Pendekar Lembah Naga Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang suka sekali akan ilmu silat. Sudah banyak dia mengumpulkan dan mempelajari ilmu-ilmu silat dari semua aliran yang ada di dunia persilatan, dan kalau bertemu dengan suatu ilmu baru yang belum dikenalnya, dia merasa gembira sekali dan ingin mengenal serta mempelajarinya. Maka, begitu dia melihat ilmu tongkat dari kakek pengemis kurus kering ini, dia melihat ilmu tongkat yang sangat hebat sehingga timbul pula kegembiraannya dan dia cepat menghadapi ilmu tongkat itu dengan kedua tangan kosong sambil mainkan sabuk merahnya.

Sekarang terjadilah pertandingan yang amat hebat. Tongkat yang dimainkan oleh Lo-thian Sin-kai memang luar biasa sekali. Ujung tongkat itu nampak menjadi lima buah sehingga seakan-akan kakek kurus itu memainkan lima batang tongkat, dan setiap ujung tongkat membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

Sedangkan Kim Hong Liu-nio juga memutar sabuk merahnya sehingga nampak gulungan cahaya merah yang sangat indah dan kuat menyelimuti dirinya yang menghalau setiap sambaran tongkat. Kadang-kadang wanita perkasa ini mempergunakan tangannya untuk menangkis tongkat sebab tangannya telah terlindung oleh sarung tangan mukjijat itu, dan kadang kala dia membalas dengan serangan kilat, menggunakan ujung sabuknya untuk menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan yang berbahaya.

Diam-diam kakek pengemis itu terkejut bukan main. Ketika dia mendengar bahwa tiga orang murid keponakannya, tokoh-tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang dikalahkan oleh seorang wanita cantik yang sudah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, dia menyangka bahwa wanita itu adalah seorang wanita kang-ouw yang memiliki kepandaian lumayan saja. Akan tetapi pada waktu tadi dia melihat dua orang pengemis tingkat tiga dikalahkan, dia merasa penasaran. Dan kini dia terkejut setelah memperoleh kenyataan betapa lihainya wanita ini.

Selama lima puluh jurus, nampaknya pengemis tua kurus itu dapat mendesak wanita itu, buktinya, Kim Hong Liu-nio lebih banyak menghindari serangan atau menangkis dari pada membalas. Karena mengira bahwa jagoan mereka akan menang, maka para pengemis itu hanya menonton saja, mengharapkan dalam waktu singkat wanita itu akan dirobohkan.

Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Kim Hong Liu-nio memang sengaja membiarkan dirinya diserang dan dia hanya mempertahankan diri sebab dia memang ingin memancing keluar semua jurus ilmu tongkat yang menarik hatinya itu. Walau pun dia tidak mungkin dapat menguasai atau menghafal semua gerakan yang dilihatnya dalam pertandingan itu, namun setidaknya dia dapat mengenal ilmu ini dan dapat mengingat semua intinya yang penting.

Setelah lewat lima puluh jurus, dia merasa cukup menonton ilmu tongkat orang, maka kini dia mengeluarkan lengking panjang yang sangat nyaring, kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan terjadilah perubahan hebat dalam pertandingan itu!

"Wiirrrr... plak-plakk!"

"Ahhhh...!" Lo-thian Sin-kai berseru kaget.

Hampir saja ubun-ubun kepalanya kena disambar oleh ujung sabuk yang disusul dengan tamparan tangan kilat ke arah ulu hatinya. Untunglah dia masih sempat mengelak lantas menangkis berkali-kali. Dia dapat selamat dari ancaman maut akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan pada saat itu Kim Hong Liu-nio menerjang maju dan menghujani kakek itu dengan serangan-serangan dahsyat!

Baru sekarang tahulah kakek kurus itu bahwa tadi lawannya belum bersungguh-sungguh, dan baru sekarang mengeluarkan serangan-serangannya yang dahsyat sehingga repotlah dia memutar tongkatnya untuk membentuk benteng pertahanan yang melindungi dirinya dari ancaman maut.

Semua pengemis amat terkejut melihat perubahan ini. Jagoan mereka terdesak hebat dan mundur terus. Melihat hal ini, Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai berteriak keras dan mereka sudah maju membantu jagoan mereka itu dengan memutar tongkat. Gerakan ini diikuti pula oleh semua pengemis yang sudah mengepung Kim Hong Liu-nio dan mulailah terjadi pengeroyokan yang ketat.

Akan tetapi wanita itu tidak menjadi jeri dan sabuk merahnya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, bukan hanya untuk menahan semua tongkat yang menyambar dari sekelilingnya, akan tetapi juga untuk membagi-bagi totokan. Dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan tiga orang pengemis tingkat lima.

Akan tetapi karena dia tak ingin menanam permusuhan yang hebat dengan perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh ini, Kim Hong Liu-nio tidak mau membunuh orang, hanya merobohkan mereka dengan totokan-totokan pada bagian jalan darah yang tidak mematikan untuk membikin mereka tidak dapat mengeroyoknya lagi.

Betapa pun juga, Kim Hong Liu-nio mulai terdesak hebat. Para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, terutama sekali desakan dari Lo-thian Sin-kai yang dibantu Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, sangatlah berbahaya baginya sehingga Kim Hong Liu-nio sudah mengambil keputusan untuk kabur dan melarikan diri saja. Akan tetapi pengemis itu agaknya maklum akan niatnya ini, karena itu pengepungan dilakukan makin rapat, gerakan tongkat-tongkat mereka menutup semua jalan keluar.

Pada saat itu terdengarlah derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian muncullah seorang penunggang kuda. Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang perkasa, berpakaian sangat indahnya, pakaian seorang panglima pengawal Kim-i-wi yang mentereng, dengan bajunya yang disulam benang emas, kepalanya yang memakal topi berhiaskan bulu burung dewata, dengan tanda pangkatnya di dada kiri yang berkilauan.

Melihat wanita cantik itu dikepung oleh para pengemis, panglima itu cepat melompat turun dari pelana kudanya, lantas sambil mengangkat kedua tangan ke atas dia berteriak-teriak, "Tahan senjata...! Hentikan perkelahian...! Para tokoh Hwa-i Kaipang, dengarkan dahulu penjelasanku!"

Lo-thian Sin-kai menoleh dan ketika mengenal panglima itu adalah Lee Siang, Panglima Kim-i-wi yang gagah dan telah dikenalnya, dia lalu meloncat mundur dan berteriak kepada para temannya untuk menahan senjata.

Kim Hong Liu-nio juga mengenal panglima itu, ialah panglima pengawal yang pertama kali menerimanya di istana, bahkan yang mengawalnya sampai menghadap kaisar. Maka dia segera menahan gerakannya dan menyimpan kembali sabuk merahnya, lalu mengusap sedikit peluh di dahinya dengan sapu tangan.

Wajahnya menjadi merah pada saat dia bertemu pandang dengan panglima yang gagah perkasa itu. Semenjak pertemuannya yang pertama dengan Panglima Lee Siang ini, dia memang sudah amat tertarik dan diam-diam dia mengakui bahwa panglima ini merupakan seorang pria gagah yang pertama kali menarik hatinya dan membuatnya merasa kagum.

"Locianpwe Lo-thian Sin-kai, harap locianpwe serta sahabat-sahabat dari Hwa-i Kaipang mengetahui bahwa lihiap Kim Hong Liu-nio ini bukan seorang musuh, sebaliknya malah, dia adalah seorang pendekar wanita yang telah berjasa, sudah menyelamatkan mendiang sri baginda kaisar dan pangeran mahkota."

Lo-thian Sin-kai tentu saja tidak akan memandang kepada Panglima Lee Siang kalau saja tidak mengingat bahwa pria ini adalah seorang panglima pasukan pengawal Kim-i-wi yang amat kuat! Tentu saja akan merupakan bunuh diri bagi perkumpulan Hwa-i Kaipang kalau berani menentang seorang panglima Kim-i-wi seperti panglima gagah ini. Karena itu dia pun menjura dan berkata dengan suara halus, "Harap Lee-ciangkun mengetahui bahwa wanita ini sudah membunuh seorang di antara anak buah kami sehingga terpaksa kami menuntut balas."

Lee Siang terkejut. Dia sudah mendengar akan kesetia kawanan para pengemis, dan dia tahu pula bahwa Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis yang paling berpengaruh di daerah kota raja dan mempunyai anggota yang ribuan orang banyaknya. Dia menoleh kepada Kim Hong Liu-nio dengan pandang mata bertanya.

Kim Hong Liu-nio tersenyum kepada panglima yang amat dikaguminya itu, "Lee-ciangkun, harap jangan percaya omongan mereka ini. Benar bahwa aku telah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, akan tetapi pengemis itu kukira bukanlah anggota Hwa-i Kaipang karena sama sekali tidak memakai pakaian berkembang. Pula, aku membunuh dia sama sekali bukan karena dia pengemis, bukan pula karena dia ada sangkut pautnya dengan Hwa-i Kaipang atau kaipang dari mana pun juga, namun karena urusan pribadi ying tidak ada sangkut pautnya dengan jagoan-jagoan tukang keroyok dari Hwa-i Kaipang ini."

Kata-kata itu sekaligus merupakan tamparan kepada para tokoh Hwa-i Kaipang sehingga Lo-thian Sin-kai menjadi merah mukanya. Memang memalukan sekali orang-orang seperti mereka ini terpaksa mengeroyok seorang wanita dan masih dibantu oleh belasan orang anak buah mereka lagi!

Lee Siang merasakan ketegangan yang timbul dari sikap kedua belah fihak, maka untuk melenyapkan ketegangan itu dia tertawa. "Nah, para locianpwe serta sahabat dari Hwa-i Kaipang telah mendengar penjelasan lihiap Kim Hong Liu-nio bahwa sekali-kali lihiap tidak memusuhi Hwa-i Kaipang dan kejadian ini hanya timbul karena salah sangka belaka. Kini, mengingat bahwa lihiap ini merupakan sahabat pangeran mahkota, bahkan telah berjasa besar, maka aku percaya bahwa Hwa-i Kaipang suka menghabiskan perkara ini dan tidak menimbulkan keributan yang hanya akan mengacaukan keadaan!" jelas bahwa di dalam ucapan itu terkandung ancaman bagi Hwa-i Kaipang dan panglima itu berdiri tegak penuh wibawa!

Lo-thian Sin-kai menarik napas panjang. "Biarlah sekali ini kami anggap bahwa Kim Hong Liu-nio tidak bermaksud menghina Hwa-i Kaipang. Kawan-kawan, hayo kita pergi!" Kakek ini lalu menjura kepada panglima itu. "Lee-ciangkun, maafkan kami dan terima kasih atas peringatanmu."

Para pengemis itu segera pergi dari situ meninggalkan Kim Hong Liu-nio yang kini berdiri saling berhadapan dengan Lee Siang.

Sejenak mereka saling berpandangan dan jantung wanita itu berdegup tegang ketika dia melihat jelas betapa sepasang mata dari panglima itu memancarkan sinar penuh kagum kepadanya. Dia sendiri merasa terheran-heran.

Bagi dia, sudah biasa melihat sinar mata kaum pria ditujukan kepadanya dengan kagum dan penuh gairah seperti itu, malah biasanya hal ini kadang-kadang mendatangkan rasa muak dan marah di dalam hatinya. Akan tetapi entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, kini jantungnya merasakan girang dan bangga yang aneh menyaksikan betapa sinar mata pria ini begitu penuh kagum ketika memandangnya!

Sesudah sinar mata mereka saling bertaut dan melekat untuk beberapa lamanya, Kim Hong Liu-nio merasa betapa mukanya menjadi panas dan ada perasaan jengah dan malu yang aneh, yang membuat dia tersipu dan cepat-cepat menutupi perasaan ini dengan senyum manis.

"Ah, kembali Lee-ciangkun yang telah menyelamatkan aku dari keadaan yang tak enak," katanya halus, lalu tanpa disadarinya dia menundukkan mukanya, menahan senyum dan dari bawah menyambar sinar matanya dalam kerlingan tajam!

Inilah ciri-ciri seorang wanita yang tergerak hatinya oleh seorang pria! Malu-malu, hendak mengelak, ingin menyembunyikan perasaan, akan tetapi tanpa disadarinya senyum dan kerling mata yang menyambar itu mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya!

"Ciangkun sudah dua kali menolongku, sebaliknya aku belum pernah melakukan sesuatu untukmu."

