Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 72 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 72
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG-ORANG yang berdiri didekat dinding halaman menjadi berdebar-debar melihat ketiga orang anak muda itu mendekati mereka. Seorang yang mewakili orang-orang itu telah maju selangkah mendapatkan ketiga orang anak-anak muda itu. Bahkan dengan senjata yang telah siap terayun.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Mahisa Murti.

Orang yang mewakili orang-orang padukuhan itu pun berkata, “Kau tidak perlu bertanya lagi. Kau harus menyadari, bahwa permainan kalian akan berakhir disini.”

“Permainan apa? Kami tidak pernah merasa berbuat sesuatu yang tidak pantas bagi padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Memang tidak bagi padukuhan ini,” jawab orang itu.

“Tolong Ki Sanak. Katakan kepada kami, apakah salah kami?” berkata Mahisa Murti.

Tetapi nampaknya orang-orang itu benar-benar telah menuduh mereka bertiga. Orang yang mewakili kawan-kawannya itu berkata, “Kesabaran kami sudah habis.”

“Tidak. Aku tidak mau melakukan kesalahan dalam kesalah pahaman ini,” berkata Mahisa Murti, “kalian perlu menjelaskannya.”

Tetapi orang itu justru memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengepung ketiga orang anak muda itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada tinggi ia bertanya,

“Untuk apa kalian menerima kami bermalam di banjar ini? Sengaja merupakan satu jebakan? Kami kalian biarkan bermalam disini untuk sekedar menerima tuduhan kalian yang keji itu? Jika kalian belum dapat menemukan orang-orang jahat yang kalian cari, kalian jangan menjebak siapa saja untuk kalian jadikan sasaran kebingungan kalian.”

“Cukup, cukup,” teriak orang itu, “kalian datang sebagaimana kalian lakukan di padukuhan lain. Kemudian di malam hari kalian ambil anak itu.”

“Persetan,” geram Mahisa Pukat yang kehilangan kesabaran. “Ingat, aku dapat membunuh kalian.”

Orang-orang yang mengepung ketiga orang anak muda itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Sementara orang yang bertubuh tinggi tegap itu berkata, “Kau dapat melakukannya di padukuhan-padukuhan lain. Tetapi tidak disini.”

“Bukankah kami tidak melakukan sesuatu?“ Mahisa Pukat hampir berteriak.

“Itu karena kalian tahu, kami telah mengepung kalian.” jawab orang bertubuh tinggi tegap itu.

“Kenapa hal itu kalian lakukan? Bukankah itu satu kesengajaan untuk menyudutkan kami? Seharusnya kalian tidak melakukannya dan menyaksikan apakah yang kami lakukan dengan diam-diam sehingga kalian tidak mempunyai alasan untuk dengan tidak bertanggung jawab menuduh kami. Seolah-olah kami tidak melakukannya karena kalian telah mengepung kami,” berkata Mahisa Pukat yang mulai marah, “nah, siapakah yang merencanakan semua ini? Orang itu pantas dicurigai, bahwa orang itu sebenarnya mengetahui tentang orang-orang yang kalian cari sebenarnya.”

Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu berkata, “jangan mengada-ada. Menyerah sajalah.”

Mahisa Pukat hampir saja tidak dapat mencegah kemarahannya meledak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Baiklah. Kami menyerah. Bawa kami menghadap Ki Buyut. Tetapi dengan syarat, bahwa kami tidak perlu diikat.”

“Kami akan mengikat kalian.” geram orang bertubuh tinggi tegap itu.

“Jika kalian mengikat kaki kami, bagaimana kami dapat berjalan?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berbicara Mahisa Murti berbisik, “Dengan cara ini, kami akan bertemu dengan Ki Buyut.”

Tetapi nampaknya Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak senang tangannya menjadi terikat. Namun Mahisa Murti tidak memperhatikannya. Dalam pada itu, orang-orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun membentak, “Jika demikian, cepat berlutut, acungkan tanganmu dan kami akan mengikatnya.”

Mahisa Murti pun segera melakukannya, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi ragu-ragu. Namun betapa pun segannya akhirnya keduanya telah melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti. Ketiga orang anak muda itu telah berlutut sambil mengacungkan tangannya ke depan. Orang-orang itu pun telah mengikat tangan ketiganya dengan tali sabut kelapa yang kuat.

“Kita membawa mereka menghadap Ki Buyut.” berkata orang yang mewakili kawan-kawannya itu.

Tetapi orang yang bertubuh tinggi tegap dan beberapa orang yang lain telah menolaknya. Bahkan beberapa orang telah berusaha maju sambil berteriak, “jangan serahkan kepada Ki Buyut.”

“Kenapa?” bertanya orang yang mewakili kawan-kawannya.

“Kita putuskan sendiri, hukuman apa yang pantas bagi mereka bertiga.” berkata seorang yang bertubuh gemuk.

“Jangan,” berkata orang yang mewakili kawan-awannya itu, “kita tidak boleh berbuat demikian. Apalagi kita tidak melihat sendiri apakah mereka benar-benar telah bersalah. Karena itu, maka sebaiknya kita serahkan saja mereka kepada Ki Buyut. Dengan demikian kita tidak akan dibebani tanggung jawab jika terjadi kekeliruan.”

“Tidak ada yang keliru. Kita telah menangkap orang yang bersalah. Karena itu, kita berhak mengadilinya.” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurusan.

“Hak dari mana?” bertanya yang mewakili kawan-kawannya itu.

“Kita tidak peduli hak dari mana. Orang-orang ini pantas diadili. Kita akan mengikat mereka pada patok-patok di halaman banjar. Kita akan menghukum mereka dengan cara yang paling menyenangkan bagi kita. Setiap orang dibenarkan untuk melakukan apa saja atas mereka.” geram orang yang bertubuh tinggi tegap.

Ternyata bahwa perdebatan itu tidak berkesudahan. Selain orang yang mewakili kawan-kawannya itu, memang ada beberapa orang yang menganggap bahwa menyerahkan ketiganya kepada Ki Buyut adalah cara yang paling baik. Tetapi ternyata sebagian besar dari orang-orang itu ingin mengadili ketiga orang anak muda itu sendiri.

Mahisa Pukat yang masih saja berlutut itu menjadi muak mendengar perdebatan itu. Tetapi ia sempat mengamati dengan sungguh-sungguh, siapakah di antara orang-orang itu yang tidak ingin melakukan penganiayaan itu dan siapakah yang paling bernafsu untuk mengambil sikap yang kasar itu.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang berniat untuk langsung menghukum ketiga orang itu ternyata lebih banyak, sehingga beberapa orang justru nampak tersisih. “Aku tidak bertanggungjawab atas tingkah laku kalian. Bukankah sejak semula kita sudah sepakat untuk menangkap mereka dan menyerahkannya kepada Ki Buyut.”

“Tetapi sikap kasar mereka membuat kita marah bukan?,” sahut orang bertubuh tinggi tegap itu. Sementara orang lain menyahut “ Ya. Mereka tidak langsung menyerah. Karena itu, maka mereka memang pantas dihukum. Mereka telah membuat kita menjadi sakit hati dan kehilangan kesabaran.”

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun berkata, “Apa pun yang akan kalian lakukan, aku tidak tahu menahu. Aku sudah berusaha untuk mengambil jalan terbaik. Tetapi kalian terlalu bernafsu untuk menyakiti sesama.”

Tetapi ternyata bahwa kata-katanya tidak didengar lagi oleh kawan-kawannya yang semula menganggapnya sebagai orang yang paling berpengaruh di antara mereka. Namun didesak oleh keinginan untuk memuaskan nafsu kebengisan dan kekejian mereka, maka mereka telah melupakannya.

Dalam pada itu Mahisa Murti mencoba untuk mengingatkan mereka, “Ki Sanak. Aku bersedia untuk menyerah karena kalian berjanji untuk membawa kami kepada Ki Buyut. Bukan untuk kalian adili sendiri.”

Tetapi tanggapan orang-orang itu telah mengejutkan ketiga anak muda itu. Tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah menendang wajah Mahisa Murti sehingga Mahisa Murti telah terdorong dan jatuh berguling di tanah. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah bahwa orang-orang yang menyaksikan hal itu telah tertawa berkepanjangan.

Mahisa Murti masih terbaring di tanah, ia sengaja untuk tidak segera bangkit berdiri. Bahkan kemudian ia berusaha untuk duduk dan membungkuk dalam-dalam seolah-olah ia berada dalam kesakitan yang sangat. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Mahisa Murti yang marah itu telah mengetrapkan kekuatannya menjadi berlipat ganda.

Tali yang melingkar dipergelangan tangannya ternyata tidak mampu mengikatnya. Tangan Mahisa Murti yang marah itu seakan-akan telah berubah menjadi bara, sehingga tali itu bagaikan telah terbakar. Dengan kekuatannya yang berlipat Mahisa Murti telah menghentakkan tali itu, sehingga terputus sama sekali.

Adalah diluar persetujuan di antara mereka, jika Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun telah memutuskan tali yang mengikat pergelangan tangannya di saat orang-orang yang ada di sekitarnya sedang memperhatikan Mahisa Murti yang mereka kira menjadi sangat kesakitan sehingga ia duduk terbungkuk-bungkuk.

“Jangan menangis,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang ingin mengadili ketiga orang anak muda itu. Lalu katanya, “Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian.”

Mahisa Murti masih saja dalam sikapnya. Namun jantungnya hampir meledak ketika dirasakannya kaki seseorang telah menginjak tengkuknya. Bahkan kemudian ditekannya keras-keras sehingga dahi Mahisa Murti hampir saja membentur tanah. Tetapi Mahisa Murti masih tetap berdiam diri. Ia memang menunggu agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bersiap menghadapi keadaan.

Sebenarnyalah perhatian terbesar telah ditujukan kepada Mahisa Murti. Beberapa orang telah mengerumuninya untuk menghinakannya. Ada yang mulai menendangnya. Ada pula yang meludahinya. Kesempatan itu juga tidak disia-siakan oleh Mahisa Pukat. Ia telah dengan diam-diam berusaha melepaskan ikatan tangan Mahisa Semu meskipun nampaknya keduanya menjadi sangat ketakutan.

Mahisa Murti memang merasa bahwa waktu yang diberikan sudah cukup bagi Mahisa Pukat jika ia tanggap. Seandainya tidak, maka ia akan mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu sebelum Mahisa Pukat menyadari keadaannya.

Sementara itu mulai terdengar orang-orang berteriak, “Ikat pada tiang itu. Beri kami kesempatan.”

“Ya. Ikat mereka pada tiang itu.” teriak yang lain, yang disahut oleh beberapa buah mulut yang lain.

Tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah merenggut rambut Mahisa Murti dan menariknya tanpa segan-segan, sehingga wajah Mahisa Murti tengadah. Adalah diluar kehendaknya jika tangannya telah terbuka.

Mula-mula orang menarik rambutnya tidak begitu memperhatikannya. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak, “Tali pengikat tangannya putus.”

Orang-orang yang lain pun telah memperhatikan tali yang sudah terkulai di tanah, sementara pergelangan tangan Mahisa Murti sudah terbuka. Beberapa orang telah bergeser mundur. Orang yang menarik rambutnya pun telah bergeser surut pula.

Mahisa Murti pun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Sambil bertolak pinggang ia memandang berkeliling. Orang-orang yang mengepungnya pun bergeser semakin menjauhinya. Sementara itu, Mahisa Murti sempat memberi isyarat agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mendekatinya.

Orang-orang yang mengepung anak-anak muda itu menjadi semakin heran, tetapi juga berdebar-debar. Ketiga anak muda itu telah terlepas dari ikatan pada pergelangan tangannya. Bahkan Mahisa Murti yang marah itu berkata lantang, “Siapa yang akan mengikat kami pada tonggak-tonggak di halaman banjar ini? Siapa?”

Orang-orang yang mengepung ketiga anak muda itu memang menjadi bingung. Bagaimana mungkin mereka bersama-sama dapat melepaskan diri dari ikatan yang kuat itu.

“Kenapa kalian tidak menjawab?” Mahisa Murti berbicara semakin keras.

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu. Bahkan satu dua orang mulai mencari orang yang semula dianggap mewakili mereka, namun yang tidak lagi mereka dengar kata-katanya. Ternyata orang itu berdiri di pendapa banjar. Dengan saksama ia memperhatikan ketiga orang anak muda itu bersama beberapa orang yang mempunyai sikap dan pendirian seperti dirinya. Orang itu memang sudah menduga bahwa satu keajaiban akan terjadi.

Meskipun demikian orang itu pun menjadi heran, bahwa ketiga orang anak muda itu mampu melepaskan ikatan di pergelangan tangan mereka pada saat-saat anak-anak muda itu tertutup oleh kesibukan orang-orang yang mengepung mereka, menghinakan Mahisa Murti dan bahkan menyakitinya. Orang-orang yang berada di pendapa itu termangu-mangu ketika beberapa orang minta mereka melakukan sesuatu.

“Anak-anak muda itu mampu melepaskan ikatan pada pergelangan tangannya.” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku sudah melihatnya.” jawab orang yang mewakili mereka sebelumnya, namun yang kemudian tidak didengar kata-katanya itu.

“Kami mohon kau dapat berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan ini.” berkata orang yang menemuinya.

“Apa yang dapat aku lakukan? Aku bukan apa-apa lagi. Ketiga anak muda itu sudah melepaskan ikatan itu dengan cara yang tidak kita ketahui. Karena itu, aku tidak berani lagi mendekati mereka. Bukankah dengan demikian menunjukkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang berada kemampuan kita semuanya.” berkata orang itu.

“Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Aku akan tetap berada di pendapa ini.” berkata orang yang mewakili kawan-kawan mereka itu.

Beberapa orang itu tidak berhasil melibatkan orang yang semula menjadi wakil mereka, namun yang kemudian tidak lagi mereka perlukan. Nampaknya orang itu telah menjadi marah dan sangat tersinggung sehingga ia tidak lagi mau tahu apa yang akan terjadi.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang sudah terlanjur memperlakukan ketiga orang anak muda itu dengan kasar, memang tidak akan dapat mengingkari tanggung jawab. Terutama orang yang bertubuh tinggi tegap, yang telah menghinakan anak-anak muda itu.

Karena itu, maka ia pun telah berkata, “jangan terpengaruh oleh permainan sihir anak-anak muda itu. Jumlah kita terlalu banyak bagi mereka. Siapa pun mereka, mereka tidak akan dapat melawan kita semuanya. Jika mereka tidak mau menyerah, maka kita akan dapat memaksanya, bahkan membunuh mereka pun kita tidak akan dipersalahkan orang.”

Orang-orang yang kecemasan itu tiba-tiba telah bangkit kembali. Mereka tiba-tiba telah mengacukan senjata mereka. Seorang di antara orang-orang itu pun berteriak lantang, “Menyerah sajalah.”

“Tidak ada gunanya kami menyerah,” jawab Mahisa Murti. “Kalian tidak mempunyai tali yang cukup kuat untuk mengikat kami. Tali ijuk sekalipun tidak akan berarti apa-apa. Karena itu, kalian sajalah yang menyerah. Aku tidak akan menghukum kalian semua. Aku hanya akan menghukum orang-orang yang bersalah.”

“Kau tidak berhak menghukum kami.” teriak orang yang bertubuh tinggi tegap itu.

“Hak ku sama dengan hak mu. Jika kau berhak menghukum kami, maka kami pun berhak menghukum kalian. Di sini nampaknya kekuasaan Ki Buyut sama sekali tidak diperlukan. Bahkan bebahu padukuhan ini pun tidak. Kalian berbuat sesuka hati di banjar padukuhan ini. Kalian sama sekali tidak menghormati paugeran yang berlaku.”

“Tutup mulutmu,” teriak orang yang bertubuh tinggi tegap, “kau sengaja memperpanjang kesempatan untuk menunggu kedatangan bebahu padukuhan ini. Mereka tidak akan datang karena tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepada mereka.”

“Aku tidak mengulur waktu,” jawab Mahisa Pukat yang marah, “justru aku ingin cepat-cepat kalian menyerah. Aku ingin mengikat kalian semuanya pada patok-patok di halaman atau di pepohonan di kebun belakang. Kami akan menghukum kalian dengan cara sebagaimana akan kalian lakukan atas kami.”

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak kepada orang-orang padukuhan itu, “Sekarang. Bunuh mereka jika melawan. Jika tidak, maka mereka akan benar-benar berbahaya bagi kita.”

Orang-orang padukuhan itu pun mulai bergerak. Mereka benar-benar mengacukan senjata mereka ke arah ketiga anak muda itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sudah benar-benar marah kepada orang-orang itu. Karena itu, maka mereka bertiga pun telah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk melakukan perlawanan.

Adalah satu kesalahan bagi orang-orang padukuhan itu, bahwa mereka terlalu percaya pada tali pengikat tangan ketiga orang anak muda itu sehingga pedang-pedang mereka tidak diambilnya. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah menggenggam senjata mereka pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan tenaga cadangan mereka, sementara Mahisa Semu pun telah berada pada puncak kemampuan ilmu pedang yang pernah dipelajarinya.

Karena itu, demikian seorang di antara lawan bergerak, Mahisa Semu telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dengan cepat sekali ia menyentuh pedang lawan yang mulai bergerak itu dan dengan satu putaran yang cepat, pedang itu bagaikan telah dibelit oleh kekuatan yang sangat besar. Tiba-tiba saja pedang itu telah terlontar tinggi-tinggi di udara.

Selagi orang yang kehilangan pedangnya itu terheran-heran, maka ujung pedang Mahisa Semu yang marah itu telah menggores lambungnya. Terdengar keluh kesakitan. Orang itu pun langsung jatuh di tanah. Beberapa orang telah terkejut. Namun mereka tidak sempat berbuat apa pun juga karena pedang Mahisa Semu justru telah menyambar-nyambar.

Pertempuran ternyata memang tidak dapat dihindari. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang terlalu garang bagi orang-orang padukuhan itu. Kemarahan yang sangat agaknya telah membuat mereka kehilangan pengendalian diri sehingga dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah terkapar dan terluka parah.

Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu telah menjadi sangat negeri melihat kemarahan ketiga orang anak muda itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan bertemu dengan anak-anak muda yang demikian garang.

Dalam keadaan yang demikian, orang yang dianggap wakil dari orang-orang padukuhan itu tidak dapat tinggal diam. Ia pun kemudian telah turun dari pendapa dan mendapatkan ketiga orang anak muda yang marah itu. Bahkan tanpa ragu-ragu orang itu telah memasuki arena pertempuran sambil berkata,

“Anak-anak muda. Akulah yang bertanggung jawab. Karena itu, jika kalian benar-benar marah dan ingin melakukan pembalasan, lakukanlah atas aku dan barangkali untuk memuaskan kalian, beberapa orang yang mempunyai pendirian seperti aku, bersedia pula menjadi banten.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah tertegun. Suara orang itu benar-benar telah menyentuh hati mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Hentikan. Kita akan menilai kembali, apa yang telah kita lakukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah meloncat surut. Meskipun senjata mereka masih teracu, tetapi mereka tidak lagi berloncatan menyerang.

“Apa yang kalian kehendaki?” bertanya Mahisa Murti, “mengikat tangan kami kembali? Menendang wajah kami dan menarik rambut kami? Meludahi dan mengumpat-umpat serta memaki dengan kata-kata kotor? Kemudian berniat untuk mengikat kami di patok-patok itu dan membiarkan kami mendapat hukuman picis sementara kami tidak pernah merasa bersalah? Kenapa kau mencoba menipu kami dengan mengatakan, bahwa kami akan dihadapkan kepada Ki Buyut?”

“Akulah yang bersalah. Sudah aku katakan, aku bertanggungjawab. Karena itu, jika kau ingin mendapat kepuasan dengan membunuh oleh kemarahan yang tidak terbendung lagi, bunuhlah kami.” berkata orang itu.

Beberapa orang yang mempunyai pendirian seperti wakil orang-orang padukuhan itu berdiri di belakangnya. Nampaknya mereka memang pasrah. Tidak seorang pun di antara mereka yang bersenjata yang menunjukkan sikap perlawanan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat melawan kalian yang tanpa senjata. Kenapa kalian tidak mencari senjata dan bersama-sama dengan kawan-kawan kalian mengepung dan mengeroyok kami?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Sejak semula kami memang tidak menghendakinya. Kami, sekelompok kecil ini berpendirian, bahwa sepantasnya kalian dibawa menghadap Ki Buyut. Tetapi saudara-saudara kami bersikap lain. Namun karena akulah yang telah mengikat tangan kalian, maka biarlah kemarahan kalian, kalian tumpahkan kepadaku dan beberapa orang saudaraku ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu. Hampir diluar sadarnya ia-pun telah menyarungkan senjatanya. Demikian pula Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Ketika mereka bertiga sempat melihat keadaan di sekitarnya, maka mereka melihat beberapa orang telah terluka parah oleh kemarahan mereka yang tidak terkendali. Tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Mereka telah memperlakukan kami dengan sangat kasar. Bahkan terlalu kasar.”

“Kami mengerti,” jawab orang itu, “perlakuan yang tidak sewajarnya. Tetapi itu bukan watak orang-orang padukuhan ini.”

“Bagaimana kau dapat berkata begitu. Ternyata mereka telah melakukannya.” jawab Mahisa Murti.

“Mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang tidak terlalu kasar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang terlalu pendek berpikir. Mereka dengan mudah telah dipengaruhi oleh orang-orang yang memang kasar dan berhati kelam.” berkata orang itu.

“Siapakah yang kau maksud itu?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kau dapat menerkanya sendiri.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia memandang orang yang bertubuh tinggi tegap yang sedang menyeringai kesakitan, karena dadanya terluka meskipun tidak terlalu dalam. Namun luka di bawah lambungnya telah membuatnya tidak dapat meninggalkan medan dan melarikan diri. Ketika Mahisa Murti berpaling kembali kepada orang yang merasa bertanggung jawab itu, maka orang itu pun mengangguk.

Mahisa Murti telah mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata, “Lalu apa yang akan kalian lakukan sekarang? Semuanya telah terjadi. Apakah kau tidak mempunyai sikap lain kecuali berkata bahwa kau yang bertanggung jawab?”

“Aku tidak dapat berbuat apa-apa Ki Sanak.” berkata orang itu.

“Jadi kau juga tidak mampu merawat saudara-saudaramu itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

Orang itulah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika Ki Sanak mengijinkan.”

“Lakukanlah. Tetapi aku menjadi ingin tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya di padukuhan ini, sehingga kalian telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang yang minta perlindungan dan bermalam di sini.” jawab Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang padukuhan yang ada di sekitarnya dengan wajah yang tegang. Keringatnya yang membasahi tengkuk dan punggungnya.

“Kau dengar saudara-saudaraku. Kami diperbolehkan merawat saudara-saudara kita yang terluka.” berkata orang itu.

Namun Mahisa Murti masih juga berkata, “Tetapi siapakah di antara kalian yang tidak mau menerima keadaan ini? Siapakah yang masih tetap berpendirian untuk menangkap kami dan menghukum mati dengan hukuman yang paling biadab yang kita kenal sekarang, yaitu hukum picis?”

Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara Mahisa Murti telah berteriak pula, “Siapa? Siapa?”

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu berkata sareh, “Tidak ada Ki Sanak.”

“Jika tidak ada, kenapa kalian masih bersenjata? Lemparkan senjata kalian, atau aku harus menarik senjataku kembali?” bertanya Mahisa Murti.

Jantung orang-orang padukuhan itu menjadi berdebar-debar. Namun kemudian oleh kengerian yang sangat, maka mereka pun telah melemparkan senjata-senjata mereka. Orang yang mewakili mereka pun kemudian berkata, “Nah bukankah anak-anak muda percaya?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sekarang terserah kepada kalian. Tetapi aku masih akan mengusut apa yang telah terjadi disini.”

“Baiklah anak-anak muda. Kami ingin mempersilahkan anak-anak muda untuk beristirahat di pendapa. Kami akan mengurusi saudara-saudara kami yang terluka. Sementara itu kami akan mengirimkan dua orang di antara kami untuk memberikan laporan kepada Ki Buyut. Syukurlah jika Ki Buyut bersedia untuk datang ke banjar ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun kemudian dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu telah sibuk merawat saudara-saudara mereka yang terluka. Dan meletakkannya di gandok banjar.

Sikap orang-orang padukuhan itu terhadap ketiga orang anak muda itu telah berubah sama sekali. Ketiga orang anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Mereka dengan garang telah dapat mengoyak kepungan orang-orang sepadukuhan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari hanya tiga orang anak muda itu. Bahkan beberapa orang telah terkapar dengan luka yang parah. Bahkan ternyata seorang di antara yang terluka itu telah tidak dapat lagi ditolong.

“Mereka telah membunuh saudara kami,” berkata salah seorang di antara mereka yang menunggui seorang di antara mereka yang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir karena luka-lukanya yang parah serta darahnya yang mengalir deras.

Tetapi saudaranya yang lain menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Saudara kita itulah yang membunuh diri, sebagaimana yang kita lakukan. Tetapi usaha kita membunuh diri telah gagal karena kita telah melemparkan senjata-senjata kita.”

Orang yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang menjadi sangat ngeri itu mulai dapat memikirkan apa yang telah terjadi di halaman banjar mereka. Agaknya mereka telah kehilangan akal sehingga mereka telah memasuki kembali satu peradaban yang liar sehingga mereka hampir saja telah melakukan satu kekejaman yang luar biasa dengan menjatuhkan hukum picis kepada ketiga orang anak muda itu.

Tidak seorang pun dapat menyalahkan ketiga orang anak muda itu atas kematian seorang di antara mereka, dan beberapa orang yang telah terluka. Semua orang mulai menyadari, betapa perlakuan kasar telah dialami oleh ketiga orang anak muda itu. Kekasaran itu ternyata harus ditebus dengan jiwa oleh orang-orang padukuhan itu.

Beberapa saat kemudian, ternyata Ki Buyut telah datang. Bagi ketiga anak muda itu, sikapnya masih menjadi teka-teki. Ketiga orang anak muda itu tidak tahu, apakah Ki Buyut akan dapat mengerti, bahwa ketiga anak muda itu dengan terpaksa sekali telah berbuat sesuatu yang akibatnya sangat parah. Bahkan telah merenggut jiwa seseorang.

Ternyata Ki Buyut bukan seorang yang mudah kehilangan penalaran. Wajahnya memang menjadi tegang ketika ia mengetahui bahwa seorang di antara penghuni Kabuyutannya telah terbunuh. Tetapi Ki Buyut itu dengan teliti telah menelusuri apakah sebabnya hal itu telah terjadi.

Orang yang bertubuh tinggi tegap yang juga terluka itu telah berusaha untuk dapat berbicara dengan Ki Buyut langsung. Namun orang yang mewakili saudara-saudaranya saat menghadapi ketiga orang anak muda itu telah mendampingi Ki Buyut itu. Karena itu, ketika orang bertubuh tinggi tegap yang terluka cukup parah itu mengatakan yang tidak sebenarnya, maka orang yang mewakili kawan-kawannya itu telah memberikan penjelasan.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Pikirannya yang bening dapat menyaring laporan-laporan yang bersimpang siur itu. Sementara itu maka katanya, “Aku ingin berbicara dengan ketiga orang anak muda itu.”

Ki Buyut pun kemudian telah duduk di pendapa bersama beberapa orang bebahu, orang yang mewakili saudara-saudaranya itu dan ketiga orang anak muda yang telah menimbulkan persoalan di banjar padukuhan itu.

“Kau telah membunuh disini anak-anak muda.” berkata Ki Buyut.

“Ya,” jawab Mahisa Murti tegas, “Jika kami tidak membunuh dan melukai beberapa orang, maka kami akan mengalami hukuman picis.”

