Panasnya Bunga Mekar Jilid 23

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Panasnya Bunga Mekar Jilid 23 karya Singgih Hadi Mintarjda
Sonny Ogawa
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 23
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SEBENARNYALAH bahwa Mahisa Agni dan Witantra tak mau mengalami kelambatan. Mereka pun bertindak cepat untuk mengurangi jumlah pasukan lawan. Apa bila keduanya lambat, maka padepokan kecil itu tidak akan tertolong lagi.

Untuk sementara yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra itu tidak dapat diketahui oleh Ki Dukut yang terlalu yakin akan kekuatan pasukan kedua anak muda yang jumlahnya cukup banyak. Sementara itu, ia masih melihat Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra yang agaknya pemimpin tertinggi dari padepokan itu masih berdiri termangu-mangu di hadapannya. Demikian pula Mahisa Bungalan dan Ken Padmi.

Dalam pada itu, maka Ki Dukut itu pun berkata, “Ki Selabajra, sebenarnya tidak ada gunanya lagi kalian melawan. Pada akhirnya padepokan ini akan hancur menjadi debu”

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang berkeliling. Pertempuran sudah berlangsung. Semakin lama menjadi semakin sengit. “Ki Dukut” berkata Ki Selabajra, “apapun yang akan terjadi, aku akan bersikap sebagai seorang laki-laki. Jika aku, dan seisi padepokan ini harus mati, kami akan mati sebagai laki-laki”

“Kau memang keras kepala” berkata Ki Dukut, “tetapi baiklah. Aku ingin memberi kesempatan kau melihat apa yang terjadi. Dan aku pun tidak akan segera berbuat sesuatu. Aku pun untuk sementara ingin melihat, api membakar padepokan ini sambil menunggui pemimpin padepokan ini agar tidak melarikan diri”

Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng termangu-mangu. Ketika ia berpaling, ia melihat beberapa orang mulai manjamah tangga pendapa padepokan.

Ki Dukut tertawa sambil berkata, “Kau lihat, anak gadis dan bakal menantumu itu pun harus bertempur melawan jumlah yang tidak memadai. Betapapun tinggi ilmu mereka, namun mereka akan kehilangan keseimbangan pula”

“Mungkin. Tetapi dengan demikian, maka kematian mereka adalah kematian yang pantas bagi penghuni padepokan ini” jawab Ki Selabajra.

“Kau memang keras kepala. Tetapi tidak apa. Kau akhirnya akan menyesal, atau menjadi gila sebelian aku mencabut nyawamu. Kau akan melihat anak gadismu itu dicincang sampai lumat, dan bakal menantumu itu akan diseret sepanjang halaman ini sampai terkelupas untuk menjadi pangewan-pangewan. Namun yang akhirnya akan mengalami nasib seperti anak gadismu ini pula."

Ki Selabajra menjadi tegang. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa Bungalan dan Ken Padmi memang sudah terlibat dalam pertempuran. Beberapa orang cantrik padepokan itu berusaha untuk membantunya melawan jumlah lawan yang cukup banyak.

Namun ternyata Ki Dukut harus mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Bungalan itu benar-benar mengejutkannya. Dengan garangnya ia berloncatan diantara beberapa orang lawan. Senjatanya berputaran di sela-sela senjata lawanya. Namun dalam pada itu, pada gerakan pertama, telah terdengar keluhan tertahan. Seorang lawan telah terlempar dari lingkaran pertempuran.

“Luar biasa” desis Ki Dukut, “menyenangkan sekali melihat bakal menantumu itu bertempur”

Ki Selabajra tidak menyahut. Ia pun melihat dengan jantung yang berdebaran. Betapa dahsyatnya ilmu Mahisa Bungalan dalam pertempuran yang sebenarnya. Jika ia melihat kemampuannya di arena sayembara tanding, maka yang dilihatnya itu bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang dilakukannya menghadapi musuh yang sebenarnya.

Ken Padmi pun menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia sempat merasa malu, bahwa ia telah turun di arena menghadapi Mahisa Bungalan. Tetapi sementara itu, Ken Padmi pun harus sudah memutar senjatanya pula. Ternyata ia pun merupakan gadis yang pilih tanding. Dalam keadaan yang sulit, ia masih mampu mempertahankan dirinya. Betapapun beratnya tekanan lawan, namun di samping Mahisa Bungalan Ken Padmi merasa seolah-olah ia mendapat perlindungan yang rapat.

Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Bungalan telah menggetarkan setiap orang yang bertempur melawannya. Meskipun jumlah mereka cukup banyak, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa di hadapan Mahisa Bungalan yang bertempur bersama Ken Padmi dan beberapa orang cantrik. Dengan sanjata berputaran, ia berloncatan menembus kepungan lawan. Sambaran senjatanya yang berdesingan membuat hati lawan-lawannya menjadi kecut.

Dalam pada itu, Marwantaka dan Wiranata yang mendendamnya sampai ke ubun-ubun, telah mendekati Mahisa Bungalan. Namun keduanya menjadi ragu-ragu melihat, bagaimana Mahisa Bungalan bertempur melawan sejumlah lawan yang lebih banyak.

Namun dalam pada itu terdengar Ki Dukut tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia berkata, “He, anak-anak muda. Bukankah kalian mendendam terhadap bakal menantu Ki Selabajra itu? kenapa kalian justru berdiam diri. Mumpung kawan-kawan kalian masih banyak, lakukanlah. Cincang orang itu seperti yang kalian rencanakan, termasuk Ken Padmi itu sendiri”

Marwantaka dan Wiranata masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya mereka pun melangkah maju dengan pedang di tangan. Seperti dikatakan oleh Ki Dukut. Mumpung mereka mempunyai kawan yang cukup banyak.

Demikianlah keduanya telah melibatkan diri dalam pertempuran melawan Mahisa Bungalan. Bagaimanapun juga, keduanya memiliki bekal jauh lebih baik dari para pengikutnya. Meskipun ada juga satu dua orang patut dari padepokan lain yang berada di dalam pasukannya, serta satu dua orang kawan-kawannya, tetapi ternyata menghadapi Mahisa Bungalan benar benar mendebarkan.

Namun, akhirnya Marwantaka dan Wiranata melibatkan diri mereka melawan Mahisa Bungalan. Dengan mengambil arah yang berbeda keduanya mendekat. Meskipun semula keduanya ragu-ragu, namun setelah mereka mulai menggerakkan senjata mereka, maka keduanya pun nampak menjadi garang.

Beberapa orang cantrik padepokan Kenanga berusaha untuk mengurangi lawan Mahisa Bungalan. Tetapi mereka tidak menyentuh kedua orang anak muda itu. Sehingga dengan demikian, maka baik Marwantaka maupun Wiranata mendapat kesempatan yang luas untuk bertempur melawan Mahisa Bungalan. Tetapi mereka tidak hanya berdua. Masih ada beberapa orang kawan mereka mendekat bersama-sama.

Meskipun demikian, Mahisa Bungalan yang bertekad untuk mempertahankan padepokan itu telah bertempur dengan garangnya. Sementara itu beberapa langkah dari padanya, Ken Padmi pun bertempur dengan tangkas dan cepat. Senjatanya berputaran, sehingga lawannya sulit untuk menembusnya.

Ki Dukut masih memperhatikan, bagaimana Marwantaka dan Wiranata bertempur melawan Mahisa Bungalan. Sambil mengerutkan keningnya ia bergumam, “Bakal menantumu itu memang seorang yang pilih tanding Ki Selabajra”

Ki Selabajra tidak menyahut.

“Marwantaka dan Wiranata seharusnya dapat menguasainya” desis Ki Dukut kemudian, “tetapi ternyata mereka tidak dapat berbuat banyak”

Ki Selabajra masih tetap berdiam diri. “Baiklah. Kita tunggu apakah hasil terakhir dari pertempuran itu. Tetapi menilik jumlah lawan, bakal menantumu itu tidak akan dapat mengelakkan diri dari kematian. Sementara kau dan kawanmu ini harus tetap tinggal bersamaku” gumam Ki Dukut kemudian.

Betapa gejolak jantung Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng. Tetapi mereka tetap berada di tempatnya. Agaknya lebih baik bagi mereka untuk tetap berdiam diri bersama Ki Dukut. Karena jika Ki Dukut mulai bergerak dan terjun ke arena, maka padepokan itu benar-benar akan segera musnah. Namun jika Ki Dukut masih tetap berdiam diri, Ki Selabajra masih berharap bahwa kedua orang paman Mahisa Bungalan itu akan dapat membantu para cantrik untuk bertahan.

Yang luput dari perhatian Ki Dukut adalah Mahisa Agni dan Witantra. Ki Dukut kurang memperhatikan para pengikut Marwantaka dan Wiranata yang bertempur di halaman samping. Demikian cepatnya jumlah mereka susut. Selain mereka harus bertempur melawan para cantrik yang menyambut mereka dengan anak panah, mereka pun harus menghadapi seorang cantrik tua yang memiliki ilmu diluar jangkauan nalar mereka.

Meskipun sentuhan tangan cantrik tua itu tidak mematikan, tetapi mereka yang menghadapinya menjadi seolah-olah telah lumpuh dan tidak mampu untuk melawan lagi. Senjata kedua orang itu hanya sekedar untuk menangkis dan sekali-sekali melemparkan sanjata lawan. Namun kemudian tangan merekalah yang terjulur menyentuh lambung, pundak atau bahkan punggung.

Namun karena perhatian Ki Dukut tertuju kepada Mahisa Bungalan, dan ia sama sekali tidak menyangka bahwa ada juga orang-orang yang berada di dalam lingkungan para cantrik dan juga berpakaian seperti cantrik itu, yang mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Namun, akhirnya Ki Dukut itu tidak telaten. Marwantaka dan Wiranata tidak segera dapat menguasai lawannya. Bahkan agaknya Mahisa Bungalan akan mampu mengalahkan mereka, meskipun mereka masih juga dibantu oleh beberapa orang pengikutnya.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Ki Selabajra, menurut pendapatmu, mana yang lebih baik aku hancurkan. Kau atau bakal menantumu dan anakmu. Aku tidak sabar lagi melihat kelambanan mereka”

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Meskipun hal itu dikatakannya dengan seolah-olah tidak menghiraukannya, namun karena yang mengucapkannya adalah Ki Dukut. Maka hal itu akan dapat berakibat gawat. Diluar sadarnya Ki Selabajra memandang ke samping pendapa padepokan. Seolah-olah ia berusaha mencari Mahisa Agni dan Witantra. Namun ia tidak berhasil menemukannya di antara hiruk pikuknya pertempuran.

Tetapi Ki Selabajra melihat, bahwa jumlah lawan telah susut dengan cepatnya. Meskipun pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, tetapi nampaknya cantrik di padepokan itu tidak lagi mengalami banyak kesulitan. Dalam pada itu, maka Ki Selabajra harus mengambil Keputusan. Ia harus menjawab pertanyaan Ki Dukut yang nampaknya mulai bersungguh-sungguh.

“Cepat jawab” bentak Ki Dukut, “siapakah yang akan aku bunuh lebih dahulu. Kau berdua atau anak dan bakal menantumu itu”

Ki Selabajra harus segera menjawab. Karena itu maka katanya, “Ki Dukut, apapun yang terjadi, aku akan bertahan sampai kemungkinan yang terakhir. Kau tidak akan dapat menyentuh anak dan bakal menantuku, jika aku masih sempat menyaksikannya”

“Bagus” desis Ki Dukut, “kau memang seorang laki-laki. Itulah agaknya kau telah berani mengkhianati kesediaanmu bekerja bersamaku, pada saat kita akan menghancurkan padepokan Ki Kasang Jati, musuh bebuyutanku itu”

“Apapun yang dapat kau katakan Ki Dukut” jawab Selabajra, “aku sudah bersedia menghadapinya”

Ki Dukut itu pun menggeram. Tetapi ia pun kemudian melangkah surut sambil berkata, “Bersiaplah. Aku ingin menghitung, sampai bilangan ke berapa kalian dapat bertahan”

Ki Selabajra tidak dapat berbuat lain. Ia tidak dapat memanggil Mahisa Bungalan dan Ken Padmi untuk membantunya. Dan ia pun tidak dapat memanggil Mahisa Agni dan Witantra yang berada di antara para cantrik. Jika keduanya harus membantunya melawan Ki Dukut, maka para cantrik itu pun akan mengalami nasib yang sangat buruk. Karena itu, maka berdua dengan Ki Watu Kendeng ia bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang mengetahui keadaan itu pun sempat memikirkan, apa yang harus dilakukan. Ia mendengar Ki Dukut mengancam Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng. Sebenarnyalah bahwa Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng tidak akan mampu menghadapinya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Agni telah memperberat serangan-serangannya terhadap lawan yang bertebaran. Dengan loncatan-loncatan panjang ia menyusup di antara lawan. Sementara cantrik padepokan Kenanga pun bertempur dengan gigihnya pula.

Dengan demikian, maka jumlah lawan itu semakin cepat susut. Seolah-olah, mereka telah dilibat oleh angin pusaran dan terhisap ke pusatnya. Di saat mereka terlempar kembali keluar dari pusaran itu, mereka seolah-olah telah tidak bertenaga lagi.

Nampaknya Witantra melihat sikap Mahisa Agni. Ternyata ia menanggapi pula keadaan yang gawat itu. Karena itu, maka ia pun berbuat serupa. Meskipun seperti juga Mahisa Agni, ia tidak membunuh lawannya, tetapi bersama-sama para cantrik padepokan Kenanga yang jumlahnya tidak begitu banyak, Witantra telah mengurangi jumlah lawannya dengan cepat. Witantra pun tahu, bahwa dengan demikian Mahisa Agni bermaksud untuk menarik perhatian Ki Selabajra sebelum ia bertindak lebih jauh terhadap Ki Selabajra.

Dalam pada itu, sebuah pekik kesakitan memang telah menarik perhatian Ki Dukut Pakering. Ketika ia sudah siap untuk menyerang kedua orang yang baginya akan dapat diselesaikannya dengan mudah itu, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengikut Marwantaka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Belum lagi pekik itu lenyap, seorang yang lain telah terlempar pula dan jatuh berguling. Demikian kerasnya mereka terjatuh, sehingga mereka tidak lagi dapat segera bangkit. Tulang-tulang mereka rasa-rasanya berpatahan.

Yang terjadi itu tidak dapat terlepas begitu saja dari pengamatan Ki Dukut. Justru karena itu, maka ia pun mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi di sebelah menyebelah pendapa padepokan itu. Hampir diluar sadarnya, Ki Dukut bertanya, “He, siapa yang berada di halaman sebelah?”

“Cantrik-cantrik dari padepokan Kenanga yang masing-masing dipimpin oleh seorang cantrik tua yang barangkali kurang menarik bagimu Ki Dukut”

Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun pengamatannya yang tajam atas peristiwa di halaman samping itu membuatnya berdebar-debar. Agaknya ada satu orang yang memiliki ilmu melampaui para cantrik yang lain.

“Tetapi dalam keadaan yang paling gawat bagi Ki Selabajra, kenapa mereka tidak mengambil sikap apapun juga?” bertanya Ki Dukut di dalam dirinya.

Karena itu, maka niatnya untuk menghabisi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah tertunda. Ia memerlukan memperhatikan keadaan yang baginya diluar dugaan. Justru karena Ki Dukut telah mulai tertarik perhatiannya itulah, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berbuat lebih jauh lagi. Dengan sengaja ia menunjukkan betapa kemampuannya berhasil menyibakkan perlawanan para pengikut Marwantaka dan Wiranata yang jumlahnya jauh lebih besar dari para cantrik di padepokan Kenanga itu sendiri.

“Gila” geram Ki Dukut, “ada yang tidak wajar terjadi. Tidak mungkin para cantrik padepokan ini mampu melawan kekuatan yang datang, meskipun pada benturan pertama mereka sempat mengurangi jumlah lawan dengan anak panah, busur dan lembing-lembing bambu”

“Apa yang tidak wajar manurut pertimbanganmu Ki Dukut?” bertanya Ki Selabajra.

“Anak iblis. Aku bunuh kau secepatnya, agar aku sempat berbuat sesuatu atas orang yang masih harus aku ketemukan itu” geram Ki Dukut.

“Sebentar lagi mereka akan binasa di padepokan ini” desis Ki Selabajra, “mungkin kau dapat membunuh aku dan Ki Watu Kendeng. Tetapi semua orang yang memasuki padepokan ini pun akan binasa pula. Kemudian betapapun tinggi ilmumu, namun kau akan mati di rajam oleh para cantrik. Mereka akan melemparimu dengan lembing dan bahkan dengan batu-batu. Kau akan terkapar mati dibawah timbunan batu dan senjata, sementara orang-orang yang menyerang padepokan ini tanpa mengerti arti dari tingkah lakunya itu akan dihidupi meskipun mereka sudah dilumpuhkan”

Ki Dukut itu pun menggeram. Namun akhirnya ia yakin, bahwa ada kekuatan lain kecuali dua orang pemimpin padepokan itu yang harus diperhatikannya. Bahkan semakin lama semakin nyata pada Ki Dukut bahwa orang itu harus dihadapinya pula bersama Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng. “Baik” geram Ki Dukut, “aku mengerti sekarang. Tentu ada kekuatan yang dapat membantumu. Tetapi apakah mereka sempat menyelamatkan nyawamu”

Ki Dukut pun segera bersiap menghadapi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng. Keduanya harus segera dibinasakan, karena ia sadar, bahwa dengan membunuh kedua orang itu tugasnya masih belum selesai.

