Pendekar Sadis Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 31
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
AKAN tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dikiranya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka segera menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi, mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?

“Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium.

Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biar pun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu.

Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat berbicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?”

“Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.

“Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kita bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan dari pada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian.”

Sikap wanita yang tadi malam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api birahi yang bernyala-nyala, kini mendadak berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!

Thian Sin tersenyum. “Memang keputusan itu sangat bijaksana. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Sesudah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan.

Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Ternyata nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit yang tipis sekali dan ada rambut putih pada bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali jika meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.

“Ahh, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?” kata Thian Sin.

“Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu kemudian lapat-lapat terdengar suara berkelinting di luar kamar.

Tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapa pun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya.

Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran saat melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya terus berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar.

“Cepat kalian ambil tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin. “Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota.”

Sesudah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuah pun kata.

Seperginya lima orang pelayan itu, Lam-sin mengajak Thian Sin makan pagi dan setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar. Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke bagian belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggota Bu-tek Kai-pang berkumpul.

Ketika melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu kini masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang.

Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya paling sedikit ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan dia pun melihat tiga orang ketua kai-pang itu hadir pula dengan tubuh rebah di atas usungan.

Wajah mereka masih pucat. Mereka memandang kepada Thian Sin dengan kedua mata mendelik dan muka marah. Mereka pun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.

“Para anggota kai-pang sekalian.” terdengar ‘nenek’ itu berkata, suaranya sangat lantang berwibawa hingga semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, “dengarkanlah baik-baik segala perintahku pada pagi hari ini yang sekaligus merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!”

Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu?

“Aku perintahkan semua anggota, baik yang kini hadir mau pun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, supaya mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak lagi memimpin kalian, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan. Tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan oleh golongan lain. Kalian bisa memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian juga boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang bermain curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Sesudah aku pergi, tidak ada seorang pun yang boleh mempergunakan namaku lagi, juga semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini yang tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di mana pun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!”

“Pangcu…!” Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan mereka pun menangis! Dan hal ini segera menular kepada beberapa orang anggota kai-pang sehingga sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!

Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Dia sendiri beberapa kali menarik napas panjang dan nampaknya juga berduka, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak

“Cukup…! Bukan sikap orang-orang gagah jika membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang ingin mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, dan tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini.”

“Tapi… tetapi, locianpwe…,” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang sudah membunuh begitu banyak anggota kami?”

Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, “Dia datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab karena dulu sudah mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian harus menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis telah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!”

“Ahhhhh…!” Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.

“Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, kemudian kalian menunggu hingga lima orang pelayanku ini membereskan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan nama lain, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?”

“Kami mengerti!” tiga orang ketua itu berkata, disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.

Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin serta lima orang pelayannya untuk masuk kembali ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal berikut beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.

Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan sesudah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal.”

Lima orang itu hanya terisak kemudian menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu dia pun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan sesudah keluar dari pintu pekarangan, dia mengajak Thian Sin untuk cepat pergi meninggalkan kota Heng-yang.

Pemuda itu mengikuti tanpa membantah. Akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam yang disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?”

“Kau ikut sajalah. Aku mempunyai sebuah tempat yang sangat indah dan di sanalah kita nanti bicara tanpa ada seorang pun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu itu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara.

Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat. Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir sehingga akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.

Dengan sehelai tali Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu melompat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena amat berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka.

Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan, di antara pohon-pohon besar, nampaklah padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sebuah sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil tapi kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.

Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu lalu membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok itu dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biar pun kecil akan tetapi isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang sungguh pun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biar pun agaknya tempat itu sudah lama tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.

Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, kemudian melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira bukan main. “Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada apa bila hatiku sedang risau. Kini aku bebas…! Bebas…!” Dan dia pun mengembangkan kedua lengannya, nampaknya berbahagia sekali.

“Tempat yang indah, bagaikan sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.

Lam-sin mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Kini Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!”

“Ehh… kenapa begini? Bukankah… bukankah…”

“Mari kita keluar dan engkau akan menyaksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!”

