Pendekar Lembah Naga Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
JANTUNG di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?" dia bertanya dengan sikap hormat dan seperti biasa bila dia melayani para tamu lainnya.

Empat pasang mata memandangnya hingga Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

"Ehh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong.

Sin Liong terkejut. Dia langsung memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barang kali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."

"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"

"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas," kata Lan Lan.

"Aku juga," sambung Lin Lin.

"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.

"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat urusan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, ada pun berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, barulah belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?"

Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau tak akan menang!"

Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa anak-kanak ketika dia masih berada di samping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dahulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!

Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur, namun diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan semenjak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.

Akan tetapi, sesudah keempat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh lantas terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

"Ehh, kau kenapa, A-sin?" tanyanya. Akan tetapi melihat wajah A-sin menjadi pucat sekali serta tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya.

A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak menyuruh orang memanggil tabib, Sin Liong siuman kembali lantas berkata lemah,

"Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin saja... asal saya dibolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."

Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso di dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu.

Kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya menggunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapa pun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.

Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itu pun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka ini pun berpesta karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang.

Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, dia pun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia sudah mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan.

Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan kepada belas kasihan orang. Kadang kala Sin Liong bergidik membayangkan bila dirinya sampai harus terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.

Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet!

Sin Liong melihat betapa para pengemis yang menjadi langganan restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu!

Walau pun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat serta tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk 'mengerjakan' Beng Sin beserta tiga orang temannya!

Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Lalu, dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba dekat rombongan Beng Sin, tiba-tiba gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

"Ehh, ehhh... hati-hatilah, nona..."

Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak sangat cepat dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguh pun keranjang sayurnya terlempar hingga sayurannya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang telah berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.

Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar sudah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin!

Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya lalu dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Dengan jelas Sin Liong dapat melihat hal ini, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu.

Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seakan-akan sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan ikut mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak.

Apalagi karena dia pun tidak ingin memperkenalkan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak di dalam pasar bersama teman-temannya dan tidak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

"Keparat! Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak sambil mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah.

Akhirnya empat orang muda itu pergi meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.

Setelah mengetahui dimana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, mempunyai banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!

Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.

Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang.

"Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!"

Mendengar suara ini, Sin Liong segera menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasa mereka gunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga ketiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.

"Bung A-sin, kenapa kau buang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.

Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?"

Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Ehh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti."

"Hemmm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?"

Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"

Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kau kira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!"

Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan pada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang.

Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan perasaan iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!

Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio!

Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar cerita di antara para tamu restoran. Dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!

Tiba-tiba saja Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan dan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya.

Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng.

Ketika cahaya bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah di samping mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling?

Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia merasa kagum juga menyaksikan gerakan yang cepat dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.

Sin Liong juga menoleh karena pada waktu itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang lelaki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut.

Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.

Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu mendadak bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan bersiap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut!

Akan tetapi, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanyalah untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai. Maka dia pun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia baru akan turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.

"Uhhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu telah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.

"Hemm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram.

Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli sekali. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia semakin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.

"Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh. Di dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!

"Hemm... aku dapat ampunkan engkau, akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?"

Diam-diam Sin Liong semakin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!

"Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."

"Plakk!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh.

Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya, A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan pada lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!

Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadi dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis ini pun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar!

Hening sejenak setelah daun jendela itu terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja saat menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!

Gadis ini mau apa sesudah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti saat memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api.

Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba saja, dengan gerakan cukup cepat, gadis itu sudah melompat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi terhadap A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.

"Heh, A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!

Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.

"Diam, jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis itu.

"Ehh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu laki-laki, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?" Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur sehingga kelihatan manis, nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.

"Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?" Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.

"Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?" Sin Liong bersikap ketolol-tololan.

"Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kau lihat baik-baik ini!" Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat ada sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lantas mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itu pun patah kemudian dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.

"Ehh, ehh... apa dosanya sapu itu? Mengapa kau patahkan gagangnya? Wah, celaka, kau bikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"

Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!

"Goblok! Kau bernama A-sin?"

"Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?"

"Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat padaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"

"Wahhh... kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.

"Nah, kau takut padaku, bukan?"

Sin Liong menggelengkan kepala.

"Apa?!" Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka seram, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh dari pada mengerikan. "Kau tidak takut padaku?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Kenapa mesti takut?"

"Karena aku menakutkan!"

"Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali..."

"Aku ingin kau takut!"

"Wah, kau ini aneh. Ehh, nona cilik..."

"Aku tidak cilik lagi!"

"Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?"

"Ehhh? Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?"

"Lhoh! Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?"

"Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?" dengan hati jengkel gadis itu membentak.

"Ya menggigit apaku, boleh kau pilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!"

Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, lalu di depan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan.

Dengan puas dan bangga, dan sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau sudah takut padaku? Lihat kekuatan tanganku!"

"Ehh, apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."

"Sulap hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini!

Sin Liong yang sudah bangkit duduk itu pun pura-pura marah. "Dengar kau, nona cilik... ehh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Masa anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!"

"Dengarkan aku, bocah tolol! Bukalah telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar saja aku akan bisa membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, jika kau berani berkata kepada siapa pun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini..."

"Crokkk...!"

Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!

Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.

"Nah, kau mengerti? Jangan bilang siapa pun juga atau aku akan kembali!"

"Siapakah namamu, nona?"

Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik kembali dan memandang dengan sepasang matanya yang bening dan tajam, "Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?"

"Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita sudah saling mengenal jadi sudah sepatutnya aku mengenal namamu?"

Diam-diam gadis itu merasa amat jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini. Betapa pun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya tampan ini!

"Semua anak miskin di kota ini mengenal Kim-gan Yan-cu!" Setelah berkata demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali.