"Dua kali?" Panglima yang merasa senang dan bangga itu pura-pura bertanya.

Kim Hong Liu-nio mengangkat mukanya. Kembali mereka berpandangan dan wanita itu tersenyum. Sungguh, andai kata Ceng Han Houw pada saat itu melihat keadaan suci-nya ini, dia tentu akan merasa heran bukan main. Selamanya dia melihat suci-nya ini sebagai seorang wanita yang dingin dan keras, jarang tersenyum dan bila mana tersenyum, maka senyumnya itu itu boleh jadi merupakan tanda maut bagi lawan.

Akan tetapi sekarang, seperti seorang dara remaja yang malu-malu, bersikap memikat, matanya bermain-main dan suaranya demikian halus. Pendeknya, terjadi perubahan yang luar biasa anehnya pada diri wanita ini!

"Ahh, Lee-ciangkun memang selalu merendahkan diri dan tidak mau mengingat akan jasa sendiri, sebaliknya mengangkat jasa orang lain sehingga tadi menyebut-nyebut mengenai jasaku. Kalau tidak ada ciangkun, mana mungkin aku dan sute dapat memasuki istana? Dan barusan tadi, bila tidak ada ciangkun, mana aku dapat membebaskan diri sedemikian mudahnya dari pengeroyokan pengemis liar itu?"

Lee Siang tertawa dan memang pria ini amat gagah. Biar pun usianya sudah empat puluh tahun, namun usia ini tidak mengurangi ketampanannya, bahkan membuat dia nampak gagah dan matang, seorang jantan yang menarik hati kaum wanita.

"Ha-ha-ha, lihiap terlalu memuji. Tanpa adanya aku pun, sudah kulihat betapa tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang itu tidak berdaya menghadapi lihiap. Ah, sudahlah, aku merasa girang kita dapat saling berjumpa di sini dan pertemuan ini dapat saling mempererat persahabatan antara kita. Tidak tahu lihiap hendak pergi ke manakah maka berada di luar pintu gerbang kota raja?"

"Aku hendak meninggalkan kota raja, sudah mendapat ijin dari pangeran mahkota untuk kembali ke utara melaporkan segala kejadian kepada sri baginda raja dan menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada sri baginda agar dapat hadir pada hari penobatan pangeran mahkota nanti."

"Ahh... ternyata lihiap hendak kembali ke utara...?" Wajah panglima itu kelihatan kecewa dan terkejut. "Karena melaksanakan tugas selama belasan hari, aku tidak tahu akan hal itu dan sekarang, begitu berjumpa, tahu-tahu lihiap sudah akan pergi. Padahal, mengingat akan persahabatan di antara kita, sudah sepatutnya kalau aku menjamu kepergian lihiap sekalian menghaturkan selamat jalan. Akan tetapi, kuharap saja masih belum terlambat bagiku untuk mengundang lihiap singgah sebentar ke rumahku untuk menerima secawan dua cawan arak ucapan selamat jalan dariku. Marilah, lihiap, dengan hormat dan sangat aku mengundang lihiap untuk singgah sebentar di rumahku, demi persahabatan kita. Aku tidak ingin melihat lihiap pergi dan kita saling berpisah tanpa kesan, hanya berpamitan di tengah jalan seperti ini!" Pandang mata panglima itu penuh permintaan, penuh keharuan dan penuh kemesraan dan hati yang dingin dan keras dari wanita itu seketika mencair dan dia mengangguk sambil tersenyum!

Dengan girang sekali Panglima Lee Siang lalu menuntun kudanya dan pergilah mereka berdua kembali ke selatan, menuju ke pintu gerbang di mana para penjaga menyambut mereka dengan sikap hormat dan juga dengan penuh heran mengapa Kim Hong Liu-nio yang baru saja pergi meninggalkan pintu gerbang sekarang telah datang kembali, berjalan bersama Panglima Lee yang duda itu dalam keadaan begitu mesra laksana dua orang sahabat lama.

Tidak lama kemudian kedua orang ini sudah duduk saling berhadapan di dalam ruangan besar di gedung Panglima Lee. Sebuah meja melintang menghalang di antara mereka, meja yang dipenuhi dengan hidangan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap panas dan tercium bau harum arak yang baik. Sesudah para pelayan mempersiapkan hidangan-hidangan itu di atas meja, dengan gerakan tangannya Panglima Lee Siang lalu memberi isyarat mengusir mereka semua.

Sekarang Lee-ciangkun dan Kim Hong Liu-nio hanya berdua saja di dalam ruangan itu dan Panglima Lee segera menuangkan arak dan mengajak wanita itu minum arak. Tanpa hanyak cakap mereka lalu mulai makan minum. Keduanya merasa canggung! Sungguh sangat mengherankan hati mereka sendiri masing-masing mengapa mereka kini tiba-tiba saja menjadi pemalu sekali dan canggung, jantung mereka berdebar seperti dua orang pemuda dan dara remaja saja!

"Silakan minum demi persahabatan kita lihiap!" kata Lee Siang sambil mengangkat cawan araknya yang sudah dipenuhinya bersama cawan tamunya itu. Sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio mengangkat cawan dan meminumnya.

"Kini aku yang minta agar ciangkun suka minum sebagai pernyataan terima kasihku atas pertolongan dua kali itu!" Kim Hong Liu-nio menuangkan arak ke dalam cawan mereka dan sambil tersenyum Lee Siang meminum habis arak itu.

"Dan sekarang aku persilakan lihiap minum sebagai ucapan selamat jalan... ahhh, tidak! Belum! Jangan lihiap pergi dulu...!" kata panglima itu yang sudah mulai merah mukanya.

Biar pun Lee Siang juga seorang gagah yang memiliki kepandaian tidak rendah sebagai seorang Panglima Kim-i-wi, akan tetapi, dalam urusan minum arak, dia masih kalah kuat dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio yang mempunyai tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi itu. Tiba-tiba panglima itu nampak berduka begitu teringat bahwa wanita itu sebentar lagi akan pergi meninggalkannya.

"Lihiap, harap jangan pergi sekarang..., harap lihiap menunda keberangkatan itu sampai besok pagi... dan aku mempersilakan lihiap untuk bermalam di sini, dan anggaplah rumah ini sebagai rumah lihiap sendiri..."

Kim Hong Liu-nio memandang tajam, akan tetapi karena dia tidak melihat sikap kurang ajar pada waktu panglima itu mengeluarkan kata-kata itu, dia tidak jadi marah dan malah tersenyum. Makin heranlah rasa hatinya.

Jika saja yang mengucapkan kata-kata itu adalah pria lain, tentu dia telah menggerakkan tangan membunuhnya! Akan tetapi aneh, ucapan itu sama sekali tak membuat dia marah, bahkan sebaliknya, jantungnya berdebar aneh dan ada rasa gembira yang sangat besar memenuhi hatinya! Dan rasa gembira ini membuat mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi gugup dan untuk menyembunyikan perasaannya itu, dia menoleh ke kiri.

"Sunyi sekali di ruangan yang besar ini, ciangkun. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa begini sunyi? Di mana keluarga ciangkun? Aku ingin berkenalan dengan mereka."

"Ahhh...!" Dan wajah panglima itu menjadi muram sekali. Sejenak dia menunduk tanpa dapat menjawab.

"Mengapa, ciangkun? Maafkan kalau pertanyaanku tadi menyinggung. Bukan maksudku untuk menyinggung, akan tetapi..."

"Tidak, engkau tidak bersalah, lihiap. Karena engkau tidak tahu. Ketahuilah bahwa aku hanya tinggal seorang diri saja di gedung ini, tentu saja hanya bersama para pengawal dan pelayanku. Tentang keluarga... ahhh, aku hidup seorang diri, hidup sebagai seorang duda kesepian. Isteriku telah meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan sejak itu, aku hidup dalam dunia yang sepi dan... dan baru sekarang inilah, baru saat ini aku merasa... betapa senangnya hidup..."

"Aihh..., maafkan aku ciangkun." Kim Hiong Liu-nio berkata dan tidak dapat melanjutklan kata-katanya lagi. Hatinya terharu dan dia merasa semakin malu. Kiranya panglima ini adalah seorang duda, tanpa isteri dan tanpa keluarga!

"Kim Hong Liu-nio...!" Mendadak terdengar suara panglima itu, suaranya menggetar dan agak parau, sungguh berbeda dengan tadi, dan dalam menyebutkan nama itu, terdapat kemesraan yang mengejutkan.

Wanita itu mengangkat muka dan memandang. Dua pasang mata bertemu menyeberang meja, sampai lama mereka saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing. Wanita itu tidak menjawab, melainkan memandang dengan penuh penantian, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum malu-malu seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan didengarnya dari mulut panglima itu.

"Kim Hong Liu-nio, ketahuilah bahwa aku Lee Siang sejak dahulu suka berterus terang, suka bersikap sebagai seorang lelaki sejati dan tidak ingin menyimpan rahasia yang akan mendatangkan derita. Oleh karena itu, sebelumnya maafkanlah apa bila aku terlalu terus terang kepadamu karena aku mengenalmu sebagai seorang wanita perkasa yang tentu juga menghargai kegagahan dan kejujuran..."

"Katakanlah, dan jangan ragu-ragu, ciangkun, aku pun suka akan kejujuran..." Hampir wanita itu tidak mengenal suaranya sendiri! Suaranya menjadi gemetar dan agak parau, padahal belum pernah selama hidupnya dia merasakan ketegangan seperti ini.

Dan hampir dia tak berani menatap wajah panglima yang duduk amat dekat di depannya itu, hanya terhalang sebuah meja yang kecil saja, meja yang kini sudah bersih karena mangkok piring telah disingkirkan oleh pelayan. Wajah yang begitu gagah dan tampannya dalam pandang mata Kim Hong Liu-nio, yang membuat jantungnya berdebar tegang dan membuat dia merasa terheran-heran sebab seolah-olah dia telah mengenal wajah tampan itu selama hidupnya!

Dan sebaliknya, tanpa pernah berkedip panglima itu menatap wajah yang cantik manis di hadapannya itu, terutama sekali titik hitam, tahi lalat di dagu bawah bibir itu, membuat wanita itu kelihatan cantik bukan main.

"Liu-nio, aku cinta padamu!" Ucapan itu dikeluarkan dengan ketegasan seorang panglima perang! Demikian tiba-tiba sehingga Kim Hong Liu-nio cepat mengangkat mukanya dan sejenak mereka berpandangan, pandang mata mereka saling melekat dan agaknya sukar untuk dipisahkan lagi.

"Aku cinta padamu, dan perasaan ini timbul semenjak pertama kali aku melihatmu di pintu gerbang istana itu. Tadinya terus kutahan-tahan, mengingat bahwa aku hanyalah seorang panglima kasar yang sudah duda ada pun engkau seorang pendekar wanita yang berjasa terhadap sri baginda, akan tetapi makin lama tidak dapat aku menahannya dan kebetulan sekali kita berjumpa di luar dinding kota raja. Maka sebelum terlambat, sebelum engkau pergi, kukatakan ini, Liu-nio, bahwa aku cinta padamu!"

Perlahan-lahan Kim Hong Liu-nio tersenyum, lalu menundukkan mukanya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Dia merasa betapa hatinya nyaman dan senang sekali, perasaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Biasanya, pandang mata pria yang terang-terangan terpesona kepadanya menimbulkan muak dan marah, apa lagi kalau sampai ada yang menyatakan cinta dengan kata-kata seperti itu. Tentu tanpa ampun lagi akan dibunuhnya pria yang berani berlancang mulut mengatakan hal itu padanya. Akan tetapi sekali ini, dia merasa diayun-ayun ke sorga ke tujuh ketika mendengar pengakuan cinta Panglima Lee Siang.

Tiba-tiba saja seluruh tubuh Kim Hong Liu-nio terasa panas dingin dan kakinya menggigil ketika dia merasa betapa tangan kanannya yang tadi berada di atas meja telah dipegang oleh sebuah tangan yang besar dan kuat hangat. Kim Hong Liu-nio ialah seorang wanita yang selain masih perawan, juga selama hidupnya belum pernah dia berdekatan dengan seorang pria, apa lagi sampai dipegang tangannya dengan cara yang sedemikian mesra dan penuh perasaan!

Dia mengangkat mukanya. Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan sepasang mata Lee Siang yang memandangnya dengan penuh perasaan, dia langsung membuang muka dengan malu, akan tetapi dia tidak menarik tangan kanannya yang masih digenggam oleh panglima itu.

