Panasnya Bunga Mekar Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 14
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SETIAP gerak maju ternyata telah dihalangi oleh batu batu padas yang berguguran dan sisa-sisa senjata para perampok itu yang kemudian dilemparkannya pula.

Namun dalam pada itu, para prajurit dan pengawal itu tidak membiarkan lawannya meninggalkan arena begitu saja. Karena itulah, maka yang bersenjata panah, segera mengambil busur dan anak panah. Seperti pada saat para perampok itu datang menyerang, maka anak panahpun kemudian meluncur seperi hujan.

Beberapa orang tidak berhasil mencapai bibir tebing Bahkan sebagian lagi terguling jatuh, meluncur kembali ke arah para pengawal. Namun sejenak kemudian, maka para perampok itupun telah hilang di balik gerumbul-gerumbul di atas tebing.

Para prajurit dan pengawal itu pun segera menghenti usahanya ketika Senopati yang memimpin pasukan dari Kediri itu memberikan isyarat. Dalam waktu yang pendek, para prajurit dan pengawal itu telah berkumpul dalam barisan memanjang. Beberapa orang dari mereka ternyata telah menjadi korban. Bukan saja luka-luka tetapi ada beberapa orang yang ternyata telah terbunuh.

Kemarahan yang sangat membayang di wajah Senopati itu. Tetapi ia menyadari, bahwa ia tidak boleh sekedar menuruti perasaannya saja. Ia harus mempergunakan nalarnya sepenuhnya menghadapi keadaan yang berkembang diluar dugaan.

“Kumpulkan kawan-kawan kita yang terluka dan yang telah gugur” berkata Senopati itu, “kita tidak dapat meneruskan perjalanan. Para tawanan telah terlepas, kecuali beberapa orang yang terluka parah. Tetapi mereka harus kita bawa sebagai bahan pengusutan lebih lanjut”

Para prajurit dan pengawal itu pun segera mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur. Dengan kemarahan yang menghentak di setiap dada, maka mereka pun kemudian mengambil satu sikap untuk membawa orang-orang yang terluka kembali ke padepokan kecil. Demikian juga para tawanan yang tidak sempat melarikan diri karena luka-lukanya.

Namun demikian, para prajurit itu masih menyempatkan diri untuk mengubur kawan-kawan mereka yang gugur, sementara di bagian lain, mereka pun telah mengubur para perampok dan penyamun yang terbunuh.

“Pada saatnya kita akan memindahkan kawan-kawan kita untuk dapat diselenggarakan sebagaimana seharusnya” berkata Senopati itu.

Demikianlah, pasukan yang parah itu pun kemudian mengambil keputusan untuk kembali saja ke padepokan kecil. Mereka akan melaporkan apa yang telah terjadi. Tetapi lebih dari itu, mereka akan memberikan sekedar laporan sebagai peringatan, bahwa memang ada kekuatan yang membayangi mereka yang sedang bertugas memburu orang yang dianggap berbahaya bagi Kediri.

Ternyata perjalanan kembali itu memerlukan waktu yang lebih panjang dari saat mereka berangkat. Pada saat matahari sepenggalah, mereka telah sampai ke tempat itu. Namun ternyata mereka memerlukan waktu jauh lebih lama ketika mereka kembali ke padepokan, setelah bertempur beberapa lama di lembah itu.

Kedatangan pasukan itu kembali ke padepokan kecil dalam keadaan yang parah itu benar-benar mengejutkan Dalam sekejap, seisi padepokan telah tertumpah di halaman, sementara mereka yang datang sibuk menempatkan para prajurit dan pengawal yang terluka.

“Masih ada beberapa tawanan yang tertinggal” berkata Senopati yang memimpin pasukan itu” terutama mereka yang terluka. Tetapi sebagian terbesar dari mereka telah terlepas atau justru terbunuh di saat mereka melarikan diri”

Pangeran Kuda Padmadata menggeretakkan giginya. Kemalangan itu benar-benar telah menyinggung kehormatannya. “Bagaimana dengan kelompok yang kau tugaskan melawan pemimpin mereka?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Tidak banyak gunanya” jawab Senopati itu, “meskipun pemimpin mereka yang bagaikan iblis itu tidak dapat mengalahkan ke empat orang itu, namun ke empat orang itu sama sekali tidak berhasil mengikatnya dalam satu lingkaran pertempuran. Pemimpin mereka yang tua itu sempat melepaskan diri dan bertempur di segala tempat di perang brubuh yang kasar itu.

Mahisa Bungalan yang masih muda itu menggeram, “Kita akan mencarinya sekarang”

Tetapi Mahisa Agni menggeleng, “Jangan. Kita memerlukan keterangan lebih banyak lagi tentang mereka”

Mahisa Bungalan hanya menarik nafas dalam-dalam Namun nampak betapa wajahnya menjadi kecewa, Sementara di dalam hatinya ia berkata, “Paman Mahisa Agni selalu terlambat bertindak”

Tetapi ternyata Witantra dan Mahendra serta Ki Wastu pun sependapat, bahwa persoalannya memang harus dibicarakan lebih dahulu. Ternyata kekuatan yang tersembunyi itu mampu melawan sepasukan prajurit dan pengawal yang memang sudah dipersiapkan membawa para tawanan ke Kediri.

“Kalian akan beristirahat di sini untuk dua tiga hari” berkata Muhisa Agni, “jika sebagian besar kekuatan pasukanmu sudah pulih, maka kalian akan kembali ke Kediri. Tetapi dalam pada itu, kekuatan pasukan yang mencegat kalian itu pun telah pulih pula”

Senopati yang memimpin pasukan itu mengerti maksud Mahisa Agni, sehingga kerena itu, maka ia pun mengangguk angguk. Demikianlah, maka pasukan yang telah dirobek oleh serangan yang kuat dari para perampok dan penyamun itu untuk satu dua hari akan tetap tinggal di padepokan. Pasukan itu masih harus berusaha membenahi diri dan me ngobati luka-luka yang parah. Beberapa orang pengawal dan prajurit telah terluka parah. Mereka tidak akan mungkin dapat sembuh dalam waktu dua tiga hari saja. Karena itulah, maka para pemimpin prajurit dan pengawal serta yang berada di padepokan itupun harus mengambil satu sikap bagi pasukan itu.

“Tinggalkan yang terluka di padepokan ini, termasuk para tawanan” berkata Mahisa Agni, “aku akan menunggui mereka bersama Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata. Sementara perjalanan kalian ke Kediri akan diikuti oleh Mahisa Bungalan, Ki Wastu, Mahendra dan kedua anaknya yang lain”

“Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian” berkata Mahendra.