Ki Buyut termangu-mangu. Tetapi nampak wajahnya tergerak oleh perasaan yang terkejut mendengar jawaban Mahisa Murti itu. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Hukuman apa? Siapakah yang telah menghukum kalian?”

Mahisa Murti termangu-mangu. Katanya, “Apakah tidak ada orang yang memberikan laporan dengan lengkap?”

“Laporan itu memang mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan dan beberapa orang terluka, sehingga aku datang kemari.” jawab Ki Buyut.

Mahisa Murti lah yang kemudian memberikan penjelasan tentang apa yang telah terjadi di banjar itu. Dan akhirnya ia pun berkata, “Itu bukan sekedar perselisihan. Kami tidak mempunyai persoalan. Yang kami lakukan adalah membela diri.”

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun kemudian berkata, “Bukankah sebagian dari persoalan yang sebenarnya telah kami laporkan pula?”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku ingin menyesuaikan laporan dari semua pihak. Aku harus dapat mencari kebenaran dari berbagai macam laporan yang simpang siur.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “dengan laporan kalian, maka kami menjadi yakin tentang apa yang telah terjadi. Aku sangat kecewa karena kalian telah membunuh dan melukai orang-orangku, tetapi aku pun merasa kecewa pula atas tindakan orang-orangku atas kalian. Karena itu, aku memang harus mengikhlaskan orangku yang terbunuh.”

“Terima kasih Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti. Namun kemudian ia pun bertanya, “tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi di Kabuyutan ini sehingga orang-orang padukuhan ini seakan-akan telah menjadi kasar dan buas.”

“Memang sesuatu telah terjadi.” berkata Ki Buyut.

“Itulah yang ingin kami ketahui.” jawab Mahisa Murti.

Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Sementara ketiga anak muda itu merasa semakin yakin jika Ki Buyut sendiri yang telah mengatakannya. Dalam pada itu, Ki Buyut pun berkata, “Sudah ada dua orang bayi yang hilang di Kabuyutan ini.”

“Anak siapakah mereka? Anak seorang yang memiliki kekayaan yang memungkinkan akan terjadi pemerasan, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukan,” jawab Ki Bekel. Lalu katanya pula, “Keduanya anak orang-orang biasa. Tidak ada kelebihan apa-apa. Tidak terlalu kaya. Ada beberapa orang yang lebih kaya daripada mereka. Tetapi bayi-bayi merekalah yang hilang.”

“Apakah tidak ada tanda-tanda atau dugaan-dugaan, dalam hubungan apakah anak-anak itu hilang?”

“Tidak.” jawab Ki Bekel.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tanpa petunjuk apa pun juga sangat sulit baginya untuk mengetahui dan memecahkan persoalan itu. Apalagi menemukan bayi-bayi yang hilang itu.

Namun dalam pada itu, orang yang mewakili saudara-saudaranya sepedukuhan itu berkata, “Kedua bayi itu masih mempunyai hubungan darah. Keduanya saudara sepupu. Keduanya lahir dari ayah dan ibu yang baru mempunyai seorang anak itu.”

“Sepupu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab orang itu, “jarak waktunya bayi itu hilang tidak terlalu jauh. Kurang dari dua pekan.”

Mahisa Murti dan kedua saudaranya termangu-mangu. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Apakah masih ada orang lain yang masih mempunyai hubungan darah dengan mereka?”

“Ada,” jawab Ki Buyut, “kakak mereka yang tertua. Orang itu tidak mempunyai anak. Kemudian yang kedua dan yang ketiga mempunyai masing-masing seorang anak yang hilang itu. Yang keempat adalah orang yang terlibat dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Dendamnya kepada orang-orang yang menculik kemanakannya itu sampai ke ubun-ubun. Karena itu, maka ia pun telah dengan mudah terbakar hatinya.”

“Yang mana?” bertanya Mahisa Murti.

“Orang bertubuh tinggi tegap.” jawab Ki Buyut.

“Yang terluka itu?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.

“Ya. Ia begitu benci kepada orang-orang yang dapat disangka menculik kemenakan-kemenakannya itu. Karena itu, ia tidak dapat menahan dirinya dan dengan mudah melakukan tindakan yang tidak terpuji itu.”

“Apakah orang itu mempunyai anak?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Anaknya ada tiga.” jawab Ki Buyut.

Namun orang yang mewakili kawan-kawannya itu berkata, “Yang masih mempunyai hubungan darah dengan orang-orang yang Ki Buyut katakan itu bukan orang yang bertubuh tinggi tegap itu sendiri. Tetapi saudara keempat dari mereka itu adalah isterinya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kau benar. Isterinyalah yang masih mempunyai pertalian darah dengan ketiga orang yang lebih tua itu.”

“Menarik sekali untuk diselidiki Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “Aku akan tinggal di Kabuyutan ini selama-lamanya sepekan, sehingga jika sepekan aku gagal, maka aku akan pergi.”

“Kalian akan membantu kami mencari penculik-penculik itu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya. Aku akan membantu Ki Buyut untuk sepekan. Berhasil atau tidak berhasil.” jawab Mahisa Murti.

“Terima kasih anak-anak muda. Setidak-tidaknya kita sudah berusaha. Jika tidak berhasil, maka itu adalah di luar kehendak kita.” desis Ki Buyut.

Keterangan itu memang sangat menarik. Laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu nampaknya tidak begitu baik bagi saudara-saudara isterinya. Namun dengan ragu-ragu Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Maaf Ki Sanak. Bukan maksudku mengetahui persoalan yang sangat pribadi. Tetapi pertanyaan kami ini berhubungan dengan hilangnya dua orang kemanakan Ki Sanak.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan. Jika aku mungkin menjawabnya, aku akan menjawabnya.”

Mahisa Murti memang ragu-ragu. Tetapi ia akhirnya mengucapkannya juga, “Ki Sanak. Menurut penglihatan kami, Ki Sanak adalah seorang yang kaya sekali. Sementara itu, Ki Sanak tidak mempunyai anak.”

“Ya. Aku memang tidak dapat mengelak bahwa aku memang mendapat kurnia yang barangkali melebihi orang lain. Aku sangat berterima kasih. Menurut pendapatku, aku bukan seorang yang sangat pelit, sehingga aku sempat serba sedikit memberikan bantuan kepada orang-orang yang memerlukan di sekitarku ini. Juga bagi padukuhan dan bagi Kabuyutan.” berkata orang itu.

“Aku percaya Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti. “Namun yang ingin aku tanyakan, sesuai dengan paugeran yang berlaku di sini, jika saatnya datang, siapakah yang akan mewarisi kekayaan Ki Sanak yang banyak ini?”

“Ah,” desis orang itu.

Namun dengan serta merta Mahisa Murti berkata, “Bukan maksudku untuk memacu Ki Sanak berpikir tentang masa-masa yang tidak menarik itu. Tetapi aku ingin mengetahuinya dalam hubungannya dengan persoalan anak-anak yang hilang itu.”

“Baiklah Ki Sanak,” jawab orang itu, “aku percaya kepada Ki Sanak. Tetapi jangan diartikan bahwa aku ingin menyombongkan diri dengan kekayaanku.”

“Tentu tidak. Kita bersama-sama sedang berusaha memecahkan persoalan yang rumit, yang hampir saja menghancurkan martabat penghuni Kabuyutan ini serta hampir saja merenggut nyawa orang yang tidak bersalah.” berkata Mahisa Murti.

“Menurut paugeran, jika sepasang suami isteri tidak mempunyai anak, maka harta benda yang dimilikinya, termasuk tanah, sawah dan pategalan, akan jatuh ke tangan saudara-saudaranya.” jawab orang itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sesuatu tergetar di jantungnya, sebagaimana Mahisa Pukat juga merasakannya. Untuk sementara ketiga anak muda itu merasa cukup. Mereka pun kemudian telah kembali ke serambi banjar.

“Nampaknya kita akan menemukan orang itu.” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “persoalannya semakin jelas.”

“Apa yang jelas?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Cobalah berpikir sedikit. Tarik garis dari ujung.”

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Kau malas berpikir. Nampaknya kau lebih senang bertanya saja. Nampaknya itu lebih mudah dan tidak usah membuang-buang tenaga.” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bergeramang, “Yang tertua itu kaya sekali. Jika ia meninggal, maka harta bendanya akan jatuh kepada tiga orang saudaranya. Yang kedua dan ketiga juga tidak mempunyai anak, karena anaknya hilang. Kalau mereka mati, maka harta bendanya akan jatuh kepada saudaranya,” Mahisa Semu berhenti sejenak, lalu katanya, “Jadi kalian menduga, bahwa hal ini telah direncanakan oleh saudara yang paling muda itu?”

“Bukan,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi suaminya.”

“Tidak. Tidak ada gunanya. Bagaimana jika yang termuda itu mati lebih dahulu, atau orang yang kehilangan anak-anaknya itu akan mempunyai anak lagi?” bertanya Mahisa Semu.

“Rencana itu berkelanjutan.” jawab Mahisa Pukat.

Wajah Mahisa Semu menjadi tegang. Sambil bangkit berdiri ia berkata, “begitu kejamkah orang itu?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Semu berkata, “jadi menurut dugaanmu, orang itu akan dapat membunuh pula kedua orang saudara isterinya itu? Atau barangkali membunuh setiap anak yang akan dilahirkan kelak?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tahu, bagaimana orang yang bertubuh tinggi tegap itu begitu bernafsu untuk menghukum kita? Bahkan mungkin membiarkan kita terbunuh di patok-patok yang terdapat di halaman banjar setelah ia membakar hati orang-orang padukuhan ini.”

“Ya.” jawab Mahisa Semu.

“Kau lihat cahaya matanya? Begitu garangnya. Tidak mustahil bahwa ia akan membunuh dua tiga orang atau bahkan lebih lagi.” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah orang itu terluka?”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “kita memang tidak dapat menuduh begitu saja. Setidak-tidaknya harus ada saksi yang dapat membantu memecahkan persoalan ini.”

“Itulah yang sedang aku pikirkan,” berkata Mahisa Murti, “kita harus dapat memancingnya.”

“Malam nanti kita mempunyai kesempatan.” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah kita akan meninggalkan setelah sepekan kita di sini? Jika demikian besok adalah hari terakhir. Apakah mungkin kita menyelesaikan tugas ini? Sementara itu, apakah kita akan sampai hati meninggalkan pekerjaan yang sudah hampir selesai ini?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Aku memang berniat untuk meninggalkan tempat ini setelah sepekan kita disini. Berhasil atau tidak berhasil. Tetapi nampaknya keadaannya akan berbeda. Kita akan disini sampai persoalan ini tuntas kita selesaikan.”

“Apakah kita akan memberitahukan kepada Ki Buyut?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Belum,” jawab Mahisa Murti, “jika kita sudah mendapat kepastian dan saksi atau bukti, barulah kita berbicara dengan Ki Buyut.”

“Tetapi waktu yang kita perlukan tentu lama,” berkata Mahisa Pukat, “Orang itu terluka, termasuk agak parah. Apakah kita akan menunggu orang itu sembuh? Orang itu tentu akan mengambil langkah-langkah setelah ia dapat berbuat sesuatu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia menjawab, “Mungkin kita memerlukan waktu yang lama.”

Mahisa Pukat lah yang tersenyum kemudian. Katanya, “Kau tidak tergesa-gesa lagi?”

Tetapi jawabnya, “Kita sedang tapa ngrame. Kita harus menolong setiap orang yang memerlukan pertolongan kita. Bukankah itu merupakan satu laku bertapa yang paling baik menurut penilaian kita, karena laku itu secara nyata telah menolong sesama.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Beberapa saat mereka beristirahat, maka seperti biasa penunggu banjar itu pun telah menyajikan makan dan minum bagi mereka. Ketika Mahisa Semu sedang pergi ke pakiwan, maka diluar sadar, Mahisa Pukat telah memungut sepotong lauk dan dimakannya. Namun tiba-tiba sepotong ikan air tawar yang dikunyahnya itu telah dimuntahkannya kembali.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Lihatlah.” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti pun kemudian menyentuhnya. Dengan kemampuannya yang tinggi, serta penangkal bisa dan racun yang dimilikinya, sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Pukat, mereka dapat mengerti bahwa makanan yang diberikan kepada mereka itu beracun.

“Kita amati Mahisa Semu,” berkata Mahisa Murti, “jangan sampai ia memakannya. Anak itu tidak memiliki penangkal racun.”

“Siapakah yang memberikan racun itu pada makanan itu?” bertanya Mahisa Pukat, “orang yang menghidangkan itu, atau orang yang memasaknya, atau orang lain diluar pengetahuan mereka?”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan pergi ke rumah Ki Buyut sebentar.”

“Untuk memberikan laporan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku berharap Ki Buyut bersedia datang kemari,” jawab Mahisa Murti sambil melangkah ke pintu. Tetapi ia masih berpesan, “Hati-hatilah dengan Mahisa Semu.”

Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, “Aku akan memberitahukan kepadanya.”

Sepeninggal Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat telah melihat seluruh makanan yang dihidangkan itu. Ternyata sebagian besar dari nasi, lauk pauk dan sayurnya telah diracuni. Racun yang dapat membunuh orang yang makan dan bahkan menelannya sedikit saja dari antara yang dihidangkan itu.

Ternyata beberapa saat kemudian, Mahisa Semu telah masuk ke dalam bilik di serambi itu. Dengan cepat, Mahisa Pukat memberikan peringatan tentang racun itu kepadanya. Bahkan Mahisa Pukat minta agar Mahisa Semu pergi ke pakiwan lagi untuk mencuci kain panjang.

“Ulurlah waktu sampai Ki Buyut datang kemari.” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Semu masih belum tahu pasti maksud Mahisa Pukat. Namun ia telah kembali ke pakiwan dan mencuci kain panjangnya. Ia telah memenuhi pesan Mahisa Pukat untuk mengulur waktu sampai saat Ki Buyut datang bersama Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan Ki Buyut ada di rumah.” desis Mahisa Semu yang masih berendam air di pakiwan meskipun hari menjadi semakin buram.

Beberapa saat kemudian, ternyata orang yang telah menghidangkan makanan itu telah masuk kembali untuk menyingkirkan sisa-sisa makanan. Namun ternyata makanan itu masih belum dimakan.

“O,” orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak nampak terkejut bahwa Mahisa Pukat masih duduk di amben bambu.

“Apakah kalian belum makan?” orang itu pun kemudian telah bertanya.

“Belum,” jawab Mahisa Pukat, “aku masih menunggu saudara-saudaraku. Yang satu baru pergi ke sungai dan yang lain masih mencuci di pakiwan.”

Orang itu tidak memberikan kesan apapun. Katanya, “Baiklah. Nanti saja aku datang lagi untuk mengambilnya.”

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah pergi. Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Melihat sikapnya, tentu bukan orang itu yang telah memberikan racun pada makanan yang dihidangkannya. Beberapa saat kemudian, ternyata Ki Buyut telah datang dengan diam-diam, sehingga orang yang berada di pendapa banjar pun tidak tahu, bahwa Ki Buyut telah berada di serambi belakang.

“Hati-hati Ki Buyut.” minta Mahisa Murti.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui, bahwa di dalam makanan itu ada racunnya. Ketika seekor kucing masuk ke dalam ruangan itu Mahisa Murti telah melemparkan sepotong ikan air tawar yang segera dimakan oleh kucing itu. Namun sejenak kemudian, kucing yang malang itu telah menjadi beku.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kucing yang mati itu dengan jantung yang berdebaran. Jika yang menelan makanan dan minuman itu seseorang, maka seseorang itu pun akan mengalami nasib yang sama seperti kucing itu.

Sementara itu Mahisa Semu lah yang kemudian berjongkok di sebelah kucing yang telah mati itu. Dengan nada rendah ia berdesah, “Kasihan. Jika kakang telah mengetahui bahwa makanan itu beracun, kenapa kakang berikan juga kepada kucing ini?”

Mahisa Murti menyahut perlahan, “Sudahlah. Nampaknya kucing itu memang harus berkorban untuk membuktikan bahwa makanan itu memang beracun.”

“Kucing itu tidak mati sia-sia.” berkata Mahisa Pukat.

“Akulah yang berterima kasih karenanya,” berkata Ki Buyut, “dengan demikian aku menjadi yakin bahwa makanan ini memang beracun. Setidak-tidaknya lauknya.”

“Bukan hanya lauknya Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “nasi dan sayurnya juga beracun.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan nada keras ia bertanya, “Siapakah menurut dugaan kalian, yang telah melakukannya?”

Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu. Masih harus dicari, siapakah yang melakukannya. Orang yang menghidangkan, yang masak atau orang lain.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berdesis, “Caranya?”

“Itulah yang masih belum kami ketemukan.” jawab Mahisa Murti.

Sejenak mereka duduk termangu-mangu. Semuanya memikirkan kemungkinan yang paling baik untuk menjebak orang yang telah meracuni makanan itu. Tiba-tiba saja Mahisa Semu pun berkata, “Kita beritahukan kepada orang yang telah memasak makanan itu. Kita akan makan bersama Ki Buyut disini. Bagaimana tanggapannya. Mungkin kita akan dapat melihat sekilas.”

Mahisa Murti tiba-tiba telah bangkit sambil berdesis, “Bagus. Ternyata pikiranmu cerah.”

Mahisa Pukat pun berkata, “Nanti, jika orang yang akan menyingkirkan sisa makanan itu datang, aku akan menemui orang yang menyiapkan makanan itu, atau yang telah memasaknya. Kalian berbicara dengan orang yang telah menghidangkan makanan itu, sementara aku akan berbicara dengan mereka yang ada di belakang.”

Beberapa pembicaraan singkat telah terjadi. Namun mereka pun terdiam ketika seseorang memasuki bilik serambi itu. Demikian orang itu masuk, maka Mahisa Pukat pun telah menyelinap pula keluar.

“Apakah kalian sudah selesai makan?” bertanya orang itu.

“Tentu belum,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Ki Sanak. Sebagaimana kau lihat, Ki Buyut ternyata datang kemari. Apakah pantas jika aku dan saudara-saudaraku makan sendiri? Tolong, ambilkan sebuah mangkuk saja. Nasi dan lauk pauk yang tersedia cukup banyak, sehingga tidak perlu ditambah lagi.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tidak ada kesan apa pun di wajahnya. Bahkan katanya, “Baiklah. Aku akan mengambil mangkuk lagi.”

“Bukan hanya mangkuk, tetapi juga minuman bagi Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti untuk memperpanjang kesempatan Mahisa Pukat berbicara dengan orang yang masak atau yang menyediakan makan dan minum itu.

“Baik Ki Sanak.” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Murti masih menahannya, “Tunggu Ki Sanak.”

Orang itu termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti telah bertanya kepada Ki Buyut, “Apakah kebiasaan minuman Ki Buyut? Kami disini selalu menikmati wedang jahe panas dengan gula kelapa.”

Orang itu mengangguk-angguk sambil memandangi Ki Buyut yang justru berpikir. Namun ia pun kemudian tanggap. Karena itu maka ia pun bertanya kepada orang itu, “Minuman apakah yang ada sekarang? Aku tidak perlu membuat kalian menjadi sibuk. Apa saja yang ada? Wedang jahe? Wedang sere atau air dingin dalam gendi atau apa saja.”

“Kami mempunyai air putih dalam gendi Ki Buyut, tetapi juga mempunyai wedang jahe. Tetapi seandainya Ki Buyut menghendaki wedang jahe, kami pun dengan cepat dapat membuatnya karena kami kebetulan sedang merebus air.” berkata orang itu.

“Tidak usah,” jawab Ki Buyut, “ambilkan saja aku wedang jahe itu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser keluar dari bilik itu tanpa memberikan kesan apa pun juga. Namun orang itu terkejut ketika ia menyentuh dengan kakinya tubuh kucing yang telah mati.

“Kucing mati disini? “ katanya gagap.

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Kenapa?” bertanya orang itu.

“Entahlah. Tiba-tiba saja kucing itu mati.” jawab Mahisa Murti.

“Apakah bangkai kucing ini dapat aku buang ke sungai?” bertanya orang itu.

“Nanti saja. Sekarang, buatkan minuman bagi Ki Buyut dan sebuah mangkok.” minta Mahisa Murti.

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser meninggalkan bilik itu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah masuk ke dalam bilik itu sambil berdesis, “Bukan orang yang memasak makanan dan minuman itu.”

“Kalau begitu tentu ada orang lain,” sahut Mahisa Murti. “orang yang menghidangkan makanan itu nampaknya juga tidak tahu menahu tentang racun yang ada di dalam makanan dan minuman itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun nampak bahwa kegelisahan telah mengguncang jantungnya. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Ketika aku mengatakan, bahwa Ki Buyut akan makan disini, orang yang berada di dapur itu sama sekali tidak menjadi tegang karena kemungkinan buruk. Mereka justru menjadi sibuk karena ingin mempersiapkan tambahan lauk pauk.”

Tetapi Mahisa Pukat telah mencegah mereka. Karena itulah maka orang-orang yang ada di dalam bilik itu berkesimpulan bahwa ada orang lain yang memasukkan racun itu ke dalam lauk dan sayur, bahkan nasi yang dihidangkan.

“Kita harus berbicara dengan orang-orang itu.” berkata Ki Buyut.

“Agaknya itu adalah satu-satunya cara.” desis Mahisa Murti.

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “aku akan memanggil mereka. Biarkan saja kucing itu ada di situ.”

Sejenak kemudian, tiga orang telah berkumpul di dalam bilik yang sempit itu selain ketiga orang anak-anak muda itu bersama Ki Buyut. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Mereka menjadi sangat berdebar-debar karena Ki Buyut telah memanggil mereka.

“Duduklah dan tenanglah,” berkata Ki Buyut, “jawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik, dengan jujur dan benar.”

Ketiga orang itu menjadi semakin pucat.

“Kau lihat kucing mati itu?” bertanya Ki Buyut.

Ketiga orang itu berpaling kepada bangkai kucing itu. Dengan gagap orang yang menghidangkan makanan itu berkata, “Aku tidak tahu tentang kucing itu. Aku sudah menyatakan untuk membuangnya.”

“Kau tahu siapa yang membunuhnya?” bertanya Ki Buyut.

“Tidak.” jawab orang itu.

“Yang lain?” bertanya Ki Buyut semakin keras.

“Tidak. Tidak.” jawab yang lain.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kalian memang tidak mengetahuinya. Biarlah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kucing itu mati karena racun.”

“Racun? Siapakah yang meracunnya?” bertanya mereka hampir berbareng.

“Itulah yang harus kita cari.” berkata Ki Buyut.

Namun seorang di antara mereka tiba-tiba saja bertanya, “Apakah kucing itu kucing Ki Buyut.”

“Bukan,” jawab Ki Buyut, “aku datang kemari tidak membawa kucing. Kucing itu masuk sendiri ke dalam bilik ini. Nampaknya kucing itu telah mencuri ikan yang disajikan disini. Ternyata kucing itu mati dengan tanda-tanda keracunan.”

Ketiga orang itu menjadi tegang. Seorang di antara mereka bertanya, “Maksud Ki Buyut, makanan yang disajikan itu mengandung racun?”

“Ya.” jawab Ki Buyut.

Wajah ketiga orang itu menjadi pucat. Tiba-tiba saja mereka menjadi gemetar. Seorang di antara mereka mencoba untuk menjelaskan, “Tetapi, tetapi yang kami makan di dapur juga sisa nasi, lauk dan sayur yang kami hidangkan ini. Ternyata kami tidak mati keracunan.”

“Kau mau mencoba makan makanan yang kalian hidangkan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Tidak.” orang-orang itu menggeleng. Bahkan mereka telah beringsut surut.

“Aku tidak ingin membunuh kucing lagi untuk membuktikan bahwa makanan itu beracun. Terserah kalian mau percaya atau tidak.” berkata Mahisa Murti.

Ketiga orang itu memang menjadi bingung. Sementara itu, Ki Buyut telah bertanya, “Selain kalian, apakah ada orang lain yang bekerja di dapur?”

“Tidak,” jawab orang yang memasak makanan itu, “kami bertiga saja yang mengerjakannya.”

“Orang lain yang masuk ke dalam dapur untuk satu keperluan barangkali?” bertanya Ki Buyut mendesak.

Ketiga orang itu mulai mengingat-ingat. Tetapi ternyata mereka tidak teringat seorang pun yang masuk ke dapur untuk keperluan apapun. Ketiganya tidak pernah meninggalkan dapur bersama-sama. Salah seorang di antara mereka tentu ada di dapur untuk menunggui makanan agar tidak dicuri kucing.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “Jika memang tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam dapur, maka tentu satu orang di antara kalian bertiga, atau kalian bertiga bersama-sama telah bersepakat untuk melakukan kejahatan itu.”

“Tidak.” jawab mereka serentak.

Seorang di antara mereka berkata selanjutnya, “aku benar-benar tidak tahu menahu.”

“Jika demikian, maka kalian bertiga harus makan makanan ini. Yang tidak bersalah tidak akan terkena racunnya. Hanya yang bersalah sajalah yang akan mati.” berkata Ki Buyut.

Ketiga orang itu termangu-mangu.

“Cepat.” Ki Buyut menggeram.

“Tetapi Ki Buyut bertanggung jawab, bahwa yang tidak bersalah tidak akan mati?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Ya.” jawab Ki Buyut.

“Baik,” berkata orang yang menghidangkan makanan itu, “Aku akan melakukannya, karena aku tidak bersalah.”

Kedua orang yang lain pun ternyata telah menyatakan kesediaannya pula untuk makan, asal Ki Buyut bertanggung jawab.

“Aku tidak merasa bersalah sama sekali.” berkata orang yang ada di dapur.

Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu lah yang menjadi cemas. Salah atau tidak bersalah, maka mereka akan mati jika makan sepotong saja makanan yang tersedia itu, karena makanan itu menyimpan racun yang sangat tajam. Karena itu, maka Mahisa Murti pun dengan tergesa-gesa telah mencegahnya, “Baiklah. Kalian tidak usah makan makanan itu, aku percaya kalian tidak bersalah.”

“Tetapi Ki Buyut bertanggung jawab.” berkata salah seorang di antara mereka.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku juga hanya ingin meyakinkan. Namun mereka harus dapat memberikan keterangan, tentu ada orang lain yang telah masuk ke dapur atau berpapasan saat mereka menghidangkan makanan itu. Jika mereka tidak dapat menyebutkan, maka mereka benar-benar harus makan makanan yang telah mereka hidangkan bagi kalian.”

Ketiga orang itu menjadi bingung. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, “He, aku ingat sekarang. Bukankah selagi kita sibuk ada seorang mencari api di dapur?”

“Ah, perempuan tua itu,” desis yang lain. “Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan untuk menyalakan lampu yang dibawanya saja hampir saja ia gagal.”

“Siapakah perempuan tua itu?” bertanya Ki Buyut.

Barulah ketiga orang itu menyadari kebodohan mereka. Ternyata mereka belum mengenal perempuan tua itu.

“Apakah kalian tidak bertanya, siapakah orang yang belum kalian kenal yang tiba-tiba saja memasuki dapur banjar padukuhan ini untuk mencari api, karena di rumahnya perempuan tua itu kehabisan api dan tidak mampu membuat api sendiri?” bertanya Ki Buyut, “bukankah itu aneh sekali?”

“Kami memang bertanya kepadanya,” jawab salah seorang dari mereka, “tetapi kami terlalu bodoh untuk begitu saja percaya, bahwa perempuan tua itu tamu di rumah sebelah banjar ini. Ia datang dari padukuhan di luar Kabuyutan ini. Orang yang tinggal di rumah sebelah adalah saudaranya.”

“Dan kau percaya bahwa ia tinggal di rumah sebelah meskipun sekedar menengok sanak kadangnya yang tinggal di rumah sebelah itu.” bertanya Ki Buyut.

“Semula aku percaya,” jawab orang itu, “tetapi sekarang aku tidak percaya.”

“Aku akan pergi ke rumah sebelah.” berkata salah seorang di antara mereka pula.

