Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 27
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN demikian, ternyata bahwa pertempuran itu tak berlangsung lebih lama lagi. Meski pun salah seorang dari padepokan Macan Kumbang itu berhasil selalu memotong gerak lawannya dalam ilmu puncak perguruan Empu Baladatu, akan tetapi pada suatu saat ia mendengar kawannya menjerit ngeri.

Yang terjadi kemudian bagaikan angin pusaran dalam gelapnya malam. Namun ketika tiba-tiba saja pusaran itu mengendor, tampak sesosok tubuh yang terjatuh ditanah. Sesosok tubuh yang sudah kehilangan bentuknya. Kengerian yang sangat telah mencengkam jantung kawannya. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk menghindarkan diri. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali mati dengan dada tengadah.

Kepastiannya untuk mati itu ternyata telah memberikan justru ketenangan kepadanya. Ia sempat melihat perhatian lawannya yang sebagian tertuju kepada kawannya .yang bagaikan batang yang tumbang ditanah. Kesempatan itu pun dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan serta-merta ia meloncat menerkam dengan ujung senjatanya.

Lawannya sempat melihat loncotan itu. Tetapi ia terlambat untuk membebaskan dirinya sama sekali, karena terasa sebuah goresan dipunggungnya ketika ia meloncat ke samping sambil merendahkan dirinya. Sebuah luka yang panjang membujur di punggung. Darah yang merah mulai meleleh dari ujung luka. Semakin lama semakin banyak.

Lawannya tidak melepaskannya. Serangan berikutnya telah menyambarnya. Tetapi sayang, lawannya itu agak tergesa-gesa, sehingga serangannya kurang mengarah. Tetapi, luka itu agaknya cukup parah. Dalam waktu yang singkat, terasa tenaganya mulai surut, sehingga untuk menghindari serangan-serangan berikutnya, terasa kakinya menjadi semakin berat.

Namun dalam pada itu, kawannya yang telah menyelesaikan pekerjaannya itu pun dengan buas telah meloncat ke dalam arena perkelahiannya. Sambil menggeram ia bertanya, “Apakah masih sanggup bertempur?”

“Ya” jawab kawannya yang terluka itu.

Terdengar lawannya yang tinggal seorang itu menggeram. Mirip seekor harimau yang kelaparan melihat seekor kancil melintas di hadapannya. Sejenak kemudian, orang yang telah terluka dipunggungnya itu mulai bertempur berpasangan. Meskipun lukanya mulai terasa mengganggu, tetapi karena ia tidak seorang diri maka ia pun tidak banyak mengalami kesulitan. Meskipun tidak terlampau cepat, maka keduanya mulai bergerak dalam putaran yang mengelilingi lawannya yang tinggal seorang diri.

Tetapi lawannya masih sempat berpikir. Ia mempunyai perhitungan yang baik atas kedua lawannya. Setiap kali ia berhasil memotong putaran itu justru pada lawannya yang sudah terluka.

“Gila” geram lawannya yang masih mampu bertempur dengan kekuatan seutuhnya, “aku akan membunuhnya. Berilah aku kesempatan pertama. Dan kau harus berusaha menyesuaikan diri sesuai dengan keadaanmu yang sudah terluka itu.”

“Baiklah” jawab kawannya, “lakukanlah yang baik bagi kita. Ternyata orang ini nampaknya ingin mengalami nasib yang lebih buruk dari kawannya.“

Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu menggeram pula. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk mati. Ketika perkelahian telah berkobar semakin seru, maka orang dari gerombolan Macan Kumbang itu merasa semakin terdesak. Lawannya yang seorang selalu berusaha mengitarinya, sedang yang lain menyerang dengan tiba-tiba, justru pada saat-saat ia berusaha memotong putaran yang serasa menjadi semakin cepat.

Tetapi tidak ada jalan lagi baginya. Meskipun ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, namun akhirnya ia merasa bahwa maut seolah-olah telah menari-nari disekelilingnya bersama dengan serangan-serangan lawannya yang semakin dahsyat.

Namun dalam keadaan yang paling parah, ia mendengar lawannya berkata, “Jangan bunuh dengan cara yang baru saja kita lakukan.”

“Kenapa?” bertanya yang terluka.

“Dengan demikian maka ia harus kita kuburkan tanpa diketahui oleh siapapun juga.”

“Jadi?”

“Kita bunuh dengan cara lain. Mayatnya akan kita biarkan saja terkapar sehingga ada orang yang mengetahui, bahwa seorang dari gerombolan Macan Kumbang telah mati,”

“Persetan” teriak orang dari gerombolan Macan Kumbang itu sendiri dengan kemarahan yang meledak-ledak.

“Sebaiknya kita bawa mayatnya kedekat sarangnya Dengan demikian maka mayatnya akan jatuh ketangan orangi Macan Kumbang sendiri tanpa mengetahui siapakah yang telah membunuhnya. Jika mereka melihat barang hasil rampokannya, maka kawan-kawannya akan menyadari, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Gila” teriak orang dari gerombolan Macan Kumbang itu, “akulah yang akan membunuh kalian.”

Tetapi pertempuran itu semakin lama semakin meyakinkan. Meskipun kedua orang pengikut langsung Empu Baladatu itu tidak mempergunakan ilmu puncak dari ilmu hitam, namun keduanya masih mampu membuat lawannya yang lelah itu kebingungan dan semakin lama menjadi semakin kehilangan daya perlawanannya.

“Hati-hati, jangan timbulkan kesan bahwa kitalah yang telah membunuh. Lukanya harus mempunyai ciri yang lain.”

“Jadi?”

“Biarlah ia lelah dan kemudian pingsan. Kita akan menentukan, bentuk luka yang bagaimanakah yang sebaiknya kali ini kita pasang pada tubuhnya.”

Pembicaraan itu benar-benar suatu penghinaan yang tidak ada tatanya. Tetapi ia tidak kuasa untuk berbuat apapun juga, selain berusaha untuk bertempur terus. Sekali-kali ia juga mencari kemungkinan lain. Tetapi untuk melarikan diri, nampaknya terlampau sulit baginya, karena kedua lawannya tentu akan mengejarnya dan membunuhnya Seperti yang direncanakannya.

Itulah sebabnya maka ia, masih bertempur terus. Lawan-lawannya yang akan dibunuhnya itu tentu bukannya dua orang pengampun yang melupakan ancaman yang pernah terlontar dari mulutnya. Dan akhir itu pun kemudian benar-benar datang. Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu semakin lama menjadi semakin lemah. Betapapun juga, ia tidak akan mampu melawan dua orang lawan meskipun yang seorang sudah terluka.

Dalam keadaan yang paling pahit ia kemudian kehilangan: semua kesempatan. Ternyata lawannya sama sekali tidak mempergunakan senjatanya. Serangan mereka datang dari beberapa arah justru dengan genggaman atau sisi telapak tangan.

“Gila” orang itu berteriak.

Tetapi kedua lawannya sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka benar-benar ingin menyelesaikan pekerjaan mereka dengan sebaik-baiknya. Membunuh lawannya tanpa meninggalkan luka senjata. Ketika kemudian, tenaganya tidak lagi mampu mendukung kemauannya, maka orang itu pun bagaikan telah kehilangan tulang belulangnya. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya tanpa hentakkan lawannya. Meskipun ia masih selalu mencoba bangkit, namun seakan-akan keseimbangannya telah kabur sama sekali.

“Kau sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa” desis lawannya yang terluka.

Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Betapapun tinggi daya ketahanan Lubuhnya, tetapi tangan-tangan yang menghantam tubuhnya itu pun didorong oleh kekuatan yang luar biasa pula. Itulah sebabnya orang itu sama sekali tidak dapat lagi melawan ketika ia harus mati karena pernafasannya yang tersumbat.

“Apa yang akan kita lakukan atas orang ini,” bertanya yang telah terluka.

“Kita letakkan di dekat sarang mereka, agar kematiannya menjadi masalah. Kita letakkan barang-barang hasil rampokannya.” jawab yang lain.

“Tetapi bagaimanakah jika justru jatuh ketangan orang lain yang menjumpainya lebih dahulu dari orang-orang Macan Kumbang sendiri.”

“Kita akan mengawasinya dan meyakini bahwa mayat dan barang-barang itu akan jatuh ketangan orang-orang Macan Kumbang sendiri.”

“Itu berarti tugas kita sendiri akan tertunda.”

“Tidak banyak artinya. Mungkin tertunda satu dua hari. Tetapi tugas kita tidak terbatas waktu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang mayat yang sesosok dengan bekas-bekas tangan ilmu hitam ia berkata, “Dan orang ini?”

“Kita kuburkan saja disini. Tidak seorang pun boleh mengetahui, bahwa kekuatan yang disebut kekuatan hitam itu kini sedang berkeliaran.”

Dengan alat yang ada, maka kedua orang itu pun mulai menggali lubang dan memasukkan mayat yang sudah tidak berbentuk itu kedalamnya, dibalik semak-semak yang rimbun.

“Bagaimanakah jika besok ada orang yang mencurigai tanah yang nampak baru ini?”

“Kita akan melenyapkan semua bekas. Semak-semak itu akan melindunginya.”

Demikianlah keduanya pun kemudian berusaha untuk memulihkan semak-semak itu sehingga tidak menimbulkan kecurigaan lagi, sementara mayat yang lain telah mereka sangkutkan pada punggung kuda dan membawanya mendekati sarang gerombolan Macan Kumbang. Seperti yang mereka perhitungkan, maka menjelang pagi mereka baru mendekati tempat yang mereka tuju. Sejenak mereka membiarkan kuda-kuda mereka melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yaang cukup jauh.

“Kita tidak dapat maju lagi. Disiang hari, jika kita berpapasan dengan seseorang, maka mayat itu akan dapat menimbulkan kecurigaan.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jaraknya tidak begitu jauh lagi.”

Sejenak keduanya termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berani lagi memaksa kuda mereka berpacu. Kuda mereka cukup lelah, dan hari pun sudah menjadi semakin terang.

“Kita akan menunggu sehari di sini.”

“Dengan sesosok mayat”

Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya dengan nada datar, “Apa boleh buat.”

Dengan keluhan panjang, maka kawannya pun kemudian mengangkat mayat itu dari punggung kudanya dan membaringkannya di atas rerumputan di dalam sebuah hutan kecil. Kemudian diikatnya kudanya dengan tali yang panjang, agar kuda itu sempat makan rerumputan sepuas-puasnya.

“Aku akan membuat api” berkata orang yang terluka.

“Nanti, jika matahari sudah naik.”

“Aku lapar sekali, dan tubuhku terasa dingin sekali.”

“Aku akan mengobati lukamu. Mungkin luka itu berpengaruh meskipun sudah tidak berdarah lagi.”

Dengan serbuk yang berwarna kehitam-hitaman maka luka itu pun diobatinya, sehingga perasaan pedih menjadi jauh berkurang.

Baru ketika matahari menjadi semakin tinggi, kedua orang itu mencoba membuat api. Mereka berusaha untuk langsung menyalakan dedaunan dan ranting-ranting yang kering agar tidak banyak melemparkan asap keudara sehingga dapat menumbuhkan kecurigaan orang-orang yang melihat dari kejauhan.

“Aku masih mempunyai beberapa potong jadah dan jenang alot” desis yang seorang.

“Aku sama sekali tidak. Tetapi dihutan ini tentu tersimpan makanan yang dapat kita pergunakan untuk mengisi perut kita sehari ini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Dan dibiarkannya kawannya itu melangkah beberapa langkah sambil menjinjing sumpitnya. Ternyata kawannya adalah seorang yang pandai membidik. Dalam waktu yang singkat, ia telah datang lagi membawa beberapa ekor burung yang berhasil disumpitnya.

“Jika kau masih juga lapar, aku akan berburu dengan panah” katanya.

Kawannya tersenyum. Tetapi diluar sadarnya ia berpaling kepada sesosok mayat yang terbaring. “Kita akan menangkap seekor harimau atau justru seekor harimau akan mencuri harta kita itu.”

“Tidak kedua-duanya” jawab yang lain, lalu, “tetapi berapa ekor burung ini aku rasa sudah cukup.”

Demikianlah mereka terpaksa menunggu sehari sambil beristirahat, sebelum pada malam berikutnya mereka mendekat lebih rapat lagi dengan sarang gerombolan Macan Kumbang.

“Jalan ini adalah jalan tunggal menuju kepadepokan itu” desis salah seorang dari keduanya.

“Kita berhenti disini” jawab yang lain.

Keduanya pun kemudian berhenti sejenak. Mereka menunggu kesempatan yang sebaik-baiknya untuk dapat mendekati padepokan dan meletakkan mayat itu dimulut padepokan.

“Tidak mungkin terlalu dekat” berkata yang seorang. “Di dalam regol itu tentu ada, beberapa orang penjaga.”

Tetapi yang lain masih akan mencoba mendekat, katanya. “Kita dapat menyusur gerumbul-gerumbul di tepi jalan sebelum kita meletakkannya di regol itu.”

Demikianlah dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha mendekat dan kemudian meletakkan mayat itu di depan regol tanpa diketahui oleh orang-orang yang memang sedang berjaga-jaga. Tetapi di dalam regol yang tertutup.

Seperti yang diharapkan, maka di pagi-pagi benar, seorang yang mula-mula sekali membuka regol dinding padepokan untuk pergi ke sungai diluar regol telah menemukan mayat itu. Suasana Padepokan Macan Kumbang itu pun segera menjadi gempar. Orang-orang yang tidak sedang bertugas keluar, dengan penuh ketegangan, mengangkat mayat itu dan membawanya kerumah induk di padepokan itu.

“Ya” desis salah seorang dari mereka, “orang ini adalah kawan kita.”

“Ya,” sudah tentu. Kawan sebilikku. Ia memang sedang bertugas untuk mencari beberapa keterangan tentang beberapa nama yang diperlukan oleh Empu Baladatu.”

Orang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu di padepokan Macan Kumbang itu pun mulai melihat-lihat mayat itu. Ia tidak melihat tanda-tanda yang menunjukkan kepadanya, siapakah yang telah membunuh orang dari gerombolan Macan Kumbang itu. Namun di dekat mayat itu ia menemukan beberapa jenis barang yang sudah pasti bukan milik orang yang terbunuh itu.

“Tidak ada bekas luka” desis seseorang. Yang lain mengangguk-angguk.

“Tentu ada sesuatu yang telah terjadi dengan orang ini” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu dipadepokan itu, “barang-barang ini agaknya bukan barang-barang yang didapatnya dengan wajar. Agaknya orang ini sudah melanggar pesan, agar tidak melakukan tindakan yang dapat memanggil kecurigaan orang lain, terutama para petugas dari Singasari.”

“Apakah orang ini telah dibunuh oleh prajurit-prajurit Singasari?” bertanya salah seorang dari kawan-kawannya.

Pemimpin itu menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak. Tetapi menilik keadaannya, agaknya ia mati karena tingkah lakunya sendiri.”

“Maksudnya?” Beberapa orang ter-mangu-mangu.

“Apakah orang ini kena kutuk seperti beberapa orang yang pernah meninggal sebelumnya?”

Pemimpin padepokan yang mewakili Empu Baladatu itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, “Mungkin sekali. Agaknya ia sudah melanggar pesan yang aku berikan ketika ia berangkat.”

“Pesan apakah yang telah dilanggarnya?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik barang-barang yang ada didekat mayat itu, tentu ia sudah mendapatkan barang-barang itu dengan cara yang tidak pantas.”

“Merampok?” bertanya yang lain.

Pemimpin padepokan itu mengangguk. Namun dalam pada itu terdengar salah seorang yang lain berkata,, “Tetapi pekerjaan semacam itu sudah kita lakukan untuk waktu yang lama.”

“Jagalah dirimu dari bencana yang serupa” desis pemimpin padepokan itu, “aku tahu bahwa kalian adalah segerombolan perampok. Bahkan aku tahu bahwa gerombolan Macan Kumbang telah bersaing untuk waktu yang lama dengan gerombolan Serigala Putih. Setiap benturan kekerasan telah merenggut banyak korban. Tetapi korban-korban itu adalah korban yang jatuh dengan wajar.”

Orang-orang yang mendengarnya termangu-mangu.

“Tetapi pada suatu saat kalian menjumpai korban yang jatuh dengan cara yang lain. Termasuk orang yang mati di depan regol itu, karena ia sudah melanggar pesan bahwa di saat ini kita harus berbuat sangat hati-hati.”

Orang-orang yang mendengarkannya dengan cemas memaksa diri untuk mempercayai setiap keterangan itu, sebab mereka tidak mau menjadi korban pula seperti orang-orang yang pernah mati sebelumnya tanpa sebab dan bekas-bekas luka yang menunjukkan sebab-sebab kematian mereka.

“Sudahlah” berkata pemimpin itu, “selenggarakan mayat itu sebaik-baiknya. Kita harus menyadap pengalaman pahit ini.”

Demikianlah orang-orang Macan Kumbang yang ada dipadepokan itu pun menyelenggarakan mayat kawan mereka yang terbunuh. Namun sudah barang tentu bahwa berita tentang kematian itu segera menjalar keluar padepokan. Kabar itu segera sampai ketelinga orang-orang yang dalam hubungan sehari-hari sering bergaul dengan orang-orang Macan Kumbang. Sehingga dengan demikian, maka berita tentang kematian itu pun segera tersebar di antara mereka.

“Setiap penyimpangan dari pesan-pesan Empu Baladatu, akibatnya adalah maut.”

Peringatan itulah yang kemudian sampai kesetiap telinga orang-orang yang menjalankan tugas dari Empu Baladatu dan orang-orang yang mendapat kuasanya. Namun dengan demikian, maka tugas mereka pun sama sekali tidak menarik perhatian pihak lain karena dapat mereka lakukan dengan diam-diam.

Meskipun memerlukan waktu, namun akhirnya usaha Empu Baladatu itu pun berhasil meskipun belum seluruhnya. Seorang petugas yang berasal dari gerombolan Serigala Putih, yang melakukan perjalanan sebagai seorang pengemis, mendapatkan beberapa keterangan tentang orang yang bernama Linggadadi.

“Keterangan itu perlu dilengkapi” berkata orang itu kepada Kiai Dulang.

“Ya. Tetapi keteranganmu penting artinya bagi kami. Dengan demikian, kami sudah mengetahui, siapakah sebenarnya orang yang bernama Linggadadi itu.”

“Sebagian daripadanya.”

“Kita akan menyebarkan beberapa orang untuk menyelidiki keadaannya lebih lanjut.”

Tetapi karena penyelidikan berikutnya menjadi lebih sulit, Kiai Dulang tidak berani berbuat tergesa-gesa. Ia pun kemudian memerlukan pergi sendiri menemui Empu Baladatu. “Agaknya Empu dapat membatasi daerah penyelidikan.”

“Tentang Linggadadi” berkata Empu Baladatu, “sementara tentang Mahisa Bungalan pun telah aku dengar beritanya.”

“Oh” desis Kiai Dulang yang datang keperguruan Empu Baladatu.

“Mahisa Bungalan telah berada di Kota Raja. Tetapi ia berada dalam lingkungan yang sulit karena ia berada di bangsal Mahisa Agni di dalam istana.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Tetapi dengan demikian, justru keadaan Linggadadi lah yang harus mendapat banyak perhatian. Nampaknya ada perbedaan cara dan sikap antara Mahisa Bungalan dan Linggadadi meskipun kedua-duanya disebut pembunuh orang berilmu hitam.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Nah. Jika demikian, nampaknya kau sendirilah yang wajib pergi ke Mahibit untuk mengetahui lebih jelas tentang Linggadadi. Tetapi yang jelas ia bukan seorang yang dapat kita selesaikan dengan mudah.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Empu, Aku akan pergi ke Mahibit dengan cara yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh orang yang dapat mengenali Linggadadi meskipun hanya dari ciri-cirinya, dan barangkali dari namanya yang disebut oleh beberapa orang disekitarnya.”

“Hati-hatilah. Linggadadi adalah orang yang sangat licik.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu, “Tetapi aku mohon Empu meletakkan seorang penghubung di padepokan Serigala Putih, sehingga aku akan dapat menemuinya setiap saat aku perlukan.”

"Serahkan padepokan itu untuk sementara kepada Kiai Ungkih dipadepokan Macan Kumbang. Ia akan mewakilimu sehingga sekaligus ia akan berada dikedua padepokan itu.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Sukurlah jika ia dapat melakukannya dengan baik. Tetapi sebenarnyalah bahwa sulit untuk menguasai kedua padepokan itu sekaligus.”

“Apakah keduanya masih tetap bermusuhan?”

“Tidak. Tetapi akibat permusuhan yang lama itu masih terasa. Namun yang sulit adalah, bahwa mereka tidak terpisah sepenuhnya dari masarakat di sekitarnya. Dengan demikian kadang-kadang masih ada sesuatu yang merembes memasuki padepokan-padepokan itu, tetapi juga sebaliknya ada sesuatu yang kadang-kadang merembes keluar.”

“Kau tidak mencegahnya selama ini?”

“Aku sudah berusaha. Kiai Ungkih pun sudah berusaha pula. Namun kami belum yakin, bahwa usaha kami berhasil sepenuhnya. Itulah sebabnya, maka di kedua padepokan itu perlu pengawas-pengawas khusus yang dapat menekuni keadaan mereka setiap hari.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Selama kau tidak ada dipadepokan Serigala Putih, aku akan mengirimkan seorang yang akan bertugas menggantikan kedudukan selama kau pergi.”

“Orang itu harus ada disana sebelum aku berangkat.”

Demikianlah ketika Kiai Dulang kembali ke padepokannya, ia pergi bersama seseorang yang akan bertugas menggantikannya di padepokan Serigala Putih. Seorang yang masih lebih muda dan menilik sorot mata di wajahnya, orang itu memiliki ketajaman pikiran dan terlebih-lebih, nampaknya ia tidak pernah ragu-ragu untuk melakukan sesuatu tindakan. Kepada orang-orang dari padepokan Serigala Putih, kawan Kiai Dulang itu diperkenalkan dengan nama Wangking, yang diterima dengan penuh keragu-raguan.

“Nampaknya orang itu mempunyai perbedaan sikap dan cara dari Kiai Dulang” berkata seorang yang bertubuh tinggi.

“Apapun yang akan dilakukan selama ia masih berusaha memperbaiki keadaan kita, maka kita akan menerimanya dengan senang hati. Tetapi jika yang dilakukan kemudian menyimpang, maka sudah tentu kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.”

“Kau tidak takut kepada kemurkaan sumber ilmu yang kau sadap sekarang jika kau mempunyai sikap yang lain dari sikap Empu Baladatu?”

“Aku mempercayai perkembangan ilmu dengan cara yang aku tempuh sekarang. Dengan demikian justru semua tindakanku akan direstuinya jika aku yakin bahwa aku berdiri dipihak yang benar. Hanya orang-orang yang meragukan limpahan kekuasaan ilmu itulah yang akan mengalami bencana. Kematian tanpa sebab. Tetapi yang akan persoalkan sekarang bukannya mengenai sumber ilmu dan tata cara pelimpahannya. Tetapi cara manusia wadag memerintah kami.”

Seandainya demikian, apakah orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu mampu melakukan sesuatu untuk memaksakan perubahan masih harus dipertimbangkan pula, sehingga orang yang ragu-ragu itu pun semakin menjadi ragu-ragu. Katanya, “Manusia wadag yang memerintah kami memiliki kekuasaan seperti yang berada didalam sumber ilmu itu sendiri. Kekuasaan yang tidak dapat kami tentang dengan kekuatan apapun. Seandainya orang yang kau sebut wadag itu tidak sesuai dengan keinginanmu, apakah yang akan kau lakukan? Membunuh diri?”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku masih mengharapkan bahwa ilmu kita semuanya akan berkembang terus. Dengan penuh kepercayaan aku akan menyadap ilmu itu sampai tuntas, sehingga dalam lingkungan ini aku tidak akan sekedar menjadi orang yang berdiri dideret yang paling belakang.”

Yang lain tidak menjawab lagi, meskipun kepalanya terangguk-angguk lemah.

Dalam pada itu, maka Kiai Dulang pun segera menyampaikan keputusan Empu Baladatu, bahwa ia harus menyerahkan pimpinan padepokan itu kepada Wangking

“Hanya untuk sementara” berkata Kiai Dulang, “pada saatnya aku akan kembali dan berada di antara kalian lagi, terutama pada saat-saat bulan purnama, di mana kita bersama-sama bersujud untuk menyadap ilmu kanuragan yang tiada duanya di muka bumi.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih pun mengangguk-angguk perlahan-lahan. Tetapi nampak disorot mata mereka, bahwa sebenarnya mereka mengharap, lebih Kiai Dulang itu tetap berada di antara mereka daripada orang baru yang belum dikenal itu, tetapi yang menurut ujud lahiriahnya, sudah memberikan kesan yang mencemaskan.

“Mudah-mudahan semua tugas selesai, dan kita semuanya, tanpa kecuali sempat berkumpul lagi. Kawan-kawan yang berkeliaran dalam tugas itu akan berkumpul dan bersama-sama melagukan kidung pujian bagi kekuasaan di belakang kekuatan ilmu kita. Meskipun orang lain menyebutnya dengan ilmu hitam, namun ternyata bahwa pada suatu saat ilmu ini akan menguasai seluruh permukaan bumi, justru karena ilmu ini adalah ilmu hitam. Ilmu yang memiliki kemampuan melampaui segala macam ilmu kanuragan yang lain, yang sekedar didukung oleh kemampuan jasmaniah wantah belaka.”

Orang-orang Serigala Putih itu mengangguk-angguk.

“Nah, kalian harus tetap bertekun dalam menyadap ilmu. Pada saatnya kalian akan berterima kasih kepada Empu Baladatu bahwa kalian adalah murid-muridnya yang terpercaya. Yang pada saatnya akan menyebarkan ilmu yang kalian dapatkan kepada orang-orang lain. Kepada murid-murid kalian.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu masih mengangguk-angguk.

“Nah” berkata Kiai Dulang, “sejak sekarang, kalian berada dalam pimpinan Wangking dipadepokan ini.”

Semua orang memandang kepada orang yang disebut Wangking itu. Orang yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dari Kiai Dulang.

Wangking yang berdiri di samping Kilai Dulang termangu-mangu sejenak. Kemudian ia berkata dengan nada yang berat datar, “Aku terima tugas ini. Siapa yang membantu akan mendapatkan kesempatan yang baik untuk seterusnya. Tetapi siapa yang mencoba menghambat kewajibanku, maka aku akan menyingkirkannya menurut caraku. Apakah kalian mendengar kata-kataku?”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menahan nafas sejenak. Tetapi orang yang bernama Wangking itu tidak berkata lebih panjang lagi.

Demikianlah maka Kiai Dulang pun segera menyiapkan diri untuk meninggalkan padepokannya. Ia sengaja tidak membawa seorang pengawal pun agar ia dapat menjadikan dirinya seorang peminta-minta yang berkeliaran sesuai dengan petunjuk laporan yang telah diterimanya tentang Linggadadi.

Tetapi sementara Kiai Dulang masih belum beranjak dari padepokan itu, maka seorang petugas yang lain telah datang membawa laporan tentang orang lain yang disebut pula oleh Empu Baladatu.

“Siapa?” bertanya Kiai Dulang.

“Kakak kandung Empu Baladatu.”

“Empu Sanggadaru maksudmu?”

“Ya Kiai.”

Tetapi Kiai Dulang menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Biar sajalah dahulu. Padepokan itu tidak akan bergerak. Empu Sanggadaru tidak lagi memiliki gairah kehidupan yang menyala seperti Empu Baladatu. Seandainya ada api didalam dadanya, api itu agaknya sudah padam.”

“Kiai salah” sahut petugas itu, “Empu Baladatu melihat padepokan itu hanya sekilas. Sekarang ternyata bahwa padepokan itu adalah padepokan yang hidup dan berkembang”

“Kenapa kau dapat berkata begitu?”

“Nampaknya latihan-latihan olah kanuragan gelombangnya diperpendek. Jumlah murid-murid yang disebutnya cantrik itu pun semakin bertambah pula. Bahkan Empu Sanggadaru kadang-kadang melakukan latihan bersama murid-muridnya di luar padepokan.”

“Apa yang dilakukan di luar padepokan?”

“Meskipun nampaknya seperti permainan kanak-kanak, tetapi aku kira merupakan latihan yang penting.”

“Ya, apa?”

“Berjalan-jalan."

“He, kau mengingau? Kenapa mereka harus melatih diri berjalan-jalan.”

“Semula aku tidak menghiraukan cara yang dilakukannya itu. Tetapi setelah aku melihatnya beberapa kali, aku mulai tertarik kepada cara yang dipergunakannya itu.”

“Apakah anehnya orang berjalan-jalan didalam hubungannya dengan rencana Empu Baladatu?”

“Empu Sanggadaru tidak hanya sekedar berjalan-jalan di sinar matahari pagi. Tetapi Empu Sanggadaru berjalan semalam tanpa berhenti.”

“He?” Kiai Dulang menjadi heran, sehingga matanya terbelalak. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Sehari Semalam?”

“Ya. Tanpa berhenti. Menjelang fajar Empu Sanggadaru dengan beberapa orang cantriknya keluar dari padepokan. Mereka menempuh jalan pegunungan yang turun naik, menyusuri jalan-jalan sempit di lereng dan lembah.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Jika mereka berjalan-jalan sehari semalam tanpa berhenti, maka perguruan itu memang perlu mendapat perhatian. Aku kira berjalan tidak lebih sampai matahari sepenggalah.”

“Lalu, apakah Kiai Dulang akan melihat pula? Mereka berlatih tidak setiap hari. Tetapi setiap sepekan sekali.”

“Hari-hari lain tentu dipergunakan untuk latihan kecepatan, sedang berjalan sehari semalam itu merupakan latihan mereka untuk menjaga ketahanan tubuh dan pernafasan.”

“Apakah rencana Kiai kemudian.”

“Baiklah. Aku akan ke Mahibit sekaligus melihat perkembangan padepokan Empu Sanggadaru yang menarik itu. Mungkin karena ia merasa cemas, bahwa adiknya telah berhasil menguasai gerombolan Serigala Putih yang pernah bermusuhan dengan padepokannya. Apalagi bersama-sama dengan gerombolan Macan kumbang sehingga padepokan itu merasa dirinya terancam.”

“Tetapi jumlah para cantrik itu begitu banyak.”

“Ya Bagaimanapun juga padepokan itu masih belum sampai pada tingkat yang berbahaya, seperti juga Mahisa Bungalan yang tidak mempunyai kekuatan tertentu diluar dirinya sendiri. Mungkin ia dapat menggerakkan beberapa orang dibantu oleh beberapa orang prajurit. Tetapi untuk membawa sepasukan prajurit tentu diperlukan alasan yang cukup kuat.”

“Apakah dengan demikian menurut pertimbangan Kiai, Linggadadi tetap merupakan orang yang paling berbahaya?”

“Ya. Jika kita ingin mulai, maka kita akan mulai dengan daerah Mahibit yang tentu merupakan kelompok yang cukup kuat.”

“Terserahlah kepada Kiai. Kami menjalankan semua tugas.”

“Wangking akan mengatur segala sesuatu bagi kalian.”

Demikianlah, maka Kiai Dulang pun segera meninggalkan padepokan. Ternyata bahwa padepokan Empu Sanggadaru pun telah menarik perhatiannya sehingga dalam perjalanannya menuju ke Mahibit, untuk melihat kekuatan yang sebenarnya dari orang yang bernama Linggadadi, pembunuh orang berilmu hitam, ia pun ingin melihat perkembangan sikap padepokan Empu Sanggadaru.

“Tetapi kekuatan di padepokan itu tidak berarti apa-apa bagi Empu Baladatu, apalagi bersama denean kekuatan Serigala Putih dan Macan Kumbang.” berkata Kiai Dulang di dalam hati. Namun demikian ada juga keinginannya untuk melihat cara Empu Sanggadaru melatih para cantriknya di luar dan apabila mungkin di dalam padepokannya.

Mendekati padepokan Empu Sanggadaru, Kiai Dulang menjadi semakin berhati-hati. Ia menunggu agak jauh dari padepokan. Sesuai dengan keterangan yang didapatnya, maka ia berada dijalur jalan yang selalu dilalui Empu Sanggadaru dan para cantriknya apabila mereka pergi berjalan-jalan.

“Aku pun mampu berjalan sehari semalam” desis Kiai Dulang, “aku ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan sepanjang perjalanan sehari semalam itu.”

Ternyata bahwa Kiai Dulang terpaksa menunggu dua malam berturut-turut. Baru di hari ketiga ia melihat Empu Sanggadaru dalam pakaiannya sebagai seorang pemburu, keluar dari regol padepokannya diiringi oleh sepuluh orang cantriknya. Di antara mereka terdapat dua orang anak yang lincah dan cekatan.

