Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 59

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 59 Karya Singgih Hadi Mintardja
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 59
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MESKIPUN orang itu telah mendapat beberapa keterangan, namun mereka cukup mempunyai keberanian untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya serta dua orang kawannya. Menurut perhitungan mereka bertiga, maka jika ilmu sirep Sura mampu menguasai anak-anak muda yang ada di banjar, maka tugas mereka akan menjadi sedikit ringan.

Namun demikian, orang itu akan memberikan pendapatnya, bahwa mereka memerlukan orang lebih banyak untuk tugas itu. Apalagi ketika diketahuinya kemudian, bahwa di banjar itu juga disimpan harta benda berharga yang dipungut dari orang-orang yang dianggap bersalah.

“Jadi semua barang-barang berharga dan uang telah dirampas?“ orang itu menegaskan.

“Tidak semua,“ jawab pemilik kedai itu, “tetapi sebagian besar.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun untuk menghilangkan kecurigaan sama sekali, maka ia masih duduk beberapa lama di kedai itu sambil berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan banjar itu. Demikianlah, maka orang itu pun kemudian telah menyampaikan hasil pengamatannya kepada Sura dan laki-laki yang disebutnya pemalas. Sekaligus orang itu berpendapat, bahwa untuk menguasai banjar dalam keseluruhan mereka memerlukan kawan lebih banyak.

“Kita jangan bergeser dari sasaran,“ berkata Sura, “yang penting adalah membunuh Ki Sardapa.”

“Untuk apa kita membunuh?“ bertanya kawannya.

“Kita diupah,“ jawab Sura.

“Baik. Kita akan mendapat uang karenanya. Tetapi jika uang itu terdapat lebih banyak di banjar, bagaimana pendapatmu?”

Sura justru menggeretakkan giginya. Katanya, “jahanam kau. Betapapun jahatnya kita, tetapi kita mempunyai harga diri yang cukup. Aku sudah menyanggupi untuk membunuh Sardapa. Aku tidak memikirkan yang lain.”

Tetapi lelaki pemalas itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Jangan berpura-pura. Bukankah barang-barang berharga itu penting juga bagi kita? Apa artinya harga diri itu jika kita sudah menjual diri untuk membunuh sekedar mendapat upah? Nah, aku akan mengambil jalan tengah. Justru karena Ki Sardapa ada di banjar. Kita bunuh Sardapa dan setelah kita selesai dengan kesanggupan itu, kita berbuat menurut keinginan kita sendiri. Merampok banjar itu. Nah, apa katamu?”

Sura termangu-mangu. Tapi kemudian berkata, “Kita harus memisahkannya. Membunuh Sardapa dan merampok banjar.”

“Bukankah perempuan itu juga mengatakan, jika kau ingin mengambil barang-barang berharga di banjar, ambillah sendiri,” berkata laki-laki yang disebut pemalas itu.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan merampok banjar itu setelah sasaran utama kita dapat kita selesaikan. Tetapi dengan demikian kita harus sadar, bahwa kita akan melawan seisi padukuhan itu.”

“Karena itu, maka jumlah kawan kita harus ditambah,” berkata kawan Sura itu.

Akhirnya Sura mengambil keputusan, bahwa yang akan pergi ke banjar itu ditambah jumlah yang tidak tanggung-tanggung. Dua kali lipat dari rencana semula. Enam orang termasuk Sura sendiri.

Seperti pesan ibu tiri Sardapa, maka Sardapa harus dibunuh sebelum purnama naik. Dengan demikian maka waktu mereka memang terlalu sempit, sehingga mereka pun telah merencanakan bahwa di malam berikutnya mereka akan pergi ke banjar padukuhan itu untuk melakukan tugas mereka.

Dengan demikian, maka mereka pun telah melakukan persiapan sebaik-baiknya. Di siang hari Sura menganjurkan agar kawan-kawannya beristirahat secukupnya, agar di malam harinya jika diperlukan, mereka mempunyai tenaga yang segar. Sementara Ki Sura sendiri hari itu telah berada di sanggarnya. Ia telah mempersiapkan ilmunya sebaik-baiknya, terutama ilmu sirepnya yang akan dapat melumpuhkan perlawanan lawan sebelum mulai turun ke medan.

Baru menjelang sore hari Sura sempat beristirahat. Demikian ia keluar dari sanggar, maka ia pun telah membenahi diri. Kemudian setelah makan dan minum minuman hangat, ia pun menyempatkan diri untuk tidur barang sejenak.

Berbeda dengan Sura, maka kawan-kawannya tidak perlu pergi ke sanggar. Mereka cukup beristirahat saja sebaik-baiknya sebagaimana dianjurkan oleh Sura. Bahkan makan dan minum sepuas-puasnya menjelang tugas yang berat.

Seorang yang bertubuh gemuk telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia makan sebanyak-banyaknya, sambil berkata, “Jika aku harus bertempur semalam suntuk, maka aku tidak boleh menjadi gemetar karena lapar.”

Kawannya yang berjambang lebat menyahut, “Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin kau tidak akan pernah sempat makan lagi.”

“Ah jangan begitu,” berkata yang gemuk, “aku masih belum ingin mati.”

“Tugas kita bercanda dengan maut,” jawab yang berjambang.

“Tetapi bukannya tidak memakai perhitungan sama sekali,” jawab yang bertubuh gemuk. Lalu katanya, “Sura tentu sudah mempunyai perhitungan yang masak. Ia akan membuat semua orang tertidur. Namun jika ada juga yang luput dari pengaruh sirepnya, yang tentu termasuk orang berilmu, maka tugas kita membunuhnya di samping Sardapa sendiri.”

Yang berjambang tersenyum. Katanya, “jangan cemas. Kita akan menyelesaikan tugas kita dengan sebaik-baiknya.”

Yang gemuk itu termangu-mangu. Namun ia pun tidak menjawab lagi. Demikianlah ketika matahari tenggelam, keenam orang yang disiapkan Sura untuk menyelesaikan kesanggupannya kepada ibu tiri Sardapa itu pun telah berbenah diri. Mereka telah mempersiapkan senjata mereka sebaik-baiknya. Orang yang bertubuh gemuk itu membawa sepasang senjata di lambungnya.

Pedang di lambung kiri dan sebilah pisau belati di lambung kanan. Sedangkan orang yang berjambang itu membawa sebatang tombak pendek yang ujungnya berkait seperti duri daun pandan. Sura sendiri bersenjata pedang pula. Sedangkan laki-laki yang pernah merampas ibu tiri Sardapa dari sisi suaminya itu bersenjata seutas rantai baja yang di ujungnya terdapat bandul besi sebesar genggaman tangan dan bergerigi runcing di permukaannya.

Dengan penuh keyakinan mereka mulai bergerak menuju ke padukuhan yang akan menjadi sasaran. Namun sebagaimana dikatakan oleh Sura, bahwa sasaran utama mereka adalah membunuh Ki Sardapa. Namun bahwa di banjar terdapat harta benda yang berharga, agaknya menjadi tujuan mereka pula.

Ketika mereka berenam mendekati padukuhan mereka tidak segera berusaha masuk. Mereka masih harus menunggu sampai malam menjadi semakin dalam. Jika dingin malam semakin mencengkam, maka Sura akan melepaskan ilmu sirepnya, sehingga orang-orang di padukuhan itu, terutama yang berada di banjar, akan tertidur karenanya. Yang beberapa saat itu terasa lama sekali. Waktu seakan-akan tidak bergerak sama sekali, sehingga beberap orang dari mereka telah menjadi gelisah karenanya.

Namun akhirnya Sura pun memberikan isyarat kepada mereka untuk memasuki padukuhan itu. Sudah tentu tidak melalui regol di jalan induk. Tetapi mereka akan meloncati dinding padukuhan yang tidak dalam pengawasan sepenuhnya. Dengan sangat berhati-hati mereka berusaha mendekati banjar. Mereka meloncat-loncat dari satu halaman ke halaman yang lain, sementara para penghuninya telah tertidur nyenyak. Namun jika mereka sempat melihat gardu di ujung lorong maka mereka melihat anak-anak muda yang meronda masih duduk sambil berkelakar.

Tetapi mereka tidak ingin mengusik anak-anak muda itu. Namun Sura berdesis perlahan, “Sebentar lagi mereka akan tertidur nyenyak.”

Tetapi seorang kawannya sempat bertanya, “Sejauh manakah kemampuan jangkauan ilmu sirepmu?”

“Kekuatan sirepku akan meliputi seluruh padukuhan ini. Meskipun yang paling tajam adalah sasaran utamanya. Namun orang-orang yang tersebar di padukuhan ini akan tertidur semakin lelap. Bahkan seandainya mereka terbangun juga, mereka tidak akan tahu apa yang terjadi di banjar,” jawab Sura.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka memang yakin bahwa Sura akan dapat membius seisi padukuhan itu dengan ilmu sirepnya. Beberapa kali mereka telah bekerja bersama dalam tugas-tugas seperti itu. Dan setiap kali Sura selalu membuktikan bahwa tidak seorang pun yang mampu melawan ilmu sirepnya. Selain udara yang dingin yang mendorong seseorang pergi ke pembaringan, maka pengaruh sirepnya akan mempercepat keadaan, sehingga mereka akan tertidur semakin nyenyak.

Dengan tanpa menimbulkan keributan, maka keenam orang itu pun segera berada di belakang banjar padukuhan. Dengan kemampuannya yang tinggi. Sura telah meloncat dinding dan melihat keadaan di dalam banjar. Seperti yang dikatakan oleh kawannya yang pernah mengamati keadaan banjar itu, ada beberapa orang yang berjaga-jaga. Dan Sura pun menduga, bahwa diantara mereka tentu terdapat Ki Sardapa.

Dari kegelapan Sura memang melihat anak-anak muda yang duduk di pendapa. Sementara itu dua orang berada di pintu gerbang. Namun di serambi, masih ada tiga empat orang anak muda yang sedang tidur. Agaknya mereka akan berganti berjaga-jaga lewat tengah malam. Dalam pada itu Sura ternyata telah melihat, bahwa Ki Sardapa memang duduk diantara anak-anak muda yang berada di pendapa banjar.

“Anak-anak yang dungu,” berkata Sura di dalam hatinya, “seandainya seorang pencuri yang biasanya sekedar mencuri ayam pun akan dapat memasuki banjar dari belakang tanpa diketahui oleh mereka yang sedang berjaga-jaga.”

Namun Sura pun tidak tergesa-gesa. Ia justru menduga pula bahwa di tempat penyimpanan harta benda berharga itu ada anak muda yang secara khusus mengamatinya. Mungkin hanya seorang yang bertugas bergantian. Tetapi mungkin juga lebih. Justru karena itu, maka cara yang terbaik adalah memaksa mereka untuk tidur nyenyak.

Dengan demikian maka tidak ada cara lain yang akan ditempuh oleh Sura selain mempergunakan ilmu sirepnya. Menurut perhitungannya, maka orang-orang yang ada di banjar itu dan sekitarnya tentu akan terpengaruh oleh ilmunya itu, sehingga mereka akan tertidur nyenyak. Sementara itu, meskipun semakin jauh dari pusat sasarannya ilmunya menjadi semakin lemah, tetapi bagi mereka yang memang sudah mengantuk, akan menjadi semakin kehilangan kesadaran diri sehingga mereka benar-benar akan tertidur nyenyak sekali.

Apalagi mereka yang memang sudah tidur menjelang tengah malam. Maka mereka akan menjadi seakan-akan pingsan. Meskipun seandainya Gunung Berapi meledak ditelinganya, mereka tidak akan terbangun karenanya. Demikianlah, maka ia pun telah memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap-siap.

Kelima orang kawan Sura itu pun bergeser semakin dekat. Sementara itu Sura pun berkata, “Amati mereka. Aku akan mulai mengetrapkan ilmu sirepku. Dua orang bersamaku dan lindungi aku jika sesuatu terjadi. Namun kalian harus mengetrapkan syarat seperti yang sudah aku katakan, agar kalian tidak justru ikut tertidur. Jika semuanya sudah tertidur nyenyak, maka kita akan segera bertindak.”

Kawan-kawan Sura itu pun mengangguk. Tiga orang diantara mereka telah bergeser mendekati pendapa. Dengan sangat berhati-hati mereka berusaha untuk dapat melihat dengan jelas, akibat yang akan timbul setelah Sura mengetrapkan ilmunya.

Demikianlah, maka Sura pun telah duduk di dalam kegelapan. Tangannya pun kemudian bersilang di dadanya. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Sura mulai mengetrapkan ilmu sirepnya. Getaran yang menyebarkan perasaan kantuk telah mulai melingkar-lingkar dan menyusup ke lingkungan di sekitarnya.

Semakin lama getaran itu menjadi semakin meluas. Perlahan-lahan getaran itu telah menyusup pula ke pendapa banjar padukuhan sedangkan putaran yang lain telah menyentuh mereka yang bertugas di regol halaman. Perasaan yang aneh telah mencengkam anak-anak muda yang berada di banjar itu. Mereka yang duduk di pendapa, telah kehilangan pengamatan atas diri mereka sendiri, ketika satu persatu mereka telah terbaring.

Ki Sardapa juga merasa dicengkam oleh perasaan kantuk. Ia masih sempat berpikir, bahwa jika semua orang tertidur, maka banjar itu berada dalam bahaya. Karena itu, Ki Sardapa memang berniat untuk berbuat sesuatu. Ia berusaha untuk membangunkan anak muda yang terbaring di sisinya. Namun meskipun anak muda itu telah diguncangnya, namun ternyata anak itu tidak juga terbangun.

Ki Sardapa menjadi semakin cemas. Namun perasaan kantuk itu telah menerkamnya juga. Matanya bagaikan tidak dapat dibukanya lagi. Pelupuknya serasa telah-melekat. Ketika ia menghentakkan diri, ia sempat melihat kedua orang yang bertugas di regol pun telah terbaring di muka pintu regol yang tertutup. “Gila,” geram Sardapa.

Namun ternyata bahwa betapa ia berusaha, namun ia tidak mampu bertahan terhadap ilmu sirep Sura yang sangat kuat. Demikian pula anak-anak muda yang berada di banjar, di regol, bahkan di gardu di luar regol. Ternyata bahwa semuanya telah tertidur nyenyak.

Dalam pada itu sebagaimana diperkirakan oleh Sura, di bilik penyimpanan harta benda berharga di banjar itu yang dikumpulkan dari orang-orang terkaya yang telah terlibat dalam perampokan dan pembunuhan yang licik itu, dua orang anak muda telah berjaga-jaga. Namun ternyata mereka berdua pun sama sekali tidak mampu bertahan terhadap pengaruh sirep yang sangat tajam itu. Dengan demikian, maka semua orang yang berada di banjar itu memang sudah tertidur nyenyak, kecuali seorang anak muda yang berada di ruang dalam.

Anak muda itu adalah Mahisa Murti. Sedangkan Mahisa Pukat yang bersepakat untuk berjaga-jaga bergantian justru telah tertidur lebih dahulu, sebelum pengaruh sirep mencengkam banjar itu. Mahisa Murti yang berjaga-jaga justru telah merasa tersentuh oleh pengaruh yang asing. Ia pun telah merasa kantuk sekali. Bahkan matanya pun seakan-akan tidak dapat dibuka lagi. Namun justru karena itu, maka ia pun telah menjadi curiga.

