Pendekar Lembah Naga Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 02
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA saat terjadi pertempuran-pertempuran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pendekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, bersama semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat berbahaya dan mengerikan itu sudah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai?

Si brewok itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai sudah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... ehhh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!"

"Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menangkap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi.

"Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul tendangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka.

"Plak-plak! Dess-desss…!"

Dua orang itu memekik kemudian terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat hal ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok segera mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya.

"Ternyata engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga langsung menggerakkan golok mereka menyerang.

Akan tetapi Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal mengapa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tak menjadi gentar. Dengan ginkangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.

Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, menonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona majikan mereka benar-benar sangat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan segebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat semakin mendalam karena majikan mereka ternyata merupakan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat!

"Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi lantas tangan kanannya menyambar.

"Krekkk!"

Jari-jari tangan yang halus akan tetapi karena diisi oleh tenaga sinkang menjadi kaku dan keras bagaikan baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluarkan suara bagai babi disembelih, tubuhnya roboh berkelojotan. Sebuah tendangan kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak sehingga dia tidak berkelojotan lagi!

Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya, maka suara angin itu dapat ditangkapnya sehingga dia cepat miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit itu menotok siku tangan orang yang memegang golok.

"Dukkk!”

“Uhhhhh...!" Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik.

"Cappp...!" Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung!

Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kiri sehingga darah yang mengucur keluar dari perut itu tak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang. Namun golok di tangan Si Kwi langsung terbang menyambar dan menancap di punggung seorang di antara mereka. Orang itu terhuyung dan roboh menelungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di dalam gelap.

Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat kelima orang itu dan melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itu pun menghilang di dalam jurang gelap. Si Kwi segera kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga sekali!

"Ibu...!" Sin Liong meloncat ke dada ibunya.

Si Kwi memeluknya sambil berkata, "Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!"

"Toanio, siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?" seorang di antara para pelayannya bertanya.

Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, lalu dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat pandai, akan tetapi sekarang sudah kosong dan ternyata ditempati oleh segerombolan perampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang salah seorang di antara mereka sempat melarikan diri, maka kepala perampoknya tentu akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sanggup menghadapi mereka!" kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah, yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu.

Melihat sikap majikan mereka yang gagah, dan karena sudah pula menyaksikan sendiri kelihaian majikan mereka ini, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan mereka pun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka.

Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudian, pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahunan. Laki-laki ini memegang sebatang tombak bergagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah.

Wajahnya yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya sangat tajam. Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan kekerasan.

Kali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan istana. Lima orang pelayannya, biar pun belum pandai ilmu silat, namun mereka pun telah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini dia memanjat genteng dan bersembunyi di wuwungan genteng istana, sambil mengintai!

Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, kemudian membuat barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak bergerak, berkedip pun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus dia menyebarkan paku-paku hitamnya!

Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki.

Biar pun orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentunya seorang ahli lweekeh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat.

Juga, orang yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak jauh lebih sukar dipelajari dari pada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati.

Si kepala perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak buahnya yang datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa dengan seorang diri saja siluman wanita cantik dari Istana Lembah Naga berhasil membunuh lima orang anak buahnya dengan mudah! Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa wanita muda cantik itu tentu adalah seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan.

Akan tetapi, sesudah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah dia melihat tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah pula dia mendengar tentang seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan. Dia meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir keadaan lawan masing-masing.

"Toanio," si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan tetapi dia tidak memberi hormat. "Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami tinggal di Padang Bangkai dan sejak setengah tahun yang lalu, boleh dibilang saya adalah majikan Padang Bangkai."

Si Kwi menjebikan bibirnya. "Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-bin Ciu-kwi yang sekarang sudah mati dan setahuku, dia tidak mewariskannya kepada siapa pun juga."

Sin-jio Coa Lok memandang dengan alis berkerut dan mukanya yang berwarna kuning itu menjadi agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia menumbuk tanah dengan gagang tombaknya, kemudian baru dia berkata lantang, "Memang tidak ada yang mewariskan Padang Bangkai kepadaku, namun mendiang Ang-bin Ciu-kwi adalah seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah sepantasnya apa bila aku melanjutkan pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada yang berkeberatan terhadap hal itu?" Pertanyaan itu mengandung tantangan dan matanya memandang tajam kepada Si Kwi.

Kembali Si Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Huh, siapa peduli tentang Padang Bangkai tempat buruk yang terkutuk itu? Aku adalah pemilik dan penghuni Istana Lembah Naga dan aku tidak peduli siapa yang menempati Padang Bangkai!"

Kepala perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang ketika dia berkata lagi, "Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi, tentu bukanlah sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan toanio?"

"Namaku Liong Si Kwi, orang menyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang subo-ku adalah Hek I Siankouw dan suhu-ku adalah Hwa Hwa Cinjin." Si Kwi yang tidak ingin mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subo-nya berikut kekasih subo-nya untuk membikin keder hati orang itu.

Dan usahanya memang berhasil. Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, tampak gentar juga. Akan tetapi dia segera teringat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya saja, maka dia tersenyum dan berkata, "Ahh, kiranya Liong-toanio adalah murid para locianpwe itu!"

"Kalau engkau sudah mengenal mendiang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap kau suka pergi saja secepatnya dari sini," kata Si Kwi.

Sesungguhnya Si Kwi sama sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk bermusuhan. Apa lagi orang-orang ini adalah para penghuni Padang Bangkai yang boleh dibilang merupakan tetangganya, maka hidupnya serta hidup anaknya tidak akan menjadi tenang dan tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai.

"Toanio, sesungguhnya kami pun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio tidak membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu." Kepala perampok itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan tidak mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini adalah murid Hek I Siankouw.

Si Kwi maklum bahwa kepala perampok itu telah mulai membuka kartunya. Maka dia pun tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang, "Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak buahmu yang berhasil lolos dari tanganku itu? Tanyakan saja kepadanya apa yang menyebabkan lima orang anak buahmu mati terbunuh olehku di sini!"

Wajah kepala perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia tidak boleh memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apa lagi jeri menghadapi wanita cantik ini. Maka dia berkata, "Liong-toanio, tentu saja aku sudah menerima laporan, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya sendiri."

"Hemmm, begitukah? Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari muncul enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, mengeluarkan ucapan kotor yang tidak senonoh, kemudian mereka hendak mempergunakan kekerasan menghina aku dan lima orang pelayanku. Coba kau jawab, tai-ong, apakah perbuatan mereka itu tidak patut untuk dihukum mati? Apakah kini kau sengaja datang untuk membela mereka yang sudah berani menghina aku?" Pertanyaan terakhir ini merupakan sebuah tantangan yang tidak langsung.

Coa Lok menoleh kepada anak buahnya dan dapat melihat betapa wajah anak buahnya kelihatan penasaran dan marah. Dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. "Liong-toanio, tentu engkau maklum akan sikap laki-laki yang sudah lama tinggal di hutan belukar dan jauh dari para wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurang ajaran mereka, akan tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak bisa merelakan kematian mereka begitu saja, baik olehmu mau pun oleh siapa pun juga."

