Panasnya Bunga Mekar Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 25
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANGERAN Indrasunu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya bukan itu yang dikehendakinya. Ia ingin membalas sakit hatinya dengan menebus kekalahannya. Bahkan jika mungkin dengan peristiwa yang jauh lebih besar dari yang pernah terjadi di Singasari itu.

Bukan sekedar mengalahkan Mahisa Agni, Mahisa Bungalan, Mahendra dan Witantra di arena perang tanding, tetapi Singasari dalam keseluruhan memang harus dirombak sama sekali. Seluruh tatanan kehidupannya. Bahkan jika mungkin hubungan antara Kediri dan Singasari itu sendiri. Meskipun persoalan itu sudah jauh melampaui persoalan pokoknya.

Tetapi Pangeran Indrasunu cukup cerdik untuk tidak dengan tergesa-gesa menyampaikan maksudnya. Karena itu, maka ia pun mengangguk-angguk sambil menahan segala gejolak hatinya untuk pada suatu saat yang paling baik, menyampaikannya kepada Akuwu Suwelatama.

Bersama tiga orang Pangeran lainnya, Pangeran Indrasunu tinggal di Pakuwon yang dipimpin oleh Pangeran Suwelatama. Rasa-rasanya mereka memang dapat melupakan gejolak hati mereka dengan melihat-lihat sawah yang hijau. Sungai yang bening mengalir di tengah-tengah bulak yang panjang. Bendungan yang panjang yang mengangkat air ke sawah lewat parit yang bercabang-cabang.

Namun demikian, Pangeran Indrasunu tidak pernah melupakan maksud kedatangannya yang sebenarnya. Di Pakuwon itu ia memang melihat gadis-gadis yang tersipu-sipu jika Pangeran-Pangeran muda itu memandangi mereka. Bahkan mereka menjadi ketakutan jika salah seorang dari Pangeran itu mendekatinya. Namun dalam pada itu, hati mereka pun rasa-rasanya menjadi kembang sebesar Gunung.

Baru setelah Pangeran-Pangeran muda itu berada di Pakuwon itu beberapa hari, maka mereka mulai menyinggung masalah-masalah yang mereka kehendaki, sedikit demi sedikit.

“Harus ada perubahan dalam tatanan kehidupan di Kediri.” berkata Pangeran Indrasunu.

Pangeran Suwelatama itu pun termangu-mangu. Namun agaknya adiknya yang bertubuh kecil itu pun meyakinkannya, bahwa yang dikatakan itu sebenarnyalah demikian. Akuwu Suwelatama yang semula ragu-ragu menanggapi sikap anak-anak muda itu, akhirnya telah terbuka pula. Pangeran yang lebih senang tinggal di luar Kota Raja itu pun mengerti, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pangeran-Pangeran muda itu.

“Kenapa kalian datang kemari?” tiba-tiba saja Pangeran Suwelatama itu bertanya kepada adiknya, “Apakah kau melihat kemungkinan yang paling kecil sekalipun, bahwa aku akan sependapat dengan kalian?”

“Aku mengerti sikap kakangmas,” jawab adiknya, Pangeran yang bertubuh kecil, “kakangmas lebih senang tinggal di tempat ini, karena kakangmas tidak sependapat dengan perkembangan keadaan. Namun agaknya kakangmas terlalu baik hati, atau kakangmas memang tidak ingin melihat orang-orang gila itu kehilangan tempatnya.”

“Tetapi itu belum berarti bahwa, aku telah menentukan satu sikap.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Yang kakangmas lakukan sudah satu sikap. Namun terserahlah kepada kakangmas untuk mengembangkan sikap itu. Kami hanya ingin menyampaikan kepada kakangmas, bahwa kami mulai merintis jalan untuk mengambil langkah yang panjang. Yang terjadi atas kakangmas Indrasunu dan ketidakmampuan kakangmas Wirapaksi untuk mengambil langkah yang paling baik, hanyalah satu persoalan di antara banyak persoalan yang harus kita tanggapi.”

Akuwu Suwelatama tertawa. Katanya, “Kalian masih terlalu muda untuk menentukan langkah. Kalian hanya terburu oleh perasaan tidak puas dan gelisah. Meskipun aku percaya bahwa kalian mempunyai kekuatan, bahkan juga kalian mempunyai latar belakang perguruan kalian masing-masing, tetapi kalian hanyalah debu bagi Kediri dan apalagi Singasari.”

“Kami menyadari,” sahut Pangeran Indrasunu, “karena itu kami tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Yang ada di dalam diri kami barulah angan-angan, keinginan dan gambaran dari satu masa yang menurut penilaian kami cukup baik dan berarti. Justru karena kami merasa kekecilan kami, maka kami telah datang kemari. Karena sebenarnyalah kami tahu, Pakuwon ini adalah Pakuwon yang besar dan tidak lebih buruk keadaannya dengan Tumapel.”

Akuwu Suwelatama tertawa semakin keras. Katanya, “Seolah-olah kalian pernah melihat Pakuwon Tumapel pada masa Akuwu Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken Arok yang kemudian memperisterikan Ken Dedes setelah ia berhasil mengelabui para Senopati dengan menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuhnya.”

“Tetapi kami mempunyai kemampuan berangan-angan.” jawab Pangeran Indrasunu.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku memang tidak dapat menyembunyikan sikapku, sehingga adikku dapat mengetahui. Namun aku sudah berusaha untuk menyingkir sehingga ketidakpuasan itu tidak akan berkembang. Tetapi ternyata bahwa keadaan tidak menjadi semakin baik, tetapi justru menjadi semakin buruk. Tentu saja bagi Kediri dan tatanan kehidupannya. Mungkin dalam hubungan lahiriah keadaan bertambah baik. Banyak orang yang sudah mulai merasa betapa mereka hidup tenang dan sejahtera. Namun ada segi-segi yang perlahan-lahan akan runtuh di Kediri dan di Singasari sendiri. Namun sejarah pertumbuhan Kediri berbeda dengan pertumbuhan Singasari.”

“Jadi bagaimana menurut kakangmas?” bertanya Pangeran bertubuh kecil.

“Jangan menyudutkan aku mengambil sikap dengan tergesa-gesa seperti anak-anak yang masih muda. Aku harus berpikir dan membuat perhitungan. Meskipun pada dasarnya kau tahu sikap hatiku, tetapi aku tidak akan dapat mengorbankan banyak hal yang ada di sekitarku, terutama yang berujud kewadagan.” berkata akuwu itu. Lalu, “Karena itu, aku akan mendengarkan keluhanmu, sikap hatimu dan angan-anganmu bagi masa depan. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan keadaanku sekarang.”

“Kami sudah melihat betapa besar dan kuatnya Pakuwon ini.” jawab adiknya.

Akuwu Suwelatama tersenyum. Ditepuknya bahu adiknya sambil berkata, “Kau puji aku seperti kau memuji anak-anak. Tetapi aku berterima kasih juga kepadamu.”

Adiknya yang bertubuh kecil itu pun tersenyum. Namun dalam pada itu Pangeran Indrasunu berkata, “Segalanya tergantung kepada kebijaksanaan Akuwu Suwelatama. Kami tidak akan berarti apa-apa. Betapapun kami berusaha, semuanya itu tidak lebih dari sebuah permainan yang buruk.”

“Kalian memang aneh-aneh,” sahut Akuwu Suwelatama, “belajarlah pada pengalaman. Pujian-pujian tidak akan mendorong seseorang yang cukup dewasa untuk membenarkan sikap yang kalian kehendaki. Kecuali kalian dapat meyakinkan kebenaran dari jalan pikiran kalian. Itu saja.”

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menundukkan kepalanya.

“Baiklah.” berkata Akuwu Suwelatama, “Kita masih akan berbicara lagi. Tetapi ketahuilah, bahwa kemenangan Ken Arok atas Kediri pada waktu itu, adalah karena ketidakmampuan orang-orang Kediri sendiri mengurus pemerintahan. Perbedaan pendapat antara kaum Brahmana dan Kesatria adalah sumber dari keruntuhannya. Ken Arok yang cerdik dan licik itu berhasil memanfaatkan keadaan ini. Jangan kau kira, bahwa karena kebesaran Akuwu Tumapel itu sajalah unsur kemenangan Tumapel atas Kediri.”

Keempat Pangeran yang masih muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata yang di bayangkan tidak semudah itu untuk dilaksanakannya. Namun demikian, Pangeran Suwelatama tidak mengecewakan keempat Pangeran itu. Meskipun tidak jelas, Akuwu itu bersedia untuk membantu mereka, agar tata kehidupan di Kediri dan Singasari dapat berubah sebagaimana seharusnya.

“Di samping itu aku akan membina Pakuwon ini,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi aku tentu tidak akan dapat berbuat tergesa-gesa seperti kalian. Aku akan membuat perhitungan yang cermat. Aku akan melangkah jika kau sudah yakin.”

Keempat Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun adiknya yang bertubuh kecil itu masih sempat bertanya, “Kapan kita akan mendapat ketetapan, apa yang akan kakangmas lakukan? Dan barangkali kapan kakangmas akan mulai?”

“Aku akan memberitahukan semuanya kepada kalian,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi sementara ini kalian jangan berbuat apa-apa. Jika kalian salah langkah, maka kalian akan terjerumus ke dalam kesulitan.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Indrasunu, “kami tidak akan berbuat apa-apa selain bersiap-siap menghadapi masa itu. Masa yang akan memutar kembali jalannya sejarah Kediri yang buram ini.”

“Ah,” desah Pangeran Suwelatama, “kita tidak tergesa-gesa. Kita harus berpikir masak-masak. Dengan demikian kita akan mampu mencapai cita-cita itu.”

Keempat Pangeran yang masih muda itu sama sekali tidak dapat memaksa Akuwu Suwelatama. Ternyata bahwa Akuwu Suwelatama tidak secepat mereka mengambil keputusan.

“Orang-orang tua selalu lamban.” desis Pangeran yang bertubuh kecil itu ketika mereka duduk berempat di serambi istana Akuwu Suwelatama.

“Akuwu Suwelatama belum termasuk tua. Ia masih termasuk muda dalam usia.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Tetapi kita harus menghargai pikirannya,” berkata Pangeran yang seorang lagi, “kita memang tidak boleh tergesa-gesa.”

“Tetapi juga tidak tanpa batas.” sahut yang lain.

“Kita akan menunggu,” berkata Pangeran indrasunu, “mungkin sampai kita menjadi tua. Tetapi mungkin juga Akuwu Suwelatama bekerja lebih cepat dari yang kita duga.”

Dalam pada itu, keempat Pangeran itu pun merasa tidak perlu lagi berada di Pakuwon itu lebih lama lagi. Mereka pun segera minta diri, sehingga di Kediri mereka akan dapat mempersiapkan para pengikut masing-masing.

“Kalian dapat tinggal di sini lebih lama lagi.” Akuwu Suwelatama berusaha mencegah mereka.

Tetapi keempat Pangeran itu tidak betah lagi tinggal di Pakuwon itu oleh gejolak darah mereka. Seolah-olah mereka terpanggil untuk segera pulang kembali dan dengan pengorbanan apapun juga, berusaha menyelamatkan Kediri dari kehancuran yang lebih dalam.

Sepeninggal keempat Pangeran itu, Akuwu Suwelatama justru menjadi sangat prihatin. Ia menjadi bingung menanggapi sikap anak-anak muda itu. Rasa-rasanya mereka sajalah yang mempunyai pandangan dan sikap yang paling benar dan tepat. Adalah wajar bahwa jiwa anak-anak muda itu masih saja meledak-ledak. Tetapi tentu harus pada sasaran yang tepat dan menguntungkan.

Dalam kegelisahan itu, maka Akuwu Suwelatama berniat untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap dari yang didengarnya dari keempat Pangeran itu. Maka yang paling baik dilakukan menurut pertimbangannya adalah menghubungi guru Pangeran Indrasunu sebelum Pangeran Indrasunu sendiri melakukannya, dan barangkali Indrasunu akan menyebut-nyebut dirinya dengan sikap yang keliru.

Karena itu, maka Akuwu Suwelatama pun memutuskan untuk segera berangkat di keesokan harinya. Bersama beberapa orang pengawalnya, ia pun telah pergi ke padepokan Wasi Sambuja yang menurut Pangeran Indrasunu telah mengalami cidera pula di Singasari karena ia harus berhadapan dengan seorang yang bernama Witantra.

Jarak yang harus ditempuh oleh Akuwu Suwelatama bukan jarak yang dekat. Tetapi karena persoalan yang akan dibicarakannya pun merupakan persoalan yang penting dan akan dapat berpengaruh bukan saja bagi Kediri, tetapi juga ketenangan pemerintahan Singasari, maka Akuwu Suwelatama menganggap perlu untuk pergi sendiri menemuinya. Ia merasa segan untuk memerintahkan para Senopatinya datang memanggil Wasi Sambuja.

Namun sebenarnyalah Akuwu Suwelatama adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan. Perjalanan yang betapapun beratnya pernah dilakukannya. Apalagi pada masa mudanya. Ia adalah seorang petualang yang menjelajahi lembah dan pegunungan.

Kedatangannya di padepokan Wasi Sambuja telah mengejutkan orang tua itu. Wasi Sambuja masih selalu berada di sanggarnya untuk memulihkan tubuhnya. Benturan Ilmu yang terjadi antara dirinya dengan Witantra, telah melukai bagian dalam tubuhnya, sehingga ia harus berbuat sebaik-baiknya untuk menyembuhkannya.

Dengan hati yang berdebar-debar, maka Wasi Sambuja yang mendapat kabar kedatangan Akuwu Suwelatama dari seorang cantriknya menjadi heran. Adalah satu hal yang aneh, bahwa Akuwu Suwelatama dari sebuah Pakuwon yang jauh telah datang menemuinya di padepokannya.

“Dalam hubungan apa maka ia datang kemari?” bertanya Wasi Sambuja di dalam hatinya.

Bahkan ia pun kemudian merasa cemas, bahwa kedatangan Akuwu Suwelatama telah mengemban perintah, apakah dari Kediri atau dari Singasari untuk menangkapnya, karena Pangeran Wirapaksi dapat menarik kesimpulan, bahwa ia sudah memberontak melawan kekuasaan Singasari di Kediri. Namun akhirnya Wasi Sambuja berhasil menenangkan dirinya. Ia sudah mengenal Akuwu Suwelatama meskipun belum terlalu akrab.

Demikianlah, setelah membenahi diri, maka Wasi Sambuja yang masih belum pulih itu pun keluar dari sanggarnya. Keadaan tubuhnya itu pun menjadi pertimbangannya. Jika ia terpaksa melindungi dirinya, maka ia tidak sedang berada pada puncak kekuatannya. Apalagi ia tahu benar, bahwa Akuwu Suwelatama termasuk seorang Akuwu yang luar biasa yang telah meninggalkan Kota Raja Kediri untuk tinggal di sebuah Pakuwon.

Dengan berdebar-debar Wasi Sambuja kemudian menerima Akuwu Suwelatama yang telah menempuh perjalanan yang sangat jauh itu. Dengan tergesa-gesa para cantrik pun telah menyiapkan jamuan sekedarnya. Air hangat dan beberapa potong makanan.

Setelah saling bertanya tentang keselamatan masing-masing, serta setelah Akuwu Suwelatama minum beberapa teguk, maka Wasi Sambuja pun kemudian bertanya dengan nada rendah, “Kedatangan Pangeran telah mengejutkan kami yang tinggal di padepokan ini.”

Pangeran Suwelatama tersenyum. Kemudian katanya, “Paman Wasi Sambuja, sebenarnyalah kedatanganku ini membawa masalah yang aku anggap penting.”

Wasi Sambuja mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya, “Pangeran membuat aku menjadi berdebar-debar.”

Pangeran Suwelatama pun mulai menyentuh kepentingannya datang ke padepokan itu. Namun demikian ia berusaha untuk menyampaikannya dengan hati-hati, “Paman. Bukankah adimas Pangeran Indrasunu itu murid dari perguruan ini?”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Jawabnya, “Benar, Pangeran. Pangeran Indrasunu adalah salah seorang dari muridku di padepokan ini.”

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Pangeran Indrasunu telah datang ke Pakuwon. Ia sudah mengatakan segala yang dialaminya di Singasari. Adimas Indrasunu juga berceritera tentang perang tanding terbatas di halaman Pangeran Wirapaksi.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Kemudian dengan nada dalam ia berkata, “Aku memang sudah merasa, bahwa dengan tindakanku itu aku akan dapat dikenakan tuduhan, bahwa aku sudah melawan pemerintahan Singasari.”

“Tidak,” Pangeran Suwelatama menyahut, “masalahnya bukan itu. Tetapi yang kemudian berkembang benar-benar mengarah ke sikap itu.”

Wasi Sambuja menjadi bingung. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah maksud Pangeran?”

Pangeran Suwelatama pun kemudian mengatakan maksud kedatangan Pangeran Indrasunu dengan ketiga orang Pangeran yang lain, termasuk adiknya sendiri.

Wasi Sambuja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran Indrasunu memang seorang yang keras hati. Aku pun telah ikut bersalah, bahwa selama ini aku selalu membesarkan hatinya. Aku telah dicengkam oleh satu kebanggaan bahwa aku telah diangkat menjadi seorang guru bagi seorang Pangeran.”

“Kedatanganku ini paman,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku ingin mendapat penjelasan langsung dari paman Wasi Sambuja, guru adimas Pangeran Indrasunu, bagaimanakah pendapat paman tentang niat adimas Indrasunu dan saudara-saudara sepupunya itu.”

“Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “sebenarnyalah bahwa Pangeran Wirapaksi pun menjadi sangat kecewa atas tingkah laku adik iparnya. Bahkan aku sendiri pun telah mendapat tanggapan yang kurang baik dari Pangeran Wirapaksi. Aku menyangka, bahwa kedatangan Pangeran kali ini adalah karena Pangeran menjalankan tugas untuk menangkap aku.”

“Aku ingin pendapatmu, paman,” berkata Pangeran Suwelatama, “katakan dengan jujur, bagaimana pertimbanganmu.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sudah aku katakan Pangeran, bahwa aku telah memanjakannya, justru karena aku menganggap bahwa kedudukanku memberikan nilai yang tinggi bagi padepokan ini. Baru pada saat terakhir aku menyadari, bahwa langkahku telah keliru. Dan aku menyesal karenanya.”

“Jadi paman dapat mengerti jalan pikiran Pangeran Wirapaksi?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Aku mengerti,” jawab Wasi Sambuja, “aku justru menjadi menyesal, bahwa aku telah berbuat aneh-aneh di Singasari.”

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita sependapat. Aku yakin bahwa pada suatu saat, adimas Pangeran Indrasunu tentu akan dapat kemari untuk menyampaikan niatnya dan sudah barang tentu akan minta kepada gurunya untuk membantunya. Tentu demikian pula dengan Pangeran-pangeran yang lain. Tetapi menurut perhitunganku, Pangeran Indrasunu-lah yang akan menjadi penggeraknya, karena ialah yang telah dikecewakan oleh sikap orang-orang Singasari. Karena itulah, maka aku telah datang kemari.”

“Apakah maksud Pangeran yang sebenarnya? Aku ingin Pangeran mengatakan dengan bahasa yang jelas dan pasti.” bertanya Wasi Sambuja.

“Aku menolak pikiran anak-anak muda cupet budinya itu,” jawab Akuwu Suwelatama, “menurut pikiranku, jika ada hal yang tidak memenuhi selera mereka, sebaiknya dikaji lebih dahulu, apakah yang terjadi itu akan merusak nilai-nilai kehidupan dalam arti sebenarnya. Sebab perubahan-perubahan lahiriah belum tentu berarti pula perubahan-perubahan yang mendalam sampai kepada sikap jiwani. Sebaliknya, unsur-unsur lahiriah yang nampak masih tetap pada ujudnya, belum tentu tidak membawa perubahan yang justru mendasar. Apalagi bahwa yang sebenarnya dilakukannya adalah sekedar kekecewaan pribadi semata-mata.” Akuwu Suwelatama berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebaliknya, aku menghargai sikap anak-anak muda yang tidak gentar melihat pembaharuan namun yang masih tetap berakar kepada alas jiwa kita.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat dengan Pangeran. Aku menyesali, apa yang selama ini telah aku lakukan. Aku akan mencoba memberikan nasehat kepada Pangeran Indrasunu apabila ia datang kepadaku. Tetapi Pangeran itu pun tentu menjadi kecewa, justru karena aku tidak berhasil memenuhi keinginannya ketika ia berada di Singasari.”

“Terima kasih.” berkata Pangeran Suwelatama. Namun kemudian katanya, “Tetapi paman, kita tidak akan dapat dengan serta merta menolak. Aku pun tidak berani mengatakan kepada anak-anak itu langsung pada saat jiwa mereka sedang bergejolak. Aku mencoba mencari sandaran yang kemudian dengan perlahan-lahan dapat mengarahkan pikiran mereka. Aku sadar, jika mereka kecewa, maka mereka akan dapat melakukan sesuatu yang sangat mengejutkan. Karena itu, aku ingin mencari jalan yang paling baik untuk memperingatkan agar mereka tidak melakukan sesuatu yang tidak akan bermanfaat. Baik bagi mereka sendiri, apalagi bagi orang banyak.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku merasa semakin bersalah. Baiklah. Aku akan berusaha, Pangeran.”

“Ketika anak-anak itu menyampaikan maksudnya kepadaku, maka aku menunjukkan sikap yang nampak ragu, justru untuk mencegah agar mereka tidak segera mengambil sikap.” berkata Pangeran Suwelatama, “Dengan demikian, aku sempat memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan.”

“Ya, Pangeran.” desis Wasi Sambuja.

“Seolah-olah kita sedang menghadapi anak-anak yang bermain-main dengan pisau. Kita tahu, bahwa hal itu berbahaya. Tetapi jika kami memaksa untuk mengambil pisau itu, anak itu tentu akan menangis.”

“Jadi?” bertanya Wasi Sambuja.

“Kita akan mengambilnya, namun sementara itu kita harus mempersiapkan permainan yang lain, yang dapat memberinya kepuasan seperti mereka bermain-main dengan pisau, namun yang dapat memberikan manfaat kepada mereka.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Pangeran Suwelatama telah mendahuluinya, “Mengucapkannya memang jauh lebih mudah daripada melakukannya.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kita harus mencobanya. Dan aku juga akan mencobanya.”

“Terima kasih,” sahut Pangeran Suwelatama, “agaknya kedatanganku ke padepokan ini tidak sia-sia.”

Ternyata keduanya mendapat kesepakatan sikap. Karena itu, maka mereka berharap, bahwa Pangeran Indrasunu dengan ketiga orang saudaranya itu tidak akan terperosok ke dalam sikap yang kurang sewajarnya.

Dalam pada itu, setelah bermalam semalam di padepokan itu, maka di keesokan harinya Akuwu Suwelatama-pun minta diri. Diiringi oleh para pengawalnya, ia pun kembali ke Pakuwonnya. Namun ia sudah mendapatkan bekal yang lebih mantap atas sikapnya.

Namun Akuwu Suwelatama masih belum berniat menyampaikan persoalan itu kepada para pemimpin di Kediri. Ia masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Jika hal itu didengar oleh para pemimpin di Kediri, apalagi Singasari, maka mereka akan mengambil sikap yang lebih keras, yang belum tentu akan dapat menyelesaikan persoalan dengan baik dan tanpa mengorbankan pihak yang manapun juga.

Yang dapat dilakukan oleh Akuwu Suwelatama justru menunggu, bahwa pada suatu saat, Pangeran-pangeran muda itu akan datang kepadanya, dengan pikiran-pikiran yang tentu sudah berkembang.

Dalam pada itu, ternyata keempat Pangeran itu menganggap bahwa Akuwu Suwelatama tentu akan membantu mereka. Jika masih ada persoalan yang terasa belum mapan, segera akan dapat mereka bicarakan sehingga segalanya akan berjalan dengan rancak.

“Kita harus bersiap-siap,” berkata Pangeran Indrasunu, “kita tidak dapat menunda terlalu lama. Kita harus bertindak cepat pada saat peradaban Kediri masih belum runtuh sama sekali.”

“Ya,” jawab Pangeran bertubuh kecil, “ternyata bahwa kakangmas Suwelatama dapat mengerti pikiran kita.”

“Ia masih muda seperti kita. Umurnya hanya terpaut beberapa tahun saja. Tugasnya sebagai Akuwu membuatnya seperti orang yang sudah jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.” berkata Pangeran yang lain.

Anggapan itu telah menjadi alas sikap dan tindakan para Pangeran yang masih belum sempat melihat dunia dengan dewasa. Sementara itu, mereka telah mulai dengan latihan-latihan atas para pengikut mereka masing-masing. Beberapa orang pengawal yang setia dan janji-janji yang mempesona.

“Aku akan menemui guru.” berkata Pangeran Indrasunu pada suatu saat.

“Aku juga.” desis Pangeran yang bertubuh kecil.

Demikian pula saudara-saudaranya. Mereka menganggap bahwa guru mereka masing-masing tentu akan bersedia membantu mereka dalam keadaan yang menurut mereka, sangat gawat.

Di hari berikutnya, Pangeran Indrasunu telah pergi kepadepokan Wasi Sambuja. Dengan penuh harapan ia berniat untuk menghimpun kekuatan di padepokannya bersama para pengawalnya yang sudah lebih dahulu disiapkan.

Kedatangan Pangeran Indrasunu ke padepokan itu memang sudah diperhitungkan oleh Wasi Sambuja seperti yang sebelumnya telah disebut-sebut oleh Akuwu Suwelatama. Namun dalam pada itu, Wasi Sambuja menerimanya seolah-olah ia masih belum mengetahui alasan kedatangan Pangeran Indrasunu.

“Guru,” berkata Pangeran Indrasunu, “tidak ada orang yang akan mendengarkan keluhanku selain guru.”

“Apa yang terjadi, Pangeran?” bertanya Wasi Sambuja, “Aku akan berusaha untuk membantu segala kesulitan yang terjadi atas Pangeran.”

“Terima kasih, guru.” jawab Pangeran Indrasunu, “Selama ini aku memang merasa bahwa guru selalu memenuhi keinginanku. Sampai pada persoalan yang terakhir yang terjadi di rumah kakangmas Wirapaksi, guru telah menunjukan betapa guru benar-benar berusaha untuk mengangkat martabatku.”

“Ya, ya, Pangeran. Pangeran adalah muridku. Adalah kewajibanku untuk berbuat apa saja bagi kebaikan Pangeran.” jawab Wasi Sambuja.

“Terima kasih, guru.” desis Pangeran Indrasunu.

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Pangeran belum mengatakan, apa yang Pangeran inginkan.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Guru. Agaknya memang sudah saatnya untuk berbuat sesuatu bagi Kediri.”

“Apa yang baik kita lakukan?” bertanya Wasi Sambuja.

Pangeran Indrasunu pun kemudian menceriterakan rencananya bersama ketiga Pangeran yang lain. Mereka bahkan telah menemui Pangeran Suwelatama yang lebih senang hidup di luar lingkungan istana dan Kota Raja.

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Indrasunu berkata lebih lanjut, “Kakangmas Pangeran Suwelatama telah bersedia membantu kami. Sebagaimana telah terjadi, Tumapel mampu mengalahkan Kediri. Padahal kakangmas Suwelatama memiliki kelebihan dalam segala segi dari Ken Arok pada waktu itu.”

Wasi Sambuja memandang Pangeran Indrasunu sejenak. Kemudian katanya, “Tetapi yang perlu Pangeran ketahui, bahwa Singasari sekarang pun memiliki banyak kelebihan dari Kediri pada waktu itu. Apalagi Kediri pada waktu itu telah dilanda oleh perselisihan ke dalam yang tidak ada habisnya dari golongan-golongan yang ada. Masing-masing menganggap diri mereka, maksudku golongan mereka adalah golongan yang paling baik. Akhirnya benturan-benturan sikap yang tidak terkendali, telah membuat Kediri ringkih.”

“Sekarang kita menghadapi masalah yang serupa,” berkata Pangeran Indrasunu, “beberapa golongan di Singasari sedang berusaha untuk meruntuhkan peradaban. Bahkan juga di Kediri. Jika kakangmas Suwelatama bangkit untuk menegakkannya, maka rakyat Kediri dan Singasari tentu akan mendukungnya.”

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “segala tindakan, apalagi sesuatu yang besar dan mempunyai jangkauan yang luas dan panjang, harus dipikirkan masak-masak.”

“Tetapi aku sudah memikirkannya,” jawab Pangeran Indrasunu, “dan bukankah guru sudah berjanji untuk membantuku?”

“Benar, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “aku akan selalu membantu Pangeran. Aku akan berbuat apa saja bagi kebaikan Pangeran seperti yang sudah aku katakan.”

“Jika demikian, kita akan segera dapat mulai, guru.” berkata Pangeran Indrasunu, “Kakangmas Suwelatama pun sudah siap.”

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “sebenarnyalah aku memang harus berbuat apa saja bagi kebaikan Pangeran. Jika perlu aku harus menunjukkan jalan yang harus Pangeran tempuh.”

“Bagus,” Pangeran Indrasunu hampir berteriak, “aku memang memerlukannya.”

“Bahkan aku harus berani mengatakan kepada Pangeran apa yang sebenarnya menurut pikiranku,” desis Wasi Sambuja, lalu, “aku mohon maaf, Pangeran, bahwa untuk kebaikan Pangeran, mungkin aku akan mengatakan yang lain dari keinginan Pangeran.”

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi tegang. Namun ia masih menahan diri dan menunggu apa yang dikatakan oleh Wasi Sambuja selanjutnya.

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “aku sudah berusaha untuk menebus kekalahan Pangeran. Bahkan hampir saja merenggut nyawaku sendiri. Namun demikian, aku tidak berhasil. Adalah menjadi kewajiban kita, orang-orang yang mengembara di dunia olah kanuragan, untuk mengakui dengan jantan, kenyataan yang dihadapinya. Ternyata aku dapat dikalahkan oleh seseorang yang bernama Witantra itu.”

“Tetapi guru,” sahut Pangeran Indrasunu, “kita tidak akan turun lagi ke arena perang tanding. Kita akan turun ke dalam satu perjuangan untuk menegakkan kewibawaan Kediri. Dengan demikian kita tidak akan dituntut untuk maju ke arena perang tanding seperti yang sudah kita lakukan. Dalam hal yang demikian, maka di samping kemampuan seorang demi seorang, maka kekuatan pasukan pun akan ikut menentukan. Aku dan empat orang saudaraku, bahkan salah seorang di antara kami adalah Akuwu Suwelatama, telah bersepakat untuk bertempur. Bukan saja untuk melepaskan belenggu yang telah dipasang oleh Singasari sejak masa Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi, tetapi kami pun harus membersihkan Kediri dari orang-orang yang sudah kehilangan dirinya sendiri.”

“Tetapi, Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “apakah cara yang angger pilih itu sesuai untuk saat seperti sekarang ini?”

“Apakah ada cara yang lain?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “aku mohon maaf. Aku sudah berjanji untuk mengatakan yang paling baik bagi Pangeran. Karena itu, cobalah Pangeran menimbang, bahwa jika Pangeran melakukannya sekarang, maka orang-orang Singasari dan orang-orang Kediri itu akan mengatakan, bahwa yang Pangeran lakukan itu tidak lebih dari kekecewaan pribadi. Dengan demikian, maka yang akan Pangeran lakukan tidak akan mendapat dukungan rakyat Kediri apalagi Singasari.”

“Omong kosong,” jawab Pangeran Indrasunu, “yang terjadi itu hanyalah salah satu sebab. Tetapi sebab yang utama telah aku katakan.”

“Meskipun demikian, Pangeran, jika Pangeran sudi mendengarkan nasehatku, baik sebagai orang yang telah berumur lanjut, maupun sebagai guru Pangeran sendiri, sebaiknya Pangeran merenungkan niat Pangeran itu dua tiga kali lagi.”

“Sementara itu, peradaban yang ingin aku tegakkan sudah musna sama sekali.” potong Pangeran Indrasunu dengan sertamerta.

“Tidak, Pangeran. Pangeran tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan. Sejak aku memasuki arena, aku sudah menolak untuk disebut memberontak terhadap kekuasaan Kediri dan apalagi Singasari.”

“Sedangkan yang akan kita lakukan sebenarnyalah, memberontak terhadap orang-orang yang sekarang berkuasa di Kediri dan Singasari.” potong Pangeran Indrasunu.

“Pangeran,” suara Wasi Sambuja merendah, “itulah yang aku cemaskan. Masalahnya sebenarnya dapat dibatasi. Tetapi Raden telah mengembangkannya sehingga masalahnya telah merambat ke masalah yang sangat besar.”

“Guru,” suara Pangeran Indrasunu meninggi, “kenapa tiba-tiba guru sudah berubah?”

“Maaf, Pangeran. Aku mulai menilai sikapku sendiri terhadap Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “nampaknya selama ini tindakanku keliru. Sekarang, meskipun sudah agak terlambat, aku merasa perlu untuk memperbaiki.”

“Jadi tegasnya guru menolak permintaanku?” bertanya Pangeran Indrasunu dengan nada keras.

“Permintaan yang sebenarnya telah aku penuhi. Yaitu mengatakan apa yang sebaiknya bagi Pangeran.” jawab Wasi Sambuja.

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi semakin tegang. Dengan keras ia menegaskan, “Jadi guru tidak mau memberontak bersama kami, termasuk kakangmas Suwelatama?”

“Aku mohon maaf, Pangeran. Langkah itu adalah langkah yang keliru untuk saat ini.” jawab Wasi Sambuja.

“Baiklah,” Pangeran Indrasunu menggeram, “kakangmas Suwelatama tentu akan membuat perhitungan dengan guru. Guru sudah terlanjur mengetahui rencana kami sementara guru tidak sependapat dengan kami.”

“Jangan mengancam begitu, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “meskipun aku mempunyai pendirian dan sikap tersendiri, tetapi aku bukan pengkhianat yang akan menimbulkan kekisruhan justru sebelum persoalan yang sebenarnya mulai.”

“Sekarang guru berkata demikian, tetapi siapa tahu, apa yang akan guru katakan besok.” geram Pangeran Indrasunu. “Baiklah. Aku akan menghadap Pangeran Suwelatama.”

“Pangeran,” desis Wasi Sambuja, “jika aku ingin berkhianat, maka alangkah mudahnya untuk melakuannya sekarang. Menangkap Pangeran dan melemparkan Pangeran ke hadapan Sri Maha Raja di Singasari. Apakah Pangeran menyangka bahwa aku tidak dapat menangkap Pangeran sekarang ini?”

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah seperti bara. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. Jika gurunya benar-benar marah, maka ia akan dapat melakukan satu tindakan yang gawat baginya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun telah minta diri untuk meninggalkan padepokan itu. Ternyata gurunya tidak menahannya dan apalagi menangkapnya. Sejenak kemudian maka kudanya pun telah berderap. Kaki Pangeran Indrasunu menghentak-hentak perut kudanya, seakan-akan ia ingin melepaskan kemarahannya.

Sepeninggal Pangeran Indrasunu, Wasi Sambuja menarik nafas panjang. Ia pun turut merasa bersalah. Ia telah memanjakan anak muda itu, segala yang dikehendakinya, seakan-akan selalu dipenuhinya. Tetapi permintaannya kali ini ternyata terlalu banyak. Wasi Sambuja tidak dapat tinggal diam. Ia tahu, bahwa Pangeran Indrasunu tentu akan pergi ke Akuwu Suwelatama. Meskipun demikian, Wasi Sambuja tidak perlu mencemaskan lagi. Akuwu Suwelatama sudah menetukan sikapnya.

Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu yang kembali ke Kediri telah menjumpai saudara-saudaranya. Dengan menyesal ia mengatakan kepada saudara-saudaranya, bahwa gurunya untuk sementara tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaannya justru mengkhawatirkan.

“Guru luka di dalam.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Tetapi apakah luka itu tidak akan sembuh?” bertanya Pangeran yang bertubuh kecil.

“Tetapi kapan? Apalagi jika guru menjadi cacat.” jawab Pangeran Indrasunu.

Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Mereka percaya kepada keterangan Pangeran Indrasunu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Indrasunu tidak dapat mengatakan bahwa gurunya telah menolak permintaannya. Dengan demikian maka para Pangeran itu akan menjadi kendor dan patah sehingga niatnya tidak akan terpenuhi.

“Tetapi jangan cemas,” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “bukankah kakangmas Suwelatama sudah menyatakan diri untuk melakukannya? Kita akan pergi kepadanya dan mengatakan segalanya.”

“Bagaimana dengan persiapan kita sendiri?” bertanya Pangeran yang lain.

“Pengawal-pengawalku sudah siap.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Pengawal-pengawalku juga sudah siap meskipun tidak terlalu banyak.” berkata Pangeran yg lain. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku akan bertemu dengan guru. Jika guru bersedia membantuku, dengan mempersiapkan para cantrik dari padepokannya maka kekuatan kita akan berlipat.”

“Aku juga,” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “kecuali kakangmas Suwelatama, aku akan minta bantuan guru.”

Ternyata ketiga Pangeran yang lain itu pun masih akan menjumpai guru mereka masing-masing. Mereka akan merasa kuat untuk mulai dengan satu sikap yang akan dapat merubah keadaan Kediri untuk selanjutnya.

Sebagaimana Wasi Sambuja, pada umumnya guru-guru para Pangeran muda itu juga memanjakan murid-muridnya. Kecuali mereka berbangga bahwa mereka mempunyai murid seorang Pangeran, bukan saja karena derajad, tetapi pada umumnya mereka memberikan dana yang cukup banyak bagi guru-guru mereka. Uang, bahkan kadang-kadang barang-barang berharga, atau seekor kuda yang tegar.

Karena itu, maka ketiga orang guru dari ketiga orang Pangeran yang bersama Pangeran Indrasunu telah menentukan sikapnya itu dengan senang hati berusaha untuk membantu mereka apapun yang akan mereka lakukan.

“Kita harus bersiap, guru,” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “pada waktu dekat kita akan mulai. Kakangmas Suwelatama sudah siap untuk bertindak kapan saja kita kehendaki.”

“Baiklah. Kita akan mempersiapkan diri dalam waktu dekat. Pada umumnya para cantrik sudah mengusai ilmu kanuragan, sehingga kita akan dapat bergerak kapan saja.” berkata gurunya seorang yang telah melampaui umur pertengahan abad.

Namun dalam pada itu, keempat Pangeran itu masih merasa perlu untuk sekali lagi pergi kepada Pangeran Suwelatama di Pakuwonnya. Mereka berniat untuk merencanakan saat yang paling baik untuk mulai dengan satu tindakan yang nyata untuk merubah keadaan.

“Kita tidak perlu berkumpul di Pakuwon kakangmas Suwelatama.” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “Kita bergerak dari padepokan kita masing-masing. Sementara gerakan yang paling besar akan dimulai dan Pakuwon kakangmas Suwelatama.”

“Ya. Dengan demikian maka gerakan itu akan nampak terjadi di segala arah. Rakyat Kediri pun akan segera bangkit untuk mendukungnya terutama para bangsawan yang masih setia kepada leluhurnya. Pengaruh para bangsawan itu akan segera menjalar di kalangan para pengikut masing-masing. Para pengawal mereka dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Dengan demikian maka api yang kita nyalakan, akan segera membakar seluruh Kediri. Jika rakyat Kediri sudah bertekad bulat, maka kekuatan apapun tidak akan dapat mencegahnya.”

“Bukan saja rakyat Kediri. Beberapa orang pemimpin Singasari yang setia akan peradaban kita pun akan membantu. Nah, di Singasari juga akan timbul perpecahan. Dengan demikian maka Singasari akan menjadi ringkih.”

Keempat Pangeran itu tertawa. Seolah-olah segalanya sudah berlangsung. Namun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan.

Dalam perjalanan ke Pakuwon Pangeran Suwelatama, mereka sudah merencanakan, selain gerakan nyata dengan kekuatan, mereka pun harus meyakinkan beberapa pihak, bahwa perjuangan mereka adalah benar. Kediri pada dasarnya bukan bagian dari Singasari. Selebihnya, mereka harus merombak tata kehidupan yang goyah di Kediri dan Singasari. Dalam pada itu, mereka pun menjadi semakin lama semakin dekat dengan Pakuwon yang mereka tuju. Pakuwon Kabanaran yang dipimpin oleh Akuwu Suwelatama.

Demikian keempat Pangeran itu memasuki Pakuwon Kabanaran, maka jantung mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat di beberapa tempat para pengawal sedang berlatih perang. Bahkan di alun-alun anak-anak bersorak-sorak di seputar gawar yang telah dipasang. Beberapa orang pengawal sedang mengadakan sodoran. Mereka menunggang kuda sambil membawa tongkat panjang yang berujung bulat dan diperlunak dengan kain. Dengan senjata tongkat itu mereka saling menyerang dan berusaha menjatuhkan lawannya dari punggung kudanya.

Keempat Pangeran itu berhenti sejenak. Pangeran Indrasunu yang turun dari kudanya telah mendekati seorang anak muda yang sedang menonton sodoran itu.

“Apakah mereka melakukannya setiap hari?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Tidak setiap hari. Tetapi setiap tiga hari sekali sejak beberapa saat yang lampau.” jawab anak muda itu.

“Dan pengawal yang berlatih di beberapa tempat itu?” bertanya Pangeran Indrasunu pula.

“Ya. Sebagaimana dilakukan oleh para pengawal yang sedang mengadakan sodoran itu.” jawab anak muda itu.

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ketika ia kembali kepada ketiga Pangeran yang lain, maka ia berdesis, “Ternyata kakangmas Suwelatama sudah memulainya. Para pengawal sudah digerakkan untuk berlatih perang.”

Pangeran yang bertubuh kecil tertawa. Katanya, “Kakangmas memang seorang yang bertindak cepat. Tidak ragu-ragu dan memperhitungkan waktu sebaik-baiknya.”

Keempat orang Pangeran itu pun kemudian dengan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan, menuju ke istana Akuwu Suwelatama. Hati mereka rasa-rasanya menjadi mekar melihat persiapan di Pakuwon itu. Demikian mereka memasuki regol istana Akuwu Suwelatama, mereka pun segera disambut oleh pengawal yang bertugas di halaman. Para pengawal itu menerima kuda-kuda mereka dan mempersilahkan mereka naik ke pendapa, sementara yang lain telah memberitahukan kehadiran keempat Pangeran itu.

Keempat Pangeran itu pun kemudian telah dipersilahkan untuk masuk ke bangsal dalam. Akuwu Suwelatama telah menerima mereka di bangsal dalam, sebagaimana Akuwu sering mengadakan pembicaraan dengan orang-orang terpenting di Pakuwonnya. Setelah mengucapkan selamat datang, dan bertanya tentang keselamatan keluarga di Kediri, maka Akuwu itu pun mempersilahkan tamu-tamunya makan dan minum hidangan yang disuguhkan bagi mereka.

“Aku merasa senang kalian datang lagi ke Pakuwon yang sepi ini.” berkata Akuwu Suwelatama, “Aku ingin mempersilahkan kalian berada di sini lagi beberapa hari.”

“Kakangmas sudah mengadakan persiapan-persiapan sebaik-baiknya.” berkata adiknya, Pangeran yang bertubuh kecil.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Kami memang sudah mengadakan latihan-latihan sekedarnya.”

“Terima kasih, kakangmas,” Pangeran Indrasunulah yang menyahut, “tetapi apakah kakangmas sudah mempunyai rencana waktu yang paling baik memulainya?”

“Mulai apa?” bertanya Pangeran Suwelatama.

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun disangkanya Akuwu itu sedang bergurau. Karena itu, maka Pangeran Indrasunu justru bertanya, “Jadi apakah yang sedang kakangmas persiapkan?”

Pangeran Suwelatama tersenyum. Katanya, “Aku sedang mempersiapkan satu pameran kesiagaan para pengawal di Pakuwon ini. Aku ingin memperingati genap sepuluh tahun aku berkuasa di sini sebagai seorang Akuwu. Aku mulai pada saat aku masih sangat muda. Pada umur duapuluh tahun aku sudah menjadi Akuwu.”

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun Pangeran Suwelatama meneruskan, “Daerah ini semula adalah daerah yang terkutuk. Tidak ada seorang pun yang bersedia memerintah daerah ini dengan cara apapun juga, karena daerah ini dikuasai oleh beberapa kelompok penjahat yang kuat.” Akuwu itu berhenti sejenak. Lalu katanya kepada adiknya, “He, bukankah kau masih ingat apa yang pernah terjadi sepuluh tahun yang lalu? Aku membawa sepasukan pengawal dari Kediri. Aku telah memilih sekelompok pengawal yang menyatakan itu, aku berhasil membersihkan daerah ini. Aku menangkap tiga orang gegedugnya dan membunuh dua di antara mereka. Akhirnya daerah ini menjadi aman, dan aku diberi wewenang untuk mendirikan Pakuwon di sini.”

Pangeran Indrasunu dan ketiga orang Pangeran yang lain termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah Pangeran Indrasunu bertanya, “Apakah maksud kakangmas, latihan-latihan itu diselenggarakan sekedar untuk menunjukkan ketrampilan dalam peringatan tahun kesepuluh itu?”

“Ya. Kami, para pemimpin di Pakuwon ini ingin mengenang kembali hari-hari yang penuh dengan ketegangan itu. Tetapi dengan kebanggaan di hati, bahwa kami masih tetap kuat sampai saat ini. Apalagi pada akhir-akhir ini mulai terdengar lagi kelompok-kelompok penjahat yang mencoba menjamah Pakuwon ini, meskipun asalnya dari daerah di luar Pakuwon ini.” jawab Akuwu Suwelatama, “Karena itu, kami wajib memperingatkan agar mereka menyadari bahwa Pakuwon ini adalah Pakuwon yang kuat.”

Keempat Pangeran itu saling berpandangan. Dalam pada itu Pangeran Indrasunu pun bertanya dengan ragu-ragu, “Jadi, bukankah kakangmas juga sekaligus mempersiapkan diri menghadapi rencana yang sudah kita susun?”

“Rencana yang mana?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Keempat Pangeran itu menjadi bingung. Apalagi ketika mereka mendapat kesan bahwa Akuwu itu benar-benar tidak tahu rencana yang mereka maksudkan. Justru karena itu, maka keempat Pangeran itu bagaikan kehilangan akal. Mereka saling berdiam diri dan saling berpandangan.

Sehingga karena itu, maka Akuwu Suwelatama itu pun bertanya pula, “Cobalah jelaskan. Barangkali dengan demikian aku akan dapat menanggapinya.”

Pangeran Indrasunu yang berdebar-debar berusaha untuk menjelaskan maksud mereka. Katanya, “Kakangmas Suwelatama. Beberapa saat yang lampau kami telah pernah datang kemari untuk memberitahukan keadaan Kediri dan Singasari yang semakin merosot dipandang dari segi peradabannya. Kebiasaan-kebiasaan buruk semakin berkembang. Sementara orang-orang Kediri sudah melupakan sama sekali kemungkinan untuk tegak sebagai satu bangsa yang besar seperti masa lampau.”

“Oh.” Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Itulah yang kalian maksud. Kalian memang pernah menyatakan kepadaku, bahwa kalian ingin membuat satu kejutan di Kediri dan Singasari.”

“Ya.” berkata Pangeran Indrasunu, “Kita akan merintis satu gerakan untuk membangunkan rakyat Kediri dan sekaligus rakyat Singasari untuk menegakkan peradaban dan menyingkirkan kebiasaan buruk yang kini sedang meracuni rakyat.”

Pangeran Suwelatama itu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Adimas. Aku sudah pernah mendengar kalian mengatakannya kepadaku. Tetapi aku tidak pernah menganggap bahwa hal itu akan sungguh-sungguh kalian lakukan. Aku mengira bahwa hal itu kalian katakan kepadaku pada waktu itu, justru kerena hati adimas Indrasunu sedang dibakar oleh satu kekecewaan. Bukankah adimas Pangeran Indrasunu gagal mengambil seorang perempuan yang bernama Ken Padmi dari rumah Mahendra? Justru setelah melewati semacam sayembara tanding, adimas pun telah gagal pula. Bahkan guru Adimas Indrasunu, Wasi Sambuja pun telah tidak berhasil mengalahkan Witantra.”

“Tidak,” bantah Pangeran Indrasunu dengan serta merta, “aku sama sekali tidak melakukannya karena sakit hati atas kegagalan keinginan pribadi. Tetapi justru karena itu aku melihat kekurangan yang terdapat di Singasari dan Kediri.”

“Adimas,” berkata Pangeran Suwelatama, “agaknya jiwa adimas sedang terguncang. Kegagalan adimas telah membuat adimas kehilangan pengamatan diri. Dengan demikian maka adimas melihat orang lain selalu bersalah. Tanpa menyadari keadaan diri sendiri, adimas menganggap bahwa keadaan menjadi semakin buruk.”

“Tidak. Aku yakin akan kebenaran perjuangan ini,” bantah Pangeran Indrasunu, “kakangmas juga sudah membenarkan sikap kami beberapa waktu yang lalu. Tetapi tiba-tiba sikap kakangmas berubah.”

“Bukan berubah,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi aku saat itu menganggap bahwa adimas tidak bersungguh-sungguh.”

“Aku tidak pernah bermain-main dengan nasib Kediri dan Singasari.” sahut Pangeran Indrasunu.

“Tetapi pada waktu itu adimas benar-benar baru dicengkam oleh kekecewaan.” jawab Pangeran Suwelatama.

“Aku dapat membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan kita dalam keseluruhan, kepentingan Kediri dan Singasari.” jawab Pangeran Indrasunu.

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Adimas Pangeran seluruhnya. Aku mengerti bahwa jiwa kalian memang sedang bergejolak. Tetapi kalian harus dapat memilih sasaran dalam keadaan seperti sekarang ini. Aku juga seorang yang menganggap bahwa keadaan sekarang masih belum seperti yang kita inginkan. Tetapi memperbaiki Keadaan itu tidak selalu harus dilakukan dengan kekerasan seperti yang adimas maksudkan. Bukankah adimas Pangeran berempat ingin mendorong aku untuk memberontak? Atau tegasnya ingin mempergunakan Pakuwon ini sebagai landasan perjuangan kalian. Perjuangan yang dinyalakan sekedar karena kekecewaan pribadi.”

“Tidak. Itu tidak benar,” bantah Pangeran yang bertubuh kecil, “kakangmas menilai persoalan ini semata-mata karena keadaan kakangmas Pangeran Indrasunu. Tetapi kakangmas harus menilai keadaan kami bertiga. Kami sama sekali tidak dikecewakan oleh apapun juga secara pribadi. Tetapi kami pun telah bertekad untuk mengadakan perombakan yang mengakar dari persoalan yang berkembang sekarang ini.”

“Adimas,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku belum termasuk golongan orang-orang tua di Kediri. Tetapi aku mempunyai pengalaman lebih banyak dari kalian. Karena itu, aku ingin memperingatkan agar kalian melihat keadaan ini dengan pandangan yang lebih luas. Melihat dasar dari gejolak perasaan kalian yang mencari sebab dari kekecewaan itu.”

“Kami sudah melakukannya, kakangmas,” jawab Pangeran Indrasunu, “dan hasil yang kami ketemukan adalah keputusan untuk melakukan usaha yang akan didukung oleh seluruh rakyat Kediri dan Singasari.”

“Tetapi kalian harus mempunyai rencana yang mendasar. Kalian harus mengerti landasan perjuangan kalian, tujuan yang hendak dicapai, dan penilaian atas usaha itu. Apakah yang akan kalian capai itu lebih baik atau justru lebih buruk dari keadaan sekarang.” berkata Pangeran Suwelatama.

Pangeran-pangeran yang masih muda itu tidak sabar lagi. Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Kami tidak akan melangkah surut, kakangmas. Tahap pemikiran, penilaian dan rencana sudah kami lalui. Kami telah sampai kepada tahap pelaksanaan. Karena itu, kami mohon kakangmas dapat mengikuti jalan pikiran kami. Kami bukan kanak-kanak yang masih dicengkam oleh perasaan semata-mata. Tetapi kami sudah cukup dewasa untuk berpikir dan bertindak bagi satu kepentingan besar seperti sekarang ini.”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak muda itu benar-benar sudah sulit untuk diajak bicara. Namun ia masih mencoba untuk meredakan ketegangan di hati para Pangeran muda itu katanya, “Adimas. Jika adimas sudah melewati beberapa tingkatan dalam usaha kalian, maka berilah aku kesempatan untuk berpikir. Mungkin aku memang lamban. Tetapi aku berusaha untuk berhati-hati.”

“Waktu untuk berpikir sudah cukup lama, kakangmas.” jawab Pangeran Indrasunu, “Yang kami harapkan sekarang, kakangmas dapat mulai bergerak. Adalah satu keuntungan bahwa pada saat ini pasukan pengawal Pakuwon ini sedang berlatih. Hal ini akan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.”

“Jangan begitu, adimas,” jawab Pangeran Suwelatama, “latihan untuk merayakan satu kebanggaan di masa lampau akan berbeda dengan latihan-latihan untuk satu kepentingan yang jauh lebih gawat.”

“Kakangmas. Kami tidak mau terlambat.” jawab Pangeran yang bertubuh kecil.

“Tetapi terus terang, aku belum dapat mengatakan apa-apa sekarang ini.” berkata Pangeran Suwelatama.

Wajah para Pangeran itu menjadi merah. Pangeran yang bertubuh kecil itu pun berkata, “Kakangmas telah menyesatkan dugaan kami. Semula kami menyangka bahwa kakangmas sudah menyatakan kesediaan kakangmas untuk bersama-sama dengan kami berjuang bagi Kediri dan Singasari. Tetapi ternyata pada saat kami sudah siap untuk mulai, kakangmas telah mengingkarinya.”

“Kalian salah paham.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Tidak. Jika terjadi salah paham, tentu tidak kami berempat seluruhnya.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Aku tidak dapat menjelaskan lebih banyak lagi, adimas,” berkata Pangeran Suwelatama, “hanya itulah yang dapat aku katakan. Tetapi dengan sepenuh harapan, bahwa adimas akan dapat mengerti bahwa untuk satu pekerjaan yang besar, diperlukan perhitungan yang sangat cermat.”

“Sudah aku katakan berulang kali, bahwa kami sudah membuat perhitungan sebaik-baiknya. Tidak ada yang salah lagi menurut hitungan kami.” jawab salah seorang dari Pangeran-pangeran muda itu.

“Yang jelas masih ada satu kesalahan.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Kesalahan apa?” bertanya Pangeran yang bertubuh kecil.

“Bahwa Pakuwon ini kau anggap sudah siap untuk ikut serta dalam gerakan kalian pada saat ini.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Bukan kesalahan. Tetapi keingkaran.” jawab Pangeran Indrasunu tegas.

Terasa kuping Pangeran Suwelatama menjadi panas. Tetapi ia masih tetap menahan diri menghadapi Pangeran-pangeran yang masih muda dan masih mudah digerakkan oleh perasaan semata-mata. Namun sebenarnyalah bukan kemudaan mereka semata-mata yang telah menyesatkan mereka. Banyak di antara anak-anak muda yang lain yang berbuat jauh lebih baik dari yang telah mereka lakukan.

Tetapi ternyata anak-anak muda yang dihadapinya itu benar-benar telah mengeraskan hatinya untuk satu niat yang bagi Akuwu Suwelatama kurang menguntungkan bagi segala pihak. Karena itu, maka Akuwu Suwelatama itu pun kemudian berkata,

“Adimas Pangeran berempat. Jika demikian, baiklah aku berkata langsung pada pokok persoalannya agar tidak lagi terjadi salah paham. Sebenarnyalah aku tidak akan dapat dilibatkan ke dalam rencana kalian. Justru aku telah berusaha untuk mencegah agar kalian mengurungkan niat kalian, karena jika kalian melakukannya, maka yang akan terjadi adalah goncangan-goncangan yang dahsyat. Yang akan terjadi adalah bencana yang besar yang akan melanda seluruh negeri. Dan yang kemudian akan paling menderita adalah rakyat kecil yang tidak tahu menahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi, karena perubahan-perubahan yang tidak mendasar, pada hakekatnya tidak akan memperbaiki keadaan mereka.”

Keempat Pangeran muda itu tidak lagi dapat menahan diri. Jantung mereka bagaikan terbakar. Mereka menganggap bahwa Pangeran Suwelatama telah mengingkari janji. Karena itu, maka tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu yang tidak dapat menahan diri lagi itu pun berkata,

“Aku mengerti kakangmas, bahwa kakangmas ingin tampil di paling depan, sehingga kakangmaslah yang kelak akan mendapat julukan sebagai pembebas Tanah ini. Jika demikian halnya, sebenarnyalah kami tidak berkeberatan sama sekali jika kakangmaslah yang akan disebut sebagai pemimpin dari pemberontakan ini. Dan yang kelak, pada saatnya Singasari yang sekarang jatuh, kakangmaslah yang pantas untuk duduk di atas Singgasana.”

“Adimas!” potong Pangeran Suwelatama. Rasanya jantungnya berdenyut semakin cepat.

Namun ia masih tetap berusaha menahan diri. Katanya, “Kalian semakin jauh tersesat. Aku sama sekali tidak ingin mencampuri persoalan kalian. Biarlah aku bersama para pengawal Pakuwon ini berbuat sebaik-baiknya bagi daerah kami yang sempit, jika aku sudah berhasil menyusun kedamaian hati rakyat Pakuwon ini, aku sudah merasa puas dan bahwa hidupku ini punya arti.”

“Baiklah, kakangmas,” sahut Pangeran yang bertubuh kecil, “kami akan menempuh jalan kami masing-masing. Jika kakangmas cemas akan kekuatan kami, besok kakangmas dapat pergi ke Kediri atau ke Singasari untuk melaporkan, bahwa sebentar lagi, akan datang saatnya kebenaran dan keadilan melanda Kediri dan Singasari. Merenggut tanah ini dari runtuhnya peradaban yang sudah kita bangun untuk berabad-abad lamanya."

“Jadi kalian tetap pada pendirian kalian?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Ternyata pertanyaan itu cukup mendebarkan. Karena itu keempat Pangeran itu justru terdiam sesaat. Namun Pangeran Indrasunu lah yang kemudian menjawab, “Ya. Kami tidak akan melangkah surut, kakangmas. Kami akan berjalan terus sampai kepada tujuan kami.”

“Bagaimana dengan Wasi Sambuja?” tiba-tiba saja Akuwu Suwelatama bertanya.

“Guru dalam keadaan yang tidak memungkinkan. Guru dalam keadaan luka parah ketika ia berperang tanding melawan Witantra. Tetapi pada saat guru sembuh, maka ia tentu akan terjun dalam perjuangan ini.”

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Jika demikian, silahkan adimas Pangeran berempat berjalan sendiri. Ternyata aku tidak dapat ikut bersama kalian.”

“Terserah kepada kakangmas. Aku tidak mempunyai pilihan lain.” jawab Pangeran yang bertubuh kecil.

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tetapi adimas Pangeran. Aku berharap bahwa adimas tidak melupakan kedudukanku. Aku adalah seorang Akuwu. Aku berada di bawah perintah Kediri dan Singasari.”

Wajah keempat Pangeran itu menjadi merah. Mereka menyadari arti dari kata-kata Pangeran Suwelatama itu. Bahkan di telinga mereka mirip suatu tantangan, bahwa pada suatu saat mungkin sekali mereka akan bertemu di medan.

Namun dalam pada itu, Pangeran Suwelatama itu pun berkata, “Tetapi kalian masih mempunyai waktu untuk berpikir. Setidak-tidaknya di perjalanan kembali dari Pakuwon ini. Aku percaya bahwa kalian memang sudah dewasa. Sudah membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, serta bersedia mempertanggung jawabkan tingkah laku kalian.”

Sesaat keempat Pangeran itu pun masih saja terdiam. Namun sejenak kemudian Pangeran yang bertubuh kecil itu pun berkata, “Kami mohon diri.”

Pangeran Suwelatama termangu-mangu sejenak. Terbersit perasaan prihatin yang mendalam di dalam dirinya. Di Kediri beratus ribu anak-anak muda. Tetapi empat orang anak muda ini akan dapat membakar ketenangan yang sudah merambah sampai ke padesaan. Tetapi Akuwu Suwelatama tidak sempat berbicara panjang. Keempat anak-anak muda itu segera bangkit dan minta diri.

Namun ketika Akuwu mengantar mereka sampai di regol, ia pun masih berkata, “Adimas Pangeran berempat, bukan maksudku unluk menganggap anak-anak muda tidak mampu berbuat apapun juga. Anak-anak muda memang dapat merupakan penggerak yang kuat. Tetapi yang kalian lakukan itu kurang mapan. Cobalah melihat dirimu sendiri, sumber dari segala rencanamu itu, apakah karena pengenalanmu atas keadaan Kediri yang sebenarnya, atau karena oleh perasaan kecewa atau tersinggung oleh kegagalan usaha bagi kepentingan sendiri. Bukan maksudku menuduh, tetapi aku minta kalian sempat merenunginya.”

Keempat Pangeran itu seolah-olah tidak mau mendengarkannya lagi. Dalam pada itu Pangeran Indrasunu berkata, “Kita memang mempunyai sikap yang lain. Baiklah. Kita akan menempuh jalan kita masing-masing.”

Demikianlah keempat Pangeran yang masih muda itu meninggalkan Pakuwon Kabanaran. Mereka masih melihat para pengawal yang sedang berlatih. Bagaimanapun juga, mereka harus mengakui, bahwa Pakuwon itu adalah sebuah Pakuwon yang kuat. Jika benar apa yang dikatakan oleh Akuwu Suwelatama, yang membayangkan kemungkinan mereka akan bertemu pada sisi yang berlawanan dari tempat mereka masing-masing berpijak, maka adalah sangat berat untuk berhadapan dengan Akuwu Suwelatama.

Namun dalam pada itu, Pangeran Indrasunu berkata, “Apapun yang akan kita hadapi, kita tidak akan melangkah surut. Aku mempunyai alasan yang kuat untuk bertindak. Namun karena keingkaran kakangmas Suwelatama maka kita harus membuat perhitungan baru. Bukan untuk menggagalkan rencana ini. Tetapi justru sebaliknya, agar rencana kita dapat berhasil dengan baik.”

“Bagus,” sahut Pangeran yang bertubuh kecil, “pada suatu saat kita justru akan mulai dari Pakuwon Kabanaran ini sendiri. Kakangmas Suwelatama harus tahu, dan kemudian menyesal bahwa ia sudah ingkar janji. Jika Pakuwon ini kemudian tidak aman lagi, maka Akuwu Suwelatama tentu akan dinilai lagi kebijaksanaanya. Baik oleh Kediri maupun oeh Singasari.”

“Ya,” jawab Pangeran Indrasunu, “kita akan mulai dari dua pijakan. Yang pertama kita akan memaksa kakangmas Suwelatama untuk menyadari kesalahannya, dan kedua, kita akan mulai dari Singasari. Khususnya sebuah padukuhan di luar Kota Raja yang dihuni orang oleh seseorang bernama Mahendra.”

Pangeran-pangeran itu mengangguk. Sementara Pangeran Indrasunu pun berkata, “Sementara itu, kita akan menyebarkan penjelasan sikap dan pendirian kita kepada rakyat Kediri dan Singasari, bahwa tujuan kita adalah untuk kepentingan mereka semua.”

“Ya. Jika mereka dapat mengerti maka mereka tentu akan membantu kita.” jawab Pangeran yang lain.

Namun tiba-tiba Pangeran yang seorang lagi bertanya, “Tetapi apa yang akan kita katakan kepada mereka agar mereka mengerti bahwa kita telah berbuat untuk mereka? Apakah yang akan terasa langsung oleh orang-orang Kediri, sehingga hal itu akan mendorong mereka untuk membantu kita?”

Pangeran yang lain pun terdiam. Mereka menjadi termangu-mangu. Pertanyaan itu membuat mereka merenung sejenak. Apa yang mereka lakukan itu? Dan apakah yang dapat sebut menguntungkan bagi Kediri itu? Namun akhirnya Pangeran Indrasunu lah yang mencoba memecahkan teka-teki itu. Katanya, “Kita dapat mempergunakan alasan yang paling baik untuk mengajak mulai berpikir. Terutama orang-orang Kediri.”

“Bagaimana?” bertanya saudara-saudaranya.

“Apapun tujuan akhir yang ingin kita capai, maka untuk membangunkan orang-orang Kediri kita dapat mengajak mereka untuk mengenang kembali masa kejayaan yang pernah dimilikinya. Jika kita dapat membawa mereka kepada satu kenangan bagaimana Ken Arok merampas tanah air ini, maka kita sudah mulai melihat hasil dari usaha ini.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Aku mengerti,” salah seorang dari keempat Pangeran itu menyahut, “kita dapat mempengaruhi satu dua orang pemimpin pasukan pengawal di samping kekuatan dari padepokan yang sudah pasti akan menjadi alas perjuangan ini. Guru-guru kami sudah sepakat, kecuali Wasi Sambuja yang keadaanya belum memungkinkan.”

Dengan demikian maka keempat Pangeran itu pun telah kembali membulatkan tekad mereka untuk berbuat sesuatu. Mereka menganggap bahwa sikap orang-orang Singasari yang banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup dari keturunan orang-orang kebanyakan telah menggoyahkan peradaban mereka.

Karena itulah, maka ketika mereka kemudian berada di Kediri, maka mereka tidak menunda waktu lagi. Dengan dukungan dari guru-guru mereka, maka mereka telah mempersiapkan kekuatan di padepokan-padepokan. Padepokan yang pada umumnya telah dibiayai oleh Pangeran-pangeran itu karena mereka berguru pada padepokan itu.

Namun padepokan Pangeran yang bertubuh kecil itu agak berbeda. Pemimpin padepokan itu adalah seorang bangsawan pula meskipun bukan tataran pertama. Pemimpin padepokan itu adalah bekas seorang Senopati yang mengasingkan diri. Sebenarnyalah sudah ada bibit di dalam hatinya, bahwa ia tidak dapat menerima kenyataan yang berkepanjangan, bahwa Kediri harus tunduk kepada Singasari. Karena itu, ketika muridnya menyampaikan hal itu kepadanya, maka dengan serta merta ia telah menerimanya sebagai satu sikap yang terpuji.

“Aku akan berbuat apa saja, agar rencana Pangeran itu akan berhasil. Tetapi sudah barang tentu bahwa kita tidak boleh mengharap hasil yang sebaik-baiknya dalam waktu dekat. Besok atau lusa, atau sepekan atau sebulan lagi.” berkata gurunya.

“Maksud guru?” bertanya Pangeran yang bertubuh kecil itu.

“Kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita tidak boleh tergesa-gesa dan salah hitung. Kesalahan yang kita lakukan pada saat-saat persiapan akan menghancurkan usaha itu di tengah perjalanan.”

Pangeran bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Tetapi akhirnya mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa gurunya tidak akan berbuat seperti Pangeran Suwelatama. Yang mula-mula seolah-olah ia sudah menentukan sikap. Tetapi yang ternyata kemudian menjadi goyah, bahkan ingkar sama sekali.

Demikianlah, maka persiapan-persiapan pun dilakukan dengan diam-diam. Pangeran Indrasunu sudah mengatakan, bahwa mereka akan melakukan gerakan mereka, tidak langsung menusuk ke jantung. Tetapi sebagaimana mereka makan makanan yang panas, mereka akan memulainya dari pinggir. Semakin lama semakin ke tengah. Sehingga akhirnya, pusat pemerintahan pun akan ditelannya.

Di tiga padepokan persiapan-persiapan itu sudah mulai nampak dilakukan. Dengan biaya dari para Pangeran itu, maka mereka dapat menghimpun anak-anak muda yang bersedia menjadi cantrik yang mempunyai kedudukan agak lain dengan cantrik kebanyakan. Bersama para cantrik, Putut dan Jejanggan mereka menempa diri. Mereka mendapat latihan kanuragan. Baik secara pribadi maupun dalam kelompok-kelompok pasukan yang lebih besar. Karena hal itu dilakukan di tempat-tempat yang agak terpencil, maka hal itu tidak segera diketahui oleh para pengawal di Kediri.

Sementara itu, di Singasari, sepeninggal Pangeran Indrasunu, maka Mahisa Bungalan pun merasa, bahwa sudah saatnya baginya untuk mulai dengan satu kehidupan baru. Ia sudah merasa mapan untuk mulai dengan tugas-tugas keprajuritan yang sebenarnya.

Pada saat-saat sebelumnya, meskipun ia belum dengan resmi memasuki tugas-tugas keprajuritan, namun ia sudah menjadi keluarga dari kesatuan prajurit Singasari, sehingga karena itu, maka kehadirannya di lingkungan keprajuritan sama sekali bukannya menjadi masalah baru.

Namun dengan demikian, maka Mahisa Bungalan telah mengikat diri dalam tugas-tugas tertentu. Ia tidak dapat berbuat menuruti keinginannya saja. Jika ia ingin melakukan sesuatu, maka ia harus mendasarkannya kepada perintah Senopatinya.

Sementara itu, maka Ken Padmi masih tetap berada di rumah Mahendra. Ia sudah terbiasa hidup bersama kedua adik Mahisa Bungalan yang nakal, tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang baik.

Namun dalam pada itu, Mahendra sama sekali tidak mengetahui, bahwa apa yang terjadi di istana Pangeran Wirapaksi itu masih akan membawa akibat yang panjang. Bahwa Pangeran Indrasunu telah menjadikan padukuhannya menjadi salah satu sasaran pertama dari gerakannya, meskipun padukuhannya itu tidak ada hubungannya dengan usaha Pangeran Indrasunu untuk membangunkan orang-orang Kediri dari kealpaannya.

Karena itu, maka Mahendra merasa, kewajibannya telah menjadi berkurang justru setelah Mahisa Bungalan menempatkan dirinya di dalam lingkungan keprajuritan. Sebagai orang tua maka Mahendra pun telah mengayam angan-angan tentang suatu saat, anaknya hidup dalam lingkungan sebuah keluarga kecil.

Sebenarnyalah keempat Pangeran itu memang harus bersabar. Mereka harus memberikan waktu kepada para pemimpin padepokan, guru-guru mereka untuk mempersiapkan tenaga terlatih. Bahkan dengan diam-diam para Pangeran itu telah mengirimkan para pengawal mereka yang terpilih untuk menerima latihan khusus dalam olah kanuragan, terutama dalam kemampuan mereka secara pribadi.

