Panasnya Bunga Mekar Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 16
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KARENA itulah maka sambaran-sambaran Ki Dukut sudah mendebarkan jantung lawannya. Betapapun juga ia berusaha menghindar, namun tangan Ki Dukut berhasil menggapainya pula.

Selain kemampuan untuk menyobek kulit dan daging, maka serangan-serangan Ki Dukut pun berhasil mematuk langsung ke bagian tubuh lawannya yang berbahaya. Ketika lawannya menyerang Ki Dukut dengan sambaran jari-jarinya yang mengembang ke arah kening, Ki Dukut telah menghindar dengan merendahkan dirinya. Namun sekaligus tangannya sempat terjulur lurus dengan ujung jari-jarinya menghentak dada.

Terdengar lawannya berdesis sambil meloncat surut. Rasa-rasanya nafasnya telah terhenti sesaat. Namun lawannya itu pun segera berhasil mengatur jalur pernafasannya kembali. Tetapi Ki Dukut tidak membiarkannya. Dengan serta merta ia meloncat memburu. Tangannya tidak lagi mematuk tubuh lawannya, tetapi terayun menyambar pundaknya. Karena lawannya berusaha menghindar, maka sentuhan jari Ki Dukut hanya menyinggung kulitnya saja. Tetapi kulit itu pun telah koyak seleret panjang.

“Gila” geram lawannya. Ia pun telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Karena itu, maka ketika Ki Dukut kemudian menyerangnya, ia sama sekali tidak mengelak. Tetapi ia justru membentur serangan Ki Dukut dengan jari-jarinya yang mengembang.

Benturan itu ternyata sangat mengejutkan kedua belah pihak. Jari-jari orang- berjambang dari berkumis lebat itu rasa-rasanya bagaikan berpatahan, tulangnya bagaikan terlepas dari sendi-sendinya.

Namun, akibatnya bagi Ki Dukut pun terasa sangat menyakitkan. Bukan saja tangannya yang bagikan terperosok ke dalam perapian yang sedang menyala. Namun dorongan kekuatan lawannya telah mendesaknya beberapa langkah surut.

Sejenak kedua orang yang sedang bertempur itu justru berloncatan surut untuk mengambil jarak. Rasa-rasanya keduanya memerlukan waktu sekejap untuk memperbaiki keadaannya.

Sementara itu, orang yang berjambang dan berkumis lebat itu mengumpat sejadi-jadinya. Jari-jarinya, andalan kekuatannya, rasanya menjadi terlalu lemah untuk dapat dipergunakannya lagi, sementara tangan Ki Dukut pun seakan-akan telah terluka bakar. Tetapi keduanya tidak ingin menghentikan perkelahian ilu. Bagaimanapun juga, mereka ingin menyelesaikan pertempuran itu.

Yang dilakukan Ki Dukut kemudian adalah sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan kakinya. Ketika lawannya menghindar, maka demikian kaki Ki Dukut menyentuh tanah, maka tubuhnya telah melenting lagi dengan serangan kaki yang gawat. Lawannya terpaksa berloncatan menghindar. Serangan Ki Dukut yang cepat itu memaksanya untuk setiap kali menghindarinya. Ki Dukut bagaikan berterbangan mengitarinya dengan serangan-serangan kaki yang gawat.

Apalagi betapapun tangannya terasa sakit, Ki Dukut masih juga mencoba mempergunakannya untuk menyerang. Ia tidak lagi mempergunakan ujung jari-jarinya yang serasa hangus. Tetapi ia kemudian mempergunakan sisi telapak tangannya dan sikunya. Serangan-serangan Ki Dukut masih juga membingungkan lawannya. Meskipun jari-jarinya terasa berpatahan. Namun, ketika sekali tubuh Ki Dukut tersentuh telapak tangannya, maka rasa-rasanya kulitnya masih juga terbakar.

“Benar-benar anak iblis” geram Ki Dukut. Serangan-serangannya pun menjadi semakin cepat. Dan ia pun semakin sering mengenai tubuh, lawannya dengan tumit dan sisi telapak tangannya. Meskipun sisi telapak tangannya tidak mampu merobek kulit, tetapi rasa-rasanya bagaikan meremukkan tulang belulang orang yang berjambang dan berkumis lebat itu.

Macan Wahan yang menyaksikan pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Kawan-kawannya tidak lagi dapat menyalahkannya, bahwa ia sudah bersedia berbicara dalam kedudukan setataran dengan orang yang di sebut Ki Dukut Pakering itu. Ternyata kemampuannya benar-benar dahsyat, sedahsyat kemampuan kawannya yang berjambang dan berkumis labat itu. Bahkan kadang-kadang Macan Wahan dikejutkan oleh kemampuan Ki Dukut yang tidak diduganya sama sekali. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar telah memukaunya bersama orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinganya itu.

Pertempuran itupun berlangsung dengan dahsyatnya. Ki Dukut yang sudah terluka bakar di beberapa bagian tubuhnya, seakan-akan telah kehilangan pertimbangan-pertimbangan yang jernih. Yang nampak dihadapannya adalah seseorang yang dianggapnya berilmu iblis yang yang hanya pantas dimusnahkan.

“Jika aku tidak berbuat seperti yang akan diperbuat nya, maka aku tidak akan mandapat tempat di dalam lingkungannya” berkata Ki Dukut di dalam hatinya. Karena itu, ia sudah bertekad untuk membinasakan lawannya dengan cara yang mungkin dipergunakan pula oleh lawannya itu, meskipun dengan demikian akan sangat mengerikan.

“Mereka tidak berperasaan sama sekali” geram Ki Dukut di dalam hatinya, “karena itu aku harus benar-benar dapat melakukan sesuatu yang dapat menggetarkan jantung mereka”

Dengan tekad yang demikian itulah, maka Ki Dukut telah mengerahkan segenap sisa kemampuannya. Ia masih mampu bergerak dengan cepat, menghantam lawannya dengan sisi telapak tangannya, dengan sikunya dan dengar kakinya. Semakin lama kecepatan gerak Ki Dukut semakin membingungkan lawannya yang mulai susut kemampuannya. Tubuhnya telah dicengkam oleh perasaan sakit. Jari-jarinya serasa berpatahan dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.

Tetapi ia tidak akan menyerah. Ia masih belum percaya bahwa Ki Dukut yang tua itu akan dapat mengalahkannya. Sehingga dengan demikian, maka orang berjambang dan berkumis lebat itu masih juga bertempur dengan gigihnya. Dengan segenap sisa tenaga yang ada padanya. Tetapi, jari-jarinya tidak lagi mampu mengembang untuk menerkam lawan dengan panasnya api. Yang dapat dilakukan kemudian adalah menyerang lawan dengan telapak tangan dan kakinya. Namun setiap kali tubuhnya tersentuh kekuatan Ki Dukut, maka ia telah terhuyung-huyung. Demikian, ia berusaha untuk tetap tegak, maka serangan-serangan, berikutnya datang beruntun.

“Setan alasan” orang itu mengumpat. Tetapi ia telah terdorong dua langkah surut.

Namun ketika Ki Dukut memburunya sambil menyerang, ia masih sempat mengelak Tetapi, serangan berikutnya oleh putaran kaki Ki Dukut, orang berjambang itu tidak lagi dapat beringsut. Dengan sikunya ia berusaha menangkis serangan itu. Ketika terjadi benturan, maka ia masih sempat menghantam kaki Ki Dukut dengan telapak tangannya yang lain.

Ki Dukut terlonjak. Kakinya bagaikan disengat bara. Namun ia pun segera menyadari keadaannya, ia meloncat selangkah surut. Namun ia tidak mau terlambat. Dengan serta merta ia meloncat dengan kaki terjulur, ia sudah memperhitungkan, bahwa orang berjambang dan berkumis lebat itu lidak akan sempat menghindar lagi. Mungkin ia dapat menepuk kakinya dengan telapak tangannya yang panas seperti api, tetapi Ki Dukut benar-benar telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Sebenarnyalah, orang berjambang itu terkejut melihat serangan yang datang demikian cepat, tiba-tiba dan demikian derasnya Karena itu, ia tidak sempat iagi mengelak. Namun ia berusaha untuk menangkis serangan iiu. Dengan telapak tangannya ia memukul kaki Ki Dukut yaag terjulur itu, sehingga rasa-rasanya kaki itu benar-benar telah terbakar.

Tetapi seperti yang telah diperhitungkannya pula. maka kaki Ki Dukut yang terjulur itu tidak berubah arah, meskipun disentuh oleh tangan lawannya, karena serangannya itu datang dengan kecepatan yang tinggi, dan dengan sepenuh sisa tenaganya. Karena itu, maka kaki Ki Dukut itu pun telah menghantam dada orang berjambang dan berkumis lebat itu demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.

Terasa dada orang berjambang itu bagaikan pecah. Nafasnya tiba-tiba saja seolah-olah telah terhenti. Namun demikian ia masih berusaha untuk meloncat bangkit. Ki Dukut yang sudah merasa tenaganya susut, tidak mau memberinya kesempatan. Jika bertempuran itu berkepanjangan, maka ia pun akan menjadi lelah dan kehabisan tenaga. Karena itu, maka Ki Dukut pun telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran itu.

Ketika lawannya masih sedang berusaha untuk menemukan keseimbangannya, maka tiba-tiba Ki Dukut talah meloncat maju mendekat. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam kedua pundak lawannya sebelah menyebelah dengan kedua sisi telapak tangannya.

Lawannya menggeliat oleh perasaan sakit yang luar biasa. Tetapi tangannya masih sempat menggapai dada Ki Dukut. Telapak tangannya yang membara telah membakar dada Ki Dukut, sehingga Ki Dukut terpaksa bergeser setapak. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menyerang lawannya dengan pangkal telapak tangannya tepat pada dagu lawannya. Demikian lawannya terangkat kepalanya maka Ki Dukut meloncat mendekat. Dengan sepenuh tenaganya Ki Dukut sekali lagi manghantam perut lawannya denga sikunya. Demikian lawannya tertunduk oleh perasaan sakit yang sangat, maka satu pukulan yang dahsyat dengan sikunya telah menghantam tengkuk orang berjambang dan berkumis lebat itu.

Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Tetapi orang itu tidak sempat mengeluh lagi, ketika sekali lagi sisi telapak tangan Ki Dukut telah mengenai tengkuk orang yang sedang terhuyung-huyung itu. Orang itu pun kemudian jatuh terjerembab. Tetapi ia masih menggeliat. Ketika kemudian ia berguling menengadah, maka satu pukulan yang dahsyat telah menghantam lehernya. Leher itu bagaikan tercekik. Sesaat mata orang itu terbelalak, namun kemudian nafasnya yang terakhir menghentak pendek.

Ki Dukut Pakering pun tiba-tiba telah terduduk. Ia telah mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga seakan-akan tenaganya telah terhisap habis di saat ia menghentakkan kekuatannya yang tersisa.

Macan Wahan, kedua orang kawannya, dan para cantrik yang melihat perkelahian itu sampai saat-saat terakhir, telah dicengkam oleh ketegangan. Meskipun mereka termasuk orang-orang yang berilmu hitam, namun kematian seorang kawannya dengan cara yang dahsyat itu, telah menggetarkan jantung mereka.

Namun sementara itu, Ki Dukut Pakering, seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Tenaganya telah dihentakkan sekuat-kuatnya, sementara perasaan sakit dan pedih mulai mencengkamnya. Luka-luka di tubuhnya, yang bagaikan luka-luka api itu benar-benar telah menggigit sampai ke tulang.

Tetapi dengan demikian ketiga orang yang menyaksikan pertempuran dengan hati yang berdebar-debar itu benar-benar telah mengaguminya. Ia tidak terlalu kasar seperti orang-orang di antara mereka. Namun disaat-saat terakhir, ia benar-benar telah menunjukkan kemampuan dan kekuatannya. Tanpa ragu-ragu ia membunuh lawannya, seperti ia melakukan pekerjaannya yang lain-lain.

Sejenak Ki Dukut mengatur pernafasannya dan menahan rasa sakit. Namun kemudian iapun mencoba untuk berdiri. Meskipun ia masih harus bertahan atas keseimbangan yang goyah, namun Ki Dukut yang menahan rasa sakit itu berkata, “Aku telah membunuhnya. Bukan kebiasaanku mempergunakan cara yang kasar dan garang untuk membunuh lawan. Tetapi sengaja aku melakukannya kali ini. Aku mengerti, bahwa perasaan kalian yang mati itu tentu tidak akan tersentuh sama sekali, jika aku tidak mempergunakan cara seperti yang kalian pergunakan. Karena itulah, aku telah membunuhnya seperti jika kalian melakukannya”

Ketiga orang berilmu hitam itu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Macan Wahan berkata, “Luar biasa. Kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa Ki Dukut. Dengan demikian kau telah membuktikan kebesaran namamu. Lawan yang kau bunuh itu termasuk seseorang yang memiliki beberapa kalebihan dari kami, kawan-kawannya”

“Aku sengaja ingin membuktikan kepada kalian, bahwa aku bukan orang yang hanya pandai berbicara” jawab Ki Dukut, “dan aku telah bersikap sebagaimana seharusnya menghadapi orang-orang berilmu hitam. Jika aku berkata akan membunuhnya, maka aku benar-benar akan membunuh”

“Sudahlah” berkata Macan Wahan, “kita menjadi saksi. Kematiannya. Tidak ada akibat yang akan terjadi atas kematiannya. Kalian melakukan perang tanding. Dan perang tanding itu sudah selesai dengan tuntas. Biarlah orang-orangku menyelenggarakan mayatnya.”

Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam, dipandanginya orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinga kirinya. Agaknya mereka pun dengan rela menerima kemalian seorang kawannya yang bernasib buruk.

Bahkan, keduanya telah berkata di dalam hatinya, “Jika akulah yang mendapat kesempatan bertempur, aku pun akan mengalami akibat yang serupa”

Ki Dukut Pakering pun kemudian telah dibawa ke pendapa oleh Macan Wahan bersama kedua orang kawannya. Sejenak mereka duduk merenungi luka-luka di tubuh Ki Dukut Pakering.

“Orang itu memang luar biasa” berkata Ki Dukut sambil mengusap tubuhnya yang terluka, bagaikan tersentuh bara api. Juga jari-jarinya yang serasa terbakar karena benturan yang terjadi, namun dengan benturan itu, jari-jari lawannya seakan-akan telah berpatahan.

“Apakah pendapat kalian?” bertanya Ki Dukut kepada Macan Wahan dan kedua kawannya.

“Luar biasa” jawab orang yang bertubuh gemuk, “ternyata aku salah menilaimu. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kau memiliki kemampuan melampaui kemampuan kami, bahkan telah mengherankan kami”

Ki Dukut Pakering tersenyum. Namun kemudian katanya, “Tetapi lihatlah, tubuhku yang hangus ini. Sebenarnyalah kawanmu itu benar-benar memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Namun ia terlalu sombong dan tidak dapat menilai, siapakah yang dilawannya. Jika ia tidak menjadi gila atas kemampuannya, maka ia tidak akan bertindak terlalu bodoh untuk menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana dengan perang tanding yang sebenarnya. Jika ia bersedia menghentikan perkelahian sebelum aku kehilangan kesabaran, maka aku akan memanfaatkannya”

Macan Wahan dan kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa sebenarnyalah Ki Dukut tidak ingin membunuh jika bukan karena tingkah laku lawannya itu sendiri. Yang penting bagi Ki Dukut jika lawannya itu tidak terbunuh, akan dapat dipergunakannya untuk membantu rencananya. Tetapi Ki Dukut Pakering merasa perlu untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan orang-orang yang akan dibawanya bekerja bersama, agar mereka mempercayainya bahwa iapun seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni.

Meskipun yang seorang itu telah terbunuh, tetapi masih ada tiga orang yang akan dapat diajaknya untuk melakukan rencananya. Bahkan ia masih yakin, bahwa kekuatan itu masih akan dapat perkembangan, karena yang tiga orang itu adalah orang-orang yang berpengaruh di antara golongannya.

“Aku memerlukan beberapa hari untuk berobat” berkata Ki Dukut kemudian kepada orang-orang itu, “dengan demikian aku sudah kehilangan lagi waktu tanpa arti sama sekali. Tetapi setelah itu, aku harus mengejar ketinggalan ini”

Ketiga orang berilmu hitam itu mengangguk-angguk. Mereka sudah terjerat untuk mempercayai Ki Dukut itu sepenuhnya. Kepada Macan Wahan Ki Dukut minta ijin untuk tinggal di padepokannya sambil menyembuhkan luka-luka tubuhnya, sementara orang-orang Macan Wahan telah sibuk dengan mayat seorang pemimpin yang disegani dari golongan orang-orang berilmu litam.

Demikianlah, maka Ki Dukut telah menunda segala macam pembicaraan karena ia memusatkan segala perhatiannya kepada penyembuhan luka-lukanya. Atas bantuan Macan Wahan dan kedua orang kawannya, maka Ki Dukut berhasil mendapatkan dedaunan dan jenis akar-akaran yang dapat dipergunakannya untuk mengobati luka-lukanya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering sendiri telah hanyut di dalam angan-angannya yang semula hanyalah sekedar untuk memancing kesediaan Macan Wahan dan kawan-kawannya membantunya melepaskan dendam atas orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.

Tetapi setelah ia berhasil mengalahkan salah seorang dari pemimpin orang-orang berilmu hitam itu, maka timbullah desakan di dalam dirinya, bahwa yang diucapkannya sekedar untuk memancing kesediaan orang-orang berilmu hitam itu benar-benar dapat dilaksanakan.

“Apa salahnya, jika rencana itu benar-benar aku jalankan” katanya di dalam hati.

Ternyata bahwa angan-angan itu benar-benar telah mencengkam jantungnya. Selama ia menunggu kesembuhan luka-lukanya, maka, ia telah mengancam kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Semakin lama, maka keinginan itu justru semakin jelas membayang di dalam rongga mata angan-angannya.

Namun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pertanyaan yang tumbuh dari dasar hatinya, “Apakah sebenarnya yang aku kehendaki? jika aku berhasil membuat Kediri berguncang, dan kemudian membangunkan beberapa orang bangsawan yang masih mampu berpikir tentang harga diri, lalu apakah yang akan aku dapatkan buat diriku sendiri? Menjadi raja? Menjadi Akuwu atau menjadi apapun yang memiliki kemukten? Setelah aku mendapat kamukten, apa lagi?”

Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian telah terlempar ke dalam kenyataan, bahwa dirinya adalah sendiri. Kesendiriannya itulah yang kemudian mencengkamnya sebagai kesepian yang pedih.

“Aku tidak akan dapat membagi hasil perjuanganku itu dengan siapapun juga” katanya di dalam hati.

Terasa betapa keringnya hidupnya. Ia tidak mempunyai sanak kadang. Tidak mempunyai seorang murid pun yang akan dapat menerima kemukten yang seandainya telah berada di tangannya.

“Pangeran itu memang gila” geram Ki Dukul Pakering.

Namun iapun tidak dapal mengelabui dirinya sendiri. Siapakah sumber dari malapetaka yang kemudian dialaminya itu. Untuk waktu-waktu yang kosong selama ia mengobati luka-lukanya, ternyata Ki Dukut lelah diombang-ambingkan oleh sikap batinnya yang goyah.

Tetapi jika teringat olehnya, dendam yang menyala dihatinya, maka iapun menggeram, “Aku harus melepaskan dendam yang membakar jantung. Apapun yang akan aku lakukan kemudian, terserah kepada perkembangan yang timbul di dalam hati ini. Tetapi orang-orang yang pernah menyakiti hatiku, harus aku musnahkan. Aku mendapat kawan-kawan yang tangguh, yang memiliki kemampuan malampaui orang-orang yang pernah bekerja bersama selama ini. Pemimpin-pemimpin padepokan yang berjiwa kerdil, dan sama sekali tidak berilmu. Atau pemimpin-pemimpin perampok kecil yang hanya dapat berteriak-teriak dan menakut-nakuti perempuan yang pergi ke pasar. Semua itu tidak ada artinya. Baru sekarang aku menemukan kekuatan yang sebenarnya”

Demikianlah, maka Ki Dukut pun kamudian telah tersekap ke dalam satu lingkungan, yang selama itu disebutnya sebagai lingkungan hitam. Namun lingkungan yang baru itu agaknya akan dapat memberikan dukungan kepadanya, atas satu angan-angan yang semula hanya sekedar satu cara untuk memancing dukungan orang-orang berilmu hitam, namun yang kemudian telah tumbuh dan berkembang di dalam hatinya. Meskipun kadang-kadang timbul pertentangan di dalam dirinya, namun ia masih saja berangan-angan tentang Kediri.

“Kenapa aku tidak berusaha untuk menjadi seorang pahlawan, meskipun tidak akan memberikan apa-apa lagi kepadaku selain bagi aku sendiri, dan sama sekali tidak berkelanjutan?” pertanyaan itupun selalu timbul di dalam hatinya. Persoalan-persoalan itulah yang di hari-hari berikutnya telah bergumul di dalam hati Ki Dukut Pakering.

Sementara itu, Macan Wahan dan kawan-kawannya, meskipun belum mematangkan pembicaraan mereka dengan Ki Dukut, namun mereka sudah menganggap bahwa segala akan berjalan dengan persiapan yang harus memadai. Tidak ada gambaran lain yang akan mereka lakukan, selain mempergunakan kekerasan. Karena itulah, maka Macan Wahan dan kawan-kawannya pun telah menemui Ki Dukut untuk menyatakan kesediaan mereka memulai segala rencana yang akan di susun oleh Ki Dukut.

“Silahkan Ki Dukut beristirahat di sini” berkata Macan Wahan, “sementara kami akan mempersiapkan diri. Kedua kawanku akan kambali ke padepokannya dan, menyusun kekuatannya sampai ke puncak kemampuannya”

Ki Dukut yang masih belum sembuh benar itupun setuju. Biarlah orang-orang dari padepokan hitam itu mempersiapkan diri mereka dengan cara mereka yang barangkali terlalu mengerikan bagi Ki Dukut. Namun demikian, ada niat di hati Ki Dukut untuk berbuat sesuatu setelah keadaannya menjadi baik. Orang-orang berilmu hitam itu akan dapat berbuat lebih baik tanpa perbuatan-perbuatan yang dapat menggetarkan jantung.

“Bersiaplah” berkata Ki Dukut, “pada satu saat yang pendek kita akan segera mulai”

Kedua kawan Macan Wahan itu pun segera minta diri. Mereka akan kembali ke padepokan masing-masing, mereka akan menempa para murid dan para cantrik untuk menghadapi tugas yang berat.

“Tidak ada keterbatasan” berkata Ki Dukut Pakering, “kalian dapat menghubungi kawan-kawan kalian yang dapat dipercaya untuk tugas besar ini. Kita akan mengguncang Kediri dan membangunkan para bangsawan yang lelap. Kediri harus bangkit menjadi satu negara besar seperti saat Singasari masih sebuah Pakuwon yang bernama Tumapel”

Demikianlah, kalau-kalau Macan Wahan itu meninggalkan padepokan itu dengan tugas yang membebani hati. Meskipun mereka masih juga di bayangi oleh satu pertanyaan, apakah yang akan terjadi jika para bangsawan di Kediri telah terbangun dan mengambil kembali kebesaran nama Kediri dari bayangan pemerintahan Singasari.

“Apakah kami tidak justru akan terjerumus kedalam kesulitan?” pertanyaan itu pun selalu menganggu mereka. Namun mereka pun akhirnya mengambil kesimpulan, “Jika kami memiliki kekuatan yang cukup, maka tidak ada satu pihak pun yang akan berani mengorbankan kami. Ki Dukut Pakering pun tidak. Bahkan kami harus dapat mengambil keuntungan dari keadaan itu. Mungkin kami akan memiliki tanah perdikan yang luas untuk mengembangkan padepokan kami dengan terbuka karena hak kami sudah diakui. Atau mungkin daerah yang lebih luas sebagai satu Pakuwon atau hak apapun juga”

Dengan bekal sikap itulah, maka mereka pun bertekad untuk menyusun kekuatan. “Kami bukan sekedar alat yang akan dapat dipergunakan dimana diperlukan oleh Ki Dukut” berkata kawan-kawan Macan Wahan itu di antara mereka, “tetapi kami pada suatu saat akan menentukan. Menentukan diri kami sendiri pada satu keadaan yang kami kehendaki”

Sementara itu, Ki Dukut masih tetap berada di padepokan Macan Wahan. Dari hari kehari, maka luka-lukanya pun segera nampak berangsur membaik. Bekas-bekas luka bakar itu pun kemudian mengelupas dan tumbuhlah kulit yang baru meskipun warnya agak berbeda. Tetapi lambat laun, segala bekas itu pun akan terhapus.

Dalam pada itu, selagi Ki Dukut berada di padepokan Macan Wahan, maka Mahisa Bungalan dengan pasukannya dan Pangeran Kuda Padmadata dengan pasukannya pula masih melanjutkan perburuan. Namun mereka sama sekali tidak menemukan jejak orang yang mereka cari. Tidak seorang pun yang dapat mengatakan, dimanakah orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk. Setiap gerombolan yang mereka datangi, sama sekali tidak terdapat jejak Rajawali Penakluk yang sedang mereka buru.

“Kita harus menemukan cara lain yang lebih baik” berkata Witantra pada suatu saat ketika mereka sedang berkumpul di padepokan kecil yang mereka pergunakan sebagai tempat pancadan perburuan mereka.

Mahisa Agni, Ki Wastu, Mahendra dan orang-orang yang bersama-sama berbincang itu sependapat. Tetapi cara baru itu tidak segera dapat mereka ketemukan.

“Orang itu bagaikan hilang ditelan padang belantara” berkata Mahisa Bungalan.

“Tidak sulit bagi seseorang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu” desis Mahisa Agni, “jika ia berada di satu tempat tanpa berbuat apa-apa, kita tidak akan dapat menemukannya. Baru apabila ia melakukan sesuatu kita akan dapat mencium jejaknya”

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku kira untuk waktu yang dekat, orang itu tidak akan banyak berbuat” berkata Mahisa Agni, “tetapi itu bukan berarti, bahwa ia tidak akan dapat muncul disetiap waktu. Karena itu, maka setiapnya padepokan harus mempersiapkan diri”

Pemimpin padepokan kecil itu menjadi berdebar-debar. Tetapi itu sudah menjadi kewajibannya. Apapun yang akan terjadi namun ia harus bertanggung jawab. Karena itu, maka pemimpin padepokan itupun berkata, “Kami akan mencoba menempa diri sebaik-baiknya. Betapapun tinggi ilmu dan kemampuannya, jika kami dengan sepenuh hati, tekad dan kemampuan mempertahankan padepokan itu, maka kami yakin, bahwa kami akan tetap dapat bertahan”

“Ya” desis Witantra, “memang tidak ada kekuatan yang tidak terlawan. Kalian harus menyusun kekuatan. Kalian harus menunjuk patut yang sudah memiliki kelebihan dari kawan-kawannya agar mereka menempa diri lebih baik dan tekun. Mungkin dengan demikian, maka kalian akan dapat menghadapi kelebihan dari seseorang yang datang dengan maksud buruk di padepokan ini. Karena sudah pasti, bahwa kami tidak akan dapat berada padepokan ini untuk waktu yang terlalu lama”

“Tetapi bagaimana dengan perburuan ini?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata, “jika masih belum dapat menangkap orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu, maka rasa-rasanya keadaan di daerah yang luas ini masih akan selalu terganggu”

“Mungkin demikian” sahut Mahendra, “tetapi padepokan-padepokan terpencar ini akan dapat mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain untuk saling membantu. Bagaimanapun caranya, mereka akan dapat membangun satu jaringan isyarat dari padepokan yang satu dengan padepokan lain yang berdekatan”

Pangeran Kuda Padmadata pun mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya bagi dirinya sendiri, Rajawali Penakluk itu akan tetap menjadi bayangan yang buram. Apalagi jika ia mengingat isteri dan anaknya yang masih dititipkannya di Singasari. “Apakah aku dapat mengambilnya dan membawanya ke Kediri di bawah bayangan kekejaman orang itu?”

Tetapi persoalan Pangeran Kuda Padmadata itu adalah persoalan yang sangat khusus. Persoalan diri pribadinya, meskipun dalam keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari persoalan yang menyeluruh, karena sebenarnyalah sumber dari dorongan sikap Ki Dukut adalah karena persoalan pribadinya pula, meskipun kemudian berkembang menjadi pamrih atas harta kekayaannya. Karena itu, maka akhirnya Pangeran Kuda Padmadata tidak dapat lagi menghindari pembicaraan tentang dirinya sendiri bersama Mahisa Agni, Witantra, Mehendra dan apalagi dengan Ki Wastu.

“Sebaiknya isteri Pangeran itu dibawa saja ke Kediri. Ia sudah terlalu lama mengalami tekanan batin. Meskipun, kini ia merasa aman di bawah perlindungan para prajurit di Singasari, tetapi kesejahteraan jiwanya masih juga belum didapatinya. Ia tentu masih merasa kesepian meskipun ada seorang puteranya yang dapat mengisi hari-harinya yang tentu terasa sangat panjang” berkata Mahendra.

“Tetapi bagaimana dengan Ki Dukut” desis Pangeran itu.

“Sebenarnya Pangeran tidak usah terlalu mencemaskan” sahut Witantra, “Ki Wastu tentu akan berada di istana Pangeran di Kediri. Tentu ia akan mengawasi anak perempuannya sebaik-baiknya”

Sepercik kecerahan memancar di wajah Pangeran Kuda Padmadata. Katanya, “Jika bapa bersedia tinggal bersama kami, tentu tidak akan ada masalah lagi yang perlu kami gelisahkan”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku memang merasa mempunyai kewajiban atas anak perempuanku. Sebelum keadaan yang pasti dapat kita ketahui tentang Ki Dukut Pakaring, aku akan berada di istana Pangeran”

“Terima kasih” desis Pangeran Kuda Padmadata, “dengan demikian, aku sudah mendapatkan pemecahan tentang keadaan keluargaku. Tetapi itu bukan berarti, bahwa persoalan guru dapat dilupakan begitu saja”

“Kita akan tetap berusaha menemukannya” berkata Mahisa Agni, “tetapi tentu tidak akan dapat melanjutkan perburuan dengan cara ini. Kita tidak pernah berhasil menemukan meskipun hanya jejaknya. Apalagi orangnya”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Di luar sadarnya dipandanginya Mahisa Bungalan. Anak muda itu rasa-rasanya tidak akan dapat bersabar menunggu.

Namun diluar dugaan, Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Kita memang harus menemukan cara lain. Kita akan kembali ke Kediri untuk mengambil sikap yang lebih baik dari sikap kita selama ini terhadap Ki Dukut. Sementara Pangeran akan dapat menyusun kehidupan keluarga sewajarnya, sebagaimana layaknya sebuah keluarga. Tentu dengan harapan, bahwa Ki Wastu akan memberikan perlindungan kepada keluarga Pangeran. Sementara itu, biarlah kami melanjutkan perburuan dengan cara yang akan kami bicarakan kemudian”

“Tentu aku tidak akan dapat tenang duduk di serambi dengan anak isteriku, sementara kalian menyusup hutan dan melintasi padang-padang yang gersang untuk mencari orang yang akan dapat mengganggu ketenangan keluargaku” gumam Pangeran Kuda Padmadata.

“Tidak seperti yang pangeran katakan” jawab Mahisa Bungalan, “semuanya masih harus ditunggu. Mungkin ada perkembangan keadaan yang akan ikut menentukan, apakah yang sebaiknya kita lakukan kemudian”

Pangeran Kuda Padmadata hanya dapal mengangguk-angguk, ia memang belum melihat, cara yang manakah yang dapat ditempuh dalam keadaan seperti itu. Karena itulah, maka akhirnya, sekelompok orang yang sedang memburu Ki Dukut itu pun memutuskan untuk kembali ke Kediri membawa semua pasukan dan tawanan. Tetapi mereka sudah memberikan beberapa petunjuk yang dapat dilakukan oleh padepokan-padepokan kecil yang mungkin akan dapat menjadi sasaran dendam.

“Kalian harus berlatih dengan sungguh-sungguh” berkata Mahisa Bungalan, “aku tahu, bahwa di setiap padepokan tentu ada satu atau dua orang yang memiliki kelebihan. Orang itulah yang harus menempa kawan-kawannya, para cantrik dan pengikut-pengikutnya sejauh-jauh dapat dilakukan, agar orang-orang yang berada di sekitarnya akan dapat membantunya jika mereka mengalami kesulitan”

Atas pesetujuan para pemimpin prajurit dan pengawal, maka mereka telah meninggalkan beberapa jenis senjata yang akan dapat dipergunakan untuk melengkapi senjata-senjata yang telah ada di padepokan kecil itu. Pada hari-hari yang tersisa, sebelum pasukan itu meninggalkan padepokan, maka para prajurit dan pengawal telah memberikan latihan sebaik-baiknya. Karena jumlah para prajurit dan pengawal cukup banyak, maka mereka dapat membagi diri, langsung menjadi pasangan setiap cantrik dalam latihan-latihan yang berat dan mengarah.

Dengan sungguh-sungguh para cantrik itu berlatih mempergunakan jenis-jenis senjata yang ada pada pasukan dari Kediri itu, di samping mereka berlatih dengan sungguh-sungguh mempergunakan senjata-senjata mereka sendiri. Karena latihan-latihan yang bersungguh-sungguh, meskipun waktunya tidak terlalu banyak, namun mereka telah mendapat pengetahuan yang cukup bagi diri mereka sendiri dan bagi kawan-kawan mereka.

Akhirnya, sampailah saatnya Pangeran Kuda Padmadata dan para prajurit serta pengawal meninggalkan padepokan itu bersama beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata kehadiran mereka beberapa lama benar-benar telah merubah tata kehidupan di padepokan kecil itu. Padepokan itu telah menerima petunjuk bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga cara-cara yang lebih baik bagi kesejahteraan hidup mereka.

Demikianlah pada suatu pagi yang cerah, pasukan Singasari dan Kediri itu pun berangkat dalam iringan yang paniang, karena di samping para praiurit dan pengawai, terdapat juga beberapa orang tawanan. Di antara iring-iringan itu terdapat pula beberapa pedati yang membawa beberapa orang prajurit, pengawal dan bahkan tawanan yang masih belum sembuh benar dari luka-luka mereka di pertempuran-pertempuran yang terjadi selama pasukan itu menjelajahi padepokan dan sarang-sarang penjahat.