Sin Liong masih duduk termenung di atas pembaringannya. "Kim-gan Yan-cu (Walet Mata Emas)?"

Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalaman dia tidak dapat tidur kembali. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu!

Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran supaya bersiap-siap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu.

Majikan restoran menjadi sangat gugup dan segera mengerahkan semua anak buahnya untuk membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para prajurit pengawal yang datang terlebih dulu adalah seorang pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.

Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih sedangkan dia sendiri pun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan sangat menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik mau pun yang buruk!

Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang lelaki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh penghormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, juga termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat.

"Ehh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?"

Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.

Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringi banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Ku-kiang? Tentu saja pembesar Gu ini masih mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han How!

"Siapa... ehh, paduka... salah lihat...," dia berkata gagap.

Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. "Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biar pun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah terhadap saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, kenapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu sedang menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!"

"Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini..."

"Ha-ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya hendak memohon pertolongan kongcu..." Pembesar itu mendekatkan mulutnya. "Mengenai puteriku..."

"Tidak... bukan... aku bukan..." Sin Liong bingung bukan kepalang, apa lagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada setan penjaga kebun menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong bermimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja.

Dan sekarang, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seakan-akan pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang sangat tinggi kedudukannya. Apa lagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran!

"Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja... "

"Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain... "

"Hemmm, benarkah itu?!" Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. "Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!"

Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib, ada pun di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio!

Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, gembira dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya bila dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana!

Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) langsung meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji.

Dan dugaan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong, kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia langsung menurunkan tangan kejam, menyerang sepasang mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.

Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya lagi. Dia melihat jelas dua batang hio yang sedang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sinkang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu.

Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, maka dua batang hio itu tentu akan menelan korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan kedua batang hio itu ditangkisnya runtuh.

Hal ini sangat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanya pun tentu akan celaka, karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga jika ditangkis akan bisa melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong!

Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka dia pun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk segera membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.

"Hyaaaaattt...!" Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi hingga membuat semua orang terkejut, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan kedua kaki mereka terasa lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu.

Terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, terlebih dulu sudah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar.

"Ehhhh...!" Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu. Maka dia pun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan.

"Plakkk!"

Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sinkang-nya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu.

"Eiiihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya cepat menyambar dengan totokan ke arah kedua mata Sin Liong!

Wanita ini telah mengenal Thi-khi I-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sinkang-nya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan main.

"Tarrrrr...!"

Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum pula bahwa dia berada dalam bahaya sesudah kini semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Karena itu dia cepat mengerahkan tenaga lemas untuk menangkis sabuk.

"Pratttt...!"

Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong lalu mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan tenaga itu dengan telapak tangannya ke arah muka lawan.

"Ihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio kembali menjerit.

Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh hingga dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini digunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu.

"Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!" Kim Hong Liu-nio berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih terheran-heran.

Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar oleh pasukan yang makin lama makin banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Apa bila dia dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah terjaga dengan ketat, dan ke mana pun dia bersembunyi, tentulah dia akan terus dicari oleh para prajurit.

Mana mungkin dia mampu melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan dia pun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok lantas masuk ke dalam pasar ketika arah berlarinya melewati tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para prajurit yang mengejarnya.

Pasar itu menjadi geger ketika para prajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para prajurit itu sedang mengejar-ngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin!

Saat Sin Liong tengah kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang lantas berbisik, "A-sin... cepat, kau ikut aku...!"

Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara langganannya, Sin Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di sana dia melihat empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis.

Melihat gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki kamarnya! Gadis itu tetap memakai baju biru, entah baju yang semalam entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis itu tersenyum mengejek.

"Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?"

"Aku... aku bukan..."

"Ahhh, sikapmu yang tolol itu hanya kedok belaka. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para prajurit sudah datang!" Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan sampah!

Baunya bukan main, maka terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya supaya jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para prajurit yang tiba di situ.

"He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?" terdengar bentakan nyaring.

"He! He! Engkau berbicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun yang kau terima selama kau menjadi prajurit, menyapa orang hanya dengan he-he saja?" tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah.

"Apa...?! Kalian ini sekumpulan pengemis...!" suara pertama menghardik.

"Ahh, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!" terdengar suara orang ke dua, agaknya seorang prajurit lain yang mengenal gadis itu.

"Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...," kata suara pertama.

Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. "Hmm, setelah mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan yang palsu. Biar pun kami orang miskin, apakah para prajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami? Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kami pun tidak mampu menjawab!"

"Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia prajurit baru, pindahan dari luar kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tidak pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran."

"Hemm, kami tidak melihat dia sekarang."

"Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya."

"Baik, baik...!"

Tak lama berselang para prajurit itu sudah pergi, kemudian Sin Liong disuruh keluar dari tumpukan sampah. Dia merasa heran bukan main. Ternyata para prajurit itu tidak hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan sangat menghormatinya! Maka dia pun cepat menjura.

"Terima kasih atas pertolongan kalian..."

"Pertolongan apa? Kau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!" perintah gadis itu.

Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong kemudian dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tak sempat menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya.

"Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara, kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu dengan prajurit," kata gadis itu.

Sin Liong yang masih sangat keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan!

Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti yang dipesankan oleh gadis itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh.

"Ini ada seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biarlah kalau sampai mati pun dia mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!" demikian gadis itu menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para prajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong itu.

Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu sangat dipercaya oleh para penjaga pintu gerbang, apa lagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan orang.

Sesudah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan.

"Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!" kata gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja, lantas dia ikut berlari bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di lereng bukit yang nampak dari situ.

Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan terlindung dari panas atau hujan.