“Apakah tidak sebaiknya aku ikut kembali ke Kediri” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “aku harus mempertanggung jawabkan keadaan para prajurit dan pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang ternyata telah gugur”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika Pangeran ingin kembali bersama pasukan itu, silahkan. Aku akan tinggal bersama Witantra. Mungkin dendam orang itu akan tertuju kembali kepada padepokan kecil ini”

“Baiklah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “aku akan kembali ke Kediri. Biarlah Ki Wastu sajalah yang tinggal di sini”

Demikianlah, mereka pun mengambil keputusan, bahwa jika saatnya mereka akan kembali ke Kediri, maka Pangeran Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan, Mahendra dan kedua anaknya yang lain akan ikut bersama mereka. Namun karena keadaan pasukan yang masih parah itu, maka mereka tidak dapat tergesa-gesa kembali ke Kediri.

Sementara itu, Ki Dukut pun tidak kalah gelisah dari orang-orang Kediri yang berada di padepokan terpencil itu. Ternyata ketika Ki Dukut yang dikenal oleh para pangikutnya bernama Rajawali Penakluk itu berhasil mengumpulkan orang-orangnya, korban yang telah jatuh benar-benar membuatnya pening. Ia tidak mengira bahwa para prajurit dan pengawal itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga mereka berhasil membunuh demikian banyak orang-orangnya.

“Yang menjadi korban, ternyata lebih banyak dari yang berhasil dibebaskan” berkata Rajawali Panakluk itu kepada diri sendiri. Namun kemudian, “Tetapi orang-orang yang dapat dibebaskan itu mempunyai kemampuan yang lebih baik dari kawan-kawannya yang menjadi korban”

Tetapi para pengikut Rajawali itu mempunyai penilaian yang lain dari pimpinan tertingginya. Mereka tidak sempat memperhitungkan jumlah kawan-kawannya yang terbunuh. Yang mereka lihat adalah justru kemenangan mereka, karena mereka berhasil membebaskan kawan-kawan mereka yang tertawan ketika mereka, menyerang padepokan kecil itu.

Ki Dukut membiarkan saja kesan itu. Dengan demikian maka para pengikutnya akan merasa berbesar hati dengan akhir yang mereka anggap sebagai satu kemenangan itu. Perasaan menang itu akan sangat berpengaruh pada mereka, karena perasaan itu akan mendorong mereka menjadi semakin.berani dan percaya kepada diri sendiri.

Untuk satu dua hari, Ki Dukut yang dikenal bernama Rajawali Penakluk itu membiarkan keadaan orang-orangnya. Seolah-olah ia memberi mereka kesempatan untuk beristirahat. Makan dan tidur. Ki Dukut sengaja tidak memberikan tugas apapun kepada mereka. Apalagi persediaan mereka masih cukup banyak, sehingga mereka tidak perlu tergesa-gesa merampok dan menyamun.

Namun, ketika keadaan orang-orangnya menjadi semakin baik, maka Ki Dukut pun mulai berpikir, apakah prajurit dan pengawal dari Kediri itu akan segera kembali ke Kediri atau masih lama berada di padepokan itu.

“Korban yang jatuh di antara mereka akan membuat mereka marah” berkata Ki Dukut, “tetapi hal itu akan memberikan peringatan kepada mereka, bahwa prajurit dan pengawal dari Kediri itu pun terdiri dari manusia biasa yang dapat juga mati karena tubuhnya luka tertusuk pedang”

Sekilas melintas di dalam pikirannya untuk berbuat sasuatu. Apakah terhadap pasukan yang akan kembali ke Kediri, atau mereka yang berada di padepokan itu. “Apakah masih ada gunanya” pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya.

Tetapi menurut perhitungan Ki Dukut Pakering, orang-orangnya yang masih tertawan tentu tinggal sedikit. Itu pun mereka yang terluka, sehingga orang-orang itu tidak akan banyak berarti lagi.

Karena itu, jika ia akan menyerang pasukan Kediri yang kembali ke padepokan itu, yang pada saatnya akan kembali ke Kediri, bukan sekedar karena ia ingin membebaskan orang-orangnya. Tetapi niat itu harus dilambari dengan tujuan, untuk memusnahkan pasukan dari Kediri itu, atau seluruh isi padepokan yang sombong itu.

“Tetapi setiap langkah kini harus diperhitungkan lebih baik lagi” berkata Ki Dukut di dalam hatinya, “kegagalan berikutnya akan berakibat lebih parah lagi. Bahkan mungkin akan menghancurkan seluruh harapanku untuk membalas sakit hatiku”

Oleh karagu-raguan itu, maka Ki Dukut yang dikenal dengan gelar Rajawali Penakluk itu ingin mendengar bagai mana pendapat orang-orangnya. Karena itu, maka dengan sengaja ia memanggil beberapa orang dari kelompok yang barbeda

“Aku ingin mendengar pendapat kalian” berkata KiDukut.

“Tentang apa?” bertanya salah seorang dan mereka.

“Tentang orang-orang Kediri itu. Apakah kita sudah merasa puas satelah kita berhasil membebaskan sebagian dari kawan-kawan kita yang tertawan, meskipun ada juga korban yang jatuh di antara kita”

Seorang yang berwajah kasar, yang termasuk salah seorang yang telah dibebaskan berkata, “Mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka memiliki ilmu iblis yang tidak dapat dimengerti”

“Kau sudah jera?” bertanya Ki Dukut.

“Tetapi mereka tidak berada di dalam iring-iringan para prajurit dan pengawal yang membawa kami ke Kediri. Mereka semuanya tertinggal di padepokan itu” berkata orang itu, “jika mereka tetap tinggal di padepokan, maka iring-iringan itu sebaiknya kita hancurkan dengan kekuatan yang masih ada, karena pasukan itu pun telah mengalami luka-luka yang cukup parah. Tetapi jika orang-orang yang mempunyai ilmu iblis itu mengantar mereka ke Kediri, kita mempunyai peluang untuk menghancurkan isi padepokan kecil itu”

Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Pikiranmu baik sekali. Tetapi tentu hanya satu dua orang sajalah yang memiliki ilmu iblis itu. Sementara kita akan dapat mempersiapkan diri lebih baik. Beberapa orang yang telah mengalami tempaan yang keras telah dibebaskan. Bersama mereka, kekuatan kita sudah meningkat. Apalagi jika kita siapkan semuanya dengan lebih baik”

“Kita panggil kawan-kawan kita lebih banyak lagi” berkata seorang di antara mereka.

“Kita akan memanggil orang-orang terbaik yang tersisa. Tetapi bahwa mereka yang telah mendapat tempaan yang sungguh-sungguh itu ada di antara kita, maka kita pun sudah menjadi lebih kuat kedudukan kita” berkata Ki Dukut, “karena itu kita akan menyiapkan diri."

"Dua orang akan mengawasi keadaan bersama aku. Mudah-mudahan aku akan mendapat beberapa pertanda dari mereka”

Demikianlah Ki Dukut mempersiapkan orang-orangnya yang masih saja dibakar oleh dendam. Tetapi, Ki Dukut harus benar-benar meyakini, bahwa orang-orang terpenting yang disebut berilmu iblis itu tidak berada di antara mereka.