“Tidak ada gunanya,” jawab Ki Buyut, “perempuan tua itu tentu bukan orang yang sedang menjadi tamu di rumah itu.”

Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Mungkin kita akan kehilangan jejak kali ini. Tetapi selama mereka bermain dengan racun, mudah-mudahan kami akan dapat mengatasinya.”

“Tetapi jika kalian lengah sedikit saja, maka kemungkinan yang sangat buruk akan dapat terjadi.” berkata Ki Buyut.

Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Buyut pun berkata, “Baiklah. Aku kira, kali ini kita masih harus menunggu kesempatan lain. Mudah-mudahan ketiga orang itu tidak terlalu bodoh untuk melakukan kesalahan yang sama sehingga kita akan kehilangan jejak lagi.”

“Kami akan berusaha sebaik-baiknya Ki Buyut.” berkata salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Ingat, kalian jangan membuka rahasia ini. Jika besok atau lusa atau kapan saja, ternyata ada orang yang mendengarnya, maka kalian bertiga akan mempertanggung-jawabkannya.” geram Ki Buyut.

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun mereka tidak menjawab meskipun di dalam hati mereka bertanya, “Bagaimana jika orang lain yang menyebarkan berita itu? Misalnya ketiga orang anak muda itu, atau perempuan tua yang minta api di dapur itu.”

Ki Buyut pun kemudian telah minta diri. Dengan diam-diam ia telah keluar lewat pintu butulan, diantar oleh ketiga orang anak muda itu sambil melihat keadaan di Kabuyutan. Namun mereka tidak menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka. Mereka pun tidak bertemu dengan seorang perempuan tua atau orang lain yang pantas dicurigai.

Di banjar, Mahisa Murti minta kepada ketiga orang itu untuk memasukkan makanan beracun itu ke dalam lubang dan kemudian ditimbun kembali, sehingga tidak akan merusakkan atau memungkinkan orang lain keracunan.

Sejak itu, maka ketiga orang yang bekerja di dapur itu justru menjadi ketakutan untuk makan bagi mereka sendiri. Setiap kali mereka harus memanggil Mahisa Murti atau Mahisa Pukat untuk melihat apakah makanan yang akan mereka makan itu beracun.

Dalam pada itu, di hari berikutnya tidak terjadi sesuatu. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah sepakat untuk tidak meninggalkan padukuhan itu meskipun hari kelima telah lewat. Mereka ternyata justru telah terikat oleh persoalan yang sedang mereka tangani.

Dimalam ke tujuh, ketiga orang anak muda itu tidak keluar dari dalam bilik mereka. Sejak lampu dipasang di dalam bilik, mereka bertiga selalu berada di dalam. Bahkan ketiga orang yang dibayangi oleh ketakutan itu telah makan di dalam bilik itu juga.

“Jika kalian merasa gelisah, tidur saja disini.” berkata Mahisa Murti.

Ketiga orang itu termangu-mangu. Rasa-rasanya sesuatu akan terjadi. Namun mereka merasa lebih baik pulang ke rumah masing-masing daripada terlibat terlalu jauh dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh ketiga orang anak muda itu. Karena itu, maka sebelum saat sepi wong ketika orang itu telah minta diri untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Hati-hatilah di jalan.” pesan Mahisa Pukat.

Ketiganya mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah mereka merasa berdebar-debar. Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah keluar dari regol banjar. Orang yang kebetulan ronda di banjar masih sempat bertanya, “Kemana malam-malam?”

“Pulang.” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

“Kenapa tidak tidur disini saja?” bertanya orang yang sedang meronda itu.

“Kau yang senang,” jawab orang yang sering masak di dapur itu, “kawanmu ronda menjadi bertambah banyak.”

Orang yang meronda itu tertawa. Katanya, “Apa salahnya?”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka berjalan terus memasuki kegelapan menuju ke arah yang sama. Adalah kebetulan bahwa rumah mereka berdekatan. Dua orang di antara mereka rumahnya bersebelahan, sementara yang seorang lagi terletak hanya di seberang jalan. Namun terasa, tiba-tiba saja tengkuk mereka meremang ketika mereka berjalan di tikungan, di bawah sebatang pohon benda yang besar dan berdaun lebat.

Sudah berapa ratus kali mereka melewati jalan itu. Siang atau malam. Tidak pernah mereka merasa betapa tengkuk mereka meremang. Namun malam itu rasa-rasanya pohon benda itu menjadi semakin seram. Apalagi angin bertiup sedikit keras, sehingga daun benda yang bergoyang itu seperti tangan-tangan yang ingin menggapai kepala mereka.

Ketika mereka tepat berada di bawah pohon benda itu, hampir saja ketiganya berteriak. Mereka sangat terkejut ketika tiba-tiba saja seorang yang tidak mereka ketahui dari mana datangnya telah meloncat di tengah jalan di bawah pohon benda itu. Mereka semakin ngeri ketika mereka melihat bahwa orang itu adalah seorang perempuan tua.

Hampir diluar sadarnya, maka seorang di antara mereka berkata, “Perempuan tua yang minta api itu.”

Perempuan itu tertawa. Tidak terlalu keras. Tetapi suaranya terdengar sangat mengerikan. Dalam keremangan malam yang semakin gelap, wajah orang itu nampak mengerikan. Lampu obor di regol sebelah tikungan itu menggapai jantung ketiga orang itu.

“Kalian masih mengenali aku?” bertanya perempuan tua itu.

“Ujudmu,” jawab orang yang menyebutnya sebagai perempuan tua yang minta api itu, “caramu berpakaian dan barangkali juga pakaianmu yang tidak berganti berhari-hari sejak itu.”

Perempuan itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya terputus. Katanya, “Aku tidak mau mengejutkan orang yang sudah tidur nyenyak.”

“Di regol banjar para peronda masih berkelakar,” berkata salah seorang di antara mereka untuk mengusir kengerian yang telah meraba jantungnya. Meskipun dihadapannya berdiri seorang perempuan tua, namun rasa-rasanya bahaya tengah mengancamnya.

Perempuan itu mengerutkan dahinya yang berkeriput. Namun sambil tertawa ia bertanya, “Kenapa dengan para peronda itu? Apakah kau tiba-tiba saja merasa ngeri?”

Ketiga orang itu justru terbungkam. Namun kakinya mulai menjadi gemetar.

“Dengar orang-orang dungu,” berkata perempuan tua itu, “aku ingin bertanya, kenapa anak-anak muda yang ada di banjar itu masih tetap hidup?”

Ketiga orang itu mulai menjadi yakin bahwa perempuan tua itulah yang telah menaburkan racun di dalam makanan yang telah dihidangkan kepada ketiga orang anak muda itu. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka bertanya, “Jadi kaukah yang telah menaburkan racun itu?”

“Ya, akulah yang melakukannya. Tetapi kalian terlalu dungu sehingga kalian tidak berhasil membunuh mereka. Kalian tentu terlambat menghidangkannya atau kelengahan yang lain.” berkata perempuan itu.

“Justru kami merasa beruntung. Ketiga anak muda itu ternyata mengetahui bahwa makanan itu beracun. Seekor kucing telah mencuri sepotong ikan dan mati segera.” berkata orang yang menghidangkan makanan.

“Kucing itu tentu iblis terkutuk,” geram perempuan itu. “tetapi kalian pun anak-anak setan alas. Kalian harus menebus kebodohan kalian itu. Nampaknya kalian tentu telah mengatakan kepada mereka, seorang perempuan tua yang mencari api di dapur banjar.”

“Ya,” jawab salah seorang dari ketiga orang itu, “kami memang telah mengatakan.”

“Kedunguan yang tidak dapat diampuni,” berkata perempuan tua itu, “karena itu, untuk menggantikan kematian ketiga orang anak muda itu, maka kalian bertiga pun harus mati. Kemudian mayat kalian akan aku gantung pada cabang pohon benda ini.”

Ketiga orang itu menjadi heran. Dengan ragu-ragu seorang di antara mereka berkata, “Apa yang akan kau lakukan perempuan tua?”

Perempuan tua tertawa. Katanya, “Kau menganggap bahwa aku tidak mampu membunuh kalian bertiga?”

Tantangan itu memang telah membuat ketiga orang itu berkeringat. Nampaknya perempuan itu bersungguh-sungguh. Tetapi harga diri ketiga orang itu ternyata masih belum runtuh seluruhnya. Karena itu, maka ketiga orang itu pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka bukan orang-orang yang berilmu dalam olah kanuragan, namun mereka adalah laki-laki yang belum setua perempuan itu. Karena itu, maka bagaimanapun juga, mereka tidak boleh menyerah.

Perempuan tua itu tertawa mengerikan meskipun tidak terlalu keras. Ternyata perempuan tua itu memang tidak ingin mengejutkan orang-orang yang sedang tertidur lelap. Bahkan dengan nada tinggi ia bertanya, “Nah, siapa yang akan berteriak? Masih ada kesempatan untuk berteriak keras-keras agar orang-orang terdekat terbangun dari mimpi mereka. Tetapi nampaknya kalian akan sia-sia. Aku sudah menebarkan ilmu sirep yang akan dapat membuat mereka semakin lelap tidur. Tetapi kalian memang aku bebaskan dari pengaruh ilmu sirepku, agar kalian tidak tertidur dan sempat menyadari, bahwa kalian telah aku gantung di pohon benda. Kalian akan mengalami kesakitan di saat kalian menjelang maut.”

“Kau tidak akan dapat melakukannya,” geram salah seorang dari ketiga orang laki-laki yang justru telah melampaui puncak ketakutannya.

Perempuan itu tertawa. Katanya, “Aku dapat membuatmu tidak berdaya. Tetapi belum mati. Nah, dalam keadaan demikian aku akan menggantungmu. Kakimu akan menyentuh tanah. Demikian tali pengikat lehermu menegang, maka kau akan aku bebaskan dari ketidak berdayaan itu, sehingga kau akan meloncat-loncat untuk mempertahankan hidupmu. Lucu sekali.“

Ketiga orang itu benar-benar telah bersiap. Mereka memang menjadi putus asa. Karena itu, maka mereka tidak lagi dapat berpikir. Sejenak kemudian, justru ketiga orang itulah yang telah menyerang perempuan itu. Perkelahian memang telah terjadi. Tetapi hanya beberapa saat. Seperti dikatakan oleh perempuan itu, maka ketiga orang itu telah terdorong jatuh di tanah. Mereka seakan-akan memang sudah tidak berdaya.

Perempuan itu tertawa berkepanjangan. Di sela-sela suara tertawa yang mengerikan ia berkata, “Nah, aku akan menggantung kalian. Tetapi aku hanya mempunyai sebuah tali. Karena itu, aku harus melakukannya bergantian.” Perempuan itu tertawa semakin menggetarkan jantung.

Sementara itu ia berkata selanjutnya, “Sebelum mati, baiklah kau ketahui, bahwa aku adalah orang yang telah mendapat kepercayaan dari ipar ayah yang kehilangan anak-anaknya itu. Aku harus membunuh siapa saja yang perlu aku bunuh. Termasuk kalian. Karena kalian akan dapat mengganggu tugas-tugasku kelak. Apalagi kalian ternyata adalah orang-orang yang sangat dungu, sehingga kalian memang tidak berguna sama sekali.”

Ketiga orang itu memang tidak berhasil untuk bangkit berdiri apalagi melarikan diri. Mereka hanya dapat berangsur menjauh sehingga akhirnya mereka telah duduk melekat dinding kebun kosong di seberang sebatang pohon benda itu.

Orang itu masih saja tertawa. Katanya, “Kalian tidak akan dapat lari ke mana-mana.”

Ketiga orang itu benar-benar menjadi putus asa, ketika perempuan itu kemudian telah mengurai seutas tali yang diambil dari antara setagennya yang panjang, yang melilit lambungnya. Dengan tingkahnya yang menimbulkan kesan seakan-akan perempuan tua itu bukan manusia sewajarnya, perempuan itu telah melontarkan pangkal talinya ke dahan benda yang terendah. Kemudian menggapainya dengan mengolonginya.

“Permainan yang mengasyikkan,” katanya, “Siapa yang akan mati lebih dahulu? Agaknya lebih menyenangkan mati lebih dahulu, karena kalian tidak perlu menyaksikan bagaimana kawan kalian menggeliat dan kesakitan di tali gantungan.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh ketiga orang itu.

“Baik, baik,” berkata perempuan tua itu, “jika tidak, maka akulah yang akan memilih.”

Namun perempuan tua itu terkejut ketika ada suara lain yang menjawab. Justru dari sebatang pohon benda yang besar itu.

“Kenapa kau tidak memilih aku saja nek.” suara itu bagaikan bergulung-gulung di antara daun-daun benda yang bergoyang ditiup angin itu.

Perempuan itu dengan tegang memandang ke arah suara itu. Dari dalam gelap telah muncul seorang anak muda. Mahisa Murti.

“Kau anak iblis.” geram perempuan itu.

Mahisa Murti lah yang tertawa. Katanya, “Aku mendengar apa yang telah kau katakan. Semuanya menjadi jelas. Jika kau adalah orang yang bekerja untuk ipar orang yang kehilangan anaknya itu, agaknya telah kami duga. Agaknya kau telah diupahnya untuk membunuh kami dengan menebarkan racun pada makanan yang diberikan kepada kami. Tetapi kau tidak usah mengumpat jika Yang Maha Agung belum berniat mengambil nyawa kami, karena bukan kau yang menentukan batas umur kami.”

“Baiklah,” geram perempuan tua itu, “jika kau sudah mendengar, maka itu lebih baik. Kau datang mengantarkan nyawamu sekarang. Dimana kedua kawanmu itu?”

“Mereka adalah saudara-saudaraku.” jawab Mahisa Murti.

“Panggil mereka, agar aku dapat membunuh kalian bertiga sekaligus.” geram nenek tua itu.

Mahisa Murti tertawa. Katanya dengan nada tinggi, “Nenek tua. Kau tentu sudah mendengar tentang kami bertiga. Karena itu, kau tidak usah berpura-pura, apalagi berusaha menakut-nakuti aku. Lebih baik kau menyerah sehingga kau akan terlepas dari pertanggungan jawab atas tingkah lakumu. Kau sebaiknya mengaku saja dihadapan Ki Buyut, bahwa kau adalah sekedar orang upahan. Yang bertanggung jawab adalah orang yang telah mengupahmu.”

Nenek tua itu tiba-tiba saja telah mengumpat dengan kata-kata yang kasar bahkan kotor. “Kau kira aku gentar mendengar orang-orang padukuhan ini mengigau tentang kemampuanmu?” geram nenek tua itu kemudian.

“Nek,” berkata Mahisa Murti, “aku kira lebih baik kita tidak usah mempergunakan kekerasan. Kita bersama-sama menghadap Ki Buyut. Aku akan berusaha untuk mengusulkan agar kau dibebaskan dari segala tuduhan terlibat dalam persoalan ini, karena belum terbukti kau melakukan kejahatan. Meskipun saat kau meracuni aku di banjar justru pada saat Ki Buyut akan makan bersama kami, namun Ki Buyut tentu akan bersedia mengampunimu.”

“Anak iblis,” nenek tua itu berteriak, “aku akan membunuhmu. Membunuh saudara-saudaramu dan akhirnya juga membunuh Ki Buyut yang gila itu.”

“Jangan kehilangan akal. Yang kau lakukan itu adalah langkah-langkah orang yang berputus-asa. Karena itu, selagi belum terlanjur, kau sepantasnyalah melihat kenyataan.” berkata Mahisa Murti.

“Jangan banyak bicara. Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui isi dunia ini selengkapnya. Kau memang berhasil menghancurkan harga diri orang-orang sepadukuhan Tetapi kau tidak akan dapat melakukannya atas aku. Aku memang hanya orang upahan. Tetapi aku adalah orang upahan yang mempunyai harga diri yang masih utuh. Aku harus dapat menyelesaikan kesanggupanku. Sebagai seorang pembunuh upahan, aku mempunyai pertanggungjawaban yang seimbang dengan upah yang aku terima. Jika aku gagal membunuh kalian bertiga, maka aku memilih mati,” berkata nenek itu.

“Harga diri yang sesat. Kau kira nilai nyawamu dapat dibeli dengan uang berapa pun banyaknya? Aku masih lebih menghargai nyawamu, nyawa seseorang daripada uang betapa pun banyaknya. Karena itu, menyerahlah. Biarlah kau tetap hidup meskipun kau tidak akan menerima upah itu.” berkata Mahisa Murti.

“Cukup,” bentak perempuan tua itu, “aku sudah melakukan pekerjaanku ini bertahun-tahun. Aku adalah pembunuh upahan yang paling ditakuti disini. Orang yang ingin membunuhmu, yang ternyata sudah kau lukai itu memang sudah berceritera tentang kemampuan kalian bertiga. Tetapi itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sekarang, kau telah melakukan kesalahan yang paling besar, bahwa kau datang seorang diri. Bertiga mungkin kalian akan dapat bertahan atau setidak-tidaknya berusaha melarikan diri. Tetapi sendiri kau akan segera mati. Nanti setelah membunuh tiga tikus clurut itu, aku akan mencari kedua saudaramu. Mereka pun akan mati malam ini.”

“Nek, cukuplah kau mengigau. Seorang pembunuh upahan memang tidak akan pernah merasa gentar dan menyesal setelah membunuh korban-korbannya. Tetapi kali ini kau merasakan lain dari kebiasaan itu. Karen itu, kau telah berusaha untuk menutupi kegelisahanmu itu dengan berbicara apa saja,” jawab Mahisa Murti.

“Cukup,” geram perempuan tua itu, “bersiaplah untuk mati.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku sudah bersiap. Jika kau ingin mengenal aku sesungguhnya, aku juga seorang pembunuh upahan. Namun agaknya aku bersikap lebih kesatria dari kau nenek tua. Aku hanya mau menerima upah dari orang yang mengalami kesulitan justru dalam usahanya mempertahankan kebenaran, keadilan atau semacamnya.”

“Bersiaplah,” perempuan tua itu hampir menjerit. Ia yakin jika ilmu sirepnya tentu sudah mencengkam orang-orang di sekitarnya sehingga ia tidak lagi takut membangunkan mereka.

Mahisa Murti pun segera bersiap. Namun ia masih bertanya, “Di mana bayi-bayi yang hilang itu nenek tua?”

Perempuan tua itu tidak menjawab. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang. Geraknya yang cepat dan keras itu sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya. Bahkan ketika ia tertawa, suaranya bagaikan ringkik hantu yang baru keluar dari kubur.

Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Keduanya bergerak dengan cepat, berloncatan saling menyerang dan menghindar dibawah pohon benda.

Ketiga orang yang hampir kehilangan segenap kekuatannya itu berusaha untuk menepi. Mereka bergeser semakin menjauh. Ketiganya merasa cemas, bahwa kemarahan perempuan tua itu akan dapat tertuang kepada mereka yang tidak berdaya itu.

Namun perempuan tua yang mengaku sebagai seorang pembunuh upahan itu ternyata telah membentur kemampuan lawannya yang tinggi. Ia tidak dapat dengan serta merta melakukan pembunuhan atas lawannya yang juga menjadi salah seorang sasaran pembunuhan yang harus dilakukan sebagai seorang pembunuh upahan. Karena itu, maka perempuan itu pun segera meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Marti pun telah melakukannya pula.

Ketika sekali-sekali terjadi benturan kekuatan, maka perempuan tua itu memang menjadi berdebar-debar. Ternyata anak muda itu mampu mengimbangi kekuatannya yang dianggapnya jarang ada bandingnya. Sebagai seorang pembunuh upahan, maka biasanya ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Tetapi anak muda itu ternyata bukan orang kebanyakan.

Karena itu, maka perempuan itu harus menilai kembali keterangan yang pernah didengarnya tentang anak muda itu. Bertiga mereka mampu melawan orang sepadukuhan. Bahkan melukai mereka dan seorang telah membunuh. Apalagi ketiganya telah mampu melepaskan tali pengikat pergelangan tangan mereka.

“Anak ini memang berilmu tinggi.” berkata nenek tua itu di dalam hatinya.

Karena itu, maka perempuan tua itu telah mengerahkan segenap kekuatan dan tenaga cadangannya. Tetapi ia tetap tidak berhasil mengalahkan anak muda itu. Bahkan anak muda itu seakan-akan telah bergerak lebih cepat lagi. Beberapa kali terjadi benturan kekuatan yang menyakitkan kulitnya. Kulit tuanya yang sudah berkeriput, tetapi masih dialiri kekuatan dan kemampuan yang tinggi.

Perempuan tua itu terdengar menggeram sambil berloncatan dibawah pohon benda itu. Tangannya bergerak dengan cepat, seakan-akan menggapai-gapai tubuh lawannya, sementara jari-jarinya telah mengembang dan sekilas Mahisa Murti melihat kuku perempuan itu yang runcing dan tajam.

Mahisa Murti yang jauh lebih muda itu, ternyata telah memiliki bekal yang tidak kalah dari lawannya. Bahkan kemudaannya telah memberikan lebih banyak kelebihan padanya daripada lawannya yang tua, yang bagaimana juga, dukungan wadag-nya mulai menjadi susut dimakan umurnya.

Tetapi Mahisa Murti tetap berhati-hati. Perempuan tua itu tentu masih mempunyai kemampuan yang tersimpan. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak boleh lengah. Ia harus menghadapi kekuatan puncak perempuan itu dengan mantap jika ia tidak mau digantung di cabang pohon benda itu, sebagaimana akar dilakukan atas ketiga orang yang tidak berdaya itu.

Ternyata perempuan tua itu semakin lama menjadi semakin kasar. Bahkan kemudian, yang terdengar bukan saja suara tertawanya yang mengerikan, tetapi ia mulai berteriak melengking, “lengking. Suaranya menggetarkan bukan saja udara, tetapi batang benda yang besar itu pun bagaikan bergetar. Daunnya yang kuning telah berguguran berhamburan di tikungan jalan padukuhan itu.

Mahisa Murti mulai merasakan serangan ilmu perempuan tua itu. Agaknya orang itu mempunyai bekal yang cukup untuk berani dirinya dengan terbuka sebagai seorang pembunuh upahan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus melawan ilmu yang mulai dikembangkan oleh lawannya itu. Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menghancurkan orang itu. Perempuan itu akan sangat berarti jika ia berhasil menangkapnya.

Sebaiknya perempuan itu dihadapkan kepada Ki Buyut agar Ki Buyut dapat menyadap beberapa hal yang diketahui oleh perempuan itu untuk mengambil keputusan atas peristiwa yang telah menggemparkan Kabuyutan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mempergunakan ilmunya yang dapat membunuh lawannya. Tetapi Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya dan kemudian melumpuhkannya.

Namun dalam pada itu, nampaknya perempuan itu tidak ingin membenturkan kekuatannya pada kekuatan lawannya. Bukan karena ia mengetahui ilmu yang telah ditrapkan oleh Mahisa Murti, tetapi karena ternyata anak muda itu mampu mengimbangi kekuatannya. Yang kemudian dilakukan oleh perempuan itu adalah berusaha untuk menerkam Mahisa Murti dengan kukunya, mengoyak kulitnya. Mahisa Murti memang sudah menduga, bahwa karena perempuan itu telah bermain-main dengan racun, maka ia tentu memiliki ilmu yang dapat menguasai racun.

Sebenarnyalah, akhirnya dalam keremangan cahaya obor yang jatuh ke jari-jari perempuan tua itu, Mahisa Murti melihat, bahwa kuku-kuku yang panjang di jari-jari perempuan itu adalah bukan kuku aslinya. Tetapi semacam senjata yang dapat ditrapkan pada jari-jarinya dan mampu mengoyakkan kulit daging lawannya.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti pun harus menjadi sangat berhati-hati. Jika ia tidak mendapat kesempatan yang tepat, maka yang terjadi bukan benturan kekuatan, tetapi justru kulitnyalah yang akan terkoyak. Sementara itu, Mahisa Murti masih juga berusaha untuk dapat menangkap perempuan itu hidup-hidup.

Beberapa saat kemudian, keduanya masih saja bertempur dengan sengitnya. Keduanya berloncatan berputaran. Seandainya saja Mahisa Murti tidak ingin menangkapnya hidup-hidup, maka ia akan dengan mudah dapat segera mengakhiri pertempuran itu dengan melontarkan serangan ilmunya apalagi dilambari ilmu yang diwarisinya dari ayahnya. Tetapi dengan demikian, Mahisa Murti tidak yakin, bahwa perempuan itu akan dapat bertahan untuk tetap hidup.

Karena itu, maka keduanya masih saja bertempur dengan garangnya. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu, teriakan-teriakan nyaring yang terlontar dari mulut perempuan itu memang membuat jantung Mahisa Murti berdebaran.

Sementara itu, ketiga orang yang tidak berdaya itu pun hanya sempat melihat apa yang terjadi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat memperhitungkan, siapakah di antara kedua orang yang bertempur itu akan dapat keluar dari medan dengan selamat. Namun, justru karena Mahisa Murti berusaha untuk tidak membunuh lawannya, maka justru ia sendirilah yang kadang-kadang mengalami kesulitan. Kadang-kadang ia memang terdesak beberapa langkah surut.

Perempuan itu tidak menyadari sepenuhnya rencana lawannya untuk menangkapnya hidup-hidup. Karena itu, ia merasakan satu keseimbangan yang menguntungkan baginya dalam pertempuran itu. Berkali-kali Mahisa Murti harus berloncatan surut. Namun betapa pun nenek tua itu mampu mendesaknya, tetapi kukunya tidak dapat mengoyakkan kulit daging Mahisa Murti. Bahkan ketika beberapa kali, Mahisa Murti mencoba dengan meningkatkan kecepatan geraknya, maka ia pun mulai dapat menembus kelemahan pertahanan nenek tua itu. Karena itu, maka serangan-serangan Mahisa Murti mulai mengenai sasaran meskipun tidak terlalu keras.

Namun sentuhan tangannya itu ternyata telah membuat nenek tua itu tersinggung. Sehingga ia pun semakin mengerahkan kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Tangannya pun semakin cepat berputaran. Menggapai, menyambar dan kadang-kadang jari-jarinya yang merapat dengan ujung-ujung kuku buatannya bagaikan menikam ke arah ulu hati.

Mahisa Murti setelah mempelajari beberapa saat kemungkinan-kemungkinan pada ilmu lawannya itu, kekuatan serta kelemahannya, maka mulailah ia berusaha menangkis serangan itu sebanyak-banyaknya, meskipun mengandung kemungkinan yang buruk. Sebenarnyalah, Mahisa Murti ternyata mulai berhasil. Beberapa kali ia berhasil menangkis serangan lawannya dengan sentuhan-sentuhan kecil dan bahkan sekali-sekali dengan benturan yang keras. Namun nenek tua itu masih saja menyerangnya dengan garang.

Bahkan ternyata kecepatan geraknya masih mampu mengelabui Mahisa Murti, sehingga ternyata kuku yang tajam itu suatu saat berhasil menyentuh lengan. Mahisa Murti meloncat surut. Sentuhan itu tidak terlalu parah meskipun beberapa gores luka melekat di lengannya. Tetapi nenek tua itu tidak memburunya. Tiba-tiba saja ia berhenti menyerang dan tertawa berkepanjangan.

“Sebenarnya aku sayang melihat kemudaanmu, ketangkasanmu dan wajahmu yang bersih itu anak muda. Tetapi apa boleh buat. Aku tidak sempat bertanya kepadamu, apakah kau bersedia menjadi anak angkatku, karena aku tidak mempunyai anak. Dengan kemampuanmu yang tinggi itu, maka kita akan dapat menjadi pasangan pembunuh upahan yang disegani di seluruh lingkungan ini“

perempuan itu berhenti berbicara. Suara tertawanya sajalah yang bergema bagaikan melingkar-lingkar menyusuri cabang-cabang dan ranting-ranting pohon benda itu. Lalu katanya kemudian,

“Tetapi sayang bahwa aku telah melukaimu. Ujung-ujung kuku ku itu adalah senjata yang beracun tajam. Karena itu, bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan mungkin dapat hidup lebih lama dari sepenginang. Karena itu, barangkali kau ingin menyampaikan pesan, katakanlah. Aku akan menyisakan seorang dari ketiga tikus-tikus clurut itu untuk tetap hidup dan menjadi saksi kematianmu yang pahit kali ini. Pada kesempatan lain, maka kedua saudaramu itulah yang akan segera mati pula sebagaimana kau alami.”