Karena itu, maka betapapun perasaan kantuk mencengkamnya, ia telah bangkit dan berjalan ke bilik penyimpanan harta benda berharga itu. Ia pun terkejut ketika ditemui dua orang anak muda telah tertidur mendengkur. Dengan hati-hati Mahisa Murti pun telah menuju ke pintu. Ia tidak menggerakkan daun pintu karena sikap hati-hatinya. Tetapi dari celah-celah dinding ia telah mengintip. Ternyata anak-anak muda yang berada di pendapa pun telah tertidur nyenyak termasuk Ki Sardapa.

Sejenak Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi ketika matanya kemudian terpejam dan kesadarannya hilang sesaat, ia-pun justru sadar, bahwa agaknya telah terjadi sesuatu. Bahkan ia pun langsung teringat akan ilmu yang mampu mempengaruhi ketahanan kesadaran seseorang. Sirep. Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah memusatkan nalar budinya pula. Dikerahkannya daya tahannya untuk mengatasi perasaan kantuk yang luar biasa.

Perlahan-lahan Mahisa Murti dapat menguasai dirinya. Namun ia harus membangunkan Mahisa Pukat yang memang sudah tertidur sejak sebelum pengaruh itu mencengkam banjar. Sementara itu, Mahisa Murti pun sadar, bahwa ia harus bekerja cepat.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun segera duduk di sebelah Mahisa Pukat terbaring untuk membangunkannya dengan cepat. Perlahan-lahan Mahisa Murti telah meletakkan tangannya di ujung kaki Mahisa Pukat. Perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali ia telah menyalurkan tenaga dalamnya untuk membantu Mahisa Pukat mengatasi perasaan kantuknya yang ditimbulkan oleh ilmu sirep lawan, karena dalam keadaan tidur, Mahisa Pukat tidak dapat melakukannya sendiri.

Baru kemudian, Mahisa Murti telah mengguncang tubuh Mahisa Pukat. Dengan bantuan tenaga dalam Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat segera terbangun. Namun ia pun dengan segera pula merasakan kantuknya bagaikan mencengkam.

“Usahakan untuk menyadari keadaan,” desis Mahisa Murti perlahan-lahan, “kita harus mengatasi serangan sirep.”

“Bukankah belum waktunya aku bangun?” bertanya Mahisa Pukat sambil menguap.

“Memang belum. Tetapi kita telah diserang dengan ilmu sirep,” desis Mahisa Murti pula.

Kesadaran Mahisa Pukat atas bantuan tenaga dalam Mahisa Murti sempat menangkap peringatan itu. Karena itu, maka ¡a pun telah menghentakkan diri dari perasaan kantuknya. Bahkan ia pun kemudian sempat meningkatkan daya tahannya, sehingga perlahan-lahan perasaan kantuknya pun dapat disingkirkannya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari sepenuhnya bahwa banjar itu telah dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang dengan ilmu sirepnya.

“Semua orang telah tertidur,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun telah melihat dua orang anak muda yang tertidur di bilik penyimpanan harta benda berharga itu. Ia pun telah mengintip pula anak-anak muda di pendapa termasuk Ki Sardapa, telah tertidur pula.

“Apa yang perlu kita lakukan sekarang?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita amati bilik ini. Demikian mereka masuk, kita akan menangkap mereka,” berkata Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun mulai bergeser ke bilik itu sambil berdesis, “Kita masuk saja ke dalamnya.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti memberinya isyarat untuk mendekat.

“Ada apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ada dua hal yang perlu kita perhatikan,” berkata Mahisa Murti, “justru yang utama bukan harta benda ini. Bukankah ibu tiri Ki Sardapa itu telah mengancamnya?”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya hampir tidak bersuara, “Kita awasi Ki Sardapa.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah merangkak melekat dinding untuk mengintip anak-anak muda yang tertidur di pendapa, termasuk Ki Sardapa.

Sementara itu, Ki Sura telah selesai dengan kerjanya, melepaskan ilmu sirepnya. Perlahan-lahan ia pun telah bangkit berdiri. Sambil memberi isyarat kepada kedua orang kawannya yang menjaganya, maka ia pun melangkah tanpa ragu-ragu mendekati pendapa. Tiga orang kawannya yang lebih dahulu mendekati pendapa untuk mengamati keadaan anak-anak muda yang ada di pendapa itu, telah bergabung pula bersama mereka.

“Mereka telah tertidur nyenyak,” berkata salah seorang diantara mereka.

Sura mengangguk. Katanya, “Kita cari Ki Sardapa. Kita harus cepat menyelesaikannya. Kemudian kita akan memasuki banjar dan mencari harta benda itu.”

“Kita tidak perlu bersusah payah,” jawab salah seorang diantara mereka, “tugas kita ternyata terlalu ringan.”

“Itu adalah karena kemampuanku,” sahut Sura.

Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka pun langsung naik ke pendapa. Mereka sudah tahu, bahwa Ki Sardapa ada diantara mereka yang tertidur di pendapa itu. Sejenak keenam orang itu berdiri tegak sambil memperhatikan orang-orang yang tidur terbujur lintang. Namun mereka tidak memerlukan waktu yang lama. Mereka segera menemukan Ki Sardapa yang tidur dengan nyenyaknya.

“Kita selesaikan orang ini. Ini adalah tugas utama kita,” berkata Sura.

Orang yang bertubuh agak gemuk telah bergeser maju sambil berkata, “Aku akan menyelesaikannya.”

Tetapi Sura mendorongnya sambil berkata, “Ini adalah tugasku. Akulah yang akan langsung membunuhnya dengan tanganku.”

Orang bertubuh gemuk itu pun surut selangkah, ia memang tidak akan dapat melanggar hak Sura, karena Sura lah yang membawanya ke banjar itu.

Perlahan-lahan Sura melangkah maju. Katanya dengan nada berat, “Kalian adalah saksi, bahwa akulah yang telah membunuh Sardapa yang curang itu.”

Kelima orang kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka pun menjadi berdebar-debar. Sudah terlalu sering mereka melihat orang terbunuh. Namun kali ini Sura akan membunuh orang yang sedang tidur nyenyak.

Namun, demikian Sura melangkah setapak lagi maju, maka tiba-tiba saja pintu pringgitan telah terbuka. Dua orang anak muda melangkah keluar dengan langkah yang meyakinkan. Tatapan mata mereka yang jernih menunjukkan, bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu sirep yang dilepaskan oleh Sura.

Sura memandang keduanya dengan wajah yang tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa kalian sebenarnya? Kami memang telah mendengar bahwa ada dua orang anak muda yang telah membantu Kiai Patah mengacaukan padukuhan ini atas perintah Ki Sardapa.”

“Apakah kalian memerlukan keterangan tentang diri kami?” bertanya Mahisa Murti.

Sura memandang Mahisa Murti dengan tajamnya. Namun ia pun melihat kesan yang mendebarkan tentang anak-anak muda itu. Keduanya ternyata memiliki kepercayaan yang sangat besar terhadap diri sendiri. Dua orang anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar melihat mereka berenam.

Karena itu Sura pun harus berhati-hati menghadapi kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun juga, mereka berenam adalah orang-orang yang berilmu sehingga Sura yakin bahwa mereka akan dapat menguasai kedua orang anak muda itu. Karena itu, maka Sura pun kemudian berkata,

“Anak-anak muda. Sebentar lagi kalian akan mati. Karena itu, sebaiknya kalian menyebut nama kalian, agar setelah kalian mati, nama kalian akan dapat diingat oleh orang-orang padukuhan ini.”

“Orang-orang padukuhan ini sudah tahu siapakah aku. Jika kau belum, maka kau tentu bukan orang padukuhan ini,” berkata Mahisa Murti.

Sura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Agaknya kau memang sudah tidak menganggap perlu lagi dikenali. Karena itu, maka kesempatan yang terakhir bagimu adalah memilih cara kematianmu. Kami akan membantumu agar kau dapat mati dengan cepat. Barangkali itulah yang paling baik bagimu, karena cara mati yang lain akan dapat sangat menyiksamu.”

Mahisa Pukat lah yang kemudian menyahut, “Kenapa kau tidak bertanya kepada dirimu sendiri atau kepada kawan-kawanmu, cara apa yang mereka sukai? Digantung, ditikam atau dipicis? Besok aku akan dapat mengatakannya kepada Ki Buyut. Bahkan akan dapat menjadi tontonan di saat Ki Sardapa diangkat dan diwisuda menjadi Bekel di padukuhan ini.”

“Persetan,” geram Sura, “kau benar-benar gila. Apakah kau tidak melihat bahwa kami berenam siap untuk membunuhmu sekaligus membunuh Ki Sardapa yang curang dan telah berkhianat terhadap kakaknya sendiri?”

“Jangan mengada-ada,” jawab Mahisa Pukat, “sebaiknya kita tidak usah terlalu banyak bicara. Aku tahu bahwa kau telah mendapat upah untuk membunuh Ki Sardapa dan barangkali sekaligus ingin merampok banjar ini. Kau pergunakan ilmu sirep yang sangat tajam sehingga semua pengawal telah tertidur nyenyak. Tetapi bagaimanapun juga, niat buruk itu pantas digagalkan. Adalah tugas kami berdua untuk menggagalkan niat kalian membunuh Ki Sardapa untuk sekedar menerima upah.”

“Cukup,” potong Sura. Sambil berpaling kepada kawan-kawannya ia berkata, “Kita tidak usah ragu-ragu lagi. Selesaikan mereka berdua. Aku akan menyelesaikan Ki Sardapa yang tertidur nyenyak. Ia tidak tahu, bahwa ia tidak akan pernah terbangun lagi dari tidurnya.”

“Terbalik,” berkata Mahisa Pukat, “kamilah yang akan menyelesaikan kalian dan menyelamatkan Ki Sardapa yang tidak bersalah. Tetapi cara kami agak lebih baik dari cara yang kalian tempuh. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami akan menangkap kalian dan menyerahkan kepada Ki Buyut.”

“Gila,” Sura hampir berteriak. Lalu “Cepat, lakukan. Kita tidak mempunyai waktu banyak sebelum orang-orang itu terbangun. Jika mereka sempat ikut campur, maka kita akan membunuh lebih banyak lagi.”

Kelima orang kawan Sura itu pun mulai bergerak. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meloncat menyerang. Demikian cepatnya, sehingga orang-orang itu tidak sempat mengelak. Pada serangan pertama itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melemparkan dua orang diantara mereka sehingga jatuh berguling. Kemudian mendesak yang lain lagi dengan ccpat. Dua orang lagi telah terlempar jatuh pula. Sementara itu Sura dan laki-laki yang pernah membawa ibu tiri Ki Sardapa itu sempat bergeser mundur.

“Bukan main,” desis laki-laki itu.

“Anak iblis,” Sura mengumpat.

Ketika orang-orang yang terjatuh itu bangkit berdiri, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sempat mengangkat Ki Sardapa dan membawanya masuk ke ruang dalam. Namun ketika orang-orang itu berusaha untuk menyusulnya, maka keduanya telah berdiri tegak di depan pintu.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “sekarang tinggal kita sajalah yang berhadapan. Kalian tidak akan dapat mengganggu Ki Sardapa. Jika saja ia tidak tertidur, maka kalian memang tidak akan dapat menyentuhnya. Kalian hanya berani menghadapinya dengan cara yang sangat licik.”

“Setan kau,” geram Sura, “itu bukan sesuatu yang licik. Tetapi itu adalah kelebihanku.”

Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi sekarang kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.”

“Aku menawarkan pengampunan kepada kalian berdua jika kalian mau menyerahkan Ki Sardapa kepadaku,” berkata Sura.

Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memang aneh. Aku sama sekali tidak memerlukan pengampunanmu.”

Sura sudah tidak sabar lagi. Maka ia pun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya. “Kita tidak mempunyai banyak waktu memang,” geram seseorang sambil menarik senjatanya, “kita sudah saatnya benar-benar bertindak.”

“Bagus,” desis Sura, “lakukan tanpa ragu-ragu lagi.”

Kelima orang itu pun segera bersiap dengan senjata mereka masing-masing. Berjenis-jenis senjata yang memang menggetarkan jantung. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar karenanya. Mereka memang sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti itu.

Karena itu maka selangkah keduanya maju. Untuk tidak memancing keheranan dan dianggap menggertak dengan pangeram-eram. maka keduanya telah menggenggam pedang. Hanya jika terpaksa sekali keduanya akan melepaskan ilmu mereka. Sementara itu mereka masih akan berusaha mengatasi lawan-lawan mereka dengan senjata wajar.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran pun telah terjadi. Karena keenam orang itu terlalu bernafsu untuk segera dapat membunuh, maka pertempuran pun segera menjadi seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang membawa pedang di tangan mereka, telah bergerak dengan cepatnya. Pedang di tangan mereka berputaran seperti baling-baling.

Namun lawan-lawan mereka telah mempergunakan berbagai macam senjata. Pedang dan pisau belati, tombak berkait, golok yang besar, rantai baja yang memakai bandul besi bergerigi di ujung dan jenis-jenis senjata lain. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mampu menyesuaikan perlawanan mereka atas senjata-senjata yang dipergunakan oleh lawannya itu.

Karena watak senjata-senjata itu berbeda, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak boleh lengah karenanya, la tidak akan dapat melawan pedang dan belati di tangan orang yang bertubuh gemuk itu sebagaimana ia melawan tombak pendek yang ujungnya berkait la pun harus mempergunakan cara tersendiri untuk melawan rantai dengan bandul besi bergerigi.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempelajari berbagai macam watak senjata, sehingga dengan demikian, maka ia pun dapat mengimbangi keenam lawan mereka dengan mengerahkan tenaga cadangan di dalam diri mereka, sehingga mereka mampu bergerak cepat. Sementara itu di setiap benturan, kekuatan kedua anak muda itu telah menggetarkan tangan lawan-lawan mereka.

Namun lawan-lawan mereka bukan orang kebanyakan. Mereka telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk menyesuaikan gerak senjata mereka yang berbeda-beda. Dengan senjata masing-masing, mereka berusaha untuk membuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kebingungan, sehingga dengan demikian pada satu saat mereka akan dapat menembus pertahanannya yang sangat rapat.

Mula-mula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mampu melawan bermacam-macam senjata itu dengan kecepatan geraknya serta kekuatan tenaga cadangan mereka. Namun ternyata bahwa keenam orang itu memiliki ilmu yang mampu membuat kedua anak muda itu menjadi gelisah. Berganti-ganti mereka datang menyerang dengan jenis senjata yang berbeda. Bahkan kadang-kadang dua orang bersama-sama telah menyerang salah seorang dari kedua anak muda itu.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk bertahan. Namun mereka pun mulai terdesak ke arah pintu. Sementara itu Sura pun berkata, “Saat pengampunan telah lewat. Kesombonganmu telah mengantarkanmu ke lubang kematian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi melawan enam jenis senjata yang berbeda-beda semuanya, bukanlah satu tugas yang mudah bagi mereka.