Ketika di malam hari, Ki Dukut yang mendekati padepokan itu melihat bahwa para prajurit dan pengawal sudah mengatur diri dan disibukkan oleh persiapan-persiapan perjalanan yang panjang, maka untuk beberapa saat Ki Dukut berusaha untuk mendengarkan satu percakapan di antara mereka. Seperti yang pernah dilakukan, maka ia pun mengendap di luar pintu gerbang, mendengarkan para pengawal itu berbicara untuk melenyapkan kejemuan.

Ketika Ki Dukut sudah hampir menjadi jemu dan tidak sabar lagi, tiba-tiba saja ia mendengar penjaga itu berkata, “Mungkin orang-orang gila itu akan mencegat kita lagi”

“Justru kita mengharap demikian. Jika kali ini mereka melakukannya, maka mereka akan tertumpas habis” sahut yang lain.

“Kita berharap demikian. Di saat matahari sepenggalah, kita akan sampai di lembah itu lagi” desis kawannya.

Percakapan itu sudah cukup memberi tahukan kepada Ki Dukut Pakering, apa yang bakal dilakukan oleh para prajurit dan Pengawal. Mereka tentu akan kembali ke Kediri bersama dengan orang-orang yang disebut berilmu iblis itu. Karena itu, maka Ki Dukut yeng disebut Rajawali Penakluk itu pun kemudian meninggalkan regol padepokan itu, kembali kepada orang-orangnya.

“Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap para prajurit dan pengawal yang akan kembali ke Kediri, “ barkata Ki Dukut kepada pengikut-pengikutnya. ”ternyata orang-orang yang kalian sebut berilmu iblis itu akan bersama mereka. Para prajurit dan pengawal itu justru berharap, agar kita besok mencegat mereka lagi, sehingga seperti saat kita dipadepokan kecil itu maka kita bagaikan serangga masuk ke dalam api”

“Jadi kita tidak akan berbuat apa-apa?” bertanya salah seorang dari pengikutnya.

“Jangan bodoh. Dengan demikian, padepokan itu akan merupakan sasaran yang baik bagi kita. Kita akan menyerang padepokan itu dan menghancurkannya”

“Besok pagi?” bertanya yang lain.

“Sesudah para prajurit meninggalkan padepokan itu” Jawab Ki Dukut.

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka merasakan satu sentuhan harapan untuk dapat melepaskan dendam mereka. Di padepokan itu hanya akan ditunggui para cantrik yang pada umumnya belum memiliki kemampuan bertempur.

“Sekarang kalian dapat beristirahat” berkata Ki Dukut, “besok kita akan mengerahkan kemampuan kita. Padepokan kecil itu akan menjadi karang abang. Mayat para cantrik dan pemimpin padepokan yena sombong itu pun akan terbakar bersama padepokan mereka”

Seperti yang didengar Ki Dukut Pakering, maka prajurit aan para pangawal dari Kediri itu telah bersiap-siap untuk kembali ke Kediri pada pagi hari berikutnya bersama Pangeran Kuda Padmadata, Mahendra, Mahisa Bungalan dan kedua adik-adiknya.

Namun atas berbagai macam pertimbangan, karena masih ada beberapa prajurit yang terluka dan beberapa orang tawanan, maka Pangeran Kuda Padmadata memutuskan, ada beberapa orang prajurit dan pengawal yang akan tinggal melayani kawan-kawannya yang terluka sambil mengawasi tawanan yang masih ada di padepokan itu.

Ketika fajar menyingsing, padepokan itu telah menjadi sibuk. Ketika semua parsiapan telah selesai, maka iring-iringan itu pun siap meninggalkan padepokan itu menuju ke Kediri.

“Jangan lengah,” pesan Pangeran Kuda Padmadata meskipun ia sendiri ikut serta dalam iring-iringan itu, “Yang pernah terjadi menjadi pengalaman yang tidak boleh terulang lagi”

Demikianlah, maka Pangeran Kuda Padmadata serta mereka yang akan kembali ke Kediri itu pun segera minta diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya tidak ingin segera kembali. Tetapi karena ayahnya menjanjikan bahwa setelah mereka sampai ke Kediri, maka akan kembali lagi untuk melakukan pemburuan yang besar, maka mereka pun telah bersedia ikut pula.

Dengan penuh kewaspadaan iring-iringan itu menyusuri jalan persawahan menjauhi padepokan kecil itu menuju ke Kediri. Seperti yang pernah dilakukan, maka iring-iringan itu pun semakin lama semakin mendekati lembah yang telah dipergunakan sebagai perangkap oleh Ki Dukut Pakering.

Tetapi iring-iringan yang dipimpin oleh Pangeran Kuda Padmadata itu tidak berjalan kaki seperti yang telah terjadi. Karena mereka tidak membawa tawanan, maka iring-iringan itu pun melaju di atas punggung kuda.

Ki Dukut Pakering dan beberapa pengiringnya, sengaja ingin membuktikan, apakah benar di dalam iring-iringan itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga orang-orangnya menyebutnya memiliki ilmu iblis. Dari jarak yang cukup, Ki Dukut pun melihat iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin dekat.

“Mereka lebih cepat sampai ke tempat ini” desis Ki Dukut yang dikenal oleh orang-orangnya bergelar Rajawali Penakluk.

“Mereka berkuda” desis yang lain.

“Ya. Mereka tidak membawa seorang tawanan pun, karena mereka telah kita bebaskan. Mungkin masih ada satu dua orang yang tertawan dan luka-luka, tetapi itu sudah tidak berarti sama sekali”

Pengikutnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Dukut memperhatikan dengan seksama, siapakah orang-orang yang disebut memiliki ilmu iblis itu.

Jantungnya berdesir ketika ia melihat Pangeran Kuda Padmadata berada di dalam iring-iringan itu. Tahulah Ki Dukut Pakering, bahwa permusuhannya dengan muridnya itu benar-benar telah mencengkam sampai kedasar jantung. Ia sendiri dan muridnya itu tidak akan dapat lagi menemukan jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka, karena pertentangan diantara mereka justru semakin lama menjadi semakin dalam.

Di sisi Pangeran Kuda Padmadata berkuda seorang anak muda yang pernah dikenal pula oleh Ki Dukut, telah membuat Ki Dukut semakin berdebar-debar. Bahkan diluar sadarnya ia mengumpat, “Gila. Agaknya iblis-iblis itulah yang telah menghancurkan orang-orangku. Kenapa tiba-tiba saja mereka berada di padepokan itu? Apakah mereka mengetahui bahwa aku berada di tempat ini?”