Ketiga orang yang tidak berdaya itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu, siapakah di antara mereka yang akan dibiarkan untuk tetap hidup oleh iblis betina itu. Karena itu, maka ketegangan telah mencengkam suasana di bawah pohon benda itu. Namun yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Mahisa Murti. Bahkan ternyata dengan kekuatan ilmunya, Mahisa Murti pun mampu mengguncang pohon benda itu dengan suara tertawanya.

“Nenek tua,” berkata Mahisa Murti, “jangan menyesali diri bahwa kali ini kau bertemu dengan aku. Kita adalah sama-sama orang yang senang bermain dengan racun. Karena itu, maka goresan kukumu di lenganku tidak akan mempengaruhi perlawananku. Racun tidak akan dapat mengusik jalur darahku yang akan tetap segar.”

“Persetan kau,” geram perempuan tua yang menjadi tegang itu.

Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya kemudian “ Yang menolak racun di makanan itu sebenarnyalah bukan seekor kucing yang kebetulan mencuri ikan air tawar yang dihidangkan. Tetapi lidah kamilah yang mengetahui bahwa makanan itu memang beracun. Sementara itu, kepada Ki Buyut telah kami tunjukkan racun itu dengan memberikan ikan sepotong kepada seekor kucing yang malang.”

“Anak iblis. Darimana kau mendapatkan penangkal racun seperti itu?” bertanya nenek tua itu.

“Sudahlah nek. Sekarang kau menyerah sajalah. Kita menghadap Ki Buyut selagi belum terlambat. Jika kesabaranku habis, maka akibatnya akan sangat berlainan. Jangan dikira bahwa aku tidak dapat membunuh. Sudah aku katakan, bahwa aku pun pembunuh upahan seperti kau dengan tataran sedikit lebih tinggi. Bukan saja karena aku masih memilih sasaran ke-matian. Sementara kau tidak. Kau membunuh siapa saja atas permintaan orang yang mengupahmu. Aku tidak.” berkata Mahisa Murti.

“Jangan terlalu sombong. Mungkin kau memang mempunyai penangkal racun. Tetapi ketajaman kuku-kukuku itu akan dapat mengelupas seluruh kulit dagingmu.” geram perempuan itu.

“Aku pun masih mampu melawan ilmumu dengan kemampuan ilmuku pula. Karena itu, maka kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.” jawab Mahisa Murti.

Perempuan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat menyerang Mahisa Murti dengan dahsyatnya. Pertempuran pun telah berkobar kembali dengan sengitnya. Mahisa Murti yang telah mempelajari unsur-unsur gerak lawannya itu telah berusaha untuk setiap kali menangkis serangan lawan tanpa mengoyakkan kulit dagingnya. Bahkan sekali-sekali serangannya mampu menyentuh tubuh nenek tua itu.

Namun Mahisa Murti tidak mau dianggap sebagai seorang laki-laki yang lemah, yang dengan licik mengalahkan perempuan tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengerahkan kekuatan dan kemampuan ilmunya. Tiba-tiba saja Mahisa Murti telah melontarkan ilmunya yang dahsyat itu menghantam pokok dahan yang besar dari batang benda di pinggir jalan itu.

Terdengar ledakan yang keras. Kemudian disusul derak dahan itu patah. Gemerasak daunnya memang membuat perempuan tua itu tergetar jantungnya. Dahan itu pun telah patah dan jatuh di tanah dengan seluruh ranting-ranting dan daunnya.

“Kau lihat nenek tua,” geram Mahisa Murti, “kau kira dengan kemampuan ilmu itu aku tidak dapat membunuhmu? Tubuhmu akan lumat berpatahan seperti dahan benda itu. Apakah kau ingin mencobanya.”

Sejenak perempuan tua itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata kau memang luar biasa anak muda. Kau mampu mematahkan dahan sebesar itu tanpa menyentuhnya. Aku tidak akan ingkar. Seandainya kau lontarkan ilmumu seperti itu ke arah tubuhku, maka tubuh tuaku ini tentu akan menjadi lumat. Tetapi agaknya hal itu akan lebih baik bagiku. Aku tidak akan melihat kekalahanku yang getir ini.”

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “tidak ada seorang- pun yang tidak akan terkalahkan pada suatu saat. Kekalahan bukanlah satu kehinaan. Seorang akan dapat dihargai justru karena ia mengaku kalah.”

“Kau benar. Tetapi itu tidak akan berlaku atasku. Jika aku mengaku kalah, berarti aku akan ditangkap diarak ke rumah Ki Buyut sambil dilempari batu. Kemudian diperas keteranganku untuk menelusuri bayi-bayi yang hilang, padahal aku tidak tahu sama sekali tentang bayi-bayi yang telah dicuri itu.” berkata nenek tua itu.

“Sudah aku katakan. Aku akan menanggungmu sehingga kau tidak akan diperlakukan buruk.” berkata Mahisa Murti.

“Kau dapat mencabut kesediaanmu itu setiap saat, karena kau menganggap bahwa janji terhadap seorang pembunuh upahan itu tidak perlu ditepati.” berkata perempuan itu.

“Aku mempunyai tanggung jawab atas kata-kataku. Apalagi janji.” berkata Mahisa Murti.

Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, “Aku memang mengaku kalah. Tetapi tidak untuk ditangkap.”

“Nek.” Mahisa Murti berteriak.

Tetapi ia terlambat. Betapa pun lemahnya perempuan tua itu, namun ia masih mampu menggoreskan ujung-ujung kuku beracunnya pada tubuhnya sendiri. “Aku akan mati oleh racunku sendiri.” berkata perempuan itu.

Mahisa Murti segera meloncat mendekat. Tetapi perempuan tua itu sudah terjatuh di tanah. “Jangan membunuh diri begitu nek.” minta Mahisa Murti.

Tetapi segalanya sudah terlambat. Mahisa Murti yang kemudian berjongkok di sebelahnya berkata, “Seharusnya kau tidak perlu melakukannya.”

Tetapi perempuan itu sudah tidak mungkin ditolong lagi. Tubuhnya yang sedang sangat lemah, sama sekali tidak mempunyai daya tahan terhadap ketajaman bisa di senjatanya sendiri. Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berpaling kepada ketiga orang yang tidak berdaya yang bersandar pada dinding kebun yang kosong itu.

“Kalian menjadi saksi apa yang telah terjadi disini.” berkata Mahisa Murti.

Orang-orang itu hanya mengangguk kecil. Mahisa Murti pun kemudian telah mendekati mereka. Memijat beberapa buah simpul syarafnya sehingga kemudian ketiga orang itu telah mampu bangkit dan berdiri tegak. Kekuatan mereka seakan-akan dengan cepat telah pulih kembali, sehingga mereka dapat berbuat sesuatu sebagaimana sediakala.

“Kau urus perempuan itu,” berkata Mahisa Murti, “bawa mayatnya ke banjar dan katakan apa yang telah terjadi dengan benar. Mereka yang ada di banjar tentu akan lebih percaya kepada kalian daripada kepadaku sendiri.”

Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Senjata yang menyerupai kuku itu beracun. Jangan sampai seorang pun di antara kalian atau orang lain tergores sehingga terluka. Racun yang menyentuh darah akan dengan cepat membunuh orang yang terkena goresannya itu.”

Ketiga orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah kau juga akan segera kembali ke banjar?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti. “tetapi aku akan mendahului kalian.”

Ketiga orang itu tidak bertanya lagi. Sementara itu, Mahisa Murti pun dengan tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu. Ternyata Mahisa Murti lebih dahulu sampai di banjar. Tetapi Mahisa Murti tidak memasuki halaman lewat regol. Ia telah meloncati dinding dan langsung pergi ke biliknya.

“Aku telah gagal,” desis Mahisa Murti ketika ia sudah berada di dalam biliknya bersama Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang menunggunya dengan gelisah. Dengan jelas Mahisa Murti menceriterakan apa yang sudah terjadi sehingga perempuan tua itu telah membunuh dirinya sebelum dapat diajukan satu pertanyaan pun kepadanya.

Orang itu menjadi pucat. Ia menyadari, jika persoalannya diserahkan kepada orang-orang padukuhan itu, maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan. Menyakitkan hati dan bahkan akan menyakitkan sekali bagi tubuhnya yang masih sangat lemah oleh luka-lukanya yang agak parah.

Sementara itu, agaknya Ki Buyut pun telah kehilangan kesabarannya dan mendesaknya, “Kau jangan menunggu sampai terlambat. Sebenarnya aku pun takut sekali mendengar jawaban yang akan kau ucapkan. Tetapi kau harus mengatakannya.”

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu memang menjadi ketakutan. Tetapi mulutnya tidak segera dapat mengucapkan jawaban.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut yang kemudian berpaling kepada isteri laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu, “relakan suamimu. Aku akan menyerahkannya kepada orang-orang padukuhan.”

“Jangan, jangan.” isterinya berteriak.

“Aku tidak memerlukan lagi,” berkata Ki Buyut pula, “ia tidak mau membantu memecahkan persoalan ini. Ia lebih baik diam daripada menolong dirinya sendiri.”

Perempuan itu pun telah berlari mendapatkan suaminya. Sambil menangis ia berkata, “Katakan, katakan kakang, di mana bayi-bayi itu agar kau tidak mengalami siksa yang sangat mengerikan dari orang-orang padukuhan yang marah.”

Laki-laki itu masih terdiam sesaat. Namun tiba-tiba saja ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ketakutan, gelisah, kecewa tetapi juga menyesal yang dalam sekali. Seperti kanak-kanak maka laki-laki itu tiba-tiba saja telah menangis.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pada tangis laki-laki yang bertubuh tinggi tegap dan garang itu penyesalan yang sangat mendalam. Untuk beberapa saat Ki Buyut hanya berdiam diri saja menyaksikan laki-laki yang bertubuh tegap dan garang itu menangis. Sementara isterinya pun dengan demikian telah menangis semakin keras. Bahkan meraung-raung sekeras-kerasnya.

Bagaimanapun juga, saudara-saudaranya laki-laki tidak sampai hati membiarkan adik perempuannya mengalami tekanan batin yang sangat berat. Karena itu, maka mereka telah mencoba untuk menenangkannya.

“Kau tidak bersalah.” berkata salah seorang kakaknya.

“Salah suamiku adalah salahku.” jawab perempuan itu.

“Kau tidak akan ikut dihukum.” berkata saudaranya yang lain.

Tetapi perempuan itu menjawab, “Jika suamiku dihukum, aku pun harus dihukum.”

Saudara-saudaranya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Buyut yang berdiri pada satu jarak tertentu dengan keluarga itu menjadi termangu-mangu. Namun ia masih belum mendapat jawaban atas pertanyaan tentang dua orang bayi yang hilang itu. Meskipun demikian Ki Buyut justru telah menunggu setelah ia melihat betapa isterinya orang yang bersalah itu bagaikan kehilangan nalar budinya. Ternyata tanpa mendapat pertanyaan lagi, laki-laki itu telah mengatakan di mana bayi-bayi itu disingkirkan.

“Aku telah menjualnya.” berkata laki-laki itu.

“Dimana?” hampir berbareng kedua orang ayah dari bayi-bayi itu bertanya. Karena dengan keterangan itu, maka keduanya masih mempunyai harapan.

“Tetapi aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu lagi kedua orang bayi yang berada di tangan orang tua angkat mereka.” jawab laki-laki itu.

“Tetapi keadaannya telah berubah. Kau harus menyesuaikan dirimu.” berkata Ki Buyut.

Orang itu termangu-mangu. Namun ia sudah berhasil menahan diri untuk tidak menangis lagi. “Jadi apa yang harus aku lakukan?” bertanya laki-laki itu.

“Ambil kedua bayi itu kembali.” jawab Ki Buyut.

Laki-laki yang telah menjual bayi itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Tetapi, apakah dengan demikian keadaan bayi itu tidak justru terancam. Orang-orang yang mengangkat bayi-bayi itu menjadi anak mereka, akan menjadi sangat kecewa. Mereka telah kehilangan sejumlah uang. Kemudian bayi itu begitu saja diambil kembali. Tetapi yang lebih parah lagi, karena orang tua angkat kedua orang bayi itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai anak, sementara mereka adalah orang-orang yang kaya. Rasa-rasanya sulit untuk menebus kembali bayi-bayi itu dengan uang.”

“Kita belum mencoba,” berkata Ki Buyut, “kita akan datang kepada mereka, menjelaskan persoalannya. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti.”

“Tetapi aku tidak berani melakukannya,” berkata laki-laki itu. “nampaknya mereka tidak akan dapat mudah mengerti.”

“Kau tidak akan pergi seorang diri.” berkata Ki Buyut.

Laki-laki itu merenung sejenak. Namun nampak kekhawatiran yang sangat membayang di wajahnya. “Ki Buyut,” berkata laki-laki itu, “dibutuhkan langkah-langkah yang cepat untuk menyelamatkan bayi-bayi itu.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Buyut.

“Menurut perhitunganku, mereka akan mempertahankan bayi-bayi itu. Jika mereka gagal, maka daripada menyerahkan bayi-bayi itu kepada orang lain, meskipun orang lain itu adalah orang tua bayi itu, maka mereka tentu merasa lebih baik membunuh bayi-bayi itu.” jawab laki-laki yang ketakutan itu.

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari antara orang tua bayi itu berkata, “Kita akan mencoba. Aku akan menjelaskan, bahwa aku dan isteriku sangat membutuhkan kehadiran anak itu di rumah kami. Sehingga dengan demikian maka mereka akan memperbandingkan keinginan mereka untuk mengasuh anak kami dengan kepentingan kami, orang tua anak itu sendiri.”

Tetapi laki-laki itu justru nampak semakin bingung. Wajahnya bertambah pucat dan bibirnya gemetar.

“Kenapa?” desak Ki Buyut.

Wajah laki-laki itu menunduk dalam-dalam. Katanya, “Akulah yang bersalah. Apa pun yang akan ditimpakan diatas kepalaku, aku tidak akan mengelak.”

“Katakan.” ayah dari anak-anak yang diculik itu justru menjadi sangat cemas.

Orang itu menjadi gemetar. Suaranya pun bertambah bergetar oleh perasaan yang bergejolak di dalam dadanya.

“Katakan.” desak Ki Buyut.

Dengan nada rendah, terbata-bata dan penuh penyesalan orang itu berkata, “Aku telah menjualnya kepada sebuah perguruan.”

“Perguruan apa yang kau maksud?” bertanya kedua ayah bayi yang hilang itu hampir bersamaan, “apakah perguruan itu terbiasa membuat upacara dengan mengorbankan bayi-bayi?

“Tidak. Tidak,” jawab laki-laki itu dengan serta merta, “tetapi perguruan itu mengumpulkan bayi-bayi untuk kelak dijadikan pengikut yang sangat setia kepada perguruan itu. Anak-anak itu akan menjadi murid-murid yang paling terpercaya dan akan mengikuti arah apa pun yang diberikan oleh pemimpin padepokan itu.”

“Oh,” orang tua bayi yang hilang itu mengeluh. Kedua ibu dari kedua bayi yang juga hadir ditempat itu bahkan hampir menjadi pingsan karenanya.

Anak-anak yang diperlukan demikian akan kehilangan kepribadiannya. Mereka akan dibentuk menurut keinginan pemimpin padepokan itu. Meskipun anak-anak itu baru akan berarti bagi masa depan yang agak panjang, sekitar lima belas tahun mendatang, namun padepokan seperti itu justru padepokan yang tentu akan sangat berbahaya bagi lingkungannya.

Anak-anak itu kelak tidak akan lebih berarti dari seekor lembu yang dicocok hidungnya bagi dirinya sendiri. Tetapi ia akan sangat bermanfaat bagi orang yang telah membentuknya demikian.

Namun Ki Buyut masih bertanya, “Katakan, apakah menurut pendapatmu, padepokan itu padepokan yang baik atau padepokan yang mendalami ilmu sesat?”

Orang itu semakin gelisah. Suaranya tertahan, “Aku kira mereka mendalami ilmu hitam.”

Ketegangan pun menjadi semakin mencengkam. Orang tua kedua orang bayi itu menjadi sangat gelisah. Demikian pula saudara tertua dari kedua ayah dari bayi-bayi itu.

Ki Buyut lah yang kemudian masih bertanya lebih lanjut, “berapakah isi padepokan itu sekarang?”

“Padepokan itu masih belum banyak berpenghuni. Ada beberapa orang perempuan di dalamnya. Orang-orang yang tidak tahu dari mana datangnya. Tetapi nampaknya mereka bukan penghuni yang mapan. Bahkan mungkin mereka berada di padepokan itu karena terpaksa.” jawab laki-laki itu.

“Berapa kau jual bayi-bayi itu?” bertanya Ki Buyut.

“Mereka membeli berapa saja bayi-bayi itu ditawarkan. Uang nampaknya bukan persoalan bagi mereka. Di antara perempuan-perempuan yang ada di dalam padepokan itu antara lain untuk memelihara bayi-bayi itu dan membesarkannya. Nampaknya usaha untuk mengambil anak-anak itu sudah dilakukan cukup lama. Di padepokan itu terdapat anak-anak yang sudah lebih besar. Bahkan ada yang sudah dapat dipekerjakan di kebun dan halaman. Menyapu dan menyabit rumput.” jawab laki-laki itu.

“Apakah sudah ada tanda-tanda bahwa anak-anak itu kehilangan pribadinya?” bertanya Ki Buyut.

“Ya. Anak-anak itu nampaknya tidak mengenal diri mereka sendiri.” jawab laki-laki itu.

“Agaknya lebih baik anak-anak itu mati.” desis ayah dari salah seorang bayi yang hilang itu.

Namun Mahisa Murti pun berkata, “Kita harus berusaha menemukan anak-anak yang hilang itu. Kita tidak dapat membiarkannya dalam tangan orang-orang berilmu sesat. Dengan demikian maka anak-anak itu kelak akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi orang lain.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bagaimana kita dapat melakukannya. Padepokan itu tentu dihuni oleh orang-orang berilmu. Apalagi ilmu hitam. Jika kita memasuki padepokan itu, berarti kita akan membunuh diri. Sementara itu tidak mungkin kita datang membujuk mereka untuk mengembalikan bayi-bayi yang telah mereka ambil.”

“Apakah di Kabuyutan ini tidak ada sejumlah anak-anak muda yang memiliki serba sedikit kemampuan dalam olah kanuragan?” bertanya Mahisa Murti.

“Tetapi tentu tidak memadai,” berkata Ki Buyut, “mereka adalah orang-orang padukuhan yang memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi orang-orang berilmu.”

“Siapakah yang mengajari mereka?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku dan Ki Jagabaya.” jawab Ki Buyut.

“Nampaknya Ki Buyut dan Ki Jagabaya akan dapat melakukannya. Kemudian ayah-ayah kedua bayi itu,” berkata Mahisa Murti. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Apakah di padukuhan ini tidak ada bekas prajurit atau pengawal atau apa pun juga?”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun ia memang merasa bertanggung jawab untuk melindungi orang-orang di Kabuyutannya. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya kepada kedua ayah dari kedua bayi itu yang hilang itu, “Apakah kalian bersedia bersama kami berusaha melepaskan anak-anak kalian.”

“Tentu.” hampir bersamaan keduanya menjawab.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “kita akan mengumpulkan orang-orang yang mungkin akan pergi bersama kita.” Lalu ia pun bertanya kepada laki-laki yang telah menjual bayi-bayi itu, “ketika kau serahkan bayi-bayi itu, berapa orang yang menemuimu?”

“Nampaknya dua orang yang terpenting di antara penghuni padepokan itu. Kemudian yang terdekat dengan mereka adalah tiga atau empat orang. Memang masih ada satu dua orang lain, tetapi nampaknya mereka adalah pekerja-pekerja yang tidak begitu banyak berarti di padepokan itu sebagaimana perempuan-perempuan yang ada di dalamnya,” jawab laki-laki itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berkata, “Aku akan mengumpulkan orang-orang yang diperlukan. Aku akan berbicara tersendiri dengan Ki Jagabaya. Agaknya di padukuhan ini ada seorang bekas prajurit. Di padukuhan sebelah juga ada seorang.”

“Silahkan Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti. Tetapi ia pun kemudian berpesan, “Kita harus bergerak cepat. Jika orang-orang padepokan itu mengetahui bahwa Kabuyutan ini berusaha untuk mengambil bayi-bayinya, maka mereka akan mengambil langkah-langkah khusus. Bahkan mungkin membahayakan jiwa anak-anak itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan minta waktu sampai menjelang dini hari.” Lalu katanya kepada laki-laki yang menjual bayi itu, “berapakah jarak padepokan itu dari Kabuyutan ini.”

“Hampir setengah hari berjalan kaki.” jawab laki-laki itu.

“Tidak terlalu jauh. Di arah manakah letaknya?” bertanya Ki Buyut pula.

“Dibalik padang perdu Ambal.” jawab laki-laki itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa menembus padang perdu Ambal adalah pekerjaan yang tidak terlalu mudah. Selain padang perdu itu liar dan gersang, apalagi panasnya bagaikan membakar di siang hari, maka kemungkinan untuk diketahui oleh orang-orang padepokan itu besar sekali. Sekelompok orang yang berjalan di padang perdu itu akan dapat melontarkan debu yang cukup banyak menarik perhatian. Meskipun padang perdu Ambal tidak terlalu luas, tetapi perlu mendapat perhatian.

Demikianlah, maka Ki Buyut dan Ki Jagabaya pun telah mengadakan pembicaraan tersendiri bersama para bebahu. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk memanggil beberapa orang yang dianggap memiliki pengalaman serba sedikit dalam hubungannya dengan tugas yang akan mereka lakukan. Di seluruh Kabuyutan itu ada tiga orang yang pernah menjadi prajurit, yang karena umurnya telah melepaskan tugas-tugasnya dan kembali ke kampung halamannya.

Disamping itu di Kabuyutan ini ada dua orang yang dianggap pernah terlibat dalam kehidupan yang kotor. Keduanya pernah menjadi perampok yang mengembara diluar Kabuyutan mereka. Namun yang kemudian telah menyesali kehidupan gelap mereka dan dihadapan Ki Buyut dan para bebahu yang lain serta beberapa orang tetua di Kabuyutan itu telah menyatakan kesediaan mereka menebus segala kesalahan mereka, karena mereka telah menodai nama baik Kabuyutan mereka.

Selain tiga orang bekas prajurit yang umurnya sudah mendekati setengah abad itu, dua orang bekas perampok, maka ada dua orang pembantu Ki Jagabaya yang dapat dianggap memiliki serba sedikit kemampuan sebagaimana Ki Jagabaya.

Menjelang dinihari, Ki Buyut memang telah berhasil mengumpulkan sepuluh orang yang dianggap memiliki bekal. Kemudian Ki Buyut sendiri dan Ki Jagabaya. Dua orang ayah dari dua orang bayi yang hilang itu. Ditambah dengan tiga orang anak muda yang kebetulan singgah di Kabuyutan itu.

Demikian mereka berkumpul, maka Ki Buyut telah membicarakannya dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah ketiga anak muda itu mendapat gambaran tentang medan yang akan mereka hadapi.

“Nampaknya padang perdu itu memang harus mendapat perhatian jika ternyata padepokan itu letaknya tidak jauh dari tepi padang itu,” berkata Mahisa Murti, “namun apakah kita tidak dapat menempuh jalan lain untuk mendekati padepokan itu?”

“Di sisi lain dari padepokan itu terdapat sebuah hutan kecil. Hutan yang tidak terlalu lebat yang memanjang disebelah menyebelah sebuah sungai yang tidak begitu besar. Sebuah sendang yang tidak terlalu luas terdapat di dalam hutan itu.” berkata Ki Buyut.

“Sendang yang dialiri air dari sungai itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukan,” jawab Ki Buyut, “malah sebaliknya. Dari sedang yang mempunyai mata air sendiri itu telah mengalir air yang menambah arus sungai itu semakin besar.”

“Kita akan mendekati padepokan itu dari hutan. Kemungkinan untuk diketahui sebelum kita mendekati padepokan itu lebih kecil.” berkata Mahisa Murti.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Katanya, “Perjalanan yang sulit.”

“Tetapi bahayanya jauh lebih kecil. Dari hutan itu kita akan dapat dengan cepat mencapai padepokan sebelum orang-orang di dalam padepokan itu menyadari apa yang telah terjadi.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Ternyata orang-orang yang akan berangkat ke pedesaan kecil itu sependapat dengan Mahisa Murti. Sebagian dari mereka telah pernah melihat padang perdu Ambal yang sering juga disebut Ara-ara Ambal. Sebuah padang perdu yang kering dan tandus. Di siang hari, debu berhamburan bagaikan kabut. Bahkan jika angin bertiup meskipun tidak terlalu keras, maka padang perdu Ambal menjadi keputih-putihan oleh debu yang sangat lembut, yang justru sangat berbahaya bagi pernafasan mereka.

Sekelompok orang itu akan mendekati padepokan itu dengan menempuh perjalanan di siang hari. Mereka akan menunggu di hutan itu sampai senja mulai turun. Untuk kepentingan bayi-bayi yang akan mereka lepaskan, maka mereka akan menyerang setelah gelap. Beberapa orang akan langsung mencari bayi itu. Sehingga dengan demikian maka kehadiran mereka tidak akan membuat bayi-bayi itu atau anak-anak yang lain dikorbankan.

Setelah orang-orang yang akan pergi ke padepokan itu sependapat, maka mereka pun telah bersiap-siap. Meskipun orang bertubuh tinggi tegap itu belum sembuh dari luka-lukanya, tetapi ia telah dipaksa untuk ikut serta. Mereka akan menjadi penunjuk jalan sampai ke padepokan disebelah Ara-ara Ambal itu. Ki Buyut telah menyiapkan bekal secukupnya. Mereka pun telah membagi diri dan menentukan tempat untuk berkumpul sebelum mereka menyergap padepokan itu.

Setelah semuanya siap, maka perjalanan yang menentukan nasib dua orang bayi dan bahkan beberapa orang anak-anak itu pun dimulai. Di pagi yang cerah, dua tiga orang dalam kelompok-kelompok kecil telah berjalan menuju ke hutan yang panjang. Kemudian mereka akan menempuh perjalanan di hutan itu mendekati padepokan.

Ternyata orang-orang yang ikut dalam kelompok itu memang memiliki pengalaman menurut jenis pekerjaan mereka masing-masing. Bekas prajurit yang ikut serta bersama mereka, rasa-rasanya telah teringat saat-saat mereka berangkat 

Dua orang bekas perampok yang ikut pula bersama mereka, seakan-akan telah mengenang kembali saat-saat yang sangat berbahaya. Namun mereka berbangga, bahwa saat itu mereka justru pada keadaan yang sebaliknya dari saat-saat mereka merampok. Mereka justru akan ikut serta menegakkan kemanusiaan dengan membebaskan anak-anak di padepokan itu...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 72

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 72
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG-ORANG yang berdiri didekat dinding halaman menjadi berdebar-debar melihat ketiga orang anak muda itu mendekati mereka. Seorang yang mewakili orang-orang itu telah maju selangkah mendapatkan ketiga orang anak-anak muda itu. Bahkan dengan senjata yang telah siap terayun.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Mahisa Murti.

Orang yang mewakili orang-orang padukuhan itu pun berkata, “Kau tidak perlu bertanya lagi. Kau harus menyadari, bahwa permainan kalian akan berakhir disini.”

