Pendekar Sadis Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Sadis Jilid 03
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
ANAK itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan di wajahnya jelas terbayang kekerasan dan dendam yang amat hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dia membaca surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan moihu-nya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat serta mendidik Thian Sin untuk sementara waktu, karena mereka berdua terancam bahaya. Minta padanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya.

Sesudah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Pada saat menulis surat itu, meski pun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, akan tetapi adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata,

“Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beistirahat.”

Lai Sui cepat memberi hormat. “Terima kasih, suhu. Tetapi, sesudah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena di samping dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?”

Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di sampingnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa sangat terharu. “Terima kasih, Lai-pek, sungguh engkau baik sekali dan aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau tolong… tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?”

“Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, kau jangan khawatir… nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang.”

Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang sudah tertimpa mala petaka itu. Oleh karena tidak berkeluarga, maka dia sendiri tidak mengalami kehancuran keluarga. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja. Maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat dan dia ingin lekas-lekas pulang.

Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat bukan main di wajah keponakannya itu lalu berkata. “Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?”

Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, lalu dia menggeleng kepalanya. “Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak saya pasti akan menyelidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!” Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang.

“Omitohud…! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tak pernah berpikir mau pun bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?”

Sesudah anak itu menggelengkan kepalanya, dengan suara lembut dan sabar Hong San Hwesio lantas menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang dahulu pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat dari pada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau.

Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar.

“Nah, sekarang engkau tentu mengerti, Thian Sin. Tidak ada perbuatan tanpa akibat dan tidak ada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Dan kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan saja, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang nantinya akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri.”

“Tapi… tapi… ayah bundaku dibunuh orang… mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?”

Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu demi satu sehingga jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.

Tiada yang lebih panas dari pada nafsu tiada yang lebih ganas dari pada kebencian tiada yang lebih menjerat dari pada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan dari pada keserakahan, Kesalahan orang lain mudah nampak, kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya.

Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun segera membantah, “Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu sudah melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau perbuatan mereka itu tidak kuberantas, kalau orang-orang kejam semacam itu tidak kubasmi, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?”

Hong San Hwesio masih memejamkan sepasang matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan.

“Omitohud… hatimu penuh dendam dan kebencian, tentu saja tak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kau dengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci.”

Tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, hwesio itu lantas bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada.

Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya, seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya Dia mencaci maki saya, memukul saya, mengalahkan saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini, kebencian takkan berakhir, yang tidak mmyimpan pikiran ini, dendam kebencian akan berakhir. Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian, kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi…

Suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang masih memejamkan matanya itu, entah bagaimana terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini bagaikan terhanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan, kemudian mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara!

Demikianlah, mulai hari itu juga Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio dalam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan menurut pelajaran agama itu.

Selain setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, Hong San Hwesio juga memberi pelajaran kesusasteraan kepada Thian Sin, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.

Di samping mempelajari ilmu silat, ilmu sastera dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali.

Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seakan kebaikan itu dapat dipelajari! Seakan kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seakan kesabaran itu dapat dibuat!

Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, bila kita marah, kita dinasehati untuk bersabar. Kita dinasehati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, dan kesabaran itu baik dan sebagainya.

Kita diajarkan untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa agar berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak pernah kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, sedang setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih.

Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu akan dapat mendatangkan senang di hati. Maka ‘perbuatan baik’ yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu mungkin saja berupa kesenangan bagi lahir mau pun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar dapat memperoleh buah dari semua perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.

Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, walau pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekali pun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas dari pada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar!

Memang, dengan kesabaran atau pengendalian diri, kemarahan mungkin dapat berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sebenarnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar kembali, lalu ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!

Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan itu? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah?

Marilah kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali iri hati kebencian, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tidak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!


Begitu pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia sudah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya.

********************

Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terietak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar.

Dulu, sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali.

Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang sangat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apa bila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai.

Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan amat menyeramkan itu, kini sebagian telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar saat mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah mengambil korban lagi.

Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Kini suasananya betul-betul jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu pada saat istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai.

Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lainnya, di mana akhirnya terjadi keributan. Sesudah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya.

Sampai sekarang Lembah Naga sudah menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di sana banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan obat-obatan, banyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan, dan ketika pulang mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat.

Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat ini pun terkenal sebagai istana tempat tinggalnya Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini sudah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun.

Semenjak kecil Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari kedua orang tuanya, bukan pemanjaan melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang hidup sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apa bila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu.

Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlampau menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguh pun juga tidak dapat dikatakan buruk.

Hidungnya agak pesek, matanya sipit, namun wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, bibirnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memancarkan sinar yang bening tajam. Bila dia bicara, suaranya terdengar tenang, halus dan jelas, dan apa bila dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.

Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, pada waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu gembira, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walau pun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak mau bicara kalau tidak perlu sekali.

Bentuk tubuhnya juga sedang saja, dan sikapnya sederhana sungguh pun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan serta dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.

Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbullah kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biar pun selama ini puteranya menunjukkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat.

Betapa banyak orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan, mempunyai kekuasaan atas orang lain, karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati?

Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan di dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya.

Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih sangat mudah menyeleweng. Apa lagi orang-orang yang mempunyai kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam!

Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukan mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan mala petaka apa bila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar pada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan digunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan kemudian dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia-manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini.

Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.

“Lalu apakah yang dapat kita lakukan?” Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. “Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita…?”

“Aku ingat,” tiba-tiba Sin Liong berkata, “ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak.”

“Siapa dia?” Bi Cu bertanya penuh gairah.

“Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai.”

“Siapa sih?”

“Dia Kanda Lie Seng yang sekarang telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja.”

“Ahh, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri.”

“Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlalu dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun dan sesudah dasarnya kuat, baru kita bawa dia pulang.”

“Aku setuju, biar pun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita,” kata isterinya.

“Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam di tempat sunyi ini saja.”

“Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?”

“Tidak, kesempatan ini kita gunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong pergi merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko.”

Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus dia akui bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa berbahagia sekali di samping suaminya yang sangat dicintanya, apa lagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni-penghuni dusun yang jujur dan bersahaja, sungguh amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah.

Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia beserta putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main lalu nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, walau pun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar.

“Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu,” katanya. “Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada tandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?”

Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab, “Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tidak ada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekali pun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang sangat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa amatlah berbahaya memandang terlalu tinggi terhadap diri sendiri, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain.”

Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasanya, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. “Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?”

Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai pada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya mengenai mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya.

“Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di kota Su-couw. Sudah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku hendak mengajak ibumu dan engkau pergi mengunjungi mereka pula ke Su-couw. Sedangkan pamanmu Lie Seng itu sekarang sudah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Dia pun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itulah engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong.”

Saat menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang.

Apakah mereka telah mempunyai anak? Ahh, sungguh lucu rasanya jika membayangkan adik-adiknya itu memiliki anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.

Tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu.

Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara pernikahan mereka.

Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu.

Kebetulan sekali, puteranya yang bernama Beng Sin, atau kakak satu ayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciok Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua ini telah diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga.

Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena sejak kecil Bi Cu dirawat dan dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini.

Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Adapun Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng Piauwkiok di kota Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika mereka menikah.

Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sulit memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek juga membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang).

Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka, Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na Tiong Pek ini, apa lagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja sangat cocok, sesuai dengan kepandaiannya.

Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sangat lihai, jauh lebih lihai dari pada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng Piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkiok-nya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri.

Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar hingga kedua keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Sesudah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, setiap hari mereka pun dapat saling berkunjung dan tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat dari pada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan.

Akan tetapi, kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaan pun tidak kekal adanya, sungguh pun segala peristiwa itu merupakan akibat dari pada ulah manusia itu sendiri.

Khai Sun yang merasa ‘ditolong’ oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Dia mengawal sendiri semua barang kiriman yang cukup berharga, apa lagi kalau harus melalui tempat-tempat berbahaya. Beberapa kali rombongan pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa.

Tentu saja Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh setelah mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja.

Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat sekali, mendapat kepercayaan dari para bangsawan dan hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu satu tahun saja Khai Sun sudah mampu membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur.

Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, ada pun dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda mengeram dalam sanubari Na Tiong Pek.

Dia mulai mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan di antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya.

Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Na Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin.

Karena halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandangan matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang dua orang saudara kembar ini hampir setiap hari saling mengunjungi, bahkan bila mana Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.

Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tidak ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi tetap saja Kui Lan lebih menggairahkan bagi Tiong Pek!

Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat dari pada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan dari pada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.

Semenjak kecil manusia telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan dari pada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, tanpa disadari sejak kecil manusia telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya. Matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang ‘lebih’ lagi.

Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan belum dimilikinya ini menjadi pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu akan membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apa pun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.


Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, bagaikan bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan.

Akan tetapi, Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak memiliki sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi dan amat ramah!

Dorongan nafsu birahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayangkan betapa nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas meja di rumahnya.

Hawa pada siang hari itu agak panas sedangkan isterinya, Kui Lin, tengah tidur siang di kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan terus memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu bergerak cekatan sekali, menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini bekerja sambil menggigit bibir bawahnya. Kadang kala dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju di leher sehingga nampak kulit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu.

Kui Lan sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apa lagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja!

Kebetulan sekali Kui Lan juga mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh isterinya! Memang, semenjak Kui Lan tinggal satu kota, apa lagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama.

Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah nafsunya dan juga sekaligus untuk ‘menguji’ isi hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua kecerdikan serta akal ini timbul pada waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja!

Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan. Pertama, karena wanita ini mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apa lagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai bukan kepalang! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu.

