Pendekar Lembah Naga Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 19
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KITA tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu.

Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Ia telah memperlihatkan kepada semua keluarga musuhnya, dan juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya dan hari ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu dari ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah terkejut dan kagum sekali pada saat bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya itu.

Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apa lagi menangis! Setiap kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong bagaikan mata naga, dan wajah yang sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir!

Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong bila mana merasa betapa anak itu telah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan lumpuh.

Sesudah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itu pun memandangnya dengan sinar mata berapi-api.

"Ha-ha-ha, kenapa engkau melotot kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk menutupi kemendongkolan hatinya.

Ia ingin melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, tetapi setelah dia memiliki kepandaian, ternyata musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya.

"Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!"

Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu saja kalau menghadapi musuhnya! Apa lagi jahat, dia malah menentang kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.

"Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau sombong bukan main, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?"

"Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuhlah aku, kakek tua bangka yang berhati curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!"

Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.

"Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Jika aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!" Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi.

Setelah hari menjadi gelap, kakek itu sudah berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan amat luas. Sambil terkekeh senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.

"Kau tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?"

Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu tiba-tiba dia meludah, "Cuhh! Dari pada minta ampun kepadamu, lebih baik aku mati seribu kali!"

Ouwyang Bu Sek berjingkrak dan berloncatan saking marahnya. Kedua tangannya sudah gatal-gatal hendak menghantam anak itu dan dengan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan mati.

"Begitu, ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!" teriak kakek itu dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu salib dengan kedua lengan terpentang itu.

Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang sangat menyeramkan, apa lagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua siluman, setan dan iblis sedang berkeliaran di tempat itu.

Malam semakin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makhluk-makhluk aneh dan berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu bagaikan berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah bentuknya. Indahnya bukan main!

Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya ketika menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia sudah berkorban untuk kongkong-nya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biar pun dia akan mati karenanya, dia merasa puas.

Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka!

Tiba-tiba saja terdengar suara aneh di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di sekelilingnya,. Suara melengking nyaring yang makin lama makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tak mampu bergerak karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tiba-tiba matanya terbelalak.

Ia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana mungkin ada makhluk lain seperti ini?

Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan sebentar saja rasa kaget serta ngerinya sudah mereda, bahkan kini dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa makhluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil bersepatu, karena itu tiba-tiba dia tersenyum.

"Kakek cebol tolol! Kau kira aku takut dengan permainanmu ini?"

Mendengar ucapan itu, makhluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa, kemudian sekali berkelebat makhluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali.

Sin Liong menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja ingin menakut-nakutinya, pikirnya. Hemmm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh, lantas minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati sekali pun aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu.

Demikianlah watak Sin Liong, makin dia ditekan, makin melawan pula dia. Makin dihimpit, maka makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan.

Mendadak dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia pun melihat bayangan sebuah kerangka manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat tajam itu bisa melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu, maka dia kembali tertawa.

"Ha-ha-ha, kakek tolol. Kau kira aku anak kecil yang mudah kau takut-takuti begitu saja? Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut padamu?"

Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya.

Memang, perasaan takut hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita kenal, baik kita kenal melalui pengalaman kita sendiri, mau pun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar atau baca dalam buku.

Orang yang takut terhadap setan tentu pernah mengenal setan itu, baik melalui cerita orang atau pun dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya apa bila dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut.

Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut kepada setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi.

Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita merasa khawatir kalau-kalau kita akan diganggu setan, dan timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu pada masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut.

Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Bagaimana kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.

Dengan membuka mata memandang semua ini, maka timbullah pengertian bahwa yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita sangka mungkin akan terjadi menimpa diri kita.

Oleh karena itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah masih ada rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andai kata pada suatu waktu ada setan yang muncul di hadapan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?

Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu!

Memang luar biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah!

Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu semakin penasaran karena dia ingat bahwa anak ini adalah cucu dari musuh besarnya.

"Ingin kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang sangat mengerikan," katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.

Salak dan gonggongan anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, namun srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas!

Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja untuk mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah sangat lapar dan ingin menikmati daging manusia muda itu!

"Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan mencabik-cabik kulit berikut dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!" Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya.

Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran dalam hati Sin Liong, terganti dengan keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Maka dia tersenyum. "Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar pun kau tambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!"

"Bocah setan!" Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa.

Dari jauh dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian tabahnya sehingga sanggup menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.

Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil terus menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan dia pun langsung menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan mundur, akan tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan mulai mengelilingi lebih dekat.

Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya sambil mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia sudah menguasal Thi-khi I-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan darah pada tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya tidak mampu bergerak.

Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek Sin-kun, lantas dengan tenaga sinkang dari pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek Sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu.

Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa murni di dalam tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut tetapi mengandung kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat totokan itu dan jalan darahnya pun mulai lancar kembali.

Perlahan-lahan Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu, apa lagi hanya seorang anak-anak!

Akan tetapi, pada saat itu pula empat ekor anjing srigala tadi telah mulai menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya berdarah.

Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan bersiap untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit, menangis atau mengeluh. Akan tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara keluhan! Bahkan sebaliknya, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam pusar Sin Liong.

Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar suara lengking yang menyeramkan dan pada saat itu pula putuslah semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sinkang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga hanya dengan sedikit gerakan saja tali-tali itu pun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk!

Srigala yang masih menggigit kakinya itu langsung terlempar ke atas pada saat Sin Liong menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang menggigit dadanya.

"Prakkk!"

Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor temannya.

Sin Liong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, kemudian diangkatnya dan dia membanting tubuh srigala itu.

"Krakkk!" terdengar suara dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu!

Dua ekor lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu sama sekali tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong mempergunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat.

Pukulannya itu pun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong telah membuat jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya.

"Nguikk!" Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula.

Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, bagai melihat setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh sambil memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh.

Melihat ini, kakek cebol itu lalu melompat dan mulutnya berkata, "Ah, anak luar biasa...!" Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.

"Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!" Ouwyang Bu Sek berkali-kali mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa pada tubuh itu hanya terdapat sedikit luka-luka, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sinkang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia segera mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.

Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya setelah menduga bahwa anak itu adalah cucu musuh besarnya yang sudah mati, juga melihat betapa di Cin-ling-san terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat meloloskan diri.

Kemudian, dia pun tak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia kemudian menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan kebandelannya.

Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lantas membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.

Sebelum dia mengambil keputusan dan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san mencari ketua Cin-ling-pai untuk membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai selama hampir tiga tahun. Karena kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar saja dia sudah dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang.

Akan tetapi kakek ini memang seorang yang sangat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu kehormatan.

Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang kala mencengangkan orang di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan tidak mau mempedulikan segala peraturan dan sopan santun, akan tetapi ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia kang-ouw.

Pada waktu itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala atau pemimpin dari apa yang dinamakan golongan hitam wilayah selatan. Dan yang memiliki harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan).

Mereka bertiga ini di samping terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang sangat luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan merupakan anak buah mereka atau paling tidak mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut.

Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur akibat munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu, dengan membongkar rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul!

Semua hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal lagi, hanya dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu.

Bagaimana pun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja sudah menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain.

Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu akan membuat mereka makin jatuh dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek.

Bagi dunia kang-ouw di daerah selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat.

Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa lagi bahwa dia pernah menghalangi mereka untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, kenapa Ouwyang Bu Sek selalu menyembunyikan diri dalam sebuah pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Apa bila dia tidak merasa bermusuhan dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau menyembunyikan diri?

Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah sebagai seorang pelarian!

Dari sebuah kuil yang amat tua di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang berisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai benda keramat dan tak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat.

Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw walau pun namanya dikenal sebagai seorang datuk yang disegani. Di luar tahunya siapa pun, dia menyimpan kitab-kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.

Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol yang luar biasa itu, yang tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka dan kagum, dia lalu membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat tinggalnya di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam.

Pada saat Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa amat heran. Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.

"Eh, ehh, kau sudah sadar...?" Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang sedang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong.

Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.

"Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biar pun sudah tidak berbahaya lagi."

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringat dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan.

Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya, "Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?"

Kakek itu terkekeh dan mengangguk. "Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau di sana, apa kau kira masih hidup saat ini?"

Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu semakin kagum sekali. "Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?"

Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi dia pun berwatak aneh dan biasanya dia pun tidak mau tunduk kepada siapa pun juga.

"Aku memang mau begitu."

"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu."

"Aku pun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."

"Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai."

"Huh, apa kau kira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya amat berbakti kepada kongkong-mu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai."

"Buktinya?"

"Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."

Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya terasa sakit. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tak berusaha menolongnya, padahal dia sudah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas.

"Betul juga, mereka tidak suka kepadaku," katanya.

Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya. "Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada di sana dan ikut berkabung?"

Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu itu. "Aku tidak punya ayah bunda, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!"

"Ehh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya. "Dia pernah menolongku dan kusebut kongkong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."

"Tapi beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!"

"Apa kebetulan?"

"Kau sebatang kara, aku sebatang kara, aku suka kepadamu dan..."

"Dan aku tidak suka padamu!"

"Kenapa?"

"Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kongkong."

"Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia telah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa dongkol di hatiku, apa salahnya?"

"Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."

"Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel hingga membikin hatiku penasaran."

"Lalu kau mau apa sekarang?" tanya Sin Liong.

"Mau apa? Aku mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal bersamaku di sana, menjadi muridku, menjadi anakku... he-he, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!"

"Tidak, aku mau pergi saja!"

"Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"

"Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"

"Kalau tidak karuan yang kau tuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."

Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek sekali, "Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"

"Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, semua takkan mampu melawanku. Sekarang pun, jika mereka maju satu demi satu, apa kau kira aku akan kalah?"

"Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kongkong merupakan orang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kongkong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana saja aku belum tahu."

Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Kemudian dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, sedangkan tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu.

"Plakk! Plakk!"

Sin Liong hanya mendengar suara itu, akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang! Anak ini hampir tidak kuat menahan ketawanya. Dia lalu memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.

"Uhh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalat pun tidak akan mati kau tampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?"

"Eh, apakah engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!" Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu.

Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget sebab batu itu ternyata telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Dua pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata sudah meremukkan batu serta mematahkan bagian dalam pohon, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah.

Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biar pun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kongkong-nya, akan tetapi yang dia pelajari baru teorinya saja, karena kongkong-nya agaknya sudah dapat menduga bahwa tak lama lagi dia akan meninggal dunia, karena itu semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.

"Bagaimana? Kau masih memandang rendah padaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.

"Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?"

Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan dia pun berkata, "Aku pun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dahulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kita pun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."

Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kongkong-nya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu.

Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu hendak mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, sesudah melihat ayah kandungnya memiliki isteri lain dan tidak suka kepadanya meski pun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.

"Baik, saya mau ikut locianpwe," katanya.

Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya berlari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.

Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, tiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sinkang-nya mengobati luka di dalam dada Sin Liong.

Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sinkang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sinkang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat.

Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang amat sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu, Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir.

Sin Liong mulai dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang kongkong-nya.

Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang sangat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu.

Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang sangat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan semuanya itu, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersemedhi atau merenung.

Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia kemudian terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu sangat kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.

"Ha-ha-ha-ha, ternyata Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang kini datang berkunjung. Ha-ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!" Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.

Sin Liong memperhatikan ketiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama ialah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk yang membuatnya tampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan.

Hai-liong-ong Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu. Karena dia tidak pandai berbicara, maka dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan) di dalam segala macam pertemuan.

Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanya pun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali.

Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan dari pada manusia karena di samping bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya dibiarkan telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itu pun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal.

Akan tetapi, biar pun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesungguhnya dia lihai bukan main, tak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sinkang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal mempunyai kepandaian tentang racun-racun jahat.

Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga bila dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau pun mengobrol denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.

"Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak punya arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."

"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami bertiga datang untuk membuat perhitungan denganmu. Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian," kata pula Phang Sun.

"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kusangka kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan dan keindahan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi laut. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian, hendak mengotori pemandangan yang demikian indahnya. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu kau berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau sudah menjatuhkan fitnah atas diri kami pada saat diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah, ada pun Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, dan Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.

Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah. "Aihh-aihh, jadi ternyata hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah itu? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"

Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar. "Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

"Kau menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kau lemparkan ke atas kepala kami. Hayo kau lawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barang kali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.

"Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?"

Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biar pun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, akan tetapi dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono menggunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh.

Maka, sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah sebagai landasan untuk menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Begitu cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki ginkang istimewa.

Maka, begitu melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat pula betapa kakek cebol itu mempergunakan ginkang-nya yang hebat, dia pun langsung berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar!

"Bagus!" Ouwyang Bu Sek memuji sebab memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main. Dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri itu dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.

"Dukkk! Dukkk!"

Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sinkang tadi.

"Hemmm...!" Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini Ouwyang Bu Sek merasa terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya hingga terdengar suara mencicit nyaring.

"Bagus!" Dia memuji lagi dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.

"Plakkk!"

Dua telapak tangan kanan bertemu dan saling melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sinkang yang sangat kuat dan kini mereka saling mendorong. Meski pun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sehingga Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sinkang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal.

"Ih, kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sinkang-nya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan.

Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih dapat tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai.

Namun, walau pun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan sembarangan orang melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sinkang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga belum juga mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang.

Andai kata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya sehingga membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali. Kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandalkan sinkang-nya untuk menangkis. Akan tetapi dia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk balas menyerang.

Betapa pun juga, setelah dia berhasil mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek segera kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.

"Desss...!"

Biar pun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah.

Pada saat itu pula terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampaklah sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong.

Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya ketiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia segera meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu, dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sinkang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak.

Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia telah meloncat bangun lagi. Sekarang kakek ini kembali mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak mengalami luka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil yang aneh itu.

Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biar pun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka pada saat dia melihat Sin Liong mendesak dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.

"Plakk...!"

"Ihhhh...!" Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia lalu berusaha untuk menarik kembali tangannya dengan mengerahkan sinkang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak tenaganya membanjir keluar!

Melihat wajah temannya yang matanya terbelalak dan mukanya pucat itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka dia pun menerjang sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong.

Pada waktu itu, Sin Liong sudah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia dapat menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.

"Plakkk!"

Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itu pun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.

Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, "Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!"

Akan tetapi celaka, semakin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,

"Lepaskan!"

Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itu pun sudah disimpannya kembali sehingga dua orang yang tadi melekat padanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.

Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat kedua orang kawannya sudah terluka dan dirobohkan, dia lalu menjura.

"Lain kali kita bertemu kembali," katanya dan dia kemudian menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak dan memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri. Dia segera merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak bercampur sesenggukan hingga Sin Liong menjadi bingung sekali.

"Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?" tanyanya berkali-kali.

Dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.

Akhirnya dapat juga dia bicara. "Ahhh, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek sudah diselamatkan oleh seorang anak-anak..."

Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.

"Dan mengingat betapa aku telah menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak mempedulikan dia dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa tak akan terharu?"

Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."

Kakek itu melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"

"Nama saya Sin Liong..."

"Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"

Sin Liong terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"

"Habis she apa?"

"Saya... saya tidak tahu, locianpwe."

"Justru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kongkong-mu..."

"Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kongkong..."

"Kalau bukan kongkong-mu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi I-beng? Yang kau gunakan tadi adalah Thi-khi I-beng, bukan? Hayo kau coba terima ini!" Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong.

Bukan main kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang sangat cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia ‘minum'? tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.

"Plakk!"

Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika itu pula tenaga sinkang-nya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat-cepat melepaskan sinkang-nya dan ternyata daya lekat itu pun lenyap.

Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi I-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi I-beng itu tidak menggunakan tenaga sinkang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sinkang tersedot, sulitlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang mau pun berusaha menarik tangan tentu harus dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja.

Ouwyang Bu Sek yang telah bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi I-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi I-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sinkang-nya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggota tubuhnya yang melekat.

"Memalukan! Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong.

"Apa yang memalukan, locianpwe?"

"Kau!"

"Saya...?"

"Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kau buang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, kalau sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?"

"Eh? Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu saya harus menyebut apa?"

"Aku adalah suheng-mu, mau sebut apa lagi?"

"Suheng...?"

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suheng-nya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suheng-nya?

"Ya, sute, aku adalah suheng-mu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

"Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"

"Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau sudah menjadi pencuri yang menjemukan bila menggunakan Thi-khi I-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sinkang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."

"Tapi, lo... eh, ssuu... heng..." Sulit sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya jika dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang begitulah sifat Thi-khi I-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang..."

"Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sinkang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sinkang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!"

Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab.

"Aku adalah suheng-mu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau cepat ikut bersamaku untuk melakukan upacara pengangkatan guru terhadap guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

Sin Liong tidak membantah pula dan dia kemudian mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa amat terheran-heran. Betulkah kakek ini memiliki seorang guru yang tinggal di tempat terpisah?

Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!

Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan goa-goa kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah goa kecil yang lebarnya hanya satu meter, goa kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali.

Kakek itu merangkak masuk dan tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat dia meletakkan peti hitam itu di atas sebuah batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.

"Sute, cepat kau berlutut memberi hormat," dia berbisik.

Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia sama sekali tidak membantah dan cepat dia pun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, kemudian terdengar dia berkata,

"Suhu, sekarang teecu membawa sute datang menghadap suhu, maka perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. "Cepat kau tiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."

Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia pun meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir saja dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiri pun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa.

Kakek itu sekali lagi memeriksa. Setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu memang telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.

"Kriyeeettt...!"
Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya menggembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!

"Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja."

Aneh sekali. ular yang 'berdiri' dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya.

"Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlampau tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu sehingga engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas kemudian membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang sangat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Namun kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.

"Aku sudah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."

Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam goa, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi goa rahasia itu.

"Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.

"Ha-ha-ha, itu adalah akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan walau pun orang memiliki kepandaian tinggi sekali pun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."

"Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"

"Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar goa di hadapan batu, dan kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi untuk membimbing sute agar bisa mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."

Sin Liong hanya meniru saja saat suheng-nya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.

"Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."

Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhu-nya merasa senang dan lain-lain?

"Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."

"He-heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."

"Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku mengenai suhu itu." Sin Liong merasa tertarik sekali.

Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di hadapannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.

"Guru kita, yaitu yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang telah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," dengan suara yang sungguh-sungguh kakek itu mulai bercerita. "Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya..."

"Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?"

Kakek itu mengangguk. "Ya, sampai sekarang."

Sepasang mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"

Kakek itu tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Namun dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah mempunyai tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Apa bila sudah ada kontak, biar di sini pun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke mana pun dalam sekejap mata."

"Bagaimana caranya?"

"Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan."

Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu.

Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain dari pada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta.

Kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi pada waktu kita bernapas, pada waktu jantung kita berdenyut, pada saat rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggota tubuh kita hidup.

Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam cahaya matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita!

Kita sudah buta akan semuanya itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.

Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan mungkin saja terjadi. Apa pun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terwujud, sungguh pun wujud itu bukan berupa kenyataan tapi hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan dari pada khayal kita sendiri.

Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah berupa suatu wujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain.

Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini sangatlah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka.

Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat bertemu dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, biar pun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat bercakap-cakap dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat bercakap-cakap di dalam batin kita pula, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?

Betapa pun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dahulu dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dari dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang sangat tinggi. Mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek.

Dan memang Sin Liong mempunyai bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.

********************

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu" baru.

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul.

Pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping terlihat ramai sekali, padahal tempat ini biasanya amat sunyi. Di sana banyak tokoh yang sedang berkumpul karena pada hari itu mereka akan mengadakan pemilihan seorang Bengcu baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan seluruh partai yang banyak terdapat di selatan.

Pada jaman itu, para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat adalah golongan hina atau rendah. Tapi sebaliknya, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri!

Betapa pun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri bisa berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik dan cepat yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.

Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai mau pun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi serta tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat sekali, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya.

Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki kepandaian sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendek kata, orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan kali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya sebab perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa kedudukan mereka terancam oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat pada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.

Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah di puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi oleh pohon-pohon, yang tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat.

Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka tidak ada yang menjadi tuan rumah dan perkumpulan itu pun tak menyediakan meja kursi. Para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu, ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam semedhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang dari pada bersemedhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon.

Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Dan lucunya, seperti yang sering dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain!

Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin lain dari pada yang lain sehingga muncullah sikap bermacam-macam.

Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering akibat kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana!

Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain dan tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang memang di pasang untuk menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"

Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang dalam kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa pula sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian yang amat besar, tak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 19

Pendekar Lembah Naga Jilid 19
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KITA tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu.

Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Ia telah memperlihatkan kepada semua keluarga musuhnya, dan juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya dan hari ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu dari ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah terkejut dan kagum sekali pada saat bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga yang demikian dahsyat. Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya itu.

Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apa lagi menangis! Setiap kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong bagaikan mata naga, dan wajah yang sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir!

Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong bila mana merasa betapa anak itu telah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan lumpuh.

Sesudah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itu pun memandangnya dengan sinar mata berapi-api.

"Ha-ha-ha, kenapa engkau melotot kepadaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk menutupi kemendongkolan hatinya.

Ia ingin melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, tetapi setelah dia memiliki kepandaian, ternyata musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya.

"Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!"

Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu saja kalau menghadapi musuhnya! Apa lagi jahat, dia malah menentang kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.

"Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau sombong bukan main, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?"

"Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuhlah aku, kakek tua bangka yang berhati curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!"

Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.

"Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Jika aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!" Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi.

Setelah hari menjadi gelap, kakek itu sudah berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan amat luas. Sambil terkekeh senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.

"Kau tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?"

Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu tiba-tiba dia meludah, "Cuhh! Dari pada minta ampun kepadamu, lebih baik aku mati seribu kali!"

Ouwyang Bu Sek berjingkrak dan berloncatan saking marahnya. Kedua tangannya sudah gatal-gatal hendak menghantam anak itu dan dengan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan mati.

