Pendekar Lembah Naga Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PESTA berjalan dengan lancar dan hidangan-hidangan yang dikeluarkan adalah hidangan-hidangan pilihan karena memang Kui Hok Boan tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk menjamu para tamunya.

Selagi para tamu menikmati hidangan yang disuguhkan, mendadak terdengar suara hiruk pikuk, lantas teriakan-teriakan kaget itu menjalar ke dalam dan suasana gembira menjadi geger ketika para tamu melihat puluhan ekor monyet besar kecil menyerbu tempat pesta dipimpin oleh seorang anak kecil yang usianya belum ada empat tahun!

Seperti juga monyet-monyet lainnya, anak itu berloncatan dengan gerakan yang sangat cekatan. Mereka segera menyerbu makanan-makanan di atas meja, ada pun para tamu menjauhkan diri karena kaget dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Ketika para orang kang-ouw itu pulih kembali ketenangan mereka, tentu saja mereka menjadi marah saat melihat bahwa yang datang menyerbu itu adalah monyet-monyet liar besar dan kecil, maka mereka sudah siap untuk menghajar binatang-binatang itu.

Akan tetapi mendadak terdengar suara merdu dan nyaring, "Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan mengganggu monyet-monyet itu!"

Semua orang terkejut dan menoleh. Yang berbicara adalah pengantin wanita yang sudah bangkit berdiri di samping pengantin pria yang juga telah ikut berdiri. Dari balik tirai manik yang bergantungan di depan muka pengantin wanita, nampak sepasang mata yang tajam bersinar, kemudian terdengar suara nyaring yang ditujukan kepada anak kecil yang masih menikmati makanan di atas meja bersama monyet-monyet itu,

"Liong-ji (anak Liong), hayo lekas kau ajak teman-temanmu pergi! Lekas pergi!"

Anak itu memandang ke arah pengantin wanita, kelihatan sangat penasaran dan marah, kemudian mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya seperti seekor kera marah.

"Sin Liong, lekas ajak teman-temanmu pergi!" Kembali Si Kwi membentak dan sekali ini di dalam suaranya terkandung kemarahan.

Anak itu menyambar sepotong paha ayam, lalu meloncat turun dan sambil mengeluarkan mengeluarkan teriakan segera berlari keluar, diikuti oleh monyet-monyet besar dan kecil itu. Lucunya, ada monyet yang menyambar seguci arak, dan ada pula yang menyambar mangkok berikut sumpitnya.

Para tamu tertawa ketika melihat lagak monyet-monyet itu dan mereka terheran-heran memandang kepada pengantin wanita. Tadi pengantin itu menyebut anak yang memimpin monyet-monyet itu dengan ‘anak Liong’! Apa artinya ini? Apakah pengantin itu, yang bagi seorang pengantin usianya sudah tidak muda lagi, telah mempunyai anak?

"Cu-wi sekalian yang mulia," terdengarlah suara Hok Boan sambil menjura ke arah para tamu ada pun Si Kwi sudah duduk kembali sambil menundukkan mukanya. "Harap cu-wi memaafkan bila kedatangan rombongan monyet tadi mengejutkan dan mengganggu cu-wi. Hendaknya diketahui bahwa kumpulan monyet itu adalah monyet-monyet yang tinggal di sekitar tempat ini dan dipimpin oleh seorang anak kecil. Ketahuilah bahwa di sini terjadi hal aneh sekali. Dua tahun yang lalu anak itu ditemukan oleh isteri saya dalam keadaan luka-luka tergigit oleh ular beracun dan dirawat oleh monyet-monyet besar. Isteri saya lalu menolongnya dan merawatnya sampai sembuh, kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama Sin Liong. Akan tetapi, karena sejak kecil dirawat oleh monyet-monyet, agaknya anak itu masih suka bermain-main dengan rombongan monyet-monyet dan tidak kami sangka bahwa hari ini dia mengajak para monyet itu untuk ikut berpesta!"

Keterangan yang lucu ini disambut suara ketawa, akan tetapi semua tamu menjadi amat terheran-heran hingga suasana menjadi berisik karena membicarakan peristiwa aneh ini. Seorang bocah yang jelas adalah seorang manusia cilik, dirawat oleh monyet-monyet dan hidup di antara monyet-monyet!

Akan tetapi, dengan cekatan para pelayan cepat membereskan tempat-tempat yang telah dikacaukan oleh rombongan monyet tadi, mengganti semua hidangan masakan dan arak. Pesta dilanjutkan lagi dan kini suasana menjadi lebih gembira sebab mereka memperoleh bahan percakapan yang amat mengasyikkan, yaitu anak kecil pemimpin monyet-monyet tadi. Mereka menduga-duga dan mengkhayal menurut perkiraan masing-masing.

"Hemmm, anak angkatmu itu perlu dididik secara baik, kalau tidak kelak dia bisa menjadi binal," bisik Hok Boan kepada isterinya.

Dengan muka masih tetap menunduk, Si Kwi menjawab suaminya dengan bisikan pula. "Aku mengharapkan kebijaksanaanmu untuk mendidiknya."

"Jangan khawatir, anak angkatmu berarti juga anak angkatku. Karena telah menjadi anak angkat kita, maka dia harus dididik. Bukankah akan memalukan kalau anak angkat kita berwatak seperti monyet?"

Hok Boan berkelakar dan isterinya hanya tersenyum. Akan tetapi karena wajah itu berada di balik tirai manik, maka Hok Boan tidak melihat betapa wajah isterinya agak pucat dan betapa jantung wanita itu berdebar tegang.

Di antara para tamu itu terdapat seorang guru silat dari kota Koan-sun-jiu, seorang yang bernama Tio Kok Le. Dia mengenal baik Hok Boan sebab itu dia datang pula, akan tetapi diam-diam dia merasa iri hati melihat kemakmuran hidup Hok Boan.

Dulu pernah dia bersama Hok Boan menjadi teman senasib dalam keadaan yang serba kekurangan. Kini, setelah melihat betapa Hok Boan menjadi majikan Padang Bangkai dan menikah dengan wanita cantik, juga dapat mengadakan pesta pernikahan yang demikian mewahnya, mengundang banyak tokoh kang-ouw, hatinya menjadi iri.

Dia tahu pula akan peristiwa di kota Koan-sui, di mana Hok Boan hampir dikeroyok oleh murid-murid guru silat yang juga dikenalnya, pada saat Hok Boan berani main gila merayu anak perempuan guru silat itu. Bahkan dialah yang dahulu sudah membantu Hok Boan menyembunyikan diri ketika dikejar-kejar, dan membantunya mencari jalan keluar dan lari ke utara. Dia tahu pula siapakah Kui Hok Boan, tahu bahwa temannya ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang telah diusir karena berjinah dengan isteri petani dan ketahuan oleh gurunya.

Sekarang, melihat keadaan temannya serta melihat pula kehadiran seorang hwesio yang diketahuinya sebagai seorang tokoh Go-bi-pai, susiok dari temannya itu, dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan iri hatinya dengan jalan merusak suasana yang meriah dan tenang itu! Keberaniannya diperbesar karena semenjak tadi dia sudah terlalu banyak minum arak untuk menutupi iri hatinya. Kini dia bangkit berdiri, membawa guci dan cawan arak, agak terhuyung menghampiri tempat duduk kedua mempelai.

"Ha-ha-ha, Kui-hiante, apakah engkau sudah lupa kepadaku?" Tio Kok Le berkata sambil tertawa, berdiri di depan pengantin pria yang masih duduk.

Kui Hok Boan tersenyum, "Tentu saja tidak, Tio-twako. Duduklah dan nikmatilah hidangan kami seadanya."

"Cukup... sudah cukup... aku hanya ingin memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Kui-hiante." Biar pun dia agak limbung tetapi guru silat ini masih dapat menuangkan arak ke dalam cawan itu lalu menyerahkannya kepada Hok Boan.

Pengantin pria ini maklum bahwa bekas sahabat baiknya ini sudah mabok, maka dia pun menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih atas ucapan selamatmu, twako," lalu dia minum cawan itu sampai kosong.

"Ehh, mana walimu, Kui-hiante? Aku ingin memberi selamat kepada walimu."

Hok Boan mengerutkan alisnya. "Tio-twako, agaknya engkau sudah lupa bahwa aku tidak mempunyai ayah bunda lagi."

"Ha-ha-ha, yang kumaksudkan adalah gurumu, hiante."