Dengan hati-hati sekali, sambil mengindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya akibat tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang. Hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek menahan napas, lantas dengan tiba-tiba saja dia merangkul leher yang berkulit putih mulus itu, kedua tangan merangkul pundak dan dia berbisik mesra,

“Lin-moi, isteriku sayang… ahhh, betapa aku cinta padamu…”

Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia cepat mengangkat muka. Akan tetapi, sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek sudah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat mengeluarkan suara!

Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya pada dada Tiong Pek kemudian meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak.

“Aih, isteriku… aku… aku ingin sekali…” Tiong Pek terus bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi.

“I-thio… ini aku… Kui Lan…!” Kui Lan akhirnya mampu berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang sudah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi.

Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia segera terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kaki Kui Lan!

“Ahh… Lan-i… maafkan aku… ampunkan aku… ahhh, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku… ahhh, sungguh aku menyesal sekali…”

Sepasang kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapa pun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini sudah keliru sangka dan salah mengenal orang.

Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang kala mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik,

“Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra…,” dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri.

Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali ini pun Tiong Pek sudah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini, melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, maka lenyaplah kemarahannya, meski pun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andai kata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek!

“I-thio (sebutan untuk suami saudara perempuan), lain kali engkau jangan begitu ceroboh!” tegurnya.

“Maaf, I-i… maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta… akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain…”

“Tentu saja… asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio,” kata Kui Lan yang segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu.

Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar-kobar! Dia menganggap bahwa ketidak marahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu secara diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Semakin dibayangkan, semakin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih dari pada itu!

Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran kita! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan, memupuk dan bahkan membumbui dengan khayalan sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya.

Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbul keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu.

Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat, nikmat dan menyenangkan.

Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas dari pada pikiran yang mengenang-ngenang itu?

Bukan berarti kita tidak harus menggunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita, namun pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Akan tetapi, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati dan merasuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita akan bangkit.


Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorong hatinya untuk memperoleh yang lebih dari itu!

Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah kuatnya hingga kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir mau pun mata batin. Yang nampak hanyalah bayangan kesenangan itu saja, yang terlihat amat menyilaukan.

Apa lagi karena sudah beberapa pekan ini isterinya sering kali kelihatan tidak senang dan marah-marah padanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di luar rumah.

Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan menyangka dia Kui Lin, tentu dia telah turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya.

Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang? Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan di samping itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya yang telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya!

Dan juga, kalau peristiwa yang terjadi tadi, yaitu peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya akibat kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, sampai terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakiti hati adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak!

Dia tahu bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andai kata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang amat terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu sangat lucu. Suaminya amat mencintanya dan dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya.

Betapa pun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan di dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan serta tekanan-tekanan. Oleh sebab itu, setelah makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Kui Lan tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya sehingga Kui Lin yang sangat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya.

Andai kata pada siang harinya dia tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, apa bila mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja!

Demikianlah, sore-sore dia sudah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena batinnya lelah, ada pun Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah hingga sama sekali tak dapat tidur di samping isterinya.

Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang semenjak siang tadi dia telah mengatur rencana! Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan mau menerimanya dengan girang biar pun di luarnya kelihatan marah! Sejak siang tadi semua ini terbayang di dalam benaknya dan diam-diam dia pun telah mengatur rencana sebaik-baiknya.

Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini mudah diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak tadi, dengan hati-hati sekali dia lalu turun dari pembaringan! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar melewati lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi.

Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya, kemudian menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebenarnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu birahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini.

Suasana amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan, lantas mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itu pun telah tidur.

Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia kemudian mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, lalu dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Sambil tersenyum simpul Tiong Pek memegang ujung biting dupa itu di luar jendela. Matanya berkilat-kilat dan bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali.

Sesungguhnya Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Tetapi pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia mendapat hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar yang akan diperkosanya.

Kini, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu birahi, Tiong Pek mempergunakan alat yang keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis. Dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar makin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas benar-benar!

Maka dia pun lalu membuka jendela itu, dan menggunakan sapu tangan basah menutupi hidung dan mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar.

Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia lalu menutupkan lagi daun pintu, tetapi dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja.

Kamar itu gelap, hanya mendapat penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan sudah rebah terlentang dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Maka terjadilah peristiwa yang kotor dan menjijikkan di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya.

Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi dari pada yang telah didapatkannya!

Na Tiong Pek lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia sudah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh. Akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu.

Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika di dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat wajah pria yang merangkulnya, dia pun menjerit dan meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi!

“Jahanam! Keparat hina-dina… ouhhhh, engkau jahanam laknat…!” Kui Lan menjerit-jerit.

Tanpa mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat, dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum pada saat melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi alangkah kagetnya melihat reaksi wanita ini.

“I-i… eh, Kui Lan… sssttt, jangan ribut… sudah terlanjur… aku… aku cinta padamu…”

“Jahanam…!”

Kui Lan menyerang lagi saat pria itu mengelak. Maka kini terjadilah perkelahian di dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian!