"Begitu, ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!" teriak kakek itu dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu salib dengan kedua lengan terpentang itu.

Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang sangat menyeramkan, apa lagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua siluman, setan dan iblis sedang berkeliaran di tempat itu.

Malam semakin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makhluk-makhluk aneh dan berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu bagaikan berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah bentuknya. Indahnya bukan main!

Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya ketika menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia sudah berkorban untuk kongkong-nya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biar pun dia akan mati karenanya, dia merasa puas.

Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka!

Tiba-tiba saja terdengar suara aneh di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di sekelilingnya,. Suara melengking nyaring yang makin lama makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tak mampu bergerak karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tiba-tiba matanya terbelalak.

Ia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana mungkin ada makhluk lain seperti ini?

Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan sebentar saja rasa kaget serta ngerinya sudah mereda, bahkan kini dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa makhluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil bersepatu, karena itu tiba-tiba dia tersenyum.

"Kakek cebol tolol! Kau kira aku takut dengan permainanmu ini?"

Mendengar ucapan itu, makhluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa, kemudian sekali berkelebat makhluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali.

Sin Liong menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja ingin menakut-nakutinya, pikirnya. Hemmm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh, lantas minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati sekali pun aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu.

Demikianlah watak Sin Liong, makin dia ditekan, makin melawan pula dia. Makin dihimpit, maka makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan.

Mendadak dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia pun melihat bayangan sebuah kerangka manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat tajam itu bisa melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu, maka dia kembali tertawa.

"Ha-ha-ha, kakek tolol. Kau kira aku anak kecil yang mudah kau takut-takuti begitu saja? Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut padamu?"

Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya.

Memang, perasaan takut hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang sudah kita kenal, baik kita kenal melalui pengalaman kita sendiri, mau pun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar atau baca dalam buku.

Orang yang takut terhadap setan tentu pernah mengenal setan itu, baik melalui cerita orang atau pun dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya apa bila dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut.

Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut kepada setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi.

Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita merasa khawatir kalau-kalau kita akan diganggu setan, dan timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu pada masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut.

Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Bagaimana kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.

Dengan membuka mata memandang semua ini, maka timbullah pengertian bahwa yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita sangka mungkin akan terjadi menimpa diri kita.

Oleh karena itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah masih ada rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andai kata pada suatu waktu ada setan yang muncul di hadapan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?

Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu!

Memang luar biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah!

Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu semakin penasaran karena dia ingat bahwa anak ini adalah cucu dari musuh besarnya.

"Ingin kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang sangat mengerikan," katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.

Salak dan gonggongan anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, namun srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas!

Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja untuk mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah sangat lapar dan ingin menikmati daging manusia muda itu!

"Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan mencabik-cabik kulit berikut dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!" Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya.

Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran dalam hati Sin Liong, terganti dengan keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Maka dia tersenyum. "Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar pun kau tambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!"

"Bocah setan!" Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa.

Dari jauh dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian tabahnya sehingga sanggup menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.

Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil terus menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan dia pun langsung menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan mundur, akan tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan mulai mengelilingi lebih dekat.

Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya sambil mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia sudah menguasal Thi-khi I-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan darah pada tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya tidak mampu bergerak.

Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek Sin-kun, lantas dengan tenaga sinkang dari pusar, mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek Sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu.

Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa murni di dalam tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut tetapi mengandung kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat totokan itu dan jalan darahnya pun mulai lancar kembali.

Perlahan-lahan Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu, apa lagi hanya seorang anak-anak!

Akan tetapi, pada saat itu pula empat ekor anjing srigala tadi telah mulai menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya berdarah.

Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan bersiap untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit, menangis atau mengeluh. Akan tetapi anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara keluhan! Bahkan sebaliknya, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam pusar Sin Liong.

Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar suara lengking yang menyeramkan dan pada saat itu pula putuslah semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sinkang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga hanya dengan sedikit gerakan saja tali-tali itu pun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk!

Srigala yang masih menggigit kakinya itu langsung terlempar ke atas pada saat Sin Liong menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang menggigit dadanya.

"Prakkk!"

Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor temannya.

Sin Liong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, kemudian diangkatnya dan dia membanting tubuh srigala itu.

"Krakkk!" terdengar suara dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu!

Dua ekor lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu sama sekali tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong mempergunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat.

Pukulannya itu pun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong telah membuat jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya.

"Nguikk!" Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula.

Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, bagai melihat setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh sambil memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh.

Melihat ini, kakek cebol itu lalu melompat dan mulutnya berkata, "Ah, anak luar biasa...!" Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.

"Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!" Ouwyang Bu Sek berkali-kali mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa pada tubuh itu hanya terdapat sedikit luka-luka, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sinkang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia segera mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.

Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya setelah menduga bahwa anak itu adalah cucu musuh besarnya yang sudah mati, juga melihat betapa di Cin-ling-san terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat meloloskan diri.

Kemudian, dia pun tak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia kemudian menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan kebandelannya.

Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lantas membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.

Sebelum dia mengambil keputusan dan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san mencari ketua Cin-ling-pai untuk membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai selama hampir tiga tahun. Karena kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar saja dia sudah dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang.

Akan tetapi kakek ini memang seorang yang sangat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu kehormatan.

Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang kala mencengangkan orang di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan tidak mau mempedulikan segala peraturan dan sopan santun, akan tetapi ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia kang-ouw.

Pada waktu itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala atau pemimpin dari apa yang dinamakan golongan hitam wilayah selatan. Dan yang memiliki harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan).

Mereka bertiga ini di samping terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga terkenal mempunyai kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang sangat luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan merupakan anak buah mereka atau paling tidak mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut.

Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur akibat munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu, dengan membongkar rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul!

Semua hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal lagi, hanya dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu.

Bagaimana pun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja sudah menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain.

Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu akan membuat mereka makin jatuh dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek.

Bagi dunia kang-ouw di daerah selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat.

Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa lagi bahwa dia pernah menghalangi mereka untuk menjadi bengcu. Akan tetapi, kenapa Ouwyang Bu Sek selalu menyembunyikan diri dalam sebuah pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Apa bila dia tidak merasa bermusuhan dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau menyembunyikan diri?

Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah sebagai seorang pelarian!

Dari sebuah kuil yang amat tua di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang berisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya, pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai benda keramat dan tak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat.

Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw walau pun namanya dikenal sebagai seorang datuk yang disegani. Di luar tahunya siapa pun, dia menyimpan kitab-kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.

Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol yang luar biasa itu, yang tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka dan kagum, dia lalu membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat tinggalnya di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam.

Pada saat Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa amat heran. Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.

"Eh, ehh, kau sudah sadar...?" Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang sedang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong.

Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.

"Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biar pun sudah tidak berbahaya lagi."

Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringat dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan.

Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya, "Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?"

Kakek itu terkekeh dan mengangguk. "Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau di sana, apa kau kira masih hidup saat ini?"

Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu semakin kagum sekali. "Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?"

Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi dia pun berwatak aneh dan biasanya dia pun tidak mau tunduk kepada siapa pun juga.

"Aku memang mau begitu."

"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu."

"Aku pun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."

"Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai."

"Huh, apa kau kira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya amat berbakti kepada kongkong-mu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai."

"Buktinya?"

"Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."

Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya terasa sakit. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tak berusaha menolongnya, padahal dia sudah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas.

"Betul juga, mereka tidak suka kepadaku," katanya.

Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya. "Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada di sana dan ikut berkabung?"

Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu itu. "Aku tidak punya ayah bunda, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!"

"Ehh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"

Sin Liong menggelengkan kepalanya. "Dia pernah menolongku dan kusebut kongkong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."

"Tapi beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!"

"Apa kebetulan?"

"Kau sebatang kara, aku sebatang kara, aku suka kepadamu dan..."

"Dan aku tidak suka padamu!"

"Kenapa?"

"Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kongkong."

"Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia telah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa dongkol di hatiku, apa salahnya?"

"Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."

"Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel hingga membikin hatiku penasaran."

"Lalu kau mau apa sekarang?" tanya Sin Liong.

"Mau apa? Aku mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal bersamaku di sana, menjadi muridku, menjadi anakku... he-he, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!"

"Tidak, aku mau pergi saja!"

"Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"

"Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"

"Kalau tidak karuan yang kau tuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."

Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek sekali, "Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"

"Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, semua takkan mampu melawanku. Sekarang pun, jika mereka maju satu demi satu, apa kau kira aku akan kalah?"

"Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kongkong merupakan orang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kongkong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana saja aku belum tahu."

Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Kemudian dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, sedangkan tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu.

"Plakk! Plakk!"

Sin Liong hanya mendengar suara itu, akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang! Anak ini hampir tidak kuat menahan ketawanya. Dia lalu memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.

"Uhh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalat pun tidak akan mati kau tampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?"

"Eh, apakah engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik-baik!" Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu.

Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget sebab batu itu ternyata telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Dua pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata sudah meremukkan batu serta mematahkan bagian dalam pohon, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah.

Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biar pun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kongkong-nya, akan tetapi yang dia pelajari baru teorinya saja, karena kongkong-nya agaknya sudah dapat menduga bahwa tak lama lagi dia akan meninggal dunia, karena itu semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.

"Bagaimana? Kau masih memandang rendah padaku?" Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.

"Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?"

Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan dia pun berkata, "Aku pun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dahulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kita pun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."

Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kongkong-nya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu.

Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu hendak mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, sesudah melihat ayah kandungnya memiliki isteri lain dan tidak suka kepadanya meski pun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.

"Baik, saya mau ikut locianpwe," katanya.

Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya berlari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.

Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, tiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sinkang-nya mengobati luka di dalam dada Sin Liong.

Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sinkang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sinkang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat.

Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang amat sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu, Sin Liong merasa suka sekali. Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir.

Sin Liong mulai dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang kongkong-nya.

Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang sangat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu.

Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang sangat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan semuanya itu, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersemedhi atau merenung.

Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia kemudian terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu sangat kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.

"Ha-ha-ha-ha, ternyata Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang kini datang berkunjung. Ha-ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!" Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.

Sin Liong memperhatikan ketiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama ialah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk yang membuatnya tampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan.

Hai-liong-ong Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu. Karena dia tidak pandai berbicara, maka dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan) di dalam segala macam pertemuan.

Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang laki-laki yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanya pun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali.

Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan dari pada manusia karena di samping bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya dibiarkan telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itu pun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal.

Akan tetapi, biar pun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih, namun sesungguhnya dia lihai bukan main, tak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sinkang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal mempunyai kepandaian tentang racun-racun jahat.

Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga bila dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau pun mengobrol denganmu!" kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.

"Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak punya arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."

"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami bertiga datang untuk membuat perhitungan denganmu. Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian," kata pula Phang Sun.

"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kusangka kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan dan keindahan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi laut. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian, hendak mengotori pemandangan yang demikian indahnya. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu kau berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau sudah menjatuhkan fitnah atas diri kami pada saat diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?" bentak Kim-liong-ong marah, ada pun Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, dan Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.

Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah. "Aihh-aihh, jadi ternyata hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah itu? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"

Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar. "Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

"Kau menghina kami di depan orang banyak!" bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.

"Ouwyang Bu Sek, tidak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kau lemparkan ke atas kepala kami. Hayo kau lawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barang kali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!" Kim-liong-ong Phang Sun berkata.

"Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?"

Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biar pun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, akan tetapi dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono menggunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh.

Maka, sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah sebagai landasan untuk menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat.

"Wuuuttt...! Bresss...!"

Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Begitu cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki ginkang istimewa.

Maka, begitu melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat pula betapa kakek cebol itu mempergunakan ginkang-nya yang hebat, dia pun langsung berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar!

"Bagus!" Ouwyang Bu Sek memuji sebab memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main. Dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri itu dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.

"Dukkk! Dukkk!"

Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sinkang tadi.

"Hemmm...!" Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini Ouwyang Bu Sek merasa terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya hingga terdengar suara mencicit nyaring.

"Bagus!" Dia memuji lagi dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.

"Plakkk!"

Dua telapak tangan kanan bertemu dan saling melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sinkang yang sangat kuat dan kini mereka saling mendorong. Meski pun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sehingga Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sinkang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal.

"Ih, kau iblis beracun!" bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sinkang-nya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan.

Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih dapat tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai.

Namun, walau pun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan sembarangan orang melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sinkang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga belum juga mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong, juga mereka merasa berada di fihak yang mendesak dan menang.

Andai kata mereka itu maju seorang demi seorang, agaknya mereka masih tidak akan mampu menandingi Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi dengan maju bersama, mereka dapat saling melindungi dan tentu saja keadaan mereka menjadi tiga kali lipat kuatnya sehingga membuat Ouwyang Bu Sek repot sekali. Kakek cebol ini hanya mampu mempertahankan diri, mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandalkan sinkang-nya untuk menangkis. Akan tetapi dia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk balas menyerang.

Betapa pun juga, setelah dia berhasil mempertahankan diri lebih dari seratus jurus, ketika agak terlambat gerakannya, Ouwyang Bu Sek segera kena dihantam oleh telapak tangan Kim-liong-ong pada pundaknya.

"Desss...!"

Biar pun Ouwyang Bu Sek sudah mengerahkan tenaga saktinya sehingga tubuhnya kebal dan hantaman itu tidak sampai melukainya, namun tubuhnya terpelanting dan bergulingan di atas tanah.

Pada saat itu pula terdengar suara gerengan seperti seekor binatang buas yang marah dan nampaklah sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya menubruk ke arah Kim-liong-ong Phang Sun yang baru saja menghantam Ouwyang Bu Sek. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Liong.

Pemuda ini tadi hanya menonton karena dia maklum betapa lihainya ketiga orang lawan kakek cebol itu. Akan tetapi melihat kakek cebol itu terpukul roboh, dia segera meloncat dan menerjang kakek kecil aneh itu, dan langsung menyerang dengan pukulan-pukulan keras dan totokan-totokan satu jari tangan kirinya. Pemuda ini memang memiliki sinkang luar biasa, maka tentu saja serangan-serangannya mendatangkan angin yang dahsyat, membuat Kim-liong-ong terkejut dan cepat mengelak.

Ouwyang Bu Sek tertawa girang dan dia telah meloncat bangun lagi. Sekarang kakek ini kembali mendesak dan melawan pengeroyokan Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sambil tertawa-tawa. Mendengar kakek cebol itu tertawa-tawa, hati Sin Liong merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa kakek cebol itu tidak mengalami luka parah, maka dia dapat mencurahkan perhatiannya menghadapi kakek kecil yang aneh itu.

