Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 33
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SEMENTARA itu orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu dari jauh menjadi berdebar-debar. Pisau belati di tangan anak muda yang seakan-akan telah menjadi mabuk itu akan dapat menjadi sangat berbahaya.

Apalagi di antara orang-orang yang berkerumun di kejauhan itu sama sekali tak mengerti dan tidak dapat menilai apa yang sudah terjadi. Mereka tidak mengerti bahwa selama itu Mahisa Bungalan sengaja tidak berbuat apa-apa, selain mengelak. Mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan memang tidak memiliki kesempatan untuk membalas serangan yang datang beruntun dan terus menerus.

Tetapi, bagi mereka yang mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, di antaranya para prajurit Singasari dan beberapa orang kawan anak muda yang kesurupan itu sendiri justru menjadi berdebar-debar, bahwa Mahisa Bungalan akan mempergunakan senjata pula. Namun Mahisa Bungalan sama sekali tidak menarik senjatanya. Ia masih tetap berdiri dengan tenang menunggu serangan lawannya yang bakal datang.

Sejenak kemudian, anak muda yang sudah bersenjata pisau belati itu melangkah satu-satu mendekati Mahisa Bungalan yang telah bersiap. Seperti yang sudah diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan, maka pada suatu saat anak muda murid Empu Purung itu pun lelah meloncat menerkam. Pisaunya diangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian terayun langsung menusuk bahu Mahisa Bungalan.

Namun seperti yang sudah dilakukannya, maka Mahisa Bungalan telah menghindarinya. Selangkah ia beringsut sambil memiringkan tubuhnya. Pisau belati yang terayun itu telah kehilangan sasaran. Namun anak muda yang marah itu tidak kehilangan akal. Ia telah merubah arahnya mendatar, sehingga ujungnya pun kemudian menyambar perut. Tetapi sekali lagi Mahisa Bungalan mengelak. Pisau itu meluncur pada jarak tidak lebih setapak di depan perut Mahisa Bungalan.

Sementara pisau itu meluncur, maka Mahisa Bungalan pun segera menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Sekali ia melingkar sambil merendahkan diri, menarik tangan itu di atas pundaknya dan sambil menghentakkan tangan itu Mahisa Bungalan mengangkat tubuh anak muda itu dengan pundaknya.

Anak muda itu pun terlempar ke udara. Kakinya berputar dan kemudian terlempar sementara tangannya masih dalam genggaman tangan Mahisa Bungalan. Anak muda murid Empu Purung itu bagaikan berputar di udara. Badannya yang kuat kekar itu bulat-bulat telah jatuh di tanah pada punggungnya. Mahisa Bungalan melepaskan tangan anak muda itu. Tetapi anak muda itu tidak segera dapat bangkit. Sambil menyeringai ia menekan punggungnya dengan telapak tangannya.

Baru sejenak kemudian, murid Empu Purung itu tertatih-tatih berdiri sambil mengumpat-umpat. Meskipun punggungnya terasa sakit, tetapi ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan wajah yang merah membara ia masih tetap mengacungkan senjata nya kepada Mahisa Bungalan.

“Anak gila” salah seorang prajurit Singasari justru membentaknya, “kau masih akan melawan?”

“Persetan” geram anak muda itu, “aku akan membunuhnya.”

“Anak yang tidak tahu diri. Kau sangka bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu dengan kegilaanmu itu?”

“Aku akan membunuhmu pula.”

“Jangan membuat lelucon semacam itu” desis prajurit yang seorang lagi “pada suatu saat kami akan kehilangan kesabaran kami“

“Aku tidak memerlukan kesabaranmu. Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan membunuhmu semuanya.”

“Kau sudah hampir mati” desis prajurit Singasari itu

“Kau yang hampir mati“

Prajurit muda itu tiba-tiba saja tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Selangkah ia meloncat maju. Hampir saja tanganya meraih tangan murid Empu Purung yang menggenggam senjata itu. Untunglah bahwa Mahisa Bungalan cepat bergerak dan mencegahnya.

“Jangan marah” desis Mahisa Bungalan.

“Anak itu memang pantas untuk disumbat mulutnya. Dalam keadaan serupa itu, ia masih saja tetap mengingau“

“Biar sajalah ia berkata apa saja.” jawab Mahisa Bungalan.

“Tentu tidak, ia memaki dan mengumpati kami. Kita adalah prajurit-prajurit Singasari yang bertugas di sini. Ia tidak boleh menghina kita yang membawa limpahan kekuasaan Singasari atas daerah ini.”

“Setiap orang tidak boleh menghina pihak lain. Anak muda itu memang tidak boleh menghina siapapun. Tetapi biarlah ia menyadari kesalahnya itu jika ia sudah mempunyai waktu untuk mengendapkan perasaannya. Kini ia sedang di bakar oleh kemarahan dan kekecewaan.”

“Tetapi ia tidak boleh berbuat sekehendak hati. Aku dapat memukulinya sampai mati tanpa urusan apapun juga” desis seorang prajurit muda.

“Tentu tidak” sahut Mahisa Bungalan” justru karena kita seorang prajurit. Apapun yang kita lakukan harus kita pertanggung jawabkan. Bukan sebaliknya, bahwa karena kita seorang prajurit, kita dapat berbuat apa saja.”

Prajurit muda itu agaknya tidak dapat mengerti keterangan Mahisa Bungalan yang juga masih muda. Tetapi seorang prajurit yang lebih tua menggamitnya sambil berbisik, ”Jangan diseret oleh perasaan yang keliru. Dengarlah pendapat Mahisa Bungalan. Ia adalah Orang yang justru menjadi sasaran kedunguan anak gila itu. Tetapi ia tetap dapat menguasai perasaan dan tingkah lakunya.”

Prajurit muda itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan kembali perasaannya yang sudah bergejolak sampai ke kepala.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan melangkah mendekati murid Empu Purung itu sambil berkata, ”Cobalah mengerti apa yang telah terjadi. Jika aku mencegah kawanku menghukummu, bukan karena aku takut akan akibatnya. Setiap prajurit tidak akan gentar menghadapi apapun juga. Tetapi kami pun sadar bahwa yang kami lakukan adalah suatu tindakan yang harus dipertanggung jawabkan. Nah, sekarang pulanglah. Dan jangan mencoba lagi, agar kau tidak terperosok ke dalam kesulitan. Aku tahu, kau tentu seorang anak muda yang baru mendapat latihan-latihan olah kanuragan. Barangkali kau baru menerima sejenis ilmu yang kau anggap mumpuni. Tetapi kau harus sadari, tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan. Aku sekarang tidak dapat kau kalahkan. Tetapi tentu ada orang yang dapat mengalahkan aku. Dan barangkali orang-orang itu justru pada suatu saat kau kalahkan.”

Murid Empu Purung yang masih membawa senjata itu memandang wajah Mahisa Bungalan dengan sorot mata yang membara. Dan karena sorot mata itulah Mahisa Bungalan merasa prihatin. Anak muda itu ternyata sama sekali tidak mau mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Meskipun ia kemudian hanya berdiri mematung, namun nampak pada matanya, bahwa ia menyimpan dendam yang membara didalam hati.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, ”mungkin saat ini kau masih dibakar oleh kemarahan. Tetapi aku harap kau cukup dewasa menanggapi keadaan. Kaulah yang telah mulai membuat persoalan. Aku tahu, tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi kau dapat menilai, apakah hasil dari tingkahmu yang aneh itu?”

Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi senjatanya masih tetap tergenggam.

“Serahkan senjata itu” desis Mahisa Bungalan, “meskipun aku tahu bahwa kau masih menyimpan senjata serupa dirumahmu. Bahkan mungkin tidak hanya satu. Dan bahkan mungkin kau juga menyimpan pedang, tombak dan senjata-senjata yang lain.”

Wajah anak itu menjadi semakin membara.

“Serahkan Ki Sanak. Itu adalah suatu pertanda bahwa kau mengakui kesalahanmu.”

Anak muda itu masih tetap berdiri dengan tegang. Tetapi dengan tenang Mahisa Bungalan melangkah semakin dekat. Prajurit-prajurit Singasari yang menyaksikan menjadi tegang pula. Bagaimanapun juga anak muda itu masih tetap bersenjata.

“Jangan mempersulit diri sendiri” berkata Mahisa Bungalan.

Sejenak anak muda itu memandang Mahisa Bungalan dengan tatapan mata penuh dendam. Namun tiba-tiba saja ia meloncat maju dengan garangnya. Dengan sisa tenaganya ia menusuk lambung Mahisa Bungalan dengan senjatanya. Yang menyaksikan serangan itu terkejut bukan buatan. Para prajurit itu pun serentak telah bergeser maju. Merek telah siap melakukan apa saja menghadapi segenap kemungkinan.

Tetapi, yang mereka lihat kemudian adalah, bahwa Mahisa Bungalan telah menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Dengan satu pukulan sisi telapak tangannya, maka pisau belati di tangan anak muda itu telah terlepas. Ternyata bahwa genggaman tangan Mahisa Bungalan bagaikan himpitan besi baja di pergelangan tangan anak muda itu. Sambil menyeringai ia pun menggeliat menahan kesakitan.

“Ambil pisau itu” geram Mahisa Bungalan yang masih mencoba menahan kemarahan yang hampir tidak terbendung. “Ambil” bentaknya, “dan serahkan kepadaku. Aku minta kau menyerahkan senjata itu.”

Para prajurit menjadi semakin tidak mengerti tingkah laku Mahisa Bungalan. Mereka melihat Mahisa Bungalan justru melepaskan anak muda itu.

“Ambil pisau itu dan serahkan kepadaku.” wajah Mahisa Bungalanpun menjadi merah.

Ketika anak muda itu masih belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja tangan Mahisa Bungalan terayun di wajahnya. Terdengar anak muda itu berdesah ketika ia terdorong selangkah surut, dan bahkan kemudian jatuh terlentang ditanah. Ketika tangannya mengusap mulutnya, maka ia melihat warna merah dijari-jarinya.

“Cepat bangkit dan ambil pisau itu” perintah Mahisa Bungalan semakin keras.

Tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi pucat. Mulutnya terasa betapa sakitnya. Sedangkan darah mengalir semakin deras. Sebuah giginya telah patah dan justru telah tertelan. Ketika Mahisa Bungalan melangkah maju, maka dengan tergesa-gesa anak muda itu bangkit, betapapun tubuhnya merasa sakit. Dengan tergesa-gesa pula ia memungut pisau belatinya yang terjatuh.

“Serahkan kepadaku. Atau kau ingin aku benar-benar membunuhmu?” geram Mahisa Bungalan.

Anak muda itu ragu-ragu. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama. Ketika Mahisa Bungalan bergerak setapak, maka ia pun dengan serta merta mengacungkan pisaunya.

“Seharusnya kau tidak gila” geram Mahisa Bungalan. “aku dapat kehabisan kesabaran dan membuat wajahmu berubah. Pegang pisau itu pada tajamnya, dan ulurkan tangkainya.”

Anak muda murid Empu Purung itu tidak berani membantah. Iapun kemudian memegangi pisaunya pada tajamnya dan mengulurkan tangkaianya kepada Mahisa Bungalan.

“Jadilah pertanda bahwa kau sudah mengakui kesalahan dan kekalahanmu. Jika kau mengulangi tingkah lakumu yang gila itu, maka aku atau prajurit Singasari yang lain, akan mengambil sikap yang barangkali lebih tidak menyenangkan lagi bagimu” berkata Mahisa Bungalan, “untuk kali ini prajurit-prajurit Singasari masih dapat menahan diri."

Murid Empu Purung itu tidak menjawab

“Sekarang pergilah” geram Mahisa Bungalan.

Anak muda itu melangkah surut. Dengan tegang ia masih tetap memandang Mahisa Bungalan yang kemudian membentaknya, ”Pergi Cepat.”

Anak muda itupun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahisa Bungalan. Sekali-kali ia masih berpaling dengan cemas. Rasa-rasanya Mahisa Bungalan itu menyusulnya dan menghantam punggungnya sampai patah. Tetapi Mahisa Bungalan tidak beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya anak itu pergi meninggalkannya dan kemudian meninggalkan tempat itu.

Beberapa orang kawannya memandanginya dari kejauhan. Ternyata prajurit Singasari itu tidak beramai-ramai memukulinya. Bahkan Mahisa Bungalan telah mencegahnya ketika ada seorang prajurit muda yang hampir kehilangan kesabarannya

Namun dalam pada itu, anak-anak muda, murid Empu Purung itu dapat melihat bahwa kawannya yang paling mereka banggakan itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi prajurit Singasari. Dengan mudah prajurit itu dapat mengalahkannya, bahwa dengan hampir tidak menitikkan keringat sama sekali, prajurit Singasari itu berhasil menguasainya mutlak.

Tetapi kawan-kawan anak muda yang gagal memancing persoalan dengan prajurit-prajurit Singasari itu tidak segera mendapatkannya. Mereka melingkar dan menunggu di balik padukuhan kecil di seberang bulak sempit. Namun sementara itu, semuanya yang telah terjadi, ternyata tidak terlepas dari pengamatan petugas sandi Singasari. Dari kejauhan seorang petugas sandi telah melihat apa yang terjadi.

Karena itulah, maka iapun selalu mengawasi anak muda yang kemudian dengan tergesa-gesa pergi meninggalkan Mahisa Bungalan itu. Dari kejauhan pula, petugas sandi itu dapat melihat, bahwa di balik padukuhan kecil, beberapa anak muda yang lain telah menemuinya. Meskipun petugas sandi itu tidak mendengar, tetapi ia dapat memperhitungkan, bahwa anak muda itu sedang, menceriterakan apa yang telah dialaminya.

Ketika anak-anak muda itu melanjutkan perjalanan, maka petugas sandi itu tidak melepaskannya. Ia mengikutinya terus dan melihat-melihat anak-anak muda itu ternyata menuju kepadepokan Empu Purung. Tidak banyak kesimpulan yang dapat diambil oleh petugas sandi itu kecuali dengan demikian ia mengetahui bahwa anak-anak muda itu memang berasal dari padepokan Empu Purung yang tidak terlalu jauh letaknya dari barak para prajurit Singasari.

Dalam pada itu, peristiwa itu pun telah didengar pula oleh Empu Purung. Sebenarnya ia tidak berkeberatan dengan cara yang diambil oleh muridnya. Tetapi kegagalan itu telah membuatnya menjadi prihatin. “Jadi kau berhasil memancing perkelahian?“ bertanya Empu Purung.

“Ya Empu. Aku telah berkelahi atas namaku sendiri. Maksudku, aku ingin memancing kemarahan para prajurit itu sehingga mereka akan memukuli aku beramai-ramai. Itu akan dapat aku jadikan alasan untuk menyerang barak itu tanpa membawa nama padepokan ini, karena yang terjadi adalah sekedar benturan antara anak-anak muda. Tetapi ternyata bahwa prajurit Singasari itu telah kepanjingan hantu. Jangankan beberapa orang, sedangkan sebuah pukulan telah membuat aku hampir pingsan."

Empu Purung mengangguk-angguk. Yang telah terjadi dapat dibuatnya ukuran, bahwa yang telah mereka capai sama sekali belum berarti apa-apa bagi prajurit-prajurit Singasari. “Meskipun jumlah kami jauh lebih banyak, tetapi kami tidak dapat berbuat apa-apa jika kemampuan kami masih saja terbatas seperti ini” berkata Empu Purung kemudian.

“Ya Empu. Mereka bagaikan mendapat kekuatan dari iblis" jawab anak muda yang mulutnya berdarah itu.

“Baiklah” berkata Empu Purung, “yang kalian dapatkan dari padaku memang baru sedikit. Tetapi aku tidak cemas. Masih ada waktu bagi kalian untuk melatih diri lebih baik dan tekun, sambil menunggu keterangan dari Empu Baladatu. Jangan takut. Jika dengan kekuatan wadag kita tidak mampu melawan, maka aku akan membuat mereka menjadi gila, karena sebenarnya aku sendiri akan dapat membuat mereka tidak berdaya.”

Murid-muridnya mengangguk-angguk. Bagi mereka Empu Purung adalah orang yang luar biasa. Yang mampu meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan. Itulah sebabnya, maka murid-muridnya pun segera melupakan apa yang telah terjadi. Anak muda yang tidak berdaya menghadapi Mahisa Bungalan itu pun kemudian sambil mengangkat dadanya berkata didalam hati,

“Pada suatu saat aku akan datang lagi. Dengan sebuah sentuhan jari telunjukku, kau akan menjadi debu.”

Sejak saat itu, maka murid-murid Empu Purung itu pun dengan tekun mulai memperdalam ilmunya. Meskipun ilmu kanuragan Empu Purung sama sekali tidak mengajari mereka dengan ilmunya yang dahsyat. Tidak mengajari mereka, bagaimana caranya meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan dengan sentuhan jari. Meskipun demikian, mereka telah menjadi bangga dengan kemajuan yang mereka capai dalam olah kanuragan.

Bahkan bukan saja anak-anak muda murid Empu Purung itulah yang harus meningkatkan ilmunya. Tetapi setiap orang laki-laki yang berada di bawah pengaruhnya Empu Purungpun telah dengan tekun berusaha menambah ilmunya, karena mereka pun mendengar bahwa prajurit-prajurit Singasari memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Namun setiap kali murid-murid Empu Purung selalu memperingatkan, agar mereka tidak menjadi cemas. Empu Purung mempunyai kemampuan yang tidak terbatas.

“Jika kita tidak mampu melawan mereka, maka Empu Purung akan menggiring mereka dengan ilmunya ke lembah. Kemudian tebing di sebelah menyebelah pun akan runtuh menimbun tubuh mereka, sehingga mereka akan menjadi lumat karenanya.”

Orang-orang yang berada di bawah pengaruh Empu Purung, itu menjadi gembira. Mereka berharap bahwa hal itu akan segera terjadi

Dalam pada itu, para petugas sandi dari Singasari yang berhasil melihat dan mengikuti anak-anak muda murid Empu Purung itupun mengikuti setiap perkembangan dengan saksama. Mereka selalu mengawasi latihan-latihan yang diadakan setiap saat. Di padepokan Empu Purung, di banjar-banjar padukuhan dan hampir disetiap rumah.

“Perkembangan mereka mulai mencapai suatu tingkat yang berbahaya Ki Lurah” berkata petugas sandi itu kepada pemimpin prajurit Singasari.

Pemimpin prajurit Singasari itu mengangguk-angguk. Beberapa orang terpenting dari pasukannya segera dipanggilnya untuk berbicara. Termasuk Mahisa Bungalan.

“Perkembangan yang serupa terjadi dibeberapa tempat” berkata Mahisa Bungalan” kita harus memperhatikan perkembangan itu secara menyeluruh.“

“Ya” sahut pemimpin prajurit Singasari itu” kita tidak dapat bertindak sendiri.”

“Apakah kita menunggu mereka berkembang semakin luas?” bertanya seseorang.

“Semua masalah harus kita perhatikan” berkata pemimpin prajurit itu. ”jika kita tergesa-gesa bertindak disatu tem pat, maka hal itu akan merupakan peringatan bagi tempat lain yang menghadapi persoalan serupa.“

“Tetapi ada persoalan lain disini” sahut Mahisa Bungalan” jika keadaan memang memaksa, kita dapat mengembangkan persoalan yang membatasi lingkungan yang kecil ini“

“Maksudmu?”

“Persoalan diantara kita. Tegasnya, aku dan anak-anak muda yang telah dengan sengaja memancing persoalan. Jika perlu hal itu dapat dikembangkan sebagai alasan kita untuk bertindak tanpa menyentuh persoalan yang sebenarnya dari tugas kita disini.”

Pemimpin prajurit itu mencoba melihat kemungkinan yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan. Baginya, cara itu nampaknya memang akan lebih mempersempit persoalan, seakan-akan yang terjadi bukannya karena kecurigaan prajurit Singasari terhadap semakin majunya ilmu orang-orang dipadepokan Empu Purung itu.

Meskipun demikian, pemimpin prajurit Singasari itu masih tetap berhati-hati. Karena itu maka katanya, “Kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Tetapi baiklah. Hal ini akan aku perhatikan. Barangkali akan merupakan pemecahan yang paling mungkin kita lakukan.”

Dengan demikian, maka prajurit-prajurit Singasari itu masih harus menahan diri. Mereka masih harus tinggal dibarak dengan cara yang serupa. Namun dibalik bukit, sekelompok prajurit, yang lain tinggal dalam satu perkemahan yang menjemukan. Terapi karena mereka membagi waktu sebaik-baiknya. maka kejemuan itu pun sebagian dapat diatasi.

Sementara pihak Singasari dan mereka yang berada di bawah pengaruh Empu Baladatu sedang berada dalam satu lingkaran kecurigaan, maka Linggapati di Mahibit merasa, bahwa usahanya telah berhasil. Dengan demikian maka ia tinggal menunggu benturan kekuatan yang akan segera terjadi. Jika kedua belah pihak telah menjadi parah, maka Linggapati akan tampil dan berdiri di atas keduanya.

“Baladatu akan hancur oleh prajurit-prajurit Singasari. Dan prajurit-prajurit Singasari yang menjadi lemah itu akan aku hancurkan pula bersama para Akuwu yang telah bersedia berdiri di barisanku” berkata Linggapati kepada dirinya sendiri dengan penuh kebanggaan.

Namun dalam pada itu, Singasari tidak lengah menghadapi perkembangan keadaan. Meskipun nampaknya para prajurit dan petugas menurut penglihatan Linggapati hanyalah ditujukan kepada para pengikut Empu Baladatu, namun karena Mahibit pernah terlibat dalam hubungan yang erat dengan Empu Baladatu, khususnya saat mereka menyerang padepokan Empu Sanggadaru, maka kecurigaan Singasari terhadap Linggapati tidak segera pudar.

Perlahan-lahan namun dengan penuh ketekunan, akhirnya para petugas sandi berhasil menemukan jejak Linggapati di Mahibit. Karena bagaimana pun juga, Linggapati tidak dapat berdiam diri. Ia pun selalu berusaha dapat mengikuti perkembangan di padepokan-padepokan yang disangkanya telah jatuh kedalam pengaruh Empu Baladatu. Sambil tersenyum Linggapati atau orang-orang kepercayaannya menyaksikan barak-barak yang dibuat oleh prajurit Singasari di beberapa tempat yang dianggapnya perlu.

“Benturan itu tidak akan dapat dihindari lagi” desis Linggapati.

Namun diluar dugaan, maka kegiatan penyelidikannya itu telah tertangkap oleh jaringan petugas sandi dari Singasari. “Orang-orang Mahibit pun berkeliaran terutama di daerah Timur” para petugas sandi itu melaporkan.

Dengan demikian, maka para perwira tertinggi di Singasari telah berusaha memecahkan keadaan secara keseluruhan. Mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa laporan yang pernah mereka terima tentang kegiatan Empu Baladatu, justru datangnya dari Mahibit. Orang-orang di Mahibit ingin melihat pasukan Singasari berbenturan melawan orang-orang yang terpengaruh oleh Empu Baladatu. Karena itulah, maka Singasari pun kemudian dengan hati-hati berusaha untuk menguasai persoalannya dalam keseluruhan.

“Kita tidak boleh tergesa-gesa” berkata Mahisa Agni, yang meskipun sudah menjadi semakin tua, tetapi ia masih tetap seorang yang berpengaruh di kalangan keprajuritan di Singasari. Dan ternyata kemudian, bahwa perintah yang keluar dari para perwira prajurit pun berbunyi senada dengan pendapat Mahisa Agni, meskipun beberapa orang perwira muda kadang-kadang merasa terlalu lamban.

“Kita menunggu setelah mereka menjadi kuat dan menyerang kita lebih dahulu” berkata seorang perwira muda.

“Siapakah yang menjadi kuat? Empu Baladatu atau Linggapati?”

“Kedua-duanya.”

“Tetapi bagaimana akibatnya jika kita dengan tergesa-gesa bertindak atas salah satu pihak? Kekuatan kita akan berkurang, sementara kekuatan Linggapati masih tetap utuh.”

“Itu akan lebih baik. Kita bertempur melawan kekuatan terbagi. Kita hancurkan dahulu Empu Baladatu. Baru kemudian Linggapati. Tetapi jika harus menghadapi mereka bersama-sama, apalagi setelah mereka menjadi kuat, maka tugas kita akan terasa berat sekali.”

“Tetapi itu lebih baik kita lakukan dengan beradu dada. Setelah semuanya jelas, kita akan menghadapinya. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kekuatan Linggapati masih tersembunyi. Jika kekuatan yang tidak kita ketahui itu ternyata cukup besar dan menghanam kita dari punggung maka kita akan mengalami kesulitan pula.”

Perwira muda itu mencoba untuk mengerti. Tetapi darah kemudaannya banyak berpengaruh atas segala pertimbangannya. Meskipun demikian, ia tidak menjawab lagi. Ia tahu, bahwa hal itu tidak akan dapat diperdebatkan. Jika para pemimpin tertinggi Singasari memerintahkan untuk bertahan pada keadaan seperti yang sedang berjalan, maka itu adalah keputusan yang tidak dapat dirubah-rubahnya menurut selera masing-masing.

Karena itulah, maka para prajurit Singasari terpaksa tetap berada di tempatnya, meskipun kadang-kadang terasa sangat menjemukan. Namun sementara itu, para petugas sandi sajalah yang bekerja dengan tidak mengenal waktu.

Namun dalam pada itu, di luar dugaan Linggapati, sebenarnyalah prajurit-prajurit Singasari telah membuat beberapa pemusatan prajurit untuk menghadapinya. Beberapa orang Akuwu yang mencurigakan tidak luput dari pengamatan Singasari. Karena Singasari telah menangkap jaringan hubungan para Akuwu itu dengan Linggapati.

“Tugas kita memang berat” berkata para perwira, “di satu pihak kita harus mengamati setiap padepokan yang di duga mempunyai sangkut paut dengan Empu Baladatu. Peningkatan yang menyolok dalam olah kanuragan merupakan pertanda yang dapat dijadikan pegangan sementara. Namun dalam pada itu, juga kegiatan para Akuwu yang dalam pengamatan para petugas sandi mengadakan hubungan dengan Linggapati."

“Jangan sandarkan pada kekuatan para prajurit semata-semata” berkata para perwira yang sudah berpengalaman, “hadapi kegiatan di padepokan itu dengan kegiatan serupa di padukuhan sekitarnya. Demikian juga kegiatan olah kanuragan di beberapa daerah yang langsung dilakukan oleh para Akuwu.”

Ternyata bahwa perintah itu mendapat sambutan yang baik dari para pemimpin kelompok di tempat-tempat yang terpencar. Mereka berusaha untuk membuat hubungan dengan para Buyut di padukuhan-padukuhan di sekitarnya.

“Kami menawarkan tenaga kami yang seakan-akan sia-sia saja” berkata seorang prajurit yang seolah-olah sekedar ingin menghapuskan kejemuan.

Buyut padukuhan di sebelah padepokan yang meningkat kan kegiatannya, semula sama sekali tidak bercuriga. Jika ada orang-orang dari padukuhan-padukuhan yang termasuk wilayahnya, ikut serta dalam latihan-latihan di padepokan itu, Ki Buyutpun tidak menaruh prasangka apa-apa. Menurut pengertiannya, di padepokan-padepokan memang sering diadakan peningkatan ilmu, yang kasar dan yang halus. Bahkan sebelumnya ada beberapa orang Buyut yang justru merasa berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada beberapa orang dari padukuhannya untuk ikut serta mendapatkan ilmu kanuragan.

Namun pengaruh padepokan yang semakin meluas, kadang-kadang memang menjadi persoalan bagi Ki Buyut. Orang-orang yang berada di bawah pengaruh salah seorang pemimpin padepokan, seharusnya hanyalah dalam tataran ilmu kanuragan maupun kajiwan. Tetapi dasar-dasar pemerintahan bagi padukuhan mereka akan tetap berlaku seperti seharusnya di bawah pimpinan seorang Buyut.

Tetapi kadang-kadang orang-orang yang telah memiliki kemampuan dan ilmu kanuragan, tidak lagi mau tunduk kepada Ki Buyut di padukuhannya. Ia lebih dekat dengan pemimpin padepokannya. Demikian pula padukuhan Alas Pandan yang berada di bawah bayangan pengaruh Empu Purung.

Ki Buyut kadang-kadang merasa bahwa pengaruhnya sudah jauh terdesak dari pengaruh Empu Purung dengan cantrik-cantriknya. Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang, termasuk wilayah Ki Buyut mulai mengabaikan peraturan-peraturan seharusnya berlaku. Mereka lebih senang menurut perintah Empu Purung dari pada Ki Buyut meskipun dalam tata kehidupan di padukuhannya.

Karena itulah ketika Mahisa Bungalan dengan diam-diam datang kepada Ki Buyut bersama seorang perwira prajurit Singasari dalam pakaian orang kebanyakan sehingga tidak mudah diketahui, Ki Buyut telah menyampaikan semuanya yang dirasakannya janggal.

“Apakah prajurit Singasari dapat membantu aku?” bertanya Ki Buyut.

Mahisa Bungalan dan perwira muda itu mengangguk-angguk. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan berkata, “Apakah masih ada beberapa orang anak-anak muda yang tidak berada di bawah pengaruh Empu Purung?“

“Aku kira masih ada Ki Sanak. Tetapi pada umumnya mereka adalah anak-anak muda yang tidak mengenal apapun selain langkah ke sawah dan ladang. Dalam pergaulan sehari-hari mereka sama sekali tidak memiliki wibawa apapun juga jika berhadapan dengan anak-anak muda yang sudah mempelajari ilmu kanuragan di padepokan Empu Purung.”

“Apakah diantara anak-anak muda itu pernah timbul perselisihan.” bertanya Mahisa Bungalan.

“Hampir tidak pernah. Anak-anak muda yang tidak memiliki ilmu kanuragan itu tidak berani membantah, apapun yang di katakan dan kehendaki oleh mereka yang sering berada di padepokan. Bahkan mengenai urutan mempergunakan air dari parit yang kurang mencukupi itu pun, anak-anak muda yang merasa dirinya memiliki ilmu kanuragan itu, berbuat sekehendak hati mereka. Itulah sebabnya kadang-kadang tanaman di satu kotak sawah menjadi layu, sedangkan di sebelahnya nampak subur dan hijau.”

“Apakah Ki Buyut pernah berbuat sesuatu?”

“Aku pernah mengumpulkan mereka. Tetapi anak-anak muda yang berada dibawah pengaruh Empu Purung itu merasa diri mereka terlalu kuat. Mereka merasa satu dengan anak-anak muda dari padukuhan yang lain, diluar kekuasaanku. Tetapi Bayut dari daerah itupun merasa berprihatin seperti aku pula.“

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Ki Buyut. Kami adalah prajurit Singasari yang mendapat tugas di daerah ini. Selama ini kami hanya duduk-duduk, makan dan hidup dalam suasana yang menjemukan.”

Perwira muda di sebelah Mahisa Bungalan itu bergeser. Tetapi ketika ia akan mengucapkan sesuatu, Mahisa Bungalan telah menggamitnya, sehingga perwira muda itu mengerutkan keningnya dan mengurungkan kata-kata yang sudah hampir meloncat dari mulutnya.

“Karena itu Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan, “kami ingin melepaskan kejemuan kami dengan kerja yang barangkali berguna bagi padukuhan ini“

“Maksud Ki Sanak?”

“Bagaimana jika kami membantu anak-anak muda itu di dalam kerja dan kehidupan mereka sehari-hari.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu memang dapat memberikan imbangan atas sikap anak-anak muda yang merasa dirinya kuat dalam olah kanuragan itu. Tetapi peristiwa itu hanyalah peristiwa sesaat. Jika kalian di tarik dari daerah ini, maka yang tinggal adalah dendam. Dendam dari anak-anak yang berada di bawah pengaruh Empu Purung itu terhadap anak-anak muda yang selama ini bekerja bersama kalian.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian Ki Buyut, tetapi sudah barang tentu Ki Buyut tidak akan dapat membiarkan kepincangan ini terjadi untuk seterusnya.”