Makin dalam kerut di antara kedua mata pengantin pria itu. "Tio-twako, kau tahu aku tidak mempunyai guru."

"Ahhh, di hari baik begini mengapa membohong, hiante? Engkau adalah murid Go-bi-pai yang pandai dan terkenal! Engkau adalah Kui-taihiap, jago muda dari Go-bi-pai, seorang tokoh kang-ouw baru di daerah utara ini!" Suaranya meninggi dan mengeras sehingga kini banyak tamu yang sudah menoleh dan memperhatikan guru silat itu.

"Tio-twako, sudahlah. Bekas suhu-ku juga sudah meninggal dunia. Kembalilah ke tempat dudukmu, twako, dan terima kasih atas kebaikanmu," Hok Boan membujuk.

Akan tetapi tentu saja Tio Kok Le tidak mau berhenti sampai di situ, karena memang dia bermaksud untuk mengacau dan membongkar rahasia riwayat busuk pengantin pria yang menimbulkan iri dalam hatinya itu. Dia menoleh ke arah tempat duduk hwesio tinggi besar muka hitam itu dan tiba-tiba wajahnya berseri,

"Haaa, bukankah beliau itu Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang menjadi susiok-mu, hiante?" Tio Kok Le lalu menghampiri tempat itu sambil membawa guci arak dan cawan kosong.

"Tio-twako, jangan...!" Hok Boan mencoba untuk mencegah.

Akan tetapi guru silat itu sudah menghampiri Lan Kong Hwesio dengan langkah lebar dan diikuti oleh pandang mata banyak tamu yang merasa tertarik. Dia lalu menjura di depan hwesio bermuka hitam itu.

"Locianpwe, harap locianpwe sudi menerima pemberian selamat saya kepada locianpwe untuk hari yang berbahagia ini."

Tentu saja pendeta itu tidak menerima suguhan cawan arak itu dan dengan alis berkerut dia bertanya, "Apakah maksudmu, sicu?"

Para tamu kini memandang ke arah mereka dengan penuh perhatian.

"Ah, bukankah locianpwe adalah Lan Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai?" Tio Kok Le bertanya dengan suara nyaring hingga terdengar oleh para tamu yang kini makin memperhatikan.

"Benar, pinceng seorang murid Go-bi-pai, bukan tokoh besar. Habis, mengapa?"

"Ha, kalau begitu saya tidak keliru. Kui Hok Boan merupakan murid mendiang Kaw Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai, sebab itu pengantin pria adalah keponakan locianpwe. Bukankah sepantasnya kalau locianpwe saya anggap sebagai walinya dan saya memberi selamat kepada locianpwe dengan secawan arak?"

Pendeta itu memandang dengan penuh selidik kepada wajah guru silat itu. "Omitohud, pinceng tidak mengerti apa yang sicu maksudkan dengan sikap ini, akan tetapi ketahuilah bahwa sudah sejak lama Kui-sicu bukan lagi terhitung murid Go-bi-pai. Pinceng datang bukan sebagai paman gurunya, melainkan sebagai tamu biasa, karena itu pinceng tidak dapat menerima selamat itu."

"Wah, wah ini namanya penasaran!" Guru silat itu berseru dengan muka merah, ditujukan kepada para tamu. "Pengantin pria adalah seorang gagah perkasa yang berkedudukan tinggi sebagai majikan Padang Bangkai dan sudah jelas dia merupakan tokoh Go-bi-pai, mengapa tidak diakui oleh golongan atasan dari Go-bi-pai sendiri? Locianpwe, agar tidak membikin para tamu yang terdiri dari kaum kang-ouw menjadi penasaran, harap sukalah locianpwe memberi tahu apa sebabnya pengantin pria tidak lagi dianggap sebagai murid Go-bi-pai?"

Wajah Kui Hok Boan menjadi pucat, maka dia memandang kepada guru silat itu dengan marah. Dia tidak tahu mengapa bekas sahabat baiknya itu secara tiba-tiba menyerangnya dengan ucapan seperti itu? Kalau saja dia tidak sedang menjadi pengantin dan menjadi tuan rumah, tentu sudah diserangnya bekas sahabat yang kini berkhianat itu, agaknya berusaha untuk mencemarkan namanya di dalam pesta ini!

"Sicu, urusan Go-bi-pai adalah urusan kami sendiri, sebagai orang luar sicu tidak berhak mencampuri atau bertanya-tanya!" ucapan hwesio itu dilakukan dengan nada menegur dan suara menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang. Secara diam-diam Hok Boan merasa kagum dan berterima kasih kepada bekas susiok-nya itu.

Tio Kok Le menyeringai setelah mendengar bentakan itu. Dia tidak berani main-main di depan hwesio ini, akan tetapi dia merasa belum puas apa bila belum berhasil menyeret nama teman atau bekas teman yang kini makmur itu ke lumpur penghinaan, maka dia lalu berkata lantang,

"Cu-wi sekalian, apakah cu-wi ingin mendengar mengapa pengantin pria tidak diakui lagi sebagai murid Go-bi-pai? Apakah cu-wi ingin mendengar apa yang pernah terjadi di kota Koan-sui ketika pengantin pria ini masih menjadi sahabat baikku senasib sependeritaan? Ha-ha-ha, cu-wi akan tertawa kegelian mendengar cerita-cerita saya yang amat lucu..."

"Orang she Tio! Apakah engkau bermaksud hendak mengacau hari baikku ini?" Tiba-tiba terdengar Hok Boan berteriak karena dia sudah marah sekali.

"Siapa dia yang mempunyai she Tio?" Suara ini nyaring merdu dan mengandung getaran sedemikian hebatnya sehingga mengatasi semua suara yang ada dan memaksa semua muka menoleh dan memandang ke arah pintu luar.

Sepasang pengantin itu sendiri merasa terheran-heran saat melihat bahwa tahu-tahu dari luar berjalan masuk seorang wanita yang amat luar biasa. Wanita ini tampak masih amat muda, agaknya paling banyak berusia dua puluh dua tahun, wajahnya memiliki kecantikan campuran antara wajah orang Han dan wajah orang Mongol. Kulitnya halus kuning seperti wanita Han.

Wajah yang cantik itu dirias dengan bedak dan yanci, juga bibirnya yang berbentuk indah itu dipermerah lagi dengan gincu. Rambutnya digelung dengan model seperti gelung puteri kerajaan dan agaknya rambutnya panjang sekali karena gelung itu malang melintang dan terhias hiasan rambut dari emas permata. Pakaiannya juga merupakan kombinasi pakaian Han dan Mongol, maka bila dilihat pantasnya dia adalah puteri bangsawan Mongol yang sudah ‘terpelajar’, yaitu sudah mempelajari kebudayaan Han.

Dari hiasan pakaian, tata rambut dan sikapnya yang angkuh, dengan dagu terangkat dan dada dibusungkan, dapat diduga bahwa dia tentu tergolong wanita keluarga bangsawan atau hartawan. Akan tetapi, sebatang pedang yang terikat di punggungnya mendatangkan rahasia keanehan meliputi dirinya. Lebih aneh lagi, wanita cantik ini membawa sebungkus hio (dupa bergagang) yang membuka bagian gagangnya.

Semua mata terus mengikuti gerakan wanita ini yang melangkah memasuki ruang pesta dengan sikap angkuh. Ketika dia menggerakkan tangan kiri yang memegang bungkusan hio itu, terdengar bunyi gelang-gelangnya berkerincing nyaring. Biar pun dia cantik manis dan memiliki bentuk tubuh yang padat menggiurkan, namun terdapat sesuatu yang amat dingin menyelubungi seluruh pribadinya, yang membuat orang-orang merasa seram dan berhati-hati.

Pada punggung wanita itu, selain sebatang pedang juga tergantung sebatang kayu papan yang bentuknya seperti salib dan sesudah tiba di tengah-tengah ruangan itu, mata yang berbentuk indah, lebar serta bersinar tajam itu memandang ke kanan kiri, lalu terdengar suaranya yang merdu dan nyaring seperti tadi.

"Siapa di antara kalian yang memiliki nama keturunan ini?" Tangan kanannya bergerak ke punggung melalui atas pundaknya dan tahu-tahu dia sudah memegang papan kayu yang berbentuk salib tadi lantas mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepalanya, membalikkan papan itu sehingga kini dapat terbaca tiga huruf besar yang tertulis di situ. Di atas papan yang melintang, terdapat tiga huruf yang berbunyi, CIA-YAP-TIO, tiga macam she (nama keluarga) Bangsa Han.