Namun di sepanjang jalan, beberapa orang telah di cengkam oleh perasaan yang pahit. Seolah-olah apa yang telah mereka kerjakan dengan korban jiwa dan raga itu, sama seiali tidak memberikan hasil yang memadai. Yang mereka lakukan tidak lebih dari berjalan beriringan menyerang sarang-sarang penjahat yang kemudian menyerah. Meskipun kekuatan para penjahat itu tidak memdadai, namun kadang-kadang ada juga diantara para prajurit dan pengawal yang menjadi korban.

“Yang aku temui hanyalah kesia-siaan belaka” berkata Pangeran Kuda Padmadata di dalam hatinya.

Namun perasaan yang sama tumbuh juga di dalam hati Mahisa Bungalan. Bahkan rasa-rasanya jantungnya menjadi panas karena kegagalannya menemukan buruannya. Ternyata di perjalanan pasukan itu sama sekali tidak menemukan hambatan apa pun juga. Ketika di malam hari mereka terpaksa berhenti dan bermalam di pinggir hutan, maka dengan penuh kewaspadaan para prajurit dan pengawal selalu berjaga-jaga.

Tetapi malam itu mereka lalui dengan tenang. Hanya sekali-sekali terdengar geram binatang buas yang berkeliaran di hutan yang lebat. Demikianlah maka pasukan itu pun akhirnya sampai ke Kediri dengan selamat. Para tawanan itu pun segera dibawa ke barak-barak yang tersedia, sementara para prajurit dan pengawal pun telah ditempatkan di kesatuan-kesatuan mereka kembali.

Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata telah mengundang Mahisa Bungalan, Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan anak-anaknya yang lain dan terutama Ki Wastu untuk berada di istananya. Mereka masih akan membicarakan beberapa hal yang menyangkut keluarga Pangeran Kuda Padmadata.

Seperti yang sudah dibicarakan, maka akhirnya Pangeran itu memutuskan untuk mengambil isteri dan anaknya seperti seharusnya. Isteri dan anaknya itu akan tinggal bersama mereka di dalam istana itu, di bawah pengawasan Ki Wastu. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat mengabaikan kehadiran Ki Dukut Pakering pada saat-saat yang tidak diduga-duga.

Setelah niat itu bulat di hati Pangeran Kuda Padmadata, maka mereka pun menentukan saat-saat mereka akan menjemput isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu untuk dibawa ke Kediri dari tempat mereka dilindungi oleh prajurit Singasari. Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata pun tidak akan dapat mengabaikan pandangan dan sikap beberapa orang di Kediri atas keputusannya itu. Terutama para bangsawan. Mereka mengira bahwa Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah beristeri seorang yang memiliki derajad yang pantas.

Karena tidak seorang pun yang mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi di lingkungan dinding istana Pangeran Kuda Padmadata. Tidak seorang pun yang tahu, betapa adik Pangeran Kuda Padmadata itu telah berkhianat bersama seorang perempuan yang disebut isteri dari Pangeran Kuda Padamadata itu. Bahkan ternyata semuanya itu telah berlangsung sesuai dengan rencana yang dibuat oleh Ki Dukut Pakering, guru Pangeran Kuda Padmadata sendiri.

“Segalanya memang harus mendapat perhatian sebaik-baiknya” berkata Mahisa Agni, “memang tidak mustahil, akan timbul masalah. Bagaimana mungkin Pangeran lebih mementingkan isteri Pangeran yang Pangeran ambil dari lingkungan rakyat daripada seorang isteri yang memiliki derajad yang pantas”

Pangeran Kuda Padmadata memang menjadi bingung. Ia tidak sampai hati untuk menyatakan dengan terbuka, apa yang pernah dilakukan oleh adik dan perempuan yang disebut isterinya itu. Bagaimanapun juga, jika mungkin. Pangeran itu masih ingin melindungi nama baik adik kandungnya. Sementara ia pun tidak akan dapat mengorbankan nama perempuan yang ternyata telah diperalat pula oleh gurunya. Bagaimanapun juga, ia masih berharap bahwa perempuan itu akan memiliki hari depannya sendiri.

“Aku akan berbicara dengan perempuan itu” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “bagaimana sebaiknya aku mengatakan tentang dirinya, justru untuk kepentingannya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Pangeran harus tetap berhati-hati. Mungkin sakali hati dan dendam yang tersimpan dihatinya tidak kalah berbahaya dari sakit hati dan dendam di dalam hati Ki Dukut Pakering itu sendiri”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, “Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku tidak salah langkah”

Tetapi sementara itu, ternyata Pangeran Kuda Padmadata cenderung untuk mengambil isteri dan anaknya itu lebih dahulu dari segala macam langkah yang akan diambil.

“Ia akan dapat berada di istana ini tanpa menimbulkan persoalan sebelum aku menyatakan dengan terbuka, bahwa isteri dan anakku yang sebenarnya sudah berada di sini” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Ternyata pendapat itu disepakati. Sehingga dengan demikian maka Pangeran Kuda Padmadata akan segera pergi ke Kediri menjemput isteri dan anaknya, meskipun hal itu tidak akan segera diberitahukan kepada siapa pun juga di Kediri, sebelum Pangeran Kuda Padmadata menghubungi beberapa pihak yang akan langsung bersentuhan dengan persoalan itu.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra tidak akan disibukkan dengan perburuan yang gagal dipadang yang sangat luas. Tetapi mereka akan terlibat ke alam kesibukan yang lain, membawa isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata dari Singasari ke Kediri. Untuk beberapa saat Pangeran Kuda Padmadata telah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya. Rumahnya telah diatur sebaik-baiknya. Yang mengalami kerusakan telah diperbaikinya. Sementara para abdi disana itu pun mulai berteka-teki.

“Pangeran Kuda Padmadata akan kawin lagi” berkata seorang hamba di istananya.

“Tentu tidak” sahut yang lain, “jika demikian, bagaimana dengan isterinya itu?”

“Uh. Lagaknya kau tidak tahu apa yang pernah terjadi” desis yang lain.

Kawannya tidak menjawab. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat melupakan, apa yang pernah terjadi di istana itu. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk tidak menceriterakan kepada siapapun, apa yang sebenarnya telah terjadi. Untunglah bahwa sebagian besar dari mereka, memang tidak mengerti peristiwa itu di dalam keseluruhan, sehingga ceritera yang pernah merembes keluar dinding istana itu pun tidak jelas pula.

Namun adalah satu kenyataan, bahwa setelah peristiwa yang menggetarkan istana itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata yang dianggap mempunyai derajad yang memadai itu telah dikembalikan kepada ayahandanya. Memang ada beberapa orang yang bertanya-tanya di dalam hati. Setelah istana itu dirampok orang, sehingga adik Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi korban, kenapa justru puteri itu telah diserahkan kembali kepada ayahandanya.

“Bukan diserahkan” seseorang berusaha menduga-duga tetapi agaknya puteri itu sudah diambil kembali oleh ayahandanya karena kemungkinan buruk yang dapat terjadi di istana itu sepeninggal adik Pangeran Kuda Padma data”

Orang yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang Pangeran yang pilih tanding. Tetapi ia terbunuh. Karena itu, maka mungkin sekali ayahanda puteri itu benar-benar mencemaskan nasib puterinya, sehingga puteri itu telah diambilnya. Tetapi untuk menjaga kewibawaan Pangeran Kuda Padmadata, maka dikatakannya, seolah-olah puteri itu telah di kembalikan”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah banyak ceritera telah terjadi tentang istana Pangeran itu. Bahkan ketika Pangeran Kuda Padmadata untuk beberapa saat lamanya tidak nampak di Kediri pun, timbul pula dugaan-dugaan yang bersimpang siur.

“Pangeran Kuda Padmadata telah membawa pasukan segelar sepapan” berkata orang-orang yang sedang duduk mengaso di pematang sawahnya.

Kawannya segera menyahut, “Itu adalah tugasnya. Ia adalah seorang Pangeran, tetapi juga seorang Senopati pengawal di Kediri. Ia sedang mengejar sekelompok penjahat yang membuat daerah yang jauh dari kota menjadi tidak aman. Banyak korban yang telah jatuh, sehingga Pangeran itu merasa perlu untuk memburunya, dan menumpas mereka sampai kepusat sarangnya”

Demikianlah, ketika semua persiapan sudah selesai, maka Mahisa Agni dan Mahendra telah mendahului Pangeran Kuda Padmadata ke Singasari untuk memberitahukan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata akan datang mengambil isteri dan anak laki-lakinya.

Para prajurit Singasari itu pun merasa lega. Dengan demikian mereka merasa terbebas dari satu tanggung jawab yang tidak ringan. Selama isteri Pangeran itu masih berada di Singasari, maka para prajurit yang diserahi untuk menjaganya, harus selalu berjaga-jaga. Apalagi di malam hari. Mungkin seseorang dengan diam-diam merunduk keselamatan perempuan itu lewat kemungkinan yang tidak terduga sebelumnya.

Tetapi ternyata bahwa berita itu pun segera tersebar di antara para prajurit di Singasari. Bahkan kemudian hal itu telah didengar oleh keluarga para prajurit itu. Karena mereka menganggap bahwa hal itu bukan satu rahasia yang perlu disembunyikan, akhirnya berita itu pun telah tersebar. Seorang Pangeran dari Kediri akan mengambil perempuan yang berada di Singasari, yang ternyata adalah isterinya.

Meskipun berita itu tidak meluas keseluruh kota, dan bukan merupakan berita terpenting pada satu saat, namun berita itu ternyata sampai juga ketelinga seseorang yang berada di Singasari untuk satu tujuan yang khusus. Orang itu adalah anak buah Macan Wahan yang sedang mencari kemungkinan untuk mendapatkan daerah jelajah yang lebih luas bagi gerombolannya.

“Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri akan mengambil isterinya di Singasari” desis orang itu.

“Apa pedulimu” desis kawannya, “yang penting, kita harus mengetahui, apakah ada tempat-tempat yang memungkinkan untuk mencari sumber baru. Ada berapa pedagang barang-barang berharga di Singasari. Mungkin satu dua di antara mereka mempunyai simpanan emas dan permata yang cukup untuk menutup perjalanan kita yang panjang ini”

Tetapi kawannya nampaknya tidak tertarik sama sekali. Ia lebih mementingkan kemungkinan-kemungkinan yang baik bagi gerombolannya. Karena itu, maka katanya, “Nampaknya kau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga perhatianmu ternyata telah terpecah belah. Buat apa kau memperhatikan isteri orang?”

“Orang itu mempunyai sangkut paut dengan Ki Lurah Macan Wahan” desis kawannya.

“Tetapi tidak penting. Yang penting bagi kita, kita harus mengetahui, apakah kita dapat berbuat sesuatu di tempat yang gawat seperti ini. Di tempat yang dibayangi oleh prajurit-prajurit yang pilih tanding. Di tempat yang memiliki sejuta Senapati pilihan” sahut yang lain, “Coba, kau ingat. Sudah berapa kali, kawan-kawan kita, mencoba untuk menembus daerah ini. Tetapi tidak seorang pun yang pernah berhasil. Mereka segan berbuat sesuatu di antara para prajurit dan Senapati yang siap untuk memenggal leher mereka”

Kawannya mengerutkan keningnya. Dan orang itu pun meneruskan kata-katanya, “Kita akan merupakan orang pertama yang akan berhasil di daerah ini”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya yang lain.

“Kita adalah pedagang-pedagang kaya yang akan berbicara tentang emas dan permata. Dengan demikian kita akan dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang terpenting di Singasari,” sahut kawannya.

Tapi kawannya tertawa kecut, jawabnya, “Kau terlalu bodoh untuk memahami seseorang. Pedagang-pedagang itu sudah saling mengenal dengan baik. Hampir setiap pekan atau bulan mereka saling berhubungan. Jika tiba-tiba datang orang yang sama sekali belum dikenalnya, maka mereka tentu akan meniadi curiga.”

Yang lain mengerutkan kening. Lalu katanya, “Kau benar. Para pedagang itu tentu akan bertanya kepadaku. dari mana asalku dan kenapa tiba-tiba saja aku datang ke Singasari sebagai orang baru di dalam lingkungan mereka”

“Aku mempunyai cara” desis kawannya.

“Apa?”

“Kita bukan pedagang. Tetapi kita adalah orang-orang kaya yang akan membeli perhiasan emas dan permata. Sekali-kali kita memang harus menawar. Kalau terpaksa, kita benar-benar akan membelinya. Namun kemudian, kita akan mengambil uang kita kembali, dan sekaligus dengan bunganya yang berlimpah-limpah”

Yang lain mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menepuk pundak kawannya ia berkata, “Kau memang cerdas. Terima kasih. Kita akan memakai cara itu”

“Aku tidak merasa keberatan” jawab kawannya. Namun tiba-tiba, “Tetapi kita pun harus memperhatikan berita tentang Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin kita memerlukannya”

“Maksudmu?”

“Sekaligus kita menangkap berita itu. Bagaimana Pangeran itu akan mengambil isterinya”

“Ahhh” desah yang lainnya, “kau selalu memikirkan perempuan itu. Apakah sebenarnya kepentinganmu”

“Bukan apa-apa. Tetapi aku hanya ingin membawa satu ceritera yang menarik buat Ki Lurah Macan Wahan dan tamunya, orang tua yang memiliki kemampuan iblis yang paling garang itu”

Kawannya termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia berkata, “Ya. Aku pun mendengar ia menyebut nama Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin ada juga hubungannya dengan keinginannya untuk membangunkan Kediri yang sedang tertidur itu”

“Bagus. Kita akan mencari keterangan tentang kedua-duanya” berkata yang lain.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun mulai dengan peranannya sebagai dua orang kaya yang sedang mengadakan perjalanan ke Singasari. Mereka berusaha menghubungi para pedagang. Tetapi mereka pun seolah-olah tidak dengan sengaja, menangkap berita tentang perempuan yang disebut sebagai isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.

Kedua orang yang menurut pengamatan lahiriah adalah dua orang yang kaya itu, mendapat kehormatan, bermalam di sebuah banjar padukuhan, meskipun di tepi Kota Singasari. Namun dari tempat itu, mereka dapat mengetahui banyak hal tentang Kota Raja yang disebut Singasari itu. Ternyata bahwa keduanya benar-benar telah membeli barang-barang berharga dari seorang pedagang. Mereka membeli barang-barang emas dan permata, meskipun tidak terlalu besar dan tidak terlalu mahal.

“Kami menginginkan permata yang lebih baik lagi, tetapi yang cocok dengan kepribadian kami” berkata salah seorang dari keduanya.

Dengan demikian, maka beberapa pedagang yang lain telah datang pula kepada mereka berdua. Di antara mereka yang datang itu adalah Mahendra. Tetapi dari Mahendra mereka tidak membeli apapun juga. Barang-barang yang dibawa oleh Mahendra nampaknya tidak terlalu murah dan mereka telah mengelak, bahwa barang-barang itu, terutama batu berharga, tidak cocok dengan kepribadian mereka.

Namun demikian, para pedagang itu sama sekali tidak menyadari, bahwa kedua orang itu hanya ingin mengetahui keadaan mereka seorang demi seorang. Rumah mereka dan kemungkinan-kemungkinan dapat mereka lakukan. Selebihnya, mereka ingin mendengar serba sedikit tentang seorang perempuan yang akan diambil oleh suaminya, seorang Pangeran dari Kediri.

Nampaknya tidak ada masalah yang timbul di antara kedua orang itu dengan para pedagang. Bahkan keduanya telah benar-benar membeli meskipun bukan barang yang sangat mahal. Namun sebenarnyalah, keduanya telah menarik perhatian Mahendra, bukan karena mereka telah berhubungan dengan para pedagang, tetapi justru karena keduanya telah berbicara tentang Pangeran Kuda Padmadata.

Tetapi Mahendra tidak tergesa-gesa mempersoalkannya. Ia pun tidak berbuat sesuatu, ketika orang itu kemudian meninggalkan Singasari. Namun demikian, Mehendra telah memperbincangkan hal itu dengan Mahisa Agni yang bersama-sama telah datang mendahului Pangeran Kuda Padmadata ke Singasari untuk mempersiapkan isteri Pangeran Kuda Padmadata yang akan dijemput oleh suaminya.

“Memang sangat menarik perhatian” berkata Mahisa Agni, “tetapi mungkin secara kebetulan, ia mendengarnya dan tanpa maksud apa-apa, mereka bertanya tentang Pangeran itu”

Mahendra mengangguk-angguk, jawabnya, “Salah satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan”

Mahisa Agni mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Kita memang harus berhati-hati. Tetapi hal ini agaknya tidak perlu kita persoalkan. Pangeran Kuda Padmadata masih diliputi oleh kecemasan. Jika ia mendengar hal itu, mungkin ia akan menentukan sikap lain. Mungkin ia telah membuka padang perburuan baru di daerah yang sangat luas, bahkan tidak terbatas”

Mahendra mengangguk-angguk. Namun katanya, “Selain persoalan Pangeran Kuda Padmadata, yang menarik perhatian pada mereka adalah usahanya untuk berhubungan dengan pedagang sebanyak-banyaknya”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Itu pun harus mendapat perhatian. Tetapi mungkin pula ia sekedar ingin memperbandingkan harga”

Sambil tertawa Mahendra berkata, “Itu juga salah satu dari sekian banyak kemungkinan”

Mahisa Agni pun tertawa. Katanya, “Agaknya memang demikian. Mudah-mudahan”

“Mudah-mudahan apa?” bertanya Mehendra.

“Mudah-mudahan satu kemungkinan benar”

Mahendra masih tertawa. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan memperhitungkan segala kemungkinan. Tetapi kita tidak akan menunda lagi rencana Pangeran Kuda Padmadata mengambil isteri dan anaknya”

Keduanya pun sepakat, bahwa mereka tidak akan menelan lagi dengan alasan apapun juga. Perempuan dan anak laki-lakinya itu sudah cukup lama menderita. Yang terakhir, meskipun penderitaan jasmaniahnya telah berakhir, tetapi ia masih tetap menderita batiniah, karena ia masih tetap merupakan seorang perempuan titipan di Singasari.

Namun dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata mempersiapkan rencana penjemputan itu, kedua orang yang datang di Singasari sebagai dua orang kaya yang mencari batu-batu berharga dan barang-barang perhiasan itu telah berada di antara lingkungannya di padepokan yang dipimpin oleh Macan Wahan. Kecuali pengenalan mereka terhadap beberapa orang pedagang, ternyata mereka telah berbicara tentang rencana seorang Pangeran di Kediri bernama Kuda Padmadata untuk menjemput isterinya dari Singasari.

“Siapa?” bertanya Ki Dukut Pakering yang masih berada di padepokan Macan Wahan.

“Pangeran Kuda Padmadata” jawab kedua orang itu.

Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu adalah contoh dan seorang Pangeran di Kediri yang tidak tahu diri. Ia adalah budak yang paling setia bagi orang-orang Singasari”

“Kenapa?” bertanya Macan Wahan.

“Bukankah Pangeran itu muridku?” desis Ki Dukut, “tetapi ia tidak pantas menjadi contoh sifat dan sikap seorang Pangeran. Kediri harus bangkit. Kediri tidak memerlukan lagi Pangeran seperti Kuda Padmadata”

“Jika demikian, kita tidak akan menghiraukannya” desis Macan Wahan.

Ki Dukut termangu-marigu sejenak. Terbayang sekilas, apa yang pernah dilakukannya pada saat-saat lampaunya. Ia telah menginginkan kematian Pangeran itu dengan cara yang khusus. Dengan memperalat adik kandungnya sendiri. Selain usahanya itu, ia pun telah berusaha pula mematahkan tunas keturunan. Pangeran Kuda Padmadata. Dengan demikian, maka segala harta warisan Pangeran itu akan jatuh kepada adik kandungnya, juga muridnya.

“Tetapi apa peduliku sekarang?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya, “jika aku membunuh Pangeran itu, apakah pamrihku? Juga jika aku membunuh isteri dan anaknya. Aku tidak akan dapat menerima apapun juga lewat satu-satunya adik kandungnya, karena adik kandungnya itu telah terbunuh”

Karena itu, maka untuk beberapa saat Ki Dukut termangu-mangu. Namun yang kemudian membayang di rongga matanya adalah tumpahan dendam yang membakar jantungnya. Meskipun ia tidak akan mendapatkan apapun juga, namun membunuh Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anaknya, akan dapat memberikan kepuasan tersendiri.

Tetapi setiap kali terbersit keragu-raguan di hatinya. Kematian itu tidak ada artinya sama sekali, selain pemuasan dendam yang membakar jantungnya. Namun tiba-tiba menggeram, “Berita itu sangat menarik perhatian. Aku akan merenungkannya. Mungkin aku mempunyai kepentingan dengan muridku yang telah berkhianat itu. Setidak-tidaknya berkhianat terhadap Kediri. Tanah tumpah darahnya. Aliran darah keturunannya. Ia sama sekali tidak menghormatinya dengan merendahkan diri, berlutut di bawah kaki orang-orang Singasari”

“Terserah kepadamu” berkata Macan Wahan, “aku dan kawan-kawanku sudah menanamkan kepercayaan kami kepadamu. Mungkin masih ada juga timbul beberapa macam pertanyaan. Tetapi sebaiknya kau menentukan sikap. Biarlah kami mempertimbangkan untuk membantu”

Ki Dukut mengangguk-angguk. Meskipun keragu-raguan masih membayang, namun iu kemudian menentukan, “Memang aku ingin berbuat sesuatu. Aku akan mulai mengguncang Kediri dengan anak yang malang, yang telah menjual harga dirinya itu”

“Kita akan membunuhnya” geram Ki Dukut, “bersama dengan anak isterinya. Orang-orang yang mengiringinya akan kita biarkan hidup. Tetapi mereka harus mendengar sikap kami, kenapa Pangeran itu harus mati. Pangeran itu adalah satu contoh bahwa Pangeran-pangeran yang lain pun akan mengalami nasib yang sama jika mereka menjual harga dirinya kepada orang-orang Singasari”

“Dengan demikian kita akan mulai dengan perjuangan yang panjang” berkata Macan Wahan, “apakah dengan demikian kita sudah siap?”

“Baru langkah permulaan” berkata Ki Dukut, “kita tidak akan melakukannya dengan terbuka. Kita hanya meninggalkan kesan yang akan disusul dengan kesan-kesan berikutnya”

Macan Wahan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Dukut. Bahwa yang akan dilakukannya itu baru sekedar permulaan dari perjuangan yang masih belum sebenarnya dimulai. Sehingga dengan demikian, maka peristiwa yang akan terjadi itu, tidak harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya dalam waktu singkat dan beruntun. Tetapi dengan langkah itu, Ki Dukut sudah mulai melontarkan pertanyaan kepada para bangsawan di Kediri, apakah mereka akan tetap tertidur nyenyak.

“Kediri sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan Singasari” berkata Ki Dukut kemudian.

“Jadi langkah apa yang akan kita ambil?” bertanya Macan Wahan.

“Mencegat iring-iringan yang akan berangkat dari Singasari menuju ke Kediri itu” berkata Ki Dukut.

“Kita akan pergi bersama-sama” berkata Macan Wahan.

“Itu tidak perlu. Serahkan kepada satu dua orang kepercayaanmu. Dua orang terbaik di lingkungan kita, meskipun bukan kau dan aku sendiri” berkata Ki Dukut, “namun mereka harus membawa pasukan secukupnya. Dalam iring-iringan itu, aku yakin, akan terdapat banyak harta dan benda yang dapat kau miliki di samping pesan yang akan kita lontarkan lewat orang-orang yang masih akan dibiarkan hidup”

“Bagaimana dengan Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak laki-lakinya?” bertanya Macan Wahan.

“Mereka adalah sasaran utama. Mereka harus dibunuh, karena mereka adalah pengkhianat dengan keturunannya” jawab Ki Dukut.

“Menarik sekali” jawab Macan Wahan, “nampaknya dua ekor ikan akan sekaligus kita tangkap. Kematian Pangeran Kuda Padmadata, dan harta benda yang tentu dibawa oleh isteri Pangeran itu”

“Tetapi hati-hatilah. Kalian harus menyelidiki kekuatan para pengawal. Ada beberapa orang gila di sekitar Pangeran Kuda Padmadata. Dua atau tiga orang, termasuk ayah perempuan yang menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata itu”

“Jika demikian, kita akan mengirimkan tiga orang. Tentu cukup. Orang-orang kita adalah orang-orang yang pilih tanding. Sementara kita akan menyertakan pasukan pilihan pula. Dari setiap padepokan dapat diambil lima orang terbaik, sehingga dari tiga padepokan termasuk pimpinannya yang tiga orang itu, akan berjumlah delapan belas orang” berkata Macan Wahan.

Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi perhitungkan kekuatan itu sebaik-baiknya. Mungkin pengawal perempuan itu tidak lebih dari sepuluh orang-orang berkuda yang terpilih termasuk Pangeran Kuda Padmadata dan ayah perempuan itu sendiri. Tetapi jika jumlahnya lebih banyak lagi, kalian pun harus mempertimbangkannya”

“Baiklah” jawab Macan Wahan, “aku akan memanggil mereka untuk memulai dengan tugas permulaan ini. Mungkin tugas ini baru akan menjadi pemanasan dari tugas-tugas yang akan kita sandang kemudian. Yang barangkali akan jauh lebih berat”

“Tentu” jawab ki Dukut, “tugas berikutnya adalah masalah yang jauh lebih berat. Bukan sekedar seorang Pangeran dengan isteri dan anaknya. Tetapi masalah Kediri dalam keseluruhan”

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Dukut, maka Macan Wahan pun telah memanggil beberapa orang kawan-kawannya yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan jelas ia menyampaikan rencana yang diinginkan oleh Ki Dukut, untuk berbuat sesuatu yang akan dapat menarik perhatian para bangsawan di Kediri.

“Karena itu. kalian harus mengirimkan orang lagi ke Singasari untuk mengetahui, saat-saat yang lebih pasti dari rencana keberangkatan perempuan itu menuju ke Kediri” berkata Ki Dukut Pakering.

Kawan-kawan Macan Wahan pun nampaknya tidak berkeberatan untuk melakukan tugas itu. Bahkan mereka mulai berpengharapan, bahwa Ki Dukut akan dapat menjadi pengikat bagi padepokan-padepokan yang meskipun mempunyai hubungan, tetapi mereka sulit untuk melakukan kerja sama yang besar dalam usaha mereka untuk mendapatkan barang-barang rampasan. Bahkan kadang-kadang mereka bersaing sehingga tidak jarang timbul pertentangan di antara mereka sendiri.

Tetapi dengan tugas yang lain, mereka telah mengikat diri dalam satu kerja yang rangkap. Membunuh seorang Pangeran yang telah menjual harga dirinya, sekaligus mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan kekuatan yang cukup besar dan yang tentu membawa barang-barang rampasan yang bernilai tinggi.

“Kalian menyerahkan kekuatan seimbang” berkata Ki Dukut, “karena itu, bagaimanapun akhir dari keadaan kalian masing-masing namun apa yang kalian dapatkan merupakan hasil kalian bersama dan kalian akan mendapat bagian yang sama."

Dengan demikian, maka sekali lagi Macan Wahan telah mengirimkan orang-orangnya ke Singasari untuk mengetahui dengan pasti, saat-saat Pangeran Kuda Padmadata mengambil isteri dan anaknya, serta membawanya ke Kediri. Pekerjaan itu pun bukan pekerjaan yang sulit. Ternyata bahwa berita itu pun telah banyak didengar orang. Bahwa pada satu saat yang telah ditentukan, Pangeran dari Kediri akan datang ke Singasari untuk menjemput isteri dan anaknya.

“Menjelang purnama” berkala seseorang ketika kawannya bertanya tentang keberangkatan isteri seorang Pangeran dari Kediri itu, “menjelang bulan bulat di langit mereka akan berangkat”

“Kenapa menjelang purnama?” bertanya kawannya pula.

“Jika mereka terpaksa menginap di perjalanan karena perjalanan yang sangat lambat, maka malam tidak terlalu kelam di tempat pemberhentian itu” jawab yang ditanyainya.

Kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya saat itu memang sudah diperhitungkan sebaik-baiknya. Ternyata bahwa saat yang ditentukan itu telan terdengar pula oleh pengikut Macan Wahan, sehingga saat itu pun segera dilaporkannya kepada pemimpin padepokannya itu.

“Baiklah, segala persiapan segera dilakukan. Jangan hanya delapan belas orang. Tetapi bawalah duapuluh orang ditambah dengan tiga orang pemimpin mereka” berkata Macan Wahan kemudian setelah ia mendengar laporan itu.

Dengan demikian, maka setiap kelompok dari tiga padepokan telah membawa tujuh orang terbaik ditambah seorang pemimpin mereka, sehingga dengan demikian, yang akan berangkat memenuhi tugas itu adalah duapuluh empat orang.

“Aku kira pengawalnya tidak akan sebanyak itu” berkata Ki Dukut, “mungkin sepuluh, mungkin lima belas orang”

“Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit. Masih harus diperhitungkan orang-orang yang aneh itu, termasuk ayah dari perempuan itu sendiri” berkata Macan Wahan.

Ki Dukut mengangguk-angguk. Ia berpengharapan, bahwa usaha itu akan berhasil. Orang-orang padepokan yang berilmu hitam itu, jauh berbeda dari para penjahat kecil yang pernah dipergunakannya. Orang-orang padepokan yang berilmu hitam itu memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi, dan sangat mengerikan, sehingga meskipun Senopati terbaik dari Singasari, akan menjadi ngeri melihat tingkah laku mereka. Apalagi tiga orang di antara mereka adalah orang terbaik yang hampir setingkat dengan Macan Wahan sendiri.

“Jika kali ini aku berhasil” berkata Ki Dukut di dalam hatinya, “maka dendamku akan terobati. Tetapi lebih dari itu, agaknya aku telah benar-benar didorong untuk berbuat sesuatu bagi Kediri. Atau barangkali, yang lebih nampak adalah warna kebencianku kepada Singasari yang telah sekian lama berkuasa atas Kediri”

Namun kadang-kadang debar jantung Ki Dukut tidak dapat dipungkiri, bahwa segalanya itu telah berpijak pada ketamakannya, sehingga seluruh hidupnya telah dibakar oleh dendam dan kebencian.

Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka orang-orang yang akan mencegat perjalanan Pangeran Kuda Padmadata itu pun telah mempersiapkan diri. Mereka telah memilih tempat yang paling baik yang akan dilalui oleh iring-iringan dari Singasari ke Kediri itu. Bahkan yang menurut perhitungan mereka iring-iringan yang mungkin sekali akan memper gunakan pedati itu, akan bermalam di sekitar tempat yang telah dipilih itu.

“Kita akan bertindak di malam hari” berkata salah seorang dari mereka.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Perhitungan itu nampaknya sesuai dengan perhitungannya. Sementara itu, dua orang yang lain telah pergi ke Singasari untuk mengetahui, berapakah jumlah para pengawal yang akan ikut serta mengantar puteri itu dari Singasari ke Kediri.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata memang telah menentukan, untuk membawa isterinya dari Singasari ke Kediri menjelang malam purnama, agar jika mereka bermalam di perjalanan, maka malam tidak nampak hitam pekat seperti selembar tirai hitam saja. Dengan demikian, maka isterinya itu tidak akan terlalu ketakutan setelah untuk beberapa saat ia mengalami tekanan jiwa yang menegangkan.

Menurut persiapan yang telah dilakukan, maka Pangeran Kuda Padmadata akan membawa pengawal seluruhnya dari Kediri, ia telah memilih sepuluh orang pengawal yang paling dipercaya. Mereka adalah pengawal yang memiliki ilmu yang tinggi, sementara kesepuluh orang itu adalah orang-orang yang telah menyerahkan dirinya ke dalam kesetiaan pengabdian kepada Kediri.

Namun disamping sepuluh orang pengawal terkuat itu. Pangeran Kuda Padmadata juga memperhitungkan dirinya sendiri dan Ki Wastu, sementara kemungkinan lain, terserah kepada Mahisa Agni yang sudah berada di Singasari.

Pada saat yang telah ditentukan, maka Pangeran dari Kediri itu pun telah datang ke Singasari bersama pengiringnya. Betapa gejolak hati Pangeran itu, ketika ia bertemu dengan isteri dan anaknya. Hampir saja Pangeran Kuda Padmadata itu tidak dapat membendung air matanya yang rasa-rasanya hampir pecah dipelupuknya. Apalagi jika teringat olehnya, apa saja yang telah dialami oleh isteri dan anaknya itu. Saat nyawanya hampir melayang. Saat-saat ia berada di hutan kayu cendana. Dan pada saat lain yang menegangkan.

“Semuanya sudah berlalu” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kita akan memasuki hari-hari yang wajar dalam kehidupan keluarga”

Isterinyalah yang tidak dapat menahan air matanya yang tumpah tanpa dapat dikendalikan, seolah-olah justru diperasnya sampai kering.

“Kita akan segera kembali ke Kediri” berkata Pangeran Kuda Padmanya kepada isterinya” Kita akan mohon diri kepada Sri Rajasa di Singasari”

Pertemuan itu telah mambuat isteri Pangeran Kuda Padmadata itu merasa hidup kembali. Ia masih merasa seorang yang berasal dari sebuah pedukuhan kecil. Seandainya ia tidak usah dibawa ke istana kepangeranan, ia sama sekali tidak menyesal, asal ia dapat hidup sewajarnya. Selain perlindungan seorang suami, ia pun ingin ketenangan dan ketenteraman, agar ia dapat mengasuh anak laki-lakinya sebagaimana seharusnya.

“Istana itu adalah milikmu” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kau adalah satu-satunya isteriku. Jika pernah ada orang yang disebut isteriku dari tataran yang sederajad, itu sama sekali tidak benar. Kehidupanku waktu itu dikuasai oleh kekuatan yang tidak dapat aku singkirkan, sehingga sebenarnyalah aku pun tidak dapat disebut sebagai seseorang yang hidup dalam kewajaran”

Isterinya hanya menundukkan kepalanya saja sambil menangis. Di dalam hatinya terbersit satu luapan perasaannya, bahwa yang dikehendakinya hanyalah kehidupan yang wajar, tenang dan tidak dibayangi oleh kedengkian dan apalagi dendam.

Tetapi, seperti apa yang dikatakan oleh suaminya, bahwa sebenarnyalah hubungan keluarga di antara mereka telah melalui saat-saat yang paling gawat dengan selamat. Badai dan topan telah menghembus dari segenap arah. Namun, beruntunglah, bahwa Tuhan Yang Maha Agung masih melindungi mereka, sehingga suami isteri dan seorang anak laki-lakinya itu dapat berkumpul kembali dalam kehidupan sewajarnya.

Dalam pada itu, apa yang diketahui oleh Mahendra tentang dua orang yang sibuk mencari permata dan batu-batu berharga yang sesuai, benar-benar telah menarik perhatian Mahisa Agni dan Witantra dalam hubungan keseluruhan setelah Pangeran itu berada di Singasari.

