Pendekar Lembah Naga Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SIAPAKAH wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dengan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia sudah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia.

Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih tampak cantik sekali, biar pun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, bagaikan seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali.

Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi kenapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai?

Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu pada waktu pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan.

Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para prajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia cerdik, setia, serta cekatan, akhirnya sang permaisuri merasa suka kepadanya, maka diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu.

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada saat itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan.

Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Dengan mengandalkan kekuasaannya, Raja Sabutai berhasil menyelamatkan subo-nya itu dari kematian dan membawa subo-nya untuk dirawat, pergi meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal.

Karena Hek-hiat Mo-li sudah tua, pikun, mempunyai watak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sulitlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga sangat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li.

Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas.

Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan sanggup melayaninya, dia kemudian ‘memperlihatkan’ kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil!

Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu beserta sri baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang mempunyai ilmu kepandaian seperti dewa!

Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, meski pun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apa bila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya tinggi sekali, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!

Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat ada dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu.

Mulailah nenek pikun ini mengajaknya bercakap-cakap, bahkan lalu menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya!

"Kau...? Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang semacam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka?" Nenek itu mentertawakan.

Kim Hong Liu-nio segera menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mau mendidik saya dan suka menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sulitnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang?"

Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali pada waktu mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!

"Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!" akhirnya dia berkata.

Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih perawan?"

Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk.

"Bagus! Aku telah menciptakan beberapa macam ilmu yang hanya dapat dipelajari secara sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang terlebih dulu engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, serta Cia yang kau temukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap semua keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh ketiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong beserta kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!"

Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio kemudian bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Selesai bersumpah, tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka.

"Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti di sana akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil, dan tahi lalat itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, maka engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itu pun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!"

Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti dan luar biasa keji. Dengan suara tenang dia kemudian mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya.

Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hik-hik, sekarang engkau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suheng-mu ke sini."

"Su... suheng...?"

"Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suheng-mu?" bentak nenek itu. "Hayo lekas minta supaya dia datang ke sini, sekarang juga."

Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suheng-nya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.

"Ehh, Kim Hong, kenapa engkau pergi meninggalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang?" sri baginda berkata dengan halus.

"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... oleh lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepada beliau sekarang juga..." Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut ‘subo’ kepada nenek itu.

Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka dia pun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subo-nya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li langsung berkata, "Ehh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."

"Sumoi...?"

"Heh-heh, dia itulah sumoi-mu!"

"Kim Hong...?" Sabutai terbelalak.

Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau-kalau raja marah dan merasa terhina, sebab itu dia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."

"Ihh, kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid macam apa kau ini?" Tiba-tiba nenek itu membentak.

Kim Hong Liu-nio terkejut, kemudian melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid..."

Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo? Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?"

"Huuh-huh-he-heh! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Apa bila musuh-musuh belum mati namun tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!"

Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."

Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua, mana bisa mengawasi dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa sangka, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan sudah memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.

Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih.

Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid dari Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang.

Apa lagi sesudah putera dari Raja Sabutai mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, ada pun nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai!

Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya? Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Khamila beserta suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu.

Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih sangat muda dan cantik jelita, belum memiliki keturunan. Waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar.

Pada waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaiti Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini sangat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan.

Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta ini pun belum pernah ada selirnya yang berhasil memperoleh keturunan, maka dia pun dapat menduga bahwa dirinyalah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini.

Pada saat dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan di dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan merasa malu mempunyai anak yang sebetulnya memiliki darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi dari pada kedudukannya sebagai raja liar.

Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta!

Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah berhasil lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.

Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas di dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu.

Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sebetulnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itu pun sang permaisuri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.

Meski pun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu menjadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subo-nya supaya digembleng kepandaian silat, maka dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan suci-nya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini.

Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini sudah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri!

Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu berhasil dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri.

Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, secara diam-diam Khamila memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap, Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkata,

"Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau sudah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku ini?" Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik.

Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda dari pada wajah sang permaisuri, sungguh pun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mukjijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua!

Kim Hong Liu-nio yang dahulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi orang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab. "Hamba ada mendengar sedikit mengenai hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak?"

Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah orang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan terkejut mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut ‘sute’ kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han bahkan pandai membaca dan menulis pula!

"Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka kepada hamba. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Dan perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba?"

"Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?"

"Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?"

"Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?"

"Hamba diperintah untuk menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda."

"Ehh? Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?"

"Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undangan itu nanti sesudah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang mampu mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."

"Ihhh... Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah sangat hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu?"

"Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw.

"Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengarlah, Kim Hong, aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?"

"Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba pasti akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba."

"Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, sesudah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kau ajak serta, kau antarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."

"Ahhhh...!" Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak diduganya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya. "Hamba... hamba... mendengarkan...," katanya.

"Aku mendengar bahwa saat ini kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim Hong."

"Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tak akan mudah untuk dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ahh, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu?"

Permaisuri Khamila tersenyum lembut, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."

Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan, "Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoi-ku sendiri, bahkan Oguthai adalah sute-mu juga. Sebab itu engkaulah yang bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"

"Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Selembar nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan.

Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw dengan menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran.

Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sute-nya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin ‘melatih’ sute-nya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan, kemudian sesudah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu.

Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw sudah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya, dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.

********************

"Sin Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah.

Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah disiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi semakin marah pada saat dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.

"Sin Liong, di mana kau? Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak.

Tiba-tiba saja terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu. "Gi-hu memanggil saya? Saya berada di sini..."

Hok Boan berlari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong sedang duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!"

Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon lalu berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkatnya ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi.

"Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kau andalkan? Hayo siapa?!" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya!

Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini sangat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja apa bila dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.

"Kau tidak lekas berlutut minta ampun?!" kembali Hok Boan menghardik, semakin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi.

Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apa lagi minta ampun.

"Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak.

Dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong hingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan pada waktu dia mendorong melangkahi anak tangga, Sin Liong terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, serta Beng Sin memandang dengan mata terbelalak!

Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajarnya di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga supaya dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar.

"Mana Siong Bu?" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak. "Suruh dia ke sini!"

"Dia tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.

"Dia tadi berlari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan.

Mendengar ini, semakin kasihanlah rasa hati Bok Hoan kepada Siong Bu, dan semakin marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo lekas kau berlutut dan minta ampun!" bentaknya.

Cambuk rotan yang berada di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengarlah bunyi cambuk menyambar kemudian menimpa punggung Sin Liong, suaranya amat nyaring dan bertubi-tubi.

"Hayo berlutut!" bentak Hok Boan.

Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, sepasang tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis.

"Tar-tar-tar-tar!" Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya.

Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras sebab rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apa lagi berlutut minta ampun!

"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!"

Hok Boan menjadi semakin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang!

Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka. "Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak.

"Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis.

Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apa lagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Ia melihat warna merah dari balik pakaian Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentulah sudah pecah-pecah berdarah!

"Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia...," anak gendut itu pun minta ampun sambil berlutut.

Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi pada waktu Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia tertegun, terheran dan agak bingung.

"Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!"

Hok Boan terkejut, juga ketiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, mukanya amat pucat, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak mempedulikan segala yang terjadi, juga tidak mempedulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak.

"Siong Bu! Ada apa...?" Hok Bow bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.

"Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... tadi mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.

Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Sungguh tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut!

"Bicaralah yang jelas!" bentaknya dan sekarang dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah terjadi?"

Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata,

"Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, amat sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka itu membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang sangat indah, dikawal oleh belasan orang prajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu betul-betul menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis..."

Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya, "Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?"

"Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan ketiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!"

Sekarang yakinlah Hok Boan bahwa memang betul wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengerian hatinya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut.

"Mengapa engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Di sini tidak ada seorang pun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Janganlah kau terlampau mudah ketakutan, Siong Bu..."

"Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?"

Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan jari telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu...?!" bentaknya.

"Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."

Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia...?"

Hok Boan cepat-cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biar pun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang.

Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu kini usianya sudah bertambah sebelas tahun!

Cepat Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut, "Aihhh, kiranya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"

Akan tetapi wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, dan sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.

"Siapakah yang memiliki she Cia?" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!

Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, dan hal ini sungguh sangat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya.

Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong.

Walau pun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.

"Tidak... tidak ada yang she Cia...," kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya.

"Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?" Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan.

"Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?"

"Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo mengaku, siapa she Cia di antara kalian?"

Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia itu. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu.

Bukankah wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan Cia? Mengapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu? Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut!

"Hayo cepat katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!" Wanita itu kembali melayangkan pandangan matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian.

Kim Hong Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki tetapi sedikit pun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa kulit punggungnya pecah-pecah dan berdarah!

Dia lalu menoleh pada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio lalu mendapatkan akal.

"Hayo katakan, jika tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil menghampiri Siong Bu.

Anak laki-laki yang tadinya memang telah merasa amat ngeri dan ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini kedua kakinya menggigil dan wajahnya menjadi pucat sekali.

"Bukankah engkau yang tadi bilang tentang orang she Cia? Hayo katakan, di mana dia, jika tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Sambil berkata demikian, Kim Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu.

Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepala tidak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin heran dan juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat kepada dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi kenapa sekarang, biar pun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu? Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat!

"Harap jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba saja Hok Boan berseru dan cepat melangkah maju menghampiri wanita itu.

Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu dengan perlahan-lahan membalikkan tubuh, tersenyum sambil mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau berani menentangku, ya? Kau kira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga apa bila aku menghendaki? Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?"

"Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak memiliki hubungan dengan musuh-musuhmu..."

"Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?"

Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biar pun dia tahu bahwa wanita ini amat lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu, mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.

"Apa yang akan dilakukan orang bila keluarganya diganggu? Tentu saja dia akan melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat sedikit.

"Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kau warisi dari Go-bi-pai itu amat lihai. Nah, coba kau hadapi seranganku, apakah engkau sanggup bertahan sampai sepuluh jurus?"

"Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."

"Cukup! Lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai sepuluh jurus!"

Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai dari pada pamannya, maka kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini, agaknya mereka tidak akan kalah.

"Ke mana kau?" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu.

Melihat ini, terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka apa pun.

"Kouwnio, engkau terlampau mendesak orang!" Hok Boan berseru marah setelah melihat keponakannya, yang sebenarnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu.

"Hemmm… ini adalah Hek-wan Hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai, bukan? Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." kata Kim Hong Liu-nio sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu.

Hok Boan terkejut karena baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya. Akan tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak peduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan lihai sekali, dia pun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh.

"Ehh? Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) untuk membunuh aku? Hemm, kau harus dihajar!"

Memang Hok Boan telah mempergunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya sudah mengenal ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya dari samping.

