Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 28
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG yang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tunggu sampai besok. Jika gurumu tidak datang, aku akan melakukannya. Aku sudah terlalu lama berada disini.”

“Terserah kepada paman. Tetapi kami hanya ingin memperingatkan, bahwa di Kediri ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang mungkin dapat terlepas dari ilmu sirep paman.”

Berbeda dengan kebiasaannya, orang bertubuh gemuk itu menanggapinya dengan sungguh-sungguh, “Kita memang harus berhati-hati. Aku tidak mengingkari kemungkinan bahwa ada orang yang memiliki kelebihan. Tetapi apakah setiap hari orang-orang memiliki ilmu yang tinggi itu selalu ada diantaranya para prajurit pengawal?”

“Itulah yang akan kami selidiki lebih dahulu,” jawab orang bertubuh kecil itu, “Karena itu, agaknya lebih baik bagi kita untuk mendekati Kediri setelah besok guru tidak datang.”

Dengan demikian maka mereka telah menunggu satu hari lagi. Tetapi guru orang-orang bertongkat itu memang tidak datang. Karena itu, maka mereka pun telah sepakat untuk pergi ke Kediri. Mereka akan mulai merintis jalan untuk menyelesaikan tugas mereka yang berat itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai menjadi gelisah. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaannya itu kepada Mahisa Agni dan Witantra, betapapun mereka membicarakannya diantara keduanya.

Namun satu perkembangan baru telah terjadi. Orang yang nampak sekali-sekali melintas dalam garis pengamatan itu tidak lagi nampak. Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah orang itu telah melepaskan pengamatannya atas keempat orang dari Singasari itu.

“Apa sebabnya?” bertanya Mahisa Pukat kepada Mahisa Agni.

“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Agni, “mungkin orang itu telah mendapat keyakinan bahwa kita tidak akan berbuat apa-apa.”

“Tetapi ada kemungkinan lain,” berkata Witantra, “Mungkin orang itu mengenali salah seorang di antara kita sehingga orang itu tidak perlu meneruskan pengamatannya.”

“Ya,” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “tetapi menilik jarak pengamatan dan cara yang dipergunakan, sulit baginya untuk dapat mengenali salah seorang dari kita. Hal itu hanya mungkin karena orang itu mengenali tabiat salah seorang di antara kita yang dapat dilihatnya dari kejauhan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menyatakan sesuatu. Bahkan Mahisa Agni pun kemudian berkata, “Tetapi kita masih harus tetap berhati-hati. Bagaimana pun juga, ada seribu kemungkinan masih dapat terjadi.”

Sebenarnyalah bahwa mereka memang tidak meninggalkan kewaspadaan. Semakin lama rasa-rasanya mereka justru merasa bahwa mereka harus bersiap menghadapi sesuatu. Namun dalam pada itu, di siang hari ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi ke pasar yang ramai di Kediri, dengan berusaha untuk tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalinya, terutama orang-orang di seputar Pangeran Singa Narpada, telah dikejutkan dengan kehadiran seorang pedagang besi-besi bertuah, wesi aji dan bebatuan memiliki nilai-nilai yang khusus. Nampaknya orang itu mendapat perhatian dari isi pasar yang memang ramai itu.

“Apa kerja ayah disini?” bisik Mahisa Murti.

“Seperti seorang dukun yang memamerkan berbagai wesi aji,” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi bukankah memang pekerjaan ayah berdagang wesi aji dan batu akik di samping kadang-kadang juga permata intan berlian di musim tidak ada kerja di sawah?”

“Tetapi bukankah ayah tidak pernah memakai cara itu? Menarik perhatian orang banyak dengan ceritera yang kadang-kadang membual?” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau tahu kenapa begitu?”

Mahisa Pukat merenung. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Ayah sedang mencari perhatian.”

“Ya. Ayah memang sedang mencari kita,” sahut Mahisa Murti, “satu hal yang tidak direncanakan, sehingga sebelumnya ayah tidak bertanya kepada kita, dimana ayah dapat menemui kita.”

“Tetapi ayah tahu, dimana kita dapat menemui paman Mahisa Agni dan paman Witantra,” desis Mahisa Pukat.

“Ayah tentu sudah mencari kita di sana. Tetapi bukankah kita tidak pernah lagi ke tempat itu sejak kita berada di tempat pekatik yang baik hati itu?” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diluar pengertian Mahisa Murti, Mahisa Pukat telah menyibakkan beberapa orang yang mengerumuni Mahendra yang sedang menjajagi beberapa jenis wesi aji dan batu-batu yang dianggap bertuah. Dengan kasar tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “He orang tua. Kenapa kau berusaha menipu orang banyak.”

Mahendra terkejut. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara merendah ia bertanya, “Apa yang kau maksud anak muda.”

“Omong kosong dengan segala bualanmu tentang wesi aji dan batu akik. Kau kira ada orang yang akan percaya kepadamu? Kau anggap orang-orang Kediri itu masih terlalu bodoh seperti orang-orang dari daerah asalmu?” bentak Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf, anak muda. Jadi apa yang harus aku lakukan.”

“Simpan barang-barangmu dan ikut aku,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengumpat. Mahisa Pukat telah melakukan kesalahan karena gejolak kemanjaannya. Tetapi ternyata Mahendra tidak membantah. Ia pun kemudian menyimpan barang-barangnya dan kemudian berkata kepada orang-orang yang berkerumun, “Maaf Ki Sanak. Permainanku terpaksa aku hentikan. Aku akan mengikuti anak muda ini dan menyelesaikan persoalan kami.”

Mahisa Pukat pun kemudian meninggalkan tempat itu diikuti oleh Mahendra dan Mahisa Murti. Diluar pasar, ketika mereka tidak lagi berada di antara banyak orang Mahisa Murti berdesis, “Apakah pantas seorang pengembara berbuat seperti yang kau lakukan?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Mahendra lah yang menjawab, “Biarlah. Mudah-mudahan tidak ada orang yang menghiraukan. Satu cara Mahisa Pukat untuk mengajak aku mengikutinya keluar dari pasar itu.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Tetapi bagaimana tanggapan mereka jika besok kita nampak lagi di pasar itu?”

“Aku memang kurang memikirkan akibatnya,” berkata Mahisa Pukat.

Namun Mahendra pun berkata, “Aku mengerti. Karena itu, untuk beberapa hari kalian tidak usah pergi ke pasar itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baik ayah.”

“Nah, sekarang, aku akan kalian bawa kemana?” bertanya Mahendra.

“Ke paman Mahisa Agni dan paman Witantra,” jawab Mahisa Pukat.

“Jadi kalian telah bertemu dengan pamanmu Mahisa Agni dan pamanmu Witantra,” bertanya Mahendra.

“Bukankah kami sudah berjanji untuk bertemu?” sahut Mahisa Murti.

“Bagus. Dengan demikian mungkin kalian memerlukan petunjuk-petunjuk mereka dalam hal tertentu,” berkata Mahendra, “tetapi apakah sudah terjadi sesuatu dengan kalian?”

“Belum ayah,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi nampaknya keadaan menjadi semakin meningkat. Namun kami belum dapat mengatakan, apa yang akan terjadi.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Agaknya aku memang ingin terlibat seandainya akan terjadi sesuatu. Rasa-rasanya ingin juga sekali-sekali mengenang pada masa muda sebagaimana dilakukan oleh paman-pamanmu itu.”

“Tetapi belum tentu akan terjadi sesuatu ayah,” jawab Mahisa Murti.

“Tentu saja aku tidak ingin memaksakan terjadi sesuatu,” jawab Mahendra. “Tetapi baiklah, mungkin dari paman-pamanmu aku akan mendapat kesan tentang Kediri.”

Kedua anak muda itu tidak menjawab lagi. Mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah pekatik yang memang agak tersembunyi karena rumah itu bukan rumah yang baik dan besar.

Kedatangan Mahendra memang mengejutkan Mahisa Agni dan Witantra. Namun merekapun kemudian menjadi gembira karena mereka mendapat seorang kawan lagi dalam tugas mereka yang agak menjemukan.

“Kita akan menghadapi satu permainan yang menjemukan. Bahkan mungkin tidak akan terjadi apa-apa setelah kita menunggu beberapa lama sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi hampir kehabisan kesabaran,” berkata Mahisa Agni.

Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin yang kita tunggu sekarang ini merupakan ujian kesabaran dan ketabahan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian merekapun tersenyum. Sementara Mahisa Agnipun berkata, “Memang mungkin akan bermanfaat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan bagi perkembangan ilmu mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri hanya terdiam. Tetapi sebenarnyalah mereka memang sudah menjadi jemu menunggu. Tidak terjadi sesuatu di Gedung Perbendaharaan. Pekatik itu pun mengatakan bahwa peti perak itu masih berada didalam gedung. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra, bahkan kemudian juga Mahendra yang baru datang, berpendapat, bahwa mungkin memang akan terjadi sesuatu meskipun tidak segera.

Namun setiap kali mereka selalu minta agar pekatik itu berusaha mencari keterangan tentang peti perak berlapis kulit kerbau dungkul yang berwarna bule.

Sementara itu, orang yang bertubuh gemuk, yang menamakan dirinya Kebo Sarik beserta keempat orang bertongkat itu pun telah berada di Kediri pula. Dari orang-orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah diperalat, maka orang bertubuh kecil itu mengerti, bahwa peti perak itu masih tetap berada di Gedung Perbendaharaan.

Karena guru ke empat orang bertongkat itu tidak juga segera datang, maka Kebo Sarik tidak sabar lagi menunggunya. Katanya kemudian kepada ke empat orang bertongkat itu, “Gurumu tidak dapat dipastikan, kapan ia akan datang. Karena itu, maka aku tidak dapat disuruh menunggunya tanpa batas. Aku akan segera melakukan tugas yang ingin kau bebankan kepadaku itu.”

“Baiklah paman,” berkata orang yang bertubuh kecil, “tetapi aku mohon paman melakukannya menunggu satu dua malam. Aku harus meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun di antara para penjaga yang berilmu tinggi, yang akan mampu menolak atau melawan ilmu paman yang dahsyat itu.”

Kebo Sarik mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi ada juga baiknya kita berhati-hati.”

Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu berusaha untuk meyakinkan, bahwa penjagaan yang kuat di Gedung Perbendaharaan adalah penjagaan dalam keadaan wajar. Apalagi setelah pusaka itu ditempatkan di dalam peti yang menurut pengertian orang bertubuh kecil itu, dianggap bahwa Pangeran Singa Narpada percaya bahwa cahaya teja dari benda yang paling berharga itu telah diserap oleh peti dan lapisannya.

Dari beberapa orang pelayan dalam yang tidak menyadari dengan siapa ia berbicara, dan dengan beberapa keping uang, maka orang bertubuh kecil itu mendapat keterangan tentang Gedung Perbendaharaan.

“Yang bertugas setiap malam hanyalah para prajurit. Para Pelayan Dalampun kadang-kadang harus juga bertugas malam. Tetapi sekedar untuk melayani kebutuhan para petugas di Gedung Perbendaharaan yang jarang sekali terjadi melakukan sesuatu di malam hari,” berkata seorang Pelayan Dalam kepada orang bertongkat yang bertubuh kecil itu.

“Bagaimana dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Jarang sekali Pangeran Singa Narpada mengunjungi Gedung perbendaharaan itu. Pangeran itu agaknya terlalu percaya kepada para prajurit yang sudah berlipat dua dari para prajurit yang bertugas mengawal Gedung Perbendaharaan itu sebelumnya,” jawab Pelayan Dalam itu.

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. “Jumlah yang berlipat limapuluh tidak merupakan hambatan bagi paman. Tetapi meskipun hanya seorang tetapi memiliki kemampuan untuk melawan sirep, maka barulah persoalannya harus dipecahkan,” berkata orang bertubuh kecil itu di dalam hatinya.

Keterangan itulah yang disampaikannnya kepada pamannya. Yang kemudian berkata, “Baiklah. Jika demikian, aku akan mengambilnya. Aku akan membuat semua orang tertidur dan mengambil barang itu sebagaimana aku mengambil di rumahku sendiri.”

“Tetapi hati-hatilah paman,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Benda itu adalah benda yang sangat keramat. Karena itu, maka aku mohon paman agak mengenakan sedikit subasita. Mungkin paman harus menyembah benda yang akan paman ambil itu.”

“Aku harus menyembah?” mata Kebo Sarik terbelalak.

“Menurut pendengaranku, benda itu memiliki kekuatan diluar kewajaran,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Omong kosong,” jawab Kebo Sarik, “yang penting bagi kalian adalah, bahwa benda itu aku bawa kepada kalian bersama petinya.”

“Baik paman,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Jangan hiraukan apa yang aku lakukan,” jawab Kebo Sarik, “sementara adalah persoalanku. Dan aku akan mengatasinya.”

“Baiklah paman,” jawab orang bertubuh kecil itu, “kami akan menunggu paman diluar. Kami akan membantu paman agar paman dengan cepat meninggalkan istana dan tidak tersesat, karena jalan di Kediri yang bersimpang siur.”

“Kalian curiga bahwa aku akan membawa benda itu lari?” bertanya Kebo Sarik.

“Tidak paman, sama sekali tidak,” jawab orang bertubuh kecil itu, “aku tahu paman sangat baik terhadap kami. Apalagi terhadap guru yang merupakan saudara seperguruan paman itu. Karena itu, paman tidak akan sampai hati melarikan benda itu.”

“Terima kasih,” jawab Kebo Sarik, “mudah-mudahan aku dapat menahan diri.”

Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Sekali lagi kami nyatakan, bahwa kami percaya kepada paman.”

Kebo Sarik tidak menjawab lagi. Tetapi katanya, “besok malam aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu.”

Ke empat orang bertongkat itu mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya jatung mereka menjadi tegang. Meskipun sudah menjadi rencana mereka, tetapi ketika Kebo Sarik mengatakan bahwa ia benar-benar akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu, rasa-rasanya mereka akan memasuki satu arena yang sangat gawat karena bagaimanapun juga mereka menyadari, bahwa di Kediri ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Yang paling mereka cemaskan adalah kemungkinan Pangeran Singa Narpada dapat mencium rencana mereka atau menangkap tebaran ilmu sirep itu.

“Aku yakin bahwa paman Kebo Sarik memiliki kemampuan untuk mengimbangi ilmu Pangeran Singa Narpada,” berkata orang bertubuh kecil itu kepada saudara-saudara seperguruannya, “tetapi jika kedatangannya diketahui, maka seluruh kekuatan Kediri akan melawannya.”

“Kita percaya bahwa paman Kebo Sarik akan dapat mengatasinya,” jawab saudara seperguruannya, “jika sesuatu terjadi diluar istana, maka kita akan dapat membantunya, setidak-tidaknya untuk membawa benda itu lari.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang harus mempergunakan umpan yang besar untuk mengambil ikan raksasa.”

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk pula. Bahkan orang bertubuh kecil itu berkata didalam hatinya, “Jika umpan itu tertelan sekalipun, asal ikannya dapat kita tangkap, maka kita harus merelakannya.”

Demikianlah, maka keempat orang bertongkat itu menunggu dalam ketegangan sampai hari berikutnya. Namun Kebo Sarik sendiri justru tidak menghiraukannya. Ia makan apa saja yang ingin ia makan sebagaimana kebiasaannya. Ia tidur hampir sehari suntuk disela-sela waktu makannya.

Namun ketika senja mulai membayang, maka Kebo Sarik mulai mempersiapkan diri. Ia mandi di sungai untuk waktu yang cukup lama berendam didalam air. Demikian ia naik ke darat, maka mulutnya tidak boleh lagi dilalui makanan dan minuman apapun juga. Untuk beberapa saat ia berdiri diatas batu memandang arah matahari terbenam dengan tangan bersilang di dada dan wajah tengadah.

Kemudian, Kebo Sarik itu pun duduk di sebuah batu yang besar ditempat yang terasing dari kunjungan seseorang sambil memusatkan nalar budinya. Ia berpesan kepada orang-orang bertongkat, bahwa sebelum tengah malam, ia jangan diusik dari samadinya.

Karena itu, maka keempat orang bertongkat itu justru telah berjaga-jaga di dekat tempat Kebo Sarik bersamadi. Mereka menunggu sampai bintang Gubug Penceng berada diatas puncak langit, sehingga dengan demikian mereka tahu, bahwa hari telah tengah malam.

“Kita bangunkan paman Kebo Sarik,” berkata orang bertubuh kecil itu, “waktunya telah menjadi terlalu sempit.”

“Masih separo malam. Paman tentu sudah memperhatikan,” jawab saudara seperguruannya.

Namun demikian mereka pun segera mendekati Kebo Sarik yang sedang bersamadi. Dengan sangat hati-hati maka orang bertubuh kecil itu menyebut namanya.

“Paman, paman Kebo Sarik. Hari telah sampai tengah malam.”

Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka matanya. Kemudian dipandanginya lingkaran kegelapan disekitarnya. Namun ketajaman matanya telah melihat keadaan disekelilingnya dengan jelas. Demikian pula keempat orang bertongkat itu. Kebo Sarik kemudian mengangkat wajahnya melihat bintang-bintang di langit. Maka ia pun kemudian berdesis. “Terima kasih. Kalian memenuhi permintaannya membiarkan aku duduk disini sampai tengah malam.”

Kebo Sarik kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah. Kita pergunakan yang tengah malam ini dengan sebaik-baiknya.”

Demikianlah keempat orang itu pun telah meninggalkan sungai itu dan menuju ke istana Kediri, bersama pamannya. Dengan sangat berhati-hati maka kelima orang itu pun telah mendekati istana. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Agni dan Witantra, maka mereka telah memilih jalan sebagaimana yang diduga, yang paling mudah untuk dilalui memasuki halaman istana dan langsung menuju ke Gedung perbendaharaan.

Mahisa Agni dan Mahisa Murtilah yang sedang bertugas mengatasi jalan itu. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka telah melihat ke empat orang bertongkat itu mendekati. Kemudian seorang yang bertubuh gemuk memberikan pesan-pesannya sebelum orang itu meloncat masuk.

“Luar biasa,” desis Mahisa Agni.

Cara Kebo Sarik meloncat dan masuk ke halaman, benar-benar telah mendebarkan jantung.

“Beritahu pamanmu Witantra,” berkata Mahisa Agni, “aku mengawasi mereka di sini. Cepat, kalian harus sudah berada di sini sebelum orang-orang itu pergi.”

Mahisa Murti pun kemudian telah meniggalkan Mahisa Agni yang mengawasi kelima orang yang telah berusaha untuk mendapatkan benda yang paling berharga di Kediri itu. Bahkan seorang diantaranya telah memasuki halaman istana. Namun beberapa puluh langkah kemudian Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah meloncat menghentikan langkahnya.

Mahisa Murti bersingsut setapak surut. Dengan tangkasnya ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Mahisa Murti itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang masih tegang ia berdesis, “Pangeran Singa Narpada.”

“Ya,” jawab orang yang telah menghentikan langkahnya itu.

“Apakah ada yang penting Pangeran, bahwa Pangeran telah menghentikan langkahku?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku ingin bertemu dengan orang yang datang bersamamu. Siapakah orang itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Silahkan menemuinya. Aku mendapat perintah untuk melakukan sesuatu.”

“Antar aku kepadanya agar tidak terjadi salah paham,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Aku harus melakukan perintahnya segera,” jawab Mahisa Murti.

“Aku hanya memerlukan waktu sejenak. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa aku memerlukan bantuanmu dan bantuan orang yang datang bersamamu itu,” berkata Pangeran Singa Narpada. Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah Pangeran. Tetapi jika terjadi kelambatan, maka itu adalah tanggung jawab Pangeran.”

“Ya. Aku bertanggung jawab,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti pun kemudian telah membawa Pangeran Singa, Narpada kembali. Ia menganggap bahwa Pangeran Singa Narpada adalah orang yang paling berkepentingan dengan benda yang dianggap sangat berharga itu. Ketika Mahisa Murti datang kembali dengan seseorang, Mahisa Agni pun terkejut. Ia pun segera bersiap pula untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun Mahisa Murti dan Pangeran Singa Narpada pun dengan tergesa-gesa telah menempatkan diri untuk menghadapi agar orang-orang yang sedang mereka aman tak dapat mengetahui kehadiran mereka.

“Kenapa kau kembali Mahisa Murti?” bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Murti memang tidak ingin terjadi salah paham. Karena itu maka dengan segera Mahisa Murti menjelaskan. “Aku datang bersama Pangeran Singa Narpada.”

“Pangeran Singa Narpada,” ulang Mahisa Agni.

“Ya paman,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara datar Mahisa Agni berkata, “Selamat bertemu kembali Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Kakang Mahisa Agni dari Singasari?”

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ya Pangeran. Inilah aku.”

“O,” Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku tidak menyangka bahwa kau telah memberikan perhatianmu untuk hal-hal yang tidak berarti seperti ini.”

“Jangan memperkecil arti benda-benda yang paling berharga di Kediri, sehingga kau tidak akan bersusah payah mencarinya jika benar benda itu tidak berarti.”

“Maksudku bagi Singasari,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Tetapi sudahlah. Biarlah Mahisa Murti menemui pamannya dan membawanya kemari. Ia tidak boleh terlambat,” berkata Mahisa Agni.

“Siapakah yang akan dipanggil?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Orang-orang tua telah berkumpul di sini untuk melihat sesuatu yang mungkin sangat berharga bagi sisa-sisa usianya,” jawab Mahisa Agni.

“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Witantra,” jawab Mahisa Agni.

“Kakang Witantra juga berada disini?” bertanya Pangeran Singa Narpada, “tetapi dimana kalian tinggal?”

“Kita jangan terlalu banyak kehilangan waktu,” jawab Mahisa Agni, “biarlah Mahisa Murti pergi.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Singa Narpada, “panggil kakang Witantra. Aku juga ingin bertemu dengannya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun segera beringsut dan pergi meninggalkan tempat itu.

“Apa yang akan kau lakukan bersama kakang Witantra?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku mendengar bahwa Mahkota Kediri pernah hilang. Itulah sebabnya, bahwa ketika seseorang memasuki halaman istana maka aku segera tertarik kepada peristiwa itu?” jawab Mahisa Agni.

“Tentu sesuatu yang benar-benar akan dilakukan,” berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya, “bukan waktunya untuk bergurau.”

Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada berkata, “Kakang Mahisa Agni. Aku minta kakang tidak berbuat apa-apa. Juga kakang Witantra,” berkata Pangeran Singa Narpada selanjutnya.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni, “seseorang telah siap untuk mengambil benda yang paling berharga dari Kediri, dan kini kau minta kepadaku untuk tidak berbuat apa-apa?”

“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada, “biarlah orang itu mengambil Mahkota yang dianggap dapat menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton.”

Mahisa Agni menjadi heran. Dengan nada ragu ia bertanya, “Kau aneh Pangeran. Kenapa begitu?”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kau tidak usah melibatkan dirimu terlalu jauh dalam hal ini. Karena itu, maka cobalah melupakan apa yang kau lihat.”

“Aku tidak mengerti Pangeran,” desis Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas perhatianmu. Tetapi kami minta, biarkan saja orang-orang itu melakukan apa saja yang diinginkannya.”

Mahisa Agni masih saja merasa heran. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, baiklah. Yang menghendaki adalah Pangeran Singa Narpada, sehingga aku tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lain.”

Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Namun kemudian ia berdesis, “Aku minta maaf.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi diperhitungkannya keempat orang bertongkat yang juga berusaha untuk berada didalam tempat yang terlindung. Namun karena Mahisa Agni dan Pangeran Singa Narpada tengah mengawasi mereka, maka keempat orang itu tidak terlepas dari penglihatan mereka.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian dengan sangat berhati-hati, Witantra, Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah datang pula bersama Mahisa Murti. Sebagaimana Mahisa Agni, maka Witantra pun sudah mengenal pula Pangeran Singa Narpada. Hanya Mahendra lah yang kemudian diperkenalkan kepada Pangeran itu.

Sementara itu, maka Mahisa Agni lah yang kemudian menjelaskan, “Pangeran Singa Narpada tidak menghendaki kita berbuat sesuatu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang paling terkejut mendengarnya. Karena itu, maka Mahisa Murtilah telah bertanya, “Kenapa?”

“Tidak ada penjelasan,” jawab Mahisa Agni.

Mahisa Murti memandang Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia pun bertanya, “Apakah benar Pangeran menghendaki demikian?”

“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Kenapa Pangeran?” bertanya Mahisa Murti, “Bukankah dengan susah payah selama ini kita berusaha untuk menemukan kembali benda berharga itu.”

“Ya. Sudah aku katakan, bahwa aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas bantuan Mahisa Bungalan dan kalian berdua,” berkata Pangeran Singa Narpada, “namun biarlah kali ini, aku memohon, agar kalian tidak berbuat sesuatu.”

Mahisa Murti masih menjawab. Tetapi tiba-tiba saja mereka merasa sesuatu yang terasa bukannya dalam kewajaran. Udara terasa semakin sejuk dan rasa-rasanya mereka bagaikan dibelai oleh kantuk yang mulai menyentuh perasaan.

“Sebagaimana dilakukan oleh orang yang terdahulu,” berkata Mahisa Agni, “menurut pendengaranku, orang yang melakukannya terdahulu mempergunakan ilmu sirep pula seperti ini.”

“Ya. Mereka mempergunakan ilmu sirep,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti adalah diantara mereka yang paling gelisah. Tetapi sementara itu Mahisa Agni berkata, ”Pangeran. Biarlah kami tidak berbuat apa-apa. Tetapi apakah kami boleh menyaksikan, apa yang akan terjadi kemudian? Mungkin Pangeran telah memasang pasukan yang sangat kuat, yang lepas dari pengamatan orang-orang itu, atau jebakan lain yang mungkin tidak lagi memerlukan kita semuanya.”

“Marilah kita lihat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku tidak berkeberatan.”

Mahisa Agni pun tidak bertanya lagi. Mereka berenam-pun kemudian memperhatikan orang-orang yang sedang berjaga-jaga di luar pada saat seorang di antara mereka berada di dalam.

Ternyata ilmu sirep Kebo Sarik memang terlalu kuat. Ketika ia sudah berada di dalam dinding istana, maka ilmu sirepnya pun mulai menebar. Para petugas tidak seorang pun yang mampu melepaskan diri dari cengkaman ilmu sirep itu, sehingga dengan demikian maka para petugas itu pun seorang demi seorang telah tertidur nyenyak.

Kebo Sarik pun kemudian sesuai dengan petunjuk orang-orang bertongkat itu, telah menemukan pintu Gedung Perbendaharaan. Dengan hati-hati ia mengangkat selarak dan meletakkan disamping dua orang penjaga yang tertidur dengan nyenyaknya, sementara tombaknya masih tersandar pada dinding.

Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka pintu Gedung Perbendaharaan itu. Ketika ia melihat isinya, maka jantungnya menyadi berdebar-debar. Kebo Sarik itu melihat sebuah peti yang berwarna putih berkilat-kilat.

“Tentu peti itu,” berkata Kebo Sarik didalam hatinya.

Dengan tanpa ragu-ragu Kebo Sarik telah melangkah memasuki Gedung Perbendaharaan itu. Namun tiba-tiba terasa tubuhnya bagaikan diguncang oleh angin prahara. Dengan kekuatan yang tidak terlawan Kebo Sarik telah terdorong keluar.

“Gila,” geram Kebo Sarik, “siapakah yang bermain hantu-hantuan di sini he?”

Tidak ada jawaban. Semua orang yang bertugas telah tertidur nyenyak. Sekali lagi Kebo Sarik mencobanya. Namun sekali lagi ia terdesak keluar. Tiba-tiba saja Kebo Sarik itu teringat akan pesan salah seorang murid kakak seperguruannya. Betapapun segannya, namun Kebo Sarik itu pun kemudian telah berjongkok dan kemudian menyembah tiga kali ke arah pintu yang sudah terbuka itu.

Ketika ia melangkah masuk, maka ternyata ia tidak lagi mengalami goncangan dan terdorong keluar. Tidak ada kekuatan apapun yang telah mengganggunya, sehingga dengan langkah yang tetap ia memasuki Gedung Perbendaharaan itu. Sejenak, Kebo Sarik itu berdiri termangu-mangu dihadapan peti yang berwarna putih berkilat-kilat itu.

Dengan dada tengadah Kebo Sarik memperhatikan peti itu. Lalu dengan suara berat ia bergumam, “Inilah Kebo Sarik. Semua yang dilakukan akan dapat diselesaikan dengan sempurna.”

Tanpa berjongkok dan menyembah lagi, maka Kebo Sarik itu pun telah meraih peti perak itu dan dengan bangga telah membawanya keluar dari Gedung Perbendaharaan.

Para penjaga masih juga tertidur dengan nyenyaknya. Ilmu Sirep Kebo Sarik ternyata lebih baik dari ilmu Sirep Ki Ajar Bomantara, sehingga karena itu, prajurit yang jumlahnya berlipat itu pun tidak ada yang mampu bertahan atas kekuatan sirep itu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada bersama kelima orang dari Singasari itu pun masih mengawasi orang-orang bertongkat di luar dinding. Beberapa lama mereka menunggu. Namun sejenak kemudian jantung mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat seseorang meloncat keluar dari lingkungan dinding istana.

“Itulah,” desis Mahisa Pukat.

“Ya,” sahut Mahisa Murti, “dan kita berdiam diri tanpa berbuat sesuatu.”

“Sudahlah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “sekali lagi aku minta. Lupakan peti perak itu.”

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis, “Pangeran. Apakah justru Pangeran yang telah mengatur semuanya ini? Dan pada saat terakhir Pangeran sendiri menghendaki mahkota itu bagi Pangeran?”

“Mahisa Pukat,” hampir berbareng Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra memotong.

Tetapi Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Jika bukan demikian apakah artinya, bahwa Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak mengambil langkah-langkah tertentu untuk mencegahnya? “

Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Pukat dengan tajamnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ternyata kau masih terlalu muda untuk mengetahui.”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit Witantra sambil bertanya, “Kau lihat cahaya itu?”

“Ya,” jawab Witantra yang kemudian berkata kepada Mahendra, “kau juga melihat?”

“Apa yang kau maksud? Cahaya yang memancar dari pusaka yang paling berharga di Kediri?” bertanya Mahendra.

“Ya,” jawab Witantra.

Mahendra termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “beri aku kesempatan sebentar.”

Witantra dan Mahisa Agni tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung. Mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh orang-orang tua itu. Namun kemudian Witantra itu pun berkata, “Ya. Aku mulai melihatnya meskipun tidak jelas.”

“Dimana?” bertanya Mahisa Agni.

“Didalam lingkungan istana,” jawab Mahendra.

“Tepat,” jawab Witantra, “Dan kau tidak melihat sesuatu dari peti itu?”

“Tidak,” jawab Witantra.

“Nah, sekarang jawablah Pangeran. Apakah Pangeran telah menjebak orang-orang itu?” bertanya Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ya. Aku telah menjebak mereka. Peti itu tidak berisi mahkota sebagaimana mereka bayangkan. Tetapi yang ada didalamnya adalah benda lain yang tidak berarti sama sekali.”

“O,” Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku mohon maaf Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Namun sebelum ia menjawab, maka terdengar suara tertawa nyaring. Suara tertawa itu begitu mencengkam sehingga orang-orang yang sedang memperhatikan orang-orang bertongkat itu pun tergetar karenanya.

Dalam pada itu, maka terdengar orang yang tertawa itu berkata, “Ternyata kalian tidak lebih dari anak-anak yang dungu. He, kau Kerbau buntung. Kau kira kau telah berhasil?”

“Guru,” berkata salah seorang dari orang-orang bertongkat itu, “paman telah salah mengambil benda yang kita inginkan.”

“Tidak,” jawab Kebo Sarik, “bukankah yang kau maksud adalah peti perak ini?”

“Kalian semua memang dungu. Kau juga,” berkata orang yang baru saja datang itu kepada orang bertubuh kecil, “kau tahu pamanmu tidak tahu menahu tentang cahaya teja yang memancar dari benda itu. Ia pun tidak tahu, bahwa peti ini kosong atau mungkin hanya berisi sepotong kayu lapuk atau apa.”

“Gila,” geram Kebo Sarik, “jadi orang-orang Kediri telah mengelabui aku?”

“Dan kau memang merupakan sasaran yang menyenangkan untuk melakukan permainan seperti ini,” jawab orang yang baru datang itu.

“Aku akan kembali ke Gedung Perbendaharaan itu. Aku akan membakarnya. Bahkan seisi istana ini akan aku bakar sampai menjadi abu,” geram Kebo Sarik.

“Kau akan menjadi semakin dungu,” berkata orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah guru orang-orang bertongkat itu, “kau tidak akan dapat melakukan apapun juga.”

“Kenapa?” bertanya Kebo Sarik.

“Guru. Aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu bersama paman Kebo Sarik. Aku tahu, dimana pusaka itu disembunyikan. Aku akan mencari dan menemukannya,” berkata orang bertubuh kecil itu.

“Tidak mungkin,” jawab gurunya, “kita tidak hanya berenam disini.”

“Maksud guru?” bertanya orang bertubuh kecil.

“Kita mempunyai kawan. Karena itu, maka kita tidak akan mungkin berbuat sesuatu tanpa diketahui oleh orang-orang Kediri,” jawab orang itu.

Murid-muridnya serta Kebo Sarik termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang yang baru datang itu berkata selanjutnya, “Kalian memang dungu. Kalian sama sekali tidak tahu, bahwa apa yang kalian lakukan itu selalu diikuti oleh orang-orang Kediri. Lihat kesana.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu telah menunjuk ke tempat Pangeran Singa Narpada dan orang-orang Singasari itu mengamati orang-orang yang telah mengambil peti perak itu.

Sementara itu orang-orang bertongkat serta orang yang telah memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil peti perak itu memandang ke arah yang ditunjuk oleh guru mereka. Namun mereka tidak segera melihat sesuatu, karena Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya berlindung di balik batang-batang perdu.

Namun gurunya itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita dekati mereka.”

Orang itu tidak menunggu lebih lama. Ia pun kemudian berjalan di paling depan diikuti oleh adik seperguruannya dan murid-muridnya.

“Luar biasa,” desis Pangeran Singa Narpada, “orang itu mengetahui bahwa kita berada di sini.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata bukan kita yang berusaha menangkap mereka. Tetapi akhirnya merekalah yang akan menangkap kita.”

“Satu permainan yang mengasyikkan,” sahut Mahendra, “untunglah aku menyusul kalian sehingga aku dapat ikut serta dalam permainan seperti ini.”

“Ah, kau,” sahut Witantra, “Kau masih lebih muda dari aku. Agaknya masih ada sisa-sisa kemudaanmu. Tetapi agaknya anak-anak mudalah yang menjadi paling gembira menghadapi keadaan seperti ini.”

“Ya,” desis Pangeran Singa Narpada, “kemampuan kita akan benar-benar diuji oleh orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku kira ada juga baiknya untuk sekali-sekali membenturkan ilmu pada kemampuan yang pilih tanding. Tanpa diasah maka pisau tidak akan menjadi tajam.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah ia mengagumi ketajaman perasaan orang yang datang terakhir itu. Dengan demikian maka yang dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya adalah sekedar menunggu. Namun mereka merasa tidak ada gunanya lagi berlindung dibalik pohon-pohon perdu sehingga mereka pun telah bergeser dan berdiri ditempat terbuka.

“Selamat malam Ki Sanak,” sapa orang yang datang terakhir itu.

Pangeran Singa Narpada lah yang menjawab, “Selamat malam Ki Sanak. Kedatangan kalian memang menarik perhatian.”

Orang yang bertubuh kecil dan bertongkat itu terkejut ketika dilihatnya Pangeran Singa Narpada sedang mengamatinya. Namun kemudian orang itu pun tersenyum sambil berkata, “Selamat bertemu kembali Pangeran.”

“Oh, kau Ki Ajar Wantingan,” desis Pangeran Singa Narpada, “terima kasih atas segala petunjuk yang telah kau berikan.”

“Ah jangan begitu Pangeran,” jawab orang bertubuh kecil itu yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan, “ternyata bahwa Pangeran tidak dengan sungguh-sungguh memenuhinya, sehingga kami terpaksa datang untuk melihatnya.”

“Apakah aku tidak dengan sungguh-sungguh memenuhi pesan-pesanmu? Aku sudah dengan susah payah mencari seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule,” jawab Pangeran Singa Narpada, “betapapun sulitnya. Akhirnya aku telah mendapatkannya. Sementara itu, aku pun telah membuat sebuah peti dari perak dan melapisnya dengan kulit kerbau sebagaimana kau maksudkan.”

“Terima kasih Pangeran. Tetapi ternyata bahwa hal itu tidak Pangeran lakukan,” jawab orang bertubuh kecil itu. “Mungkin Pangeran benar-benar membuat peti dengan lapisan kulit itu. Tetapi mahkota itu tidak Pangeran masukkan kedalamnya. Hal itu kami ketahui karena cahaya yang memancar dari Gedung Perbendaharaan itu. Jika Pangeran melakukannya sebagaimana aku katakan, maka cahaya itu tentu sudah lenyap. Karena itulah maka kami telah terdorong untuk melihat, apakah benar Pangeran telah melakukan seperti yang aku pesankan.”

“Apa yang kalian temukan di dalam peti itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, “Apapun yang ada didalamnya bukanlah yang kami maksudkan.”

“Baiklah aku berterus terang Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku memang sudah mencoba memasukkan benda yang paling berharga itu kedalam peti perak yang kau anjurkan itu. Tetapi ternyata peti perak dengan lapisannya sama sekali tidak menyerap cahaya sebagaimana kau katakan. Ketika mahkota itu aku masukkan kedalamnya, maka cahaya itu masih juga memancar sebagaimana biasanya menembus lapisan perak dan kulit kerbau yang sulit dicari itu. Sejak itulah aku mempunyai dugaan yang lain dari petunjukmu. Aku mulai curiga, bahwa aku telah terjebak oleh sikap dan kata-katamu yang nampak bersungguh-sungguh itu.”

“Jadi Pangeran juga dapat melihat cahaya itu?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Tidak selalu. Hanya dalam keadaan tertentu, sebagaimana orang lain yang menghendakinya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada gurunya, “Guru, agaknya kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan memasuki Gedung itu lagi dan memilih sendiri di antara isinya.”

Gurunya tersenyum. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada sambil berkata, “Baiklah. Aku sependapat untuk kembali memasuki gedung itu dan memilih isinya. Tetapi sebagai seorang yang mengenal unggah-ungguh, maka aku akan minta ijin dahulu kepada Pangeran ini, yang barangkali termasuk salah seorang di antara para pemimpin Kediri yang ikut mempunyai wewenang atas gedung itu.”

“Oh,” orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya aku melupakannya guru. Mungkin aku terlalu bernafsu untuk segera memiliki benda yang sangat berharga itu.”

“Nah Pangeran,” berkata gurunya, “Pangeran sudah mendengar keinginan kami. Karena itu, kami mohon agar Pangeran tidak berkeberatan bahwa kami akan mengambil benda yang kami ingini. Kami akan berterima kasih jika Pangeran justru bersedia untuk membantu kami sehingga usaha kami akan cepat kami selesaikan.”

“Oh. Tentu dengan senang hati Ki Sanak,” jawab Pangeran Singa Narpada, “aku akan dengan senang hati menunjukkan benda yang kalian inginkan. Tetapi sudah tentu, aku minta upah atas hasil jerih payahku. Agaknya mahkota itu memang bukan milikku. Jika aku menjualnya sekarang, maka aku tidak akan kehilangan.”

Guru dan orang-orang bertongkat itu mengerutkan keningnya. Mereka justru menjadi heran mendengar jawaban itu. Bahkan dengan ragu-ragu guru itu bertanya, “Apakah yang Pangeran inginkan sebagai upah menurut istilah Pangeran sendiri.”

Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Sementara itu orang-orang Singasari yang ada ditempat itu pun menjadi termangu-mangu. Pangeran Singa Narpada sendiri kemudian tersenyum sambil menjawab, “Ki Sanak. Aku minta upah yang memadai. Karena benda itu nilainya tidak terhingga, maka upah yang aku minta adalah kepala kalian.”

“Gila,” Kebo Sarik berteriak.

Tetapi guru orang-orang bertongkat itu justru tertawa. Katanya, “Kau memang dungu Kerbau Gila. Aku sudah menduga, bahwa Pangeran yang suka berkelakar ini akan sampai kepada permintaan yang demikian. Selain Pangeran ini tentu tidak akan terpikir olehnya untuk benar-benar membuat peti dan mengisinya dengan benda lain serta menempatkannya di tempat yang terhormat. Dalam kesibukan yang mendesak, Pangeran Singa Narpada masih sempat meluangkan waktunya untuk bermain-main dengan kita. Karena itu, kita jangan lekas marah. Kita harus menghadapi sikap Pangeran Singa Narpada dengan caranya.”

Kebo Sarik itu menggeram. Katanya, “Aku tidak telaten. Jika kita harus bertempur, marilah kita lakukan sekarang.”

“Ya. Sebentar lagi. Kecuali jika Pangeran Singa Narpada menginginkan waktu yang lain di tempat yang lain pula,” jawab guru orang-orang bertongkat itu.

Kebo Sarik benar-benar tidak telaten dengan sikap saudara seperguruannya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa kecuali menggeram.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada menjawab, “Ki Sanak, biarlah pekerjaan kita lekas selesai. Marilah, berikan upah itu sekarang. Baru kalian dapat mengambil benda berharga itu.”

“Baiklah Pangeran,” berkata guru orang-orang bertongkat itu, “kita akan mempertahankan kepala kita masing-masing. Mahkota itu letaknya memang di kepala. Jika kepalaku harus aku berikan kepada Pangeran, dimana aku akan memakai mahkota itu?”

Pangeran Singa Narpada dan orang-orang tua dari Singasari itu sempat tersenyum. Namun Kebo Sarik justru berteriak, “Jangan bergurau lagi. Aku sudah menjadi jemu. Ayo, siapa yang akan menjadi lawanku.”

“Kenapa kau begitu tergesa-gesa?” bertanya Pangeran Singa Narpada, “menurut pengamatanku, kaulah yang telah menyebarkan ilmu sirep yang sangat tajam. Dengan demikian, maka agaknya kau juga memiliki ilmu yang lain yang cukup tinggi. Karena itu, maka biarlah salah seorang dari orang-orang tua yang ada disini melawanmu. Karena aku yang bertanggung jawab atas pusaka itu, maka akulah yang akan berhadapan dengan orang yang agaknya tertua di antara kalian.”

“Ya,” jawab guru orang-orang bertongkat itu, “aku adalah saudara seperguruan orang yang bernama Kebo Sarik ini. Aku adalah guru dari orang-orang yang membawa kayu bakar yang barangkali perlu jika mereka kedinginan.”