Memang demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emperan toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga.

Setelah membersihkan ruang itu dengan dibantu oleh empat orang pengemis muda yang agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding.

"Kalian harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Apa bila ada bahaya mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!" kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu.

Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kecerdikannya, wibawanya, dan juga kesederhanaannya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam belas tahun usianya, akan tetapi sudah dapat memimpin pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya!

Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong lalu mengikutinya dan ketika gadis itu duduk di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong hanya berdiri sambil memandang, sinar matanya masih membayangkan rasa kekaguman dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini!

Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biar pun dia payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apa lagi pemimpin pengemis!

Tiba-tiba saja gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. "Ada apa engkau memandangku seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu nanti!"

Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti sudah dipukul saja. Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa kecil.

"Hik-hik, aku hanya main-main. Mengapa kau begini pemalu? Ehhh, A-sin, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar prajurit kerajaan?"

Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para prajurit. Dia dikejar prajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan karena dia putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan akal.

"Ahhh, aku adalah orang biasa dan bekerja sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati."

Gadis itu bangkit berdiri menghadapi Sin Liong, kemudian dengan penuh selidik sepasang matanya yang jeli itu mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia cemberut, menggelengkan kepalanya.

"Tidak, engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol seperti yang ingin kau perlihatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan dari pada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku merasa pasti sudah pernah melihatmu. Hayo, kau mengaku sajalah!"

Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling berjumpa, dan betapa wajah itu tidak asing sama sekali. Sekarang, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan pemberontak.

"Nona, siapakah namamu?" akhirnya Sin Liong bertanya karena dia merasa yakin bila dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat.

Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tak senang sekaligus juga curiga. "Mau apa kau tanya-tanya nama orang?" bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis.

Galak betul bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia tetap bersikap sabar. "Terus terang saja, nona, aku pun merasa seperti pernah bertemu denganmu. Apa bila aku mengetahui namamu, mungkin saja aku akan teringat lagi dan kenal padamu."

"Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!" kata nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya!

"Aku tidak mengenal julukan itu."

"Hemmm, kalau tidak mengenal sudah saja!" Gadis itu mendengus marah karena hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal nama besarnya..."

Ketika mendengus marah itu, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir menjadi dua itu berpindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehernya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu!

Sekarang dia teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya.

"Bi Cu...!" suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip.

Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada seorang pun yang mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu.

"Ehhh, bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?!" bentaknya, heran, kaget dan curiga.

Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa terharu sekali. Ia teringat akan mala petaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu.

"Bi Cu, lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!"

Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. "Sin Liong...? Ahh, tentu saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran bahkan seorang buronan pasukan pemerintah pula?" Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. "Sin Liong...!"

Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira laksana dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah menyangka akan dapat saling berjumpa sesudah mala petaka itu menimpa mereka di dalam rumah keluarga Na Ceng Han atau Na-piauwsu.

Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka sudah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lantas terengah-engah duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi matanya basah air mata.

"Aihh... siapa kira aku dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong," katanya dan dia terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru.

Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dahulu seorang anak perempuan pendiam itu kini sudah menjadi seorang gadis remaja yang lincah, cantik dan cerdik. Teringat akan waktu lampau, dia tertawa dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah gadis itu.

"Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau yang kini sudah menjadi ratu pengemis? Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang..."

Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. "Dan sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?"

"Ihh, tentu saja tidak!" Sin Liong tersenyum. "Engkau kini menjadi seorang gadis cerdas, lincah dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana mungkin aku bisa mengenalmu lagi?"

"Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!"

"Atas bantuan tahi lalatmu."

"Eh?" Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda itu dengan tajam. "Tahi lalat?"

"Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak pada waktu engkau memindahkan kuncirmu ke depan. Engkau mempunyai sebuah tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tidak dapat melihatnya?"

"Hik-hik, tolol engkau. Apa kau kira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!"

Sin Liong juga tertawa. "Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh... Tiong Pek?"

"Ohhh...!" Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di atas bangku, termenung!

Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu sesudah Bi Cu menggeser ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu pada waktu mereka baru berusia dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar kota raja itu.

"Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kun-ting?"

Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, "Dan engkau sendiri, sesudah dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu dapat muncul di kota raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?"

Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. "Ahh, engkau benar-benar sudah berubah banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian lincah dan pandai berbicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah menyerang kembali dengan pertanyaanmu."

"Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah, kau ceritakan pengalamanmu."

"Seperti yang engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku lalu dibawanya pergi..."

"Wanita iblis? Apakah kau maksudkan wanita cantik gagah perkasa yang sudah berhasil membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu? Kenapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?"

"Engkau tidak tahu saja, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na itu, dan memang agaknya ada kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ahh, engkau tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... ehhh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek."

Sin Liong tak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sebenarnya adalah kakeknya sendiri itu, juga dia tak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi. Dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu pada saat mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati.

"Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!"

Sin Liong dan Bi Cu segera menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi membantu, kini datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak-anak buah Bi Cu memang diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat.

"Hemm, A-sam dan A-khun, ada apakah?" tanyanya dengan alis berkerut sambil bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian.

A-khun memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak, sedangkan A-sam setelah menoleh ke arah Sin Liong berkata, "Nona, kita sudah tertipu... dia... dia ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga kabarnya dia dicari-cari karena dia keluarga pemberontak... wah, benar-benar celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!"

"Biar mereka menangkap aku!" Sin Liong berkata penasaran. "Akan tetapi kenapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?"

"Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?"

"Karena mereka sudah mengetahui bahwa nona telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!"

Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam serta A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar.

"Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!"

