Pendekar Sadis Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 15
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MELIHAT sikap Thian Sin itu, seperti biasa Han Tiong menahan diri. Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong.

Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apa lagi bergaul dengan wanita. Thian Sin mempunyai bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap para wanita, tidak seperti Han Tiong yang selalu merasa malu-malu, terutama sekali malu bila mana diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita.

Apa lagi pemuda ini mempunyai perasaan yang amat peka. Melihat betapa Thian Sin tak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka dia pun langsung mundur teratur, sungguh pun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu.!

Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama kedua orang tamunya berkumpul makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang sangat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an Piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin.

Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh berisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang sedang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas.

Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun langsung mengerutkan alisnya. “Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?”

“Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang, yaitu di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungai Luai. Kui-piauwsu sendiri turut mengawalnya mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia beserta semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu.”

“Hemm… di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak ada perampok, dan andai kata ada juga, seharusnya para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an Piauwkiok,” Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu.

“Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu,” kata orang itu. “Agaknya gerombolan perampok itu merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggota Pouw-an Piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah mereka pun tidak lebih hanya sepuluh orang saja tetapi rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.”

“Engkau harus menolong Beng Sin-toako,” kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong.

Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu. Oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya.

“Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang sangat menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an Piauwkiok dijual sekali pun, belum tentu akan bisa menggantikan harga barang-barang itu yang nilainya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah Kui-piauwsu harus menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kemudian kami teringat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, karena itu kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini.”

Cim Khai Sun mengangguk-angguk. “Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan.”

Sesudah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu.

Pada saat itu, Thian Sin berkata, “Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok keparat itu, membasmi mereka sambil merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an Piauwkiok.”

“Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman,” Han Tiong berkata. “Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok-perampok itu.”

“Aku ikut!” kata Lian Hong.

“Aku pun ikut!” kata Bun Hong.

Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum.

“Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian yang pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah apa bila sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?”

“Tidak, paman,” kata Han Tiong, suaranya tegas. “Malah sebaliknya, jika ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat mala petaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah terhadap kami. Biarkan kami pergi, paman.”

“Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!” kata Thian Sin tegas.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri.

“Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian.”

“Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja,” jawab Han Tiong.

“Ayah, aku ikut!” kata pula Lian Hong.

“Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!” sambung Bun Hong.

“Aihhh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?” Kui Lan mencela.

“Kalian ini seperti anak kecil saja. Dua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?” Kui Lin juga mengomel.

“Selama ini Ayah sudah mengajarkan ilmu silat, dan kini terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?” Lian Hong membantah.

“Benar, kita hanya boleh turut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya memperoleh kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka,” kata Bun Hong.

“Setidaknya kita tak boleh enak-enak saja membiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!” Lian Hong menambah pula.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang. “Kalian ini benar-benar seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu sangat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an Piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri pun sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil.”

Melihat wajah Lian Hong yang cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin lalu berkata, “Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya, dan akan bertanggung jawab apa bila ada apa-apa menimpa dirinya!”

Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, akan tetapi merasa tak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka dia pun cepat berkata dengan suara tenang.

“Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka.”

Mendengar ucapan dua orang pemuda dari Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. “Kami akan berhati-hati, ayah!” kata Lian Hong.

“Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan jika perlu membantu,” sambung Bun Hong.

Akhirnya, keluarga itu merasa tak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi kedua orang anak mereka. Bila mereka berkeras tidak mengijinkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar!

“Baiklah, baiklah…” Akhirnya Ciu Khai Sun berkata hingga dua orang anaknya itu girang sakali.

Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan.

********************

Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin, dan mereka lebih senang duduk di luar mengelilingi api unggun besar dari pada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biar pun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka dan makan daging panggang dan roti yang halus.

“Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini.”

“Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!”

Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara tawa ringan. Akan tetapi ucapan mereka juga bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu.

Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikap penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi.

“Hemmm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?” tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. “Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati.”

“Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, maka kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?” kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan.

“Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan,” kata salah seorang anak buah.

“Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu bila diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa toako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?”

Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, “Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorang pun di antara kita yang terluka parah.”

“Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!” kata pula pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok.

“Akan tetapi, mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?” seorang anak buah bertanya.

“Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dahulu sampai ke Sin-yang tanpa ada orang lain yang tahu. Jika sudah selamat, barulah keadaan betul-betul beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalkan tempat persembunyian ini. Tapi sebelum lewat tengah malam, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba saja mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu.

“Ahhh, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!” kata Si Muka Hitam raksasa. “Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!”

“Toako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!” kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya.

“Sute, kau bodoh! Justru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Mari kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian serta bekal mereka, dan mengenai gadis itu… ha-ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memang perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap.”

Semua orang setuju, kemudian tertawa-tawa dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Keempat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong!

Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong lalu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya. Mereka segera berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan walau pun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu.

Yang berjalan paling depan adalah seorang pria tinggi besar bagai raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya hanya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok hingga kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang kelihatan oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar!

“Agaknya merekalah orang-orangnya,” kata Thian Sin lirih.

“Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain,” kata Han Tiong.

Kini dua belas orang itu telah tiba di hadapan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi terus menatap dengan pandang mata penuh kekurang ajaran pada Lian Hong, sekarang berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan apa bila kalian ingin selamat!” Si Tinggi Besar ini, sungguh pun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen.