“Ssst, Kui Lan… kau akan mengejutkan semua orang… kita berpakaian dahulu…” Tiong Pek membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus saja menyerangnya sambil menangis.

“Dukkk!”

Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek sehingga pria ini terhuyung ke belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya.

“Bukkk!”

Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari pembaringan dan sekarang karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu.

“Kui Lan… aduhhh, Kui Lan… sudah terlanjur… mengapa engkau mengamuk…?” Tiong Pek menjadi takut sekali.

“Brakkkkk…!”

Mendadak daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini membawa pedang dan wajahnya agak pucat. Dia tadi terkejut bukan kepalang saat mendengar suara ribut-ribut, kemudian cepat mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, maka dia pun cepat berlari keluar.

Mendengar suara perkelahian di dalam kamar enci-nya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biar pun cuaca remang-remang, akan tetapi Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh enci-nya yang juga bertelanjang bulat!

“Apa… apa yang terjadi…?” tanyanya dengan suara gemetar. “Enci Lan… apa yang telah terjadi…?” Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan diduganya.

Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. “Hu-huu-huuuhh… dia… dia membiusku dan… dan… menodaiku… hu-hu-huuuhh…”

Pengakuan ini bagai sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya.

“Kau… kau… jahanam busuk…!” Dan Kui Lin langsung menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya!

“Eeiiiiitt… sabar dulu, Lin-moi…!” Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!

“Sabar? Manusia berhati binatang, engkau sudah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!” Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya.

Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, kemudian terpaksa balas menyerang. Ketika melihat betapa pria yang sudah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia sering kali berlatih pedang dengan adik kembarnya. Sekarang tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek!

Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung bukan main, dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, dia pun lantas melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan bagai kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya hingga membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya!

“Aduhhh…!” Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada sehingga menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya.

Melihat ini, kedua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik, “Ya Tuhan… kita… kita telah membunuhnya…”

Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. “Memang dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!” katanya.

Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya. Dengan air mata bercucuran Kui Lin juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah.

Sesudah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah. Serentak keduanya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.

Tiba-tiba saja Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan dua mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, “Aku layak mati…” Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri!

“Enci Lan…!”
Dengan cepat sekali Kui Lin sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan ini?” bentaknya.

Kui Lan menangis. “Untuk apa aku hidup lagi…? Aku sudah ternoda… bahkan aku telah membunuh suamimu… aku telah menghancurkan kebahagiaanmu… dan aku layak mati, jangan kau halangi aku…” Kui Lan meronta.

Akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak mau membiarkan enci-nya melepaskan diri. “Enci Lan, jangan… jangan kau lakukan itu…”

“Apa gunanya aku hidup lebih lama? Dia… dia membiusku dengan asap harum… dan dalam keadaan tak sadar dia… dia menodaiku… Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?”

“Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang engkau pikirkan?” Tiba-tiba saja Kui Lin melepaskan rangkulannya. “Sekarang, sesudah apa yang terjadi, kau hendak membunuh diri? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, tapi aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri! Sekejam itukah hatimu padaku, Enci Lan? Apakah kau kira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, dan kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang… hidup… merana dan menanggung semua aib…!”

Kui Lin menangis tersedu-sedu, ada pun Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat dari pada dia!

“Lin-moi…!” Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.

Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar suara ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun akibat mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lantas merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, “Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?”

Kui Lan mengangguk pasrah.

“Kalau begitu, serahkan segala-galanya padaku,” bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis.

Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Pada saat para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka menjadi terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.

Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.

“Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu menangkapnya.”

Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu sehingga pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang.

Selama menunggu pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran serta kedukaan. Hanya berkat adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, namun Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau enci-nya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami enci-nya itu.

Betapa pun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa sangat ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, bahkan dia telah membunuh suami adiknya, dia sudah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi, maka nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah sumber air matanya tidak akan ada habisnya.

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang saling tumpang tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja.

Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, malah yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkannya atau dia bayangkan semula!

Si miskin membayangkan bahwa jika dia memiliki banyak harta, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa jika dia memiliki kedudukan tinggi, maka hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka justru menderita banyak kepusingan akibat kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang telah terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya!

Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan hidupnya tidak berbahagia selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekali pun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapuk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi!

Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan kata lain, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.


Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun.

Pada saat pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek sudah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.

Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata,

“Siapa yang melakukan itu? Siapa…?! Aku akan mencari pembunuhnya… hemmm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!”

Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia segera membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.

“Ada… ada apakah…?” Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara?

Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya, “I-thio… sebaiknya kita bicara di dalam saja…” Sesudah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya lantas membawanya masuk ke dalam.

Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, sedangkan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.

Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng Piauwkiok yang amat setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu.

Tentu saja dia pun merasa sangat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tak diganggu, lagi pula tidak ada barang berharga yang dilarikan.

Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tak mungkin apa bila ada penjahat yang menaruh dendam terhadap Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya tentang hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa amat penasaran sungguh pun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.
Selanjutnya,

Pendekar Sadis Jilid 03

Pendekar Sadis Jilid 03
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
ANAK itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan di wajahnya jelas terbayang kekerasan dan dendam yang amat hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dia membaca surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan moihu-nya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat serta mendidik Thian Sin untuk sementara waktu, karena mereka berdua terancam bahaya. Minta padanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya.

Sesudah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Pada saat menulis surat itu, meski pun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, akan tetapi adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata,

“Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beistirahat.”

Lai Sui cepat memberi hormat. “Terima kasih, suhu. Tetapi, sesudah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena di samping dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?”

Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di sampingnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa sangat terharu. “Terima kasih, Lai-pek, sungguh engkau baik sekali dan aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau tolong… tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?”

“Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, kau jangan khawatir… nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang.”

Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang sudah tertimpa mala petaka itu. Oleh karena tidak berkeluarga, maka dia sendiri tidak mengalami kehancuran keluarga. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja. Maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat dan dia ingin lekas-lekas pulang.

Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat bukan main di wajah keponakannya itu lalu berkata. “Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?”

Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, lalu dia menggeleng kepalanya. “Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak saya pasti akan menyelidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!” Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang.

“Omitohud…! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tak pernah berpikir mau pun bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?”

Sesudah anak itu menggelengkan kepalanya, dengan suara lembut dan sabar Hong San Hwesio lantas menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang dahulu pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat dari pada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau.

Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar.

“Nah, sekarang engkau tentu mengerti, Thian Sin. Tidak ada perbuatan tanpa akibat dan tidak ada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Dan kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan saja, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang nantinya akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri.”

“Tapi… tapi… ayah bundaku dibunuh orang… mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?”

Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu demi satu sehingga jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.

Tiada yang lebih panas dari pada nafsu tiada yang lebih ganas dari pada kebencian tiada yang lebih menjerat dari pada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan dari pada keserakahan, Kesalahan orang lain mudah nampak, kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya.

Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun segera membantah, “Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu sudah melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau perbuatan mereka itu tidak kuberantas, kalau orang-orang kejam semacam itu tidak kubasmi, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?”

Hong San Hwesio masih memejamkan sepasang matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan.

“Omitohud… hatimu penuh dendam dan kebencian, tentu saja tak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kau dengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci.”

Tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, hwesio itu lantas bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada.

Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya, seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya Dia mencaci maki saya, memukul saya, mengalahkan saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini, kebencian takkan berakhir, yang tidak mmyimpan pikiran ini, dendam kebencian akan berakhir. Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian, kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi…

Suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang masih memejamkan matanya itu, entah bagaimana terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini bagaikan terhanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan, kemudian mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara!

Demikianlah, mulai hari itu juga Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio dalam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan menurut pelajaran agama itu.

Selain setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, Hong San Hwesio juga memberi pelajaran kesusasteraan kepada Thian Sin, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.

Di samping mempelajari ilmu silat, ilmu sastera dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali.

Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seakan kebaikan itu dapat dipelajari! Seakan kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seakan kesabaran itu dapat dibuat!

Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, bila kita marah, kita dinasehati untuk bersabar. Kita dinasehati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, dan kesabaran itu baik dan sebagainya.

Kita diajarkan untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa agar berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak pernah kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, sedang setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih.

Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu akan dapat mendatangkan senang di hati. Maka ‘perbuatan baik’ yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu mungkin saja berupa kesenangan bagi lahir mau pun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar dapat memperoleh buah dari semua perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.

Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, walau pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekali pun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas dari pada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar!

Memang, dengan kesabaran atau pengendalian diri, kemarahan mungkin dapat berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sebenarnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar kembali, lalu ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!

Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan itu? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah?

Marilah kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali iri hati kebencian, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tidak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!


Begitu pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia sudah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya.

********************

Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terietak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar.

Dulu, sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali.

Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang sangat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apa bila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai.

Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan amat menyeramkan itu, kini sebagian telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar saat mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah mengambil korban lagi.

Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Kini suasananya betul-betul jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu pada saat istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai.

Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lainnya, di mana akhirnya terjadi keributan. Sesudah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya.

Sampai sekarang Lembah Naga sudah menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di sana banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan obat-obatan, banyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan, dan ketika pulang mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat.

Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat ini pun terkenal sebagai istana tempat tinggalnya Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini sudah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun.

Semenjak kecil Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari kedua orang tuanya, bukan pemanjaan melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang hidup sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apa bila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu.

Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlampau menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguh pun juga tidak dapat dikatakan buruk.

Hidungnya agak pesek, matanya sipit, namun wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, bibirnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memancarkan sinar yang bening tajam. Bila dia bicara, suaranya terdengar tenang, halus dan jelas, dan apa bila dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.

Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, pada waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu gembira, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walau pun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak mau bicara kalau tidak perlu sekali.

Bentuk tubuhnya juga sedang saja, dan sikapnya sederhana sungguh pun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan serta dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.

Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbullah kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biar pun selama ini puteranya menunjukkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat.

Betapa banyak orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan, mempunyai kekuasaan atas orang lain, karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati?

Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan di dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya.

Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih sangat mudah menyeleweng. Apa lagi orang-orang yang mempunyai kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam!

Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukan mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan mala petaka apa bila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar pada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan digunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan kemudian dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia-manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini.

Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain.

“Lalu apakah yang dapat kita lakukan?” Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. “Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita…?”

“Aku ingat,” tiba-tiba Sin Liong berkata, “ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak.”

“Siapa dia?” Bi Cu bertanya penuh gairah.

“Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai.”

“Siapa sih?”

“Dia Kanda Lie Seng yang sekarang telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja.”

“Ahh, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri.”

“Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlalu dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun dan sesudah dasarnya kuat, baru kita bawa dia pulang.”

“Aku setuju, biar pun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita,” kata isterinya.

“Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam di tempat sunyi ini saja.”

“Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?”

“Tidak, kesempatan ini kita gunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong pergi merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko.”

Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus dia akui bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa berbahagia sekali di samping suaminya yang sangat dicintanya, apa lagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni-penghuni dusun yang jujur dan bersahaja, sungguh amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah.

Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia beserta putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main lalu nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, walau pun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar.

“Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu,” katanya. “Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada tandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?”

Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab, “Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tidak ada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekali pun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang sangat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa amatlah berbahaya memandang terlalu tinggi terhadap diri sendiri, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain.”

Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasanya, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. “Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?”

Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai pada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya mengenai mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya.

“Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di kota Su-couw. Sudah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku hendak mengajak ibumu dan engkau pergi mengunjungi mereka pula ke Su-couw. Sedangkan pamanmu Lie Seng itu sekarang sudah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Dia pun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itulah engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong.”

Saat menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang.

Apakah mereka telah mempunyai anak? Ahh, sungguh lucu rasanya jika membayangkan adik-adiknya itu memiliki anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.

Tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu.

Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara pernikahan mereka.

Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu.

Kebetulan sekali, puteranya yang bernama Beng Sin, atau kakak satu ayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciok Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua ini telah diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga.

Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena sejak kecil Bi Cu dirawat dan dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini.

Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Adapun Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng Piauwkiok di kota Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika mereka menikah.

Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sulit memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek juga membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang).

Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka, Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na Tiong Pek ini, apa lagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja sangat cocok, sesuai dengan kepandaiannya.

Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sangat lihai, jauh lebih lihai dari pada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng Piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkiok-nya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri.

Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar hingga kedua keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Sesudah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, setiap hari mereka pun dapat saling berkunjung dan tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat dari pada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan.

Akan tetapi, kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaan pun tidak kekal adanya, sungguh pun segala peristiwa itu merupakan akibat dari pada ulah manusia itu sendiri.

Khai Sun yang merasa ‘ditolong’ oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Dia mengawal sendiri semua barang kiriman yang cukup berharga, apa lagi kalau harus melalui tempat-tempat berbahaya. Beberapa kali rombongan pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa.

Tentu saja Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh setelah mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja.

Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat sekali, mendapat kepercayaan dari para bangsawan dan hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu satu tahun saja Khai Sun sudah mampu membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur.

Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, ada pun dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda mengeram dalam sanubari Na Tiong Pek.

Dia mulai mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan di antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya.

Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Na Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin.

Karena halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandangan matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang dua orang saudara kembar ini hampir setiap hari saling mengunjungi, bahkan bila mana Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.

Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tidak ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi tetap saja Kui Lan lebih menggairahkan bagi Tiong Pek!

Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat dari pada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan dari pada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.

Semenjak kecil manusia telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan dari pada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, tanpa disadari sejak kecil manusia telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya. Matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang ‘lebih’ lagi.

Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan belum dimilikinya ini menjadi pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu akan membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apa pun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.


Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, bagaikan bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan.

Akan tetapi, Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak memiliki sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi dan amat ramah!

Dorongan nafsu birahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayangkan betapa nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas meja di rumahnya.

Hawa pada siang hari itu agak panas sedangkan isterinya, Kui Lin, tengah tidur siang di kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan terus memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu bergerak cekatan sekali, menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini bekerja sambil menggigit bibir bawahnya. Kadang kala dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju di leher sehingga nampak kulit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu.

Kui Lan sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apa lagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja!

Kebetulan sekali Kui Lan juga mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh isterinya! Memang, semenjak Kui Lan tinggal satu kota, apa lagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama.

Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah nafsunya dan juga sekaligus untuk ‘menguji’ isi hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua kecerdikan serta akal ini timbul pada waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja!

Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan. Pertama, karena wanita ini mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apa lagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai bukan kepalang! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu.