Namun sebelum Ki Dukut mulai dengan serangannya, ia masih sempat meneriakkan satu pesan kepada semua orang yang datang bersamanya menyerbu padepokan Kenanga itu. Katanya, “Sebentar lagi matahari akan semakin turun. Kita harus segera menyelesaikan tugas kita. Demikian gelap turun, kita akan membuat obor yang maha besar. Padepokan ini akan menjadi karang abang”

Semua orang yang berada di padepokan itu mendengarnya. Bahkan ketika Ki Dukut mengulangi pesannya, rasa-rasanya setiap jantung di dalam dada, telah rontok karenanya. Agaknya Ki Dukut tidak sekedar berteriak begitu saja. Namun ia telah berusaha mempengaruhi seluruh medan itu dengan suaranya.

Mahisa Bungalan pun merasakan getaran yang menghentak di dadanya lewat suara Ki Dukut Karena itu, ia pun segera menyadari, bahwa Ki Dukut benar-benar seorang yang pilih tanding. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun menjadi heran, kenapa kedua pamannya masih belum nampak hadir menghadapi Ki Dukut yang menjadi semakin marah melihat kenyataan, bahwa para pengikut Marwantaka dan Wiranata tidak seperti yang diharapkannya.

Ketika Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya, ia melihat, matahari memang menjadi semakin rendah. Sebentar lagi, senja akan segera turun. “Berapa lama pertempuran ini sudah berlangsung?” bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, Ki Dukut masih berkata lantang, “Kita sudah terlalu banyak membuang waktu. Kita telah menyia-nyiakan waktu di luar padepokan. Kita sudah kehilangan banyak waktu untuk mencari pelindung dari serangan anak panah. Kemudian kita kehilangan waktu pula dengan tingkah laku yang menjemukan dari orang-orang yang tidak berarti sama sekali, yang merasa dirinya mampu menghancurkan padepokan ini. Bahkan Marwantaka dan Wiranata pun tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi anak muda itu. Aku kira aku akan dapat menjadi penonton sampai saatnya api akan menyala, karena aku ingin membunuh orang-orang ini justru pada saat terakhir. Tetapi ternyata aku menunggu dengan sia-sia. Karena itu, aku akan berbuat sendiri, sesuai dengan keinginanku”

Kata-kata itu memang mendebarkan. Agaknya Ki Dukut sudah benar-benar kehilangan kesabaran. Namun dalam pada itu, ketika Ki Dukut sudah siap menyerang kedua orang pemimpin padepokan itu, ia sekali lagi tertegun. Sekali lagi ia mendengar keluhan tertahan. Ternyata yang terlempar dari arena adalah justru Marwantaka sendiri. Dari pundaknya mengalir darah.

“Gila” langkah Ki Dukut terhenti lagi, “apa artinya segala yang pernah kau katakan dengan mulutmu yang besar. Berdua dengan Wiranata kau tidak mampu membunuh anak itu."

Tetapi belum lagi terdengar jawaban, jantung Ki Dukut bagaikan meledak ketika ia melihat Wiranata lah yang jatuh terguling sambil mengaduh. Lambungnya ternyata telah tersayat senjata Mahisa Bungalan.

Sementara itu, para pengikutnya menjadi gelisah. Seorang kawan Marwantaka, yang merasa dirinya memiliki kemampuan setingkat dengan anak muda itu, telah membawa dua orang pengikutnya untuk menghadapi Mahisa Bungalan. Tetapi ternyata beberapa saat kemudian, mereka harus sudah berloncatan surut, karena tekanan Mahisa Bungalan yang tidak terlawan.

Matahari sudah menjadi semakin rendah. Sementara itu Witantra tidak tahu, kenapa Mahisa Agni masih belum nampak mendekati Ki Dukut yang tentu akan sangat berbahaya bagi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian Ki Dukut yang sudah tidak mau lagi menjadi penonton yang melihat pertunjukan yang semakin memuakkan telah bergeser maju. Ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun. Namun ketika tangannya telah terkembang, terasa jantung Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng berhenti berdetak.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang telah berhasil menyingkirkan lawan-lawannya yang terpenting, telah berlari mendekati Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng yang telah bersiap dengan senjata masing-masing.

“O” berkata Ki Dukut, “kau pun akan mati bersama dengan kedua tikus ini”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun ia sadar, bahwa Ki Dukut justru memusatkan perhatiannya kepadanya, karena Ki Dukut mengetahui bahwa yang terkuat diantara mereka adalah Mahisa Bungalan.

Ternyata Witantra lah yang tidak sampai hati membiarkan segalanya terjadi. Ketika Ki Dukut benar-benar telah mulai bergeser, Witantra sudah berada tidak terlalu jauh dari padanya. Namun ternyata pada saat itu, Mahisa Agni pun telah berada di antara dua orang cantrik yang lain yang masih bertempur melawan orang-orang yang menyerang padepokan itu.

Pada serangan pertama, Ki Dukut nampaknya masih belum bersungguh-sungguh. Ia sekedar menggerakkan tangannya mengarah ke kening Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan bergeser surut sambil menebas kearah tangan Ki Dukut itu. Gerak Mahisa Bungalan cukup cepat, sehingga Ki Dukut yang menarik tangannya itu bergumam, “Bagus. Gerakmu cukup cepat. Tetapi kematianmu pun akan cepat.

Belum lagi Ki Dukut melanjutkan rencananya untuk membunuh, Ken Padmi telah berada di sebelah ayahnya. Katanya, “Kita hampir selesai ayah. Semua lawan telah hampir tumpas”

Kata-kata itu memang terpengaruh terhadap Ki Dukut. Namun ia berkata, “Kalian pun akan segera tumpas. Kau lihat, masih ada beberapa tikus curut yang bertempur."

Ken Padmi tidak menjawab. Namun ketika Ki Dukut tiba-tiba saja menyerangnya, ia pun masih sempat meloncat surut. Sementara itu, Mahisa Bungalan tidak tinggal diam. Jika Ki Dukut melangkah dengan serangan berikutnya, mungkin sekali Ken Padmi akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian menyerang Ki Dukut dengan senjatanya yang terjulur lurus ke arah dadanya.

Ki Dukut terkejut melihat kecepatan gerak Mahisa Bungalan. Ia mengerti bahwa anak muda itu mempunyai kelebihan. Tetapi ia tidak mengira bahwa ia sempat bergerak secepat itu.

Sebenarnyalah Mahisa Bungalan yang telah mendapat tuntunan ilmu dari Mahisa Agni, dari Witantra selain ayahnya sendiri, ia pun mendapat beberapa petunjuk yang dapat mengungkit kemampuannya lebih tinggi lagi dari Ki Wastu. Ki Wastu lah yang membuat tubuhnya menjadi sangat ringan dalam gerak-gerak tertentu, sehingga seolah-olah tidak mempunyai bobot lagi. Dengan demikian maka ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi jika dikehendaki.

Ki Dukut yang memang ingin memburu Ken Padmi itu pun harus mengurungkan niatnya. Ia harus menghindari serangan Mahisa Bungalan yang demikian cepatnya.

Sikap Mahisa Bungalan itu seolah-olah telah membangunkan Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng yang berdiri termangu-mangu. Mereka pun segera bergeser, menempatkan diri dalam kesiagaan sepenuhnya menghadapi Ki Dukut Pakering.

Ki Dukut yang marah itu, memusatkan perhatiannya kepada Mahisa Bungalan. Ia menganggap bahwa anak muda itu akan dapat menjadi penghambat untuk melakukan rencananya. Dengan atau tidak dengan Marwantaka dan Wiranata, Ki Dukut ingin membakar padepokan itu menjadi abu.

“Dalam gelapnya malam, api akan nampak semakin garang” berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

Sementara itu, Marwantaka dan Wiranata yang terluka, tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat melihat, apa yang akan dilakukan oleh Ki Dukut.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Ki Dukut melawan keempat lawannya itu pun menjadi semakin seru. Bersama Mahisa Bungalan, maka Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng dan Ken Padmi ternyata merupakan lawan yang tidak dapat dianggap sekedar angin yang lewat, menyentuh kulit dan hilang tidak berbekas. Tetapi keempatnya ternyata telah memaksa Ki Dukut untuk meningkatkan ilmunya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya Mahisa Bungalan menjadi semakin garang. Anak muda itu bergerak semakin cepat, sedangkan kekuatannya pun menjadi semakin meningkat pula.

Sebenarnyalah menghadapi Ki Dukut, Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap ilmunya, ia telah benar-benar bertempur dalam tataran kemampuannya yang tertinggi. Ia tidak lagi berada di arena melawan Ken Padmi. Tidak pula melawan para cantrik dan bahkan lawannya bukan Marwantaka dan Wiranata. Dalam tataran tertinggi dari ilmunya, maka Mahisa Bungalan telah menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Meskipun ia berhadapan dengan Ki Dukut Pakering yang ditakuti itu, namun Mahisa Bungalan masih juga mampu menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu yang tinggi pula.

Pada saat ia bertempur melawan muridnya yang muda, adik Pangeran Kudu Padmadata. Ia berhasil mengalahkannya. Namun pada saat itu, bukau berarti bahwa ia akan dapat menghadapi gurunya. Tetapi pada saat-saat berikutnya, ia mendapat bekal dari orang-orang yang dianggapnya sebagai gurunya untuk menyempurnakan ilmunya, bahwa Ki Wastu telah pula mewariskan kemampuannya pula, sehingga ilmu Mahisa Bungalan pun telah meningkat pula. Karena itulah, maka ia telah berhasil menempatkan dirinya sebagai lawan Ki Dukut yang harus diperhitungkan.

Dalam pada itu, pada saat-saat permulaan dari pertempuran itu, Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng dan Ken Padmi masih dapat membantunya. Namun dalam langkah-langkah selanjutnya, mereka bertiga menjadi bingung, sehingga justru karena itu, mereka pun telah bergeser dari arena.

Witantra yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena itu menarik nafas dalam-dalam. Baru ia tahu maksud sebenarnya dari Mahisa Agni. Ia nampaknya sengaja membiarkan Mahisa Bungalan bertempur melawan Ki Dukut Pakering. Agaknya Mahisa Agni yakin, bahwa Mahisa Bungalan akan turun jika Mahisa Agni dan Witantra tidak segera menempatkan diri sebagai lawan Ki Dukut Pakering.

Agaknya Mahisa Agni memang ingin menunjukkan kepada orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendang, kemampuan anak muda itu yang sebenarnya. Mahisa Bungalan tidak sekedar mampu mengalahkan Ken Padmi di arena. Bahkan malahan ada yang menyangka, bahwa Ken Padmi yang memang sudah menaruh hati kepada Mahisa Bungalan, telah dengan sengaja membiarkan dirinya kalah. Meskipun ia berpura-pura tidak dapat menahan perasaannya dengan menarik pedang, tetapi sebenarnyalah bahwa ia telah dengan sengaja mengalah.

Ternyata pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Ki Dukut itu telah menghapus segala kesan yang kurang baik atas Mahisa Bungalan. Kecuali ia berhasil mengalahkan Marwantaka dan Wiranata sekaligus, ia pun dapat menempatkan dirinya sebagai lawan yang harus diperhitungkan oleh Ki Dukut Pakering, yang dikenal sebagai hantu yang memiliki ilmu tidak ada batasnya. Pertempuran itu semakin lama manjadi semakin sengit. Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin buram, karena matahari telah hampir tenggelam di balik cakrawala.

Ken Padmi yang kemudian berdiri di luar arena menjadi berdebar-debar. Namun ia pun dapat berbangga, bahwa orang yang telah mengalahkannya adalah benar-benar orang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin rendah, sehingga akhirnya hilang dibalik cakrawala. Langit yang buram itu pun menjadi hitam. Perlahan-lahan padepokan Kenanga itu pun menjadi gelap. Namun pertempuran antara Ki Dukut dan Mahisa Bungalan itu pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Namun ketika Ki Dukut sampai ke puncak ilmunya, ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih belum dapat mengimbanginya. Semakin lama menjadi semakin nampak, terutama di mata Mahisa Agni dan Witantra, bahwa Mahisa Bungalan menjadi semakin terdesak.

Apalagi karena Ki Dukut yang marah itu melihat satu kenyataan, bahwa para pengikut Marwantaka dan Wiranata sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Mereka telah menyerah dan sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu di hadapan para cantrik dari padepokan Kenanga yang menjaga mereka dengan seksama.

“Kalian akan menyesal” geram Ki Dukut sambil menekan Mahisa Bungalan semakin tajam. Bahkan akhirnya Ki Dukut itu pun berkata, “Kau memang tidak tahu diri. Kau sangka kau akan mampu menahan ilmu pamungkasku”

Dengan demikian kedudukan Mahisa Bungalan benar-benar menjadi gawat. Meskipun Mahisa Bungalan mampu melawan Ki Dukut dengan kecepatan ilmu pedangnya. Namun jika Ki Dukut benar-benar melepaskan ilmu pamungkasnya, maka senjata di tangan Mahisa Bungalan itu pun tidak akan berarti sama sekali.

Namun dalam pada itu, ketika keadaan manjadi semakin gawat, tiba-tiba saja Mahisa Agni telah berada di pinggir arena perkelahian itu. Katanya, “Ki Dukut. Semua orang-orangmu telah menyerah. Apakah kau tidak akan menyerah?”

Gelapnya malam telah menyelubungi seluruh padepokan. Yang nampak pada Ki Dukut adalah seorang cantrik tua yang telah berani menghinanya. Karena itu, maka tanpa menjawabnya, ia bermaksud membunuh cantrik itu dengan sekali sentuh.

Sebenarnyalah bahwa jika yang dihadapi oleh Ki Dukut itu benar-benar seorang cantrik padepokan Kenanga, maka ia akan mati tersentuh tangan Ki Dukut Pakering. Karena tiba-tiba saja Ki Dukut yang marah itu bergeser dengan kecepatan yang tidak dapat diketahui oleh tatapan mata wadag sambil mengayunkan tangannya mengarah ke leher cantrik tua itu. Jari-jari Ki Dukut itu akan dapat menembus lehernya sehingga sentuhan itu akan berakibat kematian

Tetapi sekali lagi Ki Dukut terkejut. Tangannya itu sama sekali tidak manyentuh sesuatu. Cantrik itu yang oleh mata wadag tidak nampak bergerak sama sekali itu, ternyata mampu menghindari serangannya yang tiba-tiba itu. Bahkan jantung Ki Dukut itu pun akan meledak ketika ia mendengar seorang cantrik tua yang lain tertawa sambil berkata,

“Apa yang kau lakukan Ki Dukut. Apakah kau kira kau dapat manangkap angin?”

Kemarahan Ki Dukut tidak terkendali lagi. Sekali lagi ia meloncat dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang menyaksikan pertempuran itu. Tangannya menebas ke arah cantrik tua yang mentertawakannya itu, langsung kearah dada. Tetapi dada itu tidak menjadi remuk karenanya, dan tulang-tulang iga itu tidak berpatahan, karena tangan ki Dukut sama sekali tidak menyentuh apapun.

Ki Dukut pun sadar, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan. Ternyata ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang luar biasa berada di padepokan Kenanga. Agaknya karena itu pula maka para pengikut Marwantaka dan Wiranata sama sekali tidak berdaya menghadapi cantrik-cantrik padepokan Kenanga, karena di antara para cantrik itu terdapat orang-orang yang sebenarnya pasti bukan cantrik yang sewajarnya.

Dalam pada itu, terdengar cantrik tua yang pertama itu pun berkata, “Sudahlah Ki Dukut. Menyerah sajalah. Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng tentu tidak akan menghukum kalian, karena mereka memang tidak berwenang. Yang dapat mereka lakukan adalah menyerahkan kau kepada orang yang paling berkepentingan dengan kau. Pangeran Kuda Padmadata”

“Gila, siapa kau sebenarnya?” bertanya Ki Dukut

“Sudah kenal atau belum kenal, baiklah aku menyebut namaku, Mahisa Agni” jawab Mahisa Agni.

“Dan kau?” bertanya Ki Dukut kepada cantrik yang lain.

“Witantra” jawab Witantra, “Beberapa kali kita bersentuhan. Langsung atau tidak langsung”

“Persetan” geram Ki Dukut, “apa hubungan kalian dengan Kuda Padmadata?”

“Bukan apa-apa. Tetapi menangkapmu adalah kewajibanku. Kami berdua adalah prajurit Singasari” jawab Mahisa Agni. Ia langsung menyebut tentang dirinya agar dapat mempengaruhi jalan pikiran Ki Dukut, sehingga mungkin Ki Dukdut akan mengambil satu kebijaksanaan. Setidak-tidaknya, Ki Dukut tidak akan terlalu merasa terhina jika ia harus melawan. Bukan sekedar seorang cantrik tua, tetapi seorang prajurit Singasari.

Sebenarnyalah, Ki Dukut mulai memperhatikan kedua orang cantrik tua itu. Ada semacam perasaan lain setelah ia mengetahui bahwa kedua orang itu sebenarnya adalah prajurit Singasari. Yang menjadi berdebar-debar bukan hanya Ki Dukut sendiri, karena ternyata orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata kedua orang itu adalah prajurit Singasari. Tentu bukan dari tataran yang rendah.