Dia lalu menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi pemimpin, sekarang menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung. Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya.

"Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?"

Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda kini tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui pasti ke arah mana mereka harus mengejar.

"Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kau ikut bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!"

"Siapa itu keluarga Kui?" Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak.

"Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?" Di tengah perjalanan itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han Houw, dan tentu Kim Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia tetap tidak ingin bercerita mengenai Cia Bun Houw kepada siapa pun juga, apa lagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu tidak mungkin lagi untuk dirahasiakannya.

"Baik, kuceritakan semuanya kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang akan kita datangi dan dimana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui Hok Boan itu adalah ayah tiriku..."

"Ahhhh...!" Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong berada dan tinggal di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. "Dan ibumu masih ada...?"

Sin Liong menggeleng kepala. "Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet barang-barang mereka..."

"Ahh, kau maksudkan... pemuda gendut itu?"

"Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis..."

"Dua gadis kembar yang cantik manis itu?"

"Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku."

Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. "Kalau si gendut dan yang lain-lainnya itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?"

"Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenalmu. Pula, ada hal lain yang sangat perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara."

"Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu."

Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu dengan pangeran ini kemudian sang pangeran suka kepadanya sehingga mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menuturkan tentang kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung mengenai kelihaian Ceng Han Houw. Meski pun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran!

"Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?"

"Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa, bebas berbuat apa pun tanpa diperhatikan orang."

"Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?"

Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlampau cerdik untuk menerima ceritanya yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi, dia pun amat cerdik dan langsung dia mengambil keputusan untuk membuka sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain.

"Ahh, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu."

"Ehh? Kau maksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?"

"Benar."

"Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa antara dia dan engkau."

"Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar pasukan."

"Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?"

"Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku."

"Ahh...!" Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya.

Sebelum mendengar hal ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman, biar pun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong. Sekarang, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang.

"Dan ayah kandungmu, Sin Liong?"

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Sudah mati!"

"Kasihan engkau, sudah yatim piatu."

"Sama dengan engkau, Bi Cu."

"Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?"

"Untuk apa? Apa bila kelak engkau mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kau lakukan, Bi Cu?"

"Membunuhnya!"

"Demikian juga aku."

"Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?"

"Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba."

"Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?"

"Hanya dari Na-piauwsu."

"Ahhh, dengan kepandaianmu seperti itu, mana engkau sanggup menandingi wanita itu? Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong!"

"Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu."

"Cukup lumayan, walau pun aku juga tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya sangat lihai itu. Kini dengarlah ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong."

Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan sangat menarik bagi Sin Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini.

********************

Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh para musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to Piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kaipang yang murtad dan sudah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak buah Ciok Khun.

Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya serta beberapa orang anggota Ui-eng Piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Malah putera tunggal Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu.

Akan tetapi muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya saat melihat tiga orang anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi.

Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini. Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya, lalu muncul para anggota Ui-eng Piauwkiok yang kemudian mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng Piauwkiok berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggota piauwkiok itu cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan.

Bahkan setelah selesai acara pemakaman itu, para tokoh Ui-eng Piauwkiok yang menjadi pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han segera mengadakan rapat dan kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng Piauwkiok yang telah terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong Pek.

Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan rumah keluarga Na itu tetap dipakai sebagai pusat, namun yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini.

Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan kehilangan sekali, dan merasa tak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apa lagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila padanya. Sudah beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami isteri!

Pada suatu senja, pada saat mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu.

"Sumoi, mari duduk dekat denganku di sini." Dia menepuk papan bangku di sebelahnya.

Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, "Di sini pun sama saja, suheng." Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek.

"Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali."

"Di sini pun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?" Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun sejak tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak bila Tiong Pek ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau mengeluarkan kata-kata manis merayu!

"Sumoi, mengapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri."

Bi Cu telah bosan mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. "Suheng, engkau selalu membicarakan tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil untuk bicara soal pernikahan, usiaku baru dua belas tahun!"

"Akan tetapi kita telah saling bertunangan!"

"Sejak kapankah kita bertunangan?"

"Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di Ui-eng Piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku."

Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia sudah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggota sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek sangat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya.

Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng Piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri tidak merasa suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang sangat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apa lagi kalau dia teringat pada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia ketahui siapa pembunuhnya!

"Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan."

Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang semenjak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoi-nya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.

"Seperti para paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu telah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku adalah pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah semakin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur sembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka."

Para tokoh Ui-eng Piauwkiok itu terdiri dari lima orang dan dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar yang berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di daerah selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar kata-kata keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan hati girang.

"Memang kami semua juga sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan jika demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu cepat-cepat diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dengan mengundang tamu-tamu sebagai saksi."

"Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya," jawab Tiong Pek dengan girang.

Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpemandangan luas. "Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia," katanya dengan wajah serius, "oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri di dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya bila kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu."

Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng Piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ.

"Ada apakah Louw-susiok memanggilku?" tanyanya.

Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan dia pun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu.

"Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya."

Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja telah diatur oleh suheng-nya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.

"Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti," jawabnya lirih sambil menunduk.

Kelima orang pimpinan Ui-eng Piauwkiok itu tersenyum dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan!

"Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng serta isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka sudah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud hendak mengadakan sembahyangan untuk meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, dengan disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Maka sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu."

Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menyangka bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab "terserah kepada susiok", atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju!

Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ pada saat mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar, "Tidak, susiok, aku masih terlampau kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu." Dia lalu menundukkan mukanya kembali.

Louw Kiat Hui saling pandang dengan teman-temannya, lantas mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak.

"Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?"

Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah jika gadis ini menolaknya.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 28

Pendekar Lembah Naga Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
JANTUNG di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?" dia bertanya dengan sikap hormat dan seperti biasa bila dia melayani para tamu lainnya.

Empat pasang mata memandangnya hingga Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

"Ehh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong.

Sin Liong terkejut. Dia langsung memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barang kali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."

"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"

"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas," kata Lan Lan.

"Aku juga," sambung Lin Lin.

"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.

"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat urusan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, ada pun berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, barulah belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?"

Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau tak akan menang!"

Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa anak-kanak ketika dia masih berada di samping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dahulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!

Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur, namun diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan semenjak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih ingin menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.

Akan tetapi, sesudah keempat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh lantas terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

"Ehh, kau kenapa, A-sin?" tanyanya. Akan tetapi melihat wajah A-sin menjadi pucat sekali serta tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya.

A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak menyuruh orang memanggil tabib, Sin Liong siuman kembali lantas berkata lemah,

"Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin saja... asal saya dibolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."

Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso di dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu.

Kesempatan ini digunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya menggunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapa pun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.

Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itu pun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka ini pun berpesta karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang.

Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, dia pun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia sudah mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan.

Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan kepada belas kasihan orang. Kadang kala Sin Liong bergidik membayangkan bila dirinya sampai harus terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.

Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet!

Sin Liong melihat betapa para pengemis yang menjadi langganan restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu!

Walau pun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat serta tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk 'mengerjakan' Beng Sin beserta tiga orang temannya!

Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Lalu, dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba dekat rombongan Beng Sin, tiba-tiba gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

"Ehh, ehhh... hati-hatilah, nona..."

Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak sangat cepat dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguh pun keranjang sayurnya terlempar hingga sayurannya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang telah berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.

Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar sudah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin!

Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya lalu dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Dengan jelas Sin Liong dapat melihat hal ini, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu.

Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seakan-akan sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan ikut mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak.

Apalagi karena dia pun tidak ingin memperkenalkan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak di dalam pasar bersama teman-temannya dan tidak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

"Keparat! Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak sambil mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah.

Akhirnya empat orang muda itu pergi meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa semenjak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.

Setelah mengetahui dimana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, mempunyai banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!

Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.

Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang.

"Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!"

Mendengar suara ini, Sin Liong segera menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasa mereka gunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga ketiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.

"Bung A-sin, kenapa kau buang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.

Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?"

Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Ehh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti."

"Hemmm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?"

Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"

Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kau kira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!"

Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan pada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang.

Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan perasaan iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!

Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio!

Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar cerita di antara para tamu restoran. Dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!

Tiba-tiba saja Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan dan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya.

Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng.

Ketika cahaya bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah di samping mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling?

Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia merasa kagum juga menyaksikan gerakan yang cepat dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.

Sin Liong juga menoleh karena pada waktu itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang lelaki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut.

Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.

Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu mendadak bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan bersiap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut!

Akan tetapi, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanyalah untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai. Maka dia pun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia baru akan turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.

"Uhhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu telah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.

"Hemm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram.

Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli sekali. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia semakin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.

"Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh. Di dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!

"Hemm... aku dapat ampunkan engkau, akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?"

Diam-diam Sin Liong semakin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!

"Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."

"Plakk!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh.

Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya, A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan pada lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!

Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadi dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis ini pun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar!

Hening sejenak setelah daun jendela itu terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja saat menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!

Gadis ini mau apa sesudah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti saat memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api.

Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba saja, dengan gerakan cukup cepat, gadis itu sudah melompat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi terhadap A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.

"Heh, A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!

Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.

"Diam, jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis itu.

"Ehh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu laki-laki, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?" Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur sehingga kelihatan manis, nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.

"Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?" Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.

"Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?" Sin Liong bersikap ketolol-tololan.

"Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kau lihat baik-baik ini!" Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat ada sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lantas mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itu pun patah kemudian dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.

"Ehh, ehh... apa dosanya sapu itu? Mengapa kau patahkan gagangnya? Wah, celaka, kau bikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"

Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!

"Goblok! Kau bernama A-sin?"

"Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?"

"Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat padaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"

"Wahhh... kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.

"Nah, kau takut padaku, bukan?"

Sin Liong menggelengkan kepala.

"Apa?!" Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka seram, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh dari pada mengerikan. "Kau tidak takut padaku?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Kenapa mesti takut?"

"Karena aku menakutkan!"

"Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali..."

"Aku ingin kau takut!"

"Wah, kau ini aneh. Ehh, nona cilik..."

"Aku tidak cilik lagi!"

"Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?"

"Ehhh? Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?"

"Lhoh! Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?"

"Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?" dengan hati jengkel gadis itu membentak.

"Ya menggigit apaku, boleh kau pilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!"

Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, lalu di depan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan.

Dengan puas dan bangga, dan sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau sudah takut padaku? Lihat kekuatan tanganku!"

"Ehh, apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."

"Sulap hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini!

Sin Liong yang sudah bangkit duduk itu pun pura-pura marah. "Dengar kau, nona cilik... ehh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Masa anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!"

"Dengarkan aku, bocah tolol! Bukalah telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar saja aku akan bisa membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, jika kau berani berkata kepada siapa pun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini..."

"Crokkk...!"

Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!

Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.

"Nah, kau mengerti? Jangan bilang siapa pun juga atau aku akan kembali!"

"Siapakah namamu, nona?"

Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik kembali dan memandang dengan sepasang matanya yang bening dan tajam, "Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?"

"Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita sudah saling mengenal jadi sudah sepatutnya aku mengenal namamu?"

Diam-diam gadis itu merasa amat jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini. Betapa pun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya tampan ini!

