Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 16
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANGERAN Lembu Sabdata sendiri yang bertempur melawan Mahisa Pukat telah mengerahkan Segenap kemampuannya. Meskipun dalam pertempuran sebelumnya ia tidak pernah dapat menang, namun pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak merasa cemas. Dengan ilmu pedang yang dikuasainya, Pangeran Lembu Sabdata telah melibat Mahisa Pukat dalam pertempuran yang cepat.

Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi serangan-serangan Pangeran Lembu Sabdata yang cepat. Dengan tangkasnya ia melayaninya. Meloncat menghindari serangan yang datang, namun kemudian dengan garangnya telah menyerang lawannya pula.

Sebenarnyalah Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu telah mempercayakan diri kepada kedua orang yang menolongnya. Ia merasa, bahwa keduanya akan dapat membebaskannya. Jika ia mampu bertahan untuk beberapa saat maka kedua orang itu tentu sudah dapat menyelesaikan tugasnya, yang selanjutnya akan dapat menolongnya melepaskan diri dari tangan Mahisa Pukat.

Tetapi ternyata harapan itu tidak segera terjadi. Kedua orang yang berusaha membebaskannya itu tidak dengan mudah dapat mengalahkan Mahisa Murti dan Senopati yang memimpin para prajurit di banjar itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Senopati itu telah bertempur dengan garangnya pula, sehingga kedua orang itu pun harus mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Namun Mahisa Murti masih tetap dengan kemampuan yang ada padanya mengimbangi serangan-serangan lawannya yang garang.

Tetapi dalam pada itu. Senapati Singasari yang memimpin para prajurit yang tertidur di banjar itu, semakin lama semakin terasa betapa beratnya tekanan lawannya. Namun sebagai seorang prajurit ia telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Betapapun juga keadaannya, tetapi Senapati itu sama sekali tidak menjadi lemah hatinya. Ia tetap bertempur dengan sengitnya. Dengan demikian, maka pertempuran di banjar itu pun kemudian menjadi semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Namun demikian, hiruk-pikuk pertempuran itu sama sekali tidak dapat membangunkan para prajurit dan para pengawal yang sedang tertidur nyenyak. Bahkan kaki yang terinjak pun seakan-akan tidak lagi dapat merasakan betapa sentuhan itu membuatnya kesakitan. Karena Itu, apapun yang terjadi, maka ketiga orang itu tidak dapat mengharapkan bantuan dari orang lain. Ketiganya harus bertempur dengan kekuatan sendiri melawan Pangeran Lembu Sabdata dan dua orang yang berusaha untuk membebaskannya.

Sementara itu, Mahisa Muni yang bertempur melawan orang yang telah melepaskannya sirep yang kuat itu, ternyata tidak segera dapat ditundukkannya. Meskipun lawannya itu mampu melepaskan kekuatan sirep, namun dalam olah kanuragan ia tidak dapat melampaui ketrampilan Mahisa Murti.

Dalam benturan-benturan kekuatan, ternyata bahwa Mahisa Murti justru memiliki sedikit kelebihan. Meskipun demikian, kadang-kadang orang yang memiliki ilmu sirep itu dapat membuatnya berdebar-debar. Orang itu memiliki kecepatan gerak yang tinggi yang kadang-kadang melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti.

Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mau terpancing ke dalam pertempuran yang cepat. Mahisa Murti yang kemudian meyakini bahwa ia memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya, berusaha untuk tidak terlalu banyak bergerak. Kedua kakinya bagaikan terhunjam ke dalam tanah. Dalam menghadapi gerak lawannya yang cepat. Mahisa Murti hanya bergeser setapak-setapak. Tetapi Mahisa Murti masih selalu berhasil berdiri menghadap kepadanya.

Bahkan dalam pertempuran berikutnya, Mahisa Murti tidak lagi banyak berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan lawannya. Namun ia lebih banyak membenturkan kekuatannya menghadapi serangan lawannya itu.

“Gila” geram lawannya yang mampu melontarkan kekuatan sirep yang sangat tajam, “anak ini memang cerdik. Ia tidak mau terpancing untuk mengadu kecepatan gerak. Tetapi ia lebih senang membenturkan kekuatannya”

Sebenarnya dalam benturan-benturan yang terjadi tangan lawan Mahisa Murti itu menjadi pedih. Bahkan setiap kali ia harus berloncatan mengambil jarak untuk memperbaiki genggaman senjatanya. Namun Mahisa Murti tidak berusaha memburunya. Ia sadar, bahwa lawannya memiliki kecepatan gerak yang sedikit lebih tinggi, sehingga jika ia terpancing untuk bertempur dalam loncatan-loncatan panjang, maka ia akan mengalami kesulitan.

Sementara itu, orang yang bertempur melawan Senapati Singasari itu berusaha dengan segenap kemampuannya untuk dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Ia harus berusaha membawa Pangeran Lembu Sabdata secepatnya keluar dari halaman banjar.

Namun demikian, Senapati itu tidak dengan mudah dapat dikalahkannya, karena sebagai seorang prajurit Senapati itu telah mempertaruhkan semua kemampuan yang ada padanya untuk melawan orang yang datang untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah berpacu dengan waktu pula. Dalam sekilas ia melihat, bahwa Senapati Singasari itu justru telah terdesak oleh lawannya.

Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka Pangeran Lembu Sabdata memang tidak dapat mengelakkan pengakuan atas satu kenyataan bahwa ia memang tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Pukat. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah sekedar bertahan. Ia hanya dapat menunggu kedua orang yang akan membebaskannya itu menyelesaikan tugas mereka dengan melumpuhkan lawan-lawan mereka. Dengan demikian, maka keduanya akan dapat menolongnya, membunuh anak muda yang keras kepala itu dan kemudian bersama-sama melarikan diri.

Tetapi Mahisa Pukat telah mendesaknya semakin berat. Mahisa Pukat tidak mau kehilangan waktu. Jika seorang lawannya mampu memenangkan pertempuran lebih dahulu, maka ia akan mengalami kesulitan. Apalagi nampaknya Mahisa Murti tidak akan segera dapat menyelesaikan pertempurannya meskipun keadaannya tidak mencemaskan sebagaimana Senopati dari Singasari itu.

Bahkan dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Murti yang tidak saja bertempur dengan kemampuan ilmunya, tetapi juga dengan otaknya, berhasil memancing lawannya untuk menyerangnya lebih sering, sehingga dengan demikian ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membenturkan kekuatannya. Mahisa Murti sadar, bahwa benturan kekuatan berarti satu hentakkan yang dapat membuat tangan lawannya menjadi sakit.

Bahkan ketika kemudian lawannya berusaha untuk menghindari benturan-benturan senjata, maka Mahisa Murti hampir tidak berbuat apa-apa kecuali hanya bergeser saja menghadap ke arah lawannya, kemanapun ia meloncat.

“Anak setan” geram lawannya.

Tetapi Mahisa Murti tetap pada sikapnya. Namun Mahisa Murti tidak membiarkan pertempuran itu menjadi semakin berlarut-larut. Dalam keadaan yang sudah diperhitungkan, Mahisa Murti lah yang meloncat menyerang dengan ayunan senjata yang melontarkan kekuatannya yang dahsyat.

Sekali-kali lawannya memang mampu meloncat menghindar dengan kecepatannya yang melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti, tetapi pada saat tertentu, gerak Mahisa Murti pun demikian tiba-tiba diluar perhitungan lawannya, sehingga lawannya harus menangkis serangan Mahisa Murti, sehingga dengan demikian terjadi satu benturan yang Sangat keras.

Tapi sejenak kemudian, ketika lawannya telah berhasil memperbaiki keadaannya dengan menghindari benturan-benturan berikutnya, kembali Mahisa Murti tegak bagaikan tonggak yang menghunjam ke dalam pusat bumi. Tegak dan tidak dapat digoyahkan.

Pada saat yang demikian itulah maka baik Pangeran Lembu Sabdata maupun kedua orang yang akan membebaskannya menjadi gelisah. Yang bertempur melawan Senopati dari Singasari, meskipun ia merasa dapat mengalahkannya, tetapi ternyata Senopati itu seakan-akan menjadi sangat liat. Menurut perhitungannya semuanya akan dapat segera diselesaikan, tetapi ternyata bahwa setiap kali ia menghadapi satu keadaan yang tidak diduganya. Senopati itu masih sempat menghindari serangannya yang dianggapnya akan mampu mematikannya.

Karena itulah, maka kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu mulai menjadi cemas. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa keadaan Pangeran Lembu Sabdata sendiri menjadi sulit.

Dalam pada itu, Mahisa Murti tidak menyia-nyiakan setiap perkembangan keadaan. Ketika ia melihat lawannya menjadi gelisah, maka ia justru berusaha menyerang dengan hentakkan-hentakkan yang mendebarkan. Meskipun lawannya masih tetap mampu bergerak cepat, tetapi dalam hentakkan-hentakkan itu Mahisa Murti berhasil membuat benturan-benturan senjata yang sangat berpengaruh atas lawannya.

Tangan lawannya yang setiap kali terasa menjadi pedih, semakin lama semakin mempengaruhi kemampuannya menggenggam senjata. Karena itu, maka lawannya itu pun harus memusatkan serangan-serangannya berdasarkan kepada kecepatan gerak. Namun dalam keadaan yang demikian, kembali Mahisa Murti bertahan pada sikapnya.

Kecemasan semakin mencengkam kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Yang melawan Senopati dari Singasari itu pun menjadi gelisah pula. Senopati itu masih juga belum dapat diselesaikan, sementara Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin terdesak. Agaknya Mahisa Pukat akan memenangkan perlombaan dengan lawan Senopati dari Singasari itu.

Kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu terkejut ketika mereka mendengar desis tertahan. Pangeran Lembu Sabdata terdorong surut. Agaknya pedang Mahisa Pukat telah menyentuh tubuhnya meskipun tidak terlalu dalam.

Yang tidak terduga, hampir bersamaan, Mahisa Murti berhasil memancing benturan senjata yang sangat kuat. Kedua senjata yang saling membentur itu telah menimbulkan loncatan-loncatan bunga api. Demikian kerasnya benturan itu, sehingga hampir saja senjata lawan Mahisa Murti itu terloncat dari tangannya.

Saat yang demikian itulah yang ditunggu oleh Mahisa Murti. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan, maka iapun telah menjulurkan pedangnya. Dengan cepat lawannya mengelak. Melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti. Karena itu, maka senjata Mahisa Murti tidak dapat menghunjam ke dadanya, dan menyentuh jantung. Tetapi ujung senjata itu sempat pula menggores di dada lawannya, sehingga di dada itu telah tergurat seleret garis yang merekah karena darah yang mengembun.

Lawan Mahisa Murti itu mengumpat. Dengan tangkasnya ia melenting menjauh. Namun dengan kemarahan yang membakar jantungnya, ia telah meloncat pula menyerang. Geraknya menjadi lebih cepat oleh kemarahan yang meluap itu.

Mahisa Murti bergeser setapak. Ternyata gerak lawannya menjadi semakin sulit untuk diikutinya. Tetapi dengan perhitungan yang mapan, maka Mahisa Murti berhasil membuat lawannya mengakui kemantapan tempurnya.

Meskipun setiap kali Mahisa Murti harus bergeser surut, namun tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya menyambar tubuh lawannya. Jika lawannya mengelak, maka dengan sepenuh kemampuannya ia berusaha memburunya dengan ayunan senjatanya, sehingga lawannya harus melindungi diri dengan senjatanya pula. Pada saat-saat yang demikian maka terjadi benturan-benturan kekuatan yang menguntungkannya.

Namun kemarahan lawannya agaknya membuat Mahisa Murti sedikit terdesak. Kecepatan gerak lawannya agak membingungkannya ketika serangan itu datang seakan-akan dari segenap arah. Tetapi lawan Mahisa Murti itu ternyata harus memperhitungkan seluruh keadaan. Kawannya masih belum berhasil melumpuhkan Senopati Singasari yang meskipun sudah terdesak terus. Sementara Mahisa Murti masih mampu memberikan perlawanan yang kadang-kadang justru mengejutkan. Bahkan berhasil melukai dadanya meskipun tidak terlalu dalam.

Yang ternyata keadaannya kemudian paling sulit adalah Pangeran Lembu Sabdata sendiri. Ia menjadi semakin terdesak. Mahisa Pukat pun mempunyai perhitungan tersendiri atas keseluruhan medan. Iapun berusaha berpacu untuk memenangkan pertempuran itu jika ia tidak ingin mengalami kesulitan. Apalagi ketika ia melihat bahwa Mahisa Murti ternyata juga mulai terdesak. Lawannya, yang memiliki ilmu sirep itu ternyata memang seorang yang menguasai ilmu kanuragan yang tinggi. Kecepatan geraknya merupakan kelebihan yang kemudian ternyata agak sulit diimbangi oleh Mahisa Murti, meskipun dengan tiba-tiba diluar perhitungan lawannya, ia justru berhasil melukainya.

Pada saat yang paling mendesak, maka kedua orang itu harus mengambil satu keputusan yang paling baik bagi mereka. Merekapun harus memperhitungkan waktu. Orang-orang yang berada di banjar itu, pada satu saat tentu-akan terbangun mendengar hiruk pikuk karena kekuatan sirep yang mereka lontarkan telah tidak lagi mampu mencengkam sasarannya.

Dalam keadaan yang gawat itu, maka tiba-tiba saja, salah seorang dari kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu memberikan satu isyarat kepada kawannya. Mahisa Murti tidak terlepas dari kewaspadaan, yang membuatnya secara naluriah meloncat menjauhi lawannya untuk melihat apa yang akan dilakukan setelah didengarnya isyarat yang mengejutkan itu.

Sebenarnyalah yang terjadi memang mendebarkan. Ternyata kedua orang itu hampir bersamaan telah melontarkan senjata yang aneh, yang diambilnya dari kantong di ikat pinggangnya. Mahisa Murti yang pernah mengenal Ki Sarpa Kuning, segera menduga bahwa yang dilemparkan oleh lawannya itu adalah seekor ular. Karena itu, nalarnya cepat bekerja untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya itu. Bahkan kesulitan itu akan datang terutama tidak dari dirinya sendiri, tetapi dari Senopati Singasari itu.

Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Mahisa Murti pun sangat mengejutkan lawannya, Mahisa Murti sama sekali tidak menghiraukan ular yang dilemparkan kepadanya dan langsung mematuk lengannya. Tetapi dengan serta merta ia justru telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya langsung ke dada lawannya.

Lawannya sama sekali tidak menduga. Lawannya itu memperhitungkan kemungkinan yang lain, Mahisa Murti di-sangkanya akan menjadi bingung dan putus asa karena gigitan ular yang sangat berbisa itu. Tetapi ternyata yang dilakukan adalah lain. Karena itu, maka lawannya yang sama sekali tidak bersiaga menghadapi serangan itu berusaha untuk mengelak. Tetapi Mahisa Murti pun sempat menggerakkan pedangnya mendatar. Meskipun tidak begitu keras, tetapi pedangnya itu telah menyambar lambung lawannya yang sedang meloncat, tanpa sempat menangkisnya.

Terdengar desah dari mulut lawan Mahisa Murti itu. Sebuah luka telah menganga. Lebih dalam dari luka yang tergores di dadanya. Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Namun dengan penuh kebencian ia berkata, “Kau akan mati. Gigitan ular itu tidak akan dapat diobati oleh siapapun juga”

Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Namun jantungnya bergetar ketika ia melihat Senopati itu menyeringai menahan sakit. Seekor ular membelit kakinya sambil menggigit pahanya. Dengan pedangnya Senopati itu menebas tubuh ular itu sehingga putus. Tetapi gigitan ular itu tidak segera terlepas dari kakinya.

Mahisa Murti masih mendengar lawan Senopati itu tertawa. Tetapi tiba-tiba saja suara tertawanya patah di tengah ketika ia melihat kawannya terhuyung-huyung dan jatuh di tanah dengan luka di dada dan lambung. Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti telah meloncat menyerang dengan garangnya tanpa menghiraukan seekor ular yang masih menggantung di tangannya.

Serangan itu sangat mengejutkan. Lawannya benar-benar tidak menyangkanya sebagaimana kawannya yang terluka. Namun demikian, orang itu masih mempunyai kesempatan untuk mengelakkan serangan Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti tidak melepaskannya. Dengan garangnya ia memburu lawannya dengan pedang yang berputaran.

Goncangan perasaanlah yang sebenarnya telah menghambat tata gerak lawannya. Ketika ia melihat ular yang tergantung di lengan Mahisa Murti, justru dengan demikian serangan-serangan Mahisa Murti datang bagaikan prahara, jantungnya terasa berdentangan semakin cepat. Karena itulah, maka bukan Mahisa Murti yang menjadi bingung dan berputus asa, tetapi justru lawannya itulah.

Dengan demikian, maka pada saat yang singkat dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Mahisa Murti berhasil mendesak lawannya. Dalam putaran senjata yang cepat dan kuat, Mahisa Murti telah berhasil memaksa lawannya menangkis serangannya.

Kesempatan itu tidak dilepaskan oleh Mahisa Murti. Sekali lagi ia mengayunkan pedangnya dengan segenap kemampuannya. Dan sekali lagi terjadi benturan yang sangat keras. Ternyata lawan Mahisa Murti tidak berhasil mempertahankan pedangnya. Tiba-tiba saja pedangnya telah terlempar jatuh. Tetapi seperti yang diduga, lawannya itu telah melemparkan senjatanya yang lain. Mirip sekali dengan apa yang telah dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning.

Namun sekali lagi orang itu dicengkam oleh kegelisahan dan ketegangan. Mahisa Murti sama sekali tidak mengelak ketika seekor ular kemudian menggigit pundaknya. Bahkan dengan loncatan panjang Mahisa Murti masih tetap menyerang. Lawannyalah yang kemudian menjadi kehilangan keseimbangan berpikir. Tiba-tiba saja orang itu telah sampai kepada keputusan terakhir dari langkah yang harus diambil. Sebagaimana perintah yang dibawanya, jika ia tidak berhasil menyelamatkan Pangeran Lembu Sabdata, maka jalan yang harus ditempuhnya adalah justru membunuhnya.

Karena itu, pada kesempatan terakhir itu, orang itu masih berusaha mempergunakannya untuk menjalankan perintah itu. Dengan serta merta, maka orang itu telah berlari justru ke arah Pangeran Lembu Sabdata yang masih berusaha bertahan. Hampir diluar penglihatan mata Pangeran Lembu Sabdata sendiri orang itu telah melepaskan senjata anehnya ke arah Pangeran itu.

“Pangeran” teriak Mahisa Murti, “menghindarlah”

Tetapi terlambat. Seekor ular lebih besar sedikit dari sebatang lidi telah melekat di punggungnya, sekaligus mematuknya.

“Gila” teriak Pangeran Lembu Sabdata.

Mahisa Pukat telah terkejut pula karenanya. Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata telah melemparkan senjatanya dan mengibaskan seekor ular yang melekat di punggungnya dengan laku seperti orang yang kesurupan.

“Jangan kebingungan Pangeran” teriak Mahisa Murti pula. Sementara itu, pedangnya telah berhasil menggores tubuh orang yang telah melemparkan ular ke punggung Pangeran Lembu Sabdata. Sejenak orang itu terhuyung-huyung. Namun sejenak kemudian orang itu telah terjatuh di tanah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Cepat. Selamatkan Pangeran dari bisa ular itu”

Barulah Mahisa Pukat sadar apa yang telah terjadi. Dengan tergesa-gesa iapun segera menghampiri tubuh Pangeran Lembu Sabdata yang mulai menggigil. Bukan saja karena lukanya oleh sentuhan pedang Mahisa Pukat dan gigitan ular di punggung. Tetapi kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya atas sikap orang yang berusaha membebaskannya itu membuat darahnya bagaikan mendidih.

Sementara itu, Mahisa Murti pun telah berlari ke arah Senopati yang telah terduduk di tanah. Terasa di tubuhnya bisa ular itu mulai menjalar bersama dengan arus darahnya.

“Kita akan mati” desis Senopati itu, “ular itu tentu sangat berbisa. Apalagi kau telah digigit oleh dua ekor ular sekaligus”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah duduk di sebelah Senopati yang menjadi semakin lemah. Dalam pada itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah berusaha mempergunakan batu akik dan akar penangkal bisa untuk menolong Pangeran Lembu Sabdata dan Senopati Singasari yang terluka.

Tetapi ternyata gigitan ular itu benar-benar berbahaya. Mahisa Murti sendiri yang telah digigit oleh dua ekor ular, merasa tubuhnya menjadi gemetar, sementara itu, ia masih harus melekatkan cincinnya pada luka di tubuh Senopati Singasari itu tanpa melepaskan dari jari-jarinya.

Mahisa Pukat yang menolong Pangeran Lembu Sabdata dari gigitan ular itu pun menjadi cemas. Mahisa Pukat sendiri tidak mengalami kesulitan apa-apa. Tetapi ia menyadari, bahwa Mahisa Murti tengah berjuang untuk dirinya sendiri dan Senopati dari Singasari itu dari gigitan ular yang sangat berbisa.

Karena itu, maka oleh kecemasan yang mendesak di dadanya, maka Mahisa Pukat pun telah mengambil satu sikap. Setelah melekatkan gelang akarnya di tangan Pangeran Lembu Sabdata yang pingsan, maka Mahisa Pukat pun telah berlari ke gardu di gerbang halaman banjar. Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan memecah sepinya malam.

Orang-orang yang ada di banjar itu sendiri tidak mendengar suara kentongan itu. Bahkan orang-orang yang tinggal di sekitar banjar itu pun agaknya telah terpengaruh pula oleh sirep yang tajam, meskipun perlahan-lahan mulai berkurang.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di rumah Ki Sanggarana telah terkejut mendengar suara kentongan itu. Lebih-lebih Ki Waruju yang sejak sore telah merasakan satu keadaan yang tidak wajar menurut petunjuk firasatnya. Karena itu, maka beberapa orang dengan tergesa-gesa telah pergi ke banjar. Termasuk Pangeran Singa Narpada dan Ki Waruju di samping Ki Sanggarana sendiri.

“Kalian tinggal di sini” pesan Pangeran Singa Narpada kepada beberapa orang yang datang ke Kabuyutan itu bersamanya, “tetapi berhati-hatilah. Agaknya kita memang harus berjaga-jaga”

Ki Sanggarana pun telah memberikan beberapa pesan pula kepada para pemimpin anak-anak muda Talang Amba yang menjadi berdebar-debar mendengar kentongan itu, sementara beberapa orang prajurit Singasari pun telah bersiap untuk mengadakan pengamatan di padukuhan induk itu. Bahkan Pemimpin yang bertanggung jawab atas seluruh pasukan Singasari di Talang Amba telah memerintahkan untuk menghubungi beberapa padukuhan yang lain agar mereka berhati-hati.

Ketika orang-orang yang gelisah itu datang ke banjar, maka mereka pun segera mengetahui apa yang terjadi. Beberapa orang masih tetap tidur silang melintang. Sementara itu, dengan jantung yang berdebaran, Ki Waruju berlari-lari menemui Mahisa Pukat yang masih saja membunyikan kentongan. Bahkan di beberapa gardu yang justru terletak agak jauh dari banjar, suara kentongan itu sudah disahut dan menjalar dari padukuhan ke padukuhan lainnya.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Waruju.

“Sirep” jawab Mahisa Pukat yang meletakkan pemukul kentongannya, “Mahisa Murti sedang bekerja keras untuk menyelamatkan seorang Senopati dari Singasari, sementara itu Pangeran Lembu Sabdata pun telah terkena racun ular yang sangat berbisa”

“Dimana?” bertanya Pangeran Singa Narpada yang mendengar jawaban Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat pun kemudian membawa mereka ke ruang dalam. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Waruju pun segera berlari ke arah Mahisa Murti yang mulai menjadi sangat letih. Racun yang bekerja di dalam dirinya cukup kuat untuk mengguncang pertahanannya. Tetapi justru karena ia harus membantu menyelamatkan seorang Senopati dari Singasari itulah, maka beban penangkal racunnya menjadi terlalu berat.

“Dimana penangkal racunmu?” bertanya Ki Waruju kepada Mahisa Pukat.

Sambil menunjuk ke arah Pangeran Lembu Sabdata yang terbaring, Mahisa Pukat berkata, “Pangeran Lembu Sabdata juga mengalami keadaan yang gawat”

“Kau obati Pangeran Lembu Sabdata dengan penangkal racunmu?” bertanya Ki Waruju.

“Ya. Semula Pangeran itu menggigil. Namun kemudian menjadi pingsan” jawab Mahisa Pukat.

Ki Waruju tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia tidak boleh terlambat. Karena itu, maka iapun segera berusaha untuk membantu Mahisa Murti. “Mahisa Murti” desis Ki Waruju, “lepaskan Senopati itu”

Mahisa Murti termangu-mangu. Dengan lemah ia "menjawab, “Ia akan mati jika tidak ada pertolongan baginya”

“Aku akan menolongnya” jawab Ki Waruju.

Mahisa Murti menyadari, bahwa Ki Waruju pun memiliki penangkal bisa pula seperti dirinya dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka dengan lemah Mahisa Murti pun mengangkat tangannya dari tubuh Senopati yang terkena gigitan ular itu.

“Kau akan mampu menolong dirimu sendiri” berkata Ki Waruju.

Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu, Ki Waruju lah yang kemudian membantu Senopati itu dengan penangkal racunnya. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun telah berdiri di sisi tubuh Pangeran Lembu Sabdata. Dengan wajah tegang ia bergumam,

“Satu usaha untuk menghilangkan jejak. Jika adimas Lembu Sabdata terbunuh, maka sulit bagi kita untuk menelusuri jejak pengkhianatannya”

Mahisa Pukat yang kemudian berjongkok di sisi tubuh itu pun berdesis, “Ia mulai sadar”

“Syukurlah” jawab Pangeran Singa Narpada.

Sementara itu, oleh penangkal racun Mahisa Pukat, sebenarnyalah keadaan Pangeran Lembu Sabdata menjadi berangsur-angsur baik. Perlahan-lahan racun yang telah mengalir di urat darahnya bagaikan terdorong kembali ke luka gigitan ular di punggungnya. Kemudian perlahan-lahan, dari luka itu telah mengalir darah yang kehitam-hitaman. Baru kemudian, darahnya yang merah mulai meleleh dari luka itu.

Sejenak kemudian Pangeran Lembu Sabdata pun telah menjadi sadar. Luka-lukanya menjadi tidak lebih dari luka biasa yang tidak seberapa besarnya. Namun tubuhnya terasa masih terlalu lemah. Ketika Pangeran itu membuka matanya, maka yang dilihatnya adalah Pangeran Singa Narpada yang berdiri tegak di sisinya berbaring. Perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata bangkit dibantu oleh Mahisa Pukat dan duduk bertelekan kedua tangannya. Perlahan-lahan nafasnya pun mulai menjadi teratur sebagaimana arus darahnya.

Di sebelah lain, Mahisa Murti yang bebannya menjadi lebih ringan, perlahan-lahan menjadi semakin baik pula. Demikianlah, akhirnya mereka yang terkena racun bisa ular itu pun berangsur menjadi sembuh selain luka-luka di kulit dan daging mereka yang sama sekali tidak berbahaya. Sementara keadaan Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin baik, Mahisa Pukat telah mengambil kembali penangkal racunnya dan dikenakannya di pergelangan tangannya.

“Adimas” desis Pangeran Singa Narpada, “hampir saja adimas kehilangan kesempatan untuk melihat matahari terbit esok pagi”

Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, beberapa orang telah berusaha untuk menolong dua orang yang terluka oleh senjata Mahisa Murti.

“Jika anak-anak muda ini tidak bertindak cepat untuk menolong adimas, meskipun adimas dapat digolongkan lawan dari keduanya, maka adimas sudah tidak lagi akan dapat bangkit untuk selamanya” berkata Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Lembu Sabdata menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ingatannya telah pulih kembali, sehingga ia dapat menggambarkan seluruhnya apa yang telah terjadi atas dirinya.

“Baiklah” berkata Pangeran Singa Narpada, “adimas tentu masih merasa letih sekali. Biarlah adimas beristirahat sebaik-baiknya di sisa malam ini. Luka adimas meskipun tidak membahayakan jiwa adimas lagi, tetapi juga memerlukan perawatan. Namun yang penting bagi adimas, di sisa malam ini adimas dapat merenungkan apa yang telah terjadi malam ini, sehingga adimas dapat mengambil atas kesimpulan yang paling baik bagi adimas, tetapi juga bagi Kediri dan Singasari. Bagi keluarga besar kita”

Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Namun sejenak kemudian ia telah mengedarkan tatapan matanya ke sekitarnya. Ternyata beberapa orang prajurit dan pengawal yang tertidur nyenyak telah mulai sadar. Demikianlah, maka Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian telah dipersilahkan masuk kembali ke dalam biliknya. Namun karena pintu sudah dirusakkannya, maka pengawalannya pun menjadi lebih ketat. Sementara itu seseorang telah mengobati luka-lukanya pula.

Dalam pada itu, maka para pengawal dan para prajurit pun telah terbangun dari tidur mereka yang nyenyak. Bahkan sebagian dari mereka masih harus dibangunkan dengan susah payah. Namun agaknya pengaruh sirep di banjar itu pun telah menjadi kehilangan kekuatan.

Pangeran Singa Narpada dengan beberapa orang pimpinan Kabuyutan Talang Amba serta Ki Waruju tidak lagi kembali ke rumah Ki Sanggarana. Mereka tetap berada di banjar, duduk diatas sehelai tikar di pendapa. Agaknya keadaan Talang Amba masih tetap gawat dan dibayangi oleh kekuatan yang ingin menghancurkan Singasari lewat segala cara dan dari sudut manapun juga.

Namun dalam pada itu, di dalam biliknya, Pangeran Lembu Sabdata masih sempat merenungi keadaannya. Terasa tubuhnya masih terlalu lemah meskipun tidak lagi membahayakan jiwanya. Tetapi peristiwa yang baru saja terjadi, justru telah membakar penilaiannya atas keadaan yang dihadapinya.

Dengan sepenuh hati ia telah berjuang untuk kepentingan beberapa orang saudaranya yang bersepakat untuk menghancurkan Singasari dan membangunkan kembali kekuasaan Kediri yang telah dirampas oleh Ken Arok, Akuwu Tumapel dan yang kemudian telah membangun Singasari yang berkembang dengan perkasa. Tetapi hasilnya sama sekali tidak berarti. Bahkan ketika dua orang diantara lingkungannya yang gagal menolongnya, justru telah sampai hati berusaha untuk membunuhnya. Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian menyadari keadaan dirinya sendiri.

“Aku tidak lebih dari alat saja” gumam Pangeran Lembu Sabdata di dalam hatinya, “Jika mereka merasa tidak lagi dapat mempergunakan aku, atau justru berbahaya bagi kedudukan mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk membunuhnya”

Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Tetapi iapun kemudian tidak berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapinya. Tiba-tiba saja ia menjadi malas berpikir. Hampir diluar sadarnya. Pangeran Lembu Sabdata yang menjadi sangat kecewa itu telah membaringkan dirinya. Ia tidak peduli lagi, apa yang terjadi diluar biliknya yang pintunya telah rusak itu.

“Aku akan tidur. Persetan dengan keadaan yang kusut ini” desisnya.

Sementara Pangeran Lembu Sabdata berbaring, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang menunggui orang-orang yang berusaha mengobati dua orang yang terbuka oleh pedang itu. Ternyata luka itu cukup parah sehingga sulit bagi orang-orang yang berusaha menolongnya untuk mempertahankan hidup kedua orang itu. Tetapi mereka masih tetap berusaha.

“Tidak ada gunanya” salah seorang dari kedua orang itu berdesis.

“Kami harus berusaha” jawab orang yang menolongnya.

Tetapi orang itu menggeleng lemah. Namun sementara itu, Mahisa Murti pun telah bertanya, “He, apakah kau murid atau saudara seperguruan Ki Sarpa Kuning?”

“Persetan dengan Sarpa Kuning,“ orang itu menggeram. Tetapi keadaannya justru menjadi semakin buruk. Sehingga orang-orang yang menunggui keduanya pun menjadi putus asa. Agaknya kedua orang itu memang sulit untuk ditolong jiwanya.

Namun dalam pada itu, orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari masih tetap berusaha. Jika keduanya dapat ditolong jiwanya, maka keduanya pun akan dapat menjadi sumber keterangan yang barangkali bermanfaat. Dengan hati-hati kedua orang itu pun kemudian telah dibawa ke dalam sebuah bilik di bagian belakang banjar itu. Namun demikian, para prajurit Singasari yang memiliki pengalaman yang cukup, tidak lepas dari kewaspadaan. Kedua orang itu telah mendapat pengawalan yang sangat ketat.

Tetapi ternyata bahwa yang diharapkan itu hanyalah sekedar harapan saja. Karena luka-lukanya, maka kedua orang itu tidak lagi dapat diselamatkan jiwanya. Seorang demi seorang keduanya telah menarik nafas terakhir, sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu kepada para prajurit Singasari dan orang-orang Talang Amba.

Ketika Pangeran Singa Narpada mendapat laporan tentang hal itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Apa boleh buat. Sebenarnya mereka merupakan orang-orang penting bagi kita”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Namun kematian memang tidak akan dapat ditawar apapun sebabnya. Jika batas waktu itu telah datang, maka setiap orang akan tinggal menjalaninya dengan lantaran yang berbeda-beda

Sementara itu, Senopati Singasari yang memimpin para prajurit yang bertugas di banjar itu pun telah, menjadi berangsur baik sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata. Di serambi belakang, diantara beberapa orang kawannya ia berbaring untuk menenangkan diri. Luka-lukanya yang telah diobati itu masih terasa pedih. Tetapi sudah tidak berbahaya lagi bagi jiwanya, karena bisa ular yang menyusup ke dalam darahnya telah terhisap keluar.

“Untunglah ada anak-anak muda itu” berkata Senopati itu kepada kawannya, “tanpa mereka, segalanya akan menjadi rusak. Mungkin Pangeran itu telah tidak akan dapat kita ketemukan lagi”

“Keduanya pantas mendapat kehormatan” desis kawannya.

Ketika Pangeran Singa Narpada mendapat laporan tentang hal itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Apa boleh buat. Sebenarnya mereka melupakan orang-orang penting bagi kita”

“Lukaku karena gigitan ular berbisa itu pun telah mendapat pertolongannya pula, sehingga nyawaku dapat diselamatkan” desis Senopati itu, “tetapi Mahisa Murti sendiri mula-mula mengalami kesulitan karena penangkal racunnya harus bekerja terlalu berat. Untunglah Ki Waruju segera datang”

Kawannya mengangguk-angguk. Terbayang apa yang telah terjadi, sementara para prajurit yang lain telah tertidur nyenyak tanpa dapat memberikan bantuan apapun juga.

“Kedua anak muda itu memang luar biasa” desis prajurit itu tiba-tiba.

“Apa? bertanya Senopati yang terluka itu.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab kawannya, “Kenapa mereka tidak menjadi prajurit saja?”

“Kakaknya adalah Senopati yang mumpuni” desis Senopati yang terluka itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Memang tidak aneh bahwa kedua anak muda itu memiliki kemampuan yang mengagumkan, apalagi ditilik umur mereka yang masih muda. karena keduanya adalah adik dari seorang Senopati yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya.

Dalam pada itu. Pangeran Singa Narpada ternyata, tetap berada di banjar. Ketika matahari kemudian terbit, maka banjar itu telah disibukkan oleh orang-orang Talang Amba dan para prajurit yang menyelenggarakan dua orang yang terbunuh oleh Mahisa Murti. Dua orang yang telah mencoba membebaskan Pangeran Lembu Sabdata, namun gagal.

Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang telah terbangun dari tidurnya, sempat pula mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Perasaan kecewa kembali menerpa jantungnya. Percobaan untuk membunuhnya benar-benar telah membuatnya menilai kembali segala sesuatu yang telah dilakukannya.

Tetapi agaknya Pangeran Lembu Sabdata itu masih dicengkam oleh kebimbangan, la masih belum pasti, apakah yang mengambil keputusan untuk membunuhnya itu hanyalah kedua orang itu, atau mereka memang sudah mendapat pesan untuk berbuat demikian.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak tergesa-gesa memanggilnya dan memberikan beberapa pertanyaan. Ternyata bahwa Pangeran yang mempunyai pengalaman yang luas itu mengerti, apa yang sedang bergejolak di dalam hati Pangeran Lembu Sabdata.

Ketika Pangeran Singa Narpada menengok Pangeran Lembu Sabdata di dalam biliknya, maka Pangeran Singa Narpada melihat beberapa perubahan telah terjadi di dalam diri Pangeran itu. Meskipun Pangeran Lembu Sabdata masih belum menunjukkan sikap yang pasti, tetapi nampak pada dirinya, perubahan-perubahan sikap jiwani yang mendasar.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah berkata kepada Ki Sanggarana, “Biarlah ia mendapat kesempatan untuk merenung di hari ini. Peristiwa yang terjadi semalam agaknya telah membawa satu perubahan di dalam dirinya. Perubahan sikap terhadap perjuangan yang sedang dilakukannya."

Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Ia pun mengerti maksud Pangeran Singa Narpada, sehingga karena itu, maka katanya, “Segalanya terserah kepada Pangeran”

“Besok aku akan berbicara dengan adimas Pangeran Lembu Sabdata. Hari ini aku akan bertanya kepada orang-orangnya yang tertangkap, apakah mereka mengenal kedua orang yang terbunuh itu. Menilik senjata yang dipergunakannya, agaknya keduanya memang mempunyai hubungan dengan Ki Sarpa Kuning menurut keterangan yang aku dengar”

Sebenarnyalah pada hari itu Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menemui lagi Pangeran Lembu Sabdata di dalam biliknya. Namun karena pintu bilik Pangeran Lembu Sabdata sedang diperbaiki, maka untuk sementara Pangeran Lembu Sabdata ditempatkan di bilik yang lain dengan pengawalan yang lebih kuat.

Sementara itu, para pemimpin dari Singasari dan Kediri yang dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada itu telah melanjutkan usaha mereka untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang usaha beberapa orang di Kediri untuk menghancurkan Singasari. Dengan sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mengetahui siapa saja yang telah terlibat di dalam usaha itu.

Tetapi tidak banyak yang mereka dapat dari orang-orang yang hanya tahu mengangkat senjata dan menjalankan perintah. Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak tahu, untuk apa mereka berbuat. Namun para pemimpin itu mendapatkan beberapa keterangan, kelompok dan padepokan mana saja yang terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang bangsawan di Kediri.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada sendiri berusaha untuk mengetahui, apakah ada diantara orang-orang itu yang mengenal dua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Orang-orang yang dianggap mengetahui beberapa hal tentang kegiatan mereka, telah diberi kesempatan untuk mengenali wajah kedua orang yang terbunuh itu sebelum keduanya dikuburkan. Namun tidak seorang pun yang mengenali keduanya.

“Jika ada yang mengenalnya, maka mereka tentu berusaha untuk mengingkari” desis Ki Waruju.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. “Memang sulit untuk memancing pengakuan dari orang-orang itu. Tidak akan mudah dibedakan antara mereka yang memang benar-benar tidak mengetahui persoalan yang dihadapi, dengan mereka yang berpura-pura tidak tahu, atau dengan sadar memang menyimpan rahasia yang sebenarnya diketahuinya."

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Pangeran Singa Narpada, “Pangeran, aku berusaha untuk mengetahui, apakah ada hubungan antara kedua orang itu dengan Ki Sarpa Kuning. Namun nampaknya kedua orang itu tidak begitu tertarik mendengar nama Ki Sarpa Kuning. Bahkan agaknya keduanya dibatasi oleh jarak tertentu, meskipun keduanya jelas telah mengenai nama itu”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang ada banyak kemungkinan. Sikapnya itu dapat juga menjadi cara untuk mengingkari hubungan mereka dengan Ki Sarpa Kuning, mengingat jenis senjata mereka yang sama”

“Tetapi apakah Pangeran dapat mengatakan, bahwa jenis ular yang dipergunakan juga sama? Ki Sarpa Kuning lebih banyak mempergunakan jenis ular hitam yang sangat berbisa. Tetapi agaknya kedua orang itu tidak. Mereka mempergunakan jenis ular lain dan lebih kecil meskipun ternyata bisanya tidak kalah tajamnya”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng, “Aku memang tidak mengerti”

“Di Talang Amba ada seorang murid Ki Sarpa Kuning yang dengan sadar telah menempuh jalan kembali. Tetapi ternyata orang itu juga tidak mengenal kedua orang yang terbunuh itu” berkata Mahisa Pukat.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah. Kita memang tidak segera dapat melihat lingkungan mereka masing-masing. Tetapi kita tidak boleh berhenti berusaha”

“Harapan terakhir ada pada Pangeran Lembu Sabdata” berkata Ki Waruju.

“Tetapi apakah Pangeran Lembu Sabdata akan bersedia mengungkapkan satu rahasia, itulah yang masih menjadi pertanyaan” desis Ki Sanggarana.

“Semuanya memang harus dijajagi. Aku akan mencobanya besok” sahut Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, kegagalan dua orang yang ingin membebaskan Pangeran Lembu Sabdata dan yang kemudian berusaha untuk membunuhnya, telah tersebar dari mulut ke mulut. Para prajurit dan orang-orang Talang Amba yang berada di banjar telah menceriterakan hal itu kepada orang-orang yang mereka kenal yang kemudian menularkannya kepada kawan- kawan mereka, sehingga dengan demikian, maka di pasaran hal itu telah menjadi pembicaraan yang ramai.

Seorang berwajah pucat, bertubuh tinggi, duduk di sebuah kedai sambil menghirup minuman panas. Mulutnya sibuk mengunyah makanan disela-sela minumannya yang meluncur menghangatkan tubuhnya. Sekali-kali keningnya berkerut ketika ia mendengar orang-orang lain di kedai berceritera pula tentang usaha dua orang untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata yang ditawan di banjar Padukuhan Induk Kabuyutan Talang Amba.

Sambil mengunyah segumpal jenang alot, orang itu tiba-tiba saja bertanya kepada orang yang duduk di sebelahnya. “Siapakah dua orang yang kalian ceriterakan itu?”

Orang yang duduk di sebelahnya berpaling. Kemudian dengan dahi yang berkerut ia menjawab, “Tidak ada orang yang tahu. Keduanya mati sebelum sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan”

Orang berwajah pucat itu tidak menghiraukan lagi percakapan orang-orang di dalam kedai itu. Setelah mendengar dari beberapa orang, maka iapun yakin, bahwa dua orang itu memang mati sebelum mengatakan sesuatu. Tanpa memberikan kesan apapun juga yang mencurigakan, maka orang berwajah pucat itu pun kemudian meninggalkan kedai itu setelah membayar makanan dan minumannya. Perlahan-lahan ia berjalan tanpa menarik perhatian.

Dibawah sebatang pohon Nagasari yang tumbuh di pinggir jalan orang itu berhenti sejenak. Diamatinya kedai yang sudah jauh ditinggalkannya. Dalam pada itu, seorang yang lain melangkah mendekatinya. Orang itu pun berhenti pula di bawah pohon Nagasari itu. Sementara orang yang berwajah pucat itu bertanya, “Apa yang kau dengar tentang kedua orang itu?”

“Keduanya telah mati” jawab orang yang baru datang, orang yang bertubuh sedang dan berambut keriting.

Orang yang berwajah pucat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Keduanya sudah berusaha dengan sebaik-baiknya. Tetapi ternyata diantara orang-orang Talang Amba dan prajurit Singasari yang ada di banjar mampu melawan sirep, sehingga keduanya justru telah terjebak”

“Ya” sahut kawannya, “bahkan seorang diantara keduanya telah berhasil mengambil langkah berikutnya ketika keduanya merasa usahanya untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata gagal”

“Ya. Ularnya telah mematuk Pangeran itu. Tetapi justru orang Talang Amba telah menyelamatkannya” jawab yang lain.

“Itulah yang mencemaskan. Bukankah dengan demikian Pangeran itu akan merasa diselamatkan dan berhutang budi? Jika dalam keadaan yang demikian ia kehilangan kesetiaannya kepada Pangeran Kuda Permati, maka semua rahasia akan tumpah lewat mulutnya. Padahal menurut Pangeran Kuda Permati, Pangeran Lembu Sabdata mengetahui cukup banyak tentang rencana yang sudah tersusun” berkata orang yang berambut keriting.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apa yang dapat kita lakukan dalam keadaan seperti ini. Sirep agaknya sudah tidak akan berarti apa-apa lagi. Nampaknya racun ular pun tidak berhasil menyelesaikan tugas-tugas berat sebagaimana harus dilakukan, karena orang-orang Talang Amba dan prajurit Singasari di Talang Amba mempunyai penangkal racun yang kuat. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada akan dapat berbuat jauh lebih kasar dari yang kita duga, meskipun ia menghadapi adiknya sendiri, Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan seandainya kesetiaan Pangeran Lembu Sabdata tetap utuh, apakah ia akan dapat bertahan menghadapi Pangeran Singa Narpada?”

Orang yang berambut keriting itu termangu-mangu. Namun sambil menggeleng ia berkata, “Tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh. Mungkin kita akan dapat memanjat atap dan melontarkan beberapa ekor ular dari atap. Tetapi gigitan ular itu akan segera kehilangan arti, karena Pangeran Lembu Sabdata akan segera memanggil orang-orang Talang Amba yang akan dapat memudarkan kemampuan racun bisa ular itu”

Orang yang berwajah pucat itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Memang tidak ada jalan yang dapat kita tempuh. Kita tidak perlu membunuh diri dengan melakukan langkah-langkah yang tidak berarti. Sebaiknya kita kembali ke Kediri dan membuat laporan selengkapnya apa yang telah terjadi sebelum Pangeran Singa Narpada menempuh jalan yang lebih keras di Kediri sendiri menghadapi Pangeran Kuda Permati. Meskipun belum tentu jika Pangeran Singa Narpada akan dapat mengalahkan Pangeran Kuda Permati dengan pengikutnya yang sudah mulai berkembang”

“Pangeran Kuda Permati yakin, bahwa perjuangannya tentu akan berhasil. Pada satu saat, Kediri tentu akan berhasil melepaskan diri dari Singasari dan bahkan akan dapat menekan Singasari untuk menjadi Pakuwon sebagaimana sebelumnya. Pakuwon Tumapel” desis orang berambut keriting itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jika demikian, marilah. Kita kembali ke Kediri. Kita melaporkan apa yang telah terjadi”

“Tetapi kita masih belum dapat memastikan, apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ia akan tetap dalam kesetiaannya. Tidak satu katapun yang diucapkan akan mengungkapkan rahasia Pangeran Kuda Permati” berkata orang berambut keriting itu.

