Pendekar Lembah Naga Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 10
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA tiga puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba saja mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh lebih orang itu, berkelojotan di atas tanah sambil dua tangan mereka mencekik leher sendiri. Mereka sudah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang tadi ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu!

Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang, tetapi pada saat itu pula Gak Song Kam telah melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, dan terdengarlah suara ledakan lalu nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.

"Jangan kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru.

Akan tetapi terlambat, karena belasan orang prajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-jerit mengerikan lalu mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!

"Keparat!" Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat.

Ketika sampai di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sinkang-nya menahan napas, lalu meloncat bagaikan seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang amat gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang.

Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang Gak Song Kam dia tak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu sudah berada di dalam hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh.

Memang dia kehilangan Sin Liong, akan tetapi dalam waktu enam bulan anak itu akan mati juga. Lagi pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liong pun dia masih sanggup. Maka sesudah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia kemudian membalikkan tubuh kembali kepada sute-nya yang telah menantinya di dalam kereta.

Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggota Jeng-hwa-pang, tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang. Hampir dua ratus orang anggota pasukan tewas dikarenakan orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan.

Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar.

Wanita ini mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun.

Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, tetapi cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besar pun tidak akan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apa lagi seorang anak kecil seperti Sin Liong.

Malam sudah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah pada punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri segera menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek yang bertubuh tinggi tegap dan kelihatan gagah perkasa itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, bagai seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya.

Semua ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang, karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari wajah kakek yang sedang menangis itu.

Watak anak itu memang aneh bukan main. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidak adilan dengan penuh keberanian, dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apa pun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba terhadap orang lain. Maka, begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan juga kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.

"Paman, kenapa engkau menangis begitu sedihnya?" tanpa tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan.

Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis semakin keras lagi, seakan-akan pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang sudah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan mendadak tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak,

"Bocah setan! Mereka sudah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biar pun aku belum sanggup membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu.

Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali. Tubuhnya lecet-lecet dan babak belur akibat terkena duri-duri saat dia diseret dan dia sama sekali tak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.

"Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina itu ke tempat ini!" Bagaikan orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat mukanya, maka cahaya bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kejam dan seperti muka setan!

"Paman, apa yang akan kau lakukan terhadapku?" Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya?

"Ha-ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!" Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kemudian dia menggantung tubuh itu di sumur.

Dengan kepalanya yang tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi masih nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!

"Ha-ha-ha, sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Sesudah berkata demikian, kembali Gak Song Kam melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu.

Melihat ular-ular itu, Sin Liong lantas bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa pada waktu kecil pun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia segera teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang selama ini dianggapnya sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas.

"Ibuuuu...!" Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis!

Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh hingga saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, ketika teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok.

"Ha-ha-ha-ha...!" Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang sedang berduka melihat ‘musuhnya’ tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!

"Ibuu... ahhh, ibuuu... hu-hu-huuuh...!"

"Ha-ha-ha-haahhh...!"

Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti saling berlomba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara tawa Gak Song Kam yang merasa sangat terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.

"Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus hingga arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!"

Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu kini dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur!

"Bukkk!"

Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek. Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala berikut wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.

Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah.

"Aduhhh...!" Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa ‘cesss’ seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup hingga ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat.

Saking nyerinya, ketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi ketika dia mencengkeram, tubuh ular yang membelit kakinya itu ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!

"Cesss...! Aduhhh!"

Kini tiba-tiba saja pahanya tergigit sesuatu lalu rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang sudah melempar bangkai ular merah itu kembali menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, walau pun bangkai ular itu masih hangat dan tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit.

Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu. Akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum Sin Liong menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya.

Rasa dingin yang teramat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu langsung mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil.

Dia tidak lagi mempedulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah sumur, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu.

Dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya perlahan-lahan ditelan oleh ular besar ini.

Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja.

Seperti sudah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang sangat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justru memiliki sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati.

Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san. Maka, begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat sehingga ular-ular itu mati seketika, tak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong.

Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biar pun lima ekor ular merah itu sudah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin bagaikan membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, Sin Liong mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.

Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justru mengandung sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini.

Kalau saja racun ular merah yang telah memasuki tubuhnya itu lebih banyak atau kurang sedikit saja, maka nyawanya takkan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut.

Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini sudah buyar dan punah. Sebaliknya, racun lima ekor ular merah itu pun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!

Namun, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan sambil mengeluh. Dan pada saat itu pula terdengarlah suara mendesis-desis. Seekor ular besar yang panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu lantas bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan!

Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah kedua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia pun mulai sadar.

Sin Liong sudah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar!

Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi namun pekik seekor kera muda yang sedang marah.

Kemudian, terdorong oleh naluri liar ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu mendesis lantas membuka mulut, akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong.

Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena merasa marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulut dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan disertai kemarahan, dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan menggigit terus, menggigit terus!

Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekali pun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apa lagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.

Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira.

Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat bila mana menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain makhluk. Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia mau pun antar makhluk hidup.

Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang batinnya lemah, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau makhluk lain lebih menderita dari pada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara manusia.

Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan kakek ini tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya sangat menegangkan namun menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.

Namun, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari arah belakangnya.

Cepat dia membalikkan tubuh memandang sambil mengangkat obornya, dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar!

Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja. Akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling bersahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam sedang terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet!

Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya ‘ratusan’ ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia segera membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul!

********************

Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang sedang digerogotinya itu, membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh ular pada lehernya makin mencekik sehingga dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau hangus.

Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng, merenggut ular yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, kemudian menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh ular itu mereka robek-robek.

Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pepohonan. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh.

Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya pada waktu dia masih bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan bebas.

Sin Liong sama sekali tak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja hidup di antara kawanan monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa dengan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan bahagia.

Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala masalah yang secara langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat manusia, yang berisi kecewa, dendam, iri, benci, dan sebagainya yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.

Tidak dapat disangkal pula bahwa manusia adalah makluk yang paling pandai di antara semua makluk hidup dan telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam masalah kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.

Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi dengan kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seakan-akan menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan sudah membuat manusia mundur dalam bidang rohani.

Bila mana kita membandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih menggunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan bisa terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat!

Kejahatan makin merajalela. Permusuhan di antara manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia mana pun juga. Mengapa demikian? Apakah justru kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia?

Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Namun kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang semuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebesar dan sebanyak mungkin!

Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu semakin mencengkeram kita, semakin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita supaya mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justru pengejaran kesenangan ini yang akhirnya menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!

Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan, hanyalah terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah!

Marilah kita membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang semuanya hanya merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG.

Dan selama masih terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena itu muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada kesenanganKu, oleh karena itu bila kesenanganku sampai diganggu, aku menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh!

PERANG! INGIN SENANG! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di goa-goa, atau mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap lebih luhur!

Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, sebab keinginan yang dihalangi akan menimbulkan kemarahan dan kebencian, keinginan yang tak tercapai akan menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tak akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.

Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat menikmati apa yang kita namakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung kita bisa menikmati keharuman bunga, mulut kita bisa menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi.

Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala kesenangan yang sesungguhnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin, selama kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan kita!

Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri sendiri.


Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan mengenangkan segala hal yang telah lalu mau pun yang akan datang. Kalau lapar mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, bila mengantuk tidur, kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanyalah tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula. Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali masa lalu.

Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-laki yang tampan berkejar-kejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang menimbulkan rasa ngeri.

Kini tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguh pun hal ini sama sekali tak disadarinya. Sin Liong tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut. Namun, Sin Liong sudah tidak mempedulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia sedang berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan di mana terdapat pohon-pohon yang berbuah.

Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu demikian mengejutkan bagi kawanan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga mereka semua seketika berhenti bergerak membuat semua dahan-dahan pohon yang tadinya bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai dan gembira itu pun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin berlindung.

Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan tetapi Sin Liong tiba-tiba mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia telah meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan mereka pun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik.

Biar pun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai berbicara seperti manusia yang sudah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi sangat luas dan lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun binatang-binatang itu pun memiliki cara saling berhubungan melalui suara. Oleh karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apa pun, sudah tentu mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka.

Begitu pula dengan suara-suara pekik monyet, suara itu memiliki makna-makna tertentu dan karena sejak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna dari suara-suara monyet itu. Pada saat mereka tadi mendengar pekik mengerikan dari seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan hebat, sedang menghadapi bahaya besar, lalu pekik-pekik selanjutnya memberi tahu kepada mereka bahwa monyet itu tengah berhadapan dengan musuh besar mereka yang amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau!

Harimau merupakan raja hutan yang sangat ditakuti oleh para monyet itu, karena sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, apa bila bertemu harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu mendengar pekik itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan.

Akan tetapi, tentu saja Sin Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah terlalu sering ditolong dan dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan timbul kesetia kawanan besar di dalam hati anak manusia ini.

Sebab itu, begitu rasa kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya, maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah takut menghadapi musuh besar itu, maka mereka pun cepat mengejar dan mengikuti Sin Liong.

Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas menggigit.

Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan keras dan meloncat ke depan, lantas menerjang harimau itu dengan penuh keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya menyambar ke arah ekor harimau yang panjang.

"Bukkk!"

Walau pun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, tetapi Sin Liong sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya.

Harimau itu meraung, melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong cukup cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya, yang mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah. Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, namun Sin Liong juga memekik-mekik nyaring.

Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya sudah menarik perhatian harimau lainnya. Dari balik semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang!

"Aughhhhh...!" Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar, bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah.

Akan tetapi dengan sigap dia segera membalikkan tubuhnya, lantas menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu. Sin Liong sudah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja tendangan serta pukulannya tidak dapat merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan, berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah.

Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang sedang berada di lain tempat mendengar suara-suara itu dan mereka pun berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan terhadap dua ekor harimau itu.

Kedua ekor binatang buas ini sudah menjadi ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini, namun akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah merasa ketakutan.

Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lainnya, dia pun menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, ada pun monyet-monyet lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri.

Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

Mungkin karena anak ini dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya dari pada ilmu silat monyet yang sudah ada dalam partai-partai persilatan besar. Dia bisa bergerak dengan kecepatan laksana monyet asli, cara mengelak, cara meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan.

Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia. Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet yang lainnya, hanyalah menjaga dan memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan.