"Liu-nio kau... sudilah kiranya engkau minum secawan arak ini...," panglima itu berkata dengan suara agak gemetar dan juga jari-jari tangannya yang menggenggam tangan kecil wanita itu mengeluarkan getaran-getaran yang terasa sampai ke dalam lubuk hati Kim Hong Liu-nio.

Wanita ini menjadi gugup dan malu bukan main, dia tidak berani memandang, tidak berani berbicara, hanya mempergunakan tangan kirinya untuk menolak cawan yang disodorkan kepadanya.

"Liu-nio, aku tahu betapa lancangnya mulutku dan betapa sukarnya bagi seorang wanita terhormat seperti engkau menjawab pertanyaanku. Maka, biarlah arak di dalam cawan ini sebagai lambang cintaku kepadamu, kuhaturkan kepadamu. Apa bila engkau menerima cintaku, terima dan minumlah arak ini, apa bila engkau menolak berarti engkau menolak cintaku."

"Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio terkejut mendengar itu dan dia menjadi serba salah.

Diangkatnya mukanya memandang dan begitu menatap pandang mata panglima itu, dia pun tahu bahwa dia tidak akan mampu menolaknya! Dia tahu bahwa seluruh jasmaninya, seluruh hatinya, condong kepada panglima itu dan seolah-olah menanti dan rindu akan cinta kasih Panglima Lee Siang! Maka dengan tangan gemetar diterimanya cawan itu lalu sekali tenggak kosonglah cawan itu.

"Kekasihku...!" Lee Siang berseru girang bukan main.

Dia cepat bangkit berdiri, memutari meja dan pada lain saat dia telah menarik tubuh Kim Hong Liu-nio, ditariknya berdiri, dipeluknya dan seperti ada besi sembrani yang menarik keduanya, tiba-tiba saja mereka telah berciuman!

"Ohhh... ciangkun...!" Kim Hong Liu-nio terisak ketika ciuman itu dilepaskan dan dia lalu menyembunyikan mukanya di dada yang bidang tegap itu.

Sambil memeluk dan mendekap kepala itu, Lee Siang berdongak ke atas. "Terima kasih, Liu-nio, terima kasih atas sambutanmu terhadap cintaku! Akan tetapi di sini tidak leluasa, setiap saat pelayanku dapat masuk. Mari kuantar engkau ke kamarmu, sayang. Malam ini engkau bermalam di sini!"

Seperti orang yang kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya lemas bagai tak bertulang lagi, setengah dipondong Kim Hong Liu-nio membiarkan dirinya dibawa ke dalam sebuah kamar, dan ternyata itu adalah kamar panglima itu sendiri! Lee Siang masih merangkul leher Kim Hong Liu-nio dan hanya menggunakan kakinya untuk menutupkan pintu kamar, kemudian dia membawa wanita itu ke atas tempat tidur dan mereka pun terguling di atas pembaringan dalam keadaan saling merangkul.

"Sayangku, kekasihku, dewiku..." Lee Siang terus berbisik-bisik dan memeluk, menciumi, membuat Kim Hong Liu-nio seperti mabok dan lupa segala. Akan tetapi ketika merasakan jari-jari tangan itu di tubuhnya, tiba-tiba dia sadar dan dia memegang lengan panglima itu.

"Jangan...! Lee-ciangkun, jangan...!" Katanya dan tiba-tiba wanita itu terisak!

Sungguh luar biasa sekali. Sejak menjadi murid Hek-hiat Mo-li, belum pernah Kim Hong Liu-nio menangis, dan agaknya merupakan pantangan bagi wanita dingin serta ganas itu untuk menangis, menangis terisak-isak seperti seorang perawan di malam pengantin!

"Maafkan aku, Liu-nio. Tapi kenapakah? Bukankah kita sudah saling mencinta dan besok pagi-pagi akan kuumumkan mengenai pertunangan kita, kemudian kita boleh cepat-cepat mengatur hari pernikahan kita. Ahh, Liu-nio, kekasihku, aku menghendaki bukti dari cinta kita, aku tidak ingin gagal..." Kembali panglima itu memeluk dengan penuh kemesraan, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menolak dengan halus.

"Ciangkun, kalau kau kasihan kepadaku, jangan...!" rintihnya.

Lee Siang memegang kedua pundak wanita itu, memaksanya menghadapinya sehingga mereka kini saling memandang. Wanita itu masih terisak dan menggunakan sapu tangan di tangan kirinya untuk menutupi mulut dan hidungnya, akan tetapi matanya yang basah kemerahan itu menentang wajah Lee Siang penuh permohonan.

"Kim Hong Liu-nio, katakanlah, engkau tadi sudah menerima cintaku, bukankah itu berarti bahwa bukan aku saja yang cinta kepadamu, akan tetapi engkau juga cinta kepadaku, bukan?"

Wanita itu mengangguk dengan gerakan kepala tegas.

"Nah, lalu mengapa pula engkau menolak pencurahan cintaku? Liu-nio, lihatlah baik-baik. Aku bukanlah seorang muda lagi. Usiaku sudah empat puluh tahun dan aku telah menjadi duda! Dan engkau sendiri, sungguh pun engkau kelihatan seperti seorang dara remaja, akan tetapi aku bisa menduga, bahwa engkau pun bukanlah seorang dara ingusan! Maka apa salahnya perbuatan kita ini apa bila kita lakukan dengan dasar cinta dan suka sama suka, terlebih lagi sesudah kita besok akan bertunangan dan disusul dengan pernikahan? Liu-nio kekasihku, setelah kita saling cinta, apakah engkau masih tak percaya kepadaku? Kalau aku berlaku curang dalam hubungan kita ini, dengan kepandaianmu yang tinggi itu apa sukarnya engkau membunuhku setiap waktu? Sayang marilah..."

Dan dia sudah kembali merangkul dan menciumi bibir wanita itu. Karena gelora nafsunya sendiri, untuk beberapa lamanya Kim Hong Liu-nio tak menolak, bukan hanya menyerah, bahkan secara halus dia pun memperlihatkan perasaannya terhadap panglima itu dengan gerakan bibirnya yang membalas ciuman. Akan tetapi kembali dia menolak saat panglima itu hendak bertindak lebih jauh.

"Lee-ciangkun, sabarlah dulu dan dengarkan baik-baik kata-kataku. Kalau sekarang aku menyerahkan diri kepadamu, kalau aku menuruti permintaanmu, sekali saja, berarti kau tidak akan melihat aku lagi, ciangkun, berarti aku akan mati..."

"Ehhh...!" Lee Siang terkejut bukan main sehingga tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya lantas bangkit berdiri, memandang wanita cantik yang masih duduk di atas pembaringan dengan rambut dan pakaian kusut itu. "Apa... apa maksudmu...?" Wajah panglima ini berubah menjadi pucat dan pandang matanya gelisah sekali. Ucapan kekasihnya itu benar-benar mengejutkan dan membuatnya cemas sekali.

"Ketahuilah, ciangkun," kata wanita itu sesudah menghapus air matanya dan dia menjadi tenang kembali. "Biar pun usiaku kini telah tiga puluh lima tahun, akan tetapi sebenarnya aku masih seorang... perawan yang belum pernah dijamah seorang pria. Selama hidupku baru sekarang ini aku jatuh cinta kepada seorang pria. Sekarang kau lihatlah ini, apa yang terdapat di daguku ini?" Mendengar bahwa wanita ini masih seorang perawan, biar pun begitu cantik jelita dan usianya sudah tiga puluh lima tahun, bahkan baru sekarang jatuh cinta, Lee Siang merasa bangga sekali dan dia mengelus dagu itu. "Aku melihat sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat yang membuat engkau kelihatan lebih manis, sayang!"

"Akan tetapi titik itu adalah titik tanda maut bagiku, ciangkun!"

"Eh?" Seperti meraba api, tangan yang menjamah dagu itu cepat ditarik kembali. "Kenapa begitu?"

"Ketahuilah, titik ini merupakan titik tanda keperawananku dan begitu aku menyerahkan diri kepada seorang pria, titik ini akan lenyap dan aku pun akan mati di tangan subo atau di tangan suheng. Aku sudah bersumpah demikian, oleh karena itulah maka betapa pun aku... aku juga cinta padamu, namun aku tetap tidak dapat menyerahkan diri kepadamu sebelum terpenuhi sumpahku. Kalau sekali saja kulanggar, biar pun aku bersembunyi di seberang lautan sekali pun, aku tak akan bisa lolos dari tangan maut subo atau suheng."

"Ahhh, sungguh penasaran sekali!" Lee Siang menepuk kepalanya sendiri lantas berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu. "Ahh, penasaran sekali! Di dunia ini mana ada aturan seperti itu? Mana ada subo dan suheng sekejam itu?"

"Kau tunggu sebentar, ciangkun, akan kuambilkan barang buktinya sehingga kau dapat mendengarnya nanti." Wanita itu cepat keluar dari kamar, mengambil buntalannya yang tadi ditaruh di ruangan di mana mereka makan, kemudian dengan cepat dia telah kembali ke dalam kamar di mana Lee Siang masih kelihatan penasaran sekali. Kim Hong Liu-nio mengambil kayu papan berbentuk salib itu dan memperlihatkannya kepada Lee Siang.

"Inilah yang menjadi sumpahku."

Lee Siang menerima kayu papan salib itu dan membaca tiga huruf Cia, Tio, dan Yap, juga melihat banyak coretan-coretan di bawah ketiga huruf itu. Dia membalik-balikkan salib itu lalu memandang tidak mengerti. "Apa artinya ini?"

Kim Hong Liu-nio menarik napas panjang baru kemudian dia duduk di tepi pembaringan, bersanding dengan Lee Siang dan untuk menguatkan hatinya, dia lalu memegang tangan panglima itu. Mereka duduk berdekatan dan saling berpegang tangan, kemudian wanita itu mulai bercerita.

"Belasan tahun yang lalu, aku adalah seorang dayang di istana Raja Sabutai, dan ketika subo dari Sri Baginda Raja Sabutai terluka dan sakit parah sesudah bertanding dengan musuh-musuhnya, aku lalu ditugaskan untuk merawat nenek itu. Agaknya nenek itu suka kepadaku maka aku lalu diambil murid. Aku tentu senang sekali karena nenek itu adalah seorang yang sakti dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, apa lagi dengan menjadi muridnya berarti aku juga menjadi sumoi dari Sri Baginda Raja Sabutai sendiri."

"Siapakah nama subo-mu itu?"

"Namanya Hek-hiat Mo-li..."

"Ahh...! Sudah pernah kudengar nama itu, pernah menggemparkan ketika terjadi peristiwa penawanan kaisar dahulu. Jadi engkau adalah sumoi dari Raja Sabutai sendiri? Hebat!"

"Tidak hebat, Lee-ciangkun, karena untuk menjadi murid subo aku harus bersumpah dan sumpah itulah yang kini mengikatku, yang membuat aku terpaksa menolak keinginanmu, bahkan menekan gelora hatiku sendiri."

Lee Siang merangkul pundaknya kemudian mencium pipinya. "Aku akan memakluminya, moi-moi, cintaku kepadamu melarang aku untuk membikin susah padamu. Kini lanjutkan ceritamu, apakah isi sumpah itu?"

"Aku bersumpah bahwa aku tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh dari subo dan membunuh orang-orang yang mempunyai tiga she itu. Setelah aku berhasil membunuh tiga orang musuh besar subo itu barulah aku diperbolehkan menikah. Dan titik hitam di daguku ini adalah buatan subo, sebagai tanda keperawananku. Sekali saja aku menyerahkan diriku kepada seorang pria maka tanda ini akan hilang dan subo tentu akan membunuhku, bahkan kalau subo sudah tidak ada, suheng-ku, Raja Sabutai yang telah diserahi tugas mewakili subo dan membunuhku."

Lee Siang mengangguk-angguk. "Pantas... pantas engkau memaksa diri menolakku tadi, moi-moi. Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau. Akan tetapi, siapakah musuh-musuh dari subo-mu itu? Siapa tahu barang kali aku dapat membantumu sehingga pelaksanaan sumpahmu itu dapat segera terpenuhi."

"Mereka adalah Cia Bun Houw, Yap Kun Liong dan Tio Sun."

Seketika wajah panglima itu menjadi pucat. "Ahhh...!" Dia memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak.

"Kau mengenal mereka?"

"Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama pendekar-pendekar sakti itu? Cia-taihiap dan Yap-taihiap sangat terkenal, tidak ada seorang pun belum pernah mendengar nama mereka, sedangkan Tio Sun kalau tidak salah, bukankah dia adalah putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas panglima pengawal di istana?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Tahukah engkau di mana mereka tinggal?"

"Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana tempat tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau mampu melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap? Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko bersama Hek-hiat Mo-li, subo-mu itu sendiri, masih tak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!"

Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun."

"Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun?"

Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin pada waktu membicarakan musuh-musuhnya, sekarang tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja,

"Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana mereka tinggal? Jika aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita..."

Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka pun tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan cepat-cepat melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.

"Tidak ada orang yang tahu di mana adanya Cia-taihiap, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di kota Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dengan keluarganya pindah ke kota raja."

"Di sini?" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus sekali, di mana? Biar aku ke sana sekarang juga."

"Jangan tergesa-gesa...!"

"Mengapa tidak? Biar tiga orang musuh besar subo itu berkurang satu, tinggal mencari yang dua lagi."

"Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya mempunyai kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk.

"Tetapi jangan sekarang. Biarlah malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku akan khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi.

Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak ada sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau serta surat ke dalam kamar kembali.

"Dari... dari mana pisau itu?" tanya Lee Siang.

"Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.

"Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!"

"Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sinkang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, maka orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh."

Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah ada yang berani mengganggu rumahnya, maka dia segera berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.

Tidak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikit pun juga. Ehh, surat apakah itu?"

Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu.

Kim Hong Liu-nio,
Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat.
Hwa-i Kaipangcu


"Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..."

"Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu? Sungguh akan mencemarkan namaku kalau begitu, koko."

"Habis, bagaimana?"

"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!"

"Kau kira siapa dia itu? Ketua kaipang itu amat lihai!"

"Aku tidak takut."

Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah? Kenapa tidak? Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus sekali, kita adu domba mereka dan engkau akan bisa melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya.

"Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu, apa maksudmu?"

"Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya kemudian mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di situ kau turun tangan membunuh musuh subo-mu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kaipang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko."

Demikianlah, semalam suntuk itu kedua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini bagaikan pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu.

Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta.

Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, akibat cengkeraman nafsunya, kini hanya memiliki satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau mempedulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu...?

********************

Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja.

Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang sangat lihai. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendlang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya.

Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang selalu mengantuk, namun dari balik mata sipit itu bersinar pandangan mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.

Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi ada pun ayahnya seorang asing, yaitu seorang berkebangsaan Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.

Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.

Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya raya, sedangkan dia sendiri sudah sebatang kara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di sana dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng.

Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun sesudah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu, semakin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini sangat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah.

Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, usaha perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu.

Demikianlah, tanpa banyak ribut-ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai.

Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun juga tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian.

Segala sesuatu berjalan lancar, hanya saja keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapa pun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, sudah terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja.

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu saja biar pun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguh pun pendekar ini tidak diganggu karena dia kini sudah menjadi seorang pedagang.

Baru saja tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu mengenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!

Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk saling berhadapan, Lee Siang lalu berkata,

"Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukanlah sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap."

Tio Sun merasa seperti sudah pernah mengenal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga seorang Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun."

"Nama saya Lee Siang..."

"Ahh, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin?"

"Lee Cin adalah kakak saya."

"Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apa yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini?"

"Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya segera teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya."

Tio Sun tersenyum tenang, menganggap bahwa omongan itu seperti kelakar saja. "Aihh, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun merupakan seorang Panglima Kim-i-wi, maka siapa yang berani main-main dengan ciangkun? Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun dapat terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat?"

Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Oleh karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena apa bila hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang ingin minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi."

Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu? Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya."

"Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, apa lagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang dengan seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan?"

Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara? Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya.

Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, bahkan bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu sudah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya. "Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun."

Lee Siang menarik napas panjang. Mudah berbicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian.

"Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum dia menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio sudah salah faham dengan fihak Hwa-i Kaipang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kaipang kalah. Akan tetapi, ternyata fihak Hwa-i Kaipang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum pernah mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... ehh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kaipang."

Tio Sun mengangguk-angguk. Walau pun panglima ini usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita.

"Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun?"

"Beberapa hari yang lalu kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat dan menyerahkan surat itu kepada Tio Sun.
Selanjutnya,
PENDEKAR LEMBAH NAGA JILID 14

Pendekar Lembah Naga Jilid 13

Pendekar Lembah Naga Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang suka sekali akan ilmu silat. Sudah banyak dia mengumpulkan dan mempelajari ilmu-ilmu silat dari semua aliran yang ada di dunia persilatan, dan kalau bertemu dengan suatu ilmu baru yang belum dikenalnya, dia merasa gembira sekali dan ingin mengenal serta mempelajarinya. Maka, begitu dia melihat ilmu tongkat dari kakek pengemis kurus kering ini, dia melihat ilmu tongkat yang sangat hebat sehingga timbul pula kegembiraannya dan dia cepat menghadapi ilmu tongkat itu dengan kedua tangan kosong sambil mainkan sabuk merahnya.

Sekarang terjadilah pertandingan yang amat hebat. Tongkat yang dimainkan oleh Lo-thian Sin-kai memang luar biasa sekali. Ujung tongkat itu nampak menjadi lima buah sehingga seakan-akan kakek kurus itu memainkan lima batang tongkat, dan setiap ujung tongkat membentuk lingkaran-lingkaran yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

Sedangkan Kim Hong Liu-nio juga memutar sabuk merahnya sehingga nampak gulungan cahaya merah yang sangat indah dan kuat menyelimuti dirinya yang menghalau setiap sambaran tongkat. Kadang-kadang wanita perkasa ini mempergunakan tangannya untuk menangkis tongkat sebab tangannya telah terlindung oleh sarung tangan mukjijat itu, dan kadang kala dia membalas dengan serangan kilat, menggunakan ujung sabuknya untuk menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan yang berbahaya.

Diam-diam kakek pengemis itu terkejut bukan main. Ketika dia mendengar bahwa tiga orang murid keponakannya, tokoh-tokoh tingkat lima dari Hwa-i Kaipang dikalahkan oleh seorang wanita cantik yang sudah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, dia menyangka bahwa wanita itu adalah seorang wanita kang-ouw yang memiliki kepandaian lumayan saja. Akan tetapi pada waktu tadi dia melihat dua orang pengemis tingkat tiga dikalahkan, dia merasa penasaran. Dan kini dia terkejut setelah memperoleh kenyataan betapa lihainya wanita ini.

Selama lima puluh jurus, nampaknya pengemis tua kurus itu dapat mendesak wanita itu, buktinya, Kim Hong Liu-nio lebih banyak menghindari serangan atau menangkis dari pada membalas. Karena mengira bahwa jagoan mereka akan menang, maka para pengemis itu hanya menonton saja, mengharapkan dalam waktu singkat wanita itu akan dirobohkan.

Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Kim Hong Liu-nio memang sengaja membiarkan dirinya diserang dan dia hanya mempertahankan diri sebab dia memang ingin memancing keluar semua jurus ilmu tongkat yang menarik hatinya itu. Walau pun dia tidak mungkin dapat menguasai atau menghafal semua gerakan yang dilihatnya dalam pertandingan itu, namun setidaknya dia dapat mengenal ilmu ini dan dapat mengingat semua intinya yang penting.

Setelah lewat lima puluh jurus, dia merasa cukup menonton ilmu tongkat orang, maka kini dia mengeluarkan lengking panjang yang sangat nyaring, kemudian tubuhnya berkelebat cepat dan terjadilah perubahan hebat dalam pertandingan itu!

"Wiirrrr... plak-plakk!"

"Ahhhh...!" Lo-thian Sin-kai berseru kaget.

Hampir saja ubun-ubun kepalanya kena disambar oleh ujung sabuk yang disusul dengan tamparan tangan kilat ke arah ulu hatinya. Untunglah dia masih sempat mengelak lantas menangkis berkali-kali. Dia dapat selamat dari ancaman maut akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan pada saat itu Kim Hong Liu-nio menerjang maju dan menghujani kakek itu dengan serangan-serangan dahsyat!

Baru sekarang tahulah kakek kurus itu bahwa tadi lawannya belum bersungguh-sungguh, dan baru sekarang mengeluarkan serangan-serangannya yang dahsyat sehingga repotlah dia memutar tongkatnya untuk membentuk benteng pertahanan yang melindungi dirinya dari ancaman maut.

Semua pengemis amat terkejut melihat perubahan ini. Jagoan mereka terdesak hebat dan mundur terus. Melihat hal ini, Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai berteriak keras dan mereka sudah maju membantu jagoan mereka itu dengan memutar tongkat. Gerakan ini diikuti pula oleh semua pengemis yang sudah mengepung Kim Hong Liu-nio dan mulailah terjadi pengeroyokan yang ketat.

Akan tetapi wanita itu tidak menjadi jeri dan sabuk merahnya membentuk gulungan sinar yang lebar dan panjang, bukan hanya untuk menahan semua tongkat yang menyambar dari sekelilingnya, akan tetapi juga untuk membagi-bagi totokan. Dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan tiga orang pengemis tingkat lima.

Akan tetapi karena dia tak ingin menanam permusuhan yang hebat dengan perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh ini, Kim Hong Liu-nio tidak mau membunuh orang, hanya merobohkan mereka dengan totokan-totokan pada bagian jalan darah yang tidak mematikan untuk membikin mereka tidak dapat mengeroyoknya lagi.

Betapa pun juga, Kim Hong Liu-nio mulai terdesak hebat. Para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, terutama sekali desakan dari Lo-thian Sin-kai yang dibantu Hek-bin Mo-kai dan Tiat-ciang Sin-kai, sangatlah berbahaya baginya sehingga Kim Hong Liu-nio sudah mengambil keputusan untuk kabur dan melarikan diri saja. Akan tetapi pengemis itu agaknya maklum akan niatnya ini, karena itu pengepungan dilakukan makin rapat, gerakan tongkat-tongkat mereka menutup semua jalan keluar.

Pada saat itu terdengarlah derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian muncullah seorang penunggang kuda. Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang perkasa, berpakaian sangat indahnya, pakaian seorang panglima pengawal Kim-i-wi yang mentereng, dengan bajunya yang disulam benang emas, kepalanya yang memakal topi berhiaskan bulu burung dewata, dengan tanda pangkatnya di dada kiri yang berkilauan.

Melihat wanita cantik itu dikepung oleh para pengemis, panglima itu cepat melompat turun dari pelana kudanya, lantas sambil mengangkat kedua tangan ke atas dia berteriak-teriak, "Tahan senjata...! Hentikan perkelahian...! Para tokoh Hwa-i Kaipang, dengarkan dahulu penjelasanku!"

Lo-thian Sin-kai menoleh dan ketika mengenal panglima itu adalah Lee Siang, Panglima Kim-i-wi yang gagah dan telah dikenalnya, dia lalu meloncat mundur dan berteriak kepada para temannya untuk menahan senjata.

Kim Hong Liu-nio juga mengenal panglima itu, ialah panglima pengawal yang pertama kali menerimanya di istana, bahkan yang mengawalnya sampai menghadap kaisar. Maka dia segera menahan gerakannya dan menyimpan kembali sabuk merahnya, lalu mengusap sedikit peluh di dahinya dengan sapu tangan.

Wajahnya menjadi merah pada saat dia bertemu pandang dengan panglima yang gagah perkasa itu. Semenjak pertemuannya yang pertama dengan Panglima Lee Siang ini, dia memang sudah amat tertarik dan diam-diam dia mengakui bahwa panglima ini merupakan seorang pria gagah yang pertama kali menarik hatinya dan membuatnya merasa kagum.

"Locianpwe Lo-thian Sin-kai, harap locianpwe serta sahabat-sahabat dari Hwa-i Kaipang mengetahui bahwa lihiap Kim Hong Liu-nio ini bukan seorang musuh, sebaliknya malah, dia adalah seorang pendekar wanita yang telah berjasa, sudah menyelamatkan mendiang sri baginda kaisar dan pangeran mahkota."

Lo-thian Sin-kai tentu saja tidak akan memandang kepada Panglima Lee Siang kalau saja tidak mengingat bahwa pria ini adalah seorang panglima pasukan pengawal Kim-i-wi yang amat kuat! Tentu saja akan merupakan bunuh diri bagi perkumpulan Hwa-i Kaipang kalau berani menentang seorang panglima Kim-i-wi seperti panglima gagah ini. Karena itu dia pun menjura dan berkata dengan suara halus, "Harap Lee-ciangkun mengetahui bahwa wanita ini sudah membunuh seorang di antara anak buah kami sehingga terpaksa kami menuntut balas."