"Plakkk!"
"Aughhh...!" Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar!

"Berani kau melukai suamiku?" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru saja tiba di tempat itu.

Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong tentu akan dihajar, akan tetapi dia pun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam kamarnya.

Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin, dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jeritan dua orang anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi.

Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut sekali dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak berubah sejak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan tetapi pada saat dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah sekali. Tidak peduli wanita itu utusan Raja Sabutai, bila kini mengganggu keluarganya, maka harus dilawannya. Karena itu dia sudah membentak marah dan menerjang wanita itu dengan pedangnya!

Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu wanita ini adalah seorang ahli menggunakan siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung, dia hanya mempergunakan pedang tunggal, namun dengan menguasai Ilmu Im-yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat.

Apa lagi karena Si Kwi terkenal dengan ginkang-nya sehingga dulu dia pernah mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang sangat cepat seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian warna merah. Maka kini serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali.

Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan mulutnya berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kau pergunakan?"

Dengan sangat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang serta gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi.

"Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?"

Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya, akan tetapi mengangkat sedikit tangan kirinya.

"Cringgg...!"

Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Tadi pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil berjumlah belasan buah. Gelang-gelang kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan main!

Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan dia pun menghentikan serangannya.

"Mengapa engkau menyerang suamiku?" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia pun akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya.

"Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu keluarga kami yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tak akan mampu menghadapi wanita ini.

Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Karena itu lebih baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah.

Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia?"

Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini. "Orang she... Cia...? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio?" tanyanya dengan wajah berubah pucat.

Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu. "Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini?" tanyanya, suaranya penuh ancaman.

Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut sebagai nyonya buntung. Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang sehingga dia pun tidak mempedulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini tidak ada yang she Cia!" jawabnya tegas.

Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah orang she Cia di sini?"

Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!" jawabnya dengan suara tegas pula.

Kim Hong Liu-nio juga memandang tajam kepada laki-laki ini, baru kemudian dia menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak.

"Adik manis, siapakah orang she Cia di sini?"

Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu... tidak ada she Cia..."

Kim Hong Liu-nio lalu berpaling kepada Lin Lin yang menundukkan muka. "Dan kau, nona cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?"

Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan menjawab, "Tidak tahu, tidak ada she Cia."

Kim Hong Liu-nio segera memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tak ada harganya bagi dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali,

"Kau, bocah gemuk. Siapa orang she Cia di sini?"

"Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan tegas, lalu menundukkan mukanya.

Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-gerik wanita itu, sekarang ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya.

"Sekarang engkau, yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini?"

Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat-cepat dia menundukkan muka pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong.

Kembali Sin Liong merasa terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapa pun juga, ternyata keluarga ini tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini segera mendatangkan perasaan demikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan wajahnya berseri-seri, rasa nyeri pada punggungnya lenyap tak terasakan lagi!

Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang sangat mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang karena dia yang sejak dulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu terkandung ancaman maut mengerikan.

Senyum itu melebar sehingga sekilas pandang nampak gigi putih kemilau di balik belahan bibir merah basah itu, lantas bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia, "Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa, barulah kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tentu tidak akan menjadi manis lagi kalau ujung hidungnya kupotong...!"

Cepat laksana kilat, tahu-tahu tangannya telah mencengkeram pundak Lan Lan kemudian diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit.

"Akulah orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras.

Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan sinar penuh kemarahan.

"Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she Cia yang kau cari-cari!"

Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong dengan mata bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman. Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata yang mencorong seperti mata anak naga itu.

"Liong-ji...!" Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan taruhan nyawa.

Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai bukan main dan baik ibu angkatnya mau pun ayah angkatnya bukanlah tandingan wanita itu.

"Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali.

Si Kwi terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui Hok Boan, sedikit pun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak lain!

"Benarkah engkau she Cia?" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat keberanian anak ini.

"Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku sendiri tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong amat pendiam dan tak banyak bicara. "Karena itu engkau tentu mau mengatakan pula mengapa engkau mencari orang she Cia?"

"Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio.

"Mengapa? Apa salahnya orang-orang she Cia?" tanya pula Sin Liong.

"Anak kecil mau mampus, kau tahu apa?! Bersiaplah untuk mampus!"

"Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu itu tak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan? Kalau kau memang gagah berani, hayo kau hadapi ayahku yang juga she Cia, barulah seimbang!"

"Monyet kecil, siapa ayahmu?" Kim Hong Liu-nio membentak marah.

Dia tidak tahu bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet. Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki.

"Dan kau srigala betina besar! Kau mau tahu ayahku? Ayahku adalah pendekar terhebat di dunia ini dan kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada srigala betina yang kejam seperti engkau ini!"

Kim Hong Liu-nio hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar dan terdengarlah bunyi nyaring.

"Prakkk…!"

Ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin.

"Liong-ji, jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya.

"Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!"

"Huh, karena berada di sini maka engkau enak saja mengancam hendak membunuh aku, coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutku pun engkau tak akan mampu. Aku menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu, biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu. Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka engkau ini tiada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beraninya hanya mengganggu orang-orang lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!"

"Liong-ji...!" Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara seperti itu di depan wanita ini!

Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang, seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berani berbicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai sendiri tidak pernah menghina dirinya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa akan amarahnya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa!

"Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tak dapat membunuh ayahmu dan nenek moyangmu, selamanya aku tidak mau memakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!" Wanita itu akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai hatinya mengkal sekali, dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang.

"Bresss!"

Kaki Kim Hong Liu-nio kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas lantai dengan pengerahan sinkang, kaki itu langsung amblas sampai hampir selutut dalamnya!

Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum. Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman!

"Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau kau mau tahu!" Sin Liong berkata sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu.

"Ahhhhh...!" Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi terkejut setengah mati dan terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong.

Tentu saja dia sudah mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw, bulu tengkuknya langsung meremang.

"Bohong!" Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw? Huh, siapa percaya omonganmu? Jangan kira engkau akan bisa menakut-nakuti orang dengan nama Cia Bun Houw yang kau akui sebagai ayahmu!"

Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan dua tangan bertolak pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong hanya untuk menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw! Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi awas, aku akan mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai engkau berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran lagi apa bila kau sudah menggelinding mampus di depan kaki ayahku!"
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 08

Pendekar Lembah Naga Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SIAPAKAH wanita cantik dan anak laki-laki yang tampan dan lihai itu? Pernah diceritakan di bagian depan cerita ini bahwa sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pesta pernikahan di Istana Lembah Naga, pernikahan antara Liong Si Kwi dengan Kui Hok Boan, muncul wanita cantik ini di dalam pesta di mana secara mengerikan dia sudah membunuh enam orang di antara para tamu yang mempunyai she Tio, Yap, dan Cia.

Wanita ini adalah yang menjadi utusan Sabutai itu, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio, yang memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan. Sekarang dia masih tampak cantik sekali, biar pun usianya sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun sekarang, masih cantik dan agung, bagaikan seorang puteri raja saja, sikapnya angkuh, dingin, akan tetapi tahi lalat kecil di dagunya itu membuat dia nampak manis sekali.

Siapakah sebenarnya Kim Hong Liu-nio ini? Melihat wajahnya dan suaranya ketika bicara tadi, jelas bahwa dia adalah seorang wanita bersuku Han. Akan tetapi kenapa dia menjadi utusan raja liar Sabutai?

Kim Hong Liu-nio adalah seorang dayang atau pelayan wanita yang amat disayang oleh Permaisuri Khamila, yaitu isteri Raja Sabutai. Dia adalah seorang wanita Han yang ketika kecilnya menjadi tawanan perang, yaitu pada waktu pasukan Raja Sabutai menyerbu ke selatan.

Karena Raja Sabutai tertarik melihat kecantikan anak yang ketika itu baru berusia belasan tahun, maka dia tidak dibunuh, tidak pula dijadikan korban perkosaan oleh para prajurit dan perwira seperti yang menjadi nasib para wanita tawanan perang. Bahkan dia ditarik ke dalam istana dan dijadikan dayang. Karena ternyata dia cerdik, setia, serta cekatan, akhirnya sang permaisuri merasa suka kepadanya, maka diangkatlah dia menjadi dayang yang melayani sang permaisuri yang amat tercinta itu.

Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Raja Sabutai mempunyai dua orang guru yang memiliki kepandaian luar biasa, merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingannya pada saat itu. Mereka berdua itu adalah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang kakek dan nenek iblis yang tadinya berasal dari Negara Sailan.

Dalam pertempuran mereka menghadapi para pendekar sakti, Pek-hiat Mo-ko tewas dan Hek-hiat Mo-li terluka parah. Dengan mengandalkan kekuasaannya, Raja Sabutai berhasil menyelamatkan subo-nya itu dari kematian dan membawa subo-nya untuk dirawat, pergi meninggalkan Istana Lembah Naga di mana tadinya kakek dan nenek iblis itu tinggal.

Karena Hek-hiat Mo-li sudah tua, pikun, mempunyai watak aneh, suka marah dan mudah membunuh orang begitu saja, maka sulitlah untuk merawat dan melayaninya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sekali itu dapat merawatnya dengan baik sehingga sangat menyenangkan hati nenek itu dan akhirnya dayang inilah yang ditugaskan untuk merawat Hek-hiat Mo-li.

Kim Hong Liu-nio memang cerdik bukan main. Semenjak dia menjadi tawanan kemudian menjadi dayang, dia selalu mencari jalan untuk dapat meningkatkan kedudukannya dan akhirnya dia berhasil menjadi dayang kesayangan permaisuri, dan hal ini tentu saja sudah merupakan kemajuan besar karena kedudukannya menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dayang-dayang istana yang biasa. Namun dia belum juga puas.

Dia tahu bahwa nenek seperti iblis itu adalah guru dari sri baginda sendiri, maka tentu saja merupakan seorang yang amat terhormat dan disegani semua orang. Dan dia sendiri selama ini telah rajin berlatih silat dari para pelatih silat yang biasa melatih para pengawal di istana. Dia sendiri suka akan ilmu silat, maka melihat nenek itu terluka dan dirawat di istana, melihat betapa jarang ada yang berani dan sanggup melayaninya, dia kemudian ‘memperlihatkan’ kesetiaannya, menawarkan diri untuk merawatnya! Dan dia berhasil!

Kim Hong Liu-nio melihat kesempatan baik sekali baginya. Bukan saja kesempatan untuk membikin senang hati nenek itu beserta sri baginda, akan tetapi juga kesempatan untuk mempelajari ilmu kesaktian karena dia tahu bahwa Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek luar biasa yang mempunyai ilmu kepandaian seperti dewa!

