Panasnya Bunga Mekar Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 30
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

DALAM pada itu, selagi pasukan Watu Mas mulai memasuki hutan perbatasan, asap pun telah mengepul membakar perkemahan yang berisi perbekalan dan perlengkapan yang tidak dapat disingkirkan oleh orang-orang Watu Mas. Lebih baik segalanya itu musna daripada jatuh ke tangan orang-orang Kabanaran. Namun agaknya orang-orang Watu Mas masih beruntung. Demikian mereka memasuki hutan perbatasan dalam gerak mundur, maka langit pun menjadi muram. Matahari yang rendah pun segera menyusup ke balik pegunungan.

Malam itu ditandai dengan cahaya api yang berkobar membakar perkemahan orang-orang Watu Mas. Akuwu Suwelatama yang melihat bahwa Watu Mas telah menghancurkan sendiri perbekalannya, mempunyai perhitungan bahwa pasukan Watu Mas itu akan terus bergerak mundur kembali ke Pakuwonnya.

Sementara malam turun dan gelap bagaikan tabir hitam di pelupuk mata, maka Akuwu pun segera memerintahkan membunyikan isyarat agar pasukan Kabanaran segera berkumpul di pinggir hutan. Akuwu tidak menghendaki pasukannya mengejar terus memasuki hutan di malam hari, karena hal itu tidak akan menguntungkan.

Dengan demikian, maka pasukan Kabanaran telah berkumpul di pinggir hutan perbatasan. Dengan cemas mereka menyaksikan perkemahan orang-orang Watu Mas yang terbakar. Jika api itu kemudian menjilat bibir hutan, maka kebakaran akan timbul lebih mencemaskan lagi dari kebakaran perkemahan itu, atau bahkan kebakaran di padukuhan sekalipun. Karena kebakaran hutan akan dapat menjadi bencana yang besar karena api akan sulit dipadamkan.

Karena itu, maka agaknya Akuwu pun melihat bahaya yang demikian, sehingga ia pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk memadamkan api dengan alat yang ada. Dengan pasir, dengan air yang harus dicari pada sungai-sungai kecil yang terdapat di hutan itu sendiri.

Mereka mengatasi kesulitan membawa air dari sungai-sungai kecil itu dengan tapas atau kayu yang dapat mereka buat dengan tergesa-gesa. Meskipun kurang memadai, tetapi karena jumlah para pengawal cukup banyak, maka akhirnya usaha mereka pun perlahan-lahan dapat berhasil. Sebagian dari para pengawal itu telah menebang pepohonan hutan yang akan mudah dijilat oleh api sementara yang lain berusaha memadamkan api itu sendiri.

Perjuangan melawan api itu pun cukup melelahkan. Sementara itu beberapa orang yang berkewajiban telah berusaha merawat orang-orang yang terluka dan menjadi korban di dalam peperangan itu. Malam itu, pasukan Kabanaran menarik diri ke padukuhan induk pertahanan dalam keadaan yang sangat letih.

Setelah bertempur dengan segenap kemampuan, mereka harus berjuang melawan api dan merawat mereka yang terluka. Bukan hanya orang-orang Kabanaran, tetapi juga orang-orang Watu Mas, karena pasukan Watu Mas sendiri telah mengundurkan diri dari arena. Yang lain masih harus menyelenggarakan kawan-kawan mereka dan juga lawan-lawan mereka yang terbunuh di peperangan.

Namun demikian, orang-orang Kabanaran dapat merasakan kebanggaan, bahwa mereka dapat menyelesaikan peperangan dengan mengusir orang-orang Watu Mas dari daerah mereka. Bahkan tidak mustahil, bahwa apabila pasukan Watu Mas mendapat kemenangan dalam pertempuran itu, mereka akan merambat menuju ke kota Pakuwon dan bahkan mungkin sekali Watu Mas benar-benar akan menguasai Kabanaran. Baru kemudian dengan dalil apapun juga Watu Mas dapat saja memberikan laporan ke Kediri dengan memutar-balikkan kenyataan.

Malam itu Akuwu masih memanggil para senopatinya untuk membicarakan perkembangan terakhir dari peperangan yang nampaknya telah hampir selesai seluruhnya itu. Meskipun demikian, Akuwu masih ingin memperingatkan, bahwa mereka masih harus bersiaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih akan dapat terjadi. Di antara para senopati itu terdapat Mahisa Bungalan. Secara khusus Akuwu telah menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Mahisa Bungalan dan berharap untuk beberapa lama masih tetap berada di Kabanaran.

Dalam pada itu, pasukan Watu Mas benar-benar telah terusir dari medan. Meskipun pasukan Kabanaran tidak mengejar pasukan Watu Mas karena malam telah turun, namun pasukan Watu Mas sendiri tidak akan mungkin lagi untuk kembali ke medan seperti keadaannya waktu itu. Dalam gerak mundur, Akuwu masih tetap berhasil mengikat pasukan Watu Mas. Karena itu, ia masih dapat memanggil pula para senopatinya, demikian mereka sempat beristirahat di tengah-tengah hutan perbatasan.

“Kita menarik diri untuk sementara.” berkata Akuwu.

Pangeran Indrasunu menarik nafas. Rasa-rasanya ia pun sudah jemu dengan peperangan itu. Tiba-tiba saja telah timbul rencananya yang lain, didorong oleh dendamnya kepada Mahisa Bungalan.

“Aku akan mengambil gadis itu,” katanya berulang kali di dalam hatinya, “bersama kedua orang guru saudara-saudaraku itu, aku tentu akan berhasil. Di rumah Mahisa Bungalan tidak ada orang yang cukup kuat untuk melindungi gadis itu, justru karena Mahisa Bungalan ada di sini. Tentu kedua orang pamannya itu berada di sini pula. Seandainya ayah Mahisa Bungalan ada di rumah, maka ia tentu akan mampu melawan dua orang pemimpin padepokan yang mumpuni itu. Sementara aku dan kedua orang Pangeran itu akan mengambil Ken Padmi dan membawanya pergi kemana pun juga.”

Pangeran Indrasunu itu tersenyum sendiri. Selanjutnya Pangeran Indrasunu itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang telah terjadi. Ia tidak menghiraukan lagi rencana-rencana Akuwu yang secara kasar diuraikan kepada pada Senopatinya, bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, maka ia akan menebus kekalahan itu.

Namun demikian, ketika mereka kemudian memasuki Pakuwon Watu Mas dalam keadaan yang parah, Pangeran Indrasunu telah memaksa dirinya untuk mengatur orang-orang yang dibawanya. Sebenarnya bahwa orang-orang yang dibawa oleh Pangeran Indrasunu dari dua padepokan yang besar dan berpengaruh itu, memiliki kemampuan yang lebih baik dari para pengawal dari Watu Mas. Apalagi para pengawal yang dibentuk menghadapi keadaan yang gawat di saat-saat terakhir.

Ternyata bahwa korban yang jatuh di antara orang-orang yang diperbantukan oleh Pangeran Indrasunu itu terhitung sedikit dibanding dengan korban yang jatuh dari antara pasukan pengawal Watu Mas sendiri.

Kehadiran pasukan pengawal Watu Mas di antara rakyatnya di hari berikutnya telah disambut dengan wajah-wajah muram. Di beberapa wajah nampak air mata yang mengalir, karena anak laki-laki yang dicintainya, suami yang melindungi hidupnya atau ayah yang mengasihinya telah direnggut oleh peperangan. Apalagi pasukan Watu Mas tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa mereka telah terpukul mundur, sehingga mereka kembali ke Pakuwon dengan membawa kepahitan yang tidak terlupakan.

Sementara itu, pasukan Kabanaran masih berada di padukuhan induk pertahanan mereka. Mereka masih harus membenahi akibat peperangan yang parah bagi kedua belah pihak. Namun demikian beberapa bagian dari pasukan itu sudah dipersiapkan untuk ditarik kembali ke daerah tugas mereka yang lama. Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih minta Mahisa Bungalan untuk beristirahat barang beberapa saat di Pakuwon Kabanaran. Akibat peperangan itu masih harus diatasi.

“Mungkin sepekan, mungkin dua,” berkata Akuwu, “tetapi sebenarnya semakin lama semakin baik bagi kami.”

Mahisa Bungalan tidak dapat menolak. Ia pun merasa sangat letih, sehingga memerlukan waktu beberapa lama untuk beristirahat sebelum ia kembali ke Singasari. Berbeda dengan Mahisa Bungalan, Pangeran Indrasunu ternyata dengan tergesa-gesa minta diri untuk meninggalkan Watu Mas.

“Aku harus mempertanggung-jawabkan orang-orang yang datang bersamaku,” berkata Pangeran Indrasunu, “aku akan membawa mereka segera kembali ke padepokan mereka masing-masing.”

“Sebaiknya Pangeran beristirahat lebih dahulu.” Akuwu di Watu Mas berusaha untuk mencegahnya.

Tetapi Pangeran Indrasunu menggeleng. Ia sudah mempunyai rencana sendiri. Dan ia mempunyai cukup kekayaan untuk memancing kedua pemimpin padepokan, guru dari kedua orang Pangeran yang telah bekerja bersamanya mengusir Pangeran Suwelatama dari kota Pakuwon. Justru pada saat pasukan Kabanaran sebagian berada di daerah Kedung Sertu, hutan perbatasan dan daerah-daerah rawan yang lain.

“Aku dapat menjanjikan kepada mereka, sebidang tanah yang luas untuk memperluas padepokan mereka.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. ”Tidak perlu pasukan segelar sepapan. Dua orang guru dari kedua orang saudaraku, bersama kedua orang saudaraku itu sendiri. Tidak akan ada pertempuran yang besar dan kalut seperti yang baru saja terjadi. Tetapi sekedar permainan pendek untuk membunuh orang-orang yang mencoba menghalangi niatku.”

Pangeran Indrasunu yakin bahwa dua orang Pangeran itu akan bersedia membantunya. Tetapi seorang yang lain, yang telah kehilangan gurunya, masih belum dapat diharapkan, karena hatinya seakan-akan telah patah.

“Jika kedua pemimpin padepokan itu menolak, aku akan menghubungi Sepasang Serigala yang berada di padang perdu Geneng.” berkata Pangeran Indrasunu. “Meskipun orang lain menyebut namanya saja ketakutan, namun ia akan berpikir ulang untuk menolak tawaranku.”

Demikianlah, meskipun pasukannya baru beristirahat sehari di Pakuwon Watu Mas, namun Pangeran Indrasunu telah minta diri kepada Akuwu setelah ia tahu pasti, siapa saja di antara pasukannya yang menjadi korban. Sementara yang terluka parah dan tidak mungkin melakukan perjalanan, telah dititipkan di Pakuwon Watu Mas.

Tidak seorang pun yang mengetahui rencana Pangeran itu yang sebenarnya. Namun alasannya memang dapat di mengerti, bahwa ia harus mempertanggung-jawabkan pasukannya kepada para pemimpin padepokannya. Kegagalan itu telah membuat para pemimpin di kedua padepokan yang telah menyerahkan sekelompok orang-orangnya menjadi kecewa. Beberapa di antara mereka telah menjadi korban, sementara Pangeran Indrasunu tidak berhasil melepaskan dendamnya meskipun ia telah bertempur bersama pasukan Watu Mas.

“Kita dahulu dapat memilih waktu yang paling tepat,” berkata Pangeran Indrasunu, ”meskipun hal itu hanya terjadi secara kebetulan dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.”

“Ya,” sahut salah seorang dari kedua Pangeran yang telah bergabung dengan Pangeran Indrasunu, “tetapi agaknya Akuwu Watu Mas kurang menghitung keadaan dengan cermat.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Namun pada satu kesempatan ia berkata kepada kedua Pangeran itu, ”Aku mempunyai rencana khusus.”

“Apa?” bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.

“Mengambil Ken Padmi. Gadis yang membuat dendamku menyala sampai sekarang.” jawab Pangeran Indrasunu.

Kedua Pangeran itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu salah seorang dari mereka bertanya, “Kau akan memperisterikannya?”

“Jangan bodoh,” jawab Pangeran Indrasunu, “aku sama sekali tidak tertarik lagi kepada perempuan itu. Tetapi yang penting bagiku kemudian adalah menyakiti hati Mahisa Bungalan.”

“Jadi apa yang akan kau kerjakan?” bertanya Pangeran yang lain.

“Sudah aku katakan, mengambil perempuan itu dan membawanya pergi. Menghinakannya sebagaimana Mahisa Bungalan akan merasa terhina.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Kita bertiga?” bertanya Pangeran itu.

Pangeran Indrasunu menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Aku akan mohon kedua guru kalian masing-masing untuk menyertaiku. Aku akan dapat menyediakan sebidang tanah untuk memperluas padepokan mereka masing-masing.”

Tetapi kedua Pangeran itu agaknya tidak sependapat. Salah seorang berkata, “Guru sedang dibakar oleh kekecewaan. Bantuan yang diberikan kepada Akuwu di Watu Mas lewat kakangmas Indrasunu ternyata sama sekali tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan.”

“Aku tetap akan menyerahkan sebidang tanah.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Hanya sebidang tanah. Tetapi jika rencana Akuwu di Watu Mas itu berhasil, maka yang akan diperoleh oleh guru adalah sebuah tanah Perdikan betapapun sempitnya.” berkata Pangeran itu.

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat memberikan sebagaimana yang dikehendaki. Ia dapat membeli tanah yang luas dan memberikannya kepada orang-orang yang dikehendaki. Namun untuk memberikan kedudukan sebagai Tanah Perdikan, ia memang tidak berhak. Akuwu di Watu Mas akan dapat melakukannya atas kuasa yang diterimanya, meskipun yang berhak mengukuhkannya adalah Raja sendiri.

Karena itu, maka Pangeran Indrasunu itu pun berkata, “Tetapi bagaimana dengan kalian berdua?”

“Jika guru kami tidak dapat ikut bersama kami, apakah yang dapat kami lakukan? Bukankah gadis itu akan mendapat perlindungan dari orang-orang berilmu tinggi?” bertanya salah seorang Pangeran itu.

“Kita dapat berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi yang barangkali setingkat dengan guru kalian, meskipun dari daerah kehidupan yang berbeda.” Jawab Pangeran Indrasunu.

“Siapa?” bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.

“Bagaimana dengan Wangkot dan Mendu yang terkenal dengan sebutan Sepasang Serigala dari padang perdu Geneng itu?” desis Pangeran Indrasunu.

Kedua Pangeran itu termangu-mangu. Salah seorang berkata, “Kedua orang itu sangat berbahaya.”

“Tetapi apakah keduanya berani berbuat sesuatu atas kita masing-masing? Mereka tentu mengetahui, siapakah kita masing-masing.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Tetapi mereka pun tentu akan bertanya, kenapa kita minta tenaga mereka. Kenapa bukan guru. Bukankah mereka mengetahui bahwa guru memiliki ilmu yang tidak kalah dahsyatnya dengan ilmu mereka?” bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.

“Guru sedang sibuk. Atau ambil saja alasan lain. Katakan bahwa guru telah mengenal dengan keluarga gadis itu, atau alasan apapun juga.” jawab Pangeran Indrasunu, “Kemudian aku akan menyediakan upah yang menyenangkan mereka. Bahkan mungkin tidak perlu sebanyak jika aku harus menyediakan sebidang tanah bagi padepokan kalian masing-masing.”

Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka bertanya, “Tetapi apakah yang akan aku dapatkan dengan perbuatan ini? Kau akan mendapatkan gadis itu dan kau akan mendapat kepuasan untuk melepaskan dendam. Tetapi kami berdua?”

“Aku tidak memerlukan gadis itu lagi,” jawab Pangeran Indrasunu, “sudah aku katakan berulang kali. Ambillah jika kalian menghendaki. Gadis itu memang cantik sekali. Aku hanya ingin melihat betapa Mahisa Bungalan menjadi sakit hati dan kepahitan di sepanjang hidupnya. Dan sudah barang tentu, aku akan bersedia membantu kalian pada kesempatan lain jika kalian memerlukannya. Selebihnya, kalian akan dapat mengambil sebagian dari hakku. Aku memang bersedia membayar mahal sekali untuk kepuasan dendamku ini.”

Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang kemudian berkata, “Terserahlah kepadamu. Tetapi jika Wangkot dan Mendu bersedia, maka pekerjaan kita memang sudah menjadi ringan. Keduanya adalah orang yang jarang ada bandingnya di seluruh tlatah Singasari. Ternyata bahwa mereka masih belum juga dapat ditangkap meskipun keduanya sudah lama dianggap sebagai orang yang tidak dikehendaki.”

“Sebenarnya mereka bukannya orang yang tidak terlawan. Aku yakin guru kalian akan dapat melawannya. Para Senapati di Kediri atau Singasari akan dapat mengalahkan mereka meskipun satu dua saja di antara mereka. Namun memburu keduanya di padang yang luas memerlukan waktu, kesempatan dan juga tenaga.” Pangeran Indrasunu berhenti sejenak, lalu “Tetapi untuk mengambil gadis itu, kedua sudah cukup memadai. Karena di samping keduanya kita bertiga akan pergi juga bersama mereka.”

Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi aku akan minta ijin guru sepengetahuan Sepasang Serigala itu, agar serigala itu tidak akan berbuat jahat justru kepada kita di perjalanan.”

Pangeran Indrasunu ternyata sependapat. Dengan demikian akan nampak ada kekuatan yang berdiri di belakang para Pangeran muda itu. Hanya karena kekuatan itu tidak dapat dipergunakan untuk maksud yang khusus itu, mereka meminjam kekuatan lain. Sehingga dengan demikian, maka Sepasang Serigala itu tidak akan dapat berbuat jahat kepada para Pangeran, sebab itu berarti mereka akan berhadapan dengan guru-guru para Pangeran itu.

Demikianlah, maka Pangeran Indrasunu pun telah mengatur agar rencana itu dapat dilaksanakan secepatnya. Yang menurut perhitungannya, Mahisa Bungalan dan mungkin paman-pamannya masih berada di Pakuwon Kabanaran.

“Mahisa Bungalan akan ikut menikmati kemenangan itu.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah mencari hubungan dengan orang yang disebut Sepasang Serigala itu.

Dalam pada itu, sebenarnya Ken Padmi masih berada di rumah Mahisa Bungalan yang sedang berada di Pakuwon Kabanaran. Yang tinggal bersamanya di rumah itu, selain Mahendra dan kedua anaknya, hanyalah para pelayan dan para pembantunya saja. Sehingga dengan demikian, hari-hari Ken Padmi di rumah itu diisinya dengan kegiatan yang sangat khusus untuk mengisi waktunya yang terluang, dan untuk menghalau kesepiannya karena Mahisa Bungalan tidak ada di rumah.

Mahendra yang melihat, bahwa pada gadis itu telah tertanam bekal kemampuan, telah berusaha membantunya untuk mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya. Karena itulah, maka seakan-akan segenap waktunya yang panjang telah dipergunakan untuk berada di dalam sanggar.

Jika Ken Padmi sudah selesai membantu para pembantu di dapur, maka ia pun langsung berada di dalam sanggar. Mahendra pada saat-saat tidak sedang pergi mengurusi dagangannya, telah berusaha meningkatkan kemampuan gadis itu. Dengan mempelajari bekal ilmu pada gadis itu, maka Mahendra yang memiliki ilmu yang mumpuni itu, dapat mengatur dan menyesuaikan tuntutan yang diberikan berdasarkan atas bekal yang sudah ada pada gadis itu.

Ken Padmi ternyata memang seorang gadis yang memiliki kelebihan dari kebanyakan gadis yang lain. Dengan sungguh-sungguh ia mengikuti segala petunjuk dan tuntutan Mahendra. Seolah-olah ia tidak pernah mengenal lelah jika ia berada di dalam sanggar. Setelah beberapa lama Ken Padmi berusaha menyesuaikan dirinya, maka akhirnya Mahendra mengambil satu keputusan untuk memberikan kesempatan latihan bersama antara Ken Padmi dengan kedua anak-anaknya yang lain.

Bersama-sama mereka meningkat dengan cepat. Kedua adik Mahisa Bungalan itu pun semakin dewasa menjadi semakin menyadari, betapa pentingnya mereka memperdalam ilmu. Sebagaimana pengalaman mereka, dan apa yang mereka lihat pada ayah, kakaknya dan orang-orang di sekitarnya, bahwa pada suatu saat, mereka memerlukan perlindungan dari tindak kejahatan.

“Ilmu bukannya alat untuk memaksakan kehendak,” berkata Mahendra setiap kali, “kelebihan seseorang atas orang lain bukannya berarti bahwa ia dapat bertindak sewenang-wenang. Tetapi justru sebaliknya. Dengan ilmu, maka orang dapat menunjukkan pengabdiannya kepada orang lain. Karena sebenarnyalah ilmu adalah satu karunia dari Yang Maha Agung yang harus dipergunakan untuk memancarkan kasihNya kepada sesama. Dengan pengabdian, perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang lemah, yang diperlakukan tidak adil dan yang mengalami kesulitan, maka ilmu kanuragan tidak nampak sebagai satu perbuatan kekerasan, tetapi mempunyai makna yang sebaiknya.”

Dengan bekal itulah, sebagaimana yang selalu di katakan oleh Mahendra kepada Mahisa Bungalan, kedua adik Mahisa Bungalan itu mempunyai dasar ilmu yang berbeda, namun yang telah berhasil menyesuaikan dirinya karena tuntutan Mahendra.

Bersama-sama, ketiganya meningkat setapak demi setapak. Tetapi kesungguhan mereka, telah mempercepat peningkatan dan pengembangan ilmu itu. Ken Padmi berkembang sesuai dengan perkembangan wadag dan jiwanya. Sebagai seorang gadis, maka ia mempunyai beberapa perbedaan wadag dari seorang laki-laki. Bahkan juga mempunyai dasar yang berbeda dalam pertimbangan nalar dan perasaan.

Namun demikian, sesuai dengan pribadinya, maka Ken Padmi menekuni bagian yang tidak kalah nilainya dari bagian yang diperdalam oleh kedua adik Mahisa Bungalan. Ken Padmi lebih mementingkan kecepatan gerak dan ketrampilan tangan. Langkahnya tidak terlalu panjang, tetapi kecepatannya sulit untuk diikuti, sehingga seolah-olah kakinya tidak berjejak di atas tanah.

Sementara itu, kedua adik Mahisa Bungalan meningkatkan kemampuan dan kekuatan wadagnya semakin mantap. Bukan berarti bahwa keduanya, perkembangan kekuatan wadagnya lebih nampak dari peningkatan kecepatan gerak. Meskipun demikian, baik kedua adik Mahisa Bungalan, maupun Ken Padmi, telah meningkat pula pada bagian-bagian yang lain, kecuali bagian yang lebih diutamakannya.

Semakin lama Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya, maka semakin tekun Ken Padmi berada di dalam sanggar. Tidak ada yang menarik baginya, kecuali meningkatkan dan mengembangkan oleh kanuragan. Meskipun Ken Padmi tidak tahu, apakah ia masih akan mempunyai kesempatan untuk mengabdikan ilmu itu kepada sesamanya.

Dengan latihan-latihan yang keras, tidak mengenal lelah dan kemauan yang bulat, maka ketiga orang anak muda itu pun telah berhasil mencapai satu tingkatan yang tinggi. Ketiganya ternyata telah berhasil menguasai tataran-tataran tertinggi dari ilmu yang diturunkan oleh Mahendra kepada mereka. Dengan dasar itulah, maka mereka akan dapat mengembangkannya sehingga mereka akan menjadi orang-orang yang pilih tanding.

Dalam pada itu, nampaknya Ken Padmi, seorang gadis yang berasal dari padepokan itu, memiliki daya serap yang luar biasa. Ia sudah menempa dirinya di padepokan menghadapi sayembara tanding yang diadakannya. Dengan bekal ilmunya itulah, maka ia telah memanjat kepada tataran tertinggi dari ilmu yang diterima dari Mahendra. Bahkan ia pun telah menerima anugerah dari Mahendra, bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, untuk menguasai ilmu puncaknya.

“Kalian akan mempergunakannya sebagai landasan pengabdian,” berkata Mahendra, “karena itu tidak ada alasan bagiku untuk ragu-ragu.”

Sebenarnyalah bahwa dengan alasan yang kuat, ketiganya mampu menguasai ilmu puncak dari perguruan yang dianut Mahendra itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan karena mereka bertiga sempat menempa diri bersama-sama, maka mereka telah berhasil mengembangkan ilmu mereka lebih cepat daripada jika mereka bekerja sendiri-sendiri, yang sudah barang tentu di bawah pengawasan langsung dari Mahendra sendiri.

Mahendra telah mengorbankan waktunya di saat-saat terakhir bagi kepentingan ketiga orang anak-anak muda itu. Pada bulan terakhir, ia sama sekali tidak meninggalkan rumahnya. Justru pada saat-saat ia ingin menurunkan ilmu puncaknya. Namun setelah saat-saat itu lewat, Mahisa Bungalan masih juga belum segera pulang.

Yang datang kemudian adalah Witantra seorang diri. Dengan singkat ia menceritakan apa yang mereka lakukan di Pakuwon Kabanaran. Mengapa Mahisa Bungalan masih harus tinggal.

“Aku dan Mahisa Agni telah mendahului,” berkata Witantra, “untuk beberapa lama kami berada di Singasari. Namun pasukan yang lain pun telah kembali mendahului Mahisa Bungalan yang masih harus tinggal di Kabanaran. Bahkan pasukan itu telah mendahului kami berdua sehingga mereka tidak sempat menyaksikan apa yang pernah kami saksikan tentang ular-ular yang mengerikan itu.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Bergumam ia berkata seolah-olah kepada diri sendiri, “Jadi Mahisa Bungalan tinggal seorang diri.”

“Ya. Tetapi ia berada di antara para pengawal Kabanaran.” jawab Witantra, “Sementara itu, Mahisa Agni masih menyelesaikan beberapa persoalannya di Singasari, maka aku telah memerlukan datang kemari untuk memberitahukan kepadamu tentang Mahisa Bungalan. Agar kau tidak terlalu lama menunggu tanpa kabar berita.”

Mahendra mengangguk-angguk. Hampir berbisik ia berkata, “Ken Padmi sudah mengharapkannya pulang. Ia datang kemari karena ia mengikuti Mahisa Bungalan. Tetapi setelah gadis itu berada di sini, Mahisa Bungalan telah pergi untuk waktu yang seakan-akan tidak terbatas.”

“Tetapi itu lebih baik,” berkata Witantra, “sepanjang Mahisa Bungalan tidak mau mengalami kesulitan di perjalanan, maka lebih baik ia tidak terlalu sering berada di rumah selama Ken Padmi berada di rumahmu.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tetapi ia mempergunakan waktunya untuk menempa diri. Sungguh di luar dugaan. Gadis padepokan itu mampu menyamai kedua adik Mahisa Bungalan.”

“Gadis itu juga sudah berbekal ilmu,” berkata Witantra, “di padepokan ia pernah menempa diri untuk menghadapi sayembara tanding. Ilmu dasarnya sudah meningkat dengan pesat. Di sini, ia mengisi kekosongannya dengan ilmu. Agaknya kepergian Mahisa Bungalan memang sudah terlalu lama.”

Mahendra mengangguk-angguk. Sementara itu Witantra pun berkata, “Sebaliknya kau tempa anak itu agar menjadi lebih baik bersama anak-anakmu. Kau tidak akan menyesal. Pada dasarnya Ken Padmi adalah seorang gadis padepokan yang baik. Apalagi dalam keprihatinan seperti sekarang ini.”

“Kau dapat membantuku. Biarlah kita mengisi waktu sambil menunggu Mahisa Bungalan.” berkata Mahendra.

Sebenarnyalah kepergian Mahisa Bungalan terasa terlalu lama. Apalagi bagi Ken Padmi. Namun dengan demikian, maka kesepian keprihatinan dan tekadnya yang besar, telah mendorongnya untuk menjadi seorang gadis yang luar biasa.

Bersama Mahendra, maka Witantra yang untuk beberapa lama tinggal di rumah Mahendra, telah membantu membentuk Ken Padmi. Dengan dasar ilmu yang sama, maka Witantra dan Mahendra bersama-sama telah mengisi kekosongan yang terasa menyesak di dalam dada Ken Padmi pada saat-saat senggang. Justru karena itu, maka Ken Padmi selalu tenggelam di dalam kesibukan apapun juga, terutama kesibukan di dalam sanggar, meskipun ia tidak melupakan tugasnya sebagai seorang gadis.

Pada saat-saat yang demikian itulah, Pangeran Indrasunu yang mendendam Mahisa Bungalan sampai ke ujung rambut, telah merencanakan untuk mengambil Ken Padmi bersama dengan dua orang Pangeran dan Sepasang Serigala dari padang Geneng. Dengan tergesa-gesa Pangeran Indrasunu mempersiapkan rencananya. Menurut perhitungannya Mahisa Bungalan dan kedua pamannya tentu masih berada di Kabanaran.

“Seandainya mereka telah kembali, maka mereka tentu akan berada di Singasari untuk beberapa hari sebelum Mahisa Bungalan pulang ke rumahnya.” berkata Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu, setelah hari-hari yang sangat panjang, sejak Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya menuju ke Kabanaran untuk membantu Pakuwon itu memecahkan masalahnya, kemudian disambung dengan persoalan-persoalan yang timbul kemudian, Mahisa Bungalan mulai memikirkan untuk kembali. Meskipun demikian ia masih harus memenuhi permintaan Akuwu Suwelatama, agar ia bersedia untuk tinggal beberapa lamanya. Mahisa Bungalan memang tidak dapat menolak. Apalagi karena ia masih mendengar laporan-laporan bahwa pasukan Watu Mas masih saja dipersiapkan.

“Tetapi di dalam peperangan aku tidak bertemu langsung dengan Pangeran Indrasunu.” berkata Mahisa Bungalan kepada Akuwu Suwelatama.

“Memang sulit untuk dapat bertemu dengan seseorang sesuai dengan keinginan kita dalam perang gelar yang luas,” sahut Pangeran Suwelatama, “namun menurut beberapa keterangan yang aku dengar, adimas Indrasunu telah meninggalkan Watu Mas. Ia harus mempertanggung-jawabkan pasukan yang dibawanya kepada para pemimpin padepokan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya aku ingin dapat menemuinya. Dendam itu berkembang dan tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga sasarannya telah bergeser. Karena itu, bagiku Pangeran Indrasunu adalah orang yang berbahaya. Ia tidak mengekang diri dan membatasi persoalan yang sebenarnya dihadapinya.”

“Aku mengerti,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi mudah-mudahan ia dapat belajar dari pengalamannya.”

“Mudah-mudahan, Akuwu. Tetapi baginya pengalamannya itu sudah terlalu banyak. Namun nampaknya ia selalu berusaha untuk mempergunakan segala kesempatan yang ada. Sakit hatinya telah membuatnya menjadi seorang yang tidak terkendali. Kadang-kadang yang dilakukannya telah terlepas dari tujuan tertentu, selain membuat keonaran.” sahut Mahisa Bungalan.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Untuk sementara ia tidak mencampuri persoalan di antara Watu Mas dan Kabanaran. Meskipun itu bukan berarti bahwa Akuwu di Watu Mas akan menghentikan segala kegiatannya. Ia tentu tidak mau menerima kenyataan yang pahit itu begitu saja.”

“Ia akan mempertimbangkan,” berkata Mahisa Bungalan, “ia telah melihat, korban yang jatuh. Seandainya ia berhasil memang dan kemudian menduduki kota Pakuwon Kabanaran, tentu ia pun akan melihat, bahwa perang tidak akan berakhir sampai sekian. Dan ia pun akan menilai kembali keputusan yang akan diambilnya jika ia sempat memperhitungkan, apakah yang sebenarnya diinginkannya.”

Akuwu Suwelatama mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan ia menyadari, bahwa yang dilakukannya semata-mata terdorong oleh satu keinginan yang tidak menentu ujung pangkalnya. Harga diri, ketidakpastian dan masa depan yang kurang cerah. Dan mudah-mudahan Akuwu di Watu Mas menemukan jalan pemecahannya yang lain kecuali dengan tetangga.”

“Tetapi agaknya desakan dan ceritera-ceritera khayal Pangeran Indrasunu ikut menentukan sikap itu.” sahut Mahisa Bungalan.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia pun telah menduga, bahwa peranan Pangeran Indrasunu tentu ikut pula berbicara pada persoalan itu.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan tidak menyadari, bahwa Pangeran Indrasunu telah bekerja cepat. Ia telah menghubungi Serigala dari Geneng. Dan bahkan, Pangeran Indrasunu itu telah membuat rencana tertentu untuk mengambil Ken Padmi dari rumahnya.

Sepasang Serigala itu ternyata telah menerima tawaran Pangeran Indrasunu dengan baik. Meskipun demikian, dua orang pemimpin padepokan yang berpengaruh, telah memberikan beberapa pesan kepadanya, agar kedua orang itu menjalankan kesanggupannya sebaik-baiknya.

“Ingat, kedua Pangeran itu adalah murid-muridku,” berkata para pemimpin padepokan itu “jika kau mengingkari dan apalagi mengkhianati, maka kalian akan berhadapan dengan seluruh isi dari padepokan ini.”

“Aku akan melakukannya dengan baik, asal semua kesanggupan Pangeran Indrasunu dipenuhi.” jawab salah seorang dari sepasang serigala itu.

“Aku tidak pernah ingkar,” berkata Pangeran Indrasunu, “tetapi jika kalian ternyata tidak mampu memenuhi kesanggupan kalian, maka kalian tidak akan menerima sekeping uang pun, apalagi sebidang tanah atau hadiah-hadiah yang lain.”

“Kami berdua adalah orang-orang yang tidak mendapat tempat di antara sesama,” berkata Mendu, “karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan ragu-ragu berbuat apa saja terhadap siapa saja. Apalagi sekedar mengambil seorang gadis.”

“Jangan merendahkan kemampuan orang yang belum kau kenal,” berkata Pangeran Indrasunu, “aku pernah menjajagi kemampuan orang-orang di sekitar gadis itu.”

Kedua orang padang Geneng itu tertawa. Salah seorang berkata, “Kami telah mendapatkan puncak dari ilmu kami di padang Geneng setelah kami mesu diri bertahun-tahun.”

“Mudah-mudahan yang kau katakan itu benar,” desis Pangeran Indrasunu, “karena itu, kita akan segera berangkat. Aku sudah mendapat keterangan terakhir, bahwa seseorang masih melihat Mahisa Bungalan berada di Kabanaran.”

“Siapa Mahisa Bungalan itu?” bertanya Mendu.

”Ia adalah calon suami gadis yang akan kita ambil.” jawab Pangeran Indrasunu.

Sepasang Serigala itu memandang Pangeran Indrasunu dengan tatapan mata yang tajam. Seolah-olah mereka ingin mengatakan, bahwa seandainya Mahisa Bungalan itu pun ada di rumahnya, maka keduanya tidak akan gentar menghadapinya.

Dalam pada itu, maka rencana itu pun telah siap untuk dilaksanakan. Sepasang Serigala itu akan bersama-sama dengan tiga orang Pangeran pergi ke rumah Mahendra untuk mengambil Ken Padmi dengan paksa. Mereka dapat berbuat apa saja atas gadis itu untuk menyakiti hati Mahisa Bungalan dan akan membuatnya hidupnya kering di sepanjang umurnya.

Setelah segalanya masak diperhitungkan, maka mereka berlima pun telah berangkat menuju ke sebuah padukuhan di luar kota Singasari. Perjalanan mereka memang panjang. Tetapi didorong oleh dendam yang menyala, maka perjalanan itu rasa-rasanya adalah perjalanan yang menggairahkan.

Dalam pada itu, kedua Pangeran yang mengikuti Pangeran Indrasunu itu selain terdorong oleh keterangan Pangeran Indrasunu dan keinginan mereka untuk bertualang, mereka pun sebenarnya telah terbujuk oleh pernyataan Pangeran Indrasunu, bahwa gadis yang bernama Ken Padmi itu adalah gadis yang cantik sekali.

“Kalian dapat memperlakukan apa saja.” berkata Pangeran Indrasunu.

Kedua Pangeran yang pergi bersamanya itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari keduanya menjawab, “Yang penting bagi kami adalah mendapatkan pengalaman dalam petualangan yang menarik seperti ini. Meskipun kali ini guru yang sedang merenungi keresahannya karena kekalahan Watu Mas itu tidak dapat menyertai kita, tetapi kedua orang itu nampaknya cukup meyakinkan, meskipun keduanya masih nampak liar dan kasar.”

“Cara mereka menyadap ilmu pun berbeda. Tetapi ternyata bahwa mereka pun memiliki ilmu yang mengagumkan. Bahkan guru kalian pun mengakui, bahwa sebenarnya kedua orang itu mempunyai ilmu yang tinggi, tetapi dari jenis ilmu yang kasar. Meskipun demikian namun mereka akan dapat menyelesaikan persoalannya.” jawab Pangeran Indrasunu, “Apalagi jika paman-paman Mahisa Bungalan itu tidak ada di rumah.”

Kedua Pangeran yang menyertainya itu mengangguk-angguk. Mereka yakin bahwa rencana mereka akan dapat berhasil dengan baik, karena mereka yakin akan kemampuan kedua orang yang menyertai mereka, dan justru karena Mahisa Bungalan masih nampak berada di Kabanaran.

Ketiga orang Pangeran itu pun kemudian telah bersepakat, bahwa mereka akan datang pada malam hari. Mereka akan menghancurkan siapa saja yang mencoba menghalangi mereka, dan mereka akan membawa Ken Padmi ke tempat yang tidak akan diketahui oleh Mahisa Bungalan.

“Setelah tiga atau empat bulan perempuan itu akan kita lemparkan kembali ke padukuhan itu.” berkata Pangeran Indrasunu. “Biarlah ia menjadi sumber malapetaka dalam keluarga Mahisa Bungalan.”

Ketiga orang Pangeran itu tertawa. Sementara itu, Sepasang Serigala yang berkuda di belakang, mengerutkan kening. Salah seorang berkata, “Anak-anak muda yang gila. Guru-guru mereka pun juga gila. Apa sebenarnya keuntungan mereka dengan sikapnya ini. Apakah upah yang mereka janjikan itu sepasang dengan gadis yang mereka kehendaki?”