Laki-laki yang bersenjata rantai itu ternyata mempunyai kemampuan yang sangat khusus. Meskipun rantainya berputar, kadang-kadang mendatar, kadang-kadang tegak, namun seakan-akan ia sama sekali tidak mengganggu kawan-kawannya yang bersenjata tajam. Bahkan ia mampu bekerja bersama dengan baik sekali dengan Sura yang bersenjata pedang.

Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang terdesak. Di saat pedang Mahisa Murti terkait tombak orang berjambang, maka ujung golok yang besar telah menikam ke arah jantung. Untunglah bahwa Mahisa Murti memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga ketika ia menghentakkan kekuatannya, maka justru tombak berkait itulah yang hampir terlepas dari tangan pemiliknya.

Tetapi setiap kali, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berada dalam bahaya yang mendebarkan. Bahkan sekali pakaian Mahisa Pukat telah tersentuh oleh ujung belati orang yang agak gemuk itu, justru pada saat pedangnya tidak mengenai sasaran. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meningkatkan kemampuannya, maka keenam orang itu pun telah mengerahkan kemampuan mereka pula, sehingga kedua anak muda itu masih saja berada dalam kesulitan. Karena itulah, maka mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Apalagi ketika kulit Mahisa Pukat benar-benar telah tersentuh ujung tombak lawannya, sehingga sebuah goresan telah mewarnai lengannya. Dengan isyarat maka Mahisa Murti pun telah memutuskan untuk melepaskan salah satu ilmunya yang mungkin dipergunakannya untuk dapat menangkap keenam orang itu hidup-hidup. Mahisa Pukat pun segera tanggap akan isyarat itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu telah mempergunakan salah satu ilmunya yang jarang ada duanya.

Beberapa saat kemudian, pertempuran masih berlangsung. Bahkan bandul bergerigi itu sempat pula menyentuh pundak Mahisa Murti, sehingga berdarah. Meskipun lukanya tidak dalam, tetapi tiga goresan telah memanjang di pundaknya itu.

“Untunglah, bukan dahiku,” desis Mahisa Murti kepada dirinya sendiri. Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti pun benar-benar telah mengerahkan ilmunya sebagaimana dilakukan Mahisa Pukat yang juga telah terluka.

Sura yang memimpin kelima orang kawannya menjadi tidak telaten. Dengan lantang ia berteriak, “Cepat, bunuh mereka sekarang.”

Keenam orang yang merasa bahwa mereka akan mampu mengalahkan kedua orang anak muda itu menjadi semakin bernafsu. Apalagi karena kedua anak muda itu telah terluka. Darah telah menitik dari luka-luka mereka. Apalagi karena mereka menganggap bahwa waktu mereka memang terbatas karena pada suatu saat kekuatan sirep itu akan memudar. Jika demikian, maka mereka yang tertidur itu-pun akan segera terbangun. Ki Sardapa pun akan terbangun juga dan akan bergabung dengan kedua anak muda yang melindunginya bersama anak-anak muda yang lain.

Karena itu, maka keenam orang itu benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada didalam diri mereka. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin sibuk melayani serangan-serangan lawannya. Dalam pertempuran yang cepat itu, ujung tombak berkait itu telah menggores punggung Mahisa Pukat, sedangkan pedang Sura telah melukai pula Mahisa Murti di tangannya.

Ketika luka-luka itu telah tergores lagi di tubuh kedua anak muda itu, maka keenam orang itu merasa bahwa kemenangan mereka telah menjadi semakin dekat. Dengan demikian maka mereka pun semakin mempercepat putaran senjata mereka. Serangan demi serangan saling menyusul.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang harus bekerja terlalu keras untuk menangkis serangan-serangan itu. Namun mereka sama sekali tidak bergeser surut lebih jauh lagi. Apalagi memasuki pintu karena dengan demikian mereka akan memberikan peluang kepada orang-orang itu untuk menyusup masuk dan membunuh Ki Sardapa yang masih tertidur nyenyak.

Beberapa saat kemudian mereka masih bertempur dengan sengitnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menangkis serangan yang datang beruntun itu. Namun karena demikian banyaknya senjata lawan, maka sentuhan-sentuhan yang terjadi dengan setiap senjata diantara senjata lawannya adalah tidak terlalu sering.

Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah berada dalam kesulitan, orang yang bertubuh gemuk itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk bertempur terus. Rasa-rasanya kekuatannya bagaikan sudah terkuras habis.

“Cepat, berbuatlah sesuatu,” teriak Sura.

Orang bertubuh gemuk itu berusaha menghentakkan sisa kekuatannya, ia bergerak mendekati Mahisa Murti sambil mengayunkan senjatanya. Namun karena ayunan itu tidak begitu keras, maka tangkisan Mahisa Murti justru telah melemparkan senjata ditangannya. Bahkan ketika ia melangkah berlari, tiba-tiba saja ia telah jatuh terjerembab. Tenaganya benar-benar tidak lagi mampu sekedar mendukung berat tubuhnya.

Sura memang menjadi sangat marah. Ia pun berteriak lantang, “Pemalas. Bangun dan lakukan tugasmu dengan baik. Atau kau tidak terhitung lagi berada diantara kami sekarang.”

Orang itu berusaha bangkit, tetapi ia memang sudah tidak berdaya. Meskipun ia berhasil berdiri, tetapi keseimbangannya seakan-akan sudah tidak utuh lagi. Sura memang merasa heran. Apalagi ketika orang yang berjambang lebat itu pun terhuyung-huyung selangkah surut. Meskipun senjatanya masih berada ditangannya, tetapi ia tidak lagi mampu mengangkat dan apalagi menusuk ke arah dada lawan.

“Gila,” bentak Sura, “kenapa dengan kalian? Bukankah kalian telah mengikuti petunjukku untuk menghindari kekuatan sirep itu?”

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun satu lagi orang yang telah kehilangan senjatanya. Dalam benturan yang terjadi dengan pedang Mahisa Pukat, maka senjata orang itu pun telah terlepas dari tangan. Demikian orang itu berusaha untuk memungutnya, maka ia pun telah terjatuh di tanah meskipun tangannya sempat menggapai. Karena itu, maka ia pun tidak lagi dapat bangkit berdiri. Sura yang membentak-bentak akhirnya mengalami juga.

Bertiga ia melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Semakin sering senjata mereka beradu, maka semakin cepat kekuatan mereka bagaikan terhisap dari tubuh. Dengan demikian, maka Sura dan kedua kawannya yang tersisa pun akhirnya tidak lagi memiliki sisa tenaga untuk melawan kedua orang anak muda itu. Akhirnya keenam orang itu telah menjadi sangat lemah.

Mereka benar-benar telah kehilangan tenaga mereka. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyentuh tubuh mereka langsung dengan tangan. Maka tenaga yang tersisa dari keenam orang itu benar-benar telah terhisap habis. Sejenak kemudian maka keenam orang itu pun telah terbaring diam. Mereka memang masih mampu bergerak, tetapi hanya sekedar beringsut dan sedikit menggerakkan anggauta badan mereka.

“Kalian telah melukai kami,” tiba-tiba terdengar Mahisa Pukat menggeram.

Keenam orang itu pun kemudian melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di sebelah menyebelah dengan pedang teracu.

“Kalian telah mampu membuat sebagian besar dari penghuni padukuhan ini tertidur nyenyak. Dengan demikian kalian akan dapat berbuat apa saja atas lawan-lawan kalian. Juga perintah orang yang mengupahmu itu telah tertidur pula,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi yang terjadi sekarang, kalian pun telah kehilangan tenaga. Meskipun kalian tidak tertidur dan masih menguasai kesadaran kalian sepenuhnya, namun kalian tidak dapat berbuat apa-apa, karena kalian sudah tidak lagi bertenaga.”

“Anak iblis. Kau pergunakan ilmu apa he?” bertanya Sura yang masih juga terbaring diam.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tegak dengan pedang teracu. Setapak Mahisa Pukat maju sambil menjawab, “Ilmu apa pun jenisnya, namun kami telah dapat menangkap kalian hidup-hidup.”

“Persetan,” geram Sura, “kenapa kalian tidak membunuh kami?”

“Bukan kewajibanku,” berkata Mahisa Pukat, “biarlah kalian diadili oleh Ki Buyut. Kau tahu bahwa Ki Buyut akan bertindak adil. Orang-orang padukuhan ini, bahkan termasuk Ki Bekel telah dijatuhi hukuman pula, karena mereka bersalah. Demikian pula kalian tentu akan dijatuhi hukuman pula karena kalian telah berniat untuk membunuh. Apalagi membunuh orang yang sudah disiapkan untuk menduduki jabatan tertinggi di padukuhan ini.”

“Persetan,” geram Sura, “jika kau tidak membunuhku sekarang, maka pada kesempatan yang akan datang, akulah yang akan membunuhmu.”

Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Jika kau mampu membunuhku, maka hal itu tentu sudah kau lakukan.”

Sura menggeram. Yang terdengar adalah umpatan-umpatan kasar. Tetapi Sura sendiri masih saja terbaring dengan lemahnya.

“Tunggulah,” berkata Mahisa Pukat, “aku akan mengobati lukaku lebih dahulu.”

Ketika Sura kemudian mengumpat-umpat kasar, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Mereka pun justru telah duduk di sudut ruang dalam untuk mengobati luka mereka berganti-ganti. Sentuhan serbuk obat itu memang terasa pedih. Tetapi dengan demikian maka luka itu menjadi pampat dan tidak berdarah lagi. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera berbuat sesuatu. Meskipun kemudian Mahisa Murti mendekati Sura yang terbaring, namun ia tidak berbuat sesuatu.

“Kenapa kalian diam saja?” teriak Sura, “kenapa kalian tidak berbuat sesuatu atas kami?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “aku menunggu anak-anak itu terbangun. Biarlah mereka memanggil Kiai Patah, orang yang untuk sementara memegang pimpinan di padukuhan ini sebelum Ki Sardapa ditetapkan besok saat purnama naik.”

“Jangan beri kesempatan mereka menghukum kami,” tiba-tiba orang bertubuh gemuk itu berteriak.

“Tidak,” berkata Mahisa Murti, “mereka tidak akan menghukum kalian. Mereka tidak terbiasa berbuat sendiri-sendiri.”

Orang bertubuh gemuk itu memang terdiam. Tetapi ia masih saja gelisah. Keenam orang yang kehilangan kekuatan tubuhnya itu menjadi semakin gelisah ketika mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah duduk kembali di depan pintu.

Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, “Jangan gelisah. Tidur sajalah.”

“Gila kau,” geram Sura, “jangan menyesal jika aku kelak benar-benar membunuhmu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukannya. Tetapi keduanya justru berbicara diantara mereka sendiri. Namun agaknya Sura sempat berpikir dalam keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka ia pun berbisik kepada orang yang terdekat,

“Kita harus memulihkan tenaga kita. Karena itu, jangan kehilangan akal. Kita pusatkan nalar budi kita untuk membangunkan kembali tenaga kita yang tentu terhisap oleh ilmu iblis kedua anak muda itu.”

Yang berada di dekatnya adalah orang yang berjambang lebat. Namun ia pun telah berbisik pula kepada laki-laki yang pernah membawa ibu Sardapa itu. Tetapi ternyata laki-laki itu menjawab, “Aku sudah melakukannya sejak tadi.”

Orang berjambang itu pun terdiam. Sementara laki-laki itu berusaha untuk berbicara dengan orang yang ada disisinya. Demikianlah, akhirnya keenam orang itu telah sepakat untuk berdiam diri, justru memusatkan nalar budi, mengatur jalan pernafasan mereka, agar tenaga mereka segera pulih kembali. Tetapi ternyata usaha mereka tidak dapat mereka lakukan dengan mudah dan cepat. Adalah sangat perlahan-lahan bahwa kekuatan mereka mulai tumbuh kembali mengaliri urat nadi mereka. Namun keenam orang itu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Mereka justru berdiam diri sambil mengatur pernafasan mereka sebaik-baiknya.

“Kami berpacu dengan anak-anak muda itu,” berkata Sura didalam hatinya, ia berharap bahwa ia akan lebih dahulu mendapat kekuatannya kembali daripada lenyapnya pengaruh sirep. Bahkan seandainya pengaruh sirep itu sudah lenyap, ia berharap bahwa anak-anak itu pun akan tetap tertidur dengan lelap. Sehingga dengan demikian mereka atau diantara mereka berenam akan sempat melarikan diri. Mungkin dua orang diantara mereka akan tertangkap, namun yang lain akan selamat.

Adalah menjadi semacam paugeran. jika satu atau dua orang kawan mereka tertangkap sedangkan yang lain dapat melarikan diri, maka yang lepas itu akan membantu kehidupan keluarga dari mereka yang tertangkap dan barangkali harus menjalani hukuman berat dan lama. Atau bahkan hukuman mati.

Untuk beberapa saat Sura dan kawan-kawannya telah saling berdiam diri. Dengan mengatur pernafasan mereka sebaik-baiknya, maka kekuatan mereka pun perlahan-lahan telah bangkit kembali. Mula-mula mereka dapat membenarkan letak tubuh mereka. Tangan mereka pun kemudian tersilang di dada. Namun belum seorang pun diantara mereka yang berusaha untuk bangkit. Mereka memang menunggu sampai tenaga mereka akan pulih sepenuhnya.

Tetapi akhirnya mereka pun menyadari, bahwa hal itu adalah sia-sia. Mungkin dalam waktu sehari tenaga mereka masih belum pulih sama sekali. Betapapun mereka berusaha, tetapi ternyata bahwa pekerjaan yang mereka lakukan itu tidak akan dapat menghasilkan apa-apa.

Sementara itu, kekuatan tenaga sirep pun semakin lama menjadi semakin susut. Orang-orang yang semula dicengkam oleh kekuatan sirep sehingga sama sekali tidak dapat dibangunkan dengan cara apapun, mulai menggeliat dan beringsut meskipun mereka masih juga tertidur nyenyak.

“Aku kira pengaruh sirep telah jauh berkurang,” desis Mahisa Murti.

Sura berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Ia pun berpendapat demikian pula. Pengaruh ilmu sirepnya tentu sudah jauh susut. Dan bahkan telah tidak berdaya sama sekali.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Aku akan mencoba membangunkan mereka.”

“Sebaiknya bukan hanya mereka yang berada di banjar ini,” sahut Mahisa Murti.

“Maksudmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita bangunkan orang-orang yang tertidur di rumah mereka masing-masing,” jawab Mahisa Murti.

“Kita pergi ke setiap pintu?” bertanya Mahisa Pukat pula.

“Tentu tidak perlu,” jawab Mahisa Murti sambil menunjuk kentongan yang tergantung di serambi banjar.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Aku memang bodoh.” Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit. Selangkah demi selangkah ia pergi ke serambi mendekati kentongan yang tergantung.

Tetapi tiba-tiba saja Sura berteriak, “jangan gunakan cara itu. Atau bunuh aku lebih dahulu.”