Namun, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan telah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, Ciu Bun Hong memandang dengan ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkellaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar.

Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi semua sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat.

“Mereka bukan perampok,” bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya.

Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya telah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah betul gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin.

“Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak memiliki apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat.”

Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, lalu diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguh pun pada sikap keempat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut.

“Ha-ha-ha, kami pun tahu bahwa kalian hanyalah empat orang muda yang sederhana dan agaknya tak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apa pun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya pada kami.”

Han Tiong mengerutkan alisnya. “Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apa pun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan…”

Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa, kemudian Si Tinggi Besar menudingkan jari telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, “Apakah yang lebih berharga dibandingkan nona manis ini? Kami tak butuh uang, kami sendiri telah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku…!”

“Keparat bermulut busuk!” Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu.

Sepasang mata pemuda ini mengeluarkan cahaya mencorong dan melihat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka dia pun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin.

“Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini padaku, atau kami harus membunuh kalian bertiga dulu dan baru merampas gadis ini dengan paksa.”

“Iblis yang layak mampus!”

Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut sebab hatinya sudah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan begitu melihat sinar mata kakaknya, maka kemarahannya pun lenyap dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur.

“Sobat,” kata Han Tiong dengan tenang, “terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu sudah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an Piauwkiok dari Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?”

Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lantas bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, oleh karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya sehingga belasan orang itu segera mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi sudah membuktikan bahwa empat orang muda itu merupakan musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu.

“Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tidak boleh pergi lagi dari sini dan harus menjadi tawanan kami!” kata Si Tinggi Besar.

“Sobat, kalian telah melakukan suatu kekeliruan yang besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an Piauwkiok selalu bersikap baik pada orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian sudah mengganggunya dan dengan demikian merusak hubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami, maka kami tentu akan membalas budi itu dan Pouw-an Piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian.”

Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini sangat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tak semestinya kakaknya bersikap begini mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat semacam perampok-perampok ini yang bukan hanya sudah merampas barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok, akan tetapi bahkan juga telah menghina Lian Hong.

Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauwkiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapa pun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena apa bila sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu.

“Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apa kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, hanya dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian dan siapa pun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dahulu mengalahkan kami!” kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak.

“Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!” Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. “Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!”

Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya.

“Keparat, engkau bocah kemarin sore benar-benar bermulut besar! Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana jika dalam beberapa jurus engkau kalah?” tanyanya dengan nada mengejek.

Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Sekarang dia sudah tenang lagi dan dia merasa alangkah bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu.

“Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu.”

“Ha-ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu. Ada pun gadis ini… hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!”

“Majulah dan jangan banyak bicara!” Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong.

Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring,

“Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!”

Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Lagi pula dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, karena itu dia pun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu.

Han Tiong mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi dia pun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka dia pun hanya berkata,

“Hati-hatilah Hong-moi.”

Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi sudah membuat dia tergila-gila itu. “Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari… nona manis, ha-ha-ha!”

Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju sambil mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biar pun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya sangat cepat, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong.

Sungguh gerakan yang sangat bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, kemudian membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping.

Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan sehingga mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap.

Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Lian Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya.

Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan meski pun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, akan tetapi kekalahan tenaga itu membuat dia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua!

Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi maka dia pun meloncat dan langsung menyerang kepala rampok itu. Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya,

“Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, sungguh dia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja sudah terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka!

“Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya.” kata Thian Sin yang telah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. “Bun Hong-te, kau hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!” katanya pula kepada Bun Hong.

Karena melihat betapa kepala rampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong segera meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka.

Kepala perampok itu kini mulai maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang amat lihai dan agaknya memang mereka berempat ini merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an Piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu.

Maka dia pun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang kini masing-masing sudah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka dia pun berteriak,

“Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!”

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan.

“Plakkkkk! Desss…!”

Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan demikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh?

Sementara itu, belasan orang itu sudah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka segera berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya sudah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak.

Hanya kedua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini sudah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka secara gigih.

Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang tadi telah meneriakinya supaya dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan sanggup merobohkan lawan dan menewaskannya.

Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi. Sesudah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok.

Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang kuat bukan main sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk. Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin.

Pemuda ini membiarkan tangan lawan menyambar sampai dekat, baru tangan kanannya menyambut hingga dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotokan dan akibatnya, begitu dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu menjadi patah-patah. Rasa nyeri laksana ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih!

“Krekk! Krekk!”

Terdengarlah suara dan ketika Thian Sin mendorong, tubuh kepala perampok itu terguling kemudian dia bergulingan sambil berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya sudah remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana.

Sementara itu, biar pun dengan cara lebih lunak, Han Tiong juga telah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Masih ada empat orang yang mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang ini pun sudah terdesak hebat.

Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia kembali merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua dan tak dapat bangkit kembali.

Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa terkejut dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut! Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti!

“Hemmm, tadi sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an Piauwkiok merupakan perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?” Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih terus merintih-rintih kesakitan itu.

Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan aksi tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu!

“Biar kupaksa dia, Tiong-ko!” Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya.

“Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?”

Thian Sin maklum juga dengan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala perampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka dia pun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya. Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah sehingga membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi.

“Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu apa bila kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!” Thian Sin berkata dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan.

