Pendekar Sadis Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 23
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SETELAH pengumuman itu, pesta pun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apa lagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta.

Berbeda dengan dahulu ketika mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang cantik dan genit. Suasana menjadi meriah sekali ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada pula yang ikut menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Sesudah beberapa tarian dimainkan, akhirnya sebagai pengatur acara hiburan Menteri Abigan mengumumkan dengan suara lantang.

“Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang pemuda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas dan menarik, Hauw Lam!”

Terdengar tepuk sorak pada saat Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak. juga dia pun sebenarnya merasa canggung harus berhadapan dengan begitu banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah kini dia sudah menjadi seorang badut!

“Cu-wi yang terhormat,” kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya bagaikan orang bernyanyi. “Hari ini merupakan hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Sebagai seorang pengembara, saya hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!”

Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru. “Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!”

Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu sudah terdapat seekor burung dara putih yang menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap.

“Aku tidak melihat burung dara!” Tiba-tiba saja terdengar suara mengguntur dan Thian Sin langsung menengok. “Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!”

Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi. Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah.

“Ahhh, maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan tidak tahu burung dara berada di mana!” Thian Sin segera menghadapi semua tamu lalu bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. “Mohon bertanya kepada cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?”

“Ada…! Ada…!” Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para selir raja sendiri pun berteriak mengatakan ada.

Thian Sin menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu seolah-olah dia tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. “Maaf, Koksu, kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan untuk Anda!”

Tiba-tiba Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya lantas berteriak nyaring, “Inilah seekor burung bangau botak untuk Koksu!”

Dan sungguh mengherankan, di tangannya sudah terdapat seekor burung bangau besar yang kepalanya botak. Pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencoba ‘kekuatan’ koksu itu dan ternyata koksu itu dapat terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya itu, maka dia cepat mundur tiga langkah.

“Ilmu setan…!” gumamnya dan dia pun terus menjauh.

“Sayang, bangau, rupamu begini buruk sehingga Sang Koksu tak menghendakimu! Nah, kini terbanglah melayang, kembali ke sarang!” Dan bangau itu pun terbang ke atas lalu lenyap!

Semua orang bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh kecurigaan. Menteri Abigan berdiri di dekatnya, dan koksu ini lalu berbisik kepadanya.

“Menteri Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?”

“Bocah setan mana…? Ahhh, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik sekali, Koksu.”

“Bodoh! Dia itu amat berbahaya!” Koksu berkata lirih sehingga diam-diam Menteri Abigan merasa terkejut sekali. Koksu ini sungguh amat cerdik dan berbahaya sehingga dia amat mengkhawatirkan keselamatan cucu Puteri Khamila itu.

Akan tetapi yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian Sin merasa tenang karena kini dia sudah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan dia mengerti bahwa walau pun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu sepenuhnya, namun koksu itu bukan seorang ahli sihir dan juga tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan batinnya.

Betapa pun juga, sesudah melihat Sang Koksu berbisik-bisik dengan Menteri Abigan dan kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seakan-akan memberi perintah sesuatu, dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu menaruh curiga kepadanya sehingga dia tidak boleh turun tangan pada saat itu, karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal.

Maka Thian Sin segera memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah dia perlihatkan kepada Menteri Abigan serta rekan-rekannya, dan permainan ini pun mendapatkan sambutan tepuk tangan.

“Cu-wi, sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tak salah, saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan? Nah, sekarang biarlah saya menjadi sasaran. Cu-wi semua yang duduk di sebelah depan boleh menyambitkan kacang itu kepada saya dan semua kacang itu akan saya sambut dengan kedua tangan!”

Terdengar seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka amat tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh mana pun mereka menyambit.

Melihat ini, semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya kemudian jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di sana telah bertumpuk banyak kacang goreng!

Hal ini sangat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit! Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang amat menarik dan dengan senyum simpul penuh daya pikat!

“Plakkk!”

Tiba-tiba ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Maka tahulah dia bahwa koksu ini memang memiliki kelebihan dari pada orang lain, akan tetapi dia tidak khawatir. Karena sambitan koksu itu pun tersedot oleh kekuatan yang dikerahkannya pada kedua telapak tangannya, maka dia pun dapat mengukur tenaga koksu itu.

Sebaliknya, diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang sangat berpengalaman, baik dalam hal sastera mau pun silat. Maka kini dia pun menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda ini pun pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya.

Tidak mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi dalam pertunjukannya ini! Dia tadi telah mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan dan terutama sekali untuk menjaga keselamatan rajanya.

“Cukup…! Cukup…! Sayang sekali jika makanan dibuang-buang begitu saja!” kata Thian Sin sambil tertawa dan… kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlampau kuat sehingga tak sampai melukai yang menyambit, melainkan justru membuat mereka tertawa-tawa sebab kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka.

“Sekarang saya akan memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya juga akan membacakan sajak!”

Semua orang menghentikan ketawa mereka hingga keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang, juga termasuk keluarga sang raja, seakan-akan dengan sungguh-sungguh hendak mendengar permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai orang Han, karena sungguh pun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku seperti orang-orang Han lainnya.

“Pertama-tama, perkenankan saya memainkan lagu ‘Sebatang kara’.” Maka mulailah dia meniup sulingnya.

Semenjak kecil Thian Sin memang senang bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat meniup suling ini menjadi semakin sempurna dengan tenaga khikang yang kini dimilikinya sehingga pada waktu meniup, bukan sekedar tupan angin belaka, melainkan tiupan yang mengandung tenaga khikang yang kuat. Dia meniup lagu yang sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking, mengalun tinggi rendah dan membuat jantung para pendengarnya bergetar.

Para pendengar itu seakan-akan dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan, hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan sapu tangan.

Dengan nada yang semakin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya suling berhenti. Sebelum semua orang yang perasaannya terhanyut itu normal kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar penuh perasaan pula.

Bagai awan tunggal di angkasa terbawa angin semilir lembut tanpa tujuan tiada pangkalan sebatang kara tanpa harapan ayah bunda tewas bersama dikeroyok anjing serigala dendam membara membakar dada haruskah diam seribu kata biar diri banjir air mata? atau menjadi kilat bercahaya menggelepar gegap-gempita membersihkan noda dan dosa hutang dibayar budi dibalas?

Semua orang menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apa lagi karena dinyanyikan penuh perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tidak terasa lagi ada yang menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik sapu tangan-sapu tangan sutera harum.

Para tamu juga terpesona hingga sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan mereka tak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya ditinggal mati oleh ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang ini terasa menusuk hati mereka.

Menteri Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani! Nyanyiannya tadi terlampau mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran. Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang.

Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini.

Dia melihat betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini cepat mengerahkan kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya.

“Harap Paduka berhati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas dia bukanlah orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!” Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya.

Akan tetapi Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup sulingnya lagi, akan tetapi sekarang dia meniup dan memainkan lagu-lagu yang gembira sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Sesudah menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lantas menyanyikan lagu itu dengan kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya.

Kuhaturkan nyanyian ini sebagai doa dan puji kepada Pangeran Temuyin semoga berbahagia abadi bagaikan cahaya bulan bertahta di angkasa bebas dari rintangan awan yang lewat di bawahnya akan tetapi… ya Tuhan…

“Ada yang tidak beres…!” Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan itu, menjenguk ke dalam.

“Heiiii… mundur, jangan mendekati Pangeran!” Koksu Torgan berteriak sambil meloncat menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu.