“Bukan gadis itu,” jawab kawannya, “tetapi dendamnya yang membara. Itulah gilanya Pangeran Indrasunu.”

Yang lain tertawa. Katanya, “Apapun yang dikehendaki. Tetapi upah yang dijanjikan memang menarik.”

Demikianlah mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan tujuan. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa. Mereka dapat beristirahat ketika matahari terik. Mereka pun dapat bermalam di perjalanan, karena mereka baru akan memasuki padukuhan pada malam berikutnya.

“Sebenarnya kita tidak usah membuang waktu sehari,” berkata Wangkot, “jika kita berjalan terus, maka lewat tengah malam kita akan sampai ke tujuan.”

“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Pangeran Indrasunu, “mungkin kita akan melihat suasana. Kau berdua akan dapat berjalan-jalan di padukuhan itu di siang hari, karena belum ada orang yang mengenal kalian. Baru pada malam hari kita memasuki halaman rumahnya.”

Sepasang Serigala itu tidak membantah. Mereka dapat berbuat kapan saja, karena bagi keduanya tidak ada orang yang ditakutinya.

Seperti yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu, maka mereka telah bermalam di perjalanan. Pada pagi hari mereka akan mendekat. Namun mereka akan melihat keadaan lebih dahulu. Kedua orang dari padang Geneng, dan kedua Pangeran itu masih belum dikenal oleh orang-orang padukuhan itu, atau oleh keluarga Mahendra. Kecuali jika Mahisa Bungalan sudah berada di rumah. Namun agaknya yang paling baik, adalah Wangkot dan Mendu sajalah yang akan mengamati keadaan, setelah mereka diberi beberapa petunjuk tentang tempat tinggal Mahendra, anak-anaknya dan Ken Padmi.

Demikianlah maka setelah mereka mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat di hari berikutnya, di sebuah hutan yang tidak terlalu jauh, maka Wangkot Dan Mendu telah berusaha mendekati padukuhan tempat tinggal Mahendra. Mereka meninggalkan kuda mereka di hutan kecil ditunggui oleh ketiga orang Pangeran itu.

Namun sebenarnyalah Wangkot dan Mendu melakukannya dengan segan, karena bagi mereka, hal itu tidak banyak gunanya. Sebagaimana dikatakannya, Sepasang Serigala itu tidak takut menghadapi siapa pun juga. Siapa pun yang berada di rumah itu, keduanya akan sanggup membinasakannya. Tetapi keduanya telah berusaha juga untuk mengamati rumah yang ditunjukkan oleh Pangeran Indrasunu.

“Sepi.” berkata Wangkot

“Aku sudah siap.” jawab Mendu, “Seandainya rumah itu tidak sepi pun tidak ada kesulitannya. Pangeran Indrasunu terlalu berhati-hati.”

“Biar sajalah.” jawab Wangkot, “Kita penuhi saja keinginannya. Ia sudah bersedia membayar mahal bagi dendamnya.”

Mendu tertawa. Katanya, “Kenapa kedua orang pemimpin padepokan itu tidak melakukannya sendiri? Mereka pun orang yang memiliki kemampuan cukup.”

“Pemimpin-pemimpin padepokan adalah orang-orang malas. Mereka memiliki ilmu, dan mereka hidup dari ilmunya itu. Namun mereka tidak mau berjuang menentang buasnya dunia olah kanuragan. Mereka sekedar menjual ilmunya kepada cantrik-cantrik kecil. Dengan sedikit tenaga dan tanpa kemungkinan yang berbahaya mereka dapat hidup dengan padepokan-padepokannya.” desis Wangkot, “Namun orang yang demikian tidak akan dapat melihat betapa dahsyatnya benturan ilmu di dunia petualangan ini. Mereka tidak pernah mengalami kegembiraan dan kepuasan sejati karena ilmunya itu.”

“Persetan,” sahut Mendu, “orang-orang malas itu akan mati dalam kemalasannya. Tetapi bagi kita, dunia petualangan adalah dunia yang memberikan kesenangan dan kepuasan.”

Wangkot tidak menjawab. Mereka sudah melintas di depan rumah yang ditunjukkan. Namun sebelum mereka keluar dari ujung lorong itu, mereka di depan melangkah kembali. Sekali lagi mereka melewati lorong di depan rumah Mahendra. Lorong itu sepi, seperti juga halaman rumah itu sepi. Namun ketika mereka melihat seorang gadis cantik melintas di halaman, maka keduanya berhenti sejenak.

“Agaknya gadis itulah yang disebut Ken Padmi,” berkata Wangkot, “seorang gadis yang memang sangat cantik. Itulah agaknya maka Pangeran Indrasunu menjadi gila.”

“Tetapi kini yang berkembang adalah dendamnya.” sahut Mendu, “Ia sudah berusaha untuk melupakan gadis itu. Yang akan dilakukannya itu adalah sekedar menyakiti hati bakal suami gadis itu.”

“Omong kosong,” geram Wangkot, “jika gadis itu sudah dibawanya, maka ia akan berubah pikiran. Mungkin justru akan timbul perselisihan di antara ketiga orang Pangeran itu karena gadis yang cantik sekali itu.”

“Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. He, bukankah tugas kita melindungi ketiga orang Pangeran yang akan menculik gadis itu? Apapun yang akan terjadi dengan gadis itu, bukan persoalan kita. Persoalan kita, jika pekerjaan ini selesai, maka kita akan mendapatkan upah kita.”

Demikianlah maka kedua orang itu pun kemudian kembali ke hutan kecil tempat ketiga orang Pangeran itu menunggu. Dengan singkat mereka melaporkan, apa yang telah mereka lihat pada rumah yang dimaksud.

“Aku sudah melihat gadis itu.” berkata Wangkot.

“Di mana?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Di halaman rumah itu. Aku melihat seorang gadis melintasi halaman. Cantik sekali. Berkulit halus seperti sutera yang dibeli dari pada pendatang.”

“Gila,” geram Pangeran Indrasunu, “gadis itu gadis padepokan. Kulitnya tentu tidak sehalus yang kau katakan. Ia bekerja keras sebagaimana gadis-gadis padepokan yang lain. Bahkan dipanggang di teriknya matahari dan di embun yang dingin di malam hari.”

“Agaknya justru karena itu,” jawab Mendu, “tetapi entahlah. Mungkin di rumah itu ada gadis yang lain kecuali yang dimaksud oleh Pangeran Indrasunu.”

Pangeran Indrasunu tiba-tiba menggeram. Katanya, “Mahisa Bungalan memang gila. Karena itu, gadis itu harus dibawa.” Selebihnya Pangeran Indrasunu bertanya, apakah melihat tanda-tanda yang dapat menyulitkan rencananya.

“Rumah itu sepi,” jawab Mendu, “tidak ada orang. Pintu pringgitan di belakang pendapa nampak tertutup. Gandok pun rasa-rasanya tertutup pula.”

“Tetapi siapa tahu, di belakang pintu tertutup itu terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.”

“Persetan!” geram Wangkot, “Pangeran harus percaya kepada kami di sini. Jika tidak, maka tidak ada gunanya kami berada di sini.”

“Bukan tidak percaya,” jawab Pangeran Indrasunu, “tetapi aku hanya ingin berhati-hati.”

Karena ingin berhati-hati itulah agaknya, ketika senja turun, Pangeran Indrasunu minta agar Wangkot dan Mendu sekali lagi melihat-lihat sasaran yang akan mereka datangi.

“Tidak perlu,” jawab Wangkot, “aku bertanggung jawab.”

“Jangan sombong menghadapi orang-orang Singasari.” desis Pangeran Indrasunu.

“Aku lebih berhati-hati menghadapi orang-orang Kediri daripada orang-orang Singasari.” jawab Mendu.

Pangeran Indrasunu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan berangkat, meskipun aku masih ingin mengamati rumah itu sebelum bertindak.”

Demikianlah, setelah makan bekal yang mereka bawa, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mahendra. Sesaat mereka memeriksa senjata masing-masing, seolah-olah mereka sedang bersetuju dengan senjata-senjata itu untuk melakukan satu tugas yang sangat penting.

Ketika gelap turun, maka mereka berlima pun telah meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju ke padukuhan tempat tinggal Mahendra. Dengan hati-hati mereka memasuki lorong padukuhan itu. Mereka telah memilih jalan sempit yang tidak diawasi oleh anak-anak muda yang mungkin berada di gardu di lorong induk padukuhan itu.

Sebagaimana biasa, maka demikian malam menjadi kelam, pintu-pintu rumah pun tertutup rapat. Meskipun di gardu-gardu anak-anak muda duduk bergurau di antara mereka, tetapi pada umumnya padukuhan memang terasa sepi. Sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu, maka mereka pun mendekati halaman rumah Mahendra. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Wangkot, halaman rumah itu memang sepi. Apalagi di malam hari.

“Kita akan mendengarkan, apakah ada kesan-kesan tertentu di rumah itu.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Silahkan.” berkata Mendu.

Pangeran Indrasunu dengan hati-hati memasuki regol halaman yang ternyata tidak diselarak. Dengan penuh kewaspadaan ia menelusuri bayangan pepohonan mendekati seketheng. Dengan berjingkat ia memasuki seketheng sebelah kiri. Ternyata bahwa longkangan di belakang seketheng itu nampak gelap dan sepi. Bahkan Pangeran Indrasunu tidak mendengar suara seseorang.

“Memang sepi.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.

Namun ia melangkah ke serambi. Sejenak ia menunggu. Namun kemudian ia bergeser sejengkal maju ketika ia mendengar suara seseorang. Agaknya kedua adik Mahisa Bungalan sedang bercakap-cakap. Mereka baru saja selesai makan malam di ruang dalam. Ternyata pula kemudian terdengar suara mangkuk beradu. Terasa jantung Pangeran Indrasunu berdebaran ketika ia mendengar suara seorang Perempuan.

“Gadis itu.” desis Pangeran Indrasunu. Tetapi Pangeran Indrasunu tidak terlalu jelas apa yang dibicarakannya.

Salah seorang adik Mahisa Bungalan berkata, “Kita tidak ke sanggar malam ini.”

“Sama sekali tidak?” terdengar suar perempuan itu.

”Tidak,” jawab suara laki-laki yang agaknya adalah adik Mahisa Bungalan, “hari ini kita sudah cukup berlatih.”

Tidak terdengar jawaban. Namun terasa jantung Pangeran Indrasunu berdebar-debar. ”Agaknya mereka selalu berlatih dengan tertib dan teratur.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Meskipun ada juga terasa kecemasan di dalam dadanya, tetapi ia berkata lebih lanjut di dalam hatinya, “Tetapi mereka tidak akan banyak memberikan perlawanan yang berarti. Apabila yang ada hanya anak-anak itu.”

Tetapi Pangeran Indrasunu datang dengan dua orang yang memiliki ilmu raksasa. Yang sulit dicari bandingnya. Pangeran Indrasunu masih beberapa saat berada di serambi. Tetapi ia tidak mendengar lagi percakapan. Bahkan kemudian ia mendengar salah seorang di antara mereka yang berada di dalam berdesis,

“Malam terasa sangat sepi. Aku tiba-tiba saja merasa mengantuk.”

Yang lain tertawa pendek. Tetapi tidak terdengar jawaban. Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu pun segera bergeser dari tempatnya. Tetapi ia pun merasa aneh. Udara malam itu terasa lain dengan malam-malam sebelumnya. Dan yang kemudian kurang di mengertinya pula, bahwa Pangeran itu pun merasa mengantuk. Dengan hati-hati Pangeran Indrasunu meninggalkan serambi itu. Demikian ia melalui seketheng, maka terasa seakan-akan sulit baginya untuk melawan perasaan kantuknya.

Justru karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa mendapatkan kawan-kawannya. Sepasang Serigala dan padang Geneng dan kedua Pangeran itu, yang bersembunyi di sudut halaman di bawah pohon perdu. “Terasa ada kelainan malam ini.” desis Pangeran Indrasunu.

Wangkot dan Mendu tertawa pendek. Dengan berbisik Wangkot berkata, “Aku telah menyebarkan sirep di halaman rumah ini. Kedua Pangeran ini pun telah menjadi mengantuk. Tetapi aku mohon mereka mengerahkan daya tahan mereka gar sirep ini tidak mempengaruhinya. Jika Pangeran bertiga tidur, maka aku tidak akan dapat berbuat banyak, karena kami berdua akan sibuk mengurusi Pangeran berdua saja.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk di sebelah kedua Pangeran yang lain untuk memusatkan daya tahannya melawan sirep yang mencengkam halaman rumah itu. Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu memiliki kekuatan yang cukup. Bahkan melampaui kedua orang Pangeran yang lain. Namun akhirnya mereka bertiga berhasil juga membebaskan dirinya dari pengaruh sirep itu, justru karena mereka sadar bahwa sirep itu ada.

“Tanpa mengetahui bahwa di di halaman ini tersebar pengaruh sirep, maka aku kira, aku sudah tertidur nyenyak.” berkata salah seorang dari ketiga orang Pangeran itu.

“Ya,” desis Pangeran Indrasunu, “aku pun tadi mendengar salah seorang yang berada di ruang dalam, di sebelah serambi, berdesis bahwa ia menjadi sangat mengantuk. Mereka malam ini tidak akan pergi ke sanggar. Agaknya di malam-malam yang lain mereka selalu berada di dalam sanggar.”

Wangkot tertawa pendek. Katanya perlahan-lahan, “Kita akan menunggu beberapa saat. Aku berharap bahwa seisi rumah akan tertidur nyenyak. Dengan demikian kita akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan mudah sekali. Kita akan membunuh orang-orang yang sedang tidur. Kemudian membawa gadis yang sedang tidur pula keluar dari rumah dan halaman ini.”

Wangkot dan Mendu tertawa tertahan. Mereka merasa bahwa usaha mereka pasti akan berhasil dengan mudah. Karena itu, maka Mendu pun berkata, “Nah, bukankah apa yang kami katakan bukan sekedar bualan yang tidak berarti. Kami sama sekali tidak cemas, siapa pun lawan kami.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Kelima orang itu pun kemudian duduk menunggu di tempat mereka bersembunyi. Mereka yakin bahwa sejenak kemudian, seisi rumah itu tentu akan tertidur nyenyak, sehingga dengan demikian mereka tidak perlu terlalu banyak melepaskan tenaga. Mereka akan dengan mudah membinasakan lawan-lawan mereka.

Namun dalam pada itu, yang terjadi di dalam rumah itu berbeda dengan yang diharapkan oleh kelima orang itu. Di ruang dalam, Mahendra duduk berdua dengan Witantra sambil berbincang tentang banyak hal setelah mereka makan malam. Ketika Mahisa Murti melintasi di ruang itu dan mengatakan bahwa ia akan pergi ke biliknya, kedua orang itu tidak banyak menghiraukannya. Mereka masih saja bercakap-cakap perlahan-lahan. Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar sebuah mangkuk yang terjatuh dan pecah berserakan.

Mahendra yang kemudian berdiri sambil berdesis, “Ken Padmi pasti kurang berhati-hati. Ia adalah seorang gadis yang cepat, sebagaimana ia bergerak di sanggar. Tetapi kadang-kadang ia kurang memperhitungkan barang-barang yang dipeganginya. Tangannya kadang-kadang menyentuh mangkuk yang sedang dicucinya.”

Witantra tersenyum. Katanya, “Mungkin ia tergesa-gesa. Biasanya ia selalu pergi ke sanggar.”

Mahendra pun kemudian melangkah ke ruang belakang. Namun ia menjadi sangat terkejut ketika ia melihat Ken Padmi duduk di amben bambu. Wajahnya pucat dan nampak keringat dingin membasahi keningnya. “Kau kenapa?” bertanya Mahendra.

“Entahlah paman,” desis Ken Padmi, “tubuhku tiba-tiba terasa lemah sekali. Mataku seolah-olah telah melekat oleh perasaan ngantuk. Aku telah kehilangan pengamatan tanganku ketika aku sedang mengemasi mangkuk-mangkuk itu.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Ia pun merasakan udara yang agak lain dari biasanya. Malam terasa sangat sepi. Sehingga karena itu, maka katanya, “Marilah. Kita akan membicarakan keadaan udara di malam ini. Tinggalkan saja mangkuk-mangkuk itu. Agaknya memang ada yang harus kita bicarakan.”

Ken Padmi pun kemudian mengikuti Mahendra masuk ke ruang dalam. Ketika ia duduk di sebelah Witantra, maka terasa ngantuk itu bagaikan tidak dapat dihindarinya.

“Apakah kau merasakan sesuatu yang tidak wajar?” bertanya Mahendra kepada Witantra.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baru saja aku akan bertanya kepadamu. Ternyata bahwa perasaan kita sama. Aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang kurang wajar malam ini.”

Mahendra memandang Ken Padmi yang berkeringat. Agaknya ia berusaha untuk melawan ngantuknya, tetapi dengan cara yang kurang mapan. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berbisik, “Ken Padmi. Dengarlah. Sadari dirimu, bahwa kau telah terkena pengaruh sirep. Kau mendengar?”

Ken Padmi mengangguk.

“Karena itu, cobalah bertahan. Kau tidak dapat dengan cara sewajarnya melawan ngantuk sebagaimana kau lakukan pada saat-saat lain yang terjadi karena kau memang sedang mengantuk. Untuk melawan ilmu seperti sekarang ini, kau harus memusatkan daya tahanmu berdasarkan ilmu.”

Ken Padmi ternyata merasa seolah-olah telah terbangun dari cengkaman ngantuknya. Dengan serta merta, ia pun kemudian duduk dengan tegak sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Dengan landasan daya tahan berdasarkan ilmunya ia berusaha melawan ilmu sirep yang mencengkam rumah itu.

Sementara itu, maka Mahendra pun telah mencari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti terdapat telah tertidur di dalam biliknya. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia telah terkena pengaruh sirep, sehingga ia sama sekali tidak berusaha untuk melawannya. Dengan hati-hati Mahendra membangunkannya. Disentuhnya tubuh anaknya sambil berdesis di telinganya, “Bangunlah. Kau dalam ancaman bahaya.”

Beberapa kali Mahendra mengulangi kata-katanya Baru beberapa saat kemudian Mahisa Murti terbangun. Sambil menggeliat ia berkisar. Namun matanya telah terpejam kembali. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian di pijitnya ibu jari kaki Mahisa Murti sambil diguncangnya perlahan-lahan.

Akhirnya Mahisa Murti berhasil dibangunkannya. Dengan kemampuan ilmunya Mahendra berbisik sekali lagi di telinga anak laki-lakinya. Namun Mahisa Murti terkejut karenanya. Suara Mahendra yang perlahan-lahan, namun dilambari ilmunya yang mapan, terdengar bagaikan guruh di telinga Mahendra Murti.

“Bangunlah. Kau terancam bahaya.” berkata Mahendra.

Mahisa Murti berusaha untuk menguasai kesadarannya sepenuhnya. Dengan gagap ia bertanya lirih, “Ada apa, ayah.”

“Marilah. Duduklah di ruang tengah.” ajak Mahendra.

Mahisa Murti pun kemudian mengikuti ayahnya duduk di ruang tengah. Kemudian ia pun mendapat penjelasan tentang keadaan malam itu, sehingga ia pun segera berusaha untuk menghindarkan diri dari ilmu sirep itu seperti yang dilakukan olah Ken Padmi.

Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian mencari pula Mahisa Pukat yang tertidur di amben bambu di ruang sebelah. Seperti yang dilakukannya atas Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah terbangun pula.

Sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah duduk di ruang tengah. Masing-masing telah berusaha untuk melawan ilmu sirep yang mencengkam rumah itu. Semakin lama ilmu itu terasa semakin mencengkam. Namun kelima orang itu pun telah berhasil membentengi diri mereka dengan ilmu pula.

Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian berkata, “Anak-anak, sirep ini telah memberitahukan kepada kita, bahwa tentu ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi. Jika tidak ada persoalan apapun juga yang akan terjadi malam ini, tentu tidak akan ada orang yang melepaskan ilmu sirep. Ilmu yang dapat dipergunakan dengan tujuan yang kurang baik dan dengan sikap yang licik. Karena itu, kita harus berhati-hati.”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk. Sementara Witantra berkata perlahan-lahan, “Kita akan menunggu. Biarlah orang yang bermaksud buruk itu mengira bahwa kita sudah tertidur nyenyak.”

Sekali lagi anak-anak muda itu mengangguk. Tetapi mereka pun mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan. Karena itu, dengan hati-hati anak-anak itu mempersiapkan diri. Bukan saja membenahi pakaiannya, tetapi mereka telah mengambil senjata masing-masing.

Sebagaimana dikatakan oleh Mahendra dan Witantra, bukan mustahil bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Karena mereka pun sependapat, bahwa tidak akan ada seseorang yang melepaskan ilmu sirep jika mereka tidak mempunyai niat yang tidak sewajarnya. Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya, kelima orang itu pun duduk dengan diam. Namun sebenarnyalah bahwa mereka telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Dalam pada itu, lima orang pula duduk di dalam gelapnya malam di halaman. Mereka pun sedang menunggu perkembangan ilmu sirep mereka. Baru kemudian Wangkot berkata, “Kita akan melihat, apakah usaha kita berhasil.”

“Ya,” jawab Mendu, “kita mengelilingi rumah ini.”

Demikianlah, Wangkot dan Pangeran Indrasunu telah mengelilingi rumah itu dengan putaran ke kanan, sementara Mendu dan kedua orang Pangeran yang lain memutari rumah itu dengan arah ke kiri. Dengan hati-hati mereka melangkah hampir menyusuri dinding. Bahkan kadang-kadang mereka naik ke serambi untuk mendengarkan, apa masih ada orang yang terbangun di dalam rumah itu.

Ternyata bahwa rumah itu benar-benar telah sepi. Di ruang belakang mereka mendengar dengkur yang keras. Agaknya salah seorang pembantu rumah Mahendra itu sedang tidur mendekur. Di bagian lain, pembantu yang lain pun telah tertidur nyenyak pula. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang berada di luar rumah itu menganggap bahwa tidak seorang pun lagi yang dapat lolos dari pengaruh sirepnya. Di ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang bahkan di sebelah menyebelah longkangan tidak lagi terdengar suara seseorang. Meskipun demikian, kelima orang yang sudah mengelilingi rumah itu pun masih juga menunggu untuk meyakinkan diri, bahwa semua orang sudah tertidur.

Mahisa Murti hampir tidak sabar menunggu dengan duduk berdiam diri untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi ketika ia beringsut, ayahnya memandanginya sambil menggeleng, sehingga akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk bangkit. Namun akhirnya mereka saling berpandangan ketika mereka mendengar desir langkah beberapa orang di seputar rumah itu. Dengan demikian, maka mereka pun menjadi semakin yakin, bahwa memang akan terjadi sesuatu di rumah itu.

Setelah menunggu sejenak dengan kejemuan yang hampir tidak tertahankan, akhirnya Mahisa Murti pun yakin, bahwa yang paling baik dilakukan adalah duduk sambil berdiam diri. Mereka pun kemudian mendengar beberapa orang naik ke pendapa.

“Sudah waktunya,” berkata Wangkot, “kita pecahkan pintu. Tetapi berhati-hatilah, agar suaranya tidak membangunkan orang-orang tua di rumah ini. Setidak-tidaknya Mahendra akan dapat dengan cepat menguasai diri.”

“Jika ia berada di rumah.” sahut Pangeran Indrasunu.

Wangkot mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan membuka pintu ini.”

Sejenak kemudian ia mulai menjajagi kekuatan selarak pintu pringgitan itu. Baru kemudian, ia mulai mengerahkan kekuatannya. Meskipun ia berbuat dengan hati-hati. Didorongnya pintu kayu itu tanpa menghentakkannya, agar suara yang timbul kemudian tidak terlalu keras dan dapat membangunkan orang-orang yang sedang tertidur nyenyak. Terdengar selarak pintu itu patah. Kemudian kayu yang patah itu pun terjatuh di lantai.

Derak kayu yang terjatuh itu tidak terlalu keras. Tetapi kelima orang yang berada di pendapa itu tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Mereka menunggu sesaat. Jika masih ada orang yang terbangun, maka orang itu tentu akan berbuat sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir saja meloncat berdiri. Tetapi sekali lagi Mahendra menggelengkan kepalanya, sehingga dengan sorot mata kurang mengerti keduanya tetap duduk di tempatnya. Tetapi mereka pun kemudian menyadari maksud ayahnya. Mereka akan menunggu sampai orang-orang itu datang ke ruang dalam dan melihat bahwa mereka masih tetap duduk.

Setelah menunggu sesaat, maka akhirnya Wangkot diikuti oleh Mendu dan ketiga orang Pangeran itu, memasuki ruang depan. Dengan hati-hati mereka memperhatikan suasana yang terasa sangat sepi, sehingga dengan demikian mereka pun menjadi semakin yakin, bahwa semuanya memang sudah tertidur. Wangkot dan Mendu pun kemudian yakin bahwa tugas mereka ternyata tidak seberat yang mereka bayangkan sebelumnya.

Karena itu maka Wangkot pun kemudian berkata kepada Pangeran Indrasunu, “Pangeran. Pekerjaan ini sangat menyenangkan. Hadiah yang Pangeran janjikan akan dapat aku terima tanpa menitikkan keringat sama sekali. Kita akan memasuki setiap ruangan. Membunuh penghuni rumah ini, kemudian membawa gadis itu pergi. Bukankah satu pekerjaan yang sangat mudah?”

“Ya,” jawab Pangeran Indrasunu, “tetapi yang mudah itu pun belum kita lakukan.”

Wangkot tertawa. Yang menyahut kemudian adalah Mendu, “Marilah. Kita akan menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat.”

Orang-orang itu pun kemudian memperhatikan keadaan. Mereka melihat pintu di tengah-tengah ruangan. Namun di sebelah menyebelah, masih ada dua pintu lagi yang menuju ke ruangan dalam di belakang senthong tengah, dengan serambi di sebelah menyebelah pula.

“Kita lihat di ruang sebelah.” berkata Wangkot yang melihat bahwa senthong tengah itu ternyata kosong, karena pintunya yang terbuka. Yang terdapat di dalam senthong itu hanyalah perhiasan pembaringan saja.

Lewat pintu samping mereka memasuki sebuah ruang lain. Ruang dalam yang diantarai oleh ruang belakang dan sebuah longkangan kecil berhadapan dengan sebuah bilik lain. Dapur. Namun demikian mereka melangkahi tlundak pintu ruang dalam, kelima orang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka di atas sehelai tikar pandan yang putih bergaris-garis biru.

“Marilah, Ki Sanak.” terdengar suara Mahendra dalam nada yang berat.

Wangkot dan Mendu yang berdiri di paling depan, seolah-olah justru menjadi terbungkam. Sejenak mereka berdiri dengan gigi gemeretak menahan kemarahan yang menghentak-hentak. Mereka merasa, bahwa mereka seolah-olah telah dipermainkan oleh penghuni rumah itu.

“Silahkan, Ki Sanak,” Mahendra mengulang, “mungkin Ki Sanak mempunyai keperluan yang penting, sehingga Ki Sanak telah datang ke pondok kami pada waktu yang kurang pada tempatnya dan dengan cara yang tidak sewajarnya.”

“Persetan,” geram Wangkot, “aku sudah tahu. Ini tentu satu tantangan.”

“Sebenarnya kami mempersilahkan kalian duduk. Nampaknya aku sudah mengenal salah seorang di antara kalian. Pangeran Indrasunu.” berkata Mahendra kemudian.

“Kau tidak usah berbasa-basi,” tiba-tiba Pangeran Indrasunu membentak, “aku sudah mengenal kalian. Kalian pun tentu sudah tahu maksud kedatangan kami. Karena itu, sebaiknya aku berbicara langsung pada pokok persoalannya. Berikan Ken Padmi kepadaku. Semuanya akan cepat selesai.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Persoalan itu lagi. Apakah Pangeran masih belum jemu dengan persoalan yang itu-itu saja? Apakah tidak ada persoalan yang lebih penting daripada persoalan Ken Padmi?”

Wajah Ken Padmi menjadi merah. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menyentuh namanya, apalagi kulitnya. Tetapi Mahisa Bungalan telah menyakiti hatiku. Jika aku sekarang datang untuk mengambil Ken Padmi, bukan karena aku memerlukannya. Tetapi aku ingin melihat Mahisa Bungalan menderita seumur hidupnya karena Ken Padmi yang disimpannya di rumahnya, akhirnya tidak dapat diambilnya menjadi seorang isteri yang baik.” berkata memotong Pangeran Indrasunu.

“Cukup!” tiba-tiba saja Ken Padmi memotong hampir berteriak. Namun justru karena gejolak perasaannya, suaranya menjadi gemetar dan gagap, “Aku bukan seonggok barang yang dapat diperlakukan semena-mena.”

Tetapi Pangeran Indrasunu tertawa. Katanya, “Kau tidak mempunyai pilihan. Semua orang akan dibunuh. Dan kau akan aku bawa ke tempat yang tidak kau ketahui. Pada saatnya kau memang akan aku kembalikan kepada Mahisa Bungalan. Tetapi ia tidak akan menerimanya lagi. Sementara itu hatinya akan terpecah seumur hidupnya.”

Ken Padmi hampir saja berteriak. Tetapi yang lebih dahulu terdengar justru Mahisa Murti tertawa. Senada dengan suara tertawa Pangeran Indrasunu sendiri. Katanya, “Pangeran memang senang bergurau.”

Sikap dan jawaban Mahisa Murti ternyata sangat menarik perhatian, sehingga justru karena itu, maka Pangeran Indrasunu telah berhenti tertawa. Dengan nada datar ia bertanya, “Kenapa kau tertawa?”

“Seperti Pangeran.” jawab Mahisa Murti, “Asal saja tertawa. Jika mungkin membangkitkan kemarahan pihak lain.”

“Gila,” geram Pangeran Indrasunu, “kau jangan sombong, anak muda. Kali ini aku datang dengan Sepasang Serigala dari padang Geneng. Jika kau berbuat yang aneh-aneh dan membangkitkan kemarahannya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk.”

Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya, ”Nasib apapun yang akan menimpa diriku, aku tidak peduli. Tetapi sebagaimana kau ketahui, bahwa kami bukan orang-orang yang dengan pasrah membiarkan diri kami dicerca, dihina dan apalagi dibunuh. Kau sudah tahu itu.”

Kemarahan yang memuncak telah mencengkam jantung Pangeran Indrasunu. Namun yang tidak kalah marahnya adalah Wangkot dan Mendu yang merasa dipermainkan oleh orang-orang itu, justru karena sirepnya tidak dapat melumpuhkan mereka. Tetapi agaknya keduanya tidak ingin banyak bicara lagi. Mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaan mereka yang ternyata tidak semudah yang mereka sangka.

Karena itu, maka Wangkot dan Mendu itu pun kemudian telah bersiaga sepenuhnya. Sambil bergeser maju Wangkot berkata, “Bersiaplah untuk mati.”

Tetapi nampaknya kelima orang yang duduk itu masih saja duduk di tempatnya. Menanggapi sikap Wangkot itu, Mahendra kemudian berkata, “Aku kira kurang menyenangkan untuk bertempur di sini. Ruangan ini tentu terasa terlalu sempit. Karena itu, kami persilahkan kalian keluar. Kita akan bertempur di halaman.”

Wajah Wangkot dan Mendu menjadi sangat tegang. Namun sebelum, keduanya menyahut, Pangeran Indrasunu telah berteriak, “Kami tunggu kalian di halaman.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka memperhatikan Pangeran Indrasunu yang melangkah keluar di ikuti oleh kedua orang Pangeran yang lain, sementara Wangkot dan Mendu pun kemudian melangkah juga ke luar betapapun beratnya. Mahendra dan Witantra kemudian bangkit berdiri diikuti oleh anak-anak muda itu.

Dengan nada dalam Witantra berkata, “Berhati-hatilah. Mereka tentu orang-orang berilmu. Pangeran Indrasunu pun cukup berilmu.”

“Aku akan melawannya.” tiba-tiba saja Ken Padmi berdesis.

Mahendra termangu-mangu sejenak. Meskipun kemampuan Ken Padmi maju dengan cepat, namun tentu ia belum sampai pada tataran kemampuan Mahisa Bungalan. Pada puncak ilmunya, Pangeran Indrasunu telah menggetarkan pertahanan Mahisa Bungalan meskipun akhirnya Pangeran Indrasunu harus mengakui kelebihan Mahisa Bungalan.

Karena itu, agar tidak terjadi kesan perang tanding di antara mereka, maka Witantra pun berkata, “Kalian bertiga. Sementara lawan kalian pun bertiga. Aku nasehatkan kepada kalian, bahwa lawan kalian itu pun tentu orang-orang berilmu. Jangan berperang tanding. Mungkin ilmu kalian belum dapat mengimbangi ilmu Pangeran Indrasunu. Tetapi mungkin kemampuan kalian melampaui kemampuan kedua orang anak muda yang lain. Karena itu, biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdua menghadapi Pangeran Indrasunu. Sementara itu, dengan hati-hati Ken Padmi harus memancing dua orang lainnya untuk bertempur menghadapinya. Aku tidak tahu, apakah Ken Padmi memiliki kemampuan mengimbangi keduanya. Jika tidak, maka apakah Mahisa Murti atau Mahisa Pukat harus segera membantu Ken Padmi dengan mengambil salah seorang dari keduanya menjadi lawannya.”

Ken Padmi mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia ingin sekali mencoba menempatkan diri melawan Pangeran Indrasunu. Namun ia pun tidak berani membantah petunjuk Witantra yang berusaha untuk menghindarkan anak-anak muda itu dari kesan berperang tanding, karena Witantra mengetahui bahwa Pangeran Indrasunu itu bukannya orang yang tidak berilmu.

Dengan tidak menimbulkan kesan perang tanding bagi masing-masing anak muda itu, maka kemungkinan pergeseran akan dapat terjadi. Jika mereka terlibat dalam perang tanding, maka mereka akan terikat oleh harga diri, sehingga yang terjadi adalah, membunuh atau dibunuh. Dalam pada itu, maka Mahendra pun kemudian mengisyaratkan agar mereka menyusul kelima orang itu turun ke halaman.

Demikian mereka keluar dan turun ke halaman, maka kelima orang lawan mereka pun telah bersiap menyongsongnya. Wangkot dan Mendu telah melihat dua orang tua di antara kelima orang penghuni rumah itu. Agaknya mereka harus menghadapi orang-orang itu. Sementara Pangeran Indrasunu pun telah bersiap pula, siapa pun yang harus dihadapinya.

Betapa kecewanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan keputusan Witantra itu. Mereka berdua harus bertempur berpasangan. Sementara itu Ken Padmi akan mendapat kesempatan untuk bertempur melawan dua orang Pangeran yang lain. Namun mereka pun tidak dapat membantah. Witantra adalah orang yang memiliki wibawa seperti ayahnya sendiri. Apalagi dalam pada itu, ayah mereka sendiri itu pun sama sekali tidak memberikan petunjuk lain.

“Cepat sedikit,” geram Wangkot, “apakah kalian masih segan untuk mati?”

Mahendra yang mendekatinya menjawab, “Aku sudah tua. Namun untuk mati rasa-rasanya memang masih segan. Apalagi mati oleh tanganmu yang kasar dan liar.”

Wangkot menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia pun segera menerkam lawannya, sebagaimana seekor serigala menerkam mangsanya. Tetapi Mahendra bukannya seekor kelinci di hadapan seekor serigala. Karena itu, maka ia pun segera mengelak dan bahkan sempat menyerang kembali. Wangkot yang marah itu pun segera bertempur dengan kasarnya sebagaimana orang menyebutnya Serigala dari padang Geneng.

Di bagian lain, Mendu pun telah mulai bertempur melawan Witantra. Namun agaknya Witantra masih sempat memperhatikan anak-anak muda itu. Apakah mereka akan memperhatikan nasehatnya atau tidak.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mematuhinya. Dengan serta merta keduanya mendekati Pangeran Indrasunu sementara Mahisa Pukat berkata, “Kami berdua akan bertempur berpasangan. Bukan karena kami tidak berani bertempur seorang lawan seorang, tetapi sementara memberi kesempatan kepada Ken Padmi untuk melawan kedua orang anak muda itu.”

“Persetan!” geram Pangeran Indrasunu. Kemudian Pangeran itu pun berkata, “Adimas Pangeran. Jangan ragu-ragu. Gadis itulah yang akan kalian bawa.”

Kedua Pangeran itu pun menjadi temangu-mangu justru karena Ken Padmi pun telah bersiap menghadapi mereka berdua. Namun keduanya mengakui, bahwa gadis itu memang sangat cantik. Meskipun demikian, kedua Pangeran itu menjadi heran, seolah-olah gadis itu dengan sengaja telah dihadapkan kepada mereka untuk dengan segera dapat mereka tangkap dan mereka bawa.

“Aku kurang mengerti,” desis salah seorang dari kedua orang Pangeran itu, “apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh gadis ini.”

“Apakah ia memang dengan sengaja menyerahkan dirinya?” desis yang lain.

Wajah Ken Padmi menjadi merah padam. Namun demikian ia masih sempat menjawab, “Kita bertemu di arena pertempuran. Kita mempunyai kesempatan yang sama untuk membunuh atau dibunuh.”

“Tetapi kami berdua tidak ingin membunuh.” sahut salah seorang dari kedua orang Pangeran itu. “Kami datang untuk mengambilmu. Sekarang tanpa kami mengerti alasannya, kau sengaja menghadapi kami berdua.”

“Kita akan bertempur.” jawab Ken Padmi.

Tetapi Pangeran itu tertawa. Katanya, “Kami merasa aneh. Kedua orang anak muda itu telah menghadapi kakangmas Pangeran Indrasunu berpasangan. Bagaimana mungkin kau, seorang gadis, harus menghadapi kami berdua. Bukankah ini satu pertanda bahwa kau memang sudah diserahkan kepada kami?”

Kemarahan yang menghentak jantung Ken Padmi rasa-rasanya akan meledakkan dadanya. Justru karena itu, maka tubuhnya pun telah menjadi gemetar.