“Tapi… tapi…,” orang itu berkata dengan ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu.

Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka dia pun tersenyum mengejek dan berkata, “Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tidak berdaya itu? Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga kedua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi.” Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sinkang-nya sehingga telapak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu.

Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi. “Tidak… jangan…”

“Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tidak dapat mencari dan menemukannya!”

“Di dalam… goa… di dalam hutan ini…”

“Di mana letaknya itu?” bentak Thian Sin.

“Sin-ko, aku tahu di mana letak goa di dalam hutan ini. Mari!” kata Bun Hong. Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong.

“Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hong pergi mencari barang-barang itu, ada pun aku akan menjaga dan mengurus mereka ini.”

“Aku akan membantumu, Tiong-ko.” kata Lian Hong.

Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan dia pun segera mengajak Bun Hong mencari goa itu.

Mereka memasuki hutan, dan tidak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah goa di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok.

Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin maka tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Akan tetapi dia pun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu.

Sesudah mereka memasuki goa, benar saja, di dalam goa yang besar itu terdapat dua gerobak barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan dapat menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari goa.

Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lantas memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi.

Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong sedang mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki serta tangan yang patah tulangnya. Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut.

“Tiong-ko, kenapa kau lakukan itu? Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu? Sungguh tak layak manusia-manusia binatang ini ditolong, apa lagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!”

Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. “Sin-te, jangan begitu. Betapa pun juga, mereka adalah manusia-manusia sedangkan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Mereka pun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?”

Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. “Habis, mereka ini mau diapakan? Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi… ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!”

Han Tiong menarik napas panjang. “Mungkin saja mereka lakukan hal itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal seperti yang mereka lakukan. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu.”

“Lalu mereka ini mau diapakan?” desak Thian Sin.

“Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah memang demikian semestinya? Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka.”

Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatikan oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar di antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu.

Semua perampok kemudian digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobak yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang.

Pada sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan yang aneh ini sehingga dalam waktu sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu sudah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang sudah dirampok.

Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an Piauwkiok. Keempat orang muda itu, terutama Han Tiong dan Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian.

Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali. Apa lagi saat dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, maka rasa gembiranya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali.

“Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!” katanya dengan bangga sekali.

Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke kota Su-couw bersama isteri-isterinya hingga pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin benar-benar merupakan pertemuan yang sangat menggembirakan.

Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang sangat berhasil dari empat orang muda itu. Dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taijin, yaitu pembesar di Su-couw yang menjadi pemilik barang-barang berharga yang sudah dirampok namun berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang dapat memperoleh barang-barangnya kembali dan sekalian untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang.

Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sin, sudah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja sudah ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu.

Para anak buah Pouw-an Piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lainnya dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka yang sedang menjamu tamu-tamu agung itu.

Pada akhirnya, tamu yang dinanti-nanti, Phoa-taijin, datang juga, dengan diiringi oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal sering memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang sangat dermawan!

Orang tak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apa lagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang itu didapatkan. Dari mana pun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang tentulah akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati!

Padahal, bila mana orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan kepalang bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja hingga seratus tahun sekali pun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu. Memang Phoa-taijin seorang yang luar biasa pandai, tidak hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai sekali mengambil hati orang-orang hingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan.

Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar serta pandang matanya berseri-seri. Dia segera disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena walau pun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja juga mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini.

Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira, kemudian dia pun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, “Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu sudah berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?” Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lantas disambungnya. “Kami mendengar dari penuturan Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu.” Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu.

“Ahh, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak saya pun hanya ikut saja, taijin,” kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa.

“Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!” Dia lalu menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini sudah duduk kembali. “Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!”

Baik Ciu Khai Sun mau pun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberi tahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlampau bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah ‘orang luar’ dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarang nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya.

Dahulu pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan sudah menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, sangatlah tidak enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu!

Akan tetapi, Kui Beng Sin sudah menceritakan hal itu, semua sudah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru,

“Ahhh, siapa kira dua orang muda remaja ini telah mempunyai kepandaian yang demikian hebatnya.”

Pesta itu berlangsung dengan gembira dan setelah Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin lantas mengucapkan terima kasih dan biar pun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, akan tetapi pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikit pun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an Piauwkiok.

********************

Beberapa hari kemudian Han Tiong dan Thian Sin berpamitan kepada keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun sudah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong, kemudian menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya di dalam bungkusan pakaiannya. Mereka berdua menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong.

“Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja,” kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota.

“Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi… kuharap… kita akan bisa saling bertemu kembali dalam waktu dekat…,” kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan di dalam suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu.

“Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah,” kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda lantas mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan.

Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, “Tiong-ko tak akan lama pergi, tentu akan segera ada kabar dari keluarga Cia.”

Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. “Ihhh, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?”

Bun Hong hanya tertawa, akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena dia pun lebih senang kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong dari pada apa bila adiknya memilih Thian Sin.

Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin memiliki watak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, ada pun Han Tiong mempunyai watak yang sangat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen!

Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya. Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui apa bila Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong.

Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata,

“Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia mempunyai ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan dia pun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!”

Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia memang jatuh cinta kepada Lian Hong, tapi dia pun melihat dengan jelas pula betapa adiknya ini pun mencinta mati-matian kepada dara itu!

Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin cepat menoleh, memandangnya kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?” Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam dia pun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu.