Akan tetapi dengan gerakan begitu cepatnya sehingga tak nampak oleh siapa pun, Thian Sin sudah menjamah pundak bayi itu dan pemuda ini berseru, “Celaka… Pangeran telah diracuni orang…!”

Tentu saja ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendiri meloncat menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, dan tak ketinggalan selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu.

Semua orang memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit dan suasana menjadi panik.

Dalam keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata kini Thian Sin sudah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit dan membelai bukit pinggulnya.

Wajah selir ini menjadi merah sekali dan dia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus punggung dan pinggul. Selir itu agaknya takut ketahuan orang, segera menjauhi Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan.

“Jangan kerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkan Pangeran…!” Mendadak Thian Sin berseru lalu dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur.

Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan serta pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu, harap suka mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!”

“Minggir kau, setan!” kata Koksu Torgan marah kemudian mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Koksu Torgan bersama Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya ini memeriksa dengan teliti, lalu bertanya, “Bagaimana keadaannya?”

“Ahhh, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak tahu kenapa beliau tiba-tiba bisa begini…,” kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggilkan tabib…”

“Tabib tua akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata.

“Tidak, sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu.

Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersemedhi.

“Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan.

“Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan.

Akan tetapi Sang Raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka cepat-cepat dia berteriak, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!”

Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta sudah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, yakni seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main.

“Bagaimana dengan anakku?” Mendadak Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak.

“Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya…”

“Omong kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil, sekarang biarlah dia yang memeriksa!”

Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib muda pun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung.

Tabib ini memang seorang yang pandai, walau pun tidak sepandai tabib tua yang sangat berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada dirinya sendiri. “Ada hawa aneh menguasai tubuhnya… tetapi beliau ini sebenarnya tidak sakit… hamba harus memeriksa lebih teliti lagi…”

“Hemmm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan yang mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?”

Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walau pun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan… hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.

“Ehh, kau kenapa?” Koksu Torgan membentak.

Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang tadi diucapkan oleh Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khikang itu, kini menggigil dan berkata gagap, “Hamba… hamba tidak sanggup… melawan…”

Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang hingga tangis ibu pangeran itu semakin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia lalu berkata,

“Sri Baginda, apa bila paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau.”

Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang serta penuh harapan dia segera menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.”

“Tapi… tapi hamba takut kepada Koksu…”

“Takut apa?” bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!”

Namun Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon supaya semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri bersama Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.”

Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai segera memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiri pun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan tegang.

Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Secara diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itu pun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu.

Setelah semua orang mundur, barulah Thian Sin menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan begini adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apa lagi menyembuhkannya.

Dan meski pun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, akan tetapi cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya.

Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, dan membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengajanya agar semua orang dapat melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga maka diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran.

Pada saat memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin telah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam dia pun menekan urat gagunya sehingga walau pun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis.

Sekarang Thian Sin meletakkan anak yang terbungkus selimut itu di atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khikang.

“Sang Pangeran sedang dipengaruhi roh jahat…! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!”

Suasana menjadi tegang kembali walau pun tadinya semua orang sudah merasa lega dan gembira melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang bagai tersihir memandang setiap gerak-gerik Thian Sin. Mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat!

Sesudah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara yang melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak, dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguh pun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap saja memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.

Sesudah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya semakin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring.

“Iblis jahat, siapa takut padamu?!”

Maka terjadilah ‘perkelahian’ yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak sehingga tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang ‘berkelahi’ melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampaklah asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang kala pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kadang-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan.

Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sinkang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap! Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah.

“Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri.

Dia pun lantas membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja bayi itu menangis sebab Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya!

Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambutnya dengan mata basah, bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu! Semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja,

“Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang sudah menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?”

“Katakan siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.

“Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang turut mendengarkan rahasia ini,” bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu.

Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan dulu menunjukkan kemarahan sebelum orangnya dapat tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh di dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab ini adalah orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan.”

“Ahhh…!” Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin…?”

Thian Sin tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak boleh percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena nanti Paduka bisa membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan salah seorang isteri Paduka sendiri…”

“Hehhh…! Be… benarkah…? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, maka sekarang juga tentu engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

“Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu…”

Raja Agahai semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian terhadap selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?”

“Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan sesuatu benda kepada Koksu…”

“Benda apa? Benda apa, keparat?!” Raja Agahai sudah marah sekali.

“Hamba tidak tahu secara pasti, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah…”

Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta mempunyai benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya!

Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar.

“Be… benarkah…?”

“Sri baginda, mengapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang dan sabar. Apa bila hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.”

Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu…!”

Sejak tadi Koksu Torgan mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya pada waktu raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya!

Koksu Torgan terbelalak, seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!”

Apa bila dalam keadaan biasa, dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, Akan tetapi kini, dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya.

Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Dan di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya.

Sementara itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi dia siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu hendak melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu.

Dia merasa tenang sekali karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu dan tak merasa bersalah sedikit pun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah!

Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu!

Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Karena itu, dengan muka merah dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras, “Tangkap jahanam ini!”

Koksu Torgan terkejut bukan main. “Tapi… Sri Baginda…!”

Thian Sin telah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?”

Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di hadapan rajanya. Dia lalu mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju lantas menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat!

Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sinkang itu.

“Dessss…!”

Diam-diam Thian Sin kagum dengan kekuatan lawan yang mampu membuat dia merasa terdorong ke belakang sehingga kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang.

Empat orang pengawal raja langsung menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta lalu kaki tangannya bergerak dan… empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata,

“Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!”

Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata membelalak raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?”

Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, apa lagi pemuda yang berada di depannya itu sungguh-sungguh memiliki kepandaian hebat. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah…”

“Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para pengawal.

Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan kepalang, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Sementara itu, Menteri Abigan yang diam-diam merasa girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat-cepat berlutut di hadapan raja.

“Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?”

Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat.

Pada saat Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya jika Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan.”

Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan supaya semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lainnya, dia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik ini pun lalu ikut masuk kembali ke dalam istana.

Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana. Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan.

********************

Selir bangsa Biauw itu memandang dengan kedua matanya yang indah terbelalak penuh keheranan pada waktu melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Dia tadi menerima panggilan raja melalui dayang pelayan dan dia tidak merasa heran oleh panggilan ini.

Memang raja amat mencintanya dan sering kali dia menerima panggilan pada siang hari, tidak hanya pada malam hari saja. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar itu dan melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ, dia terkejut dan terheran-heran sehingga dia segera menahan langkahnya, merasa ragu-ragu apakah dia harus terus masuk ataukah tidak.

“Leng Ci, ke sinilah!” Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja begitu kakunya sehingga membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan.

Ia melangkah maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah, dia pun langsung menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apa lagi di situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu dia tidak banyak melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu raja untuk menghibur hati raja yang agaknya sedang dalam keadaan gundah.

“Leng Ci, apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?” Tiba-tiba raja bertanya dan wanita itu menjadi makin terkejut.

Leng Ci mengangkat muka dan memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar dan suaranya juga gagap ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula, “Apa… apa… maksud Paduka? Hamba tidak mengerti…”

Raja telah bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi lainnya segera bangkit dan berkata halus, “Ingat, Sri baginda, harap tenang. Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatlah bahwa dia sedang tidak dalam keadaan wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat.”

Sebelumnya tadi memang Thian Sin sempat memberi tahukan raja bahwa wanita itu pun berada di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah karangannya sendiri saja.