Semua orang membaca tiga huruf itu, akan tetapi tidak ada yang mengerti apa maksud wanita itu menanyakan tiga buah nama keturunan atau nama keluarga itu.

"Siapa tadi yang mengaku she Tio?" terdengar lagi dia bertanya, suaranya merdu sekali, akan tetapi juga nyaring melengking sehingga dapat terdengar oleh mereka yang duduk di bagian paling sudut dari ruangan pesta itu.

Tio Kok Le yang tadi sudah berada di puncak hendak menyeret turun pengantin laki-laki yang membuat dia iri hati itu, telah siap untuk mencemarkan nama Hok Boan di hadapan orang banyak, merasa amat mendongkol akibat kemunculan wanita ini yang dianggapnya mengganggu dan menggagalkan usahanya melampiaskan isi hatinya. Akan tetapi, ketika melihat wanita ini cantik dan berpakaian mewah, dia cepat-cepat melangkah maju dengan guci arak masih di tangan, menyeringai dan memandang wanita itu dengan mata haus.

"Sayalah she Tio bernama Kok Le, nona. Apakah saya akan menerima nasib baik seperti sahabatku Kui Hok Boan itu? Ha-ha, percayalah, mutu diriku tidak kalah oleh sahabatku itu!" Kok Le adalah manusia kasar, akan tetapi saat itu dia menjadi lebih kasar lagi karena pengaruh arak.

Akan tetapi suara ketawanya mendadak terhenti ketika secara tiba-tiba sinar mata wanita itu menyambar laksana kilat kepadanya. Dan wanita itu kembali berseru, "Siapa lagi yang she Cia, she Yap dan she Tio? Majulah yang merasa mempunyai she itu, jangan bersikap pengecut dan aku hendak bicara!"

Biar pun wanita itu memperlihatkan sikap luar biasa dan penuh rahasia, tapi nampaknya dia hanyalah seorang wanita muda yang cantik, maka tentu saja tidak menimbulkan rasa takut kepada orang-orang kang-ouw itu. Terdengar suara tertawa-tawa kemudian nampak beberapa orang laki-laki maju dan menghampiri wanita itu. Dua orang mengaku she Tio dan tiga orang pula mengaku she Yap. Tidak ada seorang pun she Cia.

"Hemm, hanya tiga orang she Tio dan tiga orang she Yap?" Wanita cantik itu bertanya dengan suara kecewa. "tidak seorang pun she Cia di sini?"

Tidak ada yang menjawab, dan agaknya memang tidak ada, atau kalau pun ada, tentu orang itu diam saja. Dan memang ada seorang she Cia dan beberapa orang lagi she Yap dan she Tio yang tidak mau melayani panggilan wanita itu. Enam orang laki-laki itu kini berdiri menghadapi si wanita, sikap mereka seperti anak-anak yang akan diberi hadiah, tersenyum-senyum agak malu-malu.

"He, nona manis. Engkau telah memanggil kami berenam di sini, sebenarnya kau hendak memberi apakah?" tanya salah seorang di antara mereka yang bernama keluarga Yap, orangnya tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, di punggungnya terselip sebatang golok besar.

Selain Tio Kok Le dan orang she Yap tinggi besar ini, empat orang yang lain juga jelas memperlihatkan diri sebagai orang-orang kang-ouw yang mempunyai kepandaian. Malah salah seorang di antara mereka, she Tio yang bertubuh tinggi kurus, membawa sepasang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) dan orang yang mahir memainkan senjata ini tentu memiliki ilmu silat yang sudah tinggi.

Akan tetapi wanita itu mencibirkan bibirnya dan makin tampak nyata sebuah titik tahi lalat hitam yang menghias dagunya sebelah kiri, menambah manis wajahnya. Wanita ini tidak menjawab, melainkan mengambil enam batang hio dari dalam bungkusan hio, kemudian menyelipkan sisa bungkusan di ikat pinggangnya.

Dengan sikap tenang sekali dia lalu membuat api dan menyalakan enam batang hio itu. Gerak-geriknya dilakukan dengan sikap tenang dan dingin sehingga di dalam kesunyian yang mencekam itu semua orang mengikuti semua gerak-geriknya sambil di dalam hati masing-masing semua orang menduga-duga apa yang hendak dilakukan oleh wanita luar biasa ini.

Sementara itu, Kui Hok Boan sudah hendak bangkit dari tempat duduknya untuk menegur wanita yang aneh dan yang dianggapnya hendak mengacaukan pestanya itu, akan tetapi tiba-tiba tangannya disentuh oleh tangan kanan Si Kwi. Dia menoleh dan melihat isterinya memandang dengan dua mata terbelalak ke arah papan salib yang bertuliskan tiga buah nama keluarga itu, bibirnya berbisik, "Jangan bergerak..."

Kui Hok Boan terheran-heran, akan tetapi melihat sikap isterinya dan juga melihat wajah isterinya yang tiba-tiba berubah pucat itu, ia merasa seram sehingga tidak jadi melakukan sesuatu, hanya menonton saja dengan berdebar dan dengan urat syaraf siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak wajar.

Kini wanita cantik itu telah selesai membakar enam batang hio. Enam orang she Tio dan she Yap itu sudah menjadi tidak sabar. Mereka berdiri bagaikan anak wayang, menjadi tontonan banyak orang akan tetapi didiamkan saja oleh wanita yang memanggil mereka, seolah-olah wanita itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada mereka.

"Heiiiii! Engkau memanggil kami mau bicara apakah?" bentak orang she Yap yang tinggi besar itu, nadanya kehilangan kesabaran dan sudah mulai marah.

"Nona yang baik, kalau aku akan kau ajak kawin, sebelum sembahyang harus memakai pakaian pengantin dulu!" Tio Kok Le berkelakar dan terdengar suara tertawa di sana-sini karena kelakar ini setidaknya mengurangi ketegangan hati mereka yang penuh dengan dugaan-dugaan.

"Aku akan menyembahyangi roh yang baru saja meninggalkan badannya."

"Ehh, dalam pesta pernikahan ini kenapa menyebut-nyebut orang mati? Siapa yang akan mati dan siapa yang akan kau sembahyangi itu?" tanya Tio Kok Le dengan mulut masih menyeringai dan menganggap ucapan wanita itu sebagai kelakar belaka.

"Hari ini yang kusembahyangi adalah enam orang, yaitu tiga oreng she Tio dan tiga orang she Yap. Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mati!"

"Heiii...!" Tio Kok Le membentak marah,

Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar api menyambar. Orang she Yap yang tinggi besar itu cepat mencabut golok, demikian pula empat orang lain sudah siap, akan tetapi mereka itu tidak mampu menghindar ketika ada sinar-sinar api meluncur dan menyambar ke arah mereka.

"Oughhh...!"

"Aduhhh...!"

"Iiiihkkk...!"

Jerit-jerit mengerikan terdengar susul-menyusul dan keenam orang itu roboh terpelanting, berkelojotan sebentar dan tidak bergerak lagi. Mereka itu tewas seketika dengan gagang-gagang hio menancap pada ulu hati mereka, menancap sampai dalam sekali, menembus jantung sehingga yang terlihat hanya sebagian hio yang masih terbakar dan mengepulkan asap. Senjata-senjata mereka terlempar ke sana-sini dan guci arak di tangan Tio Kok Le yang masih dipegangnya erat-erat itu tumpah hingga arak wangi berhamburan baunya.

Sesudah suara berisik jeritan mereka, diikuti jatuhnya senjata-senjata mereka lalu disusul robohnya tubuh mereka, disusul pula oleh teriakan dari para tamu, kini keadaan menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menyeramkan dan semua wajah menjadi pucat, semua mata memandang kepada wanita itu dengan terbelalak dan kebanyakan dari para tamu merasa ngeri dan jeri.

Menggunakan hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya dengan sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti iblis! Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di punggung dengan terbalik sehingga huruf-huruf itu tidak nampak lagi.

Tentu saja kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu menjadi marah. Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang laki-laki yang meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka.

"Siluman betina...!"

"Bunuh iblis keji ini!"

Mereka lalu menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Tapi dengan bibir masih tetap mencibir dan bersikap tenang saja wanita itu membiarkan mereka menerjang. Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang sudah mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak, dan nampaklah sinar bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya.