“Permainan apa? Kami tidak pernah merasa berbuat sesuatu yang tidak pantas bagi padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Memang tidak bagi padukuhan ini,” jawab orang itu.

“Tolong Ki Sanak. Katakan kepada kami, apakah salah kami?” berkata Mahisa Murti.

Tetapi nampaknya orang-orang itu benar-benar telah menuduh mereka bertiga. Orang yang mewakili kawan-kawannya itu berkata, “Kesabaran kami sudah habis.”

“Tidak. Aku tidak mau melakukan kesalahan dalam kesalah pahaman ini,” berkata Mahisa Murti, “kalian perlu menjelaskannya.”

Tetapi orang itu justru memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengepung ketiga orang anak muda itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada tinggi ia bertanya,

“Untuk apa kalian menerima kami bermalam di banjar ini? Sengaja merupakan satu jebakan? Kami kalian biarkan bermalam disini untuk sekedar menerima tuduhan kalian yang keji itu? Jika kalian belum dapat menemukan orang-orang jahat yang kalian cari, kalian jangan menjebak siapa saja untuk kalian jadikan sasaran kebingungan kalian.”

“Cukup, cukup,” teriak orang itu, “kalian datang sebagaimana kalian lakukan di padukuhan lain. Kemudian di malam hari kalian ambil anak itu.”

“Persetan,” geram Mahisa Pukat yang kehilangan kesabaran. “Ingat, aku dapat membunuh kalian.”

Orang-orang yang mengepung ketiga orang anak muda itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Sementara orang yang bertubuh tinggi tegap itu berkata, “Kau dapat melakukannya di padukuhan-padukuhan lain. Tetapi tidak disini.”

“Bukankah kami tidak melakukan sesuatu?“ Mahisa Pukat hampir berteriak.

“Itu karena kalian tahu, kami telah mengepung kalian.” jawab orang bertubuh tinggi tegap itu.

“Kenapa hal itu kalian lakukan? Bukankah itu satu kesengajaan untuk menyudutkan kami? Seharusnya kalian tidak melakukannya dan menyaksikan apakah yang kami lakukan dengan diam-diam sehingga kalian tidak mempunyai alasan untuk dengan tidak bertanggung jawab menuduh kami. Seolah-olah kami tidak melakukannya karena kalian telah mengepung kami,” berkata Mahisa Pukat yang mulai marah, “nah, siapakah yang merencanakan semua ini? Orang itu pantas dicurigai, bahwa orang itu sebenarnya mengetahui tentang orang-orang yang kalian cari sebenarnya.”

Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu berkata, “jangan mengada-ada. Menyerah sajalah.”

Mahisa Pukat hampir saja tidak dapat mencegah kemarahannya meledak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Baiklah. Kami menyerah. Bawa kami menghadap Ki Buyut. Tetapi dengan syarat, bahwa kami tidak perlu diikat.”

“Kami akan mengikat kalian.” geram orang bertubuh tinggi tegap itu.

“Jika kalian mengikat kaki kami, bagaimana kami dapat berjalan?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berbicara Mahisa Murti berbisik, “Dengan cara ini, kami akan bertemu dengan Ki Buyut.”

Tetapi nampaknya Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak senang tangannya menjadi terikat. Namun Mahisa Murti tidak memperhatikannya. Dalam pada itu, orang-orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun membentak, “Jika demikian, cepat berlutut, acungkan tanganmu dan kami akan mengikatnya.”

Mahisa Murti pun segera melakukannya, sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi ragu-ragu. Namun betapa pun segannya akhirnya keduanya telah melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti. Ketiga orang anak muda itu telah berlutut sambil mengacungkan tangannya ke depan. Orang-orang itu pun telah mengikat tangan ketiganya dengan tali sabut kelapa yang kuat.

“Kita membawa mereka menghadap Ki Buyut.” berkata orang yang mewakili kawan-kawannya itu.

Tetapi orang yang bertubuh tinggi tegap dan beberapa orang yang lain telah menolaknya. Bahkan beberapa orang telah berusaha maju sambil berteriak, “jangan serahkan kepada Ki Buyut.”

“Kenapa?” bertanya orang yang mewakili kawan-kawannya.

“Kita putuskan sendiri, hukuman apa yang pantas bagi mereka bertiga.” berkata seorang yang bertubuh gemuk.

“Jangan,” berkata orang yang mewakili kawan-awannya itu, “kita tidak boleh berbuat demikian. Apalagi kita tidak melihat sendiri apakah mereka benar-benar telah bersalah. Karena itu, maka sebaiknya kita serahkan saja mereka kepada Ki Buyut. Dengan demikian kita tidak akan dibebani tanggung jawab jika terjadi kekeliruan.”

“Tidak ada yang keliru. Kita telah menangkap orang yang bersalah. Karena itu, kita berhak mengadilinya.” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurusan.

“Hak dari mana?” bertanya yang mewakili kawan-kawannya itu.

“Kita tidak peduli hak dari mana. Orang-orang ini pantas diadili. Kita akan mengikat mereka pada patok-patok di halaman banjar. Kita akan menghukum mereka dengan cara yang paling menyenangkan bagi kita. Setiap orang dibenarkan untuk melakukan apa saja atas mereka.” geram orang yang bertubuh tinggi tegap.

Ternyata bahwa perdebatan itu tidak berkesudahan. Selain orang yang mewakili kawan-kawannya itu, memang ada beberapa orang yang menganggap bahwa menyerahkan ketiganya kepada Ki Buyut adalah cara yang paling baik. Tetapi ternyata sebagian besar dari orang-orang itu ingin mengadili ketiga orang anak muda itu sendiri.

Mahisa Pukat yang masih saja berlutut itu menjadi muak mendengar perdebatan itu. Tetapi ia sempat mengamati dengan sungguh-sungguh, siapakah di antara orang-orang itu yang tidak ingin melakukan penganiayaan itu dan siapakah yang paling bernafsu untuk mengambil sikap yang kasar itu.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang berniat untuk langsung menghukum ketiga orang itu ternyata lebih banyak, sehingga beberapa orang justru nampak tersisih. “Aku tidak bertanggungjawab atas tingkah laku kalian. Bukankah sejak semula kita sudah sepakat untuk menangkap mereka dan menyerahkannya kepada Ki Buyut.”

“Tetapi sikap kasar mereka membuat kita marah bukan?,” sahut orang bertubuh tinggi tegap itu. Sementara orang lain menyahut “ Ya. Mereka tidak langsung menyerah. Karena itu, maka mereka memang pantas dihukum. Mereka telah membuat kita menjadi sakit hati dan kehilangan kesabaran.”

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun berkata, “Apa pun yang akan kalian lakukan, aku tidak tahu menahu. Aku sudah berusaha untuk mengambil jalan terbaik. Tetapi kalian terlalu bernafsu untuk menyakiti sesama.”

Tetapi ternyata bahwa kata-katanya tidak didengar lagi oleh kawan-kawannya yang semula menganggapnya sebagai orang yang paling berpengaruh di antara mereka. Namun didesak oleh keinginan untuk memuaskan nafsu kebengisan dan kekejian mereka, maka mereka telah melupakannya.

Dalam pada itu Mahisa Murti mencoba untuk mengingatkan mereka, “Ki Sanak. Aku bersedia untuk menyerah karena kalian berjanji untuk membawa kami kepada Ki Buyut. Bukan untuk kalian adili sendiri.”

Tetapi tanggapan orang-orang itu telah mengejutkan ketiga anak muda itu. Tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah menendang wajah Mahisa Murti sehingga Mahisa Murti telah terdorong dan jatuh berguling di tanah. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah bahwa orang-orang yang menyaksikan hal itu telah tertawa berkepanjangan.

Mahisa Murti masih terbaring di tanah, ia sengaja untuk tidak segera bangkit berdiri. Bahkan kemudian ia berusaha untuk duduk dan membungkuk dalam-dalam seolah-olah ia berada dalam kesakitan yang sangat. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Mahisa Murti yang marah itu telah mengetrapkan kekuatannya menjadi berlipat ganda.

Tali yang melingkar dipergelangan tangannya ternyata tidak mampu mengikatnya. Tangan Mahisa Murti yang marah itu seakan-akan telah berubah menjadi bara, sehingga tali itu bagaikan telah terbakar. Dengan kekuatannya yang berlipat Mahisa Murti telah menghentakkan tali itu, sehingga terputus sama sekali.

Adalah diluar persetujuan di antara mereka, jika Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun telah memutuskan tali yang mengikat pergelangan tangannya di saat orang-orang yang ada di sekitarnya sedang memperhatikan Mahisa Murti yang mereka kira menjadi sangat kesakitan sehingga ia duduk terbungkuk-bungkuk.

“Jangan menangis,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang ingin mengadili ketiga orang anak muda itu. Lalu katanya, “Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian.”

Mahisa Murti masih saja dalam sikapnya. Namun jantungnya hampir meledak ketika dirasakannya kaki seseorang telah menginjak tengkuknya. Bahkan kemudian ditekannya keras-keras sehingga dahi Mahisa Murti hampir saja membentur tanah. Tetapi Mahisa Murti masih tetap berdiam diri. Ia memang menunggu agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bersiap menghadapi keadaan.

Sebenarnyalah perhatian terbesar telah ditujukan kepada Mahisa Murti. Beberapa orang telah mengerumuninya untuk menghinakannya. Ada yang mulai menendangnya. Ada pula yang meludahinya. Kesempatan itu juga tidak disia-siakan oleh Mahisa Pukat. Ia telah dengan diam-diam berusaha melepaskan ikatan tangan Mahisa Semu meskipun nampaknya keduanya menjadi sangat ketakutan.

Mahisa Murti memang merasa bahwa waktu yang diberikan sudah cukup bagi Mahisa Pukat jika ia tanggap. Seandainya tidak, maka ia akan mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu sebelum Mahisa Pukat menyadari keadaannya.

Sementara itu mulai terdengar orang-orang berteriak, “Ikat pada tiang itu. Beri kami kesempatan.”

“Ya. Ikat mereka pada tiang itu.” teriak yang lain, yang disahut oleh beberapa buah mulut yang lain.

Tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah merenggut rambut Mahisa Murti dan menariknya tanpa segan-segan, sehingga wajah Mahisa Murti tengadah. Adalah diluar kehendaknya jika tangannya telah terbuka.

Mula-mula orang menarik rambutnya tidak begitu memperhatikannya. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak, “Tali pengikat tangannya putus.”

Orang-orang yang lain pun telah memperhatikan tali yang sudah terkulai di tanah, sementara pergelangan tangan Mahisa Murti sudah terbuka. Beberapa orang telah bergeser mundur. Orang yang menarik rambutnya pun telah bergeser surut pula.

Mahisa Murti pun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Sambil bertolak pinggang ia memandang berkeliling. Orang-orang yang mengepungnya pun bergeser semakin menjauhinya. Sementara itu, Mahisa Murti sempat memberi isyarat agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mendekatinya.

Orang-orang yang mengepung anak-anak muda itu menjadi semakin heran, tetapi juga berdebar-debar. Ketiga anak muda itu telah terlepas dari ikatan pada pergelangan tangannya. Bahkan Mahisa Murti yang marah itu berkata lantang, “Siapa yang akan mengikat kami pada tonggak-tonggak di halaman banjar ini? Siapa?”

Orang-orang yang mengepung ketiga anak muda itu memang menjadi bingung. Bagaimana mungkin mereka bersama-sama dapat melepaskan diri dari ikatan yang kuat itu.

“Kenapa kalian tidak menjawab?” Mahisa Murti berbicara semakin keras.

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu. Bahkan satu dua orang mulai mencari orang yang semula dianggap mewakili mereka, namun yang tidak lagi mereka dengar kata-katanya. Ternyata orang itu berdiri di pendapa banjar. Dengan saksama ia memperhatikan ketiga orang anak muda itu bersama beberapa orang yang mempunyai sikap dan pendirian seperti dirinya. Orang itu memang sudah menduga bahwa satu keajaiban akan terjadi.

Meskipun demikian orang itu pun menjadi heran, bahwa ketiga orang anak muda itu mampu melepaskan ikatan di pergelangan tangan mereka pada saat-saat anak-anak muda itu tertutup oleh kesibukan orang-orang yang mengepung mereka, menghinakan Mahisa Murti dan bahkan menyakitinya. Orang-orang yang berada di pendapa itu termangu-mangu ketika beberapa orang minta mereka melakukan sesuatu.

“Anak-anak muda itu mampu melepaskan ikatan pada pergelangan tangannya.” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku sudah melihatnya.” jawab orang yang mewakili mereka sebelumnya, namun yang kemudian tidak didengar kata-katanya itu.

“Kami mohon kau dapat berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan ini.” berkata orang yang menemuinya.

“Apa yang dapat aku lakukan? Aku bukan apa-apa lagi. Ketiga anak muda itu sudah melepaskan ikatan itu dengan cara yang tidak kita ketahui. Karena itu, aku tidak berani lagi mendekati mereka. Bukankah dengan demikian menunjukkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang berada kemampuan kita semuanya.” berkata orang itu.

“Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Aku akan tetap berada di pendapa ini.” berkata orang yang mewakili kawan-kawan mereka itu.

Beberapa orang itu tidak berhasil melibatkan orang yang semula menjadi wakil mereka, namun yang kemudian tidak lagi mereka perlukan. Nampaknya orang itu telah menjadi marah dan sangat tersinggung sehingga ia tidak lagi mau tahu apa yang akan terjadi.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang sudah terlanjur memperlakukan ketiga orang anak muda itu dengan kasar, memang tidak akan dapat mengingkari tanggung jawab. Terutama orang yang bertubuh tinggi tegap, yang telah menghinakan anak-anak muda itu.

Karena itu, maka ia pun telah berkata, “jangan terpengaruh oleh permainan sihir anak-anak muda itu. Jumlah kita terlalu banyak bagi mereka. Siapa pun mereka, mereka tidak akan dapat melawan kita semuanya. Jika mereka tidak mau menyerah, maka kita akan dapat memaksanya, bahkan membunuh mereka pun kita tidak akan dipersalahkan orang.”

Orang-orang yang kecemasan itu tiba-tiba telah bangkit kembali. Mereka tiba-tiba telah mengacukan senjata mereka. Seorang di antara orang-orang itu pun berteriak lantang, “Menyerah sajalah.”

“Tidak ada gunanya kami menyerah,” jawab Mahisa Murti. “Kalian tidak mempunyai tali yang cukup kuat untuk mengikat kami. Tali ijuk sekalipun tidak akan berarti apa-apa. Karena itu, kalian sajalah yang menyerah. Aku tidak akan menghukum kalian semua. Aku hanya akan menghukum orang-orang yang bersalah.”

“Kau tidak berhak menghukum kami.” teriak orang yang bertubuh tinggi tegap itu.

“Hak ku sama dengan hak mu. Jika kau berhak menghukum kami, maka kami pun berhak menghukum kalian. Di sini nampaknya kekuasaan Ki Buyut sama sekali tidak diperlukan. Bahkan bebahu padukuhan ini pun tidak. Kalian berbuat sesuka hati di banjar padukuhan ini. Kalian sama sekali tidak menghormati paugeran yang berlaku.”

“Tutup mulutmu,” teriak orang yang bertubuh tinggi tegap, “kau sengaja memperpanjang kesempatan untuk menunggu kedatangan bebahu padukuhan ini. Mereka tidak akan datang karena tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepada mereka.”

“Aku tidak mengulur waktu,” jawab Mahisa Pukat yang marah, “justru aku ingin cepat-cepat kalian menyerah. Aku ingin mengikat kalian semuanya pada patok-patok di halaman atau di pepohonan di kebun belakang. Kami akan menghukum kalian dengan cara sebagaimana akan kalian lakukan atas kami.”

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak kepada orang-orang padukuhan itu, “Sekarang. Bunuh mereka jika melawan. Jika tidak, maka mereka akan benar-benar berbahaya bagi kita.”

Orang-orang padukuhan itu pun mulai bergerak. Mereka benar-benar mengacukan senjata mereka ke arah ketiga anak muda itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sudah benar-benar marah kepada orang-orang itu. Karena itu, maka mereka bertiga pun telah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk melakukan perlawanan.

Adalah satu kesalahan bagi orang-orang padukuhan itu, bahwa mereka terlalu percaya pada tali pengikat tangan ketiga orang anak muda itu sehingga pedang-pedang mereka tidak diambilnya. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah menggenggam senjata mereka pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan tenaga cadangan mereka, sementara Mahisa Semu pun telah berada pada puncak kemampuan ilmu pedang yang pernah dipelajarinya.

Karena itu, demikian seorang di antara lawan bergerak, Mahisa Semu telah meloncat sambil memutar pedangnya. Dengan cepat sekali ia menyentuh pedang lawan yang mulai bergerak itu dan dengan satu putaran yang cepat, pedang itu bagaikan telah dibelit oleh kekuatan yang sangat besar. Tiba-tiba saja pedang itu telah terlontar tinggi-tinggi di udara.

Selagi orang yang kehilangan pedangnya itu terheran-heran, maka ujung pedang Mahisa Semu yang marah itu telah menggores lambungnya. Terdengar keluh kesakitan. Orang itu pun langsung jatuh di tanah. Beberapa orang telah terkejut. Namun mereka tidak sempat berbuat apa pun juga karena pedang Mahisa Semu justru telah menyambar-nyambar.

Pertempuran ternyata memang tidak dapat dihindari. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang terlalu garang bagi orang-orang padukuhan itu. Kemarahan yang sangat agaknya telah membuat mereka kehilangan pengendalian diri sehingga dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah terkapar dan terluka parah.

Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu telah menjadi sangat negeri melihat kemarahan ketiga orang anak muda itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan bertemu dengan anak-anak muda yang demikian garang.

Dalam keadaan yang demikian, orang yang dianggap wakil dari orang-orang padukuhan itu tidak dapat tinggal diam. Ia pun kemudian telah turun dari pendapa dan mendapatkan ketiga orang anak muda yang marah itu. Bahkan tanpa ragu-ragu orang itu telah memasuki arena pertempuran sambil berkata,

“Anak-anak muda. Akulah yang bertanggung jawab. Karena itu, jika kalian benar-benar marah dan ingin melakukan pembalasan, lakukanlah atas aku dan barangkali untuk memuaskan kalian, beberapa orang yang mempunyai pendirian seperti aku, bersedia pula menjadi banten.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah tertegun. Suara orang itu benar-benar telah menyentuh hati mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Hentikan. Kita akan menilai kembali, apa yang telah kita lakukan.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah meloncat surut. Meskipun senjata mereka masih teracu, tetapi mereka tidak lagi berloncatan menyerang.

“Apa yang kalian kehendaki?” bertanya Mahisa Murti, “mengikat tangan kami kembali? Menendang wajah kami dan menarik rambut kami? Meludahi dan mengumpat-umpat serta memaki dengan kata-kata kotor? Kemudian berniat untuk mengikat kami di patok-patok itu dan membiarkan kami mendapat hukuman picis sementara kami tidak pernah merasa bersalah? Kenapa kau mencoba menipu kami dengan mengatakan, bahwa kami akan dihadapkan kepada Ki Buyut?”

“Akulah yang bersalah. Sudah aku katakan, aku bertanggungjawab. Karena itu, jika kau ingin mendapat kepuasan dengan membunuh oleh kemarahan yang tidak terbendung lagi, bunuhlah kami.” berkata orang itu.

Beberapa orang yang mempunyai pendirian seperti wakil orang-orang padukuhan itu berdiri di belakangnya. Nampaknya mereka memang pasrah. Tidak seorang pun di antara mereka yang bersenjata yang menunjukkan sikap perlawanan.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat melawan kalian yang tanpa senjata. Kenapa kalian tidak mencari senjata dan bersama-sama dengan kawan-kawan kalian mengepung dan mengeroyok kami?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Sejak semula kami memang tidak menghendakinya. Kami, sekelompok kecil ini berpendirian, bahwa sepantasnya kalian dibawa menghadap Ki Buyut. Tetapi saudara-saudara kami bersikap lain. Namun karena akulah yang telah mengikat tangan kalian, maka biarlah kemarahan kalian, kalian tumpahkan kepadaku dan beberapa orang saudaraku ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu. Hampir diluar sadarnya ia-pun telah menyarungkan senjatanya. Demikian pula Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Ketika mereka bertiga sempat melihat keadaan di sekitarnya, maka mereka melihat beberapa orang telah terluka parah oleh kemarahan mereka yang tidak terkendali. Tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, “Mereka telah memperlakukan kami dengan sangat kasar. Bahkan terlalu kasar.”

“Kami mengerti,” jawab orang itu, “perlakuan yang tidak sewajarnya. Tetapi itu bukan watak orang-orang padukuhan ini.”

“Bagaimana kau dapat berkata begitu. Ternyata mereka telah melakukannya.” jawab Mahisa Murti.

“Mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang tidak terlalu kasar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang terlalu pendek berpikir. Mereka dengan mudah telah dipengaruhi oleh orang-orang yang memang kasar dan berhati kelam.” berkata orang itu.

“Siapakah yang kau maksud itu?” bertanya Mahisa Murti.

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kau dapat menerkanya sendiri.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia memandang orang yang bertubuh tinggi tegap yang sedang menyeringai kesakitan, karena dadanya terluka meskipun tidak terlalu dalam. Namun luka di bawah lambungnya telah membuatnya tidak dapat meninggalkan medan dan melarikan diri. Ketika Mahisa Murti berpaling kembali kepada orang yang merasa bertanggung jawab itu, maka orang itu pun mengangguk.

Mahisa Murti telah mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata, “Lalu apa yang akan kalian lakukan sekarang? Semuanya telah terjadi. Apakah kau tidak mempunyai sikap lain kecuali berkata bahwa kau yang bertanggung jawab?”

“Aku tidak dapat berbuat apa-apa Ki Sanak.” berkata orang itu.

“Jadi kau juga tidak mampu merawat saudara-saudaramu itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

Orang itulah yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika Ki Sanak mengijinkan.”

“Lakukanlah. Tetapi aku menjadi ingin tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya di padukuhan ini, sehingga kalian telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang yang minta perlindungan dan bermalam di sini.” jawab Mahisa Murti.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang-orang padukuhan yang ada di sekitarnya dengan wajah yang tegang. Keringatnya yang membasahi tengkuk dan punggungnya.

“Kau dengar saudara-saudaraku. Kami diperbolehkan merawat saudara-saudara kita yang terluka.” berkata orang itu.

Namun Mahisa Murti masih juga berkata, “Tetapi siapakah di antara kalian yang tidak mau menerima keadaan ini? Siapakah yang masih tetap berpendirian untuk menangkap kami dan menghukum mati dengan hukuman yang paling biadab yang kita kenal sekarang, yaitu hukum picis?”

Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara Mahisa Murti telah berteriak pula, “Siapa? Siapa?”

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu berkata sareh, “Tidak ada Ki Sanak.”

“Jika tidak ada, kenapa kalian masih bersenjata? Lemparkan senjata kalian, atau aku harus menarik senjataku kembali?” bertanya Mahisa Murti.

Jantung orang-orang padukuhan itu menjadi berdebar-debar. Namun kemudian oleh kengerian yang sangat, maka mereka pun telah melemparkan senjata-senjata mereka. Orang yang mewakili mereka pun kemudian berkata, “Nah bukankah anak-anak muda percaya?”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sekarang terserah kepada kalian. Tetapi aku masih akan mengusut apa yang telah terjadi disini.”

“Baiklah anak-anak muda. Kami ingin mempersilahkan anak-anak muda untuk beristirahat di pendapa. Kami akan mengurusi saudara-saudara kami yang terluka. Sementara itu kami akan mengirimkan dua orang di antara kami untuk memberikan laporan kepada Ki Buyut. Syukurlah jika Ki Buyut bersedia untuk datang ke banjar ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun kemudian dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu telah sibuk merawat saudara-saudara mereka yang terluka. Dan meletakkannya di gandok banjar.

Sikap orang-orang padukuhan itu terhadap ketiga orang anak muda itu telah berubah sama sekali. Ketiga orang anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Mereka dengan garang telah dapat mengoyak kepungan orang-orang sepadukuhan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari hanya tiga orang anak muda itu. Bahkan beberapa orang telah terkapar dengan luka yang parah. Bahkan ternyata seorang di antara yang terluka itu telah tidak dapat lagi ditolong.

“Mereka telah membunuh saudara kami,” berkata salah seorang di antara mereka yang menunggui seorang di antara mereka yang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir karena luka-lukanya yang parah serta darahnya yang mengalir deras.

Tetapi saudaranya yang lain menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Saudara kita itulah yang membunuh diri, sebagaimana yang kita lakukan. Tetapi usaha kita membunuh diri telah gagal karena kita telah melemparkan senjata-senjata kita.”

Orang yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang menjadi sangat ngeri itu mulai dapat memikirkan apa yang telah terjadi di halaman banjar mereka. Agaknya mereka telah kehilangan akal sehingga mereka telah memasuki kembali satu peradaban yang liar sehingga mereka hampir saja telah melakukan satu kekejaman yang luar biasa dengan menjatuhkan hukum picis kepada ketiga orang anak muda itu.

Tidak seorang pun dapat menyalahkan ketiga orang anak muda itu atas kematian seorang di antara mereka, dan beberapa orang yang telah terluka. Semua orang mulai menyadari, betapa perlakuan kasar telah dialami oleh ketiga orang anak muda itu. Kekasaran itu ternyata harus ditebus dengan jiwa oleh orang-orang padukuhan itu.

Beberapa saat kemudian, ternyata Ki Buyut telah datang. Bagi ketiga anak muda itu, sikapnya masih menjadi teka-teki. Ketiga orang anak muda itu tidak tahu, apakah Ki Buyut akan dapat mengerti, bahwa ketiga anak muda itu dengan terpaksa sekali telah berbuat sesuatu yang akibatnya sangat parah. Bahkan telah merenggut jiwa seseorang.

Ternyata Ki Buyut bukan seorang yang mudah kehilangan penalaran. Wajahnya memang menjadi tegang ketika ia mengetahui bahwa seorang di antara penghuni Kabuyutannya telah terbunuh. Tetapi Ki Buyut itu dengan teliti telah menelusuri apakah sebabnya hal itu telah terjadi.

Orang yang bertubuh tinggi tegap yang juga terluka itu telah berusaha untuk dapat berbicara dengan Ki Buyut langsung. Namun orang yang mewakili saudara-saudaranya saat menghadapi ketiga orang anak muda itu telah mendampingi Ki Buyut itu. Karena itu, ketika orang bertubuh tinggi tegap yang terluka cukup parah itu mengatakan yang tidak sebenarnya, maka orang yang mewakili kawan-kawannya itu telah memberikan penjelasan.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Pikirannya yang bening dapat menyaring laporan-laporan yang bersimpang siur itu. Sementara itu maka katanya, “Aku ingin berbicara dengan ketiga orang anak muda itu.”

Ki Buyut pun kemudian telah duduk di pendapa bersama beberapa orang bebahu, orang yang mewakili saudara-saudaranya itu dan ketiga orang anak muda yang telah menimbulkan persoalan di banjar padukuhan itu.

“Kau telah membunuh disini anak-anak muda.” berkata Ki Buyut.

“Ya,” jawab Mahisa Murti tegas, “Jika kami tidak membunuh dan melukai beberapa orang, maka kami akan mengalami hukuman picis.”

Ki Buyut termangu-mangu. Tetapi nampak wajahnya tergerak oleh perasaan yang terkejut mendengar jawaban Mahisa Murti itu. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Hukuman apa? Siapakah yang telah menghukum kalian?”

Mahisa Murti termangu-mangu. Katanya, “Apakah tidak ada orang yang memberikan laporan dengan lengkap?”

“Laporan itu memang mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan dan beberapa orang terluka, sehingga aku datang kemari.” jawab Ki Buyut.

