Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 51

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 51
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG bertubuh tinggi tegap itu pun kemudian mengedarkan pandangannya berkeliling. Ia masih melihat banyak orang yang berkerumun. Namun semakin jauh. Mereka pun nampaknya merasa sangat cemas dan wajah mereka pun nampak tegang. Sementara itu yang berlarian mengambil senjata masih belum datang.

Tetapi dihadapan orang-orang yang dalam sikap mereka sehari-hari sangat menghormatinya, ia tidak mau direndahkan oleh anak muda itu. Karena itu, maka betapapun hatinya berdebar-debar, namun akhirnya orang bertubuh tinggi itu telah mengangkat pedangnya pula.

“Bagus,” berkata Mahisa Pukat, “kita dapat segera mulai.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mulai mengangkat pedangnya. Mahisa Pukat lah yang mula-mula menjulurkan senjatanya. Tidak terlalu cepat, langsung menggapai dada orang itu. Tetapi orang itu sempat bergeser sambil menangkis. Demikian kerasnya ia menangkis serangan itu dengan mengerahkan segenap kekuatannya, sehingga pedangnya telah bergeser jauh ke samping.

Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan demikian ia merasa bahwa seolah ia memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari anak muda itu, sehingga hatinya yang sudah kecut mulai menjadi kembang kembali. Bahkan orang itulah yang kemudian dengan garangnya telah menyerang Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat pun surut beberapa langkah ketika pedang itu terayun-ayun dengan derasnya. Sikap Mahisa Pukat itu ternyata sudah memancing keberanian orang itu. Dengan kekuatannya yang besar, orang itu telah menyerang Mahisa Pukat dengan mengayun-ayunkan senjatanya.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Serangan yang deras dan cepat dengan dorongan tenaga yang kuat itu, telah menjerat lawannya dalam perkelahian yang keras. Namun rencana Mahisa Pukat memang ingin menunjukkan bahwa kekuatan orang tidak banyak berarti baginya. Ketika orang bertubuh tinggi itu mengayunkan pedangnya dengan sepenuh kekuatannya, maka Mahisa Pukat telah menangkis dan bahkan membenturnya.

Benturan itu tidak diduga-duga oleh orang bertubuh tinggi dan tegap itu. Karena itu, maka ia terkejut bukan buatan. Benturan itu demikian kerasnya sehingga pedang di tangan orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah terlepas dari tangannya. Orang yang tinggi tegap itu terkejut bukan buatan. Tangannya terasa sakit sekali. Rasa-rasanya kulit telapak tangannya telah terkelupas.

Ketika ujung pedang Mahisa Pukat terjulur ke dadanya, maka ia pun telah meloncat surut. Wajahnya menjadi pucat kembali. Sementara orang-orang lain yang mengambil senjata itu masih belum datang lagi. Mahisa Pukat melihat wajah yang pucat itu. Tetapi ia masih saja mengacukan pedangnya. Bahkan kemudian ia pun berkata,

”Nah, sebagaimana kau lihat, bukan akulah yang akan mati. Tetapi kau.”

Orang itu menjadi gemetar. Sementara Mahisa Pukat berkata dengan suara lantang, “Ambil pedangmu. Kita lanjutkan perkelahian ini. Kita akan membuktikan apakah kita masing-masing memang prajurit-prajurit yang tangguh.”

“Aku bukan prajurit,” berkata orang itu, “aku orang biasa. Orang padukuhan itu.”

“Kau telah berani berbuat. Kau harus berani bertanggung jawab. Aku pun bukan prajurit dalam arti yang sebenarnya. Tetapi aku bertanggung jawab atas perbuatanku,” Mahisa Pukat berhenti sejenak, lalu “Cepat, ambil pedangmu atau kau akan mati tanpa arti sama sekali. Jika kau melawan dan mati, maka orang-orang yang menyaksikan kematianmu akan berbangga bahwa kau mati dengan tangan terentang dan dada tengadah, tidak dengan tangan yang kuncup dan wajah menunduk.”

Orang itu menjadi semakin gemetar. Tetapi Mahisa Pukat-pun kemudian membentak sehingga orang itu terkejut, “Cepat. Ambil pedangmu.”

Orang yang terkejut itu tanpa sesadarnya telah bergeser maju dan menunduk untuk menggapai pedangnya yang terlepas.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “kita sudah sama-sama bersenjata. Lawan aku. Kau atau aku yang mati di pertempuran ini.”

“Jangan aku yang mati,” berkata orang itu dengan suara bergetar.

“Itu terserah kepadamu. Jika kau mampu melindungi dirimu sendiri, maka kau tidak akan mati,” geram Mahisa Pukat. Lalu “Tetapi ingat, aku pun tidak mau mati.”

Wajah orang itu menjadi semakin pucat dan tubuhnya menjadi semakin gemetar. Namun akhirnya ia pun mengangkat pedangnya perlahan-lahan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan nyaring di kejauhan. Semakin lama semakin dekat seperti suara sekelompok orang yang memburu tupai.

Orang berjambang panjang itu bagaikan tergugah dari mimpi yang buruk. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya orang-orang yang berlari-larian sambil mengacu-acukan senjatanya. Wajah yang pucat itu tiba-tiba menjadi merah kembali. Bagaimanapun juga kemampuan bermain senjata, tetapi orang-orang padukuhan yang jumlahnya tidak terhitung itu tentu tidak akan dapat dilawannya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat justru menjauhi Mahisa Pukat sambil berteriak, “Mereka telah datang. Nah, menyerahlah sebelum kalian kami hancurkan.”

Mahisa Pukat justru tersenyum mendengar ancaman itu. Katanya dengan nada rendah, “Ternyata kau benar-benar seorang pengecut. Kau hanya berani jika kau berada di antara banyak orang yang yakin akan membantumu.”

“Persetan,” teriak orang itu, “cepat, menyerahlah.”

“Kembalikan senjata itu. Cepat,” berkata Mahisa Pukat, “senjata itu itu akan dipergunakan sendiri oleh pemiliknya untuk melawan kalian semuanya.”

“Buat apa aku mengembalikan senjata ini,” jawabnya, “aku akan mempergunakan senjata ini untuk membunuhmu.”

Mahisa Pukat menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun dengan nada berat ia berkata, “Kematian akan berserakan di tempat ini. Aku sudah memperingatkan kalian. Kau sendiri tahu, bahwa aku dapat berbuat banyak atasmu jika aku mau. Nah, dalam pertempuran melawan orang yang tidak terhitung jumlahnya, maka aku terpaksa benar-benar membunuh.”

“Jangan mengigau,” geram orang bertubuh tinggi itu.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berlari-lari sambil mengacu-acukan senjata itu menjadi semakin dekat. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti pun mendekatinya sambil berkata, “Kita benar-benar dalam kesulitan. Jumlah itu terlalu banyak. Sementara itu, kita tidak dapat membunuh orang-orang yang tidak tahu tentang apa yang mereka kerjakan sendiri.”

“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti termangu-mangu. Ia memang merasa kebingungan menanggapi keadaan jang tidak pernah diperhitungkannya lebih dahulu itu. Sementara itu orang-orang yang mengacu-acukan senjata itu sudah menjadi semakin dekat.

“Kita harus mengambil sikap,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk kecil. Dalam pada itu orang-orang yang bersenjata itu pun menjadi semakin dekat. Mereka berteriak-teriak semakin keras sambil mengacu-acukan senjata mereka.

Orang-orang padepokan Suriantal yang mengawal pedati itu pun telah bersiap pula. Mereka menunggu perintah apa yang harus mereka lakukan. Namun mereka pun menjadi berdebar-debar melihat orang sepadukuhan telah datang sambil membawa senjata.

“Mungkin kita dapat menahan mereka dengan benar-benar bertempur dan tentu saja dapat terjadi bahwa ujung senjata kita akan melukai dan dapat membunuh,” berkata salah seorang di antara para pengawal itu.

“Apakah kita harus membunuh orang-orang padukuhan itu?” berkata seorang yang lain, “mungkin dahulu, kita tidak mempunyai terlalu banyak pertimbangan seperti sekarang. Namun sekarang kita tidak dapat berbuat seperti itu lagi. Ada sesuatu yang menahan perasaan kita.”

Orang-orang padukuhan yang bersenjata itu semakin lama semakin menjadi semakin dekat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum memberikan perintah apapun. Dengan demikian, orang-orang padepokan itu pun menjadi gelisah. Jika mereka bertempur sebagaimana seharusnya untuk mencegah usaha orang-orang padukuhan yang ingin membuka kerudung patung di pedati itu, maka mungkin mereka pun akan terpaksa membunuh. Tetapi jika mereka membiarkan orang-orang padukuhan itu membuka kerudung itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan menjadi sangat kecewa.

Ketika orang-orang padukuhan itu menjadi semakin dekat pula, maka Mahisa Pukat pun berdesis, “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika kita terlambat mengambil sikap, maka kematian akan terserak di tempat ini, hanya karena orang-orang itu ingin tahu apa yang berada di bawah kerudung itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita cegah mereka mendekat.”

“Dengan apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apa yang kita miliki,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berdesis, “Kita potong jalan mereka.”

“Ya. Jika mereka terkejut, maka mereka akan mengurungkan niatnya,” berkata Mahisa Murti.

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera bersiap. Mereka tidak ingin melihat orang-orang padukuhan yang tidak mengerti ujung pangkal dari persoalan yang sebenarnya terjadi itu menjadi korban.

Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, Mahisa Pukat masih teringat untuk memberikan isyarat kepada para pengawal pedatinya. Katanya, “jangan berbuat sesuatu jika tidak terpaksa sekali.”

Para pengawal itu saling berpandangan. Mereka tidak begitu mengerti apa yang akan terjadi. Bahkan prajurit Singasari kakak beradik yang juga telah memahat patung itu bertanya, “Apa yang akan kalian lakukan? Membiarkan patung itu dibuka dan tidak lagi menghormati Sri Maharaja yang akan menerima patung itu?”

“Kami berdua akan berusaha menghentikan mereka,” jawab Mahisa Murti.

“Dengan cara bagaimana?” bertanya pemahat itu.

Tetapi Mahisa Murti tidak sempat memberikan penjelasan. Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin dekat. Sejenak kemudian maka terjadilah yang tidak pernah dimengerti oleh orang-orang padukuhan. Ketika mereka berlari-lari semakin dekat sambil mengacu-acukan senjata mereka, maka tiba-tiba tanah dihadapan kaki mereka bagaikan telah meledak. Tanah, pasir dan bebatuan terlempar berhamburan.

Orang-orang padukuhan yang sedang berlari-lari itu terkejut bukan buatan. Dengan serta merta mereka telah berhenti berlari-lari. Senjata mereka pun tidak lagi teracu. Ketika debu kemudian dihanyutkan angin, maka mereka pun melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri tegak beberapa puluh langkah dihadapan mereka.

Orang yang tinggi tegap dan berjambang panjang yang berdiri terlalu dekat dengan tanah yang meledak itu ternyata telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya yang terbanting jatuh di tanah, rasa-rasanya bagaikan berpatahan tulang-tulangnya. Terdengar orang itu mengerang. Namun ia masih belum dapat bangkit berdiri ketika debu kemudian menjadi bersih. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah maju. Sementara orang-orang yang bersenjata itu telah berdesakan surut.

“Nah,” berkata Mahisa Murti, “siapakah di antara kalian yang ingin ikut meledak? Marilah, majulah. Jika ada di antara kalian yang menjadi korban, bahkan terbunuh di sini, sama sekali bukan salah kami. Dengar, kami dapat membunuh kalian seberapa kami inginkan.”

Wajah-wajah dari mereka yang menggengam senjata itu telah menjadi pucat bagaikan tidak berdarah. Mereka memang dapat menakut-nakuti pencuri dengan cara seperti itu. Bahkan mereka memang pernah menangkap tiga orang pencuri dan hampir saja mereka telah membunuh ketiganya. Untunglah bahwa Ki Bekel di padukuhan itu masih sempat melarang mereka, sehingga ketiga orang itu dapat diselamatkan jiwanya.

Tetapi yang mereka hadapi kemudian bukan sekelompok pencuri atau perampok. Di antara mereka ternyata mampu berbuat sesuatu yang tidak masuk dalam penalaran mereka. Tanah di hadapan kaki mereka itu bagaikan meledak dan melontarkan tanah, pasir dan batu-batu padas. Keadaan menjadi tegang. Untuk beberapa saat kedua belah pihak berdiri termangu-mangu dalam ketegangan.

Mahisa Pukat lah yang kemudian berbicara memecahkan keheningan yang tegang itu. Katanya, “He, ambil kawanmu yang terluka itu. Kawanmu yang telah mempengaruhi kalian dan berhasil memaksa kalian mengambil senjata. Cepat, dan usahakan untuk merawatnya sebelum menjadi gawat.”

Untuk beberapa saat tidak seorang pun yang bergerak. Orang-orang padukuhan yang bersenjata itu bagaikan telah membeku.

“Cepat,” teriak Mahisa Pukat, “ambil dan rawat orang itu atau kalian memang menunggunya sampai mati?”