Memang harus diakui bahwa wanita muda itu memang cerdik bukan main. Bukan hanya ilmu silat yang menariknya mendekati Hek-hiat Mo-li, meski pun memang dia ingin sekali menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi lebih dari itu, apa bila dia bisa menjadi murid nenek itu, berarti dia menjadi adik seperguruan Sri Baginda Sabutai sendiri dan hal ini tentu saja akan mengangkat derajatnya tinggi sekali, dari seorang dayang menjadi adik seperguruan raja!

Dan dia memang berhasil menyenangkan hati nenek itu. Hek-hiat Mo-li adalah seorang nenek yang sudah pikun, maka melihat ada dayang yang merawatnya penuh ketekunan, melayaninya dan merawatnya ketika dia masih menderita sakit sehingga dia berak dan kencing di atas pembaringan, dibersihkan dan dicuci, dimandikan oleh dayang ini, hatinya tertarik sekali dan dia menjadi suka kepada dayang itu.

Mulailah nenek pikun ini mengajaknya bercakap-cakap, bahkan lalu menceritakan tentang sakit hatinya terhadap para musuhnya. Menyatakan betapa dia sudah terlalu tua sehingga sakit hatinya itu tentu akan dibawanya sampai mati tanpa terbalas, karena muridnya yang hanya seorang, yaitu Sabutai, adalah seorang raja yang tidak mungkin mengurus urusan pribadi. Mendengar ini, secara cerdik sekali Kim Hong Liu-nio lalu menawarkan diri untuk mewakili nenek itu membalas musuh-musuhnya!

"Kau...? Hi-hi-hi-hi! Tiga orang musuh besarku itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Orang semacam engkau mana mampu mewakili aku untuk membunuh mereka?" Nenek itu mentertawakan.

Kim Hong Liu-nio segera menjatuhkan diri berlutut. "Kalau locianpwe mau mendidik saya dan suka menurunkan semua kepandaian locianpwe kepada saya, apa sulitnya bagi saya untuk membunuh mereka sehingga kelak locianpwe boleh naik ke alam baka dengan hati tenang?"

Hek-hiat Mo-li terbelalak, berpikir dan akhirnya dia mengangguk-angguk. "Hendak kulihat dulu bakatmu!" Dia lalu mencoba dan menyuruh wanita itu mainkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Hatinya girang sekali pada waktu mendapatkan kenyataan bahwa Kim Hong Liu-nio ternyata memiliki bakat yang amat baik!

"Baik! Kau berlututlah dan bersumpahlah! Aku menerimamu menjadi muridku!" akhirnya dia berkata.

Kim Hong Liu-nio ketika itu berusia dua puluh tahun lebih dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan pembaringan nenek itu. Hek-hiat Mo-li terkekeh, lalu mengelus kepala muridnya dan tiba-tiba bertanya, "Engkau masih perawan?"

Pertanyaan ini tentu saja amat mengejutkan dan mengherankan hati gadis itu, dan juga membuat pipinya menjadi merah sekali karena malu. Akan tetapi dia mengangguk.

"Bagus! Aku telah menciptakan beberapa macam ilmu yang hanya dapat dipelajari secara sempurna oleh perawan-perawan dan jejaka-jejaka. Sekarang terlebih dulu engkau harus bersumpah bahwa kelak engkau akan membunuh semua orang she Yap, Tio, serta Cia yang kau temukan, dan kau tidak akan berhenti melakukan pembunuhan terhadap semua keturunan tiga she itu sebelum engkau berhasil membunuh ketiga orang musuh besarku, yaitu Yap In Hong beserta kakaknya Yap Kun Liong, Cia Bun Houw, dan Tio Sun. Hayo bersumpahlah...!"

Sambil berlutut, Kim Hong Liu-nio kemudian bersumpah menurutkan kata-kata nenek itu. Selesai bersumpah, tiba-tiba gadis itu merasa dagunya sakit sekali ketika tangan nenek itu menyambar, kepalanya pening dan dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia merasakan dagunya masih amat sakit. Dia merabanya dan ternyata dagunya terluka.

"Biarkan saja, sudah kuobati. Nanti di sana akan tumbuh sebuah tahi lalat kecil, dan tahi lalat itu adalah tanda bahwa engkau masih perawan. Sekarang bersumpahlah lagi bahwa sebelum kau berhasil membunuh tiga orang musuh besarku itu, maka engkau tidak boleh menikah! Dan awas, sekali saja engkau melanggar pantangan itu dan keperawananmu lenyap, tentu tahi lalat di dagumu itu pun akan lenyap dan aku akan membunuhmu!"

Bukan main kagetnya hati gadis itu. Akan tetapi dia tahu bahwa nenek ini memang amat sakti dan luar biasa keji. Dengan suara tenang dia kemudian mengucapkan sumpahnya lagi bahwa dia tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh tiga orang musuh besar dari gurunya.

Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati senang. "Hi-hik-hik, sekarang engkau menjadi muridku, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan dapat melepaskan diri dari sumpahmu. Hayo lekas panggil suheng-mu ke sini."

"Su... suheng...?"

"Raja Sabutai itu! Siapa lagi dia kalau bukan suheng-mu?" bentak nenek itu. "Hayo lekas minta supaya dia datang ke sini, sekarang juga."

Bukan main girang dan bangganya rasa hati gadis itu. Raja Sabutai adalah suheng-nya! Dia mengangguk lalu berlari ke luar, terus memasuki istana Raja Sabutai. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani selancang itu dan setelah tiba di depan sri baginda tetap saja dia bersikap hormat seperti biasanya.

"Ehh, Kim Hong, kenapa engkau pergi meninggalkan subo dan datang menghadap tanpa diundang?" sri baginda berkata dengan halus.

"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Hamba diutus oleh... oleh lo-thai-thai (nyonya tua) untuk minta paduka suka datang kepada beliau sekarang juga..." Tentu saja dia tidak berani lancang menyebut ‘subo’ kepada nenek itu.

Raja Sabutai mengenal watak gurunya yang aneh, maka dia pun bergegas pergi bersama Kim Hong Liu-nio memasuki kamar subo-nya. Begitu dia masuk, Hek-hiat Mo-li langsung berkata, "Ehh, sri baginda, sekarang engkau mempunyai seorang sumoi."

"Sumoi...?"

"Heh-heh, dia itulah sumoi-mu!"

"Kim Hong...?" Sabutai terbelalak.

Kim Hong Liu-nio merasa jantungnya berdebar tegang. Dia takut kalau-kalau raja marah dan merasa terhina, sebab itu dia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan tanpa berani mengangkat muka dia lalu berkata, "Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Hamba mendengar penuturan... lo-thai-thai..."

"Ihh, kau menyebut nyonya tua kepadaku? Murid macam apa kau ini?" Tiba-tiba nenek itu membentak.

Kim Hong Liu-nio terkejut, kemudian melanjutkan kata-katanya, "...subo bercerita tentang musuh-musuh beliau dan hamba merasa kasihan, maka hamba menawarkan diri untuk mewakili subo membalas sakit hati itu... lalu subo mengangkat hamba menjadi murid..."

Raja Sabutai menoleh kepada nenek itu. "Subo, apakah dia pantas menjadi murid subo? Apakah kelak dia tidak akan mengecewakan dan memalukan kita?"

"Huuh-huh-he-heh! Sri baginda lihat saja, beberapa tahun lagi kepandaiannya sudah akan melampaui tingkat kepandaianmu sendiri, hi-hik-hik! Dan pula dia sudah bersumpah akan membunuh empat orang she Yap, Cia dan Tio itu. Sri baginda saya panggil ke sini untuk menjadi saksi. Lihatlah tahi lalat di dagunya itu, sekarang merupakan luka, beberapa hari lagi akan tumbuh tahi lalat di situ sebagai tanda keperawanannya. Dia bersumpah tidak akan menikah sebelum berhasil membunuh musuh-musuh kita dan kalau aku sudah mati, harap sri baginda mengawasinya. Apa bila musuh-musuh belum mati namun tahi lalat itu lenyap, berarti dia melanggar sumpah dan harus dibunuh!"

Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Jangan khawatir, subo, aku akan mengamatinya."

Diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Ketika dia tadi bersumpah, memang timbul perasaan mengejek di dalam hatinya. Nenek itu sudah tua, mana bisa mengawasi dia terus? Dan tentang tahi lalat tanda keperawanan itu tentu tidak akan ada orang lain yang tahu. Siapa sangka, nenek iblis itu kini membuka rahasia ini kepada Raja Sabutai, bahkan sudah memesan kepada raja itu untuk mewakilinya menghukum kalau dia berani melanggar sumpahnya.

Demikianlah, mulai hari itu Kim Hong Liu-nio menjadi murid Hek-hiat Mo-li dan ternyata dia memang berbakat baik sekali. Dia masih bersikap hormat kepada raja, dan hanya di depan gurunya saja dia berani menyebut suheng kepada raja. Di tempat biasa, dia masih bersikap sebagai seorang dayang terkasih.

Akan tetapi, semua orang dari pelayan terendah sampai panglima tertinggi tahu belaka, bahwa dayang ini adalah murid dari Hek-hiat Mo-li, adik seperguruan raja dan mempunyai ilmu kepandaian yang sangat hebat, maka tentu saja semua orang menghormatinya dan tidak ada yang memperlakukannya sebagai seorang dayang.

Apa lagi sesudah putera dari Raja Sabutai mulai dilatih ilmu silat, maka pengaruh Kim Hong Liu-nio lebih besar lagi. Dialah yang diserahi tugas untuk mendidik anak laki-laki itu! Anak laki-laki itu bukan lain adalah Ceng Han Houw, putera tunggal dari Raja Sabutai. Nama Ceng Han Houw adalah nama pemberian dari Khamila, ibu kandung anak itu, ada pun nama pemberian ayahnya adalah Pangeran Oguthai!

Mengapa Permaisuri Khamila memberi nama Ceng Han Houw kepada puteranya? Hal ini ada rahasianya yang hanya diketahui oleh Permaisuri Khamila beserta suaminya sendiri, yaitu Raja Sabutai. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan peristiwa itu yang terjadi belasan tahun yang lalu.

Ketika itu, Raja Sabutai dan isterinya yang tercinta, yang masih sangat muda dan cantik jelita, belum memiliki keturunan. Waktu itu, Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng, yang baru berusia dua puluh tiga tahun, dijebak oleh kecurangan dan pengkhianatan seorang pembesar.