Sebetulnya, dalam keadaan berdesakan panik tadi, pada waktu mencubit pinggul Leng Ci Thian Sin telah mempergunakan kepandaiannya untuk mencuri peniti burung hong merah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu mendekati bayi, dia pun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula.

Raja menghela napas panjang. “Baiklah… baiklah…”

Thian Sin kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya dan betapa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya.

“Nyonya,” Thian Sin mulai berbicara dengan suara halus, akan tetapi dari nada suaranya terdengar sungguh-sungguh, “apakah nyonya kenal dengan benda ini?” tanyanya sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari raja.

Leng Ci memandang benda itu, kemudian tangan kirinya tiba-tiba meraba dada. “Aihhh… bagaimana bisa berada di situ…? Itu… itu penitiku…”

“Nah, peniti bajumu ini tadi terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu, nyonya.”

Wajah Ceng Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya. “Ah, mana mungkin…?”

“Kenyataannya demikian, masih mau mungkir?!” Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu menjadi semakin ketakutan.

“Hamba… hamba tidak tahu…”

“Nyonya, jangan takut. Mengakulah saja.” Sambil berkata begini, Thian Sin mencurahkan padang matanya yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik itu. “Engkau disuruh oleh Koksu Torgan supaya membakar kertas jimat hu di bawah ayunan Sang Pangeran, benar tidak?”

Leng Ci menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih, “Benar…”

Raja Agahai mengepal tinju, akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus.

“Kemudian, di dalam pesta dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya sebagai tanda bahwa engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?”

“Be… benar…”

“Engkau mau melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkau pun merasa iri dengan lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan hal ini karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia mengatakan bahwa jika engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa mempunyai keturunan. Benar tidak?”

“Benar…”

Thian Sin menghadapi raja. “Nah, Paduka telah mendengar sendiri. Memang selir Paduka ini sudah bersalah, tapi dia bertindak bukan atas kehendak sendiri melainkan tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang berat!”

“Dia harus dihukum, sekarang juga!” teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan.

“Akan tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka yang melakukan hal itu di luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarang pun dia masih berada dalam cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?”

Raja Agahai memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia pun terbelalak. Tanpa diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu Torgan! Maka dia mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa seram.

“Lalu bagaimana baiknya? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu.”

“Hamba sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi, melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya untuk membebaskan sang puteri. Oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya di dalam kamar tertutup selama sehari semalam.”

“Baik, bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh. Kalau dia sudah sembuh, barulah kami akan memutuskan, apa yang harus kami lakukan untuknya.”

Raja Agahai sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya itu. Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang padanya, apa lagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya.

Raja mengutus dayang untuk mengantarkan Thian ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena wanita itu sendirl juga masih bingung dengan peristiwa yang telah menimpa dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu.

Raja Agahai lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukuman mati kepada Koksu Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya, terkejut bukan main.

Mereka semua masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati terhadap koksu! Tentu saja sebagian di antara para teman Torgan merasa amat terkejut dan penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia terhadap Raja Agahai serta menjadi pembantu terbaik dan terpercaya.

Tentu saja beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, kenapa dijatuhkan hukuman mati kepada koksu. Raja Agahai kemudian berkata,

“Kalian semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat yang hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan jiwanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan lain adalah Koksu Torgan!”

“Ahhhh…!” Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum bukan main terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya dapat berhasil sejauh ini.

“Ampun, Sri Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum Paduka menjatuhkan keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka,” kata mereka.

“Hemm, kami sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia sudah menggunakan sihir menguasai seorang di antara isteri kami, lalu membakar jimat di bawah ayunan pangeran dan sampai sekarang pun isteri kami itu masih di dalam kekuasaan sihirnya dan sedang diobati oleh Hauw Lam.”

Perintah raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal kepala. Seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang ingin menentang kekuasaan raja.

********************

Sementara itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan baginya, Thian Sin segera menutup dan memalang daun pintu kamar, kemudian dia pun melepaskan kekuatan sihirnya atas diri wanita itu.

Wanita itu tersadar dan terkejut sekali mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu, dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia melihat Thian Sin berada di situ, duduk dan memandang kepadanya. Meski pun wanita itu merasa jantungnya berdebar dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguh pun dia mengambil sikap seperti orang marah.

“Kenapa aku berada di sini? Biarkan aku keluar!” Ucapannya ini dengan nada membentak dan marah.

Thian Sin tersenyum. “Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di dalam saku baju Koksu?”

Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, maka mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. “Ahh… apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?”

“Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi.”

Muka itu semakin pucat. “Ahh, mana mungkin begitu? Aku… aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu…”

“Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda maka sudah semestinya kalau engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati.”

“Ahhh…!” Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. “Tapi… tapi mengapa aku berada di kamar ini bersamamu…?”

“Aku sudah menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau sudah terbebas dan engkau sudah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala.”

“Aihhh…” Leng Ci menggerakkan tangannya sehingga otomatis tangannya itu memegang lehernya. Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia berkata, “Ahh, kalau begitu… engkau sudah menyelamatkan nyawaku… tetapi… tetapi bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku…?”

Thian Sin tersenyum. “Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan tetapi, sesudah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu imbalan atau hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?”

Wanita itu segera melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah menyangkut kehidupannya dan keselamatannya. Sesudah dia teringat akan segala yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan menjadi satu-satunya orang yang mampu menyelamatkan dirinya.

“Kongcu… tolonglah saya… imbalan apa saja yang kongcu kehendaki, pasti akan saya berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya.”

Thian Sin tersenyum. “Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja. Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan.”

“Lalu apa lagi yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi…!” Leng Ci berkata dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah.

Thian Sin tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat. “Nona Leng Ci, pada saat belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku melihat sinar matamu ketika memandangku dan gerak bibirmu saat tersenyum kepadaku. Kemudian, ketika aku meraba dan membelai pinggulmu, engkau sama sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?”

Menerima pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya, seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat dia lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali dia cemberut, matanya mengerling penuh tantangan mesra, ada pun bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan yang membuat bibir itu tampak makin menggairahkan, lalu katanya lirih, “Habis, engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu…”

“Bukankah itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu lantas mengajakmu saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, maka engkau akan menerimanya dengan hati girang?”

Menghadapi kata-kata yang luar biasa beraninya itu, dan membuka segala-galanya tanpa pura-pura lagi itu, Leng Ci cepat menundukkan mukanya karena dia merasa malu sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa dia amat tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini.

“Ihhhh… siapa jatuh cinta…?” Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin.

“Nona Leng Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan sekarang akan melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta kepada nona yang sangat cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, dan bukan pula karena hanya sekedar membalas jasa…” Sambil menghentikan kata-katanya dan menatap dengan sinar mata penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita itu.

Biar pun wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak dibuat-buat, akan tetapi Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan Thian Sin, membiarkan dua lengan itu melingkari tubuhnya dan dia pun tak menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga dia terduduk di atas pangkuan pemuda itu.

“Engkau senang begini?” tanya Thian Sin. “Bukan hanya untuk membalas budi?”

Wanita itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi tubuhnya gemetar dan dia pun berkata, “Tapi… tapi… Sri Baginda…”

Thian Sin melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri.

“Ahh, kiranya dalam keadaan begini pun engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?”

“Bukan… bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir, sesudah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam serbuan itu. Aku lalu dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan diri serta untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu? Akan tetapi… tadi aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui hubungan kita?”

“Aku tertarik dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu. Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!”