“Apapun yang dikatakan, kita akan melaporkannya kepada Pangeran Kuda Permati” jawab orang berwajah pucat itu.

Dengan demikian, maka mereka pun segera mengambil kesimpulan untuk meninggalkan daerah Talang Amba, kembali ke Kediri. Mereka sekali lagi harus melaporkan kegagalan, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Kegagalan demi kegagalan.

Dalam pada itu, di hari berikutnya, ternyata Pangeran Singa Narpada telah siap untuk berbicara dengan Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah minta kesempatan untuk menemui Pangeran itu di dalam biliknya yang sudah diperbaiki.

“Aku minta seorang saksi” berkata Pangeran Singa Narpada, “maksudku di samping seorang petugas dari Singasari, juga salah seorang yang akan ditunjuk oleh Ki Sanggarana, pemangku Buyut di Kabuyutan Talang Amba”

Ki Sanggarana ternyata tidak menemukan orang Talang Amba sendiri yang pantas untuk menyertai Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka iapun telah minta kepada Ki Waruju untuk mewakili orang-orang Talang Amba, ikut bersama Pangeran Singa Narpada berbicara dengan Pangeran Lembu Sabdata.

“Marilah” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku kira adimas Lembu Sabdata telah mendapatkan sedikit ketenangan, sementara luka-lukanya agaknya sudah tidak mengganggunya lagi”

Ketika seorang pengawal memberitahukan kepada Pangeran Lembu Sabdata, bahwa beberapa orang akan datang ke biliknya, maka wajah Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawabnya sama sekali. Dibiarkannya pengawal itu berbicara, kemudian melangkah keluar dari dalam biliknya. Sejenak kemudian, maka seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, bahwa Pangeran Singa Narpada dengan seorang pemimpin pemerintahan dari Singasari dengan diikuti oleh Ki Waruju telah memasuki bilik itu.

“Selamat pagi adimas” desis Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Lembu Sabdata memandanginya sejenak. Kemudian iapun beringsut menepi. Nampaknya Pangeran Lembu Sabdata telah memberikan tempat kepada ketiga orang yang memasuki bilik itu untuk duduk di pembaringannya, sebuah amben yang memang agak besar.

Pangeran Singa Narpada dan kedua orang yang menyertakan itulah telah duduk di amben itu. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata pun selalu menundukkan kepalanya. Baru sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Adimas Pangeran. Agaknya adimas sudah menjadi semakin baik, sementara itu, aku sudah terlalu lama berada di Kabuyutan ini. Sebenarnya aku hanya ingin bermalam selama-lamanya satu malam saja ketika aku berangkat dari Kediri. Tetapi ternyata aku harus memperpanjang perjalanan ini”

Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam.

“Nah, adimas. Aku minta adimas dapat membantu aku untuk mempercepat tugasku” berkata Pangeran Singa Narpada.

Ternyata kata-kata yang lembut itu justru membuat kulit Pangeran Lembu Sabdata meremang. Kata-kata pengantar yang ramah dan akrab dari Pangeran Singa Narpada itu merupakan ancang-ancang saja dari sikapnya yang keras.bPangeran Lembu Sabdata sudah mengenal sifat dan watak Pangeran Singa Narpada. Pangeran itu tidak akan memilih sasaran. Jika ia menjadi marah, maka kadang-kadang ia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya lagi.

Kesempatan yang diberikan kepada Pangeran Lembu Sabdata untuk merenungi keadaannya, memang telah merubah sikapnya. Jika pada hari-hari pertama, ia seakan-akan tidak gentar menghadapi kekerasan jiwa Pangeran Singa Narpada, bahkan rasa-rasanya ia akan bertahan dan tidak akan mengucapkan satu katapun yang bersifat rahasia demi kesetiaannya kepada Pangeran Kuda Permati dan beberapa orang Pangeran yang lain, meskipun kulitnya akan dikelupas sekalipun, namun perlahan-lahan telah berubah sama sekali. Apalagi ketika orang-orang Talang Amba telah berusaha menolong jiwanya ketika bisa ular yang tajam hampir saja merenggut jiwanya

“Kenapa aku tidak dibiarkannya mati” gumam Pangeran Lembu Sabdata itu setiap kali.

Meskipun Pangeran Lembu Sabdata sadar, bahwa usaha orang-orang Talang Amba dan Singasari menolongnya tentu didorong oleh kepentingan mereka untuk mendapatkan rahasia yang diketahuinya, namun kekecewaan yang tidak terkirakan telah mencengkam jantungnya atas langkah yang telah diambil oleh orang-orang yang berusaha menolongnya. Pangeran Lembu Sabdata yang merenungi keadaannya, telah mengambil satu kesimpulan, bahwa kedua orang itu tentu telah mendapat perintah. Jika mereka gagal melepaskan Pangeran Lembu Sabdata, maka mereka justru harus membunuhnya saja.

Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata dapat mengambil satu kesimpulan, jika seseorang sudah tidak diperlukan lagi, bahkan dianggap akan dapat mengungkapkan rahasia yang tersimpan di dalam dirinya, maka orang itu harus dibunuh. Pangeran Lembu Sabdata menjadi sangat kecewa akan sikap itu. Karena itu, maka setelah merenungi keadaannya, maka ia telah memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya mengalami kesulitan menghadapi Pangeran Singa Narpada.

“Jika kakangmas Pangeran Kuda Permati sampai hati mengambil satu keputusan untuk membunuhnya, maka aku pun sampai hati pula mengungkapnya segala rahasianya” berkata Pangeran Lembu Sabdata di dalam hatinya.

Sebenarnyalah jika Pangeran Kuda Permati tetap mempercayakan dan tidak berusaha untuk membunuhnya, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata pun akan tetap pula pada sikapnya. Semua rahasia yang ada di dalam dirinya, akan dibawanya mati. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata justru tidak lagi menjadi sangat tegang menghadapi Pangeran Singa Narpada dan kedua orang yang menyertainya.

“Adimas” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian, “bagaimana keadaan adimas sekarang? Bukankah lukamu memang sudah menjadi baik,“

Pangeran Lembu Sabdata baru mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku sudah sembuh kakangmas. Luka itu tidak seberapa”

“Syukurlah. Jika demikian, maka aku akan dapat mulai dengan beberapa hal. Seperti yang sudah aku katakan, maka aku ingin adimas membantu aku, agar pekerjaanku cepat selesai” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Baiklah” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Apa yang sebenarnya ingin kakangmas ketahui? Usaha untuk membunuhku itu membuatku menjadi mendendam. Karena itu, maka tugas kakangmas memang akan cepat selesai”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata berkata, “Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin merubah sikapnya atas Kediri dan Singasari. Tetapi ternyata orang-orang yang selama ini telah bekerja bersamaku, sama sekali tidak mempunyai landasan kepercayaan yang satu kepada yang lain, sehingga justru karena itu, maka aku dengan sengaja akan mengkhianati mereka”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Sikap Pangeran Lembu Sabdata memang sudah berubah meskipun dalam watak yang sama. Tinggi hati dan tetap garang.

Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata meneruskan, “Kakangmas, jika aku mengatakan sesuatu tentang usaha untuk menghancurkan Singasari. sama sekali bukan karena aku takut mengalami tekanan. Jasmaniah atau rohaniah. Aku sebenarnya telah siap menghadapi sikap yang bagaimanapun juga. Tetapi jika aku kemudian mengatakan satu jalur perlawanan atas Singasari, maka itu adalah karena kehendakku sendiri, karena aku kecewa atas sikap saudara-saudaraku yang tidak mempercayai aku”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk menyabarkan diri sendiri. Katanya kemudian, “Baiklah adimas. Apapun yang mendorongmu aku tidak akan mempersoalkannya. Tetapi aku ingin mengetahui siapakah yang menjadi penggerak utama dari usaha melawan kekuasaan Singasari itu?”

“Kakangmas Kuda Permati. Nah, jelas? Kakangmas Kuda Permati telah memerintahkan dua orang pengikutnya untuk membunuh aku karena agaknya kakangmas Kuda Permati tidak percaya bahwa tidak seorang pun akan dapat memeras keterangan dan mulutku. Kakangmas Singa Narpada pun tidak akan berhasil memaksa aku bicara dengan cara apapun juga. Tetapi sekarang, akan sengaja mengatakan” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

Pangeran Singa Narpada sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Pangeran Singa Narpada sudah tidak terlalu terkejut mendengar nama itu. Tetapi bahwa ia masih berharap untuk berhadapan dengan orang lain. Tetapi ternyata bahwa nama itulah yang disebut oleh Pangeran Lembu Sabdata.

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat mengelak lagi, bahwa ia memang pada satu saat berhadapan dengan saudaranya yang pendiam itu. Tetapi yang memiliki keinginan untuk menggulung bintang-bintang di langit.

“Adimas Lembu Sabdata” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebenarnya aku memang sudah menyangka. Tetapi kenapa adimas Lembu Sabdata sampai terjerumus ke dalam pengaruhnya yang akan dapat mengeruhkan keadaan bukan saja pada masa hidup kita sekarang ini, tetapi juga pada masa anak cucu kita. Aku tidak akan merasa prihatin seperti sekarang ini, seandainya Pangeran Kuda Permati menghimpun kekuatannya, menyingkir ke hutan dan membangun kekuatan melawan Singasari dan Kediri. Tetapi yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati ternyata sangat mencemaskan. Hutan-hutan dijadikan padang yang gundul dan gersang. Tetapi yang akan menjadi jalur arus banjir di musim hujan. Lereng-lereng pegunungan yang ditebangi akan kehilangan warnanya dan tanah akan hanyut bertimbun di lembah-lembah”

Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Cara itu adalah cara yang paling baik untuk menghancurkan Singasari. Singasari terlalu kuat untuk dilawan dengan kekuatan prajurit. Tetapi dengan memperlemah kedudukannya dan menimbulkan kegelisahan rakyat dan ketidakpuasan, maka kakangmas Pangeran Kuda Permati akan dapat mengambil hati rakyat yang kelaparan karena sawahnya hanyut dilanda banjir dan lereng-lereng gunung yang gundul”

“Cara yang sangat keji” desis Pangeran Singa Narpada.

“Tentu seimbang dengan kekejian orang-orang Singasari yang telah merampas Kediri. He, apakah kakangmas Singa Narpada tidak merasa kehilangan? Apakah kakangmas Singa Narpada tidak ingin Kediri kembali menjadi satu negara yang besar dan tidak harus tunduk kepada Singasari?”

“Apa bedanya Kediri dan Singasari? Yang penting rakyat harus mendapatkan haknya sesuai dengan kewajibannya” jawab Pangeran Singa Narpada, “rakyat harus hidup dengan baik dan memandang hari depan dengan penuh harapan? Kita tidak dapat memandang keseluruhan isi tanah ini dengan berpusar pada diri kita sendiri. Kecuali jika Singasari telah kehilangan kiblat pemerintahannya dan tidak lagi menghiraukan hak rakyatnya”

Pangeran Lembu Sabdata tersenyum, namun betapa pahitnya. Katanya, “Aku berpendirian lain kakangmas Aku merasa wajib untuk membangunkan kembali satu kekuasaan atas keluarga dan keturunan raja-raja di Kediri. Aku masih berharap bahwa kekuasaan atas tanah ini akan kembali kepada keluarga Kediri yang sekarang tidak lebih dari kekuasaan seorang Adipati”

Pangeran Singa Narpada memandang Pangeran Lembu Sabdata dengan tajamnya. Kemudian dengan suara berat ia bertanya, “Jadi bagaimana dengan adimas sekarang? Adimas sudah mengatakan, siapakah orang utama dalam gejolak ini. Apakah sebenarnya yang adimas kehendaki?”

“Aku ingin membalas dendam. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku telah berubah pendirian. Jika kemudian aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena kekuatan kami menjadi lumpuh sepeninggal kakangmas Kuda Permati, namun tidak seorang pun akan dapat merubah sikap di dalam dadaku menghadapi hubungan antara Kediri dan Singasari” tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menggeram.

Jantung Pangeran Singa Narpada bagaikan tersentuh api. Jika ia tidak mengingat bahwa orang yang membuat hatinya panas itu adalah adiknya yang sudah mengatakan dengan terus terang, apapun alasannya, tentang orang yang berdiri di ujung usaha perlawanan atas Singasari itu, serta menghindari kesan yang buruk atas orang-orang Kediri bagi orang-orang Talang Amba, agar mereka tidak menganggap bahwa para bangsawan di Kediri adalah orang-orang kasar, maka ia tentu sudah bertindak lain.

Tetapi Betapapun dadanya serasa menjadi mendidih, namun ia masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka katanya kemudian, “Adimas Pangeran. Ternyata adimas telah terperosok ke dalam satu pertentangan di dalam diri sendiri. Namun bagaimanapun juga, maka adimas Pangeran Lembu Sabdata tidak akan dapat bekerja bersama lagi dengan Pangeran Kuda Permati. Meskipun demikian, perhatian terbesar kemudian harus ditujukan kepada Pangeran Kuda Permati”

Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Segalanya terserah kepada kakangmas. Tetapi kakangmas sudah melihat isi hatiku. Aku adalah salah seorang yang menentang kekuasaan Singasari atas sendiri”

“Apapun yang kau katakan, tetapi kau sekarang sudah tidak berdaya. Aku tahu, bahwa tidak seorang pun yang akan dapat merubah sikapmu. Merubah isi hatimu. Tetapi orang lain akan dapat membatasi ungkapan dari kata hatimu itu dalam ujud kewadagan. Kau sekarang berada di dalam bilik yang dibatasi oleh dinding yang kuat, dijaga oleh sekelompok prajurit. sehingga dimanapun tak lebih dari ruang sempit ini” berkata Pangeran Singa Narpada yang menahan gejolak di dalam dadanya.

Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi merah. Tetapi kemudian iapun menyadari, apapun yang bergejolak di dalam jiwanya, maka keterbatasan wadagnya telah mengikatnya dalam ketiadaan kemungkinan untuk berbuat seuatu. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun tidak menjawabnya lagi. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, sehingga terasa betapa kekecewaan telah mencengkamnya.

Sebenarnyalah Pangeran Lembu Sabdata telah menyesali dirinya sendiri. Ia merasa bahwa bekalnya masih jauh dari mencukupi untuk ikut serta menjadi penggerak dalam usaha beberapa orang untuk melepaskan diri dari kekuasaan Singasari yang dianggapnya tidak berhak atas kekuasaannya itu.

Hal yang demikian bukan hanya pernah terjadi saat itu. Beberapa saat yang lalu, beberapa orang telah melakukan hal yang serupa meskipun juga gagal. Tetapi menurut penilaian Pangeran Kuda Permati, yang terjadi beberapa saat yang lalu, hanyalah sekedar perbuatan beberapa orang Pangeran muda yang tidak mampu mengekang diri sendiri.

Bahkan condong sebagai satu permainan yang sangat berbahaya. Pangeran-pangeran muda itu bagaikan anak-anak yang tidak tahu bahwa bara itu ternyata panas dan dapat membakar tangannya, sehingga karena itu, maka anak-anak akan dengan beraninya menyentuhnya.

Sedangkan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati agaknya telah dipikirkannya masak-masak. Ia mulai dari putaran yang paling jauh, sebagaimana seseorang yang menghadapi semangkuk nasi yang panas. Orang itu harus dengan telaten mengambilnya dari lingkungan yang paling luar untuk mendapatkan nasi yang paling dingin.

Tetapi api yang sudah menyala di Talang Amba, agaknya telah mempercepat segala rencana yang telah disusun. Dendam dan harga diri yang tidak terkendali, ternyata telah merugikan perjuangan Pangeran Kuda Permati, sehingga akhirnya, perintah Pangeran Kuda Permati kepada dua orang kepercayaannya adalah agar mereka membebaskan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan, atau membunuhnya sama sekali.

Pangeran Kuda Permati memang merasa sangat kecewa terhadap Pangeran Lembu Sabdata. Ternyata bahwa yang dijanjikan sama sekali tidak dapat diujudkan. Bahwa dengan kekuatan yang dipercayakan kepadanya untuk menghancurkan Talang Amba, dengan kesanggupan bahwa usaha itu tidak akan gagal karena ia sudah mengirimkan beberapa pengawas mendahului pasukannya, ternyata sama sekali tidak dapat diujudkannya.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati memang cenderung untuk membunuhnya saja. Seandainya Pangeran Lembu Sabdata dapat dilepaskan oleh dua orang utusan Pangeran Kuda Permati, maka yang akan diterima oleh Pangeran Lembu Sabdata tidak lebih dari teguran yang keras, dan bahkan mungkin hukuman betapapun ujudnya.

Dalam pada itu, laporan atas peristiwa yang terjadi itu sudah sampai kepada Pangeran Kuda Permati. Dua orang telah menghadap dan melaporkan, bahwa menurut pengamatan mereka, dua orang yang mendapat tugas untuk membebaskan atau membunuh Pangeran Lembu Sabdata justru telah terbunuh.

“Gila” geram Pangeran Kuda Permati, “apakah kau mengigau?”

“Ampun Pangeran, Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian. Kami berdua telah berusaha untuk mendengar kabar itu dari beberapa pihak. Dan akhirnya kabar itulah yang dapat kami tangkap sebagai satu kesimpulan” jawab orang yang berwajah pucat.

“Apa benar begitu?” bertanya Pangeran Kuda Permati kepada orang yang berambut keriting.

“Ya Pangeran. Demikianlah yang kami ketahui atas kedua utusan Pangeran itu” jawab orang yang berambut keriting itu dengan kepala tunduk.

“Mustahil” geram Pangeran Kuda Permati, “salah seorang dari mereka memiliki ilmu sirep yang sangat tajam. Sementara itu keduanya memiliki senjata yang luar biasa. Keduanya memiliki sejenis ular kecil yang sangat berbahaya, yang dapat mereka gunakan sebagai senjata”

“Tetapi orang-orang Talang Amba yang bergabung dengan para prajurit dari Singasari itu dapat mengatasinya” jawab orang yang berwajah pucat, “ada diantara mereka yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep, sehingga dengan demikian maka keduanya harus bertempur menghadapi lawan yang agaknya memiliki ilmu yang melampaui ilmu kedua orang itu."

Pangeran Kuda Permati menggeretakkan giginya. Yang terjadi itu pun diluar dugaannya. Pangeran Kuda Permati terlalu percaya akan kemampuan kedua orang yang ditugaskannya untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata atau membunuhnya sama sekali. Adalah sulit dipercaya, bahwa ada juga orang Talang Amba yang mampu mengatasi kemampuan sirep dari kedua orang itu.

Namun seandainya demikian, apakah keduanya sama sekali tidak sempat berbuat sesuatu atas Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi kedua orang yang memberikan laporan itu telah dengan terperinci mengatakan apa yang terjadi. Bahwa sebenarnya Pangeran Lembu Sabdata sudah tersentuh bisa ular dari salah seorang diantara dua orang yang mendapat tugas itu. Tetapi juga oleh orang Talang Amba bisa itu dapat ditawarkan, sehingga dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata masih tetap hidup.

“Gila. Pengecut. Seharusnya ia tidak menyerah. Apapun yang terjadi, ia harus bertempur terus, meskipun harus menebus dengan nyawanya, sehingga segala rahasia yang diketahuinya akan dibawanya mati” geram Pangeran Kuda Permati.

Kedua orang itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih tetap hidup. Karena kedua orang itu tidak berkata apapun juga, maka Pangeran Kuda Permati itu pun kemudian berkata,

“Kita tidak mempunyai waktu lagi. Jika Pangeran Lembu Sabdata jatuh ke tangan Pangeran Singa Narpada, maka tidak ada satu rahasia pun yang akan tertinggal. Semuanya tentu akan dapat diperas keluar”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Kuda Permati pun berkata, “Kita harus bersiap-siap. Tetapi satu hal yang perlu disadari, bahwa usaha untuk melepaskan diri dari kuasa Singasari tidak akan padam. Seandainya kita tidak berhasil dalam waktu yang dekat, namun pada satu saat usaha ini tentu akan terwujud”

Kedua orang itu pun mengangguk-angguk. Lalu salah seorang diantara mereka pun bertanya, “Kemudian, apakah yang akan kita lakukan Pangeran?”

"Untuk sementara kita akan menyingkir” berkata Pangeran Kuda Permati. ”Aku yakin, bahwa kakangmas Pangeran Singa Narpada akan segera kembali bersama orang-orang Singasari. Kau akan dapat membayangkan apa yang akan terjadi, jika aku tidak menyingkir. Adimas Lembu Sabdata tentu sudah mengatakan segala sesuatu tentang aku. Tetapi untunglah bahwa aku telah meletakkan diriku menjadi orang pertama, sehingga dengan demikian, tentu ada orang-orang lain yang masih dapat dilindungi”

Kedua orang itu pun mengangguk-angguk pula. Tetapi keduanya tidak yakin akan keterangan Pangeran Kuda Permati. Menurut pengamatan mereka, Pangeran Lembu Sabdata adalah salah seorang diantara mereka yang banyak mengetahui tentang susunan kepemimpinan dari mereka yang telah menyatakan diri menentang kuasa Singasari atas Kediri. Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu. Bahkan keduanya berharap bahwa perhitungan Pangeran Kuda Permati itu benar.

Demikianlah, sebelum Pangeran Singa Narpada kembali ke Kediri bersama orang-orang Singasari, maka Pangeran Kuda Permati telah bersiap-siap untuk meninggalkan Kediri. Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Kuda Permati bukan orang yang tidak berperhitungan. Sebenarnyalah sebelum terjadi kesulitan itu, Pangeran Kuda Permati telah menyiapkan tempat yang akan dapat menjadi landasan perjuangannya kemudian.

Tetapi Pangeran Kuda Permati tidak akan menyingkir dengan seluruh keluarganya. Ia tahu, bahwa ia akan menempuh satu cara hidup yang sulit. Karena itu, maka ketika semua persiapan sudah dilakukan, iapun membicarakan rencana kepergiannya dengan isterinya.

“Jadi kakangmas akan meninggalkan kami? Aku dan anak perempuan kakangmas itu?” bertanya isterinya.

“Dengarlah diajeng. Bukan maksudku untuk memisahkan diri dengan kau dan anak kita. Tetapi perjuangan masih panjang. Aku harus menyingkir. Dan aku dapat membayangkan, perjalanan yang akan aku tempuh adalah perjalanan yang sangat sulit” jawab Pangeran Kuda Permati.

“Tetapi aku tidak berkeberatan kakangmas, seandainya aku harus ikut menempuh perjalanan yang betapapun sulitnya itu” desis isterinya yang mulai berkaca-kaca.

Tetapi Pangeran Kuda Permati berkata, “Pada satu saat aku akan kembali menjemputmu jika segalanya sudah menjadi pasti. Jika aku sudah menemukan satu tempat berteduh yang baik bersama seluruh pengikutku”

“Apakah kakangmas berkata sebenarnya?” bertanya isterinya.

“Ya. Aku berjanji” jawab Pangeran Kuda Permati, “namun sebenarnyalah kau dapat membantuku meskipun kau tidak pergi bersamaku. Justru hal itu merupakan salah satu pertimbangan, kenapa aku minta kau tinggal”

“Apa yang dapat aku lakukan?” bertanya isterinya.

“Kau adalah adik dari isteri kakangmas Singa Narpada. Lewat kakak perempuanmu itu, maka kau dapat berusaha untuk menghambat usaha kakangmas Singa Narpada memburu aku dan pengikutku” berkata Pangeran Kuda Permati.

Isterinya mengerutkan keningnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Aku akan berusaha kakangmas. Tetapi kita tahu, bahwa kakangmas Singa Narpada adalah orang yang berhati batu”

Pangeran Kuda Permati menarik nafas dalam-dalam. Iapun menyadari bahwa yang dikatakan oleh isterinya itu memang benar. Pangeran Singa Narpada adalah orang yang hatinya sekeras batu. Apapun tidak akan mampu menahannya jika ia sudah mengambil satu keputusan.

Namun demikian Pangeran Kuda Permati masih berkata, “Tetapi kau dapat mencobanya. Mungkin dengan kelembutan hati, Pangeran Singa Narpada akan dapat dihambat jika tidak diurungkan”

Isteri Pangeran Kuda Permati itu mengangguk. Tetapi harapannya untuk dapat merubah sikap Pangeran Singa Narpada lewat kakak perempuannya yang menjadi isteri Pangeran Singa Narpada agaknya memang terlalu kecil.

Dalam pada itu, sebelum Pangeran Singa Narpada kembali dengan membawa Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Kuda Permati telah meninggalkan Kediri. Tidak seorang pun mengetahui kemana, selain para. pengikutnya.

Namun Pangeran Kuda Permati pun tidak begitu bodoh untuk membawa semua pengikutnya menghilang dari Kota Raja. Beberapa orang pengikutnya yang berani masih tetap berada di Kota Raja. Masih dalam kesatuan mereka. Mereka bertugas untuk mengamati langkah-langkah yang akan diambil oleh Pangeran Singa Narpada. Dengan sandi mereka masih tetap berada di dalam tugas mereka, seakan-akan mereka sama sekali tidak tahu-menahu dengan langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Kuda Permati.

Kepergian Pangeran Kuda Permati dan para pengikutnya memang mengejutkan Kediri. Tetapi teka-teki itu tidak lama. Ketika persoalan itu sedang menjadi pembicaraan yang ramai, maka Pangeran Singa Narpada telah sampai di Kediri dengan tergesa-gesa. Tetapi Pangeran Singa Narpada itu menjadi kecewa, karena ternyata bahwa Pangeran Kuda Permati sudah tidak ada.

“kami sudah mengira” berkata beberapa orang bangsawan. Tetapi tidak seorang pun sempat bertindak. Pangeran Kuda Permati tiba-tiba saja sudah hilang dari Kota Raja bersama para pengikutnya.

Semua telah dilaporkan kepada Sri Baginda di Kediri bahwa, di dalam tubuh keluarga bangsawan di Kediri telah terdapat seseorang yang berusaha untuk memecah keluarga besar Singasari yang meliputi Kediri.

Namun Pangeran Singa Narpada merasa heran, bahwa tanggapan Sri Baginda di Kediri tidak sebagaimana di harapkan. Dengan wajah murung Sri Baginda berkata, “Itu adalah satu cobaan yang sedang menimpa keluarga kita. Sesama saudara telah saling bermusuhan karena sikap batin yang berbeda”

“Tetapi apa perintah Baginda?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku akan memikirkannya?” jawab Sri Baginda.

Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah kita akan membiarkan tingkah laku adimas Pangeran Kuda Permati?”

Sri Baginda itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa bersedih, bahwa diantara kita telah terjadi benturan bukan saja sikap hati, tetapi telah terjadi benturan wadag yang akan dapat meracuni hubungan kita, diantara saudara sendiri”

“Ampun Baginda” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh adimas Pangeran Kuda Permati telah terlalu jauh. Adimas Pangeran dan para pengikutnya sama sekali tidak memikirkan nasib rakyat Singasari termasuk Kediri. Mereka berusaha memperlemah kedudukan Singasari, namun dengan mengorbankan orang-orang yang tidak tahu menahu persoalannya”

“Aku sudah mendengar” jawab Sri Baginda, “mereka telah membuat hutan-hutan terutama di lereng-lereng bukit menjadi gundul”

“Ya Baginda” jawab Pangeran Singa Narpada, “Bukankah hal itu akan sangat menyulitkan kehidupan rakyat kecil. Tidak hanya sekarang, tetapi juga untuk waktu-waktu mendatang?”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Semuanya akan aku pikirkan sebaik-baiknya”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian iapun berkata, “Segalanya terserah kepada Baginda, Tetapi tugas yang dibebankan kepada hamba telah hamba lakukan dengan sebaik-baiknya. Hamba telah sampai ke Talang Amba dan bertemu dengan Adinda Pangeran Lembu Sabdata yang sekarang masih hamba titipkan pada orang-orang Talang Amba”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memberi kesan apapun atas keberhasilan tugas Pangeran Singa Narpada.

“Apakah ada perubahan sikap Baginda” bertanya Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya, “pada saat Baginda memerintahkan aku pergi ke Talang Amba, kesannya agak berbeda” Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak bertanya apapun juga.

Dalam pada itu, maka Sri Baginda pun bertanya, “Apakah kau tidak membawa adindamu bersamamu?”

“Belum Baginda” jawab Pangeran Singa Narpada, “ketika hamba mendengar bahwa sumber dari peristiwa ini adalah adimas Pangeran Kuda Permati, maka hamba pun dengan tergesa-gesa meninggalkan Talang Amba”

“Sri Baginda mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Usahakan agar adindamu itu cepat berada di Kediri sebelum ia mengalami kesulitan”

“Adimas Pangeran Lembu Sabdata sedang mendapat perawatan Baginda, agaknya Pangeran Kuda Permati telah mengutus dua orang untuk membunuh adimas Pangeran Lembu Sabdata selagi adimas tertawan di Talang Amba."

Keterangan Pangeran Singa Narpada yang terakhir itu benar-benar mengejutkan hati Sri Baginda. Karena itu maka dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Apakah benar pendengaranmu, bahwa Pangeran Kuda Permati telah berusaha untuk membunuh Pangeran Lembu Sabdata?”

“Ya Baginda” jawab Pangeran Singa Narpada, “Bukankah sudah hamba katakan, orang yang berusaha untuk membebaskan adimas Pangeran Lembu Sabdata tetapi gagal itu telah berusaha membunuhnya”

“Tetapi apakah itu atas kehendak orang itu sendiri, atau memang atas perintah Pangeran Kuda Permati?” desak Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Memang tidak ada bukti yang dapat menguatkan pendapatnya bahwa yang memerintahkan untuk membunuh Pangeran Lembu Sabdata adalah Pangeran Kuda Permati. Tetapi dalam pada itu Pangeran Singa Narpada pun menjawab, “Ampun Baginda. Bukan hanya hamba sajalah yang berpendapat bahwa hal itu memang diperintahkan oleh Pangeran Kuda Permati. Tetapi adimas Pangeran Lembu Sabdata sendiri berpendapat demikian. Semula adimas Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga tentang usahanya. Tetapi setelah peristiwa itu terjadi, dan adimas Pangeran Lembu Sabdata diselamatkan oleh orang-orang Talang Amba yang kebetulan memiliki penangkal racun, maka adimas Lembu Sabdata kemudian berterus terang, siapakah sebenarnya orang yang berdiri di belakang gerakan itu”

Sri Baginda termangu-mangu sejenak. Namun pertanyaannya membuat jantung Pangeran Singa Narpada berdebaran. Katanya, “Tetapi apakah bukan karena usahamu memeras adindamu sehingga ia terpaksa mengatakan siapakah orang yang telah menggerakkannya? Aku mengenal tabiatmu. Seseorang yang berada di tanganmu tidak akan dapat mengelak lagi. Ia akan mengatakan apa yang ingin kau dengar daripadanya”

“Baginda” wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Namun kemudian ia berusaha menahan diri. Meskipun dengan demikian ia justru terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sejenak suasana menjadi hening. Namun kemudian Sri Baginda itu pun berkata, “Sudahlah. Beristirahatlah. Kita masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Namun satu hal yang harus segera kita lakukan. Mengambil Lembu Sabdata dari Talang Amba”

Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menyahut. Ia sadar tugas itu akan dibebankan kepadanya. Namun ia justru berharap agar perintah itu segera turun kepadanya. Ia akan minta kepada orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari kerelaan mereka untuk menyerahkan Lembu Sabdata. Biarlah ia menghadap Sri Baginda dan mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Karena Pangeran Singa Narpada tidak menyahut, maka Sri Baginda itu berkata lebih lanjut, “Karena itu, maka aku berharap dalam waktu yang secepat-cepatnya, aku dapat bertemu dengan Lembu Sabdata”

Barulah Pangeran Singa Narpada kemudian bertanya, “Apakah hamba harus kembali ke Talang Amba?”

"Aku harap demikian. Semakin cepat Pangeran Lembu Sabdata kembali, keadaan akan menjadi semakin cepat jernih. Jika ia sempat memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi, maka aku akan dapat mengambil langkah-langkah tertentu” berkata Sri Baginda.

Jantung Pangeran Singa Narpada serasa berdentang semakin cepat. Dari kata-kata yang tersirat, agaknya Pangeran Singa Narpada mendapat penilaian yang kurang pada tempatnya.

“Apakah Baginda menganggap bahwa ada satu kemungkinan Baginda tidak akan sempat berbicara dengan adimas Lembu Sabdata karena pokalku?” bahkan Pangeran Singa Narpada itu beranggapan semakin jauh, “apakah justru Baginda menuduh akulah yang telah mencoba membunuhnya”

Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada berniat untuk secepatnya kembali ke Talang Amba dan berbicara dengan Ki Sanggarana dan para Senopati dari Singasari. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Baiklah Baginda. Dalam waktu dekat, hamba akan datang bersama adimas Pangeran Lembu Sabdata. Mudah-mudahan ia sudah sembuh sama sekali sehingga perjalanan kembali ke Kediri tidak akan terganggu. Namun hamba mohon ijin untuk membawa sepasukan prajurit Kediri untuk mengawal adimas Pangeran. Ada satu kemungkinan bahwa Pangeran Kuda Permati berusaha untuk merampas adimas Pangeran di perjalanan”

Sri Baginda tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Pada saatnya kau akan berangkat, maka aku akan memerintahkan untuk mempersiapkan sepasukan prajurit”

“Hamba mohon, agar hamba yang menentukan, kesatuan yang manakah yang akan pergi bersama hamba” mohon Pangeran Singa Narpada.

“Baiklah” Baginda mengangguk-angguk. Tetapi kesungguhan Pangeran Singa Narpada itu agaknya telah meyakinkan Sri Baginda, bahwa Pangeran Singa Narpada benar-benar tidak melakukan sebagaimana disangkanya. Meskipun demikian, Sri Baginda akan tetap menunggu kedatangan Pangeran Lembu Sabdata sebelum mengambil keputusan-keputusan.

Pangeran Singa Narpada pun berusaha untuk mengerti, karena semua pihak yang terlibat masih termasuk kadang sentana, sehingga Sri Baginda benar-benar disudutkan pada satu keadaan yang sangat sulit untuk mengambil satu keputusan.

Dalam pada itu, agaknya Pangeran Singa Narpada pun ingin dengan segera menjernihkan suasana. Ia tidak mau mendapat tuduhan-tuduhan, dikatakan atau tidak dikatakan. Mungkin orang mengira bahwa Pangeran Lembu Sabdata dalam keadaan sakit karena sikap keras Pangeran Singa Narpada untuk memeras keterangan dari adiknya itu.

“Segalanya akan jelas jika adimas Pangeran Lembu Sabdata telah menghadap” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah merencanakan secepatnya untuk kembali ke Talang Amba. membawa sepasukan prajurit agar Pangeran Lembu Sabdata tidak hilang dari tangannya. Mungkin Pangeran Kuda Permati akan membebaskannya dengan kekerasan atau pembunuhnya untuk menghilangkan jejak.

Namun sementara itu, Pangeran Singa Narpada menghadapi persoalan lain di dalam istananya. Diluar perhitungannya, tiba-tiba saja isterinya telah mempersoalkan Pangeran Kuda Permati.

“Apakah gunanya kakangmas memburu adimas Pangeran Kuda Permati” desis isterinya.

Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa kau mempersoalkannya? Kau selama ini tidak pernah mempersoalkan tugas-tugas yang aku lakukan. Bahkan menurut ingatanku, aku belum pernah dengan sungguh-sungguh memberitahukan kepadamu, apa yang aku lakukan terhadap adimas Pangeran Kuda Permati dan adimas Lembu Sabdata”

Isterinya menundukkan kepalanya. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, “Diajeng telah menyampaikan keluhan-keluhannya kepadaku. Kami berdua adalah saudara kandung. Sementara kakangmas dan adimas Kuda Permati saling bermusuhan bagaikan minyak dengan air”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalannya bukannya antara aku pribadi dengan adimas Kuda Permati pribadi. Persoalannya adalah, bahwa adimas Kuda Permati telah mengambil langkah-langkah yang dapat meretakkan hubungan yang ada antara Singasari dan Kediri”

“Tetapi bukankah adimas Pangeran Kuda Permati berusaha untuk keluhuran derajad keturunan Kediri?” bertanya isterinya.

“Setiap trah Kediri akan melakukannya. Tetapi tidak dengan cara itu” jawab Pangeran Singa Narpada, “cara yang ditempuh adalah cara yang sangat kasar dan akan menghancurkan anak cucu kita sendiri”

“Namun demikian, apakah kakangmas tidak dapat berbicara dengan baik agar tidak terjadi pertumpahan darah?” bertanya isterinya.

“Adimas Pangeran Kuda Permati telah meninggalkan Kediri. Kita tidak akan dapat berbicara” jawab Pangeran Singa Narpada, “selebihnya, aku harus kembali ke Talang Amba. Aku harus membersihkan diriku dari tuduhan-tuduhan yang tidak sewajarnya”

“Tuduhan apa?” bertanya isterinya.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Dikatakan atau tidak dikatakan, tetapi terasa bahwa aku dituduh melakukan kekerasan terhadap adimas Pangeran Lembu Sabdata. Padahal aku tidak pernah berbuat apa-apa. Keadaanlah yang telah membuat adimas lembu Sabdata mengatakan bahwa ia berada dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati”

Isterinya tidak menyahut. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Kegelisahan di dalam dadanyalah yang bagaikan menyala membakar jantungnya.

Dalam pada itu. Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Sudahlah diajeng. Jangan pikirkan tugas-tugas yang dibebankan diatas pundakku. Aku minta kau dapat mengerti bahwa saat ini aku sedang menghadapi satu keadaan yang sulit. Perubahan sikap Sri Baginda membuat kepalaku pening. Aku tidak tahu, apakah yang sudah terjadi di dalam diri Sri Baginda. Tetapi tanggapannya pada saat aku berangkat dan pada saat aku kembali sudah jauh berbeda”

Isterinya tidak menyahut. Tetapi kepalanya yang menunduk itu mengangguk perlahan-lahan. Demikianlah, mendekati hari yang sudah ditentukan, Pangeran Singa Narpada telah bersiap-siap untuk pergi ke Talang Amba. Ia menghubungi pimpinan pemerintahan Singasari sebagaimana pernah dilakukan, agar pimpinan pemerintahan di Singasari dapat menyaksikan apa yang dilakukan di Talang Amba dalam hubungannya dengan tingkah laku Pangeran Lembu Sabdata.

Pada hari yang ditentukan itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah pergi ke Talang Amba dengan sepasukan prajurit yang dipilihnya sendiri. Karena sebenarnyalah, menurut ketajaman pengamatan hati Pangeran Singa Narpada, tentu masih ada para pengikut Pangeran Kuda Permati yang ditinggalkan di Kediri. Iring-iringan itu telah diikuti oleh dua orang perwira dari Singasari yang akan menyertai pasukan yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singa Narpada itu ke Talang Amba. Selain menjadi saksi, maka kedua perwira itu akan dapat berbicara dengan para Senopati Singasari yang bertugas di Talang Amba.

Sebenarnyalah bahwa keberangkatan Pangeran Singa Narpada itu pun segera didengar oleh Pangeran Kuda Permati di persembunyiannya. Namun Pangeran Kuda Permati itu menjadi kecewa bahwa yang ditugaskan untuk mengikuti Pangeran Singa Narpada adalah pasukan yang sama sekali terlepas dari pengaruhnya.

“Kenapa orang-orang kita tidak dapat mengusahakan agar yang bertugas itu adalah orang-orang kita, atau sebagian adalah orang-orang kita, sehingga memberi peluang kepada kita untuk berusaha membebaskan atau membunuh sama sekali adimas Pangeran Lembu Sabdata” desis Pangeran Kuda Permati.

“Pangeran Singa Narpada cukup cerdik untuk mencurigakan siapapun juga kecuali orang yang dipilihnya sendiri” jawab pengikutnya.

Pangeran Kuda Permati hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Namun demikian Pangeran Kuda Permati memerintahkan orang-orangnya untuk mengamati pasukan Pangeran Singa Narpada yang pergi ke Talang Amba untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata.

“Pasukan yang cukup kuat” desis adalah seorang dari dua orang pengamat yang dari kejauhan melihat iring-iringan menuju ke Talang Amba.

“Jika Pangeran Kuda Permati akan berkeras hati merebut Pangeran Lembu Sabdata atau membinasakannya, maka akibatnya akan cukup parah. Akan terjadi satu pertempuran yang. keras dan bahkan mungkin menjadi buas. Yang dibawa oleh Pangeran Singa Narpada adalah sekelompok pasukan terpilih sebagaimana inti kekuatan Pangeran Kuda Permati” berkata yang lain.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa pasukan yang dibawa oleh Pangeran Singa Narpada adalah sekelompok pengawal terbaik dari Kediri.

Ketika hal itu dilaporkan oleh para pengamat kepada Pangeran Kuda Permati, maka Pangeran Kuda Permati hanya dapat menggeram, ia sadar bahwa ia tidak dapat merebut atau membunuh sama sekali Pangeran Lembu Sabdata yang dikawal kuat oleh pasukan yang langsung dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada. Iapun tidak akan dapat merebut atau menghancurkannya sama sekali dengan memasuki Talang Amba yang masih dijaga dengan kuat oleh para prajurit Singasari, di samping para pengawal dari Kabuyutan Talang Amba.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati harus menerima satu kenyataan bahwa Kediri maupun Singasari akan mengetahui dengan pasti lewat mulut Pangeran Lembu Sabdata, bahwa ia telah memberontak melawan kekuasaan Kediri dan Singasari.

“Jika demikian apa boleh buat” berkata Pangeran Kuda Permati, “aku memang memberontak. Tetapi sebenarnya pemberontakan ini aku tujukan kepada Singasari. Jika orang-orang Kediri yang menjilat kepada orang-orang Singasari merasa berkewajiban melawan aku juga, apa-boleh buat,“

Sementara itu maka Pangeran Singa Narpada pun langsung menuju ke Talang Amba. Sehingga kedatangannya telah membuat Pangeran Lembu Sabdata menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa kedatangan Pangeran Singa Narpada itu tentu dalam tugas untuk mengambilnya dari Talang Amba dan menghadapkannya kepada Sri Baginda di Kediri.

Tetapi dihadapan Pangeran Singa Narpada, Pangeran Lembu Sabdata tidak akan dapat terlalu banyak tingkah. Ia tahu pasti sikap Pangeran Singa Narpada, apalagi setelah mereka meninggalkan Talang Amba.

Tidak terlalu banyak kesulitan bagi Pangeran Singa Narpada menghadapi orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari. Apalagi bersama Pangeran itu telah datang pula dua orang perwira dari Singasari, sehingga persoalannya dapat dipertanggung-jawabkan oleh para Senapati yang ada di Talang Amba.

“Sementara yang lain biarlah berada di Talang Amba” berkata Pangeran Singa Narpada, “pada saatnya, apakah Kediri atau Singasari tentu memerlukan mereka”

Dengan demikian, maka Ki Sanggarana dan para Senapati Singasari di Talang Amba telah menyerahkan dengan resmi Pangeran Lembu Sabdata. Sementara itu. Pangeran Singa Narpada yang ingin cepat menjernihkan suasana telah dengan tergesa-gesa menentukan saatnya untuk kembali.

“Kenapa besok?” bertanya Ki Sanggarana, “nampaknya Pangeran sangat tergesa-gesa."

“Ya” jawab Pangeran Singa Narpada, “Aku tidak mau dibayangi oleh kecurigaan-kecurigaan dan dugaan-dugaan yang tidak sewajarnya. Aku harus segera menghadapkan adimas Pangeran Lembu Sabdata kepada Sri Baginda, agar dengan demikian semuanya menjadi jelas”

“Silahkan Pangeran” berkata Ki Sanggarana, “luka-lukanya pun telah sembuh sama sekali. Dengan terhisapnya racun ular oleh penangkal racun yang kuat itu, maka luka-luka Pangeran Lembu Sabdata menjadi tidak berarti lagi”

“Terima kasih Ki Sanggarana” berkata Pengeran Singa Narpada, “Mudah-mudahan segala sesuatunya cepat kita selesaikan. Namun sementara ini jangan menjadi lengah. Pangeran Kuda Permati sudah tidak berada di Kediri lagi. Dengan pasukan yang setia kepadanya, ia telah menyingkir untuk mempersiapkan satu pemberontakan yang terbuka. Menurut perhitunganku, ia akan mendapat banyak pengikut karena dengan kepandaiannya berbicara, ia akan dapat memikat beberapa orang untuk mengikuti jejaknya melawan Singasari”

“Baiklah Pangeran” jawab Ki Sanggarana, “kami akan berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Apalagi prajurit Singasari untuk sementara masih akan tetap berada disini, meskipun Pangeran Lembu Sabdata sudah tidak ada di Kabuyutan ini, karena kemungkinan-kemungkinan lain masih akan dapat terjadi”

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada pun telah mempersiapkan diri Pangeran Lembu Sabdata pun telah diberi tahu, bahwa esok pagi, mereka akan bersama-sama meninggalkan Talang Amba untuk kembali ke Kediri.