Pada waktu melakukan perjalanan ke utara, kaisar muda ini telah menjadi tawanan raja liar, yaiti Raja Sabutai dan ditahan di daerah liar di utara. Kaisar Ceng Tung yang muda itu memperlihatkan sikap gagah perkasa, dan hal ini sangat menarik dan mengagumkan hati Raja Sabutai. Kaisar Ceng Tung tidak dibunuh oleh Sabutai karena memang hendak dijadikan sandera kalau dia menyerbu ke selatan.

Ketika itu, Raja Sabutai merasa berduka dan kecewa karena dari permaisurinya yang amat cantik dan tercinta itu, dia belum juga memperoleh keturunan. Karena sejak dahulu sebelum menikah dengan isteri tercinta ini pun belum pernah ada selirnya yang berhasil memperoleh keturunan, maka dia pun dapat menduga bahwa dirinyalah yang tidak dapat memberikan keturunan kepada permaisurinya yang tercinta itu. Padahal dia ingin sekali mempunyai anak dari permaisurinya terkasih ini.

Pada saat dia kelihat kegagahan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanannya, timbullah rencananya yang amat luar biasa. Dia hendak menggunakan kaisar yang dikaguminya itu agar dapat meninggalkan keturunan di dalam rahim permaisurinya, keturunan yang kelak akan menjadi anaknya secara resmi! Dia tidak akan merasa malu mempunyai anak yang sebetulnya memiliki darah kaisar yang besar dan gagah perkasa itu. Bahkan kedudukan kaisar itu masih jauh lebih tinggi dari pada kedudukannya sebagai raja liar.

Demikianlah, dengan sepengetahuannya, bahkan atas perintahnya, Permaisuri Khamila yang muda dan cantik jelita itu mendekati tawanan terhormat itu. Kemudian terjadilah hal yang tidak mengherankan mengingat bahwa keduanya masih sama muda dan keduanya merupakan pria dan wanita yang tampan dan cantik. Kedua orang muda itu saling jatuh cinta!

Kemudian, tepat seperti yang diharapkan oleh Raja Sabutai, permaisurinya mengandung, bahkan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Sementara itu, Kaisar Ceng Tung telah berhasil lolos dari tawanan dan kembali ke Tiong-goan untuk menjadi kaisar lagi.

Demikianlah cerita ringkas dari peristiwa itu yang dituturkan dengan jelas di dalam cerita Dewi Maut. Rahasia tentang diri anak yang kini bernama Pangeran Oguthai alias Ceng Han Houw itu hanya diketahui oleh ayah dan ibunya sendiri. Raja Sabutai memberi nama Oguthai kepada puteranya, diambil dari nama seorang pangeran gagah perkasa bangsa Mongol, putera ke tiga dari raja besar Jenghis Khan yang termashur itu.

Akan tetapi atas permintaan Permaisuri Khamila, anak itu diberi nama Ceng Han Houw. She Ceng diambilnya dari nama Kaisar Ceng Tung yang sebetulnya adalah ayah kandung dari anak itu, dan nama Han Houw adalah nama pemberian Kaisar Ceng Tung sendiri yang diam-diam disampaikan kepada bekas kekasihnya itu. Hal itu membuktikan bahwa sampai saat itu pun sang permaisuri itu masih belum dapat melupakan kekasihnya, ayah kandung dari anaknya.

Meski pun dia seorang raja, namun Sabutai adalah seorang yang suka akan kegagahan, maka tentu saja dia ingin melihat putera tunggalnya itu menjadi seorang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Oleh karena itu, semenjak masih kecil, Oguthai atau Ceng Han Houw itu oleh Raja Sabutai diserahkan kepada subo-nya supaya digembleng kepandaian silat, maka dengan sendirinya anak itu dekat sekali dengan suci-nya, Kim Hong Liu-nio yang kadang-kadang mewakili gurunya untuk melatih sang pangeran ini.

Demikianlah keadaan anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tampan dan lihai itu, yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, dan Kim Hong Liu-nio yang kini sudah menjadi seorang wanita yang luar biasa lihainya, dan tepat seperti apa yang pernah dijanjikan oleh Hek-hiat Mo-li kepada Sabutai, kepandaian Kim Hong Liu-nio kini sedemikian hebatnya sehingga sudah melampaui tingkat kepandaian Raja Sabutai sendiri!

Banyak ilmu-ilmu baru ciptaan nenek yang sudah tua renta itu berhasil dikuasai oleh Kim Hong Liu-nio, ilmu-ilmu yang sengaja diciptakan oleh Hek-hiat Mo-li bagi muridnya untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, ilmu yang bahkan Hek-hiat Mo-li sendiri tak mampu menguasainya karena tidak sempat lagi melatih diri.

Pada hari itu, Kim Hong Liu-nio diutus kembali oleh Raja Sabutai untuk pergi ke Lembah Naga dan dalam kesempatan ini, secara diam-diam Khamila memanggil Kim Hong Liu-nio menghadap. Setelah wanita yang masih bersikap sebagai dayang di depan permaisuri itu menghadap, Permaisuri Khamila lalu memegang tangannya dan berkata,

"Kim Hong, sebagai murid Hek-hiat Mo-li, kurasa engkau sudah tahu akan rahasia yang meliputi diri anakku, Oguthai. Benarkah dugaanku ini?" Permaisuri yang masih kelihatan cantik sekali itu memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan penuh selidik.

Wajah ini masih cantik dan muda, bahkan kelihatan lebih muda dari pada wajah sang permaisuri, sungguh pun usia Kim Hong Liu-nio pada waktu itu sudah tiga puluh lima tahun sedangkan usia sang permaisuri baru tiga puluh tahun lebih sedikit. Hal ini adalah karena Kim Hong Liu-nio menguasai suatu ilmu mukjijat yang diajarkan oleh gurunya, ilmu yang akan membuat dia tidak akan pernah nampak tua!

Kim Hong Liu-nio yang dahulu sebelum menjadi murid Hek-hiat Mo-li bersifat riang itu kini menjadi orang yang pendiam sekali, pendiam dan dingin akan tetapi terhadap permaisuri dia masih tetap menghormat. Dia berlutut dan menjawab. "Hamba ada mendengar sedikit mengenai hubungan sang pangeran dengan Kaisar Kerajaan Beng di selatan, akan tetapi mana hamba berani untuk mengetahui lebih banyak?"

Khamila tertunduk sejenak, lalu berkata lagi, "Kim Hong, engkau adalah orang yang amat setia, bahkan engkau masih terhitung saudara seperguruan dari sri baginda sendiri dan juga engkaulah yang membantu gurumu mendidik anakku, oleh karena itu tidak perlu lagi aku merahasiakannya. Ketahuilah bahwa Han Houw adalah keturunan Kaisar Ceng Tung dari Kerajaan Beng."

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio tidak kelihatan terkejut mendengar ini, karena memang dia telah dapat menduganya. Karena menduga itulah maka dia selalu menyebut ‘sute’ kepada Han houw, bahkan selalu mengajarkan Han Houw untuk berbahasa Han sehingga anak itu selain pandai limu silat, juga pandai pula berbahasa Han bahkan pandai membaca dan menulis pula!

"Hamba telah mendengarkan dan terima kasih atas kepercayaan paduka kepada hamba. Apakah maksud paduka dengan membuka rahasia ini? Dan perintah apakah yang hendak paduka berikan kepada hamba?"

"Aku mendengar bahwa engkau diutus ke selatan, ke Lembah Naga. Benarkah?"

"Memang benar demikian, apakah ada sesuatu yang harus hamba lakukan?"

"Engkau diperintahkan apa oleh sri beginda?"

"Hamba diperintah untuk menyampaikan kepada penghuni Lembah Naga bahwa dalam waktu setengah tahun mendatang ini, Lembah Naga harus dikosongkan karena Istana Lembah Naga akan dipakai oleh sri baginda."

"Ehh? Untuk apa istana tua yang sudah bobrok itu?"

"Setengah tahun lagi usia sang pangeran sudah genap lima belas tahun. Sri baginda berniat mengundang kepada seluruh tokoh di dunia kang-ouw dan di dalam undangan itu nanti sesudah mereka berkumpul, sri baginda akan memilih orang yang paling pandai di antara mereka, yaitu yang mampu mengalahkan hamba, untuk selanjutnya mendidik ilmu silat kepada sang pangeran."

"Ihhh... Apa perlunya itu? Kepandaianmu dan kepandaiannya sendiri sudah sangat hebat, dan masih ada Hek-hiat Mo-li yang mendidik puteraku. Mau dijadikan apa puteraku maka harus menerima pendidikan orang yang paling pandai di antara jagoan-jagoan itu?"

"Sri baginda ingin melihat sang pangeran menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan hamba yakin melihat bakatnya, bahwa hal itu pasti akan terlaksana," kata Kim Hong Liu-nio yang ikut merasa gembira dan bangga karena sesungguhnya dialah yang selama ini mendidik Han Houw.

"Aahhh, aku tidak mau tahu segala urusan tetek bengek itu! Dengarlah, Kim Hong, aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan aku minta engkau suka melaksanakan perintahku ini. Aku telah memberi tahu kepada sri baginda dan beliau hanya setuju saja. Sanggupkah kau melaksanakan perintahku?"

"Paduka tentu telah memaklumi bahwa hamba pasti akan melaksanakan segala perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba."

"Bagus, aku percaya kepadamu, Kim Hong. Begini, sesudah engkau mengunjungi Istana Lembah Naga, bersama Han Houw yang harus kau ajak serta, kau antarkanlah anakku itu melintasi Tembok Besar dan mengunjungi Kota Raja Kerajaan Beng."

"Ahhhh...!" Kim Hong Liu-nio benar-benar terkejut bukan main karena sama sekali tidak diduganya bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya demikian hebatnya. "Hamba... hamba... mendengarkan...," katanya.

"Aku mendengar bahwa saat ini kaisar sedang menderita sakit. Hatiku merasa tidak enak sekali dan aku selamanya tentu akan menderita tekanan batin kalau puteraku itu belum sempat melihat wajah ayah kandungnya. Maka ajaklah dia menghadap dan pertemukan dia dengan kaisar sebelum... terjadi apa-apa dengan kaisar, Kim Hong."

"Hamba siap melaksanakan tugas! Akan tetapi... hamba kira tak akan mudah untuk dapat menghadap kaisar begitu saja, dan untuk menggunakan kekerasan... ahh, rasanya hal itu tidak mungkin. Tenaga hamba seorang mana mampu melakukan hal seperti itu?"