Mahisa Pukat berpaling. Namun kemudian ia pun menjawab, “Tidur sajalah. Bahkan ketika anak-anak muda di banjar ini terbangun oleh suara kentongan, kalian berlimalah yang masih akan tetap terbaring.”

“Persetan,” geram Sura, yang justru menyadari bahwa ia tidak akan mampu menghimpun tenaga secukupnya untuk melarikan diri, maka ia pun telah berusaha untuk bangkit. Ternyata tubuhnya masih sangat lemah. Namun ia pun kemudian berhasil untuk duduk. Demikian pula beberapa orang kawan-kawannya.

“Kenapa kau berhenti berusaha menghimpun tenaga?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak ada gunanya,” sahut Sura, “karena itu, maka aku merasa tidak perlu melakukannya. Tetapi aku minta kalian membunuh aku saja daripada kalian membangunkan anak-anak muda itu.”

“Jangan takut,” berkata Mahisa Pukat, “mereka tidak segarang kalian berenam. Mereka adalah orang-orang beradab yang tahu diri. Justru setelah Ki Bekel ditangkap oleh Ki Buyut.”

Sura tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Apa pun yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu atasnya, harus dijalaninya, suka atau tidak suka. Karena itu, maka Sura pun hanya dapat melihat dengan jantung yang berdebaran Mahisa Pukat melangkah mendekati kentongan yang tergantung di serambi.

Sejenak kemudian memang terdengar suara kentongan itu. Namun hati Sura menjadi agak tenang, karena yang didengarnya bukan irama titir, tetapi irama dan nada dara muluk. Dengan demikian, mereka yang terbangun oleh suara kentongan itu tidak akan dengan tergesa-gesa berlari-larian ke banjar.

Sebenarnyalah suara kentongan dalam irama dara muluk yang panjang itu telah membangunkan orang-orang yang baru saja lelap tertidur. Mereka yang berada di rumah masing-masing dan mereka yang berada di banjar. Namun karena yang terdengar adalah irama dara muluk, maka orang-orang yang terbangun oleh suara kentongan itu tidak menjadi gelisah atau bahkan kebingungan.

Tetapi mereka sempat menggeliat dan menguap. Kemudian perlahan-lahan membuka matanya. Beberapa orang sempat mengingat, betapa lelapnya mereka tidur. Bahkan rasa-rasanya mereka masih saja ingin memejamkan matanya lagi. Tetapi suara kentongan dara muluk itu masih juga terdengar. Panjang sekali. Bahkan ganda.

“Anak-anak masih saja suka bermain dengan kentongan,” desis seorang yang hanya beringsut saja di tempat pembaringannya dan justru menarik kain panjangnya menutup seluruh tubuhnya.

Berbeda dengan orang-orang yang berada di rumah ma-sing-masing, maka anak-anak muda di banjar itu pun terkejut mendengar suara kentongan. Begitu dekat dan panjang. Karena itu, dengan serta merta mereka pun bangkit. Sambil mengusap mata mereka mencoba mengingat, apa yang sedang terjadi atas diri mereka. Dua orang yang tertidur di regol pun telah terbangun pula. Demikian gugupnya, karena mereka segera menyadari, bahwa mereka sedang bertugas.

“Kau tertidur?” bertanya seorang diantara mereka.

“Bukan hanya aku. Tetapi kita tertidur disini,” jawab kawannya.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” desis orang yang pertama.

Kedua-duanya menjadi bingung. Namun demikian mereka memandang ke arah pendapa, dilihatnya beberapa orang pun sedang bangkit.

“Mereka juga tertidur,” desis mereka hampir bersamaan.

Seorang diantara mereka pun kemudian berkata, “tentu telah terjadi sesuatu.”

Kedua orang itu pun dengan tergesa-gesa telah pergi ke pendapa. Sementara itu Mahisa Murti pun telah berdiri pula. Di ruang dalam Ki Sardapa bagaikan menjadi kebingungan. Untuk beberapa saat orang-orang itu termangu-mangu. Namun kemudian terdengar Mahisa Murti berkata, “Marilah. Silahkan naik ke pendapa. Kita akan berbicara. Tidak ada apa-apa yang telah terjadi disini.”

Anak-anak muda itu pun kemudian telah duduk di pendapa banjar. Mula-mula mereka tidak memperhatikan bahwa di pendapa itu terdapat orang lain. Namun kemudian beberapa orang anak muda mulai memperhatikannya.

Seorang anak muda yang terheran-heran bertanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, “Siapakah mereka?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun diperhatikannya keenam orang yang masih sangat lemah itu. Mereka mencoba beringsut dan duduk diantara anak-anak muda padukuhan itu.

Tetapi tiba-tiba saja salah seorang diantara anak muda itu melihat sesuatu yang menarik dari tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan serta merta ia pun segera bangkit dan mendekatinya. “Kalian kenapa?” bertanya anak muda itu.

Beberapa orang anak muda mulai memperhatikan keadaan. Mereka melihat beberapa jenis senjata berserakan. Mereka pun melihat keadaan banjar itu agak lain dari kebiasaannya.

“Tentu sesuatu telah terjadi disini,” berkata Ki Sardapa.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Baru sejenak kemudian Mahisa Murti berkata, “Memang telah terjadi sesuatu. Tetapi duduklah. Marilah kita berbicara dengan tenang.”

Anak-anak muda itu masih saja termangu-mangu. Ki Sardapa mulai memperhatikan orang-orang itu satu demi satu. Sehingga akhirnya ia memandang Sura dan laki-laki yang pernah membawa ibu tirinya itu berganti-ganti.

“Aku pernah melihat mereka,” geram Sardapa.

“Mungkin saja,” sahut Mahisa Murti, “tetapi kapan dan di mana? Apakah Ki Sardapa masih ingat?”

Sardapa menggelengkan kepalanya, ia memang tidak ingat lagi, kapan dan di mana. Tetapi rasa-rasanya ia memang pernah melihatnya.

Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Agaknya Ki Sardapa benar. Ki Sardapa tentu pernah mengenal mereka, karena mereka pun mengenal Ki Sardapa. Mereka tahu pasti, yang manakah yang bernama Sardapa diantara anak-anak muda padukuhan ini.”

“Ya,” Ki Sardapa mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agaknya mereka datang dari padukuhan lain. Sekali-sekali kami pernah bertemu. Mungkin di pasar, atau di perjalanan atau di tempat-tempat lain. Tempat yang tidak dapat aku ingat lagi. Namun kedatangan mereka memang sangat menarik perhatian.”

“Silahkan duduk,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian duduk pula diantara anak-anak muda itu. Kemudian katanya, “Memang ada sesuatu yang penting kalian ketahui. Keenam orang itu memang bukan orang-orang padukuhan ini. Mereka datang dari padukuhan lain dengan dibebani tugas tertentu.”

“Tentu mereka berniat buruk,” berkata seorang anak muda.

“Mereka memerlukan aku,” tiba-tiba suara Ki Sardapa merendah. “Aku tahu sekarang, bahwa di banjar ini telah disebarkan ilmu sirep yang mencengkam. Kita semua telah tertidur. Mungkin hanya kedua anak muda itu sajalah yang mampu melawan sirep itu. Selanjutnya tentu telah terjadi benturan kekerasan.”

“Keduanya telah terluka,” berkata anak muda yang mula-mula melihat luka di tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun luka itu agaknya tidak mempengaruhi keadaannya.

“Aku yakin, bahwa mereka telah membawa beban tugas untuk membunuhku,” berkata Ki Sardapa tiba-tiba.

Anak-anak muda itu terkejut. Mereka serentak berpaling ke arah enam orang yang duduk lemah itu. Bahkan mereka pun seakan-akan telah pasrah dan tidak lagi sempat berbuat apa pun juga.

Beberapa orang anak muda memang telah beringsut. Namun Mahisa Murti kemudian berkata, “Ki Sardapa. Aku minta Ki Sardapa dapat mengekang diri. Demikian pula anak-anak muda yang lain. Keenam orang itu memang telah diupah untuk membunuh Ki Sardapa.”

“Jika demikian, bunuh saja mereka,” tiba-tiba saja seorang anak muda berteriak.

“Tunggu,” cegah Mahisa Murti, “bukan wewenang kalian untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka. Biarlah Ki Buyut melakukannya.”

“Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya seorang anak muda.

“Tentu kita akan menyerahkannya kepada Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti.

“Bagus,” sahut anak muda yang lain, “kita bawa mereka sekarang kepada Ki Buyut. Kita minta Ki Buyut menyerahkannya kepada kita.”

“Mereka tidak akan dapat pergi sekarang,” sahut Mahisa Murti pula. Lalu katanya, “Mereka dalam keadaan sangat lemah. Berdiri pun mereka tidak akan mampu.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mereka tidak tahu apakah sebabnya, keenam orang itu menjadi sangat lemah. Mereka hanya mengira, bahwa keenam orang itu telah men jadi sangat letih bertempur melawan kedua orang anak muda yang berilmu sangat tinggi itu.

Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengambil keputusan untuk memanggil Kiai Patah. Karena itu, maka Mahisa Murti berkata kepada anak-anak muda itu, “Aku minta dua diantara kalian pergi menemui Kiai Patah. Mohon Kiai Patah untuk datang ke banjar.”

“Kiai Patah berada di mana?” bertanya seorang anak muda yang siap untuk pergi memanggilnya.

“Agaknya Kiai Patah ada di rumahnya setelah ia meninggalkan banjar ini,” berkata Mahisa Murti.

Dua orang anak muda pun telah bersiap. Namun ketika keduanya turun dari pendapa, maka terdengar suara di kegelapan, “Aku disini.”

Kedua orang anak muda itu terkejut. Namun mereka pun kemudian melihat sesosok tubuh berjalan mendekati mereka. Ternyata orang itu adalah Kiai Patah. Sambil tersenyum ia naik ke pendapa.

“Kiai sudah ada di sini?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku ada disini sejak permainan ini dimulai,” berkata Kiai Patah sambil tersenyum, “pengaruh sirep telah membuat aku menjadi curiga, sehingga aku telah datang ke banjar. Ternyata bahwa disini memang telah terjadi sesuatu.”

“Jadi Kiai melihat semuanya?” bertanya Mahisa Pukat.

Kiai Patah mengangguk. Dengan langkah satu-satu ia mendekati Sura dan kawan-kawannya. Sambil menepuk bahu Sura. Kiai Patah berkata, “Ternyata kau telah membentur kekuatan yang tidak kau duga sebelumnya.”

Sura tidak menjawab, ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Sementara itu. Kiai Patah pun berkata kepada Ki Sardapa, “Agaknya peristiwa ini memang lebih baik terjadi sekarang. Jika tidak, maka pada saatnya pun tentu akan meledak pula.”

Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jadi ibu memang bersungguh-sungguh.”

“Kau dapat bertanya kepadanya,” desis Kiai Patah.

Ki Sardapa mengangguk. Ia pun sebenarnya sudah yakin bahwa semuanya itu terjadi atas perintah ibu tirinya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak mau menerima hal itu terjadi, ia menganggap ibu tirinya adalah orang yang telah membesarkannya apa pun perlakuan yang diberikan olehnya. Sikap ibu tirinya itu memang menimbulkan persoalan di dalam dirinya. Ibunya yang saat itu belum diketahuinya sebagai ibu tiri, memang memperlakukannya jauh berbeda dari kakak tua yang kemudian menjadi seorang Bekel di padukuhan itu, meskipun kakaknya itu sendiri bersikap baik kepadanya.

Karena Ki Sardapa tidak segera berbuat sesuatu, Kiai Patah pun berkata, “Meskipun kita semuanya sudah yakin, tetapi biarlah orang ini mengucapkan pengakuannya dihadapan kita.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Namun keduanya pun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian bertanya kepada Sura, “Ki Sanak. Katakanlah. Apa yang akan Ki Sanak lakukan disini?”

Sura memandang wajah Mahisa Murti dengan penuh kebencian. Dengan geram ia menjawab, “Kau tidak akan dapat memaksa aku berkata apa pun juga.”

“Kami hanya memerlukan pengakuanmu karena kami sudah tahu apa yang kau lakukan disini. Kau tentu akan membunuh Ki Sardapa. Nah, katakan. Kau mendapat perintah dari siapa dengan upah berapa dan apalagi,” berkata Mahisa Pukat, “kau tidak usah ingkar, karena kami sudah tahu.”

“Jika kalian sudah tahu, kenapa kalian memaksa aku untuk berbicara?” geram Sura.

“Sekedar pengakuan,” bentak Mahisa Pukat, “cepat. Kami tidak mempunyai banyak waktu. Kami akan membawamu kepada Ki Buyut.”

“Kau tidak akan dapat memaksaku untuk berjalan ke rumah Ki Buyut. Aku tidak mampu berbuat apa-apa sekarang,” jawab Sura.

“Kau sudah dapat duduk sekarang. Sebentar lagi kau akan dapat berjalan ke rumah Ki Buyut itu,” berkata Kiai Patah.

“Tidak,” jawab Sura, “belum tentu sehari ini aku dapat memulihkan kekuatanku seperti semula.”

“Meskipun kekuatanmu belum pulih, tetapi kau tentu akan mampu berjalan,” berkata Kiai Patah, “jika tidak, maka kami akan dapat memaksamu.”

“Bagaimana kalian dapat memaksa kami jika kami memang tidak mungkin dapat berjalan?” bertanya Sura.

“Baiklah. Kita lupakan saja hal itu untuk sementara,” berkata Kiai Patah, “sekarang, katakan. Siapa yang telah mengupahmu kemari untuk membunuh Ki Sardapa? Kami sudah tahu bahwa orang itu adalah ibunya. Tetapi kau harus mengucapkan pengakuan itu?”

“Persetan,” geram Sura.

“Baiklah. Jika demikian, maka kedua anak muda itu akan dapat memusnahkan kembali seluruh kekuatanmu. Bukan hanya untuk satu dua hari, tetapi untuk selama-lamanya,” berkata Kiai Patah.

“Gila,” geram Sura.

“Atau seperti yang kalian kehendaki, menunda-nunda waktu sampai matahari terbit, sehingga seisi padukuhan ini akan terbangun. Nah, merekalah yang akan memaksamu untuk berbicara,” berkata Kiai Patah.

Wajah Sura pun tiba-tiba berubah. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Wajah-wajah anak-anak muda yang memandangnya dengan tatapan mata yang mendebarkan. Jika besok matahari terbit dan seisi padukuhan ini terbangun, maka wajah-wajah yang membencinya itu akan semakin bertambah.

Mereka akan datang seperti air yang mengalir masuk ke halaman banjar ini. Mereka akan mengepungnya dengan kawan-kawannya dan menghukumnya menurut cara mereka. Sura menjadi berdebar-debar. Meskipun ia pun yakin, bahwa orang-orang itu sudah tahu untuk siapa ia bekerja. Namun mereka pun memerlukan pengakuannya.

Beberapa saat Sura berpikir. Namun memang tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukan daripada melakukan sebagaimana diminta oleh orang-orang itu. Ia pun sadar, jika ia tidak mengatakannya maka keadaannya akan menjadi semakin buruk. Orang-orang yang menguasai itu akan dapat berbuat apa saja atas dirinya.