“Maksudmu?” Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguh pun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup.

“Ehh, Tiong-ko, kau sedang melamunkan apa sih sehingga tidak mengerti apa yang baru saja kutanyakan? Aku tadi bicara mengenai Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi.”

“Apa? Hong-moi…? Ahh, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?”

“Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan alangkah akan bahagianya seorang pria yang kelak dapat menjadi suaminya.”

Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong.

“Ahh, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita mana pun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya.”

Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka meski pun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, akan tetapi perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan tampak seolah-olah mereka tak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya.

Seperti orang yang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti pada sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat.

Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian mereka pun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka. Akan tetapi sebenarnya mereka itu belum tidur walau pun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas.

Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lantas mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan sangat hati-hati dia lalu mengeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dia membuka sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu yang lantas dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu.

Dua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong!

Thian Sin memejamkan sepasang matanya dan merasa seakan-akan semua isi kamar itu terputar-putar. Dia cepat berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak.

Dimasukkannya kembali surat itu ke dalam sampulnya lalu disimpannya kembali di dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu.

Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak.

Pada saat dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan dia pun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang sudah terjadi di luar.

Thian Sin sama sekali bukan berjalan-jalan di luar seperti yang disangkanya! Setelah tiba di luar rumah penginapan, pemuda itu segera mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ginkang-nya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat dari pada ketika siang tadi mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang dengan berkuda karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat.

Dia tidak mau menunggang kuda karena tak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke kota Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu.

Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Ternyata tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Semenjak dia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja hingga dia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda yang siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya.

Dia tidak tahu bahwa ada bayangan yang berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju.

Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi gembira sekali. Gadis itu belum tidur! Maka dia pun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali.

Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, “Siapa…?”

“Ssttt… aku, Hong-moi… aku Thian Sin…”

“Hehh…? Sin-ko…? Ada apa… mengapa…?”

“Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!” Bisik pula Thian Sin.

Daun pintu kamar itu pun dibuka dari dalam, lantas keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang kini nampak lebih cantik dari pada biasanya! Lian Hong sudah mengenakan pakaian ringkas yang ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya sedikit kusut sebab tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu.

“Sin-ko, kau di sini…? Apa yang terjadi dan…”

“Ssttt… mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu.”

Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari sana, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Lian Hong mengikutinya dengan ragu-ragu dan hati heran, akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi. Dia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu.

“Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara,” kata Thian Sin.

Melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi semakin terheran-heran. Akan tetapi dia pun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar.

“Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian sudah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?”

“Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku.”

“Ehhh… apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu? Aku sungguh tidak mengerti!”

“Artinya, Hong-moi, bahwa aku… aku cinta padamu.”

Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biar pun mereka duduk berhadapan dan hanya terhalang oleh sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing.

Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari pemuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, sebab sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Dia hanya merasa terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, sekarang datang kembali pada malam hari untuk menyatakan cintanya!

Melihat dara itu hanya terdiam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang.

“Hong-moi, lebih baik aku berbicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, semenjak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu. Engkau tentu merasakan pula hal ini dan jika aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, walau belum boleh dikatakan mencinta, Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkau pun mencintaku?”

Sesudah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Dia merasa sulit untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apa lagi pertanyaan tentang cinta!

“Sin-ko… bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa sangat kagum dan suka padamu…”

“Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?”

“Aihhh…!” Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu.

“Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah…”

“Ahh, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan… ahhh, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka… mana mungkin aku dapat menjawab sendiri…?”

“Hong-moi, marilah kita berbicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawabanmu yang berterus-terang sangat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu sudah menitipkan surat pada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau memang lebih mencinta Tiong-ko dari pada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kau pilih antara kami berdua? Siapakah yang lebih kau cinta?”

Lian Hong menundukkan mukanya. Dia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang dia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan dia pun telah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa dia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya lantas mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga.

“Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat.”

“Tapi… tapi… jika engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kau beratkan, Hong-moi…? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!” Thian Sin mendesak.

Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya dia merasa bingung dan amat sulit untuk mengakui hal itu di hadapan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, dia dapat mengaku terus terang dengan hanya sedikit rasa canggung saja, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat mengaku terus terang di hadapan orang yang bersangkutan? Apa lagi karena dia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena dia memilih Han Tiong!

Akan tetapi dia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir dan batin, maka tentu akan dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekali pun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang.

Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian. “Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang sebab engkau menghendakinya. Sebenarnya, semenjak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa sangat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku memiliki perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan apa bila ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sulitlah aku untuk menjawabnya. Kalian mempunyai daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andai kata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu… maafkan aku, Sin-ko, karena… karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau… engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana…”

Hening sekali saat itu sesudah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu langsung menundukkan mukanya. Biar pun dia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, akan tetapi dia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya hal itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong dari pada dia, sungguh membuatnya penasaran!

“Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan kita tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji sekali pun karena tak ada yang ditakutinya lagi!”

“Maaf, Sin-ko. Aku tak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang tidak menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi malah menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko… ahhh, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko…”

“Akan tetapi, jika penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlampau lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!”

Dalam hatinya Lian Hong merasa tidak setuju, akan tetapi dia tidak mampu membantah atau menjawab, maka dia pun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 15

Pendekar Sadis Jilid 15
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MELIHAT sikap Thian Sin itu, seperti biasa Han Tiong menahan diri. Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong.

Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apa lagi bergaul dengan wanita. Thian Sin mempunyai bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap para wanita, tidak seperti Han Tiong yang selalu merasa malu-malu, terutama sekali malu bila mana diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita.

Apa lagi pemuda ini mempunyai perasaan yang amat peka. Melihat betapa Thian Sin tak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka dia pun langsung mundur teratur, sungguh pun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu.!

Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama kedua orang tamunya berkumpul makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang sangat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an Piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin.

Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh berisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang sedang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas.

Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun langsung mengerutkan alisnya. “Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?”

“Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang, yaitu di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungai Luai. Kui-piauwsu sendiri turut mengawalnya mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia beserta semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu.”

“Hemm… di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak ada perampok, dan andai kata ada juga, seharusnya para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an Piauwkiok,” Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu.

“Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu,” kata orang itu. “Agaknya gerombolan perampok itu merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggota Pouw-an Piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah mereka pun tidak lebih hanya sepuluh orang saja tetapi rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.”

“Engkau harus menolong Beng Sin-toako,” kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong.

Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu. Oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya.

“Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang sangat menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an Piauwkiok dijual sekali pun, belum tentu akan bisa menggantikan harga barang-barang itu yang nilainya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah Kui-piauwsu harus menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kemudian kami teringat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, karena itu kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini.”

Cim Khai Sun mengangguk-angguk. “Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan.”

Sesudah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu.

Pada saat itu, Thian Sin berkata, “Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok keparat itu, membasmi mereka sambil merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an Piauwkiok.”

“Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman,” Han Tiong berkata. “Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok-perampok itu.”

“Aku ikut!” kata Lian Hong.

“Aku pun ikut!” kata Bun Hong.

Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum.

“Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian yang pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah apa bila sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?”

“Tidak, paman,” kata Han Tiong, suaranya tegas. “Malah sebaliknya, jika ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat mala petaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah terhadap kami. Biarkan kami pergi, paman.”

“Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!” kata Thian Sin tegas.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri.

“Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian.”

“Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja,” jawab Han Tiong.

“Ayah, aku ikut!” kata pula Lian Hong.

“Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!” sambung Bun Hong.

“Aihhh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?” Kui Lan mencela.

“Kalian ini seperti anak kecil saja. Dua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?” Kui Lin juga mengomel.

“Selama ini Ayah sudah mengajarkan ilmu silat, dan kini terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?” Lian Hong membantah.

“Benar, kita hanya boleh turut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya memperoleh kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka,” kata Bun Hong.

“Setidaknya kita tak boleh enak-enak saja membiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!” Lian Hong menambah pula.

Ciu Khai Sun menarik napas panjang. “Kalian ini benar-benar seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu sangat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an Piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri pun sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil.”

Melihat wajah Lian Hong yang cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin lalu berkata, “Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya, dan akan bertanggung jawab apa bila ada apa-apa menimpa dirinya!”

Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, akan tetapi merasa tak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka dia pun cepat berkata dengan suara tenang.

“Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka.”

Mendengar ucapan dua orang pemuda dari Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. “Kami akan berhati-hati, ayah!” kata Lian Hong.

“Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan jika perlu membantu,” sambung Bun Hong.

Akhirnya, keluarga itu merasa tak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi kedua orang anak mereka. Bila mereka berkeras tidak mengijinkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar!

“Baiklah, baiklah…” Akhirnya Ciu Khai Sun berkata hingga dua orang anaknya itu girang sakali.

Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan.

********************

Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin, dan mereka lebih senang duduk di luar mengelilingi api unggun besar dari pada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biar pun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka dan makan daging panggang dan roti yang halus.

“Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini.”

“Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!”

Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara tawa ringan. Akan tetapi ucapan mereka juga bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu.

Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikap penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi.

“Hemmm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?” tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. “Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati.”

“Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, maka kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?” kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan.

“Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan,” kata salah seorang anak buah.

“Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu bila diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa toako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?”

Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, “Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorang pun di antara kita yang terluka parah.”

“Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!” kata pula pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok.

“Akan tetapi, mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?” seorang anak buah bertanya.

“Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dahulu sampai ke Sin-yang tanpa ada orang lain yang tahu. Jika sudah selamat, barulah keadaan betul-betul beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalkan tempat persembunyian ini. Tapi sebelum lewat tengah malam, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba saja mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu.

“Ahhh, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!” kata Si Muka Hitam raksasa. “Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!”

“Toako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!” kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya.

“Sute, kau bodoh! Justru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Mari kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian serta bekal mereka, dan mengenai gadis itu… ha-ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memang perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap.”

Semua orang setuju, kemudian tertawa-tawa dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Keempat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong!

Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong lalu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya. Mereka segera berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan walau pun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu.

Yang berjalan paling depan adalah seorang pria tinggi besar bagai raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya hanya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok hingga kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang kelihatan oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar!

“Agaknya merekalah orang-orangnya,” kata Thian Sin lirih.

“Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain,” kata Han Tiong.

Kini dua belas orang itu telah tiba di hadapan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi terus menatap dengan pandang mata penuh kekurang ajaran pada Lian Hong, sekarang berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan apa bila kalian ingin selamat!” Si Tinggi Besar ini, sungguh pun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen.