Terdengar delapan kali bunyi ledakan-ledakan seperti pecut, dan delapan orang itu lantas terhuyung ke belakang, senjata mereka terlepas dan mereka pun mengaduh-aduh sambil memegangi lengan tangan yang tersambar sinar merah itu, bahkan ada yang terbanting roboh dan ada pula yang lengannya berdarah, ada yang lepas sambungan tulang sikunya atau pergelangan tangannya! Delapan orang itu mundur semua dan memandang dengan mata terbelalak.

Wanita itu kini tersenyum mengejek. Senyuman itu dimaksudkan untuk mengejek, akan tetapi tahi lalat hitam di dagu itu betul-betul membuat dia nampak manis sekali pada saat tersenyum, sungguh pun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek.

"Untung bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak perlu aku membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia lalu melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai.

"Omitohud, dari mana datangnya wanita yang begini kejam?"

Seruan itu keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka hitam tokoh Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di hadapan wanita itu. Lan Kong Hwesio adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja dia selalu menentang segala bentuk kejahatan dan kekejaman, apa lagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam keselamatan sepasang mempelai.

Melihat hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju yang menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat digunakan untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main, wanita itu mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke depan.

"Pratttt…!"

Sabuk merah itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong Hwesio juga pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya wanita yang masih sangat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sinkang yang amat hebat, dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu menghendaki, tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua!

Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar yang tentu saja tidak mau mendiamkan fihak yang jahat merajalela, Lan Kong Hwesio sudah kembali menubruk ke depan. Sekali ini dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai, yang bernama jurus Siang-liong Pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha).

Dua tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin yang amat dahsyat dari dua jurusan. Gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang panjang itu laksana dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu.

"Plakk-plakk!”

“Aihhhhh...!" Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan meloncat ke belakang sambil melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai yang berjubah pendeta, tapi kenapa begitu kejam sudah mempergunakan jurus Siang-liong Pai-hud untuk membunuh orang?"

Ketika tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya tergetar. Dia kaget bukan main, apa lagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda ini mengenal ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan hanya dikenal oleh para tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang murid dengan tingkat seperti Kui Hok Boan itu pun tentu belum dapat mengenalnya!

Dan melihat betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia tidak akan heran kalau wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat memainkan jurus itu! Akan tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi makin penasaran.

"Omitohud...! Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab apa pun membunuh enam orang yang tidak berdosa, sekarang engkau berani menegur pinceng yang hendak menentang kejahatanmu?"

Sementara itu, para tamu sudah bangkit semuanya dan kini mengurung gadis itu sambil meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih mau pun golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini! Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu kesenangan mereka berpesta.

"Losuhu, aku bukanlah orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan semua orang she Cia, Yap dan Tio adalah urusan pribadi, merupakan permusuhan dan dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan setinggi langit. Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?"

Mendengar kata-kata ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu hingga berkali-kali mengucapkan kata-kata memuji untuk memohon kekuatan batin dari Sang Buddha yang dipujanya. "Omitohud... omitohud..."

Sementara itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka semua tidak ragu-ragu lagi dan karena itu mereka mulai berteriak-teriak.

"Bunuh siluman ini!"

"Tangkap iblis betina ini!"

"Kurung!"

"Serbu...!"
Akan tetapi tiba-tiba saja wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah bunyi ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari banyak sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu. Semua orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali prajurit berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat seperti tembok benteng yang kokoh kuat!

"Hemm, kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri Baginda Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak? Tempat ini telah dikepung oleh tiga ratus orang prajurit-prajurit sri baginda, dan kalian masih berani hendak mengurung aku? Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua mundur! Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah kami?"

Semua orang terkejut sekali. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang dulu pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu. Ternyata wanita ini adalah utusan raja itu untuk membasmi mereka!

Para tamu yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi mendadak Si Kwi bangkit berdiri, mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian berkata dengan suaranya yang lantang, "Cu-wi, sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi adalah tamu-tamu kami dan kalau ada sesuatu, kamilah yang harus bertanggung jawab karena kedatangan cu-wi adalah atas undangan kami!"

Kui Hok Boan merasa terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri sudah gemetar saking jerinya menyaksikan kelihaian wanita itu yang mampu menandingi susiok-nya dan yang telah membunuh enam orang secara begitu mudah dan mengerikan.

Tentu saja dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya belum pernah bercerita kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan subo-nya yang menjadi kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi juga mengenal raja liar itu, dan melihat tiga huruf yang menjadi tiga nama keturunan itu, Si Kwi segera mengerti siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Karena itu dia berani bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita yang mengaku utusan Raja Sabutai.

Kini wanita cantik itu telah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin wanita ini segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata, "Kami tidak tahu akan kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat menyambut. Harap sudi memaafkan kami."

Wanita itu tersenyum, dan kini senyumnya sangat ramah, membuat wajahnya nampak makin manis saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang prajurit Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah. Atas isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, prajurit ini menurunkan peti di depan kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki.

Wanita itu berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja Sabutai untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah bagi sepasang mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu.

Wajah di balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak pernah disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan masih ingat pula untuk mengirimkan hadiah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang Bangkai!

"Ahh...!" Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang sri baginda. Karena itu, harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai tamu agung kami."

Akan tetapi wanita itu menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya hanya menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu.

Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka telah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan dari beliau. Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan setelah melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apa lagi sesudah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio, maka beliau malah memberikan ucapan selamat dan hadiah, dengan pesan agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini masih termasuk daerah kekuasaan sri baginda, jadi sewaktu-waktu apa bila diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri baginda."

Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan cepat menariknya sehingga mereka berdua berlutut. "Harap sampaikan ucapan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami akan selalu mentaati perintah beliau."

Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi. "Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio."

Tanpa menanti jawaban dia segera membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu sambil berkata, suaranya nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman.

"Jika cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak tersisa lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.

Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat itu, membersihkan tempat pesta kemudian melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta sudah berubah dan para tamu tidak bisa bergembira lagi. Mereka semua menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang demikian lihainya, seorang wanita yang tidak saja mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat.

Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka dapat menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang prajurit Mongol. Peristiwa ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih mau pun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai!

Malam itu, setelah sepasang mempelai itu berada berdua saja di kamar, barulah Si Kwi memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-heran. Dia lalu bercerita bahwa suhu dan subo-nya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan pada waktu itu dia sendiri pun ikut dengan subo-nya tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pendekar sakti.

Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggota pasukan kerajaan pada saat dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sesungguhnya, maka dia merasa tertarik sekali.

"Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya.

"Tentu saja," isterinya menjawab. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku juga tak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."

"Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?"

Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang mempunyai kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barang kali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?"

"Tiga pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?"

"Pendekar she Cia itu ialah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong..."

"Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.

"Kenapa kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya. "Apakah kau kenal kau dengan nama itu?"

"Kenal? Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."

Si Kwi menggangguk kemudian menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah sekarang bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya menjadi gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.

"Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang lainnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?"

"Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..."

"Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong ini, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, kenapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she Tio?"

"Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan."

"Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itu pun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang?"

"Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw yang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."

"Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?"

Si Kwi mengangguk.

"Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?"

Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah semenjak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berada di fihak yang benar."

"Ahh, syukurlah, isteriku! Apa bila engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu mereka pun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?"

"Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-nio pun baru sekarang aku mendengarnya."

Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biar pun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk bersama-sama menghadapi segala bahaya, senasib sependeritaan, sehidup semati.

Mulai malam itu, kedua orang itu menemukan kebahagiaan. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal bila dia teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.

Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tiada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, tetapi ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian?

Karena sesungguhnya pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai dan membanding-bandingkan, semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.

Oleh karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebalikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebalikan ini pula yang menimbulkan adanya kebalikan tunggal, kebalikan abadi yang lalu menguasai serta menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Karena itu terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang!

Apakah kita bisa terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin bisa jika kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apa pun juga, adalah hal yang MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG!

Betapa pun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, baik dalam bentuk apa pun juga, pasti akan mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, maka timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.

Contohnya, seorang pendeta bertapa hendak mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini maka terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itu pun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini!

Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, apa bila perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian lagi? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu!

Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tetapi dalam keadaan perang tadi. Apa bila kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini akan menyadarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi?

Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, atau sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak pernah mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.

Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya.

Maukah kita menyadari semuanya ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA! HAYO...!

Sang waktu berlalu terus tanpa mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa mempedulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apa pun yang terjadi atas dirinya, ada mau pun tiada, begini mau pun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!

Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 05

Pendekar Lembah Naga Jilid 05
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PESTA berjalan dengan lancar dan hidangan-hidangan yang dikeluarkan adalah hidangan-hidangan pilihan karena memang Kui Hok Boan tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk menjamu para tamunya.

Selagi para tamu menikmati hidangan yang disuguhkan, mendadak terdengar suara hiruk pikuk, lantas teriakan-teriakan kaget itu menjalar ke dalam dan suasana gembira menjadi geger ketika para tamu melihat puluhan ekor monyet besar kecil menyerbu tempat pesta dipimpin oleh seorang anak kecil yang usianya belum ada empat tahun!

Seperti juga monyet-monyet lainnya, anak itu berloncatan dengan gerakan yang sangat cekatan. Mereka segera menyerbu makanan-makanan di atas meja, ada pun para tamu menjauhkan diri karena kaget dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Ketika para orang kang-ouw itu pulih kembali ketenangan mereka, tentu saja mereka menjadi marah saat melihat bahwa yang datang menyerbu itu adalah monyet-monyet liar besar dan kecil, maka mereka sudah siap untuk menghajar binatang-binatang itu.

Akan tetapi mendadak terdengar suara merdu dan nyaring, "Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan mengganggu monyet-monyet itu!"

Semua orang terkejut dan menoleh. Yang berbicara adalah pengantin wanita yang sudah bangkit berdiri di samping pengantin pria yang juga telah ikut berdiri. Dari balik tirai manik yang bergantungan di depan muka pengantin wanita, nampak sepasang mata yang tajam bersinar, kemudian terdengar suara nyaring yang ditujukan kepada anak kecil yang masih menikmati makanan di atas meja bersama monyet-monyet itu,

"Liong-ji (anak Liong), hayo lekas kau ajak teman-temanmu pergi! Lekas pergi!"

Anak itu memandang ke arah pengantin wanita, kelihatan sangat penasaran dan marah, kemudian mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya seperti seekor kera marah.

"Sin Liong, lekas ajak teman-temanmu pergi!" Kembali Si Kwi membentak dan sekali ini di dalam suaranya terkandung kemarahan.

Anak itu menyambar sepotong paha ayam, lalu meloncat turun dan sambil mengeluarkan mengeluarkan teriakan segera berlari keluar, diikuti oleh monyet-monyet besar dan kecil itu. Lucunya, ada monyet yang menyambar seguci arak, dan ada pula yang menyambar mangkok berikut sumpitnya.

Para tamu tertawa ketika melihat lagak monyet-monyet itu dan mereka terheran-heran memandang kepada pengantin wanita. Tadi pengantin itu menyebut anak yang memimpin monyet-monyet itu dengan ‘anak Liong’! Apa artinya ini? Apakah pengantin itu, yang bagi seorang pengantin usianya sudah tidak muda lagi, telah mempunyai anak?

"Cu-wi sekalian yang mulia," terdengarlah suara Hok Boan sambil menjura ke arah para tamu ada pun Si Kwi sudah duduk kembali sambil menundukkan mukanya. "Harap cu-wi memaafkan bila kedatangan rombongan monyet tadi mengejutkan dan mengganggu cu-wi. Hendaknya diketahui bahwa kumpulan monyet itu adalah monyet-monyet yang tinggal di sekitar tempat ini dan dipimpin oleh seorang anak kecil. Ketahuilah bahwa di sini terjadi hal aneh sekali. Dua tahun yang lalu anak itu ditemukan oleh isteri saya dalam keadaan luka-luka tergigit oleh ular beracun dan dirawat oleh monyet-monyet besar. Isteri saya lalu menolongnya dan merawatnya sampai sembuh, kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama Sin Liong. Akan tetapi, karena sejak kecil dirawat oleh monyet-monyet, agaknya anak itu masih suka bermain-main dengan rombongan monyet-monyet dan tidak kami sangka bahwa hari ini dia mengajak para monyet itu untuk ikut berpesta!"

Keterangan yang lucu ini disambut suara ketawa, akan tetapi semua tamu menjadi amat terheran-heran hingga suasana menjadi berisik karena membicarakan peristiwa aneh ini. Seorang bocah yang jelas adalah seorang manusia cilik, dirawat oleh monyet-monyet dan hidup di antara monyet-monyet!

Akan tetapi, dengan cekatan para pelayan cepat membereskan tempat-tempat yang telah dikacaukan oleh rombongan monyet tadi, mengganti semua hidangan masakan dan arak. Pesta dilanjutkan lagi dan kini suasana menjadi lebih gembira sebab mereka memperoleh bahan percakapan yang amat mengasyikkan, yaitu anak kecil pemimpin monyet-monyet tadi. Mereka menduga-duga dan mengkhayal menurut perkiraan masing-masing.

"Hemmm, anak angkatmu itu perlu dididik secara baik, kalau tidak kelak dia bisa menjadi binal," bisik Hok Boan kepada isterinya.

Dengan muka masih tetap menunduk, Si Kwi menjawab suaminya dengan bisikan pula. "Aku mengharapkan kebijaksanaanmu untuk mendidiknya."

"Jangan khawatir, anak angkatmu berarti juga anak angkatku. Karena telah menjadi anak angkat kita, maka dia harus dididik. Bukankah akan memalukan kalau anak angkat kita berwatak seperti monyet?"

Hok Boan berkelakar dan isterinya hanya tersenyum. Akan tetapi karena wajah itu berada di balik tirai manik, maka Hok Boan tidak melihat betapa wajah isterinya agak pucat dan betapa jantung wanita itu berdebar tegang.

Di antara para tamu itu terdapat seorang guru silat dari kota Koan-sun-jiu, seorang yang bernama Tio Kok Le. Dia mengenal baik Hok Boan sebab itu dia datang pula, akan tetapi diam-diam dia merasa iri hati melihat kemakmuran hidup Hok Boan.

Dulu pernah dia bersama Hok Boan menjadi teman senasib dalam keadaan yang serba kekurangan. Kini, setelah melihat betapa Hok Boan menjadi majikan Padang Bangkai dan menikah dengan wanita cantik, juga dapat mengadakan pesta pernikahan yang demikian mewahnya, mengundang banyak tokoh kang-ouw, hatinya menjadi iri.

Dia tahu pula akan peristiwa di kota Koan-sui, di mana Hok Boan hampir dikeroyok oleh murid-murid guru silat yang juga dikenalnya, pada saat Hok Boan berani main gila merayu anak perempuan guru silat itu. Bahkan dialah yang dahulu sudah membantu Hok Boan menyembunyikan diri ketika dikejar-kejar, dan membantunya mencari jalan keluar dan lari ke utara. Dia tahu pula siapakah Kui Hok Boan, tahu bahwa temannya ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang telah diusir karena berjinah dengan isteri petani dan ketahuan oleh gurunya.

Sekarang, melihat keadaan temannya serta melihat pula kehadiran seorang hwesio yang diketahuinya sebagai seorang tokoh Go-bi-pai, susiok dari temannya itu, dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan iri hatinya dengan jalan merusak suasana yang meriah dan tenang itu! Keberaniannya diperbesar karena semenjak tadi dia sudah terlalu banyak minum arak untuk menutupi iri hatinya. Kini dia bangkit berdiri, membawa guci dan cawan arak, agak terhuyung menghampiri tempat duduk kedua mempelai.

"Ha-ha-ha, Kui-hiante, apakah engkau sudah lupa kepadaku?" Tio Kok Le berkata sambil tertawa, berdiri di depan pengantin pria yang masih duduk.

Kui Hok Boan tersenyum, "Tentu saja tidak, Tio-twako. Duduklah dan nikmatilah hidangan kami seadanya."

"Cukup... sudah cukup... aku hanya ingin memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Kui-hiante." Biar pun dia agak limbung tetapi guru silat ini masih dapat menuangkan arak ke dalam cawan itu lalu menyerahkannya kepada Hok Boan.

Pengantin pria ini maklum bahwa bekas sahabat baiknya ini sudah mabok, maka dia pun menerima cawan itu dan berkata, "Terima kasih atas ucapan selamatmu, twako," lalu dia minum cawan itu sampai kosong.

"Ehh, mana walimu, Kui-hiante? Aku ingin memberi selamat kepada walimu."

Hok Boan mengerutkan alisnya. "Tio-twako, agaknya engkau sudah lupa bahwa aku tidak mempunyai ayah bunda lagi."

"Ha-ha-ha, yang kumaksudkan adalah gurumu, hiante."