“Ya. Namun jika mungkin aku ingin mendapatkan pemecahan yang lestari. Bukan sekedar penyelesaian sementara, tetapi yang justru akan menimbulkan kesulitan dikemudian. hari.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ki Buyut ternyata memang persoalan itu dalam keseluruhan dan bagi masa depan yang panjang. Sebenarnyalah menurut penilaian Mahisa Bungalan, Ki Buyut adalah orang yang memiliki kemampuan berpikir. Tetapi ia tidak sempat melakukannya. Karena itu, maka menurut perhitungan Mahisa Bungalan, Ki Buyut akan dapat diajaknya bekerja bersama untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh anak-anak muda yang justru sejalan dengan rencananya.

Dengan sungguh-sungguh Mahisa Bungalan pun kemudian bertanya kepada Ki Buyut, “Ki Buyut, apakah jumlah anak-anak muda yang berada dibawah pengaruh Empu Purung itu cukup banyak?”

“Ya Ki Sanak. Mungkin lebih banyak dari mereka yang tidak berada dibawah pengaruhnya. Pada umumnya anak-anak muda senang dengan kebanggaan jasmaniah. Di padepokan Empu Purung mereka mendapat latihan-latihan olah kanuragan“

“Apakah Ki Buyut mengetahui, apakah maksud Empu Purung memberikan latihan-latihan itu?”

Ki Buyut menggelengkan kepalanya. Katanya, “Menurut pendengaranku mereka tidak mendapat tugas apa-apa dari Empu Purung.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tentu hanya orang-orang terpenting sajalah yang mengetahui maksud sebenarnya dari Empu Purung. Seperti yang pernah didengar oleh petugas sandi Singasari, bahwa sikap Empu Purung dan beberapa padepokan yang tersebar lainnya, berada dibawah pengaruh Empu Baladatu.

Namun dengan demikian Mahisa Bungalan telah mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan anak-anak muda dipadukuhan-padukuhan yang berada disekitar padepokan Empu Purung, sehingga dengan beberapa orang pemimpin prajurit Singasari ia akan dapat menentukan sikap yang sebaik-baiknya.

Ketika Mahisa Bungalan dan perwira muda itu meninggalkan rumah Ki Buyut, barulah perwira itu bertanya, “Kenapa tidak diberitahukan sama sekali maksud kedatangan kita ke tempat ini dan barangkali kita dapat memberikan sekedar petunjuk dalam olah kanuragan kepada anak-anak muda itu?”

“Kita belum tahu pasti sikap Ki Buyut yang sebenarnya” berkata Mahisa Bungalan.

Namun setelah di saat lain Mahisa Bungalan bertemu dan berbicara lagi dengan Ki Buyut, maka yakinlah ia bahwa Ki Buyut sendiri sama sekali tidak berdiri dipihak Empu Purung meskipun ia tidak berani menentang sikapnya.

“Ia adalah menusia yang luar biasa. Ia dapat mengeringkan lautan dan menggugurkan gunung dengan jari telunjuknya” berkata Ki Buyut, “dan ia dapat membuat seseorang menjadi gila dan lumpuh tanpa menyentuhnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Bagi orang di padukuhan-padukuhan kecil yang terpisah, kelebihan yang mereka lihat pada Empu Purung telah cukup untuk membangkitkan dongeng-dongeng yang dapat mencengkam mereka kedalam pengaruhnya.

“Baiklah Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan berusaha untuk berbuat sesuatu yang akan dapat berarti bagi padukuhan ini.”

“Apa yang akan Ki Sanak lakukan?”

Mahisa Bungalan masih ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun berkata, “Aku akan memberikan dasar olah kanuragan pula kepada anak-anak muda yang tidak bersedia menempatkan dirinya dibawah pengaruh Empu Purung.”

“O” tiba-tiba saja Ki Buyut menggeleng, “jadi dengan demikian Ki Sanak akan mengadu anak-anak muda kami agar saling berkelahi di antara mereka? Jika mereka masing-masing memiliki ilmu kanuragan, maka kedua belah pihak akan mempunyai kekuatan untuk saling mempertahankan diri dan sikap. Yang akan terjadi kemudian adalah perkelahian yang tidak ada henti-hentinya dipadukuhan ini. Apakah dengan demikian ke adaan padukuhan ini akan bertambah baik?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Buyut. Imbangan kekuatan memang dapat menimbulkan bencana. Mungkin akan terjadi benturan kekuatan di antara mereka. Tetapi tanpa imbangan kekuatan, yang terjadi adalah penindasan semata-mata. Akan lebih baik jika kita dapat menilai sikap dan tingkah laku mereka yang mungkin akan dapat memiliki imbangan kekuatan. Jika mereka yang mengerti arti yang sebenarnya dari tugas kemanusiaan memiliki kekekuatan yang lebih besar, maka akan segera terjadi ketenangan di dalam padukuhan ini.”

“Tetapi jika sebaliknya? Maka dendam akan bertambah, dan kesulitanpun akan menjadi-jadi.”

“Selama kami berada disini, kami akan selalu mengawasi perkembangan keadaan. Kami akan berusaha sehingga kekuatan itu sedikitnya akan berimbang. Biarlah para prajurit yang jemu untuk sekedar duduk-duduk dan makan sambil bergurau itu mendapat tugas yang lebih menarik. Membimbing anak-anak muda itu untuk berlatih dalam olah kanuragan. Tentu para prajurit tidak akan kalah dari para cantrik di padepokan Empu Purung.”

“Tetapi ada satu dua orang anak muda yang langsung berada di bawah asuhan Empu Purung sendiri. Mereka tentu memiliki ilmu yang tidak terkalahkan. Bahkan mungkin berada di atas kemampuan prajurit-prajurit Singasari sendiri.” berkata Ki Buyut.

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng, Katanya, “Tidak Ki Buyut. Bahkan Empu Purung tidak akan dapat mengalahkan pemimpin kami yang bertugas disini. Jika Empu Purung merasa mampu mengalahkan, ia tentu sudah berbuat sesuatu. Karena pemimpin kami pun dapat mengeringkan lautan dan menggugurkan gunung, bukan saja dengan jarinya, tetapi hanya dengan tatapan matanya.”

Ki Buyut tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata, “Terserah kepada kebijaksanaan Ki Sanak.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia sudah berhasil meyakinkan Ki Buyut, bahwa dengan memberikan imbangan kekuatan, maka anak-anak muda yang telah menyadap ilmu di padepokan Empu Purung, apakah dengan langsung atau lewat cantrik-cantriknya, akan terpaksa mempertimbangkan tingkah lakunya di padepokannya.

“Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “baiklah aku akan segera mulai. Pembicaraan ini dapat aku anggap sebagai ijin yang telah Ki Buyut berikan. Aku akan mengatur saat-saat yang paling tepat dan menghubungi orang-orang yang mungkin bersedia. Untuk itu, disaat-saat mendatang, mungkin aku akan sering bertemu dengan Ki Buyut.”

“Dan aku akan telibat dalam kesulitan dengan Empu Purung.” desis Ki Buyut.

“Dengan diam-diam seperti yang selalu aku lakukan. Tidak ada orang yang mengetahui bahwa Ki Buyut telah berhubungan dengan prajurit-prajurit Singasari.”

“Semuanya terserah kepada Ki Sanak. Tetapi aku mohon, bahwa yang akan terjadi adalah ketenangan dan ketenteraman. Bukan sebaliknya.”

Mahisa Bugalan mengangguk-angguk. Ia menyanggupi pesan itu. Katanya, “Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”

Ternyata bahwa sikap Ki Buyut itu merupakan sikap kebanyakan tetua padukuhan yang dihubungi oleh prajurit-prajurit Singasari dibeberapa tempat. Pada umumnya mereka segan terlibat dalam kesulitan melawan kekuatan yang seakan-akan telah tersusun di daerah-daerah terpencil yang pengaruhnya sampai kepadukuhan-padukuhan mereka.

Di Alas Pandan Mahisa Bungalan mulai dengan usahanya untuk menghubungi anak-anak muda yang tidak terlibat dalam kegiatan Empu Purung. Apakah mereka dianggap kurang memenuhi syarat, atau dianggap terlampau malas dan lemah, atau dengan alasan apapun juga, namun yang ternyata kemudian telah tersisih dari kawan-kawannya yang ikut serta dalam latihan-latihan olah kanuragan.

“Ternyata jumlah mereka masih cukup” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi sulit untuk memancing keberanian mereka.”

“Kita akan melindungi mereka dengan panji-panji kebesaran prajurit Singasari.” desis Mahisa Bungalan, “jika mereka menentang rencana kita, maka mereka akan berhadapan dengan prajurit Singasari. Sementara itu, usaha untuk menempa mereka dapat dilakukan dengan terbuka.”

“Kita sudah mulai menantang Empu Purung.” berkata salah seorang perwira.

“Aku kira Empu Purung tidak akan bertindak sendiri sebelum mendapat perintah dari Empu Baladatu.”

Para prajurit Singasari itupun sependapat, bahwa mereka akan melakukannya tanpa bersembunyi lagi. Mereka mempunyai perhitungan tersendiri tentang Empu Purung. Bahkan seandainya Empu Purung langsung betindak atas namanya sendiri, maka prajurit Singasari pun telah siap melawannya.

Di hari-hari berikutnya, maka prajurit Singasari pun mulai memasuki padukuhan-padukuhan kecil di daerah pengaruh Empu Purung, Meskipun demikian, mereka tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa karena kebanyakan anak-anak muda justru menjadi cemas melihat sikap mereka.

Dengan cara yang paling lunak, maka prajurit-prajurit Singasari itu pun mulai memperkenalkan diri kepada anak-anak muda yang menurut petunjuk Ki Buyut tidak termasuk anak-anak muda yang melibatkan diri dalam menyadapan ilmu di padepokan Empu Purung, meskipun Ki Buyut sendiri masih belum bersedia melawannya dendan terbuka, sehingga dengan demikian. maka hubungan dengan Ki Buyut masih tetap dilakukan dengan diam-diam.

Satu dua orang di antara mereka berhasil dihubungi. Mahisa Bungalan yang masuk ke padukuhan kecil itu, dapat bertemu dengan seorang anak muda yang bertubuh kurus dan lemah. Namun menurut penglihatan Mahisa Bungalan, tatapan mata anak itu membayangkan betapa kuat hatinya dan betapa teguh keyakinannya.

“Siapa namamu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Padon” jawab anak muda itu.

“Kau tidak ikut dalam latihan-latihan di padepokan Empu Purung itu Padon?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku tidak ikut diminta. Mungkin karena aku sakit-sakitan saja selama ini“

“Dan kau menyesal?”

Padon termangu-mangu sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, “Seharusnya kau mengucap sukur.”

“Tetapi aku mengalami banyak kesulitan dari kawan-kawanku itu. Mereka merampas air yang seharusnya mengairi sawahku. Mereka merampas padang rumput daerah penggembalaan ternakku dan masih banyak lagi yang dilakukan justru karena mereka sama sekali tidak takut mengalami akibat apa pun dari perbuatannya.”

“Dan kau terima nasib itu sampai dihari tuamu. Juga anak-anakmu dan cucu-cucumu?”

Padon mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu seolah-olah telah menggugah pertanyaan serupa di dalam hatinya yang paling dalam, “Ya, apakah demikian?”

“Pikirkan Padon. Nasib masa depanmu dan masa depan keluargamu akan selalu terancam.”

“Lalu apa yang, dapat aku kerjakan“

“Kau masih sakit-sakitan?”

“Ya. Aku memang sakit-sakitan.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak yang tidak ikut serta berlatih ilmu kanuragan di padepokan Empu Purung adalah anak-anak muda yang sakit-sakitan atau yang dianggap pengecut.

“Kau sudah berusaha mengobati sakitmu?”

Padon menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada gunanya. Aku. selalu merasa tidak berdaya.”

“Kau kekurangan bukan saja makanan bagi jasmanimu, tetapi juga rohanimu. Seseorang, dapat terasa dirinya sakit meskipun ia sehat.”

“Tetapi aku benar-benar sakit.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Seandainya kau sehat, apakah kau juga akan ikut serta pergi kepadepokan Empu Purung?”

Pertanyaan itu telah membingungkannya.

“Kau tidak usah menyembunyikan sesuatu. Katakan. Aku tidak berkeberatan atas kedua jenis jawaban yang mungkin kau berikan. Ya, atau tidak. Aku tidak berkepentingan apakah kau ingin berada di dalam lingkungan mereka atau tidak.”

Padon masih tetap termangu-mangu. Bahkan iapun pernah mendengar bahwa salah seorang kawannya yang berada didalam lingkungan, padepokan Empu Purung, bahkan termasuk seorang anak muda pilihan, telah berkelahi melawan seorang prajurit Singasari.

“Katakanlah sikapmu sendiri Padon” desak Mahisa Bungalan.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya dengan jujur, “Memang semula ada keinginanku untuk ikut serta bersama kawan-kawanku pergi kepadepokan itu di hari-hari tertentu. Dua atau tiga kali setiap pekan untuk mendapakan latihan-latihan olah kanuragan. Namun tenagaku ternyata tidak memungkinkan. Ketika seorang cantrik padepokan itu memilih anak-anak yang, dianggapnya cukup kuat, aku telah disisihkannya.” ia berhenti sejenak, lalu, “namun kemudian ternyata aku merasa berterima kasih bahwa aku telah dibebaskan dari kewajiban tersebut.”

“Kenapa?”

“Ternyata mereka yang telah mendapat bimbingan dari padepokan itu merasa dirinya dapat berbuat apa saja terhadap orang lain“

“Agaknya tidak. Apalagi jika aku merasa diriku telah tersentuh akibat dari sikap itu. Meskipun demikian aku dan beberapa orang kawan tidak dapat berbuat apa-apa.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menyatakan maksudnya bahwa ia bersedia untuk memberikan imbangan atas sikap anak-anak muda yang, telah berada didalam lingkungan Empu Purung itu.

Namun dalam pada itu, kunjungan prajurit Singasari pada anak-anak muda di luar lingkungan Padepokan Empu Purung telah menumbuhkan kecurigaan mereka. Meskipun mereka belum melihat sesuatu tindakan yang dapat mengancam kedudukan mereka, namun agaknya mereka merasa perlu untuk mengambil sikap. Karena itulah, maka beberapa orang diantara mereka telah mendatangi Padon dengan sikap yang kasar.

“Apa yang kau lakukan Padon? Apakah kau sedang merajuk?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku tidak tahu maksudmu” sahut Padon.

“Kau telah melaporkan kepada prajurit-prajurit Singasari itu bahwa kami sering mengganggumu. Begitu?”

“Aku tidak mengatakan apapun kepada mereka. Mereka datang untuk memperkenalkan diri. Dan aku menerima ke datangannya. Apakah itu salah?“

“Jika sekedar seperti yang kau katakan, kau tidak salah. Mungkin prajurit-prajurit itu sedang membujuk agar kau memberikan buah jambu kelutuk dipategalanmu kepada mereka. Atau satu dua orang prajurit itu jatuh cinta kepada adikmu.Tetapi jika kemudian ternyata bahwa prajurit-prajurit itu mengambil sikap lain, akupun akan menentukan apa yang, akan kami lakukan terhadapmu.”

Padon tidak menjawab. Tetapi ia mulai ragu-ragu. Ia tidak akan dapat menentang sikap anak-anak muda itu. Namun selagi Padon dicengkam oleh kebimbangan, tiba tiba saja Mahisa Bungalan telah datang pula ke rumahnya. Wajah Padon menjadi merah. Kedatangan Mahisa Bungalan justru pada saat anak-anak muda itu berada di rumahnya, akan dapat menimbulkan persoalan yang gawat bagi dirinya.

Ternyata seperti yang diduganya, justru Mahisa Bungalan lah yang telah memulainya, “Nah anak-anak Empu Purung. Apakah kalian telah mencurigai Padon dan mengancamnya?”

Anak-anak muda itu terkejut mendengar pertanyaan Mahisa Bungalan yang berterus terang itu. Salah seorang dari mereka menjadi panas dan menjawab dengan berterus terang pula, “Ya, Kami mencurigai Padon. Mungkin ia telah memfitnah kami dan memberikan keterangan yang salah terhadap kalian.”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Padon tidak pernah memberikan keterangan apa-apa kepadaku. Justru pengetahuanku tentang kalian sudah jauh lebih banyak dari Padon. Aku pernah melayani salah seorang dari kalian berkelahi. Dan itu dapat aku jadikan ukuran tingkah laku kalian.” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “sekarang, justru akulah yang akan mengancam. Jika terjadi sesuatu atas Padon, siapa pun yang melakukan, aku akan minta pertanggungan jawab kalian. Aku adalah prajurit Singasari yang mempunyai limpahan kekuasaan. Aku dapat bertindak dengan kekuatan yang ada. Jika perlu, aku dapat memanggil pasukan segelar sepapan.”

Anak-anak muda yang berada dalam pengaruh Empu Purung itu termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi Mahisa Bungalan. Karena itulah, maka mereka pun kemudian meninggalkan rumah Padon dengan hati yang bergetar menahan kemarahan

“Empu Purung terlalu lama menunggu” geram salah seorang dari mereka.

“Kita harus melaporkannya kepada Empu Purung.” sahut yang lain lagi.

Demikianlah anak-anak muda itu telah bersepakat untuk menyampaikan sikap Mahisa Bungalan kepada para cantrik dan jika perlu akan mereka sampaikan kepada Empu Purung sendiri.

Dalam pada itu, selagi anak-anak muda yang tidak termasuk anak buah Empu Purung itu semakin erat berkenalan dengan Mahisa Bungalan, maka Empu Purung menjadi semakin gelisah menghadapi perkembangan keadaan. Sementara itu, anak buahnya sudah hampir tidak dapat dikendalikan lagi.

Dalam kegelisahan itu, Empu Purung mencoba untuk mencari hubungan dengan Empu Baladatu. Apakah persiapannya dipadepokan-padepokan terpencil sudah cukup kuat sehingga saatnya sudah dekat untuk berbuat sesuatu, mengguncang kekuasaan Ranggawuni dan Mihasa Cempaka.

Sementara Empu Purung menunggu, maka di Mahibit Linggapati tidak tinggal diam menghadapi perkembangan keadaan. Ia sudah melihat dua kekuatan yang seakan-akan sudah saling berhadapan. Karena itulah, maka ia pun memperluas jaring-jaringnya. Berbeda dengan Empu Baladatu yang mencari kekuatan kepada kawan-kawannya yang berada di padepokan-padepokan dan menyelenggarakan perguruan ilmu kanuragan, maka Linggapati masih saja sibuk dengan para Akuwu dan pemimpin pemerintahan yang lain.

Ia merasa kuat dengan dukungan para kesatria dan para pemimpin di daerah para Akuwu. Dengan demikian, maka pengawal dan prajurit dari daerah seorang Akuwu yang berada dibawah pengaruhnya, akan merupakan kekuatan yang tidak kalah besarnya dari kekuatan para cantrik dipadepokan-padepokan.

Untuk mengikat para Akuwu menghormati wibawanya, Linggapati telah bekerja bersama dengan beberapa orang Senapati yang tersingkir pada masa kekuasaan Tohjaya runtuh. Para Senapati yang sekedar dicengkam oleh perasaan dendam dan kebencian karena mereka telah kehilangan kedudukan dan jabatan mereka.

Dengan licik Linggapati berhasil memikat hati para Akuwu di sekitar Kota Raja, sehingga seakan-akan kota raja Singasari telah terkepung meskipun masih belum nampak sama sekali, karena para Akuwu dan kekuatannya masih berusaha untuk menahan diri seperti juga para pemimpin padepokan

Namun di luar sadarnya, semua tingkah laku para Akuwu itu mendapat pengamatan yang saksama dari para petugas sandi dari Singasari. Meskipun demikian Singasari masih tetap menganggap bahwa saatnya masih harus ditunggu untuk bertindak.

Tetapi dalam pada itu, para akuwu mulai tertarik melihat kegiatan padepokan-padepokan yang harus mereka awasi. Padepokan-padepokan itu seakan-akan telah menghisap setiap laki-laki. bukan saja anak-anak muda untuk memberikan latihan-latihan kanuragan. Sementara prajurit-prajurit Singasari telah siap pula diberbagai tempat untuk mengawasi mereka.

“Bagaimanapun juga, perkembangan kekuatan mereka mencemaskan” para Akuwu mulai membicarakannya dengan para pemimpin pemerintahan yang lain.

“Serahkan mereka kepada prajurit Singasari. Biarlah kekuatan mereka dibenturkan kepada kekuatan Singasari. Kita akan menemukan reruntuhan di atas tebaran mayat di segala penjuru. Dan kita akan bangkit dan berdiri diatas bangkai bangkai itu.”

Para Akuwu yang mulai ragu-ragu mencoba menghibur diri, bahwa mereka masih mempunyai cukup kekuatan. Bahwa prajurit mereka masih tetap patuh dan siap berbuat apa saja. Demkianlah, maka kekuatan yang ada di Singasari itupun telah saling mengintai. Masing-masing dalam jalurnya yang menjelujur sampai ke daerah-daerah terpencil.

Laporan tentang hal itu agaknya telah menarik perhatian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, sehingga ia memerlukan mengadakan pembicaraan khusus dengan Mahisa Agni.

“Paman” berkata Ranggawuni, “perkembangan keadaan itu telah mencemaskan sekali. Bukan karena aku tidak percaya akan kemampuan prajurit Singasari, tetapi dengan mengutamakan kekuatan senjata, maka penyelesaian yang demikian akan menghisap korban yang tidak terhitung jumlahnya“

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Sebenarnyalah demikian tuanku. Sebenarnyalah mencemaskan“

“Jadi menurut paman, apakah yang sebaiknya aku lakukan untuk mengatasi persoalan ini? Aku tahu bahwa Singasari telah siap dengan prajurit-prajuritnya di daerah-daerah terpencil yang akan sanggup menghadapi Empu Baladatu maupun Linggapati yang berhasil mempengaruhi beberapa orang, pemimpin pemerintahan di daerah para Akuwu. Tetapi apakah hal itu merupakan penyelesaian yang paling bijaksana? Bahkan seandainya kita dapat menumpas mereka sampai orang terakhir?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Paman” tiba-tiba Ranggawuni berdesis, “Aku ingin melihat sendiri, apakah yang telah tumbuh di beberapa tempat itu benar-benar merupakan bahaya bagi Singasari.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak berkeberatan atas rencana kedua anak muda yang sedang memimpin pemerintahan Singasari. Namun dengan demikian, maka perjalanan ke duanya akan memerlukan perlindungan khusus. Seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka keduanya tidak ingin mengadakan perjalanan resmi sebagai seorang Maharaja dengan pengawal pasukan segelar sepapan. Tetapi keduanya lebih senang menempuh perjalanan yang tidak diketahui oleh siapapun juga kecuali orang-orang terpenting dan terpercaya.

Setelah dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan masak, maka mulailah kedua orang itu dengan perjalanannya. Tetapi mereka tidak hanya berdua. Mahisa Agni dan Witantra pergi bersama mereka, sementara Mahendra telah pula di panggil untuk merambas jalan.

“Kau bukan seorang prajurit” berkata Mahisa Agni, “dan kau adalah seorang pedagang yang pernah menjelajahi tempat-tempat yang jauh. Karena itu, kau diharap untuk mendahului setiap perjalanan kami.”

Mahendra tersenyum. Jawabnya” Bagaimana cara yang harus aku lakukan dalam tugas ini?“

“Kita akan menentukan tujuan pertama, Kau sudah harus datang ketempat itu. Baru kemudian kami menyusul. Di tempat itu, kita akan merundingkan kemana kau harus pergi lagi mendahului perjalanan kami. Dengan demikian maka kita akan menempuh perjalanan yang mungkin panjang.”

“Baiklah. Jika tugas itu memang dibebankan kepadaku.”

Tetapi Mahendra tidak ingin pergi seorang diri. Agar ia tidak kesepian diperjalanan, maka kedua anaknya yang muda telah dipanggilnya untuk menyertai perjalanannya. “Yang pertama adalah tempat kedudukan Mahisa Bungalan” berkata Mahendra, “aku sudah lama tidak bertemu dengan anakku itu.”

“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “kami tidak berkeberatan. Kami dapat mulai dengan tempat yang manapun juga. Tetapi tidak Mahibit dan padepokan Empu Baladatu sendiri.”

Demikianlah, maka sasaran yang pertama kali akan dilihat oleh Ranggawuni dan Mahesa Cempaka adalah daerah yang berada di bawah pengaruh Empu Purung di daerah Alas Pandan.

Kedatangan Mahendra bersama kedua anaknya di daerah kecil itu tidak menarik perhatian, karena mereka datang sebagai pedagang. Dengan kebiasaannya, Mahendra berhasil meyakinkan orang-orang di daerah terpencil itu, bahwa ia memang seorang pedagang keliling. Bahkan Mahendra pun benar-benar telah memanfaatkan perjalanannya dalam kemungkinan memperluas daerah perdagangannya pula.

“Kami adalah orang-orang yang mengkhususkan diri dalam perdagangan pusaka, wesi aji dan batu-batu bertuah” berkata Mehendra kepada orang-orang yang dijumpainya dipadukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Purung itu.

Memang tidak banyak orang yang menaruh perhatian terhadap barang-barang yang diperdagangkan oleh Mahendra. Apalagi di daerah yang tidak begitu besar seperti daerah Alas Pandan. Namun demikian ada juga satu dua orang yang, tertarik kepadanya.

Atas ijin Ki Buyut Mahendra telah bermalam di banjar padukuhan. Kepada satu dua orang yang datang menjumpainya, Mahendra telah menunjukkan beberapa jenis keris dan patrem, tuweg dan luwuk. Tetapi selain jenis-jenis pusaka, juga beberapa jenis batu bertuah. Akik berbagai jenis dan warna. Bukan saja batu-batu akik yang mempunyai tuah tertentu, tetapi juga batu-batu yang menarik warna dan bentuknya. Bahkan agaknya Ki Buyut pun telah tertarik pula setelah ia mendengar dari orang-orang yang telah melihat kumpulan barang yang dibawa oleh Mahendra itu.

“Kami bersedia membeli dan menjual” berkata Mahendra, “karena itu, jika Ki Buyut memerlukan, silahkan. Tetapi jika ada barang-barang Ki Buyut dan penghuni padukuhan ini yang tidak memerlukan lagi, kami sanggup membelinya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “kami senang sekali melihat barang-barang ini. Tentu saja kami ingin memiliki barang satu dua. Tetapi kami adalah orang-orang miskin.”

“Ah” Mahendra tertawa, “barang-barang kami bukannya barang-barang yang mahal.”

“Sayang sekali” desis Ki Buyut.

“Tidak apa Ki Buyut. Kami sudah berterima kasih bahwa kami boleh tinggal di banjar ini barang satu dua hari Kami memang sedang menunggu kawan-kawan pedagang yang berkeliling seperti kami bertiga. Jika Ki Buyut tidak berkeberatan, apabila mereka tidak ingkar janji, biarlah mereka tinggal di sini bersama kami barang satu dua malam.”

Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Tentu tidak Ki Sanak. Asal mereka datang dengan maksud baik, kami tentu tidak akan berkeberatan.”

Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Tentu kami tidak akan berani berbuat jahat disini. Bukankah di sini banyak anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan? Apalagi di sini juga banyak terdapat prajurit-prajurit Singasari?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Meskipun kepalanya terangguk-angguk namun agaknya ada sesuatu yang memberati perasaannya. “Justru karena itu Ki Sanak” tiba-tiba saja Ki Buyut berdesis.

“Kenapa Ki Buyut?” bertanya Mahendra.

Ki Buyut termangu sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada yang dalam, “Kehadiran kekuatan-kekuatan di daerah ini telah membuat aku menjadi bersedih. Anak-anak muda itu telah mendapat tuntutan langsung dari Empu Purung sendiri. Bahkan satu dua yang dianggapnya terkuat telah mendapat tuntunan langsung dari Empu Purung sendiri. Sementara itu hadir kekuatan lain di daerah ini. Prajuriti Singasari yang menularkan kemampuannya kepada anak-anak muda yang lain.”

Mahendra mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, kenapa Ki Buyut itu nampak murung. Dengan hadirnya dua kekuatan yang berlawanan itu, maka padukuhan itu terasa seolah-olah sedang dipanggang dalam api ketegangan. “Ki Buyut” bertanya Mahendra kemudian, “apakah dengan hadirnya kekuatan-kekuatan itu telah pernah terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang kecil-kecil sudah sering terjadi. Bahkan mereka saling mengancam dan mendendam. Apakah dengan demikian hati orang tua ini tidak selalu cemas dan berdebar-debar. Seakan-akan padukuhan ini telah basah oleh minyak. Setiap saat api yang kecil sekalipun akan dapat mengobarkan api yang dapat membakar kami semuanya menjadi abu“

Mahendra termangu-mangu. Lalu katanya, “Ki Buyut. Manakah yang lebih baik. Kekuatan itu hanya ada disatu pihak, atau berada dikedua belah pihak yang dapat memberikan imbangan bagi kekuatan yang pertama?”

Ki Buyut memandang Mahendra sejenak. Lalu katanya, “Bagiku Ki Sanak. Lebih baik padukuhan ini tidak dijamah oleh kekasaran olah kanuragan seperti itu dipihak manapun juga. Kenapa kita harus mempergunakan dan menyiapkan kekuatan jasmaniah? Bukankah kita dianugerahi oleh Yang Maha Agung, kemampuan rasa dan pikir yang dapat kita pergunakan untuk menyusun masyarakat yang lebih baik daripada selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian? Bukankah setiap persoalan akan dapat kita bicarakan, kita timbang buruk dan baiknya. Kemudian kita terapkan dalam susunan kehidupan yang sesuai dengan keadaan padukuhan ini.?”

Mahendra menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti sepenuhnya, betapa jernihnya pendapat Ki Buyut yang tua itu. Dengan sedih ia harus menyaksikan anak-anak padukuhannya saling bermusuhan

“Ki Sanak” berkata Ki Buyut itu pula, “memang mungkin kita saling berbeda sikap dan pendirian. Tetapi kita bukannya titah yang tidak mempunyai nalar budi. Kita dapat berbicara menimbang buruk dan baik. Jika kita mengatakan buruk dan baik, maka itu adalah buruk dan baik bagi kita semuanya. Bukan sekedar buruk dan baik bagi seseorang, satu pihak atau sekelompok orang-orang tertentu. Tetapi baik bagi kita semua.”

Mahendra mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimanakah jika tidak diketemukan suatu kesepakatan tentang yang baik dan buruk itu Ki Buyut?”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Mahendra dengan ragu-ragu. Namun kemudian dengan ragu-ragu pula ia bertanya “Bukankah Ki Sanak seorang pedagang?”

“Ya. Aku seorang pedagang.”

“Ki Sanak tentu sudah beribu kali mengalami, bahwa yang terbaik dalam suatu sentuhan antara manusia adalah suatu persetujuan. Ki Sanak mempunyai barang atau ingin membeli sesuatu dari orang lain. Yang terjadi adalah penawaran dan permintaan. Jika saling bertemu antara dua kepentingan, maka jual beli itupun terjadi. Jika tidak, maka terjadilah persetujuan lain. Jual beli itu dibatalkan. Nah, bukankah tidak terjadi kekerasan? Jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya, maka yang terjadi adalah benturan kekuatan.”

Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ki Buyut benar. Yang terjadi adalah suatu persetujuan. Tetapi Ki Buyut, pada suatu saat, persetujuan yang demikian tidak terjadi. Dan pada umumnya memang tidak disebut sebagai jual beli. Tetapi terjadi adalah perampasan oleh suatu kekuatan.”

“Itu menunjukkan tinggi rendah martabat kita sebagai manusia Ki Sanak. Jika harus terjadi demikian atas kita, maka kita memang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti seekor rusa yang berhadapan dengan seekor harimau yang garang. Kita berhadapan, bahkan berdoa, agar kita dapat mempertahankan, bahkan meningkat martabat kita sebagai manusia yang berakal dan berbudi.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sikap yang damai memancar dari sikap dan kata-kata Ki Buyut. Tetapi, pada suatu saat, betapa hatinya hancur oleh kenyataan, bahwa manusia yang diharapkannya itu tidak terdapat didalam padukuhannya. Yang ada adalah benturan kekuatan dan kekerasan, sehingga di antara penghuni padukuhannya, seakan-akan tidak ada lagi kebijaksanaan. Tidak ada lagi keluruhan hati untuk saling memberi dan menerima. Tetapi Mahendra. tidak bertanya Lebih banyak lagi. Ia sadar bahwa demikian hati Ki Buyut tentu akan menjadi semakin pahit melihat kenyataan yang dihadapinya.

