Pendekar Sadis Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata. “Benar, aku bernama Cia Sin Liong.”

“Hemmmm…” Si Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. “Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?”

Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.

“Bagus, tuan besar kami memanggilmu, marilah kau ikuti kami untuk menghadap beliau!” setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu bersama dengan empat orang temannya, segera melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.

“Pendekar Lembah Naga, mari kau ikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha-ha!” Si Cambang Bauk tertawa bergelak.

Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya, atau mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka lalu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar.

Mereka sengaja membalapkan kuda sambil beberapa kali mereka menengok ke belakang dan tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lantas membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan ketika tidak melihat Sin Liong, maka mereka tertawa makin keras.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah setelah mereka melihat ada seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal laki-laki itu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua orang di antara mereka menggosok-gosok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

Tadi pria itu mereka tinggalkan dan mereka terus membalapkan kuda. Tidak nampak pria itu menyusul atau pun melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang?

Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong menggunakan ginkang, berlari cepat bagaikan terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.

“Nah, di mana adanya Pak-san-kui?” tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.

“Ada… ada…, mari silakan masuk…” kata Si Cambang Bauk, kini sikapnya agak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka.

Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat apa bila bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih dari pada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah dari pada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.

Apakah kita dapat hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat selama kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.

Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat,

“Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!”

Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas.

Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia. Puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia.

“Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!”

Sin Liong melihat seorang kakek memandang kepadanya sambil tersenyum lebar. Kakek ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung. Dia mengenakan pakaian seperti seorang hartawan, tangan kanannya memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap dan sikapnya ramah. Kuncirnya tebal dan panjang dan kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas.

Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, tidak sukar dikenal dari pakaiannya. Orang ini sudah berusia lima puluhan tahun, dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar dia memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu.

Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat menghormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.

Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekeliling tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa.

“Ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, sudah lama aku mendengar nama besarmu, dan sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk…” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan.

Sin Liong lantas memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian dia pun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-kata pun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah bisa mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.

“Apakah wan-gwe (tuan hartawan) yang mengundangku ke sini?” tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya.

Melihat sikap pendekar itu yang demikian tenang, sama sekali tidak mau memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, lantas mendengar pendekar itu menyebut wan-gwe kepadanya, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu sehingga ruangan itu seolah-olah tergetar hebat.

Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khikang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, bahkan kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan dia pun mengerti mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu.

“Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Sudah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau sudah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga tidak termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguh pun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali.”

Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, “Apa yang locianpwe maksudkan?”

Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe tapi locianpwe (sebutan bagi golongan tua yang gagah perkasa), sebab sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam dunia persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang digunakan oleh Sin Liong itu bukanlah suatu penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.

“Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?” Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia lalu tertawa. “Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan itu memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguh pun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu, dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku langsung mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan sesudah tiba di sini, karena kebetulan sekali aku pun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu.”

Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang ini pun tak luput dari pada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapa pun juga, harus diakui bahwa orang ini sangat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Sekarang tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.

“Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku pula, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?”

“Ha-ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin berjumpa dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, ehhh, siapa tadi namamu?” tanya kakek itu kepada Han Tiong.

“Namaku Cia Han Tiong,” jawab anak itu.

“Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat.”

Orang yang berpakaian pembesar itu pun lalu berkata, “Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!”

Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali dengan sikap orang itu. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, lalu di sini diperlakukan dengan hormat!

“Terima kasih,” katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.

“Tadi sudah kukatakan bahwa biar pun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar sangat patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Maka biarlah undangan ini bisa juga kau anggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu.”

Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong.

“Terima kasih. Locianpwe sudah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku.”

“Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!”

Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini. Dia harus berhati-hati sekali terhadap orang yang memiliki kecerdikan ini. “Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kau kira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?”

“Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?” tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.

Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan salah seorang di antara para pengawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Sesudah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar, maka asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini kemudian menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata,

“Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!”

“Mengujiku?”

“Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu sangat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku.”

Sesudah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapa pun juga, maka dia pun cepat berkata,

“Locianpwe, kami bertiga sudah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini.”

Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kirinya ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. “Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kita telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, dan boleh dibilang mewakili aku di dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang.”

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah maksud tuan rumah dan tentu saja sedikit pun dia tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapa pun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, sesudah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.

“Locianpwe, telah bertahun-tahun aku tak pernah lagi berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku kalah saja,” katanya sambil menjura.

Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia serta Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali. Kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri?

Dia sendiri tidak menginginkan puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi lebih-lebih dia tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!

“Locianpwe ini sudah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?” Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan namun disembunyikan di dalam kata ‘kebaikan’ itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.

“Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah dia diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan,” sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.

“Ha-ha-ha, Cia-sicu terlalu merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga memiliki suami seperti Cia-sicu. Nah, lekas kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!” katanya sambil menggerakkan huncwenya.

Tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu, dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, sekarang bangkit dari tempat duduk mereka kemudian memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.

“Teecu bertiga mentaati perintah suhu,” kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong.

“Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!”

Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan sekarang hanya mengutus tiga muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya.

Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Bila dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan.

Maka dia pun lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. “Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama sekali aku tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung.” Dan dia pun lalu menuju ke tengah ruangan yang sudah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.

“Hemm, kalian hendak maju berbareng?” Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jeri dan ragu.

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang.” kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah pada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu.

Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tidak pernah mengenal takut, kini merasa sangat penasaran. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti hingga membuatnya amat penasaran.

Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga? Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut.

Sementara itu, ketiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka tampak tegap dan kokoh kuat, dengan sikap pendiam yang membuat mereka berwibawa sekali.

Setelah melempar jubah mereka ke sudut ruang, lemparan yang disertai tenaga sinkang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong lantas dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka sudah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu.

Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan mempunyai kepandaian hebat itu, tentulah mereka itu bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar.

Dia menghadapi sesuatu yang amat sulit, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, tapi di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah!

“Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!” bentak orang yang berada di sebelah kanan.

Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini. Ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka sangat cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, ada pun kedudukan mereka selalu kembali menjadi pengepungan segi tiga lagi.

Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidak bergerak terlalu cepat, hanya cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya pula, hanya untuk mengimbangi mereka. Dan biar pun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau saja dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.

Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekali pun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong sudah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi.

Dia sudah ‘mengoper’ tenaga sinkang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang dahulu menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang bahwa sekarang dialah tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi I-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mukjijat yang dahulu dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.

Akan tetapi, karena dia tak ingin membangkitkan rasa penasaran dalam hati datuk sesat baru ini, maka Sin Liong sengaja hanya memainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja sekedar untuk mempertahankan diri. Bahkan kadang dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga dia nampak terkurung dan terdesak hebat. Sin Liong mengelak dan menangkis sehingga tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.

Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alis dan kembali dia merasa penasaran. Tentu saja dia mengenal suaminya dan tahu bahwa apa bila suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apa lagi sampai mendesak suaminya seperti itu!

Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang sangat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas.

Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biar pun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa sangat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena ketiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.

Memang, dalam pandangan orang lain kecuali Bi Cu yang telah mengenal betul kelihaian suaminya, kelihatannya Sin Liong terdesak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang mempunyai kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabui. Demikian baiknya Sin Liong dalam menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena ilmu silat Sin Liong sudah demikian matang sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya hingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguh pun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu!

Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya sambil mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang banyak dipuji-puji orang sampai ke kota raja!

Dia sendiri memang tak berniat untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, maka hal itu hanya akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan dan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya.

Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apa lagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa.

Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tak akan berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut.

Meski pun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang kala nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Kalau begitu hebat juga pendekar ini, pikirnya.

Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan lantas dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubi ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat.

Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena ternyata mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong, sedangkan pendekar ini sendiri pun terguling roboh!

“Ayah!” Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya. Akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri kembali dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.

“Kepandaian murid-murid locianpwe sungguh hebat, aku mengaku kalah,” katanya sambil menghampiri isterinya.

Begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya!

Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Setelah melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia pun tersenyum kembali.

Pendekar Lembah Naga itu hanya menang sedikit saja dibandingkan tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai dari pada pendekar yang disohorkan hingga ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan di dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.

Maka dia pun cepat menjura. “Ahhh, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apa lagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. Sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dan menjadi sahabat sicu!”

Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati sekali menghadapi kakek seperti ini. Kelak, bila mana ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini.

Sin Liong lalu minta diri. Sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang serta pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang.

Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong dan keluarganya.

Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu. Tadinya Bi Cu masih kurang senang terhadap mereka karena kematian suheng-nya, Na Tiong Pek, serta menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, pada saat meninggalkan taman itu, Sin Liong sudah menceritakan semuanya hingga Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini kedua orang kakak beradik kembar itu sudah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka.

Sin Liong juga menceritakan alasannya kenapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, lebih lagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itu pun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan diam-diam bahkan membenarkan ayahnya.

Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan kota Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja

********************

“Omitohud… Thian Sin, kenapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?”

Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah cahaya bulan purnama malam itu, terkejut sekali ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan hwesio itu.

“Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah mempunyai ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka akibat perbuatan orang-orang jahat, maka aku hendak mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu.”

“Omitohud… pikiran yang sungguh menyeleweng dari pada kebenaran. Lekas hapus dan keringkan keringatmu lalu masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku.”

Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tidak lama kemudian dia sudah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan, sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.