Kini dia tidak hanya dapat mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, bila sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara bunga-bunga, kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira, dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga mereka tidak pernah dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan, kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi.

********************

Kita tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan marilah kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui, keluarga Kui Hok Boan mengalami mala petaka besar pada waktu isteri dari orang she Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan.

Sungguh pun hatinya merasa cemburu dan marah sesudah mendengar kenyataan bahwa isterinya dulu pernah bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian melahirkan Sin Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun hati orang she Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah jatuh cinta kepada isterinya yang tangan kirinya buntung itu.

Sebelum dia menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang belum pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita mana pun hanya didorong oleh nafsu birahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia tinggalkan begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di antara para wanita itu terdapat dua orang wanita yang akhirnya melahirkan keturunannya, yaitu dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya sebagai keponakan.

Dia belum pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan Liong Si Kwi maka dia benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi dan mempunyai dua anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya sudah aman tenteram dan makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya sehingga dia bisa hidup sebagai seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah baik-baik.

Akan tetapi, siapa menduga akan datangnya mala petaka sehebat itu! Isterinya tewas di dalam tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat lihai dan sampai bagai mana pun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan isteri yang dicintanya dan kembali dia hidup sebatang kara, bahkan kini dibebani dengan empat orang anak tanpa ibu!

Kedukaan akibat kehilangan isterinya itu agaknya tak akan menjadi terlalu berat bagi Hok Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apa lagi sekarang dia merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis baik-baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati.

Akan tetapi yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar Sabutai melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu enam bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya menjadi agak bingung.

Tentu saja dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat orang anaknya dan hartanya. Akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat banyak musuh-musuhnya dan tentu kehidupannya akan berubah sama sekali, akan lenyap pula semua ketenteraman hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah Naga.

Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan hingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah dari semua itu, timbullah duka.

Bagaimana terjadinya ikatan itu? Kenapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar mau pun tidak kepada semua itu?

Ikatan timbul apa bila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan itu di dalam ingatan, kemudian ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau dengan isteri, dengan keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi.

Padahal, tiada yang kekal di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, sehingga timbullah rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan semua yang telah mengikut kita itu!

Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah. Akan tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang kita cinta itu!

Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati.

Kui Hok Boan mulai berkemas, mengumpulkan semua harta bendanya yang sekiranya dapat dibawanya. Dia pun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari Raja Sabutai.

Para petani menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah Hok Boan. Mereka, para petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup sederhana. Kesederhanaan hidup telah membentuk watak mereka menjadi sederhana pula, keinginan mereka pun sederhana.

Mereka sudah biasa hidup serba kekurangan, maka perintah untuk pergi meninggalkan daerah Lembah Naga itu tidak terlalu menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa, mulailah para penghuni itu mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang terpenting bagi mereka hanyalah tanah-tanah yang subur karena di mana ada tanah subur, mereka tidak khawatir untuk hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak di utara, akan tetapi juga ada hal yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah di utara itu masih belum dikuasai oleh pemilik-pemilik perorangan, masih merupakan tanah liar tak bertuan, sungguh pun merupakan daerah kekuasaan Raja Sabutai.

Pada sore hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang tetangga yang datang untuk membicarakan mengenai perintah pengosongan Lembah Naga, empat orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah urusan kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin Liong.

"Aku bersumpah bahwa kelak akan membunuh wanita iblis itu!" Lan Lan berkata sambil mengepal tinjunya.

"Aku juga!" Lin Lin berkata sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya.

Hening sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-laki yang melihat keadaan mereka itu pun ikut merasa berduka. Akhirnya Siong Bu berkata, "Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku pasti akan membantu kalian. Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan menghadapi iblis betina itu!" kata Siong Bu penuh semangat.

"Kasihan sekali Sin Liong," Beng Sin berkata pula. "Entah bagaimana nasibnya di tangan iblis itu."

Disebutnya nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tidak mereka sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan Lin Lin! Jadi ‘anak monyet’ itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan ini, saudara tiri seibu!

Siong Bu yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong akibat iri hati, menarik napas panjang dan dia berkata, "Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku kagum sekali kepadanya."

"Dan dia adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi merupakan pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!" kata Beng Sin.

Kembali mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena mendengar suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek tinggi besar sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya.

Kakek ini tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya dipenuhi cambang bauk sehingga kelihatan gagah dan menyeramkan. Akan tetapi, suara laki-laki itu lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan bertanya,

"Apakah di antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?"

Siong Bu hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin Lin sudah menjawab, hampir berbareng, "Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!"

Kini Siong Bu cepat bertanya, "Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberi tahukan kepada paman bahwa lopek datang..."

"Heiii...!" Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan sepasang langannya yang besar itu sudah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh Lan Lan dan Lin Lin telah ditangkapnya.

"Kalian ikut bersamaku!" katanya kepada dua orang anak perempuan yang menjadi kaget setengah mati dan tidak keburu mengelak itu.

"Lepaskan mereka!" Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu.

Kakek yang mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut, berusaha untuk mengelak, tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras!

"Kau jahat...!" Beng Sin berseru kemudian juga menyerbu, akan tetapi tendangan ke dua membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling.

"Lepaskan aku...!"

"Ayah, tolonggg...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali.

Kakek itu terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka, mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali.

Melihat ini, Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak sambil berusaha mengejar. "Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!" Demikian mereka berteriak-teriak.

Kui Hok Boan yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun yang menjadi tamunya, menjadi terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia cepat menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman.

"Apa yang terjadi? Mana Lan Lan dan Lin Lin?" teriaknya saat melihat kedua orang anak laki-laki itu menangis.

"Dilarikan orang... ke sana..." Siong Bu menjawab.

"Seorang kakek brewok... dia menculik mereka..." Beng Sin juga berkata dan mukanya yang bulat itu mewek-mewek.

Hok Boan tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman, melakukan pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu lagi. Sampai cuaca menjadi gelap, dia tetap tak berhasil menemukan jejak orang yang menculik kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan main.

Dia lalu cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak-anak buahnya dan bersama anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang diculik orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkat tinggi-tinggi sambil berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin.

Akan tetapi sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil menemukan jejak penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja hati Hok Boan menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari.

Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu? Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat sudah terkenal juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya oleh para pembesar untuk mendidik anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw mau pun liok-lim, kaum golongan sesat mau pun golongan bersih.

Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka terhadap orang muda yang di samping lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu.

Memang Hok Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu.

Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan sangat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia sudah menundukkan hati ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia dengan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.

Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan untuk menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena, maka akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat apa pun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Dan hasilnya sungguh luar biasa bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam menjadi geger.

Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu dengan nyawanya!

Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, meski pun belum tentu dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya.

Akan tetapi, Ciam-kauwsu tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Tetapi, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama sekali.

Sesudah dia hampir lupa dengan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar berita tentang Hok Boan, dan menganggap bahwa pemuda itu tentu sudah mati, tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu sekarang telah hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya, juga memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam yang hampir padam itu menyala kembali. Luka di hati yang sudah mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.

Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki hutan.

Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia tengah berada di daerah kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan dengan kekerasan, dan kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin sukar baginya untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam.

Oleh karena itu dia cepat menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan membelok ke timur lalu memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri dari musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam terhadap musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya!

Semalaman itu Ciam-kauwsu menghentikan larinya, hanya bersembunyi di dalam hutan. Dia melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor dan mencari-cari. Dia menyumbat mulut dua orang anak itu dengan sapu tangan dan menotok tubuh mereka sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melanjutkan larinya sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu terus ke timur.

Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, pada saat dia melewati daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba saja terdengar pekik dahsyat dari atas pohon.

Ketika dia menoleh, saat itu pula ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya yang panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu!

"Ehhhh...!"

Ciam-kauwsu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu tidak sempat mengelak lagi dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu? Dia bukan lain adalah Sin Liong!
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 10

Pendekar Lembah Naga Jilid 10
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA tiga puluh orang lebih itu tiba di tempat itu tiba-tiba saja mereka itu menjerit dan robohlah tiga puluh lebih orang itu, berkelojotan di atas tanah sambil dua tangan mereka mencekik leher sendiri. Mereka sudah terkena hawa beracun dari bubuk hitam yang tadi ditaburkan oleh ketua Jeng-hwa-pang itu!

Melihat ini, pasukan lain dari sebelah kiri bergerak maju untuk menghadang, tetapi pada saat itu pula Gak Song Kam telah melempar-lemparkan beberapa benda-benda kecil, dan terdengarlah suara ledakan lalu nampak asap kehitaman mengepul memenuhi jalan.

"Jangan kejar! Kembali...!" Kim Hong Liu-nio berseru.

Akan tetapi terlambat, karena belasan orang prajurit telah tiba di tempat itu dan kembali terdengar jerit-jerit mengerikan lalu mereka itu terguling roboh. Asap beracun itu seketika membunuh mereka dan muka mereka berubah menjadi kehijauan!

"Keparat!" Kim Hong Liu-nio kini meninggalkan Han Houw. "Sute, jangan ikut mengejar!" teriaknya kemudian tubuhnya melesat.

Ketika sampai di tempat di mana disebar racun, dia mengerahkan sinkang-nya menahan napas, lalu meloncat bagaikan seekor burung terbang melampaui tempat itu dan tiba di sebelah sana yang aman. Akan tetapi, karena pada waktu itu senja telah datang dan di sebelah depan merupakan hutan yang amat gelap, dia tidak lagi melihat bayangan ketua Jeng-hwa-pang.

Kim Hong Liu-nio berdiri termangu-mangu. Dia adalah seorang yang sakti dan jangankan baru menghadapi seorang seperti Gak Song Kam saja, biar ada lima orang Gak Song Kam dia tak akan takut menandinginya. Akan tetapi, Gak Song Kam adalah seorang ahli racun, dan kini orang yang curang itu sudah berada di dalam hutan gelap. Menghadapi seorang curang seperti ketua Jeng-hwa-pang itu, di tempat gelap dan orang itu ahli racun, benar-benar merupakan bahaya besar dan Kim Hong Liu-nio bukanlah seorang bodoh.