Lee Siang terkejut. Dia sudah mendengar akan kesetia kawanan para pengemis, dan dia tahu pula bahwa Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis yang paling berpengaruh di daerah kota raja dan mempunyai anggota yang ribuan orang banyaknya. Dia menoleh kepada Kim Hong Liu-nio dengan pandang mata bertanya.

Kim Hong Liu-nio tersenyum kepada panglima yang amat dikaguminya itu, "Lee-ciangkun, harap jangan percaya omongan mereka ini. Benar bahwa aku telah membunuh seorang pengemis she Tio di Huai-lai, akan tetapi pengemis itu kukira bukanlah anggota Hwa-i Kaipang karena sama sekali tidak memakai pakaian berkembang. Pula, aku membunuh dia sama sekali bukan karena dia pengemis, bukan pula karena dia ada sangkut pautnya dengan Hwa-i Kaipang atau kaipang dari mana pun juga, namun karena urusan pribadi ying tidak ada sangkut pautnya dengan jagoan-jagoan tukang keroyok dari Hwa-i Kaipang ini."

Kata-kata itu sekaligus merupakan tamparan kepada para tokoh Hwa-i Kaipang sehingga Lo-thian Sin-kai menjadi merah mukanya. Memang memalukan sekali orang-orang seperti mereka ini terpaksa mengeroyok seorang wanita dan masih dibantu oleh belasan orang anak buah mereka lagi!

Lee Siang merasakan ketegangan yang timbul dari sikap kedua belah fihak, maka untuk melenyapkan ketegangan itu dia tertawa. "Nah, para locianpwe serta sahabat dari Hwa-i Kaipang telah mendengar penjelasan lihiap Kim Hong Liu-nio bahwa sekali-kali lihiap tidak memusuhi Hwa-i Kaipang dan kejadian ini hanya timbul karena salah sangka belaka. Kini, mengingat bahwa lihiap ini merupakan sahabat pangeran mahkota, bahkan telah berjasa besar, maka aku percaya bahwa Hwa-i Kaipang suka menghabiskan perkara ini dan tidak menimbulkan keributan yang hanya akan mengacaukan keadaan!" jelas bahwa di dalam ucapan itu terkandung ancaman bagi Hwa-i Kaipang dan panglima itu berdiri tegak penuh wibawa!

Lo-thian Sin-kai menarik napas panjang. "Biarlah sekali ini kami anggap bahwa Kim Hong Liu-nio tidak bermaksud menghina Hwa-i Kaipang. Kawan-kawan, hayo kita pergi!" Kakek ini lalu menjura kepada panglima itu. "Lee-ciangkun, maafkan kami dan terima kasih atas peringatanmu."

Para pengemis itu segera pergi dari situ meninggalkan Kim Hong Liu-nio yang kini berdiri saling berhadapan dengan Lee Siang.

Sejenak mereka saling berpandangan dan jantung wanita itu berdegup tegang ketika dia melihat jelas betapa sepasang mata dari panglima itu memancarkan sinar penuh kagum kepadanya. Dia sendiri merasa terheran-heran.

Bagi dia, sudah biasa melihat sinar mata kaum pria ditujukan kepadanya dengan kagum dan penuh gairah seperti itu, malah biasanya hal ini kadang-kadang mendatangkan rasa muak dan marah di dalam hatinya. Akan tetapi entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, kini jantungnya merasakan girang dan bangga yang aneh menyaksikan betapa sinar mata pria ini begitu penuh kagum ketika memandangnya!

Sesudah sinar mata mereka saling bertaut dan melekat untuk beberapa lamanya, Kim Hong Liu-nio merasa betapa mukanya menjadi panas dan ada perasaan jengah dan malu yang aneh, yang membuat dia tersipu dan cepat-cepat menutupi perasaan ini dengan senyum manis.

"Ah, kembali Lee-ciangkun yang telah menyelamatkan aku dari keadaan yang tak enak," katanya halus, lalu tanpa disadarinya dia menundukkan mukanya, menahan senyum dan dari bawah menyambar sinar matanya dalam kerlingan tajam!

Inilah ciri-ciri seorang wanita yang tergerak hatinya oleh seorang pria! Malu-malu, hendak mengelak, ingin menyembunyikan perasaan, akan tetapi tanpa disadarinya senyum dan kerling mata yang menyambar itu mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya!

"Ciangkun sudah dua kali menolongku, sebaliknya aku belum pernah melakukan sesuatu untukmu."

"Dua kali?" Panglima yang merasa senang dan bangga itu pura-pura bertanya.

Kim Hong Liu-nio mengangkat mukanya. Kembali mereka berpandangan dan wanita itu tersenyum. Sungguh, andai kata Ceng Han Houw pada saat itu melihat keadaan suci-nya ini, dia tentu akan merasa heran bukan main. Selamanya dia melihat suci-nya ini sebagai seorang wanita yang dingin dan keras, jarang tersenyum dan bila mana tersenyum, maka senyumnya itu itu boleh jadi merupakan tanda maut bagi lawan.

Akan tetapi sekarang, seperti seorang dara remaja yang malu-malu, bersikap memikat, matanya bermain-main dan suaranya demikian halus. Pendeknya, terjadi perubahan yang luar biasa anehnya pada diri wanita ini!

"Ahh, Lee-ciangkun memang selalu merendahkan diri dan tidak mau mengingat akan jasa sendiri, sebaliknya mengangkat jasa orang lain sehingga tadi menyebut-nyebut mengenai jasaku. Kalau tidak ada ciangkun, mana mungkin aku dan sute dapat memasuki istana? Dan barusan tadi, bila tidak ada ciangkun, mana aku dapat membebaskan diri sedemikian mudahnya dari pengeroyokan pengemis liar itu?"

Lee Siang tertawa dan memang pria ini amat gagah. Biar pun usianya sudah empat puluh tahun, namun usia ini tidak mengurangi ketampanannya, bahkan membuat dia nampak gagah dan matang, seorang jantan yang menarik hati kaum wanita.

"Ha-ha-ha, lihiap terlalu memuji. Tanpa adanya aku pun, sudah kulihat betapa tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang itu tidak berdaya menghadapi lihiap. Ah, sudahlah, aku merasa girang kita dapat saling berjumpa di sini dan pertemuan ini dapat saling mempererat persahabatan antara kita. Tidak tahu lihiap hendak pergi ke manakah maka berada di luar pintu gerbang kota raja?"

"Aku hendak meninggalkan kota raja, sudah mendapat ijin dari pangeran mahkota untuk kembali ke utara melaporkan segala kejadian kepada sri baginda raja dan menyampaikan undangan pangeran mahkota kepada sri baginda agar dapat hadir pada hari penobatan pangeran mahkota nanti."

"Ahh... ternyata lihiap hendak kembali ke utara...?" Wajah panglima itu kelihatan kecewa dan terkejut. "Karena melaksanakan tugas selama belasan hari, aku tidak tahu akan hal itu dan sekarang, begitu berjumpa, tahu-tahu lihiap sudah akan pergi. Padahal, mengingat akan persahabatan di antara kita, sudah sepatutnya kalau aku menjamu kepergian lihiap sekalian menghaturkan selamat jalan. Akan tetapi, kuharap saja masih belum terlambat bagiku untuk mengundang lihiap singgah sebentar ke rumahku untuk menerima secawan dua cawan arak ucapan selamat jalan dariku. Marilah, lihiap, dengan hormat dan sangat aku mengundang lihiap untuk singgah sebentar di rumahku, demi persahabatan kita. Aku tidak ingin melihat lihiap pergi dan kita saling berpisah tanpa kesan, hanya berpamitan di tengah jalan seperti ini!" Pandang mata panglima itu penuh permintaan, penuh keharuan dan penuh kemesraan dan hati yang dingin dan keras dari wanita itu seketika mencair dan dia mengangguk sambil tersenyum!

Dengan girang sekali Panglima Lee Siang lalu menuntun kudanya dan pergilah mereka berdua kembali ke selatan, menuju ke pintu gerbang di mana para penjaga menyambut mereka dengan sikap hormat dan juga dengan penuh heran mengapa Kim Hong Liu-nio yang baru saja pergi meninggalkan pintu gerbang sekarang telah datang kembali, berjalan bersama Panglima Lee yang duda itu dalam keadaan begitu mesra laksana dua orang sahabat lama.

Tidak lama kemudian kedua orang ini sudah duduk saling berhadapan di dalam ruangan besar di gedung Panglima Lee. Sebuah meja melintang menghalang di antara mereka, meja yang dipenuhi dengan hidangan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap panas dan tercium bau harum arak yang baik. Sesudah para pelayan mempersiapkan hidangan-hidangan itu di atas meja, dengan gerakan tangannya Panglima Lee Siang lalu memberi isyarat mengusir mereka semua.

Sekarang Lee-ciangkun dan Kim Hong Liu-nio hanya berdua saja di dalam ruangan itu dan Panglima Lee segera menuangkan arak dan mengajak wanita itu minum arak. Tanpa hanyak cakap mereka lalu mulai makan minum. Keduanya merasa canggung! Sungguh sangat mengherankan hati mereka sendiri masing-masing mengapa mereka kini tiba-tiba saja menjadi pemalu sekali dan canggung, jantung mereka berdebar seperti dua orang pemuda dan dara remaja saja!

"Silakan minum demi persahabatan kita lihiap!" kata Lee Siang sambil mengangkat cawan araknya yang sudah dipenuhinya bersama cawan tamunya itu. Sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio mengangkat cawan dan meminumnya.

"Kini aku yang minta agar ciangkun suka minum sebagai pernyataan terima kasihku atas pertolongan dua kali itu!" Kim Hong Liu-nio menuangkan arak ke dalam cawan mereka dan sambil tersenyum Lee Siang meminum habis arak itu.

"Dan sekarang aku persilakan lihiap minum sebagai ucapan selamat jalan... ahhh, tidak! Belum! Jangan lihiap pergi dulu...!" kata panglima itu yang sudah mulai merah mukanya.

Biar pun Lee Siang juga seorang gagah yang memiliki kepandaian tidak rendah sebagai seorang Panglima Kim-i-wi, akan tetapi, dalam urusan minum arak, dia masih kalah kuat dibandingkan dengan Kim Hong Liu-nio yang mempunyai tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi itu. Tiba-tiba panglima itu nampak berduka begitu teringat bahwa wanita itu sebentar lagi akan pergi meninggalkannya.

"Lihiap, harap jangan pergi sekarang..., harap lihiap menunda keberangkatan itu sampai besok pagi... dan aku mempersilakan lihiap untuk bermalam di sini, dan anggaplah rumah ini sebagai rumah lihiap sendiri..."

Kim Hong Liu-nio memandang tajam, akan tetapi karena dia tidak melihat sikap kurang ajar pada waktu panglima itu mengeluarkan kata-kata itu, dia tidak jadi marah dan malah tersenyum. Makin heranlah rasa hatinya.

Jika saja yang mengucapkan kata-kata itu adalah pria lain, tentu dia telah menggerakkan tangan membunuhnya! Akan tetapi aneh, ucapan itu sama sekali tak membuat dia marah, bahkan sebaliknya, jantungnya berdebar aneh dan ada rasa gembira yang sangat besar memenuhi hatinya! Dan rasa gembira ini membuat mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi gugup dan untuk menyembunyikan perasaannya itu, dia menoleh ke kiri.

"Sunyi sekali di ruangan yang besar ini, ciangkun. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa begini sunyi? Di mana keluarga ciangkun? Aku ingin berkenalan dengan mereka."

"Ahhh...!" Dan wajah panglima itu menjadi muram sekali. Sejenak dia menunduk tanpa dapat menjawab.

"Mengapa, ciangkun? Maafkan kalau pertanyaanku tadi menyinggung. Bukan maksudku untuk menyinggung, akan tetapi..."

"Tidak, engkau tidak bersalah, lihiap. Karena engkau tidak tahu. Ketahuilah bahwa aku hanya tinggal seorang diri saja di gedung ini, tentu saja hanya bersama para pengawal dan pelayanku. Tentang keluarga... ahhh, aku hidup seorang diri, hidup sebagai seorang duda kesepian. Isteriku telah meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan sejak itu, aku hidup dalam dunia yang sepi dan... dan baru sekarang inilah, baru saat ini aku merasa... betapa senangnya hidup..."