Namun Ki Dukut pun mengetahui, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tentu mengenal pengikutnya yang paling setia, yang telah terbunuh di padepokan itu.

“Dengan demikian, maka Pangeran itu tentu mengetahui, bahwa aku berada di sekitar tempat ini. Dan agaknya Pangeran itu pun mengetanui bahwa akulah yang telah mencegat prajurit dan pengawal Kediri yang membawa tawanan melalui lembah itu” berkata Ki Dukut di hatinya pula.

Dalam pada itu, iring-iringan itu melaju tanpa mengalami gangguan apapun juga. Pangeran Kuda Padmadata yang mengharap dapat bertemu dengan gurunya, menjadi kecewa, bahwa pasukan yang mencegat itu tidak melakukannya lagi. Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tetap berhati-hati. Mungkin pasukan yang diduganya dipimpin oleh Ki Dukut itu telah mengambil tempat yang lain.

Namun ternyata bahwa Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu hanya memandangi saja pasukan yang lewat, karena ia telah mempunyai rencana yang lain. Ketika iring-iringan itu menjadi semakin jauh. maka Ki Dukut itu pun tertawa sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu atas padepokan kecil itu”

Para pengikutnya pun tertawa. Seseorang yang pernah tertawan di padepokan itu pun berkata, “Ada beberapa orang yang memiliki ilmu iblis. Selain yang disebut Pangeran itu ada pula beberapa anak muda yang gila diantara mereka dan seorang tua. Tetapi agaknya masih ada satu dua orang yang tertinggal di padepokan”

“Ada beberapa orang mereka semuanya?” bertanya Ki Dukut.

Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak tahu pasti”

“Yang lewat bersama mereka, para prajurit dan pengawal itu ada beberapa?” bertanya Ki Dukut pula.

“Lima atau enam. Aku kurang pasti” jawab orang itu, “Agaknya semuanya telah kembali ke Kediri. Mungkin masih ada satu dua orang prajurit dan pengawal yang mengawasi para tawanan yang terluka. Tetapi itu tidak akan berarti apa-apa” desis Ki Dukut Pakering.

Dengan demikian, maka Ki Dukut telah mengambil satu keputusan untuk menyerang padepokan kecil yang telah di tinggalkan oleh para prajurit dan pengawal dari Kediri. Beberapa orang yang telah mendapat tempaan yang keras telah dibebaskan. Bersama dengan pengikatnya dalam jumlah yang besar, maka Ki Dukut Pakering yang dikenal sebagai Rajawali Penakluk itu merencanakan untuk melumatkan sama sekali padepokan yang telah dianggapnya menantang dan bahkan berkhianat itu.

Ketika Ki Dukut kemudian kembali ke sarangnya, maka ia pun segera menghimpun orang-orangnya. Memilih yang terbaik diantara mereka. Namun ia tidak mengabaikan pula jumlah yang akan dibawanya, sehingga semuanya sudah meyakinkannya, bahwa ia akan dapat menghancurkan padepokan itu.

“Kita tidak tergesa-gesa seperti saat kita menjebak iring-iringan itu” berkata Ki Dukut, “padepokan itu tidak akan pergi kemana-mana. Sedangkan iring-iringan pasukan itu harus diperhitungkan tempat dan waktu yang tepat, agar kita tidak terlambat”

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka pun mengerti, bahwa mereka dapat melangkah dengan perhitungan yang lebih cermat.

“Kita dapat berlaku sebagai seekor kucing terhadap seekor tikus” berkata Ki Dukut, “kita kepung padepokan itu. Kita akan menakut-nakuti mereka, sebelum kita berbuat sesuatu. Jika mereka semuanya telah menggigil ketakutan untuk beberapa lamanya, maka barulah kita memasuki padepokan itu. Mereka tentu akan mati membeku dengan sendirinya sebelum kita berbuat apa-apa”

Para pengikutnya tertawa. Agaknya memang menyenangkan. Setelah mereka dicengkam oleh ketegangan beberapa saat lamanya, maka mereka akan menyaksikan sesuatu yang akan sangat menyenangkan. Bermain-main dengan perasaan takut orang lain. Kemudian dengan sekehendak hati memperlakukan mereka yang sadang ketakutan itu.

“Kapan kita akan mulai” tiba-tiba seseorang tidak sabar lagi.

“Jangan tergesa-gesa” desis Ki Dukut.

“Sekarang kita dapat mulai” berkata yang lain.

Kita Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu tertawa. Ia menemukan cara yang paling baik untuk membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri bagi anak buahnya yang hampir saja menjadi putus asa dan kehilangan harapan. Bahwa mereka merasa diri mereka menang ketika mereka berhasil membebaskan kawan-kawan mereka, meskipun dengan korban yang sangat banyak, Ki Dukut sudah mulai berharap bahwa orang-orangnya itu akan bangkit. Cara yang akan menyenangkan pengikutnya menghadapi padepokan itu pun akan dapat mempertebal gairah perjuangan mereka.

“Sasaran utamaku adalah Kasang Jati” gumam Ki Dukut Pakering.

Dalam pada itu, maka Ki Dukut Pakering pun telah mempersiapkan pasukan yang kuat. Mereka yang tidak terpilih untuk ikut serta, merasa sangat kecewa. Rasa-rasanya mereka tidak akan dapat ikut melihat satu pertunjukkan yang akan sangat mengesankan dan jarang kali dapat dijumpainya pada waktu mendatang.

“Tentu tidak semuanya” berkata Ki Dukut, “sebagian dari kalian harus menunggui kekayaan yang telah kita kumpulkan. Meskipun untuk daerah yang luas, kita telah bersatu dan tidak akan saling mengganggu, tetapi masih perlu ada pengawasan atas segalanya yang telah kita kumpulkan”

Betapa perasaan kecewa mencengkeram jantung, tetapi mereka harus patuh. Tinggal di barak bersama beberapa orang tanpa berbuat sesuatu. Agaknya para pengikutnya tidak sabar untuk menunggu sampai hari berikutnya. Agar tidak mengecewakan, maka Ki Dukut pun kemudiain mempersiapkan pasukannya dan memberi tahukan kepada mereka,

“Sebaiknya hal ini kita lakukan di siang hari. Mereka akan dapat melihat kekuatan kita. Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan, sementara kita hanya duduk-duduk saja melingkari padepokan itu”

“Malam nanti kita berangkat” berkata seseorang, “ketika pagi-pagi mereka terbangun, maka mereka akan melihat bahwa padepokan mereka telah terkepung. Sebagian dari mereka tentu akan segera jatuh pingsan. Kita akan mengepung mereka tiga hari tiga malam, agar mereka merasakan ketakutan untuk waktu yang cukup sebelum jiwa mereka kita renggut dari batang tubuhnya”

Yang terdengar adalah suara tertawa berkepanjangan sambil teriak-teriakan gembira. Bahkan beberapa orang berteriak, “Setuju sekali dengan cara itu. Kita akan mendapat permainan yang menyenangkan”

Seperti yang direncanakan, maka Ki Dukut pun telah membawa pasukannya mendekati padepokan kecil itu, dan mereka pun segera mengatur diri, mengepung padepokan itu. Kini sebagian terbesar dari mereka berada di depan padepokan. Beberapa orang sudah mendapat tugas untuk mengawasi setiap pintu butulan dan sudut padepokan, agar tidak seorang pun yang sempat melarikan diri.