Permaisuri Khamila tersenyum lembut, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Kau bawalah ini, di dalamnya terdapat suratku dan sebuah benda yang pasti akan dikenal di sana dan akan membuka semua pintu istana untuk puteraku."

Kim Hong Liu-nio menerima sambil berlutut, tidak banyak bertanya. Hati wanita ini merasa lega ketika sri baginda sendiri datang dan dengan wajah yang keras mengatakan, "Kim Hong, aku serahkan keselamatan Oguthai kepadamu. Engkau adalah sumoi-ku sendiri, bahkan Oguthai adalah sute-mu juga. Sebab itu engkaulah yang bertanggung jawab atas keselamatan puteraku!"

"Akan hamba lindungi dengan pertaruhan nyawa hamba. Selembar nyawa hamba yang menjadi tanggungannya, sri baginda!" jawab Kim Hong Liu-nio dengan tegas dan penuh dengan kebanggaan.

Demikianlah, pada hari itu Kim Hong Liu-nio berangkat bersama Ceng Han Houw dengan menunggang kereta yang mewah menuju ke selatan dan dikawal oleh tujuh belas orang pengawal pilihan, yang bertindak sebagai anak buah dan juga melayani segala keperluan sang pangeran.

Dan seperti diceritakan di bagian depan, perjalanan itu dihadang oleh orang-orang yang merasa sakit hati terhadap Kim Hong Liu-nio yang sudah banyak membunuhi orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Kim Hong Liu-nio mengajak sute-nya untuk meninggalkan kereta karena dia ingin ‘melatih’ sute-nya itu menghadapi orang-orang yang dianggapnya tidak terlalu berbahaya itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, lima orang itu dengan mudah dapat mereka tewaskan, kemudian sesudah itu mereka menerima undangan dari Jeng-hwa-pang yang mengirim surat beracun yang berbahaya itu.

Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, kini Kim Hong Liu-nio bersama Han Houw sudah menunggang kereta lagi, menuju ke Lembah Naga. Karena rombongan ini menggunakan kereta, maka mereka harus mengambil jalan raya yang lebar, jalan memutar, tidak seperti Siong Bu yang tadi mengintai dari tempat persembunyiannya, dan kini anak ini dapat mendahului pulang ke Istana Lembah Naga melalui jalan yang jauh lebih dekat namun tidak mungkin ditempuh oleh kereta itu.

********************

"Sin Liong...!" Hok Boan memanggil-manggil dengan suara marah.

Dia sudah membawa sebatang cambuk rotan yang sudah disiapkannya untuk menghajar anak itu. Hatinya menjadi semakin marah pada saat dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu mencari ke belakang kandang kuda.

"Sin Liong, di mana kau? Hayo cepat ke sini...!" kembali Hok Boan berteriak.

Tiba-tiba saja terdengar jawaban Sin Liong dari atas sebatang pohon di tepi hutan dekat kandang itu. "Gi-hu memanggil saya? Saya berada di sini..."

Hok Boan berlari ke bawah pohon itu, bertolak pinggang dan memandang ke atas. Dia melihat Sin Liong sedang duduk di cabang pohon itu. "Hayo lekas turun kau, anak jahat dan kurang ajar!"

Sin Liong terkejut dan cepat dia merayap turun dari atas pohon lalu berdiri di depan ayah angkatnya itu dengan kepala ditundukkan. Dia tahu bahwa ayah angkatnya ini kelihatan marah tentu berhubung dengan peristiwa perkelahiannya dengan Siong Bu pagi tadi.

"Engkau berani melawan Kwan-kongcu, ya?" bentak Hok Boan. "Bagaimanakah pesan dan laranganku dahulu itu? Engkau berani melanggarnya, ya. Hayo katakan, siapa yang kau andalkan? Hayo siapa?!" Kemarahan Hok Boan sebenarnya tertuju kepada isterinya yang menurut pengaduan Siong Bu telah menampar anak itu, akan tetapi karena dia tidak mau ribut-ribut langsung dengan isterinya, maka kemarahan itu kini ditimpakan kepada Sin Liong dan ingin dia mendengar anak ini mengandalkan ibu angkatnya!

Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab. Dia tahu ayah angkatnya ini sangat memanjakan dua orang keponakannya itu, maka tentu akan percuma saja apa bila dia membela diri dengan kata-kata. Dia adalah seorang anak keras hati, maka kini dia berdiri menunduk sambil menggigit bibir.

"Kau tidak lekas berlutut minta ampun?!" kembali Hok Boan menghardik, semakin marah melihat anak itu berdiri dengan bandelnya. Akan tetapi Sin Liong hanya melirik ke arah wajah ayah angkatnya itu sebentar, lalu menunduk lagi.

Bagaimana dia mau minta ampun kalau dia tidak bersalah apa-apa? Dalam urusan antara dia dan Siong Bu, kalau mau bicara tentang minta ampun, sepatutnya Siong Bu yang harus minta ampun, karena anak itulah yang mulai lebih dulu menyerangnya. Maka dia mengeraskan hatinya dan tidak menjawab, juga tidak berlutut, apa lagi minta ampun.

"Hayo kau minta ampun kepada Kwan-kongcu!" Hok Boan membentak.

Dia mencengkeram pundak anak itu dan ditariknya kembali ke dalam rumah. Hok Boan mendorong-dorong hingga tubuh Sin Liong terhuyung, bahkan pada waktu dia mendorong melangkahi anak tangga, Sin Liong terjatuh. Akan tetapi Hok Boan menyeretnya bangun dan menariknya memasuki ruangan samping di mana Lan Lan, Lin Lin, serta Beng Sin memandang dengan mata terbelalak!

Memang Hok Boan sengaja mengajak Sin Liong kembali ke rumah, untuk dihajarnya di rumah, bukan saja untuk minta ampun kepada Siong Bu, akan tetapi juga supaya dilihat semua isi rumah sehingga Sin Liong akan merasa malu dan bertobat benar-benar.

"Mana Siong Bu?" tanya Hok Boan kepada tiga orang anak itu dengan suara membentak. "Suruh dia ke sini!"

"Dia tidak ada ayah," jawab Lan Lan dan Lin Lin hampir berbareng.

"Dia tadi berlari ke dalam hutan sambil menangis, paman," kata Beng Sin dengan mata terbelalak ketakutan.

Mendengar ini, semakin kasihanlah rasa hati Bok Hoan kepada Siong Bu, dan semakin marahlah dia kepada Sin Liong. "Anak liar, hayo lekas kau berlutut dan minta ampun!" bentaknya.

Cambuk rotan yang berada di tangan kanannya mulai dikerjakannya. Terdengarlah bunyi cambuk menyambar kemudian menimpa punggung Sin Liong, suaranya amat nyaring dan bertubi-tubi.

"Hayo berlutut!" bentak Hok Boan.

Akan tetapi Sin Liong hanya berdiri menghadap jendela, sepasang tangannya menekan tembok, mukanya pucat, bibirnya digigitnya sendiri untuk mencegah dia menangis.

"Tar-tar-tar-tar!" Kembali cambuk itu menghantam punggung dan pinggulnya.

Sin Liong memejamkan mata dan menggigiti bibir makin keras sebab rasa nyeri menggigit tubuhnya bagian belakang. Namun, dia sama sekali tidak menangis, tidak mengeluh, apa lagi berlutut minta ampun!

"Tar-tar-tar-tar-tarrr...!"

Hok Boan menjadi semakin marah menyaksikan kebandelan ini, merasa seolah-olah dia ditantang!

Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin menjatuhkan diri berlutut menghadap ayah mereka. "Ayah... jangan pukul dia...!" Lan Lan berkata dengan suara terisak.

"Ayah, dia... dia tidak bersalah... ampunkan dia, ayah!" Lin Lin juga berkata dan anak perempuan ini sudah menangis.

Melihat itu, Beng Sin juga berlutut. Anak yang gemuk ini merasa kasihan sekali kepada Sin Liong, apa lagi melihat betapa permintaan kedua anak perempuan itu agaknya belum menggerakkan pamannya yang masih terus mencambuki punggung Sin Liong. Ia melihat warna merah dari balik pakaian Sin Liong, tanda bahwa kulit punggung itu tentulah sudah pecah-pecah berdarah!

"Paman... harap paman sudi mengampuninya... sesungguhnya Sin Liong tidak bersalah... paman ampunkanlah dia...," anak gendut itu pun minta ampun sambil berlutut.

Hok Boan terengah-engah, bukan karena lelah, tetapi karena dibakar oleh kemarahannya sendiri. Dia tadi tak mendengar suara kedua orang anak perempuan itu, akan tetapi pada waktu Beng Sin juga mintakan ampun, dia agak merasa heran dan ragu, menghentikan cambukannya dan menoleh. Terbelalak dia memandang ke arah tiga orang anak yang berlutut itu. Mereka mintakan ampun untuk Sin Liong? Dia tertegun, terheran dan agak bingung.

"Pamaaaann...! Celaka..., lekas... wah, celaka...!"

Hok Boan terkejut, juga ketiga orang anak yang sedang berlutut terkejut bukan main lalu mereka cepat menoleh. Siong Bu memasuki ruangan itu sambil terengah-engah, mukanya amat pucat, matanya terbelalak ketakutan. Hanya Sin Liong yang masih bersikap tenang, bahkan masih berdiri seperti tadi, menghadap jendela, tidak mempedulikan segala yang terjadi, juga tidak mempedulikan apakah dia akan dicambuki lagi ataukah tidak.

"Siong Bu! Ada apa...?" Hok Bow bertanya dengan kaget sekali. Juga tiga orang anak itu sudah bangkit berdiri dan menghampiri Siong Bu dengan kaget dan heran.

"Paman, celaka... mereka datang... dan dia... siluman wanita itu... dia mau membunuh orang... tadi mereka sudah membunuh banyak orang di hutan sana..." Siong Bu berkata dengan gagap dan dia kelihatan amat ketakutan.

Hok Boan mengerutkan alisnya. Dia tidak senang melihat Siong Bu yang disayangnya itu kelihatan begini ketakutan. Sungguh tidak patutlah kalau keponakannya, atau lebih tepat lagi muridnya atau anak kandungnya sendiri, puteranya sendiri, bersikap begini penakut!

"Bicaralah yang jelas!" bentaknya dan sekarang dia sudah melupakan Sin Liong, bahkan dia sudah membuang cambuk rotan itu ke atas lantai. "Apakah yang telah terjadi?"