Dalam pada itu, guru dari Pangeran yang bertubuh kecil, yang menyebut dirinya Resi Damar Pamali, telah benar-benar menyusun kekuatan. Adalah di luar dugaan, bahwa ia mampu menghimpun tenaga yang tidak kalah kemampuannya dengan para pengawal di Pakuwon Kabanaran. Sementara kedua orang guru Pangeran yang lain, kekuatan Resi Damar Pamali rasa-rasanya mampu untuk mengimbangi kekuatan Akuwu Suwelatama.

Sementara itu, Pangeran Suwelatama ternyata menjadi lengah. Pangeran itu menganggap bahwa para Pangeran yang telah datang kepadanya itu pun sempat merenungi diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak lagi mempunyai angan-angan yang menyesatkan.

Untuk beberapa hari, bahkan beberapa bulan Pangeran Suwelatama masih tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan, jika para Pangeran yang kecewa itu datang untuk mencoba menghukumnya. Namun setelah bulan pertama lewat, menjelang bulan kedua tanpa ada kabar beritanya, maka Pangeran Suwelatama justru telah bersukur, karena menurut dugaannya, saudara-saudaranya itu telah menyadari kekeliruanya.

Tetapi hal itu memang termasuk diperhitungkan sebaik-baiknya oleh Resi Damar Pamali. Bahkan Resi Damar Pamali sempat mengirimkan petugas sandinya untuk melihat keadaan Pakuwon Kabanaran. Namun menurut keterangan yang diperolehnya, Akuwu Suwelatama justru telah mengendorkan kesiagaannya setelah ia menganggap bahwa Pangeran-pangeran itu telah dengan diam-diam membatalkan niatnya.

“Angger Pangeran,” berkata Resi Damar Pamali kepada muridnya, “nampaknya waktu yang kita tunggu itu hampir tiba. Tetapi kita masih harus tetap bersabar. Kita tidak mau gagal. Sekali pukul, Pakuwon itu harus dapat kita hancurkan.”

“Ya, guru,” jawab Pangeran bertubuh kecil itu, “aku memang merasa sakit hati atas sikap kakangmas Akuwu Suwelatama. Ia menganggap aku dan ketiga saudara-saudaraku sebagai kanak-kanak yang masih belum nalar. Karena itulah agaknya ia menjadi lengah pula dan menganggap kami tidak akan berbuat apa-apa, sebagaimana tingkah laku kanak-kanak, yang merajuk dan patah.”

Gurunya tertawa. Katanya, “Kita harus mulai mempersiapkan pasukan. Kita akan mengumpulkan semua kekuatan yang telah tersedia di padepokan ini.”

Demikianlah, pada saat-saat yang memungkinkan, ketika Akuwu Suwelatama telah hampir melupakan keempat orang Pangeran itu, maka mulailah mereka justru menghimpun kekuatan. Kekuatan dari tiga padepokan yang besar yang dibiayai oleh para Pangeran serta para pengawal, telah berkumpul di padepokan Resi Damar Pamali. Ternyata kekuatan Resi Damar Pamali itu benar-benar di luar dugaan para Pangeran itu sendiri.

“Kita mempunyai perhitungan yang cermat,” berkata Resi Damar Pamali, “sudah saatnya kita pergi ke Pakuwon Kabanaran. Pakuwon itu akan kita pecah berkeping-keping. Kita akan mendudukinya dan menghimpun kekuatan diatasnya. Dengan demikian maka kekuatan kita akan diperhitungkan oleh siapapun juga, termasuk Kediri dan Singasari. Sementara itu, kita harus dapat mengambil hati rakyat di Kabanaran dan kemudian harus meluas ke daerah yang lain. Bahkan kota raja Kediri dan Singasari. Jika keadaan sudah masak, kita akan dengan mudah memasuki daerah yang orang-orangnya telah mengerti apa yang kita inginkan.”

Keempat Pangeran itu telah bersepakat untuk membangun satu perjuangan itu, merasa bahwa mereka benar-benar telah siap. Sehingga akhirnya, hari-hari yang mereka yang tunggu-tunggu itu pun datang pula atas persetujuan Resi Damar Pamali. Dengan didukung oleh Resi Damar Pamali sendiri, dua orang pemimpin padepokan yang berpengaruh, para cantrik dan para pengawal pun telah mempersiapkan diri memasuki Pakuwon Kabanaran.

Sementara Pakuwon itu sendiri sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, setelah Pakuwon itu memperingati hari-hari yang mereka banggakan, maka kesiagaan mereka pun mengendor. Apalagi setelah waktu berjalan terus tanpa ada kesan apapun juga tentang sikap keempat Pangeran itu.

Pada saat yang ditentukan, Pakuwon Kabanaran benar-benar telah dikejutkan oleh serangan yang tiba-tiba memasuki daerahnya. Para pengawal yang tidak siaga sepenuhnya terdesak dengan cepat. Sementara isyarat telah mengumandang merambat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain mendahului kemajuan pasukan Resi Damar Pamali.

Isyarat yang sampai ke telinga para pengawal di pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran telah terkejut. Dengan apa adanya para pengawal segera mempersiapkan diri. Mereka segera memasang gelar menghadapi penyerang yang merambat mendekati kota. Sebenarnyalah pasukan itu seolah-olah tidak terhambat sama sekali. Pasukan pengawal Pakuwon Kabanaran terdesak dengan cepat. Bahkan dua orang penghubung telah mendahului pasukan pengawal yang berada di luar kota untuk menyampaikan laporan tentang kekuatan pasukan yang menyerbu Pakuwon itu.

“Kekuatan yang sangat besar.” berkata penghubung itu.

Berita itu memang sangat mengejutkan. Dari penghubung itu Akuwu Suwelatama mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri yang mendendamnya, karena ia tidak mau dengan langsung melibatkan diri pada usaha mereka untuk menumbuhkan perubahan di Kediri dan Singasari. Tetapi bahwa kekuatan yang datang itu tidak terduga besarnya, memang sangat mengherankannya.

Tetapi penghubung yang datang kepadanya itu dapat menjelaskannya, bahwa sebagian dari mereka adalah pengawal dari para pangeran itu yang nampaknya memang sudah dipersiapkan, dengan kekuatan dari beberapa padepokan.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Pasukan kita memang tersebar karena kita tidak menduga hal ini akan terjadi.”

“Isyarat ini akan memanggil mereka.” desis seorang Senopati.

“Tetapi memerlukan waktu yang barangkali tidak akan dapat mengimbangi kecepatan laju pasukan empat Pangeran itu.” desis Pangeran Suwelatama.

“Kita akan berusaha, Sang Akuwu.” jawab Senopati itu, “Kita akan mempertahankan Pakuwon ini sampai batas kemampuan terakhir.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah ia mulai memperhitungkan keadaan dengan cermat. Belum lagi Akuwu Suwelatama mengambil keputusan, maka telah datang penghubung berikutnya. Dengan cemas salah seorang dari mereka berkata,

“Kekuatan mereka tidak dapat diimbangi. Kami telah melihat pasukan yang memasang gelar di luar gerbang kota. Tetapi kekuatan itu tidak akan seimbang. Yang datang bagaikan banjir bandang, sementara bendungan yang kita pasang tidak lebih dari seonggok dedaunan.”

“Bagaimana pertimbanganmu?” bertanya Pangeran Suwelatama.

“Pasukan kita akan digulung tanpa arti.” jawab penghubung itu.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Sementara ia tidak akan dapat menunggu para pengawal yang tersebar. Yang bahkan sebagian dari mereka, sebagaimana biasanya, secara bergilir diperkenankan kembali ke rumah masing-masing.

Namun dalam pada itu, isyarat yang terdengar di seluruh kota itu telah memanggil beberapa orang pengawal yang sedang tidak bertugas. Dengan bergegas mereka kembali ke pasukan masing-masing. Namun yang jumlahnya memang kurang memadai. Sedangkan pasukan yang tersebar di tempat-tempat yang jauh menghadapi kemungkinan-kemungkinan meluasnya lagi beberapa kelompok perampok, sulit untuk ditunggu kehadirannya dalam waktu dekat. Karena itu, setelah berbicara dengan beberapa orang Senopati, akhirnya Akuwu Suwelatama telah mengambil satu sikap yang sangat hati-hati.

“Kita tidak mengambil cara yang kasar untuk langsung berhadapan,” berkata Pangeran Suwelatama, “kita harus dapat memperhitungkan keadaan dengan cermat. Jika kita berkeras pada harga diri, maka kita akan tenggelam. Tetapi jika kita memperhitungkan keadaan dengan bijaksana, kita akan tetap menguasai keadaan, meskipun harus melalui jalan yang berliku.”

“Maksud Akuwu?” bertanya penghubung yang menunggu hasil pembicaraan dan keputusan Akuwu dengan hampir tidak sabar.

“Kita akan menarik pasukan kita mundur.” berkata Akuwu Suwelatama, “Kita akan menyusun kekuatan dengan menghubungi pasukan kita yang tersebar. Pada suatu saat, kita akan kembali lagi dengan kekuatan kita seutuhnya.”

Kebijaksanaan itu memang dapat dimengerti. Sudah tentu Akuwu Suwelatama tidak akan dapat memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh diri di medan tanpa perhitungan, hanya semata-mata karena harga diri. Karena itu, maka perintah yang jatuh, para penghubung itu agar segera menyampaikan keputusan Akuwu Suwelatama. Semua pasukan ditarik dan berkumpul di tempat yang sudah ditentukan oleh Akuwu Suwelatama.

Sementara itu, Akuwu pun telah memerintahkan beberapa penghubung yang lain untuk menyampaikan perintah penarikan pasukan yang tersebar, justru pada saat para perampok yang datang dari luar daerah mulai menjamah Pakuwon yang tenang itu.

Ternyata kebanggaan mereka yang belum lama mereka kenang, sepuluh tahun yang lalu, sejak berdirinya Pakuwon itu, telah terjadi malapetaka. Sehingga karena itu, maka orang-orang terpenting di kota Kabanaran harus menyingkir bersama pasukan pengawal khusus.

Demikianlah, maka pasukan yang telah memasang gelar di hadapan regol kota telah mendapat perintah untuk menarik diri. Demikian juga para pengawal yang sedang bertempur di medan untuk menghambat kemajuan pasukan lawan.

Ada beberapa orang Senopati yang kecewa mendengar perintah itu. Namun akhirnya mereka pun menyadari, bahwa mereka tidak boleh kehilangan pertimbangan dan perhitungan. Apalagi setelah mereka mendapat gambaran kekuatan pasukan lawan yang menyerang.

Demikianlah kota itu telah dikosongkan. Ketika pasukan keempat Pangeran itu mendekati kota, maka segera mereka mengetahui bahwa para pengawal tidak menghambat kemajuan mereka. Karena itu, maka dengan mudah mereka memasuki pintu gerbang kota yang terbuka tanpa seorang pengawalpun.

Dengan demikian, maka dengan mudah kota Pakuwon Kabanaran telah mereka kuasai dalam waktu yang termasuk singkat. Perlawanan hanya mereka jumpai sedikit di perbatasan. Kemudian mereka telah mendapatkan kesempatan yang luas untuk maju tanpa hambatan sama sekali.

Tanpa banyak kesulitan maka pasukan Resi Damar Pamali bersama keempat Pangeran itu telah menduduki Pakuwon Kabanaran yang kuat, tetapi tidak bersiaga. Sementara itu, kedua orang guru Pangeran yang lain pun telah berada di antara mereka pula. Hanya Pangeran Indrasunu sajalah yang tidak didampingi oleh gurunya, justru karena gurunya mengetahui kelemahan dari alas perjuangan Pangeran Indrasunu itu.

Namun bagi Pangeran Indrasunu, Resi Damar Pamali, guru dari Pangeran Bujakerta yang bertubuh kecil itu telah dapat dianggap sebagai ganti gurunya. Justru Resi Damar Pamali itu mempunyai sikap dan pandangan yang sama dengan dirinya sendiri dan ketiga saudaranya.

Kedatangan pasukan yang tiba-tiba itu telah mencemaskan hati orang-orang Kabanaran yang tidak sempat menyingkir. Mereka seakan-akan berdiri di atas bara yang menyala. Mereka yang telah menduduki kota itu tentu dapat berbuat sewenang-wenang atas mereka.

Tetapi dugaan mereka salah. Pangeran Indrasunu dengan persetujuan Resi Damat Pamali telah memerintahkan setiap orang dalam pasukannya untuk berbuat sebaik-baiknya terhadap orang-orang Pakuwon Kabanaran. Mereka harus mengambil hati agar orang-orang Kabanaran yakin bahwa Pangeran Indrasunu tengah berjuang bagi kepentingan mereka.

“Kabar tentang sikap orang-orang kita akan segera memencar ke segenap sudut Pakuwon ini,” berkata Resi Damar Pamali, “hanya kepada para pengawal Pakuwon ini yang tidak mau menyerah kita akan berbuat kasar.”

Demikianlah sejak hari pertama mereka berada di Pakuwon Kabanaran, Pangeran Indrasunu dan Resi Pamali telah mulai dengan rencana mereka untuk menyusun pemerintahan. Bahkan mereka sudah merencanakan untuk menghimpun anak-anak muda yang tersisa untuk memasuki satu lingkungan pasukan pengawal yang baru dengan janji yang dapat mempengaruhi hati mereka.

“Kita adalah anak-anak muda yang bercita-cita,” berkata Pangeran Indrasunu, “meskipun kakangmas Suwelatama masih juga terhitung muda, tetapi ia telah melupakan alas tempat ia berpijak. Ia sudah tenggelam dalam kedudukannya yang dapat memberikan apa saja yang diingininya.”

Sementara itu, Pangeran Suwelatama yang terdesak dari Pakuwon Kabanaran telah menyusun kekuatan agak jauh dari kota. Akuwu Suwelatama telah memilih tempat untuk sementara di sebuah hutan kecil yang dipagari oleh pebukitan. Sambil menyusun kekuatan yang ada, Akuwu Suwelatama juga menunggu pasukannya yang tersebar, yang telah diperintahkan untuk berkumpul di tempat yang sudah ditentukannya. Tetapi ketika dua orang penghubung kembali menghadap Akuwu Suwelatama, justru telah timbul satu masalah baru yang menambah rumit persoalan yang dihadapinya.

Dengan jantung yang berdebar-debar Akuwu mendengarkan penghubung itu memberikan laporan, “Akuwu, Panglima pasukan pengawal yang berada di hutan perbatasan menunggu perintah. Sebenarnyalah Panglima telah melihat satu gerakan yang kuat dari sekelompok penjahat yang dipimpin oleh Ki Jalatang. Rakyat di belakang hutan sudah menjadi sangat cemas. Jika Ki Jalatang itu memasuki tlatah Pakuwon Kabanaran, maka rakyat di sekitar hutan perbatasan itu akan menjadi sasaran kejahatan yang tidak akan terlawan. Sementara Panglima menyiapkan jebakan dan mudah-mudahan akan berhasil, maka datang perintah Akuwu untuk menarik pasukan itu karena keadaan yang gawat di Pakuwon ini.”

“Bagaimana dengan pasukan di padang Padiangan?” bertanya Akuwu.

“Pasukan di padang Padiangan akan segera menghadap Akuwu. Tidak ada persoalan yang gawat di daerah itu.” jawab penghubung itu. Lalu, “Tetapi pasukan di daerah rawa-rawa Kedung Sertu nampaknya terikat juga oleh satu keadaan yang mirip dengan para pengawal di hutan perbatasan. Agaknya gerombolan yang bergerak di luar perbatasan menghadap ke hutan dan rawa-rawa Kedung Sertu itu mempunyai alas kekuatan yang sama.”

Akuwu Suwelatama menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Namun ia merasa sangat berat untuk menjatuhkan perintah menarik pasukan yang sedang menghadapi kekuatan dari sekelompok penjahat yang akan merusak ketenangan hidup rakyat kecil di perbatasan.

Karena itu, maka perintah Akuwu kemudian kepada para penghubung, “Perintahkan kepada pasukan yang berada di Padiangan untuk secepatnya datang. Kemudian pasukan di hutan perbatasan dan daerah rawa-rawa di Kedung Sertu untuk tetap tinggal. Tetapi sebaiknya mereka tidak menunggu. Mereka harus mengambil sikap lebih cepat. Baru setelah mereka mengatasi keadaan, mereka aku perintahkan untuk mencari hubungan dengan aku. Aku tidak dapat mengorbankan rakyat di perbatasan itu apapun alasannya.”

Penghubung itu pun kemudian meninggalkan Akuwu dengan pasukan yang ada padanya. Namun dengan demikian, maka Akuwu masih harus membuat perhitungan-perhitungan yang cermat untuk mengatasi keadaan. Tetapi menurut perhitungan Akuwu Suwelatama, pasukan yang ada di padang Padiangan itu tidak akan cukup kuat mengatasi kekuatan keempat Pangeran yang datang dibantu oleh guru-guru mereka dengan seluruh kekuatan di padepokan-padepokan. Apalagi Akuwu itu pun menyadari, bahwa pasukan yang datang itu memang sudah dipersiapkan cukup lama dengan biaya yang disediakan oleh para Pangeran yang kaya itu.

Karena itulah, maka Akuwu Suwelatama harus membuat perhitungan yang cermat menghadapi keadaan. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat segera mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu. Dalam keadaan yang sulit itu, maka Akuwu Suwelatama teringat kepada Wasi Sambuja. Barangkali ia dapat minta pertolongannya untuk memperingatkan sekali lagi, agar Pangeran Indrasunu tidak menjadi semakin jauh tersesat. Karena itu, maka Akuwu Suwelatama pun telah memerintahkan penghubungnya untuk pergi ke padepokan Wasi Sambuja.

“Katakan, bahwa aku sudah terdesak. Karena keadaan yang gawat, aku tidak dapat meninggalkan pasukanku.” pesan Akuwu Suwelatama, “Jika Wasi Sambuja bersedia, aku mohon ia datang ke tempat ini.”

Demikianlah penghubung itu pun segera melakukan perintah Akuwu. Dengan tergesa-gesa ia telah menempuh sebuah perjalanan menuju ke padepokan Wasi Sambuja. Berita tentang tingkah laku Pangeran Indrasunu telah membuat Wasi Sambuja berprihatin. Ia menyesali tingkah lakunya sendiri pada saat-saat ia masih mengasuh Pangeran yang muda itu. Ia terlalu memanjakannya dan memenuhi segala keinginannya, yang baik maupun yang kurang baik.

Ternyata bahwa kemanjaannya itu telah menumbuhkan persoalan yang gawat bagi satu lingkungan yang besar. Bukan sekedar pada beberapa pribadi tertentu saja. Gambaran yang diberikan oleh penghubung itu tentang keadaan Akuwu Suwelatama membuatnya menjadi semakin gelisah. Wasi Sambuja memuji kebijaksanaan Akuwu yang tidak mau memanggil pasukannya yang sedang berusaha melindungi rakyat kecil di perbatasan meskipun ia sendiri sangat membutuhkannya.

“Tetapi dengan demikian keadaan Akuwu itu sendiri menjadi gawat.” berkata Wasi Sambuja.

“Ya,” jawab penghubung itu, “pada suatu saat, keempat Pangeran itu dapat saja mendesaknya semakin jauh ke dalam hutan, atau mengepungnya dan menghancurkannya.”

“Tetapi bukankah perintah Akuwu kepada pasukannya, apabila tugas mereka telah selesai, mereka harus datang menghadap?” bertanya Wasi Sambuja.

“Tugas itu masih panjang. Para penjahat itu berpangkal di luar daerah Pakuwon Kabanaran sehingga sulit bagi pasukan kami untuk langsung menusuk ke dalam sarang mereka.” jawab penghubung itu. Lalu, “Sementara itu, kedudukan keempat Pangeran itu akan menjadi semakin kuat. Dengan janji palsu dan hadiah-hadiah yang berharga, mereka akan dapat menghimpun kekuatan di Pakuwon Kabanaran sendiri, sementara mereka dapat mulai dengan hubungan-hubungan baru dengan tetangga di sekitar Pakuwon kami.”

“Tentu hubungan itu tidak akan dapat berlangsung,” sahut Wasi Sambuja, “kedudukan keempat Pangeran itu masih belum diakui.”

“Tetapi jika itu merupakan satu kenyataan, bahwa yang berkuasa adalah mereka, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain dari Kediri dan Singasari.” sahut penghubung itu.

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud penghubung itu. Namun baginya sulit dapat membayangkan cara yang paling yang dapat ditempuh oleh Akuwu Suwelatama. Ia sendiri tidak yakin, apakah pengaruhnya masih cukup kuat untuk mempersilahkan Pangeran Indrasunu mengurungkan niatnya yang sudah dimulainya itu.

Karena itu, maka katanya kepada penghubung itu, “Baiklah. Aku akan menghadap Akuwu Suwelatama. Mungkin aku dapat mengatakan serba sedikit pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat ditempuh.”

Demikianlah, maka bersama penghubung itu, Wasi Sambuja telah pergi menghadap Akuwu Suwelatama. Sebenarnyalah bahwa Resi Sambuja melihat seperti apa yang dikatakan oleh penghubung yang datang kepadanya, Dengan pasukan yang ada, Akuwu menyusun pertahanannya di sebuah hutan kecil. Namun menurut Akuwu Suwelatama, ia tidak akan mampu bertahan apabila pasukan keempat Pangeran itu mengejarnya lebih jauh.

“Tetapi agaknya mereka sedang menyusun landasan.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Tetapi apakah sementara itu pasukan Akuwu yang tersebar sudah dapat ditarik semuanya?” bertanya Wasi Sambuja.

“Aku khawatir bahwa mereka masih belum dapat menyelesaikan tugas mereka. Jika mereka harus aku tarik karena persoalan ini, maka rakyat kecil akan menjadi korban keganasan para penjahat yang sama sekali tidak mau membuat pertimbangan-pertimbangan apapun juga yang menyangkut persoalan yang lebih luas. Mereka tidak peduli apakah Pakuwon ini sedang mengalami kekalutan atau sama sekali tidak ada persoalan. Mereka justru merasa mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk melepaskan ketamakan dan kedengkian mereka. Mereka akan dapat berbuat sewenang-wenang.” jawab Akuwu Suwelatama. Kemudian, “Meskipun aku mengerti, bahwa mempertahankan Pakuwon ini merupakan satu kewajiban penting, namun apakah aku akan dapat mengorbankan rakyat di perbatasan itu?”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kita dapat mempergunakan pasukan dari Kediri atau Singasari untuk mengusir mereka?”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum memikirkannya. Aku berharap bahwa aku akan dapat mengatasi persoalan ini sendiri. Jika aku menyampaikan persoalan ini kepada Kediri atau Singasari, maka keempat Pangeran itu akan menjadi buruan yang akan berakibat sangat buruk bagi mereka.”

“Tetapi dengan perbuatan mereka itu, maka mereka sudah menumbuhkan satu persoalan yang gawat. Pakuwon ini bukan barang mainan, Dan mereka sudah merebutnya dari tangan yang berhak. Apakah dengan demikian, masih akan ada pertimbangan-pertimbangan yang justru akan menyulitkan penyelesaiannya?”

Akuwu Suwelatama rasa-rasanya memang sedang berdiri di simpang jalan. Apa bila ia membiarkan tingkah laku keempat Pangeran itu, maka mereka tentu akan semakin jauh tersesat. Tetapi justru karena mereka telah bertindak, maka apabila ia melaporkannya kepada para pemimpin di Kediri dan Singasari, maka akibatnya akan sangat gawat bagi keempat Pangeran yang sebenarnya adalah saudara-saudaranya pula.

“Ki Wasi Sambuja,” berkata Akuwu Suwelatama, “apakah kau tidak ingin mencoba sekali lagi dengan cara yang baik. Kau dapat menemui adimas Indrasunu dan memberinya sedikit peringatan, bahwa permainan ini akan dapat membakar dirinya sendiri.”

“Aku sudah mencoba, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “tetapi ia sama sekali tidak mau mendengarkannya.”

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Sulit baginya untuk mengambil satu sikap. Jika ia menunggu, maka kekuasaan keempat Pangeran itu di daerah Pakuwonnya akan menjadi semakin mantap. Agaknya mereka dapat membujuk anak-anak muda yang kurang kuat sikap dan pribadinya dengan janji-janji dan harapan, sehingga anak-anak muda itu terpikat kepada sikap mereka.

Tetapi untuk melawan mereka dengan kekerasan, rasa-rasanya Akuwu Suwelatama masih belum cukup mempunyai kekuatan, sehingga benturan yang akan terjadi, akan sangat merugikannya dan merugikan Pakuwonnya.

Dalam keragu-raguan itu Pangeran Suwelatama mendengar Wasi Sambuja berkata, “Pangeran. Namun demikian, baiklah sekali lagi aku akan mencoba menemui Pangeran Indrasunu. Aku akan menyampaikan segala masalah yang Pangeran hadapi kepadanya, meskipun aku tidak akan justru mendorongnya untuk menyerang Pangeran dalam kedudukan Pangeran sekarang, karena aku mengatakan kelemahan Pangeran.”

“Terima kasih,” jawab Pangeran itu, “mudah-mudahan kau berhasil.”

Wasi Sambuja itu pun kemudian mohon diri untuk pergi ke pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran. Tetapi perjalanan itu tidak terlalu mudah seperti yang diduganya. Di sepanjang jalan ia menemui berbagai macam kesulitan. Para pengawal dari keempat Pangeran itu ternyata sangat berhati-hati. Mereka dengan keras memeriksa setiap orang yang mendekati kedudukan keempat Pangeran yang didukung oleh guru-guru mereka, kecuali guru Pangeran Indrasunu.

Namun akhirnya Wasi Sambuja itu berhasil juga menemui Pangeran Indrasunu. Ia diterima dengan penuh kecurigaan, sehingga Wasi Sambuja merasa bahwa ia selalu berada di dalam pengawasan yang sangat ketat.

“Orang itu dapat berbuat jahat terhadapku.” berkata Pangeran Indrasunu kepada pengawalnya.

“Jika demikian, apakah sebaiknya orang itu ditangkap saja?” bertanya pengawalnya.

Pangeran Indrasunu merenung sejenak. Namun akhirnya ia menggeleng lemah, “Aku masih mempunyai sedikit hormat kepadanya. Biarlah ia mengatakan maksudnya. Tetapi jika ia bermaksud buruk, aku akan memberikan isyarat kepadamu.”

Pengawal itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengawasi tamu Pangeran Indrasunu itu dengan sungguh-sungguh. Dalam pada itu, maka Pangeran Indrasunu telah menerima gurunya di serambi istana Akuwu Suwelatama yang sudah dikuasainya. Di tempat yang terbuka itu, memungkinkan beberapa orang pengawal mengawasinya dari kejauhan.

Setelah duduk sejenak, maka Wasi Sambuja itu pun kemudian mengatakan maksud kedatangannya. Ia berusaha memperingatkan Pangeran Indrasunu, bahwa permainannya itu akan dapat membahayakan dirinya.

“Jika Kediri dan Singasari mengambil sikap yang keras, maka Pangeran tidak akan mampu berbuat apapun juga.” berkata Wasi Sambuja.

“Guru,” berkata Indrasunu, “jika guru tidak mau ikut bersamaku, silahkan. Tetapi guru jangan mengangguku. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan melangkah surut. Tingkat pemikiran dan perencanaan sudah lewat. Kami tinggal melaksanakannya. Kami sudah menyusun kekuatan yang akan mampu mengimbangi kekuatan Kediri, dan kemudian kekuatan Singasari.”

“Pangeran bermimpi,” desis Wasi Sambuja, “kekuatan yang dapat Pangeran himpun sekarang ini sama sekali belum berarti apa-apa bagi Singasari.”

“Guru keliru. Guru belum melihat kekuatan kami yang sebenarnya. Selain itu, kami telah berhasil menyusun pasukan yang baru, yang terdiri dari mereka yang telah menyadari kebenaran perjuangan kami.”

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja kemudian, “jika aku masih boleh memperingatkan, sebaiknya Pangeran menarik diri. Sebentar lagi kekuatan Pangeran Suwelatama akan pulih, setelah ia selesai dengan tugas kemanusiaannya. Justru pada saat pasukannya sedang melakukan tugas kemanusiaan, Pangeran telah menyerang. Namun sampai hari ini Pangeran Suwelatama masih belum ingin melibatkan pasukan Kediri dan apalagi Singasari.”

“Omong kosong!” geram Pangeran Indrasunu, “Seandainya kakangmas Suwelatama mengadukan hal ini kepada Kediri dan Singasari, maka tidak akan ada seorang pun yang akan menanggapinya. Kediri akan melihat kenyataan bahwa rakyat Kabanaran lebih senang memilih pemerintahan yang kami pimpin daripada kakangmas Suwelatama, sehingga Kediri dan Singasari justru akan mengesahkan kedudukan kami.”

“Satu kesalahan yang besar.” desis Wasi Sambuja.

“Sudahlah. Guru jangan ikut campur.” geram Pangeran Indrasunu. “Namun sebagai seorang murid aku masih ingin bertanya sesuatu kepada guru. Di mana Pangeran Suwelatama sekarang ini bersembunyi?”

Wajah Wasi Sambuja menjadi tegang. Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu sudah tidak mau mendengar nasihatnya sama sekali. Pengaruhnya terhadap muridnya yang seorang itu telah pudar dan bahkan padam. Namun sudah barang tentu bahwa Wasi Sambuja tidak akan bersedia menjawab pertanyaan Pangeran Indrasunu, di mana Akuwu Suwelatama bersembunyi.

Karena itu, maka jawabnya, “Pangeran. Aku tidak tahu, di mana Pangeran Suwelatama untuk sementara menarik pasukannya. Tetapi yang aku ketahui dengan pasti, ia akan kembali bersama pasukannya untuk mengusir Pangeran.”

“Cukup, guru!” potong Pangeran Indrasunu, “Waktu aku berikan bagi guru sudah terlalu panjang.”

“Terima kasih, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “aku mohon diri. Aku akan kembali ke padepokan untuk menenangkan hati dan berdoa agar Pangeran mendapat terang di hati, sehingga sempat menilai kembali apa yang sedang Pangeran lakukan sekarang.”

“Jangan membuang waktu dan tenaga yang tidak akan berarti apa-apa.” jawab Pangeran Indrasunu. “Doa guru tidak akan terkabul sama sekali.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin memberikan penjelasan lagi. Ia pun minta diri dan meninggalkan istana Akuwu.

Demikian Wasi Sambuja itu hilang di balik regol, maka Pangeran Indrasunu pun segera memanggil dua orang pengawal terpilihnya. Katanya, “ Kau melihat orang tua itu?”

“Ya, Pangeran.” jawab salah seorang dari kedua pengawal itu.

“Aku tahu, kalian berdua adalah orang pilih tanding. Apakah kalian berani mengimbangi kemampuan guruku itu?” bertanya Pangeran itu.

“Apakah Pangeran bermaksud agar aku mengejarnya dan menangkapnya?” bertanya pengawal itu pula.

“Tidak. Bukan menangkapnya. Bagaimanapun juga, ia adalah guruku.” desis Pangeran Indrasunu.

“Jadi?”

“Ikuti orang itu. Aku yakin ia akan pergi ketempat persembunyian Akuwu Suwelatama.” desis Pangeran Indrasunu, “Jika kalian telah menemukan persembunyian itu, laporkan kepadaku. Kita akan datang beramai-ramai. Nah, kau tahu apa yang aku maksud?”

“Mengerti, Pangeran.” jawab pengawal itu, “Mengikuti orang tua itu sampai ke tempat persembunyian Pangeran Suwelatama.”

“Tepat. Lakukan sekarang, mumpung orang itu belum terlalu jauh.”

“Kami dapat mengikuti jejak kaki kudanya, Pangeran. Kawanku ini adalah seorang ahli menilik jejak. Apalagi jejak seekor kuda yang baru saja lewat, sedangkan jejak seseorang pun dapat diikutinya.”

“Bagus, tetapi segeralah berangkat.” perintah Pangeran Indrasunu.

Kedua pengawal itu segera mengambil kudanya. Sejenak kemudian keduanya telah berderap mengikuti jejak kuda Wasi Sambuja. Sebenarnyalah pengawal itu memiliki ketajaman penglihatan atas jejak yang diikutinya. Ia dengan mudah dapat mengenal jejak yang baru. Sehingga dengan demikian maka kedua pengawal itu pun tahu dengan pasti, kemana Wasi Sambuja pergi.

Dalam pada itu, Wasi Sambuja memang ingin kembali ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Namun nalurinya memberinya peringatan, bahwa memang mungkin sekali Pangeran Indrasunu memerintahkan orang-orangnya untuk mengikutinya, karena itu maka Wasi Sambuja telah memilih jalan lain yang tidak langsung menuju ke tempat yang dituju. Seolah-olah ia mengikuti jalur jalan yang arahnya berbeda, meskipun pada suatu saat ia akan berbelok menuju ke tempat yang sebenarnya.

Karena itu maka kedua pengawal yang mengikuti jejaknya pun telah menuju ke tempat yang tidak semakin dekat dengan tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Namun dalam pada itu, ada juga keragu-raguan di hati kedua pengawal itu. Ketika mereka berbelok memasuki sebuah jalan sempit, salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Aku tidak dapat membayangkan, kemana orang tua itu akan pergi.”

“Mungkin Akuwu Suwelatama telah menyeberang perbatasan dan memasuki Pakuwon tetangga. Jalan ini menuju keperbatasan.” sahut yang lain.

Meskipun demikian, keduanya memasuki jalan itu pula. tetapi yang seorang berkata, “Aku tidak akan salah, jejak ini masih sangat jelas.”

“Aku pun dapat melihatnya,” jawab yang lain, “sebaiknya kita percepat sedikit. Mungkin kita akan dapat mengetahui dengan pasti, ke mana orang itu pergi.”

“Jika ia menyeberang perbatasan?” bertanya kawannya.

“Kita akan melihat suasana,” jawab yang lain, “jika perlu kita pun akan menyeberang. Bukankah menjadi rencana Pangeran Indrasunu, bahwa Pakuwon di sekitarnya pun harus tunduk kepadanya sebelum pada suatu saat, Kediri akan dikuasai?”

Keduanya pun kemudian mempercepat kuda mereka. Dengan demikian mereka berharap untuk dapat mengetahui lebih jelas, apa yang akan dilakukan oleh orang tua itu. Agaknya keduanya pun menjadi curiga, bahwa orang tua itu menyadari bahwa ia telah diikuti dan sedang berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang mengikutinya itu.

“Jika ia mencapai sebuah sungai dan menelusurinya, kita harus berhati-hati.” desis yang seorang.

Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kita harus berhati-hati?”

“Kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan arah. Di dalam air yang keruh, kita sulit untuk melihat jejaknya. Mungkin orang itu berbelok ke kiri. Tetapi mungkin menelusuri sungai itu ke arah kanan.” jawab Kawannya.

Sebenarnyalah bahwa akhirnya Wasi Sambuja itu pun mengetahui bahwa dua orang telah mengikutinya. Ketika ia berada di bulak panjang, maka ia sempat melihat dua orang yang muncul dari mulut lorong. Namun agaknya kedua orang itu tidak melihatnya karena ia sudah berada di padukuhan di seberang bulak. Justru karena getar perasaannya, ia menduga bahwa Pangeran Indrasunu tidak akan bertindak jujur.

“Ternyata dugaanku benar.” berkata Wasi Sambuja kepada diri sendiri. Ketika ia meyakinkan untuk kedua kalinya, ia menjadi yakin bahwa ia benar-benar telah diikuti.