Sejenak arena pertempuran itu dicengkam oleh ketegangan. Dengan demikian halaman padepokan Kenanga yang hiruk pikuk itu telah menjadi hening. Seolah-olah suasananya telah menjadi beku. Namun sejenak kemudian terdengar Ki Dukut Pakering itu tertawa menggelegar mengguncang udara diseputarnya. Terasa betapa suara tertawa Ki Dukut itu mencengkam jantung. Setiap orang merasa seolah-olah dada mereka telah dihantam oleh batu sebesar gunung

Mahisa Agni dan Witantra merasakan pula getaran itu menyentuh dinding dadanya. Tetapi bagi keduanya getaran itu tidak berarti apa-apa karena daya tahan mereka. Sementara itu Mahisa Bungalan masih juga harus menangkis serangan itu dengan kekuatan dari dalam dirinya, agar jantungnya tidak terguncang karenanya.

Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng, bahkan Ken Padmi dan apalagi para cantrik dari padepokan Kenanga, harus menekan dada mereka dengan telapak tangan mereka, agar dada mereka tidak pecah karenanya.

Dalam pada itu, Mahisa Agni pun bergeser setapak sambil berkata, “Jangan menjadi putus asa Ki Dukut. Kau berusaha untuk membunuh seisi padepokan ini dengan cara yang sangat mengerikan itu”

Disela-sela suara tertawanya terdengar Ki Dukut itu berkata, “Matilah kalian semuanya. Aku tidak peduli, apakah kalian orang-orang padepokan Kenanga atau orang-orang yang justru sedang menyerang padepokan ini. Mayat kalian akan memenuhi halaman padepokan ini. Namun, sebentar lagi, padepokan ini akan menjadi lautan api. Sisa mayat kalian pun akan berbaur dengan bara dan abu dari bangunan-bangunan yang ada di padepokan ini”

“Kau dapat berbuat demikian jika orang-orang yang ada di sini telah menjadi putus asa seperti kau sendiri” desis Witantra, “tetapi aku masih ada di sini. Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan masih di sini pula. Adalah menjadi kewajiban kami untuk mengakhiri permainanmu yang kasar itu”

Ki Dukut masih tertawa. Suaranya masih menggetarkan udara di sekitarnya. Bahkan setiap jantung bagaikan berhenti ketika Ki Dukut itu berteriak, “Aku akan membunuh semua orang dengan cara yang menarik ini. Bersedialah untuk mati”

“Kau kira kami adalah anak-anak dungu yang tidak tahu diri” sahut Mahisa Agni sambil bergeser mendekat. Lalu, “Bukankah aku dapat langsung membungkam sumber dari suara yang kasar dan buas ini?”

Ki Dukut pun menyadari. Tetapi ia ingin mendahuluiuya. Karena itu justru suaranya menghentak semakin dahsyat. Bahkan beberapa orang yang mendengar suara itu menjadi semakin lemah, dan satu dua di antara mereka menjadi pingsan.

Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkannya. Jika Ki Dukut itu masih mendapat kesempatan lebih lama lagi. Orang-orang yang berada di halaman itu akan menjadi pingsan semuanya. Bahkan Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng pun tidak akan dapat bertahan. Karena itu, maka Mahisa Agni itu pun bergeser semakin mendekat. Ki Dukut adalah orang yang sudah lama diburu bukan saja oleh muridnya Pangeran Kuda Padmadata, tetapi ia sendiri sependapat bahwa orang itu harus ditangkap, dalam keadaan yang bagaimana pun juga. Bahkan telah banyak terbuang waktu dan korban selama masa perburuan itu berlangsung. Karena itu, adalah satu kesempatan, bahwa Ki Dukut itu telah datang dengan sendirinya untuk menemuinya.

“Ki Dukut” berkata Mahisa Agni, “aku mohon kau menyadari keadaanmu. Aku tahu bahwa selama ini kau mengalami goncangan-goncangan perasaan, sehingga kau seolah-olah telah berubah dari kenyataanmu sebelumnya. Kau menjadi orang lain dari Ki Dukut Pakering yang pernah menjadi guru Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu, pada saat-saat terakhir seperti ini, aku berharap bahwa Ki Dukut masih sempat untuk mengerti tentang diri sendiri”

Tetapi suara Ki Dukut itu justru semakin menghentak-hentak. Beberapa orang cantrik lagi telah jatuh pingsan. Karena itu, agaknya tidak ada jalan lain lagi yang dapat ditempuh oleh Mahisa Agni kecuali dengan menghentikan sumber bunyi yang mengandung kekuatan yang dahsyat itu.

“Ki Dukut” gumam Mahisa Agni kemudian, “aku sudah siap untuk melawanmu. Jangan bangga karena kau dapat menidurkan beberapa orang cantrik kecil. Tetapi pandanglah aku yang mengemban tugas dari Singasari untuk menangkapmu atas laporan dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri, bahwa kau telah membahayakan ketenangan hidup orang banyak. Dan sekarang aku telah melihat sendiri, bahwa kau adalah benar-benar orang yang berbahaya”

Ki Dukut tidak menghiraukan. Ia benar-benar ingin meneriakkan lagu maut itu sampai tuntas. Namun Mahisa Agni tidak membiarkannya lebih lama lagi ia berteriak dan tertawa. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Agni telah meloncat maju. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada orang itu. Ia memang tidak ingin langsung menghancurkan tulang-tulang iga Ki Dukut yang bagaikan gila itu. Namun ia ingin mempengaruhinya untuk menghentikan suara tertawa dan teriakan-teriakannya yang mampu membuat orang lain menjadi pingsan.

Dalam pada itu, Ki Dukut yang semula menganggap bahwa Mahisa Agni hanya sekedar menakut-nakutinya itu terpaksa bergeser pula. Tetapi kemarahan yang sudah memuncak, telah mendorongnya untuk langsung berbuat sesuatu atas Mahisa Agni. Meskipun ia tidak dapat melakukan kedua serangan bersama-sama atas Mahisa Agni dan atas orang-orang yang berada di halaman itu dengan suara tertawa dan teriakan-teriakannya, namun ia memperhitungkan, bahwa apabila Mahisa Agni telah dilumpuhkan, maka orang-orang lain tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.

Karena itu, maka perhatian selanjutnya diarahkannya kepada Mahisa Agni, dan ia pun tidak boleh lengah atas orang yang menyebut dirinya Witantra di samping Mahisa Bungalan. Dengan garangnya maka Ki Dukut pun segera menyerang Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, maka serangan pertama Ki Dukut itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Namun Ki Dukut pun telah menyerang pula untuk kedua kalinya. Lebih cepat dan lebih mapan.

Meskipun demikian, serangannya itu pun sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Mahisa Agni meloncat ke samping selangkah. Namun Ki Dukut pun memburunya. Dengan ilmunya yang tinggi tangannya telah terayun mengarah ke pundak lawannya. Sekali lagi Mahisa Agni harus menghindar. Tetapi ia tidak mau sekedar harus menghindar dan meloncat menjauh. Karena itu, maka sambil menghindari serangan lawan, maka ia pun telah menyerangnya pula.

Demikian tangan Ki Dukut menyambar pundaknya, maka Mahisa Agni pun memiringkan tubuhnya sambil menarik sebelah kakinya. Namun yang tiba-tiba saja ia telah meloncat dan menyerang perut lawannya dengan kakinya. Tetapi Ki Dukut pun mampu bergerak secepat Mahisa Agni. Karena itu, maka kaki Mahisa Agni itu pun tidak mengenainya.

Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Ki Dukut semakin bernafsu untuk segera mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa agaknya kawan-kawan Mahisa Agni tidak ingin membantunya, sehingga yang terjadi itu pun seolah-olah adalah perang tanding.

Sebenarnyalah, mereka yang tidak sedang mengawasi orang-orang yang sudah dilumpuhkan dan menyerah, menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Bahkan Mahisa Bungalan pun menjadi tegang. Ia melihat keduanya semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga semakin sulit untuk diikuti.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah bertempur seorang melawan seorang dengan Ki Dukut itu, agaknya tidak hanya akan mempergunakan tenaga wadagnya saja. Demikian halnya dengan Ki Dukut yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Bukan saja pada kekuatan wadag, tetapi juga kekuatan yang terpancar dengan kekuatan getar di dalam dirinya yang mampu melontarkan tenaga dengan kekuatan wadag yang sangat besar, di samping sentuhan-sentuhan langsung pada pusat-pusat syaraf lawannya, dengan rabaan wadag atau bukan wadag.

Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin keruh dan membingungkan. Kadang-kadang gerak mereka menjadi sangat lamban. Namun terasa, lontaran-lontaran tenaga yang tidak kasat mata sedang bertarung dengan dahsyatnya.

Witantra menyaksikan pertempuran itu dengan seksama. Ia pun melihat, betapa tingginya ilmu Ki Dukut Pakering. Sementara itu Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng sudah tidak mampu lagi menilai pertempuran yang sedang berlangsung itu.

“Apa yang akan terjadi dengan kita berdua jika kita benar-benar harus melawannya” desis Ki Selabajra ditelinga Ki Watu Kendeng.

Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Ki Dukut benar-benar orang yang memiliki kemampuan seperti yang pernah didengarnya. Ia seolah-olah mempunyai kekuatan diluar jangkauan nalar manusia, sehingga ada yang menyebutnya, bahwa ia mempunyai landasan kekuatan dari mahluk-mahluk yang tidak kasat mata.

Tetapi dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni itu pun mampu mengimbanginya. Orang yang datang bersama Mahisa Bungalan dan disebutnya sebagai pamannya itu ternyata seorang yang memiliki kemampuan setingkat dengan Ki Dukut.

Namun Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng pun menjadi khawatir. Apakah orang yang bernama Mahisa Agni dan mengaku prajurit Singasari itu yakin bahwa dirinya akan menang, sehingga dengan demikian, kawannya Witantra, tidak ikut membantunya sama sekali. Jika Mahisa Agni itu dapat dikalahkan oleh Ki Dukut, apakah Witantra akan dapat mengimbanginya. Tetapi Ki Selabajra tidak bertanya. Jika keduanya sudah mengaku prajurit Singasari, maka yang mereka lakukan itu tentu akan dapat dipertanggung jawabkan terhadap Maharaja di Singasari.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin seru. Namun dalam pada itu, arena pertempuran itu pun telah menjadi berserakan. Pepohonan yang tersentuh kekuatan kedua orang itu berpatahan.

Ken Padmi menyaksikan pertempuran itu dengan tanpa berkedip. Ketika Mahisa Agni itu memperlihatkan beberapa kelebihan, ia sudah menjadi keheranan sebelum ia bersedia dibimbing oleh Mahisa Agni itu dalam olah kanuragan, sehingga ia dapat mengalahkan Marwantaka dan Wiranata. Namun kini ia melihat Mahisa Agni itu seutuhnya. Melihat ilmunya yang maha dahsyat. Bukan saja seperti permainan anak-anak yang tidak berarti, di saat-saat terjadinya sayembara tanding.

“Bagaimana perasaannya yang sebenarnya ketika ia melihat aku bertempur melawan Marwantaka dan kemudian Wiranata?” bertanya Ken Padmi ke dalam dirinya sendiri. Tersirat perasaan malu dan menyesal atas ke sombongannya, sehingga ia pun telah menantang Mahisa Bungalan untuk memasuki arena.

Dalam pada itu, Ki Dukut benar-benar telah sampai kepuncak ilmunya. Tangannya telah berubah seakan-akan menjadi bara yang menyala di dalam gelapnya malam. Setiap sentuhan akan berarti hangus ditubuh lawannya. Namun tangan Ki Dukut tidak pernah dapat menyentuh Mahisa Agni yang bertempur dangan kecepatan angin pusaran. Jika ia melihat lawannya, maka tangan Ki Dukut yang seolah-olah membara itu bagaikan kemamang yang terbang berputaran mengitari Mahisa Agni.

Namun dalam kecepatan geraknya, tubuh Mahisa Agni bagaikan tinggal sebuah bayangan yang nampak tetapi tidak teraba karenanya. Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agni lah yang kemudian lebih banyak mengenai tubuh Ki Dukut dengan sentuhan-sentuhan kekuatan raksasa. Betapa kuat daya tahan tubuh Ki Dukut, namun sentuhan-sentuhan itu akhirnya terasa juga sakit.

Dalam pada itu, kemarahan Ki Dukut semakin memuncak pula. Dengan demikian, maka ia pun telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Yang kemudian bagaikan membara bukan saja tangannya, tetapi hampir seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian, Ki Dukut mengharap bahwa lawannya tidak akan berani lagi menyentuh tubuhnya, agar tangannya tidak terbakar oleh panasnya ilmu yang terpancar dari tubuhnya itu.

Tetapi ternyata bahwa tangan Mahisa Agni, seolah-olah telah menjadi kebal. Ilmu Ki Dukut itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Serangan Mahisa Agni masih beruntun mengenai tubuhnya sehingga sekali-sekali Ki Dukut itu menyeringai menahan sakit.

Karena itulah maka Ki Dukut tidak lagi memusatkan perlawanannya kepada ilmunya yang dahsyat itu, karena seolah-olah tidak banyak bermanfaat untuk menghadapi Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian maka Ki Dukut pun kemudian memusatkan segenap tenaga dan ilmunya untuk mengatasi kecepatan geraknya.

Nampaknya Ki Dukut berhasil dengan usahanya. Sejenak kemudian, seolah-olah ia mampu mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Agni. Ia pun seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah. Tubuhnya melayang-layang dengan cepatnya susul menyusul dengan tubuh Mahisa Agni, sehingga keduanya seolah-olah hanyalah dua bayangan yang saling berkejaran.

Mereka yang menyaksikan pertempuran itu tidak lagi dapat mengerti apa yang telah terjadi, kecuali Witantra dan Mahisa Bungalan. Dengan berdebar-debar Witantra menyaksikan dua kemampuan raksasa sedang bertempur dengan garangnya. Keduanya adalah orang-orang berilmu yang memiliki pengalaman yang sangat luas dan dalam. Setiap kesalahan, betapa pun kecilnya, akan dapat berakibat gawat.

Sementara itu, Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra, Ken Padmi dan orang-orang yang menyaksikannya, tidak lagi dapat menyebutkan apa yang sedang terjadi itu. Sebenarnyalah pertempuran itu sudah melampaui benturan tenaga wajar dalam lambaran ilmu yang tinggi. Masing-masing memiliki kemampuan menggerakkan tenaga cadangan dan bahkan menyerap kekuatan yang terselubung pada diri masing-masing. Karena itu, maka pertempuran itu pun merupakan benturan dua ilmu yang sudah sampai pada tataran hampir sempurna.

Ki Dukut yang marah itu akhirnya tidak telaten lagi dengan pertempuran yang seakan-akan tidak lagi akan berakhir. Apalagi dalam tahap-tahap berikutnya, masih juga nampak bahwa Mahisa Agni memiliki kelebihan kecepatan selapis tipis dari Ki Dukut Pakering.

Karena itu, maka dalam kejemuannya, bukan saja dalam pertempuran itu. Tetapi juga ungkapan dari endapan perasaannya dalam keadaan yang paling kalut itu, kejemuannya pada petualangan yang dilakukannya untuk waktu yang sudah terlalu lama tanpa menghasilkan sesuatu, bahkan yang dialaminya adalah kegagalan-kegagalan yang paling memuakkan, maka Ki Dukut mengambil satu keputusan untuk menentukan akhir dari pertempuran itu. Apapun yang akan terjadi, hancur atau menghancurkan, ia akan melepaskan ilmu pamungkasnya yang hampir tidak pernah dipergunakan dalam petualangannya.

Namun menghadapi orang yang menyebut dirinya prajurit Singasari itu, ia bertekad untuk menentukan, apakah petualangannya itu akan berakhir atau berhasil. Karena itu, maka pada saat-saat terakhir, Ki Dukut telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk berusaha mengimbangi lawannya. Kemudian dengan tiba-tiba saja Ki Dukut telah meloncat menjauhi Mahisa Agni.

Ketika Mahisa Agni akan memburunya, maka ia pun terkejut melihat sikap Ki Dukut. Ki Dukut telah berdiri miring sambil merendahkan tubuhnya, tangannya bagaikan bergetar bersilang di depan wajahnya. Mahisa Agni pun tidak sempat berpikir panjang. Ia pun telah melompat menjauhi lawannya. Dengan sikap mapan ia menyilangkan tangannya di depan dadanya. Dengan segenap daya kemampuannya lahir dan batin, ia telah mengerahkan ilmu pamungkasnya, Gundala Sasra.

Dalam pada itu, Ki Dukut yang sudah memusatkan segenap ilmu puncaknya, tiba-tiba telah berteriak nyaring. Suaranya manggeletar bagaikan mengguncang langit. Dengan loncatan yang panjang ia mengayunkan tangannya langsung menghantam ke arah kepala Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni pun telah bersiap sebaik-baiknya. Ia telah mengetrapkah ilmunya pula untuk melawan ilmu puncak Ki Dukut Pakering.

Ketegangan yang memuncak telah mencengkam jantung Witantra dan Mahisa Bungalan, sementara orang-orang lain sudah tidak mampu lagi menilai apa yang bakal terjadi.

Ketika Ki Dukut mengayunkan tangannya, terasa seolah-olah jantung Witantra dan Mahisa Bungalan berhenti berdetak. Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat dari dua kekuatan yang hampir tidak dapat dinilai. Benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seluruh padepokan Kenanga. Daun-daun telah berguguran dari tangkainya. Bahkan rumah-rumah yang berdiri tegak di lingkungan padepokan itu pun bagaikan telah diguncang oleh gempa.

Demikianlah benturan itu ternyata telah melemparkan Mahisa Agni beberapa langkah surut. Bahkan ia pun telah terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Terasa tulang-tulangnya bagaikan berpatahan, sementara dadanya pun menjadi sesak. Malam rasa-rasanya menjadi semakin gelap pekat dan bintang di langit pun rasa-rasanya telah berputaran. Namun Mahisa Agni masih mampu bangkit dan duduk di tanah. Sesaat ia memusatkan segenap daya tahan tubuhnya untuk mengalasi goncangan yang terjadi pada dirinya.