“Kita tidak akan mempersoalkannya dengan Pangeran Kuda Padmadata dalam tahap-tahap ini” berkata Mahisa Agni, “biarlah ia menikmati kebahagiaannya”

“Tetapi saat-saat ia kembali ke Kediri, maka hatinya harus sudah dibekali dengan pengertian ini” berkata Mahendra, “mudah-mudahan tidak ada apa-apa di perjalanan. Tetapi jika ada hubungan antara orang-orang yang mencari batu-batu berharga itu dengan rencana penjemputan isteri Pangeran Kuda Padmadata itu, maka sebaiknya ia sudah bersiaga. Namun sudah barang tentu, bahwa hal ini tidak akan diberitahukan kepada isterinya sebelumnya”

Tetapi Witantra berkata, “Jika isterinya sama sekali tidak mengetahui kemungkinan itu pun dapat menimbulkan bahaya bagi jiwanya. Ia sudah terlalu lama hidup dalam ketegangan jiwa. Jika pada suatu saat yang tidak terduga-duga, ia dihadapkan pada satu peristiwa yang dapat mengguncang jiwanya yang masih belum mapan, maka dapat terjadi peristiwa itu akan sangat berpengaruh pada perasaannya”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan untuk merubah rencana?”

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Mungkin ada juga baiknya. Kita akan berbicara dengan Pangeran Kuda Padmadata. Jika kita menyebut perubahan rencana itu, hanyalah penundaan untuk waktu yang pendek. Mungkin kita justru menghindari saat-saat yang sudah diperhitungkan oleh orang-orang yang bermaksud buruk”

Ketika Mahendra pun sependapat untuk membicarakannya dengan Pangeran Kuda Padmadata, maka mereka pun segera menemui Pangeran itu dan diajaknya berbicara tanpa orang lain, kecuali Ki Wastu.

Namun sikap Pangeran itu benar-benar tidak tergoyahkan. Katanya, “lembaran sikapku adalah membelanya sampai kemungkinan terakhir” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “jika aku menundanya lagi, maka hatinya akan menjadi semakin pedih. Kepercayaannya kepadaku akan menjadi semakin susut, setelah untuk waktu yang lama ia meragukannya, karena ternyata aku tidak dapat melindunginya. Jika pada saat di perjalanan, Ki Dukut Pakering itu datang, biarlah aku menunjukkan kepada isteriku, jika aku sendiri hadir dalam kesulitan seperti itu, aku akan mengorbankan apa saja yang ada padaku bagi keselamatannya”

“Tetapi apakah hal itu tidak akan mengguncang ketenangan isteri Pangeran yang hampir pulih kembali?” bertanya Witantra.

“Semuanya akan aku selesaikan sama sekali. Kemudian, hidup kami tidak akan terganggu lagi” berkata Pangeran itu. Lalu, “untuk menjaga perasaannya, maka aku akan memberikan alas pada perasaannya, bahwa kemungkinan semacam itu masih mungkin terjadi. Tetapi ia pun harus mengerti, bahwa kini ia tidak seorang diri. Tetapi aku, suaminya dan sepuluh orang pengawal ditambah pengaruh kekuatan ilmu ayahnya yang tinggi, maka kami semuanya akan dapat mengatasinya. Tetapi jika gagal, biarlah kami semuanya tumpas tanpa sisa”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Kuda Padmadata yang masih muda itu memang mempunyai hati yang keras. Adalah sejalan jika Pangeran Kuda Padmadata itu berbincang dengan Mahisa Bungalan yang juga masih muda.

Karena itu, maka mahisa Agni pun kemudian berkata, “Baiklah Pangeran. Jika Pangeran bersikeras untuk berangkat sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan, biarlah kami juga ikut dalam tamasya ini. Aku, Witantra, Mahendra dan anak-anaknya di samping Ki Wastu dan Pangeran sendiri”

Wajah Pangeran Kuda Padmadata menegang. Namun kemudian katanya, “Terima kasih paman, terima kasih. Dengan demikian, maka kami akan semakin yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Agung akan tetap melindungi kita semuanya”

“Baiklah. Dengan demikian saat-saat mohon diri ke penghadapan Sri Maharaja pun tidak perlu mengalami perubahan” berkata Witantra kemudian.

Demikianlah, maka segala persiapan telah dilakukan seperti rencana. Setelah mohon diri dan mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak di Singasari, dari Maharaja Singasari sampai kepada para Senopati dan para prajurit yang telah dengan ikhlas melindungi isteri dan anaknya, maka Pangeran Kuda Padmadata pun telah berangkat meninggalkan Singasari menjelang bulan purnama.

Mereka berangkat di pagi yang cerah. Langit bersih dan lembaran-lembaran awan yang putih menggantung satu-satu diujung langit yang sangat jauh. Jika mereka malam nanti harus bermalam dimanapun, maka bulan purnama akan menghiasi langit yang biru bersih itu.

Tidak terlalu banyak orang-orang Singasari yang memperhatikan keberangkatan Pangeran Kuda Padmadata. Ada beberapa orang yang mendengarnya dan menyebutkan ketika mereka berpapasan. Bahkan ada juga satu dua orang yang keluar dari regol rumahnya, ketika iring-iringan itu lewat dijalan di depan rumah. Tetapi dalam keseluruhan, kepergian isteri Pangeran Kuda Padmadata itu kembali ke Kediri, bukanlah satu peristiwa yang mengguncang Kota Raja.

Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Diluar gerbang Kota Raja dan orang telah menghitung iring-iringan itu dengan saksama.

“Sebuah pedati yang tentu ditumpangi isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata” berkata salah seorang dari keduanya, “yang dua buah, untuk membawa bekal. Yang harus diperhitungkan adalah para pengawal. Sepuluh orang pengawal dan dua orang yang memimpin perjalanan itu. Mereka tentu Pangeran Kuda Padmadata sendiri, dan yang tua itulah agaknya yang bernama Ki Wastu, ayah dari isteri Pangeran Padmadata itu.

“Masih ada yang harus diperhitungkan” berkata yang lain.

“Perempuan dan anak laki-laki itu?” berkata kawannya.

“Bukan. Tetapi para sais pedati itu. Kau lihat, ada tiga orang sais pada tiga pedati dan tiga orang yang agaknya membantunya. Mungkin mereka adalah pesuruh atau abdi atau apapun juga. Tetapi mereka juga laki-laki yang barangkali mampu juga berkelahi”

Kawannya tertawa. Katanya, “Kau sudah dibayangi oleh kecemasan yang berlebih-lebihan. Yang kau hitung justru para sais dan para abdi yang melayani pedati-pedati itu”

“Mungkin” jawab yang lain, “tetapi aku hanya ingin berbuat sebaik-baiknya dengan seteliti mungkin. Jangan sampai kesalahan yang kecil dan nampaknya tidak berarti itu membuat para pemimpin kita kehilangan kepercayaan."

“Baiklah. Kita akan menyampaikan kepada Macan Wahan. Kekuatan orang-orang Kediri itu terdiri dari sepuluh pengawal, dua orang pemimpin yang tentu Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu, enam orang termasuk sais dan mereka, para abdi yang melayani pedati yang membawa isteri Pangeran Padmadata dan anak laki-lakinya”

Yang seorang mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya kemudian, “Kita tidak perlu menghadap Macan Wahan dan Ki Dukut. Kita akan langsung menemui mereka yang mendapat tugas untuk mencegat iring-iringan itu di tempat yang sudah di tentukan, yang diperkirakan akan menjadi tempat bermalam iring-iringan yang tentu akan sangat lambatnya, justru karena ada tiga buah pedati di dalamnya”

“Ya, Maksudku juga demikian. Kita akan mendahului iring-iringan itu. Mereka tentu tidak banyak menaruh perhatian terhadap kita berdua”

Dengan demikian, maka kedua orang itu pun kemudian berlari di atas punggung kudanya mendahului iring-iringan yang berjalan dengan lambat. Sekali lagi mereka menyaksikan hitungan mereka. Dan mereka pun kemudian merasa yakin, bahwa jumlah yang mereka sebutkan tidak akan salah lagi. Laporan itu telah diterima dengan senang hati oleh tiga orang pemimpin padepokan dari mereka yang menyadap ilmu hitam. Mereka bertiga menganggap, bahwa pekerjaan mereka tidak akan terlalu berat.

“Betapapun tinggi kemampuan seorang prajurit, mereka tidak akan dapat melawan dua orang pengikut kita”

“Tetapi jangan abaikan mereka” berkata Ki Walikat yang bertubuh kurus, berwajah runcing, dengan mata yang bulat seperti mata burung hantu.

Yang seorang, yang berwajah kasar bertubuh tinggi kekar, bernama Gampar Wungkul menggeram, “Kenapa kita meributkan mereka yang akan lewat. Siapa pun akan kita binasakan. Kita memerlukan ketiga pedati yang tentu berisi bermacam-macam barang berharga. Tentu ada di antaranya perhiasan emas permata. Agaknya Pangeran Kuda Padmadata tentu membawa barang-barang berharga itu bagi isterinya”

“Kau benar” desis Ki Benda, “Kita akan menunggu”

“Menjemukan. Bagaimana jika kita menyongsong mereka?” bertanya Gampar Wungkul.

“Sebaiknya kita menunggu di sini. Mereka tentu akan bermalam di sekitar daerah ini. Maju atau mundur, tetapi tidak akan terlalu jauh. Di malam hari kita akan dapat bekerja dengan lebih tenang tanpa diganggu oleh orang-orang lewat” berkata Ki Walikat.

“Sebaiknya memang demikian” sahut Ki Benda. Gempar Wungkul pun tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga ia harus menyesuaikan diri dengan pendapat kedua orang kawannya yang dianggap membawa kekuatan yang sama besar.

Meskipun menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan, namun mereka sudah sepakat untuk melakukannya. Orang-orang yang tidak berbuat apapun juga itu, telah berserakkan di hutan buruan. Sebagian besar mereka telah tidur dengan nyenyaknya untuk membuang kejemuan. Sementara satu dua orang telah mencoba mengejar binatang buruan. Dengan busur dan panah mereka mencoba menangkap seekor kijang.

“Buat apa kalian menangkap kijang?” bertanya Ki Walikat.

“Sekedar mengisi waktu. Dan bukankah dagingnya dapat dimakan?” jawab orang-orang yang sedang mencoba berburu itu.

“Jika kau menyalakan perapian, asap perapian itu akan menarik perhatian iring-iringan yang sedang kita tunggu. Mungkin ada di antara mereka orang yang memiliki pengalaman yang luas, sehingga asap itu akan merupakan isyarat bahaya bagi mereka” Ki Walikat memperingatkan.

Orang-orang yang sedang mengejar binatang buruan itu pun kemudian berhenti. Karena tidak ada satu pun yang akan dikerjakan, maka mereka pun telah berbaring di antara kawan-kawan mereka yang telah tidur nyenyak. Ternyata hanya mereka yang bertugas mengawasi kedatangan iring-iringan dari Singasari ke Kediri sajalah yang tidak tertidur. Mereka dengan penuh kewaspadaan menunggu, meskipun mereka mengerti, bahwa kedatangan iring-iringan itu tentu masih terlalu lama.

Tetapi tugas mereka selain mengawasi iring-iringan itu juga memastikan, di mana iring-iringan itu akan bermalam. Ketika matahari sudah turun ke Barat, maka orang-orang yang menunggu itu masih sempat makan bekal yang mereka bawa masing-masing kemudian menggenggam segumpal pondoh beras dengan lauknya. Namun mulut-mulut yang sedang mengunyah itu pun seolah-oleh telah terhenti ketika seorang pengawas datang melaporkan kepada Ki Benda,

“Iring-iringan itu telah nampak”

Ki Benda mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kita harus bersembunyi dan membiarkan iring-iringan itu lewat untuk mencari tempat yang mereka anggap baik untuk bermalam. Mereka tidak akan meneruskan perjalanan setelah matahari terbenam”

Demikianlah, maka para pemimpin dari setiap kelompok itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk bersembunyi sebaik-baiknya di dalam hutan. Hanya satu dua orang yang bertugas sajalah yang harus dengan sangat hati-hati mengawasi iring-iringan itu dan memastikan di mana mereka akan bermalam.

Ketika iring-iringan itu lewat, langit telah menjadi kelam. Namun seperti yang diperhitungkan olen Pangeran Kuda Padmadata, bahwa bulan pun segera terbit, sehingga malam rasa-rasanya tidak terlalu kelam.

Namun bagaimanapun juga, ada kegelisahan di hati isteri Pangeran Kuda Padmadata itu. Apalagi Pangeran Kuda Padmadata tidak menyembunyikan kemungkinan terjadinya sesuatu, agar isterinya tidak akan menjadi sangat terkejut, apabila sesuatu itu benar-benar terjadi seperti yang pernah diisyaratkan oleh Mehendra.

Seperti yang sudah diperhitungkan, maka ketika bulan menjadi semakin tinggi, iring-iringan itu pun akhirnya berhenti. Mereka telah memilih sebuah padang rumput yang tidak terlalu luas. Beberapa puluh tonggak melalui hutan perburuan.

“Di sini kita dapat melihat ke arah yang agak luas di sekitar kita” berkata Pangeran Kuda Parimadata, “sehingga jika ada sesuatu yang tidak kita kehendaki, akan dapat kita lihat sebelumnya”

Demikianlah, maka tiga buah pedati yang dibawa oleh iring-iringan itu pun segera ditempatkan dalam lingkaran, sementara di tengah-tengah telah dipergunakan untuk beristirahat isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Para sais pedati dan pembantunya telah melepaskan sapi penarik pedati dan memberinya makan dan minum secukupnya. Kemudian ditambatkannya sapi-sapi itu beberapa langkah menepi tidak jauh dari kuda-kuda para pengawal.

Namun ternyata firasat yang mendebarkan telah menyentuh perasaan Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu. Peringatan Mahendra bahwa ada orang-orang yang menaruh perhatian yang besar terhadap rencana Pangeran itu untuk membawa isterinya ke Kediri, telah memberikan dorongan kepada Pangeran itu untuk selalu bersiaga.

“Jangan ada yang lengah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kalian harus mengawasi segala arah. Lima dari sepuluh orang harus tetap berjaga-jaga dan mengamati keadaan sekitar kita”

Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Pangeran Kuda Padmadata, maka lima orang dari sepuluh orang pengawal telah bersiaga sepenuhnya. Mereka sama sekali tidak sempat untuk bermalas-malas. Bahkan kelima orang itu telah berjalan mengitari tempat mereka beristirahat, berurutan dalam lingkaran seperti anak-anak sedang bermain jamuran dengan lingkaran yang besar, memutari pedati dan tempat kuda dan sapi ditambatkan. Hanya kadang-kadang saja mereka duduk menghadap ke segala arah.

Sementara itu, tiga orang pemimpin padepokan dari aliran hitam itupun telah mempersiapkan orang-orangnya. Ternyata iring-iringan dari Singasari itu terhenti beberapa puluh tonggak dari tempat mereka menunggu. Karena itu, maka mereka pun harus merayap mendekati mereka dan pada saat yang tepat menyerang mereka dan menghancurkannya.

Dalam pada itu, selain kelima orang pengawal yang berjaga-jaga itu, Pangeran Kuda Padmadata sendiri sama sekali tidak meninggalkan isteri dan anaknya yang disuruhnya berbaring di atas tikar yang mereka bawa.

“Tidurlah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “para pengawal akan selalu bersiaga mengawasi keadaan”

Isteri dan anaknya sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan yang sebenarnya mulai merayapi jantung. Namun keduanya pun kemudian berbaring, berselimut kain panjang sambil memandang taburan bintang di langit, di antara cahaya bulan yang sedang bulat.

Sementara Pangeran Kuda Padmadata menunggui anak isterinya yang sudah mulai berbaring sambil mencoba menceriterakan ceritera-ceritera yang menarik bagi anak laki-lakinya yang sudah terlalu lama berpisah itu, Ki Wastu pun tidak sempat berbaring sama sekali. Bagaimanapun juga, hatinya meresa gelisah. Dan seolah-olah ia mendapat firasat, bahwa sesuatu akan terjadi.

Ketika Ki Wastu itu berdiri di sebelah salah satu dari ketiga pedati yang berada di dalam iring-iringan itu, maka dilihatnya cahaya bulan yang terang bergerak diatas dedaunan. Tidak terlalu jauh terdapat sebuah hutan perburuan yang tidak terlalu lebat, meskipun cukup rimbun.

Di dalam pedati itu terdapat barang-barang yang cukup berharga yang akan dibawa ke Kediri. Barang-barang yang semula memang dibawa oleh Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri sebagai hadiah bagi isterinya.

Sementara itu, orang-orang yang menurut pengamatan dua orang petugas yang dikirim oleh Macan Wahan ke Singasari sebagai tiga orang sais dan pembantunya-pembantunya, masih duduk bersandar roda pedati mereka sambil memandang kekejauhan.

“Beristirahatlah” berkata Ki Wastu.

Tetapi orang-orang itu tersenyum sambil berkata, “Senangnya duduk di bawah terang bulan. Di padesan, anak-anak tentu sedang bermain-main. Mungkin bermain sembunyi-sembunyian, mungkin gobag atau kejar-kejaran”

Ki Wastu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Rasa-rasanya malam terlampau sepi”

Orang-orang yang bersandar roda pedati itu tidak menjawab. Mereka pun kemudian melihat Ki Wastu berjalan mendekati salah seorang pengawal yang duduk di atas batu memandang kekejauhan.

“Tentu terasa dingin” desis Ki Wastu.

Pengawal itu beringsut. Katanya, “Marilah, silahkan duduk Kiai”

Ki Wastu pun duduk pula disebelah pengawal itu sambil bertanya, “Kau masih harus berjaga-jaga sampai tengah malam, sebelum kawan-kawanmu menggantikanmu”

Pengawal itu tersenyum. Katanya, “Aku sudah mulai kantuk. Tetapi aku akan dapat bertahan sampai tengah malam. Sudah terbisa. Kawan-kawanku akan berjaga-jaga dari tengah malam sampai Pagi”

Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Hati-hatilah. Rasa-rasanya malam terlampau sepi”

“Ada firasat buruk agaknya” desis pengawal itu.

“Hanya sekedar kekhawatiran orang tua saja, “jawab Ki Wastu, “tetapi tidak ada buruknya untuk berhati-hati”

Ki Wastu yang kemudian bangkit melangkah mendekati pengawal yang lain. berturut-turut ia memberi peringatan kepada para pengawal agar mereka berhati-hati. Ketika ia sampai kepada pengawal yang terakhir, maka pengawal itu pun berkata,

“Lintang gubug penceng itu hampir tegak. Sebentar lagi, malam sudah lewat separo. Dan aku akan segera mendapat kesempatan untuk tidur dibawah sinar bulan yang manis.

Ki Wastu tertawa pnndek. Katanya, “Kau masih cukup muda untuk menikmati sinar bulan purnama. Silahkan. Tetapi jangan lengah”

Ki Wastu pun kemudian berjalan mendekati Pangeran Kuda Padmadata yang masih duduk menunggui anak isterinya. Tetapi ia sudah tidak berceritera lagi. Agaknya anak laki-lakinya sudah tidur. Sementara isterinya pun telah mulai memejamkan matanya. Sambil duduk di sebelah Pangeran Kuda Padmadata, Ki Wastu itu pun berkata, “Silahkan Pangeran beristirahat. Aku akan berjaga-jaga sampai saatnya aku akan membangunkan Pangeran, jika aku akan ganti beristirahat”

Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ki Wastu sajalah dahulu beristirahat. Aku sama sekali belum mengantuk”

“Tetapi beristirahatlah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “meskipun hanya berbaring”

Ki Wastu pun kemudian melangkah mendekati sebuah pedati yang lain. Di sebelah roda pedati itu terbentang sehelai tikar. Dua orang pengawal yang sedang tidak bertugas, telah tertidur dengan nyenyaknya, sementara yang tiga orang lainnya tidur di tempat yang lain. Ki Wastu pun kemudian telah membaringkan dirinya setelah ia melepas perisainya yang targantung pada ikat pinggangnya dan kemudian meletakkan di dadanya. Tetapi mata orang tua itu pun rasa-rasanya tidak mau terpejam juga.

Dalam pada itu, ketiga orang pemimpin padepokan yang beraliran hitam itu telah merayap semakin dekat. Mereka berusaha untuk mendekati orang-orang Kediri itu dari arah yang paling aman. Mereka merayap dari balik gerumbul perdu yang satu kebalik gerumbul yang lain. Berurutan. Duapuluh satu orang ditambah dengan tiga orang pemimpin mereka yang dapat mereka banggakan.

“Kita akan memusnahkan mereka” berkata Ki Benda.

“Barang-barang itu tentu berada di salah satu pedati itu” desis Ki Walikat, “sementara pedati yang lain tentu berisi bekal makanan atau pakaian”

“Apakah perempuan dan anak itu tidur di salah satu dari ketiga pedati itu?” desis Gampar Wungkul.

“Mungkin. Tetapi aku kira perempuan dan anak laki-lakinya itu lebih senang tidur diluar pedati yang sempit meskipun agak dingin” sahut Ki Benda.

“Hampir tengah malam” berkata Ki Walikat tiba-tiba, “apakah kita masih akan menunggu?”

“Aku kira kita cukup bersabar. Tetapi baiklah kita menunggu sejenak, sehingga mereka menjadi lengah. Jika lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu, mereka tentu mengira, bahwa untuk selanjutnya tidak akan terjadi apa-apa” desis Ki Gampar Wulung.

Kawan-kawannya sependapat. Mereka menunggu lewat tengah malam. Demikianlah bintang Gubug Penceng tegak dilangit, maka mereka pun segera mempersiapkan orang-orangnya.

Sebenarnya, bahwa setelah lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu, maka Pangeran Kuda Padmadata pun menganggap bahwa kemungkinan untuk terjadi sesuatu menjadi semakin kecil. Meskipun demikian. Pangeran Kuda Padmadata itu memerintahkan kepada pengawalnya yang bertugas di tengah malam kedua, agar mereka tidak lengah menghadapi segala kemungkinan yang dapat saja terjadi.

Seperti para pengawal yang terdahulu, maka kelima orang pengawal itu berusaha untuk mengawasi segala arah. Untuk mengusir perasaan kantuk yang tersisa, maka mereka telah berjalan mengelilingi tempat pemberhentian itu seperti yang dilakukan oleh para pengawal sebelumnya.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Wastu pun masih belum dapat tidur sekejappun, ketika yang berbaring di tikar bersamanya berganti orang, maka ia pun justru duduk sambil bersandar pedati.

“Apakah isteri dan putera Pangeran Kuda Padmadata itu sudah tidur?” bertanya Ki Wastu ketika Pangeran Kuda Padmadata mendekatinya.

“Mereka tidur dengan nyenyak” jawab Pangeran Kuda Padmadata.

“Syukurlah” berkata Ki Wastu, “sebaiknya Pangeran juga beristirahat, besok kita masih akan menempuh perjalanan yang sangat panjang, justru karena perjalanan kita sangat lambat”

Pangeran itu tersenyum, katanya, “Baiklah, aku akan mencoba untuk beristirahat”

Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih melihat orang-orang yang berada di sekitar pedati-pedati itu. “Kalian tidak tidur?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Anak-anak itu sedang tidur” jawab salah seorang dari mereka.

Ternyata bahwa, dua di antara mereka sudah tertidur. Namun dalam pada itu, beberapa saat lewat tengah malam, maka orang-orang yang bersembunyi tidak terlalu jauh dari tempat pemberhentian iring-iringan itu pun mulai bergerak.

Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkul telah membagi diri bersama orang mereka masing-masing. Mereka sepakat untuk menyerang dari tiga jurusan. Masing-masing dengan delapan orang termasuk pimpinan kelompok itu sendiri. “Aku akan berputar” berkata Ki Benda.

“Kau ke sebelah kiri, aku ke sebelah kanan” desis Ki Walikat.

“Beri aku isyarat” berkata Ki Gampar Wungkul, “kapan aku harus maju jika kalian sudah mencapai arah yang kalian kehendaki”

“Aku akan memberikan isyarat itu” berkata Ki Walikat, “suara burung hantu”

Dengan demikian, maka Ki Benda dan Ki Walikat pun segara merayap dibalik lindungan bayangan perdu, timan diiangu memang harus diperhitungkan, meskipun sudah mulai menurun di Barat. Beberapa saat lamanya, Ki Gampar Wungkul menunggu. Sehingga akhirnya, di kejauhan didengarnya suara burung hantu yang ngelangut.

Suara burung hantu itu ternyata telah menarik perhatian para pengawal. Sejak sore mereka sama sekali tidak mendengar suara burung hantu. Yang mereka dengar adalah suara binatang buas di hutan yang tidak terlalu dekat. Dan sekali-kali mereka mendengar suara burung bence yang terbang melintas dilangit. Namun tiba-tiba mereka telah mendengar suara yang lain, burung hantu.

Dalam pada itu, selagi pengawal itu dicengkam kebimbangan, maka salah seorang sais pedati itu berdesis, “Berhati-hatilah. Itu bukan suara burung yang sebenarnya”

Para pengawal itu pun menyadarinya pula, bahwa suara itu memang bukan suara burung hantu. Salah seorang dari para pengawal itu pun segera melaporkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata, sementara yang lain telah bersiap menghadap keempat arah.

“Semuanya bersiap” terdengar perintah Pangeran Kuda Padmadata.

Para pengawal yang baru saja tertidur itu pun telah dibangunkan. Mereka segera bangkit sambil meraba senjata masing-masing. Pada saat itulah, tiba-tiba dari beberapa arah terdengar teriakan-teriakan yang bagaikan memecah langit. Beberapa orang berlari-larian dengan senjata terhunus menyerang sekelompok orang yang sedang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Para pengawal yang telah bersiap seluruhnya itu pun segera menarik senjata masing-masing, sementara orang-orang yang dianggap sebagai sais pembantu-pembantunya itu pun telah berdiri pula di sekitar pedati masing-masing.

“Pangeran” berkata Ki Wastu, “ambillah seorang dari para pengawal. Jagalah isteri dan putera Pangeran itu sebaik-baiknya. Mereka adalah sasaran utama dari, orang-orang yang tentu mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering.

Namun dalam pada itu, salah seorang dari sais pedati itu berkata, “Biarlah kedua anak-anak ini membantu Pangeran”

“Terima kasih” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Dalam pada itu, suara hiruk pikuk itu telah mengejutkan isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu. Namun Pangeran itu segera mendekatinya sambil berkata, “Jangan takut. Aku ada disini”

Namun bagaimanapun juga, perasaan takut itu telah menjalari jantung kedua ibu dan anak laki-laki itu.

Dalam waktu yang pendek, maka para pengawal, sais dan pembantunya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mereka pun segera membagi diri, sesuai dengan arah para penyerang itu datang. Tiga orang sais pedati itu pun telah berdiri di tiga arah bersama para pengawal. Sementara Ki Wastu masih berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya kakinya menjadi berat untuk meninggalkan anak perempuan dan cucunya yang telah dipertahankannya mati-matian untuk waktu yang lama.

“Tetapi kini ia berada disisi suaminya” berkata Ki Wastu di dalam hatinya, “apa yang akan terjadi, bukan merupakan tanggung jawabku semata-mata. Nampaknya Pangeran Kuda Padmadata itu pun telah siap mengorbankan apa saja yang ada padanya”

Dengan demikian, maka yang berdiri di dalam lingkaran, dekat disisi anak dan cucu Ki Wastu itu adalah Pangeran Kuda Padmadata, seorang pengawal dan dua orang anak muda yang semula berada bersama para sais pedati itu. Dalam pada itu, maka ketiga orang sais, seorang pembantunya dan para pengawalnya pun segera menyongsong para penyerang. Dengan senjata ditangan mereka segera menebar.

Sejenak kemudian, terjadilah benturan yang sengit antara kedua pasukan. Pasukan yang menyerang, yang terdiri dari orang-orang padepokan yang berilmu hitam, melawan para pengawal dari Kediri. Pengawal yang benar-benar terpilih untuk melaksanakan tugas yang berat itu.

Pada benturan pertama, maka masing-masing masih berusaha menjajagi kemampuan lawan. Para pengawal telah menunjukkan kesigapannya, membendung serangan dari kelompok yang lebih banyak jumlahnya. Namun dalam pada itu, mereka pun segera melihat, seorang yang memiliki kelebihan dari yang lain. Dan mereka itu adalah pemimpin padepokan dari orang-orang yang berilmu hitam itu.

Dalam pada itu, ketiga orang sais itu pun segera menempatkan diri diantara para pengawal. Setelah mereka pasti, siapakah yang menjadi pemimpin dari setiap kelompok penyerang itu. maka ketiga orang sais itu telah bergeser mendekati mereka di arena masing-masing, sesuai dengan arah mereka.

Ki Gampar Wulung yang melihat serangan seorang yang nampak agak lain dari para pengawal itu pun terkejut Sambil melangkah surut ia bertanya, “He, apakah kau bukan termasuk para pengawal?”

“Bukan. Aku bukan salah seorang dari para pengawal” jawab orang itu, “aku adalah sais salah satu dari pedati-pedati itu”

Orang itu menggeram. Katanya, “minggirlah. Jangan ganggu aku. Tidak seorang pun dapat melawan aku. Biarlah Pangeran Kuda Padmadata sendiri datang kepadaku, agar ia mengetahui, bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki kemampuan setingkat gurunya”

“Aku akan melawanmu” jawab sais itu

Gampar Wulung tertawa berkepanjangan. Ketika sekilas ia melihat pertempuran yang terjadi disekitarnya, maka ia pun berkata, “lihatlah. Para pengawal itu sudah mulai terdesak. Apakah kau akan membunuh diri? Kau adalah sais pedati. Jagalah pedatimu. Jagalah lembumu agar tidak lepas dan lari. Jangan ikut campur di peperangan ini”

“Aku laki-laki seperti para pengawal. Karena itu, aku pun berhak bertempur bersama para pengawal” jawab sais itu.

“Kau sudah gila. Tetapi jika kau memang ingin membunuh diri, apaboleh buat. He, siapa namamu, agar aku dapat berceritera kepada orang-orangku, bahwa ada seorang sais yang membunuh diri diantara para pengawal Kediri. Mungkin kau seorang abdi yang amat setia dari Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau telah dengan suka rela menyerahkan hidupmu sebelum Pangeran itu sendiri terbunuh disini. Apakah kau tidak sampai hati melihat Pangeran itu bersama anak dan isterinya terbantai disini, sehingga kau ingin mati lebih dahulu daripada mereka”

“Aku tidak sedang membunuh diri” jawab sais itu.

“Siapa namamu?” desak Gampar Wulung.

Sais itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Namaku Mahisa Agni”

Gampar Wulung mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia tidak begitu jelas, dimana dan kapan ia pernah mendengar nama itu.

“Siapa kau” sais itulah yang bertanya kemudian.

Gampar Wulung memandang sais itu sekilas. Namun ia pun mulai menyadari, bahwa sais itu tentu bukan sais kebanyakan. Karena itu, maka ia pun mulai menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang dengan sengaja telah menunggunya.

“Baiklah” berkata Gampar Wulung, “kau tentu memiliki kelebihan. Karena itu, kau berhak mendengar namaku. Namaku adalah Gampar Wulung”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kau menyadari, bahwa yang kau lakukan ini tentu akan sia-sia. Kau terjebak kedalam kekuatan para pengawal yang tidak mungkin dapat kau kalahkan meskipun jumlahmu berlipat”

“Jangan mencoba menakut-nakuti aku seperti anak kecil. Lihat para pengawal mulai terdesak. Sekarang datang giliranku untuk membunuhmu” berkata Gampar Wulung sambil maju setapak.

Mahisa Agni yang menyebut dirinya sais pedati itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Ia pun sadar, bahwa lawannya tentu orang pilihan, meskipun menilik sikap dan ujudnya, ia tentu dari lingkungan yang kelam. Namun justru karena itu, maka ia harus berhati-hati. Dan bahkan setiap pengawal pun harus berhati-hati.

Selangkah Gampar Wulung itu pun beringsut. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Mahisa Agni melihat, betapa kegarangan ilmu terpancar pada serangan yang pertama. Tetapi seperti pada umumnya, serangan yang pertama tidak akan banyak menentukan. Karena itu, maka ia pun bergeser selangkah. Namun serangan-serangan berikutnyalah yang datang beruntun, seolah-olah mengejarnya kemana ia bergeser. Orang yang menyebut dirinya Gampar Wulung itu berusaha untuk menekannya dan dalam waktu yang singkat mengalahkannya.

Tetapi Mahisa Agni seolah-olah dengan sengaja membiarkan lawannya mendesaknya. Sekali ia meloncat menghindar. Sekali ia menangkis sambil berkisar surut. Dengan demikian ia berhasil menjajagi kemampuan lawannya yang garang itu, meskipun ia pun sadar, bahwa kemampuan itu tentu belum merupakan puncak kemampuannya.

Meskipun demikian, serba sedikit Mahisa Agni sudah mempunyai takaran dari kekuatan dan kemampuan lawannya. Dengan demikian ia dapat menilai, apakah yang harus dilakukannya kemudian menghadapi lawannya yang garang itu.

Di sekitar Mahisa Agni dan Gampar Wulung yang bertempur semakin seru, para pengawal pun telah bertahan dengan sekuat kemampuan mereka. Jumlah lawan ternyata lebih banyak dari jumlah mereka. Tetapi para pengawal itu masih mampu untuk bertahan. Meskipun kadang-kadang terasa, betapa kasar dan garangnya orang-orang yang datang menyerbu itu.

Tetapi para pengawal itu adalah pengawal terpilih dari tataran terbaik para pengawal di Kediri. Karena itu, maka mereka pun telah bertempur dengan dahsyatnya pula menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Ternyata ada beberapa orang pengawal yang harus bertempur sekaligus melawan dua orang lawan. Namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun kadang-kadang mereka harus berloncatan surut, namun mereka merasa, bahwa mereka akan dapat mengatasi kesulitan mereka.

Dalam pada itu, di lingkaran pertempuran yang lain, Ki Benda terkejut bahwa di hadapannya berdiri seorang yang nampaknya dengan sengaja menunggunya. Apalagi ketika orang itu dengan tegas menyebut dirinya sebagai sais pedati yang membawa perlengkapan iring-iringan dari Singasari menuju ke Kediri.