Bahkan merampas kembali tenaganya sehingga ia akan terbaring lemah. Jika ia berlaku untuk waktu yang terlalu panjang, maka ia akan menjadi orang yang tidak berguna sama sekali. Bahkan ia hanya akan menyusahkan keluarganya saja, karena ia akan menjadi beban mereka.

Karena itu, maka Sura itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi orang-orang itu memang sudah mengetahuinya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga apapun yang dikatakannya tidak akan berpengaruh sama sekali. Jika orang-orang itu memaksanya mengucapkan pengakuan itu sekedar untuk mengesahkan keputusan yang akan mereka ambil terhadap diri mereka dan sudah tentu orang yang telah menugaskan mereka untuk melakukan pembunuhan.

Karena itu, daripada keadaan mereka menjadi semakin parah, sementara hukuman akan tetap ditimpakan kepada mereka, maka Sura pun kemudian telah mengucapkan pengakuan. Bahwa mereka memang mendapat upah dari ibu Ki Bekel yang ditangkap oleh Ki Buyut untuk membunuh Ki Sardapa.

Namun dalam pada itu, laki-laki yang pernah membawa ibu tiri Ki Sardapa itu dari sisi Ki Bekel yang tua pun berkata dengan nada geram, “Pengecut. Seharusnya kau tidak perlu mengucapkannya. Jika mereka sudah tahu, biar sajalah mereka tahu.”

Sura berpaling kepada laki-laki itu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.

Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mendengar pengakuanmu yang diperkuat oleh laki-laki, kawanmu itu.”

“Aku tidak membenarkannya,” geram laki-laki itu.

“Tidak langsung yang kau ucapkan adalah justru pengakuan,” berkata Kiai Patah.

“Terserah. Aku tidak peduli,” jawab laki-laki itu.

Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Sekarang aku minta ibu Ki Bekel itu dibawa kemari.”

Namun tiba-tiba saja Ki Sardapa memotong, “jangan. Jangan perempuan itu.”

“Ia sudah mengupah orang untuk membunuhmu,” berkata Kiai Patah.

“Aku mengerti. Jantungmu melonjak. Tetapi aku tidak dapat melupakan bahwa perempuan itu telah merawat dan membesarkan aku dengan cara apa pun juga,” berkata Ki Sardapa.

“Satu ujian bagimu,” berkata Kiai Patah, “jika kau kelak menjadi seorang pemimpin padukuhan, maka kau harus dapat menyingkirkan perasaan seperti itu. Siapa pun yang bersalah, ia akan mendapat hukuman bagi kesalahannya. Bahkan bukan ibu tirimu, misalnya, ibumu sendiri. Atau malahan isteri dan anakmu.”

Ki Sardapa menarik nafas panjang. Sebentar lagi ia akan ditetapkan menjadi seorang Bekel. Karena itu, maka ia tidak mencegah lagi ketika Kiai Patah memerintahkan anak-anak muda untuk mengambil ibu tiri Ki Sardapa.

Sementara itu, maka Kiai Patah pun telah mengatur anak-anak muda yang berada di banjar itu. Mereka diminta untuk meninggalkan pendapa dan kembali kepada tugas mereka masing-masing. Demikian pula mereka yang berada di regol, di ruang dalam dan yang semula tidur di serambi pun telah duduk-duduk pula di amben yang besar itu.

Di pendapa tinggal duduk enam orang yang berusaha membunuh Ki Sardapa bersama Ki Sardapa sendiri, sementara senjata-senjata mereka pun telah diletakkan di pangkuan keenam orang itu. Keenam orang itu tidak dapat menolaknya. Bahkan mereka pun tidak dapat menyingkirkan senjata-senjata itu dari pangkuan mereka. Mereka tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk melemparkan senjata mereka sendiri.

Sura dan kelima orang kawan-kawannya mengumpat didalam hati. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sementara itu, perempuan yang mengupah mereka pun akan segera datang.

“Kalian permainkan kami dengan bengis,” geram Sura.

Dari balik dinding terdengar jawaban, “jangan marah Sura. Kau tidak akan mengalami kesulitan apa pun jika perempuan itu nanti datang. Aku justru minta Ki Sardapa bersiap untuk mengelak.”

Suara itu adalah suara Kiai Patah yang akan mengikuti semua peristiwa yang terjadi dengan bersembunyi di balik pintu.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, maka perempuan itu pun telah datang, dibayangi oleh empat orang anak muda. Perlahan-lahan mereka memasuki halaman banjar. Dengan hati yang berdebar-debar perempuan itu melihat para pengawal yang berjaga-jaga. Namun ketika ia mendekati pendapa, maka jantungnya pun menjadi berdebaran. Yang ada di pendapa adalah Sardapa dan enam orang laki-laki dengan berbagai jenis senjata di pangkuannya. Namun agaknya laki-laki itu sama sekali tidak berbuat apa-apa.

“Setan,” geram perempuan itu.

Anak-anak muda yang membawanya telah mendapat banyak pesan dari Kiai Patah, sehingga ketika mereka mendengar perempuan itu mengumpat, salah seorang diantara mereka bertanya, “Ada apa Nyai.”

“Pengkhianat,” perempuan itu masih menggeram. “Aku mengupah mereka.”

“O,” desis pemuda itu. Namun ia pun berkata, “Nyai tidak usah terkejut. Mereka memang berkhianat, karena Ki Sardapa itu menawarkan upah yang lebih tinggi yang Nyai tawarkan kepada mereka. Karena itu, maka mereka pun telah berpihak kepada Ki Sardapa.”

“Demit, thethekan,” perempuan itu marah sekali.

Sementara keempat anak muda itu telah membawa perempuan itu justru tidak ke pendapa. Tetapi mereka hanya lewat di sebelah pendapa menuju ke bagian belakang dari banjar itu. Perempuan itu melihat dengan jelas bahwa Sardapa duduk-duduk di banjar itu bersama beberapa orang laki-laki termasuk Sura.

Namun ketika mereka berada di sisi pendapa, perempuan itu tidak dapat menahan perasaannya lagi. Karena itu, maka ia pun berkata lantang: “He Sura. Kau telah menipu aku he? Kau telah bersedia menerima upahku untuk membunuh Sardapa. Tetapi sekarang kalian justru berkhianat.”

Sura tidak menjawab. Namun anak muda yang mengawalnya itulah yang berkata, “sudahlah Nyai. Apa pun yang terjadi, tidak akan dapat diulang kembali.”

Tetapi perempuan itu tidak segera melangkah meninggalkan pendapa itu. Ia masih saja mengumpat marah, “Kalian memang berjiwa iblis. Kalian sama sekali tidak mempunyai harga diri.”

Ki Sardapa lah yang kemudian bangkit berdiri sambil bergerak selangkah maju. Katanya, “Ibu, marilah. Silahkan duduk bersama kami.”

“Sudah aku katakan,” perempuan itu hampir berteriak, “jangan panggil aku ibu. Aku bukan ibumu.”

“Siapa pun yang sekarang berhadapan dengan aku, tetapi aku menganggap ia adalah ibuku.”

“Kau menghina aku dengan cara yang kotor sekali,” teriak perempuan itu pula, “aku memang akan membunuhmu, karena kau telah memfitnah kakakmu untuk merebut kedudukannya. Buat apa aku kau panggil ibu?”

Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Sudahlah. Persoalan kita akan kita anggap selesai. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi.”

Wajah perempuan itu menjadi merah. Telinganya bagaikan tersentuh api. Ternyata bahwa jantungnya yang membara oleh kemarahan yang tidak terkendali, telah membuatnya mata gelap. Tiba-tiba saja orang itu merebut tombak di tangan anak muda yang mengawalnya. Demikian tiba-tiba dan tidak terduga, sehingga pengawal itu tidak sempat mempertahankannya.

Dengan cepat pula perempuan itu meloncat naik ke pendapa. Dengan kemarahan yang membakar isi dadanya, maka ia telah berlari sambil mengarahkan ujung tombaknya ke dada anak tirinya.

Semua orang terkejut. Sardapa juga terkejut. Namun ia masih sempat mengelak sambil menepuk landean tombak yang hampir saja menusuk dadanya. Dengan demikian maka ujung tombak itu telah bergeser. Sementara ia terdorong oleh kekuatan sendiri, sehingga hampir jatuh tertelungkap.

Namun adalah malang baginya, bahwa ujung tombak itu justru telah mengarah ke punggung laki-laki yang pernah membawanya dan memisahkannya dengan Ki Bekel tua, ayah Ki Sardapa. Tanpa mengelak sama sekali, maka ujung tombak itu-pun kemudian telah menikam punggung orang yang tidak lagi dapat beringsut dari tempatnya itu.

Terdengar teriakan nyaring. Sementara itu, perempuan itu pun terkejut bukan buatan. Ia sendiri telah jatuh pada lututnya, sementara tombaknya yang sudah tertancap di punggung itu terlepas dari tangannya. Sejenak kemudian, laki-laki yang lemah itu sempat berpaling. Dilihatnya wajah perempuan yang pernah dianggapnya sangat cantik itu. Namun tiba-tiba wajah itu telah berubah bagaikan wajah iblis betina yang sangat menakutkan. Tetapi sejenak kemudian segalanya gelap dan bahkan kesadarannya pun menjadi kabur dan hilang sama sekali.

Ibu tiri Sardapa itu menjadi semakin kebingungan. Ia benar-benar telah kehilangan akal. Sementara itu, Sardapa masih saja berdiri termangu-mangu. Sedangkan orang-orang yang telah diupahnya itu masih saja duduk tanpa berbuat sesuatu.

Dalam ketidak pastian dan kehilangan akal, maka tiba-tiba saja perempuan itu telah mencabut tombak yang tertancap di punggung laki-laki yang pernah membawanya pergi dari sisi Ki Bekel itu. Ia menganggap bahwa orang-orang yang diupahnya itu telah berkhianat kepadanya, sehingga dalam keadaan yang baur dan putus-asa, maka ia tidak dapat berpikir lagi. Dengan serta merta, maka ia pun telah mengayunkan tombak itu untuk membunuh Sura yang tidak beranjak dari tempatnya.

Tetapi Ki Sardapa bergerak lebih cepat. Dengan tangkasnya ia telah meloncat dan menyerang perempuan itu dengan kakinya, sehingga perempuan itu terjatuh dan tombaknya terlepas dari tangannya. Dengan tangkas pula Ki Sardapa memungut tombak itu sambil berkata, “Bukan waktunya untuk membunuh. Semuanya ada di tangan Ki Buyut.”

Perempuan itu menggeram. Dengan garang ia berkata, “Jika mereka telah berkhianat, maka biarlah aku sendiri membunuhmu.”

Ki Sardapa termangu-mangu. Dipandanginya perempuan itu bangkit berdiri sambil memandanginya dengan sorot mata yang membara. “Ibu, sudahlah. Jangan kehilangan akal seperti itu,” berkata Ki Sardapa.

Perempuan itu menggeram. Adalah diluar dugaan pula, bahwa ternyata perempuan itu membawa sebuah patrem di bawah kain kembennya. Sambil menarik patrem dari sarungnya, maka perempuan itu berkata, “Patrem ini adalah salah satu dari pusaka Ki Bekel. Ayah Ki Bekel yang telah kau khianati. Ternyata bahwa kau harus mati oleh patrem ini.”

Ki Sardapa termangu-mangu. Patrem yang berujud keris kecil dengan luk tujuh itu memang salah satu pusaka ayahnya. Ternyata bahwa pusaka kecil itu kini berada di tangan ibu tirinya.

“Kau menjadi ketakutan melihat pusaka ini?” bertanya perempuan itu.

Ki Sardapa tidak menjawab. Namun senjata itu memang terlalu kecil bagi ibu tiri Ki Sardapa. Bagaimanapun juga ia berusaha, namun ayunannya, sambarannya dan bahkan sekali-sekali mematuk ke arah tubuh Ki Sardapa, tidak pernah dapat menyentuh kulit Ki Sardapa, karena Ki Sardapa tahu, bahwa goresan kecil dari ujung keris itu akan dapat membunuhnya.

“Ibu,” desis Ki Sardapa, “sudahlah. Sarungkan patrem itu.”

“Persetan,” geram perempuan itu.

Dengan garang ibu tiri Ki Sardapa itu menyerang membabi buta. Sementara itu, kelima orang upahan perempuan itu masih tetap duduk di tempatnya. Mereka memang berusaha untuk beringsut. Tetapi mereka harus mengerahkan sisa tenaga yang dapat mereka bangun kembali. Sementara itu, mereka hanya dapat beringsut setapak demi setapak.

Karena ibu tirinya masih saja menyerangnya, maka Ki Sardapa sekali lagi berteriak, “Ibu. Jangan lakukan itu.”

“Persetan,” geram perempuan itu, “orang-orang yang sudah sanggup membunuhmu ternyata dapat kau bujuk untuk mengkhianati aku. Memang di banjar ini terdapat harta benda dan barang-barang berharga lebih banyak dari yang aku miliki sekarang setelah orang-orangmu merampok milikku itu sekaligus kau fitnah Ki Bekel.”

Ki Sardapa semakin lama memang menjadi semakin kehilangan kesabaran. Karena itu, maka ketika perempuan itu berlari menyerangnya, Ki Sardapa telah bergeser ke samping sambil mendorongnya. Tidak terlalu keras. Tetapi perempuan itu telah jatuh terjerembab. Demikian kerasnya sehingga perempuan itu telah terguling terlempar dari lantai pendapa dan jatuh di halaman.

Ki Sardapa memang terkejut. Dengan tergesa-gesa ia memburunya sambil memanggil, “Ibu, ibu.”

Perempuan yang menelungkup itu tidak bergerak. Tetapi terdengar ia mengerang.

“Ibu,” Ki Sardapa pun telah berlutut di sisinya. Dengan hati-hati ia memutar tubuh yang menelungkup Itu. Namun tiba-tiba saja terdengar suaranya gemetar, “Ibu. Ibu.”

Perempuan itu tidak menjawab. Darah mengalir dari jantungnya. Agaknya patremnya sendiri telah menusuk dadanya di saat ia jatuh menelungkup. Dengan tangan gemetar Ki Sardapa mengangkat perempuan itu dan membawanya naik ke pendapa. Diletakkannya perempuan itu di lantai pendapa. Namun perempuan itu sama sekali sudah tidak bergerak.

Ternyata Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut melihat hal itu. Anak-anak muda yang semula menyingkir pun telah berlari-larian naik ke pendapa pula. Namun kepala mereka pun segera tertunduk. Perempuan itu telah meninggal.

Kiai Patah pun merasa sangat menyesal. Ia adalah orang yang mengatur permainan itu. Tetapi ia tidak mengira, bahwa yang terjadi adalah demikian menggetarkan jantung. Seorang laki-laki mati tertusuk tombak di punggungnya dan perempuan itu meninggal tertusuk patrem di dadanya. Kedua-duanya sama sekali tidak dengan sengaja.