"Bagus! Lalu kau mau apa? Mau mengeroyok aku? Hayo majulah, jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!" Si Kwi sengaja mengeluarkan gertakan ini untuk menyinggung kehormatan Sin-jio Coa Lok sebagai seorang pemimpin perampok yang berkepandaian.

"Ho-ho-ho, kau sungguh takabur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Bila engkau telah membuktikan dapat mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihaianmu dan akan bersedia mintakan maaf kepadamu bagi para anak buahku, kemudian untuk selanjutnya tak akan mengganggu Istana Lembah Naga."

"Baik, hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan aku pun sama sekali tidak berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapa pun yang datang hendak mengganggu kami, baik dari Padang Bangkai mau pun dari akhirat, tentu akan kuhadapi dengan pedang di tangan!" Sesudah berkata demikian, tangan kanan wanita itu bergerak ke pinggang.

"Singggg...!"

Nampak cahaya menyilaukan dan pedang itu sudah dicabutnya, pedang yang berkilauan saking tajamnya karena sejak terjadi penyerbuan, maka tiga hari yang lalu Si Kwi sudah menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap.

"Liong-toanio!" Coa Lok berkata sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan sikap gagah. "Aku sudah berianji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku, aku berjanji tidak akan memperbolehkan siapa pun menggangu Istana Lembah Naga. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan sebaliknya aku mengalahkan pedangmu?"

Si Kwi berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang kasar yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan bila dia sampai kalah oleh kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih menguntungkan mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan kalau sampai dia benar kalah, hal yang dia anggap mustahil.

"Jika sampai aku kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerahkan Istana Lembah Naga ini kepadamu."

Berseri wajah kepala perampok itu. "Bagus! Itu janji yang adil!" serunya.

Si Kwi menjanjikan hal itu tidak terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum bahwa tanpa dijanjikan sekali pun, kalau sampai dia kalah bukan saja dia dan para pelayannya akan mengalami mala petaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka!

"Nah, kita sudah saling berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Mulailah, tai-ong!" dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut ditekuk agak turun dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan lengan dikembangkan.

"Jagalah, toanio!" Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, lebih dahulu memperingatkan sebelum menyerang laksana sikap seorang gagah tulen, padahal dia ini adalah kepala perampok yang biasanya tidak mempedulikan sopan santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

"Hyaahhhhh...!" kepala perampok itu membentak pada saat mata tombaknya menyambar ganas.

"Haaaaiiiitttt...!" Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya.

Tahulah dia bahwa lawannya ini tidak percuma mempunyai julukan Sin-jio (Tombak Sakti) sebab ternyata gerakan ilmu tombaknya memang amat cepat. Dia tidak hanya mengelak, melainkan mengelak sambil mengirimkan serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil mencondongkan tubuhnya.

"Singggg...! Tranggg...!"

Sekarang Coa Lok yang terkejut. Tidak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka dia pun memutar tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang.

Sambil memutar tombak di atas kepala sehingga membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang. Ujung tombaknya tergetar hingga bayangannya pecah-pecah menjadi empat lima batang yang semuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluarkan bunyi nyaring.

"Bagus...!" Si Kwi memuji karena memang dia sangat kagum menyaksikan ilmu tombak yang dahsyat ini.

Dia pun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak lawan, dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar pedangnya lantas mainkan ilmu pedangnya yang sangat hebat. Itulah ilmu pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun.

Ilmu ini sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw. Ilmu yang biasanya dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu sehingga ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata, terutama senjata pedang.

"Ehhh...!" Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar yang mencegah tombaknya menembus namun di lain fihak dari gulungan sinar itu mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat berbahaya.

Sesudah mengerahkan ginkang-nya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, bahkan tenaga sinkang-nya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan ginkang-nya saja yang masih melebihi lawan, sehingga jika dia mau, tentu dia dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu.

Akan tetapi dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para perampok itu untuk merampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apa lagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia akan memiliki tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlukannya.

Akan tetapi, oleh karena di dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang banyak, dan dia hanya mengandalkan ginkang-nya, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan lawan tanpa melukainya. Karena itu dia lalu menggunakan akal.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu sudah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia berseru, "Tai-ong, awas paku!"

Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahnya yang berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali menggunakan senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang telah menyimpan pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua kakinya.

Sin-jio Coa Lok terkejut sekali dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tombaknya. Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat ditangkisnya dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali.

"Trang-cringgg...! Plakkk!"

Dua kali pedangnya berhasil ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi secara tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu hingga tanpa dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya.

Tubuh Si Kwi berkelebat, tombak menyambar tetapi Si Kwi langsung menendang gagang tombak, sehingga serangan tombak menyeleweng ke samping dan sebelum Coa Lok bisa mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel pada lehernya dari belakang!

"Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!" kata Si Kwi, akan tetapi dia lalu meloncat lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya.

Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang tadi kena tendang, kemudian menancapkan tombaknya di atas tanah di hadapannya. Dia maklum bahwa sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan jika wanita itu menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata,

"Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku berjanji tak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapa pun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku."

Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar ini. Maka dia pun balas menjura. "Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu sangat hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang. Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaikan. Maafkan tentang peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah paham."

"Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami." Sin-jio Coa Lok lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya sesudah memberi isyarat kepada para anak buahnya.

Para perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh rasa kagum. Mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan terhadap wanita lihai itu, lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka.

Si Kwi memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu. Mula-mula dia memperlihatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu ke istana. Kemudian, pada saat kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia sudah memperlihatkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak diganggu!

Dan kepala perampok yang berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, sehingga dia segera melupakan kematian lima anak buahnya karena dengan kepandaiannya, kalau wanita yang buntung tangan kirinya itu pun telah mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu menghendaki tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus mendatangkan rasa takluk, segan dan hormat di dalam hatinya sehingga semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si Kwi.

Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup mewah dan cukup terjamin. Sekarang wanita ini tampak penuh gairah hidup, gembira dan bersemangat, kelihatan cantik serta selalu berpakaian indah serba merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria!

Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih senang bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan terhadap dirinya. Demikianlah, biar pun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi merasa cukup bergembira.

********************

Di kaki Pegunungan Khing-an-san sebelah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Selama beberapa tahun ini dusun itu mengalami kemajuan, yaitu setelah para penghuninya mengusahakan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuhkan barang-barang itu, maka semua penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu.

Tempat yang ramai dan makmur senantiasa menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu sangat ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekali dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu menjadi makin besar dan ramai.

Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang sudah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan sejak kecil dia tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai.

Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang terbuat dari besi adalah buatan orang she Bhe ini. Akan tetapi, apa bila keahlian Bhe Coang hanyalah membuat alat-alat besi saja, agaknya namanya tidak akan terkenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini.

Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung kemudian mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.

Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang sangat indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang sangat baik.

Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang hingga membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguh pun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, namun seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur. Dan mengenal ilmu silat karena dia pernah mempelajarinya, walau pun tidak secara mendalam.

Ketenarannya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya tetapi karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuatkan pedang. Mereka berani membayar berapa pun juga sehingga Bhe Coan tak kekurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia pun terkenal sebagai orang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua, baik dari golongan hitam mau pun putih, datang minta dibuatkan pedang olehnya.

Akan tetapi, bila dalam pekerjaannya pandai besi ini dapat dikatakan berhasil, sebaliknya dalam kehidupan rumah tangganya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama.

Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Setelah tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, pada dua tahun yang lalu, isterinya itu meninggal dunia ketika melahirkan seorang bayi perempuan!

Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak terdapat banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja anak perempuan yang terlahir selamat itu akan dibanting serta dibunuhnya karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta!

Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, walau pun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya akibat ditinggal mati oleh isterinya yang tercinta itu. Selanjutnya dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat dan menjaga anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu.

Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak sekali penghuni baru. Kemudian, beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah seorang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit.

Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya juga menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, sungguh pun sebagai penghuni baru dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan dari hasil menjahit pakaian di dusun yang mulai maju itu.

Banyak pria di Pek-hwa-cung yang terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru satu tahun ditinggal mati isterinya, maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya!

Dan ternyata bahwa janda itu sangat pandai dalam merayu hati pria sehingga terobatlah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dalam waktu beberapa bulan saja dia pun jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya! Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah.

"Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih di antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kau serahkan kepada orang lain supaya dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, akan tetapi masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat."

Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka maka akhirnya, sesudah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang sering kali keluar masuk batas propinsi di utara, keluar atau masuk daerah propinsi itu.

Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuatkan pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah pula membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu.

Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini kemudian memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu, dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama ingin mempunyai seorang anak perempuan. Dia hanya memiliki seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Karena itu saat dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Si Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang baru saja menikah dengan janda cantik itu.

Na Ceng Han adalah orang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman, dan dia memiliki pandangan yang amat bijaksana. Andai kata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Ia maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Di samping ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, karena itu dia menerimanya dan anak perempuan berusia setahun lebih itu dibawanya pulang ke kota Shen-yang.

********************

Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, dia pun sudah memiliki cita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apa bila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah.

Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan, isterinya itu merupakan seorang peranakan Mancu sehingga sudah menganggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya sendiri, bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya.

Betapa pun juga, isterinya itu bersikap manis kepadanya sehingga dia terhibur juga dan biar pun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya akan tetapi dia merasa cukup gembira, hidup rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan sekarang isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli beberapa perabot baru dan sebagainya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja mulai pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya.

Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibuatnya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada saat itu pula kebetulan isteri Bhe Coan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya. Jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi kemerahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum.

Yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun akan tetapi gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau seorang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, dan mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang lelaki yang bisa menundukkan hati wanita, seorang pria petualang asmara!

Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatunya masih baru, biar pun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang juga kelihatan telah kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula.

Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri. Akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apa lagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu.

"Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?"

Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehingga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang kedua matanya yang tajam mengerling dari bawah.

"Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan..." Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang.

"Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Aht nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?"

Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. "Hi-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik."

"Apa...?" Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. "Nona... eh, nyonya tidak main-main?"

"Kenapa?" Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi.

"Sungguh mati siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... ehh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf..."

Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian lainnya yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita dari pada dikatakan masih kelihatan muda, apa lagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini!

"Ahhh, kongcu terlalu memuji..." katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. "Suami saya memang sudah berusia hampir empat puluh, akan tetapi saya pun sudah... ehhh, hampir tiga puluh tahun..."

"Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!"

Jantung nyonya itu semakin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, "Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?"

"Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapa pun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh..." di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik "...melihat nyonya sebagai isterinya, maka saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih..."

Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia mengangkat muka memandang wajah pria itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali.

"Dia sedang bekerja di dapur, harap kongcu langsung saja masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan." Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumahnya.

Ia langsung memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuhnya yang baru saja mendapat pujian secara tak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu, pujian dari seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasakan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar.

Sementara itu, sambil tersenyum sasterawan itu mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata penuh kekaguman, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah.

Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia juga tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia bersikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita mana pun yang dijumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci.

Sesudah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana terdengar suara berdentang dan berdencingnya besi bertemu besi.

Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara berdencing itu berhenti, dan pada saat dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang lelaki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya belepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Tampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu samping rumah tetapi sempat melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk.

Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan membungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikit pun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu. Kemudian, sesudah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu.

Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dengan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sasterawan itu.

Sejenak Bhe Coan hanya tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan ada pula utusan dari pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan yang memesan pedang!

Umumnya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kuas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Karena itu dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu.

Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. "Tadi saya sudah diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?"

Sepasang mata pandai besi itu bersinar, tanda bahwa kata-kata pemuda sasterawan itu berkenan di hatinya. Dia pun merasa terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berkepandaian seperti para sasterawan bersikap angkuh dan merasa lebih tinggi dari pada orang-orang kasar seperti dia, tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali.

"Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ahh, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja..."

Kui Hok Boan tersenyum lebar, nampak giginya yang putih bersih. "Bhe-twako, ternyata twako adalah seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hormat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang..."

"Ahhh...!" wajah pandai besi itu kelihatan berseri mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. "Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?"

Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran kemudian balik dia bertanya,

"Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?"

"Hubungan baik sekali!" Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia apa pun. "Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?"

Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan kembali menghormat kepada pandai besi itu. "Aihhh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!"

Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegang kedua tangan sasterawan itu. "Kui-kongu, saya gembira sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?"

Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia lantas tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, "Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat ada seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali?"

Bhe Coan mengangguk-angguk. "Benar... benar... itulah dia anak saya, itulah Bi Cu anak saya..." Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya ketika mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat!

"Kiranya anak itu anak twako? Ahh, selamat, twako. Anak twako begitu manis!"

"Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ahhh, kongcu, marilah kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu adalah seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu..." Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor.

Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu menggandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah.

"Kui-kongcu, perkenalkan, ini adalah isteri saya. Ahh, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari kota Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat."

Kui Hok Boan cepat-cepat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, "Twaso, maafkan kalau saya mengganggu."

Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan dia pun cepat-cepat balas menjura sambil berkata, "Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya, tentu saja tidak mengganggu."

"Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kau sediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!" kata pandai besi itu.

Leng Ci bergegas pergi meninggalkan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan. Dia pun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung.

Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya.

Ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh itu merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri.

Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak beserta masakan yang telah diselesaikannya. Setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pemuda tampan itu pun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan.

"Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu juga amat luas sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran kalau mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?" Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum.

Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawer mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia lalu meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan sekarang dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya,

"Selamanya saya sendiri pun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!"

Bhe Coam tertawa. "Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Dia pun tentu merasa heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, bila kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang..."

"Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?" Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu.

Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alis, kemudian baru menjawab, "Sebenarnya, pedang yang saya pesan bukan untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa pada tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu..."

"Ahhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ahhh, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti."

"Benar, kongcu. Silakan makan seadanya, dan maklumlah, karena tinggal di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik."

Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, kemudian kepada Leng Ci, "Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, sudah menerima kedatangan saya sebagai seorang anggota keluarga saja. Oleh karena itu, rasanya tidak enak apa bila saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masakan-masakan ini. Kalau boleh, saya persilakan agar twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggota keluarga sendiri?"

Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apa lagi dia pun merupakan keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga bisa dipercaya. Maka, mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah.

"Ha-ha-ha, Leng Ci isteriku. Mengapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat kita, dan memang seperti anggota keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!"

Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini segera menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, "Silakan minum, Kongcu."

Bhe Coan mengangkat cawannya kemudian berkata, "Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!"

Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, "Twaso, mana arakmu?"

"Ha-ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!"

Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka.

"Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya." Hok Boan lalu berkata sambil kembali menuangkan arak ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak.

Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum. Kemudian, sesudah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah dipengaruhi arak, tak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan.

Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di hadapannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika mendadak kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya.

"Ihhkk...!" serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu.

"Ehh, kenapa kau...?" Suaminya bertanya heran.

Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab.

"Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso," kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu.

Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Sesudah minum dia lalu memandang suaminya dan tersenyum.

"Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya." Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran.

Kui Hok Boan tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagi yang tidak biasa minum, memang arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang sudah biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, walau pun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain." Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah.

Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. "Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa lagi?"

Sasterawan muda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok ketika melihat sesuatu yang indah menarik...," kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang sekarang menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apa lagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya!

Nyonya itu tidak berani bergerak, takut apa bila diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian keras sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya.

"Sebaiknya aku menyingkirkan mangkok-mangkok kosong sekalian mencucinya."
Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi kalau pun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bahwa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak.

"Dan saya pun harus berpamit untuk mencari penginapan dulu. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?"

"Kurang lebih tujuh hari."

"Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini." Kongcu itu bangkit pula.

Mendengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja melainkan tetap berdiri memandang wajah tampan yang sekarang agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, baginya kemerahan wajah suaminya malah menambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat di antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang.

"Kui-kongcu sudah seperti keluarga kita sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu pedang itu jadi," katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik.

"Kau setuju? Ha-ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku yang berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami..."

"Ah, twaso dan twako sungguh budiman dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?"

"Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...," kata Leng Ci.

"Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau tidak akan menang, maka harap engkau suka menerima saja, sementara tinggal di sini bersama kami supaya kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke mana pun untuk melewatkan waktu menganggur."

Kui Hok Boan menghela napas memperlihatkan sikap kewalahan, lantas dia menjura dan berkata, "Baiklah, apa bila twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan."

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu..."

"Bhe-twako, setelah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan menyebut kongcu kepadaku. Bukankah kini kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku."

"Ahhh, mana saya berani?"

"Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?"

"Ha-ha-ha, ternyata engkau juga pandai berdebat seperti twaso-mu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku."

Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang lebih dulu sudah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang.

Ternyata sasterawan muda itu dapat bersikap sangat menyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud hendak menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu.

Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia semakin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apa lagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiupan suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Malah di waktu dia tidur dengan suaminya, dia sering membayangkan alangkah akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih!

Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk mendekati Hok Boan dan dia selalu menghindar, sungguh pun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apa bila bertemu dengan dia.

Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas!

Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa sangat penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya, dan dia pun bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apa pun juga!

Memang demikianlah sifat nafsu apa pun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keinginan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang dinikmati, dikunyah lagi seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya.

Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan bisa dinikmati nanti, kemudian menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu birahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita hingga membuat kita mata gelap, tidak lagi peduli akan cara-cara yang bagaimana pun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar mau pun cara yang kotor!


Sesudah tinggal di sana selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdengar suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya.

Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Pada saat dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat-cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata,

"Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas..." Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, "Ahh, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu..."

Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya pada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti orang akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut.

"Ahhh, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ahhh, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi tidur dan mengaso di kamarmu saja, siauwte!"

"Agaknya... agaknya... begitulah." Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegangan kepada pintu.

"Aihhh...!" Leng Ci berteriak kaget dan khawatir sekali. "Kau benar-benar sakit, kongcu...!" Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu ‘adik’ seperti yang dilakukan suaminya. "Sebaiknya kita panggilkan tabib..."

"Benar, kau kembalilah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti segera kupanggilkan tabib untukmu." Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkelnya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali terhadap sasterawan itu.

Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan segera merebahkan diri di atas pembaringannya. Beberapa kali dia mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat.

"Biar kupanggilkan tabib sekarang," kata Bhe Coan.

"Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako saja, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh..." Dia menuding ke atas meja dalam kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar.

Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja segera mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan lalu membuat corat-coret di atas kertas dan menyerahkannya kepada Bhe Coan. "Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali..."

"Ahhh, mengapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twaso-mu?"

"Ahh, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja..."

Leng Ci berkata dengan suara terharu. "Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikiran yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat."

Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan kemudian duduk di atas bangku dalam kamar. "Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte."

Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan cepat sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu..."

"Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan pada twaso-mu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu."

"Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau aku harus merepotkan twaso..."

"Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia supaya merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir." Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu.

Setelah langkah-langkah tuan rumah tak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan bibirnya tersenyum! Dia mengusap peluh pada dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah direncanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali.

Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagaimana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali?

Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini sebab dia adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki sinkang amat kuat sehingga dengan menggunakan sinkang-nya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, akan tetapi dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah amat terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya!

Sebetulnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukanlah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sendirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya.

Akan tetapi dia sangat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat mau pun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak mau bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, apa bila memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat terdapat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam.

Akan tetapi, dia sendiri pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik.

Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dengan modal yang ada pada dirinya, memang jarang sekali dia dikecewakan oleh wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya!

Beberapa bulan yang lalu, dengan kepandaiannya membujuk rayu Kui Hok Boan berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, bahkan hampir saja dia tertangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya.

Akan tetapi Hok Boan adalah orang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita, apa lagi di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauhkan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, dan kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik.

Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan serta isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja hanya bohong belaka dan hanya dipergunakan untuk menarik perhatian mereka terutama perhatian nyonya muda itu, sekalian untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat.

Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan amat saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua.

Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio sangat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, tetapi ketika pada suatu hari ia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh gurunya.

Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan dari pada terhadap urusan dunia. Karena itu dia dapat memaafkan muridnya dan tidak membunuhnya, apa lagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya sama sekali tidak melakukan kekerasan, tidak memakai ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja perbuatan itu tetap tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka dengan hati berat dia pun mengusir dan tak mau mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya sangat disayangnya itu.

Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatang kara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia bagaikan seekor burung liar yang terbebas dari kurungan!
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 02

Pendekar Lembah Naga Jilid 02
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA saat terjadi pertempuran-pertempuran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pendekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, bersama semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat berbahaya dan mengerikan itu sudah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai?