Mahisa Murti lah yang kemudian memberikan penjelasan tentang apa yang telah terjadi di banjar itu. Dan akhirnya ia pun berkata, “Itu bukan sekedar perselisihan. Kami tidak mempunyai persoalan. Yang kami lakukan adalah membela diri.”

Orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun kemudian berkata, “Bukankah sebagian dari persoalan yang sebenarnya telah kami laporkan pula?”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku ingin menyesuaikan laporan dari semua pihak. Aku harus dapat mencari kebenaran dari berbagai macam laporan yang simpang siur.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “dengan laporan kalian, maka kami menjadi yakin tentang apa yang telah terjadi. Aku sangat kecewa karena kalian telah membunuh dan melukai orang-orangku, tetapi aku pun merasa kecewa pula atas tindakan orang-orangku atas kalian. Karena itu, aku memang harus mengikhlaskan orangku yang terbunuh.”

“Terima kasih Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti. Namun kemudian ia pun bertanya, “tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi di Kabuyutan ini sehingga orang-orang padukuhan ini seakan-akan telah menjadi kasar dan buas.”

“Memang sesuatu telah terjadi.” berkata Ki Buyut.

“Itulah yang ingin kami ketahui.” jawab Mahisa Murti.

Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Sementara ketiga anak muda itu merasa semakin yakin jika Ki Buyut sendiri yang telah mengatakannya. Dalam pada itu, Ki Buyut pun berkata, “Sudah ada dua orang bayi yang hilang di Kabuyutan ini.”

“Anak siapakah mereka? Anak seorang yang memiliki kekayaan yang memungkinkan akan terjadi pemerasan, atau kemungkinan-kemungkinan yang lain?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukan,” jawab Ki Bekel. Lalu katanya pula, “Keduanya anak orang-orang biasa. Tidak ada kelebihan apa-apa. Tidak terlalu kaya. Ada beberapa orang yang lebih kaya daripada mereka. Tetapi bayi-bayi merekalah yang hilang.”

“Apakah tidak ada tanda-tanda atau dugaan-dugaan, dalam hubungan apakah anak-anak itu hilang?”

“Tidak.” jawab Ki Bekel.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tanpa petunjuk apa pun juga sangat sulit baginya untuk mengetahui dan memecahkan persoalan itu. Apalagi menemukan bayi-bayi yang hilang itu.

Namun dalam pada itu, orang yang mewakili saudara-saudaranya sepedukuhan itu berkata, “Kedua bayi itu masih mempunyai hubungan darah. Keduanya saudara sepupu. Keduanya lahir dari ayah dan ibu yang baru mempunyai seorang anak itu.”

“Sepupu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya,” jawab orang itu, “jarak waktunya bayi itu hilang tidak terlalu jauh. Kurang dari dua pekan.”

Mahisa Murti dan kedua saudaranya termangu-mangu. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Apakah masih ada orang lain yang masih mempunyai hubungan darah dengan mereka?”

“Ada,” jawab Ki Buyut, “kakak mereka yang tertua. Orang itu tidak mempunyai anak. Kemudian yang kedua dan yang ketiga mempunyai masing-masing seorang anak yang hilang itu. Yang keempat adalah orang yang terlibat dalam pertempuran yang baru saja terjadi. Dendamnya kepada orang-orang yang menculik kemanakannya itu sampai ke ubun-ubun. Karena itu, maka ia pun telah dengan mudah terbakar hatinya.”

“Yang mana?” bertanya Mahisa Murti.

“Orang bertubuh tinggi tegap.” jawab Ki Buyut.

“Yang terluka itu?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.

“Ya. Ia begitu benci kepada orang-orang yang dapat disangka menculik kemenakan-kemenakannya itu. Karena itu, ia tidak dapat menahan dirinya dan dengan mudah melakukan tindakan yang tidak terpuji itu.”

“Apakah orang itu mempunyai anak?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Anaknya ada tiga.” jawab Ki Buyut.

Namun orang yang mewakili kawan-kawannya itu berkata, “Yang masih mempunyai hubungan darah dengan orang-orang yang Ki Buyut katakan itu bukan orang yang bertubuh tinggi tegap itu sendiri. Tetapi saudara keempat dari mereka itu adalah isterinya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kau benar. Isterinyalah yang masih mempunyai pertalian darah dengan ketiga orang yang lebih tua itu.”

“Menarik sekali untuk diselidiki Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “Aku akan tinggal di Kabuyutan ini selama-lamanya sepekan, sehingga jika sepekan aku gagal, maka aku akan pergi.”

“Kalian akan membantu kami mencari penculik-penculik itu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya. Aku akan membantu Ki Buyut untuk sepekan. Berhasil atau tidak berhasil.” jawab Mahisa Murti.

“Terima kasih anak-anak muda. Setidak-tidaknya kita sudah berusaha. Jika tidak berhasil, maka itu adalah di luar kehendak kita.” desis Ki Buyut.

Keterangan itu memang sangat menarik. Laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu nampaknya tidak begitu baik bagi saudara-saudara isterinya. Namun dengan ragu-ragu Mahisa Murti pun kemudian bertanya, “Maaf Ki Sanak. Bukan maksudku mengetahui persoalan yang sangat pribadi. Tetapi pertanyaan kami ini berhubungan dengan hilangnya dua orang kemanakan Ki Sanak.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan. Jika aku mungkin menjawabnya, aku akan menjawabnya.”

Mahisa Murti memang ragu-ragu. Tetapi ia akhirnya mengucapkannya juga, “Ki Sanak. Menurut penglihatan kami, Ki Sanak adalah seorang yang kaya sekali. Sementara itu, Ki Sanak tidak mempunyai anak.”

“Ya. Aku memang tidak dapat mengelak bahwa aku memang mendapat kurnia yang barangkali melebihi orang lain. Aku sangat berterima kasih. Menurut pendapatku, aku bukan seorang yang sangat pelit, sehingga aku sempat serba sedikit memberikan bantuan kepada orang-orang yang memerlukan di sekitarku ini. Juga bagi padukuhan dan bagi Kabuyutan.” berkata orang itu.

“Aku percaya Ki Sanak,” berkata Mahisa Murti. “Namun yang ingin aku tanyakan, sesuai dengan paugeran yang berlaku di sini, jika saatnya datang, siapakah yang akan mewarisi kekayaan Ki Sanak yang banyak ini?”

“Ah,” desis orang itu.

Namun dengan serta merta Mahisa Murti berkata, “Bukan maksudku untuk memacu Ki Sanak berpikir tentang masa-masa yang tidak menarik itu. Tetapi aku ingin mengetahuinya dalam hubungannya dengan persoalan anak-anak yang hilang itu.”

“Baiklah Ki Sanak,” jawab orang itu, “aku percaya kepada Ki Sanak. Tetapi jangan diartikan bahwa aku ingin menyombongkan diri dengan kekayaanku.”

“Tentu tidak. Kita bersama-sama sedang berusaha memecahkan persoalan yang rumit, yang hampir saja menghancurkan martabat penghuni Kabuyutan ini serta hampir saja merenggut nyawa orang yang tidak bersalah.” berkata Mahisa Murti.

“Menurut paugeran, jika sepasang suami isteri tidak mempunyai anak, maka harta benda yang dimilikinya, termasuk tanah, sawah dan pategalan, akan jatuh ke tangan saudara-saudaranya.” jawab orang itu.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sesuatu tergetar di jantungnya, sebagaimana Mahisa Pukat juga merasakannya. Untuk sementara ketiga anak muda itu merasa cukup. Mereka pun kemudian telah kembali ke serambi banjar.

“Nampaknya kita akan menemukan orang itu.” berkata Mahisa Murti.

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “persoalannya semakin jelas.”

“Apa yang jelas?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Cobalah berpikir sedikit. Tarik garis dari ujung.”

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Kau malas berpikir. Nampaknya kau lebih senang bertanya saja. Nampaknya itu lebih mudah dan tidak usah membuang-buang tenaga.” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bergeramang, “Yang tertua itu kaya sekali. Jika ia meninggal, maka harta bendanya akan jatuh kepada tiga orang saudaranya. Yang kedua dan ketiga juga tidak mempunyai anak, karena anaknya hilang. Kalau mereka mati, maka harta bendanya akan jatuh kepada saudaranya,” Mahisa Semu berhenti sejenak, lalu katanya, “Jadi kalian menduga, bahwa hal ini telah direncanakan oleh saudara yang paling muda itu?”

“Bukan,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi suaminya.”

“Tidak. Tidak ada gunanya. Bagaimana jika yang termuda itu mati lebih dahulu, atau orang yang kehilangan anak-anaknya itu akan mempunyai anak lagi?” bertanya Mahisa Semu.

“Rencana itu berkelanjutan.” jawab Mahisa Pukat.

Wajah Mahisa Semu menjadi tegang. Sambil bangkit berdiri ia berkata, “begitu kejamkah orang itu?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, sementara Mahisa Semu berkata, “jadi menurut dugaanmu, orang itu akan dapat membunuh pula kedua orang saudara isterinya itu? Atau barangkali membunuh setiap anak yang akan dilahirkan kelak?”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tahu, bagaimana orang yang bertubuh tinggi tegap itu begitu bernafsu untuk menghukum kita? Bahkan mungkin membiarkan kita terbunuh di patok-patok yang terdapat di halaman banjar setelah ia membakar hati orang-orang padukuhan ini.”

“Ya.” jawab Mahisa Semu.

“Kau lihat cahaya matanya? Begitu garangnya. Tidak mustahil bahwa ia akan membunuh dua tiga orang atau bahkan lebih lagi.” jawab Mahisa Pukat.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah orang itu terluka?”

“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “kita memang tidak dapat menuduh begitu saja. Setidak-tidaknya harus ada saksi yang dapat membantu memecahkan persoalan ini.”

“Itulah yang sedang aku pikirkan,” berkata Mahisa Murti, “kita harus dapat memancingnya.”

“Malam nanti kita mempunyai kesempatan.” berkata Mahisa Pukat.

“Apakah kita akan meninggalkan setelah sepekan kita di sini? Jika demikian besok adalah hari terakhir. Apakah mungkin kita menyelesaikan tugas ini? Sementara itu, apakah kita akan sampai hati meninggalkan pekerjaan yang sudah hampir selesai ini?” bertanya Mahisa Semu.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Aku memang berniat untuk meninggalkan tempat ini setelah sepekan kita disini. Berhasil atau tidak berhasil. Tetapi nampaknya keadaannya akan berbeda. Kita akan disini sampai persoalan ini tuntas kita selesaikan.”

“Apakah kita akan memberitahukan kepada Ki Buyut?” bertanya Mahisa Semu pula.

“Belum,” jawab Mahisa Murti, “jika kita sudah mendapat kepastian dan saksi atau bukti, barulah kita berbicara dengan Ki Buyut.”

“Tetapi waktu yang kita perlukan tentu lama,” berkata Mahisa Pukat, “Orang itu terluka, termasuk agak parah. Apakah kita akan menunggu orang itu sembuh? Orang itu tentu akan mengambil langkah-langkah setelah ia dapat berbuat sesuatu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia menjawab, “Mungkin kita memerlukan waktu yang lama.”

Mahisa Pukat lah yang tersenyum kemudian. Katanya, “Kau tidak tergesa-gesa lagi?”

Tetapi jawabnya, “Kita sedang tapa ngrame. Kita harus menolong setiap orang yang memerlukan pertolongan kita. Bukankah itu merupakan satu laku bertapa yang paling baik menurut penilaian kita, karena laku itu secara nyata telah menolong sesama.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Beberapa saat mereka beristirahat, maka seperti biasa penunggu banjar itu pun telah menyajikan makan dan minum bagi mereka. Ketika Mahisa Semu sedang pergi ke pakiwan, maka diluar sadar, Mahisa Pukat telah memungut sepotong lauk dan dimakannya. Namun tiba-tiba sepotong ikan air tawar yang dikunyahnya itu telah dimuntahkannya kembali.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Lihatlah.” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti pun kemudian menyentuhnya. Dengan kemampuannya yang tinggi, serta penangkal bisa dan racun yang dimilikinya, sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Pukat, mereka dapat mengerti bahwa makanan yang diberikan kepada mereka itu beracun.

“Kita amati Mahisa Semu,” berkata Mahisa Murti, “jangan sampai ia memakannya. Anak itu tidak memiliki penangkal racun.”

“Siapakah yang memberikan racun itu pada makanan itu?” bertanya Mahisa Pukat, “orang yang menghidangkan itu, atau orang yang memasaknya, atau orang lain diluar pengetahuan mereka?”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan pergi ke rumah Ki Buyut sebentar.”

“Untuk memberikan laporan?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku berharap Ki Buyut bersedia datang kemari,” jawab Mahisa Murti sambil melangkah ke pintu. Tetapi ia masih berpesan, “Hati-hatilah dengan Mahisa Semu.”

Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, “Aku akan memberitahukan kepadanya.”

Sepeninggal Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat telah melihat seluruh makanan yang dihidangkan itu. Ternyata sebagian besar dari nasi, lauk pauk dan sayurnya telah diracuni. Racun yang dapat membunuh orang yang makan dan bahkan menelannya sedikit saja dari antara yang dihidangkan itu.

Ternyata beberapa saat kemudian, Mahisa Semu telah masuk ke dalam bilik di serambi itu. Dengan cepat, Mahisa Pukat memberikan peringatan tentang racun itu kepadanya. Bahkan Mahisa Pukat minta agar Mahisa Semu pergi ke pakiwan lagi untuk mencuci kain panjang.

“Ulurlah waktu sampai Ki Buyut datang kemari.” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Semu masih belum tahu pasti maksud Mahisa Pukat. Namun ia telah kembali ke pakiwan dan mencuci kain panjangnya. Ia telah memenuhi pesan Mahisa Pukat untuk mengulur waktu sampai saat Ki Buyut datang bersama Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan Ki Buyut ada di rumah.” desis Mahisa Semu yang masih berendam air di pakiwan meskipun hari menjadi semakin buram.

Beberapa saat kemudian, ternyata orang yang telah menghidangkan makanan itu telah masuk kembali untuk menyingkirkan sisa-sisa makanan. Namun ternyata makanan itu masih belum dimakan.

“O,” orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak nampak terkejut bahwa Mahisa Pukat masih duduk di amben bambu.

“Apakah kalian belum makan?” orang itu pun kemudian telah bertanya.

“Belum,” jawab Mahisa Pukat, “aku masih menunggu saudara-saudaraku. Yang satu baru pergi ke sungai dan yang lain masih mencuci di pakiwan.”

Orang itu tidak memberikan kesan apapun. Katanya, “Baiklah. Nanti saja aku datang lagi untuk mengambilnya.”

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah pergi. Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Melihat sikapnya, tentu bukan orang itu yang telah memberikan racun pada makanan yang dihidangkannya. Beberapa saat kemudian, ternyata Ki Buyut telah datang dengan diam-diam, sehingga orang yang berada di pendapa banjar pun tidak tahu, bahwa Ki Buyut telah berada di serambi belakang.

“Hati-hati Ki Buyut.” minta Mahisa Murti.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui, bahwa di dalam makanan itu ada racunnya. Ketika seekor kucing masuk ke dalam ruangan itu Mahisa Murti telah melemparkan sepotong ikan air tawar yang segera dimakan oleh kucing itu. Namun sejenak kemudian, kucing yang malang itu telah menjadi beku.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kucing yang mati itu dengan jantung yang berdebaran. Jika yang menelan makanan dan minuman itu seseorang, maka seseorang itu pun akan mengalami nasib yang sama seperti kucing itu.

Sementara itu Mahisa Semu lah yang kemudian berjongkok di sebelah kucing yang telah mati itu. Dengan nada rendah ia berdesah, “Kasihan. Jika kakang telah mengetahui bahwa makanan itu beracun, kenapa kakang berikan juga kepada kucing ini?”

Mahisa Murti menyahut perlahan, “Sudahlah. Nampaknya kucing itu memang harus berkorban untuk membuktikan bahwa makanan itu memang beracun.”

“Kucing itu tidak mati sia-sia.” berkata Mahisa Pukat.

“Akulah yang berterima kasih karenanya,” berkata Ki Buyut, “dengan demikian aku menjadi yakin bahwa makanan ini memang beracun. Setidak-tidaknya lauknya.”

“Bukan hanya lauknya Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “nasi dan sayurnya juga beracun.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan nada keras ia bertanya, “Siapakah menurut dugaan kalian, yang telah melakukannya?”

Mahisa Murti menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu. Masih harus dicari, siapakah yang melakukannya. Orang yang menghidangkan, yang masak atau orang lain.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berdesis, “Caranya?”

“Itulah yang masih belum kami ketemukan.” jawab Mahisa Murti.

Sejenak mereka duduk termangu-mangu. Semuanya memikirkan kemungkinan yang paling baik untuk menjebak orang yang telah meracuni makanan itu. Tiba-tiba saja Mahisa Semu pun berkata, “Kita beritahukan kepada orang yang telah memasak makanan itu. Kita akan makan bersama Ki Buyut disini. Bagaimana tanggapannya. Mungkin kita akan dapat melihat sekilas.”

Mahisa Murti tiba-tiba telah bangkit sambil berdesis, “Bagus. Ternyata pikiranmu cerah.”

Mahisa Pukat pun berkata, “Nanti, jika orang yang akan menyingkirkan sisa makanan itu datang, aku akan menemui orang yang menyiapkan makanan itu, atau yang telah memasaknya. Kalian berbicara dengan orang yang telah menghidangkan makanan itu, sementara aku akan berbicara dengan mereka yang ada di belakang.”

Beberapa pembicaraan singkat telah terjadi. Namun mereka pun terdiam ketika seseorang memasuki bilik serambi itu. Demikian orang itu masuk, maka Mahisa Pukat pun telah menyelinap pula keluar.

“Apakah kalian sudah selesai makan?” bertanya orang itu.

“Tentu belum,” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Ki Sanak. Sebagaimana kau lihat, Ki Buyut ternyata datang kemari. Apakah pantas jika aku dan saudara-saudaraku makan sendiri? Tolong, ambilkan sebuah mangkuk saja. Nasi dan lauk pauk yang tersedia cukup banyak, sehingga tidak perlu ditambah lagi.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tidak ada kesan apa pun di wajahnya. Bahkan katanya, “Baiklah. Aku akan mengambil mangkuk lagi.”

“Bukan hanya mangkuk, tetapi juga minuman bagi Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti untuk memperpanjang kesempatan Mahisa Pukat berbicara dengan orang yang masak atau yang menyediakan makan dan minum itu.

“Baik Ki Sanak.” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Murti masih menahannya, “Tunggu Ki Sanak.”

Orang itu termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti telah bertanya kepada Ki Buyut, “Apakah kebiasaan minuman Ki Buyut? Kami disini selalu menikmati wedang jahe panas dengan gula kelapa.”

Orang itu mengangguk-angguk sambil memandangi Ki Buyut yang justru berpikir. Namun ia pun kemudian tanggap. Karena itu maka ia pun bertanya kepada orang itu, “Minuman apakah yang ada sekarang? Aku tidak perlu membuat kalian menjadi sibuk. Apa saja yang ada? Wedang jahe? Wedang sere atau air dingin dalam gendi atau apa saja.”

“Kami mempunyai air putih dalam gendi Ki Buyut, tetapi juga mempunyai wedang jahe. Tetapi seandainya Ki Buyut menghendaki wedang jahe, kami pun dengan cepat dapat membuatnya karena kami kebetulan sedang merebus air.” berkata orang itu.

“Tidak usah,” jawab Ki Buyut, “ambilkan saja aku wedang jahe itu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser keluar dari bilik itu tanpa memberikan kesan apa pun juga. Namun orang itu terkejut ketika ia menyentuh dengan kakinya tubuh kucing yang telah mati.

“Kucing mati disini? “ katanya gagap.

“Ya.” jawab Mahisa Murti.

“Kenapa?” bertanya orang itu.

“Entahlah. Tiba-tiba saja kucing itu mati.” jawab Mahisa Murti.

“Apakah bangkai kucing ini dapat aku buang ke sungai?” bertanya orang itu.

“Nanti saja. Sekarang, buatkan minuman bagi Ki Buyut dan sebuah mangkok.” minta Mahisa Murti.

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bergeser meninggalkan bilik itu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah masuk ke dalam bilik itu sambil berdesis, “Bukan orang yang memasak makanan dan minuman itu.”

“Kalau begitu tentu ada orang lain,” sahut Mahisa Murti. “orang yang menghidangkan makanan itu nampaknya juga tidak tahu menahu tentang racun yang ada di dalam makanan dan minuman itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun nampak bahwa kegelisahan telah mengguncang jantungnya. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Ketika aku mengatakan, bahwa Ki Buyut akan makan disini, orang yang berada di dapur itu sama sekali tidak menjadi tegang karena kemungkinan buruk. Mereka justru menjadi sibuk karena ingin mempersiapkan tambahan lauk pauk.”

Tetapi Mahisa Pukat telah mencegah mereka. Karena itulah maka orang-orang yang ada di dalam bilik itu berkesimpulan bahwa ada orang lain yang memasukkan racun itu ke dalam lauk dan sayur, bahkan nasi yang dihidangkan.

“Kita harus berbicara dengan orang-orang itu.” berkata Ki Buyut.

“Agaknya itu adalah satu-satunya cara.” desis Mahisa Murti.

“Baiklah,” berkata Mahisa Pukat, “aku akan memanggil mereka. Biarkan saja kucing itu ada di situ.”

Sejenak kemudian, tiga orang telah berkumpul di dalam bilik yang sempit itu selain ketiga orang anak-anak muda itu bersama Ki Buyut. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Mereka menjadi sangat berdebar-debar karena Ki Buyut telah memanggil mereka.

“Duduklah dan tenanglah,” berkata Ki Buyut, “jawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik, dengan jujur dan benar.”

Ketiga orang itu menjadi semakin pucat.

“Kau lihat kucing mati itu?” bertanya Ki Buyut.

Ketiga orang itu berpaling kepada bangkai kucing itu. Dengan gagap orang yang menghidangkan makanan itu berkata, “Aku tidak tahu tentang kucing itu. Aku sudah menyatakan untuk membuangnya.”

“Kau tahu siapa yang membunuhnya?” bertanya Ki Buyut.

“Tidak.” jawab orang itu.

“Yang lain?” bertanya Ki Buyut semakin keras.

“Tidak. Tidak.” jawab yang lain.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kalian memang tidak mengetahuinya. Biarlah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kucing itu mati karena racun.”

“Racun? Siapakah yang meracunnya?” bertanya mereka hampir berbareng.

“Itulah yang harus kita cari.” berkata Ki Buyut.

Namun seorang di antara mereka tiba-tiba saja bertanya, “Apakah kucing itu kucing Ki Buyut.”

“Bukan,” jawab Ki Buyut, “aku datang kemari tidak membawa kucing. Kucing itu masuk sendiri ke dalam bilik ini. Nampaknya kucing itu telah mencuri ikan yang disajikan disini. Ternyata kucing itu mati dengan tanda-tanda keracunan.”

Ketiga orang itu menjadi tegang. Seorang di antara mereka bertanya, “Maksud Ki Buyut, makanan yang disajikan itu mengandung racun?”

“Ya.” jawab Ki Buyut.

Wajah ketiga orang itu menjadi pucat. Tiba-tiba saja mereka menjadi gemetar. Seorang di antara mereka mencoba untuk menjelaskan, “Tetapi, tetapi yang kami makan di dapur juga sisa nasi, lauk dan sayur yang kami hidangkan ini. Ternyata kami tidak mati keracunan.”

“Kau mau mencoba makan makanan yang kalian hidangkan ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Tidak. Tidak.” orang-orang itu menggeleng. Bahkan mereka telah beringsut surut.

“Aku tidak ingin membunuh kucing lagi untuk membuktikan bahwa makanan itu beracun. Terserah kalian mau percaya atau tidak.” berkata Mahisa Murti.

Ketiga orang itu memang menjadi bingung. Sementara itu, Ki Buyut telah bertanya, “Selain kalian, apakah ada orang lain yang bekerja di dapur?”

“Tidak,” jawab orang yang memasak makanan itu, “kami bertiga saja yang mengerjakannya.”

“Orang lain yang masuk ke dalam dapur untuk satu keperluan barangkali?” bertanya Ki Buyut mendesak.

Ketiga orang itu mulai mengingat-ingat. Tetapi ternyata mereka tidak teringat seorang pun yang masuk ke dapur untuk keperluan apapun. Ketiganya tidak pernah meninggalkan dapur bersama-sama. Salah seorang di antara mereka tentu ada di dapur untuk menunggui makanan agar tidak dicuri kucing.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “Jika memang tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam dapur, maka tentu satu orang di antara kalian bertiga, atau kalian bertiga bersama-sama telah bersepakat untuk melakukan kejahatan itu.”

“Tidak.” jawab mereka serentak.

Seorang di antara mereka berkata selanjutnya, “aku benar-benar tidak tahu menahu.”

“Jika demikian, maka kalian bertiga harus makan makanan ini. Yang tidak bersalah tidak akan terkena racunnya. Hanya yang bersalah sajalah yang akan mati.” berkata Ki Buyut.

Ketiga orang itu termangu-mangu.

“Cepat.” Ki Buyut menggeram.

“Tetapi Ki Buyut bertanggung jawab, bahwa yang tidak bersalah tidak akan mati?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Ya.” jawab Ki Buyut.

“Baik,” berkata orang yang menghidangkan makanan itu, “Aku akan melakukannya, karena aku tidak bersalah.”

Kedua orang yang lain pun ternyata telah menyatakan kesediaannya pula untuk makan, asal Ki Buyut bertanggung jawab.

“Aku tidak merasa bersalah sama sekali.” berkata orang yang ada di dapur.

Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu lah yang menjadi cemas. Salah atau tidak bersalah, maka mereka akan mati jika makan sepotong saja makanan yang tersedia itu, karena makanan itu menyimpan racun yang sangat tajam. Karena itu, maka Mahisa Murti pun dengan tergesa-gesa telah mencegahnya, “Baiklah. Kalian tidak usah makan makanan itu, aku percaya kalian tidak bersalah.”

“Tetapi Ki Buyut bertanggung jawab.” berkata salah seorang di antara mereka.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku juga hanya ingin meyakinkan. Namun mereka harus dapat memberikan keterangan, tentu ada orang lain yang telah masuk ke dapur atau berpapasan saat mereka menghidangkan makanan itu. Jika mereka tidak dapat menyebutkan, maka mereka benar-benar harus makan makanan yang telah mereka hidangkan bagi kalian.”

Ketiga orang itu menjadi bingung. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata, “He, aku ingat sekarang. Bukankah selagi kita sibuk ada seorang mencari api di dapur?”

“Ah, perempuan tua itu,” desis yang lain. “Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan untuk menyalakan lampu yang dibawanya saja hampir saja ia gagal.”

“Siapakah perempuan tua itu?” bertanya Ki Buyut.

Barulah ketiga orang itu menyadari kebodohan mereka. Ternyata mereka belum mengenal perempuan tua itu.

“Apakah kalian tidak bertanya, siapakah orang yang belum kalian kenal yang tiba-tiba saja memasuki dapur banjar padukuhan ini untuk mencari api, karena di rumahnya perempuan tua itu kehabisan api dan tidak mampu membuat api sendiri?” bertanya Ki Buyut, “bukankah itu aneh sekali?”

“Kami memang bertanya kepadanya,” jawab salah seorang dari mereka, “tetapi kami terlalu bodoh untuk begitu saja percaya, bahwa perempuan tua itu tamu di rumah sebelah banjar ini. Ia datang dari padukuhan di luar Kabuyutan ini. Orang yang tinggal di rumah sebelah adalah saudaranya.”

“Dan kau percaya bahwa ia tinggal di rumah sebelah meskipun sekedar menengok sanak kadangnya yang tinggal di rumah sebelah itu.” bertanya Ki Buyut.