“Tidak… tidak, kongcu… ahh, tentu saja aku lebih suka padamu. Kalau memang engkau mau melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biarlah mati hidup aku selalu bersamamu.” Wanita itu menubruk dan merangkulnya.

Melihat wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum. “Bagus! Nah, mulai sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?”

Wanita cantik itu mengangguk dan menahan isaknya pada saat Thian Sin mendekap dan menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin memondongnya dan segera keduanya tenggelam di dalam buaian natsu birahi yang amat panas.

Sejak pergi meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, sudah lebih dari setengah tahun Than Sin sama sekali tak pernah berdekatan atau berhubungan dengan wanita. Selama berbulan-bulan dia menggembleng diri bertapa dan memperdalam ilmunya sambil menahan nafsunya.

Sedangkan Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria tua yang sesungguhnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apa bila pertemuan antara mereka tak ubahnya seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, di mana ikan itu dapat berenang sepuasnya.

Dengan dalih ‘mengobati’ Leng Ci, maka Thian Sin dapat bersenang-senang sepuasnya dengan wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tak berani mengganggunya. Raja itu hanya dapat bertanya dari luar pintu saja bila mana menanyakan keadaan selirnya tercinta.

“Sedikit lagi Sri Baginda,” Thian Sin menjawab dari dalam kamar. “Harap Paduka bersabar dan jangan diganggu…”

“Tapi, Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?” bantah Sang Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu.

“Justru itulah!” jawab Thian Sin cepat, “Rohnya yang jahat itu sedang membalas dendam dan hendak mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka.”

Dengan alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para dayang yang melayani mereka, yang mengantar makan minum dan sebagainya, hanya dibolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk. Mereka itu hanya dapat melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu!

Tentu saja semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Sekarang wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, amat tunduk dan taat karena memang wanita itu sudah betul-betul jatuh cinta kepada Thian Sin. Dan pada waktu malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu mengunci semua pintu dan jendela.

Dia sendiri keluar melalui jendela untuk mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan rekan-rekannya yang menyiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan mereka menentang Raja Agahai. Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai menyadarkan para panglima serta pembesar akan kelaliman Agahai, juga mulai memindah-mindahkan tugas penjagaan melalui beberapa orang panglima yang berpihak kepada komplotan ini sehingga pada saat yang telah direncanakan, para pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka!

Tiga hari kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama sekali.

Tentu saja berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapa pun juga, di dalam hatinya ada rasa cemburu mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita dan manis itu, sudah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu kamar.

Karena keinginan tahu yang sangat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya, maka Raja Agahai menjadi lengah dan langsung dia setengah berlari menuju ke kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan kekasihnya, juga ingin segera dapat memeluknya kembali.

“Silakan masuk!” terdengar suara Thian Sin, “Daun pintu tidak terkunci.”

Raja Agahai mendorong daun pintu lantas memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul.

Ketika Raja Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali, dan dia lalu melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan langkah kakinya seketika terhenti.

Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia kini kembali melangkah maju menghampiri untuk bisa melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi, penglihatan matanya tidak berubah, masih tetap seperti tadi, yaitu Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis dan kusut, seperti juga rambutnya, tengah duduk di atas pangkuan pemuda itu!

Seperti seekor kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda itu dengan sepasang lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan! Dan Thian Sin seolah-olah tidak melihat kedatangan raja itu, kemudian menunduk dan pada lain saat keduanya telah berciuman dengan mesra sekali.

Raja itu melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul makin ketat. Mereka berciuman lama sekali dan Thian Sin baru menghentikan ciumannya setelah mendengar sang Raja membentak.

“Keparat! Apa artinya ini?” Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Thian Sin yang dianggap sebagai penyelamat puteranya dan pembongkar rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih merasa ragu. Siapa tahu apa yang dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya!

Thian Sin mengangkat muka memandang, lalu tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja langsung terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena sedang kehausan ataukah terlalu puas, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan seorang wanita yang sedang dalam puncak birahi.

Thian Sin mengecup bibir Leng Ci lalu berkata, “Manis, si tua bangka ini telah datang, kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya.”

Leng Ci tersenyum dan mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di tengah-tengah pembaringan. Baju dalamnya tersingkap hingga nampak bukit buah dadanya yang biasanya sangat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, kini wajah Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking terkejut dan marahnya sesudah mendengar ucapan Thian Sin tadi.

“Hauw Lam! Apa artinya ini?” Kembali dia membentak.

Thian Sin turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong yang menakutkan Sang Raja.

“Artinya, Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci sudah menjadi kekasihku, bahwa kini tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau sudah buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!”

Mendengar kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak.

“Apa artinya ini…? Siapa… siapa engkau…?”

“Hemmm, raja lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha-ha, sungguh engkau manusia yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Torgan, melainkan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan tidak pernah berbuat apa pun terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang, Agahai?”

Tentu saja Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main. “Tapi… mengapa? Apa yang terjadi?” Raja itu berteriak bingung.

“Kepadamu aku pernah mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam (putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian Sin…”

Raja Agahai undur selangkah. “Apa…?! Kau… kau Ceng… Ceng Thian Sin…!”

“Ha-ha-ha, baru engkau teringat sekarang?”

“Thian Sin! Engkau… cucu keponakanku sendiri…!”

“Tak perlu kau bersandiwara lagi, Agahai. Ayah bundaku tewas karena pengeroyokan, dan engkau juga memegang peran dalam pembunuhan itu. Engkau mengirim pasukan pilihan untuk ikut mengeroyoknya. Engkau berhutang nyawa ayah bundaku!”

Mendengar ucapan ini, Raja Agahai baru sadar bahwa dirinya terancam bahaya. Cepat dia membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin telah berdiri di depannya, menghadang antara dia dan pintu. Marahlah Agahai. Betapa pun juga, dia bukanlah seorang pria lemah. Dicabutnya pedang dari pinggangnya.

“Pengkhianat busuk!” bentaknya dan pedangnya menyambar.

Akan tetapi, dengan tenang saja Thian Sin menggerakkan tangannya menyambut pedang itu, mencengkeram pedang dengan tangan kirinya.

“Kraakkk!”

Pedang itu pun patah-patah, seolah-olah terbuat dari pada benda yang lunak saja. Agahai memandang dengan mata terbelalak dan kini wajahnya menjadi benar-benar pucat.

“Pengawal…!” teriaknya dengan suara lantang memanggil para pengawal pribadinya.

Akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sunyi saja di luar kamar itu, hanya terdengar suara beradunya senjata agak jauh dari situ, dan suara hiruk-pikuk orang berkelahi.

Thian Sin tersenyum. “Semua pengawal serta pembantumu pada saat ini sedang diserbu dan dibasmi. Engkau harus berhadapan dengan aku tanpa bantuan siapa pun!”

Raja Agahai menjadi amat ketakutan dan karena ingin meloloskan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan suara bagai seekor srigala kelaparan, dia meloncat dan menerkam pemuda itu dengan kedua tangan menyerang dari kanan kiri.

“Plakkk!”

Thian Sin menampar, tidak mengerahkan tenaga terlalu besar hingga raja itu terpelanting, pipi kanannya bengkak dan membiru. Sejenak Agahai nanar dan matanya liar, bagaikan mata seekor harimau yang sedang tersudut. Thian Sin berdiri dengan bertolak pinggang, menghadang di depan pintu, tersenyum, namun senyuman yang mengandung kebencian mengerikan.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 23

Pendekar Sadis Jilid 23
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SETELAH pengumuman itu, pesta pun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apa lagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta.