“Nah, apakah kau memilih lawan yang lain? Mungkin aku bukan orang terbaik didalam kelompokku. Tetapi sekedar karena kewajibanku maka aku menempatkan diri sebagai lawanmu,” berkata Pangeran Singa Narpada pula.

“Bagus,” jawab orang itu, “agaknya memang satu kehormatan bahwa aku akan bertempur melawan seorang Pangeran yang berilmu tinggi.”

“Siapa bilang aku berilmu tinggi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Tetapi Kebo Sarik lah yang menjawab, “Yang mana lawanku. Aku akan segera menyelesaikannya dan kembali memasuki Gedung Perbendaharaan.”

Diantara orang-orang tua dari Singasari ternyata Mahendra lah yang menjawab, “Baiklah. Aku terima kau sebagai lawanku. Aku sudah terhitung tua. Tetapi belum setua saudara-saudaraku ini. Karena itu, agaknya akulah orang yang paling pantas melawan seseorang yang oleh saudara seperguruannya disebut Kerbau Gila.”

“Jangan ikut-ikutan menyebut aku Kerbau Gila,” bentak Kebo Sarik, “sebentar lagi kau akan mati disini. Mintalah maaf agar jalan kematianmu menjadi terang.”

Mahendra tertawa. Katanya, “Kau memang cepat marah. Jika aku menyebutmu Kerbau Gila adalah sekedar menirukan saudara seperguruanmu. Tetapi jika kau tidak mau, katakan, bagaimana aku harus memanggilmu.”

“Cukup,” bentak Kebo Sarik, “jangan banyak bicara lagi. Aku tidak terbiasa berbicara tanpa ujung pangkal. Jika kau memang siap melawan aku, marilah.”

Mahendra tidak menjawab lagi. Ia pun bergeser beberapa langkah dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ternyata Kebo Sarik memang tidak banyak bicara. Ketika mereka sudah memisahkan diri, maka tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan garangnya.

Tetapi Mahendra telah memperhitungkannya. Karena itu, maka dengan tangkas ia pun menghindar. Bahkan dengan tidak kalah garangnya Mahendra pun telah menyerang lawannya pula.

“Mereka telah mulai,” berkata Pangeran Singa Narpada, “nah, bagaimana dengan yang lain? Sudah aku katakan, bahwa aku telah memilih lawanku, sehingga selebihnya akan dihadapi oleh orang-orang tua dan anak-anak muda. Memang dua angkatan yang jauh. Tetapi meskipun demikian, mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik.”

Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh kecil itu pun berkata, “Nah, siapakah yang akan bertempur melawan aku?”

“Kau pernah melawan kedua anak muda itu. Apakah kau akan mengulanginya? Keduanya masih menyimpan bahkan telah melengkapi kembali paser-paser kecilnya,” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Sebenarnya aku ingin menebus kekalahan. Tetapi sekarang aku tidak sendiri. Karena itu, maka aku tidak merasa perlu untuk bertempur melawan kedua anak-anak itu.”

“Jika demikian kau harus memilih lawan lain. Jika bukan yang anak-anak, kau dapat memilih yang sudah tua-tua,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu. Menurut penglihatannya, kedua orang tua itu adalah orang-orang yang pernah ditemuinya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni lah yang menyahut, “Aku sudah terlalu tua untuk melibatkan diri kedalam permainan seperti ini. Tetapi karena sudah tidak ada orang lain, maka biarlah aku melakukannya. Tetapi dengan janji, bahwa kita akan melakukan perlahan-lahan agar nafasku tidak terputus karenanya.”

Suara tertawa guru dari orang-orang bertongkat itu bagaikan meledak. Katanya, “Menyenangkan sekali berhubungan dengan kalian. Ternyata kalian adalah orang-orang yang gembira dan penuh gurau betapapun peliknya persoalan yang kalian hadapi. Nah, marilah kita mulai dengan pemainan yang perlahan-lahan saja, sekedar untuk menghangatkan badan di malam yang dingin ini.”

Tetapi berbeda dengan gurunya, orang bertongkat yang bertubuh kecil itu sama sekali tidak senang dengan sikap Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, “Marilah orang tua yang licik. Kau sudah berpura-pura ketika kau bertemu dengan aku. Sekarang kau memancing perasaanku, agar kau menaruh belas kasihan kepadamu. Tetapi aku mengerti, jika belas kasihanku sudah runtuh, maka kau akan mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan aku.”

“Ah, kau terlalu berprasangka,” berkata gurunya, “layani orang itu sebagaimana kemauannya. Kalian akan menemukan satu permainan yang mengasikkan.”

Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba mengerti pesan gurunya. Tentu gurunya mencoba menasehatinya agar ia tidak terperosok kedalam dorongan perasaannya yang bergejolak karena sikap lawannya.

Sementara itu, maka seorang lagi diantara orang-orang bertongkat itu berkata, “Biarlah orang tua yang seorang lagi menjadi lawanku.”

“O,” berkata Witantra, “Ada juga yang menghargai aku? Marilah, mungkin kita sempat bermain-main. Mudah-mudahan aku mampu berbuat sesuatu.”

Orang bertongkat itu pun kemudian menyahut, “Kita mencari tempat yang lapang. Aku akan mempergunakan tongkatku yang panjang.”

“Silahkan. Aku kali ini juga akan mempergunakan tongkat meskipun tidak sepanjang tongkatmu,” berkata Witantra.

“Baik. Kita akan mempergunakan tongkat. Tetapi agaknya tongkatmu adalah sekedar sebatang kayu yang kau ketemukan di pinggir jalan. Karena itu, maka agaknya kau memang dengan sengaja menghina aku. Kau kira bahwa dengan tongkat semacam itu kau akan mampu melawan tongkatku?”

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Tongkatku bukan sembarang tongkat. Memang bukan tongkat sebaik tongkatmu. Tetapi mudah-mudahan aku dapat mengimbangi tongkatmu.”

Orang bertongkat itu tidak menjawab. Beberapa langkah mereka beringsut untuk mendapatkan tempat yang luas.

“Mudah-mudahan kita tidak diketemukan oleh peronda yang kadang-kadang nganglang,” berkata Witantra.

“Persetan,” jawab lawannya, “mereka tidur seperti mati. Kita akan mendapat waktu yang leluasa sampai menjelang pagi.”

“Bagus,” jawab Witantra, “Kita pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.”

Keduanya pun kemudian segera mempersiapkan diri. Sementara kedua saudara seperguruan orang bertongkat itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka orang-orang itu pun telah terlibat dalam pertempuran di belakang istana, di sebuah halaman yang luas tanpa takut terganggu, karena pengaruh sirep yang menebar sampai ke tempat itu.

Yang kemudian terlibat kedalam pertempuran adalah semua orang yang ada di tempat itu. Masing-masing telah mendapatkan lawannya. Pangeran Singa Narpada yang bertanggung jawab atas pusaka yang ingin dimiliki oleh orang-orang bertongkat itu harus bertempur dengan guru dari orang-orang bertongkat itu. Orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra harus bermain-main dengan dua orang di antara keempat orang bertongkat itu. Sedangkan Mahendra harus bertempur melawan Kebo Sarik.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat lawan di antara orang-orang bertongkat itu pula. Tetapi bukan orang bertubuh kecil yang pernah dilawannya berdua. Yang dihadapinya adalah adik seperguruan dari orang bertubuh kecil itu.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus bertempur dengan sangat berhati-hati. Keduanya harus memperhitungkan kemampuan lawannya baik-baik. Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat memperhitungkan kekuatan lawannya atas dasar pengenalan mereka terhadap ilmu orang bertubuh kecil yang pernah mereka lawan berdua.

Namun ketika mereka telah bertempur beberapa saat lamanya, maka terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa ternyata kemampuan kedua orang itu masih belum pada tataran orang bertubuh kecil itu.

Meskipun demikian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat, tidak dapat lengah. Agaknya kedua orang itu pun telah memiliki dasar ilmu yang nggegirisi, yang mampu melontarkan serangan sebagaimana dilakukan oleh orang bertubuh kecil itu.

Sementara itu, maka di lingkungan pertempuran yang lain pun benturan ilmu telah menjadi semakin sengit. Yang paling menggetarkan adalah pertempuran antara Pangeran Singa Narpada melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga seolah-olah yang mereka lakukan sama sekali diluar pengamatan kewadagan.

Yang tidak kalah sengitnya adalah pertempuran antara Kebo Sarik dan Mahendra. Ternyata kemampuan Mahendra telah mengejutkan Kebo Sarik. Ia mengira bahwa selain kakak seperguruannya yang bertempur melawan Pangeran Singa Narpada, tidak ada orang lain yang dapat mengimbangi, ilmunya. Namun ternyata bahwa lawannya saat itu, memiliki kemampuan diluar dugaannya itu.

Karena itu, maka kemarahan Kebo Sarik telah menghentak-hentak di dadanya. Selapis demi selapis ia meningkatkan kemampuannya. Namun ternyata bahwa lawannya itu pun mampu meningkat kan kemampuannya pula. Dengan demikian, maka pertempuran antara Kebo Sarik dan Mahendra itu pun menjadi semakin dahsyat. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi.

Pada saat-saat keduanya mendekati puncak kemampu-annya, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian keduanya seakan-akan telah berubah menjadi bayangan yang berputaran di dorong oleh angin pusaran.

Sementara itu, Mahisa Agni yang menghadapi orang bertubuh kecil itu pun ternyata harus berhati-hati. Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu memiliki bekal pula untuk bertempur dalam putaran ilmu kanuragan. Tetapi ternyata bahwa saat itu ia telah mendapat lawan Mahisa Agni. Seorang yang memiliki landasan ilmu yang masak.

Meskipun demikian, Mahisa Agni yang sudah menjadi terlalu tua itu, tidak ingin menyakiti hati lawannya. Ia tidak menunjukkan dengan serta merta kelebihannya, meskipun ia sadar, bahwa tenaga wadagnya tidak lagi utuh sebagaimana saat ia berumur sebaya lawannya itu.

Tetapi tingkat ilmu Mahisa Agni dan orang bertubuh kecil itu memang terpaut beberapa lapis yang cukup tebal. Sehingga apabila Mahisa Agni menghendaki, maka ia akan dengan cepat menyudahi pertempuran itu.

Yang terjadi sebagaimana Mahisa Agni adalah Witantra yang bertempur melawan adik seperguruan orang bertubuh kecil itu. Meskipun Witantra tidak mau mengabaikan lawannya sehingga ia berbuat satu kesalahan yang dapat menjeratnya, namun selisih ilmu yang cukup banyak membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung.

Bahkan Witantra masih juga sempat sekali-sekali memperhatikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur melawan dua orang saudara seperguruan orang bertubuh kecil itu. Ternyata bahwa dasar ilmu puncak Mahisa Murti dan Mahisa Bungalan tidak perlu mereka pergunakan untuk mengatasi serangan-serangan lawannya yang garang.

Namun pada suatu saat, ternyata Mahisa Murti dikejutkan oleh serangan lawannya sebagaimana pernah dilakukan oleh orang bertubuh kecil itu. Ketika orang itu mendapat kesempaian, maka ia lelah mengacungkan tongkatnya. Dan dari ujung tongkat itu telah meluncur cahaya yang silau.

Mahisa Murti sempat meloncat. Dengan demikian maka cahaya itu tidak sempat menyentuhnya. Ketika cahaya itu mengenai tanah di belakang Mahisa Murti semula berpijak, maka telah terjadi ledakan. Tetapi ledakan itu tidak mengejutkan dan tidak sedahsyat ledakan pada saat Mahisa Murti melawan orang bertubuh kecil itu.

“Ilmunya belum terlalu mapan,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Meskipun demikian Mahisa Murti sadar, bahwa jika serangan itu mengenainya, maka ia akan mengalami nasib yang buruk. Kulitnya tentu akan terkelupas se bagaimana jika kulitnya tersentuh api. Karena itu, maka Mahisa Murti itu pun harus selalu berhati-hati menghadapinya.

Sebagaimana terjadi pada Mahisa Murti, maka telah terjadi pula pada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat juga merasakan bahwa tingkat ilmu lawannya masih berada dibawah ilmu orang bertubuh kecil yang pernah bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berdua. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat merasa bahwa jika ia tidak melakukan kesalahan, maka ia sendiri akan mampu mengimbangi lawannya itu.

Dengan hati-hati maka Mahisa Pukat telah meningkatkan serangan-serangannya. Tetapi Mahisa Pukat masih membatasi diri untuk tidak mempergunakan ilmu puncaknya yang memiliki daya penghancur yang sangat besar. Dalam keadaan terdesak, maka lawannya itu pun tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan kemampuannya yang jarang dimiliki oleh orang lain.

Dengan demikian maka sejenak kemudian tongkat lawan Mahisa Pukat itu pun mulai teracung. Sebagaimana lawan Mahisa Murti maka serangan-serangan yang meluncur dari ujung tongkat itu telah menyambar-nyambar. Namun juga seperti Mahisa Murti, Mahisa Pukat masih selalu mampu menghindarinya. Tetapi Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa membalas serangan-serangan itu dengan paser-paser kecilnya. Tetapi ia masih mencoba melawan serangan-serangan itu dengan kecepatan geraknya.

Karena itulah maka setiap kali Mahisa Pukat berusaha untuk bertempur pada jarak yang dekat. Dengan demikian maka lawannya tidak sempat mengacungkan tongkatnya untuk melontarkan serangannya yang berbahaya itu. Setiap kali tongkatnya siap teracu, maka Mahisa Pukat dengan cepat menyerangnya sehingga lawannya itu harus menghindar atau menangkis serangan itu sebelum ujung tongkatnya sempat tepat mengarah kesasaran.

Ternyata Mahisa Pukat berhasil mengacaukan pemusatan serangan-serangan lawannya. Dengan demikian maka lawannya harus bekerja keras untuk mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Pukat.

Mahisa Agni masih juga bertempur melawan orang bertubuh kecil, saudara seperguruan tertua diantara orang-orang bertongkat itu. Namun orang itu tidak banyak dapat berbuat meskipun lawannya adalah orang yang sudah terlalu tua untuk turun ke medan.

Mahisa Agni ternyata berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya. Jika lawannya melepaskan serangan dengan ujung tongkatnya, maka seolah-olah tidak nampak oleh lawannya, kapan ia bergerak. Namun cahaya yang meluncur dari ujung tongkat itu sama sekali tidak mengenainya Orang kedua di antara orang-orang bertongkat itu pun sama sekali tidak berdaya menghadapi Witantra. Tetapi seperti Mahisa Agni, Witantra memberinya kesempatan untuk bermain-main.

Yang sungguh-sungguh bertempur dengan sengitnya adalah Mahendra dengan Kebo Sarik disamping Pangeran Singa Narpada melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Ternyata Kebo Sarik benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kekuatannya melampaui dugaan. Tenaga cadangannya ternyata sangat mengejutkan.

Namun Mahendra mampu berloncatan tidak kalah cepatnya. Dengan tangkas ia mampu menghindari setiap serangan. Bahkan pada saat-saat tertentu serangannyalah yang mengejutkan Kebo Sarik.

Semakin lama keduanya telah terlibat kedalam pertempuran yang semakin sengit. Keduanya berloncatan sambar menyambar. Mehendra yang meskipun sudah terhitung tua, tetapi ia adalah saudara seperguruan Witantra yang paling muda, masih memiliki gejolak yang bergelora di dalam dadanya. Karena ilulah, maka perlahan-lahan kemarahannya mulai terungkit ketika serangan lawannya mulai menyentuhnya.

Meskipun demikian Mahendra tidak pernah memandang lawannya dengan perasaannya yang buram. Meskipun ia mulai menjadi marah, tetapi ia masih tetap berusaha menguasai perasaannya, agar ia tidak terseret kedalam langkah-langkah yang tidak wajar. Pada saat-saat berikutnya, keduanya benar-benar bagaikan terlibat kedalam putaran angin pusaran. Semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga pertempuran itu tidak lagi nampak ujudnya.

Namun Mahendra yang memiliki landasan ilmu yang mapan sama sekali tidak merasa kebingungan. Apapun yang dilakukan oleh lawannya, tidak terlepas dari pengamatannya, sehingga karena itu, maka ia pun selalu mampu mengimbanginya.

Ketika Kebo Sarik dengan kemampuan ilmunya menyambar Mahendra dengan ayunan tangan mendatar, maka dengan loncatan kecil Mahendra tergeser surut. Tetapi tiba-tiba saja tubuhnya berputar dengan kaki mendatar menyambar lambung lawannya. Namun Kebo Sarik pun dengan sigapnya melenting selangkah surut. Bahkan tiba-tiba saja sambil merebahkan dirinya, kakinya telah menyambar kaki Mahendra yang menjadi tumpuan putarannya.

Mehendra terkejut. Namun kemampuannya yang tinggi, membuatnya tidak terjebak dalam kesulitan. Ia justru menjatuhkan diri dan berguling sekali. Bahkan kemudian ia pun telah melenting berdiri mendahului Kebo Sarik yang juga bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, hampir saja tangan Mahendra menyambar kening.

Tetapi Kebo Sarik yang merasa memiliki kekuatan yang sangat besar memang dengan sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin membentur langsung kekuatan Mahendra. Karena itu, Kebo Sarik telah menangkis serangan itu. Satu benturan yang keras telah terjadi. Kebo Sarik mengharap bahwa benturan itu akan mengecilkan hati Mahendra yang akan dapat mengukur kekuatannya.

Tetapi ternyata Kebo Sarik telah salah menilai. Mahendra tidak menyeringai, menahan sakit. Tetapi pada benturan itu justru Kebo Sarik merasa betapa besarnya tenaga Mahendra. Dengan demikian bukan Mahendra yang menjadi berkecil hati, tetapi justru Kebo Sarik lah yang menjadi marah. Ia merasa bahwa kekuatannya adalah kekuatan yang tidak ada bandingannya. Ternyata bahwa seseorang telah mampu mengimbanginya.

Dengan demikian maka Kebo Sarik itu pun telah mengerahkan kemampuan dan ilmunya untuk dapat menghancurkan Mahendra. Tetapi usahanya tidak segera dapat berhasil. Bahkan sekali-sekali ialah yang telah terdesak karena kecepatan gerak Mahendra.

Dalam pada itu, Mahisa Murti telah mendesak lawannya pula. Meskipun lawannya mampu juga melepaskan ilmunya, tetapi kekuatan ilmu itu masih belum mapan. Mahisa Murti masih mampu menghindari setiap serangan dan bahkan mempunyai kesempatan untuk menyerang kembali.

Ketika Mahisa Murti semakin mendesaknya, maka kesempatannya untuk melepaskan serangan ilmunya itu pun menjadi sempit. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah. Bagaimanapun juga jika serangan itu mengenainya, maka ia akan mengalami luka-luka yang dapat membahayakannya, karena selanjutnya, lawannya tentu akan mempergunakan kesempatan untuk menyerangnya terus.

Keadaan Mahisa Pukat pun berangsur semakin baik pula. Mahisa Pukat menekan lawannya semakin berat. Serangan-serangannya datang membadai. Sekali-sekali Mahisa Pukat memang harus berloncatan menghindar. Namun kemudian serangannya datang lagi bergulung-gulung sehingga sulit untuk dibendung.

Ketika lawannya melepaskan ilmunya mengarah ke dadanya, maka Mahisa Pukat pun sempat meloncat kesamping. Tetapi lawannya tidak membiarkannya. Demikian Mahisa Pukat tegak, maka sekali lagi serangan itu menyambarnya, sehingga Mahisa Pukat harus meloncat menghindar.

Dengan tangkasnya Mahisa Pukat melenting dan berputar sekali di udara. Ketika ia melekatkan kakinya di tanah, maka ia berada selangkah disamping lawannya. Demikian lawannya mengayunkan tongkatnya mendatar setinggi lambung, Mahisa Pukat telah menjatuhkan dirinya, sekaligus menjulurkan kakinya ke arah lutut lawannya.

Lawannya tidak sempat mengelak. Juga tidak sempat menangkis. Hal itu terjadi demikian cepatnya, sehingga karena lututnya yang dikenai serangan lawannya, maka orang itu bagaikan dihentakkan kesamping.

Untunglah bahwa orang itu pun memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Ketika ia jatuh menyamping maka ia masih mampu berputar sehingga tubuhnya tidak terbanting sebagaimana sebatang pisang yang roboh. Namun tubuh itu pun terguling beberapa kali sebelum kemudian melenting berdiri.

Namun demikian ia berdiri, maka tongkatnya pun telah mengarah ke tubuh lawannya dan ilmunya telah menyambar ke arah lawannya yang sudah siap pula menunggu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak terkejut lagi atas serangan itu. Dengan sigapnya ia telah bergeser menghindarinya dengan cepat. Bahkan dengan satu loncatan yang panjang justru mendekati tubuh lawannya.

Ketika lawannya berusaha bergeser, maka ketegangan telah mencengkamnya. Ternyata ia baru merasa bahwa lututnya yang dikenai serangan Mahisa Pukat itu terasa sakit. Perasaan sakit itu benar-benar telah mengganggunya. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali menahan rasa sakit itu. Apalagi serangan Mahisa Pukat pun telah datang membadai.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat lah orang yang pertama-tama menguasai lawannya di antara mereka yang tengah bertempur itu. Dengan lutut yang sakit, maka lawannya tidak lagi dapat sepenuhnya mengerahkan kemampuannya. Setiap kali ia berusaha untuk meloncat menjauh. Jika ia mendapat kesempatan mengambil jarak, maka ia dapat menyerang dengan ujung tongkatnya yang melepaskan semacam cahaya yang mampu mengelupas kulit.

Saudara-saudara seperguruannya pun melihat keadaan itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Apalagi mereka yang bertempur melawan Mahisa Agni dan Witantra. Sedangkan yang bertempur melawan Mahisa Murti pun telah merasa bahwa ia menjadi semakin terdesak.

Yang masih bertempur dalam keadaan yang sebenarnya seimbang adalah Pangeran Singa Narpada dengan guru dari keempat orang bertongkat itu. Namun demikian, keadaan murid-muridnya sebenarnyalah telah mengganggu ketenangan pemusatan nalar budi orang itu. Ketajaman penglihatannya telah mengatakan kepadanya, bahwa tidak seorang dari keempat muridnya yang mampu mengatasi ilmu lawannya. Meskipun muridnya yang tertua, yang bertubuh kecil itu nampaknya seimbang dengan lawannya, namun gurunya itu mengerti, bahwa sebenarnya lawan muridnya itu hanya sekedar bergurau saja sebagaimana kata-kata dan tingkah lakunya sebelum pertempuran itu benar-benar dimulai.

Demikian pula muridnya yang kedua. Witantra tidak dengan sungguh-sungguh berusaha mengalahkan lawannya itu dengan cepat. Dibiarkannya lawannya mengerahkan segenap kemampuannya sehingga pada saatnya ia menjadi kelelahan. Sementara itu, kedua muridnya yang lain, yang bertempur dengan anak-anak yang masih terlalu muda itu, ternyata tidak juga mampu mengimbanginya.

Dengan demikian maka disamping lawannya yang memang berilmu tinggi, seorang Pangeran yang seakan-akan menjadi lambang kekuatan Kediri, maka orang itu pun telah menggelisahkan keadaan keempat muridnya pula. Bahkan ketika ia sempat serba sedikit memperhatikan Kebo Sarik, maka adik seperguruannya itu pun agaknya menghadapi lawan yang sangat berat pula. Bahkan sekali-sekali Kebo Sarik itu telah mulai terdesak.

Dengan demikian maka Kebo Sarik itu pun harus berjuang dengan segenap kemampuannya melawan Mahendra. Dikerahkannya segenap ilmunya, namun ternyata bahwa kemampuan Mahendra memang berada di atas kemampuannya. Karena itulah, maka akhirnya Kebo Sarik berusaha untuk mengatasi kesulitannya dengan senjata andalannya.

Ternyata Kebo Sarik tidak mempergunakan kemampuan ilmu sebagaimana dimiliki oleh perguruannya yang sudah diwarisi oleh orang-orang bertongkat itu. Ia sadar bahwa lawannya tentu mempunyai cara untuk melawannya. Karena itu, maka ia pun telah mempergunakan senjatanya yang khusus. Bahkan senjata kebanyakan sebagaimana dipergunakan dalam pertempuran, tetapi Kebo Sarik mempunyai senjata-senjata yang aneh.

Dalam keadaan yang paling sulit, maka tiba-tiba saja Kebo Sarik telah mengambil sesuatu dari kantong yang tergantung didalamnya. Satu di antara senjata-senjatanya yang tersimpan di dalam kantung itu. Dengan cepatnya Kebo Sarik telah melontarkan sesuatu ke arah Mahendra. Untunglah Mahendra cepat menanggapi keadaan. Karena itu, maka ia pun dengan tangkas mengelak. Tetapi senjata Kebo Sarik itu seolah-olah mampu menggeliat dan berbelok arah.

Mahendra harus meloncat sekali lagi dengan tergesa-gesa. Untunglah bahwa ia memiliki kemampuan bergerak cepat, sehingga senjata itu tidak menyentuhnya. Ketika senjata itu jatuh di tanah, maka sadarlah Mahendra, bahwa yang dilontarkan itu adalah seekor ular. Mahendra tidak sempat merenungi senjata yang aneh itu, karena ular itu seakan-akan tahu apa yang harus dilakukannya. Ular itu sempat meluncur dengan cepat ke arah Mahendra.

“Gila,” geram Mahendra, “senjata-senjata yang aneh itu memerlukan perlakuan khusus.”

Sebenarnyalah bahwa Mahendra memang harus melawan ular itu dengan cara yang khusus. Selain dengan kecepatan geraknya, maka ia harus berusaha untuk dapat membunuh ular itu. Sementara Mahendra harus memperhatikan ular yang tidak juga merayap pergi, maka Kebo Sarik pun telah menyerangnya pula dengan garang.

“Kau mempunyai cara yang aneh dalam perkelahian seperti ini,” berkata Mahendra.

“Kau akan mati dipatuk ular-ularku dengan racunnya yang paling ganas. Kau tidak akan dapat menghindarinya,” berkata Kebo Sarik.

Mahendra tidak menjawab. Ia harus menghindari serangan-serangan Kebo Sarik dan sekaligus menghindari patukan ular yang masih saja berada di arena itu dan menelusur ke mana saja ia bergeser.

Ternyata kecepatan gerak Mahendra masih mampu melawan serangan yang datang dari Kebo Sarik dan ularnya yang terlatih baik. Namun ketika Kebo Sarik melepaskan ular masih saja berada di arena itu dan ularnya yang lain, maka Mahendra pun telah menjadi kesulitan.

Dalam pada itu, yang terjadi dengan Mahendra itu tidak terlepas dari pengamatan kedua anak-anaknya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Apa yang terjadi ayah. Nampaknya ayah menghadapi cara yang licik.”

“Ular,” jawab Mahendra.

“O,” desis Mahisa Murti, “serahkan kepadaku.”

“Aku ikut,” berkata Mahisa Pukat pula.

Mahendra tidak menjawab. Sejenak ia berloncatan sambil berpikir. Ia tahu, bahwa kedua anaknya itu dapat membebaskan diri dari racun ular dan bisa yang betapapun tajamnya. Tetapi Mahendra masih juga harus berpikir, apakah kedua anak-anaknya itu akan mampu menghadapi ilmu Kebo Sarik.

Namun Mahendra pun kemudian mempercayakannya kepada ilmu yang telah diwariskannya. Dalam keadaan yang sulit, maka kedua anaknya akan dapat melepaskan ilmu pamungkasnya. Mungkin Kebo Sarik juga mempunyai tingkat kemampuan yang akan dapat melawan ilmu itu, tetapi anaknya berdua tentu memiliki paduan kekuatan yang luar biasa.

Karena itu, maka Mahendra pun kemudian memilih untuk memberikan kesempatan kepada kedua anaknya untuk menguji kemampuannya daripada mengambil alih penangkal racunnya, atau sampai pada puncak ilmu Bajra Geni dalam bentuk yang lunak.

Dengan demikian maka Mahendra pun kemudian berkata, “Baiklah. Cobalah kemampuan kalian menghadapi orang ini. Orang ini memiliki ilmu yang tinggi. Mungkin kalian akan dapat menghadapinya berdua.”

“Bagaimana dengan lawan-lawan kami?” bertanya Mahisa Murti.

“Lepaskan mereka,” jawab Mahendra, “tetapi jika kalian mengalami kesulitan atas Kerbau Gila ini, serahkan kembali kepadaku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah melepaskan lawan mereka kedua orang bertongkat. Mereka mula-mula berusaha untuk menahan kedua anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggiring lawan-lawannya mendekati arena perkelahian antara Mahendra dan Kebo Sarik.

Kemudian dengan cepat Mahendra meninggalkan lawannya dan arena yang ditelusuri oleh beberapa ekor ular yang ganas itu. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat mamasukinya.

“Gila,” geram Kebo Sarik, “kalian tentu mempunyai panangkal racun.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya telah mulai menyerang Kebo Sarik itu dengan garangnya. Pertempuran antara kedua orang anak muda melawan Kebo Sarik itu ternyata mempunyai warna yang lain dari sebelumnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukan ular-ular yang menjalar di bawah kaki mereka. Jika ular itu menggigit, maka Mahisa Murti atau Mahisa Pukat hanya mengibaskannya. Atau mungkin memijit kepala ular itu sehingga diremukkannya. Dengan demikian maka senjata ular yang berbisa itu tidak mampu melindungi Kebo Sarik dari lawannya yang bergerak sangat cepat dan tangkas.

Tetapi Kebo Sarik tidak tertarik untuk mempergunakan ular-ularnya melawan kedua orang anak muda itu. Namun demikian ia sempat menggeram, “Pengecut. Kenapa orang itu lari?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “ia tidak lari. Ia hanya ingin memberikan kesempatan kepada kami berdua.”

“Omong kosong,” jawab Kebo Sarik, “orang itu tidak dapat melawan ular-ularku.”

“O,” Mahisa Murti menjawab sambil menyerang, “kau salah mengartikan langkahnya. Ia memang tidak dapat melawan ular-ularmu dengan cara yang wajar sebagaimana dilalukannya. Tetapi ia masih belum ingin melepaskan ilmunya yang tertinggi.”

“Jika demikian maka ia tentu tidak akan melarikan diri,” berkata Kebo Sarik.

Mahisa Pukat tidak berkata apapun juga. Tetapi serangannya datang membadai. Namun Kebo Sarik memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Itulah sebabnya, maka kedua anak muda itu harus mengerahkan segenap kemampuannya. Namun ternyata bahwa gabungan kekuatan dan ilmu Mahisa Murti dan mahisa Pukat mampu juga menggetarkan pertahanan Kebo Sarik.

Sementara itu, Mahendra sendiri tidak mengalami banyak kesukaran mengatasi kedua lawannya yang semula bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun kadang-kadang ia harus berloncatan menghindari serangan-serangan mereka yang seolah-olah meluncur dari ujung tongkatnya, namun yang terjadi sama sekali tidak membahayakan.

Namun dalam pada itu, seorang diantara orang-orang bertongkat itu bertanya kepadanya, “Kenapa kau lari he?”

“O,” Mahendra menarik serangannya, justru karena pertanyaan itu, “Baiklah kau mendengar jawabnya sebelum kau kehilangan kesadaranmu.”

“Persetan,” geram orang bertongkat itu, “kau terlalu menghina.”

“Maaf. Tetapi dengarlah. Aku tidak lari. Tetapi aku memang menghindarkan diri dari ular-ularnya agar aku tidak terpaksa melepaskan sesuatu yang tidak perlu, justru karena ada kedua orang anak muda itu,” jawabnya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan,” jawab orang bertongkat itu, sementara Mahendra harus menghindari serangan lawannya yang seorang lagi.

“O,” desis Mahendra, “jadi kau tidak juga mengerti? Baiklah. Aku akan menundjukkan serba sedikit, bahwa kau tidak akan dapat menundukkan lagi bahwa aku melarikan diri dari ular-ular itu.”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi kedua orang bertongkat itu telah menyerang bersama-sama. Semakin lama serangan itu datang semakin cepat, sementara Mahendra tidak lagi terlalu banyak menyerang. Hanya pada saat ilmu lawannya menyambarnya ia bergerak menghindar. Kedua lawannya mula-mula menjadi heran, bahwa orang tua itu tidak lagi terasa garang. Karena itu, maka justru keduanyalah yang telah menyerang Mahendra semakin berani.

Tetapi beberapa saai kemudian keduanya merasa sesuatu yang lain. Semakin sering mereka menyerang, maka rasa-rasanya sesuatu telah menyesakkan dada mereka. Bahkan mereka merasa seakan-akan mereka telah memasuki lingkaran panasnya api. Semakin lama semakin menyengat tubuh mereka.

Dengan demikian, maka keduanya telah bergeser menjauh. Keduanya tidak lagi dapat mendekati Mahendra. Setiap Mahendra bergeser, maka mereka pun harus bergeser pula. Bahkan jika mereka melontarkan serangan lewat ujung tombak mereka, maka cahaya yang meluncur dari ujung tongkat itu seakan-akan telah pecah ketika cahaya itu memasuki lingkaran tertentu di seputar Mahendra.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian udara panas itu bagaikan telah terhembus oleh angin dan hanyut tidak tentu arah. Kedua orang bertongkat itu termangu-mangu karenanya. Sementara itu Mahendra pun tersenyum. Katanya, “Nah, bukankah aku tidak seharusnya takut menghadapi ular-ular itu. Panas udara akan mengusir mereka dan tidak akan dapat menggigitku.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang diantara mereka bertanya, “Kenapa kau menghindari paman Kebo Sarik.”

Mahendra meloncat selangkah surut. Sambil tertawa ia berkata, “Ada dua alasan. Pertama aku ingin mencoba kemampuan kedua anah-anak itu. Kemudian, aku masih belum merasa perlu untuk mempergunakan ilmuku.”

Kedua orang bertongkat itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya telah menyerang bersama-sama dengan garangnya. Tetapi serangan-serangan itu tidak banyak menyulitkan Mahendra.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi kemampuan ilmu Kebo Sarik. Kedua anak muda itu pernah bertempur melawan orang bertongkat yang bertubuh kecil dan mengatasi ilmunya. Namun ternyata Kebo Sarik memiliki kelebihan.

Meskipun demikian kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Mereka memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi raksasa dalam olah kanuragan itu. Keduanya memiliki kecepatan gerak sehingga berganti-ganti mereka menyerang dan menghindar.

Kebo Sarik yang menjadi semakin marah itu pun memutuskan untuk melawan kedua orang anak muda itu dengan ilmu yang diwarisinya dari perguruannya. Ilmu sebagaimana pernah ditunjukkan oleh orang bertongkat yang bertubuh kecil itu.

“Ular-ularku tidak berdaya atas kedua anak muda ini,” berkata Kebo Sarik di dalam hatinya, “karena itu, maka harus aku pergunakan cara yang lain.”

Sejenak kemudian, maka Kebo Sarik itu pun telah mengetrapkan ilmunya. Karena ia tidak membawa tongkat panjang, maka ia pun telah mempergunakan caranya sendiri untuk melepaskan kekuatan yang bagaikan meluncurnya cahaya yang menyilaukan itu. Pada saat-saat kedua anak muda itu menyerang bagaikan angin pusaran, maka Kebo Sarik itu telah mengacungkan ujung jarinya ke arah Mahisa Murti.

Untunglah bahwa Mahisa Murti cepat menanggapi keadaan. Ia segera mengerti bahwa dengan mengacungkan ujung jarinya ke arahnya, maka orang ku tentu akan menyerangnya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun dengan cepat telah meloncat menghindari arah ujung jari itu, sehingga dengan demikian maka ketika serangan Kebo Sarik meluncur, maka serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun sebongkah batu yang tersentuhnya, telah pecah bagaikan meledak.

“Luar biasa,” desis Mahisa Murti, “agaknya kekuatan ilmu itu melampaui ilmu orang bertubuh kecil itu.”

Namun Mahisa Murti tidak sempat berlama-lama mengagumi kemampuan lawannya, karena serangan berikutnya segera menyusul. Tetapi Kebo Sarik tidak sempat melontarkan serangan berikutnya, karena Mahisa Pukat telah menyerangnya dengan cepat dan tangkas.

Kebo Sarik terpaksa harus menghindari serangan itu. Karena itu maka Mahisa Murti mendapat kesempatan uniuk memperbaiki keadaannya. Mahisa Pukat yang tidak mengenal lawannya itu pun dengan cepat telah berputar dan serangannya datang sekali lagi mengarah ke lambung. Namun serangan itu pun tidak mengenainya. Bahkan Kebo Sarik yang bergeser masih sempat mengangkat jarinya dan menunjuk ke arah Mahisa Pukat.

Seperti Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun segera meloncat dan berguling sekali untuk menghindarkan diri. Sementara itu, Kebo Sarik yang gagal mengenai serangannya telah siap untuk menyerang kembali. Tetapi Mahisa Murti yang telah bersiap, mulai menyerang pula. Kebo Sariklah yang kemudian meloncat menghindar.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin cepat. Tetapi mereka pun akhirnya menjadi kesulitan melawan serangan-serangan Kebo Sarik yang semakin cepat dan terarah. Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan senjata mereka yang telah berhasil mengalahkan orang bertubuh kecil itu.

Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat itu pun kemudian telah mempergunakan paser-paser kecil mereka. Untuk mengurangi serangan lawannya, maka keduanya telah melontarkan serangan-serangan dari jarak tertentu sebagaimana dilakukan oleh Kebo Sarik.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Kebo Sarik tertawa. Katanya, “Aku adalah orang yang terbiasa bermain-main dengan ular. Kalian tentu mengerti, bahwa aku tentu yakin akan diriku sendiri bahwa bisa ular dan bahkan segala macam racun itu tidak akan dapat membunuhku. Nah, bukahkah senjata-senjata kecilmu itu tentu beracun?”

“Gila,” geram Mahisa Pukat.

Namun Mahisa Murti berkata, “Baiklah. Katakan bahwa kau tidak lagi dapat dibunuh dengan racun, karena kau kebal racun. Tetapi paser-paserku ini jika mengenai bagian-bagian tubuhmu yang lemah, meskipun racunnya tidak berpengaruh, tetapi ada pengaruh yang lain.”

“Apa artinya jarum-jarum kecil itu jika bukan karena racunnya?” bertanya Kebo Sarik.

“Kami adalah pembidik-pembidik yang baik. Kami tentu akan dapat membidik ke arah mata atau telinga atau bagian-bagian tubuh yang lain yang lemah. Bahkan seandainya jarum-jarum kami mengenai bagian-bagian tubuhmu yang lain pun tentu akan berpengaruh, karena jarumku akan menusuk sampai ketulang,” berkata Mahisa Pukat.

Kebo Sarik tidak menjawab. Beberapa kali ia harus berloncatan menghindar. Desing paser-paser kecil itu memang menunjukkan kepadanya, bahwa paser-paser itu dilontarkan dengan kuatnya yang sangat besar. Karena itu, maka jika paser itu benar-benar mengenai matanya atau telinganya, bahkan bagian-bagian tubuhnya yang lain, meskipun bukan karena racunnya. Namun tusukan jarum benar-benar akan menembus sampai ketulang. Karena itu, maka Kebo Sarik selalu berusaha untuk menghindar. Namun sementara itu, sekali-sekali serangan Kebo Sarik pun masih juga menyambar-nyambar.

Mahendra sekali-sekali sempat memperhatikan kedua anaknya. Ternyata bahwa ia masih dapat menahan diri untuk tidak merasa sangat cemas.

Sementara itu, maka Mahisa Agni dan Witantra agaknya sudah mulai jemu dengan permainan itu. Orang-orang tua itu memang sudah tidak mempunyai kemauan sebagaimana mereka masih muda untuk bermain-main di medan. Pada masa-masa muda mereka akan membiarkan lawan-lawan mereka kehabisan nafas dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu meskipun akan memerlukan waktu yang cukup lama. Tetapi ketika umur mereka menjadi semakin tua, maka rasa-rasanya tidak pantas lagi mempermainkan lawan dan membiarkan mereka terkapar karena kehabisan tenaga.

Karena itu, maka baik Mahisa Agni maupun Witantra berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran itu. Bagi keduanya sama sekali bukan merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Ketika keduanya memang menghendaki, maka dengan cepat mereka pun telah berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Meskipun lawan-lawan mereka termasuk orang-orang yang berilmu tinggi, karena mereka adalah murid-murid tertentu dan terpercaya, namun Mahisa Agni dan Witantra adalah perbendaharaan ilmu dan pengalaman yang sangat luas.

Dengan menyalurkan kemampuan mereka, maka dengan cepat Mahisa Agni dan Witantra berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Kemana lawan-lawan mereka meloncat, mereka telah menghadapi, serangan-serangan yang menekan. Meskipun lawan-lawan Mahisa Agni dan Witantra itu masih juga melepaskan serangan-serangan mereka dengan lontaran semacam cahaya yang mampu membakar tubuh, namun serangan-serangan itu tidak banyak memberikan arti. Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, orang-orang bertongkat itu benar-benar berada didalam kesulitan.

Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu masih mencoba untuk memberikan perlawanan lebih banyak lagi. Dengan mempergunakan kecepatan gerak ia mencoba untuk menembus pertahanan lawannya. Namun usahanya itu sia-sia. Orang-orang tua itu ternyata memiliki pengamatan yang sangat luas terhadap olah kanuragan, sehingga seakan-akan apa yang akan dilakukannya telah dapat ditebak lebih dahulu.

Dengan demikian, maka kedua orang tua itu telah memberikan tekanan yang semakin lama semakin berat. Bahkan kemudian baik Mahisa Agni maupun Witantra telah mulai menekan mereka dengan sungguh-sungguh dan bahkan keduanya mulai menyentuh kedua orang bertongkat itu.

Sebenarnyalah kedua orang bertongkat itu memang harus mengakui bahwa kedua orang tua adalah orang-orang terkuat didalam dunia olah kanuragan. Kedua orang bertongkat itu tidak dapat mengatakan, siapakah yang lebih baik. Orang-orang itu atau gurunya. Bahkan menilik sikap dan geraknya yang mantap dan penuh dengan tenaga, sehingga meskipun ayunan tangan mereka tidak menyentuh tubuh orang bertongkat itu, namun terasa angin bagaikan bertiup dengan kencangnya.

Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu pun kemudian berkata di dalam hatinya, “Kedua anak muda itu tentu murid dari orang-orang tua yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu. Karena itu, maka mereka mampu melawan paman Kebo Sarik. Bahkan hanya sekedar melawanku beberapa saat yang lampau.”

Dengan demikian maka orang-orang bertongkat itu suda dah tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, maka rasa rasanya mereka telah menjadi putus asa dan bertempur dengan menghentakkan kemampuan mereka.