Dengan hati-hati sekali, sambil mengindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya akibat tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang. Hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek menahan napas, lantas dengan tiba-tiba saja dia merangkul leher yang berkulit putih mulus itu, kedua tangan merangkul pundak dan dia berbisik mesra,

“Lin-moi, isteriku sayang… ahhh, betapa aku cinta padamu…”

Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia cepat mengangkat muka. Akan tetapi, sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek sudah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat mengeluarkan suara!

Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya pada dada Tiong Pek kemudian meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak.

“Aih, isteriku… aku… aku ingin sekali…” Tiong Pek terus bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi.

“I-thio… ini aku… Kui Lan…!” Kui Lan akhirnya mampu berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang sudah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi.

Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia segera terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kaki Kui Lan!

“Ahh… Lan-i… maafkan aku… ampunkan aku… ahhh, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku… ahhh, sungguh aku menyesal sekali…”

Sepasang kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapa pun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini sudah keliru sangka dan salah mengenal orang.

Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang kala mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik,

“Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra…,” dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri.

Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali ini pun Tiong Pek sudah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini, melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, maka lenyaplah kemarahannya, meski pun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andai kata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek!

“I-thio (sebutan untuk suami saudara perempuan), lain kali engkau jangan begitu ceroboh!” tegurnya.

“Maaf, I-i… maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta… akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain…”

“Tentu saja… asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio,” kata Kui Lan yang segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu.

Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar-kobar! Dia menganggap bahwa ketidak marahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu secara diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Semakin dibayangkan, semakin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih dari pada itu!

Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran kita! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan, memupuk dan bahkan membumbui dengan khayalan sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya.

Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbul keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu.

Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat, nikmat dan menyenangkan.

Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas dari pada pikiran yang mengenang-ngenang itu?

Bukan berarti kita tidak harus menggunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita, namun pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Akan tetapi, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati dan merasuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita akan bangkit.


Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorong hatinya untuk memperoleh yang lebih dari itu!

Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah kuatnya hingga kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir mau pun mata batin. Yang nampak hanyalah bayangan kesenangan itu saja, yang terlihat amat menyilaukan.

Apa lagi karena sudah beberapa pekan ini isterinya sering kali kelihatan tidak senang dan marah-marah padanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di luar rumah.

Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan menyangka dia Kui Lin, tentu dia telah turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya.

Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang? Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan di samping itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya yang telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya!

Dan juga, kalau peristiwa yang terjadi tadi, yaitu peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya akibat kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, sampai terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakiti hati adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak!

Dia tahu bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andai kata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang amat terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu sangat lucu. Suaminya amat mencintanya dan dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya.

Betapa pun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan di dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan serta tekanan-tekanan. Oleh sebab itu, setelah makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Kui Lan tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya sehingga Kui Lin yang sangat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya.

Andai kata pada siang harinya dia tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, apa bila mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja!

Demikianlah, sore-sore dia sudah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena batinnya lelah, ada pun Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah hingga sama sekali tak dapat tidur di samping isterinya.

Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang semenjak siang tadi dia telah mengatur rencana! Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan mau menerimanya dengan girang biar pun di luarnya kelihatan marah! Sejak siang tadi semua ini terbayang di dalam benaknya dan diam-diam dia pun telah mengatur rencana sebaik-baiknya.

Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini mudah diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak tadi, dengan hati-hati sekali dia lalu turun dari pembaringan! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar melewati lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi.

Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya, kemudian menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebenarnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu birahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini.

Suasana amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan, lantas mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itu pun telah tidur.

Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia kemudian mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, lalu dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Sambil tersenyum simpul Tiong Pek memegang ujung biting dupa itu di luar jendela. Matanya berkilat-kilat dan bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali.

Sesungguhnya Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Tetapi pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia mendapat hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar yang akan diperkosanya.

Kini, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu birahi, Tiong Pek mempergunakan alat yang keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis. Dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar makin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas benar-benar!

Maka dia pun lalu membuka jendela itu, dan menggunakan sapu tangan basah menutupi hidung dan mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar.

Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia lalu menutupkan lagi daun pintu, tetapi dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja.

Kamar itu gelap, hanya mendapat penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan sudah rebah terlentang dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Maka terjadilah peristiwa yang kotor dan menjijikkan di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya.

Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi dari pada yang telah didapatkannya!

Na Tiong Pek lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia sudah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh. Akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu.

Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika di dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat wajah pria yang merangkulnya, dia pun menjerit dan meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi!

“Jahanam! Keparat hina-dina… ouhhhh, engkau jahanam laknat…!” Kui Lan menjerit-jerit.

Tanpa mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat, dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum pada saat melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi alangkah kagetnya melihat reaksi wanita ini.

“I-i… eh, Kui Lan… sssttt, jangan ribut… sudah terlanjur… aku… aku cinta padamu…”

“Jahanam…!”

Kui Lan menyerang lagi saat pria itu mengelak. Maka kini terjadilah perkelahian di dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian!