Dengan gembira para pengikut Ki Dukut itu berharap, agar pagi segera terbit. Mereka seolah-olah tidak sabar lagi menunggu, isi padepokan itu menjadi ketakutan dan menggigil sambil memohon ampun.

“Tetapi tidak ada ampun. Mereka akan mati dalam keadaan yang paling pahit” berkata salah seorang dari mereka.

“Kami akan membunuh mereka dengan perlahan-lahan” berkata yang lain.

“Apapun dapat kita lakukan. Jika kita mengepung mereka tiga hari tiga malam, maka sebagian mereka tentu sudah mati dengan sendiri dalam keadaan yang sangat ketakutan”

Orang-orang itu tertawa. Mereka sama sekali tidak mengekang diri, seperti sepasukan prajurit yang dengan diam-diam mengepung benteng lawan. Tetapi mereka seolah-olah telah dengan sengaja menunjukkan kepada orang-orang di dalam dinding padepokan itu, bahwa mereka telah datang.

Para penjaga regol di padepokan itu pun akhirnya mendengar kegaduhan di luar meskipun tidak terlalu dekat. Tetapi mereka tidak segera dapat mengetahui, apakah yang telah terjadi. Seorang dari antara mereka telah memasang tangga, untuk melihat, siapakah yang berada di luar dinding. Dari sisi gapura, seseorang menjenguk keluar. Tetapi gelapnya malam masih belum dapat ditembusnya dengan tatapan mata.

“Siapa?” bertanya kawannya., “Tidak tahu” jawab yang memanjat, “aku tidak melihat dengan jelas, tetapi aku kira sekelompok orang yang tidak kita kenal berada di depan padepokan ini”

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing” sahut yang lain, “kita akan segara melihat. Namun mungkin sukali sebelum fajar telah terjadi sesuatu atas padepokan ini”

“Jadi, apakah yang akan Kita lakukan? Memukul tanda bahaya?” bertanya kawannya.

“Belum tentu. Aku akan melaporkan saja kepada kawan-kawan agar mareka bersiaga”

Salah seorang dari para cantrik yang berjaga-jaga di regol itu pun segera pergi ke barak. Ia membangunkan beberapa orang kawannya dan mengatakan apa yang diketahuinya.

“Kau sudah melaporkannya kepada pemimpin kita dan para tamu itu” bertanya seorang cantrik.

“Belum” jawab kawannya, “kukira masih belum perlu sebelum kita yakin, apa yang terjadi”

Beberapa orang cantrik itu pun telah bersiaga. Bahkan kemudian dua orang putut Yang memimpin para cantrik itu pun telah terbangun pula. Ternyata keduanya pun berpendapat, bahwa sebaiknya, mereka tidak usah melaporkannya lebih dahulu, karena mereka masih belum jelas mengetahui persoalannya.

“Kita sajalah yang berjaga-jaga” berkata kedua orang putut itu kepada para cantrik yang telah terbangun.

Para cantrik yang telah terbangun itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka sadar, bahwa mereka masih belum memiliki dasar yang cukup. Tetapi kemenangan yang pernah mereka saksikan di padepokan itu, telah membuat hati mereka berkembang. Beberapa orang di antara mereka pun kemudian berpencar. Namun mereka pun telah bersiap dengan tanda tanda siasat apabila keadaan menjadi semakin gawat.

Dengan diam-diam, para cantrik itu duduk bersandar dinding di beberapa bagian halaman padepokan mereka. Satiap kelompok telah tersedia sebuah kentongan kecil yang setiap saat dapat mereka bunyikan.

Tetapi ternyata menjelang pagi, tidak terjadi sesuatu atas padepokan itu. Namun demikian gelap malam terkuak maka seseorang di antara para cantrik yang memanjat tangga di sebelah regol itu pun segera melihat, bahwa padepokan mereka telah dikepung.

Cantrik itu memang benar-benar hampir saja menjadi pingsan. Namun dengan kata-kata gagap, ia masih sempat menceriterakan kepada kawan-kawannya, apa yang telah dilihatnya.

“Kau tidak bermimpi?” bertanya salah seorang putut.

“Kau lihatlah sendiri” berkata cantrik itu.

Seorang Putut yang terbaik di antara kawan-kawannya itu pun kemudian memanjat tangga di sebelah regol. Ternyata ia pun melihat, beberapa kelompok orang sedang duduk-duduk berpencar di depan padepokan. Sedang beberapa yang lain tersebar mengelilingi padepokan itu.

“Kita benar-benar menghadapi bahaya yang gawat” katanya bersungguh-sungguh.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan?” bertanya seorang cantrik.

“Bukan kita yang mengambil keputusan. tetapi pimpinan padepokan ini” jawab putut itu.

Putut itu pun dengan tergesa-gesa telah menemui pemimpin padepokannya yang telah bangun pula dan membersihkan diri. Laporan itu memang mengejutkannya, Namun ia pun berusaha untuk tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Ketika ia masuk ke ruang dalam, dilihatnya seorang cantrik yang lain sedang mencarinya.

“Ada apa?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Nampaknya mereka sedang bersiap sekarang. Mungkin mereka sudah akan mulai bergerak” berkata cantrik itu.

“Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan” perintah pemimpin padepokan itu, “bagaimanapun juga, kita harus mempertahankan padepokan ini sejauh dapat kita lakukan”

Para cantrik itu kembali kepada kawan-kawannya. Atas perintah pemimpin padepokan itu, maka semua orang yang berada di dalam lingkungan padepokan itu telah mempersiapkan diri. Para cantrik, para pembantu yang setiap hari juga berada di padepokan itu, meskipun mereka bukan cantrik yang dengan sengaja menyadap ilmu kanuragan dan kajiwan.

“Dendam mereka telah membakar jantung” berkata pemimpin padepokan itu, “karena itu, kita justru harus bersikap jantan. Jika kita menyerah, maka leher kita akan mereka patahkan. Tetapi jika kita melawan, seandainya kita akan mati juga namun kematian kita adalah kemati seorang laki-laki”

Kata-kata itu telah menumbuhkan gairah perjuangan bagi para cantrik yang semula merasa cemas menghadapi perkembangan keadaan. Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu pun segera menemui Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu yang masih tinggal. Ia pun segera menyampaikan, apa yang telah terjadi diluar dinding padepokan.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia menyadari, betapa keadaan memang menjadi gawat. Karena itulah, maka ia pun segera memanggil beberapa orang prajurit yang masih tinggal untuk membantu kawan-kawan mereka yang terluka dan mengawasi beberapa orang tawanan yang tidak sempat melarikan diri, namun yang justru telah terluka pula.