Dalam pada itu, kedua orang yang mengikutinya itu pun berusaha untuk memperpendek jarak. Dengan mempertinggi kecepatannya, mereka berharap dapat mengikuti orang itu secara langsung, agar mereka tidak kehilangan. Ketika pada suatu saat kedua orang itu muncul dari sebuah padukuhan, keduanya menjadi bimbang. Mereka tidak melihat jejak kuda itu lagi. Yang nampak adalah bekas pedati yang lewat menyeret bambu yang ujung-ujungnya menyentuh tanah. Bahkan dedaunan yang agaknya berada di pedati itu pula.

“Kita lihat beberapa puluh langkah ke depan.” berkata yang seorang. Tetapi bekas pedati itu masih tetap menghapus jejak.

“Gila,” geram orang itu, “apakah orang itu memang sengaja berbuat demikian?”

“Jika benar demikian, maka pedati itu tentu tidak jauh di depan kita.” berkata kawannya.

Kedua orang itu pun berpacu semakin cepat. Mereka ingin menyusul pedati yang telah menghapus jejak itu. Jika pedati itu berada di belakang orang yang mereka ikuti, sementara jalan sebuah pedati tidak lebih cepat dari seekor siput yang merayap, maka pedati itu tentu tidak akan jauh lagi di hadapan mereka.

Demikianlah keduanya berpacu semakin cepat. Ketika keduanya muncul dari sebuah padukuhan kecil, sebenarnyalah mereka melihat sebuah pedati yang ditarik oleh sepasang lembu, berjalan lambat sekali di jalan yang berbatu-batu.

“Tidak ada seekor kuda di belakang pedati itu.” desis yang seorang.

“Aneh,” sahut yang lain, “jika demikian, di mana orang tua itu berhenti?”

“Tentu tidak terlalu jauh. Di jarak antara kita kehilangan jejak itu sampai pada pedati itu. Mungkin ia berbelok.” jawab kawannya.

Kedua orang itu pun kemudian memutar kuda mereka dan menelusuri jalan kembali untuk menemukan jejak yang hilang itu. Mereka mengamati setiap lorong simpangan. Dalam pada itu, tiba-tiba yang seorang hampir berteriak berkata, “Aku menemukannya. Ia berbelok lewat jalan kecil ini.”

“Kau mengenal jejaknya?” bertanya kawannya.

“Kau lihat jejak ini?”

Kawannya tersenyum. Katanya, “Kau memang seorang ahli meneliti jejak. Marilah, jangan biarkan orang itu lepas. Kita harus menemukan tempat persembunyian Akuwu Suwelatama.”

Keduanya pun segera berbelok pula mengikuti jalan setapak. Tetapi mereka tidak dapat berkuda bersama-sama. Yang seorang berada di depan, yang seorang berada di belakang.

“Agaknya kita tidak akan terlalu jauh lagi mengikutinya,” berkata yang di depan, “nampaknya kita akan sampai ke sebuah hutan perdu. Mungkin ada pedukuhan terpencil di sebelah hutan perdu itu, yang akan dapat menjadi tempat yang baik untuk berlindung.”

“Kau sudah mengenal daerah ini?” bertanya kawannya.

“Tentu. Meskipun belum begitu akrab. Tetapi naluriku mengatakan, bahwa kita akan sampai ke hutan perdu.” jawab yang lain.

“Kau belum mengenalnya dengan baik.” desis kawannya.

“Memang benar. Tetapi kita akan segera mengenalnya sebaik-baiknya.”

Keduanya pun kemudian berusaha mempercepat kuda mereka. Jalan menjadi semakin sulit. Namun jejak kuda orang yang diikutinya menjadi semakin jelas.

“Nah,” berkata yang di depan, “bukankah di depan kita itu sebuah hutan perdu?”

“Kau benar. Menurut dugaanmu, di belakang hutan perdu itu terdapat padukuhan terpencil, dan Pangeran Suwelatama serta sisa pasukannya berada di padukuhan itu?” bertanya yang di belakang.

“Ya.” jawabnya, “Karena itu kita harus berhati-hati. Jika perlu, kita harus meninggalkan kuda kita di hutan perdu itu. Jika kita sudah yakin, maka kita akan segera melapor. Kita tidak perlu mendekat benar, agar kita tidak diketahui oleh para pengawal Akuwu Suwelatama yang tentu meronda berkeliling di sekitar tempat persembunyiannya.”

Kawannya mengangguk-angguk. Setelah menempuh bulak pendek, maka tanah pun menjadi semakin gersang. Mereka tidak lagi melihat sawah yang terbentang. Agaknya tanah menjadi sukar digarap karena ketiadaan air. Sehingga yang terbentang di hadapan mereka adalah sebuah hutan perdu. Dengan hati-hati mereka kemudian memasuki hutan perdu yang di sana-sini ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Ada yang berduri tetapi ada yang sama sekali tidak berdaun, selain batang dan ranting-rantingnya yang mengering.

Keduanya masih tetap mengikuti jejak kuda orang tua yang menemui Pangeran Indrasunu di Istana Akuwu Suwelatama yang telah terdesak. Namun tiba-tiba keduanya terkejut. Mereka melihat seekor kuda yang tertambat pada sebatang pohon perdu.

“Gila,” desis yang berada di depan, “itu kuda yang kita ikuti. Di mana penunggangnya?”

Namun sebelum kawannya menjawab, terdengar suara justru di belakang mereka, “Aku di sini.”

Keduanya dengan serta merta telah berpaling. Mereka melihat orang yang mereka ikuti berada di sebelah semak-semak yang berdaun rimbun. “Gila!” geram kedua pengawal itu, “Kenapa kau berhenti?”

“Aku memang ingin menemui kalian berdua. He, apakah kepentinganmu, sehingga kau mengikuti aku sampai sedemikian jauh dari istana Akuwu?”

“Kami harus meyakinkan, bahwa kau tidak akan berbuat sesuatu yang dapat merusak tata kehidupan di Pakuwon ini.” jawab salah seorang dari kedua pengawal yang mengikutinya.

Wasi Sambuja yang dengan sengaja menjebak kedua orang yang mengikutinya itu menarik nafas dalam-dalam. Pengawal itu memang cerdik, mereka dapat mencari dalih, kenapa mereka mengikutinya. Namun demikian Wasi Sambuja itu berkata selanjutnya, “Aku kira bukan itu yang penting, yang harus kalian lakukan.”

“Apa maksudmu?” bertanya salah seorang pengawal itu.

“Bukankah kalian mendapat tugas mengikuti aku, sehingga dengan demikian kalian akan dapat mengetahui tempat persembunyian Akuwu Suwelatama?” bertanya Wasi Sambuja.

Pertanyaan ini membuat kedua pengawal itu menjadi bingung. Mereka tidak dapat segera menjawab. Bahkan untuk sesaat mereka saling berpandangan.

Dalam pada itu, maka Wasi Sambuja pun berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya ki sanak mengurungkan saja niat Ki Sanak. Katakan saja kepada Pangeran Indrasunu, bahwa kalian kehilangan jejak, sehingga kalian tidak dapat mengikuti aku sampai ke tempat yang kalian maksud.“

“Persetan!” geram salah seorang pengawal itu, “Kau harus mengatakan, di mana Akuwu Suwelatama itu bersembunyi. Maksud kami memang tidak ingin melakukan kekerasan. Tetapi karena kau telah membuat satu kesalahan yang besar, maka kau harus menebus kesalahanmu dengan perlakuan yang keras dan memaksa.”

“Jika aku tidak bersedia?” bertanya Wasi Sambuja.

“Kau akan menyesal. Kau akan mengalami satu perlakuan yang barang kali tidak akan pernah kau bayangkan.” jawab pengawal itu.

“Ki Sanak,” berkata Wasi Sambuja kemudian, “aku memang sudah menduga, bahwa Pangeran Indrasunu akan memerintahkan orang-orangnya untuk mengikuti aku. Pangeran itu sudah menanyakan kepadaku, di mana tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Karena itu, aku sengaja mengambil jalan yang lain, yang dapat menyesatkan arah yang seharusnya kalian tempuh.”

“Gila!” geram pengawal itu, “Kau sudah tua. Seharusnya kau sudah tidak perlu lagi melakukan tindakan yang dapat mencelakaimu. Karena itu, sebelum terlambat, tunjukkan, di mana Akuwu itu bersembunyi.”

“Sebaiknya kalian kembali saja, Ki Sanak,” jawab Wasi Sambuja, “barangkali itu lebih baik daripada aku membawa kalian ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Jika para pengawal Akuwu itu mengetahui bahwa kalian adalah orang-orang Pangeran Indrasunu yang akan mencari tempat persembunyian itu, maka nasib kalian akan mereka tentukan.”

“Omong kosong,” geram pengawal itu, “kau harus menyebut di mana tempat persembunyian itu. Kemudian aku akan mengikatmu di sini. Jika kau berbohong; maka aku akan datang kembali untuk mengikatmu di belakang kaki kudaku dan menyeretmu di sepanjang hutan perdu ini, sampai kau mengatakan yang sebenarnya. Jika sekali lagi kau berbohong, maka kau akan kami hukum picis di depan istana Akuwu itu.”

“Jangan mengatakan yang mengerikan itu, Ki Sanak,” sahut Wasi Sambuja, “sebaiknya kalian pulang saja. Katakan bahwa kau kehilangan jejak.”

Para pengawal itu menjadi marah. Setelah mereka mengikat kuda mereka di pepohonan perdu, maka mereka pun melangkah mendekati orang tua itu. Seorang dari kedua pengawal itu berkata, “Jangan memaksa kami bertindak kasar, Ki Sanak. Kau sudah tua. Sebaiknya kau pelihara hari-hari tuamu sebaik-baiknya. Jika kau berterus terang, mungkin Akuwu akan memberimu hadiah yang akan dapat membuatmu gembira.”

“Aku sudah merasa gembira bahwa aku tidak menunjukkan tempat persembunyian Akuwu. Karena itu, jangan memaksa aku melakukan yang tidak aku sukai.” jawab Wasi Sambuja. Lalu, “Sekali lagi aku memperingatkanmu. Kembalilah, dan katakan kepada Pangeran Indrasunu, bahwa kalian telah kehilangan jejak.”

“Persetan!” kedua pengawal itu menjadi semakin marah. Yang seorang melangkah semakin dekat sambil berkata, “Jangan banyak bicara. Cepat, katakan di mana Akuwu itu bersembunyi. Baru kemudian kau akan kami ikat. Jika kau berkata sebenarnya, kau akan kami lepaskan kemudian. Tetapi jika kau berbohong, maka kau akan kami cincang hidup-hidup.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menjawab beberapa kali. Aku mohon kalian dapat mengerti.”

“Jadi kau memaksa kami bertindak kasar?” bertanya salah seorang pengawal itu.

“Bukan maksudku. Aku hanya ingin tetap merahasiakan tempat kedudukan Akuwu itu sekarang. Karena memberitahukannya berarti mengkhianatinya. Dan aku tidak mau berbuat demikian.” jawab Wasi Sambuja.

Para pengawal itu menjadi sangat marah. Agaknya orang tua itu benar-benar tidak dapat diajak berbicara. Ia berkeras untuk tidak mau menunjukkan, di mana Akuwu Suwelatama bersembunyi. Karena itu, maka seorang dari para pengawal itu berkata, “Nampaknya kau memang keras kepala. Aku akan memaksamu berbicara.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun menganggap bahwa orang-orang itu adalah orang-orang dungu yang tidak tahu diri.

Namun sebenarnyalah orang-orang itu tidak sadar dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu, maka salah seorang pengawal itu pun kemudian bergeser selangkah, sementara yang lain berkata, “Cepat katakan. Apakah kau memang ingin mengalami nasib yang sangat buruk?”

“Aku tidak ingin berkhianat. Itu sudah menjadi tekadku.” jawab Wasi Sambuja.

Seorang dari kedua pengawal itu tidak sabar lagi. Demikian Wasi Sambuja selesai berbicara, maka orang itu pun segera meloncat dengan tangan terayun menghantam kening.

Namun Wasi Sambuja tidak membiarkan keningnya disentuh oleh orang itu. Ia pun segera surut selangkah, sehingga dengan demikian maka tangan pengawal itu tidak menyentuhnya.

Kemarahan telah mendidih di dadanya. Dengan sigapnya ia meloncat memburu. Tangannya pun terjulur lurus mengarah ke dada. Namun sekali lagi pengawal itu tidak berhasil menyentuh tubuh orang tua itu. Tangannya terayun sejengkal dengan dada orang tua yang memiringkan tubuhnya.

“Gila!” kawannya mengumpat. Tiba-tiba saja ia tidak lagi menahan diri. Dengan kakinya ia meluncur dengan cepatnya menghantam lambung. Tetapi seperti serangan-serangan kawannya, maka kakinya sama sekali tidak mengenai sasarannya.

“Anak Setan,” geram pengawal itu, “jadi kau benar-benar keras kepala? Kau sangka bahwa apa yang kau lakukan itu dapat mendebarkan jantungku. Kami berdua belum berbuat sebenarnya, karena kami masih berharap kau tidak akan menyerahkan lehermu. Jika kau berkata di mana Akuwu, maka kau akan mendapat kebebasan untuk pergi. Tetapi sudah tentu setelah kami meyakinkan kebenaran kata-katamu itu.”

“Jangan kau ulangi. Tidak ada gunanya.” jawab Wasi Sambuja.

Kemarahan kedua pengawal itu sudah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Karena itu, maka keduanya pun segera bersiap. Mereka benar-benar akan membinasakan orang tua yang tidak tahu diri itu, karena mereka sudah tidak dapat mengharap orang itu berbicara. Atau mungkin dengan kekerasan, orang itu akan dapat dipaksa untuk membuka mulutnya menyebut tempat yang mereka cari.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera menyerang dengan serangan beruntun. Mereka masih dipengaruhi oleh anggapan bahwa orang tua itu akan segera dapat mereka kuasai. Namun sebenarnyalah bahwa anggapan mereka itu salah. Betapapun juga mereka berusaha menyentuhnya, tetapi ternyata bahwa keduanya tidak segera dapat berhasil.

“Anak iblis. Kau kira, kami telah bersungguh-sungguh?” pengawal yang seorang berteriak.

Wasi Sambuja sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia masih saja meloncat menghindari serangan-serangan yang semakin lama menjadi semakin cepat. Namun akhirnya Wasi Sambuja itu menjadi jemu. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran terus menerus. Karena itu, maka ia pun kemudian mulai membalas serangan-serangan itu dengan serangan pula.

Kedua pengawal itu terkejut, ketika justru serangan orang tua itulah yang telah mengenai dirinya. Pengawal-pengawal itu tidak sempat mengelak ketika tiba-tiba saja serangan orang tua itu menghantam dada mereka.

“Gila!” pengawal itu hampir berteriak. Serangan itu tidak begitu keras. Tetapi bahwa serangan itu telah mengenai dadanya, adalah sangat mengejutkannya.

“Jangan berteriak terlalu keras,” berkata Wasi Sambuja, “jika orang-orang di luar hutan perdu ini mendengar, mereka akan berdatangan. Kalian akan ditangkap sebagai penyamun.”

“Kaulah yang akan ditangkap. Orang-orang padukuhan tidak akan berani menangkap para pengawal Pangeran Indrasunu yang sekarang menguasai Pakuwon ini.” jawab pengawal itu.

“Mereka tidak mengenalmu. Mereka tidak akan tahu apa yang kalian katakan tentang Pakuwon ini.” berkata Wasi Sambuja.

“Persetan. Apapun juga, kau memang harus mati.” geram pengawal itu.

Dengan demikian, maka kedua pengawal itu menjadi semakin berhati-hati menghadapi lawannya. Mereka merasa bahwa mereka harus mempergunakan ilmunya menghadapi orang tua itu. Agaknya orang tua itu bukannya orang kebanyakan. Karena itulah, maka keduanya mulai berpencar. Keduanya menghadapi Wasi Sambuja dari arah yang berlawanan.

Namun nampaknya Wasi Sambuja masih nampak tenang. Ia tidak menjadi gelisah. Karena sebenarnyalah kedua orang pengawal itu tidak akan dapat berbuat banyak atasnya. Sejenak kemudian kedua orang pengawal itu mulai menyerangnya. Beruntun dari arah yang berlawanan. Keduanya telah mengerahkan segenap ilmu mereka masing-masing.

Tetapi sebenarnyalah yang mereka hadapi adalah orang tua yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka tangan orang tua itu semakin sering menyentuh mereka. Nampaknya hanya sentuhan-sentuhan yang tidak bermaksud menyakiti. Namun yang justru paling sakit adalah hati kedua pengawal itu. Seolah-olah orang tua itu telah dengan sengaja mempermainkan mereka berdua.

Karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain lagi bagi kedua orang pengawal itu. Karena Wasi Sambuja tidak dapat mereka paksa untuk berbicara, maka satu-satunya kemungkinan yang paling baik dapat mereka lakukan adalah membinasakannya dan melaporkan kepada Pangeran Indrasunu, bahwa orang tua itu telah melawan mereka.

Hampir berbareng kedua orang pengawal itu telah menggenggam pedang. Dengan senjata masing-masing maka keduanya siap untuk benar-benar membunuh orang tua itu. Sejenak kemudian, maka keduanya telah menyerang dengan ujung senjata. Keduanya sudah tidak mempunyai pertimbangan lain, sehingga karena itu, maka mereka pun telah menyerang dengan dahsyatnya.

Tetapi mereka tidak banyak mempunyai kesempatan. Meskipun mereka berdua, melawan seorang yang sudah kelihatan terlalu tua untuk berkelahi, namun keduanya masih tetap tidak berdaya. Orang tua yang kemudian mengurai seutas tali pada ikat pinggangnya, benar-benar telah membingungkan. Dengan tali yang digantungi dengan bandul kecil di ujungnya, orang tua itu melawan dua buah pedang di tangan dua orang pengawal yang garang.

Namun kedua pengawal itu sama sekali tidak berdaya. Ketika ujung tali itu menyentuh tubuh mereka, terasa betapa perasaan sakit sudah menghentak kulit dan tulang mereka.

“Anak iblis!” geram salah seorang pengawal itu.

“Sudahlah,” desis Wasi Sambuja, “kembalilah. Jangan ikuti aku lagi. Karena betapapun seseorang berusaha menahan diri, namun pada suatu saat, ia akan dapat kehilangan kesabaran. Demikian pula dengan aku. Jika aku sudah kehilangan kesabaran, maka kalian tidak akan dapat kembali kepada anak isteri kalian. Bukan saja kalian tidak dapat melaksanakan tugas kalian dengan baik, tetapi kalian akan mengorbankan nyawa kalian tanpa arti.”

Kedua pengawal itu mengeram. Tetapi, dalam pertempuran selanjutnya, semakin nyata, bahwa kedua pengawal itu tidak dapat berbuat banyak. Meskipun demikian, kemarahan mereka telah menutup kenyataan yang mereka hadapi itu. Rasa-rasanya keduanya masih saja belum melihat kenyataan, bahwa keduanya tidak akan dapat menghadapi orang tua itu, betapapun mereka mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya.

Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin terdesak. Tali lunak yang berada di tangan orang tua itu semakin sering menyentuh tubuh mereka. Sebuah bandul baja yang tidak terlalu besar yang terdapat di ujung tali itu setiap kali terasa menyengat bagaikan memecahkan tulang.

Namun kedua orang pengawal itu masih saja selalu mengumpat-umpat. Pedang mereka menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun satu kenyataan tidak akan dapat mereka ingkari, meskipun kemarahan mereka membakar jantung, namun pedang mereka sama sekali tidak dapat menyentuh orang tua itu. Justru bandul kecil di ujung tali orang tua itulah yang telah menyakiti mereka. Sentuhan bandul kecil itu semakin lama terasa semakin sakit di tubuh mereka.

Dengan demikian kedua orang pengawal itu telah menghantakkan sisa kekuatan mereka yang terakhir. Kelelahan mulai mencengkam tubuh mereka, sementara nafas mereka telah memburu di lubang hidung. Tetapi tidak segores pun ujung pedang mereka dapat melukai orang yang akan mereka bunuh itu.

Bahkan ketika bandul kecil itu semakin sering mengenai tubuh mereka, bahkan pundak dan lengan mereka, terasa tangan mereka menjadi seolah-olah semakin lemah. Perasaan sakit yang menyengat tidak lagi dapat mereka abaikan, sehingga akhirnya, kedua orang pengawal itu telah kehilangan sebagian besar dari tenaganya.

“Aku masih memberi kesempatan kepada kalian.” berkata Wasi Sambuja.

Kedua pengawal itu menggeram. Salah seorang dari mereka pun berteriak, “Aku bunuh kau, iblis.”

Namun kata-katanya bagaikan patah di kerongkongan. Bandul baja yang tidak begitu besar itu telah menyambar dadanya, sehingga terdengar orang itu mengeluh tertahan.

“Jangan terlalu sombong, anak-anak,” desis orang tua itu, “aku sudah menahan perasaan sejak aku mengetahui bahwa kalian mengikuti aku. Jika kalian keras kepala, aku pecahkan kepala kalian yang keras itu dengan bandul kecil ini.”

Bagaimanapun juga, peringatan orang tua itu tidak lagi dapat mereka abaikan. Ketika kelelahan telah semakin mencengkam, dan perasaan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Karena itu, maka semakin lama perlawanan mereka pun menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya, bandul kecil yang tidak terelakkan telah sekali lagi menghantam dada salah seorang dari kedua pengawal itu. Demikian kerasnya, sehingga rasa-rasanya nafasnya telah menjadi sesak. Dengan serta merta, orang itu meloncat surut. Sehingga dengan demikian kawannya pun telah meloncat pula menjauh.

“Apakah kalian merasa belum cukup yakin, bahwa aku akan dapat membunuh kalian jika aku menghendaki?” bertanya Wasi Sambuja.

Kedua pengawal itu menggeram. Tetapi mereka tidak segera menyerang. Bahkan keragu-raguan mulai nampak di wajah mereka.

“Aku memberi kesempatan terakhir,” berkata Wasi Sambuja, “kalian tinggalkan tempat ini, atau aku akan benar-benar membunuh kalian sebagaimana benar-benar akan kalian lakukan atasku. Jika kalian tetap berkeras untuk bertempur, maka aku akan kehilangan pertimbangan untuk memaafkan kalian.”

Kedua orang itu harus benar-benar mempergunakan nalar mereka. Mereka tidak dapat sekedar menuruti perasaan dan barangkali sekedar harga diri. Agaknya nyawa mereka lebih berharga dari sekedar harga diri saja. Karena itu, maka keduanya tidak segera dapat menjawab.

“Cepat. Ambil keputusan. Pergi dari tempat ini dan selanjutnya tidak mengikuti aku lagi, atau kalian akan mati di padang perdu ini.” geram orang itu.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Perasaan sakit di tubuh mereka telah mempertegas sikap mereka. Dengan isyarat salah seorang dari keduanya itu pun mengangguk kecil sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu pun telah melangkah surut.

“Jika kalian mengambil keputusan untuk menarik diri, lakukanlah. Salamku kepada Pangeran Indrasunu. Katakan kepadanya, bahwa langkah yang diambilnya adalah langkah yang salah sama sekali.” berkata orang tua itu.

Kedua orang itu pun melangkah semakin jauh. Mereka tidak lagi menghiraukan harga diri mereka. Agaknya keduanya masih belum ingin mati. Beberapa langkah kemudian, keduanya telah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu langsung menuju ke kuda mereka. Dengan tergesa-gesa pula mereka pun melepas kuda mereka dan segera keduanya berloncatan naik ke punggung kuda masing-masing.

“Barangkali satu penyelesaian yang paling baik,” berkata orang tua itu, “kembalilah ke Pangeranmu itu.”

Kedua orang pengawal itu pun segera menarik kekang kudanya. Ketika kaki mereka menyentuh perut kuda masing-masing, maka kuda itu pun segera berlari meninggalkan hutan perdu itu.

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak ingin membunuh kedua orang yang tidak banyak mengerti tentang tingkah laku Pangeran Indrasunu itu. Karena itu, maka keduanya pun telah diberinya kesempatan untuk kembali menghadap Pangeran Indrasunu.

“Jika keduanya dihukum karenanya, maka itu bukan salahku,” berkata Wasi Sambuja, “adalah hakku untuk mempertahankan agar aku tidak mati terlalu cepat.”

Demikianlah, ketika kedua pengawal itu sudah tidak nampak lagi, Wasi Sambuja pun segera mengambil kudanya. Ia pun segera melanjutkan perjalanannya, kembali ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama untuk melaporkan, hasil perjalanannya.

“Pangeran Indrasunu sudah tidak dapat diajak berbicara lagi, Pangeran.” berkata Wasi Sambuja, “Aku sudah berusaha dengan cara apapun juga. Tetapi hatinya sudah mengeras seperti batu. Ia merasa sangat kecewa atas kegagalannya mengambil seorang gadis cantik dari rumah seorang yang bernama Mahendra, kemudian gagal dalam sayembara tanding melawan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan. Sementara aku sendiri gagal memperbaiki kekalahan itu, karena aku harus berhadapan dengan seorang yang bernama Witantra, seorang yang pernah berada di Kediri sebagai seorang Senopati Agung yang mewakili kekuasaan Singasari di Kediri.”

Akuwu Suwelatama itu pun mengangguk-angguk. Ternyata bahwa yang dihadapinya bukannya masalah yang dapat dengan mudah dipecahkannya. Ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh. Apakah yang harus dilakukannya menghadapi kekuatan Pangeran Indrasunu. Pangeran yang dicengkam oleh kekecewaan pribadi itu telah berhasil mengobarkan api di hati beberapa orang saudara dan para guru mereka, sehingga api benar-benar telah menyala, seolah-olah api itu akan dapat menjadi api pencuci kepincangan yang terdapat di Kediri dan Singasari.

“Wasi Sambuja,” berkata Pangeran Suwelatama, “nampaknya masalah yang aku hadapi memang tidak terlalu mudah. Aku tidak akan dapat menarik dengan segera pasukanku yang menghadapi kekuatan para perampok di perbatasan. Meskipun sudah aku perintahkan agar mereka mempercepat tugas mereka, dengan tidak menunggu lagi, tetapi mereka harus langsung memasuki sarang para penjahat itu, namun sewaktu-waktu aku akan dapat menghadapi kesulitan yang sungguh-sungguh jika Pangeran-pangeran muda itu menemukan tempat persembunyianku.”

“Memang tidak ada jalan lain, Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “agaknya pasukan Kediri atau Singasari memang diperlukan.”

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Bagaimana jika kau hubungi saja lawan Pangeran Indrasunu itu. Mungkin menghadapkan Pangeran Indrasunu dengan orang itu, akan mempunyai pengaruh yang dapat menyentuh hatinya.”

“Tetapi apa arti ia seorang diri?” berkata Wasi Sambuja.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, apa artinya ia seorang diri.”

“Kecuali jika ia dapat datang dengan sepasukan prajurit Singasari. Meskipun tidak dengan dalih resmi sebagaimana yang terjadi. Dengan demikian, maka pasukan kecil itu belum berarti memerangi sebuah pemberontakan. Mungkin Pangeran dapat minta bantuannya untuk memerangi kejahatan.” berkata Wasi Sambuja.

“Antarkan aku menjumpai salah seorang dari mereka,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku ingin menyelesaikan persoalan ini, tetapi tidak dengan semata-mata menjerumuskan adik-adikku itu ke dalam satu hukuman sebagai pengkhianat. Aku masih berusaha untuk menyelamatkan mereka, lahir dan batinnya. Namun aku juga tidak ingin menjadi korban dari kebodohan mereka itu.”

Wasi Sambuja sama sekali tidak berkeberatan untuk mengantarkan Akuwu Suwelatama ke Singasari. Namun yang akan ditemuinya pertama-tama adalah Pangeran Wirapaksi.

“Aku sependapat,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku akan berbicara dengan kakangmas Wirapaksi.”

Demikianlah, maka Akuwu Suwelatama telah pergi ke Singasari diantar oleh Wasi Sambuja untuk menemui Pangeran Wirapaksi. Sebagaimana telah terjadi, Pangeran Wirapaksi termasuk salah seorang yang memiliki kebijaksanaan, meskipun persoalannya menyangkut adik iparnya.

Kedatangan Pangeran Suwelatama di Singasari sangat mengejutkan Pangeran Wirapaksi. Karena itu, maka ia pun segera ingin mengetahui, apakah keperluan Akuwu Suwelatama yang datang bersama Wasi Sambuja.

“Kedatanganku ada hubungannya dengan adimas Pangeran Indrasunu.” berkata Pangeran Suwelatama.

Pangeran Wirapaksi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah adimas Pangeran Indrasunu mengatakan apa yang pernah terjadi di Singasari?”

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia telah melakukan satu kesalahan yang besar.”

Pangeran Wirapaksi termangu-mangu sejenak. Ia menyangka bahwa Pangeran Suwelatama datang bersama Wasi Sambuja untuk menyatakan keberatannya atas sikapnya terhadap Pangeran Indrasunu. Namun ternyata Pangeran Suwelatama itu telah menceriterakan apa yang telah terjadi, justru bertentangan dengan dugaan Pangeran Wirapaksi.

Pangeran Wirapaksi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Agaknya Pangeran Indrasunu telah terlalu jauh tersesat. Apakah adimas Suwelatama sudah melaporkan hal ini kepada para pemimpin di Kediri?”

Pangeran Suwelatama menggeleng. Jawabnya, “Aku masih berusaha melindungi nama baik keempat Pangeran muda itu. Jika aku melaporkan hal ini kepada para pemimpin di Kediri dan apa lagi Singasari, maka keempat Pangeran itu akan dapat ditindak sebagai pemberontak. Bukankah dengan demikian hari depan keempat orang anak-anak muda itu akan tertutup?”

“Tetapi apa yang telah mereka lakukan benar-benar telah merupakan satu pemberontakan.” desis Pangeran Wirapaksi.

“Kakangmas benar. Tetapi aku masih berusaha dengan cara lain.” jawab Pangeran Suwelatama yang juga menceriterakan kesulitannya karena pasukannya sedang menghadapi para penjahat di daerah perbatasan.

“Aku mengerti,” jawab Pangeran Wirapaksi, “jika pasukan itu tergesa-gesa ditarik, maka rakyat di daerah itu akan mengalami bencana. Penjahat-penjahat itu akan melepaskan dendamnya kepada mereka dan lebih daripada itu, semua kekayaan yang ada tentu akan dirampasnya sampai kering.” Pangeran Wirapaksi berhenti sejenak, lalu, “Memang sebaiknya mereka harus tetap di tempatnya.”

“Benar, kakangmas,” jawab Pangeran Suwelatama, “namun dengan demikian aku tidak dapat mengatasi kesulitanku menghadapi keempat anak-anak muda yang tersesat jalan itu, tanpa menyeret mereka ke dalam tuduhan sebagai seorang pengkhianat.”

Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jadi apakah maksud adimas datang ke Singasari jika adimas tidak mau melaporkan hal ini kepada para pemimpin pemerintahan yang akan menunjuk beberapa orang Senapati untuk bertindak?”

“Aku memang tidak ingin melaporkan,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi aku ingin berbicara dengan orang yang telah memenangkan sayembara tanding melawan Pangeran Indrasunu. Jika ia mendengar nama itu, mungkin jiwanya akan terpengaruh. Namun sudah barang tentu, di samping orang itu, aku pun memerlukan kekuatan untuk merebut kembali kota Pakuwon Kabanaran yang telah diduduki adimas Pangeran Indrasunu. Tetapi sekali lagi, yang tidak akan menyeretnya sebagai seorang pengkhianat.”

“Permintaanmu sangat sulit.” jawab Pangeran Wirapaksi, “Tetapi baiklah. Aku akan berusaha. Aku akan mengirimkan sebagian dari pengawal-pengawalku yang tidak banyak jumlahnya. Kemudian paman Mahisa Agni akan dapat mempergunakan pengaruhnya untuk mengirimkan sepasukan kecil prajurit dengan dalih yang mapan. Mungkin untuk menumpas kejahatan yang tersebar di Pakuwon Kabanaran.”

“Tetapi mungkin ada sebuah pertanyaan, kenapa aku tidak pergi ke Kediri?” berkata Pangeran Suwelatama, “Apakah aku dapat berbohong, bahwa pasukan pengawal di Kediri sedang mengalami kesulitan yang sama menghadapi para penjahat yang pada masa terakhir berkembang dengan pesat?”

Pangeran Wirapaksi tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku kira paman Mahisa Agni tidak akan bertanya terlalu banyak. Bahkan mungkin kepadanya aku dapat berterus terang apa yang telah terjadi.”

“Apakah ia dapat mengerti?” bertanya Pangeran Suwelatama.

“Ia akan dapat mengerti.” jawab Pangeran Wirapaksi.

Dengan demikian maka Pangeran Suwelatama itu pun telah dibawa menghadap Mahisa Agni bersama Wasi Sambuja. Namun Pangeran Wirapaksi sudah berpesan agar mereka tidak mengatakan hal itu kepada isterinya, kakak perempuan Pangeran Indrasunu.

Ternyata tanggapan Mahisa Agni seperti yang diharapkan. Ia dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, maka tidak ada kesulitan bagi Pangeran Suwelatama untuk mendapatkan sepasukan prajurit Singasari yang justru dipimpin seorang Magang yang akan dicalonkan sebagai seorang Senopati muda.

“Satu pendadaran bagi Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Agni.

Demikianlah, maka sepasukan kecil prajurit Singasari, dipimpin oleh Mahisa Bungalan telah berbenah diri untuk pergi ke pakuwon Kabanaran. Bersama mereka adalah Mahisa Agni sendiri, Witantra dan Pangeran Wirapaksi yang membawa sebagian pengawal pribadinya. Dalam kegelisahan maka Pangeran Suwelatama mengharap agar ia dapat secepatnya kembali, agar ia dapat berada di antara pasukannya yang tersisih itu.

“Kami pun dapat segera berangkat,” berkata Mahisa Agni, “tetapi sudah tentu bahwa pasukan kami dalam keseluruhan tidak akan dapat secepat mereka yang berkuda. Pasukan yang akan berangkat tidak dapat seluruhnya berkuda.”

“Aku akan menunggu kedatangan pasukan dari Singasari,” jawab Pangeran Suwelatama, “mudah-mudahan adimas Pangeran Indrasunu tidak segera mengetahui tempat persembunyian kami, sehingga pada saatnya pasukan Singasari datang, kami masih tetap berada di tempat kami.”

“Jika terjadi satu perubahan, aku mohon kalian dapat memberitahukan kepada kami.” berkata Mahisa Bungalan, “Bersama Pangeran akan ikut serta sekelompok pasukan berkuda. Mereka akan dapat Pangeran pergunakan sebagai penghubung. Kami akan menempuh jalan yang akan Pangeran lalui. Jika terjadi perubahan keadaan, maka penghubung itu akan dapat menyongsong perjalanan kami.”

Demikianlah, maka Pangeran Suwelatama telah mendahului pasukan Singasari bersama beberapa orang prajurit berkuda dari Singasari. Sementara itu Wasi Sambuja akan berada di antara pasukan kecil itu. Ia akan dapat menunjukkan jalan dan tempat, di mana Pangeran Suwelatama bersembunyi dengan sisa pasukannya yang tidak terlalu kuat...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 25

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 25
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

PANGERAN Indrasunu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya bukan itu yang dikehendakinya. Ia ingin membalas sakit hatinya dengan menebus kekalahannya. Bahkan jika mungkin dengan peristiwa yang jauh lebih besar dari yang pernah terjadi di Singasari itu.