Makin dalam kerut di antara kedua mata pengantin pria itu. "Tio-twako, kau tahu aku tidak mempunyai guru."

"Ahhh, di hari baik begini mengapa membohong, hiante? Engkau adalah murid Go-bi-pai yang pandai dan terkenal! Engkau adalah Kui-taihiap, jago muda dari Go-bi-pai, seorang tokoh kang-ouw baru di daerah utara ini!" Suaranya meninggi dan mengeras sehingga kini banyak tamu yang sudah menoleh dan memperhatikan guru silat itu.

"Tio-twako, sudahlah. Bekas suhu-ku juga sudah meninggal dunia. Kembalilah ke tempat dudukmu, twako, dan terima kasih atas kebaikanmu," Hok Boan membujuk.

Akan tetapi tentu saja Tio Kok Le tidak mau berhenti sampai di situ, karena memang dia bermaksud untuk mengacau dan membongkar rahasia riwayat busuk pengantin pria yang menimbulkan iri dalam hatinya itu. Dia menoleh ke arah tempat duduk hwesio tinggi besar muka hitam itu dan tiba-tiba wajahnya berseri,

"Haaa, bukankah beliau itu Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang menjadi susiok-mu, hiante?" Tio Kok Le lalu menghampiri tempat itu sambil membawa guci arak dan cawan kosong.

"Tio-twako, jangan...!" Hok Boan mencoba untuk mencegah.

Akan tetapi guru silat itu sudah menghampiri Lan Kong Hwesio dengan langkah lebar dan diikuti oleh pandang mata banyak tamu yang merasa tertarik. Dia lalu menjura di depan hwesio bermuka hitam itu.

"Locianpwe, harap locianpwe sudi menerima pemberian selamat saya kepada locianpwe untuk hari yang berbahagia ini."

Tentu saja pendeta itu tidak menerima suguhan cawan arak itu dan dengan alis berkerut dia bertanya, "Apakah maksudmu, sicu?"

Para tamu kini memandang ke arah mereka dengan penuh perhatian.

"Ah, bukankah locianpwe adalah Lan Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai?" Tio Kok Le bertanya dengan suara nyaring hingga terdengar oleh para tamu yang kini makin memperhatikan.

"Benar, pinceng seorang murid Go-bi-pai, bukan tokoh besar. Habis, mengapa?"

"Ha, kalau begitu saya tidak keliru. Kui Hok Boan merupakan murid mendiang Kaw Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai, sebab itu pengantin pria adalah keponakan locianpwe. Bukankah sepantasnya kalau locianpwe saya anggap sebagai walinya dan saya memberi selamat kepada locianpwe dengan secawan arak?"

Pendeta itu memandang dengan penuh selidik kepada wajah guru silat itu. "Omitohud, pinceng tidak mengerti apa yang sicu maksudkan dengan sikap ini, akan tetapi ketahuilah bahwa sudah sejak lama Kui-sicu bukan lagi terhitung murid Go-bi-pai. Pinceng datang bukan sebagai paman gurunya, melainkan sebagai tamu biasa, karena itu pinceng tidak dapat menerima selamat itu."

"Wah, wah ini namanya penasaran!" Guru silat itu berseru dengan muka merah, ditujukan kepada para tamu. "Pengantin pria adalah seorang gagah perkasa yang berkedudukan tinggi sebagai majikan Padang Bangkai dan sudah jelas dia merupakan tokoh Go-bi-pai, mengapa tidak diakui oleh golongan atasan dari Go-bi-pai sendiri? Locianpwe, agar tidak membikin para tamu yang terdiri dari kaum kang-ouw menjadi penasaran, harap sukalah locianpwe memberi tahu apa sebabnya pengantin pria tidak lagi dianggap sebagai murid Go-bi-pai?"

Wajah Kui Hok Boan menjadi pucat, maka dia memandang kepada guru silat itu dengan marah. Dia tidak tahu mengapa bekas sahabat baiknya itu secara tiba-tiba menyerangnya dengan ucapan seperti itu? Kalau saja dia tidak sedang menjadi pengantin dan menjadi tuan rumah, tentu sudah diserangnya bekas sahabat yang kini berkhianat itu, agaknya berusaha untuk mencemarkan namanya di dalam pesta ini!

"Sicu, urusan Go-bi-pai adalah urusan kami sendiri, sebagai orang luar sicu tidak berhak mencampuri atau bertanya-tanya!" ucapan hwesio itu dilakukan dengan nada menegur dan suara menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang. Secara diam-diam Hok Boan merasa kagum dan berterima kasih kepada bekas susiok-nya itu.

Tio Kok Le menyeringai setelah mendengar bentakan itu. Dia tidak berani main-main di depan hwesio ini, akan tetapi dia merasa belum puas apa bila belum berhasil menyeret nama teman atau bekas teman yang kini makmur itu ke lumpur penghinaan, maka dia lalu berkata lantang,

"Cu-wi sekalian, apakah cu-wi ingin mendengar mengapa pengantin pria tidak diakui lagi sebagai murid Go-bi-pai? Apakah cu-wi ingin mendengar apa yang pernah terjadi di kota Koan-sui ketika pengantin pria ini masih menjadi sahabat baikku senasib sependeritaan? Ha-ha-ha, cu-wi akan tertawa kegelian mendengar cerita-cerita saya yang amat lucu..."

"Orang she Tio! Apakah engkau bermaksud hendak mengacau hari baikku ini?" Tiba-tiba terdengar Hok Boan berteriak karena dia sudah marah sekali.

"Siapa dia yang mempunyai she Tio?" Suara ini nyaring merdu dan mengandung getaran sedemikian hebatnya sehingga mengatasi semua suara yang ada dan memaksa semua muka menoleh dan memandang ke arah pintu luar.

Sepasang pengantin itu sendiri merasa terheran-heran saat melihat bahwa tahu-tahu dari luar berjalan masuk seorang wanita yang amat luar biasa. Wanita ini tampak masih amat muda, agaknya paling banyak berusia dua puluh dua tahun, wajahnya memiliki kecantikan campuran antara wajah orang Han dan wajah orang Mongol. Kulitnya halus kuning seperti wanita Han.

Wajah yang cantik itu dirias dengan bedak dan yanci, juga bibirnya yang berbentuk indah itu dipermerah lagi dengan gincu. Rambutnya digelung dengan model seperti gelung puteri kerajaan dan agaknya rambutnya panjang sekali karena gelung itu malang melintang dan terhias hiasan rambut dari emas permata. Pakaiannya juga merupakan kombinasi pakaian Han dan Mongol, maka bila dilihat pantasnya dia adalah puteri bangsawan Mongol yang sudah ‘terpelajar’, yaitu sudah mempelajari kebudayaan Han.

Dari hiasan pakaian, tata rambut dan sikapnya yang angkuh, dengan dagu terangkat dan dada dibusungkan, dapat diduga bahwa dia tentu tergolong wanita keluarga bangsawan atau hartawan. Akan tetapi, sebatang pedang yang terikat di punggungnya mendatangkan rahasia keanehan meliputi dirinya. Lebih aneh lagi, wanita cantik ini membawa sebungkus hio (dupa bergagang) yang membuka bagian gagangnya.

Semua mata terus mengikuti gerakan wanita ini yang melangkah memasuki ruang pesta dengan sikap angkuh. Ketika dia menggerakkan tangan kiri yang memegang bungkusan hio itu, terdengar bunyi gelang-gelangnya berkerincing nyaring. Biar pun dia cantik manis dan memiliki bentuk tubuh yang padat menggiurkan, namun terdapat sesuatu yang amat dingin menyelubungi seluruh pribadinya, yang membuat orang-orang merasa seram dan berhati-hati.

Pada punggung wanita itu, selain sebatang pedang juga tergantung sebatang kayu papan yang bentuknya seperti salib dan sesudah tiba di tengah-tengah ruangan itu, mata yang berbentuk indah, lebar serta bersinar tajam itu memandang ke kanan kiri, lalu terdengar suaranya yang merdu dan nyaring seperti tadi.

"Siapa di antara kalian yang memiliki nama keturunan ini?" Tangan kanannya bergerak ke punggung melalui atas pundaknya dan tahu-tahu dia sudah memegang papan kayu yang berbentuk salib tadi lantas mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepalanya, membalikkan papan itu sehingga kini dapat terbaca tiga huruf besar yang tertulis di situ. Di atas papan yang melintang, terdapat tiga huruf yang berbunyi, CIA-YAP-TIO, tiga macam she (nama keluarga) Bangsa Han.