Namun di luar dugaan, maka tiba-tiba saja Ki Buyut itupun berkata, “Ki Sanak. Tetapi sikap yang telah menodai martabat manusia itu masih saja terjadi disini. Di padukuhan ini. Mudah-mudahan tidak terjadi pada saat Ki Sanak ada di sini.”

Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menyembunyikan perasaan itu dibalik senyumnya. Ki Buyut pun kemudian menyadari bahwa pembicaraan tentang hal itu tidak terlalu menarik. Karena itu maka iapun kemudian, kembali pada niatnya. Melihat-lihat yang dibawa oleh Mahendra dan mendengar penjelasannya tentang berbagai macam barang, wesi aji dan batu-batu bertuah lainnya.

“Ki Sanak” berkata Ki Buyut kemudian, “barang-barangmu memang sangat menarik. Mudah-mudahan Ki Sanak mendapatkan rejeki cukup dengan cara yang Ki Sanak lakukan sekarang,“

“Terima kasih Ki Buyut. Dan terima kasih atas kesempatan yang Ki Buyut berikan kepadaku untuk tinggal di Banjar dan kawan-kawanku yang masih akan datang besok atau lusa.”

“Tetapi Ki Sanak. Yang dapat aku berikan adalah sekedar tempat. Selain tempat aku tidak dapat berikan.”

“Cukup Ki Buyut. Sudah terlalu cukup. Di sini banyak kesempatan bagi kami mendapatkan makan dan minum.”

“O” Ki Buyut cepat-cepat memotong, “maksudku bukan tentang makan dan minum. Kamipun mempunyai kelebihan sekedar untuk menjamu Ki Sanak sekarang dan kawan-kawan Ki Sanak yang bakal datang” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “yang aku maksud adalah, bahwa kami tidak dapat melindungi Ki Sanak jika terjadi sesuatu karena kami di sini masih belum dapat jangankan mengembangkan, bahkan, sekedar mempertahankan martabat manusia yang ada.”

Mahendra menarik nafas. Namun katanya, “Daerah ini cukup tenang, Ki Buyut. Aku harap, tidak akan terjadi sesuatu disini.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu nampak memberati wajahnya. Namun iapun kemudian minta diri sambil berkata, “Aku akan kembali Ki Sanak. Batu-batumu sangat menarik perhatian. Aku ingin memiliki barang satu atau dua butir“

“Silahkan Ki Buyut. Aku akan sangat berterima kasih.”

Sepeninggal Ki Buyut, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berbisik ditelinga ayahnya, seakan-akan masih ada orang yang ada di sekitarnya, “Apakah itu berarti bahwa keadaan dipadukuhan ini gawat?”

Mahendra menarik nafas. Jawabnya, “Mungkin. Dan Ki Buyut menjadi sangat bersedih atas peristiwa itu. Sikap damai Ki Buyut seharusnya dapat memancarkan ketenangan di padukuhannya. Namun pengaruh dari luar padukuhan, dalam hal ini hadirnya para cantrik padepokan Empu Purung telah menumbuhkan ketegangan.”

“Juga prajurit-prajurit Singasari menurut penilaian Ki Buyut” desis Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat mengerti perasaan Ki Buyut. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat membiarkan tindakan sewenang-wenang terjadi tanpa hambatan apapun juga.”

“Agaknya Ki Buyut pun dengan hati yang berat telah memperingatkan kita” gumam Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Nampaknya Ki Buyut memang menjadi cemas, bahwa orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan mengetahui bahwa Mahendra membawa berbagai macam pusaka dan batu yang berharga, akan melakukan tindakan yang tidak sewajarnya.

“Mudah-mudahan mereka tidak melakukannya” desis Mahendra, “sebab dengan demikian tentu akan timbul benturan kekerasan. Kami tidak akan menyerahkan barang-barang kami sehingga kami harus mempertaruhkannya. Jika keributan itu di dengar oleh prajurit-prajurit Singasari, maka akan terjadi perkelahian yang semakin luas sehingga Ki Buyut pun akan menjadi semakin sedih karenanya.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dan Mahendra pun berkata selanjutnya, “Karenanya itu jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka. Yang sudah terlanjur diketahui oleh banyak orang, biarlah diketahui Mudah-mudahan tidak menimbulkan rangsang buruk bagi anak-anak muda yang berada di bawah pengaruh Empu Purung itu.”

Karena itulah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berusaha mengekang diri sendiri. Betapa inginnya ia berkeliaran sampai ke tempat para prajurit Singasari, menjumpai kakaknya Mahisa Bungalan dengan segera, namun ayahnyalah yang mencegahnya.

“Apakah kita tidak akan menjumpai mereka?” bertanya Mahisa Pukat.

“Biarlah kakakmu datang kemari.”

“Apakah ia mengetahui bahwa kita datang? Ayah tidak menyebut nama ayah yang sebenarnya kepada siapapun juga disini.”

“Tetapi kehadiran seorang pedagang wesi aji dan batu-batu bertuah tentu akan menarik perhatiannya, karena ayahnya juga seorang pedagang barang-barang tersebut.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud ayahnya. Dan merekapun memperhitungkan seperti perhitungan ayahnya itu pula. Ternyata bahwa dugaan Mahendra tidak salah. Mahisa Bungalan yang juga mendengar berita tentang kedatangan saudagar wesi aji dan batu-batu bertuah, menjadi sangat tertarik.

“Kau percaya bahwa pusaka-pusaka yang dijual oleh penjual pusaka itu benar-benar bertuah?” bertanya seorang kawannya ketika Mahisa Bungalan minta diri untuk menemui saudagar itu.”

“Aku baru akan melihat.”

“Kau akan ditipunya. Pedagang-pedagang seperti orang itu sangat pandai membujuk dan kemudian memaksamu membayar barang-barang yang dibawanya dengan harga yang tinggi.”

Mahisa Bungalan menarik nafas. Ayahnya juga seorang pedagang wesi aji dan batu-batu bertuah. Tetapi ia harus membiarkannya kawannya itu berbicara terus, meskipun hatinya menjadi agak jengkel karenanya.

“Jika kau tidak percaya, pergilah. Orang itu akan menunjukkan sebilah keris yang sudah agak lama direndamnya dalam air, dan mengotorinya dengan warangan. Ia akan menyebut kerisnya dengan berbagai macam nama dan berbagai macam jenis pamor.” berkata kawan Mahisa Bungalan itu.

Namun akhirnya Mahisa Bungalan menjawab, “Kau sangka aku tidak mengetahui serba sedikit tentang wesi aji? Tidak seorangpun dapat menipu aku. Jika benar-benar pedagang itu penipu, maka ia tidak akan lebih pandai daripadaku mengenali wesi aji dan batu-batu bertuah.”

Kawan Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika kau akan pergi juga, pergilah. Tetapi hati-hatilah.”

Akhirnya Mahisa Bungalan pun pergi ke banjar padukuhan. Ia ingin melihat, siapakah orang yang menyebut dirinya pedagang batu bertuah dan wesi aji itu. Belum lagi ia naik kependapa banjar, ia sudah melihat dua orang anak muda yang siap berlari menyongsongnya. Tetapi ayahnya telah menggamitnya dan memberinya isyarat agar keduanya tetap duduk di tempatnya.

“Hem” gumam Mahisa Bungalan hatinya, “benar-benar ayah“

Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Bungalan naik ke pendapa. Kemudian iapun duduk di atas tikar dihadapan Mahendra sambil tersenyum. Katanya, “Agaknya benar-benar ayah yang datang kemari bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

“Ya” desis Mahendra, “aku mendapat tugas khusus dari Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Tugas penting?”

“Aku harus merambas jalan. Keduanya akan datang dalam satu hari ini.”

“Dengan tanda kebesaran kerajaan Singasari?”

Mahendra menggeleng. “Tidak. Ia datang dalam penyamaran“

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil bergumam ia memandang kehalaman, “Berbahaya. Dengan siapa keduanya akan datang?”

“Pamanmu Mahisa Agni dan Witantra.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah prajurit Singasari di daerah ini harus dipersiapkan menghada pi segala kemungkinan yang dapat terjadi?”

“Tidak. Itu tidak perlu. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu“

Mahisa Bungalan termenung sejenak. Namun kemudian iapun bergumam, “Mudah-mudahan. Tetapi daerah ini sekarang menjadi daerah yang cukup gawat.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi tidak selalu terjadi sesuatu. Mudah-mudahan kali ini tidak ter jadi.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk- Katanya, “Mudahaan. Tetapi jika terjadi sesuatu. prajurit-prajurit ini dapat disiapkan dalam waktu yang singkat.”

“Sebenarnya sudah lama aku ingin mengunjungi kakang” berkata Mahisa Murti, “tetapi ayah tidak memperbolehkan.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Ayah tahu, bahwa aku tentu akan datang“

“Dan kakang benar-benar datang” sahut Mahisa Pukat.

“Tetapi kawanku mencegahku” berkata Mahisa Bungalan pula

“Kenapa?”

Mahisa Bungalan tersenyum. Dengan singkat dikatakannya pendapat kawannya tentang seorang pedagang wesi aji dan batu-batu bertuah.

Mahendra tertawa pula berkepanjangan. Katanya, “Memang ada seseorang yang berbuat seperti itu. Tetapi aku kira aku berusaha menghindarinya, sehingga karena itu, orang-orang yang sudah pernah berhubungan dengan aku dapat mengerti, bahwa daganganku adalah barang-barang yang baik.”

Sementara itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian memberikan gambaran tentang keadaan di padukuhan itu. Orang-orang yang sudah jatuh kedalam pengaruh Empu Purung, yang menurut perhitungan Mahisa Bungalan berada di bawah pengaruh Empu Baladatu.

“Aku akan berhati-hati” berkata Mahendra, “bersama Mahisa Agni dan kakang Witantra mudah-mudahan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak mengalami sesuatu.”

Demikianlah Mahisa Bungalan tidak terlalu lama berada di banjar. Ia pun kemudian kembali ke barak sambil membawa sebutir batu berwarna hijau bening. Tetapi seakan-akan batu itu merupakan sebuah lautan yang maha kecil, dengan taman laut didalamnya. Lumut yang menjalar berbelit-belit diantara warna-warna batu karang.

Demikian ia memasuki baraknya, kawannya yang sejak semula mencegahnya bertanya, “Apa yang kau dapatkan dari pedagang itu?”

“Batu Sangga Bumi? Apakah tuahnya seperti aji Sangga Bumi?”

“Tidak ada tuahnya. Pedagang itu mengatakan, bahwa tidak ada tuahnya sama sekali.”

“Jadi apa?”

“Warnanya yang bagus sekali. Seperti dasar lautan dengan taman lautnya yang indah“

Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Pedagang itu tidak menipumu?”

“Pedagang yang satu ini tidak. Ia berkata sebenarnya, juga tentang batu akik Sangga Bumi. Tidak ada tuah dan kasiatnya. Tetapi rupanya sangat menarik“

Kawan Mahisa Bungalan itu termangu-mangu sejenak. SeoIah-olah ia tidak percaya, bahwa pedagang batu itu mengatakan dengan jujur bahwa batu akiknya yang dinamainya Sanggabumi itu tidak bertuah.

Sebelum ia mengatakan sesuatu, Mahisa Bungalan telah menunjukkan batu akik yang semula disimpannya pada kantong ikat pinggangnya. “Inilah batu itu.”

Kawannya menerima batu itu. Ketika ia menerawang isinya, maka dengan kagum ia bergumam, “Benar-benar batu akik yang bagus sekali. Meskipun batu ini tidak bertuah, tetapi harganya tentu mahal sekali.”

“Ya. Mahal sekali” sahut Mahisa Bungalan.

“Berapa kau beli batu akik ini?” bertanya kawannya.

“Timang emasku.”

“He” kawannya terbelalak, “jadi batu ini kau tukar dengan timang emasmu?”

“Ya“

“Gila. Betapapun mahalnya, tetapi batu ini tentu tidak bernilai sebesar timang emas. Bahkan sepersepuluh pun tidak”

“Kau memang bodoh sekali” sahut Mahisa Bungalan, “akik ini diambil dari pemiliknya dengan nilai seekor kuda jantan berwarna putih mulus“

“O” orang itu memegang dahinya, “apa kataku, kau sudah ditipunya. Ia memang mengatakan dengan jujur, bahwa batu akik ini tidak bertuah. Tetapi ia telah menipumu dari segi yang lain jika dikatakannya bahwa batu ini senilai seekor kuda jantan berwarna putih mulus.”

“He?” wajah Mahisa Bungalan. jadi tegang, “apakah nilai batu ini tidak sebesar itu?”

“Tentu tidak.”

“O” Mahisa Bungalan pun memegang, dahinya pula seperti kawannya, “aku sudah ditipunya.” Namun kemudian ia berkata, “Tetapi aku tidak menyesal. Aku senang sekali kepada batu akik ini. Dan aku sudah jemu kepada timang emasku“

Kawannya mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bergumam kepada diri sendiri, “Kau memang bodoh. Lain kali aku akan ikut pergi bersamamu. Aku akan membuktikan bahwa aku akan mendapatkan batu akik yang jauh lebih bagus dari batu akikmu dengan harga yang jauh lebih murah dari pendok emasmu.”

“Tidak ada batu yang lebih bagus dari batu akikku.” sahut Mahisa Bungalan

Kawannya tidak menjawab lagi. Sambil menyerahkan batu akik itu kembali, maka ia pun berkata, “Aku akan membuktikannya, bahwa aku lebih pandai daripadamu“

Mahisa Bungalan tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Namun yang menjadi pikiran Mahisa Bungalan kemudian adalah rencana kehadiran Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk melihat dari dekat keadaan beberapa daerah Singasari yang sedang dibakar oleh api ketamakan Empu Baladatu.

“Aku harus mengatakannya kepada pimpinan prajurit Singasari di tempat ini” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Meskipun ia harus berpesan bahwa hal itu masih harus dirahasiakan. Prajurit-prajurit Singasari yang ada ditempat itu pun sebaiknya tidak mengetahuinya pula.

Ternyata pemimpin prajurit Singasari itu terkejut ketika ia mendengar keterangan Mahisa Bungalan itu. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Dari siapakah kau mendengar berita itu?"

“Ayah Mahendra.”

“Tetapi jika benar, tentu ada perintah lewat pimpinan keprajuritan yang akan sampai kepadaku untuk mempersiapkan pengawalan, khususnya di tempat ini.”

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada perintah itu. Bahkan yang diutus mendahului perjalanan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah ayah. Bukan seorang prajurit. Pengawal mereka pun bukan prajurit pula. Paman Witantra. Hanya paman Mahisa Agni lah yang resmi mengawalnya dari pihak keprajuritan.”

“Suatu perjalanan yang berbahaya pada masa seperti ini. Agaknya pihak istana belum mendapat laporan yang lengkap tentang keadaan yang sebenarnya.”

“Sudah. Justru karena laporan itulah, maka kedua pemimpin itu akan melihatnya langsung dengan cara mereka.”

Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku adalah Senopati disini, betapapun rendah tingkat tataranku. Aku bertanggung jawab akan keselamatan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Aku sependapat. Tetapi jangan semata-mata. Bahkan seperti yang aku katakan, seorang pun dari prajurit Singasari jangan ada yang mengetahunya.”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti. Meskipun prajurit-prajurit yang ada disini tidak mengerti, tetapi mereka harus dapat disiapkan dalam waktu pendek.”

“Begitulah. Mudah-mudahan hal itu tidak diperlukan.”

Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Sebagai seorang Senopati, meskipun tidak mendapat perintah langsung ia merasa bertanggung jawab terhadap wilayah yang menjadi daerah pengawasannya. Itulah sebabnya, maka ia justru menjadi cemas. Agaknya kedua pemimpin tertinggi dari Singasari itu tidak mau mendapat pengawalan dalam kebesarannya, sehingga yang harus dilakukannya justru akan sangat sulit apabila benar-benar terjadi sesuatu. Tetapi ia tidak kurang akal. Perintahnya untuk bersiap-siap dihubungkannya dengan meningkatkan kegiatan para cantrik di padepokan Empu Purung.

Para prajurit Singasari pun merasa perlu untuk menghadapi semua keadaan dengan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya, maka mereka pun memperhatikan semua petunjuk dari pemimpin nya. Mereka menjadi semakin berhati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika para cantrik itu mulai meningkatkan kegiatannya bersama anak-anak muda padukuhan di sekitarnya yang telah berada di bawah pengaruh mereka, maka para prajuritpun telah meningkatkan kewaspadaan mereka.

Meskipun kerja mereka sehari-hari nampaknya masih saja sekedar makan, tidur dan bersendau gurau, namun kini tidak lagi berpencaran di jalan-jalan. Mereka selalu berada dalam kelompok-kelompok kecil yang siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu lah maka mereka tidak pernah terpisah dari senjata mereka. Namun demikian, pesan pemimpinnya kepada para prajurit itu, agar mereka tidak menumbuhkan kegelisahan kepada orang di sekitarnya.

Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh Mahendra atas isyarat Ki Buyut, maka kedatangannya telah benar-benar menarik perhatian anak-anak muda yang merasa diri mereka dapat berbuat apa saja. Menurut pendapat mereka, maka Mahendra tentu membawa beberapa jenis barang berharga. Pusaka-pusaka itu sangat mereka butuhkan menghadapi keadaan yang semakin gawat. Juga batu-batu bertuah dan batu-batu berharga lainnya. Namun mereka masih membuat beberapa pertimbangan. Apakah sikap mereka tidak mengundang tindakan para prajurit Singasari.

“Mereka nampaknya tidak menghiraukan sama sekali” seorang anak muda memberikan laporan tentang pengamatanya atas sikap para prajurit itu.

“Kita tunggu sehari dua hari.”

“Kita akan terlambat. Pedagang itu pergi, atau prajurit-prajurit itu akan merampasnya lebih dahulu” sahut yang lain.

“Kita akan mengawasinya. Jika ia pergi, maka kita akan merampasnya di tengah-tengah bulak.” berkata yang lain.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu. Mereka benar-benar berharap, bahwa pusaka-pusaka dan batu-batu bertuah itu akan membuat mereka menjadi semakin sakti, setidak-tidaknya barang-barang itu tentu berharga. Namun mereka lebih tertarik lagi, ketika ternyata sehari kemudian, beberapa orang kawan pedagang itu telah datang pula di padukuhan mereka, sehingga perhatian mereka semakin tertarik. Yang datang itu tentu juga pedagang-pedagang seperti yang telah datang lebih dahulu.

Sebenarnyalah bahwa seperti yang direncanakan, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun telah menyusul Mahendra bersama Mahisa Agni dan Witantra. Mereka berharap untuk dapat melihat perkembangan tempat yang dalam saat-saat tretentu tidak begitu menarik perhatian. Namun yang kemudian ternyata telah digoncangkan oleh kegiatan Empu Purung yang melampaui batas kewajaran.

Pada saat mereka datang, maka Mahendra langsung memberi mereka peringatan, bahwa perhatian anak-anak muda di tempat itu telah tertuju kepadanya, justru karena ia seorang pedagang pusaka.

“Apakah pusaka dan batu-batu bertuah itu telah menarik perhatian mereka?” bertanya Ranggawuni.

“Hamba-tuanku” sahut Mahendra, “ternyata dalam keadaan seperti sekarang di daerah ini, mereka menganggap bahwa pusaka itu sangat perlu“

Ranggawuni mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan berhati-hati.”

Meskipun demikian, Mahendra masih saja selalu berdebar. Dengan sungguh-sungguh ia mengawasi kedua anak-anaknya yang kadang-kadang agak kurang dapat mengendalikan diri. Namun agaknya mereka dapat mengerti, bahwa keadaan kurang menguntungkan bagi mereka, apabila mereka berkeliaran di padukuhan itu.

Mahisa Bungalan yang mendengar berita kehadiran beberapa orang kawan pedagang itu pun dengan diam-diam telah datang menghadap. Tidak seorang pun yang mengetahuinya. Lawan-lawannya pun tidak. Hanya pemimpin prajurit itulah yang telah dipesan, agar ia menjadi semakin berhati-hati menghadapi keadaan, justru karena kedua orang pimpinan tertinggi Singasari ada di padukuhan kecil itu tanpa pengawalan prajurit segelar sepapan.

Ki Buyut pun dengan tergesa-gesa telah datang pula kebanjar untuk memberikan peringatan sekali lagi, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. “Aku sama sekali tidak berkeberatan Ki Sanak berada di Banjar. Bahkan aku sama sekali tidak berkeberatan untuk menyediakan makan dan minum kalian selama kalian berada disini. Tetapi kami tidak dapat memberikan perlindungan yang barangkali kalian perlukan jika terjadi sesuatu. Meskipun demikian, barangkali aku dapat menghubungkan kalian dengan para prajurit.”

“Terima kasih Ki Buyut” jawab Mahendra, “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Kami sebenarnya justru ingin berhubungan dengan anak-anak muda yang barangkali memerlukan pusaka atau barang-barang berharga.”

“Tetapi keadaan di daerah ini agak lain Ki Sanak. Beberapa waktu lampau, mereka masih dapat mengerti, bahwa dalam keadaan seperti ini, dalam hubungan antara yang memerlukan dan yang memiliki ada semacam alat penukar yang memiliki nilai cukup. Maksudku, mereka masih menghargai jual beli sewajarnya. Tetapi saat ini barangkali mereka telah kehilangan pengertian itu. Bahkan dengan sengaja telah memperbodoh diri, karena mereka merasa tidak ada seorang pun yang dapat merintangi niat mereka dalam hal apapun“

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Ki Buyut benar-benar telah mencemaskan orang-orangnya yang disebutnya, telah menurunkan martabatnya sebagai manusia. “Tetapi pada suatu saat Ki Buyut tidak dapat ingkar dari kenyataan itu, bahwa orang-orang yang tidak dikehendakinya itu telah mengganggu dan melanggar hak orang lain.” berkata Mahendra di dalam hatinya.

Namun dalam kecemasannya, ternyata Ki Buyut telah berbuat sangat baik. Ia menjamu makan dan minum orang-orang yang tinggal di banjar itu, meskipun jumlahnya menjadi cukup banyak. Dengan kehadiran Ranggawuni, Mahisa Cempaka beserta Witantra dan Mahisa Agni, maka jumlah mereka menjadi tujuh orang.

Dalam pada itu, kedatangan ke empat orang baru itu telah menarik perhatian. anak-anak muda dipadukuhan Alas Pandan dan sekitarnya. Bahkan satu dua orang cantrik Empu Purung pun telah mulai memperbincangkannya pula.

“Kita akan melihat” berkata salah seorang dari mereka, “apakah benar-benar mereka membawa pusaka seperti yang disebut-sebut orang.”

“Jika mereka benar-benar membawa?”

“Beruntunglah kita” sahut yang lain sambil tertawa berkepanjangan.

“Kau akan membelinya? Apakah kau mempunyai cukup uang atau barang-barang lain?”

Kawannya tertawa semakin keras. Katanya, “Tidak ada seorang pun dan dapat mencegah apapun yang akan aku lakukan. Juga terhadap pedagang pusaka-pusaka itu.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun, merekapun mengerti apakah yang dimaksud oleh kawannya itu sehingga merekapun kemudian tertawa pula berkepanjangan. Dengan tanpa menyadari, siapakah sebenarnya yang sedang mereka hadapi, maka anak-anak muda itu pun kemudian telah pergi ke banjar.

Ki Buyut yang mendapat laporan tentang anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu jika anak-anak muda itu memang bermaksud buruk, karena hal itu terjadi di daerah kekuasaannya.

Dengan tanpa ragu-ragu, maka anak-anak muda itupun telah memasuki halaman banjar padukuhan. Kemudian dengan tanpa ragu-ragu pula mereka mencari orang yang menyebut dirinya pedagang batu permata itu. Tetapi langkah mereka tiba-tiba saja tertegun ketika mereka mendengar seseorang memanggil dari regol halaman banjar itu.

Ketika mereka berpaling, maka merekapun telah melihat Ki Buyut yang berjalan tergesa-gesa memasuki halaman. Dengan wajah yang tegang Ki Buyut itupun memberi isyarat, agar anak-anak muda itu berhenti di tempatnya.

“Ki Buyut” desis salah seorang dari anak-anak muda itu, “ia adalah orang yang paling memuakkan bagiku“

“Ya” sahut yang lain, “lebih baik kita lemparkan saja ia ke luar halaman.”

“Tunggu” yang lain lagi memotong, “apakah yang akan dikatakannya.”

Anak-anak muda itu pun kemudian berdiri tegang di depan pendapa banjar padukuhan itu. Seorang anak muda yang bertubuh kekar sambil bertolak pinggang bertanya dengan kasar, “Ada apa Ki Buyut tua?”

“Apa yang akan kalian lakukan disini?” bertanya Ki Buyut.

“Aku akan menemui pedagang barang-barang bertuah itu. Aku memerlukan pusaka-pusaka atau batu-batu akik yang dapat membuat aku kebal.”

“Apa kalian akan membelinya?”

“Tentu” jawab yang lain, “Ki Buyut jangan takut, bahwa aku akan merampasnya begitu saja.”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia bertanya, ”Apakah kalian mempunyai uang?”

Anak-anak muda itu tertawa. Jawabnya, “Kami mempunyai uang cukup untuk membeli seluruh Singasari“

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku juga memerlukan barang serupa itu, Marilah. Kita bersama-sama mendapatkan pedagang itu.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan wajah tegang merekapun saling berpandangan. Namun anak muda yang bertubuh kekar itu menjawab, “Marilah jika Ki Buyut juga memerlukan. Barangkali kami dapat membeli satu dua buah akik buat Ki Buyut.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mendahului naik kependapa.

Kedatangan anak-anak muda itu memang sudah mendebarkan hati Mahendra. Ialah yang pertama-tama keluar untuk mendapatkan anak-anak muda itu di pendapa. Tetapi kehadiran Ki Buyut telah agak menenteramkan hatinya, karena Ki Buyut akan dapat menjadi saksi, bahwa jika sesuatu terjadi, maka alasanya akan dapat dilihat oleh Ki Buyut itu.

“Ha, inikah pedagang itu” desis salah seorang dari anak anak muda itu.

Mahendra mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya anak muda. Akulah pedagang yang ingin menjajakan dagangannya dipadukuhan ini“

“Perlihatkan kepada kami, semua barang-barang yang kau bawa dan akan kau jual” desis anak muda yang bertubuh kekar, “mungkin kami akan membelinya.”

Mahendra mengangguk-angguk. Lalu jawabnya, “Sayang, bahwa aku tidak membawa banyak barang-barang dagangan. Memang ada beberapa contoh yang aku bawa. Tetapi hanya sedikit.”

Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka kecewa mendengar jawaban Mahendra, bahwa ia hanya membawa barang- sedikit saja sebagai contoh. Meskipun demikian, anak muda yang bertubuh kekar itu pun berkata, “Cepat. Bawa semuanya kemari“

Mahendra termangu-mangu sejenak. Sikap anak muda bertubuh kekar itu tidak menyenangkan sekali. Tetapi Mahendra masuk juga kedalam bilik dibagian belakang banjar itu untuk mengambil beberapa macam barang yang dibawanya. Tetapi karena agaknya ia berhadapan dengan anak-anak muda yang sulit dikendalikan, maka yang dibawanya hanyalah sebagian kecil dan yang kurang berharga.

Namun sementara itu ia sudah memberikan isyarat kepada Mahisa Agni dan Witantra, bahwa agaknya mereka berhadapan dengan anak-anak muda yang dicemaskan oleh Ki Buyut. Ketika Mahendra kembali ke pendapa sambil membawa beberapa jenis barang dagangan, maka anak-anak muda itupun segera berdesakan maju.

“Cepat tunjukkan kepada kami” berkata anak muda bertubuh kekar itu.

Mahendra pun kemudian meletakkan barang-barangnya di atas tikar di hadapan anak-anak muda itu. Ki Buyut yang memperhatikan dengan berdebar-debar itu pun bergeser maju pula, seolah-olah ia ingin melihat dengan saksama, apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu.

Sebenarnyalah, bahwa seperti berebutan anak-anak muda itu meraih barang-barang yang diletakkan oleh Mahendra. Mereka memperebutkan barang-barang yang mereka anggap paling baik. Tetapi karena yang dibawa Mahendra memang hanya beberapa contoh saja, maka tidak semua anak muda mendapatkan sesuatu ketika mereka berebutan. Bahkan yang sudah mendapatpun menjadi kecewa ketika yang ada didalam genggaman mereka hanyalah batu akik yang buram atau sebilah keris kecil yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda tuah apapun.

Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian anak muda yang bertubuh kekar itupun menggeram, “Hanya inikah barang-barang yang kau punya?”

“Ya Ki Sanak. Hanya ini. Jika Ki Sanak menghendaki, kami akan menyediakan sesuai dengan contoh ini.”

Wajah anak muda itu menegang. Namun kemudian geramnya, “Aku tidak percaya. Kau tentu membawa lebih banyak dan lebih baik.”

“Tidak Ki Sanak. Inilah jenis dagangan kami.”

Sejak anak-anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian anak muda yang bertubuh kekar itu berkata dengan wajah merah, “Kau akan menipu kami. Kau kira kami tidak akan dapat membayar barang-barangmu yang terbaik jika kau tunjukkan kepada kami?”

Mahendra benar-benar menjadi berdebar-debar. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Memang hanya itu Ki Sanak“

“Bohong.” anak muda itu hampir berteriak.

Ki Buyut yang sudah mencemaskan hal yang tidak dikehendaki itu terjadi, segera menyahut, “Sudahlah anak-anak muda. Jika memang hanya itu yang dipunyainya, apakah yang akan dapat ditunjukkan lagi kepadamu. Nah, sekarang, lihatlah. Manakah yang kalian sukai. Beli dan bayarlah menurut harganya“

“Aku tidak sudi dengan barang-barang ini. Aku ingin yang lebih baik.”

“Tetapi yang lebih baik itu tidak ada.” jawab Ki Buyut

“Bohong. Ia hanya tidak percaya kepada kami“

“Nah” berkata Ki Buyut kemudian, “jika kau memang ingin mendapat kepercayaannya, tunjukkan bahwa kau membawa uang cukup biarlah pedagang itu kemudian kembali pada saat yang lain dengan barang-barang yang lebih baik.”

“Itu tidak perlu. Aku tahu bahwa ia membawanya sekarang. Ia hanya tidak percaya saja kepada kami“

Mahendra menjadi semakin cemas. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Sebenarnyalah kami adalah pedagang yang hanya sekedar menjajakan barang-barang yang barangkali memang kurang berharga. Tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya.”

“Persetan. Ambil semua barang-barangmu di dalam bilikmu. Jika tidak, kami akan mengambil sendiri. Banjar ini adalah banjar kami. Dan kami sudah berbaik hati memberikan tempat bermalam bagi kalian.”

“Kami berterimakasih atas kebaikan hati Ki Buyut Dan kalian. Tetapi barang-barang itu memang tidak ada.”

Anak muda bertubuh kekar itu menjadi marah. Wajahnya menjadi merah. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Ki Buyut sudah mendahului, “Sudahlah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecemasan orang lain. Biarlah ia merasa tenang tinggal dibanjar. Jika ia sudah mengatakan tidak mempunyai yang lain, jangan kau paksa ia mengadakan yang tidak ada.”

“Aku akan membuktikan bahwa ia berbohong Ki Buyut” sahut anak muda itu.

“Itu tidak perlu. Seandainya ia masih mempunyai, tetapi dengan sengaja memang, tidak ditunjukkan kepada kalian, itupun sudah menjadi haknya. Mungkin ia sudah menjanjikan kepada orang lain atau barang-barang itu memang sudah dipesan oleh orang-orang yang terdahulu dari kalian“

“Persetan. Aku akan mengambil semua yang ada di dalam biliknya. Aku tidak peduli. Dan tidak seorang pun dapat mencegah aku.”

“Aku Buyut dipadukuhan ini anak muda“

Anak-anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Ki Buyut yang keras itu. Mereka tidak pernah melihat atau mendengar sikap Ki Buyut seperti itu, apapun yang mereka lakukan terhadap kawan-kawan serta orang-orang padukuhan itu sendiri. Tetapi kini agaknya Ki Buyut benar-benar ingin melindungi orang-orang asing di pedukuhannya.

“Ki Buyut” berkata anak muda bertubuh kekar, “apakah ruginya Ki Buyut jika kita mengambil barang-barang orang ini.?”