Beberapa kali Siong Bu menelan ludah untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Memang anak ini tadi menyaksikan sepak terjang wanita cantik dan anak laki-laki yang membunuhi orang seenaknya itu. Setelah agak tenang hatinya karena teringat bahwa dia berada dalam perlindungan ayahnya, Siong Bu lalu berkata,

"Di dalam hutan saya melihat seorang wanita yang seperti siluman, amat sakti dan kejam sekali, bersama seorang anak laki-laki yang seperti bangsawan. Mereka itu membunuhi orang-orang dan akhirnya mereka menunggang kereta yang sangat indah, dikawal oleh belasan orang prajurit, katanya hendak ke sini! Dan wanita itu betul-betul menyeramkan sekali, paman... dia cantik seperti puteri, akan tetapi kejam seperti iblis..."

Diam-diam Hok Boan terkejut juga, alisnya berkerut. Teringatlah dia akan wanita utusan Raja Sabutai sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, yang muncul ketika dia merayakan pernikahannya dengan isterinya sekarang. Maka tiba-tiba dia bertanya, "Apakah wanita itu membawa salib kayu yang ada tulisannya tiga macam she...?"

"Benar, paman...! She Yap, Tio, dan Cia...! Itulah celakanya, dia bilang mau membunuh semua orang dengan ketiga macam she itu dan dia... dia bilang mau datang ke Lembah Naga ini...!"

Sekarang yakinlah Hok Boan bahwa memang betul wanita lihai utusan Raja Sabutai itulah yang dimaksudkan oleh Siong Bu. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa khawatir, dan dia berkata sambil menarik napas panjang, menekan kengerian hatinya membayangkan wanita itu agar terlihat oleh anak-anak itu bahwa dia tidak takut.

"Mengapa engkau ketakutan seperti itu? Wanita itu bukanlah musuh kita, dia mencari orang-orang she Yap, Tio, dan Cia. Apakah yang mesti dikhawatirkan? Di sini tidak ada seorang pun yang mempunyai she Yap, Tio, atau Cia. Janganlah kau terlampau mudah ketakutan, Siong Bu..."

"Tapi, paman, bukankah dia itu she Cia?"

Hok Boan terkejut ketika melihat Siong Bu menudingkan jari telunjuknya kepada Sin Liong yang masih berdiri di depan jendela. "Apa katamu...?!" bentaknya.

"Dia... dia adalah she Cia... maka celakalah kalau wanita itu datang..."

Pada saat itu, terdengarlah suara halus dan nyaring, "Siapakah she Cia...?"

Hok Boan cepat-cepat menoleh dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat wanita itu yang segera dikenalnya. Biar pun sudah lewat sebelas tahun, akan tetapi seolah-olah baru kemarin saja dia melihat wanita ini datang ke dalam ruangan pesta pernikahannya dan membunuhi orang.

Tidak ada perubahan sama sekali pada wanita itu, wajahnya masih kelihatan cantik jelita seperti dulu, cantik dan agung, seperti seorang puteri raja, sikapnya dingin, angkuh, dan tahi lalat hitam kecil di dagunya membuatnya nampak makin manis. Masih kelihatan muda belia seperti dulu, padahal dibandingkan dengan kemunculannya yang pertama, tentu kini usianya sudah bertambah sebelas tahun!

Cepat Hok Boan melangkah maju dan menjura dengan hormat sekali, lalu tersenyum dan berkata lembut, "Aihhh, kiranya kouwnio (nona) yang datang mengunjungi kami. Selamat datang, kouwnio, dan mudah-mudahan selama ini kouwnio dalam keadaan baik-baik saja. Silakan masuk dan mari duduk di dalam, kouwnio!"

Akan tetapi wanita itu seolah-olah tidak mendengar penyambutan yang amat menghormat itu. Sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menyambar ke sekeliling, ke arah wajah lima orang anak itu, dan sejenak menatap wajah Sin Liong karena anak ini juga sudah membalikkan tubuh menghadap dan memandang kepadanya.

"Siapakah yang memiliki she Cia?" kembali terdengar pertanyaannya, pertanyaan yang singkat, lirih, terdengar satu-satu dan membawa suasana dingin dan tegang sekali karena di dalam suara ini terkandung ancaman maut!

Hok Boan merasa mulutnya kering dan diam-diam dia mengerling ke arah Sin Liong. Baru tadi dia mendengar dari Siong Bu bahwa Sin Liong she Cia, dan hal ini sungguh sangat mengherankan hatinya dan tidak dimengertinya.

Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menunjukkan Sin Liong kepada wanita itu bahwa anak itu she Cia karena sekali wanita itu tahu, tanpa banyak cakap lagi tentu Sin Liong akan dibunuhnya. Dan Hok Boan maklum bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu. Dia tahu betapa isterinya amat sayang kepada Sin Liong.

Walau pun dia agak membenci Sin Liong karena dianggapnya terlalu disayang Si Kwi dan dianggapnya nakal dan bandel, akan tetapi dia tak ingin melihat anak angkat isterinya itu dibunuh orang begitu saja. Maka dia cepat mengalihkan pandang matanya dari Sin Liong dan memandang kembali kepada wanita itu masih menanti dengan alis berkerut.

"Tidak... tidak ada yang she Cia...," kata Hok Boan sambil menggelengkan kepalanya.

"Hok Boan, berani engkau membohong kepadaku?" Tiba-tiba wanita itu suaranya dingin, amat menyeramkan.

"Tidak..., mana saya berani membohong, kouwnio?"

"Aku sendiri mendengar kalian tadi bicara tentang seorang she Cia di sini. Hayo mengaku, siapa she Cia di antara kalian?"

Sejak tadi Sin Liong diam saja dan hanya memandang dengan matanya yang terbelalak lebar. Dia tidak takut kepada wanita ini, dan dia tahu bahwa dialah she Cia itu. Kini dia merasa heran mengapa ayah angkatnya yang membencinya itu tidak mau menyerahkan dia kepada wanita iblis itu.

Bukankah wanita ini yang tadi diceritakan oleh Siong Bu dan yang hendak membunuh semua orang she Yap, Tio dan Cia? Mengapa ayah angkatnya tidak mau mengaku terus terang saja agar dia dibunuh oleh wanita itu? Dan dia melirik ke arah Siong Bu. Juga anak ini sama sekali tidak membuka mulut!

"Hayo cepat katakan, kalau tidak, akan kusiksa kalian seorang demi seorang!" Wanita itu kembali melayangkan pandangan matanya, dari Hok Boan yang pucat mukanya sampai kepada semua anak yang tertunduk dan ketakutan. Hanya Sin Liong seorang yang berdiri dengan tegak, memandangnya dengan penuh keberanian.

Kim Hong Liu-nio merasa heran dan mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan tidak puas melihat seorang anak laki-laki yang tidak kelihatan takut kepadanya! Padahal anak inilah yang tadi dirangket oleh Hok Boan, dicambuki tetapi sedikit pun anak itu tadi tidak mengeluh, padahal dari baju anak itu dapat dilihat bahwa kulit punggungnya pecah-pecah dan berdarah!

Dia lalu menoleh pada Siong Bu yang tertunduk dan matanya melirik ke arah pamannya. Melihat wajah anak ini tampan dan mirip dengan wajah Hok Boan, Kim Hong Liu-nio lalu mendapatkan akal.

"Hayo katakan, jika tidak, anak ini akan kusiksa lebih dulu!" katanya sambil menghampiri Siong Bu.

Anak laki-laki yang tadinya memang telah merasa amat ngeri dan ketakutan menyaksikan sepak terjang wanita iblis ini, kini kedua kakinya menggigil dan wajahnya menjadi pucat sekali.

"Bukankah engkau yang tadi bilang tentang orang she Cia? Hayo katakan, di mana dia, jika tidak, telingamu ini akan kucabut putus!" Sambil berkata demikian, Kim Hong Liu-nio mencubit telinga kiri Siong Bu.

Anak itu makin ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepala tidak mampu mengeluarkan suara. Diam-diam Sin Liong merasa makin heran dan juga terharu. Biasanya, Siong Bu begitu kasar dan jahat kepada dirinya, dianggap selalu memusuhinya, akan tetapi kenapa sekarang, biar pun diancam secara hebat, Siong Bu tidak mau mencelakainya dengan menunjukkan she-nya kepada wanita iblis itu? Dia tidak tahu bahwa dalam batin Siong Bu juga terdapat benih kegagahan yang tidak mau berbuat khianat!

"Harap jangan ganggu dia...!" Tiba-tiba saja Hok Boan berseru dan cepat melangkah maju menghampiri wanita itu.

Kim Hong Liu-nio melepaskan Siong Bu, lalu dengan perlahan-lahan membalikkan tubuh, tersenyum sambil mengangguk-angguk kepada Hok Boan. "Hemmm, jadi engkau berani menentangku, ya? Kau kira sukar bagiku untuk membasmi kalian sekeluarga apa bila aku menghendaki? Kalau aku membunuh anak ini, kau mau apa?"

"Kouwnio, harap jangan mengganggu kami sekeluarga. Percayalah, kami tidak memiliki hubungan dengan musuh-musuhmu..."

"Kalau aku tetap hendak mengganggu keluargamu, kau mau apa, Kui Hok Boan?"

Hok Boan adalah orang yang biasanya amat mengandalkan kepandaian sendiri, bahkan biasanya dia memandang rendah orang lain karena percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan jarang menemui tanding. Biar pun dia tahu bahwa wanita ini amat lihai dan mungkin sekali dia tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi karena dia didesak dan diejek terus, ditantang secara terang-terangan seperti itu, mukanya yang pucat tadi kini perlahan-lahan berubah memerah.

"Apa yang akan dilakukan orang bila keluarganya diganggu? Tentu saja dia akan melawan sedapatnya!" katanya dengan sikap gagah, dan dadanya agak diangkat sedikit.

"Bagus! Sudah lama aku mendengar bahwa ilmu silat yang kau warisi dari Go-bi-pai itu amat lihai. Nah, coba kau hadapi seranganku, apakah engkau sanggup bertahan sampai sepuluh jurus?"

"Kouwnio, kami menyambut kedatangan kouwnio sebagai tamu yang kami hormati, dan saya sama sekali tidak hendak bermusuhan dengan kouwnio..."

"Cukup! Lekas katakan siapa orang she Cia itu atau kau harus menghadapi aku sampai sepuluh jurus!"

Melihat sikap wanita itu yang mendesak pamannya, Beng Sin diam-diam lalu merangkak ke pintu, hendak lari keluar dan melapor kepada bibinya. Dia tahu bahwa bibinya juga lihai, kabarnya tidak kalah lihai dari pada pamannya, maka kalau bibinya itu membantu pamannya dan mereka berdua maju menghadapi wanita iblis ini, agaknya mereka tidak akan kalah.