“Hanya sepuluh orang” desis Kiai Dulang, “kenapa pengawas itu merasa cemas dengan hanya sepuluh orang ini?<"br/>
Namun dari pengawasnya itu, Kiai Dulang mendapat laporan bahwa yang pernah dilihat oleh pengawasnya itu, jumlah orang yang ikut dalam latihan yang khusus tidak tetap. Bahkan pernah orang itu melihat dua puluh lima orang cantrik pergi bersama-sama.

Dalam pada itu, dari jarak yang agak jauh, Kiai Dulang mencoba mengikuti. Jika iring-iringan itu tidak lagi nampak, maka Kiai Dulang hanya mengikuti jejaknya saja. Tetapi beberapa saat kemudian, jika iring-iringan itu menuruni lembah, maka Kiai Dulang dapat melihat mereka dan berusaha untuk mendekatinya, tetapi tanpa diketahui oleh orang-orang yang diikutinya itu.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh pengawasnya. Iring-iringan itu benar-benar tidak pernah berhenti sama sekali. Mereka menuruni lembah dan memanjat tebing yang betapapun juga curamnya. Tanpa berhenti, seperti perjalanan matahari.

“Gila” geram Kiai Dulang, “aku tahan berjalan sehari semalam, tetapi tidak melalui jalan seperti ini.

Meskipun demikian Kiai Dulang tidak juga berhenti. Ia masih ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan oleh para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru itu.

“Tentu pengawas yang pernah melaporkan bahwa iring iringan itu tidak pernah berhenti hanyalah dugaannya saja. Tentu ia tidak akan sanggup mengikuti iring-iringan itu sampai mereka kembali kepadepokan.” berkata Kiai Dulang kepada diri sendiri ketika ia sudah hampir tidak kuat lagi untuk maju.

Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Dan Kiai Dulang masih ingin mengerahkan sisa tenaganya. Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat iring-iringan itu mulai mendaki lereng perbukitan setelah mereka berjalan di sepanjang lembah berbatu-batu padas.

“Apakah aku masih akan dapat mengikuti mereka” bertanya Kiai Dulang kepada diri sendiri. Ketika ia menengadahkan kepalanya dilihatnya matahari masih cukup tinggi.

“Mereka masih akan berjalan di sisa hari ini dan semalam suntuk” desis Kiai Dulang. Namun yang kemudian dibantahnya sendiri, “tentu tidak mungkin. Mereka tidak akan berjalan dimalam hari. Pengawas itu tidak menyaksikannya, sehingga ia hanya mengatakan saja menurut angan-angannya.”

Namun Kiai Dulang pun kemudian terkejut ketika ia melihat dikejauhan, dilereng batu-batu padas yang menjorok. Mereka berloncat-loncatan seperti kanak-kanak yang dilepas di taman yang berbunga-bunga di atas rerumputan yang hijau segar.

“Gila” geram Kiai Dulang, “anak itu masih mampu berlari, berloncatan dari batu besar kebatu yang lain, menelusuri jalan-jalan mendaki dan kemudian berlari turun kembali menyongsong kawananya yang lain.”

Sebenarnyalah, bahwa dari balik rimbunnya dedaunan di lembah, Kiai Dulang melihat dua orang anak muda yang agak lain dari cantrik-cantrik yang ikut serta dalam perjalanan itu. Keduanya nampak bebas dan gembira. Seolah-olalh ia tidak sedang berada didalam suatu lingkungan para cantrik yang sedang mengadakan latihan olah kanuragan.

“Apakah cantrik-cantrik yang lain juga mampu berbuat seperti kedua anak-anak itu” pertanyaan itu mengganggu Kiai Dulang, “jika demikian, maka yang sepuluh orang itu benar-benar merupakan orang yang sangat berbahaya.”

Dengan mata yang hampir tidak berkedip Kiai Dulang menyaksikan latihan yang menarik itu. Tetapi seperti yang diduganya, ia sudah tidak mampu lagi mengikuti iring-iringan yang mendaki semakin tinggi dan kemudian hilang dibalik sebuah tikungan yang tajam dipunggung pegunungan.

Nafas Kiai Dulang menjadi terengah-engah. Dengan serta merta ia pun menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon yang rimbun. Sekali-kali ia mengusap keringatnya dengan lengannya. Terasa kakinya menjadi gemetar. Bahkan kemudian perasaan pedih mulai terasa. Agaknya kakinya telah menjadi luka-luka oleh batu padas yang tajam di sepanjang perjalanan yang sangat berat baginya.

“Kedua anak muda itu tentu anak setan” geramnya.

Kiai Dulang kemudian menyandarkan dirinya pada sebatang pohon yang cukup besar. Ia adalah orang yang telah terlatih. Tetapi ternyata bahwa ia sama sekali tidak berhasil mengikuti latihan para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru.

“Latihan itu nampaknya sederhana sekali. Tetapi ternyata terlampau berat bagiku, dan apalagi bagi orang-orang gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang“ desisnya.

Kiai Dulang mulai membayangkan, apa saja yang dapat dilakukan jika benar-benar terjadi perselisihan antara kedua kakak beradik itu. Nampaknya Empu Baladatu mempunyai pengikut yang jauh lebih banyak. Tetapi Empu Sanggadaru mempunyai cantrik yang memiliki kemampuan tanpa tanding.

Kiai Dulang sama sekali tidak mengerti, bahwa dipadepokan Empu Sanggadaru tinggal beberapa orang prajurit dan kedua anak muda yang ingin menambah pengalaman dalam olah kanuragan dengan ilmu yang berbeda sumbernya dari ilmu ayahnya. Meskipun ayah mereka sudah berpesan, agar keduanya sangat berhati-hati memilih tata gerak yang mempunyai sifat dan watak yang tidak bertentangan dengan dasar ilmunya sendiri.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru sendiri, benar-benar telah meningkatkan ilmu mereka pula. Bersama para prajurit mereka telah saling menyadap ilmu masing-masing, sehingga dengan demikian para cantrik dipadepokan itu telah memiliki ilmu yang dapat dipakai sebagai bekal untuk mengamankan padepokan mereka jika para prajurit itu kelak akan meninggalkan mereka.

Dibawah tuntunan Empu Sanggadaru sendiri, para cantrik itu telah menyempurnakan ilmunya dengan berbagai macam tata gerak yang dimiliki oleh para prajurit pilihan itu, sementara para prajurit pun telah menyadap langsung ilmu yang dimiliki oleh Empu Sanggadaru.

Sementara Kiai Dulang sedang melepaskan lelah yang bagaikan mencengkam seluruh tubuhnya, ia terkejut melihat seorang anak muda yang lain berjalan tergesa-gesa mengikuti jejak iring-iringan itu. Hati Kiai Dulang menjadi ber-debar-debar. Namun wajahnya yang pucat, keringatnya yang bagaikan membasahi tubuhnya dan nafas yang hampir putus, agaknya membuat ujudnya semakin meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengemis.

Meskipun demikian, hati Kiai Dulang merasa kecut juga melihat langkah anak muda yang mendekatinya itu. Nampaknya ia pun sama sekali tidak terganggu oleh kelelahan dan desah nafas, meskipun agaknya anak muda itu dengan tergesa-gesa pula berusaha menyusul iring-iringan yang telah menjadi semakin jauh.

“Tentu anak muda yang seorang ini berjalan lebih cepat dan tergesa-gesa. Tetapi agaknya kemampuan jasmaniahnya sangat mengagumkan seperti kedua anak muda yang terdahulu. Bahkan barangkali agak melampaui karena anak muda ini berusaha menyusul iring-iringan yang sudah terdahulu.“ berkata Kiai Dulang didalam hati.

Kiai Dulang termangu-mangu memandang kesigapan anak muda yang berjalan dengan cepatnya mengikuti jejak iring-iringan yang diikuti oleh sepuluh orang pengikut Empu Sanggadaru. Ketika anak muda itu melihatnya, nampaknya ia tertegun. Tetapi kemudian perlahan-lahan dan dengan hati-hati anak muda itu mendekatinya. Kiai Dulang tergagap. Pada suara anak muda itu sama sekali tidak terasa desah nafas yang semakin cepat.

“Luar biasa” desis Kiai Dulang didalam hatinya.

Namun Kiai Dulang harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka ia pun kemudian berkata pe-lahan-lahan dibuat-buat, “Aku seorang perantau anak muda. Aku berjalan dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain mencari sesuap nasi.”

“Tetapi kenapa kau berada disini?”

“O, aku sama sekali juga tidak mengerti, kenapa aku telah berada disini.”

“Tersesat?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku melihat sebuah iring-iringan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku ingin mengikutinya. Tetapi iring-iringan itu berjalan tanpa berhenti, sehingga aku akhirnya terkapar disini.”

“Iring-iringan?”

“Ya. Aku telah berpapasan dengan iring-iringan yang di pimpin oleh seorang yang memakai pakaian kulit binatang hutan. Menyeramkan sekali. Itulah yang menarik perhatianku. Sehingga diluar sadarku, aku telah mengikutinya beberapa lama.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Ki Sanak kelelahan.”

“Ya.”

“Tetapi dimanakah iring-iringan itu sekarang? Apakah iring-iringan itu benar melalui jalan ini?”

“Ya. Belum lama. Jejaknya tentu masih nampak.” ia berhenti sejenak, lalu, “apakah anak muda akan menyusulnya?”

“Ya. Aku ingin menyusul iring-iringan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru itu.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan anak muda. Tetapi apakah anak muda juga salah seorang dari mereka?”

Anak muda itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Aku bukan salah seorang dari para cantrik itu.”

“Jadi apakah maksud Ki Sanak mengikuti iring-iringan itu?”

Anak muda itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak apa-apa. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya melihat, apakah mereka sudah mencapai suatu tingkatan yang memadai.”

“O” desis Kiai Dulang, “aku tidak mengerti tingkatan yang kau maksud anak muda, tetapi ternyata mereka berjalan tanpa berhenti. Sejak aku berpapasan, kemudian mengikuti beberapa saat saja, kakiku rasa-rasanya sudah berpatahan.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Beristirahatlah. Aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Tetapi siapakah kau anak muda?” bertanya Kiai Dulang.

Dengan tanpa prasangka apapun anak muda itu menjawab. “Namaku Mahisa Bungalan.”

Kiai Dulang terkejut bukan buatan. “Inilah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu” geramnya di dalam hati, “ternyata laporan tentang anak muda itu benar, bahwa ia sudah kembali dan berada di Kota Raja."

Namun tiba-tiba saja kini ia bertemu seorang dengan seseorang. Sejenak Kiai Dulang termangu-mangu. Sepercik niat untuk melakukan sesuatu telah terbersit dihatinya. Anak muda itu adalah anak muda yang telah dengan sepenuh hati memusuhi orang-orang dari lingkungan ilmu hitam.

“Jika aku berhasil menangkapnya hidup atau mati, maka aku akan menjadi orang yang terpenting didalam lingkungan orang-orang berilmu hitam.” katanya didalam hati.

Tetapi ketika kemudian Kiai Dulang menyadari keadaannya dan keadaan anak muda itu, maka niatnya pun diurungkannya. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Setelah mengikuti jejak iring-iringan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru itu, ia nampaknya masih tetap segar. Sedang dirinya sendiri, telah dicengkam oleh perasaan lelah yang tidak terhingga, seolah-olah tulang belulangnya telah terlepas dari, tubuhnya.

Karena itu, maka Kiai Dulang pun tidak berbuat apa-apa selain hanya menarik nafas. Tetapi dengan demikian ia akan dapat melaporkan, bahwa Mahisa Bungalan yang telah berada kembali di Kota Raja itu, sering berkeliaran seorang diri tanpa pengawal seorangpun.

“Jika pada suatu saat kami dapat mengikutinya dan sempat memanggil beberapa orang kawan, alangkah baiknya jika anak muda itu dapat ditangkap hidup-hidup dan dapat menjadi salah seorang yang diumpankan pada upacara korban di saat purnama bulat” gumam Kiai Dulang didalam hatinya.

Mahisa Bungalan yang melihat Kiai Dulang termenung, kemudian berkata, “Aku akan meneruskan perjalananku.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun agaknya perasaannya benar-benar sudah diganggu oleh suatu keinginan untuk menangkap Mahisa Bungalan, meskipun nalarnya ternyata masih sempat memperingatkannya bahwa usaha itu adalah usaha yang sangat berbahaya.

“Kenapa kau termenung?” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“O, tidak apa-apa. Tidak apa-apa anak muda. Aku hanya berteka-teki didalam hati.”

“Apa yang ingin kau tebak?”

“Apakah anak muda ini sama sekali tidak merasa lelah mengikuti iring-iringan itu? Apakah anak muda juga datang dari arah dan tempat yang sama?“

Mahisa Bungalan tertawa.

“Aku baru mengikuti beberapa langkah, nafasku rasa rasanya sudah akan putus.”

“Kau sudah terlalu tua Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, “tetapi aku masih muda.”

“Orang yang berpakaian seperti orang yang tinggal di tengah-tengah hutan yang terpencil itu pun sudah tua.”

Mahisa Bungalan tidak menyahut. Tetapi ia melangkah maju sambil menepuk bahu Kiai Dulang, “Sudahlah. Beristirahatlah. Biarlah yang muda-muda melakukan latihan-latihan yang berat bagi hari depannya.”

Terasa jantung Kiai Dulang bergejolak. Hampir saja ia menarik pisau belati yang tersembunyi dibalik kainnya selagi Mahisa Bungalan lengah. Namun selagi ia masih ragu-ragu Mahisa Bungalan sudah melangkah menjauhinya sambil bertata, “Aku akan berjalan menyusul mereka.”

“Silahkan anak muda” jawab Kiai Dulang. Namun nafasnya tiba-tiba saja terasa sesak.

Mahisa Bungalan pun kemudian melangkah meninggalkan Kiai Dulang yang termangu-mangu. Sejenak kemudian anak muda itu pun berloncatan di antara batu-batu padas mengikuti jejak iring iringan yang agaknya sudah semakin jauh. Tetapi ketika Mahisa Bungalan berada di punggung sebuah gumuk, maka dilihatnya dikejauhan seperti titik-titik yang bergerak, merayapi tebing pegunungan.

“Tentu mereka” berkata Mahisa Bungalan didalam hatinya.

Mahisa Bungalan pun mempercepat langkahnya menuruni lereng yang rendah. Kemudian langkah menyelusur lembah dan sekali-sekali ia harus meloncati parit-parit yang telah digali oleh arus air hujan dilereng pegunungan. Ketika Mahisa Bungalan kemudian turun dengan tergesa-gesa, dari balik gerumbul dipunggung bukit, Kiai Dulang mengikutinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bukan main. Anak ini benar-benar tidak kalah dengan anak-anak muda yang berada didalam iring-iringan itu.”

Untuk beberapa saat lamanya Kiai Dulang mengikuti langkah Mahisa Bungalan. Namun kemudian ia pun segera duduk dibawah sebatang pohon perdu yang rimbun. Sekali ia menarik nafas dalam sekali. Kemudian melepaskannya sepuas-puasnya.

“Aku memang lelah sekali” desisnya sambil menyandarkan dirinya pada batang perdu yang rimbun itu.

Sementara itu Mahisa Bungalan telah berloncatan semakin jauh. Tetapi ia masih belum berhasil menyusul iring-iringan yang nampaknya seperti beberapa ekor semut yang merayap ditebing yang tingginya menyentuh langit. Sambil menganyam angan-angannya Kiai Dulang memikirkan kemungkinan yang dapat dilakukannya. Terutama menghadapi kemungkinan yang sama atas Mahisa Bungalan.

“Jika ia terbiasa berjalan mengikuti iring-iringan itu seorang diri, maka kemungkinan untuk menangkapnya nampaknya bukannya suatu hal yang mustahil.”

Kiai Dulang menjadi bimbang. Apakah ia akan melanjutkan perjalanan ke Mahibit atau menyelesaikan kemungkinan yang dijumpainya itu. Namun tiba-tiba saja telah tumbuh keinginannya untuk melihat barang satu dua kali lagi, apakah setiap kali Mahisa Bungalan setiap kali selalu mengikuti iring-iringan itu.

Itulah sebabnya maka Kiai Dulang tidak segera mencari Linggadadi. Baginya Mahisa Bungalan dan Linggadadi hampir tidak ada bedanya. Jika ia memilih mencari keterangan tentang Linggadadi lebih dahulu, karena menurut keterangan yang didengarnya, Mahisa Bungalan berada didalam lingkungan istana sehingga sulit baginya untuk mencari kemungkinan penangkapannya.

“Tetapi ternyata ia berkeliaran disini” katanya didalam hati, “jika ia berhasil ditangkap, maka ia merupakan korban yang paling berharga. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih tentu menganggap bahwa korban itu juga merupakan korban untuk meredakan kemarahan kekuasaan di belakang sumber kekuatan yang disebut ilmu hitam itu.”

Sejenak Kiai Dulang masih merenung. Namun akhirnya ia berkata, “Apa salahnya aku tinggal di daerah ini barang satu dua pekan lagi. Mungkin aku menemukan sesuatu yang akan sangat berharga bagi ilmu hitam yang diajarkan menurut cara dan adat Empu Baladatu.”

Itulah sebabnya maka Kiai Dulang itu pun kemudian mencari tempat yang baik untuk dapat mengintip setiap iring-iringan kecil itu melakukan latihan yang aneh itu. Dengan demikian maka Kiai Dulang dengan tekun berusaha selalu mengawasi regol padepokan Empu Sanggadaru. Dari hari kehari ia dengan sungguh-sungguh melakukan tugasnya.

Dihari-hari berikutnya, ia melihat beberapa orang cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru yang berada di luar regol meskipun tidak sedang melakukan latihan yang aneh itu. Tetapi yang sering terlihat olehnya hanyalah kedua orang anak muda yang ikut didalam iring-iringan para cantrik dalam latihan berjalan yang melelahkan itu.

“Ternyata Mahisa Bungalan tidak ada dipadepokan itu” desis Kiai Dulang, “jika demikian apakah artinya, bahwa Mahisa Bungalan telah mengikuti latihan berjalan jauh itu.

Kiai Dulang menjadi semakin yakin ketika ia sempat menunggu dua saat latihan berjalan jauh itu. Dan dikedua latihan itu, memang tidak melihat Mahisa Bungalan, dan ia tidak melihat anak muda itu mengikuti dari kejauhan atau menyusul kemudian.

“Mahisa Bungalan mempunyai kepentingan tersendiri” berkata Kiai Dulang didalam hatinya.

Agaknya Kiai Dulang merasa kecewa. Dengan demikian ia tidak mempunyai kesempatan untuk menjebak Mahisa Bungalan bersama beberapa orang dari gerombolan Serigala Putih atau Macan Kumbang, atau kedua orang pemimpin yang ditempatkan oleh Empu Baladatu dikedua padepokan itu.

“Bertiga, tentu aku dapat menangkap Mahisa Bungalan” berkata Kiai Dulang didalam hatinya. Namun kemungkinan itu agaknya masih belum dapat dilakukan.

Yang kemudian menjadi sasaran Kiai Dulang, selain Linggadadi adalah padepokan Empu Sanggadaru itu sendiri. Jika padepokan itu semakin lama menjadi semakin besar, maka Empu Baladatu tidak akan sempat melenyapkannya. Dengan demikian maka hambatan yang akan dihadapi oleh Empu Baladatu pun tidak akan berkurang, justru sebaliknya.

“Aku tidak tahu. Yang manakah yang lebih baik dilakukan.”

Tetapi Kiai Dulang pun kemudian melanjutkan perjalanannya seperti yang direncanakannya. Sebagai seorang pengemis ia pergi ke Mahibit. Ia ingin mendapatkan, beberapa keterangan, tentang Linggadadi yang juga disebut pembunuh orang-orang berimu hitam. Ternyata bahwa Mahibit adalah suatu daerah seperti yang diduganya. Tidak ada tanda-tanda yang nampak pada kota itu. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian.

Namun dengan keadaannya, Kiai Dulang dapat tinggal di tempat itu tanpa dicurigai pula. Setiap hari ia berada di jalan-jalan kota. Setiap hari ia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Dan setiap hari pula mendengar setiap pembicaraan.

Kiai Dulang berhasil mendapat keterangan tentang Linggadadi. Bahkan dengan dada yang berdebar-debar, ia, mengetahui bahwa Linggadadi adalah adik seorang yang bernama Linggapati. Kiai Dulang adalah seorang yang cukup cerdik. Dengan tidak menimbulkan kecurigaan ia sempat bertanya tentang beberapa hal yang diperlukan. Tentang keadaan dan kebiasaan Linggadadi dan Linggapati.

“Tidak banyak orang yang mengetahui” jawab seseorang yang kebetulan sempat ditanya oleh Kiai Dulang.

Kiai Dulang tidak bertanya lebih banyak lagi. Namun dengan telatennya ia datang mengacukan batoknya ia minta dengan memelas belas kasihan. Namun kemudian ia sempat berbicara beberapa patah kata tentang keadaan kota itu. Demikianlah berlaku bagi Kiai Dulang setiap hari, sehingga akhirnya ia mengenal beberapa orang di antara mereka yang dengan belas memberikan sekedar makanan kepadanya hampir setiap hari.

“Apakah rumah orang yang bernama Linggadadi itu juga di dalam kota ini,” pada suatu saat ia bertanya kepada seorang yang hampir setiap hari lewat ditikungan tempat ia sering duduk merenung dengan batok kelapa di tangan. Orang itu tertawa.

“Kau juga mengenal Linggadadi?” bertanya, orang itu.

“Aku pernah mendengar namanya. Ia adalah orang yang mendapat gelar pembunuh orang berilmu hitam.”

“Rumahnya ada di sudut jalan itu. Jika kau berjalan lurus, maka kau akan sampai ke tikungan. Kau akan mendapatkan sebuah halaman yang luas dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi. Penuh dengan pohon buah-buahan yang beraneka.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Dengan suara yang tersendat-sendat ia bertanya, “Aku sudah mengelilingi kota ini dari ujung sampai keujung. Tetapi aku tidak melihat rumah berhalaman luas berdinding batu tinggi dan penuh dengan pohon buah-buahan yang terdapat ditikungan.”

“Apakah kau pernah berjalan lurus ke arah ini?”

“Sudah.”

“Kau temui tikungan?”

Kiai Dulang termangu-mangu. Orang itu tertawa. Katanya, “Jalan ini panjang sekali. Baru setelah beberapa ratus tonggak kau akan sampai ke tikungan itu.”

“O” pengemis itu menarik nafas dalam, “baru aku tahu. Jalan ini memang sangat panjang. Ya, aku pernah berjalan sampai ketikungan. Jauh sekali. Dan aku memang menemukan rumah seperti yang tuan katakan.”

“Kau masuk kehalamannya dan minta sesuatu kepada penghuni rumah itu?”

Pengemis itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak menemukan regolnya.”

Orang itu tertawa lagi. Katanya, “Itulah anehnya rumah ditikungan itu."

Kiai Dulang termangu-mangu. Ia menganggap bahwa orang itu sedang berkelakar. Karena itu, maka ia pun ikut tertawa pula. “Tuan lucu sekali” berkata Kiai Dulang.

Tetapi orang itu menjawab, ”Aku tidak sedang bergurau. Aku berkata sebenarnya. Halaman rumah itu sama sekali tidak mempunyai jalan keluar. Dinding batunya melingkar sepenuhnya.”

“Jadi bagaimanakah jika penghuni rumah itu akan keluar dan memasuki halaman?”

Di dalam lingkungan dinding batu itu adalah sebuah padepokan. Karena itu, halamannya sangat luas dan mempunyai bermacam-macam pohon buah-buahan. Dibagian belakang padepokan itu terdapat kebun bunga.”

“Menarik sekali. Tetapi sekali lagi aku ingin tahu, bagaimana seseorang akan masuk?”

“Meloncat dinding. Mereka memang orang-orang yang kikir sehingga tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang malas seperti kau untuk memasuki halamannya.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Tuan benar. Seharusnya orang-orang malas seperti aku ini tidak diberi kesempatan memasuki halaman rumah siapapun juga.” Ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi dengan demikian aku akan semakin banyak mengganggu orang dipinggir jalan seperti sekarang ini.”

Orang yang lewat itu pun tertawa. Lalu katanya, “Ah, aku tidak akan memperkatakan rumah diujung jalan itu lagi. Itu bukan urusanku.”

Kiai Dulang termangu-mangu.

“He, kenapa kau ikut mengurusi rumah itu?”

“Bukan. Bukan rumah itu tuan. Tetapi selama, pengembaraanku, aku sering mendengar nama Linggadadi dari Mahibit.”

“Ya. Itulah rumahnya. Hanya rumahnya.”

“Kenapa hanya rumahnya?”

Orang yang lewat itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu apa-apa. Sudahlah. Kau memang sudah mengganggu aku.”

Pengemis itu tertawa. Dengan nada yang rendah datar ia berkata, “Aku minta maaf. Tetapi lebih baik, aku minta uang.”

“Uh” desis orang yang lewat itu sambil melemparkan uang sekeping. “Bekerjalah. Jangan menjadi pemalas seperti itu.”

Tetapi pengemis itu hanya tersenyum saja. Senyum itu masih berkepanjangan ketika orang yang lewat itu sudah melanjutkan perjalanannya meninggalkan tikungan. Sekali-kali pengemis itu memandang langkahnya yang kemudian hilang dibalik tikungan.

“Orang yang dungu” desis Kiai Dulang, “tetapi keterangan yang aku peroleh cukup banyak. Mudah-mudahan aku dapat melengkapinya. Jika benar halaman rumah itu tidak mempunyai regol pada dindingnya, tentu ada sebabnya dan temu ada rahasianya.”

Kiai Dulang pun kemudian memerlukan untuk melihat-lihat halaman rumah itu lagi. Sebagai seorang pengemis, maka tidak seorang pun yang akan mencurigainya jika ia mengelilingi dinding halaman itu dengan batok kelapa ditangan.

Ternyata bahwa tempurungnya merupakan senjata yang baik. Ketika ia mengelilingi dinding batu itu, ia kebetulan bertemu dengan seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkulit kuning dan berdagu panjang. Orang itu seolah-olah mempunyai ciri yang asing baginya.

Tatapan matanya yang redup, bibirnya yang bagaikan terkatup meskipun kemudian bergerak juga ketika ia bertanya kepadanya, “He, apa yang kau cari?”

Dan Kiai Dulang pun menjawab dengan serta merta “Pintu tuan. Pintu regol.”

“Gila” orang itu menggeram. Tetapi ia tidak memberikan keterangan apapun juga tentang regol itu. Akhirnya Kiai Dulang yakin, bahwa dinding halaman itu memang tidak mempunyai regol.

“Tentu setiap orang yang memasuki atau keluar regol itu harus meloncat.” katanya didalam hati.

Tetapi Kiai Dulang tidak dapat melakukannya karena dengan demikian akan dapat mendatangkan bahaya baginya. Ia sama sekali tidak dapat melihat apakah yang ada dibalik dinding batu itu. Jika demikian ia meloncat dan jatuh keujung tombak penjaganya, maka kematian itu adalah kematian yang sia-sia.

Ketika dihari berikutnya ia bertemu lagi dengan orang yang selalu lewat dan berhenti bercakap-cakap barang sejenak sebelum melemparkan sekeping uang, maka Kiai Dulang pun berceritera tentang halaman rumah yang aneh itu.

“Agaknya kau sangat menaruh perhatian terhadap rumah itu.”

“Justru karena aneh. Bahkan tiba-tiba saja timbul keinginanku melihat sekali dua kali orang yang meloncat naik atau keluar dari halaman itu.”

“Apa gunanya.”

“Tidak apa-apa. Sekedar dongeng buat anak cucu, bahwa aku pernah melihat halaman rumah yang sangat luas, berdinding batu cukup tinggi, tetapi tidak mempunyai regol sama sekali.”

Orang itu pun tertawa. Sambil melemparkan sekeping uang ia berkata, “Sekali-kali kau dapat mencoba melihat bagian dalam halaman rumah itu.”

“Aku tidak berani.”

“Kenapa?”

Kiai Dulang justru menjadi heran mendengar pertanyaan orang itu. Dengan dahi yang berkerut merut ia ganti bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah wajar sekali jika aku takut melihat bagian dalamnya?”

Orang yang lewat itu menggeleng. Katanya, “Kau tidak usah takut. Halaman itu adalah halaman yang kosong."

“Tetapi aku melihat justru beberapa buah rumah didalam lingkaran dinding batu yang tidak beregol itu.”

“Memang ada beberapa buah rumah. Tetapi rumah itu kosong sama sekali. Aku sudah melihat semua rumah di halaman itu.”

“He? Kosong?”

“Ya.”

“Jadi dimanakah Linggadadi?”

Orang itu tertawa. Jawabnya, “Kau aneh. Tentu tidak seorang pun yang mengetahui. Tetapi bahwa rumah itu adalah rumahnya memang benar. Sebelum ia meninggalkan kota ini, ia adalah penghuni rumah itu.”

“Meninggalkan Mahibit?”

“Ya.”

“Kemana?”

“Tentu tidak seorang pun yang mengetahuinya.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar telah mengejutkannya. Dalam beberapa saat terakhir, orang-orang yang mudah dihubungi karena belas kasihannya itu dapat di peras keterangannya tentang berbagai segi kehidupan Linggadadi. Bahkan keterangan yang diperolehnya semakin lama semakin memberikan harapan kepadanya. Namun tiba-tiba ia mendengar berita bahwa Linggadadi sudah tidak berada di kota lagi.

“Rumah itu kosong” desis orang ditikungan itu. Pengemis itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jadi Linggadadi telah meninggalkan padepokannya ke tujuan yang tidak diketahui?”

“Ya.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Jika rumah di dalam halaman itu benar-benar telah dikosongkan, maka padepokan itu akan dapat diperbaiki dan dihuni.

“Kapan kau akan datang kerumah itu?”

“Ah” jawab pengemis” tidak perlu.”

“Datanglah. Mungkin ada satu atau dua buah nangka yang jatuh setelah masak dipohon.”

Orang yang selama itu menyamar menjadi pengemis itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia pun ingin melihat apakah yang ada didalam lingkaran dinding batu itu, sehingga karena itu maka ia pun ingin menerima undangan itu, meskipun ia sadar bahwa undangan itu bukannya undangan dari penghuni padepokan yang telah meninggalkannya.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Dulang ingin melihat apakah yang ada dibalik dinding yang selalu tertutup itu. Meskipun demikian ia tidak mengatakannya kepada orang yang selalu lewat itu, bahwa ia memang ingin datang ke halaman rumah yang tanpa regol dan sudah kosong sama sekali itu. Tetapi Kiai Dulang menjadi ragu-ragu, ketika pada kesempatan lain ia bertanya kepada orang lain tentang halaman itu.

“Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh” jawab orang itu, “sebaiknya kau memperhatikan tempurungmu daripada memperhatikan dinding halaman yang tidak berpintu itu.”

Kiai Dulang termangu-mangu. Namun ada dua atau tiga orang yang selalu menghindar jika dalam suatu saat ia ber kesempatan bertanya tentang halaman rumah itu. Tetapi Kiai Dulang tidak pernah berputus asa, meskipun ia tetap tidak berhasil mengetahui keadaan halaman itu. Juga tentang penghuninya.

“Satu-satunya orang yang berani menceriterakan tentang halaman rumah itu adalah orang yang menyuruh aku datang untuk melihat bahwa halaman itu benar-benar sudah kosong” berkata Kiai Dulang didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, selagi ia masih tetap berusaha mengumpulkan keterangan tentang Linggadadi, Linggapati dan halaman rumah yang disebut rumahnya itu, ia mengalami kejutan yang telah membuatnya kehilangan pegangan. Ketika ia berada di tempat yang biasa dipergunakannya untuk menengadahkan tempurungnya di sebelah kelokan jalan, maka datanglah seorang yang belum pernah dikenalnya. Orang yang belum pernah dilihatnya lewat dan apalagi memberikan sesuatu kepadanya.

Dengan serta merta orang itu langsung duduk di sisinya dan bertanya, “Apakah benar kau mencari Linggadadi?”

Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkannya. Karena itu dengan serta merta pula ia menjawab, “Tidak. Aku tidak mencarinya.”

“Kau selalu bertanya tentang orang itu. Hampir kepada setiap orang yang kau kenal disini.”

Sekali lagi ia menjawab, “Tidak. Itu keliru. Aku memang pernah menyebut namanya. Tetapi hanya sekali.”

Orang yang duduk di sampingnya itu tertawa. Lalu ia pun bertanya, “Seandainya hanya sekali, apakah alasanmu menyebut namanya?”