"Aihh..., maafkan aku ciangkun." Kim Hiong Liu-nio berkata dan tidak dapat melanjutklan kata-katanya lagi. Hatinya terharu dan dia merasa semakin malu. Kiranya panglima ini adalah seorang duda, tanpa isteri dan tanpa keluarga!

"Kim Hong Liu-nio...!" Mendadak terdengar suara panglima itu, suaranya menggetar dan agak parau, sungguh berbeda dengan tadi, dan dalam menyebutkan nama itu, terdapat kemesraan yang mengejutkan.

Wanita itu mengangkat muka dan memandang. Dua pasang mata bertemu menyeberang meja, sampai lama mereka saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing. Wanita itu tidak menjawab, melainkan memandang dengan penuh penantian, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum malu-malu seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan didengarnya dari mulut panglima itu.

"Kim Hong Liu-nio, ketahuilah bahwa aku Lee Siang sejak dahulu suka berterus terang, suka bersikap sebagai seorang lelaki sejati dan tidak ingin menyimpan rahasia yang akan mendatangkan derita. Oleh karena itu, sebelumnya maafkanlah apa bila aku terlalu terus terang kepadamu karena aku mengenalmu sebagai seorang wanita perkasa yang tentu juga menghargai kegagahan dan kejujuran..."

"Katakanlah, dan jangan ragu-ragu, ciangkun, aku pun suka akan kejujuran..." Hampir wanita itu tidak mengenal suaranya sendiri! Suaranya menjadi gemetar dan agak parau, padahal belum pernah selama hidupnya dia merasakan ketegangan seperti ini.

Dan hampir dia tak berani menatap wajah panglima yang duduk amat dekat di depannya itu, hanya terhalang sebuah meja yang kecil saja, meja yang kini sudah bersih karena mangkok piring telah disingkirkan oleh pelayan. Wajah yang begitu gagah dan tampannya dalam pandang mata Kim Hong Liu-nio, yang membuat jantungnya berdebar tegang dan membuat dia merasa terheran-heran sebab seolah-olah dia telah mengenal wajah tampan itu selama hidupnya!

Dan sebaliknya, tanpa pernah berkedip panglima itu menatap wajah yang cantik manis di hadapannya itu, terutama sekali titik hitam, tahi lalat di dagu bawah bibir itu, membuat wanita itu kelihatan cantik bukan main.

"Liu-nio, aku cinta padamu!" Ucapan itu dikeluarkan dengan ketegasan seorang panglima perang! Demikian tiba-tiba sehingga Kim Hong Liu-nio cepat mengangkat mukanya dan sejenak mereka berpandangan, pandang mata mereka saling melekat dan agaknya sukar untuk dipisahkan lagi.

"Aku cinta padamu, dan perasaan ini timbul semenjak pertama kali aku melihatmu di pintu gerbang istana itu. Tadinya terus kutahan-tahan, mengingat bahwa aku hanyalah seorang panglima kasar yang sudah duda ada pun engkau seorang pendekar wanita yang berjasa terhadap sri baginda, akan tetapi makin lama tidak dapat aku menahannya dan kebetulan sekali kita berjumpa di luar dinding kota raja. Maka sebelum terlambat, sebelum engkau pergi, kukatakan ini, Liu-nio, bahwa aku cinta padamu!"

Perlahan-lahan Kim Hong Liu-nio tersenyum, lalu menundukkan mukanya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Dia merasa betapa hatinya nyaman dan senang sekali, perasaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Biasanya, pandang mata pria yang terang-terangan terpesona kepadanya menimbulkan muak dan marah, apa lagi kalau sampai ada yang menyatakan cinta dengan kata-kata seperti itu. Tentu tanpa ampun lagi akan dibunuhnya pria yang berani berlancang mulut mengatakan hal itu padanya. Akan tetapi sekali ini, dia merasa diayun-ayun ke sorga ke tujuh ketika mendengar pengakuan cinta Panglima Lee Siang.

Tiba-tiba saja seluruh tubuh Kim Hong Liu-nio terasa panas dingin dan kakinya menggigil ketika dia merasa betapa tangan kanannya yang tadi berada di atas meja telah dipegang oleh sebuah tangan yang besar dan kuat hangat. Kim Hong Liu-nio ialah seorang wanita yang selain masih perawan, juga selama hidupnya belum pernah dia berdekatan dengan seorang pria, apa lagi sampai dipegang tangannya dengan cara yang sedemikian mesra dan penuh perasaan!

Dia mengangkat mukanya. Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan sepasang mata Lee Siang yang memandangnya dengan penuh perasaan, dia langsung membuang muka dengan malu, akan tetapi dia tidak menarik tangan kanannya yang masih digenggam oleh panglima itu.

"Liu-nio kau... sudilah kiranya engkau minum secawan arak ini...," panglima itu berkata dengan suara agak gemetar dan juga jari-jari tangannya yang menggenggam tangan kecil wanita itu mengeluarkan getaran-getaran yang terasa sampai ke dalam lubuk hati Kim Hong Liu-nio.

Wanita ini menjadi gugup dan malu bukan main, dia tidak berani memandang, tidak berani berbicara, hanya mempergunakan tangan kirinya untuk menolak cawan yang disodorkan kepadanya.

"Liu-nio, aku tahu betapa lancangnya mulutku dan betapa sukarnya bagi seorang wanita terhormat seperti engkau menjawab pertanyaanku. Maka, biarlah arak di dalam cawan ini sebagai lambang cintaku kepadamu, kuhaturkan kepadamu. Apa bila engkau menerima cintaku, terima dan minumlah arak ini, apa bila engkau menolak berarti engkau menolak cintaku."

"Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio terkejut mendengar itu dan dia menjadi serba salah.

Diangkatnya mukanya memandang dan begitu menatap pandang mata panglima itu, dia pun tahu bahwa dia tidak akan mampu menolaknya! Dia tahu bahwa seluruh jasmaninya, seluruh hatinya, condong kepada panglima itu dan seolah-olah menanti dan rindu akan cinta kasih Panglima Lee Siang! Maka dengan tangan gemetar diterimanya cawan itu lalu sekali tenggak kosonglah cawan itu.

"Kekasihku...!" Lee Siang berseru girang bukan main.

Dia cepat bangkit berdiri, memutari meja dan pada lain saat dia telah menarik tubuh Kim Hong Liu-nio, ditariknya berdiri, dipeluknya dan seperti ada besi sembrani yang menarik keduanya, tiba-tiba saja mereka telah berciuman!

"Ohhh... ciangkun...!" Kim Hong Liu-nio terisak ketika ciuman itu dilepaskan dan dia lalu menyembunyikan mukanya di dada yang bidang tegap itu.

Sambil memeluk dan mendekap kepala itu, Lee Siang berdongak ke atas. "Terima kasih, Liu-nio, terima kasih atas sambutanmu terhadap cintaku! Akan tetapi di sini tidak leluasa, setiap saat pelayanku dapat masuk. Mari kuantar engkau ke kamarmu, sayang. Malam ini engkau bermalam di sini!"

Seperti orang yang kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya lemas bagai tak bertulang lagi, setengah dipondong Kim Hong Liu-nio membiarkan dirinya dibawa ke dalam sebuah kamar, dan ternyata itu adalah kamar panglima itu sendiri! Lee Siang masih merangkul leher Kim Hong Liu-nio dan hanya menggunakan kakinya untuk menutupkan pintu kamar, kemudian dia membawa wanita itu ke atas tempat tidur dan mereka pun terguling di atas pembaringan dalam keadaan saling merangkul.

"Sayangku, kekasihku, dewiku..." Lee Siang terus berbisik-bisik dan memeluk, menciumi, membuat Kim Hong Liu-nio seperti mabok dan lupa segala. Akan tetapi ketika merasakan jari-jari tangan itu di tubuhnya, tiba-tiba dia sadar dan dia memegang lengan panglima itu.

"Jangan...! Lee-ciangkun, jangan...!" Katanya dan tiba-tiba wanita itu terisak!

Sungguh luar biasa sekali. Sejak menjadi murid Hek-hiat Mo-li, belum pernah Kim Hong Liu-nio menangis, dan agaknya merupakan pantangan bagi wanita dingin serta ganas itu untuk menangis, menangis terisak-isak seperti seorang perawan di malam pengantin!

"Maafkan aku, Liu-nio. Tapi kenapakah? Bukankah kita sudah saling mencinta dan besok pagi-pagi akan kuumumkan mengenai pertunangan kita, kemudian kita boleh cepat-cepat mengatur hari pernikahan kita. Ahh, Liu-nio, kekasihku, aku menghendaki bukti dari cinta kita, aku tidak ingin gagal..." Kembali panglima itu memeluk dengan penuh kemesraan, akan tetapi Kim Hong Liu-nio menolak dengan halus.

"Ciangkun, kalau kau kasihan kepadaku, jangan...!" rintihnya.

Lee Siang memegang kedua pundak wanita itu, memaksanya menghadapinya sehingga mereka kini saling memandang. Wanita itu masih terisak dan menggunakan sapu tangan di tangan kirinya untuk menutupi mulut dan hidungnya, akan tetapi matanya yang basah kemerahan itu menentang wajah Lee Siang penuh permohonan.

"Kim Hong Liu-nio, katakanlah, engkau tadi sudah menerima cintaku, bukankah itu berarti bahwa bukan aku saja yang cinta kepadamu, akan tetapi engkau juga cinta kepadaku, bukan?"

Wanita itu mengangguk dengan gerakan kepala tegas.

"Nah, lalu mengapa pula engkau menolak pencurahan cintaku? Liu-nio, lihatlah baik-baik. Aku bukanlah seorang muda lagi. Usiaku sudah empat puluh tahun dan aku telah menjadi duda! Dan engkau sendiri, sungguh pun engkau kelihatan seperti seorang dara remaja, akan tetapi aku bisa menduga, bahwa engkau pun bukanlah seorang dara ingusan! Maka apa salahnya perbuatan kita ini apa bila kita lakukan dengan dasar cinta dan suka sama suka, terlebih lagi sesudah kita besok akan bertunangan dan disusul dengan pernikahan? Liu-nio kekasihku, setelah kita saling cinta, apakah engkau masih tak percaya kepadaku? Kalau aku berlaku curang dalam hubungan kita ini, dengan kepandaianmu yang tinggi itu apa sukarnya engkau membunuhku setiap waktu? Sayang marilah..."

Dan dia sudah kembali merangkul dan menciumi bibir wanita itu. Karena gelora nafsunya sendiri, untuk beberapa lamanya Kim Hong Liu-nio tak menolak, bukan hanya menyerah, bahkan secara halus dia pun memperlihatkan perasaannya terhadap panglima itu dengan gerakan bibirnya yang membalas ciuman. Akan tetapi kembali dia menolak saat panglima itu hendak bertindak lebih jauh.

"Lee-ciangkun, sabarlah dulu dan dengarkan baik-baik kata-kataku. Kalau sekarang aku menyerahkan diri kepadamu, kalau aku menuruti permintaanmu, sekali saja, berarti kau tidak akan melihat aku lagi, ciangkun, berarti aku akan mati..."

"Ehhh...!" Lee Siang terkejut bukan main sehingga tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya lantas bangkit berdiri, memandang wanita cantik yang masih duduk di atas pembaringan dengan rambut dan pakaian kusut itu. "Apa... apa maksudmu...?" Wajah panglima ini berubah menjadi pucat dan pandang matanya gelisah sekali. Ucapan kekasihnya itu benar-benar mengejutkan dan membuatnya cemas sekali.

"Ketahuilah, ciangkun," kata wanita itu sesudah menghapus air matanya dan dia menjadi tenang kembali. "Biar pun usiaku kini telah tiga puluh lima tahun, akan tetapi sebenarnya aku masih seorang... perawan yang belum pernah dijamah seorang pria. Selama hidupku baru sekarang ini aku jatuh cinta kepada seorang pria. Sekarang kau lihatlah ini, apa yang terdapat di daguku ini?" Mendengar bahwa wanita ini masih seorang perawan, biar pun begitu cantik jelita dan usianya sudah tiga puluh lima tahun, bahkan baru sekarang jatuh cinta, Lee Siang merasa bangga sekali dan dia mengelus dagu itu. "Aku melihat sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat yang membuat engkau kelihatan lebih manis, sayang!"