Semua orang membaca tiga huruf itu, akan tetapi tidak ada yang mengerti apa maksud wanita itu menanyakan tiga buah nama keturunan atau nama keluarga itu.

"Siapa tadi yang mengaku she Tio?" terdengar lagi dia bertanya, suaranya merdu sekali, akan tetapi juga nyaring melengking sehingga dapat terdengar oleh mereka yang duduk di bagian paling sudut dari ruangan pesta itu.

Tio Kok Le yang tadi sudah berada di puncak hendak menyeret turun pengantin laki-laki yang membuat dia iri hati itu, telah siap untuk mencemarkan nama Hok Boan di hadapan orang banyak, merasa amat mendongkol akibat kemunculan wanita ini yang dianggapnya mengganggu dan menggagalkan usahanya melampiaskan isi hatinya. Akan tetapi, ketika melihat wanita ini cantik dan berpakaian mewah, dia cepat-cepat melangkah maju dengan guci arak masih di tangan, menyeringai dan memandang wanita itu dengan mata haus.

"Sayalah she Tio bernama Kok Le, nona. Apakah saya akan menerima nasib baik seperti sahabatku Kui Hok Boan itu? Ha-ha, percayalah, mutu diriku tidak kalah oleh sahabatku itu!" Kok Le adalah manusia kasar, akan tetapi saat itu dia menjadi lebih kasar lagi karena pengaruh arak.

Akan tetapi suara ketawanya mendadak terhenti ketika secara tiba-tiba sinar mata wanita itu menyambar laksana kilat kepadanya. Dan wanita itu kembali berseru, "Siapa lagi yang she Cia, she Yap dan she Tio? Majulah yang merasa mempunyai she itu, jangan bersikap pengecut dan aku hendak bicara!"

Biar pun wanita itu memperlihatkan sikap luar biasa dan penuh rahasia, tapi nampaknya dia hanyalah seorang wanita muda yang cantik, maka tentu saja tidak menimbulkan rasa takut kepada orang-orang kang-ouw itu. Terdengar suara tertawa-tawa kemudian nampak beberapa orang laki-laki maju dan menghampiri wanita itu. Dua orang mengaku she Tio dan tiga orang pula mengaku she Yap. Tidak ada seorang pun she Cia.

"Hemm, hanya tiga orang she Tio dan tiga orang she Yap?" Wanita cantik itu bertanya dengan suara kecewa. "tidak seorang pun she Cia di sini?"

Tidak ada yang menjawab, dan agaknya memang tidak ada, atau kalau pun ada, tentu orang itu diam saja. Dan memang ada seorang she Cia dan beberapa orang lagi she Yap dan she Tio yang tidak mau melayani panggilan wanita itu. Enam orang laki-laki itu kini berdiri menghadapi si wanita, sikap mereka seperti anak-anak yang akan diberi hadiah, tersenyum-senyum agak malu-malu.

"He, nona manis. Engkau telah memanggil kami berenam di sini, sebenarnya kau hendak memberi apakah?" tanya salah seorang di antara mereka yang bernama keluarga Yap, orangnya tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, di punggungnya terselip sebatang golok besar.

Selain Tio Kok Le dan orang she Yap tinggi besar ini, empat orang yang lain juga jelas memperlihatkan diri sebagai orang-orang kang-ouw yang mempunyai kepandaian. Malah salah seorang di antara mereka, she Tio yang bertubuh tinggi kurus, membawa sepasang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) dan orang yang mahir memainkan senjata ini tentu memiliki ilmu silat yang sudah tinggi.

Akan tetapi wanita itu mencibirkan bibirnya dan makin tampak nyata sebuah titik tahi lalat hitam yang menghias dagunya sebelah kiri, menambah manis wajahnya. Wanita ini tidak menjawab, melainkan mengambil enam batang hio dari dalam bungkusan hio, kemudian menyelipkan sisa bungkusan di ikat pinggangnya.

Dengan sikap tenang sekali dia lalu membuat api dan menyalakan enam batang hio itu. Gerak-geriknya dilakukan dengan sikap tenang dan dingin sehingga di dalam kesunyian yang mencekam itu semua orang mengikuti semua gerak-geriknya sambil di dalam hati masing-masing semua orang menduga-duga apa yang hendak dilakukan oleh wanita luar biasa ini.

Sementara itu, Kui Hok Boan sudah hendak bangkit dari tempat duduknya untuk menegur wanita yang aneh dan yang dianggapnya hendak mengacaukan pestanya itu, akan tetapi tiba-tiba tangannya disentuh oleh tangan kanan Si Kwi. Dia menoleh dan melihat isterinya memandang dengan dua mata terbelalak ke arah papan salib yang bertuliskan tiga buah nama keluarga itu, bibirnya berbisik, "Jangan bergerak..."

Kui Hok Boan terheran-heran, akan tetapi melihat sikap isterinya dan juga melihat wajah isterinya yang tiba-tiba berubah pucat itu, ia merasa seram sehingga tidak jadi melakukan sesuatu, hanya menonton saja dengan berdebar dan dengan urat syaraf siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak wajar.

Kini wanita cantik itu telah selesai membakar enam batang hio. Enam orang she Tio dan she Yap itu sudah menjadi tidak sabar. Mereka berdiri bagaikan anak wayang, menjadi tontonan banyak orang akan tetapi didiamkan saja oleh wanita yang memanggil mereka, seolah-olah wanita itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada mereka.

"Heiiiii! Engkau memanggil kami mau bicara apakah?" bentak orang she Yap yang tinggi besar itu, nadanya kehilangan kesabaran dan sudah mulai marah.

"Nona yang baik, kalau aku akan kau ajak kawin, sebelum sembahyang harus memakai pakaian pengantin dulu!" Tio Kok Le berkelakar dan terdengar suara tertawa di sana-sini karena kelakar ini setidaknya mengurangi ketegangan hati mereka yang penuh dengan dugaan-dugaan.

"Aku akan menyembahyangi roh yang baru saja meninggalkan badannya."

"Ehh, dalam pesta pernikahan ini kenapa menyebut-nyebut orang mati? Siapa yang akan mati dan siapa yang akan kau sembahyangi itu?" tanya Tio Kok Le dengan mulut masih menyeringai dan menganggap ucapan wanita itu sebagai kelakar belaka.

"Hari ini yang kusembahyangi adalah enam orang, yaitu tiga oreng she Tio dan tiga orang she Yap. Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mati!"

"Heiii...!" Tio Kok Le membentak marah,

Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar api menyambar. Orang she Yap yang tinggi besar itu cepat mencabut golok, demikian pula empat orang lain sudah siap, akan tetapi mereka itu tidak mampu menghindar ketika ada sinar-sinar api meluncur dan menyambar ke arah mereka.

"Oughhh...!"

"Aduhhh...!"

"Iiiihkkk...!"

Jerit-jerit mengerikan terdengar susul-menyusul dan keenam orang itu roboh terpelanting, berkelojotan sebentar dan tidak bergerak lagi. Mereka itu tewas seketika dengan gagang-gagang hio menancap pada ulu hati mereka, menancap sampai dalam sekali, menembus jantung sehingga yang terlihat hanya sebagian hio yang masih terbakar dan mengepulkan asap. Senjata-senjata mereka terlempar ke sana-sini dan guci arak di tangan Tio Kok Le yang masih dipegangnya erat-erat itu tumpah hingga arak wangi berhamburan baunya.

Sesudah suara berisik jeritan mereka, diikuti jatuhnya senjata-senjata mereka lalu disusul robohnya tubuh mereka, disusul pula oleh teriakan dari para tamu, kini keadaan menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menyeramkan dan semua wajah menjadi pucat, semua mata memandang kepada wanita itu dengan terbelalak dan kebanyakan dari para tamu merasa ngeri dan jeri.

Menggunakan hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya dengan sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti iblis! Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di punggung dengan terbalik sehingga huruf-huruf itu tidak nampak lagi.

Tentu saja kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu menjadi marah. Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang laki-laki yang meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka.

"Siluman betina...!"

"Bunuh iblis keji ini!"

Mereka lalu menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Tapi dengan bibir masih tetap mencibir dan bersikap tenang saja wanita itu membiarkan mereka menerjang. Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang sudah mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak, dan nampaklah sinar bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya.