“Kita menghadapi keadaan yang gawat” berkata Mahisa Agni.

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Jumlah mereka memang terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang yang dilaporkan berada di luar dinding. Tetapi mereka mempunyai kemampuan untuk mempertahankan, diri. Sementara di antara mereka terdapat para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu kecil.

“Bersiaplah” berkata Mahisa Agni, “sisihkan kawan-kawanmu yang terluka, dan simpanlah para tawanan baik-baik”

“Sebagian dari kawan-kawan yang terluka, masih mampu bertempur pula” berkata pemimpin prajurit dan pengawal yang ditinggal di padepokan itu.

“Jangan paksa mereka” berkata Mahisa Agni, “dengan demikian, maka luka-luka yang sudah akan berangsur baik akan menjadi parah lagi”

“Tetapi itu masih lebih baik daripada kita harus menyerahkan leher kita” jawab pemimpin prajurit itu.

“Meskipun demikian, kalian dapat memperhitungkan, siapakah yang akan dapat turun ke arena, dan siapa yang harus tetap tinggal diam” berkata Mahisa Agni kemudian.

Pemimpin prajurit dan pengawal itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian meninggalkan Mahisa Agni dan menemui kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah agar mereka bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Agak berbeda dengan para cantrik, meskipun para prajurit dan pengawal itu menjadi berdebar-debar juga, namun mereka sudah cukup terlatih dan ditempa badani dan jiwani menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, mereka masih nampak selalu tenang.

Beberapa orang yang terluka, yang merasa dirinya sudah berangsur baik, telah bertekad untuk ikut serta mempertahankan padepokan itu dengan senjata di tangan. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin prajurit dan pengawal itu, bahwa bertempur akan jauh lebih baik dari pada menyerahkan leher tanpa perlawanan apapun.

“Aku akan membubuhkan obat yang cukup pada lukaku, agar darah tidak lagi mengalir dari luka itu meskipun aku harus bertempur sambil mengerahkan tenaga” berkata salah seorang dari antara mereka.

Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal pun segera bersiap. Yang terluka telah mencoba untuk menjaga luka-luka mereka sebaik-baiknya. Sementara orang yang mereka anggap sebagai tawanan dan terluka pula, telah mereka singkirkan.

“Kami terpaksa mengikat kalian” berkata seorang pengawal.

Dalam pada itu, maka di dalam dinding padepokan itu, para putut, para cantrik, para pengawal dan prajurit pun telah bersiaga sepenuhnya. Mereka menunggu, orang-orang yang mengepung di luar dinding itu akan segera menyerang.

Tetapi ternyata Ki Dukut Pakering tidak segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang. Mereka justru berada di luar dinding dengan tingkah laku yang aneh. Mereka makan, minum dan bergembira, seolah-olah mereka tidak sedang menghadapi dinding padepokan yang akan dihancurkannya.

“Tentu tikus-tikus itu menjadi gelisah dan ketakutan” berkata orang-orang itu, “kita akan menunggui mereka sampai tiga hari tiga malam. Pada hari keempat, mereka telah membeku karena ketakutan dan kecemasan”

Karena itu, di hari pertama itu, yang mereka lakukan justru sekedar menarik perhatian. Kegelisahan orang-orang yang berada di dalam dinding padepokan menjadi semakin menghunjam ke dasar jantung. Satu dua di antara mereka yang sempat menjenguk mereka dari atas tangga merasa betapa orang-orang yang mengepung mereka itu telah memastikan, bahwa mereka akan dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Mereka dapat melakukan kapan saja sesuai dengan keinginan mereka.

Kadang-kadang terdengar suara tertawa meninggi di antara gurau yang kasar. Bahkan sekali-sekali satu dua orang yang berada di luar dinding itu telah melemparkan satu dua butir batu kearah padepokan diiringi suara tertawa berkepanjangan. Tingkah laku mereka benar-benar membuat para cantrik menjadi kecut. Hati mereka kuncup semakin kecil. Setiap kali mereka bagaikan terhenyak ke dalam sebuah mimpi yang paling buruk.

“Tetapi bukan sekedar mimpi” desis seseorang, “ketika ia memanjat dinding dan melihat keluar, ternyata yang selalu mengelisahkan itu masih ada. Memang bukan sekedar mimpi yang akan segera hilang jika mereka terbangun.

Di hari pertama, para cantrik dengan gelisah mencoba untuk mendapatkan penjelasan dari putut yang lebih tua dari mereka. Namun putut-putut itu pun sama sekali tidak dapat memberikan penjelasan, selain pesan, agar mereka selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika matahari kemudian turun di ujung Barat, kegelisahan pun menjadi semakin memuncak. Seisi padepokan itu memperhitungkan,, bahwa apabila malam turun maka orang-orang itu akan menyerang padepokan yang mereka anggap terlalu lemah itu.

“Kita akan memasang obor di segala sudut, “berkata putut yang tertua, “dengan demikian, kita akan dapat mengamati keadaan sebaik-baiknya. Kita akan dapat mengamati keadaan orang yang memanjat dan meloncat turun di halaman”

“Itu akan menghahiskan minyak” desis seorang cantrik.

“Tetapi itu lebih baik” jawab Putut itu, “besok kalian akan memanjat kelapa sebanyak-banyaknya. Kita akan membuat minyak kelapa yang cukup selain kita harus mengumpulkan biji jarak, kelenteng randu dan apa pun yang dapat kita krengseng menjadi minyak”

Para cantrik tidak membantah. Bagaimanapun mereka menghargai minyak kelapa yang dapat mereka pergunakan untuk kepentingan dapur, namun dalam keadaan yang gawat mereka tidak dapat menyimpannya saja.

Karena itulah, maka para cantrik telah membuat obor-obor kecil yang akan mereka pasang dibeberapa tempat di sudut-sudul halaman. Dengan tangkai-tangkai panjang, mereka menempatkan obor-obor kecil itu di dekat dinding, agar mereka dapat mengawasi setiap kemungkinan seseorang meloncat masuk.

“Tidak perlu dengan obor-obor itu” desis Mahisa Agni yang melihat seorang cantrik memasang obor.

“Tetapi putut-putut itu memerintahkannya” jawah cantrik itu.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi karena-perintah itu telah diberikan, maka ia tidak mencegahnya lagi. Bagi Mahisa Agni dan para prajurit dan pengawal, lampu-lampu obor itu memang tidak perlu. Tetapi mereka harus langsung mengawasi setiap jengkal dinding padepokan semalam suntuk, meskipun berganti-ganti.