“Dengar baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang dapat mencelakakan orang karena betapa pun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi dari pada dirinya. Setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di samping kelebihan yang membuat dia unggul atas diri orang lain, pasti terdapat kekurangan yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia di dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau pun kepandaian lainnya lagi. Semuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu bisa saja menjadi alat untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja, ilmu silat adalah ilmu olah raga yang dapat menyehatkan manusia lahir dan batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, akan tetapi ada juga hubungan yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia mampu melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, ketika bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Dan selain itu, dengan ilmu silat ini pun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sekali-kali jangan kau menganggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Apa bila engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikit pun tidak mengapa.”

“Tetapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman mempunyai ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai mempunyai ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman.”

“Omitohud… anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar dan mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapa pun tinggi ilmu silatnya, jika dia menggunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas.”

“Kalau mendiang ayah… apakah dia seorang pendekar, paman?” Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin, maka di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.

“Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Tetapi ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar. Sekarang pun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga.”

Sepasang mata yang tadinya agak muram karena mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. “Betulkah, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?”

“Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai…”

“Ahhh…!” Thian Sin berseru heran. “Ibu telah bercerita mengenai kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita mengenai keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang sekarang menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?”

“Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, dia pun merupakan adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena dahulu ayahmu pernah bentrok dengan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu.”

“Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?”

“Omitohud… memang asap tidak dapat dibungkus, rahasia tidak perlu ditutup-tutupi, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka…”

“Dan agaknya… agaknya… dia tentu lebih lihai dari pada ayah!”

Kembali hwesio itu menarik napas panjang. “Memang begitulah, akan tetapi hanya sedikit sekali selisihnya. Padahal, sebenarnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu…”

“Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!” Tiba-tiba saja Thian Sin berkata sehingga mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, “Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!”

“Hal itu bukan tak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan padamu, Thian Sin. Kelak bukan tak mungkin kau akan bertemu dengan dia.”

Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka sesudah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu.

Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, selalu tekun mempelajari kitab-kitab agama serta ilmu membaca dan menulis. Pada waktu malam hari, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar sangat merdu namun seperti mengandung rintihan sehingga kalau mendengar suara ini diam-diam Hong San Hwesio suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.

Pada suatu hari, ketika hari masih pagi sekali, seperti biasanya Thian Sin dengan rajinnya menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng. Dia merasa sangat segar setelah tadi berlatih semedhi lalu mandi air dingin, maka dia menyapu sambil berdendang. Banyak lagu-lagu yang dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagu itu juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha saja, akan tetapi juga condong kepada Agama To.

Kata-kata bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana, sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman, sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana!

Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun satu-satu terdengar amat jelas di pagi hari yang sunyi itu, disambut oleh suara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.

“Bagus sekali…!” Tiba-tiba terdengar suara orang memuji.

Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, lelaki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, sepasang matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka.

“Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?”

Thian Sin mengira bahwa orang ini tentulah seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, dia langsung merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio,

“Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata-kata nyayiannya, tentulah sambil mempelajari pula artinya.”

“Bagus sekali, anak baik. Nah, apakah artinya kalimat pertama: Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?”

Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit banyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia segera mengerutkan alisnya sehingga wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai.

“Kata-kata yang baik dan bisa dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk mau pun merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tidak dapat dipercaya kebenarannya.”

“Bagus, sekarang kalimat ke dua: Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?” Laki-laki itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.

“Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, karena itu tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan.”

Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum. “Anak yang amat baik… lanjutkan… lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi: Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?”

Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. “Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagai mana artinya, paman yang baik?”

“Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan hanya mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka takkan membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?”

Thian Sin menggeleng kepala. “Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti.”

“Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?”

“Namaku Thian Sin, she Ceng…”

“She Ceng?” Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.

“Omitohud… selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna…”

“Lie Seng Koko…!” tiba-tiba orang itu maju, kemudian memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.

“Apa? Siapa…? Omitohud…!” Hong San Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada dan memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, “Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang…!”

“Pendekar Lembah Naga…!” Thian Sin berseru dan sekarang dia memandang pada Sin Liong dengan kedua mata terbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.

“Betul, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw…”

Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan ‘mendiang’ itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin lantas memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main.

“Thian Sin… anakku yang baik… keponakanku…,” demikian bisiknya.

“Ayah, siapakah dia?” Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dahulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.

Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya.

“Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapek-mu.”

Bi Cu dan Han Tiong cepat-cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.

“Omitohud… alangkah menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas kunjungan kalian… mari silakah masuk, kita bicara di dalam.”

Hong San Hwesio mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio, juga termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di sana, dan dengan amat ramahnya dia menggandeng tangan Han Tiong. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata,

“Engkau pun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!”

Meski pun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan dia pun ikut masuk bersama-sama.

Sesudah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang sudah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ.

Hong San Hwesio menarik napas panjang. “Omitohud…, segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apa pun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa…”

Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa pasangan suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya, sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.

“Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini.” Hwesio itu mengakhiri penuturannya.

Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu sangat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu.

Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di dalam hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini mengenai keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu sudah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera!

Akan tetapi kegembiraan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa akhirnya kakak angkatnya itu harus tewas secara menyedihkan, karena sekaligus tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!

“Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?” Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.

“Apakah engkau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?” Bi Cu memperingatkan.

Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apa bila mengingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang.

“Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupan mereka mulai tenteram dan berbahagia, sesudah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?”

Untuk ini Bi Cu tak mampu menjawab. Nyonya ini pun merasa kasihan bila dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu.

“Hemm, pinceng sendiri pun tidak tahu mengapa demikian…,” Hong San Hwesio berkata sambil menghela napas.

“Aku… aku tahu…” Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak ini pun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!

Sin Liong merangkul pundak anak itu. “Anak baik, ceritakanlah apa bila engkau memang tahu akan hal itu.”

Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur.

“Dulu ayah dan ibu pernah memberi tahu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang dulu telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Memang kami disambut secara baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, kiranya ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelas bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dialah yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tak akan dapat melupakan saat orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu, dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai.” Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan sepasang matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. “Aku tak akan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!”

“Omitohud…, Thian Sin, ingatlah…!” dengan suara bernada memperingatkan Hong San Hwesio berkata.

Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya terbelalak lantas menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

“Ahhh… paman… ampunkan saya…!”
Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedangkan Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya sudah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan turut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.

“Sudahlah, Thian Sin, hal-hal yang sudah lampau tidak perlu kau ingat lagi. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab-sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan mempergunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka ada baiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!”

“Omitohud… itu baik sekali…!” kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main.

Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan apa bila Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama di antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang sangat baik!

“Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya.”

Biar pun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan terhadap Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di hadapan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup saling membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada saat itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun, ada pun Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, karena itu Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik.

Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara, kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berdua pun berlutut di hadapan Hong San Hwesio yang segera membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena gembira bahwa Thian Sin telah memperoleh ‘tempat’ yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.

“Twako, sebenarnya kedatangan kami mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati.”

“Ahh, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku,” jawab pendeta itu dengan gembira.

Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia serta isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. “Toako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak mempunyai kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi pada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap toako tidak menolak permintaan tolong kami ini.”

“Omitohud… bagaimana kau dapat berkata begitu? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!”

Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Meski pun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan sangat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun.

“Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran toapek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian,” demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu.

Bersama dengan Hong San Hwesio, kedua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu hingga keluar pekarangan kuil. Mereka berdua terlihat tenang-tenang saja, dan sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak.

Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.

Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera dia melihat bahwa Han Tiong mempunyai dasar yang jauh lebih kuat dari pada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang mempunyai dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja.

Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, namun perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apa lagi di dasar batin Thian Sin sudah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang sangat mendalam. Oleh karena itu, walau pun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, akan tetapi segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.

“Kalian harus belajar semedhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin.” Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersemedhi yang baik, duduk bersila dan bersemedhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja pada waktu matahari sedang tenggelam.

Di dalam kamar semedhinya yang tenang, Hong San Hwesio mulai melatih kedua orang keponakannya itu duduk bersemedhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu.

Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan dua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan dua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikit pun tak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf di dalam tubuh seakan-akan mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang hingga hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang.

Selain pelajaran bersemedhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengajarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan.

Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari dari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tetapi tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya kalau dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga?

Karena terbawa oleh Thian Sin yang selalu gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi di dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.

Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling menyayang. Thian Sin memang mempunyai watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguh pun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini.

Demikian pula Thian Sin. Karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur serta terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau membuat dia tunduk dan jadi penurut. Di samping kakaknya ini, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua dan juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.

Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan dia pun merasa amat lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biar pun Thian Sin amat taat kepadanya, juga dengan sangat tekun mempelajari soal-soal keagamaan, kebatinan serta kesusasteraan, akan tetapi di dasar hati anak ini kadang-kadang terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya. Kalau sampai dendam di dalam hati anak ini kelak bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi.

Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi dia pun melihat betapa Thian Sin amat sayang, amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andai kata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.

Memang dua orang anak itu rukun sekali. Apa pun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut pula oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah tampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya sering terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri.

Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang pada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnya pun tenang dan tegap, matang dan biar pun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang asli namun kokoh dan kuat.

Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan sepasang kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan.

Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berbentuk indah, sehingga dia tampan sekali, malah terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang bertemu dengannya.

Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walau pun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan. Sikapnya serta gerak-geriknya juga sangat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa.

Akhirnya waktu tiga tahun itu lewat sudah. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa jika tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu sekarang Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun!

Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio hingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha mau pun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Berkat latihan-latihan ilmu silat yang terus mereka latih dengan tekun, juga karena mereka sudah mempunyai dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa!
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 05

Pendekar Sadis Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata. “Benar, aku bernama Cia Sin Liong.”