Mahendra dapat melihat kegelisahan gadis itu. Dan ia pun dapat mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh kedua Pangeran itu, sehingga ia pun dapat menangkap kegelisahan Ken Padmi. Karena itu, maka katanya, “Ken Padmi. Kau harus tabah menghadapi anak-anak muda yang licik itu. Mereka justru berusaha untuk membuat kau marah dan gelisah sehingga kau kehilangan pengamatan diri menghadapi keduanya dalam pertempuran. Cobalah menilai, betapa liciknya kedua orang anak muda itu.”

“Persetan,” potong salah seorang dari kedua Pangeran itu, “gadis itu sendiri yang menjadi gelisah. Mungkin ia memang berminat untuk menyerahkan diri saja setelah melihat kami berdua.”

“Nah kau dengar,” potong Mahendra, “bukankah mereka lebih banyak bertempur dengan akalnya yang licik.”

“Cukup!” bentak Wangkot yang bertempur melawan Mahendra sambil menyerang dengan garangnya.

Tetapi Mahendra masih sempat meloncat menjauh sambil berkata, “Hati-hatilah, Ken Padmi. Bukan karena senjata lawan. Tetapi karena kata-katanya.”

Wangkot menjadi semakin marah. Ia bergerak lebih cepat dan lebih cepat. Namun Mahendra pun telah menghadapinya sepenuhnya.

Sementara itu, Ken Padmi telah bersiap sepenuhnya. Ia bertekad untuk tidak mau mendengar lagi, apapun yang akan dikatakan oleh kedua orang lawannya. Namun demikian, kedua orang lawannya itu memang sebenarnya menjadi heran menghadapi cara perlawanan seisi rumah itu. Justru karena mereka berdua dihadapkan langsung kepada gadis yang akan mereka ambil. Sesuatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka sebelumnya. Apalagi gadis itu langsung menghadapi mereka berdua dalam satu pertempuran.

Sementara itu, ternyata Wangkot telah menyerang Mahendra dengan garangnya. Mendu pun telah terlibat dalam satu pertempuran yang sengit melawan Witantra. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai menyerang pula.

“Semuanya sudah bertempur,” berkata salah seorang Pangeran itu, “apakah kita juga akan bertempur?”

Tetapi sebelum Pangeran yang seorang lagi menjawab, maka Ken Padmi lah yang telah mulai menyerang mereka. Serangan pertama Ken Padmi itu ternyata sangat mengejutkan kedua orang Pangeran itu. Ternyata serangan itu datang secepat kilat. Namun agaknya Ken Padmi sendiri masih ragu dengan serangan pertamanya itu, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran.

Meskipun demikian, serangan itu merupakan satu peringatan bagi kedua orang Pangeran itu, bahwa Ken Padmi bukan saja seorang gadis yang sangat cantik. Tetapi ternyata ia juga seorang gadis yang berbahaya. Namun demikian seorang di antara kedua Pangeran itu masih berkata, “Kita bertemu dengan sekuntum bunga mawar. Cantiknya dan harum. Tetapi berduri.”

“Tutup mulutmu!” Ken Padmi hampir berteriak. Suara Ken Padmi itu mencemaskan Mahendra dan Witantra. Jika Ken Padmi tenggelam dalam kemarahannya, maka ia akan kehilangan pengamatan diri sehingga ia akan bertempur dengan dorongan perasaannya saja.

Namun ternyata kemudian, bahwa Ken Padmi yang marah itu masih tetap menyadari dirinya dalam pertempuran yang terjadi kemudian. Ia dengan mantap menghadapi kedua Pangeran itu. Ternyata seperti perhitungan Witantra dan Mahendra, maka kemampuan kedua orang Pangeran yang datang bersama Pangeran Indrasunu itu tidak terlalu menggetarkan. Kemampuan mereka tidak setinggi kemampuan Pangeran Indrasunu sendiri.

Tetapi yang lebih penting bahwa mereka tidak terlibat dalam perang tanding yang akan mengikat mengikat mereka meskipun mereka tidak bersetuju lebih dahulu. Harga diri yang berlebihan akan memaksa masing-masing untuk bertempur tanpa mengakui kenyataan seandainya salah seorang di antara mereka sudah menyadari, bahwa ilmunya tidak seimbang.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah meningkatkan ilmu mereka sebaik-baiknya, telah mulai berusaha untuk dengan cepat mengalahkan lawannya. Mereka berusaha untuk memecahkan perhatian dengan serangan-serangan dari arah yang berlawanan. Namun, Pangeran Indrasunu pun masih berusaha untuk mengatasi serangan-serangan itu. Ia memang mampu bergerak cepat, meskipun ia mulai merasa betapa beratnya menghadapi kedua adik Mahisa Bungalan itu.

Tetapi sementara itu, Ken Padmi pun harus memeras kemampuannya. Apalagi ketika kedua orang Pangeran itu mulai bersungguh-sungguh setelah mereka menyadari bahwa gadis itu memang mampu bertempur dengan cepatnya.

Pertempuran di halaman rumah Mahendra itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi tidak seorang pun dari tetangganya yang mendengar keributan itu. Pengaruh sirep di rumah Mahendra itu ternyata telah merembet ke rumah tetangganya, sehingga mereka pun menjadi lelap. Apalagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai lambaran ilmu, sehingga dengan demikian rasa-rasanya tidur mereka menjadi sangat lelap seperti pingsan.

Dalam pada itu, Wangkot dan Mendu yang merasa dirinya orang-orang yang tidak terlawan, dengan marah berusaha untuk secepatnya mengakhiri pertempuran. Namun ternyata bahwa mereka telah bertemu dengan orang yang juga memiliki ilmu yang tinggi.

Wangkot yang merasa dirinya mempunyai kekuatan yang sangat besar, telah dengan kasarnya menyerang Mahendra, tanpa memperhatikan perlawanan lawannya. Ia sama sekali tidak pernah merasa perlu untuk menghindari serangan lawannya, karena ia merasa mempunyai daya tahan yang sangat besar. Bahkan beberapa orang yang pernah bertempur melawannya menganggapnya mempunyai ilmu kebal.

Sementara itu Mahendra masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk menyesuaikan tingkat ilmunya mengikuti perkembangan tingkat ilmu lawannya. Tetapi karena Wangkot memang berusaha untuk segera mengakhiri perlawanan Mahendra, maka Wangkot itu pun segera sampai ke puncak ilmunya.

Namun demikian, Mahendra masih ragu-ragu. Ia menduga, bahwa mungkin sekali Wangkot masih mempunyai selapis ilmu lebih tinggi, yang akan dipergunakan pada saat-saat terakhir dari pertempuran itu, apabila waktunya sudah tiba. Karena itu, Mahendra masih selalu berhati-hati agar ia tidak terjebak dalam kelengahannya sendiri.

Namun akhirnya Mahendra menjadi semakin jelas, bahwa lawannya memang sudah sampai ke puncak ilmunya. Ketika Mahendra kemudian menekannya, Wangkot ternyata tidak mampu lagi meningkatkan ilmunya, kecuali ia menjadi semakin kasar dan liar. Meskipun demikian, namun Mahendra masih harus tetap memperhitungkan segala kemungkinan. Meskipun demikian, ia tidak ingin membiarkan pertempuran itu menjadi semakin berlarut-larut, apalagi ia merasa bertanggung jawab pula atas Ken Padmi.

Witantra ternyata berbuat serupa dengan Mahendra. Dengan demikian Witantra juga selalu memperhatikan Ken Padmi sebagaimana dilakukan oleh Mahendra.

Ternyata Ken Padmi memang merasa terlalu berat untuk bertempur melawan kedua orang Pangeran itu. Tetapi ternyata Ken Padmi cukup cerdik betapapun kemarahan menghentak-hentak dadanya. Ia tidak ingin terlibat dalam kesulitan yang lebih parah. Karena itu, maka sebelum lawannya mempergunakan senjata, Ken Padmi tidak mencabut senjatanya. Karena ia sadar, ia akan mengalami kesulitan yang lebih besar jika ia harus bertempur melawan kedua orang Pangeran itu dengan olah senjata.

Ternyata kedua orang Pangeran itu mempunyai harga diri juga. Justru karena Ken Padmi masih belum mempergunakan senjata, mereka pun merasa segan untuk menarik pedang, meskipun mereka sadar, bahwa bertempur dengan senjata akan lebih menguntungkan bagi mereka.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu yang semakin mapan, ternyata harus mengakui, bahwa Pangeran Indrasunu adalah seorang anak muda yang bernilai cukup tinggi. Meskipun Pangeran Indrasunu tidak dapat mengimbangi ilmu Mahisa Bungalan, tetapi melawan kedua adiknya, ia masih sempat juga membalas serangan dengan serangan.

Namun kedua adik Mahisa Bungalan itu telah menerima dasar ilmu sepenuhnya dari jalur ilmu ayahnya, sebagaimana telah diterima oleh Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum sempat mengembangkannya sebagaimana di lakukan oleh Mahisa Bungalan, serta pengalaman mereka yang masih ketinggalan dari kakaknya.

Meskipun demikian, dengan bertempur berpasangan, maka mereka berdua dapat memadukan ilmu mereka, sehingga dengan demikian, maka kemudian terasa bahwa kedua anak muda adik Mahisa Bungalan itu berhasil menekan lawannya.

Agaknya kedua anak muda itu tidak merasa terikat oleh harga diri sebagaimana kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi, karena lawan kedua adik Mahisa Bungalan itu bukan seorang gadis. Apalagi dalam keadaan yang mendesak, justru Pangeran Indrasunu lah yang lebih dahulu menarik pedangnya dari sarungnya.

Dengan demikian maka Pangeran Indrasunu telah mempergunakan ilmu pedangnya untuk melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa justru karena ia bersenjata, maka keadaan menjadi gawat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memencar, telah mempergunakan setiap kesempatan untuk saling mengisi. Tidak sekedar mempergunakan tangan. Tetapi mereka telah mempergunakan senjata. Kelengahan kecil akan dapat berakibat gawat bagi Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu Wangkot menjadi semakin liar. ia masih belum melihat kenyataan tentang dirinya di hadapan Mahendra. Bahwa sebenarnya Mahendra akan mampu mengimbangi apapun yang akan dilakukannya. Dengan garangnya sambil meloncat. Kemudian kedua tangannya itu terjulur lurus ke depan, seperti seekor serigala yang sedang menerkam mangsanya.

Tetapi yang ditekankan adalah Mahendra. Dengan tangkas Mahendra bergeser menghindar. Namun kemudian dengan kecepatan yang tidak diduga tangannya telah terayun menghantam punggung lawannya yang terdorong oleh kekuatannya sendiri.

Sebenarnyalah bahwa Wangkot memang mempunyai daya tahan yang luar biasa. Namun demikian dorongan tangan Mahendra itu mampu melontarkannya beberapa langkah lebih jauh dari dorongan kekuatannya sendiri, sehingga hampir saja ia telah kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab.

Namun ternyata Wangkot masih berhasil menguasai dirinya. Ia tidak terjatuh, meskipun ia harus mengumpat-umpat. Ternyata bahwa punggungnya juga terasa sakit oleh sentuhan tangan Mahendra. Tetapi sejenak kemudian, sambil menggeram Wakot itu pun sudah siap pula untuk bertempur dengan garangnya.

Dalam pada itu, Mendu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Seperti Wangkot, ia tidak menduga, bahwa ia telah dihadapkan kepada seorang yang mumpuni. Yang memiliki ilmu yang tinggi dan bahkan mampu mengimbanginya. Dengan buas Mendu melibat lawannya ke dalam pertempuran yang kasar.

Namun Witantra adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia telah mengalami benturan ilmu dengan orang-orang yang mempunyai dasar kemampuan yang berbeda-beda. Juga melawan orang-orang kasar seperti Mendu itu. Sehingga dengan demikian, maka Witantra tidak menjadi kebingungan menghadapi lawannya itu.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin dahsyat. Mendu yang kasar dan liar, ternyata membentur kekuatan dan ilmu Witantra yang tangguh dan mapan. Bahkan kekuatan jasmaniah serigala dari padang Geneng itu pun kadang-kadang telah dilawan oleh Witantra dengan benturan kekuatan pula.

Mendu hampir tidak percaya bahwa ada seseorang yang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatannya. Tetapi ketika sekali lagi ia meloncat menyerang Witantra, maka dengan sengaja Witantra tidak menghindar, tetapi ia telah membenturkan kekuatannya melawan serangan Mendu itu. Barulah kemudian Mendu yakin, bahwa Witantra memiliki kekuatan yang luar biasa setelah ia terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan hampir saja ia kehilangan keseimbangan, sementara Witantra masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

“Anak iblis,” Mendu menggeram, “kau sangka bahwa dengan demikian, kau sudah menang?”

“Aku tidak menyangka begitu.” jawab Witantra.

“Lihat, sebentar lagi kau akan aku koyak menjadi sayatan kulit dan daging.” geram Mendu sambil menarik sebuah pedang yang mempunyai bentuk khusus. Pada punggung pedang itu terdapat semacam duri pandan yang dapat mengait kulit dan daging. Meskipun duri baja itu lembut, tetapi jika menyentuh kulit, maka akibatnya akan menjadi sangat parah.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya lawannya tidak hanya membawa satu jenis senjata. Mungkin dalam keadaan yang berbeda ia akan mempergunakan jenis senjatanya yang lain, karena Witantra melihat beberapa pucuk paser kecil pada ikat pinggang lawannya. Yang tentu saja paser-paser itu diberinya beracun. Justru karena itu, maka Witantra pun tidak ingin mengalami kesulitan. Ia memang sudah memperhitungkan, bahwa di antara mereka yang telah memasang sirep itu termasuk orang-orang yang berkemampuan.

Karena itu, maka ia pun telah bersiap dengan senjatanya. Bukan senjata khusus. Senjata apa saja yang dapat diketemukannya. Sejenak kemudian, Witantra sudah bersenjata pedang untuk menghadapi senjata lawannya yang mempunyai kekhususan yang mendebarkan itu.

Sejenak kemudian, maka Mendu dan Witantra sudah terlihat dalam perang bersenjata. Dengan garangnya Mendu memutar pedangnya dan melibat lawannya dalam serangan-serangan yang cepat dan keras. Tetapi ternyata Mendu telah membentur kemampuan ilmu pedang Witantra yang luar biasa, yaitu justru membuat Mendu semakin sulit menghadapinya.

Tetapi Serigala itu sama sekali tidak mengurangi keliarannya. Semakin lama justru menjadi semakin keras dan kasar. Ia berusaha untuk pada suatu saat, melampaui kemampuan perlawanan Witantra terhadap kekasarannya. Namun demikian, Witantra seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh kekasaran lawannya. Bahkan dengan tenang, Witantra berhasil mendesak lawannya. Ujung pedangnya sekali-sekali berhasil menyusup di antara putaran pedang Mendu, dan bahkan telah menyentuh kulitnya.

“Gila!” geram Mendu yang ternyata bahwa kulitnyalah yang telah berdarah lebih dahulu. Bukan kulit Witantra.

Namun dalam pada itu, ternyata Ken Padmi benar-benar mengalami kesulitan. Meskipun ia masih tetap bertahan untuk tidak bertempur mempergunakan senjatanya, tetapi kedua orang lawannya telah mendesaknya. Benturan-benturan yang semakin sering terjadi, mulai terasa sakit pada kulitnya. Lengannya, pundaknya dan bahkan tengkuknya, telah disentuh tangan lawan-lawannya. Untunglah bahwa kecepatannya bergerak telah dapat membebaskannya dari pengaruh yang lebih parah. Tetapi jika gadis itu harus bertahan terlalu lama, maka akhirnya ia akan benar-benar dikuasai oleh lawannya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur semakin cepat. Mereka berusaha untuk berpacu dengan waktu yang diperlukan oleh kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi untuk mengalahkan gadis itu. Sebenarnyalah kedua anak muda adik Mahisa Bungalan itu mempunyai kesempatan yang baik, Namun dalam ilmu tertinggi yang tersalur ke dalam ilmu pedangnya, maka Pangeran Indrasunu memang seorang yang sangat berbahaya.

Namun demikian, kedua adik Mahisa Bungalan itu pun telah mengerahkan ilmu puncak mereka, sehingga dengan demikian, maka kerja sama yang sangat rapi dalam ilmu puncak masing-masing, benar-benar membuat Pangeran Indrasunu kehilangan kesempatan untuk menyerang. Kedua anak muda itu dengan tangkasnya berloncatan di seputarnya. Bahkan kadang-kadang saling bertukar arah dan dengan tiba-tiba saja menyambar lawannya. Betapa Pangeran Indrasunu semakin merasa sulit menghadapi kedua adik Mahisa Bungalan itu. Sehingga dengan demikian, maka Pangeran Indrasunu itu pun semakin lama menjadi semakin terdorong dan terpisah dari arena dalam keseluruhan.

Tetapi Ken Padmi pun telah mengalami nasib yang serupa dengan Pangeran Indrasunu yang mengalami kesulitan itu. Keadaan Ken Padmi itulah yang kemudian mendorong Mahendra untuk meningkatkan ilmunya. Lawannya, Wangkot telah melihat Mahendra dengan perang senjata pula. Tekanan-tekanan Mahendra terasa terlalu sulit untuk dihindari. Sehingga Wangkot mengharap bahwa ia akan memiliki kelebihan dalam kecepatan menggerakkan senjata. Tetapi Mahendra ternyata seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Ketika Wangkot mempergunakan goloknya yang besar dan berat, maka Mahendra pun telah menarik pedangnya.

Namun seperti Witantra, dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa dan di serambi, maka Mahendra melihat sesuatu terselip diikat pinggang lawannya. Dan ia pun menduga, bahwa Wangkot memiliki senjata lontar yang berbahaya. “Mungkin paser-paser kecil.” desis Mahendra.

Pada saat Ken Padmi dalam keadaan yang sangat berbahaya, maka Mahendra maupun Witantra telah mengerahkan segenap kemampuannya. Mereka tidak lagi berusaha menahan diri. Jika mereka terlambat, maka akibatnya akan parah bagi Ken Padmi. sementara Pangeran Indrasunu masih berusaha untuk bertahan melawan kedua orang lawannya.

Betapapun Mahendra dan Witantra berusaha bertempur dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, namun keliaran lawan mereka telah memaksa keduanya untuk berbuat lebih banyak lagi. Bahkan mereka tidak dapat menghindarkan diri dari usaha untuk melumpuhkan lawannya. Sehingga dengan demikian, maka senjata mereka pun menjadi semakin sering melukai lawan dan bahkan luka yang lebih dalam. Wangkotlah yang lebih dahulu kehilangan pengamatan. Kemarahannya yang menghentak-hentak dadanya, telah membuatnya benar-benar buas. Karena itu, maka tiba-tiba senjatanya telah berada di tangan kirinya.

Dengan cepat, Mahendra dapat mengerti bahwa lawannya tentu akan mempergunakan senjata lontarnya. Karena itu, maka ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia telah berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek, sehingga lawannya tidak mendapat kesempatan untuk melontarkan paser-pasernya.

Tetapi Wangkot sempat meloncat menjauh. Terlalu cepat untuk diburu. Bahkan Mahendra pun telah meloncat menjauh pula, ketika ia melihat lawannya telah memungut senjata-senjata lontarnya. Sejenak kemudian, Wangkot benar-benar telah melemparkan paser-paser kecilnya. Demikian cepatnya sehingga paser-paser itu telah terbang beruntun.

Tetapi Mahendra telah bersiap. Dengan tangkasnya ia meloncat menghindarkan diri dari sambaran paser-paser itu. Namun Wangkot tidak memberinya waktu. Tangannya dengan cepat terayun. Beberapa paser telah dilontarkannya menyusul paser-paser yang terdahulu.

Mahendra terkejut melihat serangan beruntun itu. Karena itu, maka ia pun harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan itu. Dengan tangkas ia berloncatan dan dengan langkah-langkah panjang. Namun demikian, paser-paser kecil itu seolah-olah selalu mengejarnya. Hampir saja Mahendra kehilangan kesempatan ketika sebuah paser menyambar dadanya. Dengan cepat ia membungkukkan badannya, namun tiba-tiba sebuah paser yang lain telah menyambar keningnya justru pada saat ia membungkuk.

Tetapi Mahendra tidak mau menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Pada saat yang gawat itu, Mahendra justru menjatuhkan dirinya berguling dengan cepatnya mendekat. Pada saat lawannya sekali lagi memungut paser di ikat pinggangnya, dan siap menggunakannya, tiba-tiba saja Mahendra melenting dengan cepat. Kakinya telah menyambar tangan orang itu, sehingga pasernya terlepas dari tangannya.

Mahendra tidak mau kehilangan kesempatan. Pada saat orang itu sedang menggapai ikat pinggangnya, maka pedang Mahendra telah terayun menyambarnya. Kemarahan Mahendra nampaknya telah membakar jantungnya. Itulah sebabnya, maka pedangnya telah langsung menyambar pundak lawannya. Namun Wangkot masih berusaha untuk menghindar. Ia meloncat ke samping, sementara tangannya telah sempat memungut sebuah dari paser-paser yang tersisa.

Tetapi ternyata Mahendra lebih cepat. Ketika tangan itu terangkat untuk melontarkan pasernya, pedang Mahendra telah terjulur lurus menghujam ke dada orang itu. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Demikian pedang itu ditarik dari dadanya, maka Wangkot pun telah terhuyung-huyung jatuh tertelungkup.

Namun Mahendra tidak sempat menyaksikan apa yang akan terjadi atas lawannya. Pada saat yang demikian, Ken Padmi telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Kedua Pangeran yang menghadapinya itu telah berhasil mematahkan perlawanannya. Meskipun Ken Padmi telah bertempur dengan segenap ilmunya, namun menghadapi kedua orang lawan yang tangguh, ternyata ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

Pada saat yang gawat dan menggelisahkan itulah, Ken Padmi tidak dapat bertahan lebih lama tanpa mempergunakan senjata. Meskipun ia sadar, bahwa senjata akan menambah bahaya baginya, tetapi akhirnya ia memilih bertempur dengan senjata, meskipun dapat berakibat maut. Baginya lebih baik mati dari pada disentuh oleh ke dua Pangeran yang ternyata mempunyai maksud tertentu itu. Demikian Ken Padmi menarik pedangnya, maka kedua Pangeran itu tertegun sejenak. Tetapi mereka tidak sempat berpikir lebih lama, karena Ken Padmi lah yang kemudian menyerang dengan geramnya.

Tidak ada pilihan lain bagi kedua orang Pangeran itu, selain mempergunakan senjatanya pula. Karena itulah, maka mereka pun segera menarik pedang mereka untuk menghadapi serangan-serangan Ken Padmi. Ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Ken Padmi, justru karena ia telah melihat lawannya dalam perang bersenjata, maka ia telah berada dalam keadaan bahaya yang sebenarnya mengancam jiwanya. Dari arah yang berlawanan, kedua lawannya telah siap menyerang bersama-sama.

Namun pada saat yang menegangkan itu, mereka telah dikejutkan oleh geram yang patah. Kemudian mereka mendengar rintihan yang dalam. Di luar sadar, mereka telah berpaling. Ternyata mereka melihat beberapa langkah dari mereka, di arena yang terpisah, mereka melihat Witantra meninggalkan lawannya yang tergolek diam. Suara rintihan itu pun telah terputus pula seperti nafas orang yang terbaring itu.

Kedua orang Pangeran yang bertempur bersama melawan Ken Padmi itu menjadi berdebar-debar. Pada saat itu Mahendra dan Witantra telah kehilangan lawan-lawan mereka. Keduanya hampir bersamaan telah mendekati arena pertempuran antara Ken Padmi melawan dua orang Pangeran itu dari arah yang berbeda. Ternyata jantung kedua Pangeran itu telah berguncang. Mahendra dan Witantra, telah mampu melampaui kemampuan dan ilmu kedua orang yang menggemparkan tlatah padang Geneng itu. Dan ternyata kedua orang itu telah melangkah mendekati mereka.

Kedua orang Pangeran itu termangu-mangu. Sementara itu Ken Padmi pun seolah-olah telah membeku pula. Ia tidak ingin berbuat licik meskipun ia merasa kemampuannya tidak akan dapat mengimbangi kedua orang Pangeran itu. Tetapi ia tidak akan mencuri serangan selagi kedua orang Pangeran itu dalam kegelisahan sambil memperhatikan kehadiran Mahendra dan Witantra.

“Pangeran,” berkata Mahendra kemudian, “bukankah kalian berdua juga Pangeran seperti Pangeran Indrasunu?”

Keduanya tidak menjawab. Tetapi terdengar suara Mahisa Murti, “Ya. Pangeran Indrasunu memanggil keduanya dengan sebutan Pangeran pula.”

“Nah, sekarang kalian dapat membuat pertimbangan yang bening,” berkata Mahendra kemudian, “kedua orang yang mungkin kalian anggap akan dapat mengakhiri mimpi kalian, sehingga akan menjadi kenyataan itu ternyata telah kehilangan kesempatan untuk memaksakan kehendaknya atas kami. Ilmu sirepnya telah gagal, dan kemudian ilmunya pun tidak mampu mendukung keliaran dan kebuasannya.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun sementara itu terdengar Pangeran Indrasunu berteriak, “Kita bukan pengecut!”

Kedua Pangeran itu menjadi sangat ragu-ragu. Namun suara Pangeran Indrasunu itu telah menghentakkan mereka, sehingga seolah-olah mereka telah mendapatkan keberanian baru. Namun dalam pada itu, selagi mereka sudah siap untuk menyerang, Mahendra dan Witantra sudah berdiri di pinggir arena, sehingga perhatian kedua Pangeran itu justru kepada Ken Padmi.

Meskipun demikian, Ken Padmi itu masih belum mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang. Ia masih berdiri termangu-mangu. Bahkan ia pun telah memperhatikan Mahendra dan Witantra yang berdiri beberapa langkah dari padanya.

“Pangeran,” berkata Witantra kemudian, “kami mohon Pangeran mengerti, apa yang telah terjadi. Mungkin Pangeran adalah salah seorang di antara mereka yang ikut menyerang Kabanaran pada waktu itu. Jika demikian maka kita memang pernah bertemu, setidak-tidaknya pernah berada dalam satu lingkungan.”

Kedua Pangeran itu termangu-mangu. Kembali mereka menjadi ragu-ragu.

“Pangeran berdua,” Witantra melanjutkan, “bukan maksud kami menyombongkan diri. Tetapi Pangeran tentu mengerti, bahwa dua orang iblis itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Pangeran. Ternyata bahwa kami berdua dapat mengimbangi ilmu mereka. Nah, berdasarkan atas perhitungan nalar, apakah Pangeran berdua akan dapat melawan kami yang bukan saja berdua, tetapi bertiga dengan gadis itu?”

Kedua Pangeran itu menjadi semakin ragu-ragu. Sementara itu sekali lagi Pangeran Indrasunu berteriak, “Jangan menjadi pengecut.”

“Maaf, Pangeran Indrasunu,” sahut Mahendra, “jangan terlalu banyak memperhatikan kedua saudara Pangeran ini. Mereka tidak akan mengalami apapun juga. Sebaiknya Pangeran menjaga diri Pangeran sendiri. Kedua anak-anak itu akan dapat berbahaya bagi Pangeran.”

“Persetan!” geram Pangeran Indrasunu.

Namun ketika Pangeran Indrasunu akan membuka mulutnya lagi, Mahisa Murti telah menyerangnya dengan cepat, sehingga Pangeran itu tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan tergesa-gesa Pangeran Indrasunu menghindar dengan loncatan panjang. Mahisa Murti tidak mengejarnya.

Sementara Mahisa Pukat justru tertawa sambil berkata, “Hampir saja kau tidak dapat diam Pangeran. Jika senjata Mahisa Murti menyentuh mulutmu, maka kau akan selalu tersenyum.”

“Gila!” kemarahan Pangeran Indrasunu semakin memuncak.

Namun kedua anak muda itu justru tertawa. Ketegangan di jantung mereka sudah menjadi jauh berkurang. Kecemasannya bukan karena dari mereka sendiri. Tetapi justru karena mereka melihat keadaan Ken Padmi. Namun setelah Ken Padmi mendapat perlindungan dari Mahendra dan Witantra, maka mereka pun tidak lagi dicengkam oleh kecemasan. Karena itu, maka mereka pun kemudian sempat membuat Pangeran Indrasunu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak menghadapi kedua anak muda itu.

Sementara itu, kedua Pangeran yang menghadapi Ken Padmi, benar-benar sudah tidak mempunyai harapan apapun juga. Mereka harus melihat satu kenyataan, bahwa Mahendra dan Witantra adalah orang-orang yang tidak terlawan.

Namun dalam pada itu, Witantra yang sempat memperhatikan pertempuran antara Pangeran Indrasunu melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cemas. Jika Pangeran Indrasunu menjadi sangat marah, sehingga ia tidak lagi menghiraukan apapun juga, maka hal itu akan dapat memancing kemarahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pula. Jika kedua anak muda itu kehilangan pengamatan diri, maka keduanya akan sangat berbahaya bagi Pangeran Indrasunu.

Karena itu, maka Witantra itu pun kemudian berkata kepada kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi, ”Pangeran, aku kira Pangeran masih sempat berpikir bening. Coba perhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Apa yang Pangeran hadapi sekarang. Pangeran berdua tidak segera dapat mengalahkan Ken Padmi seorang diri. Apalagi jika ada di antara kalian, kami berdua.”

Kedua Pangeran itu masih termangu-mangu. Namun kemudian Witantra berkata, “Tetapi kami tidak dapat hanya memperhatikan keadaan Pangeran berdua saja. Kami melihat, Pangeran Indrasunu itu pun dalam keadaan bahaya. Jika kedua anak muda yang bertempur melawannya itu kehilangan pengekangan diri, maka keadaan Pangeran Indrasunu akan menjadi sangat sulit.”

Kedua Pangeran itu tidak menyahut. Sementara itu Witantra berkata kepada Mahendra, “Kau di sini. Aku akan melihat keadaan Pangeran Indrasunu dari dekat.”

Sebenarnyalah Witantra telah meninggalkan Mahendra. Dengan berdebar-debar Witantra mendekati arena pertempuran antara Pangeran Indrasunu melawan kedua anak-anak Mahendra. Sementara Mahendra masih berada di dekat Ken Padmi.

Sepeninggal Witantra, Mahendra pun bertanya kepada kedua orang Pangeran itu, “Apakah Pangeran telah menemukan keputusan yang paling baik? Menyerah, atau Pangeran memilih mengalami nasib lebih buruk dari itu?”

Kedua Pangeran itu masih saja termangu-mangu. Yang menjawab adalah Pangeran Indrasunu, “Kami adalah laki-laki. Akhir dari pertempuran adalah kematian.”

“Sebenarnya kami juga tidak keberatan untuk melakukannya,” berkata Mahendra pula, “besok kami akan membawa mayat Pangeran bertiga ke Singasari. Menunjukkan kepada Sri Maharaja, bahwa tiga orang Pangeran dari Kediri telah melawan kekuasaan Kediri dan juga Singasari. Mereka telah merampok rumah seorang pedagang mas intan dan wasi aji.”

“Persetan,” teriak Pangeran Indrasunu, “kau kira kami akan merampok?”

“Ya. Kalian akan merampok. Meskipun kami tahu bahwa kalian akan mengambil anak gadis itu, tetapi kami dapat saja mengatakan menurut selera kami. Kami dapat mengatakan apa saja yang paling buruk bagi Pangeran, karena Pangeran sudah mati, sehingga Pangeran tidak akan dapat membantah atau menjelaskan niat Pangeran yang sebenarnya. Apalagi yang datang bersama Pangeran adalah dua orang liar dan kasar, yang pantas disebut perampok itu.”

“Licik,” teriak Pangeran Indrasunu, “itu perbuatan gila dan tidak jujur.”

“Tidak ada orang yang akan mengatakan demikian.” jawab Mahendra, “Pangeran bertiga sudah terbunuh. Mungkin jiwa Pangeran bertiga sempat menyaksikan kebohongan kami. Mungkin dapat pula melihat bagaimana orang-orang Singasari mencibirkan bibirnya menyaksikan mayat lima orang perampok.”

“Gila. Itu perbuatan yang paling gila.” geram PangeranIndrasunu.

Tetapi Mahendra tertawa. Katanya, “Tetapi sangat menyenangkan bagi kami.”

Pangeran Indrasunu menggertakkan giginya. Tetapi sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendesaknya. Namun dalam pada itu, Witantra telah berada di dekat arena itu.

“Pangeran,” berkata Witantra, “yang paling baik, Pangeran menyerah dalam keadaan hidup. Pangeran masih akan dapat menjelaskan, apa yang sebenarnya ingin Pangeran lakukan di sini, sehingga nama Pangeran tidak akan tercemar.”

“Aku tidak peduli. Seandainya nama kami tercemar sekalipun, aku tidak akan merasakan apapun juga.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Mungkin tidak, jika jiwa Pangeran dapat menghindarkan diri dari segala macam perasaan mungkin tidak akan menghambat langkah Pangeran meninggalkan dunia fana ini. Tetapi jika tidak, maka Pangeran akan merasakan, betapa sakitnya jiwa yang tersia-sia. Roh yang disakiti tanpa dapat mempertahankan diri.” berkata Witantra, “Tetapi jika Pangeran beranggapan bahwa setelah mati, Pangeran tidak akan tahu apa-apa lagi, juga tentang nama Pangeran yang tercemar, maka yang akan merasakan segala duka dan cela adalah keluarga Pangeran. Apakah Pangeran dapat mengerti?”

Pangeran Indrasunu menggeram. Tetapi kata-kata itu memang sangat berpengaruh di hatinya.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mendesaknya semakin garang. Bahkan Mahisa Pukat pun berkata, “Paman Witantra jangan mengganggu kesenangan kami. Kami berdua telah sampai pada kemungkinan terakhir dari pertempuran ini.”

“Mahisa Pukat,” berkata Witantra, “apakah kita sudah terpengaruh oleh orang-orang yang bernafsu untuk membunuh tanpa menghiraukan sasaran terakhir? Bertanyalah kepada ayahmu, manakah yang paling baik kita lakukan dalam keadaan seperti ini.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, sehingga ia justru telah tertegun sejenak. Namun Mahisa Murti masih bertempur dengan garangnya. Serangannya justru datang membadai melanda Pangeran Indrasunu yang sudah menjadi ragu-ragu.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Paman benar. Memang sebaiknya kita tidak usah membunuh. Tetapi jika Pangeran itu menjadi gila dan tidak tahu diri, apa boleh buat.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat Mahisa Murti yang bertempur seorang diri. Pangeran Indrasunu mendengar pembicaraan itu. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengabaikan kenyataan yang sedang dihadapinya. Jika ia berkeras, bahwa sampai pada ilmu puncaknya sekalipun, ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu meskipun Witantra tidak mencampurinya. Bahkan jika ia memancing kekerasan yang lebih tajam, maka hal itu akan memancing kesulitan saja baginya.

Meskipun demikian ia masih tetap meragukan sikap Witantra. Apakah yang dikatakan oleh Witantra benar seperti yang akan dilakukannya. Apakah Witantra tidak akan membiarkannya kedua adik Mahisa Bungalan itu berbuat sesuka hatinya atas dirinya apabila ia mengakhiri perlawanannya yang sudah disadarinya akan sia-sia.

Dalam pada itu, maka Mahendra yang berada di arena yang lain ternyata telah berhasil menghentikan perlawanan kedua orang Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi. Kedua Pangeran itu merasa, bahwa sebenarnyalah mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Mahendra adalah seorang yang terlalu besar bagi mereka. Bahkan bagi gurunya. Mahendra tidak akan dapat dikalahkannya. Akhirnya Pangeran Indrasunu pun menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka akhirnya ia pun telah kehilangan gairahnya untuk bertempur lebih lama lagi.

Dalam pada itu, maka sekali lagi Witantra berkata, “Pangeran, aku berharap bahwa Pangeran akan menyerah.”

Pangeran Indrasunu yang masih dibayangi oleh harga dirinya itu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah tidak lagi berusaha untuk melawan, selain berloncatan mundur menghindari desakan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kedua anak muda itu pun segera memaklumi, bahwa Pangeran Indrasunu sudah tidak melawan lagi dengan sungguh-sungguh. Karena itu, maka akhirnya keduanya pun berhenti ketika Witantra berkata,

“Sudahlah, anak-anak. Tidak ada gunanya lagi kalian bertempur terus.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian perlahan-lahan menghentikan serangan-serangannya. Meskipun demikian keduanya masih tetap berhati-hati menghadapi Pangeran yang licik itu. Tetapi agaknya Pangeran Indrasunu benar-benar telah menyerah. Bahkan ketika Witantra mendekatinya untuk meminta senjatanya, Pangeran Indrasunu telah menyerahkannya.

“Segalanya sudah berakhir,” berkata Witantra, “marilah kita akan masuk ke dalam.”

Mahendra pun telah membawa kedua Pangeran yang lain mengikuti Witantra masuk ke ruang dalam. Ketika Pangeran itu dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar. Di sudut lain Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tengah mengawasinya.

“Ken Padmi,” berkata Mahendra kemudian, “agaknya semua orang di dapur sedang tidur. Jika mungkin bangunkan mereka. Tetapi jika tidak, kau sajalah yang merebus air. Kita akan menjamu tamu kita malam ini.”

Ken Padmi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun bangkit pula dan melangkah pergi ke dapur.

“Aku akan menemaninya.” desis Mahisa Pukat.

Ken Padmi tertegun. Tetapi Mahendra kemudian menyahut, “Kau mempunyai tugas tersendiri. Kau dan Mahisa Murti masih harus membawa kedua sosok mayat itu dan membaringkannya di pendapa. Besok kita akan menguburkannya. Tetapi kita harus memberikan laporan kepada Ki Buyut dan tetangga-tetangga kita agar tidak terjadi salah paham.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya mereka pun bangkit dengan segan dan pergi keluar rumah untuk mengambil dua sosok mayat di halaman dan meletakkannya di pendapa. Kemudian kedua sosok mayat itu telah ditutup dengan dua helai kain panjang.