Demikianlah, ketika gelap malam mulai turun, maka beberapa obor telah dinyalakan. Meskipun tidak terlalu terang, tetapi cahaya obor itu memang dapat menerangi bibir dinding padepokan, sehingga jika ada satu dua orang yang meloncat turun ke halaman, maka orang itu akan segera dapat dilihat.

Sementara itu beberapa orang cantrik telah membagi diri dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh para putut di padepokan itu. Selain daerah pengawasan, mereka pun telah menentukan saat-saat mereka berjaga-jaga. Para cantrik telah membagi malam menjadi tiga kerat waktu. Namun meskipun mereka yang tidak sedang bertugas, para cantrik itu harus berada di tempat yang telah ditentukan dengan senjata masing-masing.

Selain para cantrik, maka para pengawal dan prajurit telah menentukan waktu dan tempat tersendiri. Dalam pada itu Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu akan selalu berada di pendapa untuk melihat setiap perkembangan yang terjadi, sementara pemimpin padepokan itu akan selalu mengelilingi padepokannya untuk memberikan dorongan gairah perjuangan bagi para cantrik dan putut yang sedang diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak.

Namun dalam pada itu, justru karena para cantrik, para prajurit dan pengawal harus berjaga-jaga sepenuhnya, maka perapian di dapur pun tidak pernah padam. Petugas-petugas yang khusus di dapur telah menyediakan air panas semalam suntuk agar mereka yang bersiaga tetap segar.

Dengan hati yang berdebar-debar para cantrik menunggu. Obor-obor yang menyala di sudut-sudut halaman dan hampir di seputar padepokan itu nyalanya mulai redup. Satu dua di antara obor-obor itu telah padam. Namun yang lain telah diisi lagi dengan minyak tanah, atau diganti dengan biji-biji jarak kering yang dirangkai dengan lidi. Tetapi biji-biji jarak itu tidak dapat mencapai waktu terlalu lama, sehingga harus diganti yang baru pula.

Menjelang pagi, kegelisahan para cantrik hampir tidak dapat ditahan lagi. Meskipun mereka yang sebenarnya mendapat kesempatan untuk tidur, ternyata sama sekali tidak dapai memejamkan mata, karena mereka cemas, bahwa tiba-tiba saja di dalam tidurnya, sehelai pedang telah menghunjam keperutnya.

“Tidurlah” berkata Mahisa Agni yang kemudian, memutari halaman itu bersama pemimpin padepokan, “jangan cemas”

Para cantrik itu memandang Mahisa Agni dengan sorot mata penuh kebimbangan. Seolah-olah mereka ingin menyaksikan, apakah yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu benar.

Mahisa Agni dapat menangkap keragu-raguan itu. Karena itu. maka katanya, “Beristirahatlah. Biarlah para pengawal dan prajurit sajalah yang berjaga-jaga menjelang pagi. jika orang-orang itu ingin bertempur di dalam kegelapan malam, mereka tentu sudah menyerang. Bukan saat seperti ini, karena sehentar lagi, matahari sudah akan terbit”

Para cantrik tidak menjawab. Dan Mahisa Agni pun meneruskan, “Tetapi jika kalian sama sekali tidak beristirahat, maka jika nanti matahari terbit, dan orang-orang itu datang menyerang, kalian sudah kehabisan tenaga untuk melawan”

Para cantrik itu saling berpandangan. Sementara Mahisa Agni berkata terus, “Para pengawal dan prajurit sudah terlatih untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Meskipun demikian, mereka pun telah membagi diri pula, sehingga masing-masing akan sempat beristirahat, jika keadaan menjadi gawat, maka mereka akan memukul kentongan, dan kalian akan segera terbangun”

Para cantrik itu masih ragu-ragu. Namun pemimpin padepokan itu pun menegaskan, “Percayakan pengamatan padepokan ini kepada para prajurit, pengawal dan kami”

Penegasan itu membuat para cantrik agak tenang. Karena itu, mereka pun segera mencari tempat yang paling haik untuk beristirahat. Bahkan ada di antara mereka yang tidur di tempat yang tersembunyi.

“Kenapa kau tidur disitu?” bertanya kawannya.

“Disini aku merasa aman. Seandainya dengan cepat sekali orang-orang itu memasuki halaman padepokan, mereka tidak segera dapat menemukan aku. Dengan demikian, aku akan sempat terbangun dan memberikan perlawanan. Meskipun aku akan mati juga, tetapi aku sudah melawan” berkata cantrik itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian berusaha, untuk mendapat tempat yang paling baik pula menurut perhitungan mereka. Ternyata para cantrik itu tidak menyadari, berapa lamanya mereka tertidur oleh telah dan kantuk, justru karena tempat mereka tersembunyi, maka kawan-kawannya yang lain tidak segera melihat mereka dan membangun kan ketika matahari sudah memanjat naik tanpa terjadi sesuatu.

Baru ketika terasa udara menjadi semakin panas, mereka telah terhangun dengan sendirinya. Namun mereka mengumpat ketika mereka sadar, bahwa matahari telah naik sepenggalah.

“Kau tidak mau membangunkan aku” geramnya ketika ia bertemu dengan kawannya yang melintas dengan pedang dilamhung.

“Kau tidur di mana?” bertanya kawannya itu.

Tetapi cantrik itu tidak menjawab. Ia pun kemudian langsung menuju kepakiwan. Namun agaknya ada juga satu dua orang yang baru saja terbangun pula.

Ternyata bahwa orang-orang yang berada di luar dinding itu sama sekali belum berbuat sesuatu. Mereka masih duduk-duduk saja sambil bergurau dan mengumpat- mengumpat. Dengan sengaja mereka berteriak-teriak agar suara mereka dapat di dengar dari dalam dinding. Seorang cantrik yang menjenguk mereka dengan memanjat tangga melihat, bahwa mereka telah membuat perapian untuk merebus air dan menanak nasi.

“Gila” geram cantrik itu, “apakah-sebenarnya yang ingin mereka lakukan”

Kawan-kawannya tidak dapat menjawab. Namun setiap cantrik di dalam padepokan itu merasa, betapa kegelisahan semakin mencengkam dada mereka. Seolah-olah berada di ambang pintu bilik hantu yang sangat menakutkan.

“Mereka membuat kita di sini hampir gila” berkata seorang cantrik kepada kawannya.

“Ya. Agaknya mereka memang dengan sengaja berbuat demikian sehingga akhirnya mereka akan dengan sangat mudah membinasakan kita” desis seorang putut.

Para cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengusir ketegangan yang mencengkam hati. Meskipun para prajurit dan pengawal masih tetap tenang, tetapi sebenarnyalah hati mereka pun mulai dirayapi oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Setiap kali mereka mendengar teriakan-teriakan dan suara tertawa yang meledak, jantung mereka rasa-rasanya akan pecah oleh kemarahan yang meluap.