“Semula aku percaya,” jawab orang itu, “tetapi sekarang aku tidak percaya.”

“Aku akan pergi ke rumah sebelah.” berkata salah seorang di antara mereka pula.

“Tidak ada gunanya,” jawab Ki Buyut, “perempuan tua itu tentu bukan orang yang sedang menjadi tamu di rumah itu.”

Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, “Mungkin kita akan kehilangan jejak kali ini. Tetapi selama mereka bermain dengan racun, mudah-mudahan kami akan dapat mengatasinya.”

“Tetapi jika kalian lengah sedikit saja, maka kemungkinan yang sangat buruk akan dapat terjadi.” berkata Ki Buyut.

Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Buyut pun berkata, “Baiklah. Aku kira, kali ini kita masih harus menunggu kesempatan lain. Mudah-mudahan ketiga orang itu tidak terlalu bodoh untuk melakukan kesalahan yang sama sehingga kita akan kehilangan jejak lagi.”

“Kami akan berusaha sebaik-baiknya Ki Buyut.” berkata salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Ingat, kalian jangan membuka rahasia ini. Jika besok atau lusa atau kapan saja, ternyata ada orang yang mendengarnya, maka kalian bertiga akan mempertanggung-jawabkannya.” geram Ki Buyut.

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun mereka tidak menjawab meskipun di dalam hati mereka bertanya, “Bagaimana jika orang lain yang menyebarkan berita itu? Misalnya ketiga orang anak muda itu, atau perempuan tua yang minta api di dapur itu.”

Ki Buyut pun kemudian telah minta diri. Dengan diam-diam ia telah keluar lewat pintu butulan, diantar oleh ketiga orang anak muda itu sambil melihat keadaan di Kabuyutan. Namun mereka tidak menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka. Mereka pun tidak bertemu dengan seorang perempuan tua atau orang lain yang pantas dicurigai.

Di banjar, Mahisa Murti minta kepada ketiga orang itu untuk memasukkan makanan beracun itu ke dalam lubang dan kemudian ditimbun kembali, sehingga tidak akan merusakkan atau memungkinkan orang lain keracunan.

Sejak itu, maka ketiga orang yang bekerja di dapur itu justru menjadi ketakutan untuk makan bagi mereka sendiri. Setiap kali mereka harus memanggil Mahisa Murti atau Mahisa Pukat untuk melihat apakah makanan yang akan mereka makan itu beracun.

Dalam pada itu, di hari berikutnya tidak terjadi sesuatu. Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah sepakat untuk tidak meninggalkan padukuhan itu meskipun hari kelima telah lewat. Mereka ternyata justru telah terikat oleh persoalan yang sedang mereka tangani.

Dimalam ke tujuh, ketiga orang anak muda itu tidak keluar dari dalam bilik mereka. Sejak lampu dipasang di dalam bilik, mereka bertiga selalu berada di dalam. Bahkan ketiga orang yang dibayangi oleh ketakutan itu telah makan di dalam bilik itu juga.

“Jika kalian merasa gelisah, tidur saja disini.” berkata Mahisa Murti.

Ketiga orang itu termangu-mangu. Rasa-rasanya sesuatu akan terjadi. Namun mereka merasa lebih baik pulang ke rumah masing-masing daripada terlibat terlalu jauh dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh ketiga orang anak muda itu. Karena itu, maka sebelum saat sepi wong ketika orang itu telah minta diri untuk pulang ke rumah masing-masing.

“Hati-hatilah di jalan.” pesan Mahisa Pukat.

Ketiganya mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah mereka merasa berdebar-debar. Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah keluar dari regol banjar. Orang yang kebetulan ronda di banjar masih sempat bertanya, “Kemana malam-malam?”

“Pulang.” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

“Kenapa tidak tidur disini saja?” bertanya orang yang sedang meronda itu.

“Kau yang senang,” jawab orang yang sering masak di dapur itu, “kawanmu ronda menjadi bertambah banyak.”

Orang yang meronda itu tertawa. Katanya, “Apa salahnya?”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka berjalan terus memasuki kegelapan menuju ke arah yang sama. Adalah kebetulan bahwa rumah mereka berdekatan. Dua orang di antara mereka rumahnya bersebelahan, sementara yang seorang lagi terletak hanya di seberang jalan. Namun terasa, tiba-tiba saja tengkuk mereka meremang ketika mereka berjalan di tikungan, di bawah sebatang pohon benda yang besar dan berdaun lebat.

Sudah berapa ratus kali mereka melewati jalan itu. Siang atau malam. Tidak pernah mereka merasa betapa tengkuk mereka meremang. Namun malam itu rasa-rasanya pohon benda itu menjadi semakin seram. Apalagi angin bertiup sedikit keras, sehingga daun benda yang bergoyang itu seperti tangan-tangan yang ingin menggapai kepala mereka.

Ketika mereka tepat berada di bawah pohon benda itu, hampir saja ketiganya berteriak. Mereka sangat terkejut ketika tiba-tiba saja seorang yang tidak mereka ketahui dari mana datangnya telah meloncat di tengah jalan di bawah pohon benda itu. Mereka semakin ngeri ketika mereka melihat bahwa orang itu adalah seorang perempuan tua.

Hampir diluar sadarnya, maka seorang di antara mereka berkata, “Perempuan tua yang minta api itu.”

Perempuan itu tertawa. Tidak terlalu keras. Tetapi suaranya terdengar sangat mengerikan. Dalam keremangan malam yang semakin gelap, wajah orang itu nampak mengerikan. Lampu obor di regol sebelah tikungan itu menggapai jantung ketiga orang itu.

“Kalian masih mengenali aku?” bertanya perempuan tua itu.

“Ujudmu,” jawab orang yang menyebutnya sebagai perempuan tua yang minta api itu, “caramu berpakaian dan barangkali juga pakaianmu yang tidak berganti berhari-hari sejak itu.”

Perempuan itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya terputus. Katanya, “Aku tidak mau mengejutkan orang yang sudah tidur nyenyak.”

“Di regol banjar para peronda masih berkelakar,” berkata salah seorang di antara mereka untuk mengusir kengerian yang telah meraba jantungnya. Meskipun dihadapannya berdiri seorang perempuan tua, namun rasa-rasanya bahaya tengah mengancamnya.

Perempuan itu mengerutkan dahinya yang berkeriput. Namun sambil tertawa ia bertanya, “Kenapa dengan para peronda itu? Apakah kau tiba-tiba saja merasa ngeri?”

Ketiga orang itu justru terbungkam. Namun kakinya mulai menjadi gemetar.

“Dengar orang-orang dungu,” berkata perempuan tua itu, “aku ingin bertanya, kenapa anak-anak muda yang ada di banjar itu masih tetap hidup?”

Ketiga orang itu mulai menjadi yakin bahwa perempuan tua itulah yang telah menaburkan racun di dalam makanan yang telah dihidangkan kepada ketiga orang anak muda itu. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka bertanya, “Jadi kaukah yang telah menaburkan racun itu?”

“Ya, akulah yang melakukannya. Tetapi kalian terlalu dungu sehingga kalian tidak berhasil membunuh mereka. Kalian tentu terlambat menghidangkannya atau kelengahan yang lain.” berkata perempuan itu.

“Justru kami merasa beruntung. Ketiga anak muda itu ternyata mengetahui bahwa makanan itu beracun. Seekor kucing telah mencuri sepotong ikan dan mati segera.” berkata orang yang menghidangkan makanan.

“Kucing itu tentu iblis terkutuk,” geram perempuan itu. “tetapi kalian pun anak-anak setan alas. Kalian harus menebus kebodohan kalian itu. Nampaknya kalian tentu telah mengatakan kepada mereka, seorang perempuan tua yang mencari api di dapur banjar.”

“Ya,” jawab salah seorang dari ketiga orang itu, “kami memang telah mengatakan.”

“Kedunguan yang tidak dapat diampuni,” berkata perempuan tua itu, “karena itu, untuk menggantikan kematian ketiga orang anak muda itu, maka kalian bertiga pun harus mati. Kemudian mayat kalian akan aku gantung pada cabang pohon benda ini.”

Ketiga orang itu menjadi heran. Dengan ragu-ragu seorang di antara mereka berkata, “Apa yang akan kau lakukan perempuan tua?”

Perempuan tua tertawa. Katanya, “Kau menganggap bahwa aku tidak mampu membunuh kalian bertiga?”

Tantangan itu memang telah membuat ketiga orang itu berkeringat. Nampaknya perempuan itu bersungguh-sungguh. Tetapi harga diri ketiga orang itu ternyata masih belum runtuh seluruhnya. Karena itu, maka ketiga orang itu pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka bukan orang-orang yang berilmu dalam olah kanuragan, namun mereka adalah laki-laki yang belum setua perempuan itu. Karena itu, maka bagaimanapun juga, mereka tidak boleh menyerah.

Perempuan tua itu tertawa mengerikan meskipun tidak terlalu keras. Ternyata perempuan tua itu memang tidak ingin mengejutkan orang-orang yang sedang tertidur lelap. Bahkan dengan nada tinggi ia bertanya, “Nah, siapa yang akan berteriak? Masih ada kesempatan untuk berteriak keras-keras agar orang-orang terdekat terbangun dari mimpi mereka. Tetapi nampaknya kalian akan sia-sia. Aku sudah menebarkan ilmu sirep yang akan dapat membuat mereka semakin lelap tidur. Tetapi kalian memang aku bebaskan dari pengaruh ilmu sirepku, agar kalian tidak tertidur dan sempat menyadari, bahwa kalian telah aku gantung di pohon benda. Kalian akan mengalami kesakitan di saat kalian menjelang maut.”

“Kau tidak akan dapat melakukannya,” geram salah seorang dari ketiga orang laki-laki yang justru telah melampaui puncak ketakutannya.

Perempuan itu tertawa. Katanya, “Aku dapat membuatmu tidak berdaya. Tetapi belum mati. Nah, dalam keadaan demikian aku akan menggantungmu. Kakimu akan menyentuh tanah. Demikian tali pengikat lehermu menegang, maka kau akan aku bebaskan dari ketidak berdayaan itu, sehingga kau akan meloncat-loncat untuk mempertahankan hidupmu. Lucu sekali.“

Ketiga orang itu benar-benar telah bersiap. Mereka memang menjadi putus asa. Karena itu, maka mereka tidak lagi dapat berpikir. Sejenak kemudian, justru ketiga orang itulah yang telah menyerang perempuan itu. Perkelahian memang telah terjadi. Tetapi hanya beberapa saat. Seperti dikatakan oleh perempuan itu, maka ketiga orang itu telah terdorong jatuh di tanah. Mereka seakan-akan memang sudah tidak berdaya.

Perempuan itu tertawa berkepanjangan. Di sela-sela suara tertawa yang mengerikan ia berkata, “Nah, aku akan menggantung kalian. Tetapi aku hanya mempunyai sebuah tali. Karena itu, aku harus melakukannya bergantian.” Perempuan itu tertawa semakin menggetarkan jantung.

Sementara itu ia berkata selanjutnya, “Sebelum mati, baiklah kau ketahui, bahwa aku adalah orang yang telah mendapat kepercayaan dari ipar ayah yang kehilangan anak-anaknya itu. Aku harus membunuh siapa saja yang perlu aku bunuh. Termasuk kalian. Karena kalian akan dapat mengganggu tugas-tugasku kelak. Apalagi kalian ternyata adalah orang-orang yang sangat dungu, sehingga kalian memang tidak berguna sama sekali.”

Ketiga orang itu memang tidak berhasil untuk bangkit berdiri apalagi melarikan diri. Mereka hanya dapat berangsur menjauh sehingga akhirnya mereka telah duduk melekat dinding kebun kosong di seberang sebatang pohon benda itu.

Orang itu masih saja tertawa. Katanya, “Kalian tidak akan dapat lari ke mana-mana.”

Ketiga orang itu benar-benar menjadi putus asa, ketika perempuan itu kemudian telah mengurai seutas tali yang diambil dari antara setagennya yang panjang, yang melilit lambungnya. Dengan tingkahnya yang menimbulkan kesan seakan-akan perempuan tua itu bukan manusia sewajarnya, perempuan itu telah melontarkan pangkal talinya ke dahan benda yang terendah. Kemudian menggapainya dengan mengolonginya.

“Permainan yang mengasyikkan,” katanya, “Siapa yang akan mati lebih dahulu? Agaknya lebih menyenangkan mati lebih dahulu, karena kalian tidak perlu menyaksikan bagaimana kawan kalian menggeliat dan kesakitan di tali gantungan.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh ketiga orang itu.

“Baik, baik,” berkata perempuan tua itu, “jika tidak, maka akulah yang akan memilih.”

Namun perempuan tua itu terkejut ketika ada suara lain yang menjawab. Justru dari sebatang pohon benda yang besar itu.

“Kenapa kau tidak memilih aku saja nek.” suara itu bagaikan bergulung-gulung di antara daun-daun benda yang bergoyang ditiup angin itu.

Perempuan itu dengan tegang memandang ke arah suara itu. Dari dalam gelap telah muncul seorang anak muda. Mahisa Murti.

“Kau anak iblis.” geram perempuan itu.

Mahisa Murti lah yang tertawa. Katanya, “Aku mendengar apa yang telah kau katakan. Semuanya menjadi jelas. Jika kau adalah orang yang bekerja untuk ipar orang yang kehilangan anaknya itu, agaknya telah kami duga. Agaknya kau telah diupahnya untuk membunuh kami dengan menebarkan racun pada makanan yang diberikan kepada kami. Tetapi kau tidak usah mengumpat jika Yang Maha Agung belum berniat mengambil nyawa kami, karena bukan kau yang menentukan batas umur kami.”

“Baiklah,” geram perempuan tua itu, “jika kau sudah mendengar, maka itu lebih baik. Kau datang mengantarkan nyawamu sekarang. Dimana kedua kawanmu itu?”

“Mereka adalah saudara-saudaraku.” jawab Mahisa Murti.

“Panggil mereka, agar aku dapat membunuh kalian bertiga sekaligus.” geram nenek tua itu.

Mahisa Murti tertawa. Katanya dengan nada tinggi, “Nenek tua. Kau tentu sudah mendengar tentang kami bertiga. Karena itu, kau tidak usah berpura-pura, apalagi berusaha menakut-nakuti aku. Lebih baik kau menyerah sehingga kau akan terlepas dari pertanggungan jawab atas tingkah lakumu. Kau sebaiknya mengaku saja dihadapan Ki Buyut, bahwa kau adalah sekedar orang upahan. Yang bertanggung jawab adalah orang yang telah mengupahmu.”

Nenek tua itu tiba-tiba saja telah mengumpat dengan kata-kata yang kasar bahkan kotor. “Kau kira aku gentar mendengar orang-orang padukuhan ini mengigau tentang kemampuanmu?” geram nenek tua itu kemudian.

“Nek,” berkata Mahisa Murti, “aku kira lebih baik kita tidak usah mempergunakan kekerasan. Kita bersama-sama menghadap Ki Buyut. Aku akan berusaha untuk mengusulkan agar kau dibebaskan dari segala tuduhan terlibat dalam persoalan ini, karena belum terbukti kau melakukan kejahatan. Meskipun saat kau meracuni aku di banjar justru pada saat Ki Buyut akan makan bersama kami, namun Ki Buyut tentu akan bersedia mengampunimu.”

“Anak iblis,” nenek tua itu berteriak, “aku akan membunuhmu. Membunuh saudara-saudaramu dan akhirnya juga membunuh Ki Buyut yang gila itu.”

“Jangan kehilangan akal. Yang kau lakukan itu adalah langkah-langkah orang yang berputus-asa. Karena itu, selagi belum terlanjur, kau sepantasnyalah melihat kenyataan.” berkata Mahisa Murti.

“Jangan banyak bicara. Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengetahui isi dunia ini selengkapnya. Kau memang berhasil menghancurkan harga diri orang-orang sepadukuhan Tetapi kau tidak akan dapat melakukannya atas aku. Aku memang hanya orang upahan. Tetapi aku adalah orang upahan yang mempunyai harga diri yang masih utuh. Aku harus dapat menyelesaikan kesanggupanku. Sebagai seorang pembunuh upahan, aku mempunyai pertanggungjawaban yang seimbang dengan upah yang aku terima. Jika aku gagal membunuh kalian bertiga, maka aku memilih mati,” berkata nenek itu.

“Harga diri yang sesat. Kau kira nilai nyawamu dapat dibeli dengan uang berapa pun banyaknya? Aku masih lebih menghargai nyawamu, nyawa seseorang daripada uang betapa pun banyaknya. Karena itu, menyerahlah. Biarlah kau tetap hidup meskipun kau tidak akan menerima upah itu.” berkata Mahisa Murti.

“Cukup,” bentak perempuan tua itu, “aku sudah melakukan pekerjaanku ini bertahun-tahun. Aku adalah pembunuh upahan yang paling ditakuti disini. Orang yang ingin membunuhmu, yang ternyata sudah kau lukai itu memang sudah berceritera tentang kemampuan kalian bertiga. Tetapi itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sekarang, kau telah melakukan kesalahan yang paling besar, bahwa kau datang seorang diri. Bertiga mungkin kalian akan dapat bertahan atau setidak-tidaknya berusaha melarikan diri. Tetapi sendiri kau akan segera mati. Nanti setelah membunuh tiga tikus clurut itu, aku akan mencari kedua saudaramu. Mereka pun akan mati malam ini.”

“Nek, cukuplah kau mengigau. Seorang pembunuh upahan memang tidak akan pernah merasa gentar dan menyesal setelah membunuh korban-korbannya. Tetapi kali ini kau merasakan lain dari kebiasaan itu. Karen itu, kau telah berusaha untuk menutupi kegelisahanmu itu dengan berbicara apa saja,” jawab Mahisa Murti.

“Cukup,” geram perempuan tua itu, “bersiaplah untuk mati.”

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku sudah bersiap. Jika kau ingin mengenal aku sesungguhnya, aku juga seorang pembunuh upahan. Namun agaknya aku bersikap lebih kesatria dari kau nenek tua. Aku hanya mau menerima upah dari orang yang mengalami kesulitan justru dalam usahanya mempertahankan kebenaran, keadilan atau semacamnya.”

“Bersiaplah,” perempuan tua itu hampir menjerit. Ia yakin jika ilmu sirepnya tentu sudah mencengkam orang-orang di sekitarnya sehingga ia tidak lagi takut membangunkan mereka.

Mahisa Murti pun segera bersiap. Namun ia masih bertanya, “Di mana bayi-bayi yang hilang itu nenek tua?”

Perempuan tua itu tidak menjawab. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang. Geraknya yang cepat dan keras itu sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya. Bahkan ketika ia tertawa, suaranya bagaikan ringkik hantu yang baru keluar dari kubur.

Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Keduanya bergerak dengan cepat, berloncatan saling menyerang dan menghindar dibawah pohon benda.

Ketiga orang yang hampir kehilangan segenap kekuatannya itu berusaha untuk menepi. Mereka bergeser semakin menjauh. Ketiganya merasa cemas, bahwa kemarahan perempuan tua itu akan dapat tertuang kepada mereka yang tidak berdaya itu.

Namun perempuan tua yang mengaku sebagai seorang pembunuh upahan itu ternyata telah membentur kemampuan lawannya yang tinggi. Ia tidak dapat dengan serta merta melakukan pembunuhan atas lawannya yang juga menjadi salah seorang sasaran pembunuhan yang harus dilakukan sebagai seorang pembunuh upahan. Karena itu, maka perempuan itu pun segera meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Marti pun telah melakukannya pula.

Ketika sekali-sekali terjadi benturan kekuatan, maka perempuan tua itu memang menjadi berdebar-debar. Ternyata anak muda itu mampu mengimbangi kekuatannya yang dianggapnya jarang ada bandingnya. Sebagai seorang pembunuh upahan, maka biasanya ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Tetapi anak muda itu ternyata bukan orang kebanyakan.

Karena itu, maka perempuan itu harus menilai kembali keterangan yang pernah didengarnya tentang anak muda itu. Bertiga mereka mampu melawan orang sepadukuhan. Bahkan melukai mereka dan seorang telah membunuh. Apalagi ketiganya telah mampu melepaskan tali pengikat pergelangan tangan mereka.

“Anak ini memang berilmu tinggi.” berkata nenek tua itu di dalam hatinya.

Karena itu, maka perempuan tua itu telah mengerahkan segenap kekuatan dan tenaga cadangannya. Tetapi ia tetap tidak berhasil mengalahkan anak muda itu. Bahkan anak muda itu seakan-akan telah bergerak lebih cepat lagi. Beberapa kali terjadi benturan kekuatan yang menyakitkan kulitnya. Kulit tuanya yang sudah berkeriput, tetapi masih dialiri kekuatan dan kemampuan yang tinggi.

Perempuan tua itu terdengar menggeram sambil berloncatan dibawah pohon benda itu. Tangannya bergerak dengan cepat, seakan-akan menggapai-gapai tubuh lawannya, sementara jari-jarinya telah mengembang dan sekilas Mahisa Murti melihat kuku perempuan itu yang runcing dan tajam.

Mahisa Murti yang jauh lebih muda itu, ternyata telah memiliki bekal yang tidak kalah dari lawannya. Bahkan kemudaannya telah memberikan lebih banyak kelebihan padanya daripada lawannya yang tua, yang bagaimana juga, dukungan wadag-nya mulai menjadi susut dimakan umurnya.

Tetapi Mahisa Murti tetap berhati-hati. Perempuan tua itu tentu masih mempunyai kemampuan yang tersimpan. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak boleh lengah. Ia harus menghadapi kekuatan puncak perempuan itu dengan mantap jika ia tidak mau digantung di cabang pohon benda itu, sebagaimana akar dilakukan atas ketiga orang yang tidak berdaya itu.

Ternyata perempuan tua itu semakin lama menjadi semakin kasar. Bahkan kemudian, yang terdengar bukan saja suara tertawanya yang mengerikan, tetapi ia mulai berteriak melengking, “lengking. Suaranya menggetarkan bukan saja udara, tetapi batang benda yang besar itu pun bagaikan bergetar. Daunnya yang kuning telah berguguran berhamburan di tikungan jalan padukuhan itu.

Mahisa Murti mulai merasakan serangan ilmu perempuan tua itu. Agaknya orang itu mempunyai bekal yang cukup untuk berani dirinya dengan terbuka sebagai seorang pembunuh upahan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus melawan ilmu yang mulai dikembangkan oleh lawannya itu. Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menghancurkan orang itu. Perempuan itu akan sangat berarti jika ia berhasil menangkapnya.

Sebaiknya perempuan itu dihadapkan kepada Ki Buyut agar Ki Buyut dapat menyadap beberapa hal yang diketahui oleh perempuan itu untuk mengambil keputusan atas peristiwa yang telah menggemparkan Kabuyutan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mempergunakan ilmunya yang dapat membunuh lawannya. Tetapi Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap kekuatan lawannya dan kemudian melumpuhkannya.

Namun dalam pada itu, nampaknya perempuan itu tidak ingin membenturkan kekuatannya pada kekuatan lawannya. Bukan karena ia mengetahui ilmu yang telah ditrapkan oleh Mahisa Murti, tetapi karena ternyata anak muda itu mampu mengimbangi kekuatannya. Yang kemudian dilakukan oleh perempuan itu adalah berusaha untuk menerkam Mahisa Murti dengan kukunya, mengoyak kulitnya. Mahisa Murti memang sudah menduga, bahwa karena perempuan itu telah bermain-main dengan racun, maka ia tentu memiliki ilmu yang dapat menguasai racun.

Sebenarnyalah, akhirnya dalam keremangan cahaya obor yang jatuh ke jari-jari perempuan tua itu, Mahisa Murti melihat, bahwa kuku-kuku yang panjang di jari-jari perempuan itu adalah bukan kuku aslinya. Tetapi semacam senjata yang dapat ditrapkan pada jari-jarinya dan mampu mengoyakkan kulit daging lawannya.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti pun harus menjadi sangat berhati-hati. Jika ia tidak mendapat kesempatan yang tepat, maka yang terjadi bukan benturan kekuatan, tetapi justru kulitnyalah yang akan terkoyak. Sementara itu, Mahisa Murti masih juga berusaha untuk dapat menangkap perempuan itu hidup-hidup.

Beberapa saat kemudian, keduanya masih saja bertempur dengan sengitnya. Keduanya berloncatan berputaran. Seandainya saja Mahisa Murti tidak ingin menangkapnya hidup-hidup, maka ia akan dengan mudah dapat segera mengakhiri pertempuran itu dengan melontarkan serangan ilmunya apalagi dilambari ilmu yang diwarisinya dari ayahnya. Tetapi dengan demikian, Mahisa Murti tidak yakin, bahwa perempuan itu akan dapat bertahan untuk tetap hidup.

Karena itu, maka keduanya masih saja bertempur dengan garangnya. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu, teriakan-teriakan nyaring yang terlontar dari mulut perempuan itu memang membuat jantung Mahisa Murti berdebaran.

Sementara itu, ketiga orang yang tidak berdaya itu pun hanya sempat melihat apa yang terjadi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat memperhitungkan, siapakah di antara kedua orang yang bertempur itu akan dapat keluar dari medan dengan selamat. Namun, justru karena Mahisa Murti berusaha untuk tidak membunuh lawannya, maka justru ia sendirilah yang kadang-kadang mengalami kesulitan. Kadang-kadang ia memang terdesak beberapa langkah surut.

Perempuan itu tidak menyadari sepenuhnya rencana lawannya untuk menangkapnya hidup-hidup. Karena itu, ia merasakan satu keseimbangan yang menguntungkan baginya dalam pertempuran itu. Berkali-kali Mahisa Murti harus berloncatan surut. Namun betapa pun nenek tua itu mampu mendesaknya, tetapi kukunya tidak dapat mengoyakkan kulit daging Mahisa Murti. Bahkan ketika beberapa kali, Mahisa Murti mencoba dengan meningkatkan kecepatan geraknya, maka ia pun mulai dapat menembus kelemahan pertahanan nenek tua itu. Karena itu, maka serangan-serangan Mahisa Murti mulai mengenai sasaran meskipun tidak terlalu keras.

Namun sentuhan tangannya itu ternyata telah membuat nenek tua itu tersinggung. Sehingga ia pun semakin mengerahkan kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Tangannya pun semakin cepat berputaran. Menggapai, menyambar dan kadang-kadang jari-jarinya yang merapat dengan ujung-ujung kuku buatannya bagaikan menikam ke arah ulu hati.

Mahisa Murti setelah mempelajari beberapa saat kemungkinan-kemungkinan pada ilmu lawannya itu, kekuatan serta kelemahannya, maka mulailah ia berusaha menangkis serangan itu sebanyak-banyaknya, meskipun mengandung kemungkinan yang buruk. Sebenarnyalah, Mahisa Murti ternyata mulai berhasil. Beberapa kali ia berhasil menangkis serangan lawannya dengan sentuhan-sentuhan kecil dan bahkan sekali-sekali dengan benturan yang keras. Namun nenek tua itu masih saja menyerangnya dengan garang.

Bahkan ternyata kecepatan geraknya masih mampu mengelabui Mahisa Murti, sehingga ternyata kuku yang tajam itu suatu saat berhasil menyentuh lengan. Mahisa Murti meloncat surut. Sentuhan itu tidak terlalu parah meskipun beberapa gores luka melekat di lengannya. Tetapi nenek tua itu tidak memburunya. Tiba-tiba saja ia berhenti menyerang dan tertawa berkepanjangan.