Yang berada di ruang dalam kemudian adalah ketiga orang Pangeran ditunggui oleh Mahendra dan Witantra. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Namun terasa oleh ketiga orang Pangeran itu perlakuan yang asing dari Mahendra dan Witantra, justru karena keduanya tidak berbuat apa-apa. Menurut jalan pikiran mereka serta apa yang mungkin mereka lakukan dalam keadaan yang serupa, maka mereka bertiga tentu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Namun ternyata Mahendra dan Witantra tidak berbuat apa-apa.

“Hanya satu permainan saja,” berkata para Pangeran itu di dalam hatinya, “tetapi besok mereka akan menghinakan kami di hadapan orang-orang padukuhan ini. Bahkan mungkin mereka akan mengarak kami menuju ke Singasari.”

Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga. Mahendra dan Witantra akan dapat memperlakukan mereka seperti yang mereka kehendaki. Terbesit juga ingatan kedua orang saudara Pangeran Indrasunu itu kepada guru mereka dan padepokan mereka. Tetapi mereka pun sadar, bahwa guru mereka pun tidak akan dapat menolongnya.

“Aku tidak menyangka bahwa Witantra itu berada di sini pula.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi.

Malam itu Pangeran Indrasunu dan kedua saudaranya masih mendapat waktu untuk merenung sejenak sebelum pagi. Meskipun mereka dipersilahkan untuk tidur barang sejenak, tetapi mata mereka tidak dapat terpejam. Mereka sadar, bahwa Mahendra dan Witantra yang duduk di bibir amben bersandar tiang itu bergantian meninggalkan mereka, pergi ke pakiwan membersihkan diri. Tetapi ketiga orang Pangeran itu tidak berani berbuat apapun juga, karena mereka sadar, bahwa mereka bertiga tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap Mahendra atau Witantra seorang diri.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata lebih senang berada di pendapa meskipun mereka harus menunggui mayat yang terbaring diam. Sementara Ken Padmi sibuk di dapur karena orang-orang yang terkena sirep itu masih saja belum dapat dibangunkan. Jika salah seorang sempat membuka matanya, namun sekejap kemudian orang itu telah kembali menjatuhkan dirinya di manapun juga.

Ketika air masak, maka Ken Padmi pun menghidangkannya untuk Mahendra, Witantra dan kedua adik Mahisa Bungalan. Tetapi Mahendra berkata, “Kau harus menjamu tamu-tamu kita ini.”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Mahendra bersungguh-sungguh, bahwa ia harus menjamu ketiga orang Pangeran itu. Perasaan Ken Padmi meronta. Tetapi ia tidak dapat menolak perintah Mahendra yang baginya tidak masuk akal itu. Karena itulah, maka sejenak kemudian Ken Padmi pun telah menyiapkan minuman bagi ketiga Pangeran itu.

Menjelang pagi, maka minuman yang diperuntukkan bagi ketiga orang Pangeran itu sudah dihidangkannya pula betapapun terasa berat di hati. Diletakkannya minuman itu di amben, kemudian tanpa mengatakan apapun juga ia meninggalkan ruangan itu kembali ke dapur.

Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba saja air matanya menitik di pipinya. Sambil duduk di sudut ruangan yang sepi ia berusaha untuk menjinakkan perasaannya sendiri. Namun ia merasa sangat dihinakan oleh para Pangeran itu. yang dengan niat yang sangat keji telah datang ke rumah itu.

“Kemudian aku harus menghidangkan minuman bagi mereka.” berkata Ken Padmi di dalam hatinya.

Bagi Ken Padmi Pangeran Indrasunu bukannya pertama kalinya menyakiti hatinya, menghinakannya, seolah-olah ia adalah benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Niatnya yang keji dan cara yang licik, membuat Ken Padmi membencinya sampai ke ubun-ubun. Ken Padmi terkejut ketika ia mendengar langkah memasuki ruangan. Dengan cepat ia mengusap matanya yang basah. Kemudian ia bangkit berdiri menghadap ke pintu.

Yang berdiri di depan pintu adalah Mahendra. Dipandanginya Ken Padmi dengan tatapan mata lembut kebapaan. “Ken Padmi,” berkata Mahendra kemudian, “aku mengerti, bahwa perasaanmu terasa sangat pedih.”

“Tidak, paman. Aku tidak apa-apa.” Ken Padmi mencoba tersenyum.

“Jangan berpura-pura. Apa yang kau rasakan itu adalah perasaan sewajarnya. Kau memang merasa pedih mengalami perlakuan yang tidak pantas. Kau tentu merasa terhina dan mungkin merasa diri tidak berharga,” berkata Mahendra kemudian, “tetapi aku dapat mengerti. Karena itu, aku anggap perasaan yang demikian itu adalah wajar.”

Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi kepalanya pun kemudian tertunduk lesu.

“Tetapi sesudah kita berpijak kepada kewajaran, maka baiklah kita belajar berjiwa besar.” berkata Mahendra kemudian, “Kita belajar memaafkan kesalahan orang lain terhadap diri kita, karena sebenarnyalah memang tidak ada orang yang tidak mempunyai kesalahan apapun juga. Jika kita dapat memaafkan kesalahan orang lain, maka kita mempunyai penghargaan bahwa kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat pun akan dimaafkannya pula. Terutama kesalahan-kesalahan kita yang harus kita pertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Agung.”

Ken Padmi masih menunduk.

“Ken Padmi,” berkata Mahendra pula, “menurut perhitunganku masih ada harapan bagi anak-anak muda itu untuk mengerti tentang diri mereka. Untuk menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Guru Pangeran Indrasunu itu pun dapat mengerti bahwa muridnya telah berbuat salah. Sedangkan Pangeran Indrasunu itu sendiri masih cukup muda dan masih mempunyai waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.”

Ken Padmi mengangkat Wajahnya. Tetapi ketika terpandang olehnya tatapan mata Mahendra, maka ia pun telah menunduk kembali.

“Apakah kau dapat mengerti, Ken Padmi?” bertanya Mahendra.

Sejenak Ken Padmi mematung. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.

“Sukurlah, meskipun pertama-tama terasa aneh dan asing.” Mahendra meneruskan, “Kita akan memberi kesempatan kepada Pangeran Indrasunu. Jika ia gagal mempergunakan kesempatan itu, kita sudah dapat mengetahui arah padepokannya. Jika kesempatan itu dilewatkannya, maka kita akan melaporkannya kepada para pemimpin di Kediri dan Singasari. Ia sudah berbuat banyak kesalahan bagi Kediri dan Singasari. Tetapi agaknya Akuwu Suwelatama masih juga berusaha untuk memberi kesempatan kepadanya melihat ke dalam dirinya sendiri. Memang berbeda dengan kedua orang itu. Agaknya kedua orang upahan itu memang tidak mempunyai tempat berpijak lagi bagi masa depannya. Karena itu, aku tidak berkeberatan jika keduanya terpaksa harus mengalami nasib yang buruk di padukuhan ini.”

Ken Padmi menjadi semakin tunduk. Tetapi ia semakin dapat memahami keterangan Mahendra. Meskipun demikian, ia tidak menjawab sama sekali.

Namun Mahendra yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang luas itu seolah-olah dapat membaca perasaan gadis itu. Karena itu, maka katanya, ”Baiklah, Ken Padmi. Kau masih mempunyai waktu untuk merenungkan hal itu. Tetapi aku yakin, bahwa kau pun akan dapat dan bersedia mengatasi perasaanmu.”

Ken Padmi masih tetap tidak menjawab. Kepalanya masih saja tertunduk diam. Baru kemudian, ketika Mahendra bergeser ia mengangkat wajahnya. Dilihatnya Mahendra melangkah surut sambil berkata,

“Sebaiknya kau beristirahat. Masih ada sisa waktu meskipun tinggal sekejap. Sementara kau dapat membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak itu. Agaknya kekuatan sirep itu sudah jauh berkurang.”

“Baik, paman.” desis Ken Padmi hampir tidak terdengar.

Mahendra pun kemudian meninggalkan Ken Padmi merenungi keadaannya. Namun Mahendra yakin, bahwa Ken Padmi akan dapat menerima keadaan itu dengan lapang dada. Ketika kemudian wajah pagi mulai membayang, Mahendra pun telah memerintahkan kepada kedua anaknya untuk ke rumah Ki Buyut. Mereka harus melaporkan, bahwa rumah mereka telah didatangi oleh dua orang perampok.

“Dua orang?” bertanya Mahisa Pukat.

Pangeran Indrasunu yang mendengar pertanyaan itu menjadi berdebar-debar. Namun sekali lagi Mahendra berkata, “Dua orang.”

Mahisa Pukat memandang Pangeran Indrasunu dan kedua orang Pangeran yang lain sekilas. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Ya. Baiklah.”

Kedua orang adik Mahisa Bungalan itu pun kemudian pergi dengan tergesa-gesa ke rumah Ki Buyut. Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa rumah mereka telah didatangi oleh dua orang perampok.

“Lalu, apa saja yang telah mereka bawa?” bertanya Ki Buyut.

“Tidak ada, Ki Buyut.” jawab Mahisa Murti.

”Lalu, bagaimana dengan perampok-perampok itu? Apa yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Buyut heran.

“Keduanya telah terbunuh.” jawab Mahisa Pukat.

“Terbunuh?” Ki Buyut mengerutkan keningnya, “Siapa yang membunuh?”

“Kami, seisi rumah beramai-ramai. Sebenarnya kami tidak ingin membunuh. Tetapi kami harus mempertahankan diri. Dan kami dengan terpaksa sekali telah membunuh keduanya yang ternyata sangat berbahaya itu.” jawab Mahisa Pukat.

“Baiklah. Aku akan datang ke rumah kalian.” berkata Ki Buyut kemudian.

“Kita bersama-sama.” sahut Mahisa Murti.

Ki Buyut tertegun sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Kita pergi bersama-sama.”

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut diiringi oleh dua orang pengawalnya telah pergi bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk melihat apa yang telah terjadi. Ketika mereka sampai ke rumah anak-anak muda itu, beberapa orang telah berada di halaman.

“Marilah, Ki Buyut.” Mahendra mempersilahkan. Orang-orang pun menyibak. Ketika Ki Buyut naik ke pendapa, maka dilihatnya dua sosok mayat terbujur membeku.

Ternyata Mahendra telah meminta Pangeran Indrasunu dan kedua Pangeran yang lain duduk pula di pendapa. Kehadiran Ki Buyut membuat para Pangeran itu berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena Witantra selalu duduk di dekat mereka.

“Silahkan duduk, Ki Buyut.” Mahendra kemudian mempersilahkan.

Ki Buyut pun kemudian duduk bersama kedua pengawalnya. Di sebelahnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun duduk pula. Setiap kali mereka memperhatikan sikap dan wajah ketiga Pangeran yang duduk di sebelah Witantra.

“Orang-orang gila,” geram Pangeran Indrasunu di dalam hatinya, “ternyata kebaikan hati orang ini hanyalah sekedar pura-pura. Mereka akan mempermainkan kami di depan orang banyak.”

Tetapi Pangeran Indrasunu sadar jika ia berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Mahendra dan Witantra, maka nasib mereka akan menjadi semakin buruk.

Demikian Ki Buyut duduk, maka ia pun segera bertanya, “Apakah dua orang mayat ini yang kau maksud dengan dua orang perampok itu?”

“Ya, Ki Buyut.” jawab Mahendra.

”Apa yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Buyut pula.

“Mereka akan merampok seisi rumah ini, Ki Buyut. Mula-mula mereka mempergunakan ilmu sirep, serangga hampir saja kami seisi rumah tertidur. Untung bahwa kami masih menyadari diri. Tetapi tetangga-tetangga kami tidak seorang pun yang mendengar keributan yang telah terjadi di rumah ini. Baru pagi ini mereka mendengar, bahwa kami telah didatangi oleh dua orang perampok.”

“Dan kalian berhasil membunuhnya?” bertanya Ki Buyut.

“Ya, Ki Buyut. Tetapi itu karena satu kebetulan. Kebetulan di rumah kami terdapat tiga orang tamu.” jawab Mahendra.

Wajah Pangeran Indrasunu dan kedua orang Pangeran yang lain menjadi tegang. Apalagi ketika Ki Buyut berpaling terhadap mereka dengan sorot mata yang memancarkan kecurigaan. Sementara itu ketiga orang Pangeran itu tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh Mahendra tentang diri mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Mereka pun tidak tahu, apa yang hendak dikatakan oleh ayahnya tentang ketiga Pangeran yang telah datang ke rumahnya bersama kedua orang yang terbunuh itu.

Ki Buyut memandang ketiga orang Pengeran itu berganti-ganti. Tetapi karena Mahendra belum menyebutnya, maka Ki Buyut masih belum mengerti, siapakah ketiganya itu. “Bagaimana dengan ketiga orang tamu ini?” bertanya Ki Buyut kemudian.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ketiga anak-anak muda ini adalah tiga orang Pangeran dari Kediri.”

“Oh,” Ki Buyut terkejut. Kemudian ia mengangguk dengan hormatnya sambil berkata, “Maaf Pangeran. Aku tidak tahu sebelumnya, sehingga barangkali sikapku agak kurang mapan dan deksura.”

Ketiga orang Pangeran itu termangu-mangu. Mereka justru menjadi bingung menanggapi sikap Ki Buyut itu.

Dalam pada itu Mahendra pun berkata selanjutnya, “Ki Buyut. Seandainya di rumah ini tidak ada tamu tiga orang Pangeran ini, mungkin sekali kami tidak akan dapat berbuat banyak terhadap para perampok. Aku memang serba sedikit dapat melawan mereka. Tetapi yang datang ke rumah ini adalah dua orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang tidak banyak dikenal orang. Karena itu hampir saja aku kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri bersama kedua anak-anakku. Namun ternyata ketiga orang Pangeran ini telah bersedia turun tangan. Karena itu maka kami sekeluarga telah berhasil diselamatkan.”

“Oh.” Ki Buyut mengangguk-angguk.

Sementara itu ketiga orang Pangeran itu terkejut bukan kepalang. Mereka tidak menyangka bahwa Mahendra akan bersikap demikian. Bahkan mereka pun hampir tidak percaya kepada pendengarannya. Bukan saja ketiga orang Pangeran itu, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut bukan buatan. Hampir saja mereka membantah pernyataan ayahnya. Namun ketika tatapan mata mereka membentur tatapan mata ayahnya, maka mereka pun kemudian menundukkan kepala mereka.

“Jadi, ketiga Pangeran ini yang telah menolongmu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya, Ki Buyut.” jawab Mahendra.

Ki Buyut masih saja mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih, Pangeran. Aku pun wajib mengucapkan terima kasih. Pangeran telah menyelamatkan satu keluarga di dalam lingkungan kabuyutan ini.”

Ketiga orang Pangeran itu menjadi semakin bingung. Wajah mereka menjadi merah padam. Namun justru karena itu, mereka sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang kemudian berkata,

“Yang penting kemudian Ki Buyut, Jika Ki Buyut sudah mengetahui persoalannya, maka kami akan minta ijin untuk menyelenggarakan mayat itu agar tidak terlalu lama berada di pendapa ini.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku sudah menyaksikannya dan aku sudah mengetahui persoalannya. Terserah kepadamu dan tetangga-tetanggamu. Mudah-mudahan peristiwa ini akan dapat menjadi peringatan bagi setiap kejahatan.”

Setelah melihat kedua sosok mayat itu, maka Ki Buyut pun kemudian turun ke halaman. Diserahkannya kedua sosok mayat itu kepada tetangga-tetangga Mahendra yang berada di halaman itu.

“Apakah kau mengetahui, siapakah kedua orang ini, Mahendra?” bertanya Ki Buyut, “Mungkin mereka menyebut tentang diri mereka, nama mereka atau sebutan mereka.”

Mahendra memandang Pangeran Indrasunu yang juga ikut turun ke halaman, seolah-olah minta agar ia menjawabnya. Pangeran itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Menurut pendengaranku, Ki Buyut, mereka menyebut nama mereka. Sepasang Serigala dari Padang Geneng.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia belum pernah mendengar nama itu, tetapi sebutan itu benar-benar telah menggetarkan jantungnya. Sehingga justru karena itu, maka ia merasa semakin berterima kasih kepada ketiga orang Pangeran yang kebetulan sedang bertemu di rumah Mahendra.

Namun yang bergejolak kemudian adalah jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Rasa keadilan mereka benar-benar telah tersinggung. Karena itu, hampir di luar sadar mereka telah berkisar meninggalkan orang banyak yang berkerumun di halaman. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba mereka ingin menemui Ken Padmi. Ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka menemukan Ken Padmi duduk di sudut amben sambil menangis. Hatinya benar-benar bagaikan tergores oleh tajamnya sembilu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tertegun melihat Ken Padmi menangis. Tetapi keduanya mengerti betapa sakitnya hati gadis itu.

Namun demikian, Mahisa Murti masih juga bertanya, “Kenapa kau menangis?”

Ken Padmi mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itu pun telah tertunduk lagi. Di antara isak tangisnya ia menjawab, “Aku mendengar jawaban paman Mahendra atas pertanyaan Ki Buyut tentang ketiga orang Pangeran itu.”

Mahisa menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda itu pun kemudian duduk pula di amben itu. Keduanya mengerti, betapa sakitnya hati Ken Padmi. Mereka berdua sudah merasa bahwa ayahnya telah berbuat tidak adil. Apa lagi Ken Padmi yang merasa langsung dihinakannya.

Dalam pada itu, di halaman, Ki Buyut pun kemudian telah minta diri. Para tetangga Mahendralah yang kemudian menyelenggarakan kedua sosok mayat itu sebagaimana diminta oleh Ki Buyut.

“Ki Mahendra adalah orang pilih tanding,” berkata salah seorang tetangganya, “namun agaknya kedua orang ini memiliki ilmu yang lebih tinggi. Untunglah bahwa di rumah ini sedang ada tiga orang tamu, sehingga mereka bersama-sama akhirnya dapat membunuh kedua orang yang nampaknya sangat ganas itu. Juga nampak bagaimana mereka membuat sebutan bagi diri mereka sendiri.”

Kawannya mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan tetangganya itu. Bahkan mereka telah membayangkan, betapa garangnya kedua orang yang terbunuh itu, karena menurut pengertian mereka, Mahendra adalah orang yang mempunyai kelebihan dari tetangga-tetangga mereka. Sebagai seorang pedagang yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kota ke kota yang lain, Mahendra harus membekali dirinya dengan ilmu yang cukup. Tetapi untuk melawan kedua orang itu, agaknya ia mengalami kesulitan tanpa ketiga orang tamu yang kebetulan berada di rumah itu.

Ketika kesibukan itu kemudian lampau, karena kedua sosok mayat itu sudah dibawa ke tempat pekuburan, maka Mahendra mulai mengamati keadaan anak-anaknya dan Ken Padmi. Ketika ia masuk ke ruang dalam, Ken Padmi telah tidak ada di ruang itu. Yang ada tinggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kenapa kau tidak ikut membawa kedua sosok mayat itu ke pekuburan?” bertanya Mahendra.

Mahisa Pukat memandang ayahnya sejenak. Kemudian katanya dengan suara datar, “Kami tidak mengerti sikap ayah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menduga. Di mana Ken Padmi sekarang?”

“Ia berada di dalam biliknya.” Jawab Mahisa Murti.

“Biarlah ia berada di dalam biliknya.” jawab Mahendra, “Mudah-mudahan Ken Padmi dan kalian berdua akhirnya dapat mengerti juga maksudku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menundukkan kepalanya saja. Ketika mereka mendengar langkah mendekat, baru mereka mengangkat wajah mereka. Ternyata Witantra telah berdiri di samping ayah mereka.

“Mereka kurang mengerti.” berkata Mahendra.

“Baiklah. Biarkan ketiga orang Pangeran itu masuk.” desis Witantra.

Mahendra menganggukkan kepalanya. Namun sebelum Witantra memanggil ketiga orang Pangeran itu, Mahisa Murti berkata, “Ayah, apakah aku diperkenankan meninggalkan ruang ini?”

”Kenapa?” bertanya Mahendra.

“Jika ketiga Pangeran itu berada di ruang ini pula, jantungku rasa-rasanya akan meledak.”

“Mungkin kami tidak akan dapat bertahan, ayah.” sambung Mahisa Pukat.

Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya, “Aku minta kalian tetap berada di sini. Kita sedang menguji hati ketiga orang Pangeran itu. Kita masih dapat mengambil sikap apapun juga sesuai dengan sikap mereka sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Terserahlah kepada ayah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Witantra, “Biarlah mereka kemari, kakang.”

Witantra pun memanggil ketiga orang Pangeran itu memasuki ruang dalam. Mereka dipersilahkan duduk di amben yang besar bersama Mahendra, Witantra dan kedua adik Mahisa Bungalan itu. Namun sejak memasuki ruangan ternyata, sikap ketiga orang Pangeran itu sudah berubah sama sekali.

Setelah ketiganya duduk, maka Mahendra pun kemudian bertanya, “Pangeran. Kami telah berusaha berbuat sebaik-baiknya. Kemudian terserah, apakah yang akan Pangeran lakukan.”

Pangeran Indrasunu mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Mahendra sejenak. Kemudian dipandanginya kedua anak muda yang menundukkan kepalanya. Mahisa Murti yang berusaha menahan gejolak hatinya setiap kali bergeser setapak. Sementara Mahisa Pukat meremas-remas jari-jarinya sendiri. Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka mendengar isak tertahan. Ketika mereka mengangkat wajah mereka, mereka seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya. Pangeran Indrasunu itu ternyata menangis.

“Paman,” terdengar suara yang bergetar, “paman telah berbuat sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali. Paman telah menghadapkan wajahku ke muka cermin. Dan paman telah memaksa kami bertiga untuk memandang ke wajah-wajah kami.”

“Maksud Pangeran?” bertanya Mahendra.

“Paman telah memaksa kami melihat, betapa kotor hati kami,” jawab Pangeran Indrasunu, “Karena itu, betapa penyesalan yang tidak terkatakan telah menyiksa perasaan kami.”

“Maksud Pangeran, bahwa Pangeran telah menyesali perbuatan Pangeran?” bertanya Witantra.

“Ternyata hati kami adalah hati batu,” jawab Pangeran Indrasunu, “baru sekarang aku melihat, betapa kakangmas Suwelatama berusaha menjaga nama kami. Kakangmas Suwelatama, tidak pernah melaporkan sikap kami kepada para penguasa di Kediri dan apalagi secara resmi kepada Maharaja di Singasari. Tetapi hati kami masih belum terbuka. Baru saat ini, setelah kami dibenturkan kepada kenyataan yang sangat pedih tergores di hati kami, maka kami harus menyesali sikap kami. Kami yang sudah menduga bahwa kami akan dihukum picis, ternyata sama sekali jauh dari kenyataan itu.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bahwa usaha Mahendra untuk membuat penyelesaian yang sebaik-baiknya sebagian telah dapat dicapainya, meskipun ia harus mengorbankan kepahitan kedua anak laki-lakinya dan calon menantunya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mulai mengerti arti dari sikap ayahnya. Sikap yang tidak diperhitungkannya sama sekali. Namun yang agaknya sikap itu mempunyai nilai yang lebih tinggi dari sikap yang keras dan kasar. Bahkan dengan membunuh mereka bertiga. Karena itu, maka hati mereka pun mulai mencair. Kemarahan, kegelisahan dan perasaan tidak adil yang meronta di dalam dadanya telah mulai melunak.

Mahendra sempat memandang wajah anak-anaknya. Ia melihat perubahan pada wajah-wajah itu. “Mudah-mudahan mereka dapat mengerti.” berkata Mahendra di dalam hatinya.

“Pangeran,” berkata Witantra kemudian, “aku mengucap sukur jika Pangeran benar-benar telah merasa bersalah. Dengan demikian Pangeran akan berjanji di dalam diri, bahwa Pangeran tidak akan melakukan kesalahan itu lagi untuk selanjutnya.”

Pangeran Indrasunu mengangguk. Sambil mengusap matanya yang basah ia berkata, “Aku menyesal sekali. Penyesalan ini akan menyiksa kami untuk waktu yang tidak terbatas. Mudah-mudahan aku selalu mendapat petunjuk dari Yang Maha Agung di dalam hati, sehingga aku tidak akan melakukan kesalahan lagi.”

“Kami akan selalu ikut berdoa, Pangeran.” jawab Witantra.

“Nah,” berkata Mahendra kemudian, “jika Pangeran benar-benar menyesali perbuatan Pangeran, sebaiknya Pangeran menyatakannya kepada orang-orang yang terkait dalam sikap dan perbuatan Pangeran. Mungkin kepada kami berdua yang tua-tua ini Pangeran tidak perlu menyatakan penyesalan dan minta maaf, karena kami sudah dapat mengerti perasaan Pangeran. Tetapi kepada anak-anak muda itu, cobalah Pangeran mengatakannya.”

Pangeran Indrasunu memandang Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang duduk berdampingan. Namun, ia telah memaksa hatinya untuk menahan segala gejolak dan perasaan. Ia benar-benar telah menyesal, sehingga ia pun tidak berkeberatan untuk menyatakannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berpaling kepada kedua orang saudaranya. Dengan nada berat ia berkata, “Marilah. Kita akan minta maaf kepada mereka.”

Pangeran Indrasunu dan kedua Pangeran itu pun beringsut setapak menghadap kepada kedua orang anak muda yang justru menunduk. Dengan nada dalam Pangeran Indrasunu berkata, “Kami harus menyesali segala tingkah laku kami. Bukan saja yang baru kami lakukan, tetapi serangkaian perbuatan kami yang sesat selama ini.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti masih saja menunduk. Sehingga dengan demikian, maka ayahnya pun telah menegurnya, “Kau dengar kata-kata Pangeran Indrasunu?”

Kedua anak muda itu berbareng mengangguk.

“Nah. Kau dapat menjawabnya.” desak ayahnya.

Mahisa Pukatlah yang kemudian beringsut sedikit. Katanya dengan sendat, “Baiklah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Mereka tidak berkeberatan, Pangeran. Tetapi masih ada seorang lagi yang tersangkut oleh tingkah laku Pangeran. Justru pada sikap Pangeran sekarang ini, telah menjadi sasaran Pangeran bertiga.”

Jantung ketiga orang Pangeran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sudah menduga, bahwa orang itu adalah seorang gadis yang bernama Ken Padmi.

Sebenarnyalah maka Mahendra berkata, “Pangeran. Jika sekarang ada di sini, Pangeran juga harus minta maaf kepada Mahisa Bungalan dan kepada pamannya, kakang Mahisa Agni. Tetapi mereka tidak ada sekarang ini. Sedang yang ada di sini hanyalah Ken Padmi. Karena itu, maka Pangeran pun harus minta maaf kepadanya.”

Pangeran Indrasunu dan kedua orang saudaranya menundukkan wajahnya. Keringat yang dingin telah membasahi kening dan punggung. Tetapi mereka tidak akan dapat ingkar.

Dalam pada itu, maka Mahendra pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, “Panggilah Ken Padmi kemari.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya keduanya pun bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekati bilik Ken Padmi yang tertutup. Tetapi pintu bilik itu ternyata tidak terselarak. Ketika Mahisa Murti mendorong pintu itu, maka pintu itu pun telah terbuka. Mahisa Murti tertegun ketika ia melihat Ken Padmi duduk di bibir pembaringannya. Dengan sehelai kain panjang gadis itu mengusap wajahnya yang basah. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti itu pun berkata, “Ayah memanggilmu.”

Ken Padmi memandang kedua anak muda yang berdiri di pintu itu. Kemudian desisnya lirih, “Aku sudah mendengar, apa yang kalian percakapkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk.

“Marilah.” berkata Ken Padmi kemudian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mempersilahkan Ken Padmi mendahului mereka. Namun nampaknya Ken Padmi itu sudah tidak ragu-ragu lagi melangkah ke amben di ruang dalam. Meskipun demikian, ketika ia sudah duduk, maka wajahnya pun masih juga tertunduk dalam-dalam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk pula di samping gadis itu. Tetapi mereka tidak lagi menundukkan wajah mereka.

Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesepian. Masing-masing seolah-olah hanya mendengar jantung mereka sendiri. Kegelisahan yang sangat telah menerpa perasaan Pangeran Indrasunu dengan kedua saudaranya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, mereka harus minta maaf kepada gadis itu. Gadis yang akan dijadikan korban dendam mereka kepada Mahisa Bungalan.

“Raden,” terdengar suara Mahendra menyayat kesepian itu, “aku persilahkan Raden minta maaf kepadanya. Karena sebenarnyalah kesalahan Raden terbesar adalah kepada gadis itu.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah, paman. Aku sudah siap untuk minta maaf dan mengakui segala kesalahan.”

“Lakukanlah.” sahut Mahendra.

Pangeran Indrasunu itu pun kemudian memandang wajah Ken Padmi yang tunduk. Sekilas ia masih melihat kecantikan gadis itu. Namun kemudian betapapun beratnya ia pun berkata, “Ken Padmi. Paman Mahendra telah membenturkan aku dan kedua saudaraku ini kepada satu kenyataan tentang diri kami masing-masing. Karena itulah, maka aku akan minta maaf kepadamu atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Kesalahan yang pada saat-saat aku menyadarinya kemudian, telah aku sesali sedalam-dalamnya.”

Ken Padmi mengangkat wajahnya. Hanya sekejap. Wajah itu pun kemudian menunduk lagi. Karena Ken Padmi tidak menjawab, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Kau harus menjawab, Ken Padmi. Apakah kau bersedia memaafkan atau tidak?”

Sejenak Mahendra menunggu. Namun kemudian gadis itu telah menganggukkan kepalanya.

“Terima kasih,” desis Pangeran Indrasunu, “sebenarnyalah bahwa kesalahan kami sudah terlalu besar. Jika kau memaafkannya, maka aku akan merasa, betapa kerdil jiwaku di hadapan jiwa-jiwa besar seisi rumah ini.”

Ken Padmi tidak menjawab. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang berkata, “Pangeran. Penyesalan yang paling berarti adalah apabila kesalahan itu tidak akan terulang lagi. Sebaiknya Pangeran berjanji kepada diri sendiri. Kemudian Pangeran masih harus menghubungi Pangeran Suwelatama dari Kabanaran. Pangeran harus memperbaiki hubungan Pangeran dengan Akuwu Kabanaran, karena Pangeran telah pernah melakukan satu perbuatan yang menyakiti hati orang-orang Kabanaran.”

Pangeran Indrasunu mengangguk. Katanya, “Aku tidak berkeberatan, paman. Aku akan pergi ke Kabanaran. Aku akan menemui kakangmas Suwelatama untuk mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah aku perbuat, langsung atau tidak langsung.”

“Itu adalah sikap kesatria.” desis Witantra, “Dengan demikian maka Pangeran bukan saja telah dibersihkan dari kesalahan, tetapi Pangeran akan kembali kepada sikap seorang kesatria.”

Ketiga orang Pangeran itu tidak menjawab. Untuk sesaat kembali ruang itu menjadi sepi. Baru kemudian Mahendra berkata, “Kami masih akan menjamu Pangeran sebelum Pangeran meninggalkan rumah ini.”

Tetapi rasa-rasanya ketiga orang Pangeran itu tidak betah lagi untuk tinggal di rumah itu. Meskipun kesalahan mereka sudah dimaafkan, tetapi rasa-rasanya masih saja jantungnya bergejolak apabila mereka melihat Ken Padmi. Namun demikian mereka tidak dapat memaksa karena Mahendra benar-benar menahannya. Tetapi setelah mereka benar-benar dijamu sekali lagi maka mereka pun segera minta diri meninggalkan rumah yang telah memaksa mereka untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri.

Ternyata bahwa penyerahan yang dikatakan oleh Pangeran Indrasunu bukannya sekedar untuk berlindung mencari keselamatan. Mereka ternyata benar-benar menyesali segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Karena itulah, maka di perjalanan kembali, Pangeran Indrasunu telah minta kedua orang Pangeran yang lain untuk singgah di Kabanaran.

“Kami tidak berkeberatan,” berkata salah seorang dari kedua Pangeran itu, “tetapi apakah tidak mungkin terjadi salah paham? Begitu kita memasuki Pakuwon Kabanaran, maka sepasukan pengawal Pakuwon itu siap menangkap kita.”

“Kita harus memberikan kesan, bahwa kita datang dengan maksud baik. Kita harus melepaskan segala senjata dan mungkin sikap yang dapat memancing pertentangan.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Tidak ada orang yang mempercayai kita lagi,” jawab Pangeran yang lain, “jika kakangmas Pangeran sependapat, kita akan kembali dahulu ke padepokan. Kita menyampaikan segala persoalan ini kepada guru. Biarlah guru memberikan petunjuk apakah yang sebaiknya kita lakukan. Jika guru tidak berkeberatan, biarlah guru menyampaikan maksud kita kepada kakangmas Akuwu Suwelatama.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ia pun sadar, bahwa sulit bagi mereka untuk mendapatkan kepercayaan. Apalagi di Pakuwon Kabanaran. Mungkin mereka justru mengira bahwa kedatangannya adalah karena kelicikan sifatnya, sehingga segala pernyataannya dianggap oleh orang-orang Kabanaran sebagai satu jebakan. Karena itu, maka Pangeran itu pun berkata, “Baiklah. Kita akan mohon petunjuk kepada mereka yang mempunyai wawasan yang lebih luas, tetapi dengan satu pengertian, bahwa kita sudah menyesali perbuatan kita.”

Demikianlah ketiga orang Pangeran itu pun telah dengan tergesa-gesa pergi ke padepokan tempat mereka berguru. Pangeran Indrasunu pun telah telah pergi bersama kedua orang saudaranya. Mereka akan datang kepada guru mereka masing-masing untuk melaporkan perkembangan yang telah terjadi di dalam jiwa mereka.

“Kita pergi bersama-sama,” berkata Pangeran Indrasunu, “kita datang kepada kedua orang guru kalian berganti-ganti. Kita akan bersama-sama mendengarkan pendapat mereka.”

Dalam pada itu, di rumah Mahendra, Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Ken Padmi duduk menghadap Witantra dan Mahendra. Ternyata pada saat terakhir, mereka dapat mengerti, apa yang dikehendaki oleh orang tua mereka. Dengan demikian maka mereka telah menundukkan kejahatan tanpa mengotori tangan mereka dengan kekerasan yang dapat merenggut jiwa ketiga orang Pangeran itu.

“Mereka masih muda,” berkata Mahendra, “mungkin hari depan mereka masih cukup cerah.”

Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Ken Padmi menundukkan wajah-wajah mereka.

“Karena itu, kita memberi kesempatan kepada mereka,” berkata Mahendra kemudian, “kecuali jika kesempatan yang kita berikan itu tidak mereka pergunakan sebaik-baiknya, itu adalah salah mereka sendiri.”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Witantra berkata, “Tetapi menilik sikap mereka, aku mempunyai keyakinan bahwa mereka benar-benar telah menyesali perbuatan mereka. Dengan tulus mereka menyatakan penyesalan dan pertaubatan. Memang mungkin sekali, mereka masih dapat dipengaruhi oleh orang lain sehingga mereka akan melakukan kesalahan yang sama. Tetapi mudah-mudahan mereka benar-benar telah menemukan kembali diri mereka yang hilang, sehingga tidak akan diombang-ambingkan lagi oleh sikap dan perbuatan yang salah.”

“Tetapi apakah mungkin mereka akan dapat mempertahankan penyesalan itu untuk waktu yang lama, ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Memang masih akan terjadi banyak kemungkinan,” jawab ayahnya, “tetapi aku berharap bahwa mereka tidak terperosok lagi ke dalam hubungan yang dapat mempengaruhi jiwa mereka. Jika mereka kemudian kembali ke lingkungan hidup mereka sebagai cantrik, maka mereka akan banyak tergantung kepada sikap guru mereka. Namun nampaknya justru karena mereka adalah Pangeran yang mempunyai segala-galanya dari segi lahiriah, maka justru guru mereka berada di bawah pengaruh para Pangeran muda itu. Guru mereka hanyalah orang-orang mumpuni yang diupah untuk menurunkan ilmu kanuragan. Tetapi sama sekali tidak dapat membekali mereka dengan pesan-pesan kejiwaan.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka justru mendapat kesempatan untuk menilai diri sendiri. Ketiga orang Pangeran itu juga anak-anak muda meskipun lebih tua dari mereka, namun tentu tidak terpaut banyak. Dengan demikian mereka masih merasa beruntung, bahwa mereka sejak semula dapat memilih jalan yang lebih baik dari ketiga orang Pangeran itu, sehingga mereka tidak perlu menyesali tingkah laku mereka dan mencari sandaran tatanan hidup yang baru.

Meskipun demikian, ketika kembali ke dalam biliknya, Ken Padmi sempat mengurai keadaannya sendiri. Tiba-tiba saja ia merasa demikian sepinya. Ia berada di rumah orang lain, bukan rumahnya sendiri, justru karena hubungannya dengan Mahisa Bungalan. Sementara itu Mahisa Bungalan sendiri tidak berada di rumah. Terpercik kerinduannya kepada padepokannya yang sepi. Kepada orang tuanya dan kepada lingkungannya. Rasa-rasanya ada satu keinginan untuk melihat semuanya itu. Tetapi ia tidak akan pergi meninggalkan rumah itu sebelum Mahisa Bungalan kembali.

Karena itu, maka kemudian Ken Padmi pun telah terbenam ke dalam perasaannya. Ia mengharap dengan sungguh-sungguh, agar Mahisa Bungalan segera kembali. Bahkan dalam gejolak pengharapannya itu terselip kekhawatiran, bahwa mungkin Mahisa Bungalan telah mengalami sesuatu. Ia tahu bahwa Mahisa Bungalan berada di satu tempat justru karena tempat itu mengalami pergolakan...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 30

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 30
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

DALAM pada itu, selagi pasukan Watu Mas mulai memasuki hutan perbatasan, asap pun telah mengepul membakar perkemahan yang berisi perbekalan dan perlengkapan yang tidak dapat disingkirkan oleh orang-orang Watu Mas. Lebih baik segalanya itu musna daripada jatuh ke tangan orang-orang Kabanaran. Namun agaknya orang-orang Watu Mas masih beruntung. Demikian mereka memasuki hutan perbatasan dalam gerak mundur, maka langit pun menjadi muram. Matahari yang rendah pun segera menyusup ke balik pegunungan.