Pada saat yang bersamaan, ternyata Ki Dukut Pakering yang pernah menjadi guru dari Pangeran Kuda Padmadata itu, telah terlempar pula. Kekuatan yang luar biasa, yang tersalur pada hentakan pukulan tangannya, telah membentur kekuatan yang tidak terduga pula. Karena itu, maka kekuatan yang membentur kekuatan yang justru melampaui kekuatannya itu seolah-olah telah memental dan memukul dirinya sendiri. Bahkan kekuatan Mahisa Agni bukan saja kekuatan yang bertahan, namun Mahisa Agni telah menghentakkan tangannya pula tepat pada saat benturan itu terjadi.

Dengan demikian, maka kekuatan yang ganda itu telah menghantam bagian dalam tubuh Ki Dukut Pakering. Demikian dahsyatnya hentakan kekuatan itu sehingga betapapun tinggi daya tahan tubuh Ki Dukut Pakering, namun ternyata ia tidak mampu melawan kekuatan ganda yang memukul jantungnya. Rasa-rasanya jantung Ki Dukut itu telah terbakar di dalam dadanya, sehingga detaknya pun telah terganggu karenanya. Ki Dukut yang terjatuh beberapa langkah dari benturan itu, sempat menggeliat. Dadanya serasa telah pecah, dan tulang-tulangnya berpatahan.

Ketika Mahisa Agni perlahan-lahan dapat menguasai perasaan sakitnya, maka Ki Dukut justru menjadi semakin parah. Bahkan kemudian, dari mulutnya telah terdengar desah tertahan-tahan.

Witantra yang dengan serta merta berlari-lari mendekati Mahisa Agni pada saat benturan terjadi, menjadi tenang ketika ia melihat Mahisa Agni masih sempat bangkit dan mengatur pernafasannya dan memusatkan daya tahannya. Justru karena itu, maka ia pun berkata kepada Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra yang juga mendekati Mahisa Agni bersama Mahisa Bungalan dan Ken Padmi, “Awasilah. Jangan diganggu”

Ki Selabajra mengangguk kecil. Sementara Witantra pun telah meninggalkan Mahisa Agni dan mendekati Ki Dukut yang terbaring.

“Ki Dukut” desis Witantra.

Terdengar nafas orang itu terengah-engah. Namun sejenak kemudian, betapapun lirihnya, terdengar Ki Dukut berkata, “Bagaimana dengan prajurit itu?”

Witantra menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menjawab apa adanya, “Ia berhasil bertahan”

Ki Dukut mengerang menahan-sakit di selaruh tubuhnya. Sementara beberapa orang telah mendekatinya. Marwantaka dan Wiranata yang terluka pun berusaha untuk mendekat. Sementara beberapa orang cantrik telah datang sambil membawa obor-obor minyak.

Kesan Ki Dukut pada saat terakhir itu sangat mengejutkan. Ternyata Ki Dukut yang sudah menjadi sangat lemah itu berdesis, “Jadi ia tidak mati?”

Witantra menggeleng sambil menjawab, “Tidak Ki Dukut”

Witantra menjadi berdebar-debar. Tetapi ia pun kemudian mendengar Ki Dukut itu berdesis, “Orang itu memang luar biasa. Ilmunya melampaui segala ilmu yang pernah aku pelajari. Syukurlah bahwa aku tidak membunuhnya. Ia tidak boleh mati. Akulah yang seharusnya mati” Ki Dukut berdesis. Nampak betapa sakit tubuhnya. ketika Witantra berusaha membantunya, ia berkata, “Tidak ada gunanya. Biar sajalah aku mati. Aku kira kematian adalah jalan yang paling baik. Aku sudah jemu bertualang. Aku sudah jemu dengan segala macam kegagalan yang aku alami. Lebih dari itu, aku menyesali justru pada saat yang sudah terlambat”

“Tidak” jawab Witantra, “belum terlambat. Kau dapat menyatakan diri bahwa kau menyesali segala tingkah lakumu. Jika kau masih menyadari apa yang telah kau lakukan, maka kau dapat bertaubat sekarang”

Nafas Ki Dukut semakin memburu. Tetapi ia masih berusaha untuk berbicara, “Apa itu mungkin?”

“Mungkin, mungkin sekali Ki Dukut” jawab Witantra.

Ki Dukut terdiam sejenak. Kemudian perlahan sekali ia berdesis, “Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuni segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Dosaku sudah tidak terhitung lagi dan apakah masih ada ruang pengampunan yang dapat menerima aku”

“Tentu” jawab Witantra, “Tuhan Yang Maha Agung adalah Yang Maha Pengampun”

“Aku mohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Agung” ia berhenti sejenak. lalu, “aku minta maaf kepada muridku. Pangeran Kuda Padmadata. Apakah kau mau mengatakannya”

“Ya. Ya. Aku akan mengatakan” jawab Witantra.

“Apakah kau mau juga menyampaikan kepada Ki Kasang Jati?” bertanya Ki Dukut.

“Akan aku sampaikan” jawab Witantra.

“Kami telah bermusuhan sejak lama sekali. Sampaikan kepadanya, aku sudah menghentikan sikap bermusuhan itu” berkata Ki Dukut.

“Ya. ya. Akan aku sampaikan” jawab Witantra.

“Kepada Ki Selabajra. kepada Watu Kendeng dan kepada siapa saja. Aku minta maaf” tetapi suaranya menjadi semakin lambat.

“Semuanya akan memaafkanmu Ki Dukut”

Di bawah cahaya obor nampak Ki Dukut tersenyum. Kemudian terdengar ia berdesis, “Terima kasih Ki Sanak. Apakah kau salah seorang dari prajurit Singasari itu?”

“Ya, Ki Dikit” jawab Witantra.

“Kepergianku akan mengurangi gejolak. Terima kasih atas perhatianmu pada saat terakhir” desis Ki Dikut.

Perasaan Witantra ternyata telah tersentuh juga. Pada saat-saat Ki Dukut sampai ke Sang Penciptanya, maka ia telah mengenali kembali dirinya sendiri dan bahkan ia telah mengakui segala kesalahannya.

Dalam pada itu. Justru pada saat terakhir itu, nafas Ki Dukut bagaikan menjadi semakin teratur. Ia menggerakkan kaki dan dan kemudian menyilangkan tangannya di dadanya. Ia masih berusaha untuk berbicara. Sementara Witantra telah melekatkan telinganya di mulut Ki Dukut yang lemah,

“Ki Sanak. Aku juga minta maaf kepadamu. Kepada kawanmu yang telah membebaskan aku dari tekanan penderitaan batin selama ini. Selamat tinggal”

“Ki Dukut, Ki Dukut” desis Witantra.

Tetapi Ki Dukut tidak mendengarnya lagi. ia telah pergi untuk selamanya.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian berdiri, ia melihat Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah berdiri di belakangnya. “Ia telah pergi” berkata Witantra.

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sementara Witantra berkata selanjutnya, “Namun dengan demikian ia merasa dirinya terbebas dari segala tekanan batin atas kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya. Lebih dari itu, di saat terakhir ia telah bertaubat dengan sungguh-sungguh."

Ki Selabajra mengangguk-angguk. Sementara Witantra meneruskan, “Ia sempat minta maaf kepada Ki Selabajra kepada Ki Watu Kendeng, kepada semuanya juga”

Ki Watu Kendeng melangkah mendekatinya. Ketika ia berjongkok dan mengamati wajah Ki Dukut, katanya, “Ya. Nampaknya ia pergi dengan tenang, meskipun ia telah dihantam oleh ilmu yang dahsyat sekali. Tentu isi dadanya telah rontok karena hentakan ganda. Karena tenaganya sendiri dan karena dorongan kekuatan ilmu Mahisa Agni. Namun sama sekali tidak terbayang rasa sakit di wajahnya”

“Justru ia telah pasrah” desis Ki Selabajra, “mudah-mudahan pengakuan dan penyesalannya di saat terakhir dapat didengar oleh Sang Pencipta”

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih ditunggu oleh Mahisa Bungalan dan Ken Padmi pun menjadi semakin baik. Bahkan kemudian Mahisa Agni telah menggeliat sambil menarik nafas dalam-dalam. Ketika Mahisa Agni kemudian bangkit perlahan-lahan, maka Mahisa Bungalan segera membantunya sambil bertanya, “Bagaimana keadaan paman?”

“Sudah semakin baik Mahisa Bungalan. Aku sudah dapat mengatasi kesulitan pernafasanku” jawab Mahisa Agni, “mudah-mudahan untuk selanjutnya aku tidak terganggu karenanya”

Mahisa Bungalan memang melihat keadaan Mahisa Agni menjadi semakin baik. Bahkan ketika ia kemudian melepaskannya, Mahisa Agni sudah dapat berdiri tegak. Selangkah-selangkah Mahisa Agni mencoba berjalan. Ternyata sudah terbebas dari segala macam akibat karena benturan ilmu dengan Ki Dukut, selain perasaan nyeri pada tulang-tulangnya. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian melangkah menuju Witantra yang duduk di samping tubuh Ki Dukut yang terbujur.

“Ia sudah meninggal” berkata Witantra ketika Mahisa Agni berdiri di sampingnya. Dalam pada itu Witantra pun sempat menceriterakan kepada Mahisa Agni, apa yang telah terjadi pada saat-saat terakhir dari hidup Ki Dukut.

“Syukurlah” desis Mahisa Agni sambil memandang tubuh yang terbujur diam, “adalah tugas kita untuk menyelenggarakan korban-korban yang jatuh dalam pertempuran ini, termasuk Ki Dukut itu sendiri”

Demikianlah, maka padepokan itu telah mendapat satu kesibukan baru. Orang-orang yang terluka dan menyerah telah dikumpulkan di pendapa padepokan, sementara yang lain telah mengumpulkan pula korban yang jatuh dari kedua belah pihak.

Marwantaka dan Wiranata sendiri, yang juga terluka, tidak dapat berbuat apa-apa selain minta maaf atas segala tingkah lakunya. Mereka merasa diri mereka terlalu kecil berhadapan dengan Mahisa Bungalan yang memiliki ilmu yang dahsyat. Apalagi dihadapan Mahisa Agni dan Witantra.

“Kalian telah menjadi korban perasaan kalian yang tidak terkendali” berkata Mahisa Agni kepada kedua anak muda itu, “sementara tenaga kalian masih sangat dibutuhkan oleh lingkungan kalian. Mungkin bagi padepokan kalian atau bagi padukuhan. Jika kalian mampu menyalurkan gejolak perasaan muda kalian bagi yang bermanfaat, maka alangkah besar sumbangan kalian kepada sesama di sekitar kalian”

Marwantaka dan Wiranata hanya dapat menunduk, sementara luka mereka telah mendapatkan pengobatan sementara.

“Kita akan mengakhiri segala permusuhan” berkata Ki Selabajra kepada kedua anak muda itu, “pertengkaran diantara kita, hanya akan menghasilkan bencana seperti yang telah terjadi hari ini. Kematian, luka parah dan korban harta benda. Apakah kita tidak dapat berbuat lain dari pertentangan-pertentangan yang berkepanjangan?”

Kedua anak muda itu masih saja menduduk. Namun kemudian terdengar Marwantaka berdesis, “Kami telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Meskipun demikian, aku memberanikan diri untuk mohon kesempatan memperbaiki kesalahan itu”

“Kami bukan pendendam” desis Ki Watu Kendeng, “kalian tentu akan mendapat kesempatan untuk mencobanya dengan satu kehidupan baru. Kalian harus mengubur sifat dan cara hidup kalian yang lama untuk memasuki satu masa kehidupan baru”

Namun Jawaban Ki Watu Kendeng itu agaknya belum memberikan kepuasan kepada anak-anak muda itu. Hampir di luar sadar, mereka memandang Ki Selabajra dan Mahisa Bungalan berganti-ganti.

Ki Selabajra yang berdiri di sebelah Ki Watu Kendeng itu pun mengangguk kecil sambil berkata, “Aku sependapat anak-anak muda. Yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng itu, juga yang akan aku katakan kepada kalian”

Marwantaka dan Wiranata tidak dapat menjawab lagi. Terasa perasaannya benar-benar telah tersentuh. Justru karena itu mereka semakin merasa bersalah atas segala tingkah laku mereka. Dalam pada itu, maka Marwantaka dan Wiranata pun kemudian minta diri. Namun mereka harus membawa kawan-kawan mereka yang telah menjadi korban gejolak kemurkaan mereka.

Namun ternyata korban yang terbunuh tidak terlalu banyak. Mahisa Agni dan Witantra memang tidak membunuh lawan-lawan mereka. Meskipun sebagian besar dari mereka terluka, dan ada di antara mereka yang kehilangan kemampuan untuk bertempur tanpa luka di kulit, tetapi ternyata tulang-tulang mereka rasanya bagaikan berpatahan.

Sementara itu, maka Marwantaka dan Wiranata telah minta kepada Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng untuk membawa Ki Dukut bersama mereka, karena Ki Dukut itu pun datang ke padepokan itu bersama mereka pula. Yang kemudian ditinggalkan di padepokan itu adalah korban-korban yang jatuh dari padepokan Kenanga sendiri. Namun korban itu pun tidak banyak. Ternyata Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah berhasil melindungi para cantrik dengan sebaik-baiknya.

Malam itu juga padepokan Kenanga berusaha membersihkan segala sesuatu bekas pertempuran yang mendebarkan jantung itu. Mereka, para penghuni padepokan itu telah mempersiapkan pula alat-alat penyelenggaraan korban yang terbunuh itu di keesokan harinya.

Demikianlah, maka padepokan kecil itu telah diliputi oleh perasaan duka, karena ada di antara para cantrik yang menjadi korban. Sementara itu, Ken Padmi seolah-olah tidak berani menampakkan dirinya di luar biliknya. Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah berusaha untuk memenangkan hatinya. Namun setiap kali Ken Padmi berkata, “Akulah yang bersalah. Aku telah menyebabkan kematian para cantrik yang tidak berdosa itu”

“Bukan salahmu Ken Padmi” berkata Ki Watu Kendeng, “mereka gugur untuk mempertahankan padepokan mereka yang diserang oleh sekelompok orang-orang yang ingin merusak padepokan ini apapun sebabnya”

“Tetapi sebab itu sudah jelas” isak Ken Padmi.

“Jangan menyalahkan diri sendiri” berkata ayahnya, “kita semuanya berada di dalam kekuasaan Sang Pencipta. Kita tidak dapat mengelakkan diri dari apa yang sudah digariskanNya”

“Tetapi kenapa akulah yang kali ini menjadi alat” keluh Ken Padimi.

“Jangan mengeluh seperti itu Ken Padmi, seolah-olah kau telah mencela keharusan yang berlaku. Kita semua harus menerima segalanya dengan ikhlas, karena kita memang hanya pantas untuk menerimanya. Jika diperlakukan sesuatu atas diri kita, tentu hal itu bukannya tanpa maksud. Hanya kepicikan pengetahuan dan kedunguan kita sajalah yang menyebabkan kita tidak mengetahui, apakah sebenarnya maksud yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa ini” kata Ki Selabajra.

Ken Padmi tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih terisak-isak. Rasa-rasanya ia adalah penyebab dari setiap kematian. Dan ia tidak akan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab itu. Namun dalam pada itu, ketika akhirnya Mahisa Agni dan Witantra memberikan beberapa nasehat pula, akhirnya hati Ken Padmi dapat sedikit menjadi tenang.

Demikianlah untuk beberapa saat lamanya, Ken Padmi masih diliputi oleh perasaan gelisah. Tetapi kehadiran Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan di padepokan itu untuk hari-hari berikutnya, dapat menjadi landasan dan pegangan perasaannya menghadapi masa-masa mendatang yang masih panjang.

Untuk beberapa lama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tetap berada di padepokan itu. Mereka masih menganggap perlu untuk tetap mengawasi keadaan. Mungkin masih ada persoalan-persoalan yang tumbuh akibat dari pertempuran yang telah menjatuhkan beberapa orang korban, termasuk Ki Dukut Pakering itu.

Sementara itu, dalam kesempatan selama berada di padepokan Kenanga dan selagi Ki Watu Kendeng berada di padepokan itu pula, maka Mahisa Agni dan Witantra, atas nama Mahendra telah berbicara pula tentang Ken Padmi. Sementara Ki Watu Kendeng yang telah menganggap Mahisa Bungalan sebagai pengganti anaknya telah menyaksikan pula setiap pembicaraan tentang kedua orang anak muda itu.

Namun dalam pada itu, Ken Padmi telah menjadi sangat malu jika ia teringat akan kesombongannya, bahwa ia telah menantang Mahisa Bungalan untuk memasuki arena, selagi ia mengetahui bahwa Mahisa Agni dan Witantra datang ke padepokan itu justru atas pengetahuan Mahisa Bungalan, dan kedua orang itu adalah orang-orang yang telah membimbing Mahisa Bungalan pula dalam olah kanuragan. Tetapi segalanya itu telah terjadi, dan gadis itu tidak akan bertahan lagi pada harga dirinya yang berlebihan agar tidak terjadi lagi bencana yang mengerikan bagi padepokannya.

Dalam pada itu, di hati kecilnya, Ken Padmi pun merasa kurang mapan atas segala pembicaraan yang dilakukan oleh ayahnya dengan Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi ia tidak ingin mengulangi kesulitan yang pernah terjadi. Ia tidak mau lagi menolak segala pembicaraan itu karena bukan ayah Mahisa Bungalan sendiri yang datang. Jika sebelumnya Mahisa Bungalan pernah menolak pembicaraan tentang dirinya oleh Ki Watu Kendeng dan memberikan alasan untuk menyampaikan persoalannya kepada ayahnya sendiri, maka kini ternyata yang membicarakannya bukan ayah Mahisa Bungalan sendiri.