Si brewok itu tertawa, "Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai sudah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... ehhh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!"

"Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menangkap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!" Seorang di antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi.

"Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!" Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul tendangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka.

"Plak-plak! Dess-desss…!"

Dua orang itu memekik kemudian terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat hal ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok segera mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya.

"Ternyata engkau benar-benar setan!" teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga langsung menggerakkan golok mereka menyerang.

Akan tetapi Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal mengapa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tak menjadi gentar. Dengan ginkangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu.

Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, menonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona majikan mereka benar-benar sangat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan segebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat semakin mendalam karena majikan mereka ternyata merupakan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat!

"Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!" bentak Si Kwi lantas tangan kanannya menyambar.

"Krekkk!"

Jari-jari tangan yang halus akan tetapi karena diisi oleh tenaga sinkang menjadi kaku dan keras bagaikan baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluarkan suara bagai babi disembelih, tubuhnya roboh berkelojotan. Sebuah tendangan kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak sehingga dia tidak berkelojotan lagi!

Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya, maka suara angin itu dapat ditangkapnya sehingga dia cepat miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit itu menotok siku tangan orang yang memegang golok.

"Dukkk!”

“Uhhhhh...!" Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik.

"Cappp...!" Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung!

Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kiri sehingga darah yang mengucur keluar dari perut itu tak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang. Namun golok di tangan Si Kwi langsung terbang menyambar dan menancap di punggung seorang di antara mereka. Orang itu terhuyung dan roboh menelungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di dalam gelap.

Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat kelima orang itu dan melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itu pun menghilang di dalam jurang gelap. Si Kwi segera kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga sekali!

"Ibu...!" Sin Liong meloncat ke dada ibunya.

Si Kwi memeluknya sambil berkata, "Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!"

"Toanio, siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?" seorang di antara para pelayannya bertanya.

Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, lalu dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan bercerita. "Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat pandai, akan tetapi sekarang sudah kosong dan ternyata ditempati oleh segerombolan perampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang salah seorang di antara mereka sempat melarikan diri, maka kepala perampoknya tentu akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sanggup menghadapi mereka!" kata Si Kwi dengan gemas. "Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!" katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah, yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu.

Melihat sikap majikan mereka yang gagah, dan karena sudah pula menyaksikan sendiri kelihaian majikan mereka ini, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan mereka pun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka.

Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudian, pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahunan. Laki-laki ini memegang sebatang tombak bergagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah.

Wajahnya yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya sangat tajam. Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan kekerasan.

Kali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan istana. Lima orang pelayannya, biar pun belum pandai ilmu silat, namun mereka pun telah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini dia memanjat genteng dan bersembunyi di wuwungan genteng istana, sambil mengintai!

Dengan kedua tangan bertolak pinggang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, kemudian membuat barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak bergerak, berkedip pun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus dia menyebarkan paku-paku hitamnya!

Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki.

Biar pun orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentunya seorang ahli lweekeh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat.

Juga, orang yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak jauh lebih sukar dipelajari dari pada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati.

Si kepala perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak buahnya yang datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa dengan seorang diri saja siluman wanita cantik dari Istana Lembah Naga berhasil membunuh lima orang anak buahnya dengan mudah! Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa wanita muda cantik itu tentu adalah seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan.

Akan tetapi, sesudah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah dia melihat tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah pula dia mendengar tentang seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan. Dia meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir keadaan lawan masing-masing.

"Toanio," si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan tetapi dia tidak memberi hormat. "Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami tinggal di Padang Bangkai dan sejak setengah tahun yang lalu, boleh dibilang saya adalah majikan Padang Bangkai."

Si Kwi menjebikan bibirnya. "Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-bin Ciu-kwi yang sekarang sudah mati dan setahuku, dia tidak mewariskannya kepada siapa pun juga."

Sin-jio Coa Lok memandang dengan alis berkerut dan mukanya yang berwarna kuning itu menjadi agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia menumbuk tanah dengan gagang tombaknya, kemudian baru dia berkata lantang, "Memang tidak ada yang mewariskan Padang Bangkai kepadaku, namun mendiang Ang-bin Ciu-kwi adalah seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah sepantasnya apa bila aku melanjutkan pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada yang berkeberatan terhadap hal itu?" Pertanyaan itu mengandung tantangan dan matanya memandang tajam kepada Si Kwi.

Kembali Si Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. "Huh, siapa peduli tentang Padang Bangkai tempat buruk yang terkutuk itu? Aku adalah pemilik dan penghuni Istana Lembah Naga dan aku tidak peduli siapa yang menempati Padang Bangkai!"

Kepala perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang ketika dia berkata lagi, "Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi, tentu bukanlah sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan toanio?"

"Namaku Liong Si Kwi, orang menyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang subo-ku adalah Hek I Siankouw dan suhu-ku adalah Hwa Hwa Cinjin." Si Kwi yang tidak ingin mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subo-nya berikut kekasih subo-nya untuk membikin keder hati orang itu.

Dan usahanya memang berhasil. Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, tampak gentar juga. Akan tetapi dia segera teringat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya saja, maka dia tersenyum dan berkata, "Ahh, kiranya Liong-toanio adalah murid para locianpwe itu!"

"Kalau engkau sudah mengenal mendiang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap kau suka pergi saja secepatnya dari sini," kata Si Kwi.

Sesungguhnya Si Kwi sama sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk bermusuhan. Apa lagi orang-orang ini adalah para penghuni Padang Bangkai yang boleh dibilang merupakan tetangganya, maka hidupnya serta hidup anaknya tidak akan menjadi tenang dan tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai.

"Toanio, sesungguhnya kami pun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio tidak membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu." Kepala perampok itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan tidak mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini adalah murid Hek I Siankouw.

Si Kwi maklum bahwa kepala perampok itu telah mulai membuka kartunya. Maka dia pun tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang, "Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak buahmu yang berhasil lolos dari tanganku itu? Tanyakan saja kepadanya apa yang menyebabkan lima orang anak buahmu mati terbunuh olehku di sini!"

Wajah kepala perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia tidak boleh memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apa lagi jeri menghadapi wanita cantik ini. Maka dia berkata, "Liong-toanio, tentu saja aku sudah menerima laporan, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya sendiri."

"Hemmm, begitukah? Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari muncul enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, mengeluarkan ucapan kotor yang tidak senonoh, kemudian mereka hendak mempergunakan kekerasan menghina aku dan lima orang pelayanku. Coba kau jawab, tai-ong, apakah perbuatan mereka itu tidak patut untuk dihukum mati? Apakah kini kau sengaja datang untuk membela mereka yang sudah berani menghina aku?" Pertanyaan terakhir ini merupakan sebuah tantangan yang tidak langsung.

Coa Lok menoleh kepada anak buahnya dan dapat melihat betapa wajah anak buahnya kelihatan penasaran dan marah. Dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. "Liong-toanio, tentu engkau maklum akan sikap laki-laki yang sudah lama tinggal di hutan belukar dan jauh dari para wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurang ajaran mereka, akan tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak bisa merelakan kematian mereka begitu saja, baik olehmu mau pun oleh siapa pun juga."