“Kau jangan berbuat aneh-aneh sais yang malang” berkata Ki Benda, “darahmu tidak berarti apa-apa bagi pusakaku. Hanya darah orang-orang penting dan memiliki kemampuan sajalah yang akan memberikan arti bagi pusakaku ini. Setiap titik darah orang berilmu akan merupakan lapisan-lapisan kekuatan yang membuat pusakaku ini semakin bertuah. Tetapi darah orang-orang dungu hanya akan mengotorinya saja”

Orang yang berdiri di hadapannya itu pun tersenyum. Katanya, “Jika pusakamu itu pantang dikotori darah orang-orang tidak berarti, maka sarungkan saja. Kita akan bertempur dengan tangan”

Ki Benda mengerutkan keningnya. Orang yang menyebut dirinya sais itu agaknya memiliki kepercayaan yang tinggi kepada dirinya sendiri. Karena itu pengamatannya yang tajam segera menangkap kemungkinan yang tersimpan di dalam orang yang semula dianggapnya tidak berarti itu.

“Jadi kau tetap pada niatmu untuk melawan aku?” bertanya Ki Benda.

“Ya” jawab sais itu.

“Baiklah. Sebut namamu. Mungkin aku pernah mendengarnya. Barulah aku yakin, bahwa kamu memang berhak melawan aku dan darahmu akan berguna bagi pusakaku” berkata Ki Benda.

“Namaku Mahendra” jawab sais itu.

“O” Ki Benda mengerutkan keningnya. Kemudian diingatnya keterangan orang yang pernah datang ke Singasari dan menyebut salah satu dari nama-nama para pedagang yang pernah dihubungi. “Kau pedagang besi bertuah dan batu-batu berharga” bertanya Ki Benda lebih lanjut.

“Ya. Darimana kau pernah mendengar namaku?” bertanya Mahendra.

“Itu tidak penting. Marilah kita menyelesaikan persoalan kita sekarang. Aku akan membunuhmu. Mudah-mudahan kebiasaanmu dengan wesi aji itu akan berpengaruh pada pusakaku ini”

Mahendra mengerutkan keningnya. Di dalam keremangan sinar bulan ia melihat sebilah keris yang besar dan panjang.

“Kerisku luk sebelas” berkata Ki Benda.

“Menggetarkan. Kerismu terlalu besar dan terlalu panjang menurut ukuranku. Tetapi agaknya kerismu benar-benar keris yang bertuah. Aku terbiasa dengan berbagai jenis senjata yang memiliki tuah seperti kerismu. Namun karena itu, maka aku pun memiliki kekuatan yang mantap untuk menguasai setiap tuah dari pusaka siapa pun juga” berkata Mahendra.

“Gila” geram Ki Benda, “kau belum tahu arti dan kuasa pusakaku”

“Tidak akan lebih baik dari luwukku ini” sahut Mahendra yang menggenggam sebilah pedang yang tidak terlalu panjang.

Ki Benda memandang senjata Mahendra sejenak. Ia melihat jenis pedang yang memang agak lain dari pedang kebanyakan. Hulunya yang berukir dihias dengan anyaman rambut yang khusus. Pamor yang bagaikan berkeredipan di bawah cahaya bulan yang kekuning-kuningan.

“Jarang sekali aku melihat sebilah pedang memakai pamor seperti itu” berkata Ki Benda di dalam hatinya. Karena itu, meskipun yang digenggam oleh sais yang menyebut dirinya Mahendra itu bukan sebilah keris, tetapi besi dan buatannya tidak ubahnya dengan sebilah keris.

Karena orang yang memimpin sekelompok penyerang itu nampaknya mengagumi pedangnya, maka Mahendra pun berkata, “Nah, bukankah seperti yang aku katakan? Baiklah. Nampaknya kau tertarik kepada pedangku. Apakah kau akan membelinya?”

“Gila” geram Ki Benda, “aku tahu sifat seorang pedagang. Baiklah aku akan membelinya jika pedang itu dapat aku pergunakan untuk memenggal lehermu”

Mahendra tertawa. Katanya, “Nampaknya senjata di tanganku saat ini memang tidak untuk aku tawarkan. Tetapi pedangku ini akan melawan kerismu yang besar dan berat itu”

“Sais yang gila. Aku mengerti, bahwa kau bukan sais yang sebenarnya. Tetapi baiklah, aku akan membunuhmu. Aku akan mendapatkan pusakamu tanpa membelinya sama sekali”

Mahendra tidak menjawab, la melihat Ki Benda itu sudah bergerak. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapinya.

Namun sesaat kemudian Ki Benda itu masih berkata, “Serahkan sajalah Pangeran Kuda Padmadata itu beserta isteri dan anaknya. Kau akan bebas. Dan barangkali aku benar-benar akan membeli senjatamu itu”

“Siapa kau sebenarnya?” bertanya Mahendra.

“Itu tidak penting” jawab Ki Benda.

Mahendra tidak menjawab lagi. Ia bergeser setapak maju sambil menggerakkan ujung pedangnya. Ki Benda bergeser pula. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil memutar kerisnya menyerang lambung. Mahendra menggeliat sambil menangkis serangan itu. Tetapi ketika ia memukul keris lawannya, maka lawannya telah menarik serangannya. Dengan putaran mendatar Ki Benda telah menyerangnya sekali lagi.

Mahendra meloncat surut, ia sudah siap menghadapi serangan berikutnya. Karena itu, ketika Ki Benda siap untuk meloncat, maka Mahendra lah yang justru telah mendahuluinya, menjulurkan pedangnya lurus mengarah dada. Tetapi Ki Benda pun sempat menghindar. Dengan cepat ia berputar. Ternyata ia mampu bergerak cepat dan kekuatannya pun dapat dibanggakannya. Dalam benturan yang kemudian terjadi, Mahendra segera mengetahui, bahwa lawannya mempunyai tenaga raksasa yang berbahaya baginya.

Apalagi sejenak kemudian, Ki Benda yang berilmu hitam itu telah mengerahkan kemampuannya. Karena itu, maka ilmunya pun segera mulai nampak. Geraknya semakin lama menjadi semakin kasar dan liar. Demikian ia menyadari, dengan siapa ia berhadapan, maka ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.

Tetapi ternyata bahwa ilmu lawannya pun meningkat dengan cepat, dan berhasil mengimbangi ilmunya. Sehingga dengan demikian, Ki Benda merasa, bahwa ia tidak akan segera dapat berhasil.

“Gila” geram Ki Benda, “apakah hubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau bersedia menjadi sais pedatinya dan bahkan mempertaruhkan nyawamu baginya?”

“Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran dari Kediri yang banyak mengambil barang-barangku meskipun aku jarang mengunjunginya karena aku tinggal di Singasari” jawab Mahendra, “dengan demikian, maka Pangeran Kuda Padmadata telah banyak memberikan keuntungan kepadaku”

“Gila” Ki Benda mengumpat, “ternyata harga dirimu tidak lebih tinggi dari keuntungan yang kau dapat dari barang-barang daganganmu”

Mahendra tertawa. Jawabnya, “Jangan ribut siapa aku dan apa hubunganku dengan Pangeran itu. Tetapi adalah kewajiban setiap orang untuk membantu seseorang yang mengalami perlakuan yang tidak adil dan tidak berperi-kemanusiaan”

“Persetan” Ki Benda menggeretakkan giginya. Dengan garang ia menyerang sambil berteriak nyaring.

Mahendra mengerutkan keningnya. Teriakan itu menggetarkan jatungnya. Ia pun semakin menyadari, bahwa lawannya adalah seseorang dari lingkungan hitam. Dan ternyata pula di dalam sikap dan tandangnya kemudian. Keris Ki Benda terayun-ayun mengerikan. Setiap kali terdengar ia berteriak dan menggeram. Bahkan kadang-kadang suaranya mirip dengan aum seekor harimau yang kelaparan.

Dengan demikian maka Mahendra pun merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Bukan saja kerisnya yang berbahaya baginya, namun melihat jari-jari tangan kirinya yang mengembang, agaknya orang itu pun akan dapat menerkamnya jika ia gagal menikam dengan kerisnya.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin seru. Masing-masing telah meningkatkan ilmunya. Kekasaran dan kekerasan telah mewarnai tata gerak Ki Benda Bahkan hampir menjadi buas dan liar.

Di tempat lain, Witantra yang melihat seseorang yang memiliki kelebihan tidak membiarkannya. Ia pun segera menempatkan diri untuk melawannya. Kemarahan orang itu tidak tertahankan ketika ia mendengar bahwa orang yang berdiri dihadapannya adalah salah seorang dari ketiga sais pedati yang di dalam iring-iringan itu. Namun seperti kedua kawannya yang lain, maka Ki Walikat harus melihat kenyataan, bahwa sebenarnya orang yang menyebut dirinya sais itu adalah justru orang-orang yang memiliki ilmu yang mengagumkan.

“Kenapa kau menempatkan dirimu sebagai seorang sais?” bertanya Ki Walikat.

Witantra tidak dapat menjawab seperti yang diharapkan oleh lawannya. Katanya, “Aku memang seorang sais”

“Gila. Kau berpura-pura. Agaknya kau sengaja mengelabuhi kami, agar kami terjebak kedalam kekuatan pengawal Pangeran Kuda Padmadata” geram Ki Walikat.

Witantra tertawa. Katanya kemudian, “Bagaimana mungkin kami menjebakmu. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di sepanjang perjalanan. Kaulah yang telah dengan senjata bagaikan sulung masuk ke dalam api. Dan itu bukan salah kami”

Ki Walikat menggeram, “Persetan. Kalianlah yang akan tumpas malam ini, termasuk Pangeran Kuda Padmadata dengan anak dan isterinya”

Witantra tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiaga. Agaknya lawannya sudah siap untuk bertempur semakin garang.

Dengan demikian maka pertempuran di segala arah itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang berilmu hitam itu benar-benar tidak mempunyai pertimbangan apapun juga. Bahkan mereka telah dibekali satu sikap, bahwa jika senjata mereka basah oleh darah seseorang yang berilmu, maka senjata itu akan bertambah tuah dan bobotnya.

Karena itulah, maka setiap orang dari mereka yang berilmu hitam itu pun bernafsu untuk membunuh sebanyak-banyak agar senjata mereka basah oleh darah lawan. Tetapi para pengawal itu adalah pengawal pilihan. Apalagi di antara mereka terdapat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra yang telah melibatkan dirinya.

Namun dalam pada itu, orang berilmu hitam itu pun mengerti, bahwa yang terlindung dibalik pedati-pedati itu, tentu perempuan dan anak laki-laki yang termasuk mereka dan yang harus mereka bunuh. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka dengan sengaja telah menyusup di antara para pengawal, karena jumlah mereka memang lebih banyak, langsung mencari isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata itu.

Tetapi di sela-sela pedati-pedati itu, ternyata mereka telah bertemu dengan beberapa orang yang telah menunggu. Mereka adalah Mahisa Bungalan, yang berada di antara para pembantu sais pedati-pedati yang berada di dalam iring-iringan itu, Ki Wastu dan di dalam lingkaran itu pula terdapat Pangeran Kuda Padamadata, Mahisa Pukat. Mahisa Murti dan seorang pengawal.

Karena itulah, maka orang-orang berilmu hitam yang menyusup masuk ke dalam jantung lingkaran itu telah membentur selapis kekuatan yang sebenarnyalah tidak mudah untuk ditembus.

Dalam pada itu. Ki Wastu yang selalu mengamati tingkah laku Pangeran Kuda Padmadata masih sempat berbisik, “Jangan terpancing sehingga Pangeran meninggalkan isteri dan anak Pangeran. Dekatilah. Biarlah kami menyelesaikan orang-orang ini. Jika Pangeran terlibat langsung kedalam pertempuran ini, maka satu dua orang yang terlepas dari pengamatan kami akan dapat dengan mudah melakukan perbuatan kejinya atas orang-orang yang tidak berdaya itu”

Karena itulah, betapa darah Pangeran itu mendidih, maka ia berusaha menahan diri, berdiri di antara isteri dan anaknya dibayangi oleh seorang pengawalnya yang terpilih.

Sebenarnyalah, ketakutan yang sangat telah mencengkam isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata itu. Peristiwa masa lampau mereka, tetapi membayang kembali. Ketakutan demi ketakutan telah mereka lalui, sehingga akhirnya mereka bertemu dengan orang yang akan dapat memberikan perlindungan kepada mereka. Namun kini ketakutan itu telah terulang kembali.

Meskipun demikian, kini laki-laki yang bernama Kuda Padmadata itu ada diantara isteri dan anaknya dengan pedang terhunus. Laki-laki itu telah siap memberikan pengorbanan yang paling tinggi bagi isteri dan anaknya.

Pertempuran yang terjadi itu pun semakin lama menjadi semakin sangit. Orang-orang berilmu hitam itu bertempur dengan kasar, liar dan buas. Mereka berteriak-berteriak sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor.

Tetapi ternyata mereka telah membentur dinding pertahanan yang kuat dan berlapis. Mereka yang menyusup diantara para pengawal telah membentur kekuatan Mahisa Bungalan, Ki Wastu dan dua orang adik Mahisa Bungalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang meskipun masih sangat muda, tetapi keduanya ternyata telah memiliki ketrampilan ayahnya.

Karena itulah, maka mereka yang telah berhadapan dengan Ki Wastu dan Mahisa Bungalan lah yang mengalami nasib yang buruk. Mereka segera terdesak oleh kemampuan ilmu yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya.

Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka yang telah dirangsang oleh nafsu kebencian dan dendam yang memang dinyalakan disetiap hati orang-orang berilmu hitam, telah berhasil menyusup langsung menyerang orang orang yang berada dipusat lingkaran pertempuran.

Tetapi, ia pun telah tertahan. Justru oleh Pangeran Kuda Padmadata sendiri. Lindungi mereka” geram Pangeran Kuda Padmadata kepada pengawalnya yang terpilih, “aku akan membunuh orang ini”

Kemarahan dan kebencian Pangeran itu ternyata tidak dapat dikekangnya lagi. Ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya, sementara pengawalnya itu telah berdiri selangkah dari isteri dan anak laki-laki Pangeran yang ketakutan itu, dengan senjata telanjang di tangan.

Demikian panasnya jantung Pangeran Kuda Padmadata, maka ia sudah tidak mempunyai pertimbangan lagi. Beberapa langkah ia mendesak lawannya. Namun kemudian tanpa ampun lagi, senjatanya telah menggores tubuh lawannya yang liar.

Tetapi kemarahan Pangeran itu telah mendorongnya untuk bertempur dengan keras pula mengimbangi kekasaran lawannya. Tetapi, sejenak kemudian yang terdengar adalah keluhan tertahan. Senjata Pangeran Kuda Padmadata telah menyobek kulitnya lagi. Semakin dalam.

Lawan Pangeran Kuda Padmadata itu pun kemudian terhuyung-huyung. Sesaat ia masih mencoba bertahan. Namun kemudian ia pun terjatuh di tanah dengan nafas yang tersendat-sendat.

Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata merenungi orang yang terbaring itu, terdengar pengawalnya berdesis, “Pangeran”

Pangeran Kuda Padmadata berpaling. Ternyata pengawalnya telah bertempur pula melawan seseorang yang berhasil menyusup pula diantara pertempuran dan langsung berusaha membunuh isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata.

Pangeran Kuda Padmadata menggeram. Dengan darah yang mendidih dijantungnya ia berkata, “Biarlah aku membunuhnya pula”

Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia mendesak lawannya menjauhi isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu, maka Pangeran Kuda Padmadata lah yang kemudian berdiri mengawasi keadaan serta melindungi isteri dan anak laki-lakinya.

Ternyata pengawal itu benar-benar pengawal terpilih dari para pengawal pilihan. Karena itu, maka ia pun segera dapat menguasai keadaan Dengan kecepatannya bergerak, maka pengawal itu segera berhasil mengimbangi kegarangan lawannya yang bertempur sambil berteriak-teriak.

Dalam pada itu, pertempuran di sekitar tempat itu pun berlangsung dengan sengitnya. Jumlah para penyerang yang berilmu hitam itu lebih banyak. Namun mereka telah membentur kekuatan yang sulit ditembusnya. Bahkan kemudian mulai terasa, bahwa para pengawal akan dapat menguasai keadaan.

Dengan demikian, maka tiga orang pemimpin padepokan yang berilmu hitam itu rasa-rasanya bagaikan dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali. Dengan segenap kemampuan, mereka berusaha untuk segera dapat membunuh lawan masing-masing, agar mereka segera dapat membantu para pengikutnya.

Tetapi lawan mereka pun ternyata orang-orang yang berilmu tinggi. Gampar Wulung yang dengan kasarnya berusaha mendesak Mahisa Agni ternyata sama sekali tidak berhasil. Betapapun ia berusaha, namun, Mahisa Agni selalu dapat mengimbanginya. Rasa-rasanya Gampar Wulung telah berhadapan dengan perlawanan yang selalu selapis lebih tinggi dari kemampuannya. Setiap ia berusaha menghentakkan kekuatannya, maka kekuatan lawannya itu pun seolah-olah dengan sendirinya telah meningkat pula.

Demikian pula dengan para pemimpin golongan hitam itu yang lain. Ki Benda berteriak-teriak seperti orang gila. Kemarahan yang membakar jantungnya telah membuatnya seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri. Namun bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak berhasil mendesak lawannya, yang semula menyebut dirinya seorang sais pedati, namun kemudian mengakuinya sebagai seorang pedagang batu-batu berharga dan besi bertuah.

Bahkan semakin lama semakin terasa, bahwa lawannya itu memiliki kemampuan yang melampauinya. Namun demikian, Ki Benda masih berusaha untuk membunuhnya dengan ilmunya yang garang. Dalam keadaan yang terdesak itulah, maka kekuatan hitamnya seolah-olah telah diperasnya. Matanya seolah-olah telah membara, sementara tata geraknya menjadi semakin cepat dan liar. Senjatanya terayun-ayun dengan ganasnya dengan hentakan kekuatan yang luar biasa dilambari dengan tenaga cadangannya. Bahkan kekuatan ilmunya yang ditumpahkan ke dalam kemampuan senjatanya yang dianggapnya bertuah itu, telah membuat senjata bagaikan menyala.

Mahendra yang mengenal berbagai macam senjata dan besi bertuah telah melihat keris Ki Benda yang besar itu berbahaya. Karena itu, maka ia pun mengerti, bahwa Ki Benda telah sampai kepada ilmu pamungkasnya yang seolah-olah telah tertuang dan terungkap pada pusakanya.

“Jangan takut” geram Ki Benda, “pusakaku adalah benar-benar pusaka yang akan dapat membunuhmu, betapapun tinggi ilmumu. Pedangmu itu akan segera luluh menjadi lumpur jika bersentuhan dengan senjataku yang bertuah ini”

Mahendra yang melangkah surut justru tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Aku mengenal berbagai macam jenis besi bertuah. Aku melihat dengan mata hatiku, bahwa kerismu yang besar itu berwarna merah kehitam-hitaman. Itu adalah pertanda betapa buramnya nilai pusakamu dan betapa kotornya tuah yang ada di dalamnya”

“Persetan” bentak Ki Benda, “aku tidak ingkar. Pusakaku selalu bermandikan darah. Tetapi setiap titik darah berarti lapisan tuah yang melekat padanya. Karena itu jangan mengingkari perasaanmu. Kau menjadi ketakutan, karena kau tidak akan dapat melawan pusakaku. Betapapun tebal kulitmu, bahkan seandainya kau mempunyai ilmu kebal, maka kau tidak akan dapat bertahan dari patukan kerisku ini”

Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa kemampuan puncak ilmu Ki Banda benar-benar berbahaya baginya. Karena itulah maka ia pun telah mengerah kan segenap ilmu yang ada padanya. Ia tidak memusatkan ilmunya pada genggaman tangannya dan memukul lawannya sampai lumat. Dengan demikian, maka sentuhan senjata lawannya akan dapat berbahaya baginya. Karena itu. maka ia pun telah mengimbangi lawannya dengan memusatkan kemampuan ilmunya pada tangannya yang seakan-akan telah menjalari senjatanya pula. Pedang Mahendra pun bukan sembarang pedang. Karena itu, maka dengan lembaran kekuatan ilmunya, pedang itu pun seolah-olah telah bercahaya pula.

“Lihatlah” berkata Mahendra kemudian, “seandainya kau membeli besi-besi bertuah itu daripadaku, aku akan memberitahukan kepadamu, bahwa pusaka yang berarti adalah pusaka yang bercahaya kebiru-biruan seperti pedangku ini”

Sebenarnyalah, Ki Benda pun berhasil melihat, bahwa pedang Mahendra seolah-olah telah bercahaya kebiru-biruan. Wajah Ki Benda telah menegang. Urat-uratnya bagaikan telah melonjak keluar dari keningnya. Ia pun melihat, seolah-olah pedang lawannya itu telah menyala putih kebiru-biruan.

“Gila” geramnya. Warna itu telah menyilaukannya. Jauh lebih silau dari warna nyala kerisnya. Meskipun demikian, Ki Benda menganggap bahwa warna besi pusaka itu tidak banyak mempengaruhi kemampuan pusaka-pusaka itu. Ia sudah mengakui bahwa ilmunya sering disebut ilmu hitam. Dan ia tidak mengingkarinya. Karena itulah, maka nyala pusakanya berwarna merah kehitam-hitaman. Tetapi bahwa ilmu hitam itu pun tidak perlu merasa selapis di bawah ilmu putih.

Karena itulah maka Ki Benda kemudian telah menyerang dengan garangnya. Kerisnya yang besar dan yang menyala merah kehitam-hitaman itu berputar seperti baling-baling. Kadang-kadang menyambar mendatar. Namun kemudian mematuk lurus kedepan mengarah dada.

Tetapi, pedang Mahendra yang berwarna putih kebiru-biruan itu mampu mengimbangi kecepatan gerak keris lawannya. Karena itu, maka setiap kali ayunan pusaka Ki Benda itu telah membentur pedang Mahendra. Di setiap benturan, telah terpercik bunga-bunga api yang berwarna merah kehitam-hitaman dan yang berwarna putih kebiru-biruan. Benturan-benturan itu pun telah mendebarkan jantung kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun yang menjadi cemas kemudian adalah Ki Benda yang harus melihat kenyataan yang telah terjadi. Kekuatan Mahendra ternyata melampaui kekuatannya. Dan kecepatan gerak Mahendra pun melampaui kecepatan geraknya.

Sementara itu, maka pertempuran di sekitar tempat itu pun berlangsung dengan sengitnya. Ternyata orang-orang berilmu hitam yang menyerang iring-iringan dari Singasari yang akan pergi keKediri itu telah menemui kesulitan. Mereka telah membentur kekuatan yang meskipun lebih kecil jumlahnya tetapi tidak mampu dipatahkannya.

Setiap orang yang berilmu hitam itu, yang bertempur melawan setiap orang pengawal dari Kediri, harus mengakui, bahwa pengawal terpilih itu memiliki kemampuan yang lebih besar dari kemampuan mereka. Sementara beberapa orang di antara para pengawal itu, yang justru dikira benar-benar sais dan pembantu-pembantunya, ternyata justru orang-orang yang memiliki kelebihan dari para pengawal, sehingga mereka langsung menempatkan diri berhadapan dengan para pemimpin mereka yang selama itu mereka banggakan sebagai orang-orang yang tidak terkalahkan.

Dalam pada itu, Ki Walikat yang berhadapan dengan Witantra itu pun harus mengakui, bahwa Witantra memiliki kemampuan ilmu yang luar biasa. Ketika Ki Walikat itu sampai kepada puncak ilmunya, maka ia pun telah menghadapi ilmu Witantra yang jarang ada duanya.

Sementara itu Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah bertempur pula dengan serunya. Namun lawan mereka ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan mereka seorang melawan seorang. Karena itu, maka beberapa orang telah bersama-sama melawan mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Manisa Pukat pun bertempur dengan sengitnya. Mereka bertempur seperti seekor burung, melonjak-lonjak, melayang, kemudian menukik menyerang, Sehingga dengan demikian lawan mereka pun menjadi semakin lama semakin kebingungan. Namun kehadiran kedua anak-anak muda itu di dalam lingkaran pertemuan, benar-benar telah merupakan selapis bendungan yang dapat menahan para penyerang yang berhasil menyusup pada lingkaran pertempuran yang pertama.

Sementara itu, isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata yang ketakutan itu saling berpelukan. Mereka berdua merasa diri mereka sebagai orang-orang yang sangat lemah diantara benturan senjata. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. selain pasrah kepada Tuhan Yang Maha Agung.

Namun justru karena di tempat itu ada Pangeran Kuda Padmadata, ada pula ayahnya Ki Wastu dan ada pula seorang muda yang telah berbuat terlalu banyak baginya, bagi keselamatannya, maka hatinya serasa lebih tenang dari masa-masa yang pernah dialaminya. Ketika ia seorang diri di dalam lingkungan orang-orang kasar yang dapat berbuat apa saja padanya, maka ia sama sekali tidak berpengharapan. Untunglah bahwa Tuhan Yang Maha Agung masih selalu melindunginya, sehingga ia dapat terlepas dari tangan orang-orang kasar itu dengan selamat. Bukan saja nyawanya, tetapi ia masih tetap utuh seperti saat ia ditinggalkan oleh suaminya.

Sementara itu, walaupun menjadi semakin malam, bintang-bintang sudah bergeser semakin ke Barat. Bahkan sejenak kemudian mulai membayang cahaya bintang panjer esuk yang bagaikan menyala di Timur. Orang-orang yang dapat mengenal bintang sebagai pertanda waktu akan segera mengetahui, bahwa sebentar lagi fajar akan segera menyingsing. Di Selatan, Bintang Gubug Penceng seakan-akan telah hampir datar menyentuh cakrawala di sebelah Barat.

Kegelisahan telah merayapi jantung ketiga orang pemimpin dari orang-orang berilmu hitam itu. Apalagi setelah satu demi satu orang-orang mereka tergores oleh tajamnya senjata. Bahkan satu demi satu orang-orang mereka pun mulai berjatuhan. Apalagi mereka sendiri merasa, bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi lawan mereka yang ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.

Ki Gampar Wulung yang telah sampai kepuncak ilmunya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri dari kemampuan ilmu lawannya. Meskipun Mahisa Agni masih belum sampai kepada ilmu pamungkasnya sepenuhnya, namun sudah terasa oleh lawannya, bahwa tekanan ilmu Mahisa Agni itu tidak akan dapat dihindarinya. Demikian pula kawan-kawannya. Ki Benda yang berbangga dengan pusakanya, tidak dapat berbuat banyak melawan pedang Mahendra yang putih kebiru-biruan.

Orang-orang berilmu hitam yang semula berharap untuk dapat berbuat sesuatu bagi Ki Dukut Pakering, yang sedang berusaha untuk mengguncang Kediri, ternyata harus mengakui kenyataan yang mereka hadapi. Satu demi satu orang-orang mereka pun telah jatuh. Luka-luka yang parah telah tergores di tubuh mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi bangkit untuk melawan. Bahkan sebagian dari mereka telah terbunuh karenanya.

Kenyataan itu benar-benar telah menggelisahkan para pemimpin mereka. Maka sebelum sampai kepada orang terakhir, maka pemimpin mereka itu pun harus mengambil satu sikap. Sikap itu adalah sikap yang paling mungkin mereka lakukan. Melarikan diri.

Justru ketiga orang pemimpin yang bertempur melawan orang-orang yang tidak disangka sama sekali itu, telah mempunyai pertimbangan yang sama di dalam hati mereka. Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka Ki Gempur Wulung pun tiba-tiba telah melontarkan satu isyarat bagi kawan-kawannya.

Isyarat itu tidak perlu diulang. Dengan serta merta, maka orang-orang berilmu hitam itu pun segera berusaha menarik diri. Mereka telah berusaha membaurkan diri dengan gerak yang membingungkan sambil berlari meninggalkan arena.

Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra, sebenarnya agak terkejut melihat sikap lawannya yang garang itu. Mereka tidak menyangka, bahwa jalan itu ternyata terlalu pendek, sehingga apa yang terjadi itu benar-benar tidak mereka duga. Orang-orang yang garang itu, tiba-tiba saja telah meninggalkan arena dengan sikap yang licik.

Tetapi Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra tidak dapat mengejar mereka. Kecuali karena orang-orang itu telah berbaur, maka ketiganya masih dibayangi oleh kecurigaan, bahwa jika mereka meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata terlalu jauh, maka kelicikan dapat saja terjadi. Jika masih ada orang-orang yang tersembunyi di dalam gelapnya malam, dan tiba-tiba saja datang menyergap, apalagi orang itu Ki Dukut Pakering sendiri dengan orang-orang yang justru terpilih, maka keadaan akan menjadi gawat.

Para pengawal dari Kediri pun ternyata tidak mengejar mereka pula. Para pengawal itu pun tidak ingin meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak luki-lakinya. Karena merekalah sebenarnya yang harus mereka lindungi.

Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan lah yang bertanya kepada ayahnya, “Kita tidak menangkap pemimpin-pemimpin mereka?”

“Mereka telah melarikan diri” jawab Mahendra.

“Ya. Dan kita tidak mengejarnya?” sahut Mahisa Bungalan.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada gunanya. Mereka dapat melarikan diri secepat kita mengejarnya, sehingga belum tentu kita akan dapat menangkap mereka. Mereka mempunyai peluang beberapa kejap sebelum kita menyadari langkah mereka. Karena itu, maka menurut pertimbanganku, mereka akan dapat mencapai hutan itu beberapa langkah di depan kita, karena merekapun, terutama para pemimpinnya adalah orang-orang berilmu, justru ilmu hitam. Karena itu, mengejar mereka adalah sia-sia. Mereka dapat berlari secepat kita lari, sementara kemungkinan lain masih dapat terjadi jika kita meninggalkan tempat ini. Mungkin orang yang paling kita perlukan selama ini, sehingga kita telah membuka padang perburuan yang luas itu, akan datang selama kita berlari-larian mengejar orang-orang berilmu hitam itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mengerti, bahwa mengejar orang-orang yang tidak berarti. Pemimpin-pemimpin mereka, seperti yang di katakan oleh ayahnya, tentu memiliki kesempatan yang paling besar untuk menyelamatkan diri.

“Tidak ada gunanya membantai mereka semakin banyak” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “dan tidak ada pula gunanya menangkap mereka. Kecuali hanya akan menjadi beban perjalanan, mereka tidak akan dapat memberikan keterangan apapun juga yang dapat memberikan kejelasan melampaui orang-orang yang terluka yang akan dapat menjadi sumber keterangan”

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera berkumpul bersama para pengawal dan orang-orang yang semula dianggap sais pedati-pedati oleh orang-orang dari golongan hitam itu.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang melihat orang-orang yang menyerang iring-iringan dari Singasari ke Kediri itu telah meninggalkan arena, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ternyata Tuhan Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya. Agaknya mereka telah pergi”

Isterinya yang masih memeluk anak laki-lakinya itu pun menahan isak yang hampir meledak. Namun bagaimanapun juga, terasa pipinya menjadi basah oleh air mata yang-meluap dari pelupuknya. “Kita selamat anakku” desis perempuan itu. Anak laki-lakinya masih melekatkan kepalanya di dada ibunya. Namun kemudian ia pun menyadari, bahwa pertempuran itu sudah selesai.

Dalam pada itu, Ki Wastu berdiri tegak dengan hati yang bergetar melihat anak perempuan dan cucunya yang sudah berhasil diselamatkan. Seakan-akan ia telah diguncang oleh satu pertanyaan yang melingkar-lingkar di rongga dadanya, “Kenapa semuanya itu harus terjadi atas anak perempuannya.”

Namun seperti Pangeran Kuda Padmadata, seperti anak perempuannya dan seperti orang-orang yang lain. ia mengucap sukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa malapetaka itu telah dapat dicegah.

Ketika Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu kemudian berusaha menenangkan ibu dan anak itu, para pengawal telah dihadapkan pada tugas-tugas baru. Mereka harus mengumpulkan orang-orang yang lerluka dan kemudian mereka yang telah terbunuh. Beruntunglah, bahwa korban diantara pengawal yang paling parah, tidak sampai merenggut nyawanya, meskipun tiga orang tidak lagi dapat bangkit. Tetapi karena perawatan yang cepat, maka nyawa mereka masih dapat diharapkan untuk dipertahankan.

Sebelum matahari terbit, para pengawal telah menguburkan empat orang lawan yang terbunuh. Kemudian mengumpulkan dua orang yang terluka berat, dan dua orang lagi yang tidak membahayakan jiwanya, meskipun mereka tidak sempat melarikan diri.

“Gila” geram seorang pengawal, “mereka benar-benar menjadi beban diperjalanan. Kitalah yang harus merawat mereka. Menyediakan makan dan minum. Mengobati dan melayani”

“Apa boleh buat” desis yang lain.

“Sementara kawan-kawan kita sendiri pun telah terluka pula" berkata yang pertama.

“Ada dua orang yang dapat melayani kawan-kawannya yang parah” berkata yang lain.

“Yang dua itu pun memerlukan pelayanan” geram yang lain lagi.

Tetapi mereka tidak dapat mengingkari tugas-tugas itu. Mereka tidak dapat membunuh orang-orang yang lelah menjadi tawanan mereka.

Ketika matahari terbit, maka mereka pun mulai berbenah. Dua pedati telah dipergunakan untuk mengangkut orang-orang yang terluka. Satu pedati untuk tiga orang pengawal dan satu pedati untuk orang-orang yang tertawan. Namun dengan demikian, maka semua perlengkapan telah dipindahkan ke pedati yang satu lagi, sehingga dengan demikian isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya, tidak lagi dapat duduk di dalam pedati. Tetapi mereka telah dipersilahkan untuk duduk dipunggung kuda dengan seorang pengawal yang membantu menuntun kuda itu. Karena sebenarnyalah bahwa perjalanan itu tidak dapat lebih cepat dari orang yang berjalan kaki karena diantara iring-iringan itu terdapat juga tiga buah pedati.

Para pengawal akan bergantian berjalan menuntun dua ekor kuda. Tetapi anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata, telah berani duduk bersama seorang pengawal. Bahkan diperjalanan berikutnya, pengawal itu kadang-kadang melarikan kudanya mendahului meskipun tidak terlalu cepat. Kemudian kembali menyongsong iring-iringan itu.

“Jangan terlalu jauh mendahului kami” berkata Mahisa Bungalan kemudian.

Pengawal itu mengerti. Meskipun jarak itu hanya beberapa tombak, namun akan dapat terjadi sesuatu, justru anak laki-laki itu menjadi sasaran utama dari setiap usaha pembunuhan.

Ketika iring-iringan itu melewati sebuah sungai yang jernih, maka mereka pun berhenti sejenak. Mereka sempat memberi minum kuda dan lembu penarik pedati, sementara mereka pun sempat menyegarkan tubuh mereka...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 16

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 16
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KARENA itulah maka sambaran-sambaran Ki Dukut sudah mendebarkan jantung lawannya. Betapapun juga ia berusaha menghindar, namun tangan Ki Dukut berhasil menggapainya pula.