“Sama sekali tidak ada alasannya, selain aku memang pernah mendengar nama itu. Linggadadi dari Mahibit yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku kira kau mempunyai keperluan tertentu. Setiap orang yang menyebut namanya tentu mempunyai keperluan tertentu.”

“Aku tidak.”

l “Baiklah. Tetapi jangan ingkar bahwa sebenarnya kau datang memang untuk mencari Linggadadi.”

Orang yang menyamar dirinya sebagai pengemis itu menjadi bingung. Namun demikian ia tetap menggeleng sambil menjawab, “Aku sama sekali tidak berkepentingan secara pribadi. Aku hanya pernah mendengar namanya. Sesudah itu, tidak ada hubungan apapun juga.”

Orang itu tertawa. Lalu, “Bagaimana dengan padepokan yang dikelilingi oleh dinding batu tanpa regol sama sekali itu?”

“O” Kiai Dulang tiba-tiba saja ikut tertawa, “aku memang pernah mendapat kesulitan. Dua kali aku mengitari dinding batu itu.”

“Untuk apa?”

“Menilik halaman yang luas, maka aku mengira bahwa penghuninya tentu seorang yang kaya, baik hati dan pemurah. Itulah sebabnya aku ingin menemukan regol untuk memasuki halaman itu.”

Orang yang tidak dikenal oleh Kiai Dulang itu tertawa. Katanya, “Jawabmu memang masuk akal. Tetapi kau tidak dapat mengelabui aku.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Lalu dengan suara bergetar ia bertanya, “Siapakah kau sebenarnya?”

“Akulah orang yang selalu kau tanyakan kepada setiap orang.”

“Linggadadi?” suara Kiai Dulang terasa tersendat.

Orang itu tertawa. Katanya, “Meskipun aku orang Mahibit, tetapi tidak semua orang mengenal aku. Jika aku duduk di sampingmu, maka tidak ada orang yang akan mengenalku lagi, karena aku kadang-kadang mengelilingi kota ini dengan seekor kuda yang tegar, diiringi oleh beberapa orang pengawal.”

Kiai Dulang termangu-mangu. Keringatnya mulai mengalir di punggungnya. Berturutan ia bertemu dengan orang-orang yang di sebut pembunuh orang berilmu hitam. Tetapi ketika ia bertemu dengan Mahisa Bungalan, nampaknya Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Tetapi kali ini agaknya Linggadadi menaruh perhatian yang besar kepadanya.

“He” desak Linggadadi, “apakah kau masih ingkar bahwa kau sedang ingin mengetahui beberapa keterangan tentang Linggadadi?”

“Tidak. Aku memang tidak sedang melakukannya.”

“Kau kenal orang yang setiap hari kau tegur dan hampir setiap hari pula memberikan sekeping uang kedalam tempurungmu.”

Kiai Dulang ragu-ragu. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku mengenalnya justru karena ia seorang pemurah yang selalu memberi aku sekeping uang. Tetapi selebihnya, aku tidak mempunyai sangkut paut.”

“Kau tidak bohong?”

“Tidak, tentu tidak. Aku adalah orang yang paling tidak berharga dikota ini. Setiap orang hanyalah didorong oleh belas kasihan semata-mata jika sekali-kali mereka sudi berbicara dengan aku.”

“Aku tidak” sahut Linggadadi, “aku berbicara dengan kau sekarang sama sekali bukan karena belas kasihan. Tetapi justru sebaliknya.”

“Apa maksudmu?”

Linggadadi tertawa. Katanya, “Orang yang mendapat tugas untuk mengenali Linggadadi dan Linggapati tentu orang yang memiliki ilmu setinggi bintang yang bergayutan di langit.”

“Ah...“

“Apakah kau sudah berhasil mengenali orang yang bernama Linggapati?”

“Aku tidak mengenal seorang, dan aku memang tidak ingin mengenali siapa pun disini, selain mereka yang dengan belas kasihan memberikan sekeping uang atau sesuap nasi.”

“Kau memang pandai berbohong. Tetapi baiklah. Jika kau benar-benar belum mengenal, biarlah aku beritahukan, bahwa orang yang sering lewat dan melemparkan sekeping uang, dan yang mengundang kau untuk melihat-lihat halaman didalam dinding batu yang buntu dan mencari buah nangka yang rontok karena tua, itulah kakak kandungku. Namanya Linggapati.”

“O” Kiai Dulang benar-benar terkejut. Tubuhnya terasa menjadi panas dan keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh tubuhnya.

“Nah, pengenalanmu sudah lengkap. Tetapi seperti yang kau ketahui, padepokanku memang sudah kosong. Aku dan para pengikutku telah meninggalkan padepokan itu untuk sementara. Pada saatnya kami akan kembali, dan memperluas padepokan ke seluruh kota ini dan keseluruh Singasari.”

Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar. Sebelum ia menjawab Linggadadi berkata selanjutnya, “Nah, kau sudah banyak mendengar tentang aku. Padahal tidak ada orang yang boleh mengetahuinya sebanyak yang kau ketahui sekarang.”

Wajah Kiai Dulang menjadi semakin tegang. Terbersit di dalam hatinya, kesediaan untuk menghadapi setiap kemungkinan karena ia pun merasa mempunyai bekal ilmu meskipun dengain sadar ia mengetahui bahwa ilmunya tidak setinggi ilmu Linggadadi dan Linggapati. Tetapi jika terpaksa ia harus mati, maka ia memilih mati sebagai seorang laki-laki jantan daripada sebagai seorang pengemis yang ketakutan.

Dada Kiai Dulang menjadi semakin berdentangan ketika dari kejauhan ia melihat seseorang mendekatinya. Orang yang sering memberinya sekeping uang kedalam tempurungnya. Orang yang telah minta kepadanya untuk memasuki halaman yang sudah kosong, dan yang menurut orang yang duduk disampingnya, orang itu bernama Linggapati.

Untuk sesaat Kiai Dulang justru duduk membeku. Seolah-olah ia berada diantara dua mulut raksasa yang telah menganga. Ia sadar akan kemampuan Linggadadi dan tentu juga Linggapati, kakaknya. Jika Linggadadi digelari pembunuh orang berilmu hitam, maka Linggapati tentu mempunyai kemampuan juga untuk melakukannya.

Teringat olehnya, seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan yang dijumpainya diperjalanan tanpa batas. Anak muda yang seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh perasaan lelah, karena kemampuannya menguasai diri sendiri, kemampuan mengatur segenap jalur kekuatan yang ada didalam dirinya dan kemampuannya menyerap kekuatan cadangan yang berada didalam dirinya dan didalam alam sekitarnya.

Ia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk melakukan sesuatu terhadap anak muda itu. Namun kini ia berada diantara dua kekuatan raksasa yang tidak terbatas. Tetapi Kiai Dulang berusaha untuk menenangkan hatinya. Seolah-olah ia tidak mengetahui apa yang dapat terjadi atasnya.

Karena itu ketika orang yang disebut bernama Linggapati itu mendekatinya, maka sambil tersenyum ia berkata, “He, apakah benar bahwa tuan adalah kakak orang yang menyebut dirinya bernama Linggadadi ini? Dan benarkah bahwa tuan yang bernama Linggapati?”

“Sst” orang yang duduk di sampingnya itu menggamitnya, “suaramu dapat menarik perhatian orang yang lewat.”

“Apa salahnya?”

“Jangan pura-pura dungu. Kau harus menyadari bahwa sebentar lagi aku akan membunuhmu.”

“Membunuh?” Kiai Dulang benar-benar menjadi cemas, “apakah salahku...?”

Tetapi Linggapati tersenyum. Katanya, “Kau benar. Aku adalah Linggapati. Tetapi seperti yang dikatakan adikku, jangan berteriak begitu supaya tidak menarik perhatian orang-orang yang lewat. Meskipun aku orang Mahibit, tetapi dalam keadaan seperti ini, tidak banyak orang yang mengenal kami berdua.”

“Aku sudah mengatakannya” potong Linggadadi.

“Nah, anggaplah bahwa kau tidak mengetahui bahwa kami adalah dua orang bersaudara yang disebut Linggapati dan Linggadadi.”

“He” Kiai Dulang menjadi bingung.

“Itu tidak mungkin kakang” sahut Linggadadi, “ia sudah mengetahui tentang kita. Kita harus membunuhnya.”

Tetapi Linggapati tersenyum. Katanya, “Orang ini sangat menarik. Agaknya ia termasuk salah seorang yang sedang menyelidiki sesuatu tentang Linggapati dan Linggadadi di Mahibit. Tetapi aku tidak berkeberatan bahwa ia mengetahui serba sedikit tentang kita seperti orang-orang lain mengetahuinya. Bukankah hampir setiap orang mengetahui bahwa padepokan yang tertutup tanpa regol itu adalah padapokan Linggapati dan Linggadadi? Tetapi mereka tidak akan dapat mengatakan kemanakah Linggapati dan Linggadadi sekarang berada. Orang ini pun tidak akan dapat mengatakannya, sehingga apa yang diketahuinya tidak lebih dari yang dapat diketahui oleh orang-orang lain.”

“Tetapi ia dengan sengaja mencari aku.”

“Tidak. Aku hanya pernah mendengar namamu.” Linggapati tertawa. Katanya, “Itu pun wajar bahwa seseorang akan tertarik mendengar nama, Linggadadi si pembunuh orang berilmu hitam. Apalagi orang itu memang berilmu hitam. Tetapi aku yakin menilik sikap dan pembicaraan yang setiap kali aku lakukan dengan orang itu, ia bukannya prajurit Singasari.”

“Tetapi ia tentu datang dari salah satu kelompok yang akan dapat mengganggu kita. Jika ia bukan prajurit Singasari atau petugas sandi, tentu ia orang yang memiliki ilmu hitam.”

“Aku berharap, bahwa ia adalah orang yang memiliki ilmu hitam seperti Empu Baladatu yang sudah menaklukkan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang.”

“Tetapi itu adalah suatu kebodohan Empu Baladatu. Sebelumnya tidak ada orang yang pernah menyebut namanya. Tetapi dengan penaklukan kedua gerombolan yang cukup besar itu, maka setiap orang mempercakapkan namanya.”

Kiai Dulang sama sekali tidak menyahut.

“Kakang” berkata Linggadadi yang agaknya memang lebih kasar dari kakaknya, “kenapa kita membiarkannya hidup?”

“Biarlah ia memperkenalkan kita kepada gerombolannya. Sebenarnyalah bahwa kita tidak berkeberatan untuk menerima setiap uluran tangan. Kita ingin bekerja bersama siapa saja yang memang mempunyai cita-cita yang tinggi Tidak berhenti pada kepuasan sesat tanpa jangkauan masa depan sama sekali.”

“Tetapi orang ini berbahaya.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Kita pernah mencurigai orang-orang tertentu yang sekarang justru merupakan orang-orang terbaik didalam lingkungan kita. Mungkin orang ini pun demikian.”

Linggadadi menjadi termangu-mangu. Sementara Linggapati berkata selanjutnya, “Biarlah ia berbuat apa saja. Biarlah ia kembali kedalam kelompoknya. Jika ia menyadari keadaannya, tentu ia akan kembali ke Mahibit dan akan berada di tempat ini pula. Tetapi jika ia tidak bersedia bekerja bersama kita, biarlah ia menjadi musuh yang paling berbahaya.”

Linggadadi memandang kakaknya dan Kiai Dulang berganti-ganti. Namun agaknya Kiai Dulang benar-benar mampu melakukan peranannya sehingga seolah-olah ia benar-benar bukan orang yang berbahaya bagi Linggapati dan Linggadadi.

Bahkan dengan wajah yang terheran-heran ia bertanya, “Apakah yang sebenarnya tuan bicarakan? Aku menjadi gemetar mendengar ancaman tuan yang menyebut dirinya bernama Linggadadi. Aku memang pernah mendengar nama itu sebagai seorang yang digelari Pembunuh orang berilmu hitam. Tetapi apakah karena itu tuan akan membunuh setiap orang yang tidak tuan senangi.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Sudahlah. Diam sajalah. Semakin banyak kau bicara, maka kau akan membuat kesalahan semakin banyak, sehingga adikku tentu semakin bernafsu untuk membunuhmu. Tetapi aku telah menempuh sesuatu kemungkinan yang mungkin memang membahayakan diriku. Tetapi apa boleh buat. Pergilah. Jika kau salah seorang yang tidak bergabung dalam induk kelompok yang manapun juga, kembalilah kepadaku. Kau akan mendapat tempat yang baik. Tetapi jika kau memang salah seorang dari kelompok yang dipimpin oleh Empu Baladatu dalam genggaman ilmu hitam, katakanlah kepadanya, bahwa Linggapati dan Linggadadi memang berada di Mahibit. Tetapi padepokannya yang tidak mempunyai regol ternyata telah kosong. Dan tidak seorang pun yang akan dapat mengenalnya, karena ia dapat merubah dirinya dalam seribu ujud.”

Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar.

“Sudah tentu aku tidak dapat merubah wajahku. Demikian juga Linggadadi. Tetapi kami dapat mengenakan pakaian, kelengkapan dan mungkin sedikit gangguan diwajahku, sehingga orang Mahibit sendiri tidak dapat mengetahui dengan pasti, yang manakah sebenarnya Linggadadi dan Linggapati yang mereka kenal sebelumnya. Hanya jika ada sebuah pedati yang ditarik oleh empat ekor kuda yang tegar, itulah salah seorang dari dua orang bersaudara yang sangat ditakuti oleh setiap orang, atau bahkan kedua-duanya. Tetapi sudah tentu tidak seperti yang kau lihat sekarang ini.”

“Kakang telah membuka semua rahasia tentang diri kita” potong Linggadadi, “mungkin ia benar-benar seorang musuh yang sangat berbahaya.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Pergilah. Dan aku menunggu kau disini. Kau pasti akan kembali. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau kembali sebagai kawan, atau sebagai lawan yang harus aku cincang sampai lumat, sebab aku mendengar bahwa cara yang dipergunakan orang berilmu hitam untuk membinasakan lawannya adalah sangat mengerikan. Tetapi kami mempunyai cara yang serupa meskipun kami bukan orang berilmu hitam dan menyadapnya dengan mengorbankan nyawa orang lain.”

Dada Kiai Dulang berdegup semakin keras. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu sejauh dapat dilakukan.

“Nah, cepat pergilah” desak Linggapati, “kau masih mendapat kesempatan.”

“Baiklah” jawab Kiai Dulang, “aku akan pergi. Tetapi aku tidak tahu kemana aku akan pergi, karena aku memang tidak mempunyai tujuan tertentu. Mungkin aku akan pergi ke kota yang terdekat, atau kota yang jauh sama sekali. Jika aku tidak kembali, artinya bahwa aku mendapat tempat yang lebih baik untuk mencari nafkah. Jika tidak, aku akan kembali ke kota ini apapun yang akan kalian tuduhkan kepadaku, karena sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti yang kalian maksud.”

“Sudahlah, diamlah agar kau tidak keliru” potong Linggapati, “pergilah.”

Kiai Dulang pun kemudian bergeser surut. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan ragu-ragu melangkah pergi.

“He” panggil Linggapati.

Kiai Dulang berpaling dengan hati yang berdebaran. Tetapi dilihatnya Linggapati tertawa sambil melemparkan sekeping uang, “Kau memerlukannya bukan.”

“O” desis Kiai Dulang. Namun sekali lagi ia membuktikan bahwa ia dapat berperan dengan baik. Dengan tergesa-gesa uang itu dipungutnya sambil berkata, “Terima kasih.”

Lalu ditatapnya Linggadadi seolah-olah mengharapkan bahwa ia pun akan melemparkan sekeping uang seperti Linggapati. Tetapi Linggadadi justru membentak” Cepat pergi.”

“O “dengan tergesa-gesa Kiai Dulang pun melanjutkan langkahnya menjauhi kedua orang kakak beradik yang masih berdiri ditempatnya.

“Aku tidak terlalu yakin bahwa orang itu berbahaya“ berkata Linggapati, “nampaknya ia benar-benar seorang pengemis.”

“Ia mencari aku” desis Linggadadi.

“Ya. Ia memang bertanya tentang Linggadadi. Memang mungkin ia termasuk salah seorang dari mereka yang berilmu hitam. Namun agaknya ia akan dapat melihat sesuatu yang mungkin akan dapat menariknya bersama beberapa orang kawannya. Jika tidak, maka yang diketahuinya sama sekali tidak berarti. Ia tidak akan dapat menemukan tempat kita yang sebenarnya. Biar sajalah jika orang itu datang dan merampok buah-buahan di padepokan tertutup itu.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah aku diperbolehkan mengikutinya.”

“Itu tidak perlu. Aku kira jika ia mengetahui bahwa kau mengikutinya, ia pun akan dapat berbuat sesuatu untuk mengelabuimu.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya seolah-olah kepada diri sendiri, “Ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Jika aku ingin membunuhnya, ia akan mati terkapar di pinggir jalan.”

“Dan itu sama sekali tidak perlu” sahut Linggapati, “berapa kali aku mencegah kau melakukan pembunuhan. Dan meskipun tidak seluruhnya, tetapi beberapa di antara mereka kini berada didalam lingkungan kami.”

Linggadadi tidak menjawab.

“Biarlah orang itu menemui Empu Baladatu seandainya ia memang orang dari lingkungannya. Biarlah ia mengatakan apa yang diketahuinya tentang kita.”

Linggadadi tidak menjawab.Tetapi ia tidak lagi memperhatikan langkah pengemis yang sudah semakin jauh dan kemudian hilang ditikungan.

Ketika Kiai Dulang sadar, bahwa ia sudah tidak terlihat lagi oleh kedua orang yang menyebut diri mereka Linggapati dan Linggadadi, maka ia pun segera mempercepat langkahnya. Sekali-sekali ia berpaling karena kegelisahan dihati sendiri. Ketika ia sampai pada sebuah tikungan, maka ia pun segera berbelok lagi untuk menghindarkan diri dari pengawasan seandainya Linggadadi dan Linggapati mengawasinya dari kejauhan.

Di dalam sebuah lorong yang sempit Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah terlepas dari intaian kedua orang yang telah mendebarkan jantungnya itu. Meskipun demikian Kiai Dulang tidak memperlambat langkahnya, seolah-olah ia ingin cepat-cepat keluar dari daerah Mahibit yang bagaikan menjadi sepanas bara.

Dengan cepat Kiai Dulang melangkah keujung lorong di kejauhan. Ia yang pernah menjelajahi kota itu sebagai seorang pengemis tahu benar, bahwa lorong itu akan sampai ke ujung padukuhan, kemudian sampai kebulak pendek. Ia akan melintasi bulak itu, dan akan sampai ke jalan yang lurus melintasi gerbang kota.

“Aku akan segera sampai keluar kota” desisnya.

Tetapi, ketika ia muncul dimulut lorong, terasa jantungnya bagaikan meledak. Seolah-olah tiba-tiba saja ia telah berdiri di hadapan seseorang yang duduk diatas sebuah batu di pinggir lorong tepat di simpang tiga.

“O” terloncat sebuah desah dibibir Kiai Dulang.

“Aku sudah memperhitungkan bahwa kau akan mengambil jalan ini untuk menghindarkan diri dari pengawasanku.” desis orang itu.

Kiai Dulang menjadi bingung, apakah yang harus dikatakannya. Karena itu, untuk beberapa saat ia berdiri bagaikan patung.

“Bagiku kau tetap berbahaya” desis orang itu, “kakang Linggapati memang terlampau percaya kepada diri sendiri. Tetapi sikapnya itu kadang-kadang sangat merugikan kami semuanya.”

“Tetapi, tetapi aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan pergi seperti yang kalian perintahkan.”

“Pergi dari kota ini memang mengurangi beban kami. Tetapi akan lebih lapang lagi dada kami, jika orang-orang seperti kau ini dibunuh saja sama sekali.”

“Tetapi aku tidak bersalah.”

“Kakang Linggapati tidak berkepentingan dengan kau. Tetapi aku mempunyai kepentingan langsung karena kau tentu salah seorang dari orang-orang berilmu hitam yang sedang menyelidiki tentang Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu hitam. Dan seperti gelar itu, maka kau pun harus dibunuh.”

Kiai Dulang menjadi berdebar-debar. Ia tahu bahwa Linggadadi adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia pun sadar, bahwa ia bukannya tidak berilmu sama sekali.

Meskipun demikian Kiai Dulang masih juga berusaha menghindari benturan. Katanya, “Tuan. Apakah yang sebenarnya tuan kehendaki daripadaku. Aku sudah memenuhi segala perintah tuan dan saudara tua tuan yang bernama Linggapati itu. Apakah masih ada yang salah?”

“Kau orang yang berbahaya bagiku. Tetapi tidak bagi kakang Linggapati. Karena itu, maka aku telah berusaha dengan diam-diam mencegatmu di sini, karena kakang Linggapati tidak mengijinkannya.”

“Aku benar-benar tidak merasa bersalah.”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Marilah. Kita berjalan bersama-sama sampai keluar pintu gerbang. Aku akan membunuhmu di luar kota. Aku akan berusaha bahwa kau tidak akan mengalami siksaan disaat matimu.”

“Tuan.”

“Jika kau melawan atau melakukan sesuatu yang dapat mengganggu usahaku membunuhmu tanpa kecemasan dan rasa sakit, maka akibatnya tentu kau sendirilah yang akan mengalami.”

“Tetapi” sahut Kiai Dulang, “bukankah aku tidak akan berbuat apa-apa?”

“Jangan berbohong lagi. Tidak ada gunanya.” desis Linggadadi, “sekarang marilah. Kau harus sadar, bahwa ilmuku masih berada diatas ilmu Empu Baladatu, sehingga murid-muridnya seperti kau dan yang lain-lain itu sama sekali tidak berarti bagiku.”

Wajah Kiai Dulang menjadi merah. Tetapi kecemasan kini benar-benar telah mencengkam jantungnya.

“Marilah. Tetapi jika kau melawan, maka aku akan mengambil sikap yang barangkali sangat menjemukan bagimu menjelang saat kematian. He, kau lihat parit kecil itu? Aku dapat mengikatmu dan meletakkan tubuhmu tertelungkup di parit yang hanya mengalir setinggi mata kaki. Tetapi dalam waktu sehari kau tentu akan mati.”

Wajah Kiai Dulang menjadi tegang. Kecemasan yang sangat telah mencengkam hatinya.

Dalam pada itu Linggadadi berkata selanjutnya, “Terserah kepadamu. Segala sesuatunya kau sendirilah yang menentukan. Lihat. Parit itu hanya mengalirkan air tidak terlalu banyak. Tetapi jika kau menelungkup sehari, maka akan cukup banyak air yang masuk kedalam perutmu. Kau tidak akan dapat berteriak, karena setiap kau mengangakan mulutmu, air akan mengalir masuk. Sementara itu kau tidak akan dapat mengangkat kepalamu karena seluruh tubuhmu terikat erat-erat.”

Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi sudah terbersit tekad didadanya, bahwa apabila perlu, maka ia tidak akan membiarkan dirinya mati tanpa perlawanan, apapun yang akan terjadi atasnya.

“Marilah” ajak Linggadadi, “jangan ribut supaya jalan bagimu terbuka. Kematianmu adalah kematian yang menyenangkan.”

Kiai Dulang tetap berdiam diri.

“Apakah kau sudah tuli” bentak Linggadadi kemudian. Tidak ada jawaban.

Linggadadi menjadi marah karenanya, sehingga ia pun kemudian melangkah mendekat sambil membentak, “Jangan menyiksa diri sendiri.”

Ketegangan yang memuncak telah mencengkam jantung Kiai Dulang. Namun justru karena itu, maka ia masih saja berdiri membeku. Seolah-olah ia menunggu apa saja yang akan terjadi atas dirinya.

Namun dalam pada itu, selagi Linggadadi mendekatinya dengan wajah yang merah oleh kemarahan, terdengar suara tertawa dibalik tikungan. Kemudian muncullah seseorang dengan langkah satu-satu seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

Linggadadi menjadi semakin tegang. Diluar sadarnya ia bergumam, “Kakang Linggapati.”

“Aku sudah menyangka, bahwa seperti yang selalu kau lakukan, kau akan membunuh orang itu.” Linggadadi tidak menjawab.

“Kau sudah terbiasa melanggar keputusanku. Tetapi kau tidak pernah menyadari, bahwa setiap kali kau keliru.”

Linggadadi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya kakaknya dan Kiai Dulang berganti-ganti.

“Nah Ki Sanak” berkata Linggapati, “pergilah. Aku kira Linggadadi tidak akan mengganggumu lagi.”

Kiai Dulang masih tetap ragu-ragu, sehingga Linggapati lah yang kemudian membentaknya, “Cepat, pergilah. Atau aku akan mengambil sikap lain?”

Seperti orang yang tersadar dari mimpinya, Kiai Dulang pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah meninggalkan tempat itu. Jauh lebih cepat dari yang sudah dilakukannya.

Sambil tersenyum Linggapati melihat orang itu berlari-lari kecil. Setiap kali Kiai Dulang berpaling untuk meyakinkan bahwa Linggadadi tidak menyusulnya lagi.

“Kakang terlampau memanjakan orang-orang yang memusuhi aku” berkata Linggadadi.

“Kau memang kasar Linggadadi. Tetapi sebaiknya kau menurut nasehatku. Orang itu sama sekali tidak berbahaya. Aku pasti, bahwa ia bukannya petugas sandi dari Singasari. Sedangkan jika ia orang dari lingkungan ilmu hitam, maka ia akan merupakan tusukan yang mungkin akan berarti bagi lingkungan itu.”

“Lingkungan ilmu hitam cukup ketat.”

“Aku tidak berkeberatan. Jika ia akan hilang, itu tidak akan banyak berpengaruh.”

Linggadadi yang kecewa itu terdiam. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, karena peringatan yang demikian dari kakaknya merupakan peringatan yang menentukan.

Sementara itu, Kiai Dulang telah berjalan semakin jauh. Ketika ia melintasi gerbang kota kecil itu, maka ia pun merasa seolah-olah ia sudah terlepas dari tangan Linggadadi meskipun kemungkinan yang buruk masih akan dapat terjadi atasnya.

Namun agaknya Kiai Dulang benar-benar telah bebas dari ancaman Linggadadi, sehingga ia merasa bahwa jiwanya sudah tidak terancam lagi ketika ia sudah melintasi beberapa buah padukuhan dan bulak.

“Linggadadi tidak akan berani melanggar pesan kakaknya” berkata Kiai Dulang didalam hatinya.

Sambil berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi Mahibit, Kiai Dulang mulai menganyam cara untuk mengatasi persoalan yang dapat timbul kemudian dengan perguruan Empu Baladatu. Ia mencoba untuk menilai, apakah sekiranya Empu Baladatu mempunyai kemampuan yang seimbang dengan Linggadadi dan Linggapati.

“Seandainya Empu Baladatu memiliki ilmu yang seimbang dengan salah seorang dari keduanya, namun bersama-sama keduanya tetap merupakan orang yang sangat berbahaya bagi perguruan ilmu yang disebut hitam itu.” berkata Kiai Dulang.

Apalagi ketika sekilas terbayang wajah seorang anak muda yang seolah-olah tidak terpengaruh oleh kelelahan sama sekali. Mahisa Bungalan. Dan yang kemudian mengganggunya pula adalah padepokan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru.

“Rintangan-rintangan yang sangat berat” desis Kiai Dulang. Dan yang terakhir adalah orang-orang yang ada di dalam istana Singasari itu sendiri.

Terbayang betapa orang-orang kuat seperti Mahisa Agni, Lembu Ampal, para Senapati dan Panglima. Kemudian kedua anak muda yang sedang berkuasa di Singasari, yang disebut Sepasang Ular Naga disatu sarang. Bahkan kemudian muncul pula nama-nama Witantra dan Mahendra.

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada diri sendiri, “Memang tidak mungkin bagi Empu Baladatu untuk mencapai maksudnya. Meskipun ia dapat memperluas daerah pengaruhnya, tetapi perkembangan tentu sangat perlahan. Apalagi diluar istana agaknya Linggadadi dan Linggapati mempunyai kepentingan tersendiri dengan Singasari.”

Sesaat terlintas sikap Linggadadi dan Linggapati yang berbeda. Dan Kiai Dulang yang mempunyai nalar yang cukup tajam dapat mengerti, apakah yang sebenarnya dimaksud oleh Linggapati.

“Linggapati ingin menggabungkan kekuatan yang berada di luar istana” katanya kepada diri sendiri.

Namun semuanya masih harus diserahkan kepada kebijaksanaan Empu Baladatu. Ia adalah penguasa tunggal di padepokannya, sehingga segala sesuatu, Empu Baladatu sendirilah yang harus mengambil keputusan.

“Tetapi aku dapat memberikan pertimbangan kepadanya” berkata Kiai Dulang kemudian.

Karena itu, maka perjalanan Kiai Dulang itu pun langsung menuju ke padepokan Empu Baladatu, meskipun ia harus bermalam di perjalanan. Kedatangannya telah menimbulkan harapan-harapan baru pada Empu Baladatu. Namun kemudian nampak betapa hatinya justru dicengkam oleh keragu-raguan ketika Kiai Dulang sudah melaporkan semua hasil perjalanannya.

“Hatimu memang terlampau kecil menghadapi persoalan yang besar ini” berkata Empu Baladatu.

“Tidak Empu. Tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan yang kita hadapi. Apakah yang dapat kita harapkan dengan kekuatan yang ada pada, kita sekarang.”

“Serigala Putih dan Macan kumbang harus diperhitungkan.”

“Tentu Empu. Tetapi jika sepasukan prajurit segelar sepapan datang ke kedua padepokan itu, maka padepokan itu tentu akan segera disapu bersih.”

“Kau tidak melihat kekuatan Serigala Putih dan Macan Kumbang yang sebenarnya.”

“Aku berada di antara mereka, Empu. Aku tinggal di tengah-tengah mereka.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam. Dengan seksama ia mendengarkan setiap penjelasan yang diberikan oleh Kiai Dulang. Tentang kedua bersaudara yang ditemuinya di Mahibit. Tentang sifat-sifat mereka yang berbeda dan pendirian mereka masing-masing.

“Bagaimana menurut pertimbanganmu. Apakah agaknya mereka dapat dipercaya?”

“Menurut pendapatku Empu, mereka adalah orang-orang yang menyatakan apa yang tersirat dihati mereka. Jika mereka ingin membunuh, maka keinginannya itu akan segera nampak. Tetapi agaknya Linggapati mempunyai perhitungan yang lebih masak.”

“Tetapi ingat Kiai Dulang, Linggapati adalah pembunuh orang berilmu hitam.”

“Itu adalah suatu kebetulan. Tetapi aku kira jika kita dapat memanfaatkan hubungan kita dengan Linggapati, maka akan dijalin suatu hubungan yang lain, yang mungkin akan dapat saling memberikan manfaat.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia merasakan beberapa kebenaran keterangan Kiai Dulang. “Tetapi bagaimana mungkin aku dapat membicarakan hal ini dengan Linggapati?”

“Aku dapat menghubunginya. Dan Empu akan dapat mengadakan penjajagan, karena pada hakekatnya, ikatan yang apabila mungkin dibuat, adalah ikatan yang longgar.”

“Kita belum mengetahui kekuatan orang-orang Mahibit itu,”

“Jika kekuatan mereka hanyalah terletak pada kedua orang itu, maka kita akan dapat membinasakannya. Betapapun tinggi ilmunya, namun jumlah orang yang adapun akan mempengaruhinya pula.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi terbayang olehnya ceritera Kiai Dulang tentang halaman sebuah padepokan yang dikelilingi oleh dinding batu yang agak tinggi, tetapi sama sekali tanpa regol.

“Memang aneh dan tentu menyimpan rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain. Bahkan penghuni padepokan itu pun tidak, selain Linggapati dan Linggadadi.” desah Empu Baladatu.

“Padepokan itu sudah kosong.”

“Ya, sudah kau katakan. Tetapi kekosongan padepokan itu bukan berarti bahwa padepokan itu sudah tidak mempunyai arti lagi.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Kiai” berkata Empu Baladatu, “baiklah aku akan memikirkan. Tetapi memang berat untuk menghadapi sederetan nama seperti yang kau katakan. Tetapi sudah tentu bukan maksudku untuk menghadapi mereka bersama-sama. Tetapi seorang demi seorang dalam kesempatan yang terpisah-pisah.”

“Aku tahu Empu. Tetapi baiklah kita mencoba mencari hubungan dengan orang-orang Mahibit. Kita mempunyai kekuatan cukup, sehingga Linggadadi dan Linggapati tidak akan dapat memperkecil kehadiran kita. Dan bahkan mungkin dengan demikian kebiasaan Linggadadi membunuh orang berilmu hitam itu pun akan ditinggalkannya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera dapat mengambil keputusan. Banyak pertimbangan dan perhitungan yang harus diperhatikannya tentang Linggapati dan Linggadadi. Tetapi ia pun tidak dapat mengabaikan pendapat Kiai Dulang yang bagi orang-orang berilmu hitam memiliki tataran yang cukup baik.