"Semua anak miskin di kota ini mengenal Kim-gan Yan-cu!" Setelah berkata demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali.

Sin Liong masih duduk termenung di atas pembaringannya. "Kim-gan Yan-cu (Walet Mata Emas)?"

Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalaman dia tidak dapat tidur kembali. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu!

Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran supaya bersiap-siap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu.

Majikan restoran menjadi sangat gugup dan segera mengerahkan semua anak buahnya untuk membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para prajurit pengawal yang datang terlebih dulu adalah seorang pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.

Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih sedangkan dia sendiri pun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan sangat menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik mau pun yang buruk!

Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang lelaki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh penghormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, juga termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat.

"Ehh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?"

Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.

Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringi banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Ku-kiang? Tentu saja pembesar Gu ini masih mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han How!

"Siapa... ehh, paduka... salah lihat...," dia berkata gagap.

Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. "Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biar pun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah terhadap saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, kenapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu sedang menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!"

"Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini..."

"Ha-ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya hendak memohon pertolongan kongcu..." Pembesar itu mendekatkan mulutnya. "Mengenai puteriku..."

"Tidak... bukan... aku bukan..." Sin Liong bingung bukan kepalang, apa lagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada setan penjaga kebun menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong bermimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja.

Dan sekarang, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seakan-akan pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang sangat tinggi kedudukannya. Apa lagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran!

"Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja... "

"Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain... "

"Hemmm, benarkah itu?!" Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. "Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!"

Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib, ada pun di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio!

Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, gembira dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya bila dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana!

Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) langsung meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji.

Dan dugaan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong, kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia langsung menurunkan tangan kejam, menyerang sepasang mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.

Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan kepandaiannya lagi. Dia melihat jelas dua batang hio yang sedang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sinkang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu.

Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, maka dua batang hio itu tentu akan menelan korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan kedua batang hio itu ditangkisnya runtuh.

Hal ini sangat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanya pun tentu akan celaka, karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga jika ditangkis akan bisa melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong!

Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka dia pun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk segera membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.

"Hyaaaaattt...!" Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi hingga membuat semua orang terkejut, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan kedua kaki mereka terasa lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu.

Terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, terlebih dulu sudah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar.

"Ehhhh...!" Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu. Maka dia pun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan.

"Plakkk!"

Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sinkang-nya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu.

"Eiiihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya cepat menyambar dengan totokan ke arah kedua mata Sin Liong!

Wanita ini telah mengenal Thi-khi I-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sinkang-nya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan main.

"Tarrrrr...!"

Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum pula bahwa dia berada dalam bahaya sesudah kini semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Karena itu dia cepat mengerahkan tenaga lemas untuk menangkis sabuk.

"Pratttt...!"

Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong lalu mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan tenaga itu dengan telapak tangannya ke arah muka lawan.

"Ihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio kembali menjerit.

Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh hingga dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini digunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu.

"Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!" Kim Hong Liu-nio berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih terheran-heran.

Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar oleh pasukan yang makin lama makin banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Apa bila dia dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah terjaga dengan ketat, dan ke mana pun dia bersembunyi, tentulah dia akan terus dicari oleh para prajurit.

Mana mungkin dia mampu melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan dia pun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok lantas masuk ke dalam pasar ketika arah berlarinya melewati tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para prajurit yang mengejarnya.

Pasar itu menjadi geger ketika para prajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para prajurit itu sedang mengejar-ngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin!

Saat Sin Liong tengah kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang lantas berbisik, "A-sin... cepat, kau ikut aku...!"

Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara langganannya, Sin Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di sana dia melihat empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis.

Melihat gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki kamarnya! Gadis itu tetap memakai baju biru, entah baju yang semalam entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis itu tersenyum mengejek.

"Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?"

"Aku... aku bukan..."

"Ahhh, sikapmu yang tolol itu hanya kedok belaka. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para prajurit sudah datang!" Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan sampah!

Baunya bukan main, maka terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya supaya jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para prajurit yang tiba di situ.

"He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?" terdengar bentakan nyaring.

"He! He! Engkau berbicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun yang kau terima selama kau menjadi prajurit, menyapa orang hanya dengan he-he saja?" tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah.

"Apa...?! Kalian ini sekumpulan pengemis...!" suara pertama menghardik.

"Ahh, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!" terdengar suara orang ke dua, agaknya seorang prajurit lain yang mengenal gadis itu.

"Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...," kata suara pertama.

Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. "Hmm, setelah mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan yang palsu. Biar pun kami orang miskin, apakah para prajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami? Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kami pun tidak mampu menjawab!"

"Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia prajurit baru, pindahan dari luar kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tidak pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran."

"Hemm, kami tidak melihat dia sekarang."

"Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya."

"Baik, baik...!"

Tak lama berselang para prajurit itu sudah pergi, kemudian Sin Liong disuruh keluar dari tumpukan sampah. Dia merasa heran bukan main. Ternyata para prajurit itu tidak hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan sangat menghormatinya! Maka dia pun cepat menjura.

"Terima kasih atas pertolongan kalian..."

"Pertolongan apa? Kau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!" perintah gadis itu.

Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong kemudian dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tak sempat menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya.

"Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara, kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu dengan prajurit," kata gadis itu.

Sin Liong yang masih sangat keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan!

Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti yang dipesankan oleh gadis itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh.

"Ini ada seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biarlah kalau sampai mati pun dia mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!" demikian gadis itu menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para prajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong itu.

Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu sangat dipercaya oleh para penjaga pintu gerbang, apa lagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan orang.

Sesudah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan.

"Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!" kata gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja, lantas dia ikut berlari bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di lereng bukit yang nampak dari situ.

Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan terlindung dari panas atau hujan.

Memang demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emperan toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga.

Setelah membersihkan ruang itu dengan dibantu oleh empat orang pengemis muda yang agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding.

"Kalian harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Apa bila ada bahaya mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!" kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu.

Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kecerdikannya, wibawanya, dan juga kesederhanaannya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam belas tahun usianya, akan tetapi sudah dapat memimpin pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya!

Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong lalu mengikutinya dan ketika gadis itu duduk di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong hanya berdiri sambil memandang, sinar matanya masih membayangkan rasa kekaguman dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini!

Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biar pun dia payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apa lagi pemimpin pengemis!

Tiba-tiba saja gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. "Ada apa engkau memandangku seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu nanti!"

Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti sudah dipukul saja. Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa kecil.

"Hik-hik, aku hanya main-main. Mengapa kau begini pemalu? Ehhh, A-sin, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar prajurit kerajaan?"

Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para prajurit. Dia dikejar prajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan karena dia putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan akal.

"Ahhh, aku adalah orang biasa dan bekerja sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati."

Gadis itu bangkit berdiri menghadapi Sin Liong, kemudian dengan penuh selidik sepasang matanya yang jeli itu mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia cemberut, menggelengkan kepalanya.

"Tidak, engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol seperti yang ingin kau perlihatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan dari pada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku merasa pasti sudah pernah melihatmu. Hayo, kau mengaku sajalah!"

Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling berjumpa, dan betapa wajah itu tidak asing sama sekali. Sekarang, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan pemberontak.

"Nona, siapakah namamu?" akhirnya Sin Liong bertanya karena dia merasa yakin bila dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat.

Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tak senang sekaligus juga curiga. "Mau apa kau tanya-tanya nama orang?" bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis.

Galak betul bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia tetap bersikap sabar. "Terus terang saja, nona, aku pun merasa seperti pernah bertemu denganmu. Apa bila aku mengetahui namamu, mungkin saja aku akan teringat lagi dan kenal padamu."

"Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!" kata nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya!

"Aku tidak mengenal julukan itu."

"Hemmm, kalau tidak mengenal sudah saja!" Gadis itu mendengus marah karena hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal nama besarnya..."

Ketika mendengus marah itu, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir menjadi dua itu berpindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehernya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu!

Sekarang dia teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya.

"Bi Cu...!" suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip.

Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada seorang pun yang mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu.

"Ehhh, bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?!" bentaknya, heran, kaget dan curiga.

Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa terharu sekali. Ia teringat akan mala petaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu.

"Bi Cu, lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!"

Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. "Sin Liong...? Ahh, tentu saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran bahkan seorang buronan pasukan pemerintah pula?" Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. "Sin Liong...!"

Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira laksana dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah menyangka akan dapat saling berjumpa sesudah mala petaka itu menimpa mereka di dalam rumah keluarga Na Ceng Han atau Na-piauwsu.

Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka sudah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lantas terengah-engah duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi matanya basah air mata.

"Aihh... siapa kira aku dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong," katanya dan dia terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru.

Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dahulu seorang anak perempuan pendiam itu kini sudah menjadi seorang gadis remaja yang lincah, cantik dan cerdik. Teringat akan waktu lampau, dia tertawa dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah gadis itu.

"Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau yang kini sudah menjadi ratu pengemis? Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang..."

Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. "Dan sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?"

"Ihh, tentu saja tidak!" Sin Liong tersenyum. "Engkau kini menjadi seorang gadis cerdas, lincah dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana mungkin aku bisa mengenalmu lagi?"

"Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!"

"Atas bantuan tahi lalatmu."

"Eh?" Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda itu dengan tajam. "Tahi lalat?"

"Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak pada waktu engkau memindahkan kuncirmu ke depan. Engkau mempunyai sebuah tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tidak dapat melihatnya?"

"Hik-hik, tolol engkau. Apa kau kira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!"

Sin Liong juga tertawa. "Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh... Tiong Pek?"

"Ohhh...!" Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di atas bangku, termenung!

Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu sesudah Bi Cu menggeser ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu pada waktu mereka baru berusia dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar kota raja itu.

"Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kun-ting?"

Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, "Dan engkau sendiri, sesudah dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu dapat muncul di kota raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?"

Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. "Ahh, engkau benar-benar sudah berubah banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian lincah dan pandai berbicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah menyerang kembali dengan pertanyaanmu."

"Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah, kau ceritakan pengalamanmu."

"Seperti yang engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku lalu dibawanya pergi..."

"Wanita iblis? Apakah kau maksudkan wanita cantik gagah perkasa yang sudah berhasil membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu? Kenapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?"

"Engkau tidak tahu saja, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na itu, dan memang agaknya ada kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ahh, engkau tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... ehhh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek."

Sin Liong tak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sebenarnya adalah kakeknya sendiri itu, juga dia tak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi. Dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu pada saat mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati.

"Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!"

Sin Liong dan Bi Cu segera menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi membantu, kini datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak-anak buah Bi Cu memang diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat.

"Hemm, A-sam dan A-khun, ada apakah?" tanyanya dengan alis berkerut sambil bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian.

A-khun memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak, sedangkan A-sam setelah menoleh ke arah Sin Liong berkata, "Nona, kita sudah tertipu... dia... dia ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga kabarnya dia dicari-cari karena dia keluarga pemberontak... wah, benar-benar celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!"

"Biar mereka menangkap aku!" Sin Liong berkata penasaran. "Akan tetapi kenapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?"

"Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?"

"Karena mereka sudah mengetahui bahwa nona telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!"

Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam serta A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar.

"Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!"