Namun untuk sesaat masih belum ada yang melangkah mendekati. Baru kemudian dua orang mulai bergerak. Diikuti oleh beberapa orang yang lain. Namun mereka tidak mau membawa senjata mereka dan menitipkannya kepada kawan-kawan mereka.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Jika orang-orang yang mendekati orang bertubuh tinggi tegap yang terbaring dan mengerang kesakitan itu tidak membawa senjata, berarti bahwa mereka tidak berniat lagi untuk melawan dengan kekerasan. Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk sesaat tidak berbuat sesuatu. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang mendekati kawannya yang terbaring itu telah berjongkok di sisinya. Ketika mereka mencoba untuk mengangkatnya, maka terdengar orang itu berdesah kesakitan.

“Yang mana yang terasa sakit?” bertanya salah seorang anak muda.

“Seluruh tubuhku terasa sakit,” jawabnya.

“Tetapi kami bermaksud membawamu dan merawatmu,” berkata anak muda yang lain.

“Tulang-tulangku rasa-rasanya telah berpatahan,” berkata yang sakit.

“Kami akan berhati-hati,” berkata kawannya itu.

Tetapi setiap sentuhan, membuat orang bertubuh tinggi tegap itu menyeringai menahan kesakitan yang sangat yang memang terasa mencengkam di seluruh tubuhnya.

“Tahankan,” berkata kawannya, “kami akan membawamu ke banjar. Kau memerlukan pengobatan,” berkata kawannya pula.

Meskipun orang itu mengeluh dan berdesah kesakitan, namun kawan-kawannya telah mengangkatnya untuk membawanya ke banjar. Tetapi mereka pun kemudian tertegun. Seorang yang sudah menginjak pertengahan abad menyibak orang-orang yang berdiri pada jarak yang agak jauh dengan jantung yang berdegupan.

“Ki Bekel,” desis anak-anak muda itu.

Dikawal oleh Ki Jagabaya dan dua orang bebahu serta dua orang pengawal padukuhan yang terpilih, Ki Bekel itu berjalan dengan hati yang tegang mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Langkahnya terhenti ketika ia melihat beberapa orang sedang mengangkat seseorang yang nampaknya telah terluka.

“Kenapa orang itu?” bertanya Ki Bekel.

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun tidak ada di antara mereka yang menjawab. Ki Bekel lah yang kemudian berkata, “Jadi orangku telah disakitinya.

Wajah Ki Bekel menjadi semakin buram. Ia pun terhenti sejenak ketika ia melihat tanah yang bagaikan telah diledakkan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Memang luar biasa. Tetapi belum melampaui batas kemampuan wajar.”

Dua orang bebahu dan dua orang pengawal terpilih yang mengawalnya bersama Ki Jagabaya menjadi berdebar-debar. Namun mereka tetap berjalan di belakang Ki Bekel.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar juga melihat seseorang yang datang kepada mereka. Langkahnya yang tenang serta pandangan matanya yang lurus ke depan, menunjukkan kepribadiannya yang kuat.

“Siapakah orang itu,” bertanya Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu."

Ketegangan masih saja mewarnai suasana. Sementara para pengawal dari padepokan Suriantal itu masih saja mengagumi kedua anak muda yang kemudian berada di padepokan mereka. Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang juga pemahat itu pun heran pula melihat kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda.

“Agaknya adik Mahisa Bungalan ini tidak jauh berbeda dengan kakaknya,” berkata pemahat itu didalam hatinya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasakan ketegangan yang mencengkam ketika Ki Bekel itu berdiri tegak di hadapannya. Mereka tidak menjadi cemas, bahwa Ki Bekel itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi mereka justru menjadi cemas, apakah yang perlu mereka lakukan kemudian.

“Anak-anak muda,” berkata Ki Bekel kemudian, “aku tidak mengira sama sekali, bahwa kalian masih terlalu muda untuk disebut orang-orang berilmu tinggi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menarik nafas saja.

“Tetapi apa maksud Ki Sanak melukai seorang di antara kami?” bertanya Ki Bekel. Lalu katanya pula, “Mungkin kau menganggap bahwa kami tidak memiliki kekuatan dan kemampuan yang akan dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan ilmumu. Tetapi apakah benar bahwa kemampuan kalian itu dapat dipergunakan dengan sewenang-wenang atas orang-orang kami?”

Mahisa Murti bergeser setapak maju. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah Ki Sanak mengetahui dengan pasti apakah yang telah terjadi disini? Dan sebelum kami berbicara lebih jauh, apakah aku boleh mengenal Ki Sanak?”

“Aku adalah Bekel di padukuhan sebelah,” berkata Ki Bekel, “karena itu aku merasa berkepentingan untuk berbicara dengan kalian berdua. Peristiwa ini harus aku laporkan kepada Ki Buyut.”

“Bukan salah kami,” berkata Mahisa Murti, “sekali lagi aku bertanya, apakah Ki Bekel mengetahui apa yang telah terjadi?”

“Pangeram-eram,” jawab Ki Bekel, “kau telah membuat orang-orangku heran melihat debu yang mengepul dari tanah yang bagaikan meledak itu.”

“Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti, “seharusnya Ki Bekel tidak hanya melihat potongan terakhir dari keseluruhan peristiwa ini. Bertanyalah kepada orang-orangmu, apa saja yang telah mereka lakukan. Jika aku membuat pengeram-eram, maksudku adalah agar tidak jatuh korban terlalu banyak.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya orang-orang padukuhannya masih berdiri bagaikan membeku. Di tangan mereka masih tergenggam senjata. Tetapi senjata itu sudah tertunduk.

Dalam pada itu Ki Bekel itu pun berkata, “Anak muda. Aku mengucapkan terima kasih bahwa kau tidak langsung mengarahkan ilmumu yang luar biasa itu kepada orang-orangku, sehingga dengan demikian maka tidak ada korban yang jatuh. Satu orang di antara kami hanya terluka. Aku belum tahu, apakah lukanya parah atau tidak.”

“Aku berharap bahwa lukanya tidak parah. Mungkin ia hanya sekedar terkejut atau terpelanting jatuh,” jawab Mahisa Murti.

“Mungkin memang demikian,” jawab Ki Bekel, “tetapi bahwa kau telah menyakiti orangku, aku merasa tersinggung karenanya.”

“Maaf Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti, “aku tidak sengaja menyakiti seseorang. Aku sudah berusaha untuk menghindarkan korban. Tetapi akibat itu masih juga terjadi. Menurut pendapatku, lebih baik menyakiti seorang di antara orang-orang padukuhan itu, daripada lebih banyak lagi. Jika terjadi benturan di antara kita, maksudku orang-orangku dan orang-orang padukuhan, maka keadaan tentu akan lebih parah.”

“Aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat melewatkan begitu saja peristiwa seperti ini,” berkata Ki Bekel.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian menjadi tegang. Hampir diluar sadar, Mahisa Pukat bertanya, “Apakah maksud Ki Bekel?”

“Kau sama sekali tidak berhak menyakiti orang-orangku,” berkata Ki Bekel, “karena itu, maka apa yang telah kalian lakukan itu sangat menyinggung perasaanku. Aku adalah penguasa di padukuhan itu. Karena itu jika terjadi sesuatu, kalian harus berbicara dengan aku. Jika ada orang-orangku yang bersalah, maka biarlah aku yang menghukumnya. Bukan kau.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, “Apakah Ki Bekel mengetahui apakah yang telah terjadi?”

“Ya. Aku sudah mendengarnya,” jawab Ki Bekel.

“Jika demikian Ki Bekel tentu sudah dapat mengurai persoalannya,” berkata Mahisa Pukat.

Ki Bekel mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Justru aku sudah mengurai persoalannya, maka aku mengambil kesimpulan bahwa orang-orangku benar. Mereka berhak melihat apa yang ada dibawah kerudung itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Apalagi ketika Ki Bekel kemudian berkata, “Karena kau berhasil menakut-nakuti orang-orangku dengan ilmu sihirmu, maka akulah yang kemudian berniat untuk melihat apa yang kau sembunyikan itu.”

Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru terdiam. Mereka tidak segera menemukan cara untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Sementara itu, Ki Bekel agaknya tidak lagi mau mengerti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orangnya.

“Nah, sekarang jangan terlalu banyak alasan,” berkata Ki Bekel, “bukalah kerudung itu agar kami dapat melihat apa yang telah kalian sembunyikan.”

“Kami tidak menyembunyikan sesuatu,” berkata Mahisa Murti, “yang berada di bawah kerudung itu adalah sebuah patung. Kami tidak dapat membukanya, sebelum patung itu kami serahkan kepada yang berkepentingan.”

“Siapa yang berkepentingan itu?” berkata Ki Bekel.

“Sri Maharaja di Singasari,” jawab Mahisa Murti.

“Sri Maharaja?“ ulang Ki Bekel.

“Ya. patung itu adalah lambang persatuan yang utuh antara Sri Maharaja dan Ratu Angabaya,” jawab Mahisa Murti pula.

Ki Bekel itu pun berpikir sejenak. Namun kemudian dahinya telah berkerut kembali. Katanya, “Kau jangan berusaha untuk melindungi dirimu dan barangkali kejahatanmu dengan nama Sri Maharaja yang Agung itu. Kesalahanmu kini justru berlipat. Kau telah menyembunyikan sesuatu dan bahkan telah mempergunakan nama Sri Maharaja untuk menyembunyikan kesalahanmu yang pertama itu.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengira bahwa Ki Bekel itu justru mengambil kesimpulan yang sebaliknya dari niatnya dengan menyebut nama Sri Baginda. Sementara itu Mahisa Pukat lah yang mengeram,

“Ki Bekel. Kami sudah berusaha menahan diri sampai saat ini. Sekarang, biarlah kami menyelesaikan pekerjaan kami, memperbaiki roda pedati kami yang hampir selesai itu. Kemudian biarlah kami meninggalkan tempat ini untuk menyerahkan patung ini ke istana. Apalagi kami sudah berjanji kepada Sri Maharaja.”

“Sekali lagi aku minta, bukalah kerudung patung itu,” berkata Ki Bekel.

Mahisa Pukat lah yang sudah kehabisan kesabaran. Dengan lantang ia berkata, “Tidak. Kami tidak akan membuka patung itu. Kami akan mempertahankannya apapun yang akan terjadi. Jika kau memaksa, maka bukan salah kami jika terjadi bukan saja sakit di antara orang-orangmu. Tetapi mungkin mati. Bukan hanya seorang, tetapi banyak orang.”

Ki Bekel menjadi tegang pula. Wajahnya menjadi merah dan darahnya serasa mengalir semakin cepat. “Anak-anak muda. Kau kira ilmu iblismu itu dapat menakut-nakuti aku dan para bebahu? Apalagi Ki Jagabaya,” berkata Ki Bekel dengan penuh keyakinan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak bingung. Apakah mereka benar-benar harus bertempur. Namun mereka benar-benar tidak ingin membiarkan kerudung dari patungnya itu dibuka oleh siapapun.

Sementara itu, prajurit Singasari yang juga memahat patung itu pun menggeram, “Apa boleh buat. Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan untuk menghindari kekerasan. Tetapi jika kekerasan itu akan ditrapkan terhadap kita, maka sudah tentu bahwa kita akan mempertahankan hak kita.”

Mahisa Pukat mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Kita bukan berada dibawah perintahnya. Meskipun jalan ini mungkin termasuk lingkungan padukuhannya, tetapi tentu merupakan bagian dari Singasari yang besar,” Mahisa Pukat itu pun berhenti sejenak. Lalu katanya kepada Ki Bekel, “Nah, Ki Bekel. Kami akan mempertahankan hak kami. Jika karena itu kita harus bertempur, maka itu bukan salah kami.”

Ki Bekel memandang Mahisa Pukat dengan tajamnya. Sementara itu Ki Jagabaya melangkah maju sambil berkata, “Anak-anak muda. Kenapa kalian menjadi keras kepala seperti itu? Sayang, bahwa kalian belum mengenal kami. Mungkin kau dapat mempermainkan orang-orang itu. Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian atasku dan atas Ki Bekel.”

Mahisa Pukat benar-benar sudah menjadi marah. Karena itu, maka jawabnya, “Ki Sanak. Jika kau merasa memiliki kemampuan yang cukup untuk memaksa kami bersama Ki Bekel, maka marilah. Aku akan melayani kalian berdua, bersama Mahisa Murti saja. Jika kalian berdua menang atas kami berdua, maka kalian dapat membuka kerudung dari patung itu. Tetapi jika kalian dapat kami kalahkan, maka kalian tidak akan mengganggu kami lagi.”

“Anak setan,” geram Ki Jagabaya, “aku adalah Jagabaya di padukuhan ini. Aku berhak untuk berbuat sesuatu dengan pertimbangan pengamanan daerah kami. Jika kalian mengalami kesulitan dan bahkan tidak dapat meneruskan perjalanan, maka itu adalah korban dari kesombongan kalian sendiri.”

“Maksud Ki Jagabaya?” bertanya Mahisa Pukat yang marah.

“Perkelahian mungkin akan berakibat buruk. Mungkin terluka. Tetapi seperti yang pernah kau lakukan, mungkin mati,” berkata Ki Jagabaya.

“Bagus,” jawab Mahisa Pukat lantang, “kami siap melakukannya.”

