar akan mati tanpa kau sadari, bahwa pembunuhan itu terjadi lewat tenagamu sendiri.”

“Aku akan melupakannya Guru,” berkata Wantilan, “bagaimanapun juga aku telah mendapatkan manfaat di saat-saat aku belajar kepada Guru. Daya tahanku tentu lebih baik dari saudara-saudara seperguruanku, karena telah terbiasa bagian dalam tubuhku mendapat serangan terus-menerus setiap saat aku bergerak. Ketika serangan itu kemudian berhenti, maka terasa betapa daya tahan tubuhku seakan-akan menjadi berlipat dari mereka yang tidak pernah mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhnya.”

“Keuntungan yang kau dapatkan dari usaha yang yang buruk atas dirimu. Semoga kau dapat memanfaatkannya dengan baik,” berkata Gurunya.

Wantilan mengangguk hormat. Jawabnya, “Ya Guru. Aku akan memetik pengalaman yang sebanyak-banyaknya dari peristiwa ini.”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berpaling kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku titipkan muridku kepadamu. Kau tahu tentang orang itu dan bahkan kau tahu tentang aku dan hubunganku dengan muridku itu sebelumnya. Tetapi semuanya sekarang telah berubah.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Tetapi sebagaimana kalian ketahui, kami adalah pengembara yang menjelajahi satu tempat ketempat lain.”

“Aku yakin, bahwa pengembaraan kalian pada satu saat tentu akan berhenti. Dengan ilmu kalian yang tinggi, banyak hal yang dapat kalian lakukan,” berkata guru Wantilan itu.

“Mereka sedang melakukan tapa ngrame,” desis Wantilan.

“Apa maksudnya?” bertanya gurunya, “apakah maksudnya sebagaimana pengertian dari kata-kata itu sendiri? Mengembara sambil menolong sesama yang memerlukan pertolongan?”

“Ya,” jawab Wantilan, “nampaknya memang demikian.”

“Satu sebutan yang berlebihan,” sahut Mahisa Murti, “meskipun kami memang melakukan, tetapi apa yang kami perbuat di sepanjang perjalanan adalah membantu sesama sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami. Membantu barangkali merupakan tugas yang lebih ringan daripada menolong. Karena untuk menolong sesama memang diperlukan bekal yang cukup banyak.”

Guru Wantilan itu menarik nafas. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Sejak semula aku sudah mengira bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih suka merendahkan diri. Hal itu membuat aku semakin merasa bersalah. Tetapi sekali lagi aku titipkan muridku. Meskipun dari segi umur, muridku tentu lebih tua dari kalian. Tetapi ditakar dari kematangan ilmu, maka Wantilan bukan apa-apa dibanding dengan kalian. Karena itu, mudah-mudahan bersama kalian, Wantilan akan dapat menjadi orang yang berarti.”

“Ia sudah mempunyai bekal sebelumnya,”berkata Mahisa Murti.

“Tidak. Diperguruan kami, Wantilan adalah orang asing yang justru harus disingkirkan. Ia akan menjadi lebih berarti jika ia kalian beri kesempatan ikut bersama kalian dan belajar dari kalian. Bukan saja belajar olah kanuragan, tetapi juga mengetrapkannya dalam kehidupan sehingga hidup Wantilan tidak sia-sia seperti hidup kami. Bahkan seperguruan kami,” sahut guru Wantilan.

Namun yang menjawab adalah gurunya, “Sukurlah jika kita sempat menyadarinya. Karena dengan demikian tentu akan membawa perbaikan dikemudian hari. Kecuali jika nalar budi kita memang sudah mati.”

Muridnya, guru Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Ternyata bahwa kita masih mampu mendengarkan suara hati kita.”

Gurunya tertawa. Ia mendengar dengan jelas kata-kata itu. Namun ia tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian berkata kepada Mahisa Murti, “Sudahlah. Nampaknya pertemuan kita sudah cukup lama. Satu kesempatan yang jarang sekali kami dapat. Tetapi pertemuan ini telah membuka mata saudara-saudara seperguruan Wantilan, bahwa dunia ini begitu besarnya dengan penghuni yang demikian banyaknya.”

Guru Wantilan itu mengangguk-angguk. Ia tahu benar maksud kata-kata gurunya itu. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, maka kakek guru Wantilan itulah yang berkata, “Marilah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini sebelum kehadiran kita di sini menarik perhatian.”