Malam itu ditandai dengan cahaya api yang berkobar membakar perkemahan orang-orang Watu Mas. Akuwu Suwelatama yang melihat bahwa Watu Mas telah menghancurkan sendiri perbekalannya, mempunyai perhitungan bahwa pasukan Watu Mas itu akan terus bergerak mundur kembali ke Pakuwonnya.

Sementara malam turun dan gelap bagaikan tabir hitam di pelupuk mata, maka Akuwu pun segera memerintahkan membunyikan isyarat agar pasukan Kabanaran segera berkumpul di pinggir hutan. Akuwu tidak menghendaki pasukannya mengejar terus memasuki hutan di malam hari, karena hal itu tidak akan menguntungkan.

Dengan demikian, maka pasukan Kabanaran telah berkumpul di pinggir hutan perbatasan. Dengan cemas mereka menyaksikan perkemahan orang-orang Watu Mas yang terbakar. Jika api itu kemudian menjilat bibir hutan, maka kebakaran akan timbul lebih mencemaskan lagi dari kebakaran perkemahan itu, atau bahkan kebakaran di padukuhan sekalipun. Karena kebakaran hutan akan dapat menjadi bencana yang besar karena api akan sulit dipadamkan.

Karena itu, maka agaknya Akuwu pun melihat bahaya yang demikian, sehingga ia pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk memadamkan api dengan alat yang ada. Dengan pasir, dengan air yang harus dicari pada sungai-sungai kecil yang terdapat di hutan itu sendiri.

Mereka mengatasi kesulitan membawa air dari sungai-sungai kecil itu dengan tapas atau kayu yang dapat mereka buat dengan tergesa-gesa. Meskipun kurang memadai, tetapi karena jumlah para pengawal cukup banyak, maka akhirnya usaha mereka pun perlahan-lahan dapat berhasil. Sebagian dari para pengawal itu telah menebang pepohonan hutan yang akan mudah dijilat oleh api sementara yang lain berusaha memadamkan api itu sendiri.

Perjuangan melawan api itu pun cukup melelahkan. Sementara itu beberapa orang yang berkewajiban telah berusaha merawat orang-orang yang terluka dan menjadi korban di dalam peperangan itu. Malam itu, pasukan Kabanaran menarik diri ke padukuhan induk pertahanan dalam keadaan yang sangat letih.

Setelah bertempur dengan segenap kemampuan, mereka harus berjuang melawan api dan merawat mereka yang terluka. Bukan hanya orang-orang Kabanaran, tetapi juga orang-orang Watu Mas, karena pasukan Watu Mas sendiri telah mengundurkan diri dari arena. Yang lain masih harus menyelenggarakan kawan-kawan mereka dan juga lawan-lawan mereka yang terbunuh di peperangan.

Namun demikian, orang-orang Kabanaran dapat merasakan kebanggaan, bahwa mereka dapat menyelesaikan peperangan dengan mengusir orang-orang Watu Mas dari daerah mereka. Bahkan tidak mustahil, bahwa apabila pasukan Watu Mas mendapat kemenangan dalam pertempuran itu, mereka akan merambat menuju ke kota Pakuwon dan bahkan mungkin sekali Watu Mas benar-benar akan menguasai Kabanaran. Baru kemudian dengan dalil apapun juga Watu Mas dapat saja memberikan laporan ke Kediri dengan memutar-balikkan kenyataan.

Malam itu Akuwu masih memanggil para senopatinya untuk membicarakan perkembangan terakhir dari peperangan yang nampaknya telah hampir selesai seluruhnya itu. Meskipun demikian, Akuwu masih ingin memperingatkan, bahwa mereka masih harus bersiaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih akan dapat terjadi. Di antara para senopati itu terdapat Mahisa Bungalan. Secara khusus Akuwu telah menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Mahisa Bungalan dan berharap untuk beberapa lama masih tetap berada di Kabanaran.

Dalam pada itu, pasukan Watu Mas benar-benar telah terusir dari medan. Meskipun pasukan Kabanaran tidak mengejar pasukan Watu Mas karena malam telah turun, namun pasukan Watu Mas sendiri tidak akan mungkin lagi untuk kembali ke medan seperti keadaannya waktu itu. Dalam gerak mundur, Akuwu masih tetap berhasil mengikat pasukan Watu Mas. Karena itu, ia masih dapat memanggil pula para senopatinya, demikian mereka sempat beristirahat di tengah-tengah hutan perbatasan.

“Kita menarik diri untuk sementara.” berkata Akuwu.

Pangeran Indrasunu menarik nafas. Rasa-rasanya ia pun sudah jemu dengan peperangan itu. Tiba-tiba saja telah timbul rencananya yang lain, didorong oleh dendamnya kepada Mahisa Bungalan.

“Aku akan mengambil gadis itu,” katanya berulang kali di dalam hatinya, “bersama kedua orang guru saudara-saudaraku itu, aku tentu akan berhasil. Di rumah Mahisa Bungalan tidak ada orang yang cukup kuat untuk melindungi gadis itu, justru karena Mahisa Bungalan ada di sini. Tentu kedua orang pamannya itu berada di sini pula. Seandainya ayah Mahisa Bungalan ada di rumah, maka ia tentu akan mampu melawan dua orang pemimpin padepokan yang mumpuni itu. Sementara aku dan kedua orang Pangeran itu akan mengambil Ken Padmi dan membawanya pergi kemana pun juga.”

Pangeran Indrasunu itu tersenyum sendiri. Selanjutnya Pangeran Indrasunu itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang telah terjadi. Ia tidak menghiraukan lagi rencana-rencana Akuwu yang secara kasar diuraikan kepada pada Senopatinya, bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, maka ia akan menebus kekalahan itu.

Namun demikian, ketika mereka kemudian memasuki Pakuwon Watu Mas dalam keadaan yang parah, Pangeran Indrasunu telah memaksa dirinya untuk mengatur orang-orang yang dibawanya. Sebenarnya bahwa orang-orang yang dibawa oleh Pangeran Indrasunu dari dua padepokan yang besar dan berpengaruh itu, memiliki kemampuan yang lebih baik dari para pengawal dari Watu Mas. Apalagi para pengawal yang dibentuk menghadapi keadaan yang gawat di saat-saat terakhir.

Ternyata bahwa korban yang jatuh di antara orang-orang yang diperbantukan oleh Pangeran Indrasunu itu terhitung sedikit dibanding dengan korban yang jatuh dari antara pasukan pengawal Watu Mas sendiri.

Kehadiran pasukan pengawal Watu Mas di antara rakyatnya di hari berikutnya telah disambut dengan wajah-wajah muram. Di beberapa wajah nampak air mata yang mengalir, karena anak laki-laki yang dicintainya, suami yang melindungi hidupnya atau ayah yang mengasihinya telah direnggut oleh peperangan. Apalagi pasukan Watu Mas tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa mereka telah terpukul mundur, sehingga mereka kembali ke Pakuwon dengan membawa kepahitan yang tidak terlupakan.

Sementara itu, pasukan Kabanaran masih berada di padukuhan induk pertahanan mereka. Mereka masih harus membenahi akibat peperangan yang parah bagi kedua belah pihak. Namun demikian beberapa bagian dari pasukan itu sudah dipersiapkan untuk ditarik kembali ke daerah tugas mereka yang lama. Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih minta Mahisa Bungalan untuk beristirahat barang beberapa saat di Pakuwon Kabanaran. Akibat peperangan itu masih harus diatasi.

“Mungkin sepekan, mungkin dua,” berkata Akuwu, “tetapi sebenarnya semakin lama semakin baik bagi kami.”

Mahisa Bungalan tidak dapat menolak. Ia pun merasa sangat letih, sehingga memerlukan waktu beberapa lama untuk beristirahat sebelum ia kembali ke Singasari. Berbeda dengan Mahisa Bungalan, Pangeran Indrasunu ternyata dengan tergesa-gesa minta diri untuk meninggalkan Watu Mas.

“Aku harus mempertanggung-jawabkan orang-orang yang datang bersamaku,” berkata Pangeran Indrasunu, “aku akan membawa mereka segera kembali ke padepokan mereka masing-masing.”

“Sebaiknya Pangeran beristirahat lebih dahulu.” Akuwu di Watu Mas berusaha untuk mencegahnya.

Tetapi Pangeran Indrasunu menggeleng. Ia sudah mempunyai rencana sendiri. Dan ia mempunyai cukup kekayaan untuk memancing kedua pemimpin padepokan, guru dari kedua orang Pangeran yang telah bekerja bersamanya mengusir Pangeran Suwelatama dari kota Pakuwon. Justru pada saat pasukan Kabanaran sebagian berada di daerah Kedung Sertu, hutan perbatasan dan daerah-daerah rawan yang lain.

“Aku dapat menjanjikan kepada mereka, sebidang tanah yang luas untuk memperluas padepokan mereka.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. ”Tidak perlu pasukan segelar sepapan. Dua orang guru dari kedua orang saudaraku, bersama kedua orang saudaraku itu sendiri. Tidak akan ada pertempuran yang besar dan kalut seperti yang baru saja terjadi. Tetapi sekedar permainan pendek untuk membunuh orang-orang yang mencoba menghalangi niatku.”

Pangeran Indrasunu yakin bahwa dua orang Pangeran itu akan bersedia membantunya. Tetapi seorang yang lain, yang telah kehilangan gurunya, masih belum dapat diharapkan, karena hatinya seakan-akan telah patah.

“Jika kedua pemimpin padepokan itu menolak, aku akan menghubungi Sepasang Serigala yang berada di padang perdu Geneng.” berkata Pangeran Indrasunu. “Meskipun orang lain menyebut namanya saja ketakutan, namun ia akan berpikir ulang untuk menolak tawaranku.”

Demikianlah, meskipun pasukannya baru beristirahat sehari di Pakuwon Watu Mas, namun Pangeran Indrasunu telah minta diri kepada Akuwu setelah ia tahu pasti, siapa saja di antara pasukannya yang menjadi korban. Sementara yang terluka parah dan tidak mungkin melakukan perjalanan, telah dititipkan di Pakuwon Watu Mas.

Tidak seorang pun yang mengetahui rencana Pangeran itu yang sebenarnya. Namun alasannya memang dapat di mengerti, bahwa ia harus mempertanggung-jawabkan pasukannya kepada para pemimpin padepokannya. Kegagalan itu telah membuat para pemimpin di kedua padepokan yang telah menyerahkan sekelompok orang-orangnya menjadi kecewa. Beberapa di antara mereka telah menjadi korban, sementara Pangeran Indrasunu tidak berhasil melepaskan dendamnya meskipun ia telah bertempur bersama pasukan Watu Mas.

“Kita dahulu dapat memilih waktu yang paling tepat,” berkata Pangeran Indrasunu, ”meskipun hal itu hanya terjadi secara kebetulan dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.”

“Ya,” sahut salah seorang dari kedua Pangeran yang telah bergabung dengan Pangeran Indrasunu, “tetapi agaknya Akuwu Watu Mas kurang menghitung keadaan dengan cermat.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Namun pada satu kesempatan ia berkata kepada kedua Pangeran itu, ”Aku mempunyai rencana khusus.”

“Apa?” bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.

“Mengambil Ken Padmi. Gadis yang membuat dendamku menyala sampai sekarang.” jawab Pangeran Indrasunu.

Kedua Pangeran itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu salah seorang dari mereka bertanya, “Kau akan memperisterikannya?”

“Jangan bodoh,” jawab Pangeran Indrasunu, “aku sama sekali tidak tertarik lagi kepada perempuan itu. Tetapi yang penting bagiku kemudian adalah menyakiti hati Mahisa Bungalan.”

“Jadi apa yang akan kau kerjakan?” bertanya Pangeran yang lain.

“Sudah aku katakan, mengambil perempuan itu dan membawanya pergi. Menghinakannya sebagaimana Mahisa Bungalan akan merasa terhina.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Kita bertiga?” bertanya Pangeran itu.

Pangeran Indrasunu menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Aku akan mohon kedua guru kalian masing-masing untuk menyertaiku. Aku akan dapat menyediakan sebidang tanah untuk memperluas padepokan mereka masing-masing.”

Tetapi kedua Pangeran itu agaknya tidak sependapat. Salah seorang berkata, “Guru sedang dibakar oleh kekecewaan. Bantuan yang diberikan kepada Akuwu di Watu Mas lewat kakangmas Indrasunu ternyata sama sekali tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan.”

“Aku tetap akan menyerahkan sebidang tanah.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Hanya sebidang tanah. Tetapi jika rencana Akuwu di Watu Mas itu berhasil, maka yang akan diperoleh oleh guru adalah sebuah tanah Perdikan betapapun sempitnya.” berkata Pangeran itu.

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat memberikan sebagaimana yang dikehendaki. Ia dapat membeli tanah yang luas dan memberikannya kepada orang-orang yang dikehendaki. Namun untuk memberikan kedudukan sebagai Tanah Perdikan, ia memang tidak berhak. Akuwu di Watu Mas akan dapat melakukannya atas kuasa yang diterimanya, meskipun yang berhak mengukuhkannya adalah Raja sendiri.

Karena itu, maka Pangeran Indrasunu itu pun berkata, “Tetapi bagaimana dengan kalian berdua?”

“Jika guru kami tidak dapat ikut bersama kami, apakah yang dapat kami lakukan? Bukankah gadis itu akan mendapat perlindungan dari orang-orang berilmu tinggi?” bertanya salah seorang Pangeran itu.

“Kita dapat berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi yang barangkali setingkat dengan guru kalian, meskipun dari daerah kehidupan yang berbeda.” Jawab Pangeran Indrasunu.

“Siapa?” bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.

“Bagaimana dengan Wangkot dan Mendu yang terkenal dengan sebutan Sepasang Serigala dari padang perdu Geneng itu?” desis Pangeran Indrasunu.

Kedua Pangeran itu termangu-mangu. Salah seorang berkata, “Kedua orang itu sangat berbahaya.”

“Tetapi apakah keduanya berani berbuat sesuatu atas kita masing-masing? Mereka tentu mengetahui, siapakah kita masing-masing.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Tetapi mereka pun tentu akan bertanya, kenapa kita minta tenaga mereka. Kenapa bukan guru. Bukankah mereka mengetahui bahwa guru memiliki ilmu yang tidak kalah dahsyatnya dengan ilmu mereka?” bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.

“Guru sedang sibuk. Atau ambil saja alasan lain. Katakan bahwa guru telah mengenal dengan keluarga gadis itu, atau alasan apapun juga.” jawab Pangeran Indrasunu, “Kemudian aku akan menyediakan upah yang menyenangkan mereka. Bahkan mungkin tidak perlu sebanyak jika aku harus menyediakan sebidang tanah bagi padepokan kalian masing-masing.”

Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang di antara mereka bertanya, “Tetapi apakah yang akan aku dapatkan dengan perbuatan ini? Kau akan mendapatkan gadis itu dan kau akan mendapat kepuasan untuk melepaskan dendam. Tetapi kami berdua?”

“Aku tidak memerlukan gadis itu lagi,” jawab Pangeran Indrasunu, “sudah aku katakan berulang kali. Ambillah jika kalian menghendaki. Gadis itu memang cantik sekali. Aku hanya ingin melihat betapa Mahisa Bungalan menjadi sakit hati dan kepahitan di sepanjang hidupnya. Dan sudah barang tentu, aku akan bersedia membantu kalian pada kesempatan lain jika kalian memerlukannya. Selebihnya, kalian akan dapat mengambil sebagian dari hakku. Aku memang bersedia membayar mahal sekali untuk kepuasan dendamku ini.”

Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang kemudian berkata, “Terserahlah kepadamu. Tetapi jika Wangkot dan Mendu bersedia, maka pekerjaan kita memang sudah menjadi ringan. Keduanya adalah orang yang jarang ada bandingnya di seluruh tlatah Singasari. Ternyata bahwa mereka masih belum juga dapat ditangkap meskipun keduanya sudah lama dianggap sebagai orang yang tidak dikehendaki.”

“Sebenarnya mereka bukannya orang yang tidak terlawan. Aku yakin guru kalian akan dapat melawannya. Para Senapati di Kediri atau Singasari akan dapat mengalahkan mereka meskipun satu dua saja di antara mereka. Namun memburu keduanya di padang yang luas memerlukan waktu, kesempatan dan juga tenaga.” Pangeran Indrasunu berhenti sejenak, lalu “Tetapi untuk mengambil gadis itu, kedua sudah cukup memadai. Karena di samping keduanya kita bertiga akan pergi juga bersama mereka.”

Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi aku akan minta ijin guru sepengetahuan Sepasang Serigala itu, agar serigala itu tidak akan berbuat jahat justru kepada kita di perjalanan.”

Pangeran Indrasunu ternyata sependapat. Dengan demikian akan nampak ada kekuatan yang berdiri di belakang para Pangeran muda itu. Hanya karena kekuatan itu tidak dapat dipergunakan untuk maksud yang khusus itu, mereka meminjam kekuatan lain. Sehingga dengan demikian, maka Sepasang Serigala itu tidak akan dapat berbuat jahat kepada para Pangeran, sebab itu berarti mereka akan berhadapan dengan guru-guru para Pangeran itu.

Demikianlah, maka Pangeran Indrasunu pun telah mengatur agar rencana itu dapat dilaksanakan secepatnya. Yang menurut perhitungannya, Mahisa Bungalan dan mungkin paman-pamannya masih berada di Pakuwon Kabanaran.

“Mahisa Bungalan akan ikut menikmati kemenangan itu.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah mencari hubungan dengan orang yang disebut Sepasang Serigala itu.

Dalam pada itu, sebenarnya Ken Padmi masih berada di rumah Mahisa Bungalan yang sedang berada di Pakuwon Kabanaran. Yang tinggal bersamanya di rumah itu, selain Mahendra dan kedua anaknya, hanyalah para pelayan dan para pembantunya saja. Sehingga dengan demikian, hari-hari Ken Padmi di rumah itu diisinya dengan kegiatan yang sangat khusus untuk mengisi waktunya yang terluang, dan untuk menghalau kesepiannya karena Mahisa Bungalan tidak ada di rumah.

Mahendra yang melihat, bahwa pada gadis itu telah tertanam bekal kemampuan, telah berusaha membantunya untuk mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya. Karena itulah, maka seakan-akan segenap waktunya yang panjang telah dipergunakan untuk berada di dalam sanggar.

Jika Ken Padmi sudah selesai membantu para pembantu di dapur, maka ia pun langsung berada di dalam sanggar. Mahendra pada saat-saat tidak sedang pergi mengurusi dagangannya, telah berusaha meningkatkan kemampuan gadis itu. Dengan mempelajari bekal ilmu pada gadis itu, maka Mahendra yang memiliki ilmu yang mumpuni itu, dapat mengatur dan menyesuaikan tuntutan yang diberikan berdasarkan atas bekal yang sudah ada pada gadis itu.

Ken Padmi ternyata memang seorang gadis yang memiliki kelebihan dari kebanyakan gadis yang lain. Dengan sungguh-sungguh ia mengikuti segala petunjuk dan tuntutan Mahendra. Seolah-olah ia tidak pernah mengenal lelah jika ia berada di dalam sanggar. Setelah beberapa lama Ken Padmi berusaha menyesuaikan dirinya, maka akhirnya Mahendra mengambil satu keputusan untuk memberikan kesempatan latihan bersama antara Ken Padmi dengan kedua anak-anaknya yang lain.

Bersama-sama mereka meningkat dengan cepat. Kedua adik Mahisa Bungalan itu pun semakin dewasa menjadi semakin menyadari, betapa pentingnya mereka memperdalam ilmu. Sebagaimana pengalaman mereka, dan apa yang mereka lihat pada ayah, kakaknya dan orang-orang di sekitarnya, bahwa pada suatu saat, mereka memerlukan perlindungan dari tindak kejahatan.

“Ilmu bukannya alat untuk memaksakan kehendak,” berkata Mahendra setiap kali, “kelebihan seseorang atas orang lain bukannya berarti bahwa ia dapat bertindak sewenang-wenang. Tetapi justru sebaliknya. Dengan ilmu, maka orang dapat menunjukkan pengabdiannya kepada orang lain. Karena sebenarnyalah ilmu adalah satu karunia dari Yang Maha Agung yang harus dipergunakan untuk memancarkan kasihNya kepada sesama. Dengan pengabdian, perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang lemah, yang diperlakukan tidak adil dan yang mengalami kesulitan, maka ilmu kanuragan tidak nampak sebagai satu perbuatan kekerasan, tetapi mempunyai makna yang sebaiknya.”

Dengan bekal itulah, sebagaimana yang selalu di katakan oleh Mahendra kepada Mahisa Bungalan, kedua adik Mahisa Bungalan itu mempunyai dasar ilmu yang berbeda, namun yang telah berhasil menyesuaikan dirinya karena tuntutan Mahendra.

Bersama-sama, ketiganya meningkat setapak demi setapak. Tetapi kesungguhan mereka, telah mempercepat peningkatan dan pengembangan ilmu itu. Ken Padmi berkembang sesuai dengan perkembangan wadag dan jiwanya. Sebagai seorang gadis, maka ia mempunyai beberapa perbedaan wadag dari seorang laki-laki. Bahkan juga mempunyai dasar yang berbeda dalam pertimbangan nalar dan perasaan.

Namun demikian, sesuai dengan pribadinya, maka Ken Padmi menekuni bagian yang tidak kalah nilainya dari bagian yang diperdalam oleh kedua adik Mahisa Bungalan. Ken Padmi lebih mementingkan kecepatan gerak dan ketrampilan tangan. Langkahnya tidak terlalu panjang, tetapi kecepatannya sulit untuk diikuti, sehingga seolah-olah kakinya tidak berjejak di atas tanah.

Sementara itu, kedua adik Mahisa Bungalan meningkatkan kemampuan dan kekuatan wadagnya semakin mantap. Bukan berarti bahwa keduanya, perkembangan kekuatan wadagnya lebih nampak dari peningkatan kecepatan gerak. Meskipun demikian, baik kedua adik Mahisa Bungalan, maupun Ken Padmi, telah meningkat pula pada bagian-bagian yang lain, kecuali bagian yang lebih diutamakannya.

Semakin lama Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya, maka semakin tekun Ken Padmi berada di dalam sanggar. Tidak ada yang menarik baginya, kecuali meningkatkan dan mengembangkan oleh kanuragan. Meskipun Ken Padmi tidak tahu, apakah ia masih akan mempunyai kesempatan untuk mengabdikan ilmu itu kepada sesamanya.

Dengan latihan-latihan yang keras, tidak mengenal lelah dan kemauan yang bulat, maka ketiga orang anak muda itu pun telah berhasil mencapai satu tingkatan yang tinggi. Ketiganya ternyata telah berhasil menguasai tataran-tataran tertinggi dari ilmu yang diturunkan oleh Mahendra kepada mereka. Dengan dasar itulah, maka mereka akan dapat mengembangkannya sehingga mereka akan menjadi orang-orang yang pilih tanding.

Dalam pada itu, nampaknya Ken Padmi, seorang gadis yang berasal dari padepokan itu, memiliki daya serap yang luar biasa. Ia sudah menempa dirinya di padepokan menghadapi sayembara tanding yang diadakannya. Dengan bekal ilmunya itulah, maka ia telah memanjat kepada tataran tertinggi dari ilmu yang diterima dari Mahendra. Bahkan ia pun telah menerima anugerah dari Mahendra, bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, untuk menguasai ilmu puncaknya.

“Kalian akan mempergunakannya sebagai landasan pengabdian,” berkata Mahendra, “karena itu tidak ada alasan bagiku untuk ragu-ragu.”

Sebenarnyalah bahwa dengan alasan yang kuat, ketiganya mampu menguasai ilmu puncak dari perguruan yang dianut Mahendra itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan karena mereka bertiga sempat menempa diri bersama-sama, maka mereka telah berhasil mengembangkan ilmu mereka lebih cepat daripada jika mereka bekerja sendiri-sendiri, yang sudah barang tentu di bawah pengawasan langsung dari Mahendra sendiri.

Mahendra telah mengorbankan waktunya di saat-saat terakhir bagi kepentingan ketiga orang anak-anak muda itu. Pada bulan terakhir, ia sama sekali tidak meninggalkan rumahnya. Justru pada saat-saat ia ingin menurunkan ilmu puncaknya. Namun setelah saat-saat itu lewat, Mahisa Bungalan masih juga belum segera pulang.

Yang datang kemudian adalah Witantra seorang diri. Dengan singkat ia menceritakan apa yang mereka lakukan di Pakuwon Kabanaran. Mengapa Mahisa Bungalan masih harus tinggal.

“Aku dan Mahisa Agni telah mendahului,” berkata Witantra, “untuk beberapa lama kami berada di Singasari. Namun pasukan yang lain pun telah kembali mendahului Mahisa Bungalan yang masih harus tinggal di Kabanaran. Bahkan pasukan itu telah mendahului kami berdua sehingga mereka tidak sempat menyaksikan apa yang pernah kami saksikan tentang ular-ular yang mengerikan itu.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Bergumam ia berkata seolah-olah kepada diri sendiri, “Jadi Mahisa Bungalan tinggal seorang diri.”

“Ya. Tetapi ia berada di antara para pengawal Kabanaran.” jawab Witantra, “Sementara itu, Mahisa Agni masih menyelesaikan beberapa persoalannya di Singasari, maka aku telah memerlukan datang kemari untuk memberitahukan kepadamu tentang Mahisa Bungalan. Agar kau tidak terlalu lama menunggu tanpa kabar berita.”

Mahendra mengangguk-angguk. Hampir berbisik ia berkata, “Ken Padmi sudah mengharapkannya pulang. Ia datang kemari karena ia mengikuti Mahisa Bungalan. Tetapi setelah gadis itu berada di sini, Mahisa Bungalan telah pergi untuk waktu yang seakan-akan tidak terbatas.”

“Tetapi itu lebih baik,” berkata Witantra, “sepanjang Mahisa Bungalan tidak mau mengalami kesulitan di perjalanan, maka lebih baik ia tidak terlalu sering berada di rumah selama Ken Padmi berada di rumahmu.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tetapi ia mempergunakan waktunya untuk menempa diri. Sungguh di luar dugaan. Gadis padepokan itu mampu menyamai kedua adik Mahisa Bungalan.”

“Gadis itu juga sudah berbekal ilmu,” berkata Witantra, “di padepokan ia pernah menempa diri untuk menghadapi sayembara tanding. Ilmu dasarnya sudah meningkat dengan pesat. Di sini, ia mengisi kekosongannya dengan ilmu. Agaknya kepergian Mahisa Bungalan memang sudah terlalu lama.”

Mahendra mengangguk-angguk. Sementara itu Witantra pun berkata, “Sebaliknya kau tempa anak itu agar menjadi lebih baik bersama anak-anakmu. Kau tidak akan menyesal. Pada dasarnya Ken Padmi adalah seorang gadis padepokan yang baik. Apalagi dalam keprihatinan seperti sekarang ini.”

“Kau dapat membantuku. Biarlah kita mengisi waktu sambil menunggu Mahisa Bungalan.” berkata Mahendra.

Sebenarnyalah kepergian Mahisa Bungalan terasa terlalu lama. Apalagi bagi Ken Padmi. Namun dengan demikian, maka kesepian keprihatinan dan tekadnya yang besar, telah mendorongnya untuk menjadi seorang gadis yang luar biasa.

Bersama Mahendra, maka Witantra yang untuk beberapa lama tinggal di rumah Mahendra, telah membantu membentuk Ken Padmi. Dengan dasar ilmu yang sama, maka Witantra dan Mahendra bersama-sama telah mengisi kekosongan yang terasa menyesak di dalam dada Ken Padmi pada saat-saat senggang. Justru karena itu, maka Ken Padmi selalu tenggelam di dalam kesibukan apapun juga, terutama kesibukan di dalam sanggar, meskipun ia tidak melupakan tugasnya sebagai seorang gadis.

Pada saat-saat yang demikian itulah, Pangeran Indrasunu yang mendendam Mahisa Bungalan sampai ke ujung rambut, telah merencanakan untuk mengambil Ken Padmi bersama dengan dua orang Pangeran dan Sepasang Serigala dari padang Geneng. Dengan tergesa-gesa Pangeran Indrasunu mempersiapkan rencananya. Menurut perhitungannya Mahisa Bungalan dan kedua pamannya tentu masih berada di Kabanaran.

“Seandainya mereka telah kembali, maka mereka tentu akan berada di Singasari untuk beberapa hari sebelum Mahisa Bungalan pulang ke rumahnya.” berkata Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu, setelah hari-hari yang sangat panjang, sejak Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya menuju ke Kabanaran untuk membantu Pakuwon itu memecahkan masalahnya, kemudian disambung dengan persoalan-persoalan yang timbul kemudian, Mahisa Bungalan mulai memikirkan untuk kembali. Meskipun demikian ia masih harus memenuhi permintaan Akuwu Suwelatama, agar ia bersedia untuk tinggal beberapa lamanya. Mahisa Bungalan memang tidak dapat menolak. Apalagi karena ia masih mendengar laporan-laporan bahwa pasukan Watu Mas masih saja dipersiapkan.

“Tetapi di dalam peperangan aku tidak bertemu langsung dengan Pangeran Indrasunu.” berkata Mahisa Bungalan kepada Akuwu Suwelatama.

“Memang sulit untuk dapat bertemu dengan seseorang sesuai dengan keinginan kita dalam perang gelar yang luas,” sahut Pangeran Suwelatama, “namun menurut beberapa keterangan yang aku dengar, adimas Indrasunu telah meninggalkan Watu Mas. Ia harus mempertanggung-jawabkan pasukan yang dibawanya kepada para pemimpin padepokan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya aku ingin dapat menemuinya. Dendam itu berkembang dan tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga sasarannya telah bergeser. Karena itu, bagiku Pangeran Indrasunu adalah orang yang berbahaya. Ia tidak mengekang diri dan membatasi persoalan yang sebenarnya dihadapinya.”

“Aku mengerti,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi mudah-mudahan ia dapat belajar dari pengalamannya.”

“Mudah-mudahan, Akuwu. Tetapi baginya pengalamannya itu sudah terlalu banyak. Namun nampaknya ia selalu berusaha untuk mempergunakan segala kesempatan yang ada. Sakit hatinya telah membuatnya menjadi seorang yang tidak terkendali. Kadang-kadang yang dilakukannya telah terlepas dari tujuan tertentu, selain membuat keonaran.” sahut Mahisa Bungalan.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Untuk sementara ia tidak mencampuri persoalan di antara Watu Mas dan Kabanaran. Meskipun itu bukan berarti bahwa Akuwu di Watu Mas akan menghentikan segala kegiatannya. Ia tentu tidak mau menerima kenyataan yang pahit itu begitu saja.”

“Ia akan mempertimbangkan,” berkata Mahisa Bungalan, “ia telah melihat, korban yang jatuh. Seandainya ia berhasil memang dan kemudian menduduki kota Pakuwon Kabanaran, tentu ia pun akan melihat, bahwa perang tidak akan berakhir sampai sekian. Dan ia pun akan menilai kembali keputusan yang akan diambilnya jika ia sempat memperhitungkan, apakah yang sebenarnya diinginkannya.”

Akuwu Suwelatama mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan ia menyadari, bahwa yang dilakukannya semata-mata terdorong oleh satu keinginan yang tidak menentu ujung pangkalnya. Harga diri, ketidakpastian dan masa depan yang kurang cerah. Dan mudah-mudahan Akuwu di Watu Mas menemukan jalan pemecahannya yang lain kecuali dengan tetangga.”

“Tetapi agaknya desakan dan ceritera-ceritera khayal Pangeran Indrasunu ikut menentukan sikap itu.” sahut Mahisa Bungalan.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia pun telah menduga, bahwa peranan Pangeran Indrasunu tentu ikut pula berbicara pada persoalan itu.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan tidak menyadari, bahwa Pangeran Indrasunu telah bekerja cepat. Ia telah menghubungi Serigala dari Geneng. Dan bahkan, Pangeran Indrasunu itu telah membuat rencana tertentu untuk mengambil Ken Padmi dari rumahnya.

Sepasang Serigala itu ternyata telah menerima tawaran Pangeran Indrasunu dengan baik. Meskipun demikian, dua orang pemimpin padepokan yang berpengaruh, telah memberikan beberapa pesan kepadanya, agar kedua orang itu menjalankan kesanggupannya sebaik-baiknya.

“Ingat, kedua Pangeran itu adalah murid-muridku,” berkata para pemimpin padepokan itu “jika kau mengingkari dan apalagi mengkhianati, maka kalian akan berhadapan dengan seluruh isi dari padepokan ini.”

“Aku akan melakukannya dengan baik, asal semua kesanggupan Pangeran Indrasunu dipenuhi.” jawab salah seorang dari sepasang serigala itu.

“Aku tidak pernah ingkar,” berkata Pangeran Indrasunu, “tetapi jika kalian ternyata tidak mampu memenuhi kesanggupan kalian, maka kalian tidak akan menerima sekeping uang pun, apalagi sebidang tanah atau hadiah-hadiah yang lain.”

“Kami berdua adalah orang-orang yang tidak mendapat tempat di antara sesama,” berkata Mendu, “karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan ragu-ragu berbuat apa saja terhadap siapa saja. Apalagi sekedar mengambil seorang gadis.”

“Jangan merendahkan kemampuan orang yang belum kau kenal,” berkata Pangeran Indrasunu, “aku pernah menjajagi kemampuan orang-orang di sekitar gadis itu.”

Kedua orang padang Geneng itu tertawa. Salah seorang berkata, “Kami telah mendapatkan puncak dari ilmu kami di padang Geneng setelah kami mesu diri bertahun-tahun.”

“Mudah-mudahan yang kau katakan itu benar,” desis Pangeran Indrasunu, “karena itu, kita akan segera berangkat. Aku sudah mendapat keterangan terakhir, bahwa seseorang masih melihat Mahisa Bungalan berada di Kabanaran.”

“Siapa Mahisa Bungalan itu?” bertanya Mendu.

”Ia adalah calon suami gadis yang akan kita ambil.” jawab Pangeran Indrasunu.

Sepasang Serigala itu memandang Pangeran Indrasunu dengan tatapan mata yang tajam. Seolah-olah mereka ingin mengatakan, bahwa seandainya Mahisa Bungalan itu pun ada di rumahnya, maka keduanya tidak akan gentar menghadapinya.

Dalam pada itu, maka rencana itu pun telah siap untuk dilaksanakan. Sepasang Serigala itu akan bersama-sama dengan tiga orang Pangeran pergi ke rumah Mahendra untuk mengambil Ken Padmi dengan paksa. Mereka dapat berbuat apa saja atas gadis itu untuk menyakiti hati Mahisa Bungalan dan akan membuatnya hidupnya kering di sepanjang umurnya.

Setelah segalanya masak diperhitungkan, maka mereka berlima pun telah berangkat menuju ke sebuah padukuhan di luar kota Singasari. Perjalanan mereka memang panjang. Tetapi didorong oleh dendam yang menyala, maka perjalanan itu rasa-rasanya adalah perjalanan yang menggairahkan.

Dalam pada itu, kedua Pangeran yang mengikuti Pangeran Indrasunu itu selain terdorong oleh keterangan Pangeran Indrasunu dan keinginan mereka untuk bertualang, mereka pun sebenarnya telah terbujuk oleh pernyataan Pangeran Indrasunu, bahwa gadis yang bernama Ken Padmi itu adalah gadis yang cantik sekali.

“Kalian dapat memperlakukan apa saja.” berkata Pangeran Indrasunu.

Kedua Pangeran yang pergi bersamanya itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari keduanya menjawab, “Yang penting bagi kami adalah mendapatkan pengalaman dalam petualangan yang menarik seperti ini. Meskipun kali ini guru yang sedang merenungi keresahannya karena kekalahan Watu Mas itu tidak dapat menyertai kita, tetapi kedua orang itu nampaknya cukup meyakinkan, meskipun keduanya masih nampak liar dan kasar.”

“Cara mereka menyadap ilmu pun berbeda. Tetapi ternyata bahwa mereka pun memiliki ilmu yang mengagumkan. Bahkan guru kalian pun mengakui, bahwa sebenarnya kedua orang itu mempunyai ilmu yang tinggi, tetapi dari jenis ilmu yang kasar. Meskipun demikian namun mereka akan dapat menyelesaikan persoalannya.” jawab Pangeran Indrasunu, “Apalagi jika paman-paman Mahisa Bungalan itu tidak ada di rumah.”

Kedua Pangeran yang menyertainya itu mengangguk-angguk. Mereka yakin bahwa rencana mereka akan dapat berhasil dengan baik, karena mereka yakin akan kemampuan kedua orang yang menyertai mereka, dan justru karena Mahisa Bungalan masih nampak berada di Kabanaran.

Ketiga orang Pangeran itu pun kemudian telah bersepakat, bahwa mereka akan datang pada malam hari. Mereka akan menghancurkan siapa saja yang mencoba menghalangi mereka, dan mereka akan membawa Ken Padmi ke tempat yang tidak akan diketahui oleh Mahisa Bungalan.

“Setelah tiga atau empat bulan perempuan itu akan kita lemparkan kembali ke padukuhan itu.” berkata Pangeran Indrasunu. “Biarlah ia menjadi sumber malapetaka dalam keluarga Mahisa Bungalan.”

Ketiga orang Pangeran itu tertawa. Sementara itu, Sepasang Serigala yang berkuda di belakang, mengerutkan kening. Salah seorang berkata, “Anak-anak muda yang gila. Guru-guru mereka pun juga gila. Apa sebenarnya keuntungan mereka dengan sikapnya ini. Apakah upah yang mereka janjikan itu sepasang dengan gadis yang mereka kehendaki?”

“Bukan gadis itu,” jawab kawannya, “tetapi dendamnya yang membara. Itulah gilanya Pangeran Indrasunu.”