Pangeran Lembu Sabdata menjadi berdebar-debar. Jika ia dihadapkan kepada Sri Baginda, maka apakah yang akan dikatakannya?. Meskipun agaknya Sri Baginda sudah tahu, bahwa sumber dari keributan yang terjadi itu diantaranya adalah Pangeran Kuda Permati, namun rasa-rasanya sulitlah baginya untuk mengatakannya langsung kepada Sri Baginda. Namun Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat menolak. Jika ia mencobanya juga. maka akibatnya akan terasa sangat parah.

Setelah segalanya dipersiapkan, maka Pangeran Singa Narpada pun minta diri kepada orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari. Dengan pengawalan yang kuat, maka Pangeran Lembu Sabdata pun dipersilahkan untuk naik ke punggung kuda yang telah disediakan baginya. Di sebelah menyebelahnya adalah dua orang prajurit pilihan, sementara di belakangnya adalah Pangeran Singa Narpada sendiri bersama dua orang perwira dari Singasari.

Beberapa langkah di depan, berturut-turut lima orang prajurit berkuda, sementara yang lain ada di belakang Pangeran Singa Narpada. Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat berbuat apa-apa. Ia mengenal pasukan yang dibawa oleh Pangeran Singa Narpada itu sebagai pasukan terbaik dari pengawal di Kediri, sebagaimana sekelompok pasukan yang dibawa oleh Pangeran Kuda Permati.

Demikianlah iring-iringan itu meninggalkan Talang Amba dengan disaksikan oleh hampir semua orang Talang Amba yang tinggal di sepanjang jalan. Di setiap padukuhan, orang-orang telah keluar dari rumah-rumah mereka dan turun ke pinggir jalan untuk melihat sebuah iring-iringan yang membawa seorang tawanan dari trah bangsawan di Kediri.

Pangeran Lembu Sabdata hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun terasa jantungnya berdentangan menahan kemarahan yang rasa-rasanya menghentak-hentak dadanya. Bahkan ternyata tidak di padukuhan-padukuhan dalam tlatah Kabuyutan Talang Amba saja mereka menjadi tontonan. Di padukuhan-padukuhan berikutnya, orang-orang pun telah melihat iring-iringan itu, meskipun sebagian besar dari mereka tidak begitu mengerti artinya. Bahkan semakin jauh dari Talang Amba, kadang-kadang justru timbul ketakutan diantara penghuni-penghuni padukuhan yang dilewatinya melihat iring-iringan yang nampaknya tegang dan bersungguh-sungguh.

Di Talang Amba, Ki Sanggarana, para bebahu, Ki Waruju dan kedua anak muda Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah saling berbincang. Beberapa orang Senopati yang hadir bersama mereka justru telah mengambil satu keputusan untuk mempertinggi kesiagaan. Sepeninggal Pangeran Lembu Sabdata masih akan dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan yang pahit bagi Kabuyutan itu.

“Kita akan dapat memberikan laporan kepada Akuwu di Gagelang atau yang sedang memangku jabatan Akuwu” berkata Ki Sanggarana.

“Ya. Ada baiknya” berkata Senopati dari Singasari, “Kita semuanya harus bersiaga. Menilik keterangan Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Kuda Permati telah benar-benar memberontak tanpa tedeng aling-aling. Karena itu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu akan dapat terjadi setiap saat. Justru karena itu, maka Talang Amba dan juga Gagelang harus bersiap-siap. Jika Pangeran Kuda Permati ingin menumpahkan kemarahannya, agaknya Talang Amba dan Gagelang akan menjadi sasarannya yang pertama. Di Kabuyutan inilah Pangeran Lembu Sabdata tertangkap sehingga terungkaplah persiapan-persiapan yang dilakukannya dengan diam-diam.

Para pemimpin di Talang Amba ternyata sependapat. Karena itu, maka mereka justru meningkatkan kesiagaan dan menunjuk beberapa orang untuk pergi ke Gagelang, melaporkan segala perkembangan yang telah terjadi.

Dalam pada itu, ketika Talang Amba sibuk mempersiapkan diri, sementara beberapa orang pergi ke Gagelang, maka di Kediri pun telah terjadi satu peristiwa yang menegangkan. Kehadiran Pangeran Lembu Sabdata di Kediri telah disambut dengan perasaan yang berbeda-beda. Beberapa orang merasa benci kepada Pangeran yang masih muda itu. Namun yang lain menjadi kasihan kepadanya. Bahkan beberapa orang perwira yang mengenal Pangeran Singa Narpada dengan baik, menjadi gelisah. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas Pangeran itu selama ia berada di tangan Pangeran Singa Narpada.

Namun sikap itu pun agak berubah. Ketika Pangeran Lembu Sabdata telah dimasukkan ke dalam ruang tahanan, maka beberapa orang yang mengikuti setiap perkembangan keadaan di Talang Amba pun mengatakan, bahwa Pangeran Singa Narpada telah berhasil menguasai dirinya selama ia berada di Talang Amba.

“Pangeran Singa Narpada tidak melakukan kekerasan” berkata, salah seorang Senopati yang mengikutinya.

Tetapi beberapa orang telah meragukannya. Apalagi mereka yang sejak semula telah berprasangka. Ketika Pangeran Singa Narpada datang melaporkan keadaan Talang Amba dan menyatakan bahwa Pangeran Lembu Sabdata terluka karena ada usaha untuk membunuhnya, orang-orang itu telah menyangka bahwa Pangeran Singa Narpada telah menyakitinya sehingga Pangeran Lembu Sabdata terluka parah sebelum mengucapkan pengakuannya. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada itu tidak dapat membawanya bersamanya pada waktu itu.

Ketika salah seorang yang menyertai Pangeran Singa Narpada menceriterakan keadaan Pangeran Lembu Sabdata yang sebenarnya, bahwa Pangeran itu telah terluka oleh gigitan ular, maka beberapa orang kurang mempercayainya. Demikianlah maka di Kediri telah timbul tanggapan yang berbeda bahwa kadang-kadang berlawanan atas keadaan Pangeran Lembu Sabdata.

Namun Pangeran Singa Narpada tidak menghiraukannya. Yang penting baginya adalah membawa Pangeran Lembu Sabdata itu menghadap Sri Baginda, di Kediri. Dengan demikian maka segalanya akan menjadi jernih dan segala macam prasangka pun akan dapat hilang dengan sendirinya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada kemudian adalah berusaha untuk membawa Pangeran Lembu Sabdata menghadap.

Ternyata Sri Baginda pun agaknya ingin segera mendengar apa yang telah terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu, maka demikian Pangeran Singa Narpada melaporkan kedatangannya, serta mohon untuk menghadapkan Pangeran Lembu Sabdata, Sri Baginda pun telah memberikan kesempatan yang pertama. Demikianlah, dengan dihadiri oleh beberapa orang saja, Pangeran Lembu Sabdata telah dibawa menghadap oleh Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah Pangeran Lembu Sabdata duduk sambil menundukkan kepalanya, maka Sri Baginda pun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Kau adimas Lembu Sabdata”

Pangeran Lembu Sabdata tidak berani mengangkat wajahnya. Kepalanya justru semakin tertunduk dalam-dalam.

Baginda itu pun kemudian berkata dengan nada dalam, “Adimas. Seharusnya kau merasa, bahwa kau adalah adikku yang sangat aku kasihi. Tetapi justru itu kau menjadi manja dan melakukan langkah-langkah yang sama sekali tidak menguntungkan kedudukanmu sekarang ini”

Pangeran Lembu Sabdata masih menundukkan kepalanya. Sementara Sri Baginda berkata selanjutnya, “Kenapa kau justru telah mengikuti jejak Pangeran Kuda Permati?"

Pangeran Lembu Sabdata masih diam belum menjawab. Karena Pangeran Lembu Sabdata masih belum menjawab, maka Sri Baginda itu meneruskan, “Tetapi apakah hasilnya setelah kau dengan susah payah melakukan tindakan-tindakan yang tercela di bawah pengaruh Pangeran Kuda Permati? Justru kau telah diancamnya. Bahkan telah terjadi satu percobaan pembunuhan atasmu”

Namun adalah diluar dugaan bahwa tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata itu mengangkat wajahnya yang nampak keheranan. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa yang akan dibunuh Sri Baginda”

“Bukankah Pangeran Kuda Permati telah memerintahkan orang-orangnya untuk membunuhmu setelah mereka gagal untuk melepaskanmu dari tangan orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari?” bertanya Sri Baginda.

Pangeran Lembu Sabdata justru menjadi semakin keheranan. Sekilas dipandanginya Pangeran Singa Narpada yang duduk di sebelahnya. Dengan nada keheranan iapun kemudian bertanya, “Ampun Baginda. Siapakah yang telah memberikan laporan yang demikian?"

Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkan Pangeran Singa Narpada. Apalagi ketika Pangeran Lembu Sabdata berkata, “Tidak ada orang yang akan membunuh hamba”

“Adimas” potong Pangeran Singa Narpada dengan wajah yang membara, “Bukankah ular itu telah mematuk punggung adimas? Jika adimas tidak diselamatkan oleh orang-orang Talang Amba, bukankah adimas sudah terbunuh?”

Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan yang kemudian dilontarkannya, benar-benar telah menghentakkan jantung Pangeran Singa Narpada, sehingga rasa-rasanya jantungnya itu akan terlepas dari tangkainya.

“Sri Baginda” bertanya Pangeran Lembu Sabdata, “apakah yang sebenarnya sudah dilontarkan kepada Baginda tentang diri hamba selama hamba berada di Talang Amba?”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Sementara kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah Pangeran Singa Narpada. Seri Baginda pun telah mengulangi keterangannya sesuai dengan laporan Pangeran Singa Narpada. Namun benar-benar tidak masuk dalam akal Pangeran Singa Narpada, bahwa tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menyahut,

“Bohong. Semuanya bohong Baginda. Tidak ada orang yang ingin membunuh hamba. Jika hamba tidak dapat segera dibawa menghadap, maka sebenarnyalah bahwa hamba benar-benar tidak mampu bangkit. Tubuh hamba bagaikan remuk dan tulang-tulang hamba bagaikan berpatahan”

“Kenapa?” bertanya Sri Baginda.

Pangeran Lembu Sabdata berpaling kepada Pangeran Singa Narpada sambil menjawab, “Kakangmas Singa Narpada ingin mendengar dari mulut hamba, siapakah yang berada di belakang hamba atas peristiwa-peristiwa yang terjadi itu”

“Gila” hampir berteriak Pangeran Singa Narpada bergeser mendekat. Seandainya mereka tidak berada dihadapan Sri Baginda, maka ia sudah mencekik leher Pangeran Lembu Sabdata.

“Tunggu” cegah Sri Baginda, “biarlah ia berbicara.

Pangeran Singa Narpada menggeram, “Kau jangan memutar-balikkan keadaan”

Tetapi Pangeran Lembu Sabdata justru tersenyum. Katanya, “Memang putaran roda pedati itu mengharuskan jari-jarinya sekali melintang, sekali membujur. Yang diatas akan berganti dibawah. Dan yang sewenang-wenang akhirnya akan terbongkar pula”

“Tetapi aku tidak berbuat apa-apa” bentak Pangeran Singa Narpada.

Namun Sri Baginda pun telah membentak, “Diam. Akulah yang akan bertanya kepadanya”

Pangeran Singa Narpada telah terdiam. Kepalanya tertunduk namun jantungnya bagaikan meledak.

“Sri Baginda” berkata Pangeran Lembu Sabdata kemudian, “hamba benar-benar tidak dapat bertahan untuk mengatakan bahwa segalanya adalah karena niat hamba sendiri. Tidak ada orang lain yang menggerakkan hamba. Tetapi tekanan yang tidak tertahankan telah memaksa hamba menyebut asal saja mengucapkan sebuah nama”

“Apakah benar begitu?” bertanya Sri Baginda.

“Hamba Sri Baginda. Hamba benar-benar telah diremukkan oleh kakangmas Singa Narpada. Memang orang-orang Talang Amba ada juga yang berbaik hati mengobati hamba. Tetapi itu karena mereka pun merasa perlu untuk mempertahankan hidup hamba, agar mereka mendapat keterangan seperlunya sebagaimana kakangmas Singa Narpada”

Rasa-rasanya telinga Pangeran Singa Narpada telah membara mendengar keterangan Pangeran Lembu Sabdata itu. Benar-benar satu persoalan yang tidak diduganya sebelumnya. Bagaimanapun tipisnya, ia masih menghargai kejujuran Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ternyata yang dijumpai benar-benar satu fitnah yang paling keji. Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun justru bagaikan terbungkam. Kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya membuatnya menjadi gemetar.

“Baginda” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian terbata-bata justru oleh gejolak batinnya, “hamba tidak menyangka bahwa adimas Pangeran Lembu Sabdata akan mengatakan demikian”

“Ya Baginda” potong Pangeran Lembu Sabdata, “baru sekarang hamba menyadari. Agaknya itulah sebabnya, maka kakangmas Singa Narpada telah mengancam hamba untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya hamba alami. Hamba kira, bahwa kakangmas Singa Narpada benar-benar ingin menyembunyikan kenyataan yang telah terjadi di Talang Amba atas diri hamba. Namun dalam pada itu Baginda, bahwa hamba mohon keadilan. Hamba memang sudah bersalah, bahwa hamba merasa wajib untuk berbuat sesuatu atas Kediri. Tetapi tingkah laku kakangmas Singa Narpada sudah melampaui wewenang yang ada padanya”

“Bohong” Pangeran Singa Narpada hampir berteriak.

Namun dengan demikian Sri Baginda pun telah memandanginya dengan tajamnya sambil bertanya, “Kau sadari, bahwa kau duduk dihadapanku?”

Pangeran Singa Narpada menundukkan kepalanya sambil berdesis lemah, “Hamba Baginda. Tetapi maksud hamba adalah memberikan penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi”

“Pangeran Singa Narpada yang perkasa” berkata Sri Baginda, “setiap orang tahu, apa yang dapat kau lakukan terhadap orang-orang yang tidak berdaya seperti adimas Pangeran Lembu Sabdata selama adimas Pangeran ada di tanganmu. Setiap orang tahu, bahwa beberapa orang telah kau remukkan untuk sekedar mendapatkan pengakuan dari mulutnya. Bahkan kadang-kadang pengakuan semu yang diucapkan karena ia tidak mampu lagi mengelakkan diri dari kekerasan tanganmu. Dan sekarang hal itu terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata. Atas adikmu sendiri”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, hatinya justru menjadi tenang. Bahkan kemudian iapun bertanya dengan suara dalam, “Ampun Sri Baginda. Hamba menyadari, bahwa cacat itu memang tidak dapat hamba tanggalkan dari diri hamba. Sekali hamba melakukannya, maka hal itu akan terbawa sepanjang umur hamba” Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak, kalau, “tetapi ampun Sri Baginda. Jika demikian, kenapa adimas Pangeran Kuda Permati harus pergi meninggalkan kota seandainya ia tidak mempunyai hubungan apapun dengan adimas Pangeran Lembu Sabdata. Seandainya benar kata adimas Pangeran Lembu Sabdata bahwa pengakuannya itu asal saja menyebut sebuah nama, maka apakah hubungannya hal ini dengan kepergian adimas Pangeran Kuda Permati itu”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Agaknya hal itu memang harus dipertimbangkan. Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata adalah salah seorang dari saudara Baginda yang paling dekat. Itulah agaknya maka Sri Baginda menganggap bahwa Pangeran Lembu Sabdata lebih dapat dipercaya dari saudara-saudaranya yang lain.

Meskipun demikian Sri Baginda itu masih juga bertanya, “Lembu Sabdata. Apa katamu tentang pertanyaan kakangmasmu tantang Kuda Permati. Jika ia tidak tersangkut dalam persoalanmu, kenapa ia harus melarikan diri dan menghilang dari kota”

“Ada beberapa hal Sri Baginda” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “mungkin kakangmas Kuda Permati tidak sedang melarikan diri. Tetapi sedang melakukan satu tugas tertentu. Katakanlah bahwa dengan demikian kakangmas telah melakukan satu kesalahan bahwa ia tidak melaporkan diri pada saat ia meninggalkan kota. Sedangkan kemungkinan yang terbesar adalah, bahwa kakangmas sudah mendengar apa yang terjadi di Talang Amba. Aku dipaksa mengaku dihadapan banyak orang, bahwa aku telah melakukan satu pemberontakan. Salah seorang yang berjuang bersamaku adalah kakangmas Kuda Permati. Nama itu aku ucapkan asal saja aku menyebutnya. Namun demikian, kakangmas Singa Narpada memang memancing aku untuk menyebut nama itu. Karena itulah agaknya berita tentang terlibatnya kakangmas Kuda Permati sebagaimana aku ucapkan dihadapan orang banyak itu telah didengar oleh kakangmas Kuda Permati, sehingga lebih baik baginya untuk menghindar sampai persoalan ini dapat dijernihkan”

“Bohong. Semuanya bohong” geram Pangeran Singa Narpada.

“Bukankah hal ini dapat ditanyakan kepada beberapa pihak?” bertanya Sri Baginda.

“Tidak ada gunanya” sahut Pangeran Lembu Sabdata, “para pengikut kakangmas Singa Narpada, baik yang pertama maupun yang kemudian datang ke Talang Amba adalah orang-orang yang berada sepenuhnya dibawah pengaruhnya. Apa yang akan dikatakan adalah apa yang diinginkan oleh kakangmas Singa Narpada. Bahkan seandainya Sri Baginda memanggil orang-orang Talang Amba, maka jawaban mereka atas pertanyaan siapapun juga, mempunyai pola yang sama meskipun mungkin dalam ungkapan yang berbeda”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya kepada Pangeran Singa Narpada, “Jelas. Bagaimana dengan kau? Apakah kau masih juga belum mengetahui isi ceriteranya”

“Dan Baginda mempercayainya?” Pangeran Singa Narpada ganti bertanya.

“Apa katamu, seandainya aku menjawab ya?” bertanya Sri Baginda.

“Segala wewenang dan kekuasaan duniawi ada di tangan Baginda Kediri. Tetapi bersama hamba adalah dua orang perwira Singasari yang melihat peristiwa yang sebenarnya terjadi."

Sekilas nampak wajah Lembu Sabdata menegang. Namun kesan itu pun segera lenyap. Dengan sikap sebagaimana sebelumnya ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sri Baginda.

Dalam pada itu, Sri Baginda pun telah mengerutkan keningnya. Bersama Pangeran Singa Narpada, Baik perjalanannya yang pertama, maupun perjalanannya yang kedua, adalah para perwira Singasari yang akan dapat menjadi saksi. Karena itu, maka Sri Baginda itu pun berkata kepada Pangeran Lembu Sabdata, “Apa katamu tentang kedua orang perwira Singasari itu?”

“Perasaan orang-orang Singasari terhadap hamba sudah jelas Sri Paduka. Hamba adalah pemberontak yang harus dihukum mati. Karena itu setiap keterangannya tentu akan sangat memberatkan hamba” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “hamba tidak tahu, seandainya para perwira dari Singasari itu akan memberikan keterangan. Apakah keterangan mereka akan sama dengan keterangan Kakangmas Pangeran Singa Narpada yang memang sudah dirancangkannya lebih dahulu, atau mereka akan memberikan keterangan yang lain. Tetapi, adalah mustahil jika mereka akan memberikan keterangan yang sebenarnya”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ternyata bahwa aku masih harus mencari keterangan-keterangan lain tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Talang Amba. Namun dalam pada itu, untuk tidak terjadi kecurangan-kecurangan dari segala pihak, maka baik Lembu Sabdata maupun Singa Narpada terpaksa aku batasi kebebasan gerak kalian”

Pengeran Singa Narpada menggeram. Tetapi Sri Baginda sudah mengucapkan satu keputusan, sehingga sulit untuk dapat dirubah lagi. Betapa rasa keadilan Pangeran Singa Narpada tersinggung, namun ia tidak dapat membantahnya. Karena itu, maka keduanya kemudian telah ditempatkan dalam bilik yang khusus dan terpisah. Sementara itu, Sri Baginda masih berusaha untuk mendapatkan beberapa keterangan yang akan dapat menjernihkan keadaan.

“Sri Baginda” berkata salah seorang Pangeran yang mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, “Sri Baginda telah menunjuk Pangeran Singa Narpada. Namun agaknya Baginda tidak mempercayainya sepenuhnya. Bukankah sejak semula kita sudah mengetahui kekerasan hati Pangeran Singa Narpada”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita akan melihat, apakah yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu benar. Ada banyak sumber yang akan dapat memberikan keterangan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata bahwa orang-orang Talang Amba tentu akan tunduk kepada semua pesan Pangeran Singa Narpada”

Pangeran itu tidak menjawab. Tatapi ia tetap tidak mengerti, kenapa Sri Baginda bersikap berat sebelah, sehingga Pangeran Singa Narpada pun harus ditahan pula.

Dalam pada itu, berita tentang penahanan Pangeran Singa Narpada itu pun segera tersebar. Tuduhan yang dilontarkan kepadanya pun telah banyak diketahui oleh orang-orang Kediri. Sebagian dari mereka menganggap bahwa sikap Sri Baginda adalah sikap yang paling adil. Mereka menghubungkan langkah-langkah yang keras Pangeran. Singa Narpada telah menyebabkan Pangeran Kuda Permati meninggalkan Kediri.

Pangeran Kuda Permati yang tidak melakukan kesalahan itu, merasa perlu untuk menghindarkan diri dari benturan kekuatan dengan saudara sendiri, karena Pangeran Singa Narpada memaksa Pangeran Lembu Sabdata untuk menyebut nama itu sebagai salah satu, bahkan sebagai penggerak dalam usaha melawan Singasari.

Berita itu bukan saja tersebar di Kediri. Tetapi akhirnya orang-orang Talang Amba pun mendengarnya juga. Para perwira yang ikut bersama Pangeran Singa Narpada ke Talang Amba merasa heran, bahwa Sri Baginda demikian saja percaya kepada Pangeran Lembu Sabdata, seakan-akan Pangeran Singa Narpada telah memfitnahnya.

Tetapi seperti beberapa pihak lain tidak dapat dengan serta merta berusaha merubah keadaan itu. Mereka harus berhati-hati, sehingga pada satu saat, mereka mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk membuktikan bahwa keputusan Sri Baginda itu salah.

Yang tidak kalah terkejutnya mendengar berita itu adalah Pangeran Kuda Permati sendiri. Seorang kepercayaannya yang ditinggalkannya di Kediri telah memberikan laporan sepenuhnya apa yang telah terjadi.

“Jadi adimas Pangeran Lembu Sabdata berhasil mengingkari keterangannya, bahwa aku telah terlibat” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Ya Pangeran” jawab kepercayaannya, “sekarang Pangeran Singa Narpada justru telah ditahan, sedangkan Pangeran Lembu Sabdata pun untuk sementara masih juga ditahan, karena Pangeran itu memang sudah mengaku mengadakan perlawanan terhadap Singasari Tetapi atas kehendak sendiri dan sama sekali tidak menyangkut nama Pangeran Kuda Permati”

“Apa katanya tentang aku?” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Jika di Talang Amba Pangeran Lembu Sabdata menyebut nama Pangeran, itu adalah justru atas kehendak Pangeran Singa Narpada yang memaksa Pangeran Lembu Sabdata untuk mengakui kehadiran Pangeran Kuda Permati di lingkungannya”

Pangeran Kuda Permati tertawa. Katanya, “Aku tidak menyangka bahwa adimas Lembu Sabdata ternyata memiliki kecerdasan dan kesetiaan yang tinggi. Jika demikian, maka aku harus menghilangkan segala keragu-raguan atas kesetiaannya. Untunglah bahwa Pangeran itu masih tetap hidup. Ia akan dapat menjadi tenaganya yang baik sekali diantara kita semuanya”

“Ya Pangeran” jawab kepercayaannya, “pada suatu saat, kita akan mendapat kesempatan untuk bertemu lagi”

Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Ia merasa beruntung, bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih tetap berusaha melindungi namanya, meskipun ia sudah pernah berusaha untuk membunuhnya.

Dalam pada itu, maka pesannya kepada orang-orangnya, “Ikuti segala perkembangan keadaan adimas Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ada sesuatu yang perlu kita perhatikan”

Pesan itu pun dilakukan oleh para pengikutnya dengan saksama. Terutama mereka yang ada di kota Kediri. Sementara Pangeran Kuda Permati berpengharapan atas kemungkinan yang menguntungkan baginya, maka orang-orang Talang Amba menjadi heran mendengar keputusan Sri Baginda di Kediri, bahwa Pangeran Singa Narpada telah ditahan dan dipersalahkan telah melakukan kekerasan terhadap Pangeran Lembu Sabdata yang dalam keadaan tidak berdaya.

“Aneh” berkata Ki Sanggarana yang mendengar berita itu dalam suatu pertemuan dengan orang-orang Singasari.

"Apakah para perwira yang menyertai Pangeran Singa Narpada tidak ada yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi?” bertanya Senopati Singasari yang ada di Talang Amba.

“Menurut keterangan yang kami dengar” sahut Ki Sanggarana, “semua pernyataan tentang keadaan yang sebenarnya telah dianggap sebagai satu pemalsuan karena perintah Pangeran Singa Narpada. Seakan-akan semua orang yang menyertainya, baik pada perjalanannya yang pertama maupun yang kedua, telah mendapat tekanan dari Pangeran itu untuk mengatakan yang tidak sebenarnya”

Senopati Singasari itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi yang sebenarnya itulah yang dianggap tidak sebenarnya. Dan Raja di Kediri itu percaya begitu saja kepada Lembu Sabdata”

“Pangeran Lembu Sabdata adalah adiknya yang paling dikasihinya” berkata Ki Sendawa yang pernah mendengar juga tentang persoalan yang sedang berkembang di Kediri.

Namun dalam pada itu, para Senopati Singasari mempunyai penilaian tersendiri. Seorang Senopati berdesis, “apakah ini satu pertanda sikap Kediri terhadap Singasari?”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi seorang Senopati yang sudah agak lebih tua dari kawan-kawannya berkata, “Kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan apapun juga. Sebagai orang luar, kita akan dapat mengamati lebih jelas tentang peristiwa yang terjadi di Kediri itu."

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mendengar peristiwa itu pun berkata, “kami ingin pergi ke Kediri”

Ki Waruju mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Kali ini kalian jangan bermain-main”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Ki Waruju dengan tajamnya. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti menjawab, “kami tidak sedang bermain-main paman, Kami tahu, bahwa persoalan ini akan menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari. Namun karena kami hanyalah orang-orang kebanyakan, maka mungkin yang akan dapat kami capai pun tidak lebih dari keterangan-keterangan yang barangkali berguna”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Asal saja kalian menyadari, apa yang sedang kalian lakukan itu. Di Kediri kalian akan berhadapan dengan orang-orang Pangeran Kuda Permati yang tentu masih tetap berkeliaran”

“Kami tidak akan berbuat apa-apa” jawab Mahisa Murti, “kami hanya akan mendengarkan apa yang terjadi. Karena itu, maka kami berharap untuk tidak akan berhadapan dengan orang-orang Pangeran Kuda Permati. Namun apabila hal itu harus terjadi apa boleh buat”

“Baiklah” berkata salah seorang Senopati Singasari yang berada di Talang Amba, “Kau dapat membawa satu pertanda dari aku. Kemudian kau akan dapat berhubungan dengan orang-orang Singasari yang ada di Kediri. Sebab selain orang-orang yang memang ditempatkan di Kediri dan orang-orang yang dengan terbuka melakukan tugas-tugasnya, Singasari pun menempatkan beberapa orang pengawas di Kediri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kami pun ingin tahu, apakah dua orang perwira Singasari yang menyertai Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak dapat memberikan keterangan apapun juga tentang tingkah laku Pangeran Lembu Sabdata itu?”

“Persoalannya tentu akan sama saja. Kedua perwira dari Singasari itu dianggap sudah membicarakan rencana untuk menjebak Pangeran Lembu Sabdata” sahut Senopati dari Singasari itu.

“Tetapi bukankah kesalahan Pangeran Lembu Sabdata telah terbukti dan diakuinya” sahut Mahisa Pukat.

“Ya. Tetapi ia tidak mau menyangkut nama lain” jawab Senopati dari Singasari itu.

Mahisa Pukat pun hanya mengangguk-angguk, sementara itu Senopati dari Singasari itu pun berkata, “Aku juga mempunyai wewenang dalam tugas-tugas sandi. Nah, kalian dapat memakai cincin pertanda khusus dari mereka yang mendapat tugas sandi. Ingat, hanya orang-orang yang terpercaya sajalah yang diperkenankan memakai pertanda itu. Dan kalian telah menempatkan diri dalam lingkungan orang-orang yang terpercaya itu. Aku berani menganggap kalian demikian setelah kami tahu apa yang kalian lakukan disini”

“Terima kasih” sahut keduanya hampir berbareng.

“Nah, kalian di Kediri akan dapat menghubungi beberapa orang dalam tugas yang sama” berkata Senopati itu.

“Namun kalian harus memberikan laporan tentang kerja kalian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun justru dengan demikian, mereka telah terlibat ke dalam satu tugas yang penting, bukan saja sebagai satu petualangan, tetapi satu tugas yang harus dipertanggung-jawabkan.

Sementara itu, maka Senopati itu pun berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan pertanda itu, maka nama kalian akan tercatat dalam urutan petugas-petugas sandi. Dengan demikian kalian adalah dua diantara beberapa petugas sandi yang secara suka rela mengabdikan dirinya pada kewajiban yang berat itu. Selain daripada itu, segalanya berani aku lakukan tanpa berhubungan lebih dahulu dengan Senopati yang lebih tinggi di Singasari, karena kalian adalah adik-adik Mahisa Bungalan. Dalam hal ini dengan satu pengertian, bahwa demikian aku kembali ke Singasari atau salah seorang diantara kami yang berada di dalam lingkungan petugas-petugas sandi, maka kami akan memberitahukan hal ini kepada Mahisa Bungalan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara. itu Ki Waruju pun berdesis, “Kalian telah membebani pundak kalian sendiri dengan kewajiban yang sangat berat, yang mungkin kesulitan-kesulitannya tidak pernah kalian bayangkan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mulai menyadari atas tugas yang mereka terima itu. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun menjawab, “Sudah menjadi kewajiban kami untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat kami lakukan bagi kepentingan Singasari. Mungkin kami tidak berhasil sebagaimana kami harapkan. Namun dengan demikian, maka kami telah meletakkan satu tekad untuk berbuat baik bagi Singasari”

“Baiklah” berkata Ki Waruju, “tetapi kalian harus menyadari, bahwa tugas kalian adalah tugas rahasia. Pertanda yang kalian kenakan adalah pertanda tugas rahasia itu, sehingga bukan justru kalian pergunakan untuk satu pameran dan kebanggaan, sehingga banyak orang yang mengetahuinya. Dengan demikian maka kerahasiaan kalian tolak akan ada artinya lagi”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Terdengar Mahisa Pukat menyahut, “kami mengerti paman”

“Baiklah. Selanjutnya, dengarlah segala pesan baik-baik” berkata Ki Waruju kemudian.

Dalam pada itu, maka Senopati dari Singasari yang juga termasuk dalam jajaran petugas sandi itu pun mulai memberikan beberapa keterangan. Namun ternyata ia masih belum mengatakan seluruhnya. Masih ada yang memang merupakan satu rahasia yang hanya akan dikatakannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saja meskipun hal itu tidak dinyatakannya dengan berterus terang.

Karena itulah, maka dalam kesempatan yang terpisah, tanpa hadirnya orang lain, Senopati itu telah memberikan beberapa petunjuk tentang petugas-petugas sandi yang dapat dihubunginya di Kediri.

Dengan sungguh-sungguh Senopati itu berkata, “Sekali lagi aku beritahukan kepada kalian, bahwa yang akan kalian lakukan adalah tugas rahasia. Tidak banyak orang yang mengetahui. Bahkan prajurit-prajurit Singasari yang ada di-sini pun tidak mengetahuinya pula. Nama-nama itu adalah nama-nama yang tabu bagi siapapun juga. Ingat, kalian mungkin akan mengalami satu keadaan yang sangat pahit. Tetapi jangan ada nama yang terlepas dari mulutmu. Taruhan dari tugas kalian bukan saja maut. Tetapi puncak dari kesakitan mungkin akan kalian alami”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka menyadari sepenuhnya pesan dari Senopati itu. Jika mereka tertangkap karena tugas mereka, maka mereka tidak boleh menyebut nama apapun juga, meskipun mereka diperas dengan segala macam cara. Namun dalam pada itu, ketika keduanya kembali ke dalam bilik mereka, sementara lampu-lampu minyak telah menyala di setiap ruangan, Ki Waruju pun telah datang kepada mereka.

“Aku tidak akan mengganggu tugas kalian” berkata Ki Waruju, “Karena itu, aku tidak akan mencoba untuk mengetahui apa yang telah diberitahukan kepadamu. Namun justru karena tugas kalian yang berat dan rumit itu, maka aku tidak akan sampai hati melepaskan kalian berdua berada di Kediri. Selagi kalian melakukan tugas itu, maka aku pun akan berada di Kediri”

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cerah. Dengan penuh minat Mahisa Murti pun bertanya, “Dimana paman akan tinggal?”

“Kalian dapat mencari aku diantara belantik-belantik lembu. Aku akan berada di pasar hewan pada hari-hari pasaran. Pada kesempatan itu kita akan dapat bertemu. Mungkin ada persoalan yang perlu aku bantu” berkata Ki Waruju. Lalu, “baru kemudian, setelah aku mendapat tempat yang jelas, aku akan dapat memberitahukan kepada kalian”

“Terima kasih paman” desis Mahisa Pukat, “dengan demikian, rasa-rasanya tugasku akan menjadi semakin ringan”

“Tetapi kalian harus berkata terus terang dengan Senopati yang memberikan kepercayaan kepada kalian, bahwa aku terlibat pula di Kediri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memenuhi permintaan Ki Waruju. Keduanya telah melaporkan, bahwa Ki Waruju akan berada di Kediri juga.

“Tidak ada salahnya” jawab Senapati itu, “Aku juga mengenalnya selama ini berada di sini. Tetapi ingat, bahwa nama-nama para petugas sandi itu tidak boleh terucapkan oleh bibir kalian dengan siapapun kalian berbicara”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat menjawab, “kami akan berpegang kepada janji kami”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan dirinya pada satu tugas paling gawat. Ia akan berada di Kediri dalam hubungannya dengan kegiatan Pangeran Lembu Sabdata dan keadaan Pangeran Singa Narpada yang sulit.

Pada saat menjelang keberangkatannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada para pemimpin dari Kabuyutan Talang Amba dan para Senapati Singasari yang berada di Kabuyutan itu. Tidak banyak orang yang tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian. Namun bagi orang-orang Talang Amba, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak memberikan arti bagi anak-anak mudanya dan justru bagi keselamatan Kabuyutan itu sendiri.

Karena itu, pada saat keberangkatannya beberapa orang pemimpin Kabuyutan Talang Amba, para Senapati prajurit Singasari dan anak-anak mudanya telah melepaskan dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka ingin menahan agar kedua anak muda itu tetap berada di Talang Amba.

“Pada saatnya kami akan kembali” berkata Mahisa Murti kepada anak-anak muda itu.

Dengan demikian, maka mulailah satu perjalanan yang akan menyongsong tugas yang berat telah dimulai. Namun dalam pada itu, meskipun tidak bersama-sama, tetapi kedua anak muda itu mengetahui, bahwa Ki Waruju akan berada di Kediri sebagaimana dikatakannya. Pada hari pasaran mereka akan dapat menemui Ki Waruju di pasar hewan.

Sebagaimana perjalanan yang pernah di tempuh, maka kedua anak muda itu lebih senang berjalan kaki, menyusuri lereng-lereng bukit yang hijau, yang nyaris menjadi padang berbatuan padas tanpa selembar daun pun. Jika pepohonan hutan di lereng gunung itu menjadi gundul, maka kehidupan akan menjadi gersang untuk waktu yang sangat panjang, bahkan akhirnya padukuhan-padukuhan di bawah lereng-lereng pegunungan akan berubah menjadi padang-padang perdu yang kering dan berwarna kuning.

“Satu cara yang sangat keji” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Dalam keadaan yang terpaksa, mungkin mereka akan mempergunakan cara yang lebih buruk. Mereka akan dapat membakar hutan sehingga papohonan itu pun akan menjadi abu sebagaimana kehidupan di bawah lereng-lereng pegunungan itu di hari kemudian”

“Sikap Sri Baginda di Kediri memang merupakan teka-teki berkata Mahisa Murti, “Mudah-mudahan tidak ada niat apapun juga yang akan dapat memecahkan rangkuman kesatuan Singasari, termasuk Kediri”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi sikap orang-orang Kediri memang tidak sejalan diantara mereka. Beberapa orang bangsawan nampaknya berbeda sikap menghadapi pertumbuhan negerinya.

Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin segera berada di Kediri, tetapi mereka tidak terlalu tergesa-gesa. Mereka berjalan sebagaimana dua orang pengembara yang menyusuri jalan-jalan berbukit dan sekali- sekali menyusup di padukuhan-padukuhan tanpa menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Namun ada juga satu dua orang yang memperhatikannya sambil bergumam, “Apakah yang dilakukan oleh kedua anak muda itu? Apakah mereka lebih suka mengembara tanpa tujuan daripada membantu ayahnya bekerja di sawah?”

Tetapi jika ada juga orang yang bertanya kepada mereka di warung-warung, apakah yang mereka cari dalam pengembaraan, keduanya selalu menjawab, bahwa mereka sudah tidak berkeluarga dan hidup dalam pengembaraan.

“Apakah yang kalian makan dalam pengembaraan kalian?” bertanya seseorang, “apakah kalian mengharap belas kasihan orang di sepanjang perjalanan?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang memang, mengalami kesukaran untuk menjawab. Namun apabila pertanyaan itu mendesaknya, maka biasanya Mahisa Murti lah yang menjawab, “Apa boleh buat. Kami tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi kami tidak sepenuhnya mengharapkan belas kasihan. Tetapi kami juga bersedia untuk bekerja apa saja untuk mendapatkan sedikit bekal di perjalanan”

“Oh" orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang lebih baik begitu. Kalian masih muda. Jika kalian menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain, maka hidup kalian bukanlah satu kehidupan yang sebenarnya. Tetapi apakah kalian tidak ingin untuk menetap dan bekerja pada seseorang?”

Pertanyaan itu memang membingungkan. Namun nampaknya Mahisa Murti tidak ingin berpikir terlalu banyak, sehingga iapun kemudian menjawab, “Seandainya ada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan kami, maka kami tidak akan menolaknya”

“Tetapi apakah kemampuan kalian?” bertanya orang itu.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu. Mahisa Pukat lah yang menjawab, “kami menyesal bahwa kami tidak mempunyai ketrampilan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Barangkali kami dapat bekerja sekedar mempergunakan tenaga kami"

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berkata, “Agaknya kalian benar-benar anak muda yang kurang mempunyai arti dalam hidup kalian”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin sekali. Dan karena itulah maka kami sangat menyesal”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku memerlukan tenaga anak-anak muda yang memiliki ketrampilan. Aku mempunyai tanah yang cukup luas yang dapat dikerjakan sebagai tanah pertanian. Tetapi sudah tentu bukan tenaga-tenaga yang tidak berkemampuan apa-apa."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat saling berpandangan, tetapi mereka tidak menjawab. Sebenarnya ada juga keinginan di hati kedua orang anak muda itu untuk mencoba bekerja pada seseorang. Tetapi mereka sedang mengemban satu tugas, sehingga karena itu, maka niat mereka untuk menerima pekerjaan yang mungkin dapat dilakukannya itu pun mereka batalkan.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun meninggalkan tempat itu dengan satu pengenalan baru atas sikap orang-orang padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Namun sikap itu sebenarnya adalah sikap yang dapat dimengerti. Tetapi ternyata bahwa di padukuhan itu ada seseorang yang memiliki tanah melampaui kemampuan tenaga kerja yang ada padanya.

Apakah dengan demikian berarti ada orang lain yang hanya memiliki tanah terlalu sedikit, atau bahkan tidak sama sekali? Atau tanah di padukuhan itu memang masih terlalu luas dan terbuka, sehingga seseorang dapat mengusahakan tanah seberapa saja dikehendaki asal saja ia atau orang-orangnya dapat mengerjakannya.

Namun tiba-tiba Mahisa Murti berkata, hampir kepada dirinya sendiri, “Apakah tanahnya yang luas itu merupakan bagian dari penebangan hutan yang tidak terkendali atau justru dengan sengaja merampas hijaunya lereng-lereng perbukitan?”

Mahisa Pukat berpaling kepadanya. Sejenak ia merenung. Kemudian katanya, “Apakah mungkin demikian?”

“Barangkali kita hanya berprasangka. Tetapi baiklah kita melupakannya. Kita akan pergi ke satu tempat yang gawat dalam tugas kita. Mungkin jika kita masih berkesempatan akan dapat melihat arti dari sikap orang itu”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sadar, bahwa tugas yang disandangnya adalah tugas yang cukup berat. Sehingga karena itu, maka tidak sewajarnyalah bagi mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain sebelum tugas pokoknya dapat dilakukannya.

Dengan demikian maka keduanya telah melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan-jalan padukuhan menuju ke Kediri ke satu tempat yang kurang dikenalnya, yang akan menjadi ajang tugas tugasnya yang berat. Namun kedua anak muda itu telah meletakkan tekad mereka untuk melakukannya.

Dengan cermat kedua anak muda itu mengamati jalan yang harus ditempuhnya, sebagaimana petunjuk dari Senopati Singasari yang ada di Talang Amba. Mereka mengenali pertanda-pertanda yang ada pohon-pohon besar, tikungan dengan ciri-ciri alamnya dan bangunan-bangunan yang mudah dikenal.

“Kita berada di jalan yang agaknya benar” berkata Mahisa Pukat, “tetapi seperti pesan yang kita terima. Tidak mudah untuk memasuki lingkungan yang ditunjuk itu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kita harus sangat berhati-hati. Tetapi agaknya kita tidak akan dapat langsung memasuki daerah itu. Kita harus berhenti dan bermalam diluar lingkungan yang disebut sambil mengamati kemungkinan-kemungkinan yang paling baik”

“Ya” Mahisa Pukat mengangguk-angguk, “kita harus mengingat bahwa Pangeran Kuda Permati sudah tidak ada di dalam kota. Mungkin orang-orangnya pun telah memencar di segala sudut tlatah Kediri, termasuk daerah ini”

“Sebenarnya kita tidak tergesa-gesa memasuki daerah yang ditunjuk. Jika kita mendapat kesempatan yang lain dalam rangka tugas ini, kita akan dapat melakukannya” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi segala sesuatunya akan lebih baik, jika kita telah melaporkan diri atas kedatangan kita dan memasuki lingkungan mereka” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Aku sependapat. Tetapi malam ini kita akan bermalam di padang terbuka”

Namun keduanya memang sudah terbiasa bermalam di sembarang tempat. Karena itu, maka mereka pun sama sekali tidak merasa terganggu. Mereka mencari padang perdu yang agaknya tidak sering dijamah orang. Diatas rerumputan kering, keduanya akan tidur sebagaimana sering mereka lakukan. Namun mereka tidak agak tidur berbareng. Mereka akan tidur bergantian. Apalagi mereka berada di tempat yang tidak mereka kenal dengan baik, sehingga banyak kemungkinan dapat terjadi.

Demikianlah, mereka ternyata telah mendapatkan tempat yang baik. Semalaman keduanya sama sekali tidak terganggu oleh apapun. Menjelang pagi keduanya memang mendengar raung seekor binatang buas di hutan yang tidak terlalu jauh. Tetapi suara itu pun kemudian lenyap tidak terdengar lagi.

Pagi-pagi benar keduanya telah mencari air untuk mencuci muka. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh Senopati Singasari di Talang Amba. Tetapi mereka masih belum berani dengan serta merta memasuki daerah itu. Satu daerah yang terletak tidak terlalu jauh dari lingkungan Kota Raja Kediri. Namun satu lingkungan yang agaknya tidak begitu ramai.

Menilik kehidupan sehari-hari, lingkungan itu tidak ubahnya dengan lingkungan padukuhan pada umumnya. Tidak ada tanda-tanda yang menarik perhatian seandainya mereka belum mendapat petunjuk dari Senopati yang ada di Talang Amba. Namun mereka pun menyadari, bahwa yang mungkin berkeliaran bukan saja para pengamat dari Singasari, tetapi mungkin juga orang-orang Pangeran Kuda Permati, atau bahkan orang lain sama sekali dari kedua lingkungan itu. Karena tidak mustahil. Kediri sendiri ingin mengetahui apa yang bergejolak di dalam dirinya.

Dengan sikap pengembara, keduanya melanjutkan perjalanan, memasuki padukuhan-padukuhan. Keduanya berhenti pada sebuah simpang empat yang ramai, yang nampaknya menjadi pemberhentian barang-barang yang dibawa dari keempat jalur jalan dan ke arah keempat jalur jalan itu pula. Di sebelah simpang empat itu ternyata memang terdapat semacam pasar untuk saling menukarkan barang-barang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak Menilik bangunan yang ada dan kelengkapannya, maka tempat itu tentu pernah mengalami satu masa yang jauh lebih ramai dari saat-saat itu.

“Kenapa perdagangan disini nampaknya menjadi mundur?” bertanya Mahisa Murti hampir kepada diri sendiri.

Mahisa Pukat berpaling ke arahnya. Namun iapun tidak dapat memberikan jawaban, kecuali satu dugaan, “Barangkali perkembangan keadaan yang telah membuat pasar ini menjadi agak sepi”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kau lihat warung itu?”

“Marilah” ajak Mahisa Pukat.

Keduanya kemudian memasuki sebuah warung yang tidak terlalu besar. Satu diantara beberapa buah warung yang terdapat di tempat ini. Ketika mereka memasuki warung itu, di dalamnya sudah ada dua orang lain yang sedang sibuk. menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat.

“Tiba-tiba saja terasa perutku sangat lapar” desis Mahisa Pukat.