“Apa… apa maksudmu…?” Thian Sin semakin kaget.

Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin cepat mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di sana hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak dapat tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, dia langsung berkata,

“Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?”

“Membuat api unggun? Untuk apa…? Tapi baiklah…” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biar pun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun?

Tetapi melihat sikap Lam-sin yang begitu sungguh-sungguh, dia pun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita itu. Setelah cukup memperoleh kayu kering, Lam-sin kemudian menumpuknya di atas batu-batu yang telah diatur di tempat itu, dan dia pun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api menyala cukup besar dan nenek itu lantas meraba ke arah mukanya.

“Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang sudah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!”

Sekali dia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu sehingga nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu lantas dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu kemudian menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itu pun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu.

Akhirnya gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!”

“Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari…!” kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu tersenyum hingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebas, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh lekuk tubuh yang amat menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin secara halus pada saat pemuda itu hendak menciumnya.

“Nanti dulu, engkau belum mengenalku!” bisiknya.

“Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik tadi malam…” Thian Sin tersenyum.

“Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.”

“Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik bagaikan bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku…” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.

“Kalau engkau memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba dia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin sehingga diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

“Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.

Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar hingga berkobar dan sebentar saja pakaian itu pun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, dan terdengar suaranya lirih,

“Ibu… ibu… anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah…”

Akan tetapi sebentar saja dia menangis karena dia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan sapu tangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah, akan tetapi di dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!

Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas.

Dengan diam-diam dia membanding-bandingkan, hingga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat dari pada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apa lagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya di dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!

“Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong…”

“Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!”

“Aku she Toan…”

“Ehh…?” Thian Sin segera teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.

Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu masih terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.”

Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia belum pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaan dirinya tentu gawat!

“Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya akibat fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.”

“Aku tidak peduli dengan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!”

“Ahhh…!”

“Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat serta setia terhadap kaisar. Tidak, ayahku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan serta menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata dari pada dengan kaisar.”

“Ahh, kalau begitu… engkau masih keluarga kaisar…”

“Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita berdua adalah keluarga-keluarga jauh yang telah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, aku pun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku lantas melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak sehingga dia mencapai tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayahku berjumpa dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang sangat terkenal. Mereka saling jatuh cinta, kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk bisa menikah secara terang-terangan.”

“Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.

Kim Hong mengangguk. “Aku pun berpendapat demikian.”

Dara itu kemudian melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik sesudah mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri dari seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!

Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan, yang bernama Ouwyang Ci, lantas bersama-sama melarikan diri ke daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.

Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci kemudian tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), satu pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tetap tinggal kosong. Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah.

Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali saja Toan Su Ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahirlah seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.

Dan mereka terus bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmu mereka. Bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka berhasil menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo Sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis).

Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapa pun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai dari pada ayahnya.

Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi anak itu tak menjadi canggung, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka dia pun mempelajari berbagai ilmu yang lain di samping ilmu silat.

Dari ayahnya, gadis ini mempelajari ilmu kesusasteraan, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya. Sedangkan dari ibunya dia mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.

Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan dia mendengar bahwa kaisar sudah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari ke mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya lantas dengan terengah-engah saking tegang dan gembira hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini, dia menceritakan kepada suaminya.

“Suamiku! Engkau sudah bebas! Engkau sudah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ahh, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali.

Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya.

“Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin.

“Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau seorang pangeran, bukan? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran…”

“Tidak…!” Tiba-tiba saja Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat jelata! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggota keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!”

“Tidak mungkin!” Ouwyang Ci cepat membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup bagai pertapa di tempat terasing! Kini aku sudah tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar dari perkawinan yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.”

“Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.”

“Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!”

Percekcokan semakin menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tetap tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap sehingga akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran ini pun berkelahi!

Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya sanggup menangis. Segala jeritannya untuk melerai hanya sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka pun lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seakan-akan menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan!

Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semuanya. Semua jurus ilmu silat mereka sudah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama.

Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang amat sempurna sehingga dia bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri.

Terutama sekali ketika ayah ibunya sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun, dia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan lantas otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!

Akhirnya terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah bagai kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Sepasang matanya terbelalak dan ketika dia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, dia menjerit lalu menubruk suaminya yang telah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu sudah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!

Apabila kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi cobalah kita membuka mata lalu memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan mengenai ‘cinta’ yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua.

Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu juga terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, tetapi sedikit saja selisihnya.

Betapa banyaknya suami isteri yang pada hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu mencurahkan rasa kasih sayang masing-masing, lalu dengan ringan kata-kata ‘aku cinta padamu’ meluncur keluar dari mulut mereka, tapi pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata, juga dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan kebencian, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing!

Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata ini, bahkan kadang-kadang beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru tadi malam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!

Begitukah cinta kasih? Ataukah yang terjadi tadi malam itu hanyalah gelora nafsu birahi belaka? Dan sesudah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbullah kemarahan dan kebencian sebagai gantinya? Kemudian sesudah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Atau hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain?

Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan malah berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara dua sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintamu sebagai sahabat sebab engkau baik kepadaku? Dan dengan begitu, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku?

Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang pada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, bagaikan jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Jika sudah tidak memperoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih?

Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tak akan menyinarkan sinar selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rasa takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itu pun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.


Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal dengan perbuatannya sendiri itu kemudian memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Dia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat sehingga suaminya tak pernah sadar lagi dan tewas dua hari kemudian!

Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi serta menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang sangat keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.

Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Dia menjadi sakit-sakitan dan dia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong sudah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan sekarang dia lebih lihai dari ibunya!

Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa mala petaka itu terjadi karena dia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Dia menghendaki supaya puterinya menjadi isteri seorang pria yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya.

Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena akhirnya dia sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta sehingga kalau dia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.

“Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaan hatinya, dan aku pun hidup sebatang kara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku supaya aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu pernah memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan mampu mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek agar mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.”

Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa sangat kagum. “Lantas muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.”

“Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tak pernah mau mengakui namaku. Makin banyaklah golongan sesat yang menentangku dan aku membasmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, sesudah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.”

“Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?”

“Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi tak lama kemudian Lam-thian Kai-ong meninggal akibat luka-lukanya pada saat melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Sementara itu aku lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang? Aku telah bebas… ahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kau sudah lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas…”

“Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin…,” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.

“Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.”

“Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.

Demikianlah, dua orang muda itu kemudian tenggelam di dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini.

Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Si calon suami harus lebih tua beberapa tahun dari pada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu.

Namun dua orang muda ini tidak terikat oleh apa pun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itu pun hampir tak mempedulikan soal cinta dan tidak cinta. Mereka sama-sama suka untuk saling berdekatan, saling bercumbu, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan di dalam hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apa pun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.

Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa akan segala-galanya, bagai sepasang pengantin yang berbulan madu.

Sebulan kemudian, mereka berdua mandi di sumber air tidak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di sana tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Melihat Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong lalu berenang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.

“Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin. Dia memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.

Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Kenapa tidak? Bukankah kita amat berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?”

Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu lama kelamaan tentu akan menimbulkan kebosanan, bukan?”

Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya, kemudian dia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.

“Eh-eh…!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja.

“Byuuuuurrr…!” Thian Sin berenang menghampiri lagi.

“Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu.

“Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang maka dia pun cepat menyelam dan menjauh.

“Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan kepadamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki dara itu, menariknya hingga Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.

“Kenapa kau tadi bilang bosan?”

“Dengarlah dulu, sekarang aku tidak bosan, akan tetapi aku tahu betul bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku mau pun kepadamu. Hidup terasa hambar bila setiap hari hanya bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar sambil menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang, itu baru namanya hidup. Selama ini aku terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau ingin meniru mendiang ayah bundamu yang dulu menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita dapat melihat dunia ramai!”

Kim Hong termenung, lantas mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlalu terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru pada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.”

“Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku hendak mencari dan menantang, juga hendak mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!”

“Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan memiliki banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!”

“Justru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, ingin menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?”

Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya pada waktu dia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya.

“Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?”

“Terdengarnya menarik juga. Tapi, kenapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?”

“Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Sesudah aku mengobrak-abrik mereka, itu berarti aku sudah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka berarti aku telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Apa bila engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku pasti akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sebenarnya aku pernah mengukur kepandaian mereka, bahkan sempat menang pada waktu bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Kemudian dia menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu.

Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan aku pun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.”

“Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?”

Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan goa mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?”

Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang.

“Kim Hong, terus terang saja, dulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?”

Kim Hong menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!”

“Ihh, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah kau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya sebagai selingan hidup, untuk mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi bila mana kita sudah bosan merantau.”

“Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.”

“Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciumi dara itu. Sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.

“Ehh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!”

“Lapar? Wah, setelah kau ingatkan, aku pun merasa lapar sekali!”

“Tunggu apa lagi? Bubur telah menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!”

Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, lantas keluar dari sumber air itu dan berlari-larian bagaikan anak-anak berlomba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.

Melihat keadaan muda-mudi ini, maka timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaan itu adalah: Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu?

Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal di dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai lantas dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, meski pun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu.

Mereka hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak pada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah.

Dan suami isteri, atau dua orang yang keadaannya telah seperti mereka itu, seperti satu badan sehingga tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti jika kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.

Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat.

********************

Thian Sin bersama Kim Hong lalu melakukan perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dahulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya saja, tak tergesa-gesa, karena selama empat lima tahun ini Kim Hong hanya tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka sekarang memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, dia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya.

Oleh sebab itu mereka pun melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau bagaikan sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis. Mereka menginap di kuil-kuil kuno, namun kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.

Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, mereka sering kali cekcok, biar pun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena inilah maka sering kali mereka cekcok, walau pun sebentar kemudian mereka sudah saling cium lagi dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!

Selama dalam perjalanan itu Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang seluruh kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebenarnya bahkan lebih lihai dari pada suheng-nya itu. Dan memesan kepada Kim Hong supaya berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.

“Kiranya tingkat ilmu kepandaian silatmu tidak perlu kalah kalau berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tak kalah lihai. Akan tetapi dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Dulu aku pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.”

“Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?”

Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.

“Ehh, kenapa engkau memandangku seperti ini…?” Tiba-tiba saja Kim Hong yang melihat perbedaan pandangan mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena dia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.

“Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Sekarang bila engkau hendak melawan pun percuma karena kedua tanganmu tidak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!”

Di dalam suara Thian Sin itu pun terkandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan dia lalu mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi… benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapa pun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.

Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku akan menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapa pun engkau hendak mengelak atau menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!”

Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!

Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Kini engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!”

Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi dia benar-benar menjadi gentar.

“Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, karena itu engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.”

“Thian Sin, kau harus ajarkan aku ilmu ini agar aku dapat melawannya!”

“Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya bisa dipelajari apabila engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita selalu saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, selama di dalam perjalanan ini akan kuajarkan padamu bagaimana caranya agar engkau bisa menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Sebenarnya tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal perhatianmu tidak sampai ditarik olehnya, maka dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khikang yang amat kuat, maka latihan seperti itu sangat mudah baginya dan sebentar saja dia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga perhatiannya tidak akan mudah diseret oleh lawan.

Ketika mereka memasuki kota Si-ning, keduanya segera mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu.

Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu lalu dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Sambil berperahu mereka membuat sajak-sajak, makan daging panggang serta kacang, minum arak wangi, kemudian setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning.

Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.

Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberi tahu oleh anak buahnya tentang kehadiran Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali.

Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, terus mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu sudah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.

Cepat See-thian-ong mengumpulkan semua murid serta pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoi-nya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin, kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini sudah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu sudah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoi-nya ini.

Selain dua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biar pun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling mau pun Ciang Gu Sik, akan tetapi bila mana kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang sangat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 31

Pendekar Sadis Jilid 31
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
AKAN tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dikiranya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka segera menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi, mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?

“Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium.

Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biar pun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu.

Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat berbicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?”

“Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.

“Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kita bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan dari pada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian.”

Sikap wanita yang tadi malam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api birahi yang bernyala-nyala, kini mendadak berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!

Thian Sin tersenyum. “Memang keputusan itu sangat bijaksana. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Sesudah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan.

Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Ternyata nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit yang tipis sekali dan ada rambut putih pada bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali jika meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.

“Ahh, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?” kata Thian Sin.

“Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu kemudian lapat-lapat terdengar suara berkelinting di luar kamar.

Tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapa pun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya.

Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran saat melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya terus berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar.

“Cepat kalian ambil tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin. “Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota.”

Sesudah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuah pun kata.

Seperginya lima orang pelayan itu, Lam-sin mengajak Thian Sin makan pagi dan setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar. Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke bagian belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggota Bu-tek Kai-pang berkumpul.

Ketika melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu kini masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang.

Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya paling sedikit ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan dia pun melihat tiga orang ketua kai-pang itu hadir pula dengan tubuh rebah di atas usungan.

Wajah mereka masih pucat. Mereka memandang kepada Thian Sin dengan kedua mata mendelik dan muka marah. Mereka pun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.

“Para anggota kai-pang sekalian.” terdengar ‘nenek’ itu berkata, suaranya sangat lantang berwibawa hingga semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, “dengarkanlah baik-baik segala perintahku pada pagi hari ini yang sekaligus merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!”

Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu?

“Aku perintahkan semua anggota, baik yang kini hadir mau pun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, supaya mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak lagi memimpin kalian, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan. Tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan oleh golongan lain. Kalian bisa memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian juga boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang bermain curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Sesudah aku pergi, tidak ada seorang pun yang boleh mempergunakan namaku lagi, juga semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini yang tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di mana pun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!”

“Pangcu…!” Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan mereka pun menangis! Dan hal ini segera menular kepada beberapa orang anggota kai-pang sehingga sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!

Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Dia sendiri beberapa kali menarik napas panjang dan nampaknya juga berduka, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak

“Cukup…! Bukan sikap orang-orang gagah jika membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang ingin mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, dan tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini.”

“Tapi… tetapi, locianpwe…,” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang sudah membunuh begitu banyak anggota kami?”

Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, “Dia datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab karena dulu sudah mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian harus menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis telah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!”

“Ahhhhh…!” Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.

“Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, kemudian kalian menunggu hingga lima orang pelayanku ini membereskan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan nama lain, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?”

“Kami mengerti!” tiga orang ketua itu berkata, disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.

Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin serta lima orang pelayannya untuk masuk kembali ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal berikut beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.

Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan sesudah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal.”

Lima orang itu hanya terisak kemudian menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu dia pun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan sesudah keluar dari pintu pekarangan, dia mengajak Thian Sin untuk cepat pergi meninggalkan kota Heng-yang.

Pemuda itu mengikuti tanpa membantah. Akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam yang disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?”

“Kau ikut sajalah. Aku mempunyai sebuah tempat yang sangat indah dan di sanalah kita nanti bicara tanpa ada seorang pun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu itu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara.

Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat. Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir sehingga akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.

Dengan sehelai tali Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu melompat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena amat berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka.

Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan, di antara pohon-pohon besar, nampaklah padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sebuah sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil tapi kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.

Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu lalu membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok itu dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biar pun kecil akan tetapi isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang sungguh pun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biar pun agaknya tempat itu sudah lama tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.

Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, kemudian melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira bukan main. “Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada apa bila hatiku sedang risau. Kini aku bebas…! Bebas…!” Dan dia pun mengembangkan kedua lengannya, nampaknya berbahagia sekali.

“Tempat yang indah, bagaikan sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.

Lam-sin mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Kini Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!”

“Ehh… kenapa begini? Bukankah… bukankah…”

“Mari kita keluar dan engkau akan menyaksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!”