Dengan demikian, maka segala pembicaraan pun telah berjalan dengan lancar. Tidak ada lagi jarak yang membatasi kedua anak muda itu. Masing-masing telah membuka hatinya, sementara orang-orang tua pun telah merestuinya. Meskipun demikian, rasa-rasanya kegelapan pada padepokan itu masih saja membayang. Karena itu, maka orang-orang tua pun mempertimbangkan, sebaiknya Ken Padmi untuk sementara meninggalkan padepokan Kenanga.

“Biarlah ia pergi ke Singasari bersama kami” berkata Mahisa Agni.

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Adalah berat sekali untuk melepaskan seorang anak gadis meninggalkan rumahnya mengikuti seseorang yang kelak akan menjadi suaminya. Namun untuk membiarkan Ken Padmi tetap berada di padepokan rasa-rasanya Ki Selabajra pun mencemaskannya. Seolah-olah yang telah terjadi itu akan terulang kembali.

“Kami yang tua-tua ini akan menjaganya“ berkala Witantra kemudian.

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Aku titipkan Ken Padmi kepada Ki Mahisa Agni dan Ki Witantra. Biarlah anak itu ikut dengan kalian berdua”

Witantra mengangguk kecil, la mengerti maksud Ki Selabajra. Maka katanya, “Baiklah Ki Selabajra. Ken Padmi akan pergi bersama kami untuk sementara. Maksudku, aku dan Mahisa Agni. Bukan Mahisa Bungalan”

Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Segalanya terserah kepada kalian berdua. Jika datang saatnya kedua anak itu akan mengikat hubungan mereka dalam perkawinan, aku mohon untuk mendapat berita”

“Oh, tentu” jawab Mahisa Agni, “mana mungkin hal itu terjadi di luar pengetahuan Ki Selabajra sebagai ayah Ken Padmi”

Ki Selabajra tersenyum. Jawabnya, “Aku merasa cemas. Jika kalian sudah berada di Singasari, maka kalian adalah orang-orang penting. Kalian akan melupakan kami, orang-orang padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa”

“Berarti atau tidak berarti, tetapi Ki Selabajra adalah ayah Ken Padmi” ulang Mahisa Agni.

Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya seolah-olah bergumam kepada diri sendiri, “Aku memang ayahnya”

“Karena itu, maka segalanya akan bertumpu kepada Ki Selabajra” desis Witantra.

Ki Selabajra masih mengangguk-angguk. Kemudian katanya, ”Baiklah. Aku akan mencoba melepaskan kegelisahanku. Biarlah Ken Padmi ikut bersama kalian”

Demikianlah, maka dihari berikutnya Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan pun telah berkemas-kemas. Akan pergi bersama mereka Ken Padmi yang jarang sekali meninggalkan padepokannya, sehingga karena itu, ia pun menjadi sangat gelisah. Namun sudah menjadi keputusan, bahwa sebaiknya ia meninggalkan padepokannya untuk sementara, karena di padepokan itu, ia tidak mendapat perlindungan yang cukup.

Sementara itu, Ki Watu Kendeng masih berada di padepokan itu pula. Ia pun akan meninggalkan padepokan itu bersama dengan Mahisa Agni. Bahkan ia telah minta Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan singgah barang satu dua hari di padepokannya. Mahisa Agni tidak dapat menolak. Karena itu, ketika segalanya sudah siap, maka mereka pun meninggalkan padepokan Kenanga menuju ke padepokan Watu Kendeng.

Ken Padmi yang berada di dalam iring-iringan itu, tidak dapat menahan air matanya. Ia akan meninggalkan padepokan dan keluarganya untuk waktu yang tidak ditentukan. Satu hal yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.

Perjalanan ke Watu Kendeng bukannya satu perjalanan yang terlalu panjang. Mereka melalui jalan bulak di antara tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dan rakyat dipadukuhan di sekitar padepokan. Namun mereka pun melalui jalan yang menjelujur di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat.

Sementara itu, Ken Padmi yang berkuda pula seperti orang-orang lain dalam iring-iringan itu, telah mengenakan pakaian khususnya, seperti yang selalu dipakainya dalam olah kanuragan.

Dalam perjalanan itu, Mahisa Agni telah bersepakat dengan Witantra untuk sekaligus singgah di Kediri. Bagaimanapun juga, mereka merasa perlu untuk memberitahukan kepada Pangeran Kuda Padmadata bahwa Ki Dukut Pakering telah terbunuh dalam satu perang tanding dengan Mahisa Agni.

“Tidak ada jalan keluar untuk menghindari benturan ilmu itu” berkata Mahisa Agni, “karena itu, nampaknya hal itu memang harus terjadi. Mau tidak mau”

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Pangeran Kuda Padmadata tentu mengetahui watak dan sifat gurunya. Karena itu, ia akan menerimanya dengan hati terbuka. Tidak ada pilihan lain kecuali jalan satu-satunya itu”

Demikianlah, mereka telah sepakat. Dari Watu Kendeng mereka akan singgah di Kediri. Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Bungalan dan Ken Padmi berada di Watu Kendeng tidak terlalu lama. Mereka pun segera minta diri untuk meneruskan perjalanan. Seperti yang direncanakan, maka mereka akan singgah di Kediri, untuk memberi tahukan kepada Pangeran Kuda Padmadata bahwa gurunya telah tiada lagi. Perjalanan ke Kediri memang cukup panjang. Namun mereka tidak mengalami gangguan sesuatu di perjalanan.

Ketika mereka memasuki regol istana Pangeran Kuda Padmadata maka Pangeran itu pun telah terkejut karenanya. Ketika seorang pengawal memberitahukan kepadanya bahwa diluar ada beberapa orang tamu, maka dengan tergesa-gesa ia pun telah menyongsongnya. Apalagi ketika kemudian diketahuinya bahwa tamu-tamunya itu adalah orang-orang yang sudah dikenalnya baik-baik.

“Marilah, silahkan” Pangeran itu mempersilahkan mereka naik ke pendapa.

Ken Padmi memandangi istana itu dengan heran. Lantainya yang halus licin di bentangi tikar yang putih. Tiang-tiang kayu yang berukir dan bersungging halus berdiri tegak dengan agungnya. Ternyata Pangeran Kuda Padmadata telah menyambut kedatangan mereka dengan ramah sekali. Karena itulah, maka Ken Padmi pun merasa dirinya semakin kecil. Apa yang pernah dilakukannya atas Mahisa Bungalan membuatnya semakin segan terhadap anak muda itu.

“Seorang Pangeran pun bersikap sangat baik kepadanya. Sementara di padepokan kecil, aku memperlakukannya kurang wajar” berkata Ken Padmi menyesali diri di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah diterima oleh Pangeran Kuda Padmadata di pendapa. Ken Padmi rasa-rasanya menjadi sangat canggung. Jika ia duduk di pendapa rumahnya, padepokan Kenanga, rasa-rasanya ia adalah orang yang paling terhormat. Namun di pendapa yang besar dan megah itu, ia telah susut menjadi terlalu kecil.

Apalagi ketika Mahisa Agni memperkenalkannya sebagai seorang gadis padepokan. Mahisa Agni telah menyebutnya dengan terus terang, bahwa Ken Padmi berasal dari padepokan Kenanga. Sebuah padepokan kecil dan terpencil. Wajah Ken Padmi rasa-rasanya menjadi panas. Kepalanya telah tertunduk dalam-dalam. Terasa bahwa dalam perjalanan hidupnya, ia telah merambah jalan yang memang tidak sepantasnya dilaluinya.

“Aku hanya seorang gadis padepokan. Seorang gadis yang tidak berharga. Dan itu sudah dikatakan oleh paman Mahisa Agni kepada Pangeran itu” berkata Ken Padmi didalam dirinya. Hampir saja mulutnya meneriakkannya. Tetapi untunglah bahwa ia menyadarinya, bahwa ia berada di sebuah pendapa yang agung.

Namun demikian, ia mulai merasa kecewa bahwa ia telah berada di antara orang-orang besar dari Singasari. Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan adalah orang-orang terhormat, sebagaimana dinyatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata terhadap mereka.

“Mereka tentu dengan sengaja menyakiti hatiku” berkata Ken Padmi di dalam hatinya, “mereka tentu pernah mendengar laporan Mahisa Bungalan. Bahwa ia telah diperlakukan tidak pada tempatnya di padepokan Kenanga. Karena itu, kini pamannya itu tentu ingin menunjukkan, betapa kecilnya aku dan padepokan Kenanga itu sebenarnya”

Tetapi Ken Padmi itu menjadi heran ketika ia mendengar Pangeran Kuda Padmadata itu berkata, “Jika demikian, gadis ini berasal dari tempat yang sama seperti isteriku. Ia juga berasal dari sebuah padepokan kecil”

Ken Padmi mengerutkan keningnya. Apakah maksud Pangeran Kuda Padmadata sebenarnya.

Namun demikian Pangeran itu berkata, “Marilah Ken Padmi. Aku perkenalkan kau dengan isteriku yang juga seseorang yang berasal dari sebuah padepokan seperti kau”

Ken Padmi memandang Pangeran itu dengan bimbang. Namun nampaknya Pangeran itu bersungguh-sungguh. Bahkan Mahisa Bungalan pun berkata, “Pergilah ke serambi. Yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata memang sebenarnya. Puteri memang berasal dari padepokan seperti yang dikatakannya tanpa menyembunyikannya, karena aku mengenal sifat yang berterus terang dan terbuka dari Pangeran Kuda Padmadata”

Ken Padmi masih termangu-mangu. Namun Pangeran Kuda Padmadata menjelaskan, “Jangan ragu-ragu. Sebenarnyalah seperti yang aku katakan. Ia adalah anak padepokan. Mungkin padepokan yang lebih kecil dari padepokan Kenanga. Padepokan isteriku itu adalah padepokan yang terletak di pinggir hutan. Aku menemukannya pada saat aku berburu di hutan itu”

Ken Padmi masih tetap termangu-mangu. Namun ketika Pangeran Kuda Padmadata beringsut dan turun ke serambi samping, ia pun dengan ragu-ragu mengikutinya. Bahkan sekali-sekali ia berpaling ke arah mereka yang masih tetap duduk di pendapa.

“Duduklah” Pangeran Kuda Padmadata pun mempersilahkannya, “Aku akan memanggil isteriku”

Sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Padmadata telah masuk ke ruang dalam dan sejenak kemudian ia telah kembali ke serambi bersama seorang puteri dalam pakaian yang indah dan agung. Sulit bagi Ken Padmi untuk percaya bahwa puteri itu adalah seorang gadis padepokan seperti yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata.

“Mereka telah memperolok-olokkan aku” berkata Ken Padmi di dalam hatinya. Rasa-rasanya ia ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya oleh perasaan malu dan gelisah. Namun justru karena itu, maka dadanya rasa-rasanya menjadi sesak oleh himpitan perasaan yang tidak terlontarkan.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata itu pun membimbing isterinya dan memperkenalkannya kepada Ken Padmi, “Ken Padmi. Inilah isteriku yang aku katakan kepadamu. Ia juga berasal dari padepokan seperti kau. Tetapi kau masih mempunyai kelebihan seperti yang dikatakan oleh paman Mahisa Agni ketika ia memperkenalkanmu. Sementara isteriku sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun. Namun aku mencintainya dan ia juga mencintai aku. Dengan bekal itulah aku membangun rumah tangga ini”

Ken Padmi kebingungan untuk menanggapinya. Justru karena itu ia tetap berdiam diri. Namun wajahnya menjadi kemerah-merahan oleh kegelisahan.

“Temuilah gadis ini” berkata Pangeran Kuda Padmadata kepada isterinya, “nampaknya ada hubungan khusus antara gadis ini dengan Mahisa Bungalan”

Terasa jantung Ken Padmi semakin cepat berdetak. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadata pun segera kembali ke pendapa, sementara isterinya duduk bersama Ken Padmi di serambi. Baru kemudian Ken Padmi percaya bahwa isteri Pangeran Kuda Padmadata itu seorang perempuan yang berasal dari padepokan setelah puteri itu sendiri menceriterakannya.

“Karena itu, jangan merasa asing di rumah ini” berkata isteri Pangeran Kuda Padmadata itu, “rumah ini adalah rumahku. Seorang perempuan dari lingkungan rendah pula. Mula-mula aku pun merasa aneh berada di rumah ini. Tetapi akhirnya aku terbiasa pula. Dan aku menganggap rumah ini tidak lebih dari rumahku seperti rumahku di padepokan kecil itu”

Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Terima kasih puteri, bahwa aku diperkenankan tinggal barang sesaat di istana ini”

“Kau boleh tinggal di sini untuk waktu yang tidak terbatas, sebagaimana kau berada di padepokan yang akan dapat memberikan tempat kepada siapapun yang kemalaman dan dapat memberikan makan kepada siapa pun yang kelaparan dalam perjalanan” berkata isteri Pangeran Kuda Padmadata. Lalu, “justru kehadiranmu memberikan kesegaran dalam kehidupanku yang terasa gersang dan tandus. Sehari-hari aku dibatasi oleh pangeran yang berlaku bagi seorang puteri. Apalagi jika dalam kewajiban tertentu aku harus berada di tengah-tengah isteri para Pangeran yang lain. Rasa-rasanya aku sedang menjalani hukuman yang sangat berat. Kadang-kadang aku memang merindukan untuk berada kembali di tangah-tengah alam padepokan. Di sawah dan pategalan. Di antara dendang gadis-gadis yang sedang memetik hasil sawah dan dalam alunan suara seruling gembala di lereng-lereng bukit dan padang rerumputan”

Ken Padmi menundukkan kepalanya. Ternyata bahwa kehidupan yang dilihatnya, sangat indah itu terasa juga gersang dan tandus bagi puteri, isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.

Namun dalam pada itu, puteri itu pun berkata, “Tetapi untunglah bahwa Pangeran Kuda Padmadata dapat mengerti perasaanku. Sekali-sekali Pangeran telah mengajak aku bertamasya ke tanah persawahan dan hijaunya pategalan. Kadang-kadang aku telah dibawanya berburu, sebagaimana Pangeran pernah menemukan aku. Namun betapapun juga, masih juga terasa kegersangan itu, karena dalam perburuan, kami selalu dikelilingi oleh sepasukan pengawal yang seharusnya memang mengawal keselamatan kami. Apalagi pada saat-saat yang menegangkan, dimana keselamatan kami selalu dibayangi oleh guru Pangeran Kuda Padmadata sendiri. Ki Dukut Pakering”

“Ki Dukut” desis Ken Padmi.

“Ya”

Ken Padmi pun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang peristiwa yang telah terjadi di padepokannya, sehingga Ki Dukut itu telah terpancing untuk mencampurinya. Namun agaknya ia bernasib buruk, sehingga Mahisa Agni ternyata telah berperang tanding dan berhasil membunuhnya.

“Oh” puteri itu mengangguk-angguk, “apakah dengan demikian berarti, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak selalu dibayangi oleh kekejamannya”

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni dipendapa sedang menceriterakan apa yang telah terjadi, sehingga Pangeran Kuda Padmadata mendapat keterangan tentang kematian Ki Dukut Pakering. Pangeran itu menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga Ki Dukut adalah gurunya. Meskipun Pangeran Kuda Padmadata sendiri pernah berniat untuk memburu dan membunuhnya, namun berita kematiannya telah menggetarkan jantungnya pula.

“Namun dengan demikian penderitaannya telah berakhir” desis Witantra, “selama ini ia selalu disiksa oleh satu keinginan yang tidak pernah dapat dicapainya. Kematian baginya adalah jalan terbaik untuk mengurangi dosa-dosa yang masih akan dilakukannya. Pangeran tidak perlu mencemaskan masa langgengnya, karena justru pada saat terakhir ia masih sempat mengucapkan lontaran perasaannya dalam pertaubatan, ia masih sempat melihat kepada diri sendiri dan mengakui segala dosa-dosanya”

Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sukurlah jika ia tidak terjerumus sampai batas terakhir. Mudah-mudahan pengakuan segala dosa-dosanya pada saat terakhir itu akan didengar oleh Sang Maha Agung”

“Apapun juga yang terjadi dengan Ki Dukut Pakering, namun itu adalah yang terbaik baginya”, desis Witantra kemudian.

“Ya. Memang tidak ada jalan pelepasan yang lebih baik baginya,“ ulang Pangeran Kuda Padmadata.

Dengan demikian, maka Pangeran Kuda Padmadata harus mengikhlaskan gurunya pergi sebagaimana ia harus mengikhlaskan adiknya. Bahkan hilangnya Ki Dukut, agaknya akan dapat memberikan ketenangan kepada keluarganya.

Sementara itu, Ki Wastu yang sedang pergi bersama cucu laki-lakinya, terkejut juga ketika ia kembali dan menemukan tamu-tamunya di pendapa. Dengan gembira ia menemui mereka yang sudah duduk di pendapa dan membawa cucunya bersamanya.

Putera Pangeran Kuda Padmadata itu sudah mengenal tamu-tamunya, terutama Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia pun segera menjadi akrab dan tidak segan-segan untuk ikut serta berceritera.