Berbeda dengan dahulu ketika mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang cantik dan genit. Suasana menjadi meriah sekali ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada pula yang ikut menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Sesudah beberapa tarian dimainkan, akhirnya sebagai pengatur acara hiburan Menteri Abigan mengumumkan dengan suara lantang.

“Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang pemuda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas dan menarik, Hauw Lam!”

Terdengar tepuk sorak pada saat Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak. juga dia pun sebenarnya merasa canggung harus berhadapan dengan begitu banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah kini dia sudah menjadi seorang badut!

“Cu-wi yang terhormat,” kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya bagaikan orang bernyanyi. “Hari ini merupakan hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Sebagai seorang pengembara, saya hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!”

Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru. “Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!”

Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu sudah terdapat seekor burung dara putih yang menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap.

“Aku tidak melihat burung dara!” Tiba-tiba saja terdengar suara mengguntur dan Thian Sin langsung menengok. “Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!”

Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi. Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah.

“Ahhh, maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan tidak tahu burung dara berada di mana!” Thian Sin segera menghadapi semua tamu lalu bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. “Mohon bertanya kepada cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?”

“Ada…! Ada…!” Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para selir raja sendiri pun berteriak mengatakan ada.

Thian Sin menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu seolah-olah dia tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. “Maaf, Koksu, kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan untuk Anda!”

Tiba-tiba Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya lantas berteriak nyaring, “Inilah seekor burung bangau botak untuk Koksu!”

Dan sungguh mengherankan, di tangannya sudah terdapat seekor burung bangau besar yang kepalanya botak. Pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencoba ‘kekuatan’ koksu itu dan ternyata koksu itu dapat terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya itu, maka dia cepat mundur tiga langkah.

“Ilmu setan…!” gumamnya dan dia pun terus menjauh.

“Sayang, bangau, rupamu begini buruk sehingga Sang Koksu tak menghendakimu! Nah, kini terbanglah melayang, kembali ke sarang!” Dan bangau itu pun terbang ke atas lalu lenyap!

Semua orang bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh kecurigaan. Menteri Abigan berdiri di dekatnya, dan koksu ini lalu berbisik kepadanya.

“Menteri Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?”

“Bocah setan mana…? Ahhh, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik sekali, Koksu.”

“Bodoh! Dia itu amat berbahaya!” Koksu berkata lirih sehingga diam-diam Menteri Abigan merasa terkejut sekali. Koksu ini sungguh amat cerdik dan berbahaya sehingga dia amat mengkhawatirkan keselamatan cucu Puteri Khamila itu.

Akan tetapi yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian Sin merasa tenang karena kini dia sudah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan dia mengerti bahwa walau pun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu sepenuhnya, namun koksu itu bukan seorang ahli sihir dan juga tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan batinnya.

Betapa pun juga, sesudah melihat Sang Koksu berbisik-bisik dengan Menteri Abigan dan kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seakan-akan memberi perintah sesuatu, dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu menaruh curiga kepadanya sehingga dia tidak boleh turun tangan pada saat itu, karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal.

Maka Thian Sin segera memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah dia perlihatkan kepada Menteri Abigan serta rekan-rekannya, dan permainan ini pun mendapatkan sambutan tepuk tangan.

“Cu-wi, sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tak salah, saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan? Nah, sekarang biarlah saya menjadi sasaran. Cu-wi semua yang duduk di sebelah depan boleh menyambitkan kacang itu kepada saya dan semua kacang itu akan saya sambut dengan kedua tangan!”

Terdengar seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka amat tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh mana pun mereka menyambit.

Melihat ini, semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya kemudian jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di sana telah bertumpuk banyak kacang goreng!

Hal ini sangat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit! Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang amat menarik dan dengan senyum simpul penuh daya pikat!

“Plakkk!”

Tiba-tiba ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Maka tahulah dia bahwa koksu ini memang memiliki kelebihan dari pada orang lain, akan tetapi dia tidak khawatir. Karena sambitan koksu itu pun tersedot oleh kekuatan yang dikerahkannya pada kedua telapak tangannya, maka dia pun dapat mengukur tenaga koksu itu.

Sebaliknya, diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang sangat berpengalaman, baik dalam hal sastera mau pun silat. Maka kini dia pun menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda ini pun pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya.

Tidak mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi dalam pertunjukannya ini! Dia tadi telah mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan dan terutama sekali untuk menjaga keselamatan rajanya.

“Cukup…! Cukup…! Sayang sekali jika makanan dibuang-buang begitu saja!” kata Thian Sin sambil tertawa dan… kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlampau kuat sehingga tak sampai melukai yang menyambit, melainkan justru membuat mereka tertawa-tawa sebab kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka.

“Sekarang saya akan memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya juga akan membacakan sajak!”

Semua orang menghentikan ketawa mereka hingga keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang, juga termasuk keluarga sang raja, seakan-akan dengan sungguh-sungguh hendak mendengar permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai orang Han, karena sungguh pun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku seperti orang-orang Han lainnya.

“Pertama-tama, perkenankan saya memainkan lagu ‘Sebatang kara’.” Maka mulailah dia meniup sulingnya.

Semenjak kecil Thian Sin memang senang bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat meniup suling ini menjadi semakin sempurna dengan tenaga khikang yang kini dimilikinya sehingga pada waktu meniup, bukan sekedar tupan angin belaka, melainkan tiupan yang mengandung tenaga khikang yang kuat. Dia meniup lagu yang sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking, mengalun tinggi rendah dan membuat jantung para pendengarnya bergetar.

Para pendengar itu seakan-akan dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan, hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan sapu tangan.

Dengan nada yang semakin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya suling berhenti. Sebelum semua orang yang perasaannya terhanyut itu normal kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar penuh perasaan pula.

Bagai awan tunggal di angkasa terbawa angin semilir lembut tanpa tujuan tiada pangkalan sebatang kara tanpa harapan ayah bunda tewas bersama dikeroyok anjing serigala dendam membara membakar dada haruskah diam seribu kata biar diri banjir air mata? atau menjadi kilat bercahaya menggelepar gegap-gempita membersihkan noda dan dosa hutang dibayar budi dibalas?

Semua orang menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apa lagi karena dinyanyikan penuh perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tidak terasa lagi ada yang menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik sapu tangan-sapu tangan sutera harum.

Para tamu juga terpesona hingga sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan mereka tak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya ditinggal mati oleh ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang ini terasa menusuk hati mereka.

Menteri Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani! Nyanyiannya tadi terlampau mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran. Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang.

Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini.

Dia melihat betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini cepat mengerahkan kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya.

“Harap Paduka berhati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas dia bukanlah orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!” Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya.

Akan tetapi Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup sulingnya lagi, akan tetapi sekarang dia meniup dan memainkan lagu-lagu yang gembira sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Sesudah menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lantas menyanyikan lagu itu dengan kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya.

Kuhaturkan nyanyian ini sebagai doa dan puji kepada Pangeran Temuyin semoga berbahagia abadi bagaikan cahaya bulan bertahta di angkasa bebas dari rintangan awan yang lewat di bawahnya akan tetapi… ya Tuhan…

“Ada yang tidak beres…!” Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan itu, menjenguk ke dalam.

“Heiiii… mundur, jangan mendekati Pangeran!” Koksu Torgan berteriak sambil meloncat menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu.