Namun yang mereka lakukan itu tidak berarti lagi. Semakin sering mereka melepaskan serangan dengan hentakkar ilmu puncak mereka, maka mereka telah melepaskan pula bagian dari tenaga mereka, sehingga dengan demikian maka mereka pun bertambah lemah karenanya.

Sebenarnyalah bahwa kemampuan dan kekuatan mereka bukannya tidak terbatas. Dasar kekuatan wadag mereka, landasan ilmu serta perbendaharaan pengalaman mereka merupakan unsur dari seluruh kemampuan mereka. Ketika mereka sudah sampai kebatas kemampuan, maka mereka yakin, bahwa mereka telah tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menghadapi orang-orang tua itu.

Dalam kesulitan itu, maka ada sepercik niat mereka untuk melepaskan diri dari pertempuran itu. Namun mereka pun yakin bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat mereka lakukan. Kedua orang tua itu tentu akan dengan mudah menghalau usaha mereka melarikan diri.

“Tidak ada kemungkinan lain,” berkata orang-orang bertongkat itu, “Batas terakhir dari langkah seorang laki-laki adalah kematian. Aku tidak peduli lagi terhadap kematian.”

Dengan demikian maka orang bertubuh kecil itu pun kemudian telah menghentakkan segenap kemampuan dan ilmunya. Meskipun ia sadar, setiap kali ia melepaskan serangan dengan ilmu puncaknya maka berarti bahwa simpanan tenaganya menjadi susut sehingga terakhir ia akan sampai kebatas.

Namun Mahisa Agni dan Witantra tidak menunggu. Merekalah yang kemudian menguasai medan. Serangan-serangan orang-orang tua itu datang semakin cepat dan sekali-sekali menyentuh sasaran. Dengan demikian maka keduanya telah mendorong orang-orang bertongkat itu memaksa diri dengan mengerahkan kemampuan dan ilmu mereka, sehingga beberapa saat kemudian, orang-orang bertongkat itu pun telah menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya nafas mereka akan terputus di tengah dan tulang-tulang mereka pun menjadi lemah dan tidak berdaya.

Itulah sebabnya, maka sentuhan serangan Mahisa Agni dan Witantra dengan mudah telah mendorong mereka jatuh berguling-guling. Bahkan ketika mereka akan bangkit kembali, terasa urat nadi mereka tidak lagi dapat bekerja dengan wajar.

Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra dengan cepat telah mengakhiri perlawanan orang-orang bertongkat itu. Pukulan mereka pada sasaran tertentu telah membuat lawan-lawan mereka kehilangan kesempatan untuk meneruskan perlawanannya.

Orang yang bertubuh kecil itu telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Kemudian rasa-rasanya malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang nampak menjadi kuning pudar, sehingga akhirnya semuanya menjadi hilang. Ternyata orang bertubuh kecil itu menjadi pingsan.

Sementara itu lawan Witantra pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Pukulan Witantra membuat tangannya bagaikan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi. Bahkan ketika ia memikirkan kemungkinan untuk lari, kakinya pun terasa menjadi sangat berat. Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Bahkan oleh perasaan sakit maka orang-orang bertongkat itu rasa-rasanya tidak mampu lagi berbuat apa-apa meskipun ia tidak menjadi pingsan seperti saudara seperguruannya.

Sementara itu dua orang bertongkat yang lain masih bertempur melawan Mahendra. Meskipun mereka berdua, tetapi dengan bekal yang ada pada mereka, maka keduanya agaknya sama sekali lidak mampu mengimbangi lawannya. Mahendra mampu berbuat apa saja untuk mengatasinya ilmu kedua orang bertongkat itu. Bahkan kedua orang bertongkat itu menyadari, bahwa Mahendra masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya yang baru diperlihatkan sebagian.

Meskipun demikian, kedua lawannya masih bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Dengan ujung tongkat mereka, keduanya menyerang Mahendra beruntun, ganti berganti, meskipun serangan mereka tidak pernah memberikan arti apapun juga, bahkan serangan puncak kemampuan mereka yang bagaikan cahaya itu. Bahkan semakin lama perlawanan keduanya menjadi semakin lemah.

Berbeda dengan mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan landasan ilmu yang telah mereka warisi dari ayahnya, serta pengalaman yang semakin berkembang, maka ilmu mereka pun menjadi semakin mantap dan matang. Seakan-akan dari hari ke hari ilmu kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat.

Pada saat-saat ia bertempur melawan Kebo Sarik, tanpa mereka sadari, keduanya telah mematangkan ilmu mereka pula. Serangan-serangan yang berat yang terlontar dari Kebo Sarik yang memiliki kekuatan yang sangat besar, serta ilmunya yang menggetarkan telah memaksa kedua anak muda itu mengembangkan ilmu dan kemampuannya.

Dengan demikian maka pertempuran antara Kebo Sarik melawan Mahisa Murti dan Mahisa, Pukat semakin lama justru menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah memiliki bekal yang cukup itu ternyata mampu mengembangkan ilmu mereka, justru pada saat-saat yang gawat.

Kebo Sarik yang sudah memiliki pengalaman yang sangat luas itu merasa heran atas kemajuan kedua anak yang dianggapnya masih terlalu muda itu. Betapapun ia meningkatkan ilmunya, namun kedua anak muda itu dengan rapi mampu melawannya berpasangan. Apalagi keduanya ternyata benar-benar kebal racun dari bisa ular yang sangat tajam sebagaimana ular-ularnya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mempergunakan paser-paser kecilnya untuk mengimbangi serangan-serangan ilmu Kebo Sarik dari jarak tertentu. Meskipun demikian, keduanya sadar, bahwa racun-racun pasernya tidak akan mampu melumpuhkan lawannya. Dengan demikian maka keduanya berusaha untuk mengenai Kebo Sarik pada bagian-bagian tubuhnya yang lemah.

Dibagian lain, Pangeran Singa Narpada masih bertempur melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Guru dari orang-orang bertongkat itu mampu menyerang Pangeran Singa Narpada dengan mengembangkan telapak tangannya. Cahaya yang meloncat dari ujung-ujung tongkat sebagaimana dilakukan oleh murid-muridnya seolah-olah dapat meluncur dari telapak tangannya yang dikembangkan.

Serangan-serangan itu sangat berbahaya, karena sentuhan-sentuhannya pada bebatuan, cabang pepohonan dan bahkan tanah tempat Pangeran Singa Narpada berpijak, bagaikan meledak karenanya. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada harus mengatasinya dengan kecepatan gerak. Bahkan sekali-sekali Pangeran Singa Narpada masih mampu meloncat mendekat dan menyerang lawannya.

Gerak yang sangat cepat dan tiba-tiba, memang kadang-kadang mengejutkan, sehingga sekali-sekali serangan itu mampu menyentuh tubuhnya. Tetapi sentuhan itu sama sekali tidak menyakitinya. Bahkan guru dari keempat orang bertongkat itu mengabaikan sentuhan-sentuhan yang dianggapnya tidak berarti itu.

Meskipun demikian kemarahan guru orang-orang bertongkat itu bagaikan membakar jantungnya ketika ia melihat keadaan murid-muridnya, bahkan karena Kebo Sarik juga tidak segera mengalahkan kedua lawannya yang masih terlalu muda itu. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk dengan cepat mengalahkan lawannya. Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian maka ia akan dapat banyak berbuat bagi murid-muridnya.

Namun Pangeran Singa Narpada pun telah meningkatkan kemampuannya. Untuk melawan lawannya. Pangeran Singa Narpada lebih banyak bertumpu pada kecepatan geraknya. Ketika tangan Pangeran Singa Narpada mengenai pundak lawannya tanpa menimbulkan rasa sakit, lawannya menggeram, “Buat apa kau menggamit aku?”

Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia justru menghindari serangan lawannya yang menyambarnya. Meskipun serangan itu tidak mengenainya, tetapi udara panas bagaikan menyengatnya, karena Pangeran Singa Narpada tidak cukup jauh menghindar. Namun sekali lagi dengan loncatan panjang ia berhasil mendekati lawannya dan kakinya yang terjulur sempat menggapai lambung. Tetapi serangan kaki itu sama sekali tidak membuat lawannya merasa sakit, karena sentuhan itu memang tidak terlalu keras, sementara itu, daya tahan guru orang-orang bertongkat itu memang tinggi.

Namun demikian sekali lagi Pangeran Singa Narpada menyerang. Ia telah berputar bertumpu pada sebelah tumitnya, sementara kakinya yang lain terayun dengan derasnya. Ketika kaki itu hampir mengenai perut lawannya, maka lawannya itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan lawannya itu telah memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu dengan sikunya.

Terjadi benturan yang keras. Namun Pangeran Singa Narpada lah yang terpaksa bergeser selangkah surut, sementara lawannya tetap berada ditempatnya. Guru dari orang-orang bertongkat itu pun merasa, bahwa ia memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa cemas lagi jika serangan-serangan Pangeran Singa Narpada yang datang dengan cepat, tetapi tidak menyakitinya.

Perasaan itulah yang membuat orang itu menjadi lengah. Pada saat-saat ia berusaha memaksakan kemenangannya, karena ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran untuk menolong murid-muridnya, maka ia tidak lagi berusaha menghindari serangan-serangan Pangeran Singa Narpada. Dengan mengerahkan daya tahannya, ia telah menangkis hampir semua serangan.

Sementara itu serangan-serangannya sendiri masih belum juga berhasil mengenai lawannya, meskipun kadang-kadang sentuhan udara yang panas karena ilmu orang itu pun telah terasa oleh Pangeran Singa Narpada. Namun dalam pada itu, datanglah saat-saat yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh lawan Pangeran Singa Narpada itu. Ketika Pangeran Singa Narpada mulai mengerahkan ilmunya, maka perlahan-lahan namun pasti, ia akan mampu menguasai lawannya.

Dalam setiap sentuhan, maka seakan-akan Pangeran Singa Narpada telah menghisap sebagian kekuatan lawannya. Sedikit demi sedikit, tanpa terasa. Namun beberapa saat kemudian, maka lawan Pangeran Singa Narpada itu mulai merasa satu kelainan didalam dirinya.

Ketika ia melepaskan serangannya, maka ia merasa bahwa serangannya tidak lagi terasa mantap. Ledakan yang terjadi tidak lagi menghentak, dan mengejutkan. Apalagi ketika ia mencoba bertahan dengan menangkis serangan Pangeran Singa Narpada. Rasa-rasanya tenaganya menjadi semakin lemah.

Sepercik pertanyaan telah menyentuh hati guru dari orang-orang bertongkat itu. Beberapa kali ia mencoba membentur kekuatan Pangeran Singa Narpada. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak, “Licik kau Pangeran. Kau mempergunakan ilmu yang tidak pantas dipergunakan dalam pertempuran antara laki-laki jantan. Kau berlaku sebagai seorang pencuri yang dengan bersembunyi-sembunyi telah mencuri kekuatannya.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Seperti Ki Ajar Bomantara, maka orang ini pun menganggapnya licik. “Apakah benar aku telah bertempur dengan licik?” pertanyaan itu pun terasa mengganggu sekali didalam jantung Pangeran Singa Narpada.

Dalam pada itu, ketika Pangeran Singa Narpada sedang dicengkam oleh keragu-raguan, maka sebuah serangan telah menyambarnya. Pangeran Singa Narpada terkejut. Meskipun ia sempat mengelak, tetapi serangan itu telah menyentuh kulitnya.

Pangeran Singa Narpada bagaikan terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Untunglah ia sempat mengelak ketika serangan berikutnya menyambarnya, sehingga tanah tempat ia berguling itulah yang bagaikan telah meledak, meskipun ledakannya tidak lagi sedahsyat pada saat-saat ilmu itu mulai ditrapkan.

Sambil melenting Pangeran Singa Narpada telah menyerang lawannya. Guru dari orang-orang bertongkat itu-pun segera menghindarinya. Ia tidak lagi mau terjebak dalam hisapan kekuatan oleh ilmu Pangeran Singa Narpada. Tetapi gerak Pangeran Singa Narpada demikian cepatnya. Demikian lawannya mengelak, maka ia pun lelah memburunya, sehingga tangannya berhasil menyentuh pundak guru dari orang-orang bertongkat itu. Sentuhan itu memang tidak menyakiti. Tetapi dengan demikian selapis lagi kekuatannya telah terhisap.

“Gila,” geram orang itu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah melibatnya bagaikan angin pusaran. Lawannya tidak mampu mengelakkan diri sepenuhnya. Beberapa kali Pangeran Singa Narpada berhasil menyentuhnya, sehingga lawannya telah kehilangan beberapa lapis lagi kekuatannya. Namun demikian, lawannya telah berhasil pula mengenai lengan Pangeran Singa Narpada telah terpental dan jatuh berguling di tanah.

Perasaan sakit yang luar biasa telah menyengat tubuhnya. Lengannya bagaikan terbakar, sementara kulitnya terasa telah terkelupas. Meskipun demikian, Pangeran Singa Narpada masih melihat serangan berikutnya yang datang ke arahnya, sehingga sambil menyeringai ia masih sempat meloncat menghindar. Sejenak kemudian, betapapun perasaan sakit membakar lengannya, namun ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu nampaknya menjadi semakin cepat. Tetapi tenaga dan kemampuan mereka sebenarnya telah jauh susut, sehingga setiap serangan rasa-rasanya tidak terasa menggetarkan lagi. Meskipun demikian, luka di lengan Pangeran Singa Narpada terasa bagaikan menggigit sampai ketulang.

Yang terjadi selanjutnya adalah serangan silih berganti yang tidak dapat, dihindari seluruhnya oleh kedua belah pihak, sehingga karena itu, maka tenaga dan kemampuan guru dari orang-orang bertongkat itu pun menjadi semakin susut, sementara tubuh Pangeran Singa Narpada pun semakin banyak terluka oleh sentuhan ilmu Pamungkas lawannya.

Namun beberapa saat kemudian, maka lawan Pangeran Singa Narpada itu benar-benar sudah kehabisan tenaga. Ketika ia berusaha menghentakkan sisa tenaganya, maka tidak ada lagi yang dapat memancar dari telapak tangannya. Bahkan seakan-akan segenap tenaganya telah terperas habis.

Karena itu, ketika dengan tenaga yang sudah menjadi semakin lemah, Pangeran Singa Narpada menyerangnya, maka rasa-rasanya tubuh guru dari orang-orang bertongkat itu bagaikan tertimpa segerobag batu hitam. Dadanya bagaikan pecah dan nafasnya pun menjadi terengah-engah. Sehingga sejenak kemudian, maka orang itu pun telah terbaring diam.

Namun Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah menghentakkan ilmunya yang tersisa. Karena itu, demikian ia mengenai lawannya, maka ia pun terhuyung-huyung dan jatuh di sebelah lawannya terbaring.

Mahisa Agni dan Witantra yang telah kehilangan lawannya itu pun dengan cepat memburunya. Tetapi mereka tidak sempat menangkap tubuh yang terjatuh itu. Namun Mahisa Agni itu pun berdesis, “Masih ada tarikan nafasnya.”

Witantra lah yang kemudian duduk di sisinya. Di letakkannya tangannya pada dada Pangeran Singa Narpada yang terbaring diam menelentang. Sementara Mahisa Agni menungguinya dengan hati-hati karena kemungkinan yang lain akan dapat terjadi.

Perlahan-lahan terasa nafas Pangeran Singa Narpada mengalir kembali dengan wajar. Darahnya yang bagaikan terhenti pun telah menelusuri urat-uratnya, sedangkan jantungnya berdetak sebagaimana seharusnya.

Mahisa Agni yang melihat keadaan Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba kakinya, maka terasa tubuh itu menjadi semakin hangat kembali. Karena itu ia yakin bahwa keadaan Pangeran Singa Narpada akan berangsur baik, meskipun luka-lukanya harus mendapatkan pengobatan yang khusus.

Pada saat yang demikian, ternyata Mahendra telah menyelesaikan kedua lawannya pula. Tetapi ternyata tidak terlalu mudah sebagaimana diduga sebelumnya. Pada saat-saat yang sangat gawat, kedua orang itu bagaikan menjadi liar, sehingga agak sulit bagi Mahendra untuk menguasainya. Serangan-serangan mereka justru menjadi lebih cepat dan keras.

Karena itu, Mahendra terpaksa mempergunakan ilmu Bajra Geni dalam bentuk yang lunak, sehingga udara yang panas bertebaran di seputarnya. Dengan demikian, maka kedua orang lawannya itu tidak dapat mengenainya dengan serangan-serangannya yang berbahaya. Cahaya yang meluncur dari ujung tongkat mereka, seakan-akan telah membentur lingkaran yang melindunginya. Serangan itu seakan-akan telah pecah dan hancur sebelum menyentuh Mahendra yang berlindung dibalik kekuatan ilmunya. Pada saat-saat yang demikian maka Mahendra telah melumpuhkan kedua lawannya, sehingga keduanya menjadi tidak berdaya.

Berbeda dengan kedua orang bertongkat maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan ilmu mereka pula, namun dalam keadaan yang lebih baik. Setiap kali mereka mampu mengimbangi ilmu Kebo Sarik dengan lontaran-lontaran paser-paser kecil yang dibidikkan ke arah bagian-bagian tubuhnya yang lemah.

Namun jumlah paser-paser mereka pun terbatas. Pada suatu saat paser-paser itu akan habis. Jika demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka meskipun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membicarakannya, tetapi dengan isyarat keduanya mengerti bahwa keduanya harus mempergunakan kesempatan bergantian.

Demikianlah, pada saat-saat Kebo Sarik berusaha untuk menekan kedua anak muda itu, agar mereka kehilangan kesempatan untuk berbuat lebih banyak, bahkan agar paser-paser kecil mereka tidak sempat mencari sasaran, maka kedua anak muda itu telah sampai ke puncak ilmu mereka.

Ketika Mahisa Murti berhasil memancing perhatian Kebo Sarik sepenuhnya dengan melontarkan sisa-sisa pasernya beruntun, maka Mahisa Pukat sempat membangunkan ilmu pamungkasnya. Dengan landasan ilmu puncaknya didasari dengan kekuatan tenaga cadangannya, maka Mahisa Pukat telah meloncat menyerang Kebo Sarik.

Kebo Sarik sempat melihat serangan itu. Demikian cepatnya justru pada saat ia berusaha menghindari serangan paser kecil yang mengarah ke lehernya. Karena itu, maka Kebo Sarik tidak sempat berbuat banyak. Serangan itu demikian cepat datang. Namun Kebo Sarik masih sempat menghentakkan daya tahan tubuhnya untuk melawan serangan yang mengejutkan itu.

Sejenak kemudian maka telah terjadi benturan yang menggetarkan. Kekuatan ilmu puncak Mahisa Pukat yang diwarisinya dari ayahnya, telah membentur kekuatan daya tahan seorang Kebo Sarik yang memiliki ilmu yang tinggi pengalaman yang luas dalam olah kanuragan.

Akibat benturan itu memang dahsyat sekali. Kebo Sarik telah terdorong beberapa langkah surut. Namun ternyata bahwa Kebo Sarik masih tetap mampu memelihara keseimbangannya. Bahkan sejenak kemudian ia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin dapat terjadi.

Sementara itu, Mahisa Pukat telah membentur kekuatan yang tidak dapat dikoyak dengan ilmu puncaknya. Justru Mahisa Pukat seakan-akan telah terpental karena kekuatan sendiri. Beberapa langkah ia terlempar dan bahkan jatuh berguling. Terasa tulang-tulang Mahisa Pukat bagaikan retak. Namun ia masih berpikir jernih. Ia justru berguling menjauhi lawannya beberapa langkah untuk mengambil jarak.

Ketika Kebo Sarik siap meloncat menerkamnya, maka Mahisa Murti pun telah bersiap pula. Namun ternyata bahwa Kebo Sarik mengurungkan niatnya. Ternyata bahwa dalam benturan yang terjadi, meskipun ia masih tetap mampu bertahan dan menjaga keseimbangannya, namun terasa dadanya menjadi sakit. Ketika ia berusaha untuk menghentakkan kekuatannya, barulah ia merasa bahwa sesuatu telah terjadi di dalam dirinya dalam benturan yang dahsyat itu.

Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya. Justru ia telah bergeser surut beberapa langkah. Sejenak ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya dengan menarik nafas dalam-dalam.

Mahisa Murti tidak tergesa-gesa menyerangnya. Ia justru bersiaga menghadapi segala kemungkinan jika orang itu dengan tiba-tiba telah menyerang Mahisa Pukat yang dengan sedikit kesulitan bangkit dan duduk sejenak. Beberapa kali ia sempat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata tubuhnya menjadi sedikit segar sehingga dengan demikian, maka ia pun segera bangkit berdiri. Dikembangkannya tangannya sambil menarik nafas beberapa kali sehingga terasa dadanya menjadi semakin longgar.

Sejenak kemudian, maka keadaan Mahisa Pukat itu pun telah berangsur baik. Meskipun ia masih merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya justru karena kekuatannya sendiri seakan-akan telah memental ketika ia membentur kekuatan lawannya, namun Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan pula.

Kebo Sarik menggeram ketika ia melihat Mahisa Pukat telah bersiap pula. Dengan suara berat ia bergumam, “Setan. Ternyata kau tidak mati karena ilmumu sendiri.”

Mahisa Pukat menarik nafas pula sambil berkata, “Kita sama-sama mengalami akibat. Aku tidak ingkar, bahwa keadaanku mungkin lebih parah dari keadaanmu. Tetapi aku pun telah bersiap untuk bertempur.”

Kebo Sarik memandang anak muda itu dengan mata yang menyala. Namun tiba-tiba saja ia telah menyerang Mahisa Pukat dengan ilmunya. Mahisa Pukat yang melihat gerak Kebo Sarik itu sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, betapapun tubuhnya terasa sakit, namun ia telah berusaha untuk meloncat menghidar.

Kebo Sarik yang melihat keadaan Mahisa Pukat, maka ia pun berusaha untuk menghancurkannya sama sekali. Selagi ia masih sempat. Tetapi ketika Kebo Sarik siap untuk melontarkan ilmunya, maka paser kecil telah meluncur dari tangan Mahisa Murti, tepat mengarah ke wajahnya. Karena itulah, maka ia telah mengurungkan niatnya dan berusaha mengelakan serangan Mahisa Murti itu.

Pada saat yang demikian di dadanya terasa lagi seakan-akan telah terdapat luka yang menggigit di bagian dalam. Namun Kebo Sarik itu sempat menghindari serangan Mahisa Murti. Bahkan ia pun telah siap pula untuk menyerangnya.

Pada saat yang demikian Mahisa Pukat telah bersiap sepenuhnya. Ia berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya, sehingga seakan-akan ia benar-benar telah pulih kembali. Dengan garangnya Mahisa Pukat pun kemudian telah berusaha untuk meloncat menyerang. Tetapi justru Kebo Sarik lah yang menyongsongnya dengan lontaran ilmunya.

Dengan menggigit bibirnya untuk menahan sakit Mahisa Pukat telah menggeliat menghindari serangan itu. Tetapi ternyata bahwa sambil menghindar ia sempat mengambil sebuah paser kecil dan sekaligus melemparkannya ke arah jantung Kebo Sarik.

Kebo Sarik menyadari kekuatan lemparan lawannya yang masih muda itu. Paser itu akan dapat menyusup kulit dagingnya sampai menyentuh jantung. Karena itulah, maka Kebo Sariklah yang kemudian berusaha untuk menghindar. Namun pada saat yang demikian, diluar perhitungan Kebo Sarik, maka Mahisa Murti lah yang kemudian meloncat menyerang dengan ilmu puncaknya pula, sebagaimana Mahisa Pukat.

Sekali lagi Kebo Sarik tersudut untuk menangkis serangan itu karena ia sama sekali sudah tidak sempat lagi mengenai. Sekali lagi telah terjadi benturan yang dahsyat. Mahisa Murti dengan kekuatan puncaknya telah membentur Kebo Sarik yang tengah bertahan dengan mengerahkan daya tahannya.

Sebenarnyalah bahwa telah terdapat bibit luka di dalam dada Kebo Sarik. Ketika sekali lagi ia harus berbenturan ilmu dengan anak muda itu maka jantungnya telah benar-benar terguncang sehingga karena itu, maka Kebo Sarik tidak lagi mampu menahan serangan itu sebagaimana dilakukan atas serangan Mahisa Pukat.

Dengan demikian, maka dada Kebo Sarik itu benar-benar bagaikan pecah. Ia telah terdorong beberapa langkah surut. Ternyata bahwa dalam keadaannya, Kebo Sarik tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka ia pun kemudian terjatuh berguling. Namun dengan susah payah Kebo Sarik itu berusaha untuk bangkit kembali dengan berdiri tegak untuk menanti kemungkinan yang bakal terjadi kemudian.

Sementara itu, Mahisa Murti pun telah terpental dan jatuh pula berguling. Tetapi seperti Kebo Sarik, maka Mahisa Murti pun kemudian telah tegak kembali. Namun betapa perasaan sakit telah menyengat bagian dalam dadanya. Sejenak Mahisa Murti berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya. Dengan mengerahkan daya tahannya, maka Mahisa Murti telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak ketiga orang yang berada di arena itu justru bagaikan membeku. Ketiga-tiganya sudah terluka dibagian dalamnya, sehingga karena itu, maka mereka pun telah menjadi semakin berhati-hati.

Ternyata bahwa Kebo Sarik masih dibakar oleh keinginannya untuk membinasakan kedua lawannya yang masih sangat muda itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun telah menghentakkan ilmunya pula menyerang Mahisa Murti dari tempatnya dengan mengembangkan telapak tangannya.

Mahisa Murti yang masih berusaha menahan rasa sakitnya mengumpat didalam hati. Ia pun harus mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk menghindari serangan itu. Hampir saja Mahisa Murti terlambat karena hambatan dari dalam dirinya. Namun ternyata bahwa ia masih mampu melepaskan diri dari sentuhan ilmu itu.

Sebenarnyalah bahwa serangan Kebo Sarik itu pun sudah tidak lagi sedahsyat sebelumnya. Tenaga dorong atas ilmunya itu memang sudah berkurang, sehingga lontaran ilmunya telah susut pula. Ketika Kebo Sarik akan mengulangi serangannya, maka Mahisa Pukat berusaha untuk mencegahnya. Dengan cepatnya, Mahisa Pukat telah melontarkan pasernya sekali lagi mengarah Kebo Sarik.

Kebo Sarik lah yang kemudian harus menghindar. Tetapi ketika ia meloncat, maka ia pun telah menyeringai menahan sakit di dalam dadanya. Rasa-rasanya jantungnya akan terlepas dari tangkainya.

Mahisa Pukat melihat keadaan Kebo Sarik. Sejenak telah timbul keraguan di dalam hatinya, karena keadaan tubuhnya sendiri yang terluka di dalam. Namun Mahisa Pukat tidak mau melepaskan kesempatan, ia memaksa diri dengan mengerahkan kemampuan, tenaga dan pemusatan nalar dan budinya, maka Mahisa Pukat telah meloncat menyerang Kebo Sarik dengan segenap kekuatan yang masih tersisa dalam puncak ilmunya.

Kebo Sarik terkejut melihat serangan itu. Tetapi ia tidak sempat mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah sekali lagi menangkis serangan itu. Seperti Mahisa Pukat, maka Kebo Sarik pun telah mengerahkan sisa tenaga yang ada padanya. Betapa perasaan sakit menyengat dadanya, namun ia masih mampu menghentakkan daya tahannya.

Sekali lagi telah terjadi benturan antara dua kekuatan raksasa yang telah menyusut. Mahisa Pukat yang telah mengerahkan kekuatannya yang tersisa itu, seakan-akan telah memeras apa yang masih tinggal didalam dirinya. Demikian benturan terjadi, maka Mahisa Pukat itu pun telah terlempar jatuh dan dunia pun rasa-rasanya telah menjadi gelap. Ternyata Mahisa Pukat menjadi pingsan.

Kebo Sarik yang membentur ilmu pamungkas Mahisa Pukat meskipun kekuatannya sudah menjadi susut, namun karena keadaan Kebo Sarik sendiri yang lemah dibagian dalam tubuhnya, maka ia pun telah terlempar pula beberapa langkah dan terbanting jatuh.

Kepala Kebo Sarik pun menjadi pening. Nafasnya terasa sesak. Meskipun demikian Kebo Sarik masih tetap menyadari, bahwa ia masih dalam keadaan yang gawat. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk segera bangkit berdiri.

Mahisa Murti telah melihat apa yang terjadi. Ia melihat Mahisa Pukat jatuh pingsan. Sehingga karena itu, maka jantungnya bagaikan berhenti berdentang. Nalar pun menjadi buram dan Mahisa Murti itu tidak berpikir panjang lagi. Meskipun keadaan tubuhnya masih sangat lemah, namun keadaan saudaranya itu membuatnya tidak sempat menimbang lagi.

Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti telah membangunkan kekuatan yang tersisa didalam dirinya. Pada saat Kebo Sarik masih belum tegak benar, maka Mahisa Murti pun telah meloncat menyerang lawannya dengan ilmu pamungkasnya.

Mahisa Agni dan Witantra yang sempat menyaksikannya telah berbareng memanggilnya. Namun Mahisa Murti telah meloncat dan membenturkan kekuatan ilmunya yang masih tersisa di dalam dirinya yang menjadi lemah itu.

Kebo Sarik benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Ia memang mencoba membangunkan kemampuan untuk bertahan dari apa yang masih ada didalam dirinya. Namun ternyata bahwa yang tertinggal itu tidak mampu lagi melindunginya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti telah membenturkan ilmunya Kebo Sarik. Satu benturan yang ternyata telah mengakhiri pertempuran itu. Kebo Sarik yang sudah menjadi sangat lemah itu, sama sekali tidak mampu lagi bertahan, ketika kekuatan raksasa Mahisa Murti, meskipun sudah susut, menghantamnya, maka isi dadanya telah bergetar dan bahkan jalan pernafasannya menjadi bagaikan tersumbat.

Ternyata Kebo Sarik tidak dapat mengatasi kesulitan didalam dirinya. Isi dadanya bagaikan telah diremukkan oleh ilmu anak-anak muda itu. Nafasnya pun menjadi sesak, dan detak jantungnya telah terhenti.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah terlempar dan terbanting jatuh. Seperti Mahisa Pukat, maka semuanya telah menjadi gelap. Dan Mahisa Murti pun menjadi pingsan.

Mahendra yang telah melumpuhkan kedua lawannya terkejut melihat keadaan itu. Tiba-tiba saja ia telah memukul kedua orang yang telah dikalahkannya itu pada punggungnya, sehingga keduanya telah jatuh pingsan pula.

“Kubunuh kalian jika anak-anakku mengalami cidera,” geram Mahendra yang kemudian berlari ke arah kedua anak-anaknya.

Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian dengan tergesa-gesa telah mendekati Mahisa Murti yang kemudian perlahan dan hati-hati telah diangkatnya dan dibaringkannya disamping Mahisa Pukat.

“Mereka keduanya menjadi pingsan,” desis Mahisa Agni.

Wajah Mahendra menjadi tegang. Namun ia pun mengangguk-angguk, meskipun getar didalam dadanya masih terasa menggelora. Dengan kemampuan dan ilmu yang ada didalam diri mereka, maka Mahendra dan Witantra, masing-masing berusaha untuk membantu ke dua orang anak muda itu. Mereka memiliki arus ilmu dari satu perguruan, sehingga dengan demikian maka hendaknya memiliki pengetahuan untuk membantu kedua orang anak muda itu.

Witantra telah menggenggam kedua tangan Mahisa Murti dengan kedua tangannya. Kemudian dipusatkannya daya kemampuan ilmunya untuk menyalurkan daya ketahanan kedalam diri Mahisa Murti, sementara itu Mahendra telah melakukan hal yang sama atas Mahisa Pukat.

Mahisa Agni berdiri termangu-mangu mengamati kedua anak muda yang sedang pingsan itu. Ketika ia berpaling ke arah Pangeran Singa Narpada, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Singa Narpada ternyata telah berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dalam pergulatannya melawan maut karena luka-luka dalamnya.

Beberapa saat kemudian, maka baik Witantra, maupun Mahendra telah berhasil menghubungkan kekuatan yang tersalur dari dalam dirinya dengan jalur daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak berdaya sama sekali. Namun dengan hubungan itu, maka perlahan-lahan kekuatan daya tahan kedua anak muda itu mulai dibangunkannya kembali. Dengan demikian, maka Witantra dan Mahendra itu mulai berharap bahwa kedua orang anak muda iiu akan mampu berlahan untuk tetap hidup.

Ada semacam penyesalan di dalam hati Mahendra, bahwa ia telah memberikan kesempatan kepada anak-anaknya yang masih sangat muda untuk melawan Kebo Sarik, yang semula hanya karena kesegarannya untuk mempergunakan ilmunya dalam bentuk yang lunak untuk mengusir ular-ular yang sangat berbahaya baginya, dan digelitik oleh keinginannya untuk melihat tataran kemampuan anak-anaknya dalam dunia olah kanuragan yang terlalu garang.

Dan kini, ia harus melihat akibat atas kedua anak-anaknya. Untuk beberapa saat Witantra dan Mahendra berjuang mengatasi kesulitan didalam diri Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun karena kekuatan Witantra dan Mahendra telah tersalur kejalur kekuatan daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keadaan kedua anak muda itu memang mulai berangsur membaik.

Perlahan-lahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mulai bergerak. Perlahan-lahan pula keduanya mulai membuka matanya. Yang mula-mula mereka lihat adalah kegelapan dan titik-titik yang bertebaran di langit. Baru kemudian dalam keremangan malam dilihatnya bayangan orang-orang yang ada di sisinya.

Untuk beberapa saat dibiarkannya kedua orang anak muda itu mulai menyadari dirinya dan didorong oleh kekuatan yang tersalur dari Witantra dan Mahendra, mengatasi segala kesulitan didalam diri mereka.

Sementara itu, keadaan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin baik. Bahkan karena kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan orang kebanyakan, maka ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada telah mampu mengatasi kesulitan yang paling tajam didalam dirinya, sehingga meskipun masih dalam keadaan yang sangat lemah maka Pangeran Singa Narpada telah mampu bangkit.

Mahisa Agni telah membantunya untuk berdiri. Semula Mahisa Agni ingin mempersilahkannya untuk beristirahat sejenak. Namun Pangeran Singa Narpada berkata, “Aku sudah berangsur baik. Bagaimana dengan anak-anak itu?”

“Nampaknya mereka akan dapat tertolong, meskipun keadaan mereka cukup parah,” jawab Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Untunglah bahwa mereka mampu mengatasi lawan mereka dan tidak menjadi korban karenanya. Jika terjadi demikian, maka aku akan merasa sangat menyesal, bahwa permainanku telah menyeret keduanya yang sebenarnya masih terlalu muda.”

“Kesalahannya tidak sepenuhnya berada pada Pangeran,” jawab Mahisa Agni, “ayah anak-anak itu pun juga bertanggung jawab.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah bahwa keduanya tidak menjadi korban karenanya.”

Namun dalam pada itu, cahaya kemerah-merahan mulai nampak membayang di langit. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Kekuatan sirep itu akan segera lenyap karena orang yang melontarkannya telah terbunuh, apalagi sesaat kemudian kita akan sampai kebatas ujung malam.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil memandang langit yang semakin cerah, ia berkata, “orang-orang yang tinggal di sebelah menyebelah ini pun akan segera terbangun. Mereka akan menemukan kita dan menjadi heran atas diri mereka sendiri, bahwa mereka tidak mendengar apa yang telah terjadi, karena mereka tidak menyadari, bahwa mereka telah terpukau oleh pengaruh sirep yang sangat tajam, yang ternyata mampu menjangkau daerah yang luas."

Mahisa Agni tidak menjawab. Ketika ia memandang ke arah Mahisa Pukat, maka dilihatnya anak muda itu telah menyeringai menahan sakit di seluruh tubuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada maka pengaruh sirep pun semakin lama menjadi berkurang. Selain karena orang yang melontarkan sirep itu sudah terbunuh, juga karena pengaruh sirep itu memang tidak dapat berlangsung untuk waktu yang terlalu lama.

Beberapa orang prajurit yang bertugas, mulai terbangun dari tidur mereka yang nyenyak. Seorang perwira yang memimpin para prajurit yang bertugas rasa-rasanya bagaikan kehilangan jantung ketika ia melihat pintu Gedung Perbendaharaan yang terbuka.

“Apa yang terjadi,” perwira itu hampir berteriak.

Para petugas pun menjadi gempar. Yang masih belum terbangun dari tidurnya yang terlalu nyenyak, telah mengalami perlakuan yang kasar dari perwiranya. Ditendangnya paha orang-orang yang masih tertidur itu dengan bentakan-bentakan keras.

“He, apa yang kalian lakukan dalam tugas kalian,” perwira itu hampir berteriak, “pintu Gedung Perbendaharaan telah terbuka.”

Para prajurit pun terhentak karena terkejut. Gedung Perbendaharaan itu terbuka. Selagi para prajurit itu kebingungan dan tidak tahu apa yang dilakukannya, maka perwira pun telah memerintahkan agar mereka untuk sementara tidak melaporkan kepada siapapun juga.

“Aku akan menghadap Pangeran Singa Narpada. Pangeran Singa Narpada lah yang telah menangani benda-benda terpenting didalam Gedung itu sejak Kediri kehilangan benda yang sangat berharga,” berkata Perwira itu.

“Peti perak yang ada di dalam Gedung Perbendaharaan itu nampaknya tidak berada ditempatnya,” desis seorang prajurit yang pernah menyaksikan dari luar para petugas yang merawat benda-benda berharga itu memasuki Gedung Perbendaharaan.

“Kita tidak tahu apa-apa tentang isi Gedung itu,” jawab perwira yang memimpin penjagaan malam itu, “karena itu, sebelum Sri Baginda mendengar, aku akan menghubungi Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang telah terjadi.”

“Justru terbalik,” berkata seorang prajurit, “kita sebaiknya melaporkannya kepada Sri Baginda. Jika kita menyampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka belum lagi persoalannya diusut, kita sudah dicekiknya sampai mati.”

“Tidak,” jawab perwira itu, “aku yakin tidak. Pangeran Singa Narpada memang seorang yang keras. Tetapi ia bukan seorang pembunuh. Jika benda-benda berharga di Gedung Perbendaharaan ini memang hilang, kita pantas digantung di alun-alun. Aku tidak akan ingkar. Tetapi jika yang terjadi lain, maka kita pun akan segera mengetahui sehingga jantung kita tidak selalu diganggu oleh ketegangan di setiap saat.”

Prajurit-prajuritnya pun tidak dapat mencegahnya lagi. Perwira itu pun berniat untuk pergi ke istana Pangeran Singa Narpada dan melaporkan apa yang terjadi, sekaligus menyerahkan dirinya bersama para petugas yang lain untuk diperlakukan apa saja.

Namun dalam pada itu, ditempat lain pun telah terjadi kegemparan pula. Beberapa orang yang terbangun dengan perasaan heran karena mereka tertidur sangat nyenyak, dan bahkan bangun sedikit kesiangan itu, telah menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi di sebelah rumah mereka. Bahkan sesuatu yang sangat mengerikan.

Ternyata ada diantara mereka yang terbangun itu yang telah mengenali Pangeran Singa Narpada. Karena itu, dengan wajah yang tegang orang itu menghadap sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi Pangeran?”

Pangeran yang masih sangat lemah karena luka-lukanya yang cukup parah itu pun berkata, “Sampaikan keadaanku kepada para prajurit yang bertugas di istanaku. Jangan kepada yang lain. Aku memerlukan pertolonganmu.”

Dengan tergesa-gesa orang itu pun telah berjalan menuju ke istana Pangeran Singa Narpada, sementara Pangeran Singa Narpada berpesan kepada orang-orang yang melihat peristiwa itu, agar apa yang mereka lihat, jangan disebar luaskan dahulu.

Demikianlah, ketika orang yang mendapat perintah Pangeran Singa Narpada itu sampai di istananya dan menghubungi perwira prajurit yang bertugas, maka perwira yang memimpin para petugas di Gedung Perbendaharaan pun telah berada di istana itu pula. Karena itu, maka ia pun telah mendengar dari mulut orang yang mendapat perintah dari Pangeran Singa Narpada, apa yang telah terjadi.

Dengan demikian maka para prajurit yang bertugas di istana Pangeran Singa Narpada pun menjadi sibuk. Dengan tergesa-gesa mereka telah menyiapkan beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian beberapa orang prajurit telah berderap menuju ke tempat yang telah disebut oleh orang yang memberitahukan apa yang telah terjadi dengan Pangeran Singa Narpada itu. Bahkan perwira yang bertugas di Gedung Pembendaharaan itu telah ikut pula bersama mereka. Rasa-rasanya ia memang ingin bertemu dengan Pangeran Singa Narpada, apapun yang akan terjadi atas dirinya, biarlah terjadi.

Akhirnya Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra telah ikut bersama Pangeran Singa Narpada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memerlukan perawatan yang lebih baik agar luka mereka yang parah tidak membahayakan jiwa mereka. Sejenak kemudian, maka pedati-pedati itu pun telah meninggalkan bekas medan yang garang itu. Diiringi beberapa orang prajurit, maka iring-iringan itu memang tidak dapat menghindarkan diri dari perhatian rakyat Kediri.

Namun para prajurit yang mengawal pedati-pedati itu tidak memberikan kesan ketegangan sama sekali. Wajah mereka nampak cerah dan sikap mereka pun tidak menjadi garang. Mereka tidak memegang senjata di tangan. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang melihat iring-iringan itu tidak mendapat kesan bahwa sesuatu yang garang telah terjadi di Kediri.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra berada didalam pedati yang sama dengan Pangeran Singa Narpada yang lemah. Sementara Mahendra menunggu kedua anaknya yang dibaringkannya didalam pedati yang lain.

Di pedati berikutnya, terbaring orang-orang bertongkat yang terluka dan menjadi lemah sekali. Di sebelah menyebelah pedati-pedati yang dipergunakan untuk membawa mereka, para pengawal berkuda mengamatinya dengan cermat, meskipun tidak menimbulkan kesan kegarangan. Bahkan orang-orang yang berada ditepi jalan melihat para pengawal itu seakan-akan sedang mengiringi para bangsawan yang sedang bertamasya.

Beberapa saat kemudian pedati-pedati itu telah memasuki halaman istana Pangeran Singa Narpada. Sementara itu perwira yang bertugas di Gedung Perbendaharaan Istana diperintahkan untuk kembali ke tugasnya.