Yang lain tertawa. Katanya, “Apapun yang dikehendaki. Tetapi upah yang dijanjikan memang menarik.”

Demikianlah mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan tujuan. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa. Mereka dapat beristirahat ketika matahari terik. Mereka pun dapat bermalam di perjalanan, karena mereka baru akan memasuki padukuhan pada malam berikutnya.

“Sebenarnya kita tidak usah membuang waktu sehari,” berkata Wangkot, “jika kita berjalan terus, maka lewat tengah malam kita akan sampai ke tujuan.”

“Terlalu tergesa-gesa,” jawab Pangeran Indrasunu, “mungkin kita akan melihat suasana. Kau berdua akan dapat berjalan-jalan di padukuhan itu di siang hari, karena belum ada orang yang mengenal kalian. Baru pada malam hari kita memasuki halaman rumahnya.”

Sepasang Serigala itu tidak membantah. Mereka dapat berbuat kapan saja, karena bagi keduanya tidak ada orang yang ditakutinya.

Seperti yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu, maka mereka telah bermalam di perjalanan. Pada pagi hari mereka akan mendekat. Namun mereka akan melihat keadaan lebih dahulu. Kedua orang dari padang Geneng, dan kedua Pangeran itu masih belum dikenal oleh orang-orang padukuhan itu, atau oleh keluarga Mahendra. Kecuali jika Mahisa Bungalan sudah berada di rumah. Namun agaknya yang paling baik, adalah Wangkot dan Mendu sajalah yang akan mengamati keadaan, setelah mereka diberi beberapa petunjuk tentang tempat tinggal Mahendra, anak-anaknya dan Ken Padmi.

Demikianlah maka setelah mereka mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat di hari berikutnya, di sebuah hutan yang tidak terlalu jauh, maka Wangkot Dan Mendu telah berusaha mendekati padukuhan tempat tinggal Mahendra. Mereka meninggalkan kuda mereka di hutan kecil ditunggui oleh ketiga orang Pangeran itu.

Namun sebenarnyalah Wangkot dan Mendu melakukannya dengan segan, karena bagi mereka, hal itu tidak banyak gunanya. Sebagaimana dikatakannya, Sepasang Serigala itu tidak takut menghadapi siapa pun juga. Siapa pun yang berada di rumah itu, keduanya akan sanggup membinasakannya. Tetapi keduanya telah berusaha juga untuk mengamati rumah yang ditunjukkan oleh Pangeran Indrasunu.

“Sepi.” berkata Wangkot

“Aku sudah siap.” jawab Mendu, “Seandainya rumah itu tidak sepi pun tidak ada kesulitannya. Pangeran Indrasunu terlalu berhati-hati.”

“Biar sajalah.” jawab Wangkot, “Kita penuhi saja keinginannya. Ia sudah bersedia membayar mahal bagi dendamnya.”

Mendu tertawa. Katanya, “Kenapa kedua orang pemimpin padepokan itu tidak melakukannya sendiri? Mereka pun orang yang memiliki kemampuan cukup.”

“Pemimpin-pemimpin padepokan adalah orang-orang malas. Mereka memiliki ilmu, dan mereka hidup dari ilmunya itu. Namun mereka tidak mau berjuang menentang buasnya dunia olah kanuragan. Mereka sekedar menjual ilmunya kepada cantrik-cantrik kecil. Dengan sedikit tenaga dan tanpa kemungkinan yang berbahaya mereka dapat hidup dengan padepokan-padepokannya.” desis Wangkot, “Namun orang yang demikian tidak akan dapat melihat betapa dahsyatnya benturan ilmu di dunia petualangan ini. Mereka tidak pernah mengalami kegembiraan dan kepuasan sejati karena ilmunya itu.”

“Persetan,” sahut Mendu, “orang-orang malas itu akan mati dalam kemalasannya. Tetapi bagi kita, dunia petualangan adalah dunia yang memberikan kesenangan dan kepuasan.”

Wangkot tidak menjawab. Mereka sudah melintas di depan rumah yang ditunjukkan. Namun sebelum mereka keluar dari ujung lorong itu, mereka di depan melangkah kembali. Sekali lagi mereka melewati lorong di depan rumah Mahendra. Lorong itu sepi, seperti juga halaman rumah itu sepi. Namun ketika mereka melihat seorang gadis cantik melintas di halaman, maka keduanya berhenti sejenak.

“Agaknya gadis itulah yang disebut Ken Padmi,” berkata Wangkot, “seorang gadis yang memang sangat cantik. Itulah agaknya maka Pangeran Indrasunu menjadi gila.”

“Tetapi kini yang berkembang adalah dendamnya.” sahut Mendu, “Ia sudah berusaha untuk melupakan gadis itu. Yang akan dilakukannya itu adalah sekedar menyakiti hati bakal suami gadis itu.”

“Omong kosong,” geram Wangkot, “jika gadis itu sudah dibawanya, maka ia akan berubah pikiran. Mungkin justru akan timbul perselisihan di antara ketiga orang Pangeran itu karena gadis yang cantik sekali itu.”

“Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. He, bukankah tugas kita melindungi ketiga orang Pangeran yang akan menculik gadis itu? Apapun yang akan terjadi dengan gadis itu, bukan persoalan kita. Persoalan kita, jika pekerjaan ini selesai, maka kita akan mendapatkan upah kita.”

Demikianlah maka kedua orang itu pun kemudian kembali ke hutan kecil tempat ketiga orang Pangeran itu menunggu. Dengan singkat mereka melaporkan, apa yang telah mereka lihat pada rumah yang dimaksud.

“Aku sudah melihat gadis itu.” berkata Wangkot.

“Di mana?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Di halaman rumah itu. Aku melihat seorang gadis melintasi halaman. Cantik sekali. Berkulit halus seperti sutera yang dibeli dari pada pendatang.”

“Gila,” geram Pangeran Indrasunu, “gadis itu gadis padepokan. Kulitnya tentu tidak sehalus yang kau katakan. Ia bekerja keras sebagaimana gadis-gadis padepokan yang lain. Bahkan dipanggang di teriknya matahari dan di embun yang dingin di malam hari.”

“Agaknya justru karena itu,” jawab Mendu, “tetapi entahlah. Mungkin di rumah itu ada gadis yang lain kecuali yang dimaksud oleh Pangeran Indrasunu.”

Pangeran Indrasunu tiba-tiba menggeram. Katanya, “Mahisa Bungalan memang gila. Karena itu, gadis itu harus dibawa.” Selebihnya Pangeran Indrasunu bertanya, apakah melihat tanda-tanda yang dapat menyulitkan rencananya.

“Rumah itu sepi,” jawab Mendu, “tidak ada orang. Pintu pringgitan di belakang pendapa nampak tertutup. Gandok pun rasa-rasanya tertutup pula.”

“Tetapi siapa tahu, di belakang pintu tertutup itu terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.”

“Persetan!” geram Wangkot, “Pangeran harus percaya kepada kami di sini. Jika tidak, maka tidak ada gunanya kami berada di sini.”

“Bukan tidak percaya,” jawab Pangeran Indrasunu, “tetapi aku hanya ingin berhati-hati.”

Karena ingin berhati-hati itulah agaknya, ketika senja turun, Pangeran Indrasunu minta agar Wangkot dan Mendu sekali lagi melihat-lihat sasaran yang akan mereka datangi.

“Tidak perlu,” jawab Wangkot, “aku bertanggung jawab.”

“Jangan sombong menghadapi orang-orang Singasari.” desis Pangeran Indrasunu.

“Aku lebih berhati-hati menghadapi orang-orang Kediri daripada orang-orang Singasari.” jawab Mendu.

Pangeran Indrasunu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan berangkat, meskipun aku masih ingin mengamati rumah itu sebelum bertindak.”

Demikianlah, setelah makan bekal yang mereka bawa, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mahendra. Sesaat mereka memeriksa senjata masing-masing, seolah-olah mereka sedang bersetuju dengan senjata-senjata itu untuk melakukan satu tugas yang sangat penting.

Ketika gelap turun, maka mereka berlima pun telah meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju ke padukuhan tempat tinggal Mahendra. Dengan hati-hati mereka memasuki lorong padukuhan itu. Mereka telah memilih jalan sempit yang tidak diawasi oleh anak-anak muda yang mungkin berada di gardu di lorong induk padukuhan itu.

Sebagaimana biasa, maka demikian malam menjadi kelam, pintu-pintu rumah pun tertutup rapat. Meskipun di gardu-gardu anak-anak muda duduk bergurau di antara mereka, tetapi pada umumnya padukuhan memang terasa sepi. Sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu, maka mereka pun mendekati halaman rumah Mahendra. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Wangkot, halaman rumah itu memang sepi. Apalagi di malam hari.

“Kita akan mendengarkan, apakah ada kesan-kesan tertentu di rumah itu.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Silahkan.” berkata Mendu.

Pangeran Indrasunu dengan hati-hati memasuki regol halaman yang ternyata tidak diselarak. Dengan penuh kewaspadaan ia menelusuri bayangan pepohonan mendekati seketheng. Dengan berjingkat ia memasuki seketheng sebelah kiri. Ternyata bahwa longkangan di belakang seketheng itu nampak gelap dan sepi. Bahkan Pangeran Indrasunu tidak mendengar suara seseorang.

“Memang sepi.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.

Namun ia melangkah ke serambi. Sejenak ia menunggu. Namun kemudian ia bergeser sejengkal maju ketika ia mendengar suara seseorang. Agaknya kedua adik Mahisa Bungalan sedang bercakap-cakap. Mereka baru saja selesai makan malam di ruang dalam. Ternyata pula kemudian terdengar suara mangkuk beradu. Terasa jantung Pangeran Indrasunu berdebaran ketika ia mendengar suara seorang Perempuan.

“Gadis itu.” desis Pangeran Indrasunu. Tetapi Pangeran Indrasunu tidak terlalu jelas apa yang dibicarakannya.

Salah seorang adik Mahisa Bungalan berkata, “Kita tidak ke sanggar malam ini.”

“Sama sekali tidak?” terdengar suar perempuan itu.

”Tidak,” jawab suara laki-laki yang agaknya adalah adik Mahisa Bungalan, “hari ini kita sudah cukup berlatih.”

Tidak terdengar jawaban. Namun terasa jantung Pangeran Indrasunu berdebar-debar. ”Agaknya mereka selalu berlatih dengan tertib dan teratur.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Meskipun ada juga terasa kecemasan di dalam dadanya, tetapi ia berkata lebih lanjut di dalam hatinya, “Tetapi mereka tidak akan banyak memberikan perlawanan yang berarti. Apabila yang ada hanya anak-anak itu.”

Tetapi Pangeran Indrasunu datang dengan dua orang yang memiliki ilmu raksasa. Yang sulit dicari bandingnya. Pangeran Indrasunu masih beberapa saat berada di serambi. Tetapi ia tidak mendengar lagi percakapan. Bahkan kemudian ia mendengar salah seorang di antara mereka yang berada di dalam berdesis,

“Malam terasa sangat sepi. Aku tiba-tiba saja merasa mengantuk.”

Yang lain tertawa pendek. Tetapi tidak terdengar jawaban. Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu pun segera bergeser dari tempatnya. Tetapi ia pun merasa aneh. Udara malam itu terasa lain dengan malam-malam sebelumnya. Dan yang kemudian kurang di mengertinya pula, bahwa Pangeran itu pun merasa mengantuk. Dengan hati-hati Pangeran Indrasunu meninggalkan serambi itu. Demikian ia melalui seketheng, maka terasa seakan-akan sulit baginya untuk melawan perasaan kantuknya.

Justru karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa mendapatkan kawan-kawannya. Sepasang Serigala dan padang Geneng dan kedua Pangeran itu, yang bersembunyi di sudut halaman di bawah pohon perdu. “Terasa ada kelainan malam ini.” desis Pangeran Indrasunu.

Wangkot dan Mendu tertawa pendek. Dengan berbisik Wangkot berkata, “Aku telah menyebarkan sirep di halaman rumah ini. Kedua Pangeran ini pun telah menjadi mengantuk. Tetapi aku mohon mereka mengerahkan daya tahan mereka gar sirep ini tidak mempengaruhinya. Jika Pangeran bertiga tidur, maka aku tidak akan dapat berbuat banyak, karena kami berdua akan sibuk mengurusi Pangeran berdua saja.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk di sebelah kedua Pangeran yang lain untuk memusatkan daya tahannya melawan sirep yang mencengkam halaman rumah itu. Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu memiliki kekuatan yang cukup. Bahkan melampaui kedua orang Pangeran yang lain. Namun akhirnya mereka bertiga berhasil juga membebaskan dirinya dari pengaruh sirep itu, justru karena mereka sadar bahwa sirep itu ada.

“Tanpa mengetahui bahwa di di halaman ini tersebar pengaruh sirep, maka aku kira, aku sudah tertidur nyenyak.” berkata salah seorang dari ketiga orang Pangeran itu.

“Ya,” desis Pangeran Indrasunu, “aku pun tadi mendengar salah seorang yang berada di ruang dalam, di sebelah serambi, berdesis bahwa ia menjadi sangat mengantuk. Mereka malam ini tidak akan pergi ke sanggar. Agaknya di malam-malam yang lain mereka selalu berada di dalam sanggar.”

Wangkot tertawa pendek. Katanya perlahan-lahan, “Kita akan menunggu beberapa saat. Aku berharap bahwa seisi rumah akan tertidur nyenyak. Dengan demikian kita akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan mudah sekali. Kita akan membunuh orang-orang yang sedang tidur. Kemudian membawa gadis yang sedang tidur pula keluar dari rumah dan halaman ini.”

Wangkot dan Mendu tertawa tertahan. Mereka merasa bahwa usaha mereka pasti akan berhasil dengan mudah. Karena itu, maka Mendu pun berkata, “Nah, bukankah apa yang kami katakan bukan sekedar bualan yang tidak berarti. Kami sama sekali tidak cemas, siapa pun lawan kami.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Kelima orang itu pun kemudian duduk menunggu di tempat mereka bersembunyi. Mereka yakin bahwa sejenak kemudian, seisi rumah itu tentu akan tertidur nyenyak, sehingga dengan demikian mereka tidak perlu terlalu banyak melepaskan tenaga. Mereka akan dengan mudah membinasakan lawan-lawan mereka.

Namun dalam pada itu, yang terjadi di dalam rumah itu berbeda dengan yang diharapkan oleh kelima orang itu. Di ruang dalam, Mahendra duduk berdua dengan Witantra sambil berbincang tentang banyak hal setelah mereka makan malam. Ketika Mahisa Murti melintasi di ruang itu dan mengatakan bahwa ia akan pergi ke biliknya, kedua orang itu tidak banyak menghiraukannya. Mereka masih saja bercakap-cakap perlahan-lahan. Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar sebuah mangkuk yang terjatuh dan pecah berserakan.

Mahendra yang kemudian berdiri sambil berdesis, “Ken Padmi pasti kurang berhati-hati. Ia adalah seorang gadis yang cepat, sebagaimana ia bergerak di sanggar. Tetapi kadang-kadang ia kurang memperhitungkan barang-barang yang dipeganginya. Tangannya kadang-kadang menyentuh mangkuk yang sedang dicucinya.”

Witantra tersenyum. Katanya, “Mungkin ia tergesa-gesa. Biasanya ia selalu pergi ke sanggar.”

Mahendra pun kemudian melangkah ke ruang belakang. Namun ia menjadi sangat terkejut ketika ia melihat Ken Padmi duduk di amben bambu. Wajahnya pucat dan nampak keringat dingin membasahi keningnya. “Kau kenapa?” bertanya Mahendra.

“Entahlah paman,” desis Ken Padmi, “tubuhku tiba-tiba terasa lemah sekali. Mataku seolah-olah telah melekat oleh perasaan ngantuk. Aku telah kehilangan pengamatan tanganku ketika aku sedang mengemasi mangkuk-mangkuk itu.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Ia pun merasakan udara yang agak lain dari biasanya. Malam terasa sangat sepi. Sehingga karena itu, maka katanya, “Marilah. Kita akan membicarakan keadaan udara di malam ini. Tinggalkan saja mangkuk-mangkuk itu. Agaknya memang ada yang harus kita bicarakan.”

Ken Padmi pun kemudian mengikuti Mahendra masuk ke ruang dalam. Ketika ia duduk di sebelah Witantra, maka terasa ngantuk itu bagaikan tidak dapat dihindarinya.

“Apakah kau merasakan sesuatu yang tidak wajar?” bertanya Mahendra kepada Witantra.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baru saja aku akan bertanya kepadamu. Ternyata bahwa perasaan kita sama. Aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang kurang wajar malam ini.”

Mahendra memandang Ken Padmi yang berkeringat. Agaknya ia berusaha untuk melawan ngantuknya, tetapi dengan cara yang kurang mapan. Karena itu, maka Mahendra pun kemudian berbisik, “Ken Padmi. Dengarlah. Sadari dirimu, bahwa kau telah terkena pengaruh sirep. Kau mendengar?”

Ken Padmi mengangguk.

“Karena itu, cobalah bertahan. Kau tidak dapat dengan cara sewajarnya melawan ngantuk sebagaimana kau lakukan pada saat-saat lain yang terjadi karena kau memang sedang mengantuk. Untuk melawan ilmu seperti sekarang ini, kau harus memusatkan daya tahanmu berdasarkan ilmu.”

Ken Padmi ternyata merasa seolah-olah telah terbangun dari cengkaman ngantuknya. Dengan serta merta, ia pun kemudian duduk dengan tegak sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Dengan landasan daya tahan berdasarkan ilmunya ia berusaha melawan ilmu sirep yang mencengkam rumah itu.

Sementara itu, maka Mahendra pun telah mencari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti terdapat telah tertidur di dalam biliknya. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia telah terkena pengaruh sirep, sehingga ia sama sekali tidak berusaha untuk melawannya. Dengan hati-hati Mahendra membangunkannya. Disentuhnya tubuh anaknya sambil berdesis di telinganya, “Bangunlah. Kau dalam ancaman bahaya.”

Beberapa kali Mahendra mengulangi kata-katanya Baru beberapa saat kemudian Mahisa Murti terbangun. Sambil menggeliat ia berkisar. Namun matanya telah terpejam kembali. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian di pijitnya ibu jari kaki Mahisa Murti sambil diguncangnya perlahan-lahan.

Akhirnya Mahisa Murti berhasil dibangunkannya. Dengan kemampuan ilmunya Mahendra berbisik sekali lagi di telinga anak laki-lakinya. Namun Mahisa Murti terkejut karenanya. Suara Mahendra yang perlahan-lahan, namun dilambari ilmunya yang mapan, terdengar bagaikan guruh di telinga Mahendra Murti.

“Bangunlah. Kau terancam bahaya.” berkata Mahendra.

Mahisa Murti berusaha untuk menguasai kesadarannya sepenuhnya. Dengan gagap ia bertanya lirih, “Ada apa, ayah.”

“Marilah. Duduklah di ruang tengah.” ajak Mahendra.

Mahisa Murti pun kemudian mengikuti ayahnya duduk di ruang tengah. Kemudian ia pun mendapat penjelasan tentang keadaan malam itu, sehingga ia pun segera berusaha untuk menghindarkan diri dari ilmu sirep itu seperti yang dilakukan olah Ken Padmi.

Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian mencari pula Mahisa Pukat yang tertidur di amben bambu di ruang sebelah. Seperti yang dilakukannya atas Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun kemudian telah terbangun pula.

Sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah duduk di ruang tengah. Masing-masing telah berusaha untuk melawan ilmu sirep yang mencengkam rumah itu. Semakin lama ilmu itu terasa semakin mencengkam. Namun kelima orang itu pun telah berhasil membentengi diri mereka dengan ilmu pula.

Dalam pada itu, Mahendra pun kemudian berkata, “Anak-anak, sirep ini telah memberitahukan kepada kita, bahwa tentu ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi. Jika tidak ada persoalan apapun juga yang akan terjadi malam ini, tentu tidak akan ada orang yang melepaskan ilmu sirep. Ilmu yang dapat dipergunakan dengan tujuan yang kurang baik dan dengan sikap yang licik. Karena itu, kita harus berhati-hati.”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk. Sementara Witantra berkata perlahan-lahan, “Kita akan menunggu. Biarlah orang yang bermaksud buruk itu mengira bahwa kita sudah tertidur nyenyak.”

Sekali lagi anak-anak muda itu mengangguk. Tetapi mereka pun mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan. Karena itu, dengan hati-hati anak-anak itu mempersiapkan diri. Bukan saja membenahi pakaiannya, tetapi mereka telah mengambil senjata masing-masing.

Sebagaimana dikatakan oleh Mahendra dan Witantra, bukan mustahil bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Karena mereka pun sependapat, bahwa tidak akan ada seseorang yang melepaskan ilmu sirep jika mereka tidak mempunyai niat yang tidak sewajarnya. Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya, kelima orang itu pun duduk dengan diam. Namun sebenarnyalah bahwa mereka telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Dalam pada itu, lima orang pula duduk di dalam gelapnya malam di halaman. Mereka pun sedang menunggu perkembangan ilmu sirep mereka. Baru kemudian Wangkot berkata, “Kita akan melihat, apakah usaha kita berhasil.”

“Ya,” jawab Mendu, “kita mengelilingi rumah ini.”

Demikianlah, Wangkot dan Pangeran Indrasunu telah mengelilingi rumah itu dengan putaran ke kanan, sementara Mendu dan kedua orang Pangeran yang lain memutari rumah itu dengan arah ke kiri. Dengan hati-hati mereka melangkah hampir menyusuri dinding. Bahkan kadang-kadang mereka naik ke serambi untuk mendengarkan, apa masih ada orang yang terbangun di dalam rumah itu.

Ternyata bahwa rumah itu benar-benar telah sepi. Di ruang belakang mereka mendengar dengkur yang keras. Agaknya salah seorang pembantu rumah Mahendra itu sedang tidur mendekur. Di bagian lain, pembantu yang lain pun telah tertidur nyenyak pula. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang yang berada di luar rumah itu menganggap bahwa tidak seorang pun lagi yang dapat lolos dari pengaruh sirepnya. Di ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang bahkan di sebelah menyebelah longkangan tidak lagi terdengar suara seseorang. Meskipun demikian, kelima orang yang sudah mengelilingi rumah itu pun masih juga menunggu untuk meyakinkan diri, bahwa semua orang sudah tertidur.

Mahisa Murti hampir tidak sabar menunggu dengan duduk berdiam diri untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi ketika ia beringsut, ayahnya memandanginya sambil menggeleng, sehingga akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk bangkit. Namun akhirnya mereka saling berpandangan ketika mereka mendengar desir langkah beberapa orang di seputar rumah itu. Dengan demikian, maka mereka pun menjadi semakin yakin, bahwa memang akan terjadi sesuatu di rumah itu.

Setelah menunggu sejenak dengan kejemuan yang hampir tidak tertahankan, akhirnya Mahisa Murti pun yakin, bahwa yang paling baik dilakukan adalah duduk sambil berdiam diri. Mereka pun kemudian mendengar beberapa orang naik ke pendapa.

“Sudah waktunya,” berkata Wangkot, “kita pecahkan pintu. Tetapi berhati-hatilah, agar suaranya tidak membangunkan orang-orang tua di rumah ini. Setidak-tidaknya Mahendra akan dapat dengan cepat menguasai diri.”

“Jika ia berada di rumah.” sahut Pangeran Indrasunu.

Wangkot mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan membuka pintu ini.”

Sejenak kemudian ia mulai menjajagi kekuatan selarak pintu pringgitan itu. Baru kemudian, ia mulai mengerahkan kekuatannya. Meskipun ia berbuat dengan hati-hati. Didorongnya pintu kayu itu tanpa menghentakkannya, agar suara yang timbul kemudian tidak terlalu keras dan dapat membangunkan orang-orang yang sedang tertidur nyenyak. Terdengar selarak pintu itu patah. Kemudian kayu yang patah itu pun terjatuh di lantai.

Derak kayu yang terjatuh itu tidak terlalu keras. Tetapi kelima orang yang berada di pendapa itu tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Mereka menunggu sesaat. Jika masih ada orang yang terbangun, maka orang itu tentu akan berbuat sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir saja meloncat berdiri. Tetapi sekali lagi Mahendra menggelengkan kepalanya, sehingga dengan sorot mata kurang mengerti keduanya tetap duduk di tempatnya. Tetapi mereka pun kemudian menyadari maksud ayahnya. Mereka akan menunggu sampai orang-orang itu datang ke ruang dalam dan melihat bahwa mereka masih tetap duduk.

Setelah menunggu sesaat, maka akhirnya Wangkot diikuti oleh Mendu dan ketiga orang Pangeran itu, memasuki ruang depan. Dengan hati-hati mereka memperhatikan suasana yang terasa sangat sepi, sehingga dengan demikian mereka pun menjadi semakin yakin, bahwa semuanya memang sudah tertidur. Wangkot dan Mendu pun kemudian yakin bahwa tugas mereka ternyata tidak seberat yang mereka bayangkan sebelumnya.

Karena itu maka Wangkot pun kemudian berkata kepada Pangeran Indrasunu, “Pangeran. Pekerjaan ini sangat menyenangkan. Hadiah yang Pangeran janjikan akan dapat aku terima tanpa menitikkan keringat sama sekali. Kita akan memasuki setiap ruangan. Membunuh penghuni rumah ini, kemudian membawa gadis itu pergi. Bukankah satu pekerjaan yang sangat mudah?”

“Ya,” jawab Pangeran Indrasunu, “tetapi yang mudah itu pun belum kita lakukan.”

Wangkot tertawa. Yang menyahut kemudian adalah Mendu, “Marilah. Kita akan menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat.”

Orang-orang itu pun kemudian memperhatikan keadaan. Mereka melihat pintu di tengah-tengah ruangan. Namun di sebelah menyebelah, masih ada dua pintu lagi yang menuju ke ruangan dalam di belakang senthong tengah, dengan serambi di sebelah menyebelah pula.

“Kita lihat di ruang sebelah.” berkata Wangkot yang melihat bahwa senthong tengah itu ternyata kosong, karena pintunya yang terbuka. Yang terdapat di dalam senthong itu hanyalah perhiasan pembaringan saja.

Lewat pintu samping mereka memasuki sebuah ruang lain. Ruang dalam yang diantarai oleh ruang belakang dan sebuah longkangan kecil berhadapan dengan sebuah bilik lain. Dapur. Namun demikian mereka melangkahi tlundak pintu ruang dalam, kelima orang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata mereka di atas sehelai tikar pandan yang putih bergaris-garis biru.

“Marilah, Ki Sanak.” terdengar suara Mahendra dalam nada yang berat.

Wangkot dan Mendu yang berdiri di paling depan, seolah-olah justru menjadi terbungkam. Sejenak mereka berdiri dengan gigi gemeretak menahan kemarahan yang menghentak-hentak. Mereka merasa, bahwa mereka seolah-olah telah dipermainkan oleh penghuni rumah itu.

“Silahkan, Ki Sanak,” Mahendra mengulang, “mungkin Ki Sanak mempunyai keperluan yang penting, sehingga Ki Sanak telah datang ke pondok kami pada waktu yang kurang pada tempatnya dan dengan cara yang tidak sewajarnya.”

“Persetan,” geram Wangkot, “aku sudah tahu. Ini tentu satu tantangan.”

“Sebenarnya kami mempersilahkan kalian duduk. Nampaknya aku sudah mengenal salah seorang di antara kalian. Pangeran Indrasunu.” berkata Mahendra kemudian.

“Kau tidak usah berbasa-basi,” tiba-tiba Pangeran Indrasunu membentak, “aku sudah mengenal kalian. Kalian pun tentu sudah tahu maksud kedatangan kami. Karena itu, sebaiknya aku berbicara langsung pada pokok persoalannya. Berikan Ken Padmi kepadaku. Semuanya akan cepat selesai.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Persoalan itu lagi. Apakah Pangeran masih belum jemu dengan persoalan yang itu-itu saja? Apakah tidak ada persoalan yang lebih penting daripada persoalan Ken Padmi?”

Wajah Ken Padmi menjadi merah. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menyentuh namanya, apalagi kulitnya. Tetapi Mahisa Bungalan telah menyakiti hatiku. Jika aku sekarang datang untuk mengambil Ken Padmi, bukan karena aku memerlukannya. Tetapi aku ingin melihat Mahisa Bungalan menderita seumur hidupnya karena Ken Padmi yang disimpannya di rumahnya, akhirnya tidak dapat diambilnya menjadi seorang isteri yang baik.” berkata memotong Pangeran Indrasunu.

“Cukup!” tiba-tiba saja Ken Padmi memotong hampir berteriak. Namun justru karena gejolak perasaannya, suaranya menjadi gemetar dan gagap, “Aku bukan seonggok barang yang dapat diperlakukan semena-mena.”

Tetapi Pangeran Indrasunu tertawa. Katanya, “Kau tidak mempunyai pilihan. Semua orang akan dibunuh. Dan kau akan aku bawa ke tempat yang tidak kau ketahui. Pada saatnya kau memang akan aku kembalikan kepada Mahisa Bungalan. Tetapi ia tidak akan menerimanya lagi. Sementara itu hatinya akan terpecah seumur hidupnya.”

Ken Padmi hampir saja berteriak. Tetapi yang lebih dahulu terdengar justru Mahisa Murti tertawa. Senada dengan suara tertawa Pangeran Indrasunu sendiri. Katanya, “Pangeran memang senang bergurau.”

Sikap dan jawaban Mahisa Murti ternyata sangat menarik perhatian, sehingga justru karena itu, maka Pangeran Indrasunu telah berhenti tertawa. Dengan nada datar ia bertanya, “Kenapa kau tertawa?”

“Seperti Pangeran.” jawab Mahisa Murti, “Asal saja tertawa. Jika mungkin membangkitkan kemarahan pihak lain.”

“Gila,” geram Pangeran Indrasunu, “kau jangan sombong, anak muda. Kali ini aku datang dengan Sepasang Serigala dari padang Geneng. Jika kau berbuat yang aneh-aneh dan membangkitkan kemarahannya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk.”

Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya, ”Nasib apapun yang akan menimpa diriku, aku tidak peduli. Tetapi sebagaimana kau ketahui, bahwa kami bukan orang-orang yang dengan pasrah membiarkan diri kami dicerca, dihina dan apalagi dibunuh. Kau sudah tahu itu.”

Kemarahan yang memuncak telah mencengkam jantung Pangeran Indrasunu. Namun yang tidak kalah marahnya adalah Wangkot dan Mendu yang merasa dipermainkan oleh orang-orang itu, justru karena sirepnya tidak dapat melumpuhkan mereka. Tetapi agaknya keduanya tidak ingin banyak bicara lagi. Mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaan mereka yang ternyata tidak semudah yang mereka sangka.

Karena itu, maka Wangkot dan Mendu itu pun kemudian telah bersiaga sepenuhnya. Sambil bergeser maju Wangkot berkata, “Bersiaplah untuk mati.”

Tetapi nampaknya kelima orang yang duduk itu masih saja duduk di tempatnya. Menanggapi sikap Wangkot itu, Mahendra kemudian berkata, “Aku kira kurang menyenangkan untuk bertempur di sini. Ruangan ini tentu terasa terlalu sempit. Karena itu, kami persilahkan kalian keluar. Kita akan bertempur di halaman.”

Wajah Wangkot dan Mendu menjadi sangat tegang. Namun sebelum, keduanya menyahut, Pangeran Indrasunu telah berteriak, “Kami tunggu kalian di halaman.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka memperhatikan Pangeran Indrasunu yang melangkah keluar di ikuti oleh kedua orang Pangeran yang lain, sementara Wangkot dan Mendu pun kemudian melangkah juga ke luar betapapun beratnya. Mahendra dan Witantra kemudian bangkit berdiri diikuti oleh anak-anak muda itu.

Dengan nada dalam Witantra berkata, “Berhati-hatilah. Mereka tentu orang-orang berilmu. Pangeran Indrasunu pun cukup berilmu.”

“Aku akan melawannya.” tiba-tiba saja Ken Padmi berdesis.

Mahendra termangu-mangu sejenak. Meskipun kemampuan Ken Padmi maju dengan cepat, namun tentu ia belum sampai pada tataran kemampuan Mahisa Bungalan. Pada puncak ilmunya, Pangeran Indrasunu telah menggetarkan pertahanan Mahisa Bungalan meskipun akhirnya Pangeran Indrasunu harus mengakui kelebihan Mahisa Bungalan.

Karena itu, agar tidak terjadi kesan perang tanding di antara mereka, maka Witantra pun berkata, “Kalian bertiga. Sementara lawan kalian pun bertiga. Aku nasehatkan kepada kalian, bahwa lawan kalian itu pun tentu orang-orang berilmu. Jangan berperang tanding. Mungkin ilmu kalian belum dapat mengimbangi ilmu Pangeran Indrasunu. Tetapi mungkin kemampuan kalian melampaui kemampuan kedua orang anak muda yang lain. Karena itu, biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdua menghadapi Pangeran Indrasunu. Sementara itu, dengan hati-hati Ken Padmi harus memancing dua orang lainnya untuk bertempur menghadapinya. Aku tidak tahu, apakah Ken Padmi memiliki kemampuan mengimbangi keduanya. Jika tidak, maka apakah Mahisa Murti atau Mahisa Pukat harus segera membantu Ken Padmi dengan mengambil salah seorang dari keduanya menjadi lawannya.”

Ken Padmi mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia ingin sekali mencoba menempatkan diri melawan Pangeran Indrasunu. Namun ia pun tidak berani membantah petunjuk Witantra yang berusaha untuk menghindarkan anak-anak muda itu dari kesan berperang tanding, karena Witantra mengetahui bahwa Pangeran Indrasunu itu bukannya orang yang tidak berilmu.

Dengan tidak menimbulkan kesan perang tanding bagi masing-masing anak muda itu, maka kemungkinan pergeseran akan dapat terjadi. Jika mereka terlibat dalam perang tanding, maka mereka akan terikat oleh harga diri, sehingga yang terjadi adalah, membunuh atau dibunuh. Dalam pada itu, maka Mahendra pun kemudian mengisyaratkan agar mereka menyusul kelima orang itu turun ke halaman.

Demikian mereka keluar dan turun ke halaman, maka kelima orang lawan mereka pun telah bersiap menyongsongnya. Wangkot dan Mendu telah melihat dua orang tua di antara kelima orang penghuni rumah itu. Agaknya mereka harus menghadapi orang-orang itu. Sementara Pangeran Indrasunu pun telah bersiap pula, siapa pun yang harus dihadapinya.

Betapa kecewanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan keputusan Witantra itu. Mereka berdua harus bertempur berpasangan. Sementara itu Ken Padmi akan mendapat kesempatan untuk bertempur melawan dua orang Pangeran yang lain. Namun mereka pun tidak dapat membantah. Witantra adalah orang yang memiliki wibawa seperti ayahnya sendiri. Apalagi dalam pada itu, ayah mereka sendiri itu pun sama sekali tidak memberikan petunjuk lain.

“Cepat sedikit,” geram Wangkot, “apakah kalian masih segan untuk mati?”

Mahendra yang mendekatinya menjawab, “Aku sudah tua. Namun untuk mati rasa-rasanya memang masih segan. Apalagi mati oleh tanganmu yang kasar dan liar.”

Wangkot menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia pun segera menerkam lawannya, sebagaimana seekor serigala menerkam mangsanya. Tetapi Mahendra bukannya seekor kelinci di hadapan seekor serigala. Karena itu, maka ia pun segera mengelak dan bahkan sempat menyerang kembali. Wangkot yang marah itu pun segera bertempur dengan kasarnya sebagaimana orang menyebutnya Serigala dari padang Geneng.

Di bagian lain, Mendu pun telah mulai bertempur melawan Witantra. Namun agaknya Witantra masih sempat memperhatikan anak-anak muda itu. Apakah mereka akan memperhatikan nasehatnya atau tidak.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mematuhinya. Dengan serta merta keduanya mendekati Pangeran Indrasunu sementara Mahisa Pukat berkata, “Kami berdua akan bertempur berpasangan. Bukan karena kami tidak berani bertempur seorang lawan seorang, tetapi sementara memberi kesempatan kepada Ken Padmi untuk melawan kedua orang anak muda itu.”

“Persetan!” geram Pangeran Indrasunu. Kemudian Pangeran itu pun berkata, “Adimas Pangeran. Jangan ragu-ragu. Gadis itulah yang akan kalian bawa.”

Kedua Pangeran itu pun menjadi temangu-mangu justru karena Ken Padmi pun telah bersiap menghadapi mereka berdua. Namun keduanya mengakui, bahwa gadis itu memang sangat cantik. Meskipun demikian, kedua Pangeran itu menjadi heran, seolah-olah gadis itu dengan sengaja telah dihadapkan kepada mereka untuk dengan segera dapat mereka tangkap dan mereka bawa.

“Aku kurang mengerti,” desis salah seorang dari kedua orang Pangeran itu, “apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh gadis ini.”

“Apakah ia memang dengan sengaja menyerahkan dirinya?” desis yang lain.

Wajah Ken Padmi menjadi merah padam. Namun demikian ia masih sempat menjawab, “Kita bertemu di arena pertempuran. Kita mempunyai kesempatan yang sama untuk membunuh atau dibunuh.”

“Tetapi kami berdua tidak ingin membunuh.” sahut salah seorang dari kedua orang Pangeran itu. “Kami datang untuk mengambilmu. Sekarang tanpa kami mengerti alasannya, kau sengaja menghadapi kami berdua.”

“Kita akan bertempur.” jawab Ken Padmi.

Tetapi Pangeran itu tertawa. Katanya, “Kami merasa aneh. Kedua orang anak muda itu telah menghadapi kakangmas Pangeran Indrasunu berpasangan. Bagaimana mungkin kau, seorang gadis, harus menghadapi kami berdua. Bukankah ini satu pertanda bahwa kau memang sudah diserahkan kepada kami?”

Kemarahan yang menghentak jantung Ken Padmi rasa-rasanya akan meledakkan dadanya. Justru karena itu, maka tubuhnya pun telah menjadi gemetar.