Bukan sekedar mengalahkan Mahisa Agni, Mahisa Bungalan, Mahendra dan Witantra di arena perang tanding, tetapi Singasari dalam keseluruhan memang harus dirombak sama sekali. Seluruh tatanan kehidupannya. Bahkan jika mungkin hubungan antara Kediri dan Singasari itu sendiri. Meskipun persoalan itu sudah jauh melampaui persoalan pokoknya.

Tetapi Pangeran Indrasunu cukup cerdik untuk tidak dengan tergesa-gesa menyampaikan maksudnya. Karena itu, maka ia pun mengangguk-angguk sambil menahan segala gejolak hatinya untuk pada suatu saat yang paling baik, menyampaikannya kepada Akuwu Suwelatama.

Bersama tiga orang Pangeran lainnya, Pangeran Indrasunu tinggal di Pakuwon yang dipimpin oleh Pangeran Suwelatama. Rasa-rasanya mereka memang dapat melupakan gejolak hati mereka dengan melihat-lihat sawah yang hijau. Sungai yang bening mengalir di tengah-tengah bulak yang panjang. Bendungan yang panjang yang mengangkat air ke sawah lewat parit yang bercabang-cabang.

Namun demikian, Pangeran Indrasunu tidak pernah melupakan maksud kedatangannya yang sebenarnya. Di Pakuwon itu ia memang melihat gadis-gadis yang tersipu-sipu jika Pangeran-Pangeran muda itu memandangi mereka. Bahkan mereka menjadi ketakutan jika salah seorang dari Pangeran itu mendekatinya. Namun dalam pada itu, hati mereka pun rasa-rasanya menjadi kembang sebesar Gunung.

Baru setelah Pangeran-Pangeran muda itu berada di Pakuwon itu beberapa hari, maka mereka mulai menyinggung masalah-masalah yang mereka kehendaki, sedikit demi sedikit.

“Harus ada perubahan dalam tatanan kehidupan di Kediri.” berkata Pangeran Indrasunu.

Pangeran Suwelatama itu pun termangu-mangu. Namun agaknya adiknya yang bertubuh kecil itu pun meyakinkannya, bahwa yang dikatakan itu sebenarnyalah demikian. Akuwu Suwelatama yang semula ragu-ragu menanggapi sikap anak-anak muda itu, akhirnya telah terbuka pula. Pangeran yang lebih senang tinggal di luar Kota Raja itu pun mengerti, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pangeran-Pangeran muda itu.

“Kenapa kalian datang kemari?” tiba-tiba saja Pangeran Suwelatama itu bertanya kepada adiknya, “Apakah kau melihat kemungkinan yang paling kecil sekalipun, bahwa aku akan sependapat dengan kalian?”

“Aku mengerti sikap kakangmas,” jawab adiknya, Pangeran yang bertubuh kecil, “kakangmas lebih senang tinggal di tempat ini, karena kakangmas tidak sependapat dengan perkembangan keadaan. Namun agaknya kakangmas terlalu baik hati, atau kakangmas memang tidak ingin melihat orang-orang gila itu kehilangan tempatnya.”

“Tetapi itu belum berarti bahwa, aku telah menentukan satu sikap.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Yang kakangmas lakukan sudah satu sikap. Namun terserahlah kepada kakangmas untuk mengembangkan sikap itu. Kami hanya ingin menyampaikan kepada kakangmas, bahwa kami mulai merintis jalan untuk mengambil langkah yang panjang. Yang terjadi atas kakangmas Indrasunu dan ketidakmampuan kakangmas Wirapaksi untuk mengambil langkah yang paling baik, hanyalah satu persoalan di antara banyak persoalan yang harus kita tanggapi.”

Akuwu Suwelatama tertawa. Katanya, “Kalian masih terlalu muda untuk menentukan langkah. Kalian hanya terburu oleh perasaan tidak puas dan gelisah. Meskipun aku percaya bahwa kalian mempunyai kekuatan, bahkan juga kalian mempunyai latar belakang perguruan kalian masing-masing, tetapi kalian hanyalah debu bagi Kediri dan apalagi Singasari.”

“Kami menyadari,” sahut Pangeran Indrasunu, “karena itu kami tidak berbuat apa-apa sekarang ini. Yang ada di dalam diri kami barulah angan-angan, keinginan dan gambaran dari satu masa yang menurut penilaian kami cukup baik dan berarti. Justru karena kami merasa kekecilan kami, maka kami telah datang kemari. Karena sebenarnyalah kami tahu, Pakuwon ini adalah Pakuwon yang besar dan tidak lebih buruk keadaannya dengan Tumapel.”

Akuwu Suwelatama tertawa semakin keras. Katanya, “Seolah-olah kalian pernah melihat Pakuwon Tumapel pada masa Akuwu Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken Arok yang kemudian memperisterikan Ken Dedes setelah ia berhasil mengelabui para Senopati dengan menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuhnya.”

“Tetapi kami mempunyai kemampuan berangan-angan.” jawab Pangeran Indrasunu.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku memang tidak dapat menyembunyikan sikapku, sehingga adikku dapat mengetahui. Namun aku sudah berusaha untuk menyingkir sehingga ketidakpuasan itu tidak akan berkembang. Tetapi ternyata bahwa keadaan tidak menjadi semakin baik, tetapi justru menjadi semakin buruk. Tentu saja bagi Kediri dan tatanan kehidupannya. Mungkin dalam hubungan lahiriah keadaan bertambah baik. Banyak orang yang sudah mulai merasa betapa mereka hidup tenang dan sejahtera. Namun ada segi-segi yang perlahan-lahan akan runtuh di Kediri dan di Singasari sendiri. Namun sejarah pertumbuhan Kediri berbeda dengan pertumbuhan Singasari.”

“Jadi bagaimana menurut kakangmas?” bertanya Pangeran bertubuh kecil.

“Jangan menyudutkan aku mengambil sikap dengan tergesa-gesa seperti anak-anak yang masih muda. Aku harus berpikir dan membuat perhitungan. Meskipun pada dasarnya kau tahu sikap hatiku, tetapi aku tidak akan dapat mengorbankan banyak hal yang ada di sekitarku, terutama yang berujud kewadagan.” berkata akuwu itu. Lalu, “Karena itu, aku akan mendengarkan keluhanmu, sikap hatimu dan angan-anganmu bagi masa depan. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan keadaanku sekarang.”

“Kami sudah melihat betapa besar dan kuatnya Pakuwon ini.” jawab adiknya.

Akuwu Suwelatama tersenyum. Ditepuknya bahu adiknya sambil berkata, “Kau puji aku seperti kau memuji anak-anak. Tetapi aku berterima kasih juga kepadamu.”

Adiknya yang bertubuh kecil itu pun tersenyum. Namun dalam pada itu Pangeran Indrasunu berkata, “Segalanya tergantung kepada kebijaksanaan Akuwu Suwelatama. Kami tidak akan berarti apa-apa. Betapapun kami berusaha, semuanya itu tidak lebih dari sebuah permainan yang buruk.”

“Kalian memang aneh-aneh,” sahut Akuwu Suwelatama, “belajarlah pada pengalaman. Pujian-pujian tidak akan mendorong seseorang yang cukup dewasa untuk membenarkan sikap yang kalian kehendaki. Kecuali kalian dapat meyakinkan kebenaran dari jalan pikiran kalian. Itu saja.”

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menundukkan kepalanya.

“Baiklah.” berkata Akuwu Suwelatama, “Kita masih akan berbicara lagi. Tetapi ketahuilah, bahwa kemenangan Ken Arok atas Kediri pada waktu itu, adalah karena ketidakmampuan orang-orang Kediri sendiri mengurus pemerintahan. Perbedaan pendapat antara kaum Brahmana dan Kesatria adalah sumber dari keruntuhannya. Ken Arok yang cerdik dan licik itu berhasil memanfaatkan keadaan ini. Jangan kau kira, bahwa karena kebesaran Akuwu Tumapel itu sajalah unsur kemenangan Tumapel atas Kediri.”

Keempat Pangeran yang masih muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata yang di bayangkan tidak semudah itu untuk dilaksanakannya. Namun demikian, Pangeran Suwelatama tidak mengecewakan keempat Pangeran itu. Meskipun tidak jelas, Akuwu itu bersedia untuk membantu mereka, agar tata kehidupan di Kediri dan Singasari dapat berubah sebagaimana seharusnya.

“Di samping itu aku akan membina Pakuwon ini,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi aku tentu tidak akan dapat berbuat tergesa-gesa seperti kalian. Aku akan membuat perhitungan yang cermat. Aku akan melangkah jika kau sudah yakin.”

Keempat Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun adiknya yang bertubuh kecil itu masih sempat bertanya, “Kapan kita akan mendapat ketetapan, apa yang akan kakangmas lakukan? Dan barangkali kapan kakangmas akan mulai?”

“Aku akan memberitahukan semuanya kepada kalian,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi sementara ini kalian jangan berbuat apa-apa. Jika kalian salah langkah, maka kalian akan terjerumus ke dalam kesulitan.”

“Baiklah,” jawab Pangeran Indrasunu, “kami tidak akan berbuat apa-apa selain bersiap-siap menghadapi masa itu. Masa yang akan memutar kembali jalannya sejarah Kediri yang buram ini.”

“Ah,” desah Pangeran Suwelatama, “kita tidak tergesa-gesa. Kita harus berpikir masak-masak. Dengan demikian kita akan mampu mencapai cita-cita itu.”

Keempat Pangeran yang masih muda itu sama sekali tidak dapat memaksa Akuwu Suwelatama. Ternyata bahwa Akuwu Suwelatama tidak secepat mereka mengambil keputusan.

“Orang-orang tua selalu lamban.” desis Pangeran yang bertubuh kecil itu ketika mereka duduk berempat di serambi istana Akuwu Suwelatama.

“Akuwu Suwelatama belum termasuk tua. Ia masih termasuk muda dalam usia.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Tetapi kita harus menghargai pikirannya,” berkata Pangeran yang seorang lagi, “kita memang tidak boleh tergesa-gesa.”

“Tetapi juga tidak tanpa batas.” sahut yang lain.

“Kita akan menunggu,” berkata Pangeran indrasunu, “mungkin sampai kita menjadi tua. Tetapi mungkin juga Akuwu Suwelatama bekerja lebih cepat dari yang kita duga.”

Dalam pada itu, keempat Pangeran itu pun merasa tidak perlu lagi berada di Pakuwon itu lebih lama lagi. Mereka pun segera minta diri, sehingga di Kediri mereka akan dapat mempersiapkan para pengikut masing-masing.

“Kalian dapat tinggal di sini lebih lama lagi.” Akuwu Suwelatama berusaha mencegah mereka.

Tetapi keempat Pangeran itu tidak betah lagi tinggal di Pakuwon itu oleh gejolak darah mereka. Seolah-olah mereka terpanggil untuk segera pulang kembali dan dengan pengorbanan apapun juga, berusaha menyelamatkan Kediri dari kehancuran yang lebih dalam.

Sepeninggal keempat Pangeran itu, Akuwu Suwelatama justru menjadi sangat prihatin. Ia menjadi bingung menanggapi sikap anak-anak muda itu. Rasa-rasanya mereka sajalah yang mempunyai pandangan dan sikap yang paling benar dan tepat. Adalah wajar bahwa jiwa anak-anak muda itu masih saja meledak-ledak. Tetapi tentu harus pada sasaran yang tepat dan menguntungkan.

Dalam kegelisahan itu, maka Akuwu Suwelatama berniat untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap dari yang didengarnya dari keempat Pangeran itu. Maka yang paling baik dilakukan menurut pertimbangannya adalah menghubungi guru Pangeran Indrasunu sebelum Pangeran Indrasunu sendiri melakukannya, dan barangkali Indrasunu akan menyebut-nyebut dirinya dengan sikap yang keliru.

Karena itu, maka Akuwu Suwelatama pun memutuskan untuk segera berangkat di keesokan harinya. Bersama beberapa orang pengawalnya, ia pun telah pergi ke padepokan Wasi Sambuja yang menurut Pangeran Indrasunu telah mengalami cidera pula di Singasari karena ia harus berhadapan dengan seorang yang bernama Witantra.

Jarak yang harus ditempuh oleh Akuwu Suwelatama bukan jarak yang dekat. Tetapi karena persoalan yang akan dibicarakannya pun merupakan persoalan yang penting dan akan dapat berpengaruh bukan saja bagi Kediri, tetapi juga ketenangan pemerintahan Singasari, maka Akuwu Suwelatama menganggap perlu untuk pergi sendiri menemuinya. Ia merasa segan untuk memerintahkan para Senopatinya datang memanggil Wasi Sambuja.

Namun sebenarnyalah Akuwu Suwelatama adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan. Perjalanan yang betapapun beratnya pernah dilakukannya. Apalagi pada masa mudanya. Ia adalah seorang petualang yang menjelajahi lembah dan pegunungan.

Kedatangannya di padepokan Wasi Sambuja telah mengejutkan orang tua itu. Wasi Sambuja masih selalu berada di sanggarnya untuk memulihkan tubuhnya. Benturan Ilmu yang terjadi antara dirinya dengan Witantra, telah melukai bagian dalam tubuhnya, sehingga ia harus berbuat sebaik-baiknya untuk menyembuhkannya.

Dengan hati yang berdebar-debar, maka Wasi Sambuja yang mendapat kabar kedatangan Akuwu Suwelatama dari seorang cantriknya menjadi heran. Adalah satu hal yang aneh, bahwa Akuwu Suwelatama dari sebuah Pakuwon yang jauh telah datang menemuinya di padepokannya.

“Dalam hubungan apa maka ia datang kemari?” bertanya Wasi Sambuja di dalam hatinya.

Bahkan ia pun kemudian merasa cemas, bahwa kedatangan Akuwu Suwelatama telah mengemban perintah, apakah dari Kediri atau dari Singasari untuk menangkapnya, karena Pangeran Wirapaksi dapat menarik kesimpulan, bahwa ia sudah memberontak melawan kekuasaan Singasari di Kediri. Namun akhirnya Wasi Sambuja berhasil menenangkan dirinya. Ia sudah mengenal Akuwu Suwelatama meskipun belum terlalu akrab.

Demikianlah, setelah membenahi diri, maka Wasi Sambuja yang masih belum pulih itu pun keluar dari sanggarnya. Keadaan tubuhnya itu pun menjadi pertimbangannya. Jika ia terpaksa melindungi dirinya, maka ia tidak sedang berada pada puncak kekuatannya. Apalagi ia tahu benar, bahwa Akuwu Suwelatama termasuk seorang Akuwu yang luar biasa yang telah meninggalkan Kota Raja Kediri untuk tinggal di sebuah Pakuwon.

Dengan berdebar-debar Wasi Sambuja kemudian menerima Akuwu Suwelatama yang telah menempuh perjalanan yang sangat jauh itu. Dengan tergesa-gesa para cantrik pun telah menyiapkan jamuan sekedarnya. Air hangat dan beberapa potong makanan.

Setelah saling bertanya tentang keselamatan masing-masing, serta setelah Akuwu Suwelatama minum beberapa teguk, maka Wasi Sambuja pun kemudian bertanya dengan nada rendah, “Kedatangan Pangeran telah mengejutkan kami yang tinggal di padepokan ini.”

Pangeran Suwelatama tersenyum. Kemudian katanya, “Paman Wasi Sambuja, sebenarnyalah kedatanganku ini membawa masalah yang aku anggap penting.”

Wasi Sambuja mengerutkan keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya, “Pangeran membuat aku menjadi berdebar-debar.”

Pangeran Suwelatama pun mulai menyentuh kepentingannya datang ke padepokan itu. Namun demikian ia berusaha untuk menyampaikannya dengan hati-hati, “Paman. Bukankah adimas Pangeran Indrasunu itu murid dari perguruan ini?”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Jawabnya, “Benar, Pangeran. Pangeran Indrasunu adalah salah seorang dari muridku di padepokan ini.”

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Pangeran Indrasunu telah datang ke Pakuwon. Ia sudah mengatakan segala yang dialaminya di Singasari. Adimas Indrasunu juga berceritera tentang perang tanding terbatas di halaman Pangeran Wirapaksi.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Kemudian dengan nada dalam ia berkata, “Aku memang sudah merasa, bahwa dengan tindakanku itu aku akan dapat dikenakan tuduhan, bahwa aku sudah melawan pemerintahan Singasari.”

“Tidak,” Pangeran Suwelatama menyahut, “masalahnya bukan itu. Tetapi yang kemudian berkembang benar-benar mengarah ke sikap itu.”

Wasi Sambuja menjadi bingung. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah maksud Pangeran?”

Pangeran Suwelatama pun kemudian mengatakan maksud kedatangan Pangeran Indrasunu dengan ketiga orang Pangeran yang lain, termasuk adiknya sendiri.

Wasi Sambuja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pangeran Indrasunu memang seorang yang keras hati. Aku pun telah ikut bersalah, bahwa selama ini aku selalu membesarkan hatinya. Aku telah dicengkam oleh satu kebanggaan bahwa aku telah diangkat menjadi seorang guru bagi seorang Pangeran.”

“Kedatanganku ini paman,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku ingin mendapat penjelasan langsung dari paman Wasi Sambuja, guru adimas Pangeran Indrasunu, bagaimanakah pendapat paman tentang niat adimas Indrasunu dan saudara-saudara sepupunya itu.”

“Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “sebenarnyalah bahwa Pangeran Wirapaksi pun menjadi sangat kecewa atas tingkah laku adik iparnya. Bahkan aku sendiri pun telah mendapat tanggapan yang kurang baik dari Pangeran Wirapaksi. Aku menyangka, bahwa kedatangan Pangeran kali ini adalah karena Pangeran menjalankan tugas untuk menangkap aku.”

“Aku ingin pendapatmu, paman,” berkata Pangeran Suwelatama, “katakan dengan jujur, bagaimana pertimbanganmu.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sudah aku katakan Pangeran, bahwa aku telah memanjakannya, justru karena aku menganggap bahwa kedudukanku memberikan nilai yang tinggi bagi padepokan ini. Baru pada saat terakhir aku menyadari, bahwa langkahku telah keliru. Dan aku menyesal karenanya.”

“Jadi paman dapat mengerti jalan pikiran Pangeran Wirapaksi?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Aku mengerti,” jawab Wasi Sambuja, “aku justru menjadi menyesal, bahwa aku telah berbuat aneh-aneh di Singasari.”

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita sependapat. Aku yakin bahwa pada suatu saat, adimas Pangeran Indrasunu tentu akan dapat kemari untuk menyampaikan niatnya dan sudah barang tentu akan minta kepada gurunya untuk membantunya. Tentu demikian pula dengan Pangeran-pangeran yang lain. Tetapi menurut perhitunganku, Pangeran Indrasunu-lah yang akan menjadi penggeraknya, karena ialah yang telah dikecewakan oleh sikap orang-orang Singasari. Karena itulah, maka aku telah datang kemari.”

“Apakah maksud Pangeran yang sebenarnya? Aku ingin Pangeran mengatakan dengan bahasa yang jelas dan pasti.” bertanya Wasi Sambuja.

“Aku menolak pikiran anak-anak muda cupet budinya itu,” jawab Akuwu Suwelatama, “menurut pikiranku, jika ada hal yang tidak memenuhi selera mereka, sebaiknya dikaji lebih dahulu, apakah yang terjadi itu akan merusak nilai-nilai kehidupan dalam arti sebenarnya. Sebab perubahan-perubahan lahiriah belum tentu berarti pula perubahan-perubahan yang mendalam sampai kepada sikap jiwani. Sebaliknya, unsur-unsur lahiriah yang nampak masih tetap pada ujudnya, belum tentu tidak membawa perubahan yang justru mendasar. Apalagi bahwa yang sebenarnya dilakukannya adalah sekedar kekecewaan pribadi semata-mata.” Akuwu Suwelatama berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebaliknya, aku menghargai sikap anak-anak muda yang tidak gentar melihat pembaharuan namun yang masih tetap berakar kepada alas jiwa kita.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat dengan Pangeran. Aku menyesali, apa yang selama ini telah aku lakukan. Aku akan mencoba memberikan nasehat kepada Pangeran Indrasunu apabila ia datang kepadaku. Tetapi Pangeran itu pun tentu menjadi kecewa, justru karena aku tidak berhasil memenuhi keinginannya ketika ia berada di Singasari.”

“Terima kasih.” berkata Pangeran Suwelatama. Namun kemudian katanya, “Tetapi paman, kita tidak akan dapat dengan serta merta menolak. Aku pun tidak berani mengatakan kepada anak-anak itu langsung pada saat jiwa mereka sedang bergejolak. Aku mencoba mencari sandaran yang kemudian dengan perlahan-lahan dapat mengarahkan pikiran mereka. Aku sadar, jika mereka kecewa, maka mereka akan dapat melakukan sesuatu yang sangat mengejutkan. Karena itu, aku ingin mencari jalan yang paling baik untuk memperingatkan agar mereka tidak melakukan sesuatu yang tidak akan bermanfaat. Baik bagi mereka sendiri, apalagi bagi orang banyak.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya, “Aku merasa semakin bersalah. Baiklah. Aku akan berusaha, Pangeran.”

“Ketika anak-anak itu menyampaikan maksudnya kepadaku, maka aku menunjukkan sikap yang nampak ragu, justru untuk mencegah agar mereka tidak segera mengambil sikap.” berkata Pangeran Suwelatama, “Dengan demikian, aku sempat memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan.”

“Ya, Pangeran.” desis Wasi Sambuja.

“Seolah-olah kita sedang menghadapi anak-anak yang bermain-main dengan pisau. Kita tahu, bahwa hal itu berbahaya. Tetapi jika kami memaksa untuk mengambil pisau itu, anak itu tentu akan menangis.”

“Jadi?” bertanya Wasi Sambuja.

“Kita akan mengambilnya, namun sementara itu kita harus mempersiapkan permainan yang lain, yang dapat memberinya kepuasan seperti mereka bermain-main dengan pisau, namun yang dapat memberikan manfaat kepada mereka.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Pangeran Suwelatama telah mendahuluinya, “Mengucapkannya memang jauh lebih mudah daripada melakukannya.”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kita harus mencobanya. Dan aku juga akan mencobanya.”

“Terima kasih,” sahut Pangeran Suwelatama, “agaknya kedatanganku ke padepokan ini tidak sia-sia.”

Ternyata keduanya mendapat kesepakatan sikap. Karena itu, maka mereka berharap, bahwa Pangeran Indrasunu dengan ketiga orang saudaranya itu tidak akan terperosok ke dalam sikap yang kurang sewajarnya.

Dalam pada itu, setelah bermalam semalam di padepokan itu, maka di keesokan harinya Akuwu Suwelatama-pun minta diri. Diiringi oleh para pengawalnya, ia pun kembali ke Pakuwonnya. Namun ia sudah mendapatkan bekal yang lebih mantap atas sikapnya.

Namun Akuwu Suwelatama masih belum berniat menyampaikan persoalan itu kepada para pemimpin di Kediri. Ia masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Jika hal itu didengar oleh para pemimpin di Kediri, apalagi Singasari, maka mereka akan mengambil sikap yang lebih keras, yang belum tentu akan dapat menyelesaikan persoalan dengan baik dan tanpa mengorbankan pihak yang manapun juga.

Yang dapat dilakukan oleh Akuwu Suwelatama justru menunggu, bahwa pada suatu saat, Pangeran-pangeran muda itu akan datang kepadanya, dengan pikiran-pikiran yang tentu sudah berkembang.

Dalam pada itu, ternyata keempat Pangeran itu menganggap bahwa Akuwu Suwelatama tentu akan membantu mereka. Jika masih ada persoalan yang terasa belum mapan, segera akan dapat mereka bicarakan sehingga segalanya akan berjalan dengan rancak.

“Kita harus bersiap-siap,” berkata Pangeran Indrasunu, “kita tidak dapat menunda terlalu lama. Kita harus bertindak cepat pada saat peradaban Kediri masih belum runtuh sama sekali.”

“Ya,” jawab Pangeran bertubuh kecil, “ternyata bahwa kakangmas Suwelatama dapat mengerti pikiran kita.”

“Ia masih muda seperti kita. Umurnya hanya terpaut beberapa tahun saja. Tugasnya sebagai Akuwu membuatnya seperti orang yang sudah jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.” berkata Pangeran yang lain.

Anggapan itu telah menjadi alas sikap dan tindakan para Pangeran yang masih belum sempat melihat dunia dengan dewasa. Sementara itu, mereka telah mulai dengan latihan-latihan atas para pengikut mereka masing-masing. Beberapa orang pengawal yang setia dan janji-janji yang mempesona.

“Aku akan menemui guru.” berkata Pangeran Indrasunu pada suatu saat.

“Aku juga.” desis Pangeran yang bertubuh kecil.

Demikian pula saudara-saudaranya. Mereka menganggap bahwa guru mereka masing-masing tentu akan bersedia membantu mereka dalam keadaan yang menurut mereka, sangat gawat.

Di hari berikutnya, Pangeran Indrasunu telah pergi kepadepokan Wasi Sambuja. Dengan penuh harapan ia berniat untuk menghimpun kekuatan di padepokannya bersama para pengawalnya yang sudah lebih dahulu disiapkan.

Kedatangan Pangeran Indrasunu ke padepokan itu memang sudah diperhitungkan oleh Wasi Sambuja seperti yang sebelumnya telah disebut-sebut oleh Akuwu Suwelatama. Namun dalam pada itu, Wasi Sambuja menerimanya seolah-olah ia masih belum mengetahui alasan kedatangan Pangeran Indrasunu.

“Guru,” berkata Pangeran Indrasunu, “tidak ada orang yang akan mendengarkan keluhanku selain guru.”

“Apa yang terjadi, Pangeran?” bertanya Wasi Sambuja, “Aku akan berusaha untuk membantu segala kesulitan yang terjadi atas Pangeran.”

“Terima kasih, guru.” jawab Pangeran Indrasunu, “Selama ini aku memang merasa bahwa guru selalu memenuhi keinginanku. Sampai pada persoalan yang terakhir yang terjadi di rumah kakangmas Wirapaksi, guru telah menunjukan betapa guru benar-benar berusaha untuk mengangkat martabatku.”

“Ya, ya, Pangeran. Pangeran adalah muridku. Adalah kewajibanku untuk berbuat apa saja bagi kebaikan Pangeran.” jawab Wasi Sambuja.

“Terima kasih, guru.” desis Pangeran Indrasunu.

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Pangeran belum mengatakan, apa yang Pangeran inginkan.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Guru. Agaknya memang sudah saatnya untuk berbuat sesuatu bagi Kediri.”

“Apa yang baik kita lakukan?” bertanya Wasi Sambuja.

Pangeran Indrasunu pun kemudian menceriterakan rencananya bersama ketiga Pangeran yang lain. Mereka bahkan telah menemui Pangeran Suwelatama yang lebih senang hidup di luar lingkungan istana dan Kota Raja.

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Indrasunu berkata lebih lanjut, “Kakangmas Pangeran Suwelatama telah bersedia membantu kami. Sebagaimana telah terjadi, Tumapel mampu mengalahkan Kediri. Padahal kakangmas Suwelatama memiliki kelebihan dalam segala segi dari Ken Arok pada waktu itu.”

Wasi Sambuja memandang Pangeran Indrasunu sejenak. Kemudian katanya, “Tetapi yang perlu Pangeran ketahui, bahwa Singasari sekarang pun memiliki banyak kelebihan dari Kediri pada waktu itu. Apalagi Kediri pada waktu itu telah dilanda oleh perselisihan ke dalam yang tidak ada habisnya dari golongan-golongan yang ada. Masing-masing menganggap diri mereka, maksudku golongan mereka adalah golongan yang paling baik. Akhirnya benturan-benturan sikap yang tidak terkendali, telah membuat Kediri ringkih.”

“Sekarang kita menghadapi masalah yang serupa,” berkata Pangeran Indrasunu, “beberapa golongan di Singasari sedang berusaha untuk meruntuhkan peradaban. Bahkan juga di Kediri. Jika kakangmas Suwelatama bangkit untuk menegakkannya, maka rakyat Kediri dan Singasari tentu akan mendukungnya.”

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “segala tindakan, apalagi sesuatu yang besar dan mempunyai jangkauan yang luas dan panjang, harus dipikirkan masak-masak.”

“Tetapi aku sudah memikirkannya,” jawab Pangeran Indrasunu, “dan bukankah guru sudah berjanji untuk membantuku?”

“Benar, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “aku akan selalu membantu Pangeran. Aku akan berbuat apa saja bagi kebaikan Pangeran seperti yang sudah aku katakan.”

“Jika demikian, kita akan segera dapat mulai, guru.” berkata Pangeran Indrasunu, “Kakangmas Suwelatama pun sudah siap.”

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “sebenarnyalah aku memang harus berbuat apa saja bagi kebaikan Pangeran. Jika perlu aku harus menunjukkan jalan yang harus Pangeran tempuh.”

“Bagus,” Pangeran Indrasunu hampir berteriak, “aku memang memerlukannya.”

“Bahkan aku harus berani mengatakan kepada Pangeran apa yang sebenarnya menurut pikiranku,” desis Wasi Sambuja, lalu, “aku mohon maaf, Pangeran, bahwa untuk kebaikan Pangeran, mungkin aku akan mengatakan yang lain dari keinginan Pangeran.”

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi tegang. Namun ia masih menahan diri dan menunggu apa yang dikatakan oleh Wasi Sambuja selanjutnya.

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “aku sudah berusaha untuk menebus kekalahan Pangeran. Bahkan hampir saja merenggut nyawaku sendiri. Namun demikian, aku tidak berhasil. Adalah menjadi kewajiban kita, orang-orang yang mengembara di dunia olah kanuragan, untuk mengakui dengan jantan, kenyataan yang dihadapinya. Ternyata aku dapat dikalahkan oleh seseorang yang bernama Witantra itu.”

“Tetapi guru,” sahut Pangeran Indrasunu, “kita tidak akan turun lagi ke arena perang tanding. Kita akan turun ke dalam satu perjuangan untuk menegakkan kewibawaan Kediri. Dengan demikian kita tidak akan dituntut untuk maju ke arena perang tanding seperti yang sudah kita lakukan. Dalam hal yang demikian, maka di samping kemampuan seorang demi seorang, maka kekuatan pasukan pun akan ikut menentukan. Aku dan empat orang saudaraku, bahkan salah seorang di antara kami adalah Akuwu Suwelatama, telah bersepakat untuk bertempur. Bukan saja untuk melepaskan belenggu yang telah dipasang oleh Singasari sejak masa Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi, tetapi kami pun harus membersihkan Kediri dari orang-orang yang sudah kehilangan dirinya sendiri.”

“Tetapi, Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “apakah cara yang angger pilih itu sesuai untuk saat seperti sekarang ini?”

“Apakah ada cara yang lain?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “aku mohon maaf. Aku sudah berjanji untuk mengatakan yang paling baik bagi Pangeran. Karena itu, cobalah Pangeran menimbang, bahwa jika Pangeran melakukannya sekarang, maka orang-orang Singasari dan orang-orang Kediri itu akan mengatakan, bahwa yang Pangeran lakukan itu tidak lebih dari kekecewaan pribadi. Dengan demikian, maka yang akan Pangeran lakukan tidak akan mendapat dukungan rakyat Kediri apalagi Singasari.”

“Omong kosong,” jawab Pangeran Indrasunu, “yang terjadi itu hanyalah salah satu sebab. Tetapi sebab yang utama telah aku katakan.”

“Meskipun demikian, Pangeran, jika Pangeran sudi mendengarkan nasehatku, baik sebagai orang yang telah berumur lanjut, maupun sebagai guru Pangeran sendiri, sebaiknya Pangeran merenungkan niat Pangeran itu dua tiga kali lagi.”

“Sementara itu, peradaban yang ingin aku tegakkan sudah musna sama sekali.” potong Pangeran Indrasunu dengan sertamerta.

“Tidak, Pangeran. Pangeran tidak perlu tergesa-gesa mengambil keputusan. Sejak aku memasuki arena, aku sudah menolak untuk disebut memberontak terhadap kekuasaan Kediri dan apalagi Singasari.”

“Sedangkan yang akan kita lakukan sebenarnyalah, memberontak terhadap orang-orang yang sekarang berkuasa di Kediri dan Singasari.” potong Pangeran Indrasunu.

“Pangeran,” suara Wasi Sambuja merendah, “itulah yang aku cemaskan. Masalahnya sebenarnya dapat dibatasi. Tetapi Raden telah mengembangkannya sehingga masalahnya telah merambat ke masalah yang sangat besar.”

“Guru,” suara Pangeran Indrasunu meninggi, “kenapa tiba-tiba guru sudah berubah?”

“Maaf, Pangeran. Aku mulai menilai sikapku sendiri terhadap Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “nampaknya selama ini tindakanku keliru. Sekarang, meskipun sudah agak terlambat, aku merasa perlu untuk memperbaiki.”

“Jadi tegasnya guru menolak permintaanku?” bertanya Pangeran Indrasunu dengan nada keras.

“Permintaan yang sebenarnya telah aku penuhi. Yaitu mengatakan apa yang sebaiknya bagi Pangeran.” jawab Wasi Sambuja.

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi semakin tegang. Dengan keras ia menegaskan, “Jadi guru tidak mau memberontak bersama kami, termasuk kakangmas Suwelatama?”

“Aku mohon maaf, Pangeran. Langkah itu adalah langkah yang keliru untuk saat ini.” jawab Wasi Sambuja.

“Baiklah,” Pangeran Indrasunu menggeram, “kakangmas Suwelatama tentu akan membuat perhitungan dengan guru. Guru sudah terlanjur mengetahui rencana kami sementara guru tidak sependapat dengan kami.”

“Jangan mengancam begitu, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “meskipun aku mempunyai pendirian dan sikap tersendiri, tetapi aku bukan pengkhianat yang akan menimbulkan kekisruhan justru sebelum persoalan yang sebenarnya mulai.”

“Sekarang guru berkata demikian, tetapi siapa tahu, apa yang akan guru katakan besok.” geram Pangeran Indrasunu. “Baiklah. Aku akan menghadap Pangeran Suwelatama.”

“Pangeran,” desis Wasi Sambuja, “jika aku ingin berkhianat, maka alangkah mudahnya untuk melakuannya sekarang. Menangkap Pangeran dan melemparkan Pangeran ke hadapan Sri Maha Raja di Singasari. Apakah Pangeran menyangka bahwa aku tidak dapat menangkap Pangeran sekarang ini?”

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah seperti bara. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. Jika gurunya benar-benar marah, maka ia akan dapat melakukan satu tindakan yang gawat baginya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia pun telah minta diri untuk meninggalkan padepokan itu. Ternyata gurunya tidak menahannya dan apalagi menangkapnya. Sejenak kemudian maka kudanya pun telah berderap. Kaki Pangeran Indrasunu menghentak-hentak perut kudanya, seakan-akan ia ingin melepaskan kemarahannya.

Sepeninggal Pangeran Indrasunu, Wasi Sambuja menarik nafas panjang. Ia pun turut merasa bersalah. Ia telah memanjakan anak muda itu, segala yang dikehendakinya, seakan-akan selalu dipenuhinya. Tetapi permintaannya kali ini ternyata terlalu banyak. Wasi Sambuja tidak dapat tinggal diam. Ia tahu, bahwa Pangeran Indrasunu tentu akan pergi ke Akuwu Suwelatama. Meskipun demikian, Wasi Sambuja tidak perlu mencemaskan lagi. Akuwu Suwelatama sudah menetukan sikapnya.

Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu yang kembali ke Kediri telah menjumpai saudara-saudaranya. Dengan menyesal ia mengatakan kepada saudara-saudaranya, bahwa gurunya untuk sementara tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaannya justru mengkhawatirkan.

“Guru luka di dalam.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Tetapi apakah luka itu tidak akan sembuh?” bertanya Pangeran yang bertubuh kecil.

“Tetapi kapan? Apalagi jika guru menjadi cacat.” jawab Pangeran Indrasunu.

Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. Mereka percaya kepada keterangan Pangeran Indrasunu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Indrasunu tidak dapat mengatakan bahwa gurunya telah menolak permintaannya. Dengan demikian maka para Pangeran itu akan menjadi kendor dan patah sehingga niatnya tidak akan terpenuhi.

“Tetapi jangan cemas,” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “bukankah kakangmas Suwelatama sudah menyatakan diri untuk melakukannya? Kita akan pergi kepadanya dan mengatakan segalanya.”

“Bagaimana dengan persiapan kita sendiri?” bertanya Pangeran yang lain.

“Pengawal-pengawalku sudah siap.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Pengawal-pengawalku juga sudah siap meskipun tidak terlalu banyak.” berkata Pangeran yg lain. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku akan bertemu dengan guru. Jika guru bersedia membantuku, dengan mempersiapkan para cantrik dari padepokannya maka kekuatan kita akan berlipat.”

“Aku juga,” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “kecuali kakangmas Suwelatama, aku akan minta bantuan guru.”

Ternyata ketiga Pangeran yang lain itu pun masih akan menjumpai guru mereka masing-masing. Mereka akan merasa kuat untuk mulai dengan satu sikap yang akan dapat merubah keadaan Kediri untuk selanjutnya.

Sebagaimana Wasi Sambuja, pada umumnya guru-guru para Pangeran muda itu juga memanjakan murid-muridnya. Kecuali mereka berbangga bahwa mereka mempunyai murid seorang Pangeran, bukan saja karena derajad, tetapi pada umumnya mereka memberikan dana yang cukup banyak bagi guru-guru mereka. Uang, bahkan kadang-kadang barang-barang berharga, atau seekor kuda yang tegar.

Karena itu, maka ketiga orang guru dari ketiga orang Pangeran yang bersama Pangeran Indrasunu telah menentukan sikapnya itu dengan senang hati berusaha untuk membantu mereka apapun yang akan mereka lakukan.

“Kita harus bersiap, guru,” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “pada waktu dekat kita akan mulai. Kakangmas Suwelatama sudah siap untuk bertindak kapan saja kita kehendaki.”

“Baiklah. Kita akan mempersiapkan diri dalam waktu dekat. Pada umumnya para cantrik sudah mengusai ilmu kanuragan, sehingga kita akan dapat bergerak kapan saja.” berkata gurunya seorang yang telah melampaui umur pertengahan abad.

Namun dalam pada itu, keempat Pangeran itu masih merasa perlu untuk sekali lagi pergi kepada Pangeran Suwelatama di Pakuwonnya. Mereka berniat untuk merencanakan saat yang paling baik untuk mulai dengan satu tindakan yang nyata untuk merubah keadaan.

“Kita tidak perlu berkumpul di Pakuwon kakangmas Suwelatama.” berkata Pangeran yang bertubuh kecil, “Kita bergerak dari padepokan kita masing-masing. Sementara gerakan yang paling besar akan dimulai dan Pakuwon kakangmas Suwelatama.”

“Ya. Dengan demikian maka gerakan itu akan nampak terjadi di segala arah. Rakyat Kediri pun akan segera bangkit untuk mendukungnya terutama para bangsawan yang masih setia kepada leluhurnya. Pengaruh para bangsawan itu akan segera menjalar di kalangan para pengikut masing-masing. Para pengawal mereka dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Dengan demikian maka api yang kita nyalakan, akan segera membakar seluruh Kediri. Jika rakyat Kediri sudah bertekad bulat, maka kekuatan apapun tidak akan dapat mencegahnya.”

“Bukan saja rakyat Kediri. Beberapa orang pemimpin Singasari yang setia akan peradaban kita pun akan membantu. Nah, di Singasari juga akan timbul perpecahan. Dengan demikian maka Singasari akan menjadi ringkih.”

Keempat Pangeran itu tertawa. Seolah-olah segalanya sudah berlangsung. Namun demikian, mereka tidak kehilangan kewaspadaan.

Dalam perjalanan ke Pakuwon Pangeran Suwelatama, mereka sudah merencanakan, selain gerakan nyata dengan kekuatan, mereka pun harus meyakinkan beberapa pihak, bahwa perjuangan mereka adalah benar. Kediri pada dasarnya bukan bagian dari Singasari. Selebihnya, mereka harus merombak tata kehidupan yang goyah di Kediri dan Singasari. Dalam pada itu, mereka pun menjadi semakin lama semakin dekat dengan Pakuwon yang mereka tuju. Pakuwon Kabanaran yang dipimpin oleh Akuwu Suwelatama.

Demikian keempat Pangeran itu memasuki Pakuwon Kabanaran, maka jantung mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat di beberapa tempat para pengawal sedang berlatih perang. Bahkan di alun-alun anak-anak bersorak-sorak di seputar gawar yang telah dipasang. Beberapa orang pengawal sedang mengadakan sodoran. Mereka menunggang kuda sambil membawa tongkat panjang yang berujung bulat dan diperlunak dengan kain. Dengan senjata tongkat itu mereka saling menyerang dan berusaha menjatuhkan lawannya dari punggung kudanya.

Keempat Pangeran itu berhenti sejenak. Pangeran Indrasunu yang turun dari kudanya telah mendekati seorang anak muda yang sedang menonton sodoran itu.

“Apakah mereka melakukannya setiap hari?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Tidak setiap hari. Tetapi setiap tiga hari sekali sejak beberapa saat yang lampau.” jawab anak muda itu.

“Dan pengawal yang berlatih di beberapa tempat itu?” bertanya Pangeran Indrasunu pula.

“Ya. Sebagaimana dilakukan oleh para pengawal yang sedang mengadakan sodoran itu.” jawab anak muda itu.

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ketika ia kembali kepada ketiga Pangeran yang lain, maka ia berdesis, “Ternyata kakangmas Suwelatama sudah memulainya. Para pengawal sudah digerakkan untuk berlatih perang.”

Pangeran yang bertubuh kecil tertawa. Katanya, “Kakangmas memang seorang yang bertindak cepat. Tidak ragu-ragu dan memperhitungkan waktu sebaik-baiknya.”

Keempat orang Pangeran itu pun kemudian dengan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan, menuju ke istana Akuwu Suwelatama. Hati mereka rasa-rasanya menjadi mekar melihat persiapan di Pakuwon itu. Demikian mereka memasuki regol istana Akuwu Suwelatama, mereka pun segera disambut oleh pengawal yang bertugas di halaman. Para pengawal itu menerima kuda-kuda mereka dan mempersilahkan mereka naik ke pendapa, sementara yang lain telah memberitahukan kehadiran keempat Pangeran itu.

Keempat Pangeran itu pun kemudian telah dipersilahkan untuk masuk ke bangsal dalam. Akuwu Suwelatama telah menerima mereka di bangsal dalam, sebagaimana Akuwu sering mengadakan pembicaraan dengan orang-orang terpenting di Pakuwonnya. Setelah mengucapkan selamat datang, dan bertanya tentang keselamatan keluarga di Kediri, maka Akuwu itu pun mempersilahkan tamu-tamunya makan dan minum hidangan yang disuguhkan bagi mereka.

“Aku merasa senang kalian datang lagi ke Pakuwon yang sepi ini.” berkata Akuwu Suwelatama, “Aku ingin mempersilahkan kalian berada di sini lagi beberapa hari.”

“Kakangmas sudah mengadakan persiapan-persiapan sebaik-baiknya.” berkata adiknya, Pangeran yang bertubuh kecil.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Kami memang sudah mengadakan latihan-latihan sekedarnya.”

“Terima kasih, kakangmas,” Pangeran Indrasunulah yang menyahut, “tetapi apakah kakangmas sudah mempunyai rencana waktu yang paling baik memulainya?”

“Mulai apa?” bertanya Pangeran Suwelatama.

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun disangkanya Akuwu itu sedang bergurau. Karena itu, maka Pangeran Indrasunu justru bertanya, “Jadi apakah yang sedang kakangmas persiapkan?”

Pangeran Suwelatama tersenyum. Katanya, “Aku sedang mempersiapkan satu pameran kesiagaan para pengawal di Pakuwon ini. Aku ingin memperingati genap sepuluh tahun aku berkuasa di sini sebagai seorang Akuwu. Aku mulai pada saat aku masih sangat muda. Pada umur duapuluh tahun aku sudah menjadi Akuwu.”

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun Pangeran Suwelatama meneruskan, “Daerah ini semula adalah daerah yang terkutuk. Tidak ada seorang pun yang bersedia memerintah daerah ini dengan cara apapun juga, karena daerah ini dikuasai oleh beberapa kelompok penjahat yang kuat.” Akuwu itu berhenti sejenak. Lalu katanya kepada adiknya, “He, bukankah kau masih ingat apa yang pernah terjadi sepuluh tahun yang lalu? Aku membawa sepasukan pengawal dari Kediri. Aku telah memilih sekelompok pengawal yang menyatakan itu, aku berhasil membersihkan daerah ini. Aku menangkap tiga orang gegedugnya dan membunuh dua di antara mereka. Akhirnya daerah ini menjadi aman, dan aku diberi wewenang untuk mendirikan Pakuwon di sini.”

Pangeran Indrasunu dan ketiga orang Pangeran yang lain termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah Pangeran Indrasunu bertanya, “Apakah maksud kakangmas, latihan-latihan itu diselenggarakan sekedar untuk menunjukkan ketrampilan dalam peringatan tahun kesepuluh itu?”

“Ya. Kami, para pemimpin di Pakuwon ini ingin mengenang kembali hari-hari yang penuh dengan ketegangan itu. Tetapi dengan kebanggaan di hati, bahwa kami masih tetap kuat sampai saat ini. Apalagi pada akhir-akhir ini mulai terdengar lagi kelompok-kelompok penjahat yang mencoba menjamah Pakuwon ini, meskipun asalnya dari daerah di luar Pakuwon ini.” jawab Akuwu Suwelatama, “Karena itu, kami wajib memperingatkan agar mereka menyadari bahwa Pakuwon ini adalah Pakuwon yang kuat.”

Keempat Pangeran itu saling berpandangan. Dalam pada itu Pangeran Indrasunu pun bertanya dengan ragu-ragu, “Jadi, bukankah kakangmas juga sekaligus mempersiapkan diri menghadapi rencana yang sudah kita susun?”

“Rencana yang mana?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Keempat Pangeran itu menjadi bingung. Apalagi ketika mereka mendapat kesan bahwa Akuwu itu benar-benar tidak tahu rencana yang mereka maksudkan. Justru karena itu, maka keempat Pangeran itu bagaikan kehilangan akal. Mereka saling berdiam diri dan saling berpandangan.

Sehingga karena itu, maka Akuwu Suwelatama itu pun bertanya pula, “Cobalah jelaskan. Barangkali dengan demikian aku akan dapat menanggapinya.”

Pangeran Indrasunu yang berdebar-debar berusaha untuk menjelaskan maksud mereka. Katanya, “Kakangmas Suwelatama. Beberapa saat yang lampau kami telah pernah datang kemari untuk memberitahukan keadaan Kediri dan Singasari yang semakin merosot dipandang dari segi peradabannya. Kebiasaan-kebiasaan buruk semakin berkembang. Sementara orang-orang Kediri sudah melupakan sama sekali kemungkinan untuk tegak sebagai satu bangsa yang besar seperti masa lampau.”

“Oh.” Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Itulah yang kalian maksud. Kalian memang pernah menyatakan kepadaku, bahwa kalian ingin membuat satu kejutan di Kediri dan Singasari.”

“Ya.” berkata Pangeran Indrasunu, “Kita akan merintis satu gerakan untuk membangunkan rakyat Kediri dan sekaligus rakyat Singasari untuk menegakkan peradaban dan menyingkirkan kebiasaan buruk yang kini sedang meracuni rakyat.”

Pangeran Suwelatama itu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Adimas. Aku sudah pernah mendengar kalian mengatakannya kepadaku. Tetapi aku tidak pernah menganggap bahwa hal itu akan sungguh-sungguh kalian lakukan. Aku mengira bahwa hal itu kalian katakan kepadaku pada waktu itu, justru kerena hati adimas Indrasunu sedang dibakar oleh satu kekecewaan. Bukankah adimas Pangeran Indrasunu gagal mengambil seorang perempuan yang bernama Ken Padmi dari rumah Mahendra? Justru setelah melewati semacam sayembara tanding, adimas pun telah gagal pula. Bahkan guru Adimas Indrasunu, Wasi Sambuja pun telah tidak berhasil mengalahkan Witantra.”

“Tidak,” bantah Pangeran Indrasunu dengan serta merta, “aku sama sekali tidak melakukannya karena sakit hati atas kegagalan keinginan pribadi. Tetapi justru karena itu aku melihat kekurangan yang terdapat di Singasari dan Kediri.”

“Adimas,” berkata Pangeran Suwelatama, “agaknya jiwa adimas sedang terguncang. Kegagalan adimas telah membuat adimas kehilangan pengamatan diri. Dengan demikian maka adimas melihat orang lain selalu bersalah. Tanpa menyadari keadaan diri sendiri, adimas menganggap bahwa keadaan menjadi semakin buruk.”

“Tidak. Aku yakin akan kebenaran perjuangan ini,” bantah Pangeran Indrasunu, “kakangmas juga sudah membenarkan sikap kami beberapa waktu yang lalu. Tetapi tiba-tiba sikap kakangmas berubah.”

“Bukan berubah,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi aku saat itu menganggap bahwa adimas tidak bersungguh-sungguh.”

“Aku tidak pernah bermain-main dengan nasib Kediri dan Singasari.” sahut Pangeran Indrasunu.

“Tetapi pada waktu itu adimas benar-benar baru dicengkam oleh kekecewaan.” jawab Pangeran Suwelatama.

“Aku dapat membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan kita dalam keseluruhan, kepentingan Kediri dan Singasari.” jawab Pangeran Indrasunu.

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Adimas Pangeran seluruhnya. Aku mengerti bahwa jiwa kalian memang sedang bergejolak. Tetapi kalian harus dapat memilih sasaran dalam keadaan seperti sekarang ini. Aku juga seorang yang menganggap bahwa keadaan sekarang masih belum seperti yang kita inginkan. Tetapi memperbaiki Keadaan itu tidak selalu harus dilakukan dengan kekerasan seperti yang adimas maksudkan. Bukankah adimas Pangeran berempat ingin mendorong aku untuk memberontak? Atau tegasnya ingin mempergunakan Pakuwon ini sebagai landasan perjuangan kalian. Perjuangan yang dinyalakan sekedar karena kekecewaan pribadi.”

“Tidak. Itu tidak benar,” bantah Pangeran yang bertubuh kecil, “kakangmas menilai persoalan ini semata-mata karena keadaan kakangmas Pangeran Indrasunu. Tetapi kakangmas harus menilai keadaan kami bertiga. Kami sama sekali tidak dikecewakan oleh apapun juga secara pribadi. Tetapi kami pun telah bertekad untuk mengadakan perombakan yang mengakar dari persoalan yang berkembang sekarang ini.”

“Adimas,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku belum termasuk golongan orang-orang tua di Kediri. Tetapi aku mempunyai pengalaman lebih banyak dari kalian. Karena itu, aku ingin memperingatkan agar kalian melihat keadaan ini dengan pandangan yang lebih luas. Melihat dasar dari gejolak perasaan kalian yang mencari sebab dari kekecewaan itu.”

“Kami sudah melakukannya, kakangmas,” jawab Pangeran Indrasunu, “dan hasil yang kami ketemukan adalah keputusan untuk melakukan usaha yang akan didukung oleh seluruh rakyat Kediri dan Singasari.”

“Tetapi kalian harus mempunyai rencana yang mendasar. Kalian harus mengerti landasan perjuangan kalian, tujuan yang hendak dicapai, dan penilaian atas usaha itu. Apakah yang akan kalian capai itu lebih baik atau justru lebih buruk dari keadaan sekarang.” berkata Pangeran Suwelatama.

Pangeran-pangeran yang masih muda itu tidak sabar lagi. Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Kami tidak akan melangkah surut, kakangmas. Tahap pemikiran, penilaian dan rencana sudah kami lalui. Kami telah sampai kepada tahap pelaksanaan. Karena itu, kami mohon kakangmas dapat mengikuti jalan pikiran kami. Kami bukan kanak-kanak yang masih dicengkam oleh perasaan semata-mata. Tetapi kami sudah cukup dewasa untuk berpikir dan bertindak bagi satu kepentingan besar seperti sekarang ini.”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak muda itu benar-benar sudah sulit untuk diajak bicara. Namun ia masih mencoba untuk meredakan ketegangan di hati para Pangeran muda itu katanya, “Adimas. Jika adimas sudah melewati beberapa tingkatan dalam usaha kalian, maka berilah aku kesempatan untuk berpikir. Mungkin aku memang lamban. Tetapi aku berusaha untuk berhati-hati.”

“Waktu untuk berpikir sudah cukup lama, kakangmas.” jawab Pangeran Indrasunu, “Yang kami harapkan sekarang, kakangmas dapat mulai bergerak. Adalah satu keuntungan bahwa pada saat ini pasukan pengawal Pakuwon ini sedang berlatih. Hal ini akan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.”

“Jangan begitu, adimas,” jawab Pangeran Suwelatama, “latihan untuk merayakan satu kebanggaan di masa lampau akan berbeda dengan latihan-latihan untuk satu kepentingan yang jauh lebih gawat.”

“Kakangmas. Kami tidak mau terlambat.” jawab Pangeran yang bertubuh kecil.

“Tetapi terus terang, aku belum dapat mengatakan apa-apa sekarang ini.” berkata Pangeran Suwelatama.

Wajah para Pangeran itu menjadi merah. Pangeran yang bertubuh kecil itu pun berkata, “Kakangmas telah menyesatkan dugaan kami. Semula kami menyangka bahwa kakangmas sudah menyatakan kesediaan kakangmas untuk bersama-sama dengan kami berjuang bagi Kediri dan Singasari. Tetapi ternyata pada saat kami sudah siap untuk mulai, kakangmas telah mengingkarinya.”

“Kalian salah paham.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Tidak. Jika terjadi salah paham, tentu tidak kami berempat seluruhnya.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Aku tidak dapat menjelaskan lebih banyak lagi, adimas,” berkata Pangeran Suwelatama, “hanya itulah yang dapat aku katakan. Tetapi dengan sepenuh harapan, bahwa adimas akan dapat mengerti bahwa untuk satu pekerjaan yang besar, diperlukan perhitungan yang sangat cermat.”

“Sudah aku katakan berulang kali, bahwa kami sudah membuat perhitungan sebaik-baiknya. Tidak ada yang salah lagi menurut hitungan kami.” jawab salah seorang dari Pangeran-pangeran muda itu.

“Yang jelas masih ada satu kesalahan.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Kesalahan apa?” bertanya Pangeran yang bertubuh kecil.

“Bahwa Pakuwon ini kau anggap sudah siap untuk ikut serta dalam gerakan kalian pada saat ini.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Bukan kesalahan. Tetapi keingkaran.” jawab Pangeran Indrasunu tegas.

Terasa kuping Pangeran Suwelatama menjadi panas. Tetapi ia masih tetap menahan diri menghadapi Pangeran-pangeran yang masih muda dan masih mudah digerakkan oleh perasaan semata-mata. Namun sebenarnyalah bukan kemudaan mereka semata-mata yang telah menyesatkan mereka. Banyak di antara anak-anak muda yang lain yang berbuat jauh lebih baik dari yang telah mereka lakukan.

Tetapi ternyata anak-anak muda yang dihadapinya itu benar-benar telah mengeraskan hatinya untuk satu niat yang bagi Akuwu Suwelatama kurang menguntungkan bagi segala pihak. Karena itu, maka Akuwu Suwelatama itu pun kemudian berkata,

“Adimas Pangeran berempat. Jika demikian, baiklah aku berkata langsung pada pokok persoalannya agar tidak lagi terjadi salah paham. Sebenarnyalah aku tidak akan dapat dilibatkan ke dalam rencana kalian. Justru aku telah berusaha untuk mencegah agar kalian mengurungkan niat kalian, karena jika kalian melakukannya, maka yang akan terjadi adalah goncangan-goncangan yang dahsyat. Yang akan terjadi adalah bencana yang besar yang akan melanda seluruh negeri. Dan yang kemudian akan paling menderita adalah rakyat kecil yang tidak tahu menahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi, karena perubahan-perubahan yang tidak mendasar, pada hakekatnya tidak akan memperbaiki keadaan mereka.”

Keempat Pangeran muda itu tidak lagi dapat menahan diri. Jantung mereka bagaikan terbakar. Mereka menganggap bahwa Pangeran Suwelatama telah mengingkari janji. Karena itu, maka tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu yang tidak dapat menahan diri lagi itu pun berkata,

“Aku mengerti kakangmas, bahwa kakangmas ingin tampil di paling depan, sehingga kakangmaslah yang kelak akan mendapat julukan sebagai pembebas Tanah ini. Jika demikian halnya, sebenarnyalah kami tidak berkeberatan sama sekali jika kakangmaslah yang akan disebut sebagai pemimpin dari pemberontakan ini. Dan yang kelak, pada saatnya Singasari yang sekarang jatuh, kakangmaslah yang pantas untuk duduk di atas Singgasana.”

“Adimas!” potong Pangeran Suwelatama. Rasanya jantungnya berdenyut semakin cepat.

Namun ia masih tetap berusaha menahan diri. Katanya, “Kalian semakin jauh tersesat. Aku sama sekali tidak ingin mencampuri persoalan kalian. Biarlah aku bersama para pengawal Pakuwon ini berbuat sebaik-baiknya bagi daerah kami yang sempit, jika aku sudah berhasil menyusun kedamaian hati rakyat Pakuwon ini, aku sudah merasa puas dan bahwa hidupku ini punya arti.”

“Baiklah, kakangmas,” sahut Pangeran yang bertubuh kecil, “kami akan menempuh jalan kami masing-masing. Jika kakangmas cemas akan kekuatan kami, besok kakangmas dapat pergi ke Kediri atau ke Singasari untuk melaporkan, bahwa sebentar lagi, akan datang saatnya kebenaran dan keadilan melanda Kediri dan Singasari. Merenggut tanah ini dari runtuhnya peradaban yang sudah kita bangun untuk berabad-abad lamanya."

“Jadi kalian tetap pada pendirian kalian?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Ternyata pertanyaan itu cukup mendebarkan. Karena itu keempat Pangeran itu justru terdiam sesaat. Namun Pangeran Indrasunu lah yang kemudian menjawab, “Ya. Kami tidak akan melangkah surut, kakangmas. Kami akan berjalan terus sampai kepada tujuan kami.”

“Bagaimana dengan Wasi Sambuja?” tiba-tiba saja Akuwu Suwelatama bertanya.

“Guru dalam keadaan yang tidak memungkinkan. Guru dalam keadaan luka parah ketika ia berperang tanding melawan Witantra. Tetapi pada saat guru sembuh, maka ia tentu akan terjun dalam perjuangan ini.”

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Jika demikian, silahkan adimas Pangeran berempat berjalan sendiri. Ternyata aku tidak dapat ikut bersama kalian.”

“Terserah kepada kakangmas. Aku tidak mempunyai pilihan lain.” jawab Pangeran yang bertubuh kecil.

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tetapi adimas Pangeran. Aku berharap bahwa adimas tidak melupakan kedudukanku. Aku adalah seorang Akuwu. Aku berada di bawah perintah Kediri dan Singasari.”

Wajah keempat Pangeran itu menjadi merah. Mereka menyadari arti dari kata-kata Pangeran Suwelatama itu. Bahkan di telinga mereka mirip suatu tantangan, bahwa pada suatu saat mungkin sekali mereka akan bertemu di medan.

Namun dalam pada itu, Pangeran Suwelatama itu pun berkata, “Tetapi kalian masih mempunyai waktu untuk berpikir. Setidak-tidaknya di perjalanan kembali dari Pakuwon ini. Aku percaya bahwa kalian memang sudah dewasa. Sudah membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, serta bersedia mempertanggung jawabkan tingkah laku kalian.”

Sesaat keempat Pangeran itu pun masih saja terdiam. Namun sejenak kemudian Pangeran yang bertubuh kecil itu pun berkata, “Kami mohon diri.”

Pangeran Suwelatama termangu-mangu sejenak. Terbersit perasaan prihatin yang mendalam di dalam dirinya. Di Kediri beratus ribu anak-anak muda. Tetapi empat orang anak muda ini akan dapat membakar ketenangan yang sudah merambah sampai ke padesaan. Tetapi Akuwu Suwelatama tidak sempat berbicara panjang. Keempat anak-anak muda itu segera bangkit dan minta diri.

Namun ketika Akuwu mengantar mereka sampai di regol, ia pun masih berkata, “Adimas Pangeran berempat, bukan maksudku unluk menganggap anak-anak muda tidak mampu berbuat apapun juga. Anak-anak muda memang dapat merupakan penggerak yang kuat. Tetapi yang kalian lakukan itu kurang mapan. Cobalah melihat dirimu sendiri, sumber dari segala rencanamu itu, apakah karena pengenalanmu atas keadaan Kediri yang sebenarnya, atau karena oleh perasaan kecewa atau tersinggung oleh kegagalan usaha bagi kepentingan sendiri. Bukan maksudku menuduh, tetapi aku minta kalian sempat merenunginya.”

Keempat Pangeran itu seolah-olah tidak mau mendengarkannya lagi. Dalam pada itu Pangeran Indrasunu berkata, “Kita memang mempunyai sikap yang lain. Baiklah. Kita akan menempuh jalan kita masing-masing.”

Demikianlah keempat Pangeran yang masih muda itu meninggalkan Pakuwon Kabanaran. Mereka masih melihat para pengawal yang sedang berlatih. Bagaimanapun juga, mereka harus mengakui, bahwa Pakuwon itu adalah sebuah Pakuwon yang kuat. Jika benar apa yang dikatakan oleh Akuwu Suwelatama, yang membayangkan kemungkinan mereka akan bertemu pada sisi yang berlawanan dari tempat mereka masing-masing berpijak, maka adalah sangat berat untuk berhadapan dengan Akuwu Suwelatama.

Namun dalam pada itu, Pangeran Indrasunu berkata, “Apapun yang akan kita hadapi, kita tidak akan melangkah surut. Aku mempunyai alasan yang kuat untuk bertindak. Namun karena keingkaran kakangmas Suwelatama maka kita harus membuat perhitungan baru. Bukan untuk menggagalkan rencana ini. Tetapi justru sebaliknya, agar rencana kita dapat berhasil dengan baik.”

“Bagus,” sahut Pangeran yang bertubuh kecil, “pada suatu saat kita justru akan mulai dari Pakuwon Kabanaran ini sendiri. Kakangmas Suwelatama harus tahu, dan kemudian menyesal bahwa ia sudah ingkar janji. Jika Pakuwon ini kemudian tidak aman lagi, maka Akuwu Suwelatama tentu akan dinilai lagi kebijaksanaanya. Baik oleh Kediri maupun oeh Singasari.”

“Ya,” jawab Pangeran Indrasunu, “kita akan mulai dari dua pijakan. Yang pertama kita akan memaksa kakangmas Suwelatama untuk menyadari kesalahannya, dan kedua, kita akan mulai dari Singasari. Khususnya sebuah padukuhan di luar Kota Raja yang dihuni orang oleh seseorang bernama Mahendra.”

Pangeran-pangeran itu mengangguk. Sementara Pangeran Indrasunu pun berkata, “Sementara itu, kita akan menyebarkan penjelasan sikap dan pendirian kita kepada rakyat Kediri dan Singasari, bahwa tujuan kita adalah untuk kepentingan mereka semua.”

“Ya. Jika mereka dapat mengerti maka mereka tentu akan membantu kita.” jawab Pangeran yang lain.

Namun tiba-tiba Pangeran yang seorang lagi bertanya, “Tetapi apa yang akan kita katakan kepada mereka agar mereka mengerti bahwa kita telah berbuat untuk mereka? Apakah yang akan terasa langsung oleh orang-orang Kediri, sehingga hal itu akan mendorong mereka untuk membantu kita?”

Pangeran yang lain pun terdiam. Mereka menjadi termangu-mangu. Pertanyaan itu membuat mereka merenung sejenak. Apa yang mereka lakukan itu? Dan apakah yang dapat sebut menguntungkan bagi Kediri itu? Namun akhirnya Pangeran Indrasunu lah yang mencoba memecahkan teka-teki itu. Katanya, “Kita dapat mempergunakan alasan yang paling baik untuk mengajak mulai berpikir. Terutama orang-orang Kediri.”

“Bagaimana?” bertanya saudara-saudaranya.

“Apapun tujuan akhir yang ingin kita capai, maka untuk membangunkan orang-orang Kediri kita dapat mengajak mereka untuk mengenang kembali masa kejayaan yang pernah dimilikinya. Jika kita dapat membawa mereka kepada satu kenangan bagaimana Ken Arok merampas tanah air ini, maka kita sudah mulai melihat hasil dari usaha ini.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Aku mengerti,” salah seorang dari keempat Pangeran itu menyahut, “kita dapat mempengaruhi satu dua orang pemimpin pasukan pengawal di samping kekuatan dari padepokan yang sudah pasti akan menjadi alas perjuangan ini. Guru-guru kami sudah sepakat, kecuali Wasi Sambuja yang keadaanya belum memungkinkan.”

Dengan demikian maka keempat Pangeran itu pun telah kembali membulatkan tekad mereka untuk berbuat sesuatu. Mereka menganggap bahwa sikap orang-orang Singasari yang banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup dari keturunan orang-orang kebanyakan telah menggoyahkan peradaban mereka.

Karena itulah, maka ketika mereka kemudian berada di Kediri, maka mereka tidak menunda waktu lagi. Dengan dukungan dari guru-guru mereka, maka mereka telah mempersiapkan kekuatan di padepokan-padepokan. Padepokan yang pada umumnya telah dibiayai oleh Pangeran-pangeran itu karena mereka berguru pada padepokan itu.

Namun padepokan Pangeran yang bertubuh kecil itu agak berbeda. Pemimpin padepokan itu adalah seorang bangsawan pula meskipun bukan tataran pertama. Pemimpin padepokan itu adalah bekas seorang Senopati yang mengasingkan diri. Sebenarnyalah sudah ada bibit di dalam hatinya, bahwa ia tidak dapat menerima kenyataan yang berkepanjangan, bahwa Kediri harus tunduk kepada Singasari. Karena itu, ketika muridnya menyampaikan hal itu kepadanya, maka dengan serta merta ia telah menerimanya sebagai satu sikap yang terpuji.

“Aku akan berbuat apa saja, agar rencana Pangeran itu akan berhasil. Tetapi sudah barang tentu bahwa kita tidak boleh mengharap hasil yang sebaik-baiknya dalam waktu dekat. Besok atau lusa, atau sepekan atau sebulan lagi.” berkata gurunya.

“Maksud guru?” bertanya Pangeran yang bertubuh kecil itu.

“Kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita tidak boleh tergesa-gesa dan salah hitung. Kesalahan yang kita lakukan pada saat-saat persiapan akan menghancurkan usaha itu di tengah perjalanan.”

Pangeran bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Tetapi akhirnya mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa gurunya tidak akan berbuat seperti Pangeran Suwelatama. Yang mula-mula seolah-olah ia sudah menentukan sikap. Tetapi yang ternyata kemudian menjadi goyah, bahkan ingkar sama sekali.

Demikianlah, maka persiapan-persiapan pun dilakukan dengan diam-diam. Pangeran Indrasunu sudah mengatakan, bahwa mereka akan melakukan gerakan mereka, tidak langsung menusuk ke jantung. Tetapi sebagaimana mereka makan makanan yang panas, mereka akan memulainya dari pinggir. Semakin lama semakin ke tengah. Sehingga akhirnya, pusat pemerintahan pun akan ditelannya.

Di tiga padepokan persiapan-persiapan itu sudah mulai nampak dilakukan. Dengan biaya dari para Pangeran itu, maka mereka dapat menghimpun anak-anak muda yang bersedia menjadi cantrik yang mempunyai kedudukan agak lain dengan cantrik kebanyakan. Bersama para cantrik, Putut dan Jejanggan mereka menempa diri. Mereka mendapat latihan kanuragan. Baik secara pribadi maupun dalam kelompok-kelompok pasukan yang lebih besar. Karena hal itu dilakukan di tempat-tempat yang agak terpencil, maka hal itu tidak segera diketahui oleh para pengawal di Kediri.

Sementara itu, di Singasari, sepeninggal Pangeran Indrasunu, maka Mahisa Bungalan pun merasa, bahwa sudah saatnya baginya untuk mulai dengan satu kehidupan baru. Ia sudah merasa mapan untuk mulai dengan tugas-tugas keprajuritan yang sebenarnya.

Pada saat-saat sebelumnya, meskipun ia belum dengan resmi memasuki tugas-tugas keprajuritan, namun ia sudah menjadi keluarga dari kesatuan prajurit Singasari, sehingga karena itu, maka kehadirannya di lingkungan keprajuritan sama sekali bukannya menjadi masalah baru.

Namun dengan demikian, maka Mahisa Bungalan telah mengikat diri dalam tugas-tugas tertentu. Ia tidak dapat berbuat menuruti keinginannya saja. Jika ia ingin melakukan sesuatu, maka ia harus mendasarkannya kepada perintah Senopatinya.

Sementara itu, maka Ken Padmi masih tetap berada di rumah Mahendra. Ia sudah terbiasa hidup bersama kedua adik Mahisa Bungalan yang nakal, tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang baik.

Namun dalam pada itu, Mahendra sama sekali tidak mengetahui, bahwa apa yang terjadi di istana Pangeran Wirapaksi itu masih akan membawa akibat yang panjang. Bahwa Pangeran Indrasunu telah menjadikan padukuhannya menjadi salah satu sasaran pertama dari gerakannya, meskipun padukuhannya itu tidak ada hubungannya dengan usaha Pangeran Indrasunu untuk membangunkan orang-orang Kediri dari kealpaannya.

Karena itu, maka Mahendra merasa, kewajibannya telah menjadi berkurang justru setelah Mahisa Bungalan menempatkan dirinya di dalam lingkungan keprajuritan. Sebagai orang tua maka Mahendra pun telah mengayam angan-angan tentang suatu saat, anaknya hidup dalam lingkungan sebuah keluarga kecil.

Sebenarnyalah keempat Pangeran itu memang harus bersabar. Mereka harus memberikan waktu kepada para pemimpin padepokan, guru-guru mereka untuk mempersiapkan tenaga terlatih. Bahkan dengan diam-diam para Pangeran itu telah mengirimkan para pengawal mereka yang terpilih untuk menerima latihan khusus dalam olah kanuragan, terutama dalam kemampuan mereka secara pribadi.

Dalam pada itu, guru dari Pangeran yang bertubuh kecil, yang menyebut dirinya Resi Damar Pamali, telah benar-benar menyusun kekuatan. Adalah di luar dugaan, bahwa ia mampu menghimpun tenaga yang tidak kalah kemampuannya dengan para pengawal di Pakuwon Kabanaran. Sementara kedua orang guru Pangeran yang lain, kekuatan Resi Damar Pamali rasa-rasanya mampu untuk mengimbangi kekuatan Akuwu Suwelatama.