Kim-liong-ong Phang Sun kini marah bukan main. Kiranya yang menolong musuh mereka itu hanya seorang pemuda cilik dan biar pun dia tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sakti yang besar dan ilmu silat yang aneh dan tinggi, namun gerakan pemuda ini masih mentah. Maka pada saat dia melihat Sin Liong mendesak dan menghantam, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya untuk menangkis lengan pemuda itu dan mematahkannya.

"Plakk...!"

"Ihhhh...!" Kim-liong-ong berteriak kaget bukan main karena tangannya bertemu dengan lengan seorang pemuda kecil dan tangan itu melekat, kemudian mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menangkis tadi kini memberobot keluar, membanjir meninggalkan tubuhnya melalui tangan, disedot oleh lengan bocah itu! Dia lalu berusaha untuk menarik kembali tangannya dengan mengerahkan sinkang, akan tetapi celakanya, makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak tenaganya membanjir keluar!

Melihat wajah temannya yang matanya terbelalak dan mukanya pucat itu, Hek-liong-ong terkejut dan menduga bahwa tentu bocah itu melakukan hal aneh dan mungkin memiliki ilmu luar biasa, maka dia pun menerjang sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah Sin Liong.

Pada waktu itu, Sin Liong sudah memiliki kewaspadaan dan kegesitan seorang ahli silat tinggi. Kepekaan tubuhnya mulai bangkit setelah dia menerima latihan dari Ouwyang Bu Sek, maka menghadapi hantaman yang mengandung tenaga raksasa yang amat kuat itu, dia tidak menjadi bingung. Dengan miringkan sedikit tubuhnya, dia dapat menghindarkan pukulan langsung, kemudian lengannya menangkis.

"Plakkk!"

Dan kini tangan Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) itu pun menempel pada lengannya dan tidak dapat ditarik kembali karena tenaganya membanjir keluar seperti yang dialami oleh Kim-liong-ong Phang Sun.

Akan tetapi, kedua orang itu adalah tokoh-tokoh besar dari dunia kang-ouw dan mereka telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Melihat keadaan ini, mereka dapat menduga bahwa bocah aneh itu memiliki tenaga sedot yang luar biasa, dan mereka saling pandang kemudian Kim-liong-ong berkata, "Sute, kita kerahkan tenaga bersama. Satu-dua-tiga...!"

Akan tetapi celaka, semakin hebat kedua orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar, seperti air yang terjun ke dalam samudera! Tentu saja wajah mereka menjadi pucat sekali. Dan pada saat itu, Ouwyang Bu Sek menotok ke arah pundak Sin Liong sambil membentak,

"Lepaskan!"

Sin Liong terkejut dan otomatis syarafnya bergerak dan tenaga menyedot itu pun sudah disimpannya kembali sehingga dua orang yang tadi melekat padanya terlempar beberapa meter ke belakang karena mereka sudah dilontarkan oleh Ouwyang Bu Sek.

Hai-liong-ong Phang Tek terkejut bukan main, mengira bahwa kepandaian Ouwyang Bu Sek memang hebat bukan kepalang. Melihat kedua orang kawannya sudah terluka dan dirobohkan, dia lalu menjura.

"Lain kali kita bertemu kembali," katanya dan dia kemudian menyambar tubuh dua orang temannya yang masih lemas, dan sekali melompat dia sudah menghilang dari tempat itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek berdiri tegak dan memandang ke arah menghilangnya Lam-hai Sam-lo, kemudian dia menoleh dan menghadapi Sin Liong yang masih berdiri. Dia segera merangkul Sin Liong dan... menangis! Kakek itu menangis seperti anak kecil kehilangan layang-layang yang putus terbawa angin, terisak-isak bercampur sesenggukan hingga Sin Liong menjadi bingung sekali.

"Locianpwe, kenapa kau menangis? Kenapa...?" tanyanya berkali-kali.

Dia membiarkan saja kakek itu merangkulnya sambil menangis dan dia merasa betapa pundak kirinya di mana kakek itu bersandar telah menjadi basah oleh air mata. Akhirnya, tangis itu mereda dan kakek itu melepaskan rangkulannya, lalu menggunakan ujung baju untuk membuang ingus dengan suara nyaring bukan main.

Akhirnya dapat juga dia bicara. "Ahhh, tak kusangka bahwa malam ini Ouwyang Bu Sek sudah diselamatkan oleh seorang anak-anak..."

Sin Liong memandang dengan heran, dan tidak menjawab.

"Dan mengingat betapa aku telah menganggap anak itu sebagai kacung, bahkan selama berbulan-bulan aku tidak tahu dan tidak ingin menanyakan namanya, tidak mempedulikan dia dan hanya menurunkan ilmu sekedarnya, tahu-tahu malam ini dia menyelamatkan nyawaku, hati siapa tak akan terharu?"

Mendengar ini, Sin Liong baru mengerti dan dia merasa heran dan juga geli. Kakek yang luar biasa lihainya ini seperti anak kecil saja. "Locianpwe, memang nama saya tidak ada harganya untuk diketahui oleh locianpwe."

Kakek itu melompat dan berjingkrak. "Tidak, siapa bilang tidak berharga? Engkau adalah in-kong (tuan penolong) bagiku. Hayo katakan, siapakah namamu?"

"Nama saya Sin Liong..."

"Hebat! Naga Sakti? Memang hebat dan tepat sekali. Cia Sin Liong!"

Sin Liong terkejut. "Saya... saya... bukan she Cia!"

"Habis she apa?"

"Saya... saya tidak tahu, locianpwe."

"Justru karena tidak tahu itu maka engkau she Cia, seperti kongkong-mu..."

"Akan tetapi... saya hanya mengaku-aku saja beliau sebagai kongkong..."

"Kalau bukan kongkong-mu sendiri, mana mungkin engkau diwarisi Thi-khi I-beng? Yang kau gunakan tadi adalah Thi-khi I-beng, bukan? Hayo kau coba terima ini!" Cepat bukan main kakek itu sudah menerjang dan menghantam ke arah kepala Sin Liong.

Bukan main kagetnya Sin Liong melihat pukulan yang sangat cepat dan kuat ini. Otomatis dia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis dan otomatis pula dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng yang menjadi lebih kuat karena baru saja dia ‘minum'? tenaga atau hawa sakti dari dua orang kakek itu.

"Plakk!"

Telapak tangan kakek itu bertemu dengan lengan Sin Liong dan seketika itu pula tenaga sinkang-nya tersedot! Akan tetapi, kakek cebol itu cepat-cepat melepaskan sinkang-nya dan ternyata daya lekat itu pun lenyap.

Memang demikianlah keistimewaan Thi-khi I-beng. Kalau yang menyerang pemilik Thi-khi I-beng itu tidak menggunakan tenaga sinkang, maka dia tidak akan melekat dan tersedot. Akan tetapi begitu tenaga sinkang tersedot, sulitlah untuk membebaskan diri, karena baik menyerang mau pun berusaha menarik tangan tentu harus dilakukan dengan pengerahan tenaga yang akan makin hebat tersedot saja.

Ouwyang Bu Sek yang telah bertahun-tahun lamanya mempersiapkan diri untuk melawan mendiang Cia Keng Hong, sudah mendengar akan keistimewaan Ilmu Thi-khi I-beng yang dimiliki pendekar Cin-ling-pai itu, maka dia sudah mempelajari kelemahannya dan sudah tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri dari Thi-khi I-beng. Selain melepaskan diri dengan menyimpan sinkang-nya, juga dia dapat menotok bagian yang menyedot itu sehingga urat-urat syaraf di bagian itu tergetar dan saat itu dia dapat menarik anggota tubuhnya yang melekat.