“Kalian tidak perlu memberikan laporan apapun juga. Peti itu akan segera aku kembalikan ke tempatnya. Aku yakin meskipun aku belum melihatnya, tidak ada benda-benda berharga lainnya yang hilang,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Perwira itu pun mengangguk hormat. Kemudian ia pun telah memisahkan diri dan kembali ke tempat tugasnya. Para prajurit yang bertugas semalam menerima kedatangan perwiranya dengan jantung yang berdebar-debar. Rasa-rasanya mereka tidak tahan lagi menunggu terlalu lama karena ketegangan yang mendesak didalam dada mereka. Karena itu, begitu perwira itu meloncat dari kudanya maka para prajurit itu pun telah mendekatinya dan kemudian mengerumuninya.

“Apakah kami akan digantung?” bertanya salah seorang prajurit.

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum tahu, hukuman apa yang akan ditimpakan kepada kita. Tetapi Pangeran Singa Narpada memerintahkan untuk menutup kembali pintu yang terbuka itu. Pangeran Singa Narpada tidak merasa perlu untuk melihat isinya lebih dahulu. Mungkin karena Pangeran Singa Narpada yakin bahwa memang tidak ada benda berharga yang hilang, tetapi mungkin juga karena Pangeran Singa Narpada masih dalam keadaan yang sangat lemah.”

“Apa yang terjadi dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya para prajurit.

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Singa Narpada masih belum menceriterakan secara terperinci, apa yang telah terjadi atas dirinya dan orang-orang yang terbunuh dan terluka. Namun serba sedikit perwira itu sudah dapat menangkap peristiwa yang mendebarkan. Dengan singkat ia berkata,

“Ada kekuatan yang telah memasuki Gedung Perbendaharaan ini. Agaknya kita sudah dicengkam oleh kekuatan sirep yang sangat kuat, sehingga kita semuanya telah tertidur nyenyak. Peristiwa ini mirip sekali dengan saat-saat sebuah benda yang paling berharga hilang dari Gedung Perbendaharaan ini. Hal itu ternyata telah terulang kembali, meskipun menurut Pangeran Singa Narpada, tidak ada sesuatu yang hilang. Mungkin isi dari peti perak itu sudah berhasil dikuasai kembali oleh Pangeran Singa Narpada, sehingga Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang pantas digelisahkan.”

Keterangan perwira itu memang sedikit dapat menurunkan ketegangan para prajurit. Tetapi para prajurit itu pun tahu, bahwa Pangeran Singa Narpada bukan seorang yang dikendalikan saja oleh perasaannya. Mungkin penalarannya telah mengekangnya untuk dengan cepat mengambil keputusan. Namun sikapnya yang keras dan tidak berdebar-debar, karena tidak mustahil mereka dipanggil oleh Pangeran Singa Narpada dan sambil memandangi dengan wajah yang tenang tanpa menunjukkan sikap yang keras, Pangeran itu mengucapkan keputusan hukuman bagi mereka.

Namun dalam pada itu, perwira itu pun telah mematuhi perintah Pangeran Singa Narpada. Ia sama sekali tidak membuat laporan apapun. Perwira itu mengerti, bahwa laporan yang diberikannya jika ia menyebut juga tentang peti perak yang hilang, maka hal itu tentu akan menggembirakan lingkungan keprajuritan dan tidak mustahil akan segera sampai kepada Sri Baginda. Padahal, sama sekali tidak terjadi sesuatu sebagaimana dimaksud oleh Pangeran Singa Narpada.

Dengan demikian, maka yang tidak terjadi sesuatu itu akan dapat menimbulkan persoalan yang mungkin akan berkepanjangan. Karena itu, maka perwira itu juga memerintahkan kepada para prajuritnya untuk tidak menyebut-nyebut apa yang telah mereka alami. Mereka tidak usah mengatakan tentang sirep dan apa yang telah terjadi atas mereka.

Beberapa orang prajurit yang berkuda di pagi-pagi yang dingin itu memang menarik perhatian beberapa orang. Tetapi karena para prajurit itu nampaknya tidak menunjukkan sesuatu yang menimbulkan persoalan di dalam hati orang-orang yang melihatnya, maka beberapa saat kemudian, mereka pun telah melupakannya.

Dalam waktu yang singkat, maka para prajurit itu sudah sampai di tempat Pangeran Singa Narpada menunggu. Mereka pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat keadaan Pangeran Singa Narpada, dan bahkan beberapa sosok tubuh yang terbaring.

“Apa yang telah terjadi Pangeran?” bertanya perwira yang memimpin sekelompok prajurit itu.

“Ceritera yang panjang,” jawab Pangeran Singa Narpada, “sekarang usahakan untuk mengatasi peristiwa ini agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat menggelisahkan rakyat Kediri khususnya di Kota Raja ini.”

Perwira itu tidak mendesak untuk mendengar peristiwa itu dalam keseluruhan. Pangeran Singa Narpada hanya memberikan beberapa perintah tentang mayat-mayat yang terdapat di tempat itu, serta mencari beberapa buah pedati untuk membawa mereka yang terluka dan yang tertawan.

“Aku sendiri juga harus menumpang sebuah pedati,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Perwira itu pun segera melaksanakan perintah Pangeran Singa Narpada dibantu oleh orang-orang yang tinggal di sekitar tempat kejadian itu. Namun dengan pesan, agar peristiwa itu tidak menimbulkan kegelisahan, sehingga orang-orang yang ikut menyelenggarakan beberapa sosok mayat, mendapat pesan untuk berhati-hati jika mereka pada suatu saat harus menceriterakan kejadian yang mereka lihat itu.

Dalam pada itu, perwira yang bertugas di Gedung Perbendaharaan Istana tidak sabar lagi menunggu. Karena itu, ketika para prajurit dan orang-orang di sekitar tempat itu sibuk mengurusi mayat-mayat dan orang-orang yang terluka maka perwira itu telah menghadap Pangeran Singa Narpada yang masih sangat lemah untuk menyampaikan persoalannya.

“Ampun Pangeran, hukuman apapun yang harus kami terima, kami tidak akan ingkar. Tetapi perkenankanlah kami mengetahui, apakah peti perak itu memang hilang atau hanya dipindahkan tempatnya saja, atau mungkin justru selain peti itu ada juga benda-benda berharga lainnya yang hilang,” bertanya perwira itu.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menunjuk sebuah peti perak yang dibawa oleh orang-orang yang telah dilumpuhkan itu Pangeran Singa Narpada bertanya, “Peti itu yang kau maksud?”

Wajah orang itu menegang. Ia melihat sebuah peti perak yang tergeletak begitu saja di dekat tempat yang menjadi ajang pertempuran itu. Dengan ragu-ragu orang itu pun kemudian bertanya, “Apa artinya ini Pangeran?”

“Nanti aku akan berceritera,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi jangan cemas tentang peti perak itu.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga bertanya, “Atau mungkin ada benda-benda lain yang hilang?”

“Aku belum melihatnya, tetapi aku kira tidak ada benda lain yang hilang, karena yang mereka cari adalah peti perak itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Bukankah di dalam peti itu tersimpan benda yang paling berharga?” bertanya perwira itu.

“Peti itu kosong. Seandainya tidak ada seorang pun yang melihat, maka kita tidak akan merasa kehilangan apapun juga kecuali peti itu sendiri,” jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi baiklah kita berbicara nanti tentang peti itu. Sekarang aku memerlukan kalian untuk menghapuskan bekas-bekas peristiwa yang baru saja terjadi.”

Perwira itu tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi dengan demikian, maka ia tidak lagi dibayangi oleh ketegangan tentang benda-benda berharga yang hilang. Peti perak itu ternyata tidak berisi apapun juga. Apalagi benda yang paling berharga sebagaimana dicemaskannya.

Dalam pada itu, maka dengan cepat segala sesuatunya telah diselesaikan. Telah datang pula ke tempat itu beberapa buah pedati yang akan dipergunakan untuk membawa orang-orang yang tertawan, yang ternyata juga telah terluka, Pangeran Singa Narpada sendiri serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meskipun sudah sadar, tetapi keadaannya masih sangat lemah.

Kepada orang-orang yang tinggal di sekitar tempat itu, sekali lagi Pangeran Singa Narpada berpesan, agar mereka tidak membuat kegelisahan dengan ceritera yang berlebihan.

“Semuanya sudah diatasi,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, maka jika kalian berceritera harus ada kesan, bahwa tidak akan ada bahaya apapun yang mengancam kita semuanya.”

Orang-orang yang tinggal di sekitar, arena itu dan yang telah membantu menyelesaikan akibat dari pertempuran itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka memang melihat bahwa Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang yang belum mereka kenal, telah mengatasi semua kesulitan. Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra tidak dapat menolak ketika Pangeran Singa Narpada mempersilahkan mereka untuk singgah di Istana Pangeran Singa Narpada.

“Kami tinggal di rumah sahabat kami,” berkata Mahisa Agni, “karena itu, maka sebaiknya kami minta diri lebih dahulu.”

“Biarlah orang itu juga diundang ke istana kami,” berkata Pangeran Singa Narpada, “dengan demikian, maka kita tidak kehilangan waktu sekarang ini, mengingat keadaan kedua anak muda itu.”

Kepada para prajuritnya perwira itu berkata, “Biarlah Pangeran Singa Narpada sendiri melihatnya dan memberikan laporan kepada Sri Baginda. Dengan demikian maka semuanya akan jelas sebagaimana adanya. Jika Sri Baginda hanya sekedar mendengar dari mulut kemulut dan ceritera orang-orang yang tidak berhak, maka mungkin ceritera itu akan berkisar dari keadaan yang sebenarnya.”

Karena itulah, maka para prajurit sama sekali tidak berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi semalam. Mereka saling berdiam diri, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada di istananya telah mendapat pengobatan yang sebaik-baiknya. Seorang tabib yang terbiasa merawatnya telah diundang. Namun ternyata tabib itu berkata,

“Ampun Pangeran. Keadaan Pangeran ternyata cukup gawat. Karena itu, pengobatannya adalah diluar kemampuanku. Namun aku akan memanggil seorang kawanku yang akan bersama-sama dengan aku mencoba mengobati Pangeran. Luka-luka di dalam tubuh Pangeran bukan sekedar luka sewajarnya. Karena itu, untuk menyembuhkannya juga diperlukan perawatan yang khusus.”

Dengan demikian, maka di istana itu telah hadir dua orang tabib yang bukan hanya sekedar mengobati Pangeran Singa Narpada, tetapi juga yang lain-lain. Bahkan juga orang-orang bertongkat yang telah menjadi tawanan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena keduanya benar-benar dalam keadaan yang gawat. Untunglah, bahwa dalam saluran ilmu, Witantra dan Mahendra setiap kali dapat membantunya dengan menyalurkan ketahanan di dalam tubuh masing-masing membantu kesulitan yang dialami oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam dirinya.

“Aku harus segera melaporkan keadaan ini kepada Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Sri Baginda harus mendengar laporan ini dari mulutku langsung agar Sri Baginda tidak mendapat gambaran yang salah.”

“Tetapi Pangeran harus beristirahat dahulu,” berkata Mahisa Agni, “jika keadaan Pangeran sudah berangsur baik, maka Pangeran akan dapat menghadap Sri Baginda.”

“Tetapi selama itu, berita yang bersimpang siur telah didengar oleh Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, maka aku harus menghadap meskipun keadaan masih sangat lemah. Aku memang memerlukan seorang kawan yang akan dapat membantuku.”

“Mungkin satu dua orang perwira kepercayaan Pangeran?” bertanya Mahisa Agni, “namun Pangeran harus dapat membatasi diri. Menghadap sebagaimana perlunya saja. Selanjutnya Pangeran harus beristirahat sebanyak-banyaknya.”

“Bagaimana jika kita menghadap bersama-sama?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran, sebaiknya aku tidak menghadap Sri Baginda. Pangeran pun tidak usah melaporkan kehadiranku di Kediri.”

“Kenapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku ingin berada di Kediri tanpa ikat-ikatan paugeran justru karena aku pernah berada di Kediri,” jawab Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Baiklah. Aku akan menyebut orang-orang yang tidak dikenal yang telah membantuku.”

Mahisa Agni tersenyum. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mengerti kesulitan Pangeran untuk memberikan laporan, karena Pangeran tentu tidak seorang diri mengatasi orang-orang yang memasuki Gedung Perbendaharaan. Apalagi empat orang di antara mereka dapat ditangkap hidup-hidup.”

“Aku akan menyebut anak-anak muda yang terluka itu dan guru mereka yang kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan istana ini,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Agni tersenyum. Namun sementara itu, setelah berbicara dengan Witantra dan Mahendra, Pangeran Singa Narpada memutuskan untuk melaporkannya sebagaimana dikatakannya itu. Tetapi karena keadaan Pangeran Singa Narpada yang lemah, terpaksa Pangeran Singa Narpada mempergunakan sebuah kereta untuk naik kereta yang ditarik oleh seekor kuda. Tetapi biasanya ia lebih senang naik kuda saja.

Kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Sri Baginda. Ternyata Sri Baginda telah mendengar laporan tentang ristiwa yang baru saja terjadi meskipun tidak lengkap dan simpang siur.

“Aku memang menunggu kedatanganmu,” berkata Sri Baginda.

“Ampun Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “hamba telah datang terlambat.”

“Aku telah mendengar bahwa sesuatu telah terjadi di luar dinding istana. Banyak orang yang menyaksikan, kau tarluka dalam satu pertempuran. Namun lawan-lawanmu telah terbunuh dan tertangkap,” berkata Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk merahasiakan satu peristiwa yang dilihat oleh banyak orang. Mungkin mereka tidak dengan sengaja menyebarkan berita itu dan apalagi memutarbalikkan kenyataan yang terjadi. Namun karena mereka sekedar membicarakannya sehingga berita itu tersebar dari mulut kemulut, maka kemungkinan bahwa berita itu telah berkembang dan menyusut, memang besar sekali.

Dengan nada dalam Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata, “Ampun Sri Baginda. Justru karena hamba telah terluka cukup parah, maka hamba telah terlambat menghadap untuk memberikan laporan.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Ia memang melihat keadaan Pangeran Singa Narpada yang sangat lemah. Bahkan masih nampak pada wajahnya yang kadang-kadang menjadi tegang menahan sakit didalam tubuhnya. “Sebaiknya kau beristirahat,” berkata Sri Baginda.

“Hamba memang akan segera mohon ijin untuk beristirahat sesuai pula dengan petunjuk tabib yang mengobati hamba,” berkata Pangeran Singa Narpada, “namun hamba ingin menyampaikan laporan terperinci, agar Sri Baginda dapat mendengar langsung dari mulut hamba, karena jika Sri Baginda mendengar dari pihak yang lain, mungkin akan ada selisih dari kenyataan yang terjadi di Gedung Perbendaharaan itu.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti maksudmu. Katakanlah. Dengan demikian maka kau akan dapat segera beristirahat.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian memberikan laporan terperinci tentang peristiwa yang terjadi di istana dan tentang peti peraknya yang diambil oleh orang-orang yang mempergunakan cara seperti yang pernah terjadi. Para penjaga telah terbius oleh ilmu sirep yang justru sangat tajam, sehingga tidak terlawan oleh para perwira yang bertugas.

“Tetapi seandainya tidak ada orang yang melihat peti perak itu diambil seseorang, maka kita tidak akan kehilangan,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Kenapa?” bertanya Sri Baginda.

“Mahkota itu tidak ada didalam peti perak itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Aku sudah menduga. Tetapi kenapa kau curiga dan tidak menyimpan mahkota itu didalamnya,” bertanya Sri Baginda.

“Orang bertongkat itu mengatakan, bahwa peti dapat menyerap cahaya teja. Tetapi ketika mahkota itu sudah ada didalam peti perak itu, maka ketika dengan susah payah aku memusatkan penglihatan batinku, ternyata aku masih melihat cahaya itu berdiri tegak seakan-akan menusuk langit. Dengan demikian aku menjadi curiga karenanya, dan aku tidak menyimpan mahkota itu didalam peti perak, karena aku sudah menduga, bahwa cara itu sekedar untuk mempermudah orang-orang didalam gerombolan itu untuk mengambilnya.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun Sri Baginda sudah dapat menelusuri cara berpikir Pangeran Singa Narpada sehingga ialah yang kemudian justru telah mengelabuhi orang-orang yang ingin mencuri pusaka yang sangat berharga. Namun kemudian Sri Baginda pun bertanya, “Tetapi siapakah orang-orang yang telah membantumu. Menurut pendengaranku, sama sekali bukan prajurit Kediri.”

“Anak-anak muda dari sebuah perguruan bersama gurunya,” jawab Pangeran Singa Narpada, “dua anak muda yang membantu hamba untuk menangkap orang-orang yang mencuri peti itu. Sebenarnya hamba dapat membiarkan saja mereka membawa peti itu karena peti itu memang tidak berisi mahkota sebagaimana mereka inginkan. Tetapi timbul keinginan hamba untuk menangkap mereka dan kemudian bertanya kepada mereka, apakah hal itu mereka lakukan untuk kepentingan mereka sendiri, atau ada pihak lain yang memperalat mereka. Karena itu, maka terjadilah pertempuran, yang ternyata dalam pertempuran itu hamba telah terluka dan kedua anak muda itu telah terluka parah. Namun hamba telah berhasil membunuh guru dari orang-orang yang berusaha mencuri mahkota itu.”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun Pangeran Singa Narpada telah memenuhi permintaan Mahisa Agni dan Witantra untuk tidak menyebut namanya. Ketika Sri Baginda bertanya, siapakah guru anak-anak muda yang terluka itu, maka Pangeran Singa Narpada menjawab, “Namanya Mahendra. Sebenarnya ia adalah seorang pedagang keliling. Mahendra bukan seorang pertapa yang tinggal di sebuah padepokan. Tetapi ia telah menjadikan kedua orang anaknya sebagai muridnya.”

“Dimanakah Mahendra itu sekarang?” bertanya Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada ragu-ragu untuk mengatakan bahwa Mahendra masih berada di rumahnya. Karena dengan demikian Sri Baginda akan dapat memanggilnya dan bertanya tentang bermacam-macam persoalan. Jika ada terselip kata, Mahendra akan dapat menyebut Mahisa Agni atau Witantra. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Mahendra telah meninggalkan Kediri. Namun setiap saat ia akan kembali ke rumah hamba, karena kedua anaknya ada di rumah hamba untuk mendapat pengobatan.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu ketika Sri Baginda tidak segera menyatakan sesuatu. Namun akhirnya Sri Baginda berkata, “Baiklah. Jika kedua anak yang membantumu itu sembuh, bawalah mereka menghadap. Adalah lebih baik jika kau bawa juga ayahnya yang juga gurunya itu apabila pada suatu saat ia datang.”

“Hamba Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Mahendra adalah seorang pedagang keliling. Pada suatu saat yang dekat ia tentu akan datang ke Kediri. Selain menengok anaknya ia juga mempunyai hubungan dagang dengan beberapa orang Kediri.”

“Baiklah,” sahut Sri Baginda. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang kau tawan?”

“Mereka masih dalam keadaan parah. Jika mereka berangsur baik, maka kita akan dapat menyadap keterangan dari orang-orang itu,” jawab Pangeran Singa Narpada. “Mudah-mudahan dengan perawatan yang baik, mereka akan cepat sembuh, setidak-tidaknya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Dengan laporan Pangeran Singa Narpada ia menjadi jelas, apa yang telah terjadi. Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada telah menyelamatkan lagi mahkota yang ternyata hampir saja hilang lagi setelah dengan mempertaruhkan nyawanya Pangeran Singa Narpada mencarinya hingga mahkota itu diketemukan. Dan kini Pangeran Singa Narpada pun dalam keadaan terluka sehingga keadaannya masih sangat lemah.

Namun karena itu, maka Sri Baginda pun berkata, “Singa Narpada. Bukankah dengan peristiwa-peristiwa itu berarti bahwa beberapa pihak diluar istana ini mengetahui, dan bahkan mereka menerima anggapan bahwa di dalam mahkota itu telah tersimpan wahyu keraton.”

“Ya Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “anggapan itu tentu akan tersebar semakin lama semakin luas. Orang-orang akan menganggap bahwa siapa yang memiliki atau menyimpan mahkota itu akan dapat memegang kekuasaan di Kediri. Anggapan itulah yang berbahaya, sehingga banyak pihak yang berusaha untuk memiliki mahkota itu.”

“Dengan demikian maka kita harus memikirkan, cara pengamanan yang lebih baik dari masa yang lewat. Jika kali ini kau tidak menaruh kecurigaan dan menyimpan mahkota itu dengan cara yang khusus, maka mahkota itu tentu sudah hilang lagi dari Gedung Perbendaharaan,” berkata Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan segera mengambil langkah-langkah Sri Baginda.”

Sri Baginda pun mengangguk-angguk pula. Namun nampak oleh Sri Baginda bahwa keadaan Pangeran Singa Narpada masih sangat letih. Karena itu maka katanya, “Baiklah Singa Narpada. Kita masih akan dapat berbicara panjang jika keadaanmu sudah memungkinkan. Sekarang kembalilah ke istanamu. Beristirahatlah sebaik-baiknya. Untuk langkah pertama, maka kau akan memerintahkan untuk melipatkan penjagaan. Prajurit akan tersebar di satu daerah yang luas, sehingga apabila terjadi lagi seorang yang memiliki ilmu sirep yang tajam, maka prajurit yang tersebar itu akan mengalami tingkat cengkaman ilmu sirep yang berbeda, sehingga memungkinkan beberapa orang diantaranya dapat mengenalinya. Kelak jika kau sudah baik, maka segalanya terserah kepadamu.”

“Ampun Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada. “Terima kasih atas kesempatan bagi hamba untuk beristirahat. Namun hamba masih ingin singgah sejenak di Gedung Perbendaharaan Istana untuk melihat dan meneliti apa yang telah terjadi.”

Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun mengundurkan diri dari hadapan Sri Baginda. Bersama perwira yang menyertainya telah pergi ke Gedung Perbendaharaan. Dengan cermat ia melihat isi Gedung Perbedaharaan yang ternyata masih utuh itu. Mahkota yang menjadi sasaran orang-orang bertongkat itu masih berada dilemparnya, karena mahkota itu memang tidak disimpan di dalam peti perak, meskipun peti perak itu semula diletakkan di tempat yang langsung dapat menarik perhatian orang-orang yang memasuki Gedung Perbedaharaan.

Dengan demikian maka dengan hati yang tenang, Pangeran Singa Narpada telah berkata kepada perwira yang bertugas pada saat mahkota itu hilang, “Jangan cemas. Kau tidak kehilangan apapun juga malam ini, kecuali nyawaku yang hampir saja dibawa oleh para pencuri itu.”

“Ampun Pangeran,” perwira itu menunduk dalam-dalam, “hukuman apapun yang harus kami pikul, akan kami jalani dengan pasrah.”

“Kalian tidak akan dihukum. Tetapi kalian harus lebih berhati-hati. Kalian harus berjuang melawan ilmu sirep. Sebab jika kalian menyerah, maka kalian benar-benar akan dicengkam oleh ilmu itu tanpa dapat melawan.”

“Kami mengerti Pangeran,” jawab perwira itu, “kami telah mendapat satu pengalaman yang sangat menarik kali ini.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Singa Narpada, “kalian akan segera mendapat kesempatan beristirahat, karena pengganti kalian seharusnya telah melakukan tugasnya sejak pagi hari. Kalian dapat menceriterakan pengalaman kalian kepada pengganti kalian agar pengganti kalian menjadi berhati-hati. Meskipun beberapa orang diantara mereka telah tertangkap, tetapi kita tidak tahu, apakah jumlah mereka dan para pengikutnya yang lain tidak akan berbuat apa-apa.”

“Baiklah Pangeran,” jawab perwira itu, “hamba akan melakukannya sebaik-baiknya.”

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada itu pun meninggalkan istana itu dengan hati yang tenang. Apalagi Sri Baginda memang sudah memerintahkan untuk memperkuat penjagaan dan memberikan perintah kepada perwira untuk mengambil langkah-langkah menghindari cengkaman sirep yang tajam yang akan dapat membius semua orang petugas.

Pangeran Singa Narpada yang masih sangat lemah itu pun kemudian telah kembali ke istananya dan menceriterakan apa yang telah dilakukannya. “Aku mengatakan bahwa yang ada di istana ini tinggal kedua anak-anak muda itu,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.

“Terima kasih Pangeran,” jawab Mahisa Agni, “dengan demikian telah dihindari satu hubungan yang diikat oleh paugeran dan basa basi yang justru akan menjadi sangat aku dan menegangkan. Agaknya kami yang tua-tua ini lebih senang berada di Kediri dengan cara ini.”

“Aku mengerti,” sahut Pangeran Singa Narpada, “karena itu aku tidak melaporkannya kepada Sri Baginda. Mudah-mudahan hal ini tidak menjadi sebab kesalahanku jika pada suatu saat Sri Baginda mengetahuinya.”

Mahisa Agni tersenyum. Namun ia pun kemudian berkata, “Sri Baginda tidak akan mengetahui Pangeran. Kami memang tidak akan terlalu lama berada di Kediri.”

“Kami sama sekali tidak mengusir kalian,” jawab Pangeran Singa Narpada, “kami akan senang sekali jika kalian tetap tinggal disini.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni, “kami berdua adalah perantau yang tidak akan dapat menetap terlalu lama di sini. Kami akan meninggalkan Kediri, tetapi kami masih akan singgah dan bermalam barang satu malam di rumah pekatik sahabat kami itu.”

“Menyesal sekali,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi bagaimana dengan anak-anak muda itu?”

“Kami titipkan kedua orang anak itu disini,” jawab Mahendra, “Aku sendiri terutama akan segera kembali. Nampaknya aku juga akan mendapat pasaran di sini dengan barang-barang jualanku.”

“Aku akan membantu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “jika kau membawa permata yang tidak terlalu mahal serta barangkali wesi aji yang menarik, para prajurit terutama para perwira akan menjadi pembeli cukup banyak.”

Dengan demikian maka orang-orang tua itu pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan istana itu. Tetapi atas permintaan Pangeran Singa Narpada mereka masih tinggal semalam lagi. Dengan demikian maka keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin baik ketika orang-orang tua itu benar-benar meninggalkan mereka untuk pergi bermalam satu malam di rumah pekatik tempat mereka menumpang sejak mereka berada di Kediri.

“Bukankah di istana Pangeran Singa Narpada keadaannya jauh lebih baik dari di rumah ini tuan,” berkata pekatik itu.

“Ingat Ki Sanak,” jawab Mahisa Agni, “kami adalah pengembara.”

Pekatik itu hanya tersenyum. Tetapi ia mengerti maksud jawaban Mahisa Agni itu. Di rumah itu ketiga orang Singasari itu masih bermalam satu malam. Mereka pun segera meninggalkan rumah pekatik itu untuk menempuh satu perjalanan panjang.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di istana Pangeran Singa Narpada. Mereka mendapat perawatan yang sebaik-baiknya, sehingga keadaan mereka dengan cepat berangsur baik.

Disamping Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka empat orang bertongkat itu pun mendapat perawatan yang baik pula. Mereka pun menjadi berangsur-angsur sembuh pula, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, mereka akan segera dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Namun agaknya keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang lebih cepat menjadi baik. Ketahanan tubuh anak-anak muda itu benar-benar mengagumkan. Pada waktu-waktu tertentu, ketika orang-orang tua masih berada di istana Pangeran Singa Narpada, mereka telah membantu kedua anak muda itu untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka serta untuk mengatasi rasa sakit. Namun ketika keadaan kedua anak muda itu berangsur baik, maka hal itu tidak diperlukannya lagi.

Pangeran Singa Narpada benar-benar menjadi heran terhadap kedua orang anak muda itu. Meskipun Pangeran Singa Narpada mengerti bahwa keduanya telah mewarisi satu kekuatan ilmu yang dahsyat, namun dalam usia mereka yang masih sangat muda, keduanya telah mampu mengembangkan ilmu mereka dengan sebaik-baiknya.

Sebenarnyalah pertempuran yang terjadi antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat disatu pihak melawan Kebo Sarik dilain pihak, agaknya sangat berarti bagi kedua anak muda itu. Dengan pertempuran itu, maka keduanya mendapatkan satu pengalaman yang sangat berarti. Dalam keadaan yang tersudut, keduanya telah menghentakkan ilmunya dan bahkan kadang-kadang di luar sadar mereka melakukan sesuatu yang sangat berarti dan menentukan.

Keadaan yang demikian itu, perlu mereka pelajari. Pangeran Singa Narpada yang merasa kagum terhadap anak muda itu tidak segan-segan telah memberikan beberapa petunjuk. Meskipun Pangeran Singa Narpada sendiri terluka dalam pertempuran itu, namun ia sempat berbicara banyak dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun masih terbatas pada kemungkinan keadaan tubuh mereka yang lemah.

Tetapi baik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maupun Pangeran Singa Narpada bersama-sama dari hari ke hari menjadi semakin pulih pada keadaan mereka sebagaimana sebelum terjadi peristiwa usaha untuk mengambil mahkota yang disangkanya ada di dalam peti perak itu. Dalam keadaan yang demikian, maka Pangeran Singa Narpada telah menyempatkan waktunya untuk memberikan petunjuk kepada anak-anak muda itu sesuai dengan dasar ilmu yang ada di dalam diri mereka.

“Ilmu kalian adalah ilmu yang dahsyat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebagian telah dapat kalian kembangkan dengan baik. Namun jika kalian mendapat banyak kesempatan untuk mengembangkannya terus, maka kalian benar-benar akan menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingannya.”

“Pangeran terlalu memuji,” berkata Mahisa Murti, “yang kami miliki adalah setitik kecil dari kemungkinan yang sangat luas di dalam dunia olah kanuragan.”

“Yang kau miliki sudah terlalu banyak sebagai bekal dalam umur kalian,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu kesempatan kalian masih sangat luas.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun mereka selalu menyadari bahwa apa yang pernah mereka terima dari ayah mereka barulah tubuh ilmu itu sendiri, sampai ke puncak sehingga masih harus dikembangkannya.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Pengalamanmu bertempur melawan Kebo Sarik itu sangat berarti meskipun kau dilukainya, bahkan menurut penilaianku, kau menjadi benar-benar parah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari keadaannya. Lukanya memang sangat parah. Namun keadaan mereka sudah menjadi berangsur baik karena pengobatan yang teratur dan dilakukan oleh ahli yang terpercaya, karena itu adalah tabib pribadi Pangeran Singa Narpada.

Ketika keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah hampir sampai pada tataran pulih kembali, maka Pangeran Singa Narpada yang merasa sangat tertarik kepada anak-anak itu pun berkata,

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian telah membantu kesulitanku tidak hanya kali ini. Tetapi kau ikut pula menemukan Mahkota itu ketika Mahkota itu berhasil diambil dan dibawa keluar dari Gudang Perbendaharaan. Karena itu, maka sudah selayaknya Kediri mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu dan kepada orang-orang terdekat didalam keluargamu. Kakakmu yang kali ini tidak ikut hadir dalam permainan yang sangat berbahaya yang seharusnya tidak aku lakukan, ayahmu sendiri dan kedua pamanmu yang ternyata adalah orang-orang penting yang pernah mewakili Singasari dalam jabatan tertinggi di Kediri. Namun yang kali ini datang dalam ujud sebagai pengembara dan berada di rumah seorang pekatik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi mereka memang merasa berdebar-debar. Pangeran Singa Narpada nampaknya begitu bersungguh-sungguh.

Lalu katanya pula, “Aku minta kalian berdua tidak tergesa-gesa meninggalkan rumahku. Orang-orang yang tertawan itu pun sudah berangsur baik, sehingga akan datang saatnya untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka. Sementara itu, atas nama Kediri aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, jika guru dan sekaligus ayahmu itu tidak berkeberatan. Karena itu, aku minta kalian tinggal disini, sampai pada satu hari ayahmu akan datang kemari.”

“Apakah ayah akan datang kemari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu. Dan aku yakin bahwa ia akan datang,” jawab Pangeran Singa Narpada, “ayahmu adalah seorang pedagang keliling. Nampaknya ia akan mengadakan hubungan dengan orang-orang Kediri dalam dunia perdagangannya. Selebihnya, ia tentu akan menengok kalian karena pada saat ditinggalkannya, kau masih dalam keadaan terluka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Terima kasih kami tidak akan banyak berarti bagi kalian, tetapi karena hanya itu yang aku punya, maka aku ingin memberikannya juga kepada kalian, itu pun tergantung pada kalian dan seperti yang aku katakan, jika guru dan sekaligus ayah kalian itu tidak berkeberatan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera menangkap maksud Pangeran Singa Narpada. Namun sebelum mereka menjawab, Pangeran Singa Narpada meneruskan, “Tetapi jangan salah menangkap maksudku. Aku sama sekali tidak merasa mempunyai kelebihan dari ayah dan sekaligus gurumu itu. Yang ada padaku barangkali tidak sebaik yang ada pada ayahmu. Tetapi agaknya apa yang dimiliki oleh ayahmu itu berbeda dengan yang aku miliki. Jika yang berbeda itu mampu kau tangkap pula, maka didalam dirimu akan tersimpan beberapa macam ilmu. Meskipun ilmu yang dapat aku berikan kepadamu itu tidak lebih baik dari ilmu ayahmu, tetapi pada satu saat agaknya ada semacam ilmu orang lain yang lebih tepat kalian hadapi dengan ilmu itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Baru sejenak kemudian Mahisa Murti menjawab, “Kami tentu akan berterima kasih sekali atas kemurahan hati Pangeran. Namun segala sesuatunya memang terserah kepada ayah. Jika ayah tidak berkeberatan karena beberapa pertimbangan, maka kami berdua akan menerima dengan segala kesungguhan hati dan rasa terima kasih.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu tinggallah disini untuk beberapa saat lamanya. Selain menunggu kau sembuh benar-benar, maka aku pun menunggu kedatangan ayahmu. Sementara itu, orang-orang yang kita tawan pun akan menjadi sembuh pula karenanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka sebenarnya memang berharap untuk dapat melengkapi ilmu mereka dengan kekuatan ilmu yang lain. Kakaknya, Mahisa Bungalan, yang juga pernah menerima ilmu ayahnya, namun justru ia berada pada puncak kemampuannya beralaskan ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni.

Karena itulah, maka untuk beberapa saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di istana Pangeran Singa Narpada. Perawatan yang dilakukan sudah hampir dilepaskan sama sekali, karena keduanya telah menjadi sembuh meskipun mereka masih harus memulihkan keadaan tubuh mereka.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa saat kemudian Mahendra telah datang pula ke istana Pangeran Singa Narpada. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa Mahendra tidak hanya sekedar menengok anaknya yang terluka, tetapi ia benar-benar telah membawa beberapa macam barang dagangan.

“Apa salahnya,” berkata Mahendra, “mudah-mudahan aku mendapatkan pasaran di sini.”

Namun sebenarnyalah Mahendra menjadi gembira melihat kedua anaknya telah menjadi hampir pulih kembali. Namun dalam kesempatan itu pula, ternyata bahwa Mahendra benar-benar mendapat kesempatan untuk memperluas daerah perdagangannya. Ternyata beberapa orang perwira di Kediri tertarik untuk membeli beberapa jenis batu-batu yang berharga. Batu akik dan jenis-jenis batu yang semacam. Beberapa cincin berbatu akik telah terjual. Bahkan satu dua orang di antara mereka telah membeli pula batu-batu permata.

Beberapa hari Mahendra berada di Kediri. Pangeran Singa Narpada telah memberikan tempat baginya untuk bermalam. Bahkan Pangeran Singa Narpada pulalah yang telah menghubungkannya dengan para perwira dan bangsawan di Kediri sehingga Mahendra dapat membuka pasaran baru.

“Ayah memanfaatkan keadaan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak ada salahnya,” sahut Pangeran Singa Narpada, “ayahmu tidak merugikan orang lain. Dalam hubungan jual beli keduanya memang harus bersetuju.”

Mahendra sendiri tersenyum. Katanya, “Aku membawa barang-barang yang paling baik yang aku punya.”

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada telah menyampaikan maksudnya kepada Mahendra, bahwa ia ingin menyatakan terima kasihnya atas kedua anak muda itu dengan memberikan sesuatu kepada mereka.

“Aku bukan termasuk Pangeran yang berada, yang memiliki harta benda yang tidak terhitung. Karena itu, yang ingin aku berikan kepada kedua anak-anak muda itu adalah apa yang aku punya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran terlalu merendahkan diri,” jawab Mahendra, “Pangeran mempunyai segala-galanya. Bahkan seandainya Pangeran menghendaki, maka Kediri adalah milik Pangeran.”

“Tentu tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada, “selain itu, agaknya anak-anak muda itu tentu akan menolak jika aku memberikan pernyataan terima kasih dengan cara yang lain, dengan cara sebagaimana kebanyakan dilakukan orang.”

Namun dalam pembicaraan selanjutnya, ternyata Mahendra sama sekali tidak merasa berkeberatan jika Pangeran Singa Narpada ingin membantu meningkatkan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Tetapi aku mohon Pangeran mampu menyesuaikan dengan ilmu yang telah dimiliki oleh anak-anak itu,” berkata Mahendra kemudian.

“Aku akan berusaha,” berkata Pangeran Singa Narpada, “jika aku mengalami kesulitan, maka aku akan mengurungkan niat itu.”

“Baiklah Pangeran. Sudah sewajarnya aku sebagai ayahnya, mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Pangeran,” jawab Mahendra.

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada sudah berkenan untuk menurunkan ilmunya kepada kedua anak muda yang ternyata telah menarik hatinya itu. Dua orang anak muda yang memiliki kemampuan sebagai bekalnya melampaui dugaannya setelah keduanya ternyata mampu mengalahkan Kebo Sarik, yang agaknya seorang yang telah banyak makan garamnya kehidupan yang keras dalam dunia kanuragan. Namun dengan demikian, maka atas ijin Mahendra, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada di istana Pangeran Singa Narpada untuk waktu yang cukup lama.

“Sementara kita dapat berlatih bersama, sekaligus berusaha mendapat keterangan dari orang-orang bertongkat itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran,” berkata Mahendra, “aku menitipkan anak-anak itu disini. Tetapi mohon Pangeran mengetahui, bahwa mereka adalah anak-anak dari padukuhan kecil yang kurang memahami unggah-ungguh dan paugeran hidup di lingkungan yang lebih tinggi.”

“Aku tertarik kepada keduanya sebagaimana adanya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Terima kasih Pangeran,” berkata Mahendra, “Pangeran telah memberikan terlalu banyak kepada keluarga kami. Kedua anakku akan menerima ilmu yang tidak dapat dinilai harganya, sementara itu, aku telah mendapat pasaran baru yang memberikan keuntungan dalam duniaku sebagai seorang pedagang.”

“Aku tidak akan kehilangan apapun,” jawab Pangeran Singa Narpada, “karena itu, maka aku merasa tidak berbuat apa-apa yang berlebihan.”

“Baiklah Pangeran,” berkata Mahendra, “jika besok aku mohon diri, maka biarlah anak-anak tinggal di sini. Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran.”

“Tetapi bukankah kau akan sering datang? Apakah dalam hubungan kedua anak muda yang tinggal disini, atau karena kau mempunyai dagangan baru yang barangkali menarik,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahendra tertawa. Namun katanya kemudian, “Aku akan datang lagi. Mungkin dengan Mahisa Agni atau Witantra atau keduanya.”

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Kita kembali ke Kediri saat itu. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra ternyata masih ingin mengulangi pengembaraan dimasa mudanya. Agaknya keduanya merasa tidak mempunyai kewajiban yang mengikat lagi di istana Singasari.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “besok anak-anak itu akan mulai dengan laku yang harus mereka jalani sementara aku ingin melihat celah-celah ilmu mereka yang dapat aku sisipi ilmu yang mudah-mudahan berarti bagi keduanya.”

Sebagaimana direncanakan, maka dihari berikutnya Mahendra telah meninggalkan Kediri. Baru sepeninggal Mahendra, Pangeran Singa Narpada bersiap-siap untuk menempa kedua orang anak muda yang sangat menarik baginya itu. Kedua anak muda itu harus mulai dengan laku yang dapat memberikan kejelasan bagi Pangeran Singa Narpada tentang ilmu yang pernah dimilikinya.

Pangeran Singa Narpada sendiri tidak mengerti, kenapa ia lebih tertarik kepada kedua anak muda itu daripada lingkungan istana Kediri sendiri. Kepercayaannya kepada para bangsawan Kediri telah menjadi kabur sejak beberapa tingkat pemberontakan yang pernah terjadi. Yang terakhir adalah pemberontakan Pangeran Kuda Permati.

Sementara itu, nampaknya para bangsawan Kediri tidak bersungguh-sungguh berusaha untuk menumpas pemberontakan itu. Bahkan Sri Baginda sendiri nampak ragu-ragu dengan langkah-langkahnya. Sehingga Pangeran Singa Narpada sendiri pernah justru ditangkap dan ditahan untuk beberapa lama.

Karena itu, rasa-rasanya Pangeran Singa Narpada tidak rela untuk mewariskan ilmunya kepada orang-orang yang kurang dipercayainya. Orang-orang yang pada suatu saat mungkin akan bersikap lain, bahkan bertentangan dengan dirinya.

Dengan demikian maka bagi Pangeran Singa Narpada lebih baik untuk mewariskan ilmunya justru kepada orang lain sama sekali yang sudah jelas menunjukkan satu sikap yang bagi Pangeran Singa Narpada sangat menarik. Sejalan dengan keyakinannya sendiri.

Meskipun demikian Pangeran Singa Narpada tidak melakukannya dengan semata-mata. Pangeran Singa Narpada telah berusaha agar yang dilakukan itu tidak diketahui oleh orang-orang Kediri terutama di lingkungan para bangsawan, sehingga tidak akan menimbulkan iri hati pada mereka yang merasa memerlukan peningkatan ilmu. Karena itulah, maka waktu yang dipergunakan oleh Pangeran Singa Narpada adalah waktu yang khusus. Malam hari. Waktu yang tidak banyak diperlukan oleh orang lain...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 28

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 28
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ORANG yang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tunggu sampai besok. Jika gurumu tidak datang, aku akan melakukannya. Aku sudah terlalu lama berada disini.”

“Terserah kepada paman. Tetapi kami hanya ingin memperingatkan, bahwa di Kediri ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang mungkin dapat terlepas dari ilmu sirep paman.”

Berbeda dengan kebiasaannya, orang bertubuh gemuk itu menanggapinya dengan sungguh-sungguh, “Kita memang harus berhati-hati. Aku tidak mengingkari kemungkinan bahwa ada orang yang memiliki kelebihan. Tetapi apakah setiap hari orang-orang memiliki ilmu yang tinggi itu selalu ada diantaranya para prajurit pengawal?”

“Itulah yang akan kami selidiki lebih dahulu,” jawab orang bertubuh kecil itu, “Karena itu, agaknya lebih baik bagi kita untuk mendekati Kediri setelah besok guru tidak datang.”