“Ssst, Kui Lan… kau akan mengejutkan semua orang… kita berpakaian dahulu…” Tiong Pek membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus saja menyerangnya sambil menangis.

“Dukkk!”

Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek sehingga pria ini terhuyung ke belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya.

“Bukkk!”

Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari pembaringan dan sekarang karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu.

“Kui Lan… aduhhh, Kui Lan… sudah terlanjur… mengapa engkau mengamuk…?” Tiong Pek menjadi takut sekali.

“Brakkkkk…!”

Mendadak daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini membawa pedang dan wajahnya agak pucat. Dia tadi terkejut bukan kepalang saat mendengar suara ribut-ribut, kemudian cepat mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, maka dia pun cepat berlari keluar.

Mendengar suara perkelahian di dalam kamar enci-nya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biar pun cuaca remang-remang, akan tetapi Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh enci-nya yang juga bertelanjang bulat!

“Apa… apa yang terjadi…?” tanyanya dengan suara gemetar. “Enci Lan… apa yang telah terjadi…?” Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan diduganya.

Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. “Hu-huu-huuuhh… dia… dia membiusku dan… dan… menodaiku… hu-hu-huuuhh…”

Pengakuan ini bagai sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya.

“Kau… kau… jahanam busuk…!” Dan Kui Lin langsung menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya!

“Eeiiiiitt… sabar dulu, Lin-moi…!” Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!

“Sabar? Manusia berhati binatang, engkau sudah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!” Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya.

Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, kemudian terpaksa balas menyerang. Ketika melihat betapa pria yang sudah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia sering kali berlatih pedang dengan adik kembarnya. Sekarang tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek!

Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung bukan main, dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, dia pun lantas melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan bagai kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya hingga membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya!

“Aduhhh…!” Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada sehingga menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya.

Melihat ini, kedua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik, “Ya Tuhan… kita… kita telah membunuhnya…”

Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. “Memang dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!” katanya.

Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya. Dengan air mata bercucuran Kui Lin juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah.

Sesudah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah. Serentak keduanya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.

Tiba-tiba saja Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan dua mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, “Aku layak mati…” Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri!

“Enci Lan…!”
Dengan cepat sekali Kui Lin sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan ini?” bentaknya.

Kui Lan menangis. “Untuk apa aku hidup lagi…? Aku sudah ternoda… bahkan aku telah membunuh suamimu… aku telah menghancurkan kebahagiaanmu… dan aku layak mati, jangan kau halangi aku…” Kui Lan meronta.

Akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak mau membiarkan enci-nya melepaskan diri. “Enci Lan, jangan… jangan kau lakukan itu…”

“Apa gunanya aku hidup lebih lama? Dia… dia membiusku dengan asap harum… dan dalam keadaan tak sadar dia… dia menodaiku… Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?”

“Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang engkau pikirkan?” Tiba-tiba saja Kui Lin melepaskan rangkulannya. “Sekarang, sesudah apa yang terjadi, kau hendak membunuh diri? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, tapi aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri! Sekejam itukah hatimu padaku, Enci Lan? Apakah kau kira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, dan kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang… hidup… merana dan menanggung semua aib…!”

Kui Lin menangis tersedu-sedu, ada pun Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat dari pada dia!

“Lin-moi…!” Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.

Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar suara ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun akibat mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lantas merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, “Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?”

Kui Lan mengangguk pasrah.

“Kalau begitu, serahkan segala-galanya padaku,” bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis.

Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Pada saat para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka menjadi terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.

Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.

“Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu menangkapnya.”

Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu sehingga pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang.

Selama menunggu pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran serta kedukaan. Hanya berkat adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, namun Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau enci-nya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami enci-nya itu.

Betapa pun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa sangat ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, bahkan dia telah membunuh suami adiknya, dia sudah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi, maka nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah sumber air matanya tidak akan ada habisnya.

Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang saling tumpang tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja.

Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, malah yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkannya atau dia bayangkan semula!

Si miskin membayangkan bahwa jika dia memiliki banyak harta, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa jika dia memiliki kedudukan tinggi, maka hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka justru menderita banyak kepusingan akibat kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang telah terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya!

Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan hidupnya tidak berbahagia selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekali pun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapuk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi!

Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan kata lain, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.


Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun.

Pada saat pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek sudah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.

Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata,

“Siapa yang melakukan itu? Siapa…?! Aku akan mencari pembunuhnya… hemmm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!”

Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia segera membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.

“Ada… ada apakah…?” Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara?

Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya, “I-thio… sebaiknya kita bicara di dalam saja…” Sesudah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya lantas membawanya masuk ke dalam.

Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, sedangkan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.

Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng Piauwkiok yang amat setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu.

Tentu saja dia pun merasa sangat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tak diganggu, lagi pula tidak ada barang berharga yang dilarikan.

Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tak mungkin apa bila ada penjahat yang menaruh dendam terhadap Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya tentang hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa amat penasaran sungguh pun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.
Selanjutnya,