"Memalukan! Memalukan sekali!" Tiba-tiba kakek itu berkata sambil memandang kepada Sin Liong.

"Apa yang memalukan, locianpwe?"

"Kau!"

"Saya...?"

"Ya, engkau yang memalukan. Pertama-tama, engkau menyebutku locianpwe. Mulai saat ini sebutan itu harus kau buang jauh-jauh dari benak dan mulutmu. Awas, kalau sekali lagi menyebut, engkau akan menjadi musuhku karena berarti engkau menghinaku, tahu?"

"Eh? Ini... ini... locian..." Sin Liong menghentikan sebutan itu. "Lalu saya harus menyebut apa?"

"Aku adalah suheng-mu, mau sebut apa lagi?"

"Suheng...?"

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak bingung. Kakek ini suheng-nya? Dengan perhitungan bagaimanakah tahu-tahu kakek ini menjadi suheng-nya?

"Ya, sute, aku adalah suheng-mu. Kita sama-sama menjadi murid dari Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

"Siapakah Bu Beng Hud-couw (Dewa Tanpa Nama) itu?"

"Nanti kujelaskan. Sekarang, hal ke dua yang memalukan. Yaitu, engkau sudah menjadi pencuri yang menjemukan bila menggunakan Thi-khi I-beng untuk menyedot dan mencuri tenaga sinkang lawan. Huh, benar-benar memalukan sekali."

"Tapi, lo... eh, ssuu... heng..." Sulit sekali bagi Sin Liong untuk menyebut suheng kepada kakek itu, akan tetapi dia takut kalau-kalau benar kakek aneh itu akan memusuhinya jika dia berani menyebut locianpwe lagi. "Aku tak bermaksud mencuri tenaga orang. Memang begitulah sifat Thi-khi I-beng, menyedot tenaga lawan yang menyerang. Adalah kesalahan lawan itu sendiri karena dia menyerang..."

"Alasan dicari-cari! Mendiang Cia Keng Hong sendiri tentu tidak sudi menggunakan ilmu itu untuk mencuri sinkang orang. Ilmu itu hanya untuk menghindarkan diri dari terluka oleh pukulan orang, bukan untuk mencuri hawa sinkang. Mulai sekarang, engkau tidak boleh menggunakannya untuk menyedot tenaga orang. Huh, seperti perempuan cabul saja!"

Sin Liong melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu dan mengapa dia dimaki seperti perempuan cabul segala! Akan tetapi dia tidak membantah, dan tidak menjawab.

"Aku adalah suheng-mu, maka juga mewakili guru kita. Hayo kau cepat ikut bersamaku untuk melakukan upacara pengangkatan guru terhadap guru kita Bu Beng Hud-couw di Himalaya!"

Sin Liong tidak membantah pula dan dia kemudian mengikuti kakek itu, bukan memasuki pondok melainkan pergi menjauhi pondok ke sebuah lereng bukit! Anak ini merasa amat terheran-heran. Betulkah kakek ini memiliki seorang guru yang tinggal di tempat terpisah?

Di bawah penerangan sinar bulan purnama, dua orang itu berjalan berdampingan menuruni puncak. Dilihat dari jauh, tentu disangka orang bahwa Sin Liong lebih tua karena kakek itu hanya setinggi pundaknya!

Ketika tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu karang dan goa-goa kecil, kakek itu berhenti, sejenak dia berdiri di atas batu memandang ke kanan kiri penuh perhatian. Setelah dia merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia lalu mengajak Sin Liong menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dengan hati-hati dia lalu mendorong batu itu sampai bergeser dan ternyata di balik batu besar itu terdapat sebuah goa kecil yang lebarnya hanya satu meter, goa kecil namun gelap karena selain terhalang batu besar juga agaknya dalam sekali.

Kakek itu merangkak masuk dan tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi membawa sebuah peti hitam yang bentuknya persegi dan ukurannya kurang dari setengah meter. Dengan penuh khidmat dia meletakkan peti hitam itu di atas sebuah batu, kemudian dia menjatuhkan diri di depan peti itu.

"Sute, cepat kau berlutut memberi hormat," dia berbisik.

Sin Liong merasa seram karena dia tidak melihat siapa-siapa, akan tetapi dia sama sekali tidak membantah dan cepat dia pun berlutut di samping kakek itu, menghadapi peti hitam. Kakek itu memberi hormat dengan berlutut dan bersoja tiga kali, kemudian terdengar dia berkata,

"Suhu, sekarang teecu membawa sute datang menghadap suhu, maka perkenankanlah teecu memperlihatkan ilmu-ilmu pemberian suhu kepada sute."

Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk putih dari sakunya. "Cepat kau tiru perbuatanku, melumuri muka, leher dan tangan, semua bagian tubuh yang nampak, dengan bubuk putih ini."

Sin Liong terheran-heran, akan tetapi dia tidak membantah dan dia pun meniru kakek itu membedaki semua kulitnya yang tidak tertutup pakaian. Hampir saja dia tertawa melihat betapa wajah kakek itu menjadi putih seperti wajah seorang badut yang hendak berlagak di atas panggung. Akan tetapi dia teringat bahwa tentu wajahnya sendiri pun putih seperti itu, maka dia tidak jadi tertawa.

Kakek itu sekali lagi memeriksa. Setelah melihat benar bahwa seluruh kulit yang nampak dari anak itu memang telah tertutup bubuk putih, dia lalu memberi hormat lagi dan kedua tangannya membuka tutup peti.

"Kriyeeettt...!"
Peti hitam terbuka tutupnya dan tiba-tiba terdengar suara mendesis nyaring dan nampak berkelebat sinar emas dari dalam peti menyambar keluar. Kiranya sinar emas itu adalah seekor ular berkulit kuning keemasan yang menyambar keluar, lehernya menggembung dan dari mulutnya keluar uap hitam, lidahnya yang merah keluar masuk dan sepasang matanya seperti menyala!

"Kim-coa-ko (saudara ular emas), kami berdua sudah mendapat perkenan suhu untuk memeriksa kitab, harap kau tenang saja."

Aneh sekali. ular yang 'berdiri' dengan penuh sikap mengancam itu lalu turun kembali dan melingkar di sudut peti hitam, di mana terdapat setumpuk kitab-kitab yang sudah kuning saking tuanya.

"Lihatlah, sute. Inilah kitab-kitab wasiat, kitab-kitab pusaka yang diturunkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw kepada kita. Aku sudah terlampau tua untuk mempelajarinya, hanya baru dapat membacanya saja yang membutuhkan waktu puluhan tahun. Aku tidak mempunyai waktu lagi untuk melatih ilmunya, maka semua penterjemahanku atas kitab-kitab ini akan kuserahkan kepadamu sehingga engkaulah yang akan dapat melatih diri dan menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab ini."

Sin Liong memandang dengan mata terbelalak dan ular itu diam saja ketika Owyang Bu Sek mengambil kitab paling atas kemudian membalik-balik lembarannya. Di dalam kitab itu terdapat tulisan-tulisan yang sangat sukar dibaca, karena sebagian besar merupakan gambaran-gambaran yang menjadi huruf-huruf kuno. Namun kitab itu juga mengandung gambar-gambar gerakan orang bersilat.