Memang dia kehilangan Sin Liong, akan tetapi dalam waktu enam bulan anak itu akan mati juga. Lagi pula, untuk mencari Cia Bun Houw tanpa bantuan Sin Liong pun dia masih sanggup. Maka sesudah mengepal tinju memandang ke arah hutan gelap dan di dalam hatinya berjanji untuk kelak membunuh Gak Song Kam, dia kemudian membalikkan tubuh kembali kepada sute-nya yang telah menantinya di dalam kereta.

Ternyata bahwa tujuh puluh lebih anggota Jeng-hwa-pang, tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Semua terbunuh oleh pasukannya, akan tetapi fihak pasukan juga kehilangan banyak orang. Hampir dua ratus orang anggota pasukan tewas dikarenakan orang-orang Jeng-hwa-pang tadi juga menggunakan racun-racun yang menjatuhkan banyak lawan.

Setelah memesan agar para komandan pasukan mengurus anak buah yang telah tewas, Kim Hong Liu-nio lalu memilih dua ekor kuda terbaik, kemudian bersama Han Houw dia melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda, menuju ke selatan, ke tembok besar.

Wanita ini mulai dengan perjalanannya yang jauh dan penuh bahaya, menuju ke Kerajaan Beng, selain untuk memenuhi perintah permaisuri, yaitu mengusahakan agar Han Houw dapat berjumpa dengan kaisar, juga untuk mencari musuh-musuh besar gurunya, yaitu Cia Bun Houw, Yap In Hong, dan Tio Sun.

Sementara itu, Sin Liong terus dibawa lari oleh ketua Jeng-hwa-pang memasuki hutan lebat. Anak ini berusaha meronta, tetapi cengkeraman tangan Gak Song Kam amat kuat. Seorang dewasa yang bertenaga besar pun tidak akan dapat berkutik kalau dicengkeram oleh orang she Gak ini, apa lagi seorang anak kecil seperti Sin Liong.

Malam sudah tiba ketika Gak Song Kam berhenti berlari. Dia menotok jalan darah pada punggung Sin Liong, membuat anak itu lemas tak mampu bergerak, lalu melemparkan Sin Liong ke atas rumput sedangkan dia sendiri segera menjatuhkan diri di atas rumput, lalu kakek yang bertubuh tinggi tegap dan kelihatan gagah perkasa itu menangis! Menangis terisak-isak dan bercampur keluhan panjang pendek yang keluar dari kerongkongannya. Air matanya bercucuran, diusapnya dengan kedua tangan, bagai seorang anak kecil yang menangis karena kecewa hatinya.

Semua ini dapat dilihat oleh Sin Liong yang roboh terlentang, karena ada sinar bulan yang cukup terang menerobos di antara celah-celah daun pohon dan menyinari wajah kakek yang sedang menangis itu.

Watak anak itu memang aneh bukan main. Hatinya keras dan dia akan menentang segala ketidak adilan dengan penuh keberanian, dan dia tabah sekali menghadapi ancaman apa pun juga. Akan tetapi di balik ini, dia memiliki watak yang mudah terharu, mudah menaruh iba terhadap orang lain. Maka, begitu melihat kakek itu menangis demikian sedihnya, dia merasa terharu sekali dan juga kasihan, lupa bahwa kakek ini telah menangkapnya dan membuatnya tidak berdaya dengan totokan.

"Paman, kenapa engkau menangis begitu sedihnya?" tanpa tertahankan lagi dia bertanya, suaranya penuh keprihatinan.

Mendengat pertanyaan itu, Gak Song Kam menangis semakin keras lagi, seakan-akan pertanyaan itu menggugah semua kenangan yang pahit dan dia merasa benar betapa dia kini hanya sendirian saja, kehabisan keluarga, kehabisan anak buah yang sudah dibasmi musuh! Akan tetapi, semua ini mengingatkan dia akan kekejaman Kim Hong Liu-nio dan mendadak tangisnya terhenti, dia terbelalak menoleh ke arah Sin Liong dan membentak,

"Bocah setan! Mereka sudah membasmi semua anak buahku dan keluargaku. Baik, biar pun aku belum sanggup membalas kepada iblis betina itu, setidaknya aku sudah dapat memuaskan dendamku kepadamu!" Dia lalu meloncat, menyambar kedua kaki Sin Liong dan diseretnya tubuh anak itu ke bagian yang lebih dalam dari hutan itu.

Tentu saja Sin Liong tersiksa sekali. Tubuhnya lecet-lecet dan babak belur akibat terkena duri-duri saat dia diseret dan dia sama sekali tak mampu bergerak karena tubuhnya masih tertotok. Akhirnya, kakek itu berhenti di sebuah lereng bukit dan di bawah pohon-pohon besar itu terdapat sebuah lubang yang dalamnya ada dua meter, seperti sebuah sumur.

"Ha-ha-ha, akan kulihat engkau mengalami siksaan yang paling mengerikan! Sekarang ini bagianmu untuk menebus dosa itu, kelak baru akan kuseret iblis betina itu ke tempat ini!" Bagaikan orang gila Gak Song Kam tertawa bergelak dan karena ketika tertawa itu dia mengangkat mukanya, maka cahaya bulan persis menimpa mukanya, membuat wajah itu kelihatan kejam dan seperti muka setan!

"Paman, apa yang akan kau lakukan terhadapku?" Sin Liong bertanya karena dia merasa tidak bermusuhan dengan orang ini akan tetapi kenapa orang ini menyiksanya?

"Ha-ha-ha-ha, kau ingin tahu? Ingin melihat? Nah, kau lihatlah!" Dia menyambar tubuh Sin Liong dan menggantung tubuh itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kemudian dia menggantung tubuh itu di sumur.

Dengan kepalanya yang tergantung itu, Sin Liong dapat melihat lubang sumur yang gelap menghitam, akan tetapi masih nampak olehnya beberapa ekor ular merah bergerak-gerak di dasar lubang sumur itu!

"Ha-ha-ha, sudah kau lihat? Itulah lima ekor ular merah yang kami kumpulkan di sini, kami pelihara untuk diambil racunnya. Lima ekor ular yang paling ganas di dunia ini, dan aku akan melemparmu ke dalam lubang itu!" Sesudah berkata demikian, kembali Gak Song Kam melemparkan tubuh Sin Liong ke atas tanah di dekat lubang sumur yang mengerikan itu.

Melihat ular-ular itu, Sin Liong lantas bergidik. Ngeri juga hatinya melihat ular-ular itu, dan teringatlah dia akan cerita ibunya bahwa pada waktu kecil pun dia pernah digigit ular dan hampir mati. Teringat akan hal itu, dengan sendirinya dia segera teringat akan ibunya dan terbayanglah di depan matanya betapa ibunya, yang selama ini dianggapnya sebagai ibu angkatnya akan tetapi kemudian ternyata adalah ibu kandungnya sendiri, telah tewas.

"Ibuuuu...!" Sin Liong menjerit dan tiba-tiba saja anak ini menangis!

Tangisnya sesenggukan karena semenjak saat ibunya terbunuh hingga saat ini, dia selalu berada di dalam ketegangan dan dia belum memperoleh kesempatan untuk meluapkan kesedihannya. Kini, ketika teringat akan kematian ibunya, ibu kandungnya, tiba-tiba dia merasa begitu berduka sehingga dia menjerit dan menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran tak dapat diusapnya karena kaki tangannya lumpuh tertotok.

"Ha-ha-ha-ha...!" Gak Song Kam girang bukan main. Terhibur juga hatinya yang sedang berduka melihat ‘musuhnya’ tersiksa seperti itu. Dia mengira bahwa Sin Liong menangis karena ketakutan, maka memanggil-manggil ibunya!

"Ibuu... ahhh, ibuuu... hu-hu-huuuh...!"

"Ha-ha-ha-haahhh...!"

Suara tangis dan tawa itu berselang-seling seperti saling berlomba, dan makin Sin Liong mengingat ibunya, makin hebatlah tangisnya dan makin keras pula suara tawa Gak Song Kam yang merasa sangat terhibur oleh kedukaan anak yang dianggapnya musuh besar atau setidaknya keluarga dari musuh besarnya ini.

"Ha-ha-ha, sekarang menangislah engkau, menangis terus hingga arwahmu akan menjadi setan yang menangis. Ha-ha-ha!"

Gak Song Kam menepuk punggung Sin Liong membebaskan totokannya sehingga anak itu kini dapat bergerak lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa, ketua Jeng-hwa-pang itu lalu melemparkan tubuh Sin Liong ke dalam lubang sumur!

"Bukkk!"

Tubuh Sin Liong terbanting ke atas tanah yang agak lembek. Sin Liong terguling-guling sampai tubuhnya membentur dinding sumur. Anak ini terlentang, pakaiannya berlepotan tanah lumpur. Terdengar suara tertawa dan Sin Liong yang terlentang itu melihat kepala berikut wajah yang menyeramkan dari Gak Song Kam di atas lubang sumur. Kakek itu menjenguk ke bawah sambil tertawa.

Tiba-tiba hidung Sin Liong mencium bau yang harum bercampur amis dan mendengar suara mendesis. Dia terkejut, teringat akan ular-ular merah tadi dan cepat dia meloncat bangun dan berdiri. Akan tetapi pada saat itu, dia merasa betisnya digigit dari bawah.

"Aduhhh...!" Dia berseru kaget dan merasa betapa betisnya nyeri dan ada rasa ‘cesss’ seperti terkena sesuatu yang amat dingin, akan tetapi rasa dingin yang menyusup hingga ke tulang sumsum dan mendatangkan kenyerian hebat.

Saking nyerinya, ketika dia terjatuh dan meraba betis kirinya yang tergigit itu, tangannya mencengkeram seekor ular kecil, besarnya hanya seperti ibu jari kakinya dan panjangnya hanya beberapa jengkal. Akan tetapi ketika dia mencengkeram, tubuh ular yang membelit kakinya itu ternyata lemas dan ketika dia renggutkan terlepas dari kakinya, ternyata ular itu telah mati!

"Cesss...! Aduhhh!"

Kini tiba-tiba saja pahanya tergigit sesuatu lalu rasa dingin menyusup tulang membuatnya menggigil. Seperti tadi, tangannya yang sudah melempar bangkai ular merah itu kembali menangkap ular yang menggigit paha kanannya, dan sungguh aneh! Kembali dia hanya menangkap ular merah yang telah mati lemas, walau pun bangkai ular itu masih hangat dan tubuh ular itu masih berkelojotan sedikit.