Tetapi Empu Baladatu harus bersikap hati-hati. Ia tidak akan dapat memutuskannya sendiri. Dengan banyak pertimbangan ia mencoba menilik setiap kemungkinan yang dapat dilakukan. Itulah sebabnya maka Empu Baladatu pun memanggil beberapa orang yang dianggapnya mempunyai kecakapan berpikir. Seorang demi seorang, agar masing-masing tidak saling mempengaruhi. Ia ingin mendengar pendapat orang-orangnya seluas-luasnya seperti yang mereka pikirkan.

Memang ada beberapa pendapat. Tetapi menurut kesimpulan yang didapatkannya, maka orang-orangnya condong untuk tidak bermusuhan dengan Linggadadi yang digelari pembunuh orang berilmu hitam.

“Memang ada dendam yang menyala dihati kami” berkata salah seorang dari mereka, “tetapi dendam itu tidak harus diujudkan dalam tindakan yang bodoh dan tidak terarah. Kita akan dapat memanfaatkan tawaran baik dari Linggapati itu meskipun pada suatu saat kita akan membuat perhitungan dengan mereka secara khusus.”

“Maksudmu jika kita telah berhasil, maka kita akan membuat perhitungan khusus?”

“Setelah berhasil atau separo berhasil. Tetapi sudah tentu pada keadaan seperti sekarang, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa, karena kita tidak tahu dimanakah orang-orang yang bernama Linggapati dan Linggadadi itu sebenarnya tinggal.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud anak buahnya yang seorang ini. Tetapi perbuatan licik itu pun sama sekali tidak menjadi pantangan bagi golongan orang-orang berilmu hitam itu.

Sementara anak buahnya yang lain dengan tegas menerima tawaran itu. Meskipun ia berkata, “Tetapi kita tidak boleh lengah. Kita tidak boleh menjadi korban dari kelicikan Linggapati itu. Jika kita terpaksa menghubungi mereka, maka biarlah orang-orang yang tidak banyak berarti bagi kita berusaha untuk membuat rintisan dari hubungan itu, sehingga yang terjadi bukanlah sebuah jebakan.”

Namun yang lain mengatakan, “Apakah kita akan membiarkan diri kita masuk ke mulut buaya?”

“Tetapi banyak cara yang dapat ditempuh” berkata Empu Baladatu, “memang mungkin kita masing-masing akan dapat berbuat curang. Tetapi setidak-tidaknya kesepakatan untuk tidak saling memusuhi, akan membantu perkembangan perguruan ini. Kita akan dapat menyiapkan kekuatan yang cukup, sehingga jika benar-benar kita dihadapkan pada keharusan membuat perhitungan maka kita sudah dapat benar-benar bersiap dalam segala hal.“

“Tetapi apakah Linggapati dan Linggadadi tidak berbuat apapun juga selama ini?” bertanya salah seorang dari anak buahnya, “jika kita berharap untuk maju, maka Linggapati pun akan berbuat serupa seperti kita.”

“Mereka akan dapat berbuat seperti yang dikehendaki, karena selama ini pihak kita sajalah yang banyak mengalami kesulitan akibat perbuatan Linggadadi dan Mahisa Bungalan, yang nampaknya satu dengan lainnya tidak mempunyai hubungan. Kita sudah terkelabuhi selama ini jika kita menganggap bahwa kedua orang itu merupakan sepasang kesatria yang mencoba ingin menjadi pahlawan.”

Anak buahnya pun mengangguk-angguk. Dengan penuh kecurigaan mereka dapat mengerti, bahwa hubungan itu memang dapat diselenggarakan. Dalam pertemuan terbatas setelah Empu Baladatu mendengar dan berbicara dengan beberapa orang, maka akhirnya Empu Baladatu memutuskan untuk mencoba membuat hubungan tertentu dengan Linggapati.

“Pergilah ke Mahibit” berkata Empu Baladatu kepada Kiai Dulang, “kita akan menentukan, dimana aku dapat bertemu dengan Linggapati. Hanya Linggapati. Jika yang datang Linggapati dan Linggadadi, aku tidak akan berbicara. Meskipun nanti keputusan yang diambil akan menyangkut Linggadadi, namun aku tidak bersedia berbicara dengan orang yang kasar itu.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kedatangannya ke Mahibit dapat membahayakan jiwanya. Jika Linggadadi tidak dapat mengendalikan dirinya, maka akan dapat terjadi benturan kekerasan. Sedangkan Linggadadi adalah orang yang tentu tidak akan dapat dilawannya. Karena itulah, maka Kiai Dulang minta kepada Empu Baladatu agar perjalanannya mendapat pengawasan dari seseorang yang dapat dipercaya untuk membantunya, jika Linggadadi kemudian menjadi gila.

Empu Baladatu tidak berkeberatan. Itulah sebabnya maka Kiai Dulang pun kemudian pergi ke Mahibit dengan seorang kawan yang akan dapat membantunya jika ia menemui kesulitan.

Kedatangan Kiai Dulang kembali ke Mahibit sudah di duga oleh Linggapati. Karena itulah, maka beberapa hari kemudian, ia sudah melihat lagi seorang pengemis yang duduk ditikungan yang biasanya dipergunakan oleh Kiai Dulang menunggu orang-orang yang bermurah hati memberikan sekeping uang kepadanya, termasuk Linggapati.

Yang pertama-tama datang kepada Kiai Dulang dari kedua bersaudara itu adalah Linggapati. Seperti biasanya ia datang dan melemparkan sekeping uang. Namun kemudian sambil tertawa ia berkata, “Aku sudah mengira bahwa kau akan datang lagi.”

“Sebenarnya aku sangat cemas” berkata Kiai Dulang.

“Kenapa?”

“Linggadadi sudah siap membunuhku.” Linggapati tertawa. Katanya, “Jangan takut. Ia tidak bersungguh-sungguh.”

“Ia bersungguh-sungguh.”

“Sekarang tidak. Aku sudah memperingatkannya.“

Kiai Dulang termangu-mangu. Tetapi ia mempunyai kepercayaan kepada Linggapati. Agaknya Linggapati akan dapat memegang janjinya, dan tidak akan membiarkan Linggadadi membunuhnya.

“Katakan, kenapa kau kembali meskipun kau cemas bahwa Linggadadi akan membunuhmu?”

“Kau tentu sudah menduga.”

Linggapati tertawa lagi. Katanya sambil mengangguk-angguk, “Sudah aku kira bahwa kau bukan seorang pengemis yang dungu. Kau tentu seorang yang memiliki kemampuan berpikir yang matang. Sejak aku bertemu dengan kau disini, aku sudah mempertimbangkan untuk berbicara tentang Kemungkinan seperti yang akan kau katakan kepadaku. Bukankah begitu?”

“Ya. Dan kau sudah banyak mengetahuinya meskipun mula-mula hanyalah sekedar dugaan.”

“Katakanlah dengan tepat.”

“Aku datang atas nama Empu Baladatu.”

Linggapati tertawa sekali lagi meskipun ia berusaha untuk menahannya agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lewat, “Tepat seperti yang aku perhitungkan. Kau tentu salah seorang dari orang-orang berilmu hitam yang mendendam kepada Linggadadi, karena Linggadadi digelari pembunuh orang berilmu hitam. Dan pimpinan tertinggi orang-orang berilmu hitam adalah Empu Baladatu. Usahanya mengalahkan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak menguntungkannya, karena setiap orang kemudian mengetahui namanya karena orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak dapat membatasi diri seperti murid-murid Empu Baladatu yang lebih tua dan murni.”

“Kau benar. Tetapi tidak semua orang mengetahui dan mengenal ciri-ciri Empu Baladatu seperti orang-orang Mahibit yang mengenal nama Linggadadi dan Linggapati tidak mengenal ciri-cirinya.”

Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Tidak banyak orang yang mengetahui ciri-cirinya. Bahkan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang yang pernah berhadapan muka sekalipun tidak akan dapat mengenalnya dalam ujudnya yang sedikit berubah.”

Kiai Dulang tidak menjawab.

“Nah, apa katamu sekarang tentang Empu Baladatu?”

“Ia bersedia bertemu denganmu.”

“Bagus sekali” sahut Linggapati, “apakah aku harus datang kepadepokannya?”

“Tidak. Kau dapat menentukan tempat lain.”

“Dimana, apakah di Mahibit?”

“Tidak di Mahibit, tetapi juga tidak dipadepokan Empu Baladatu."

“Katakan dimana. Aku akan bersedia datang berdua saja dengan Linggadadi, tanpa orang lain.”

Kiai Dulang menjadi heran. Agaknya Linggapati mempunyai kepercayaan yang sangat kuat kepada dirinya sendiri sehingga ia sama sekali tidak gentar kemanapun ia harus bertemu dengan Empu Baladatu. “Apakah kau bersedia datang ke salah satu sarang gerombolan Serigala Putih atau Macan Kumbang.”

“Tentu. Aku akan datang. Aku sudah mengetahui letak kedua padepokan itu.”

“Jika demikian baiklah. Kita tentukan harinya. Datanglah ke padepokan Serigala Putih.”

“Tetapi beritahukan kepada orang-orang gerombolan Serigala Putih agar mereka tidak mengganggu aku. Mereka tidak usah mengetahui bahwa yang datang adalah Linggapati dan Linggadadi. Tetapi bahwa akan datang dua orang mengunjungi padepokan mereka, itulah yang harus mereka ketahui agar mereka tidak berbuat dungu dan mengganggu aku. Setiap gangguan, apalagi tindakan kekerasan, berarti padukuhan itu akan musnah.”

“Ternyata kau juga dapat menyombongkan diri?”

“Tentu. Aku selalu berusaha untuk menyombongkan diri agar aku dapat menakut-nakuti orang lain. Kesombongan kadang-kadang memang sangat berguna.” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi yang aku katakan benar-benar kesombongan. Bukan bualan. Kau tahu bedanya?”

Kiai Dulang termangu-mangu.

“Sombong adalah mengatakan yang sebenarnya meskipun agak berlebih-lebihan dan sekedar ingin mendapat pujian. Sedang bualan adalah sesuatu yang sama sekali tidak benar.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyampaikan kepada Empu Baladatu. Tentukan hari yang paling baik buatmu.”

“Tentu bukan saat purnama naik, saat Empu Baladatu memerlukan korban untuk perkembangan ilmunya, meskipun bukan berarti aku menjadi ketakutan.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Ternyata yang di ketahui Linggapati tentang Empu Baladatu cukup banyak. Sejenak Kiai Dulang mempertimbangkan kemungkinan pertemuan itu. Agaknya Linggapati benar-benar seorang yang percaya kepada diri sendiri, sehingga dimanapun pertemuan itu diadakan, bukannya menjadi persoalan baginya.

Namun dalam pada itu, Kiai Dulang berkata, “Linggapati. Jika persoalan menjadi semakin terang, apakah kau akan tetap merahasiakan dirimu sendiri dan kekuatanmu yang sebenarnya bagi Empu Baladatu?”

“Itu tergantung kepada keadaan.” jawab Linggapati, “tetapi pada dasarnya, kita tidak diwajibkan untuk melebur kekuatan yang ada. Tetapi kita akan bersama-sama mempergunakan kekuatan kita masing-masing untuk tujuan yang sama.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah Linggapati. Kita tentukan saja, bahwa pertemuan akan dilangsungkan di hari pertama, saat bulan mulai nampak di langit, di padepokan gerombolan Serigala Putih.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku dan Linggadadi akan datang. Jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan dapat membinasakan seisi padepokan dan bahkan padepokan Macan Kumbang dan padepokan Empu Baladatu sendiri.”

Kiai Dulang tersenyum. Katanya, “Kau belum mengetahui dimanakah letaknya padepokan dan kekuatan Empu Baladatu yang sebenarnya.”

Linggapati pun tertawa. Katanya, “Memang belum. Tetapi akan segera mengetahuinya jika aku dengan bersungguh-sungguh mencarinya. Jika kau tidak percaya, aku akan dapat membuktkannya.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia akan dapat menjadi sasaran pemerasan untuk mengatakan letak padepokan Empu Baladatu yang sebenarnya. Meskipun seorang kawannya mengawasi dari kejauhan, tetapi yang dapat dilakukan oleh kawannya itu tentu sekedar melaporkan kepada Empu Baladatu jika terjadi sesuatu atas dirinya.

Karena itu, maka Kiai Dulang itu pun berkata, “Baiklah. Aku percaya. Karena itu agaknya pembicaraan kita sudah dapat dianggap selesai, karena pembicaraan berikutnya akan dilakukan dipadepokan itu dengan Empu Baladatu sendiri.”

“Katakanlah kepada Empu Baladatu, bahwa aku akan datang. Mudah-mudahan kita saling menyadari bahwa kita tidak boleh saling mengganggu dan terlebih-lebih lagi, agar kita dapat bekerja bersama untuk mencapai suatu cita-cita yang agung.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja senyum yang mulai membayang dibibirnya segera larut ketika ia melihat seseorang dengan langkah yang tetap perlahan-lahan mendekatinya.

“Kau masih cemas saja melihat kehadirannya” berkata Linggapati, “ia sudah menyadari bahwa langkahnya telah salah. Itulah sebabnya maka kau tidak usah cemas.”

Kiai Dulang terdiam sejenak. Namun kemudian kepalanya pun terangguk-angguk lemah. Katanya, “Mudah-mudahan.”

Kiai Dulang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Linggadadi pun menjadi semakin dekat. Sejenak Kiai Dulang menunggu dengan tegang. Namun rasa-rasanya hatinya menjadi lapang ketika ia melihat wajah Linggadadi yang cerah. Bahkan sebuah senyum mampak di bibirnya.

“Maafkan sikapku yang kasar” berkata Linggadadi sebelum ia berhenti berjalan.

Kiai Dulang pun tersenyum sambil menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Semuanya terjadi karena persoalan di antara kita yang belum jelas.”

“Apakah sekarang sudah jelas?”

“Nampaknya akan menjadi semakin jelas.” jawab Kiai Dulang.

Sekilas Linggadadi memandang wajah kakaknya. Sebuah anggukan kecil dan senyum yang sekilas dibibir Linggapati telah membenarkan kata-kata Kiai Dulang itu sehingga Linggadadi pun mengangguk-angguk pula.

“Kita akan datang ke padepokan gerombolan Serigala Putih pada hari pertama, saat bulan mulai nampak dilangit. Kita akan berbicara langsung dengan Empu Baladatu, dan barangkali kita akan mengatur langkah-langkah kita selanjutnya.”

Linggadadi hanya mengangguk-angguk saja. Kemudian ia berdesis, “Terserahlah kepada kakang. Aku akan selalu melakukan tugasku sebaik-baiknya.“

Linggapati pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Sampaikan kepada Empu Baladatu, bahwa aku akan datang pada saatnya. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan baik, sehingga dengan demikian akan hilanglah gelar Linggadadi sebagai pembunuh orang berilmu hitam.”

“Ah” desis Linggadadi.

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Seleret dendam membayang dimatanya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Ya. Tetapi selain Linggadadi, masih ada orang yang mendapat gelar serupa.”

“Mahisa Bungalan, anak Mahendra” sahut Linggapati.

“Ya.”

“Kita akan menyelesaikannya kelak. Jika kekuatan kita bergabung, maka Mahisa Bungalan tidak akan ada artinya lagi bagi kita. Mahendra, Witantra, Lembu Ampal, Mahisa Agni, Satu-satu akan kita lenyapkan. Kemudian sepasang ular itu tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi didalam sarangnya yang akan segera kita bakar sampai hangus.”

Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi ia melihat cahaya yang ber-kilat-kilat dimata Linggapati. Bahkan didalam hatinya Kiai Dulang berkata, “Nampaknya Linggapati justru lebih meyakinkan dari Empu Baladatu sendiri.”

Demikianlah, ketika kesepakatan telah didapat, pengemis itu pun segera meninggalkan Mahibit. Dari kejauhan seseorang yang memang dibawanya, mengikutinya dan mengawasinya jika ada sesuatu yang membahayakan Kiai Dulang.

Ketika mereka keluar dari gerbang kota, maka kawan Kiai Dulang itu pun mulai mempercepat langkah menyusulnya karena menurut pendapatnya tidak akan ada kesulitan apapun lagi jika keduanya berjalan bersama, karena mereka sudah tidak berada di Mahibit lagi, dan sudah tentu berada diluar pengawasan Linggapati dan Linggadadi.

Namun ketika orang itu melalui sebatang pohon yang besar ditepi jalan, tiba-tiba saja ia memekik terkejut. Sebuah tangan yang kuat telah menariknya dan sebelum ia dapat berbuat apa-apa, tangan itu sudah melingkar dilehernya. Orang itu akan meronta. Namun niatnya segera diurungkan karena ujung pisau yang tajam melekat didadanya.

“Kau harus dibunuh” desis seseorang.

“Kenapa?” orang itu tergagap.

“Kau tentu mengikuti pengemis itu dengan maksud buruk. Ia adalah kawanku, sehingga karena itu, kau memang harus dibunuh.”

“Tidak, tidak” suaranya terputus karena lengan yang melingkar dilehernya menjadi semakin keras.

Kiai Dulang mendengar suara kawannya yang sudah tidak begitu jauh daripadanya. Ketika ia berpaling, ia pun terkejut melihat Linggadadi sudah siap menekan pisaunya yang melekat di dada kawannya.

“Tunggu” tiba-tiba saja Kiai Dulang berteriak.

Linggadadi mengerutkan keningnya. Ketika Kiai Dulang kemudian berlari-lari kembali mendekati kawannya, Linggadadi berkata, “Aku mengamati orang ini sejak di Mahibit. Meskipun ia tidak mendekat, tetapi aku mengetahui bahwa ia selalu mengawasinya. Tentu ia bermaksud buruk atasmu.”

Kiai Dulang tersenyum. Katanya, “Ia adalah kawanku. Kami datang bersama-sama memasuki Mahibit. Aku merasa perlu membawa seorang kawan yang dapat mengetahui segala perbuatan dan keselamatanku selama aku berada di Mahibit.”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Kemudian dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Kenapa kau merasa perlu membawa seorang kawan? Apakah kau tidak percaya kepada kami?”

“Bukan maksudku untuk tidak percaya. Tetapi kesalah pahaman dapat saja terjadi dalam setiap pembicaraan.”

“Lalu kau membawa seorang kawan jika terjadi perselisihan antara kau dengan kami berdua? Kau kira kau berdua dengan orang ini dapat melawan kami berdua?”

“Bukan, bukan maksudku? Ia hanya bertugas untuk mengetahui apa yang terjadi dan melaporkannya kepada Empu Baladatu. Kami sadar, bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika kami harus mati di Mahibit. Seandainya kami memiliki kemampuan melawan kalian berdua, maka kalian pun dapat mengerahkan anak buah kalian yang tidak dapat aku bayangkan, berapa jumlahnya.”

“Jadi apakah maksudmu sebenarnya dengan membawa seorang kawan.”

“Seperti yang aku katakan. Tugasnya hanya untuk melihat keadaan tanpa berbuat apapun juga.”

Linggadadi melepaskan orang itu perlahan-lahan. Kemudian ia pun menggeram, “Benar-benar suatu penghinaan. Linggapati dan Linggadadi bukan pengecut. Jika kami ingin membunuh, kami tentu akan melakukannya dengan berterus terang. Tidak ada gunanya kami menjebakmu. Mengundangmu kemudian membunuhmu. Itu tidak ada artinya, karena jika demikian, kau tentu sudah mati diparit dipinggir padukuhan itu.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam.

“Kami adalah laki-laki yang menganggap semua kata-kata kami sangat berharga. Karena itu, kami membenci setiap orang yang tidak percaya kepada kata-kata kami.”

Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi ia melihat warna semburat merah disorot mata Linggadadi.

“Pergilah. Tetapi jangan kalian mencoba mengulangi penghinaan ini, agar kalian tidak mengalami nasib buruk.”

“Aku minta maaf” desis Kiai Dulang.

Linggadadi pun kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua orang yang termangu-mangu dibawah sebatang pohon yang rimbun. Dengan ragu-ragu Kiai Dulang mencoba melihat batang pohon yang besar itu sambil berdesis, “Memang luar biasa. Aku kira ia sama sekali tidak mengerti bahwa kau sedang mengikutiku.”

“Hem” desis kawan Kiai Dulang, “rasa-rasanya nafasku terputus ketika tangannya menekan leherku. Ternyata ia melihat dan mengerti bahwa aku memang mengikuti dan mengawasimu. Tetapi agaknya ia salah paham.”

“Maksudnya, ia melindungi aku karena aku membawa bahan pembicaraan dengan Linggapati kepada Empu Baladatu.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil melangkah ia berkata, “Marilah. Aku menjadi ngeri.”

Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahibit kembali kepadepokannya. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi ketika mereka harus bermalam diperjalanan. Mereka hanya berhenti beberapa saat untuk melepaskan lelah dengan berbaring sejenak diatas rerumputan kering tanpa membuat perapian.

“Kita harus segera sampai.” desis Kiai Dulang.

Dan sebelum fajar, mereka sudah, melanjutkan perjalanan agar mereka segera sampai kepadepokan untuk menyampaikan semua hasil pembicaraan mereka dengan Linggapati dan Linggadadi.

Tidak ada persoalan yang menghambat rencana pertemuan itu. Kiai Dulang sudah mengatakan semua hasil pembicaraannya kepada Empu Baladatu, dan Empu Baladatu pun tidak berkeberatan pula meskipun ia menjadi berdebar-debar mendengar laporan betapa Linggapati dan Linggadadi memiliki kepercayaan yang kuat kepada diri sendiri.

Namun katanya kemudian, “Tentu Linggapati dan Linggadadi tidak akan datang berdua saja. Mereka tentu membawa sepasukan pengawal yang tersembunyi, namun siap menyerang jika keadaan memaksa.”

“Mereka mengatakan bahwa mereka akan datang berdua saja kepadepokan gerombolan Serigala Putih.”

“Kau percaya begitu saja? Aku tidak. Karena itu orang-orang Serigala Putih harus mempersiapkan diri jika terjadi sesuatu. Aku yakin, bahwa pasukan Linggapati dan Linggadadi ada disekitar padepokan itu.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin juga begitu. Sikap keduanya yang sangat meyakinkan itulah barangkali yang telah membuat aku percaya bahwa mereka benar-benar akan datang berdua saja.”

“Kau memang dungu. Kembalilah kedalam lingkungan Serigala Putih. Kau harus menyiapkan segalanya menjelang pembicaraan itu. Bahkan kau harus menyiapkan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang pula.

“Mengapa?”

“Apakah kau masih belum mengerti?”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya, lalu, “Jadi maksud Empu, orang-orang Macan Kumbang harus berada di sekitar padepokan itu pula?”

“Jangan terlalu bodoh. Jika demikian akan dapat timbul salah paham. Sebelum Linggapati dan Linggadadi menyelesaikan pembicaraan, dapat terjadi bentrokan antara orang-orang Macan Kumbang yang mendekati padepokan gerombolan Serigala Putih dengan orang-orang dari Mahibit.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Jadi apa yang harus mereka lakukan?”

“Kau harus memilih beberapa orang terkuat diantara mereka. Bawa mereka masuk kedalam lingkungan orang-orang Serigala Putih meskipun harus dijaga agar tidak timbul perselisihan diantara mereka, karena permusuhan yang lama antara kedua gerombolan itu.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Empu Baladatu meskipun ia pun menyadari bahwa sentuhan antara dua lingkungan yang pernah mengalami permusuhan itu akan dapat menimbulkan persoalan.

“Tetapi kini sikap mereka tentu sudah berubah” berkata Empu Baladatu kemudian.

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-Mudahan mereka merasa masing-masing pihak menjadi semakin dekat setelah mereka bersama-sama menyadap ilmu yang sama.”

“Aku percaya kepada kalian yang bertugas dipadepokan itu. Kalian harus mengatur segalanya, sehingga tidak akan menumbuhkan penyesalan dikemudian hari.” berkata Empu Baladatu kemudian, “jika ternyata kemudian Linggapati dan Linggadadi menyalahi persetujuan dan menyerang padepokan Serigala Putih, maka kita semuanya sudah bersiap menghadapinya.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Aku akan datang beberapa hari sebelum saat yang di tentukan. Aku harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi aku berharap bahwa Linggapati dan Linggadadi dapat dipercaya.”

“Menilik sikap dan kata-katanya, aku percaya bahwa ada keinginan, setidak-tidaknya dari Linggapati yang mempunyai pengaruh yang lebih besar dari Linggadadi, bahwa kita tidak akan memusuhinya, dan selebihnya dapat bekerja bersama untuk sesuatu yang besar. Tetapi aku masih belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi setelah yang besar itu dapat dicapai.”

“Tentu kita masing-masing masih belum mengetahuinya apakah yang sebaiknya kita lakukan” sahut Empu Baladatu, “tetapi tentu ada sifat-sifat licik pada kita dan pada Linggapati untuk mengingkari, setidak-tidaknya sebagian dari janji yang akan dibuat. Karena itu, kita tidak boleh lengah. Tidak ada satu pihak pun yang kelak akan dapat menjadi penengah jika terjadi perselisihan antara kita dengan pihak Linggapati dan Linggadadi. Perselsihan itu jika timbul, harus kita selesaikan dengan kekerasan. Kalau perlu dengan kelicikan dan bahkan tipu muslihat.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Tetapi baiklah kita tidak terlalu berprasangka buruk sekarang ini. Pertemuan itu aku harap dapat berlangsung dengan baik karena aku sudah akan mengajukan sasaran yang pertama.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya.

“Kita akan mulai dari pihak yang paling jauh dari perhatian istana, jika kita mulai dengan Mahisa Bungalan, maka kemungkinan untuk berbenturan dengan prajurit Singasari akan dekat sekali. Demikian pula agaknya dengan Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal.”

“Jadi?”

“Kita singkirkan saudara kandungku yang mulai menjadi besar. Ia tentu merupakan penghalang yang tidak boleh diabaikan.”

Wajah Kiai Dulang menjadi tegang. Dengan suara datar ia, bertanya, “Maksud Empu , Empu Sanggadaru?”

Empu Baladatu mengangguk lemah. Memang nampak keragu-raguan disorot matanya. Namun yang dikatakannya itu bukannya belum dipikirkannya.

“Aku menghormatinya sebagai seorang saudara tua” berkata Empu Baladatu, “tetapi ia sama sekali tidak dapat mengerti keinginanku.”

“Apakah Empu pernah mengatakannya apa yang Empu kehendaki?”

Empu Baladatu termenung sejenak. Kemudian kepalanya menggeleng lemah, “Belum. Aku Belum mengatakannya.”

“Jadi, darimana Empu mengetahui bahwa Empu Sanggadaru tidak dapat mengerti kehendak Empu?”

Empu Baladatu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Jalan hidup kita sangat berlainan. Meskipun Empu Sanggadaru belum pernah mengatakan sesuatu kepadaku tentang pilihan kita masing-masing, namun sikap dan tingkah lakunya sudah meyakinkan, bahwa ia bukannya seorang saudara laki-laki yang baik.”

“Empu” bertanya Kiai Dulang, “tetapi kenapa justru Empu Sanggadaru lah yang pertama?”

“Ia saudaraku. Mungkin di saat lain, hatiku sudah menjadi semakin lemah, sehingga aku tidak berani bertindak kepada saudaraku sendiri. Karena itu, selagi hati ini masih membara, maka ia akan mengalami nasib buruk yang pertama.” Empu Baladatu berhenti sejenak, ilalu, “alasan yang lain adalah, karena Empu Sanggadaru bukannya orang yang dekat dengan istana seperti yang sudah aku katakan.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Empu Baladatu benar-benar seorang berilmu hitam yang tidak lagi mempunyai pertimbangan selain dorongan nafsunya yang membara didalam dadanya seperti yang dikatakannya. Tetapi Kiai Dulang tidak dapat mencegahnya. Ia pun seorang yang sudah lama menyadap ilmu hitam tanpa belas kasihan. Karena itulah maka keheranannya atas sikap Empu Baladatu itu pun lambat laun menjadi susut pula.

“Siapapun jika mereka tergolong orang yang mungkin dapat merintangi jalan ke singgasana Singasari, tentu akan disingkirkannya” berkata Kiai Dulang didalam hatinya. Namun kemudian sebuah pertanyaan, “Tetapi siapakah yang akan memiliki kedudukan tertinggi jika kerja sama antara Linggapati dan Linggadadi itu berhasil? Empu Baladatu atau Linggapati? Atau mereka akan menjadi orang pertama dan kedua? Tetapi bagaimana dengan Linggadadi?”

Kiai Dulang menggelengkan kepalanya, seolah-olah ingin mengibaskan angan-angannya tentang masa depan yang masih sangat panjang itu.

“Siapapun orang itu, bukannya persoalan yang harus dipikirkan sekarang. Mungkin orang-orang tertinggi dikedua pihak akan saling berbunuhan setelah mereka memenangkan perjuangan mereka.”

Karena tulah maka Kiai Dulang tidak menghiraukannya lagi apapun yang terjadi kemudian. Apakah mereka akan saling membunuh atau akan menemukan penyelesaian bukannya persoalannya.

Seperti yang ditugaskan oleh Empu Baladatu maka Kiai Dulang pun kemudian kembali kepadepokan Serigala Putih untuk mengatur segala sesuatunya menghadapi pertemuan antara Empu Baladatu dan Linggapati. Seperti yang dipesankannya pula, maka Kiai Dulang pun telah memilih beberapa orang terbaik dari gerombolan Macan Kumbang yang akan ditempatkan di antara gerombolan Serigala Putih. Jika terjadi sesuatu, maka gerombolan Serigala Putih yang sudah diperkuat itu akan dapat mengatasi persoalan.

Tetapi Kiai Dulang masih belum mengatakan kepada kedua gerombolan itu apa yang akan terjadi, selain menyebutnya sebagai suatu usaha untuk saling mendekatkan dalam latihan bersama.

“Kalian bersumber dari satu sumber yang sama, dan kini kalian telah dialiri ilmu yang bersumber dari sumber yang sama pula. Karena itu, sudah barang tentu bahwa di dalam diri kalian terdapat kesamaan-kesamaan yang akan mempersatukan kalian seperti sumber semula.”

Orang-orang dari kedua belah pihak sama sekali tidak mempertimbangkan persoalan-persoalan yang lain. Mereka menganggap bahwa usaha itu adalah usaha yang wajar, sehingga merekapun mengadakan usaha pendekatan dengan latihan bersama. Orang-orang terbaik dari kedua gerombolan itu saling mendekatkan ilmu mereka dibawah pengawasan para pemimpin yang dikirim oleh Empu Baladatu termasuk Kiai Dulang.

Sebenarnyalah bahwa kekuatan kedua gerombolan itu sudah jauh meningkat. Empu Baladatu mengadakan penilikan-penilikan yang tetap dan keras lewat orang-orang kepercayaannya, sehingga dengan demikian maka setiap orang dari kedua gerombolan itu, terutama mereka yang masih muda, dengan sungguh-sungguh telah memperdalam ilmunya, dipengaruhi pula oleh kesungguhan dan himpitan perasaan saat-saat mereka menyaksikan korban yang sangat berharga di saat purnama naik. Korban nyawa seseorang dari lingkungan yang manapun juga.

Menjelang hari pertama, saat bulan mulai nampak di langit, gerombolan Serigala Putih benar-benar telah mempersiapkan diri. Meskipun mereka tidak tahu pasti, apa yang akan terjadi, namun mereka dapat meraba, bahwa mereka harus berada di dalam kesiagaan sepenuhnya. Apalagi ketika disaat terakhir mereka sadar, bahwa sekelompok orang terkuat dari gerombolan Macan Kumbang berada di antara mereka.

“Apakah yang akan terjadi?” bertanya seseorang.

Yang lain menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”

Pertanyaan itu ternyata telah menjalar dari mulut kemulut. Tetapi tidak seorang diantara mereka yang dapat menjawab pertanyaan itu.

Di hari terakhir saat bulan masih nampak dilangit menjelang dini hari, Empu Baladatu telah berada di padepokan gerombolan Serigala Putih. Kehadirannya merupakan salah satu jawaban, kenapa orang-orang dari gerombolan Serigala. Putih dan Macan Kumbang harus bersiap-siap.

Empu Baladatu sempat melihat-lihat kemajuan dari gerombolan yang sudah berada dibawah pengaruhnya itu. Ilmu dari perguruannya yang berwarna hitam itu sudah mulai nampak pada orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang...