"Aku sudah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk menterjemahkannya, sute, dan kini aku sudah kehabisan waktu untuk melatihnya. Pula, orang setua aku, untuk apa sih mempelajari ilmu-ilmu baru? Maka aku mewariskan semua ini kepadamu, sute. Jangan khawatir, aku akan membimbingmu untuk mengerti isi kitab-kitab ini."

Setelah kakek itu menutupkan kembali peti hitam dan membawanya masuk lagi ke dalam goa, Sin Liong membantu kakek itu mendorong batu besar kembali ke tempat semula, yaitu menutupi goa rahasia itu.

"Lo... suheng, mengapa ular itu ditaruh di dalam peti?" tanyanya.

"Ha-ha-ha, itu adalah akalku. Tadi sudah kumasukkan lima ekor katak ke dalam peti. Ular itu merupakan ular yang paling berbahaya, gigitannya mematikan dan walau pun orang memiliki kepandaian tinggi sekali pun, sekali kena digigitnya, bahayalah nyawanya. Akan tetapi dengan obat bubuk putih ini, dia menjadi jinak."

"Dan siapakah Bu Beng Hud-couw... guru kita itu, suheng?"

"Sstt, kita menghaturkan terima kasih lebih dulu!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menarik tangan Sin Liong, diajaknya berlutut di luar goa di hadapan batu, dan kakek itu berkata, "Suhu, teecu berdua menghaturkan terima kasih kepada suhu dan mohon suhu sudi untuk membimbing sute agar bisa mempelajari ilmu-ilmu dari suhu dengan lancar dan berhasil."

Sin Liong hanya meniru saja saat suheng-nya yang aneh itu berlutut dan memberi hormat. Kemudian Ouwyang Bu Sek menarik napas panjang dan kelihatan lega hatinya.

"Ahhh, suhu senang sekali dengan keputusanku ini, sute."

Sin Liong menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa di situ sejak tadi kecuali mereka berdua, bagaimana kakek ini bisa bicara tentang suhu-nya merasa senang dan lain-lain?

"Di manakah suhu, suheng? Aku tidak melihatnya."

"He-heh-heh, mana bisa begitu mudah, sute? Tingkatmu belum sampai ke situ. Kelak kau tentu akan dapat bertemu dengan suhu kita yang mulia."

"Suheng, harap kau sudi menceritakan kepadaku mengenai suhu itu." Sin Liong merasa tertarik sekali.

Kakek itu menarik napas panjang lalu duduk di atas batu besar. Sin Liong juga duduk di hadapannya, siap untuk mendengarkan karena dia benar-benar merasa penasaran dan heran mengapa dia tidak mampu melihat orang yang disebut Bu Beng Hud-couw dan yang oleh kakek ini dikatakan sebagai guru mereka.

"Guru kita, yaitu yang mulia Bu Beng Hud-couw adalah seorang manusia suci yang telah mencapai tingkat tinggi, tingkat para dewa dan nabi-nabi," dengan suara yang sungguh-sungguh kakek itu mulai bercerita. "Selama lebih dari tiga ratus tahun beliau tinggal di salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Himalaya..."

"Tiga ratus tahun? Sampai sekarang?"

Kakek itu mengangguk. "Ya, sampai sekarang."

Sepasang mata Sin Liong terbelalak. "Tidak mati?"

Kakek itu tersenyum. "Dikatakan mati, beliau masih memakai jasmaninya, dinamakan hidup, beliau sudah berbeda dari kita. Namun dia masih hidup, sute, bertempat tinggal di dalam pondok sunyi dan suci di puncak sana. Akan tetapi tidak sembarang manusia dapat menjumpainya, hanya yang sudah mempunyai tingkat seperti aku dan sudah ada kontak dengan beliau. Apa bila sudah ada kontak, biar di sini pun aku dapat berjumpa dengan beliau, karena sesungguhnya beliau itu dapat datang ke mana pun dalam sekejap mata."

"Bagaimana caranya?"

"Melalul alam pikiran, melalui getaran perasaan."

Sin Liong makin bingung akan tetapi dia merasa seram dan tidak berani membantah. Dia masih terlampau muda dan terlampau wajar untuk dapat mengerti permainan orang-orang tua seperti yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek itu.

Memang, betapa banyaknya manusia di dunia ini yang suka sekali, bahkan merindukan dan mengejar-ngejar hal-hal yang bersifat mistik, yang penuh rahasia, pendeknya yang lain dari pada yang kita lihat sehari-hari dalam kehidupan kita di dunia ini! Kita manusia pada umumnya menghendaki hal-hal yang aneh, ajaib, yang tidak lumrah, dan semua ini timbul karena kita telah menjadi seperti buta.

Kita tidak lagi dapat melihat betapa di dalam kehidupan ini sudah terdapat keajaiban-keajaiban yang amat hebat, sudah terjadi berkah berlimpahan dan kekuasaan cinta kasih memenuhi alam. Kita seperti tidak melihat lagi keindahan dan keajaiban yang terjadi pada waktu kita bernapas, pada waktu jantung kita berdenyut, pada saat rambut dan kuku kita bertumbuh tanpa terasa, di waktu seluruh anggota tubuh kita hidup.

Kita tidak lagi dapat menikmati atau melihat keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam cahaya matahari, bulan dan bintang, dalam keharuman bunga-bunga, warna-warni yang tertangkap oleh mata, suara-suara yang memasuki telinga, keajaiban dan cinta kasih yang terkandung dalam setiap tarikan napas kita!

Kita sudah buta akan semuanya itu, dibutakan oleh keinginan mengejar segala macam kesenangan, termasuk kesenangan untuk bertemu dengan keajaiban-keajaiban baru dan lain berupa mistik-mistik dan keanehan dan untuk itu kita tidak segan-segan untuk pergi bertapa, menyiksa diri, berpantang, dan sebagainya lagi.

Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan mungkin saja terjadi. Apa pun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terwujud, sungguh pun wujud itu bukan berupa kenyataan tapi hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan dari pada khayal kita sendiri.

Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah berupa suatu wujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain.

Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini sangatlah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka.

Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat bertemu dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, biar pun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat bercakap-cakap dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat bercakap-cakap di dalam batin kita pula, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?

Betapa pun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dahulu dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dari dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang sangat tinggi. Mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek.

Dan memang Sin Liong mempunyai bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.

********************

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang "bengcu" baru.

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini telah dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul.

Pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping terlihat ramai sekali, padahal tempat ini biasanya amat sunyi. Di sana banyak tokoh yang sedang berkumpul karena pada hari itu mereka akan mengadakan pemilihan seorang Bengcu baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan seluruh partai yang banyak terdapat di selatan.

Pada jaman itu, para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat adalah golongan hina atau rendah. Tapi sebaliknya, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri!

Betapa pun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri bisa berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik dan cepat yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.

Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai mau pun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi serta tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat sekali, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya.

Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki kepandaian sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendek kata, orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan kali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya sebab perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa kedudukan mereka terancam oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat pada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.

Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah di puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi oleh pohon-pohon, yang tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat.

Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka tidak ada yang menjadi tuan rumah dan perkumpulan itu pun tak menyediakan meja kursi. Para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu, ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam semedhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang dari pada bersemedhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon.

Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Dan lucunya, seperti yang sering dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain!

Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin lain dari pada yang lain sehingga muncullah sikap bermacam-macam.

Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering akibat kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana!

Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain dan tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang memang di pasang untuk menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, "lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?"

Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang dalam kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa pula sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian yang amat besar, tak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar.
Selanjutnya,