Sementara itu, Pangeran Suwelatama ternyata menjadi lengah. Pangeran itu menganggap bahwa para Pangeran yang telah datang kepadanya itu pun sempat merenungi diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak lagi mempunyai angan-angan yang menyesatkan.

Untuk beberapa hari, bahkan beberapa bulan Pangeran Suwelatama masih tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan, jika para Pangeran yang kecewa itu datang untuk mencoba menghukumnya. Namun setelah bulan pertama lewat, menjelang bulan kedua tanpa ada kabar beritanya, maka Pangeran Suwelatama justru telah bersukur, karena menurut dugaannya, saudara-saudaranya itu telah menyadari kekeliruanya.

Tetapi hal itu memang termasuk diperhitungkan sebaik-baiknya oleh Resi Damar Pamali. Bahkan Resi Damar Pamali sempat mengirimkan petugas sandinya untuk melihat keadaan Pakuwon Kabanaran. Namun menurut keterangan yang diperolehnya, Akuwu Suwelatama justru telah mengendorkan kesiagaannya setelah ia menganggap bahwa Pangeran-pangeran itu telah dengan diam-diam membatalkan niatnya.

“Angger Pangeran,” berkata Resi Damar Pamali kepada muridnya, “nampaknya waktu yang kita tunggu itu hampir tiba. Tetapi kita masih harus tetap bersabar. Kita tidak mau gagal. Sekali pukul, Pakuwon itu harus dapat kita hancurkan.”

“Ya, guru,” jawab Pangeran bertubuh kecil itu, “aku memang merasa sakit hati atas sikap kakangmas Akuwu Suwelatama. Ia menganggap aku dan ketiga saudara-saudaraku sebagai kanak-kanak yang masih belum nalar. Karena itulah agaknya ia menjadi lengah pula dan menganggap kami tidak akan berbuat apa-apa, sebagaimana tingkah laku kanak-kanak, yang merajuk dan patah.”

Gurunya tertawa. Katanya, “Kita harus mulai mempersiapkan pasukan. Kita akan mengumpulkan semua kekuatan yang telah tersedia di padepokan ini.”

Demikianlah, pada saat-saat yang memungkinkan, ketika Akuwu Suwelatama telah hampir melupakan keempat orang Pangeran itu, maka mulailah mereka justru menghimpun kekuatan. Kekuatan dari tiga padepokan yang besar yang dibiayai oleh para Pangeran serta para pengawal, telah berkumpul di padepokan Resi Damar Pamali. Ternyata kekuatan Resi Damar Pamali itu benar-benar di luar dugaan para Pangeran itu sendiri.

“Kita mempunyai perhitungan yang cermat,” berkata Resi Damar Pamali, “sudah saatnya kita pergi ke Pakuwon Kabanaran. Pakuwon itu akan kita pecah berkeping-keping. Kita akan mendudukinya dan menghimpun kekuatan diatasnya. Dengan demikian maka kekuatan kita akan diperhitungkan oleh siapapun juga, termasuk Kediri dan Singasari. Sementara itu, kita harus dapat mengambil hati rakyat di Kabanaran dan kemudian harus meluas ke daerah yang lain. Bahkan kota raja Kediri dan Singasari. Jika keadaan sudah masak, kita akan dengan mudah memasuki daerah yang orang-orangnya telah mengerti apa yang kita inginkan.”

Keempat Pangeran itu telah bersepakat untuk membangun satu perjuangan itu, merasa bahwa mereka benar-benar telah siap. Sehingga akhirnya, hari-hari yang mereka yang tunggu-tunggu itu pun datang pula atas persetujuan Resi Damar Pamali. Dengan didukung oleh Resi Damar Pamali sendiri, dua orang pemimpin padepokan yang berpengaruh, para cantrik dan para pengawal pun telah mempersiapkan diri memasuki Pakuwon Kabanaran.

Sementara Pakuwon itu sendiri sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, setelah Pakuwon itu memperingati hari-hari yang mereka banggakan, maka kesiagaan mereka pun mengendor. Apalagi setelah waktu berjalan terus tanpa ada kesan apapun juga tentang sikap keempat Pangeran itu.

Pada saat yang ditentukan, Pakuwon Kabanaran benar-benar telah dikejutkan oleh serangan yang tiba-tiba memasuki daerahnya. Para pengawal yang tidak siaga sepenuhnya terdesak dengan cepat. Sementara isyarat telah mengumandang merambat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain mendahului kemajuan pasukan Resi Damar Pamali.

Isyarat yang sampai ke telinga para pengawal di pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran telah terkejut. Dengan apa adanya para pengawal segera mempersiapkan diri. Mereka segera memasang gelar menghadapi penyerang yang merambat mendekati kota. Sebenarnyalah pasukan itu seolah-olah tidak terhambat sama sekali. Pasukan pengawal Pakuwon Kabanaran terdesak dengan cepat. Bahkan dua orang penghubung telah mendahului pasukan pengawal yang berada di luar kota untuk menyampaikan laporan tentang kekuatan pasukan yang menyerbu Pakuwon itu.

“Kekuatan yang sangat besar.” berkata penghubung itu.

Berita itu memang sangat mengejutkan. Dari penghubung itu Akuwu Suwelatama mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri yang mendendamnya, karena ia tidak mau dengan langsung melibatkan diri pada usaha mereka untuk menumbuhkan perubahan di Kediri dan Singasari. Tetapi bahwa kekuatan yang datang itu tidak terduga besarnya, memang sangat mengherankannya.

Tetapi penghubung yang datang kepadanya itu dapat menjelaskannya, bahwa sebagian dari mereka adalah pengawal dari para pangeran itu yang nampaknya memang sudah dipersiapkan, dengan kekuatan dari beberapa padepokan.

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Pasukan kita memang tersebar karena kita tidak menduga hal ini akan terjadi.”

“Isyarat ini akan memanggil mereka.” desis seorang Senopati.

“Tetapi memerlukan waktu yang barangkali tidak akan dapat mengimbangi kecepatan laju pasukan empat Pangeran itu.” desis Pangeran Suwelatama.

“Kita akan berusaha, Sang Akuwu.” jawab Senopati itu, “Kita akan mempertahankan Pakuwon ini sampai batas kemampuan terakhir.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah ia mulai memperhitungkan keadaan dengan cermat. Belum lagi Akuwu Suwelatama mengambil keputusan, maka telah datang penghubung berikutnya. Dengan cemas salah seorang dari mereka berkata,

“Kekuatan mereka tidak dapat diimbangi. Kami telah melihat pasukan yang memasang gelar di luar gerbang kota. Tetapi kekuatan itu tidak akan seimbang. Yang datang bagaikan banjir bandang, sementara bendungan yang kita pasang tidak lebih dari seonggok dedaunan.”

“Bagaimana pertimbanganmu?” bertanya Pangeran Suwelatama.

“Pasukan kita akan digulung tanpa arti.” jawab penghubung itu.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Sementara ia tidak akan dapat menunggu para pengawal yang tersebar. Yang bahkan sebagian dari mereka, sebagaimana biasanya, secara bergilir diperkenankan kembali ke rumah masing-masing.

Namun dalam pada itu, isyarat yang terdengar di seluruh kota itu telah memanggil beberapa orang pengawal yang sedang tidak bertugas. Dengan bergegas mereka kembali ke pasukan masing-masing. Namun yang jumlahnya memang kurang memadai. Sedangkan pasukan yang tersebar di tempat-tempat yang jauh menghadapi kemungkinan-kemungkinan meluasnya lagi beberapa kelompok perampok, sulit untuk ditunggu kehadirannya dalam waktu dekat. Karena itu, setelah berbicara dengan beberapa orang Senopati, akhirnya Akuwu Suwelatama telah mengambil satu sikap yang sangat hati-hati.

“Kita tidak mengambil cara yang kasar untuk langsung berhadapan,” berkata Pangeran Suwelatama, “kita harus dapat memperhitungkan keadaan dengan cermat. Jika kita berkeras pada harga diri, maka kita akan tenggelam. Tetapi jika kita memperhitungkan keadaan dengan bijaksana, kita akan tetap menguasai keadaan, meskipun harus melalui jalan yang berliku.”

“Maksud Akuwu?” bertanya penghubung yang menunggu hasil pembicaraan dan keputusan Akuwu dengan hampir tidak sabar.

“Kita akan menarik pasukan kita mundur.” berkata Akuwu Suwelatama, “Kita akan menyusun kekuatan dengan menghubungi pasukan kita yang tersebar. Pada suatu saat, kita akan kembali lagi dengan kekuatan kita seutuhnya.”

Kebijaksanaan itu memang dapat dimengerti. Sudah tentu Akuwu Suwelatama tidak akan dapat memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh diri di medan tanpa perhitungan, hanya semata-mata karena harga diri. Karena itu, maka perintah yang jatuh, para penghubung itu agar segera menyampaikan keputusan Akuwu Suwelatama. Semua pasukan ditarik dan berkumpul di tempat yang sudah ditentukan oleh Akuwu Suwelatama.

Sementara itu, Akuwu pun telah memerintahkan beberapa penghubung yang lain untuk menyampaikan perintah penarikan pasukan yang tersebar, justru pada saat para perampok yang datang dari luar daerah mulai menjamah Pakuwon yang tenang itu.

Ternyata kebanggaan mereka yang belum lama mereka kenang, sepuluh tahun yang lalu, sejak berdirinya Pakuwon itu, telah terjadi malapetaka. Sehingga karena itu, maka orang-orang terpenting di kota Kabanaran harus menyingkir bersama pasukan pengawal khusus.

Demikianlah, maka pasukan yang telah memasang gelar di hadapan regol kota telah mendapat perintah untuk menarik diri. Demikian juga para pengawal yang sedang bertempur di medan untuk menghambat kemajuan pasukan lawan.

Ada beberapa orang Senopati yang kecewa mendengar perintah itu. Namun akhirnya mereka pun menyadari, bahwa mereka tidak boleh kehilangan pertimbangan dan perhitungan. Apalagi setelah mereka mendapat gambaran kekuatan pasukan lawan yang menyerang.

Demikianlah kota itu telah dikosongkan. Ketika pasukan keempat Pangeran itu mendekati kota, maka segera mereka mengetahui bahwa para pengawal tidak menghambat kemajuan mereka. Karena itu, maka dengan mudah mereka memasuki pintu gerbang kota yang terbuka tanpa seorang pengawalpun.

Dengan demikian, maka dengan mudah kota Pakuwon Kabanaran telah mereka kuasai dalam waktu yang termasuk singkat. Perlawanan hanya mereka jumpai sedikit di perbatasan. Kemudian mereka telah mendapatkan kesempatan yang luas untuk maju tanpa hambatan sama sekali.

Tanpa banyak kesulitan maka pasukan Resi Damar Pamali bersama keempat Pangeran itu telah menduduki Pakuwon Kabanaran yang kuat, tetapi tidak bersiaga. Sementara itu, kedua orang guru Pangeran yang lain pun telah berada di antara mereka pula. Hanya Pangeran Indrasunu sajalah yang tidak didampingi oleh gurunya, justru karena gurunya mengetahui kelemahan dari alas perjuangan Pangeran Indrasunu itu.

Namun bagi Pangeran Indrasunu, Resi Damar Pamali, guru dari Pangeran Bujakerta yang bertubuh kecil itu telah dapat dianggap sebagai ganti gurunya. Justru Resi Damar Pamali itu mempunyai sikap dan pandangan yang sama dengan dirinya sendiri dan ketiga saudaranya.

Kedatangan pasukan yang tiba-tiba itu telah mencemaskan hati orang-orang Kabanaran yang tidak sempat menyingkir. Mereka seakan-akan berdiri di atas bara yang menyala. Mereka yang telah menduduki kota itu tentu dapat berbuat sewenang-wenang atas mereka.

Tetapi dugaan mereka salah. Pangeran Indrasunu dengan persetujuan Resi Damat Pamali telah memerintahkan setiap orang dalam pasukannya untuk berbuat sebaik-baiknya terhadap orang-orang Pakuwon Kabanaran. Mereka harus mengambil hati agar orang-orang Kabanaran yakin bahwa Pangeran Indrasunu tengah berjuang bagi kepentingan mereka.

“Kabar tentang sikap orang-orang kita akan segera memencar ke segenap sudut Pakuwon ini,” berkata Resi Damar Pamali, “hanya kepada para pengawal Pakuwon ini yang tidak mau menyerah kita akan berbuat kasar.”

Demikianlah sejak hari pertama mereka berada di Pakuwon Kabanaran, Pangeran Indrasunu dan Resi Pamali telah mulai dengan rencana mereka untuk menyusun pemerintahan. Bahkan mereka sudah merencanakan untuk menghimpun anak-anak muda yang tersisa untuk memasuki satu lingkungan pasukan pengawal yang baru dengan janji yang dapat mempengaruhi hati mereka.

“Kita adalah anak-anak muda yang bercita-cita,” berkata Pangeran Indrasunu, “meskipun kakangmas Suwelatama masih juga terhitung muda, tetapi ia telah melupakan alas tempat ia berpijak. Ia sudah tenggelam dalam kedudukannya yang dapat memberikan apa saja yang diingininya.”

Sementara itu, Pangeran Suwelatama yang terdesak dari Pakuwon Kabanaran telah menyusun kekuatan agak jauh dari kota. Akuwu Suwelatama telah memilih tempat untuk sementara di sebuah hutan kecil yang dipagari oleh pebukitan. Sambil menyusun kekuatan yang ada, Akuwu Suwelatama juga menunggu pasukannya yang tersebar, yang telah diperintahkan untuk berkumpul di tempat yang sudah ditentukannya. Tetapi ketika dua orang penghubung kembali menghadap Akuwu Suwelatama, justru telah timbul satu masalah baru yang menambah rumit persoalan yang dihadapinya.

Dengan jantung yang berdebar-debar Akuwu mendengarkan penghubung itu memberikan laporan, “Akuwu, Panglima pasukan pengawal yang berada di hutan perbatasan menunggu perintah. Sebenarnyalah Panglima telah melihat satu gerakan yang kuat dari sekelompok penjahat yang dipimpin oleh Ki Jalatang. Rakyat di belakang hutan sudah menjadi sangat cemas. Jika Ki Jalatang itu memasuki tlatah Pakuwon Kabanaran, maka rakyat di sekitar hutan perbatasan itu akan menjadi sasaran kejahatan yang tidak akan terlawan. Sementara Panglima menyiapkan jebakan dan mudah-mudahan akan berhasil, maka datang perintah Akuwu untuk menarik pasukan itu karena keadaan yang gawat di Pakuwon ini.”

“Bagaimana dengan pasukan di padang Padiangan?” bertanya Akuwu.

“Pasukan di padang Padiangan akan segera menghadap Akuwu. Tidak ada persoalan yang gawat di daerah itu.” jawab penghubung itu. Lalu, “Tetapi pasukan di daerah rawa-rawa Kedung Sertu nampaknya terikat juga oleh satu keadaan yang mirip dengan para pengawal di hutan perbatasan. Agaknya gerombolan yang bergerak di luar perbatasan menghadap ke hutan dan rawa-rawa Kedung Sertu itu mempunyai alas kekuatan yang sama.”

Akuwu Suwelatama menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Namun ia merasa sangat berat untuk menjatuhkan perintah menarik pasukan yang sedang menghadapi kekuatan dari sekelompok penjahat yang akan merusak ketenangan hidup rakyat kecil di perbatasan.

Karena itu, maka perintah Akuwu kemudian kepada para penghubung, “Perintahkan kepada pasukan yang berada di Padiangan untuk secepatnya datang. Kemudian pasukan di hutan perbatasan dan daerah rawa-rawa di Kedung Sertu untuk tetap tinggal. Tetapi sebaiknya mereka tidak menunggu. Mereka harus mengambil sikap lebih cepat. Baru setelah mereka mengatasi keadaan, mereka aku perintahkan untuk mencari hubungan dengan aku. Aku tidak dapat mengorbankan rakyat di perbatasan itu apapun alasannya.”

Penghubung itu pun kemudian meninggalkan Akuwu dengan pasukan yang ada padanya. Namun dengan demikian, maka Akuwu masih harus membuat perhitungan-perhitungan yang cermat untuk mengatasi keadaan. Tetapi menurut perhitungan Akuwu Suwelatama, pasukan yang ada di padang Padiangan itu tidak akan cukup kuat mengatasi kekuatan keempat Pangeran yang datang dibantu oleh guru-guru mereka dengan seluruh kekuatan di padepokan-padepokan. Apalagi Akuwu itu pun menyadari, bahwa pasukan yang datang itu memang sudah dipersiapkan cukup lama dengan biaya yang disediakan oleh para Pangeran yang kaya itu.

Karena itulah, maka Akuwu Suwelatama harus membuat perhitungan yang cermat menghadapi keadaan. Sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat segera mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu. Dalam keadaan yang sulit itu, maka Akuwu Suwelatama teringat kepada Wasi Sambuja. Barangkali ia dapat minta pertolongannya untuk memperingatkan sekali lagi, agar Pangeran Indrasunu tidak menjadi semakin jauh tersesat. Karena itu, maka Akuwu Suwelatama pun telah memerintahkan penghubungnya untuk pergi ke padepokan Wasi Sambuja.

“Katakan, bahwa aku sudah terdesak. Karena keadaan yang gawat, aku tidak dapat meninggalkan pasukanku.” pesan Akuwu Suwelatama, “Jika Wasi Sambuja bersedia, aku mohon ia datang ke tempat ini.”

Demikianlah penghubung itu pun segera melakukan perintah Akuwu. Dengan tergesa-gesa ia telah menempuh sebuah perjalanan menuju ke padepokan Wasi Sambuja. Berita tentang tingkah laku Pangeran Indrasunu telah membuat Wasi Sambuja berprihatin. Ia menyesali tingkah lakunya sendiri pada saat-saat ia masih mengasuh Pangeran yang muda itu. Ia terlalu memanjakannya dan memenuhi segala keinginannya, yang baik maupun yang kurang baik.

Ternyata bahwa kemanjaannya itu telah menumbuhkan persoalan yang gawat bagi satu lingkungan yang besar. Bukan sekedar pada beberapa pribadi tertentu saja. Gambaran yang diberikan oleh penghubung itu tentang keadaan Akuwu Suwelatama membuatnya menjadi semakin gelisah. Wasi Sambuja memuji kebijaksanaan Akuwu yang tidak mau memanggil pasukannya yang sedang berusaha melindungi rakyat kecil di perbatasan meskipun ia sendiri sangat membutuhkannya.

“Tetapi dengan demikian keadaan Akuwu itu sendiri menjadi gawat.” berkata Wasi Sambuja.

“Ya,” jawab penghubung itu, “pada suatu saat, keempat Pangeran itu dapat saja mendesaknya semakin jauh ke dalam hutan, atau mengepungnya dan menghancurkannya.”

“Tetapi bukankah perintah Akuwu kepada pasukannya, apabila tugas mereka telah selesai, mereka harus datang menghadap?” bertanya Wasi Sambuja.

“Tugas itu masih panjang. Para penjahat itu berpangkal di luar daerah Pakuwon Kabanaran sehingga sulit bagi pasukan kami untuk langsung menusuk ke dalam sarang mereka.” jawab penghubung itu. Lalu, “Sementara itu, kedudukan keempat Pangeran itu akan menjadi semakin kuat. Dengan janji palsu dan hadiah-hadiah yang berharga, mereka akan dapat menghimpun kekuatan di Pakuwon Kabanaran sendiri, sementara mereka dapat mulai dengan hubungan-hubungan baru dengan tetangga di sekitar Pakuwon kami.”

“Tentu hubungan itu tidak akan dapat berlangsung,” sahut Wasi Sambuja, “kedudukan keempat Pangeran itu masih belum diakui.”

“Tetapi jika itu merupakan satu kenyataan, bahwa yang berkuasa adalah mereka, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain dari Kediri dan Singasari.” sahut penghubung itu.

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud penghubung itu. Namun baginya sulit dapat membayangkan cara yang paling yang dapat ditempuh oleh Akuwu Suwelatama. Ia sendiri tidak yakin, apakah pengaruhnya masih cukup kuat untuk mempersilahkan Pangeran Indrasunu mengurungkan niatnya yang sudah dimulainya itu.

Karena itu, maka katanya kepada penghubung itu, “Baiklah. Aku akan menghadap Akuwu Suwelatama. Mungkin aku dapat mengatakan serba sedikit pertimbangan-pertimbangan yang akan dapat ditempuh.”

Demikianlah, maka bersama penghubung itu, Wasi Sambuja telah pergi menghadap Akuwu Suwelatama. Sebenarnyalah bahwa Resi Sambuja melihat seperti apa yang dikatakan oleh penghubung yang datang kepadanya, Dengan pasukan yang ada, Akuwu menyusun pertahanannya di sebuah hutan kecil. Namun menurut Akuwu Suwelatama, ia tidak akan mampu bertahan apabila pasukan keempat Pangeran itu mengejarnya lebih jauh.

“Tetapi agaknya mereka sedang menyusun landasan.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Tetapi apakah sementara itu pasukan Akuwu yang tersebar sudah dapat ditarik semuanya?” bertanya Wasi Sambuja.

“Aku khawatir bahwa mereka masih belum dapat menyelesaikan tugas mereka. Jika mereka harus aku tarik karena persoalan ini, maka rakyat kecil akan menjadi korban keganasan para penjahat yang sama sekali tidak mau membuat pertimbangan-pertimbangan apapun juga yang menyangkut persoalan yang lebih luas. Mereka tidak peduli apakah Pakuwon ini sedang mengalami kekalutan atau sama sekali tidak ada persoalan. Mereka justru merasa mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk melepaskan ketamakan dan kedengkian mereka. Mereka akan dapat berbuat sewenang-wenang.” jawab Akuwu Suwelatama. Kemudian, “Meskipun aku mengerti, bahwa mempertahankan Pakuwon ini merupakan satu kewajiban penting, namun apakah aku akan dapat mengorbankan rakyat di perbatasan itu?”

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kita dapat mempergunakan pasukan dari Kediri atau Singasari untuk mengusir mereka?”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum memikirkannya. Aku berharap bahwa aku akan dapat mengatasi persoalan ini sendiri. Jika aku menyampaikan persoalan ini kepada Kediri atau Singasari, maka keempat Pangeran itu akan menjadi buruan yang akan berakibat sangat buruk bagi mereka.”

“Tetapi dengan perbuatan mereka itu, maka mereka sudah menumbuhkan satu persoalan yang gawat. Pakuwon ini bukan barang mainan, Dan mereka sudah merebutnya dari tangan yang berhak. Apakah dengan demikian, masih akan ada pertimbangan-pertimbangan yang justru akan menyulitkan penyelesaiannya?”

Akuwu Suwelatama rasa-rasanya memang sedang berdiri di simpang jalan. Apa bila ia membiarkan tingkah laku keempat Pangeran itu, maka mereka tentu akan semakin jauh tersesat. Tetapi justru karena mereka telah bertindak, maka apabila ia melaporkannya kepada para pemimpin di Kediri dan Singasari, maka akibatnya akan sangat gawat bagi keempat Pangeran yang sebenarnya adalah saudara-saudaranya pula.

“Ki Wasi Sambuja,” berkata Akuwu Suwelatama, “apakah kau tidak ingin mencoba sekali lagi dengan cara yang baik. Kau dapat menemui adimas Indrasunu dan memberinya sedikit peringatan, bahwa permainan ini akan dapat membakar dirinya sendiri.”

“Aku sudah mencoba, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “tetapi ia sama sekali tidak mau mendengarkannya.”

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Sulit baginya untuk mengambil satu sikap. Jika ia menunggu, maka kekuasaan keempat Pangeran itu di daerah Pakuwonnya akan menjadi semakin mantap. Agaknya mereka dapat membujuk anak-anak muda yang kurang kuat sikap dan pribadinya dengan janji-janji dan harapan, sehingga anak-anak muda itu terpikat kepada sikap mereka.

Tetapi untuk melawan mereka dengan kekerasan, rasa-rasanya Akuwu Suwelatama masih belum cukup mempunyai kekuatan, sehingga benturan yang akan terjadi, akan sangat merugikannya dan merugikan Pakuwonnya.

Dalam keragu-raguan itu Pangeran Suwelatama mendengar Wasi Sambuja berkata, “Pangeran. Namun demikian, baiklah sekali lagi aku akan mencoba menemui Pangeran Indrasunu. Aku akan menyampaikan segala masalah yang Pangeran hadapi kepadanya, meskipun aku tidak akan justru mendorongnya untuk menyerang Pangeran dalam kedudukan Pangeran sekarang, karena aku mengatakan kelemahan Pangeran.”

“Terima kasih,” jawab Pangeran itu, “mudah-mudahan kau berhasil.”

Wasi Sambuja itu pun kemudian mohon diri untuk pergi ke pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran. Tetapi perjalanan itu tidak terlalu mudah seperti yang diduganya. Di sepanjang jalan ia menemui berbagai macam kesulitan. Para pengawal dari keempat Pangeran itu ternyata sangat berhati-hati. Mereka dengan keras memeriksa setiap orang yang mendekati kedudukan keempat Pangeran yang didukung oleh guru-guru mereka, kecuali guru Pangeran Indrasunu.

Namun akhirnya Wasi Sambuja itu berhasil juga menemui Pangeran Indrasunu. Ia diterima dengan penuh kecurigaan, sehingga Wasi Sambuja merasa bahwa ia selalu berada di dalam pengawasan yang sangat ketat.

“Orang itu dapat berbuat jahat terhadapku.” berkata Pangeran Indrasunu kepada pengawalnya.

“Jika demikian, apakah sebaiknya orang itu ditangkap saja?” bertanya pengawalnya.

Pangeran Indrasunu merenung sejenak. Namun akhirnya ia menggeleng lemah, “Aku masih mempunyai sedikit hormat kepadanya. Biarlah ia mengatakan maksudnya. Tetapi jika ia bermaksud buruk, aku akan memberikan isyarat kepadamu.”

Pengawal itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengawasi tamu Pangeran Indrasunu itu dengan sungguh-sungguh. Dalam pada itu, maka Pangeran Indrasunu telah menerima gurunya di serambi istana Akuwu Suwelatama yang sudah dikuasainya. Di tempat yang terbuka itu, memungkinkan beberapa orang pengawal mengawasinya dari kejauhan.

Setelah duduk sejenak, maka Wasi Sambuja itu pun kemudian mengatakan maksud kedatangannya. Ia berusaha memperingatkan Pangeran Indrasunu, bahwa permainannya itu akan dapat membahayakan dirinya.

“Jika Kediri dan Singasari mengambil sikap yang keras, maka Pangeran tidak akan mampu berbuat apapun juga.” berkata Wasi Sambuja.

“Guru,” berkata Indrasunu, “jika guru tidak mau ikut bersamaku, silahkan. Tetapi guru jangan mengangguku. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan melangkah surut. Tingkat pemikiran dan perencanaan sudah lewat. Kami tinggal melaksanakannya. Kami sudah menyusun kekuatan yang akan mampu mengimbangi kekuatan Kediri, dan kemudian kekuatan Singasari.”

“Pangeran bermimpi,” desis Wasi Sambuja, “kekuatan yang dapat Pangeran himpun sekarang ini sama sekali belum berarti apa-apa bagi Singasari.”

“Guru keliru. Guru belum melihat kekuatan kami yang sebenarnya. Selain itu, kami telah berhasil menyusun pasukan yang baru, yang terdiri dari mereka yang telah menyadari kebenaran perjuangan kami.”

“Pangeran,” berkata Wasi Sambuja kemudian, “jika aku masih boleh memperingatkan, sebaiknya Pangeran menarik diri. Sebentar lagi kekuatan Pangeran Suwelatama akan pulih, setelah ia selesai dengan tugas kemanusiaannya. Justru pada saat pasukannya sedang melakukan tugas kemanusiaan, Pangeran telah menyerang. Namun sampai hari ini Pangeran Suwelatama masih belum ingin melibatkan pasukan Kediri dan apalagi Singasari.”

“Omong kosong!” geram Pangeran Indrasunu, “Seandainya kakangmas Suwelatama mengadukan hal ini kepada Kediri dan Singasari, maka tidak akan ada seorang pun yang akan menanggapinya. Kediri akan melihat kenyataan bahwa rakyat Kabanaran lebih senang memilih pemerintahan yang kami pimpin daripada kakangmas Suwelatama, sehingga Kediri dan Singasari justru akan mengesahkan kedudukan kami.”

“Satu kesalahan yang besar.” desis Wasi Sambuja.

“Sudahlah. Guru jangan ikut campur.” geram Pangeran Indrasunu. “Namun sebagai seorang murid aku masih ingin bertanya sesuatu kepada guru. Di mana Pangeran Suwelatama sekarang ini bersembunyi?”

Wajah Wasi Sambuja menjadi tegang. Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu sudah tidak mau mendengar nasihatnya sama sekali. Pengaruhnya terhadap muridnya yang seorang itu telah pudar dan bahkan padam. Namun sudah barang tentu bahwa Wasi Sambuja tidak akan bersedia menjawab pertanyaan Pangeran Indrasunu, di mana Akuwu Suwelatama bersembunyi.

Karena itu, maka jawabnya, “Pangeran. Aku tidak tahu, di mana Pangeran Suwelatama untuk sementara menarik pasukannya. Tetapi yang aku ketahui dengan pasti, ia akan kembali bersama pasukannya untuk mengusir Pangeran.”

“Cukup, guru!” potong Pangeran Indrasunu, “Waktu aku berikan bagi guru sudah terlalu panjang.”

“Terima kasih, Pangeran,” jawab Wasi Sambuja, “aku mohon diri. Aku akan kembali ke padepokan untuk menenangkan hati dan berdoa agar Pangeran mendapat terang di hati, sehingga sempat menilai kembali apa yang sedang Pangeran lakukan sekarang.”

“Jangan membuang waktu dan tenaga yang tidak akan berarti apa-apa.” jawab Pangeran Indrasunu. “Doa guru tidak akan terkabul sama sekali.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin memberikan penjelasan lagi. Ia pun minta diri dan meninggalkan istana Akuwu.

Demikian Wasi Sambuja itu hilang di balik regol, maka Pangeran Indrasunu pun segera memanggil dua orang pengawal terpilihnya. Katanya, “ Kau melihat orang tua itu?”

“Ya, Pangeran.” jawab salah seorang dari kedua pengawal itu.

“Aku tahu, kalian berdua adalah orang pilih tanding. Apakah kalian berani mengimbangi kemampuan guruku itu?” bertanya Pangeran itu.

“Apakah Pangeran bermaksud agar aku mengejarnya dan menangkapnya?” bertanya pengawal itu pula.

“Tidak. Bukan menangkapnya. Bagaimanapun juga, ia adalah guruku.” desis Pangeran Indrasunu.

“Jadi?”

“Ikuti orang itu. Aku yakin ia akan pergi ketempat persembunyian Akuwu Suwelatama.” desis Pangeran Indrasunu, “Jika kalian telah menemukan persembunyian itu, laporkan kepadaku. Kita akan datang beramai-ramai. Nah, kau tahu apa yang aku maksud?”

“Mengerti, Pangeran.” jawab pengawal itu, “Mengikuti orang tua itu sampai ke tempat persembunyian Pangeran Suwelatama.”

“Tepat. Lakukan sekarang, mumpung orang itu belum terlalu jauh.”

“Kami dapat mengikuti jejak kaki kudanya, Pangeran. Kawanku ini adalah seorang ahli menilik jejak. Apalagi jejak seekor kuda yang baru saja lewat, sedangkan jejak seseorang pun dapat diikutinya.”

“Bagus, tetapi segeralah berangkat.” perintah Pangeran Indrasunu.

Kedua pengawal itu segera mengambil kudanya. Sejenak kemudian keduanya telah berderap mengikuti jejak kuda Wasi Sambuja. Sebenarnyalah pengawal itu memiliki ketajaman penglihatan atas jejak yang diikutinya. Ia dengan mudah dapat mengenal jejak yang baru. Sehingga dengan demikian maka kedua pengawal itu pun tahu dengan pasti, kemana Wasi Sambuja pergi.

Dalam pada itu, Wasi Sambuja memang ingin kembali ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Namun nalurinya memberinya peringatan, bahwa memang mungkin sekali Pangeran Indrasunu memerintahkan orang-orangnya untuk mengikutinya, karena itu maka Wasi Sambuja telah memilih jalan lain yang tidak langsung menuju ke tempat yang dituju. Seolah-olah ia mengikuti jalur jalan yang arahnya berbeda, meskipun pada suatu saat ia akan berbelok menuju ke tempat yang sebenarnya.

Karena itu maka kedua pengawal yang mengikuti jejaknya pun telah menuju ke tempat yang tidak semakin dekat dengan tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Namun dalam pada itu, ada juga keragu-raguan di hati kedua pengawal itu. Ketika mereka berbelok memasuki sebuah jalan sempit, salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Aku tidak dapat membayangkan, kemana orang tua itu akan pergi.”

“Mungkin Akuwu Suwelatama telah menyeberang perbatasan dan memasuki Pakuwon tetangga. Jalan ini menuju keperbatasan.” sahut yang lain.

Meskipun demikian, keduanya memasuki jalan itu pula. tetapi yang seorang berkata, “Aku tidak akan salah, jejak ini masih sangat jelas.”

“Aku pun dapat melihatnya,” jawab yang lain, “sebaiknya kita percepat sedikit. Mungkin kita akan dapat mengetahui dengan pasti, ke mana orang itu pergi.”

“Jika ia menyeberang perbatasan?” bertanya kawannya.

“Kita akan melihat suasana,” jawab yang lain, “jika perlu kita pun akan menyeberang. Bukankah menjadi rencana Pangeran Indrasunu, bahwa Pakuwon di sekitarnya pun harus tunduk kepadanya sebelum pada suatu saat, Kediri akan dikuasai?”

Keduanya pun kemudian mempercepat kuda mereka. Dengan demikian mereka berharap untuk dapat mengetahui lebih jelas, apa yang akan dilakukan oleh orang tua itu. Agaknya keduanya pun menjadi curiga, bahwa orang tua itu menyadari bahwa ia telah diikuti dan sedang berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang mengikutinya itu.

“Jika ia mencapai sebuah sungai dan menelusurinya, kita harus berhati-hati.” desis yang seorang.

Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kita harus berhati-hati?”

“Kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan arah. Di dalam air yang keruh, kita sulit untuk melihat jejaknya. Mungkin orang itu berbelok ke kiri. Tetapi mungkin menelusuri sungai itu ke arah kanan.” jawab Kawannya.

Sebenarnyalah bahwa akhirnya Wasi Sambuja itu pun mengetahui bahwa dua orang telah mengikutinya. Ketika ia berada di bulak panjang, maka ia sempat melihat dua orang yang muncul dari mulut lorong. Namun agaknya kedua orang itu tidak melihatnya karena ia sudah berada di padukuhan di seberang bulak. Justru karena getar perasaannya, ia menduga bahwa Pangeran Indrasunu tidak akan bertindak jujur.

“Ternyata dugaanku benar.” berkata Wasi Sambuja kepada diri sendiri. Ketika ia meyakinkan untuk kedua kalinya, ia menjadi yakin bahwa ia benar-benar telah diikuti.