Ki Jagabaya itu pun kemudian berpaling kepada Ki Bekel sambil berkata, “Ki Bekel. Sikap anak-anak ini memang sudah berlebihan. Apa boleh buat.”

Ki Bekel pun mengangguk kecil sambil berdesis, “Kita akan memaksanya.”

“Bagus. Cara yang terhormat,” geram Mahisa Pukat.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat melihat kemungkinan lagi untuk menempuh jalan lain. Agaknya mereka memang harus bertempur.

Sementara itu, orang-orang padepokan Suriantal pun telah bersiap pula seandainya mereka harus melibatkan diri dalam perkelahian yang mungkin akan dapat berkembang.

Namun Ki Bekel pun kemudian berkata kepada para bebahu dan pengawalnya, “Mundurlah. Aku akan memaksa anak ini untuk menuruti keinginan kita.”

Pada saat para bebahu dan pengawal itu bergeser menjauh, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya pun telah bergeser pula. Dengan nada rendah Ki Bekel berkata, “Bersiaplah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula. Mahisa Murti telah berhadapan dengan Ki Bekel, sementara Mahisa Pukat siap menghadapi Ki Jagabaya.

Namun dalam pada itu, beberapa orang telah menyibak orang-orang padukuhan yang berkerumun agak jauh dari arena dengan senjata di tangan masing-masing. Mereka menjadi semakin tegang ketika mereka melihat seseorang dengan diiringi oleh beberapa orang memasuki lingkungan yang akan menjadi arena perkelahian yang mendebarkan itu.

“Ki Bekel,” terdengar orang itu memanggil.

Ki Bekel berpaling. Dengan wajah yang berkerut ia memandang orang itu. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, “Ki Buyut. Untuk apa kau datang kemari?”

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Buyut.

“Jangan turut campur.” Ki Bekel itu justru membentak, “ini urusanku.”

“Tetapi aku akan ikut bertanggung jawab,” berkata Ki Buyut, “cobalah menahan diri sedikit Ki Bekel.”

“Sudah aku katakan. Jangan turut campur. Atau kau akan aku libatkan dalam persoalan ini sebagai orang yang melindungi kedua orang ini?” Ki Bekel itu menjadi semakin marah.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi heran. Seharusnya Ki Bekel itu menghormati Ki Buyut yang memimpin seluruh Kabuyutan termasuk padukuhan yang dikuasakan kepada Ki Bekel itu. Tetapi agaknya Ki Bekel itu bersikap lain. Karena itu, maka Mahisa Murti dan maupun Mahisa Pukat mendapat kesimpulan, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada Ki Bekel itu.

Agaknya Ki Buyut pun tidak dapat bertindak lebih jauh atas Ki Bekel itu. Meskipun kemudian ia berkata, “Aku ingin memperingatkan kau Ki Bekel.”

“Kau tidak tahu persoalan yang terjadi disini,” bantah Ki Bekel.

“Aku sudah mendapat laporan,” berkata Ki Buyut.

“Jika demikian kenapa kau akan mencegah aku,” bentak Ki Bekel, “sekali lagi aku peringatkan. Pergi atau kau akan terlibat.”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun ia melangkah semakin dekat. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Ki Bekel. Jika setiap kali timbul persoalan di padukuhan ini, maka bagaimanapun juga aku tidak akan dapat melepaskan tanggung jawab. Apalagi jika persoalannya kemudian sampai ke Pakuwon. Maka yang akan dipanggil oleh Akuwu adalah aku.”

“Persetan,” geram Ki Bekel, “itu urusanmu. Jika kau tidak ingin bertanggung jawab, kau harus meletakkan jabatan saja. Atau kau serahkan jabatanmu kepadaku.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ia berkata, “Anak-anak muda, Ki Bekel dan Ki Jagabaya adalah orang-orang yang pilih tanding. Tidak ada orang yang dapat mencegah kemauannya. Karena itu, maka sebaiknya kalian tidak melawannya.”

“Terima kasih atas peringatan ini Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti. Bahkan ia pun berkata, “Ki Buyut. Agaknya aku telah melihat sesuatu yang ganjil di sini. Ki Bekel yang kasar ini sama sekali tidak menunjukkan hormatnya kepada Ki Buyut. Jika sikap ini adalah sikapnya sehari-hari, maka ia sudah melangkahi haknya sebagai seorang Bekel, yang seharusnya berada di bawah kuasa Ki Buyut. Dengan demikian maka aku akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Bekel telah melanggar paugeran yang berlaku di Singasari.”

“Persetan,” geram Ki Bekel. “Apa pedulimu. Sebentar lagi kau akan mati. Kau tidak usah mengigau tentang paugeran.”

“Ini membuat aku semakin yakin, bahwa sikap kami benar. Ki Bekel bukan seseorang yang harus dipatuhi perintahnya, justru karena Ki Bekel tidak tahu arti paugeran,” berkata Mahisa Pukat dengan tiba-tiba. Lalu “Itulah agaknya yang telah mempengaruhi sikap orang-orang padukuhan itu. Mungkin jika yang menjadi pemimpin padukuhan itu orang lain, yang tahu diri dan mengerti batas kekuasaannya, maka tidak akan terjadi peristiwa seperti ini.”

“Cukup,” teriak Ki Bekel, “sekarang siapakah yang akan menjadi lawanku? Kau berdua bersama Ki Buyut?”

Mahisa Pukat benar-benar telah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka katanya, “Ki Buyut. Kehadiran Ki Buyut merupakan kebetulan. Ki Buyut akan dapat menjadi saksi, apakah yang telah terjadi disini.”

Ki Buyut memandang Ki Bekel sekilas. Namun Ki Bekel lah yang kemudian menjawab, “Bagus. Biarlah Ki Buyut menjadi saksi bahwa aku tidak asal saja membunuh. Aku telah melakukan tugasku dengan baik. Aku telah menangkap seorang perampok yang menyembunyikan barang-barangnya di bawah kerudung itu dan berusaha mengelabuhi aku dengan alasan yang tidak masuk akal.”

“Apakah kita tidak dapat menghindarkan kekerasan ini?” bertanya Ki Buyut.

“Cukup. Pergilah. Kau sebenarnya terlalu cengeng untuk menjadi seorang Buyut di daerah ini,” geram Ki Bekel.

Ki Buyut benar-benar tidak dapat mencegah lagi. Peristiwa kekerasan akan terjadi lagi di daerahnya tanpa dapat mencegahnya. Demikianlah, maka tanpa dapat dicegah lagi, Mahisa Murti yang berhadapan dengan Ki Bekel dan Mahisa Pukat yang telah berhadapan dengan Ki Jagabaya, masing-masing telah mempersiapkan diri untuk mempertahankan sikap masing-masing. Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah memaksa untuk membuka kerudung patung yang ada di pedati itu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempertahankannya.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu pun menjadi semakin tegang. Ternyata sikap dan cara berpikir Ki Bekel memang sudah mempengaruhi mereka. Karena itu, maka mereka-pun kemudian seakan-akan mendapat kesempatan untuk menyalurkan kemarahan mereka lewat sikap Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Berdesakan mereka mulai bergerak mendekat.

Namun dalam pada itu, orang-orang padepokan Suriantal yang mengawal pedati itu pun telah bersiap pula. Mereka berdiri di seputar pedati. Namun mereka menatap ketegangan yang mencengkam pada saat-saat mereka yang berhadapan mulai bergerak.

Ki Bekel ternyata terlalu cepat ingin menghancurkan lawannya. Karena itu, maka ia pun dengan tiba-tiba telah menyerang Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti telah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangannya sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan Mahisa Murti sempat membalas serangan itu dengan serangan yang cepat dan keras.

Namun Ki Bekel itu ternyata sempat juga mengelak bahkan sambil berkata, “Lepaskan ilmu sihirmu. Kau tidak usah segan-segan melakukannya.”

Mahisa Murti meloncat surut. Namun agaknya Ki Bekel memang tidak memberinya kesempatan. Ia pun segera memburu sehingga Mahisa Murti harus segera menghindari serangan-serangannya. Agaknya Ki Bekel menyadari, jika Mahisa Murti mendapat kesempatan, maka ia akan benar-benar melepaskan serangan yang akan dapat menyulitkannya. Karena itu, maka ia harus berada pada jarak yang dekat untuk mengatasinya.

Ki Jagabaya pun mengerti pula akan hal itu. Seperti Ki Bekel, maka Ki Jagabaya bertempur pada-jarak yang dekat. Dengan kekuatan yang besar, maka Ki Jagabaya telah menderanya dengan serangan-serangan yang garang.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memiliki bekal yang cukup untuk bertempur pada medan yang bagaimanapun juga dan menghadapi jenis ilmu yang betapapun rumitnya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bertempur pula sebagaimana dilakukan oleh lawan-lawan mereka.

Ternyata Ki Bekel dan Ki Jagabaya memang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Mereka dapat bergerak cepat dan melontarkan kekuatan yang sangat besar. Namun ternyata kedua anak muda itu tidak gentar menghadapinya.

Ki Bekel yang menjadi sangat marah, juga karena kehadiran Ki Buyut yang dianggapnya mengganggu rencananya itu, telah berusaha menyelesaikan lawannya secepatnya. Dengan tangkasnya Ki Bekel menyerang Mahisa Murti dan bertempur pada jarak dekat. Tangannya berputaran, terayun-ayun dan sekali-sekali teracu lurus mengarah dada.

Tetapi Mahisa Murti bukannya seorang anak muda yang tidak mempunyai bekal olah kanuragan. Meskipun ia tidak segera dapat melontarkan ilmunya yang akan dapat menentukan, namun Mahisa Murti pun memiliki ketrampilan yang tinggi.

Karena itu, maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya saling menyerang dan mengelak. Namun dalam benturan-benturan kekuatan selanjutnya, maka ternyata bahwa Mahisa Murti bukannya anak muda yang lemah meskipun tidak sempat melepaskan ilmunya yang disebut oleh Ki Bekel sebagai ilmu sihir.

Sementara itu, Mahisa Pukat pun ternyata mendapat lawan yang keras pula. Dengan kasar Ki Jagabaya telah menyerang Mahisa Pukat pada jarak yang pendek. Ia tidak mau mengalami serangan yang akan dapat menghancurkannya. Namun Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan pula untuk bertempur pada jarak pendek. Dari ayahnya Mahisa Pukat memang mewarisi kemampuan untuk bertempur dan bahkan kekuatan ilmu yang jarang ada bandingnya.

Ternyata bahwa Ki Bekel telah salah menilai anak muda itu. Ki Bekel menganggap bahwa anak muda itu hanya memiliki kemampuan ilmu yang dianggapnya sebagai sihir. Namun ternyata bahwa kedua anak muda itu mampu mengimbangi kekuatan dan kemampuan ilmunya yang dibanggakannya.

Bahkan pada benturan-benturan selanjutnya, di saat-saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meningkatkan ilmunya semakin tinggi, Ki Bekel dan Ki Jagabaya mulai merasa cemas bahwa mereka tidak akan segera dapat mengakhiri pertempuran itu.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu pun menjadi sangat tegang menyaksikan pertempuran itu. Mereka tidak segera mengetahui, siapakah sebenarnya yang lebih kuat di antara mereka. Yang mereka lihat adalah, kedua belah pihak saling mendesak, saling menyerang dan saling mengelak.

Sementara itu, orang-orang dari padepokan Suriantal mulai dapat menilai, apakah yang sebenarnya terjadi. Ki Bekel dan Ki Jagabaya tidak mendapat banyak kesempatan lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian lebih banyak menyerang dan mendesak lawannya.

Ki Bekel dan Ki Jagabaya benar-benar merasa cemas dengan kekuatan dan kecepatan gerak kedua anak muda itu. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Karena itu, ketika Ki Bekel menjadi semakin terdesak, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja ia sudah menarik senjatanya. Sebuah pedang. Dengan cepat ia memutar pedangnya. Ki Bekel ingin menyerang dengan tiba-tiba tanpa menunggu lawannya sempat menarik pedangnya pula.

Tetapi Mahisa Murti ternyata memiliki kecepatan gerak melampaui lawannya. Itulah sebabnya, maka pedangnya tidak menyentuh anak muda itu sama sekali. Ketika Ki Bekel kemudian meloncat memburu Mahisa Murti yang mengelak dengan meloncat ke samping, maka Ki Bekel itu pun terkejut. Ternyata pedang Mahisa Murti pun telah teracu pula ke arahnya.

“Anak setan,” geram Ki Bekel.

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita selesaikan persoalan ini dengan tuntas. Ki Buyut akan menjadi saksi, bahwa kita bertempur dengan jujur.”

Ki Bekel memandang Mahisa Murti dengan kemarahan yang memuncak. Sambil menggeram tiba-tiba saja Ki Bekel itu meloncat menerkam dengan ujung pedangnya. Namun Mahisa Murti sempat menangkis serangan itu sambil bergeser ke samping. Tetapi Ki Bekel yang marah itu telah memutar tubuhnya sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Karena Mahisa Murti melangkah surut, maka ayunan pedangnya itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Di lingkungan pertempuran yang lain, Ki Jagabaya justru telah terdesak beberapa langkah surut. Seperti Ki Bekel, maka Ki Jagabaya pun telah bersenjata pula. Namun ketrampilan Mahisa Pukat mempermainkan pedangnya sama sekali tidak dapat diimbangi oleh Ki Jagabaya.

Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah semakin terdesak, sehingga seakan-akan telah kehilangan kesempatan sama sekali untuk membalas menyerang. Yang dilakukan tidak lebih dari berusaha untuk melindungi dirinya dengan mengelak dan menangkis serangan-serangan Mahisa Pukat.

Ternyata bahwa Mahisa Pukat tidak perlu menjamah ilmu puncaknya. Dengan kemampuan ilmu pedangnya, ia sudah berhasil mengurung Ki Jagabaya dalam lingkaran yang mengikatnya.

Sementara itu, Ki Bekel pun tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat memenangkan pertempuran itu dengan pedangnya. Karena itu, maka Ki Bekel pun telah mempergunakan kemampuannya yang lain. Pada saat lawannya sedang menangkis serangan-serangannya, maka tiba-tiba saja tangan kiri Ki Bekel itu telah melontarkan senjata simpanannya. Pisau-pisau kecil. Namun beracun.

Dua buah pisau menyambar Mahisa Murti dengan cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat mengelakkan kedua-duanya. Meskipun Mahisa Murti berusaha bergeser ke samping, namun sebuah di antara pisau-pisau itu telah menggores lengannya. Mahisa Murti meloncat surut. Ketika ia meraba lukanya memang terasa hangatnya darah. Tetapi seakan-akan hanya setitik. Kemudian darah itu bagaikan membeku.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Ki Bekel yang berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia berkata, “Nah anak muda. Kau sudah terluka. Pisauku beracun sangat tajam. Kau tidak mempunyai harapan untuk tetap hidup.”

Mahisa Murti memandang orang itu dengan penuh kebencian. Ternyata orang yang disebut Ki Bekel itu benar-benar akan membunuhnya. Ia sudah melepaskan pisau-pisau beracun dan bahkan telah mengenainya.

“Tidak ada pilihan lain kecuali mati,” berkata Ki Bekel, “Ki Buyut adalah saksi, bahwa aku telah membunuh seorang perampok yang menyembunyikan hasil rampokannya yang dimuat diatas pedati yang tertutup rapat.”

“Ki Bekel,” berkata Mahisa Murti, “kau tidak akan sempat menyesal.”

“Jangan bermimpi,” berkata Ki Bekel yang masih tertawa, “tidak ada orang yang sempat menyelamatkan diri dari racun-racunku. Kau pun tidak.”

Namun Ki Bekel menjadi heran melihat darah meleleh dari luka di lengan Mahisa Murti. Darah yang mula-mula memang kehitam-hitaman. Namun kemudian darah itu menjadi merah segar. Seakan-akan racun yang menikam urat darah Mahisa Murti itu sudah dimuntahkan keluar.

Mahisa Murti yang melihat ketegangan di wajah Ki Bekel itu pun kemudian berkata, “Ki Bekel. Agaknya kita sudah memasuki satu pertempuran antara hidup dan mati. Baiklah. Kita sudah menentukan arena ini menjadi arena perang tanding. Jika demikian, maka seorang di antara kita memang akan mati.”

Ki Bekel menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang. Ia tidak mau didahului oleh Mahisa Pukat dengan serangan ilmu sihirnya. Pedangnya terayun dengan derasnya mengarah ke leher Mahisa Murti.

Mahisa Murti memang sudah menduga, bahwa akan datang serangan yang tiba-tiba. Karena itu, maka ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan ia pun kemudian sempat memperhatikan kemungkinan Ki Bekel menyerangnya dengan pisau-pisau kecilnya.

“Anak iblis,” geram Ki Bekel, “ternyata kau memiliki kekuatan untuk menawarkan racun.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia pun kemudian telah menyerang Ki Bekel dengan garangnya. Ki Bekel benar-benar telah terdesak. Mahisa Murti telah mengerahkan ilmu pedangnya, sehingga Ki Bekel benar-benar kehilangan kesempatan untuk menyerang.

Namun sekali-sekali Ki Bekel masih melontarkan pisau-pisau kecilnya. Tetapi karena Mahisa Murti sudah mengetahuinya, maka ia pun menjadi cukup waspada menghadapinya.

Dengan demikian maka lontaran-lontaran pisau kecil itu tidak lagi pernah menyentuhnya, meskipun Mahisa Murti tidak merasa gentar seandainya tubuhnya tergores racun. Namun jika pisau-pisau itu mengenai bagian tubuhnya yang lemah, maka pisau itu akan dapat menghambat perlawanannya. Bahkan mungkin akan dapat menghentikannya sama sekali.

Ki Bekel benar-benar menjadi gelisah. Mahisa Murti semakin mendesaknya. Bahkan kemudian ujung pedang Mahisa Murti itu pun telah sempat tergores di pundaknya.

Sementara itu Ki Jagabaya pun sama sekali sudah tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Mahisa Pukat mendesaknya tanpa dapat ditahankannya lagi. Serangannya datang bagaikan badai yang mendera pepohonan di hutan ilalang.

Bahkan ketika benturan-benturan terjadi semakin seru, Ki Jagabaya yang garang itu, ternyata tidak mampu mempertahankan pedangnya di tangannya. Satu ayunan yang keras sekali tidak sempat dielakkan oleh Ki Jagabaya. sehingga ia pun harus menangkis serangan itu dengan pedangnya pula. Tetapi ternyata kekuatan Mahisa Pukat terlalu besar bagi Ki Jagabaya yang garang itu. Sehingga ternyata bahwa Ki Jagabaya tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya itu.

Ki Jagabaya sendiri terkejut ketika pedangnya itu terlepas dari tangannya. Dengan cepat ia berusaha untuk meloncat dan meraih pedangnya itu. Namun Mahisa Pukat ternyata bergerak lebih cepat. Ketika tangan Ki Jagabaya sempat menyentuh pedangnya itu, maka kaki Mahisa Pukat sudah menginjak daun pedangnya. Ki Jagabaya menjadi sangat tegang. Apalagi ketika terasa ujung pedang Mahisa Pukat menyentuh tengkuknya.

Tetapi tiba-tiba Mahisa Pukat itu bergeser surut beberapa langkah sambil berkata, “Baiklah. Ambil pendangmu jika kau belum puas. Kita akan bertempur lagi sampai ada di antara kita yang terbunuh.”

Ki Jagabaya memandang wajah Mahisa Pukat dengan sangat tegang. Perlahan-lahan ia menggenggam pedangnya dan bangkit berdiri. Sejenak pedangnya itu bergetar di tangannya yang sudah terasa pedih pada telapaknya.

Keduanya kemudian berdiri tegak saling berhadapan. Masing-masing masih menggenggam pedang di tangan. Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan dengan tajam, seakan-akan masing-masing akan melihat gejolak perasaan di dalam dada lawannya. Namun tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh Ki Jagabaya, ketika dengan serta merta ia pun telah melepaskan pedangnya.

“Apa artinya?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku menyerah,” sahut Ki Jagabaya.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika kau menyerah, maka menyingkirlah. Duduklah di bawah pohon itu.”

“Aku berdiri di sini,” jawab Ki Jagabaya.

“Sekali lagi aku ulang. Duduklah dibawah pohon itu, atau kita akan bertempur terus sampai salah seorang di antara kita mati,” geram Mahisa Pukat.

Ki Jagabaya menjadi tegang. Di luar sadarnya ia berpaling ke arah orang-orang padukuhan dan Ki Buyut yang berdiri termangu-mangu.

Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Ia sadar bahwa Ki Jagabaya harus menjaga harga dirinya dihadapan orang-orang padukuhan. Apalagi untuk waktu yang lama ia tentu merupakan orang yang ditakuti sebagaimana Ki Bekel, sehingga Ki Buyut-pun agaknya telah menjadi takut pula kepada mereka.

Karena itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Jika kau malu duduk di bawah pohon itu, maka kau harus berdiri di bawah pohon itu. Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap berdiri tegak, atau kau akan mengalami perlakuan yang lebih buruk lagi.”

Ki Jagabaya itu tidak berbuat lain. Ia pun kemudian melangkah menuju ke pohon yang berdiri di tanggul parit di sebelah jalan yang berbelok tajam itu.

Ketika Mahisa Pukat berpaling kepada orang-orang padepokan yang ikut mengawal pedati itu, maka agaknya mereka-pun mengerti, bahwa mereka harus mengawasi Ki Jagabaya itu.

Dalam pada itu Ki Bekel masih berjuang untuk mempertahankan dirinya. Namun serangan demi serangan telah membuatnya kehilangan kesempatan sama sekali. Ketika ia sudah terdesak, maka ia telah berusaha untuk mempergunakan dua pisaunya yang terakhir. Dengan tangan kirinya Ki Bekel telah melontarkan pisaunya itu beruntun dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Tetapi Mahisa Murti sudah memperhitungkannya, bahwa Ki Bekel masih akan menyerangnya dengan pisau-pisau kecilnya. Karena itu, ketika pisau-pisau kecil itu diluncurkan, maka Mahisa Murti pun telah meloncat ke samping sambil merendahkan dirinya. Lambung lawannya yang terbuka karena lontaran pisau yang tidak mengenai sasaran itu, merupakan kesempatan bagi Mahisa Murti. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah menjulurkan pedangnya, menggapai lambung itu.

Ki Bekel mengaduh tertahan. Ia terdorong beberapa langkah surut. Namun lambungnya telah terasa pedih sekali. Luka yang panjang telah menganga di lambung Ki Bekel. Demikian tajam perasaan sakit yang menderanya, sehingga Ki Bekel tidak mampu lagi mengatasinya. Apalagi darah semakin deras mengalir dari lukanya.

Ki Bekel terpaksa berjongkok sambil memegangi lambungnya. Perasaan sakit itu tidak dapat ditahankannya lagi. Seakan-akan perasaan sakit itu telah menggigit seluruh tubuhnya, dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Mahisa Murti yang melihat keadaan Ki Bekel itu pun kemudian berpaling ke arah Ki Buyut yang termangu-mangu. Dengan isyarat ia telah mengundang Ki Buyut untuk mendekat.

Dengan ragu-ragu Ki Buyut pun telah mendekati Ki Bekel yang berjongkok sambil berusaha menahan perasaan sakit itu. Mahisa Pukat pun telah mendekat pula, sementara Ki Jagabaya telah diawasi oleh para pengawal pedati itu. Demikian pula prajurit Singasari yang juga seorang pemahat itu.

“Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “terserah kepada Ki Buyut, apa yang sebaiknya kita lakukan. Jika kita biarkan orang ini dalam keadaannya, maka aku yakin bahwa ia akan terbunuh karenanya. Kecuali jika Ki Buyut memutuskan, bahwa orang ini memang harus mati.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan nada datar dalam ia berkata kepada seorang pengawalnya, “Panggil tabib kita itu.”

Orang itu pun kemudian dengan tergesa-gesa telah berlari menuju ke padukuhan. Bukan padukuhan yang dipimpin oleh Ki Bekel yang terluka itu. Tetapi padukuhan yang lain, yang agak lebih jauh dari padukuhan sebelah.

Namun agaknya keadaan Ki Bekel benar-benar telah menjadi semakin parah, sehingga Mahisa Murti pun kemudian tidak dapat membiarkannya dalam keadaan seperti itu. Ketika ia memandang adiknya, maka Mahisa Pukat pun menanggapinya. Ia pun kemudian mengangguk kecil sambil berdesis, “Aku membawanya.”

“Baiklah,” berkata Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian telah membaringkan Ki Bekel yang menjadi semakin lemah. Kepada Ki Buyut ia berkata, “Aku mempunyai obat, tetapi hanya untuk sementara.”

Ki Buyut mengangguk kecil. Namun nampak ketegangan mencengkam jantungnya. Demikianlah maka Mahisa Pukat pun kemudian telah menaburkan serbuk obatnya ke luka yang cukup parah di lambung Ki Bekel. Terdengar Ki Bekel mengeluh menahan sakit yang rasa-rasanya semakin mencengkam.

Namun Mahisa Pukat pun berkata, “Diam sajalah. Darahmu akan berkurang mengalir.”

Ki Bekel berusaha untuk bertahan. Agaknya obat yang ditaburkan oleh Mahisa Pukat itu ternyata telah mengurangi arus darah yang keluar dari lukanya sambil menunggu kedatangan tabib yang telah dipanggil itu. Tetapi tabib itu rasa-rasanya terlalu lama. Untunglah bahwa obat yang ditaburkan di luka Ki Bekel itu benar-benar mampu menolongnya meskipun hanya bersifat sementara.

Pada saat yang tegang itu, Mahisa Pukat telah memberi isyarat kepada Ki Jagabaya untuk mendekat. Semula Ki Jagabaya masih juga ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Jagabaya itu pun mendekat pula.

“Apakah Ki Bekel perlu dibawa ke Banjar?” bertanya Mahisa Murti kepada Ki Buyut.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Ia harus segera mendapat pertolongan.”

Ki Jagabaya berdiri termangu-mangu. Setelah ia berdiri semakin dekat, maka barulah ia melihat bahwa luka Ki Bekel memang sangat parah. Karena itu, maka Ki Jagabaya itu pun merasa beruntung bahwa ia telah mengambil langkah yang menyelamatkannya dari kemungkinan yang sangat buruk itu.