“Aku juga” sahut Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian memesan minuman hangat dan nasi yang masih hangat pula. Namun dalam pada itu, diluar dugaan, maka mereka pun telah dihadapkan pada satu keadaan yang sulit. Selagi keduanya sibuk dengan nasi hangat masing-masing, maka terdengar derap kaki kuda. Demikian tiba-tiba dua ekor kuda telah berada di hadapan warung itu.

Kedua orang yang sudah lebih dahulu berada di warung itu pun menjadi tegang. Salah seorang diantara keduanya itu pun berdesis, “Bagaimana mereka mengetahui bahwa aku ada disini”

Kawannya pun menjadi pucat. Katanya, “Tentu ada penjilat yang menunjukkannya. Agaknya kita tidak akan dapat menghindar lagi”

Yang lain tidak menjawab. Kedua orang penunggang kuda itu pun kemudian turun dan menjengukkan kepalanya ke dalam warung itu. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya tersenyum. Namun senyumnya rasa-rasanya menusuk sampai ke pusat jantung.

“Ternyata kalian benar-benar ada disini” berkata orang yang tersenyum itu.

Orang yang berada di dalam warung itu tidak menjawab. Tetapi wajah mereka nampak menjadi tegang.

“Marilah” berkata orang berkuda itu, “jangan membuat aku marah. Bukankah kuda yang aku kehendaki itu kau jual?”

“Tidak. Tidak aku jual” jawab orang itu dengan suara patah-patah

“Lalu, mana kuda itu?” desak orang berkuda itu.

“Kemenakanku menghendakinya” jawab orang itu.

“Kenapa kau berikan juga kepadanya, sementara kau mengerti bahwa aku menghendakinya” berkata orang berkuda itu.

“Kau tidak berani membayar seperti yang aku kehendaki” jawab orang itu.

Orang berkuda itu membelalakkan matanya. Akhirnya ia membentak, “Aku tidak perlu membayar. Aku dapat mengambil apa saja yang aku kehendaki. Apalagi seekor kuda. Bahkan nyawamu pun dapat aku ambil tanpa ada orang mencegahnya”

Orang yang berada di dalam warung itu menjadi gemetar.

“Sekarang tunjukkan, dimana rumah kemanakanmu. Aku akan mengambil kuda itu. Jika kemanakanmu mencegahnya, maka nyawanya sekaligus akan aku ambil” berkata orang berkuda itu, “dengar, kami memang sedang memerlukan kuda-kuda yang baik untuk perjuangan kami. Jika kau menolak memberikan kuda itu, maka berarti kau telah mengkhianati perjuangan kami”

Kedua orang itu tidak dapat menjawab. Tetapi mereka benar-benar merasa cemas akan nasib mereka. Namun akhirnya salah seorang dari keduanya berkata, “Kami tidak dapat mencegah kemanakanku mengambil kuda itu. Sebenarnya kami memang sangat memerlukannya. Kemanakanku telah banyak menolong aku dalam kesulitanku. Bahkan kemanakankulah yang seakan-akan selama ini membiayai hidupku”

“Kau dapat berkata apa saja” berkata orang berkuda itu, “tetapi aku telah mengatakan kepadamu, bahwa aku memerlukan kuda itu”

“Tetapi, apakah kau dapat mengambil kuda itu begitu saja?” desis orang yang berada di dalam warung itu, “Bukankah seharusnya kau membelinya”

“Jangan banyak bicara” geram orang itu, “katakan bahwa kuda itu sudah kau jual. Sekarang kau harus mengganti. Kau harus menyiapkan seekor kuda bagi kami. Aku memberi waktu kepadamu dalam sepekan. Jika kau tidak dapat menyediakan seekor kuda dalam waktu sepekan, maka rumahmu akan kubakar. Anak dan isterimu akan menderita, karena kau akan ikut sertakan terbakar di dalam rumahmu itu”

“Tetapi kau tidak berhak mengambil kudaku” desis orang itu.

Wajah orang berkuda itu menjadi merah. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian keduanya telah meninggalkan warung itu. Sementara kedua orang itu masih saja gemetar ketakutan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Mereka merasakan, bahwa satu ketidak-adilan tentu telah terjadi di daerah itu. Ada satu pihak yang sedang berusaha untuk memaksakan kekuasaannya atas pihak yang lemah. Bahkan agaknya mereka tidak ragu-ragu untuk mengambil jiwa korbannya pula.

Keadaan itu membuat keduanya menjadi bimbang. Rasa-rasanya ada dorongan untuk berbuat sesuatu melihat ketidak-adilan itu. Tetapi apakah dengan demikian, hal itu akan mengganggu tugas mereka?

Karena itu, maka keduanya tidak segera mengambil sikap. Keduanya menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Tetapi waktu yang diberikan oleh kedua orang berkuda itu cukup lama. Sepekan. Tetapi agaknya bagi kedua:, orang itu, waktu yang sepekan itu terlalu pendek untuk dapat menyediakan seekor kuda.

Dalam pada itu, kedua orang itu pun agaknya dengan tergesa-gesa telah menyelesaikan minuman dan makanan mereka. Setelah membayarnya, maka keduanya pun telah minta diri meninggalkan warung itu.

Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian bertanya kepada pemilik warung itu tentang kedua orang yang sedang berada di warung itu dan tentang kedua orang berkuda itu.

“Siapakah kedua orang berkuda itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami tidak begitu jelas” jawab pemilik warung itu, “tetapi rasa-rasanya mereka belum terlalu lama berada disini. Mereka adalah termasuk dalam sekelompok orang yang tinggal di sekitar daerah ini. Tetapi kami tidak tahu secara pasti”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya, “Siapakah dua orang yang dipaksa untuk menyerahkan kudanya itu?”

“Penghuni padukuhan sebelah” jawab pemilik warung itu. Lalu, “Orang-orang yang belum banyak kami kenal telah berkeliaran di daerah ini. Yang menarik perhatian mereka terutama adalah kuda. Masih belum ada korban lain. Entah kemudian jika kuda yang ada di padukuhan itu telah habis”

“Bagaimana dengan para pengawal dari Kediri? Apakah mereka tidak berbuat sesuatu terhadap sikap yang demikian?” bertanya Mahisa Murti.

“Daerah ini adalah daerah wewenang Panji Sampana Murti." jawab pemilik warung itu. ”ada beberapa Kabuyutan yang termasuk daerah kuasanya. Seharusnya Panji Sampana Murti lah yang mengambil sikap. Baru kemudian, jika ia tidak berhasil mengatasi kesulitan itu, barulah pengawal dari Kediri akan turun. Namun dengan demikian, penilaian Sri Baginda terhadap Panji Sampana Murti menjadi turun, karena ia tidak mampu mengatasi kesulitan di daerah yang dipercayakan kepadanya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, “Apakah Panji Sampana Murti itu Akuwu di daerah ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Apakah kalian bukan orang daerah ini?” pemilik warung itu ganti bertanya.

“Kami adalah pengembara” jawab Mahisa Murti.

“Daerah di sekeliling Kota Raja ini dipimpin oleh seorang Senopati untuk setiap kiblat. Berbeda dengan daerah yang berada jauh dari Kota Raja, yang untuk satu lingkungan tertentu dipimpin oleh seorang Akuwu. Panji Sampana Murti adalah seorang Senopati yang berkuasa di bagian Barat, Selatan dan Timur, ada lagi pemimpin-pemimpin yang setingkat dengan Panji Sampana Murti” pemilik warung itu menjelaskan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ada semacam persoalan yang tumbuh di hati mereka. Senopati Singasari di Talang Amba tidak menyebutkan kekuasaan yang demikian. Namun Senopati itu memang menyebutkan daerah-daerah perbatasan.

“Agaknya kekuasaan semacam inilah yang disebut daerah perbatasan” berkata keduanya di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya, “Jika terjadi hal seperti yang menimpa kedua orang itu, apakah yang akan dilakukan oleh Panji Sampana Murti?”

Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku adalah penjual makanan dan minuman disini. Aku tidak dapat menjawab pertanyaanmu anak muda. Selain aku tidak berani, aku pun tidak tahu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia masih mencoba untuk mendesak, “Jangan kau tebak apa yang akan terjadi atau kemungkinan-kemungkinan yang dapat keliru. Tetapi apa yang sudah terjadi. Bukankah yang sudah terjadi itu bukan rahasia lagi? Bukankah hal itu sudah diketahui banyak orang?”

Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian, “Belum pernah terjadi sesuatu”

“Maksudmu pengambilan kuda milik seseorang baru terjadi kali ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Bukan demikian” jawab pemilik warung itu.

“Oh” Mahisa Murti mengangguk-angguk, "aku mengerti sekarang. Hal yang serupa sudah pernah terjadi. Tetapi tidak ada tindakan apa-apa yang pernah dilakukan oleh Panji Sampana Murti. Bukankah begitu?”

Orang itu menjadi tegang. Kemudian katanya, “Aku tidak mengatakan demikian. Kalian sendirilah yang mengambil kesimpulan itu. Terserah saja kepada kalian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi jawaban itu justru telah mengiakannya. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesaknya lagi. Keduanya menyadari, bahwa pemilik warung itu tentu ingin mengalami kesulitan dengan keterangan-keterangan yang diberikannya kepada orang yang tidak begitu dikenalnya.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri setelah mereka membayar makanan dan minuman yang telah mereka makan dan minum di dalam jurang itu. Namun demikian ketika keduanya telah berada dipintal, Mahisa Murti masih bertanya, “Siapakah orang yang memiliki kuda itu he?”

“Sudah aku katakan, orang padukuhan sebelah” jawab pemilik warung itu.

“Namanya?” desak Mahisa Pukat.

“Untuk apa kau tahu namanya?” bertanya pemilik warung itu.

“Tidak untuk apa-apa. Hanya sekedar mengetahui saja” jawab Mahisa Pukat.

“Agaknya kau tidak bersangkut paut. Mungkin hari ini kau sudah meninggalkan tempat ini," berkata pemilik warung itu.

“Namun aku akan tetap mengingatnya bahwa hal serupa ini pernah terjadi disini atas seseorang. Nah, barangkali aku memang ingin mengetahui namanya? Bukankah nama orang itu bukannya merupakan satu rahasia? Bukankah setiap orang di daerah ini sudah mengenal namanya?” Mahisa Pukat masih mendesak.

Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Yang seorang bernama Kudatu”

“Kudatu” ulang Mahisa Pukat.

“Ya. Ialah yang memiliki kuda itu. Nah, aku sudah cukup memberikan keterangan” berkata pemilik warung itu.

“Terima kasih. Aku akan meneruskan pengembaraanku. Namun jika aku masih betah tinggal disini, aku kira aku masih akan singgah di warung ini. Masakan Ki Sanak sesuai bagiku” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Namun pemilik warung itu tiba-tiba saja berkata, “Warung ku adalah warung yang terkecil yang ada di deretan ini. Aku belum lama membuka warung ku ini. Syukurlah jika seleramu sesuai. Aku masih mengharapkan kau singgah”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertegun sejenak. Baru saja mereka mulai melangkah. Tetapi mereka telah berhenti lagi. “Jadi Ki Sanak belum lama membuka warung ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Belum. Lihatlah dengan warung-warung yang ada di sebelah. Mereka sudah mempunyai jauh lebih banyak langganan dari warung ku ini” jawab orang itu.

“Baiklah. Aku akan menjadi langganan barumu. Tetapi hanya untuk satu atau dua hari. Setelah itu, maka aku akan melanjutkan pengembaraanku” berkata Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Tetapi berbeda dengan pembeli-pembeli yang lain, maka pemilik warung itu telah keluar dari pintu warungnya ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah meninggalkannya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian menyusuri jalan yang masih agak ramai itu, memang melihat beberapa warung yang lain yang lebih besar dan lebih banyak dikunjungi orang meskipun jumlahnya tidak lebih dari tiga dan yang terpisah agak jauh ada sebuah warung yang agaknya terbesar diantara warung-warung yang ada.

“Daerah perbatasan yang menarik” desis Mahisa Pukat. Lalu, “aku menghubungkan kedua orang berkata itu dengan menyingkirkan Pangeran Kuda Permati dan pasukannya dari Kota Raja”

“Mungkin” jawab Mahisa Murti. Sehingga dengan demikian Panji Sempana Murti tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil langkah-langkah tegas karena ia menghadapi satu kekuatan yang cukup besar”

“Tetapi tentu tidak seperti yang dikatakan oleh pemilik warung itu, bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa dalam hubungannya dengan Kediri” berkata Mahisa Pukat, “Jika ia dapat memberikan laporan yang sewajarnya, maka Kediri tentu akan mengambil langkah-langkah yang paling pantas”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita sedang menghadapi satu daerah yang bergolak. Kita tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam perut Kediri sekarang ini. Sikap Baginda atas Pangeran Singa Narpada sudah menimbulkan satu persoalan tersendiri. Kepercayaan Sri Baginda yang tiba-tiba saja berbalik dari Pangeran Singa Narpada kepada Pangeran Lembu Sabdata. Dan masih banyak lagi persoalan yang mungkin sedang bergerak di Kediri”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kita memang sedang menghadapi satu pergolakan yang sulit untuk ditebak”

Untuk beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu saling berdiam diri. Mereka meninggalkan tempat yang menjadi titik pertemuan beberapa orang pedagang itu, dan kemudian mengamati ciri-ciri yang pernah diberitahukan oleh Senapati dari Singasari yang berada di Talang Amba, untuk menempuh perjalanan menuju kepada seseorang yang akan dapat bekerja bersamanya. Tetapi rasa-rasanya keduanya masih belum bisa ingin meninggalkan tempat yang menarik itu. Mereka sudah berjanji dengan pemilik warung untuk datang kembali.

Rasa-rasanya ada sesuatu yang menarik pada tukang warung itu. Meskipun keduanya tidak tahu, apakah yang menarik itu. Mungkin keramahannya. Mungkin usahanya menarik langganan baru. Atau mungkin keterangan-keterangan yang lebih terperinci tentang peristiwa yang telah terjadi di warung itu yang menyangkut hadirnya kekuasaan yang aneh di daerah itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan untuk tetap berada di tempat itu barang satu dua hari.

Namun demikian, untuk kepentingan langkah-langkah berikutnya, mereka mulai mengenali arah yang harus mereka tempuh pada sisa perjalanan mereka. Meskipun sudah tidak terlalu jauh, tetapi justru merupakan bagian yang paling rumit dari seluruh perjalanannya.

Dalam beberapa puluh langkah mereka mulai mengenali salah satu pertanda yang diberikan oleh Senopati itu. Sebuah gumuk kecil berbatu padas dengan sebatang pohon besar di sebelahnya.

“Itulah pohon preh itu” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Pada saatnya kita harus menempuh perjalanan ini. Kita menuju ke arah yang benar. Beberapa ratus langkah lagi tentu akan terdapat sebatang sungai kecil yang airnya berwarna keputih-putihan. Agaknya air sungai itu mengandung kapur yang larut ke dalam airnya” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tugas kita sekarang adalah mencari tempat untuk bermalam nanti”

“He?” Mahisa Pukat menjadi heran, “Bukankah hari masih terlalu pagi untuk mencari tempat bermalam?”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Lalu, apakah yang akan kita lakukan sekarang? Jika kita berkeliaran, maka kita tentu akan menarik perhatian. Kita akan mencari tempat bersembunyi. Nanti sore kita akan pergi ke warung itu jika masih buka untuk makan. Kita kemudian kembali bersembunyi”

“Apakah dengan demikian kita akan dapat melihat sesuatu di tempat ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu. Kita akan dapat melihat lewat penglihatan pemilik warung itu” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun akhirnya iapun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Benar juga. Jika kita hilir mudik disini, maka kita akan dapat dicurigai. Apalagi jika kita bertemu dengan orang-orang yang sengaja mengamati keadaan darimana pun juga asalnya”

“Kita akan berjalan sampai ke sungai itu lebih dahulu” berkata Mahisa Murti, “mungkin kita akan menemukan belik yang airnya tidak berwarna keputih-putihan karena larutan kapur. Baru kemudian kita akan beristirahat untuk waktu yang terlalu lama”

“Kita dapat tidur sepuas-puasnya” berkata Mahisa Pukat, “mungkin malam nanti kita akan tidak mendapat kesempatan untuk tidur sama sekali”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu mereka melanjutkan perjalanan. Sesuai dengan petunjuk yang mereka dapat dari Senopati di Talang Amba, maka mereka akan sampai ke sebatang sungai yang tidak begitu besar alirannya. Sebenarnyalah, mereka, telah berjalan menuju sebatang sungai seperti yang mereka sebutkan. Jalan pun mulai menurun berbatu-batu.

“Ternyata Senapati di Talang Amba itu cukup teliti” berkata Mahisa Murti, “ia ingat ciri-ciri yang paling kecil sekalipun”

“Ia termasuk salah seorang Senopati dalam tugas sandi” sahut Mahisa Pukat, “ia adalah justru orang terlatih. Agak berbeda dengan kita. Kita adalah benar-benar petualang yang agak ceroboh menentukan pilihan atas pekerjaan yang akan kita lakukan”

“Justru dengan demikian kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga” berkata Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja pembicaraan mereka terhenti. Dengan hati yang berdebar-debar mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri di-tengah-tengah jalan yang semakin menurun tepat di balik sebuah tikungan. Seakan-akan orang itu memang sengaja menunggu kedua orang anak muda itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berpaling ke arah Mahisa Pukat ia berkata, “Ingat. Kita adalah pengembara. Kita bukan petugas sandi yang memiliki kemampuan untuk berkelahi”

“Jika orang itu benar-benar mengancam jiwa kita?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apa boleh buat. Kita akan menyelematkan diri. Namun kita harus semakin berhati-hati atas tugas-tugas kita. Bahkan mungkin kita tidak akan dapat kembali lagi ke warung itu. Kita justru harus segera sampai ke tujuan jika terjadi satu peristiwa yang memaksa kita berbuat demikian”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia meraba pisau belatinya yang tersembunyi di bawah kain panjangnya. Dalam keadaan memaksa, mungkin sekali ia memerlukan senjata itu. Seakan-akan tidak ada perasaan apapun juga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan terus. Tetapi orang yang berdiri di tengah jalan itu memandangi keduanya dengan sorot mata yang tajam.

Tetap akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun harus berhenti. Jalan yang mereka lalui adalah jalan yang tidak terlalu luas. Sementara itu, di sebelah menyebelah adalah tebing yang membatasi jalan yang sudah menurun ke sungai itu.

Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak. Apakah aku boleh lewat?”

Orang yang berdiri di tengah jalan itu justru mengeram. Dengan suara datar la bertanya, “Kalian akan kemana anak-anak muda?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi temangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “kami akan pergi ke sungai itu Ki Sanak. Kami akan mandi dan mencuci."

“Apakah kalian bukan orang dari daerah ini?” bertanya orang bertubuh tinggi kekar itu.

“Kami adalah pengembara” jawab Mahisa Pukat, “kami tidak mempunyai tempat tinggal,“

“Jadi kalian selalu berkeliaran saja di mana-mana?” bertanya orang itu pula.

“Kami menjelajahi padukuhan demi padukuhan. Selain untuk melupakan kehidupan kami yang pahit, kami ingin lebih banyak mengenali isi kehidupan ini" jawab Mahisa Murti.

“Jika demikian, kalian termasuk orang-orang yang hanya memenuhi jagad ini saja tanpa mempunyai arti apa-apa. Kalian makan dan minum tanpa memberikan jasa apapun juga bagi kehidupan” tiba-tiba orang itu menjadi garang.

“Aku tidak mengerti maksud Ki Sanak” desis Mahisa Pukat.

“Kalian memang dungu” geram orang itu, “dengar. Kalian adalah benalu yang harus di lenyapkan. Kalian hanya dapat makan dan minum. Kalian hanya dapat mengotori lingkunganmu dan sama sekali melakukan satu kerja yang berarti”

“Bukan maksud kami” jawab Mahisa Pukat, “kami pun telah melakukan kerja yang dapat kami kerjakan. Dipadukuhan-padukuhan yang kami lewati, kadang-kadang kami pun telah melakukan kerja yang berarti”

“Apa? Apa yang pernah kau lakukan?” bertanya orang itu.

“Kami pernah tinggal untuk beberapa lamanya pada seseorang yang tengah membuka tanah persawahan. Kami ikut menebangi pepohonan dan ikut mengerjakan tanahnya sehingga terjadilah kotak-kotak sawah yang kemudian dapat ditanami. Tetapi tenaga yang kemudian dibutuhkan tidak sebanyak saat hutan sedang ditebang, sehingga orang-orang yang bekerja di tempat itu, terbatas pada orang-orang dari padukuhan itu sendiri” jawab Mahisa Pukat.

“Omong-omong,“ bentuk orang itu, “Kalian tentu terhitung orang-orang yang malas, yang tidak diperlukan lagi sehingga kalian telah diusirnya”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata dengan nada rendah, “Mungkin memang nasib kami terlalu buruk. Sebenarnya kami pun sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga hidup kami bukanlah semata-mata hidup yang sia-sia”

“Tidak ada artinya lagi bagiku” berkata orang itu, “Aku termasuk salah seorang dari sekelompok orang yang telah berhimpun dan menentukan atau sikap. Kami akan menghapuskan benalu-benalu macam kalian. Aku sudah menyingkirkan lebih dari sembilan orang. Jika hal semacam ini aku lakukan terus-menerus bersama dengan kawan-kawan sekelompok yang mempunyai keinginan yang sama, maka dalam waktu beberapa tahun, orang-orang seperti kau ini akan habis. Dunia akan bersih dari benalu-benalu yang hanya dapat menghisap tanpa memberikan imbalan apapun juga bagi lingkungannya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Sekilas mereka merasa . telah berhadapan dengan seseorang dalam hubungan yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan persoalan-persoalan yang timbul di Kediri. Tidak ada hubungannya dengan sikap Pangeran Kuda Permati atau sikap Pangeran Singa Narpada.

Tetapi keduanya pun tidak langsung mempercayai sikap itu sebagai sikap yang wajar. Mungkin ada alasan tertentu yang tersembunyi dibalik sikapnya yang nampaknya tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkembangan keadaan di Kediri. Meskipun demikian untuk sementara mereka masih tetap bersikap sebagai dua orang pengembara yang sederhana dan tidak memiliki bekal apapun terutama kemampuan oleh kanuragan. Karena itu, ketika orang itu kemudian melangkah maju. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mundur.

“Jangan menyesal” geram orang itu, “Meskipun kalian masih muda, tetapi kalian tidak berguna sama sekali bagi kehidupan, sehingga karena itu, maka sebaiknya kalian aku lenyapkan saja. Aku menunggu kehadiran anak-anak muda yang dapat memberikan arti dalam hidupnya dan berguna bagi sesamanya”

“Jangan” desis Mahisa Murti, “Bukanlah aku tidak mengganggumu Ki Sanak. Aku tidak pernah mengambil milik orang lain. Aku tidak pernah memaksa orang lain untuk memberikan apapun juga kepadaku. Sementara kami berdua pun selalu berusaha untuk dapat berbuat apa saja untuk mendapatkan upah yang dapat kami makan dari hari ke hari. Jika kami tidak mempunyai persediaan lagi, maka kami berusaha untuk menangkap binatang buruan untuk mempertahankan hidup kami”

“Persetan dengan igauanmu” geram orang itu, “sembilan orang yang terdahulu, atau bahkan lebih, aku bantai tanpa kesulitan. Seorang kawanku bahkan telah membunuh lebih dari dua puluh orang pengembara dan peminta-minta. Dengan demikian maka dalam waktu yang tidak terlalu lama Kediri akan bersih dari benalu-benalu”

“Jangan Ki Sanak. Aku mohon,“ Mahisa Murti hampir berteriak.

“Aku tahu. Kau berusaha untuk mendapat bantuan orang lain dengan berteriak-teriak begitu. Tetapi tidak ada gunanya anak muda. Seandainya ada orang yang mendengar dan datang untuk menolongmu, mereka akan segera meninggalkan tempat ini jika mereka melihat bahwa kau telah menjadi urusanku” berkata orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sementara itu orang bertubuh tinggi besar itu telah melangkah maju lagi, sehingga kedua anak itu terpaksa bergeser surut.

“Aku mohon jangan” minta Mahisa Murti, “kami berjanji untuk tidak menjadi benalu yang hanya dapat mengotori tanah ini. Aku akan bekerja. Dan kami berdua memang sedang mencari pekerjaan itu”

“Tidak ada gunanya anak-anak malas” jawab orang itu, “Kalian terpaksa aku singkirkan, jika aku tidak melakukannya, maka aku telah berkhianat terhadap sekelompok kawan-kawanku yang telah menentukan tekad bersama."

“Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “Jika ada sekelompok orang yang berpendirian sama dengan Ki Sanak, aku mohon untuk dapat menghadap mereka bersama-sama. Biarlah mereka menilai, apakah orang-orang seperti kami berdua ini termasuk sampah yang harus dibuang, atau justru tenaga yang dapat dimanfaatkan oleh lingkungannya, karena aku tidak segan untuk bekerja apa saja asalkan kami berdua mampu melakukannya”

“Itulah persoalannya” jawab orang itu, “Kau akan melakukan pekerjaan yang kau mampu, tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa” wajah orang itu menjadi semakin garang. Lalu, “Karena itu, menyerah sajalah. Aku akan menghabisi nyawamu. Jika kau berusaha melarikan diri, apalagi melawan, maka kau tentu akan menyesal karena cara matimu akan sangat menyakitimu”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja bergeser surut. Dengan nada ketakutan Mahisa Murti Berkata, “Tetapi kami masih ingin hidup. Kami masih ingin melihat matahari terbit. Kami masih ingin melihat hijaunya lembah dan lereng pegunungan”

“Persetan. Kalian harus mati” orang itu meloncat mendekat namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berlari menjauh. Ketika orang itu berusaha mengejarnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berlari semakin cepat dan semakin jauh.

“Orang itu mengejar kita” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi kedua anak muda itu berlari semakin cepat. “Orang gila” geram Mahisa Pukat, “hampir saja aku kehilangan kesabaran. Aku ingin merendamnya ke dalam air yang berwarna kapur itu sampai ia menyesali perbuatannya”

“Tetapi rasa-rasanya orang itu tidak mengejar kita dengan sungguh-sungguh. Aku tidak melihatnya lagi” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi nampaknya orang itu memang tidak dapat lari secepat kita. Mari kita tunggu” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih saja berlari meskipun sudah tidak terlalu cepat.

“Untuk apa kita menunggu? Jika orang itu benar-benar mengejar kita, apakah kita akan berbuat sesuatu?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat berpaling. Ia kemudian benar-benar berhenti sambil berkata, “Orang itu memang tidak mengejar kita”

Mahisa Murti pun kemudian berhenti juga. Namun orang bertubuh tinggi besar itu memang tidak mengejarnya. “Satu lagi peristiwa yang menarik perhatian” berkata, “Mahisa Murti lalu, “Setelah kita melihat daerah ini menjadi mundur dan kemudian tingkah laku orang-orang berkuda itu, sekarang kita melihat satu lagi orang aneh”

“Apakah kau pikir ia berbuat sebagaimana dikatakannya” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku kira tidak. Iapun tidak mengejar kita” jawab Mahisa Murti.

“Jadi apa menurut dugaanmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku masih belum dapat menyebut apapun juga. Kita masih harus melihat perkembangannya lebih lanjut” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku berpendapat, justru kita akan tetap tinggal untuk sementara. Maksudku barang satu dua hari lagi. Mungkin kita akan dapat melihat sesuatu yang berguna bagi tugas kita” Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sependapat. Kita akan tinggal disini untuk dua tiga hari lagi. Namun apabila terjadi satu perkembangan yang penting dan memaksa, kita akan segera melaporkan diri kepada orang yang pernah disebut oleh Singasari itu”

Demikianlah, keduanya justru telah tertarik kepada peristiwa yang mereka alami, sehingga mereka berniat untuk tetap tinggal. Tetapi keduanya telah mengurungkan niat mereka untuk pergi ke sungai. Mereka kemudian mengambil jalan setapak untuk mencari tempat yang paling baik buat menyembunyikan diri, selama mereka akan beristirahat. Namun demikian, pada saat matahari condong ke Barat, mereka telah bersepakat untuk melihat, apakah warung itu masih tetap terbuka.

“Marilah, kita pergi. Kita akan mendengar lagi ceritera yang barangkali menarik. Mungkin dapat kita pergunakan sebagai bahan berkeliaran malam nanti” ajak Mahisa Murti.

Mahisa Pukat pun mengiakannya. Tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus berhati-hati. Orang bertubuh tinggi besar itu dapat mereka jumpai dimana saja. Bahkan mungkin orang itu berada di warung itu pula, sehingga keduanya tidak akan dapat menghindarinya lagi”

Demikianlah sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu sudah berada lagi di persimpangan yang ramai itu. Tetapi pada menjelang sore hari, nampaknya tempat itu sudah menjadi semakin sepi, meskipun nampak ada beberapa pedati yang justru sedang memuat beberapa hasil bumi. Nampaknya masih saja ada orang yang saling menukarkan kebutuhan. Bahkan ada juga yang menukarkan dengan alat-alat pertanian, di samping sebagian dari mereka telah membeli kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan.

Dalam pada itu ternyata warung itu masih tetap terbuka sebagaimana masih ada juga satu dua warung yang lainnya yang lebih besar. Tidak banyak orang yang berada di dalam warung-warung itu. Bahkan warung yang satu itu justru tidak ada pengunjungnya sama sekali.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki warung itu, pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta bertanya, “Kau masih ada disini?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “Sebenarnya kami sudah ingin pergi. Tetapi perjalanan kami terhalang, sehingga terpaksa kami kembali lagi”

“Duduklah” pemilik warung itu mempersilahkan. Namun kemudian iapun bertanya, “kenapa terhalang?”

Sebenarnya kami telah meninggalkan tempat ini, “Mahisa Murti pula, “kami menuju ke arah sungai, karena kami akan mencuci pakaian kami pula. Baru kemudian kami akan pergi. Tetapi kami telah bertemu dengan seorang yang bertubuh tinggi besar dan menakutkan. Seperti seorang raksasa yang marah orang itu berusaha untuk menangkap kami dan membinasakan kami”

“Kenapa?” pemilik warung itu menjadi heran, “Bukankah kalian tidak berbuat apa-apa?"

“Ya kami tidak berbuat apa-apa” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi kenapa orang itu marah kepada kalian?” desak pemilik warung itu.

“Kami telah mengaku, bahwa kami adalah dua orang pengembara” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “orang itu berpendirian sebagaimana kawan-kawannya bahwa semua orang pengembara harus dimusnahkan”

“Kenapa begitu?” bertanya pemilik warung itu.

“Aku tidak tahu latar belakang yang sebenarnya dari sikap mereka. Tetapi orang-orang seperti kami hanya akan mengotori dunia saja” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu tertawa. Katanya, “Orang itu bermain-main. Ia tidak akan bersungguh-sungguh”

“Sikapnya bersungguh-sungguh” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba saja ia berdesis, “apakah kau beranggapan bahwa orang itu benar-benar bersungguh-sungguh."

“Ya” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Namun tiba-tiba ia bertanya, “He, jika demikian, kenapa kalian tidak pergi saja dari sini? kalian agaknya telah mendapat kesempatan untuk terlepas dari tangannya. Tetapi kalian justru masih tetap berada disini”

Pertanyaan itu memang membingungkan kedua anak muda itu. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang menjawab, “apakah orang itu pernah datang kemari?”

“Kenapa?” Bukankah setiap orang dapat saja datang ke tempat ini?” pemilik warung itu justru bertanya.

“Seandainya raksasa itu datang dan berusaha menangkap kami, apakah orang-orang yang ada di tempat ini tidak akan menolong kami dan mengusir raksasa itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

Pemilik warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Raksasa itu memang pernah datang kemari. Tidak ada orang yang berani melawan orang yang bertubuh tinggi besar itu. Apalagi ia memang mempunyai beberapa kawan. Tetapi yang belum kami ketahui, bahwa orang itu berusaha untuk memusnahkan para pengembara seperti yang kalian lakukan”

“Tetapi orang itu tidak bergurau” desis Mahisa Pukat.

“Ya” pemilik warung itu mengangguk-angguk, “agaknya kau benar, “orang itu memang tidak sedang bergurau. Itulah agaknya maka setiap ada pengembara yang datang ke tempat ini, aku tidak pernah melihatnya lagi, kecuali kalian berdua. Apakah kalian memang beruntung bahwa kalian mampu melepaskan diri dari tangannya. He apakah kalian melawan?”

“Melawan?” Mahisa Murti mengulang, “bagaimana mungkin kami berani melawan. Kami hanya melarikan diri secepat-cepat dapat kami lakukan. Untunglah bahwa orang itu tidak berhasil menangkap kami”

“Beruntunglah kalian, sehingga kalian masih dapat datang ke warung ini” bertanya pemilik warung itu, “Jika demikian, maka cepat sajalah meninggalkan tempat ini. Mungkin orang itu akan datang lagi seperti yang pernah dilakukannya. Jika ia merasa kehilangan, maka mungkin ia akan mencarinya. Dan salah satu tempat yang dikenalnya adalah tempat ini."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata, “Baiklah. Tetapi beri kami makan. Kami akan segera meninggalkan tempat ini”

“Apakah kau minta semangkok nasi?” bertanya pemilik warung itu.

“Tidak. Seperti tadi. Kami akan membayar” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Disiapkannya dua mangkuk nasi seperti yang diminta oleh kedua anak muda itu. Kedua anak muda yang menyebut diri mereka pengembara.

Sambil menyuapi mulutnya, Mahisa Murti masih juga bertanya, “Ki Sanak, apakah ada hubungannya antara raksasa yang akan membunuh orang-orang yang disebutnya tidak berguna itu dengan dua orang berkuda kemarin?”

“Aku tidak tahu anak muda. Tetapi menurut pendapatku, mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Kedua orang berkuda itu selalu berbicara tentang satu perjuangan sehingga mereka memerlukan dana dan peralatan yang cukup banyak, sedangkan raksasa itu hanya melakukan bagi diri mereka sendiri. Sekelompok orang yang mempunyai pendirian bahwa orang yang tidak memiliki arti bagi sesamanya dan bagi dunia sebaiknya dibinasakan saja. Orang-orang seperti itu hanya akan mempercepat habisnya persediaan makan di musim paceklik” jawab pemilik warung itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja terlontar pertanyaan Mahisa Pukat, “Ki Sanak. Apakah kira-kira yang terjadi jika raksasa itu bertemu dengan kedua orang berkuda itu? Bukankah keduanya memiliki kemampuan untuk berkelahi?”

Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, “Aku tidak tahu, apa kira-kira yang akan terjadi. Tetapi kedua belah pihak nampaknya memang belum pernah bertemu”

“Aku agak sangsi. Bukankah mereka telah berada di tempat ini untuk waktu yang lama? Baik kedua penunggang kuda itu, maupun raksasa yang akan membunuh para pengembara itu? Apakah mungkin keduanya justru pihak yang sama-sama ingin menentukan sikap tersendiri? Atau keduanya berusaha untuk menimbulkan ketakutan dan kegelisahan dilingkungan rakyat kecil di padukuhan ini”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Keduanya mulai menyuapi mulut mereka. Masakan di warung itu memang dapat memenuhi selera kedua anak muda pengembara itu, sehingga keduanya nampaknya makan dengan sangat lezatnya.

Namun demikian, keduanya merasa bahwa mereka tidak mendapat apa-apa yang baru dari pemilik warung itu. Agaknya pemilik warung itu terlalu berhati-hati, Ia tidak berani mengatakan sesuatu yang akan dapat membuat dirinya terjerat ke dalam kesulitan. Karena itu, lebih baik baginya untuk mengatakan tidak tahu apa-apa.

Ketika kedua anak muda itu sudah selesai, maka Mahisa Murti pun segera membayar harga makanan yang dimakannya bersama Mahisa Pukat. Kemudian keduanya minta diri untuk beristirahat.

“Dimana kalian beristirahat?” bertanya pemilik warung itu.

“Dimana saja” jawab Mahisa Murti, “kami adalah dua orang pengembara yang tidak mempunyai rumah tempat tinggal. Kami dapat tidur di sembarang tempat. Beratapkan langit dan berselimutkan mega”

“Tetapi kalian akan dapat menjadi kedinginan. Jika kalian tidak berkeberatan, kalian dapat tidur disini” berkata tukang warung itu.

“Disini dimana?” bertanya Mahisa Murti.

“Di warung ini” jawab pemilik warung itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun agaknya keduanya meraba sesuatu dengan firasatnya. Karena itu, meskipun tidak berjanji ternyata keduanya ingin untuk menerima tawaran itu. Dalam pada itu, Mahisa Murti lah yang menjawab, “Apakah Ki Sanak bersungguh-sungguh?”

“Ya. Aku bersungguh-sungguh. Kau dapat tidur di dalam warung ini. Diatas dingklik itu. Sementara itu, kalian akan mendapat makan tanpa membeli lagi. Biasanya tentu ada sisa sedikit dari jualanku ini. Kita akan dapat makan bersama-sama menjelang malam. Jika kemudian aku pulang, kalian berdua dapat tidur di dingklik tempat kalian duduk itu. Bukankah lebih baik tidur di situ daripada tidur di pematang atau di padang perdu?”

“Terima kasih” jawab Mahisa Murti, “Tentu kami berdua tidak akan berkeberatan. Bahkan kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya."

“Jika demikian, kalian berdua tidak usah pergi dari sini. Duduk sajalah sambil menunggu matahari tenggelam” berkata pemilik warung itu.

“Tetapi jika raksasa itu kemari atau lewat jalan ini? Bukankah kau mengatakan, bahwa tidak ada seorang pun yang akan berani melawannya?” bertanya Mahisa Murti.

“Kau dapat bersembunyi di bawah gedeg bambu itu. Tetapi raksasa itu tentu tidak akan kemari. Ia memang jarang-jarang sekali datang ke tempat ini” berkata pemilik warung itu.

Ketika Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat pun telah menganggukkan kepalanya sebagai isyarat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menyatakan kesediaannya mereka untuk bermalam di dalam warung itu.

“Kami sangat berterima kasih atas kesempatan ini” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Nah, baiklah. Aku juga berterima kasih. Dengan demikian maka warungku ini tentu akan aman dimalam hari” berkata pemilik warung itu.

Demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya tidak beranjak dari warung itu. Masih ada satu dua orang yang memasuki warung itu dan makan sekedarnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemilik warung itu. bahwa akhirnya nasi yang dijualnya memang tidak habis.

Ketika matahari kemudian bersembunyi dibalik pegunungan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk makan bersama pemilik warung itu. Tetapi keduanya menolak karena mereka masih cukup kenyang.

Karena itu, maka pemilik warung itu berkata, “Baiklah. Jika kau tidak ingin makan sekarang, maka terserahlah. Kapan saja kau ingin makan. Aku tinggalkan nasi dan lauknya di gledeg itu. Tetapi ingat. Disini banyak tikus. Mungkin kalian tidak akan sempat makan, jika nasi dan lauknya telah lebih dahulu dimakan tikus”

“Kami akan menunggunya dengan baik” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah. Aku akan pulang dahulu. Nanti malam, kau dapat tidur di dingklik itu” berkata pemilik warung itu.

Demikianlah, maka pemilik warung itu pun telah meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dimintanya untuk menyelarak pintu dari dalam. Ketika pemilik warung itu telah meninggalkan warungnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat-lihat isi dari warung itu. Sisa beberapa macam makanan telah dijadikan satu, dalam sebuah irig yang besar. Kemudian di dalam geledeg memang disediakan sisa nasi dan lauknya yang akan dapat dimakan oleh kedua anak muda itu.

Dalam pada itu, sebuah lampu minyak telah dinyalakan di dalam ruang yang tidak terlalu sempit itu. Sementara beberapa macam makanan dapat menjadi kawan berjaga-jaga. Tetapi dalam pada itu Mahisa Pukat pun mulai membaringkan dirinya diatas dingklik bambu sambil bergumam, “udara terasa sangat pengap di dalam”

“Terasa cukup hangat dibanding dengan udara di padang perdu itu” jawab Mahisa Murti.

“Tentu” sahut Mahisa Pukat, “Tetapi rasa-rasanya kita disini justru terkurung di dalam satu ruang yang sempit yang tidak memberikan banyak kesempatan kepada kita untuk bergerak”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju. Rasanya kita memang seperti seekor ayam di dalam kurungan”

Keduanya pun terdiam sejenak. Mahisa Murti pun kemudian membaringkan diri pula di dingklik yang lain. Sejenak keduanya mengamati atap warung yang pendek itu. Namun tiba-tiba Mahisa Pukat telah bangkit. Diambilnya sisa makanan yang tidak terjual yang ada di dalam irig yang besar. Kemudian ia duduk lagi diatas dingklik bambu sambil mengunyah makanan.

“Enak juga makanan di warung ini” berkata Mahisa Pukat, “kebetulan aku telah memungut sepotong jenang alot”

“Manis sekali” jawab Mahisa Murti.

“Jika kau ingin makanan yang gurih, ambil sajalah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “besok makanan itu tentu hanya akan dibuang”

Mahisa Murti berdesis, “Aku akan tidur. Kau duduk sajalah di situ. Nanti kau dapat membangunkan. Aku jika kau sudah mengantuk”

Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku akan berjaga-jaga. Tetapi rasa-rasanya aku memang tidak akan dapat tidur di ruang sempit ini”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mulai memejamkan matanya. Tetapi sebenarnyalah, seperti Mahisa Pukat, ia tidak dapat lelap, dalam kegelisahan. Memang rasa-rasanya ia berada di dalam sebuah kurungan. Setiap saat seseorang akan dapat datang untuk menangkap mereka dalam genggamannya.

Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Murti itu pun bangkit kembali sambil berkata, “Aku tidak akan dapat juga tidur. Rasa-rasanya kita memang berada dalam perangkap. Sengaja atau tidak sengaja”

“Apakah sebaiknya kita berada diluar?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku setuju. Kita akan tidur diluar. Di tempat yang tidak mudah dilihat dari arah manapun juga” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Kita dapat memanjat pohon mahoni”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi biarlah kita makan dahulu. Kita tentu tidak perlu tergesa-gesa. Seandainya benar kita berada di dalam perangkap, tentu lewat tengah malam kita akan ditangkap”

“Aku setuju. Marilah kita makan dahulu” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, maka keduanya pun telah makan nasi dan lauk yang memang ditinggalkan bagi mereka oleh pemilik warung itu. Namun yang tidak mereka lakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh pemilik warung itu, setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, maka mereka pun justru telah meninggalkan warung itu dengan diam-diam. Meskipun susana sangat sepi dan tidak ada seorang pun yang nampak di sekitar tempat itu, namun kedua anak muda itu cukup berhati-hati.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun benar-benar telah memanjat pohon mahoni. Dari salah satu dahan yang cukup besar mereka dapat melihat warung yang baru saja ditinggalkannya

“Sebenarnya aku lebih senang tidur di bawah daripada tidur diatas dahan seperti ini” desis Mahisa Pukat.

“Hati-hatilah, agar kau tidak jatuh dalam tiduran” berkata Mahisa Murti.

Tetapi sebagai pengembara, maka keduanya bukannya untuk pertama kali tidur diatas sebatang pohon. Karena itu. maka keduanya pun dapat menempatkan diri mereka sebaik-baiknya. Seperti yang selalu mereka lakukan, maka mereka telah mengatur waktu mereka. Mahisa Pukat mendapat giliran untuk beristirahat lebih dahulu. Baru kemudian Mahisa Murti.

Demikianlah, keduanya duduk diam bertengger diatas dahan. Namun demikian, ada semacam ketegangan yang menyusup di dalam hati mereka. Keduanya seakan-akan telah mendapatkan satu firasat bahwa akan terjadi sesuatu pada warung yang ditinggalkannya.

Sampai tengah malam, tidak nampak terjadi sesuatu pada warung itu. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat akan mendapat giliran untuk berjaga-jaga, sementara Mahisa Murti akan beristirahat sambil memeluk batang Mahoni itu.

Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti memejamkan matanya, tiba-tiba saja matanya justru terbuka lebar-lebar. Kedua anak muda itu telah mendengar desir langkah yang mendekat. Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat sambil menunjuk ke satu arah. Mereka telah melihat dua orang yang berjalan dengan hati-hati mendekati warung itu. Yang seorang diantara mereka adalah orang yang bertubuh tinggi besar itu.

“Raksasa itu memang gila” geram Mahisa Murti di dalam hatinya.

Bahkan Mahisa Pukat berdesis, “Aku ingin memilih kumisnya”

“Sst” Mahisa Murti menempatkan jarinya di muka mulutnya...

Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 16

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 16
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANGERAN Lembu Sabdata sendiri yang bertempur melawan Mahisa Pukat telah mengerahkan Segenap kemampuannya. Meskipun dalam pertempuran sebelumnya ia tidak pernah dapat menang, namun pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak merasa cemas. Dengan ilmu pedang yang dikuasainya, Pangeran Lembu Sabdata telah melibat Mahisa Pukat dalam pertempuran yang cepat.

Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi serangan-serangan Pangeran Lembu Sabdata yang cepat. Dengan tangkasnya ia melayaninya. Meloncat menghindari serangan yang datang, namun kemudian dengan garangnya telah menyerang lawannya pula.

Sebenarnyalah Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur melawan Mahisa Pukat itu telah mempercayakan diri kepada kedua orang yang menolongnya. Ia merasa, bahwa keduanya akan dapat membebaskannya. Jika ia mampu bertahan untuk beberapa saat maka kedua orang itu tentu sudah dapat menyelesaikan tugasnya, yang selanjutnya akan dapat menolongnya melepaskan diri dari tangan Mahisa Pukat.

Tetapi ternyata harapan itu tidak segera terjadi. Kedua orang yang berusaha membebaskannya itu tidak dengan mudah dapat mengalahkan Mahisa Murti dan Senopati yang memimpin para prajurit di banjar itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Senopati itu telah bertempur dengan garangnya pula, sehingga kedua orang itu pun harus mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Namun Mahisa Murti masih tetap dengan kemampuan yang ada padanya mengimbangi serangan-serangan lawannya yang garang.