Akan tetapi dengan gerakan begitu cepatnya sehingga tak nampak oleh siapa pun, Thian Sin sudah menjamah pundak bayi itu dan pemuda ini berseru, “Celaka… Pangeran telah diracuni orang…!”

Tentu saja ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendiri meloncat menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, dan tak ketinggalan selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu.

Semua orang memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit dan suasana menjadi panik.

Dalam keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata kini Thian Sin sudah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit dan membelai bukit pinggulnya.

Wajah selir ini menjadi merah sekali dan dia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus punggung dan pinggul. Selir itu agaknya takut ketahuan orang, segera menjauhi Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan.

“Jangan kerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkan Pangeran…!” Mendadak Thian Sin berseru lalu dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur.

Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan serta pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu, harap suka mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!”

“Minggir kau, setan!” kata Koksu Torgan marah kemudian mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Koksu Torgan bersama Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya ini memeriksa dengan teliti, lalu bertanya, “Bagaimana keadaannya?”

“Ahhh, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak tahu kenapa beliau tiba-tiba bisa begini…,” kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggilkan tabib…”

“Tabib tua akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata.

“Tidak, sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu.

Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersemedhi.

“Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan.

“Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan.

Akan tetapi Sang Raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka cepat-cepat dia berteriak, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!”

Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta sudah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, yakni seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main.

“Bagaimana dengan anakku?” Mendadak Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak.

“Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya…”

“Omong kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil, sekarang biarlah dia yang memeriksa!”

Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib muda pun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung.

Tabib ini memang seorang yang pandai, walau pun tidak sepandai tabib tua yang sangat berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada dirinya sendiri. “Ada hawa aneh menguasai tubuhnya… tetapi beliau ini sebenarnya tidak sakit… hamba harus memeriksa lebih teliti lagi…”

“Hemmm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan yang mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?”

Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walau pun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan… hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.

“Ehh, kau kenapa?” Koksu Torgan membentak.

Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang tadi diucapkan oleh Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khikang itu, kini menggigil dan berkata gagap, “Hamba… hamba tidak sanggup… melawan…”

Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang hingga tangis ibu pangeran itu semakin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia lalu berkata,

“Sri Baginda, apa bila paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau.”

Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang serta penuh harapan dia segera menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.”

“Tapi… tapi hamba takut kepada Koksu…”

“Takut apa?” bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!”

Namun Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon supaya semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri bersama Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.”

Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai segera memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiri pun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan tegang.

Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Secara diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itu pun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu.

Setelah semua orang mundur, barulah Thian Sin menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan begini adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apa lagi menyembuhkannya.

Dan meski pun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, akan tetapi cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya.

Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, dan membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengajanya agar semua orang dapat melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga maka diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran.

Pada saat memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin telah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam dia pun menekan urat gagunya sehingga walau pun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis.

Sekarang Thian Sin meletakkan anak yang terbungkus selimut itu di atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khikang.

“Sang Pangeran sedang dipengaruhi roh jahat…! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!”

Suasana menjadi tegang kembali walau pun tadinya semua orang sudah merasa lega dan gembira melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang bagai tersihir memandang setiap gerak-gerik Thian Sin. Mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat!

Sesudah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara yang melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak, dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguh pun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap saja memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan.

Sesudah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya semakin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring.

“Iblis jahat, siapa takut padamu?!”

Maka terjadilah ‘perkelahian’ yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak sehingga tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang ‘berkelahi’ melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampaklah asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang kala pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kadang-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan.

Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sinkang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap! Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah.

“Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri.

Dia pun lantas membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja bayi itu menangis sebab Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya!

Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambutnya dengan mata basah, bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu! Semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja,

“Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang sudah menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?”

“Katakan siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju.

“Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang turut mendengarkan rahasia ini,” bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu.

Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan dulu menunjukkan kemarahan sebelum orangnya dapat tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh di dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab ini adalah orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan.”

“Ahhh…!” Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin…?”

Thian Sin tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak boleh percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena nanti Paduka bisa membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan salah seorang isteri Paduka sendiri…”

“Hehhh…! Be… benarkah…? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, maka sekarang juga tentu engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

“Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu…”

Raja Agahai semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian terhadap selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?”

“Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan sesuatu benda kepada Koksu…”

“Benda apa? Benda apa, keparat?!” Raja Agahai sudah marah sekali.

“Hamba tidak tahu secara pasti, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah…”

Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta mempunyai benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya!

Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar.

“Be… benarkah…?”

“Sri baginda, mengapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang dan sabar. Apa bila hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.”

Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu…!”

Sejak tadi Koksu Torgan mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya pada waktu raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya!

Koksu Torgan terbelalak, seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!”

Apa bila dalam keadaan biasa, dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, Akan tetapi kini, dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya.

Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Dan di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya.

Sementara itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi dia siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu hendak melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu.

Dia merasa tenang sekali karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu dan tak merasa bersalah sedikit pun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah!

Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu!

Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Karena itu, dengan muka merah dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras, “Tangkap jahanam ini!”

Koksu Torgan terkejut bukan main. “Tapi… Sri Baginda…!”

Thian Sin telah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?”

Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di hadapan rajanya. Dia lalu mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju lantas menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat!

Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sinkang itu.

“Dessss…!”

Diam-diam Thian Sin kagum dengan kekuatan lawan yang mampu membuat dia merasa terdorong ke belakang sehingga kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang.

Empat orang pengawal raja langsung menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta lalu kaki tangannya bergerak dan… empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata,

“Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!”

Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata membelalak raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?”

Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, apa lagi pemuda yang berada di depannya itu sungguh-sungguh memiliki kepandaian hebat. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah…”

“Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para pengawal.

Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan kepalang, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Sementara itu, Menteri Abigan yang diam-diam merasa girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat-cepat berlutut di hadapan raja.

“Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?”

Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat.

Pada saat Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya jika Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan.”

Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan supaya semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lainnya, dia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik ini pun lalu ikut masuk kembali ke dalam istana.

Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana. Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan.

********************

Selir bangsa Biauw itu memandang dengan kedua matanya yang indah terbelalak penuh keheranan pada waktu melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Dia tadi menerima panggilan raja melalui dayang pelayan dan dia tidak merasa heran oleh panggilan ini.

Memang raja amat mencintanya dan sering kali dia menerima panggilan pada siang hari, tidak hanya pada malam hari saja. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar itu dan melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ, dia terkejut dan terheran-heran sehingga dia segera menahan langkahnya, merasa ragu-ragu apakah dia harus terus masuk ataukah tidak.

“Leng Ci, ke sinilah!” Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja begitu kakunya sehingga membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan.

Ia melangkah maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah, dia pun langsung menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apa lagi di situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu dia tidak banyak melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu raja untuk menghibur hati raja yang agaknya sedang dalam keadaan gundah.

“Leng Ci, apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?” Tiba-tiba raja bertanya dan wanita itu menjadi makin terkejut.

Leng Ci mengangkat muka dan memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar dan suaranya juga gagap ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula, “Apa… apa… maksud Paduka? Hamba tidak mengerti…”

Raja telah bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi lainnya segera bangkit dan berkata halus, “Ingat, Sri baginda, harap tenang. Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatlah bahwa dia sedang tidak dalam keadaan wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat.”

Sebelumnya tadi memang Thian Sin sempat memberi tahukan raja bahwa wanita itu pun berada di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah karangannya sendiri saja.