Baru sejenak kemudian, seorang yang berjanggut putih dan berkerut di dahinya pertanda umurnya yang lanjut, berjalan tergesa-gesa mendekati Ki Buyut, diiringi oleh orang yang telah memanggilnya.

“Ki Buyut memanggilku?” bertanya orang tua itu.

Ki Buyut mengangguk. Katanya, “Lihatlah. Ki Bekel telah terluka.”

“Terluka?” bertanya tabib itu.

“Lihatlah,” desis Ki Buyut sambil menunjuk ke arah Ki Bekel, “lambungnya terluka. Cukup parah.”

Tabib itu mengangguk-angguk. Dengan nada yang berdebar-debar ia melihat luka yang menganga di lambung Ki Bekel. “Apa yang terjadi?” bertanya tabib itu.

“Nanti aku akan menceritakan,” jawab Ki Buyut, “sekarang, tolonglah orang itu."

Nampak wajah tabib itu memantulkan perasaannya yang gelisah. Namun Ki Buyut itu pun berkata, “Lupakan apa yang pernah terjadi. Ia memerlukan pertolongan.”

Tabib itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berjongkok di sisi tubuh yang terbaring itu. “Nampaknya luka ini sudah diobati,” berkata tabib itu.

“Hanya untuk sementara,” sahut Mahisa Murti, “sebelum mendapat pengobatan yang lebih baik. Aku mencemaskan darahnya yang akan dapat terkuras habis.”

“Pengobatan yang memadai,” berkata tabib itu, “tetapi baiklah. Aku akan memberikan pengobatan yang lebih baik. Namun, apakah sebaiknya Ki Bekel tidak dibawa ke tempat yang lebih mapan?”

“Terserah kepadamu,” jawab Ki Buyut, “apabila kau berpendapat demikian, maka biarlah Ki Bekel dibawa ke banjar padukuhannya. Disini banyak terdapat orang-orangnya. Bahkan seorang di antara mereka agaknya juga telah terluka meskipun tidak terlalu parah.”

Tabib itu memandang Ki Buyut beberapa saat. Ki Buyut melihat kegelisahan di wajah tabib itu. Karena itu, maka Ki Buyut pun berkata, “Lakukan. Tidak akan terjadi sesuatu.”

Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ki Jagabaya, “Tolong, bawalah Ki Bekel ini ke banjar. Mungkin aku akan dapat bekerja lebih tenang. Untuk sementara obat yang sudah ditaburkan ini akan dapat menolongnya.”

Ki Jagabaya mengangguk. Ia pun kemudian memanggil beberapa orang di antara orang-orang padukuhan yang masih tetap berkerumun pada jarak yang agak jauh. Dengan isyarat itu, maka beberapa orang telah mendekat. Dengan nada rendah Ki Jagabaya itu pun berkata, “Bawalah Ki Bekel ke banjar.”

Orang-orang padukuhan itu pun segera mengangkat tubuh itu. Namun seorang di antara mereka bertanya, “Ke banjar atau ke rumah?”

Ki Jagabaya termangu-mangu. Diluar sadarnya ia memandang Ki Buyut yang kemudian berkata, “Ke banjar. Tidak ke rumahnya.”

Ki Jagabaya pun kemudian berdesis kepada orang-orang yang mengangkat tubuh itu, “Ke banjar. Kalian dengar?”

Tidak ada lagi yang bertanya. Mereka pun kemudian mengangkat Ki Bekel itu menuju ke padukuhan. Ki Jagabaya termangu-mangu ditempatinya. Ia tidak berani dengan serta merta meninggalkan Ki Buyut dan kedua orang anak muda itu mengikuti Ki Bekel yang telah diusung itu. Bagaimanapun juga ia merasa bahwa dirinya memang seorang tawanan.

“Tunggulah sebentar Ki Jagabaya,” berkata Mahisa Pukat.

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menjadi cemas bahwa ia akan dibawa oleh anak-anak muda yang mengaku membawa patung itu. Demikian tubuh Ki Bekel itu dibawa pergi diikuti oleh tabib yang akan mengobatinya itu, Ki Jagabaya berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan ini?” bertanya Mahisa Murti, “aku melihat kelainan sikap Ki Bekel dan Ki Jagabaya terhadap Ki Buyut. Bahkan Ki Bekel telah berani membentak dan mengancam. Apakah memang demikian seharusnya?”

Ki Jagabaya tidak menjawab. Kepalanya masih tetap menunduk. Sementara Ki Buyut hanya menarik nafas dalam-dalam.

“Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “kami masih mempunyai pekerjaan yang harus kami selesaikan. Roda pedati kami masih harus kami perbaiki. Karena itu, kami ingin segera mendapat penjelasan, meskipun sekedarnya saja.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti anak-anak muda. Kalian tentu ingin mengetahui, apakah sebabnya hal itu dapat terjadi. Memang sesuatu yang tidak wajar. Namun demikianlah agaknya. Mungkin anak-anak muda telah dapat meraba apakah yang sebenarnya telah terjadi disini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun berkata, “Jangan berteka-teki. Apakah Ki Bekel itu memang berhak duduk di jabatannya, atau ia memaksa dengan kelebihannya untuk menjadi salah seorang Bekel di daerah Kabuyutan ini untuk kemudian memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari Ki Buyut sendiri?”

Ki Buyut mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Mirip dengan itu. Ki Bekel memang seorang yang berasal dari padukuhan itu. Ia sama sekali bukan orang asing di sini. Ia lahir dan dibesarkan di sini. Kemudian menginjak remaja ia meninggalkan padukuhannya dan kembali setelah dewasa penuh. Ternyata anak yang sudah mengecap ilmu itu, telah memaksakan dirinya untuk mengganti kedudukan Ki Bekel dari padukuhan itu, meskipun Ki Bekel mempunyai seorang anak laki-laki yang berhak untuk menggantikannya. Tidak ada arang yang berani menentang kehendaknya. Ia dapat berbuat apa saja di Kabuyutan ini. Dibantu oleh Ki Jagabaya. Nah, Ki Jagabaya itulah yang orang asing di sini. Ia adalah seorang pendatang yang dibawa oleh Ki Bekel. Agaknya ia adalah saudara seperguruan dari Ki Bekel itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun berpaling ke arah Ki Jagabaya yang semakin menunduk. Dengan nada datar Mahisa Pukat pun berkata, “Kenapa Ki Buyut tidak melaporkannya kepada Akuwu misalnya?”

“Orang-orang itu selalu mengancam. Dan aku memang tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya,” berkata Ki Buyut.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat Mahisa Murti berkata, “Satu cara pemerasan yang kasar.”

Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata kepada Ki Jagabaya, “Ki Sanak. Tingkah laku Ki Sanak sudah berlebihan di sini. Kenapa Ki Sanak melakukannya?”

Ki Jagabaya masih tetap menunduk. “Jika demikian, aku ingin bertemu Ki Bekel setelah pekerjaanku selesai,” berkata Mahisa Murti.

Ki Jagabaya mengangkat wajahnya sejenak. Namun ia pun telah menunduk lagi.

“Silahkan Ki Buyut melihat Ki Bekel itu,” berkata Mahisa Murti, “nanti aku akan pergi ke banjar.”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun Mahisa Murti itu pun berkata kepada Ki Jagabaya, “Bawa Ki Buyut ke banjar. Ingat, aku dapat berbuat lebih buruk dari yang pernah kau lakukan di sini. Aku bukan orang yang selalu berbuat lembut dan hati-hati.”

Ki Jagabaya tidak menjawab. Namun ketika Ki Buyut beranjak dari tempatnya, Ki Jagabaya itu mengikutinya. Beberapa pengawal Ki Buyut memang ragu-ragu. Namun Ki Buyut itu pun kemudian berjalan dengan mantap menuju ke banjar untuk melihat keadaan Ki Bekel diantar oleh Ki Jagabaya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun untuk sesaat sempat memandangi orang-orang padukuhan yang kemudian mengiringi Ki Buyut pergi ke padukuhan. Namun senjata-senjata mereka sudah tidak lagi teracu.

“Kita lanjutkan kerja kita,” berkata Mahisa Murti kemudian.

Mahisa Pukat pun mengangguk. Ia pun segera kembali berjongkok di samping pedatinya untuk memperbaiki rodanya yang goyah. Dengan demikian, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang padepokan yang ikut mengawal patung itu dapat bekerja tanpa terganggu. Pemahat kakak beradik itu pun ikut pula bekerja keras membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ketika kerja mereka hampir selesai, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menyerahkan penyelesaian itu kepada mereka yang ikut mengawal patung itu serta kepada kedua orang pemahat kakak beradik dari Singasari itu.

“Kami akan melihat perkembangan keadaan Ki Bekel ke padukuhan,” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah,” sahut pemahat itu, “tetapi cepat kembali.”

Mahisa Murti hanya mengangguk saja, sementara bersama Mahisa Pukat mereka telah meninggalkan pedati dan patung di atasnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terlalu sulit untuk menemukan banjar padukuhan. Ketika keduanya memasuki halaman banjar, maka orang-orang yang berkerumun di halaman pun segera menyibak. Bagi mereka kedua orang itu adalah orang yang luar biasa. Ternyata mereka berdua dapat mengalahkan Ki Bekel dan Ki Jagabaya, yang selama itu mereka anggap sebagai orang yang tidak terkalahkan.

Di banjar itu ternyata telah berbaring dua orang. Ki Bekel yang parah dan seorang lagi yang tidak terlalu parah, meskipun punggungnya serasa patah. Orang yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang panjang. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian berada di sebelah Ki Bekel berbaring, tabib yang mengobatinya agaknya sudah berhasil mengatasi saat-saat yang paling gawat. Ki Bekel itu agaknya sudah mulai merasa tenang.

Ketika ia membuka matanya dan melihat Ki Buyut berdiri di sampingnya, serta tabib yang mengobatinya, hatinya pun telah tersentuh. Bahkan dengan nada dalam ia bertanya, “Kenapa Ki Buyut membiarkan aku mendapat pengobatan.”

“Aku yang membawa tabib itu kepadamu,” jawab Ki Buyut.

“Kenapa Ki Buyut tidak membiarkan aku mati?” bertanya orang itu pula.

“Kenapa?“ Ki Buyut lah yang ganti bertanya.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia pun kemudian melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di belakang Ki Buyut itu pula. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun bertanya, “Kenapa selama ini kau berbuat begitu kasar terhadap Ki Buyut?”

Ki Bekel tidak segera menjawab. Namun ia pun kemudian berdesis, “Ada beberapa macam sebab. Tetapi kenapa Ki Buyut tidak membiarkan aku mati. Bukankah selama ini aku telah membebani dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehendaknya?”

“Aku bukan pembunuh,” jawab Ki Buyut.

“Kenapa anak muda itu juga tidak membunuh aku?” bertanya Ki Bekel pula.

Mahisa Murti sama sekali tidak menjawab. Ia berdiri bagaikan membeku di sebelah Ki Buyut.

“Kenapa?“ Ki Bekel itu berteriak.

Namun Mahisa Murti masih tetap diam. Mahisa Pukat pun sama sekali tidak mengatakan sesuatu.

“Kenapa?“ Ki Bekel itu berteriak pula.

Namun tiba-tiba lukanya terasa menjadi semakin pedih. Bahkan tabib yang mengobatinya itu pun berkata, “Jangan berteriak begitu. Lukamu akan menjadi semakin parah.”

“Aku tidak peduli,” teriak Ki Bekel, “seharusnya aku memang sudah mati.”

“Kau tidak akan mati sekarang,” berkata Ki Buyut, “jika kau sendiri mau membantu, maka keadaanmu akan menjadi semakin baik.”

“Aku tidak perlu belas kasihan kalian. Jika kalian ingin membunuhku, biarlah aku mati. Kenapa kalian berusaha mengobati aku jika kalian telah melukaiku?” teriak Ki Bekel.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Lupakan apa yang sudah terjadi. Mungkin kita masih mempunyai kesempatan untuk bekerja dengan baik di hari-hari mendatang. Kau memiliki kelebihan yang dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi Kabuyutan kita jika kau bersedia.”

“Tidak. Aku tidak mau diperalat oleh siapapun juga. Jika kalian mengobati dan menyembuhkan luka-lukaku, maka aku akan membalas dendam. Mungkin akulah yang akan membunuh,” berkata Ki Bekel.

“Apakah keuntunganmu dengan berbuat seperti itu?” bertanya Ki Buyut, “Ki Bekel. Jika kau sempat mengenangkan apa yang telah kau lakukan, maka kau akan mengerti nilai dari hidupmu selama ini. Apakah kau sempat memanfaatkan nilai yang ada di dalam dirimu itu sebaik-baiknya sehingga nilai itu akan mempunyai arti?”

Ki Bekel memandang wajah Ki Buyut sejenak. Ia memang tidak melihat dendam di sorot mata Ki Buyut itu. Bahkan pada wajah itu nampak kecemasan yang lembut. Ki Bekel yang hampir saja berteriak itu telah menelan kembali kata-katanya. Namun darah di lukanya yang sudah hampir mampat itu telah mulai mengalir lagi.