“Aku minta maaf Ki Sardapa,” suara Kiai Patah bernada rendah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ikut menundukkan kepala, sementara Ki Sardapa berkata, “Tidak seorang pun yang pantas dipersalahkan dalam hal ini. Aku juga cenderung menyalahkan diriku sendiri. Tetapi aku juga tidak bersalah. Biarlah Ki Buyut menilai apa yang telah terjadi disini.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sebaiknya kita segera memberikan laporan.”

Di sisa malam itu juga, empat orang telah diperintahkan untuk memberikan laporan kepada Ki Buyut. Dimohon Ki Buyut dapat melihat keadaan yang terjadi di Banjar padukuhan itu.

Ternyata Ki Buyut yang pernah menjadi seorang prajurit itu bertindak tangkas. Ia tidak menunggu lebih lama lagi. Ia berangkat bersama keempat orang yang melaporkan kepadanya, ditemani oleh dua orang pengawal.

Ketika Ki Buyut datang, maka matahari mulai membayang di cahaya fajar. Langit menjadi merah dan padukuhan itu pun telah terbangun. Ayam jantan berkokok bersahutan, sementara induk ayam telah membawa anak-anaknya turun ke halaman. Di beberapa halaman terdengar derit sapu lidi dan di sisi rumah terdengar pula senggot timba yang berderak oleh mereka yang sedang mengisi jambangan di pakiwan.

Beberapa saat Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian Ki Sardapa pun telah memberikan laporan apa yang telah terjadi. Lima orang yang kehilangan tenaga itu telah disisihkan. Mereka telah duduk di amben bambu di serambi samping banjar, dijaga oleh anak-anak muda yang bertugas semalam. Sedangkan dua sosok mayat masih berada di pendapa. Darah yang mengalir dari tubuh mereka telah membeku dan mengotori lantai. Bahkan juga tubuh Ki Sardapa.

Ki Buyut pun telah menerima laporan pula bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah terluka. meskipun lukanya tidak berarti. “Aku hampir tidak percaya bahwa kedua anak muda itu terluka,” berkata Ki Buyut.

“Keduanya tidak mempergunakan segenap ilmunya. Jika mereka berniat, maka keenam orang itu akan dapat dihanguskannya menjadi debu. Tetapi keduanya tidak melakukannya,” jawab Kiai Patah.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling ke serambi dilihatnya kelima orang yang masih merasa dirinya sangat lemah itu. Namun dalam pada itu, maka Ki Buyut pun berkata, “Mudah-mudahan peristiwa ini tidak akan mengganggu rencana besar padukuhan ini untuk mendapatkan seorang pemimpin.”

Kiai Patah lah yang menyahut, “Jika Ki Sardapa tidak dianggap bersalah, maka semuanya akan dapat dilangsungkan.”

“Apakah Kiai Patah berpikir bahwa Ki Sardapa bersalah?” bertanya Ki Buyut.

“Aku justru yakin, bahwa Ki Sardapa berhak melakukan sebagaimana telah terjadi,” jawab Kiai Patah.

Ki Buyut menganguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Jika demikian maka rencana wisudanya tidak akan terpengaruh oleh keadaan ini.”

Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Ki Sardapa ia berkata, “Kita harus menyelesaikan segala persiapan dengan baik. di samping kepahitan peristiwa yang telah terjadi di padukuhan ini. Beberapa saat lagi, kita akan sampai pada hari yang ditunggu itu. Saat purnama naik, sementara tanah masih basah di kuburan.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Bukankah yang terjadi itu bukan yang kita kehendaki. Kitalah yang telah disudutkan oleh keadaan.”

Kiai Patah mengangguk-angguk. Sementara itu, maka katanya, “Segala sesuatunya memang kami serahkan kepada Ki Buyut. Lima orang itu pun akan kami serahkan pula, hukuman apa yang pantas diletakkan atas mereka.”

Ki Buyut memandang kelima orang itu dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia memanggil seorang diantara pengawalnya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah ada yang kau kenal diantara mereka?”

Pengawal itu mengangguk. Katanya, “Dua orang diantara mereka telah aku kenal. Bahkan mereka merupakan orang-orang yang mempunyai nama yang telah cacad. Tetapi kami tidak mempunyai bukti yang cukup untuk menangkap dan menghukum mereka. Apalagi mereka bukan orang-orang padukuhan ini.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan membawa mereka dan mengadilinya. Kita akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahan mereka, meskipun mereka bukan orang padukuhan, bahkan bukan orang Kabuyutan ini.”

“Tetapi perlu diperhitungkan, bahwa kawan-kawannya, tetangga-tetangganya, bahkan isi padukuhan atau Kabuyutannya ikut campur.”

Ki Buyut tersenyum. Katanya, “Aku tidak mencemaskannya. Jika mereka memang bersalah, maka kita tidak usah ragu-ragu. Para bebahu di padukuhan asalnya justru akan berterima kasih kepada kita disini, bahwa kita telah berusaha merubah sikap dan tingkah laku orang-orang padukuhan mereka yang kurang baik.”

Pengawal itu mengangguk kecil. Katanya kemudian, “Kita akan dapat memaksa mereka mengatakan asal mereka.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Kita menunggu mereka sempat mengumpulkan kekuatan untuk berjalan ke padukuhan induk Kabuyutan ini.”

“Terserah kepada Ki Buyut,” berkata pengawalnya.

“Kita disini hari ini untuk ikut membantu kesibukan para bebahu di padukuhan ini,” desis Ki Buyut.

Demikianlah, maka Ki Buyut itu pun kemudian telah dipersilahkan masuk ke dalam banjar. Hari itu, Ki Buyut akan tetap berada di padukuhan yang sedang sibuk. Orang-orang padukuhan itu harus menyelenggarakan dua sosok mayat. Namun ternyata karena kedudukan kedua sosok mayat itu berbeda, maka penyelenggaraannya pun berbeda pula.

Betapapun juga, Ki Sardapa telah memerintahkan membawa tubuh ibu tirinya pulang ke rumah. Segala macam upacara akan berlangsung sebagaimana seharusnya, karena perempuan itu adalah bekas istri dan juga ibu seorang bekel.

Ki Buyut sama sekali tidak berusaha untuk merubah keputusan Ki Sardapa. Dibiarkannya apa yang ingin dilakukan. Menjelang matahari turun, maka Ki Buyut pun telah menganggap pada dasarnya persoalan padukuhan itu sudah selesai. Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk.

Kepada Kiai Patah ia pun berpesan, “Kiai, tolong biarlah para pengawal mengantarkan kelima orang itu ke Kabuyutan. Besok, jika keadaan mereka telah pulih kembali, kami akan memeriksanya. Kami akan menentukan hukuman apa yang paling baik dijatuhkan terhadap mereka.”

“Apakah Ki Buyut akan segera kembali. Bukankah matahari masih belum tenggelam?” bertanya Kiai Patah.

“Justru mumpung belum senja,” jawab Ki Buyut. Lalu “Untuk selanjutnya segala persiapan supaya diteruskan. Aku tidak akan bergeser dari saat yang sudah aku tentukan.”

Ki Sardapa, Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menahan Ki Buyut. Maka Ki Buyut pun akan segera telah dilepas bersama dua orang pengawalnya kembali ke Kabuyutan induk.

Sampai menjelang malam, maka kesibukan di padukuhan itu masih saja nampak. Orang-orang yang semula tidak tahu menahu bahwa telah terjadi sesuatu di banjar di malam harinya, maka di hari itu semua peristiwa telah didengar bukan saja oleh orang-orang padukuhan itu, tetapi bahkan orang se Kabuyutan telah membicarakannya.

Hari-hari yang datang kemudian, dilewati dengan kesiagaan sepenuhnya. Bukan saja di padukuhan yang akan diwisuda seorang Bekel, tetapi di padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Bahkan di seluruh Kabuyutan. Sesuatu yang tidak diinginkan dapat saja terjadi di lingkungan Kabuyutan yang cukup luas itu.

Karena itulah, Ki Buyut telah memerintahkan kepada setiap Bekel untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Orang-orang yang kecewa dan bahkan keluarga dari kelima orang yang tertangkap dan seorang yang terbunuh itu akan membalas dendam. Dengan cara yang jantan, maupun dengan cara yang licik.

Setiap padukuhan telah memiliki kentongan di hampir setiap rumah dan gardu. Jika terjadi sesuatu, maka kentongan itu akan dapat menjadi isyarat untuk memanggil Ki Buyut. Dalam kesiagaan itu, Ki Buyut telah mengumpulkan beberapa ekor kuda yang siap dipergunakan jika keadaan memaksa.

Meskipun demikian Ki Buyut itu pun berpesan kepada Ki Bekel yang baru, “berusahalah agar keduanya dapat berada di padukuhan itu sepanjang mungkin. Jika kau dapat melakukan pendekatan lebih akrab, maka keduanya akan dapat dimohon untuk memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda. Sebenarnya aku yang bekas seorang prajurit akan dapat pula melakukannya. Tetapi jika aku yang melakukannya, maka aku harus bersikap adil bagi semua padukuhan. Dan sebenarnyalah hal ini sudah menjadi rencanaku. Tetapi sudah tentu harus disesuaikan dengan tugas-tugasku yang lain. Jika kau dapat mempersilahkan anak-anak muda itu memberikan latihan-latihan, bagi anak-anak muda, maka sudah barang tentu akan memperingan tugasku.”

Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mohon mencoba Ki Buyut.”

“Usahakan,” berkata Ki Buyut, “namun sudah barang tentu tidak hanya kedua anak muda itu. Tetapi Kiai Patah memiliki kemampuan yang tinggi pula, sehingga akan dapat melakukan sebagaimana kita inginkan dari kedua anak muda itu. Tetapi justru karena kesediaan Kiai Patah untuk tinggal, maka kita tidak perlu tergesa-gesa berbicara dengannya.”

Kiai Patah yang mendengar kata-kata Ki Buyut itu hanya tersenyum saja tanpa menjawabnya. Ki Sardapa lah yang kemudian berkata, “Baiklah Ki Buyut. Kita akan merencanakannya. Mudah-mudahan kedua anak muda itu bersedia tinggal barang beberapa pekan atau bulan di padukuhan kami.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu Katanya, “Bahkan jika ia bersedia, maka ia akan dapat memberikan sesuatu kepada anak-anak muda itu di seluruh Kabuyutan. Usianya yang muda tentu akan memberikan arti tersendiri. Ia akan lebih akrab dengan anak-anak muda daripada kami yang lebih tua. Selain kemudaan mereka, ilmu mereka pun berada jauh diatas kemampuan ilmu kita, kecuali Kiai Patah.”

“Tentu aku pun termasuk orang tua yang tidak akan dapat mengimbangi lagi ketangkasan anak-anak muda,” berkata Kiai Patah.

Ki Buyut lah yang kemudian tersenyum sambil berkata, “Kiai memang lebih senang merendahkan diri. Sudah sekian lama Kiai tinggal di padukuhan itu, tetapi semua orang menganggap Kiai Patah tidak lebih dari seorang tua yang tidak berarti apa-apa. Baru kemudian mata seisi padukuhan itu terbuka setelah peristiwa yang menggemparkan itu terjadi.”

“Hanya satu kesempatan. Kedua anak muda itu pula yang telah membuka kesempatan itu bagiku,” berkata Kiai Patah.

“Jika demikian, maka kalian dapat mencoba,” berkata Ki Buyut. “jika keduanya bersedia, aku akan berbicara dengan mereka. Tetapi kita sudah menyadari sebelumnya, bahwa kedua anak muda itu pada satu saat tentu akan meninggalkan kita, sementara dendam masih mengancam padukuhan itu dari berbagai arah.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Ia pun masih memikirkan kemungkinan yang buruk terjadi di padukuhannya. Orang-orang yang barangkali mendendamnya karena lima orang yang ditangkap di padukuhannya dan bahkan seorang diantaranya telah terbunuh. Bahkan mungkin orang-orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan ibu tirinya.

Sebagai seorang anak yang tidak banyak mendapat perhatian dari ibunya yang ternyata adalah ibu tirinya, Ki Sardapa memang tidak begitu banyak mengenal keluarga ibunya itu. Ia tidak banyak mengenal saudara-saudaranya yang barangkali dapat berbuat sesuatu karena kematiannya. Karena itu, maka kesiagaan tertinggi memang dianggap sangat perlu oleh Ki Sardapa yang kemudian menggantikan kedudukan kakaknya seayah.

Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun kemudian berkata, “Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di padukuhan itu Ki Bekel. Tetapi jika Ki Bekel melihat gelagat yang kurang baik, aku harap Ki Bekel memberikan laporan kepadaku. Jika Ki Bekel dapat mengatasinya sendiri, maka alangkah baiknya. Tetapi jika tidak, maka aku akan dapat membantunya.”

“Terima kasih Ki Buyut,” jawab Ki Bekel, “bahwa tanggung jawab atas keluarga kita sendiri yang melakukan kejahatan serta lima orang yang tertangkap telah diambil alih Ki Buyut, kami sepadukuhan mengucapkan terima kasih.”

“Tetapi aku pun harus bersiap-siap sebagaimana Ki Bekel,” berkata Ki Buyut, “untunglah bahwa aku telah menempa sekelompok pengawal yang memiliki kemampuan yang cukup untuk mengawal padukuhan induk. Tetapi aku belum sempat memperluasnya karena keterbatasan tenaga dan waktu. Mudah-mudahan kedua anak muda itu dan Kiai Patah bersedia membantu, setidak-tidaknya bagi padukuhanmu. Yang menurut pengamatanku, saat ini merupakan padukuhan yang paling rawan. Justru pada saat kau menerima beban pemerintahan di padukuhan itu.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya Ki Buyut.”

“Nah, aku minta kau bersungguh-sungguh dengan kedua anak muda itu. Hal itu akan sangat penting bagi padukuhanmu dan Kabuyutan ini. Jika anak-anak muda di padukuhanmu mampu meningkatkan kemampuannya, maka mereka akan dapat menjadi inti kekuatan seluruh Kabuyutan. Bagaimanapun juga, kita harus mampu menjaga keamanan lingkungan kita sendiri,” berkata Ki Buyut pula.

Demikianlah, dengan membawa pesan itu, Ki Bekel dan Kiai Patah telah kembali ke padukuhan. Bagi keduanya, mempersiapkan kekuatan bagi pengamanan padukuhan memang penting sebagaimana dikatakan oleh Ki Bekel. Apalagi padukuhan mereka memang mempunyai persoalan yang cukup gawat. Justru dengan orang-orang yang terbiasa mempergunakan kekerasan. Karena itulah, maka Ki Buyut telah berpesan dengan sungguh-sungguh dan segera.

Ki Sardapa sendiri masih dalam keadaan murung, ketika banjar padukuhan itu mulai dipasang beberapa kelengkapan keramaian. Ki Sardapa tidak dapat begitu saja melupakan kematian ibunya, yang seakan-akan telah dibunuhnya dengan tangannya itu. Namun waktu yang berjalan terus telah memaksanya untuk mempersiapkan diri, menjabat kedudukan kakaknya yang tersingkir.

“Tidak mustahil bahwa ada juga orang yang berpendapat seperti ibu,” berkata Ki Sardapa.