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 27

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 27
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

NAMUN demikian, ternyata bahwa pertempuran itu tak berlangsung lebih lama lagi. Meski pun salah seorang dari padepokan Macan Kumbang itu berhasil selalu memotong gerak lawannya dalam ilmu puncak perguruan Empu Baladatu, akan tetapi pada suatu saat ia mendengar kawannya menjerit ngeri.

Yang terjadi kemudian bagaikan angin pusaran dalam gelapnya malam. Namun ketika tiba-tiba saja pusaran itu mengendor, tampak sesosok tubuh yang terjatuh ditanah. Sesosok tubuh yang sudah kehilangan bentuknya. Kengerian yang sangat telah mencengkam jantung kawannya. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk menghindarkan diri. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali mati dengan dada tengadah.

Kepastiannya untuk mati itu ternyata telah memberikan justru ketenangan kepadanya. Ia sempat melihat perhatian lawannya yang sebagian tertuju kepada kawannya .yang bagaikan batang yang tumbang ditanah. Kesempatan itu pun dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan serta-merta ia meloncat menerkam dengan ujung senjatanya.

Lawannya sempat melihat loncotan itu. Tetapi ia terlambat untuk membebaskan dirinya sama sekali, karena terasa sebuah goresan dipunggungnya ketika ia meloncat ke samping sambil merendahkan dirinya. Sebuah luka yang panjang membujur di punggung. Darah yang merah mulai meleleh dari ujung luka. Semakin lama semakin banyak.

Lawannya tidak melepaskannya. Serangan berikutnya telah menyambarnya. Tetapi sayang, lawannya itu agak tergesa-gesa, sehingga serangannya kurang mengarah. Tetapi, luka itu agaknya cukup parah. Dalam waktu yang singkat, terasa tenaganya mulai surut, sehingga untuk menghindari serangan-serangan berikutnya, terasa kakinya menjadi semakin berat.

Namun dalam pada itu, kawannya yang telah menyelesaikan pekerjaannya itu pun dengan buas telah meloncat ke dalam arena perkelahiannya. Sambil menggeram ia bertanya, “Apakah masih sanggup bertempur?”

“Ya” jawab kawannya yang terluka itu.

Terdengar lawannya yang tinggal seorang itu menggeram. Mirip seekor harimau yang kelaparan melihat seekor kancil melintas di hadapannya. Sejenak kemudian, orang yang telah terluka dipunggungnya itu mulai bertempur berpasangan. Meskipun lukanya mulai terasa mengganggu, tetapi karena ia tidak seorang diri maka ia pun tidak banyak mengalami kesulitan. Meskipun tidak terlampau cepat, maka keduanya mulai bergerak dalam putaran yang mengelilingi lawannya yang tinggal seorang diri.

Tetapi lawannya masih sempat berpikir. Ia mempunyai perhitungan yang baik atas kedua lawannya. Setiap kali ia berhasil memotong putaran itu justru pada lawannya yang sudah terluka.

“Gila” geram lawannya yang masih mampu bertempur dengan kekuatan seutuhnya, “aku akan membunuhnya. Berilah aku kesempatan pertama. Dan kau harus berusaha menyesuaikan diri sesuai dengan keadaanmu yang sudah terluka itu.”

“Baiklah” jawab kawannya, “lakukanlah yang baik bagi kita. Ternyata orang ini nampaknya ingin mengalami nasib yang lebih buruk dari kawannya.“

Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu menggeram pula. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk mati. Ketika perkelahian telah berkobar semakin seru, maka orang dari gerombolan Macan Kumbang itu merasa semakin terdesak. Lawannya yang seorang selalu berusaha mengitarinya, sedang yang lain menyerang dengan tiba-tiba, justru pada saat-saat ia berusaha memotong putaran yang serasa menjadi semakin cepat.

Tetapi tidak ada jalan lagi baginya. Meskipun ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, namun akhirnya ia merasa bahwa maut seolah-olah telah menari-nari disekelilingnya bersama dengan serangan-serangan lawannya yang semakin dahsyat.

Namun dalam keadaan yang paling parah, ia mendengar lawannya berkata, “Jangan bunuh dengan cara yang baru saja kita lakukan.”

“Kenapa?” bertanya yang terluka.

“Dengan demikian maka ia harus kita kuburkan tanpa diketahui oleh siapapun juga.”

“Jadi?”

“Kita bunuh dengan cara lain. Mayatnya akan kita biarkan saja terkapar sehingga ada orang yang mengetahui, bahwa seorang dari gerombolan Macan Kumbang telah mati,”

“Persetan” teriak orang dari gerombolan Macan Kumbang itu sendiri dengan kemarahan yang meledak-ledak.

“Sebaiknya kita bawa mayatnya kedekat sarangnya Dengan demikian maka mayatnya akan jatuh ketangan orangi Macan Kumbang sendiri tanpa mengetahui siapakah yang telah membunuhnya. Jika mereka melihat barang hasil rampokannya, maka kawan-kawannya akan menyadari, apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Gila” teriak orang dari gerombolan Macan Kumbang itu, “akulah yang akan membunuh kalian.”

Tetapi pertempuran itu semakin lama semakin meyakinkan. Meskipun kedua orang pengikut langsung Empu Baladatu itu tidak mempergunakan ilmu puncak dari ilmu hitam, namun keduanya masih mampu membuat lawannya yang lelah itu kebingungan dan semakin lama menjadi semakin kehilangan daya perlawanannya.

“Hati-hati, jangan timbulkan kesan bahwa kitalah yang telah membunuh. Lukanya harus mempunyai ciri yang lain.”

“Jadi?”

“Biarlah ia lelah dan kemudian pingsan. Kita akan menentukan, bentuk luka yang bagaimanakah yang sebaiknya kali ini kita pasang pada tubuhnya.”

Pembicaraan itu benar-benar suatu penghinaan yang tidak ada tatanya. Tetapi ia tidak kuasa untuk berbuat apapun juga, selain berusaha untuk bertempur terus. Sekali-kali ia juga mencari kemungkinan lain. Tetapi untuk melarikan diri, nampaknya terlampau sulit baginya, karena kedua lawannya tentu akan mengejarnya dan membunuhnya Seperti yang direncanakannya.

Itulah sebabnya maka ia, masih bertempur terus. Lawan-lawannya yang akan dibunuhnya itu tentu bukannya dua orang pengampun yang melupakan ancaman yang pernah terlontar dari mulutnya. Dan akhir itu pun kemudian benar-benar datang. Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu semakin lama menjadi semakin lemah. Betapapun juga, ia tidak akan mampu melawan dua orang lawan meskipun yang seorang sudah terluka.

Dalam keadaan yang paling pahit ia kemudian kehilangan: semua kesempatan. Ternyata lawannya sama sekali tidak mempergunakan senjatanya. Serangan mereka datang dari beberapa arah justru dengan genggaman atau sisi telapak tangan.

“Gila” orang itu berteriak.

Tetapi kedua lawannya sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka benar-benar ingin menyelesaikan pekerjaan mereka dengan sebaik-baiknya. Membunuh lawannya tanpa meninggalkan luka senjata. Ketika kemudian, tenaganya tidak lagi mampu mendukung kemauannya, maka orang itu pun bagaikan telah kehilangan tulang belulangnya. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya tanpa hentakkan lawannya. Meskipun ia masih selalu mencoba bangkit, namun seakan-akan keseimbangannya telah kabur sama sekali.

“Kau sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa” desis lawannya yang terluka.

Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Betapapun tinggi daya ketahanan Lubuhnya, tetapi tangan-tangan yang menghantam tubuhnya itu pun didorong oleh kekuatan yang luar biasa pula. Itulah sebabnya orang itu sama sekali tidak dapat lagi melawan ketika ia harus mati karena pernafasannya yang tersumbat.

“Apa yang akan kita lakukan atas orang ini,” bertanya yang telah terluka.

“Kita letakkan di dekat sarang mereka, agar kematiannya menjadi masalah. Kita letakkan barang-barang hasil rampokannya.” jawab yang lain.

“Tetapi bagaimanakah jika justru jatuh ketangan orang lain yang menjumpainya lebih dahulu dari orang-orang Macan Kumbang sendiri.”

“Kita akan mengawasinya dan meyakini bahwa mayat dan barang-barang itu akan jatuh ketangan orang-orang Macan Kumbang sendiri.”

“Itu berarti tugas kita sendiri akan tertunda.”

“Tidak banyak artinya. Mungkin tertunda satu dua hari. Tetapi tugas kita tidak terbatas waktu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang mayat yang sesosok dengan bekas-bekas tangan ilmu hitam ia berkata, “Dan orang ini?”

“Kita kuburkan saja disini. Tidak seorang pun boleh mengetahui, bahwa kekuatan yang disebut kekuatan hitam itu kini sedang berkeliaran.”

Dengan alat yang ada, maka kedua orang itu pun mulai menggali lubang dan memasukkan mayat yang sudah tidak berbentuk itu kedalamnya, dibalik semak-semak yang rimbun.

“Bagaimanakah jika besok ada orang yang mencurigai tanah yang nampak baru ini?”

“Kita akan melenyapkan semua bekas. Semak-semak itu akan melindunginya.”

Demikianlah keduanya pun kemudian berusaha untuk memulihkan semak-semak itu sehingga tidak menimbulkan kecurigaan lagi, sementara mayat yang lain telah mereka sangkutkan pada punggung kuda dan membawanya mendekati sarang gerombolan Macan Kumbang. Seperti yang mereka perhitungkan, maka menjelang pagi mereka baru mendekati tempat yang mereka tuju. Sejenak mereka membiarkan kuda-kuda mereka melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yaang cukup jauh.

“Kita tidak dapat maju lagi. Disiang hari, jika kita berpapasan dengan seseorang, maka mayat itu akan dapat menimbulkan kecurigaan.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jaraknya tidak begitu jauh lagi.”

Sejenak keduanya termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berani lagi memaksa kuda mereka berpacu. Kuda mereka cukup lelah, dan hari pun sudah menjadi semakin terang.

“Kita akan menunggu sehari di sini.”

“Dengan sesosok mayat”

Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya dengan nada datar, “Apa boleh buat.”

Dengan keluhan panjang, maka kawannya pun kemudian mengangkat mayat itu dari punggung kudanya dan membaringkannya di atas rerumputan di dalam sebuah hutan kecil. Kemudian diikatnya kudanya dengan tali yang panjang, agar kuda itu sempat makan rerumputan sepuas-puasnya.

“Aku akan membuat api” berkata orang yang terluka.

“Nanti, jika matahari sudah naik.”

“Aku lapar sekali, dan tubuhku terasa dingin sekali.”

“Aku akan mengobati lukamu. Mungkin luka itu berpengaruh meskipun sudah tidak berdarah lagi.”

Dengan serbuk yang berwarna kehitam-hitaman maka luka itu pun diobatinya, sehingga perasaan pedih menjadi jauh berkurang.

Baru ketika matahari menjadi semakin tinggi, kedua orang itu mencoba membuat api. Mereka berusaha untuk langsung menyalakan dedaunan dan ranting-ranting yang kering agar tidak banyak melemparkan asap keudara sehingga dapat menumbuhkan kecurigaan orang-orang yang melihat dari kejauhan.

“Aku masih mempunyai beberapa potong jadah dan jenang alot” desis yang seorang.

“Aku sama sekali tidak. Tetapi dihutan ini tentu tersimpan makanan yang dapat kita pergunakan untuk mengisi perut kita sehari ini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Dan dibiarkannya kawannya itu melangkah beberapa langkah sambil menjinjing sumpitnya. Ternyata kawannya adalah seorang yang pandai membidik. Dalam waktu yang singkat, ia telah datang lagi membawa beberapa ekor burung yang berhasil disumpitnya.

“Jika kau masih juga lapar, aku akan berburu dengan panah” katanya.

Kawannya tersenyum. Tetapi diluar sadarnya ia berpaling kepada sesosok mayat yang terbaring. “Kita akan menangkap seekor harimau atau justru seekor harimau akan mencuri harta kita itu.”

“Tidak kedua-duanya” jawab yang lain, lalu, “tetapi berapa ekor burung ini aku rasa sudah cukup.”

Demikianlah mereka terpaksa menunggu sehari sambil beristirahat, sebelum pada malam berikutnya mereka mendekat lebih rapat lagi dengan sarang gerombolan Macan Kumbang.

“Jalan ini adalah jalan tunggal menuju kepadepokan itu” desis salah seorang dari keduanya.

“Kita berhenti disini” jawab yang lain.

Keduanya pun kemudian berhenti sejenak. Mereka menunggu kesempatan yang sebaik-baiknya untuk dapat mendekati padepokan dan meletakkan mayat itu dimulut padepokan.

“Tidak mungkin terlalu dekat” berkata yang seorang. “Di dalam regol itu tentu ada, beberapa orang penjaga.”

Tetapi yang lain masih akan mencoba mendekat, katanya. “Kita dapat menyusur gerumbul-gerumbul di tepi jalan sebelum kita meletakkannya di regol itu.”

Demikianlah dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha mendekat dan kemudian meletakkan mayat itu di depan regol tanpa diketahui oleh orang-orang yang memang sedang berjaga-jaga. Tetapi di dalam regol yang tertutup.

Seperti yang diharapkan, maka di pagi-pagi benar, seorang yang mula-mula sekali membuka regol dinding padepokan untuk pergi ke sungai diluar regol telah menemukan mayat itu. Suasana Padepokan Macan Kumbang itu pun segera menjadi gempar. Orang-orang yang tidak sedang bertugas keluar, dengan penuh ketegangan, mengangkat mayat itu dan membawanya kerumah induk di padepokan itu.

“Ya” desis salah seorang dari mereka, “orang ini adalah kawan kita.”

“Ya,” sudah tentu. Kawan sebilikku. Ia memang sedang bertugas untuk mencari beberapa keterangan tentang beberapa nama yang diperlukan oleh Empu Baladatu.”

Orang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu di padepokan Macan Kumbang itu pun mulai melihat-lihat mayat itu. Ia tidak melihat tanda-tanda yang menunjukkan kepadanya, siapakah yang telah membunuh orang dari gerombolan Macan Kumbang itu. Namun di dekat mayat itu ia menemukan beberapa jenis barang yang sudah pasti bukan milik orang yang terbunuh itu.

“Tidak ada bekas luka” desis seseorang. Yang lain mengangguk-angguk.

“Tentu ada sesuatu yang telah terjadi dengan orang ini” berkata pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu dipadepokan itu, “barang-barang ini agaknya bukan barang-barang yang didapatnya dengan wajar. Agaknya orang ini sudah melanggar pesan, agar tidak melakukan tindakan yang dapat memanggil kecurigaan orang lain, terutama para petugas dari Singasari.”

“Apakah orang ini telah dibunuh oleh prajurit-prajurit Singasari?” bertanya salah seorang dari kawan-kawannya.

Pemimpin itu menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak. Tetapi menilik keadaannya, agaknya ia mati karena tingkah lakunya sendiri.”

“Maksudnya?” Beberapa orang ter-mangu-mangu.

“Apakah orang ini kena kutuk seperti beberapa orang yang pernah meninggal sebelumnya?”

Pemimpin padepokan yang mewakili Empu Baladatu itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya, “Mungkin sekali. Agaknya ia sudah melanggar pesan yang aku berikan ketika ia berangkat.”

“Pesan apakah yang telah dilanggarnya?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik barang-barang yang ada didekat mayat itu, tentu ia sudah mendapatkan barang-barang itu dengan cara yang tidak pantas.”

“Merampok?” bertanya yang lain.

Pemimpin padepokan itu mengangguk. Namun dalam pada itu terdengar salah seorang yang lain berkata,, “Tetapi pekerjaan semacam itu sudah kita lakukan untuk waktu yang lama.”

“Jagalah dirimu dari bencana yang serupa” desis pemimpin padepokan itu, “aku tahu bahwa kalian adalah segerombolan perampok. Bahkan aku tahu bahwa gerombolan Macan Kumbang telah bersaing untuk waktu yang lama dengan gerombolan Serigala Putih. Setiap benturan kekerasan telah merenggut banyak korban. Tetapi korban-korban itu adalah korban yang jatuh dengan wajar.”

Orang-orang yang mendengarnya termangu-mangu.

“Tetapi pada suatu saat kalian menjumpai korban yang jatuh dengan cara yang lain. Termasuk orang yang mati di depan regol itu, karena ia sudah melanggar pesan bahwa di saat ini kita harus berbuat sangat hati-hati.”

Orang-orang yang mendengarkannya dengan cemas memaksa diri untuk mempercayai setiap keterangan itu, sebab mereka tidak mau menjadi korban pula seperti orang-orang yang pernah mati sebelumnya tanpa sebab dan bekas-bekas luka yang menunjukkan sebab-sebab kematian mereka.

“Sudahlah” berkata pemimpin itu, “selenggarakan mayat itu sebaik-baiknya. Kita harus menyadap pengalaman pahit ini.”

Demikianlah orang-orang Macan Kumbang yang ada dipadepokan itu pun menyelenggarakan mayat kawan mereka yang terbunuh. Namun sudah barang tentu bahwa berita tentang kematian itu segera menjalar keluar padepokan. Kabar itu segera sampai ketelinga orang-orang yang dalam hubungan sehari-hari sering bergaul dengan orang-orang Macan Kumbang. Sehingga dengan demikian, maka berita tentang kematian itu pun segera tersebar di antara mereka.

“Setiap penyimpangan dari pesan-pesan Empu Baladatu, akibatnya adalah maut.”

Peringatan itulah yang kemudian sampai kesetiap telinga orang-orang yang menjalankan tugas dari Empu Baladatu dan orang-orang yang mendapat kuasanya. Namun dengan demikian, maka tugas mereka pun sama sekali tidak menarik perhatian pihak lain karena dapat mereka lakukan dengan diam-diam.

Meskipun memerlukan waktu, namun akhirnya usaha Empu Baladatu itu pun berhasil meskipun belum seluruhnya. Seorang petugas yang berasal dari gerombolan Serigala Putih, yang melakukan perjalanan sebagai seorang pengemis, mendapatkan beberapa keterangan tentang orang yang bernama Linggadadi.

“Keterangan itu perlu dilengkapi” berkata orang itu kepada Kiai Dulang.

“Ya. Tetapi keteranganmu penting artinya bagi kami. Dengan demikian, kami sudah mengetahui, siapakah sebenarnya orang yang bernama Linggadadi itu.”

“Sebagian daripadanya.”

“Kita akan menyebarkan beberapa orang untuk menyelidiki keadaannya lebih lanjut.”

Tetapi karena penyelidikan berikutnya menjadi lebih sulit, Kiai Dulang tidak berani berbuat tergesa-gesa. Ia pun kemudian memerlukan pergi sendiri menemui Empu Baladatu. “Agaknya Empu dapat membatasi daerah penyelidikan.”

“Tentang Linggadadi” berkata Empu Baladatu, “sementara tentang Mahisa Bungalan pun telah aku dengar beritanya.”

“Oh” desis Kiai Dulang yang datang keperguruan Empu Baladatu.

“Mahisa Bungalan telah berada di Kota Raja. Tetapi ia berada dalam lingkungan yang sulit karena ia berada di bangsal Mahisa Agni di dalam istana.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Tetapi dengan demikian, justru keadaan Linggadadi lah yang harus mendapat banyak perhatian. Nampaknya ada perbedaan cara dan sikap antara Mahisa Bungalan dan Linggadadi meskipun kedua-duanya disebut pembunuh orang berilmu hitam.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Nah. Jika demikian, nampaknya kau sendirilah yang wajib pergi ke Mahibit untuk mengetahui lebih jelas tentang Linggadadi. Tetapi yang jelas ia bukan seorang yang dapat kita selesaikan dengan mudah.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Empu, Aku akan pergi ke Mahibit dengan cara yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh orang yang dapat mengenali Linggadadi meskipun hanya dari ciri-cirinya, dan barangkali dari namanya yang disebut oleh beberapa orang disekitarnya.”

“Hati-hatilah. Linggadadi adalah orang yang sangat licik.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu, “Tetapi aku mohon Empu meletakkan seorang penghubung di padepokan Serigala Putih, sehingga aku akan dapat menemuinya setiap saat aku perlukan.”

"Serahkan padepokan itu untuk sementara kepada Kiai Ungkih dipadepokan Macan Kumbang. Ia akan mewakilimu sehingga sekaligus ia akan berada dikedua padepokan itu.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Sukurlah jika ia dapat melakukannya dengan baik. Tetapi sebenarnyalah bahwa sulit untuk menguasai kedua padepokan itu sekaligus.”

“Apakah keduanya masih tetap bermusuhan?”

“Tidak. Tetapi akibat permusuhan yang lama itu masih terasa. Namun yang sulit adalah, bahwa mereka tidak terpisah sepenuhnya dari masarakat di sekitarnya. Dengan demikian kadang-kadang masih ada sesuatu yang merembes memasuki padepokan-padepokan itu, tetapi juga sebaliknya ada sesuatu yang kadang-kadang merembes keluar.”

“Kau tidak mencegahnya selama ini?”

“Aku sudah berusaha. Kiai Ungkih pun sudah berusaha pula. Namun kami belum yakin, bahwa usaha kami berhasil sepenuhnya. Itulah sebabnya, maka di kedua padepokan itu perlu pengawas-pengawas khusus yang dapat menekuni keadaan mereka setiap hari.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Selama kau tidak ada dipadepokan Serigala Putih, aku akan mengirimkan seorang yang akan bertugas menggantikan kedudukan selama kau pergi.”

“Orang itu harus ada disana sebelum aku berangkat.”

Demikianlah ketika Kiai Dulang kembali ke padepokannya, ia pergi bersama seseorang yang akan bertugas menggantikannya di padepokan Serigala Putih. Seorang yang masih lebih muda dan menilik sorot mata di wajahnya, orang itu memiliki ketajaman pikiran dan terlebih-lebih, nampaknya ia tidak pernah ragu-ragu untuk melakukan sesuatu tindakan. Kepada orang-orang dari padepokan Serigala Putih, kawan Kiai Dulang itu diperkenalkan dengan nama Wangking, yang diterima dengan penuh keragu-raguan.

“Nampaknya orang itu mempunyai perbedaan sikap dan cara dari Kiai Dulang” berkata seorang yang bertubuh tinggi.

“Apapun yang akan dilakukan selama ia masih berusaha memperbaiki keadaan kita, maka kita akan menerimanya dengan senang hati. Tetapi jika yang dilakukan kemudian menyimpang, maka sudah tentu kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.”

“Kau tidak takut kepada kemurkaan sumber ilmu yang kau sadap sekarang jika kau mempunyai sikap yang lain dari sikap Empu Baladatu?”

“Aku mempercayai perkembangan ilmu dengan cara yang aku tempuh sekarang. Dengan demikian justru semua tindakanku akan direstuinya jika aku yakin bahwa aku berdiri dipihak yang benar. Hanya orang-orang yang meragukan limpahan kekuasaan ilmu itulah yang akan mengalami bencana. Kematian tanpa sebab. Tetapi yang akan persoalkan sekarang bukannya mengenai sumber ilmu dan tata cara pelimpahannya. Tetapi cara manusia wadag memerintah kami.”

Seandainya demikian, apakah orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu mampu melakukan sesuatu untuk memaksakan perubahan masih harus dipertimbangkan pula, sehingga orang yang ragu-ragu itu pun semakin menjadi ragu-ragu. Katanya, “Manusia wadag yang memerintah kami memiliki kekuasaan seperti yang berada didalam sumber ilmu itu sendiri. Kekuasaan yang tidak dapat kami tentang dengan kekuatan apapun. Seandainya orang yang kau sebut wadag itu tidak sesuai dengan keinginanmu, apakah yang akan kau lakukan? Membunuh diri?”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku masih mengharapkan bahwa ilmu kita semuanya akan berkembang terus. Dengan penuh kepercayaan aku akan menyadap ilmu itu sampai tuntas, sehingga dalam lingkungan ini aku tidak akan sekedar menjadi orang yang berdiri dideret yang paling belakang.”

Yang lain tidak menjawab lagi, meskipun kepalanya terangguk-angguk lemah.

Dalam pada itu, maka Kiai Dulang pun segera menyampaikan keputusan Empu Baladatu, bahwa ia harus menyerahkan pimpinan padepokan itu kepada Wangking

“Hanya untuk sementara” berkata Kiai Dulang, “pada saatnya aku akan kembali dan berada di antara kalian lagi, terutama pada saat-saat bulan purnama, di mana kita bersama-sama bersujud untuk menyadap ilmu kanuragan yang tiada duanya di muka bumi.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih pun mengangguk-angguk perlahan-lahan. Tetapi nampak disorot mata mereka, bahwa sebenarnya mereka mengharap, lebih Kiai Dulang itu tetap berada di antara mereka daripada orang baru yang belum dikenal itu, tetapi yang menurut ujud lahiriahnya, sudah memberikan kesan yang mencemaskan.

“Mudah-mudahan semua tugas selesai, dan kita semuanya, tanpa kecuali sempat berkumpul lagi. Kawan-kawan yang berkeliaran dalam tugas itu akan berkumpul dan bersama-sama melagukan kidung pujian bagi kekuasaan di belakang kekuatan ilmu kita. Meskipun orang lain menyebutnya dengan ilmu hitam, namun ternyata bahwa pada suatu saat ilmu ini akan menguasai seluruh permukaan bumi, justru karena ilmu ini adalah ilmu hitam. Ilmu yang memiliki kemampuan melampaui segala macam ilmu kanuragan yang lain, yang sekedar didukung oleh kemampuan jasmaniah wantah belaka.”

Orang-orang Serigala Putih itu mengangguk-angguk.

“Nah, kalian harus tetap bertekun dalam menyadap ilmu. Pada saatnya kalian akan berterima kasih kepada Empu Baladatu bahwa kalian adalah murid-muridnya yang terpercaya. Yang pada saatnya akan menyebarkan ilmu yang kalian dapatkan kepada orang-orang lain. Kepada murid-murid kalian.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu masih mengangguk-angguk.

“Nah” berkata Kiai Dulang, “sejak sekarang, kalian berada dalam pimpinan Wangking dipadepokan ini.”

Semua orang memandang kepada orang yang disebut Wangking itu. Orang yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dari Kiai Dulang.

Wangking yang berdiri di samping Kilai Dulang termangu-mangu sejenak. Kemudian ia berkata dengan nada yang berat datar, “Aku terima tugas ini. Siapa yang membantu akan mendapatkan kesempatan yang baik untuk seterusnya. Tetapi siapa yang mencoba menghambat kewajibanku, maka aku akan menyingkirkannya menurut caraku. Apakah kalian mendengar kata-kataku?”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menahan nafas sejenak. Tetapi orang yang bernama Wangking itu tidak berkata lebih panjang lagi.

Demikianlah maka Kiai Dulang pun segera menyiapkan diri untuk meninggalkan padepokannya. Ia sengaja tidak membawa seorang pengawal pun agar ia dapat menjadikan dirinya seorang peminta-minta yang berkeliaran sesuai dengan petunjuk laporan yang telah diterimanya tentang Linggadadi.

Tetapi sementara Kiai Dulang masih belum beranjak dari padepokan itu, maka seorang petugas yang lain telah datang membawa laporan tentang orang lain yang disebut pula oleh Empu Baladatu.

“Siapa?” bertanya Kiai Dulang.

“Kakak kandung Empu Baladatu.”

“Empu Sanggadaru maksudmu?”

“Ya Kiai.”

Tetapi Kiai Dulang menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Biar sajalah dahulu. Padepokan itu tidak akan bergerak. Empu Sanggadaru tidak lagi memiliki gairah kehidupan yang menyala seperti Empu Baladatu. Seandainya ada api didalam dadanya, api itu agaknya sudah padam.”

“Kiai salah” sahut petugas itu, “Empu Baladatu melihat padepokan itu hanya sekilas. Sekarang ternyata bahwa padepokan itu adalah padepokan yang hidup dan berkembang”

“Kenapa kau dapat berkata begitu?”

“Nampaknya latihan-latihan olah kanuragan gelombangnya diperpendek. Jumlah murid-murid yang disebutnya cantrik itu pun semakin bertambah pula. Bahkan Empu Sanggadaru kadang-kadang melakukan latihan bersama murid-muridnya di luar padepokan.”

“Apa yang dilakukan di luar padepokan?”

“Meskipun nampaknya seperti permainan kanak-kanak, tetapi aku kira merupakan latihan yang penting.”

“Ya, apa?”

“Berjalan-jalan."

“He, kau mengingau? Kenapa mereka harus melatih diri berjalan-jalan.”

“Semula aku tidak menghiraukan cara yang dilakukannya itu. Tetapi setelah aku melihatnya beberapa kali, aku mulai tertarik kepada cara yang dipergunakannya itu.”

“Apakah anehnya orang berjalan-jalan didalam hubungannya dengan rencana Empu Baladatu?”

“Empu Sanggadaru tidak hanya sekedar berjalan-jalan di sinar matahari pagi. Tetapi Empu Sanggadaru berjalan semalam tanpa berhenti.”

“He?” Kiai Dulang menjadi heran, sehingga matanya terbelalak. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Sehari Semalam?”

“Ya. Tanpa berhenti. Menjelang fajar Empu Sanggadaru dengan beberapa orang cantriknya keluar dari padepokan. Mereka menempuh jalan pegunungan yang turun naik, menyusuri jalan-jalan sempit di lereng dan lembah.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Jika mereka berjalan-jalan sehari semalam tanpa berhenti, maka perguruan itu memang perlu mendapat perhatian. Aku kira berjalan tidak lebih sampai matahari sepenggalah.”

“Lalu, apakah Kiai Dulang akan melihat pula? Mereka berlatih tidak setiap hari. Tetapi setiap sepekan sekali.”

“Hari-hari lain tentu dipergunakan untuk latihan kecepatan, sedang berjalan sehari semalam itu merupakan latihan mereka untuk menjaga ketahanan tubuh dan pernafasan.”

“Apakah rencana Kiai kemudian.”

“Baiklah. Aku akan ke Mahibit sekaligus melihat perkembangan padepokan Empu Sanggadaru yang menarik itu. Mungkin karena ia merasa cemas, bahwa adiknya telah berhasil menguasai gerombolan Serigala Putih yang pernah bermusuhan dengan padepokannya. Apalagi bersama-sama dengan gerombolan Macan kumbang sehingga padepokan itu merasa dirinya terancam.”

“Tetapi jumlah para cantrik itu begitu banyak.”

“Ya Bagaimanapun juga padepokan itu masih belum sampai pada tingkat yang berbahaya, seperti juga Mahisa Bungalan yang tidak mempunyai kekuatan tertentu diluar dirinya sendiri. Mungkin ia dapat menggerakkan beberapa orang dibantu oleh beberapa orang prajurit. Tetapi untuk membawa sepasukan prajurit tentu diperlukan alasan yang cukup kuat.”

“Apakah dengan demikian menurut pertimbangan Kiai, Linggadadi tetap merupakan orang yang paling berbahaya?”

“Ya. Jika kita ingin mulai, maka kita akan mulai dengan daerah Mahibit yang tentu merupakan kelompok yang cukup kuat.”

“Terserahlah kepada Kiai. Kami menjalankan semua tugas.”

“Wangking akan mengatur segala sesuatu bagi kalian.”

Demikianlah, maka Kiai Dulang pun segera meninggalkan padepokan. Ternyata bahwa padepokan Empu Sanggadaru pun telah menarik perhatiannya sehingga dalam perjalanannya menuju ke Mahibit, untuk melihat kekuatan yang sebenarnya dari orang yang bernama Linggadadi, pembunuh orang berilmu hitam, ia pun ingin melihat perkembangan sikap padepokan Empu Sanggadaru.

“Tetapi kekuatan di padepokan itu tidak berarti apa-apa bagi Empu Baladatu, apalagi bersama denean kekuatan Serigala Putih dan Macan Kumbang.” berkata Kiai Dulang di dalam hati. Namun demikian ada juga keinginannya untuk melihat cara Empu Sanggadaru melatih para cantriknya di luar dan apabila mungkin di dalam padepokannya.

Mendekati padepokan Empu Sanggadaru, Kiai Dulang menjadi semakin berhati-hati. Ia menunggu agak jauh dari padepokan. Sesuai dengan keterangan yang didapatnya, maka ia berada dijalur jalan yang selalu dilalui Empu Sanggadaru dan para cantriknya apabila mereka pergi berjalan-jalan.

“Aku pun mampu berjalan sehari semalam” desis Kiai Dulang, “aku ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan sepanjang perjalanan sehari semalam itu.”

Ternyata bahwa Kiai Dulang terpaksa menunggu dua malam berturut-turut. Baru di hari ketiga ia melihat Empu Sanggadaru dalam pakaiannya sebagai seorang pemburu, keluar dari regol padepokannya diiringi oleh sepuluh orang cantriknya. Di antara mereka terdapat dua orang anak yang lincah dan cekatan.