Selain kemampuan untuk menyobek kulit dan daging, maka serangan-serangan Ki Dukut pun berhasil mematuk langsung ke bagian tubuh lawannya yang berbahaya. Ketika lawannya menyerang Ki Dukut dengan sambaran jari-jarinya yang mengembang ke arah kening, Ki Dukut telah menghindar dengan merendahkan dirinya. Namun sekaligus tangannya sempat terjulur lurus dengan ujung jari-jarinya menghentak dada.

Terdengar lawannya berdesis sambil meloncat surut. Rasa-rasanya nafasnya telah terhenti sesaat. Namun lawannya itu pun segera berhasil mengatur jalur pernafasannya kembali. Tetapi Ki Dukut tidak membiarkannya. Dengan serta merta ia meloncat memburu. Tangannya tidak lagi mematuk tubuh lawannya, tetapi terayun menyambar pundaknya. Karena lawannya berusaha menghindar, maka sentuhan jari Ki Dukut hanya menyinggung kulitnya saja. Tetapi kulit itu pun telah koyak seleret panjang.

“Gila” geram lawannya. Ia pun telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Karena itu, maka ketika Ki Dukut kemudian menyerangnya, ia sama sekali tidak mengelak. Tetapi ia justru membentur serangan Ki Dukut dengan jari-jarinya yang mengembang.

Benturan itu ternyata sangat mengejutkan kedua belah pihak. Jari-jari orang- berjambang dari berkumis lebat itu rasa-rasanya bagaikan berpatahan, tulangnya bagaikan terlepas dari sendi-sendinya.

Namun, akibatnya bagi Ki Dukut pun terasa sangat menyakitkan. Bukan saja tangannya yang bagikan terperosok ke dalam perapian yang sedang menyala. Namun dorongan kekuatan lawannya telah mendesaknya beberapa langkah surut.

Sejenak kedua orang yang sedang bertempur itu justru berloncatan surut untuk mengambil jarak. Rasa-rasanya keduanya memerlukan waktu sekejap untuk memperbaiki keadaannya.

Sementara itu, orang yang berjambang dan berkumis lebat itu mengumpat sejadi-jadinya. Jari-jarinya, andalan kekuatannya, rasanya menjadi terlalu lemah untuk dapat dipergunakannya lagi, sementara tangan Ki Dukut pun seakan-akan telah terluka bakar. Tetapi keduanya tidak ingin menghentikan perkelahian ilu. Bagaimanapun juga, mereka ingin menyelesaikan pertempuran itu.

Yang dilakukan Ki Dukut kemudian adalah sangat mengejutkan. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan kakinya. Ketika lawannya menghindar, maka demikian kaki Ki Dukut menyentuh tanah, maka tubuhnya telah melenting lagi dengan serangan kaki yang gawat. Lawannya terpaksa berloncatan menghindar. Serangan Ki Dukut yang cepat itu memaksanya untuk setiap kali menghindarinya. Ki Dukut bagaikan berterbangan mengitarinya dengan serangan-serangan kaki yang gawat.

Apalagi betapapun tangannya terasa sakit, Ki Dukut masih juga mencoba mempergunakannya untuk menyerang. Ia tidak lagi mempergunakan ujung jari-jarinya yang serasa hangus. Tetapi ia kemudian mempergunakan sisi telapak tangannya dan sikunya. Serangan-serangan Ki Dukut masih juga membingungkan lawannya. Meskipun jari-jarinya terasa berpatahan. Namun, ketika sekali tubuh Ki Dukut tersentuh telapak tangannya, maka rasa-rasanya kulitnya masih juga terbakar.

“Benar-benar anak iblis” geram Ki Dukut. Serangan-serangannya pun menjadi semakin cepat. Dan ia pun semakin sering mengenai tubuh, lawannya dengan tumit dan sisi telapak tangannya. Meskipun sisi telapak tangannya tidak mampu merobek kulit, tetapi rasa-rasanya bagaikan meremukkan tulang belulang orang yang berjambang dan berkumis lebat itu.

Macan Wahan yang menyaksikan pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Kawan-kawannya tidak lagi dapat menyalahkannya, bahwa ia sudah bersedia berbicara dalam kedudukan setataran dengan orang yang di sebut Ki Dukut Pakering itu. Ternyata kemampuannya benar-benar dahsyat, sedahsyat kemampuan kawannya yang berjambang dan berkumis labat itu. Bahkan kadang-kadang Macan Wahan dikejutkan oleh kemampuan Ki Dukut yang tidak diduganya sama sekali. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar telah memukaunya bersama orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinganya itu.

Pertempuran itupun berlangsung dengan dahsyatnya. Ki Dukut yang sudah terluka bakar di beberapa bagian tubuhnya, seakan-akan telah kehilangan pertimbangan-pertimbangan yang jernih. Yang nampak dihadapannya adalah seseorang yang dianggapnya berilmu iblis yang yang hanya pantas dimusnahkan.

“Jika aku tidak berbuat seperti yang akan diperbuat nya, maka aku tidak akan mandapat tempat di dalam lingkungannya” berkata Ki Dukut di dalam hatinya. Karena itu, ia sudah bertekad untuk membinasakan lawannya dengan cara yang mungkin dipergunakan pula oleh lawannya itu, meskipun dengan demikian akan sangat mengerikan.

“Mereka tidak berperasaan sama sekali” geram Ki Dukut di dalam hatinya, “karena itu aku harus benar-benar dapat melakukan sesuatu yang dapat menggetarkan jantung mereka”

Dengan tekad yang demikian itulah, maka Ki Dukut telah mengerahkan segenap sisa kemampuannya. Ia masih mampu bergerak dengan cepat, menghantam lawannya dengan sisi telapak tangannya, dengan sikunya dan dengar kakinya. Semakin lama kecepatan gerak Ki Dukut semakin membingungkan lawannya yang mulai susut kemampuannya. Tubuhnya telah dicengkam oleh perasaan sakit. Jari-jarinya serasa berpatahan dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.

Tetapi ia tidak akan menyerah. Ia masih belum percaya bahwa Ki Dukut yang tua itu akan dapat mengalahkannya. Sehingga dengan demikian, maka orang berjambang dan berkumis lebat itu masih juga bertempur dengan gigihnya. Dengan segenap sisa tenaga yang ada padanya. Tetapi, jari-jarinya tidak lagi mampu mengembang untuk menerkam lawan dengan panasnya api. Yang dapat dilakukan kemudian adalah menyerang lawan dengan telapak tangan dan kakinya. Namun setiap kali tubuhnya tersentuh kekuatan Ki Dukut, maka ia telah terhuyung-huyung. Demikian, ia berusaha untuk tetap tegak, maka serangan-serangan, berikutnya datang beruntun.

“Setan alasan” orang itu mengumpat. Tetapi ia telah terdorong dua langkah surut.

Namun ketika Ki Dukut memburunya sambil menyerang, ia masih sempat mengelak Tetapi, serangan berikutnya oleh putaran kaki Ki Dukut, orang berjambang itu tidak lagi dapat beringsut. Dengan sikunya ia berusaha menangkis serangan itu. Ketika terjadi benturan, maka ia masih sempat menghantam kaki Ki Dukut dengan telapak tangannya yang lain.

Ki Dukut terlonjak. Kakinya bagaikan disengat bara. Namun ia pun segera menyadari keadaannya, ia meloncat selangkah surut. Namun ia tidak mau terlambat. Dengan serta merta ia meloncat dengan kaki terjulur, ia sudah memperhitungkan, bahwa orang berjambang dan berkumis lebat itu lidak akan sempat menghindar lagi. Mungkin ia dapat menepuk kakinya dengan telapak tangannya yang panas seperti api, tetapi Ki Dukut benar-benar telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Sebenarnyalah, orang berjambang itu terkejut melihat serangan yang datang demikian cepat, tiba-tiba dan demikian derasnya Karena itu, ia tidak sempat iagi mengelak. Namun ia berusaha untuk menangkis serangan iiu. Dengan telapak tangannya ia memukul kaki Ki Dukut yaag terjulur itu, sehingga rasa-rasanya kaki itu benar-benar telah terbakar.

Tetapi seperti yang telah diperhitungkannya pula. maka kaki Ki Dukut yang terjulur itu tidak berubah arah, meskipun disentuh oleh tangan lawannya, karena serangannya itu datang dengan kecepatan yang tinggi, dan dengan sepenuh sisa tenaganya. Karena itu, maka kaki Ki Dukut itu pun telah menghantam dada orang berjambang dan berkumis lebat itu demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.

Terasa dada orang berjambang itu bagaikan pecah. Nafasnya tiba-tiba saja seolah-olah telah terhenti. Namun demikian ia masih berusaha untuk meloncat bangkit. Ki Dukut yang sudah merasa tenaganya susut, tidak mau memberinya kesempatan. Jika bertempuran itu berkepanjangan, maka ia pun akan menjadi lelah dan kehabisan tenaga. Karena itu, maka Ki Dukut pun telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran itu.

Ketika lawannya masih sedang berusaha untuk menemukan keseimbangannya, maka tiba-tiba Ki Dukut talah meloncat maju mendekat. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam kedua pundak lawannya sebelah menyebelah dengan kedua sisi telapak tangannya.

Lawannya menggeliat oleh perasaan sakit yang luar biasa. Tetapi tangannya masih sempat menggapai dada Ki Dukut. Telapak tangannya yang membara telah membakar dada Ki Dukut, sehingga Ki Dukut terpaksa bergeser setapak. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menyerang lawannya dengan pangkal telapak tangannya tepat pada dagu lawannya. Demikian lawannya terangkat kepalanya maka Ki Dukut meloncat mendekat. Dengan sepenuh tenaganya Ki Dukut sekali lagi manghantam perut lawannya denga sikunya. Demikian lawannya tertunduk oleh perasaan sakit yang sangat, maka satu pukulan yang dahsyat dengan sikunya telah menghantam tengkuk orang berjambang dan berkumis lebat itu.

Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Tetapi orang itu tidak sempat mengeluh lagi, ketika sekali lagi sisi telapak tangan Ki Dukut telah mengenai tengkuk orang yang sedang terhuyung-huyung itu. Orang itu pun kemudian jatuh terjerembab. Tetapi ia masih menggeliat. Ketika kemudian ia berguling menengadah, maka satu pukulan yang dahsyat telah menghantam lehernya. Leher itu bagaikan tercekik. Sesaat mata orang itu terbelalak, namun kemudian nafasnya yang terakhir menghentak pendek.

Ki Dukut Pakering pun tiba-tiba telah terduduk. Ia telah mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga seakan-akan tenaganya telah terhisap habis di saat ia menghentakkan kekuatannya yang tersisa.

Macan Wahan, kedua orang kawannya, dan para cantrik yang melihat perkelahian itu sampai saat-saat terakhir, telah dicengkam oleh ketegangan. Meskipun mereka termasuk orang-orang yang berilmu hitam, namun kematian seorang kawannya dengan cara yang dahsyat itu, telah menggetarkan jantung mereka.

Namun sementara itu, Ki Dukut Pakering, seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Tenaganya telah dihentakkan sekuat-kuatnya, sementara perasaan sakit dan pedih mulai mencengkamnya. Luka-luka di tubuhnya, yang bagaikan luka-luka api itu benar-benar telah menggigit sampai ke tulang.

Tetapi dengan demikian ketiga orang yang menyaksikan pertempuran dengan hati yang berdebar-debar itu benar-benar telah mengaguminya. Ia tidak terlalu kasar seperti orang-orang di antara mereka. Namun disaat-saat terakhir, ia benar-benar telah menunjukkan kemampuan dan kekuatannya. Tanpa ragu-ragu ia membunuh lawannya, seperti ia melakukan pekerjaannya yang lain-lain.

Sejenak Ki Dukut mengatur pernafasannya dan menahan rasa sakit. Namun kemudian iapun mencoba untuk berdiri. Meskipun ia masih harus bertahan atas keseimbangan yang goyah, namun Ki Dukut yang menahan rasa sakit itu berkata, “Aku telah membunuhnya. Bukan kebiasaanku mempergunakan cara yang kasar dan garang untuk membunuh lawan. Tetapi sengaja aku melakukannya kali ini. Aku mengerti, bahwa perasaan kalian yang mati itu tentu tidak akan tersentuh sama sekali, jika aku tidak mempergunakan cara seperti yang kalian pergunakan. Karena itulah, aku telah membunuhnya seperti jika kalian melakukannya”

Ketiga orang berilmu hitam itu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Macan Wahan berkata, “Luar biasa. Kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa Ki Dukut. Dengan demikian kau telah membuktikan kebesaran namamu. Lawan yang kau bunuh itu termasuk seseorang yang memiliki beberapa kalebihan dari kami, kawan-kawannya”

“Aku sengaja ingin membuktikan kepada kalian, bahwa aku bukan orang yang hanya pandai berbicara” jawab Ki Dukut, “dan aku telah bersikap sebagaimana seharusnya menghadapi orang-orang berilmu hitam. Jika aku berkata akan membunuhnya, maka aku benar-benar akan membunuh”

“Sudahlah” berkata Macan Wahan, “kita menjadi saksi. Kematiannya. Tidak ada akibat yang akan terjadi atas kematiannya. Kalian melakukan perang tanding. Dan perang tanding itu sudah selesai dengan tuntas. Biarlah orang-orangku menyelenggarakan mayatnya.”

Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam, dipandanginya orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinga kirinya. Agaknya mereka pun dengan rela menerima kemalian seorang kawannya yang bernasib buruk.

Bahkan, keduanya telah berkata di dalam hatinya, “Jika akulah yang mendapat kesempatan bertempur, aku pun akan mengalami akibat yang serupa”

Ki Dukut Pakering pun kemudian telah dibawa ke pendapa oleh Macan Wahan bersama kedua orang kawannya. Sejenak mereka duduk merenungi luka-luka di tubuh Ki Dukut Pakering.

“Orang itu memang luar biasa” berkata Ki Dukut sambil mengusap tubuhnya yang terluka, bagaikan tersentuh bara api. Juga jari-jarinya yang serasa terbakar karena benturan yang terjadi, namun dengan benturan itu, jari-jari lawannya seakan-akan telah berpatahan.

“Apakah pendapat kalian?” bertanya Ki Dukut kepada Macan Wahan dan kedua kawannya.

“Luar biasa” jawab orang yang bertubuh gemuk, “ternyata aku salah menilaimu. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kau memiliki kemampuan melampaui kemampuan kami, bahkan telah mengherankan kami”

Ki Dukut Pakering tersenyum. Namun kemudian katanya, “Tetapi lihatlah, tubuhku yang hangus ini. Sebenarnyalah kawanmu itu benar-benar memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Namun ia terlalu sombong dan tidak dapat menilai, siapakah yang dilawannya. Jika ia tidak menjadi gila atas kemampuannya, maka ia tidak akan bertindak terlalu bodoh untuk menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana dengan perang tanding yang sebenarnya. Jika ia bersedia menghentikan perkelahian sebelum aku kehilangan kesabaran, maka aku akan memanfaatkannya”

Macan Wahan dan kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa sebenarnyalah Ki Dukut tidak ingin membunuh jika bukan karena tingkah laku lawannya itu sendiri. Yang penting bagi Ki Dukut jika lawannya itu tidak terbunuh, akan dapat dipergunakannya untuk membantu rencananya. Tetapi Ki Dukut Pakering merasa perlu untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan orang-orang yang akan dibawanya bekerja bersama, agar mereka mempercayainya bahwa iapun seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni.

Meskipun yang seorang itu telah terbunuh, tetapi masih ada tiga orang yang akan dapat diajaknya untuk melakukan rencananya. Bahkan ia masih yakin, bahwa kekuatan itu masih akan dapat perkembangan, karena yang tiga orang itu adalah orang-orang yang berpengaruh di antara golongannya.

“Aku memerlukan beberapa hari untuk berobat” berkata Ki Dukut kemudian kepada orang-orang itu, “dengan demikian aku sudah kehilangan lagi waktu tanpa arti sama sekali. Tetapi setelah itu, aku harus mengejar ketinggalan ini”

Ketiga orang berilmu hitam itu mengangguk-angguk. Mereka sudah terjerat untuk mempercayai Ki Dukut itu sepenuhnya. Kepada Macan Wahan Ki Dukut minta ijin untuk tinggal di padepokannya sambil menyembuhkan luka-luka tubuhnya, sementara orang-orang Macan Wahan telah sibuk dengan mayat seorang pemimpin yang disegani dari golongan orang-orang berilmu litam.

Demikianlah, maka Ki Dukut telah menunda segala macam pembicaraan karena ia memusatkan segala perhatiannya kepada penyembuhan luka-lukanya. Atas bantuan Macan Wahan dan kedua orang kawannya, maka Ki Dukut berhasil mendapatkan dedaunan dan jenis akar-akaran yang dapat dipergunakannya untuk mengobati luka-lukanya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering sendiri telah hanyut di dalam angan-angannya yang semula hanyalah sekedar untuk memancing kesediaan Macan Wahan dan kawan-kawannya membantunya melepaskan dendam atas orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.

Tetapi setelah ia berhasil mengalahkan salah seorang dari pemimpin orang-orang berilmu hitam itu, maka timbullah desakan di dalam dirinya, bahwa yang diucapkannya sekedar untuk memancing kesediaan orang-orang berilmu hitam itu benar-benar dapat dilaksanakan.

“Apa salahnya, jika rencana itu benar-benar aku jalankan” katanya di dalam hati.

Ternyata bahwa angan-angan itu benar-benar telah mencengkam jantungnya. Selama ia menunggu kesembuhan luka-lukanya, maka, ia telah mengancam kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Semakin lama, maka keinginan itu justru semakin jelas membayang di dalam rongga mata angan-angannya.

Namun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pertanyaan yang tumbuh dari dasar hatinya, “Apakah sebenarnya yang aku kehendaki? jika aku berhasil membuat Kediri berguncang, dan kemudian membangunkan beberapa orang bangsawan yang masih mampu berpikir tentang harga diri, lalu apakah yang akan aku dapatkan buat diriku sendiri? Menjadi raja? Menjadi Akuwu atau menjadi apapun yang memiliki kemukten? Setelah aku mendapat kamukten, apa lagi?”

Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian telah terlempar ke dalam kenyataan, bahwa dirinya adalah sendiri. Kesendiriannya itulah yang kemudian mencengkamnya sebagai kesepian yang pedih.

“Aku tidak akan dapat membagi hasil perjuanganku itu dengan siapapun juga” katanya di dalam hati.

Terasa betapa keringnya hidupnya. Ia tidak mempunyai sanak kadang. Tidak mempunyai seorang murid pun yang akan dapat menerima kemukten yang seandainya telah berada di tangannya.

“Pangeran itu memang gila” geram Ki Dukul Pakering.

Namun iapun tidak dapal mengelabui dirinya sendiri. Siapakah sumber dari malapetaka yang kemudian dialaminya itu. Untuk waktu-waktu yang kosong selama ia mengobati luka-lukanya, ternyata Ki Dukut lelah diombang-ambingkan oleh sikap batinnya yang goyah.

Tetapi jika teringat olehnya, dendam yang menyala dihatinya, maka iapun menggeram, “Aku harus melepaskan dendam yang membakar jantung. Apapun yang akan aku lakukan kemudian, terserah kepada perkembangan yang timbul di dalam hati ini. Tetapi orang-orang yang pernah menyakiti hatiku, harus aku musnahkan. Aku mendapat kawan-kawan yang tangguh, yang memiliki kemampuan malampaui orang-orang yang pernah bekerja bersama selama ini. Pemimpin-pemimpin padepokan yang berjiwa kerdil, dan sama sekali tidak berilmu. Atau pemimpin-pemimpin perampok kecil yang hanya dapat berteriak-teriak dan menakut-nakuti perempuan yang pergi ke pasar. Semua itu tidak ada artinya. Baru sekarang aku menemukan kekuatan yang sebenarnya”

Demikianlah, maka Ki Dukut pun kamudian telah tersekap ke dalam satu lingkungan, yang selama itu disebutnya sebagai lingkungan hitam. Namun lingkungan yang baru itu agaknya akan dapat memberikan dukungan kepadanya, atas satu angan-angan yang semula hanya sekedar satu cara untuk memancing dukungan orang-orang berilmu hitam, namun yang kemudian telah tumbuh dan berkembang di dalam hatinya. Meskipun kadang-kadang timbul pertentangan di dalam dirinya, namun ia masih saja berangan-angan tentang Kediri.

“Kenapa aku tidak berusaha untuk menjadi seorang pahlawan, meskipun tidak akan memberikan apa-apa lagi kepadaku selain bagi aku sendiri, dan sama sekali tidak berkelanjutan?” pertanyaan itupun selalu timbul di dalam hatinya. Persoalan-persoalan itulah yang di hari-hari berikutnya telah bergumul di dalam hati Ki Dukut Pakering.

Sementara itu, Macan Wahan dan kawan-kawannya, meskipun belum mematangkan pembicaraan mereka dengan Ki Dukut, namun mereka sudah menganggap bahwa segala akan berjalan dengan persiapan yang harus memadai. Tidak ada gambaran lain yang akan mereka lakukan, selain mempergunakan kekerasan. Karena itulah, maka Macan Wahan dan kawan-kawannya pun telah menemui Ki Dukut untuk menyatakan kesediaan mereka memulai segala rencana yang akan di susun oleh Ki Dukut.

“Silahkan Ki Dukut beristirahat di sini” berkata Macan Wahan, “sementara kami akan mempersiapkan diri. Kedua kawanku akan kambali ke padepokannya dan, menyusun kekuatannya sampai ke puncak kemampuannya”

Ki Dukut yang masih belum sembuh benar itupun setuju. Biarlah orang-orang dari padepokan hitam itu mempersiapkan diri mereka dengan cara mereka yang barangkali terlalu mengerikan bagi Ki Dukut. Namun demikian, ada niat di hati Ki Dukut untuk berbuat sesuatu setelah keadaannya menjadi baik. Orang-orang berilmu hitam itu akan dapat berbuat lebih baik tanpa perbuatan-perbuatan yang dapat menggetarkan jantung.

“Bersiaplah” berkata Ki Dukut, “pada satu saat yang pendek kita akan segera mulai”

Kedua kawan Macan Wahan itu pun segera minta diri. Mereka akan kembali ke padepokan masing-masing, mereka akan menempa para murid dan para cantrik untuk menghadapi tugas yang berat.

“Tidak ada keterbatasan” berkata Ki Dukut Pakering, “kalian dapat menghubungi kawan-kawan kalian yang dapat dipercaya untuk tugas besar ini. Kita akan mengguncang Kediri dan membangunkan para bangsawan yang lelap. Kediri harus bangkit menjadi satu negara besar seperti saat Singasari masih sebuah Pakuwon yang bernama Tumapel”

Demikianlah, kalau-kalau Macan Wahan itu meninggalkan padepokan itu dengan tugas yang membebani hati. Meskipun mereka masih juga di bayangi oleh satu pertanyaan, apakah yang akan terjadi jika para bangsawan di Kediri telah terbangun dan mengambil kembali kebesaran nama Kediri dari bayangan pemerintahan Singasari.

“Apakah kami tidak justru akan terjerumus kedalam kesulitan?” pertanyaan itu pun selalu menganggu mereka. Namun mereka pun akhirnya mengambil kesimpulan, “Jika kami memiliki kekuatan yang cukup, maka tidak ada satu pihak pun yang akan berani mengorbankan kami. Ki Dukut Pakering pun tidak. Bahkan kami harus dapat mengambil keuntungan dari keadaan itu. Mungkin kami akan memiliki tanah perdikan yang luas untuk mengembangkan padepokan kami dengan terbuka karena hak kami sudah diakui. Atau mungkin daerah yang lebih luas sebagai satu Pakuwon atau hak apapun juga”

Dengan bekal sikap itulah, maka mereka pun bertekad untuk menyusun kekuatan. “Kami bukan sekedar alat yang akan dapat dipergunakan dimana diperlukan oleh Ki Dukut” berkata kawan-kawan Macan Wahan itu di antara mereka, “tetapi kami pada suatu saat akan menentukan. Menentukan diri kami sendiri pada satu keadaan yang kami kehendaki”

Sementara itu, Ki Dukut masih tetap berada di padepokan Macan Wahan. Dari hari kehari, maka luka-lukanya pun segera nampak berangsur membaik. Bekas-bekas luka bakar itu pun kemudian mengelupas dan tumbuhlah kulit yang baru meskipun warnya agak berbeda. Tetapi lambat laun, segala bekas itu pun akan terhapus.

Dalam pada itu, selagi Ki Dukut berada di padepokan Macan Wahan, maka Mahisa Bungalan dengan pasukannya dan Pangeran Kuda Padmadata dengan pasukannya pula masih melanjutkan perburuan. Namun mereka sama sekali tidak menemukan jejak orang yang mereka cari. Tidak seorang pun yang dapat mengatakan, dimanakah orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk. Setiap gerombolan yang mereka datangi, sama sekali tidak terdapat jejak Rajawali Penakluk yang sedang mereka buru.

“Kita harus menemukan cara lain yang lebih baik” berkata Witantra pada suatu saat ketika mereka sedang berkumpul di padepokan kecil yang mereka pergunakan sebagai tempat pancadan perburuan mereka.

Mahisa Agni, Ki Wastu, Mahendra dan orang-orang yang bersama-sama berbincang itu sependapat. Tetapi cara baru itu tidak segera dapat mereka ketemukan.

“Orang itu bagaikan hilang ditelan padang belantara” berkata Mahisa Bungalan.

“Tidak sulit bagi seseorang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu” desis Mahisa Agni, “jika ia berada di satu tempat tanpa berbuat apa-apa, kita tidak akan dapat menemukannya. Baru apabila ia melakukan sesuatu kita akan dapat mencium jejaknya”

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku kira untuk waktu yang dekat, orang itu tidak akan banyak berbuat” berkata Mahisa Agni, “tetapi itu bukan berarti, bahwa ia tidak akan dapat muncul disetiap waktu. Karena itu, maka setiapnya padepokan harus mempersiapkan diri”

Pemimpin padepokan kecil itu menjadi berdebar-debar. Tetapi itu sudah menjadi kewajibannya. Apapun yang akan terjadi namun ia harus bertanggung jawab. Karena itu, maka pemimpin padepokan itupun berkata, “Kami akan mencoba menempa diri sebaik-baiknya. Betapapun tinggi ilmu dan kemampuannya, jika kami dengan sepenuh hati, tekad dan kemampuan mempertahankan padepokan itu, maka kami yakin, bahwa kami akan tetap dapat bertahan”

“Ya” desis Witantra, “memang tidak ada kekuatan yang tidak terlawan. Kalian harus menyusun kekuatan. Kalian harus menunjuk patut yang sudah memiliki kelebihan dari kawan-kawannya agar mereka menempa diri lebih baik dan tekun. Mungkin dengan demikian, maka kalian akan dapat menghadapi kelebihan dari seseorang yang datang dengan maksud buruk di padepokan ini. Karena sudah pasti, bahwa kami tidak akan dapat berada padepokan ini untuk waktu yang terlalu lama”

“Tetapi bagaimana dengan perburuan ini?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata, “jika masih belum dapat menangkap orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu, maka rasa-rasanya keadaan di daerah yang luas ini masih akan selalu terganggu”

“Mungkin demikian” sahut Mahendra, “tetapi padepokan-padepokan terpencar ini akan dapat mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain untuk saling membantu. Bagaimanapun caranya, mereka akan dapat membangun satu jaringan isyarat dari padepokan yang satu dengan padepokan lain yang berdekatan”

Pangeran Kuda Padmadata pun mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya bagi dirinya sendiri, Rajawali Penakluk itu akan tetap menjadi bayangan yang buram. Apalagi jika ia mengingat isteri dan anaknya yang masih dititipkannya di Singasari. “Apakah aku dapat mengambilnya dan membawanya ke Kediri di bawah bayangan kekejaman orang itu?”

Tetapi persoalan Pangeran Kuda Padmadata itu adalah persoalan yang sangat khusus. Persoalan diri pribadinya, meskipun dalam keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari persoalan yang menyeluruh, karena sebenarnyalah sumber dari dorongan sikap Ki Dukut adalah karena persoalan pribadinya pula, meskipun kemudian berkembang menjadi pamrih atas harta kekayaannya. Karena itu, maka akhirnya Pangeran Kuda Padmadata tidak dapat lagi menghindari pembicaraan tentang dirinya sendiri bersama Mahisa Agni, Witantra, Mehendra dan apalagi dengan Ki Wastu.

“Sebaiknya isteri Pangeran itu dibawa saja ke Kediri. Ia sudah terlalu lama mengalami tekanan batin. Meskipun, kini ia merasa aman di bawah perlindungan para prajurit di Singasari, tetapi kesejahteraan jiwanya masih juga belum didapatinya. Ia tentu masih merasa kesepian meskipun ada seorang puteranya yang dapat mengisi hari-harinya yang tentu terasa sangat panjang” berkata Mahendra.

“Tetapi bagaimana dengan Ki Dukut” desis Pangeran itu.

“Sebenarnya Pangeran tidak usah terlalu mencemaskan” sahut Witantra, “Ki Wastu tentu akan berada di istana Pangeran di Kediri. Tentu ia akan mengawasi anak perempuannya sebaik-baiknya”

Sepercik kecerahan memancar di wajah Pangeran Kuda Padmadata. Katanya, “Jika bapa bersedia tinggal bersama kami, tentu tidak akan ada masalah lagi yang perlu kami gelisahkan”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku memang merasa mempunyai kewajiban atas anak perempuanku. Sebelum keadaan yang pasti dapat kita ketahui tentang Ki Dukut Pakaring, aku akan berada di istana Pangeran”

“Terima kasih” desis Pangeran Kuda Padmadata, “dengan demikian, aku sudah mendapatkan pemecahan tentang keadaan keluargaku. Tetapi itu bukan berarti, bahwa persoalan guru dapat dilupakan begitu saja”

“Kita akan tetap berusaha menemukannya” berkata Mahisa Agni, “tetapi tentu tidak akan dapat melanjutkan perburuan dengan cara ini. Kita tidak pernah berhasil menemukan meskipun hanya jejaknya. Apalagi orangnya”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Di luar sadarnya dipandanginya Mahisa Bungalan. Anak muda itu rasa-rasanya tidak akan dapat bersabar menunggu.

Namun diluar dugaan, Mahisa Bungalan pun kemudian berkata, “Kita memang harus menemukan cara lain. Kita akan kembali ke Kediri untuk mengambil sikap yang lebih baik dari sikap kita selama ini terhadap Ki Dukut. Sementara Pangeran akan dapat menyusun kehidupan keluarga sewajarnya, sebagaimana layaknya sebuah keluarga. Tentu dengan harapan, bahwa Ki Wastu akan memberikan perlindungan kepada keluarga Pangeran. Sementara itu, biarlah kami melanjutkan perburuan dengan cara yang akan kami bicarakan kemudian”

“Tentu aku tidak akan dapat tenang duduk di serambi dengan anak isteriku, sementara kalian menyusup hutan dan melintasi padang-padang yang gersang untuk mencari orang yang akan dapat mengganggu ketenangan keluargaku” gumam Pangeran Kuda Padmadata.

“Tidak seperti yang pangeran katakan” jawab Mahisa Bungalan, “semuanya masih harus ditunggu. Mungkin ada perkembangan keadaan yang akan ikut menentukan, apakah yang sebaiknya kita lakukan kemudian”

Pangeran Kuda Padmadata hanya dapal mengangguk-angguk, ia memang belum melihat, cara yang manakah yang dapat ditempuh dalam keadaan seperti itu. Karena itulah, maka akhirnya, sekelompok orang yang sedang memburu Ki Dukut itu pun memutuskan untuk kembali ke Kediri membawa semua pasukan dan tawanan. Tetapi mereka sudah memberikan beberapa petunjuk yang dapat dilakukan oleh padepokan-padepokan kecil yang mungkin akan dapat menjadi sasaran dendam.

“Kalian harus berlatih dengan sungguh-sungguh” berkata Mahisa Bungalan, “aku tahu, bahwa di setiap padepokan tentu ada satu atau dua orang yang memiliki kelebihan. Orang itulah yang harus menempa kawan-kawannya, para cantrik dan pengikut-pengikutnya sejauh-jauh dapat dilakukan, agar orang-orang yang berada di sekitarnya akan dapat membantunya jika mereka mengalami kesulitan”

Atas pesetujuan para pemimpin prajurit dan pengawal, maka mereka telah meninggalkan beberapa jenis senjata yang akan dapat dipergunakan untuk melengkapi senjata-senjata yang telah ada di padepokan kecil itu. Pada hari-hari yang tersisa, sebelum pasukan itu meninggalkan padepokan, maka para prajurit dan pengawal telah memberikan latihan sebaik-baiknya. Karena jumlah para prajurit dan pengawal cukup banyak, maka mereka dapat membagi diri, langsung menjadi pasangan setiap cantrik dalam latihan-latihan yang berat dan mengarah.

Dengan sungguh-sungguh para cantrik itu berlatih mempergunakan jenis-jenis senjata yang ada pada pasukan dari Kediri itu, di samping mereka berlatih dengan sungguh-sungguh mempergunakan senjata-senjata mereka sendiri. Karena latihan-latihan yang bersungguh-sungguh, meskipun waktunya tidak terlalu banyak, namun mereka telah mendapat pengetahuan yang cukup bagi diri mereka sendiri dan bagi kawan-kawan mereka.

Akhirnya, sampailah saatnya Pangeran Kuda Padmadata dan para prajurit serta pengawal meninggalkan padepokan itu bersama beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata kehadiran mereka beberapa lama benar-benar telah merubah tata kehidupan di padepokan kecil itu. Padepokan itu telah menerima petunjuk bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga cara-cara yang lebih baik bagi kesejahteraan hidup mereka.

Demikianlah pada suatu pagi yang cerah, pasukan Singasari dan Kediri itu pun berangkat dalam iringan yang paniang, karena di samping para praiurit dan pengawai, terdapat juga beberapa orang tawanan. Di antara iring-iringan itu terdapat pula beberapa pedati yang membawa beberapa orang prajurit, pengawal dan bahkan tawanan yang masih belum sembuh benar dari luka-luka mereka di pertempuran-pertempuran yang terjadi selama pasukan itu menjelajahi padepokan dan sarang-sarang penjahat.

Namun di sepanjang jalan, beberapa orang telah di cengkam oleh perasaan yang pahit. Seolah-olah apa yang telah mereka kerjakan dengan korban jiwa dan raga itu, sama seiali tidak memberikan hasil yang memadai. Yang mereka lakukan tidak lebih dari berjalan beriringan menyerang sarang-sarang penjahat yang kemudian menyerah. Meskipun kekuatan para penjahat itu tidak memdadai, namun kadang-kadang ada juga diantara para prajurit dan pengawal yang menjadi korban.