Tetapi ia harus menekan berbagai macam persoalan yang bergolak di dalam dadanya, karena ia harus menempatkan kepentingan padukuhan itu diatas segala kepentingan pribadinya. Ketika akhirnya saatnya tiba, maka padukuhan itu memang menjadi sangat ramai. Di banjar telah diatur sebaik-baiknya. Tikar pandan yang putih bergaris-garis telah dibentangkan seluas pendapa, pringgitan dan bahkan bagian dalam.

Ki Buyut akan menetapkan dengan wisuda, Ki Sardapa menjadi Bekel di padukuhan itu. Orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak mencemaskan beaya yang harus mereka keluarkan untuk keramaian itu. Mereka telah menyembelih bukan saja kambing, tetapi juga kerbau. Mereka dapat membeli berapa saja yang diperlukan untuk kepentingan keramaian itu, karena di banjar itu terdapat harta benda dan barang-barang berharga yang tidak ada taranya banyaknya.

Keramaian itu menjadi lebih semarak karena langit nampak bersih. Sejak lewat senja, maka cahaya bulan sudah mulai membayang di langit. Ki Buyut dan para Bekel dari beberapa padukuhan di Kabuyutan itu pun telah hadir pula di lewat senja. Mereka duduk di pringgitan bersama beberapa orang tua di padukuhan itu. Sementara para tamu berada di pendapa yang cukup luas.

Di ruang dalam duduk beberapa orang perempuan yang dianggap orang-orang tua pula di padukuhan itu. Diantara mereka adalah orang-orang yang telah menyiapkan berbagai macam sesaji bagi keselamatan wisuda itu.

Demikianlah, ketika bulan purnama yang hinggap di langit menjadi semakin tinggi, maka upacara wisuda pun segera dilakukan. Ki Buyut dengan tanda-tanda kebesaran dan wewenangnya telah menetapkan dan mengesahkan Ki Sardapa menjadi Bekel di padukuhan itu. Kegembiraan pun telah meluap. Ketika Ki Buyut mengalungkan pertanda kedudukan Ki Bekel, maka orang-orang yang ada di pendapa bahkan di halaman banjar itu telah bersorak gemuruh. Demikianlah, maka Ki Sardapa pun kemudian telah duduk pula diantara para Bekel padukuhan di Kabuyutan itu.

Namun sebenarnyalah, bahwa keramaian di banjar itu telah diimbangi pula oleh kesiagaan di setiap padukuhan, termasuk padukuhan yang sedang mengadakan keramaian itu. Beberapa orang anak muda terpaksa tidak ikut meramaikan wisuda itu di halaman banjar, karena mereka harus berada di pintu-pintu gerbang padukuhan serta di gardu-gardu. Tetapi orang-orang yang berada di banjar tidak melupakan mereka, sehingga beberapa orang telah membawa makanan dan minuman bagi mereka.

Karena itu, maka semua orang di padukuhan itu ikut merasakan kegembiraan karena mereka akan mendapatkan lagi seorang pemimpin yang mereka harapkan akan lebih baik dari pemimpin mereka yang terdahulu.

Malam itu, hampir tidak ada orang yang tertidur di padukuhan itu kecuali anak-anak. Semua orang bergembira, sementara di banjar pun telah diselenggarakan beberapa macam pertunjukkan yang menarik bagi orang-orang padukuhan itu.

Ketika kemudian fajar mulai membayang di langit, maka tamu-tamu di banjar pun mulai susut. Ki Buyut pun kemudian telah minta diri pula untuk kembali ke padukuhan induk. Beberapa pesat sempat diberikan kepada Ki Bekel yang baru saja menjabat kedudukannya itu.

“Mungkin Ki Bekel harus mulai tugas Ki Bekel dengan sangat hati-hati,” berkata Ki Buyut.

“Aku akan mencobanya Ki Buyut. Mudah-mudahan rakyat padukuhan ini bersedia membantu tugas-tugas beratku itu,” jawab Ki Bekel.

“Kau telah lama mengamati tugas kakakmu selain langkah-langkah yang sesat itu,” berkata Buyut, “dengan demikian maka sedikit banyak kau sudah memiliki pengalaman untuk itu.”

Ki Sardapa mengangguk. Jawabnya dengan nada rendah, “Mudah-mudahan aku dapat memanfaatkan pengalamanku yang sedikit itu.”

Demikianlah sepeninggal Ki Buyut itu, maka tamu-tamu yang lain pun telah meninggalkan banjar pula. Yang kemudian tinggal adalah anak-anak muda yang bertugas untuk membersihkan banjar itu. Namun dalam pada itu, pada hari itu juga Ki Bekel yang baru bersama Kiai Patah telah diminta untuk datang ke padukuhan induk menemui Ki Buyut. Keduanya telah memenuhi panggilan itu dan datang sebelum tengah hari.

Ternyata Ki Bekel hanya ingin secara resmi mengambil kembali beban yang telah diletakkan di pundak Kiai Patah dan sekaligus menyerahkannya kepada Ki Sardapa. Namun masih dengan permintaan, “Kami tetap berharap bahwa Kiai Patah dan kedua anak muda itu dapat tinggal untuk sementara di padukuhan itu.”

Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak berkeberatan Ki Buyut. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, apakah kedua anak muda itu akan bersedia pula tinggal.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa kedua anak muda itu memang sedang dalam pengembaraan. Sehingga karena itu, agaknya mereka tidak akan dapat tinggal terlalu lama di satu tempat.

Di hari-hari pertama Ki Bekel memegang kendali pemerintahan di padukuhannya, maka ia berusaha untuk mengenali keadaan sebaik-baiknya. Ia berusaha mendengarkan pendapat setiap orang, terutama orang-orang tua. Namun bukan berarti bahwa pendapat anak-anak muda diabaikan. Ki Bekel yang baru itu sadar, bahwa kadang-kadang memang terdapat perbedaan sikap antara yang tua dan yang muda.

Dan Ki Bekel itu pun menyadari, bahwa ia harus mengambil keseimbangan antara kedua ujung yang berbeda itu. Namun dengan pembicaraan-pembicaraan yang saling terbuka dan tulus, maka banyak hal yang dapat mereka pecahkan.

Dalam pada itu, Ki Bekel dan Kiai Patah telah mencoba untuk berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya mengharap agar kedua anak muda itu bersedia meninggalkan arti bagi padukuhan itu.

“Kami sadari, bahwa kalian berdua akan melanjutkan perjalanan. Mungkin kalian akan menuju ke Singasari, Kediri atau kembali ke padepokan kalian, atau kalian akan menempuh pengembaraan yang sangat jauh. Tetapi sebelum itu, padukuhan yang dalam kecemasan ini minta kau menunda kepergianmu. Biarlah anak-anak muda di padukuhan ini sempat membenahi dirinya, sehingga jika benar-benar terjadi sesuatu, mereka tidak akan mengecewakan lagi bagi padukuhan ini,” berkata Kiai Patah.

Kedua anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti tertawa sambil berkata, “Bagaimana harus demikian? Bukankah disini ada Kiai Patah? Apa artinya kami berdua dibandingkan dengan Kiai Patah?”

“Jangan begitu,” sahut Kiai Patah, “katakanlah bahwa aku memiliki ilmu yang pantas aku berikan kepada anak-anak muda di padukuhan ini. Tetapi tentu lebih baik jika aku tidak melakukannya sendiri. Apalagi tentu lebih tangkas kalian yang masih muda daripada orang setua aku ini. Bahkan mungkin ada sesuatu yang sudah kurang sesuai bagi anak-anak muda. Atau bahkan penalaranku dan tanggapan atas keadaan yang dihadapi oleh anak-anak muda sudah jauh tertinggal.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun mereka pun kemudian mengerti, bahwa Kiai Patah memerlukan kawan yang dapat diajak berbincang dan sekaligus ikut membenahi padukuhan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata,

“Baiklah Kiai. Tetapi sebagaimana Kiai Katakan, bahwa pada saatnya yang tidak terlalu lama, kami akan meninggalkan padukuhan ini.”

“Kami mengerti,” jawab Kiai Patah, “Ki Sardapa dan seisi padukuhan ini pun mengerti.”

Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa selain kesediaan mereka merangkul tugas yang akan diletakkan diatas bahu mereka, maka mereka pun masih dibayangi oleh satu keinginan untuk menemukan satu dua orang remaja yang akan dapat mereka bimbing dan mereka percaya untuk mewarisi ilmu mereka seutuhnya sehingga akan dapat menjadi inti kekuatan dari perguruannya. Dan yang kelak akan dapat menggantikan pimpinan pada jalur perguruannya.

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk beberapa waktu tetap berada di padukuhan itu. Bersama Kiai Patah dan Ki Sardapa mereka telah menyusun rencana untuk meningkatkan kemampuan anak-anak muda padukuhan itu. Namun demikian mereka mulai dengan rencana itu, maka yang mereka cemaskan pun telah terjadi. Selagi Ki Bekel berada di serambi rumahnya, menjelang senja, maka telah datang seorang yang kurang dikenalnya, langsung naik ke pendapa dan memanggil namanya.

“Sardapa. Sardapa. Kau dengar suaraku?” bertanya orang itu.

Ki Sardapa terkejut. Ia pun segera bangkit dan menuju ke pendapa. Langkahnya tertegun ketika dilihatnya orang yang tidak dikenalnya itu berdiri tegak sambil memandanginya dengan tajamnya.

“Sardapa,” geram orang itu.

Ki Sardapa melangkah mendekat. Tetapi ia sadar, bahwa sikap orang itu mungkin dapat berbahaya bagi dirinya. Karena itu maka Ki Sardapa pun menjadi sangat berhati-hati. “Siapakah kau?” bertanya Ki Sardapa.

“Kau tidak akan mau mengenali aku lagi,” berkata orang itu, “itu baru dalam kedudukanmu sebagai Bekel di padukuhan ini. Itu pun kedudukan yang telah kau rebut dari kakakmu dengan sikap yang licik. Apalagi jika pada suatu saat kau sempat menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Maka kau tidak akan dapat melihat orang lagi.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Bekel, “apakah sebenarnya yang kau kehendaki?”

“Jangan berpura-pura,” jawab orang itu, “kau dapat memperlakukan ibumu, orang yang telah mengasuhmu dan membesarkanmu dengan licik dan kasar. Bahkan kau telah membunuhnya. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat seperti itu atasku.”

“Sebut, siapakah kau?” suara Ki Sardapa lantang.

Orang itu tertawa kecil. Katanya, “Baiklah. Jika kau memang tidak mau mengenalku lagi, biarlah aku memperkenalkan diriku. Aku adalah pamanmu yang pada saat kau kecil, ikut membinamu dan membesarkanmu. Aku meninggalkan ibumu di saat kau mulai tumbuh. Namun akhirnya aku mendengar, bahwa perempuan yang menghidupimu itu telah kau bunuh.”

Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa akhirnya akan ada orang yang datang kepadaku dengan alasan sebagaimana kau katakan. Aku tidak tahu, apakah yang kau katakan itu benar atau tidak, tetapi katakan, apa yang kau kehendaki sekarang?”

Orang itu memandang Ki Sardapa dengan tatapan mata yang tajam. Dengan kata-kata kasar ia berkata, “Jadi kau benar-benar lupa kepadaku?”

Ki Sardapa menjadi ragu-ragu. Ia mencoba mengingat-ingat wajah orang itu. Tetapi ia tidak berhasil menemukan ingatannya kembali tentang orang itu.

“Ketika aku pergi, kau bukan bayi lagi. Kau sudah tumbuh menjadi semakin besar,” berkata orang itu, “tetapi apa boleh buat. Jika kau tidak dapat mengingat lagi, aku memang tidak memerlukan ingatanmu itu. Yang aku kehendaki adalah, bahwa kau harus meninggalkan padukuhan ini. Kau boleh pergi ke maha saja. Kemudian kau tidak boleh menuntut apa pun juga atas warisan ayahmu.”

“Kau ini berbicara tentang apa?” Ki Sardapa menjadi semakin marah, “aku adalah Bekel di padukuhan ini. Itu sudah ditetapkan. Kau tidak dapat merubah keputusan Ki Buyut begitu saja. Atau jika kau memang menghendaki, pergilah kepada Ki Buyut. Beritahukan alasanmu atas tuntutanmu itu. Jika yang kau katakan masuk akal bagi Ki Buyut, mungkin permintaanmu akan dipenuhi.”

“Aku tidak berurusan dengan Ki Buyut,” berkata orang itu, “aku minta kau pergi dari padukuhan ini atau membunuh diri. Itu saja.”

“Persetan. Kau kira aku ini apa?“ Ki Sardapa benar-benar menjadi sangat marah, “aku minta kau sekarang juga meninggalkan rumah ini. Atau aku panggil para pengawal?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku memang akan pergi. Apa pun jawabmu. Tetapi kau tahu, bahwa aku tidak pernah mengakui pendapat orang lain. Siapa yang menolak perintahku, maka ia akan diselesaikan. Tentu tidak seketika. Tetapi mungkin besok atau lusa, maka kau tentu akan membunuh dirimu sendiri.”

“Kau tidak perlu menakut-nakuti aku. Mungkin kau akan berhasil jika aku menjadi ketakutan dan putus asa, sehingga aku akan benar-benar membunuh diri. Tetapi aku tidak takut, karena batas terakhir dari hidupku adalah kematian. Bagiku lebih baik mati sebagaimana seorang laki-laki daripada membunuh diri. Nalarku dapat membuat perhitungan bahwa akibatnya akan sama,” berkata Sardapa.

“Tentu tidak,” berkata orang itu, “jika kau membunuh diri, maka kau akan mati dengan cepat. Tetapi jika kau mencoba mengelak, justru kau akan mengalami kesulitan menjelang saat kematianmu. Kau akan mati dalam waktu sepuluh hari, bahkan lebih. Kau akan mengalami siksaan yang belum pernah kau bayangkan.”

Terasa kulit Ki Sardapa memang meremang. Tetapi ia justru berusaha untuk tertawa. Katanya, “Kau salah langkah Ki Sanak. Aku bukan pengecut sebagaimana kau duga. Jika kau ingin membuat satu permainan yang menarik, maka aku akan melayanimu. Aku atau kau yang akan mengalami kesulitan untuk mati.”

“Gila. Kau tentang kuasaku?” geram orang itu.

“Kau yang menentang kuasaku,” jawab Ki Bekel. Lalu katanya, “Pergi kau, atau aku akan menghukummu dengan hukuman picis. Ancamanmu menumbuhkan keinginan di hatiku untuk mencobanya. Sementara itu kaulah yang ada disini sekarang, sehingga agaknya kau akan dapat menjadi sasaran percobaan yang tentu akan sangat menarik itu.”

“Anak iblis,” geram orang itu, “jangan menyesal jika kau akan benar-benar mengalaminya.”

Ki Sardapa pun tiba-tiba saja memandang ke regol halaman. Katanya, “Tentu ada pengawal di regol. Aku dapat memanggilnya dengan isyarat. Sebentar saja halaman rumah ini akan penuh dengan anak-anak muda dan pengawal. Mereka akan senang sekali melakukan percobaanku itu.”