Sebetulnya, dalam keadaan berdesakan panik tadi, pada waktu mencubit pinggul Leng Ci Thian Sin telah mempergunakan kepandaiannya untuk mencuri peniti burung hong merah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu mendekati bayi, dia pun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula.

Raja menghela napas panjang. “Baiklah… baiklah…”

Thian Sin kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya dan betapa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya.

“Nyonya,” Thian Sin mulai berbicara dengan suara halus, akan tetapi dari nada suaranya terdengar sungguh-sungguh, “apakah nyonya kenal dengan benda ini?” tanyanya sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari raja.

Leng Ci memandang benda itu, kemudian tangan kirinya tiba-tiba meraba dada. “Aihhh… bagaimana bisa berada di situ…? Itu… itu penitiku…”

“Nah, peniti bajumu ini tadi terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu, nyonya.”

Wajah Ceng Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya. “Ah, mana mungkin…?”

“Kenyataannya demikian, masih mau mungkir?!” Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu menjadi semakin ketakutan.

“Hamba… hamba tidak tahu…”

“Nyonya, jangan takut. Mengakulah saja.” Sambil berkata begini, Thian Sin mencurahkan padang matanya yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik itu. “Engkau disuruh oleh Koksu Torgan supaya membakar kertas jimat hu di bawah ayunan Sang Pangeran, benar tidak?”

Leng Ci menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih, “Benar…”

Raja Agahai mengepal tinju, akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus.

“Kemudian, di dalam pesta dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya sebagai tanda bahwa engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?”

“Be… benar…”

“Engkau mau melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkau pun merasa iri dengan lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan hal ini karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia mengatakan bahwa jika engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa mempunyai keturunan. Benar tidak?”

“Benar…”

Thian Sin menghadapi raja. “Nah, Paduka telah mendengar sendiri. Memang selir Paduka ini sudah bersalah, tapi dia bertindak bukan atas kehendak sendiri melainkan tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang berat!”

“Dia harus dihukum, sekarang juga!” teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan.

“Akan tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka yang melakukan hal itu di luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarang pun dia masih berada dalam cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?”

Raja Agahai memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia pun terbelalak. Tanpa diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu Torgan! Maka dia mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa seram.

“Lalu bagaimana baiknya? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu.”

“Hamba sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi, melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya untuk membebaskan sang puteri. Oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya di dalam kamar tertutup selama sehari semalam.”

“Baik, bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh. Kalau dia sudah sembuh, barulah kami akan memutuskan, apa yang harus kami lakukan untuknya.”

Raja Agahai sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya itu. Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang padanya, apa lagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya.

Raja mengutus dayang untuk mengantarkan Thian ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena wanita itu sendirl juga masih bingung dengan peristiwa yang telah menimpa dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu.

Raja Agahai lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukuman mati kepada Koksu Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya, terkejut bukan main.

Mereka semua masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati terhadap koksu! Tentu saja sebagian di antara para teman Torgan merasa amat terkejut dan penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia terhadap Raja Agahai serta menjadi pembantu terbaik dan terpercaya.

Tentu saja beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, kenapa dijatuhkan hukuman mati kepada koksu. Raja Agahai kemudian berkata,

“Kalian semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat yang hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan jiwanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan lain adalah Koksu Torgan!”

“Ahhhh…!” Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum bukan main terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya dapat berhasil sejauh ini.

“Ampun, Sri Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum Paduka menjatuhkan keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka,” kata mereka.

“Hemm, kami sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia sudah menggunakan sihir menguasai seorang di antara isteri kami, lalu membakar jimat di bawah ayunan pangeran dan sampai sekarang pun isteri kami itu masih di dalam kekuasaan sihirnya dan sedang diobati oleh Hauw Lam.”

Perintah raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal kepala. Seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang ingin menentang kekuasaan raja.

********************

Sementara itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan baginya, Thian Sin segera menutup dan memalang daun pintu kamar, kemudian dia pun melepaskan kekuatan sihirnya atas diri wanita itu.

Wanita itu tersadar dan terkejut sekali mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu, dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia melihat Thian Sin berada di situ, duduk dan memandang kepadanya. Meski pun wanita itu merasa jantungnya berdebar dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguh pun dia mengambil sikap seperti orang marah.

“Kenapa aku berada di sini? Biarkan aku keluar!” Ucapannya ini dengan nada membentak dan marah.

Thian Sin tersenyum. “Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di dalam saku baju Koksu?”

Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, maka mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. “Ahh… apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?”

“Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi.”

Muka itu semakin pucat. “Ahh, mana mungkin begitu? Aku… aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu…”

“Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda maka sudah semestinya kalau engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati.”

“Ahhh…!” Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. “Tapi… tapi mengapa aku berada di kamar ini bersamamu…?”

“Aku sudah menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau sudah terbebas dan engkau sudah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala.”

“Aihhh…” Leng Ci menggerakkan tangannya sehingga otomatis tangannya itu memegang lehernya. Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia berkata, “Ahh, kalau begitu… engkau sudah menyelamatkan nyawaku… tetapi… tetapi bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku…?”

Thian Sin tersenyum. “Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan tetapi, sesudah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu imbalan atau hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?”

Wanita itu segera melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah menyangkut kehidupannya dan keselamatannya. Sesudah dia teringat akan segala yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan menjadi satu-satunya orang yang mampu menyelamatkan dirinya.

“Kongcu… tolonglah saya… imbalan apa saja yang kongcu kehendaki, pasti akan saya berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya.”

Thian Sin tersenyum. “Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja. Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan.”

“Lalu apa lagi yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi…!” Leng Ci berkata dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah.

Thian Sin tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat. “Nona Leng Ci, pada saat belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku melihat sinar matamu ketika memandangku dan gerak bibirmu saat tersenyum kepadaku. Kemudian, ketika aku meraba dan membelai pinggulmu, engkau sama sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?”

Menerima pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya, seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat dia lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali dia cemberut, matanya mengerling penuh tantangan mesra, ada pun bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan yang membuat bibir itu tampak makin menggairahkan, lalu katanya lirih, “Habis, engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu…”

“Bukankah itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu lantas mengajakmu saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, maka engkau akan menerimanya dengan hati girang?”

Menghadapi kata-kata yang luar biasa beraninya itu, dan membuka segala-galanya tanpa pura-pura lagi itu, Leng Ci cepat menundukkan mukanya karena dia merasa malu sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa dia amat tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini.

“Ihhhh… siapa jatuh cinta…?” Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin.

“Nona Leng Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan sekarang akan melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta kepada nona yang sangat cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, dan bukan pula karena hanya sekedar membalas jasa…” Sambil menghentikan kata-katanya dan menatap dengan sinar mata penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita itu.

Biar pun wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak dibuat-buat, akan tetapi Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan Thian Sin, membiarkan dua lengan itu melingkari tubuhnya dan dia pun tak menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga dia terduduk di atas pangkuan pemuda itu.

“Engkau senang begini?” tanya Thian Sin. “Bukan hanya untuk membalas budi?”

Wanita itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi tubuhnya gemetar dan dia pun berkata, “Tapi… tapi… Sri Baginda…”

Thian Sin melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri.

“Ahh, kiranya dalam keadaan begini pun engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?”

“Bukan… bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir, sesudah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam serbuan itu. Aku lalu dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan diri serta untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu? Akan tetapi… tadi aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui hubungan kita?”

“Aku tertarik dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu. Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!”