Namun, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan telah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, Ciu Bun Hong memandang dengan ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkellaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar.

Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi semua sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat.

“Mereka bukan perampok,” bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya.

Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya telah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah betul gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin.

“Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak memiliki apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat.”

Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, lalu diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguh pun pada sikap keempat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut.

“Ha-ha-ha, kami pun tahu bahwa kalian hanyalah empat orang muda yang sederhana dan agaknya tak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apa pun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya pada kami.”

Han Tiong mengerutkan alisnya. “Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apa pun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan…”

Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa, kemudian Si Tinggi Besar menudingkan jari telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, “Apakah yang lebih berharga dibandingkan nona manis ini? Kami tak butuh uang, kami sendiri telah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku…!”

“Keparat bermulut busuk!” Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu.

Sepasang mata pemuda ini mengeluarkan cahaya mencorong dan melihat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka dia pun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin.

“Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini padaku, atau kami harus membunuh kalian bertiga dulu dan baru merampas gadis ini dengan paksa.”

“Iblis yang layak mampus!”

Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut sebab hatinya sudah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan begitu melihat sinar mata kakaknya, maka kemarahannya pun lenyap dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur.

“Sobat,” kata Han Tiong dengan tenang, “terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu sudah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an Piauwkiok dari Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?”

Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lantas bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, oleh karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya sehingga belasan orang itu segera mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi sudah membuktikan bahwa empat orang muda itu merupakan musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu.

“Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tidak boleh pergi lagi dari sini dan harus menjadi tawanan kami!” kata Si Tinggi Besar.

“Sobat, kalian telah melakukan suatu kekeliruan yang besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an Piauwkiok selalu bersikap baik pada orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian sudah mengganggunya dan dengan demikian merusak hubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami, maka kami tentu akan membalas budi itu dan Pouw-an Piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian.”

Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini sangat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tak semestinya kakaknya bersikap begini mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat semacam perampok-perampok ini yang bukan hanya sudah merampas barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok, akan tetapi bahkan juga telah menghina Lian Hong.

Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauwkiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapa pun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena apa bila sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu.

“Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apa kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, hanya dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian dan siapa pun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dahulu mengalahkan kami!” kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak.

“Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!” Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. “Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!”

Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya.

“Keparat, engkau bocah kemarin sore benar-benar bermulut besar! Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana jika dalam beberapa jurus engkau kalah?” tanyanya dengan nada mengejek.

Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Sekarang dia sudah tenang lagi dan dia merasa alangkah bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu.

“Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu.”

“Ha-ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu. Ada pun gadis ini… hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!”

“Majulah dan jangan banyak bicara!” Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong.

Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring,

“Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!”

Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Lagi pula dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, karena itu dia pun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu.

Han Tiong mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi dia pun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka dia pun hanya berkata,

“Hati-hatilah Hong-moi.”

Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi sudah membuat dia tergila-gila itu. “Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari… nona manis, ha-ha-ha!”

Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju sambil mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biar pun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya sangat cepat, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong.

Sungguh gerakan yang sangat bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, kemudian membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping.

Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan sehingga mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap.

Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Lian Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya.

Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan meski pun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, akan tetapi kekalahan tenaga itu membuat dia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua!

Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi maka dia pun meloncat dan langsung menyerang kepala rampok itu. Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya,

“Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, sungguh dia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja sudah terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka!

“Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya.” kata Thian Sin yang telah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. “Bun Hong-te, kau hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!” katanya pula kepada Bun Hong.

Karena melihat betapa kepala rampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong segera meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka.

Kepala perampok itu kini mulai maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang amat lihai dan agaknya memang mereka berempat ini merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an Piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu.

Maka dia pun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang kini masing-masing sudah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka dia pun berteriak,

“Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!”

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan.

“Plakkkkk! Desss…!”

Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan demikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh?

Sementara itu, belasan orang itu sudah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka segera berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya sudah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak.

Hanya kedua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini sudah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka secara gigih.

Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang tadi telah meneriakinya supaya dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan sanggup merobohkan lawan dan menewaskannya.

Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi. Sesudah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok.

Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang kuat bukan main sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk. Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin.

Pemuda ini membiarkan tangan lawan menyambar sampai dekat, baru tangan kanannya menyambut hingga dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotokan dan akibatnya, begitu dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu menjadi patah-patah. Rasa nyeri laksana ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih!

“Krekk! Krekk!”

Terdengarlah suara dan ketika Thian Sin mendorong, tubuh kepala perampok itu terguling kemudian dia bergulingan sambil berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya sudah remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana.

Sementara itu, biar pun dengan cara lebih lunak, Han Tiong juga telah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Masih ada empat orang yang mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang ini pun sudah terdesak hebat.

Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia kembali merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua dan tak dapat bangkit kembali.

Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa terkejut dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut! Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti!

“Hemmm, tadi sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an Piauwkiok merupakan perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?” Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih terus merintih-rintih kesakitan itu.

Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan aksi tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu!

“Biar kupaksa dia, Tiong-ko!” Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya.

“Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?”

Thian Sin maklum juga dengan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala perampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka dia pun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya. Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah sehingga membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi.

“Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu apa bila kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!” Thian Sin berkata dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan.