“Hanya sepuluh orang” desis Kiai Dulang, “kenapa pengawas itu merasa cemas dengan hanya sepuluh orang ini?<"br/>
Namun dari pengawasnya itu, Kiai Dulang mendapat laporan bahwa yang pernah dilihat oleh pengawasnya itu, jumlah orang yang ikut dalam latihan yang khusus tidak tetap. Bahkan pernah orang itu melihat dua puluh lima orang cantrik pergi bersama-sama.

Dalam pada itu, dari jarak yang agak jauh, Kiai Dulang mencoba mengikuti. Jika iring-iringan itu tidak lagi nampak, maka Kiai Dulang hanya mengikuti jejaknya saja. Tetapi beberapa saat kemudian, jika iring-iringan itu menuruni lembah, maka Kiai Dulang dapat melihat mereka dan berusaha untuk mendekatinya, tetapi tanpa diketahui oleh orang-orang yang diikutinya itu.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh pengawasnya. Iring-iringan itu benar-benar tidak pernah berhenti sama sekali. Mereka menuruni lembah dan memanjat tebing yang betapapun juga curamnya. Tanpa berhenti, seperti perjalanan matahari.

“Gila” geram Kiai Dulang, “aku tahan berjalan sehari semalam, tetapi tidak melalui jalan seperti ini.

Meskipun demikian Kiai Dulang tidak juga berhenti. Ia masih ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan oleh para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru itu.

“Tentu pengawas yang pernah melaporkan bahwa iring iringan itu tidak pernah berhenti hanyalah dugaannya saja. Tentu ia tidak akan sanggup mengikuti iring-iringan itu sampai mereka kembali kepadepokan.” berkata Kiai Dulang kepada diri sendiri ketika ia sudah hampir tidak kuat lagi untuk maju.

Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Dan Kiai Dulang masih ingin mengerahkan sisa tenaganya. Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat iring-iringan itu mulai mendaki lereng perbukitan setelah mereka berjalan di sepanjang lembah berbatu-batu padas.

“Apakah aku masih akan dapat mengikuti mereka” bertanya Kiai Dulang kepada diri sendiri. Ketika ia menengadahkan kepalanya dilihatnya matahari masih cukup tinggi.

“Mereka masih akan berjalan di sisa hari ini dan semalam suntuk” desis Kiai Dulang. Namun yang kemudian dibantahnya sendiri, “tentu tidak mungkin. Mereka tidak akan berjalan dimalam hari. Pengawas itu tidak menyaksikannya, sehingga ia hanya mengatakan saja menurut angan-angannya.”

Namun Kiai Dulang pun kemudian terkejut ketika ia melihat dikejauhan, dilereng batu-batu padas yang menjorok. Mereka berloncat-loncatan seperti kanak-kanak yang dilepas di taman yang berbunga-bunga di atas rerumputan yang hijau segar.

“Gila” geram Kiai Dulang, “anak itu masih mampu berlari, berloncatan dari batu besar kebatu yang lain, menelusuri jalan-jalan mendaki dan kemudian berlari turun kembali menyongsong kawananya yang lain.”

Sebenarnyalah, bahwa dari balik rimbunnya dedaunan di lembah, Kiai Dulang melihat dua orang anak muda yang agak lain dari cantrik-cantrik yang ikut serta dalam perjalanan itu. Keduanya nampak bebas dan gembira. Seolah-olalh ia tidak sedang berada didalam suatu lingkungan para cantrik yang sedang mengadakan latihan olah kanuragan.

“Apakah cantrik-cantrik yang lain juga mampu berbuat seperti kedua anak-anak itu” pertanyaan itu mengganggu Kiai Dulang, “jika demikian, maka yang sepuluh orang itu benar-benar merupakan orang yang sangat berbahaya.”

Dengan mata yang hampir tidak berkedip Kiai Dulang menyaksikan latihan yang menarik itu. Tetapi seperti yang diduganya, ia sudah tidak mampu lagi mengikuti iring-iringan yang mendaki semakin tinggi dan kemudian hilang dibalik sebuah tikungan yang tajam dipunggung pegunungan.

Nafas Kiai Dulang menjadi terengah-engah. Dengan serta merta ia pun menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon yang rimbun. Sekali-kali ia mengusap keringatnya dengan lengannya. Terasa kakinya menjadi gemetar. Bahkan kemudian perasaan pedih mulai terasa. Agaknya kakinya telah menjadi luka-luka oleh batu padas yang tajam di sepanjang perjalanan yang sangat berat baginya.

“Kedua anak muda itu tentu anak setan” geramnya.

Kiai Dulang kemudian menyandarkan dirinya pada sebatang pohon yang cukup besar. Ia adalah orang yang telah terlatih. Tetapi ternyata bahwa ia sama sekali tidak berhasil mengikuti latihan para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru.

“Latihan itu nampaknya sederhana sekali. Tetapi ternyata terlampau berat bagiku, dan apalagi bagi orang-orang gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang“ desisnya.

Kiai Dulang mulai membayangkan, apa saja yang dapat dilakukan jika benar-benar terjadi perselisihan antara kedua kakak beradik itu. Nampaknya Empu Baladatu mempunyai pengikut yang jauh lebih banyak. Tetapi Empu Sanggadaru mempunyai cantrik yang memiliki kemampuan tanpa tanding.

Kiai Dulang sama sekali tidak mengerti, bahwa dipadepokan Empu Sanggadaru tinggal beberapa orang prajurit dan kedua anak muda yang ingin menambah pengalaman dalam olah kanuragan dengan ilmu yang berbeda sumbernya dari ilmu ayahnya. Meskipun ayah mereka sudah berpesan, agar keduanya sangat berhati-hati memilih tata gerak yang mempunyai sifat dan watak yang tidak bertentangan dengan dasar ilmunya sendiri.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa para cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru sendiri, benar-benar telah meningkatkan ilmu mereka pula. Bersama para prajurit mereka telah saling menyadap ilmu masing-masing, sehingga dengan demikian para cantrik dipadepokan itu telah memiliki ilmu yang dapat dipakai sebagai bekal untuk mengamankan padepokan mereka jika para prajurit itu kelak akan meninggalkan mereka.

Dibawah tuntunan Empu Sanggadaru sendiri, para cantrik itu telah menyempurnakan ilmunya dengan berbagai macam tata gerak yang dimiliki oleh para prajurit pilihan itu, sementara para prajurit pun telah menyadap langsung ilmu yang dimiliki oleh Empu Sanggadaru.

Sementara Kiai Dulang sedang melepaskan lelah yang bagaikan mencengkam seluruh tubuhnya, ia terkejut melihat seorang anak muda yang lain berjalan tergesa-gesa mengikuti jejak iring-iringan itu. Hati Kiai Dulang menjadi ber-debar-debar. Namun wajahnya yang pucat, keringatnya yang bagaikan membasahi tubuhnya dan nafas yang hampir putus, agaknya membuat ujudnya semakin meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengemis.

Meskipun demikian, hati Kiai Dulang merasa kecut juga melihat langkah anak muda yang mendekatinya itu. Nampaknya ia pun sama sekali tidak terganggu oleh kelelahan dan desah nafas, meskipun agaknya anak muda itu dengan tergesa-gesa pula berusaha menyusul iring-iringan yang telah menjadi semakin jauh.

“Tentu anak muda yang seorang ini berjalan lebih cepat dan tergesa-gesa. Tetapi agaknya kemampuan jasmaniahnya sangat mengagumkan seperti kedua anak muda yang terdahulu. Bahkan barangkali agak melampaui karena anak muda ini berusaha menyusul iring-iringan yang sudah terdahulu.“ berkata Kiai Dulang didalam hati.

Kiai Dulang termangu-mangu memandang kesigapan anak muda yang berjalan dengan cepatnya mengikuti jejak iring-iringan yang diikuti oleh sepuluh orang pengikut Empu Sanggadaru. Ketika anak muda itu melihatnya, nampaknya ia tertegun. Tetapi kemudian perlahan-lahan dan dengan hati-hati anak muda itu mendekatinya. Kiai Dulang tergagap. Pada suara anak muda itu sama sekali tidak terasa desah nafas yang semakin cepat.

“Luar biasa” desis Kiai Dulang didalam hatinya.

Namun Kiai Dulang harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka ia pun kemudian berkata pe-lahan-lahan dibuat-buat, “Aku seorang perantau anak muda. Aku berjalan dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain mencari sesuap nasi.”

“Tetapi kenapa kau berada disini?”

“O, aku sama sekali juga tidak mengerti, kenapa aku telah berada disini.”

“Tersesat?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku melihat sebuah iring-iringan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku ingin mengikutinya. Tetapi iring-iringan itu berjalan tanpa berhenti, sehingga aku akhirnya terkapar disini.”

“Iring-iringan?”

“Ya. Aku telah berpapasan dengan iring-iringan yang di pimpin oleh seorang yang memakai pakaian kulit binatang hutan. Menyeramkan sekali. Itulah yang menarik perhatianku. Sehingga diluar sadarku, aku telah mengikutinya beberapa lama.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Ki Sanak kelelahan.”

“Ya.”

“Tetapi dimanakah iring-iringan itu sekarang? Apakah iring-iringan itu benar melalui jalan ini?”

“Ya. Belum lama. Jejaknya tentu masih nampak.” ia berhenti sejenak, lalu, “apakah anak muda akan menyusulnya?”

“Ya. Aku ingin menyusul iring-iringan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru itu.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan anak muda. Tetapi apakah anak muda juga salah seorang dari mereka?”

Anak muda itu menggeleng. Jawabnya, “Bukan Ki Sanak. Aku bukan salah seorang dari para cantrik itu.”

“Jadi apakah maksud Ki Sanak mengikuti iring-iringan itu?”

Anak muda itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak apa-apa. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya melihat, apakah mereka sudah mencapai suatu tingkatan yang memadai.”

“O” desis Kiai Dulang, “aku tidak mengerti tingkatan yang kau maksud anak muda, tetapi ternyata mereka berjalan tanpa berhenti. Sejak aku berpapasan, kemudian mengikuti beberapa saat saja, kakiku rasa-rasanya sudah berpatahan.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Beristirahatlah. Aku akan melanjutkan perjalanan.”

“Tetapi siapakah kau anak muda?” bertanya Kiai Dulang.

Dengan tanpa prasangka apapun anak muda itu menjawab. “Namaku Mahisa Bungalan.”

Kiai Dulang terkejut bukan buatan. “Inilah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu” geramnya di dalam hati, “ternyata laporan tentang anak muda itu benar, bahwa ia sudah kembali dan berada di Kota Raja."

Namun tiba-tiba saja kini ia bertemu seorang dengan seseorang. Sejenak Kiai Dulang termangu-mangu. Sepercik niat untuk melakukan sesuatu telah terbersit dihatinya. Anak muda itu adalah anak muda yang telah dengan sepenuh hati memusuhi orang-orang dari lingkungan ilmu hitam.

“Jika aku berhasil menangkapnya hidup atau mati, maka aku akan menjadi orang yang terpenting didalam lingkungan orang-orang berilmu hitam.” katanya didalam hati.

Tetapi ketika kemudian Kiai Dulang menyadari keadaannya dan keadaan anak muda itu, maka niatnya pun diurungkannya. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Setelah mengikuti jejak iring-iringan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru itu, ia nampaknya masih tetap segar. Sedang dirinya sendiri, telah dicengkam oleh perasaan lelah yang tidak terhingga, seolah-olah tulang belulangnya telah terlepas dari, tubuhnya.

Karena itu, maka Kiai Dulang pun tidak berbuat apa-apa selain hanya menarik nafas. Tetapi dengan demikian ia akan dapat melaporkan, bahwa Mahisa Bungalan yang telah berada kembali di Kota Raja itu, sering berkeliaran seorang diri tanpa pengawal seorangpun.

“Jika pada suatu saat kami dapat mengikutinya dan sempat memanggil beberapa orang kawan, alangkah baiknya jika anak muda itu dapat ditangkap hidup-hidup dan dapat menjadi salah seorang yang diumpankan pada upacara korban di saat purnama bulat” gumam Kiai Dulang didalam hatinya.

Mahisa Bungalan yang melihat Kiai Dulang termenung, kemudian berkata, “Aku akan meneruskan perjalananku.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun agaknya perasaannya benar-benar sudah diganggu oleh suatu keinginan untuk menangkap Mahisa Bungalan, meskipun nalarnya ternyata masih sempat memperingatkannya bahwa usaha itu adalah usaha yang sangat berbahaya.

“Kenapa kau termenung?” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“O, tidak apa-apa. Tidak apa-apa anak muda. Aku hanya berteka-teki didalam hati.”

“Apa yang ingin kau tebak?”

“Apakah anak muda ini sama sekali tidak merasa lelah mengikuti iring-iringan itu? Apakah anak muda juga datang dari arah dan tempat yang sama?“

Mahisa Bungalan tertawa.

“Aku baru mengikuti beberapa langkah, nafasku rasa rasanya sudah akan putus.”

“Kau sudah terlalu tua Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, “tetapi aku masih muda.”

“Orang yang berpakaian seperti orang yang tinggal di tengah-tengah hutan yang terpencil itu pun sudah tua.”

Mahisa Bungalan tidak menyahut. Tetapi ia melangkah maju sambil menepuk bahu Kiai Dulang, “Sudahlah. Beristirahatlah. Biarlah yang muda-muda melakukan latihan-latihan yang berat bagi hari depannya.”

Terasa jantung Kiai Dulang bergejolak. Hampir saja ia menarik pisau belati yang tersembunyi dibalik kainnya selagi Mahisa Bungalan lengah. Namun selagi ia masih ragu-ragu Mahisa Bungalan sudah melangkah menjauhinya sambil bertata, “Aku akan berjalan menyusul mereka.”

“Silahkan anak muda” jawab Kiai Dulang. Namun nafasnya tiba-tiba saja terasa sesak.

Mahisa Bungalan pun kemudian melangkah meninggalkan Kiai Dulang yang termangu-mangu. Sejenak kemudian anak muda itu pun berloncatan di antara batu-batu padas mengikuti jejak iring iringan yang agaknya sudah semakin jauh. Tetapi ketika Mahisa Bungalan berada di punggung sebuah gumuk, maka dilihatnya dikejauhan seperti titik-titik yang bergerak, merayapi tebing pegunungan.

“Tentu mereka” berkata Mahisa Bungalan didalam hatinya.

Mahisa Bungalan pun mempercepat langkahnya menuruni lereng yang rendah. Kemudian langkah menyelusur lembah dan sekali-sekali ia harus meloncati parit-parit yang telah digali oleh arus air hujan dilereng pegunungan. Ketika Mahisa Bungalan kemudian turun dengan tergesa-gesa, dari balik gerumbul dipunggung bukit, Kiai Dulang mengikutinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bukan main. Anak ini benar-benar tidak kalah dengan anak-anak muda yang berada didalam iring-iringan itu.”

Untuk beberapa saat lamanya Kiai Dulang mengikuti langkah Mahisa Bungalan. Namun kemudian ia pun segera duduk dibawah sebatang pohon perdu yang rimbun. Sekali ia menarik nafas dalam sekali. Kemudian melepaskannya sepuas-puasnya.

“Aku memang lelah sekali” desisnya sambil menyandarkan dirinya pada batang perdu yang rimbun itu.

Sementara itu Mahisa Bungalan telah berloncatan semakin jauh. Tetapi ia masih belum berhasil menyusul iring-iringan yang nampaknya seperti beberapa ekor semut yang merayap ditebing yang tingginya menyentuh langit. Sambil menganyam angan-angannya Kiai Dulang memikirkan kemungkinan yang dapat dilakukannya. Terutama menghadapi kemungkinan yang sama atas Mahisa Bungalan.

“Jika ia terbiasa berjalan mengikuti iring-iringan itu seorang diri, maka kemungkinan untuk menangkapnya nampaknya bukannya suatu hal yang mustahil.”

Kiai Dulang menjadi bimbang. Apakah ia akan melanjutkan perjalanan ke Mahibit atau menyelesaikan kemungkinan yang dijumpainya itu. Namun tiba-tiba saja telah tumbuh keinginannya untuk melihat barang satu dua kali lagi, apakah setiap kali Mahisa Bungalan setiap kali selalu mengikuti iring-iringan itu.

Itulah sebabnya maka Kiai Dulang tidak segera mencari Linggadadi. Baginya Mahisa Bungalan dan Linggadadi hampir tidak ada bedanya. Jika ia memilih mencari keterangan tentang Linggadadi lebih dahulu, karena menurut keterangan yang didengarnya, Mahisa Bungalan berada didalam lingkungan istana sehingga sulit baginya untuk mencari kemungkinan penangkapannya.

“Tetapi ternyata ia berkeliaran disini” katanya didalam hati, “jika ia berhasil ditangkap, maka ia merupakan korban yang paling berharga. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih tentu menganggap bahwa korban itu juga merupakan korban untuk meredakan kemarahan kekuasaan di belakang sumber kekuatan yang disebut ilmu hitam itu.”

Sejenak Kiai Dulang masih merenung. Namun akhirnya ia berkata, “Apa salahnya aku tinggal di daerah ini barang satu dua pekan lagi. Mungkin aku menemukan sesuatu yang akan sangat berharga bagi ilmu hitam yang diajarkan menurut cara dan adat Empu Baladatu.”

Itulah sebabnya maka Kiai Dulang itu pun kemudian mencari tempat yang baik untuk dapat mengintip setiap iring-iringan kecil itu melakukan latihan yang aneh itu. Dengan demikian maka Kiai Dulang dengan tekun berusaha selalu mengawasi regol padepokan Empu Sanggadaru. Dari hari kehari ia dengan sungguh-sungguh melakukan tugasnya.

Dihari-hari berikutnya, ia melihat beberapa orang cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru yang berada di luar regol meskipun tidak sedang melakukan latihan yang aneh itu. Tetapi yang sering terlihat olehnya hanyalah kedua orang anak muda yang ikut didalam iring-iringan para cantrik dalam latihan berjalan yang melelahkan itu.

“Ternyata Mahisa Bungalan tidak ada dipadepokan itu” desis Kiai Dulang, “jika demikian apakah artinya, bahwa Mahisa Bungalan telah mengikuti latihan berjalan jauh itu.

Kiai Dulang menjadi semakin yakin ketika ia sempat menunggu dua saat latihan berjalan jauh itu. Dan dikedua latihan itu, memang tidak melihat Mahisa Bungalan, dan ia tidak melihat anak muda itu mengikuti dari kejauhan atau menyusul kemudian.

“Mahisa Bungalan mempunyai kepentingan tersendiri” berkata Kiai Dulang didalam hatinya.

Agaknya Kiai Dulang merasa kecewa. Dengan demikian ia tidak mempunyai kesempatan untuk menjebak Mahisa Bungalan bersama beberapa orang dari gerombolan Serigala Putih atau Macan Kumbang, atau kedua orang pemimpin yang ditempatkan oleh Empu Baladatu dikedua padepokan itu.

“Bertiga, tentu aku dapat menangkap Mahisa Bungalan” berkata Kiai Dulang didalam hatinya. Namun kemungkinan itu agaknya masih belum dapat dilakukan.

Yang kemudian menjadi sasaran Kiai Dulang, selain Linggadadi adalah padepokan Empu Sanggadaru itu sendiri. Jika padepokan itu semakin lama menjadi semakin besar, maka Empu Baladatu tidak akan sempat melenyapkannya. Dengan demikian maka hambatan yang akan dihadapi oleh Empu Baladatu pun tidak akan berkurang, justru sebaliknya.

“Aku tidak tahu. Yang manakah yang lebih baik dilakukan.”

Tetapi Kiai Dulang pun kemudian melanjutkan perjalanannya seperti yang direncanakannya. Sebagai seorang pengemis ia pergi ke Mahibit. Ia ingin mendapatkan, beberapa keterangan, tentang Linggadadi yang juga disebut pembunuh orang-orang berimu hitam. Ternyata bahwa Mahibit adalah suatu daerah seperti yang diduganya. Tidak ada tanda-tanda yang nampak pada kota itu. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian.

Namun dengan keadaannya, Kiai Dulang dapat tinggal di tempat itu tanpa dicurigai pula. Setiap hari ia berada di jalan-jalan kota. Setiap hari ia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Dan setiap hari pula mendengar setiap pembicaraan.

Kiai Dulang berhasil mendapat keterangan tentang Linggadadi. Bahkan dengan dada yang berdebar-debar, ia, mengetahui bahwa Linggadadi adalah adik seorang yang bernama Linggapati. Kiai Dulang adalah seorang yang cukup cerdik. Dengan tidak menimbulkan kecurigaan ia sempat bertanya tentang beberapa hal yang diperlukan. Tentang keadaan dan kebiasaan Linggadadi dan Linggapati.

“Tidak banyak orang yang mengetahui” jawab seseorang yang kebetulan sempat ditanya oleh Kiai Dulang.

Kiai Dulang tidak bertanya lebih banyak lagi. Namun dengan telatennya ia datang mengacukan batoknya ia minta dengan memelas belas kasihan. Namun kemudian ia sempat berbicara beberapa patah kata tentang keadaan kota itu. Demikianlah berlaku bagi Kiai Dulang setiap hari, sehingga akhirnya ia mengenal beberapa orang di antara mereka yang dengan belas memberikan sekedar makanan kepadanya hampir setiap hari.

“Apakah rumah orang yang bernama Linggadadi itu juga di dalam kota ini,” pada suatu saat ia bertanya kepada seorang yang hampir setiap hari lewat ditikungan tempat ia sering duduk merenung dengan batok kelapa di tangan. Orang itu tertawa.

“Kau juga mengenal Linggadadi?” bertanya, orang itu.

“Aku pernah mendengar namanya. Ia adalah orang yang mendapat gelar pembunuh orang berilmu hitam.”

“Rumahnya ada di sudut jalan itu. Jika kau berjalan lurus, maka kau akan sampai ke tikungan. Kau akan mendapatkan sebuah halaman yang luas dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi. Penuh dengan pohon buah-buahan yang beraneka.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Dengan suara yang tersendat-sendat ia bertanya, “Aku sudah mengelilingi kota ini dari ujung sampai keujung. Tetapi aku tidak melihat rumah berhalaman luas berdinding batu tinggi dan penuh dengan pohon buah-buahan yang terdapat ditikungan.”

“Apakah kau pernah berjalan lurus ke arah ini?”

“Sudah.”

“Kau temui tikungan?”

Kiai Dulang termangu-mangu. Orang itu tertawa. Katanya, “Jalan ini panjang sekali. Baru setelah beberapa ratus tonggak kau akan sampai ke tikungan itu.”

“O” pengemis itu menarik nafas dalam, “baru aku tahu. Jalan ini memang sangat panjang. Ya, aku pernah berjalan sampai ketikungan. Jauh sekali. Dan aku memang menemukan rumah seperti yang tuan katakan.”

“Kau masuk kehalamannya dan minta sesuatu kepada penghuni rumah itu?”

Pengemis itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak menemukan regolnya.”

Orang itu tertawa lagi. Katanya, “Itulah anehnya rumah ditikungan itu."

Kiai Dulang termangu-mangu. Ia menganggap bahwa orang itu sedang berkelakar. Karena itu, maka ia pun ikut tertawa pula. “Tuan lucu sekali” berkata Kiai Dulang.

Tetapi orang itu menjawab, ”Aku tidak sedang bergurau. Aku berkata sebenarnya. Halaman rumah itu sama sekali tidak mempunyai jalan keluar. Dinding batunya melingkar sepenuhnya.”

“Jadi bagaimanakah jika penghuni rumah itu akan keluar dan memasuki halaman?”

Di dalam lingkungan dinding batu itu adalah sebuah padepokan. Karena itu, halamannya sangat luas dan mempunyai bermacam-macam pohon buah-buahan. Dibagian belakang padepokan itu terdapat kebun bunga.”

“Menarik sekali. Tetapi sekali lagi aku ingin tahu, bagaimana seseorang akan masuk?”

“Meloncat dinding. Mereka memang orang-orang yang kikir sehingga tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang malas seperti kau untuk memasuki halamannya.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Tuan benar. Seharusnya orang-orang malas seperti aku ini tidak diberi kesempatan memasuki halaman rumah siapapun juga.” Ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi dengan demikian aku akan semakin banyak mengganggu orang dipinggir jalan seperti sekarang ini.”

Orang yang lewat itu pun tertawa. Lalu katanya, “Ah, aku tidak akan memperkatakan rumah diujung jalan itu lagi. Itu bukan urusanku.”

Kiai Dulang termangu-mangu.

“He, kenapa kau ikut mengurusi rumah itu?”

“Bukan. Bukan rumah itu tuan. Tetapi selama, pengembaraanku, aku sering mendengar nama Linggadadi dari Mahibit.”

“Ya. Itulah rumahnya. Hanya rumahnya.”

“Kenapa hanya rumahnya?”

Orang yang lewat itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu apa-apa. Sudahlah. Kau memang sudah mengganggu aku.”

Pengemis itu tertawa. Dengan nada yang rendah datar ia berkata, “Aku minta maaf. Tetapi lebih baik, aku minta uang.”

“Uh” desis orang yang lewat itu sambil melemparkan uang sekeping. “Bekerjalah. Jangan menjadi pemalas seperti itu.”

Tetapi pengemis itu hanya tersenyum saja. Senyum itu masih berkepanjangan ketika orang yang lewat itu sudah melanjutkan perjalanannya meninggalkan tikungan. Sekali-kali pengemis itu memandang langkahnya yang kemudian hilang dibalik tikungan.

“Orang yang dungu” desis Kiai Dulang, “tetapi keterangan yang aku peroleh cukup banyak. Mudah-mudahan aku dapat melengkapinya. Jika benar halaman rumah itu tidak mempunyai regol pada dindingnya, tentu ada sebabnya dan temu ada rahasianya.”

Kiai Dulang pun kemudian memerlukan untuk melihat-lihat halaman rumah itu lagi. Sebagai seorang pengemis, maka tidak seorang pun yang akan mencurigainya jika ia mengelilingi dinding halaman itu dengan batok kelapa ditangan.

Ternyata bahwa tempurungnya merupakan senjata yang baik. Ketika ia mengelilingi dinding batu itu, ia kebetulan bertemu dengan seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkulit kuning dan berdagu panjang. Orang itu seolah-olah mempunyai ciri yang asing baginya.

Tatapan matanya yang redup, bibirnya yang bagaikan terkatup meskipun kemudian bergerak juga ketika ia bertanya kepadanya, “He, apa yang kau cari?”

Dan Kiai Dulang pun menjawab dengan serta merta “Pintu tuan. Pintu regol.”

“Gila” orang itu menggeram. Tetapi ia tidak memberikan keterangan apapun juga tentang regol itu. Akhirnya Kiai Dulang yakin, bahwa dinding halaman itu memang tidak mempunyai regol.

“Tentu setiap orang yang memasuki atau keluar regol itu harus meloncat.” katanya didalam hati.

Tetapi Kiai Dulang tidak dapat melakukannya karena dengan demikian akan dapat mendatangkan bahaya baginya. Ia sama sekali tidak dapat melihat apakah yang ada dibalik dinding batu itu. Jika demikian ia meloncat dan jatuh keujung tombak penjaganya, maka kematian itu adalah kematian yang sia-sia.

Ketika dihari berikutnya ia bertemu lagi dengan orang yang selalu lewat dan berhenti bercakap-cakap barang sejenak sebelum melemparkan sekeping uang, maka Kiai Dulang pun berceritera tentang halaman rumah yang aneh itu.

“Agaknya kau sangat menaruh perhatian terhadap rumah itu.”

“Justru karena aneh. Bahkan tiba-tiba saja timbul keinginanku melihat sekali dua kali orang yang meloncat naik atau keluar dari halaman itu.”

“Apa gunanya.”

“Tidak apa-apa. Sekedar dongeng buat anak cucu, bahwa aku pernah melihat halaman rumah yang sangat luas, berdinding batu cukup tinggi, tetapi tidak mempunyai regol sama sekali.”

Orang itu pun tertawa. Sambil melemparkan sekeping uang ia berkata, “Sekali-kali kau dapat mencoba melihat bagian dalam halaman rumah itu.”

“Aku tidak berani.”

“Kenapa?”

Kiai Dulang justru menjadi heran mendengar pertanyaan orang itu. Dengan dahi yang berkerut merut ia ganti bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah wajar sekali jika aku takut melihat bagian dalamnya?”

Orang yang lewat itu menggeleng. Katanya, “Kau tidak usah takut. Halaman itu adalah halaman yang kosong."

“Tetapi aku melihat justru beberapa buah rumah didalam lingkaran dinding batu yang tidak beregol itu.”

“Memang ada beberapa buah rumah. Tetapi rumah itu kosong sama sekali. Aku sudah melihat semua rumah di halaman itu.”

“He? Kosong?”

“Ya.”

“Jadi dimanakah Linggadadi?”

Orang itu tertawa. Jawabnya, “Kau aneh. Tentu tidak seorang pun yang mengetahui. Tetapi bahwa rumah itu adalah rumahnya memang benar. Sebelum ia meninggalkan kota ini, ia adalah penghuni rumah itu.”

“Meninggalkan Mahibit?”

“Ya.”

“Kemana?”

“Tentu tidak seorang pun yang mengetahuinya.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar telah mengejutkannya. Dalam beberapa saat terakhir, orang-orang yang mudah dihubungi karena belas kasihannya itu dapat di peras keterangannya tentang berbagai segi kehidupan Linggadadi. Bahkan keterangan yang diperolehnya semakin lama semakin memberikan harapan kepadanya. Namun tiba-tiba ia mendengar berita bahwa Linggadadi sudah tidak berada di kota lagi.

“Rumah itu kosong” desis orang ditikungan itu. Pengemis itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jadi Linggadadi telah meninggalkan padepokannya ke tujuan yang tidak diketahui?”

“Ya.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Jika rumah di dalam halaman itu benar-benar telah dikosongkan, maka padepokan itu akan dapat diperbaiki dan dihuni.

“Kapan kau akan datang kerumah itu?”

“Ah” jawab pengemis” tidak perlu.”

“Datanglah. Mungkin ada satu atau dua buah nangka yang jatuh setelah masak dipohon.”

Orang yang selama itu menyamar menjadi pengemis itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia pun ingin melihat apakah yang ada didalam lingkaran dinding batu itu, sehingga karena itu maka ia pun ingin menerima undangan itu, meskipun ia sadar bahwa undangan itu bukannya undangan dari penghuni padepokan yang telah meninggalkannya.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Dulang ingin melihat apakah yang ada dibalik dinding yang selalu tertutup itu. Meskipun demikian ia tidak mengatakannya kepada orang yang selalu lewat itu, bahwa ia memang ingin datang ke halaman rumah yang tanpa regol dan sudah kosong sama sekali itu. Tetapi Kiai Dulang menjadi ragu-ragu, ketika pada kesempatan lain ia bertanya kepada orang lain tentang halaman itu.

“Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh” jawab orang itu, “sebaiknya kau memperhatikan tempurungmu daripada memperhatikan dinding halaman yang tidak berpintu itu.”

Kiai Dulang termangu-mangu. Namun ada dua atau tiga orang yang selalu menghindar jika dalam suatu saat ia ber kesempatan bertanya tentang halaman rumah itu. Tetapi Kiai Dulang tidak pernah berputus asa, meskipun ia tetap tidak berhasil mengetahui keadaan halaman itu. Juga tentang penghuninya.

“Satu-satunya orang yang berani menceriterakan tentang halaman rumah itu adalah orang yang menyuruh aku datang untuk melihat bahwa halaman itu benar-benar sudah kosong” berkata Kiai Dulang didalam hatinya.

Namun dalam pada itu, selagi ia masih tetap berusaha mengumpulkan keterangan tentang Linggadadi, Linggapati dan halaman rumah yang disebut rumahnya itu, ia mengalami kejutan yang telah membuatnya kehilangan pegangan. Ketika ia berada di tempat yang biasa dipergunakannya untuk menengadahkan tempurungnya di sebelah kelokan jalan, maka datanglah seorang yang belum pernah dikenalnya. Orang yang belum pernah dilihatnya lewat dan apalagi memberikan sesuatu kepadanya.

Dengan serta merta orang itu langsung duduk di sisinya dan bertanya, “Apakah benar kau mencari Linggadadi?”

Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkannya. Karena itu dengan serta merta pula ia menjawab, “Tidak. Aku tidak mencarinya.”

“Kau selalu bertanya tentang orang itu. Hampir kepada setiap orang yang kau kenal disini.”

Sekali lagi ia menjawab, “Tidak. Itu keliru. Aku memang pernah menyebut namanya. Tetapi hanya sekali.”

Orang yang duduk di sampingnya itu tertawa. Lalu ia pun bertanya, “Seandainya hanya sekali, apakah alasanmu menyebut namanya?”