Di bawah sinar bulan purnama yang hanya sedikit memasuki sumur kering itu, dia melihat ular kedua yang kulitnya belang-belang merah itu. Akan tetapi kembali ada ular yang telah menggigit lengan kirinya. Sebelum Sin Liong menangkap ular ini, ada lagi yang menggigit pinggang dan ada yang menggigit pundaknya.

Rasa dingin yang teramat hebat membuat Sin Liong terguling lagi dan mengaduh-aduh, kedua tangannya mencengkeram ke sana-sini dan seperti dua ekor ular yang pertama, juga tiga ekor ular merah itu langsung mati begitu menggigit tubuhnya. Sin Liong merintih-rintih, rasa dingin membuat seluruh tubuhnya menggigil.

Dia tidak lagi mempedulikan suara ketawa di atas, suara Gak Song Kam yang menikmati pemandangan remang-remang di bawah sumur, di mana dia hanya melihat anak itu jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Dia mengira bahwa tentu anak itu sedang dikeroyok oleh lima ekor ular yang dipeliharanya di dalam lubang itu.

Dia membuka mata lebar-lebar, ingin sekali melihat anak itu ditelan oleh ular hutan besar yang juga berada di dalam lubang, ular yang tidak beracun akan tetapi besarnya sepaha manusia dan tentu akan senang sekali melihat anak itu, atau mayatnya perlahan-lahan ditelan oleh ular besar ini.

Kalau saja Gak Song Kam dapat melihat dengan jelas, tentu dia akan terkejut setengah mati melihat betapa lima ekor ular merah itu telah mati seketika begitu menggigit tubuh Sin Liong! Hal ini terjadi karena kebetulan saja.

Seperti sudah kita ketahui, di dalam tubuh Sin Liong mengeram racun Hui-tok-san, yaitu racun yang sangat hebat, yang akan membunuh anak itu sedikit demi sedikit. Racun ini sifatnya panas dan jahat bukan main. Sebaliknya, racun ular merah yang sama jahat dan berbahaya, justru memiliki sifat yang sebaliknya. Racun ular merah jenis yang dipelihara oleh ketua Jeng-hwa-pang itu mempunyai sifat dingin dan sekali racun ini memasuki jalan darah manusia, dalam waktu sebentar saja manusia itu tentu akan mati.

Akan tetapi, darah Sin Liong sudah diracuni oleh Hui-tok-san. Maka, begitu ular-ular itu menggigit, mereka bertemu dengan lawan hebat sehingga ular-ular itu mati seketika, tak kuat menghadapi hawa panas yang menyerang dari dalam tubuh Sin Liong.

Kini Sin Liong yang tersiksa hebat sekali. Biar pun lima ekor ular merah itu sudah mati, akan tetapi di dalam tubuhnya masih terjadi perang yang amat hebat dan menimbulkan penderitaan yang sukar dilukiskan. Seluruh tubuhnya terasa sakit, sebentar seperti akan terbakar, kemudian berganti berubah dingin bagaikan membeku, seluruh kulit tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, dan dari dalam seperti ada ribuan ekor semut yang menggigitnya! Tanpa disadarinya, Sin Liong mengeluh dan jatuh bergulingan di atas dasar sumur yang berlumpur, tidak ingat dan tidak mendengar lagi akan suara ketawa dari atas sumur.

Memang agaknya belum waktunya bagi Sin Liong untuk tewas. Dua macam racun yang menguasai tubuhnya itu justru mengandung sifat yang berlawanan, dan keduanya adalah racun-racun yang paling ganas di dunia ini.

Kalau saja racun ular merah yang telah memasuki tubuhnya itu lebih banyak atau kurang sedikit saja, maka nyawanya takkan tertolong lagi! Akan tetapi yang memasuki tubuhnya justru tepat sekali, berimbang dengan racun Hui-tok-san, sehingga perimbangan yang tepat ini membuat dua macam racun itu saling serang dan akhirnya keduanya mati sendiri atau kehilangan dayanya, menjadi punah atau luntur sehingga tanpa disadari oleh anak itu kini Sin Liong terbebas dari ancaman maut.

Racun Hui-tok-san yang oleh Kim Hong Liu-nio dimasukkan ke dalam tubuhnya dan yang akan membunuhnya dalam waktu enam bulan, kini sudah buyar dan punah. Sebaliknya, racun lima ekor ular merah itu pun kehilangan dayanya karena punah oleh Hui-tok-san!

Namun, rasa nyeri akibat perang yang terjadi di dalam tubuhnya antara racun ular-ular merah dan Hui-tok-san, benar-benar amat menyiksa sehingga dalam keadaan setengah sadar Sin Liong bergulingan sambil mengeluh. Dan pada saat itu pula terdengarlah suara mendesis-desis. Seekor ular besar yang panjangnya ada tiga meter, meninggalkan akar besar di mana dia melingkar di dinding sumur itu lantas bergerak turun menghampiri Sin Liong yang masih bergulingan!

Tubuh anak itu memang kuat sekali berkat bertahun-tahun digembleng oleh kehidupan liar bersama monyet-monyet di atas pohon. Maka, setelah kedua macam racun itu mulai kehilangan kekuatan masing-masing karena saling memunahkan, dia pun mulai sadar.

Sin Liong sudah bangkit berdiri dan terhuyung, lalu bersandar pada dinding sumur. Dia membuka matanya dan pada saat itu dia melihat dua cahaya kecil mencorong, yaitu mata dari seekor ular besar yang telah berada di depannya, kepalanya tergantung ke bawah, lidahnya menjilat-jilat keluar!

Sin Liong terkejut bukan main, terkejut, ngeri, juga marah karena tubuhnya tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat. Semua perasaan ini mendorong keluar nalurinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat, bukan pekik manusia lagi namun pekik seekor kera muda yang sedang marah.

Kemudian, terdorong oleh naluri liar ini, dia bukannya menjauhkan diri dari kepala ular besar itu, melainkan sebaliknya malah. Dia menubruk maju dan mencengkeram leher ular itu! Ular itu mendesis lantas membuka mulut, akan tetapi dengan seluruh kekuatan Sin Liong mencekik leher ular. Ular itu lalu membelitkan tubuhnya, membelit-belit pinggang dan leher Sin Liong.

Anak ini tentu saja tidak mampu bertahan dan dia terguling, tubuhnya terbelit-belit ular itu dan terasa betapa lehernya tercekik. Karena merasa marah, Sin Liong lalu menggereng, membuka mulut dan menggigit leher ular itu. Digerogotinya leher ular itu sekuat tenaga, penuh keganasan disertai kemarahan, dan dia segera merasa darah segar yang panas memasuki mulutnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan menggigit terus, menggigit terus!

Ular itu besar dan kuat sekali. Seorang laki-laki dewasa sekali pun tidak akan mungkin dapat melawan tenaga lilitannya, apa lagi Sin Liong. Kalau saja dia tidak berlaku nekat dan menggigit leher ular itu, tentu lehernya sendiri sudah patah dililit oleh ular itu. Karena gigitannya itulah, maka ular itu merasa kesakitan dan meronta, membuat lilitannya tidak teratur, tidak sampai mematahkan tulang leher atau punggung Sin Liong, akan tetapi tentu saja makin menyiksa anak itu.

Ketika mendengar suara pekik dahsyat yang keluar dari mulut Sin Liong tadi, Gak Song Kam terkejut bukan main, akan tetapi juga merasa gembira.

Dalam diri setiap orang manusia memang terdapat semacam nafsu yang buas ini, yaitu rangsangan yang menimbulkan ketegangan yang nikmat bila mana menyaksikan suatu siksaan atau kekejaman berlangsung menimpa diri lain orang atau lain makhluk. Nafsu yang mungkin diwarisi dari binatang inilah yang membuat manusia suka sekali nonton adu tinju, adu jengkerik, adu ayam, dan bunuh-membunuh, baik antar manusia mau pun antar makhluk hidup.

Nafsu yang dikenal dengan sebutan sadisme ini menguasai orang-orang yang batinnya lemah, orang-orang yang menonjolkan iba diri sehingga dia akan merasa senang melihat orang lain atau makhluk lain lebih menderita dari pada dirinya sendiri. Nafsu inilah yang menimbulkan segala macam perbuatan keji dan kejam di antara manusia.

Gak Song Kam yang mendengar pekik itu mengira bahwa tentu penyiksaan atas diri anak di dalam lubang sumur itu sudah mencapai puncaknya dan kakek ini tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan yang dianggapnya sangat menegangkan namun menyenangkan itu. Maka cepat dia lalu membuat api, membakar sebongkok kayu kering sebagai obor, lalu dengan penerangan itu dia membantu sinar bulan menerangi ke dalam lubang sumur untuk menonton.

Namun, selagi dia menjenguk ke dalam lubang dan menggunakan tangan kiri menutupi sinar obor yang terlalu menyilaukan pandangannya, tiba-tiba terdengar pekik-pekik seperti tadi, kini banyak dan berulang-ulang. Bekas ketua Jeng-hwa-pang itu terkejut bukan main karena mendengar pekik-pekik itu bukan keluar dari lubang sumur, melainkan dari arah belakangnya.

Cepat dia membalikkan tubuh memandang sambil mengangkat obornya, dan hampir dia sendiri berteriak saking kagetnya. Tempat itu penuh dengan monyet-monyet besar yang menyeringai marah, memperlihatkan gigi-gigi bertaring dan mata kecil-kecil yang tajam dan liar!

Sebetulnya, yang datang berloncatan dari atas pohon-pohon itu hanya ada belasan ekor monyet besar saja. Akan tetapi karena cuaca remang-remang dan pekik dahsyat yang keluar dari kerongkongan rombongan monyet itu saling bersahut, berloncatan dari segala penjuru, sedangkan hati Gak Song Kam sedang terkejut bukan main, maka dia merasa seolah-olah yang muncul ada ratusan ekor monyet!

Dalam keadaan biasa, tentu saja orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi ini tidak takut menghadapi rombongan monyet-monyet itu. Akan tetapi pada saat itu, Gak Song Kam adalah seorang pelarian yang baru saja meloloskan diri dari ancaman maut, maka melihat munculnya ‘ratusan’ ekor monyet besar itu, seketika timbul dugaannya bahwa hal ini tentulah merupakan siasat dari Kim Hong Liu-nio, wanita iblis itu. Maka, tanpa berpikir dua kali, dia segera membuang obornya dan melarikan diri dari tempat itu dengan cepat sebelum wanita yang ditakutinya itu muncul!