Mahendra dapat melihat kegelisahan gadis itu. Dan ia pun dapat mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh kedua Pangeran itu, sehingga ia pun dapat menangkap kegelisahan Ken Padmi. Karena itu, maka katanya, “Ken Padmi. Kau harus tabah menghadapi anak-anak muda yang licik itu. Mereka justru berusaha untuk membuat kau marah dan gelisah sehingga kau kehilangan pengamatan diri menghadapi keduanya dalam pertempuran. Cobalah menilai, betapa liciknya kedua orang anak muda itu.”

“Persetan,” potong salah seorang dari kedua Pangeran itu, “gadis itu sendiri yang menjadi gelisah. Mungkin ia memang berminat untuk menyerahkan diri saja setelah melihat kami berdua.”

“Nah kau dengar,” potong Mahendra, “bukankah mereka lebih banyak bertempur dengan akalnya yang licik.”

“Cukup!” bentak Wangkot yang bertempur melawan Mahendra sambil menyerang dengan garangnya.

Tetapi Mahendra masih sempat meloncat menjauh sambil berkata, “Hati-hatilah, Ken Padmi. Bukan karena senjata lawan. Tetapi karena kata-katanya.”

Wangkot menjadi semakin marah. Ia bergerak lebih cepat dan lebih cepat. Namun Mahendra pun telah menghadapinya sepenuhnya.

Sementara itu, Ken Padmi telah bersiap sepenuhnya. Ia bertekad untuk tidak mau mendengar lagi, apapun yang akan dikatakan oleh kedua orang lawannya. Namun demikian, kedua orang lawannya itu memang sebenarnya menjadi heran menghadapi cara perlawanan seisi rumah itu. Justru karena mereka berdua dihadapkan langsung kepada gadis yang akan mereka ambil. Sesuatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka sebelumnya. Apalagi gadis itu langsung menghadapi mereka berdua dalam satu pertempuran.

Sementara itu, ternyata Wangkot telah menyerang Mahendra dengan garangnya. Mendu pun telah terlibat dalam satu pertempuran yang sengit melawan Witantra. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai menyerang pula.

“Semuanya sudah bertempur,” berkata salah seorang Pangeran itu, “apakah kita juga akan bertempur?”

Tetapi sebelum Pangeran yang seorang lagi menjawab, maka Ken Padmi lah yang telah mulai menyerang mereka. Serangan pertama Ken Padmi itu ternyata sangat mengejutkan kedua orang Pangeran itu. Ternyata serangan itu datang secepat kilat. Namun agaknya Ken Padmi sendiri masih ragu dengan serangan pertamanya itu, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran.

Meskipun demikian, serangan itu merupakan satu peringatan bagi kedua orang Pangeran itu, bahwa Ken Padmi bukan saja seorang gadis yang sangat cantik. Tetapi ternyata ia juga seorang gadis yang berbahaya. Namun demikian seorang di antara kedua Pangeran itu masih berkata, “Kita bertemu dengan sekuntum bunga mawar. Cantiknya dan harum. Tetapi berduri.”

“Tutup mulutmu!” Ken Padmi hampir berteriak. Suara Ken Padmi itu mencemaskan Mahendra dan Witantra. Jika Ken Padmi tenggelam dalam kemarahannya, maka ia akan kehilangan pengamatan diri sehingga ia akan bertempur dengan dorongan perasaannya saja.

Namun ternyata kemudian, bahwa Ken Padmi yang marah itu masih tetap menyadari dirinya dalam pertempuran yang terjadi kemudian. Ia dengan mantap menghadapi kedua Pangeran itu. Ternyata seperti perhitungan Witantra dan Mahendra, maka kemampuan kedua orang Pangeran yang datang bersama Pangeran Indrasunu itu tidak terlalu menggetarkan. Kemampuan mereka tidak setinggi kemampuan Pangeran Indrasunu sendiri.

Tetapi yang lebih penting bahwa mereka tidak terlibat dalam perang tanding yang akan mengikat mengikat mereka meskipun mereka tidak bersetuju lebih dahulu. Harga diri yang berlebihan akan memaksa masing-masing untuk bertempur tanpa mengakui kenyataan seandainya salah seorang di antara mereka sudah menyadari, bahwa ilmunya tidak seimbang.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah meningkatkan ilmu mereka sebaik-baiknya, telah mulai berusaha untuk dengan cepat mengalahkan lawannya. Mereka berusaha untuk memecahkan perhatian dengan serangan-serangan dari arah yang berlawanan. Namun, Pangeran Indrasunu pun masih berusaha untuk mengatasi serangan-serangan itu. Ia memang mampu bergerak cepat, meskipun ia mulai merasa betapa beratnya menghadapi kedua adik Mahisa Bungalan itu.

Tetapi sementara itu, Ken Padmi pun harus memeras kemampuannya. Apalagi ketika kedua orang Pangeran itu mulai bersungguh-sungguh setelah mereka menyadari bahwa gadis itu memang mampu bertempur dengan cepatnya.

Pertempuran di halaman rumah Mahendra itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi tidak seorang pun dari tetangganya yang mendengar keributan itu. Pengaruh sirep di rumah Mahendra itu ternyata telah merembet ke rumah tetangganya, sehingga mereka pun menjadi lelap. Apalagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai lambaran ilmu, sehingga dengan demikian rasa-rasanya tidur mereka menjadi sangat lelap seperti pingsan.

Dalam pada itu, Wangkot dan Mendu yang merasa dirinya orang-orang yang tidak terlawan, dengan marah berusaha untuk secepatnya mengakhiri pertempuran. Namun ternyata bahwa mereka telah bertemu dengan orang yang juga memiliki ilmu yang tinggi.

Wangkot yang merasa dirinya mempunyai kekuatan yang sangat besar, telah dengan kasarnya menyerang Mahendra, tanpa memperhatikan perlawanan lawannya. Ia sama sekali tidak pernah merasa perlu untuk menghindari serangan lawannya, karena ia merasa mempunyai daya tahan yang sangat besar. Bahkan beberapa orang yang pernah bertempur melawannya menganggapnya mempunyai ilmu kebal.

Sementara itu Mahendra masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk menyesuaikan tingkat ilmunya mengikuti perkembangan tingkat ilmu lawannya. Tetapi karena Wangkot memang berusaha untuk segera mengakhiri perlawanan Mahendra, maka Wangkot itu pun segera sampai ke puncak ilmunya.

Namun demikian, Mahendra masih ragu-ragu. Ia menduga, bahwa mungkin sekali Wangkot masih mempunyai selapis ilmu lebih tinggi, yang akan dipergunakan pada saat-saat terakhir dari pertempuran itu, apabila waktunya sudah tiba. Karena itu, Mahendra masih selalu berhati-hati agar ia tidak terjebak dalam kelengahannya sendiri.

Namun akhirnya Mahendra menjadi semakin jelas, bahwa lawannya memang sudah sampai ke puncak ilmunya. Ketika Mahendra kemudian menekannya, Wangkot ternyata tidak mampu lagi meningkatkan ilmunya, kecuali ia menjadi semakin kasar dan liar. Meskipun demikian, namun Mahendra masih harus tetap memperhitungkan segala kemungkinan. Meskipun demikian, ia tidak ingin membiarkan pertempuran itu menjadi semakin berlarut-larut, apalagi ia merasa bertanggung jawab pula atas Ken Padmi.

Witantra ternyata berbuat serupa dengan Mahendra. Dengan demikian Witantra juga selalu memperhatikan Ken Padmi sebagaimana dilakukan oleh Mahendra.

Ternyata Ken Padmi memang merasa terlalu berat untuk bertempur melawan kedua orang Pangeran itu. Tetapi ternyata Ken Padmi cukup cerdik betapapun kemarahan menghentak-hentak dadanya. Ia tidak ingin terlibat dalam kesulitan yang lebih parah. Karena itu, maka sebelum lawannya mempergunakan senjata, Ken Padmi tidak mencabut senjatanya. Karena ia sadar, ia akan mengalami kesulitan yang lebih besar jika ia harus bertempur melawan kedua orang Pangeran itu dengan olah senjata.

Ternyata kedua orang Pangeran itu mempunyai harga diri juga. Justru karena Ken Padmi masih belum mempergunakan senjata, mereka pun merasa segan untuk menarik pedang, meskipun mereka sadar, bahwa bertempur dengan senjata akan lebih menguntungkan bagi mereka.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki ilmu yang semakin mapan, ternyata harus mengakui, bahwa Pangeran Indrasunu adalah seorang anak muda yang bernilai cukup tinggi. Meskipun Pangeran Indrasunu tidak dapat mengimbangi ilmu Mahisa Bungalan, tetapi melawan kedua adiknya, ia masih sempat juga membalas serangan dengan serangan.

Namun kedua adik Mahisa Bungalan itu telah menerima dasar ilmu sepenuhnya dari jalur ilmu ayahnya, sebagaimana telah diterima oleh Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum sempat mengembangkannya sebagaimana di lakukan oleh Mahisa Bungalan, serta pengalaman mereka yang masih ketinggalan dari kakaknya.

Meskipun demikian, dengan bertempur berpasangan, maka mereka berdua dapat memadukan ilmu mereka, sehingga dengan demikian, maka kemudian terasa bahwa kedua anak muda adik Mahisa Bungalan itu berhasil menekan lawannya.

Agaknya kedua anak muda itu tidak merasa terikat oleh harga diri sebagaimana kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi, karena lawan kedua adik Mahisa Bungalan itu bukan seorang gadis. Apalagi dalam keadaan yang mendesak, justru Pangeran Indrasunu lah yang lebih dahulu menarik pedangnya dari sarungnya.

Dengan demikian maka Pangeran Indrasunu telah mempergunakan ilmu pedangnya untuk melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa justru karena ia bersenjata, maka keadaan menjadi gawat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memencar, telah mempergunakan setiap kesempatan untuk saling mengisi. Tidak sekedar mempergunakan tangan. Tetapi mereka telah mempergunakan senjata. Kelengahan kecil akan dapat berakibat gawat bagi Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu Wangkot menjadi semakin liar. ia masih belum melihat kenyataan tentang dirinya di hadapan Mahendra. Bahwa sebenarnya Mahendra akan mampu mengimbangi apapun yang akan dilakukannya. Dengan garangnya sambil meloncat. Kemudian kedua tangannya itu terjulur lurus ke depan, seperti seekor serigala yang sedang menerkam mangsanya.

Tetapi yang ditekankan adalah Mahendra. Dengan tangkas Mahendra bergeser menghindar. Namun kemudian dengan kecepatan yang tidak diduga tangannya telah terayun menghantam punggung lawannya yang terdorong oleh kekuatannya sendiri.

Sebenarnyalah bahwa Wangkot memang mempunyai daya tahan yang luar biasa. Namun demikian dorongan tangan Mahendra itu mampu melontarkannya beberapa langkah lebih jauh dari dorongan kekuatannya sendiri, sehingga hampir saja ia telah kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab.

Namun ternyata Wangkot masih berhasil menguasai dirinya. Ia tidak terjatuh, meskipun ia harus mengumpat-umpat. Ternyata bahwa punggungnya juga terasa sakit oleh sentuhan tangan Mahendra. Tetapi sejenak kemudian, sambil menggeram Wakot itu pun sudah siap pula untuk bertempur dengan garangnya.

Dalam pada itu, Mendu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Seperti Wangkot, ia tidak menduga, bahwa ia telah dihadapkan kepada seorang yang mumpuni. Yang memiliki ilmu yang tinggi dan bahkan mampu mengimbanginya. Dengan buas Mendu melibat lawannya ke dalam pertempuran yang kasar.

Namun Witantra adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia telah mengalami benturan ilmu dengan orang-orang yang mempunyai dasar kemampuan yang berbeda-beda. Juga melawan orang-orang kasar seperti Mendu itu. Sehingga dengan demikian, maka Witantra tidak menjadi kebingungan menghadapi lawannya itu.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin dahsyat. Mendu yang kasar dan liar, ternyata membentur kekuatan dan ilmu Witantra yang tangguh dan mapan. Bahkan kekuatan jasmaniah serigala dari padang Geneng itu pun kadang-kadang telah dilawan oleh Witantra dengan benturan kekuatan pula.

Mendu hampir tidak percaya bahwa ada seseorang yang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatannya. Tetapi ketika sekali lagi ia meloncat menyerang Witantra, maka dengan sengaja Witantra tidak menghindar, tetapi ia telah membenturkan kekuatannya melawan serangan Mendu itu. Barulah kemudian Mendu yakin, bahwa Witantra memiliki kekuatan yang luar biasa setelah ia terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan hampir saja ia kehilangan keseimbangan, sementara Witantra masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

“Anak iblis,” Mendu menggeram, “kau sangka bahwa dengan demikian, kau sudah menang?”

“Aku tidak menyangka begitu.” jawab Witantra.

“Lihat, sebentar lagi kau akan aku koyak menjadi sayatan kulit dan daging.” geram Mendu sambil menarik sebuah pedang yang mempunyai bentuk khusus. Pada punggung pedang itu terdapat semacam duri pandan yang dapat mengait kulit dan daging. Meskipun duri baja itu lembut, tetapi jika menyentuh kulit, maka akibatnya akan menjadi sangat parah.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya lawannya tidak hanya membawa satu jenis senjata. Mungkin dalam keadaan yang berbeda ia akan mempergunakan jenis senjatanya yang lain, karena Witantra melihat beberapa pucuk paser kecil pada ikat pinggang lawannya. Yang tentu saja paser-paser itu diberinya beracun. Justru karena itu, maka Witantra pun tidak ingin mengalami kesulitan. Ia memang sudah memperhitungkan, bahwa di antara mereka yang telah memasang sirep itu termasuk orang-orang yang berkemampuan.

Karena itu, maka ia pun telah bersiap dengan senjatanya. Bukan senjata khusus. Senjata apa saja yang dapat diketemukannya. Sejenak kemudian, Witantra sudah bersenjata pedang untuk menghadapi senjata lawannya yang mempunyai kekhususan yang mendebarkan itu.

Sejenak kemudian, maka Mendu dan Witantra sudah terlihat dalam perang bersenjata. Dengan garangnya Mendu memutar pedangnya dan melibat lawannya dalam serangan-serangan yang cepat dan keras. Tetapi ternyata Mendu telah membentur kemampuan ilmu pedang Witantra yang luar biasa, yaitu justru membuat Mendu semakin sulit menghadapinya.

Tetapi Serigala itu sama sekali tidak mengurangi keliarannya. Semakin lama justru menjadi semakin keras dan kasar. Ia berusaha untuk pada suatu saat, melampaui kemampuan perlawanan Witantra terhadap kekasarannya. Namun demikian, Witantra seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh kekasaran lawannya. Bahkan dengan tenang, Witantra berhasil mendesak lawannya. Ujung pedangnya sekali-sekali berhasil menyusup di antara putaran pedang Mendu, dan bahkan telah menyentuh kulitnya.

“Gila!” geram Mendu yang ternyata bahwa kulitnyalah yang telah berdarah lebih dahulu. Bukan kulit Witantra.

Namun dalam pada itu, ternyata Ken Padmi benar-benar mengalami kesulitan. Meskipun ia masih tetap bertahan untuk tidak bertempur mempergunakan senjatanya, tetapi kedua orang lawannya telah mendesaknya. Benturan-benturan yang semakin sering terjadi, mulai terasa sakit pada kulitnya. Lengannya, pundaknya dan bahkan tengkuknya, telah disentuh tangan lawan-lawannya. Untunglah bahwa kecepatannya bergerak telah dapat membebaskannya dari pengaruh yang lebih parah. Tetapi jika gadis itu harus bertahan terlalu lama, maka akhirnya ia akan benar-benar dikuasai oleh lawannya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bertempur semakin cepat. Mereka berusaha untuk berpacu dengan waktu yang diperlukan oleh kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi untuk mengalahkan gadis itu. Sebenarnyalah kedua anak muda adik Mahisa Bungalan itu mempunyai kesempatan yang baik, Namun dalam ilmu tertinggi yang tersalur ke dalam ilmu pedangnya, maka Pangeran Indrasunu memang seorang yang sangat berbahaya.

Namun demikian, kedua adik Mahisa Bungalan itu pun telah mengerahkan ilmu puncak mereka, sehingga dengan demikian, maka kerja sama yang sangat rapi dalam ilmu puncak masing-masing, benar-benar membuat Pangeran Indrasunu kehilangan kesempatan untuk menyerang. Kedua anak muda itu dengan tangkasnya berloncatan di seputarnya. Bahkan kadang-kadang saling bertukar arah dan dengan tiba-tiba saja menyambar lawannya. Betapa Pangeran Indrasunu semakin merasa sulit menghadapi kedua adik Mahisa Bungalan itu. Sehingga dengan demikian, maka Pangeran Indrasunu itu pun semakin lama menjadi semakin terdorong dan terpisah dari arena dalam keseluruhan.

Tetapi Ken Padmi pun telah mengalami nasib yang serupa dengan Pangeran Indrasunu yang mengalami kesulitan itu. Keadaan Ken Padmi itulah yang kemudian mendorong Mahendra untuk meningkatkan ilmunya. Lawannya, Wangkot telah melihat Mahendra dengan perang senjata pula. Tekanan-tekanan Mahendra terasa terlalu sulit untuk dihindari. Sehingga Wangkot mengharap bahwa ia akan memiliki kelebihan dalam kecepatan menggerakkan senjata. Tetapi Mahendra ternyata seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Ketika Wangkot mempergunakan goloknya yang besar dan berat, maka Mahendra pun telah menarik pedangnya.

Namun seperti Witantra, dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa dan di serambi, maka Mahendra melihat sesuatu terselip diikat pinggang lawannya. Dan ia pun menduga, bahwa Wangkot memiliki senjata lontar yang berbahaya. “Mungkin paser-paser kecil.” desis Mahendra.

Pada saat Ken Padmi dalam keadaan yang sangat berbahaya, maka Mahendra maupun Witantra telah mengerahkan segenap kemampuannya. Mereka tidak lagi berusaha menahan diri. Jika mereka terlambat, maka akibatnya akan parah bagi Ken Padmi. sementara Pangeran Indrasunu masih berusaha untuk bertahan melawan kedua orang lawannya.

Betapapun Mahendra dan Witantra berusaha bertempur dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, namun keliaran lawan mereka telah memaksa keduanya untuk berbuat lebih banyak lagi. Bahkan mereka tidak dapat menghindarkan diri dari usaha untuk melumpuhkan lawannya. Sehingga dengan demikian, maka senjata mereka pun menjadi semakin sering melukai lawan dan bahkan luka yang lebih dalam. Wangkotlah yang lebih dahulu kehilangan pengamatan. Kemarahannya yang menghentak-hentak dadanya, telah membuatnya benar-benar buas. Karena itu, maka tiba-tiba senjatanya telah berada di tangan kirinya.

Dengan cepat, Mahendra dapat mengerti bahwa lawannya tentu akan mempergunakan senjata lontarnya. Karena itu, maka ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia telah berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek, sehingga lawannya tidak mendapat kesempatan untuk melontarkan paser-pasernya.

Tetapi Wangkot sempat meloncat menjauh. Terlalu cepat untuk diburu. Bahkan Mahendra pun telah meloncat menjauh pula, ketika ia melihat lawannya telah memungut senjata-senjata lontarnya. Sejenak kemudian, Wangkot benar-benar telah melemparkan paser-paser kecilnya. Demikian cepatnya sehingga paser-paser itu telah terbang beruntun.

Tetapi Mahendra telah bersiap. Dengan tangkasnya ia meloncat menghindarkan diri dari sambaran paser-paser itu. Namun Wangkot tidak memberinya waktu. Tangannya dengan cepat terayun. Beberapa paser telah dilontarkannya menyusul paser-paser yang terdahulu.

Mahendra terkejut melihat serangan beruntun itu. Karena itu, maka ia pun harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan itu. Dengan tangkas ia berloncatan dan dengan langkah-langkah panjang. Namun demikian, paser-paser kecil itu seolah-olah selalu mengejarnya. Hampir saja Mahendra kehilangan kesempatan ketika sebuah paser menyambar dadanya. Dengan cepat ia membungkukkan badannya, namun tiba-tiba sebuah paser yang lain telah menyambar keningnya justru pada saat ia membungkuk.

Tetapi Mahendra tidak mau menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Pada saat yang gawat itu, Mahendra justru menjatuhkan dirinya berguling dengan cepatnya mendekat. Pada saat lawannya sekali lagi memungut paser di ikat pinggangnya, dan siap menggunakannya, tiba-tiba saja Mahendra melenting dengan cepat. Kakinya telah menyambar tangan orang itu, sehingga pasernya terlepas dari tangannya.

Mahendra tidak mau kehilangan kesempatan. Pada saat orang itu sedang menggapai ikat pinggangnya, maka pedang Mahendra telah terayun menyambarnya. Kemarahan Mahendra nampaknya telah membakar jantungnya. Itulah sebabnya, maka pedangnya telah langsung menyambar pundak lawannya. Namun Wangkot masih berusaha untuk menghindar. Ia meloncat ke samping, sementara tangannya telah sempat memungut sebuah dari paser-paser yang tersisa.

Tetapi ternyata Mahendra lebih cepat. Ketika tangan itu terangkat untuk melontarkan pasernya, pedang Mahendra telah terjulur lurus menghujam ke dada orang itu. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Demikian pedang itu ditarik dari dadanya, maka Wangkot pun telah terhuyung-huyung jatuh tertelungkup.

Namun Mahendra tidak sempat menyaksikan apa yang akan terjadi atas lawannya. Pada saat yang demikian, Ken Padmi telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Kedua Pangeran yang menghadapinya itu telah berhasil mematahkan perlawanannya. Meskipun Ken Padmi telah bertempur dengan segenap ilmunya, namun menghadapi kedua orang lawan yang tangguh, ternyata ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

Pada saat yang gawat dan menggelisahkan itulah, Ken Padmi tidak dapat bertahan lebih lama tanpa mempergunakan senjata. Meskipun ia sadar, bahwa senjata akan menambah bahaya baginya, tetapi akhirnya ia memilih bertempur dengan senjata, meskipun dapat berakibat maut. Baginya lebih baik mati dari pada disentuh oleh ke dua Pangeran yang ternyata mempunyai maksud tertentu itu. Demikian Ken Padmi menarik pedangnya, maka kedua Pangeran itu tertegun sejenak. Tetapi mereka tidak sempat berpikir lebih lama, karena Ken Padmi lah yang kemudian menyerang dengan geramnya.

Tidak ada pilihan lain bagi kedua orang Pangeran itu, selain mempergunakan senjatanya pula. Karena itulah, maka mereka pun segera menarik pedang mereka untuk menghadapi serangan-serangan Ken Padmi. Ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Ken Padmi, justru karena ia telah melihat lawannya dalam perang bersenjata, maka ia telah berada dalam keadaan bahaya yang sebenarnya mengancam jiwanya. Dari arah yang berlawanan, kedua lawannya telah siap menyerang bersama-sama.

Namun pada saat yang menegangkan itu, mereka telah dikejutkan oleh geram yang patah. Kemudian mereka mendengar rintihan yang dalam. Di luar sadar, mereka telah berpaling. Ternyata mereka melihat beberapa langkah dari mereka, di arena yang terpisah, mereka melihat Witantra meninggalkan lawannya yang tergolek diam. Suara rintihan itu pun telah terputus pula seperti nafas orang yang terbaring itu.

Kedua orang Pangeran yang bertempur bersama melawan Ken Padmi itu menjadi berdebar-debar. Pada saat itu Mahendra dan Witantra telah kehilangan lawan-lawan mereka. Keduanya hampir bersamaan telah mendekati arena pertempuran antara Ken Padmi melawan dua orang Pangeran itu dari arah yang berbeda. Ternyata jantung kedua Pangeran itu telah berguncang. Mahendra dan Witantra, telah mampu melampaui kemampuan dan ilmu kedua orang yang menggemparkan tlatah padang Geneng itu. Dan ternyata kedua orang itu telah melangkah mendekati mereka.

Kedua orang Pangeran itu termangu-mangu. Sementara itu Ken Padmi pun seolah-olah telah membeku pula. Ia tidak ingin berbuat licik meskipun ia merasa kemampuannya tidak akan dapat mengimbangi kedua orang Pangeran itu. Tetapi ia tidak akan mencuri serangan selagi kedua orang Pangeran itu dalam kegelisahan sambil memperhatikan kehadiran Mahendra dan Witantra.

“Pangeran,” berkata Mahendra kemudian, “bukankah kalian berdua juga Pangeran seperti Pangeran Indrasunu?”

Keduanya tidak menjawab. Tetapi terdengar suara Mahisa Murti, “Ya. Pangeran Indrasunu memanggil keduanya dengan sebutan Pangeran pula.”

“Nah, sekarang kalian dapat membuat pertimbangan yang bening,” berkata Mahendra kemudian, “kedua orang yang mungkin kalian anggap akan dapat mengakhiri mimpi kalian, sehingga akan menjadi kenyataan itu ternyata telah kehilangan kesempatan untuk memaksakan kehendaknya atas kami. Ilmu sirepnya telah gagal, dan kemudian ilmunya pun tidak mampu mendukung keliaran dan kebuasannya.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun sementara itu terdengar Pangeran Indrasunu berteriak, “Kita bukan pengecut!”

Kedua Pangeran itu menjadi sangat ragu-ragu. Namun suara Pangeran Indrasunu itu telah menghentakkan mereka, sehingga seolah-olah mereka telah mendapatkan keberanian baru. Namun dalam pada itu, selagi mereka sudah siap untuk menyerang, Mahendra dan Witantra sudah berdiri di pinggir arena, sehingga perhatian kedua Pangeran itu justru kepada Ken Padmi.

Meskipun demikian, Ken Padmi itu masih belum mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang. Ia masih berdiri termangu-mangu. Bahkan ia pun telah memperhatikan Mahendra dan Witantra yang berdiri beberapa langkah dari padanya.

“Pangeran,” berkata Witantra kemudian, “kami mohon Pangeran mengerti, apa yang telah terjadi. Mungkin Pangeran adalah salah seorang di antara mereka yang ikut menyerang Kabanaran pada waktu itu. Jika demikian maka kita memang pernah bertemu, setidak-tidaknya pernah berada dalam satu lingkungan.”

Kedua Pangeran itu termangu-mangu. Kembali mereka menjadi ragu-ragu.

“Pangeran berdua,” Witantra melanjutkan, “bukan maksud kami menyombongkan diri. Tetapi Pangeran tentu mengerti, bahwa dua orang iblis itu mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Pangeran. Ternyata bahwa kami berdua dapat mengimbangi ilmu mereka. Nah, berdasarkan atas perhitungan nalar, apakah Pangeran berdua akan dapat melawan kami yang bukan saja berdua, tetapi bertiga dengan gadis itu?”

Kedua Pangeran itu menjadi semakin ragu-ragu. Sementara itu sekali lagi Pangeran Indrasunu berteriak, “Jangan menjadi pengecut.”

“Maaf, Pangeran Indrasunu,” sahut Mahendra, “jangan terlalu banyak memperhatikan kedua saudara Pangeran ini. Mereka tidak akan mengalami apapun juga. Sebaiknya Pangeran menjaga diri Pangeran sendiri. Kedua anak-anak itu akan dapat berbahaya bagi Pangeran.”

“Persetan!” geram Pangeran Indrasunu.

Namun ketika Pangeran Indrasunu akan membuka mulutnya lagi, Mahisa Murti telah menyerangnya dengan cepat, sehingga Pangeran itu tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan tergesa-gesa Pangeran Indrasunu menghindar dengan loncatan panjang. Mahisa Murti tidak mengejarnya.

Sementara Mahisa Pukat justru tertawa sambil berkata, “Hampir saja kau tidak dapat diam Pangeran. Jika senjata Mahisa Murti menyentuh mulutmu, maka kau akan selalu tersenyum.”

“Gila!” kemarahan Pangeran Indrasunu semakin memuncak.

Namun kedua anak muda itu justru tertawa. Ketegangan di jantung mereka sudah menjadi jauh berkurang. Kecemasannya bukan karena dari mereka sendiri. Tetapi justru karena mereka melihat keadaan Ken Padmi. Namun setelah Ken Padmi mendapat perlindungan dari Mahendra dan Witantra, maka mereka pun tidak lagi dicengkam oleh kecemasan. Karena itu, maka mereka pun kemudian sempat membuat Pangeran Indrasunu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak menghadapi kedua anak muda itu.

Sementara itu, kedua Pangeran yang menghadapi Ken Padmi, benar-benar sudah tidak mempunyai harapan apapun juga. Mereka harus melihat satu kenyataan, bahwa Mahendra dan Witantra adalah orang-orang yang tidak terlawan.

Namun dalam pada itu, Witantra yang sempat memperhatikan pertempuran antara Pangeran Indrasunu melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cemas. Jika Pangeran Indrasunu menjadi sangat marah, sehingga ia tidak lagi menghiraukan apapun juga, maka hal itu akan dapat memancing kemarahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pula. Jika kedua anak muda itu kehilangan pengamatan diri, maka keduanya akan sangat berbahaya bagi Pangeran Indrasunu.

Karena itu, maka Witantra itu pun kemudian berkata kepada kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi, ”Pangeran, aku kira Pangeran masih sempat berpikir bening. Coba perhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Apa yang Pangeran hadapi sekarang. Pangeran berdua tidak segera dapat mengalahkan Ken Padmi seorang diri. Apalagi jika ada di antara kalian, kami berdua.”

Kedua Pangeran itu masih termangu-mangu. Namun kemudian Witantra berkata, “Tetapi kami tidak dapat hanya memperhatikan keadaan Pangeran berdua saja. Kami melihat, Pangeran Indrasunu itu pun dalam keadaan bahaya. Jika kedua anak muda yang bertempur melawannya itu kehilangan pengekangan diri, maka keadaan Pangeran Indrasunu akan menjadi sangat sulit.”

Kedua Pangeran itu tidak menyahut. Sementara itu Witantra berkata kepada Mahendra, “Kau di sini. Aku akan melihat keadaan Pangeran Indrasunu dari dekat.”

Sebenarnyalah Witantra telah meninggalkan Mahendra. Dengan berdebar-debar Witantra mendekati arena pertempuran antara Pangeran Indrasunu melawan kedua anak-anak Mahendra. Sementara Mahendra masih berada di dekat Ken Padmi.

Sepeninggal Witantra, Mahendra pun bertanya kepada kedua orang Pangeran itu, “Apakah Pangeran telah menemukan keputusan yang paling baik? Menyerah, atau Pangeran memilih mengalami nasib lebih buruk dari itu?”

Kedua Pangeran itu masih saja termangu-mangu. Yang menjawab adalah Pangeran Indrasunu, “Kami adalah laki-laki. Akhir dari pertempuran adalah kematian.”

“Sebenarnya kami juga tidak keberatan untuk melakukannya,” berkata Mahendra pula, “besok kami akan membawa mayat Pangeran bertiga ke Singasari. Menunjukkan kepada Sri Maharaja, bahwa tiga orang Pangeran dari Kediri telah melawan kekuasaan Kediri dan juga Singasari. Mereka telah merampok rumah seorang pedagang mas intan dan wasi aji.”

“Persetan,” teriak Pangeran Indrasunu, “kau kira kami akan merampok?”

“Ya. Kalian akan merampok. Meskipun kami tahu bahwa kalian akan mengambil anak gadis itu, tetapi kami dapat saja mengatakan menurut selera kami. Kami dapat mengatakan apa saja yang paling buruk bagi Pangeran, karena Pangeran sudah mati, sehingga Pangeran tidak akan dapat membantah atau menjelaskan niat Pangeran yang sebenarnya. Apalagi yang datang bersama Pangeran adalah dua orang liar dan kasar, yang pantas disebut perampok itu.”

“Licik,” teriak Pangeran Indrasunu, “itu perbuatan gila dan tidak jujur.”

“Tidak ada orang yang akan mengatakan demikian.” jawab Mahendra, “Pangeran bertiga sudah terbunuh. Mungkin jiwa Pangeran bertiga sempat menyaksikan kebohongan kami. Mungkin dapat pula melihat bagaimana orang-orang Singasari mencibirkan bibirnya menyaksikan mayat lima orang perampok.”

“Gila. Itu perbuatan yang paling gila.” geram PangeranIndrasunu.

Tetapi Mahendra tertawa. Katanya, “Tetapi sangat menyenangkan bagi kami.”

Pangeran Indrasunu menggertakkan giginya. Tetapi sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendesaknya. Namun dalam pada itu, Witantra telah berada di dekat arena itu.

“Pangeran,” berkata Witantra, “yang paling baik, Pangeran menyerah dalam keadaan hidup. Pangeran masih akan dapat menjelaskan, apa yang sebenarnya ingin Pangeran lakukan di sini, sehingga nama Pangeran tidak akan tercemar.”

“Aku tidak peduli. Seandainya nama kami tercemar sekalipun, aku tidak akan merasakan apapun juga.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Mungkin tidak, jika jiwa Pangeran dapat menghindarkan diri dari segala macam perasaan mungkin tidak akan menghambat langkah Pangeran meninggalkan dunia fana ini. Tetapi jika tidak, maka Pangeran akan merasakan, betapa sakitnya jiwa yang tersia-sia. Roh yang disakiti tanpa dapat mempertahankan diri.” berkata Witantra, “Tetapi jika Pangeran beranggapan bahwa setelah mati, Pangeran tidak akan tahu apa-apa lagi, juga tentang nama Pangeran yang tercemar, maka yang akan merasakan segala duka dan cela adalah keluarga Pangeran. Apakah Pangeran dapat mengerti?”

Pangeran Indrasunu menggeram. Tetapi kata-kata itu memang sangat berpengaruh di hatinya.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mendesaknya semakin garang. Bahkan Mahisa Pukat pun berkata, “Paman Witantra jangan mengganggu kesenangan kami. Kami berdua telah sampai pada kemungkinan terakhir dari pertempuran ini.”

“Mahisa Pukat,” berkata Witantra, “apakah kita sudah terpengaruh oleh orang-orang yang bernafsu untuk membunuh tanpa menghiraukan sasaran terakhir? Bertanyalah kepada ayahmu, manakah yang paling baik kita lakukan dalam keadaan seperti ini.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, sehingga ia justru telah tertegun sejenak. Namun Mahisa Murti masih bertempur dengan garangnya. Serangannya justru datang membadai melanda Pangeran Indrasunu yang sudah menjadi ragu-ragu.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Paman benar. Memang sebaiknya kita tidak usah membunuh. Tetapi jika Pangeran itu menjadi gila dan tidak tahu diri, apa boleh buat.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat Mahisa Murti yang bertempur seorang diri. Pangeran Indrasunu mendengar pembicaraan itu. Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengabaikan kenyataan yang sedang dihadapinya. Jika ia berkeras, bahwa sampai pada ilmu puncaknya sekalipun, ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu meskipun Witantra tidak mencampurinya. Bahkan jika ia memancing kekerasan yang lebih tajam, maka hal itu akan memancing kesulitan saja baginya.

Meskipun demikian ia masih tetap meragukan sikap Witantra. Apakah yang dikatakan oleh Witantra benar seperti yang akan dilakukannya. Apakah Witantra tidak akan membiarkannya kedua adik Mahisa Bungalan itu berbuat sesuka hatinya atas dirinya apabila ia mengakhiri perlawanannya yang sudah disadarinya akan sia-sia.

Dalam pada itu, maka Mahendra yang berada di arena yang lain ternyata telah berhasil menghentikan perlawanan kedua orang Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi. Kedua Pangeran itu merasa, bahwa sebenarnyalah mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Mahendra adalah seorang yang terlalu besar bagi mereka. Bahkan bagi gurunya. Mahendra tidak akan dapat dikalahkannya. Akhirnya Pangeran Indrasunu pun menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka akhirnya ia pun telah kehilangan gairahnya untuk bertempur lebih lama lagi.

Dalam pada itu, maka sekali lagi Witantra berkata, “Pangeran, aku berharap bahwa Pangeran akan menyerah.”

Pangeran Indrasunu yang masih dibayangi oleh harga dirinya itu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah tidak lagi berusaha untuk melawan, selain berloncatan mundur menghindari desakan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kedua anak muda itu pun segera memaklumi, bahwa Pangeran Indrasunu sudah tidak melawan lagi dengan sungguh-sungguh. Karena itu, maka akhirnya keduanya pun berhenti ketika Witantra berkata,

“Sudahlah, anak-anak. Tidak ada gunanya lagi kalian bertempur terus.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian perlahan-lahan menghentikan serangan-serangannya. Meskipun demikian keduanya masih tetap berhati-hati menghadapi Pangeran yang licik itu. Tetapi agaknya Pangeran Indrasunu benar-benar telah menyerah. Bahkan ketika Witantra mendekatinya untuk meminta senjatanya, Pangeran Indrasunu telah menyerahkannya.

“Segalanya sudah berakhir,” berkata Witantra, “marilah kita akan masuk ke dalam.”

Mahendra pun telah membawa kedua Pangeran yang lain mengikuti Witantra masuk ke ruang dalam. Ketika Pangeran itu dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar. Di sudut lain Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tengah mengawasinya.

“Ken Padmi,” berkata Mahendra kemudian, “agaknya semua orang di dapur sedang tidur. Jika mungkin bangunkan mereka. Tetapi jika tidak, kau sajalah yang merebus air. Kita akan menjamu tamu kita malam ini.”

Ken Padmi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun bangkit pula dan melangkah pergi ke dapur.

“Aku akan menemaninya.” desis Mahisa Pukat.

Ken Padmi tertegun. Tetapi Mahendra kemudian menyahut, “Kau mempunyai tugas tersendiri. Kau dan Mahisa Murti masih harus membawa kedua sosok mayat itu dan membaringkannya di pendapa. Besok kita akan menguburkannya. Tetapi kita harus memberikan laporan kepada Ki Buyut dan tetangga-tetangga kita agar tidak terjadi salah paham.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya mereka pun bangkit dengan segan dan pergi keluar rumah untuk mengambil dua sosok mayat di halaman dan meletakkannya di pendapa. Kemudian kedua sosok mayat itu telah ditutup dengan dua helai kain panjang.