Dengan demikian maka mereka telah menunggu satu hari lagi. Tetapi guru orang-orang bertongkat itu memang tidak datang. Karena itu, maka mereka pun telah sepakat untuk pergi ke Kediri. Mereka akan mulai merintis jalan untuk menyelesaikan tugas mereka yang berat itu.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mulai menjadi gelisah. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaannya itu kepada Mahisa Agni dan Witantra, betapapun mereka membicarakannya diantara keduanya.

Namun satu perkembangan baru telah terjadi. Orang yang nampak sekali-sekali melintas dalam garis pengamatan itu tidak lagi nampak. Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah orang itu telah melepaskan pengamatannya atas keempat orang dari Singasari itu.

“Apa sebabnya?” bertanya Mahisa Pukat kepada Mahisa Agni.

“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Agni, “mungkin orang itu telah mendapat keyakinan bahwa kita tidak akan berbuat apa-apa.”

“Tetapi ada kemungkinan lain,” berkata Witantra, “Mungkin orang itu mengenali salah seorang di antara kita sehingga orang itu tidak perlu meneruskan pengamatannya.”

“Ya,” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “tetapi menilik jarak pengamatan dan cara yang dipergunakan, sulit baginya untuk dapat mengenali salah seorang dari kita. Hal itu hanya mungkin karena orang itu mengenali tabiat salah seorang di antara kita yang dapat dilihatnya dari kejauhan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menyatakan sesuatu. Bahkan Mahisa Agni pun kemudian berkata, “Tetapi kita masih harus tetap berhati-hati. Bagaimana pun juga, ada seribu kemungkinan masih dapat terjadi.”

Sebenarnyalah bahwa mereka memang tidak meninggalkan kewaspadaan. Semakin lama rasa-rasanya mereka justru merasa bahwa mereka harus bersiap menghadapi sesuatu. Namun dalam pada itu, di siang hari ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi ke pasar yang ramai di Kediri, dengan berusaha untuk tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalinya, terutama orang-orang di seputar Pangeran Singa Narpada, telah dikejutkan dengan kehadiran seorang pedagang besi-besi bertuah, wesi aji dan bebatuan memiliki nilai-nilai yang khusus. Nampaknya orang itu mendapat perhatian dari isi pasar yang memang ramai itu.

“Apa kerja ayah disini?” bisik Mahisa Murti.

“Seperti seorang dukun yang memamerkan berbagai wesi aji,” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi bukankah memang pekerjaan ayah berdagang wesi aji dan batu akik di samping kadang-kadang juga permata intan berlian di musim tidak ada kerja di sawah?”

“Tetapi bukankah ayah tidak pernah memakai cara itu? Menarik perhatian orang banyak dengan ceritera yang kadang-kadang membual?” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kau tahu kenapa begitu?”

Mahisa Pukat merenung. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Ayah sedang mencari perhatian.”

“Ya. Ayah memang sedang mencari kita,” sahut Mahisa Murti, “satu hal yang tidak direncanakan, sehingga sebelumnya ayah tidak bertanya kepada kita, dimana ayah dapat menemui kita.”

“Tetapi ayah tahu, dimana kita dapat menemui paman Mahisa Agni dan paman Witantra,” desis Mahisa Pukat.

“Ayah tentu sudah mencari kita di sana. Tetapi bukankah kita tidak pernah lagi ke tempat itu sejak kita berada di tempat pekatik yang baik hati itu?” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diluar pengertian Mahisa Murti, Mahisa Pukat telah menyibakkan beberapa orang yang mengerumuni Mahendra yang sedang menjajagi beberapa jenis wesi aji dan batu-batu yang dianggap bertuah. Dengan kasar tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak, “He orang tua. Kenapa kau berusaha menipu orang banyak.”

Mahendra terkejut. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara merendah ia bertanya, “Apa yang kau maksud anak muda.”

“Omong kosong dengan segala bualanmu tentang wesi aji dan batu akik. Kau kira ada orang yang akan percaya kepadamu? Kau anggap orang-orang Kediri itu masih terlalu bodoh seperti orang-orang dari daerah asalmu?” bentak Mahisa Pukat.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf, anak muda. Jadi apa yang harus aku lakukan.”

“Simpan barang-barangmu dan ikut aku,” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengumpat. Mahisa Pukat telah melakukan kesalahan karena gejolak kemanjaannya. Tetapi ternyata Mahendra tidak membantah. Ia pun kemudian menyimpan barang-barangnya dan kemudian berkata kepada orang-orang yang berkerumun, “Maaf Ki Sanak. Permainanku terpaksa aku hentikan. Aku akan mengikuti anak muda ini dan menyelesaikan persoalan kami.”

Mahisa Pukat pun kemudian meninggalkan tempat itu diikuti oleh Mahendra dan Mahisa Murti. Diluar pasar, ketika mereka tidak lagi berada di antara banyak orang Mahisa Murti berdesis, “Apakah pantas seorang pengembara berbuat seperti yang kau lakukan?”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Mahendra lah yang menjawab, “Biarlah. Mudah-mudahan tidak ada orang yang menghiraukan. Satu cara Mahisa Pukat untuk mengajak aku mengikutinya keluar dari pasar itu.”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Tetapi bagaimana tanggapan mereka jika besok kita nampak lagi di pasar itu?”

“Aku memang kurang memikirkan akibatnya,” berkata Mahisa Pukat.

Namun Mahendra pun berkata, “Aku mengerti. Karena itu, untuk beberapa hari kalian tidak usah pergi ke pasar itu.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baik ayah.”

“Nah, sekarang, aku akan kalian bawa kemana?” bertanya Mahendra.

“Ke paman Mahisa Agni dan paman Witantra,” jawab Mahisa Pukat.

“Jadi kalian telah bertemu dengan pamanmu Mahisa Agni dan pamanmu Witantra,” bertanya Mahendra.

“Bukankah kami sudah berjanji untuk bertemu?” sahut Mahisa Murti.

“Bagus. Dengan demikian mungkin kalian memerlukan petunjuk-petunjuk mereka dalam hal tertentu,” berkata Mahendra, “tetapi apakah sudah terjadi sesuatu dengan kalian?”

“Belum ayah,” jawab Mahisa Pukat, “tetapi nampaknya keadaan menjadi semakin meningkat. Namun kami belum dapat mengatakan, apa yang akan terjadi.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Agaknya aku memang ingin terlibat seandainya akan terjadi sesuatu. Rasa-rasanya ingin juga sekali-sekali mengenang pada masa muda sebagaimana dilakukan oleh paman-pamanmu itu.”

“Tetapi belum tentu akan terjadi sesuatu ayah,” jawab Mahisa Murti.

“Tentu saja aku tidak ingin memaksakan terjadi sesuatu,” jawab Mahendra. “Tetapi baiklah, mungkin dari paman-pamanmu aku akan mendapat kesan tentang Kediri.”

Kedua anak muda itu tidak menjawab lagi. Mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah pekatik yang memang agak tersembunyi karena rumah itu bukan rumah yang baik dan besar.

Kedatangan Mahendra memang mengejutkan Mahisa Agni dan Witantra. Namun merekapun kemudian menjadi gembira karena mereka mendapat seorang kawan lagi dalam tugas mereka yang agak menjemukan.

“Kita akan menghadapi satu permainan yang menjemukan. Bahkan mungkin tidak akan terjadi apa-apa setelah kita menunggu beberapa lama sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi hampir kehabisan kesabaran,” berkata Mahisa Agni.

Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin yang kita tunggu sekarang ini merupakan ujian kesabaran dan ketabahan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian merekapun tersenyum. Sementara Mahisa Agnipun berkata, “Memang mungkin akan bermanfaat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan bagi perkembangan ilmu mereka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri hanya terdiam. Tetapi sebenarnyalah mereka memang sudah menjadi jemu menunggu. Tidak terjadi sesuatu di Gedung Perbendaharaan. Pekatik itu pun mengatakan bahwa peti perak itu masih berada didalam gedung. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra, bahkan kemudian juga Mahendra yang baru datang, berpendapat, bahwa mungkin memang akan terjadi sesuatu meskipun tidak segera.

Namun setiap kali mereka selalu minta agar pekatik itu berusaha mencari keterangan tentang peti perak berlapis kulit kerbau dungkul yang berwarna bule.

Sementara itu, orang yang bertubuh gemuk, yang menamakan dirinya Kebo Sarik beserta keempat orang bertongkat itu pun telah berada di Kediri pula. Dari orang-orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah diperalat, maka orang bertubuh kecil itu mengerti, bahwa peti perak itu masih tetap berada di Gedung Perbendaharaan.

Karena guru ke empat orang bertongkat itu tidak juga segera datang, maka Kebo Sarik tidak sabar lagi menunggunya. Katanya kemudian kepada ke empat orang bertongkat itu, “Gurumu tidak dapat dipastikan, kapan ia akan datang. Karena itu, maka aku tidak dapat disuruh menunggunya tanpa batas. Aku akan segera melakukan tugas yang ingin kau bebankan kepadaku itu.”

“Baiklah paman,” berkata orang yang bertubuh kecil, “tetapi aku mohon paman melakukannya menunggu satu dua malam. Aku harus meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun di antara para penjaga yang berilmu tinggi, yang akan mampu menolak atau melawan ilmu paman yang dahsyat itu.”

Kebo Sarik mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi ada juga baiknya kita berhati-hati.”

Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu berusaha untuk meyakinkan, bahwa penjagaan yang kuat di Gedung Perbendaharaan adalah penjagaan dalam keadaan wajar. Apalagi setelah pusaka itu ditempatkan di dalam peti yang menurut pengertian orang bertubuh kecil itu, dianggap bahwa Pangeran Singa Narpada percaya bahwa cahaya teja dari benda yang paling berharga itu telah diserap oleh peti dan lapisannya.

Dari beberapa orang pelayan dalam yang tidak menyadari dengan siapa ia berbicara, dan dengan beberapa keping uang, maka orang bertubuh kecil itu mendapat keterangan tentang Gedung Perbendaharaan.

“Yang bertugas setiap malam hanyalah para prajurit. Para Pelayan Dalampun kadang-kadang harus juga bertugas malam. Tetapi sekedar untuk melayani kebutuhan para petugas di Gedung Perbendaharaan yang jarang sekali terjadi melakukan sesuatu di malam hari,” berkata seorang Pelayan Dalam kepada orang bertongkat yang bertubuh kecil itu.

“Bagaimana dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Jarang sekali Pangeran Singa Narpada mengunjungi Gedung perbendaharaan itu. Pangeran itu agaknya terlalu percaya kepada para prajurit yang sudah berlipat dua dari para prajurit yang bertugas mengawal Gedung Perbendaharaan itu sebelumnya,” jawab Pelayan Dalam itu.

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. “Jumlah yang berlipat limapuluh tidak merupakan hambatan bagi paman. Tetapi meskipun hanya seorang tetapi memiliki kemampuan untuk melawan sirep, maka barulah persoalannya harus dipecahkan,” berkata orang bertubuh kecil itu di dalam hatinya.

Keterangan itulah yang disampaikannnya kepada pamannya. Yang kemudian berkata, “Baiklah. Jika demikian, aku akan mengambilnya. Aku akan membuat semua orang tertidur dan mengambil barang itu sebagaimana aku mengambil di rumahku sendiri.”

“Tetapi hati-hatilah paman,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Benda itu adalah benda yang sangat keramat. Karena itu, maka aku mohon paman agak mengenakan sedikit subasita. Mungkin paman harus menyembah benda yang akan paman ambil itu.”

“Aku harus menyembah?” mata Kebo Sarik terbelalak.

“Menurut pendengaranku, benda itu memiliki kekuatan diluar kewajaran,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Omong kosong,” jawab Kebo Sarik, “yang penting bagi kalian adalah, bahwa benda itu aku bawa kepada kalian bersama petinya.”

“Baik paman,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Jangan hiraukan apa yang aku lakukan,” jawab Kebo Sarik, “sementara adalah persoalanku. Dan aku akan mengatasinya.”

“Baiklah paman,” jawab orang bertubuh kecil itu, “kami akan menunggu paman diluar. Kami akan membantu paman agar paman dengan cepat meninggalkan istana dan tidak tersesat, karena jalan di Kediri yang bersimpang siur.”

“Kalian curiga bahwa aku akan membawa benda itu lari?” bertanya Kebo Sarik.

“Tidak paman, sama sekali tidak,” jawab orang bertubuh kecil itu, “aku tahu paman sangat baik terhadap kami. Apalagi terhadap guru yang merupakan saudara seperguruan paman itu. Karena itu, paman tidak akan sampai hati melarikan benda itu.”

“Terima kasih,” jawab Kebo Sarik, “mudah-mudahan aku dapat menahan diri.”

Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Sekali lagi kami nyatakan, bahwa kami percaya kepada paman.”

Kebo Sarik tidak menjawab lagi. Tetapi katanya, “besok malam aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu.”

Ke empat orang bertongkat itu mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya jatung mereka menjadi tegang. Meskipun sudah menjadi rencana mereka, tetapi ketika Kebo Sarik mengatakan bahwa ia benar-benar akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu, rasa-rasanya mereka akan memasuki satu arena yang sangat gawat karena bagaimanapun juga mereka menyadari, bahwa di Kediri ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Yang paling mereka cemaskan adalah kemungkinan Pangeran Singa Narpada dapat mencium rencana mereka atau menangkap tebaran ilmu sirep itu.

“Aku yakin bahwa paman Kebo Sarik memiliki kemampuan untuk mengimbangi ilmu Pangeran Singa Narpada,” berkata orang bertubuh kecil itu kepada saudara-saudara seperguruannya, “tetapi jika kedatangannya diketahui, maka seluruh kekuatan Kediri akan melawannya.”

“Kita percaya bahwa paman Kebo Sarik akan dapat mengatasinya,” jawab saudara seperguruannya, “jika sesuatu terjadi diluar istana, maka kita akan dapat membantunya, setidak-tidaknya untuk membawa benda itu lari.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang harus mempergunakan umpan yang besar untuk mengambil ikan raksasa.”

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk pula. Bahkan orang bertubuh kecil itu berkata didalam hatinya, “Jika umpan itu tertelan sekalipun, asal ikannya dapat kita tangkap, maka kita harus merelakannya.”

Demikianlah, maka keempat orang bertongkat itu menunggu dalam ketegangan sampai hari berikutnya. Namun Kebo Sarik sendiri justru tidak menghiraukannya. Ia makan apa saja yang ingin ia makan sebagaimana kebiasaannya. Ia tidur hampir sehari suntuk disela-sela waktu makannya.

Namun ketika senja mulai membayang, maka Kebo Sarik mulai mempersiapkan diri. Ia mandi di sungai untuk waktu yang cukup lama berendam didalam air. Demikian ia naik ke darat, maka mulutnya tidak boleh lagi dilalui makanan dan minuman apapun juga. Untuk beberapa saat ia berdiri diatas batu memandang arah matahari terbenam dengan tangan bersilang di dada dan wajah tengadah.

Kemudian, Kebo Sarik itu pun duduk di sebuah batu yang besar ditempat yang terasing dari kunjungan seseorang sambil memusatkan nalar budinya. Ia berpesan kepada orang-orang bertongkat, bahwa sebelum tengah malam, ia jangan diusik dari samadinya.

Karena itu, maka keempat orang bertongkat itu justru telah berjaga-jaga di dekat tempat Kebo Sarik bersamadi. Mereka menunggu sampai bintang Gubug Penceng berada diatas puncak langit, sehingga dengan demikian mereka tahu, bahwa hari telah tengah malam.

“Kita bangunkan paman Kebo Sarik,” berkata orang bertubuh kecil itu, “waktunya telah menjadi terlalu sempit.”

“Masih separo malam. Paman tentu sudah memperhatikan,” jawab saudara seperguruannya.

Namun demikian mereka pun segera mendekati Kebo Sarik yang sedang bersamadi. Dengan sangat hati-hati maka orang bertubuh kecil itu menyebut namanya.

“Paman, paman Kebo Sarik. Hari telah sampai tengah malam.”

Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka matanya. Kemudian dipandanginya lingkaran kegelapan disekitarnya. Namun ketajaman matanya telah melihat keadaan disekelilingnya dengan jelas. Demikian pula keempat orang bertongkat itu. Kebo Sarik kemudian mengangkat wajahnya melihat bintang-bintang di langit. Maka ia pun kemudian berdesis. “Terima kasih. Kalian memenuhi permintaannya membiarkan aku duduk disini sampai tengah malam.”

Kebo Sarik kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah. Kita pergunakan yang tengah malam ini dengan sebaik-baiknya.”

Demikianlah keempat orang itu pun telah meninggalkan sungai itu dan menuju ke istana Kediri, bersama pamannya. Dengan sangat berhati-hati maka kelima orang itu pun telah mendekati istana. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Agni dan Witantra, maka mereka telah memilih jalan sebagaimana yang diduga, yang paling mudah untuk dilalui memasuki halaman istana dan langsung menuju ke Gedung perbendaharaan.

Mahisa Agni dan Mahisa Murtilah yang sedang bertugas mengatasi jalan itu. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka telah melihat ke empat orang bertongkat itu mendekati. Kemudian seorang yang bertubuh gemuk memberikan pesan-pesannya sebelum orang itu meloncat masuk.

“Luar biasa,” desis Mahisa Agni.

Cara Kebo Sarik meloncat dan masuk ke halaman, benar-benar telah mendebarkan jantung.

“Beritahu pamanmu Witantra,” berkata Mahisa Agni, “aku mengawasi mereka di sini. Cepat, kalian harus sudah berada di sini sebelum orang-orang itu pergi.”

Mahisa Murti pun kemudian telah meniggalkan Mahisa Agni yang mengawasi kelima orang yang telah berusaha untuk mendapatkan benda yang paling berharga di Kediri itu. Bahkan seorang diantaranya telah memasuki halaman istana. Namun beberapa puluh langkah kemudian Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah meloncat menghentikan langkahnya.

Mahisa Murti bersingsut setapak surut. Dengan tangkasnya ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Mahisa Murti itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang masih tegang ia berdesis, “Pangeran Singa Narpada.”

“Ya,” jawab orang yang telah menghentikan langkahnya itu.

“Apakah ada yang penting Pangeran, bahwa Pangeran telah menghentikan langkahku?” bertanya Mahisa Murti.

“Aku ingin bertemu dengan orang yang datang bersamamu. Siapakah orang itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Silahkan menemuinya. Aku mendapat perintah untuk melakukan sesuatu.”

“Antar aku kepadanya agar tidak terjadi salah paham,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Aku harus melakukan perintahnya segera,” jawab Mahisa Murti.

“Aku hanya memerlukan waktu sejenak. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa aku memerlukan bantuanmu dan bantuan orang yang datang bersamamu itu,” berkata Pangeran Singa Narpada. Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah Pangeran. Tetapi jika terjadi kelambatan, maka itu adalah tanggung jawab Pangeran.”

“Ya. Aku bertanggung jawab,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti pun kemudian telah membawa Pangeran Singa, Narpada kembali. Ia menganggap bahwa Pangeran Singa Narpada adalah orang yang paling berkepentingan dengan benda yang dianggap sangat berharga itu. Ketika Mahisa Murti datang kembali dengan seseorang, Mahisa Agni pun terkejut. Ia pun segera bersiap pula untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun Mahisa Murti dan Pangeran Singa Narpada pun dengan tergesa-gesa telah menempatkan diri untuk menghadapi agar orang-orang yang sedang mereka aman tak dapat mengetahui kehadiran mereka.

“Kenapa kau kembali Mahisa Murti?” bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Murti memang tidak ingin terjadi salah paham. Karena itu maka dengan segera Mahisa Murti menjelaskan. “Aku datang bersama Pangeran Singa Narpada.”

“Pangeran Singa Narpada,” ulang Mahisa Agni.

“Ya paman,” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara datar Mahisa Agni berkata, “Selamat bertemu kembali Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Kakang Mahisa Agni dari Singasari?”

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ya Pangeran. Inilah aku.”

“O,” Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku tidak menyangka bahwa kau telah memberikan perhatianmu untuk hal-hal yang tidak berarti seperti ini.”

“Jangan memperkecil arti benda-benda yang paling berharga di Kediri, sehingga kau tidak akan bersusah payah mencarinya jika benar benda itu tidak berarti.”

“Maksudku bagi Singasari,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Tetapi sudahlah. Biarlah Mahisa Murti menemui pamannya dan membawanya kemari. Ia tidak boleh terlambat,” berkata Mahisa Agni.

“Siapakah yang akan dipanggil?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Orang-orang tua telah berkumpul di sini untuk melihat sesuatu yang mungkin sangat berharga bagi sisa-sisa usianya,” jawab Mahisa Agni.

“Siapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Witantra,” jawab Mahisa Agni.

“Kakang Witantra juga berada disini?” bertanya Pangeran Singa Narpada, “tetapi dimana kalian tinggal?”

“Kita jangan terlalu banyak kehilangan waktu,” jawab Mahisa Agni, “biarlah Mahisa Murti pergi.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Singa Narpada, “panggil kakang Witantra. Aku juga ingin bertemu dengannya.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun segera beringsut dan pergi meninggalkan tempat itu.

“Apa yang akan kau lakukan bersama kakang Witantra?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku mendengar bahwa Mahkota Kediri pernah hilang. Itulah sebabnya, bahwa ketika seseorang memasuki halaman istana maka aku segera tertarik kepada peristiwa itu?” jawab Mahisa Agni.

“Tentu sesuatu yang benar-benar akan dilakukan,” berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya, “bukan waktunya untuk bergurau.”

Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada berkata, “Kakang Mahisa Agni. Aku minta kakang tidak berbuat apa-apa. Juga kakang Witantra,” berkata Pangeran Singa Narpada selanjutnya.

“Kenapa?” bertanya Mahisa Agni, “seseorang telah siap untuk mengambil benda yang paling berharga dari Kediri, dan kini kau minta kepadaku untuk tidak berbuat apa-apa?”

“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada, “biarlah orang itu mengambil Mahkota yang dianggap dapat menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton.”

Mahisa Agni menjadi heran. Dengan nada ragu ia bertanya, “Kau aneh Pangeran. Kenapa begitu?”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kau tidak usah melibatkan dirimu terlalu jauh dalam hal ini. Karena itu, maka cobalah melupakan apa yang kau lihat.”

“Aku tidak mengerti Pangeran,” desis Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas perhatianmu. Tetapi kami minta, biarkan saja orang-orang itu melakukan apa saja yang diinginkannya.”

Mahisa Agni masih saja merasa heran. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, baiklah. Yang menghendaki adalah Pangeran Singa Narpada, sehingga aku tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lain.”

Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Namun kemudian ia berdesis, “Aku minta maaf.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi diperhitungkannya keempat orang bertongkat yang juga berusaha untuk berada didalam tempat yang terlindung. Namun karena Mahisa Agni dan Pangeran Singa Narpada tengah mengawasi mereka, maka keempat orang itu tidak terlepas dari penglihatan mereka.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian dengan sangat berhati-hati, Witantra, Mahisa Pukat dan Mahendra pun telah datang pula bersama Mahisa Murti. Sebagaimana Mahisa Agni, maka Witantra pun sudah mengenal pula Pangeran Singa Narpada. Hanya Mahendra lah yang kemudian diperkenalkan kepada Pangeran itu.

Sementara itu, maka Mahisa Agni lah yang kemudian menjelaskan, “Pangeran Singa Narpada tidak menghendaki kita berbuat sesuatu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang paling terkejut mendengarnya. Karena itu, maka Mahisa Murtilah telah bertanya, “Kenapa?”

“Tidak ada penjelasan,” jawab Mahisa Agni.

Mahisa Murti memandang Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia pun bertanya, “Apakah benar Pangeran menghendaki demikian?”

“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Kenapa Pangeran?” bertanya Mahisa Murti, “Bukankah dengan susah payah selama ini kita berusaha untuk menemukan kembali benda berharga itu.”

“Ya. Sudah aku katakan, bahwa aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas bantuan Mahisa Bungalan dan kalian berdua,” berkata Pangeran Singa Narpada, “namun biarlah kali ini, aku memohon, agar kalian tidak berbuat sesuatu.”

Mahisa Murti masih menjawab. Tetapi tiba-tiba saja mereka merasa sesuatu yang terasa bukannya dalam kewajaran. Udara terasa semakin sejuk dan rasa-rasanya mereka bagaikan dibelai oleh kantuk yang mulai menyentuh perasaan.

“Sebagaimana dilakukan oleh orang yang terdahulu,” berkata Mahisa Agni, “menurut pendengaranku, orang yang melakukannya terdahulu mempergunakan ilmu sirep pula seperti ini.”

“Ya. Mereka mempergunakan ilmu sirep,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti adalah diantara mereka yang paling gelisah. Tetapi sementara itu Mahisa Agni berkata, ”Pangeran. Biarlah kami tidak berbuat apa-apa. Tetapi apakah kami boleh menyaksikan, apa yang akan terjadi kemudian? Mungkin Pangeran telah memasang pasukan yang sangat kuat, yang lepas dari pengamatan orang-orang itu, atau jebakan lain yang mungkin tidak lagi memerlukan kita semuanya.”

“Marilah kita lihat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku tidak berkeberatan.”

Mahisa Agni pun tidak bertanya lagi. Mereka berenam-pun kemudian memperhatikan orang-orang yang sedang berjaga-jaga di luar pada saat seorang di antara mereka berada di dalam.

Ternyata ilmu sirep Kebo Sarik memang terlalu kuat. Ketika ia sudah berada di dalam dinding istana, maka ilmu sirepnya pun mulai menebar. Para petugas tidak seorang pun yang mampu melepaskan diri dari cengkaman ilmu sirep itu, sehingga dengan demikian maka para petugas itu pun seorang demi seorang telah tertidur nyenyak.

Kebo Sarik pun kemudian sesuai dengan petunjuk orang-orang bertongkat itu, telah menemukan pintu Gedung Perbendaharaan. Dengan hati-hati ia mengangkat selarak dan meletakkan disamping dua orang penjaga yang tertidur dengan nyenyaknya, sementara tombaknya masih tersandar pada dinding.

Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka pintu Gedung Perbendaharaan itu. Ketika ia melihat isinya, maka jantungnya menyadi berdebar-debar. Kebo Sarik itu melihat sebuah peti yang berwarna putih berkilat-kilat.

“Tentu peti itu,” berkata Kebo Sarik didalam hatinya.

Dengan tanpa ragu-ragu Kebo Sarik telah melangkah memasuki Gedung Perbendaharaan itu. Namun tiba-tiba terasa tubuhnya bagaikan diguncang oleh angin prahara. Dengan kekuatan yang tidak terlawan Kebo Sarik telah terdorong keluar.

“Gila,” geram Kebo Sarik, “siapakah yang bermain hantu-hantuan di sini he?”

Tidak ada jawaban. Semua orang yang bertugas telah tertidur nyenyak. Sekali lagi Kebo Sarik mencobanya. Namun sekali lagi ia terdesak keluar. Tiba-tiba saja Kebo Sarik itu teringat akan pesan salah seorang murid kakak seperguruannya. Betapapun segannya, namun Kebo Sarik itu pun kemudian telah berjongkok dan kemudian menyembah tiga kali ke arah pintu yang sudah terbuka itu.

Ketika ia melangkah masuk, maka ternyata ia tidak lagi mengalami goncangan dan terdorong keluar. Tidak ada kekuatan apapun yang telah mengganggunya, sehingga dengan langkah yang tetap ia memasuki Gedung Perbendaharaan itu. Sejenak, Kebo Sarik itu berdiri termangu-mangu dihadapan peti yang berwarna putih berkilat-kilat itu.

Dengan dada tengadah Kebo Sarik memperhatikan peti itu. Lalu dengan suara berat ia bergumam, “Inilah Kebo Sarik. Semua yang dilakukan akan dapat diselesaikan dengan sempurna.”

Tanpa berjongkok dan menyembah lagi, maka Kebo Sarik itu pun telah meraih peti perak itu dan dengan bangga telah membawanya keluar dari Gedung Perbendaharaan.

Para penjaga masih juga tertidur dengan nyenyaknya. Ilmu Sirep Kebo Sarik ternyata lebih baik dari ilmu Sirep Ki Ajar Bomantara, sehingga karena itu, prajurit yang jumlahnya berlipat itu pun tidak ada yang mampu bertahan atas kekuatan sirep itu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada bersama kelima orang dari Singasari itu pun masih mengawasi orang-orang bertongkat di luar dinding. Beberapa lama mereka menunggu. Namun sejenak kemudian jantung mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat seseorang meloncat keluar dari lingkungan dinding istana.

“Itulah,” desis Mahisa Pukat.

“Ya,” sahut Mahisa Murti, “dan kita berdiam diri tanpa berbuat sesuatu.”

“Sudahlah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “sekali lagi aku minta. Lupakan peti perak itu.”

Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis, “Pangeran. Apakah justru Pangeran yang telah mengatur semuanya ini? Dan pada saat terakhir Pangeran sendiri menghendaki mahkota itu bagi Pangeran?”

“Mahisa Pukat,” hampir berbareng Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra memotong.

Tetapi Mahisa Pukat berkata selanjutnya, “Jika bukan demikian apakah artinya, bahwa Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak mengambil langkah-langkah tertentu untuk mencegahnya? “

Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Pukat dengan tajamnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ternyata kau masih terlalu muda untuk mengetahui.”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit Witantra sambil bertanya, “Kau lihat cahaya itu?”

“Ya,” jawab Witantra yang kemudian berkata kepada Mahendra, “kau juga melihat?”

“Apa yang kau maksud? Cahaya yang memancar dari pusaka yang paling berharga di Kediri?” bertanya Mahendra.

“Ya,” jawab Witantra.

Mahendra termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “beri aku kesempatan sebentar.”

Witantra dan Mahisa Agni tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung. Mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh orang-orang tua itu. Namun kemudian Witantra itu pun berkata, “Ya. Aku mulai melihatnya meskipun tidak jelas.”

“Dimana?” bertanya Mahisa Agni.

“Didalam lingkungan istana,” jawab Mahendra.

“Tepat,” jawab Witantra, “Dan kau tidak melihat sesuatu dari peti itu?”

“Tidak,” jawab Witantra.

“Nah, sekarang jawablah Pangeran. Apakah Pangeran telah menjebak orang-orang itu?” bertanya Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ya. Aku telah menjebak mereka. Peti itu tidak berisi mahkota sebagaimana mereka bayangkan. Tetapi yang ada didalamnya adalah benda lain yang tidak berarti sama sekali.”

“O,” Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku mohon maaf Pangeran.”

Pangeran Singa Narpada tersenyum. Namun sebelum ia menjawab, maka terdengar suara tertawa nyaring. Suara tertawa itu begitu mencengkam sehingga orang-orang yang sedang memperhatikan orang-orang bertongkat itu pun tergetar karenanya.

Dalam pada itu, maka terdengar orang yang tertawa itu berkata, “Ternyata kalian tidak lebih dari anak-anak yang dungu. He, kau Kerbau buntung. Kau kira kau telah berhasil?”

“Guru,” berkata salah seorang dari orang-orang bertongkat itu, “paman telah salah mengambil benda yang kita inginkan.”

“Tidak,” jawab Kebo Sarik, “bukankah yang kau maksud adalah peti perak ini?”

“Kalian semua memang dungu. Kau juga,” berkata orang yang baru saja datang itu kepada orang bertubuh kecil, “kau tahu pamanmu tidak tahu menahu tentang cahaya teja yang memancar dari benda itu. Ia pun tidak tahu, bahwa peti ini kosong atau mungkin hanya berisi sepotong kayu lapuk atau apa.”

“Gila,” geram Kebo Sarik, “jadi orang-orang Kediri telah mengelabui aku?”

“Dan kau memang merupakan sasaran yang menyenangkan untuk melakukan permainan seperti ini,” jawab orang yang baru datang itu.

“Aku akan kembali ke Gedung Perbendaharaan itu. Aku akan membakarnya. Bahkan seisi istana ini akan aku bakar sampai menjadi abu,” geram Kebo Sarik.

“Kau akan menjadi semakin dungu,” berkata orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah guru orang-orang bertongkat itu, “kau tidak akan dapat melakukan apapun juga.”

“Kenapa?” bertanya Kebo Sarik.

“Guru. Aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu bersama paman Kebo Sarik. Aku tahu, dimana pusaka itu disembunyikan. Aku akan mencari dan menemukannya,” berkata orang bertubuh kecil itu.

“Tidak mungkin,” jawab gurunya, “kita tidak hanya berenam disini.”

“Maksud guru?” bertanya orang bertubuh kecil.

“Kita mempunyai kawan. Karena itu, maka kita tidak akan mungkin berbuat sesuatu tanpa diketahui oleh orang-orang Kediri,” jawab orang itu.

Murid-muridnya serta Kebo Sarik termangu-mangu sejenak. Sementara itu orang yang baru datang itu berkata selanjutnya, “Kalian memang dungu. Kalian sama sekali tidak tahu, bahwa apa yang kalian lakukan itu selalu diikuti oleh orang-orang Kediri. Lihat kesana.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu telah menunjuk ke tempat Pangeran Singa Narpada dan orang-orang Singasari itu mengamati orang-orang yang telah mengambil peti perak itu.

Sementara itu orang-orang bertongkat serta orang yang telah memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil peti perak itu memandang ke arah yang ditunjuk oleh guru mereka. Namun mereka tidak segera melihat sesuatu, karena Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya berlindung di balik batang-batang perdu.

Namun gurunya itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita dekati mereka.”

Orang itu tidak menunggu lebih lama. Ia pun kemudian berjalan di paling depan diikuti oleh adik seperguruannya dan murid-muridnya.

“Luar biasa,” desis Pangeran Singa Narpada, “orang itu mengetahui bahwa kita berada di sini.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata bukan kita yang berusaha menangkap mereka. Tetapi akhirnya merekalah yang akan menangkap kita.”

“Satu permainan yang mengasyikkan,” sahut Mahendra, “untunglah aku menyusul kalian sehingga aku dapat ikut serta dalam permainan seperti ini.”

“Ah, kau,” sahut Witantra, “Kau masih lebih muda dari aku. Agaknya masih ada sisa-sisa kemudaanmu. Tetapi agaknya anak-anak mudalah yang menjadi paling gembira menghadapi keadaan seperti ini.”

“Ya,” desis Pangeran Singa Narpada, “kemampuan kita akan benar-benar diuji oleh orang-orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku kira ada juga baiknya untuk sekali-sekali membenturkan ilmu pada kemampuan yang pilih tanding. Tanpa diasah maka pisau tidak akan menjadi tajam.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah ia mengagumi ketajaman perasaan orang yang datang terakhir itu. Dengan demikian maka yang dapat dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya adalah sekedar menunggu. Namun mereka merasa tidak ada gunanya lagi berlindung dibalik pohon-pohon perdu sehingga mereka pun telah bergeser dan berdiri ditempat terbuka.

“Selamat malam Ki Sanak,” sapa orang yang datang terakhir itu.

Pangeran Singa Narpada lah yang menjawab, “Selamat malam Ki Sanak. Kedatangan kalian memang menarik perhatian.”

Orang yang bertubuh kecil dan bertongkat itu terkejut ketika dilihatnya Pangeran Singa Narpada sedang mengamatinya. Namun kemudian orang itu pun tersenyum sambil berkata, “Selamat bertemu kembali Pangeran.”

“Oh, kau Ki Ajar Wantingan,” desis Pangeran Singa Narpada, “terima kasih atas segala petunjuk yang telah kau berikan.”

“Ah jangan begitu Pangeran,” jawab orang bertubuh kecil itu yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan, “ternyata bahwa Pangeran tidak dengan sungguh-sungguh memenuhinya, sehingga kami terpaksa datang untuk melihatnya.”

“Apakah aku tidak dengan sungguh-sungguh memenuhi pesan-pesanmu? Aku sudah dengan susah payah mencari seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule,” jawab Pangeran Singa Narpada, “betapapun sulitnya. Akhirnya aku telah mendapatkannya. Sementara itu, aku pun telah membuat sebuah peti dari perak dan melapisnya dengan kulit kerbau sebagaimana kau maksudkan.”

“Terima kasih Pangeran. Tetapi ternyata bahwa hal itu tidak Pangeran lakukan,” jawab orang bertubuh kecil itu. “Mungkin Pangeran benar-benar membuat peti dengan lapisan kulit itu. Tetapi mahkota itu tidak Pangeran masukkan kedalamnya. Hal itu kami ketahui karena cahaya yang memancar dari Gedung Perbendaharaan itu. Jika Pangeran melakukannya sebagaimana aku katakan, maka cahaya itu tentu sudah lenyap. Karena itulah maka kami telah terdorong untuk melihat, apakah benar Pangeran telah melakukan seperti yang aku pesankan.”

“Apa yang kalian temukan di dalam peti itu?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, “Apapun yang ada didalamnya bukanlah yang kami maksudkan.”

“Baiklah aku berterus terang Ki Sanak,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku memang sudah mencoba memasukkan benda yang paling berharga itu kedalam peti perak yang kau anjurkan itu. Tetapi ternyata peti perak dengan lapisannya sama sekali tidak menyerap cahaya sebagaimana kau katakan. Ketika mahkota itu aku masukkan kedalamnya, maka cahaya itu masih juga memancar sebagaimana biasanya menembus lapisan perak dan kulit kerbau yang sulit dicari itu. Sejak itulah aku mempunyai dugaan yang lain dari petunjukmu. Aku mulai curiga, bahwa aku telah terjebak oleh sikap dan kata-katamu yang nampak bersungguh-sungguh itu.”

“Jadi Pangeran juga dapat melihat cahaya itu?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Tidak selalu. Hanya dalam keadaan tertentu, sebagaimana orang lain yang menghendakinya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada gurunya, “Guru, agaknya kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan memasuki Gedung itu lagi dan memilih sendiri di antara isinya.”

Gurunya tersenyum. Dipandanginya Pangeran Singa Narpada sambil berkata, “Baiklah. Aku sependapat untuk kembali memasuki gedung itu dan memilih isinya. Tetapi sebagai seorang yang mengenal unggah-ungguh, maka aku akan minta ijin dahulu kepada Pangeran ini, yang barangkali termasuk salah seorang di antara para pemimpin Kediri yang ikut mempunyai wewenang atas gedung itu.”

“Oh,” orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya aku melupakannya guru. Mungkin aku terlalu bernafsu untuk segera memiliki benda yang sangat berharga itu.”

“Nah Pangeran,” berkata gurunya, “Pangeran sudah mendengar keinginan kami. Karena itu, kami mohon agar Pangeran tidak berkeberatan bahwa kami akan mengambil benda yang kami ingini. Kami akan berterima kasih jika Pangeran justru bersedia untuk membantu kami sehingga usaha kami akan cepat kami selesaikan.”

“Oh. Tentu dengan senang hati Ki Sanak,” jawab Pangeran Singa Narpada, “aku akan dengan senang hati menunjukkan benda yang kalian inginkan. Tetapi sudah tentu, aku minta upah atas hasil jerih payahku. Agaknya mahkota itu memang bukan milikku. Jika aku menjualnya sekarang, maka aku tidak akan kehilangan.”

Guru dan orang-orang bertongkat itu mengerutkan keningnya. Mereka justru menjadi heran mendengar jawaban itu. Bahkan dengan ragu-ragu guru itu bertanya, “Apakah yang Pangeran inginkan sebagai upah menurut istilah Pangeran sendiri.”

Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Sementara itu orang-orang Singasari yang ada ditempat itu pun menjadi termangu-mangu. Pangeran Singa Narpada sendiri kemudian tersenyum sambil menjawab, “Ki Sanak. Aku minta upah yang memadai. Karena benda itu nilainya tidak terhingga, maka upah yang aku minta adalah kepala kalian.”

“Gila,” Kebo Sarik berteriak.

Tetapi guru orang-orang bertongkat itu justru tertawa. Katanya, “Kau memang dungu Kerbau Gila. Aku sudah menduga, bahwa Pangeran yang suka berkelakar ini akan sampai kepada permintaan yang demikian. Selain Pangeran ini tentu tidak akan terpikir olehnya untuk benar-benar membuat peti dan mengisinya dengan benda lain serta menempatkannya di tempat yang terhormat. Dalam kesibukan yang mendesak, Pangeran Singa Narpada masih sempat meluangkan waktunya untuk bermain-main dengan kita. Karena itu, kita jangan lekas marah. Kita harus menghadapi sikap Pangeran Singa Narpada dengan caranya.”

Kebo Sarik itu menggeram. Katanya, “Aku tidak telaten. Jika kita harus bertempur, marilah kita lakukan sekarang.”

“Ya. Sebentar lagi. Kecuali jika Pangeran Singa Narpada menginginkan waktu yang lain di tempat yang lain pula,” jawab guru orang-orang bertongkat itu.

Kebo Sarik benar-benar tidak telaten dengan sikap saudara seperguruannya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa kecuali menggeram.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada menjawab, “Ki Sanak, biarlah pekerjaan kita lekas selesai. Marilah, berikan upah itu sekarang. Baru kalian dapat mengambil benda berharga itu.”

“Baiklah Pangeran,” berkata guru orang-orang bertongkat itu, “kita akan mempertahankan kepala kita masing-masing. Mahkota itu letaknya memang di kepala. Jika kepalaku harus aku berikan kepada Pangeran, dimana aku akan memakai mahkota itu?”

Pangeran Singa Narpada dan orang-orang tua dari Singasari itu sempat tersenyum. Namun Kebo Sarik justru berteriak, “Jangan bergurau lagi. Aku sudah menjadi jemu. Ayo, siapa yang akan menjadi lawanku.”

“Kenapa kau begitu tergesa-gesa?” bertanya Pangeran Singa Narpada, “menurut pengamatanku, kaulah yang telah menyebarkan ilmu sirep yang sangat tajam. Dengan demikian, maka agaknya kau juga memiliki ilmu yang lain yang cukup tinggi. Karena itu, maka biarlah salah seorang dari orang-orang tua yang ada disini melawanmu. Karena aku yang bertanggung jawab atas pusaka itu, maka akulah yang akan berhadapan dengan orang yang agaknya tertua di antara kalian.”

“Ya,” jawab guru orang-orang bertongkat itu, “aku adalah saudara seperguruan orang yang bernama Kebo Sarik ini. Aku adalah guru dari orang-orang yang membawa kayu bakar yang barangkali perlu jika mereka kedinginan.”

“Nah, apakah kau memilih lawan yang lain? Mungkin aku bukan orang terbaik didalam kelompokku. Tetapi sekedar karena kewajibanku maka aku menempatkan diri sebagai lawanmu,” berkata Pangeran Singa Narpada pula.

“Bagus,” jawab orang itu, “agaknya memang satu kehormatan bahwa aku akan bertempur melawan seorang Pangeran yang berilmu tinggi.”