********************

Sin Liong merasa betapa darah bercucuran dari leher ular yang sedang digerogotinya itu, membasahi seluruh mukanya dan membikin pedih kedua matanya. Akan tetapi dia nekat, terus menggigit dan tidak mau melepaskan leher ular itu. Lilitan tubuh ular pada lehernya makin mencekik sehingga dia tidak bernapas lagi, kepalanya terasa seperti mau meledak, hidungnya yang tadi mencium bau amis kini mencium bau hangus.

Sin Liong tidak tahu lagi betapa pada saat itu, beberapa ekor monyet besar berloncatan, masuk ke dalam lubang sumur dan seekor monyet betina besar menggereng, merenggut ular yang melilit tubuhnya itu dengan penuh kemarahan, kemudian menggigit kepala ular itu. Beberapa ekor monyet membantu dan akhirnya tubuh ular itu mereka robek-robek.

Kemudian, monyet betina besar itu mengeluarkan suara menguik-nguik seperti menangis melihat tubuh Sin Liong yang terlentang pingsan, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya merayap naik bersama teman-temannya. Tidak lama kemudian, belasan ekor monyet itu menghilang di antara daun-daun pepohonan. Mula-mula pohon-pohon di sekitar tempat itu berkerosakan, dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang, akan tetapi tak lama kemudian keadaan menjadi sunyi dan rombongan monyet itu telah pergi jauh.

Tidak sampai sepuluh hari lamanya, Sin Liong sudah sembuh kembali dari luka-lukanya. Dia dirawat oleh monyet betina yang menjadi induknya pada waktu dia masih bayi, dan beberapa hari kemudian, dia telah dapat bergerak bebas dengan para monyet, berkejaran di pohon-pohon, mencari buah-buahan dan hidup bersama mereka dengan bebas.

Sin Liong sama sekali tak merasa canggung hidup di antara binatang-binatang ini, bahkan dia merasa mendapatkan kembali dunianya yang amat dicintanya. Begitu bebas, begitu wajar, begitu sehat! Selama beberapa hari saja hidup di antara kawanan monyet itu, di dalam hutan lebat, dia telah melupakan semua kedukaannya, lupa dengan kematian ibu kandungnya, lupa akan orang-orang yang tadinya dianggap musuh besarnya, lupa akan dendamnya dan dia benar-benar hidup dengan wajar dan bahagia.

Tidak pernah ada persoalan atau masalah yang timbul dari pikiran, yang ada hanyalah soal-soal yang wajar seperti perut lapar, tubuh lelah, panasnya matahari, dinginnya hawa malam, hujan, bahaya-bahaya yang muncul dari alam, dan segala masalah yang secara langsung dihadapinya dan langsung diatasinya pula. Tidak ada masalah yang timbul dari pikiran, seperti dalam kehidupan masyarakat manusia, yang berisi kecewa, dendam, iri, benci, dan sebagainya yang kesemuanya menuntun kepada penderitaan dan kedukaan hidup.

Tidak dapat disangkal pula bahwa manusia adalah makluk yang paling pandai di antara semua makluk hidup dan telah memperoleh kemajuan yang amat hebat dalam masalah kebendaan, soal jasmaniah, soal lahiriah. Kemajuan-kenajuan pesat yang mentakjubkan telah dicapai oleh manusia dengan segala keajaiban tehnik.

Akan tetapi, sungguh sayang, kemajuan jasmaniah ini tidak disertai kemajuan rohaniah, kemajuan lahiriah tidak diimbangi dengan kemajuan batiniah. Bahkan sebaliknya malah! Justru kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang lahiriah ini seakan-akan menjadi penghambat kemajuan batiniah, bahkan sudah membuat manusia mundur dalam bidang rohani.

Bila mana kita membandingkan betapa beberapa ratus tahun yang lalu manusia masih menggunakan gerobak yang ditarik kuda dan kini manusia mempergunakan kendaraan-kendaraan bermesin yang hebat-hebat, bahkan bisa terbang dengan kecepatan melebihi suara, jelaslah bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat di bidang kebendaan di banding lahiriah. Akan tetapi, kalau kita bandingkan pula keadaan batiniah manusia ketika masih berkendaraan gerobak dengan batin manusia sekarang, jelas pula nampak bahwa di bidang ini kita mengalami kemunduran hebat!

Kejahatan makin merajalela. Permusuhan di antara manusia makin menghebat. Perang makin mengganas. Bunuh-membunuh makin menguasai seluruh negara di bagian dunia mana pun juga. Mengapa demikian? Apakah justru kemajuan lahiriah itu yang menyeret manusia mundur dalam bidang batiniah? Apakah kemajuan di bidang kebendaan itu telah mendatangkan kebahagiaan kepada manusia?

Kita dapat membuka mata melihat kenyataan dan jawabannya jelas: Tidak! Kemajuan di bidang kebendaan jelas tidak mendatangkan kebahagiaan. Bukan berarti bahwa kita tak semestinya maju dalam bidang kebendaan. Sama sekali tidak! Namun kita tidak pernah mau meneliti dan menyelidiki tentang kehidupan batiniah kita. Kita terlampau dibuai oleh kemajuan lahir yang semuanya ditujukan kepada pencapaian kesenangan yang sebesar dan sebanyak mungkin!

Kita lupa bahwa makin dikejar, kesenangan itu semakin mencengkeram kita, semakin membuat kita haus. Nafsu tak pernah dapat dipuaskan, karena sekali dituruti, akan terus menyeret kita supaya mendapatkan yang lebih banyak dan lebih besar lagi. Dan justru pengejaran kesenangan ini yang akhirnya menjerumuskan kita ke dalam segala bentuk kejahatan!

Seluruh kehidupan kita telah dikuasai dan dipengaruhi oleh hasrat yang satu, yaitu ingin senang! Hasrat ingin senang ini sampai-sampai menyelinap ke dalam soal-soal yang kita namakan bidang rohaniah, sehingga sebagian besar dari kita memasuki suatu agama, suatu partai, suatu golongan, suatu kelompok kebatinan, hanyalah terdorong oleh hasrat INGIN SENANG inilah!

Marilah kita membuka mata meneliti dan mengamati diri sendiri. Tidaklah di balik semua usaha kerohanian kita itu tersembunyi hasrat itu yang terselubung? Hasrat ingin menjadi orang baik, ingin bebas, ingin menjadi saleh, yang semuanya hanya merupakan bentuk terselubung dari hasrat INGIN SENANG.

Dan selama masih terdapat pamrih ingin senang, berarti semua tindakan yang berpamrih mementingkan diri sendiri sudah pasti akan mendatangkan konflik. Karena itu muncullah agamaKu, negaraKu, partaiKu, keluargaKu, kelompokKu, TuhanKu, dan selanjutnya yang semuanya hanya berdasarkan kepada kesenanganKu, oleh karena itu bila kesenanganku sampai diganggu, aku menjadi marah, benci, dan siap untuk membunuh atau dibunuh!

PERANG! INGIN SENANG! Apakah hidup ini lalu harus menjauhi kesenangan, menolak kesenangan lalu hidup bertapa di gunung-gunung, di goa-goa, atau mengasingkan diri di biara-biara. Sama sekali tidak demikian! Kita lupa bahwa menjauhi kesenangan seperti itu, bertapa dan sebagainya, pada hakekatnya juga masih MENCARI KESENANGAN dalam bentuk lain, menginginkan kesenangan yang kita anggap lebih luhur!

Segala macam bentuk pencarian, segala bentuk daya upaya, pada hakekatnya terdorong oleh rasa ingin senang itu, bukan? Baik kesenangan itu kita tingkat-tingkatkan sebagai kesenangan rendah, sedang atau tinggi atau luhur, tetap saja pada dasarnya kita ingin senang! Dan selama ada KEINGINAN untuk senang, maka sudah pasti timbul konflik, timbul pertentangan, sebab keinginan yang dihalangi akan menimbulkan kemarahan dan kebencian, keinginan yang tak tercapai akan menimbulkan kekecewaan dan kedukaan, sebaliknya keinginan yang tercapai tak akan mendatangkan kepuasan abadi, melainkan mendatangkan kepuasan sesaat saja yang kemudian ditelan oleh keinginan yang lebih besar lagi.

Kesenangan bukanlah hal yang jahat atau buruk. Manusia hidup berhak untuk senang! Kita mempunyai panca indra yang dapat merasakan kesenangan itu, dapat menikmati apa yang kita namakan kesenangan itu sehingga mata kita dapat menikmati keindahan setangkai bunga, telinga kita dapat menikmati kicau burung, hidung kita bisa menikmati keharuman bunga, mulut kita bisa menikmati asin, manis, gurih, dan sebagainya lagi.

Anugerah sudah berlimpah! Akan tetapi, segala kesenangan yang sesungguhnya bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan hidup ini, akan berubah menjadi kesenangan yang ingin kita ulang-ulangi, ingin kita peroleh sebanyak dan sebesar mungkin, selama kita MENYIMPAN pengalaman yang nikmat itu ke dalam ingatan kita!

Maka lahirlah keinginan untuk senang, dan muncullah pengejaran kesenangan! Semua ini dapat kita sadari sepenuhnya kalau kita waspada dan mau mengamati diri sendiri setiap saat tanpa penilaian, tanpa usaha mengubah, hanya mengamati saja penuh pengertian, penuh kewaspadaan, yaitu diri sendiri mengamati diri sendiri.


Sin Liong mengalami kebahagiaan karena hidup di antara para monyet itu, dia hidup saat demi saat, tidak lagi dibuai oleh pikiran yang mengingat-ingat dan mengenangkan segala hal yang telah lalu mau pun yang akan datang. Kalau lapar mencari makanan dan makan. Kalau lelah beristirahat, bila mengantuk tidur, kalau kepanasan atau kehujanan berteduh, habis perkara! Yang ada hanyalah tantangan-tantangan hidup yang muncul seketika dan ditanggulangi seketika pula. Tidak ada pikiran mengkhawatirkan masa depan dan tidak ada pikiran menyesali masa lalu.