“Kita, seisi padukuhan ini merasa malu, bahwa tingkah laku anak-anak muda dipadukuhan ini benar-benar telah menurunkan martabat kita sebagai manusia.”

Anak muda bertubuh kekar mengerutkan keningnya. Namun kemudian terdengar ia tertawa berkepanjangan. Katanya, “Oh, Ki Buyut yang luhur budi. Orang asing ini tentu akan sangat berterima kasih terhadap Ki Buyut, bahwa Ki Buyut telah mencoba melindunginya. Tetapi sayang. Aku sama sekali tidak menghargai orang-orang asing ini. Aku lebih senang mengambil barang-barangnya meskipun dengan demkian ia menganggap bahwa martabat kami sebagai manusia telah merosot sampai serendah martabat apapun.”

“Anak yang malang” desis Ki Buyut, “jangan kau lakukan itu. Aku berhak melarangmu dan kau berkewajiban untuk mentaatinya“

“Sayang Ki Buyut. Kau tidak mempunyai cukup wibawa untuk mencegah kami melakukan menurut keinginan kami.”

Wajah Ki Buyut menjadi merah padam. Ia benar-benar tidak dapat memaksakan maksudnya kepada anak-anak muda itu. Namun seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, bahwa memang tidak mempunyai cukup wibawa atas mereka.

“Apakah yang dimaksud dengan wibawa itu adalah kemampuan memperlakukan orang lain dengan kekerasan agar mereka tunduk kepada niat seseorang?” pertanyaan yang pahit itu telah bergelora di dalam dada Ki Buyut.

Sementara itu Mahendra memperhatikan sikap anak-anak muda itu dengan saksama. Ia sadar, bahwa anak-anak muda itu tidak akan dapat dicegah lagi, sehingga benturan kekerasanpun tidak akan dapat dicegah pula.

“Agaknya peristiwa ini akan dapat menjadi sebab dan persoalan yang lebih besar yang melibatkan padepokan Empu Purung dan prajurit-prajurit Singasari” berkata Mahedra di dalam hati. “Namun, dengan demikian, maka tanggapan Empu Baladatu atas hal ini akan berbeda jika pertempuran ini langsung terjadi karena benturan kekuasaan prajurit Singasari atas daerahnya yang akan dibersihkannya.”

Karena itulah, maka menurut pendapat Mahendra, nama dari orang-orang yang ada di banjar dan mengaku sebagai pedagang barang-barang bertuah itu benar-benar harus dirahasiakan, sehingga Empu Baladatu tidak langsung mengetahui, siapakah yang sebenarnya dihadapi.

Ternyata bahwa dugaan Mahendra itu benar. Anak-anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan Ki Buyut lagi. Bahkan ketika Ki Buyut mencoba mencegahnya, maka Ki Buyut itu sudah didorong oleh anak muda bertubuh kekar itu, sehingga jatuh terguling.

“Kau gila” geram Mahendra sambil menolong, Ki Buyut, “orang ini adalah pemimpinmu di padukuhan ini. Kau telah berlaku kasar dan benar-benar menurunkan martabatmu sebagai manusia.”

Anak muda itu tertawa. Jawabnya, “Kau tentu berlaku baik terhadapnya, karena ia sudah memberikan tempat dan makan bagimu selama kau berada disini“

Mahendra yang marah itu kemudian berdiri sambil berkata, “Anak-anak muda. Aku adalah seorang pedagang keliling. Aku memang sudah mempersiapkan diri menghadapi sikap seperti sikap kalian di sepanjang jalan. Bukan saja sikap anak-anak muda yang tidak tahu adat seperti kalian. Tetapi aku sudah terbiasa menghadapi perampok dan penyamun di sepanjang jalan. Nah, apa katamu sekarang? Apakah masih tetap akan merampok aku?”

Anak-anak muda itu tertegun sejenak. Kata-kata Mahendra benar-benar telah meyentuh perasaan mereka. Bahkan satu dua orang, di antara mereka mulai menimbang-nimbang. Apakah niatnya akan di teruskan. Tetapi anak muda bertubuh kekar itu kemudian tertawa sambil berkata, “Kau akan menakut-nakutii kami he? Mungkin sebagian ceritamu benar. Tetapi yang pernah kau hadapi adalah pencuri-pencuri kecil yang berkeliaran disepanjang bulak yang sepi, atau orang-orang panjang tangan di pasar-pasar“

“Mungkin. Tetapi juga anak-anak muda yang tidak tahu adat seperti kalian.”

“Tutup mulutmu” bentak anak muda bertubuh kekar itu.

Sementara itu, pertengkaran itu telah didengar oleh orang-orang yang ada di dalam bilik mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat menahan diri lagi untuk berlari menghambur keluar. Untunglah Mahisa Agni masih dapat menyabarkannya.

Tetapi tiba-tiba saja mereka mendengar Mahendra berkata “Anak muda. Akupun datang bersama dua orang anak muda. Mereka adalah pedagang-pedagang muda yang ingin memperluas pengalaman mereka dan minta dapat pergi bersama aku. Jika kalian mencoba memaksa, maka anak-anak muda itu tentu tidak akan berdiam diri.”

“Persetan. Siapakah mereka? Prajurit-prajurit Singasari?”

“Sama-sekali bukan. Keduanya adalah kawan-kawanku dalam hubungan jual beli. Tetapi mereka pun masih muda. Dan mereka pun kadang-kadang seperti kalian. Mudah membiarkan darahnya menjadi panas.”

Anak muda bertubuh kekar itu tiba-tiba tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia kemudian berkata, “Berapa jumlah mereka? Dua orang? Apa artinya dua orang muda itu bagiku? Jika ia berkeras seperti yang kau katakan, bahkan berdarah panas dan ingin melawan aku, maka mereka akan menyesal. Sebaliknya beritahukan kepada mereka, bahwa akulah yang datang bersama kawan-kawanku. Kau menghitung sendiri, berapa orang yang sekarang ada di sini? Tujuh orang.”

“Tetapi kami adalah pedagang keliling Ki Sanak. Yang karena pengalaman maka kami telah mempersiapkan diri menghadapi segela kemungkinan. Demikian pula kedua anak-anak muda itu.”

“Persetan. Aku akan melemparkan mereka keluar banjar ini.”

Kata-kata itu benar-benar telah memanaskan telinga Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang merasa seakan-akan kata-kata Mahendra itu sebagai isyarat agar mereka mulai bertindak.

Mahisa Agni dan Witantra menjadi ragu-ragu pula. Mereka menyangka bahwa Mahendra memang memberikan isyarat ke pada kedua anak-anaknya untuk bertindak. Namun ketika mereka melihat kedua anak-anak muda itu meloncat, mereka ingin mencegahnya. Tetapi ternyata keduanya telah terlambat.

“Ampun tuanku” desis Mahisa Agni, “agaknya yang tidak kita harapkan telah terjadi.”

Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Dan agaknya aku telah melihat yang sebenarnya di daerah ini.”

“Mudah-mudahan persoalannya dapat diatasi, sehingga tidak menjalar menjadi semakin luas“

Ranggawuni yang termangu-mangu mengangguk. Ketika ia memandang Mahisa Cempaka, maka anak muda itu pun mengangguk pula.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berada di pendapa. Hampir saja mereka berdua melanggar anak-anak muda yang mengikuti kawannya yang bertubuh kekar measuki bilik di belakang banjar itu.

“He” anak muda bertubuh kekar itu mundur selangkah, “siapa kalian?”

Namun sebelum dijawab anak muda bertubuh kekar itu sudah melanjutkan kata-katanya sendiri, “O, agaknya inilah anak-anak muda yang dikatakan oleh pedagang batu yang dungu itu.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Dengan geram Mahisa Pukat berkata, “Aku mendengar semua kata-katamu yang memanaskan hati.”

“O, syukurlah, sehingga aku tidak perlu mengulanginya.”

“Memang tidak. Dan kau pun tidak perlu pergi kebilik itu. Aku sudah menyembunyikan, semui daganganku yang paling bagus dan paling berharga, sehingga kau tidak akan dapat menemukannya meskipun banjar ini akan kau bongkar“

“Persetan” geram anak muda bertubuh kekar itu, “apakah kau memang akan mempertahankan milikmu seperti yang dikatakan oleh pedagang tua itu?”

“Tentu saja, meskipun hanya dengan cara, yang paling sederhana. Menyembunyikan barang-barang itu.”

“Bohong. Kau merasa dirimu mampu mempertahankannya. Kau merasa bahwa kau sudah mempunyai bekal cukup sebagi seorang pedagang keliling menghadapi perampokan di bulak-bulak panjang.”

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Tepat. Kami memang sudah siap menghadapi perampok-perampok yang tangguh di bulak-bulak panjang. Apalagi perampok-perampok kecil dari padukuhan kecil seperti kalian.”

Jawaban itu membuat wajah anak muda bertubuh kekar itu menjadi merah padam. Kemarahannya telah membakar jantungnya. Bahkan seorang anak muda yang bertubuh kecil di belakangnya telah menjadi marah pula dan berteriak, “Kita sumbat mulutnya dengan bara.”

Anak betubuh kekar itu menggeram, “Jangan menghina kami pedagang-pedagang gila. Kau sangka bahwa kau dapat mempermainkan kami? Jangan kau sangka bahwa kami belum pernah membunuh perampok-perampok besar yang berkeliaran di sekitar padukuhan kami, sehingga karena itu, maka ceriteramu tentang bekal kemampuan diri itu sama sekali tidak berharga bagi kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka mereka pun justru maju selangkah. Mahisa Murti menyahut dengan suara gemetar menahan marah, “Sekarang kau mau apa? Kami akan mempertahankan milik kami dengan segenap tenaga dan kemampuan yang ada pada kami. Karena milik kami adalah hak yang memang harus kami pertahankan“

Anak muda bertubuh kekar itu masih sempat berkata, “Kita akan melihat, apakah kau memang mampu melawan aku. Marilah kita lihat. Aku akan berkelahi seorang diri. Kalian boleh bertempur berpasangan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menjawab, “Baik. Jika itu yang kau kehendaki.”

“Marilah, kita turun kehalaman.”

Anak muda bertubuh kekar itu tidak menunggu jawaban Mahisa Murti atau Mahisa Pukat. Ia langsung melangkah turun ke halaman banjar sambil bergumam, “Aku akan membenturkan kepala kalian berdua sehingga pecah. Aku tahu, kalian menyembunyikan batu-batu bertuah itu di dalam kepala kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Mereka berdua mengikuti anak bertubuh kekar itu, sementara Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Anak muda bertubuh kekar yang sudah berada di halaman itu pun kemudian berdiri tegak menghadap kepada Mehisa Pukat dan Mahisa Murti yang sudah turun pula. Beberapa orang anak muda yang lain berdiri beberapa langkah agak jauh.

“Jangan ganggu aku” berkata anak muda bertubuh kekar itu, “Aku akan membuat kedua anak muda yang sombong ini menyesal bahwa ia telah menghina anak-anak dari padepokan Empu Purung.”

“O” berkata Mahisa Murti, “jadi kalian, berasal dari padepokan Empu Purung?”

“Kau sudah mengenal nama itu?”

“Tentu. Setiap anak kecil mengenalnya. Padepokan Empu Purung adalah padepokan yang terkenal. Bukan karena olah kanuragan atau olah kajiwan, apalagi kesusasteraan. Tetapi padepokan itu terkenal karena pada cantriknya pandai membuat permainan anak-anak yang dijual dengan harga sangat murah sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi.”

Jawaban itu benar-benar bagaikan bara yang menyengat telinga anak muda bertubuh kekar itu. Bahkan Mahendra terkejut mendengar jawaban Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Murti sudah cukup lama menyimpan kemarahan di dadanya saat anak-anak muda itu mengancam akan merampas barang-barangnya meskipun barang-barang itu benar-benar tidak ada pada mereka.

Karena jawaban yang membakar jantung itulah, maka anak muda bertubuh kekar itu tidak berkata lagi. Dengan serta merta ia menyerang Mahisa Murti dengan garangnya. Tetapi Mahisa Murti memang sudah bersedia. Karena itu maka dengan mudah sekali ia menghindari serangan yang tidak sempat mendapat pertimbangan yang panjang itu.

Demikian anak muda bertubuh kekar itu merasa serangnya gagal, maka iapun segera mempersiapkan dirinya untuk menyerang kembali. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berpencar. Mereka berdiri di tempat yang berseberangan, sehingga anak muda yang kekar itu harus memperhatikan keduanya ditempatnya masing-masing.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri tegak dan siap menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata pada serangan pertama keduanya telah dapat menilai kemampuan anak muda bertubuh kekar itu.

Namun kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mempunyai sikap yang lain dari sikap Mahisa Bungalan menghadapi anak-anak muda dari padepokan Empu Purung. Mahisa Bungalan masih dapat menahan diri sehingga mencegah kemungkinan yang berkepanjangan sebelum suasananya menjadi wajar untuk melakukannya sesuai dengan perkembangan keadaan.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersikap lain. Ia masih terlalu muda untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Yang mereka inginkan adalah justru sebaliknya. Mereka ingin membuat lawannya jera menurut cara mereka Karena itulah, maka ketika anak muda bertubuh kekar itu menyerang, maka Mahisa Pukat telah siap untuk melakukan rencananya. Meskipun ia belum membicarakannya dengan Mahisa Murti, namun karena mereka sudah terbiasa dengan perangai masing-masing, maka agaknya keduanya telah bersepakat untuk mempermainkan lawannya.

Dengan mudah Mahisa Pukat dapat menghindari serangan lawannya. Bahkan dengan cepatnya, ia telah berdiri selangkah di sebelah anak muda bertubuh kekar itu bertentang arah dengan Mahisa Murti. Untuk membalas serangan lawannya, Mahisa Pukat sama sekali tidak menyerangnya dengan kekuatannya. Tetapi seperti anak-anak yang sedang bermain-main, maka anak muda bertubuh kekar itu didorongnya ke arah Mahisa Murti yang seakan-akan sudah menunggunya.

Ternyata kekuatan Mahisa Pukat adalah jauh di luar dugaan anak muda bertubuh kekar itu. Dorongan Mahisa Pukat sama sekali tidak dapat dilawannya. Seperti seonggok kayu ia telah terlempar ke arah Mahisa Murti yang sudah menunggu dan bersiap mendorongnya kembali ke arah Mahisa Pukat.

Permainan itu benar-benar telah menyakitkan hati. Bagaimanapun juga, anak muda bertubuh kekar itu bukan sekedar sebatang kayu. Ketika ia sadar, maka dengan sekuat tenaga ia menggeliat dan justru menjatuhkan diri kearah yang lain. Dengan sigapnya ia segera melenting berdiri di atas kedua kakinya.

Tetapi ia terkejut kerika Mahisa Pukat dan Mahisa Murti justru telah berdiri di sebelah menyebelahnya. Dengan sigapnya, kedua anak muda itu menangkap lengan anak muda bertubuh kekar dan mengguncangnya tanpa dapat dicegah lagi. Semakin lama semakin kuat dan cepat, sehingga akhirnya anak muda bertubuh kekar itu meronta sambil menjerit keras-keras.

Untuk beberapa saat kawan-kawannya menjadi bingung. Tetapi akhirnya mereka pun menyadari, bahwa kawannya yang bertubuh kekar itu sama sekali tidak dapat mengimbangi kedua lawannya yang masih sangat muda itu. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak menunggu perintah. Ketika salah seorang dari mereka memberikan isyarat, maka mereka pun segera bersama-sama menyerbu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah menunggu. Demikian mereka berdatangan, maka anak muda bertubuh kekar itu pun segera dilemparkannya ke arah kawan-kawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka pun telah berjatuhan saling menimpa. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat tertawa ketika mereka melihat anak-anak muda itu tertatih-tatih berdiri. Keduanya seolah-olah menunggu agar mereka bersiap dan menyerang kembali.

Mahendra yang melihat perkelahian itu menahan nafasnya. Sementara Ki Buyut mendekatinya sambil berbisik, “Ke dua anak muda itu akan dikeroyok beramai-ramai.”

Tetapi Mahendra menjawab, “Jika hanya tujuh orang itu Ki Buyut, aku kira kedua anak muda itu masih akan dapat bertahan. Tetapi yang mencemaskan jika anak-anak muda itu kembali ke padepokan dan memanggil kawan-kawannya. Apalagi apabila Empu Purung ikut terlibat pula.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Perkelahian di antara anak-anak muda itu sudah mulai. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti harus bertempur melawan ke tujuh orang anak-anak muda dari padepokan Empu Purung. yang akan merampas barang-barang dagangan yang mereka sangka dibawa oleh keduanya.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memilih cara yang paling menguntungkan. Keduanya berdiri dekat-dekat dan bertempur berpasangan. Tujuh orang lawannya mencoba mengepung keduanya dan menyerang dari segala arah. Namun kedua anak-anak muda itu benar-benar mampu menjaga diri mereka dengan pertahanan yang sangat rapat.

Anak-anak muda dari padepokan Empu Purung itu benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu dengan anak-anak muda memiliki kemampuan yang tinggi. Meskipun demikian mereka merasa bahwa mereka berjumlah jauh lebih banyak dari kedua anak muda itu. Bagaimanapun juga, maka mereka akan mempunyai lebih banyak kesempatan pula untuk memenangkan perkelahian itu.

Karena itulah, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar tidak mau mengekang diri. Mereka ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya, bahwa tingkah laku mereka yang sombong dan tidak tahu adat itu akan dapat mencelakakan mereka sendiri tanpa pertimbangan yang lebih jauh tentang akibat yang dapat timbul.

Dengan tegang, Ki Buyut menyaksikan, perkelahian itu. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaan cemasnya tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang seakan-akan telah tenggelam dalam kepungan. Namun sekali-kali Ki Buyut melihat, satu dua orang dari anak-anak muda murid Empu Purung itu terlempar dari lingkaran kepungan dan terjatuh di tanah. Namun merekapun berusaha untuk segera bangkit kembali dan terjun kedalam lingkaran perkelahian itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang harus mempertahankan diri dari ketujuh lawannya, harus mengerahkan tenaganya pula. Mereka harus bergerak cepat dan tangkas. Mereka harus menghindari serangan dan kemungkinan menyerang kembali. Ternyata bahwa keduanya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari lawan-lawan mereka. Dengan kemampuan yang ada, mereka kadang-kadang membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung. Tata gerak kedua anak muda itu sulit untuk ditebak dan apalagi di ketahui dengan pasti.

Karena itulah, maka ketujuh orang itu justru mengalami kesulitan untuk mendekatinya. Anak muda yang berubuh kekar dengan penuh dendam dan kebencian berusaha untuk mendapat peluang menyerang. Mahisa Pukat yang sedang sibuk menghindarkan diri dari serangan kawan-kawannya. Dengan sepenuh tenaga ia mengayunkan kakinya mengarah ke lambung.

Hatinya berdebar ketika terasa kakinya menghantam sasaran. Sekilas ia memperhatikan Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja matanya terbelalak. Mahisa Pukat sama sekali tidak menyeringai menahan sakit. Tetapi seorang kawannyalah yang terpekik, karena pada saat yang tepat, Mahisa Pukat berhasil menangkap lengannya dan menariknya tepat pada garis serangan anak muda bertubuh kekar itu.

“Gila” geram anak muda bertubuh kekar itu. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika seorang kawannya terduduk sambil memegang perutnya yang justru terkena serangan kakinya. “Aku tidak sengaja” desis anak muda bertubuh kekar, itu, “aku akan berusaha membalas hinaan ini.”

Anak muda bertubuh kekar itupun kembali mencari kesempatan, sementara kawannya yang terduduk itu sudah berusaha untuk berdiri lagi meskipun perutnya masih tetap terasa mual. Namun betapapun juga ketujuh orang itu berusaha, tetapi mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat memenangkan perkelahian melawan kedua orang anak anak muda itu.

Apalagi setelah hampir setiap orang dari ketujuh orang itu merasakan, betapa sakitnya bekas tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah mempergunakan segala kesempatan. Beberapa orang dari lawan-lawannya telah menjadi merah biru wajahnya, sementara yang lain matanya menjadi bengkak. Anak yang bertubuh kekar itu, mulutnya sudah berdarah. Sedangkan yang lain lagi, hidungnyalah yang berdarah.

“Anak-anak ini benar-benar harus ditangani oleh para cantrik” desis anak-anak muda itu di dalam hati, “dengan demikian mereka baru akan menjadi jera“

Bagi anak-anak muda yang mendapat tuntunan ilmu dari padepokan Empu Purung, maka para cantrik adalah orang-orang yang luar biasa di dalam olah kanuragan. Para cantriklah yang memberikan bimbingan kepada mereka disaat-saat mereka mulai mempelajari olah kanuragan. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang beruntung, mendapat tuntunan langsung dari Empu Purung sekali dua kali dalam sepekan.

Karena itu dalam kesulitan yang tidak teratasi, maki anak-anak muda itu berharap, agar mereka dapat menyampaikan persoalan mereka kepada para cantrik. Untuk beberapa saat ketujuh anak muda itu masih mencoba bertahan. Tetapi ternyata bahwa wajah mereka menjadi merah biru, sedangkan mata mereka menjadi bengkak. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu tidak lagi menahan diri. Keduanya dengan sengaja telah membuat lawan mereka benar-benar bahwa mereka tidak mampu melawan kedua nya lagi.

Ketika Mahisa Murti melihat salah seorang, dari ketujuh anak-anak muda itu menarik pisau belati, maka iapun menggeram, “Jangan mempergunakan senjata. Senjata dapat mengundang bahaya yang lebih parah bagi kalian, karena untuk melawan senjata, akupun akan mempergunakan senjata. Nah. kalian akan tahu akibatnya jika kedua tanganku menggenggam pisau. Wajah kalian tidak akan hanya sekedar merah biru, tetapi wajah kalian akan tatu arang kranjang.”

Ancaman itu benar-benar telah menggetarkan setiap jantung. Karena itulah, maka anak muda yang telah menggenggatu tangkai pisau belatinya itu pun mengurungkan niatnya untuk mempergunakannya. Namun dalam pada itu, ketujuh anak muda itu sudah benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Tenaga mereka bagaikan dihisap oleh kelelahan dan kesakitan.

Karena itulah maka sejenak kemudian ketujuh orang itu pun menjadi semakin terdesak dan akhirnya, ketika anak muda yang bertubuh kekar itu memberikan isyarat, maka ketujuh orang itu pun serentak berlari menghambur meninggalkan kedua lawannya. Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau melepaskan mereka. Mereka pun segera meloncat ingin mengejar lawan-lawannya. Tetapi Mahendra telah memanggil kedua anaknya dan menahan mereka agar melepaskan ketujuh lawannya pergi dari banjar.

“Luar biasa” desis Ki Buyut yang menyaksikan perkelahian itu dengan berdebar-debar. Lalu katanya, “Kedua anak muda itu benar-benar memiliki kemampuan diluar kewajaran.”

“Keduanya hanyalah karena keras kepala saja Ki Buyut” jawab Mahendra.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun diwajahnya membayang kepahitan yang mencengkam perasaannya. Bahkan kemudian katanya dalam nada berat, “Permulaan dari kekisruhan itu sudah terjadi.”

“Maksud Ki Buyut?” Bertanya Mahendra.

“Mereka tentu tidak akan menerima kekalahan mereka begitu saja. Di padepokan itu ada berpuluh-puluh cantrik yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka akan dapat menjadi sakit hati karena kawan-kawannya mengalami perlakuan yang dapat mereka artikan, menyinggung perasaan mereka.”

“Apakah para cantrik di padepokan Empu Purung itu akan membenarkan tingkah laku ketujuh anak-anak muda itu?” Bertanya Mahendra.

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawab nya, “Mungkin mereka tidak mau mendengar alasan-alasan lain dan sebab dari perkelahian itu. Mungkin mereka membenarkan tindakan kawan-kawannya, atau mungkin mereka tidak membenarkan, tetapi mereka tetap ingin mempertahankan harga diri.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam.

“Ki Sanak” berkata Ki Buyut, “jika Ki Sanak sependapat dengan aku, tinggalkan tempat ini.”

“Kenapa Ki Buyut?”

“Kalian dapat menghindarkan diri dari akibat yang lebih parah. Jika mereka datang kembali, maka mereka tentu tidak hanya bertujuh atau bersepuluh atau duapuluh.”

“Lalu?”

“Mereka tentu tahu, bahwa dua di antara kalian telah mampu mengalahkan tujuh orang. Tentu mereka sudah mendengar bahwa, kalian sekarang mempunyai beberapa orang kawan di banjar ini.”

“Jadi menurut pertimbangan Ki Buyut, kami sebaiknya meninggalkan banjar ini?”

“Untuk keselamatan kalian. Tinggalkan banjar ini dan pergilah ke barak di seberang bulak. Di sana ada sepasukan prajurit-prajurit yang ada di barak itu, sehingga mereka tidak akan meng ganggumu. Kecuali jika apabila kalian dapat mereka ketemukan di sepanjang jalan saat kalian meninggalkan barak itu. Aku tidak akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas kalian. Apalagi jika Empu Purung sendiri ikut serta menemukan kalian. Ia dapat menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan dengan tangannya.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. la melihat kecemasan benar-benar telah mencengkam Ki Buyut. “Lalu apa yang akan Ki Buyut lakukan?” bertanya Mahendra.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mungkin aku harus berkemas-kemas untuk meninggalkan padukuhan ini jika Empu Purung menghendaki “

Mahendra termangu-mangu sejenak, ia mulai membayangkan bahwa akibat kehadirannya di padukuhan itu, maka Ki Buyut harus mengalami kesulitan bukan saja untuk mencegah keributan yang timbul, tetapi juga kesulitan bagi dirinya sendiri.

Namun tiba-tiba saja dituar sadarnya Mahendra berkata, “Tetapi Ki Buyut, kenapa Ki Buyut sendiri tidak minta perlindungan kepada prajurit-prajurit Singasari itu? Bukankah prajurit-prajurit itu akan dapat mencegah tingkah laku orang-orang di padepokan Empu Purung, apalagi jika mereka akan mengusir Ki Buyut?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Tidak Ki Sanak. Dengan demikian aku sudah membenturkan anak-anakku sendiri dari padukuhan ini pada kekuatan yang akan dapat menggilas dan bahkan menumpas mereka.”

“Tetapi bukankah mereka berdiri dipihak yang salah menurut penilaian Ki Buyut sendiri?”

“Dan aku harus menjerumuskan mereka ke dalam kemusnahan tanpa ampun? Ki Sanak. Betapapun nakalnya, mereka adalah anak-anakku. Mungkin aku harus pergi meninggalkan mereka. Tetapi tentu aku tidak akan sampai hati mendorong mereka kedalam kebinasaan.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ki Buyut, baiklah aku membicarakannya dengan kawan-kawanku. Tetapi jika sekiranya kami harus mempertahankan diri kami dari siapapun juga yang akan mengganggu kami, maka kami minta maaf sebelumnya, karena di antara mereka mungkin terdapat anak-anak muda yang Ki Buyut sebut sebagai anak-anak Ki Buyut itu.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Karena itu, pergilah. Dengan demikian maka benturan yang lebih keras itu akan terhindar“

Mahendra pun kemudian dengan tergesa-gesa menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang gelisah. Mereka mendengar pendapat Ki Buyut dan mendengar pula, bagaimana ia bersikap terhadap anak-anak muda di padukuhannya. “Apakah kita sebaiknya meninggalkan padukuhan ini tuanku” bertanya Mahendra.

“Memang sulit untuk menentukan” jawab Ranggawuni, “tetapi barangkali hal-hal semacam inilah yang memang ingin aku lihat.”

“Kami mohon tuanku menentukan keputusan?” berkata Mahisa Agni kemudian.

“Bagaimana menurut pendapat paman atas padepokan Empu Purung itu?”

“Bagi hamba tuanku” jawab Mahisa Agni, “padepokan ini adalah salah satu dari beberapa buah padepokan yang, menurut laporan yang diterima oleh pimpinan prajurit Singasari sebagai padepokan yang secara bersama-sama telah mempersiapan diri melawan kekuasaan tuanku”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka merenung sejenak. Kemudian terdengar Ranggawuni bertanya, “Bagaimana menurut pertimbanganmu adinda Mahisa Cempaka?”

“Bagi hamba, tidak ada pilihan lain. Kita sudah melihat, bagaimana bentuk dan sikap padepokan ini.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Lalu kalanya, “Paman. Setelah aku melihat sendiri keadaan di daerah ini, maka tidak ada pilihan lain daripada memadamkan api yang akan dapat berkobar lebih besar lagi. Tetapi karena padepokan ini tidak berdiri sendiri, maka semuanya harus diselesaikan secara menyeluruh di seluruh daerah yang sudah dipersiapkan itu.”

“Hamba tuanku” jawab Mahisa Agni, “hamba akan memerintahkan prajurit penghubung untuk menyampaikan laporan peristiwa di daerah ini kepada pucuk pimpinan prajurit di Singasari serta perintah untuk mengambil sikap menghadapi setiap padepokan yang telah berada di bawah pengaruh Empu Baladatu itu.”

“Baiklah. Dan apakah yang akan kita lakukan sekarang menurut pertimbanganmu?”

“Kita akan meninggalkan padukuhan ini dan pergi ke Barak para prajurit. Kita akan menghadapi pasukan Empu Purung dengan kekuatan Singasari. Sementara itu prajurit penghubung segera menghubungi pimpinan prajurit yang akan menyebarkan perintah tuanku ke segenap penjuru yang mengalami keadaan serupa“

“Tetapi perintah itu harus meliputi daerah Mahibit dan para Akuwu yang sudah diketahui mempersiapkan pasukan pula” sahut Witantra.

“Ya” jawab Ranggawuni, “mungkin mereka akan mempergunakan kesempatan. Tetapi menurut pertimbanganku, mereka akan menunggu meskipun hanya sesaat yang pendek.”

“Tetapi harus dipersiapkan pasukan khusus untuk menghadapi mereka” berkata Mahisa Cempaka.

“Baiklah. Sampaikan perintah yang jiwanya seperti yang kita maksudkan atas padepokan-padepokan dan daerah-daerah yang berbahaya bagi Singasari.”

“Jika demikian, maka kita akan berkemas meninggalkan padukuhan ini tuanku. Sebentar lagi anak-anak itu tentu akan datang dengan jumlah yang lebih banyak, sebelum seluruh padepokan akan bergerak.”

Demikianlah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun memutuskan meninggalkan padepokan itu seperti yang dikehendaki oleh Ki Buyut. Mereka mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Buyut menerima mereka, sehingga menimbulkan kesulitan bagi Ki Buyut sendiri.

“Kami akan pergi ke barak itu Ki Buyut” berkata Mahendra kemudian.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia merasa lega bahwa orang-orang yang ada di banjar itulah yang akan menghindar sehingga anak-anak muda padukuhan itu tidak akan terlibat dalam benturan kekuatan dengan para prajurit.

Namun dalam pada itu Mahendra bertanya, “Ki Buyut. Kami memang akan meninggalkan tempat ini. Tetapi meskipun demikian, apakah tidak akan terjadi akibat yang sama jika anak-anak Ki Buyut lah yang mengejar kami dan menyerang barak itu?”

“Ah” Ki Buyut mengerutkan keningnya, “itu tentu tidak akan terjadi. Mereka tidak akan menyerang prajurit Singasari yang kuat dan terlatih.”

“Belum tentu Ki Buyut. Mungkin dibantu para cantrik dan Empu Purung sendiri, mereka merasa kuat.” sahut Mahendra.

“Jika demikian, nasib prajurit-prajurit memang sangat malang. Mereka tentu akan musnah karena kesaktian Empu Purung” jawab Ki Buyut. Namun katanya selanjutnya, “Tetapi aku kira Empu Purung tidak akan melakukannya.”

“Jika Empu Purung tidak melakukannya, tetapi anak-anak muda itu sendiri yang datang dan dihancurkan oleh para prajurit yang melindungi kami?” bertanya Mahendra mendesak.

Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Jika demikian, itu adakah salah mereka sendiri...”

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 33

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 33
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SEMENTARA itu orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu dari jauh menjadi berdebar-debar. Pisau belati di tangan anak muda yang seakan-akan telah menjadi mabuk itu akan dapat menjadi sangat berbahaya.