"Ke mana kau?" Tiba-tiba wanita itu membentak, tangannya bergerak ke arah pintu dan... aneh sekali, tanpa disentuh, tubuh Beng Sin yang gemuk itu terjengkang seperti ditarik dan bergulingan masuk kembali ke dalam ruangan itu.

Melihat ini, terdengar Lan Lan dan Lin Lin menjerit. Akan tetapi ternyata Beng Sin hanya kaget saja dan sedikit sakit karena terbanting, selain itu dia tidak terluka apa pun.

"Kouwnio, engkau terlampau mendesak orang!" Hok Boan berseru marah setelah melihat keponakannya, yang sebenarnya juga puteranya, yang gemuk itu dirobohkan, maka dia lalu menerjang dengan kepalan tangannya, menyerang wanita itu.

"Hemmm… ini adalah Hek-wan Hian-ko... (Lutung Hitam Memberi Buah) dari Go-bi-pai, bukan? Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek..." kata Kim Hong Liu-nio sambil melangkah mundur dan menangkis serangan itu.

Hok Boan terkejut karena baru saja bergerak ternyata lawan telah dapat mengenal jurus ilmu silatnya. Akan tetapi karena memang dia dapat menduga wanita ini lihai sekali, dia tidak peduli dan menyerang terus dengan jurus selanjutnya. Dan karena tahu lawan lihai sekali, dia pun segera mengeluarkan jurus-jurus pukulan yang paling ampuh.

"Ehh? Berani kau menggunakan Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi) untuk membunuh aku? Hemm, kau harus dihajar!"

Memang Hok Boan telah mempergunakan ilmu silat yang ampuh dari Go-bi-pai itu untuk menghadapi lawan tangguh ini. Akan tetapi, kembali lawannya sudah mengenal ilmunya dan tiba-tiba, ketika kedua tangannya memukul ke arah kepala dan ke arah pusar dengan berbareng secara hebat sekali, dia merasa kedua tangannya itu bertemu dengan hawa pukulan yang merupakan benteng yang menghentikan gerakannya, dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, wanita itu telah menampar punggungnya dari samping.

"Plakkk!"
"Aughhh...!" Hok Boan terguling roboh dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar!

"Berani kau melukai suamiku?" Teriakan ini keluar dari mulut Si Kwi yang baru saja tiba di tempat itu.

Si Kwi tadinya berada di dalam kamarnya, karena dia masih mendongkol sehabis cekcok sedikit dengan suaminya. Dia tahu bahwa Sin Liong tentu akan dihajar, akan tetapi dia pun tidak mau sampai bentrok dengan suaminya hanya demi anak itu, dan memang dia juga tahu bahwa Sin Liong keras kepala dan bandel, mungkin perlu diberi sedikit hajaran pula. Maka dia diam saja di dalam kamarnya.

Akan tetapi ketika tiba-tiba dia mendengar jerit Lan Lan dan Lin Lin, dia terkejut dan cepat melompat keluar sambil membawa pedangnya. Jeritan dua orang anak perempuan yang terdengar oleh ibu mereka itu adalah ketika mereka melihat Beng Sin dirobohkan oleh wanita tadi.

Ketika Si Kwi memasuki ruangan itu dan melihat Kim Hong Liu-nio, dia terkejut sekali dan segera mengenal wanita itu karena wanita itu memang sama sekali tidak berubah sejak dilihatnya untuk pertama kali sebelas tahun yang lalu. Akan tetapi pada saat dia melihat wanita itu merobohkan Hok Boan, Si Kwi menjadi marah sekali. Tidak peduli wanita itu utusan Raja Sabutai, bila kini mengganggu keluarganya, maka harus dilawannya. Karena itu dia sudah membentak marah dan menerjang wanita itu dengan pedangnya!

Ilmu pedang dari Si Kwi amat hebat. Dahulu wanita ini adalah seorang ahli menggunakan siang-kiam, yaitu sepasang pedang. Akan tetapi, sejak tangan kirinya buntung, dia hanya mempergunakan pedang tunggal, namun dengan menguasai Ilmu Im-yang Lian-hoan-kun maka dia dapat memainkan pedang tunggalnya secara hebat.

Apa lagi karena Si Kwi terkenal dengan ginkang-nya sehingga dulu dia pernah mendapat julukan Ang-yan-cu (Si Walet Merah) karena gerakannya yang sangat cepat seperti walet terbang dan kegemarannya mengenakan pakaian warna merah. Maka kini serangannya terhadap Kim Hong Liu-nio juga hebat sekali.

Namun, wanita cantik itu menghadapi serangan ini dengan sikap tenang bahkan mulutnya berkata mengejek, "Hemm, ilmu pedang apa ini yang kau pergunakan?"

Dengan sangat mudahnya, Kim Hong Liu-nio mengelak. Akan tetapi ilmu pedang serta gerakan Si Kwi luar biasa cepatnya, tahu-tahu sinar pedangnya sudah menyambar lagi ke arah leher lawan dengan kecepatan tinggi.

"Bagus! Kiranya diambil dari Im-yang Lian-hoan-kun, ya?"

Wanita cantik itu tidak mengelak dari sambaran pedang yang mengancam lehernya, akan tetapi mengangkat sedikit tangan kirinya.

"Cringgg...!"

Tubuh Si Kwi tergetar dan terhuyung mundur. Tadi pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tertangkis oleh lengan wanita itu, lengan kiri yang memakai gelang emas kecil-kecil berjumlah belasan buah. Gelang-gelang kecil inilah yang tadi menangkis pedang dan membuat Si Kwi terhuyung. Bukan main!

Maklum bahwa dia bukan tandingan wanita itu, melihat bahwa suaminya sudah tidak lagi mengalami luka parah, hatinya lega dan dia pun menghentikan serangannya.

"Mengapa engkau menyerang suamiku?" demikian tanyanya sebagai pembelaan diri telah berani menyerang wanita itu. Dia teringat bahwa wanita ini adalah utusan Raja Sabutai, maka kalau saja tidak melihat wanita itu tadi merobohkan suaminya, dia pun akan berpikir panjang lebih dulu sebelum berani menyerangnya.

"Kouwnio, harap kouwnio suka memaafkan kami dan harap jangan mengganggu keluarga kami yang tidak mempunyai kesalahan terhadap kouwnio," kini Hok Boan berkata karena dia maklum bahwa dia dan isterinya sama sekali tak akan mampu menghadapi wanita ini.

Pula, memusuhi utusan Raja Sabutai sama saja dengan membunuh diri karena mereka berada di daerah kekuasaan raja liar itu. Karena itu lebih baik mengalah dan melupakan penghinaan tadi, bersikap merendah.

Kim Hong Liu-nio kembali memandangi mereka itu satu demi satu dengan sinar matanya yang tajam dan dingin mengerikan. Lalu katanya, seperti tadi, lirih dan satu-satu namun penuh desakan dan ancaman, "Siapakah orang she Cia?"

Si Kwi terkejut mendengar pertanyaan ini. "Orang she... Cia...? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, kouwnio?" tanyanya dengan wajah berubah pucat.

Kim Hong Liu-nio memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, sinar mata yang seolah-olah hendak menjenguk ke dalam isi hati wanita itu. "Nyonya buntung, siapakah orang she Cia di sini?" tanyanya, suaranya penuh ancaman.

Dalam keadaan biasa, tentu Si Kwi akan marah disebut sebagai nyonya buntung. Akan tetapi pada saat itu, disebutnya she Cia membuat jantungnya berdebar tegang sehingga dia pun tidak mempedulikan sebutan itu. "Aku tidak tahu, di sini tidak ada yang she Cia!" jawabnya tegas.

Sejenak Kim Hong Liu-nio beradu pandang dengan Si Kwi, kemudian wanita cantik itu menoleh kepada Kui Hok Boan, dengan suara seperti tadi, suara yang menyeramkan itu, dia mengajukan pertanyaannya kepada sasterawan itu, "Siapakah orang she Cia di sini?"

Hok Boan cepat menggeleng kepalanya. "Tidak ada... tidak ada yang she Cia!" jawabnya dengan suara tegas pula.

Kim Hong Liu-nio juga memandang tajam kepada laki-laki ini, baru kemudian dia menoleh kepada Lan Lan yang memandangnya dengan mata terbelalak.

"Adik manis, siapakah orang she Cia di sini?"

Lan Lan menjawab sambil menggeleng kepala, suaranya tidak jelas, "Tidak tahu... tidak ada she Cia..."

Kim Hong Liu-nio lalu berpaling kepada Lin Lin yang menundukkan muka. "Dan kau, nona cilik, tahukah kau siapa orang she Cia di sini?"

Lin Lin mengangkat muka memandang wanita itu, lalu menunduk kembali dan menjawab, "Tidak tahu, tidak ada she Cia."

Kim Hong Liu-nio segera memutar tubuhnya. Di samping Lin Lin berdiri Sin Liong akan tetapi dia tidak bertanya kepada anak itu. Percuma saja, pikirnya, dan anak ini agaknya tidak disayang oleh suami isteri itu maka tak ada harganya bagi dia. Dipandangnya Beng Sin dan bertanyalah dia kembali,

"Kau, bocah gemuk. Siapa orang she Cia di sini?"

"Tidak tahu! Tidak tahu! Tidak ada orang she Cia!" Beng Sin menjawab gagap dan tegas, lalu menundukkan mukanya.

Kini tiba giliran Siong Bu, Sin Liong yang sejak tadi terus mengikuti gerak-gerik wanita itu, sekarang ikut pula memandang kepada Siong Bu dan jantungnya berdebar penuh dugaan ketika mendengar wanita itu bertanya.

"Sekarang engkau, yang tadi kudengar suaramu, hayo katakan siapakah orang she Cia di sini?"

Siong Bu mengangkat muka memandang, lalu menoleh kepada yang lain, akan tetapi dia melewati muka Sin Liong, lalu menggeleng kepala, "Aku tidak tahu. Di sini tidak ada orang she Cia!" Setelah berkata demikian, cepat-cepat dia menundukkan muka pula agar jangan sampai menoleh kepada Sin Liong.

Kembali Sin Liong merasa terharu. Baru sekarang dia melihat kenyataan bahwa betapa pun juga, ternyata keluarga ini tidak rela melihat dia terancam bahaya maut dan hal ini segera mendatangkan perasaan demikian gembira dan lega di dalam dadanya sehingga dia agak tersenyum dan wajahnya berseri-seri, rasa nyeri pada punggungnya lenyap tak terasakan lagi!