“Tidak… tidak, kongcu… ahh, tentu saja aku lebih suka padamu. Kalau memang engkau mau melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biarlah mati hidup aku selalu bersamamu.” Wanita itu menubruk dan merangkulnya.

Melihat wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum. “Bagus! Nah, mulai sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?”

Wanita cantik itu mengangguk dan menahan isaknya pada saat Thian Sin mendekap dan menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin memondongnya dan segera keduanya tenggelam di dalam buaian natsu birahi yang amat panas.

Sejak pergi meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, sudah lebih dari setengah tahun Than Sin sama sekali tak pernah berdekatan atau berhubungan dengan wanita. Selama berbulan-bulan dia menggembleng diri bertapa dan memperdalam ilmunya sambil menahan nafsunya.

Sedangkan Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria tua yang sesungguhnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apa bila pertemuan antara mereka tak ubahnya seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, di mana ikan itu dapat berenang sepuasnya.

Dengan dalih ‘mengobati’ Leng Ci, maka Thian Sin dapat bersenang-senang sepuasnya dengan wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tak berani mengganggunya. Raja itu hanya dapat bertanya dari luar pintu saja bila mana menanyakan keadaan selirnya tercinta.

“Sedikit lagi Sri Baginda,” Thian Sin menjawab dari dalam kamar. “Harap Paduka bersabar dan jangan diganggu…”

“Tapi, Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?” bantah Sang Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu.

“Justru itulah!” jawab Thian Sin cepat, “Rohnya yang jahat itu sedang membalas dendam dan hendak mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka.”

Dengan alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para dayang yang melayani mereka, yang mengantar makan minum dan sebagainya, hanya dibolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk. Mereka itu hanya dapat melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu!

Tentu saja semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Sekarang wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, amat tunduk dan taat karena memang wanita itu sudah betul-betul jatuh cinta kepada Thian Sin. Dan pada waktu malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu mengunci semua pintu dan jendela.

Dia sendiri keluar melalui jendela untuk mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan rekan-rekannya yang menyiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan mereka menentang Raja Agahai. Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai menyadarkan para panglima serta pembesar akan kelaliman Agahai, juga mulai memindah-mindahkan tugas penjagaan melalui beberapa orang panglima yang berpihak kepada komplotan ini sehingga pada saat yang telah direncanakan, para pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka!

Tiga hari kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama sekali.

Tentu saja berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapa pun juga, di dalam hatinya ada rasa cemburu mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita dan manis itu, sudah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu kamar.

Karena keinginan tahu yang sangat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya, maka Raja Agahai menjadi lengah dan langsung dia setengah berlari menuju ke kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan kekasihnya, juga ingin segera dapat memeluknya kembali.

“Silakan masuk!” terdengar suara Thian Sin, “Daun pintu tidak terkunci.”

Raja Agahai mendorong daun pintu lantas memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul.

Ketika Raja Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali, dan dia lalu melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan langkah kakinya seketika terhenti.

Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia kini kembali melangkah maju menghampiri untuk bisa melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi, penglihatan matanya tidak berubah, masih tetap seperti tadi, yaitu Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis dan kusut, seperti juga rambutnya, tengah duduk di atas pangkuan pemuda itu!

Seperti seekor kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda itu dengan sepasang lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan! Dan Thian Sin seolah-olah tidak melihat kedatangan raja itu, kemudian menunduk dan pada lain saat keduanya telah berciuman dengan mesra sekali.

Raja itu melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul makin ketat. Mereka berciuman lama sekali dan Thian Sin baru menghentikan ciumannya setelah mendengar sang Raja membentak.

“Keparat! Apa artinya ini?” Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Thian Sin yang dianggap sebagai penyelamat puteranya dan pembongkar rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih merasa ragu. Siapa tahu apa yang dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya!

Thian Sin mengangkat muka memandang, lalu tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja langsung terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena sedang kehausan ataukah terlalu puas, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan seorang wanita yang sedang dalam puncak birahi.

Thian Sin mengecup bibir Leng Ci lalu berkata, “Manis, si tua bangka ini telah datang, kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya.”

Leng Ci tersenyum dan mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di tengah-tengah pembaringan. Baju dalamnya tersingkap hingga nampak bukit buah dadanya yang biasanya sangat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, kini wajah Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking terkejut dan marahnya sesudah mendengar ucapan Thian Sin tadi.

“Hauw Lam! Apa artinya ini?” Kembali dia membentak.

Thian Sin turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong yang menakutkan Sang Raja.

“Artinya, Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci sudah menjadi kekasihku, bahwa kini tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau sudah buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!”

Mendengar kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak.

“Apa artinya ini…? Siapa… siapa engkau…?”

“Hemmm, raja lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha-ha, sungguh engkau manusia yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Torgan, melainkan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan tidak pernah berbuat apa pun terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang, Agahai?”

Tentu saja Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main. “Tapi… mengapa? Apa yang terjadi?” Raja itu berteriak bingung.

“Kepadamu aku pernah mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam (putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian Sin…”

Raja Agahai undur selangkah. “Apa…?! Kau… kau Ceng… Ceng Thian Sin…!”

“Ha-ha-ha, baru engkau teringat sekarang?”

“Thian Sin! Engkau… cucu keponakanku sendiri…!”

“Tak perlu kau bersandiwara lagi, Agahai. Ayah bundaku tewas karena pengeroyokan, dan engkau juga memegang peran dalam pembunuhan itu. Engkau mengirim pasukan pilihan untuk ikut mengeroyoknya. Engkau berhutang nyawa ayah bundaku!”

Mendengar ucapan ini, Raja Agahai baru sadar bahwa dirinya terancam bahaya. Cepat dia membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin telah berdiri di depannya, menghadang antara dia dan pintu. Marahlah Agahai. Betapa pun juga, dia bukanlah seorang pria lemah. Dicabutnya pedang dari pinggangnya.

“Pengkhianat busuk!” bentaknya dan pedangnya menyambar.

Akan tetapi, dengan tenang saja Thian Sin menggerakkan tangannya menyambut pedang itu, mencengkeram pedang dengan tangan kirinya.

“Kraakkk!”

Pedang itu pun patah-patah, seolah-olah terbuat dari pada benda yang lunak saja. Agahai memandang dengan mata terbelalak dan kini wajahnya menjadi benar-benar pucat.

“Pengawal…!” teriaknya dengan suara lantang memanggil para pengawal pribadinya.

Akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sunyi saja di luar kamar itu, hanya terdengar suara beradunya senjata agak jauh dari situ, dan suara hiruk-pikuk orang berkelahi.

Thian Sin tersenyum. “Semua pengawal serta pembantumu pada saat ini sedang diserbu dan dibasmi. Engkau harus berhadapan dengan aku tanpa bantuan siapa pun!”

Raja Agahai menjadi amat ketakutan dan karena ingin meloloskan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan suara bagai seekor srigala kelaparan, dia meloncat dan menerkam pemuda itu dengan kedua tangan menyerang dari kanan kiri.

“Plakkk!”

Thian Sin menampar, tidak mengerahkan tenaga terlalu besar hingga raja itu terpelanting, pipi kanannya bengkak dan membiru. Sejenak Agahai nanar dan matanya liar, bagaikan mata seekor harimau yang sedang tersudut. Thian Sin berdiri dengan bertolak pinggang, menghadang di depan pintu, tersenyum, namun senyuman yang mengandung kebencian mengerikan.
Selanjutnya,