Apalagi di antara orang-orang yang berkerumun di kejauhan itu sama sekali tak mengerti dan tidak dapat menilai apa yang sudah terjadi. Mereka tidak mengerti bahwa selama itu Mahisa Bungalan sengaja tidak berbuat apa-apa, selain mengelak. Mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan memang tidak memiliki kesempatan untuk membalas serangan yang datang beruntun dan terus menerus.

Tetapi, bagi mereka yang mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, di antaranya para prajurit Singasari dan beberapa orang kawan anak muda yang kesurupan itu sendiri justru menjadi berdebar-debar, bahwa Mahisa Bungalan akan mempergunakan senjata pula. Namun Mahisa Bungalan sama sekali tidak menarik senjatanya. Ia masih tetap berdiri dengan tenang menunggu serangan lawannya yang bakal datang.

Sejenak kemudian, anak muda yang sudah bersenjata pisau belati itu melangkah satu-satu mendekati Mahisa Bungalan yang telah bersiap. Seperti yang sudah diperhitungkan oleh Mahisa Bungalan, maka pada suatu saat anak muda murid Empu Purung itu pun lelah meloncat menerkam. Pisaunya diangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian terayun langsung menusuk bahu Mahisa Bungalan.

Namun seperti yang sudah dilakukannya, maka Mahisa Bungalan telah menghindarinya. Selangkah ia beringsut sambil memiringkan tubuhnya. Pisau belati yang terayun itu telah kehilangan sasaran. Namun anak muda yang marah itu tidak kehilangan akal. Ia telah merubah arahnya mendatar, sehingga ujungnya pun kemudian menyambar perut. Tetapi sekali lagi Mahisa Bungalan mengelak. Pisau itu meluncur pada jarak tidak lebih setapak di depan perut Mahisa Bungalan.

Sementara pisau itu meluncur, maka Mahisa Bungalan pun segera menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Sekali ia melingkar sambil merendahkan diri, menarik tangan itu di atas pundaknya dan sambil menghentakkan tangan itu Mahisa Bungalan mengangkat tubuh anak muda itu dengan pundaknya.

Anak muda itu pun terlempar ke udara. Kakinya berputar dan kemudian terlempar sementara tangannya masih dalam genggaman tangan Mahisa Bungalan. Anak muda murid Empu Purung itu bagaikan berputar di udara. Badannya yang kuat kekar itu bulat-bulat telah jatuh di tanah pada punggungnya. Mahisa Bungalan melepaskan tangan anak muda itu. Tetapi anak muda itu tidak segera dapat bangkit. Sambil menyeringai ia menekan punggungnya dengan telapak tangannya.

Baru sejenak kemudian, murid Empu Purung itu tertatih-tatih berdiri sambil mengumpat-umpat. Meskipun punggungnya terasa sakit, tetapi ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan wajah yang merah membara ia masih tetap mengacungkan senjata nya kepada Mahisa Bungalan.

“Anak gila” salah seorang prajurit Singasari justru membentaknya, “kau masih akan melawan?”

“Persetan” geram anak muda itu, “aku akan membunuhnya.”

“Anak yang tidak tahu diri. Kau sangka bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu dengan kegilaanmu itu?”

“Aku akan membunuhmu pula.”

“Jangan membuat lelucon semacam itu” desis prajurit yang seorang lagi “pada suatu saat kami akan kehilangan kesabaran kami“

“Aku tidak memerlukan kesabaranmu. Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan membunuhmu semuanya.”

“Kau sudah hampir mati” desis prajurit Singasari itu

“Kau yang hampir mati“

Prajurit muda itu tiba-tiba saja tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Selangkah ia meloncat maju. Hampir saja tanganya meraih tangan murid Empu Purung yang menggenggam senjata itu. Untunglah bahwa Mahisa Bungalan cepat bergerak dan mencegahnya.

“Jangan marah” desis Mahisa Bungalan.

“Anak itu memang pantas untuk disumbat mulutnya. Dalam keadaan serupa itu, ia masih saja tetap mengingau“

“Biar sajalah ia berkata apa saja.” jawab Mahisa Bungalan.

“Tentu tidak, ia memaki dan mengumpati kami. Kita adalah prajurit-prajurit Singasari yang bertugas di sini. Ia tidak boleh menghina kita yang membawa limpahan kekuasaan Singasari atas daerah ini.”

“Setiap orang tidak boleh menghina pihak lain. Anak muda itu memang tidak boleh menghina siapapun. Tetapi biarlah ia menyadari kesalahnya itu jika ia sudah mempunyai waktu untuk mengendapkan perasaannya. Kini ia sedang di bakar oleh kemarahan dan kekecewaan.”

“Tetapi ia tidak boleh berbuat sekehendak hati. Aku dapat memukulinya sampai mati tanpa urusan apapun juga” desis seorang prajurit muda.

“Tentu tidak” sahut Mahisa Bungalan” justru karena kita seorang prajurit. Apapun yang kita lakukan harus kita pertanggung jawabkan. Bukan sebaliknya, bahwa karena kita seorang prajurit, kita dapat berbuat apa saja.”

Prajurit muda itu agaknya tidak dapat mengerti keterangan Mahisa Bungalan yang juga masih muda. Tetapi seorang prajurit yang lebih tua menggamitnya sambil berbisik, ”Jangan diseret oleh perasaan yang keliru. Dengarlah pendapat Mahisa Bungalan. Ia adalah Orang yang justru menjadi sasaran kedunguan anak gila itu. Tetapi ia tetap dapat menguasai perasaan dan tingkah lakunya.”

Prajurit muda itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan kembali perasaannya yang sudah bergejolak sampai ke kepala.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan melangkah mendekati murid Empu Purung itu sambil berkata, ”Cobalah mengerti apa yang telah terjadi. Jika aku mencegah kawanku menghukummu, bukan karena aku takut akan akibatnya. Setiap prajurit tidak akan gentar menghadapi apapun juga. Tetapi kami pun sadar bahwa yang kami lakukan adalah suatu tindakan yang harus dipertanggung jawabkan. Nah, sekarang pulanglah. Dan jangan mencoba lagi, agar kau tidak terperosok ke dalam kesulitan. Aku tahu, kau tentu seorang anak muda yang baru mendapat latihan-latihan olah kanuragan. Barangkali kau baru menerima sejenis ilmu yang kau anggap mumpuni. Tetapi kau harus sadari, tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan. Aku sekarang tidak dapat kau kalahkan. Tetapi tentu ada orang yang dapat mengalahkan aku. Dan barangkali orang-orang itu justru pada suatu saat kau kalahkan.”

Murid Empu Purung yang masih membawa senjata itu memandang wajah Mahisa Bungalan dengan sorot mata yang membara. Dan karena sorot mata itulah Mahisa Bungalan merasa prihatin. Anak muda itu ternyata sama sekali tidak mau mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Meskipun ia kemudian hanya berdiri mematung, namun nampak pada matanya, bahwa ia menyimpan dendam yang membara didalam hati.

“Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, ”mungkin saat ini kau masih dibakar oleh kemarahan. Tetapi aku harap kau cukup dewasa menanggapi keadaan. Kaulah yang telah mulai membuat persoalan. Aku tahu, tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi kau dapat menilai, apakah hasil dari tingkahmu yang aneh itu?”

Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi senjatanya masih tetap tergenggam.

“Serahkan senjata itu” desis Mahisa Bungalan, “meskipun aku tahu bahwa kau masih menyimpan senjata serupa dirumahmu. Bahkan mungkin tidak hanya satu. Dan bahkan mungkin kau juga menyimpan pedang, tombak dan senjata-senjata yang lain.”

Wajah anak itu menjadi semakin membara.

“Serahkan Ki Sanak. Itu adalah suatu pertanda bahwa kau mengakui kesalahanmu.”

Anak muda itu masih tetap berdiri dengan tegang. Tetapi dengan tenang Mahisa Bungalan melangkah semakin dekat. Prajurit-prajurit Singasari yang menyaksikan menjadi tegang pula. Bagaimanapun juga anak muda itu masih tetap bersenjata.

“Jangan mempersulit diri sendiri” berkata Mahisa Bungalan.

Sejenak anak muda itu memandang Mahisa Bungalan dengan tatapan mata penuh dendam. Namun tiba-tiba saja ia meloncat maju dengan garangnya. Dengan sisa tenaganya ia menusuk lambung Mahisa Bungalan dengan senjatanya. Yang menyaksikan serangan itu terkejut bukan buatan. Para prajurit itu pun serentak telah bergeser maju. Merek telah siap melakukan apa saja menghadapi segenap kemungkinan.

Tetapi, yang mereka lihat kemudian adalah, bahwa Mahisa Bungalan telah menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Dengan satu pukulan sisi telapak tangannya, maka pisau belati di tangan anak muda itu telah terlepas. Ternyata bahwa genggaman tangan Mahisa Bungalan bagaikan himpitan besi baja di pergelangan tangan anak muda itu. Sambil menyeringai ia pun menggeliat menahan kesakitan.

“Ambil pisau itu” geram Mahisa Bungalan yang masih mencoba menahan kemarahan yang hampir tidak terbendung. “Ambil” bentaknya, “dan serahkan kepadaku. Aku minta kau menyerahkan senjata itu.”

Para prajurit menjadi semakin tidak mengerti tingkah laku Mahisa Bungalan. Mereka melihat Mahisa Bungalan justru melepaskan anak muda itu.

“Ambil pisau itu dan serahkan kepadaku.” wajah Mahisa Bungalanpun menjadi merah.

Ketika anak muda itu masih belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja tangan Mahisa Bungalan terayun di wajahnya. Terdengar anak muda itu berdesah ketika ia terdorong selangkah surut, dan bahkan kemudian jatuh terlentang ditanah. Ketika tangannya mengusap mulutnya, maka ia melihat warna merah dijari-jarinya.

“Cepat bangkit dan ambil pisau itu” perintah Mahisa Bungalan semakin keras.

Tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi pucat. Mulutnya terasa betapa sakitnya. Sedangkan darah mengalir semakin deras. Sebuah giginya telah patah dan justru telah tertelan. Ketika Mahisa Bungalan melangkah maju, maka dengan tergesa-gesa anak muda itu bangkit, betapapun tubuhnya merasa sakit. Dengan tergesa-gesa pula ia memungut pisau belatinya yang terjatuh.

“Serahkan kepadaku. Atau kau ingin aku benar-benar membunuhmu?” geram Mahisa Bungalan.

Anak muda itu ragu-ragu. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama. Ketika Mahisa Bungalan bergerak setapak, maka ia pun dengan serta merta mengacungkan pisaunya.

“Seharusnya kau tidak gila” geram Mahisa Bungalan. “aku dapat kehabisan kesabaran dan membuat wajahmu berubah. Pegang pisau itu pada tajamnya, dan ulurkan tangkainya.”

Anak muda murid Empu Purung itu tidak berani membantah. Iapun kemudian memegangi pisaunya pada tajamnya dan mengulurkan tangkaianya kepada Mahisa Bungalan.

“Jadilah pertanda bahwa kau sudah mengakui kesalahan dan kekalahanmu. Jika kau mengulangi tingkah lakumu yang gila itu, maka aku atau prajurit Singasari yang lain, akan mengambil sikap yang barangkali lebih tidak menyenangkan lagi bagimu” berkata Mahisa Bungalan, “untuk kali ini prajurit-prajurit Singasari masih dapat menahan diri."

Murid Empu Purung itu tidak menjawab

“Sekarang pergilah” geram Mahisa Bungalan.

Anak muda itu melangkah surut. Dengan tegang ia masih tetap memandang Mahisa Bungalan yang kemudian membentaknya, ”Pergi Cepat.”

Anak muda itupun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahisa Bungalan. Sekali-kali ia masih berpaling dengan cemas. Rasa-rasanya Mahisa Bungalan itu menyusulnya dan menghantam punggungnya sampai patah. Tetapi Mahisa Bungalan tidak beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya anak itu pergi meninggalkannya dan kemudian meninggalkan tempat itu.

Beberapa orang kawannya memandanginya dari kejauhan. Ternyata prajurit Singasari itu tidak beramai-ramai memukulinya. Bahkan Mahisa Bungalan telah mencegahnya ketika ada seorang prajurit muda yang hampir kehilangan kesabarannya

Namun dalam pada itu, anak-anak muda, murid Empu Purung itu dapat melihat bahwa kawannya yang paling mereka banggakan itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi prajurit Singasari. Dengan mudah prajurit itu dapat mengalahkannya, bahwa dengan hampir tidak menitikkan keringat sama sekali, prajurit Singasari itu berhasil menguasainya mutlak.

Tetapi kawan-kawan anak muda yang gagal memancing persoalan dengan prajurit-prajurit Singasari itu tidak segera mendapatkannya. Mereka melingkar dan menunggu di balik padukuhan kecil di seberang bulak sempit. Namun sementara itu, semuanya yang telah terjadi, ternyata tidak terlepas dari pengamatan petugas sandi Singasari. Dari kejauhan seorang petugas sandi telah melihat apa yang terjadi.

Karena itulah, maka iapun selalu mengawasi anak muda yang kemudian dengan tergesa-gesa pergi meninggalkan Mahisa Bungalan itu. Dari kejauhan pula, petugas sandi itu dapat melihat, bahwa di balik padukuhan kecil, beberapa anak muda yang lain telah menemuinya. Meskipun petugas sandi itu tidak mendengar, tetapi ia dapat memperhitungkan, bahwa anak muda itu sedang, menceriterakan apa yang telah dialaminya.

Ketika anak-anak muda itu melanjutkan perjalanan, maka petugas sandi itu tidak melepaskannya. Ia mengikutinya terus dan melihat-melihat anak-anak muda itu ternyata menuju kepadepokan Empu Purung. Tidak banyak kesimpulan yang dapat diambil oleh petugas sandi itu kecuali dengan demikian ia mengetahui bahwa anak-anak muda itu memang berasal dari padepokan Empu Purung yang tidak terlalu jauh letaknya dari barak para prajurit Singasari.

Dalam pada itu, peristiwa itu pun telah didengar pula oleh Empu Purung. Sebenarnya ia tidak berkeberatan dengan cara yang diambil oleh muridnya. Tetapi kegagalan itu telah membuatnya menjadi prihatin. “Jadi kau berhasil memancing perkelahian?“ bertanya Empu Purung.

“Ya Empu. Aku telah berkelahi atas namaku sendiri. Maksudku, aku ingin memancing kemarahan para prajurit itu sehingga mereka akan memukuli aku beramai-ramai. Itu akan dapat aku jadikan alasan untuk menyerang barak itu tanpa membawa nama padepokan ini, karena yang terjadi adalah sekedar benturan antara anak-anak muda. Tetapi ternyata bahwa prajurit Singasari itu telah kepanjingan hantu. Jangankan beberapa orang, sedangkan sebuah pukulan telah membuat aku hampir pingsan."

Empu Purung mengangguk-angguk. Yang telah terjadi dapat dibuatnya ukuran, bahwa yang telah mereka capai sama sekali belum berarti apa-apa bagi prajurit-prajurit Singasari. “Meskipun jumlah kami jauh lebih banyak, tetapi kami tidak dapat berbuat apa-apa jika kemampuan kami masih saja terbatas seperti ini” berkata Empu Purung kemudian.

“Ya Empu. Mereka bagaikan mendapat kekuatan dari iblis" jawab anak muda yang mulutnya berdarah itu.

“Baiklah” berkata Empu Purung, “yang kalian dapatkan dari padaku memang baru sedikit. Tetapi aku tidak cemas. Masih ada waktu bagi kalian untuk melatih diri lebih baik dan tekun, sambil menunggu keterangan dari Empu Baladatu. Jangan takut. Jika dengan kekuatan wadag kita tidak mampu melawan, maka aku akan membuat mereka menjadi gila, karena sebenarnya aku sendiri akan dapat membuat mereka tidak berdaya.”

Murid-muridnya mengangguk-angguk. Bagi mereka Empu Purung adalah orang yang luar biasa. Yang mampu meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan. Itulah sebabnya, maka murid-muridnya pun segera melupakan apa yang telah terjadi. Anak muda yang tidak berdaya menghadapi Mahisa Bungalan itu pun kemudian sambil mengangkat dadanya berkata didalam hati,

“Pada suatu saat aku akan datang lagi. Dengan sebuah sentuhan jari telunjukku, kau akan menjadi debu.”

Sejak saat itu, maka murid-murid Empu Purung itu pun dengan tekun mulai memperdalam ilmunya. Meskipun ilmu kanuragan Empu Purung sama sekali tidak mengajari mereka dengan ilmunya yang dahsyat. Tidak mengajari mereka, bagaimana caranya meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan dengan sentuhan jari. Meskipun demikian, mereka telah menjadi bangga dengan kemajuan yang mereka capai dalam olah kanuragan.

Bahkan bukan saja anak-anak muda murid Empu Purung itulah yang harus meningkatkan ilmunya. Tetapi setiap orang laki-laki yang berada di bawah pengaruhnya Empu Purungpun telah dengan tekun berusaha menambah ilmunya, karena mereka pun mendengar bahwa prajurit-prajurit Singasari memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Namun setiap kali murid-murid Empu Purung selalu memperingatkan, agar mereka tidak menjadi cemas. Empu Purung mempunyai kemampuan yang tidak terbatas.

“Jika kita tidak mampu melawan mereka, maka Empu Purung akan menggiring mereka dengan ilmunya ke lembah. Kemudian tebing di sebelah menyebelah pun akan runtuh menimbun tubuh mereka, sehingga mereka akan menjadi lumat karenanya.”

Orang-orang yang berada di bawah pengaruh Empu Purung, itu menjadi gembira. Mereka berharap bahwa hal itu akan segera terjadi

Dalam pada itu, para petugas sandi dari Singasari yang berhasil melihat dan mengikuti anak-anak muda murid Empu Purung itupun mengikuti setiap perkembangan dengan saksama. Mereka selalu mengawasi latihan-latihan yang diadakan setiap saat. Di padepokan Empu Purung, di banjar-banjar padukuhan dan hampir disetiap rumah.

“Perkembangan mereka mulai mencapai suatu tingkat yang berbahaya Ki Lurah” berkata petugas sandi itu kepada pemimpin prajurit Singasari.

Pemimpin prajurit Singasari itu mengangguk-angguk. Beberapa orang terpenting dari pasukannya segera dipanggilnya untuk berbicara. Termasuk Mahisa Bungalan.

“Perkembangan yang serupa terjadi dibeberapa tempat” berkata Mahisa Bungalan” kita harus memperhatikan perkembangan itu secara menyeluruh.“

“Ya” sahut pemimpin prajurit Singasari itu” kita tidak dapat bertindak sendiri.”

“Apakah kita menunggu mereka berkembang semakin luas?” bertanya seseorang.

“Semua masalah harus kita perhatikan” berkata pemimpin prajurit itu. ”jika kita tergesa-gesa bertindak disatu tem pat, maka hal itu akan merupakan peringatan bagi tempat lain yang menghadapi persoalan serupa.“

“Tetapi ada persoalan lain disini” sahut Mahisa Bungalan” jika keadaan memang memaksa, kita dapat mengembangkan persoalan yang membatasi lingkungan yang kecil ini“

“Maksudmu?”

“Persoalan diantara kita. Tegasnya, aku dan anak-anak muda yang telah dengan sengaja memancing persoalan. Jika perlu hal itu dapat dikembangkan sebagai alasan kita untuk bertindak tanpa menyentuh persoalan yang sebenarnya dari tugas kita disini.”

Pemimpin prajurit itu mencoba melihat kemungkinan yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan. Baginya, cara itu nampaknya memang akan lebih mempersempit persoalan, seakan-akan yang terjadi bukannya karena kecurigaan prajurit Singasari terhadap semakin majunya ilmu orang-orang dipadepokan Empu Purung itu.

Meskipun demikian, pemimpin prajurit Singasari itu masih tetap berhati-hati. Karena itu maka katanya, “Kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Tetapi baiklah. Hal ini akan aku perhatikan. Barangkali akan merupakan pemecahan yang paling mungkin kita lakukan.”

Dengan demikian, maka prajurit-prajurit Singasari itu masih harus menahan diri. Mereka masih harus tinggal dibarak dengan cara yang serupa. Namun dibalik bukit, sekelompok prajurit, yang lain tinggal dalam satu perkemahan yang menjemukan. Terapi karena mereka membagi waktu sebaik-baiknya. maka kejemuan itu pun sebagian dapat diatasi.

Sementara pihak Singasari dan mereka yang berada di bawah pengaruh Empu Baladatu sedang berada dalam satu lingkaran kecurigaan, maka Linggapati di Mahibit merasa, bahwa usahanya telah berhasil. Dengan demikian maka ia tinggal menunggu benturan kekuatan yang akan segera terjadi. Jika kedua belah pihak telah menjadi parah, maka Linggapati akan tampil dan berdiri di atas keduanya.

“Baladatu akan hancur oleh prajurit-prajurit Singasari. Dan prajurit-prajurit Singasari yang menjadi lemah itu akan aku hancurkan pula bersama para Akuwu yang telah bersedia berdiri di barisanku” berkata Linggapati kepada dirinya sendiri dengan penuh kebanggaan.

Namun dalam pada itu, Singasari tidak lengah menghadapi perkembangan keadaan. Meskipun nampaknya para prajurit dan petugas menurut penglihatan Linggapati hanyalah ditujukan kepada para pengikut Empu Baladatu, namun karena Mahibit pernah terlibat dalam hubungan yang erat dengan Empu Baladatu, khususnya saat mereka menyerang padepokan Empu Sanggadaru, maka kecurigaan Singasari terhadap Linggapati tidak segera pudar.

Perlahan-lahan namun dengan penuh ketekunan, akhirnya para petugas sandi berhasil menemukan jejak Linggapati di Mahibit. Karena bagaimana pun juga, Linggapati tidak dapat berdiam diri. Ia pun selalu berusaha dapat mengikuti perkembangan di padepokan-padepokan yang disangkanya telah jatuh kedalam pengaruh Empu Baladatu. Sambil tersenyum Linggapati atau orang-orang kepercayaannya menyaksikan barak-barak yang dibuat oleh prajurit Singasari di beberapa tempat yang dianggapnya perlu.

“Benturan itu tidak akan dapat dihindari lagi” desis Linggapati.

Namun diluar dugaan, maka kegiatan penyelidikannya itu telah tertangkap oleh jaringan petugas sandi dari Singasari. “Orang-orang Mahibit pun berkeliaran terutama di daerah Timur” para petugas sandi itu melaporkan.

Dengan demikian, maka para perwira tertinggi di Singasari telah berusaha memecahkan keadaan secara keseluruhan. Mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa laporan yang pernah mereka terima tentang kegiatan Empu Baladatu, justru datangnya dari Mahibit. Orang-orang di Mahibit ingin melihat pasukan Singasari berbenturan melawan orang-orang yang terpengaruh oleh Empu Baladatu. Karena itulah, maka Singasari pun kemudian dengan hati-hati berusaha untuk menguasai persoalannya dalam keseluruhan.

“Kita tidak boleh tergesa-gesa” berkata Mahisa Agni, yang meskipun sudah menjadi semakin tua, tetapi ia masih tetap seorang yang berpengaruh di kalangan keprajuritan di Singasari. Dan ternyata kemudian, bahwa perintah yang keluar dari para perwira prajurit pun berbunyi senada dengan pendapat Mahisa Agni, meskipun beberapa orang perwira muda kadang-kadang merasa terlalu lamban.

“Kita menunggu setelah mereka menjadi kuat dan menyerang kita lebih dahulu” berkata seorang perwira muda.

“Siapakah yang menjadi kuat? Empu Baladatu atau Linggapati?”

“Kedua-duanya.”

“Tetapi bagaimana akibatnya jika kita dengan tergesa-gesa bertindak atas salah satu pihak? Kekuatan kita akan berkurang, sementara kekuatan Linggapati masih tetap utuh.”

“Itu akan lebih baik. Kita bertempur melawan kekuatan terbagi. Kita hancurkan dahulu Empu Baladatu. Baru kemudian Linggapati. Tetapi jika harus menghadapi mereka bersama-sama, apalagi setelah mereka menjadi kuat, maka tugas kita akan terasa berat sekali.”

“Tetapi itu lebih baik kita lakukan dengan beradu dada. Setelah semuanya jelas, kita akan menghadapinya. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kekuatan Linggapati masih tersembunyi. Jika kekuatan yang tidak kita ketahui itu ternyata cukup besar dan menghanam kita dari punggung maka kita akan mengalami kesulitan pula.”

Perwira muda itu mencoba untuk mengerti. Tetapi darah kemudaannya banyak berpengaruh atas segala pertimbangannya. Meskipun demikian, ia tidak menjawab lagi. Ia tahu, bahwa hal itu tidak akan dapat diperdebatkan. Jika para pemimpin tertinggi Singasari memerintahkan untuk bertahan pada keadaan seperti yang sedang berjalan, maka itu adalah keputusan yang tidak dapat dirubah-rubahnya menurut selera masing-masing.

Karena itulah, maka para prajurit Singasari terpaksa tetap berada di tempatnya, meskipun kadang-kadang terasa sangat menjemukan. Namun sementara itu, para petugas sandi sajalah yang bekerja dengan tidak mengenal waktu.

Namun dalam pada itu, di luar dugaan Linggapati, sebenarnyalah prajurit-prajurit Singasari telah membuat beberapa pemusatan prajurit untuk menghadapinya. Beberapa orang Akuwu yang mencurigakan tidak luput dari pengamatan Singasari. Karena Singasari telah menangkap jaringan hubungan para Akuwu itu dengan Linggapati.

“Tugas kita memang berat” berkata para perwira, “di satu pihak kita harus mengamati setiap padepokan yang di duga mempunyai sangkut paut dengan Empu Baladatu. Peningkatan yang menyolok dalam olah kanuragan merupakan pertanda yang dapat dijadikan pegangan sementara. Namun dalam pada itu, juga kegiatan para Akuwu yang dalam pengamatan para petugas sandi mengadakan hubungan dengan Linggapati."

“Jangan sandarkan pada kekuatan para prajurit semata-semata” berkata para perwira yang sudah berpengalaman, “hadapi kegiatan di padepokan itu dengan kegiatan serupa di padukuhan sekitarnya. Demikian juga kegiatan olah kanuragan di beberapa daerah yang langsung dilakukan oleh para Akuwu.”

Ternyata bahwa perintah itu mendapat sambutan yang baik dari para pemimpin kelompok di tempat-tempat yang terpencar. Mereka berusaha untuk membuat hubungan dengan para Buyut di padukuhan-padukuhan di sekitarnya.

“Kami menawarkan tenaga kami yang seakan-akan sia-sia saja” berkata seorang prajurit yang seolah-olah sekedar ingin menghapuskan kejemuan.

Buyut padukuhan di sebelah padepokan yang meningkat kan kegiatannya, semula sama sekali tidak bercuriga. Jika ada orang-orang dari padukuhan-padukuhan yang termasuk wilayahnya, ikut serta dalam latihan-latihan di padepokan itu, Ki Buyutpun tidak menaruh prasangka apa-apa. Menurut pengertiannya, di padepokan-padepokan memang sering diadakan peningkatan ilmu, yang kasar dan yang halus. Bahkan sebelumnya ada beberapa orang Buyut yang justru merasa berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada beberapa orang dari padukuhannya untuk ikut serta mendapatkan ilmu kanuragan.

Namun pengaruh padepokan yang semakin meluas, kadang-kadang memang menjadi persoalan bagi Ki Buyut. Orang-orang yang berada di bawah pengaruh salah seorang pemimpin padepokan, seharusnya hanyalah dalam tataran ilmu kanuragan maupun kajiwan. Tetapi dasar-dasar pemerintahan bagi padukuhan mereka akan tetap berlaku seperti seharusnya di bawah pimpinan seorang Buyut.

Tetapi kadang-kadang orang-orang yang telah memiliki kemampuan dan ilmu kanuragan, tidak lagi mau tunduk kepada Ki Buyut di padukuhannya. Ia lebih dekat dengan pemimpin padepokannya. Demikian pula padukuhan Alas Pandan yang berada di bawah bayangan pengaruh Empu Purung.

Ki Buyut kadang-kadang merasa bahwa pengaruhnya sudah jauh terdesak dari pengaruh Empu Purung dengan cantrik-cantriknya. Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang, termasuk wilayah Ki Buyut mulai mengabaikan peraturan-peraturan seharusnya berlaku. Mereka lebih senang menurut perintah Empu Purung dari pada Ki Buyut meskipun dalam tata kehidupan di padukuhannya.

Karena itulah ketika Mahisa Bungalan dengan diam-diam datang kepada Ki Buyut bersama seorang perwira prajurit Singasari dalam pakaian orang kebanyakan sehingga tidak mudah diketahui, Ki Buyut telah menyampaikan semuanya yang dirasakannya janggal.

“Apakah prajurit Singasari dapat membantu aku?” bertanya Ki Buyut.

Mahisa Bungalan dan perwira muda itu mengangguk-angguk. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan berkata, “Apakah masih ada beberapa orang anak-anak muda yang tidak berada di bawah pengaruh Empu Purung?“

“Aku kira masih ada Ki Sanak. Tetapi pada umumnya mereka adalah anak-anak muda yang tidak mengenal apapun selain langkah ke sawah dan ladang. Dalam pergaulan sehari-hari mereka sama sekali tidak memiliki wibawa apapun juga jika berhadapan dengan anak-anak muda yang sudah mempelajari ilmu kanuragan di padepokan Empu Purung.”

“Apakah diantara anak-anak muda itu pernah timbul perselisihan.” bertanya Mahisa Bungalan.

“Hampir tidak pernah. Anak-anak muda yang tidak memiliki ilmu kanuragan itu tidak berani membantah, apapun yang di katakan dan kehendaki oleh mereka yang sering berada di padepokan. Bahkan mengenai urutan mempergunakan air dari parit yang kurang mencukupi itu pun, anak-anak muda yang merasa dirinya memiliki ilmu kanuragan itu, berbuat sekehendak hati mereka. Itulah sebabnya kadang-kadang tanaman di satu kotak sawah menjadi layu, sedangkan di sebelahnya nampak subur dan hijau.”

“Apakah Ki Buyut pernah berbuat sesuatu?”

“Aku pernah mengumpulkan mereka. Tetapi anak-anak muda yang berada dibawah pengaruh Empu Purung itu merasa diri mereka terlalu kuat. Mereka merasa satu dengan anak-anak muda dari padukuhan yang lain, diluar kekuasaanku. Tetapi Bayut dari daerah itupun merasa berprihatin seperti aku pula.“

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Ki Buyut. Kami adalah prajurit Singasari yang mendapat tugas di daerah ini. Selama ini kami hanya duduk-duduk, makan dan hidup dalam suasana yang menjemukan.”

Perwira muda di sebelah Mahisa Bungalan itu bergeser. Tetapi ketika ia akan mengucapkan sesuatu, Mahisa Bungalan telah menggamitnya, sehingga perwira muda itu mengerutkan keningnya dan mengurungkan kata-kata yang sudah hampir meloncat dari mulutnya.

“Karena itu Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan, “kami ingin melepaskan kejemuan kami dengan kerja yang barangkali berguna bagi padukuhan ini“

“Maksud Ki Sanak?”

“Bagaimana jika kami membantu anak-anak muda itu di dalam kerja dan kehidupan mereka sehari-hari.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu memang dapat memberikan imbangan atas sikap anak-anak muda yang merasa dirinya kuat dalam olah kanuragan itu. Tetapi peristiwa itu hanyalah peristiwa sesaat. Jika kalian di tarik dari daerah ini, maka yang tinggal adalah dendam. Dendam dari anak-anak yang berada di bawah pengaruh Empu Purung itu terhadap anak-anak muda yang selama ini bekerja bersama kalian.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian Ki Buyut, tetapi sudah barang tentu Ki Buyut tidak akan dapat membiarkan kepincangan ini terjadi untuk seterusnya.”

“Ya. Namun jika mungkin aku ingin mendapatkan pemecahan yang lestari. Bukan sekedar penyelesaian sementara, tetapi yang justru akan menimbulkan kesulitan dikemudian. hari.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ki Buyut ternyata memang persoalan itu dalam keseluruhan dan bagi masa depan yang panjang. Sebenarnyalah menurut penilaian Mahisa Bungalan, Ki Buyut adalah orang yang memiliki kemampuan berpikir. Tetapi ia tidak sempat melakukannya. Karena itu, maka menurut perhitungan Mahisa Bungalan, Ki Buyut akan dapat diajaknya bekerja bersama untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh anak-anak muda yang justru sejalan dengan rencananya.