“Sebenarnya aku sayang melihat kemudaanmu, ketangkasanmu dan wajahmu yang bersih itu anak muda. Tetapi apa boleh buat. Aku tidak sempat bertanya kepadamu, apakah kau bersedia menjadi anak angkatku, karena aku tidak mempunyai anak. Dengan kemampuanmu yang tinggi itu, maka kita akan dapat menjadi pasangan pembunuh upahan yang disegani di seluruh lingkungan ini“

perempuan itu berhenti berbicara. Suara tertawanya sajalah yang bergema bagaikan melingkar-lingkar menyusuri cabang-cabang dan ranting-ranting pohon benda itu. Lalu katanya kemudian,

“Tetapi sayang bahwa aku telah melukaimu. Ujung-ujung kuku ku itu adalah senjata yang beracun tajam. Karena itu, bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan mungkin dapat hidup lebih lama dari sepenginang. Karena itu, barangkali kau ingin menyampaikan pesan, katakanlah. Aku akan menyisakan seorang dari ketiga tikus-tikus clurut itu untuk tetap hidup dan menjadi saksi kematianmu yang pahit kali ini. Pada kesempatan lain, maka kedua saudaramu itulah yang akan segera mati pula sebagaimana kau alami.”

Ketiga orang yang tidak berdaya itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu, siapakah di antara mereka yang akan dibiarkan untuk tetap hidup oleh iblis betina itu. Karena itu, maka ketegangan telah mencengkam suasana di bawah pohon benda itu. Namun yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Mahisa Murti. Bahkan ternyata dengan kekuatan ilmunya, Mahisa Murti pun mampu mengguncang pohon benda itu dengan suara tertawanya.

“Nenek tua,” berkata Mahisa Murti, “jangan menyesali diri bahwa kali ini kau bertemu dengan aku. Kita adalah sama-sama orang yang senang bermain dengan racun. Karena itu, maka goresan kukumu di lenganku tidak akan mempengaruhi perlawananku. Racun tidak akan dapat mengusik jalur darahku yang akan tetap segar.”

“Persetan kau,” geram perempuan tua yang menjadi tegang itu.

Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya kemudian “ Yang menolak racun di makanan itu sebenarnyalah bukan seekor kucing yang kebetulan mencuri ikan air tawar yang dihidangkan. Tetapi lidah kamilah yang mengetahui bahwa makanan itu memang beracun. Sementara itu, kepada Ki Buyut telah kami tunjukkan racun itu dengan memberikan ikan sepotong kepada seekor kucing yang malang.”

“Anak iblis. Darimana kau mendapatkan penangkal racun seperti itu?” bertanya nenek tua itu.

“Sudahlah nek. Sekarang kau menyerah sajalah. Kita menghadap Ki Buyut selagi belum terlambat. Jika kesabaranku habis, maka akibatnya akan sangat berlainan. Jangan dikira bahwa aku tidak dapat membunuh. Sudah aku katakan, bahwa aku pun pembunuh upahan seperti kau dengan tataran sedikit lebih tinggi. Bukan saja karena aku masih memilih sasaran ke-matian. Sementara kau tidak. Kau membunuh siapa saja atas permintaan orang yang mengupahmu. Aku tidak.” berkata Mahisa Murti.

“Jangan terlalu sombong. Mungkin kau memang mempunyai penangkal racun. Tetapi ketajaman kuku-kukuku itu akan dapat mengelupas seluruh kulit dagingmu.” geram perempuan itu.

“Aku pun masih mampu melawan ilmumu dengan kemampuan ilmuku pula. Karena itu, maka kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.” jawab Mahisa Murti.

Perempuan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat menyerang Mahisa Murti dengan dahsyatnya. Pertempuran pun telah berkobar kembali dengan sengitnya. Mahisa Murti yang telah mempelajari unsur-unsur gerak lawannya itu telah berusaha untuk setiap kali menangkis serangan lawan tanpa mengoyakkan kulit dagingnya. Bahkan sekali-sekali serangannya mampu menyentuh tubuh nenek tua itu.

Namun Mahisa Murti tidak mau dianggap sebagai seorang laki-laki yang lemah, yang dengan licik mengalahkan perempuan tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengerahkan kekuatan dan kemampuan ilmunya. Tiba-tiba saja Mahisa Murti telah melontarkan ilmunya yang dahsyat itu menghantam pokok dahan yang besar dari batang benda di pinggir jalan itu.

Terdengar ledakan yang keras. Kemudian disusul derak dahan itu patah. Gemerasak daunnya memang membuat perempuan tua itu tergetar jantungnya. Dahan itu pun telah patah dan jatuh di tanah dengan seluruh ranting-ranting dan daunnya.

“Kau lihat nenek tua,” geram Mahisa Murti, “kau kira dengan kemampuan ilmu itu aku tidak dapat membunuhmu? Tubuhmu akan lumat berpatahan seperti dahan benda itu. Apakah kau ingin mencobanya.”

Sejenak perempuan tua itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata kau memang luar biasa anak muda. Kau mampu mematahkan dahan sebesar itu tanpa menyentuhnya. Aku tidak akan ingkar. Seandainya kau lontarkan ilmumu seperti itu ke arah tubuhku, maka tubuh tuaku ini tentu akan menjadi lumat. Tetapi agaknya hal itu akan lebih baik bagiku. Aku tidak akan melihat kekalahanku yang getir ini.”

“Sudahlah,” berkata Mahisa Murti, “tidak ada seorang- pun yang tidak akan terkalahkan pada suatu saat. Kekalahan bukanlah satu kehinaan. Seorang akan dapat dihargai justru karena ia mengaku kalah.”

“Kau benar. Tetapi itu tidak akan berlaku atasku. Jika aku mengaku kalah, berarti aku akan ditangkap diarak ke rumah Ki Buyut sambil dilempari batu. Kemudian diperas keteranganku untuk menelusuri bayi-bayi yang hilang, padahal aku tidak tahu sama sekali tentang bayi-bayi yang telah dicuri itu.” berkata nenek tua itu.

“Sudah aku katakan. Aku akan menanggungmu sehingga kau tidak akan diperlakukan buruk.” berkata Mahisa Murti.

“Kau dapat mencabut kesediaanmu itu setiap saat, karena kau menganggap bahwa janji terhadap seorang pembunuh upahan itu tidak perlu ditepati.” berkata perempuan itu.

“Aku mempunyai tanggung jawab atas kata-kataku. Apalagi janji.” berkata Mahisa Murti.

Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, “Aku memang mengaku kalah. Tetapi tidak untuk ditangkap.”

“Nek.” Mahisa Murti berteriak.

Tetapi ia terlambat. Betapa pun lemahnya perempuan tua itu, namun ia masih mampu menggoreskan ujung-ujung kuku beracunnya pada tubuhnya sendiri. “Aku akan mati oleh racunku sendiri.” berkata perempuan itu.

Mahisa Murti segera meloncat mendekat. Tetapi perempuan tua itu sudah terjatuh di tanah. “Jangan membunuh diri begitu nek.” minta Mahisa Murti.

Tetapi segalanya sudah terlambat. Mahisa Murti yang kemudian berjongkok di sebelahnya berkata, “Seharusnya kau tidak perlu melakukannya.”

Tetapi perempuan itu sudah tidak mungkin ditolong lagi. Tubuhnya yang sedang sangat lemah, sama sekali tidak mempunyai daya tahan terhadap ketajaman bisa di senjatanya sendiri. Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berpaling kepada ketiga orang yang tidak berdaya yang bersandar pada dinding kebun yang kosong itu.

“Kalian menjadi saksi apa yang telah terjadi disini.” berkata Mahisa Murti.

Orang-orang itu hanya mengangguk kecil. Mahisa Murti pun kemudian telah mendekati mereka. Memijat beberapa buah simpul syarafnya sehingga kemudian ketiga orang itu telah mampu bangkit dan berdiri tegak. Kekuatan mereka seakan-akan dengan cepat telah pulih kembali, sehingga mereka dapat berbuat sesuatu sebagaimana sediakala.

“Kau urus perempuan itu,” berkata Mahisa Murti, “bawa mayatnya ke banjar dan katakan apa yang telah terjadi dengan benar. Mereka yang ada di banjar tentu akan lebih percaya kepada kalian daripada kepadaku sendiri.”

Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Murti berkata, “Senjata yang menyerupai kuku itu beracun. Jangan sampai seorang pun di antara kalian atau orang lain tergores sehingga terluka. Racun yang menyentuh darah akan dengan cepat membunuh orang yang terkena goresannya itu.”

Ketiga orang itu mengangguk. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah kau juga akan segera kembali ke banjar?”

“Ya,” jawab Mahisa Murti. “tetapi aku akan mendahului kalian.”

Ketiga orang itu tidak bertanya lagi. Sementara itu, Mahisa Murti pun dengan tergesa-gesa telah meninggalkan tempat itu. Ternyata Mahisa Murti lebih dahulu sampai di banjar. Tetapi Mahisa Murti tidak memasuki halaman lewat regol. Ia telah meloncati dinding dan langsung pergi ke biliknya.

“Aku telah gagal,” desis Mahisa Murti ketika ia sudah berada di dalam biliknya bersama Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang menunggunya dengan gelisah. Dengan jelas Mahisa Murti menceriterakan apa yang sudah terjadi sehingga perempuan tua itu telah membunuh dirinya sebelum dapat diajukan satu pertanyaan pun kepadanya.

Orang itu menjadi pucat. Ia menyadari, jika persoalannya diserahkan kepada orang-orang padukuhan itu, maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan. Menyakitkan hati dan bahkan akan menyakitkan sekali bagi tubuhnya yang masih sangat lemah oleh luka-lukanya yang agak parah.

Sementara itu, agaknya Ki Buyut pun telah kehilangan kesabarannya dan mendesaknya, “Kau jangan menunggu sampai terlambat. Sebenarnya aku pun takut sekali mendengar jawaban yang akan kau ucapkan. Tetapi kau harus mengatakannya.”

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu memang menjadi ketakutan. Tetapi mulutnya tidak segera dapat mengucapkan jawaban.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut yang kemudian berpaling kepada isteri laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu, “relakan suamimu. Aku akan menyerahkannya kepada orang-orang padukuhan.”

“Jangan, jangan.” isterinya berteriak.

“Aku tidak memerlukan lagi,” berkata Ki Buyut pula, “ia tidak mau membantu memecahkan persoalan ini. Ia lebih baik diam daripada menolong dirinya sendiri.”

Perempuan itu pun telah berlari mendapatkan suaminya. Sambil menangis ia berkata, “Katakan, katakan kakang, di mana bayi-bayi itu agar kau tidak mengalami siksa yang sangat mengerikan dari orang-orang padukuhan yang marah.”

Laki-laki itu masih terdiam sesaat. Namun tiba-tiba saja ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. Ketakutan, gelisah, kecewa tetapi juga menyesal yang dalam sekali. Seperti kanak-kanak maka laki-laki itu tiba-tiba saja telah menangis.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pada tangis laki-laki yang bertubuh tinggi tegap dan garang itu penyesalan yang sangat mendalam. Untuk beberapa saat Ki Buyut hanya berdiam diri saja menyaksikan laki-laki yang bertubuh tegap dan garang itu menangis. Sementara isterinya pun dengan demikian telah menangis semakin keras. Bahkan meraung-raung sekeras-kerasnya.

Bagaimanapun juga, saudara-saudaranya laki-laki tidak sampai hati membiarkan adik perempuannya mengalami tekanan batin yang sangat berat. Karena itu, maka mereka telah mencoba untuk menenangkannya.

“Kau tidak bersalah.” berkata salah seorang kakaknya.

“Salah suamiku adalah salahku.” jawab perempuan itu.

“Kau tidak akan ikut dihukum.” berkata saudaranya yang lain.

Tetapi perempuan itu menjawab, “Jika suamiku dihukum, aku pun harus dihukum.”

Saudara-saudaranya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Buyut yang berdiri pada satu jarak tertentu dengan keluarga itu menjadi termangu-mangu. Namun ia masih belum mendapat jawaban atas pertanyaan tentang dua orang bayi yang hilang itu. Meskipun demikian Ki Buyut justru telah menunggu setelah ia melihat betapa isterinya orang yang bersalah itu bagaikan kehilangan nalar budinya. Ternyata tanpa mendapat pertanyaan lagi, laki-laki itu telah mengatakan di mana bayi-bayi itu disingkirkan.

“Aku telah menjualnya.” berkata laki-laki itu.

“Dimana?” hampir berbareng kedua orang ayah dari bayi-bayi itu bertanya. Karena dengan keterangan itu, maka keduanya masih mempunyai harapan.

“Tetapi aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu lagi kedua orang bayi yang berada di tangan orang tua angkat mereka.” jawab laki-laki itu.

“Tetapi keadaannya telah berubah. Kau harus menyesuaikan dirimu.” berkata Ki Buyut.

Orang itu termangu-mangu. Namun ia sudah berhasil menahan diri untuk tidak menangis lagi. “Jadi apa yang harus aku lakukan?” bertanya laki-laki itu.

“Ambil kedua bayi itu kembali.” jawab Ki Buyut.

Laki-laki yang telah menjual bayi itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Tetapi, apakah dengan demikian keadaan bayi itu tidak justru terancam. Orang-orang yang mengangkat bayi-bayi itu menjadi anak mereka, akan menjadi sangat kecewa. Mereka telah kehilangan sejumlah uang. Kemudian bayi itu begitu saja diambil kembali. Tetapi yang lebih parah lagi, karena orang tua angkat kedua orang bayi itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai anak, sementara mereka adalah orang-orang yang kaya. Rasa-rasanya sulit untuk menebus kembali bayi-bayi itu dengan uang.”

“Kita belum mencoba,” berkata Ki Buyut, “kita akan datang kepada mereka, menjelaskan persoalannya. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti.”

“Tetapi aku tidak berani melakukannya,” berkata laki-laki itu. “nampaknya mereka tidak akan dapat mudah mengerti.”

“Kau tidak akan pergi seorang diri.” berkata Ki Buyut.

Laki-laki itu merenung sejenak. Namun nampak kekhawatiran yang sangat membayang di wajahnya. “Ki Buyut,” berkata laki-laki itu, “dibutuhkan langkah-langkah yang cepat untuk menyelamatkan bayi-bayi itu.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Buyut.

“Menurut perhitunganku, mereka akan mempertahankan bayi-bayi itu. Jika mereka gagal, maka daripada menyerahkan bayi-bayi itu kepada orang lain, meskipun orang lain itu adalah orang tua bayi itu, maka mereka tentu merasa lebih baik membunuh bayi-bayi itu.” jawab laki-laki yang ketakutan itu.

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari antara orang tua bayi itu berkata, “Kita akan mencoba. Aku akan menjelaskan, bahwa aku dan isteriku sangat membutuhkan kehadiran anak itu di rumah kami. Sehingga dengan demikian maka mereka akan memperbandingkan keinginan mereka untuk mengasuh anak kami dengan kepentingan kami, orang tua anak itu sendiri.”

Tetapi laki-laki itu justru nampak semakin bingung. Wajahnya bertambah pucat dan bibirnya gemetar.

“Kenapa?” desak Ki Buyut.

Wajah laki-laki itu menunduk dalam-dalam. Katanya, “Akulah yang bersalah. Apa pun yang akan ditimpakan diatas kepalaku, aku tidak akan mengelak.”

“Katakan.” ayah dari anak-anak yang diculik itu justru menjadi sangat cemas.

Orang itu menjadi gemetar. Suaranya pun bertambah bergetar oleh perasaan yang bergejolak di dalam dadanya.

“Katakan.” desak Ki Buyut.

Dengan nada rendah, terbata-bata dan penuh penyesalan orang itu berkata, “Aku telah menjualnya kepada sebuah perguruan.”

“Perguruan apa yang kau maksud?” bertanya kedua ayah bayi yang hilang itu hampir bersamaan, “apakah perguruan itu terbiasa membuat upacara dengan mengorbankan bayi-bayi?

“Tidak. Tidak,” jawab laki-laki itu dengan serta merta, “tetapi perguruan itu mengumpulkan bayi-bayi untuk kelak dijadikan pengikut yang sangat setia kepada perguruan itu. Anak-anak itu akan menjadi murid-murid yang paling terpercaya dan akan mengikuti arah apa pun yang diberikan oleh pemimpin padepokan itu.”

“Oh,” orang tua bayi yang hilang itu mengeluh. Kedua ibu dari kedua bayi yang juga hadir ditempat itu bahkan hampir menjadi pingsan karenanya.

Anak-anak yang diperlukan demikian akan kehilangan kepribadiannya. Mereka akan dibentuk menurut keinginan pemimpin padepokan itu. Meskipun anak-anak itu baru akan berarti bagi masa depan yang agak panjang, sekitar lima belas tahun mendatang, namun padepokan seperti itu justru padepokan yang tentu akan sangat berbahaya bagi lingkungannya.

Anak-anak itu kelak tidak akan lebih berarti dari seekor lembu yang dicocok hidungnya bagi dirinya sendiri. Tetapi ia akan sangat bermanfaat bagi orang yang telah membentuknya demikian.

Namun Ki Buyut masih bertanya, “Katakan, apakah menurut pendapatmu, padepokan itu padepokan yang baik atau padepokan yang mendalami ilmu sesat?”

Orang itu semakin gelisah. Suaranya tertahan, “Aku kira mereka mendalami ilmu hitam.”

Ketegangan pun menjadi semakin mencengkam. Orang tua kedua orang bayi itu menjadi sangat gelisah. Demikian pula saudara tertua dari kedua ayah dari bayi-bayi itu.

Ki Buyut lah yang kemudian masih bertanya lebih lanjut, “berapakah isi padepokan itu sekarang?”

“Padepokan itu masih belum banyak berpenghuni. Ada beberapa orang perempuan di dalamnya. Orang-orang yang tidak tahu dari mana datangnya. Tetapi nampaknya mereka bukan penghuni yang mapan. Bahkan mungkin mereka berada di padepokan itu karena terpaksa.” jawab laki-laki itu.

“Berapa kau jual bayi-bayi itu?” bertanya Ki Buyut.

“Mereka membeli berapa saja bayi-bayi itu ditawarkan. Uang nampaknya bukan persoalan bagi mereka. Di antara perempuan-perempuan yang ada di dalam padepokan itu antara lain untuk memelihara bayi-bayi itu dan membesarkannya. Nampaknya usaha untuk mengambil anak-anak itu sudah dilakukan cukup lama. Di padepokan itu terdapat anak-anak yang sudah lebih besar. Bahkan ada yang sudah dapat dipekerjakan di kebun dan halaman. Menyapu dan menyabit rumput.” jawab laki-laki itu.

“Apakah sudah ada tanda-tanda bahwa anak-anak itu kehilangan pribadinya?” bertanya Ki Buyut.

“Ya. Anak-anak itu nampaknya tidak mengenal diri mereka sendiri.” jawab laki-laki itu.

“Agaknya lebih baik anak-anak itu mati.” desis ayah dari salah seorang bayi yang hilang itu.

Namun Mahisa Murti pun berkata, “Kita harus berusaha menemukan anak-anak yang hilang itu. Kita tidak dapat membiarkannya dalam tangan orang-orang berilmu sesat. Dengan demikian maka anak-anak itu kelak akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi orang lain.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bagaimana kita dapat melakukannya. Padepokan itu tentu dihuni oleh orang-orang berilmu. Apalagi ilmu hitam. Jika kita memasuki padepokan itu, berarti kita akan membunuh diri. Sementara itu tidak mungkin kita datang membujuk mereka untuk mengembalikan bayi-bayi yang telah mereka ambil.”

“Apakah di Kabuyutan ini tidak ada sejumlah anak-anak muda yang memiliki serba sedikit kemampuan dalam olah kanuragan?” bertanya Mahisa Murti.

“Tetapi tentu tidak memadai,” berkata Ki Buyut, “mereka adalah orang-orang padukuhan yang memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi orang-orang berilmu.”

“Siapakah yang mengajari mereka?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku dan Ki Jagabaya.” jawab Ki Buyut.

“Nampaknya Ki Buyut dan Ki Jagabaya akan dapat melakukannya. Kemudian ayah-ayah kedua bayi itu,” berkata Mahisa Murti. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Apakah di padukuhan ini tidak ada bekas prajurit atau pengawal atau apa pun juga?”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun ia memang merasa bertanggung jawab untuk melindungi orang-orang di Kabuyutannya. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya kepada kedua ayah dari kedua bayi itu yang hilang itu, “Apakah kalian bersedia bersama kami berusaha melepaskan anak-anak kalian.”

“Tentu.” hampir bersamaan keduanya menjawab.

“Baiklah,” berkata Ki Buyut, “kita akan mengumpulkan orang-orang yang mungkin akan pergi bersama kita.” Lalu ia pun bertanya kepada laki-laki yang telah menjual bayi-bayi itu, “ketika kau serahkan bayi-bayi itu, berapa orang yang menemuimu?”

“Nampaknya dua orang yang terpenting di antara penghuni padepokan itu. Kemudian yang terdekat dengan mereka adalah tiga atau empat orang. Memang masih ada satu dua orang lain, tetapi nampaknya mereka adalah pekerja-pekerja yang tidak begitu banyak berarti di padepokan itu sebagaimana perempuan-perempuan yang ada di dalamnya,” jawab laki-laki itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berkata, “Aku akan mengumpulkan orang-orang yang diperlukan. Aku akan berbicara tersendiri dengan Ki Jagabaya. Agaknya di padukuhan ini ada seorang bekas prajurit. Di padukuhan sebelah juga ada seorang.”

“Silahkan Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti. Tetapi ia pun kemudian berpesan, “Kita harus bergerak cepat. Jika orang-orang padepokan itu mengetahui bahwa Kabuyutan ini berusaha untuk mengambil bayi-bayinya, maka mereka akan mengambil langkah-langkah khusus. Bahkan mungkin membahayakan jiwa anak-anak itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan minta waktu sampai menjelang dini hari.” Lalu katanya kepada laki-laki yang menjual bayi itu, “berapakah jarak padepokan itu dari Kabuyutan ini.”

“Hampir setengah hari berjalan kaki.” jawab laki-laki itu.

“Tidak terlalu jauh. Di arah manakah letaknya?” bertanya Ki Buyut pula.

“Dibalik padang perdu Ambal.” jawab laki-laki itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa menembus padang perdu Ambal adalah pekerjaan yang tidak terlalu mudah. Selain padang perdu itu liar dan gersang, apalagi panasnya bagaikan membakar di siang hari, maka kemungkinan untuk diketahui oleh orang-orang padepokan itu besar sekali. Sekelompok orang yang berjalan di padang perdu itu akan dapat melontarkan debu yang cukup banyak menarik perhatian. Meskipun padang perdu Ambal tidak terlalu luas, tetapi perlu mendapat perhatian.

Demikianlah, maka Ki Buyut dan Ki Jagabaya pun telah mengadakan pembicaraan tersendiri bersama para bebahu. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk memanggil beberapa orang yang dianggap memiliki pengalaman serba sedikit dalam hubungannya dengan tugas yang akan mereka lakukan. Di seluruh Kabuyutan itu ada tiga orang yang pernah menjadi prajurit, yang karena umurnya telah melepaskan tugas-tugasnya dan kembali ke kampung halamannya.

Disamping itu di Kabuyutan ini ada dua orang yang dianggap pernah terlibat dalam kehidupan yang kotor. Keduanya pernah menjadi perampok yang mengembara diluar Kabuyutan mereka. Namun yang kemudian telah menyesali kehidupan gelap mereka dan dihadapan Ki Buyut dan para bebahu yang lain serta beberapa orang tetua di Kabuyutan itu telah menyatakan kesediaan mereka menebus segala kesalahan mereka, karena mereka telah menodai nama baik Kabuyutan mereka.

Selain tiga orang bekas prajurit yang umurnya sudah mendekati setengah abad itu, dua orang bekas perampok, maka ada dua orang pembantu Ki Jagabaya yang dapat dianggap memiliki serba sedikit kemampuan sebagaimana Ki Jagabaya.

Menjelang dinihari, Ki Buyut memang telah berhasil mengumpulkan sepuluh orang yang dianggap memiliki bekal. Kemudian Ki Buyut sendiri dan Ki Jagabaya. Dua orang ayah dari dua orang bayi yang hilang itu. Ditambah dengan tiga orang anak muda yang kebetulan singgah di Kabuyutan itu.

Demikian mereka berkumpul, maka Ki Buyut telah membicarakannya dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah ketiga anak muda itu mendapat gambaran tentang medan yang akan mereka hadapi.

“Nampaknya padang perdu itu memang harus mendapat perhatian jika ternyata padepokan itu letaknya tidak jauh dari tepi padang itu,” berkata Mahisa Murti, “namun apakah kita tidak dapat menempuh jalan lain untuk mendekati padepokan itu?”

“Di sisi lain dari padepokan itu terdapat sebuah hutan kecil. Hutan yang tidak terlalu lebat yang memanjang disebelah menyebelah sebuah sungai yang tidak begitu besar. Sebuah sendang yang tidak terlalu luas terdapat di dalam hutan itu.” berkata Ki Buyut.

“Sendang yang dialiri air dari sungai itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Bukan,” jawab Ki Buyut, “malah sebaliknya. Dari sedang yang mempunyai mata air sendiri itu telah mengalir air yang menambah arus sungai itu semakin besar.”

“Kita akan mendekati padepokan itu dari hutan. Kemungkinan untuk diketahui sebelum kita mendekati padepokan itu lebih kecil.” berkata Mahisa Murti.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Katanya, “Perjalanan yang sulit.”

“Tetapi bahayanya jauh lebih kecil. Dari hutan itu kita akan dapat dengan cepat mencapai padepokan sebelum orang-orang di dalam padepokan itu menyadari apa yang telah terjadi.” berkata Mahisa Murti kemudian.

Ternyata orang-orang yang akan berangkat ke pedesaan kecil itu sependapat dengan Mahisa Murti. Sebagian dari mereka telah pernah melihat padang perdu Ambal yang sering juga disebut Ara-ara Ambal. Sebuah padang perdu yang kering dan tandus. Di siang hari, debu berhamburan bagaikan kabut. Bahkan jika angin bertiup meskipun tidak terlalu keras, maka padang perdu Ambal menjadi keputih-putihan oleh debu yang sangat lembut, yang justru sangat berbahaya bagi pernafasan mereka.

Sekelompok orang itu akan mendekati padepokan itu dengan menempuh perjalanan di siang hari. Mereka akan menunggu di hutan itu sampai senja mulai turun. Untuk kepentingan bayi-bayi yang akan mereka lepaskan, maka mereka akan menyerang setelah gelap. Beberapa orang akan langsung mencari bayi itu. Sehingga dengan demikian maka kehadiran mereka tidak akan membuat bayi-bayi itu atau anak-anak yang lain dikorbankan.

Setelah orang-orang yang akan pergi ke padepokan itu sependapat, maka mereka pun telah bersiap-siap. Meskipun orang bertubuh tinggi tegap itu belum sembuh dari luka-lukanya, tetapi ia telah dipaksa untuk ikut serta. Mereka akan menjadi penunjuk jalan sampai ke padepokan disebelah Ara-ara Ambal itu. Ki Buyut telah menyiapkan bekal secukupnya. Mereka pun telah membagi diri dan menentukan tempat untuk berkumpul sebelum mereka menyergap padepokan itu.

Setelah semuanya siap, maka perjalanan yang menentukan nasib dua orang bayi dan bahkan beberapa orang anak-anak itu pun dimulai. Di pagi yang cerah, dua tiga orang dalam kelompok-kelompok kecil telah berjalan menuju ke hutan yang panjang. Kemudian mereka akan menempuh perjalanan di hutan itu mendekati padepokan.

Ternyata orang-orang yang ikut dalam kelompok itu memang memiliki pengalaman menurut jenis pekerjaan mereka masing-masing. Bekas prajurit yang ikut serta bersama mereka, rasa-rasanya telah teringat saat-saat mereka berangkat 

Dua orang bekas perampok yang ikut pula bersama mereka, seakan-akan telah mengenang kembali saat-saat yang sangat berbahaya. Namun mereka berbangga, bahwa saat itu mereka justru pada keadaan yang sebaliknya dari saat-saat mereka merampok. Mereka justru akan ikut serta menegakkan kemanusiaan dengan membebaskan anak-anak di padepokan itu...