Tetapi dalam pada itu. Senapati Singasari yang memimpin para prajurit yang tertidur di banjar itu, semakin lama semakin terasa betapa beratnya tekanan lawannya. Namun sebagai seorang prajurit ia telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Betapapun juga keadaannya, tetapi Senapati itu sama sekali tidak menjadi lemah hatinya. Ia tetap bertempur dengan sengitnya. Dengan demikian, maka pertempuran di banjar itu pun kemudian menjadi semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Namun demikian, hiruk-pikuk pertempuran itu sama sekali tidak dapat membangunkan para prajurit dan para pengawal yang sedang tertidur nyenyak. Bahkan kaki yang terinjak pun seakan-akan tidak lagi dapat merasakan betapa sentuhan itu membuatnya kesakitan. Karena Itu, apapun yang terjadi, maka ketiga orang itu tidak dapat mengharapkan bantuan dari orang lain. Ketiganya harus bertempur dengan kekuatan sendiri melawan Pangeran Lembu Sabdata dan dua orang yang berusaha untuk membebaskannya.

Sementara itu, Mahisa Muni yang bertempur melawan orang yang telah melepaskannya sirep yang kuat itu, ternyata tidak segera dapat ditundukkannya. Meskipun lawannya itu mampu melepaskan kekuatan sirep, namun dalam olah kanuragan ia tidak dapat melampaui ketrampilan Mahisa Murti.

Dalam benturan-benturan kekuatan, ternyata bahwa Mahisa Murti justru memiliki sedikit kelebihan. Meskipun demikian, kadang-kadang orang yang memiliki ilmu sirep itu dapat membuatnya berdebar-debar. Orang itu memiliki kecepatan gerak yang tinggi yang kadang-kadang melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti.

Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mau terpancing ke dalam pertempuran yang cepat. Mahisa Murti yang kemudian meyakini bahwa ia memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya, berusaha untuk tidak terlalu banyak bergerak. Kedua kakinya bagaikan terhunjam ke dalam tanah. Dalam menghadapi gerak lawannya yang cepat. Mahisa Murti hanya bergeser setapak-setapak. Tetapi Mahisa Murti masih selalu berhasil berdiri menghadap kepadanya.

Bahkan dalam pertempuran berikutnya, Mahisa Murti tidak lagi banyak berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan lawannya. Namun ia lebih banyak membenturkan kekuatannya menghadapi serangan lawannya itu.

“Gila” geram lawannya yang mampu melontarkan kekuatan sirep yang sangat tajam, “anak ini memang cerdik. Ia tidak mau terpancing untuk mengadu kecepatan gerak. Tetapi ia lebih senang membenturkan kekuatannya”

Sebenarnya dalam benturan-benturan yang terjadi tangan lawan Mahisa Murti itu menjadi pedih. Bahkan setiap kali ia harus berloncatan mengambil jarak untuk memperbaiki genggaman senjatanya. Namun Mahisa Murti tidak berusaha memburunya. Ia sadar, bahwa lawannya memiliki kecepatan gerak yang sedikit lebih tinggi, sehingga jika ia terpancing untuk bertempur dalam loncatan-loncatan panjang, maka ia akan mengalami kesulitan.

Sementara itu, orang yang bertempur melawan Senapati Singasari itu berusaha dengan segenap kemampuannya untuk dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Ia harus berusaha membawa Pangeran Lembu Sabdata secepatnya keluar dari halaman banjar.

Namun demikian, Senapati itu tidak dengan mudah dapat dikalahkannya, karena sebagai seorang prajurit Senapati itu telah mempertaruhkan semua kemampuan yang ada padanya untuk melawan orang yang datang untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat pun telah berpacu dengan waktu pula. Dalam sekilas ia melihat, bahwa Senapati Singasari itu justru telah terdesak oleh lawannya.

Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka Pangeran Lembu Sabdata memang tidak dapat mengelakkan pengakuan atas satu kenyataan bahwa ia memang tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Pukat. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah sekedar bertahan. Ia hanya dapat menunggu kedua orang yang akan membebaskannya itu menyelesaikan tugas mereka dengan melumpuhkan lawan-lawan mereka. Dengan demikian, maka keduanya akan dapat menolongnya, membunuh anak muda yang keras kepala itu dan kemudian bersama-sama melarikan diri.

Tetapi Mahisa Pukat telah mendesaknya semakin berat. Mahisa Pukat tidak mau kehilangan waktu. Jika seorang lawannya mampu memenangkan pertempuran lebih dahulu, maka ia akan mengalami kesulitan. Apalagi nampaknya Mahisa Murti tidak akan segera dapat menyelesaikan pertempurannya meskipun keadaannya tidak mencemaskan sebagaimana Senopati dari Singasari itu.

Bahkan dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Murti yang tidak saja bertempur dengan kemampuan ilmunya, tetapi juga dengan otaknya, berhasil memancing lawannya untuk menyerangnya lebih sering, sehingga dengan demikian ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membenturkan kekuatannya. Mahisa Murti sadar, bahwa benturan kekuatan berarti satu hentakkan yang dapat membuat tangan lawannya menjadi sakit.

Bahkan ketika kemudian lawannya berusaha untuk menghindari benturan-benturan senjata, maka Mahisa Murti hampir tidak berbuat apa-apa kecuali hanya bergeser saja menghadap ke arah lawannya, kemanapun ia meloncat.

“Anak setan” geram lawannya.

Tetapi Mahisa Murti tetap pada sikapnya. Namun Mahisa Murti tidak membiarkan pertempuran itu menjadi semakin berlarut-larut. Dalam keadaan yang sudah diperhitungkan, Mahisa Murti lah yang meloncat menyerang dengan ayunan senjata yang melontarkan kekuatannya yang dahsyat.

Sekali-kali lawannya memang mampu meloncat menghindar dengan kecepatannya yang melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti, tetapi pada saat tertentu, gerak Mahisa Murti pun demikian tiba-tiba diluar perhitungan lawannya, sehingga lawannya harus menangkis serangan Mahisa Murti, sehingga dengan demikian terjadi satu benturan yang Sangat keras.

Tapi sejenak kemudian, ketika lawannya telah berhasil memperbaiki keadaannya dengan menghindari benturan-benturan berikutnya, kembali Mahisa Murti tegak bagaikan tonggak yang menghunjam ke dalam pusat bumi. Tegak dan tidak dapat digoyahkan.

Pada saat yang demikian itulah maka baik Pangeran Lembu Sabdata maupun kedua orang yang akan membebaskannya menjadi gelisah. Yang bertempur melawan Senopati dari Singasari, meskipun ia merasa dapat mengalahkannya, tetapi ternyata Senopati itu seakan-akan menjadi sangat liat. Menurut perhitungannya semuanya akan dapat segera diselesaikan, tetapi ternyata bahwa setiap kali ia menghadapi satu keadaan yang tidak diduganya. Senopati itu masih sempat menghindari serangannya yang dianggapnya akan mampu mematikannya.

Karena itulah, maka kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu mulai menjadi cemas. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa keadaan Pangeran Lembu Sabdata sendiri menjadi sulit.

Dalam pada itu, Mahisa Murti tidak menyia-nyiakan setiap perkembangan keadaan. Ketika ia melihat lawannya menjadi gelisah, maka ia justru berusaha menyerang dengan hentakkan-hentakkan yang mendebarkan. Meskipun lawannya masih tetap mampu bergerak cepat, tetapi dalam hentakkan-hentakkan itu Mahisa Murti berhasil membuat benturan-benturan senjata yang sangat berpengaruh atas lawannya.

Tangan lawannya yang setiap kali terasa menjadi pedih, semakin lama semakin mempengaruhi kemampuannya menggenggam senjata. Karena itu, maka lawannya itu pun harus memusatkan serangan-serangannya berdasarkan kepada kecepatan gerak. Namun dalam keadaan yang demikian, kembali Mahisa Murti bertahan pada sikapnya.

Kecemasan semakin mencengkam kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Yang melawan Senopati dari Singasari itu pun menjadi gelisah pula. Senopati itu masih juga belum dapat diselesaikan, sementara Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin terdesak. Agaknya Mahisa Pukat akan memenangkan perlombaan dengan lawan Senopati dari Singasari itu.

Kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu terkejut ketika mereka mendengar desis tertahan. Pangeran Lembu Sabdata terdorong surut. Agaknya pedang Mahisa Pukat telah menyentuh tubuhnya meskipun tidak terlalu dalam.

Yang tidak terduga, hampir bersamaan, Mahisa Murti berhasil memancing benturan senjata yang sangat kuat. Kedua senjata yang saling membentur itu telah menimbulkan loncatan-loncatan bunga api. Demikian kerasnya benturan itu, sehingga hampir saja senjata lawan Mahisa Murti itu terloncat dari tangannya.

Saat yang demikian itulah yang ditunggu oleh Mahisa Murti. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan, maka iapun telah menjulurkan pedangnya. Dengan cepat lawannya mengelak. Melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti. Karena itu, maka senjata Mahisa Murti tidak dapat menghunjam ke dadanya, dan menyentuh jantung. Tetapi ujung senjata itu sempat pula menggores di dada lawannya, sehingga di dada itu telah tergurat seleret garis yang merekah karena darah yang mengembun.

Lawan Mahisa Murti itu mengumpat. Dengan tangkasnya ia melenting menjauh. Namun dengan kemarahan yang membakar jantungnya, ia telah meloncat pula menyerang. Geraknya menjadi lebih cepat oleh kemarahan yang meluap itu.

Mahisa Murti bergeser setapak. Ternyata gerak lawannya menjadi semakin sulit untuk diikutinya. Tetapi dengan perhitungan yang mapan, maka Mahisa Murti berhasil membuat lawannya mengakui kemantapan tempurnya.

Meskipun setiap kali Mahisa Murti harus bergeser surut, namun tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya menyambar tubuh lawannya. Jika lawannya mengelak, maka dengan sepenuh kemampuannya ia berusaha memburunya dengan ayunan senjatanya, sehingga lawannya harus melindungi diri dengan senjatanya pula. Pada saat-saat yang demikian maka terjadi benturan-benturan kekuatan yang menguntungkannya.

Namun kemarahan lawannya agaknya membuat Mahisa Murti sedikit terdesak. Kecepatan gerak lawannya agak membingungkannya ketika serangan itu datang seakan-akan dari segenap arah. Tetapi lawan Mahisa Murti itu ternyata harus memperhitungkan seluruh keadaan. Kawannya masih belum berhasil melumpuhkan Senopati Singasari yang meskipun sudah terdesak terus. Sementara Mahisa Murti masih mampu memberikan perlawanan yang kadang-kadang justru mengejutkan. Bahkan berhasil melukai dadanya meskipun tidak terlalu dalam.

Yang ternyata keadaannya kemudian paling sulit adalah Pangeran Lembu Sabdata sendiri. Ia menjadi semakin terdesak. Mahisa Pukat pun mempunyai perhitungan tersendiri atas keseluruhan medan. Iapun berusaha berpacu untuk memenangkan pertempuran itu jika ia tidak ingin mengalami kesulitan. Apalagi ketika ia melihat bahwa Mahisa Murti ternyata juga mulai terdesak. Lawannya, yang memiliki ilmu sirep itu ternyata memang seorang yang menguasai ilmu kanuragan yang tinggi. Kecepatan geraknya merupakan kelebihan yang kemudian ternyata agak sulit diimbangi oleh Mahisa Murti, meskipun dengan tiba-tiba diluar perhitungan lawannya, ia justru berhasil melukainya.

Pada saat yang paling mendesak, maka kedua orang itu harus mengambil satu keputusan yang paling baik bagi mereka. Merekapun harus memperhitungkan waktu. Orang-orang yang berada di banjar itu, pada satu saat tentu-akan terbangun mendengar hiruk pikuk karena kekuatan sirep yang mereka lontarkan telah tidak lagi mampu mencengkam sasarannya.

Dalam keadaan yang gawat itu, maka tiba-tiba saja, salah seorang dari kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu memberikan satu isyarat kepada kawannya. Mahisa Murti tidak terlepas dari kewaspadaan, yang membuatnya secara naluriah meloncat menjauhi lawannya untuk melihat apa yang akan dilakukan setelah didengarnya isyarat yang mengejutkan itu.

Sebenarnyalah yang terjadi memang mendebarkan. Ternyata kedua orang itu hampir bersamaan telah melontarkan senjata yang aneh, yang diambilnya dari kantong di ikat pinggangnya. Mahisa Murti yang pernah mengenal Ki Sarpa Kuning, segera menduga bahwa yang dilemparkan oleh lawannya itu adalah seekor ular. Karena itu, nalarnya cepat bekerja untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya itu. Bahkan kesulitan itu akan datang terutama tidak dari dirinya sendiri, tetapi dari Senopati Singasari itu.

Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh Mahisa Murti pun sangat mengejutkan lawannya, Mahisa Murti sama sekali tidak menghiraukan ular yang dilemparkan kepadanya dan langsung mematuk lengannya. Tetapi dengan serta merta ia justru telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya langsung ke dada lawannya.

Lawannya sama sekali tidak menduga. Lawannya itu memperhitungkan kemungkinan yang lain, Mahisa Murti di-sangkanya akan menjadi bingung dan putus asa karena gigitan ular yang sangat berbisa itu. Tetapi ternyata yang dilakukan adalah lain. Karena itu, maka lawannya yang sama sekali tidak bersiaga menghadapi serangan itu berusaha untuk mengelak. Tetapi Mahisa Murti pun sempat menggerakkan pedangnya mendatar. Meskipun tidak begitu keras, tetapi pedangnya itu telah menyambar lambung lawannya yang sedang meloncat, tanpa sempat menangkisnya.

Terdengar desah dari mulut lawan Mahisa Murti itu. Sebuah luka telah menganga. Lebih dalam dari luka yang tergores di dadanya. Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Namun dengan penuh kebencian ia berkata, “Kau akan mati. Gigitan ular itu tidak akan dapat diobati oleh siapapun juga”

Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Namun jantungnya bergetar ketika ia melihat Senopati itu menyeringai menahan sakit. Seekor ular membelit kakinya sambil menggigit pahanya. Dengan pedangnya Senopati itu menebas tubuh ular itu sehingga putus. Tetapi gigitan ular itu tidak segera terlepas dari kakinya.

Mahisa Murti masih mendengar lawan Senopati itu tertawa. Tetapi tiba-tiba saja suara tertawanya patah di tengah ketika ia melihat kawannya terhuyung-huyung dan jatuh di tanah dengan luka di dada dan lambung. Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti telah meloncat menyerang dengan garangnya tanpa menghiraukan seekor ular yang masih menggantung di tangannya.

Serangan itu sangat mengejutkan. Lawannya benar-benar tidak menyangkanya sebagaimana kawannya yang terluka. Namun demikian, orang itu masih mempunyai kesempatan untuk mengelakkan serangan Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti tidak melepaskannya. Dengan garangnya ia memburu lawannya dengan pedang yang berputaran.

Goncangan perasaanlah yang sebenarnya telah menghambat tata gerak lawannya. Ketika ia melihat ular yang tergantung di lengan Mahisa Murti, justru dengan demikian serangan-serangan Mahisa Murti datang bagaikan prahara, jantungnya terasa berdentangan semakin cepat. Karena itulah, maka bukan Mahisa Murti yang menjadi bingung dan berputus asa, tetapi justru lawannya itulah.

Dengan demikian, maka pada saat yang singkat dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, maka Mahisa Murti berhasil mendesak lawannya. Dalam putaran senjata yang cepat dan kuat, Mahisa Murti telah berhasil memaksa lawannya menangkis serangannya.

Kesempatan itu tidak dilepaskan oleh Mahisa Murti. Sekali lagi ia mengayunkan pedangnya dengan segenap kemampuannya. Dan sekali lagi terjadi benturan yang sangat keras. Ternyata lawan Mahisa Murti tidak berhasil mempertahankan pedangnya. Tiba-tiba saja pedangnya telah terlempar jatuh. Tetapi seperti yang diduga, lawannya itu telah melemparkan senjatanya yang lain. Mirip sekali dengan apa yang telah dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning.

Namun sekali lagi orang itu dicengkam oleh kegelisahan dan ketegangan. Mahisa Murti sama sekali tidak mengelak ketika seekor ular kemudian menggigit pundaknya. Bahkan dengan loncatan panjang Mahisa Murti masih tetap menyerang. Lawannyalah yang kemudian menjadi kehilangan keseimbangan berpikir. Tiba-tiba saja orang itu telah sampai kepada keputusan terakhir dari langkah yang harus diambil. Sebagaimana perintah yang dibawanya, jika ia tidak berhasil menyelamatkan Pangeran Lembu Sabdata, maka jalan yang harus ditempuhnya adalah justru membunuhnya.

Karena itu, pada kesempatan terakhir itu, orang itu masih berusaha mempergunakannya untuk menjalankan perintah itu. Dengan serta merta, maka orang itu telah berlari justru ke arah Pangeran Lembu Sabdata yang masih berusaha bertahan. Hampir diluar penglihatan mata Pangeran Lembu Sabdata sendiri orang itu telah melepaskan senjata anehnya ke arah Pangeran itu.

“Pangeran” teriak Mahisa Murti, “menghindarlah”

Tetapi terlambat. Seekor ular lebih besar sedikit dari sebatang lidi telah melekat di punggungnya, sekaligus mematuknya.

“Gila” teriak Pangeran Lembu Sabdata.

Mahisa Pukat telah terkejut pula karenanya. Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata telah melemparkan senjatanya dan mengibaskan seekor ular yang melekat di punggungnya dengan laku seperti orang yang kesurupan.

“Jangan kebingungan Pangeran” teriak Mahisa Murti pula. Sementara itu, pedangnya telah berhasil menggores tubuh orang yang telah melemparkan ular ke punggung Pangeran Lembu Sabdata. Sejenak orang itu terhuyung-huyung. Namun sejenak kemudian orang itu telah terjatuh di tanah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Cepat. Selamatkan Pangeran dari bisa ular itu”

Barulah Mahisa Pukat sadar apa yang telah terjadi. Dengan tergesa-gesa iapun segera menghampiri tubuh Pangeran Lembu Sabdata yang mulai menggigil. Bukan saja karena lukanya oleh sentuhan pedang Mahisa Pukat dan gigitan ular di punggung. Tetapi kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya atas sikap orang yang berusaha membebaskannya itu membuat darahnya bagaikan mendidih.

Sementara itu, Mahisa Murti pun telah berlari ke arah Senopati yang telah terduduk di tanah. Terasa di tubuhnya bisa ular itu mulai menjalar bersama dengan arus darahnya.

“Kita akan mati” desis Senopati itu, “ular itu tentu sangat berbisa. Apalagi kau telah digigit oleh dua ekor ular sekaligus”

Mahisa Murti termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah duduk di sebelah Senopati yang menjadi semakin lemah. Dalam pada itu, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat telah berusaha mempergunakan batu akik dan akar penangkal bisa untuk menolong Pangeran Lembu Sabdata dan Senopati Singasari yang terluka.

Tetapi ternyata gigitan ular itu benar-benar berbahaya. Mahisa Murti sendiri yang telah digigit oleh dua ekor ular, merasa tubuhnya menjadi gemetar, sementara itu, ia masih harus melekatkan cincinnya pada luka di tubuh Senopati Singasari itu tanpa melepaskan dari jari-jarinya.

Mahisa Pukat yang menolong Pangeran Lembu Sabdata dari gigitan ular itu pun menjadi cemas. Mahisa Pukat sendiri tidak mengalami kesulitan apa-apa. Tetapi ia menyadari, bahwa Mahisa Murti tengah berjuang untuk dirinya sendiri dan Senopati dari Singasari itu dari gigitan ular yang sangat berbisa.

Karena itu, maka oleh kecemasan yang mendesak di dadanya, maka Mahisa Pukat pun telah mengambil satu sikap. Setelah melekatkan gelang akarnya di tangan Pangeran Lembu Sabdata yang pingsan, maka Mahisa Pukat pun telah berlari ke gardu di gerbang halaman banjar. Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan memecah sepinya malam.

Orang-orang yang ada di banjar itu sendiri tidak mendengar suara kentongan itu. Bahkan orang-orang yang tinggal di sekitar banjar itu pun agaknya telah terpengaruh pula oleh sirep yang tajam, meskipun perlahan-lahan mulai berkurang.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di rumah Ki Sanggarana telah terkejut mendengar suara kentongan itu. Lebih-lebih Ki Waruju yang sejak sore telah merasakan satu keadaan yang tidak wajar menurut petunjuk firasatnya. Karena itu, maka beberapa orang dengan tergesa-gesa telah pergi ke banjar. Termasuk Pangeran Singa Narpada dan Ki Waruju di samping Ki Sanggarana sendiri.

“Kalian tinggal di sini” pesan Pangeran Singa Narpada kepada beberapa orang yang datang ke Kabuyutan itu bersamanya, “tetapi berhati-hatilah. Agaknya kita memang harus berjaga-jaga”

Ki Sanggarana pun telah memberikan beberapa pesan pula kepada para pemimpin anak-anak muda Talang Amba yang menjadi berdebar-debar mendengar kentongan itu, sementara beberapa orang prajurit Singasari pun telah bersiap untuk mengadakan pengamatan di padukuhan induk itu. Bahkan Pemimpin yang bertanggung jawab atas seluruh pasukan Singasari di Talang Amba telah memerintahkan untuk menghubungi beberapa padukuhan yang lain agar mereka berhati-hati.

Ketika orang-orang yang gelisah itu datang ke banjar, maka mereka pun segera mengetahui apa yang terjadi. Beberapa orang masih tetap tidur silang melintang. Sementara itu, dengan jantung yang berdebaran, Ki Waruju berlari-lari menemui Mahisa Pukat yang masih saja membunyikan kentongan. Bahkan di beberapa gardu yang justru terletak agak jauh dari banjar, suara kentongan itu sudah disahut dan menjalar dari padukuhan ke padukuhan lainnya.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Waruju.

“Sirep” jawab Mahisa Pukat yang meletakkan pemukul kentongannya, “Mahisa Murti sedang bekerja keras untuk menyelamatkan seorang Senopati dari Singasari, sementara itu Pangeran Lembu Sabdata pun telah terkena racun ular yang sangat berbisa”

“Dimana?” bertanya Pangeran Singa Narpada yang mendengar jawaban Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat pun kemudian membawa mereka ke ruang dalam. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Waruju pun segera berlari ke arah Mahisa Murti yang mulai menjadi sangat letih. Racun yang bekerja di dalam dirinya cukup kuat untuk mengguncang pertahanannya. Tetapi justru karena ia harus membantu menyelamatkan seorang Senopati dari Singasari itulah, maka beban penangkal racunnya menjadi terlalu berat.

“Dimana penangkal racunmu?” bertanya Ki Waruju kepada Mahisa Pukat.

Sambil menunjuk ke arah Pangeran Lembu Sabdata yang terbaring, Mahisa Pukat berkata, “Pangeran Lembu Sabdata juga mengalami keadaan yang gawat”

“Kau obati Pangeran Lembu Sabdata dengan penangkal racunmu?” bertanya Ki Waruju.

“Ya. Semula Pangeran itu menggigil. Namun kemudian menjadi pingsan” jawab Mahisa Pukat.

Ki Waruju tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia tidak boleh terlambat. Karena itu, maka iapun segera berusaha untuk membantu Mahisa Murti. “Mahisa Murti” desis Ki Waruju, “lepaskan Senopati itu”

Mahisa Murti termangu-mangu. Dengan lemah ia "menjawab, “Ia akan mati jika tidak ada pertolongan baginya”

“Aku akan menolongnya” jawab Ki Waruju.

Mahisa Murti menyadari, bahwa Ki Waruju pun memiliki penangkal bisa pula seperti dirinya dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka dengan lemah Mahisa Murti pun mengangkat tangannya dari tubuh Senopati yang terkena gigitan ular itu.

“Kau akan mampu menolong dirimu sendiri” berkata Ki Waruju.

Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu, Ki Waruju lah yang kemudian membantu Senopati itu dengan penangkal racunnya. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun telah berdiri di sisi tubuh Pangeran Lembu Sabdata. Dengan wajah tegang ia bergumam,

“Satu usaha untuk menghilangkan jejak. Jika adimas Lembu Sabdata terbunuh, maka sulit bagi kita untuk menelusuri jejak pengkhianatannya”

Mahisa Pukat yang kemudian berjongkok di sisi tubuh itu pun berdesis, “Ia mulai sadar”

“Syukurlah” jawab Pangeran Singa Narpada.

Sementara itu, oleh penangkal racun Mahisa Pukat, sebenarnyalah keadaan Pangeran Lembu Sabdata menjadi berangsur-angsur baik. Perlahan-lahan racun yang telah mengalir di urat darahnya bagaikan terdorong kembali ke luka gigitan ular di punggungnya. Kemudian perlahan-lahan, dari luka itu telah mengalir darah yang kehitam-hitaman. Baru kemudian, darahnya yang merah mulai meleleh dari luka itu.

Sejenak kemudian Pangeran Lembu Sabdata pun telah menjadi sadar. Luka-lukanya menjadi tidak lebih dari luka biasa yang tidak seberapa besarnya. Namun tubuhnya terasa masih terlalu lemah. Ketika Pangeran itu membuka matanya, maka yang dilihatnya adalah Pangeran Singa Narpada yang berdiri tegak di sisinya berbaring. Perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata bangkit dibantu oleh Mahisa Pukat dan duduk bertelekan kedua tangannya. Perlahan-lahan nafasnya pun mulai menjadi teratur sebagaimana arus darahnya.

Di sebelah lain, Mahisa Murti yang bebannya menjadi lebih ringan, perlahan-lahan menjadi semakin baik pula. Demikianlah, akhirnya mereka yang terkena racun bisa ular itu pun berangsur menjadi sembuh selain luka-luka di kulit dan daging mereka yang sama sekali tidak berbahaya. Sementara keadaan Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin baik, Mahisa Pukat telah mengambil kembali penangkal racunnya dan dikenakannya di pergelangan tangannya.

“Adimas” desis Pangeran Singa Narpada, “hampir saja adimas kehilangan kesempatan untuk melihat matahari terbit esok pagi”

Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, beberapa orang telah berusaha untuk menolong dua orang yang terluka oleh senjata Mahisa Murti.

“Jika anak-anak muda ini tidak bertindak cepat untuk menolong adimas, meskipun adimas dapat digolongkan lawan dari keduanya, maka adimas sudah tidak lagi akan dapat bangkit untuk selamanya” berkata Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Lembu Sabdata menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ingatannya telah pulih kembali, sehingga ia dapat menggambarkan seluruhnya apa yang telah terjadi atas dirinya.

“Baiklah” berkata Pangeran Singa Narpada, “adimas tentu masih merasa letih sekali. Biarlah adimas beristirahat sebaik-baiknya di sisa malam ini. Luka adimas meskipun tidak membahayakan jiwa adimas lagi, tetapi juga memerlukan perawatan. Namun yang penting bagi adimas, di sisa malam ini adimas dapat merenungkan apa yang telah terjadi malam ini, sehingga adimas dapat mengambil atas kesimpulan yang paling baik bagi adimas, tetapi juga bagi Kediri dan Singasari. Bagi keluarga besar kita”

Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Namun sejenak kemudian ia telah mengedarkan tatapan matanya ke sekitarnya. Ternyata beberapa orang prajurit dan pengawal yang tertidur nyenyak telah mulai sadar. Demikianlah, maka Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian telah dipersilahkan masuk kembali ke dalam biliknya. Namun karena pintu sudah dirusakkannya, maka pengawalannya pun menjadi lebih ketat. Sementara itu seseorang telah mengobati luka-lukanya pula.

Dalam pada itu, maka para pengawal dan para prajurit pun telah terbangun dari tidur mereka yang nyenyak. Bahkan sebagian dari mereka masih harus dibangunkan dengan susah payah. Namun agaknya pengaruh sirep di banjar itu pun telah menjadi kehilangan kekuatan.

Pangeran Singa Narpada dengan beberapa orang pimpinan Kabuyutan Talang Amba serta Ki Waruju tidak lagi kembali ke rumah Ki Sanggarana. Mereka tetap berada di banjar, duduk diatas sehelai tikar di pendapa. Agaknya keadaan Talang Amba masih tetap gawat dan dibayangi oleh kekuatan yang ingin menghancurkan Singasari lewat segala cara dan dari sudut manapun juga.

Namun dalam pada itu, di dalam biliknya, Pangeran Lembu Sabdata masih sempat merenungi keadaannya. Terasa tubuhnya masih terlalu lemah meskipun tidak lagi membahayakan jiwanya. Tetapi peristiwa yang baru saja terjadi, justru telah membakar penilaiannya atas keadaan yang dihadapinya.

Dengan sepenuh hati ia telah berjuang untuk kepentingan beberapa orang saudaranya yang bersepakat untuk menghancurkan Singasari dan membangunkan kembali kekuasaan Kediri yang telah dirampas oleh Ken Arok, Akuwu Tumapel dan yang kemudian telah membangun Singasari yang berkembang dengan perkasa. Tetapi hasilnya sama sekali tidak berarti. Bahkan ketika dua orang diantara lingkungannya yang gagal menolongnya, justru telah sampai hati berusaha untuk membunuhnya. Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata pun kemudian menyadari keadaan dirinya sendiri.

“Aku tidak lebih dari alat saja” gumam Pangeran Lembu Sabdata di dalam hatinya, “Jika mereka merasa tidak lagi dapat mempergunakan aku, atau justru berbahaya bagi kedudukan mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk membunuhnya”

Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Tetapi iapun kemudian tidak berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapinya. Tiba-tiba saja ia menjadi malas berpikir. Hampir diluar sadarnya. Pangeran Lembu Sabdata yang menjadi sangat kecewa itu telah membaringkan dirinya. Ia tidak peduli lagi, apa yang terjadi diluar biliknya yang pintunya telah rusak itu.

“Aku akan tidur. Persetan dengan keadaan yang kusut ini” desisnya.

Sementara Pangeran Lembu Sabdata berbaring, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang menunggui orang-orang yang berusaha mengobati dua orang yang terbuka oleh pedang itu. Ternyata luka itu cukup parah sehingga sulit bagi orang-orang yang berusaha menolongnya untuk mempertahankan hidup kedua orang itu. Tetapi mereka masih tetap berusaha.

“Tidak ada gunanya” salah seorang dari kedua orang itu berdesis.

“Kami harus berusaha” jawab orang yang menolongnya.

Tetapi orang itu menggeleng lemah. Namun sementara itu, Mahisa Murti pun telah bertanya, “He, apakah kau murid atau saudara seperguruan Ki Sarpa Kuning?”

“Persetan dengan Sarpa Kuning,“ orang itu menggeram. Tetapi keadaannya justru menjadi semakin buruk. Sehingga orang-orang yang menunggui keduanya pun menjadi putus asa. Agaknya kedua orang itu memang sulit untuk ditolong jiwanya.

Namun dalam pada itu, orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari masih tetap berusaha. Jika keduanya dapat ditolong jiwanya, maka keduanya pun akan dapat menjadi sumber keterangan yang barangkali bermanfaat. Dengan hati-hati kedua orang itu pun kemudian telah dibawa ke dalam sebuah bilik di bagian belakang banjar itu. Namun demikian, para prajurit Singasari yang memiliki pengalaman yang cukup, tidak lepas dari kewaspadaan. Kedua orang itu telah mendapat pengawalan yang sangat ketat.

Tetapi ternyata bahwa yang diharapkan itu hanyalah sekedar harapan saja. Karena luka-lukanya, maka kedua orang itu tidak lagi dapat diselamatkan jiwanya. Seorang demi seorang keduanya telah menarik nafas terakhir, sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu kepada para prajurit Singasari dan orang-orang Talang Amba.

Ketika Pangeran Singa Narpada mendapat laporan tentang hal itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Apa boleh buat. Sebenarnya mereka merupakan orang-orang penting bagi kita”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Namun kematian memang tidak akan dapat ditawar apapun sebabnya. Jika batas waktu itu telah datang, maka setiap orang akan tinggal menjalaninya dengan lantaran yang berbeda-beda

Sementara itu, Senopati Singasari yang memimpin para prajurit yang bertugas di banjar itu pun telah, menjadi berangsur baik sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata. Di serambi belakang, diantara beberapa orang kawannya ia berbaring untuk menenangkan diri. Luka-lukanya yang telah diobati itu masih terasa pedih. Tetapi sudah tidak berbahaya lagi bagi jiwanya, karena bisa ular yang menyusup ke dalam darahnya telah terhisap keluar.

“Untunglah ada anak-anak muda itu” berkata Senopati itu kepada kawannya, “tanpa mereka, segalanya akan menjadi rusak. Mungkin Pangeran itu telah tidak akan dapat kita ketemukan lagi”

“Keduanya pantas mendapat kehormatan” desis kawannya.

Ketika Pangeran Singa Narpada mendapat laporan tentang hal itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Apa boleh buat. Sebenarnya mereka melupakan orang-orang penting bagi kita”

“Lukaku karena gigitan ular berbisa itu pun telah mendapat pertolongannya pula, sehingga nyawaku dapat diselamatkan” desis Senopati itu, “tetapi Mahisa Murti sendiri mula-mula mengalami kesulitan karena penangkal racunnya harus bekerja terlalu berat. Untunglah Ki Waruju segera datang”

Kawannya mengangguk-angguk. Terbayang apa yang telah terjadi, sementara para prajurit yang lain telah tertidur nyenyak tanpa dapat memberikan bantuan apapun juga.

“Kedua anak muda itu memang luar biasa” desis prajurit itu tiba-tiba.

“Apa? bertanya Senopati yang terluka itu.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat” jawab kawannya, “Kenapa mereka tidak menjadi prajurit saja?”

“Kakaknya adalah Senopati yang mumpuni” desis Senopati yang terluka itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Memang tidak aneh bahwa kedua anak muda itu memiliki kemampuan yang mengagumkan, apalagi ditilik umur mereka yang masih muda. karena keduanya adalah adik dari seorang Senopati yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya.

Dalam pada itu. Pangeran Singa Narpada ternyata, tetap berada di banjar. Ketika matahari kemudian terbit, maka banjar itu telah disibukkan oleh orang-orang Talang Amba dan para prajurit yang menyelenggarakan dua orang yang terbunuh oleh Mahisa Murti. Dua orang yang telah mencoba membebaskan Pangeran Lembu Sabdata, namun gagal.

Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang telah terbangun dari tidurnya, sempat pula mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Perasaan kecewa kembali menerpa jantungnya. Percobaan untuk membunuhnya benar-benar telah membuatnya menilai kembali segala sesuatu yang telah dilakukannya.

Tetapi agaknya Pangeran Lembu Sabdata itu masih dicengkam oleh kebimbangan, la masih belum pasti, apakah yang mengambil keputusan untuk membunuhnya itu hanyalah kedua orang itu, atau mereka memang sudah mendapat pesan untuk berbuat demikian.

Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak tergesa-gesa memanggilnya dan memberikan beberapa pertanyaan. Ternyata bahwa Pangeran yang mempunyai pengalaman yang luas itu mengerti, apa yang sedang bergejolak di dalam hati Pangeran Lembu Sabdata.

Ketika Pangeran Singa Narpada menengok Pangeran Lembu Sabdata di dalam biliknya, maka Pangeran Singa Narpada melihat beberapa perubahan telah terjadi di dalam diri Pangeran itu. Meskipun Pangeran Lembu Sabdata masih belum menunjukkan sikap yang pasti, tetapi nampak pada dirinya, perubahan-perubahan sikap jiwani yang mendasar.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah berkata kepada Ki Sanggarana, “Biarlah ia mendapat kesempatan untuk merenung di hari ini. Peristiwa yang terjadi semalam agaknya telah membawa satu perubahan di dalam dirinya. Perubahan sikap terhadap perjuangan yang sedang dilakukannya."

Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Ia pun mengerti maksud Pangeran Singa Narpada, sehingga karena itu, maka katanya, “Segalanya terserah kepada Pangeran”

“Besok aku akan berbicara dengan adimas Pangeran Lembu Sabdata. Hari ini aku akan bertanya kepada orang-orangnya yang tertangkap, apakah mereka mengenal kedua orang yang terbunuh itu. Menilik senjata yang dipergunakannya, agaknya keduanya memang mempunyai hubungan dengan Ki Sarpa Kuning menurut keterangan yang aku dengar”

Sebenarnyalah pada hari itu Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menemui lagi Pangeran Lembu Sabdata di dalam biliknya. Namun karena pintu bilik Pangeran Lembu Sabdata sedang diperbaiki, maka untuk sementara Pangeran Lembu Sabdata ditempatkan di bilik yang lain dengan pengawalan yang lebih kuat.

Sementara itu, para pemimpin dari Singasari dan Kediri yang dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada itu telah melanjutkan usaha mereka untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang usaha beberapa orang di Kediri untuk menghancurkan Singasari. Dengan sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mengetahui siapa saja yang telah terlibat di dalam usaha itu.

Tetapi tidak banyak yang mereka dapat dari orang-orang yang hanya tahu mengangkat senjata dan menjalankan perintah. Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak tahu, untuk apa mereka berbuat. Namun para pemimpin itu mendapatkan beberapa keterangan, kelompok dan padepokan mana saja yang terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang bangsawan di Kediri.

Sementara itu, Pangeran Singa Narpada sendiri berusaha untuk mengetahui, apakah ada diantara orang-orang itu yang mengenal dua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Orang-orang yang dianggap mengetahui beberapa hal tentang kegiatan mereka, telah diberi kesempatan untuk mengenali wajah kedua orang yang terbunuh itu sebelum keduanya dikuburkan. Namun tidak seorang pun yang mengenali keduanya.

“Jika ada yang mengenalnya, maka mereka tentu berusaha untuk mengingkari” desis Ki Waruju.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. “Memang sulit untuk memancing pengakuan dari orang-orang itu. Tidak akan mudah dibedakan antara mereka yang memang benar-benar tidak mengetahui persoalan yang dihadapi, dengan mereka yang berpura-pura tidak tahu, atau dengan sadar memang menyimpan rahasia yang sebenarnya diketahuinya."

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Pangeran Singa Narpada, “Pangeran, aku berusaha untuk mengetahui, apakah ada hubungan antara kedua orang itu dengan Ki Sarpa Kuning. Namun nampaknya kedua orang itu tidak begitu tertarik mendengar nama Ki Sarpa Kuning. Bahkan agaknya keduanya dibatasi oleh jarak tertentu, meskipun keduanya jelas telah mengenai nama itu”

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang ada banyak kemungkinan. Sikapnya itu dapat juga menjadi cara untuk mengingkari hubungan mereka dengan Ki Sarpa Kuning, mengingat jenis senjata mereka yang sama”

“Tetapi apakah Pangeran dapat mengatakan, bahwa jenis ular yang dipergunakan juga sama? Ki Sarpa Kuning lebih banyak mempergunakan jenis ular hitam yang sangat berbisa. Tetapi agaknya kedua orang itu tidak. Mereka mempergunakan jenis ular lain dan lebih kecil meskipun ternyata bisanya tidak kalah tajamnya”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng, “Aku memang tidak mengerti”

“Di Talang Amba ada seorang murid Ki Sarpa Kuning yang dengan sadar telah menempuh jalan kembali. Tetapi ternyata orang itu juga tidak mengenal kedua orang yang terbunuh itu” berkata Mahisa Pukat.

Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya “Baiklah. Kita memang tidak segera dapat melihat lingkungan mereka masing-masing. Tetapi kita tidak boleh berhenti berusaha”

“Harapan terakhir ada pada Pangeran Lembu Sabdata” berkata Ki Waruju.

“Tetapi apakah Pangeran Lembu Sabdata akan bersedia mengungkapkan satu rahasia, itulah yang masih menjadi pertanyaan” desis Ki Sanggarana.

“Semuanya memang harus dijajagi. Aku akan mencobanya besok” sahut Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, kegagalan dua orang yang ingin membebaskan Pangeran Lembu Sabdata dan yang kemudian berusaha untuk membunuhnya, telah tersebar dari mulut ke mulut. Para prajurit dan orang-orang Talang Amba yang berada di banjar telah menceriterakan hal itu kepada orang-orang yang mereka kenal yang kemudian menularkannya kepada kawan- kawan mereka, sehingga dengan demikian, maka di pasaran hal itu telah menjadi pembicaraan yang ramai.

Seorang berwajah pucat, bertubuh tinggi, duduk di sebuah kedai sambil menghirup minuman panas. Mulutnya sibuk mengunyah makanan disela-sela minumannya yang meluncur menghangatkan tubuhnya. Sekali-kali keningnya berkerut ketika ia mendengar orang-orang lain di kedai berceritera pula tentang usaha dua orang untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata yang ditawan di banjar Padukuhan Induk Kabuyutan Talang Amba.

Sambil mengunyah segumpal jenang alot, orang itu tiba-tiba saja bertanya kepada orang yang duduk di sebelahnya. “Siapakah dua orang yang kalian ceriterakan itu?”

Orang yang duduk di sebelahnya berpaling. Kemudian dengan dahi yang berkerut ia menjawab, “Tidak ada orang yang tahu. Keduanya mati sebelum sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan”

Orang berwajah pucat itu tidak menghiraukan lagi percakapan orang-orang di dalam kedai itu. Setelah mendengar dari beberapa orang, maka iapun yakin, bahwa dua orang itu memang mati sebelum mengatakan sesuatu. Tanpa memberikan kesan apapun juga yang mencurigakan, maka orang berwajah pucat itu pun kemudian meninggalkan kedai itu setelah membayar makanan dan minumannya. Perlahan-lahan ia berjalan tanpa menarik perhatian.

Dibawah sebatang pohon Nagasari yang tumbuh di pinggir jalan orang itu berhenti sejenak. Diamatinya kedai yang sudah jauh ditinggalkannya. Dalam pada itu, seorang yang lain melangkah mendekatinya. Orang itu pun berhenti pula di bawah pohon Nagasari itu. Sementara orang yang berwajah pucat itu bertanya, “Apa yang kau dengar tentang kedua orang itu?”

“Keduanya telah mati” jawab orang yang baru datang, orang yang bertubuh sedang dan berambut keriting.

Orang yang berwajah pucat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Keduanya sudah berusaha dengan sebaik-baiknya. Tetapi ternyata diantara orang-orang Talang Amba dan prajurit Singasari yang ada di banjar mampu melawan sirep, sehingga keduanya justru telah terjebak”

“Ya” sahut kawannya, “bahkan seorang diantara keduanya telah berhasil mengambil langkah berikutnya ketika keduanya merasa usahanya untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata gagal”

“Ya. Ularnya telah mematuk Pangeran itu. Tetapi justru orang Talang Amba telah menyelamatkannya” jawab yang lain.

“Itulah yang mencemaskan. Bukankah dengan demikian Pangeran itu akan merasa diselamatkan dan berhutang budi? Jika dalam keadaan yang demikian ia kehilangan kesetiaannya kepada Pangeran Kuda Permati, maka semua rahasia akan tumpah lewat mulutnya. Padahal menurut Pangeran Kuda Permati, Pangeran Lembu Sabdata mengetahui cukup banyak tentang rencana yang sudah tersusun” berkata orang yang berambut keriting.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apa yang dapat kita lakukan dalam keadaan seperti ini. Sirep agaknya sudah tidak akan berarti apa-apa lagi. Nampaknya racun ular pun tidak berhasil menyelesaikan tugas-tugas berat sebagaimana harus dilakukan, karena orang-orang Talang Amba dan prajurit Singasari di Talang Amba mempunyai penangkal racun yang kuat. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada akan dapat berbuat jauh lebih kasar dari yang kita duga, meskipun ia menghadapi adiknya sendiri, Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan seandainya kesetiaan Pangeran Lembu Sabdata tetap utuh, apakah ia akan dapat bertahan menghadapi Pangeran Singa Narpada?”

Orang yang berambut keriting itu termangu-mangu. Namun sambil menggeleng ia berkata, “Tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh. Mungkin kita akan dapat memanjat atap dan melontarkan beberapa ekor ular dari atap. Tetapi gigitan ular itu akan segera kehilangan arti, karena Pangeran Lembu Sabdata akan segera memanggil orang-orang Talang Amba yang akan dapat memudarkan kemampuan racun bisa ular itu”

Orang yang berwajah pucat itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Memang tidak ada jalan yang dapat kita tempuh. Kita tidak perlu membunuh diri dengan melakukan langkah-langkah yang tidak berarti. Sebaiknya kita kembali ke Kediri dan membuat laporan selengkapnya apa yang telah terjadi sebelum Pangeran Singa Narpada menempuh jalan yang lebih keras di Kediri sendiri menghadapi Pangeran Kuda Permati. Meskipun belum tentu jika Pangeran Singa Narpada akan dapat mengalahkan Pangeran Kuda Permati dengan pengikutnya yang sudah mulai berkembang”

“Pangeran Kuda Permati yakin, bahwa perjuangannya tentu akan berhasil. Pada satu saat, Kediri tentu akan berhasil melepaskan diri dari Singasari dan bahkan akan dapat menekan Singasari untuk menjadi Pakuwon sebagaimana sebelumnya. Pakuwon Tumapel” desis orang berambut keriting itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jika demikian, marilah. Kita kembali ke Kediri. Kita melaporkan apa yang telah terjadi”

“Tetapi kita masih belum dapat memastikan, apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ia akan tetap dalam kesetiaannya. Tidak satu katapun yang diucapkan akan mengungkapkan rahasia Pangeran Kuda Permati” berkata orang berambut keriting itu.

“Apapun yang dikatakan, kita akan melaporkannya kepada Pangeran Kuda Permati” jawab orang berwajah pucat itu.

Dengan demikian, maka mereka pun segera mengambil kesimpulan untuk meninggalkan daerah Talang Amba, kembali ke Kediri. Mereka sekali lagi harus melaporkan kegagalan, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Kegagalan demi kegagalan.