Dengan sungguh-sungguh Mahisa Bungalan pun kemudian bertanya kepada Ki Buyut, “Ki Buyut, apakah jumlah anak-anak muda yang berada dibawah pengaruh Empu Purung itu cukup banyak?”

“Ya Ki Sanak. Mungkin lebih banyak dari mereka yang tidak berada dibawah pengaruhnya. Pada umumnya anak-anak muda senang dengan kebanggaan jasmaniah. Di padepokan Empu Purung mereka mendapat latihan-latihan olah kanuragan“

“Apakah Ki Buyut mengetahui, apakah maksud Empu Purung memberikan latihan-latihan itu?”

Ki Buyut menggelengkan kepalanya. Katanya, “Menurut pendengaranku mereka tidak mendapat tugas apa-apa dari Empu Purung.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tentu hanya orang-orang terpenting sajalah yang mengetahui maksud sebenarnya dari Empu Purung. Seperti yang pernah didengar oleh petugas sandi Singasari, bahwa sikap Empu Purung dan beberapa padepokan yang tersebar lainnya, berada dibawah pengaruh Empu Baladatu.

Namun dengan demikian Mahisa Bungalan telah mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan anak-anak muda dipadukuhan-padukuhan yang berada disekitar padepokan Empu Purung, sehingga dengan beberapa orang pemimpin prajurit Singasari ia akan dapat menentukan sikap yang sebaik-baiknya.

Ketika Mahisa Bungalan dan perwira muda itu meninggalkan rumah Ki Buyut, barulah perwira itu bertanya, “Kenapa tidak diberitahukan sama sekali maksud kedatangan kita ke tempat ini dan barangkali kita dapat memberikan sekedar petunjuk dalam olah kanuragan kepada anak-anak muda itu?”

“Kita belum tahu pasti sikap Ki Buyut yang sebenarnya” berkata Mahisa Bungalan.

Namun setelah di saat lain Mahisa Bungalan bertemu dan berbicara lagi dengan Ki Buyut, maka yakinlah ia bahwa Ki Buyut sendiri sama sekali tidak berdiri dipihak Empu Purung meskipun ia tidak berani menentang sikapnya.

“Ia adalah menusia yang luar biasa. Ia dapat mengeringkan lautan dan menggugurkan gunung dengan jari telunjuknya” berkata Ki Buyut, “dan ia dapat membuat seseorang menjadi gila dan lumpuh tanpa menyentuhnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Bagi orang di padukuhan-padukuhan kecil yang terpisah, kelebihan yang mereka lihat pada Empu Purung telah cukup untuk membangkitkan dongeng-dongeng yang dapat mencengkam mereka kedalam pengaruhnya.

“Baiklah Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan berusaha untuk berbuat sesuatu yang akan dapat berarti bagi padukuhan ini.”

“Apa yang akan Ki Sanak lakukan?”

Mahisa Bungalan masih ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun berkata, “Aku akan memberikan dasar olah kanuragan pula kepada anak-anak muda yang tidak bersedia menempatkan dirinya dibawah pengaruh Empu Purung.”

“O” tiba-tiba saja Ki Buyut menggeleng, “jadi dengan demikian Ki Sanak akan mengadu anak-anak muda kami agar saling berkelahi di antara mereka? Jika mereka masing-masing memiliki ilmu kanuragan, maka kedua belah pihak akan mempunyai kekuatan untuk saling mempertahankan diri dan sikap. Yang akan terjadi kemudian adalah perkelahian yang tidak ada henti-hentinya dipadukuhan ini. Apakah dengan demikian ke adaan padukuhan ini akan bertambah baik?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ki Buyut. Imbangan kekuatan memang dapat menimbulkan bencana. Mungkin akan terjadi benturan kekuatan di antara mereka. Tetapi tanpa imbangan kekuatan, yang terjadi adalah penindasan semata-mata. Akan lebih baik jika kita dapat menilai sikap dan tingkah laku mereka yang mungkin akan dapat memiliki imbangan kekuatan. Jika mereka yang mengerti arti yang sebenarnya dari tugas kemanusiaan memiliki kekekuatan yang lebih besar, maka akan segera terjadi ketenangan di dalam padukuhan ini.”

“Tetapi jika sebaliknya? Maka dendam akan bertambah, dan kesulitanpun akan menjadi-jadi.”

“Selama kami berada disini, kami akan selalu mengawasi perkembangan keadaan. Kami akan berusaha sehingga kekuatan itu sedikitnya akan berimbang. Biarlah para prajurit yang jemu untuk sekedar duduk-duduk dan makan sambil bergurau itu mendapat tugas yang lebih menarik. Membimbing anak-anak muda itu untuk berlatih dalam olah kanuragan. Tentu para prajurit tidak akan kalah dari para cantrik di padepokan Empu Purung.”

“Tetapi ada satu dua orang anak muda yang langsung berada di bawah asuhan Empu Purung sendiri. Mereka tentu memiliki ilmu yang tidak terkalahkan. Bahkan mungkin berada di atas kemampuan prajurit-prajurit Singasari sendiri.” berkata Ki Buyut.

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng, Katanya, “Tidak Ki Buyut. Bahkan Empu Purung tidak akan dapat mengalahkan pemimpin kami yang bertugas disini. Jika Empu Purung merasa mampu mengalahkan, ia tentu sudah berbuat sesuatu. Karena pemimpin kami pun dapat mengeringkan lautan dan menggugurkan gunung, bukan saja dengan jarinya, tetapi hanya dengan tatapan matanya.”

Ki Buyut tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata, “Terserah kepada kebijaksanaan Ki Sanak.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia sudah berhasil meyakinkan Ki Buyut, bahwa dengan memberikan imbangan kekuatan, maka anak-anak muda yang telah menyadap ilmu di padepokan Empu Purung, apakah dengan langsung atau lewat cantrik-cantriknya, akan terpaksa mempertimbangkan tingkah lakunya di padepokannya.

“Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “baiklah aku akan segera mulai. Pembicaraan ini dapat aku anggap sebagai ijin yang telah Ki Buyut berikan. Aku akan mengatur saat-saat yang paling tepat dan menghubungi orang-orang yang mungkin bersedia. Untuk itu, disaat-saat mendatang, mungkin aku akan sering bertemu dengan Ki Buyut.”

“Dan aku akan telibat dalam kesulitan dengan Empu Purung.” desis Ki Buyut.

“Dengan diam-diam seperti yang selalu aku lakukan. Tidak ada orang yang mengetahui bahwa Ki Buyut telah berhubungan dengan prajurit-prajurit Singasari.”

“Semuanya terserah kepada Ki Sanak. Tetapi aku mohon, bahwa yang akan terjadi adalah ketenangan dan ketenteraman. Bukan sebaliknya.”

Mahisa Bugalan mengangguk-angguk. Ia menyanggupi pesan itu. Katanya, “Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”

Ternyata bahwa sikap Ki Buyut itu merupakan sikap kebanyakan tetua padukuhan yang dihubungi oleh prajurit-prajurit Singasari dibeberapa tempat. Pada umumnya mereka segan terlibat dalam kesulitan melawan kekuatan yang seakan-akan telah tersusun di daerah-daerah terpencil yang pengaruhnya sampai kepadukuhan-padukuhan mereka.

Di Alas Pandan Mahisa Bungalan mulai dengan usahanya untuk menghubungi anak-anak muda yang tidak terlibat dalam kegiatan Empu Purung. Apakah mereka dianggap kurang memenuhi syarat, atau dianggap terlampau malas dan lemah, atau dengan alasan apapun juga, namun yang ternyata kemudian telah tersisih dari kawan-kawannya yang ikut serta dalam latihan-latihan olah kanuragan.

“Ternyata jumlah mereka masih cukup” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi sulit untuk memancing keberanian mereka.”

“Kita akan melindungi mereka dengan panji-panji kebesaran prajurit Singasari.” desis Mahisa Bungalan, “jika mereka menentang rencana kita, maka mereka akan berhadapan dengan prajurit Singasari. Sementara itu, usaha untuk menempa mereka dapat dilakukan dengan terbuka.”

“Kita sudah mulai menantang Empu Purung.” berkata salah seorang perwira.

“Aku kira Empu Purung tidak akan bertindak sendiri sebelum mendapat perintah dari Empu Baladatu.”

Para prajurit Singasari itupun sependapat, bahwa mereka akan melakukannya tanpa bersembunyi lagi. Mereka mempunyai perhitungan tersendiri tentang Empu Purung. Bahkan seandainya Empu Purung langsung betindak atas namanya sendiri, maka prajurit Singasari pun telah siap melawannya.

Di hari-hari berikutnya, maka prajurit Singasari pun mulai memasuki padukuhan-padukuhan kecil di daerah pengaruh Empu Purung, Meskipun demikian, mereka tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa karena kebanyakan anak-anak muda justru menjadi cemas melihat sikap mereka.

Dengan cara yang paling lunak, maka prajurit-prajurit Singasari itu pun mulai memperkenalkan diri kepada anak-anak muda yang menurut petunjuk Ki Buyut tidak termasuk anak-anak muda yang melibatkan diri dalam menyadapan ilmu di padepokan Empu Purung, meskipun Ki Buyut sendiri masih belum bersedia melawannya dendan terbuka, sehingga dengan demikian. maka hubungan dengan Ki Buyut masih tetap dilakukan dengan diam-diam.

Satu dua orang di antara mereka berhasil dihubungi. Mahisa Bungalan yang masuk ke padukuhan kecil itu, dapat bertemu dengan seorang anak muda yang bertubuh kurus dan lemah. Namun menurut penglihatan Mahisa Bungalan, tatapan mata anak itu membayangkan betapa kuat hatinya dan betapa teguh keyakinannya.

“Siapa namamu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Padon” jawab anak muda itu.

“Kau tidak ikut dalam latihan-latihan di padepokan Empu Purung itu Padon?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku tidak ikut diminta. Mungkin karena aku sakit-sakitan saja selama ini“

“Dan kau menyesal?”

Padon termangu-mangu sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, “Seharusnya kau mengucap sukur.”

“Tetapi aku mengalami banyak kesulitan dari kawan-kawanku itu. Mereka merampas air yang seharusnya mengairi sawahku. Mereka merampas padang rumput daerah penggembalaan ternakku dan masih banyak lagi yang dilakukan justru karena mereka sama sekali tidak takut mengalami akibat apa pun dari perbuatannya.”

“Dan kau terima nasib itu sampai dihari tuamu. Juga anak-anakmu dan cucu-cucumu?”

Padon mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu seolah-olah telah menggugah pertanyaan serupa di dalam hatinya yang paling dalam, “Ya, apakah demikian?”

“Pikirkan Padon. Nasib masa depanmu dan masa depan keluargamu akan selalu terancam.”

“Lalu apa yang, dapat aku kerjakan“

“Kau masih sakit-sakitan?”

“Ya. Aku memang sakit-sakitan.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak yang tidak ikut serta berlatih ilmu kanuragan di padepokan Empu Purung adalah anak-anak muda yang sakit-sakitan atau yang dianggap pengecut.

“Kau sudah berusaha mengobati sakitmu?”

Padon menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada gunanya. Aku. selalu merasa tidak berdaya.”

“Kau kekurangan bukan saja makanan bagi jasmanimu, tetapi juga rohanimu. Seseorang, dapat terasa dirinya sakit meskipun ia sehat.”

“Tetapi aku benar-benar sakit.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Seandainya kau sehat, apakah kau juga akan ikut serta pergi kepadepokan Empu Purung?”

Pertanyaan itu telah membingungkannya.

“Kau tidak usah menyembunyikan sesuatu. Katakan. Aku tidak berkeberatan atas kedua jenis jawaban yang mungkin kau berikan. Ya, atau tidak. Aku tidak berkepentingan apakah kau ingin berada di dalam lingkungan mereka atau tidak.”

Padon masih tetap termangu-mangu. Bahkan iapun pernah mendengar bahwa salah seorang kawannya yang berada didalam lingkungan, padepokan Empu Purung, bahkan termasuk seorang anak muda pilihan, telah berkelahi melawan seorang prajurit Singasari.

“Katakanlah sikapmu sendiri Padon” desak Mahisa Bungalan.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya dengan jujur, “Memang semula ada keinginanku untuk ikut serta bersama kawan-kawanku pergi kepadepokan itu di hari-hari tertentu. Dua atau tiga kali setiap pekan untuk mendapakan latihan-latihan olah kanuragan. Namun tenagaku ternyata tidak memungkinkan. Ketika seorang cantrik padepokan itu memilih anak-anak yang, dianggapnya cukup kuat, aku telah disisihkannya.” ia berhenti sejenak, lalu, “namun kemudian ternyata aku merasa berterima kasih bahwa aku telah dibebaskan dari kewajiban tersebut.”

“Kenapa?”

“Ternyata mereka yang telah mendapat bimbingan dari padepokan itu merasa dirinya dapat berbuat apa saja terhadap orang lain“

“Agaknya tidak. Apalagi jika aku merasa diriku telah tersentuh akibat dari sikap itu. Meskipun demikian aku dan beberapa orang kawan tidak dapat berbuat apa-apa.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menyatakan maksudnya bahwa ia bersedia untuk memberikan imbangan atas sikap anak-anak muda yang, telah berada didalam lingkungan Empu Purung itu.

Namun dalam pada itu, kunjungan prajurit Singasari pada anak-anak muda di luar lingkungan Padepokan Empu Purung telah menumbuhkan kecurigaan mereka. Meskipun mereka belum melihat sesuatu tindakan yang dapat mengancam kedudukan mereka, namun agaknya mereka merasa perlu untuk mengambil sikap. Karena itulah, maka beberapa orang diantara mereka telah mendatangi Padon dengan sikap yang kasar.

“Apa yang kau lakukan Padon? Apakah kau sedang merajuk?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku tidak tahu maksudmu” sahut Padon.

“Kau telah melaporkan kepada prajurit-prajurit Singasari itu bahwa kami sering mengganggumu. Begitu?”

“Aku tidak mengatakan apapun kepada mereka. Mereka datang untuk memperkenalkan diri. Dan aku menerima ke datangannya. Apakah itu salah?“

“Jika sekedar seperti yang kau katakan, kau tidak salah. Mungkin prajurit-prajurit itu sedang membujuk agar kau memberikan buah jambu kelutuk dipategalanmu kepada mereka. Atau satu dua orang prajurit itu jatuh cinta kepada adikmu.Tetapi jika kemudian ternyata bahwa prajurit-prajurit itu mengambil sikap lain, akupun akan menentukan apa yang, akan kami lakukan terhadapmu.”

Padon tidak menjawab. Tetapi ia mulai ragu-ragu. Ia tidak akan dapat menentang sikap anak-anak muda itu. Namun selagi Padon dicengkam oleh kebimbangan, tiba tiba saja Mahisa Bungalan telah datang pula ke rumahnya. Wajah Padon menjadi merah. Kedatangan Mahisa Bungalan justru pada saat anak-anak muda itu berada di rumahnya, akan dapat menimbulkan persoalan yang gawat bagi dirinya.

Ternyata seperti yang diduganya, justru Mahisa Bungalan lah yang telah memulainya, “Nah anak-anak Empu Purung. Apakah kalian telah mencurigai Padon dan mengancamnya?”

Anak-anak muda itu terkejut mendengar pertanyaan Mahisa Bungalan yang berterus terang itu. Salah seorang dari mereka menjadi panas dan menjawab dengan berterus terang pula, “Ya, Kami mencurigai Padon. Mungkin ia telah memfitnah kami dan memberikan keterangan yang salah terhadap kalian.”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Padon tidak pernah memberikan keterangan apa-apa kepadaku. Justru pengetahuanku tentang kalian sudah jauh lebih banyak dari Padon. Aku pernah melayani salah seorang dari kalian berkelahi. Dan itu dapat aku jadikan ukuran tingkah laku kalian.” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “sekarang, justru akulah yang akan mengancam. Jika terjadi sesuatu atas Padon, siapa pun yang melakukan, aku akan minta pertanggungan jawab kalian. Aku adalah prajurit Singasari yang mempunyai limpahan kekuasaan. Aku dapat bertindak dengan kekuatan yang ada. Jika perlu, aku dapat memanggil pasukan segelar sepapan.”

Anak-anak muda yang berada dalam pengaruh Empu Purung itu termangu-mangu. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi Mahisa Bungalan. Karena itulah, maka mereka pun kemudian meninggalkan rumah Padon dengan hati yang bergetar menahan kemarahan

“Empu Purung terlalu lama menunggu” geram salah seorang dari mereka.

“Kita harus melaporkannya kepada Empu Purung.” sahut yang lain lagi.

Demikianlah anak-anak muda itu telah bersepakat untuk menyampaikan sikap Mahisa Bungalan kepada para cantrik dan jika perlu akan mereka sampaikan kepada Empu Purung sendiri.

Dalam pada itu, selagi anak-anak muda yang tidak termasuk anak buah Empu Purung itu semakin erat berkenalan dengan Mahisa Bungalan, maka Empu Purung menjadi semakin gelisah menghadapi perkembangan keadaan. Sementara itu, anak buahnya sudah hampir tidak dapat dikendalikan lagi.

Dalam kegelisahan itu, Empu Purung mencoba untuk mencari hubungan dengan Empu Baladatu. Apakah persiapannya dipadepokan-padepokan terpencil sudah cukup kuat sehingga saatnya sudah dekat untuk berbuat sesuatu, mengguncang kekuasaan Ranggawuni dan Mihasa Cempaka.

Sementara Empu Purung menunggu, maka di Mahibit Linggapati tidak tinggal diam menghadapi perkembangan keadaan. Ia sudah melihat dua kekuatan yang seakan-akan sudah saling berhadapan. Karena itulah, maka ia pun memperluas jaring-jaringnya. Berbeda dengan Empu Baladatu yang mencari kekuatan kepada kawan-kawannya yang berada di padepokan-padepokan dan menyelenggarakan perguruan ilmu kanuragan, maka Linggapati masih saja sibuk dengan para Akuwu dan pemimpin pemerintahan yang lain.

Ia merasa kuat dengan dukungan para kesatria dan para pemimpin di daerah para Akuwu. Dengan demikian, maka pengawal dan prajurit dari daerah seorang Akuwu yang berada dibawah pengaruhnya, akan merupakan kekuatan yang tidak kalah besarnya dari kekuatan para cantrik dipadepokan-padepokan.

Untuk mengikat para Akuwu menghormati wibawanya, Linggapati telah bekerja bersama dengan beberapa orang Senapati yang tersingkir pada masa kekuasaan Tohjaya runtuh. Para Senapati yang sekedar dicengkam oleh perasaan dendam dan kebencian karena mereka telah kehilangan kedudukan dan jabatan mereka.

Dengan licik Linggapati berhasil memikat hati para Akuwu di sekitar Kota Raja, sehingga seakan-akan kota raja Singasari telah terkepung meskipun masih belum nampak sama sekali, karena para Akuwu dan kekuatannya masih berusaha untuk menahan diri seperti juga para pemimpin padepokan

Namun di luar sadarnya, semua tingkah laku para Akuwu itu mendapat pengamatan yang saksama dari para petugas sandi dari Singasari. Meskipun demikian Singasari masih tetap menganggap bahwa saatnya masih harus ditunggu untuk bertindak.

Tetapi dalam pada itu, para akuwu mulai tertarik melihat kegiatan padepokan-padepokan yang harus mereka awasi. Padepokan-padepokan itu seakan-akan telah menghisap setiap laki-laki. bukan saja anak-anak muda untuk memberikan latihan-latihan kanuragan. Sementara prajurit-prajurit Singasari telah siap pula diberbagai tempat untuk mengawasi mereka.

“Bagaimanapun juga, perkembangan kekuatan mereka mencemaskan” para Akuwu mulai membicarakannya dengan para pemimpin pemerintahan yang lain.

“Serahkan mereka kepada prajurit Singasari. Biarlah kekuatan mereka dibenturkan kepada kekuatan Singasari. Kita akan menemukan reruntuhan di atas tebaran mayat di segala penjuru. Dan kita akan bangkit dan berdiri diatas bangkai bangkai itu.”

Para Akuwu yang mulai ragu-ragu mencoba menghibur diri, bahwa mereka masih mempunyai cukup kekuatan. Bahwa prajurit mereka masih tetap patuh dan siap berbuat apa saja. Demkianlah, maka kekuatan yang ada di Singasari itupun telah saling mengintai. Masing-masing dalam jalurnya yang menjelujur sampai ke daerah-daerah terpencil.

Laporan tentang hal itu agaknya telah menarik perhatian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, sehingga ia memerlukan mengadakan pembicaraan khusus dengan Mahisa Agni.

“Paman” berkata Ranggawuni, “perkembangan keadaan itu telah mencemaskan sekali. Bukan karena aku tidak percaya akan kemampuan prajurit Singasari, tetapi dengan mengutamakan kekuatan senjata, maka penyelesaian yang demikian akan menghisap korban yang tidak terhitung jumlahnya“

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Sebenarnyalah demikian tuanku. Sebenarnyalah mencemaskan“

“Jadi menurut paman, apakah yang sebaiknya aku lakukan untuk mengatasi persoalan ini? Aku tahu bahwa Singasari telah siap dengan prajurit-prajuritnya di daerah-daerah terpencil yang akan sanggup menghadapi Empu Baladatu maupun Linggapati yang berhasil mempengaruhi beberapa orang, pemimpin pemerintahan di daerah para Akuwu. Tetapi apakah hal itu merupakan penyelesaian yang paling bijaksana? Bahkan seandainya kita dapat menumpas mereka sampai orang terakhir?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Paman” tiba-tiba Ranggawuni berdesis, “Aku ingin melihat sendiri, apakah yang telah tumbuh di beberapa tempat itu benar-benar merupakan bahaya bagi Singasari.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak berkeberatan atas rencana kedua anak muda yang sedang memimpin pemerintahan Singasari. Namun dengan demikian, maka perjalanan ke duanya akan memerlukan perlindungan khusus. Seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka keduanya tidak ingin mengadakan perjalanan resmi sebagai seorang Maharaja dengan pengawal pasukan segelar sepapan. Tetapi keduanya lebih senang menempuh perjalanan yang tidak diketahui oleh siapapun juga kecuali orang-orang terpenting dan terpercaya.

Setelah dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan masak, maka mulailah kedua orang itu dengan perjalanannya. Tetapi mereka tidak hanya berdua. Mahisa Agni dan Witantra pergi bersama mereka, sementara Mahendra telah pula di panggil untuk merambas jalan.

“Kau bukan seorang prajurit” berkata Mahisa Agni, “dan kau adalah seorang pedagang yang pernah menjelajahi tempat-tempat yang jauh. Karena itu, kau diharap untuk mendahului setiap perjalanan kami.”

Mahendra tersenyum. Jawabnya” Bagaimana cara yang harus aku lakukan dalam tugas ini?“

“Kita akan menentukan tujuan pertama, Kau sudah harus datang ketempat itu. Baru kemudian kami menyusul. Di tempat itu, kita akan merundingkan kemana kau harus pergi lagi mendahului perjalanan kami. Dengan demikian maka kita akan menempuh perjalanan yang mungkin panjang.”

“Baiklah. Jika tugas itu memang dibebankan kepadaku.”

Tetapi Mahendra tidak ingin pergi seorang diri. Agar ia tidak kesepian diperjalanan, maka kedua anaknya yang muda telah dipanggilnya untuk menyertai perjalanannya. “Yang pertama adalah tempat kedudukan Mahisa Bungalan” berkata Mahendra, “aku sudah lama tidak bertemu dengan anakku itu.”

“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “kami tidak berkeberatan. Kami dapat mulai dengan tempat yang manapun juga. Tetapi tidak Mahibit dan padepokan Empu Baladatu sendiri.”

Demikianlah, maka sasaran yang pertama kali akan dilihat oleh Ranggawuni dan Mahesa Cempaka adalah daerah yang berada di bawah pengaruh Empu Purung di daerah Alas Pandan.

Kedatangan Mahendra bersama kedua anaknya di daerah kecil itu tidak menarik perhatian, karena mereka datang sebagai pedagang. Dengan kebiasaannya, Mahendra berhasil meyakinkan orang-orang di daerah terpencil itu, bahwa ia memang seorang pedagang keliling. Bahkan Mahendra pun benar-benar telah memanfaatkan perjalanannya dalam kemungkinan memperluas daerah perdagangannya pula.

“Kami adalah orang-orang yang mengkhususkan diri dalam perdagangan pusaka, wesi aji dan batu-batu bertuah” berkata Mehendra kepada orang-orang yang dijumpainya dipadukuhan yang berada di bawah pengaruh padepokan Empu Purung itu.

Memang tidak banyak orang yang menaruh perhatian terhadap barang-barang yang diperdagangkan oleh Mahendra. Apalagi di daerah yang tidak begitu besar seperti daerah Alas Pandan. Namun demikian ada juga satu dua orang yang, tertarik kepadanya.

Atas ijin Ki Buyut Mahendra telah bermalam di banjar padukuhan. Kepada satu dua orang yang datang menjumpainya, Mahendra telah menunjukkan beberapa jenis keris dan patrem, tuweg dan luwuk. Tetapi selain jenis-jenis pusaka, juga beberapa jenis batu bertuah. Akik berbagai jenis dan warna. Bukan saja batu-batu akik yang mempunyai tuah tertentu, tetapi juga batu-batu yang menarik warna dan bentuknya. Bahkan agaknya Ki Buyut pun telah tertarik pula setelah ia mendengar dari orang-orang yang telah melihat kumpulan barang yang dibawa oleh Mahendra itu.

“Kami bersedia membeli dan menjual” berkata Mahendra, “karena itu, jika Ki Buyut memerlukan, silahkan. Tetapi jika ada barang-barang Ki Buyut dan penghuni padukuhan ini yang tidak memerlukan lagi, kami sanggup membelinya.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “kami senang sekali melihat barang-barang ini. Tentu saja kami ingin memiliki barang satu dua. Tetapi kami adalah orang-orang miskin.”

“Ah” Mahendra tertawa, “barang-barang kami bukannya barang-barang yang mahal.”

“Sayang sekali” desis Ki Buyut.

“Tidak apa Ki Buyut. Kami sudah berterima kasih bahwa kami boleh tinggal di banjar ini barang satu dua hari Kami memang sedang menunggu kawan-kawan pedagang yang berkeliling seperti kami bertiga. Jika Ki Buyut tidak berkeberatan, apabila mereka tidak ingkar janji, biarlah mereka tinggal di sini bersama kami barang satu dua malam.”

Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Tentu tidak Ki Sanak. Asal mereka datang dengan maksud baik, kami tentu tidak akan berkeberatan.”

Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Tentu kami tidak akan berani berbuat jahat disini. Bukankah di sini banyak anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan? Apalagi di sini juga banyak terdapat prajurit-prajurit Singasari?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Meskipun kepalanya terangguk-angguk namun agaknya ada sesuatu yang memberati perasaannya. “Justru karena itu Ki Sanak” tiba-tiba saja Ki Buyut berdesis.

“Kenapa Ki Buyut?” bertanya Mahendra.

Ki Buyut termangu sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada yang dalam, “Kehadiran kekuatan-kekuatan di daerah ini telah membuat aku menjadi bersedih. Anak-anak muda itu telah mendapat tuntutan langsung dari Empu Purung sendiri. Bahkan satu dua yang dianggapnya terkuat telah mendapat tuntunan langsung dari Empu Purung sendiri. Sementara itu hadir kekuatan lain di daerah ini. Prajuriti Singasari yang menularkan kemampuannya kepada anak-anak muda yang lain.”

Mahendra mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, kenapa Ki Buyut itu nampak murung. Dengan hadirnya dua kekuatan yang berlawanan itu, maka padukuhan itu terasa seolah-olah sedang dipanggang dalam api ketegangan. “Ki Buyut” bertanya Mahendra kemudian, “apakah dengan hadirnya kekuatan-kekuatan itu telah pernah terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang kecil-kecil sudah sering terjadi. Bahkan mereka saling mengancam dan mendendam. Apakah dengan demikian hati orang tua ini tidak selalu cemas dan berdebar-debar. Seakan-akan padukuhan ini telah basah oleh minyak. Setiap saat api yang kecil sekalipun akan dapat mengobarkan api yang dapat membakar kami semuanya menjadi abu“

Mahendra termangu-mangu. Lalu katanya, “Ki Buyut. Manakah yang lebih baik. Kekuatan itu hanya ada disatu pihak, atau berada dikedua belah pihak yang dapat memberikan imbangan bagi kekuatan yang pertama?”

Ki Buyut memandang Mahendra sejenak. Lalu katanya, “Bagiku Ki Sanak. Lebih baik padukuhan ini tidak dijamah oleh kekasaran olah kanuragan seperti itu dipihak manapun juga. Kenapa kita harus mempergunakan dan menyiapkan kekuatan jasmaniah? Bukankah kita dianugerahi oleh Yang Maha Agung, kemampuan rasa dan pikir yang dapat kita pergunakan untuk menyusun masyarakat yang lebih baik daripada selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian? Bukankah setiap persoalan akan dapat kita bicarakan, kita timbang buruk dan baiknya. Kemudian kita terapkan dalam susunan kehidupan yang sesuai dengan keadaan padukuhan ini.?”

Mahendra menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti sepenuhnya, betapa jernihnya pendapat Ki Buyut yang tua itu. Dengan sedih ia harus menyaksikan anak-anak padukuhannya saling bermusuhan

“Ki Sanak” berkata Ki Buyut itu pula, “memang mungkin kita saling berbeda sikap dan pendirian. Tetapi kita bukannya titah yang tidak mempunyai nalar budi. Kita dapat berbicara menimbang buruk dan baik. Jika kita mengatakan buruk dan baik, maka itu adalah buruk dan baik bagi kita semuanya. Bukan sekedar buruk dan baik bagi seseorang, satu pihak atau sekelompok orang-orang tertentu. Tetapi baik bagi kita semua.”

Mahendra mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimanakah jika tidak diketemukan suatu kesepakatan tentang yang baik dan buruk itu Ki Buyut?”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Mahendra dengan ragu-ragu. Namun kemudian dengan ragu-ragu pula ia bertanya “Bukankah Ki Sanak seorang pedagang?”

“Ya. Aku seorang pedagang.”

“Ki Sanak tentu sudah beribu kali mengalami, bahwa yang terbaik dalam suatu sentuhan antara manusia adalah suatu persetujuan. Ki Sanak mempunyai barang atau ingin membeli sesuatu dari orang lain. Yang terjadi adalah penawaran dan permintaan. Jika saling bertemu antara dua kepentingan, maka jual beli itupun terjadi. Jika tidak, maka terjadilah persetujuan lain. Jual beli itu dibatalkan. Nah, bukankah tidak terjadi kekerasan? Jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya, maka yang terjadi adalah benturan kekuatan.”

Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ki Buyut benar. Yang terjadi adalah suatu persetujuan. Tetapi Ki Buyut, pada suatu saat, persetujuan yang demikian tidak terjadi. Dan pada umumnya memang tidak disebut sebagai jual beli. Tetapi terjadi adalah perampasan oleh suatu kekuatan.”

“Itu menunjukkan tinggi rendah martabat kita sebagai manusia Ki Sanak. Jika harus terjadi demikian atas kita, maka kita memang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti seekor rusa yang berhadapan dengan seekor harimau yang garang. Kita berhadapan, bahkan berdoa, agar kita dapat mempertahankan, bahkan meningkat martabat kita sebagai manusia yang berakal dan berbudi.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sikap yang damai memancar dari sikap dan kata-kata Ki Buyut. Tetapi, pada suatu saat, betapa hatinya hancur oleh kenyataan, bahwa manusia yang diharapkannya itu tidak terdapat didalam padukuhannya. Yang ada adalah benturan kekuatan dan kekerasan, sehingga di antara penghuni padukuhannya, seakan-akan tidak ada lagi kebijaksanaan. Tidak ada lagi keluruhan hati untuk saling memberi dan menerima. Tetapi Mahendra. tidak bertanya Lebih banyak lagi. Ia sadar bahwa demikian hati Ki Buyut tentu akan menjadi semakin pahit melihat kenyataan yang dihadapinya.

Namun di luar dugaan, maka tiba-tiba saja Ki Buyut itupun berkata, “Ki Sanak. Tetapi sikap yang telah menodai martabat manusia itu masih saja terjadi disini. Di padukuhan ini. Mudah-mudahan tidak terjadi pada saat Ki Sanak ada di sini.”

Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menyembunyikan perasaan itu dibalik senyumnya. Ki Buyut pun kemudian menyadari bahwa pembicaraan tentang hal itu tidak terlalu menarik. Karena itu maka iapun kemudian, kembali pada niatnya. Melihat-lihat yang dibawa oleh Mahendra dan mendengar penjelasannya tentang berbagai macam barang, wesi aji dan batu-batu bertuah lainnya.

“Ki Sanak” berkata Ki Buyut kemudian, “barang-barangmu memang sangat menarik. Mudah-mudahan Ki Sanak mendapatkan rejeki cukup dengan cara yang Ki Sanak lakukan sekarang,“

“Terima kasih Ki Buyut. Dan terima kasih atas kesempatan yang Ki Buyut berikan kepadaku untuk tinggal di Banjar dan kawan-kawanku yang masih akan datang besok atau lusa.”

“Tetapi Ki Sanak. Yang dapat aku berikan adalah sekedar tempat. Selain tempat aku tidak dapat berikan.”

“Cukup Ki Buyut. Sudah terlalu cukup. Di sini banyak kesempatan bagi kami mendapatkan makan dan minum.”

“O” Ki Buyut cepat-cepat memotong, “maksudku bukan tentang makan dan minum. Kamipun mempunyai kelebihan sekedar untuk menjamu Ki Sanak sekarang dan kawan-kawan Ki Sanak yang bakal datang” Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “yang aku maksud adalah, bahwa kami tidak dapat melindungi Ki Sanak jika terjadi sesuatu karena kami di sini masih belum dapat jangankan mengembangkan, bahkan, sekedar mempertahankan martabat manusia yang ada.”

Mahendra menarik nafas. Namun katanya, “Daerah ini cukup tenang, Ki Buyut. Aku harap, tidak akan terjadi sesuatu disini.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu nampak memberati wajahnya. Namun iapun kemudian minta diri sambil berkata, “Aku akan kembali Ki Sanak. Batu-batumu sangat menarik perhatian. Aku ingin memiliki barang satu atau dua butir“

“Silahkan Ki Buyut. Aku akan sangat berterima kasih.”

Sepeninggal Ki Buyut, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berbisik ditelinga ayahnya, seakan-akan masih ada orang yang ada di sekitarnya, “Apakah itu berarti bahwa keadaan dipadukuhan ini gawat?”

Mahendra menarik nafas. Jawabnya, “Mungkin. Dan Ki Buyut menjadi sangat bersedih atas peristiwa itu. Sikap damai Ki Buyut seharusnya dapat memancarkan ketenangan di padukuhannya. Namun pengaruh dari luar padukuhan, dalam hal ini hadirnya para cantrik padepokan Empu Purung telah menumbuhkan ketegangan.”

“Juga prajurit-prajurit Singasari menurut penilaian Ki Buyut” desis Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat mengerti perasaan Ki Buyut. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat membiarkan tindakan sewenang-wenang terjadi tanpa hambatan apapun juga.”

“Agaknya Ki Buyut pun dengan hati yang berat telah memperingatkan kita” gumam Mahisa Murti.

Mahendra mengangguk-angguk. Nampaknya Ki Buyut memang menjadi cemas, bahwa orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan mengetahui bahwa Mahendra membawa berbagai macam pusaka dan batu yang berharga, akan melakukan tindakan yang tidak sewajarnya.

“Mudah-mudahan mereka tidak melakukannya” desis Mahendra, “sebab dengan demikian tentu akan timbul benturan kekerasan. Kami tidak akan menyerahkan barang-barang kami sehingga kami harus mempertaruhkannya. Jika keributan itu di dengar oleh prajurit-prajurit Singasari, maka akan terjadi perkelahian yang semakin luas sehingga Ki Buyut pun akan menjadi semakin sedih karenanya.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dan Mahendra pun berkata selanjutnya, “Karenanya itu jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka. Yang sudah terlanjur diketahui oleh banyak orang, biarlah diketahui Mudah-mudahan tidak menimbulkan rangsang buruk bagi anak-anak muda yang berada di bawah pengaruh Empu Purung itu.”

Karena itulah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berusaha mengekang diri sendiri. Betapa inginnya ia berkeliaran sampai ke tempat para prajurit Singasari, menjumpai kakaknya Mahisa Bungalan dengan segera, namun ayahnyalah yang mencegahnya.

“Apakah kita tidak akan menjumpai mereka?” bertanya Mahisa Pukat.

“Biarlah kakakmu datang kemari.”

“Apakah ia mengetahui bahwa kita datang? Ayah tidak menyebut nama ayah yang sebenarnya kepada siapapun juga disini.”

“Tetapi kehadiran seorang pedagang wesi aji dan batu-batu bertuah tentu akan menarik perhatiannya, karena ayahnya juga seorang pedagang barang-barang tersebut.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud ayahnya. Dan merekapun memperhitungkan seperti perhitungan ayahnya itu pula. Ternyata bahwa dugaan Mahendra tidak salah. Mahisa Bungalan yang juga mendengar berita tentang kedatangan saudagar wesi aji dan batu-batu bertuah, menjadi sangat tertarik.

“Kau percaya bahwa pusaka-pusaka yang dijual oleh penjual pusaka itu benar-benar bertuah?” bertanya seorang kawannya ketika Mahisa Bungalan minta diri untuk menemui saudagar itu.”

“Aku baru akan melihat.”

“Kau akan ditipunya. Pedagang-pedagang seperti orang itu sangat pandai membujuk dan kemudian memaksamu membayar barang-barang yang dibawanya dengan harga yang tinggi.”

Mahisa Bungalan menarik nafas. Ayahnya juga seorang pedagang wesi aji dan batu-batu bertuah. Tetapi ia harus membiarkannya kawannya itu berbicara terus, meskipun hatinya menjadi agak jengkel karenanya.

“Jika kau tidak percaya, pergilah. Orang itu akan menunjukkan sebilah keris yang sudah agak lama direndamnya dalam air, dan mengotorinya dengan warangan. Ia akan menyebut kerisnya dengan berbagai macam nama dan berbagai macam jenis pamor.” berkata kawan Mahisa Bungalan itu.

Namun akhirnya Mahisa Bungalan menjawab, “Kau sangka aku tidak mengetahui serba sedikit tentang wesi aji? Tidak seorangpun dapat menipu aku. Jika benar-benar pedagang itu penipu, maka ia tidak akan lebih pandai daripadaku mengenali wesi aji dan batu-batu bertuah.”

Kawan Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika kau akan pergi juga, pergilah. Tetapi hati-hatilah.”

Akhirnya Mahisa Bungalan pun pergi ke banjar padukuhan. Ia ingin melihat, siapakah orang yang menyebut dirinya pedagang batu bertuah dan wesi aji itu. Belum lagi ia naik kependapa banjar, ia sudah melihat dua orang anak muda yang siap berlari menyongsongnya. Tetapi ayahnya telah menggamitnya dan memberinya isyarat agar keduanya tetap duduk di tempatnya.

“Hem” gumam Mahisa Bungalan hatinya, “benar-benar ayah“

Dengan hati yang berdebar-debar Mahisa Bungalan naik ke pendapa. Kemudian iapun duduk di atas tikar dihadapan Mahendra sambil tersenyum. Katanya, “Agaknya benar-benar ayah yang datang kemari bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.”

“Ya” desis Mahendra, “aku mendapat tugas khusus dari Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Tugas penting?”

“Aku harus merambas jalan. Keduanya akan datang dalam satu hari ini.”

“Dengan tanda kebesaran kerajaan Singasari?”

Mahendra menggeleng. “Tidak. Ia datang dalam penyamaran“

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil bergumam ia memandang kehalaman, “Berbahaya. Dengan siapa keduanya akan datang?”

“Pamanmu Mahisa Agni dan Witantra.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah prajurit Singasari di daerah ini harus dipersiapkan menghada pi segala kemungkinan yang dapat terjadi?”

“Tidak. Itu tidak perlu. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu“

Mahisa Bungalan termenung sejenak. Namun kemudian iapun bergumam, “Mudah-mudahan. Tetapi daerah ini sekarang menjadi daerah yang cukup gawat.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi tidak selalu terjadi sesuatu. Mudah-mudahan kali ini tidak ter jadi.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk- Katanya, “Mudahaan. Tetapi jika terjadi sesuatu. prajurit-prajurit ini dapat disiapkan dalam waktu yang singkat.”

“Sebenarnya sudah lama aku ingin mengunjungi kakang” berkata Mahisa Murti, “tetapi ayah tidak memperbolehkan.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Ayah tahu, bahwa aku tentu akan datang“

“Dan kakang benar-benar datang” sahut Mahisa Pukat.

“Tetapi kawanku mencegahku” berkata Mahisa Bungalan pula

“Kenapa?”

Mahisa Bungalan tersenyum. Dengan singkat dikatakannya pendapat kawannya tentang seorang pedagang wesi aji dan batu-batu bertuah.

Mahendra tertawa pula berkepanjangan. Katanya, “Memang ada seseorang yang berbuat seperti itu. Tetapi aku kira aku berusaha menghindarinya, sehingga karena itu, orang-orang yang sudah pernah berhubungan dengan aku dapat mengerti, bahwa daganganku adalah barang-barang yang baik.”

Sementara itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian memberikan gambaran tentang keadaan di padukuhan itu. Orang-orang yang sudah jatuh kedalam pengaruh Empu Purung, yang menurut perhitungan Mahisa Bungalan berada di bawah pengaruh Empu Baladatu.

“Aku akan berhati-hati” berkata Mahendra, “bersama Mahisa Agni dan kakang Witantra mudah-mudahan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak mengalami sesuatu.”

Demikianlah Mahisa Bungalan tidak terlalu lama berada di banjar. Ia pun kemudian kembali ke barak sambil membawa sebutir batu berwarna hijau bening. Tetapi seakan-akan batu itu merupakan sebuah lautan yang maha kecil, dengan taman laut didalamnya. Lumut yang menjalar berbelit-belit diantara warna-warna batu karang.

Demikian ia memasuki baraknya, kawannya yang sejak semula mencegahnya bertanya, “Apa yang kau dapatkan dari pedagang itu?”

“Batu Sangga Bumi? Apakah tuahnya seperti aji Sangga Bumi?”

“Tidak ada tuahnya. Pedagang itu mengatakan, bahwa tidak ada tuahnya sama sekali.”

“Jadi apa?”

“Warnanya yang bagus sekali. Seperti dasar lautan dengan taman lautnya yang indah“

Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Pedagang itu tidak menipumu?”

“Pedagang yang satu ini tidak. Ia berkata sebenarnya, juga tentang batu akik Sangga Bumi. Tidak ada tuah dan kasiatnya. Tetapi rupanya sangat menarik“

Kawan Mahisa Bungalan itu termangu-mangu sejenak. SeoIah-olah ia tidak percaya, bahwa pedagang batu itu mengatakan dengan jujur bahwa batu akiknya yang dinamainya Sanggabumi itu tidak bertuah.

Sebelum ia mengatakan sesuatu, Mahisa Bungalan telah menunjukkan batu akik yang semula disimpannya pada kantong ikat pinggangnya. “Inilah batu itu.”

Kawannya menerima batu itu. Ketika ia menerawang isinya, maka dengan kagum ia bergumam, “Benar-benar batu akik yang bagus sekali. Meskipun batu ini tidak bertuah, tetapi harganya tentu mahal sekali.”

“Ya. Mahal sekali” sahut Mahisa Bungalan.

“Berapa kau beli batu akik ini?” bertanya kawannya.

“Timang emasku.”

“He” kawannya terbelalak, “jadi batu ini kau tukar dengan timang emasmu?”

“Ya“

“Gila. Betapapun mahalnya, tetapi batu ini tentu tidak bernilai sebesar timang emas. Bahkan sepersepuluh pun tidak”

“Kau memang bodoh sekali” sahut Mahisa Bungalan, “akik ini diambil dari pemiliknya dengan nilai seekor kuda jantan berwarna putih mulus“

“O” orang itu memegang dahinya, “apa kataku, kau sudah ditipunya. Ia memang mengatakan dengan jujur, bahwa batu akik ini tidak bertuah. Tetapi ia telah menipumu dari segi yang lain jika dikatakannya bahwa batu ini senilai seekor kuda jantan berwarna putih mulus.”

“He?” wajah Mahisa Bungalan. jadi tegang, “apakah nilai batu ini tidak sebesar itu?”

“Tentu tidak.”

“O” Mahisa Bungalan pun memegang, dahinya pula seperti kawannya, “aku sudah ditipunya.” Namun kemudian ia berkata, “Tetapi aku tidak menyesal. Aku senang sekali kepada batu akik ini. Dan aku sudah jemu kepada timang emasku“

Kawannya mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bergumam kepada diri sendiri, “Kau memang bodoh. Lain kali aku akan ikut pergi bersamamu. Aku akan membuktikan bahwa aku akan mendapatkan batu akik yang jauh lebih bagus dari batu akikmu dengan harga yang jauh lebih murah dari pendok emasmu.”

“Tidak ada batu yang lebih bagus dari batu akikku.” sahut Mahisa Bungalan

Kawannya tidak menjawab lagi. Sambil menyerahkan batu akik itu kembali, maka ia pun berkata, “Aku akan membuktikannya, bahwa aku lebih pandai daripadamu“

Mahisa Bungalan tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Namun yang menjadi pikiran Mahisa Bungalan kemudian adalah rencana kehadiran Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk melihat dari dekat keadaan beberapa daerah Singasari yang sedang dibakar oleh api ketamakan Empu Baladatu.

“Aku harus mengatakannya kepada pimpinan prajurit Singasari di tempat ini” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Meskipun ia harus berpesan bahwa hal itu masih harus dirahasiakan. Prajurit-prajurit Singasari yang ada ditempat itu pun sebaiknya tidak mengetahuinya pula.

Ternyata pemimpin prajurit Singasari itu terkejut ketika ia mendengar keterangan Mahisa Bungalan itu. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Dari siapakah kau mendengar berita itu?"

“Ayah Mahendra.”

“Tetapi jika benar, tentu ada perintah lewat pimpinan keprajuritan yang akan sampai kepadaku untuk mempersiapkan pengawalan, khususnya di tempat ini.”

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada perintah itu. Bahkan yang diutus mendahului perjalanan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah ayah. Bukan seorang prajurit. Pengawal mereka pun bukan prajurit pula. Paman Witantra. Hanya paman Mahisa Agni lah yang resmi mengawalnya dari pihak keprajuritan.”

“Suatu perjalanan yang berbahaya pada masa seperti ini. Agaknya pihak istana belum mendapat laporan yang lengkap tentang keadaan yang sebenarnya.”

“Sudah. Justru karena laporan itulah, maka kedua pemimpin itu akan melihatnya langsung dengan cara mereka.”

Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku adalah Senopati disini, betapapun rendah tingkat tataranku. Aku bertanggung jawab akan keselamatan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Aku sependapat. Tetapi jangan semata-mata. Bahkan seperti yang aku katakan, seorang pun dari prajurit Singasari jangan ada yang mengetahunya.”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku mengerti. Meskipun prajurit-prajurit yang ada disini tidak mengerti, tetapi mereka harus dapat disiapkan dalam waktu pendek.”

“Begitulah. Mudah-mudahan hal itu tidak diperlukan.”

Pemimpin prajurit itu mengerutkan keningnya. Sebagai seorang Senopati, meskipun tidak mendapat perintah langsung ia merasa bertanggung jawab terhadap wilayah yang menjadi daerah pengawasannya. Itulah sebabnya, maka ia justru menjadi cemas. Agaknya kedua pemimpin tertinggi dari Singasari itu tidak mau mendapat pengawalan dalam kebesarannya, sehingga yang harus dilakukannya justru akan sangat sulit apabila benar-benar terjadi sesuatu. Tetapi ia tidak kurang akal. Perintahnya untuk bersiap-siap dihubungkannya dengan meningkatkan kegiatan para cantrik di padepokan Empu Purung.

Para prajurit Singasari pun merasa perlu untuk menghadapi semua keadaan dengan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya, maka mereka pun memperhatikan semua petunjuk dari pemimpin nya. Mereka menjadi semakin berhati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika para cantrik itu mulai meningkatkan kegiatannya bersama anak-anak muda padukuhan di sekitarnya yang telah berada di bawah pengaruh mereka, maka para prajuritpun telah meningkatkan kewaspadaan mereka.

Meskipun kerja mereka sehari-hari nampaknya masih saja sekedar makan, tidur dan bersendau gurau, namun kini tidak lagi berpencaran di jalan-jalan. Mereka selalu berada dalam kelompok-kelompok kecil yang siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu lah maka mereka tidak pernah terpisah dari senjata mereka. Namun demikian, pesan pemimpinnya kepada para prajurit itu, agar mereka tidak menumbuhkan kegelisahan kepada orang di sekitarnya.

Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh Mahendra atas isyarat Ki Buyut, maka kedatangannya telah benar-benar menarik perhatian anak-anak muda yang merasa diri mereka dapat berbuat apa saja. Menurut pendapat mereka, maka Mahendra tentu membawa beberapa jenis barang berharga. Pusaka-pusaka itu sangat mereka butuhkan menghadapi keadaan yang semakin gawat. Juga batu-batu bertuah dan batu-batu berharga lainnya. Namun mereka masih membuat beberapa pertimbangan. Apakah sikap mereka tidak mengundang tindakan para prajurit Singasari.

“Mereka nampaknya tidak menghiraukan sama sekali” seorang anak muda memberikan laporan tentang pengamatanya atas sikap para prajurit itu.

“Kita tunggu sehari dua hari.”

“Kita akan terlambat. Pedagang itu pergi, atau prajurit-prajurit itu akan merampasnya lebih dahulu” sahut yang lain.

“Kita akan mengawasinya. Jika ia pergi, maka kita akan merampasnya di tengah-tengah bulak.” berkata yang lain.

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu. Mereka benar-benar berharap, bahwa pusaka-pusaka dan batu-batu bertuah itu akan membuat mereka menjadi semakin sakti, setidak-tidaknya barang-barang itu tentu berharga. Namun mereka lebih tertarik lagi, ketika ternyata sehari kemudian, beberapa orang kawan pedagang itu telah datang pula di padukuhan mereka, sehingga perhatian mereka semakin tertarik. Yang datang itu tentu juga pedagang-pedagang seperti yang telah datang lebih dahulu.

Sebenarnyalah bahwa seperti yang direncanakan, maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun telah menyusul Mahendra bersama Mahisa Agni dan Witantra. Mereka berharap untuk dapat melihat perkembangan tempat yang dalam saat-saat tretentu tidak begitu menarik perhatian. Namun yang kemudian ternyata telah digoncangkan oleh kegiatan Empu Purung yang melampaui batas kewajaran.

Pada saat mereka datang, maka Mahendra langsung memberi mereka peringatan, bahwa perhatian anak-anak muda di tempat itu telah tertuju kepadanya, justru karena ia seorang pedagang pusaka.

“Apakah pusaka dan batu-batu bertuah itu telah menarik perhatian mereka?” bertanya Ranggawuni.

“Hamba-tuanku” sahut Mahendra, “ternyata dalam keadaan seperti sekarang di daerah ini, mereka menganggap bahwa pusaka itu sangat perlu“

Ranggawuni mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan berhati-hati.”

Meskipun demikian, Mahendra masih saja selalu berdebar. Dengan sungguh-sungguh ia mengawasi kedua anak-anaknya yang kadang-kadang agak kurang dapat mengendalikan diri. Namun agaknya mereka dapat mengerti, bahwa keadaan kurang menguntungkan bagi mereka, apabila mereka berkeliaran di padukuhan itu.

Mahisa Bungalan yang mendengar berita kehadiran beberapa orang kawan pedagang itu pun dengan diam-diam telah datang menghadap. Tidak seorang pun yang mengetahuinya. Lawan-lawannya pun tidak. Hanya pemimpin prajurit itulah yang telah dipesan, agar ia menjadi semakin berhati-hati menghadapi keadaan, justru karena kedua orang pimpinan tertinggi Singasari ada di padukuhan kecil itu tanpa pengawalan prajurit segelar sepapan.

Ki Buyut pun dengan tergesa-gesa telah datang pula kebanjar untuk memberikan peringatan sekali lagi, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. “Aku sama sekali tidak berkeberatan Ki Sanak berada di Banjar. Bahkan aku sama sekali tidak berkeberatan untuk menyediakan makan dan minum kalian selama kalian berada disini. Tetapi kami tidak dapat memberikan perlindungan yang barangkali kalian perlukan jika terjadi sesuatu. Meskipun demikian, barangkali aku dapat menghubungkan kalian dengan para prajurit.”

“Terima kasih Ki Buyut” jawab Mahendra, “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Kami sebenarnya justru ingin berhubungan dengan anak-anak muda yang barangkali memerlukan pusaka atau barang-barang berharga.”

“Tetapi keadaan di daerah ini agak lain Ki Sanak. Beberapa waktu lampau, mereka masih dapat mengerti, bahwa dalam keadaan seperti ini, dalam hubungan antara yang memerlukan dan yang memiliki ada semacam alat penukar yang memiliki nilai cukup. Maksudku, mereka masih menghargai jual beli sewajarnya. Tetapi saat ini barangkali mereka telah kehilangan pengertian itu. Bahkan dengan sengaja telah memperbodoh diri, karena mereka merasa tidak ada seorang pun yang dapat merintangi niat mereka dalam hal apapun“

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Ki Buyut benar-benar telah mencemaskan orang-orangnya yang disebutnya, telah menurunkan martabatnya sebagai manusia. “Tetapi pada suatu saat Ki Buyut tidak dapat ingkar dari kenyataan itu, bahwa orang-orang yang tidak dikehendakinya itu telah mengganggu dan melanggar hak orang lain.” berkata Mahendra di dalam hatinya.

Namun dalam kecemasannya, ternyata Ki Buyut telah berbuat sangat baik. Ia menjamu makan dan minum orang-orang yang tinggal di banjar itu, meskipun jumlahnya menjadi cukup banyak. Dengan kehadiran Ranggawuni, Mahisa Cempaka beserta Witantra dan Mahisa Agni, maka jumlah mereka menjadi tujuh orang.

Dalam pada itu, kedatangan ke empat orang baru itu telah menarik perhatian. anak-anak muda dipadukuhan Alas Pandan dan sekitarnya. Bahkan satu dua orang cantrik Empu Purung pun telah mulai memperbincangkannya pula.

“Kita akan melihat” berkata salah seorang dari mereka, “apakah benar-benar mereka membawa pusaka seperti yang disebut-sebut orang.”

“Jika mereka benar-benar membawa?”

“Beruntunglah kita” sahut yang lain sambil tertawa berkepanjangan.

“Kau akan membelinya? Apakah kau mempunyai cukup uang atau barang-barang lain?”

Kawannya tertawa semakin keras. Katanya, “Tidak ada seorang pun dan dapat mencegah apapun yang akan aku lakukan. Juga terhadap pedagang pusaka-pusaka itu.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun, merekapun mengerti apakah yang dimaksud oleh kawannya itu sehingga merekapun kemudian tertawa pula berkepanjangan. Dengan tanpa menyadari, siapakah sebenarnya yang sedang mereka hadapi, maka anak-anak muda itu pun kemudian telah pergi ke banjar.

Ki Buyut yang mendapat laporan tentang anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu jika anak-anak muda itu memang bermaksud buruk, karena hal itu terjadi di daerah kekuasaannya.

Dengan tanpa ragu-ragu, maka anak-anak muda itupun telah memasuki halaman banjar padukuhan. Kemudian dengan tanpa ragu-ragu pula mereka mencari orang yang menyebut dirinya pedagang batu permata itu. Tetapi langkah mereka tiba-tiba saja tertegun ketika mereka mendengar seseorang memanggil dari regol halaman banjar itu.

Ketika mereka berpaling, maka merekapun telah melihat Ki Buyut yang berjalan tergesa-gesa memasuki halaman. Dengan wajah yang tegang Ki Buyut itupun memberi isyarat, agar anak-anak muda itu berhenti di tempatnya.

“Ki Buyut” desis salah seorang dari anak-anak muda itu, “ia adalah orang yang paling memuakkan bagiku“

“Ya” sahut yang lain, “lebih baik kita lemparkan saja ia ke luar halaman.”

“Tunggu” yang lain lagi memotong, “apakah yang akan dikatakannya.”

Anak-anak muda itu pun kemudian berdiri tegang di depan pendapa banjar padukuhan itu. Seorang anak muda yang bertubuh kekar sambil bertolak pinggang bertanya dengan kasar, “Ada apa Ki Buyut tua?”

“Apa yang akan kalian lakukan disini?” bertanya Ki Buyut.

“Aku akan menemui pedagang barang-barang bertuah itu. Aku memerlukan pusaka-pusaka atau batu-batu akik yang dapat membuat aku kebal.”

“Apa kalian akan membelinya?”

“Tentu” jawab yang lain, “Ki Buyut jangan takut, bahwa aku akan merampasnya begitu saja.”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia bertanya, ”Apakah kalian mempunyai uang?”

Anak-anak muda itu tertawa. Jawabnya, “Kami mempunyai uang cukup untuk membeli seluruh Singasari“

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku juga memerlukan barang serupa itu, Marilah. Kita bersama-sama mendapatkan pedagang itu.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan wajah tegang merekapun saling berpandangan. Namun anak muda yang bertubuh kekar itu menjawab, “Marilah jika Ki Buyut juga memerlukan. Barangkali kami dapat membeli satu dua buah akik buat Ki Buyut.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mendahului naik kependapa.

Kedatangan anak-anak muda itu memang sudah mendebarkan hati Mahendra. Ialah yang pertama-tama keluar untuk mendapatkan anak-anak muda itu di pendapa. Tetapi kehadiran Ki Buyut telah agak menenteramkan hatinya, karena Ki Buyut akan dapat menjadi saksi, bahwa jika sesuatu terjadi, maka alasanya akan dapat dilihat oleh Ki Buyut itu.

“Ha, inikah pedagang itu” desis salah seorang dari anak anak muda itu.

Mahendra mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya anak muda. Akulah pedagang yang ingin menjajakan dagangannya dipadukuhan ini“

“Perlihatkan kepada kami, semua barang-barang yang kau bawa dan akan kau jual” desis anak muda yang bertubuh kekar, “mungkin kami akan membelinya.”

Mahendra mengangguk-angguk. Lalu jawabnya, “Sayang, bahwa aku tidak membawa banyak barang-barang dagangan. Memang ada beberapa contoh yang aku bawa. Tetapi hanya sedikit.”

Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka kecewa mendengar jawaban Mahendra, bahwa ia hanya membawa barang- sedikit saja sebagai contoh. Meskipun demikian, anak muda yang bertubuh kekar itu pun berkata, “Cepat. Bawa semuanya kemari“

Mahendra termangu-mangu sejenak. Sikap anak muda bertubuh kekar itu tidak menyenangkan sekali. Tetapi Mahendra masuk juga kedalam bilik dibagian belakang banjar itu untuk mengambil beberapa macam barang yang dibawanya. Tetapi karena agaknya ia berhadapan dengan anak-anak muda yang sulit dikendalikan, maka yang dibawanya hanyalah sebagian kecil dan yang kurang berharga.

Namun sementara itu ia sudah memberikan isyarat kepada Mahisa Agni dan Witantra, bahwa agaknya mereka berhadapan dengan anak-anak muda yang dicemaskan oleh Ki Buyut. Ketika Mahendra kembali ke pendapa sambil membawa beberapa jenis barang dagangan, maka anak-anak muda itupun segera berdesakan maju.

“Cepat tunjukkan kepada kami” berkata anak muda bertubuh kekar itu.

Mahendra pun kemudian meletakkan barang-barangnya di atas tikar di hadapan anak-anak muda itu. Ki Buyut yang memperhatikan dengan berdebar-debar itu pun bergeser maju pula, seolah-olah ia ingin melihat dengan saksama, apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda itu.

Sebenarnyalah, bahwa seperti berebutan anak-anak muda itu meraih barang-barang yang diletakkan oleh Mahendra. Mereka memperebutkan barang-barang yang mereka anggap paling baik. Tetapi karena yang dibawa Mahendra memang hanya beberapa contoh saja, maka tidak semua anak muda mendapatkan sesuatu ketika mereka berebutan. Bahkan yang sudah mendapatpun menjadi kecewa ketika yang ada didalam genggaman mereka hanyalah batu akik yang buram atau sebilah keris kecil yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda tuah apapun.

Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian anak muda yang bertubuh kekar itupun menggeram, “Hanya inikah barang-barang yang kau punya?”

“Ya Ki Sanak. Hanya ini. Jika Ki Sanak menghendaki, kami akan menyediakan sesuai dengan contoh ini.”

Wajah anak muda itu menegang. Namun kemudian geramnya, “Aku tidak percaya. Kau tentu membawa lebih banyak dan lebih baik.”

“Tidak Ki Sanak. Inilah jenis dagangan kami.”

Sejak anak-anak muda itu saling berpandangan. Namun kemudian anak muda yang bertubuh kekar itu berkata dengan wajah merah, “Kau akan menipu kami. Kau kira kami tidak akan dapat membayar barang-barangmu yang terbaik jika kau tunjukkan kepada kami?”

Mahendra benar-benar menjadi berdebar-debar. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Memang hanya itu Ki Sanak“

“Bohong.” anak muda itu hampir berteriak.

Ki Buyut yang sudah mencemaskan hal yang tidak dikehendaki itu terjadi, segera menyahut, “Sudahlah anak-anak muda. Jika memang hanya itu yang dipunyainya, apakah yang akan dapat ditunjukkan lagi kepadamu. Nah, sekarang, lihatlah. Manakah yang kalian sukai. Beli dan bayarlah menurut harganya“

“Aku tidak sudi dengan barang-barang ini. Aku ingin yang lebih baik.”

“Tetapi yang lebih baik itu tidak ada.” jawab Ki Buyut

“Bohong. Ia hanya tidak percaya kepada kami“

“Nah” berkata Ki Buyut kemudian, “jika kau memang ingin mendapat kepercayaannya, tunjukkan bahwa kau membawa uang cukup biarlah pedagang itu kemudian kembali pada saat yang lain dengan barang-barang yang lebih baik.”

“Itu tidak perlu. Aku tahu bahwa ia membawanya sekarang. Ia hanya tidak percaya saja kepada kami“

Mahendra menjadi semakin cemas. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak. Sebenarnyalah kami adalah pedagang yang hanya sekedar menjajakan barang-barang yang barangkali memang kurang berharga. Tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya.”

“Persetan. Ambil semua barang-barangmu di dalam bilikmu. Jika tidak, kami akan mengambil sendiri. Banjar ini adalah banjar kami. Dan kami sudah berbaik hati memberikan tempat bermalam bagi kalian.”

“Kami berterimakasih atas kebaikan hati Ki Buyut Dan kalian. Tetapi barang-barang itu memang tidak ada.”

Anak muda bertubuh kekar itu menjadi marah. Wajahnya menjadi merah. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Ki Buyut sudah mendahului, “Sudahlah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecemasan orang lain. Biarlah ia merasa tenang tinggal dibanjar. Jika ia sudah mengatakan tidak mempunyai yang lain, jangan kau paksa ia mengadakan yang tidak ada.”

“Aku akan membuktikan bahwa ia berbohong Ki Buyut” sahut anak muda itu.

“Itu tidak perlu. Seandainya ia masih mempunyai, tetapi dengan sengaja memang, tidak ditunjukkan kepada kalian, itupun sudah menjadi haknya. Mungkin ia sudah menjanjikan kepada orang lain atau barang-barang itu memang sudah dipesan oleh orang-orang yang terdahulu dari kalian“

“Persetan. Aku akan mengambil semua yang ada di dalam biliknya. Aku tidak peduli. Dan tidak seorang pun dapat mencegah aku.”

“Aku Buyut dipadukuhan ini anak muda“

Anak-anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Ki Buyut yang keras itu. Mereka tidak pernah melihat atau mendengar sikap Ki Buyut seperti itu, apapun yang mereka lakukan terhadap kawan-kawan serta orang-orang padukuhan itu sendiri. Tetapi kini agaknya Ki Buyut benar-benar ingin melindungi orang-orang asing di pedukuhannya.