"Akan tetapi titik itu adalah titik tanda maut bagiku, ciangkun!"

"Eh?" Seperti meraba api, tangan yang menjamah dagu itu cepat ditarik kembali. "Kenapa begitu?"

"Ketahuilah, titik ini merupakan titik tanda keperawananku dan begitu aku menyerahkan diri kepada seorang pria, titik ini akan lenyap dan aku pun akan mati di tangan subo atau di tangan suheng. Aku sudah bersumpah demikian, oleh karena itulah maka betapa pun aku... aku juga cinta padamu, namun aku tetap tidak dapat menyerahkan diri kepadamu sebelum terpenuhi sumpahku. Kalau sekali saja kulanggar, biar pun aku bersembunyi di seberang lautan sekali pun, aku tak akan bisa lolos dari tangan maut subo atau suheng."

"Ahhh, sungguh penasaran sekali!" Lee Siang menepuk kepalanya sendiri lantas berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu. "Ahh, penasaran sekali! Di dunia ini mana ada aturan seperti itu? Mana ada subo dan suheng sekejam itu?"

"Kau tunggu sebentar, ciangkun, akan kuambilkan barang buktinya sehingga kau dapat mendengarnya nanti." Wanita itu cepat keluar dari kamar, mengambil buntalannya yang tadi ditaruh di ruangan di mana mereka makan, kemudian dengan cepat dia telah kembali ke dalam kamar di mana Lee Siang masih kelihatan penasaran sekali. Kim Hong Liu-nio mengambil kayu papan berbentuk salib itu dan memperlihatkannya kepada Lee Siang.

"Inilah yang menjadi sumpahku."

Lee Siang menerima kayu papan salib itu dan membaca tiga huruf Cia, Tio, dan Yap, juga melihat banyak coretan-coretan di bawah ketiga huruf itu. Dia membalik-balikkan salib itu lalu memandang tidak mengerti. "Apa artinya ini?"

Kim Hong Liu-nio menarik napas panjang baru kemudian dia duduk di tepi pembaringan, bersanding dengan Lee Siang dan untuk menguatkan hatinya, dia lalu memegang tangan panglima itu. Mereka duduk berdekatan dan saling berpegang tangan, kemudian wanita itu mulai bercerita.

"Belasan tahun yang lalu, aku adalah seorang dayang di istana Raja Sabutai, dan ketika subo dari Sri Baginda Raja Sabutai terluka dan sakit parah sesudah bertanding dengan musuh-musuhnya, aku lalu ditugaskan untuk merawat nenek itu. Agaknya nenek itu suka kepadaku maka aku lalu diambil murid. Aku tentu senang sekali karena nenek itu adalah seorang yang sakti dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, apa lagi dengan menjadi muridnya berarti aku juga menjadi sumoi dari Sri Baginda Raja Sabutai sendiri."

"Siapakah nama subo-mu itu?"

"Namanya Hek-hiat Mo-li..."

"Ahh...! Sudah pernah kudengar nama itu, pernah menggemparkan ketika terjadi peristiwa penawanan kaisar dahulu. Jadi engkau adalah sumoi dari Raja Sabutai sendiri? Hebat!"

"Tidak hebat, Lee-ciangkun, karena untuk menjadi murid subo aku harus bersumpah dan sumpah itulah yang kini mengikatku, yang membuat aku terpaksa menolak keinginanmu, bahkan menekan gelora hatiku sendiri."

Lee Siang merangkul pundaknya kemudian mencium pipinya. "Aku akan memakluminya, moi-moi, cintaku kepadamu melarang aku untuk membikin susah padamu. Kini lanjutkan ceritamu, apakah isi sumpah itu?"

"Aku bersumpah bahwa aku tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh dari subo dan membunuh orang-orang yang mempunyai tiga she itu. Setelah aku berhasil membunuh tiga orang musuh besar subo itu barulah aku diperbolehkan menikah. Dan titik hitam di daguku ini adalah buatan subo, sebagai tanda keperawananku. Sekali saja aku menyerahkan diriku kepada seorang pria maka tanda ini akan hilang dan subo tentu akan membunuhku, bahkan kalau subo sudah tidak ada, suheng-ku, Raja Sabutai yang telah diserahi tugas mewakili subo dan membunuhku."

Lee Siang mengangguk-angguk. "Pantas... pantas engkau memaksa diri menolakku tadi, moi-moi. Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau. Akan tetapi, siapakah musuh-musuh dari subo-mu itu? Siapa tahu barang kali aku dapat membantumu sehingga pelaksanaan sumpahmu itu dapat segera terpenuhi."

"Mereka adalah Cia Bun Houw, Yap Kun Liong dan Tio Sun."

Seketika wajah panglima itu menjadi pucat. "Ahhh...!" Dia memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak.

"Kau mengenal mereka?"

"Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama pendekar-pendekar sakti itu? Cia-taihiap dan Yap-taihiap sangat terkenal, tidak ada seorang pun belum pernah mendengar nama mereka, sedangkan Tio Sun kalau tidak salah, bukankah dia adalah putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas panglima pengawal di istana?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk. "Tahukah engkau di mana mereka tinggal?"

"Cia-taihiap dan Yap-taihiap entah berada di mana, akan tetapi aku tahu di mana tempat tinggalnya Tio Sun. Akan tetapi, moi-moi, bagaimana mungkin engkau mampu melawan mereka itu, terutama Cia-taihiap dan Yap-taihiap? Mereka amat sakti! Bahkan kabarnya mendiang Pek-hiat Mo-ko bersama Hek-hiat Mo-li, subo-mu itu sendiri, masih tak mampu menandingi Cia Bun Houw taihiap!"

Kim Hong Liu-nio mengangguk dengan tenang. "Akan tetapi subo telah membekali aku dengan ilmu yang khas untuk menghadapi mereka itu, ciangkun."

"Moi-moi, kenapa engkau masih menyebutku ciangkun?"

Kim Hong Liu-nio yang tadinya sudah bersikap dingin pada waktu membicarakan musuh-musuhnya, sekarang tersenyum dan wajahnya menjadi hangat kembali. Dia merangkul panglima itu dan berkata manja,

"Koko yang baik, kau bantulah aku. Di mana mereka tinggal? Jika aku dapat membunuh mereka, tentu tidak ada halangan bagi kita..."

Lee Siang mencium mulut dengan dagu yang bertahi lalat manis itu. Sejenak mereka pun tenggelam ke dalam keasyikan gelora nafsu mereka, kemudian teringat akan sumpah itu, Lee Siang menarik napas dan cepat-cepat melepaskan rangkulannya yang hanya akan menambah gelora gairahnya yang akhirnya toh tidak akan dapat tercurahkan dan hanya akan mendatangkan kekecewaan belaka.

"Tidak ada orang yang tahu di mana adanya Cia-taihiap, akan tetapi aku dapat menyebar penyelidik-penyelidik, moi-moi. Kalau Tio Sun, tadinya dia tinggal di kota Yen-tai, di bekas rumah mertuanya, akan tetapi sudah tiga bulan ini dia dengan keluarganya pindah ke kota raja."

"Di sini?" Kim Hong Liu-nio memandang wajah kekasihnya dengan berseri. "Bagus sekali, di mana? Biar aku ke sana sekarang juga."

"Jangan tergesa-gesa...!"

"Mengapa tidak? Biar tiga orang musuh besar subo itu berkurang satu, tinggal mencari yang dua lagi."

"Moi-moi, Tio Sun adalah putera dari mendiang Ban-kin-kwi, seorang yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya dan kabarnya Tio Sun bahkan tidak kalah lihai oleh ayahnya itu. Juga isterinya mempunyai kepandaian tinggi. Apa kau merasa yakin bahwa kau akan mampu menandinginya?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk.

"Tetapi jangan sekarang. Biarlah malam ini kau beristirahat di sini, besok saja kau pergi mencari dia." Lee Siang tetap menahannya. "Moi-moi, kalau kau pergi aku akan khawatir sekali..." Panglima yang sudah kegilaan itu merangkul lagi.

Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong Liu-nio mendorongnya agak keras dan sebelum panglima itu lenyap rasa kagetnya, wanita itu telah meloncat ke pintu kamar itu dan mendorongnya terbuka. Akan tetapi tidak nampak siapa-siapa di situ, hanya nampak ada sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap di pintu kamar itu, masih tergetar dan di bawah pisau itu terdapat sehelai surat. Kim Hong Liu-nio mencabut pisau itu dan membawa pisau serta surat ke dalam kamar kembali.

"Dari... dari mana pisau itu?" tanya Lee Siang.

"Dilemparkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, berikut suratnya," jawab Kim Hong Liu-nio dengan tenang. Lee Siang adalah seorang panglima pengawal yang juga memiliki kepandaian, maka dia menjadi marah sekali.

"Biar kukejar dia, kusiapkan pengawal-pengawal!"

"Percuma, koko. Dia sudah pergi jauh. Dia telah melemparkan pisau itu dengan tenaga sinkang yang amat tinggi sehingga pisau itu bisa mencari sasarannya sendiri ke pintu ini, maka orangnya tentu berada di atas genteng dan sekarang sudah pergi jauh."

Akan tetapi Lee Siang merasa penasaran. Belum pernah ada yang berani mengganggu rumahnya, maka dia segera berlari keluar, hanya dipandang saja oleh wanita itu sambil tersenyum, Kim Hong Liu-nio tidak mengikuti kekasihnya, hanya membuka kertas berlipat itu yang ternyata adalah sehelai surat.

Tidak lama kemudian Lee Siang sudah masuk kembali dengan alis berkerut dan wajah penasaran. "Engkau benar, moi-moi, tidak ada tanda sedikit pun juga. Ehh, surat apakah itu?"

Kim Hong Liu-nio sudah membaca surat itu dan dengan tenang dia menyerahkan sehelai surat itu kepada Lee Siang yang segera membacanya di bawah penerangan lampu dalam kamar itu.

Kim Hong Liu-nio,
Kalau dalam waktu tiga hari engkau belum datang ke hutan pertama di sebelah utara pintu gerbang kota raja untuk bertanding satu lawan satu dengan aku, terpaksa aku akan datang mengunjungimu di gedung Lee-ciangkun pada malam ke empat.
Hwa-i Kaipangcu


"Ahhh...! Sungguh berani dia!" Lee Siang berseru sambil mengepal tinju dan meremas surat itu. "Akan kukerahkan pasukan untuk..."

"Jangan, koko. Lihat, dia menantangku secara gagah untuk bertanding satu lawan satu. Kalau engkau mengerahkan pasukan, bukankah sama halnya dengan aku menjadi takut dan hendak bersembunyi di balik keangkeran pasukanmu? Sungguh akan mencemarkan namaku kalau begitu, koko."

"Habis, bagaimana?"

"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke hutan untuk membunuhnya!"

"Kau kira siapa dia itu? Ketua kaipang itu amat lihai!"

"Aku tidak takut."

Tiba-tiba Lee Siang memandang kekasihnya dengan wajah berseri. "Ah? Kenapa tidak? Dia akan datang ke sini pada malam ke empat. Bagus sekali, kita adu domba mereka dan engkau akan bisa melenyapkan seorang musuh besarmu tanpa menimbulkan keributan." Dengan girang panglima itu lalu merangkul kekasihnya dan hendak menciumnya.

"Nanti dulu, koko." Kim Hong Liu-nio mengelak. "Katakan dulu, apa maksudmu?"

"Begini, moi-moi," panglima itu menuntun kekasihnya kemudian mereka kembali duduk berdampingan di tepi pembaringan. "Aku akan mengundang Tio Sun untuk membantuku. Kukatakan bahwa aku diancam oleh seorang penjahat lihai. Dan kalau pada malam ke empat itu pangcu itu datang, biarlah dia bertanding melawan Tio Sun. Nah, di situ kau turun tangan membunuh musuh subo-mu itu. Kemudian kita menyiarkan bahwa Tio Sun terbunuh oleh Hwa-i Kaipang. Bukankan itu baik sekali, berarti sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat?"

Kim Hong Liu-nio mengangguk-angguk. "Aih, ternyata engkau hebat dan pandai bersiasat koko."

Demikianlah, semalam suntuk itu kedua orang laki-laki dan wanita yang sudah lebih dari dewasa ini bagaikan pengantin baru di dalam kamar itu, hanya mereka tidak melampaui garis yang akan mengakibatkan lenyapnya tahi lalat di dagu wanita itu.