“Hemmmm…” Si Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. “Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?”

Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.

“Bagus, tuan besar kami memanggilmu, marilah kau ikuti kami untuk menghadap beliau!” setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu bersama dengan empat orang temannya, segera melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.

“Pendekar Lembah Naga, mari kau ikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha-ha!” Si Cambang Bauk tertawa bergelak.

Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya, atau mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka lalu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar.

Mereka sengaja membalapkan kuda sambil beberapa kali mereka menengok ke belakang dan tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lantas membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan ketika tidak melihat Sin Liong, maka mereka tertawa makin keras.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah setelah mereka melihat ada seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal laki-laki itu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua orang di antara mereka menggosok-gosok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

Tadi pria itu mereka tinggalkan dan mereka terus membalapkan kuda. Tidak nampak pria itu menyusul atau pun melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang?

Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong menggunakan ginkang, berlari cepat bagaikan terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu.

“Nah, di mana adanya Pak-san-kui?” tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.

“Ada… ada…, mari silakan masuk…” kata Si Cambang Bauk, kini sikapnya agak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka.

Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat apa bila bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih dari pada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah dari pada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.

Apakah kita dapat hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat selama kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.

Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat,

“Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!”

Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas.

Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia. Puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia.

“Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!”

Sin Liong melihat seorang kakek memandang kepadanya sambil tersenyum lebar. Kakek ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung. Dia mengenakan pakaian seperti seorang hartawan, tangan kanannya memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap dan sikapnya ramah. Kuncirnya tebal dan panjang dan kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas.

Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, tidak sukar dikenal dari pakaiannya. Orang ini sudah berusia lima puluhan tahun, dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar dia memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu.

Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat menghormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.

Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekeliling tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa.

“Ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, sudah lama aku mendengar nama besarmu, dan sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk…” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan.

Sin Liong lantas memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian dia pun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-kata pun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah bisa mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.

“Apakah wan-gwe (tuan hartawan) yang mengundangku ke sini?” tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya.

Melihat sikap pendekar itu yang demikian tenang, sama sekali tidak mau memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, lantas mendengar pendekar itu menyebut wan-gwe kepadanya, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu sehingga ruangan itu seolah-olah tergetar hebat.

Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khikang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, bahkan kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan dia pun mengerti mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu.

“Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Sudah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau sudah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga tidak termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguh pun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali.”

Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, “Apa yang locianpwe maksudkan?”

Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe tapi locianpwe (sebutan bagi golongan tua yang gagah perkasa), sebab sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam dunia persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang digunakan oleh Sin Liong itu bukanlah suatu penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.

“Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?” Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia lalu tertawa. “Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan itu memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguh pun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu, dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku langsung mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan sesudah tiba di sini, karena kebetulan sekali aku pun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu.”

Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang ini pun tak luput dari pada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapa pun juga, harus diakui bahwa orang ini sangat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Sekarang tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.

“Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku pula, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?”

“Ha-ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin berjumpa dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, ehhh, siapa tadi namamu?” tanya kakek itu kepada Han Tiong.

“Namaku Cia Han Tiong,” jawab anak itu.

“Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat.”

Orang yang berpakaian pembesar itu pun lalu berkata, “Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!”

Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali dengan sikap orang itu. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, lalu di sini diperlakukan dengan hormat!

“Terima kasih,” katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.

“Tadi sudah kukatakan bahwa biar pun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar sangat patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Maka biarlah undangan ini bisa juga kau anggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu.”

Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong.

“Terima kasih. Locianpwe sudah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku.”

“Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!”

Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini. Dia harus berhati-hati sekali terhadap orang yang memiliki kecerdikan ini. “Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kau kira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?”

“Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?” tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.

Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan salah seorang di antara para pengawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Sesudah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar, maka asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini kemudian menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata,

“Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!”

“Mengujiku?”

“Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu sangat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku.”

Sesudah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapa pun juga, maka dia pun cepat berkata,

“Locianpwe, kami bertiga sudah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini.”

Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kirinya ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. “Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kita telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, dan boleh dibilang mewakili aku di dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang.”

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah maksud tuan rumah dan tentu saja sedikit pun dia tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapa pun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, sesudah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu.

“Locianpwe, telah bertahun-tahun aku tak pernah lagi berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku kalah saja,” katanya sambil menjura.

Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia serta Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali. Kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri?

Dia sendiri tidak menginginkan puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi lebih-lebih dia tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!

“Locianpwe ini sudah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?” Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan namun disembunyikan di dalam kata ‘kebaikan’ itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.

“Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah dia diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan,” sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.

“Ha-ha-ha, Cia-sicu terlalu merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga memiliki suami seperti Cia-sicu. Nah, lekas kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!” katanya sambil menggerakkan huncwenya.

Tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu, dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, sekarang bangkit dari tempat duduk mereka kemudian memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.

“Teecu bertiga mentaati perintah suhu,” kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong.

“Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!”

Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan sekarang hanya mengutus tiga muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya.

Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Bila dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan.

Maka dia pun lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. “Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama sekali aku tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung.” Dan dia pun lalu menuju ke tengah ruangan yang sudah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.

“Hemm, kalian hendak maju berbareng?” Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jeri dan ragu.

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang.” kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah pada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu.

Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tidak pernah mengenal takut, kini merasa sangat penasaran. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti hingga membuatnya amat penasaran.

Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga? Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut.

Sementara itu, ketiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka tampak tegap dan kokoh kuat, dengan sikap pendiam yang membuat mereka berwibawa sekali.

Setelah melempar jubah mereka ke sudut ruang, lemparan yang disertai tenaga sinkang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong lantas dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka sudah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu.

Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan mempunyai kepandaian hebat itu, tentulah mereka itu bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar.

Dia menghadapi sesuatu yang amat sulit, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, tapi di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah!

“Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!” bentak orang yang berada di sebelah kanan.

Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini. Ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka sangat cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, ada pun kedudukan mereka selalu kembali menjadi pengepungan segi tiga lagi.

Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidak bergerak terlalu cepat, hanya cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya pula, hanya untuk mengimbangi mereka. Dan biar pun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau saja dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.

Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekali pun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong sudah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi.

Dia sudah ‘mengoper’ tenaga sinkang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang dahulu menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang bahwa sekarang dialah tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi I-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mukjijat yang dahulu dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.

Akan tetapi, karena dia tak ingin membangkitkan rasa penasaran dalam hati datuk sesat baru ini, maka Sin Liong sengaja hanya memainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja sekedar untuk mempertahankan diri. Bahkan kadang dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga dia nampak terkurung dan terdesak hebat. Sin Liong mengelak dan menangkis sehingga tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.

Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alis dan kembali dia merasa penasaran. Tentu saja dia mengenal suaminya dan tahu bahwa apa bila suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apa lagi sampai mendesak suaminya seperti itu!

Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang sangat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas.

Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biar pun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa sangat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena ketiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.

Memang, dalam pandangan orang lain kecuali Bi Cu yang telah mengenal betul kelihaian suaminya, kelihatannya Sin Liong terdesak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang mempunyai kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabui. Demikian baiknya Sin Liong dalam menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena ilmu silat Sin Liong sudah demikian matang sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya hingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguh pun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu!

Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya sambil mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang banyak dipuji-puji orang sampai ke kota raja!

Dia sendiri memang tak berniat untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, maka hal itu hanya akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan dan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya.

Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apa lagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa.

Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tak akan berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut.

Meski pun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang kala nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Kalau begitu hebat juga pendekar ini, pikirnya.

Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan lantas dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubi ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat.

Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena ternyata mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong, sedangkan pendekar ini sendiri pun terguling roboh!

“Ayah!” Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya. Akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri kembali dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.

“Kepandaian murid-murid locianpwe sungguh hebat, aku mengaku kalah,” katanya sambil menghampiri isterinya.

Begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya!

Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Setelah melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia pun tersenyum kembali.

Pendekar Lembah Naga itu hanya menang sedikit saja dibandingkan tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai dari pada pendekar yang disohorkan hingga ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan di dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.

Maka dia pun cepat menjura. “Ahhh, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apa lagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. Sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dan menjadi sahabat sicu!”

Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati sekali menghadapi kakek seperti ini. Kelak, bila mana ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini.

Sin Liong lalu minta diri. Sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang serta pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang.

Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong dan keluarganya.

Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu. Tadinya Bi Cu masih kurang senang terhadap mereka karena kematian suheng-nya, Na Tiong Pek, serta menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, pada saat meninggalkan taman itu, Sin Liong sudah menceritakan semuanya hingga Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini kedua orang kakak beradik kembar itu sudah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka.

Sin Liong juga menceritakan alasannya kenapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, lebih lagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itu pun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan diam-diam bahkan membenarkan ayahnya.

Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan kota Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja

********************

“Omitohud… Thian Sin, kenapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?”

Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah cahaya bulan purnama malam itu, terkejut sekali ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan hwesio itu.

“Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah mempunyai ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka akibat perbuatan orang-orang jahat, maka aku hendak mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu.”

“Omitohud… pikiran yang sungguh menyeleweng dari pada kebenaran. Lekas hapus dan keringkan keringatmu lalu masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku.”

Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tidak lama kemudian dia sudah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan, sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan.