Ki Wastu pun mengangguk-angguk pula ketika Pangeran Kuda Padmadata pun kemudian memberitahukan kepadanya, apa yang telah terjadi dengan Ki Dukut Pakering. Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia bergumam, “Orang itu adalah musuh bebuyutan kakang Kasang Jati. Ternyata ia justru terbunuh di tangan Ki Mahisa Agni”

“Aku hanya lantaran untuk menutup segala tingkah lakunya. Tetapi ia menyesali segala perbuatannya di saat-saat yang paling menentukan” jawab Mahisa Agni.

“Syukurlah” desis Ki Wastu, “mudah-mudahan ia masih mendapat jalan”

Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadata pun telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk tinggal beberapa hari. Namun agaknya Mahisa Bungalan telah menjadi lain. Ia tiba-tiba saja ingin segera pulang ke rumahnya. Ia rasa-rasanya bukan lagi seorang petualang yang berada di segala tempat pada segala waktu tanpa teringat untuk pulang.

Meskipun demikian, mereka telah bermalam pula di istana Pangeran Kuda Padmadata untuk semalam. Ken Padmi yang mendapat tempat sebuah ruangan yang luas dan dihiasi dengan perkakas yang lengkap serta tirai kain halus dan mengkilap, justru menjadi tidak dapat tidur nyenyak. Rasa-rasanya ia tidak berada di dunianya. Namun karena lelah dan letih, akhirnya Ken Padmi pun telah tertidur juga di atas pembaringan kayu berukir dan disungging dengan warna-warna cerah.

Ternyata Ken Padmi pun tidak dapat menghindarkan diri dari mimpi yang indah tentang sebuah dunia yang sangat asing baginya. Bunga-bunga yang besar dan berbau harum semerbak memenuhi taman. Ketika ayam jantan berkokok menjelang fajar, Ken Padmi terbangun. Ia masih mencium harumnya bau sedap malam yang sudah menjadi semakin susut menjelang dini hari.

Pagi-pagi sekali tamu-tamu di istana Pangeran Kuda Padmadata itu pun sudah terbangun. Mereka segera membersihkan diri dan berbenah. Mereka sudah mengatakan kepada Pangeran Kuda Padmadata, bahwa mereka akan kembali ke Singasari.

Pangeran Kuda Padmadata tidak dapat menahan mereka terlalu lama di Kediri. Dengan mengucap terima kasih, maka Pangeran itu telah melepas mereka. “Meskipun kita tidak perlu lagi berburu kejahatan bersama-sama, tetapi aku harap kalian masih akan sering datang mengunjungi kami” minta Pangeran Kuda Padmadata.

“Terima kasih” jawab Mahisa Agni, “kami akan selalu datang pada saat-saat mendatang”

Demikianlah, maka iring-iringan kecil itu pun telah meninggalkan Kediri. Mereka menuju ke Singasari dan langsung menuju ke rumah Ki Mahendra.

Perjalanan ke Singasari memang cukup panjang. Mereka akan sampai setelah malam. Namun mereka adalah petualang-petualang yang sudah terlalu sering berada di tempat terbuka. Namun di antara mereka ternyata terdapat Ken Padmi yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ketiga orang yang bersamanya.

Karena itu, maka setiap kali, mereka pun harus beristirahat dan berhenti. Namun hal itu penting juga bagi kuda mereka yang lelah. Sekali-sekali mereka berhenti di pinggir sebuah sungai yang jernih. Mereka memberi kesempatan kuda mereka makan rerumputan segar, sementara mereka sendiri dapat mencuci kaki mereka dalam arus yang jernih itu.

Tetapi kadang-kadang mereka pun berhenti di warung-warung. Meskipun mereka juga memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk makan rerumputan, namun yang penting adalah bagi para penunggangnya sendiri.

Dalam pada itu, maka menjelang kota raja, mereka telah melalui sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Hutan yang merupakan daerah perburuan bagi para bangsawan. Meskipun ada beberapa orang yang lebih senang berburu di hutan yang lebat dan pepat, yang jarang disentuh kaki manusia, namun ada juga yang lebih senang berburu di hutan yang memang menjadi tempat yang disiapkan untuk perburuan itu. Dengan demikian maka perburuan itu tidak terlalu berbahaya, sebagaimana jika mereka berada di hutan yang lebat dan pepat.

Tetapi hutan itu sama sekali tidak menarik. Mahisa Bungalan lah yang seolah-olah menjadi sangat tergesa-gesa. Namun ia mempunyai alasan yang dapat disampaikan kepada paman-pamannya.

“Jika kita cepat sampai, maka Ken Padmi akan cepat dapat beristirahat” berkata Mahisa Bungalan.

Namun Witantra menjawab, “Tetapi jangan kau paksa ia sekarang menjadi sangat letih dalam perjalanan. Sekali-sekali ia memang memerlukan beristirahat. Ketahanannya memang agak berbeda dengan kita yang selalu bertualang”

Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja nampak tergesa-gesa betapapun ia berusaha menahan diri.

Namun dalam pada itu, Ken Padmi sendiri memang merasa sangat letih. Untunglah, meskipun Ken Padmi bukan seorang yang terbiasa bertualang, namun ia sudah membiasakan diri berlatih olah kanuragan. Latihan-latihan yang berat, telah membantunya mengatasi kelelahan.

Meskipun demikian, ia memang memerlukan waktu-waktu untuk beristirahat. Sehingga karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak dapat memaksanya.

Sekali-sekali Ken Padmi ingin berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang, ketika wajahnya menjadi merah terbakar teriknya matahari. Bahkan sekali-sekali Ken Padmi ingin meneguk air kelapa yang bergayutan di pelepahnya.

Ketika langit mulai dibayangi warna merah, mereka telah berada di antara hutan yang tidak terlalu pepat. Mereka bersepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka melintasi hutan itu.

Bagi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, perjalanan itu sama sekali bukannya sesuatu yang asing. Apalagi hutan yang mereka lalui adalah hutan yang terlalu sering di sentuh oleh orang-orang yang memiliki kegemaran berburu, tetapi tidak berani memasuki hutan yang lebat dan pepat, yang justru masih menyimpan binatang-binatang buas yang tidak terhitung jumlahnya.

Namun bagi Ken Padmi, perjalanan itu terasa sangat berat. Sekali-sekali mereka harus merunduk karena pepohonan yang berdaun lebat bergayutan rendah. Namun sekali-sekali terdapat sebatang pohon tua yang patah dan melintang di tengah jalan.

Justru karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berpendapat bahwa sebaiknya mereka menghentikan perjalanan mereka dan menunggu sampai fajar di esok hari. Ken Padmi sendiri sependapat. Meskipun ia tidak pernah bertualang, tetapi ia merasa lebih baik berhenti daripada melakukan perjalanan yang sangat berat di malam hari.

“Kita akan mencari tempat yang paling baik” berkata Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sendiri mengenal tempat itu dengan baik. Karena itu, maka mereka pun mengetahui bahwa tidak terlalu jauh dari tempat itu, terdapat sebatang pohon yang besar dan sebuah mata air di bawahnya.

“Kita akan berhenti di tempat yang tidak terlalu jauh dari air itu” berkata Mahisa Agni.

“Ada tempat yang barangkali cukup baik di dekat mata air itu” desis Mahisa Bungalan.

Perlahan-lahan mereka pun maju terus, mendekati mata air. Ternyata, bahwa tidak terlalu jauh dari sebatang pohon yang besar, berdaun lebat yang bagaikan bukit hitam di gelapnya malam, terdapat beberapa langkah tempat terbuka yang dapat mereka pergunakan untuk berhenti.

“Tempat ini cukup baik” berkata Mahisa Agni.

“Ya. Dan tidak terlalu dekat dengan jalan yang menghubungkan daerah ini dengan kota raja” sahut Witantra.

Namun dalam pada itu, terasa kekhawatiran Ken Padmi terhadap binatang merayap yang tidak dapat dilihatnya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun bertanya kepada kedua pamannya, “Apakah kita diperkenankan menyalakan api?”

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Asal kita cukup berhati-hati. Api yang tidak terkendali akan dapat menimbulkan ancaman bagi hutan ini”

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun kemudian membuat sebuah perapian di tengah-tengah tempat terbuka yang tidak terlalu luas itu. Namun ia harus membatasi agar api tidak menjilat dan membakar hutan itu.

Ken Padmi duduk ditepi perapian sambil memeluk lututnya. Jika sekali-sekali ia melayangkan pandangannya, maka terasa juga kengerian melihat pohon-pohon raksasa disekitarnya. Ia terbiasa hidup di sebuah padepokan kecil yang juga di penuhi oleh pepohonan. Tetapi pohon buah-buahan yang tidak terlalu rapat dan tumbuh di atas kebun yang selalu dibersihkan. Namun hutan itu rasa-rasanya menyesakkan nafasnya.

Mahisa Agni dan Witantra duduk beberapa langkah dari Ken Padmi, sementara Mahisa Bungalan yang gelisah, berada dihadapan gadis itu, berseberangan perapian. Meskipun demikian, baik Mahisa Bungalan maupun Ken Padmi hanya duduk sambil berdiam diri.

Mahisa Agni lah yang kemudian berbicara dari tempatnya memecah keheningan, “Jika kau letih, beristirahatlah Ken Padmi. Mungkin kau tidak terbiasa tidur di tempat seperti ini. Tetapi mungkin kau sekali-sekali pernah juga tidur sambil memeluk lutut seperti itu”

Ken Padmi berpaling. Ia mencoba untuk tersenyum sambil menjawab, “Satu pengalaman baru bagiku paman”

“Bagus. Jika kau anggap hal ini sebagai satu pengalaman, maka kau tidak akan menganggapnya sebagai satu siksaan” sahut Witantra.

Ken Padmi tidak menjawab lagi, meskipun ia masih saja tersenyum. Namun dengan demikian Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk ikut berbicara, “Apakah kau memerlukan tempat untuk berbaring?”

Ken Padmi termangu-mangu. Tetapi setelah ia memandang berkeliling, yang terdapat hanya rerumputan kering dan reruntuhan dedaunan, maka ia pun menggeleng, “Tidak. Aku dapat tidur sambil duduk seperti ini”

“Baiklah” sahut Mahisa Bungalan, “cobalah untuk tidur. Aku akan berjaga-jaga bersama kedua paman itu”

Ken Padmi mengangguk. Namun ia tidak segera berusaha untuk memejamkan matanya. Meskipun ia meletakkan dagunya pada lututnya, tetapi matanya masih tetap memandangi api yang menyala.

Namun dalam pada itu, keempat orang yang sedang beristirahat itu terkejut ketika mereka mendengar desir langkah beberapa orang mendekati. Hampir diluar sadarnya, Mahisa Bungalan pun telah bangkit berdiri dan bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Ternyata kemudian Ken Padmi, Mahisa Agni dan Witantra pun telah bangkit pula ketika suara langkah itu semakin dekat. Ketika gerumbul perdu terkuak, maka mereka melihat beberapa orang muncul dari balik dedaunan yang gelap. Cahaya perapian yang menjangkau wajah-wajah itu membayangkan cahaya kemerahan yang samar.

Namun salah seorang dari orang-orang yang datang itu tiba-tiba telah berdesis, “Paman Mahisa Agni dan paman Witantra”

Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Yang datang itu adalah seorang Pangeran di Singasari yang menurut kelengkapan yang dibawanya, agaknya Pangeran itu sedang berburu.

“Pangeran Wirapaksi” desis Mahisa Agni.

“Ya paman. Agaknya paman juga sedang berburu?” jawab Pangeran itu.

Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya, “Tidak Pangeran. Kami dalam perjalanan kembali ke Singasari. Kami baru saja mengunjungi saudara kami di Kediri”

Pangeran Wirapaksi memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian katanya, “Kau juga baru kembali bersama paman Mahisa Agni, Mahisa Bungalan?”

“Ya Pangeran” jawab Mahisa Bungalan, “aku sedang mengikuti paman Mahisa Agni dan paman Witantra. Apakah Pangeran sedang berburu?”

“Ya. Aku mengantar adimas Pangeran Indrasunu dari Kediri. Adimas Pangeran yang sedang berada di Singasari ingin berburu di malam hari. Karena itu, kami telah mengantarnya” jawab Pangeran Wirapaksi.

“Oh, jadi diantara iring-iringan ini terdapat seorang Pangeran dari Kediri?” bertanya Mahisa Agni.

Belum lagi Pangeran Wirapaksi menjawab, seorang yang masih berusia muda maju selangkah. Melihat sikap yang tengadah, maka Mahisa Agni dapat meraba sifat dan watak Pangeran yang masih muda itu.

“Siapakah mereka itu kakangmas?” bertanya anak muda itu.

“Mereka adalah para Senopati di Singasari. Tetapi yang seorang ini, agaknya sudah mendapat tempat pula dilingkungan keprajuritan meskipun belum secara resmi diterima sebagai prajurit” jawab Pangeran Wirapaksi, yang kemudian memperkenalkan Pangeran itu, “Pangeran Indrasunu adalah adik iparku. Ia adalah saudara muda isteriku yang aku ambil dari lingkungan para bangsawan di Kediri, yang sebenarnya masih juga bertalian darah dengan keluargaku”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Selamat datang di Singasari Pangeran”

Pangeran yang masih muda itu tidak mengacuhkannya. Bahkan seolah-olah tidak mendengarnya. Yang dipandanginya kemudian adalah Ken Padmi yang berdiri di sebelah perapian. “Siapakah anak itu?” tiba-tiba Pangeran itu bertanya, “nampaknya seperti seorang perempuan, tetapi ia mengenakan pakaian yang aneh”

“Ia adalah kemenakanku Pangeran” jawab Mahisa Agni, “ia memang seorang gadis. Tetapi karena perjalanan kami berkuda, maka ia terpaksa mengenakan pakaian seorang laki-laki” jawab Mahisa Agni.

“Kenapa berkuda?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Perjalanan yang, paling memungkinkan kami tempuh. Jika kami berjalan kaki, maka kami akan memerlukan waktu yang terlalu lama” jawab Mahisa Agni.

Pangeran Indrasunu itu mengangguk-angguk. Namun tatapan matanya kemudian seolah-olah tidak lepas dari Ken Padmi. yang wajahnya menjadi kemerah-merahan oleh cahaya api. “Jadi kalian bukan pemburu di sini?” tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu bertanya.

“Bukan Pangeran” jawab Mahisa Agni, “kami hanya singgah sebentar”

“Kenapa kalian tidak meneruskan perjalanan saja” berkata Pangeran Wirapaksi, “bukankah Singasari tidak terlalu jauh lagi?”

“Kami sudah terlalu letih Pangeran” jawab Mahisa Agni, “agaknya kami lebih senang untuk beristirahat barang sebentar. Besok menjelang dini hari, kami akan berangkat lagi”

“Baiklah” berkata Pangeran Wirapaksi, “kami akan pergi ke balik itu. Mungkin ada seekor binatang buas yang ingin minum di malam hari”

“Silahkan Pangeran” jawab Mahisa Agni, “mudah-mudahan Pangeran berhasil. Tetapi agaknya hutan ini sudah menjadi semakin rindang, sehingga binatang tidak lagi banyak tinggal di sini, tetapi mereka telah berpindah ke hutan sebelah yang masih lebat dan pepat”

Pangeran Wirapaksi tersenyum. Sekilas ia berpaling kepada Pangeran yang masih muda itu sambil berdesis, “Berburu di hutan rimba memerlukan pengalaman yang cukup. Mungkin aku dapat melakukannya. Agaknya hutan rimba di sebelah memang dapat memberikan kegembiraan tersendiri betapapun gawatnya. Tetapi adimas Indrasunu masih memerlukan waktu untuk melakukannya”

“Aku pun dapat melakukannya” sahut Pangeran yang masih muda itu, “tetapi tidak hanya satu dua malam. Sementara ini aku tidak mempunyai banyak waktu”

Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk, “Ya. Adimas benar”

Pangeran Indrasunu tidak segera menyahut. Tetapi kembali tatapan matanya tertuju kepada gadis yang berpakaian seperti laki-laki dan berdiri di sebelah perapian itu. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa namanya?”

Mahisa Agni terkejut. Tergagap ia menjawab, “Namanya Ken Padmi”

“Nama yang manis” desis Pangeran Indrasunu.

Pujian itu benar-benar tidak menyenangkan hati Mahisa Bungalan. Namun ia masih tetap berdiam diri.

“Jadi kalian akan pergi ke Singasari?” bertanya Indrasunu kemudian.

“Ya Pangeran. Tetapi kami akan singgah di rumah saudara kami yang tidak berada di Kota Raja meskipun tidak terlalu jauh letaknya. Baru kemudian kami akan kembali ke barak kami masing-masing. Sementara Mahisa Bungalan pun akan mulai memasuki lingkungan keprajuritan”

“Ia akan melalui pendadaran jika ia ingin menjadi seorang prajurit” sahut Indrasunu. Lalu, “He, apa kau kira, karena kalian adalah Senopati prajurit, begitu saja dengan mudah dapat membawa kemanakan, anak atau tetangga-tetangga dekat memasuki tugas keprajuritan?”

“Tentu tidak Pangeran. Tentu anak itu pun akan melalui pendadaran” jawab Mahisa Agni, “dan pendadaran itu memang sudah disiapkan. Bukan oleh kami berdua, tetapi oleh orang lain yang bertugas”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa kalian tidak mengenakan tanda-tanda keprajuritan sekarang ini”

“Perjalanan kami adalah perjalanan keluarga” jawab Mahisa Agni.

“Tetapi apa salahnya kalian tetap mengenakan pakaian keprajuritan” bantah Pangeran yang masih muda itu.