Terdengar delapan kali bunyi ledakan-ledakan seperti pecut, dan delapan orang itu lantas terhuyung ke belakang, senjata mereka terlepas dan mereka pun mengaduh-aduh sambil memegangi lengan tangan yang tersambar sinar merah itu, bahkan ada yang terbanting roboh dan ada pula yang lengannya berdarah, ada yang lepas sambungan tulang sikunya atau pergelangan tangannya! Delapan orang itu mundur semua dan memandang dengan mata terbelalak.

Wanita itu kini tersenyum mengejek. Senyuman itu dimaksudkan untuk mengejek, akan tetapi tahi lalat hitam di dagu itu betul-betul membuat dia nampak manis sekali pada saat tersenyum, sungguh pun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek.

"Untung bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak perlu aku membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia lalu melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai.

"Omitohud, dari mana datangnya wanita yang begini kejam?"

Seruan itu keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka hitam tokoh Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di hadapan wanita itu. Lan Kong Hwesio adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja dia selalu menentang segala bentuk kejahatan dan kekejaman, apa lagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam keselamatan sepasang mempelai.

Melihat hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju yang menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat digunakan untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main, wanita itu mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke depan.

"Pratttt…!"

Sabuk merah itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong Hwesio juga pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya wanita yang masih sangat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sinkang yang amat hebat, dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu menghendaki, tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua!

Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar yang tentu saja tidak mau mendiamkan fihak yang jahat merajalela, Lan Kong Hwesio sudah kembali menubruk ke depan. Sekali ini dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai, yang bernama jurus Siang-liong Pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha).

Dua tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin yang amat dahsyat dari dua jurusan. Gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang panjang itu laksana dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu.

"Plakk-plakk!”

“Aihhhhh...!" Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan meloncat ke belakang sambil melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai yang berjubah pendeta, tapi kenapa begitu kejam sudah mempergunakan jurus Siang-liong Pai-hud untuk membunuh orang?"

Ketika tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya tergetar. Dia kaget bukan main, apa lagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda ini mengenal ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan hanya dikenal oleh para tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang murid dengan tingkat seperti Kui Hok Boan itu pun tentu belum dapat mengenalnya!

Dan melihat betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia tidak akan heran kalau wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat memainkan jurus itu! Akan tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi makin penasaran.

"Omitohud...! Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab apa pun membunuh enam orang yang tidak berdosa, sekarang engkau berani menegur pinceng yang hendak menentang kejahatanmu?"

Sementara itu, para tamu sudah bangkit semuanya dan kini mengurung gadis itu sambil meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih mau pun golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini! Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu kesenangan mereka berpesta.

"Losuhu, aku bukanlah orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan semua orang she Cia, Yap dan Tio adalah urusan pribadi, merupakan permusuhan dan dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan setinggi langit. Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?"

Mendengar kata-kata ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu hingga berkali-kali mengucapkan kata-kata memuji untuk memohon kekuatan batin dari Sang Buddha yang dipujanya. "Omitohud... omitohud..."

Sementara itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka semua tidak ragu-ragu lagi dan karena itu mereka mulai berteriak-teriak.

"Bunuh siluman ini!"

"Tangkap iblis betina ini!"

"Kurung!"

"Serbu...!"
Akan tetapi tiba-tiba saja wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah bunyi ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari banyak sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu. Semua orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali prajurit berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat seperti tembok benteng yang kokoh kuat!

"Hemm, kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri Baginda Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak? Tempat ini telah dikepung oleh tiga ratus orang prajurit-prajurit sri baginda, dan kalian masih berani hendak mengurung aku? Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua mundur! Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah kami?"

Semua orang terkejut sekali. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang dulu pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu. Ternyata wanita ini adalah utusan raja itu untuk membasmi mereka!

Para tamu yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi mendadak Si Kwi bangkit berdiri, mengangkat tangan kanannya ke atas kemudian berkata dengan suaranya yang lantang, "Cu-wi, sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi adalah tamu-tamu kami dan kalau ada sesuatu, kamilah yang harus bertanggung jawab karena kedatangan cu-wi adalah atas undangan kami!"

Kui Hok Boan merasa terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri sudah gemetar saking jerinya menyaksikan kelihaian wanita itu yang mampu menandingi susiok-nya dan yang telah membunuh enam orang secara begitu mudah dan mengerikan.

Tentu saja dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya belum pernah bercerita kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan subo-nya yang menjadi kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi juga mengenal raja liar itu, dan melihat tiga huruf yang menjadi tiga nama keturunan itu, Si Kwi segera mengerti siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Karena itu dia berani bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita yang mengaku utusan Raja Sabutai.

Kini wanita cantik itu telah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin wanita ini segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata, "Kami tidak tahu akan kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat menyambut. Harap sudi memaafkan kami."

Wanita itu tersenyum, dan kini senyumnya sangat ramah, membuat wajahnya nampak makin manis saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang prajurit Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah. Atas isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, prajurit ini menurunkan peti di depan kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki.

Wanita itu berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja Sabutai untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah bagi sepasang mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu.

Wajah di balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak pernah disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan masih ingat pula untuk mengirimkan hadiah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang Bangkai!

"Ahh...!" Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang sri baginda. Karena itu, harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai tamu agung kami."

Akan tetapi wanita itu menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya hanya menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu.

Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka telah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan dari beliau. Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan setelah melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apa lagi sesudah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio, maka beliau malah memberikan ucapan selamat dan hadiah, dengan pesan agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini masih termasuk daerah kekuasaan sri baginda, jadi sewaktu-waktu apa bila diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri baginda."

Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan cepat menariknya sehingga mereka berdua berlutut. "Harap sampaikan ucapan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami akan selalu mentaati perintah beliau."

Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi. "Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio."

Tanpa menanti jawaban dia segera membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu sambil berkata, suaranya nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman.

"Jika cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak tersisa lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.

Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat itu, membersihkan tempat pesta kemudian melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta sudah berubah dan para tamu tidak bisa bergembira lagi. Mereka semua menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang demikian lihainya, seorang wanita yang tidak saja mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat.

Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka dapat menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang prajurit Mongol. Peristiwa ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih mau pun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai!

Malam itu, setelah sepasang mempelai itu berada berdua saja di kamar, barulah Si Kwi memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-heran. Dia lalu bercerita bahwa suhu dan subo-nya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan pada waktu itu dia sendiri pun ikut dengan subo-nya tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pendekar sakti.

Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggota pasukan kerajaan pada saat dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sesungguhnya, maka dia merasa tertarik sekali.

"Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya.

"Tentu saja," isterinya menjawab. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku juga tak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."

"Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?"

Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang mempunyai kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barang kali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?"

"Tiga pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?"

"Pendekar she Cia itu ialah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong..."

"Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan kepalang sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.

"Kenapa kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya. "Apakah kau kenal kau dengan nama itu?"

"Kenal? Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."

Si Kwi menggangguk kemudian menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah sekarang bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya menjadi gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.

"Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang lainnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?"

"Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..."

"Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong ini, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, kenapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she Tio?"

"Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan."

"Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itu pun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang?"

"Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw yang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."

"Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?"

Si Kwi mengangguk.

"Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?"

Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah semenjak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berada di fihak yang benar."

"Ahh, syukurlah, isteriku! Apa bila engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu mereka pun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?"

"Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-nio pun baru sekarang aku mendengarnya."

Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biar pun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk bersama-sama menghadapi segala bahaya, senasib sependeritaan, sehidup semati.

Mulai malam itu, kedua orang itu menemukan kebahagiaan. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal bila dia teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.

Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tiada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, tetapi ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian?

Karena sesungguhnya pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai dan membanding-bandingkan, semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan.

Oleh karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebalikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebalikan ini pula yang menimbulkan adanya kebalikan tunggal, kebalikan abadi yang lalu menguasai serta menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Karena itu terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang!

Apakah kita bisa terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin bisa jika kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apa pun juga, adalah hal yang MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG!

Betapa pun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, baik dalam bentuk apa pun juga, pasti akan mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, maka timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.

Contohnya, seorang pendeta bertapa hendak mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini maka terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itu pun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini!

Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, apa bila perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian lagi? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu!

Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tetapi dalam keadaan perang tadi. Apa bila kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini akan menyadarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi?

Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, atau sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak pernah mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan.

Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya.

Maukah kita menyadari semuanya ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA! HAYO...!

Sang waktu berlalu terus tanpa mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa mempedulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apa pun yang terjadi atas dirinya, ada mau pun tiada, begini mau pun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!

Selanjutnya,