Memang amat mengherankan kalau pada suatu pagi orang melihat seorang anak laki-laki yang tampan berkejar-kejaran dengan sekelompok monyet, berayun-ayun dan berloncatan tinggi sekali di puncak-puncak pohon dengan amat cekatan, ikut pula mengeluarkan suara teriakan-teriakan seperti monyet dan kadang-kadang melayang dari dahan yang tinggi ke dahan yang lebih rendah dengan luncuran tubuh yang menimbulkan rasa ngeri.

Kini tubuhnya sudah sembuh sama sekali dari pengaruh racun, sungguh pun hal ini sama sekali tak disadarinya. Sin Liong tidak tahu bahwa racun Hui-tok-san yang dimasukkan ke dalam tubuhnya oleh Kim Hong Liu-nio itu kini telah lenyap dan musnah oleh racun gigitan ular-ular merah dan bahwa dia telah bebas dari ancaman maut. Namun, Sin Liong sudah tidak mempedulikan lagi akan hal itu. Pagi hari itu dia sedang berloncatan dengan penuh kegembiraan, menuju ke bagian hutan di mana terdapat pohon-pohon yang berbuah.

Tiba-tiba terdengar pekik ketakutan dari seekor monyet, jauh di depan. Suara itu demikian mengejutkan bagi kawanan monyet itu dan juga bagi Sin Liong sehingga mereka semua seketika berhenti bergerak membuat semua dahan-dahan pohon yang tadinya bergoyang-goyang, mendadak berhenti sama sekali, suara mereka yang tadinya ramai dan gembira itu pun berhenti. Suasana menjadi sunyi dan para monyet itu kelihatan ketakutan, bahkan ada yang menggigil dan memeluk dahan pohon seperti ingin berlindung.

Kembali terdengar pekik dahsyat itu, dan para monyet makin ketakutan. Akan tetapi Sin Liong tiba-tiba mengeluarkan pekik dari kerongkongannya dan dia telah meloncat dengan gerakan cepat sekali, berloncatan dari pohon ke pohon sambil memekik-mekik. Melihat ini, timbul kembali keberanian para monyet itu dan mereka pun bergerak cepat mengejar Sin Liong sambil memekik-mekik.

Biar pun semua binatang, termasuk monyet, tidak pandai berbicara seperti manusia yang sudah mengembangkan ilmu bercakap-cakap sehingga menjadi sangat luas dan lengkap, sehingga setiap benda telah diberi nama atau kata tertentu, namun binatang-binatang itu pun memiliki cara saling berhubungan melalui suara. Oleh karena itu, setiap suara yang dikeluarkan oleh binatang apa pun, sudah tentu mempunyai maksud tertentu bagi jenis mereka.

Begitu pula dengan suara-suara pekik monyet, suara itu memiliki makna-makna tertentu dan karena sejak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, maka Sin Liong dapat menangkap makna dari suara-suara monyet itu. Pada saat mereka tadi mendengar pekik mengerikan dari seekor monyet, mereka maklum bahwa ada seekor monyet yang berada dalam ketakutan hebat, sedang menghadapi bahaya besar, lalu pekik-pekik selanjutnya memberi tahu kepada mereka bahwa monyet itu tengah berhadapan dengan musuh besar mereka yang amat ganas dan berbahaya, yaitu harimau!

Harimau merupakan raja hutan yang sangat ditakuti oleh para monyet itu, karena sudah sering kali harimau menerkam dan membunuh seekor di antara mereka. Kalau mereka sedang bergerombol dalam jumlah banyak, harimau-harimau itu tidak berani menyerang. Akan tetapi begitu ada monyet yang terpencil sendirian, apa bila bertemu harimau, tentu akan menjadi korban dan mangsanya. Maka, begitu mendengar pekik itu, tentu saja para monyet tadi menjadi ketakutan.

Akan tetapi, tentu saja Sin Liong berbeda dengan mereka. Anak ini sudah terlalu sering ditolong dan dlselamatkan oleh monyet-monyet itu, dan sebagai manusia yang memiliki daya ingatan kuat, tentu saja hal-hal ini membuat dia merasa berhutang budi dan timbul kesetia kawanan besar di dalam hati anak manusia ini.

Sebab itu, begitu rasa kaget dan ngerinya mereda, dia teringat bahwa ada seekor monyet terancam bahaya, maka dia melupakan segala rasa takutnya dan cepat lari menuju ke tempat itu. Dan para monyet itu agaknya baru sadar bahwa mereka berjumlah banyak dan tidak usah takut menghadapi musuh besar itu, maka mereka pun cepat mengejar dan mengikuti Sin Liong.

Sin Liong sudah meloncat turun dan benar saja, di depan terdapat seekor monyet besar yang sedang diserang oleh harimau. Monyet itu sudah luka-luka, akan tetapi dia melawan dengan nekat, berloncatan ke sana-sini dan berusaha untuk balas menggigit.

Melihat ini, Sin Liong marah sekali, dia mengeluarkan suara gerengan keras dan meloncat ke depan, lantas menerjang harimau itu dengan penuh keberanian, menggunakan kakinya menendang ke arah perut harimau dan tangannya menyambar ke arah ekor harimau yang panjang.

"Bukkk!"

Walau pun tendangan itu cukup keras, namun mengenai perut harimau seperti mengenai sekarung beras saja. Kaki anak itu membalik, tetapi Sin Liong sudah berhasil memegang ekor binatang itu dan membetotnya.

Harimau itu meraung, melepaskan monyet yang tadi sudah diterkamnya, lalu membalik, berusaha untuk mencakar manusia cilik yang memegangi ekornya. Akan tetapi Sin Liong cukup cerdik, dia memegangi ekor harimau itu dengan kedua tangan sekuat tenaga, tidak mau melepaskannya dan kadang-kadang kakinya menendang-nendang sekenanya, yang mengenai pantat dan kedua kaki belakang harimau yang menjadi makin marah. Harimau itu meraung-raung, menggereng-gereng, namun Sin Liong juga memekik-mekik nyaring.

Suara yang hiruk-pikuk itu agaknya sudah menarik perhatian harimau lainnya. Dari balik semak-semak muncul seekor harimau lain yang menggereng dan dengan loncatan tinggi, harimau ke dua ini menubruk dan menerkam Sin Liong dari belakang!

"Aughhhhh...!" Sin Liong berteriak kaget sekali, kedua pundaknya kena dicakar, bajunya robek dan kulitnya pecah-pecah.

Akan tetapi dengan sigap dia segera membalikkan tubuhnya, lantas menyusup ke bawah sehingga terlepas dari terkaman itu. Sin Liong sudah menerjangnya dengan tendangan-tendangan dan pukulan secara membabi-buta. Akan tetapi, tentu saja tendangan serta pukulannya tidak dapat merobohkan harimau yang buas dan kuat itu. Kembali Sin Liong menjadi korban cakaran-cakaran kuku harimau sehingga bajunya makin robek-robek tidak karuan, berikut kulitnya sehingga pakaiannya mulai berlumuran darah.

Baiknya, pada saat itu, rombongan monyet telah tiba dan mereka berloncatan turun. Kini jumlah mereka bertambah banyak karena tadi monyet-monyet lain yang sedang berada di lain tempat mendengar suara-suara itu dan mereka pun berdatangan. Melihat di bawah ada dua ekor harimau yang sedang menyerang Sin Liong dan seekor monyet lain yang sudah luka-luka parah, mereka mengeluarkan suara gerengan dan berloncatan turun, lalu mulailah terjadi pengeroyokan terhadap dua ekor harimau itu.

Kedua ekor binatang buas ini sudah menjadi ketakutan melihat munculnya begitu banyak monyet, maka ketika mereka diterkam dan dikeroyok, mereka meraung-raung, mencakar ke sana-sini, menggigit sana-sini, namun akhirnya kedua ekor binatang buas itu terpaksa melarikan diri sambil menggeram marah karena musuh terlampau banyak bagi mereka yang memang sudah merasa ketakutan.

Sin Liong duduk dengan lemas. Seperti beberapa ekor monyet lainnya, dia pun menderita luka-luka dan pakaiannya robek-robek. Dengan bantuan induk monyet besar, dapat juga dia memanjat pohon dan beristirahat di atas pohon, dirawat lagi oleh induk monyet besar dengan penuh kasih sayang, ada pun monyet-monyet lain yang luka-luka dapat merawat diri sendiri.

Demikianlah, untuk ke sekian kalinya, kembali Sin Liong hidup di antara monyet-monyet. Karena dia sudah pernah digembleng ilmu silat oleh ibunya, maka kini dia dapat menilai gerakan-gerakan para monyet itu yang amat cekatan dan gesit, dan mulailah dia dapat mengambil intisari dari gerakan-gerakan itu untuk dipakai berlatih ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

Mungkin karena anak ini dibesarkan dalam asuhan monyet, bahkan dihidupkan oleh air susu monyet, maka Sin Liong lebih dapat menangkap naluri monyet-monyet itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, dia telah menciptakan ilmu silat monyet yang lebih mendekati aslinya dari pada ilmu silat monyet yang sudah ada dalam partai-partai persilatan besar. Dia bisa bergerak dengan kecepatan laksana monyet asli, cara mengelak, cara meloncat, ketajaman pandang mata dan telinga, kecekatan kaki tangan.

Dan yang lebih dari semua itu, dia kini hidup bebas dan berbahagia karena dia tidak lagi mengenal persoalan-persoalan yang selalu memenuhi kehidupan manusia. Satu-satunya urusan baginya, seperti monyet-monyet yang lainnya, hanyalah menjaga dan memelihara diri, tubuh yang dimilikinya itu, dari ancaman luar, dan di dalam hubungan antara mereka dia memperoleh kebahagiaan.

Kini dia tidak hanya dapat mengerti, bahkan dapat merasakan mengapa seluruh binatang di dalam hutan, bila sudah bergerombol, menjadi demikian gembiranya, mengapa burung-burung berkicau indah di pagi hari, kupu-kupu beterbangan berkejaran di antara bunga-bunga, kijang dan kelinci berloncat-loncatan lucu. Mereka semua itu dapat bergembira, dapat hidup berbahagia, karena selain tubuh mereka sehat dan terasa enak, juga mereka tidak pernah dibebani pikiran yang menimbulkan kekhawatiran, penyesalan, kebencian, iri hati, pengejaran bayangan kesenangan dan sebagainya lagi.