“Pategalan ini nampaknya jarang dikunjungi pemiliknya. Agaknya di musim seperti ini, pategalan ini dianggap tidak menghasilkan apa-apa,” sahut Mahisa Murti.

“Tetapi pertemuan ini sudah cukup,” berkata kakek guru Wantilan itu. Kemudian katanya, “tetapi aku berharap bahwa pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi.”

“Senang sekali bertemu dengan kalian,” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, maka orang itu pun telah mengajak muridnya dan cucu-cucu muridnya untuk meninggalkan anak-anak muda itu. Sementara itu saudara-saudara seperguruan Wantilan ternyata masih juga beberapa kali berpaling. Namun mereka tidak akan dapat mengabaikan kata-kata gurunya dan bahkan kakek gurunya, bahwa anak-anak muda yang disebut pengembara itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari kakek gurunya itu.

Dalam pada itu, sebenarnyalah di sepanjang jalan menjauhi pategalan itu, kakek gurunya sempat berbicara tentang unsur-unsur gerak yang ia kenali. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Wantilan.

“Bukan unsur-unsur gerak khusus yang diberikan oleh guru kalian. Tetapi Wantilan telah belajar pada anak-anak muda itu,” berkata kakek guru Wantilan itu.

Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Baru mereka menyadari, bahwa ternyata Wantilan tidak berdiri sendiri. Tetapi lebih daripada itu, Wantilan memang tidak sepantasnya disingkirkan sebagaimana pendapat kakek gurunya.

“Anak-anak muda itu pulalah yang menyelamatkan Wantilan dari kematian karena ilmunya sendiri,” berkata kakek gurunya itu, “satu pelajaran bagi kalian, bahwa yang menentukan hidup dan mati kalian adalah satu Kuasa yang tidak ada taranya. Maha Kuasa."

Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi bagaimanapun juga peristiwa itu akan menjadi batas perubahan sikapdari perguruan itu. Untuk selanjutnya perguruan itu tentu tidak akan lagi berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya.

Dalam pada itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping pun telah berbenah diri. Mereka akan meninggalkan pategalan itu bersama Wantilan.

“Kita akan ke mana?” tiba-tiba saja Wantilan bertanya.

“Kita tidak perlu lagi berjaga-jaga menghadapi saudara-saudara seperguruanmu karena mereka ternyata sudah datang. Kita akan kembali ke padepokan yang sudah terlalu lama kami tinggalkan,” jawab Mahisa Murti.

“Aku akan ikut kemanapun kalian pergi,” berkata Wantilan.

“Baiklah,” jawab Mahisa Murti, “sudah kita sepakati, bahwa kau kami anggap sebagai paman kami. Bukan kakak kami, karena kakak bagi murid-murid sebuah perguruan akan dapat berarti juga tingkat perbandingan ilmu.”

“Aku mengerti,” jawab Wantilan, “karena itu, aku sudah merasa bersyukur bahwa aku diperbolehkan ikut serta bersama kalian.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka telah melanjutkan perjalanan. Mereka menempuh jalan kecil yang menuju ke sebuah padukuhan. Mereka berharap bahwa di padukuhan itu terdapat sebuah kedai yang dapat memberikan mereka makanan dan minuman.

Ternyata di padukuhan yang cukup besar itu bukan saja dapat dijumpai sebuah kedai. Bahkan di padukuhan itu ada pasarnya pula, meskipun tidak begitu ramai. Apalagi nampaknya hari itu memang bukan hari pasaran, sehingga hanya sebagian saja dari pasar itu yang terisi. Bahkan sebagian para pedagang sudah pulang karena matahari memang sudah terlalu tinggi lewat di puncak langit.

Ketika mereka meninggalkan padukuhan itu, maka tiba-tiba saja Wantilan itu berkata, “Jalan ini menuju ke rumah paman.”

“Paman siapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Pamanku,” jawab Wantilan, “saudara ayahku satu-satunya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Wantilan berkata, “Apakah kalian tidak berkeberatan jika kita singgah barang sebentar.”

“Aku tidak ingin perjalanan kami terhenti lagi,” berkata Mahisa Murti.

“Hanya sebentar. Tidak akan mengganggu perjalanan kita. Kita tidak akan bermalam di rumah paman. Aku hanya ingin bertemu sejenak setelah lama sekali tidak pernah bertemu,” berkata Wantilan.

Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Pukat yang tersenyum. Katanya sebelum Mahisa Murti bertanya sesuatu kepadanya, “Terserah kepadamu. Tetapi jika hanya beberapa saat saja, aku kira tidak akan berpengaruh atas perjalanan kami. Tetapi kami tidak akan menginap di rumahnya.”

“Terima kasih,” sahut Wantilan sebelum Mahisa Murti mengucapkan keputusannya.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat berbuat lain kecuali menyetujui keinginan Wantilan untuk singgah. Ternyata padukuhan tempat tinggal paman Wantilan masih belum terlalu dekat. Tetapi agaknya memang terletak di jurusan yang mereka tempuh menuju ke padepokan mereka.

Baru ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat, Wantilan berkata, “Itulah padukuhan paman. Aku masih ingat, sebatang randu alas yang besar hampir berhimpitan dengan sebatang pohon ketapang raksasa dan sebatang pohon cangkring, sehingga dari kejauhan nampak sebatang pohon yang sangat besar dengan tiga macam daun dan tiga macam bunga. Disebelah pohon itu tentu terdapat sebuah sendang yang meskipun tidak begitu luas, tetapi mata airnya cukup besar sehingga dapat mengairi beberapa bahu sawah disekitarnya. Aku ingat jelas, bahwa di padukuhan yang baru saja kita tinggalkan itu aku pernah beristirahat di gardu. Namun aku telah diusir oleh beberapa orang anak muda, karena mereka mengira bahwa aku pantas dicurigai.”

“Kau sendiri waktu itu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Aku berjalan bersama ayahku,” berkata Wantilan. Lalu katanya, “Memang satu kenangan yang buruk. Kunjungan itu adalah kunjungan ayah yang terakhir ke rumah paman, karena beberapa tahun kemudian, ayah telah meninggal.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil sambil bertanya, “Kesalahan apakah yang pernah dilakukan oleh ayahmu, sehingga gurumu menganggap ayahmu berkhianat dan bahkan telah membebankan hukumannya kepadamu?”

Wantilan menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu apa-apa. Gurupun tidak mengatakan apa-apa. Juga hukuman yang dibebankan kepadaku itu. Apalagi guru berniat membunuhku perlahan-lahan dengan kekuatan ilmu yang aku peroleh itu sendiri.”

“Memang satu hukuman yang sangat berat. Tetapi nampaknya gurumu sudah menyadari sepenuhnya, bahwa ia telah bersalah,” berkata Mahisa Murti.

Wantilan mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat bergumam, “Pamanmu tentu senang sekali melihat kedatanganmu.”

“Tentu.,” jawab Wantilan, “paman dan bibi akan sangat senang oleh kedatanganku.”

“Tentu akan menyembelih kambing,” tiba-tiba saja Mahisa Amping bergumam.

Semua yang mendengar gumam itu berpaling. Hampir berbareng mereka tertawa. Dengan nada rendah Wantilan berkata, “Paman tidak mempunyai seekor kambing pun.”

“Tetapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu,” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “Siapa tahu, sekarang pamanmu mempunyai segerombolan kambing yang gemuk.”

Wantilan memang tertawa. Tetapi ia berkata, “Pamanku termasuk seorang yang tidak kaya.”

“Kambing bukan hanya milik orang kaya,” jawab Mahisa Semu.

Wantilan masih saja tertawa. Tetapi ia tetap menjawab. Sementara itu, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan tempat tinggal paman Wantilan itu. Ternyata tidak banyak perubahan yang terjadi. Pintu gerbang padukuhan masih juga seperti dahulu. Demikian pula jalan yang membelah padukuhan itu menjadi dua bagian. Sebelah kiri dan sebelah kanan jalan. Kelima orang itu pun telah menyusuri jalan padukuhan yang mulai menjadi buram itu. Matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat langit yang cerah.

“Rumah paman di sebelah pohon gayam itu. Aku masih ingat, di musim gayam, buahnya sangat lebat,” berkata Wantilan.

“Siapakah yang berhak mengambil buahnya jika pohon itu berada di pinggir jalan, diluar dinding halaman?” bertanya Mahisa Pukat.

“Orang yang memiliki halaman terdekat,” jawab Wantilan, “jadi pamanlah yang mengambil buah gayam itu.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu mereka melangkah terus. Jalan-jalan rasa-rasanya sudah menjadi semakin lenggang. Satu dua orang masih mereka jumpai pulang dari sawah atau pategalan. Namun mereka pun segera hilang di balik regol-regol halaman.