“Aku akan datang dalam waktu dekat. Aku tidak dapat mengampuni kau lagi,” geram orang itu pula. Lalu, “jangan kau anggap aku bergurau. Aku akan benar-benar membunuhmu dengan cara yang sudah aku katakan.”

Ki Sardapa tidak menjawab. Ia hanya memandangi saja orang yang bergegas meninggalkan pendapa itu. Ketika orang itu keluar dari regol halaman, Ki Bekel memang melihat seorang anak muda yang melangkahi pintu regol dan menuju ke gardu kecil di sebelah regol itu. Ketika ia kemudian duduk, maka seorang kawannya telah masuk pula ke halaman dan duduk di sampingnya.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sadar, bahwa ia benar-benar dalam bahaya. Orang itu mungkin memang sengaja mengaku keluarganya untuk tujuan tertentu. Tetapi Ki Bekel itu masih juga ragu-ragu. Hampir diluar sadarnya jika ia pun kemudian duduk di pendapa bersandar tiang. Ia mencoba mengingat-ingat orang itu. Tentu di masa ia masih kecil.

Memang ada beberapa orang pernah dikenalnya di masa ia masih anak-anak. Ki Sardapa mengerutkan keningnya jika tiba-tiba saja ia memang teringat seseorang. Seorang diantara paman-pamannya yang pernah diusir oleh ayahnya dari rumah itu.

“Agaknya orang itulah yang telah pernah diusir ayah waktu itu,” berkata Ki Bekel. Ketika ia menajamkan ingatannya, maka rasa-rasanya ia memang melihat wajah orang itu.

Tetapi karena waktu ia memang masih terlalu kanak-kanak, maka ia tidak tahu kenapa orang itu diusir oleh ayahnya. Namun itulah agaknya sebabnya bahwa orang itu tidak pernah lagi nampak datang ke rumahnya sampai ia menjadi dewasa sepenuhnya.

“Sayang, aku tidak ingat lagi, apa sebabnya ia diusir oleh ayah pada waktu itu. Tetapi agaknya padukuhan ini perlu disiapkan sebaik-baiknya,” berkata Ki Bekel kepada diri sendiri.

Kedatangan orang itulah yang kemudian menjadi bahan pembicaraan para bebahu padukuhan itu. Ki Bekel telah mengatakan apa yang diingatnya tentang orang itu. Bahkan Ki Bekel telah pula melaporkan kepada Ki Buyut.

Ki Buyut menaruh perhatian yang besar pada laporan itu. Bahkan ia pun berkata, “Padukuhan itu memang sedang mendapat ujian yang datang seperti ombak di laut. Susul menyusul. Tetapi kau jangan berkecil hati. Kau harus berusaha mengatasinya. Kau harus berusaha mendapatkan keterangan tentang orang itu.”

“Ke mana aku harus mendapatkan keterangan? Jika benar orang itu adalah orang yang sudah pernah diusir oleh ayahku, maka aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan apa pekerjaannya sekarang,” jawab Ki Bekel.

“Barangkali kau tahu salah seorang diantara keluarga ayahmu atau ibu tirimu itu? Nah, kau dapat menelusurinya. Barangkali kau menemukan tempat tinggalnya. Atau keterangan tentang orang itu.”

Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin aku dapat melakukannya.”

Petunjuk Ki Buyut itulah yang kemudian memberikan kemungkinan kepada Ki Bekel untuk menemukan orang yang pernah mengancamnya itu. Namun Kiai Patah tidak membiarkannya pergi seorang diri untuk melakukan penyelidikan itu. Karena itu, maka ia pun telah minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengawaninya jika Ki Bekel akan mengusutnya.

Ternyata bahwa Ki Bekel masih dapat mengingat beberapa orang keluarga ayah dan ibu tirinya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menemui mereka, barangkali ada diantara mereka yang dapat memberikan keterangan tentang seseorang yang pernah diusir oleh ayahnya pada saat ia masih kecil.

Tetapi ternyata bahwa usahanya tidak berjalan dengan rancak. Ketika ia datang ke sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh, namun terletak di Kabuyutan lain, maka sambutannya sangat menyakitkan hati. Orang yang dikunjungi itu adalah salah seorang adik ibu tirinya, yang menganggapnya bahwa ia adalah orang yang telah membunuh ibu tirinya itu.

“Kau masih juga berani datang kemari anak durhaka?” bertanya adik ibu tirinya itu.

“Aku ingin menjelaskan apa yang telah terjadi,” jawab Ki Sardapa.

“Omong kosong. Kau akan mengurangi kesalahanmu dengan ceritera yang barangkali mengharukan tentang kau?” geram adik ibu tirinya itu, “seharusnya kau malu atas apa yang pernah kau lakukan itu. Ibumu itu sudah tua. Apalagi seorang perempuan. Bagaimana mungkin kau sampai hati membunuhnya.”

“Aku tidak membunuhnya,” desis Ki Sardapa.

“Apapun dapat kau katakan. Tetapi orang-orang padukuhanmu mengatakan, bahwa kau dorong perempuan itu sehingga ia terjatuh. Kemudian kau telah menusuknya sebelum perempuan itu sempat bangkit,” berkata orang itu.

“Bohong. Aku memang mendorongnya karena ibu telah menyerang aku dengan patrem. Pada saat ia jatuh, patrem itulah yang mengenainya sendiri,” jawab Ki Bekel.

“Tutup mulutmu. Atau jika kau memang jantan, kau dapat mencoba melakukannya atas aku,” geram orang itu.

Ki Bekel tidak mau menambah lawan. Karena itu, maka ia-pun telah meninggalkan rumah itu. Betapapun hatinya merasa tersinggung. Tetapi Ki Bekel masih mempunyai paman yang lain. Adik ayahnya. Mungkin orang ini tahu, apa yang telah terjadi.

Dengan jantung yang berdebar-debar Ki Bekel memasuki halaman rumah pamannya. Ketika ia mendekati tangga pendapa, seseorang telah menyapanya. Agaknya orang itu adalah salah seorang pembantu pamannya.

“Kau cari siapa Ki Sanak,” bertanya pelayan itu.

“Aku mencari paman Panonjaya. Apakah ia ada di rumah?” bertanya Ki Bekel.

“Ada Ki Sanak. Tetapi siapakah nama Ki Sanak?” bertanya pelayan itu.

“Namaku Sardapa. Paman tentu mengenalnya,” jawab Ki Bekel.

Pelayan itu mengangguk-angguk. Lalu ia pun mempersilahkan Ki Sardapa dan kedua anak muda yang menyertainya untuk naik ke pendapa. Sejenak kemudian, maka orang yang disebut Panonjaya itu telah keluar dari ruang dalam. Ia terkejut ketika melihat Ki Sardapa. Namun ia berjalan juga mendekat dan duduk pula bersama Ki Sardapa, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Apa keperluanmu kemari?” bertanya orang itu.

“Aku mempunyai sedikit keperluan paman?” jawab Ki Bekel.

“Apakah kau sudah merasa puas, bahwa kau sekarang sudah menjadi Bekel?” bertanya pamannya itu.

Ki Bekel termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah maksud paman?”

“Maksudku jelas. Aku ingin mengetahui perasaanmu setelah kau berhasil menduduki jabatan yang kau inginkan itu,” pamannya menjelaskan.

Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengerti maksud pamannya itu. Meskipun tidak sekarang adik ibu tiri-nya, namun nadanya hampir sama. Pamannya juga menganggap bahwa ia telah memfitnah kakaknya dan merebut kedudukannya. Kemudian membunuh ibu tirinya. Karena itu, maka Ki Sardapa pun bertanya, “Paman, aku ingin memberikan penjelasan tentang peristiwa yang terjadi atas keluargaku.”

Ki Panonjaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Apa yang akan kau jelaskan. Semuanya sudah jelas. Semua orang sudah tahu apa yang terjadi. Kau bunuh ibumu, kau singkirkan dahulu kakakmu, kemudian kau menjadi seorang Bekel. He, Sardapa. Aku justru ingin bertanya kepadamu, apakah nilai kedudukan seorang Bekel lebih dari nilai seorang kakak dan seorang ibu?”

“Jadi paman juga menilai seperti itu?” bertanya Sardapa.

“Lalu apa yang harus aku katakan tentang kau? Tentang langkah-langkah yang kau ambil selama ini untuk merintis jalan kedudukanmu yang sekarang? Sardapa, apa artinya kedudukan Bekel bagimu sehingga kau korbankan kakak dan ibumu? “ suara Ki Panonjaya menjadi semakin keras.

“Dengar Paman,” berkata Ki Sardapa, “aku ingin menjelaskannya. Terserah kepada Paman, apakah Paman percaya, atau tidak.”

Ki Panonjaya mengerutkan dahinya. Sementara Ki Sardapa berusaha untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Tanpa ada yang dikurangi dan tanpa ada yang ditambah.

“Aku tahu bahwa aku adalah anak tiri adalah justru dari ibu sendiri yang mengatakannya. Ibu mengatakan, bahwa ayah telah terjerat oleh perempuan liar dan lahirlah aku. Sementara ibuku yang sebenarnya meninggal, maka atas kebaikan hati ibu tiriku. aku telah dipeliharanya,” berkata Ki Sardapa.

“Itu tidak benar. Bukan salah ayahmu semata-mata. Tetapi justru karena ibu tirimu itu telah meninggalkannya dan pergi bersama seorang laki-laki lain.” sahut Pamannya.

Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia sudah mengetahuinya dari orang tua yang menjadi pemomong-nya. namun ia berkata, “Aku tidak tahu. apakah benar ayahku tertarik kepada perempuan liar atau ibu tiriku yang meninggalkannya, tetapi yang aku kenal ia adalah ibuku.”

“Ibu tirimu itulah yang liar,” berkata Ki Panonjaya.

“Nah,” berkata Ki Sardapa, “terserah kepada Paman, apakah Paman mempercayai aku. Sebenarnya Paman dapat membuktikan kebenaran kata-kataku dengan menghubungi Ki Buyut. Aku memang tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang Bekel. Tetapi karena tidak ada orang lain. maka aku terpaksa menerimanya. Bagiku, sebagaimana paman katakan, apakah arti kedudukan seorang Bekel dibandingkan dengan harga keluargaku.”

Ternyata Ki Panonjaya mulai berpikir. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Sardapa. Sebenarnyalah aku mengenal watak ibu tirimu. Dengan demikian, maka apa yang kau katakan itu memang masuk akal.”

“Aku harap Paman menghubungi orang-orang penting di padukuhanku, agar Paman tidak ragu-ragu,” berkata Ki Sardapa.

Ki Panonjaya itu pun akhirnya mengangguk-angguk. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau hanya ingin sekedar menjelaskan tentang kematian ibumu dan tersingkirnya kakakmu?”

“Masih ada hal yang penting yang ingin aku tanyakan kepada paman,” berkata Ki Sardapa.

“Tentang apa?” bertanya Ki Panonjaya pula.

Ki Sardapa pun kemudian menceriterakan tentang seorang laki-laki yang datang padanya, mengaku sebagai pamannya. Mula-mula Ki Sardapa tidak dapat mengingatnya, namun akhirnya ia menduga, bahwa orang itu adalah orang yang pernah diusir oleh ayahnya. Karena itu maka ia pun bertanya, “Apakah paman mengetahui tentang seseorang yang pernah diusir oleh ayah?”

Ki Panonjaya mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Itu sudah terjadi lama sekali. Kau memang masih kecil. Tetapi mungkin kau memang dapat menjadi lupa-lupa ingat.”

“Jadi ayah memang pernah mengusir seseorang?” bertanya Ki Sardapa pula.

“Jadi adik ayah pula seperti Paman?“ suara Ki Sardapa meninggi.

Tetapi Ki Panonjaya menggeleng. Katanya, “Bukan adik ayahmu. Tetapi salah seorang diantara adik-adik ibu tirimu. Ibu tirimu mempunyai dua belas orang bersaudara. Tiga diantaranya menjadi orang baik-baik. Jika ibu tirumu masih termasuk orang yang baik, maka ibu tirimu adalah orang keempat. Tetapi sembilan diantaranya adalah orang-orang bertabiat buruk. Yang paling buruk adalah orang yang telah diusir oleh ayahmu itu. Jadi ingatanmu itu benar, bahwa ayahmu pernah mengusir seseorang. Tetapi menurut keteranganmu, ada kemungkinan lain, bahwa orang itu bukan orang yang diusir oleh ayahmu, tetapi mungkin pamanmu yang lain diantara yang sembilan orang itu. Sebagian besar dari mereka memang tidak lagi pernah berkunjung ke rumah ayahmu. Apalagi sebelum ayahmu meninggal. Mungkin setelah ayahmu meninggal dengan warisan harta benda yang banyak, mereka mulai berhubungan lagi dengan kakak dan terutama ibumu.”

“Aku tidak pernah melihat mereka berhubungan dengan kakak,” berkata Ki Sardapa.

“Mungkin kakakmu mewarisi ketegasan ayahmu. Namun ternyata menurut keteranganmu, ia mewarisi kelicikan ibunya dengan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, untuk dirampok barang-barang berharganya yang mereka bawa,” berkata Ki Panonjaya.

“Jadi bagaimana menurut pertimbangan Paman tentang orang itu? Sebenarnya aku dapat berlindung dibawah kekuatan padukuhan dan bahkan Kabuyutanku. Tetapi jika persoalan itu tidak diselesaikan dengan tuntas, maka pada satu saat akan meledak,” berkata Ki Sardapa.

“Jadi bagaimana maksudmu?“ justru Ki Panonjaya lah yang bertanya.

Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Sebenarnya aku tidak ingin terjadi perselisihan yang lebih luas. Tetapi orang itu mengancamku. Karena itu, aku ingin mengetahui dimanakah rumahnya dan mungkin aku dapat menemuinya dan menjelaskan persoalannya.”

“Agaknya mereka sulit untuk mempercayaimu. Aku pun harus berpikir ulang, apakah aku dapat percaya kepadamu atau tidak. Tetapi keteranganmu agaknya memang masuk akal. Bahkan seperti katamu aku dapat meneliti kebenarannya pada Ki Buyut dan orang-orang tua di padukuhanmu,” berkata Ki Panonjaya, “tetapi jika paman-pamanmu itu adalah keluarga ibumu, yang ternyata memang ibu tirimu itu, agaknya kau akan mengalami banyak kesulitan. Pamrih pribadi dan dendam akan bercampur baur diantara mereka. Mereka tentu ingin mewarisi kekayaan kakakmu, dan sekaligus menyingkirkanmu dari kedudukan itu.”

“Kedua-duanya tidak lagi akan dapat terpenuhi,” jawab Ki Sardapa, “harta benda kakang Bekel sebagian besar telah dibawa ke banjar, diserahkan bagi kepentingan padukuhan. Sedangkan kedudukan pun tidak akan mungkin jatuh kepada salah seorang adik ibu tiriku. Jika aku mati, maka yang paling berhak adalah sudah barang tentu saudara-saudara ayahku. Keturunan derajad mengalir ini menurut aliran darah ayahku..."

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.