Dalam pada itu, di hari berikutnya, ternyata Pangeran Singa Narpada telah siap untuk berbicara dengan Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah minta kesempatan untuk menemui Pangeran itu di dalam biliknya yang sudah diperbaiki.

“Aku minta seorang saksi” berkata Pangeran Singa Narpada, “maksudku di samping seorang petugas dari Singasari, juga salah seorang yang akan ditunjuk oleh Ki Sanggarana, pemangku Buyut di Kabuyutan Talang Amba”

Ki Sanggarana ternyata tidak menemukan orang Talang Amba sendiri yang pantas untuk menyertai Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka iapun telah minta kepada Ki Waruju untuk mewakili orang-orang Talang Amba, ikut bersama Pangeran Singa Narpada berbicara dengan Pangeran Lembu Sabdata.

“Marilah” berkata Pangeran Singa Narpada, “Aku kira adimas Lembu Sabdata telah mendapatkan sedikit ketenangan, sementara luka-lukanya agaknya sudah tidak mengganggunya lagi”

Ketika seorang pengawal memberitahukan kepada Pangeran Lembu Sabdata, bahwa beberapa orang akan datang ke biliknya, maka wajah Pangeran Lembu Sabdata pun menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawabnya sama sekali. Dibiarkannya pengawal itu berbicara, kemudian melangkah keluar dari dalam biliknya. Sejenak kemudian, maka seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, bahwa Pangeran Singa Narpada dengan seorang pemimpin pemerintahan dari Singasari dengan diikuti oleh Ki Waruju telah memasuki bilik itu.

“Selamat pagi adimas” desis Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Lembu Sabdata memandanginya sejenak. Kemudian iapun beringsut menepi. Nampaknya Pangeran Lembu Sabdata telah memberikan tempat kepada ketiga orang yang memasuki bilik itu untuk duduk di pembaringannya, sebuah amben yang memang agak besar.

Pangeran Singa Narpada dan kedua orang yang menyertakan itulah telah duduk di amben itu. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata pun selalu menundukkan kepalanya. Baru sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada itu pun berkata, “Adimas Pangeran. Agaknya adimas sudah menjadi semakin baik, sementara itu, aku sudah terlalu lama berada di Kabuyutan ini. Sebenarnya aku hanya ingin bermalam selama-lamanya satu malam saja ketika aku berangkat dari Kediri. Tetapi ternyata aku harus memperpanjang perjalanan ini”

Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam.

“Nah, adimas. Aku minta adimas dapat membantu aku untuk mempercepat tugasku” berkata Pangeran Singa Narpada.

Ternyata kata-kata yang lembut itu justru membuat kulit Pangeran Lembu Sabdata meremang. Kata-kata pengantar yang ramah dan akrab dari Pangeran Singa Narpada itu merupakan ancang-ancang saja dari sikapnya yang keras.bPangeran Lembu Sabdata sudah mengenal sifat dan watak Pangeran Singa Narpada. Pangeran itu tidak akan memilih sasaran. Jika ia menjadi marah, maka kadang-kadang ia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya lagi.

Kesempatan yang diberikan kepada Pangeran Lembu Sabdata untuk merenungi keadaannya, memang telah merubah sikapnya. Jika pada hari-hari pertama, ia seakan-akan tidak gentar menghadapi kekerasan jiwa Pangeran Singa Narpada, bahkan rasa-rasanya ia akan bertahan dan tidak akan mengucapkan satu katapun yang bersifat rahasia demi kesetiaannya kepada Pangeran Kuda Permati dan beberapa orang Pangeran yang lain, meskipun kulitnya akan dikelupas sekalipun, namun perlahan-lahan telah berubah sama sekali. Apalagi ketika orang-orang Talang Amba telah berusaha menolong jiwanya ketika bisa ular yang tajam hampir saja merenggut jiwanya

“Kenapa aku tidak dibiarkannya mati” gumam Pangeran Lembu Sabdata itu setiap kali.

Meskipun Pangeran Lembu Sabdata sadar, bahwa usaha orang-orang Talang Amba dan Singasari menolongnya tentu didorong oleh kepentingan mereka untuk mendapatkan rahasia yang diketahuinya, namun kekecewaan yang tidak terkirakan telah mencengkam jantungnya atas langkah yang telah diambil oleh orang-orang yang berusaha menolongnya. Pangeran Lembu Sabdata yang merenungi keadaannya, telah mengambil satu kesimpulan, bahwa kedua orang itu tentu telah mendapat perintah. Jika mereka gagal melepaskan Pangeran Lembu Sabdata, maka mereka justru harus membunuhnya saja.

Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata dapat mengambil satu kesimpulan, jika seseorang sudah tidak diperlukan lagi, bahkan dianggap akan dapat mengungkapkan rahasia yang tersimpan di dalam dirinya, maka orang itu harus dibunuh. Pangeran Lembu Sabdata menjadi sangat kecewa akan sikap itu. Karena itu, maka setelah merenungi keadaannya, maka ia telah memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya mengalami kesulitan menghadapi Pangeran Singa Narpada.

“Jika kakangmas Pangeran Kuda Permati sampai hati mengambil satu keputusan untuk membunuhnya, maka aku pun sampai hati pula mengungkapnya segala rahasianya” berkata Pangeran Lembu Sabdata di dalam hatinya.

Sebenarnyalah jika Pangeran Kuda Permati tetap mempercayakan dan tidak berusaha untuk membunuhnya, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata pun akan tetap pula pada sikapnya. Semua rahasia yang ada di dalam dirinya, akan dibawanya mati. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata justru tidak lagi menjadi sangat tegang menghadapi Pangeran Singa Narpada dan kedua orang yang menyertainya.

“Adimas” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian, “bagaimana keadaan adimas sekarang? Bukankah lukamu memang sudah menjadi baik,“

Pangeran Lembu Sabdata baru mengangkat wajahnya. Jawabnya, “Aku sudah sembuh kakangmas. Luka itu tidak seberapa”

“Syukurlah. Jika demikian, maka aku akan dapat mulai dengan beberapa hal. Seperti yang sudah aku katakan, maka aku ingin adimas membantu aku, agar pekerjaanku cepat selesai” berkata Pangeran Singa Narpada.

“Baiklah” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “Apa yang sebenarnya ingin kakangmas ketahui? Usaha untuk membunuhku itu membuatku menjadi mendendam. Karena itu, maka tugas kakangmas memang akan cepat selesai”

Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata berkata, “Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin merubah sikapnya atas Kediri dan Singasari. Tetapi ternyata orang-orang yang selama ini telah bekerja bersamaku, sama sekali tidak mempunyai landasan kepercayaan yang satu kepada yang lain, sehingga justru karena itu, maka aku dengan sengaja akan mengkhianati mereka”

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak. Sikap Pangeran Lembu Sabdata memang sudah berubah meskipun dalam watak yang sama. Tinggi hati dan tetap garang.

Sementara itu Pangeran Lembu Sabdata meneruskan, “Kakangmas, jika aku mengatakan sesuatu tentang usaha untuk menghancurkan Singasari. sama sekali bukan karena aku takut mengalami tekanan. Jasmaniah atau rohaniah. Aku sebenarnya telah siap menghadapi sikap yang bagaimanapun juga. Tetapi jika aku kemudian mengatakan satu jalur perlawanan atas Singasari, maka itu adalah karena kehendakku sendiri, karena aku kecewa atas sikap saudara-saudaraku yang tidak mempercayai aku”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk menyabarkan diri sendiri. Katanya kemudian, “Baiklah adimas. Apapun yang mendorongmu aku tidak akan mempersoalkannya. Tetapi aku ingin mengetahui siapakah yang menjadi penggerak utama dari usaha melawan kekuasaan Singasari itu?”

“Kakangmas Kuda Permati. Nah, jelas? Kakangmas Kuda Permati telah memerintahkan dua orang pengikutnya untuk membunuh aku karena agaknya kakangmas Kuda Permati tidak percaya bahwa tidak seorang pun akan dapat memeras keterangan dan mulutku. Kakangmas Singa Narpada pun tidak akan berhasil memaksa aku bicara dengan cara apapun juga. Tetapi sekarang, akan sengaja mengatakan” jawab Pangeran Lembu Sabdata.

Pangeran Singa Narpada sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Pangeran Singa Narpada sudah tidak terlalu terkejut mendengar nama itu. Tetapi bahwa ia masih berharap untuk berhadapan dengan orang lain. Tetapi ternyata bahwa nama itulah yang disebut oleh Pangeran Lembu Sabdata.

Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat mengelak lagi, bahwa ia memang pada satu saat berhadapan dengan saudaranya yang pendiam itu. Tetapi yang memiliki keinginan untuk menggulung bintang-bintang di langit.

“Adimas Lembu Sabdata” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebenarnya aku memang sudah menyangka. Tetapi kenapa adimas Lembu Sabdata sampai terjerumus ke dalam pengaruhnya yang akan dapat mengeruhkan keadaan bukan saja pada masa hidup kita sekarang ini, tetapi juga pada masa anak cucu kita. Aku tidak akan merasa prihatin seperti sekarang ini, seandainya Pangeran Kuda Permati menghimpun kekuatannya, menyingkir ke hutan dan membangun kekuatan melawan Singasari dan Kediri. Tetapi yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati ternyata sangat mencemaskan. Hutan-hutan dijadikan padang yang gundul dan gersang. Tetapi yang akan menjadi jalur arus banjir di musim hujan. Lereng-lereng pegunungan yang ditebangi akan kehilangan warnanya dan tanah akan hanyut bertimbun di lembah-lembah”

Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Cara itu adalah cara yang paling baik untuk menghancurkan Singasari. Singasari terlalu kuat untuk dilawan dengan kekuatan prajurit. Tetapi dengan memperlemah kedudukannya dan menimbulkan kegelisahan rakyat dan ketidakpuasan, maka kakangmas Pangeran Kuda Permati akan dapat mengambil hati rakyat yang kelaparan karena sawahnya hanyut dilanda banjir dan lereng-lereng gunung yang gundul”

“Cara yang sangat keji” desis Pangeran Singa Narpada.

“Tentu seimbang dengan kekejian orang-orang Singasari yang telah merampas Kediri. He, apakah kakangmas Singa Narpada tidak merasa kehilangan? Apakah kakangmas Singa Narpada tidak ingin Kediri kembali menjadi satu negara yang besar dan tidak harus tunduk kepada Singasari?”

“Apa bedanya Kediri dan Singasari? Yang penting rakyat harus mendapatkan haknya sesuai dengan kewajibannya” jawab Pangeran Singa Narpada, “rakyat harus hidup dengan baik dan memandang hari depan dengan penuh harapan? Kita tidak dapat memandang keseluruhan isi tanah ini dengan berpusar pada diri kita sendiri. Kecuali jika Singasari telah kehilangan kiblat pemerintahannya dan tidak lagi menghiraukan hak rakyatnya”

Pangeran Lembu Sabdata tersenyum, namun betapa pahitnya. Katanya, “Aku berpendirian lain kakangmas Aku merasa wajib untuk membangunkan kembali satu kekuasaan atas keluarga dan keturunan raja-raja di Kediri. Aku masih berharap bahwa kekuasaan atas tanah ini akan kembali kepada keluarga Kediri yang sekarang tidak lebih dari kekuasaan seorang Adipati”

Pangeran Singa Narpada memandang Pangeran Lembu Sabdata dengan tajamnya. Kemudian dengan suara berat ia bertanya, “Jadi bagaimana dengan adimas sekarang? Adimas sudah mengatakan, siapakah orang utama dalam gejolak ini. Apakah sebenarnya yang adimas kehendaki?”

“Aku ingin membalas dendam. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku telah berubah pendirian. Jika kemudian aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena kekuatan kami menjadi lumpuh sepeninggal kakangmas Kuda Permati, namun tidak seorang pun akan dapat merubah sikap di dalam dadaku menghadapi hubungan antara Kediri dan Singasari” tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menggeram.

Jantung Pangeran Singa Narpada bagaikan tersentuh api. Jika ia tidak mengingat bahwa orang yang membuat hatinya panas itu adalah adiknya yang sudah mengatakan dengan terus terang, apapun alasannya, tentang orang yang berdiri di ujung usaha perlawanan atas Singasari itu, serta menghindari kesan yang buruk atas orang-orang Kediri bagi orang-orang Talang Amba, agar mereka tidak menganggap bahwa para bangsawan di Kediri adalah orang-orang kasar, maka ia tentu sudah bertindak lain.

Tetapi Betapapun dadanya serasa menjadi mendidih, namun ia masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka katanya kemudian, “Adimas Pangeran. Ternyata adimas telah terperosok ke dalam satu pertentangan di dalam diri sendiri. Namun bagaimanapun juga, maka adimas Pangeran Lembu Sabdata tidak akan dapat bekerja bersama lagi dengan Pangeran Kuda Permati. Meskipun demikian, perhatian terbesar kemudian harus ditujukan kepada Pangeran Kuda Permati”

Pangeran Lembu Sabdata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Segalanya terserah kepada kakangmas. Tetapi kakangmas sudah melihat isi hatiku. Aku adalah salah seorang yang menentang kekuasaan Singasari atas sendiri”

“Apapun yang kau katakan, tetapi kau sekarang sudah tidak berdaya. Aku tahu, bahwa tidak seorang pun yang akan dapat merubah sikapmu. Merubah isi hatimu. Tetapi orang lain akan dapat membatasi ungkapan dari kata hatimu itu dalam ujud kewadagan. Kau sekarang berada di dalam bilik yang dibatasi oleh dinding yang kuat, dijaga oleh sekelompok prajurit. sehingga dimanapun tak lebih dari ruang sempit ini” berkata Pangeran Singa Narpada yang menahan gejolak di dalam dadanya.

Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi merah. Tetapi kemudian iapun menyadari, apapun yang bergejolak di dalam jiwanya, maka keterbatasan wadagnya telah mengikatnya dalam ketiadaan kemungkinan untuk berbuat seuatu. Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata itu pun tidak menjawabnya lagi. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, sehingga terasa betapa kekecewaan telah mencengkamnya.

Sebenarnyalah Pangeran Lembu Sabdata telah menyesali dirinya sendiri. Ia merasa bahwa bekalnya masih jauh dari mencukupi untuk ikut serta menjadi penggerak dalam usaha beberapa orang untuk melepaskan diri dari kekuasaan Singasari yang dianggapnya tidak berhak atas kekuasaannya itu.

Hal yang demikian bukan hanya pernah terjadi saat itu. Beberapa saat yang lalu, beberapa orang telah melakukan hal yang serupa meskipun juga gagal. Tetapi menurut penilaian Pangeran Kuda Permati, yang terjadi beberapa saat yang lalu, hanyalah sekedar perbuatan beberapa orang Pangeran muda yang tidak mampu mengekang diri sendiri.

Bahkan condong sebagai satu permainan yang sangat berbahaya. Pangeran-pangeran muda itu bagaikan anak-anak yang tidak tahu bahwa bara itu ternyata panas dan dapat membakar tangannya, sehingga karena itu, maka anak-anak akan dengan beraninya menyentuhnya.

Sedangkan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati agaknya telah dipikirkannya masak-masak. Ia mulai dari putaran yang paling jauh, sebagaimana seseorang yang menghadapi semangkuk nasi yang panas. Orang itu harus dengan telaten mengambilnya dari lingkungan yang paling luar untuk mendapatkan nasi yang paling dingin.

Tetapi api yang sudah menyala di Talang Amba, agaknya telah mempercepat segala rencana yang telah disusun. Dendam dan harga diri yang tidak terkendali, ternyata telah merugikan perjuangan Pangeran Kuda Permati, sehingga akhirnya, perintah Pangeran Kuda Permati kepada dua orang kepercayaannya adalah agar mereka membebaskan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan, atau membunuhnya sama sekali.

Pangeran Kuda Permati memang merasa sangat kecewa terhadap Pangeran Lembu Sabdata. Ternyata bahwa yang dijanjikan sama sekali tidak dapat diujudkan. Bahwa dengan kekuatan yang dipercayakan kepadanya untuk menghancurkan Talang Amba, dengan kesanggupan bahwa usaha itu tidak akan gagal karena ia sudah mengirimkan beberapa pengawas mendahului pasukannya, ternyata sama sekali tidak dapat diujudkannya.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati memang cenderung untuk membunuhnya saja. Seandainya Pangeran Lembu Sabdata dapat dilepaskan oleh dua orang utusan Pangeran Kuda Permati, maka yang akan diterima oleh Pangeran Lembu Sabdata tidak lebih dari teguran yang keras, dan bahkan mungkin hukuman betapapun ujudnya.

Dalam pada itu, laporan atas peristiwa yang terjadi itu sudah sampai kepada Pangeran Kuda Permati. Dua orang telah menghadap dan melaporkan, bahwa menurut pengamatan mereka, dua orang yang mendapat tugas untuk membebaskan atau membunuh Pangeran Lembu Sabdata justru telah terbunuh.

“Gila” geram Pangeran Kuda Permati, “apakah kau mengigau?”

“Ampun Pangeran, Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian. Kami berdua telah berusaha untuk mendengar kabar itu dari beberapa pihak. Dan akhirnya kabar itulah yang dapat kami tangkap sebagai satu kesimpulan” jawab orang yang berwajah pucat.

“Apa benar begitu?” bertanya Pangeran Kuda Permati kepada orang yang berambut keriting.

“Ya Pangeran. Demikianlah yang kami ketahui atas kedua utusan Pangeran itu” jawab orang yang berambut keriting itu dengan kepala tunduk.

“Mustahil” geram Pangeran Kuda Permati, “salah seorang dari mereka memiliki ilmu sirep yang sangat tajam. Sementara itu keduanya memiliki senjata yang luar biasa. Keduanya memiliki sejenis ular kecil yang sangat berbahaya, yang dapat mereka gunakan sebagai senjata”

“Tetapi orang-orang Talang Amba yang bergabung dengan para prajurit dari Singasari itu dapat mengatasinya” jawab orang yang berwajah pucat, “ada diantara mereka yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirep, sehingga dengan demikian maka keduanya harus bertempur menghadapi lawan yang agaknya memiliki ilmu yang melampaui ilmu kedua orang itu."

Pangeran Kuda Permati menggeretakkan giginya. Yang terjadi itu pun diluar dugaannya. Pangeran Kuda Permati terlalu percaya akan kemampuan kedua orang yang ditugaskannya untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata atau membunuhnya sama sekali. Adalah sulit dipercaya, bahwa ada juga orang Talang Amba yang mampu mengatasi kemampuan sirep dari kedua orang itu.

Namun seandainya demikian, apakah keduanya sama sekali tidak sempat berbuat sesuatu atas Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi kedua orang yang memberikan laporan itu telah dengan terperinci mengatakan apa yang terjadi. Bahwa sebenarnya Pangeran Lembu Sabdata sudah tersentuh bisa ular dari salah seorang diantara dua orang yang mendapat tugas itu. Tetapi juga oleh orang Talang Amba bisa itu dapat ditawarkan, sehingga dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdata masih tetap hidup.

“Gila. Pengecut. Seharusnya ia tidak menyerah. Apapun yang terjadi, ia harus bertempur terus, meskipun harus menebus dengan nyawanya, sehingga segala rahasia yang diketahuinya akan dibawanya mati” geram Pangeran Kuda Permati.

Kedua orang itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih tetap hidup. Karena kedua orang itu tidak berkata apapun juga, maka Pangeran Kuda Permati itu pun kemudian berkata,

“Kita tidak mempunyai waktu lagi. Jika Pangeran Lembu Sabdata jatuh ke tangan Pangeran Singa Narpada, maka tidak ada satu rahasia pun yang akan tertinggal. Semuanya tentu akan dapat diperas keluar”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Kuda Permati pun berkata, “Kita harus bersiap-siap. Tetapi satu hal yang perlu disadari, bahwa usaha untuk melepaskan diri dari kuasa Singasari tidak akan padam. Seandainya kita tidak berhasil dalam waktu yang dekat, namun pada satu saat usaha ini tentu akan terwujud”

Kedua orang itu pun mengangguk-angguk. Lalu salah seorang diantara mereka pun bertanya, “Kemudian, apakah yang akan kita lakukan Pangeran?”

"Untuk sementara kita akan menyingkir” berkata Pangeran Kuda Permati. ”Aku yakin, bahwa kakangmas Pangeran Singa Narpada akan segera kembali bersama orang-orang Singasari. Kau akan dapat membayangkan apa yang akan terjadi, jika aku tidak menyingkir. Adimas Lembu Sabdata tentu sudah mengatakan segala sesuatu tentang aku. Tetapi untunglah bahwa aku telah meletakkan diriku menjadi orang pertama, sehingga dengan demikian, tentu ada orang-orang lain yang masih dapat dilindungi”

Kedua orang itu pun mengangguk-angguk pula. Tetapi keduanya tidak yakin akan keterangan Pangeran Kuda Permati. Menurut pengamatan mereka, Pangeran Lembu Sabdata adalah salah seorang diantara mereka yang banyak mengetahui tentang susunan kepemimpinan dari mereka yang telah menyatakan diri menentang kuasa Singasari atas Kediri. Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu. Bahkan keduanya berharap bahwa perhitungan Pangeran Kuda Permati itu benar.

Demikianlah, sebelum Pangeran Singa Narpada kembali ke Kediri bersama orang-orang Singasari, maka Pangeran Kuda Permati telah bersiap-siap untuk meninggalkan Kediri. Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Kuda Permati bukan orang yang tidak berperhitungan. Sebenarnyalah sebelum terjadi kesulitan itu, Pangeran Kuda Permati telah menyiapkan tempat yang akan dapat menjadi landasan perjuangannya kemudian.

Tetapi Pangeran Kuda Permati tidak akan menyingkir dengan seluruh keluarganya. Ia tahu, bahwa ia akan menempuh satu cara hidup yang sulit. Karena itu, maka ketika semua persiapan sudah dilakukan, iapun membicarakan rencana kepergiannya dengan isterinya.

“Jadi kakangmas akan meninggalkan kami? Aku dan anak perempuan kakangmas itu?” bertanya isterinya.

“Dengarlah diajeng. Bukan maksudku untuk memisahkan diri dengan kau dan anak kita. Tetapi perjuangan masih panjang. Aku harus menyingkir. Dan aku dapat membayangkan, perjalanan yang akan aku tempuh adalah perjalanan yang sangat sulit” jawab Pangeran Kuda Permati.

“Tetapi aku tidak berkeberatan kakangmas, seandainya aku harus ikut menempuh perjalanan yang betapapun sulitnya itu” desis isterinya yang mulai berkaca-kaca.

Tetapi Pangeran Kuda Permati berkata, “Pada satu saat aku akan kembali menjemputmu jika segalanya sudah menjadi pasti. Jika aku sudah menemukan satu tempat berteduh yang baik bersama seluruh pengikutku”

“Apakah kakangmas berkata sebenarnya?” bertanya isterinya.

“Ya. Aku berjanji” jawab Pangeran Kuda Permati, “namun sebenarnyalah kau dapat membantuku meskipun kau tidak pergi bersamaku. Justru hal itu merupakan salah satu pertimbangan, kenapa aku minta kau tinggal”

“Apa yang dapat aku lakukan?” bertanya isterinya.

“Kau adalah adik dari isteri kakangmas Singa Narpada. Lewat kakak perempuanmu itu, maka kau dapat berusaha untuk menghambat usaha kakangmas Singa Narpada memburu aku dan pengikutku” berkata Pangeran Kuda Permati.

Isterinya mengerutkan keningnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Aku akan berusaha kakangmas. Tetapi kita tahu, bahwa kakangmas Singa Narpada adalah orang yang berhati batu”

Pangeran Kuda Permati menarik nafas dalam-dalam. Iapun menyadari bahwa yang dikatakan oleh isterinya itu memang benar. Pangeran Singa Narpada adalah orang yang hatinya sekeras batu. Apapun tidak akan mampu menahannya jika ia sudah mengambil satu keputusan.

Namun demikian Pangeran Kuda Permati masih berkata, “Tetapi kau dapat mencobanya. Mungkin dengan kelembutan hati, Pangeran Singa Narpada akan dapat dihambat jika tidak diurungkan”

Isteri Pangeran Kuda Permati itu mengangguk. Tetapi harapannya untuk dapat merubah sikap Pangeran Singa Narpada lewat kakak perempuannya yang menjadi isteri Pangeran Singa Narpada agaknya memang terlalu kecil.

Dalam pada itu, sebelum Pangeran Singa Narpada kembali dengan membawa Pangeran Lembu Sabdata, maka Pangeran Kuda Permati telah meninggalkan Kediri. Tidak seorang pun mengetahui kemana, selain para. pengikutnya.

Namun Pangeran Kuda Permati pun tidak begitu bodoh untuk membawa semua pengikutnya menghilang dari Kota Raja. Beberapa orang pengikutnya yang berani masih tetap berada di Kota Raja. Masih dalam kesatuan mereka. Mereka bertugas untuk mengamati langkah-langkah yang akan diambil oleh Pangeran Singa Narpada. Dengan sandi mereka masih tetap berada di dalam tugas mereka, seakan-akan mereka sama sekali tidak tahu-menahu dengan langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Kuda Permati.

Kepergian Pangeran Kuda Permati dan para pengikutnya memang mengejutkan Kediri. Tetapi teka-teki itu tidak lama. Ketika persoalan itu sedang menjadi pembicaraan yang ramai, maka Pangeran Singa Narpada telah sampai di Kediri dengan tergesa-gesa. Tetapi Pangeran Singa Narpada itu menjadi kecewa, karena ternyata bahwa Pangeran Kuda Permati sudah tidak ada.

“kami sudah mengira” berkata beberapa orang bangsawan. Tetapi tidak seorang pun sempat bertindak. Pangeran Kuda Permati tiba-tiba saja sudah hilang dari Kota Raja bersama para pengikutnya.

Semua telah dilaporkan kepada Sri Baginda di Kediri bahwa, di dalam tubuh keluarga bangsawan di Kediri telah terdapat seseorang yang berusaha untuk memecah keluarga besar Singasari yang meliputi Kediri.

Namun Pangeran Singa Narpada merasa heran, bahwa tanggapan Sri Baginda di Kediri tidak sebagaimana di harapkan. Dengan wajah murung Sri Baginda berkata, “Itu adalah satu cobaan yang sedang menimpa keluarga kita. Sesama saudara telah saling bermusuhan karena sikap batin yang berbeda”

“Tetapi apa perintah Baginda?” bertanya Pangeran Singa Narpada.

“Aku akan memikirkannya?” jawab Sri Baginda.

Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah kita akan membiarkan tingkah laku adimas Pangeran Kuda Permati?”

Sri Baginda itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa bersedih, bahwa diantara kita telah terjadi benturan bukan saja sikap hati, tetapi telah terjadi benturan wadag yang akan dapat meracuni hubungan kita, diantara saudara sendiri”

“Ampun Baginda” berkata Pangeran Singa Narpada, “sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh adimas Pangeran Kuda Permati telah terlalu jauh. Adimas Pangeran dan para pengikutnya sama sekali tidak memikirkan nasib rakyat Singasari termasuk Kediri. Mereka berusaha memperlemah kedudukan Singasari, namun dengan mengorbankan orang-orang yang tidak tahu menahu persoalannya”

“Aku sudah mendengar” jawab Sri Baginda, “mereka telah membuat hutan-hutan terutama di lereng-lereng bukit menjadi gundul”

“Ya Baginda” jawab Pangeran Singa Narpada, “Bukankah hal itu akan sangat menyulitkan kehidupan rakyat kecil. Tidak hanya sekarang, tetapi juga untuk waktu-waktu mendatang?”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Semuanya akan aku pikirkan sebaik-baiknya”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian iapun berkata, “Segalanya terserah kepada Baginda, Tetapi tugas yang dibebankan kepada hamba telah hamba lakukan dengan sebaik-baiknya. Hamba telah sampai ke Talang Amba dan bertemu dengan Adinda Pangeran Lembu Sabdata yang sekarang masih hamba titipkan pada orang-orang Talang Amba”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memberi kesan apapun atas keberhasilan tugas Pangeran Singa Narpada.

“Apakah ada perubahan sikap Baginda” bertanya Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya, “pada saat Baginda memerintahkan aku pergi ke Talang Amba, kesannya agak berbeda” Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak bertanya apapun juga.

Dalam pada itu, maka Sri Baginda pun bertanya, “Apakah kau tidak membawa adindamu bersamamu?”

“Belum Baginda” jawab Pangeran Singa Narpada, “ketika hamba mendengar bahwa sumber dari peristiwa ini adalah adimas Pangeran Kuda Permati, maka hamba pun dengan tergesa-gesa meninggalkan Talang Amba”

“Sri Baginda mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Usahakan agar adindamu itu cepat berada di Kediri sebelum ia mengalami kesulitan”

“Adimas Pangeran Lembu Sabdata sedang mendapat perawatan Baginda, agaknya Pangeran Kuda Permati telah mengutus dua orang untuk membunuh adimas Pangeran Lembu Sabdata selagi adimas tertawan di Talang Amba."

Keterangan Pangeran Singa Narpada yang terakhir itu benar-benar mengejutkan hati Sri Baginda. Karena itu maka dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Apakah benar pendengaranmu, bahwa Pangeran Kuda Permati telah berusaha untuk membunuh Pangeran Lembu Sabdata?”

“Ya Baginda” jawab Pangeran Singa Narpada, “Bukankah sudah hamba katakan, orang yang berusaha untuk membebaskan adimas Pangeran Lembu Sabdata tetapi gagal itu telah berusaha membunuhnya”

“Tetapi apakah itu atas kehendak orang itu sendiri, atau memang atas perintah Pangeran Kuda Permati?” desak Sri Baginda.

Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Memang tidak ada bukti yang dapat menguatkan pendapatnya bahwa yang memerintahkan untuk membunuh Pangeran Lembu Sabdata adalah Pangeran Kuda Permati. Tetapi dalam pada itu Pangeran Singa Narpada pun menjawab, “Ampun Baginda. Bukan hanya hamba sajalah yang berpendapat bahwa hal itu memang diperintahkan oleh Pangeran Kuda Permati. Tetapi adimas Pangeran Lembu Sabdata sendiri berpendapat demikian. Semula adimas Pangeran Lembu Sabdata sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga tentang usahanya. Tetapi setelah peristiwa itu terjadi, dan adimas Pangeran Lembu Sabdata diselamatkan oleh orang-orang Talang Amba yang kebetulan memiliki penangkal racun, maka adimas Lembu Sabdata kemudian berterus terang, siapakah sebenarnya orang yang berdiri di belakang gerakan itu”

Sri Baginda termangu-mangu sejenak. Namun pertanyaannya membuat jantung Pangeran Singa Narpada berdebaran. Katanya, “Tetapi apakah bukan karena usahamu memeras adindamu sehingga ia terpaksa mengatakan siapakah orang yang telah menggerakkannya? Aku mengenal tabiatmu. Seseorang yang berada di tanganmu tidak akan dapat mengelak lagi. Ia akan mengatakan apa yang ingin kau dengar daripadanya”

“Baginda” wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Namun kemudian ia berusaha menahan diri. Meskipun dengan demikian ia justru terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sejenak suasana menjadi hening. Namun kemudian Sri Baginda itu pun berkata, “Sudahlah. Beristirahatlah. Kita masih mempunyai waktu untuk memikirkannya. Namun satu hal yang harus segera kita lakukan. Mengambil Lembu Sabdata dari Talang Amba”

Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menyahut. Ia sadar tugas itu akan dibebankan kepadanya. Namun ia justru berharap agar perintah itu segera turun kepadanya. Ia akan minta kepada orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari kerelaan mereka untuk menyerahkan Lembu Sabdata. Biarlah ia menghadap Sri Baginda dan mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Karena Pangeran Singa Narpada tidak menyahut, maka Sri Baginda itu berkata lebih lanjut, “Karena itu, maka aku berharap dalam waktu yang secepat-cepatnya, aku dapat bertemu dengan Lembu Sabdata”

Barulah Pangeran Singa Narpada kemudian bertanya, “Apakah hamba harus kembali ke Talang Amba?”

"Aku harap demikian. Semakin cepat Pangeran Lembu Sabdata kembali, keadaan akan menjadi semakin cepat jernih. Jika ia sempat memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi, maka aku akan dapat mengambil langkah-langkah tertentu” berkata Sri Baginda.

Jantung Pangeran Singa Narpada serasa berdentang semakin cepat. Dari kata-kata yang tersirat, agaknya Pangeran Singa Narpada mendapat penilaian yang kurang pada tempatnya.

“Apakah Baginda menganggap bahwa ada satu kemungkinan Baginda tidak akan sempat berbicara dengan adimas Lembu Sabdata karena pokalku?” bahkan Pangeran Singa Narpada itu beranggapan semakin jauh, “apakah justru Baginda menuduh akulah yang telah mencoba membunuhnya”

Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada berniat untuk secepatnya kembali ke Talang Amba dan berbicara dengan Ki Sanggarana dan para Senopati dari Singasari. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Baiklah Baginda. Dalam waktu dekat, hamba akan datang bersama adimas Pangeran Lembu Sabdata. Mudah-mudahan ia sudah sembuh sama sekali sehingga perjalanan kembali ke Kediri tidak akan terganggu. Namun hamba mohon ijin untuk membawa sepasukan prajurit Kediri untuk mengawal adimas Pangeran. Ada satu kemungkinan bahwa Pangeran Kuda Permati berusaha untuk merampas adimas Pangeran di perjalanan”

Sri Baginda tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Pada saatnya kau akan berangkat, maka aku akan memerintahkan untuk mempersiapkan sepasukan prajurit”

“Hamba mohon, agar hamba yang menentukan, kesatuan yang manakah yang akan pergi bersama hamba” mohon Pangeran Singa Narpada.

“Baiklah” Baginda mengangguk-angguk. Tetapi kesungguhan Pangeran Singa Narpada itu agaknya telah meyakinkan Sri Baginda, bahwa Pangeran Singa Narpada benar-benar tidak melakukan sebagaimana disangkanya. Meskipun demikian, Sri Baginda akan tetap menunggu kedatangan Pangeran Lembu Sabdata sebelum mengambil keputusan-keputusan.

Pangeran Singa Narpada pun berusaha untuk mengerti, karena semua pihak yang terlibat masih termasuk kadang sentana, sehingga Sri Baginda benar-benar disudutkan pada satu keadaan yang sangat sulit untuk mengambil satu keputusan.

Dalam pada itu, agaknya Pangeran Singa Narpada pun ingin dengan segera menjernihkan suasana. Ia tidak mau mendapat tuduhan-tuduhan, dikatakan atau tidak dikatakan. Mungkin orang mengira bahwa Pangeran Lembu Sabdata dalam keadaan sakit karena sikap keras Pangeran Singa Narpada untuk memeras keterangan dari adiknya itu.

“Segalanya akan jelas jika adimas Pangeran Lembu Sabdata telah menghadap” berkata Pangeran Singa Narpada di dalam hatinya.

Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah merencanakan secepatnya untuk kembali ke Talang Amba. membawa sepasukan prajurit agar Pangeran Lembu Sabdata tidak hilang dari tangannya. Mungkin Pangeran Kuda Permati akan membebaskannya dengan kekerasan atau pembunuhnya untuk menghilangkan jejak.

Namun sementara itu, Pangeran Singa Narpada menghadapi persoalan lain di dalam istananya. Diluar perhitungannya, tiba-tiba saja isterinya telah mempersoalkan Pangeran Kuda Permati.

“Apakah gunanya kakangmas memburu adimas Pangeran Kuda Permati” desis isterinya.

Wajah Pangeran Singa Narpada menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa kau mempersoalkannya? Kau selama ini tidak pernah mempersoalkan tugas-tugas yang aku lakukan. Bahkan menurut ingatanku, aku belum pernah dengan sungguh-sungguh memberitahukan kepadamu, apa yang aku lakukan terhadap adimas Pangeran Kuda Permati dan adimas Lembu Sabdata”

Isterinya menundukkan kepalanya. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, “Diajeng telah menyampaikan keluhan-keluhannya kepadaku. Kami berdua adalah saudara kandung. Sementara kakangmas dan adimas Kuda Permati saling bermusuhan bagaikan minyak dengan air”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalannya bukannya antara aku pribadi dengan adimas Kuda Permati pribadi. Persoalannya adalah, bahwa adimas Kuda Permati telah mengambil langkah-langkah yang dapat meretakkan hubungan yang ada antara Singasari dan Kediri”

“Tetapi bukankah adimas Pangeran Kuda Permati berusaha untuk keluhuran derajad keturunan Kediri?” bertanya isterinya.

“Setiap trah Kediri akan melakukannya. Tetapi tidak dengan cara itu” jawab Pangeran Singa Narpada, “cara yang ditempuh adalah cara yang sangat kasar dan akan menghancurkan anak cucu kita sendiri”

“Namun demikian, apakah kakangmas tidak dapat berbicara dengan baik agar tidak terjadi pertumpahan darah?” bertanya isterinya.

“Adimas Pangeran Kuda Permati telah meninggalkan Kediri. Kita tidak akan dapat berbicara” jawab Pangeran Singa Narpada, “selebihnya, aku harus kembali ke Talang Amba. Aku harus membersihkan diriku dari tuduhan-tuduhan yang tidak sewajarnya”

“Tuduhan apa?” bertanya isterinya.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Dikatakan atau tidak dikatakan, tetapi terasa bahwa aku dituduh melakukan kekerasan terhadap adimas Pangeran Lembu Sabdata. Padahal aku tidak pernah berbuat apa-apa. Keadaanlah yang telah membuat adimas lembu Sabdata mengatakan bahwa ia berada dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati”

Isterinya tidak menyahut. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam. Kegelisahan di dalam dadanyalah yang bagaikan menyala membakar jantungnya.

Dalam pada itu. Pangeran Singa Narpada pun berkata, “Sudahlah diajeng. Jangan pikirkan tugas-tugas yang dibebankan diatas pundakku. Aku minta kau dapat mengerti bahwa saat ini aku sedang menghadapi satu keadaan yang sulit. Perubahan sikap Sri Baginda membuat kepalaku pening. Aku tidak tahu, apakah yang sudah terjadi di dalam diri Sri Baginda. Tetapi tanggapannya pada saat aku berangkat dan pada saat aku kembali sudah jauh berbeda”

Isterinya tidak menyahut. Tetapi kepalanya yang menunduk itu mengangguk perlahan-lahan. Demikianlah, mendekati hari yang sudah ditentukan, Pangeran Singa Narpada telah bersiap-siap untuk pergi ke Talang Amba. Ia menghubungi pimpinan pemerintahan Singasari sebagaimana pernah dilakukan, agar pimpinan pemerintahan di Singasari dapat menyaksikan apa yang dilakukan di Talang Amba dalam hubungannya dengan tingkah laku Pangeran Lembu Sabdata.

Pada hari yang ditentukan itu, maka Pangeran Singa Narpada pun telah pergi ke Talang Amba dengan sepasukan prajurit yang dipilihnya sendiri. Karena sebenarnyalah, menurut ketajaman pengamatan hati Pangeran Singa Narpada, tentu masih ada para pengikut Pangeran Kuda Permati yang ditinggalkan di Kediri. Iring-iringan itu telah diikuti oleh dua orang perwira dari Singasari yang akan menyertai pasukan yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singa Narpada itu ke Talang Amba. Selain menjadi saksi, maka kedua perwira itu akan dapat berbicara dengan para Senopati Singasari yang bertugas di Talang Amba.

Sebenarnyalah bahwa keberangkatan Pangeran Singa Narpada itu pun segera didengar oleh Pangeran Kuda Permati di persembunyiannya. Namun Pangeran Kuda Permati itu menjadi kecewa bahwa yang ditugaskan untuk mengikuti Pangeran Singa Narpada adalah pasukan yang sama sekali terlepas dari pengaruhnya.

“Kenapa orang-orang kita tidak dapat mengusahakan agar yang bertugas itu adalah orang-orang kita, atau sebagian adalah orang-orang kita, sehingga memberi peluang kepada kita untuk berusaha membebaskan atau membunuh sama sekali adimas Pangeran Lembu Sabdata” desis Pangeran Kuda Permati.

“Pangeran Singa Narpada cukup cerdik untuk mencurigakan siapapun juga kecuali orang yang dipilihnya sendiri” jawab pengikutnya.

Pangeran Kuda Permati hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Namun demikian Pangeran Kuda Permati memerintahkan orang-orangnya untuk mengamati pasukan Pangeran Singa Narpada yang pergi ke Talang Amba untuk mengambil Pangeran Lembu Sabdata.

“Pasukan yang cukup kuat” desis adalah seorang dari dua orang pengamat yang dari kejauhan melihat iring-iringan menuju ke Talang Amba.

“Jika Pangeran Kuda Permati akan berkeras hati merebut Pangeran Lembu Sabdata atau membinasakannya, maka akibatnya akan cukup parah. Akan terjadi satu pertempuran yang. keras dan bahkan mungkin menjadi buas. Yang dibawa oleh Pangeran Singa Narpada adalah sekelompok pasukan terpilih sebagaimana inti kekuatan Pangeran Kuda Permati” berkata yang lain.

Kawannya mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah bahwa pasukan yang dibawa oleh Pangeran Singa Narpada adalah sekelompok pengawal terbaik dari Kediri.

Ketika hal itu dilaporkan oleh para pengamat kepada Pangeran Kuda Permati, maka Pangeran Kuda Permati hanya dapat menggeram, ia sadar bahwa ia tidak dapat merebut atau membunuh sama sekali Pangeran Lembu Sabdata yang dikawal kuat oleh pasukan yang langsung dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada. Iapun tidak akan dapat merebut atau menghancurkannya sama sekali dengan memasuki Talang Amba yang masih dijaga dengan kuat oleh para prajurit Singasari, di samping para pengawal dari Kabuyutan Talang Amba.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati harus menerima satu kenyataan bahwa Kediri maupun Singasari akan mengetahui dengan pasti lewat mulut Pangeran Lembu Sabdata, bahwa ia telah memberontak melawan kekuasaan Kediri dan Singasari.

“Jika demikian apa boleh buat” berkata Pangeran Kuda Permati, “aku memang memberontak. Tetapi sebenarnya pemberontakan ini aku tujukan kepada Singasari. Jika orang-orang Kediri yang menjilat kepada orang-orang Singasari merasa berkewajiban melawan aku juga, apa-boleh buat,“

Sementara itu maka Pangeran Singa Narpada pun langsung menuju ke Talang Amba. Sehingga kedatangannya telah membuat Pangeran Lembu Sabdata menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa kedatangan Pangeran Singa Narpada itu tentu dalam tugas untuk mengambilnya dari Talang Amba dan menghadapkannya kepada Sri Baginda di Kediri.

Tetapi dihadapan Pangeran Singa Narpada, Pangeran Lembu Sabdata tidak akan dapat terlalu banyak tingkah. Ia tahu pasti sikap Pangeran Singa Narpada, apalagi setelah mereka meninggalkan Talang Amba.

Tidak terlalu banyak kesulitan bagi Pangeran Singa Narpada menghadapi orang-orang Talang Amba dan orang-orang Singasari. Apalagi bersama Pangeran itu telah datang pula dua orang perwira dari Singasari, sehingga persoalannya dapat dipertanggung-jawabkan oleh para Senapati yang ada di Talang Amba.

“Sementara yang lain biarlah berada di Talang Amba” berkata Pangeran Singa Narpada, “pada saatnya, apakah Kediri atau Singasari tentu memerlukan mereka”

Dengan demikian, maka Ki Sanggarana dan para Senapati Singasari di Talang Amba telah menyerahkan dengan resmi Pangeran Lembu Sabdata. Sementara itu. Pangeran Singa Narpada yang ingin cepat menjernihkan suasana telah dengan tergesa-gesa menentukan saatnya untuk kembali.

“Kenapa besok?” bertanya Ki Sanggarana, “nampaknya Pangeran sangat tergesa-gesa."

“Ya” jawab Pangeran Singa Narpada, “Aku tidak mau dibayangi oleh kecurigaan-kecurigaan dan dugaan-dugaan yang tidak sewajarnya. Aku harus segera menghadapkan adimas Pangeran Lembu Sabdata kepada Sri Baginda, agar dengan demikian semuanya menjadi jelas”

“Silahkan Pangeran” berkata Ki Sanggarana, “luka-lukanya pun telah sembuh sama sekali. Dengan terhisapnya racun ular oleh penangkal racun yang kuat itu, maka luka-luka Pangeran Lembu Sabdata menjadi tidak berarti lagi”

“Terima kasih Ki Sanggarana” berkata Pengeran Singa Narpada, “Mudah-mudahan segala sesuatunya cepat kita selesaikan. Namun sementara ini jangan menjadi lengah. Pangeran Kuda Permati sudah tidak berada di Kediri lagi. Dengan pasukan yang setia kepadanya, ia telah menyingkir untuk mempersiapkan satu pemberontakan yang terbuka. Menurut perhitunganku, ia akan mendapat banyak pengikut karena dengan kepandaiannya berbicara, ia akan dapat memikat beberapa orang untuk mengikuti jejaknya melawan Singasari”

“Baiklah Pangeran” jawab Ki Sanggarana, “kami akan berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Apalagi prajurit Singasari untuk sementara masih akan tetap berada disini, meskipun Pangeran Lembu Sabdata sudah tidak ada di Kabuyutan ini, karena kemungkinan-kemungkinan lain masih akan dapat terjadi”

Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada pun telah mempersiapkan diri Pangeran Lembu Sabdata pun telah diberi tahu, bahwa esok pagi, mereka akan bersama-sama meninggalkan Talang Amba untuk kembali ke Kediri.

Pangeran Lembu Sabdata menjadi berdebar-debar. Jika ia dihadapkan kepada Sri Baginda, maka apakah yang akan dikatakannya?. Meskipun agaknya Sri Baginda sudah tahu, bahwa sumber dari keributan yang terjadi itu diantaranya adalah Pangeran Kuda Permati, namun rasa-rasanya sulitlah baginya untuk mengatakannya langsung kepada Sri Baginda. Namun Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat menolak. Jika ia mencobanya juga. maka akibatnya akan terasa sangat parah.