“Yang aku temui hanyalah kesia-siaan belaka” berkata Pangeran Kuda Padmadata di dalam hatinya.

Namun perasaan yang sama tumbuh juga di dalam hati Mahisa Bungalan. Bahkan rasa-rasanya jantungnya menjadi panas karena kegagalannya menemukan buruannya. Ternyata di perjalanan pasukan itu sama sekali tidak menemukan hambatan apa pun juga. Ketika di malam hari mereka terpaksa berhenti dan bermalam di pinggir hutan, maka dengan penuh kewaspadaan para prajurit dan pengawal selalu berjaga-jaga.

Tetapi malam itu mereka lalui dengan tenang. Hanya sekali-sekali terdengar geram binatang buas yang berkeliaran di hutan yang lebat. Demikianlah maka pasukan itu pun akhirnya sampai ke Kediri dengan selamat. Para tawanan itu pun segera dibawa ke barak-barak yang tersedia, sementara para prajurit dan pengawal pun telah ditempatkan di kesatuan-kesatuan mereka kembali.

Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata telah mengundang Mahisa Bungalan, Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan anak-anaknya yang lain dan terutama Ki Wastu untuk berada di istananya. Mereka masih akan membicarakan beberapa hal yang menyangkut keluarga Pangeran Kuda Padmadata.

Seperti yang sudah dibicarakan, maka akhirnya Pangeran itu memutuskan untuk mengambil isteri dan anaknya seperti seharusnya. Isteri dan anaknya itu akan tinggal bersama mereka di dalam istana itu, di bawah pengawasan Ki Wastu. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat mengabaikan kehadiran Ki Dukut Pakering pada saat-saat yang tidak diduga-duga.

Setelah niat itu bulat di hati Pangeran Kuda Padmadata, maka mereka pun menentukan saat-saat mereka akan menjemput isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu untuk dibawa ke Kediri dari tempat mereka dilindungi oleh prajurit Singasari. Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata pun tidak akan dapat mengabaikan pandangan dan sikap beberapa orang di Kediri atas keputusannya itu. Terutama para bangsawan. Mereka mengira bahwa Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah beristeri seorang yang memiliki derajad yang pantas.

Karena tidak seorang pun yang mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi di lingkungan dinding istana Pangeran Kuda Padmadata. Tidak seorang pun yang tahu, betapa adik Pangeran Kuda Padmadata itu telah berkhianat bersama seorang perempuan yang disebut isteri dari Pangeran Kuda Padamadata itu. Bahkan ternyata semuanya itu telah berlangsung sesuai dengan rencana yang dibuat oleh Ki Dukut Pakering, guru Pangeran Kuda Padmadata sendiri.

“Segalanya memang harus mendapat perhatian sebaik-baiknya” berkata Mahisa Agni, “memang tidak mustahil, akan timbul masalah. Bagaimana mungkin Pangeran lebih mementingkan isteri Pangeran yang Pangeran ambil dari lingkungan rakyat daripada seorang isteri yang memiliki derajad yang pantas”

Pangeran Kuda Padmadata memang menjadi bingung. Ia tidak sampai hati untuk menyatakan dengan terbuka, apa yang pernah dilakukan oleh adik dan perempuan yang disebut isterinya itu. Bagaimanapun juga, jika mungkin. Pangeran itu masih ingin melindungi nama baik adik kandungnya. Sementara ia pun tidak akan dapat mengorbankan nama perempuan yang ternyata telah diperalat pula oleh gurunya. Bagaimanapun juga, ia masih berharap bahwa perempuan itu akan memiliki hari depannya sendiri.

“Aku akan berbicara dengan perempuan itu” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “bagaimana sebaiknya aku mengatakan tentang dirinya, justru untuk kepentingannya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Pangeran harus tetap berhati-hati. Mungkin sakali hati dan dendam yang tersimpan dihatinya tidak kalah berbahaya dari sakit hati dan dendam di dalam hati Ki Dukut Pakering itu sendiri”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, “Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku tidak salah langkah”

Tetapi sementara itu, ternyata Pangeran Kuda Padmadata cenderung untuk mengambil isteri dan anaknya itu lebih dahulu dari segala macam langkah yang akan diambil.

“Ia akan dapat berada di istana ini tanpa menimbulkan persoalan sebelum aku menyatakan dengan terbuka, bahwa isteri dan anakku yang sebenarnya sudah berada di sini” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Ternyata pendapat itu disepakati. Sehingga dengan demikian maka Pangeran Kuda Padmadata akan segera pergi ke Kediri menjemput isteri dan anaknya, meskipun hal itu tidak akan segera diberitahukan kepada siapa pun juga di Kediri, sebelum Pangeran Kuda Padmadata menghubungi beberapa pihak yang akan langsung bersentuhan dengan persoalan itu.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra tidak akan disibukkan dengan perburuan yang gagal dipadang yang sangat luas. Tetapi mereka akan terlibat ke alam kesibukan yang lain, membawa isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata dari Singasari ke Kediri. Untuk beberapa saat Pangeran Kuda Padmadata telah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya. Rumahnya telah diatur sebaik-baiknya. Yang mengalami kerusakan telah diperbaikinya. Sementara para abdi disana itu pun mulai berteka-teki.

“Pangeran Kuda Padmadata akan kawin lagi” berkata seorang hamba di istananya.

“Tentu tidak” sahut yang lain, “jika demikian, bagaimana dengan isterinya itu?”

“Uh. Lagaknya kau tidak tahu apa yang pernah terjadi” desis yang lain.

Kawannya tidak menjawab. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat melupakan, apa yang pernah terjadi di istana itu. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk tidak menceriterakan kepada siapapun, apa yang sebenarnya telah terjadi. Untunglah bahwa sebagian besar dari mereka, memang tidak mengerti peristiwa itu di dalam keseluruhan, sehingga ceritera yang pernah merembes keluar dinding istana itu pun tidak jelas pula.

Namun adalah satu kenyataan, bahwa setelah peristiwa yang menggetarkan istana itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata yang dianggap mempunyai derajad yang memadai itu telah dikembalikan kepada ayahandanya. Memang ada beberapa orang yang bertanya-tanya di dalam hati. Setelah istana itu dirampok orang, sehingga adik Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi korban, kenapa justru puteri itu telah diserahkan kembali kepada ayahandanya.

“Bukan diserahkan” seseorang berusaha menduga-duga tetapi agaknya puteri itu sudah diambil kembali oleh ayahandanya karena kemungkinan buruk yang dapat terjadi di istana itu sepeninggal adik Pangeran Kuda Padma data”

Orang yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang Pangeran yang pilih tanding. Tetapi ia terbunuh. Karena itu, maka mungkin sekali ayahanda puteri itu benar-benar mencemaskan nasib puterinya, sehingga puteri itu telah diambilnya. Tetapi untuk menjaga kewibawaan Pangeran Kuda Padmadata, maka dikatakannya, seolah-olah puteri itu telah di kembalikan”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah banyak ceritera telah terjadi tentang istana Pangeran itu. Bahkan ketika Pangeran Kuda Padmadata untuk beberapa saat lamanya tidak nampak di Kediri pun, timbul pula dugaan-dugaan yang bersimpang siur.

“Pangeran Kuda Padmadata telah membawa pasukan segelar sepapan” berkata orang-orang yang sedang duduk mengaso di pematang sawahnya.

Kawannya segera menyahut, “Itu adalah tugasnya. Ia adalah seorang Pangeran, tetapi juga seorang Senopati pengawal di Kediri. Ia sedang mengejar sekelompok penjahat yang membuat daerah yang jauh dari kota menjadi tidak aman. Banyak korban yang telah jatuh, sehingga Pangeran itu merasa perlu untuk memburunya, dan menumpas mereka sampai kepusat sarangnya”

Demikianlah, ketika semua persiapan sudah selesai, maka Mahisa Agni dan Mahendra telah mendahului Pangeran Kuda Padmadata ke Singasari untuk memberitahukan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata akan datang mengambil isteri dan anak laki-lakinya.

Para prajurit Singasari itu pun merasa lega. Dengan demikian mereka merasa terbebas dari satu tanggung jawab yang tidak ringan. Selama isteri Pangeran itu masih berada di Singasari, maka para prajurit yang diserahi untuk menjaganya, harus selalu berjaga-jaga. Apalagi di malam hari. Mungkin seseorang dengan diam-diam merunduk keselamatan perempuan itu lewat kemungkinan yang tidak terduga sebelumnya.

Tetapi ternyata bahwa berita itu pun segera tersebar di antara para prajurit di Singasari. Bahkan kemudian hal itu telah didengar oleh keluarga para prajurit itu. Karena mereka menganggap bahwa hal itu bukan satu rahasia yang perlu disembunyikan, akhirnya berita itu pun telah tersebar. Seorang Pangeran dari Kediri akan mengambil perempuan yang berada di Singasari, yang ternyata adalah isterinya.

Meskipun berita itu tidak meluas keseluruh kota, dan bukan merupakan berita terpenting pada satu saat, namun berita itu ternyata sampai juga ketelinga seseorang yang berada di Singasari untuk satu tujuan yang khusus. Orang itu adalah anak buah Macan Wahan yang sedang mencari kemungkinan untuk mendapatkan daerah jelajah yang lebih luas bagi gerombolannya.

“Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri akan mengambil isterinya di Singasari” desis orang itu.

“Apa pedulimu” desis kawannya, “yang penting, kita harus mengetahui, apakah ada tempat-tempat yang memungkinkan untuk mencari sumber baru. Ada berapa pedagang barang-barang berharga di Singasari. Mungkin satu dua di antara mereka mempunyai simpanan emas dan permata yang cukup untuk menutup perjalanan kita yang panjang ini”

Tetapi kawannya nampaknya tidak tertarik sama sekali. Ia lebih mementingkan kemungkinan-kemungkinan yang baik bagi gerombolannya. Karena itu, maka katanya, “Nampaknya kau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga perhatianmu ternyata telah terpecah belah. Buat apa kau memperhatikan isteri orang?”

“Orang itu mempunyai sangkut paut dengan Ki Lurah Macan Wahan” desis kawannya.

“Tetapi tidak penting. Yang penting bagi kita, kita harus mengetahui, apakah kita dapat berbuat sesuatu di tempat yang gawat seperti ini. Di tempat yang dibayangi oleh prajurit-prajurit yang pilih tanding. Di tempat yang memiliki sejuta Senapati pilihan” sahut yang lain, “Coba, kau ingat. Sudah berapa kali, kawan-kawan kita, mencoba untuk menembus daerah ini. Tetapi tidak seorang pun yang pernah berhasil. Mereka segan berbuat sesuatu di antara para prajurit dan Senapati yang siap untuk memenggal leher mereka”

Kawannya mengerutkan keningnya. Dan orang itu pun meneruskan kata-katanya, “Kita akan merupakan orang pertama yang akan berhasil di daerah ini”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya yang lain.

“Kita adalah pedagang-pedagang kaya yang akan berbicara tentang emas dan permata. Dengan demikian kita akan dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang terpenting di Singasari,” sahut kawannya.

Tapi kawannya tertawa kecut, jawabnya, “Kau terlalu bodoh untuk memahami seseorang. Pedagang-pedagang itu sudah saling mengenal dengan baik. Hampir setiap pekan atau bulan mereka saling berhubungan. Jika tiba-tiba datang orang yang sama sekali belum dikenalnya, maka mereka tentu akan meniadi curiga.”

Yang lain mengerutkan kening. Lalu katanya, “Kau benar. Para pedagang itu tentu akan bertanya kepadaku. dari mana asalku dan kenapa tiba-tiba saja aku datang ke Singasari sebagai orang baru di dalam lingkungan mereka”

“Aku mempunyai cara” desis kawannya.

“Apa?”

“Kita bukan pedagang. Tetapi kita adalah orang-orang kaya yang akan membeli perhiasan emas dan permata. Sekali-kali kita memang harus menawar. Kalau terpaksa, kita benar-benar akan membelinya. Namun kemudian, kita akan mengambil uang kita kembali, dan sekaligus dengan bunganya yang berlimpah-limpah”

Yang lain mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menepuk pundak kawannya ia berkata, “Kau memang cerdas. Terima kasih. Kita akan memakai cara itu”

“Aku tidak merasa keberatan” jawab kawannya. Namun tiba-tiba, “Tetapi kita pun harus memperhatikan berita tentang Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin kita memerlukannya”

“Maksudmu?”

“Sekaligus kita menangkap berita itu. Bagaimana Pangeran itu akan mengambil isterinya”

“Ahhh” desah yang lainnya, “kau selalu memikirkan perempuan itu. Apakah sebenarnya kepentinganmu”

“Bukan apa-apa. Tetapi aku hanya ingin membawa satu ceritera yang menarik buat Ki Lurah Macan Wahan dan tamunya, orang tua yang memiliki kemampuan iblis yang paling garang itu”

Kawannya termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia berkata, “Ya. Aku pun mendengar ia menyebut nama Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin ada juga hubungannya dengan keinginannya untuk membangunkan Kediri yang sedang tertidur itu”

“Bagus. Kita akan mencari keterangan tentang kedua-duanya” berkata yang lain.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun mulai dengan peranannya sebagai dua orang kaya yang sedang mengadakan perjalanan ke Singasari. Mereka berusaha menghubungi para pedagang. Tetapi mereka pun seolah-olah tidak dengan sengaja, menangkap berita tentang perempuan yang disebut sebagai isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.

Kedua orang yang menurut pengamatan lahiriah adalah dua orang yang kaya itu, mendapat kehormatan, bermalam di sebuah banjar padukuhan, meskipun di tepi Kota Singasari. Namun dari tempat itu, mereka dapat mengetahui banyak hal tentang Kota Raja yang disebut Singasari itu. Ternyata bahwa keduanya benar-benar telah membeli barang-barang berharga dari seorang pedagang. Mereka membeli barang-barang emas dan permata, meskipun tidak terlalu besar dan tidak terlalu mahal.

“Kami menginginkan permata yang lebih baik lagi, tetapi yang cocok dengan kepribadian kami” berkata salah seorang dari keduanya.

Dengan demikian, maka beberapa pedagang yang lain telah datang pula kepada mereka berdua. Di antara mereka yang datang itu adalah Mahendra. Tetapi dari Mahendra mereka tidak membeli apapun juga. Barang-barang yang dibawa oleh Mahendra nampaknya tidak terlalu murah dan mereka telah mengelak, bahwa barang-barang itu, terutama batu berharga, tidak cocok dengan kepribadian mereka.

Namun demikian, para pedagang itu sama sekali tidak menyadari, bahwa kedua orang itu hanya ingin mengetahui keadaan mereka seorang demi seorang. Rumah mereka dan kemungkinan-kemungkinan dapat mereka lakukan. Selebihnya, mereka ingin mendengar serba sedikit tentang seorang perempuan yang akan diambil oleh suaminya, seorang Pangeran dari Kediri.

Nampaknya tidak ada masalah yang timbul di antara kedua orang itu dengan para pedagang. Bahkan keduanya telah benar-benar membeli meskipun bukan barang yang sangat mahal. Namun sebenarnyalah, keduanya telah menarik perhatian Mahendra, bukan karena mereka telah berhubungan dengan para pedagang, tetapi justru karena keduanya telah berbicara tentang Pangeran Kuda Padmadata.

Tetapi Mahendra tidak tergesa-gesa mempersoalkannya. Ia pun tidak berbuat sesuatu, ketika orang itu kemudian meninggalkan Singasari. Namun demikian, Mehendra telah memperbincangkan hal itu dengan Mahisa Agni yang bersama-sama telah datang mendahului Pangeran Kuda Padmadata ke Singasari untuk mempersiapkan isteri Pangeran Kuda Padmadata yang akan dijemput oleh suaminya.

“Memang sangat menarik perhatian” berkata Mahisa Agni, “tetapi mungkin secara kebetulan, ia mendengarnya dan tanpa maksud apa-apa, mereka bertanya tentang Pangeran itu”

Mahendra mengangguk-angguk, jawabnya, “Salah satu kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan”

Mahisa Agni mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Kita memang harus berhati-hati. Tetapi hal ini agaknya tidak perlu kita persoalkan. Pangeran Kuda Padmadata masih diliputi oleh kecemasan. Jika ia mendengar hal itu, mungkin ia akan menentukan sikap lain. Mungkin ia telah membuka padang perburuan baru di daerah yang sangat luas, bahkan tidak terbatas”

Mahendra mengangguk-angguk. Namun katanya, “Selain persoalan Pangeran Kuda Padmadata, yang menarik perhatian pada mereka adalah usahanya untuk berhubungan dengan pedagang sebanyak-banyaknya”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, “Itu pun harus mendapat perhatian. Tetapi mungkin pula ia sekedar ingin memperbandingkan harga”

Sambil tertawa Mahendra berkata, “Itu juga salah satu dari sekian banyak kemungkinan”

Mahisa Agni pun tertawa. Katanya, “Agaknya memang demikian. Mudah-mudahan”

“Mudah-mudahan apa?” bertanya Mehendra.

“Mudah-mudahan satu kemungkinan benar”

Mahendra masih tertawa. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan memperhitungkan segala kemungkinan. Tetapi kita tidak akan menunda lagi rencana Pangeran Kuda Padmadata mengambil isteri dan anaknya”

Keduanya pun sepakat, bahwa mereka tidak akan menelan lagi dengan alasan apapun juga. Perempuan dan anak laki-lakinya itu sudah cukup lama menderita. Yang terakhir, meskipun penderitaan jasmaniahnya telah berakhir, tetapi ia masih tetap menderita batiniah, karena ia masih tetap merupakan seorang perempuan titipan di Singasari.

Namun dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata mempersiapkan rencana penjemputan itu, kedua orang yang datang di Singasari sebagai dua orang kaya yang mencari batu-batu berharga dan barang-barang perhiasan itu telah berada di antara lingkungannya di padepokan yang dipimpin oleh Macan Wahan. Kecuali pengenalan mereka terhadap beberapa orang pedagang, ternyata mereka telah berbicara tentang rencana seorang Pangeran di Kediri bernama Kuda Padmadata untuk menjemput isterinya dari Singasari.

“Siapa?” bertanya Ki Dukut Pakering yang masih berada di padepokan Macan Wahan.

“Pangeran Kuda Padmadata” jawab kedua orang itu.

Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu adalah contoh dan seorang Pangeran di Kediri yang tidak tahu diri. Ia adalah budak yang paling setia bagi orang-orang Singasari”

“Kenapa?” bertanya Macan Wahan.

“Bukankah Pangeran itu muridku?” desis Ki Dukut, “tetapi ia tidak pantas menjadi contoh sifat dan sikap seorang Pangeran. Kediri harus bangkit. Kediri tidak memerlukan lagi Pangeran seperti Kuda Padmadata”

“Jika demikian, kita tidak akan menghiraukannya” desis Macan Wahan.

Ki Dukut termangu-marigu sejenak. Terbayang sekilas, apa yang pernah dilakukannya pada saat-saat lampaunya. Ia telah menginginkan kematian Pangeran itu dengan cara yang khusus. Dengan memperalat adik kandungnya sendiri. Selain usahanya itu, ia pun telah berusaha pula mematahkan tunas keturunan. Pangeran Kuda Padmadata. Dengan demikian, maka segala harta warisan Pangeran itu akan jatuh kepada adik kandungnya, juga muridnya.

“Tetapi apa peduliku sekarang?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya, “jika aku membunuh Pangeran itu, apakah pamrihku? Juga jika aku membunuh isteri dan anaknya. Aku tidak akan dapat menerima apapun juga lewat satu-satunya adik kandungnya, karena adik kandungnya itu telah terbunuh”

Karena itu, maka untuk beberapa saat Ki Dukut termangu-mangu. Namun yang kemudian membayang di rongga matanya adalah tumpahan dendam yang membakar jantungnya. Meskipun ia tidak akan mendapatkan apapun juga, namun membunuh Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anaknya, akan dapat memberikan kepuasan tersendiri.

Tetapi setiap kali terbersit keragu-raguan di hatinya. Kematian itu tidak ada artinya sama sekali, selain pemuasan dendam yang membakar jantungnya. Namun tiba-tiba menggeram, “Berita itu sangat menarik perhatian. Aku akan merenungkannya. Mungkin aku mempunyai kepentingan dengan muridku yang telah berkhianat itu. Setidak-tidaknya berkhianat terhadap Kediri. Tanah tumpah darahnya. Aliran darah keturunannya. Ia sama sekali tidak menghormatinya dengan merendahkan diri, berlutut di bawah kaki orang-orang Singasari”

“Terserah kepadamu” berkata Macan Wahan, “aku dan kawan-kawanku sudah menanamkan kepercayaan kami kepadamu. Mungkin masih ada juga timbul beberapa macam pertanyaan. Tetapi sebaiknya kau menentukan sikap. Biarlah kami mempertimbangkan untuk membantu”

Ki Dukut mengangguk-angguk. Meskipun keragu-raguan masih membayang, namun iu kemudian menentukan, “Memang aku ingin berbuat sesuatu. Aku akan mulai mengguncang Kediri dengan anak yang malang, yang telah menjual harga dirinya itu”

“Kita akan membunuhnya” geram Ki Dukut, “bersama dengan anak isterinya. Orang-orang yang mengiringinya akan kita biarkan hidup. Tetapi mereka harus mendengar sikap kami, kenapa Pangeran itu harus mati. Pangeran itu adalah satu contoh bahwa Pangeran-pangeran yang lain pun akan mengalami nasib yang sama jika mereka menjual harga dirinya kepada orang-orang Singasari”

“Dengan demikian kita akan mulai dengan perjuangan yang panjang” berkata Macan Wahan, “apakah dengan demikian kita sudah siap?”

“Baru langkah permulaan” berkata Ki Dukut, “kita tidak akan melakukannya dengan terbuka. Kita hanya meninggalkan kesan yang akan disusul dengan kesan-kesan berikutnya”

Macan Wahan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Dukut. Bahwa yang akan dilakukannya itu baru sekedar permulaan dari perjuangan yang masih belum sebenarnya dimulai. Sehingga dengan demikian, maka peristiwa yang akan terjadi itu, tidak harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya dalam waktu singkat dan beruntun. Tetapi dengan langkah itu, Ki Dukut sudah mulai melontarkan pertanyaan kepada para bangsawan di Kediri, apakah mereka akan tetap tertidur nyenyak.

“Kediri sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan Singasari” berkata Ki Dukut kemudian.

“Jadi langkah apa yang akan kita ambil?” bertanya Macan Wahan.

“Mencegat iring-iringan yang akan berangkat dari Singasari menuju ke Kediri itu” berkata Ki Dukut.

“Kita akan pergi bersama-sama” berkata Macan Wahan.

“Itu tidak perlu. Serahkan kepada satu dua orang kepercayaanmu. Dua orang terbaik di lingkungan kita, meskipun bukan kau dan aku sendiri” berkata Ki Dukut, “namun mereka harus membawa pasukan secukupnya. Dalam iring-iringan itu, aku yakin, akan terdapat banyak harta dan benda yang dapat kau miliki di samping pesan yang akan kita lontarkan lewat orang-orang yang masih akan dibiarkan hidup”

“Bagaimana dengan Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak laki-lakinya?” bertanya Macan Wahan.

“Mereka adalah sasaran utama. Mereka harus dibunuh, karena mereka adalah pengkhianat dengan keturunannya” jawab Ki Dukut.

“Menarik sekali” jawab Macan Wahan, “nampaknya dua ekor ikan akan sekaligus kita tangkap. Kematian Pangeran Kuda Padmadata, dan harta benda yang tentu dibawa oleh isteri Pangeran itu”

“Tetapi hati-hatilah. Kalian harus menyelidiki kekuatan para pengawal. Ada beberapa orang gila di sekitar Pangeran Kuda Padmadata. Dua atau tiga orang, termasuk ayah perempuan yang menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata itu”

“Jika demikian, kita akan mengirimkan tiga orang. Tentu cukup. Orang-orang kita adalah orang-orang yang pilih tanding. Sementara kita akan menyertakan pasukan pilihan pula. Dari setiap padepokan dapat diambil lima orang terbaik, sehingga dari tiga padepokan termasuk pimpinannya yang tiga orang itu, akan berjumlah delapan belas orang” berkata Macan Wahan.

Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi perhitungkan kekuatan itu sebaik-baiknya. Mungkin pengawal perempuan itu tidak lebih dari sepuluh orang-orang berkuda yang terpilih termasuk Pangeran Kuda Padmadata dan ayah perempuan itu sendiri. Tetapi jika jumlahnya lebih banyak lagi, kalian pun harus mempertimbangkannya”

“Baiklah” jawab Macan Wahan, “aku akan memanggil mereka untuk memulai dengan tugas permulaan ini. Mungkin tugas ini baru akan menjadi pemanasan dari tugas-tugas yang akan kita sandang kemudian. Yang barangkali akan jauh lebih berat”

“Tentu” jawab ki Dukut, “tugas berikutnya adalah masalah yang jauh lebih berat. Bukan sekedar seorang Pangeran dengan isteri dan anaknya. Tetapi masalah Kediri dalam keseluruhan”

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Dukut, maka Macan Wahan pun telah memanggil beberapa orang kawan-kawannya yang berada di bawah pengaruhnya. Dengan jelas ia menyampaikan rencana yang diinginkan oleh Ki Dukut, untuk berbuat sesuatu yang akan dapat menarik perhatian para bangsawan di Kediri.

“Karena itu. kalian harus mengirimkan orang lagi ke Singasari untuk mengetahui, saat-saat yang lebih pasti dari rencana keberangkatan perempuan itu menuju ke Kediri” berkata Ki Dukut Pakering.

Kawan-kawan Macan Wahan pun nampaknya tidak berkeberatan untuk melakukan tugas itu. Bahkan mereka mulai berpengharapan, bahwa Ki Dukut akan dapat menjadi pengikat bagi padepokan-padepokan yang meskipun mempunyai hubungan, tetapi mereka sulit untuk melakukan kerja sama yang besar dalam usaha mereka untuk mendapatkan barang-barang rampasan. Bahkan kadang-kadang mereka bersaing sehingga tidak jarang timbul pertentangan di antara mereka sendiri.

Tetapi dengan tugas yang lain, mereka telah mengikat diri dalam satu kerja yang rangkap. Membunuh seorang Pangeran yang telah menjual harga dirinya, sekaligus mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan kekuatan yang cukup besar dan yang tentu membawa barang-barang rampasan yang bernilai tinggi.

“Kalian menyerahkan kekuatan seimbang” berkata Ki Dukut, “karena itu, bagaimanapun akhir dari keadaan kalian masing-masing namun apa yang kalian dapatkan merupakan hasil kalian bersama dan kalian akan mendapat bagian yang sama."

Dengan demikian, maka sekali lagi Macan Wahan telah mengirimkan orang-orangnya ke Singasari untuk mengetahui dengan pasti, saat-saat Pangeran Kuda Padmadata mengambil isteri dan anaknya, serta membawanya ke Kediri. Pekerjaan itu pun bukan pekerjaan yang sulit. Ternyata bahwa berita itu pun telah banyak didengar orang. Bahwa pada satu saat yang telah ditentukan, Pangeran dari Kediri akan datang ke Singasari untuk menjemput isteri dan anaknya.

“Menjelang purnama” berkala seseorang ketika kawannya bertanya tentang keberangkatan isteri seorang Pangeran dari Kediri itu, “menjelang bulan bulat di langit mereka akan berangkat”

“Kenapa menjelang purnama?” bertanya kawannya pula.

“Jika mereka terpaksa menginap di perjalanan karena perjalanan yang sangat lambat, maka malam tidak terlalu kelam di tempat pemberhentian itu” jawab yang ditanyainya.

Kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya saat itu memang sudah diperhitungkan sebaik-baiknya. Ternyata bahwa saat yang ditentukan itu telan terdengar pula oleh pengikut Macan Wahan, sehingga saat itu pun segera dilaporkannya kepada pemimpin padepokannya itu.

“Baiklah, segala persiapan segera dilakukan. Jangan hanya delapan belas orang. Tetapi bawalah duapuluh orang ditambah dengan tiga orang pemimpin mereka” berkata Macan Wahan kemudian setelah ia mendengar laporan itu.

Dengan demikian, maka setiap kelompok dari tiga padepokan telah membawa tujuh orang terbaik ditambah seorang pemimpin mereka, sehingga dengan demikian, yang akan berangkat memenuhi tugas itu adalah duapuluh empat orang.

“Aku kira pengawalnya tidak akan sebanyak itu” berkata Ki Dukut, “mungkin sepuluh, mungkin lima belas orang”

“Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit. Masih harus diperhitungkan orang-orang yang aneh itu, termasuk ayah dari perempuan itu sendiri” berkata Macan Wahan.

Ki Dukut mengangguk-angguk. Ia berpengharapan, bahwa usaha itu akan berhasil. Orang-orang padepokan yang berilmu hitam itu, jauh berbeda dari para penjahat kecil yang pernah dipergunakannya. Orang-orang padepokan yang berilmu hitam itu memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi, dan sangat mengerikan, sehingga meskipun Senopati terbaik dari Singasari, akan menjadi ngeri melihat tingkah laku mereka. Apalagi tiga orang di antara mereka adalah orang terbaik yang hampir setingkat dengan Macan Wahan sendiri.

“Jika kali ini aku berhasil” berkata Ki Dukut di dalam hatinya, “maka dendamku akan terobati. Tetapi lebih dari itu, agaknya aku telah benar-benar didorong untuk berbuat sesuatu bagi Kediri. Atau barangkali, yang lebih nampak adalah warna kebencianku kepada Singasari yang telah sekian lama berkuasa atas Kediri”

Namun kadang-kadang debar jantung Ki Dukut tidak dapat dipungkiri, bahwa segalanya itu telah berpijak pada ketamakannya, sehingga seluruh hidupnya telah dibakar oleh dendam dan kebencian.

Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka orang-orang yang akan mencegat perjalanan Pangeran Kuda Padmadata itu pun telah mempersiapkan diri. Mereka telah memilih tempat yang paling baik yang akan dilalui oleh iring-iringan dari Singasari ke Kediri itu. Bahkan yang menurut perhitungan mereka iring-iringan yang mungkin sekali akan memper gunakan pedati itu, akan bermalam di sekitar tempat yang telah dipilih itu.

“Kita akan bertindak di malam hari” berkata salah seorang dari mereka.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Perhitungan itu nampaknya sesuai dengan perhitungannya. Sementara itu, dua orang yang lain telah pergi ke Singasari untuk mengetahui, berapakah jumlah para pengawal yang akan ikut serta mengantar puteri itu dari Singasari ke Kediri.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata memang telah menentukan, untuk membawa isterinya dari Singasari ke Kediri menjelang malam purnama, agar jika mereka bermalam di perjalanan, maka malam tidak nampak hitam pekat seperti selembar tirai hitam saja. Dengan demikian, maka isterinya itu tidak akan terlalu ketakutan setelah untuk beberapa saat ia mengalami tekanan jiwa yang menegangkan.

Menurut persiapan yang telah dilakukan, maka Pangeran Kuda Padmadata akan membawa pengawal seluruhnya dari Kediri, ia telah memilih sepuluh orang pengawal yang paling dipercaya. Mereka adalah pengawal yang memiliki ilmu yang tinggi, sementara kesepuluh orang itu adalah orang-orang yang telah menyerahkan dirinya ke dalam kesetiaan pengabdian kepada Kediri.

Namun disamping sepuluh orang pengawal terkuat itu. Pangeran Kuda Padmadata juga memperhitungkan dirinya sendiri dan Ki Wastu, sementara kemungkinan lain, terserah kepada Mahisa Agni yang sudah berada di Singasari.

Pada saat yang telah ditentukan, maka Pangeran dari Kediri itu pun telah datang ke Singasari bersama pengiringnya. Betapa gejolak hati Pangeran itu, ketika ia bertemu dengan isteri dan anaknya. Hampir saja Pangeran Kuda Padmadata itu tidak dapat membendung air matanya yang rasa-rasanya hampir pecah dipelupuknya. Apalagi jika teringat olehnya, apa saja yang telah dialami oleh isteri dan anaknya itu. Saat nyawanya hampir melayang. Saat-saat ia berada di hutan kayu cendana. Dan pada saat lain yang menegangkan.

“Semuanya sudah berlalu” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kita akan memasuki hari-hari yang wajar dalam kehidupan keluarga”

Isterinyalah yang tidak dapat menahan air matanya yang tumpah tanpa dapat dikendalikan, seolah-olah justru diperasnya sampai kering.

“Kita akan segera kembali ke Kediri” berkata Pangeran Kuda Padmanya kepada isterinya” Kita akan mohon diri kepada Sri Rajasa di Singasari”

Pertemuan itu telah mambuat isteri Pangeran Kuda Padmadata itu merasa hidup kembali. Ia masih merasa seorang yang berasal dari sebuah pedukuhan kecil. Seandainya ia tidak usah dibawa ke istana kepangeranan, ia sama sekali tidak menyesal, asal ia dapat hidup sewajarnya. Selain perlindungan seorang suami, ia pun ingin ketenangan dan ketenteraman, agar ia dapat mengasuh anak laki-lakinya sebagaimana seharusnya.

“Istana itu adalah milikmu” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kau adalah satu-satunya isteriku. Jika pernah ada orang yang disebut isteriku dari tataran yang sederajad, itu sama sekali tidak benar. Kehidupanku waktu itu dikuasai oleh kekuatan yang tidak dapat aku singkirkan, sehingga sebenarnyalah aku pun tidak dapat disebut sebagai seseorang yang hidup dalam kewajaran”

Isterinya hanya menundukkan kepalanya saja sambil menangis. Di dalam hatinya terbersit satu luapan perasaannya, bahwa yang dikehendakinya hanyalah kehidupan yang wajar, tenang dan tidak dibayangi oleh kedengkian dan apalagi dendam.

Tetapi, seperti apa yang dikatakan oleh suaminya, bahwa sebenarnyalah hubungan keluarga di antara mereka telah melalui saat-saat yang paling gawat dengan selamat. Badai dan topan telah menghembus dari segenap arah. Namun, beruntunglah, bahwa Tuhan Yang Maha Agung masih melindungi mereka, sehingga suami isteri dan seorang anak laki-lakinya itu dapat berkumpul kembali dalam kehidupan sewajarnya.

Dalam pada itu, apa yang diketahui oleh Mahendra tentang dua orang yang sibuk mencari permata dan batu-batu berharga yang sesuai, benar-benar telah menarik perhatian Mahisa Agni dan Witantra dalam hubungan keseluruhan setelah Pangeran itu berada di Singasari.