Tiba-tiba saja Wantilan berhenti sambil berkata, “Inilah rumah paman.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Ternyata bahwa paman Wantilan adalah seorang yang sedang-sedang saja. Tidak nampak berlebihan, tetapi menilik rumah dan halamannya, serta regolnya, ia bukan seorang yang miskin.

“Marilah,” ajak Wantilan.

Kelima orang itu pun kemudian telah memasuki halaman. Seorang yang melihat mereka telah mendekatinya dengan langkah yang ragu.

“Apakah keperluan kalian?” bertanya orang itu.

“Aku adalah Wantilan,” jawab Wantilan, “bukankah di sini rumah paman Sarpada?”

“Ya. Ini rumah kakang Sarpada?” jawab orang itu.

Wantilan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jika demikian tolong, sampaikan. Aku kemenakannya, Wantilan.”

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Silahkan duduk. Aku akan menyampaikannya kepada kakang Sarpada.”

Namun ketika orang itu melangkah, Wantilan sempat bertanya, “Siapakah Ki Sanak?”

“Aku tinggal di sebelah. Sehari-hari aku membantu di sini, selama kakang Sarpada sakit,” jawab orang itu.

“Jadi paman Sarpada sedang sakit?” bertanya Wantilan.

“Ya. Tetapi biarlah aku menyampaikannya,” berkata orang itu.

Sejenak kemudian, orang itu telah masuk ke dalam lewat seketheng. Beberapa saat Wantilan dan anak-anak muda yang mengembara itu menunggu. Namun ternyata mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama. Sejenak kemudian, maka orang itu telah keluar lagi sambil berkata, “Marilah. Masuklah. Paman dan bibimu menunggumu.”

Wantilan memang ragu-ragu. Namun orang itu berkata, “Ajak kawan-kawanmu untuk masuk bersamamu.”

Sejenak kemudian mereka telah memasuki rumah itu dari pintu samping. Seperti yang diduga, maka paman dan bibi Wantilan merasa senang sekali mendapat kunjungan kemenakannya yang telah lama sekali tidak bertemu. Apalagi kedua orang paman dan bibinya itu sudah mendengar bahwa ayah Wantilan telah meninggal.

“Kami merasa kesepian,” berkata pamannya yang ternyata memang sedang sakit. Namun karena kedatangan Wantilan, maka ia pun telah duduk di bibir pembaringannya, “paman dan bibi menjadi semakin tua. Sementara itu, seperti kau ketahui, paman dan bibi tidak mempunyai seorang anak pun. Yang kami tunggu-tunggu selama ini memang kau Wantilan.”

Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia tidak jadi mati karena tenaga dan ilmunya sendiri. Sementara itu Wantilan sempat memperkenalkan anak-anak muda pengembara itu sebagai sahabat-sahabatnya. “Mereka menganggap aku sebagai pamannya sendiri,” berkata Wantilan.

“Senang sekali bertemu dengan kalian,” berkata paman Wantilan yang sedang sakit itu.

“Kami hampir tidak sabar menunggumu Wantilan,” berkata bibinya kemudian, “rasa-rasanya kami sudah hampir mati, sementara kau masih juga belum datang.”

“Aku tentu datang bibi,” sahut Wantilan, “sebagaimana bibi lihat sekarang.”

Bibinya mengangguk kecil. Katanya, “Aku memang yakin, bahwa kau pasti datang. Untunglah bahwa kau belum terlambat.”

“Terlambat? Maksud bibi?” bertanya Wantilan.

“Kau lihat, pamanmu jatuh sakit. Bibi juga sudah sakit-sakitan saja. Untunglah bahwa tetangga sebelah bersedia membantu kami, sehingga pekerjaan kami menjadi ringan,” berkata bibinya, “tetapi sebenarnyalah kami sudah cemas, bahwa umur kami tidak akan sampai pada batas kedatanganmu.”

“Ah jangan berpikir begitu bibi. Paman akan menjadi baik dan bibi akan tetap sehat,” berkata Wantilan kemudian.

“Mungkin,” jawab bibinya. Namun kemudian katanya. “Marilah, duduklah di ruang tengah.”

Wantilan serta anak-anak muda yang mengaku pengembara itu pun kemudian telah duduk di ruang tengah di atas sehelai tikar pandan yang dibentangkan di atas sebuah amben yang besar.

Ketika pamannya berjalan tertatih-tatih ditolong oleh bibinya ke ruang itu pula, Wantilan berusaha untuk mencegahnya. Tetapi pamannya tersenyum, “Kedatanganmu telah membuat aku sembuh dengan serta merta.”