Setelah segalanya dipersiapkan, maka Pangeran Singa Narpada pun minta diri kepada orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari. Dengan pengawalan yang kuat, maka Pangeran Lembu Sabdata pun dipersilahkan untuk naik ke punggung kuda yang telah disediakan baginya. Di sebelah menyebelahnya adalah dua orang prajurit pilihan, sementara di belakangnya adalah Pangeran Singa Narpada sendiri bersama dua orang perwira dari Singasari.

Beberapa langkah di depan, berturut-turut lima orang prajurit berkuda, sementara yang lain ada di belakang Pangeran Singa Narpada. Pangeran Lembu Sabdata tidak dapat berbuat apa-apa. Ia mengenal pasukan yang dibawa oleh Pangeran Singa Narpada itu sebagai pasukan terbaik dari pengawal di Kediri, sebagaimana sekelompok pasukan yang dibawa oleh Pangeran Kuda Permati.

Demikianlah iring-iringan itu meninggalkan Talang Amba dengan disaksikan oleh hampir semua orang Talang Amba yang tinggal di sepanjang jalan. Di setiap padukuhan, orang-orang telah keluar dari rumah-rumah mereka dan turun ke pinggir jalan untuk melihat sebuah iring-iringan yang membawa seorang tawanan dari trah bangsawan di Kediri.

Pangeran Lembu Sabdata hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun terasa jantungnya berdentangan menahan kemarahan yang rasa-rasanya menghentak-hentak dadanya. Bahkan ternyata tidak di padukuhan-padukuhan dalam tlatah Kabuyutan Talang Amba saja mereka menjadi tontonan. Di padukuhan-padukuhan berikutnya, orang-orang pun telah melihat iring-iringan itu, meskipun sebagian besar dari mereka tidak begitu mengerti artinya. Bahkan semakin jauh dari Talang Amba, kadang-kadang justru timbul ketakutan diantara penghuni-penghuni padukuhan yang dilewatinya melihat iring-iringan yang nampaknya tegang dan bersungguh-sungguh.

Di Talang Amba, Ki Sanggarana, para bebahu, Ki Waruju dan kedua anak muda Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah saling berbincang. Beberapa orang Senopati yang hadir bersama mereka justru telah mengambil satu keputusan untuk mempertinggi kesiagaan. Sepeninggal Pangeran Lembu Sabdata masih akan dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan yang pahit bagi Kabuyutan itu.

“Kita akan dapat memberikan laporan kepada Akuwu di Gagelang atau yang sedang memangku jabatan Akuwu” berkata Ki Sanggarana.

“Ya. Ada baiknya” berkata Senopati dari Singasari, “Kita semuanya harus bersiaga. Menilik keterangan Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Kuda Permati telah benar-benar memberontak tanpa tedeng aling-aling. Karena itu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu akan dapat terjadi setiap saat. Justru karena itu, maka Talang Amba dan juga Gagelang harus bersiap-siap. Jika Pangeran Kuda Permati ingin menumpahkan kemarahannya, agaknya Talang Amba dan Gagelang akan menjadi sasarannya yang pertama. Di Kabuyutan inilah Pangeran Lembu Sabdata tertangkap sehingga terungkaplah persiapan-persiapan yang dilakukannya dengan diam-diam.

Para pemimpin di Talang Amba ternyata sependapat. Karena itu, maka mereka justru meningkatkan kesiagaan dan menunjuk beberapa orang untuk pergi ke Gagelang, melaporkan segala perkembangan yang telah terjadi.

Dalam pada itu, ketika Talang Amba sibuk mempersiapkan diri, sementara beberapa orang pergi ke Gagelang, maka di Kediri pun telah terjadi satu peristiwa yang menegangkan. Kehadiran Pangeran Lembu Sabdata di Kediri telah disambut dengan perasaan yang berbeda-beda. Beberapa orang merasa benci kepada Pangeran yang masih muda itu. Namun yang lain menjadi kasihan kepadanya. Bahkan beberapa orang perwira yang mengenal Pangeran Singa Narpada dengan baik, menjadi gelisah. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas Pangeran itu selama ia berada di tangan Pangeran Singa Narpada.

Namun sikap itu pun agak berubah. Ketika Pangeran Lembu Sabdata telah dimasukkan ke dalam ruang tahanan, maka beberapa orang yang mengikuti setiap perkembangan keadaan di Talang Amba pun mengatakan, bahwa Pangeran Singa Narpada telah berhasil menguasai dirinya selama ia berada di Talang Amba.

“Pangeran Singa Narpada tidak melakukan kekerasan” berkata, salah seorang Senopati yang mengikutinya.

Tetapi beberapa orang telah meragukannya. Apalagi mereka yang sejak semula telah berprasangka. Ketika Pangeran Singa Narpada datang melaporkan keadaan Talang Amba dan menyatakan bahwa Pangeran Lembu Sabdata terluka karena ada usaha untuk membunuhnya, orang-orang itu telah menyangka bahwa Pangeran Singa Narpada telah menyakitinya sehingga Pangeran Lembu Sabdata terluka parah sebelum mengucapkan pengakuannya. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada itu tidak dapat membawanya bersamanya pada waktu itu.

Ketika salah seorang yang menyertai Pangeran Singa Narpada menceriterakan keadaan Pangeran Lembu Sabdata yang sebenarnya, bahwa Pangeran itu telah terluka oleh gigitan ular, maka beberapa orang kurang mempercayainya. Demikianlah maka di Kediri telah timbul tanggapan yang berbeda bahwa kadang-kadang berlawanan atas keadaan Pangeran Lembu Sabdata.

Namun Pangeran Singa Narpada tidak menghiraukannya. Yang penting baginya adalah membawa Pangeran Lembu Sabdata itu menghadap Sri Baginda, di Kediri. Dengan demikian maka segalanya akan menjadi jernih dan segala macam prasangka pun akan dapat hilang dengan sendirinya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada kemudian adalah berusaha untuk membawa Pangeran Lembu Sabdata menghadap.

Ternyata Sri Baginda pun agaknya ingin segera mendengar apa yang telah terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata. Karena itu, maka demikian Pangeran Singa Narpada melaporkan kedatangannya, serta mohon untuk menghadapkan Pangeran Lembu Sabdata, Sri Baginda pun telah memberikan kesempatan yang pertama. Demikianlah, dengan dihadiri oleh beberapa orang saja, Pangeran Lembu Sabdata telah dibawa menghadap oleh Pangeran Singa Narpada.

Demikianlah Pangeran Lembu Sabdata duduk sambil menundukkan kepalanya, maka Sri Baginda pun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Kau adimas Lembu Sabdata”

Pangeran Lembu Sabdata tidak berani mengangkat wajahnya. Kepalanya justru semakin tertunduk dalam-dalam.

Baginda itu pun kemudian berkata dengan nada dalam, “Adimas. Seharusnya kau merasa, bahwa kau adalah adikku yang sangat aku kasihi. Tetapi justru itu kau menjadi manja dan melakukan langkah-langkah yang sama sekali tidak menguntungkan kedudukanmu sekarang ini”

Pangeran Lembu Sabdata masih menundukkan kepalanya. Sementara Sri Baginda berkata selanjutnya, “Kenapa kau justru telah mengikuti jejak Pangeran Kuda Permati?"

Pangeran Lembu Sabdata masih diam belum menjawab. Karena Pangeran Lembu Sabdata masih belum menjawab, maka Sri Baginda itu meneruskan, “Tetapi apakah hasilnya setelah kau dengan susah payah melakukan tindakan-tindakan yang tercela di bawah pengaruh Pangeran Kuda Permati? Justru kau telah diancamnya. Bahkan telah terjadi satu percobaan pembunuhan atasmu”

Namun adalah diluar dugaan bahwa tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata itu mengangkat wajahnya yang nampak keheranan. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa yang akan dibunuh Sri Baginda”

“Bukankah Pangeran Kuda Permati telah memerintahkan orang-orangnya untuk membunuhmu setelah mereka gagal untuk melepaskanmu dari tangan orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari?” bertanya Sri Baginda.

Pangeran Lembu Sabdata justru menjadi semakin keheranan. Sekilas dipandanginya Pangeran Singa Narpada yang duduk di sebelahnya. Dengan nada keheranan iapun kemudian bertanya, “Ampun Baginda. Siapakah yang telah memberikan laporan yang demikian?"

Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkan Pangeran Singa Narpada. Apalagi ketika Pangeran Lembu Sabdata berkata, “Tidak ada orang yang akan membunuh hamba”

“Adimas” potong Pangeran Singa Narpada dengan wajah yang membara, “Bukankah ular itu telah mematuk punggung adimas? Jika adimas tidak diselamatkan oleh orang-orang Talang Amba, bukankah adimas sudah terbunuh?”

Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan yang kemudian dilontarkannya, benar-benar telah menghentakkan jantung Pangeran Singa Narpada, sehingga rasa-rasanya jantungnya itu akan terlepas dari tangkainya.

“Sri Baginda” bertanya Pangeran Lembu Sabdata, “apakah yang sebenarnya sudah dilontarkan kepada Baginda tentang diri hamba selama hamba berada di Talang Amba?”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Sementara kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah Pangeran Singa Narpada. Seri Baginda pun telah mengulangi keterangannya sesuai dengan laporan Pangeran Singa Narpada. Namun benar-benar tidak masuk dalam akal Pangeran Singa Narpada, bahwa tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menyahut,

“Bohong. Semuanya bohong Baginda. Tidak ada orang yang ingin membunuh hamba. Jika hamba tidak dapat segera dibawa menghadap, maka sebenarnyalah bahwa hamba benar-benar tidak mampu bangkit. Tubuh hamba bagaikan remuk dan tulang-tulang hamba bagaikan berpatahan”

“Kenapa?” bertanya Sri Baginda.

Pangeran Lembu Sabdata berpaling kepada Pangeran Singa Narpada sambil menjawab, “Kakangmas Singa Narpada ingin mendengar dari mulut hamba, siapakah yang berada di belakang hamba atas peristiwa-peristiwa yang terjadi itu”

“Gila” hampir berteriak Pangeran Singa Narpada bergeser mendekat. Seandainya mereka tidak berada dihadapan Sri Baginda, maka ia sudah mencekik leher Pangeran Lembu Sabdata.

“Tunggu” cegah Sri Baginda, “biarlah ia berbicara.

Pangeran Singa Narpada menggeram, “Kau jangan memutar-balikkan keadaan”

Tetapi Pangeran Lembu Sabdata justru tersenyum. Katanya, “Memang putaran roda pedati itu mengharuskan jari-jarinya sekali melintang, sekali membujur. Yang diatas akan berganti dibawah. Dan yang sewenang-wenang akhirnya akan terbongkar pula”

“Tetapi aku tidak berbuat apa-apa” bentak Pangeran Singa Narpada.

Namun Sri Baginda pun telah membentak, “Diam. Akulah yang akan bertanya kepadanya”

Pangeran Singa Narpada telah terdiam. Kepalanya tertunduk namun jantungnya bagaikan meledak.

“Sri Baginda” berkata Pangeran Lembu Sabdata kemudian, “hamba benar-benar tidak dapat bertahan untuk mengatakan bahwa segalanya adalah karena niat hamba sendiri. Tidak ada orang lain yang menggerakkan hamba. Tetapi tekanan yang tidak tertahankan telah memaksa hamba menyebut asal saja mengucapkan sebuah nama”

“Apakah benar begitu?” bertanya Sri Baginda.

“Hamba Sri Baginda. Hamba benar-benar telah diremukkan oleh kakangmas Singa Narpada. Memang orang-orang Talang Amba ada juga yang berbaik hati mengobati hamba. Tetapi itu karena mereka pun merasa perlu untuk mempertahankan hidup hamba, agar mereka mendapat keterangan seperlunya sebagaimana kakangmas Singa Narpada”

Rasa-rasanya telinga Pangeran Singa Narpada telah membara mendengar keterangan Pangeran Lembu Sabdata itu. Benar-benar satu persoalan yang tidak diduganya sebelumnya. Bagaimanapun tipisnya, ia masih menghargai kejujuran Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi ternyata yang dijumpai benar-benar satu fitnah yang paling keji. Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun justru bagaikan terbungkam. Kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya membuatnya menjadi gemetar.

“Baginda” berkata Pangeran Singa Narpada kemudian terbata-bata justru oleh gejolak batinnya, “hamba tidak menyangka bahwa adimas Pangeran Lembu Sabdata akan mengatakan demikian”

“Ya Baginda” potong Pangeran Lembu Sabdata, “baru sekarang hamba menyadari. Agaknya itulah sebabnya, maka kakangmas Singa Narpada telah mengancam hamba untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya hamba alami. Hamba kira, bahwa kakangmas Singa Narpada benar-benar ingin menyembunyikan kenyataan yang telah terjadi di Talang Amba atas diri hamba. Namun dalam pada itu Baginda, bahwa hamba mohon keadilan. Hamba memang sudah bersalah, bahwa hamba merasa wajib untuk berbuat sesuatu atas Kediri. Tetapi tingkah laku kakangmas Singa Narpada sudah melampaui wewenang yang ada padanya”

“Bohong” Pangeran Singa Narpada hampir berteriak.

Namun dengan demikian Sri Baginda pun telah memandanginya dengan tajamnya sambil bertanya, “Kau sadari, bahwa kau duduk dihadapanku?”

Pangeran Singa Narpada menundukkan kepalanya sambil berdesis lemah, “Hamba Baginda. Tetapi maksud hamba adalah memberikan penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi”

“Pangeran Singa Narpada yang perkasa” berkata Sri Baginda, “setiap orang tahu, apa yang dapat kau lakukan terhadap orang-orang yang tidak berdaya seperti adimas Pangeran Lembu Sabdata selama adimas Pangeran ada di tanganmu. Setiap orang tahu, bahwa beberapa orang telah kau remukkan untuk sekedar mendapatkan pengakuan dari mulutnya. Bahkan kadang-kadang pengakuan semu yang diucapkan karena ia tidak mampu lagi mengelakkan diri dari kekerasan tanganmu. Dan sekarang hal itu terjadi atas Pangeran Lembu Sabdata. Atas adikmu sendiri”

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, hatinya justru menjadi tenang. Bahkan kemudian iapun bertanya dengan suara dalam, “Ampun Sri Baginda. Hamba menyadari, bahwa cacat itu memang tidak dapat hamba tanggalkan dari diri hamba. Sekali hamba melakukannya, maka hal itu akan terbawa sepanjang umur hamba” Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak, kalau, “tetapi ampun Sri Baginda. Jika demikian, kenapa adimas Pangeran Kuda Permati harus pergi meninggalkan kota seandainya ia tidak mempunyai hubungan apapun dengan adimas Pangeran Lembu Sabdata. Seandainya benar kata adimas Pangeran Lembu Sabdata bahwa pengakuannya itu asal saja menyebut sebuah nama, maka apakah hubungannya hal ini dengan kepergian adimas Pangeran Kuda Permati itu”

Sri Baginda mengerutkan keningnya. Agaknya hal itu memang harus dipertimbangkan. Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata adalah salah seorang dari saudara Baginda yang paling dekat. Itulah agaknya maka Sri Baginda menganggap bahwa Pangeran Lembu Sabdata lebih dapat dipercaya dari saudara-saudaranya yang lain.

Meskipun demikian Sri Baginda itu masih juga bertanya, “Lembu Sabdata. Apa katamu tentang pertanyaan kakangmasmu tantang Kuda Permati. Jika ia tidak tersangkut dalam persoalanmu, kenapa ia harus melarikan diri dan menghilang dari kota”

“Ada beberapa hal Sri Baginda” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “mungkin kakangmas Kuda Permati tidak sedang melarikan diri. Tetapi sedang melakukan satu tugas tertentu. Katakanlah bahwa dengan demikian kakangmas telah melakukan satu kesalahan bahwa ia tidak melaporkan diri pada saat ia meninggalkan kota. Sedangkan kemungkinan yang terbesar adalah, bahwa kakangmas sudah mendengar apa yang terjadi di Talang Amba. Aku dipaksa mengaku dihadapan banyak orang, bahwa aku telah melakukan satu pemberontakan. Salah seorang yang berjuang bersamaku adalah kakangmas Kuda Permati. Nama itu aku ucapkan asal saja aku menyebutnya. Namun demikian, kakangmas Singa Narpada memang memancing aku untuk menyebut nama itu. Karena itulah agaknya berita tentang terlibatnya kakangmas Kuda Permati sebagaimana aku ucapkan dihadapan orang banyak itu telah didengar oleh kakangmas Kuda Permati, sehingga lebih baik baginya untuk menghindar sampai persoalan ini dapat dijernihkan”

“Bohong. Semuanya bohong” geram Pangeran Singa Narpada.

“Bukankah hal ini dapat ditanyakan kepada beberapa pihak?” bertanya Sri Baginda.

“Tidak ada gunanya” sahut Pangeran Lembu Sabdata, “para pengikut kakangmas Singa Narpada, baik yang pertama maupun yang kemudian datang ke Talang Amba adalah orang-orang yang berada sepenuhnya dibawah pengaruhnya. Apa yang akan dikatakan adalah apa yang diinginkan oleh kakangmas Singa Narpada. Bahkan seandainya Sri Baginda memanggil orang-orang Talang Amba, maka jawaban mereka atas pertanyaan siapapun juga, mempunyai pola yang sama meskipun mungkin dalam ungkapan yang berbeda”

Sri Baginda mengangguk-angguk. Katanya kepada Pangeran Singa Narpada, “Jelas. Bagaimana dengan kau? Apakah kau masih juga belum mengetahui isi ceriteranya”

“Dan Baginda mempercayainya?” Pangeran Singa Narpada ganti bertanya.

“Apa katamu, seandainya aku menjawab ya?” bertanya Sri Baginda.

“Segala wewenang dan kekuasaan duniawi ada di tangan Baginda Kediri. Tetapi bersama hamba adalah dua orang perwira Singasari yang melihat peristiwa yang sebenarnya terjadi."

Sekilas nampak wajah Lembu Sabdata menegang. Namun kesan itu pun segera lenyap. Dengan sikap sebagaimana sebelumnya ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sri Baginda.

Dalam pada itu, Sri Baginda pun telah mengerutkan keningnya. Bersama Pangeran Singa Narpada, Baik perjalanannya yang pertama, maupun perjalanannya yang kedua, adalah para perwira Singasari yang akan dapat menjadi saksi. Karena itu, maka Sri Baginda itu pun berkata kepada Pangeran Lembu Sabdata, “Apa katamu tentang kedua orang perwira Singasari itu?”

“Perasaan orang-orang Singasari terhadap hamba sudah jelas Sri Paduka. Hamba adalah pemberontak yang harus dihukum mati. Karena itu setiap keterangannya tentu akan sangat memberatkan hamba” jawab Pangeran Lembu Sabdata, “hamba tidak tahu, seandainya para perwira dari Singasari itu akan memberikan keterangan. Apakah keterangan mereka akan sama dengan keterangan Kakangmas Pangeran Singa Narpada yang memang sudah dirancangkannya lebih dahulu, atau mereka akan memberikan keterangan yang lain. Tetapi, adalah mustahil jika mereka akan memberikan keterangan yang sebenarnya”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ternyata bahwa aku masih harus mencari keterangan-keterangan lain tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Talang Amba. Namun dalam pada itu, untuk tidak terjadi kecurangan-kecurangan dari segala pihak, maka baik Lembu Sabdata maupun Singa Narpada terpaksa aku batasi kebebasan gerak kalian”

Pengeran Singa Narpada menggeram. Tetapi Sri Baginda sudah mengucapkan satu keputusan, sehingga sulit untuk dapat dirubah lagi. Betapa rasa keadilan Pangeran Singa Narpada tersinggung, namun ia tidak dapat membantahnya. Karena itu, maka keduanya kemudian telah ditempatkan dalam bilik yang khusus dan terpisah. Sementara itu, Sri Baginda masih berusaha untuk mendapatkan beberapa keterangan yang akan dapat menjernihkan keadaan.

“Sri Baginda” berkata salah seorang Pangeran yang mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, “Sri Baginda telah menunjuk Pangeran Singa Narpada. Namun agaknya Baginda tidak mempercayainya sepenuhnya. Bukankah sejak semula kita sudah mengetahui kekerasan hati Pangeran Singa Narpada”

Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita akan melihat, apakah yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu benar. Ada banyak sumber yang akan dapat memberikan keterangan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Pangeran Lembu Sabdata bahwa orang-orang Talang Amba tentu akan tunduk kepada semua pesan Pangeran Singa Narpada”

Pangeran itu tidak menjawab. Tatapi ia tetap tidak mengerti, kenapa Sri Baginda bersikap berat sebelah, sehingga Pangeran Singa Narpada pun harus ditahan pula.

Dalam pada itu, berita tentang penahanan Pangeran Singa Narpada itu pun segera tersebar. Tuduhan yang dilontarkan kepadanya pun telah banyak diketahui oleh orang-orang Kediri. Sebagian dari mereka menganggap bahwa sikap Sri Baginda adalah sikap yang paling adil. Mereka menghubungkan langkah-langkah yang keras Pangeran. Singa Narpada telah menyebabkan Pangeran Kuda Permati meninggalkan Kediri.

Pangeran Kuda Permati yang tidak melakukan kesalahan itu, merasa perlu untuk menghindarkan diri dari benturan kekuatan dengan saudara sendiri, karena Pangeran Singa Narpada memaksa Pangeran Lembu Sabdata untuk menyebut nama itu sebagai salah satu, bahkan sebagai penggerak dalam usaha melawan Singasari.

Berita itu bukan saja tersebar di Kediri. Tetapi akhirnya orang-orang Talang Amba pun mendengarnya juga. Para perwira yang ikut bersama Pangeran Singa Narpada ke Talang Amba merasa heran, bahwa Sri Baginda demikian saja percaya kepada Pangeran Lembu Sabdata, seakan-akan Pangeran Singa Narpada telah memfitnahnya.

Tetapi seperti beberapa pihak lain tidak dapat dengan serta merta berusaha merubah keadaan itu. Mereka harus berhati-hati, sehingga pada satu saat, mereka mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk membuktikan bahwa keputusan Sri Baginda itu salah.

Yang tidak kalah terkejutnya mendengar berita itu adalah Pangeran Kuda Permati sendiri. Seorang kepercayaannya yang ditinggalkannya di Kediri telah memberikan laporan sepenuhnya apa yang telah terjadi.

“Jadi adimas Pangeran Lembu Sabdata berhasil mengingkari keterangannya, bahwa aku telah terlibat” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Ya Pangeran” jawab kepercayaannya, “sekarang Pangeran Singa Narpada justru telah ditahan, sedangkan Pangeran Lembu Sabdata pun untuk sementara masih juga ditahan, karena Pangeran itu memang sudah mengaku mengadakan perlawanan terhadap Singasari Tetapi atas kehendak sendiri dan sama sekali tidak menyangkut nama Pangeran Kuda Permati”

“Apa katanya tentang aku?” bertanya Pangeran Kuda Permati.

“Jika di Talang Amba Pangeran Lembu Sabdata menyebut nama Pangeran, itu adalah justru atas kehendak Pangeran Singa Narpada yang memaksa Pangeran Lembu Sabdata untuk mengakui kehadiran Pangeran Kuda Permati di lingkungannya”

Pangeran Kuda Permati tertawa. Katanya, “Aku tidak menyangka bahwa adimas Lembu Sabdata ternyata memiliki kecerdasan dan kesetiaan yang tinggi. Jika demikian, maka aku harus menghilangkan segala keragu-raguan atas kesetiaannya. Untunglah bahwa Pangeran itu masih tetap hidup. Ia akan dapat menjadi tenaganya yang baik sekali diantara kita semuanya”

“Ya Pangeran” jawab kepercayaannya, “pada suatu saat, kita akan mendapat kesempatan untuk bertemu lagi”

Pangeran Kuda Permati mengangguk-angguk. Ia merasa beruntung, bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih tetap berusaha melindungi namanya, meskipun ia sudah pernah berusaha untuk membunuhnya.

Dalam pada itu, maka pesannya kepada orang-orangnya, “Ikuti segala perkembangan keadaan adimas Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ada sesuatu yang perlu kita perhatikan”

Pesan itu pun dilakukan oleh para pengikutnya dengan saksama. Terutama mereka yang ada di kota Kediri. Sementara Pangeran Kuda Permati berpengharapan atas kemungkinan yang menguntungkan baginya, maka orang-orang Talang Amba menjadi heran mendengar keputusan Sri Baginda di Kediri, bahwa Pangeran Singa Narpada telah ditahan dan dipersalahkan telah melakukan kekerasan terhadap Pangeran Lembu Sabdata yang dalam keadaan tidak berdaya.

“Aneh” berkata Ki Sanggarana yang mendengar berita itu dalam suatu pertemuan dengan orang-orang Singasari.

"Apakah para perwira yang menyertai Pangeran Singa Narpada tidak ada yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi?” bertanya Senopati Singasari yang ada di Talang Amba.

“Menurut keterangan yang kami dengar” sahut Ki Sanggarana, “semua pernyataan tentang keadaan yang sebenarnya telah dianggap sebagai satu pemalsuan karena perintah Pangeran Singa Narpada. Seakan-akan semua orang yang menyertainya, baik pada perjalanannya yang pertama maupun yang kedua, telah mendapat tekanan dari Pangeran itu untuk mengatakan yang tidak sebenarnya”

Senopati Singasari itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi yang sebenarnya itulah yang dianggap tidak sebenarnya. Dan Raja di Kediri itu percaya begitu saja kepada Lembu Sabdata”

“Pangeran Lembu Sabdata adalah adiknya yang paling dikasihinya” berkata Ki Sendawa yang pernah mendengar juga tentang persoalan yang sedang berkembang di Kediri.

Namun dalam pada itu, para Senopati Singasari mempunyai penilaian tersendiri. Seorang Senopati berdesis, “apakah ini satu pertanda sikap Kediri terhadap Singasari?”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi seorang Senopati yang sudah agak lebih tua dari kawan-kawannya berkata, “Kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan apapun juga. Sebagai orang luar, kita akan dapat mengamati lebih jelas tentang peristiwa yang terjadi di Kediri itu."

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mendengar peristiwa itu pun berkata, “kami ingin pergi ke Kediri”

Ki Waruju mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Kali ini kalian jangan bermain-main”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Ki Waruju dengan tajamnya. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti menjawab, “kami tidak sedang bermain-main paman, Kami tahu, bahwa persoalan ini akan menyangkut hubungan antara Kediri dan Singasari. Namun karena kami hanyalah orang-orang kebanyakan, maka mungkin yang akan dapat kami capai pun tidak lebih dari keterangan-keterangan yang barangkali berguna”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya, “Asal saja kalian menyadari, apa yang sedang kalian lakukan itu. Di Kediri kalian akan berhadapan dengan orang-orang Pangeran Kuda Permati yang tentu masih tetap berkeliaran”

“Kami tidak akan berbuat apa-apa” jawab Mahisa Murti, “kami hanya akan mendengarkan apa yang terjadi. Karena itu, maka kami berharap untuk tidak akan berhadapan dengan orang-orang Pangeran Kuda Permati. Namun apabila hal itu harus terjadi apa boleh buat”

“Baiklah” berkata salah seorang Senopati Singasari yang berada di Talang Amba, “Kau dapat membawa satu pertanda dari aku. Kemudian kau akan dapat berhubungan dengan orang-orang Singasari yang ada di Kediri. Sebab selain orang-orang yang memang ditempatkan di Kediri dan orang-orang yang dengan terbuka melakukan tugas-tugasnya, Singasari pun menempatkan beberapa orang pengawas di Kediri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, “Kami pun ingin tahu, apakah dua orang perwira Singasari yang menyertai Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak dapat memberikan keterangan apapun juga tentang tingkah laku Pangeran Lembu Sabdata itu?”

“Persoalannya tentu akan sama saja. Kedua perwira dari Singasari itu dianggap sudah membicarakan rencana untuk menjebak Pangeran Lembu Sabdata” sahut Senopati dari Singasari itu.

“Tetapi bukankah kesalahan Pangeran Lembu Sabdata telah terbukti dan diakuinya” sahut Mahisa Pukat.

“Ya. Tetapi ia tidak mau menyangkut nama lain” jawab Senopati dari Singasari itu.

Mahisa Pukat pun hanya mengangguk-angguk, sementara itu Senopati dari Singasari itu pun berkata, “Aku juga mempunyai wewenang dalam tugas-tugas sandi. Nah, kalian dapat memakai cincin pertanda khusus dari mereka yang mendapat tugas sandi. Ingat, hanya orang-orang yang terpercaya sajalah yang diperkenankan memakai pertanda itu. Dan kalian telah menempatkan diri dalam lingkungan orang-orang yang terpercaya itu. Aku berani menganggap kalian demikian setelah kami tahu apa yang kalian lakukan disini”

“Terima kasih” sahut keduanya hampir berbareng.

“Nah, kalian di Kediri akan dapat menghubungi beberapa orang dalam tugas yang sama” berkata Senopati itu.

“Namun kalian harus memberikan laporan tentang kerja kalian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun justru dengan demikian, mereka telah terlibat ke dalam satu tugas yang penting, bukan saja sebagai satu petualangan, tetapi satu tugas yang harus dipertanggung-jawabkan.

Sementara itu, maka Senopati itu pun berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan pertanda itu, maka nama kalian akan tercatat dalam urutan petugas-petugas sandi. Dengan demikian kalian adalah dua diantara beberapa petugas sandi yang secara suka rela mengabdikan dirinya pada kewajiban yang berat itu. Selain daripada itu, segalanya berani aku lakukan tanpa berhubungan lebih dahulu dengan Senopati yang lebih tinggi di Singasari, karena kalian adalah adik-adik Mahisa Bungalan. Dalam hal ini dengan satu pengertian, bahwa demikian aku kembali ke Singasari atau salah seorang diantara kami yang berada di dalam lingkungan petugas-petugas sandi, maka kami akan memberitahukan hal ini kepada Mahisa Bungalan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara. itu Ki Waruju pun berdesis, “Kalian telah membebani pundak kalian sendiri dengan kewajiban yang sangat berat, yang mungkin kesulitan-kesulitannya tidak pernah kalian bayangkan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mulai menyadari atas tugas yang mereka terima itu. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun menjawab, “Sudah menjadi kewajiban kami untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat kami lakukan bagi kepentingan Singasari. Mungkin kami tidak berhasil sebagaimana kami harapkan. Namun dengan demikian, maka kami telah meletakkan satu tekad untuk berbuat baik bagi Singasari”

“Baiklah” berkata Ki Waruju, “tetapi kalian harus menyadari, bahwa tugas kalian adalah tugas rahasia. Pertanda yang kalian kenakan adalah pertanda tugas rahasia itu, sehingga bukan justru kalian pergunakan untuk satu pameran dan kebanggaan, sehingga banyak orang yang mengetahuinya. Dengan demikian maka kerahasiaan kalian tolak akan ada artinya lagi”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Terdengar Mahisa Pukat menyahut, “kami mengerti paman”

“Baiklah. Selanjutnya, dengarlah segala pesan baik-baik” berkata Ki Waruju kemudian.

Dalam pada itu, maka Senopati dari Singasari yang juga termasuk dalam jajaran petugas sandi itu pun mulai memberikan beberapa keterangan. Namun ternyata ia masih belum mengatakan seluruhnya. Masih ada yang memang merupakan satu rahasia yang hanya akan dikatakannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saja meskipun hal itu tidak dinyatakannya dengan berterus terang.

Karena itulah, maka dalam kesempatan yang terpisah, tanpa hadirnya orang lain, Senopati itu telah memberikan beberapa petunjuk tentang petugas-petugas sandi yang dapat dihubunginya di Kediri.

Dengan sungguh-sungguh Senopati itu berkata, “Sekali lagi aku beritahukan kepada kalian, bahwa yang akan kalian lakukan adalah tugas rahasia. Tidak banyak orang yang mengetahui. Bahkan prajurit-prajurit Singasari yang ada di-sini pun tidak mengetahuinya pula. Nama-nama itu adalah nama-nama yang tabu bagi siapapun juga. Ingat, kalian mungkin akan mengalami satu keadaan yang sangat pahit. Tetapi jangan ada nama yang terlepas dari mulutmu. Taruhan dari tugas kalian bukan saja maut. Tetapi puncak dari kesakitan mungkin akan kalian alami”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka menyadari sepenuhnya pesan dari Senopati itu. Jika mereka tertangkap karena tugas mereka, maka mereka tidak boleh menyebut nama apapun juga, meskipun mereka diperas dengan segala macam cara. Namun dalam pada itu, ketika keduanya kembali ke dalam bilik mereka, sementara lampu-lampu minyak telah menyala di setiap ruangan, Ki Waruju pun telah datang kepada mereka.

“Aku tidak akan mengganggu tugas kalian” berkata Ki Waruju, “Karena itu, aku tidak akan mencoba untuk mengetahui apa yang telah diberitahukan kepadamu. Namun justru karena tugas kalian yang berat dan rumit itu, maka aku tidak akan sampai hati melepaskan kalian berdua berada di Kediri. Selagi kalian melakukan tugas itu, maka aku pun akan berada di Kediri”

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cerah. Dengan penuh minat Mahisa Murti pun bertanya, “Dimana paman akan tinggal?”

“Kalian dapat mencari aku diantara belantik-belantik lembu. Aku akan berada di pasar hewan pada hari-hari pasaran. Pada kesempatan itu kita akan dapat bertemu. Mungkin ada persoalan yang perlu aku bantu” berkata Ki Waruju. Lalu, “baru kemudian, setelah aku mendapat tempat yang jelas, aku akan dapat memberitahukan kepada kalian”

“Terima kasih paman” desis Mahisa Pukat, “dengan demikian, rasa-rasanya tugasku akan menjadi semakin ringan”

“Tetapi kalian harus berkata terus terang dengan Senopati yang memberikan kepercayaan kepada kalian, bahwa aku terlibat pula di Kediri”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memenuhi permintaan Ki Waruju. Keduanya telah melaporkan, bahwa Ki Waruju akan berada di Kediri juga.

“Tidak ada salahnya” jawab Senapati itu, “Aku juga mengenalnya selama ini berada di sini. Tetapi ingat, bahwa nama-nama para petugas sandi itu tidak boleh terucapkan oleh bibir kalian dengan siapapun kalian berbicara”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat menjawab, “kami akan berpegang kepada janji kami”

Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan dirinya pada satu tugas paling gawat. Ia akan berada di Kediri dalam hubungannya dengan kegiatan Pangeran Lembu Sabdata dan keadaan Pangeran Singa Narpada yang sulit.

Pada saat menjelang keberangkatannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada para pemimpin dari Kabuyutan Talang Amba dan para Senapati Singasari yang berada di Kabuyutan itu. Tidak banyak orang yang tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian. Namun bagi orang-orang Talang Amba, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah banyak memberikan arti bagi anak-anak mudanya dan justru bagi keselamatan Kabuyutan itu sendiri.

Karena itu, pada saat keberangkatannya beberapa orang pemimpin Kabuyutan Talang Amba, para Senapati prajurit Singasari dan anak-anak mudanya telah melepaskan dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka ingin menahan agar kedua anak muda itu tetap berada di Talang Amba.

“Pada saatnya kami akan kembali” berkata Mahisa Murti kepada anak-anak muda itu.

Dengan demikian, maka mulailah satu perjalanan yang akan menyongsong tugas yang berat telah dimulai. Namun dalam pada itu, meskipun tidak bersama-sama, tetapi kedua anak muda itu mengetahui, bahwa Ki Waruju akan berada di Kediri sebagaimana dikatakannya. Pada hari pasaran mereka akan dapat menemui Ki Waruju di pasar hewan.

Sebagaimana perjalanan yang pernah di tempuh, maka kedua anak muda itu lebih senang berjalan kaki, menyusuri lereng-lereng bukit yang hijau, yang nyaris menjadi padang berbatuan padas tanpa selembar daun pun. Jika pepohonan hutan di lereng gunung itu menjadi gundul, maka kehidupan akan menjadi gersang untuk waktu yang sangat panjang, bahkan akhirnya padukuhan-padukuhan di bawah lereng-lereng pegunungan akan berubah menjadi padang-padang perdu yang kering dan berwarna kuning.

“Satu cara yang sangat keji” berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Pukat.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Dalam keadaan yang terpaksa, mungkin mereka akan mempergunakan cara yang lebih buruk. Mereka akan dapat membakar hutan sehingga papohonan itu pun akan menjadi abu sebagaimana kehidupan di bawah lereng-lereng pegunungan itu di hari kemudian”

“Sikap Sri Baginda di Kediri memang merupakan teka-teki berkata Mahisa Murti, “Mudah-mudahan tidak ada niat apapun juga yang akan dapat memecahkan rangkuman kesatuan Singasari, termasuk Kediri”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi sikap orang-orang Kediri memang tidak sejalan diantara mereka. Beberapa orang bangsawan nampaknya berbeda sikap menghadapi pertumbuhan negerinya.

Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin segera berada di Kediri, tetapi mereka tidak terlalu tergesa-gesa. Mereka berjalan sebagaimana dua orang pengembara yang menyusuri jalan-jalan berbukit dan sekali- sekali menyusup di padukuhan-padukuhan tanpa menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Namun ada juga satu dua orang yang memperhatikannya sambil bergumam, “Apakah yang dilakukan oleh kedua anak muda itu? Apakah mereka lebih suka mengembara tanpa tujuan daripada membantu ayahnya bekerja di sawah?”

Tetapi jika ada juga orang yang bertanya kepada mereka di warung-warung, apakah yang mereka cari dalam pengembaraan, keduanya selalu menjawab, bahwa mereka sudah tidak berkeluarga dan hidup dalam pengembaraan.

“Apakah yang kalian makan dalam pengembaraan kalian?” bertanya seseorang, “apakah kalian mengharap belas kasihan orang di sepanjang perjalanan?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang memang, mengalami kesukaran untuk menjawab. Namun apabila pertanyaan itu mendesaknya, maka biasanya Mahisa Murti lah yang menjawab, “Apa boleh buat. Kami tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi kami tidak sepenuhnya mengharapkan belas kasihan. Tetapi kami juga bersedia untuk bekerja apa saja untuk mendapatkan sedikit bekal di perjalanan”

“Oh" orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang lebih baik begitu. Kalian masih muda. Jika kalian menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain, maka hidup kalian bukanlah satu kehidupan yang sebenarnya. Tetapi apakah kalian tidak ingin untuk menetap dan bekerja pada seseorang?”

Pertanyaan itu memang membingungkan. Namun nampaknya Mahisa Murti tidak ingin berpikir terlalu banyak, sehingga iapun kemudian menjawab, “Seandainya ada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan kami, maka kami tidak akan menolaknya”

“Tetapi apakah kemampuan kalian?” bertanya orang itu.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu. Mahisa Pukat lah yang menjawab, “kami menyesal bahwa kami tidak mempunyai ketrampilan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Barangkali kami dapat bekerja sekedar mempergunakan tenaga kami"

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berkata, “Agaknya kalian benar-benar anak muda yang kurang mempunyai arti dalam hidup kalian”

Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin sekali. Dan karena itulah maka kami sangat menyesal”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku memerlukan tenaga anak-anak muda yang memiliki ketrampilan. Aku mempunyai tanah yang cukup luas yang dapat dikerjakan sebagai tanah pertanian. Tetapi sudah tentu bukan tenaga-tenaga yang tidak berkemampuan apa-apa."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat saling berpandangan, tetapi mereka tidak menjawab. Sebenarnya ada juga keinginan di hati kedua orang anak muda itu untuk mencoba bekerja pada seseorang. Tetapi mereka sedang mengemban satu tugas, sehingga karena itu, maka niat mereka untuk menerima pekerjaan yang mungkin dapat dilakukannya itu pun mereka batalkan.

Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun meninggalkan tempat itu dengan satu pengenalan baru atas sikap orang-orang padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan. Namun sikap itu sebenarnya adalah sikap yang dapat dimengerti. Tetapi ternyata bahwa di padukuhan itu ada seseorang yang memiliki tanah melampaui kemampuan tenaga kerja yang ada padanya.

Apakah dengan demikian berarti ada orang lain yang hanya memiliki tanah terlalu sedikit, atau bahkan tidak sama sekali? Atau tanah di padukuhan itu memang masih terlalu luas dan terbuka, sehingga seseorang dapat mengusahakan tanah seberapa saja dikehendaki asal saja ia atau orang-orangnya dapat mengerjakannya.

Namun tiba-tiba Mahisa Murti berkata, hampir kepada dirinya sendiri, “Apakah tanahnya yang luas itu merupakan bagian dari penebangan hutan yang tidak terkendali atau justru dengan sengaja merampas hijaunya lereng-lereng perbukitan?”

Mahisa Pukat berpaling kepadanya. Sejenak ia merenung. Kemudian katanya, “Apakah mungkin demikian?”

“Barangkali kita hanya berprasangka. Tetapi baiklah kita melupakannya. Kita akan pergi ke satu tempat yang gawat dalam tugas kita. Mungkin jika kita masih berkesempatan akan dapat melihat arti dari sikap orang itu”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sadar, bahwa tugas yang disandangnya adalah tugas yang cukup berat. Sehingga karena itu, maka tidak sewajarnyalah bagi mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain sebelum tugas pokoknya dapat dilakukannya.

Dengan demikian maka keduanya telah melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan-jalan padukuhan menuju ke Kediri ke satu tempat yang kurang dikenalnya, yang akan menjadi ajang tugas tugasnya yang berat. Namun kedua anak muda itu telah meletakkan tekad mereka untuk melakukannya.

Dengan cermat kedua anak muda itu mengamati jalan yang harus ditempuhnya, sebagaimana petunjuk dari Senopati Singasari yang ada di Talang Amba. Mereka mengenali pertanda-pertanda yang ada pohon-pohon besar, tikungan dengan ciri-ciri alamnya dan bangunan-bangunan yang mudah dikenal.

“Kita berada di jalan yang agaknya benar” berkata Mahisa Pukat, “tetapi seperti pesan yang kita terima. Tidak mudah untuk memasuki lingkungan yang ditunjuk itu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kita harus sangat berhati-hati. Tetapi agaknya kita tidak akan dapat langsung memasuki daerah itu. Kita harus berhenti dan bermalam diluar lingkungan yang disebut sambil mengamati kemungkinan-kemungkinan yang paling baik”

“Ya” Mahisa Pukat mengangguk-angguk, “kita harus mengingat bahwa Pangeran Kuda Permati sudah tidak ada di dalam kota. Mungkin orang-orangnya pun telah memencar di segala sudut tlatah Kediri, termasuk daerah ini”

“Sebenarnya kita tidak tergesa-gesa memasuki daerah yang ditunjuk. Jika kita mendapat kesempatan yang lain dalam rangka tugas ini, kita akan dapat melakukannya” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi segala sesuatunya akan lebih baik, jika kita telah melaporkan diri atas kedatangan kita dan memasuki lingkungan mereka” sahut Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Aku sependapat. Tetapi malam ini kita akan bermalam di padang terbuka”

Namun keduanya memang sudah terbiasa bermalam di sembarang tempat. Karena itu, maka mereka pun sama sekali tidak merasa terganggu. Mereka mencari padang perdu yang agaknya tidak sering dijamah orang. Diatas rerumputan kering, keduanya akan tidur sebagaimana sering mereka lakukan. Namun mereka tidak agak tidur berbareng. Mereka akan tidur bergantian. Apalagi mereka berada di tempat yang tidak mereka kenal dengan baik, sehingga banyak kemungkinan dapat terjadi.

Demikianlah, mereka ternyata telah mendapatkan tempat yang baik. Semalaman keduanya sama sekali tidak terganggu oleh apapun. Menjelang pagi keduanya memang mendengar raung seekor binatang buas di hutan yang tidak terlalu jauh. Tetapi suara itu pun kemudian lenyap tidak terdengar lagi.

Pagi-pagi benar keduanya telah mencari air untuk mencuci muka. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke arah yang ditunjukkan oleh Senopati Singasari di Talang Amba. Tetapi mereka masih belum berani dengan serta merta memasuki daerah itu. Satu daerah yang terletak tidak terlalu jauh dari lingkungan Kota Raja Kediri. Namun satu lingkungan yang agaknya tidak begitu ramai.

Menilik kehidupan sehari-hari, lingkungan itu tidak ubahnya dengan lingkungan padukuhan pada umumnya. Tidak ada tanda-tanda yang menarik perhatian seandainya mereka belum mendapat petunjuk dari Senopati yang ada di Talang Amba. Namun mereka pun menyadari, bahwa yang mungkin berkeliaran bukan saja para pengamat dari Singasari, tetapi mungkin juga orang-orang Pangeran Kuda Permati, atau bahkan orang lain sama sekali dari kedua lingkungan itu. Karena tidak mustahil. Kediri sendiri ingin mengetahui apa yang bergejolak di dalam dirinya.

Dengan sikap pengembara, keduanya melanjutkan perjalanan, memasuki padukuhan-padukuhan. Keduanya berhenti pada sebuah simpang empat yang ramai, yang nampaknya menjadi pemberhentian barang-barang yang dibawa dari keempat jalur jalan dan ke arah keempat jalur jalan itu pula. Di sebelah simpang empat itu ternyata memang terdapat semacam pasar untuk saling menukarkan barang-barang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak Menilik bangunan yang ada dan kelengkapannya, maka tempat itu tentu pernah mengalami satu masa yang jauh lebih ramai dari saat-saat itu.

“Kenapa perdagangan disini nampaknya menjadi mundur?” bertanya Mahisa Murti hampir kepada diri sendiri.

Mahisa Pukat berpaling ke arahnya. Namun iapun tidak dapat memberikan jawaban, kecuali satu dugaan, “Barangkali perkembangan keadaan yang telah membuat pasar ini menjadi agak sepi”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kau lihat warung itu?”

“Marilah” ajak Mahisa Pukat.