“Apa… apa maksudmu…?” Thian Sin semakin kaget.

Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin cepat mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di sana hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak dapat tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, dia langsung berkata,

“Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?”

“Membuat api unggun? Untuk apa…? Tapi baiklah…” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biar pun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun?

Tetapi melihat sikap Lam-sin yang begitu sungguh-sungguh, dia pun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita itu. Setelah cukup memperoleh kayu kering, Lam-sin kemudian menumpuknya di atas batu-batu yang telah diatur di tempat itu, dan dia pun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api menyala cukup besar dan nenek itu lantas meraba ke arah mukanya.

“Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang sudah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!”

Sekali dia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu sehingga nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu lantas dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu kemudian menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itu pun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu.

Akhirnya gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!”

“Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari…!” kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu tersenyum hingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebas, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh lekuk tubuh yang amat menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin secara halus pada saat pemuda itu hendak menciumnya.

“Nanti dulu, engkau belum mengenalku!” bisiknya.

“Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik tadi malam…” Thian Sin tersenyum.

“Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.”

“Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik bagaikan bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku…” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.

“Kalau engkau memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba dia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin sehingga diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

“Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.

Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar hingga berkobar dan sebentar saja pakaian itu pun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, dan terdengar suaranya lirih,

“Ibu… ibu… anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah…”

Akan tetapi sebentar saja dia menangis karena dia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan sapu tangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah, akan tetapi di dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!

Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas.

Dengan diam-diam dia membanding-bandingkan, hingga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat dari pada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apa lagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya di dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!

“Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong…”

“Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!”

“Aku she Toan…”

“Ehh…?” Thian Sin segera teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.

Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu masih terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.”

Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia belum pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaan dirinya tentu gawat!

“Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya akibat fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.”

“Aku tidak peduli dengan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!”

“Ahhh…!”

“Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat serta setia terhadap kaisar. Tidak, ayahku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan serta menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata dari pada dengan kaisar.”

“Ahh, kalau begitu… engkau masih keluarga kaisar…”

“Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita berdua adalah keluarga-keluarga jauh yang telah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, aku pun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku lantas melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak sehingga dia mencapai tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayahku berjumpa dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang sangat terkenal. Mereka saling jatuh cinta, kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk bisa menikah secara terang-terangan.”

“Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.

Kim Hong mengangguk. “Aku pun berpendapat demikian.”

Dara itu kemudian melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik sesudah mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri dari seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!

Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan, yang bernama Ouwyang Ci, lantas bersama-sama melarikan diri ke daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.

Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci kemudian tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), satu pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tetap tinggal kosong. Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah.

Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali saja Toan Su Ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahirlah seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.

Dan mereka terus bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmu mereka. Bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka berhasil menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo Sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis).

Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapa pun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai dari pada ayahnya.

Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi anak itu tak menjadi canggung, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka dia pun mempelajari berbagai ilmu yang lain di samping ilmu silat.

Dari ayahnya, gadis ini mempelajari ilmu kesusasteraan, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya. Sedangkan dari ibunya dia mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.

Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan dia mendengar bahwa kaisar sudah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari ke mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya lantas dengan terengah-engah saking tegang dan gembira hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini, dia menceritakan kepada suaminya.

“Suamiku! Engkau sudah bebas! Engkau sudah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ahh, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali.

Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya.

“Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin.

“Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau seorang pangeran, bukan? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran…”

“Tidak…!” Tiba-tiba saja Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat jelata! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggota keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!”

“Tidak mungkin!” Ouwyang Ci cepat membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup bagai pertapa di tempat terasing! Kini aku sudah tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar dari perkawinan yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.”

“Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.”

“Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!”

Percekcokan semakin menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tetap tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap sehingga akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran ini pun berkelahi!

Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya sanggup menangis. Segala jeritannya untuk melerai hanya sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka pun lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seakan-akan menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan!

Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semuanya. Semua jurus ilmu silat mereka sudah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama.

Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang amat sempurna sehingga dia bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri.

Terutama sekali ketika ayah ibunya sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun, dia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan lantas otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!

Akhirnya terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah bagai kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Sepasang matanya terbelalak dan ketika dia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, dia menjerit lalu menubruk suaminya yang telah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu sudah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!

Apabila kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi cobalah kita membuka mata lalu memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan mengenai ‘cinta’ yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua.

Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu juga terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, tetapi sedikit saja selisihnya.

Betapa banyaknya suami isteri yang pada hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu mencurahkan rasa kasih sayang masing-masing, lalu dengan ringan kata-kata ‘aku cinta padamu’ meluncur keluar dari mulut mereka, tapi pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata, juga dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan kebencian, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing!

Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata ini, bahkan kadang-kadang beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru tadi malam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!

Begitukah cinta kasih? Ataukah yang terjadi tadi malam itu hanyalah gelora nafsu birahi belaka? Dan sesudah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbullah kemarahan dan kebencian sebagai gantinya? Kemudian sesudah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Atau hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain?

Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan malah berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara dua sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintamu sebagai sahabat sebab engkau baik kepadaku? Dan dengan begitu, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku?

Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang pada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, bagaikan jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Jika sudah tidak memperoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih?

Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tak akan menyinarkan sinar selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rasa takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itu pun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.


Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal dengan perbuatannya sendiri itu kemudian memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Dia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat sehingga suaminya tak pernah sadar lagi dan tewas dua hari kemudian!

Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi serta menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang sangat keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.

Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Dia menjadi sakit-sakitan dan dia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong sudah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan sekarang dia lebih lihai dari ibunya!

Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa mala petaka itu terjadi karena dia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Dia menghendaki supaya puterinya menjadi isteri seorang pria yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya.

Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena akhirnya dia sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta sehingga kalau dia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.

“Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaan hatinya, dan aku pun hidup sebatang kara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku supaya aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu pernah memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan mampu mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek agar mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.”

Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa sangat kagum. “Lantas muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.”

“Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tak pernah mau mengakui namaku. Makin banyaklah golongan sesat yang menentangku dan aku membasmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, sesudah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.”

“Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?”

“Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi tak lama kemudian Lam-thian Kai-ong meninggal akibat luka-lukanya pada saat melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Sementara itu aku lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang? Aku telah bebas… ahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kau sudah lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas…”

“Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin…,” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.

“Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.”

“Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.

Demikianlah, dua orang muda itu kemudian tenggelam di dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini.

Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Si calon suami harus lebih tua beberapa tahun dari pada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu.

Namun dua orang muda ini tidak terikat oleh apa pun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itu pun hampir tak mempedulikan soal cinta dan tidak cinta. Mereka sama-sama suka untuk saling berdekatan, saling bercumbu, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan di dalam hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apa pun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.

Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa akan segala-galanya, bagai sepasang pengantin yang berbulan madu.

Sebulan kemudian, mereka berdua mandi di sumber air tidak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di sana tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Melihat Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong lalu berenang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.

“Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin. Dia memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.

Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Kenapa tidak? Bukankah kita amat berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?”

Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu lama kelamaan tentu akan menimbulkan kebosanan, bukan?”

Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya, kemudian dia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.

“Eh-eh…!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja.

“Byuuuuurrr…!” Thian Sin berenang menghampiri lagi.

“Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu.

“Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang maka dia pun cepat menyelam dan menjauh.

“Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan kepadamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki dara itu, menariknya hingga Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.

“Kenapa kau tadi bilang bosan?”

“Dengarlah dulu, sekarang aku tidak bosan, akan tetapi aku tahu betul bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku mau pun kepadamu. Hidup terasa hambar bila setiap hari hanya bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar sambil menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang, itu baru namanya hidup. Selama ini aku terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau ingin meniru mendiang ayah bundamu yang dulu menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita dapat melihat dunia ramai!”

Kim Hong termenung, lantas mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlalu terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru pada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.”

“Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku hendak mencari dan menantang, juga hendak mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!”

“Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan memiliki banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!”

“Justru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, ingin menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?”

Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya pada waktu dia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya.

“Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?”

“Terdengarnya menarik juga. Tapi, kenapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?”

“Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Sesudah aku mengobrak-abrik mereka, itu berarti aku sudah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka berarti aku telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Apa bila engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku pasti akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sebenarnya aku pernah mengukur kepandaian mereka, bahkan sempat menang pada waktu bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Kemudian dia menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu.

Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan aku pun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.”

“Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?”

Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan goa mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?”

Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang.

“Kim Hong, terus terang saja, dulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?”

Kim Hong menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!”

“Ihh, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah kau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya sebagai selingan hidup, untuk mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi bila mana kita sudah bosan merantau.”

“Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.”

“Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciumi dara itu. Sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.

“Ehh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!”

“Lapar? Wah, setelah kau ingatkan, aku pun merasa lapar sekali!”

“Tunggu apa lagi? Bubur telah menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!”

Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, lantas keluar dari sumber air itu dan berlari-larian bagaikan anak-anak berlomba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.

Melihat keadaan muda-mudi ini, maka timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaan itu adalah: Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu?

Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal di dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai lantas dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, meski pun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu.

Mereka hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak pada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah.

Dan suami isteri, atau dua orang yang keadaannya telah seperti mereka itu, seperti satu badan sehingga tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti jika kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.

Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat.

********************

Thian Sin bersama Kim Hong lalu melakukan perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dahulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya saja, tak tergesa-gesa, karena selama empat lima tahun ini Kim Hong hanya tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka sekarang memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, dia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya.

Oleh sebab itu mereka pun melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau bagaikan sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis. Mereka menginap di kuil-kuil kuno, namun kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.

Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, mereka sering kali cekcok, biar pun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena inilah maka sering kali mereka cekcok, walau pun sebentar kemudian mereka sudah saling cium lagi dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!

Selama dalam perjalanan itu Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang seluruh kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebenarnya bahkan lebih lihai dari pada suheng-nya itu. Dan memesan kepada Kim Hong supaya berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.

“Kiranya tingkat ilmu kepandaian silatmu tidak perlu kalah kalau berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tak kalah lihai. Akan tetapi dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Dulu aku pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.”

“Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?”

Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.

“Ehh, kenapa engkau memandangku seperti ini…?” Tiba-tiba saja Kim Hong yang melihat perbedaan pandangan mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena dia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.

“Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Sekarang bila engkau hendak melawan pun percuma karena kedua tanganmu tidak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!”

Di dalam suara Thian Sin itu pun terkandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan dia lalu mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi… benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapa pun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.

Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku akan menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapa pun engkau hendak mengelak atau menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!”

Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!

Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Kini engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!”

Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi dia benar-benar menjadi gentar.

“Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, karena itu engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.”

“Thian Sin, kau harus ajarkan aku ilmu ini agar aku dapat melawannya!”

“Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya bisa dipelajari apabila engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita selalu saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, selama di dalam perjalanan ini akan kuajarkan padamu bagaimana caranya agar engkau bisa menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Sebenarnya tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal perhatianmu tidak sampai ditarik olehnya, maka dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khikang yang amat kuat, maka latihan seperti itu sangat mudah baginya dan sebentar saja dia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga perhatiannya tidak akan mudah diseret oleh lawan.

Ketika mereka memasuki kota Si-ning, keduanya segera mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu.

Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu lalu dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Sambil berperahu mereka membuat sajak-sajak, makan daging panggang serta kacang, minum arak wangi, kemudian setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning.

Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.

Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberi tahu oleh anak buahnya tentang kehadiran Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali.

Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, terus mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu sudah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.

Cepat See-thian-ong mengumpulkan semua murid serta pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoi-nya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin, kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini sudah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu sudah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoi-nya ini.

Selain dua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biar pun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling mau pun Ciang Gu Sik, akan tetapi bila mana kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang sangat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka.
Selanjutnya,