“Tapi… tapi…,” orang itu berkata dengan ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu.

Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka dia pun tersenyum mengejek dan berkata, “Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tidak berdaya itu? Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga kedua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi.” Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sinkang-nya sehingga telapak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu.

Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi. “Tidak… jangan…”

“Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tidak dapat mencari dan menemukannya!”

“Di dalam… goa… di dalam hutan ini…”

“Di mana letaknya itu?” bentak Thian Sin.

“Sin-ko, aku tahu di mana letak goa di dalam hutan ini. Mari!” kata Bun Hong. Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong.

“Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hong pergi mencari barang-barang itu, ada pun aku akan menjaga dan mengurus mereka ini.”

“Aku akan membantumu, Tiong-ko.” kata Lian Hong.

Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan dia pun segera mengajak Bun Hong mencari goa itu.

Mereka memasuki hutan, dan tidak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah goa di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok.

Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin maka tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Akan tetapi dia pun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu.

Sesudah mereka memasuki goa, benar saja, di dalam goa yang besar itu terdapat dua gerobak barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan dapat menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari goa.

Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lantas memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi.

Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong sedang mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki serta tangan yang patah tulangnya. Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut.

“Tiong-ko, kenapa kau lakukan itu? Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu? Sungguh tak layak manusia-manusia binatang ini ditolong, apa lagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!”

Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. “Sin-te, jangan begitu. Betapa pun juga, mereka adalah manusia-manusia sedangkan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Mereka pun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?”

Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. “Habis, mereka ini mau diapakan? Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi… ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!”

Han Tiong menarik napas panjang. “Mungkin saja mereka lakukan hal itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal seperti yang mereka lakukan. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu.”

“Lalu mereka ini mau diapakan?” desak Thian Sin.

“Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah memang demikian semestinya? Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka.”

Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatikan oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar di antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu.

Semua perampok kemudian digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobak yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang.

Pada sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan yang aneh ini sehingga dalam waktu sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu sudah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang sudah dirampok.

Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an Piauwkiok. Keempat orang muda itu, terutama Han Tiong dan Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian.

Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali. Apa lagi saat dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, maka rasa gembiranya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali.

“Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!” katanya dengan bangga sekali.

Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke kota Su-couw bersama isteri-isterinya hingga pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin benar-benar merupakan pertemuan yang sangat menggembirakan.

Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang sangat berhasil dari empat orang muda itu. Dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taijin, yaitu pembesar di Su-couw yang menjadi pemilik barang-barang berharga yang sudah dirampok namun berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang dapat memperoleh barang-barangnya kembali dan sekalian untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang.

Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sin, sudah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja sudah ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu.

Para anak buah Pouw-an Piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lainnya dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka yang sedang menjamu tamu-tamu agung itu.

Pada akhirnya, tamu yang dinanti-nanti, Phoa-taijin, datang juga, dengan diiringi oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal sering memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang sangat dermawan!

Orang tak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apa lagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang itu didapatkan. Dari mana pun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang tentulah akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati!

Padahal, bila mana orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan kepalang bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja hingga seratus tahun sekali pun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu. Memang Phoa-taijin seorang yang luar biasa pandai, tidak hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai sekali mengambil hati orang-orang hingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan.

Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar serta pandang matanya berseri-seri. Dia segera disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena walau pun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja juga mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini.

Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira, kemudian dia pun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, “Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu sudah berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?” Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lantas disambungnya. “Kami mendengar dari penuturan Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu.” Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu.

“Ahh, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak saya pun hanya ikut saja, taijin,” kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa.

“Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!” Dia lalu menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini sudah duduk kembali. “Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!”

Baik Ciu Khai Sun mau pun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberi tahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlampau bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah ‘orang luar’ dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarang nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya.

Dahulu pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan sudah menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, sangatlah tidak enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu!

Akan tetapi, Kui Beng Sin sudah menceritakan hal itu, semua sudah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru,

“Ahhh, siapa kira dua orang muda remaja ini telah mempunyai kepandaian yang demikian hebatnya.”

Pesta itu berlangsung dengan gembira dan setelah Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin lantas mengucapkan terima kasih dan biar pun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, akan tetapi pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikit pun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an Piauwkiok.

********************

Beberapa hari kemudian Han Tiong dan Thian Sin berpamitan kepada keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun sudah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong, kemudian menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya di dalam bungkusan pakaiannya. Mereka berdua menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong.

“Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja,” kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota.

“Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi… kuharap… kita akan bisa saling bertemu kembali dalam waktu dekat…,” kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan di dalam suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu.

“Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah,” kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda lantas mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan.

Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, “Tiong-ko tak akan lama pergi, tentu akan segera ada kabar dari keluarga Cia.”

Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. “Ihhh, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?”

Bun Hong hanya tertawa, akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena dia pun lebih senang kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong dari pada apa bila adiknya memilih Thian Sin.

Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin memiliki watak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, ada pun Han Tiong mempunyai watak yang sangat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen!

Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya. Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui apa bila Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong.

Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata,

“Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia mempunyai ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan dia pun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!”

Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia memang jatuh cinta kepada Lian Hong, tapi dia pun melihat dengan jelas pula betapa adiknya ini pun mencinta mati-matian kepada dara itu!

Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin cepat menoleh, memandangnya kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?” Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam dia pun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu.