“Ki Buyut” berkata anak muda bertubuh kekar, “apakah ruginya Ki Buyut jika kita mengambil barang-barang orang ini.?”

“Kita, seisi padukuhan ini merasa malu, bahwa tingkah laku anak-anak muda dipadukuhan ini benar-benar telah menurunkan martabat kita sebagai manusia.”

Anak muda bertubuh kekar mengerutkan keningnya. Namun kemudian terdengar ia tertawa berkepanjangan. Katanya, “Oh, Ki Buyut yang luhur budi. Orang asing ini tentu akan sangat berterima kasih terhadap Ki Buyut, bahwa Ki Buyut telah mencoba melindunginya. Tetapi sayang. Aku sama sekali tidak menghargai orang-orang asing ini. Aku lebih senang mengambil barang-barangnya meskipun dengan demkian ia menganggap bahwa martabat kami sebagai manusia telah merosot sampai serendah martabat apapun.”

“Anak yang malang” desis Ki Buyut, “jangan kau lakukan itu. Aku berhak melarangmu dan kau berkewajiban untuk mentaatinya“

“Sayang Ki Buyut. Kau tidak mempunyai cukup wibawa untuk mencegah kami melakukan menurut keinginan kami.”

Wajah Ki Buyut menjadi merah padam. Ia benar-benar tidak dapat memaksakan maksudnya kepada anak-anak muda itu. Namun seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda itu, bahwa memang tidak mempunyai cukup wibawa atas mereka.

“Apakah yang dimaksud dengan wibawa itu adalah kemampuan memperlakukan orang lain dengan kekerasan agar mereka tunduk kepada niat seseorang?” pertanyaan yang pahit itu telah bergelora di dalam dada Ki Buyut.

Sementara itu Mahendra memperhatikan sikap anak-anak muda itu dengan saksama. Ia sadar, bahwa anak-anak muda itu tidak akan dapat dicegah lagi, sehingga benturan kekerasanpun tidak akan dapat dicegah pula.

“Agaknya peristiwa ini akan dapat menjadi sebab dan persoalan yang lebih besar yang melibatkan padepokan Empu Purung dan prajurit-prajurit Singasari” berkata Mahedra di dalam hati. “Namun, dengan demikian, maka tanggapan Empu Baladatu atas hal ini akan berbeda jika pertempuran ini langsung terjadi karena benturan kekuasaan prajurit Singasari atas daerahnya yang akan dibersihkannya.”

Karena itulah, maka menurut pendapat Mahendra, nama dari orang-orang yang ada di banjar dan mengaku sebagai pedagang barang-barang bertuah itu benar-benar harus dirahasiakan, sehingga Empu Baladatu tidak langsung mengetahui, siapakah yang sebenarnya dihadapi.

Ternyata bahwa dugaan Mahendra itu benar. Anak-anak muda itu sama sekali tidak menghiraukan Ki Buyut lagi. Bahkan ketika Ki Buyut mencoba mencegahnya, maka Ki Buyut itu sudah didorong oleh anak muda bertubuh kekar itu, sehingga jatuh terguling.

“Kau gila” geram Mahendra sambil menolong, Ki Buyut, “orang ini adalah pemimpinmu di padukuhan ini. Kau telah berlaku kasar dan benar-benar menurunkan martabatmu sebagai manusia.”

Anak muda itu tertawa. Jawabnya, “Kau tentu berlaku baik terhadapnya, karena ia sudah memberikan tempat dan makan bagimu selama kau berada disini“

Mahendra yang marah itu kemudian berdiri sambil berkata, “Anak-anak muda. Aku adalah seorang pedagang keliling. Aku memang sudah mempersiapkan diri menghadapi sikap seperti sikap kalian di sepanjang jalan. Bukan saja sikap anak-anak muda yang tidak tahu adat seperti kalian. Tetapi aku sudah terbiasa menghadapi perampok dan penyamun di sepanjang jalan. Nah, apa katamu sekarang? Apakah masih tetap akan merampok aku?”

Anak-anak muda itu tertegun sejenak. Kata-kata Mahendra benar-benar telah meyentuh perasaan mereka. Bahkan satu dua orang, di antara mereka mulai menimbang-nimbang. Apakah niatnya akan di teruskan. Tetapi anak muda bertubuh kekar itu kemudian tertawa sambil berkata, “Kau akan menakut-nakutii kami he? Mungkin sebagian ceritamu benar. Tetapi yang pernah kau hadapi adalah pencuri-pencuri kecil yang berkeliaran disepanjang bulak yang sepi, atau orang-orang panjang tangan di pasar-pasar“

“Mungkin. Tetapi juga anak-anak muda yang tidak tahu adat seperti kalian.”

“Tutup mulutmu” bentak anak muda bertubuh kekar itu.

Sementara itu, pertengkaran itu telah didengar oleh orang-orang yang ada di dalam bilik mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat menahan diri lagi untuk berlari menghambur keluar. Untunglah Mahisa Agni masih dapat menyabarkannya.

Tetapi tiba-tiba saja mereka mendengar Mahendra berkata “Anak muda. Akupun datang bersama dua orang anak muda. Mereka adalah pedagang-pedagang muda yang ingin memperluas pengalaman mereka dan minta dapat pergi bersama aku. Jika kalian mencoba memaksa, maka anak-anak muda itu tentu tidak akan berdiam diri.”

“Persetan. Siapakah mereka? Prajurit-prajurit Singasari?”

“Sama-sekali bukan. Keduanya adalah kawan-kawanku dalam hubungan jual beli. Tetapi mereka pun masih muda. Dan mereka pun kadang-kadang seperti kalian. Mudah membiarkan darahnya menjadi panas.”

Anak muda bertubuh kekar itu tiba-tiba tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi ia kemudian berkata, “Berapa jumlah mereka? Dua orang? Apa artinya dua orang muda itu bagiku? Jika ia berkeras seperti yang kau katakan, bahkan berdarah panas dan ingin melawan aku, maka mereka akan menyesal. Sebaliknya beritahukan kepada mereka, bahwa akulah yang datang bersama kawan-kawanku. Kau menghitung sendiri, berapa orang yang sekarang ada di sini? Tujuh orang.”

“Tetapi kami adalah pedagang keliling Ki Sanak. Yang karena pengalaman maka kami telah mempersiapkan diri menghadapi segela kemungkinan. Demikian pula kedua anak-anak muda itu.”

“Persetan. Aku akan melemparkan mereka keluar banjar ini.”

Kata-kata itu benar-benar telah memanaskan telinga Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang merasa seakan-akan kata-kata Mahendra itu sebagai isyarat agar mereka mulai bertindak.

Mahisa Agni dan Witantra menjadi ragu-ragu pula. Mereka menyangka bahwa Mahendra memang memberikan isyarat ke pada kedua anak-anaknya untuk bertindak. Namun ketika mereka melihat kedua anak-anak muda itu meloncat, mereka ingin mencegahnya. Tetapi ternyata keduanya telah terlambat.

“Ampun tuanku” desis Mahisa Agni, “agaknya yang tidak kita harapkan telah terjadi.”

Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Dan agaknya aku telah melihat yang sebenarnya di daerah ini.”

“Mudah-mudahan persoalannya dapat diatasi, sehingga tidak menjalar menjadi semakin luas“

Ranggawuni yang termangu-mangu mengangguk. Ketika ia memandang Mahisa Cempaka, maka anak muda itu pun mengangguk pula.

Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah berada di pendapa. Hampir saja mereka berdua melanggar anak-anak muda yang mengikuti kawannya yang bertubuh kekar measuki bilik di belakang banjar itu.

“He” anak muda bertubuh kekar itu mundur selangkah, “siapa kalian?”

Namun sebelum dijawab anak muda bertubuh kekar itu sudah melanjutkan kata-katanya sendiri, “O, agaknya inilah anak-anak muda yang dikatakan oleh pedagang batu yang dungu itu.”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Dengan geram Mahisa Pukat berkata, “Aku mendengar semua kata-katamu yang memanaskan hati.”

“O, syukurlah, sehingga aku tidak perlu mengulanginya.”

“Memang tidak. Dan kau pun tidak perlu pergi kebilik itu. Aku sudah menyembunyikan, semui daganganku yang paling bagus dan paling berharga, sehingga kau tidak akan dapat menemukannya meskipun banjar ini akan kau bongkar“

“Persetan” geram anak muda bertubuh kekar itu, “apakah kau memang akan mempertahankan milikmu seperti yang dikatakan oleh pedagang tua itu?”

“Tentu saja, meskipun hanya dengan cara, yang paling sederhana. Menyembunyikan barang-barang itu.”

“Bohong. Kau merasa dirimu mampu mempertahankannya. Kau merasa bahwa kau sudah mempunyai bekal cukup sebagi seorang pedagang keliling menghadapi perampokan di bulak-bulak panjang.”

Mahisa Murti lah yang menjawab, “Tepat. Kami memang sudah siap menghadapi perampok-perampok yang tangguh di bulak-bulak panjang. Apalagi perampok-perampok kecil dari padukuhan kecil seperti kalian.”

Jawaban itu membuat wajah anak muda bertubuh kekar itu menjadi merah padam. Kemarahannya telah membakar jantungnya. Bahkan seorang anak muda yang bertubuh kecil di belakangnya telah menjadi marah pula dan berteriak, “Kita sumbat mulutnya dengan bara.”

Anak betubuh kekar itu menggeram, “Jangan menghina kami pedagang-pedagang gila. Kau sangka bahwa kau dapat mempermainkan kami? Jangan kau sangka bahwa kami belum pernah membunuh perampok-perampok besar yang berkeliaran di sekitar padukuhan kami, sehingga karena itu, maka ceriteramu tentang bekal kemampuan diri itu sama sekali tidak berharga bagi kami.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka mereka pun justru maju selangkah. Mahisa Murti menyahut dengan suara gemetar menahan marah, “Sekarang kau mau apa? Kami akan mempertahankan milik kami dengan segenap tenaga dan kemampuan yang ada pada kami. Karena milik kami adalah hak yang memang harus kami pertahankan“

Anak muda bertubuh kekar itu masih sempat berkata, “Kita akan melihat, apakah kau memang mampu melawan aku. Marilah kita lihat. Aku akan berkelahi seorang diri. Kalian boleh bertempur berpasangan.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menjawab, “Baik. Jika itu yang kau kehendaki.”

“Marilah, kita turun kehalaman.”

Anak muda bertubuh kekar itu tidak menunggu jawaban Mahisa Murti atau Mahisa Pukat. Ia langsung melangkah turun ke halaman banjar sambil bergumam, “Aku akan membenturkan kepala kalian berdua sehingga pecah. Aku tahu, kalian menyembunyikan batu-batu bertuah itu di dalam kepala kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Mereka berdua mengikuti anak bertubuh kekar itu, sementara Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Anak muda bertubuh kekar yang sudah berada di halaman itu pun kemudian berdiri tegak menghadap kepada Mehisa Pukat dan Mahisa Murti yang sudah turun pula. Beberapa orang anak muda yang lain berdiri beberapa langkah agak jauh.

“Jangan ganggu aku” berkata anak muda bertubuh kekar itu, “Aku akan membuat kedua anak muda yang sombong ini menyesal bahwa ia telah menghina anak-anak dari padepokan Empu Purung.”

“O” berkata Mahisa Murti, “jadi kalian, berasal dari padepokan Empu Purung?”

“Kau sudah mengenal nama itu?”

“Tentu. Setiap anak kecil mengenalnya. Padepokan Empu Purung adalah padepokan yang terkenal. Bukan karena olah kanuragan atau olah kajiwan, apalagi kesusasteraan. Tetapi padepokan itu terkenal karena pada cantriknya pandai membuat permainan anak-anak yang dijual dengan harga sangat murah sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi.”

Jawaban itu benar-benar bagaikan bara yang menyengat telinga anak muda bertubuh kekar itu. Bahkan Mahendra terkejut mendengar jawaban Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Murti sudah cukup lama menyimpan kemarahan di dadanya saat anak-anak muda itu mengancam akan merampas barang-barangnya meskipun barang-barang itu benar-benar tidak ada pada mereka.

Karena jawaban yang membakar jantung itulah, maka anak muda bertubuh kekar itu tidak berkata lagi. Dengan serta merta ia menyerang Mahisa Murti dengan garangnya. Tetapi Mahisa Murti memang sudah bersedia. Karena itu maka dengan mudah sekali ia menghindari serangan yang tidak sempat mendapat pertimbangan yang panjang itu.

Demikian anak muda bertubuh kekar itu merasa serangnya gagal, maka iapun segera mempersiapkan dirinya untuk menyerang kembali. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berpencar. Mereka berdiri di tempat yang berseberangan, sehingga anak muda yang kekar itu harus memperhatikan keduanya ditempatnya masing-masing.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berdiri tegak dan siap menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata pada serangan pertama keduanya telah dapat menilai kemampuan anak muda bertubuh kekar itu.

Namun kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mempunyai sikap yang lain dari sikap Mahisa Bungalan menghadapi anak-anak muda dari padepokan Empu Purung. Mahisa Bungalan masih dapat menahan diri sehingga mencegah kemungkinan yang berkepanjangan sebelum suasananya menjadi wajar untuk melakukannya sesuai dengan perkembangan keadaan.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersikap lain. Ia masih terlalu muda untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Yang mereka inginkan adalah justru sebaliknya. Mereka ingin membuat lawannya jera menurut cara mereka Karena itulah, maka ketika anak muda bertubuh kekar itu menyerang, maka Mahisa Pukat telah siap untuk melakukan rencananya. Meskipun ia belum membicarakannya dengan Mahisa Murti, namun karena mereka sudah terbiasa dengan perangai masing-masing, maka agaknya keduanya telah bersepakat untuk mempermainkan lawannya.

Dengan mudah Mahisa Pukat dapat menghindari serangan lawannya. Bahkan dengan cepatnya, ia telah berdiri selangkah di sebelah anak muda bertubuh kekar itu bertentang arah dengan Mahisa Murti. Untuk membalas serangan lawannya, Mahisa Pukat sama sekali tidak menyerangnya dengan kekuatannya. Tetapi seperti anak-anak yang sedang bermain-main, maka anak muda bertubuh kekar itu didorongnya ke arah Mahisa Murti yang seakan-akan sudah menunggunya.

Ternyata kekuatan Mahisa Pukat adalah jauh di luar dugaan anak muda bertubuh kekar itu. Dorongan Mahisa Pukat sama sekali tidak dapat dilawannya. Seperti seonggok kayu ia telah terlempar ke arah Mahisa Murti yang sudah menunggu dan bersiap mendorongnya kembali ke arah Mahisa Pukat.

Permainan itu benar-benar telah menyakitkan hati. Bagaimanapun juga, anak muda bertubuh kekar itu bukan sekedar sebatang kayu. Ketika ia sadar, maka dengan sekuat tenaga ia menggeliat dan justru menjatuhkan diri kearah yang lain. Dengan sigapnya ia segera melenting berdiri di atas kedua kakinya.

Tetapi ia terkejut kerika Mahisa Pukat dan Mahisa Murti justru telah berdiri di sebelah menyebelahnya. Dengan sigapnya, kedua anak muda itu menangkap lengan anak muda bertubuh kekar dan mengguncangnya tanpa dapat dicegah lagi. Semakin lama semakin kuat dan cepat, sehingga akhirnya anak muda bertubuh kekar itu meronta sambil menjerit keras-keras.

Untuk beberapa saat kawan-kawannya menjadi bingung. Tetapi akhirnya mereka pun menyadari, bahwa kawannya yang bertubuh kekar itu sama sekali tidak dapat mengimbangi kedua lawannya yang masih sangat muda itu. Karena itulah maka mereka sama sekali tidak menunggu perintah. Ketika salah seorang dari mereka memberikan isyarat, maka mereka pun segera bersama-sama menyerbu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah menunggu. Demikian mereka berdatangan, maka anak muda bertubuh kekar itu pun segera dilemparkannya ke arah kawan-kawannya, sehingga beberapa orang di antara mereka pun telah berjatuhan saling menimpa. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat tertawa ketika mereka melihat anak-anak muda itu tertatih-tatih berdiri. Keduanya seolah-olah menunggu agar mereka bersiap dan menyerang kembali.

Mahendra yang melihat perkelahian itu menahan nafasnya. Sementara Ki Buyut mendekatinya sambil berbisik, “Ke dua anak muda itu akan dikeroyok beramai-ramai.”

Tetapi Mahendra menjawab, “Jika hanya tujuh orang itu Ki Buyut, aku kira kedua anak muda itu masih akan dapat bertahan. Tetapi yang mencemaskan jika anak-anak muda itu kembali ke padepokan dan memanggil kawan-kawannya. Apalagi apabila Empu Purung ikut terlibat pula.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Perkelahian di antara anak-anak muda itu sudah mulai. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti harus bertempur melawan ke tujuh orang anak-anak muda dari padepokan Empu Purung. yang akan merampas barang-barang dagangan yang mereka sangka dibawa oleh keduanya.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memilih cara yang paling menguntungkan. Keduanya berdiri dekat-dekat dan bertempur berpasangan. Tujuh orang lawannya mencoba mengepung keduanya dan menyerang dari segala arah. Namun kedua anak-anak muda itu benar-benar mampu menjaga diri mereka dengan pertahanan yang sangat rapat.

Anak-anak muda dari padepokan Empu Purung itu benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan bertemu dengan anak-anak muda memiliki kemampuan yang tinggi. Meskipun demikian mereka merasa bahwa mereka berjumlah jauh lebih banyak dari kedua anak muda itu. Bagaimanapun juga, maka mereka akan mempunyai lebih banyak kesempatan pula untuk memenangkan perkelahian itu.

Karena itulah, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar tidak mau mengekang diri. Mereka ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya, bahwa tingkah laku mereka yang sombong dan tidak tahu adat itu akan dapat mencelakakan mereka sendiri tanpa pertimbangan yang lebih jauh tentang akibat yang dapat timbul.

Dengan tegang, Ki Buyut menyaksikan, perkelahian itu. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaan cemasnya tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang seakan-akan telah tenggelam dalam kepungan. Namun sekali-kali Ki Buyut melihat, satu dua orang dari anak-anak muda murid Empu Purung itu terlempar dari lingkaran kepungan dan terjatuh di tanah. Namun merekapun berusaha untuk segera bangkit kembali dan terjun kedalam lingkaran perkelahian itu pula.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang harus mempertahankan diri dari ketujuh lawannya, harus mengerahkan tenaganya pula. Mereka harus bergerak cepat dan tangkas. Mereka harus menghindari serangan dan kemungkinan menyerang kembali. Ternyata bahwa keduanya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari lawan-lawan mereka. Dengan kemampuan yang ada, mereka kadang-kadang membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung. Tata gerak kedua anak muda itu sulit untuk ditebak dan apalagi di ketahui dengan pasti.

Karena itulah, maka ketujuh orang itu justru mengalami kesulitan untuk mendekatinya. Anak muda yang berubuh kekar dengan penuh dendam dan kebencian berusaha untuk mendapat peluang menyerang. Mahisa Pukat yang sedang sibuk menghindarkan diri dari serangan kawan-kawannya. Dengan sepenuh tenaga ia mengayunkan kakinya mengarah ke lambung.

Hatinya berdebar ketika terasa kakinya menghantam sasaran. Sekilas ia memperhatikan Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja matanya terbelalak. Mahisa Pukat sama sekali tidak menyeringai menahan sakit. Tetapi seorang kawannyalah yang terpekik, karena pada saat yang tepat, Mahisa Pukat berhasil menangkap lengannya dan menariknya tepat pada garis serangan anak muda bertubuh kekar itu.

“Gila” geram anak muda bertubuh kekar itu. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika seorang kawannya terduduk sambil memegang perutnya yang justru terkena serangan kakinya. “Aku tidak sengaja” desis anak muda bertubuh kekar, itu, “aku akan berusaha membalas hinaan ini.”

Anak muda bertubuh kekar itupun kembali mencari kesempatan, sementara kawannya yang terduduk itu sudah berusaha untuk berdiri lagi meskipun perutnya masih tetap terasa mual. Namun betapapun juga ketujuh orang itu berusaha, tetapi mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat memenangkan perkelahian melawan kedua orang anak anak muda itu.

Apalagi setelah hampir setiap orang dari ketujuh orang itu merasakan, betapa sakitnya bekas tangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah mempergunakan segala kesempatan. Beberapa orang dari lawan-lawannya telah menjadi merah biru wajahnya, sementara yang lain matanya menjadi bengkak. Anak yang bertubuh kekar itu, mulutnya sudah berdarah. Sedangkan yang lain lagi, hidungnyalah yang berdarah.

“Anak-anak ini benar-benar harus ditangani oleh para cantrik” desis anak-anak muda itu di dalam hati, “dengan demikian mereka baru akan menjadi jera“

Bagi anak-anak muda yang mendapat tuntunan ilmu dari padepokan Empu Purung, maka para cantrik adalah orang-orang yang luar biasa di dalam olah kanuragan. Para cantriklah yang memberikan bimbingan kepada mereka disaat-saat mereka mulai mempelajari olah kanuragan. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang beruntung, mendapat tuntunan langsung dari Empu Purung sekali dua kali dalam sepekan.

Karena itu dalam kesulitan yang tidak teratasi, maki anak-anak muda itu berharap, agar mereka dapat menyampaikan persoalan mereka kepada para cantrik. Untuk beberapa saat ketujuh anak muda itu masih mencoba bertahan. Tetapi ternyata bahwa wajah mereka menjadi merah biru, sedangkan mata mereka menjadi bengkak. Apalagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu tidak lagi menahan diri. Keduanya dengan sengaja telah membuat lawan mereka benar-benar bahwa mereka tidak mampu melawan kedua nya lagi.

Ketika Mahisa Murti melihat salah seorang, dari ketujuh anak-anak muda itu menarik pisau belati, maka iapun menggeram, “Jangan mempergunakan senjata. Senjata dapat mengundang bahaya yang lebih parah bagi kalian, karena untuk melawan senjata, akupun akan mempergunakan senjata. Nah. kalian akan tahu akibatnya jika kedua tanganku menggenggam pisau. Wajah kalian tidak akan hanya sekedar merah biru, tetapi wajah kalian akan tatu arang kranjang.”

Ancaman itu benar-benar telah menggetarkan setiap jantung. Karena itulah, maka anak muda yang telah menggenggatu tangkai pisau belatinya itu pun mengurungkan niatnya untuk mempergunakannya. Namun dalam pada itu, ketujuh anak muda itu sudah benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Tenaga mereka bagaikan dihisap oleh kelelahan dan kesakitan.

Karena itulah maka sejenak kemudian ketujuh orang itu pun menjadi semakin terdesak dan akhirnya, ketika anak muda yang bertubuh kekar itu memberikan isyarat, maka ketujuh orang itu pun serentak berlari menghambur meninggalkan kedua lawannya. Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau melepaskan mereka. Mereka pun segera meloncat ingin mengejar lawan-lawannya. Tetapi Mahendra telah memanggil kedua anaknya dan menahan mereka agar melepaskan ketujuh lawannya pergi dari banjar.

“Luar biasa” desis Ki Buyut yang menyaksikan perkelahian itu dengan berdebar-debar. Lalu katanya, “Kedua anak muda itu benar-benar memiliki kemampuan diluar kewajaran.”

“Keduanya hanyalah karena keras kepala saja Ki Buyut” jawab Mahendra.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun diwajahnya membayang kepahitan yang mencengkam perasaannya. Bahkan kemudian katanya dalam nada berat, “Permulaan dari kekisruhan itu sudah terjadi.”

“Maksud Ki Buyut?” Bertanya Mahendra.

“Mereka tentu tidak akan menerima kekalahan mereka begitu saja. Di padepokan itu ada berpuluh-puluh cantrik yang memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka akan dapat menjadi sakit hati karena kawan-kawannya mengalami perlakuan yang dapat mereka artikan, menyinggung perasaan mereka.”

“Apakah para cantrik di padepokan Empu Purung itu akan membenarkan tingkah laku ketujuh anak-anak muda itu?” Bertanya Mahendra.

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawab nya, “Mungkin mereka tidak mau mendengar alasan-alasan lain dan sebab dari perkelahian itu. Mungkin mereka membenarkan tindakan kawan-kawannya, atau mungkin mereka tidak membenarkan, tetapi mereka tetap ingin mempertahankan harga diri.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam.

“Ki Sanak” berkata Ki Buyut, “jika Ki Sanak sependapat dengan aku, tinggalkan tempat ini.”

“Kenapa Ki Buyut?”

“Kalian dapat menghindarkan diri dari akibat yang lebih parah. Jika mereka datang kembali, maka mereka tentu tidak hanya bertujuh atau bersepuluh atau duapuluh.”

“Lalu?”

“Mereka tentu tahu, bahwa dua di antara kalian telah mampu mengalahkan tujuh orang. Tentu mereka sudah mendengar bahwa, kalian sekarang mempunyai beberapa orang kawan di banjar ini.”

“Jadi menurut pertimbangan Ki Buyut, kami sebaiknya meninggalkan banjar ini?”

“Untuk keselamatan kalian. Tinggalkan banjar ini dan pergilah ke barak di seberang bulak. Di sana ada sepasukan prajurit-prajurit yang ada di barak itu, sehingga mereka tidak akan meng ganggumu. Kecuali jika apabila kalian dapat mereka ketemukan di sepanjang jalan saat kalian meninggalkan barak itu. Aku tidak akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas kalian. Apalagi jika Empu Purung sendiri ikut serta menemukan kalian. Ia dapat menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan dengan tangannya.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. la melihat kecemasan benar-benar telah mencengkam Ki Buyut. “Lalu apa yang akan Ki Buyut lakukan?” bertanya Mahendra.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mungkin aku harus berkemas-kemas untuk meninggalkan padukuhan ini jika Empu Purung menghendaki “

Mahendra termangu-mangu sejenak, ia mulai membayangkan bahwa akibat kehadirannya di padukuhan itu, maka Ki Buyut harus mengalami kesulitan bukan saja untuk mencegah keributan yang timbul, tetapi juga kesulitan bagi dirinya sendiri.

Namun tiba-tiba saja dituar sadarnya Mahendra berkata, “Tetapi Ki Buyut, kenapa Ki Buyut sendiri tidak minta perlindungan kepada prajurit-prajurit Singasari itu? Bukankah prajurit-prajurit itu akan dapat mencegah tingkah laku orang-orang di padepokan Empu Purung, apalagi jika mereka akan mengusir Ki Buyut?”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Tidak Ki Sanak. Dengan demikian aku sudah membenturkan anak-anakku sendiri dari padukuhan ini pada kekuatan yang akan dapat menggilas dan bahkan menumpas mereka.”

“Tetapi bukankah mereka berdiri dipihak yang salah menurut penilaian Ki Buyut sendiri?”

“Dan aku harus menjerumuskan mereka ke dalam kemusnahan tanpa ampun? Ki Sanak. Betapapun nakalnya, mereka adalah anak-anakku. Mungkin aku harus pergi meninggalkan mereka. Tetapi tentu aku tidak akan sampai hati mendorong mereka kedalam kebinasaan.”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ki Buyut, baiklah aku membicarakannya dengan kawan-kawanku. Tetapi jika sekiranya kami harus mempertahankan diri kami dari siapapun juga yang akan mengganggu kami, maka kami minta maaf sebelumnya, karena di antara mereka mungkin terdapat anak-anak muda yang Ki Buyut sebut sebagai anak-anak Ki Buyut itu.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Karena itu, pergilah. Dengan demikian maka benturan yang lebih keras itu akan terhindar“

Mahendra pun kemudian dengan tergesa-gesa menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang gelisah. Mereka mendengar pendapat Ki Buyut dan mendengar pula, bagaimana ia bersikap terhadap anak-anak muda di padukuhannya. “Apakah kita sebaiknya meninggalkan padukuhan ini tuanku” bertanya Mahendra.

“Memang sulit untuk menentukan” jawab Ranggawuni, “tetapi barangkali hal-hal semacam inilah yang memang ingin aku lihat.”

“Kami mohon tuanku menentukan keputusan?” berkata Mahisa Agni kemudian.

“Bagaimana menurut pendapat paman atas padepokan Empu Purung itu?”

“Bagi hamba tuanku” jawab Mahisa Agni, “padepokan ini adalah salah satu dari beberapa buah padepokan yang, menurut laporan yang diterima oleh pimpinan prajurit Singasari sebagai padepokan yang secara bersama-sama telah mempersiapan diri melawan kekuasaan tuanku”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka merenung sejenak. Kemudian terdengar Ranggawuni bertanya, “Bagaimana menurut pertimbanganmu adinda Mahisa Cempaka?”

“Bagi hamba, tidak ada pilihan lain. Kita sudah melihat, bagaimana bentuk dan sikap padepokan ini.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Lalu kalanya, “Paman. Setelah aku melihat sendiri keadaan di daerah ini, maka tidak ada pilihan lain daripada memadamkan api yang akan dapat berkobar lebih besar lagi. Tetapi karena padepokan ini tidak berdiri sendiri, maka semuanya harus diselesaikan secara menyeluruh di seluruh daerah yang sudah dipersiapkan itu.”

“Hamba tuanku” jawab Mahisa Agni, “hamba akan memerintahkan prajurit penghubung untuk menyampaikan laporan peristiwa di daerah ini kepada pucuk pimpinan prajurit di Singasari serta perintah untuk mengambil sikap menghadapi setiap padepokan yang telah berada di bawah pengaruh Empu Baladatu itu.”

“Baiklah. Dan apakah yang akan kita lakukan sekarang menurut pertimbanganmu?”

“Kita akan meninggalkan padukuhan ini dan pergi ke Barak para prajurit. Kita akan menghadapi pasukan Empu Purung dengan kekuatan Singasari. Sementara itu prajurit penghubung segera menghubungi pimpinan prajurit yang akan menyebarkan perintah tuanku ke segenap penjuru yang mengalami keadaan serupa“

“Tetapi perintah itu harus meliputi daerah Mahibit dan para Akuwu yang sudah diketahui mempersiapkan pasukan pula” sahut Witantra.

“Ya” jawab Ranggawuni, “mungkin mereka akan mempergunakan kesempatan. Tetapi menurut pertimbanganku, mereka akan menunggu meskipun hanya sesaat yang pendek.”

“Tetapi harus dipersiapkan pasukan khusus untuk menghadapi mereka” berkata Mahisa Cempaka.

“Baiklah. Sampaikan perintah yang jiwanya seperti yang kita maksudkan atas padepokan-padepokan dan daerah-daerah yang berbahaya bagi Singasari.”

“Jika demikian, maka kita akan berkemas meninggalkan padukuhan ini tuanku. Sebentar lagi anak-anak itu tentu akan datang dengan jumlah yang lebih banyak, sebelum seluruh padepokan akan bergerak.”

Demikianlah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun memutuskan meninggalkan padepokan itu seperti yang dikehendaki oleh Ki Buyut. Mereka mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Buyut menerima mereka, sehingga menimbulkan kesulitan bagi Ki Buyut sendiri.

“Kami akan pergi ke barak itu Ki Buyut” berkata Mahendra kemudian.

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia merasa lega bahwa orang-orang yang ada di banjar itulah yang akan menghindar sehingga anak-anak muda padukuhan itu tidak akan terlibat dalam benturan kekuatan dengan para prajurit.

Namun dalam pada itu Mahendra bertanya, “Ki Buyut. Kami memang akan meninggalkan tempat ini. Tetapi meskipun demikian, apakah tidak akan terjadi akibat yang sama jika anak-anak Ki Buyut lah yang mengejar kami dan menyerang barak itu?”

“Ah” Ki Buyut mengerutkan keningnya, “itu tentu tidak akan terjadi. Mereka tidak akan menyerang prajurit Singasari yang kuat dan terlatih.”

“Belum tentu Ki Buyut. Mungkin dibantu para cantrik dan Empu Purung sendiri, mereka merasa kuat.” sahut Mahendra.

“Jika demikian, nasib prajurit-prajurit memang sangat malang. Mereka tentu akan musnah karena kesaktian Empu Purung” jawab Ki Buyut. Namun katanya selanjutnya, “Tetapi aku kira Empu Purung tidak akan melakukannya.”

“Jika Empu Purung tidak melakukannya, tetapi anak-anak muda itu sendiri yang datang dan dihancurkan oleh para prajurit yang melindungi kami?” bertanya Mahendra mendesak.

Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Jika demikian, itu adakah salah mereka sendiri...”