********************

Kita tinggalkan dulu Sin Liong dalam dunianya yang menyenangkan itu, dan marilah kita tengok keadaan para penghuni Istana Lembah Naga. Seperti kita ketahui, keluarga Kui Hok Boan mengalami mala petaka besar pada waktu isteri dari orang she Kui ini tewas di tangan Kim Hong Liu-nio secara mengerikan.

Sungguh pun hatinya merasa cemburu dan marah sesudah mendengar kenyataan bahwa isterinya dulu pernah bermain cinta dengan pendekar Cia Bun Houw sehingga kemudian melahirkan Sin Liong yang disangkanya benar ditemukan oleh isterinya itu, namun hati orang she Kui ini berduka sekali oleh kematian Liong Si Kwi. Dia sudah jatuh cinta kepada isterinya yang tangan kirinya buntung itu.

Sebelum dia menikah dengan Si Kwi, Hok Boan adalah seorang petualang asmara yang belum pernah jatuh cinta. Semua perbuatannya terhadap wanita mana pun hanya didorong oleh nafsu birahi belaka. Oleh karena itu banyak wanita yang dia tinggalkan begitu saja setelah dia merasa puas kemudian menjadi bosan, dan di antara para wanita itu terdapat dua orang wanita yang akhirnya melahirkan keturunannya, yaitu dua orang anak laki-laki yang dibawanya ke Lembah Naga dan diakuinya sebagai keponakan.

Dia belum pernah jatuh cinta dan hanya ketika dia bertemu dengan Liong Si Kwi maka dia benar-benar jatuh cinta. Setelah dia menikah dengan Si Kwi dan mempunyai dua anak perempuan kembar itu, dia merasa betapa hidupnya sudah aman tenteram dan makmur. Keadaan ini menjinakkan sifat binalnya sehingga dia bisa hidup sebagai seorang laki-laki terhormat, sebagai seorang suami dan seorang ayah baik-baik.

Akan tetapi, siapa menduga akan datangnya mala petaka sehebat itu! Isterinya tewas di dalam tangan Kim Hong Liu-nio, seorang iblis betina yang amat lihai dan sampai bagai mana pun dia takkan mungkin melawannya. Kini dia kehilangan isteri yang dicintanya dan kembali dia hidup sebatang kara, bahkan kini dibebani dengan empat orang anak tanpa ibu!

Kedukaan akibat kehilangan isterinya itu agaknya tak akan menjadi terlalu berat bagi Hok Boan yang tentu akan dapat menghibur hatinya dan menghilangkan kesepiannya dengan mencari wanita lain yang dapat melayaninya. Apa lagi sekarang dia merupakan seorang yang kaya dan terhormat, maka kiranya akan banyak gadis baik-baik yang cukup cantik untuk menjadi isterinya dengan senang hati.

Akan tetapi yang membuat Hok Boan bingung adalah perintah yang datang dari raja liar Sabutai melalui utusannya yang mengerikan, Kim Hong Liu-nio, bahwa dalam waktu enam bulan dia harus pergi meninggalkan Lembah Naga! Inilah yang membuatnya menjadi agak bingung.

Tentu saja dia dapat mengungsi ke selatan dengan membawa empat orang anaknya dan hartanya. Akan tetapi dia tahu bahwa di selatan terdapat banyak musuh-musuhnya dan tentu kehidupannya akan berubah sama sekali, akan lenyap pula semua ketenteraman hidup yang selama ini dinikmatinya di dalam Lembah Naga.

Ikatan selalu menimbulkan duka. Kita hidup terbelenggu ketat oleh ikatan-ikatan hingga merupakan hal yang teramat sukar untuk dapat bebas. Kita terikat dan menyamakan diri atau menyatukan diri dengah isteri atau suami kita, dengan keluarga kita, kekayaan kita, kesenangan-kesenangan kita, nama kita, negara kita dan sebagainya. Dan sudah pasti bahwa kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah dari semua itu, timbullah duka.

Bagaimana terjadinya ikatan itu? Kenapa kita suka sekali untuk mengikatkan diri secara sadar mau pun tidak kepada semua itu?

Ikatan timbul apa bila kita menikmati suatu kesenangan dan menyimpan kesenangan itu di dalam ingatan, kemudian ingin seterusnya memiliki kesenangan itu. Kita mengalami kesenangan dalam hubungan dengan suami atau dengan isteri, dengan keluarga, dengan kekayaan dan sebagainya sehingga kita ingin memiliki mereka itu untuk selamanya, tidak mau terpisah lagi.

Padahal, tiada yang kekal di dunia ini dan perpisahan pasti tiba, sehingga timbullah rasa takut, kekhawatiran akan kehilangan, kemudian timbullah duka kalau kehilangan. Timbul pula rasa takut akan kematian, yaitu perpisahan terakhir di mana kita harus melepaskan semua yang telah mengikut kita itu!

Dapatkah kita hidup dengan mempunyai segala sesuatu secara lahiriah saja akan tetapi tidak memiliki sesuatu secara batiniah? Punyaku, suara lahiriah. Akan tetapi batin tidak memiliki apa-apa, bebas dan memberi kepada yang menjadi punya kita itu, tidak terikat. Bukan berarti acuh tak acuh, sebaliknya malah. Cinta kasih akan menjadi kotor dan palsu kalau disertai ikatan memiliki ini, karena ikatan ini timbul dari kesenangan yang kita dapat dari orang atau barang yang kita cinta itu!

Ikatan berarti bahwa kita hanya ingin memperalat yang kita cinta itu demi kesenangan kita sendiri. Ikatan timbul dari pengejaran kesenangan dan seperti kita ketahui bersama, pengejaran kesenangan menimbulkan konflik, permusuhan, kekecewaan, kebosanan kebencian dan sebagainya. Kalau sudah tidak ada lagi keinginan mengejar kesenangan, maka baru ada kemungkinan batin bebas dari ikatan! Dan kalau batin bebas dari ikatan, baru nampak sinar cinta kasih yang sejati.

Kui Hok Boan mulai berkemas, mengumpulkan semua harta bendanya yang sekiranya dapat dibawanya. Dia pun mulai memberi tahu kepada semua penghuni di sekitar daerah Lembah Naga akan perintah pengosongan tempat itu dalam waktu enam bulan dari Raja Sabutai.

Para petani menjadi bingung, akan tetapi mereka tidak segelisah Hok Boan. Mereka, para petani itu, adalah orang-orang miskin yang hidup sederhana. Kesederhanaan hidup telah membentuk watak mereka menjadi sederhana pula, keinginan mereka pun sederhana.

Mereka sudah biasa hidup serba kekurangan, maka perintah untuk pergi meninggalkan daerah Lembah Naga itu tidak terlalu menggelisahkan hati mereka. Tanpa tergesa-gesa, mulailah para penghuni itu mencari-cari tempat lain untuk pindah. Yang terpenting bagi mereka hanyalah tanah-tanah yang subur karena di mana ada tanah subur, mereka tidak khawatir untuk hidup. Dan tanah subur memang tidak banyak di utara, akan tetapi juga ada hal yang menguntungkan, yaitu bahwa tanah-tanah di utara itu masih belum dikuasai oleh pemilik-pemilik perorangan, masih merupakan tanah liar tak bertuan, sungguh pun merupakan daerah kekuasaan Raja Sabutai.

Pada sore hari itu, selagi Kui Hok Boan bercakap-cakap dengan beberapa orang tetangga yang datang untuk membicarakan mengenai perintah pengosongan Lembah Naga, empat orang anak itu berada di dalam taman. Mereka itu, Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin, juga bercakap-cakap akan tetapi yang mereka bicarakan adalah urusan kematian ibu kandung dua orang anak kembar itu dan terculiknya Sin Liong.

"Aku bersumpah bahwa kelak akan membunuh wanita iblis itu!" Lan Lan berkata sambil mengepal tinjunya.

"Aku juga!" Lin Lin berkata sambil menghapus air matanya karena kematian ibunya selalu memancing keluarnya air matanya kalau teringat olehnya.

Hening sejenak. Lan Lan dan Lin Lin menahan isak, sedangkan dua orang anak laki-laki yang melihat keadaan mereka itu pun ikut merasa berduka. Akhirnya Siong Bu berkata, "Jangan khawatir, Lan-moi dan Lin-moi, kelak aku pasti akan membantu kalian. Aku akan memperdalam ilmu silatku dan kelak aku akan menghadapi iblis betina itu!" kata Siong Bu penuh semangat.

"Kasihan sekali Sin Liong," Beng Sin berkata pula. "Entah bagaimana nasibnya di tangan iblis itu."

Disebutnya nama Sin Liong membuat empat orang anak itu kembali termenung. Tidak mereka sangka bahwa Sin Liong ternyata adalah anak kandung dari ibu Lan Lan dan Lin Lin! Jadi ‘anak monyet’ itu adalah saudara tiri kedua orang anak perempuan ini, saudara tiri seibu!

Siong Bu yang dulu sering kali memusuhi Sin Liong akibat iri hati, menarik napas panjang dan dia berkata, "Sin Liong benar-benar seorang yang gagah berani. Aku kagum sekali kepadanya."

"Dan dia adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menurut cerita bibi merupakan pendekar nomor satu saat ini di dalam dunia!" kata Beng Sin.

Kembali mereka diam dan tiba-tiba mereka berempat menengok ke kiri karena mendengar suara langkah kaki. Mereka terkejut sekali melihat seorang kakek tinggi besar sudah berdiri di situ, entah dari mana datangnya.

Kakek ini tubuhnya tinggi besar, kelihatan kuat sekali, pakaiannya sederhana, sepatunya juga tua berdebu, kain penutup kepalanya berwarna hitam, mukanya dipenuhi cambang bauk sehingga kelihatan gagah dan menyeramkan. Akan tetapi, suara laki-laki itu lembut ketika dia memandang kepada empat orang anak itu dan bertanya,

"Apakah di antara kalian ada yang mempunyai ayah bernama Kui Hok Boan?"

Siong Bu hendak mencegah, akan tetapi sudah terlambat, karena Lan Lan dan Lin Lin sudah menjawab, hampir berbareng, "Kui Hok Boan adalah ayah kami berdua!"

Kini Siong Bu cepat bertanya, "Siapakah lopek ini dan kalau ingin bertemu dengan paman Kui Hok Boan, silakan masuk melalui pintu depan. Saya akan memberi tahukan kepada paman bahwa lopek datang..."