Dia lalu menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi pemimpin, sekarang menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung. Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya.

"Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?"

Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda kini tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui pasti ke arah mana mereka harus mengejar.

"Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kau ikut bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!"

"Siapa itu keluarga Kui?" Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak.

"Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?" Di tengah perjalanan itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han Houw, dan tentu Kim Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia tetap tidak ingin bercerita mengenai Cia Bun Houw kepada siapa pun juga, apa lagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu tidak mungkin lagi untuk dirahasiakannya.

"Baik, kuceritakan semuanya kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang akan kita datangi dan dimana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui Hok Boan itu adalah ayah tiriku..."

"Ahhhh...!" Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong berada dan tinggal di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. "Dan ibumu masih ada...?"

Sin Liong menggeleng kepala. "Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet barang-barang mereka..."

"Ahh, kau maksudkan... pemuda gendut itu?"

"Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis..."

"Dua gadis kembar yang cantik manis itu?"

"Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku."

Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. "Kalau si gendut dan yang lain-lainnya itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?"

"Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenalmu. Pula, ada hal lain yang sangat perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara."

"Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu."

Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu dengan pangeran ini kemudian sang pangeran suka kepadanya sehingga mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menuturkan tentang kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung mengenai kelihaian Ceng Han Houw. Meski pun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran!

"Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?"

"Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa, bebas berbuat apa pun tanpa diperhatikan orang."

"Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?"

Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlampau cerdik untuk menerima ceritanya yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi, dia pun amat cerdik dan langsung dia mengambil keputusan untuk membuka sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain.

"Ahh, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu."

"Ehh? Kau maksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?"

"Benar."

"Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa antara dia dan engkau."

"Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar pasukan."

"Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?"

"Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku."

"Ahh...!" Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya.

Sebelum mendengar hal ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman, biar pun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong. Sekarang, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang.

"Dan ayah kandungmu, Sin Liong?"

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Sudah mati!"

"Kasihan engkau, sudah yatim piatu."

"Sama dengan engkau, Bi Cu."

"Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?"

"Untuk apa? Apa bila kelak engkau mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kau lakukan, Bi Cu?"

"Membunuhnya!"

"Demikian juga aku."

"Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?"

"Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba."

"Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?"

"Hanya dari Na-piauwsu."

"Ahhh, dengan kepandaianmu seperti itu, mana engkau sanggup menandingi wanita itu? Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong!"

"Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu."

"Cukup lumayan, walau pun aku juga tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya sangat lihai itu. Kini dengarlah ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong."

Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan sangat menarik bagi Sin Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini.

********************

Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh para musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to Piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kaipang yang murtad dan sudah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak buah Ciok Khun.

Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya serta beberapa orang anggota Ui-eng Piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Malah putera tunggal Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu.

Akan tetapi muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya saat melihat tiga orang anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi.

Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini. Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya, lalu muncul para anggota Ui-eng Piauwkiok yang kemudian mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng Piauwkiok berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggota piauwkiok itu cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan.

Bahkan setelah selesai acara pemakaman itu, para tokoh Ui-eng Piauwkiok yang menjadi pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han segera mengadakan rapat dan kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng Piauwkiok yang telah terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong Pek.

Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan rumah keluarga Na itu tetap dipakai sebagai pusat, namun yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini.

Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan kehilangan sekali, dan merasa tak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apa lagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila padanya. Sudah beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami isteri!

Pada suatu senja, pada saat mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu.

"Sumoi, mari duduk dekat denganku di sini." Dia menepuk papan bangku di sebelahnya.

Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, "Di sini pun sama saja, suheng." Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek.

"Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali."

"Di sini pun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?" Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun sejak tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak bila Tiong Pek ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau mengeluarkan kata-kata manis merayu!

"Sumoi, mengapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri."

Bi Cu telah bosan mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. "Suheng, engkau selalu membicarakan tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil untuk bicara soal pernikahan, usiaku baru dua belas tahun!"

"Akan tetapi kita telah saling bertunangan!"

"Sejak kapankah kita bertunangan?"

"Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di Ui-eng Piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku."

Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia sudah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggota sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek sangat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya.

Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng Piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri tidak merasa suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang sangat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apa lagi kalau dia teringat pada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia ketahui siapa pembunuhnya!

"Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan."

Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang semenjak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoi-nya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.

"Seperti para paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu telah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku adalah pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah semakin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur sembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka."

Para tokoh Ui-eng Piauwkiok itu terdiri dari lima orang dan dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar yang berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di daerah selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar kata-kata keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan hati girang.

"Memang kami semua juga sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan jika demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu cepat-cepat diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dengan mengundang tamu-tamu sebagai saksi."

"Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya," jawab Tiong Pek dengan girang.

Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpemandangan luas. "Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia," katanya dengan wajah serius, "oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri di dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya bila kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu."

Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng Piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ.

"Ada apakah Louw-susiok memanggilku?" tanyanya.

Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan dia pun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu.

"Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya."

Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja telah diatur oleh suheng-nya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.

"Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti," jawabnya lirih sambil menunduk.

Kelima orang pimpinan Ui-eng Piauwkiok itu tersenyum dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan!

"Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng serta isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka sudah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud hendak mengadakan sembahyangan untuk meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, dengan disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Maka sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu."

Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menyangka bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab "terserah kepada susiok", atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju!

Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ pada saat mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar, "Tidak, susiok, aku masih terlampau kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu." Dia lalu menundukkan mukanya kembali.

Louw Kiat Hui saling pandang dengan teman-temannya, lantas mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak.

"Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?"

Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah jika gadis ini menolaknya.
Selanjutnya,