"Bagus! Lalu kau mau apa? Mau mengeroyok aku? Hayo majulah, jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!" Si Kwi sengaja mengeluarkan gertakan ini untuk menyinggung kehormatan Sin-jio Coa Lok sebagai seorang pemimpin perampok yang berkepandaian.

"Ho-ho-ho, kau sungguh takabur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Bila engkau telah membuktikan dapat mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihaianmu dan akan bersedia mintakan maaf kepadamu bagi para anak buahku, kemudian untuk selanjutnya tak akan mengganggu Istana Lembah Naga."

"Baik, hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan aku pun sama sekali tidak berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapa pun yang datang hendak mengganggu kami, baik dari Padang Bangkai mau pun dari akhirat, tentu akan kuhadapi dengan pedang di tangan!" Sesudah berkata demikian, tangan kanan wanita itu bergerak ke pinggang.

"Singggg...!"

Nampak cahaya menyilaukan dan pedang itu sudah dicabutnya, pedang yang berkilauan saking tajamnya karena sejak terjadi penyerbuan, maka tiga hari yang lalu Si Kwi sudah menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap.

"Liong-toanio!" Coa Lok berkata sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan sikap gagah. "Aku sudah berianji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku, aku berjanji tidak akan memperbolehkan siapa pun menggangu Istana Lembah Naga. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan sebaliknya aku mengalahkan pedangmu?"

Si Kwi berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang kasar yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan bila dia sampai kalah oleh kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih menguntungkan mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan kalau sampai dia benar kalah, hal yang dia anggap mustahil.

"Jika sampai aku kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerahkan Istana Lembah Naga ini kepadamu."

Berseri wajah kepala perampok itu. "Bagus! Itu janji yang adil!" serunya.

Si Kwi menjanjikan hal itu tidak terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum bahwa tanpa dijanjikan sekali pun, kalau sampai dia kalah bukan saja dia dan para pelayannya akan mengalami mala petaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka!

"Nah, kita sudah saling berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Mulailah, tai-ong!" dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut ditekuk agak turun dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan lengan dikembangkan.

"Jagalah, toanio!" Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, lebih dahulu memperingatkan sebelum menyerang laksana sikap seorang gagah tulen, padahal dia ini adalah kepala perampok yang biasanya tidak mempedulikan sopan santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

"Hyaahhhhh...!" kepala perampok itu membentak pada saat mata tombaknya menyambar ganas.

"Haaaaiiiitttt...!" Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya.

Tahulah dia bahwa lawannya ini tidak percuma mempunyai julukan Sin-jio (Tombak Sakti) sebab ternyata gerakan ilmu tombaknya memang amat cepat. Dia tidak hanya mengelak, melainkan mengelak sambil mengirimkan serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil mencondongkan tubuhnya.

"Singggg...! Tranggg...!"

Sekarang Coa Lok yang terkejut. Tidak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka dia pun memutar tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang.

Sambil memutar tombak di atas kepala sehingga membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang. Ujung tombaknya tergetar hingga bayangannya pecah-pecah menjadi empat lima batang yang semuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluarkan bunyi nyaring.

"Bagus...!" Si Kwi memuji karena memang dia sangat kagum menyaksikan ilmu tombak yang dahsyat ini.

Dia pun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak lawan, dia kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar pedangnya lantas mainkan ilmu pedangnya yang sangat hebat. Itulah ilmu pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun.

Ilmu ini sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw. Ilmu yang biasanya dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu sehingga ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong mau pun dengan senjata, terutama senjata pedang.

"Ehhh...!" Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar yang mencegah tombaknya menembus namun di lain fihak dari gulungan sinar itu mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat berbahaya.

Sesudah mengerahkan ginkang-nya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, bahkan tenaga sinkang-nya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan ginkang-nya saja yang masih melebihi lawan, sehingga jika dia mau, tentu dia dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu.

Akan tetapi dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para perampok itu untuk merampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apa lagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia akan memiliki tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlukannya.

Akan tetapi, oleh karena di dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang banyak, dan dia hanya mengandalkan ginkang-nya, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan lawan tanpa melukainya. Karena itu dia lalu menggunakan akal.

Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu sudah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia berseru, "Tai-ong, awas paku!"

Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahnya yang berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali menggunakan senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang telah menyimpan pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua kakinya.

Sin-jio Coa Lok terkejut sekali dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tombaknya. Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat ditangkisnya dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali.

"Trang-cringgg...! Plakkk!"

Dua kali pedangnya berhasil ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi secara tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu hingga tanpa dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya.

Tubuh Si Kwi berkelebat, tombak menyambar tetapi Si Kwi langsung menendang gagang tombak, sehingga serangan tombak menyeleweng ke samping dan sebelum Coa Lok bisa mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel pada lehernya dari belakang!

"Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!" kata Si Kwi, akan tetapi dia lalu meloncat lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya.

Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang tadi kena tendang, kemudian menancapkan tombaknya di atas tanah di hadapannya. Dia maklum bahwa sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan jika wanita itu menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata,

"Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku berjanji tak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapa pun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku."

Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar ini. Maka dia pun balas menjura. "Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu sangat hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang. Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaikan. Maafkan tentang peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah paham."

"Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami." Sin-jio Coa Lok lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya sesudah memberi isyarat kepada para anak buahnya.

Para perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh rasa kagum. Mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan terhadap wanita lihai itu, lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka.

Si Kwi memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu. Mula-mula dia memperlihatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu ke istana. Kemudian, pada saat kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia sudah memperlihatkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak diganggu!

Dan kepala perampok yang berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, sehingga dia segera melupakan kematian lima anak buahnya karena dengan kepandaiannya, kalau wanita yang buntung tangan kirinya itu pun telah mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu menghendaki tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus mendatangkan rasa takluk, segan dan hormat di dalam hatinya sehingga semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si Kwi.

Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup mewah dan cukup terjamin. Sekarang wanita ini tampak penuh gairah hidup, gembira dan bersemangat, kelihatan cantik serta selalu berpakaian indah serba merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria!

Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih senang bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan terhadap dirinya. Demikianlah, biar pun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi merasa cukup bergembira.

********************

Di kaki Pegunungan Khing-an-san sebelah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Selama beberapa tahun ini dusun itu mengalami kemajuan, yaitu setelah para penghuninya mengusahakan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuhkan barang-barang itu, maka semua penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu.

Tempat yang ramai dan makmur senantiasa menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu sangat ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekali dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu menjadi makin besar dan ramai.

Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang sudah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan sejak kecil dia tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai.

Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang terbuat dari besi adalah buatan orang she Bhe ini. Akan tetapi, apa bila keahlian Bhe Coang hanyalah membuat alat-alat besi saja, agaknya namanya tidak akan terkenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini.

Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung kemudian mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang.

Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang sangat indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang sangat baik.

Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang hingga membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguh pun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, namun seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur. Dan mengenal ilmu silat karena dia pernah mempelajarinya, walau pun tidak secara mendalam.

Ketenarannya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya tetapi karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuatkan pedang. Mereka berani membayar berapa pun juga sehingga Bhe Coan tak kekurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia pun terkenal sebagai orang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua, baik dari golongan hitam mau pun putih, datang minta dibuatkan pedang olehnya.

Akan tetapi, bila dalam pekerjaannya pandai besi ini dapat dikatakan berhasil, sebaliknya dalam kehidupan rumah tangganya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama.

Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Setelah tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, pada dua tahun yang lalu, isterinya itu meninggal dunia ketika melahirkan seorang bayi perempuan!

Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak terdapat banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja anak perempuan yang terlahir selamat itu akan dibanting serta dibunuhnya karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta!

Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, walau pun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya akibat ditinggal mati oleh isterinya yang tercinta itu. Selanjutnya dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat dan menjaga anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu.

Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak sekali penghuni baru. Kemudian, beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah seorang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit.

Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya juga menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, sungguh pun sebagai penghuni baru dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan dari hasil menjahit pakaian di dusun yang mulai maju itu.

Banyak pria di Pek-hwa-cung yang terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru satu tahun ditinggal mati isterinya, maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dan pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya!

Dan ternyata bahwa janda itu sangat pandai dalam merayu hati pria sehingga terobatlah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dalam waktu beberapa bulan saja dia pun jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya! Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah.

"Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih di antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kau serahkan kepada orang lain supaya dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, akan tetapi masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat."

Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka maka akhirnya, sesudah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang sering kali keluar masuk batas propinsi di utara, keluar atau masuk daerah propinsi itu.

Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuatkan pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah pula membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu.

Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini kemudian memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu, dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama ingin mempunyai seorang anak perempuan. Dia hanya memiliki seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Karena itu saat dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Si Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang baru saja menikah dengan janda cantik itu.

Na Ceng Han adalah orang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman, dan dia memiliki pandangan yang amat bijaksana. Andai kata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Ia maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Di samping ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, karena itu dia menerimanya dan anak perempuan berusia setahun lebih itu dibawanya pulang ke kota Shen-yang.

********************

Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, dia pun sudah memiliki cita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apa bila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah.

Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan, isterinya itu merupakan seorang peranakan Mancu sehingga sudah menganggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya sendiri, bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya.

Betapa pun juga, isterinya itu bersikap manis kepadanya sehingga dia terhibur juga dan biar pun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya akan tetapi dia merasa cukup gembira, hidup rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan sekarang isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli beberapa perabot baru dan sebagainya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja mulai pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya.

Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibuatnya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada saat itu pula kebetulan isteri Bhe Coan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya. Jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi kemerahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum.

Yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun akan tetapi gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau seorang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, dan mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang lelaki yang bisa menundukkan hati wanita, seorang pria petualang asmara!

Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatunya masih baru, biar pun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang juga kelihatan telah kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula.

Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri. Akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apa lagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu.

"Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?"

Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehingga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang kedua matanya yang tajam mengerling dari bawah.

"Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan..." Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang.

"Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Aht nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?"

Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. "Hi-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik."

"Apa...?" Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. "Nona... eh, nyonya tidak main-main?"

"Kenapa?" Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi.

"Sungguh mati siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... ehh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf..."

Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian lainnya yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita dari pada dikatakan masih kelihatan muda, apa lagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini!

"Ahhh, kongcu terlalu memuji..." katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. "Suami saya memang sudah berusia hampir empat puluh, akan tetapi saya pun sudah... ehhh, hampir tiga puluh tahun..."

"Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!"

Jantung nyonya itu semakin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, "Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?"

"Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapa pun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh..." di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik "...melihat nyonya sebagai isterinya, maka saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih..."

Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia mengangkat muka memandang wajah pria itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali.

"Dia sedang bekerja di dapur, harap kongcu langsung saja masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan." Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumahnya.

Ia langsung memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuhnya yang baru saja mendapat pujian secara tak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu, pujian dari seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasakan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar.

Sementara itu, sambil tersenyum sasterawan itu mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata penuh kekaguman, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah.

Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia juga tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia bersikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita mana pun yang dijumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci.

Sesudah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana terdengar suara berdentang dan berdencingnya besi bertemu besi.

Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara berdencing itu berhenti, dan pada saat dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang lelaki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya belepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Tampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu samping rumah tetapi sempat melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk.

Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan membungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikit pun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu. Kemudian, sesudah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu.

Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dengan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sasterawan itu.

Sejenak Bhe Coan hanya tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan ada pula utusan dari pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan yang memesan pedang!

Umumnya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kuas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Karena itu dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu.

Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. "Tadi saya sudah diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?"

Sepasang mata pandai besi itu bersinar, tanda bahwa kata-kata pemuda sasterawan itu berkenan di hatinya. Dia pun merasa terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berkepandaian seperti para sasterawan bersikap angkuh dan merasa lebih tinggi dari pada orang-orang kasar seperti dia, tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali.

"Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ahh, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja..."

Kui Hok Boan tersenyum lebar, nampak giginya yang putih bersih. "Bhe-twako, ternyata twako adalah seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hormat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang..."

"Ahhh...!" wajah pandai besi itu kelihatan berseri mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. "Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?"

Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran kemudian balik dia bertanya,

"Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?"

"Hubungan baik sekali!" Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia apa pun. "Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?"

Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan kembali menghormat kepada pandai besi itu. "Aihhh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!"

Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegang kedua tangan sasterawan itu. "Kui-kongu, saya gembira sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?"

Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia lantas tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, "Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat ada seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali?"

Bhe Coan mengangguk-angguk. "Benar... benar... itulah dia anak saya, itulah Bi Cu anak saya..." Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya ketika mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat!

"Kiranya anak itu anak twako? Ahh, selamat, twako. Anak twako begitu manis!"

"Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ahhh, kongcu, marilah kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu adalah seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu..." Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor.

Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu menggandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah.

"Kui-kongcu, perkenalkan, ini adalah isteri saya. Ahh, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari kota Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat."

Kui Hok Boan cepat-cepat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, "Twaso, maafkan kalau saya mengganggu."

Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan dia pun cepat-cepat balas menjura sambil berkata, "Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya, tentu saja tidak mengganggu."

"Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kau sediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!" kata pandai besi itu.

Leng Ci bergegas pergi meninggalkan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan. Dia pun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung.

Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya.

Ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh itu merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri.

Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak beserta masakan yang telah diselesaikannya. Setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pemuda tampan itu pun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan.

"Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu juga amat luas sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran kalau mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?" Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum.

Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawer mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia lalu meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan sekarang dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya,

"Selamanya saya sendiri pun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!"

Bhe Coam tertawa. "Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Dia pun tentu merasa heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, bila kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang..."

"Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?" Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu.

Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alis, kemudian baru menjawab, "Sebenarnya, pedang yang saya pesan bukan untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa pada tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu..."

"Ahhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ahhh, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti."

"Benar, kongcu. Silakan makan seadanya, dan maklumlah, karena tinggal di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik."

Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, kemudian kepada Leng Ci, "Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, sudah menerima kedatangan saya sebagai seorang anggota keluarga saja. Oleh karena itu, rasanya tidak enak apa bila saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masakan-masakan ini. Kalau boleh, saya persilakan agar twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggota keluarga sendiri?"

Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apa lagi dia pun merupakan keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga bisa dipercaya. Maka, mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah.

"Ha-ha-ha, Leng Ci isteriku. Mengapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat kita, dan memang seperti anggota keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!"

Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini segera menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, "Silakan minum, Kongcu."

Bhe Coan mengangkat cawannya kemudian berkata, "Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!"

Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, "Twaso, mana arakmu?"

"Ha-ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!"

Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka.

"Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya." Hok Boan lalu berkata sambil kembali menuangkan arak ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak.

Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum. Kemudian, sesudah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih sering menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah dipengaruhi arak, tak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan.

Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di hadapannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika mendadak kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya.

"Ihhkk...!" serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu.

"Ehh, kenapa kau...?" Suaminya bertanya heran.

Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab.

"Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso," kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu.

Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Sesudah minum dia lalu memandang suaminya dan tersenyum.

"Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya." Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran.

Kui Hok Boan tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagi yang tidak biasa minum, memang arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang sudah biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, walau pun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain." Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah.

Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. "Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa lagi?"

Sasterawan muda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok ketika melihat sesuatu yang indah menarik...," kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang sekarang menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apa lagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya!

Nyonya itu tidak berani bergerak, takut apa bila diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian keras sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya.

"Sebaiknya aku menyingkirkan mangkok-mangkok kosong sekalian mencucinya."
Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi kalau pun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bahwa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak.

"Dan saya pun harus berpamit untuk mencari penginapan dulu. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?"

"Kurang lebih tujuh hari."

"Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini." Kongcu itu bangkit pula.

Mendengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggalkan meja melainkan tetap berdiri memandang wajah tampan yang sekarang agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, baginya kemerahan wajah suaminya malah menambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat di antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang.

"Kui-kongcu sudah seperti keluarga kita sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu pedang itu jadi," katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik.

"Kau setuju? Ha-ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku yang berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami..."

"Ah, twaso dan twako sungguh budiman dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?"

"Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...," kata Leng Ci.

"Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau tidak akan menang, maka harap engkau suka menerima saja, sementara tinggal di sini bersama kami supaya kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke mana pun untuk melewatkan waktu menganggur."

Kui Hok Boan menghela napas memperlihatkan sikap kewalahan, lantas dia menjura dan berkata, "Baiklah, apa bila twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan."

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu..."

"Bhe-twako, setelah menerima segala kebaikan ini, harap twako jangan menyebut kongcu kepadaku. Bukankah kini kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku."

"Ahhh, mana saya berani?"

"Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?"

"Ha-ha-ha, ternyata engkau juga pandai berdebat seperti twaso-mu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku."

Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang lebih dulu sudah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang.

Ternyata sasterawan muda itu dapat bersikap sangat menyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud hendak menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu.

Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia semakin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apa lagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiupan suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Malah di waktu dia tidur dengan suaminya, dia sering membayangkan alangkah akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih!

Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk mendekati Hok Boan dan dia selalu menghindar, sungguh pun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apa bila bertemu dengan dia.

Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas!

Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa sangat penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya, dan dia pun bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apa pun juga!

Memang demikianlah sifat nafsu apa pun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membayangkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keinginan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang dinikmati, dikunyah lagi seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya.

Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan bisa dinikmati nanti, kemudian menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu birahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita hingga membuat kita mata gelap, tidak lagi peduli akan cara-cara yang bagaimana pun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar mau pun cara yang kotor!


Sesudah tinggal di sana selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdengar suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya.

Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Pada saat dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat-cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata,

"Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas..." Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, "Ahh, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu..."

Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya pada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti orang akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut.

"Ahhh, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ahhh, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi tidur dan mengaso di kamarmu saja, siauwte!"

"Agaknya... agaknya... begitulah." Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegangan kepada pintu.

"Aihhh...!" Leng Ci berteriak kaget dan khawatir sekali. "Kau benar-benar sakit, kongcu...!" Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu ‘adik’ seperti yang dilakukan suaminya. "Sebaiknya kita panggilkan tabib..."

"Benar, kau kembalilah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti segera kupanggilkan tabib untukmu." Bhe Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkelnya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali terhadap sasterawan itu.

Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan segera merebahkan diri di atas pembaringannya. Beberapa kali dia mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat.

"Biar kupanggilkan tabib sekarang," kata Bhe Coan.

"Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako saja, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh..." Dia menuding ke atas meja dalam kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar.

Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja segera mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan lalu membuat corat-coret di atas kertas dan menyerahkannya kepada Bhe Coan. "Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali..."

"Ahhh, mengapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twaso-mu?"

"Ahh, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja..."

Leng Ci berkata dengan suara terharu. "Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikiran yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat."

Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan kemudian duduk di atas bangku dalam kamar. "Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte."

Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan cepat sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu..."

"Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan pada twaso-mu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu."

"Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau aku harus merepotkan twaso..."

"Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia supaya merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir." Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu.

Setelah langkah-langkah tuan rumah tak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan bibirnya tersenyum! Dia mengusap peluh pada dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah direncanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali.

Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagaimana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali?

Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini sebab dia adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki sinkang amat kuat sehingga dengan menggunakan sinkang-nya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, akan tetapi dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah amat terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya!

Sebetulnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukanlah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sendirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya.

Akan tetapi dia sangat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat mau pun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak mau bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, apa bila memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat terdapat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam.

Akan tetapi, dia sendiri pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik.

Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dengan modal yang ada pada dirinya, memang jarang sekali dia dikecewakan oleh wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya!

Beberapa bulan yang lalu, dengan kepandaiannya membujuk rayu Kui Hok Boan berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, bahkan hampir saja dia tertangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya.

Akan tetapi Hok Boan adalah orang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita, apa lagi di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauhkan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, dan kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik.

Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan serta isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja hanya bohong belaka dan hanya dipergunakan untuk menarik perhatian mereka terutama perhatian nyonya muda itu, sekalian untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat.

Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan amat saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua.

Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio sangat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, tetapi ketika pada suatu hari ia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mau mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh gurunya.

Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan dari pada terhadap urusan dunia. Karena itu dia dapat memaafkan muridnya dan tidak membunuhnya, apa lagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya sama sekali tidak melakukan kekerasan, tidak memakai ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja perbuatan itu tetap tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka dengan hati berat dia pun mengusir dan tak mau mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya sangat disayangnya itu.

Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatang kara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia bagaikan seekor burung liar yang terbebas dari kurungan!
Selanjutnya,