"Heiii...!" Beng Sin berseru kaget ketika tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan sepasang langannya yang besar itu sudah menyambar ke depan dan tahu-tahu tubuh Lan Lan dan Lin Lin telah ditangkapnya.

"Kalian ikut bersamaku!" katanya kepada dua orang anak perempuan yang menjadi kaget setengah mati dan tidak keburu mengelak itu.

"Lepaskan mereka!" Siong Bu membentak dan menyerang kakek itu.

Kakek yang mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu mendengus, kakinya yang besar dan panjang melayang ke depan, menyambut serangan Siong Bu. Anak ini terkejut, berusaha untuk mengelak, tetapi dia kalah cepat dan tubuhnya sudah terkena tendangan sehingga terlempar ke belakang dan terbanting keras!

"Kau jahat...!" Beng Sin berseru kemudian juga menyerbu, akan tetapi tendangan ke dua membuat tubuhnya yang gendut itu terguling-guling.

"Lepaskan aku...!"

"Ayah, tolonggg...!" Lan Lan dan Lin Lin menjerit keras sekali.

Kakek itu terkejut dan cepat melepaskan mereka, menotok jalan darah mereka membuat kedua orang anak itu tidak mampu bergerak lagi, kemudian menyambar tubuh mereka, mengempit di kedua lengannya dan membawanya lari cepat sekali.

Melihat ini, Siong Bu dan Beng Sin berteriak-teriak sambil berusaha mengejar. "Paman...! Tolong cepat...! Lan-moi dan Lin-moi diculik orang...!" Demikian mereka berteriak-teriak.

Kui Hok Boan yang sedang berada di dalam bersama beberapa orang penduduk dusun yang menjadi tamunya, menjadi terkejut bukan main mendengar teriakan-teriakan ini. Dia cepat menyambar pedangnya dan melompat ke dalam taman.

"Apa yang terjadi? Mana Lan Lan dan Lin Lin?" teriaknya saat melihat kedua orang anak laki-laki itu menangis.

"Dilarikan orang... ke sana..." Siong Bu menjawab.

"Seorang kakek brewok... dia menculik mereka..." Beng Sin juga berkata dan mukanya yang bulat itu mewek-mewek.

Hok Boan tidak membuang waktu lagi, cepat dia lari keluar dari dalam taman, melakukan pengejaran. Akan tetapi dia sudah tidak melihat bayangan orang itu lagi. Sampai cuaca menjadi gelap, dia tetap tak berhasil menemukan jejak orang yang menculik kedua orang anaknya, maka tentu saja hatinya menjadi gelisah bukan main.

Dia lalu cepat kembali ke Lembah Naga, mengumpulkan semua anak-anak buahnya dan bersama anak buahnya, kembali dia memasuki hutan, mencari-cari anaknya yang diculik orang. Dua puluh orang lebih itu membawa obor di tangan, diangkat tinggi-tinggi sambil berteriak-teriak memanggil-manggil nama Lan Lan dan Lin Lin.

Akan tetapi sampai semalam suntuk mereka mencari, mereka tidak berhasil menemukan jejak penculik yang melarikan dua orang anak perempuan itu. Tentu saja hati Hok Boan menjadi gelisah bukan main dan dia terus mencari.

Siapakah sesungguhnya kakek gagah yang menculik dua orang anak perempuan itu? Dia adalah seorang guru silat yang bernama Ciam Lok yang tinggal di kota Ceng-tek sebelah utara kota raja. Nama Ciam Lok sebagai guru silat sudah terkenal juga di daerah itu dan Ciam-kauwsu ini dipercaya oleh para pembesar untuk mendidik anak mereka dengan ilmu silat. Sebagai seorang tokoh di dunia persilatan, tentu saja Ciam-kauwsu terkenal pula di antara orang-orang kang-ouw, bahkan pergaulannya luas sekali, baik dengan fihak orang kang-ouw mau pun liok-lim, kaum golongan sesat mau pun golongan bersih.

Tidaklah aneh Ciam-kauwsu menjadi kenalan baik dari Kui Hok Boan ketika Hok Boan merantau dan sampai di kota Ceng-tek. Ciam-kauwsu suka terhadap orang muda yang di samping lihai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal kesusasteraan itu.

Memang Hok Boan merupakan seorang pemuda yang pandai bergaul dan pandai pula mengambil hati. Karena dia memang memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu silat, maka Ciam-kauwsu amat suka bercakap-cakap dengan dia sehingga lambat laun pemuda itu menjadi sahabat baiknya. Sering kali Hok Boan bermalam di rumah guru silat itu dan tidak asing pula dengan keluarga Ciam-kauwsu.

Ciam-kauwsu mempunyai seorang anak gadis yang bernama Ciam Sui Nio, seorang gadis yang cukup manis dan tentu saja kemanisan wajah gadis ini tidak terlepas begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang mata keranjang itu. Dan Hok Boan dengan sangat mudah menundukkan hati gadis itu seperti dia sudah menundukkan hati ayah dan ibu gadis itu. Tidak aneh lagi kalau akhirnya terjadi hubungan cinta antara dia dengan Sui Nio dan hal ini tidak ditentang oleh keluarga Ciam karena memang Ciam-kauwsu menaruh harapan menarik Hok Boan sebagai mantunya.

Akan tetapi, keluarga ini tidak tahu bahwa pemuda yang menarik hati mereka itu adalah seorang pemuda bengal, seorang pria yang memandang semua wanita sebagai bahan untuk menyenangkan hatinya belaka. Bujuk rayu dan pikatan Hok Boan mengena, maka akhirnya gadis itu lupa diri dan jatuh ke dalam pelukannya, mau saja diperbuat apa pun oleh pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Dan hasilnya sungguh luar biasa bagi keluarga Ciam. Beberapa bulan kemudian, Sui Nio mengandung dan Hok Boan pergi tanpa diketahui lagi jejaknya! Tentu saja keluarga Ciam menjadi geger.

Ciam-kauwsu cepat mencari Hok Boan, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahui ke mana perginya pemuda petualang asmara itu. Sampai tiga hari lamanya Ciam-kauwsu pergi mencari pemuda itu tanpa hasil dan ketika dia pulang, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat betapa puterinya itu telah tewas karena menggantung diri! Puterinya telah menebus aib yang menimpa keluarga Ciam itu dengan nyawanya!

Ciam-kauwsu berduka sekali dan di dalam hatinya tumbuh dendam yang hebat terhadap Hok Boan. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, meski pun belum tentu dia kalah oleh pemuda she Kui itu, namun juga tidak akan mudah baginya untuk mengalahkannya.

Akan tetapi, Ciam-kauwsu tetap selalu melakukan penyelidikan untuk dapat menemukan tempat persembunyian pemuda itu dan akan ditantangnya untuk mengadu nyawa. Tetapi, pemuda itu lenyap seperti ditelan bumi dan tidak meninggalkan jejak sama sekali.

Sesudah dia hampir lupa dengan dendamnya karena sudah belasan tahun tidak pernah mendengar berita tentang Hok Boan, dan menganggap bahwa pemuda itu tentu sudah mati, tiba-tiba saja dia mendengar berita bahwa musuh besarnya itu sekarang telah hidup makmur di Lembah Naga, di luar Tembok Besar, sebagai seorang yang kaya raya, juga memiliki istana kuno, mempunyai isteri cantik dan mempunyai pula anak. Dendam yang hampir padam itu menyala kembali. Luka di hati yang sudah mulai sembuh oleh waktu itu berdarah kembali dan akhirnya Ciam Lok berangkat meninggalkan rumahnya, menuju ke utara, ke Lembah Naga.

Demikianlah, ketika dia melihat anak-anak di taman, kemudian mendengar bahwa dua orang gadis cilik kembar itu adalah anak-anak dari musuh besarnya, timbul akalnya untuk membalas dengan cara yang sama, yaitu dia hendak menculik anak-anak dari Hok Boan itu agar musuhnya itu dapat merasakan penderitaan hati seorang ayah yang kehilangan anaknya. Diculiknya dua orang anak itu dan dibawanya lari memasuki hutan.

Ciam-kauwsu mendengar akan pengejaran terhadap dirinya. Dia tengah berada di daerah kekuasaan musuh. Dia adalah seorang yang cerdik. Dia tahu kalau dia melawan dengan kekerasan, dan kalau hanya menghadapi Hok Boan seorang, belum tentu dia kalah. Akan tetapi kalau dia dikeroyok, belum tentu dia menang, bahkan mungkin sukar baginya untuk meloloskan diri dan dia tidak akan berhasil membalas dendam.

Oleh karena itu dia cepat menyelinap dan tidak melanjutkan larinya ke selatan, melainkan membelok ke timur lalu memasuki hutan yang lebih besar untuk menghindarkan diri dari musuhnya yang mengejar ke selatan. Dia ingin membalas dendam terhadap musuhnya dengan cara yang sama, yaitu memisahkan orang itu dari anak-anaknya!

Semalaman itu Ciam-kauwsu menghentikan larinya, hanya bersembunyi di dalam hutan. Dia melihat dari jauh betapa banyak sekali orang membawa obor dan mencari-cari. Dia menyumbat mulut dua orang anak itu dengan sapu tangan dan menotok tubuh mereka sehingga mereka berdua tidak mampu bergerak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melanjutkan larinya sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu terus ke timur.

Tubuhnya sudah terasa lelah akan tetapi hatinya lega karena dia tidak lagi melihat ada orang yang mengejarnya. Akan tetapi, pada saat dia melewati daerah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, tiba-tiba saja terdengar pekik dahsyat dari atas pohon.

Ketika dia menoleh, saat itu pula ada bayangan menyambar dari atas pohon, bayangan seorang anak laki-laki kecil yang pakaiannya compang-camping, rambutnya yang panjang dikelabang secara kasar. Anak ini meloncat seperti seekor kera saja cepat dan sigapnya, dari atas dahan pohon dan langsung menerkam punggung Ciam-kauwsu!

"Ehhhh...!"

Ciam-kauwsu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh dua orang anak perempuan itu tidak sempat mengelak lagi dan tahu-tahu anak laki-laki itu telah menerkam punggungnya dan memiting leher guru silat itu dengan lengan kanan, kemudian dia menggigit tengkuk Ciam-kauwsu! Siapakah anak laki-laki yang liar itu? Dia bukan lain adalah Sin Liong!
Selanjutnya,