“Kita tidak akan mempersoalkannya dengan Pangeran Kuda Padmadata dalam tahap-tahap ini” berkata Mahisa Agni, “biarlah ia menikmati kebahagiaannya”

“Tetapi saat-saat ia kembali ke Kediri, maka hatinya harus sudah dibekali dengan pengertian ini” berkata Mahendra, “mudah-mudahan tidak ada apa-apa di perjalanan. Tetapi jika ada hubungan antara orang-orang yang mencari batu-batu berharga itu dengan rencana penjemputan isteri Pangeran Kuda Padmadata itu, maka sebaiknya ia sudah bersiaga. Namun sudah barang tentu, bahwa hal ini tidak akan diberitahukan kepada isterinya sebelumnya”

Tetapi Witantra berkata, “Jika isterinya sama sekali tidak mengetahui kemungkinan itu pun dapat menimbulkan bahaya bagi jiwanya. Ia sudah terlalu lama hidup dalam ketegangan jiwa. Jika pada suatu saat yang tidak terduga-duga, ia dihadapkan pada satu peristiwa yang dapat mengguncang jiwanya yang masih belum mapan, maka dapat terjadi peristiwa itu akan sangat berpengaruh pada perasaannya”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan untuk merubah rencana?”

Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, “Mungkin ada juga baiknya. Kita akan berbicara dengan Pangeran Kuda Padmadata. Jika kita menyebut perubahan rencana itu, hanyalah penundaan untuk waktu yang pendek. Mungkin kita justru menghindari saat-saat yang sudah diperhitungkan oleh orang-orang yang bermaksud buruk”

Ketika Mahendra pun sependapat untuk membicarakannya dengan Pangeran Kuda Padmadata, maka mereka pun segera menemui Pangeran itu dan diajaknya berbicara tanpa orang lain, kecuali Ki Wastu.

Namun sikap Pangeran itu benar-benar tidak tergoyahkan. Katanya, “lembaran sikapku adalah membelanya sampai kemungkinan terakhir” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “jika aku menundanya lagi, maka hatinya akan menjadi semakin pedih. Kepercayaannya kepadaku akan menjadi semakin susut, setelah untuk waktu yang lama ia meragukannya, karena ternyata aku tidak dapat melindunginya. Jika pada saat di perjalanan, Ki Dukut Pakering itu datang, biarlah aku menunjukkan kepada isteriku, jika aku sendiri hadir dalam kesulitan seperti itu, aku akan mengorbankan apa saja yang ada padaku bagi keselamatannya”

“Tetapi apakah hal itu tidak akan mengguncang ketenangan isteri Pangeran yang hampir pulih kembali?” bertanya Witantra.

“Semuanya akan aku selesaikan sama sekali. Kemudian, hidup kami tidak akan terganggu lagi” berkata Pangeran itu. Lalu, “untuk menjaga perasaannya, maka aku akan memberikan alas pada perasaannya, bahwa kemungkinan semacam itu masih mungkin terjadi. Tetapi ia pun harus mengerti, bahwa kini ia tidak seorang diri. Tetapi aku, suaminya dan sepuluh orang pengawal ditambah pengaruh kekuatan ilmu ayahnya yang tinggi, maka kami semuanya akan dapat mengatasinya. Tetapi jika gagal, biarlah kami semuanya tumpas tanpa sisa”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Kuda Padmadata yang masih muda itu memang mempunyai hati yang keras. Adalah sejalan jika Pangeran Kuda Padmadata itu berbincang dengan Mahisa Bungalan yang juga masih muda.

Karena itu, maka mahisa Agni pun kemudian berkata, “Baiklah Pangeran. Jika Pangeran bersikeras untuk berangkat sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan, biarlah kami juga ikut dalam tamasya ini. Aku, Witantra, Mahendra dan anak-anaknya di samping Ki Wastu dan Pangeran sendiri”

Wajah Pangeran Kuda Padmadata menegang. Namun kemudian katanya, “Terima kasih paman, terima kasih. Dengan demikian, maka kami akan semakin yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Agung akan tetap melindungi kita semuanya”

“Baiklah. Dengan demikian saat-saat mohon diri ke penghadapan Sri Maharaja pun tidak perlu mengalami perubahan” berkata Witantra kemudian.

Demikianlah, maka segala persiapan telah dilakukan seperti rencana. Setelah mohon diri dan mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak di Singasari, dari Maharaja Singasari sampai kepada para Senopati dan para prajurit yang telah dengan ikhlas melindungi isteri dan anaknya, maka Pangeran Kuda Padmadata pun telah berangkat meninggalkan Singasari menjelang bulan purnama.

Mereka berangkat di pagi yang cerah. Langit bersih dan lembaran-lembaran awan yang putih menggantung satu-satu diujung langit yang sangat jauh. Jika mereka malam nanti harus bermalam dimanapun, maka bulan purnama akan menghiasi langit yang biru bersih itu.

Tidak terlalu banyak orang-orang Singasari yang memperhatikan keberangkatan Pangeran Kuda Padmadata. Ada beberapa orang yang mendengarnya dan menyebutkan ketika mereka berpapasan. Bahkan ada juga satu dua orang yang keluar dari regol rumahnya, ketika iring-iringan itu lewat dijalan di depan rumah. Tetapi dalam keseluruhan, kepergian isteri Pangeran Kuda Padmadata itu kembali ke Kediri, bukanlah satu peristiwa yang mengguncang Kota Raja.

Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Diluar gerbang Kota Raja dan orang telah menghitung iring-iringan itu dengan saksama.

“Sebuah pedati yang tentu ditumpangi isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata” berkata salah seorang dari keduanya, “yang dua buah, untuk membawa bekal. Yang harus diperhitungkan adalah para pengawal. Sepuluh orang pengawal dan dua orang yang memimpin perjalanan itu. Mereka tentu Pangeran Kuda Padmadata sendiri, dan yang tua itulah agaknya yang bernama Ki Wastu, ayah dari isteri Pangeran Padmadata itu.

“Masih ada yang harus diperhitungkan” berkata yang lain.

“Perempuan dan anak laki-laki itu?” berkata kawannya.

“Bukan. Tetapi para sais pedati itu. Kau lihat, ada tiga orang sais pada tiga pedati dan tiga orang yang agaknya membantunya. Mungkin mereka adalah pesuruh atau abdi atau apapun juga. Tetapi mereka juga laki-laki yang barangkali mampu juga berkelahi”

Kawannya tertawa. Katanya, “Kau sudah dibayangi oleh kecemasan yang berlebih-lebihan. Yang kau hitung justru para sais dan para abdi yang melayani pedati-pedati itu”

“Mungkin” jawab yang lain, “tetapi aku hanya ingin berbuat sebaik-baiknya dengan seteliti mungkin. Jangan sampai kesalahan yang kecil dan nampaknya tidak berarti itu membuat para pemimpin kita kehilangan kepercayaan."

“Baiklah. Kita akan menyampaikan kepada Macan Wahan. Kekuatan orang-orang Kediri itu terdiri dari sepuluh pengawal, dua orang pemimpin yang tentu Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu, enam orang termasuk sais dan mereka, para abdi yang melayani pedati yang membawa isteri Pangeran Padmadata dan anak laki-lakinya”

Yang seorang mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya kemudian, “Kita tidak perlu menghadap Macan Wahan dan Ki Dukut. Kita akan langsung menemui mereka yang mendapat tugas untuk mencegat iring-iringan itu di tempat yang sudah di tentukan, yang diperkirakan akan menjadi tempat bermalam iring-iringan yang tentu akan sangat lambatnya, justru karena ada tiga buah pedati di dalamnya”

“Ya, Maksudku juga demikian. Kita akan mendahului iring-iringan itu. Mereka tentu tidak banyak menaruh perhatian terhadap kita berdua”

Dengan demikian, maka kedua orang itu pun kemudian berlari di atas punggung kudanya mendahului iring-iringan yang berjalan dengan lambat. Sekali lagi mereka menyaksikan hitungan mereka. Dan mereka pun kemudian merasa yakin, bahwa jumlah yang mereka sebutkan tidak akan salah lagi. Laporan itu telah diterima dengan senang hati oleh tiga orang pemimpin padepokan dari mereka yang menyadap ilmu hitam. Mereka bertiga menganggap, bahwa pekerjaan mereka tidak akan terlalu berat.

“Betapapun tinggi kemampuan seorang prajurit, mereka tidak akan dapat melawan dua orang pengikut kita”

“Tetapi jangan abaikan mereka” berkata Ki Walikat yang bertubuh kurus, berwajah runcing, dengan mata yang bulat seperti mata burung hantu.

Yang seorang, yang berwajah kasar bertubuh tinggi kekar, bernama Gampar Wungkul menggeram, “Kenapa kita meributkan mereka yang akan lewat. Siapa pun akan kita binasakan. Kita memerlukan ketiga pedati yang tentu berisi bermacam-macam barang berharga. Tentu ada di antaranya perhiasan emas permata. Agaknya Pangeran Kuda Padmadata tentu membawa barang-barang berharga itu bagi isterinya”

“Kau benar” desis Ki Benda, “Kita akan menunggu”

“Menjemukan. Bagaimana jika kita menyongsong mereka?” bertanya Gampar Wungkul.

“Sebaiknya kita menunggu di sini. Mereka tentu akan bermalam di sekitar daerah ini. Maju atau mundur, tetapi tidak akan terlalu jauh. Di malam hari kita akan dapat bekerja dengan lebih tenang tanpa diganggu oleh orang-orang lewat” berkata Ki Walikat.

“Sebaiknya memang demikian” sahut Ki Benda. Gempar Wungkul pun tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga ia harus menyesuaikan diri dengan pendapat kedua orang kawannya yang dianggap membawa kekuatan yang sama besar.

Meskipun menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan, namun mereka sudah sepakat untuk melakukannya. Orang-orang yang tidak berbuat apapun juga itu, telah berserakkan di hutan buruan. Sebagian besar mereka telah tidur dengan nyenyaknya untuk membuang kejemuan. Sementara satu dua orang telah mencoba mengejar binatang buruan. Dengan busur dan panah mereka mencoba menangkap seekor kijang.

“Buat apa kalian menangkap kijang?” bertanya Ki Walikat.

“Sekedar mengisi waktu. Dan bukankah dagingnya dapat dimakan?” jawab orang-orang yang sedang mencoba berburu itu.

“Jika kau menyalakan perapian, asap perapian itu akan menarik perhatian iring-iringan yang sedang kita tunggu. Mungkin ada di antara mereka orang yang memiliki pengalaman yang luas, sehingga asap itu akan merupakan isyarat bahaya bagi mereka” Ki Walikat memperingatkan.

Orang-orang yang sedang mengejar binatang buruan itu pun kemudian berhenti. Karena tidak ada satu pun yang akan dikerjakan, maka mereka pun telah berbaring di antara kawan-kawan mereka yang telah tidur nyenyak. Ternyata hanya mereka yang bertugas mengawasi kedatangan iring-iringan dari Singasari ke Kediri sajalah yang tidak tertidur. Mereka dengan penuh kewaspadaan menunggu, meskipun mereka mengerti, bahwa kedatangan iring-iringan itu tentu masih terlalu lama.

Tetapi tugas mereka selain mengawasi iring-iringan itu juga memastikan, di mana iring-iringan itu akan bermalam. Ketika matahari sudah turun ke Barat, maka orang-orang yang menunggu itu masih sempat makan bekal yang mereka bawa masing-masing kemudian menggenggam segumpal pondoh beras dengan lauknya. Namun mulut-mulut yang sedang mengunyah itu pun seolah-oleh telah terhenti ketika seorang pengawas datang melaporkan kepada Ki Benda,

“Iring-iringan itu telah nampak”

Ki Benda mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kita harus bersembunyi dan membiarkan iring-iringan itu lewat untuk mencari tempat yang mereka anggap baik untuk bermalam. Mereka tidak akan meneruskan perjalanan setelah matahari terbenam”

Demikianlah, maka para pemimpin dari setiap kelompok itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk bersembunyi sebaik-baiknya di dalam hutan. Hanya satu dua orang yang bertugas sajalah yang harus dengan sangat hati-hati mengawasi iring-iringan itu dan memastikan di mana mereka akan bermalam.

Ketika iring-iringan itu lewat, langit telah menjadi kelam. Namun seperti yang diperhitungkan olen Pangeran Kuda Padmadata, bahwa bulan pun segera terbit, sehingga malam rasa-rasanya tidak terlalu kelam.

Namun bagaimanapun juga, ada kegelisahan di hati isteri Pangeran Kuda Padmadata itu. Apalagi Pangeran Kuda Padmadata tidak menyembunyikan kemungkinan terjadinya sesuatu, agar isterinya tidak akan menjadi sangat terkejut, apabila sesuatu itu benar-benar terjadi seperti yang pernah diisyaratkan oleh Mehendra.

Seperti yang sudah diperhitungkan, maka ketika bulan menjadi semakin tinggi, iring-iringan itu pun akhirnya berhenti. Mereka telah memilih sebuah padang rumput yang tidak terlalu luas. Beberapa puluh tonggak melalui hutan perburuan.

“Di sini kita dapat melihat ke arah yang agak luas di sekitar kita” berkata Pangeran Kuda Parimadata, “sehingga jika ada sesuatu yang tidak kita kehendaki, akan dapat kita lihat sebelumnya”

Demikianlah, maka tiga buah pedati yang dibawa oleh iring-iringan itu pun segera ditempatkan dalam lingkaran, sementara di tengah-tengah telah dipergunakan untuk beristirahat isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Para sais pedati dan pembantunya telah melepaskan sapi penarik pedati dan memberinya makan dan minum secukupnya. Kemudian ditambatkannya sapi-sapi itu beberapa langkah menepi tidak jauh dari kuda-kuda para pengawal.

Namun ternyata firasat yang mendebarkan telah menyentuh perasaan Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu. Peringatan Mahendra bahwa ada orang-orang yang menaruh perhatian yang besar terhadap rencana Pangeran itu untuk membawa isterinya ke Kediri, telah memberikan dorongan kepada Pangeran itu untuk selalu bersiaga.

“Jangan ada yang lengah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kalian harus mengawasi segala arah. Lima dari sepuluh orang harus tetap berjaga-jaga dan mengamati keadaan sekitar kita”

Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Pangeran Kuda Padmadata, maka lima orang dari sepuluh orang pengawal telah bersiaga sepenuhnya. Mereka sama sekali tidak sempat untuk bermalas-malas. Bahkan kelima orang itu telah berjalan mengitari tempat mereka beristirahat, berurutan dalam lingkaran seperti anak-anak sedang bermain jamuran dengan lingkaran yang besar, memutari pedati dan tempat kuda dan sapi ditambatkan. Hanya kadang-kadang saja mereka duduk menghadap ke segala arah.

Sementara itu, tiga orang pemimpin padepokan dari aliran hitam itupun telah mempersiapkan orang-orangnya. Ternyata iring-iringan dari Singasari itu terhenti beberapa puluh tonggak dari tempat mereka menunggu. Karena itu, maka mereka pun harus merayap mendekati mereka dan pada saat yang tepat menyerang mereka dan menghancurkannya.

Dalam pada itu, selain kelima orang pengawal yang berjaga-jaga itu, Pangeran Kuda Padmadata sendiri sama sekali tidak meninggalkan isteri dan anaknya yang disuruhnya berbaring di atas tikar yang mereka bawa.

“Tidurlah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “para pengawal akan selalu bersiaga mengawasi keadaan”

Isteri dan anaknya sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan yang sebenarnya mulai merayapi jantung. Namun keduanya pun kemudian berbaring, berselimut kain panjang sambil memandang taburan bintang di langit, di antara cahaya bulan yang sedang bulat.

Sementara Pangeran Kuda Padmadata menunggui anak isterinya yang sudah mulai berbaring sambil mencoba menceriterakan ceritera-ceritera yang menarik bagi anak laki-lakinya yang sudah terlalu lama berpisah itu, Ki Wastu pun tidak sempat berbaring sama sekali. Bagaimanapun juga, hatinya meresa gelisah. Dan seolah-olah ia mendapat firasat, bahwa sesuatu akan terjadi.

Ketika Ki Wastu itu berdiri di sebelah salah satu dari ketiga pedati yang berada di dalam iring-iringan itu, maka dilihatnya cahaya bulan yang terang bergerak diatas dedaunan. Tidak terlalu jauh terdapat sebuah hutan perburuan yang tidak terlalu lebat, meskipun cukup rimbun.

Di dalam pedati itu terdapat barang-barang yang cukup berharga yang akan dibawa ke Kediri. Barang-barang yang semula memang dibawa oleh Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri sebagai hadiah bagi isterinya.

Sementara itu, orang-orang yang menurut pengamatan dua orang petugas yang dikirim oleh Macan Wahan ke Singasari sebagai tiga orang sais dan pembantunya-pembantunya, masih duduk bersandar roda pedati mereka sambil memandang kekejauhan.

“Beristirahatlah” berkata Ki Wastu.

Tetapi orang-orang itu tersenyum sambil berkata, “Senangnya duduk di bawah terang bulan. Di padesan, anak-anak tentu sedang bermain-main. Mungkin bermain sembunyi-sembunyian, mungkin gobag atau kejar-kejaran”

Ki Wastu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Rasa-rasanya malam terlampau sepi”

Orang-orang yang bersandar roda pedati itu tidak menjawab. Mereka pun kemudian melihat Ki Wastu berjalan mendekati salah seorang pengawal yang duduk di atas batu memandang kekejauhan.

“Tentu terasa dingin” desis Ki Wastu.

Pengawal itu beringsut. Katanya, “Marilah, silahkan duduk Kiai”

Ki Wastu pun duduk pula disebelah pengawal itu sambil bertanya, “Kau masih harus berjaga-jaga sampai tengah malam, sebelum kawan-kawanmu menggantikanmu”

Pengawal itu tersenyum. Katanya, “Aku sudah mulai kantuk. Tetapi aku akan dapat bertahan sampai tengah malam. Sudah terbisa. Kawan-kawanku akan berjaga-jaga dari tengah malam sampai Pagi”

Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Hati-hatilah. Rasa-rasanya malam terlampau sepi”

“Ada firasat buruk agaknya” desis pengawal itu.

“Hanya sekedar kekhawatiran orang tua saja, “jawab Ki Wastu, “tetapi tidak ada buruknya untuk berhati-hati”

Ki Wastu yang kemudian bangkit melangkah mendekati pengawal yang lain. berturut-turut ia memberi peringatan kepada para pengawal agar mereka berhati-hati. Ketika ia sampai kepada pengawal yang terakhir, maka pengawal itu pun berkata,

“Lintang gubug penceng itu hampir tegak. Sebentar lagi, malam sudah lewat separo. Dan aku akan segera mendapat kesempatan untuk tidur dibawah sinar bulan yang manis.

Ki Wastu tertawa pnndek. Katanya, “Kau masih cukup muda untuk menikmati sinar bulan purnama. Silahkan. Tetapi jangan lengah”

Ki Wastu pun kemudian berjalan mendekati Pangeran Kuda Padmadata yang masih duduk menunggui anak isterinya. Tetapi ia sudah tidak berceritera lagi. Agaknya anak laki-lakinya sudah tidur. Sementara isterinya pun telah mulai memejamkan matanya. Sambil duduk di sebelah Pangeran Kuda Padmadata, Ki Wastu itu pun berkata, “Silahkan Pangeran beristirahat. Aku akan berjaga-jaga sampai saatnya aku akan membangunkan Pangeran, jika aku akan ganti beristirahat”

Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ki Wastu sajalah dahulu beristirahat. Aku sama sekali belum mengantuk”

“Tetapi beristirahatlah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “meskipun hanya berbaring”

Ki Wastu pun kemudian melangkah mendekati sebuah pedati yang lain. Di sebelah roda pedati itu terbentang sehelai tikar. Dua orang pengawal yang sedang tidak bertugas, telah tertidur dengan nyenyaknya, sementara yang tiga orang lainnya tidur di tempat yang lain. Ki Wastu pun kemudian telah membaringkan dirinya setelah ia melepas perisainya yang targantung pada ikat pinggangnya dan kemudian meletakkan di dadanya. Tetapi mata orang tua itu pun rasa-rasanya tidak mau terpejam juga.

Dalam pada itu, ketiga orang pemimpin padepokan yang beraliran hitam itu telah merayap semakin dekat. Mereka berusaha untuk mendekati orang-orang Kediri itu dari arah yang paling aman. Mereka merayap dari balik gerumbul perdu yang satu kebalik gerumbul yang lain. Berurutan. Duapuluh satu orang ditambah dengan tiga orang pemimpin mereka yang dapat mereka banggakan.

“Kita akan memusnahkan mereka” berkata Ki Benda.

“Barang-barang itu tentu berada di salah satu pedati itu” desis Ki Walikat, “sementara pedati yang lain tentu berisi bekal makanan atau pakaian”

“Apakah perempuan dan anak itu tidur di salah satu dari ketiga pedati itu?” desis Gampar Wungkul.

“Mungkin. Tetapi aku kira perempuan dan anak laki-lakinya itu lebih senang tidur diluar pedati yang sempit meskipun agak dingin” sahut Ki Benda.

“Hampir tengah malam” berkata Ki Walikat tiba-tiba, “apakah kita masih akan menunggu?”

“Aku kira kita cukup bersabar. Tetapi baiklah kita menunggu sejenak, sehingga mereka menjadi lengah. Jika lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu, mereka tentu mengira, bahwa untuk selanjutnya tidak akan terjadi apa-apa” desis Ki Gampar Wulung.

Kawan-kawannya sependapat. Mereka menunggu lewat tengah malam. Demikianlah bintang Gubug Penceng tegak dilangit, maka mereka pun segera mempersiapkan orang-orangnya.

Sebenarnya, bahwa setelah lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu, maka Pangeran Kuda Padmadata pun menganggap bahwa kemungkinan untuk terjadi sesuatu menjadi semakin kecil. Meskipun demikian. Pangeran Kuda Padmadata itu memerintahkan kepada pengawalnya yang bertugas di tengah malam kedua, agar mereka tidak lengah menghadapi segala kemungkinan yang dapat saja terjadi.

Seperti para pengawal yang terdahulu, maka kelima orang pengawal itu berusaha untuk mengawasi segala arah. Untuk mengusir perasaan kantuk yang tersisa, maka mereka telah berjalan mengelilingi tempat pemberhentian itu seperti yang dilakukan oleh para pengawal sebelumnya.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Wastu pun masih belum dapat tidur sekejappun, ketika yang berbaring di tikar bersamanya berganti orang, maka ia pun justru duduk sambil bersandar pedati.

“Apakah isteri dan putera Pangeran Kuda Padmadata itu sudah tidur?” bertanya Ki Wastu ketika Pangeran Kuda Padmadata mendekatinya.

“Mereka tidur dengan nyenyak” jawab Pangeran Kuda Padmadata.

“Syukurlah” berkata Ki Wastu, “sebaiknya Pangeran juga beristirahat, besok kita masih akan menempuh perjalanan yang sangat panjang, justru karena perjalanan kita sangat lambat”

Pangeran itu tersenyum, katanya, “Baiklah, aku akan mencoba untuk beristirahat”

Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih melihat orang-orang yang berada di sekitar pedati-pedati itu. “Kalian tidak tidur?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Anak-anak itu sedang tidur” jawab salah seorang dari mereka.

Ternyata bahwa, dua di antara mereka sudah tertidur. Namun dalam pada itu, beberapa saat lewat tengah malam, maka orang-orang yang bersembunyi tidak terlalu jauh dari tempat pemberhentian iring-iringan itu pun mulai bergerak.

Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkul telah membagi diri bersama orang mereka masing-masing. Mereka sepakat untuk menyerang dari tiga jurusan. Masing-masing dengan delapan orang termasuk pimpinan kelompok itu sendiri. “Aku akan berputar” berkata Ki Benda.

“Kau ke sebelah kiri, aku ke sebelah kanan” desis Ki Walikat.

“Beri aku isyarat” berkata Ki Gampar Wungkul, “kapan aku harus maju jika kalian sudah mencapai arah yang kalian kehendaki”

“Aku akan memberikan isyarat itu” berkata Ki Walikat, “suara burung hantu”

Dengan demikian, maka Ki Benda dan Ki Walikat pun segara merayap dibalik lindungan bayangan perdu, timan diiangu memang harus diperhitungkan, meskipun sudah mulai menurun di Barat. Beberapa saat lamanya, Ki Gampar Wungkul menunggu. Sehingga akhirnya, di kejauhan didengarnya suara burung hantu yang ngelangut.

Suara burung hantu itu ternyata telah menarik perhatian para pengawal. Sejak sore mereka sama sekali tidak mendengar suara burung hantu. Yang mereka dengar adalah suara binatang buas di hutan yang tidak terlalu dekat. Dan sekali-kali mereka mendengar suara burung bence yang terbang melintas dilangit. Namun tiba-tiba mereka telah mendengar suara yang lain, burung hantu.

Dalam pada itu, selagi pengawal itu dicengkam kebimbangan, maka salah seorang sais pedati itu berdesis, “Berhati-hatilah. Itu bukan suara burung yang sebenarnya”

Para pengawal itu pun menyadarinya pula, bahwa suara itu memang bukan suara burung hantu. Salah seorang dari para pengawal itu pun segera melaporkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata, sementara yang lain telah bersiap menghadap keempat arah.

“Semuanya bersiap” terdengar perintah Pangeran Kuda Padmadata.

Para pengawal yang baru saja tertidur itu pun telah dibangunkan. Mereka segera bangkit sambil meraba senjata masing-masing. Pada saat itulah, tiba-tiba dari beberapa arah terdengar teriakan-teriakan yang bagaikan memecah langit. Beberapa orang berlari-larian dengan senjata terhunus menyerang sekelompok orang yang sedang bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Para pengawal yang telah bersiap seluruhnya itu pun segera menarik senjata masing-masing, sementara orang-orang yang dianggap sebagai sais pembantu-pembantunya itu pun telah berdiri pula di sekitar pedati masing-masing.

“Pangeran” berkata Ki Wastu, “ambillah seorang dari para pengawal. Jagalah isteri dan putera Pangeran itu sebaik-baiknya. Mereka adalah sasaran utama dari, orang-orang yang tentu mempunyai sangkut paut dengan Ki Dukut Pakering.

Namun dalam pada itu, salah seorang dari sais pedati itu berkata, “Biarlah kedua anak-anak ini membantu Pangeran”

“Terima kasih” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Dalam pada itu, suara hiruk pikuk itu telah mengejutkan isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu. Namun Pangeran itu segera mendekatinya sambil berkata, “Jangan takut. Aku ada disini”

Namun bagaimanapun juga, perasaan takut itu telah menjalari jantung kedua ibu dan anak laki-laki itu.

Dalam waktu yang pendek, maka para pengawal, sais dan pembantunya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mereka pun segera membagi diri, sesuai dengan arah para penyerang itu datang. Tiga orang sais pedati itu pun telah berdiri di tiga arah bersama para pengawal. Sementara Ki Wastu masih berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya kakinya menjadi berat untuk meninggalkan anak perempuan dan cucunya yang telah dipertahankannya mati-matian untuk waktu yang lama.

“Tetapi kini ia berada disisi suaminya” berkata Ki Wastu di dalam hatinya, “apa yang akan terjadi, bukan merupakan tanggung jawabku semata-mata. Nampaknya Pangeran Kuda Padmadata itu pun telah siap mengorbankan apa saja yang ada padanya”

Dengan demikian, maka yang berdiri di dalam lingkaran, dekat disisi anak dan cucu Ki Wastu itu adalah Pangeran Kuda Padmadata, seorang pengawal dan dua orang anak muda yang semula berada bersama para sais pedati itu. Dalam pada itu, maka ketiga orang sais, seorang pembantunya dan para pengawalnya pun segera menyongsong para penyerang. Dengan senjata ditangan mereka segera menebar.

Sejenak kemudian, terjadilah benturan yang sengit antara kedua pasukan. Pasukan yang menyerang, yang terdiri dari orang-orang padepokan yang berilmu hitam, melawan para pengawal dari Kediri. Pengawal yang benar-benar terpilih untuk melaksanakan tugas yang berat itu.

Pada benturan pertama, maka masing-masing masih berusaha menjajagi kemampuan lawan. Para pengawal telah menunjukkan kesigapannya, membendung serangan dari kelompok yang lebih banyak jumlahnya. Namun dalam pada itu, mereka pun segera melihat, seorang yang memiliki kelebihan dari yang lain. Dan mereka itu adalah pemimpin padepokan dari orang-orang yang berilmu hitam itu.

Dalam pada itu, ketiga orang sais itu pun segera menempatkan diri diantara para pengawal. Setelah mereka pasti, siapakah yang menjadi pemimpin dari setiap kelompok penyerang itu. maka ketiga orang sais itu telah bergeser mendekati mereka di arena masing-masing, sesuai dengan arah mereka.

Ki Gampar Wulung yang melihat serangan seorang yang nampak agak lain dari para pengawal itu pun terkejut Sambil melangkah surut ia bertanya, “He, apakah kau bukan termasuk para pengawal?”

“Bukan. Aku bukan salah seorang dari para pengawal” jawab orang itu, “aku adalah sais salah satu dari pedati-pedati itu”

Orang itu menggeram. Katanya, “minggirlah. Jangan ganggu aku. Tidak seorang pun dapat melawan aku. Biarlah Pangeran Kuda Padmadata sendiri datang kepadaku, agar ia mengetahui, bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki kemampuan setingkat gurunya”

“Aku akan melawanmu” jawab sais itu

Gampar Wulung tertawa berkepanjangan. Ketika sekilas ia melihat pertempuran yang terjadi disekitarnya, maka ia pun berkata, “lihatlah. Para pengawal itu sudah mulai terdesak. Apakah kau akan membunuh diri? Kau adalah sais pedati. Jagalah pedatimu. Jagalah lembumu agar tidak lepas dan lari. Jangan ikut campur di peperangan ini”

“Aku laki-laki seperti para pengawal. Karena itu, aku pun berhak bertempur bersama para pengawal” jawab sais itu.

“Kau sudah gila. Tetapi jika kau memang ingin membunuh diri, apaboleh buat. He, siapa namamu, agar aku dapat berceritera kepada orang-orangku, bahwa ada seorang sais yang membunuh diri diantara para pengawal Kediri. Mungkin kau seorang abdi yang amat setia dari Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau telah dengan suka rela menyerahkan hidupmu sebelum Pangeran itu sendiri terbunuh disini. Apakah kau tidak sampai hati melihat Pangeran itu bersama anak dan isterinya terbantai disini, sehingga kau ingin mati lebih dahulu daripada mereka”

“Aku tidak sedang membunuh diri” jawab sais itu.

“Siapa namamu?” desak Gampar Wulung.

Sais itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Namaku Mahisa Agni”

Gampar Wulung mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia tidak begitu jelas, dimana dan kapan ia pernah mendengar nama itu.

“Siapa kau” sais itulah yang bertanya kemudian.

Gampar Wulung memandang sais itu sekilas. Namun ia pun mulai menyadari, bahwa sais itu tentu bukan sais kebanyakan. Karena itu, maka ia pun mulai menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang dengan sengaja telah menunggunya.

“Baiklah” berkata Gampar Wulung, “kau tentu memiliki kelebihan. Karena itu, kau berhak mendengar namaku. Namaku adalah Gampar Wulung”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kau menyadari, bahwa yang kau lakukan ini tentu akan sia-sia. Kau terjebak kedalam kekuatan para pengawal yang tidak mungkin dapat kau kalahkan meskipun jumlahmu berlipat”

“Jangan mencoba menakut-nakuti aku seperti anak kecil. Lihat para pengawal mulai terdesak. Sekarang datang giliranku untuk membunuhmu” berkata Gampar Wulung sambil maju setapak.

Mahisa Agni yang menyebut dirinya sais pedati itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Ia pun sadar, bahwa lawannya tentu orang pilihan, meskipun menilik sikap dan ujudnya, ia tentu dari lingkungan yang kelam. Namun justru karena itu, maka ia harus berhati-hati. Dan bahkan setiap pengawal pun harus berhati-hati.

Selangkah Gampar Wulung itu pun beringsut. Dilihatnya Mahisa Agni pun telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Mahisa Agni melihat, betapa kegarangan ilmu terpancar pada serangan yang pertama. Tetapi seperti pada umumnya, serangan yang pertama tidak akan banyak menentukan. Karena itu, maka ia pun bergeser selangkah. Namun serangan-serangan berikutnyalah yang datang beruntun, seolah-olah mengejarnya kemana ia bergeser. Orang yang menyebut dirinya Gampar Wulung itu berusaha untuk menekannya dan dalam waktu yang singkat mengalahkannya.

Tetapi Mahisa Agni seolah-olah dengan sengaja membiarkan lawannya mendesaknya. Sekali ia meloncat menghindar. Sekali ia menangkis sambil berkisar surut. Dengan demikian ia berhasil menjajagi kemampuan lawannya yang garang itu, meskipun ia pun sadar, bahwa kemampuan itu tentu belum merupakan puncak kemampuannya.

Meskipun demikian, serba sedikit Mahisa Agni sudah mempunyai takaran dari kekuatan dan kemampuan lawannya. Dengan demikian ia dapat menilai, apakah yang harus dilakukannya kemudian menghadapi lawannya yang garang itu.

Di sekitar Mahisa Agni dan Gampar Wulung yang bertempur semakin seru, para pengawal pun telah bertahan dengan sekuat kemampuan mereka. Jumlah lawan ternyata lebih banyak dari jumlah mereka. Tetapi para pengawal itu masih mampu untuk bertahan. Meskipun kadang-kadang terasa, betapa kasar dan garangnya orang-orang yang datang menyerbu itu.

Tetapi para pengawal itu adalah pengawal terpilih dari tataran terbaik para pengawal di Kediri. Karena itu, maka mereka pun telah bertempur dengan dahsyatnya pula menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Ternyata ada beberapa orang pengawal yang harus bertempur sekaligus melawan dua orang lawan. Namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun kadang-kadang mereka harus berloncatan surut, namun mereka merasa, bahwa mereka akan dapat mengatasi kesulitan mereka.

Dalam pada itu, di lingkaran pertempuran yang lain, Ki Benda terkejut bahwa di hadapannya berdiri seorang yang nampaknya dengan sengaja menunggunya. Apalagi ketika orang itu dengan tegas menyebut dirinya sebagai sais pedati yang membawa perlengkapan iring-iringan dari Singasari menuju ke Kediri.