“Sama sekali tidak ada alasannya, selain aku memang pernah mendengar nama itu. Linggadadi dari Mahibit yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku kira kau mempunyai keperluan tertentu. Setiap orang yang menyebut namanya tentu mempunyai keperluan tertentu.”

“Aku tidak.”

l “Baiklah. Tetapi jangan ingkar bahwa sebenarnya kau datang memang untuk mencari Linggadadi.”

Orang yang menyamar dirinya sebagai pengemis itu menjadi bingung. Namun demikian ia tetap menggeleng sambil menjawab, “Aku sama sekali tidak berkepentingan secara pribadi. Aku hanya pernah mendengar namanya. Sesudah itu, tidak ada hubungan apapun juga.”

Orang itu tertawa. Lalu, “Bagaimana dengan padepokan yang dikelilingi oleh dinding batu tanpa regol sama sekali itu?”

“O” Kiai Dulang tiba-tiba saja ikut tertawa, “aku memang pernah mendapat kesulitan. Dua kali aku mengitari dinding batu itu.”

“Untuk apa?”

“Menilik halaman yang luas, maka aku mengira bahwa penghuninya tentu seorang yang kaya, baik hati dan pemurah. Itulah sebabnya aku ingin menemukan regol untuk memasuki halaman itu.”

Orang yang tidak dikenal oleh Kiai Dulang itu tertawa. Katanya, “Jawabmu memang masuk akal. Tetapi kau tidak dapat mengelabui aku.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Lalu dengan suara bergetar ia bertanya, “Siapakah kau sebenarnya?”

“Akulah orang yang selalu kau tanyakan kepada setiap orang.”

“Linggadadi?” suara Kiai Dulang terasa tersendat.

Orang itu tertawa. Katanya, “Meskipun aku orang Mahibit, tetapi tidak semua orang mengenal aku. Jika aku duduk di sampingmu, maka tidak ada orang yang akan mengenalku lagi, karena aku kadang-kadang mengelilingi kota ini dengan seekor kuda yang tegar, diiringi oleh beberapa orang pengawal.”

Kiai Dulang termangu-mangu. Keringatnya mulai mengalir di punggungnya. Berturutan ia bertemu dengan orang-orang yang di sebut pembunuh orang berilmu hitam. Tetapi ketika ia bertemu dengan Mahisa Bungalan, nampaknya Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Tetapi kali ini agaknya Linggadadi menaruh perhatian yang besar kepadanya.

“He” desak Linggadadi, “apakah kau masih ingkar bahwa kau sedang ingin mengetahui beberapa keterangan tentang Linggadadi?”

“Tidak. Aku memang tidak sedang melakukannya.”

“Kau kenal orang yang setiap hari kau tegur dan hampir setiap hari pula memberikan sekeping uang kedalam tempurungmu.”

Kiai Dulang ragu-ragu. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku mengenalnya justru karena ia seorang pemurah yang selalu memberi aku sekeping uang. Tetapi selebihnya, aku tidak mempunyai sangkut paut.”

“Kau tidak bohong?”

“Tidak, tentu tidak. Aku adalah orang yang paling tidak berharga dikota ini. Setiap orang hanyalah didorong oleh belas kasihan semata-mata jika sekali-kali mereka sudi berbicara dengan aku.”

“Aku tidak” sahut Linggadadi, “aku berbicara dengan kau sekarang sama sekali bukan karena belas kasihan. Tetapi justru sebaliknya.”

“Apa maksudmu?”

Linggadadi tertawa. Katanya, “Orang yang mendapat tugas untuk mengenali Linggadadi dan Linggapati tentu orang yang memiliki ilmu setinggi bintang yang bergayutan di langit.”

“Ah...“

“Apakah kau sudah berhasil mengenali orang yang bernama Linggapati?”

“Aku tidak mengenal seorang, dan aku memang tidak ingin mengenali siapa pun disini, selain mereka yang dengan belas kasihan memberikan sekeping uang atau sesuap nasi.”

“Kau memang pandai berbohong. Tetapi baiklah. Jika kau benar-benar belum mengenal, biarlah aku beritahukan, bahwa orang yang sering lewat dan melemparkan sekeping uang, dan yang mengundang kau untuk melihat-lihat halaman didalam dinding batu yang buntu dan mencari buah nangka yang rontok karena tua, itulah kakak kandungku. Namanya Linggapati.”

“O” Kiai Dulang benar-benar terkejut. Tubuhnya terasa menjadi panas dan keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh tubuhnya.

“Nah, pengenalanmu sudah lengkap. Tetapi seperti yang kau ketahui, padepokanku memang sudah kosong. Aku dan para pengikutku telah meninggalkan padepokan itu untuk sementara. Pada saatnya kami akan kembali, dan memperluas padepokan ke seluruh kota ini dan keseluruh Singasari.”

Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar. Sebelum ia menjawab Linggadadi berkata selanjutnya, “Nah, kau sudah banyak mendengar tentang aku. Padahal tidak ada orang yang boleh mengetahuinya sebanyak yang kau ketahui sekarang.”

Wajah Kiai Dulang menjadi semakin tegang. Terbersit di dalam hatinya, kesediaan untuk menghadapi setiap kemungkinan karena ia pun merasa mempunyai bekal ilmu meskipun dengain sadar ia mengetahui bahwa ilmunya tidak setinggi ilmu Linggadadi dan Linggapati. Tetapi jika terpaksa ia harus mati, maka ia memilih mati sebagai seorang laki-laki jantan daripada sebagai seorang pengemis yang ketakutan.

Dada Kiai Dulang menjadi semakin berdentangan ketika dari kejauhan ia melihat seseorang mendekatinya. Orang yang sering memberinya sekeping uang kedalam tempurungnya. Orang yang telah minta kepadanya untuk memasuki halaman yang sudah kosong, dan yang menurut orang yang duduk disampingnya, orang itu bernama Linggapati.

Untuk sesaat Kiai Dulang justru duduk membeku. Seolah-olah ia berada diantara dua mulut raksasa yang telah menganga. Ia sadar akan kemampuan Linggadadi dan tentu juga Linggapati, kakaknya. Jika Linggadadi digelari pembunuh orang berilmu hitam, maka Linggapati tentu mempunyai kemampuan juga untuk melakukannya.

Teringat olehnya, seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan yang dijumpainya diperjalanan tanpa batas. Anak muda yang seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh perasaan lelah, karena kemampuannya menguasai diri sendiri, kemampuan mengatur segenap jalur kekuatan yang ada didalam dirinya dan kemampuannya menyerap kekuatan cadangan yang berada didalam dirinya dan didalam alam sekitarnya.

Ia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk melakukan sesuatu terhadap anak muda itu. Namun kini ia berada diantara dua kekuatan raksasa yang tidak terbatas. Tetapi Kiai Dulang berusaha untuk menenangkan hatinya. Seolah-olah ia tidak mengetahui apa yang dapat terjadi atasnya.

Karena itu ketika orang yang disebut bernama Linggapati itu mendekatinya, maka sambil tersenyum ia berkata, “He, apakah benar bahwa tuan adalah kakak orang yang menyebut dirinya bernama Linggadadi ini? Dan benarkah bahwa tuan yang bernama Linggapati?”

“Sst” orang yang duduk di sampingnya itu menggamitnya, “suaramu dapat menarik perhatian orang yang lewat.”

“Apa salahnya?”

“Jangan pura-pura dungu. Kau harus menyadari bahwa sebentar lagi aku akan membunuhmu.”

“Membunuh?” Kiai Dulang benar-benar menjadi cemas, “apakah salahku...?”

Tetapi Linggapati tersenyum. Katanya, “Kau benar. Aku adalah Linggapati. Tetapi seperti yang dikatakan adikku, jangan berteriak begitu supaya tidak menarik perhatian orang-orang yang lewat. Meskipun aku orang Mahibit, tetapi dalam keadaan seperti ini, tidak banyak orang yang mengenal kami berdua.”

“Aku sudah mengatakannya” potong Linggadadi.

“Nah, anggaplah bahwa kau tidak mengetahui bahwa kami adalah dua orang bersaudara yang disebut Linggapati dan Linggadadi.”

“He” Kiai Dulang menjadi bingung.

“Itu tidak mungkin kakang” sahut Linggadadi, “ia sudah mengetahui tentang kita. Kita harus membunuhnya.”

Tetapi Linggapati tersenyum. Katanya, “Orang ini sangat menarik. Agaknya ia termasuk salah seorang yang sedang menyelidiki sesuatu tentang Linggapati dan Linggadadi di Mahibit. Tetapi aku tidak berkeberatan bahwa ia mengetahui serba sedikit tentang kita seperti orang-orang lain mengetahuinya. Bukankah hampir setiap orang mengetahui bahwa padepokan yang tertutup tanpa regol itu adalah padapokan Linggapati dan Linggadadi? Tetapi mereka tidak akan dapat mengatakan kemanakah Linggapati dan Linggadadi sekarang berada. Orang ini pun tidak akan dapat mengatakannya, sehingga apa yang diketahuinya tidak lebih dari yang dapat diketahui oleh orang-orang lain.”

“Tetapi ia dengan sengaja mencari aku.”

“Tidak. Aku hanya pernah mendengar namamu.” Linggapati tertawa. Katanya, “Itu pun wajar bahwa seseorang akan tertarik mendengar nama, Linggadadi si pembunuh orang berilmu hitam. Apalagi orang itu memang berilmu hitam. Tetapi aku yakin menilik sikap dan pembicaraan yang setiap kali aku lakukan dengan orang itu, ia bukannya prajurit Singasari.”

“Tetapi ia tentu datang dari salah satu kelompok yang akan dapat mengganggu kita. Jika ia bukan prajurit Singasari atau petugas sandi, tentu ia orang yang memiliki ilmu hitam.”

“Aku berharap, bahwa ia adalah orang yang memiliki ilmu hitam seperti Empu Baladatu yang sudah menaklukkan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang.”

“Tetapi itu adalah suatu kebodohan Empu Baladatu. Sebelumnya tidak ada orang yang pernah menyebut namanya. Tetapi dengan penaklukan kedua gerombolan yang cukup besar itu, maka setiap orang mempercakapkan namanya.”

Kiai Dulang sama sekali tidak menyahut.

“Kakang” berkata Linggadadi yang agaknya memang lebih kasar dari kakaknya, “kenapa kita membiarkannya hidup?”

“Biarlah ia memperkenalkan kita kepada gerombolannya. Sebenarnyalah bahwa kita tidak berkeberatan untuk menerima setiap uluran tangan. Kita ingin bekerja bersama siapa saja yang memang mempunyai cita-cita yang tinggi Tidak berhenti pada kepuasan sesat tanpa jangkauan masa depan sama sekali.”

“Tetapi orang ini berbahaya.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Kita pernah mencurigai orang-orang tertentu yang sekarang justru merupakan orang-orang terbaik didalam lingkungan kita. Mungkin orang ini pun demikian.”

Linggadadi menjadi termangu-mangu. Sementara Linggapati berkata selanjutnya, “Biarlah ia berbuat apa saja. Biarlah ia kembali kedalam kelompoknya. Jika ia menyadari keadaannya, tentu ia akan kembali ke Mahibit dan akan berada di tempat ini pula. Tetapi jika ia tidak bersedia bekerja bersama kita, biarlah ia menjadi musuh yang paling berbahaya.”

Linggadadi memandang kakaknya dan Kiai Dulang berganti-ganti. Namun agaknya Kiai Dulang benar-benar mampu melakukan peranannya sehingga seolah-olah ia benar-benar bukan orang yang berbahaya bagi Linggapati dan Linggadadi.

Bahkan dengan wajah yang terheran-heran ia bertanya, “Apakah yang sebenarnya tuan bicarakan? Aku menjadi gemetar mendengar ancaman tuan yang menyebut dirinya bernama Linggadadi. Aku memang pernah mendengar nama itu sebagai seorang yang digelari Pembunuh orang berilmu hitam. Tetapi apakah karena itu tuan akan membunuh setiap orang yang tidak tuan senangi.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Sudahlah. Diam sajalah. Semakin banyak kau bicara, maka kau akan membuat kesalahan semakin banyak, sehingga adikku tentu semakin bernafsu untuk membunuhmu. Tetapi aku telah menempuh sesuatu kemungkinan yang mungkin memang membahayakan diriku. Tetapi apa boleh buat. Pergilah. Jika kau salah seorang yang tidak bergabung dalam induk kelompok yang manapun juga, kembalilah kepadaku. Kau akan mendapat tempat yang baik. Tetapi jika kau memang salah seorang dari kelompok yang dipimpin oleh Empu Baladatu dalam genggaman ilmu hitam, katakanlah kepadanya, bahwa Linggapati dan Linggadadi memang berada di Mahibit. Tetapi padepokannya yang tidak mempunyai regol ternyata telah kosong. Dan tidak seorang pun yang akan dapat mengenalnya, karena ia dapat merubah dirinya dalam seribu ujud.”

Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar.

“Sudah tentu aku tidak dapat merubah wajahku. Demikian juga Linggadadi. Tetapi kami dapat mengenakan pakaian, kelengkapan dan mungkin sedikit gangguan diwajahku, sehingga orang Mahibit sendiri tidak dapat mengetahui dengan pasti, yang manakah sebenarnya Linggadadi dan Linggapati yang mereka kenal sebelumnya. Hanya jika ada sebuah pedati yang ditarik oleh empat ekor kuda yang tegar, itulah salah seorang dari dua orang bersaudara yang sangat ditakuti oleh setiap orang, atau bahkan kedua-duanya. Tetapi sudah tentu tidak seperti yang kau lihat sekarang ini.”

“Kakang telah membuka semua rahasia tentang diri kita” potong Linggadadi, “mungkin ia benar-benar seorang musuh yang sangat berbahaya.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Pergilah. Dan aku menunggu kau disini. Kau pasti akan kembali. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau kembali sebagai kawan, atau sebagai lawan yang harus aku cincang sampai lumat, sebab aku mendengar bahwa cara yang dipergunakan orang berilmu hitam untuk membinasakan lawannya adalah sangat mengerikan. Tetapi kami mempunyai cara yang serupa meskipun kami bukan orang berilmu hitam dan menyadapnya dengan mengorbankan nyawa orang lain.”

Dada Kiai Dulang berdegup semakin keras. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu sejauh dapat dilakukan.

“Nah, cepat pergilah” desak Linggapati, “kau masih mendapat kesempatan.”

“Baiklah” jawab Kiai Dulang, “aku akan pergi. Tetapi aku tidak tahu kemana aku akan pergi, karena aku memang tidak mempunyai tujuan tertentu. Mungkin aku akan pergi ke kota yang terdekat, atau kota yang jauh sama sekali. Jika aku tidak kembali, artinya bahwa aku mendapat tempat yang lebih baik untuk mencari nafkah. Jika tidak, aku akan kembali ke kota ini apapun yang akan kalian tuduhkan kepadaku, karena sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti yang kalian maksud.”

“Sudahlah, diamlah agar kau tidak keliru” potong Linggapati, “pergilah.”

Kiai Dulang pun kemudian bergeser surut. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan ragu-ragu melangkah pergi.

“He” panggil Linggapati.

Kiai Dulang berpaling dengan hati yang berdebaran. Tetapi dilihatnya Linggapati tertawa sambil melemparkan sekeping uang, “Kau memerlukannya bukan.”

“O” desis Kiai Dulang. Namun sekali lagi ia membuktikan bahwa ia dapat berperan dengan baik. Dengan tergesa-gesa uang itu dipungutnya sambil berkata, “Terima kasih.”

Lalu ditatapnya Linggadadi seolah-olah mengharapkan bahwa ia pun akan melemparkan sekeping uang seperti Linggapati. Tetapi Linggadadi justru membentak” Cepat pergi.”

“O “dengan tergesa-gesa Kiai Dulang pun melanjutkan langkahnya menjauhi kedua orang kakak beradik yang masih berdiri ditempatnya.

“Aku tidak terlalu yakin bahwa orang itu berbahaya“ berkata Linggapati, “nampaknya ia benar-benar seorang pengemis.”

“Ia mencari aku” desis Linggadadi.

“Ya. Ia memang bertanya tentang Linggadadi. Memang mungkin ia termasuk salah seorang dari mereka yang berilmu hitam. Namun agaknya ia akan dapat melihat sesuatu yang mungkin akan dapat menariknya bersama beberapa orang kawannya. Jika tidak, maka yang diketahuinya sama sekali tidak berarti. Ia tidak akan dapat menemukan tempat kita yang sebenarnya. Biar sajalah jika orang itu datang dan merampok buah-buahan di padepokan tertutup itu.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah aku diperbolehkan mengikutinya.”

“Itu tidak perlu. Aku kira jika ia mengetahui bahwa kau mengikutinya, ia pun akan dapat berbuat sesuatu untuk mengelabuimu.”

Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya seolah-olah kepada diri sendiri, “Ia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Jika aku ingin membunuhnya, ia akan mati terkapar di pinggir jalan.”

“Dan itu sama sekali tidak perlu” sahut Linggapati, “berapa kali aku mencegah kau melakukan pembunuhan. Dan meskipun tidak seluruhnya, tetapi beberapa di antara mereka kini berada didalam lingkungan kami.”

Linggadadi tidak menjawab.

“Biarlah orang itu menemui Empu Baladatu seandainya ia memang orang dari lingkungannya. Biarlah ia mengatakan apa yang diketahuinya tentang kita.”

Linggadadi tidak menjawab.Tetapi ia tidak lagi memperhatikan langkah pengemis yang sudah semakin jauh dan kemudian hilang ditikungan.

Ketika Kiai Dulang sadar, bahwa ia sudah tidak terlihat lagi oleh kedua orang yang menyebut diri mereka Linggapati dan Linggadadi, maka ia pun segera mempercepat langkahnya. Sekali-sekali ia berpaling karena kegelisahan dihati sendiri. Ketika ia sampai pada sebuah tikungan, maka ia pun segera berbelok lagi untuk menghindarkan diri dari pengawasan seandainya Linggadadi dan Linggapati mengawasinya dari kejauhan.

Di dalam sebuah lorong yang sempit Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah terlepas dari intaian kedua orang yang telah mendebarkan jantungnya itu. Meskipun demikian Kiai Dulang tidak memperlambat langkahnya, seolah-olah ia ingin cepat-cepat keluar dari daerah Mahibit yang bagaikan menjadi sepanas bara.

Dengan cepat Kiai Dulang melangkah keujung lorong di kejauhan. Ia yang pernah menjelajahi kota itu sebagai seorang pengemis tahu benar, bahwa lorong itu akan sampai ke ujung padukuhan, kemudian sampai kebulak pendek. Ia akan melintasi bulak itu, dan akan sampai ke jalan yang lurus melintasi gerbang kota.

“Aku akan segera sampai keluar kota” desisnya.

Tetapi, ketika ia muncul dimulut lorong, terasa jantungnya bagaikan meledak. Seolah-olah tiba-tiba saja ia telah berdiri di hadapan seseorang yang duduk diatas sebuah batu di pinggir lorong tepat di simpang tiga.

“O” terloncat sebuah desah dibibir Kiai Dulang.

“Aku sudah memperhitungkan bahwa kau akan mengambil jalan ini untuk menghindarkan diri dari pengawasanku.” desis orang itu.

Kiai Dulang menjadi bingung, apakah yang harus dikatakannya. Karena itu, untuk beberapa saat ia berdiri bagaikan patung.

“Bagiku kau tetap berbahaya” desis orang itu, “kakang Linggapati memang terlampau percaya kepada diri sendiri. Tetapi sikapnya itu kadang-kadang sangat merugikan kami semuanya.”

“Tetapi, tetapi aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan pergi seperti yang kalian perintahkan.”

“Pergi dari kota ini memang mengurangi beban kami. Tetapi akan lebih lapang lagi dada kami, jika orang-orang seperti kau ini dibunuh saja sama sekali.”

“Tetapi aku tidak bersalah.”

“Kakang Linggapati tidak berkepentingan dengan kau. Tetapi aku mempunyai kepentingan langsung karena kau tentu salah seorang dari orang-orang berilmu hitam yang sedang menyelidiki tentang Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu hitam. Dan seperti gelar itu, maka kau pun harus dibunuh.”

Kiai Dulang menjadi berdebar-debar. Ia tahu bahwa Linggadadi adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia pun sadar, bahwa ia bukannya tidak berilmu sama sekali.

Meskipun demikian Kiai Dulang masih juga berusaha menghindari benturan. Katanya, “Tuan. Apakah yang sebenarnya tuan kehendaki daripadaku. Aku sudah memenuhi segala perintah tuan dan saudara tua tuan yang bernama Linggapati itu. Apakah masih ada yang salah?”

“Kau orang yang berbahaya bagiku. Tetapi tidak bagi kakang Linggapati. Karena itu, maka aku telah berusaha dengan diam-diam mencegatmu di sini, karena kakang Linggapati tidak mengijinkannya.”

“Aku benar-benar tidak merasa bersalah.”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Marilah. Kita berjalan bersama-sama sampai keluar pintu gerbang. Aku akan membunuhmu di luar kota. Aku akan berusaha bahwa kau tidak akan mengalami siksaan disaat matimu.”

“Tuan.”

“Jika kau melawan atau melakukan sesuatu yang dapat mengganggu usahaku membunuhmu tanpa kecemasan dan rasa sakit, maka akibatnya tentu kau sendirilah yang akan mengalami.”

“Tetapi” sahut Kiai Dulang, “bukankah aku tidak akan berbuat apa-apa?”

“Jangan berbohong lagi. Tidak ada gunanya.” desis Linggadadi, “sekarang marilah. Kau harus sadar, bahwa ilmuku masih berada diatas ilmu Empu Baladatu, sehingga murid-muridnya seperti kau dan yang lain-lain itu sama sekali tidak berarti bagiku.”

Wajah Kiai Dulang menjadi merah. Tetapi kecemasan kini benar-benar telah mencengkam jantungnya.

“Marilah. Tetapi jika kau melawan, maka aku akan mengambil sikap yang barangkali sangat menjemukan bagimu menjelang saat kematian. He, kau lihat parit kecil itu? Aku dapat mengikatmu dan meletakkan tubuhmu tertelungkup di parit yang hanya mengalir setinggi mata kaki. Tetapi dalam waktu sehari kau tentu akan mati.”

Wajah Kiai Dulang menjadi tegang. Kecemasan yang sangat telah mencengkam hatinya.

Dalam pada itu Linggadadi berkata selanjutnya, “Terserah kepadamu. Segala sesuatunya kau sendirilah yang menentukan. Lihat. Parit itu hanya mengalirkan air tidak terlalu banyak. Tetapi jika kau menelungkup sehari, maka akan cukup banyak air yang masuk kedalam perutmu. Kau tidak akan dapat berteriak, karena setiap kau mengangakan mulutmu, air akan mengalir masuk. Sementara itu kau tidak akan dapat mengangkat kepalamu karena seluruh tubuhmu terikat erat-erat.”

Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi sudah terbersit tekad didadanya, bahwa apabila perlu, maka ia tidak akan membiarkan dirinya mati tanpa perlawanan, apapun yang akan terjadi atasnya.

“Marilah” ajak Linggadadi, “jangan ribut supaya jalan bagimu terbuka. Kematianmu adalah kematian yang menyenangkan.”

Kiai Dulang tetap berdiam diri.

“Apakah kau sudah tuli” bentak Linggadadi kemudian. Tidak ada jawaban.

Linggadadi menjadi marah karenanya, sehingga ia pun kemudian melangkah mendekat sambil membentak, “Jangan menyiksa diri sendiri.”

Ketegangan yang memuncak telah mencengkam jantung Kiai Dulang. Namun justru karena itu, maka ia masih saja berdiri membeku. Seolah-olah ia menunggu apa saja yang akan terjadi atas dirinya.

Namun dalam pada itu, selagi Linggadadi mendekatinya dengan wajah yang merah oleh kemarahan, terdengar suara tertawa dibalik tikungan. Kemudian muncullah seseorang dengan langkah satu-satu seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

Linggadadi menjadi semakin tegang. Diluar sadarnya ia bergumam, “Kakang Linggapati.”

“Aku sudah menyangka, bahwa seperti yang selalu kau lakukan, kau akan membunuh orang itu.” Linggadadi tidak menjawab.

“Kau sudah terbiasa melanggar keputusanku. Tetapi kau tidak pernah menyadari, bahwa setiap kali kau keliru.”

Linggadadi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya kakaknya dan Kiai Dulang berganti-ganti.

“Nah Ki Sanak” berkata Linggapati, “pergilah. Aku kira Linggadadi tidak akan mengganggumu lagi.”

Kiai Dulang masih tetap ragu-ragu, sehingga Linggapati lah yang kemudian membentaknya, “Cepat, pergilah. Atau aku akan mengambil sikap lain?”

Seperti orang yang tersadar dari mimpinya, Kiai Dulang pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah meninggalkan tempat itu. Jauh lebih cepat dari yang sudah dilakukannya.

Sambil tersenyum Linggapati melihat orang itu berlari-lari kecil. Setiap kali Kiai Dulang berpaling untuk meyakinkan bahwa Linggadadi tidak menyusulnya lagi.

“Kakang terlampau memanjakan orang-orang yang memusuhi aku” berkata Linggadadi.

“Kau memang kasar Linggadadi. Tetapi sebaiknya kau menurut nasehatku. Orang itu sama sekali tidak berbahaya. Aku pasti, bahwa ia bukannya petugas sandi dari Singasari. Sedangkan jika ia orang dari lingkungan ilmu hitam, maka ia akan merupakan tusukan yang mungkin akan berarti bagi lingkungan itu.”

“Lingkungan ilmu hitam cukup ketat.”

“Aku tidak berkeberatan. Jika ia akan hilang, itu tidak akan banyak berpengaruh.”

Linggadadi yang kecewa itu terdiam. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, karena peringatan yang demikian dari kakaknya merupakan peringatan yang menentukan.

Sementara itu, Kiai Dulang telah berjalan semakin jauh. Ketika ia melintasi gerbang kota kecil itu, maka ia pun merasa seolah-olah ia sudah terlepas dari tangan Linggadadi meskipun kemungkinan yang buruk masih akan dapat terjadi atasnya.

Namun agaknya Kiai Dulang benar-benar telah bebas dari ancaman Linggadadi, sehingga ia merasa bahwa jiwanya sudah tidak terancam lagi ketika ia sudah melintasi beberapa buah padukuhan dan bulak.

“Linggadadi tidak akan berani melanggar pesan kakaknya” berkata Kiai Dulang didalam hatinya.

Sambil berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi Mahibit, Kiai Dulang mulai menganyam cara untuk mengatasi persoalan yang dapat timbul kemudian dengan perguruan Empu Baladatu. Ia mencoba untuk menilai, apakah sekiranya Empu Baladatu mempunyai kemampuan yang seimbang dengan Linggadadi dan Linggapati.

“Seandainya Empu Baladatu memiliki ilmu yang seimbang dengan salah seorang dari keduanya, namun bersama-sama keduanya tetap merupakan orang yang sangat berbahaya bagi perguruan ilmu yang disebut hitam itu.” berkata Kiai Dulang.

Apalagi ketika sekilas terbayang wajah seorang anak muda yang seolah-olah tidak terpengaruh oleh kelelahan sama sekali. Mahisa Bungalan. Dan yang kemudian mengganggunya pula adalah padepokan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru.

“Rintangan-rintangan yang sangat berat” desis Kiai Dulang. Dan yang terakhir adalah orang-orang yang ada di dalam istana Singasari itu sendiri.

Terbayang betapa orang-orang kuat seperti Mahisa Agni, Lembu Ampal, para Senapati dan Panglima. Kemudian kedua anak muda yang sedang berkuasa di Singasari, yang disebut Sepasang Ular Naga disatu sarang. Bahkan kemudian muncul pula nama-nama Witantra dan Mahendra.

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada diri sendiri, “Memang tidak mungkin bagi Empu Baladatu untuk mencapai maksudnya. Meskipun ia dapat memperluas daerah pengaruhnya, tetapi perkembangan tentu sangat perlahan. Apalagi diluar istana agaknya Linggadadi dan Linggapati mempunyai kepentingan tersendiri dengan Singasari.”

Sesaat terlintas sikap Linggadadi dan Linggapati yang berbeda. Dan Kiai Dulang yang mempunyai nalar yang cukup tajam dapat mengerti, apakah yang sebenarnya dimaksud oleh Linggapati.

“Linggapati ingin menggabungkan kekuatan yang berada di luar istana” katanya kepada diri sendiri.

Namun semuanya masih harus diserahkan kepada kebijaksanaan Empu Baladatu. Ia adalah penguasa tunggal di padepokannya, sehingga segala sesuatu, Empu Baladatu sendirilah yang harus mengambil keputusan.

“Tetapi aku dapat memberikan pertimbangan kepadanya” berkata Kiai Dulang kemudian.

Karena itu, maka perjalanan Kiai Dulang itu pun langsung menuju ke padepokan Empu Baladatu, meskipun ia harus bermalam di perjalanan. Kedatangannya telah menimbulkan harapan-harapan baru pada Empu Baladatu. Namun kemudian nampak betapa hatinya justru dicengkam oleh keragu-raguan ketika Kiai Dulang sudah melaporkan semua hasil perjalanannya.

“Hatimu memang terlampau kecil menghadapi persoalan yang besar ini” berkata Empu Baladatu.

“Tidak Empu. Tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan yang kita hadapi. Apakah yang dapat kita harapkan dengan kekuatan yang ada pada, kita sekarang.”

“Serigala Putih dan Macan kumbang harus diperhitungkan.”

“Tentu Empu. Tetapi jika sepasukan prajurit segelar sepapan datang ke kedua padepokan itu, maka padepokan itu tentu akan segera disapu bersih.”

“Kau tidak melihat kekuatan Serigala Putih dan Macan Kumbang yang sebenarnya.”

“Aku berada di antara mereka, Empu. Aku tinggal di tengah-tengah mereka.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam. Dengan seksama ia mendengarkan setiap penjelasan yang diberikan oleh Kiai Dulang. Tentang kedua bersaudara yang ditemuinya di Mahibit. Tentang sifat-sifat mereka yang berbeda dan pendirian mereka masing-masing.

“Bagaimana menurut pertimbanganmu. Apakah agaknya mereka dapat dipercaya?”

“Menurut pendapatku Empu, mereka adalah orang-orang yang menyatakan apa yang tersirat dihati mereka. Jika mereka ingin membunuh, maka keinginannya itu akan segera nampak. Tetapi agaknya Linggapati mempunyai perhitungan yang lebih masak.”

“Tetapi ingat Kiai Dulang, Linggapati adalah pembunuh orang berilmu hitam.”

“Itu adalah suatu kebetulan. Tetapi aku kira jika kita dapat memanfaatkan hubungan kita dengan Linggapati, maka akan dijalin suatu hubungan yang lain, yang mungkin akan dapat saling memberikan manfaat.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia merasakan beberapa kebenaran keterangan Kiai Dulang. “Tetapi bagaimana mungkin aku dapat membicarakan hal ini dengan Linggapati?”

“Aku dapat menghubunginya. Dan Empu akan dapat mengadakan penjajagan, karena pada hakekatnya, ikatan yang apabila mungkin dibuat, adalah ikatan yang longgar.”

“Kita belum mengetahui kekuatan orang-orang Mahibit itu,”

“Jika kekuatan mereka hanyalah terletak pada kedua orang itu, maka kita akan dapat membinasakannya. Betapapun tinggi ilmunya, namun jumlah orang yang adapun akan mempengaruhinya pula.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi terbayang olehnya ceritera Kiai Dulang tentang halaman sebuah padepokan yang dikelilingi oleh dinding batu yang agak tinggi, tetapi sama sekali tanpa regol.

“Memang aneh dan tentu menyimpan rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain. Bahkan penghuni padepokan itu pun tidak, selain Linggapati dan Linggadadi.” desah Empu Baladatu.

“Padepokan itu sudah kosong.”

“Ya, sudah kau katakan. Tetapi kekosongan padepokan itu bukan berarti bahwa padepokan itu sudah tidak mempunyai arti lagi.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Kiai” berkata Empu Baladatu, “baiklah aku akan memikirkan. Tetapi memang berat untuk menghadapi sederetan nama seperti yang kau katakan. Tetapi sudah tentu bukan maksudku untuk menghadapi mereka bersama-sama. Tetapi seorang demi seorang dalam kesempatan yang terpisah-pisah.”

“Aku tahu Empu. Tetapi baiklah kita mencoba mencari hubungan dengan orang-orang Mahibit. Kita mempunyai kekuatan cukup, sehingga Linggadadi dan Linggapati tidak akan dapat memperkecil kehadiran kita. Dan bahkan mungkin dengan demikian kebiasaan Linggadadi membunuh orang berilmu hitam itu pun akan ditinggalkannya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera dapat mengambil keputusan. Banyak pertimbangan dan perhitungan yang harus diperhatikannya tentang Linggapati dan Linggadadi. Tetapi ia pun tidak dapat mengabaikan pendapat Kiai Dulang yang bagi orang-orang berilmu hitam memiliki tataran yang cukup baik.