Yang berada di ruang dalam kemudian adalah ketiga orang Pangeran ditunggui oleh Mahendra dan Witantra. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Namun terasa oleh ketiga orang Pangeran itu perlakuan yang asing dari Mahendra dan Witantra, justru karena keduanya tidak berbuat apa-apa. Menurut jalan pikiran mereka serta apa yang mungkin mereka lakukan dalam keadaan yang serupa, maka mereka bertiga tentu akan mengalami nasib yang sangat buruk. Namun ternyata Mahendra dan Witantra tidak berbuat apa-apa.

“Hanya satu permainan saja,” berkata para Pangeran itu di dalam hatinya, “tetapi besok mereka akan menghinakan kami di hadapan orang-orang padukuhan ini. Bahkan mungkin mereka akan mengarak kami menuju ke Singasari.”

Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga. Mahendra dan Witantra akan dapat memperlakukan mereka seperti yang mereka kehendaki. Terbesit juga ingatan kedua orang saudara Pangeran Indrasunu itu kepada guru mereka dan padepokan mereka. Tetapi mereka pun sadar, bahwa guru mereka pun tidak akan dapat menolongnya.

“Aku tidak menyangka bahwa Witantra itu berada di sini pula.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi.

Malam itu Pangeran Indrasunu dan kedua saudaranya masih mendapat waktu untuk merenung sejenak sebelum pagi. Meskipun mereka dipersilahkan untuk tidur barang sejenak, tetapi mata mereka tidak dapat terpejam. Mereka sadar, bahwa Mahendra dan Witantra yang duduk di bibir amben bersandar tiang itu bergantian meninggalkan mereka, pergi ke pakiwan membersihkan diri. Tetapi ketiga orang Pangeran itu tidak berani berbuat apapun juga, karena mereka sadar, bahwa mereka bertiga tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap Mahendra atau Witantra seorang diri.

Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata lebih senang berada di pendapa meskipun mereka harus menunggui mayat yang terbaring diam. Sementara Ken Padmi sibuk di dapur karena orang-orang yang terkena sirep itu masih saja belum dapat dibangunkan. Jika salah seorang sempat membuka matanya, namun sekejap kemudian orang itu telah kembali menjatuhkan dirinya di manapun juga.

Ketika air masak, maka Ken Padmi pun menghidangkannya untuk Mahendra, Witantra dan kedua adik Mahisa Bungalan. Tetapi Mahendra berkata, “Kau harus menjamu tamu-tamu kita ini.”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Mahendra bersungguh-sungguh, bahwa ia harus menjamu ketiga orang Pangeran itu. Perasaan Ken Padmi meronta. Tetapi ia tidak dapat menolak perintah Mahendra yang baginya tidak masuk akal itu. Karena itulah, maka sejenak kemudian Ken Padmi pun telah menyiapkan minuman bagi ketiga Pangeran itu.

Menjelang pagi, maka minuman yang diperuntukkan bagi ketiga orang Pangeran itu sudah dihidangkannya pula betapapun terasa berat di hati. Diletakkannya minuman itu di amben, kemudian tanpa mengatakan apapun juga ia meninggalkan ruangan itu kembali ke dapur.

Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba saja air matanya menitik di pipinya. Sambil duduk di sudut ruangan yang sepi ia berusaha untuk menjinakkan perasaannya sendiri. Namun ia merasa sangat dihinakan oleh para Pangeran itu. yang dengan niat yang sangat keji telah datang ke rumah itu.

“Kemudian aku harus menghidangkan minuman bagi mereka.” berkata Ken Padmi di dalam hatinya.

Bagi Ken Padmi Pangeran Indrasunu bukannya pertama kalinya menyakiti hatinya, menghinakannya, seolah-olah ia adalah benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Niatnya yang keji dan cara yang licik, membuat Ken Padmi membencinya sampai ke ubun-ubun. Ken Padmi terkejut ketika ia mendengar langkah memasuki ruangan. Dengan cepat ia mengusap matanya yang basah. Kemudian ia bangkit berdiri menghadap ke pintu.

Yang berdiri di depan pintu adalah Mahendra. Dipandanginya Ken Padmi dengan tatapan mata lembut kebapaan. “Ken Padmi,” berkata Mahendra kemudian, “aku mengerti, bahwa perasaanmu terasa sangat pedih.”

“Tidak, paman. Aku tidak apa-apa.” Ken Padmi mencoba tersenyum.

“Jangan berpura-pura. Apa yang kau rasakan itu adalah perasaan sewajarnya. Kau memang merasa pedih mengalami perlakuan yang tidak pantas. Kau tentu merasa terhina dan mungkin merasa diri tidak berharga,” berkata Mahendra kemudian, “tetapi aku dapat mengerti. Karena itu, aku anggap perasaan yang demikian itu adalah wajar.”

Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi kepalanya pun kemudian tertunduk lesu.

“Tetapi sesudah kita berpijak kepada kewajaran, maka baiklah kita belajar berjiwa besar.” berkata Mahendra kemudian, “Kita belajar memaafkan kesalahan orang lain terhadap diri kita, karena sebenarnyalah memang tidak ada orang yang tidak mempunyai kesalahan apapun juga. Jika kita dapat memaafkan kesalahan orang lain, maka kita mempunyai penghargaan bahwa kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat pun akan dimaafkannya pula. Terutama kesalahan-kesalahan kita yang harus kita pertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Agung.”

Ken Padmi masih menunduk.

“Ken Padmi,” berkata Mahendra pula, “menurut perhitunganku masih ada harapan bagi anak-anak muda itu untuk mengerti tentang diri mereka. Untuk menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Guru Pangeran Indrasunu itu pun dapat mengerti bahwa muridnya telah berbuat salah. Sedangkan Pangeran Indrasunu itu sendiri masih cukup muda dan masih mempunyai waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya.”

Ken Padmi mengangkat Wajahnya. Tetapi ketika terpandang olehnya tatapan mata Mahendra, maka ia pun telah menunduk kembali.

“Apakah kau dapat mengerti, Ken Padmi?” bertanya Mahendra.

Sejenak Ken Padmi mematung. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.

“Sukurlah, meskipun pertama-tama terasa aneh dan asing.” Mahendra meneruskan, “Kita akan memberi kesempatan kepada Pangeran Indrasunu. Jika ia gagal mempergunakan kesempatan itu, kita sudah dapat mengetahui arah padepokannya. Jika kesempatan itu dilewatkannya, maka kita akan melaporkannya kepada para pemimpin di Kediri dan Singasari. Ia sudah berbuat banyak kesalahan bagi Kediri dan Singasari. Tetapi agaknya Akuwu Suwelatama masih juga berusaha untuk memberi kesempatan kepadanya melihat ke dalam dirinya sendiri. Memang berbeda dengan kedua orang itu. Agaknya kedua orang upahan itu memang tidak mempunyai tempat berpijak lagi bagi masa depannya. Karena itu, aku tidak berkeberatan jika keduanya terpaksa harus mengalami nasib yang buruk di padukuhan ini.”

Ken Padmi menjadi semakin tunduk. Tetapi ia semakin dapat memahami keterangan Mahendra. Meskipun demikian, ia tidak menjawab sama sekali.

Namun Mahendra yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang luas itu seolah-olah dapat membaca perasaan gadis itu. Karena itu, maka katanya, ”Baiklah, Ken Padmi. Kau masih mempunyai waktu untuk merenungkan hal itu. Tetapi aku yakin, bahwa kau pun akan dapat dan bersedia mengatasi perasaanmu.”

Ken Padmi masih tetap tidak menjawab. Kepalanya masih saja tertunduk diam. Baru kemudian, ketika Mahendra bergeser ia mengangkat wajahnya. Dilihatnya Mahendra melangkah surut sambil berkata,

“Sebaiknya kau beristirahat. Masih ada sisa waktu meskipun tinggal sekejap. Sementara kau dapat membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak itu. Agaknya kekuatan sirep itu sudah jauh berkurang.”

“Baik, paman.” desis Ken Padmi hampir tidak terdengar.

Mahendra pun kemudian meninggalkan Ken Padmi merenungi keadaannya. Namun Mahendra yakin, bahwa Ken Padmi akan dapat menerima keadaan itu dengan lapang dada. Ketika kemudian wajah pagi mulai membayang, Mahendra pun telah memerintahkan kepada kedua anaknya untuk ke rumah Ki Buyut. Mereka harus melaporkan, bahwa rumah mereka telah didatangi oleh dua orang perampok.

“Dua orang?” bertanya Mahisa Pukat.

Pangeran Indrasunu yang mendengar pertanyaan itu menjadi berdebar-debar. Namun sekali lagi Mahendra berkata, “Dua orang.”

Mahisa Pukat memandang Pangeran Indrasunu dan kedua orang Pangeran yang lain sekilas. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Ya. Baiklah.”

Kedua orang adik Mahisa Bungalan itu pun kemudian pergi dengan tergesa-gesa ke rumah Ki Buyut. Seperti yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa rumah mereka telah didatangi oleh dua orang perampok.

“Lalu, apa saja yang telah mereka bawa?” bertanya Ki Buyut.

“Tidak ada, Ki Buyut.” jawab Mahisa Murti.

”Lalu, bagaimana dengan perampok-perampok itu? Apa yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Buyut heran.

“Keduanya telah terbunuh.” jawab Mahisa Pukat.

“Terbunuh?” Ki Buyut mengerutkan keningnya, “Siapa yang membunuh?”

“Kami, seisi rumah beramai-ramai. Sebenarnya kami tidak ingin membunuh. Tetapi kami harus mempertahankan diri. Dan kami dengan terpaksa sekali telah membunuh keduanya yang ternyata sangat berbahaya itu.” jawab Mahisa Pukat.

“Baiklah. Aku akan datang ke rumah kalian.” berkata Ki Buyut kemudian.

“Kita bersama-sama.” sahut Mahisa Murti.

Ki Buyut tertegun sejenak. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Kita pergi bersama-sama.”

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut diiringi oleh dua orang pengawalnya telah pergi bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk melihat apa yang telah terjadi. Ketika mereka sampai ke rumah anak-anak muda itu, beberapa orang telah berada di halaman.

“Marilah, Ki Buyut.” Mahendra mempersilahkan. Orang-orang pun menyibak. Ketika Ki Buyut naik ke pendapa, maka dilihatnya dua sosok mayat terbujur membeku.

Ternyata Mahendra telah meminta Pangeran Indrasunu dan kedua Pangeran yang lain duduk pula di pendapa. Kehadiran Ki Buyut membuat para Pangeran itu berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena Witantra selalu duduk di dekat mereka.

“Silahkan duduk, Ki Buyut.” Mahendra kemudian mempersilahkan.

Ki Buyut pun kemudian duduk bersama kedua pengawalnya. Di sebelahnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun duduk pula. Setiap kali mereka memperhatikan sikap dan wajah ketiga Pangeran yang duduk di sebelah Witantra.

“Orang-orang gila,” geram Pangeran Indrasunu di dalam hatinya, “ternyata kebaikan hati orang ini hanyalah sekedar pura-pura. Mereka akan mempermainkan kami di depan orang banyak.”

Tetapi Pangeran Indrasunu sadar jika ia berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Mahendra dan Witantra, maka nasib mereka akan menjadi semakin buruk.

Demikian Ki Buyut duduk, maka ia pun segera bertanya, “Apakah dua orang mayat ini yang kau maksud dengan dua orang perampok itu?”

“Ya, Ki Buyut.” jawab Mahendra.

”Apa yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Buyut pula.

“Mereka akan merampok seisi rumah ini, Ki Buyut. Mula-mula mereka mempergunakan ilmu sirep, serangga hampir saja kami seisi rumah tertidur. Untung bahwa kami masih menyadari diri. Tetapi tetangga-tetangga kami tidak seorang pun yang mendengar keributan yang telah terjadi di rumah ini. Baru pagi ini mereka mendengar, bahwa kami telah didatangi oleh dua orang perampok.”

“Dan kalian berhasil membunuhnya?” bertanya Ki Buyut.

“Ya, Ki Buyut. Tetapi itu karena satu kebetulan. Kebetulan di rumah kami terdapat tiga orang tamu.” jawab Mahendra.

Wajah Pangeran Indrasunu dan kedua orang Pangeran yang lain menjadi tegang. Apalagi ketika Ki Buyut berpaling terhadap mereka dengan sorot mata yang memancarkan kecurigaan. Sementara itu ketiga orang Pangeran itu tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh Mahendra tentang diri mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Mereka pun tidak tahu, apa yang hendak dikatakan oleh ayahnya tentang ketiga Pangeran yang telah datang ke rumahnya bersama kedua orang yang terbunuh itu.

Ki Buyut memandang ketiga orang Pengeran itu berganti-ganti. Tetapi karena Mahendra belum menyebutnya, maka Ki Buyut masih belum mengerti, siapakah ketiganya itu. “Bagaimana dengan ketiga orang tamu ini?” bertanya Ki Buyut kemudian.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ketiga anak-anak muda ini adalah tiga orang Pangeran dari Kediri.”

“Oh,” Ki Buyut terkejut. Kemudian ia mengangguk dengan hormatnya sambil berkata, “Maaf Pangeran. Aku tidak tahu sebelumnya, sehingga barangkali sikapku agak kurang mapan dan deksura.”

Ketiga orang Pangeran itu termangu-mangu. Mereka justru menjadi bingung menanggapi sikap Ki Buyut itu.

Dalam pada itu Mahendra pun berkata selanjutnya, “Ki Buyut. Seandainya di rumah ini tidak ada tamu tiga orang Pangeran ini, mungkin sekali kami tidak akan dapat berbuat banyak terhadap para perampok. Aku memang serba sedikit dapat melawan mereka. Tetapi yang datang ke rumah ini adalah dua orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang tidak banyak dikenal orang. Karena itu hampir saja aku kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri bersama kedua anak-anakku. Namun ternyata ketiga orang Pangeran ini telah bersedia turun tangan. Karena itu maka kami sekeluarga telah berhasil diselamatkan.”

“Oh.” Ki Buyut mengangguk-angguk.

Sementara itu ketiga orang Pangeran itu terkejut bukan kepalang. Mereka tidak menyangka bahwa Mahendra akan bersikap demikian. Bahkan mereka pun hampir tidak percaya kepada pendengarannya. Bukan saja ketiga orang Pangeran itu, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun terkejut bukan buatan. Hampir saja mereka membantah pernyataan ayahnya. Namun ketika tatapan mata mereka membentur tatapan mata ayahnya, maka mereka pun kemudian menundukkan kepala mereka.

“Jadi, ketiga Pangeran ini yang telah menolongmu?” bertanya Ki Buyut.

“Ya, Ki Buyut.” jawab Mahendra.

Ki Buyut masih saja mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih, Pangeran. Aku pun wajib mengucapkan terima kasih. Pangeran telah menyelamatkan satu keluarga di dalam lingkungan kabuyutan ini.”

Ketiga orang Pangeran itu menjadi semakin bingung. Wajah mereka menjadi merah padam. Namun justru karena itu, mereka sama sekali tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang kemudian berkata,

“Yang penting kemudian Ki Buyut, Jika Ki Buyut sudah mengetahui persoalannya, maka kami akan minta ijin untuk menyelenggarakan mayat itu agar tidak terlalu lama berada di pendapa ini.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku sudah menyaksikannya dan aku sudah mengetahui persoalannya. Terserah kepadamu dan tetangga-tetanggamu. Mudah-mudahan peristiwa ini akan dapat menjadi peringatan bagi setiap kejahatan.”

Setelah melihat kedua sosok mayat itu, maka Ki Buyut pun kemudian turun ke halaman. Diserahkannya kedua sosok mayat itu kepada tetangga-tetangga Mahendra yang berada di halaman itu.

“Apakah kau mengetahui, siapakah kedua orang ini, Mahendra?” bertanya Ki Buyut, “Mungkin mereka menyebut tentang diri mereka, nama mereka atau sebutan mereka.”

Mahendra memandang Pangeran Indrasunu yang juga ikut turun ke halaman, seolah-olah minta agar ia menjawabnya. Pangeran itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Menurut pendengaranku, Ki Buyut, mereka menyebut nama mereka. Sepasang Serigala dari Padang Geneng.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia belum pernah mendengar nama itu, tetapi sebutan itu benar-benar telah menggetarkan jantungnya. Sehingga justru karena itu, maka ia merasa semakin berterima kasih kepada ketiga orang Pangeran yang kebetulan sedang bertemu di rumah Mahendra.

Namun yang bergejolak kemudian adalah jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Rasa keadilan mereka benar-benar telah tersinggung. Karena itu, hampir di luar sadar mereka telah berkisar meninggalkan orang banyak yang berkerumun di halaman. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba mereka ingin menemui Ken Padmi. Ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka menemukan Ken Padmi duduk di sudut amben sambil menangis. Hatinya benar-benar bagaikan tergores oleh tajamnya sembilu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tertegun melihat Ken Padmi menangis. Tetapi keduanya mengerti betapa sakitnya hati gadis itu.

Namun demikian, Mahisa Murti masih juga bertanya, “Kenapa kau menangis?”

Ken Padmi mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itu pun telah tertunduk lagi. Di antara isak tangisnya ia menjawab, “Aku mendengar jawaban paman Mahendra atas pertanyaan Ki Buyut tentang ketiga orang Pangeran itu.”

Mahisa menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda itu pun kemudian duduk pula di amben itu. Keduanya mengerti, betapa sakitnya hati Ken Padmi. Mereka berdua sudah merasa bahwa ayahnya telah berbuat tidak adil. Apa lagi Ken Padmi yang merasa langsung dihinakannya.

Dalam pada itu, di halaman, Ki Buyut pun kemudian telah minta diri. Para tetangga Mahendralah yang kemudian menyelenggarakan kedua sosok mayat itu sebagaimana diminta oleh Ki Buyut.

“Ki Mahendra adalah orang pilih tanding,” berkata salah seorang tetangganya, “namun agaknya kedua orang ini memiliki ilmu yang lebih tinggi. Untunglah bahwa di rumah ini sedang ada tiga orang tamu, sehingga mereka bersama-sama akhirnya dapat membunuh kedua orang yang nampaknya sangat ganas itu. Juga nampak bagaimana mereka membuat sebutan bagi diri mereka sendiri.”

Kawannya mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan tetangganya itu. Bahkan mereka telah membayangkan, betapa garangnya kedua orang yang terbunuh itu, karena menurut pengertian mereka, Mahendra adalah orang yang mempunyai kelebihan dari tetangga-tetangga mereka. Sebagai seorang pedagang yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu kota ke kota yang lain, Mahendra harus membekali dirinya dengan ilmu yang cukup. Tetapi untuk melawan kedua orang itu, agaknya ia mengalami kesulitan tanpa ketiga orang tamu yang kebetulan berada di rumah itu.

Ketika kesibukan itu kemudian lampau, karena kedua sosok mayat itu sudah dibawa ke tempat pekuburan, maka Mahendra mulai mengamati keadaan anak-anaknya dan Ken Padmi. Ketika ia masuk ke ruang dalam, Ken Padmi telah tidak ada di ruang itu. Yang ada tinggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

“Kenapa kau tidak ikut membawa kedua sosok mayat itu ke pekuburan?” bertanya Mahendra.

Mahisa Pukat memandang ayahnya sejenak. Kemudian katanya dengan suara datar, “Kami tidak mengerti sikap ayah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menduga. Di mana Ken Padmi sekarang?”

“Ia berada di dalam biliknya.” Jawab Mahisa Murti.

“Biarlah ia berada di dalam biliknya.” jawab Mahendra, “Mudah-mudahan Ken Padmi dan kalian berdua akhirnya dapat mengerti juga maksudku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menundukkan kepalanya saja. Ketika mereka mendengar langkah mendekat, baru mereka mengangkat wajah mereka. Ternyata Witantra telah berdiri di samping ayah mereka.

“Mereka kurang mengerti.” berkata Mahendra.

“Baiklah. Biarkan ketiga orang Pangeran itu masuk.” desis Witantra.

Mahendra menganggukkan kepalanya. Namun sebelum Witantra memanggil ketiga orang Pangeran itu, Mahisa Murti berkata, “Ayah, apakah aku diperkenankan meninggalkan ruang ini?”

”Kenapa?” bertanya Mahendra.

“Jika ketiga Pangeran itu berada di ruang ini pula, jantungku rasa-rasanya akan meledak.”

“Mungkin kami tidak akan dapat bertahan, ayah.” sambung Mahisa Pukat.

Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya, “Aku minta kalian tetap berada di sini. Kita sedang menguji hati ketiga orang Pangeran itu. Kita masih dapat mengambil sikap apapun juga sesuai dengan sikap mereka sendiri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti berkata, “Terserahlah kepada ayah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Witantra, “Biarlah mereka kemari, kakang.”

Witantra pun memanggil ketiga orang Pangeran itu memasuki ruang dalam. Mereka dipersilahkan duduk di amben yang besar bersama Mahendra, Witantra dan kedua adik Mahisa Bungalan itu. Namun sejak memasuki ruangan ternyata, sikap ketiga orang Pangeran itu sudah berubah sama sekali.

Setelah ketiganya duduk, maka Mahendra pun kemudian bertanya, “Pangeran. Kami telah berusaha berbuat sebaik-baiknya. Kemudian terserah, apakah yang akan Pangeran lakukan.”

Pangeran Indrasunu mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Mahendra sejenak. Kemudian dipandanginya kedua anak muda yang menundukkan kepalanya. Mahisa Murti yang berusaha menahan gejolak hatinya setiap kali bergeser setapak. Sementara Mahisa Pukat meremas-remas jari-jarinya sendiri. Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka mendengar isak tertahan. Ketika mereka mengangkat wajah mereka, mereka seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya. Pangeran Indrasunu itu ternyata menangis.

“Paman,” terdengar suara yang bergetar, “paman telah berbuat sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali. Paman telah menghadapkan wajahku ke muka cermin. Dan paman telah memaksa kami bertiga untuk memandang ke wajah-wajah kami.”

“Maksud Pangeran?” bertanya Mahendra.

“Paman telah memaksa kami melihat, betapa kotor hati kami,” jawab Pangeran Indrasunu, “Karena itu, betapa penyesalan yang tidak terkatakan telah menyiksa perasaan kami.”

“Maksud Pangeran, bahwa Pangeran telah menyesali perbuatan Pangeran?” bertanya Witantra.

“Ternyata hati kami adalah hati batu,” jawab Pangeran Indrasunu, “baru sekarang aku melihat, betapa kakangmas Suwelatama berusaha menjaga nama kami. Kakangmas Suwelatama, tidak pernah melaporkan sikap kami kepada para penguasa di Kediri dan apalagi secara resmi kepada Maharaja di Singasari. Tetapi hati kami masih belum terbuka. Baru saat ini, setelah kami dibenturkan kepada kenyataan yang sangat pedih tergores di hati kami, maka kami harus menyesali sikap kami. Kami yang sudah menduga bahwa kami akan dihukum picis, ternyata sama sekali jauh dari kenyataan itu.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bahwa usaha Mahendra untuk membuat penyelesaian yang sebaik-baiknya sebagian telah dapat dicapainya, meskipun ia harus mengorbankan kepahitan kedua anak laki-lakinya dan calon menantunya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mulai mengerti arti dari sikap ayahnya. Sikap yang tidak diperhitungkannya sama sekali. Namun yang agaknya sikap itu mempunyai nilai yang lebih tinggi dari sikap yang keras dan kasar. Bahkan dengan membunuh mereka bertiga. Karena itu, maka hati mereka pun mulai mencair. Kemarahan, kegelisahan dan perasaan tidak adil yang meronta di dalam dadanya telah mulai melunak.

Mahendra sempat memandang wajah anak-anaknya. Ia melihat perubahan pada wajah-wajah itu. “Mudah-mudahan mereka dapat mengerti.” berkata Mahendra di dalam hatinya.

“Pangeran,” berkata Witantra kemudian, “aku mengucap sukur jika Pangeran benar-benar telah merasa bersalah. Dengan demikian Pangeran akan berjanji di dalam diri, bahwa Pangeran tidak akan melakukan kesalahan itu lagi untuk selanjutnya.”

Pangeran Indrasunu mengangguk. Sambil mengusap matanya yang basah ia berkata, “Aku menyesal sekali. Penyesalan ini akan menyiksa kami untuk waktu yang tidak terbatas. Mudah-mudahan aku selalu mendapat petunjuk dari Yang Maha Agung di dalam hati, sehingga aku tidak akan melakukan kesalahan lagi.”

“Kami akan selalu ikut berdoa, Pangeran.” jawab Witantra.

“Nah,” berkata Mahendra kemudian, “jika Pangeran benar-benar menyesali perbuatan Pangeran, sebaiknya Pangeran menyatakannya kepada orang-orang yang terkait dalam sikap dan perbuatan Pangeran. Mungkin kepada kami berdua yang tua-tua ini Pangeran tidak perlu menyatakan penyesalan dan minta maaf, karena kami sudah dapat mengerti perasaan Pangeran. Tetapi kepada anak-anak muda itu, cobalah Pangeran mengatakannya.”

Pangeran Indrasunu memandang Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang duduk berdampingan. Namun, ia telah memaksa hatinya untuk menahan segala gejolak dan perasaan. Ia benar-benar telah menyesal, sehingga ia pun tidak berkeberatan untuk menyatakannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berpaling kepada kedua orang saudaranya. Dengan nada berat ia berkata, “Marilah. Kita akan minta maaf kepada mereka.”

Pangeran Indrasunu dan kedua Pangeran itu pun beringsut setapak menghadap kepada kedua orang anak muda yang justru menunduk. Dengan nada dalam Pangeran Indrasunu berkata, “Kami harus menyesali segala tingkah laku kami. Bukan saja yang baru kami lakukan, tetapi serangkaian perbuatan kami yang sesat selama ini.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti masih saja menunduk. Sehingga dengan demikian, maka ayahnya pun telah menegurnya, “Kau dengar kata-kata Pangeran Indrasunu?”

Kedua anak muda itu berbareng mengangguk.

“Nah. Kau dapat menjawabnya.” desak ayahnya.

Mahisa Pukatlah yang kemudian beringsut sedikit. Katanya dengan sendat, “Baiklah.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Mereka tidak berkeberatan, Pangeran. Tetapi masih ada seorang lagi yang tersangkut oleh tingkah laku Pangeran. Justru pada sikap Pangeran sekarang ini, telah menjadi sasaran Pangeran bertiga.”

Jantung ketiga orang Pangeran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka sudah menduga, bahwa orang itu adalah seorang gadis yang bernama Ken Padmi.

Sebenarnyalah maka Mahendra berkata, “Pangeran. Jika sekarang ada di sini, Pangeran juga harus minta maaf kepada Mahisa Bungalan dan kepada pamannya, kakang Mahisa Agni. Tetapi mereka tidak ada sekarang ini. Sedang yang ada di sini hanyalah Ken Padmi. Karena itu, maka Pangeran pun harus minta maaf kepadanya.”

Pangeran Indrasunu dan kedua orang saudaranya menundukkan wajahnya. Keringat yang dingin telah membasahi kening dan punggung. Tetapi mereka tidak akan dapat ingkar.

Dalam pada itu, maka Mahendra pun kemudian berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, “Panggilah Ken Padmi kemari.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya keduanya pun bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekati bilik Ken Padmi yang tertutup. Tetapi pintu bilik itu ternyata tidak terselarak. Ketika Mahisa Murti mendorong pintu itu, maka pintu itu pun telah terbuka. Mahisa Murti tertegun ketika ia melihat Ken Padmi duduk di bibir pembaringannya. Dengan sehelai kain panjang gadis itu mengusap wajahnya yang basah. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti itu pun berkata, “Ayah memanggilmu.”

Ken Padmi memandang kedua anak muda yang berdiri di pintu itu. Kemudian desisnya lirih, “Aku sudah mendengar, apa yang kalian percakapkan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk.

“Marilah.” berkata Ken Padmi kemudian.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun mempersilahkan Ken Padmi mendahului mereka. Namun nampaknya Ken Padmi itu sudah tidak ragu-ragu lagi melangkah ke amben di ruang dalam. Meskipun demikian, ketika ia sudah duduk, maka wajahnya pun masih juga tertunduk dalam-dalam. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk pula di samping gadis itu. Tetapi mereka tidak lagi menundukkan wajah mereka.

Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesepian. Masing-masing seolah-olah hanya mendengar jantung mereka sendiri. Kegelisahan yang sangat telah menerpa perasaan Pangeran Indrasunu dengan kedua saudaranya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, mereka harus minta maaf kepada gadis itu. Gadis yang akan dijadikan korban dendam mereka kepada Mahisa Bungalan.

“Raden,” terdengar suara Mahendra menyayat kesepian itu, “aku persilahkan Raden minta maaf kepadanya. Karena sebenarnyalah kesalahan Raden terbesar adalah kepada gadis itu.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah, paman. Aku sudah siap untuk minta maaf dan mengakui segala kesalahan.”

“Lakukanlah.” sahut Mahendra.

Pangeran Indrasunu itu pun kemudian memandang wajah Ken Padmi yang tunduk. Sekilas ia masih melihat kecantikan gadis itu. Namun kemudian betapapun beratnya ia pun berkata, “Ken Padmi. Paman Mahendra telah membenturkan aku dan kedua saudaraku ini kepada satu kenyataan tentang diri kami masing-masing. Karena itulah, maka aku akan minta maaf kepadamu atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Kesalahan yang pada saat-saat aku menyadarinya kemudian, telah aku sesali sedalam-dalamnya.”

Ken Padmi mengangkat wajahnya. Hanya sekejap. Wajah itu pun kemudian menunduk lagi. Karena Ken Padmi tidak menjawab, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Kau harus menjawab, Ken Padmi. Apakah kau bersedia memaafkan atau tidak?”

Sejenak Mahendra menunggu. Namun kemudian gadis itu telah menganggukkan kepalanya.

“Terima kasih,” desis Pangeran Indrasunu, “sebenarnyalah bahwa kesalahan kami sudah terlalu besar. Jika kau memaafkannya, maka aku akan merasa, betapa kerdil jiwaku di hadapan jiwa-jiwa besar seisi rumah ini.”

Ken Padmi tidak menjawab. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Namun dalam pada itu, Mahendra lah yang berkata, “Pangeran. Penyesalan yang paling berarti adalah apabila kesalahan itu tidak akan terulang lagi. Sebaiknya Pangeran berjanji kepada diri sendiri. Kemudian Pangeran masih harus menghubungi Pangeran Suwelatama dari Kabanaran. Pangeran harus memperbaiki hubungan Pangeran dengan Akuwu Kabanaran, karena Pangeran telah pernah melakukan satu perbuatan yang menyakiti hati orang-orang Kabanaran.”

Pangeran Indrasunu mengangguk. Katanya, “Aku tidak berkeberatan, paman. Aku akan pergi ke Kabanaran. Aku akan menemui kakangmas Suwelatama untuk mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah aku perbuat, langsung atau tidak langsung.”

“Itu adalah sikap kesatria.” desis Witantra, “Dengan demikian maka Pangeran bukan saja telah dibersihkan dari kesalahan, tetapi Pangeran akan kembali kepada sikap seorang kesatria.”

Ketiga orang Pangeran itu tidak menjawab. Untuk sesaat kembali ruang itu menjadi sepi. Baru kemudian Mahendra berkata, “Kami masih akan menjamu Pangeran sebelum Pangeran meninggalkan rumah ini.”

Tetapi rasa-rasanya ketiga orang Pangeran itu tidak betah lagi untuk tinggal di rumah itu. Meskipun kesalahan mereka sudah dimaafkan, tetapi rasa-rasanya masih saja jantungnya bergejolak apabila mereka melihat Ken Padmi. Namun demikian mereka tidak dapat memaksa karena Mahendra benar-benar menahannya. Tetapi setelah mereka benar-benar dijamu sekali lagi maka mereka pun segera minta diri meninggalkan rumah yang telah memaksa mereka untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri.

Ternyata bahwa penyerahan yang dikatakan oleh Pangeran Indrasunu bukannya sekedar untuk berlindung mencari keselamatan. Mereka ternyata benar-benar menyesali segala perbuatan yang telah mereka lakukan. Karena itulah, maka di perjalanan kembali, Pangeran Indrasunu telah minta kedua orang Pangeran yang lain untuk singgah di Kabanaran.

“Kami tidak berkeberatan,” berkata salah seorang dari kedua Pangeran itu, “tetapi apakah tidak mungkin terjadi salah paham? Begitu kita memasuki Pakuwon Kabanaran, maka sepasukan pengawal Pakuwon itu siap menangkap kita.”

“Kita harus memberikan kesan, bahwa kita datang dengan maksud baik. Kita harus melepaskan segala senjata dan mungkin sikap yang dapat memancing pertentangan.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Tidak ada orang yang mempercayai kita lagi,” jawab Pangeran yang lain, “jika kakangmas Pangeran sependapat, kita akan kembali dahulu ke padepokan. Kita menyampaikan segala persoalan ini kepada guru. Biarlah guru memberikan petunjuk apakah yang sebaiknya kita lakukan. Jika guru tidak berkeberatan, biarlah guru menyampaikan maksud kita kepada kakangmas Akuwu Suwelatama.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ia pun sadar, bahwa sulit bagi mereka untuk mendapatkan kepercayaan. Apalagi di Pakuwon Kabanaran. Mungkin mereka justru mengira bahwa kedatangannya adalah karena kelicikan sifatnya, sehingga segala pernyataannya dianggap oleh orang-orang Kabanaran sebagai satu jebakan. Karena itu, maka Pangeran itu pun berkata, “Baiklah. Kita akan mohon petunjuk kepada mereka yang mempunyai wawasan yang lebih luas, tetapi dengan satu pengertian, bahwa kita sudah menyesali perbuatan kita.”

Demikianlah ketiga orang Pangeran itu pun telah dengan tergesa-gesa pergi ke padepokan tempat mereka berguru. Pangeran Indrasunu pun telah telah pergi bersama kedua orang saudaranya. Mereka akan datang kepada guru mereka masing-masing untuk melaporkan perkembangan yang telah terjadi di dalam jiwa mereka.

“Kita pergi bersama-sama,” berkata Pangeran Indrasunu, “kita datang kepada kedua orang guru kalian berganti-ganti. Kita akan bersama-sama mendengarkan pendapat mereka.”

Dalam pada itu, di rumah Mahendra, Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Ken Padmi duduk menghadap Witantra dan Mahendra. Ternyata pada saat terakhir, mereka dapat mengerti, apa yang dikehendaki oleh orang tua mereka. Dengan demikian maka mereka telah menundukkan kejahatan tanpa mengotori tangan mereka dengan kekerasan yang dapat merenggut jiwa ketiga orang Pangeran itu.

“Mereka masih muda,” berkata Mahendra, “mungkin hari depan mereka masih cukup cerah.”

Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Ken Padmi menundukkan wajah-wajah mereka.

“Karena itu, kita memberi kesempatan kepada mereka,” berkata Mahendra kemudian, “kecuali jika kesempatan yang kita berikan itu tidak mereka pergunakan sebaik-baiknya, itu adalah salah mereka sendiri.”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara itu Witantra berkata, “Tetapi menilik sikap mereka, aku mempunyai keyakinan bahwa mereka benar-benar telah menyesali perbuatan mereka. Dengan tulus mereka menyatakan penyesalan dan pertaubatan. Memang mungkin sekali, mereka masih dapat dipengaruhi oleh orang lain sehingga mereka akan melakukan kesalahan yang sama. Tetapi mudah-mudahan mereka benar-benar telah menemukan kembali diri mereka yang hilang, sehingga tidak akan diombang-ambingkan lagi oleh sikap dan perbuatan yang salah.”

“Tetapi apakah mungkin mereka akan dapat mempertahankan penyesalan itu untuk waktu yang lama, ayah?” bertanya Mahisa Pukat.

“Memang masih akan terjadi banyak kemungkinan,” jawab ayahnya, “tetapi aku berharap bahwa mereka tidak terperosok lagi ke dalam hubungan yang dapat mempengaruhi jiwa mereka. Jika mereka kemudian kembali ke lingkungan hidup mereka sebagai cantrik, maka mereka akan banyak tergantung kepada sikap guru mereka. Namun nampaknya justru karena mereka adalah Pangeran yang mempunyai segala-galanya dari segi lahiriah, maka justru guru mereka berada di bawah pengaruh para Pangeran muda itu. Guru mereka hanyalah orang-orang mumpuni yang diupah untuk menurunkan ilmu kanuragan. Tetapi sama sekali tidak dapat membekali mereka dengan pesan-pesan kejiwaan.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka justru mendapat kesempatan untuk menilai diri sendiri. Ketiga orang Pangeran itu juga anak-anak muda meskipun lebih tua dari mereka, namun tentu tidak terpaut banyak. Dengan demikian mereka masih merasa beruntung, bahwa mereka sejak semula dapat memilih jalan yang lebih baik dari ketiga orang Pangeran itu, sehingga mereka tidak perlu menyesali tingkah laku mereka dan mencari sandaran tatanan hidup yang baru.

Meskipun demikian, ketika kembali ke dalam biliknya, Ken Padmi sempat mengurai keadaannya sendiri. Tiba-tiba saja ia merasa demikian sepinya. Ia berada di rumah orang lain, bukan rumahnya sendiri, justru karena hubungannya dengan Mahisa Bungalan. Sementara itu Mahisa Bungalan sendiri tidak berada di rumah. Terpercik kerinduannya kepada padepokannya yang sepi. Kepada orang tuanya dan kepada lingkungannya. Rasa-rasanya ada satu keinginan untuk melihat semuanya itu. Tetapi ia tidak akan pergi meninggalkan rumah itu sebelum Mahisa Bungalan kembali.

Karena itu, maka kemudian Ken Padmi pun telah terbenam ke dalam perasaannya. Ia mengharap dengan sungguh-sungguh, agar Mahisa Bungalan segera kembali. Bahkan dalam gejolak pengharapannya itu terselip kekhawatiran, bahwa mungkin Mahisa Bungalan telah mengalami sesuatu. Ia tahu bahwa Mahisa Bungalan berada di satu tempat justru karena tempat itu mengalami pergolakan...