Keadaan menjadi makin menegangkan dan Hok Boan bersama isterinya sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan kalau-kalau wanita itu akan memperlihatkan kemarahan dan kekecewaannya karena semua keluarga itu menjawab tidak tahu. Akan tetapi, wanita cantik itu tersenyum! Tersenyum manis sekali, senyum yang sangat mengherankan hati Hok Boan akan tetapi membuat bulu tengkuk Si Kwi meremang karena dia yang sejak dulu sudah biasa bergaul dengan tokoh-tokoh golongan sesat yang berwatak aneh-aneh, sudah mengerti senyum yang mengerikan ini. Manis memang, mungkin memikat bagi hati pria, akan tetapi di balik senyum itu terkandung ancaman maut mengerikan.

Senyum itu melebar sehingga sekilas pandang nampak gigi putih kemilau di balik belahan bibir merah basah itu, lantas bibir itu bergerak-gerak dan berkatalah dia, "Bagus sekali, agaknya memang harus ada seorang di antara kalian yang disiksa, barulah kalian mau mengaku. Baik, anak manis ini tentu tidak akan menjadi manis lagi kalau ujung hidungnya kupotong...!"

Cepat laksana kilat, tahu-tahu tangannya telah mencengkeram pundak Lan Lan kemudian diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Lan Lan menjerit, Si Kwi dan Lin Lin juga menjerit.

"Akulah orang she Cia!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan keras.

Semua orang terbelalak dan memandang kepada Sin Liong yang mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lantang tadi. Anak ini berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dada diangkat dan sepasang matanya memandang wajah Kim Hong Liu-nio dengan sinar penuh kemarahan.

"Lepaskan dia, jangan ganggu orang-orang yang tidak bersalah. Akulah orang she Cia yang kau cari-cari!"

Perlahan-lahan tangan yang mencengkeraman pundak Lan Lan itu mengendur sehingga tubuh Lan Lan terlepas dan terhuyung. Anak perempuan ini terisak dan cepat dirangkul ibunya. Kim Hong Liu-nio kini memandang kepada Sin Liong dengan mata bersinar-sinar seperti kilat, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kekaguman. Anak ini memang bukan anak biasa, pikirnya, ngeri juga menentang pandang mata yang mencorong seperti mata anak naga itu.

"Liong-ji...!" Si Kwi berkata lirih dengan muka pucat sekali. Timbul niat di dalam hatinya untuk melindungi anak itu, anak kandungnya sendiri itu, dengan taruhan nyawa.

Sin Liong menoleh kepada Si Kwi dan agaknya dia maklum akan niat dari ibu angkatnya itu. Dia masih kecil akan tetapi dia tahu bahwa wanita iblis itu lihai bukan main dan baik ibu angkatnya mau pun ayah angkatnya bukanlah tandingan wanita itu.

"Ibu, harap jangan mencampuri. Ibu hanyalah ibu angkatku, tidak perlu mempertaruhkan nyawa untuk aku." Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah maju menghampiri Kim Hong Liu-nio dengan sikap gagah sekali.

Si Kwi terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena sikap Sin Liong itu membuat dia teringat kepada Cia Bun Houw. Anak ini benar-benar Cia Bun Houw kecil! Sinar matanya itu, keberaniannya, dan kegagahannya! Juga Kim Hong Liu-nio menjadi tertegun sehingga dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak kecil yang mengaku she Cia dan amat pemberani itu. Dan anak ini tadi dihajar oleh Kui Hok Boan, sedikit pun tidak mengeluh, bahkan dimintakan ampun oleh anak-anak lain!

"Benarkah engkau she Cia?" Kim Hong Liu-nio bertanya, diam-diam merasa sayang kalau anak ini she Cia dan dia terpaksa harus membunuhnya. Dia kagum melihat keberanian anak ini.

"Seorang gagah tidak akan mengingkari perbuatannya dan aku melihat bahwa engkau adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi sehingga ibu dan ayah angkatku sendiri tidak mampu menandingimu!" Sin Liong berkata dengan lantang, membuat ayah dan ibu angkatnya benar-benar merasa terkejut karena biasanya Sin Liong amat pendiam dan tak banyak bicara. "Karena itu engkau tentu mau mengatakan pula mengapa engkau mencari orang she Cia?"

"Akan kubunuh! Semua orang she Cia harus kubunuh!" jawab Kim Hong Liu-nio.

"Mengapa? Apa salahnya orang-orang she Cia?" tanya pula Sin Liong.

"Anak kecil mau mampus, kau tahu apa?! Bersiaplah untuk mampus!"

"Membunuh seorang anak kecil seperti aku tentu saja mudah bagimu dan perbuatanmu itu tak akan mengharumkan namamu. Kau membunuh aku sama dengan aku membunuh seekor semut, perbuatan itu mana dapat dibanggakan? Kalau kau memang gagah berani, hayo kau hadapi ayahku yang juga she Cia, barulah seimbang!"

"Monyet kecil, siapa ayahmu?" Kim Hong Liu-nio membentak marah.

Dia tidak tahu bahwa Sin Liong paling benci kalau dimaki monyet kecil, karena memang dia suka bergaul dengan monyet, akan tetapi dia tahu bahwa dia manusia bukan monyet. Mendengar makian itu, dia melotot dan balas memaki.

"Dan kau srigala betina besar! Kau mau tahu ayahku? Ayahku adalah pendekar terhebat di dunia ini dan kalau kau bertemu dengan ayahku, tentu dia tidak akan memberi ampun kepada srigala betina yang kejam seperti engkau ini!"

Kim Hong Liu-nio hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sinar merah menyambar dan terdengarlah bunyi nyaring.

"Prakkk…!"

Ternyata meja di dekat Sin Liong hancur berkeping-keping terkena sambaran sinar merah itu yang bukan lain hanyalah ujung sabuk merah dari sutera yang diikatkan di pinggang wanita itu dan yang ujungnya masih berjuntai panjang. Hanya menggunakan ujung sabuk merah saja mampu menghancurkan meja batu, kepandaian ini benar-benar membuat Si Kwi dan Hok Boan menjadi pucat dan tubuh mereka mengeluarkan keringat dingin.

"Liong-ji, jangan banyak bicara!" Si Kwi memperingatkan anaknya.

"Bocah bermulut lancang! Kau layak mampus seribu kali, akan tetapi sebelum mampus, katakan dulu siapa ayahmu dan di mana dia!"

"Huh, karena berada di sini maka engkau enak saja mengancam hendak membunuh aku, coba kalau ada ayah, mengganggu seujung rambutku pun engkau tak akan mampu. Aku menantangmu untuk bertanding dengan ayahku, dan kalau ayah sampai kalah olehmu, biarlah tanpa kau turun tangan, aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu. Kalau engkau sekarang membunuh aku tanpa berani memenuhi tantanganku, maka engkau ini tiada bedanya dengan seekor srigala pemakan bangkai yang beraninya hanya menyerang bangkai, dan kau beraninya hanya mengganggu orang-orang lemah seperti anak-anak kecil. Huh, sungguh memalukan sekali!"

"Liong-ji...!" Si Kwi mengeluh. Anak itu seperti bunuh diri saja, berani bicara seperti itu di depan wanita ini!

Dan Kim Hong Liu-nio sendiri sampai tercengang, seolah-olah dia tidak percaya apa yang didengarnya. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berani berbicara seperti itu kepadanya, bahkan Sri Baginda Sabutai sendiri tidak pernah menghina dirinya seperti itu. Saking herannya, dia sampai lupa akan amarahnya, atau mungkin juga saking marahnya, dia sampai tidak tahu lagi harus berbuat apa!

"Katakan siapa ayahmu, anak setan! Kalau aku tak dapat membunuh ayahmu dan nenek moyangmu, selamanya aku tidak mau memakai nama Kim Hong Liu-nio lagi!" Wanita itu akhirnya menjerit seperti seorang anak perempuan yang digoda sampai hatinya mengkal sekali, dan Kim Hong Liu-nio juga sampai lupa diri, dia membanting kakinya ke atas lantai, seperti anak perempuan sedang berang.

"Bresss!"

Kaki Kim Hong Liu-nio kecil mungil, akan tetapi begitu dibantingnya di atas lantai dengan pengerahan sinkang, kaki itu langsung amblas sampai hampir selutut dalamnya!

Kembali Si Kwi dan Hok Boan menelan ludah. Bahkan Siong Bu dan Beng Sin terang-terangan mengulurkan lidah mereka saking heran, kaget dan kagum. Kepandaian wanita itu benar-benar seperti sliuman!

"Ayahku adalah pendekar sakti Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai kalau kau mau tahu!" Sin Liong berkata sambil mengangkat dada, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Dia maklum bahwa di tangan wanita iblis ini, ayah dan ibu angkatnya tidak mungkin akan dapat menyelamatkannya, maka dia hendak menghadapi kematian dengan gagah dan mengangkat tinggi-tinggi nama ayahnya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu.

"Ahhhhh...!" Seruan ini bukan hanya terdengar dari mulut Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga dari mulut Kui Hok Boan yang menjadi terkejut setengah mati dan terheran-heran bukan main mendengar pengakuan Sin Liong.

Tentu saja dia sudah mendengar nama pendekar sakti Cia Bun How, dan membayangkan betapa bocah ini yang tadinya dikenal sebagai anak peliharaan monyet mengaku putera Cia Bun Houw, bulu tengkuknya langsung meremang.

"Bohong!" Kim Hong Liu-nio berseru. "Macam engkau ini anak Cia Bun Houw? Huh, siapa percaya omonganmu? Jangan kira engkau akan bisa menakut-nakuti orang dengan nama Cia Bun Houw yang kau akui sebagai ayahmu!"

Sin Liong melangkah maju menghadapi wanita itu dengan dua tangan bertolak pinggang, sikapnya sungguh penuh keberanian. "Dan kau bilang bohong hanya untuk menutupi rasa takutmu! Aku adalah Cia Sin Liong, anak kandung dari Cia Bun Houw! Engkau mau percaya atau tidak adalah urusanmu, akan tetapi aku menantangmu untuk melawan ayah kandungku itu! Sekarang, mau bunuh, mau siksa, mau bakar, kau orang dewasa boleh berlaku sesuka hatimu terhadap anak kecil seperti aku. Akan tetapi awas, aku akan mati penasaran dan rohku akan selalu mengejar-ngejarmu sampai engkau berani berhadapan dengan ayahku. Rohku baru tidak akan penasaran lagi apa bila kau sudah menggelinding mampus di depan kaki ayahku!"
Selanjutnya,