“Kau jangan berbuat aneh-aneh sais yang malang” berkata Ki Benda, “darahmu tidak berarti apa-apa bagi pusakaku. Hanya darah orang-orang penting dan memiliki kemampuan sajalah yang akan memberikan arti bagi pusakaku ini. Setiap titik darah orang berilmu akan merupakan lapisan-lapisan kekuatan yang membuat pusakaku ini semakin bertuah. Tetapi darah orang-orang dungu hanya akan mengotorinya saja”

Orang yang berdiri di hadapannya itu pun tersenyum. Katanya, “Jika pusakamu itu pantang dikotori darah orang-orang tidak berarti, maka sarungkan saja. Kita akan bertempur dengan tangan”

Ki Benda mengerutkan keningnya. Orang yang menyebut dirinya sais itu agaknya memiliki kepercayaan yang tinggi kepada dirinya sendiri. Karena itu pengamatannya yang tajam segera menangkap kemungkinan yang tersimpan di dalam orang yang semula dianggapnya tidak berarti itu.

“Jadi kau tetap pada niatmu untuk melawan aku?” bertanya Ki Benda.

“Ya” jawab sais itu.

“Baiklah. Sebut namamu. Mungkin aku pernah mendengarnya. Barulah aku yakin, bahwa kamu memang berhak melawan aku dan darahmu akan berguna bagi pusakaku” berkata Ki Benda.

“Namaku Mahendra” jawab sais itu.

“O” Ki Benda mengerutkan keningnya. Kemudian diingatnya keterangan orang yang pernah datang ke Singasari dan menyebut salah satu dari nama-nama para pedagang yang pernah dihubungi. “Kau pedagang besi bertuah dan batu-batu berharga” bertanya Ki Benda lebih lanjut.

“Ya. Darimana kau pernah mendengar namaku?” bertanya Mahendra.

“Itu tidak penting. Marilah kita menyelesaikan persoalan kita sekarang. Aku akan membunuhmu. Mudah-mudahan kebiasaanmu dengan wesi aji itu akan berpengaruh pada pusakaku ini”

Mahendra mengerutkan keningnya. Di dalam keremangan sinar bulan ia melihat sebilah keris yang besar dan panjang.

“Kerisku luk sebelas” berkata Ki Benda.

“Menggetarkan. Kerismu terlalu besar dan terlalu panjang menurut ukuranku. Tetapi agaknya kerismu benar-benar keris yang bertuah. Aku terbiasa dengan berbagai jenis senjata yang memiliki tuah seperti kerismu. Namun karena itu, maka aku pun memiliki kekuatan yang mantap untuk menguasai setiap tuah dari pusaka siapa pun juga” berkata Mahendra.

“Gila” geram Ki Benda, “kau belum tahu arti dan kuasa pusakaku”

“Tidak akan lebih baik dari luwukku ini” sahut Mahendra yang menggenggam sebilah pedang yang tidak terlalu panjang.

Ki Benda memandang senjata Mahendra sejenak. Ia melihat jenis pedang yang memang agak lain dari pedang kebanyakan. Hulunya yang berukir dihias dengan anyaman rambut yang khusus. Pamor yang bagaikan berkeredipan di bawah cahaya bulan yang kekuning-kuningan.

“Jarang sekali aku melihat sebilah pedang memakai pamor seperti itu” berkata Ki Benda di dalam hatinya. Karena itu, meskipun yang digenggam oleh sais yang menyebut dirinya Mahendra itu bukan sebilah keris, tetapi besi dan buatannya tidak ubahnya dengan sebilah keris.

Karena orang yang memimpin sekelompok penyerang itu nampaknya mengagumi pedangnya, maka Mahendra pun berkata, “Nah, bukankah seperti yang aku katakan? Baiklah. Nampaknya kau tertarik kepada pedangku. Apakah kau akan membelinya?”

“Gila” geram Ki Benda, “aku tahu sifat seorang pedagang. Baiklah aku akan membelinya jika pedang itu dapat aku pergunakan untuk memenggal lehermu”

Mahendra tertawa. Katanya, “Nampaknya senjata di tanganku saat ini memang tidak untuk aku tawarkan. Tetapi pedangku ini akan melawan kerismu yang besar dan berat itu”

“Sais yang gila. Aku mengerti, bahwa kau bukan sais yang sebenarnya. Tetapi baiklah, aku akan membunuhmu. Aku akan mendapatkan pusakamu tanpa membelinya sama sekali”

Mahendra tidak menjawab, la melihat Ki Benda itu sudah bergerak. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri menghadapinya.

Namun sesaat kemudian Ki Benda itu masih berkata, “Serahkan sajalah Pangeran Kuda Padmadata itu beserta isteri dan anaknya. Kau akan bebas. Dan barangkali aku benar-benar akan membeli senjatamu itu”

“Siapa kau sebenarnya?” bertanya Mahendra.

“Itu tidak penting” jawab Ki Benda.

Mahendra tidak menjawab lagi. Ia bergeser setapak maju sambil menggerakkan ujung pedangnya. Ki Benda bergeser pula. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil memutar kerisnya menyerang lambung. Mahendra menggeliat sambil menangkis serangan itu. Tetapi ketika ia memukul keris lawannya, maka lawannya telah menarik serangannya. Dengan putaran mendatar Ki Benda telah menyerangnya sekali lagi.

Mahendra meloncat surut, ia sudah siap menghadapi serangan berikutnya. Karena itu, ketika Ki Benda siap untuk meloncat, maka Mahendra lah yang justru telah mendahuluinya, menjulurkan pedangnya lurus mengarah dada. Tetapi Ki Benda pun sempat menghindar. Dengan cepat ia berputar. Ternyata ia mampu bergerak cepat dan kekuatannya pun dapat dibanggakannya. Dalam benturan yang kemudian terjadi, Mahendra segera mengetahui, bahwa lawannya mempunyai tenaga raksasa yang berbahaya baginya.

Apalagi sejenak kemudian, Ki Benda yang berilmu hitam itu telah mengerahkan kemampuannya. Karena itu, maka ilmunya pun segera mulai nampak. Geraknya semakin lama menjadi semakin kasar dan liar. Demikian ia menyadari, dengan siapa ia berhadapan, maka ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.

Tetapi ternyata bahwa ilmu lawannya pun meningkat dengan cepat, dan berhasil mengimbangi ilmunya. Sehingga dengan demikian, Ki Benda merasa, bahwa ia tidak akan segera dapat berhasil.

“Gila” geram Ki Benda, “apakah hubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau bersedia menjadi sais pedatinya dan bahkan mempertaruhkan nyawamu baginya?”

“Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran dari Kediri yang banyak mengambil barang-barangku meskipun aku jarang mengunjunginya karena aku tinggal di Singasari” jawab Mahendra, “dengan demikian, maka Pangeran Kuda Padmadata telah banyak memberikan keuntungan kepadaku”

“Gila” Ki Benda mengumpat, “ternyata harga dirimu tidak lebih tinggi dari keuntungan yang kau dapat dari barang-barang daganganmu”

Mahendra tertawa. Jawabnya, “Jangan ribut siapa aku dan apa hubunganku dengan Pangeran itu. Tetapi adalah kewajiban setiap orang untuk membantu seseorang yang mengalami perlakuan yang tidak adil dan tidak berperi-kemanusiaan”

“Persetan” Ki Benda menggeretakkan giginya. Dengan garang ia menyerang sambil berteriak nyaring.

Mahendra mengerutkan keningnya. Teriakan itu menggetarkan jatungnya. Ia pun semakin menyadari, bahwa lawannya adalah seseorang dari lingkungan hitam. Dan ternyata pula di dalam sikap dan tandangnya kemudian. Keris Ki Benda terayun-ayun mengerikan. Setiap kali terdengar ia berteriak dan menggeram. Bahkan kadang-kadang suaranya mirip dengan aum seekor harimau yang kelaparan.

Dengan demikian maka Mahendra pun merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Bukan saja kerisnya yang berbahaya baginya, namun melihat jari-jari tangan kirinya yang mengembang, agaknya orang itu pun akan dapat menerkamnya jika ia gagal menikam dengan kerisnya.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin seru. Masing-masing telah meningkatkan ilmunya. Kekasaran dan kekerasan telah mewarnai tata gerak Ki Benda Bahkan hampir menjadi buas dan liar.

Di tempat lain, Witantra yang melihat seseorang yang memiliki kelebihan tidak membiarkannya. Ia pun segera menempatkan diri untuk melawannya. Kemarahan orang itu tidak tertahankan ketika ia mendengar bahwa orang yang berdiri dihadapannya adalah salah seorang dari ketiga sais pedati yang di dalam iring-iringan itu. Namun seperti kedua kawannya yang lain, maka Ki Walikat harus melihat kenyataan, bahwa sebenarnya orang yang menyebut dirinya sais itu adalah justru orang-orang yang memiliki ilmu yang mengagumkan.

“Kenapa kau menempatkan dirimu sebagai seorang sais?” bertanya Ki Walikat.

Witantra tidak dapat menjawab seperti yang diharapkan oleh lawannya. Katanya, “Aku memang seorang sais”

“Gila. Kau berpura-pura. Agaknya kau sengaja mengelabuhi kami, agar kami terjebak kedalam kekuatan pengawal Pangeran Kuda Padmadata” geram Ki Walikat.

Witantra tertawa. Katanya kemudian, “Bagaimana mungkin kami menjebakmu. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi di sepanjang perjalanan. Kaulah yang telah dengan senjata bagaikan sulung masuk ke dalam api. Dan itu bukan salah kami”

Ki Walikat menggeram, “Persetan. Kalianlah yang akan tumpas malam ini, termasuk Pangeran Kuda Padmadata dengan anak dan isterinya”

Witantra tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiaga. Agaknya lawannya sudah siap untuk bertempur semakin garang.

Dengan demikian maka pertempuran di segala arah itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang berilmu hitam itu benar-benar tidak mempunyai pertimbangan apapun juga. Bahkan mereka telah dibekali satu sikap, bahwa jika senjata mereka basah oleh darah seseorang yang berilmu, maka senjata itu akan bertambah tuah dan bobotnya.

Karena itulah, maka setiap orang dari mereka yang berilmu hitam itu pun bernafsu untuk membunuh sebanyak-banyak agar senjata mereka basah oleh darah lawan. Tetapi para pengawal itu adalah pengawal pilihan. Apalagi di antara mereka terdapat Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra yang telah melibatkan dirinya.

Namun dalam pada itu, orang berilmu hitam itu pun mengerti, bahwa yang terlindung dibalik pedati-pedati itu, tentu perempuan dan anak laki-laki yang termasuk mereka dan yang harus mereka bunuh. Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka dengan sengaja telah menyusup di antara para pengawal, karena jumlah mereka memang lebih banyak, langsung mencari isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata itu.

Tetapi di sela-sela pedati-pedati itu, ternyata mereka telah bertemu dengan beberapa orang yang telah menunggu. Mereka adalah Mahisa Bungalan, yang berada di antara para pembantu sais pedati-pedati yang berada di dalam iring-iringan itu, Ki Wastu dan di dalam lingkaran itu pula terdapat Pangeran Kuda Padamadata, Mahisa Pukat. Mahisa Murti dan seorang pengawal.

Karena itulah, maka orang-orang berilmu hitam yang menyusup masuk ke dalam jantung lingkaran itu telah membentur selapis kekuatan yang sebenarnyalah tidak mudah untuk ditembus.

Dalam pada itu. Ki Wastu yang selalu mengamati tingkah laku Pangeran Kuda Padmadata masih sempat berbisik, “Jangan terpancing sehingga Pangeran meninggalkan isteri dan anak Pangeran. Dekatilah. Biarlah kami menyelesaikan orang-orang ini. Jika Pangeran terlibat langsung kedalam pertempuran ini, maka satu dua orang yang terlepas dari pengamatan kami akan dapat dengan mudah melakukan perbuatan kejinya atas orang-orang yang tidak berdaya itu”

Karena itulah, betapa darah Pangeran itu mendidih, maka ia berusaha menahan diri, berdiri di antara isteri dan anaknya dibayangi oleh seorang pengawalnya yang terpilih.

Sebenarnyalah, ketakutan yang sangat telah mencengkam isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata itu. Peristiwa masa lampau mereka, tetapi membayang kembali. Ketakutan demi ketakutan telah mereka lalui, sehingga akhirnya mereka bertemu dengan orang yang akan dapat memberikan perlindungan kepada mereka. Namun kini ketakutan itu telah terulang kembali.

Meskipun demikian, kini laki-laki yang bernama Kuda Padmadata itu ada diantara isteri dan anaknya dengan pedang terhunus. Laki-laki itu telah siap memberikan pengorbanan yang paling tinggi bagi isteri dan anaknya.

Pertempuran yang terjadi itu pun semakin lama menjadi semakin sangit. Orang-orang berilmu hitam itu bertempur dengan kasar, liar dan buas. Mereka berteriak-berteriak sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling kotor.

Tetapi ternyata mereka telah membentur dinding pertahanan yang kuat dan berlapis. Mereka yang menyusup diantara para pengawal telah membentur kekuatan Mahisa Bungalan, Ki Wastu dan dua orang adik Mahisa Bungalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang meskipun masih sangat muda, tetapi keduanya ternyata telah memiliki ketrampilan ayahnya.

Karena itulah, maka mereka yang telah berhadapan dengan Ki Wastu dan Mahisa Bungalan lah yang mengalami nasib yang buruk. Mereka segera terdesak oleh kemampuan ilmu yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya.

Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka yang telah dirangsang oleh nafsu kebencian dan dendam yang memang dinyalakan disetiap hati orang-orang berilmu hitam, telah berhasil menyusup langsung menyerang orang orang yang berada dipusat lingkaran pertempuran.

Tetapi, ia pun telah tertahan. Justru oleh Pangeran Kuda Padmadata sendiri. Lindungi mereka” geram Pangeran Kuda Padmadata kepada pengawalnya yang terpilih, “aku akan membunuh orang ini”

Kemarahan dan kebencian Pangeran itu ternyata tidak dapat dikekangnya lagi. Ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya, sementara pengawalnya itu telah berdiri selangkah dari isteri dan anak laki-laki Pangeran yang ketakutan itu, dengan senjata telanjang di tangan.

Demikian panasnya jantung Pangeran Kuda Padmadata, maka ia sudah tidak mempunyai pertimbangan lagi. Beberapa langkah ia mendesak lawannya. Namun kemudian tanpa ampun lagi, senjatanya telah menggores tubuh lawannya yang liar.

Tetapi kemarahan Pangeran itu telah mendorongnya untuk bertempur dengan keras pula mengimbangi kekasaran lawannya. Tetapi, sejenak kemudian yang terdengar adalah keluhan tertahan. Senjata Pangeran Kuda Padmadata telah menyobek kulitnya lagi. Semakin dalam.

Lawan Pangeran Kuda Padmadata itu pun kemudian terhuyung-huyung. Sesaat ia masih mencoba bertahan. Namun kemudian ia pun terjatuh di tanah dengan nafas yang tersendat-sendat.

Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata merenungi orang yang terbaring itu, terdengar pengawalnya berdesis, “Pangeran”

Pangeran Kuda Padmadata berpaling. Ternyata pengawalnya telah bertempur pula melawan seseorang yang berhasil menyusup pula diantara pertempuran dan langsung berusaha membunuh isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata.

Pangeran Kuda Padmadata menggeram. Dengan darah yang mendidih dijantungnya ia berkata, “Biarlah aku membunuhnya pula”

Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia mendesak lawannya menjauhi isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu, maka Pangeran Kuda Padmadata lah yang kemudian berdiri mengawasi keadaan serta melindungi isteri dan anak laki-lakinya.

Ternyata pengawal itu benar-benar pengawal terpilih dari para pengawal pilihan. Karena itu, maka ia pun segera dapat menguasai keadaan Dengan kecepatannya bergerak, maka pengawal itu segera berhasil mengimbangi kegarangan lawannya yang bertempur sambil berteriak-teriak.

Dalam pada itu, pertempuran di sekitar tempat itu pun berlangsung dengan sengitnya. Jumlah para penyerang yang berilmu hitam itu lebih banyak. Namun mereka telah membentur kekuatan yang sulit ditembusnya. Bahkan kemudian mulai terasa, bahwa para pengawal akan dapat menguasai keadaan.

Dengan demikian, maka tiga orang pemimpin padepokan yang berilmu hitam itu rasa-rasanya bagaikan dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali. Dengan segenap kemampuan, mereka berusaha untuk segera dapat membunuh lawan masing-masing, agar mereka segera dapat membantu para pengikutnya.

Tetapi lawan mereka pun ternyata orang-orang yang berilmu tinggi. Gampar Wulung yang dengan kasarnya berusaha mendesak Mahisa Agni ternyata sama sekali tidak berhasil. Betapapun ia berusaha, namun, Mahisa Agni selalu dapat mengimbanginya. Rasa-rasanya Gampar Wulung telah berhadapan dengan perlawanan yang selalu selapis lebih tinggi dari kemampuannya. Setiap ia berusaha menghentakkan kekuatannya, maka kekuatan lawannya itu pun seolah-olah dengan sendirinya telah meningkat pula.

Demikian pula dengan para pemimpin golongan hitam itu yang lain. Ki Benda berteriak-teriak seperti orang gila. Kemarahan yang membakar jantungnya telah membuatnya seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri. Namun bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak berhasil mendesak lawannya, yang semula menyebut dirinya seorang sais pedati, namun kemudian mengakuinya sebagai seorang pedagang batu-batu berharga dan besi bertuah.

Bahkan semakin lama semakin terasa, bahwa lawannya itu memiliki kemampuan yang melampauinya. Namun demikian, Ki Benda masih berusaha untuk membunuhnya dengan ilmunya yang garang. Dalam keadaan yang terdesak itulah, maka kekuatan hitamnya seolah-olah telah diperasnya. Matanya seolah-olah telah membara, sementara tata geraknya menjadi semakin cepat dan liar. Senjatanya terayun-ayun dengan ganasnya dengan hentakan kekuatan yang luar biasa dilambari dengan tenaga cadangannya. Bahkan kekuatan ilmunya yang ditumpahkan ke dalam kemampuan senjatanya yang dianggapnya bertuah itu, telah membuat senjata bagaikan menyala.

Mahendra yang mengenal berbagai macam senjata dan besi bertuah telah melihat keris Ki Benda yang besar itu berbahaya. Karena itu, maka ia pun mengerti, bahwa Ki Benda telah sampai kepada ilmu pamungkasnya yang seolah-olah telah tertuang dan terungkap pada pusakanya.

“Jangan takut” geram Ki Benda, “pusakaku adalah benar-benar pusaka yang akan dapat membunuhmu, betapapun tinggi ilmumu. Pedangmu itu akan segera luluh menjadi lumpur jika bersentuhan dengan senjataku yang bertuah ini”

Mahendra yang melangkah surut justru tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Aku mengenal berbagai macam jenis besi bertuah. Aku melihat dengan mata hatiku, bahwa kerismu yang besar itu berwarna merah kehitam-hitaman. Itu adalah pertanda betapa buramnya nilai pusakamu dan betapa kotornya tuah yang ada di dalamnya”

“Persetan” bentak Ki Benda, “aku tidak ingkar. Pusakaku selalu bermandikan darah. Tetapi setiap titik darah berarti lapisan tuah yang melekat padanya. Karena itu jangan mengingkari perasaanmu. Kau menjadi ketakutan, karena kau tidak akan dapat melawan pusakaku. Betapapun tebal kulitmu, bahkan seandainya kau mempunyai ilmu kebal, maka kau tidak akan dapat bertahan dari patukan kerisku ini”

Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa kemampuan puncak ilmu Ki Banda benar-benar berbahaya baginya. Karena itulah maka ia pun telah mengerah kan segenap ilmu yang ada padanya. Ia tidak memusatkan ilmunya pada genggaman tangannya dan memukul lawannya sampai lumat. Dengan demikian, maka sentuhan senjata lawannya akan dapat berbahaya baginya. Karena itu. maka ia pun telah mengimbangi lawannya dengan memusatkan kemampuan ilmunya pada tangannya yang seakan-akan telah menjalari senjatanya pula. Pedang Mahendra pun bukan sembarang pedang. Karena itu, maka dengan lembaran kekuatan ilmunya, pedang itu pun seolah-olah telah bercahaya pula.

“Lihatlah” berkata Mahendra kemudian, “seandainya kau membeli besi-besi bertuah itu daripadaku, aku akan memberitahukan kepadamu, bahwa pusaka yang berarti adalah pusaka yang bercahaya kebiru-biruan seperti pedangku ini”

Sebenarnyalah, Ki Benda pun berhasil melihat, bahwa pedang Mahendra seolah-olah telah bercahaya kebiru-biruan. Wajah Ki Benda telah menegang. Urat-uratnya bagaikan telah melonjak keluar dari keningnya. Ia pun melihat, seolah-olah pedang lawannya itu telah menyala putih kebiru-biruan.

“Gila” geramnya. Warna itu telah menyilaukannya. Jauh lebih silau dari warna nyala kerisnya. Meskipun demikian, Ki Benda menganggap bahwa warna besi pusaka itu tidak banyak mempengaruhi kemampuan pusaka-pusaka itu. Ia sudah mengakui bahwa ilmunya sering disebut ilmu hitam. Dan ia tidak mengingkarinya. Karena itulah, maka nyala pusakanya berwarna merah kehitam-hitaman. Tetapi bahwa ilmu hitam itu pun tidak perlu merasa selapis di bawah ilmu putih.

Karena itulah maka Ki Benda kemudian telah menyerang dengan garangnya. Kerisnya yang besar dan yang menyala merah kehitam-hitaman itu berputar seperti baling-baling. Kadang-kadang menyambar mendatar. Namun kemudian mematuk lurus kedepan mengarah dada.

Tetapi, pedang Mahendra yang berwarna putih kebiru-biruan itu mampu mengimbangi kecepatan gerak keris lawannya. Karena itu, maka setiap kali ayunan pusaka Ki Benda itu telah membentur pedang Mahendra. Di setiap benturan, telah terpercik bunga-bunga api yang berwarna merah kehitam-hitaman dan yang berwarna putih kebiru-biruan. Benturan-benturan itu pun telah mendebarkan jantung kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun yang menjadi cemas kemudian adalah Ki Benda yang harus melihat kenyataan yang telah terjadi. Kekuatan Mahendra ternyata melampaui kekuatannya. Dan kecepatan gerak Mahendra pun melampaui kecepatan geraknya.

Sementara itu, maka pertempuran di sekitar tempat itu pun berlangsung dengan sengitnya. Ternyata orang-orang berilmu hitam yang menyerang iring-iringan dari Singasari yang akan pergi keKediri itu telah menemui kesulitan. Mereka telah membentur kekuatan yang meskipun lebih kecil jumlahnya tetapi tidak mampu dipatahkannya.

Setiap orang yang berilmu hitam itu, yang bertempur melawan setiap orang pengawal dari Kediri, harus mengakui, bahwa pengawal terpilih itu memiliki kemampuan yang lebih besar dari kemampuan mereka. Sementara beberapa orang di antara para pengawal itu, yang justru dikira benar-benar sais dan pembantu-pembantunya, ternyata justru orang-orang yang memiliki kelebihan dari para pengawal, sehingga mereka langsung menempatkan diri berhadapan dengan para pemimpin mereka yang selama itu mereka banggakan sebagai orang-orang yang tidak terkalahkan.

Dalam pada itu, Ki Walikat yang berhadapan dengan Witantra itu pun harus mengakui, bahwa Witantra memiliki kemampuan ilmu yang luar biasa. Ketika Ki Walikat itu sampai kepada puncak ilmunya, maka ia pun telah menghadapi ilmu Witantra yang jarang ada duanya.

Sementara itu Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah bertempur pula dengan serunya. Namun lawan mereka ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan mereka seorang melawan seorang. Karena itu, maka beberapa orang telah bersama-sama melawan mereka.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Manisa Pukat pun bertempur dengan sengitnya. Mereka bertempur seperti seekor burung, melonjak-lonjak, melayang, kemudian menukik menyerang, Sehingga dengan demikian lawan mereka pun menjadi semakin lama semakin kebingungan. Namun kehadiran kedua anak-anak muda itu di dalam lingkaran pertemuan, benar-benar telah merupakan selapis bendungan yang dapat menahan para penyerang yang berhasil menyusup pada lingkaran pertempuran yang pertama.

Sementara itu, isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata yang ketakutan itu saling berpelukan. Mereka berdua merasa diri mereka sebagai orang-orang yang sangat lemah diantara benturan senjata. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. selain pasrah kepada Tuhan Yang Maha Agung.

Namun justru karena di tempat itu ada Pangeran Kuda Padmadata, ada pula ayahnya Ki Wastu dan ada pula seorang muda yang telah berbuat terlalu banyak baginya, bagi keselamatannya, maka hatinya serasa lebih tenang dari masa-masa yang pernah dialaminya. Ketika ia seorang diri di dalam lingkungan orang-orang kasar yang dapat berbuat apa saja padanya, maka ia sama sekali tidak berpengharapan. Untunglah bahwa Tuhan Yang Maha Agung masih selalu melindunginya, sehingga ia dapat terlepas dari tangan orang-orang kasar itu dengan selamat. Bukan saja nyawanya, tetapi ia masih tetap utuh seperti saat ia ditinggalkan oleh suaminya.

Sementara itu, walaupun menjadi semakin malam, bintang-bintang sudah bergeser semakin ke Barat. Bahkan sejenak kemudian mulai membayang cahaya bintang panjer esuk yang bagaikan menyala di Timur. Orang-orang yang dapat mengenal bintang sebagai pertanda waktu akan segera mengetahui, bahwa sebentar lagi fajar akan segera menyingsing. Di Selatan, Bintang Gubug Penceng seakan-akan telah hampir datar menyentuh cakrawala di sebelah Barat.

Kegelisahan telah merayapi jantung ketiga orang pemimpin dari orang-orang berilmu hitam itu. Apalagi setelah satu demi satu orang-orang mereka tergores oleh tajamnya senjata. Bahkan satu demi satu orang-orang mereka pun mulai berjatuhan. Apalagi mereka sendiri merasa, bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi lawan mereka yang ternyata memiliki ilmu yang luar biasa.

Ki Gampar Wulung yang telah sampai kepuncak ilmunya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri dari kemampuan ilmu lawannya. Meskipun Mahisa Agni masih belum sampai kepada ilmu pamungkasnya sepenuhnya, namun sudah terasa oleh lawannya, bahwa tekanan ilmu Mahisa Agni itu tidak akan dapat dihindarinya. Demikian pula kawan-kawannya. Ki Benda yang berbangga dengan pusakanya, tidak dapat berbuat banyak melawan pedang Mahendra yang putih kebiru-biruan.

Orang-orang berilmu hitam yang semula berharap untuk dapat berbuat sesuatu bagi Ki Dukut Pakering, yang sedang berusaha untuk mengguncang Kediri, ternyata harus mengakui kenyataan yang mereka hadapi. Satu demi satu orang-orang mereka pun telah jatuh. Luka-luka yang parah telah tergores di tubuh mereka, sehingga mereka tidak dapat lagi bangkit untuk melawan. Bahkan sebagian dari mereka telah terbunuh karenanya.

Kenyataan itu benar-benar telah menggelisahkan para pemimpin mereka. Maka sebelum sampai kepada orang terakhir, maka pemimpin mereka itu pun harus mengambil satu sikap. Sikap itu adalah sikap yang paling mungkin mereka lakukan. Melarikan diri.

Justru ketiga orang pemimpin yang bertempur melawan orang-orang yang tidak disangka sama sekali itu, telah mempunyai pertimbangan yang sama di dalam hati mereka. Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka Ki Gempur Wulung pun tiba-tiba telah melontarkan satu isyarat bagi kawan-kawannya.

Isyarat itu tidak perlu diulang. Dengan serta merta, maka orang-orang berilmu hitam itu pun segera berusaha menarik diri. Mereka telah berusaha membaurkan diri dengan gerak yang membingungkan sambil berlari meninggalkan arena.

Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra, sebenarnya agak terkejut melihat sikap lawannya yang garang itu. Mereka tidak menyangka, bahwa jalan itu ternyata terlalu pendek, sehingga apa yang terjadi itu benar-benar tidak mereka duga. Orang-orang yang garang itu, tiba-tiba saja telah meninggalkan arena dengan sikap yang licik.

Tetapi Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra tidak dapat mengejar mereka. Kecuali karena orang-orang itu telah berbaur, maka ketiganya masih dibayangi oleh kecurigaan, bahwa jika mereka meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata terlalu jauh, maka kelicikan dapat saja terjadi. Jika masih ada orang-orang yang tersembunyi di dalam gelapnya malam, dan tiba-tiba saja datang menyergap, apalagi orang itu Ki Dukut Pakering sendiri dengan orang-orang yang justru terpilih, maka keadaan akan menjadi gawat.

Para pengawal dari Kediri pun ternyata tidak mengejar mereka pula. Para pengawal itu pun tidak ingin meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak luki-lakinya. Karena merekalah sebenarnya yang harus mereka lindungi.

Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan lah yang bertanya kepada ayahnya, “Kita tidak menangkap pemimpin-pemimpin mereka?”

“Mereka telah melarikan diri” jawab Mahendra.

“Ya. Dan kita tidak mengejarnya?” sahut Mahisa Bungalan.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada gunanya. Mereka dapat melarikan diri secepat kita mengejarnya, sehingga belum tentu kita akan dapat menangkap mereka. Mereka mempunyai peluang beberapa kejap sebelum kita menyadari langkah mereka. Karena itu, maka menurut pertimbanganku, mereka akan dapat mencapai hutan itu beberapa langkah di depan kita, karena merekapun, terutama para pemimpinnya adalah orang-orang berilmu, justru ilmu hitam. Karena itu, mengejar mereka adalah sia-sia. Mereka dapat berlari secepat kita lari, sementara kemungkinan lain masih dapat terjadi jika kita meninggalkan tempat ini. Mungkin orang yang paling kita perlukan selama ini, sehingga kita telah membuka padang perburuan yang luas itu, akan datang selama kita berlari-larian mengejar orang-orang berilmu hitam itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mengerti, bahwa mengejar orang-orang yang tidak berarti. Pemimpin-pemimpin mereka, seperti yang di katakan oleh ayahnya, tentu memiliki kesempatan yang paling besar untuk menyelamatkan diri.

“Tidak ada gunanya membantai mereka semakin banyak” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya, “dan tidak ada pula gunanya menangkap mereka. Kecuali hanya akan menjadi beban perjalanan, mereka tidak akan dapat memberikan keterangan apapun juga yang dapat memberikan kejelasan melampaui orang-orang yang terluka yang akan dapat menjadi sumber keterangan”

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun segera berkumpul bersama para pengawal dan orang-orang yang semula dianggap sais pedati-pedati oleh orang-orang dari golongan hitam itu.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang melihat orang-orang yang menyerang iring-iringan dari Singasari ke Kediri itu telah meninggalkan arena, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ternyata Tuhan Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya. Agaknya mereka telah pergi”

Isterinya yang masih memeluk anak laki-lakinya itu pun menahan isak yang hampir meledak. Namun bagaimanapun juga, terasa pipinya menjadi basah oleh air mata yang-meluap dari pelupuknya. “Kita selamat anakku” desis perempuan itu. Anak laki-lakinya masih melekatkan kepalanya di dada ibunya. Namun kemudian ia pun menyadari, bahwa pertempuran itu sudah selesai.

Dalam pada itu, Ki Wastu berdiri tegak dengan hati yang bergetar melihat anak perempuan dan cucunya yang sudah berhasil diselamatkan. Seakan-akan ia telah diguncang oleh satu pertanyaan yang melingkar-lingkar di rongga dadanya, “Kenapa semuanya itu harus terjadi atas anak perempuannya.”

Namun seperti Pangeran Kuda Padmadata, seperti anak perempuannya dan seperti orang-orang yang lain. ia mengucap sukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa malapetaka itu telah dapat dicegah.

Ketika Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu kemudian berusaha menenangkan ibu dan anak itu, para pengawal telah dihadapkan pada tugas-tugas baru. Mereka harus mengumpulkan orang-orang yang lerluka dan kemudian mereka yang telah terbunuh. Beruntunglah, bahwa korban diantara pengawal yang paling parah, tidak sampai merenggut nyawanya, meskipun tiga orang tidak lagi dapat bangkit. Tetapi karena perawatan yang cepat, maka nyawa mereka masih dapat diharapkan untuk dipertahankan.

Sebelum matahari terbit, para pengawal telah menguburkan empat orang lawan yang terbunuh. Kemudian mengumpulkan dua orang yang terluka berat, dan dua orang lagi yang tidak membahayakan jiwanya, meskipun mereka tidak sempat melarikan diri.

“Gila” geram seorang pengawal, “mereka benar-benar menjadi beban diperjalanan. Kitalah yang harus merawat mereka. Menyediakan makan dan minum. Mengobati dan melayani”

“Apa boleh buat” desis yang lain.

“Sementara kawan-kawan kita sendiri pun telah terluka pula" berkata yang pertama.

“Ada dua orang yang dapat melayani kawan-kawannya yang parah” berkata yang lain.

“Yang dua itu pun memerlukan pelayanan” geram yang lain lagi.

Tetapi mereka tidak dapat mengingkari tugas-tugas itu. Mereka tidak dapat membunuh orang-orang yang lelah menjadi tawanan mereka.

Ketika matahari terbit, maka mereka pun mulai berbenah. Dua pedati telah dipergunakan untuk mengangkut orang-orang yang terluka. Satu pedati untuk tiga orang pengawal dan satu pedati untuk orang-orang yang tertawan. Namun dengan demikian, maka semua perlengkapan telah dipindahkan ke pedati yang satu lagi, sehingga dengan demikian isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya, tidak lagi dapat duduk di dalam pedati. Tetapi mereka telah dipersilahkan untuk duduk dipunggung kuda dengan seorang pengawal yang membantu menuntun kuda itu. Karena sebenarnyalah bahwa perjalanan itu tidak dapat lebih cepat dari orang yang berjalan kaki karena diantara iring-iringan itu terdapat juga tiga buah pedati.

Para pengawal akan bergantian berjalan menuntun dua ekor kuda. Tetapi anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata, telah berani duduk bersama seorang pengawal. Bahkan diperjalanan berikutnya, pengawal itu kadang-kadang melarikan kudanya mendahului meskipun tidak terlalu cepat. Kemudian kembali menyongsong iring-iringan itu.

“Jangan terlalu jauh mendahului kami” berkata Mahisa Bungalan kemudian.

Pengawal itu mengerti. Meskipun jarak itu hanya beberapa tombak, namun akan dapat terjadi sesuatu, justru anak laki-laki itu menjadi sasaran utama dari setiap usaha pembunuhan.

Ketika iring-iringan itu melewati sebuah sungai yang jernih, maka mereka pun berhenti sejenak. Mereka sempat memberi minum kuda dan lembu penarik pedati, sementara mereka pun sempat menyegarkan tubuh mereka...