Tetapi Empu Baladatu harus bersikap hati-hati. Ia tidak akan dapat memutuskannya sendiri. Dengan banyak pertimbangan ia mencoba menilik setiap kemungkinan yang dapat dilakukan. Itulah sebabnya maka Empu Baladatu pun memanggil beberapa orang yang dianggapnya mempunyai kecakapan berpikir. Seorang demi seorang, agar masing-masing tidak saling mempengaruhi. Ia ingin mendengar pendapat orang-orangnya seluas-luasnya seperti yang mereka pikirkan.

Memang ada beberapa pendapat. Tetapi menurut kesimpulan yang didapatkannya, maka orang-orangnya condong untuk tidak bermusuhan dengan Linggadadi yang digelari pembunuh orang berilmu hitam.

“Memang ada dendam yang menyala dihati kami” berkata salah seorang dari mereka, “tetapi dendam itu tidak harus diujudkan dalam tindakan yang bodoh dan tidak terarah. Kita akan dapat memanfaatkan tawaran baik dari Linggapati itu meskipun pada suatu saat kita akan membuat perhitungan dengan mereka secara khusus.”

“Maksudmu jika kita telah berhasil, maka kita akan membuat perhitungan khusus?”

“Setelah berhasil atau separo berhasil. Tetapi sudah tentu pada keadaan seperti sekarang, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa, karena kita tidak tahu dimanakah orang-orang yang bernama Linggapati dan Linggadadi itu sebenarnya tinggal.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud anak buahnya yang seorang ini. Tetapi perbuatan licik itu pun sama sekali tidak menjadi pantangan bagi golongan orang-orang berilmu hitam itu.

Sementara anak buahnya yang lain dengan tegas menerima tawaran itu. Meskipun ia berkata, “Tetapi kita tidak boleh lengah. Kita tidak boleh menjadi korban dari kelicikan Linggapati itu. Jika kita terpaksa menghubungi mereka, maka biarlah orang-orang yang tidak banyak berarti bagi kita berusaha untuk membuat rintisan dari hubungan itu, sehingga yang terjadi bukanlah sebuah jebakan.”

Namun yang lain mengatakan, “Apakah kita akan membiarkan diri kita masuk ke mulut buaya?”

“Tetapi banyak cara yang dapat ditempuh” berkata Empu Baladatu, “memang mungkin kita masing-masing akan dapat berbuat curang. Tetapi setidak-tidaknya kesepakatan untuk tidak saling memusuhi, akan membantu perkembangan perguruan ini. Kita akan dapat menyiapkan kekuatan yang cukup, sehingga jika benar-benar kita dihadapkan pada keharusan membuat perhitungan maka kita sudah dapat benar-benar bersiap dalam segala hal.“

“Tetapi apakah Linggapati dan Linggadadi tidak berbuat apapun juga selama ini?” bertanya salah seorang dari anak buahnya, “jika kita berharap untuk maju, maka Linggapati pun akan berbuat serupa seperti kita.”

“Mereka akan dapat berbuat seperti yang dikehendaki, karena selama ini pihak kita sajalah yang banyak mengalami kesulitan akibat perbuatan Linggadadi dan Mahisa Bungalan, yang nampaknya satu dengan lainnya tidak mempunyai hubungan. Kita sudah terkelabuhi selama ini jika kita menganggap bahwa kedua orang itu merupakan sepasang kesatria yang mencoba ingin menjadi pahlawan.”

Anak buahnya pun mengangguk-angguk. Dengan penuh kecurigaan mereka dapat mengerti, bahwa hubungan itu memang dapat diselenggarakan. Dalam pertemuan terbatas setelah Empu Baladatu mendengar dan berbicara dengan beberapa orang, maka akhirnya Empu Baladatu memutuskan untuk mencoba membuat hubungan tertentu dengan Linggapati.

“Pergilah ke Mahibit” berkata Empu Baladatu kepada Kiai Dulang, “kita akan menentukan, dimana aku dapat bertemu dengan Linggapati. Hanya Linggapati. Jika yang datang Linggapati dan Linggadadi, aku tidak akan berbicara. Meskipun nanti keputusan yang diambil akan menyangkut Linggadadi, namun aku tidak bersedia berbicara dengan orang yang kasar itu.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kedatangannya ke Mahibit dapat membahayakan jiwanya. Jika Linggadadi tidak dapat mengendalikan dirinya, maka akan dapat terjadi benturan kekerasan. Sedangkan Linggadadi adalah orang yang tentu tidak akan dapat dilawannya. Karena itulah, maka Kiai Dulang minta kepada Empu Baladatu agar perjalanannya mendapat pengawasan dari seseorang yang dapat dipercaya untuk membantunya, jika Linggadadi kemudian menjadi gila.

Empu Baladatu tidak berkeberatan. Itulah sebabnya maka Kiai Dulang pun kemudian pergi ke Mahibit dengan seorang kawan yang akan dapat membantunya jika ia menemui kesulitan.

Kedatangan Kiai Dulang kembali ke Mahibit sudah di duga oleh Linggapati. Karena itulah, maka beberapa hari kemudian, ia sudah melihat lagi seorang pengemis yang duduk ditikungan yang biasanya dipergunakan oleh Kiai Dulang menunggu orang-orang yang bermurah hati memberikan sekeping uang kepadanya, termasuk Linggapati.

Yang pertama-tama datang kepada Kiai Dulang dari kedua bersaudara itu adalah Linggapati. Seperti biasanya ia datang dan melemparkan sekeping uang. Namun kemudian sambil tertawa ia berkata, “Aku sudah mengira bahwa kau akan datang lagi.”

“Sebenarnya aku sangat cemas” berkata Kiai Dulang.

“Kenapa?”

“Linggadadi sudah siap membunuhku.” Linggapati tertawa. Katanya, “Jangan takut. Ia tidak bersungguh-sungguh.”

“Ia bersungguh-sungguh.”

“Sekarang tidak. Aku sudah memperingatkannya.“

Kiai Dulang termangu-mangu. Tetapi ia mempunyai kepercayaan kepada Linggapati. Agaknya Linggapati akan dapat memegang janjinya, dan tidak akan membiarkan Linggadadi membunuhnya.

“Katakan, kenapa kau kembali meskipun kau cemas bahwa Linggadadi akan membunuhmu?”

“Kau tentu sudah menduga.”

Linggapati tertawa lagi. Katanya sambil mengangguk-angguk, “Sudah aku kira bahwa kau bukan seorang pengemis yang dungu. Kau tentu seorang yang memiliki kemampuan berpikir yang matang. Sejak aku bertemu dengan kau disini, aku sudah mempertimbangkan untuk berbicara tentang Kemungkinan seperti yang akan kau katakan kepadaku. Bukankah begitu?”

“Ya. Dan kau sudah banyak mengetahuinya meskipun mula-mula hanyalah sekedar dugaan.”

“Katakanlah dengan tepat.”

“Aku datang atas nama Empu Baladatu.”

Linggapati tertawa sekali lagi meskipun ia berusaha untuk menahannya agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lewat, “Tepat seperti yang aku perhitungkan. Kau tentu salah seorang dari orang-orang berilmu hitam yang mendendam kepada Linggadadi, karena Linggadadi digelari pembunuh orang berilmu hitam. Dan pimpinan tertinggi orang-orang berilmu hitam adalah Empu Baladatu. Usahanya mengalahkan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak menguntungkannya, karena setiap orang kemudian mengetahui namanya karena orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak dapat membatasi diri seperti murid-murid Empu Baladatu yang lebih tua dan murni.”

“Kau benar. Tetapi tidak semua orang mengetahui dan mengenal ciri-ciri Empu Baladatu seperti orang-orang Mahibit yang mengenal nama Linggadadi dan Linggapati tidak mengenal ciri-cirinya.”

Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Tidak banyak orang yang mengetahui ciri-cirinya. Bahkan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang yang pernah berhadapan muka sekalipun tidak akan dapat mengenalnya dalam ujudnya yang sedikit berubah.”

Kiai Dulang tidak menjawab.

“Nah, apa katamu sekarang tentang Empu Baladatu?”

“Ia bersedia bertemu denganmu.”

“Bagus sekali” sahut Linggapati, “apakah aku harus datang kepadepokannya?”

“Tidak. Kau dapat menentukan tempat lain.”

“Dimana, apakah di Mahibit?”

“Tidak di Mahibit, tetapi juga tidak dipadepokan Empu Baladatu."

“Katakan dimana. Aku akan bersedia datang berdua saja dengan Linggadadi, tanpa orang lain.”

Kiai Dulang menjadi heran. Agaknya Linggapati mempunyai kepercayaan yang sangat kuat kepada dirinya sendiri sehingga ia sama sekali tidak gentar kemanapun ia harus bertemu dengan Empu Baladatu. “Apakah kau bersedia datang ke salah satu sarang gerombolan Serigala Putih atau Macan Kumbang.”

“Tentu. Aku akan datang. Aku sudah mengetahui letak kedua padepokan itu.”

“Jika demikian baiklah. Kita tentukan harinya. Datanglah ke padepokan Serigala Putih.”

“Tetapi beritahukan kepada orang-orang gerombolan Serigala Putih agar mereka tidak mengganggu aku. Mereka tidak usah mengetahui bahwa yang datang adalah Linggapati dan Linggadadi. Tetapi bahwa akan datang dua orang mengunjungi padepokan mereka, itulah yang harus mereka ketahui agar mereka tidak berbuat dungu dan mengganggu aku. Setiap gangguan, apalagi tindakan kekerasan, berarti padukuhan itu akan musnah.”

“Ternyata kau juga dapat menyombongkan diri?”

“Tentu. Aku selalu berusaha untuk menyombongkan diri agar aku dapat menakut-nakuti orang lain. Kesombongan kadang-kadang memang sangat berguna.” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi yang aku katakan benar-benar kesombongan. Bukan bualan. Kau tahu bedanya?”

Kiai Dulang termangu-mangu.

“Sombong adalah mengatakan yang sebenarnya meskipun agak berlebih-lebihan dan sekedar ingin mendapat pujian. Sedang bualan adalah sesuatu yang sama sekali tidak benar.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyampaikan kepada Empu Baladatu. Tentukan hari yang paling baik buatmu.”

“Tentu bukan saat purnama naik, saat Empu Baladatu memerlukan korban untuk perkembangan ilmunya, meskipun bukan berarti aku menjadi ketakutan.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Ternyata yang di ketahui Linggapati tentang Empu Baladatu cukup banyak. Sejenak Kiai Dulang mempertimbangkan kemungkinan pertemuan itu. Agaknya Linggapati benar-benar seorang yang percaya kepada diri sendiri, sehingga dimanapun pertemuan itu diadakan, bukannya menjadi persoalan baginya.

Namun dalam pada itu, Kiai Dulang berkata, “Linggapati. Jika persoalan menjadi semakin terang, apakah kau akan tetap merahasiakan dirimu sendiri dan kekuatanmu yang sebenarnya bagi Empu Baladatu?”

“Itu tergantung kepada keadaan.” jawab Linggapati, “tetapi pada dasarnya, kita tidak diwajibkan untuk melebur kekuatan yang ada. Tetapi kita akan bersama-sama mempergunakan kekuatan kita masing-masing untuk tujuan yang sama.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah Linggapati. Kita tentukan saja, bahwa pertemuan akan dilangsungkan di hari pertama, saat bulan mulai nampak di langit, di padepokan gerombolan Serigala Putih.”

Linggapati tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku dan Linggadadi akan datang. Jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan dapat membinasakan seisi padepokan dan bahkan padepokan Macan Kumbang dan padepokan Empu Baladatu sendiri.”

Kiai Dulang tersenyum. Katanya, “Kau belum mengetahui dimanakah letaknya padepokan dan kekuatan Empu Baladatu yang sebenarnya.”

Linggapati pun tertawa. Katanya, “Memang belum. Tetapi akan segera mengetahuinya jika aku dengan bersungguh-sungguh mencarinya. Jika kau tidak percaya, aku akan dapat membuktkannya.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia akan dapat menjadi sasaran pemerasan untuk mengatakan letak padepokan Empu Baladatu yang sebenarnya. Meskipun seorang kawannya mengawasi dari kejauhan, tetapi yang dapat dilakukan oleh kawannya itu tentu sekedar melaporkan kepada Empu Baladatu jika terjadi sesuatu atas dirinya.

Karena itu, maka Kiai Dulang itu pun berkata, “Baiklah. Aku percaya. Karena itu agaknya pembicaraan kita sudah dapat dianggap selesai, karena pembicaraan berikutnya akan dilakukan dipadepokan itu dengan Empu Baladatu sendiri.”

“Katakanlah kepada Empu Baladatu, bahwa aku akan datang. Mudah-mudahan kita saling menyadari bahwa kita tidak boleh saling mengganggu dan terlebih-lebih lagi, agar kita dapat bekerja bersama untuk mencapai suatu cita-cita yang agung.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja senyum yang mulai membayang dibibirnya segera larut ketika ia melihat seseorang dengan langkah yang tetap perlahan-lahan mendekatinya.

“Kau masih cemas saja melihat kehadirannya” berkata Linggapati, “ia sudah menyadari bahwa langkahnya telah salah. Itulah sebabnya maka kau tidak usah cemas.”

Kiai Dulang terdiam sejenak. Namun kemudian kepalanya pun terangguk-angguk lemah. Katanya, “Mudah-mudahan.”

Kiai Dulang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Linggadadi pun menjadi semakin dekat. Sejenak Kiai Dulang menunggu dengan tegang. Namun rasa-rasanya hatinya menjadi lapang ketika ia melihat wajah Linggadadi yang cerah. Bahkan sebuah senyum mampak di bibirnya.

“Maafkan sikapku yang kasar” berkata Linggadadi sebelum ia berhenti berjalan.

Kiai Dulang pun tersenyum sambil menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Semuanya terjadi karena persoalan di antara kita yang belum jelas.”

“Apakah sekarang sudah jelas?”

“Nampaknya akan menjadi semakin jelas.” jawab Kiai Dulang.

Sekilas Linggadadi memandang wajah kakaknya. Sebuah anggukan kecil dan senyum yang sekilas dibibir Linggapati telah membenarkan kata-kata Kiai Dulang itu sehingga Linggadadi pun mengangguk-angguk pula.

“Kita akan datang ke padepokan gerombolan Serigala Putih pada hari pertama, saat bulan mulai nampak dilangit. Kita akan berbicara langsung dengan Empu Baladatu, dan barangkali kita akan mengatur langkah-langkah kita selanjutnya.”

Linggadadi hanya mengangguk-angguk saja. Kemudian ia berdesis, “Terserahlah kepada kakang. Aku akan selalu melakukan tugasku sebaik-baiknya.“

Linggapati pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Sampaikan kepada Empu Baladatu, bahwa aku akan datang pada saatnya. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan baik, sehingga dengan demikian akan hilanglah gelar Linggadadi sebagai pembunuh orang berilmu hitam.”

“Ah” desis Linggadadi.

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Seleret dendam membayang dimatanya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Ya. Tetapi selain Linggadadi, masih ada orang yang mendapat gelar serupa.”

“Mahisa Bungalan, anak Mahendra” sahut Linggapati.

“Ya.”

“Kita akan menyelesaikannya kelak. Jika kekuatan kita bergabung, maka Mahisa Bungalan tidak akan ada artinya lagi bagi kita. Mahendra, Witantra, Lembu Ampal, Mahisa Agni, Satu-satu akan kita lenyapkan. Kemudian sepasang ular itu tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi didalam sarangnya yang akan segera kita bakar sampai hangus.”

Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi ia melihat cahaya yang ber-kilat-kilat dimata Linggapati. Bahkan didalam hatinya Kiai Dulang berkata, “Nampaknya Linggapati justru lebih meyakinkan dari Empu Baladatu sendiri.”

Demikianlah, ketika kesepakatan telah didapat, pengemis itu pun segera meninggalkan Mahibit. Dari kejauhan seseorang yang memang dibawanya, mengikutinya dan mengawasinya jika ada sesuatu yang membahayakan Kiai Dulang.

Ketika mereka keluar dari gerbang kota, maka kawan Kiai Dulang itu pun mulai mempercepat langkah menyusulnya karena menurut pendapatnya tidak akan ada kesulitan apapun lagi jika keduanya berjalan bersama, karena mereka sudah tidak berada di Mahibit lagi, dan sudah tentu berada diluar pengawasan Linggapati dan Linggadadi.

Namun ketika orang itu melalui sebatang pohon yang besar ditepi jalan, tiba-tiba saja ia memekik terkejut. Sebuah tangan yang kuat telah menariknya dan sebelum ia dapat berbuat apa-apa, tangan itu sudah melingkar dilehernya. Orang itu akan meronta. Namun niatnya segera diurungkan karena ujung pisau yang tajam melekat didadanya.

“Kau harus dibunuh” desis seseorang.

“Kenapa?” orang itu tergagap.

“Kau tentu mengikuti pengemis itu dengan maksud buruk. Ia adalah kawanku, sehingga karena itu, kau memang harus dibunuh.”

“Tidak, tidak” suaranya terputus karena lengan yang melingkar dilehernya menjadi semakin keras.

Kiai Dulang mendengar suara kawannya yang sudah tidak begitu jauh daripadanya. Ketika ia berpaling, ia pun terkejut melihat Linggadadi sudah siap menekan pisaunya yang melekat di dada kawannya.

“Tunggu” tiba-tiba saja Kiai Dulang berteriak.

Linggadadi mengerutkan keningnya. Ketika Kiai Dulang kemudian berlari-lari kembali mendekati kawannya, Linggadadi berkata, “Aku mengamati orang ini sejak di Mahibit. Meskipun ia tidak mendekat, tetapi aku mengetahui bahwa ia selalu mengawasinya. Tentu ia bermaksud buruk atasmu.”

Kiai Dulang tersenyum. Katanya, “Ia adalah kawanku. Kami datang bersama-sama memasuki Mahibit. Aku merasa perlu membawa seorang kawan yang dapat mengetahui segala perbuatan dan keselamatanku selama aku berada di Mahibit.”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Kemudian dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Kenapa kau merasa perlu membawa seorang kawan? Apakah kau tidak percaya kepada kami?”

“Bukan maksudku untuk tidak percaya. Tetapi kesalah pahaman dapat saja terjadi dalam setiap pembicaraan.”

“Lalu kau membawa seorang kawan jika terjadi perselisihan antara kau dengan kami berdua? Kau kira kau berdua dengan orang ini dapat melawan kami berdua?”

“Bukan, bukan maksudku? Ia hanya bertugas untuk mengetahui apa yang terjadi dan melaporkannya kepada Empu Baladatu. Kami sadar, bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika kami harus mati di Mahibit. Seandainya kami memiliki kemampuan melawan kalian berdua, maka kalian pun dapat mengerahkan anak buah kalian yang tidak dapat aku bayangkan, berapa jumlahnya.”

“Jadi apakah maksudmu sebenarnya dengan membawa seorang kawan.”

“Seperti yang aku katakan. Tugasnya hanya untuk melihat keadaan tanpa berbuat apapun juga.”

Linggadadi melepaskan orang itu perlahan-lahan. Kemudian ia pun menggeram, “Benar-benar suatu penghinaan. Linggapati dan Linggadadi bukan pengecut. Jika kami ingin membunuh, kami tentu akan melakukannya dengan berterus terang. Tidak ada gunanya kami menjebakmu. Mengundangmu kemudian membunuhmu. Itu tidak ada artinya, karena jika demikian, kau tentu sudah mati diparit dipinggir padukuhan itu.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam.

“Kami adalah laki-laki yang menganggap semua kata-kata kami sangat berharga. Karena itu, kami membenci setiap orang yang tidak percaya kepada kata-kata kami.”

Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi ia melihat warna semburat merah disorot mata Linggadadi.

“Pergilah. Tetapi jangan kalian mencoba mengulangi penghinaan ini, agar kalian tidak mengalami nasib buruk.”

“Aku minta maaf” desis Kiai Dulang.

Linggadadi pun kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua orang yang termangu-mangu dibawah sebatang pohon yang rimbun. Dengan ragu-ragu Kiai Dulang mencoba melihat batang pohon yang besar itu sambil berdesis, “Memang luar biasa. Aku kira ia sama sekali tidak mengerti bahwa kau sedang mengikutiku.”

“Hem” desis kawan Kiai Dulang, “rasa-rasanya nafasku terputus ketika tangannya menekan leherku. Ternyata ia melihat dan mengerti bahwa aku memang mengikuti dan mengawasimu. Tetapi agaknya ia salah paham.”

“Maksudnya, ia melindungi aku karena aku membawa bahan pembicaraan dengan Linggapati kepada Empu Baladatu.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil melangkah ia berkata, “Marilah. Aku menjadi ngeri.”

Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Mahibit kembali kepadepokannya. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi ketika mereka harus bermalam diperjalanan. Mereka hanya berhenti beberapa saat untuk melepaskan lelah dengan berbaring sejenak diatas rerumputan kering tanpa membuat perapian.

“Kita harus segera sampai.” desis Kiai Dulang.

Dan sebelum fajar, mereka sudah, melanjutkan perjalanan agar mereka segera sampai kepadepokan untuk menyampaikan semua hasil pembicaraan mereka dengan Linggapati dan Linggadadi.

Tidak ada persoalan yang menghambat rencana pertemuan itu. Kiai Dulang sudah mengatakan semua hasil pembicaraannya kepada Empu Baladatu, dan Empu Baladatu pun tidak berkeberatan pula meskipun ia menjadi berdebar-debar mendengar laporan betapa Linggapati dan Linggadadi memiliki kepercayaan yang kuat kepada diri sendiri.

Namun katanya kemudian, “Tentu Linggapati dan Linggadadi tidak akan datang berdua saja. Mereka tentu membawa sepasukan pengawal yang tersembunyi, namun siap menyerang jika keadaan memaksa.”

“Mereka mengatakan bahwa mereka akan datang berdua saja kepadepokan gerombolan Serigala Putih.”

“Kau percaya begitu saja? Aku tidak. Karena itu orang-orang Serigala Putih harus mempersiapkan diri jika terjadi sesuatu. Aku yakin, bahwa pasukan Linggapati dan Linggadadi ada disekitar padepokan itu.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin juga begitu. Sikap keduanya yang sangat meyakinkan itulah barangkali yang telah membuat aku percaya bahwa mereka benar-benar akan datang berdua saja.”

“Kau memang dungu. Kembalilah kedalam lingkungan Serigala Putih. Kau harus menyiapkan segalanya menjelang pembicaraan itu. Bahkan kau harus menyiapkan orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang pula.

“Mengapa?”

“Apakah kau masih belum mengerti?”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya, lalu, “Jadi maksud Empu, orang-orang Macan Kumbang harus berada di sekitar padepokan itu pula?”

“Jangan terlalu bodoh. Jika demikian akan dapat timbul salah paham. Sebelum Linggapati dan Linggadadi menyelesaikan pembicaraan, dapat terjadi bentrokan antara orang-orang Macan Kumbang yang mendekati padepokan gerombolan Serigala Putih dengan orang-orang dari Mahibit.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Jadi apa yang harus mereka lakukan?”

“Kau harus memilih beberapa orang terkuat diantara mereka. Bawa mereka masuk kedalam lingkungan orang-orang Serigala Putih meskipun harus dijaga agar tidak timbul perselisihan diantara mereka, karena permusuhan yang lama antara kedua gerombolan itu.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Empu Baladatu meskipun ia pun menyadari bahwa sentuhan antara dua lingkungan yang pernah mengalami permusuhan itu akan dapat menimbulkan persoalan.

“Tetapi kini sikap mereka tentu sudah berubah” berkata Empu Baladatu kemudian.

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-Mudahan mereka merasa masing-masing pihak menjadi semakin dekat setelah mereka bersama-sama menyadap ilmu yang sama.”

“Aku percaya kepada kalian yang bertugas dipadepokan itu. Kalian harus mengatur segalanya, sehingga tidak akan menumbuhkan penyesalan dikemudian hari.” berkata Empu Baladatu kemudian, “jika ternyata kemudian Linggapati dan Linggadadi menyalahi persetujuan dan menyerang padepokan Serigala Putih, maka kita semuanya sudah bersiap menghadapinya.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Aku akan datang beberapa hari sebelum saat yang di tentukan. Aku harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi aku berharap bahwa Linggapati dan Linggadadi dapat dipercaya.”

“Menilik sikap dan kata-katanya, aku percaya bahwa ada keinginan, setidak-tidaknya dari Linggapati yang mempunyai pengaruh yang lebih besar dari Linggadadi, bahwa kita tidak akan memusuhinya, dan selebihnya dapat bekerja bersama untuk sesuatu yang besar. Tetapi aku masih belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi setelah yang besar itu dapat dicapai.”

“Tentu kita masing-masing masih belum mengetahuinya apakah yang sebaiknya kita lakukan” sahut Empu Baladatu, “tetapi tentu ada sifat-sifat licik pada kita dan pada Linggapati untuk mengingkari, setidak-tidaknya sebagian dari janji yang akan dibuat. Karena itu, kita tidak boleh lengah. Tidak ada satu pihak pun yang kelak akan dapat menjadi penengah jika terjadi perselisihan antara kita dengan pihak Linggapati dan Linggadadi. Perselsihan itu jika timbul, harus kita selesaikan dengan kekerasan. Kalau perlu dengan kelicikan dan bahkan tipu muslihat.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk.

“Tetapi baiklah kita tidak terlalu berprasangka buruk sekarang ini. Pertemuan itu aku harap dapat berlangsung dengan baik karena aku sudah akan mengajukan sasaran yang pertama.”

Kiai Dulang mengerutkan keningnya.

“Kita akan mulai dari pihak yang paling jauh dari perhatian istana, jika kita mulai dengan Mahisa Bungalan, maka kemungkinan untuk berbenturan dengan prajurit Singasari akan dekat sekali. Demikian pula agaknya dengan Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal.”

“Jadi?”

“Kita singkirkan saudara kandungku yang mulai menjadi besar. Ia tentu merupakan penghalang yang tidak boleh diabaikan.”

Wajah Kiai Dulang menjadi tegang. Dengan suara datar ia, bertanya, “Maksud Empu , Empu Sanggadaru?”

Empu Baladatu mengangguk lemah. Memang nampak keragu-raguan disorot matanya. Namun yang dikatakannya itu bukannya belum dipikirkannya.

“Aku menghormatinya sebagai seorang saudara tua” berkata Empu Baladatu, “tetapi ia sama sekali tidak dapat mengerti keinginanku.”

“Apakah Empu pernah mengatakannya apa yang Empu kehendaki?”

Empu Baladatu termenung sejenak. Kemudian kepalanya menggeleng lemah, “Belum. Aku Belum mengatakannya.”

“Jadi, darimana Empu mengetahui bahwa Empu Sanggadaru tidak dapat mengerti kehendak Empu?”

Empu Baladatu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Jalan hidup kita sangat berlainan. Meskipun Empu Sanggadaru belum pernah mengatakan sesuatu kepadaku tentang pilihan kita masing-masing, namun sikap dan tingkah lakunya sudah meyakinkan, bahwa ia bukannya seorang saudara laki-laki yang baik.”

“Empu” bertanya Kiai Dulang, “tetapi kenapa justru Empu Sanggadaru lah yang pertama?”

“Ia saudaraku. Mungkin di saat lain, hatiku sudah menjadi semakin lemah, sehingga aku tidak berani bertindak kepada saudaraku sendiri. Karena itu, selagi hati ini masih membara, maka ia akan mengalami nasib buruk yang pertama.” Empu Baladatu berhenti sejenak, ilalu, “alasan yang lain adalah, karena Empu Sanggadaru bukannya orang yang dekat dengan istana seperti yang sudah aku katakan.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Empu Baladatu benar-benar seorang berilmu hitam yang tidak lagi mempunyai pertimbangan selain dorongan nafsunya yang membara didalam dadanya seperti yang dikatakannya. Tetapi Kiai Dulang tidak dapat mencegahnya. Ia pun seorang yang sudah lama menyadap ilmu hitam tanpa belas kasihan. Karena itulah maka keheranannya atas sikap Empu Baladatu itu pun lambat laun menjadi susut pula.

“Siapapun jika mereka tergolong orang yang mungkin dapat merintangi jalan ke singgasana Singasari, tentu akan disingkirkannya” berkata Kiai Dulang didalam hatinya. Namun kemudian sebuah pertanyaan, “Tetapi siapakah yang akan memiliki kedudukan tertinggi jika kerja sama antara Linggapati dan Linggadadi itu berhasil? Empu Baladatu atau Linggapati? Atau mereka akan menjadi orang pertama dan kedua? Tetapi bagaimana dengan Linggadadi?”

Kiai Dulang menggelengkan kepalanya, seolah-olah ingin mengibaskan angan-angannya tentang masa depan yang masih sangat panjang itu.

“Siapapun orang itu, bukannya persoalan yang harus dipikirkan sekarang. Mungkin orang-orang tertinggi dikedua pihak akan saling berbunuhan setelah mereka memenangkan perjuangan mereka.”

Karena tulah maka Kiai Dulang tidak menghiraukannya lagi apapun yang terjadi kemudian. Apakah mereka akan saling membunuh atau akan menemukan penyelesaian bukannya persoalannya.

Seperti yang ditugaskan oleh Empu Baladatu maka Kiai Dulang pun kemudian kembali kepadepokan Serigala Putih untuk mengatur segala sesuatunya menghadapi pertemuan antara Empu Baladatu dan Linggapati. Seperti yang dipesankannya pula, maka Kiai Dulang pun telah memilih beberapa orang terbaik dari gerombolan Macan Kumbang yang akan ditempatkan di antara gerombolan Serigala Putih. Jika terjadi sesuatu, maka gerombolan Serigala Putih yang sudah diperkuat itu akan dapat mengatasi persoalan.

Tetapi Kiai Dulang masih belum mengatakan kepada kedua gerombolan itu apa yang akan terjadi, selain menyebutnya sebagai suatu usaha untuk saling mendekatkan dalam latihan bersama.

“Kalian bersumber dari satu sumber yang sama, dan kini kalian telah dialiri ilmu yang bersumber dari sumber yang sama pula. Karena itu, sudah barang tentu bahwa di dalam diri kalian terdapat kesamaan-kesamaan yang akan mempersatukan kalian seperti sumber semula.”

Orang-orang dari kedua belah pihak sama sekali tidak mempertimbangkan persoalan-persoalan yang lain. Mereka menganggap bahwa usaha itu adalah usaha yang wajar, sehingga merekapun mengadakan usaha pendekatan dengan latihan bersama. Orang-orang terbaik dari kedua gerombolan itu saling mendekatkan ilmu mereka dibawah pengawasan para pemimpin yang dikirim oleh Empu Baladatu termasuk Kiai Dulang.

Sebenarnyalah bahwa kekuatan kedua gerombolan itu sudah jauh meningkat. Empu Baladatu mengadakan penilikan-penilikan yang tetap dan keras lewat orang-orang kepercayaannya, sehingga dengan demikian maka setiap orang dari kedua gerombolan itu, terutama mereka yang masih muda, dengan sungguh-sungguh telah memperdalam ilmunya, dipengaruhi pula oleh kesungguhan dan himpitan perasaan saat-saat mereka menyaksikan korban yang sangat berharga di saat purnama naik. Korban nyawa seseorang dari lingkungan yang manapun juga.

Menjelang hari pertama, saat bulan mulai nampak di langit, gerombolan Serigala Putih benar-benar telah mempersiapkan diri. Meskipun mereka tidak tahu pasti, apa yang akan terjadi, namun mereka dapat meraba, bahwa mereka harus berada di dalam kesiagaan sepenuhnya. Apalagi ketika disaat terakhir mereka sadar, bahwa sekelompok orang terkuat dari gerombolan Macan Kumbang berada di antara mereka.

“Apakah yang akan terjadi?” bertanya seseorang.

Yang lain menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu.”

Pertanyaan itu ternyata telah menjalar dari mulut kemulut. Tetapi tidak seorang diantara mereka yang dapat menjawab pertanyaan itu.

Di hari terakhir saat bulan masih nampak dilangit menjelang dini hari, Empu Baladatu telah berada di padepokan gerombolan Serigala Putih. Kehadirannya merupakan salah satu jawaban, kenapa orang-orang dari gerombolan Serigala. Putih dan Macan Kumbang harus bersiap-siap.

Empu Baladatu sempat melihat-lihat kemajuan dari gerombolan yang sudah berada dibawah pengaruhnya itu. Ilmu dari perguruannya yang berwarna hitam itu sudah mulai nampak pada orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang...