Pendekar Lembah Naga Jilid 56 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 56
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA dia melihat Yap In Hong, mula-mula dia merasa benci dan iri. Akan tetapi, begitu Yap In Hong berhasil menyelamatkan nyawa Bi Cu, seketika pandangannya berubah dan baru dia tahu bahwa Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa dan bahwa dia dan Bi Cu berhutang budi kepadanya.

Kemudian, dia melihat pembongkaran rahasia itu oleh Pangeran Ceng Han Houw. Tidak mungkin lagi baginya untuk menyangkal. Menyangkal berarti membohong dan dia tidak mau membohong. Pula, memang sudah sepatutnya kalau pendekar itu, yang selamanya terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa, ditegur secara hebat seperti ini untuk perbuatannya yang amat kejam terhadap seorang wanita bernama Liong Si Kwi, seorang wanita yang dilupakan dan ditinggalkan begitu saja di Lembah Naga!

Dan di sinilah tempat itu! Di sinilah dia terlahir, dan di sinilah pula ibunya meninggal dunia. Ibunya yang sudah menumpahkan darah ketika dia terlahir, yang sudah disia-siakan oleh pendekar ini. Sudah selayaknya dan sepatutnyalah jika kini pendekar itu menebus dosa, mengakui perbuatannya itu di tempat ini pula, di mana roh ibunya mungkin masih akan dapat mendengarnya. Pikiran ini mendatangkan ketegasan dan dia lalu memandang ayah kandungnya itu dengan sinar mata tajam penuh ketegasan dan dia lalu mengangguk.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Bun Houw ketika melihat Sin Liong mengangguk, yang berarti membenarkan tuduhan pangeran itu! Sekarang kemarahannya berpindah kepada Sin Liong dan dia membentak, "Engkau sudah bersekongkol dengan pangeran jahat itu untuk menjatuhkan fitnah ini kepadaku!" katanya sambil menerjang dan memukul Sin Liong dengan kemarahan meluap.

Akan tetapi dengan tenang dan cepat Sin Liong sudah mengelak dari serangan dahsyat itu. Pada saat itu pula ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Yap In Hong telah berada di situ dan pendekar wanita ini sudah menyentuh pundak suaminya.

"Bersikaplah tenang...," bisik isteri ini kepada suaminya, lalu menambahkan lebih lirih lagi, "...ingat Si Kwi..."

Bisikan isterinya itu membuat wajah Bun Houw seketika berubah pucat bukan main. Dia terhuyung ke belakang dan menatap wajah Sin Liong. Teringatlah dia sekarang. Mata dan mulut itu! Tak salah lagi!

"Kau... kau... siapakah engkau...siapa nama ibumu...?"

Melihat munculnya Yap In Hong dan mendengar bisikan tadi, biar pun amat lemah namun dia dapat pula menangkapnya, Sin Liong lalu menjawab, dan di dalam hatinya timbul ingin tahu sekali rahasia apa yang terjadi di balik hubungan ibu kandungnya dan pendekar ini, "Mendiang ibuku bernama Liong Si Kwi."

Mendengar ini, Cia Bun Houw sejenak memejamkan kedua matanya. Isterinya yang juga berdiri di sisinya hanya memandang dengan muka agak pucat, akan tetapi Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan tidak cengeng. Dia sudah tahu akan peristiwa yang terjadi antara suaminya dan Liong Si Kwi, maka dia pun tak merasa heran mendengar bahwa Si Kwi telah mempunyai seorang anak dari suaminya, sungguh pun tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya, juga tidak pernah disangka oleh suaminya sendiri.

"Ha-ha-ha!" suara ketawa Pangeran Ceng Han Houw memecah kesunyian dan terdengar suaranya lantang, memang disengaja supaya terdengar oleh semua orang. "Bagaimana, pendekar sakti Cia Bun Houw, apakah engkau masih hendak mengatakan aku menuduh yang bukan-bukan?"

Cia Bun Houw adalah seorang yang gagah perkasa. Dia kini merasa yakin bahwa anak ini memang anaknya yang lahir dari Liong Si Kwi. Kini mengertilah dia, mengapa mendiang ayahnya begitu sayang kepada anak ini sehingga dididik, bahkan diwarisi Thi-khi I-beng, dan kenapa pula mendiang Kok Beng Lama juga begitu sayang kepada anak ini! Mungkin dua orang kakek itu sudah tahu!

Padahal, dua orang kakek itu sebetulnya tidak pernah diberi tahu, hanya mereka memang suka kepada Sin Liong. Kini Cia Bun Houw yang sudah merasa kepalang, karena semua orang kang-ouw telah mendengar tentang hal itu, segera memandang ke arah para tamu dan berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

"Cu-wi, aku Cia Bun Houw bukan seorang pengecut! Setelah mendengar bahwa anak ini ternyata adalah anak kandung seorang wanita yang bernama Liong Si Kwi, maka aku pun dapat menerima kenyataan bahwa besar sekali kemungkinan pemuda ini memang adalah anakku sendiri! Akan tetapi, bukan sekali-kali aku pernah menodai Liong Si Kwi kemudian kutinggalkan! Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu, ketika aku tertawan oleh mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, yaitu guru dari pangeran curang ini, dua orang kakek nenek iblis itu sudah meracuni aku dengan obat perangsang sehingga aku lupa diri. Gadis bernama Liong Si Kwi itu menolongku dari penjara, maka terjadilah hubungan di luar kesadaranku yang sedang terbius obat perangsang. Sungguh tidak pernah kuduga bahwa hubungan di luar kesadaran itu akan menghasilkan anak ini. Baru sekarang aku mendengar dan mengetahuinya. Namun, dengan berani bertanggung jawab kuakui bahwa Cia Sin Liong ini adalah puteraku!"

Semua orang kang-ouw merasa kagum akan kegagahan Cia Bun Houw dan biar pun ada beberapa orang yang mentertawakan, yaitu dari golongan hitam yang tidak suka kepada para pendekar, namun pandangan para tamu terhadap Cia Bun Houw sama sekali tidak merendahkan lagi.

Sesudah mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengakuan gagah itu, Bun Houw lalu memandang kepada Sin Liong dan berkata lirih, "Biarlah pada lain kesempatan kita bicara mengenai ini. Sekarang hadapilah manusia curang ini, dan kalau benar engkau puteraku, maka engkau harus dapat mengalahkan dia."

Di dalam sinar mata dan suara itu terkandung rasa suka dan kagum yang membuat dua titik air mata membasahi mata Sin Liong. Ia mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya memandang ayah kandungnya dan ibu tirinya itu meninggalkan gelanggang dan kembali ke tempat duduk mereka. Tiba-tiba Sin Liong merasa hatinya lapang bukan main, dan dihadapinya pangeran itu dengan senyum tenang.

"Nah, pangeran. Apakah engkau sudah siap sekarang, ataukah engkau takut melawan aku? Kalau takut, lebih baik katakan saja dan kau bubarkan semua ini, jangan lanjutkan usahamu untuk memberontak atau menjadi bengcu, apa lagi menjadi jagoan nomor satu di dunia. Lebih baik kau ganti julukan itu menjadi penjahat licik dan curang nomor satu di dunia."

Sin Liong sengaja mengeluarkan kata-kata ejekan tadi untuk membikin panas hati Han Houw dan memang dia berhasil. Sebelumnya memang Han Houw telah merasa kecewa, menyesal dan marah bukan main bahwa serangannya terhadap nama Cia Bun Houw dan keluarga Cin-ling-pai ternyata sama sekali tidak berhasil karena sikap Cia Bun Houw yang gagah perkasa mengakui semua itu, bahkan pengakuan pendekar itu malah melontarkan kejahatan ke alamat mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Dan baru saja, dari seorang pengawal yang berhasil merangkak dalam keadaan terluka parah ke tempat itu, dia mendengar bahwa memang benar seperti yang diduganya, Sin Liong berhasil menyelamatkan Bi Cu dan selain membunuhi semua pengawal yang tiga puluh orang banyaknya itu, juga sudah membunuh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio.

Hal ini tentu saja menambah kemarahannya, dan kemarahan itu semuanya ditumpahkan kepada Sin Liong yang dianggapnya telah menggagalkan semua rencananya, orang yang dianggapnya sepatutnya membantunya itu kini malah menentangnya dan hal ini dianggap suatu pengkhianatan!

"Ya, Sin Liong! Di seluruh dunia ini, agaknya hanya kita berdua saja yang mewarisi ilmu rahasia dari Bu Beng Hud-couw, akan tetapi jangan kau kira bahwa karena engkau yang lebih dahulu mempelajari ilmu-ilmu dari guru kita itu lalu kau anggap dirimu lebih pandai. Ingat, sekali ini aku tidak akan mau mengampuni lagi nyawamu, kecuali kalau sekarang engkau berlutut dan minta ampun, dan selanjutnya mau membantuku seperti yang sudah-sudah."

"Sin Liong, kalau engkau menyerah kepadanya, selamanya aku tidak mau mengenalmu lagi!"

Sin Liong menoleh dan memandang ke arah Bi Cu yang berseru itu, dia tersenyum lalu berkata, "Jangan khawatir, Bi Cu, aku tidak akan..."

Akan tetapi terpaksa Sin Liong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula Han Houw dengan kemarahan meluap telah menubruk dan menyerangnya dengan dahsyat.

"Curang!" Bi Cu sampai berteriak kaget ketika melihat serangan yang dilakukan dengan mendadak selagi Sin Liong masih menoleh kepadanya itu.

Akan tetapi, biar pun kelihatannya Sin Liong menoleh dan lengah, sesungguhnya pemuda ini selalu waspada karena dia sudah cukup mengenal watak pangeran itu yang curang sekali. Oleh karena itulah ketika Han Houw menyerang secara mendadak, dengan cepat dia dapat menghadapinya, menangkis dengan keras dan balas menyerang. Dalam waktu singkat, dua orang pemuda yang sama lihainya ini sudah saling serang dengan hebatnya!

Perkelahian yang terjadi sekali ini sungguh sangat hebat. Baru belasan jurus saja semua orang tahu bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu yang sama tingginya dan sama anehnya. Akan tetapi pandang mata Bun Houw, Yap Kun Liong dan In Hong yang tajam dapat melihat betapa dalam beberapa kali pertemuan lengan, agaknya Sin Liong masih menang kuat di dalam hal sinkang, terbukti dari tubuh pangeran itu yang selalu tergetar dan terguncang sedangkan tubuh Sin Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh adu tenaga itu.

Sin Liong bertanding dengan penuh semangat. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kegesitannya. Kini dia berkelahi bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan terutama sekali untuk Bi Cu. Telah beberapa kali kekasihnya itu hampir tewas oleh pangeran ini, karena itu sekarang dia bertindak mewakili kekasihnya itu untuk mengenyahkan pangeran jahat ini dari permukaan bumi!

Selain itu, dia juga hendak membela ayah kandungnya yang tadi terdesak oleh pangeran ini dan dia tahu bahwa apa bila dilanjutkan, tentu pada akhirnya pendekar sakti Cia Bun Houw itu akan kalah. Betapa pun juga, dia tidak rela melihat orang yang menjadi ayah kandungnya itu dibikin malu dan dikalahkan di depan umum. Tadi dia sudah mendengar betapa Han Houw membongkar rahasia ayah kandungnya, dan pada saat dia mendengar jawaban Cia Bun Houw, tahulah dia sekarang!

Ayah kandungnya itu sama sekali tidak bersalah! Bahkan ayah kandungnya itu tidak tahu bahwa dia dilahirkan! Juga hubungan antara ayah kandungnya dengan ibunya merupakan hubungan yang dipaksakan oleh muslihat yang sangat curang dari guru Pangeran Ceng Han Houw!

Rasa gembira karena kenyataan bahwa Cia Bun Houw sama sekali tidak menyia-nyiakan ibunya kini bercampur dengan perasaan duka dan pahit bahwa sesungguhnya dia adalah seorang anak haram, seorang anak yang dilahirkan tanpa ayah, dilahirkan dari ibu yang tidak dinikah dan dilahirkan sebagai akibat hubungan yang tidak disadari oleh orang yang menjadi ayahnya! Betapa hal ini menusuk hatinya, maka kini dia hendak memperlihatkan dirinya di depan orang banyak bahwa biar pun dia orang rendah, anak haram, anak yang tak mengenal ayahnya, tapi dia adalah orang yang akan mampu menundukkan pangeran yang amat lihai itu!

Oleh karena inilah Cia Sin Liong menyerang dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya. Pertama-tama dia menggunakan San-in Kun-hoat yang dipelajarinya dari kakeknya, yang dicampurnya dengan Thian-te Sin-ciang.

Melihat betapa pemuda itu dapat mengkombinasikan dua ilmu ini dengan amat baiknya, para anggota keluarga Cin-ling-pai memandang dengan girang dan bangga. Pemuda itu sungguh tahu diri dan agaknya memang ingin menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai, maka dia menghadapi lawan yang tangguh ini dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai.

Hanya Lie Ciauw Si yang menonton dengan alis berkerut, muka pucat dan bibir gemetar. Dia merasa serba salah. Dia mengkhawatirkan keadaan suaminya, namun perkelahian itu terjadi dengan adil, satu lawan satu, maka dia pun tidak dapat berbuat apa pun. Pula, dia tahu bahwa suaminya berada di fihak salah dan bahwa suaminya sudah memperlakukan Sin Liong secara keterlaluan.

Masih teringat dia betapa Sin Liong yang mengajak pangeran itu ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sebab suaminya ingin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek itu kepada Sin Liong, demikianlah yang didengarnya. Kini, setelah suaminya memperoleh ilmu yang tinggi, suaminya itu malah memperlakukan Sin Liong tidak semestinya, hendak memaksa pemuda itu membantunya dengan jalan menawan Bi Cu.

Tidak disangkanya bahwa pangeran yang dicintanya itu mempunyai watak yang demikian curang dan palsu. Baru sekarang semua watak buruk itu terungkapkan maka dia merasa berduka dan gelisah sekali.

"Hyaaaattt...!" Sin Liong menyerang bagai seekor naga menyambar dari angkasa. Tangan kanannya menampar dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, dan dia terus mendesak lawan, kini dia mempergunakan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang ampuh!

Melihat serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, Ceng Han Houw bersikap tenang dan dia segera merendahkan diri dengan menekuk lutut kirinya sampai rendah sekali, kemudian sesudah dia mengelak beberapa kali dan menangkis, dia pun balas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari bawah yang mengarah lambung dan pusar lawan.

Sin Liong maklum akan bahayanya serangan balasan lawan ini, maka dia cepat meloncat dan membalikkan tubuhnya, tubuhnya itu dari atas meluncur turun dan kedua tangannya membentuk cakar naga menyerang dengan cengkeraman maut ke arah kepala lawan.

Namun, dengan gerakan indah pangeran itu dapat menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan menghindarkan cengkeraman itu, karena untuk ditangkis terlampau besar bahayanya baginya. Setelah dia meloncat bangun, dia memapaki tubuh Sin Liong yang baru turun itu dengan pukulan bertubi-tubi sambil memutar tubuhnya. Itulah jurus yang ampuh dari ilmu Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga).

Sin Liong kini terdesak dan pemuda ini berlompatan dan memutar-mutar tubuhnya pula, gerakannya seperti seekor naga. Memang pantas sekali Sin Liong diumpamakan sebagai seekor naga sakti dari Lembah Naga, dan pangeran itu berusaha menaklukkannya. Akan tetapi naga ini hebat bukan main hingga ilmu penakluk naga itu sama sekali tidak mampu mendesak terus, apa lagi menaklukkan. Sin Liong membalas dengan tamparan-tamparan sakti Thian-te Sin-ciang sehingga desakan pangeran itu membuyar karena pangeran itu harus melindungi dirinya baik-baik bila dia tidak mau kepalanya pecah terkena sambaran tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh.

Demikianlah, kedua orang pemuda itu saling serang, saling desak dan keadaan mereka benar-benar seimbang dan sama cepatnya, sama gesitnya, sama kuat dan sama-sama menguasai semua gerakan mereka dengan baik. Juga mereka bertanding dengan mantap, yang membuat setiap serangan dan tangkisan atau elakan nampak indah sekali.

Semua yang menonton pertandingan itu tiada hentinya memuji, bahkan kaum tua yang sudah berpengalaman dan menyaksikan pertandingan itu sampai menahan napas saking kagumnya. Tak pernah mereka sangka bahwa di dunia persilatan muncul dua orang muda yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya!

Mereka berdua benar-benar merupakan tandingan yang seimbang, baik usianya, gagah dan tampannya, dan pandainya. Tadi ketika pangeran itu melawan Cia Bun Houw, masih terdapat kepincangan karena Cia Bun Houw merupakan pendekar yang dianggap sudah mempunyai banyak sekali pengalaman. Jangankan sampai dapat mendesak atau bahkan hampir mengalahkan pendekar Cin-ling-pai itu, baru dapat mengimbangi saja sudah amat mengagumkan.

Dengan terdesaknya Cia Bun Houw tadi, semua tamu dari tingkat atas mulai meragukan keampuhan Cin-ling-pai sebagai partai persilatan yang sangat terkenal, karena Bun Houw dianggap mewakili Cin-ling-pai dan merupakan jagoan yang paling ahli dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai.

Tetapi, setelah kini Cia Sin Liong maju, pemuda yang kini dikenal sebagai putera Cia Bun Houw dan yang kini juga bersilat dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan kini memainkan Thai-kek Sin-kun dengan mahirnya, pandangan mereka terhadap Cin-ling-pai sudah naik lagi. Ternyata Cin-ling-pai masih mempunyai keturunan terakhir yang amat lihai!

Sin Liong memang sengaja hanya memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kakeknya dan Kok Beng Lama saja, karena di samping dia hendak memperlihatkan bahwa apa yang dipelajarinya dari dua orang kakek yang amat disayangnya itu tidak sia-sia dan dia dapat menjujung nama mereka dengan ilmu-ilmu yang sudah diberikannya kepadanya itu, juga dia tahu benar bahwa selama pangeran itu tidak mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw, maka dia akan dapat menanggulanginya dengan ilmu-ilmu pemberian kakeknya dan Kok Beng Lama, bahkan akan mampu untuk mengalahkannya.

Setiap kali pangeran itu menghujankan pukulan, kadang dia bahkan menggunakan Thi-khi I-beng untuk memunahkan semua serangan, karena dengan Thi-khi I-beng, pangeran itu tak berani melanjutkan serangannya dan setiap kali tangannya melekat dan tersedot, dia menggunakan ilmu yang pernah diterimanya dari subo-nya, yaitu ilmu melemaskan diri mengosongkan tangan yang tertempel sehingga tak mengandung sinkang lagi dan mudah terlepas.

"Anak itu hebat sekali, berbakat baik!" Yap Kun Liong memuji. Cia Giok Keng dan Yap In Hong, yang juga menonton dengan hati tegang, mengangguk membenarkan.

Semenjak tadi pangeran Ceng Han Houw memang tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dia menghendaki supaya lawannya itu lebih dahulu mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-couw di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek itu, namun alangkah kecewa dan marahnya ketika dia melihat bahwa Sin Liong hanya mengeluarkan ilmu-ilmu seperti yang dimainkan oleh Cia Bun Houw tadi.

Walau pun permainan Sin Liong dalam hal ilmu-ilmu itu tidaklah sehebat Bun Houw, akan tetapi karena Sin Liong memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena Han Houw tidak atau belum mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dirahasiakan, pangeran itu kewalahan dan kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan kalah. Oleh karena itu, gagal memancing Sin Liong lebih dahulu mengeluarkan ilmu simpanan untuk dipelajarinya, Ceng Han Houw mendadak mengeluarkan bentakan aneh dan nyaring kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah menubruk ke depan dan dia sudah mulai mainkan Ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat ampuh dan yang tadi telah membuat Bun Houw sendiri terkejut dan kewalahan itu!

Sin Liong sudah berjaga-jaga karena dia sudah selalu waspada. Menyaksikan perubahan gerak tubuh lawan, dan melihat betapa dahsyatnya angin pukulan yang menyambar ke arahnya, maklumlah dia bahwa inilah ilmu simpanan yang dipelajari pangeran itu di dalam goa-goa dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw!

Maka dia pun lalu mencondongkan tubuh atas ke belakang, dan dari mulutnya keluar pula gerengan seperti seekor naga marah, lalu kedua tangannya membuat gerakan menyilang dan dari gerakan ini menyambarlah dua angin pukulan bersilang yang selain amat kuat dan mampu menangkis serangan Han Houw, juga sudah menggulung pukulan itu dan membalas dengan tamparan yang amat kuatnya pula!

"Uhhh!" Ceng Han Houw terkejut. Cepat dia membuang diri ke belakang dan sejenak dia berdiri memandang dengan mata terbelalak.

Para tokoh kang-ouw yang menonton dengan asyik tidak tahu bahwa ada dua jurus aneh yang berbeda dengan tadi telah dikeluarkan oleh masing-masing, akan tetapi para tokoh Cin-ling-pai yang tentu saja tadi mengenal gerakan Sin Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, kini tahu bahwa pemuda itu telah menggunakan jurus yang sangat aneh, yaitu ketika dia mencondongkan tubuh ke belakang dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang tadi.

Dan kini berturut-turut dua orang pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang aneh, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengeluarkan bunyi bersiutan, bahkan kadang-kadang nampak asap atau uap tebal mengepul dari kedua tangan mereka! Dan memang pangeran Ceng Han Houw sudah mainkan Hok-liong Sin-ciang dengan penuh penasaran sedangkan Sin Liong telah menghadapinya dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Dan ternyata bahwa semua serangan pangeran itu dapat dibuyarkan, bahkan saat Sin Liong membalas, pangeran itu terhuyung-huyung ke belakang!

"Keparat!" pikir Ceng Han Houw.

Kembali dia memekik, sekali ini tubuhnya seperti berubah kaku dan meluncurlah tubuhnya itu ke depan. Dia menyerang bukan hanya dengan gerakan tangan atau kaki, melainkan dengan tubuh meloncat atau meluncur ke depan dalam keadaan kaku dan lurus, ada pun kedua tangan yang di depan itu terbuka jari-jarinya dan tidak diketahui apakah dia hendak memukul, menampar, menusuk atau mencengkeram! Ini merupakan salah satu di antara jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang paling lihai.

Sin Liong agak terkejut menghadapi serangan aneh ini. Tubuh pangeran itu seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tombak raksasa yang dilontarkan ke arah dadanya! Akan tetapi, kalau tombak, betapa pun besarnya, hanya merupakan benda mati saja dan tentu dapat dihindarkannya dengan mengelak atau pun menolak dari samping. Sedangkan yang meluncur ini adalah seorang manusia, dan bukan manusia sembarangan, melainkan Ceng Han Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kecurangan yang membahayakan.

Maka Sin Liong tak mau mengelak, melainkan dia memasang kuda-kuda dengan kuatnya, kemudian dia bergerak melakukan sebuah jurus yang ampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menggerakkan kedua lengan dari bawah ke atas, seolah-olah dia menyedot tenaga bumi dan langit, kemudian dengan bentakan nyaring dia menyambut luncuran tubuh lawan itu dengan kedua tangan didorongkan ke depan, dengan jari-jari terbuka. Inilah yang disebut menyambut keras lawan keras dan untuk ini tentu saja harus mengandalkan pada tenaga sepenuhnya.

Melihat ini, pangeran itu terkejut. Tak disangkanya lawan akan menggunakan kekerasan. Dia tadinya mengharapkan Sin Liong untuk mengelak atau menangkis, dan kalau hal itu terjadi, tentu dia akan lebih mudah untuk merubah gerakan tangan dan dengan demikian dia mengharapkan untuk bisa mengelabui dan memukul lawan. Siapa sangka pemuda itu agaknya nekat menyambutnya dengan kekerasan juga, dengan dorongan dua tangannya yang disertai pengerahan tenaga sinkang!

Apa boleh buat, terpaksa pangeran itu pun mengerahkan tenaga pada kedua lengannya lantas membuka lengan untuk menyambut atau menahan dorongan lawan. Dua pasang telapak tangan yang sama kuatnya bertemu di udara dengan tenaga sepenuhnya.

"Desssss...!"

Bukan main hebatnya pertemuan dua pasang tangan itu. Semua tamu sampai merasa betapa ada hawa pukulan kuat mengguncang mereka dan bumi laksana tergetar.

Akibat dari pertemuan kedua telapak tangan itu ternyata merugikan sang pangeran. Sin Liong terdorong kuda-kuda kakinya sampai satu meter ke belakang, kakinya terseret dan membuat guratan dalam sampai hampir dua senti di lantai, sedangkan mukanya berubah pucat. Namun lawannya, Pangeran Ceng Han Houw, yang melakukan adu tenaga dengan tubuh masih meluncur, terpelanting dan terbanting ke atas tanah.

"Pangeran...!" Ciauw Si mengeluarkan seruan kaget.

Akan tetapi Ceng Han Houw yang terbanting itu sudah bergulingan lalu tahu-tahu dia pun telah meloncat bangun, mengeluarkan teriakan nyaring yang aneh, melengking tinggi dan setelah itu, dia lalu berjungkir balik. Kepalanya yang kini menggantikan kedudukan kedua kakinya itu berloncatan mengeluarkan suara duk-duk-duk, kaki tangannya bergerak-gerak dan dia telah mulai menyerang Sin Liong dengan ilmu silatnya yang aneh itu, yaitu Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi).

Sin Liong yang mengenal ilmu aneh yang amat berbahaya, yang tadi hampir mengalahkan ayah kandungnya, langsung bersikap hati-hati sambil dia tetap mempergunakan Hok-mo Cap-sha-ciang untuk menandingi ilmu aneh ini.

Sementara itu, kiranya teriakan melengking yang dikeluarkan oleh pangeran itu bukanlah semata-mata teriakan marah, melainkan merupakan suatu tanda bagi para pembantunya untuk bergerak. Buktinya, begitu dia mengeluarkan suara melengking itu, beberapa orang dari golongan hitam yang tadinya duduk di antara para tamu sudah bangkit berdiri, para pengawal yang tadinya berjaga-jaga di luar kini datang dan mengurung tempat itu, dan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo juga sudah meloncat untuk mengeroyok Sin Liong!

Akan tetapi, Yap Kun Liong dan Yap In Hong sudah siap siaga, maka begitu melihat dua orang kakek itu berloncatan ke medan pertandingan, maka dengan loncatan jauh mereka pun telah berada di situ. Yap Kun Liong sudah menghadapi Hai-liong-ong Phang Tek, ada pun adik kandungnya telah menghadapi Kim-liong-ong Phang Sun!

"Hemm, kiranya Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang ini tak lain hanyalah orang-orang licik dan curang tukang keroyok seperti tukang-tukang pukul di pasar saja!" Yap Kun Liong berkata sambil menghadapi Phang Tek dengan senyum mengejek.

"Agaknya engkau sudah bosan hidup, bocah tua bangka!" Yap In Hong juga membentak Phang Sun yang disebutnya bocah tua sebab tubuh kakek ini memang seperti anak kecil.

"Saudara-saudara, para pendekar sombong ini kini sudah mulai mengacau, hayo bangkit serentak dan menghancurkan mereka sebelum kelak mereka yang akan membasmi kita!" tiba-tiba terdengar bentakan seorang kakek yang baru muncul dan ternyata dia itu adalah Kim Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw dari wilayah selatan yang perkumpulannya sudah diobrak-abrik oleh Pangeran Hung Chih, tetapi yang sempat pula melarikan diri bersama banyak pimpinan Pek-lian-kauw yang pada saat itu berkumpul pula di situ. Kalau tadi dia tak nampak adalah karena dia disuruh bersembunyi dulu oleh Pangeran Ceng Han Houw yang sudah membuat bekas musuh-musuh ini menjadi sekutunya.

Mendengar seruan ini, banyak tokoh kang-ouw dari golongan hitam yang serentak bangkit dari tempat duduk masing-masing. Golongan ini adalah orang-orang yang selalu mengejar keuntungan, dan sekarang tentu saja mereka melihat kesempatan baik untuk memperoleh keuntungan kalau mereka membantu pangeran yang selain lihai juga besar pengaruhnya dan kaya raya itu.

Akan tetapi pada saat itu Cia Bun Houw sudah meloncat maju dan menghadapi ketua Pek-lian-kauw itu sambil membentak marah, "Pemberontak-pemberontak hina! Cu-wi yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw tentu tidak akan membiarkan kaum sesat ini untuk menjebak kita dan untuk memberontak terhadap pemerintah. Siapa yang merasa dirinya gagah, silakan maju membantu pemerintah untuk menghadapi mereka!"

"Bagus! Mari kita basmi penjahat-penjahat pemberontak ini! Siauw-lim-pai takkan pernah sudi bersahabat dengan kaum pemberontak dan penjahat!" teriakan dengan suara sangat lantang ini dikeluarkan oleh Cui Khai Sun, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

Seruannya ini membangkitkan semangat para orang gagah di situ dan banyak di antara mereka yang bangkit dan siap menghadapi kaum sesat. Akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu dan tetap duduk saja dan tidak ingin mencampuri urusan itu.

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw yang mengamuk dalam keadaan jungkir balik itu selalu dapat disambut oleh Sin Liong dengan baik. Melihat betapa banyak orang gagah yang bangkit dan hendak menentangnya, dia meloncat dalam keadaan jungkir balik dan menjauhi Sin Liong sambil berkata,

"Semua orang yang hendak melawan kami..., tahan! Pasukanku berjumlah ribuan orang sudah mengurung tempat ini! Kalian sudah terkurung, siapa menyerah dan membantuku akan diampuni, yang menentang akan dibunuh!"

"Pangeran pemberontak! Engkau beserta pasukanmulah yang terkurung! Dengar dan lihat baik-baik, sepuluh ribu pasukan sudah mengurung Lembah Naga!" teriak Bun Houw pula.

Dan pada saat itu juga Cia Giok Keng langsung melepaskan sebatang anak panah yang membumbung tinggi di angkasa kemudian anak panah api itu mengeluarkan asap tebal di angkasa. Tiba-tiba saja terdengar suara tambur dan hiruk-pikuk dari empat penjuru, tanda bahwa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang kini mulai datang mengurung dan mendesak!

Bukan main kaget dan marahnya Pangeran Ceng Han Houw. Dia meloncat dan kembali menyerang Sin Liong yang sudah menyambutnya dengan tangkas. Maka perkelahian pun dimulailah!

Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang kakek itu ditandingi Yap Kun Liong dan Yap In Hong, sedangkan ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin dihadapi Bun Houw. Orang-orang dari golongan hitam yang ingin membantu pangeran pemberontak itu berhadapan dengan orang-orang gagah yang menjadi tamu di situ.

Sesudah melepaskan anak panah api yang menjadi tugasnya dan mendengar sambutan bala tentara kerajaan, Cia Giok Keng juga langsung menyerbu dan ikut mengamuk dalam pertempuran itu, karena jumlah para tokoh sesat yang dibantu oleh pengawal-pengawal itu jauh lebih banyak dari pada jumlah orang gagah yang menentang pangeran.

Pertempuran hebat segera terjadi di tempat pesta atau tempat pertemuan itu. Sin Liong dan Pangeran Ceng Han Houw berkelahi di tengah-tengah, dan perkelahian mereka itu amat serunya. Tidak ada orang yang mendekat untuk membantu karena keduanya telah mengeluarkan ilmu silat mereka yang amat mukjijat, yang mereka dapatkan dari Bu Beng Hud-couw dan merupakan ilmu silat yang luar biasa sekali sehingga membantu mereka di samping bahkan akan mengganggu, juga mungkin pembantunya akan terancam bahaya oleh yang dibantunya itu sendiri.

Sementara itu, di luar Lembah Naga sudah terjadi perang antara pasukan Lembah Naga melawan pasukan pemerintah. Akan tetapi karena jumlah pasukan yang datang menyerbu itu jauh lebih besar, maka sebentar saja pasukan Lembah Naga itu terdesak dan terus mundur, dihimpit dari luar dari pasukan kerajaan.

Sementara itu, pertempuran yang berlangsung di ruangan yang luas itu pun terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi karena tokoh tokoh besarnya seperti Pangeran Ceng Han Houw dan dua orang kakek Lam-hai Sam-lo, juga para tokoh Pek-lian-kauw, menemui tanding yang amat kuat dari pihak keluarga Cin-ling-pai, Siauw-lim-pai dan tokoh-tokoh kang-ouw lain yang tangguh, maka kaum sesat itu pun kehilangan semangat dan mereka itu banyak yang sudah roboh oleh para orang gagah.

Ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin yang sudah sangat tua itu bukanlah lawan dari Cia Bun Houw. Dalam pertandingan yang kurang dari lima puluh jurus saja, dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat, pendekar ini sudah merobohkan kakek ini yang tewas seketika karena tidak sanggup menahan tamparan dahsyat yang mengenai dadanya. Cia Ciok Keng yang mengamuk dengan pedang Gin-hwa-kiam yang bersinar perak juga telah merobohkan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw.

Perkelahian antara Yap In Hong yang melawan Kim-liong-ong Phang Sun berlangsung dengan luar biasa serunya. Pendekar wanita itu menemukan tanding karena kakek kecil pendek itu memang hebat dan merupakan tokoh yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi.

Namun, karena dasar ilmu silat yang dimiliki pendekar wanita itu lebih murni, dan juga karena hati kakek pendek kecil ini sudah gentar menyaksikan betapa keadaan kini tanpa diduga-duga sudah terbalik, dan keadaan pangeran yang dibelanya itu terancam bahaya, maka perlahan-lahan Kim-liong-ong Phang Sun mulai terdesak hebat.

Perlahan namun tentu, Yap In Hong mulai melancarkan lebih banyak serangan, terutama tamparan-tamparan Thain-te Sin-ciang dan Phang Sun hanya main mundur, mengelak dan menangkis tanpa sempat melakukan penyerangan balasan. Dia yang biasanya lihai ini sudah mulai mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi lawannya terus mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kakek kecil ini repot sekali.

Tapi tidak demikian dengan kakaknya, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau Phang Sun masih dapat melakukan perlawanan, sebaliknya Hai-liong-ong Phang Tek begitu bergerak melawan Yap Kun Liong segera memperoleh kenyataan bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan Cia Bun Houw! Bahkan pendekar yang sudah setengah tua ini selain memiliki kematangan dalam gerakan juga ternyata memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh!

Hanya gerakan ginkang yang amat tinggi dari Hai-liong-ong Phang Tek, maka dia masih dapat bertahan. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia akan menang menghadapi pendekar yang amat lihai ini maka seperti juga Kim-liong-ong Phang Sun, mulailah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini untuk mencari kesempatan lari!

Ketika dia melihat kesempatan itu terbuka, yaitu ketika lawannya bergerak agak lambat, maka dia menggereng dan dari samping lengan kanannya yang panjang itu menyambar, tangannya mencengkeram ke arah muka Yap Kun Liong. Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat cepat dan dahsyat, akan tetapi hanya untuk menggertak saja dan dia sudah siap melompat jauh dan melarikan diri kalau lawannya mengelak dan mundur.

Akan tetapi ternyata lawannya tidak mengelak melainkan mundur sedikit dan membiarkan pundaknya terbuka tidak terlindung. Melihat ini, tentu saja Hai-liong-ong Phang Tek tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menang. Tangannya yang masih terbuka seperti cakar harimau itu tiba-tiba mencengkeram ke arah pundak lawan yang tak terlindung itu.

"Cappp...!"

Seperti cakar baja kelima jari tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah pundak dan Yap Kun Liong sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan membiarkan pundaknya dicengkeram.

"Auhhhhh...!" Terdengar Hai-liong-ong Phang Tek berseru kaget sekali.

Dia merasa betapa cengkeramannya mengenai benda lunak yang kemudian melekat dan terus mengeluarkan tenaga menyedot sehingga hawa sinkang dari tubuhnya menerobos keluar melalui tangannya itu! Dia berusaha menggunakan tenaga untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin dia mengerahkan tenaga, semakin hebat pula sinkang-nya mengalir dan membanjir keluar!

Pucatlah wajah Hai-liong-ong Phang Tek dan tubuhnya menggigil. Dengan nekat tangan kirinya lantas menghantam, akan tetapi sekali ini tangan itu ditangkap oleh lawan. Begitu tertangkap, kembali sinkang-nya mengalir kuat dari pergelangan tangan yang tertangkap itu sehingga kini makin banyaklah sinkang yang membanjir keluar itu.

"Aduh... celaka...!" Kakek itu berseru. Barulah dia teringat akan Ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat sehingga dia menjadi takut bukan main.

"Hemm, agaknya kejahatanmu sudah melewati takaran. Pergilah!" Yap Kun Liong tiba-tiba menampar dengan tangan kirinya, tepat mengenai belakang telinga lawan. Hai-liong-ong Phang Tek mengeluh, tubuhnya terpelanting dan dia tewas pada saat itu juga.

Melihat kakaknya roboh, Kim-liong-ong Phang Sun menjadi makin jeri. Dia mengeluarkan teriakan panjang, lantas tiba-tiba saja dia meloncat pergi. Akan tetapi wanita perkasa itu membentak.

"Hendak lari ke mana kau?!"
Dan Yap In Hong mengejar dengan cepat, tangan kirinya lalu bergerak dan cahaya hijau menyambar. Itulah Siang-tok-swa, senjata rahasia istimewa merupakan pasir hijau yang berbau harum. Akan tetapi pasir halus ini mengandung racun yang amat berbahaya.

Kim-liong-ong Phang Sun cepat melempar tubuh ke samping lantas bergulingan sehingga sambaran pasir beracun itu hanya lewat saja di atas kepalanya, akan tetapi baru saja dia hendak meloncat bangun, lawannya sudah menerjangnya. Kakek kecil pendek ini hendak mengelak, namun dia kalah cepat dan begitu tangan Yap In Hong mengenai tengkuknya dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh, robohlah kakek itu dan nyawanya pun melayang sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai.

Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong dan Cia Giok Keng masih terus mengamuk, membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang ikut membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biar pun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir hingga banyak di antara mereka yang roboh dan tewas.

Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk bagaikan patung di kursinya yang tadi, sedikit pun tak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong!

Sesudah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, kini para tokoh Cin-ling-pai itu mulai mendekat. Tetapi Sin Liong berkata sambil tetap mendesak lawannya,

"Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri."

Mendengar ini, tiga orang itu segera berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan.

Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, malah serangan balasan Sin Liong senantiasa membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, malah kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya sudah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan suci-nya, juga telah tewas dan bahkan kedua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama semakin dekat juga.

Hatinya menjadi sedih dan kecewa sekali, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara semua kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus bisa merobohkan Sin Liong terlebih dahulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw.

Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan mendadak tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun lantas dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala!

Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong menjadi terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri, yang kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan musuhnya!

Sin Liong maklum bahwa apa bila dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, sungguh pun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu merupakan tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amatlah berbahaya kalau disambut dengan kekerasan.

Oleh karena itu, dia pun segera mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dahulu memang khusus diciptakan untuk menggunakan tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi I-beng, akan tetapi niat ini segera dibatalkan karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahayakan dirinya bila ada tenaga sinkang yang begitu kuat dan kerasnya membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, maka bisa merusak seluruh isi perutnya.

Karena itu dia lalu melakukan jurus terakhir itu. Lagi pula, ketika dua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan karena saat itu dia menyimpan tenaga, maka tidak terjadi benturan tenaga tetapi dia terjengkang atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atas tubuhnya tanpa bisa ditahan oleh pangeran itu sendiri.

Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan cepat telah menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Plaakkk!"

Tubuh pangeran itu masih meluncur terus, akan tetapi kehilangan keseimbangan hingga akhirnya terbanting ke atas tanah, lalu bergulingan dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Kiranya dia sudah menerima pukulan yang sangat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya itu terbanting, pangeran ini sudah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang sangat hebat.

"Pangeran...!" Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si langsung meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis.

Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya dipenuhi oleh rasa penyesalan dan kedukaan. Betapa pun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan kini, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu pangeran berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan di dalam hatinya.

Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan serta kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.

"Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri..."

Lie Ciauw Si menoleh lantas memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah sekali padanya. Akan tetapi dia merasa heran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali.

"Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya..."

"Silakan, piauw-ci..."

Dengan terisak Ciauw Si lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu.

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya segera dipegang dengan halus oleh suaminya.

"Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya..."

Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu sudah berhenti sebab semua tokoh kang-ouw golongan hitam sudah berhasil dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.

Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, bahwa perang kecil-kecilan itu pun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya segera melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw dari golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menakluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu dibebaskan.

Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai, dan dengan senyum lebar lantas menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat-cepat menjura dan berkata kagum. "Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!"

Sesudah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang komandan agar mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembah Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka juga pergi ke kota raja.

Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman. Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga.

Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada waktu dua puluh tahun yang lalu itu, akan menghasilkan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tidak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa.

Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapa pun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya merasa tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Secara diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa kedua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka?

Ketika pada malam hari itu rombongan terpaksa harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang baru mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu. Sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalam, Yap Kun Liong maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka.

Menjelang tengah malam, pada saat dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya lagi sehingga mengaburkan kewaspadaan, baru dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.

"Isteriku, sungguh pun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka kemudian mempelajarinya, menyelidikinya, di mana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu."

Giok Keng mengangguk kemudian berkata sambil menarik napas panjang. "Apa lagi yang perlu kita selidiki? Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih."

"Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau berkata bahwa mereka salah pilih?"

"Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, ada pun Ciauw Si... ahhh... perlukah kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu?"

Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Walau pun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, tetapi kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, mau pun rangkulan mesra.

"Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta padaku?"

Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. "Ahhh, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi? Tentu saja aku mencintamu."

"Aku pun percaya akan hal itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta kepadamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang mengatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu?"

"Aku tidak akan peduli! Aku cinta kepadamu dan aku tidak peduli siapa pun yang akan mengatakan bagaimana pun tentang dirimu, tentang hubungan kita."

"Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itu pun mempunyai watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!" Kun Liong lalu mencium isterinya.

"Eh, ehh, apa maksudmu?" Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah.

"Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapa pun mereka itu, baik orang tua sendiri sekali pun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya boleh membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikit pun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, maka hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andai kata... andai kata keluarga Cin-ling-pai tidak ikut mencampuri urusan cinta kasih antara Lie Seng dengan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tak akan berakhir sedemikian menyedihkan."

Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak bagaikan pulas di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng.

"Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa? Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda."

Hening sejenak. Akhirnya terdengarlah suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah, "Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja kalau melihat puteranya keliru memilih calon jodoh? Aku ingin melihat puteraku bahagia..."

"Nah, di sanalah letak kesalahannya, bukan? Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ahhh, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan baju pun tergantung dari pada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik pula bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang dianggap baik oleh putera kita pun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, sesungguhnya kita ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera kita memilih jodoh yang kita sukai? Kita harus jujur, isteriku. Dalam perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, hal yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, mau pun kedudukan, mau pun baik buruk? Cinta adalah cinta karena itu bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apa lagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada seseorang? Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?"

Giok Keng termenung. "Jadi... kau pikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng telah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya?"

"Tidakkah begitu menurut kesadaranmu?"

"Ahh, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka."

"Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andai kata dahulu keluarganya tidak turut mencampuri, maka Lie Seng dengan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup bisa beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, sesudah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan di mana ada cinta-mencinta, maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain? Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula apa bila mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan."

Kembali hening sejenak, dan perlahan-lahan semua ucapan suaminya itu bisa menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya.

"Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?"

"Apa salahnya pilihan Ciauw Si? Dia pun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekali pun! Memang demikianlah seharusnya orang memilih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilihnya, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilihnya itu tampan, cantik berpangkat, berbudi, pandai, kaya dan sebagainya sama sekali bukan berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian?"

Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. "Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku? Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita..."

"Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapa pun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si."
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 56

Pendekar Lembah Naga Jilid 56
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA dia melihat Yap In Hong, mula-mula dia merasa benci dan iri. Akan tetapi, begitu Yap In Hong berhasil menyelamatkan nyawa Bi Cu, seketika pandangannya berubah dan baru dia tahu bahwa Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa dan bahwa dia dan Bi Cu berhutang budi kepadanya.

Kemudian, dia melihat pembongkaran rahasia itu oleh Pangeran Ceng Han Houw. Tidak mungkin lagi baginya untuk menyangkal. Menyangkal berarti membohong dan dia tidak mau membohong. Pula, memang sudah sepatutnya kalau pendekar itu, yang selamanya terkenal sebagai seorang pria yang gagah perkasa, ditegur secara hebat seperti ini untuk perbuatannya yang amat kejam terhadap seorang wanita bernama Liong Si Kwi, seorang wanita yang dilupakan dan ditinggalkan begitu saja di Lembah Naga!

Dan di sinilah tempat itu! Di sinilah dia terlahir, dan di sinilah pula ibunya meninggal dunia. Ibunya yang sudah menumpahkan darah ketika dia terlahir, yang sudah disia-siakan oleh pendekar ini. Sudah selayaknya dan sepatutnyalah jika kini pendekar itu menebus dosa, mengakui perbuatannya itu di tempat ini pula, di mana roh ibunya mungkin masih akan dapat mendengarnya. Pikiran ini mendatangkan ketegasan dan dia lalu memandang ayah kandungnya itu dengan sinar mata tajam penuh ketegasan dan dia lalu mengangguk.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Bun Houw ketika melihat Sin Liong mengangguk, yang berarti membenarkan tuduhan pangeran itu! Sekarang kemarahannya berpindah kepada Sin Liong dan dia membentak, "Engkau sudah bersekongkol dengan pangeran jahat itu untuk menjatuhkan fitnah ini kepadaku!" katanya sambil menerjang dan memukul Sin Liong dengan kemarahan meluap.

Akan tetapi dengan tenang dan cepat Sin Liong sudah mengelak dari serangan dahsyat itu. Pada saat itu pula ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Yap In Hong telah berada di situ dan pendekar wanita ini sudah menyentuh pundak suaminya.

"Bersikaplah tenang...," bisik isteri ini kepada suaminya, lalu menambahkan lebih lirih lagi, "...ingat Si Kwi..."

Bisikan isterinya itu membuat wajah Bun Houw seketika berubah pucat bukan main. Dia terhuyung ke belakang dan menatap wajah Sin Liong. Teringatlah dia sekarang. Mata dan mulut itu! Tak salah lagi!

"Kau... kau... siapakah engkau...siapa nama ibumu...?"

Melihat munculnya Yap In Hong dan mendengar bisikan tadi, biar pun amat lemah namun dia dapat pula menangkapnya, Sin Liong lalu menjawab, dan di dalam hatinya timbul ingin tahu sekali rahasia apa yang terjadi di balik hubungan ibu kandungnya dan pendekar ini, "Mendiang ibuku bernama Liong Si Kwi."

Mendengar ini, Cia Bun Houw sejenak memejamkan kedua matanya. Isterinya yang juga berdiri di sisinya hanya memandang dengan muka agak pucat, akan tetapi Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan tidak cengeng. Dia sudah tahu akan peristiwa yang terjadi antara suaminya dan Liong Si Kwi, maka dia pun tak merasa heran mendengar bahwa Si Kwi telah mempunyai seorang anak dari suaminya, sungguh pun tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangkanya, juga tidak pernah disangka oleh suaminya sendiri.

"Ha-ha-ha!" suara ketawa Pangeran Ceng Han Houw memecah kesunyian dan terdengar suaranya lantang, memang disengaja supaya terdengar oleh semua orang. "Bagaimana, pendekar sakti Cia Bun Houw, apakah engkau masih hendak mengatakan aku menuduh yang bukan-bukan?"

Cia Bun Houw adalah seorang yang gagah perkasa. Dia kini merasa yakin bahwa anak ini memang anaknya yang lahir dari Liong Si Kwi. Kini mengertilah dia, mengapa mendiang ayahnya begitu sayang kepada anak ini sehingga dididik, bahkan diwarisi Thi-khi I-beng, dan kenapa pula mendiang Kok Beng Lama juga begitu sayang kepada anak ini! Mungkin dua orang kakek itu sudah tahu!

Padahal, dua orang kakek itu sebetulnya tidak pernah diberi tahu, hanya mereka memang suka kepada Sin Liong. Kini Cia Bun Houw yang sudah merasa kepalang, karena semua orang kang-ouw telah mendengar tentang hal itu, segera memandang ke arah para tamu dan berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang.

"Cu-wi, aku Cia Bun Houw bukan seorang pengecut! Setelah mendengar bahwa anak ini ternyata adalah anak kandung seorang wanita yang bernama Liong Si Kwi, maka aku pun dapat menerima kenyataan bahwa besar sekali kemungkinan pemuda ini memang adalah anakku sendiri! Akan tetapi, bukan sekali-kali aku pernah menodai Liong Si Kwi kemudian kutinggalkan! Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa dua puluh tahun yang lalu, ketika aku tertawan oleh mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, yaitu guru dari pangeran curang ini, dua orang kakek nenek iblis itu sudah meracuni aku dengan obat perangsang sehingga aku lupa diri. Gadis bernama Liong Si Kwi itu menolongku dari penjara, maka terjadilah hubungan di luar kesadaranku yang sedang terbius obat perangsang. Sungguh tidak pernah kuduga bahwa hubungan di luar kesadaran itu akan menghasilkan anak ini. Baru sekarang aku mendengar dan mengetahuinya. Namun, dengan berani bertanggung jawab kuakui bahwa Cia Sin Liong ini adalah puteraku!"

Semua orang kang-ouw merasa kagum akan kegagahan Cia Bun Houw dan biar pun ada beberapa orang yang mentertawakan, yaitu dari golongan hitam yang tidak suka kepada para pendekar, namun pandangan para tamu terhadap Cia Bun Houw sama sekali tidak merendahkan lagi.

Sesudah mengeluarkan kata-kata yang merupakan pengakuan gagah itu, Bun Houw lalu memandang kepada Sin Liong dan berkata lirih, "Biarlah pada lain kesempatan kita bicara mengenai ini. Sekarang hadapilah manusia curang ini, dan kalau benar engkau puteraku, maka engkau harus dapat mengalahkan dia."

Di dalam sinar mata dan suara itu terkandung rasa suka dan kagum yang membuat dua titik air mata membasahi mata Sin Liong. Ia mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya memandang ayah kandungnya dan ibu tirinya itu meninggalkan gelanggang dan kembali ke tempat duduk mereka. Tiba-tiba Sin Liong merasa hatinya lapang bukan main, dan dihadapinya pangeran itu dengan senyum tenang.

"Nah, pangeran. Apakah engkau sudah siap sekarang, ataukah engkau takut melawan aku? Kalau takut, lebih baik katakan saja dan kau bubarkan semua ini, jangan lanjutkan usahamu untuk memberontak atau menjadi bengcu, apa lagi menjadi jagoan nomor satu di dunia. Lebih baik kau ganti julukan itu menjadi penjahat licik dan curang nomor satu di dunia."

Sin Liong sengaja mengeluarkan kata-kata ejekan tadi untuk membikin panas hati Han Houw dan memang dia berhasil. Sebelumnya memang Han Houw telah merasa kecewa, menyesal dan marah bukan main bahwa serangannya terhadap nama Cia Bun Houw dan keluarga Cin-ling-pai ternyata sama sekali tidak berhasil karena sikap Cia Bun Houw yang gagah perkasa mengakui semua itu, bahkan pengakuan pendekar itu malah melontarkan kejahatan ke alamat mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Dan baru saja, dari seorang pengawal yang berhasil merangkak dalam keadaan terluka parah ke tempat itu, dia mendengar bahwa memang benar seperti yang diduganya, Sin Liong berhasil menyelamatkan Bi Cu dan selain membunuhi semua pengawal yang tiga puluh orang banyaknya itu, juga sudah membunuh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio.

Hal ini tentu saja menambah kemarahannya, dan kemarahan itu semuanya ditumpahkan kepada Sin Liong yang dianggapnya telah menggagalkan semua rencananya, orang yang dianggapnya sepatutnya membantunya itu kini malah menentangnya dan hal ini dianggap suatu pengkhianatan!

"Ya, Sin Liong! Di seluruh dunia ini, agaknya hanya kita berdua saja yang mewarisi ilmu rahasia dari Bu Beng Hud-couw, akan tetapi jangan kau kira bahwa karena engkau yang lebih dahulu mempelajari ilmu-ilmu dari guru kita itu lalu kau anggap dirimu lebih pandai. Ingat, sekali ini aku tidak akan mau mengampuni lagi nyawamu, kecuali kalau sekarang engkau berlutut dan minta ampun, dan selanjutnya mau membantuku seperti yang sudah-sudah."

"Sin Liong, kalau engkau menyerah kepadanya, selamanya aku tidak mau mengenalmu lagi!"

Sin Liong menoleh dan memandang ke arah Bi Cu yang berseru itu, dia tersenyum lalu berkata, "Jangan khawatir, Bi Cu, aku tidak akan..."

Akan tetapi terpaksa Sin Liong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu pula Han Houw dengan kemarahan meluap telah menubruk dan menyerangnya dengan dahsyat.

"Curang!" Bi Cu sampai berteriak kaget ketika melihat serangan yang dilakukan dengan mendadak selagi Sin Liong masih menoleh kepadanya itu.

Akan tetapi, biar pun kelihatannya Sin Liong menoleh dan lengah, sesungguhnya pemuda ini selalu waspada karena dia sudah cukup mengenal watak pangeran itu yang curang sekali. Oleh karena itulah ketika Han Houw menyerang secara mendadak, dengan cepat dia dapat menghadapinya, menangkis dengan keras dan balas menyerang. Dalam waktu singkat, dua orang pemuda yang sama lihainya ini sudah saling serang dengan hebatnya!

Perkelahian yang terjadi sekali ini sungguh sangat hebat. Baru belasan jurus saja semua orang tahu bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu yang sama tingginya dan sama anehnya. Akan tetapi pandang mata Bun Houw, Yap Kun Liong dan In Hong yang tajam dapat melihat betapa dalam beberapa kali pertemuan lengan, agaknya Sin Liong masih menang kuat di dalam hal sinkang, terbukti dari tubuh pangeran itu yang selalu tergetar dan terguncang sedangkan tubuh Sin Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh adu tenaga itu.

Sin Liong bertanding dengan penuh semangat. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kegesitannya. Kini dia berkelahi bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan terutama sekali untuk Bi Cu. Telah beberapa kali kekasihnya itu hampir tewas oleh pangeran ini, karena itu sekarang dia bertindak mewakili kekasihnya itu untuk mengenyahkan pangeran jahat ini dari permukaan bumi!

Selain itu, dia juga hendak membela ayah kandungnya yang tadi terdesak oleh pangeran ini dan dia tahu bahwa apa bila dilanjutkan, tentu pada akhirnya pendekar sakti Cia Bun Houw itu akan kalah. Betapa pun juga, dia tidak rela melihat orang yang menjadi ayah kandungnya itu dibikin malu dan dikalahkan di depan umum. Tadi dia sudah mendengar betapa Han Houw membongkar rahasia ayah kandungnya, dan pada saat dia mendengar jawaban Cia Bun Houw, tahulah dia sekarang!

Ayah kandungnya itu sama sekali tidak bersalah! Bahkan ayah kandungnya itu tidak tahu bahwa dia dilahirkan! Juga hubungan antara ayah kandungnya dengan ibunya merupakan hubungan yang dipaksakan oleh muslihat yang sangat curang dari guru Pangeran Ceng Han Houw!

Rasa gembira karena kenyataan bahwa Cia Bun Houw sama sekali tidak menyia-nyiakan ibunya kini bercampur dengan perasaan duka dan pahit bahwa sesungguhnya dia adalah seorang anak haram, seorang anak yang dilahirkan tanpa ayah, dilahirkan dari ibu yang tidak dinikah dan dilahirkan sebagai akibat hubungan yang tidak disadari oleh orang yang menjadi ayahnya! Betapa hal ini menusuk hatinya, maka kini dia hendak memperlihatkan dirinya di depan orang banyak bahwa biar pun dia orang rendah, anak haram, anak yang tak mengenal ayahnya, tapi dia adalah orang yang akan mampu menundukkan pangeran yang amat lihai itu!

Oleh karena inilah Cia Sin Liong menyerang dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya. Pertama-tama dia menggunakan San-in Kun-hoat yang dipelajarinya dari kakeknya, yang dicampurnya dengan Thian-te Sin-ciang.

Melihat betapa pemuda itu dapat mengkombinasikan dua ilmu ini dengan amat baiknya, para anggota keluarga Cin-ling-pai memandang dengan girang dan bangga. Pemuda itu sungguh tahu diri dan agaknya memang ingin menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai, maka dia menghadapi lawan yang tangguh ini dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai.

Hanya Lie Ciauw Si yang menonton dengan alis berkerut, muka pucat dan bibir gemetar. Dia merasa serba salah. Dia mengkhawatirkan keadaan suaminya, namun perkelahian itu terjadi dengan adil, satu lawan satu, maka dia pun tidak dapat berbuat apa pun. Pula, dia tahu bahwa suaminya berada di fihak salah dan bahwa suaminya sudah memperlakukan Sin Liong secara keterlaluan.

Masih teringat dia betapa Sin Liong yang mengajak pangeran itu ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sebab suaminya ingin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek itu kepada Sin Liong, demikianlah yang didengarnya. Kini, setelah suaminya memperoleh ilmu yang tinggi, suaminya itu malah memperlakukan Sin Liong tidak semestinya, hendak memaksa pemuda itu membantunya dengan jalan menawan Bi Cu.

Tidak disangkanya bahwa pangeran yang dicintanya itu mempunyai watak yang demikian curang dan palsu. Baru sekarang semua watak buruk itu terungkapkan maka dia merasa berduka dan gelisah sekali.

"Hyaaaattt...!" Sin Liong menyerang bagai seekor naga menyambar dari angkasa. Tangan kanannya menampar dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, dan dia terus mendesak lawan, kini dia mempergunakan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang ampuh!

Melihat serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, Ceng Han Houw bersikap tenang dan dia segera merendahkan diri dengan menekuk lutut kirinya sampai rendah sekali, kemudian sesudah dia mengelak beberapa kali dan menangkis, dia pun balas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari bawah yang mengarah lambung dan pusar lawan.

Sin Liong maklum akan bahayanya serangan balasan lawan ini, maka dia cepat meloncat dan membalikkan tubuhnya, tubuhnya itu dari atas meluncur turun dan kedua tangannya membentuk cakar naga menyerang dengan cengkeraman maut ke arah kepala lawan.

Namun, dengan gerakan indah pangeran itu dapat menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan menghindarkan cengkeraman itu, karena untuk ditangkis terlampau besar bahayanya baginya. Setelah dia meloncat bangun, dia memapaki tubuh Sin Liong yang baru turun itu dengan pukulan bertubi-tubi sambil memutar tubuhnya. Itulah jurus yang ampuh dari ilmu Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga).

Sin Liong kini terdesak dan pemuda ini berlompatan dan memutar-mutar tubuhnya pula, gerakannya seperti seekor naga. Memang pantas sekali Sin Liong diumpamakan sebagai seekor naga sakti dari Lembah Naga, dan pangeran itu berusaha menaklukkannya. Akan tetapi naga ini hebat bukan main hingga ilmu penakluk naga itu sama sekali tidak mampu mendesak terus, apa lagi menaklukkan. Sin Liong membalas dengan tamparan-tamparan sakti Thian-te Sin-ciang sehingga desakan pangeran itu membuyar karena pangeran itu harus melindungi dirinya baik-baik bila dia tidak mau kepalanya pecah terkena sambaran tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh.

Demikianlah, kedua orang pemuda itu saling serang, saling desak dan keadaan mereka benar-benar seimbang dan sama cepatnya, sama gesitnya, sama kuat dan sama-sama menguasai semua gerakan mereka dengan baik. Juga mereka bertanding dengan mantap, yang membuat setiap serangan dan tangkisan atau elakan nampak indah sekali.

Semua yang menonton pertandingan itu tiada hentinya memuji, bahkan kaum tua yang sudah berpengalaman dan menyaksikan pertandingan itu sampai menahan napas saking kagumnya. Tak pernah mereka sangka bahwa di dunia persilatan muncul dua orang muda yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya!

Mereka berdua benar-benar merupakan tandingan yang seimbang, baik usianya, gagah dan tampannya, dan pandainya. Tadi ketika pangeran itu melawan Cia Bun Houw, masih terdapat kepincangan karena Cia Bun Houw merupakan pendekar yang dianggap sudah mempunyai banyak sekali pengalaman. Jangankan sampai dapat mendesak atau bahkan hampir mengalahkan pendekar Cin-ling-pai itu, baru dapat mengimbangi saja sudah amat mengagumkan.

Dengan terdesaknya Cia Bun Houw tadi, semua tamu dari tingkat atas mulai meragukan keampuhan Cin-ling-pai sebagai partai persilatan yang sangat terkenal, karena Bun Houw dianggap mewakili Cin-ling-pai dan merupakan jagoan yang paling ahli dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai.

Tetapi, setelah kini Cia Sin Liong maju, pemuda yang kini dikenal sebagai putera Cia Bun Houw dan yang kini juga bersilat dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan kini memainkan Thai-kek Sin-kun dengan mahirnya, pandangan mereka terhadap Cin-ling-pai sudah naik lagi. Ternyata Cin-ling-pai masih mempunyai keturunan terakhir yang amat lihai!

Sin Liong memang sengaja hanya memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kakeknya dan Kok Beng Lama saja, karena di samping dia hendak memperlihatkan bahwa apa yang dipelajarinya dari dua orang kakek yang amat disayangnya itu tidak sia-sia dan dia dapat menjujung nama mereka dengan ilmu-ilmu yang sudah diberikannya kepadanya itu, juga dia tahu benar bahwa selama pangeran itu tidak mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw, maka dia akan dapat menanggulanginya dengan ilmu-ilmu pemberian kakeknya dan Kok Beng Lama, bahkan akan mampu untuk mengalahkannya.

Setiap kali pangeran itu menghujankan pukulan, kadang dia bahkan menggunakan Thi-khi I-beng untuk memunahkan semua serangan, karena dengan Thi-khi I-beng, pangeran itu tak berani melanjutkan serangannya dan setiap kali tangannya melekat dan tersedot, dia menggunakan ilmu yang pernah diterimanya dari subo-nya, yaitu ilmu melemaskan diri mengosongkan tangan yang tertempel sehingga tak mengandung sinkang lagi dan mudah terlepas.

"Anak itu hebat sekali, berbakat baik!" Yap Kun Liong memuji. Cia Giok Keng dan Yap In Hong, yang juga menonton dengan hati tegang, mengangguk membenarkan.

Semenjak tadi pangeran Ceng Han Houw memang tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dia menghendaki supaya lawannya itu lebih dahulu mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-couw di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek itu, namun alangkah kecewa dan marahnya ketika dia melihat bahwa Sin Liong hanya mengeluarkan ilmu-ilmu seperti yang dimainkan oleh Cia Bun Houw tadi.

Walau pun permainan Sin Liong dalam hal ilmu-ilmu itu tidaklah sehebat Bun Houw, akan tetapi karena Sin Liong memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena Han Houw tidak atau belum mengeluarkan ilmu-ilmunya yang dirahasiakan, pangeran itu kewalahan dan kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan kalah. Oleh karena itu, gagal memancing Sin Liong lebih dahulu mengeluarkan ilmu simpanan untuk dipelajarinya, Ceng Han Houw mendadak mengeluarkan bentakan aneh dan nyaring kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah menubruk ke depan dan dia sudah mulai mainkan Ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat ampuh dan yang tadi telah membuat Bun Houw sendiri terkejut dan kewalahan itu!

Sin Liong sudah berjaga-jaga karena dia sudah selalu waspada. Menyaksikan perubahan gerak tubuh lawan, dan melihat betapa dahsyatnya angin pukulan yang menyambar ke arahnya, maklumlah dia bahwa inilah ilmu simpanan yang dipelajari pangeran itu di dalam goa-goa dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw!

Maka dia pun lalu mencondongkan tubuh atas ke belakang, dan dari mulutnya keluar pula gerengan seperti seekor naga marah, lalu kedua tangannya membuat gerakan menyilang dan dari gerakan ini menyambarlah dua angin pukulan bersilang yang selain amat kuat dan mampu menangkis serangan Han Houw, juga sudah menggulung pukulan itu dan membalas dengan tamparan yang amat kuatnya pula!

"Uhhh!" Ceng Han Houw terkejut. Cepat dia membuang diri ke belakang dan sejenak dia berdiri memandang dengan mata terbelalak.

Para tokoh kang-ouw yang menonton dengan asyik tidak tahu bahwa ada dua jurus aneh yang berbeda dengan tadi telah dikeluarkan oleh masing-masing, akan tetapi para tokoh Cin-ling-pai yang tentu saja tadi mengenal gerakan Sin Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu Cin-ling-pai, kini tahu bahwa pemuda itu telah menggunakan jurus yang sangat aneh, yaitu ketika dia mencondongkan tubuh ke belakang dan kedua tangannya membuat gerakan menyilang tadi.

Dan kini berturut-turut dua orang pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang aneh, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengeluarkan bunyi bersiutan, bahkan kadang-kadang nampak asap atau uap tebal mengepul dari kedua tangan mereka! Dan memang pangeran Ceng Han Houw sudah mainkan Hok-liong Sin-ciang dengan penuh penasaran sedangkan Sin Liong telah menghadapinya dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Dan ternyata bahwa semua serangan pangeran itu dapat dibuyarkan, bahkan saat Sin Liong membalas, pangeran itu terhuyung-huyung ke belakang!

"Keparat!" pikir Ceng Han Houw.

Kembali dia memekik, sekali ini tubuhnya seperti berubah kaku dan meluncurlah tubuhnya itu ke depan. Dia menyerang bukan hanya dengan gerakan tangan atau kaki, melainkan dengan tubuh meloncat atau meluncur ke depan dalam keadaan kaku dan lurus, ada pun kedua tangan yang di depan itu terbuka jari-jarinya dan tidak diketahui apakah dia hendak memukul, menampar, menusuk atau mencengkeram! Ini merupakan salah satu di antara jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang paling lihai.

Sin Liong agak terkejut menghadapi serangan aneh ini. Tubuh pangeran itu seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tombak raksasa yang dilontarkan ke arah dadanya! Akan tetapi, kalau tombak, betapa pun besarnya, hanya merupakan benda mati saja dan tentu dapat dihindarkannya dengan mengelak atau pun menolak dari samping. Sedangkan yang meluncur ini adalah seorang manusia, dan bukan manusia sembarangan, melainkan Ceng Han Houw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kecurangan yang membahayakan.

Maka Sin Liong tak mau mengelak, melainkan dia memasang kuda-kuda dengan kuatnya, kemudian dia bergerak melakukan sebuah jurus yang ampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menggerakkan kedua lengan dari bawah ke atas, seolah-olah dia menyedot tenaga bumi dan langit, kemudian dengan bentakan nyaring dia menyambut luncuran tubuh lawan itu dengan kedua tangan didorongkan ke depan, dengan jari-jari terbuka. Inilah yang disebut menyambut keras lawan keras dan untuk ini tentu saja harus mengandalkan pada tenaga sepenuhnya.

Melihat ini, pangeran itu terkejut. Tak disangkanya lawan akan menggunakan kekerasan. Dia tadinya mengharapkan Sin Liong untuk mengelak atau menangkis, dan kalau hal itu terjadi, tentu dia akan lebih mudah untuk merubah gerakan tangan dan dengan demikian dia mengharapkan untuk bisa mengelabui dan memukul lawan. Siapa sangka pemuda itu agaknya nekat menyambutnya dengan kekerasan juga, dengan dorongan dua tangannya yang disertai pengerahan tenaga sinkang!

Apa boleh buat, terpaksa pangeran itu pun mengerahkan tenaga pada kedua lengannya lantas membuka lengan untuk menyambut atau menahan dorongan lawan. Dua pasang telapak tangan yang sama kuatnya bertemu di udara dengan tenaga sepenuhnya.

"Desssss...!"

Bukan main hebatnya pertemuan dua pasang tangan itu. Semua tamu sampai merasa betapa ada hawa pukulan kuat mengguncang mereka dan bumi laksana tergetar.

Akibat dari pertemuan kedua telapak tangan itu ternyata merugikan sang pangeran. Sin Liong terdorong kuda-kuda kakinya sampai satu meter ke belakang, kakinya terseret dan membuat guratan dalam sampai hampir dua senti di lantai, sedangkan mukanya berubah pucat. Namun lawannya, Pangeran Ceng Han Houw, yang melakukan adu tenaga dengan tubuh masih meluncur, terpelanting dan terbanting ke atas tanah.

"Pangeran...!" Ciauw Si mengeluarkan seruan kaget.

Akan tetapi Ceng Han Houw yang terbanting itu sudah bergulingan lalu tahu-tahu dia pun telah meloncat bangun, mengeluarkan teriakan nyaring yang aneh, melengking tinggi dan setelah itu, dia lalu berjungkir balik. Kepalanya yang kini menggantikan kedudukan kedua kakinya itu berloncatan mengeluarkan suara duk-duk-duk, kaki tangannya bergerak-gerak dan dia telah mulai menyerang Sin Liong dengan ilmu silatnya yang aneh itu, yaitu Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi).

Sin Liong yang mengenal ilmu aneh yang amat berbahaya, yang tadi hampir mengalahkan ayah kandungnya, langsung bersikap hati-hati sambil dia tetap mempergunakan Hok-mo Cap-sha-ciang untuk menandingi ilmu aneh ini.

Sementara itu, kiranya teriakan melengking yang dikeluarkan oleh pangeran itu bukanlah semata-mata teriakan marah, melainkan merupakan suatu tanda bagi para pembantunya untuk bergerak. Buktinya, begitu dia mengeluarkan suara melengking itu, beberapa orang dari golongan hitam yang tadinya duduk di antara para tamu sudah bangkit berdiri, para pengawal yang tadinya berjaga-jaga di luar kini datang dan mengurung tempat itu, dan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo juga sudah meloncat untuk mengeroyok Sin Liong!

Akan tetapi, Yap Kun Liong dan Yap In Hong sudah siap siaga, maka begitu melihat dua orang kakek itu berloncatan ke medan pertandingan, maka dengan loncatan jauh mereka pun telah berada di situ. Yap Kun Liong sudah menghadapi Hai-liong-ong Phang Tek, ada pun adik kandungnya telah menghadapi Kim-liong-ong Phang Sun!

"Hemm, kiranya Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang ini tak lain hanyalah orang-orang licik dan curang tukang keroyok seperti tukang-tukang pukul di pasar saja!" Yap Kun Liong berkata sambil menghadapi Phang Tek dengan senyum mengejek.

"Agaknya engkau sudah bosan hidup, bocah tua bangka!" Yap In Hong juga membentak Phang Sun yang disebutnya bocah tua sebab tubuh kakek ini memang seperti anak kecil.

"Saudara-saudara, para pendekar sombong ini kini sudah mulai mengacau, hayo bangkit serentak dan menghancurkan mereka sebelum kelak mereka yang akan membasmi kita!" tiba-tiba terdengar bentakan seorang kakek yang baru muncul dan ternyata dia itu adalah Kim Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw dari wilayah selatan yang perkumpulannya sudah diobrak-abrik oleh Pangeran Hung Chih, tetapi yang sempat pula melarikan diri bersama banyak pimpinan Pek-lian-kauw yang pada saat itu berkumpul pula di situ. Kalau tadi dia tak nampak adalah karena dia disuruh bersembunyi dulu oleh Pangeran Ceng Han Houw yang sudah membuat bekas musuh-musuh ini menjadi sekutunya.

Mendengar seruan ini, banyak tokoh kang-ouw dari golongan hitam yang serentak bangkit dari tempat duduk masing-masing. Golongan ini adalah orang-orang yang selalu mengejar keuntungan, dan sekarang tentu saja mereka melihat kesempatan baik untuk memperoleh keuntungan kalau mereka membantu pangeran yang selain lihai juga besar pengaruhnya dan kaya raya itu.

Akan tetapi pada saat itu Cia Bun Houw sudah meloncat maju dan menghadapi ketua Pek-lian-kauw itu sambil membentak marah, "Pemberontak-pemberontak hina! Cu-wi yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw tentu tidak akan membiarkan kaum sesat ini untuk menjebak kita dan untuk memberontak terhadap pemerintah. Siapa yang merasa dirinya gagah, silakan maju membantu pemerintah untuk menghadapi mereka!"

"Bagus! Mari kita basmi penjahat-penjahat pemberontak ini! Siauw-lim-pai takkan pernah sudi bersahabat dengan kaum pemberontak dan penjahat!" teriakan dengan suara sangat lantang ini dikeluarkan oleh Cui Khai Sun, pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

Seruannya ini membangkitkan semangat para orang gagah di situ dan banyak di antara mereka yang bangkit dan siap menghadapi kaum sesat. Akan tetapi masih banyak yang ragu-ragu dan tetap duduk saja dan tidak ingin mencampuri urusan itu.

Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw yang mengamuk dalam keadaan jungkir balik itu selalu dapat disambut oleh Sin Liong dengan baik. Melihat betapa banyak orang gagah yang bangkit dan hendak menentangnya, dia meloncat dalam keadaan jungkir balik dan menjauhi Sin Liong sambil berkata,

"Semua orang yang hendak melawan kami..., tahan! Pasukanku berjumlah ribuan orang sudah mengurung tempat ini! Kalian sudah terkurung, siapa menyerah dan membantuku akan diampuni, yang menentang akan dibunuh!"

"Pangeran pemberontak! Engkau beserta pasukanmulah yang terkurung! Dengar dan lihat baik-baik, sepuluh ribu pasukan sudah mengurung Lembah Naga!" teriak Bun Houw pula.

Dan pada saat itu juga Cia Giok Keng langsung melepaskan sebatang anak panah yang membumbung tinggi di angkasa kemudian anak panah api itu mengeluarkan asap tebal di angkasa. Tiba-tiba saja terdengar suara tambur dan hiruk-pikuk dari empat penjuru, tanda bahwa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang kini mulai datang mengurung dan mendesak!

Bukan main kaget dan marahnya Pangeran Ceng Han Houw. Dia meloncat dan kembali menyerang Sin Liong yang sudah menyambutnya dengan tangkas. Maka perkelahian pun dimulailah!

Lam-hai Sam-lo yang tinggal dua orang kakek itu ditandingi Yap Kun Liong dan Yap In Hong, sedangkan ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin dihadapi Bun Houw. Orang-orang dari golongan hitam yang ingin membantu pangeran pemberontak itu berhadapan dengan orang-orang gagah yang menjadi tamu di situ.

Sesudah melepaskan anak panah api yang menjadi tugasnya dan mendengar sambutan bala tentara kerajaan, Cia Giok Keng juga langsung menyerbu dan ikut mengamuk dalam pertempuran itu, karena jumlah para tokoh sesat yang dibantu oleh pengawal-pengawal itu jauh lebih banyak dari pada jumlah orang gagah yang menentang pangeran.

Pertempuran hebat segera terjadi di tempat pesta atau tempat pertemuan itu. Sin Liong dan Pangeran Ceng Han Houw berkelahi di tengah-tengah, dan perkelahian mereka itu amat serunya. Tidak ada orang yang mendekat untuk membantu karena keduanya telah mengeluarkan ilmu silat mereka yang amat mukjijat, yang mereka dapatkan dari Bu Beng Hud-couw dan merupakan ilmu silat yang luar biasa sekali sehingga membantu mereka di samping bahkan akan mengganggu, juga mungkin pembantunya akan terancam bahaya oleh yang dibantunya itu sendiri.

Sementara itu, di luar Lembah Naga sudah terjadi perang antara pasukan Lembah Naga melawan pasukan pemerintah. Akan tetapi karena jumlah pasukan yang datang menyerbu itu jauh lebih besar, maka sebentar saja pasukan Lembah Naga itu terdesak dan terus mundur, dihimpit dari luar dari pasukan kerajaan.

Sementara itu, pertempuran yang berlangsung di ruangan yang luas itu pun terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi karena tokoh tokoh besarnya seperti Pangeran Ceng Han Houw dan dua orang kakek Lam-hai Sam-lo, juga para tokoh Pek-lian-kauw, menemui tanding yang amat kuat dari pihak keluarga Cin-ling-pai, Siauw-lim-pai dan tokoh-tokoh kang-ouw lain yang tangguh, maka kaum sesat itu pun kehilangan semangat dan mereka itu banyak yang sudah roboh oleh para orang gagah.

Ketua Pek-lian-kauw Kim Hwa Cinjin yang sudah sangat tua itu bukanlah lawan dari Cia Bun Houw. Dalam pertandingan yang kurang dari lima puluh jurus saja, dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat, pendekar ini sudah merobohkan kakek ini yang tewas seketika karena tidak sanggup menahan tamparan dahsyat yang mengenai dadanya. Cia Ciok Keng yang mengamuk dengan pedang Gin-hwa-kiam yang bersinar perak juga telah merobohkan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw.

Perkelahian antara Yap In Hong yang melawan Kim-liong-ong Phang Sun berlangsung dengan luar biasa serunya. Pendekar wanita itu menemukan tanding karena kakek kecil pendek itu memang hebat dan merupakan tokoh yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi.

Namun, karena dasar ilmu silat yang dimiliki pendekar wanita itu lebih murni, dan juga karena hati kakek pendek kecil ini sudah gentar menyaksikan betapa keadaan kini tanpa diduga-duga sudah terbalik, dan keadaan pangeran yang dibelanya itu terancam bahaya, maka perlahan-lahan Kim-liong-ong Phang Sun mulai terdesak hebat.

Perlahan namun tentu, Yap In Hong mulai melancarkan lebih banyak serangan, terutama tamparan-tamparan Thain-te Sin-ciang dan Phang Sun hanya main mundur, mengelak dan menangkis tanpa sempat melakukan penyerangan balasan. Dia yang biasanya lihai ini sudah mulai mencari-cari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi lawannya terus mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kakek kecil ini repot sekali.

Tapi tidak demikian dengan kakaknya, yaitu Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau Phang Sun masih dapat melakukan perlawanan, sebaliknya Hai-liong-ong Phang Tek begitu bergerak melawan Yap Kun Liong segera memperoleh kenyataan bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan Cia Bun Houw! Bahkan pendekar yang sudah setengah tua ini selain memiliki kematangan dalam gerakan juga ternyata memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh!

Hanya gerakan ginkang yang amat tinggi dari Hai-liong-ong Phang Tek, maka dia masih dapat bertahan. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkin dia akan menang menghadapi pendekar yang amat lihai ini maka seperti juga Kim-liong-ong Phang Sun, mulailah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini untuk mencari kesempatan lari!

Ketika dia melihat kesempatan itu terbuka, yaitu ketika lawannya bergerak agak lambat, maka dia menggereng dan dari samping lengan kanannya yang panjang itu menyambar, tangannya mencengkeram ke arah muka Yap Kun Liong. Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat cepat dan dahsyat, akan tetapi hanya untuk menggertak saja dan dia sudah siap melompat jauh dan melarikan diri kalau lawannya mengelak dan mundur.

Akan tetapi ternyata lawannya tidak mengelak melainkan mundur sedikit dan membiarkan pundaknya terbuka tidak terlindung. Melihat ini, tentu saja Hai-liong-ong Phang Tek tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menang. Tangannya yang masih terbuka seperti cakar harimau itu tiba-tiba mencengkeram ke arah pundak lawan yang tak terlindung itu.

"Cappp...!"

Seperti cakar baja kelima jari tangan kanan kakek itu mencengkeram ke arah pundak dan Yap Kun Liong sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan membiarkan pundaknya dicengkeram.

"Auhhhhh...!" Terdengar Hai-liong-ong Phang Tek berseru kaget sekali.

Dia merasa betapa cengkeramannya mengenai benda lunak yang kemudian melekat dan terus mengeluarkan tenaga menyedot sehingga hawa sinkang dari tubuhnya menerobos keluar melalui tangannya itu! Dia berusaha menggunakan tenaga untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin dia mengerahkan tenaga, semakin hebat pula sinkang-nya mengalir dan membanjir keluar!

Pucatlah wajah Hai-liong-ong Phang Tek dan tubuhnya menggigil. Dengan nekat tangan kirinya lantas menghantam, akan tetapi sekali ini tangan itu ditangkap oleh lawan. Begitu tertangkap, kembali sinkang-nya mengalir kuat dari pergelangan tangan yang tertangkap itu sehingga kini makin banyaklah sinkang yang membanjir keluar itu.

"Aduh... celaka...!" Kakek itu berseru. Barulah dia teringat akan Ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat sehingga dia menjadi takut bukan main.

"Hemm, agaknya kejahatanmu sudah melewati takaran. Pergilah!" Yap Kun Liong tiba-tiba menampar dengan tangan kirinya, tepat mengenai belakang telinga lawan. Hai-liong-ong Phang Tek mengeluh, tubuhnya terpelanting dan dia tewas pada saat itu juga.

Melihat kakaknya roboh, Kim-liong-ong Phang Sun menjadi makin jeri. Dia mengeluarkan teriakan panjang, lantas tiba-tiba saja dia meloncat pergi. Akan tetapi wanita perkasa itu membentak.

"Hendak lari ke mana kau?!"
Dan Yap In Hong mengejar dengan cepat, tangan kirinya lalu bergerak dan cahaya hijau menyambar. Itulah Siang-tok-swa, senjata rahasia istimewa merupakan pasir hijau yang berbau harum. Akan tetapi pasir halus ini mengandung racun yang amat berbahaya.

Kim-liong-ong Phang Sun cepat melempar tubuh ke samping lantas bergulingan sehingga sambaran pasir beracun itu hanya lewat saja di atas kepalanya, akan tetapi baru saja dia hendak meloncat bangun, lawannya sudah menerjangnya. Kakek kecil pendek ini hendak mengelak, namun dia kalah cepat dan begitu tangan Yap In Hong mengenai tengkuknya dengan tamparan Thian-te Sin-ciang yang ampuh, robohlah kakek itu dan nyawanya pun melayang sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai.

Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong dan Cia Giok Keng masih terus mengamuk, membantu para tokoh kang-ouw golongan bersih untuk menghadapi kaum sesat yang ikut membantu Pangeran Ceng Han Houw. Biar pun jumlah kaum sesat lebih banyak, namun dengan bantuan mereka berempat ini mereka menjadi kocar-kacir hingga banyak di antara mereka yang roboh dan tewas.

Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk bagaikan patung di kursinya yang tadi, sedikit pun tak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong!

Sesudah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, kini para tokoh Cin-ling-pai itu mulai mendekat. Tetapi Sin Liong berkata sambil tetap mendesak lawannya,

"Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri."

Mendengar ini, tiga orang itu segera berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan.

Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas. Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, malah serangan balasan Sin Liong senantiasa membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, malah kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya sudah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan suci-nya, juga telah tewas dan bahkan kedua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama semakin dekat juga.

Hatinya menjadi sedih dan kecewa sekali, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara semua kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus bisa merobohkan Sin Liong terlebih dahulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw.

Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan mendadak tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun lantas dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala!

Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong menjadi terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri, yang kalau perlu hendak mengadu nyawa dengan musuhnya!

Sin Liong maklum bahwa apa bila dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, sungguh pun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu merupakan tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amatlah berbahaya kalau disambut dengan kekerasan.

Oleh karena itu, dia pun segera mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dahulu memang khusus diciptakan untuk menggunakan tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras. Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi I-beng, akan tetapi niat ini segera dibatalkan karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahayakan dirinya bila ada tenaga sinkang yang begitu kuat dan kerasnya membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, maka bisa merusak seluruh isi perutnya.

Karena itu dia lalu melakukan jurus terakhir itu. Lagi pula, ketika dua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan karena saat itu dia menyimpan tenaga, maka tidak terjadi benturan tenaga tetapi dia terjengkang atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atas tubuhnya tanpa bisa ditahan oleh pangeran itu sendiri.

Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan cepat telah menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Plaakkk!"

Tubuh pangeran itu masih meluncur terus, akan tetapi kehilangan keseimbangan hingga akhirnya terbanting ke atas tanah, lalu bergulingan dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Kiranya dia sudah menerima pukulan yang sangat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya itu terbanting, pangeran ini sudah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang sangat hebat.

"Pangeran...!" Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si langsung meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis.

Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya dipenuhi oleh rasa penyesalan dan kedukaan. Betapa pun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan kini, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu pangeran berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan di dalam hatinya.

Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan serta kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.

"Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri..."

Lie Ciauw Si menoleh lantas memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah sekali padanya. Akan tetapi dia merasa heran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali.

"Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya..."

"Silakan, piauw-ci..."

Dengan terisak Ciauw Si lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu.

"Ciauw Si...!" Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya segera dipegang dengan halus oleh suaminya.

"Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya..."

Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu sudah berhenti sebab semua tokoh kang-ouw golongan hitam sudah berhasil dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.

Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, bahwa perang kecil-kecilan itu pun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya segera melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw dari golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menakluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu dibebaskan.

Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai, dan dengan senyum lebar lantas menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat-cepat menjura dan berkata kagum. "Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!"

Sesudah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang komandan agar mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembah Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja. Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka juga pergi ke kota raja.

Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman. Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga.

Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada waktu dua puluh tahun yang lalu itu, akan menghasilkan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tidak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa.

Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapa pun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya merasa tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Secara diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa kedua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka?

Ketika pada malam hari itu rombongan terpaksa harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang baru mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu. Sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalam, Yap Kun Liong maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka.

Menjelang tengah malam, pada saat dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya lagi sehingga mengaburkan kewaspadaan, baru dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.

"Isteriku, sungguh pun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka kemudian mempelajarinya, menyelidikinya, di mana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu."

Giok Keng mengangguk kemudian berkata sambil menarik napas panjang. "Apa lagi yang perlu kita selidiki? Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih."

"Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau berkata bahwa mereka salah pilih?"

"Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, ada pun Ciauw Si... ahhh... perlukah kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu?"

Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Walau pun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, tetapi kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, mau pun rangkulan mesra.

"Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta padaku?"

Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul. "Ahhh, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi? Tentu saja aku mencintamu."

"Aku pun percaya akan hal itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta kepadamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang mengatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu?"

"Aku tidak akan peduli! Aku cinta kepadamu dan aku tidak peduli siapa pun yang akan mengatakan bagaimana pun tentang dirimu, tentang hubungan kita."

"Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itu pun mempunyai watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!" Kun Liong lalu mencium isterinya.

"Eh, ehh, apa maksudmu?" Giok Keng bertanya heran, menatap wajah suaminya melalui sinar api unggun yang merah.

"Perjodohan adalah urusan dua orang saja, urusan pria dan wanita yang bersangkutan, urusan hati dan perasaan mereka, dan orang lain, siapa pun mereka itu, baik orang tua sendiri sekali pun, tidak semestinya mencampuri! Orang tua atau keluarga hanya boleh membantu pelaksanaannya belaka, akan tetapi sedikit pun tidak boleh mencampurinya, karena sekali mencampuri, maka hanya akan merusak suasana! Cobalah kita pikir secara mendalam dan jujur. Andai kata... andai kata keluarga Cin-ling-pai tidak ikut mencampuri urusan cinta kasih antara Lie Seng dengan Sun Eng, kurasa cinta kasih mereka tak akan berakhir sedemikian menyedihkan."

Cia Giok Keng diam saja, tak bergerak bagaikan pulas di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi sesungguhnya dia merasa terpukul, tertusuk dan ucapan suaminya itu mengena benar di hatinya dan terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dengan diri Lie Seng dan Sun Eng.

"Aku tidak mencela siapa-siapa, tidak mencela keluarga kita yang mencampuri, karena aku tahu bahwa maksud kalian semua itu baik saja. Akan tetapi baik untuk siapa? Untuk kalian sendiri tentu saja, bukan untuk Lie Seng dan Sun Eng. Itulah akibatnya kalau kita sebagai orang-orang tua mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang anak muda."

Hening sejenak. Akhirnya terdengarlah suara pembelaan Cia Giok Keng, lirih dan lemah, "Akan tetapi mana mungkin seorang ibu seperti aku mendiamkannya saja kalau melihat puteranya keliru memilih calon jodoh? Aku ingin melihat puteraku bahagia..."

"Nah, di sanalah letak kesalahannya, bukan? Kita ingin melihat putera kita bahagia, oleh karena itu kita hendak memilihkan jodoh yang tepat untuk putera kita! Ahhh, seolah-olah jodoh itu seperti sehelai baju yang dapat kita patut-patut. Bahkan baju pun tergantung dari pada selera, isteriku, dan selera kita tentu belum tentu sama dengan selera putera kita! Apa yang kita anggap baik belum tentu baik pula bagi putera kita, oleh karena itu wajarlah kalau apa yang dianggap baik oleh putera kita pun belum tentu baik bagi pandangan kita. Kalau kita berkata bahwa kita ingin melihat putera kita bahagia, maka dia harus menurut pilihan kita, bukankah itu berarti bahwa sesungguhnya, di balik semua kata-kata kita itu, sesungguhnya kita ingin melihat hati kita sendiri senang karena putera kita memilih jodoh yang kita sukai? Kita harus jujur, isteriku. Dalam perjodohan, yang terutama adalah cinta-mencinta. Itu saja, hal yang lain tidak masuk hitungan! Dan cinta kasih, apakah cinta itu mengenal usia, mau pun kedudukan, mau pun baik buruk? Cinta adalah cinta karena itu bagaimana mungkin kita dapat menyalahkan seseorang, apa lagi putera kita sendiri kalau dia jatuh cinta kepada seseorang? Kalau engkau jatuh cinta kepadaku dan aku jatuh cinta kepadamu, siapakah yang berhak menyalahkan kita, isteriku?"

Giok Keng termenung. "Jadi... kau pikir... dahulu Lie Seng dan Sun Eng telah saling jatuh cinta, maka mereka berdua sudah berhak untuk saling berjodoh, dan kita, fihak keluarga dan orang-orang tua, sama sekali tidak boleh mencampurinya?"

"Tidakkah begitu menurut kesadaranmu?"

"Ahh, engkau mengatakan begitu karena sekarang akibatnya buruk bagi mereka."

"Bukan, isteriku. Aku tidak mengatakan bahwa andai kata dahulu keluarganya tidak turut mencampuri, maka Lie Seng dengan Sun Eng akan hidup berbahagia atau tidak sampai mendapatkan halangan. Soal halangan dan apakah hidup bisa beruntung atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini. Akan tetapi, sesudah kita mencampuri urusan jodoh mereka sehingga akhirnya persoalan menjadi berlarut-larut dan mengakibatkan hal yang amat menyedihkan, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa urusan jodoh adalah urusan dua orang dan di mana ada cinta-mencinta, maka perjodohan itu sudah benar, asalkan tak melanggar suatu hal lain yang merugikan orang lain? Lie Seng masih bebas, dan Sun Eng pun wanita bebas, mereka saling mencinta, maka sudah benarlah itu, dan sudah benar pula apa bila mereka itu saling berjodoh. Kita harus dapat melihat kesalahan kita yang telah mencampuri urusan mereka, lepas dari soal apakah hal itu mendatangkan kerusakan atau kebaikan."

Kembali hening sejenak, dan perlahan-lahan semua ucapan suaminya itu bisa menembus kekerasan hati Cia Giok Keng dan dapat membuka mata hatinya.

"Akan tetapi... bagaimana kalau apa yang terjadi dengan pilihan Ciauw Si itu?"

"Apa salahnya pilihan Ciauw Si? Dia pun memilih pangeran itu karena saling mencinta, dan kita harus menghormatinya bahwa dia memang benar-benar mencinta pilihan hatinya itu, sampai mati sekali pun! Memang demikianlah seharusnya orang memilih jodohnya, berdasarkan cinta, bukan berdasarkan sifat-sifat baik dari yang dipilihnya, karena memilih jodoh berdasarkan apakah yang dipilihnya itu tampan, cantik berpangkat, berbudi, pandai, kaya dan sebagainya sama sekali bukan berdasarkan cinta, melainkan berdasarkan ingin menyenangkan hati sendiri. Bukankah demikian?"

Akhirnya ibu yang merana ini kembali terisak dan merangkul suaminya. "Engkau benar... mengapa aku hendak mencampuri urusan cinta kasih anak-anakku? Aku tidak ingat akan pengalamanku sendiri, pengalaman kita..."

"Sudahlah, isteriku. Segala sesuatu telah terjadi, dan betapa pun juga, kita harus bangga mempunyai anak-anak yang demikian tulus cinta kasihnya seperti Lie Seng dan Ciauw Si."
Selanjutnya,