“Siapa bilang aku berilmu tinggi?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Tetapi Kebo Sarik lah yang menjawab, “Yang mana lawanku. Aku akan segera menyelesaikannya dan kembali memasuki Gedung Perbendaharaan.”

Diantara orang-orang tua dari Singasari ternyata Mahendra lah yang menjawab, “Baiklah. Aku terima kau sebagai lawanku. Aku sudah terhitung tua. Tetapi belum setua saudara-saudaraku ini. Karena itu, agaknya akulah orang yang paling pantas melawan seseorang yang oleh saudara seperguruannya disebut Kerbau Gila.”

“Jangan ikut-ikutan menyebut aku Kerbau Gila,” bentak Kebo Sarik, “sebentar lagi kau akan mati disini. Mintalah maaf agar jalan kematianmu menjadi terang.”

Mahendra tertawa. Katanya, “Kau memang cepat marah. Jika aku menyebutmu Kerbau Gila adalah sekedar menirukan saudara seperguruanmu. Tetapi jika kau tidak mau, katakan, bagaimana aku harus memanggilmu.”

“Cukup,” bentak Kebo Sarik, “jangan banyak bicara lagi. Aku tidak terbiasa berbicara tanpa ujung pangkal. Jika kau memang siap melawan aku, marilah.”

Mahendra tidak menjawab lagi. Ia pun bergeser beberapa langkah dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ternyata Kebo Sarik memang tidak banyak bicara. Ketika mereka sudah memisahkan diri, maka tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan garangnya.

Tetapi Mahendra telah memperhitungkannya. Karena itu, maka dengan tangkas ia pun menghindar. Bahkan dengan tidak kalah garangnya Mahendra pun telah menyerang lawannya pula.

“Mereka telah mulai,” berkata Pangeran Singa Narpada, “nah, bagaimana dengan yang lain? Sudah aku katakan, bahwa aku telah memilih lawanku, sehingga selebihnya akan dihadapi oleh orang-orang tua dan anak-anak muda. Memang dua angkatan yang jauh. Tetapi meskipun demikian, mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik.”

Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh kecil itu pun berkata, “Nah, siapakah yang akan bertempur melawan aku?”

“Kau pernah melawan kedua anak muda itu. Apakah kau akan mengulanginya? Keduanya masih menyimpan bahkan telah melengkapi kembali paser-paser kecilnya,” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Sebenarnya aku ingin menebus kekalahan. Tetapi sekarang aku tidak sendiri. Karena itu, maka aku tidak merasa perlu untuk bertempur melawan kedua anak-anak itu.”

“Jika demikian kau harus memilih lawan lain. Jika bukan yang anak-anak, kau dapat memilih yang sudah tua-tua,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu. Menurut penglihatannya, kedua orang tua itu adalah orang-orang yang pernah ditemuinya.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni lah yang menyahut, “Aku sudah terlalu tua untuk melibatkan diri kedalam permainan seperti ini. Tetapi karena sudah tidak ada orang lain, maka biarlah aku melakukannya. Tetapi dengan janji, bahwa kita akan melakukan perlahan-lahan agar nafasku tidak terputus karenanya.”

Suara tertawa guru dari orang-orang bertongkat itu bagaikan meledak. Katanya, “Menyenangkan sekali berhubungan dengan kalian. Ternyata kalian adalah orang-orang yang gembira dan penuh gurau betapapun peliknya persoalan yang kalian hadapi. Nah, marilah kita mulai dengan pemainan yang perlahan-lahan saja, sekedar untuk menghangatkan badan di malam yang dingin ini.”

Tetapi berbeda dengan gurunya, orang bertongkat yang bertubuh kecil itu sama sekali tidak senang dengan sikap Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, “Marilah orang tua yang licik. Kau sudah berpura-pura ketika kau bertemu dengan aku. Sekarang kau memancing perasaanku, agar kau menaruh belas kasihan kepadamu. Tetapi aku mengerti, jika belas kasihanku sudah runtuh, maka kau akan mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan aku.”

“Ah, kau terlalu berprasangka,” berkata gurunya, “layani orang itu sebagaimana kemauannya. Kalian akan menemukan satu permainan yang mengasikkan.”

Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba mengerti pesan gurunya. Tentu gurunya mencoba menasehatinya agar ia tidak terperosok kedalam dorongan perasaannya yang bergejolak karena sikap lawannya.

Sementara itu, maka seorang lagi diantara orang-orang bertongkat itu berkata, “Biarlah orang tua yang seorang lagi menjadi lawanku.”

“O,” berkata Witantra, “Ada juga yang menghargai aku? Marilah, mungkin kita sempat bermain-main. Mudah-mudahan aku mampu berbuat sesuatu.”

Orang bertongkat itu pun kemudian menyahut, “Kita mencari tempat yang lapang. Aku akan mempergunakan tongkatku yang panjang.”

“Silahkan. Aku kali ini juga akan mempergunakan tongkat meskipun tidak sepanjang tongkatmu,” berkata Witantra.

“Baik. Kita akan mempergunakan tongkat. Tetapi agaknya tongkatmu adalah sekedar sebatang kayu yang kau ketemukan di pinggir jalan. Karena itu, maka agaknya kau memang dengan sengaja menghina aku. Kau kira bahwa dengan tongkat semacam itu kau akan mampu melawan tongkatku?”

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Tongkatku bukan sembarang tongkat. Memang bukan tongkat sebaik tongkatmu. Tetapi mudah-mudahan aku dapat mengimbangi tongkatmu.”

Orang bertongkat itu tidak menjawab. Beberapa langkah mereka beringsut untuk mendapatkan tempat yang luas.

“Mudah-mudahan kita tidak diketemukan oleh peronda yang kadang-kadang nganglang,” berkata Witantra.

“Persetan,” jawab lawannya, “mereka tidur seperti mati. Kita akan mendapat waktu yang leluasa sampai menjelang pagi.”

“Bagus,” jawab Witantra, “Kita pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.”

Keduanya pun kemudian segera mempersiapkan diri. Sementara kedua saudara seperguruan orang bertongkat itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka orang-orang itu pun telah terlibat dalam pertempuran di belakang istana, di sebuah halaman yang luas tanpa takut terganggu, karena pengaruh sirep yang menebar sampai ke tempat itu.

Yang kemudian terlibat kedalam pertempuran adalah semua orang yang ada di tempat itu. Masing-masing telah mendapatkan lawannya. Pangeran Singa Narpada yang bertanggung jawab atas pusaka yang ingin dimiliki oleh orang-orang bertongkat itu harus bertempur dengan guru dari orang-orang bertongkat itu. Orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra harus bermain-main dengan dua orang di antara keempat orang bertongkat itu. Sedangkan Mahendra harus bertempur melawan Kebo Sarik.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat lawan di antara orang-orang bertongkat itu pula. Tetapi bukan orang bertubuh kecil yang pernah dilawannya berdua. Yang dihadapinya adalah adik seperguruan dari orang bertubuh kecil itu.

Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus bertempur dengan sangat berhati-hati. Keduanya harus memperhitungkan kemampuan lawannya baik-baik. Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat memperhitungkan kekuatan lawannya atas dasar pengenalan mereka terhadap ilmu orang bertubuh kecil yang pernah mereka lawan berdua.

Namun ketika mereka telah bertempur beberapa saat lamanya, maka terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa ternyata kemampuan kedua orang itu masih belum pada tataran orang bertubuh kecil itu.

Meskipun demikian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat, tidak dapat lengah. Agaknya kedua orang itu pun telah memiliki dasar ilmu yang nggegirisi, yang mampu melontarkan serangan sebagaimana dilakukan oleh orang bertubuh kecil itu.

Sementara itu, maka di lingkungan pertempuran yang lain pun benturan ilmu telah menjadi semakin sengit. Yang paling menggetarkan adalah pertempuran antara Pangeran Singa Narpada melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga seolah-olah yang mereka lakukan sama sekali diluar pengamatan kewadagan.

Yang tidak kalah sengitnya adalah pertempuran antara Kebo Sarik dan Mahendra. Ternyata kemampuan Mahendra telah mengejutkan Kebo Sarik. Ia mengira bahwa selain kakak seperguruannya yang bertempur melawan Pangeran Singa Narpada, tidak ada orang lain yang dapat mengimbangi, ilmunya. Namun ternyata bahwa lawannya saat itu, memiliki kemampuan diluar dugaannya itu.

Karena itu, maka kemarahan Kebo Sarik telah menghentak-hentak di dadanya. Selapis demi selapis ia meningkatkan kemampuannya. Namun ternyata bahwa lawannya itu pun mampu meningkat kan kemampuannya pula. Dengan demikian, maka pertempuran antara Kebo Sarik dan Mahendra itu pun menjadi semakin dahsyat. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi.

Pada saat-saat keduanya mendekati puncak kemampu-annya, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat. Bahkan kemudian keduanya seakan-akan telah berubah menjadi bayangan yang berputaran di dorong oleh angin pusaran.

Sementara itu, Mahisa Agni yang menghadapi orang bertubuh kecil itu pun ternyata harus berhati-hati. Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu memiliki bekal pula untuk bertempur dalam putaran ilmu kanuragan. Tetapi ternyata bahwa saat itu ia telah mendapat lawan Mahisa Agni. Seorang yang memiliki landasan ilmu yang masak.

Meskipun demikian, Mahisa Agni yang sudah menjadi terlalu tua itu, tidak ingin menyakiti hati lawannya. Ia tidak menunjukkan dengan serta merta kelebihannya, meskipun ia sadar, bahwa tenaga wadagnya tidak lagi utuh sebagaimana saat ia berumur sebaya lawannya itu.

Tetapi tingkat ilmu Mahisa Agni dan orang bertubuh kecil itu memang terpaut beberapa lapis yang cukup tebal. Sehingga apabila Mahisa Agni menghendaki, maka ia akan dengan cepat menyudahi pertempuran itu.

Yang terjadi sebagaimana Mahisa Agni adalah Witantra yang bertempur melawan adik seperguruan orang bertubuh kecil itu. Meskipun Witantra tidak mau mengabaikan lawannya sehingga ia berbuat satu kesalahan yang dapat menjeratnya, namun selisih ilmu yang cukup banyak membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung.

Bahkan Witantra masih juga sempat sekali-sekali memperhatikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bertempur melawan dua orang saudara seperguruan orang bertubuh kecil itu. Ternyata bahwa dasar ilmu puncak Mahisa Murti dan Mahisa Bungalan tidak perlu mereka pergunakan untuk mengatasi serangan-serangan lawannya yang garang.

Namun pada suatu saat, ternyata Mahisa Murti dikejutkan oleh serangan lawannya sebagaimana pernah dilakukan oleh orang bertubuh kecil itu. Ketika orang itu mendapat kesempaian, maka ia lelah mengacungkan tongkatnya. Dan dari ujung tongkat itu telah meluncur cahaya yang silau.

Mahisa Murti sempat meloncat. Dengan demikian maka cahaya itu tidak sempat menyentuhnya. Ketika cahaya itu mengenai tanah di belakang Mahisa Murti semula berpijak, maka telah terjadi ledakan. Tetapi ledakan itu tidak mengejutkan dan tidak sedahsyat ledakan pada saat Mahisa Murti melawan orang bertubuh kecil itu.

“Ilmunya belum terlalu mapan,” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Meskipun demikian Mahisa Murti sadar, bahwa jika serangan itu mengenainya, maka ia akan mengalami nasib yang buruk. Kulitnya tentu akan terkelupas se bagaimana jika kulitnya tersentuh api. Karena itu, maka Mahisa Murti itu pun harus selalu berhati-hati menghadapinya.

Sebagaimana terjadi pada Mahisa Murti, maka telah terjadi pula pada Mahisa Pukat. Mahisa Pukat juga merasakan bahwa tingkat ilmu lawannya masih berada dibawah ilmu orang bertubuh kecil yang pernah bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berdua. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat merasa bahwa jika ia tidak melakukan kesalahan, maka ia sendiri akan mampu mengimbangi lawannya itu.

Dengan hati-hati maka Mahisa Pukat telah meningkatkan serangan-serangannya. Tetapi Mahisa Pukat masih membatasi diri untuk tidak mempergunakan ilmu puncaknya yang memiliki daya penghancur yang sangat besar. Dalam keadaan terdesak, maka lawannya itu pun tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan kemampuannya yang jarang dimiliki oleh orang lain.

Dengan demikian maka sejenak kemudian tongkat lawan Mahisa Pukat itu pun mulai teracung. Sebagaimana lawan Mahisa Murti maka serangan-serangan yang meluncur dari ujung tongkat itu telah menyambar-nyambar. Namun juga seperti Mahisa Murti, Mahisa Pukat masih selalu mampu menghindarinya. Tetapi Mahisa Pukat tidak tergesa-gesa membalas serangan-serangan itu dengan paser-paser kecilnya. Tetapi ia masih mencoba melawan serangan-serangan itu dengan kecepatan geraknya.

Karena itulah maka setiap kali Mahisa Pukat berusaha untuk bertempur pada jarak yang dekat. Dengan demikian maka lawannya tidak sempat mengacungkan tongkatnya untuk melontarkan serangannya yang berbahaya itu. Setiap kali tongkatnya siap teracu, maka Mahisa Pukat dengan cepat menyerangnya sehingga lawannya itu harus menghindar atau menangkis serangan itu sebelum ujung tongkatnya sempat tepat mengarah kesasaran.

Ternyata Mahisa Pukat berhasil mengacaukan pemusatan serangan-serangan lawannya. Dengan demikian maka lawannya harus bekerja keras untuk mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Pukat.

Mahisa Agni masih juga bertempur melawan orang bertubuh kecil, saudara seperguruan tertua diantara orang-orang bertongkat itu. Namun orang itu tidak banyak dapat berbuat meskipun lawannya adalah orang yang sudah terlalu tua untuk turun ke medan.

Mahisa Agni ternyata berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya. Jika lawannya melepaskan serangan dengan ujung tongkatnya, maka seolah-olah tidak nampak oleh lawannya, kapan ia bergerak. Namun cahaya yang meluncur dari ujung tongkat itu sama sekali tidak mengenainya Orang kedua di antara orang-orang bertongkat itu pun sama sekali tidak berdaya menghadapi Witantra. Tetapi seperti Mahisa Agni, Witantra memberinya kesempatan untuk bermain-main.

Yang sungguh-sungguh bertempur dengan sengitnya adalah Mahendra dengan Kebo Sarik disamping Pangeran Singa Narpada melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Ternyata Kebo Sarik benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kekuatannya melampaui dugaan. Tenaga cadangannya ternyata sangat mengejutkan.

Namun Mahendra mampu berloncatan tidak kalah cepatnya. Dengan tangkas ia mampu menghindari setiap serangan. Bahkan pada saat-saat tertentu serangannyalah yang mengejutkan Kebo Sarik.

Semakin lama keduanya telah terlibat kedalam pertempuran yang semakin sengit. Keduanya berloncatan sambar menyambar. Mehendra yang meskipun sudah terhitung tua, tetapi ia adalah saudara seperguruan Witantra yang paling muda, masih memiliki gejolak yang bergelora di dalam dadanya. Karena ilulah, maka perlahan-lahan kemarahannya mulai terungkit ketika serangan lawannya mulai menyentuhnya.

Meskipun demikian Mahendra tidak pernah memandang lawannya dengan perasaannya yang buram. Meskipun ia mulai menjadi marah, tetapi ia masih tetap berusaha menguasai perasaannya, agar ia tidak terseret kedalam langkah-langkah yang tidak wajar. Pada saat-saat berikutnya, keduanya benar-benar bagaikan terlibat kedalam putaran angin pusaran. Semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga pertempuran itu tidak lagi nampak ujudnya.

Namun Mahendra yang memiliki landasan ilmu yang mapan sama sekali tidak merasa kebingungan. Apapun yang dilakukan oleh lawannya, tidak terlepas dari pengamatannya, sehingga karena itu, maka ia pun selalu mampu mengimbanginya.

Ketika Kebo Sarik dengan kemampuan ilmunya menyambar Mahendra dengan ayunan tangan mendatar, maka dengan loncatan kecil Mahendra tergeser surut. Tetapi tiba-tiba saja tubuhnya berputar dengan kaki mendatar menyambar lambung lawannya. Namun Kebo Sarik pun dengan sigapnya melenting selangkah surut. Bahkan tiba-tiba saja sambil merebahkan dirinya, kakinya telah menyambar kaki Mahendra yang menjadi tumpuan putarannya.

Mehendra terkejut. Namun kemampuannya yang tinggi, membuatnya tidak terjebak dalam kesulitan. Ia justru menjatuhkan diri dan berguling sekali. Bahkan kemudian ia pun telah melenting berdiri mendahului Kebo Sarik yang juga bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, hampir saja tangan Mahendra menyambar kening.

Tetapi Kebo Sarik yang merasa memiliki kekuatan yang sangat besar memang dengan sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin membentur langsung kekuatan Mahendra. Karena itu, Kebo Sarik telah menangkis serangan itu. Satu benturan yang keras telah terjadi. Kebo Sarik mengharap bahwa benturan itu akan mengecilkan hati Mahendra yang akan dapat mengukur kekuatannya.

Tetapi ternyata Kebo Sarik telah salah menilai. Mahendra tidak menyeringai, menahan sakit. Tetapi pada benturan itu justru Kebo Sarik merasa betapa besarnya tenaga Mahendra. Dengan demikian bukan Mahendra yang menjadi berkecil hati, tetapi justru Kebo Sarik lah yang menjadi marah. Ia merasa bahwa kekuatannya adalah kekuatan yang tidak ada bandingannya. Ternyata bahwa seseorang telah mampu mengimbanginya.

Dengan demikian maka Kebo Sarik itu pun telah mengerahkan kemampuan dan ilmunya untuk dapat menghancurkan Mahendra. Tetapi usahanya tidak segera dapat berhasil. Bahkan sekali-sekali ialah yang telah terdesak karena kecepatan gerak Mahendra.

Dalam pada itu, Mahisa Murti telah mendesak lawannya pula. Meskipun lawannya mampu juga melepaskan ilmunya, tetapi kekuatan ilmu itu masih belum mapan. Mahisa Murti masih mampu menghindari setiap serangan dan bahkan mempunyai kesempatan untuk menyerang kembali.

Ketika Mahisa Murti semakin mendesaknya, maka kesempatannya untuk melepaskan serangan ilmunya itu pun menjadi sempit. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah. Bagaimanapun juga jika serangan itu mengenainya, maka ia akan mengalami luka-luka yang dapat membahayakannya, karena selanjutnya, lawannya tentu akan mempergunakan kesempatan untuk menyerangnya terus.

Keadaan Mahisa Pukat pun berangsur semakin baik pula. Mahisa Pukat menekan lawannya semakin berat. Serangan-serangannya datang membadai. Sekali-sekali Mahisa Pukat memang harus berloncatan menghindar. Namun kemudian serangannya datang lagi bergulung-gulung sehingga sulit untuk dibendung.

Ketika lawannya melepaskan ilmunya mengarah ke dadanya, maka Mahisa Pukat pun sempat meloncat kesamping. Tetapi lawannya tidak membiarkannya. Demikian Mahisa Pukat tegak, maka sekali lagi serangan itu menyambarnya, sehingga Mahisa Pukat harus meloncat menghindar.

Dengan tangkasnya Mahisa Pukat melenting dan berputar sekali di udara. Ketika ia melekatkan kakinya di tanah, maka ia berada selangkah disamping lawannya. Demikian lawannya mengayunkan tongkatnya mendatar setinggi lambung, Mahisa Pukat telah menjatuhkan dirinya, sekaligus menjulurkan kakinya ke arah lutut lawannya.

Lawannya tidak sempat mengelak. Juga tidak sempat menangkis. Hal itu terjadi demikian cepatnya, sehingga karena lututnya yang dikenai serangan lawannya, maka orang itu bagaikan dihentakkan kesamping.

Untunglah bahwa orang itu pun memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Ketika ia jatuh menyamping maka ia masih mampu berputar sehingga tubuhnya tidak terbanting sebagaimana sebatang pisang yang roboh. Namun tubuh itu pun terguling beberapa kali sebelum kemudian melenting berdiri.

Namun demikian ia berdiri, maka tongkatnya pun telah mengarah ke tubuh lawannya dan ilmunya telah menyambar ke arah lawannya yang sudah siap pula menunggu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak terkejut lagi atas serangan itu. Dengan sigapnya ia telah bergeser menghindarinya dengan cepat. Bahkan dengan satu loncatan yang panjang justru mendekati tubuh lawannya.

Ketika lawannya berusaha bergeser, maka ketegangan telah mencengkamnya. Ternyata ia baru merasa bahwa lututnya yang dikenai serangan Mahisa Pukat itu terasa sakit. Perasaan sakit itu benar-benar telah mengganggunya. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali menahan rasa sakit itu. Apalagi serangan Mahisa Pukat pun telah datang membadai.

Dengan demikian maka Mahisa Pukat lah orang yang pertama-tama menguasai lawannya di antara mereka yang tengah bertempur itu. Dengan lutut yang sakit, maka lawannya tidak lagi dapat sepenuhnya mengerahkan kemampuannya. Setiap kali ia berusaha untuk meloncat menjauh. Jika ia mendapat kesempatan mengambil jarak, maka ia dapat menyerang dengan ujung tongkatnya yang melepaskan semacam cahaya yang mampu mengelupas kulit.

Saudara-saudara seperguruannya pun melihat keadaan itu. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Apalagi mereka yang bertempur melawan Mahisa Agni dan Witantra. Sedangkan yang bertempur melawan Mahisa Murti pun telah merasa bahwa ia menjadi semakin terdesak.

Yang masih bertempur dalam keadaan yang sebenarnya seimbang adalah Pangeran Singa Narpada dengan guru dari keempat orang bertongkat itu. Namun demikian, keadaan murid-muridnya sebenarnyalah telah mengganggu ketenangan pemusatan nalar budi orang itu. Ketajaman penglihatannya telah mengatakan kepadanya, bahwa tidak seorang dari keempat muridnya yang mampu mengatasi ilmu lawannya. Meskipun muridnya yang tertua, yang bertubuh kecil itu nampaknya seimbang dengan lawannya, namun gurunya itu mengerti, bahwa sebenarnya lawan muridnya itu hanya sekedar bergurau saja sebagaimana kata-kata dan tingkah lakunya sebelum pertempuran itu benar-benar dimulai.

Demikian pula muridnya yang kedua. Witantra tidak dengan sungguh-sungguh berusaha mengalahkan lawannya itu dengan cepat. Dibiarkannya lawannya mengerahkan segenap kemampuannya sehingga pada saatnya ia menjadi kelelahan. Sementara itu, kedua muridnya yang lain, yang bertempur dengan anak-anak yang masih terlalu muda itu, ternyata tidak juga mampu mengimbanginya.

Dengan demikian maka disamping lawannya yang memang berilmu tinggi, seorang Pangeran yang seakan-akan menjadi lambang kekuatan Kediri, maka orang itu pun telah menggelisahkan keadaan keempat muridnya pula. Bahkan ketika ia sempat serba sedikit memperhatikan Kebo Sarik, maka adik seperguruannya itu pun agaknya menghadapi lawan yang sangat berat pula. Bahkan sekali-sekali Kebo Sarik itu telah mulai terdesak.

Dengan demikian maka Kebo Sarik itu pun harus berjuang dengan segenap kemampuannya melawan Mahendra. Dikerahkannya segenap ilmunya, namun ternyata bahwa kemampuan Mahendra memang berada di atas kemampuannya. Karena itulah, maka akhirnya Kebo Sarik berusaha untuk mengatasi kesulitannya dengan senjata andalannya.

Ternyata Kebo Sarik tidak mempergunakan kemampuan ilmu sebagaimana dimiliki oleh perguruannya yang sudah diwarisi oleh orang-orang bertongkat itu. Ia sadar bahwa lawannya tentu mempunyai cara untuk melawannya. Karena itu, maka ia pun telah mempergunakan senjatanya yang khusus. Bahkan senjata kebanyakan sebagaimana dipergunakan dalam pertempuran, tetapi Kebo Sarik mempunyai senjata-senjata yang aneh.

Dalam keadaan yang paling sulit, maka tiba-tiba saja Kebo Sarik telah mengambil sesuatu dari kantong yang tergantung didalamnya. Satu di antara senjata-senjatanya yang tersimpan di dalam kantung itu. Dengan cepatnya Kebo Sarik telah melontarkan sesuatu ke arah Mahendra. Untunglah Mahendra cepat menanggapi keadaan. Karena itu, maka ia pun dengan tangkas mengelak. Tetapi senjata Kebo Sarik itu seolah-olah mampu menggeliat dan berbelok arah.

Mahendra harus meloncat sekali lagi dengan tergesa-gesa. Untunglah bahwa ia memiliki kemampuan bergerak cepat, sehingga senjata itu tidak menyentuhnya. Ketika senjata itu jatuh di tanah, maka sadarlah Mahendra, bahwa yang dilontarkan itu adalah seekor ular. Mahendra tidak sempat merenungi senjata yang aneh itu, karena ular itu seakan-akan tahu apa yang harus dilakukannya. Ular itu sempat meluncur dengan cepat ke arah Mahendra.

“Gila,” geram Mahendra, “senjata-senjata yang aneh itu memerlukan perlakuan khusus.”

Sebenarnyalah bahwa Mahendra memang harus melawan ular itu dengan cara yang khusus. Selain dengan kecepatan geraknya, maka ia harus berusaha untuk dapat membunuh ular itu. Sementara Mahendra harus memperhatikan ular yang tidak juga merayap pergi, maka Kebo Sarik pun telah menyerangnya pula dengan garang.

“Kau mempunyai cara yang aneh dalam perkelahian seperti ini,” berkata Mahendra.

“Kau akan mati dipatuk ular-ularku dengan racunnya yang paling ganas. Kau tidak akan dapat menghindarinya,” berkata Kebo Sarik.

Mahendra tidak menjawab. Ia harus menghindari serangan-serangan Kebo Sarik dan sekaligus menghindari patukan ular yang masih saja berada di arena itu dan menelusur ke mana saja ia bergeser.

Ternyata kecepatan gerak Mahendra masih mampu melawan serangan yang datang dari Kebo Sarik dan ularnya yang terlatih baik. Namun ketika Kebo Sarik melepaskan ular masih saja berada di arena itu dan ularnya yang lain, maka Mahendra pun telah menjadi kesulitan.

Dalam pada itu, yang terjadi dengan Mahendra itu tidak terlepas dari pengamatan kedua anak-anaknya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, “Apa yang terjadi ayah. Nampaknya ayah menghadapi cara yang licik.”

“Ular,” jawab Mahendra.

“O,” desis Mahisa Murti, “serahkan kepadaku.”

“Aku ikut,” berkata Mahisa Pukat pula.

Mahendra tidak menjawab. Sejenak ia berloncatan sambil berpikir. Ia tahu, bahwa kedua anaknya itu dapat membebaskan diri dari racun ular dan bisa yang betapapun tajamnya. Tetapi Mahendra masih juga harus berpikir, apakah kedua anak-anaknya itu akan mampu menghadapi ilmu Kebo Sarik.

Namun Mahendra pun kemudian mempercayakannya kepada ilmu yang telah diwariskannya. Dalam keadaan yang sulit, maka kedua anaknya akan dapat melepaskan ilmu pamungkasnya. Mungkin Kebo Sarik juga mempunyai tingkat kemampuan yang akan dapat melawan ilmu itu, tetapi anaknya berdua tentu memiliki paduan kekuatan yang luar biasa.

Karena itu, maka Mahendra pun kemudian memilih untuk memberikan kesempatan kepada kedua anaknya untuk menguji kemampuannya daripada mengambil alih penangkal racunnya, atau sampai pada puncak ilmu Bajra Geni dalam bentuk yang lunak.

Dengan demikian maka Mahendra pun kemudian berkata, “Baiklah. Cobalah kemampuan kalian menghadapi orang ini. Orang ini memiliki ilmu yang tinggi. Mungkin kalian akan dapat menghadapinya berdua.”

“Bagaimana dengan lawan-lawan kami?” bertanya Mahisa Murti.

“Lepaskan mereka,” jawab Mahendra, “tetapi jika kalian mengalami kesulitan atas Kerbau Gila ini, serahkan kembali kepadaku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah melepaskan lawan mereka kedua orang bertongkat. Mereka mula-mula berusaha untuk menahan kedua anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggiring lawan-lawannya mendekati arena perkelahian antara Mahendra dan Kebo Sarik.

Kemudian dengan cepat Mahendra meninggalkan lawannya dan arena yang ditelusuri oleh beberapa ekor ular yang ganas itu. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat mamasukinya.

“Gila,” geram Kebo Sarik, “kalian tentu mempunyai panangkal racun.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun keduanya telah mulai menyerang Kebo Sarik itu dengan garangnya. Pertempuran antara kedua orang anak muda melawan Kebo Sarik itu ternyata mempunyai warna yang lain dari sebelumnya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukan ular-ular yang menjalar di bawah kaki mereka. Jika ular itu menggigit, maka Mahisa Murti atau Mahisa Pukat hanya mengibaskannya. Atau mungkin memijit kepala ular itu sehingga diremukkannya. Dengan demikian maka senjata ular yang berbisa itu tidak mampu melindungi Kebo Sarik dari lawannya yang bergerak sangat cepat dan tangkas.

Tetapi Kebo Sarik tidak tertarik untuk mempergunakan ular-ularnya melawan kedua orang anak muda itu. Namun demikian ia sempat menggeram, “Pengecut. Kenapa orang itu lari?”

“Tidak,” jawab Mahisa Murti, “ia tidak lari. Ia hanya ingin memberikan kesempatan kepada kami berdua.”

“Omong kosong,” jawab Kebo Sarik, “orang itu tidak dapat melawan ular-ularku.”

“O,” Mahisa Murti menjawab sambil menyerang, “kau salah mengartikan langkahnya. Ia memang tidak dapat melawan ular-ularmu dengan cara yang wajar sebagaimana dilalukannya. Tetapi ia masih belum ingin melepaskan ilmunya yang tertinggi.”

“Jika demikian maka ia tentu tidak akan melarikan diri,” berkata Kebo Sarik.

Mahisa Pukat tidak berkata apapun juga. Tetapi serangannya datang membadai. Namun Kebo Sarik memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Itulah sebabnya, maka kedua anak muda itu harus mengerahkan segenap kemampuannya. Namun ternyata bahwa gabungan kekuatan dan ilmu Mahisa Murti dan mahisa Pukat mampu juga menggetarkan pertahanan Kebo Sarik.

Sementara itu, Mahendra sendiri tidak mengalami banyak kesukaran mengatasi kedua lawannya yang semula bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun kadang-kadang ia harus berloncatan menghindari serangan-serangan mereka yang seolah-olah meluncur dari ujung tongkatnya, namun yang terjadi sama sekali tidak membahayakan.

Namun dalam pada itu, seorang diantara orang-orang bertongkat itu bertanya kepadanya, “Kenapa kau lari he?”

“O,” Mahendra menarik serangannya, justru karena pertanyaan itu, “Baiklah kau mendengar jawabnya sebelum kau kehilangan kesadaranmu.”

“Persetan,” geram orang bertongkat itu, “kau terlalu menghina.”

“Maaf. Tetapi dengarlah. Aku tidak lari. Tetapi aku memang menghindarkan diri dari ular-ularnya agar aku tidak terpaksa melepaskan sesuatu yang tidak perlu, justru karena ada kedua orang anak muda itu,” jawabnya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan,” jawab orang bertongkat itu, sementara Mahendra harus menghindari serangan lawannya yang seorang lagi.

“O,” desis Mahendra, “jadi kau tidak juga mengerti? Baiklah. Aku akan menundjukkan serba sedikit, bahwa kau tidak akan dapat menundukkan lagi bahwa aku melarikan diri dari ular-ular itu.”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi kedua orang bertongkat itu telah menyerang bersama-sama. Semakin lama serangan itu datang semakin cepat, sementara Mahendra tidak lagi terlalu banyak menyerang. Hanya pada saat ilmu lawannya menyambarnya ia bergerak menghindar. Kedua lawannya mula-mula menjadi heran, bahwa orang tua itu tidak lagi terasa garang. Karena itu, maka justru keduanyalah yang telah menyerang Mahendra semakin berani.

Tetapi beberapa saai kemudian keduanya merasa sesuatu yang lain. Semakin sering mereka menyerang, maka rasa-rasanya sesuatu telah menyesakkan dada mereka. Bahkan mereka merasa seakan-akan mereka telah memasuki lingkaran panasnya api. Semakin lama semakin menyengat tubuh mereka.

Dengan demikian, maka keduanya telah bergeser menjauh. Keduanya tidak lagi dapat mendekati Mahendra. Setiap Mahendra bergeser, maka mereka pun harus bergeser pula. Bahkan jika mereka melontarkan serangan lewat ujung tombak mereka, maka cahaya yang meluncur dari ujung tongkat itu seakan-akan telah pecah ketika cahaya itu memasuki lingkaran tertentu di seputar Mahendra.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian udara panas itu bagaikan telah terhembus oleh angin dan hanyut tidak tentu arah. Kedua orang bertongkat itu termangu-mangu karenanya. Sementara itu Mahendra pun tersenyum. Katanya, “Nah, bukankah aku tidak seharusnya takut menghadapi ular-ular itu. Panas udara akan mengusir mereka dan tidak akan dapat menggigitku.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang diantara mereka bertanya, “Kenapa kau menghindari paman Kebo Sarik.”

Mahendra meloncat selangkah surut. Sambil tertawa ia berkata, “Ada dua alasan. Pertama aku ingin mencoba kemampuan kedua anah-anak itu. Kemudian, aku masih belum merasa perlu untuk mempergunakan ilmuku.”

Kedua orang bertongkat itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya telah menyerang bersama-sama dengan garangnya. Tetapi serangan-serangan itu tidak banyak menyulitkan Mahendra.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi kemampuan ilmu Kebo Sarik. Kedua anak muda itu pernah bertempur melawan orang bertongkat yang bertubuh kecil dan mengatasi ilmunya. Namun ternyata Kebo Sarik memiliki kelebihan.

Meskipun demikian kedua anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Mereka memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi raksasa dalam olah kanuragan itu. Keduanya memiliki kecepatan gerak sehingga berganti-ganti mereka menyerang dan menghindar.

Kebo Sarik yang menjadi semakin marah itu pun memutuskan untuk melawan kedua orang anak muda itu dengan ilmu yang diwarisinya dari perguruannya. Ilmu sebagaimana pernah ditunjukkan oleh orang bertongkat yang bertubuh kecil itu.

“Ular-ularku tidak berdaya atas kedua anak muda ini,” berkata Kebo Sarik di dalam hatinya, “karena itu, maka harus aku pergunakan cara yang lain.”

Sejenak kemudian, maka Kebo Sarik itu pun telah mengetrapkan ilmunya. Karena ia tidak membawa tongkat panjang, maka ia pun telah mempergunakan caranya sendiri untuk melepaskan kekuatan yang bagaikan meluncurnya cahaya yang menyilaukan itu. Pada saat-saat kedua anak muda itu menyerang bagaikan angin pusaran, maka Kebo Sarik itu telah mengacungkan ujung jarinya ke arah Mahisa Murti.

Untunglah bahwa Mahisa Murti cepat menanggapi keadaan. Ia segera mengerti bahwa dengan mengacungkan ujung jarinya ke arahnya, maka orang ku tentu akan menyerangnya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun dengan cepat telah meloncat menghindari arah ujung jari itu, sehingga dengan demikian maka ketika serangan Kebo Sarik meluncur, maka serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun sebongkah batu yang tersentuhnya, telah pecah bagaikan meledak.

“Luar biasa,” desis Mahisa Murti, “agaknya kekuatan ilmu itu melampaui ilmu orang bertubuh kecil itu.”

Namun Mahisa Murti tidak sempat berlama-lama mengagumi kemampuan lawannya, karena serangan berikutnya segera menyusul. Tetapi Kebo Sarik tidak sempat melontarkan serangan berikutnya, karena Mahisa Pukat telah menyerangnya dengan cepat dan tangkas.

Kebo Sarik terpaksa harus menghindari serangan itu. Karena itu maka Mahisa Murti mendapat kesempatan uniuk memperbaiki keadaannya. Mahisa Pukat yang tidak mengenal lawannya itu pun dengan cepat telah berputar dan serangannya datang sekali lagi mengarah ke lambung. Namun serangan itu pun tidak mengenainya. Bahkan Kebo Sarik yang bergeser masih sempat mengangkat jarinya dan menunjuk ke arah Mahisa Pukat.

Seperti Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun segera meloncat dan berguling sekali untuk menghindarkan diri. Sementara itu, Kebo Sarik yang gagal mengenai serangannya telah siap untuk menyerang kembali. Tetapi Mahisa Murti yang telah bersiap, mulai menyerang pula. Kebo Sariklah yang kemudian meloncat menghindar.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin cepat. Tetapi mereka pun akhirnya menjadi kesulitan melawan serangan-serangan Kebo Sarik yang semakin cepat dan terarah. Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan senjata mereka yang telah berhasil mengalahkan orang bertubuh kecil itu.

Baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat itu pun kemudian telah mempergunakan paser-paser kecil mereka. Untuk mengurangi serangan lawannya, maka keduanya telah melontarkan serangan-serangan dari jarak tertentu sebagaimana dilakukan oleh Kebo Sarik.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Kebo Sarik tertawa. Katanya, “Aku adalah orang yang terbiasa bermain-main dengan ular. Kalian tentu mengerti, bahwa aku tentu yakin akan diriku sendiri bahwa bisa ular dan bahkan segala macam racun itu tidak akan dapat membunuhku. Nah, bukahkah senjata-senjata kecilmu itu tentu beracun?”

“Gila,” geram Mahisa Pukat.

Namun Mahisa Murti berkata, “Baiklah. Katakan bahwa kau tidak lagi dapat dibunuh dengan racun, karena kau kebal racun. Tetapi paser-paserku ini jika mengenai bagian-bagian tubuhmu yang lemah, meskipun racunnya tidak berpengaruh, tetapi ada pengaruh yang lain.”

“Apa artinya jarum-jarum kecil itu jika bukan karena racunnya?” bertanya Kebo Sarik.

“Kami adalah pembidik-pembidik yang baik. Kami tentu akan dapat membidik ke arah mata atau telinga atau bagian-bagian tubuh yang lain yang lemah. Bahkan seandainya jarum-jarum kami mengenai bagian-bagian tubuhmu yang lain pun tentu akan berpengaruh, karena jarumku akan menusuk sampai ketulang,” berkata Mahisa Pukat.

Kebo Sarik tidak menjawab. Beberapa kali ia harus berloncatan menghindar. Desing paser-paser kecil itu memang menunjukkan kepadanya, bahwa paser-paser itu dilontarkan dengan kuatnya yang sangat besar. Karena itu, maka jika paser itu benar-benar mengenai matanya atau telinganya, bahkan bagian-bagian tubuhnya yang lain, meskipun bukan karena racunnya. Namun tusukan jarum benar-benar akan menembus sampai ketulang. Karena itu, maka Kebo Sarik selalu berusaha untuk menghindar. Namun sementara itu, sekali-sekali serangan Kebo Sarik pun masih juga menyambar-nyambar.

Mahendra sekali-sekali sempat memperhatikan kedua anaknya. Ternyata bahwa ia masih dapat menahan diri untuk tidak merasa sangat cemas.

Sementara itu, maka Mahisa Agni dan Witantra agaknya sudah mulai jemu dengan permainan itu. Orang-orang tua itu memang sudah tidak mempunyai kemauan sebagaimana mereka masih muda untuk bermain-main di medan. Pada masa-masa muda mereka akan membiarkan lawan-lawan mereka kehabisan nafas dan kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu meskipun akan memerlukan waktu yang cukup lama. Tetapi ketika umur mereka menjadi semakin tua, maka rasa-rasanya tidak pantas lagi mempermainkan lawan dan membiarkan mereka terkapar karena kehabisan tenaga.

Karena itu, maka baik Mahisa Agni maupun Witantra berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran itu. Bagi keduanya sama sekali bukan merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Ketika keduanya memang menghendaki, maka dengan cepat mereka pun telah berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Meskipun lawan-lawan mereka termasuk orang-orang yang berilmu tinggi, karena mereka adalah murid-murid tertentu dan terpercaya, namun Mahisa Agni dan Witantra adalah perbendaharaan ilmu dan pengalaman yang sangat luas.

Dengan menyalurkan kemampuan mereka, maka dengan cepat Mahisa Agni dan Witantra berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Kemana lawan-lawan mereka meloncat, mereka telah menghadapi, serangan-serangan yang menekan. Meskipun lawan-lawan Mahisa Agni dan Witantra itu masih juga melepaskan serangan-serangan mereka dengan lontaran semacam cahaya yang mampu membakar tubuh, namun serangan-serangan itu tidak banyak memberikan arti. Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, orang-orang bertongkat itu benar-benar berada didalam kesulitan.

Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu masih mencoba untuk memberikan perlawanan lebih banyak lagi. Dengan mempergunakan kecepatan gerak ia mencoba untuk menembus pertahanan lawannya. Namun usahanya itu sia-sia. Orang-orang tua itu ternyata memiliki pengamatan yang sangat luas terhadap olah kanuragan, sehingga seakan-akan apa yang akan dilakukannya telah dapat ditebak lebih dahulu.

Dengan demikian, maka kedua orang tua itu telah memberikan tekanan yang semakin lama semakin berat. Bahkan kemudian baik Mahisa Agni maupun Witantra telah mulai menekan mereka dengan sungguh-sungguh dan bahkan keduanya mulai menyentuh kedua orang bertongkat itu.

Sebenarnyalah kedua orang bertongkat itu memang harus mengakui bahwa kedua orang tua adalah orang-orang terkuat didalam dunia olah kanuragan. Kedua orang bertongkat itu tidak dapat mengatakan, siapakah yang lebih baik. Orang-orang itu atau gurunya. Bahkan menilik sikap dan geraknya yang mantap dan penuh dengan tenaga, sehingga meskipun ayunan tangan mereka tidak menyentuh tubuh orang bertongkat itu, namun terasa angin bagaikan bertiup dengan kencangnya.

Orang bertongkat yang bertubuh kecil itu pun kemudian berkata di dalam hatinya, “Kedua anak muda itu tentu murid dari orang-orang tua yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu. Karena itu, maka mereka mampu melawan paman Kebo Sarik. Bahkan hanya sekedar melawanku beberapa saat yang lampau.”

Dengan demikian maka orang-orang bertongkat itu suda dah tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, maka rasa rasanya mereka telah menjadi putus asa dan bertempur dengan menghentakkan kemampuan mereka.

Namun yang mereka lakukan itu tidak berarti lagi. Semakin sering mereka melepaskan serangan dengan hentakkar ilmu puncak mereka, maka mereka telah melepaskan pula bagian dari tenaga mereka, sehingga dengan demikian maka mereka pun bertambah lemah karenanya.

Sebenarnyalah bahwa kemampuan dan kekuatan mereka bukannya tidak terbatas. Dasar kekuatan wadag mereka, landasan ilmu serta perbendaharaan pengalaman mereka merupakan unsur dari seluruh kemampuan mereka. Ketika mereka sudah sampai kebatas kemampuan, maka mereka yakin, bahwa mereka telah tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menghadapi orang-orang tua itu.

Dalam kesulitan itu, maka ada sepercik niat mereka untuk melepaskan diri dari pertempuran itu. Namun mereka pun yakin bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat mereka lakukan. Kedua orang tua itu tentu akan dengan mudah menghalau usaha mereka melarikan diri.

“Tidak ada kemungkinan lain,” berkata orang-orang bertongkat itu, “Batas terakhir dari langkah seorang laki-laki adalah kematian. Aku tidak peduli lagi terhadap kematian.”

Dengan demikian maka orang bertubuh kecil itu pun kemudian telah menghentakkan segenap kemampuan dan ilmunya. Meskipun ia sadar, setiap kali ia melepaskan serangan dengan ilmu puncaknya maka berarti bahwa simpanan tenaganya menjadi susut sehingga terakhir ia akan sampai kebatas.

Namun Mahisa Agni dan Witantra tidak menunggu. Merekalah yang kemudian menguasai medan. Serangan-serangan orang-orang tua itu datang semakin cepat dan sekali-sekali menyentuh sasaran. Dengan demikian maka keduanya telah mendorong orang-orang bertongkat itu memaksa diri dengan mengerahkan kemampuan dan ilmu mereka, sehingga beberapa saat kemudian, orang-orang bertongkat itu pun telah menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya nafas mereka akan terputus di tengah dan tulang-tulang mereka pun menjadi lemah dan tidak berdaya.

Itulah sebabnya, maka sentuhan serangan Mahisa Agni dan Witantra dengan mudah telah mendorong mereka jatuh berguling-guling. Bahkan ketika mereka akan bangkit kembali, terasa urat nadi mereka tidak lagi dapat bekerja dengan wajar.

Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra dengan cepat telah mengakhiri perlawanan orang-orang bertongkat itu. Pukulan mereka pada sasaran tertentu telah membuat lawan-lawan mereka kehilangan kesempatan untuk meneruskan perlawanannya.

Orang yang bertubuh kecil itu telah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Kemudian rasa-rasanya malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang nampak menjadi kuning pudar, sehingga akhirnya semuanya menjadi hilang. Ternyata orang bertubuh kecil itu menjadi pingsan.

Sementara itu lawan Witantra pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Pukulan Witantra membuat tangannya bagaikan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi. Bahkan ketika ia memikirkan kemungkinan untuk lari, kakinya pun terasa menjadi sangat berat. Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Bahkan oleh perasaan sakit maka orang-orang bertongkat itu rasa-rasanya tidak mampu lagi berbuat apa-apa meskipun ia tidak menjadi pingsan seperti saudara seperguruannya.

Sementara itu dua orang bertongkat yang lain masih bertempur melawan Mahendra. Meskipun mereka berdua, tetapi dengan bekal yang ada pada mereka, maka keduanya agaknya sama sekali lidak mampu mengimbangi lawannya. Mahendra mampu berbuat apa saja untuk mengatasinya ilmu kedua orang bertongkat itu. Bahkan kedua orang bertongkat itu menyadari, bahwa Mahendra masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya yang baru diperlihatkan sebagian.

Meskipun demikian, kedua lawannya masih bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Dengan ujung tongkat mereka, keduanya menyerang Mahendra beruntun, ganti berganti, meskipun serangan mereka tidak pernah memberikan arti apapun juga, bahkan serangan puncak kemampuan mereka yang bagaikan cahaya itu. Bahkan semakin lama perlawanan keduanya menjadi semakin lemah.

Berbeda dengan mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan landasan ilmu yang telah mereka warisi dari ayahnya, serta pengalaman yang semakin berkembang, maka ilmu mereka pun menjadi semakin mantap dan matang. Seakan-akan dari hari ke hari ilmu kedua anak muda itu menjadi semakin meningkat.

Pada saat-saat ia bertempur melawan Kebo Sarik, tanpa mereka sadari, keduanya telah mematangkan ilmu mereka pula. Serangan-serangan yang berat yang terlontar dari Kebo Sarik yang memiliki kekuatan yang sangat besar, serta ilmunya yang menggetarkan telah memaksa kedua anak muda itu mengembangkan ilmu dan kemampuannya.

Dengan demikian maka pertempuran antara Kebo Sarik melawan Mahisa Murti dan Mahisa, Pukat semakin lama justru menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah memiliki bekal yang cukup itu ternyata mampu mengembangkan ilmu mereka, justru pada saat-saat yang gawat.

Kebo Sarik yang sudah memiliki pengalaman yang sangat luas itu merasa heran atas kemajuan kedua anak yang dianggapnya masih terlalu muda itu. Betapapun ia meningkatkan ilmunya, namun kedua anak muda itu dengan rapi mampu melawannya berpasangan. Apalagi keduanya ternyata benar-benar kebal racun dari bisa ular yang sangat tajam sebagaimana ular-ularnya.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih mempergunakan paser-paser kecilnya untuk mengimbangi serangan-serangan ilmu Kebo Sarik dari jarak tertentu. Meskipun demikian, keduanya sadar, bahwa racun-racun pasernya tidak akan mampu melumpuhkan lawannya. Dengan demikian maka keduanya berusaha untuk mengenai Kebo Sarik pada bagian-bagian tubuhnya yang lemah.

Dibagian lain, Pangeran Singa Narpada masih bertempur melawan guru dari orang-orang bertongkat itu. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Guru dari orang-orang bertongkat itu mampu menyerang Pangeran Singa Narpada dengan mengembangkan telapak tangannya. Cahaya yang meloncat dari ujung-ujung tongkat sebagaimana dilakukan oleh murid-muridnya seolah-olah dapat meluncur dari telapak tangannya yang dikembangkan.

Serangan-serangan itu sangat berbahaya, karena sentuhan-sentuhannya pada bebatuan, cabang pepohonan dan bahkan tanah tempat Pangeran Singa Narpada berpijak, bagaikan meledak karenanya. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada harus mengatasinya dengan kecepatan gerak. Bahkan sekali-sekali Pangeran Singa Narpada masih mampu meloncat mendekat dan menyerang lawannya.

Gerak yang sangat cepat dan tiba-tiba, memang kadang-kadang mengejutkan, sehingga sekali-sekali serangan itu mampu menyentuh tubuhnya. Tetapi sentuhan itu sama sekali tidak menyakitinya. Bahkan guru dari keempat orang bertongkat itu mengabaikan sentuhan-sentuhan yang dianggapnya tidak berarti itu.

Meskipun demikian kemarahan guru orang-orang bertongkat itu bagaikan membakar jantungnya ketika ia melihat keadaan murid-muridnya, bahkan karena Kebo Sarik juga tidak segera mengalahkan kedua lawannya yang masih terlalu muda itu. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk dengan cepat mengalahkan lawannya. Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian maka ia akan dapat banyak berbuat bagi murid-muridnya.

Namun Pangeran Singa Narpada pun telah meningkatkan kemampuannya. Untuk melawan lawannya. Pangeran Singa Narpada lebih banyak bertumpu pada kecepatan geraknya. Ketika tangan Pangeran Singa Narpada mengenai pundak lawannya tanpa menimbulkan rasa sakit, lawannya menggeram, “Buat apa kau menggamit aku?”

Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia justru menghindari serangan lawannya yang menyambarnya. Meskipun serangan itu tidak mengenainya, tetapi udara panas bagaikan menyengatnya, karena Pangeran Singa Narpada tidak cukup jauh menghindar. Namun sekali lagi dengan loncatan panjang ia berhasil mendekati lawannya dan kakinya yang terjulur sempat menggapai lambung. Tetapi serangan kaki itu sama sekali tidak membuat lawannya merasa sakit, karena sentuhan itu memang tidak terlalu keras, sementara itu, daya tahan guru orang-orang bertongkat itu memang tinggi.

Namun demikian sekali lagi Pangeran Singa Narpada menyerang. Ia telah berputar bertumpu pada sebelah tumitnya, sementara kakinya yang lain terayun dengan derasnya. Ketika kaki itu hampir mengenai perut lawannya, maka lawannya itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan lawannya itu telah memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu dengan sikunya.

Terjadi benturan yang keras. Namun Pangeran Singa Narpada lah yang terpaksa bergeser selangkah surut, sementara lawannya tetap berada ditempatnya. Guru dari orang-orang bertongkat itu pun merasa, bahwa ia memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa cemas lagi jika serangan-serangan Pangeran Singa Narpada yang datang dengan cepat, tetapi tidak menyakitinya.

Perasaan itulah yang membuat orang itu menjadi lengah. Pada saat-saat ia berusaha memaksakan kemenangannya, karena ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran untuk menolong murid-muridnya, maka ia tidak lagi berusaha menghindari serangan-serangan Pangeran Singa Narpada. Dengan mengerahkan daya tahannya, ia telah menangkis hampir semua serangan.

Sementara itu serangan-serangannya sendiri masih belum juga berhasil mengenai lawannya, meskipun kadang-kadang sentuhan udara yang panas karena ilmu orang itu pun telah terasa oleh Pangeran Singa Narpada. Namun dalam pada itu, datanglah saat-saat yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh lawan Pangeran Singa Narpada itu. Ketika Pangeran Singa Narpada mulai mengerahkan ilmunya, maka perlahan-lahan namun pasti, ia akan mampu menguasai lawannya.

Dalam setiap sentuhan, maka seakan-akan Pangeran Singa Narpada telah menghisap sebagian kekuatan lawannya. Sedikit demi sedikit, tanpa terasa. Namun beberapa saat kemudian, maka lawan Pangeran Singa Narpada itu mulai merasa satu kelainan didalam dirinya.

Ketika ia melepaskan serangannya, maka ia merasa bahwa serangannya tidak lagi terasa mantap. Ledakan yang terjadi tidak lagi menghentak, dan mengejutkan. Apalagi ketika ia mencoba bertahan dengan menangkis serangan Pangeran Singa Narpada. Rasa-rasanya tenaganya menjadi semakin lemah.

Sepercik pertanyaan telah menyentuh hati guru dari orang-orang bertongkat itu. Beberapa kali ia mencoba membentur kekuatan Pangeran Singa Narpada. Namun tiba-tiba saja orang itu berteriak, “Licik kau Pangeran. Kau mempergunakan ilmu yang tidak pantas dipergunakan dalam pertempuran antara laki-laki jantan. Kau berlaku sebagai seorang pencuri yang dengan bersembunyi-sembunyi telah mencuri kekuatannya.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Seperti Ki Ajar Bomantara, maka orang ini pun menganggapnya licik. “Apakah benar aku telah bertempur dengan licik?” pertanyaan itu pun terasa mengganggu sekali didalam jantung Pangeran Singa Narpada.

Dalam pada itu, ketika Pangeran Singa Narpada sedang dicengkam oleh keragu-raguan, maka sebuah serangan telah menyambarnya. Pangeran Singa Narpada terkejut. Meskipun ia sempat mengelak, tetapi serangan itu telah menyentuh kulitnya.

Pangeran Singa Narpada bagaikan terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Untunglah ia sempat mengelak ketika serangan berikutnya menyambarnya, sehingga tanah tempat ia berguling itulah yang bagaikan telah meledak, meskipun ledakannya tidak lagi sedahsyat pada saat-saat ilmu itu mulai ditrapkan.

Sambil melenting Pangeran Singa Narpada telah menyerang lawannya. Guru dari orang-orang bertongkat itu-pun segera menghindarinya. Ia tidak lagi mau terjebak dalam hisapan kekuatan oleh ilmu Pangeran Singa Narpada. Tetapi gerak Pangeran Singa Narpada demikian cepatnya. Demikian lawannya mengelak, maka ia pun lelah memburunya, sehingga tangannya berhasil menyentuh pundak guru dari orang-orang bertongkat itu. Sentuhan itu memang tidak menyakiti. Tetapi dengan demikian selapis lagi kekuatannya telah terhisap.

“Gila,” geram orang itu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah melibatnya bagaikan angin pusaran. Lawannya tidak mampu mengelakkan diri sepenuhnya. Beberapa kali Pangeran Singa Narpada berhasil menyentuhnya, sehingga lawannya telah kehilangan beberapa lapis lagi kekuatannya. Namun demikian, lawannya telah berhasil pula mengenai lengan Pangeran Singa Narpada telah terpental dan jatuh berguling di tanah.

Perasaan sakit yang luar biasa telah menyengat tubuhnya. Lengannya bagaikan terbakar, sementara kulitnya terasa telah terkelupas. Meskipun demikian, Pangeran Singa Narpada masih melihat serangan berikutnya yang datang ke arahnya, sehingga sambil menyeringai ia masih sempat meloncat menghindar. Sejenak kemudian, betapapun perasaan sakit membakar lengannya, namun ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu nampaknya menjadi semakin cepat. Tetapi tenaga dan kemampuan mereka sebenarnya telah jauh susut, sehingga setiap serangan rasa-rasanya tidak terasa menggetarkan lagi. Meskipun demikian, luka di lengan Pangeran Singa Narpada terasa bagaikan menggigit sampai ketulang.

Yang terjadi selanjutnya adalah serangan silih berganti yang tidak dapat, dihindari seluruhnya oleh kedua belah pihak, sehingga karena itu, maka tenaga dan kemampuan guru dari orang-orang bertongkat itu pun menjadi semakin susut, sementara tubuh Pangeran Singa Narpada pun semakin banyak terluka oleh sentuhan ilmu Pamungkas lawannya.

Namun beberapa saat kemudian, maka lawan Pangeran Singa Narpada itu benar-benar sudah kehabisan tenaga. Ketika ia berusaha menghentakkan sisa tenaganya, maka tidak ada lagi yang dapat memancar dari telapak tangannya. Bahkan seakan-akan segenap tenaganya telah terperas habis.

Karena itu, ketika dengan tenaga yang sudah menjadi semakin lemah, Pangeran Singa Narpada menyerangnya, maka rasa-rasanya tubuh guru dari orang-orang bertongkat itu bagaikan tertimpa segerobag batu hitam. Dadanya bagaikan pecah dan nafasnya pun menjadi terengah-engah. Sehingga sejenak kemudian, maka orang itu pun telah terbaring diam.

Namun Pangeran Singa Narpada seakan-akan telah menghentakkan ilmunya yang tersisa. Karena itu, demikian ia mengenai lawannya, maka ia pun terhuyung-huyung dan jatuh di sebelah lawannya terbaring.

Mahisa Agni dan Witantra yang telah kehilangan lawannya itu pun dengan cepat memburunya. Tetapi mereka tidak sempat menangkap tubuh yang terjatuh itu. Namun Mahisa Agni itu pun berdesis, “Masih ada tarikan nafasnya.”

Witantra lah yang kemudian duduk di sisinya. Di letakkannya tangannya pada dada Pangeran Singa Narpada yang terbaring diam menelentang. Sementara Mahisa Agni menungguinya dengan hati-hati karena kemungkinan yang lain akan dapat terjadi.

Perlahan-lahan terasa nafas Pangeran Singa Narpada mengalir kembali dengan wajar. Darahnya yang bagaikan terhenti pun telah menelusuri urat-uratnya, sedangkan jantungnya berdetak sebagaimana seharusnya.

Mahisa Agni yang melihat keadaan Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba kakinya, maka terasa tubuh itu menjadi semakin hangat kembali. Karena itu ia yakin bahwa keadaan Pangeran Singa Narpada akan berangsur baik, meskipun luka-lukanya harus mendapatkan pengobatan yang khusus.

Pada saat yang demikian, ternyata Mahendra telah menyelesaikan kedua lawannya pula. Tetapi ternyata tidak terlalu mudah sebagaimana diduga sebelumnya. Pada saat-saat yang sangat gawat, kedua orang itu bagaikan menjadi liar, sehingga agak sulit bagi Mahendra untuk menguasainya. Serangan-serangan mereka justru menjadi lebih cepat dan keras.

Karena itu, Mahendra terpaksa mempergunakan ilmu Bajra Geni dalam bentuk yang lunak, sehingga udara yang panas bertebaran di seputarnya. Dengan demikian, maka kedua orang lawannya itu tidak dapat mengenainya dengan serangan-serangannya yang berbahaya. Cahaya yang meluncur dari ujung tongkat mereka, seakan-akan telah membentur lingkaran yang melindunginya. Serangan itu seakan-akan telah pecah dan hancur sebelum menyentuh Mahendra yang berlindung dibalik kekuatan ilmunya. Pada saat-saat yang demikian maka Mahendra telah melumpuhkan kedua lawannya, sehingga keduanya menjadi tidak berdaya.

Berbeda dengan kedua orang bertongkat maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan ilmu mereka pula, namun dalam keadaan yang lebih baik. Setiap kali mereka mampu mengimbangi ilmu Kebo Sarik dengan lontaran-lontaran paser-paser kecil yang dibidikkan ke arah bagian-bagian tubuhnya yang lemah.

Namun jumlah paser-paser mereka pun terbatas. Pada suatu saat paser-paser itu akan habis. Jika demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka meskipun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membicarakannya, tetapi dengan isyarat keduanya mengerti bahwa keduanya harus mempergunakan kesempatan bergantian.

Demikianlah, pada saat-saat Kebo Sarik berusaha untuk menekan kedua anak muda itu, agar mereka kehilangan kesempatan untuk berbuat lebih banyak, bahkan agar paser-paser kecil mereka tidak sempat mencari sasaran, maka kedua anak muda itu telah sampai ke puncak ilmu mereka.

Ketika Mahisa Murti berhasil memancing perhatian Kebo Sarik sepenuhnya dengan melontarkan sisa-sisa pasernya beruntun, maka Mahisa Pukat sempat membangunkan ilmu pamungkasnya. Dengan landasan ilmu puncaknya didasari dengan kekuatan tenaga cadangannya, maka Mahisa Pukat telah meloncat menyerang Kebo Sarik.

Kebo Sarik sempat melihat serangan itu. Demikian cepatnya justru pada saat ia berusaha menghindari serangan paser kecil yang mengarah ke lehernya. Karena itu, maka Kebo Sarik tidak sempat berbuat banyak. Serangan itu demikian cepat datang. Namun Kebo Sarik masih sempat menghentakkan daya tahan tubuhnya untuk melawan serangan yang mengejutkan itu.

Sejenak kemudian maka telah terjadi benturan yang menggetarkan. Kekuatan ilmu puncak Mahisa Pukat yang diwarisinya dari ayahnya, telah membentur kekuatan daya tahan seorang Kebo Sarik yang memiliki ilmu yang tinggi pengalaman yang luas dalam olah kanuragan.

Akibat benturan itu memang dahsyat sekali. Kebo Sarik telah terdorong beberapa langkah surut. Namun ternyata bahwa Kebo Sarik masih tetap mampu memelihara keseimbangannya. Bahkan sejenak kemudian ia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin dapat terjadi.

Sementara itu, Mahisa Pukat telah membentur kekuatan yang tidak dapat dikoyak dengan ilmu puncaknya. Justru Mahisa Pukat seakan-akan telah terpental karena kekuatan sendiri. Beberapa langkah ia terlempar dan bahkan jatuh berguling. Terasa tulang-tulang Mahisa Pukat bagaikan retak. Namun ia masih berpikir jernih. Ia justru berguling menjauhi lawannya beberapa langkah untuk mengambil jarak.

Ketika Kebo Sarik siap meloncat menerkamnya, maka Mahisa Murti pun telah bersiap pula. Namun ternyata bahwa Kebo Sarik mengurungkan niatnya. Ternyata bahwa dalam benturan yang terjadi, meskipun ia masih tetap mampu bertahan dan menjaga keseimbangannya, namun terasa dadanya menjadi sakit. Ketika ia berusaha untuk menghentakkan kekuatannya, barulah ia merasa bahwa sesuatu telah terjadi di dalam dirinya dalam benturan yang dahsyat itu.

Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya. Justru ia telah bergeser surut beberapa langkah. Sejenak ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya dengan menarik nafas dalam-dalam.

Mahisa Murti tidak tergesa-gesa menyerangnya. Ia justru bersiaga menghadapi segala kemungkinan jika orang itu dengan tiba-tiba telah menyerang Mahisa Pukat yang dengan sedikit kesulitan bangkit dan duduk sejenak. Beberapa kali ia sempat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata tubuhnya menjadi sedikit segar sehingga dengan demikian, maka ia pun segera bangkit berdiri. Dikembangkannya tangannya sambil menarik nafas beberapa kali sehingga terasa dadanya menjadi semakin longgar.

Sejenak kemudian, maka keadaan Mahisa Pukat itu pun telah berangsur baik. Meskipun ia masih merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya justru karena kekuatannya sendiri seakan-akan telah memental ketika ia membentur kekuatan lawannya, namun Mahisa Pukat pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan pula.

Kebo Sarik menggeram ketika ia melihat Mahisa Pukat telah bersiap pula. Dengan suara berat ia bergumam, “Setan. Ternyata kau tidak mati karena ilmumu sendiri.”

Mahisa Pukat menarik nafas pula sambil berkata, “Kita sama-sama mengalami akibat. Aku tidak ingkar, bahwa keadaanku mungkin lebih parah dari keadaanmu. Tetapi aku pun telah bersiap untuk bertempur.”

Kebo Sarik memandang anak muda itu dengan mata yang menyala. Namun tiba-tiba saja ia telah menyerang Mahisa Pukat dengan ilmunya. Mahisa Pukat yang melihat gerak Kebo Sarik itu sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, betapapun tubuhnya terasa sakit, namun ia telah berusaha untuk meloncat menghidar.

Kebo Sarik yang melihat keadaan Mahisa Pukat, maka ia pun berusaha untuk menghancurkannya sama sekali. Selagi ia masih sempat. Tetapi ketika Kebo Sarik siap untuk melontarkan ilmunya, maka paser kecil telah meluncur dari tangan Mahisa Murti, tepat mengarah ke wajahnya. Karena itulah, maka ia telah mengurungkan niatnya dan berusaha mengelakan serangan Mahisa Murti itu.

Pada saat yang demikian di dadanya terasa lagi seakan-akan telah terdapat luka yang menggigit di bagian dalam. Namun Kebo Sarik itu sempat menghindari serangan Mahisa Murti. Bahkan ia pun telah siap pula untuk menyerangnya.

Pada saat yang demikian Mahisa Pukat telah bersiap sepenuhnya. Ia berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya, sehingga seakan-akan ia benar-benar telah pulih kembali. Dengan garangnya Mahisa Pukat pun kemudian telah berusaha untuk meloncat menyerang. Tetapi justru Kebo Sarik lah yang menyongsongnya dengan lontaran ilmunya.

Dengan menggigit bibirnya untuk menahan sakit Mahisa Pukat telah menggeliat menghindari serangan itu. Tetapi ternyata bahwa sambil menghindar ia sempat mengambil sebuah paser kecil dan sekaligus melemparkannya ke arah jantung Kebo Sarik.

Kebo Sarik menyadari kekuatan lemparan lawannya yang masih muda itu. Paser itu akan dapat menyusup kulit dagingnya sampai menyentuh jantung. Karena itulah, maka Kebo Sariklah yang kemudian berusaha untuk menghindar. Namun pada saat yang demikian, diluar perhitungan Kebo Sarik, maka Mahisa Murti lah yang kemudian meloncat menyerang dengan ilmu puncaknya pula, sebagaimana Mahisa Pukat.

Sekali lagi Kebo Sarik tersudut untuk menangkis serangan itu karena ia sama sekali sudah tidak sempat lagi mengenai. Sekali lagi telah terjadi benturan yang dahsyat. Mahisa Murti dengan kekuatan puncaknya telah membentur Kebo Sarik yang tengah bertahan dengan mengerahkan daya tahannya.

Sebenarnyalah bahwa telah terdapat bibit luka di dalam dada Kebo Sarik. Ketika sekali lagi ia harus berbenturan ilmu dengan anak muda itu maka jantungnya telah benar-benar terguncang sehingga karena itu, maka Kebo Sarik tidak lagi mampu menahan serangan itu sebagaimana dilakukan atas serangan Mahisa Pukat.

Dengan demikian, maka dada Kebo Sarik itu benar-benar bagaikan pecah. Ia telah terdorong beberapa langkah surut. Ternyata bahwa dalam keadaannya, Kebo Sarik tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka ia pun kemudian terjatuh berguling. Namun dengan susah payah Kebo Sarik itu berusaha untuk bangkit kembali dengan berdiri tegak untuk menanti kemungkinan yang bakal terjadi kemudian.

Sementara itu, Mahisa Murti pun telah terpental dan jatuh pula berguling. Tetapi seperti Kebo Sarik, maka Mahisa Murti pun kemudian telah tegak kembali. Namun betapa perasaan sakit telah menyengat bagian dalam dadanya. Sejenak Mahisa Murti berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya. Dengan mengerahkan daya tahannya, maka Mahisa Murti telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak ketiga orang yang berada di arena itu justru bagaikan membeku. Ketiga-tiganya sudah terluka dibagian dalamnya, sehingga karena itu, maka mereka pun telah menjadi semakin berhati-hati.

Ternyata bahwa Kebo Sarik masih dibakar oleh keinginannya untuk membinasakan kedua lawannya yang masih sangat muda itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun telah menghentakkan ilmunya pula menyerang Mahisa Murti dari tempatnya dengan mengembangkan telapak tangannya.

Mahisa Murti yang masih berusaha menahan rasa sakitnya mengumpat didalam hati. Ia pun harus mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk menghindari serangan itu. Hampir saja Mahisa Murti terlambat karena hambatan dari dalam dirinya. Namun ternyata bahwa ia masih mampu melepaskan diri dari sentuhan ilmu itu.

Sebenarnyalah bahwa serangan Kebo Sarik itu pun sudah tidak lagi sedahsyat sebelumnya. Tenaga dorong atas ilmunya itu memang sudah berkurang, sehingga lontaran ilmunya telah susut pula. Ketika Kebo Sarik akan mengulangi serangannya, maka Mahisa Pukat berusaha untuk mencegahnya. Dengan cepatnya, Mahisa Pukat telah melontarkan pasernya sekali lagi mengarah Kebo Sarik.

Kebo Sarik lah yang kemudian harus menghindar. Tetapi ketika ia meloncat, maka ia pun telah menyeringai menahan sakit di dalam dadanya. Rasa-rasanya jantungnya akan terlepas dari tangkainya.

Mahisa Pukat melihat keadaan Kebo Sarik. Sejenak telah timbul keraguan di dalam hatinya, karena keadaan tubuhnya sendiri yang terluka di dalam. Namun Mahisa Pukat tidak mau melepaskan kesempatan, ia memaksa diri dengan mengerahkan kemampuan, tenaga dan pemusatan nalar dan budinya, maka Mahisa Pukat telah meloncat menyerang Kebo Sarik dengan segenap kekuatan yang masih tersisa dalam puncak ilmunya.

Kebo Sarik terkejut melihat serangan itu. Tetapi ia tidak sempat mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah sekali lagi menangkis serangan itu. Seperti Mahisa Pukat, maka Kebo Sarik pun telah mengerahkan sisa tenaga yang ada padanya. Betapa perasaan sakit menyengat dadanya, namun ia masih mampu menghentakkan daya tahannya.

Sekali lagi telah terjadi benturan antara dua kekuatan raksasa yang telah menyusut. Mahisa Pukat yang telah mengerahkan kekuatannya yang tersisa itu, seakan-akan telah memeras apa yang masih tinggal didalam dirinya. Demikian benturan terjadi, maka Mahisa Pukat itu pun telah terlempar jatuh dan dunia pun rasa-rasanya telah menjadi gelap. Ternyata Mahisa Pukat menjadi pingsan.

Kebo Sarik yang membentur ilmu pamungkas Mahisa Pukat meskipun kekuatannya sudah menjadi susut, namun karena keadaan Kebo Sarik sendiri yang lemah dibagian dalam tubuhnya, maka ia pun telah terlempar pula beberapa langkah dan terbanting jatuh.

Kepala Kebo Sarik pun menjadi pening. Nafasnya terasa sesak. Meskipun demikian Kebo Sarik masih tetap menyadari, bahwa ia masih dalam keadaan yang gawat. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk segera bangkit berdiri.

Mahisa Murti telah melihat apa yang terjadi. Ia melihat Mahisa Pukat jatuh pingsan. Sehingga karena itu, maka jantungnya bagaikan berhenti berdentang. Nalar pun menjadi buram dan Mahisa Murti itu tidak berpikir panjang lagi. Meskipun keadaan tubuhnya masih sangat lemah, namun keadaan saudaranya itu membuatnya tidak sempat menimbang lagi.

Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti telah membangunkan kekuatan yang tersisa didalam dirinya. Pada saat Kebo Sarik masih belum tegak benar, maka Mahisa Murti pun telah meloncat menyerang lawannya dengan ilmu pamungkasnya.

Mahisa Agni dan Witantra yang sempat menyaksikannya telah berbareng memanggilnya. Namun Mahisa Murti telah meloncat dan membenturkan kekuatan ilmunya yang masih tersisa di dalam dirinya yang menjadi lemah itu.

Kebo Sarik benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Ia memang mencoba membangunkan kemampuan untuk bertahan dari apa yang masih ada didalam dirinya. Namun ternyata bahwa yang tertinggal itu tidak mampu lagi melindunginya.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti telah membenturkan ilmunya Kebo Sarik. Satu benturan yang ternyata telah mengakhiri pertempuran itu. Kebo Sarik yang sudah menjadi sangat lemah itu, sama sekali tidak mampu lagi bertahan, ketika kekuatan raksasa Mahisa Murti, meskipun sudah susut, menghantamnya, maka isi dadanya telah bergetar dan bahkan jalan pernafasannya menjadi bagaikan tersumbat.

Ternyata Kebo Sarik tidak dapat mengatasi kesulitan didalam dirinya. Isi dadanya bagaikan telah diremukkan oleh ilmu anak-anak muda itu. Nafasnya pun menjadi sesak, dan detak jantungnya telah terhenti.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah terlempar dan terbanting jatuh. Seperti Mahisa Pukat, maka semuanya telah menjadi gelap. Dan Mahisa Murti pun menjadi pingsan.

Mahendra yang telah melumpuhkan kedua lawannya terkejut melihat keadaan itu. Tiba-tiba saja ia telah memukul kedua orang yang telah dikalahkannya itu pada punggungnya, sehingga keduanya telah jatuh pingsan pula.

“Kubunuh kalian jika anak-anakku mengalami cidera,” geram Mahendra yang kemudian berlari ke arah kedua anak-anaknya.

Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian dengan tergesa-gesa telah mendekati Mahisa Murti yang kemudian perlahan dan hati-hati telah diangkatnya dan dibaringkannya disamping Mahisa Pukat.

“Mereka keduanya menjadi pingsan,” desis Mahisa Agni.

Wajah Mahendra menjadi tegang. Namun ia pun mengangguk-angguk, meskipun getar didalam dadanya masih terasa menggelora. Dengan kemampuan dan ilmu yang ada didalam diri mereka, maka Mahendra dan Witantra, masing-masing berusaha untuk membantu ke dua orang anak muda itu. Mereka memiliki arus ilmu dari satu perguruan, sehingga dengan demikian maka hendaknya memiliki pengetahuan untuk membantu kedua orang anak muda itu.

Witantra telah menggenggam kedua tangan Mahisa Murti dengan kedua tangannya. Kemudian dipusatkannya daya kemampuan ilmunya untuk menyalurkan daya ketahanan kedalam diri Mahisa Murti, sementara itu Mahendra telah melakukan hal yang sama atas Mahisa Pukat.

Mahisa Agni berdiri termangu-mangu mengamati kedua anak muda yang sedang pingsan itu. Ketika ia berpaling ke arah Pangeran Singa Narpada, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Singa Narpada ternyata telah berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dalam pergulatannya melawan maut karena luka-luka dalamnya.

Beberapa saat kemudian, maka baik Witantra, maupun Mahendra telah berhasil menghubungkan kekuatan yang tersalur dari dalam dirinya dengan jalur daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang sudah tidak berdaya sama sekali. Namun dengan hubungan itu, maka perlahan-lahan kekuatan daya tahan kedua anak muda itu mulai dibangunkannya kembali. Dengan demikian, maka Witantra dan Mahendra itu mulai berharap bahwa kedua orang anak muda iiu akan mampu berlahan untuk tetap hidup.

Ada semacam penyesalan di dalam hati Mahendra, bahwa ia telah memberikan kesempatan kepada anak-anaknya yang masih sangat muda untuk melawan Kebo Sarik, yang semula hanya karena kesegarannya untuk mempergunakan ilmunya dalam bentuk yang lunak untuk mengusir ular-ular yang sangat berbahaya baginya, dan digelitik oleh keinginannya untuk melihat tataran kemampuan anak-anaknya dalam dunia olah kanuragan yang terlalu garang.

Dan kini, ia harus melihat akibat atas kedua anak-anaknya. Untuk beberapa saat Witantra dan Mahendra berjuang mengatasi kesulitan didalam diri Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun karena kekuatan Witantra dan Mahendra telah tersalur kejalur kekuatan daya tahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keadaan kedua anak muda itu memang mulai berangsur membaik.

Perlahan-lahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu mulai bergerak. Perlahan-lahan pula keduanya mulai membuka matanya. Yang mula-mula mereka lihat adalah kegelapan dan titik-titik yang bertebaran di langit. Baru kemudian dalam keremangan malam dilihatnya bayangan orang-orang yang ada di sisinya.

Untuk beberapa saat dibiarkannya kedua orang anak muda itu mulai menyadari dirinya dan didorong oleh kekuatan yang tersalur dari Witantra dan Mahendra, mengatasi segala kesulitan didalam diri mereka.

Sementara itu, keadaan Pangeran Singa Narpada menjadi semakin baik. Bahkan karena kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan orang kebanyakan, maka ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada telah mampu mengatasi kesulitan yang paling tajam didalam dirinya, sehingga meskipun masih dalam keadaan yang sangat lemah maka Pangeran Singa Narpada telah mampu bangkit.

Mahisa Agni telah membantunya untuk berdiri. Semula Mahisa Agni ingin mempersilahkannya untuk beristirahat sejenak. Namun Pangeran Singa Narpada berkata, “Aku sudah berangsur baik. Bagaimana dengan anak-anak itu?”

“Nampaknya mereka akan dapat tertolong, meskipun keadaan mereka cukup parah,” jawab Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Untunglah bahwa mereka mampu mengatasi lawan mereka dan tidak menjadi korban karenanya. Jika terjadi demikian, maka aku akan merasa sangat menyesal, bahwa permainanku telah menyeret keduanya yang sebenarnya masih terlalu muda.”

“Kesalahannya tidak sepenuhnya berada pada Pangeran,” jawab Mahisa Agni, “ayah anak-anak itu pun juga bertanggung jawab.”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Sukurlah bahwa keduanya tidak menjadi korban karenanya.”

Namun dalam pada itu, cahaya kemerah-merahan mulai nampak membayang di langit. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Kekuatan sirep itu akan segera lenyap karena orang yang melontarkannya telah terbunuh, apalagi sesaat kemudian kita akan sampai kebatas ujung malam.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil memandang langit yang semakin cerah, ia berkata, “orang-orang yang tinggal di sebelah menyebelah ini pun akan segera terbangun. Mereka akan menemukan kita dan menjadi heran atas diri mereka sendiri, bahwa mereka tidak mendengar apa yang telah terjadi, karena mereka tidak menyadari, bahwa mereka telah terpukau oleh pengaruh sirep yang sangat tajam, yang ternyata mampu menjangkau daerah yang luas."

Mahisa Agni tidak menjawab. Ketika ia memandang ke arah Mahisa Pukat, maka dilihatnya anak muda itu telah menyeringai menahan sakit di seluruh tubuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada maka pengaruh sirep pun semakin lama menjadi berkurang. Selain karena orang yang melontarkan sirep itu sudah terbunuh, juga karena pengaruh sirep itu memang tidak dapat berlangsung untuk waktu yang terlalu lama.

Beberapa orang prajurit yang bertugas, mulai terbangun dari tidur mereka yang nyenyak. Seorang perwira yang memimpin para prajurit yang bertugas rasa-rasanya bagaikan kehilangan jantung ketika ia melihat pintu Gedung Perbendaharaan yang terbuka.

“Apa yang terjadi,” perwira itu hampir berteriak.

Para petugas pun menjadi gempar. Yang masih belum terbangun dari tidurnya yang terlalu nyenyak, telah mengalami perlakuan yang kasar dari perwiranya. Ditendangnya paha orang-orang yang masih tertidur itu dengan bentakan-bentakan keras.

“He, apa yang kalian lakukan dalam tugas kalian,” perwira itu hampir berteriak, “pintu Gedung Perbendaharaan telah terbuka.”

Para prajurit pun terhentak karena terkejut. Gedung Perbendaharaan itu terbuka. Selagi para prajurit itu kebingungan dan tidak tahu apa yang dilakukannya, maka perwira pun telah memerintahkan agar mereka untuk sementara tidak melaporkan kepada siapapun juga.

“Aku akan menghadap Pangeran Singa Narpada. Pangeran Singa Narpada lah yang telah menangani benda-benda terpenting didalam Gedung itu sejak Kediri kehilangan benda yang sangat berharga,” berkata Perwira itu.

“Peti perak yang ada di dalam Gedung Perbendaharaan itu nampaknya tidak berada ditempatnya,” desis seorang prajurit yang pernah menyaksikan dari luar para petugas yang merawat benda-benda berharga itu memasuki Gedung Perbendaharaan.

“Kita tidak tahu apa-apa tentang isi Gedung itu,” jawab perwira yang memimpin penjagaan malam itu, “karena itu, sebelum Sri Baginda mendengar, aku akan menghubungi Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang telah terjadi.”

“Justru terbalik,” berkata seorang prajurit, “kita sebaiknya melaporkannya kepada Sri Baginda. Jika kita menyampaikannya kepada Pangeran Singa Narpada, maka belum lagi persoalannya diusut, kita sudah dicekiknya sampai mati.”

“Tidak,” jawab perwira itu, “aku yakin tidak. Pangeran Singa Narpada memang seorang yang keras. Tetapi ia bukan seorang pembunuh. Jika benda-benda berharga di Gedung Perbendaharaan ini memang hilang, kita pantas digantung di alun-alun. Aku tidak akan ingkar. Tetapi jika yang terjadi lain, maka kita pun akan segera mengetahui sehingga jantung kita tidak selalu diganggu oleh ketegangan di setiap saat.”

Prajurit-prajuritnya pun tidak dapat mencegahnya lagi. Perwira itu pun berniat untuk pergi ke istana Pangeran Singa Narpada dan melaporkan apa yang terjadi, sekaligus menyerahkan dirinya bersama para petugas yang lain untuk diperlakukan apa saja.

Namun dalam pada itu, ditempat lain pun telah terjadi kegemparan pula. Beberapa orang yang terbangun dengan perasaan heran karena mereka tertidur sangat nyenyak, dan bahkan bangun sedikit kesiangan itu, telah menemukan sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi di sebelah rumah mereka. Bahkan sesuatu yang sangat mengerikan.

Ternyata ada diantara mereka yang terbangun itu yang telah mengenali Pangeran Singa Narpada. Karena itu, dengan wajah yang tegang orang itu menghadap sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi Pangeran?”

Pangeran yang masih sangat lemah karena luka-lukanya yang cukup parah itu pun berkata, “Sampaikan keadaanku kepada para prajurit yang bertugas di istanaku. Jangan kepada yang lain. Aku memerlukan pertolonganmu.”

Dengan tergesa-gesa orang itu pun telah berjalan menuju ke istana Pangeran Singa Narpada, sementara Pangeran Singa Narpada berpesan kepada orang-orang yang melihat peristiwa itu, agar apa yang mereka lihat, jangan disebar luaskan dahulu.

Demikianlah, ketika orang yang mendapat perintah Pangeran Singa Narpada itu sampai di istananya dan menghubungi perwira prajurit yang bertugas, maka perwira yang memimpin para petugas di Gedung Perbendaharaan pun telah berada di istana itu pula. Karena itu, maka ia pun telah mendengar dari mulut orang yang mendapat perintah dari Pangeran Singa Narpada, apa yang telah terjadi.

Dengan demikian maka para prajurit yang bertugas di istana Pangeran Singa Narpada pun menjadi sibuk. Dengan tergesa-gesa mereka telah menyiapkan beberapa ekor kuda. Sejenak kemudian beberapa orang prajurit telah berderap menuju ke tempat yang telah disebut oleh orang yang memberitahukan apa yang telah terjadi dengan Pangeran Singa Narpada itu. Bahkan perwira yang bertugas di Gedung Pembendaharaan itu telah ikut pula bersama mereka. Rasa-rasanya ia memang ingin bertemu dengan Pangeran Singa Narpada, apapun yang akan terjadi atas dirinya, biarlah terjadi.

Akhirnya Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra telah ikut bersama Pangeran Singa Narpada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang memerlukan perawatan yang lebih baik agar luka mereka yang parah tidak membahayakan jiwa mereka. Sejenak kemudian, maka pedati-pedati itu pun telah meninggalkan bekas medan yang garang itu. Diiringi beberapa orang prajurit, maka iring-iringan itu memang tidak dapat menghindarkan diri dari perhatian rakyat Kediri.

Namun para prajurit yang mengawal pedati-pedati itu tidak memberikan kesan ketegangan sama sekali. Wajah mereka nampak cerah dan sikap mereka pun tidak menjadi garang. Mereka tidak memegang senjata di tangan. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang melihat iring-iringan itu tidak mendapat kesan bahwa sesuatu yang garang telah terjadi di Kediri.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra berada didalam pedati yang sama dengan Pangeran Singa Narpada yang lemah. Sementara Mahendra menunggu kedua anaknya yang dibaringkannya didalam pedati yang lain.

Di pedati berikutnya, terbaring orang-orang bertongkat yang terluka dan menjadi lemah sekali. Di sebelah menyebelah pedati-pedati yang dipergunakan untuk membawa mereka, para pengawal berkuda mengamatinya dengan cermat, meskipun tidak menimbulkan kesan kegarangan. Bahkan orang-orang yang berada ditepi jalan melihat para pengawal itu seakan-akan sedang mengiringi para bangsawan yang sedang bertamasya.

Beberapa saat kemudian pedati-pedati itu telah memasuki halaman istana Pangeran Singa Narpada. Sementara itu perwira yang bertugas di Gedung Perbendaharaan Istana diperintahkan untuk kembali ke tugasnya.

“Kalian tidak perlu memberikan laporan apapun juga. Peti itu akan segera aku kembalikan ke tempatnya. Aku yakin meskipun aku belum melihatnya, tidak ada benda-benda berharga lainnya yang hilang,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Perwira itu pun mengangguk hormat. Kemudian ia pun telah memisahkan diri dan kembali ke tempat tugasnya. Para prajurit yang bertugas semalam menerima kedatangan perwiranya dengan jantung yang berdebar-debar. Rasa-rasanya mereka tidak tahan lagi menunggu terlalu lama karena ketegangan yang mendesak didalam dada mereka. Karena itu, begitu perwira itu meloncat dari kudanya maka para prajurit itu pun telah mendekatinya dan kemudian mengerumuninya.

“Apakah kami akan digantung?” bertanya salah seorang prajurit.

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum tahu, hukuman apa yang akan ditimpakan kepada kita. Tetapi Pangeran Singa Narpada memerintahkan untuk menutup kembali pintu yang terbuka itu. Pangeran Singa Narpada tidak merasa perlu untuk melihat isinya lebih dahulu. Mungkin karena Pangeran Singa Narpada yakin bahwa memang tidak ada benda berharga yang hilang, tetapi mungkin juga karena Pangeran Singa Narpada masih dalam keadaan yang sangat lemah.”

“Apa yang terjadi dengan Pangeran Singa Narpada?” bertanya para prajurit.

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Singa Narpada masih belum menceriterakan secara terperinci, apa yang telah terjadi atas dirinya dan orang-orang yang terbunuh dan terluka. Namun serba sedikit perwira itu sudah dapat menangkap peristiwa yang mendebarkan. Dengan singkat ia berkata,

“Ada kekuatan yang telah memasuki Gedung Perbendaharaan ini. Agaknya kita sudah dicengkam oleh kekuatan sirep yang sangat kuat, sehingga kita semuanya telah tertidur nyenyak. Peristiwa ini mirip sekali dengan saat-saat sebuah benda yang paling berharga hilang dari Gedung Perbendaharaan ini. Hal itu ternyata telah terulang kembali, meskipun menurut Pangeran Singa Narpada, tidak ada sesuatu yang hilang. Mungkin isi dari peti perak itu sudah berhasil dikuasai kembali oleh Pangeran Singa Narpada, sehingga Pangeran Singa Narpada menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang pantas digelisahkan.”

Keterangan perwira itu memang sedikit dapat menurunkan ketegangan para prajurit. Tetapi para prajurit itu pun tahu, bahwa Pangeran Singa Narpada bukan seorang yang dikendalikan saja oleh perasaannya. Mungkin penalarannya telah mengekangnya untuk dengan cepat mengambil keputusan. Namun sikapnya yang keras dan tidak berdebar-debar, karena tidak mustahil mereka dipanggil oleh Pangeran Singa Narpada dan sambil memandangi dengan wajah yang tenang tanpa menunjukkan sikap yang keras, Pangeran itu mengucapkan keputusan hukuman bagi mereka.

Namun dalam pada itu, perwira itu pun telah mematuhi perintah Pangeran Singa Narpada. Ia sama sekali tidak membuat laporan apapun. Perwira itu mengerti, bahwa laporan yang diberikannya jika ia menyebut juga tentang peti perak yang hilang, maka hal itu tentu akan menggembirakan lingkungan keprajuritan dan tidak mustahil akan segera sampai kepada Sri Baginda. Padahal, sama sekali tidak terjadi sesuatu sebagaimana dimaksud oleh Pangeran Singa Narpada.

Dengan demikian, maka yang tidak terjadi sesuatu itu akan dapat menimbulkan persoalan yang mungkin akan berkepanjangan. Karena itu, maka perwira itu juga memerintahkan kepada para prajuritnya untuk tidak menyebut-nyebut apa yang telah mereka alami. Mereka tidak usah mengatakan tentang sirep dan apa yang telah terjadi atas mereka.

Beberapa orang prajurit yang berkuda di pagi-pagi yang dingin itu memang menarik perhatian beberapa orang. Tetapi karena para prajurit itu nampaknya tidak menunjukkan sesuatu yang menimbulkan persoalan di dalam hati orang-orang yang melihatnya, maka beberapa saat kemudian, mereka pun telah melupakannya.

Dalam waktu yang singkat, maka para prajurit itu sudah sampai di tempat Pangeran Singa Narpada menunggu. Mereka pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat keadaan Pangeran Singa Narpada, dan bahkan beberapa sosok tubuh yang terbaring.

“Apa yang telah terjadi Pangeran?” bertanya perwira yang memimpin sekelompok prajurit itu.

“Ceritera yang panjang,” jawab Pangeran Singa Narpada, “sekarang usahakan untuk mengatasi peristiwa ini agar tidak menimbulkan persoalan yang dapat menggelisahkan rakyat Kediri khususnya di Kota Raja ini.”

Perwira itu tidak mendesak untuk mendengar peristiwa itu dalam keseluruhan. Pangeran Singa Narpada hanya memberikan beberapa perintah tentang mayat-mayat yang terdapat di tempat itu, serta mencari beberapa buah pedati untuk membawa mereka yang terluka dan yang tertawan.

“Aku sendiri juga harus menumpang sebuah pedati,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Perwira itu pun segera melaksanakan perintah Pangeran Singa Narpada dibantu oleh orang-orang yang tinggal di sekitar tempat kejadian itu. Namun dengan pesan, agar peristiwa itu tidak menimbulkan kegelisahan, sehingga orang-orang yang ikut menyelenggarakan beberapa sosok mayat, mendapat pesan untuk berhati-hati jika mereka pada suatu saat harus menceriterakan kejadian yang mereka lihat itu.

Dalam pada itu, perwira yang bertugas di Gedung Perbendaharaan Istana tidak sabar lagi menunggu. Karena itu, ketika para prajurit dan orang-orang di sekitar tempat itu sibuk mengurusi mayat-mayat dan orang-orang yang terluka maka perwira itu telah menghadap Pangeran Singa Narpada yang masih sangat lemah untuk menyampaikan persoalannya.

“Ampun Pangeran, hukuman apapun yang harus kami terima, kami tidak akan ingkar. Tetapi perkenankanlah kami mengetahui, apakah peti perak itu memang hilang atau hanya dipindahkan tempatnya saja, atau mungkin justru selain peti itu ada juga benda-benda berharga lainnya yang hilang,” bertanya perwira itu.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menunjuk sebuah peti perak yang dibawa oleh orang-orang yang telah dilumpuhkan itu Pangeran Singa Narpada bertanya, “Peti itu yang kau maksud?”

Wajah orang itu menegang. Ia melihat sebuah peti perak yang tergeletak begitu saja di dekat tempat yang menjadi ajang pertempuran itu. Dengan ragu-ragu orang itu pun kemudian bertanya, “Apa artinya ini Pangeran?”

“Nanti aku akan berceritera,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi jangan cemas tentang peti perak itu.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga bertanya, “Atau mungkin ada benda-benda lain yang hilang?”

“Aku belum melihatnya, tetapi aku kira tidak ada benda lain yang hilang, karena yang mereka cari adalah peti perak itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Bukankah di dalam peti itu tersimpan benda yang paling berharga?” bertanya perwira itu.

“Peti itu kosong. Seandainya tidak ada seorang pun yang melihat, maka kita tidak akan merasa kehilangan apapun juga kecuali peti itu sendiri,” jawab Pangeran Singa Narpada, “tetapi baiklah kita berbicara nanti tentang peti itu. Sekarang aku memerlukan kalian untuk menghapuskan bekas-bekas peristiwa yang baru saja terjadi.”

Perwira itu tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi dengan demikian, maka ia tidak lagi dibayangi oleh ketegangan tentang benda-benda berharga yang hilang. Peti perak itu ternyata tidak berisi apapun juga. Apalagi benda yang paling berharga sebagaimana dicemaskannya.

Dalam pada itu, maka dengan cepat segala sesuatunya telah diselesaikan. Telah datang pula ke tempat itu beberapa buah pedati yang akan dipergunakan untuk membawa orang-orang yang tertawan, yang ternyata juga telah terluka, Pangeran Singa Narpada sendiri serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang meskipun sudah sadar, tetapi keadaannya masih sangat lemah.

Kepada orang-orang yang tinggal di sekitar tempat itu, sekali lagi Pangeran Singa Narpada berpesan, agar mereka tidak membuat kegelisahan dengan ceritera yang berlebihan.

“Semuanya sudah diatasi,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, maka jika kalian berceritera harus ada kesan, bahwa tidak akan ada bahaya apapun yang mengancam kita semuanya.”

Orang-orang yang tinggal di sekitar, arena itu dan yang telah membantu menyelesaikan akibat dari pertempuran itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka memang melihat bahwa Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang yang belum mereka kenal, telah mengatasi semua kesulitan. Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra tidak dapat menolak ketika Pangeran Singa Narpada mempersilahkan mereka untuk singgah di Istana Pangeran Singa Narpada.

“Kami tinggal di rumah sahabat kami,” berkata Mahisa Agni, “karena itu, maka sebaiknya kami minta diri lebih dahulu.”

“Biarlah orang itu juga diundang ke istana kami,” berkata Pangeran Singa Narpada, “dengan demikian, maka kita tidak kehilangan waktu sekarang ini, mengingat keadaan kedua anak muda itu.”

Kepada para prajuritnya perwira itu berkata, “Biarlah Pangeran Singa Narpada sendiri melihatnya dan memberikan laporan kepada Sri Baginda. Dengan demikian maka semuanya akan jelas sebagaimana adanya. Jika Sri Baginda hanya sekedar mendengar dari mulut kemulut dan ceritera orang-orang yang tidak berhak, maka mungkin ceritera itu akan berkisar dari keadaan yang sebenarnya.”

Karena itulah, maka para prajurit sama sekali tidak berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi semalam. Mereka saling berdiam diri, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada di istananya telah mendapat pengobatan yang sebaik-baiknya. Seorang tabib yang terbiasa merawatnya telah diundang. Namun ternyata tabib itu berkata,

“Ampun Pangeran. Keadaan Pangeran ternyata cukup gawat. Karena itu, pengobatannya adalah diluar kemampuanku. Namun aku akan memanggil seorang kawanku yang akan bersama-sama dengan aku mencoba mengobati Pangeran. Luka-luka di dalam tubuh Pangeran bukan sekedar luka sewajarnya. Karena itu, untuk menyembuhkannya juga diperlukan perawatan yang khusus.”

Dengan demikian, maka di istana itu telah hadir dua orang tabib yang bukan hanya sekedar mengobati Pangeran Singa Narpada, tetapi juga yang lain-lain. Bahkan juga orang-orang bertongkat yang telah menjadi tawanan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena keduanya benar-benar dalam keadaan yang gawat. Untunglah, bahwa dalam saluran ilmu, Witantra dan Mahendra setiap kali dapat membantunya dengan menyalurkan ketahanan di dalam tubuh masing-masing membantu kesulitan yang dialami oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat didalam dirinya.

“Aku harus segera melaporkan keadaan ini kepada Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “Sri Baginda harus mendengar laporan ini dari mulutku langsung agar Sri Baginda tidak mendapat gambaran yang salah.”

“Tetapi Pangeran harus beristirahat dahulu,” berkata Mahisa Agni, “jika keadaan Pangeran sudah berangsur baik, maka Pangeran akan dapat menghadap Sri Baginda.”

“Tetapi selama itu, berita yang bersimpang siur telah didengar oleh Sri Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu, maka aku harus menghadap meskipun keadaan masih sangat lemah. Aku memang memerlukan seorang kawan yang akan dapat membantuku.”

“Mungkin satu dua orang perwira kepercayaan Pangeran?” bertanya Mahisa Agni, “namun Pangeran harus dapat membatasi diri. Menghadap sebagaimana perlunya saja. Selanjutnya Pangeran harus beristirahat sebanyak-banyaknya.”

“Bagaimana jika kita menghadap bersama-sama?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pangeran, sebaiknya aku tidak menghadap Sri Baginda. Pangeran pun tidak usah melaporkan kehadiranku di Kediri.”

“Kenapa?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku ingin berada di Kediri tanpa ikat-ikatan paugeran justru karena aku pernah berada di Kediri,” jawab Mahisa Agni.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Baiklah. Aku akan menyebut orang-orang yang tidak dikenal yang telah membantuku.”

Mahisa Agni tersenyum. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mengerti kesulitan Pangeran untuk memberikan laporan, karena Pangeran tentu tidak seorang diri mengatasi orang-orang yang memasuki Gedung Perbendaharaan. Apalagi empat orang di antara mereka dapat ditangkap hidup-hidup.”

“Aku akan menyebut anak-anak muda yang terluka itu dan guru mereka yang kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan istana ini,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Agni tersenyum. Namun sementara itu, setelah berbicara dengan Witantra dan Mahendra, Pangeran Singa Narpada memutuskan untuk melaporkannya sebagaimana dikatakannya itu. Tetapi karena keadaan Pangeran Singa Narpada yang lemah, terpaksa Pangeran Singa Narpada mempergunakan sebuah kereta untuk naik kereta yang ditarik oleh seekor kuda. Tetapi biasanya ia lebih senang naik kuda saja.

Kedatangannya memang sudah ditunggu oleh Sri Baginda. Ternyata Sri Baginda telah mendengar laporan tentang ristiwa yang baru saja terjadi meskipun tidak lengkap dan simpang siur.

“Aku memang menunggu kedatanganmu,” berkata Sri Baginda.

“Ampun Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “hamba telah datang terlambat.”

“Aku telah mendengar bahwa sesuatu telah terjadi di luar dinding istana. Banyak orang yang menyaksikan, kau tarluka dalam satu pertempuran. Namun lawan-lawanmu telah terbunuh dan tertangkap,” berkata Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk merahasiakan satu peristiwa yang dilihat oleh banyak orang. Mungkin mereka tidak dengan sengaja menyebarkan berita itu dan apalagi memutarbalikkan kenyataan yang terjadi. Namun karena mereka sekedar membicarakannya sehingga berita itu tersebar dari mulut kemulut, maka kemungkinan bahwa berita itu telah berkembang dan menyusut, memang besar sekali.

Dengan nada dalam Pangeran Singa Narpada pun kemudian berkata, “Ampun Sri Baginda. Justru karena hamba telah terluka cukup parah, maka hamba telah terlambat menghadap untuk memberikan laporan.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Ia memang melihat keadaan Pangeran Singa Narpada yang sangat lemah. Bahkan masih nampak pada wajahnya yang kadang-kadang menjadi tegang menahan sakit didalam tubuhnya. “Sebaiknya kau beristirahat,” berkata Sri Baginda.

“Hamba memang akan segera mohon ijin untuk beristirahat sesuai pula dengan petunjuk tabib yang mengobati hamba,” berkata Pangeran Singa Narpada, “namun hamba ingin menyampaikan laporan terperinci, agar Sri Baginda dapat mendengar langsung dari mulut hamba, karena jika Sri Baginda mendengar dari pihak yang lain, mungkin akan ada selisih dari kenyataan yang terjadi di Gedung Perbendaharaan itu.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti maksudmu. Katakanlah. Dengan demikian maka kau akan dapat segera beristirahat.”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian memberikan laporan terperinci tentang peristiwa yang terjadi di istana dan tentang peti peraknya yang diambil oleh orang-orang yang mempergunakan cara seperti yang pernah terjadi. Para penjaga telah terbius oleh ilmu sirep yang justru sangat tajam, sehingga tidak terlawan oleh para perwira yang bertugas.

“Tetapi seandainya tidak ada orang yang melihat peti perak itu diambil seseorang, maka kita tidak akan kehilangan,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Kenapa?” bertanya Sri Baginda.

“Mahkota itu tidak ada didalam peti perak itu,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Aku sudah menduga. Tetapi kenapa kau curiga dan tidak menyimpan mahkota itu didalamnya,” bertanya Sri Baginda.

“Orang bertongkat itu mengatakan, bahwa peti dapat menyerap cahaya teja. Tetapi ketika mahkota itu sudah ada didalam peti perak itu, maka ketika dengan susah payah aku memusatkan penglihatan batinku, ternyata aku masih melihat cahaya itu berdiri tegak seakan-akan menusuk langit. Dengan demikian aku menjadi curiga karenanya, dan aku tidak menyimpan mahkota itu didalam peti perak, karena aku sudah menduga, bahwa cara itu sekedar untuk mempermudah orang-orang didalam gerombolan itu untuk mengambilnya.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun Sri Baginda sudah dapat menelusuri cara berpikir Pangeran Singa Narpada sehingga ialah yang kemudian justru telah mengelabuhi orang-orang yang ingin mencuri pusaka yang sangat berharga. Namun kemudian Sri Baginda pun bertanya, “Tetapi siapakah orang-orang yang telah membantumu. Menurut pendengaranku, sama sekali bukan prajurit Kediri.”

“Anak-anak muda dari sebuah perguruan bersama gurunya,” jawab Pangeran Singa Narpada, “dua anak muda yang membantu hamba untuk menangkap orang-orang yang mencuri peti itu. Sebenarnya hamba dapat membiarkan saja mereka membawa peti itu karena peti itu memang tidak berisi mahkota sebagaimana mereka inginkan. Tetapi timbul keinginan hamba untuk menangkap mereka dan kemudian bertanya kepada mereka, apakah hal itu mereka lakukan untuk kepentingan mereka sendiri, atau ada pihak lain yang memperalat mereka. Karena itu, maka terjadilah pertempuran, yang ternyata dalam pertempuran itu hamba telah terluka dan kedua anak muda itu telah terluka parah. Namun hamba telah berhasil membunuh guru dari orang-orang yang berusaha mencuri mahkota itu.”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun Pangeran Singa Narpada telah memenuhi permintaan Mahisa Agni dan Witantra untuk tidak menyebut namanya. Ketika Sri Baginda bertanya, siapakah guru anak-anak muda yang terluka itu, maka Pangeran Singa Narpada menjawab, “Namanya Mahendra. Sebenarnya ia adalah seorang pedagang keliling. Mahendra bukan seorang pertapa yang tinggal di sebuah padepokan. Tetapi ia telah menjadikan kedua orang anaknya sebagai muridnya.”

“Dimanakah Mahendra itu sekarang?” bertanya Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada ragu-ragu untuk mengatakan bahwa Mahendra masih berada di rumahnya. Karena dengan demikian Sri Baginda akan dapat memanggilnya dan bertanya tentang bermacam-macam persoalan. Jika ada terselip kata, Mahendra akan dapat menyebut Mahisa Agni atau Witantra. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Mahendra telah meninggalkan Kediri. Namun setiap saat ia akan kembali ke rumah hamba, karena kedua anaknya ada di rumah hamba untuk mendapat pengobatan.”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu ketika Sri Baginda tidak segera menyatakan sesuatu. Namun akhirnya Sri Baginda berkata, “Baiklah. Jika kedua anak yang membantumu itu sembuh, bawalah mereka menghadap. Adalah lebih baik jika kau bawa juga ayahnya yang juga gurunya itu apabila pada suatu saat ia datang.”

“Hamba Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “Mahendra adalah seorang pedagang keliling. Pada suatu saat yang dekat ia tentu akan datang ke Kediri. Selain menengok anaknya ia juga mempunyai hubungan dagang dengan beberapa orang Kediri.”

“Baiklah,” sahut Sri Baginda. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang kau tawan?”

“Mereka masih dalam keadaan parah. Jika mereka berangsur baik, maka kita akan dapat menyadap keterangan dari orang-orang itu,” jawab Pangeran Singa Narpada. “Mudah-mudahan dengan perawatan yang baik, mereka akan cepat sembuh, setidak-tidaknya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita.”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Dengan laporan Pangeran Singa Narpada ia menjadi jelas, apa yang telah terjadi. Ternyata bahwa Pangeran Singa Narpada telah menyelamatkan lagi mahkota yang ternyata hampir saja hilang lagi setelah dengan mempertaruhkan nyawanya Pangeran Singa Narpada mencarinya hingga mahkota itu diketemukan. Dan kini Pangeran Singa Narpada pun dalam keadaan terluka sehingga keadaannya masih sangat lemah.

Namun karena itu, maka Sri Baginda pun berkata, “Singa Narpada. Bukankah dengan peristiwa-peristiwa itu berarti bahwa beberapa pihak diluar istana ini mengetahui, dan bahkan mereka menerima anggapan bahwa di dalam mahkota itu telah tersimpan wahyu keraton.”

“Ya Sri Baginda,” jawab Pangeran Singa Narpada, “anggapan itu tentu akan tersebar semakin lama semakin luas. Orang-orang akan menganggap bahwa siapa yang memiliki atau menyimpan mahkota itu akan dapat memegang kekuasaan di Kediri. Anggapan itulah yang berbahaya, sehingga banyak pihak yang berusaha untuk memiliki mahkota itu.”

“Dengan demikian maka kita harus memikirkan, cara pengamanan yang lebih baik dari masa yang lewat. Jika kali ini kau tidak menaruh kecurigaan dan menyimpan mahkota itu dengan cara yang khusus, maka mahkota itu tentu sudah hilang lagi dari Gedung Perbendaharaan,” berkata Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan segera mengambil langkah-langkah Sri Baginda.”

Sri Baginda pun mengangguk-angguk pula. Namun nampak oleh Sri Baginda bahwa keadaan Pangeran Singa Narpada masih sangat letih. Karena itu maka katanya, “Baiklah Singa Narpada. Kita masih akan dapat berbicara panjang jika keadaanmu sudah memungkinkan. Sekarang kembalilah ke istanamu. Beristirahatlah sebaik-baiknya. Untuk langkah pertama, maka kau akan memerintahkan untuk melipatkan penjagaan. Prajurit akan tersebar di satu daerah yang luas, sehingga apabila terjadi lagi seorang yang memiliki ilmu sirep yang tajam, maka prajurit yang tersebar itu akan mengalami tingkat cengkaman ilmu sirep yang berbeda, sehingga memungkinkan beberapa orang diantaranya dapat mengenalinya. Kelak jika kau sudah baik, maka segalanya terserah kepadamu.”

“Ampun Baginda,” berkata Pangeran Singa Narpada. “Terima kasih atas kesempatan bagi hamba untuk beristirahat. Namun hamba masih ingin singgah sejenak di Gedung Perbendaharaan Istana untuk melihat dan meneliti apa yang telah terjadi.”

Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun mengundurkan diri dari hadapan Sri Baginda. Bersama perwira yang menyertainya telah pergi ke Gedung Perbendaharaan. Dengan cermat ia melihat isi Gedung Perbedaharaan yang ternyata masih utuh itu. Mahkota yang menjadi sasaran orang-orang bertongkat itu masih berada dilemparnya, karena mahkota itu memang tidak disimpan di dalam peti perak, meskipun peti perak itu semula diletakkan di tempat yang langsung dapat menarik perhatian orang-orang yang memasuki Gedung Perbedaharaan.

Dengan demikian maka dengan hati yang tenang, Pangeran Singa Narpada telah berkata kepada perwira yang bertugas pada saat mahkota itu hilang, “Jangan cemas. Kau tidak kehilangan apapun juga malam ini, kecuali nyawaku yang hampir saja dibawa oleh para pencuri itu.”

“Ampun Pangeran,” perwira itu menunduk dalam-dalam, “hukuman apapun yang harus kami pikul, akan kami jalani dengan pasrah.”

“Kalian tidak akan dihukum. Tetapi kalian harus lebih berhati-hati. Kalian harus berjuang melawan ilmu sirep. Sebab jika kalian menyerah, maka kalian benar-benar akan dicengkam oleh ilmu itu tanpa dapat melawan.”

“Kami mengerti Pangeran,” jawab perwira itu, “kami telah mendapat satu pengalaman yang sangat menarik kali ini.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Singa Narpada, “kalian akan segera mendapat kesempatan beristirahat, karena pengganti kalian seharusnya telah melakukan tugasnya sejak pagi hari. Kalian dapat menceriterakan pengalaman kalian kepada pengganti kalian agar pengganti kalian menjadi berhati-hati. Meskipun beberapa orang diantara mereka telah tertangkap, tetapi kita tidak tahu, apakah jumlah mereka dan para pengikutnya yang lain tidak akan berbuat apa-apa.”

“Baiklah Pangeran,” jawab perwira itu, “hamba akan melakukannya sebaik-baiknya.”

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada itu pun meninggalkan istana itu dengan hati yang tenang. Apalagi Sri Baginda memang sudah memerintahkan untuk memperkuat penjagaan dan memberikan perintah kepada perwira untuk mengambil langkah-langkah menghindari cengkaman sirep yang tajam yang akan dapat membius semua orang petugas.

Pangeran Singa Narpada yang masih sangat lemah itu pun kemudian telah kembali ke istananya dan menceriterakan apa yang telah dilakukannya. “Aku mengatakan bahwa yang ada di istana ini tinggal kedua anak-anak muda itu,” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.

“Terima kasih Pangeran,” jawab Mahisa Agni, “dengan demikian telah dihindari satu hubungan yang diikat oleh paugeran dan basa basi yang justru akan menjadi sangat aku dan menegangkan. Agaknya kami yang tua-tua ini lebih senang berada di Kediri dengan cara ini.”

“Aku mengerti,” sahut Pangeran Singa Narpada, “karena itu aku tidak melaporkannya kepada Sri Baginda. Mudah-mudahan hal ini tidak menjadi sebab kesalahanku jika pada suatu saat Sri Baginda mengetahuinya.”

Mahisa Agni tersenyum. Namun ia pun kemudian berkata, “Sri Baginda tidak akan mengetahui Pangeran. Kami memang tidak akan terlalu lama berada di Kediri.”

“Kami sama sekali tidak mengusir kalian,” jawab Pangeran Singa Narpada, “kami akan senang sekali jika kalian tetap tinggal disini.”

“Terima kasih,” jawab Mahisa Agni, “kami berdua adalah perantau yang tidak akan dapat menetap terlalu lama di sini. Kami akan meninggalkan Kediri, tetapi kami masih akan singgah dan bermalam barang satu malam di rumah pekatik sahabat kami itu.”

“Menyesal sekali,” berkata Pangeran Singa Narpada, “tetapi bagaimana dengan anak-anak muda itu?”

“Kami titipkan kedua orang anak itu disini,” jawab Mahendra, “Aku sendiri terutama akan segera kembali. Nampaknya aku juga akan mendapat pasaran di sini dengan barang-barang jualanku.”

“Aku akan membantu,” berkata Pangeran Singa Narpada, “jika kau membawa permata yang tidak terlalu mahal serta barangkali wesi aji yang menarik, para prajurit terutama para perwira akan menjadi pembeli cukup banyak.”

Dengan demikian maka orang-orang tua itu pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan istana itu. Tetapi atas permintaan Pangeran Singa Narpada mereka masih tinggal semalam lagi. Dengan demikian maka keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin baik ketika orang-orang tua itu benar-benar meninggalkan mereka untuk pergi bermalam satu malam di rumah pekatik tempat mereka menumpang sejak mereka berada di Kediri.

“Bukankah di istana Pangeran Singa Narpada keadaannya jauh lebih baik dari di rumah ini tuan,” berkata pekatik itu.

“Ingat Ki Sanak,” jawab Mahisa Agni, “kami adalah pengembara.”

Pekatik itu hanya tersenyum. Tetapi ia mengerti maksud jawaban Mahisa Agni itu. Di rumah itu ketiga orang Singasari itu masih bermalam satu malam. Mereka pun segera meninggalkan rumah pekatik itu untuk menempuh satu perjalanan panjang.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di istana Pangeran Singa Narpada. Mereka mendapat perawatan yang sebaik-baiknya, sehingga keadaan mereka dengan cepat berangsur baik.

Disamping Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka empat orang bertongkat itu pun mendapat perawatan yang baik pula. Mereka pun menjadi berangsur-angsur sembuh pula, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, mereka akan segera dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Namun agaknya keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang lebih cepat menjadi baik. Ketahanan tubuh anak-anak muda itu benar-benar mengagumkan. Pada waktu-waktu tertentu, ketika orang-orang tua masih berada di istana Pangeran Singa Narpada, mereka telah membantu kedua anak muda itu untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka serta untuk mengatasi rasa sakit. Namun ketika keadaan kedua anak muda itu berangsur baik, maka hal itu tidak diperlukannya lagi.

Pangeran Singa Narpada benar-benar menjadi heran terhadap kedua orang anak muda itu. Meskipun Pangeran Singa Narpada mengerti bahwa keduanya telah mewarisi satu kekuatan ilmu yang dahsyat, namun dalam usia mereka yang masih sangat muda, keduanya telah mampu mengembangkan ilmu mereka dengan sebaik-baiknya.

Sebenarnyalah pertempuran yang terjadi antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat disatu pihak melawan Kebo Sarik dilain pihak, agaknya sangat berarti bagi kedua anak muda itu. Dengan pertempuran itu, maka keduanya mendapatkan satu pengalaman yang sangat berarti. Dalam keadaan yang tersudut, keduanya telah menghentakkan ilmunya dan bahkan kadang-kadang di luar sadar mereka melakukan sesuatu yang sangat berarti dan menentukan.

Keadaan yang demikian itu, perlu mereka pelajari. Pangeran Singa Narpada yang merasa kagum terhadap anak muda itu tidak segan-segan telah memberikan beberapa petunjuk. Meskipun Pangeran Singa Narpada sendiri terluka dalam pertempuran itu, namun ia sempat berbicara banyak dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun masih terbatas pada kemungkinan keadaan tubuh mereka yang lemah.

Tetapi baik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maupun Pangeran Singa Narpada bersama-sama dari hari ke hari menjadi semakin pulih pada keadaan mereka sebagaimana sebelum terjadi peristiwa usaha untuk mengambil mahkota yang disangkanya ada di dalam peti perak itu. Dalam keadaan yang demikian, maka Pangeran Singa Narpada telah menyempatkan waktunya untuk memberikan petunjuk kepada anak-anak muda itu sesuai dengan dasar ilmu yang ada di dalam diri mereka.

“Ilmu kalian adalah ilmu yang dahsyat,” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebagian telah dapat kalian kembangkan dengan baik. Namun jika kalian mendapat banyak kesempatan untuk mengembangkannya terus, maka kalian benar-benar akan menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingannya.”

“Pangeran terlalu memuji,” berkata Mahisa Murti, “yang kami miliki adalah setitik kecil dari kemungkinan yang sangat luas di dalam dunia olah kanuragan.”

“Yang kau miliki sudah terlalu banyak sebagai bekal dalam umur kalian,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu kesempatan kalian masih sangat luas.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat mengangguk-angguk saja. Namun mereka selalu menyadari bahwa apa yang pernah mereka terima dari ayah mereka barulah tubuh ilmu itu sendiri, sampai ke puncak sehingga masih harus dikembangkannya.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Pengalamanmu bertempur melawan Kebo Sarik itu sangat berarti meskipun kau dilukainya, bahkan menurut penilaianku, kau menjadi benar-benar parah.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menyadari keadaannya. Lukanya memang sangat parah. Namun keadaan mereka sudah menjadi berangsur baik karena pengobatan yang teratur dan dilakukan oleh ahli yang terpercaya, karena itu adalah tabib pribadi Pangeran Singa Narpada.

Ketika keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah hampir sampai pada tataran pulih kembali, maka Pangeran Singa Narpada yang merasa sangat tertarik kepada anak-anak itu pun berkata,

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian telah membantu kesulitanku tidak hanya kali ini. Tetapi kau ikut pula menemukan Mahkota itu ketika Mahkota itu berhasil diambil dan dibawa keluar dari Gudang Perbendaharaan. Karena itu, maka sudah selayaknya Kediri mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepadamu dan kepada orang-orang terdekat didalam keluargamu. Kakakmu yang kali ini tidak ikut hadir dalam permainan yang sangat berbahaya yang seharusnya tidak aku lakukan, ayahmu sendiri dan kedua pamanmu yang ternyata adalah orang-orang penting yang pernah mewakili Singasari dalam jabatan tertinggi di Kediri. Namun yang kali ini datang dalam ujud sebagai pengembara dan berada di rumah seorang pekatik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi mereka memang merasa berdebar-debar. Pangeran Singa Narpada nampaknya begitu bersungguh-sungguh.

Lalu katanya pula, “Aku minta kalian berdua tidak tergesa-gesa meninggalkan rumahku. Orang-orang yang tertawan itu pun sudah berangsur baik, sehingga akan datang saatnya untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka. Sementara itu, atas nama Kediri aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, jika guru dan sekaligus ayahmu itu tidak berkeberatan. Karena itu, aku minta kalian tinggal disini, sampai pada satu hari ayahmu akan datang kemari.”

“Apakah ayah akan datang kemari?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu. Dan aku yakin bahwa ia akan datang,” jawab Pangeran Singa Narpada, “ayahmu adalah seorang pedagang keliling. Nampaknya ia akan mengadakan hubungan dengan orang-orang Kediri dalam dunia perdagangannya. Selebihnya, ia tentu akan menengok kalian karena pada saat ditinggalkannya, kau masih dalam keadaan terluka.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Terima kasih kami tidak akan banyak berarti bagi kalian, tetapi karena hanya itu yang aku punya, maka aku ingin memberikannya juga kepada kalian, itu pun tergantung pada kalian dan seperti yang aku katakan, jika guru dan sekaligus ayah kalian itu tidak berkeberatan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera menangkap maksud Pangeran Singa Narpada. Namun sebelum mereka menjawab, Pangeran Singa Narpada meneruskan, “Tetapi jangan salah menangkap maksudku. Aku sama sekali tidak merasa mempunyai kelebihan dari ayah dan sekaligus gurumu itu. Yang ada padaku barangkali tidak sebaik yang ada pada ayahmu. Tetapi agaknya apa yang dimiliki oleh ayahmu itu berbeda dengan yang aku miliki. Jika yang berbeda itu mampu kau tangkap pula, maka didalam dirimu akan tersimpan beberapa macam ilmu. Meskipun ilmu yang dapat aku berikan kepadamu itu tidak lebih baik dari ilmu ayahmu, tetapi pada satu saat agaknya ada semacam ilmu orang lain yang lebih tepat kalian hadapi dengan ilmu itu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Baru sejenak kemudian Mahisa Murti menjawab, “Kami tentu akan berterima kasih sekali atas kemurahan hati Pangeran. Namun segala sesuatunya memang terserah kepada ayah. Jika ayah tidak berkeberatan karena beberapa pertimbangan, maka kami berdua akan menerima dengan segala kesungguhan hati dan rasa terima kasih.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “karena itu tinggallah disini untuk beberapa saat lamanya. Selain menunggu kau sembuh benar-benar, maka aku pun menunggu kedatangan ayahmu. Sementara itu, orang-orang yang kita tawan pun akan menjadi sembuh pula karenanya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi mereka sebenarnya memang berharap untuk dapat melengkapi ilmu mereka dengan kekuatan ilmu yang lain. Kakaknya, Mahisa Bungalan, yang juga pernah menerima ilmu ayahnya, namun justru ia berada pada puncak kemampuannya beralaskan ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni.

Karena itulah, maka untuk beberapa saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berada di istana Pangeran Singa Narpada. Perawatan yang dilakukan sudah hampir dilepaskan sama sekali, karena keduanya telah menjadi sembuh meskipun mereka masih harus memulihkan keadaan tubuh mereka.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa saat kemudian Mahendra telah datang pula ke istana Pangeran Singa Narpada. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa Mahendra tidak hanya sekedar menengok anaknya yang terluka, tetapi ia benar-benar telah membawa beberapa macam barang dagangan.

“Apa salahnya,” berkata Mahendra, “mudah-mudahan aku mendapatkan pasaran di sini.”

Namun sebenarnyalah Mahendra menjadi gembira melihat kedua anaknya telah menjadi hampir pulih kembali. Namun dalam kesempatan itu pula, ternyata bahwa Mahendra benar-benar mendapat kesempatan untuk memperluas daerah perdagangannya. Ternyata beberapa orang perwira di Kediri tertarik untuk membeli beberapa jenis batu-batu yang berharga. Batu akik dan jenis-jenis batu yang semacam. Beberapa cincin berbatu akik telah terjual. Bahkan satu dua orang di antara mereka telah membeli pula batu-batu permata.

Beberapa hari Mahendra berada di Kediri. Pangeran Singa Narpada telah memberikan tempat baginya untuk bermalam. Bahkan Pangeran Singa Narpada pulalah yang telah menghubungkannya dengan para perwira dan bangsawan di Kediri sehingga Mahendra dapat membuka pasaran baru.

“Ayah memanfaatkan keadaan ini,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak ada salahnya,” sahut Pangeran Singa Narpada, “ayahmu tidak merugikan orang lain. Dalam hubungan jual beli keduanya memang harus bersetuju.”

Mahendra sendiri tersenyum. Katanya, “Aku membawa barang-barang yang paling baik yang aku punya.”

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada telah menyampaikan maksudnya kepada Mahendra, bahwa ia ingin menyatakan terima kasihnya atas kedua anak muda itu dengan memberikan sesuatu kepada mereka.

“Aku bukan termasuk Pangeran yang berada, yang memiliki harta benda yang tidak terhitung. Karena itu, yang ingin aku berikan kepada kedua anak-anak muda itu adalah apa yang aku punya,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Pangeran terlalu merendahkan diri,” jawab Mahendra, “Pangeran mempunyai segala-galanya. Bahkan seandainya Pangeran menghendaki, maka Kediri adalah milik Pangeran.”

“Tentu tidak,” jawab Pangeran Singa Narpada, “selain itu, agaknya anak-anak muda itu tentu akan menolak jika aku memberikan pernyataan terima kasih dengan cara yang lain, dengan cara sebagaimana kebanyakan dilakukan orang.”

Namun dalam pembicaraan selanjutnya, ternyata Mahendra sama sekali tidak merasa berkeberatan jika Pangeran Singa Narpada ingin membantu meningkatkan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Tetapi aku mohon Pangeran mampu menyesuaikan dengan ilmu yang telah dimiliki oleh anak-anak itu,” berkata Mahendra kemudian.

“Aku akan berusaha,” berkata Pangeran Singa Narpada, “jika aku mengalami kesulitan, maka aku akan mengurungkan niat itu.”

“Baiklah Pangeran. Sudah sewajarnya aku sebagai ayahnya, mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Pangeran,” jawab Mahendra.

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada sudah berkenan untuk menurunkan ilmunya kepada kedua anak muda yang ternyata telah menarik hatinya itu. Dua orang anak muda yang memiliki kemampuan sebagai bekalnya melampaui dugaannya setelah keduanya ternyata mampu mengalahkan Kebo Sarik, yang agaknya seorang yang telah banyak makan garamnya kehidupan yang keras dalam dunia kanuragan. Namun dengan demikian, maka atas ijin Mahendra, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada di istana Pangeran Singa Narpada untuk waktu yang cukup lama.

“Sementara kita dapat berlatih bersama, sekaligus berusaha mendapat keterangan dari orang-orang bertongkat itu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran,” berkata Mahendra, “aku menitipkan anak-anak itu disini. Tetapi mohon Pangeran mengetahui, bahwa mereka adalah anak-anak dari padukuhan kecil yang kurang memahami unggah-ungguh dan paugeran hidup di lingkungan yang lebih tinggi.”

“Aku tertarik kepada keduanya sebagaimana adanya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Terima kasih Pangeran,” berkata Mahendra, “Pangeran telah memberikan terlalu banyak kepada keluarga kami. Kedua anakku akan menerima ilmu yang tidak dapat dinilai harganya, sementara itu, aku telah mendapat pasaran baru yang memberikan keuntungan dalam duniaku sebagai seorang pedagang.”

“Aku tidak akan kehilangan apapun,” jawab Pangeran Singa Narpada, “karena itu, maka aku merasa tidak berbuat apa-apa yang berlebihan.”

“Baiklah Pangeran,” berkata Mahendra, “jika besok aku mohon diri, maka biarlah anak-anak tinggal di sini. Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran.”

“Tetapi bukankah kau akan sering datang? Apakah dalam hubungan kedua anak muda yang tinggal disini, atau karena kau mempunyai dagangan baru yang barangkali menarik,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahendra tertawa. Namun katanya kemudian, “Aku akan datang lagi. Mungkin dengan Mahisa Agni atau Witantra atau keduanya.”

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Kita kembali ke Kediri saat itu. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra ternyata masih ingin mengulangi pengembaraan dimasa mudanya. Agaknya keduanya merasa tidak mempunyai kewajiban yang mengikat lagi di istana Singasari.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “besok anak-anak itu akan mulai dengan laku yang harus mereka jalani sementara aku ingin melihat celah-celah ilmu mereka yang dapat aku sisipi ilmu yang mudah-mudahan berarti bagi keduanya.”

Sebagaimana direncanakan, maka dihari berikutnya Mahendra telah meninggalkan Kediri. Baru sepeninggal Mahendra, Pangeran Singa Narpada bersiap-siap untuk menempa kedua orang anak muda yang sangat menarik baginya itu. Kedua anak muda itu harus mulai dengan laku yang dapat memberikan kejelasan bagi Pangeran Singa Narpada tentang ilmu yang pernah dimilikinya.

Pangeran Singa Narpada sendiri tidak mengerti, kenapa ia lebih tertarik kepada kedua anak muda itu daripada lingkungan istana Kediri sendiri. Kepercayaannya kepada para bangsawan Kediri telah menjadi kabur sejak beberapa tingkat pemberontakan yang pernah terjadi. Yang terakhir adalah pemberontakan Pangeran Kuda Permati.

Sementara itu, nampaknya para bangsawan Kediri tidak bersungguh-sungguh berusaha untuk menumpas pemberontakan itu. Bahkan Sri Baginda sendiri nampak ragu-ragu dengan langkah-langkahnya. Sehingga Pangeran Singa Narpada sendiri pernah justru ditangkap dan ditahan untuk beberapa lama.

Karena itu, rasa-rasanya Pangeran Singa Narpada tidak rela untuk mewariskan ilmunya kepada orang-orang yang kurang dipercayainya. Orang-orang yang pada suatu saat mungkin akan bersikap lain, bahkan bertentangan dengan dirinya.

Dengan demikian maka bagi Pangeran Singa Narpada lebih baik untuk mewariskan ilmunya justru kepada orang lain sama sekali yang sudah jelas menunjukkan satu sikap yang bagi Pangeran Singa Narpada sangat menarik. Sejalan dengan keyakinannya sendiri.

Meskipun demikian Pangeran Singa Narpada tidak melakukannya dengan semata-mata. Pangeran Singa Narpada telah berusaha agar yang dilakukan itu tidak diketahui oleh orang-orang Kediri terutama di lingkungan para bangsawan, sehingga tidak akan menimbulkan iri hati pada mereka yang merasa memerlukan peningkatan ilmu. Karena itulah, maka waktu yang dipergunakan oleh Pangeran Singa Narpada adalah waktu yang khusus. Malam hari. Waktu yang tidak banyak diperlukan oleh orang lain...