Keduanya kemudian memasuki sebuah warung yang tidak terlalu besar. Satu diantara beberapa buah warung yang terdapat di tempat ini. Ketika mereka memasuki warung itu, di dalamnya sudah ada dua orang lain yang sedang sibuk. menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat.

“Tiba-tiba saja terasa perutku sangat lapar” desis Mahisa Pukat.

“Aku juga” sahut Mahisa Murti.

Keduanya pun kemudian memesan minuman hangat dan nasi yang masih hangat pula. Namun dalam pada itu, diluar dugaan, maka mereka pun telah dihadapkan pada satu keadaan yang sulit. Selagi keduanya sibuk dengan nasi hangat masing-masing, maka terdengar derap kaki kuda. Demikian tiba-tiba dua ekor kuda telah berada di hadapan warung itu.

Kedua orang yang sudah lebih dahulu berada di warung itu pun menjadi tegang. Salah seorang diantara keduanya itu pun berdesis, “Bagaimana mereka mengetahui bahwa aku ada disini”

Kawannya pun menjadi pucat. Katanya, “Tentu ada penjilat yang menunjukkannya. Agaknya kita tidak akan dapat menghindar lagi”

Yang lain tidak menjawab. Kedua orang penunggang kuda itu pun kemudian turun dan menjengukkan kepalanya ke dalam warung itu. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya tersenyum. Namun senyumnya rasa-rasanya menusuk sampai ke pusat jantung.

“Ternyata kalian benar-benar ada disini” berkata orang yang tersenyum itu.

Orang yang berada di dalam warung itu tidak menjawab. Tetapi wajah mereka nampak menjadi tegang.

“Marilah” berkata orang berkuda itu, “jangan membuat aku marah. Bukankah kuda yang aku kehendaki itu kau jual?”

“Tidak. Tidak aku jual” jawab orang itu dengan suara patah-patah

“Lalu, mana kuda itu?” desak orang berkuda itu.

“Kemenakanku menghendakinya” jawab orang itu.

“Kenapa kau berikan juga kepadanya, sementara kau mengerti bahwa aku menghendakinya” berkata orang berkuda itu.

“Kau tidak berani membayar seperti yang aku kehendaki” jawab orang itu.

Orang berkuda itu membelalakkan matanya. Akhirnya ia membentak, “Aku tidak perlu membayar. Aku dapat mengambil apa saja yang aku kehendaki. Apalagi seekor kuda. Bahkan nyawamu pun dapat aku ambil tanpa ada orang mencegahnya”

Orang yang berada di dalam warung itu menjadi gemetar.

“Sekarang tunjukkan, dimana rumah kemanakanmu. Aku akan mengambil kuda itu. Jika kemanakanmu mencegahnya, maka nyawanya sekaligus akan aku ambil” berkata orang berkuda itu, “dengar, kami memang sedang memerlukan kuda-kuda yang baik untuk perjuangan kami. Jika kau menolak memberikan kuda itu, maka berarti kau telah mengkhianati perjuangan kami”

Kedua orang itu tidak dapat menjawab. Tetapi mereka benar-benar merasa cemas akan nasib mereka. Namun akhirnya salah seorang dari keduanya berkata, “Kami tidak dapat mencegah kemanakanku mengambil kuda itu. Sebenarnya kami memang sangat memerlukannya. Kemanakanku telah banyak menolong aku dalam kesulitanku. Bahkan kemanakankulah yang seakan-akan selama ini membiayai hidupku”

“Kau dapat berkata apa saja” berkata orang berkuda itu, “tetapi aku telah mengatakan kepadamu, bahwa aku memerlukan kuda itu”

“Tetapi, apakah kau dapat mengambil kuda itu begitu saja?” desis orang yang berada di dalam warung itu, “Bukankah seharusnya kau membelinya”

“Jangan banyak bicara” geram orang itu, “katakan bahwa kuda itu sudah kau jual. Sekarang kau harus mengganti. Kau harus menyiapkan seekor kuda bagi kami. Aku memberi waktu kepadamu dalam sepekan. Jika kau tidak dapat menyediakan seekor kuda dalam waktu sepekan, maka rumahmu akan kubakar. Anak dan isterimu akan menderita, karena kau akan ikut sertakan terbakar di dalam rumahmu itu”

“Tetapi kau tidak berhak mengambil kudaku” desis orang itu.

Wajah orang berkuda itu menjadi merah. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian keduanya telah meninggalkan warung itu. Sementara kedua orang itu masih saja gemetar ketakutan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Mereka merasakan, bahwa satu ketidak-adilan tentu telah terjadi di daerah itu. Ada satu pihak yang sedang berusaha untuk memaksakan kekuasaannya atas pihak yang lemah. Bahkan agaknya mereka tidak ragu-ragu untuk mengambil jiwa korbannya pula.

Keadaan itu membuat keduanya menjadi bimbang. Rasa-rasanya ada dorongan untuk berbuat sesuatu melihat ketidak-adilan itu. Tetapi apakah dengan demikian, hal itu akan mengganggu tugas mereka?

Karena itu, maka keduanya tidak segera mengambil sikap. Keduanya menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Tetapi waktu yang diberikan oleh kedua orang berkuda itu cukup lama. Sepekan. Tetapi agaknya bagi kedua:, orang itu, waktu yang sepekan itu terlalu pendek untuk dapat menyediakan seekor kuda.

Dalam pada itu, kedua orang itu pun agaknya dengan tergesa-gesa telah menyelesaikan minuman dan makanan mereka. Setelah membayarnya, maka keduanya pun telah minta diri meninggalkan warung itu.

Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian bertanya kepada pemilik warung itu tentang kedua orang yang sedang berada di warung itu dan tentang kedua orang berkuda itu.

“Siapakah kedua orang berkuda itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Kami tidak begitu jelas” jawab pemilik warung itu, “tetapi rasa-rasanya mereka belum terlalu lama berada disini. Mereka adalah termasuk dalam sekelompok orang yang tinggal di sekitar daerah ini. Tetapi kami tidak tahu secara pasti”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya, “Siapakah dua orang yang dipaksa untuk menyerahkan kudanya itu?”

“Penghuni padukuhan sebelah” jawab pemilik warung itu. Lalu, “Orang-orang yang belum banyak kami kenal telah berkeliaran di daerah ini. Yang menarik perhatian mereka terutama adalah kuda. Masih belum ada korban lain. Entah kemudian jika kuda yang ada di padukuhan itu telah habis”

“Bagaimana dengan para pengawal dari Kediri? Apakah mereka tidak berbuat sesuatu terhadap sikap yang demikian?” bertanya Mahisa Murti.

“Daerah ini adalah daerah wewenang Panji Sampana Murti." jawab pemilik warung itu. ”ada beberapa Kabuyutan yang termasuk daerah kuasanya. Seharusnya Panji Sampana Murti lah yang mengambil sikap. Baru kemudian, jika ia tidak berhasil mengatasi kesulitan itu, barulah pengawal dari Kediri akan turun. Namun dengan demikian, penilaian Sri Baginda terhadap Panji Sampana Murti menjadi turun, karena ia tidak mampu mengatasi kesulitan di daerah yang dipercayakan kepadanya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, “Apakah Panji Sampana Murti itu Akuwu di daerah ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Apakah kalian bukan orang daerah ini?” pemilik warung itu ganti bertanya.

“Kami adalah pengembara” jawab Mahisa Murti.

“Daerah di sekeliling Kota Raja ini dipimpin oleh seorang Senopati untuk setiap kiblat. Berbeda dengan daerah yang berada jauh dari Kota Raja, yang untuk satu lingkungan tertentu dipimpin oleh seorang Akuwu. Panji Sampana Murti adalah seorang Senopati yang berkuasa di bagian Barat, Selatan dan Timur, ada lagi pemimpin-pemimpin yang setingkat dengan Panji Sampana Murti” pemilik warung itu menjelaskan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ada semacam persoalan yang tumbuh di hati mereka. Senopati Singasari di Talang Amba tidak menyebutkan kekuasaan yang demikian. Namun Senopati itu memang menyebutkan daerah-daerah perbatasan.

“Agaknya kekuasaan semacam inilah yang disebut daerah perbatasan” berkata keduanya di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun bertanya, “Jika terjadi hal seperti yang menimpa kedua orang itu, apakah yang akan dilakukan oleh Panji Sampana Murti?”

Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku adalah penjual makanan dan minuman disini. Aku tidak dapat menjawab pertanyaanmu anak muda. Selain aku tidak berani, aku pun tidak tahu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia masih mencoba untuk mendesak, “Jangan kau tebak apa yang akan terjadi atau kemungkinan-kemungkinan yang dapat keliru. Tetapi apa yang sudah terjadi. Bukankah yang sudah terjadi itu bukan rahasia lagi? Bukankah hal itu sudah diketahui banyak orang?”

Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian, “Belum pernah terjadi sesuatu”

“Maksudmu pengambilan kuda milik seseorang baru terjadi kali ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tidak. Bukan demikian” jawab pemilik warung itu.

“Oh” Mahisa Murti mengangguk-angguk, "aku mengerti sekarang. Hal yang serupa sudah pernah terjadi. Tetapi tidak ada tindakan apa-apa yang pernah dilakukan oleh Panji Sampana Murti. Bukankah begitu?”

Orang itu menjadi tegang. Kemudian katanya, “Aku tidak mengatakan demikian. Kalian sendirilah yang mengambil kesimpulan itu. Terserah saja kepada kalian”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi jawaban itu justru telah mengiakannya. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesaknya lagi. Keduanya menyadari, bahwa pemilik warung itu tentu ingin mengalami kesulitan dengan keterangan-keterangan yang diberikannya kepada orang yang tidak begitu dikenalnya.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri setelah mereka membayar makanan dan minuman yang telah mereka makan dan minum di dalam jurang itu. Namun demikian ketika keduanya telah berada dipintal, Mahisa Murti masih bertanya, “Siapakah orang yang memiliki kuda itu he?”

“Sudah aku katakan, orang padukuhan sebelah” jawab pemilik warung itu.

“Namanya?” desak Mahisa Pukat.

“Untuk apa kau tahu namanya?” bertanya pemilik warung itu.

“Tidak untuk apa-apa. Hanya sekedar mengetahui saja” jawab Mahisa Pukat.

“Agaknya kau tidak bersangkut paut. Mungkin hari ini kau sudah meninggalkan tempat ini," berkata pemilik warung itu.

“Namun aku akan tetap mengingatnya bahwa hal serupa ini pernah terjadi disini atas seseorang. Nah, barangkali aku memang ingin mengetahui namanya? Bukankah nama orang itu bukannya merupakan satu rahasia? Bukankah setiap orang di daerah ini sudah mengenal namanya?” Mahisa Pukat masih mendesak.

Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Yang seorang bernama Kudatu”

“Kudatu” ulang Mahisa Pukat.

“Ya. Ialah yang memiliki kuda itu. Nah, aku sudah cukup memberikan keterangan” berkata pemilik warung itu.

“Terima kasih. Aku akan meneruskan pengembaraanku. Namun jika aku masih betah tinggal disini, aku kira aku masih akan singgah di warung ini. Masakan Ki Sanak sesuai bagiku” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Namun pemilik warung itu tiba-tiba saja berkata, “Warung ku adalah warung yang terkecil yang ada di deretan ini. Aku belum lama membuka warung ku ini. Syukurlah jika seleramu sesuai. Aku masih mengharapkan kau singgah”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertegun sejenak. Baru saja mereka mulai melangkah. Tetapi mereka telah berhenti lagi. “Jadi Ki Sanak belum lama membuka warung ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Belum. Lihatlah dengan warung-warung yang ada di sebelah. Mereka sudah mempunyai jauh lebih banyak langganan dari warung ku ini” jawab orang itu.

“Baiklah. Aku akan menjadi langganan barumu. Tetapi hanya untuk satu atau dua hari. Setelah itu, maka aku akan melanjutkan pengembaraanku” berkata Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Tetapi berbeda dengan pembeli-pembeli yang lain, maka pemilik warung itu telah keluar dari pintu warungnya ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah meninggalkannya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang kemudian menyusuri jalan yang masih agak ramai itu, memang melihat beberapa warung yang lain yang lebih besar dan lebih banyak dikunjungi orang meskipun jumlahnya tidak lebih dari tiga dan yang terpisah agak jauh ada sebuah warung yang agaknya terbesar diantara warung-warung yang ada.

“Daerah perbatasan yang menarik” desis Mahisa Pukat. Lalu, “aku menghubungkan kedua orang berkata itu dengan menyingkirkan Pangeran Kuda Permati dan pasukannya dari Kota Raja”

“Mungkin” jawab Mahisa Murti. Sehingga dengan demikian Panji Sempana Murti tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil langkah-langkah tegas karena ia menghadapi satu kekuatan yang cukup besar”

“Tetapi tentu tidak seperti yang dikatakan oleh pemilik warung itu, bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa dalam hubungannya dengan Kediri” berkata Mahisa Pukat, “Jika ia dapat memberikan laporan yang sewajarnya, maka Kediri tentu akan mengambil langkah-langkah yang paling pantas”

Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita sedang menghadapi satu daerah yang bergolak. Kita tidak mengetahui apa yang terkandung di dalam perut Kediri sekarang ini. Sikap Baginda atas Pangeran Singa Narpada sudah menimbulkan satu persoalan tersendiri. Kepercayaan Sri Baginda yang tiba-tiba saja berbalik dari Pangeran Singa Narpada kepada Pangeran Lembu Sabdata. Dan masih banyak lagi persoalan yang mungkin sedang bergerak di Kediri”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kita memang sedang menghadapi satu pergolakan yang sulit untuk ditebak”

Untuk beberapa saat kemudian, kedua anak muda itu saling berdiam diri. Mereka meninggalkan tempat yang menjadi titik pertemuan beberapa orang pedagang itu, dan kemudian mengamati ciri-ciri yang pernah diberitahukan oleh Senapati dari Singasari yang berada di Talang Amba, untuk menempuh perjalanan menuju kepada seseorang yang akan dapat bekerja bersamanya. Tetapi rasa-rasanya keduanya masih belum bisa ingin meninggalkan tempat yang menarik itu. Mereka sudah berjanji dengan pemilik warung untuk datang kembali.

Rasa-rasanya ada sesuatu yang menarik pada tukang warung itu. Meskipun keduanya tidak tahu, apakah yang menarik itu. Mungkin keramahannya. Mungkin usahanya menarik langganan baru. Atau mungkin keterangan-keterangan yang lebih terperinci tentang peristiwa yang telah terjadi di warung itu yang menyangkut hadirnya kekuasaan yang aneh di daerah itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan untuk tetap berada di tempat itu barang satu dua hari.

Namun demikian, untuk kepentingan langkah-langkah berikutnya, mereka mulai mengenali arah yang harus mereka tempuh pada sisa perjalanan mereka. Meskipun sudah tidak terlalu jauh, tetapi justru merupakan bagian yang paling rumit dari seluruh perjalanannya.

Dalam beberapa puluh langkah mereka mulai mengenali salah satu pertanda yang diberikan oleh Senopati itu. Sebuah gumuk kecil berbatu padas dengan sebatang pohon besar di sebelahnya.

“Itulah pohon preh itu” berkata Mahisa Murti.

“Ya. Pada saatnya kita harus menempuh perjalanan ini. Kita menuju ke arah yang benar. Beberapa ratus langkah lagi tentu akan terdapat sebatang sungai kecil yang airnya berwarna keputih-putihan. Agaknya air sungai itu mengandung kapur yang larut ke dalam airnya” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tugas kita sekarang adalah mencari tempat untuk bermalam nanti”

“He?” Mahisa Pukat menjadi heran, “Bukankah hari masih terlalu pagi untuk mencari tempat bermalam?”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Lalu, apakah yang akan kita lakukan sekarang? Jika kita berkeliaran, maka kita tentu akan menarik perhatian. Kita akan mencari tempat bersembunyi. Nanti sore kita akan pergi ke warung itu jika masih buka untuk makan. Kita kemudian kembali bersembunyi”

“Apakah dengan demikian kita akan dapat melihat sesuatu di tempat ini?” bertanya Mahisa Pukat.

“Tentu. Kita akan dapat melihat lewat penglihatan pemilik warung itu” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun akhirnya iapun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Benar juga. Jika kita hilir mudik disini, maka kita akan dapat dicurigai. Apalagi jika kita bertemu dengan orang-orang yang sengaja mengamati keadaan darimana pun juga asalnya”

“Kita akan berjalan sampai ke sungai itu lebih dahulu” berkata Mahisa Murti, “mungkin kita akan menemukan belik yang airnya tidak berwarna keputih-putihan karena larutan kapur. Baru kemudian kita akan beristirahat untuk waktu yang terlalu lama”

“Kita dapat tidur sepuas-puasnya” berkata Mahisa Pukat, “mungkin malam nanti kita akan tidak mendapat kesempatan untuk tidur sama sekali”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu mereka melanjutkan perjalanan. Sesuai dengan petunjuk yang mereka dapat dari Senopati di Talang Amba, maka mereka akan sampai ke sebatang sungai yang tidak begitu besar alirannya. Sebenarnyalah, mereka, telah berjalan menuju sebatang sungai seperti yang mereka sebutkan. Jalan pun mulai menurun berbatu-batu.

“Ternyata Senapati di Talang Amba itu cukup teliti” berkata Mahisa Murti, “ia ingat ciri-ciri yang paling kecil sekalipun”

“Ia termasuk salah seorang Senopati dalam tugas sandi” sahut Mahisa Pukat, “ia adalah justru orang terlatih. Agak berbeda dengan kita. Kita adalah benar-benar petualang yang agak ceroboh menentukan pilihan atas pekerjaan yang akan kita lakukan”

“Justru dengan demikian kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga” berkata Mahisa Murti.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja pembicaraan mereka terhenti. Dengan hati yang berdebar-debar mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri di-tengah-tengah jalan yang semakin menurun tepat di balik sebuah tikungan. Seakan-akan orang itu memang sengaja menunggu kedua orang anak muda itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa berpaling ke arah Mahisa Pukat ia berkata, “Ingat. Kita adalah pengembara. Kita bukan petugas sandi yang memiliki kemampuan untuk berkelahi”

“Jika orang itu benar-benar mengancam jiwa kita?” bertanya Mahisa Pukat.

“Apa boleh buat. Kita akan menyelematkan diri. Namun kita harus semakin berhati-hati atas tugas-tugas kita. Bahkan mungkin kita tidak akan dapat kembali lagi ke warung itu. Kita justru harus segera sampai ke tujuan jika terjadi satu peristiwa yang memaksa kita berbuat demikian”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia meraba pisau belatinya yang tersembunyi di bawah kain panjangnya. Dalam keadaan memaksa, mungkin sekali ia memerlukan senjata itu. Seakan-akan tidak ada perasaan apapun juga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan terus. Tetapi orang yang berdiri di tengah jalan itu memandangi keduanya dengan sorot mata yang tajam.

Tetap akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun harus berhenti. Jalan yang mereka lalui adalah jalan yang tidak terlalu luas. Sementara itu, di sebelah menyebelah adalah tebing yang membatasi jalan yang sudah menurun ke sungai itu.

Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, “Ki Sanak. Apakah aku boleh lewat?”

Orang yang berdiri di tengah jalan itu justru mengeram. Dengan suara datar la bertanya, “Kalian akan kemana anak-anak muda?”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi temangu-mangu. Namun Mahisa Murti pun kemudian menjawab, “kami akan pergi ke sungai itu Ki Sanak. Kami akan mandi dan mencuci."

“Apakah kalian bukan orang dari daerah ini?” bertanya orang bertubuh tinggi kekar itu.

“Kami adalah pengembara” jawab Mahisa Pukat, “kami tidak mempunyai tempat tinggal,“

“Jadi kalian selalu berkeliaran saja di mana-mana?” bertanya orang itu pula.

“Kami menjelajahi padukuhan demi padukuhan. Selain untuk melupakan kehidupan kami yang pahit, kami ingin lebih banyak mengenali isi kehidupan ini" jawab Mahisa Murti.

“Jika demikian, kalian termasuk orang-orang yang hanya memenuhi jagad ini saja tanpa mempunyai arti apa-apa. Kalian makan dan minum tanpa memberikan jasa apapun juga bagi kehidupan” tiba-tiba orang itu menjadi garang.

“Aku tidak mengerti maksud Ki Sanak” desis Mahisa Pukat.

“Kalian memang dungu” geram orang itu, “dengar. Kalian adalah benalu yang harus di lenyapkan. Kalian hanya dapat makan dan minum. Kalian hanya dapat mengotori lingkunganmu dan sama sekali melakukan satu kerja yang berarti”

“Bukan maksud kami” jawab Mahisa Pukat, “kami pun telah melakukan kerja yang dapat kami kerjakan. Dipadukuhan-padukuhan yang kami lewati, kadang-kadang kami pun telah melakukan kerja yang berarti”

“Apa? Apa yang pernah kau lakukan?” bertanya orang itu.

“Kami pernah tinggal untuk beberapa lamanya pada seseorang yang tengah membuka tanah persawahan. Kami ikut menebangi pepohonan dan ikut mengerjakan tanahnya sehingga terjadilah kotak-kotak sawah yang kemudian dapat ditanami. Tetapi tenaga yang kemudian dibutuhkan tidak sebanyak saat hutan sedang ditebang, sehingga orang-orang yang bekerja di tempat itu, terbatas pada orang-orang dari padukuhan itu sendiri” jawab Mahisa Pukat.

“Omong-omong,“ bentuk orang itu, “Kalian tentu terhitung orang-orang yang malas, yang tidak diperlukan lagi sehingga kalian telah diusirnya”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata dengan nada rendah, “Mungkin memang nasib kami terlalu buruk. Sebenarnya kami pun sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga hidup kami bukanlah semata-mata hidup yang sia-sia”

“Tidak ada artinya lagi bagiku” berkata orang itu, “Aku termasuk salah seorang dari sekelompok orang yang telah berhimpun dan menentukan atau sikap. Kami akan menghapuskan benalu-benalu macam kalian. Aku sudah menyingkirkan lebih dari sembilan orang. Jika hal semacam ini aku lakukan terus-menerus bersama dengan kawan-kawan sekelompok yang mempunyai keinginan yang sama, maka dalam waktu beberapa tahun, orang-orang seperti kau ini akan habis. Dunia akan bersih dari benalu-benalu yang hanya dapat menghisap tanpa memberikan imbalan apapun juga bagi lingkungannya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Sekilas mereka merasa . telah berhadapan dengan seseorang dalam hubungan yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan persoalan-persoalan yang timbul di Kediri. Tidak ada hubungannya dengan sikap Pangeran Kuda Permati atau sikap Pangeran Singa Narpada.

Tetapi keduanya pun tidak langsung mempercayai sikap itu sebagai sikap yang wajar. Mungkin ada alasan tertentu yang tersembunyi dibalik sikapnya yang nampaknya tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkembangan keadaan di Kediri. Meskipun demikian untuk sementara mereka masih tetap bersikap sebagai dua orang pengembara yang sederhana dan tidak memiliki bekal apapun terutama kemampuan oleh kanuragan. Karena itu, ketika orang itu kemudian melangkah maju. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bergeser mundur.

“Jangan menyesal” geram orang itu, “Meskipun kalian masih muda, tetapi kalian tidak berguna sama sekali bagi kehidupan, sehingga karena itu, maka sebaiknya kalian aku lenyapkan saja. Aku menunggu kehadiran anak-anak muda yang dapat memberikan arti dalam hidupnya dan berguna bagi sesamanya”

“Jangan” desis Mahisa Murti, “Bukanlah aku tidak mengganggumu Ki Sanak. Aku tidak pernah mengambil milik orang lain. Aku tidak pernah memaksa orang lain untuk memberikan apapun juga kepadaku. Sementara kami berdua pun selalu berusaha untuk dapat berbuat apa saja untuk mendapatkan upah yang dapat kami makan dari hari ke hari. Jika kami tidak mempunyai persediaan lagi, maka kami berusaha untuk menangkap binatang buruan untuk mempertahankan hidup kami”

“Persetan dengan igauanmu” geram orang itu, “sembilan orang yang terdahulu, atau bahkan lebih, aku bantai tanpa kesulitan. Seorang kawanku bahkan telah membunuh lebih dari dua puluh orang pengembara dan peminta-minta. Dengan demikian maka dalam waktu yang tidak terlalu lama Kediri akan bersih dari benalu-benalu”

“Jangan Ki Sanak. Aku mohon,“ Mahisa Murti hampir berteriak.

“Aku tahu. Kau berusaha untuk mendapat bantuan orang lain dengan berteriak-teriak begitu. Tetapi tidak ada gunanya anak muda. Seandainya ada orang yang mendengar dan datang untuk menolongmu, mereka akan segera meninggalkan tempat ini jika mereka melihat bahwa kau telah menjadi urusanku” berkata orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Sementara itu orang bertubuh tinggi besar itu telah melangkah maju lagi, sehingga kedua anak itu terpaksa bergeser surut.

“Aku mohon jangan” minta Mahisa Murti, “kami berjanji untuk tidak menjadi benalu yang hanya dapat mengotori tanah ini. Aku akan bekerja. Dan kami berdua memang sedang mencari pekerjaan itu”

“Tidak ada gunanya anak-anak malas” jawab orang itu, “Kalian terpaksa aku singkirkan, jika aku tidak melakukannya, maka aku telah berkhianat terhadap sekelompok kawan-kawanku yang telah menentukan tekad bersama."

“Ki Sanak” berkata Mahisa Pukat, “Jika ada sekelompok orang yang berpendirian sama dengan Ki Sanak, aku mohon untuk dapat menghadap mereka bersama-sama. Biarlah mereka menilai, apakah orang-orang seperti kami berdua ini termasuk sampah yang harus dibuang, atau justru tenaga yang dapat dimanfaatkan oleh lingkungannya, karena aku tidak segan untuk bekerja apa saja asalkan kami berdua mampu melakukannya”

“Itulah persoalannya” jawab orang itu, “Kau akan melakukan pekerjaan yang kau mampu, tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa” wajah orang itu menjadi semakin garang. Lalu, “Karena itu, menyerah sajalah. Aku akan menghabisi nyawamu. Jika kau berusaha melarikan diri, apalagi melawan, maka kau tentu akan menyesal karena cara matimu akan sangat menyakitimu”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja bergeser surut. Dengan nada ketakutan Mahisa Murti Berkata, “Tetapi kami masih ingin hidup. Kami masih ingin melihat matahari terbit. Kami masih ingin melihat hijaunya lembah dan lereng pegunungan”

“Persetan. Kalian harus mati” orang itu meloncat mendekat namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berlari menjauh. Ketika orang itu berusaha mengejarnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berlari semakin cepat dan semakin jauh.

“Orang itu mengejar kita” desis Mahisa Murti.

Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi kedua anak muda itu berlari semakin cepat. “Orang gila” geram Mahisa Pukat, “hampir saja aku kehilangan kesabaran. Aku ingin merendamnya ke dalam air yang berwarna kapur itu sampai ia menyesali perbuatannya”

“Tetapi rasa-rasanya orang itu tidak mengejar kita dengan sungguh-sungguh. Aku tidak melihatnya lagi” berkata Mahisa Murti.

“Tetapi nampaknya orang itu memang tidak dapat lari secepat kita. Mari kita tunggu” berkata Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih saja berlari meskipun sudah tidak terlalu cepat.

“Untuk apa kita menunggu? Jika orang itu benar-benar mengejar kita, apakah kita akan berbuat sesuatu?” bertanya Mahisa Murti.

Mahisa Pukat berpaling. Ia kemudian benar-benar berhenti sambil berkata, “Orang itu memang tidak mengejar kita”

Mahisa Murti pun kemudian berhenti juga. Namun orang bertubuh tinggi besar itu memang tidak mengejarnya. “Satu lagi peristiwa yang menarik perhatian” berkata, “Mahisa Murti lalu, “Setelah kita melihat daerah ini menjadi mundur dan kemudian tingkah laku orang-orang berkuda itu, sekarang kita melihat satu lagi orang aneh”

“Apakah kau pikir ia berbuat sebagaimana dikatakannya” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku kira tidak. Iapun tidak mengejar kita” jawab Mahisa Murti.

“Jadi apa menurut dugaanmu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku masih belum dapat menyebut apapun juga. Kita masih harus melihat perkembangannya lebih lanjut” jawab Mahisa Murti.

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku berpendapat, justru kita akan tetap tinggal untuk sementara. Maksudku barang satu dua hari lagi. Mungkin kita akan dapat melihat sesuatu yang berguna bagi tugas kita” Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sependapat. Kita akan tinggal disini untuk dua tiga hari lagi. Namun apabila terjadi satu perkembangan yang penting dan memaksa, kita akan segera melaporkan diri kepada orang yang pernah disebut oleh Singasari itu”

Demikianlah, keduanya justru telah tertarik kepada peristiwa yang mereka alami, sehingga mereka berniat untuk tetap tinggal. Tetapi keduanya telah mengurungkan niat mereka untuk pergi ke sungai. Mereka kemudian mengambil jalan setapak untuk mencari tempat yang paling baik buat menyembunyikan diri, selama mereka akan beristirahat. Namun demikian, pada saat matahari condong ke Barat, mereka telah bersepakat untuk melihat, apakah warung itu masih tetap terbuka.

“Marilah, kita pergi. Kita akan mendengar lagi ceritera yang barangkali menarik. Mungkin dapat kita pergunakan sebagai bahan berkeliaran malam nanti” ajak Mahisa Murti.

Mahisa Pukat pun mengiakannya. Tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus berhati-hati. Orang bertubuh tinggi besar itu dapat mereka jumpai dimana saja. Bahkan mungkin orang itu berada di warung itu pula, sehingga keduanya tidak akan dapat menghindarinya lagi”

Demikianlah sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu sudah berada lagi di persimpangan yang ramai itu. Tetapi pada menjelang sore hari, nampaknya tempat itu sudah menjadi semakin sepi, meskipun nampak ada beberapa pedati yang justru sedang memuat beberapa hasil bumi. Nampaknya masih saja ada orang yang saling menukarkan kebutuhan. Bahkan ada juga yang menukarkan dengan alat-alat pertanian, di samping sebagian dari mereka telah membeli kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan.

Dalam pada itu ternyata warung itu masih tetap terbuka sebagaimana masih ada juga satu dua warung yang lainnya yang lebih besar. Tidak banyak orang yang berada di dalam warung-warung itu. Bahkan warung yang satu itu justru tidak ada pengunjungnya sama sekali.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki warung itu, pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta bertanya, “Kau masih ada disini?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “Sebenarnya kami sudah ingin pergi. Tetapi perjalanan kami terhalang, sehingga terpaksa kami kembali lagi”

“Duduklah” pemilik warung itu mempersilahkan. Namun kemudian iapun bertanya, “kenapa terhalang?”

Sebenarnya kami telah meninggalkan tempat ini, “Mahisa Murti pula, “kami menuju ke arah sungai, karena kami akan mencuci pakaian kami pula. Baru kemudian kami akan pergi. Tetapi kami telah bertemu dengan seorang yang bertubuh tinggi besar dan menakutkan. Seperti seorang raksasa yang marah orang itu berusaha untuk menangkap kami dan membinasakan kami”

“Kenapa?” pemilik warung itu menjadi heran, “Bukankah kalian tidak berbuat apa-apa?"

“Ya kami tidak berbuat apa-apa” jawab Mahisa Murti.

“Tetapi kenapa orang itu marah kepada kalian?” desak pemilik warung itu.

“Kami telah mengaku, bahwa kami adalah dua orang pengembara” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “orang itu berpendirian sebagaimana kawan-kawannya bahwa semua orang pengembara harus dimusnahkan”

“Kenapa begitu?” bertanya pemilik warung itu.

“Aku tidak tahu latar belakang yang sebenarnya dari sikap mereka. Tetapi orang-orang seperti kami hanya akan mengotori dunia saja” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu tertawa. Katanya, “Orang itu bermain-main. Ia tidak akan bersungguh-sungguh”

“Sikapnya bersungguh-sungguh” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba saja ia berdesis, “apakah kau beranggapan bahwa orang itu benar-benar bersungguh-sungguh."

“Ya” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Namun tiba-tiba ia bertanya, “He, jika demikian, kenapa kalian tidak pergi saja dari sini? kalian agaknya telah mendapat kesempatan untuk terlepas dari tangannya. Tetapi kalian justru masih tetap berada disini”

Pertanyaan itu memang membingungkan kedua anak muda itu. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang menjawab, “apakah orang itu pernah datang kemari?”

“Kenapa?” Bukankah setiap orang dapat saja datang ke tempat ini?” pemilik warung itu justru bertanya.

“Seandainya raksasa itu datang dan berusaha menangkap kami, apakah orang-orang yang ada di tempat ini tidak akan menolong kami dan mengusir raksasa itu?” bertanya Mahisa Murti pula.

Pemilik warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Raksasa itu memang pernah datang kemari. Tidak ada orang yang berani melawan orang yang bertubuh tinggi besar itu. Apalagi ia memang mempunyai beberapa kawan. Tetapi yang belum kami ketahui, bahwa orang itu berusaha untuk memusnahkan para pengembara seperti yang kalian lakukan”

“Tetapi orang itu tidak bergurau” desis Mahisa Pukat.

“Ya” pemilik warung itu mengangguk-angguk, “agaknya kau benar, “orang itu memang tidak sedang bergurau. Itulah agaknya maka setiap ada pengembara yang datang ke tempat ini, aku tidak pernah melihatnya lagi, kecuali kalian berdua. Apakah kalian memang beruntung bahwa kalian mampu melepaskan diri dari tangannya. He apakah kalian melawan?”

“Melawan?” Mahisa Murti mengulang, “bagaimana mungkin kami berani melawan. Kami hanya melarikan diri secepat-cepat dapat kami lakukan. Untunglah bahwa orang itu tidak berhasil menangkap kami”

“Beruntunglah kalian, sehingga kalian masih dapat datang ke warung ini” bertanya pemilik warung itu, “Jika demikian, maka cepat sajalah meninggalkan tempat ini. Mungkin orang itu akan datang lagi seperti yang pernah dilakukannya. Jika ia merasa kehilangan, maka mungkin ia akan mencarinya. Dan salah satu tempat yang dikenalnya adalah tempat ini."

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata, “Baiklah. Tetapi beri kami makan. Kami akan segera meninggalkan tempat ini”

“Apakah kau minta semangkok nasi?” bertanya pemilik warung itu.

“Tidak. Seperti tadi. Kami akan membayar” jawab Mahisa Pukat.

Pemilik warung itu mengerutkan keningnya, namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Disiapkannya dua mangkuk nasi seperti yang diminta oleh kedua anak muda itu. Kedua anak muda yang menyebut diri mereka pengembara.

Sambil menyuapi mulutnya, Mahisa Murti masih juga bertanya, “Ki Sanak, apakah ada hubungannya antara raksasa yang akan membunuh orang-orang yang disebutnya tidak berguna itu dengan dua orang berkuda kemarin?”

“Aku tidak tahu anak muda. Tetapi menurut pendapatku, mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Kedua orang berkuda itu selalu berbicara tentang satu perjuangan sehingga mereka memerlukan dana dan peralatan yang cukup banyak, sedangkan raksasa itu hanya melakukan bagi diri mereka sendiri. Sekelompok orang yang mempunyai pendirian bahwa orang yang tidak memiliki arti bagi sesamanya dan bagi dunia sebaiknya dibinasakan saja. Orang-orang seperti itu hanya akan mempercepat habisnya persediaan makan di musim paceklik” jawab pemilik warung itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja terlontar pertanyaan Mahisa Pukat, “Ki Sanak. Apakah kira-kira yang terjadi jika raksasa itu bertemu dengan kedua orang berkuda itu? Bukankah keduanya memiliki kemampuan untuk berkelahi?”

Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, “Aku tidak tahu, apa kira-kira yang akan terjadi. Tetapi kedua belah pihak nampaknya memang belum pernah bertemu”

“Aku agak sangsi. Bukankah mereka telah berada di tempat ini untuk waktu yang lama? Baik kedua penunggang kuda itu, maupun raksasa yang akan membunuh para pengembara itu? Apakah mungkin keduanya justru pihak yang sama-sama ingin menentukan sikap tersendiri? Atau keduanya berusaha untuk menimbulkan ketakutan dan kegelisahan dilingkungan rakyat kecil di padukuhan ini”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Keduanya mulai menyuapi mulut mereka. Masakan di warung itu memang dapat memenuhi selera kedua anak muda pengembara itu, sehingga keduanya nampaknya makan dengan sangat lezatnya.

Namun demikian, keduanya merasa bahwa mereka tidak mendapat apa-apa yang baru dari pemilik warung itu. Agaknya pemilik warung itu terlalu berhati-hati, Ia tidak berani mengatakan sesuatu yang akan dapat membuat dirinya terjerat ke dalam kesulitan. Karena itu, lebih baik baginya untuk mengatakan tidak tahu apa-apa.

Ketika kedua anak muda itu sudah selesai, maka Mahisa Murti pun segera membayar harga makanan yang dimakannya bersama Mahisa Pukat. Kemudian keduanya minta diri untuk beristirahat.

“Dimana kalian beristirahat?” bertanya pemilik warung itu.

“Dimana saja” jawab Mahisa Murti, “kami adalah dua orang pengembara yang tidak mempunyai rumah tempat tinggal. Kami dapat tidur di sembarang tempat. Beratapkan langit dan berselimutkan mega”

“Tetapi kalian akan dapat menjadi kedinginan. Jika kalian tidak berkeberatan, kalian dapat tidur disini” berkata tukang warung itu.

“Disini dimana?” bertanya Mahisa Murti.

“Di warung ini” jawab pemilik warung itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun agaknya keduanya meraba sesuatu dengan firasatnya. Karena itu, meskipun tidak berjanji ternyata keduanya ingin untuk menerima tawaran itu. Dalam pada itu, Mahisa Murti lah yang menjawab, “Apakah Ki Sanak bersungguh-sungguh?”

“Ya. Aku bersungguh-sungguh. Kau dapat tidur di dalam warung ini. Diatas dingklik itu. Sementara itu, kalian akan mendapat makan tanpa membeli lagi. Biasanya tentu ada sisa sedikit dari jualanku ini. Kita akan dapat makan bersama-sama menjelang malam. Jika kemudian aku pulang, kalian berdua dapat tidur di dingklik tempat kalian duduk itu. Bukankah lebih baik tidur di situ daripada tidur di pematang atau di padang perdu?”

“Terima kasih” jawab Mahisa Murti, “Tentu kami berdua tidak akan berkeberatan. Bahkan kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya."

“Jika demikian, kalian berdua tidak usah pergi dari sini. Duduk sajalah sambil menunggu matahari tenggelam” berkata pemilik warung itu.

“Tetapi jika raksasa itu kemari atau lewat jalan ini? Bukankah kau mengatakan, bahwa tidak ada seorang pun yang akan berani melawannya?” bertanya Mahisa Murti.

“Kau dapat bersembunyi di bawah gedeg bambu itu. Tetapi raksasa itu tentu tidak akan kemari. Ia memang jarang-jarang sekali datang ke tempat ini” berkata pemilik warung itu.

Ketika Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat pun telah menganggukkan kepalanya sebagai isyarat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian menyatakan kesediaannya mereka untuk bermalam di dalam warung itu.

“Kami sangat berterima kasih atas kesempatan ini” berkata Mahisa Murti kemudian.

“Nah, baiklah. Aku juga berterima kasih. Dengan demikian maka warungku ini tentu akan aman dimalam hari” berkata pemilik warung itu.

Demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya tidak beranjak dari warung itu. Masih ada satu dua orang yang memasuki warung itu dan makan sekedarnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemilik warung itu. bahwa akhirnya nasi yang dijualnya memang tidak habis.

Ketika matahari kemudian bersembunyi dibalik pegunungan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat kesempatan untuk makan bersama pemilik warung itu. Tetapi keduanya menolak karena mereka masih cukup kenyang.

Karena itu, maka pemilik warung itu berkata, “Baiklah. Jika kau tidak ingin makan sekarang, maka terserahlah. Kapan saja kau ingin makan. Aku tinggalkan nasi dan lauknya di gledeg itu. Tetapi ingat. Disini banyak tikus. Mungkin kalian tidak akan sempat makan, jika nasi dan lauknya telah lebih dahulu dimakan tikus”

“Kami akan menunggunya dengan baik” berkata Mahisa Murti.

“Baiklah. Aku akan pulang dahulu. Nanti malam, kau dapat tidur di dingklik itu” berkata pemilik warung itu.

Demikianlah, maka pemilik warung itu pun telah meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dimintanya untuk menyelarak pintu dari dalam. Ketika pemilik warung itu telah meninggalkan warungnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat-lihat isi dari warung itu. Sisa beberapa macam makanan telah dijadikan satu, dalam sebuah irig yang besar. Kemudian di dalam geledeg memang disediakan sisa nasi dan lauknya yang akan dapat dimakan oleh kedua anak muda itu.

Dalam pada itu, sebuah lampu minyak telah dinyalakan di dalam ruang yang tidak terlalu sempit itu. Sementara beberapa macam makanan dapat menjadi kawan berjaga-jaga. Tetapi dalam pada itu Mahisa Pukat pun mulai membaringkan dirinya diatas dingklik bambu sambil bergumam, “udara terasa sangat pengap di dalam”

“Terasa cukup hangat dibanding dengan udara di padang perdu itu” jawab Mahisa Murti.

“Tentu” sahut Mahisa Pukat, “Tetapi rasa-rasanya kita disini justru terkurung di dalam satu ruang yang sempit yang tidak memberikan banyak kesempatan kepada kita untuk bergerak”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju. Rasanya kita memang seperti seekor ayam di dalam kurungan”

Keduanya pun terdiam sejenak. Mahisa Murti pun kemudian membaringkan diri pula di dingklik yang lain. Sejenak keduanya mengamati atap warung yang pendek itu. Namun tiba-tiba Mahisa Pukat telah bangkit. Diambilnya sisa makanan yang tidak terjual yang ada di dalam irig yang besar. Kemudian ia duduk lagi diatas dingklik bambu sambil mengunyah makanan.

“Enak juga makanan di warung ini” berkata Mahisa Pukat, “kebetulan aku telah memungut sepotong jenang alot”

“Manis sekali” jawab Mahisa Murti.

“Jika kau ingin makanan yang gurih, ambil sajalah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “besok makanan itu tentu hanya akan dibuang”

Mahisa Murti berdesis, “Aku akan tidur. Kau duduk sajalah di situ. Nanti kau dapat membangunkan. Aku jika kau sudah mengantuk”

Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku akan berjaga-jaga. Tetapi rasa-rasanya aku memang tidak akan dapat tidur di ruang sempit ini”

Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mulai memejamkan matanya. Tetapi sebenarnyalah, seperti Mahisa Pukat, ia tidak dapat lelap, dalam kegelisahan. Memang rasa-rasanya ia berada di dalam sebuah kurungan. Setiap saat seseorang akan dapat datang untuk menangkap mereka dalam genggamannya.

Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Murti itu pun bangkit kembali sambil berkata, “Aku tidak akan dapat juga tidur. Rasa-rasanya kita memang berada dalam perangkap. Sengaja atau tidak sengaja”

“Apakah sebaiknya kita berada diluar?” bertanya Mahisa Pukat.

“Aku setuju. Kita akan tidur diluar. Di tempat yang tidak mudah dilihat dari arah manapun juga” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, “Kita dapat memanjat pohon mahoni”

Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi biarlah kita makan dahulu. Kita tentu tidak perlu tergesa-gesa. Seandainya benar kita berada di dalam perangkap, tentu lewat tengah malam kita akan ditangkap”

“Aku setuju. Marilah kita makan dahulu” jawab Mahisa Murti.

Demikianlah, maka keduanya pun telah makan nasi dan lauk yang memang ditinggalkan bagi mereka oleh pemilik warung itu. Namun yang tidak mereka lakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh pemilik warung itu, setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, maka mereka pun justru telah meninggalkan warung itu dengan diam-diam. Meskipun susana sangat sepi dan tidak ada seorang pun yang nampak di sekitar tempat itu, namun kedua anak muda itu cukup berhati-hati.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun benar-benar telah memanjat pohon mahoni. Dari salah satu dahan yang cukup besar mereka dapat melihat warung yang baru saja ditinggalkannya

“Sebenarnya aku lebih senang tidur di bawah daripada tidur diatas dahan seperti ini” desis Mahisa Pukat.

“Hati-hatilah, agar kau tidak jatuh dalam tiduran” berkata Mahisa Murti.

Tetapi sebagai pengembara, maka keduanya bukannya untuk pertama kali tidur diatas sebatang pohon. Karena itu. maka keduanya pun dapat menempatkan diri mereka sebaik-baiknya. Seperti yang selalu mereka lakukan, maka mereka telah mengatur waktu mereka. Mahisa Pukat mendapat giliran untuk beristirahat lebih dahulu. Baru kemudian Mahisa Murti.

Demikianlah, keduanya duduk diam bertengger diatas dahan. Namun demikian, ada semacam ketegangan yang menyusup di dalam hati mereka. Keduanya seakan-akan telah mendapatkan satu firasat bahwa akan terjadi sesuatu pada warung yang ditinggalkannya.

Sampai tengah malam, tidak nampak terjadi sesuatu pada warung itu. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat akan mendapat giliran untuk berjaga-jaga, sementara Mahisa Murti akan beristirahat sambil memeluk batang Mahoni itu.

Namun dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti memejamkan matanya, tiba-tiba saja matanya justru terbuka lebar-lebar. Kedua anak muda itu telah mendengar desir langkah yang mendekat. Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat sambil menunjuk ke satu arah. Mereka telah melihat dua orang yang berjalan dengan hati-hati mendekati warung itu. Yang seorang diantara mereka adalah orang yang bertubuh tinggi besar itu.

“Raksasa itu memang gila” geram Mahisa Murti di dalam hatinya.

Bahkan Mahisa Pukat berdesis, “Aku ingin memilih kumisnya”

“Sst” Mahisa Murti menempatkan jarinya di muka mulutnya...