“Aku harus bekerja lagi,” berkata tabib itu.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “bekerjalah sebaik-baiknya.”

Tabib itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera berusaha untuk mengobati luka-luka yang berdarah lagi itu. Ki Buyut pun kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah melihat sedikit pengakuan di hati Ki Bekel tentang sikapnya selama itu.

Namun ketika Ki Bekel itu mulai bergerak, terdengar suara Ki Bekel sendat, “Ki Buyut.”

Ki Buyut itu berhenti sejenak. Ketika ia berpaling, Ki Bekel itu berdesis lagi, “Kemarilah Ki Buyut.”

Ki Buyut melangkah mendekat. Ketika ia berdiri di sisi Ki Bekel maka ia pun melihat Ki Bekel itu memandanginya dengan sorot mata yang lain.

“Ki Buyut,” berkata Ki Bekel, “aku minta maaf. Aku telah melakukan kesalahan yang besar sekali.”

“Sudahlah Ki Bekel, “sahut Ki Buyut, “luka-lukamu itu akan segera sembuh. Karena itu, beristirahatlah dengan baik. Ki Jagabaya akan menungguimu.”

“Katakan Ki Buyut, bahwa Ki Buyut akan memaafkan aku,” berkata Ki Bekel tersendat-sendat.

Ki Buyut menyentuh bahu Ki Bekel sambil berkata, “aku sudah memaafkanmu. Kau tidak akan melakukan kesalahan lagi.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mengembalikan jabatan yang bukan hakku itu.”

“Jangan kau pikirkan sekarang,” berkata Ki Buyut.

Ki Bekel tidak berkata-kata lagi. Namun pada wajahnya nampak penyesalan yang mendalam. Sementara itu tabib yang mengobatinya telah bekerja lagi untuk memampatkan darah yang mulai mengalir dari luka itu.

Sejenak kemudian Ki Buyut, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan Ki Bekel yang terbaring. Sementara seorang yang lain pun masih juga terbaring beberapa langkah di sebelah Ki Bekel. Orang yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang panjang itu ternyata mengeluh dan merintih tidak henti-hentinya. Bahkan ia telah menangis tertahan-tahan.

Ketika Ki Buyut mendekatinya, orang itu berkata, “Ki Buyut. Tulang punggungku patah.”

“Tidak,” jawab Ki Buyut, “kau tidak apa-apa. Kau hanya terkejut dan terjatuh. Kau tidak luka, selain beberapa bagian kulitmu terkelupas, seperti anak-anak yang terjatuh waktu berlari-lari.”

Orang itu menjadi heran. Dengan ragu ia bertanya, “jadi aku tidak apa-apa?”

“Tidak,” jawab Ki Buyut, “kecuali jika kau memang cengeng.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun ketika Ki Buyut meninggalkannya, maka ia pun telah mencoba untuk bangkit. Ternyata bahwa tubuhnya memang tidak terasa terlalu sakit lagi. Meskipun masih juga ada tulang-tulangnya yang rasa-rasanya kurang mapan, tetapi ternyata bahwa tubuhnya memang tidak terlalu sakit sehingga ia perlu merintih dan bahkan menangis. Seorang anak muda tiba-tiba mendekatinya, sehingga wajahnya menjadi pucat. Mahisa Pukat dengan kerut di kening menghampirinya.

“Kau tidak pantas menangis. Tubuhmu yang tinggi kekar dan jambangmu yang panjang memberikan kesan kejantanan. Tetapi ternyata kau lebih cengeng dari seorang perempuan,” desis Mahisa Pukat.

Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Dirabanya jambangnya yang panjang. Kemudian sekali lagi ia merasakan apakah ia sakit atau tidak. “He, aku tidak sakit. Tubuhku tidak apa-apa. Aku memang memiliki daya tahan melampaui orang lain,” berkata orang itu kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka orang itu tidak berbaring lagi. Ia juga tidak mau merintih dan apalagi menangis. Dengan tegap ia melangkah keluar banjar.

Di halaman banjar ia melihat kawan-kawannya bertebaran di halaman dan di serambi gandok. Mereka duduk dengan gelisah tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.

Sementara itu Mahisa Pukat telah menyusul Mahisa Murti yang berjalan di samping Ki Buyut di halaman. Dengan nada rendah Ki Buyut berkata, “Aku atas nama seisi Kabuyutan ini mengucapkan terima kasih anak muda. Kehadiran kalian, tanpa kalian sengaja telah memberikan arti yang sangat besar. Ki Bekel adalah orang yang tidak dapat diatur lewat paugeran yang manapun. Ia merasa dirinya tidak dapat dilawan oleh siapapun di Kabuyutan ini. Bahkan ia berhasil mempengaruhi hampir seisi padukuhannya. Orang-orang padukuhan ini merasa mendapat perlindungan dari orang terkuat sehingga mereka pun bertingkah laku seperti Ki Bekel pula dalam ukuran yang lebih kecil.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. “Itulah agaknya yang membuat anak-anak mudanya juga bersikap keras dan memaksa untuk membuka kerudung patung itu.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Buyut, “kami ingin mempersilahkan Ki Sanak singgah di Kabuyutan barang sejenak.”

“Terima kasih Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “kami harus melanjutkan perjalanan kami. Kami sudah terlalu lama berada di perjalanan ini.”

“Mudah-mudahan untuk selanjutnya Ki Bekel akan menjadi baik. Menilik sikapnya yang terakhir, maka aku kira ia akan mendapatkan kesadarannya, bahwa ia adalah warga Kabuyutan yang baik pula. Sedangkan Ki Jagabaya, meskipun bukan orang yang memang berasal dari Kabuyutan ini, namun agaknya ia pun menyadari, bahwa yang dilakukannya selama ini telah merugikan tatanan kehidupan di Kabuyutan ini. Apalagi jika Ki Bekel yang membawanya kemari sudah berubah pula.”

“Ki Buyut,” berkata Mahisa Murti, “jika tugasku sudah selesai, maka aku akan kembali ke Kabuyutan ini. Aku akan melihat, apa yang dilakukan oleh Ki Bekel itu kemudian. Jika ia memang tidak mungkin berubah lagi, maka kita akan memikirkan langkah-langkah selanjutnya.”

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Ki Buyut. Lalu ia-pun tiba-tiba bertanya, “Tetapi apakah yang sebenarnya Ki Sanak bawa itu?”

“Sebuah patung,” jawab Mahisa Murti, “tetapi kami memang tidak dapat membukanya sebelum kami serahkan kepada Sri Maharaja di Singasari.”

“Sri Maharaja di Singasari? Jadi kalian berhubungan dengan Sri Maharaja?” bertanya Ki Buyut.

“Ya,” jawab Mahisa Murti singkat.

Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika persoalan yang timbul di Kabuyutan ini menghambat kehadiranmu di istana Singasari sampaikan permohonan maafku kepada Sri Maharaja. Kau tahu apa yang terjadi di Kabuyutan ini.”

“Bukan salah kalian di sini,” jawab Mahisa Murti, “roda pedati kamilah yang rusak.”

Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Katanya, “terserah kepada kebijaksanaan kalian. Kalian telah menunjukkan kebesaran jiwa kalian.”

Mahisa Murti dan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun kemudian berpaling kepada Mahisa Pukat sambil berkata, “Marilah. Pedati itu mudah-mudahan sudah selesai.”

“Silahkan anak-anak muda. Biarlah aku tetap berada di banjar,” berkata Ki Buyut.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah minta diri. Keduanya meninggalkan Ki Buyut yang mengantar mereka sampai ke pintu gerbang. Demikian keduanya meninggalkan Ki Buyut, maka keduanya pun mempercepat langkah mereka menuju ke tikungan yang tajam, tempat mereka meninggalkan pedati mereka yang sedang diperbaiki.

Ketika keduanya sampai di pedati itu, ternyata usaha untuk memperbaikinya sudah hampir selesai. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak perlu lagi membantunya. Mereka tinggal menunggu saja, sehingga akhirnya roda pedati yang hampir lepas itu telah menjadi baik kembali.

“Kita sudah selesai,” berkata prajurit Singasari yang juga menjadi pemahat batu itu, “kita sudah siap berangkat.”

“Terima kasih,” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi beri kesempatan kami untuk minum,” desis adiknya, yang juga seorang pemahat.

“Silahkan,” sahut Mahisa Pukat, “aku pun ingin beristirahat barang sejenak.”

Demikianlah untuk beberapa saat, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seluruh iring-iringan masih beristirahat. Mereka masih sempat minum dari air yang mereka bawa di dalam impes-impes mereka. Baru setelah keringat mereka menjadi kering, maka Mahisa Murti pun bertanya kepada mereka, “Apakah kita dapat berangkat sekarang?”

“Marilah,” sahut salah seorang di antara para pengawal patung itu.

Beberapa yang lain pun telah menyahut pula, “Kami sudah siap.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, kakak beradik prajurit Singasari yang menjadi pemahat itu pun segera bersiap pula. Lembu yang menarik pedati itu pun agaknya telah cukup lama pula beristirahat serta telah minum dan makan secukupnya. Karena itu, maka sejenak kemudian iring-iringan itu pun telah bersiap pula untuk berangkat.

Tetapi langkah yang baru akan menapak itu pun telah tertegun. Mereka melihat orang-orang padukuhan berdatangan pula. Di paling depan adalah justru Ki Buyut serta beberapa orang pengawalnya serta Ki Jagabaya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun tanpa mengucapkan sepatah kata pun keduanya segera melangkah menyongsong orang-orang yang dengan tergesa-gesa datang mendekati iring-iringan yang sudah hampir berangkat itu.

Kedua kakak beradik prajurit Singasari itu pun telah bersiap pula, sementara orang-orang padepokan yang mengawal patung itu pun dengan sigapnya telah menempatkan diri. Jika terjadi sesuatu maka mereka pun telah siap untuk bertindak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin tidak mengerti ketika mereka melihat Ki Buyut melambai-lambaikan tangannya sebelum ia menjadi semakin dekat.

“Apa sebenarnya yang terjadi,” desis Mahisa Murti.

“Kami sudah berbuat sebaik-baiknya,” berkata Mahisa Pukat. “tetapi jika yang telah kami lakukan itu ditanggapi sebaliknya, apa boleh buat. Kami benar-benar akan berbuat kasar.”

Mahisa Murti tidak menyahut. Ia dapat mengerti perasaan Mahisa Pukat. Bahkan perasaannya sendiri pun agaknya tidak jauh berbeda dengan perasaan Mahisa Pukat itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tertegun pula ketika mereka melihat Ki Buyut itu berlari-lari. Hampir berteriak ia berkata,

“Jangan salah mengerti. Kami datang untuk maksud baik. Kami ingin memberikan penghormatan kami pada saat kalian berangkat untuk meneruskan perjalanan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak membawa senjata lagi di tangan mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berkata kepada orang-orangnya, “Tenanglah. Mereka bermaksud baik.”

Sebenarnyalah, Ki Buyut dan Ki Jagabaya sama sekali tidak lagi menunjukkan sikap bermusuhan. Beberapa orang di-antara orang-orang padukuhan itu ikut mendekat. Tetapi yang lain masih juga merasa ragu. Mereka takut jika terjadi salah paham.

“Anak-anak muda,” berkata Ki Buyut, “ternyata Ki Jagabaya ingin juga berbicara sejenak, mewakili orang-orang Kabuyutan ini.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melangkah mendekat, diikuti oleh kedua orang prajurit Singasari itu. Bagaimanapun juga masih ada kecurigaan mereka terhadap orang-orang padukuhan itu, terutama Ki Jagabaya.

Namun Ki Jagabaya itulah yang kemudian melangkah mendekat sambil berkata, “Anak-anak muda. Perkenankanlah kami mohon maaf atas segala tingkah laku kami. Kami bukan saja telah menghambat perjalanan kalian ke Singasari. Tetapi kami juga telah menyinggung perasaan kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, “Sudahlah Ki Jagabaya. Lupakan. Soalnya kemudian adalah, bagaimana selanjutnya.”

“Kami mengerti. Kami akan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Karena aku berbicara atas nama semua orang padukuhan.” Ki Jagabaya itu pun berhenti sejenak, lalu “Kami-pun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perlakuan kalian terhadap kami. Bukankah jika kalian kehendaki, kami telah hancur. Mungkin korban akan jatuh berserakan tanpa dapat dihitung. Dan aku sendiri pun tidak akan lagi dapat melihat cahaya matahari.”

“Sudahlah,” desis Mahisa Murti, “kami mohon diri. Semoga untuk selanjutnya, semua akan berjalan dengan baik.”

“Selamat jalan anak-anak muda,” desis Ki Jagabaya, “selamat jalan semuanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk segera bersiap kembali di tempat mereka masing-masing. Sementara itu, sekali lagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah mohon diri kepada Ki Buyut dan memberikan isyarat pula kepada seluruh orang-orang padukuhan yang masih ragu-ragu itu. Serentak orang-orang padukuhan itu mengangkat tangan mereka. Melambai-lambai dan mengucapkan selamat jalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Sementara itu Ki Buyut mendekati mereka pula sambil berkata, “Selamat jalan, anak-anak muda. Tidak ada batasnya terima kasih kami semuanya kepada kalian. Kami melihat masa depan yang lebih cerah bagi Kabuyutan yang miskin ini.”

“Mudah-mudahan Ki Buyut,” jawab Mahisa Pukat, “lain kali kami akan singgah untuk melihat perkembangan dari Kabuyutan ini.”

“Kami akan menunggu kehadiran kalian anak-anak muda,” jawab Ki Buyut.

Demikianlah maka iring-iringan itu pun mulai bergerak. Pedati yang sudah diperbaiki itu berjalan lagi meninggalkan tikungan yang tajam hampir saja membuat segalanya menjadi rusak dan hancur.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan kedua kakak beradik prajurit Singasari yang telah memahat patung itu pun berjalan di paling depan. Bagaimanapun juga mereka menjadi cemas bahwa hal yang serupa akan dapat terjadi di perjalanan, karena setiap kali mereka masih saja menjumpai orang-orang yang bertanya, apakah yang berada dibawah kerudung kain putih itu.

Dan setiap kali dijawab bahwa yang dibawa itu adalah sebuah patung, maka pada umumnya mereka tidak mempercayainya, atau mendorong mereka ingin melihatnya. Namun beruntunglah, bahwa tidak ada segolongan orang yang hendak memaksa membuka kerudung itu, sebagaimana dilakukan sekelompok orang padukuhan yang dipimpin oleh seorang Bekel yang keras dan kasar. Bahkan yang telah merebut kedudukannya dengan kekerasan pula.

Semakin lama iring-iringan itu pun akhirnya mendekati Kota Raja pula. Namun mereka terpaksa bermalam tiga malam sepanjang perjalanan mereka. Pedati itu berjalan lambat sekali, bahkan kadang-kadang rasa-rasanya tidak pernah maju dari tempatnya apabila mereka melintasi jalan-jalan yang berlubang-lubang atau menanjak.

Ketika iring-iringan itu mendekati pintu gerbang, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menghentikan mereka. Kepada prajurit Singasari yang telah membuat patung yang akan dipersembahkan kepada Sri Maharaja itu, Mahisa Murti berkata,

“Aku akan memberitahukan kehadiran kita agar tidak menimbulkan salah paham. Jika para prajurit di pintu gerbang ingin juga melihat apa yang tersembunyi dibalik kerudung itu, maka kita akan mengalami kesulitan.”

“Baiklah,” jawab prajurit itu, “tetapi cepatlah kembali.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendahului iring-iringan itu menuju ke istana Singasari. Keduanya telah menemui Mahisa Agni untuk menyampaikan pemberitahuan bahwa patung yang mereka bawa telah berada di luar kota, tidak terlalu jauh dari pintu gerbang.

“Kenapa tidak kau bawa masuk saja?” bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Murti pun kemudian memberikan keterangan tentang kemungkinan yang tidak mereka inginkan. Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku dan pamanmu Witantra akan menyongsong kalian.”

“Jadi kami harus menunggu paman diluar pintu gerbang,” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita pergi bersama-sama,” jawab Mahisa Agni.

Dengan gembira Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menuju ke tempat iring-iringannya berhenti. Bersama Mahisa Agni dan Witantra mereka tentu tidak akan diganggu oleh siapa-pun juga.

Sebenarnyalah, bahwa iring-iringan itu pun mulai bergerak lagi setelah Mahisa Agni dan Witantra sampai ke tempat mereka menunggu. Mereka akan dapat melewati pintu gerbang dengan aman. Tidak seorang pun yang akan berani memaksa membuka kerudung itu.

Ternyata perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu benar. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang, para penjaga memang menyatakan bahwa seharusnya kerudung itu dibuka. Mereka curiga bahwa apa yang disembunyikan itu tidak wajar yang akan dapat mengacaukan Kota Raja. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra agaknya menjadi tanggungan, sehingga para prajurit Singasari tidak berani memaksanya.

“Aku tahu pasti apa yang disembunyikan itu,” berkata Mahisa Agni, “sama sekali bukan benda-benda yang berbahaya. Tetapi sesuatu yang sangat berharga, yang hanya dapat dibuka oleh Sri Maharaja di Singasari sendiri.”

Para prajurit itu tidak ada yang berani membantah. Mereka mengenal siapakah Mahisa Agni dan Witantra yang sudah menjadi semakin tua itu. Namun keduanya masih tetap orang-orang penting di istana Singasari. Iring-iringan itu pun kemudian telah memasuki pintu gerbang kota. Atas perintah Mahisa Agni maka pedati itu pun telah langsung menuju ke istana.

Tetapi Mahisa Agni telah membawa pedati itu ke bagian belakang istana Singasari. Patung itu masih belum diketahui oleh Sri Maharaja, bahwa telah berada di istana. Karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra harus memberitahukan kedatangannya kepada Sri Maharaja.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah merasa tenang bahwa patung itu sudah berada di dalam lingkungan istana, sehingga tidak akan diganggu lagi oleh siapa pun juga. Para penghuni padepokan Suriantal yang mengawal patung itu pun telah mendapat tempat yang baik selama mereka berada di Singasari.

Hari itu juga Mahisa Agni dan Witantra telah mendapat kesempatan untuk menghadap Sri Baginda. Mereka pun langsung menyampaikan laporan, bahwa patung yang pernah diberitahukan itu telah berada di Singasari.

“Jadi mereka telah membawa patung itu kemari?” bertanya Sri Maharaja.

“Hamba Sri Maharaja,” jawab Mahisa Agni, “patung itu masih tetap berada diatas pedati besar yang dipergunakan untuk mengusung patung itu.”

“Baiklah,” berkata Sri Maharaja, “biarlah patung itu tetap di tempatnya. Besok aku baru akan melihat, ujud dari patung itu, sehingga aku akan dapat menempatkannya di tempat yang paling sesuai.”

“Segala sesuatunya kami serahkan kepada Sri Maharaja,” jawab Mahisa Agni.

Malam itu patung itu bermalam di bagian belakang istana Singasari. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun mendapat tempat pula di bagian belakang istana itu bersama para penghuni padepokan yang ikut bersama. Sedang dua orang prajurit Singasari yang ikut bersama mereka, tidak pula segera kembali ke kesatuan. Mereka akan ikut serta menyerahkan patung itu. Bahkan mereka merupakan orang-orang penting yang akan terlibat dalam upacara pembukaan selubung patung itu.

Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Sri Maharaja, maka ia berkenan untuk melihat patung itu bersama Ratu Angabaya. Ketika patung itu kemudian terbuka, maka Sri Maharaja itu pun telah terkejut. Batu itu berwarna kehijauan. Bukan seperti batu kebanyakan.

Sementara itu kedua orang pemimpin tertinggi Singasari itu telah melihat satu pahatan patung yang bagus sekali. Kecuali batu itu sendiri merupakan batu yang jarang terdapat, maka pahatan patung itu pun berupa perlambang dari persatuan dan keperkasaan Sri Maharaja sendiri dengan Ratu Angabaya.

Sekilas wajah Sri Maharaja itu berseri. Namun kemudian Sri Maharaja itu bergumam, “Sayang.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. “Apakah Sri Maharaja tidak berkenan dengan patungnya itu?”

Namun Sri Maharaja itu berkata, “Patung itu bagus sekali. Batunya pun batu yang sangat berharga. Sebesar batu untuk cincin pun harganya tentu sudah tinggi. Apalagi batu sebesar itu.”

Mahisa Murti, Mahisa Pukat serta kedua pemahatnya, bahkan Mahisa Agni dan Witantra yang menunggui juga, menjadi berdebar-debar melihat sikap Sri Maharaja. Namun kemudian mereka pun mengerti, apakah yang membuat Sri Maharaja kecewa.

“Aku kagum pada patung itu bahkan dengan bahannya pula. Jika aku tahu sebelumnya, maka aku akan dapat membuat patung perlambang kasukmaan. Bukan sekedar kewadagan, meskipun yang kewadagan itu pun sangat berharga bagi kami.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sri Maharaja memang kecewa. Tetapi justru karena ia sangat mengagumi batu yang dipergunakan untuk membuat patung itu.

Namun sejenak kemudian Sri Maharaja itu berkata, “Aku sangat berbangga dengan patung yang berbentuk sepasang ular naga itu.”

Mahisa Agni pun kemudian memberitahukan kepada Sri Maharaja bahwa pemahat patung itu adalah dua orang kakak beradik prajurit Singasari dibantu oleh dua orang dari padepokan itu sendiri.

“Dua orang prajurit Singasari?” bertanya Sri Maharaja.

“Hamba Sri Maharaja,” jawab Mahisa Agni sambil menunjuk kepada kedua orang prajurit itu.

Sri Maharaja ternyata sangat berkenan di hati. Sambil mengangguk-angguk ia berkata kepada Panglima prajurit Singasari, “Mereka berhak naik pangkat mendahului masa kenaikannya dua tingkat lebih tinggi.”

Panglima prajurit Singasari itu mengerutkan keningnya. Namun nampaknya ia tidak mengerti kenapa Sri Maharaja mengambil keputusan demikian cepat.

“Kenapa?” bertanya Sri Maharaja yang melihat sorot mata Panglima yang agak kebingungan itu.

“Ampun Sri Maharaja,” jawab Panglima itu, “hamba akan melaksanakan segala perintah. Namun perkenankan hamba mengetahui kenapa keduanya mendapat penghormatan begitu tinggi, justru keduanya tidak melakukan tugas keprajuritan. Apalagi melakukan satu tugas penting yang sangat berarti bagi keprajuritan Singasari.”

Sri Maharaja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Panglima. Keduanya berhak mendapat penghormatan yang sangat tinggi, justru karena keduanya telah melakukan satu tugas yang sangat berarti tanpa memilih tugas khusus yang harus diembannya. Seorang prajurit memang pantas dihargai jika ia dapat berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi keprajuritan di Singasari. Tetapi keduanya pun berhak mendapat penghargaan karena keduanya telah melakukan pekerjaan yang besar justru diluar bidang keprajuritan. Seorang prajurit di Singasari harus dapat melakukan tugas keprajuritannya dengan baik, tetapi juga tugas lainnya di luar bidang keprajuritan.”

Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya, “Hamba mengerti Sri Maharaja.”

“Nah, jika demikian kau dapat memerintahkan kepada yang berwenang untuk melaksanakan perintahku secepatnya,” berkata Sri Maharaja.

“Hamba Sri Maharaja. Hamba akan melakukan secepatnya,” jawab Panglima itu.

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Ketika ia kemudian memandangi patung itu lagi, maka ia pun berkata, ”Aku akan menentukan tempat yang paling baik bagi patung ini. Patung ini sesuai dengan ujudnya sebagai perlambang kewadagan, akan aku tempatkan di tempat yang paling banyak didatangi oleh para prajurit. Tidak hanya di halaman salah satu barak, tetapi jika mungkin di tempat lain yang lebih baik.”

“Ampun Sri Maharaja,” berkata Panglima prajurit itu, “jika demikian bagaimana jika patung itu ditempatkan di ara-ara tempat para prajurit melakukan gladi perang?”

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Batu itu adalah batu yang sangat berharga. Apakah batu itu tidak akan diambil orang jika ditempatkan di ara-ara terbuka tempat para prajurit melakukan gladi perang.”

Panglima itu mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia berkata, “Ditugaskan kepada para prajurit untuk menjaganya. Didirikan gardu bagi mereka yang khusus menjaga patung itu.”

Sri Maharaja Singasari mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku sependapat. Akan didirikan sebuah gardu yang khusus untuk menjaga patung itu di ara-ara tempat para prajurit menempa diri. Meskipun tempat itu tidak akan sama nilainya dengan tempat-tempat khusus bagi kegiatan rohani, namun tempat itu akan dapat menjadi tempat yang memberikan kebanggaan bagi Singasari jika mereka memang benar mengakui kesatuan rasa dan pikir dari para pemimpinnya.”

“Jika demikian, maka titah Sri Maharaja hamba tunggu,” sahut Panglima itu.

Sri Maharaja berpikir sejenak. Ia pun kemudian berpaling kepada Ratu Angabaya sambil berdesis, “Apakah pendapatmu?”

“Hamba sependapat dengan Sri Maharaja?” jawab Ratu Angabaya.

Sri Maharaja mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Panglima prajurit Singasari itu, “perintahkan untuk membangun sebuah gardu yang pantas. Alas dari patung yang besar dan berat itu. Jika semuanya sudah siap, maka akan diadakan upacara peresmian patung itu sebagai kebanggaan dan lambang persatuan rakyat Singasari. Semuanya harus siap dalam waktu dekat, sehingga anak-anak muda itu tidak menunggu terlalu lama di sini.”

Demikianlah, ketika kemudian Sri Maharaja meninggalkan tempat patung yang besar itu bersama Ratu Angabaya, maka Panglima itu pun telah berusaha untuk mendengarkan pendapat Mahisa Agni dan Witantra sebagai orang-orang tua yang memiliki pengaruh yang besar di Singasari.

Ternyata bahwa Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai terlalu banyak pendapat. Mereka hanya memberikan beberapa keterangan tentang patung itu sebagaimana yang mereka ketahui. Alas patung itu memang harus kuat sehingga patung itu lambat laun tidak akan semakin dalam terperosok ke dalam tanah. Sedangkan menurut mereka, gardu itu jangan terlalu dekat dengan patung yang akan ditempatkan di ara-ara itu agar tidak mengganggu pandangan dan mengurangi keindahan ujudnya.