“Maksudmu?” Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguh pun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup.

“Ehh, Tiong-ko, kau sedang melamunkan apa sih sehingga tidak mengerti apa yang baru saja kutanyakan? Aku tadi bicara mengenai Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi.”

“Apa? Hong-moi…? Ahh, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?”

“Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan alangkah akan bahagianya seorang pria yang kelak dapat menjadi suaminya.”

Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong.

“Ahh, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita mana pun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya.”

Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka meski pun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, akan tetapi perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan tampak seolah-olah mereka tak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya.

Seperti orang yang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti pada sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat.

Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian mereka pun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka. Akan tetapi sebenarnya mereka itu belum tidur walau pun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas.

Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lantas mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan sangat hati-hati dia lalu mengeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dia membuka sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu yang lantas dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu.

Dua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong!

Thian Sin memejamkan sepasang matanya dan merasa seakan-akan semua isi kamar itu terputar-putar. Dia cepat berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak.

Dimasukkannya kembali surat itu ke dalam sampulnya lalu disimpannya kembali di dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu.

Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak.

Pada saat dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan dia pun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang sudah terjadi di luar.

Thian Sin sama sekali bukan berjalan-jalan di luar seperti yang disangkanya! Setelah tiba di luar rumah penginapan, pemuda itu segera mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ginkang-nya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat dari pada ketika siang tadi mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang dengan berkuda karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat.

Dia tidak mau menunggang kuda karena tak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke kota Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu.

Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Ternyata tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Semenjak dia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja hingga dia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda yang siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya.

Dia tidak tahu bahwa ada bayangan yang berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju.

Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi gembira sekali. Gadis itu belum tidur! Maka dia pun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali.

Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, “Siapa…?”

“Ssttt… aku, Hong-moi… aku Thian Sin…”

“Hehh…? Sin-ko…? Ada apa… mengapa…?”

“Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!” Bisik pula Thian Sin.

Daun pintu kamar itu pun dibuka dari dalam, lantas keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang kini nampak lebih cantik dari pada biasanya! Lian Hong sudah mengenakan pakaian ringkas yang ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya sedikit kusut sebab tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu.

“Sin-ko, kau di sini…? Apa yang terjadi dan…”

“Ssttt… mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu.”

Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari sana, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Lian Hong mengikutinya dengan ragu-ragu dan hati heran, akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi. Dia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu.

“Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara,” kata Thian Sin.

Melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi semakin terheran-heran. Akan tetapi dia pun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar.

“Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian sudah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?”

“Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku.”

“Ehhh… apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu? Aku sungguh tidak mengerti!”

“Artinya, Hong-moi, bahwa aku… aku cinta padamu.”

Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biar pun mereka duduk berhadapan dan hanya terhalang oleh sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing.

Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari pemuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, sebab sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Dia hanya merasa terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, sekarang datang kembali pada malam hari untuk menyatakan cintanya!

Melihat dara itu hanya terdiam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang.

“Hong-moi, lebih baik aku berbicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, semenjak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu. Engkau tentu merasakan pula hal ini dan jika aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, walau belum boleh dikatakan mencinta, Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkau pun mencintaku?”

Sesudah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Dia merasa sulit untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apa lagi pertanyaan tentang cinta!

“Sin-ko… bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa sangat kagum dan suka padamu…”

“Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?”

“Aihhh…!” Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu.

“Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah…”

“Ahh, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan… ahhh, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka… mana mungkin aku dapat menjawab sendiri…?”

“Hong-moi, marilah kita berbicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawabanmu yang berterus-terang sangat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu sudah menitipkan surat pada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau memang lebih mencinta Tiong-ko dari pada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kau pilih antara kami berdua? Siapakah yang lebih kau cinta?”

Lian Hong menundukkan mukanya. Dia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang dia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan dia pun telah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa dia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya lantas mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga.

“Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat.”

“Tapi… tapi… jika engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kau beratkan, Hong-moi…? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!” Thian Sin mendesak.

Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya dia merasa bingung dan amat sulit untuk mengakui hal itu di hadapan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, dia dapat mengaku terus terang dengan hanya sedikit rasa canggung saja, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat mengaku terus terang di hadapan orang yang bersangkutan? Apa lagi karena dia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena dia memilih Han Tiong!

Akan tetapi dia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir dan batin, maka tentu akan dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekali pun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang.

Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian. “Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang sebab engkau menghendakinya. Sebenarnya, semenjak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa sangat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku memiliki perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan apa bila ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sulitlah aku untuk menjawabnya. Kalian mempunyai daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andai kata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu… maafkan aku, Sin-ko, karena… karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau… engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana…”

Hening sekali saat itu sesudah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu langsung menundukkan mukanya. Biar pun dia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, akan tetapi dia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya hal itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong dari pada dia, sungguh membuatnya penasaran!

“Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan kita tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji sekali pun karena tak ada yang ditakutinya lagi!”

“Maaf, Sin-ko. Aku tak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang tidak menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi malah menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko… ahhh, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko…”

“Akan tetapi, jika penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlampau lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!”

Dalam hatinya Lian Hong merasa tidak setuju, akan tetapi dia tidak mampu membantah atau menjawab, maka dia pun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.
Selanjutnya,