Bagaikan api yang diberi umpan, nafsu yang ditahan-tahan akan menjadi makin berkobar ganas. Dan orang yang sudah dicengkeram nafsunya sendiri akan menjadi seperti buta.

Lee Siang, seorang panglima pengawal istana yang selalu menjunjung kegagahan, akibat cengkeraman nafsunya, kini hanya memiliki satu tujuan, yaitu menyingkirkan penghalang-penghalang agar dia dapat segera memiliki wanita itu menjadi isterinya, dan dalam usaha menyingkirkan penghalang-penghalang ini tentu saja dia tidak lagi memperhitungkan baik buruknya! Orang yang mabok akan keinginan mengejar sesuatu, mana mungkin ada yang mau mempedulikan baik buruk dari caranya mengejar untuk memperoleh itu...?

********************

Tio Sun adalah seorang pendekar yang tidak terkenal karena memang pendekar ini tidak pernah menonjolkan dirinya dan semenjak dia menikah dengan isterinya yang tercinta, dia tidak pernah mau mencampuri urusan kang-ouw sehingga namanya tidak begitu menonjol dan tidak dikenal umum, kecuali hanya oleh orang-orang kang-ouw tertentu saja.

Padahal, Tio Sun adalah seorang pendekar yang sangat lihai. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun, melihat pakaiannya yang sederhana dan dia suka dengan warna kuning, orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah putera tunggal mendlang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, jagoan istana yang pernah menjulang tinggi namanya.

Tio Sun bukan seorang pria yang tampan, akan tetapi dia memiliki sifat gagah dan jantan, pendiam, halus budi, berhati mulia, bersikap tegas dan jujur. Kedua matanya yang sipit itu seperti orang yang selalu mengantuk, namun dari balik mata sipit itu bersinar pandangan mata yang tajam dan penuh kewaspadaan.

Sudah kurang lebih sebelas tahun pendekar ini menikah dengan Souw Kwi Eng, seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang memiliki kecantikan yang khas, karena Souw Kwi Eng ini seorang gadis peranakan, ibunya pribumi ada pun ayahnya seorang asing, yaitu seorang berkebangsaan Portugis yang bernama Yuan De Gama. Souw Kwi Eng ini juga mempunyai nama Portugis, yaitu Maria De Gama.

Para pembaca cerita Si Dewi Maut tentu sudah mengenal baik suami isteri Tio Sun dan Souw Kwi Eng ini, karena keduanya juga merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita Si Dewi Maut itu. Seperti telah diceritakan dalam cerita Dewi Maut, Souw Kwi Eng adalah seorang anak kembar, yaitu dengan saudaranya atau kakaknya yang bernama Souw Kwi Beng alias Ricardo De Gama.

Karena ayah mertuanya adalah seorang pedagang yang kaya raya, sedangkan dia sendiri sudah sebatang kara, maka setelah menikah, Tio Sun tinggal di kota Yen-tai di pelabuhan Po-hai di mana ayah mertuanya tinggal dan di sana dia membantu pekerjaan ayahnya bersama iparnya, yaitu Souw Kwi Beng.

Dia tinggal di Yen-tai dengan tentram dan hidup saling mencinta dengan istrinya, sampai anak tunggal mereka lahir dua tahun sesudah mereka menikah. Tentu saja kelahiran Tio Pek Lian, anak perempuan mereka itu, semakin membahagiakan suami isteri itu, bahkan anak ini sangat disayang oleh kakek dan neneknya, juga oleh pamannya yang tinggal serumah.

Kemudian, setelah Tio Pek Lian berusia sembilan tahun, terjadilah perubahan. Yuan De Gama bersama isterinya, yaitu bekas pendekar wanita Souw Li Hwa yang menjadi murid dari panglima sakti The Hoo yang merasa sudah tua dan rindu kepada tanah airnya di Eropa, lalu mengajak isterinya untuk pulang ke Portugis. Semua pekerjaan ditinggalkan kepada Souw Kwi Beng yang tetap tinggal di Yen-tai. Kemudian, usaha perdagangan itu membutuhkan perwakilan di kota raja, maka Tio Sun dan isteri serta puterinya lalu pindah ke kota raja sebagai cabang dari perusahaan iparnya di Yen-tai itu.

Demikianlah, tanpa banyak ribut-ribut dan tanpa diketahui orang, Tio Sun pendekar putera mendiang seorang jagoan istana itu kini tinggal di kota raja dengan diam-diam, bersama dengan isterinya dan puterinya yang telah berusia sembilan tahun. Di kota raja Tio Sun membuka toko dan menjual dagangan-dagangan yang didatangkan dari luar negeri oleh iparnya di Yen-tai.

Hidupnya cukup tentram dan suami isteri ini mulai mendidik puteri mereka dengan ilmu silat karena selain Tio Sun sendiri adalah seorang pendekar yang pandai, juga isterinya, Souw Kwi Eng, adalah seorang pendekar wanita yang lihai pula. Tentu saja di samping pendidikan ilmu silat, Tio Sun juga tidak melupakan pendidikan ilmu baca tulis kepada puterinya, sedangkan Souw Kwi Eng juga tak melupakan untuk memberi pelajaran segala macam kepandaian puteri kepada Pek Lian.

Segala sesuatu berjalan lancar, hanya saja keluarga ini sama sekali tidak mengira bahwa perpindahan mereka dari Yen-tai ke kota raja itu diam-diam diketahui oleh para tokoh di istana, termasuk pula Panglima Lee Siang. Betapa pun juga, nama mendiang ayah Tio Sun, yaitu Ban-kin-kwi (Iblis Selaksa Kati) Tio Hok Gwan, sudah terlampau terkenal untuk melewatkan putera tunggalnya begitu saja.

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan adalah pembantu yang dipercaya oleh mendiang Panglima Besar The Hoo, maka tentu saja biar pun dia sudah tidak ada, namun puteranya masih diperhatikan oleh para tokoh di istana, sungguh pun pendekar ini tidak diganggu karena dia kini sudah menjadi seorang pedagang.

Baru saja tiga bulan semenjak Tio Sun pindah ke kota raja, pada suatu pagi muncullah Panglima Lee Siang yang berpakaian seperti penduduk biasa ke rumah pendekar ini. Tio Sun tidak mengenal Lee Siang, maka dia memandang heran ketika tamu itu mengenalkan diri sebagai panglima pengawal Lee Siang!

Sebagai seorang yang sopan dan ramah, Tio Sun lalu mempersilakan tamunya duduk di ruangan tamu. Setelah saling memberi hormat dan duduk saling berhadapan, Lee Siang lalu berkata,

"Harap Tio-taihiap suka memaafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang bukanlah sebagai panglima pengawal istana, melainkan sebagai seorang sahabat yang amat menghormat dan mengagumi mendiang ayah taihiap."

Tio Sun merasa seperti sudah pernah mengenal wajah itu, maka dia lalu teringat kepada Panglima Lee Cin, juga seorang Panglima Kim-i-kwi dari istana. "Maafkan saya, akan tetapi rasanya saya belum pernah berkenalan dengan ciangkun."

"Nama saya Lee Siang..."

"Ahh, apakah masih ada hubungan dengan Panglima Lee Cin?"

"Lee Cin adalah kakak saya."

"Ahh...!" Tio Sun tersenyum girang. "Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa saya menerima kunjungan dari Lee-ciangkun. Tidak tahu ada urusan apa yang membawa ciangkun datang ke tempat kami ini?"

"Sekali lagi maaf, taihiap. Kedatanganku ini hanya mengganggu saja, akan tetapi karena saya sudah merasa putus asa dan gelisah sekali, maka mendengar bahwa taihiap kini tinggal di kota raja, maka saya segera teringat akan mendiang ayah taihiap yang berjiwa pendekar dan selalu menolong siapa saja yang sedang menghadapi kesukaran. Karena saya sedang terancam bahaya mohon pertolongan taihiap untuk menyelamatkan saya."

Tio Sun tersenyum tenang, menganggap bahwa omongan itu seperti kelakar saja. "Aihh, Lee-ciangkun, harap jangan main-main. Ciangkun merupakan seorang Panglima Kim-i-wi, maka siapa yang berani main-main dengan ciangkun? Bagaimana mungkin keselamatan ciangkun dapat terancam bahaya sedangkan ciangkun menguasai pasukan Kim-i-wi yang terkenal kuat?"

Lee Siang menarik napas panjang. "Itulah susahnya, taihiap. Oleh karena saya seorang panglima, maka saya tidak mau membawa-bawa nama Kim-i-wi, karena apa bila hal itu diketahui oleh sri baginda kaisar, tentu saya akan mendapat hukuman. Urusan ini adalah urusan pribadi, maka saya datang kepada taihiap juga dengan pakaian preman, sebagai Lee Siang yang pernah mengagumi ayah taihiap dan yang ingin minta tolong kepadamu, bukan sebagai seorang Panglima Kim-i-wi."

Karena Lee Siang menyebut-nyebut nama mendiang ayahnya, dan mengingat bahwa panglima ini adalah adik dari Panglima Lee Cin yang dikenalnya dan dihormatinya, maka Tio Sun lalu berkata, "Harap ciangkun ceritakan apakah sebenarnya urusan itu? Mungkin tanpa bantuanku juga engkau akan dapat membereskannya."

"Urusan ini adalah urusan pribadi, yang mula-mulanya timbul dari urusan seorang wanita, taihiap. Karena itulah maka saya tidak berani memberitahukan orang lain, karena malu, apa lagi kalau harus menggunakan Kim-i-wi! Mungkin taihiap sudah mendengar tentang seorang pangeran putera dari sri baginda kaisar dari utara yang baru saja datang dengan seorang wanita pengawalnya dan yang telah menyelamatkan kaisar dari pengkhianatan, bukan?"

Tio Sun tersenyum. Dia sudah mendengar akan hal itu dan dia tahu pula siapa pangeran itu. Siapa lagi kalau bukan putera Ratu Khamila di utara? Dahulu, bersama Souw Kwi Beng yang belum menjadi iparnya, dia pernah pergi ke utara dan menjadi tamu dari Sabutai, dan dia telah bertemu Ratu Khamila yang minta dia menyampaikan pesan ratu cantik itu setelah menjenguk puteranya, agar diberitakan kepada kaisar bahwa puteranya itu mempunyai tahi lalat merah di sebelah kanan pusarnya.

Tentu saja dia sudah menduga bahwa putera Ratu Khamila itu adalah keturunan kaisar ketika kaisar ditawan dahulu. Dan kini, putera kaisar itu sudah hampir dewasa, bahkan bersama pengawal wanitanya yang kabarnya lihai itu sudah menyelamatkan kaisar, ayah kandungnya. "Saya sudah mendengar tentang itu, Lee-ciangkun."

Lee Siang menarik napas panjang. Mudah berbicara dengan pendekar ini yang pendiam akan tetapi penuh pengertian.

"Nah, wanita itu bernama Kim Hong Liu-nio, pengawal dari sang pangeran. Sebelum dia menghadap ke istana, Kim Hong Liu-nio sudah salah faham dengan fihak Hwa-i Kaipang sehingga terjadi pertempuran dan fihak Hwa-i Kaipang kalah. Akan tetapi, ternyata fihak Hwa-i Kaipang tidak menerima kekalahan itu dan ketika Kim Hong Liu-nio hendak keluar kota raja, dia dikepung dan dikeroyok. Untung saya datang dan saya melerai mereka, lalu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio ke rumah saya. Dan kami... eh, mungkin taihiap belum pernah mendengar bahwa sudah beberapa lama saya hidup menduda setelah isteri saya meninggal tanpa mempunyai keturunan. Saya dan Kim Hong Liu-nio... ehh, kami saling tertarik dan saya bertekad melindunginya dari ancaman Hwa-i Kaipang."

Tio Sun mengangguk-angguk. Walau pun panglima ini usianya sudah kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi masih tampan gagah dan duda, berkedudukan baik pula, maka tidaklah mengherankan kalau panglima ini main asmara dengan seorang wanita.

"Lalu apa hubungannya semua itu dengan saya, ciangkun?"

"Beberapa hari yang lalu kami menerima surat ini, dilempar dengan pisau yang menancap di pintu kamar saya." Lee Siang mengeluarkan sehelai surat dan menyerahkan surat itu kepada Tio Sun.
Selanjutnya,
PENDEKAR LEMBAH NAGA JILID 14