“Terima kasih,” berkata Panglima itu, “aku akan melakukannya. Dalam waktu dekat, gardu itu tentu sudah jadi. Alas itu pun akan segera siap pula, sehingga patung itu akan segera pula dapat ditempatkan.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian patung itu pun telah, ditutup kembali. Panglima itu bergegas pula meninggalkan tempat itu. Ia harus segera mulai merencanakan pembangunan sebuah gardu yang khusus yang tentu saja harus sesuai dengan nilai patung yang dipahat dari batu yang berwarna kehijau-hijauan itu. Jika rencana itu kemudian disetujui Sri Maharaja, maka pembangunannya pun harus segera dilakukan pula.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berada di Singasari untuk waktu yang agak lama bersama orang-orangnya. Namun mereka selama berada di Singasari telah mendapat tempat dan kelengkapan yang lain dengan sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, maka Panglima prajurit Singasari itu pun telah menyiapkan sebuah rencana yang mapan dalam waktu dekat. Ketika rencana itu ditunjukkan kepada Sri Maharaja, maka Sri Maharaja pun telah sependapat. Tidak banyak perubahan yang diberikan oleh Sri Maharaja. Hanya beberapa bagian dari gardu yang besar itu telah diberinya sayap, sehingga dengan demikian maka gardu itu bukan saja merupakan tempat untuk para prajurit yang menjaga patung itu. Tetapi juga merupakan tempat yang cukup luas untuk beristirahat bagi para prajurit yang sedang berlatih. Dari tempat itu, mereka dapat melihat patung itu dengan jelas.

Dengan persetujuan Sri Maharaja, maka pembangunan gardu itu pun segera dilaksanakan. Tetapi untuk itu Sri Maharaja mengisyaratkan bahwa bahannya bukan batu. Tetapi kayu. Kecuali untuk alasnya dan umpak tiang-tiangnya.

Panglima itu telah memanggil sejumlah tukang kayu yang mumpuni. Mereka harus menyelesaikan gardu itu dalam waktu yang secepat-cepatnya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang harus menunggu penyelesaian dari alas patung dan gardu itu, mempunyai waktu untuk mengunjungi ayahnya atas ijin Mahisa Agni. Bahkan atas permintaan Mahisa Agni, maka Mahendra-pun telah diundang untuk datang ke Singasari, menyaksikan nanti pada saatnya peresmian patung yang ditempatkan di ara-ara tempat para prajurit Singasari berlatih.

Ketika semuanya sudah hampir siap, maka sampailah saatnya untuk merencanakan pula cara menempatkan patung diatas alasnya yang terbuat dari batu. Hal itu ternyata bukan satu pekerjaan yang mudah. Patung itu sangat berat, sehingga tidak mungkin untuk dapat diangkat. Karena itu maka diperlukan cara yang paling tepat untuk melakukannya.

“Kita harus mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk dapat mengangkat patung itu. Kita memerlukan pula kayu-kayu yang besar dan panjang diatas alas patung itu,” berkata Mahisa Agni.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah tanggap. Memang cara yang dapat ditempuh adalah cara sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Agni itu. Karena itu, kepada Panglima prajurit Singasari itu Mahisa Murti telah mengajukan rencananya pula untuk menempatkan patung yang besar dan berat itu.

“Diperlukan empat atau lima batang balok yang besar dan kukuh. Kemudian sebuah belandar balok kayu yang bulat dan kuat pula. Tampar-tampar dari serat nanas dan lembu-lembu penarik pedati itu,” berkata Mahisa Murti.

Panglima itu pun mengerti rencana itu. Karena itu, maka ia-pun harus mengusahakannya. Pada saat yang ditentukan, maka segala-galanya telah disiapkan. Pada saat gardu yang besar itu hampir selesai, maka segala sesuatunya untuk memasang patung itu pun telah siap pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menyiapkan patungnya pula untuk dibawa ke ara-ara. Setelah patung itu dilihat oleh Sri Maharaja, maka rasa-rasanya kerudung itu bukan lagi harus dipertahankan mati-matian. Namun demikian ketika kemudian patung itu dibawa ke ara-ara, maka kerudung itu masih juga menutupinya.

Ketika patung itu mulai bergerak dari bagian belakang istana Singasari, maka ara-ara yang cukup luas itu telah diberi gawar, sehingga tidak lagi seorang pun yang tidak berkepentingan dapat masuk. Di bagian-bagian yang terbuka telah dijaga oleh prajurit-prajurit bersenjata.

Namun ketika pedati yang membawa patung itu mulai bergerak keluar istana, maka sebuah iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang telah mengikutinya. Namun ketika pedati itu memasuki ara-ara, maka orang-orang yang mengiringi harus tinggal di luar gawar. Hanya mereka yang memang mengawal patung itulah yang boleh memasuki ara-ara. Para pengawal yang mengikuti perjalanan patung itu dari padepokan Suriantal.

Ternyata bahwa hari itu, patung itu masih belum dapat diangkat dan dipasang di tempat yang telah disediakan. Masih harus dilakukan beberapa persiapan lagi. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menjaga dan mengawasi patung itu sampai saatnya patung itu dipasang dan siap untuk diresmikan.

Karena itu maka malam itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta para pengawal yang menyertainya tidak lagi tidur di ruang yang hangat di istana. Tetapi mereka tidur di gardu bersayap yang besar yang ada di ara-ara itu, meskipun gardu itu masih dalam tataran penyelesaian.

Namun hal itu tidak menjadi persoalan. Bahwa mereka masih berada di bawah atap ternyata masih cukup baik dibandingkan jika mereka harus bermalam di pategalan-pategalan atau bahkan di padang rumput sekalipun.

Seperti yang direncanakan, maka peresmian dari patung itu akan dilakukan oleh Sri Maharaja di Singasari sepekan mendatang. Karena itu, maka semua orang harus bekerja keras sehingga pada saat yang telah ditentukan, tidak lagi mengecewakan. Pekerjaan yang masih meragukan penyelesaiannya telah dikerjakan siang dan malam sehingga para petugas yakin bahwa sepekan lagi, semuanya sudah siap.

Karena itulah, maka ara-ara itu siang dan malam seakan-akan tidak pernah menjadi lengang. Di malam hari, di beberapa tempat terpasang obor-obor besar untuk menerangi para pekerja yang sibuk.

Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sudah mulai merasa gelisah. Jika usahanya memasang patung itu gagal diselesaikan dalam lima hari, maka segalanya akan menjadi kacau. Karena itu, maka dalam kegelisahan itu Mahisa Murti berkata,

”Besok kita harus sudah dapat menyiapkan semua peralatan yang diperlukan. Yang ada ini ternyata baru sebagian. Kita belum mempunyai tali-tali yang kita perlukan untuk menarik batu itu.”

“Bukankah kita sudah menyampaikan semua kebutuhan kita?” sahut Mahisa Pukat, “tetapi ternyata masih juga ada yang terlambat.”

“Biarlah besok kita sampaikan lagi kekurangan itu,” berkata Mahisa Murti. “Namun kita besok sebaiknya mulai dengan kerja yang dapat kita lakukan.”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Apapun yang dapat kita lakukan, besok kita akan melakukannya. Sepekan itu pada saatnya akan terasa terlalu singkat.”

Demikianlah, maka malam itu Mahisa Murti harus tidak dalam keadaan yang kurang tenang. Setiap kali ia dibayangi oleh waktu yang tinggal sepekan. Namun agak berbeda dengan Mahisa Pukat, la merasa bahwa apa pun yang dipikirkannya, namun tidak ada pilihan lain bahwa besok mereka baru dapat mulai berbuat sesuatu.

Sementara itu, para pengawal yang ikut dari padepokan Suriantal pun telah tertidur nyenyak. Demikian juga kedua orang prajurit yang telah memahat patung itu. Tetapi menjelang pagi Mahisa Murti pun sempat juga tidur beberapa lama.

Ketika fajar menyingsing, maka mereka pun telah terbangun pula. Di bagian lain dari ara-ara itu, beberapa pekerja masih juga sibuk menyelesaikan pintu gerbang ara-ara itu. Sedangkan di sisi yang lain, beberapa puluh pekerja menyelesaikan pagar kayu yang tidak terlalu tinggi di seputar ara-ara itu. Beberapa buah obor masih terpasang, sementara langit menjadi semakin merah.

Mahisa Murti, Mahisa Pukat, dua orang pemahat patung itu dan para pengawal yang lain pun segera membenahi diri. Mereka telah pergi ke sungai terdekat untuk mandi. Demikian matahari terbit, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk mulai dengan kerja mereka. Hari mereka telah susut satu lagi, sehingga waktu yang tersedia itu tinggal empat hari.

Dengan bahan-bahan yang ada, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai mempersiapkan peralatan yang akan dipergunakan untuk memasang patung yang besar itu. Dengan bantuan batang-batang kayu yang besar yang dipasang tegak saling bersandar dengan belandar sebuah balok yang bulat, maka mereka akan mengangkat patung itu, kemudian pedati itu harus digeser sehingga patung itu akan dapat diletakkan di tanah.

Kemudian dengan tenaga manusia patung itu diangkat dengan beberapa utas tali dan kayu-kayu panjang untuk memikul patung yang besar itu. Patung itu kemudian akan diangkat dan digantungkan dengan bantuan alat yang sama dan perlahan-lahan diletakkan diatas alas yang terlalu tinggi jika dilakukan langsung dari bahu para pemikulnya.

Namun agaknya mereka memang masih harus menunggu tambang serat nanas yang mereka butuhkan. Ternyata bahwa setelah matahari naik diatas pepohonan, barulah tambang serat nanas itu diterima oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka mereka pun mulai dengan kerja sepenuhnya. Bersama-sama para pengawal yang mengiringkan patung itu dari padepokan Suriantal mereka telah mendirikan balok-balok kayu yang besar dan panjang.

“Untunglah bahwa kita datang bersama beberapa orang“ desis Mahisa Pukat.

“Ya,” pemahat itulah yang menjawab, “meskipun di sini banyak orang, tetapi agaknya mereka mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Tetapi seandainya kita tidak membawa banyak kawan, maka aku akan dapat memanggil kawan-kawanku dari kesatuanku.”

“Kau memerlukan ijin untuk itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Tentu,” jawab pemahat yang juga prajurit Singasari itu, “tetapi untuk kerja besar seperti ini, mereka tentu akan mendapat ijin.”

“Tetapi sekarang agaknya kita belum memerlukannya,” berkata Mahisa Murti.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara itu, maka ia-pun telah ikut bekerja keras untuk mengangkat patung itu dan kemudian menyingkirkan pedati yang besar dan meletakkan patung itu ke tanah.

Semakin tinggi matahari, maka kerja di ara-ara itu pun menjadi semakin riuh. Semua bagian yang belum selesai, telah dikerjakan dengan mengerahkan tenaga sebanyak-banyaknya. Siang dan malam. Namun Panglima prajurit Singasari agaknya yakin bahwa semuanya akan dapat diselesaikan dengan baik. Pintu gerbang, pagar keliling sebagaimana gawar yang terentang. Gardu bersayap yang besar dan alas bagi patung yang berat itu.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bekerja keras pula. Namun baru sesaat setelah matahari melewati puncaknya, patung batu itu terangkat. Beberapa orang kemudian menarik pedati yang besar beberapa langkah maju. Dengan tambang-tambang serat nanas patung itu bagaikan diayun-ayunkan. Perlahan-lahan patung itu diturunkan sehingga akhirnya terletak di atas tanah.

Namun mereka harus memindahkan balok-balok itu dekat dengan alas yang sudah disediakan sebelumnya. Kemudian mendirikan lagi balok-balok kayu yang besar dan panjang saling bersandar untuk membuat dua kaki bagi gantungan tali-tali yang akan mengangkat patung itu pada blandar yang bulat dan besar.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat menempatkan patung mereka pada hari itu. Demikian mereka selesai dengan mendirikan balok-balok hari itu, maka hari akan menjadi gelap. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat belum menganggap perlu bekerja di malam hari.

Karena itu, di malam hari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orangnya sempat beristirahat di dalam gardu yang besar itu. Meskipun tanpa alas, mereka dapat tidur dengan nyenyak, karena kelelahan. Setelah mandi di sungai dan makan malam, maka mereka pun telah berbaring silang melintang di atas lantai batu tanpa alas. Bahkan dalam waktu singkat mereka pun telah tertidur. Hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih keluar lagi dari gardu yang besar itu untuk melihat-lihat patung yang sudah siap untuk diangkat besok.

Karena di pintu gerbang dan di seputar ara-ara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat orang-orang yang bekerja di bawah sinar obor, maka ia pun tidak mencemaskan patung batunya. Tentu tidak mungkin ada orang yang dapat mengambil patung batu sebesar itu tanpa dilihat oleh para pekerja atau oleh para petugas yang menunggui kerja itu.

Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun kemudian telah kembali ke gardu untuk ikut berbaring pula di antara para pekerja. Bahkan sejenak kemudian mereka pun telah tertidur nyenyak...

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.