Dalam pada itu, kedua orang yang mengikutinya itu pun berusaha untuk memperpendek jarak. Dengan mempertinggi kecepatannya, mereka berharap dapat mengikuti orang itu secara langsung, agar mereka tidak kehilangan. Ketika pada suatu saat kedua orang itu muncul dari sebuah padukuhan, keduanya menjadi bimbang. Mereka tidak melihat jejak kuda itu lagi. Yang nampak adalah bekas pedati yang lewat menyeret bambu yang ujung-ujungnya menyentuh tanah. Bahkan dedaunan yang agaknya berada di pedati itu pula.

“Kita lihat beberapa puluh langkah ke depan.” berkata yang seorang. Tetapi bekas pedati itu masih tetap menghapus jejak.

“Gila,” geram orang itu, “apakah orang itu memang sengaja berbuat demikian?”

“Jika benar demikian, maka pedati itu tentu tidak jauh di depan kita.” berkata kawannya.

Kedua orang itu pun berpacu semakin cepat. Mereka ingin menyusul pedati yang telah menghapus jejak itu. Jika pedati itu berada di belakang orang yang mereka ikuti, sementara jalan sebuah pedati tidak lebih cepat dari seekor siput yang merayap, maka pedati itu tentu tidak akan jauh lagi di hadapan mereka.

Demikianlah keduanya berpacu semakin cepat. Ketika keduanya muncul dari sebuah padukuhan kecil, sebenarnyalah mereka melihat sebuah pedati yang ditarik oleh sepasang lembu, berjalan lambat sekali di jalan yang berbatu-batu.

“Tidak ada seekor kuda di belakang pedati itu.” desis yang seorang.

“Aneh,” sahut yang lain, “jika demikian, di mana orang tua itu berhenti?”

“Tentu tidak terlalu jauh. Di jarak antara kita kehilangan jejak itu sampai pada pedati itu. Mungkin ia berbelok.” jawab kawannya.

Kedua orang itu pun kemudian memutar kuda mereka dan menelusuri jalan kembali untuk menemukan jejak yang hilang itu. Mereka mengamati setiap lorong simpangan. Dalam pada itu, tiba-tiba yang seorang hampir berteriak berkata, “Aku menemukannya. Ia berbelok lewat jalan kecil ini.”

“Kau mengenal jejaknya?” bertanya kawannya.

“Kau lihat jejak ini?”

Kawannya tersenyum. Katanya, “Kau memang seorang ahli meneliti jejak. Marilah, jangan biarkan orang itu lepas. Kita harus menemukan tempat persembunyian Akuwu Suwelatama.”

Keduanya pun segera berbelok pula mengikuti jalan setapak. Tetapi mereka tidak dapat berkuda bersama-sama. Yang seorang berada di depan, yang seorang berada di belakang.

“Agaknya kita tidak akan terlalu jauh lagi mengikutinya,” berkata yang di depan, “nampaknya kita akan sampai ke sebuah hutan perdu. Mungkin ada pedukuhan terpencil di sebelah hutan perdu itu, yang akan dapat menjadi tempat yang baik untuk berlindung.”

“Kau sudah mengenal daerah ini?” bertanya kawannya.

“Tentu. Meskipun belum begitu akrab. Tetapi naluriku mengatakan, bahwa kita akan sampai ke hutan perdu.” jawab yang lain.

“Kau belum mengenalnya dengan baik.” desis kawannya.

“Memang benar. Tetapi kita akan segera mengenalnya sebaik-baiknya.”

Keduanya pun kemudian berusaha mempercepat kuda mereka. Jalan menjadi semakin sulit. Namun jejak kuda orang yang diikutinya menjadi semakin jelas.

“Nah,” berkata yang di depan, “bukankah di depan kita itu sebuah hutan perdu?”

“Kau benar. Menurut dugaanmu, di belakang hutan perdu itu terdapat padukuhan terpencil, dan Pangeran Suwelatama serta sisa pasukannya berada di padukuhan itu?” bertanya yang di belakang.

“Ya.” jawabnya, “Karena itu kita harus berhati-hati. Jika perlu, kita harus meninggalkan kuda kita di hutan perdu itu. Jika kita sudah yakin, maka kita akan segera melapor. Kita tidak perlu mendekat benar, agar kita tidak diketahui oleh para pengawal Akuwu Suwelatama yang tentu meronda berkeliling di sekitar tempat persembunyiannya.”

Kawannya mengangguk-angguk. Setelah menempuh bulak pendek, maka tanah pun menjadi semakin gersang. Mereka tidak lagi melihat sawah yang terbentang. Agaknya tanah menjadi sukar digarap karena ketiadaan air. Sehingga yang terbentang di hadapan mereka adalah sebuah hutan perdu. Dengan hati-hati mereka kemudian memasuki hutan perdu yang di sana-sini ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Ada yang berduri tetapi ada yang sama sekali tidak berdaun, selain batang dan ranting-rantingnya yang mengering.

Keduanya masih tetap mengikuti jejak kuda orang tua yang menemui Pangeran Indrasunu di Istana Akuwu Suwelatama yang telah terdesak. Namun tiba-tiba keduanya terkejut. Mereka melihat seekor kuda yang tertambat pada sebatang pohon perdu.

“Gila,” desis yang berada di depan, “itu kuda yang kita ikuti. Di mana penunggangnya?”

Namun sebelum kawannya menjawab, terdengar suara justru di belakang mereka, “Aku di sini.”

Keduanya dengan serta merta telah berpaling. Mereka melihat orang yang mereka ikuti berada di sebelah semak-semak yang berdaun rimbun. “Gila!” geram kedua pengawal itu, “Kenapa kau berhenti?”

“Aku memang ingin menemui kalian berdua. He, apakah kepentinganmu, sehingga kau mengikuti aku sampai sedemikian jauh dari istana Akuwu?”

“Kami harus meyakinkan, bahwa kau tidak akan berbuat sesuatu yang dapat merusak tata kehidupan di Pakuwon ini.” jawab salah seorang dari kedua pengawal yang mengikutinya.

Wasi Sambuja yang dengan sengaja menjebak kedua orang yang mengikutinya itu menarik nafas dalam-dalam. Pengawal itu memang cerdik, mereka dapat mencari dalih, kenapa mereka mengikutinya. Namun demikian Wasi Sambuja itu berkata selanjutnya, “Aku kira bukan itu yang penting, yang harus kalian lakukan.”

“Apa maksudmu?” bertanya salah seorang pengawal itu.

“Bukankah kalian mendapat tugas mengikuti aku, sehingga dengan demikian kalian akan dapat mengetahui tempat persembunyian Akuwu Suwelatama?” bertanya Wasi Sambuja.

Pertanyaan ini membuat kedua pengawal itu menjadi bingung. Mereka tidak dapat segera menjawab. Bahkan untuk sesaat mereka saling berpandangan.

Dalam pada itu, maka Wasi Sambuja pun berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya ki sanak mengurungkan saja niat Ki Sanak. Katakan saja kepada Pangeran Indrasunu, bahwa kalian kehilangan jejak, sehingga kalian tidak dapat mengikuti aku sampai ke tempat yang kalian maksud.“

“Persetan!” geram salah seorang pengawal itu, “Kau harus mengatakan, di mana Akuwu Suwelatama itu bersembunyi. Maksud kami memang tidak ingin melakukan kekerasan. Tetapi karena kau telah membuat satu kesalahan yang besar, maka kau harus menebus kesalahanmu dengan perlakuan yang keras dan memaksa.”

“Jika aku tidak bersedia?” bertanya Wasi Sambuja.

“Kau akan menyesal. Kau akan mengalami satu perlakuan yang barang kali tidak akan pernah kau bayangkan.” jawab pengawal itu.

“Ki Sanak,” berkata Wasi Sambuja kemudian, “aku memang sudah menduga, bahwa Pangeran Indrasunu akan memerintahkan orang-orangnya untuk mengikuti aku. Pangeran itu sudah menanyakan kepadaku, di mana tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Karena itu, aku sengaja mengambil jalan yang lain, yang dapat menyesatkan arah yang seharusnya kalian tempuh.”

“Gila!” geram pengawal itu, “Kau sudah tua. Seharusnya kau sudah tidak perlu lagi melakukan tindakan yang dapat mencelakaimu. Karena itu, sebelum terlambat, tunjukkan, di mana Akuwu itu bersembunyi.”

“Sebaiknya kalian kembali saja, Ki Sanak,” jawab Wasi Sambuja, “barangkali itu lebih baik daripada aku membawa kalian ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama. Jika para pengawal Akuwu itu mengetahui bahwa kalian adalah orang-orang Pangeran Indrasunu yang akan mencari tempat persembunyian itu, maka nasib kalian akan mereka tentukan.”

“Omong kosong,” geram pengawal itu, “kau harus menyebut di mana tempat persembunyian itu. Kemudian aku akan mengikatmu di sini. Jika kau berbohong; maka aku akan datang kembali untuk mengikatmu di belakang kaki kudaku dan menyeretmu di sepanjang hutan perdu ini, sampai kau mengatakan yang sebenarnya. Jika sekali lagi kau berbohong, maka kau akan kami hukum picis di depan istana Akuwu itu.”

“Jangan mengatakan yang mengerikan itu, Ki Sanak,” sahut Wasi Sambuja, “sebaiknya kalian pulang saja. Katakan bahwa kau kehilangan jejak.”

Para pengawal itu menjadi marah. Setelah mereka mengikat kuda mereka di pepohonan perdu, maka mereka pun melangkah mendekati orang tua itu. Seorang dari kedua pengawal itu berkata, “Jangan memaksa kami bertindak kasar, Ki Sanak. Kau sudah tua. Sebaiknya kau pelihara hari-hari tuamu sebaik-baiknya. Jika kau berterus terang, mungkin Akuwu akan memberimu hadiah yang akan dapat membuatmu gembira.”

“Aku sudah merasa gembira bahwa aku tidak menunjukkan tempat persembunyian Akuwu. Karena itu, jangan memaksa aku melakukan yang tidak aku sukai.” jawab Wasi Sambuja. Lalu, “Sekali lagi aku memperingatkanmu. Kembalilah, dan katakan kepada Pangeran Indrasunu, bahwa kalian telah kehilangan jejak.”

“Persetan!” kedua pengawal itu menjadi semakin marah. Yang seorang melangkah semakin dekat sambil berkata, “Jangan banyak bicara. Cepat, katakan di mana Akuwu itu bersembunyi. Baru kemudian kau akan kami ikat. Jika kau berkata sebenarnya, kau akan kami lepaskan kemudian. Tetapi jika kau berbohong, maka kau akan kami cincang hidup-hidup.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menjawab beberapa kali. Aku mohon kalian dapat mengerti.”

“Jadi kau memaksa kami bertindak kasar?” bertanya salah seorang pengawal itu.

“Bukan maksudku. Aku hanya ingin tetap merahasiakan tempat kedudukan Akuwu itu sekarang. Karena memberitahukannya berarti mengkhianatinya. Dan aku tidak mau berbuat demikian.” jawab Wasi Sambuja.

Para pengawal itu menjadi sangat marah. Agaknya orang tua itu benar-benar tidak dapat diajak berbicara. Ia berkeras untuk tidak mau menunjukkan, di mana Akuwu Suwelatama bersembunyi. Karena itu, maka seorang dari para pengawal itu berkata, “Nampaknya kau memang keras kepala. Aku akan memaksamu berbicara.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun menganggap bahwa orang-orang itu adalah orang-orang dungu yang tidak tahu diri.

Namun sebenarnyalah orang-orang itu tidak sadar dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu, maka salah seorang pengawal itu pun kemudian bergeser selangkah, sementara yang lain berkata, “Cepat katakan. Apakah kau memang ingin mengalami nasib yang sangat buruk?”

“Aku tidak ingin berkhianat. Itu sudah menjadi tekadku.” jawab Wasi Sambuja.

Seorang dari kedua pengawal itu tidak sabar lagi. Demikian Wasi Sambuja selesai berbicara, maka orang itu pun segera meloncat dengan tangan terayun menghantam kening.

Namun Wasi Sambuja tidak membiarkan keningnya disentuh oleh orang itu. Ia pun segera surut selangkah, sehingga dengan demikian maka tangan pengawal itu tidak menyentuhnya.

Kemarahan telah mendidih di dadanya. Dengan sigapnya ia meloncat memburu. Tangannya pun terjulur lurus mengarah ke dada. Namun sekali lagi pengawal itu tidak berhasil menyentuh tubuh orang tua itu. Tangannya terayun sejengkal dengan dada orang tua yang memiringkan tubuhnya.

“Gila!” kawannya mengumpat. Tiba-tiba saja ia tidak lagi menahan diri. Dengan kakinya ia meluncur dengan cepatnya menghantam lambung. Tetapi seperti serangan-serangan kawannya, maka kakinya sama sekali tidak mengenai sasarannya.

“Anak Setan,” geram pengawal itu, “jadi kau benar-benar keras kepala? Kau sangka bahwa apa yang kau lakukan itu dapat mendebarkan jantungku. Kami berdua belum berbuat sebenarnya, karena kami masih berharap kau tidak akan menyerahkan lehermu. Jika kau berkata di mana Akuwu, maka kau akan mendapat kebebasan untuk pergi. Tetapi sudah tentu setelah kami meyakinkan kebenaran kata-katamu itu.”

“Jangan kau ulangi. Tidak ada gunanya.” jawab Wasi Sambuja.

Kemarahan kedua pengawal itu sudah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Karena itu, maka keduanya pun segera bersiap. Mereka benar-benar akan membinasakan orang tua yang tidak tahu diri itu, karena mereka sudah tidak dapat mengharap orang itu berbicara. Atau mungkin dengan kekerasan, orang itu akan dapat dipaksa untuk membuka mulutnya menyebut tempat yang mereka cari.

Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera menyerang dengan serangan beruntun. Mereka masih dipengaruhi oleh anggapan bahwa orang tua itu akan segera dapat mereka kuasai. Namun sebenarnyalah bahwa anggapan mereka itu salah. Betapapun juga mereka berusaha menyentuhnya, tetapi ternyata bahwa keduanya tidak segera dapat berhasil.

“Anak iblis. Kau kira, kami telah bersungguh-sungguh?” pengawal yang seorang berteriak.

Wasi Sambuja sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia masih saja meloncat menghindari serangan-serangan yang semakin lama menjadi semakin cepat. Namun akhirnya Wasi Sambuja itu menjadi jemu. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran terus menerus. Karena itu, maka ia pun kemudian mulai membalas serangan-serangan itu dengan serangan pula.

Kedua pengawal itu terkejut, ketika justru serangan orang tua itulah yang telah mengenai dirinya. Pengawal-pengawal itu tidak sempat mengelak ketika tiba-tiba saja serangan orang tua itu menghantam dada mereka.

“Gila!” pengawal itu hampir berteriak. Serangan itu tidak begitu keras. Tetapi bahwa serangan itu telah mengenai dadanya, adalah sangat mengejutkannya.

“Jangan berteriak terlalu keras,” berkata Wasi Sambuja, “jika orang-orang di luar hutan perdu ini mendengar, mereka akan berdatangan. Kalian akan ditangkap sebagai penyamun.”

“Kaulah yang akan ditangkap. Orang-orang padukuhan tidak akan berani menangkap para pengawal Pangeran Indrasunu yang sekarang menguasai Pakuwon ini.” jawab pengawal itu.

“Mereka tidak mengenalmu. Mereka tidak akan tahu apa yang kalian katakan tentang Pakuwon ini.” berkata Wasi Sambuja.

“Persetan. Apapun juga, kau memang harus mati.” geram pengawal itu.

Dengan demikian, maka kedua pengawal itu menjadi semakin berhati-hati menghadapi lawannya. Mereka merasa bahwa mereka harus mempergunakan ilmunya menghadapi orang tua itu. Agaknya orang tua itu bukannya orang kebanyakan. Karena itulah, maka keduanya mulai berpencar. Keduanya menghadapi Wasi Sambuja dari arah yang berlawanan.

Namun nampaknya Wasi Sambuja masih nampak tenang. Ia tidak menjadi gelisah. Karena sebenarnyalah kedua orang pengawal itu tidak akan dapat berbuat banyak atasnya. Sejenak kemudian kedua orang pengawal itu mulai menyerangnya. Beruntun dari arah yang berlawanan. Keduanya telah mengerahkan segenap ilmu mereka masing-masing.

Tetapi sebenarnyalah yang mereka hadapi adalah orang tua yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka tangan orang tua itu semakin sering menyentuh mereka. Nampaknya hanya sentuhan-sentuhan yang tidak bermaksud menyakiti. Namun yang justru paling sakit adalah hati kedua pengawal itu. Seolah-olah orang tua itu telah dengan sengaja mempermainkan mereka berdua.

Karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain lagi bagi kedua orang pengawal itu. Karena Wasi Sambuja tidak dapat mereka paksa untuk berbicara, maka satu-satunya kemungkinan yang paling baik dapat mereka lakukan adalah membinasakannya dan melaporkan kepada Pangeran Indrasunu, bahwa orang tua itu telah melawan mereka.

Hampir berbareng kedua orang pengawal itu telah menggenggam pedang. Dengan senjata masing-masing maka keduanya siap untuk benar-benar membunuh orang tua itu. Sejenak kemudian, maka keduanya telah menyerang dengan ujung senjata. Keduanya sudah tidak mempunyai pertimbangan lain, sehingga karena itu, maka mereka pun telah menyerang dengan dahsyatnya.

Tetapi mereka tidak banyak mempunyai kesempatan. Meskipun mereka berdua, melawan seorang yang sudah kelihatan terlalu tua untuk berkelahi, namun keduanya masih tetap tidak berdaya. Orang tua yang kemudian mengurai seutas tali pada ikat pinggangnya, benar-benar telah membingungkan. Dengan tali yang digantungi dengan bandul kecil di ujungnya, orang tua itu melawan dua buah pedang di tangan dua orang pengawal yang garang.

Namun kedua pengawal itu sama sekali tidak berdaya. Ketika ujung tali itu menyentuh tubuh mereka, terasa betapa perasaan sakit sudah menghentak kulit dan tulang mereka.

“Anak iblis!” geram salah seorang pengawal itu.

“Sudahlah,” desis Wasi Sambuja, “kembalilah. Jangan ikuti aku lagi. Karena betapapun seseorang berusaha menahan diri, namun pada suatu saat, ia akan dapat kehilangan kesabaran. Demikian pula dengan aku. Jika aku sudah kehilangan kesabaran, maka kalian tidak akan dapat kembali kepada anak isteri kalian. Bukan saja kalian tidak dapat melaksanakan tugas kalian dengan baik, tetapi kalian akan mengorbankan nyawa kalian tanpa arti.”

Kedua pengawal itu mengeram. Tetapi, dalam pertempuran selanjutnya, semakin nyata, bahwa kedua pengawal itu tidak dapat berbuat banyak. Meskipun demikian, kemarahan mereka telah menutup kenyataan yang mereka hadapi itu. Rasa-rasanya keduanya masih saja belum melihat kenyataan, bahwa keduanya tidak akan dapat menghadapi orang tua itu, betapapun mereka mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya.

Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin terdesak. Tali lunak yang berada di tangan orang tua itu semakin sering menyentuh tubuh mereka. Sebuah bandul baja yang tidak terlalu besar yang terdapat di ujung tali itu setiap kali terasa menyengat bagaikan memecahkan tulang.

Namun kedua orang pengawal itu masih saja selalu mengumpat-umpat. Pedang mereka menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun satu kenyataan tidak akan dapat mereka ingkari, meskipun kemarahan mereka membakar jantung, namun pedang mereka sama sekali tidak dapat menyentuh orang tua itu. Justru bandul kecil di ujung tali orang tua itulah yang telah menyakiti mereka. Sentuhan bandul kecil itu semakin lama terasa semakin sakit di tubuh mereka.

Dengan demikian kedua orang pengawal itu telah menghantakkan sisa kekuatan mereka yang terakhir. Kelelahan mulai mencengkam tubuh mereka, sementara nafas mereka telah memburu di lubang hidung. Tetapi tidak segores pun ujung pedang mereka dapat melukai orang yang akan mereka bunuh itu.

Bahkan ketika bandul kecil itu semakin sering mengenai tubuh mereka, bahkan pundak dan lengan mereka, terasa tangan mereka menjadi seolah-olah semakin lemah. Perasaan sakit yang menyengat tidak lagi dapat mereka abaikan, sehingga akhirnya, kedua orang pengawal itu telah kehilangan sebagian besar dari tenaganya.

“Aku masih memberi kesempatan kepada kalian.” berkata Wasi Sambuja.

Kedua pengawal itu menggeram. Salah seorang dari mereka pun berteriak, “Aku bunuh kau, iblis.”

Namun kata-katanya bagaikan patah di kerongkongan. Bandul baja yang tidak begitu besar itu telah menyambar dadanya, sehingga terdengar orang itu mengeluh tertahan.

“Jangan terlalu sombong, anak-anak,” desis orang tua itu, “aku sudah menahan perasaan sejak aku mengetahui bahwa kalian mengikuti aku. Jika kalian keras kepala, aku pecahkan kepala kalian yang keras itu dengan bandul kecil ini.”

Bagaimanapun juga, peringatan orang tua itu tidak lagi dapat mereka abaikan. Ketika kelelahan telah semakin mencengkam, dan perasaan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Karena itu, maka semakin lama perlawanan mereka pun menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya, bandul kecil yang tidak terelakkan telah sekali lagi menghantam dada salah seorang dari kedua pengawal itu. Demikian kerasnya, sehingga rasa-rasanya nafasnya telah menjadi sesak. Dengan serta merta, orang itu meloncat surut. Sehingga dengan demikian kawannya pun telah meloncat pula menjauh.

“Apakah kalian merasa belum cukup yakin, bahwa aku akan dapat membunuh kalian jika aku menghendaki?” bertanya Wasi Sambuja.

Kedua pengawal itu menggeram. Tetapi mereka tidak segera menyerang. Bahkan keragu-raguan mulai nampak di wajah mereka.

“Aku memberi kesempatan terakhir,” berkata Wasi Sambuja, “kalian tinggalkan tempat ini, atau aku akan benar-benar membunuh kalian sebagaimana benar-benar akan kalian lakukan atasku. Jika kalian tetap berkeras untuk bertempur, maka aku akan kehilangan pertimbangan untuk memaafkan kalian.”

Kedua orang itu harus benar-benar mempergunakan nalar mereka. Mereka tidak dapat sekedar menuruti perasaan dan barangkali sekedar harga diri. Agaknya nyawa mereka lebih berharga dari sekedar harga diri saja. Karena itu, maka keduanya tidak segera dapat menjawab.

“Cepat. Ambil keputusan. Pergi dari tempat ini dan selanjutnya tidak mengikuti aku lagi, atau kalian akan mati di padang perdu ini.” geram orang itu.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Perasaan sakit di tubuh mereka telah mempertegas sikap mereka. Dengan isyarat salah seorang dari keduanya itu pun mengangguk kecil sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu pun telah melangkah surut.

“Jika kalian mengambil keputusan untuk menarik diri, lakukanlah. Salamku kepada Pangeran Indrasunu. Katakan kepadanya, bahwa langkah yang diambilnya adalah langkah yang salah sama sekali.” berkata orang tua itu.

Kedua orang itu pun melangkah semakin jauh. Mereka tidak lagi menghiraukan harga diri mereka. Agaknya keduanya masih belum ingin mati. Beberapa langkah kemudian, keduanya telah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu langsung menuju ke kuda mereka. Dengan tergesa-gesa pula mereka pun melepas kuda mereka dan segera keduanya berloncatan naik ke punggung kuda masing-masing.

“Barangkali satu penyelesaian yang paling baik,” berkata orang tua itu, “kembalilah ke Pangeranmu itu.”

Kedua orang pengawal itu pun segera menarik kekang kudanya. Ketika kaki mereka menyentuh perut kuda masing-masing, maka kuda itu pun segera berlari meninggalkan hutan perdu itu.

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak ingin membunuh kedua orang yang tidak banyak mengerti tentang tingkah laku Pangeran Indrasunu itu. Karena itu, maka keduanya pun telah diberinya kesempatan untuk kembali menghadap Pangeran Indrasunu.

“Jika keduanya dihukum karenanya, maka itu bukan salahku,” berkata Wasi Sambuja, “adalah hakku untuk mempertahankan agar aku tidak mati terlalu cepat.”

Demikianlah, ketika kedua pengawal itu sudah tidak nampak lagi, Wasi Sambuja pun segera mengambil kudanya. Ia pun segera melanjutkan perjalanannya, kembali ke tempat persembunyian Akuwu Suwelatama untuk melaporkan, hasil perjalanannya.

“Pangeran Indrasunu sudah tidak dapat diajak berbicara lagi, Pangeran.” berkata Wasi Sambuja, “Aku sudah berusaha dengan cara apapun juga. Tetapi hatinya sudah mengeras seperti batu. Ia merasa sangat kecewa atas kegagalannya mengambil seorang gadis cantik dari rumah seorang yang bernama Mahendra, kemudian gagal dalam sayembara tanding melawan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan. Sementara aku sendiri gagal memperbaiki kekalahan itu, karena aku harus berhadapan dengan seorang yang bernama Witantra, seorang yang pernah berada di Kediri sebagai seorang Senopati Agung yang mewakili kekuasaan Singasari di Kediri.”

Akuwu Suwelatama itu pun mengangguk-angguk. Ternyata bahwa yang dihadapinya bukannya masalah yang dapat dengan mudah dipecahkannya. Ia harus berpikir dengan sungguh-sungguh. Apakah yang harus dilakukannya menghadapi kekuatan Pangeran Indrasunu. Pangeran yang dicengkam oleh kekecewaan pribadi itu telah berhasil mengobarkan api di hati beberapa orang saudara dan para guru mereka, sehingga api benar-benar telah menyala, seolah-olah api itu akan dapat menjadi api pencuci kepincangan yang terdapat di Kediri dan Singasari.

“Wasi Sambuja,” berkata Pangeran Suwelatama, “nampaknya masalah yang aku hadapi memang tidak terlalu mudah. Aku tidak akan dapat menarik dengan segera pasukanku yang menghadapi kekuatan para perampok di perbatasan. Meskipun sudah aku perintahkan agar mereka mempercepat tugas mereka, dengan tidak menunggu lagi, tetapi mereka harus langsung memasuki sarang para penjahat itu, namun sewaktu-waktu aku akan dapat menghadapi kesulitan yang sungguh-sungguh jika Pangeran-pangeran muda itu menemukan tempat persembunyianku.”

“Memang tidak ada jalan lain, Pangeran,” berkata Wasi Sambuja, “agaknya pasukan Kediri atau Singasari memang diperlukan.”

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Bagaimana jika kau hubungi saja lawan Pangeran Indrasunu itu. Mungkin menghadapkan Pangeran Indrasunu dengan orang itu, akan mempunyai pengaruh yang dapat menyentuh hatinya.”

“Tetapi apa arti ia seorang diri?” berkata Wasi Sambuja.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, apa artinya ia seorang diri.”

“Kecuali jika ia dapat datang dengan sepasukan prajurit Singasari. Meskipun tidak dengan dalih resmi sebagaimana yang terjadi. Dengan demikian, maka pasukan kecil itu belum berarti memerangi sebuah pemberontakan. Mungkin Pangeran dapat minta bantuannya untuk memerangi kejahatan.” berkata Wasi Sambuja.

“Antarkan aku menjumpai salah seorang dari mereka,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku ingin menyelesaikan persoalan ini, tetapi tidak dengan semata-mata menjerumuskan adik-adikku itu ke dalam satu hukuman sebagai pengkhianat. Aku masih berusaha untuk menyelamatkan mereka, lahir dan batinnya. Namun aku juga tidak ingin menjadi korban dari kebodohan mereka itu.”

Wasi Sambuja sama sekali tidak berkeberatan untuk mengantarkan Akuwu Suwelatama ke Singasari. Namun yang akan ditemuinya pertama-tama adalah Pangeran Wirapaksi.

“Aku sependapat,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku akan berbicara dengan kakangmas Wirapaksi.”

Demikianlah, maka Akuwu Suwelatama telah pergi ke Singasari diantar oleh Wasi Sambuja untuk menemui Pangeran Wirapaksi. Sebagaimana telah terjadi, Pangeran Wirapaksi termasuk salah seorang yang memiliki kebijaksanaan, meskipun persoalannya menyangkut adik iparnya.

Kedatangan Pangeran Suwelatama di Singasari sangat mengejutkan Pangeran Wirapaksi. Karena itu, maka ia pun segera ingin mengetahui, apakah keperluan Akuwu Suwelatama yang datang bersama Wasi Sambuja.

“Kedatanganku ada hubungannya dengan adimas Pangeran Indrasunu.” berkata Pangeran Suwelatama.

Pangeran Wirapaksi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah adimas Pangeran Indrasunu mengatakan apa yang pernah terjadi di Singasari?”

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia telah melakukan satu kesalahan yang besar.”

Pangeran Wirapaksi termangu-mangu sejenak. Ia menyangka bahwa Pangeran Suwelatama datang bersama Wasi Sambuja untuk menyatakan keberatannya atas sikapnya terhadap Pangeran Indrasunu. Namun ternyata Pangeran Suwelatama itu telah menceriterakan apa yang telah terjadi, justru bertentangan dengan dugaan Pangeran Wirapaksi.

Pangeran Wirapaksi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Agaknya Pangeran Indrasunu telah terlalu jauh tersesat. Apakah adimas Suwelatama sudah melaporkan hal ini kepada para pemimpin di Kediri?”

Pangeran Suwelatama menggeleng. Jawabnya, “Aku masih berusaha melindungi nama baik keempat Pangeran muda itu. Jika aku melaporkan hal ini kepada para pemimpin di Kediri dan apa lagi Singasari, maka keempat Pangeran itu akan dapat ditindak sebagai pemberontak. Bukankah dengan demikian hari depan keempat orang anak-anak muda itu akan tertutup?”

“Tetapi apa yang telah mereka lakukan benar-benar telah merupakan satu pemberontakan.” desis Pangeran Wirapaksi.

“Kakangmas benar. Tetapi aku masih berusaha dengan cara lain.” jawab Pangeran Suwelatama yang juga menceriterakan kesulitannya karena pasukannya sedang menghadapi para penjahat di daerah perbatasan.

“Aku mengerti,” jawab Pangeran Wirapaksi, “jika pasukan itu tergesa-gesa ditarik, maka rakyat di daerah itu akan mengalami bencana. Penjahat-penjahat itu akan melepaskan dendamnya kepada mereka dan lebih daripada itu, semua kekayaan yang ada tentu akan dirampasnya sampai kering.” Pangeran Wirapaksi berhenti sejenak, lalu, “Memang sebaiknya mereka harus tetap di tempatnya.”

“Benar, kakangmas,” jawab Pangeran Suwelatama, “namun dengan demikian aku tidak dapat mengatasi kesulitanku menghadapi keempat anak-anak muda yang tersesat jalan itu, tanpa menyeret mereka ke dalam tuduhan sebagai seorang pengkhianat.”

Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Jadi apakah maksud adimas datang ke Singasari jika adimas tidak mau melaporkan hal ini kepada para pemimpin pemerintahan yang akan menunjuk beberapa orang Senapati untuk bertindak?”

“Aku memang tidak ingin melaporkan,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi aku ingin berbicara dengan orang yang telah memenangkan sayembara tanding melawan Pangeran Indrasunu. Jika ia mendengar nama itu, mungkin jiwanya akan terpengaruh. Namun sudah barang tentu, di samping orang itu, aku pun memerlukan kekuatan untuk merebut kembali kota Pakuwon Kabanaran yang telah diduduki adimas Pangeran Indrasunu. Tetapi sekali lagi, yang tidak akan menyeretnya sebagai seorang pengkhianat.”

“Permintaanmu sangat sulit.” jawab Pangeran Wirapaksi, “Tetapi baiklah. Aku akan berusaha. Aku akan mengirimkan sebagian dari pengawal-pengawalku yang tidak banyak jumlahnya. Kemudian paman Mahisa Agni akan dapat mempergunakan pengaruhnya untuk mengirimkan sepasukan kecil prajurit dengan dalih yang mapan. Mungkin untuk menumpas kejahatan yang tersebar di Pakuwon Kabanaran.”

“Tetapi mungkin ada sebuah pertanyaan, kenapa aku tidak pergi ke Kediri?” berkata Pangeran Suwelatama, “Apakah aku dapat berbohong, bahwa pasukan pengawal di Kediri sedang mengalami kesulitan yang sama menghadapi para penjahat yang pada masa terakhir berkembang dengan pesat?”

Pangeran Wirapaksi tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku kira paman Mahisa Agni tidak akan bertanya terlalu banyak. Bahkan mungkin kepadanya aku dapat berterus terang apa yang telah terjadi.”

“Apakah ia dapat mengerti?” bertanya Pangeran Suwelatama.

“Ia akan dapat mengerti.” jawab Pangeran Wirapaksi.

Dengan demikian maka Pangeran Suwelatama itu pun telah dibawa menghadap Mahisa Agni bersama Wasi Sambuja. Namun Pangeran Wirapaksi sudah berpesan agar mereka tidak mengatakan hal itu kepada isterinya, kakak perempuan Pangeran Indrasunu.

Ternyata tanggapan Mahisa Agni seperti yang diharapkan. Ia dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, maka tidak ada kesulitan bagi Pangeran Suwelatama untuk mendapatkan sepasukan prajurit Singasari yang justru dipimpin seorang Magang yang akan dicalonkan sebagai seorang Senopati muda.

“Satu pendadaran bagi Mahisa Bungalan.” berkata Mahisa Agni.

Demikianlah, maka sepasukan kecil prajurit Singasari, dipimpin oleh Mahisa Bungalan telah berbenah diri untuk pergi ke pakuwon Kabanaran. Bersama mereka adalah Mahisa Agni sendiri, Witantra dan Pangeran Wirapaksi yang membawa sebagian pengawal pribadinya. Dalam kegelisahan maka Pangeran Suwelatama mengharap agar ia dapat secepatnya kembali, agar ia dapat berada di antara pasukannya yang tersisih itu.

“Kami pun dapat segera berangkat,” berkata Mahisa Agni, “tetapi sudah tentu bahwa pasukan kami dalam keseluruhan tidak akan dapat secepat mereka yang berkuda. Pasukan yang akan berangkat tidak dapat seluruhnya berkuda.”

“Aku akan menunggu kedatangan pasukan dari Singasari,” jawab Pangeran Suwelatama, “mudah-mudahan adimas Pangeran Indrasunu tidak segera mengetahui tempat persembunyian kami, sehingga pada saatnya pasukan Singasari datang, kami masih tetap berada di tempat kami.”

“Jika terjadi satu perubahan, aku mohon kalian dapat memberitahukan kepada kami.” berkata Mahisa Bungalan, “Bersama Pangeran akan ikut serta sekelompok pasukan berkuda. Mereka akan dapat Pangeran pergunakan sebagai penghubung. Kami akan menempuh jalan yang akan Pangeran lalui. Jika terjadi perubahan keadaan, maka penghubung itu akan dapat menyongsong perjalanan kami.”

Demikianlah, maka Pangeran Suwelatama telah mendahului pasukan Singasari bersama beberapa orang prajurit berkuda dari Singasari. Sementara itu Wasi Sambuja akan berada di antara pasukan kecil itu. Ia akan dapat menunjukkan jalan dan tempat, di mana Pangeran Suwelatama bersembunyi dengan sisa pasukannya yang tidak terlalu kuat...