“Dengar baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang dapat mencelakakan orang karena betapa pun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi dari pada dirinya. Setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di samping kelebihan yang membuat dia unggul atas diri orang lain, pasti terdapat kekurangan yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia di dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau pun kepandaian lainnya lagi. Semuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu bisa saja menjadi alat untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja, ilmu silat adalah ilmu olah raga yang dapat menyehatkan manusia lahir dan batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, akan tetapi ada juga hubungan yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia mampu melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, ketika bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Dan selain itu, dengan ilmu silat ini pun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sekali-kali jangan kau menganggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Apa bila engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikit pun tidak mengapa.”

“Tetapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman mempunyai ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai mempunyai ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman.”

“Omitohud… anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar dan mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapa pun tinggi ilmu silatnya, jika dia menggunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas.”

“Kalau mendiang ayah… apakah dia seorang pendekar, paman?” Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin, maka di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.

“Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Tetapi ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar. Sekarang pun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga.”

Sepasang mata yang tadinya agak muram karena mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. “Betulkah, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?”

“Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai…”

“Ahhh…!” Thian Sin berseru heran. “Ibu telah bercerita mengenai kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita mengenai keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang sekarang menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?”

“Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, dia pun merupakan adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena dahulu ayahmu pernah bentrok dengan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu.”

“Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?”

“Omitohud… memang asap tidak dapat dibungkus, rahasia tidak perlu ditutup-tutupi, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka…”

“Dan agaknya… agaknya… dia tentu lebih lihai dari pada ayah!”

Kembali hwesio itu menarik napas panjang. “Memang begitulah, akan tetapi hanya sedikit sekali selisihnya. Padahal, sebenarnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu…”

“Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!” Tiba-tiba saja Thian Sin berkata sehingga mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, “Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!”

“Hal itu bukan tak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan padamu, Thian Sin. Kelak bukan tak mungkin kau akan bertemu dengan dia.”

Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka sesudah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu.

Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, selalu tekun mempelajari kitab-kitab agama serta ilmu membaca dan menulis. Pada waktu malam hari, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar sangat merdu namun seperti mengandung rintihan sehingga kalau mendengar suara ini diam-diam Hong San Hwesio suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.

Pada suatu hari, ketika hari masih pagi sekali, seperti biasanya Thian Sin dengan rajinnya menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng. Dia merasa sangat segar setelah tadi berlatih semedhi lalu mandi air dingin, maka dia menyapu sambil berdendang. Banyak lagu-lagu yang dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagu itu juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha saja, akan tetapi juga condong kepada Agama To.

Kata-kata bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana, sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman, sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana!

Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun satu-satu terdengar amat jelas di pagi hari yang sunyi itu, disambut oleh suara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.

“Bagus sekali…!” Tiba-tiba terdengar suara orang memuji.

Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, lelaki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, sepasang matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka.

“Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?”

Thian Sin mengira bahwa orang ini tentulah seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, dia langsung merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio,

“Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata-kata nyayiannya, tentulah sambil mempelajari pula artinya.”

“Bagus sekali, anak baik. Nah, apakah artinya kalimat pertama: Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?”

Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit banyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia segera mengerutkan alisnya sehingga wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai.

“Kata-kata yang baik dan bisa dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk mau pun merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tidak dapat dipercaya kebenarannya.”

“Bagus, sekarang kalimat ke dua: Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?” Laki-laki itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.

“Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, karena itu tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan.”

Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum. “Anak yang amat baik… lanjutkan… lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi: Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?”

Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. “Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagai mana artinya, paman yang baik?”

“Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan hanya mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka takkan membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?”

Thian Sin menggeleng kepala. “Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti.”

“Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?”

“Namaku Thian Sin, she Ceng…”

“She Ceng?” Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.

“Omitohud… selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna…”

“Lie Seng Koko…!” tiba-tiba orang itu maju, kemudian memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin.

“Apa? Siapa…? Omitohud…!” Hong San Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada dan memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, “Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang…!”

“Pendekar Lembah Naga…!” Thian Sin berseru dan sekarang dia memandang pada Sin Liong dengan kedua mata terbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.

“Betul, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw…”

Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan ‘mendiang’ itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin lantas memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main.

“Thian Sin… anakku yang baik… keponakanku…,” demikian bisiknya.

“Ayah, siapakah dia?” Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dahulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.

Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya.

“Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapek-mu.”

Bi Cu dan Han Tiong cepat-cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.

“Omitohud… alangkah menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas kunjungan kalian… mari silakah masuk, kita bicara di dalam.”

Hong San Hwesio mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio, juga termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di sana, dan dengan amat ramahnya dia menggandeng tangan Han Tiong. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata,

“Engkau pun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!”

Meski pun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan dia pun ikut masuk bersama-sama.

Sesudah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang sudah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ.

Hong San Hwesio menarik napas panjang. “Omitohud…, segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apa pun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa…”

Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa pasangan suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya, sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.

“Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini.” Hwesio itu mengakhiri penuturannya.

Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu sangat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu.

Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di dalam hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini mengenai keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu sudah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera!

Akan tetapi kegembiraan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa akhirnya kakak angkatnya itu harus tewas secara menyedihkan, karena sekaligus tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan!

“Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?” Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.

“Apakah engkau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?” Bi Cu memperingatkan.

Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apa bila mengingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang.

“Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupan mereka mulai tenteram dan berbahagia, sesudah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?”

Untuk ini Bi Cu tak mampu menjawab. Nyonya ini pun merasa kasihan bila dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu.

“Hemm, pinceng sendiri pun tidak tahu mengapa demikian…,” Hong San Hwesio berkata sambil menghela napas.

“Aku… aku tahu…” Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak ini pun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!

Sin Liong merangkul pundak anak itu. “Anak baik, ceritakanlah apa bila engkau memang tahu akan hal itu.”

Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur.

“Dulu ayah dan ibu pernah memberi tahu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang dulu telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Memang kami disambut secara baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, kiranya ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelas bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dialah yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tak akan dapat melupakan saat orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu, dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai.” Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan sepasang matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. “Aku tak akan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!”

“Omitohud…, Thian Sin, ingatlah…!” dengan suara bernada memperingatkan Hong San Hwesio berkata.

Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya terbelalak lantas menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

“Ahhh… paman… ampunkan saya…!”
Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedangkan Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya sudah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan turut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.

“Sudahlah, Thian Sin, hal-hal yang sudah lampau tidak perlu kau ingat lagi. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab-sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan mempergunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka ada baiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!”

“Omitohud… itu baik sekali…!” kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main.

Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan apa bila Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama di antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang sangat baik!

“Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya.”

Biar pun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan terhadap Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di hadapan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup saling membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada saat itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun, ada pun Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, karena itu Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik.

Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara, kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berdua pun berlutut di hadapan Hong San Hwesio yang segera membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena gembira bahwa Thian Sin telah memperoleh ‘tempat’ yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.

“Twako, sebenarnya kedatangan kami mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati.”

“Ahh, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku,” jawab pendeta itu dengan gembira.

Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia serta isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. “Toako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak mempunyai kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi pada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap toako tidak menolak permintaan tolong kami ini.”

“Omitohud… bagaimana kau dapat berkata begitu? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!”

Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Meski pun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan sangat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun.

“Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran toapek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian,” demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu.

Bersama dengan Hong San Hwesio, kedua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu hingga keluar pekarangan kuil. Mereka berdua terlihat tenang-tenang saja, dan sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak.

Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.

Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera dia melihat bahwa Han Tiong mempunyai dasar yang jauh lebih kuat dari pada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang mempunyai dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja.

Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, namun perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apa lagi di dasar batin Thian Sin sudah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang sangat mendalam. Oleh karena itu, walau pun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, akan tetapi segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.

“Kalian harus belajar semedhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin.” Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersemedhi yang baik, duduk bersila dan bersemedhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja pada waktu matahari sedang tenggelam.

Di dalam kamar semedhinya yang tenang, Hong San Hwesio mulai melatih kedua orang keponakannya itu duduk bersemedhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu.

Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan dua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan dua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikit pun tak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf di dalam tubuh seakan-akan mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang hingga hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang.

Selain pelajaran bersemedhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengajarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan.

Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari dari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tetapi tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya kalau dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga?

Karena terbawa oleh Thian Sin yang selalu gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi di dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.

Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling menyayang. Thian Sin memang mempunyai watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguh pun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini.

Demikian pula Thian Sin. Karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur serta terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau membuat dia tunduk dan jadi penurut. Di samping kakaknya ini, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua dan juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.

Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan dia pun merasa amat lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biar pun Thian Sin amat taat kepadanya, juga dengan sangat tekun mempelajari soal-soal keagamaan, kebatinan serta kesusasteraan, akan tetapi di dasar hati anak ini kadang-kadang terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya. Kalau sampai dendam di dalam hati anak ini kelak bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi.

Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi dia pun melihat betapa Thian Sin amat sayang, amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andai kata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.

Memang dua orang anak itu rukun sekali. Apa pun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut pula oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah tampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya sering terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri.

Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang pada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnya pun tenang dan tegap, matang dan biar pun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang asli namun kokoh dan kuat.

Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan sepasang kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan.

Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berbentuk indah, sehingga dia tampan sekali, malah terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang bertemu dengannya.

Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walau pun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan. Sikapnya serta gerak-geriknya juga sangat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa.

Akhirnya waktu tiga tahun itu lewat sudah. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa jika tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu sekarang Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun!

Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio hingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha mau pun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Berkat latihan-latihan ilmu silat yang terus mereka latih dengan tekun, juga karena mereka sudah mempunyai dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa!
Selanjutnya,