“Tetapi paman masih sangat lemah,” berkata Wantilan.

“Tidak,” pamannya menggeleng, “aku cukup kuat.”

Pamannya memang kemudian duduk bersama Wantilan dananak-anak muda yang mengaku pengembara itu. Ternyata bersama mereka paman Wantilan itu sempat berbicara cukup panjang. Bahkan sekali-sekali terdengar suara tertawanya yang berkepanjangan. Bibinyapun nampak menjadi segar dan ikut tertawa-tawa pula.

Namun Wantilan kemudian ternyata telah mengecewakan paman dan bibinya ketika ia berkata, “Kami hanya sekedar singgah kali ini paman. Tetapi jangan cemas. Pada saat yang lain aku akan datang lagi.”

Pamannya menundukkan kepalanya. Katanya, “Jika kau pergi, kapanpun kau kembali, maka semuanya sudah terlambat.”

“Ah, paman tentu akan sembuh,” berkata Wantilan.

“Bukan aku akan mati,” berkata pamannya, “meskipun aku akan sembuh, tetapi persoalannya tentu sudah menjadi semakin kusut.”

Wajah Wantilan menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah persoalannya paman?”

Paman Wantilan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara lemah ia berkata, “Tanah itu.”

“Tanah yang mana?” bertanya Wantilan.

“Tanahku di sebelah bulak. Sebenarnya tanah itu bukan milikku sendiri. Tetapi tanah itu milikku dan milik ayahmu. Tetapi ayahmu ternyata tidak pernah datang kembali untuk menerima bagiannya. Tetapi itu pun tidak menjadi persoalan, karena aku merasa bahwa akhirnya semuanya akan jatuh ke tanganmu, karena kau tahu bahwa aku tidak mempunyai anak.” Paman Wantilan itu berhenti sejenak, lalu katanya selanjutnya, “Kau tahu, bahwa tanah itu cukup luas, sehingga karena itu, maka untuk masa depanmu, kau tidak perlu cemas meskipun kau tidak mengerjakannya sendiri.”

“Ya paman,” jawab Wantilan.

“Dan kau tahu, bahwa di tengah-tengah tanah kita terdapat sebuah mata air yang cukup besar, sehingga sawah kita tidak akan pernah menjadi kering. Dengan demikian maka tanah kita merupakan tanah yang paling subur di daerah ini,” paman Wantilan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Meskipun demikian aku tidak menahan air itu untuk kepentinganku sendiri. Aku telah memberikan air yang tersisa kepada mereka yang memerlukan. Karena itu, tanah di sekitar tanah kita itu pun dapat menanam padi dua kali dalam setahun di samping palawija. Dengan demikian maka kehidupan paman dan tetangga-tetangga paman menjadi agak baik karenanya,” Paman Wantilan itu berhenti sejenak, ia nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia meneruskan, “Tetapi ternyata seseorang tidak menyukai keadaan itu. Orang itu ingin mendapatkan air seluruhnya dari tanah kita. Orang itu tidak membiarkan paman membagi-bagi air untuk para tetangga. Orang itu ingin semua air dari mata air itu untuk mengairi sawahnya yang luas, tetapi kering. Tetapi sudah tentu paman tidak sependapat, meskipun aku tidak menolak untuk mengalirkan sebagian air ke sawahnya.”

“Apa yang dikehendaki orang itu sebenarnya paman?” bertanya Wantilan.

“Orang itu ingin membeli tanah kita,” jawab pamannya.

“Membeli? Bukankah paman tidak berniat untuk menjualnya?” bertanya Wantilan.

“Aku sudah mengatakannya, bahwa aku tidak akan menjual tanah itu. Bahkan aku pun telah mengatakannya, bahwa tanah itu bukan milikku lagi, tetapi milik kemanakanku. Namun agaknya orang itu tidak percaya. Ia telah memaksa untuk membelinya, bahkan dengan harga yang ditentukan sendiri,” berkata pamannya.

“Jika paman berkeberatan, bukankah ia tidak dapat memaksa?” bertanya Wantilan.

“Orang itu selalu menakut-nakuti paman dengan berbagai macam cara,” jawab pamannya.

“Apakah paman tidak melaporkannya kepada Ki Bekel atau bahkan Ki Buyut?” bertanya Wantilan.

“Aku sudah melaporkannya lebih dari sekali,” jawab paman Wantilan, “tetapi Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa...”

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.