“Mereka memiliki ketentuan khusus” sahut Pangeran Wirapaksi, “bagi keduanya ketentuan tidak terlalu mengikat. Selain karena tugas-tugas khusus yang sering mereka lakukan, juga karena mereka telah cukup tua sehingga seolah-olah kepada mereka Maharaja di Singasari memberikan banyak kebebasan untuk berbuat sesuai dengan keinginan hati mereka”

“Ah tentu tidak” sahut Pangeran Indrasunu, “ketentuan keprajuritan berlaku bagi siapa saja yang masih disebut prajurit. Kecuali jika ia sudah mengundurkan diri”

Dalam pada itu, Witantra lah yang menyahut, “Kami sudah mengundurkan diri. Tetapi kami kadang-kadang masih menerima tugas tertentu”

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun kemudian berkata, “Ah, segalanya itu bukan urusanku. Aku akan berburu malam ini. He, bukankah nama perempuan itu Ken Padmi?”

“Ya Pangeran” jawab Mahisa Agni.

Pangeran Indrasunu tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian berkisar dari tempatnya dan berkata kepada Pangeran Wirapaksi, “Marilah. Kita melanjutkan perburuan ini”

Pangeran Wirapaksi pun kemudian melangkah surut sambil minta diri kepada Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Bungalan dan gadis yang tidak dikenalnya sebelumnya. “Aku akan melanjutkan perburuan ini” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Silahkan Pangeran” jawab Mahisa Agni, “mudah-mudahan Pangeran berhasil”

Pangeran Wirapaksi tertawa. Ia sendiri sudah mengerti, bahwa berburu di hutan yang sudah menjadi semakin jarang itu, tidak akan banyak memberikan hasil. Namun Pangeran Wirapaksi juga tidak dapat membawa Pangeran muda itu berburu di hutan rimba yang masih pepat dan liar meskipun Pangeran Wirapaksi sendiri sering melakukannya dengan para pengawalnya.

Dalam pada itu, sepeninggal pemburu itu, Mahisa Bungalan berdesis, “Apakah paman pernah melihat Pangeran muda itu sebelumnya?”

Mahisa Agni dan Witantra menggeleng.

“Belum” jawab Mahisa Agni, “nampaknya ia seorang Pangeran yang manja”

“Mungkin. Sikapnya kurang wajar dan memberikan kesan yang kurang baik” desis Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni dan Witantra tidak menyahut. Mereka mengerti bahwa Mahisa Bungalan tentu tidak senang melihat sikap Pangeran yang beberapa kali bertanya tentang Ken Padmi itu. Karena itu, maka kedua orang tua itu pun telah kembali ketempatnya. Sambil duduk Mahisa Agni berkata, ”Kita akan beristirahat”

“Jika kau sempat, tidurlah Ken Padmi” berkata Witantra, “kau tentu letih. Besok, sebelum dini hari, kita akan melanjutkan perjalanan”

“Aku akan mencoba tidur sambil duduk saja paman” jawab Ken Padmi.

“Jika demikian, beringsutlah sedikit. Jangan menghadap ke perapian” berkata Witantra selanjutnya.

Ken Padmi pun kemudian beringsut. Tetapi ia tidak terlalu jauh dari perapian. Setiap kali ia selalu melihat rerumputan disekelilingnya. Nampaknya ia selalu mencemaskan bila binatang melata mengganggunya. Ken Padmi mengerti, gigitan ular dapat berakibat jauh lebih gawat dari patukan senjata. Namun ia merasa heran, bahwa Witantra, Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukannya, seandainya seekor ular merambat dikakinya dan mematuk tumitnya.

Namun oleh kelelahan, Ken Padmi dapat juga tidur sambil duduk dengan meletakkan kepalanya dilututnya. Namun setiap kali ia terbangun apabila tubuhnya mulai condong ke samping. Namun dalam pada itu, ternyata istirahat yang dilakukan oleh Ken Padmi dengan caranya itu, dapat juga sekedar mengurangi keletihannya. Ketika menjelang dini hari mereka bersiap-siap, maka tubuhnya telah menjadi sedikit segar. Apalagi ketika kemudian ia telah mencuci muka dan tangannya di belik sebelah.

“Semalam Pangeran itu tentu menunggui belik ini” berkata Mahisa Agni.

“Tetapi agaknya tidak ada seekor binatang pun yang mendekat, sehingga mereka beringsut semakin ke tengah. Mungkin mereka menemukan seekor kijang atau seekor rusa” desis Witantra.

“Jika mereka gagal dengan cara ini, mungkin Pangeran muda itu akan membawa sepasukan prajurit” sahut Mahisa Agni.

“Binatang yang tersisa akan dikeroyok dengan sepasukan berkuda. Mereka akan menggiring binatang yang ada di hutan ini ke satu tujuan” desis Witantra.

Orang-orang yang sedang berburu itu tinggal menunggu. Mereka akan melemparkan anak panah dan lembing kepada binatang-binatang yang sedang melarikan diri” sahut Mahisa Bungalan.

“Tidak selalu Mahisa Bungalan” jawab Mahisa Agni, “kadang-kadang, ada juga pemburu-pemburu yang ikut mengejar binatang buruan itu dan memanahnya dari atas punggung kuda”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia pun kemudian membenahi dirinya sebagaimana dilakukan oleh Ken Padmi. Sejenak kemudian mereka pun telah bersiap untuk melakukan perjalanan. Sebelum matahari terbit, mereka berempat telah meninggalkan perapian yang telah dipadamkan sehingga sisa-sisa apinya tidak akan berbahaya lagi bagi hutan itu. Perlahan-lahan mereka menuju keluar hutan dan turun ke jalan. Sejenak kemudian, maka kuda-kuda mereka pun telan berlari menuju ke Singasari.

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, mereka tidak langsung menuju ke kota raja. Tetapi mereka akan singgah di rumah Mahendra, untuk menitipkan Ken Padmi di rumah itu. Ken Padmi merasa gelisah juga ketika ia menjadi semakin dekat dengan rumah yang dituju. Ia merasa seolah-olah ia telah merendahkan dirinya mengikuti seorang laki-laki yang belum mempunyai ikatan apapun juga.

Namun ia selalu berusaha untuk menenangkan hatinya bahwa kepergiannya itu sepenuhnya disetujui oleh orang tuanya, sehingga ia akan dapat membagi tanggung jawab jika ada orang lain yang membicarakannya.

Ketika matahari terbit, terasa perjalanan itu semakin segar. Embun yang bergayutan didedaunan pun mulai susut dan akhirnya lenyap sama sekali. Ternyata bahwa tujuan mereka memang sudah tidak terlalu jauh lagi. Mereka menempuh jalan samping, sehingga mereka sama sekali tidak memasuki kota raja. Namun dari jalan yang mereka lalui mereka dapat melihat gerbang kota yang megah.

Ketika matahari mulai terasa menggatali kulit, maka iring-iringan itu pun memasuki sebuah padukuhan yang besar. Mereka menyelusuri jalan padukuhan, menuju ke sebuah rumah yang berhalaman cukup luas.

Kedatangan iring-iringan itu telah mengejutkan seisi rumah. Mahendra yang kebetulan tidak sedang bepergian, telah dengan tergopoh-gopoh menyambut mereka. Namun ia pun terkejut ketika ia melihat seorang perempuan ikut pula bersama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Aku akan menjelaskannya nanti” berkata Mahisa Agni.

Mahendra pun kemudian mempersilahkan tamunya naik. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah ikut menyambut pula. Setelah duduk sejenak, serta setelah hidangan di suguhkan, maka mulailah Mahisa Agni menceriterakan segala sesuatunya yang telah terjadi dalam perjalanan mereka. Mahisa Agni telah menceriterakan tentang peristiwa yang terjadi di padepokan Kenanga. Selengkapnya.

Mahendra menarik natas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jadi Ki Dukut Pakering yang diburu dengan sia-sia itu akhirnya telah datang menyerahkan diri”

“Demikianlah yang telah terjadi” jawab Mahisa Agni.

Namun kemudian sambil mengangguk-angguk Mahendra berkata, “Dan gadis ini adalah Ken Padmi, dari padepokan Kenanga?”

Ken Padmi menundukkan kepalanya. Yang bertanya itu adalah Mahendra, ayah Mahisa Bungalan. Karena itu, rasa-rasanya wajahnya menjadi panas.

“Baiklah” berkata Mahendra, “aku terima kau di rumah ini seperti anakku sendiri. Kau akan mempunyai dua orang adik yang nakal. Tetapi aku kira ia akan dapat membantumu”

Ken Padmi hanya dapat menunduk saja. Rasa-rasanya ia berada di dunia yang masih sangat asing. Namun agaknya sikap orang-orang di rumah itu akan cukup baik terhadapnya. Demikianlah, maka Ken Padmi mulai dengan satu kehidupan baru. Apa yang berlaku di rumah Mahendra agak berbeda dengan apa yang berlaku di rumahnya, di padepokan kecil yang jauh dari kota raja itu. Namun sebagaimana yang telah dilakukannya, mengikuti orang-orang yang masih belum mempunyai ikatan tertentu itu, maka ia telah berusaha untuk menyesuaikan dirinya.

Sebenarnyalah, ia kemudian menganggap Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sebagai adik-adiknya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, kedua anak itu memang agak nakal. Tetapi keduanya tidak pernah mengganggunya dengan sungguh-sungguh. Bahkan semakin lama, hubungan mereka pun menjadi semakin akrab.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak dapat tinggal terlalu lama. Mereka harus menghadap dan menyatakan diri, bahwa mereka telah kembali. Sehingga karena itu, maka setelah berada di rumah dua tiga hari, Mahisa Bungalan pun bersiap-siap untuk pergi ke Kota Raja. Dengan demikian, maka Ken Padmi pun harus ditinggalkannya di rumahnya. Ia tidak akan dapat mengajaknya ke Kota Raja dalam keadaan yang belum menentu itu.

“Tentu ia akan tinggal di sini” berkata Mahendra, “setelah kau selesai mengurus dirimu sendiri dalam hubungannya dengan rencanamu untuk memasuki tugas keprajuritan, maka kau harus segera kembali untuk menyelesaikan hubungan dengan Ken Padmi. Kita masih harus pergi ke padepokan Kenanga untuk mengurus segala-galanya. Baru kemudian kau akan dapat membawanya ke Kota Raja”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun sadar bahwa persoalannya dengan Ken Padmi masih memerlukan waktu dan penyelesaian. Namun seperti yang dikatakan oleh ayahnya. ia akan menyelesaikan persoalannya lebih dahulu. Dan hal itu pun telah dikatakannya pula kepada Ken Padmi.

Dengan demikian, maka setelah segala persiapan selesai, maka Mahisa Bungalan pun telah mengikuti Mahisa Agni dan Witantra ke Kota Raja. Mereka akan menghadap Maharaja Singasari untuk melepaskan hasil perjalanan mereka terakhir dan kematian seseorang yang menamakan dirinya Ki Dukut Pakering, yang pernah menjadi guru dalam olah kanuragan dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri.

Namun dalam pada itu, telah terjadi yang sama sekali tidak diduga-duga. Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka telah datang ke rumah Mahendra sebuah iring-iringan kecil. Di antara mereka terdapat seorang Pangeran muda dari Kediri yang bernama Pangeran Indrasunu.

Dengan tergopoh-gopoh Mahendra telah menerima iring-iringan itu. Tidak ada orang yang telah dikenalnya di antara mereka yang ada di dalam iring-iringan itu. Namun menilik pakaian yang dikenakan, maka mereka adalah para bangsawan dan pengiringnya.

“Aku mengetahui tempat ini atas petunjuk Pangeran Wirapaksi” berkata Pangeran Indrasunu.

“Oh” Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya, “Pangeran Wirapaksi memang sudah mengenal tempat ini” Mahendra kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk di pendapa.

“Tentu kau terkejut, kenapa tiba-tiba saja aku datang kemari” berkata Pangeran Indrasunu.

“Ya. Aku menjadi sangat terkejut, karena aku belum mengenal tamu-tamuku” sahut Mahendra.

“Aku Pangeran Indrasunu dari Kediri” jawab Pangeran yang masih muda itu.

“Oh” Mahendra mengangguk-angguk, “jadi Pangeran berasal dari Kediri”

“Ya. Dan kakak perempuanku adalah isteri Pangeran Wirapaksi” berkata Pangeran Indrasunu pula.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Pangeran ini adalah adik ipar Pangeran Wirapaksi”

“Ya. Bukankah kau sudah mengenal kakangmas Wirapaksi?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Tentu. Tentu aku sudah mengenalnya” jawab Mahendra.

“Baiklah. Dan kau tentu tahu, bahwa Pangeran Wirapaksi adalah seorang bangsawan yang berpengaruh di Singasari” berkata Pangeran muda itu pula.

Mehendra mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu maksud Pangeran itu. Tetapi ia tidak membantahnya. Pangeran Wirapaksi memang seorang yang berpengaruh. Ia seorang Senopati yang baik diantara Senopati-senopati yang lain dari kalangan para bangsawan. Umurnya masih tergolong muda, tetapi ia memang lebih tua dari Pangeran Indrasunu. Sebenarnyalah Pangeran Wirapaksi pun mempunyai darah Kediri meskipun ia juga berdarah Singasari.

Sejenak Pangeran Indrasunu terdiam. Namun kemudian ia berkata, “Ki Mahendra, apakah benar bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan berada di rumah ini?”

Mahendra menjadi semakin heran mendengar pertanyaan itu. Namun ia pun menjawab, “Ya Pangeran. Mereka memang berada di sini. Tetapi mereka baru saja kembali ke Kota Raja. Mereka sudah terlalu lama meninggalkan kewajiban mereka”

“Jadi mereka telah pergi ke Kota Raja?” Pangeran Indrasunu terkejut. ”kapan mereka berangkat?”

“Hari ini” jawab Mahendra, “jika Pangeran mengambil jalan yang juga dilalui oleh mereka, tentu Pangeran akan berpapasan”

“Tetapi aku tidak bertemu dengan mereka” desis Pangeran itu.

“Apakah Pangeran mempunyai keperluan dengan mereka?” bertanya Mahendra.

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Ki Mahendra. Aku hanya ingin bertanya, apakah mereka kembali ke rumah ini bersama seorang gadis kemenakan Ki Mahisa Agni”

Wajah Mehendra menegang sejenak. Namun kemudian ia menjawab dengan hati-hati, “Ya Pangeran. Mereka memang kembali dengan seorang gadis kemenakan kakang Mahisa Agni, yang juga kemenakanku”

“Oh” Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “dari manakah sebenarnya gadis itu? Aku bertemu dengan gadis itu di hutan perburuan, menjelang gadis itu datang ke rumah ini. Aku saat itu sedang berburu. Sementara gadis itu sedang beristirahat bersama Ki Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sambil menghangatkan diri di depan perapian”

Mahendra tidak segera menjawab. Ia mencoba mencari sasaran dan arah pertanyaan Pangeran Indrasunu itu. Untuk sesaat Pangeran Indrasunu terdiam. Dipandanginya wajah Mahendra yang memancarkan pertanyaan itu. Namun kemudian Pangeran yang masih muda itu pun bertanya pula, “Apakah gadis itu ada di rumah sekarang?”

Mahendra benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia menjawab sebagaimana adanya, “Ya Pangeran. Gadis itu ada di rumah”

“Apakah ia tidak turut ke Kota Raja” bertanya Pangeran muda itu.

“Tidak. Ia berada di rumah, karena perjalanan ke Kota Raja bukannya satu tamasya” jawab Mahendra.

“Baiklah. Jika demikian aku akan berterus terang kepadamu Ki Mahendra, karena gadis itu sebagaimana pengakuanmu, adalah kemenakan Mahisa Agni dan itu berarti kemanakanmu juga” Pangeran Indrasunu itu pun berhenti sejenak, lalu katanya pula, “karena itu, aku dapat mengatakannya kepada Mahisa Agni, tetapi aku dapat juga mengatakannya kepadamu”

Mahendra menjadi semakin berdebar-debar. Sementara itu Pangeran yang masih muda itu berkata selanjutnya, “Ki Mahendra. Aku baru melihat sekilas gadis itu. Tetapi aku merasa tertarik kepadanya. Sekarang aku datang untuk melihat, apakah aku benar-benar memang tertarik. Jika aku benar-benar tertarik kepadanya, aku akan membawanya ke Kediri”

Jantung Mahendra bagaikan dihentak oleh sebongkah batu padas. Ditahankannya gejolak perasaan itu di dadanya. Namun bagaimanapun juga, nampak pada wajahnya betapa ia menahan diri.

Tetapi Pangeran yang masih muda itu menangkap kesan itu lain. Ia tahu bahwa Mahendra terkejut mendengar keterangannya. Namun ia menganggap bahwa kemudian Mahendra itu merasa dirinya sangat beruntung, karena kemanakannya akan diambil oleh seorang Pangeran. Karena itu maka katanya, “Ki Mahendra. Aku baru akan melihatnya. Jika aku tertarik seperti sentuhan perasaanku pada malam itu, aku baru akan mengambilnya. Jika ternyata aku tidak tertarik, kau jangan menjadi kecewa karenanya”

Dada Mahendra bagaikan menjadi pecah karenanya. Namun bagaimanapun juga ia berusaha untuk menahan diri. Pangeran itu adalah Pangeran dari Kediri yang kedatangannya di Singasari merupakan tamu seorang bangsawan Singasari yang masih berdarah Kediri pula. Namun yang merasa dirinya sudah menjadi bagian dari Singasari dalam keseluruhan.

Baru setelah gejolak di dadanya itu mereda, Mahendra menjawab, “Pangeran. Sebenarnyalah kemanakanku itu masih terlalu kanak-kanak untuk mempersoalkan hubungan dengan seorang laki-laki. Aku merasa berbahagia sekali karena Pangeran telah berkenan untuk datang dan merasa tertarik kepadanya, meskipun mungkin hal itu tidak akan berkelanjutan. Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku kira kemanakanku itu masih memerlukan waktu untuk mengerti perasaan seorang laki-laki”

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Ia agak heran mendengar jawaban Mahendra, yang dikiranya akan menerima permintaannya itu dengan gembira sekali. Namun ternyata Pangeran yang masih muda itu kemudian menganggap bahwa Mahendra hanya sekedar berbasa basi saja. Karena itu maka katanya, “Jangan berbelit-belit Ki Mahendra. Sebaiknya kau panggil kemanakanmu dan aku akan menilainya sekali lagi. Mungkin aku memerlukannya dan aku akan membawanya ke Kediri. Bahkan mungkin aku akan dapat mengambilnya sebagai isteri yang sebenarnya, karena ternyata ada juga seorang Pangeran di Kediri yang mempunyai seorang isteri gadis pedesan”

Mahendra masih saja menahan diri. Tetapi ia berkata di dalam hati, “Jika anak ini tidak segera pergi, mungkin aku akan kehilangan kesabaran”

Tetapi sementara itu Pangeran itu masih berkata, “Ki Mehendra, jika kau pernah mendengar nama Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri, maka kau akan mengetahui bahwa gadis padepokan yang dibawanya ke istananya itu ternyata dapat juga berusaha menyesuaikan diri. Karena itu, jika kemanakanmu itu memang mempunyai keberuntungan yang baik, mungkin ia akan dapat aku angkat menjadi isteriku yang sebenarnya”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin melepaskan segala kesal didalam hatinya bersama dengan pelepasan nafasnya yang panjang. Katanya kemudian dengan hati-hati, “Aku mohon maaf sekali lagi Pangeran. Aku harap Pangeran mempertimbangkan masak-masak bersama Pangeran Wirapaksi. Mungkin Pangeran Wirapaksi akan dapat memberikan beberapa pendapat tentang hal ini kepada Pangeran”

“Kenapa aku harus minta pendapatnya?” bertanya Pangeran Indrasunu, “aku sudah dewasa. Aku sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Karena itu, aku kira aku tidak perlu mendapat nasehat dari orang lain. Sebenarnyalah aku juga telah mengatakannya bahwa aku akan datang kemari. Yang menunjukkan rumah ini kepadaku juga Pangeran Wirapaksi meskipun ia tidak tahu pasti maksud kedatanganku. Tetapi ia tentu dapat menduga-duga karenanya”

“Meskipun demikian, aku mohon Pangeran mempertimbangkannya sekali lagi. Sebaiknya Pangeran memang berbicara dengan Pangeran Wirapaksi, apakah yang sebaiknya Pangeran lakukan. Segalanya bagi kebaikan segala pihak, agar tidak ada yang menyesal di kemudian hari” berkata Mahendra sambil menahan dadanya yang akan meledak.

Tetapi Pangeran itu tertawa, katanya, “Karena itu aku ingin bertemu sekali lagi dengan kemanakanmu itu agar aku tidak kecewa dan menyesal. He, apakah aku perlu menemui orang tuanya jika ternyata aku menyukainya dan akan membawanya ke Kediri?”

Mahendra hampir saja kehabisan akal dan bertindak kasar terhadap Pangeran dari Kediri itu. Namun dengan susah payah ia berusaha mengekang diri. Jika ia bertindak, langkah Pangeran Indrasunu masih belum jelas. Mungkin Pangeran itu tidak benar-benar akan membawa Ken Padmi setelah Pangeran itu melihatnya sekali lagi.

Karena itu, maka Mahendra akhirnya mengambil keputusan untuk mempertemukannya sekali lagi dengan Ken Padmi. Namun demikian ia berpesan, “Pangeran. Aku akan memanggil gadis itu. Ia akan membawa hidangan kemari. Tetapi Pangeran jangan memberikan keputusan dihadapan gadis itu. Biarlah ia berlalu tanpa mengetahui maksud kehadiran Pangeran. Baru kemudian Pangeran mengatakannya segala sesuatunya kepadaku. Apakah Pangeran bersedia?”

Sejenak Pangeran Indrasunu itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Baiklah. Tetapi aku tidak biasa dibatasi dengan ketentuan-ketentuan seperti itu”

“Mungkin Pangeran tidak terbiasa. Tetapi hal ini penting sekali bagiku” sahut Mahendra.

Pangeran Indrasunu tidak menolak lagi. Sementara ia menunggu dengan para pengawalnya, maka Mahendra pun pergi ke belakang untuk menemui Ken Padmi agar gadis itu menyuguhkan hidangan kepada tamu-tamunya.

“Minuman panas dan makanan apa saja yang ada” desis Mehendra.

Ken Padmi sama sekali tidak memikirkan maksud-maksud lain dari tamu-tamunya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak membenahi dirinya. Pakaiannya dan bahkan ia sama sekali tidak menyeka keringat di wajahnya.

Justru Mahendra dengan sengaja membiarkannya, agar ada kesan yang sederhana bahkan agak kotor atas gadis yang bernama Ken Padmi itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sama sekali tidak menyangka bahwa tamu-tamunya itu mempunyai kepentingan tertentu terhadap Ken Padmi, yang mereka ketahui, seorang gadis yang mempunyai ikatan khusus dengan kakak mereka, Mahisa Bungalan.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Ken Padmi telah menghidangkan minuman dan makanan kepada tamu-tamunya. Namun gadis itu terkejut ketika ia melihat bahwa tamu itu adalah Pangeran yang dijumpainya di hutan perburuan. Meskipun demikian Ken Padmi berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga. Ia meletakkan hidangannya dihadapan para tamunya. Kemudian ia pun beringsut surut. Sejenak Ken Padmi bergeser menjauh, namun ia pun segera meninggalkan pendapa.

Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu sengaja memperhatikan gadis itu baik-baik. Memang ada kesan bahwa gadis itu sangat sederhana dan bahkan agak kotor. Karena itu, maka kesan yang didapatkannya jauh berbeda dengan isteri Pangeran Kuda Padmadata. Perempuan yang kemudian menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata itu pun seorang perempuan padepokan. Namun ketika ia bertemu, maka perempuan itu sama sekali tidak lagi dapat dibedakan dengan perempuan-perempuan berdarah bangsawan. Baik cara berpakaian, cara berbicara dan sikapnya dalam keseluruhan.

Sedangkan perempuan yang dihadapinya itu benar-benar seorang perempuan yang sederhana dan sikapnya pun masih dapat dilihat jelas, sikap seorang gadis padepokan. Namun ketika Pangeran Indrasunu memandang wajah gadis itu, maka darahnya tersirap. Gadis yang sederhana itu adalah gadis yang sangat cantik. Justru keringat di kening dan wajah yang kemerah-merahan, membuat gadis itu seolah-olah semakin cantik.

Karena itu, maka ketika gadis itu telah meninggalkan pendapa, Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Mahendra sejenak. Kemudian katanya, “Ki Mahendra. Ternyata kemanakanmu memang seorang gadis yang cantik. Aku benar-benar tertarik kepadanya. Karena itu, maka aku beritahukan kepadamu bahwa kemanakanmu itu aku kehendaki dan akan aku bawa ke Kediri. Kau dapat mengucap sukur atas karunia yang kau terima karena satu diantara keluargamu telah dikehendaki oleh seorang Pangeran dari Kediri, meskipun untuk sementara ia akan menjadi isteri peminggir. Tetapi jika ia berhasil menyesuaikan diri, maka ada kemungkinan ia akan menjadi isteriku yang sebenarnya”

Betapa panasnya telinga Mahendra mendengar kata-kata Pangeran yang masih muda itu. Hampir saja ia berteriak mengusirnya. Namun sekali lagi ia berusaha untuk menahan dirinya. Dengan tersendat-sendat ia berkata, “Pangeran. Aku berterima kasih atas perhatian Pangeran terhadap kemanakanku itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan dapat menyerahkannya segera. Meskipun ia kemanakanku, tetapi yang membawanya kemari bukannya aku, tetapi kakang Mahisa Agni dan Witantra. Karena itu, maka segala sesuatunya tergantung sekali kepada keduanya. Jika keduanya sependapat, maka aku pun tidak akan dapat mencegahnya. Sebaliknya jika keduanya berkeberatan, maka aku tidak akan dapat memaksanya."

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah padam. Dengan suara lantang ia berkata, “Ki Mahendra. Apakah kau sadar, dengan siapa kau berhadapan?”

“Aku sadar sepenuhnya Pangeran” jawab Mahendra.

“Aku bukan saja seorang Pangeran terpenting di Kediri. Tetapi aku adalah adik ipar Pangeran Wirapaksi dari Singasari” geram Pangeran itu.

“Aku mengerti sepenuhnya Pangeran” jawab Mahendra, “aku pun mengenal Pangeran Wirapaksi sebaik-baiknya”

“Nah, jika demikian, kenapa kau masih ngelantur untuk menunggu Mahisa Agni dan Witantra?” bertanya Pangeran itu.

Jantung Mahendra benar-benar bagaikan membara. Dipandanginya Pangeran Indrasunu yang masih muda itu. Meskipun demikian Mahendra masih menahan diri dan berkata, “Pangeran. Justru aku mengenal Pangeran Wirapaksi dengan baik, maka aku telah bertindak sesuai dengan cara yang paling baik bagi segala pihak. Pangeran Wirapaksi bukan seseorang yang akan memaksakan kehendaknya terhadap orang lain”

Pangeran Indrasunu menegang sejenak. Katanya, “Kau jangan memutar balikkan keteranganmu. Bagaimana pun juga aku mempunyai hak untuk mengambil kemanakanmu itu”

“Kau bukan orang Singasari” bantah Mahendra yang hampir kehabisan kesabaran, “hak apa yang dapat kau sebut untuk memaksakan kehendakmu itu. Pangeran, kembalilah. Laporkan semuanya ini kepada Pangeran Wirapaksi. Maka kaulah yang akan mendapat nasehatnya, bahwa sebenarnya kau telah bersalah. Tidak seorang pun bangsawan Singasari yang akan bertindak sekasar Pangeran”

Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah padam. Dengan garang ia berkata, “Mahendra. Kau tahu betapa besarnya kekuasaanku di Kediri”

“Berapapun besarnya kekuasaanmu di Kediri, maka kekuasaan itu tidak akan dapat melimpah sampai ke Singasari. Apalagi Kediri termasuk daerah Singasari pula” jawab Mehendra.

Kemarahan Pangeran Indrasunu tidak dapat dibendung lagi. Dengan demikian maka ia pun telah memberikan isyarat kepada para pengawalnya. Sehingga dalam pada itu, seorang pengawal yang bertubuh tinggi, tegap berdada bidang telah melangkah maju sambil berkata,

“Sudahlah Ki Mahendra. Jangan memaksa aku untuk bertindak. Lakukan apa yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu. Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Seandainya hal ini kau anggap salah dan kau laporkan kepada para penguasa di Singasari, maka Pangeran Wirapaksi akan dapat mencegah segala tindakan yang akan diambil oleh para penguasa di Singasari”

“Kalian salah mengerti tentang Singasari” berkata Mahendra, “di Singasari para penguasa berusaha untuk bertindak adil. Bahkan Pangeran Wirapaksi pun akan berusaha untuk bertindak adil”

Tetapi orang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang itu berkata mantap, “Mungkin aku memang tidak banyak mengetahuinya. Tetapi serahkan saja gadis itu. Dan kau akan luput dari tindak kekerasan”

“Ki Sanak” berkata Mahendra, “kau pun salah hitung atas kami. Kekerasan adalah warna hidupku sejak aku muda. Aku adalah salah seorang hamba di Singasari yang dikenal sebagai seorang petualang yang dalam pengembaraan selalu dibayangi oleh tindakan kekerasan. Tetapi sudah tentu bahwa tidak semua kekerasan dapat dibenarkan. Dalam persoalan ini aku mohon agar kalian tidak mempergunakan kekerasan. Aku mohon sekali lagi, agar kalian menghubungi Pangeran Wirapaksi lebih dulu, sementara aku menunggu kakang Mahisa Agni dan Witantra”

“Aku tidak pernah bekerja dengan lamban” jawab orang bertubuh raksasa itu, “aku adalah pengawal Pangeran Indrasunu yang hanya tunduk kepada perintah Pangeran Indrasunu”

“Oh” Mahendra mengangguk-angguk, “kau memang aneh Ki Sanak. Tetapi baiklah. Jika Pangeran Indrasunu memaksa, maka aku akan mempertahankannya, Aku bertanggung jawab atas keselamatan kemanakanku itu. Karena itu, maka aku pun akan mempertahankannya”

“Kau mencari perkara Ki Sanak” berkata orang bertubuh raksasa itu, “kau hanya seorang diri. Kau lihat, kami datang bersama beberapa orang”

“Kau boleh membawanya jika kau sudah tidak melihatnya lagi Ki Sanak” berkata Mahendra, “karena itu, maka aku tidak peduli berapa orang yang datang ke halaman rumahku”

Wajah orang itu menegang. Tiba-tiba saja ia berpaling kepada Pangeran Indrasunu. Dengan suara ragu ia berkata, “Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan melakukan pembunuhan di tlatah Singasari atau orang Singasari”

“Lakukan perintahku” bentak Pangeran Indrasunu, “tetapi sebaiknya jangan kau bunuh orang itu. Lumpuhkan saja. Biarlah ia menyaksikan betapa kemanakannya merasa bahagia karena ia dikehendaki oleh seorang Pangeran”

Orang bertubuh raksasa itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Pangeran. Aku akan melumpuhkannya. Mungkin ia akan cacat seumur hidupnya. Tetapi ia akan merasa bahagia kelak, jika kemanakannya itu datang menengoknya dan membawa oleh-oleh yang terlalu baik baginya”

Mahendra tidak menyahut. Namun kemudian orang bertubuh tinggi tegap itu bertanya, “Apakah kau akan melawan aku?”

Mahendra menjawab, “Ya. Aku akan mempertahankan hakku diatas tanahku”

“Baiklah. Aku mohon Ki Sanak turun ke halaman” berkata orang bertubuh raksasa itu.

Mahendra tidak menunggu lagi. Ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka ia pun segera bangkit dan melangkah turun ke halaman tanpa menghiraukan tamunya.

Orang-orang Kediri itu memang merasa heran melihat sikap Mahendra yang terlalu yakin akan dirinya. Namun dalam pada itu mereka pun segera mengikutinya turun ke halaman pula.

Di halaman Mahendra berdiri tegak sambil berkata, “Marilah. Apa yang kalian kehendaki? Memukuli aku sampai pingsan atau membuat tubuhku cacat? Tentu satu tantangan bagi Singasari. Kakang Mahisa Agni dan Witantra adalah prajurit-prajurit Singasari. Aku menjadi cacat karena aku mempertahankan kemanakan yang mereka bawa kepadaku”

Orang bertubuh raksasa itu mengkerutkan keningnya. Namun Pangeran Indrasunu berkata, “Jangan kau harapkan bahwa Senopati Singasari itu akan dapat menuntut apapun juga karena sikap sekarang ini. Kakangmas Wirapaksi akan dapat bertindak atas mereka. Bahkan saudara-saudaramu itu akan dapat dilepas dari jabatannya”

“Demikian mudahnya?” bertanya Mahendra.

“Apakah kesulitannya? Kakangmas Wirapaksi mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk berbuat demikian” jawab Pangeran Indrasunu.

“Jika demikian, aku akan menentangnya sekaligus. Bukan hanya karena Pangeran Indrasunu akan mengambil kemanakanku, tetapi juga karena Pangeran Wirapaksi akan mengganggu kedudukan saudara-saudaraku”

Sikap Mahendra memang sangat menjengkelkan Pangeran yang masih muda itu sehingga ia pun kemudian hampir berteriak, “He, kau menunggu apa lagi”

Orang bertubuh raksasa itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Pangeran Indrasunu membentaknya, maka ia pun segera mempersiapkan diri. Katanya, “Nah kau dengar, bahwa Pangeran Indrasunu telah memerintahkan kepadaku untuk segera bertindak”

“Lakukanlah, apa yang harus kau lakukan” sahut Mahendra.

Orang bertubuh raksasa itu pun kemudian beringsut maju. Namun ia masih berusaha untuk memperingatkan Mahendra. Katanya, “Ki Sanak, apakah kau benar-benar tidak dapat mengambil jalan lain?”

“Aku tidak mempunyai jalan apapun yang dapat aku pergunakan untuk mempertahankan kemanakanku itu” jawab Mahendra.

Namun dalam pada itu Pangeran Indrasunu telah membentak sekali lagi, “Cepat. Jangan menunggu aku kehabisan kesabaran, sehingga aku sendiri yang akan bertindak”

Orang bertubuh raksasa itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah bersiap untuk bertindak. Ketika ia melangkah maju, ia pun berkata, “Nampaknya kau tidak mempunyai kesempatan. Sebetulnya aku segan melakukan hal ini. Aku lebih senang berhadapan dengan Senopati yang manapun juga, meskipun ia Senopati Singasari”

“Lakukan tugasmu. Tetapi jika kau mengalami kesulitan, hal itu terpaksa aku lakukan untuk membela diri” jawab Mahendra.

Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi. Ia mulai berkisar, dan tangannya pun mulai bergerak. Mahendra pun telah mempersiapkan diri. Ia akan menghadapi apapun juga yang terjadi. Bahkan seandainya Pangeran Indrasunu dan semua pengawalnya akan turun ke arena...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.