Tetapi para prajurit dan pengawal masih dapat menahan diri. Mereka masih tetap tenang biarpun hati mereka bergejolak dan dengan seksama mengikuti perkembangan keadaan. Satu dua di antara mereka pun sudah menjenguk lewat tangga di sebelah gerbang untuk mengamati apa yang dilakukan oleh-orang yang herada diluar dinding. Di siang hari yang terik, orang-orang yang mengepung padepokari itu telah berkerumun di bawah bayangan pohon rindang. Mereka berbaring sambil berkelakar. Ada yang berdendang dengan suara parau, dan bahkan ada yang berteriak-teriak tanpa arti.

“Nampaknya ada juga kejemuan di hati mereka” desis seorang prajurit.

“Tentu. Mereka pun tentu akan merasa jemu. Namun jantung mereka tidak terasa setegang kita di sini, karena mereka dapat menentukan, apa yang akan mereka lakukan. Agak berbeda dengan kita. Kejemuan yang paling mencengkam adalah, bahwa kita harus menunggu, apa yang akan mereka lakukan atas kita” jawab kawannya.

Yang lain mengangguk-angguk. Mereka benar-benar menjadi tegang, gelisah dan juga kamarahan yang tertahan. Tetapi tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu dengan jantung yang berdentangan semakin cepat. Para cantrik yang gelisah, setiap kali telah memanjat tangga dan manjenguk orang-orang yang berada di luar dinding. Mereka masih saja berpencar dan berteduh di bawah bayangan pepohonan.

“Beruntunglah bahwa mereka tidak menyerang kita sekarang” seorang prajurit yang terluka berdesis

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Jika mereka menyerang kemarin saat matahari terbit, atau pagi-pagi tadi, maka lukaku tentu masih terasa sakit. Tetapi ternyata aku masih mempunyai waktu untuk menyembuhkan luka-lukaku. Kini lukaku sudah berangsur baik. Malam nanti, dan besok pagi, aku sudah dapat bertempur seperti sebelum aku terluka” jawab prajurit yang terluka itu.

Para prajurit dan pengawal yang lain pun mengiakannya. Seorang yang terluka di lambung berkata, “Jika aku mendapat kesempatan sampai besok saja. maka aku sudah siap untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Lukaku tidak akan mengganggu aku lagi”

“Ternyata mereka bodoh” berkata yang terluka di pundak dan punggung, “aku pun merasa sudah sembuh sama sekali sekarang. Apa lagi waktu yang satu malam lagi”

Para pemimpin dan prajurit yang tidak terluka dan di tinggalkan untuk mengawasi dan melayani mereka tidak membantah. Mereka pun sadar, bahwa para prajurit yang terluka itu sekedar menghibur diri dalam kejemuan yang mencengkam, meskipun sebenarnyalah bahwa waktu satu dua hari akan sangat berarti bagi mereka yang terluka itu.

Hari-hari yang menjemukan itu berlangsung sangat lamban. Para cantrik mengisi kejemuan itu dengan tingkah laku yang kadang-kadang nampak aneh. Namun para prajurit yang juga ingin mengisi waktunya telah mengajak para cantrik itu untuk berlatih olah kanuragan.

“Satu dua hari ini dapat kalian pergunakan sebaik-baiknya” berkata para prajurit, “kau akan dapat memperdalam cara kalian mempergunakan senjata. Meskipun hampir tidak berarti, tetapi daripada kalian duduk dengan gelisah”

Para cantrik dan putut itu pun melakukannya dengan penuh minat. Kecuali untuk mengisi waktu, mereka pun menganggap bahwa hal itu akan dapat beguna bagi mereka. Dalam kelompok-kelompok kecil para cantrik itu pun berlatih dengan sungguh-sungguh. Mereka ingin memperdalam pengetahuan mereka tentang jenis-jenis senjata mereka masing-masing.

Ternyata cara mereka mengisi waktu itu benar-benar dapat mengurangi kejemuan dan kegelisahan. Bahkan mereka mulai mengharap, agar orang-orang yang mengepung padepokan itu tidak segera menyerang, sehingga mereka akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk melatih diri.

Meskipun kemudian malam turun menyelubungi padepokan itu, namun para cantrik itu masih tetap berlatih dengan sungguh-sungguh. Menjelang malam mereka beristirahat sebentar untuk makan. Namun kemudian mereka pun mulai lagi dengan latihan-latihan meskipun para prajurit telah mendapat pesan, agar mereka tidak menghabiskan tenaga mereka dalam latihan-latihan itu.

“Jika kalian telah menjadi sangat letih, maka untuk benar-benar turun ke arena pertempuran, kalian telah kehabisan tenaga” berkata Mahisa Agni.

Dengan demikian, maka baik para prajurit, maupun para cantrik telah mematuhinya. Mereka berlatih sekedar untuk membiasakan gerak tangan dan kaki mereka tanpa memeras tenaga.

Ketika obor-obor sudah dipasang, maka latihan-latihan pun menjadi semakin susut. Beberapa orang mulai mengatur diri dalam kelompok-kelompok seperti malam sebelumnya. Mereka mulai lagi dengan pengawasan yang teliti di seputar padepokan. Tidak seorang pun boleh meloncat masuk.

Di saat keringat sudah kering, maka kegelisahan pun telah mulai merayapi hati para cantrik itu lagi. Sebenarnya mereka lebih senang berlatih menggerakkan senjata. Tetapi mereka pun menyadari, bahwa mereka tidak sebaiknya memeras tenaga mereka, sehingga mereka menjadi letih.

Dalam pada itu, kegelisahan pemimpin padepokan itu bukan saja karena mereka, harus menunggu saat-saat yang mendebarkan, apabila orang-orang yang mengepung padepokan itu datang menyerang. Namun pada satu saat, maka persediaan bahan mentah di padepokan itu akan menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya habis sama sekali. Meskipun di lumbung masih ada padi, tetapi jika persediaan garam dan kepentingan-kepentingan lain sudah habis, maka mereka akan mengalami kesulitan.

“Itu pun harus mendapat perhatian” berkata Mahisa Agni kepada pemimpin padepokan itu.

“Kita masih akan dapat bertahan dua hari lagi” berkata pemimpin padepokan itu, “selebihnya kita akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan garam”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Hal itu harus mereka perhatikan karena pada suatu saat pertempuran akan berkobar, mereka pun merasa gelisah pula setiap kali mereka masak di dapur, karena persediaan yang semakin tipis.

“Kita harus membicarakannya dengan sungguh-sungguh” berkata Mahisa Agni, “sebaiknyalah kita mengumpulkan para prajurit, pengawal dan para putut di padepokan ini. Aku akan memberikan sedikit persoalan yang akan dapat mereka pecahkan bersama”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan berbicara di pendapa sekarang juga”

Sejenak kemudian, maka para putut, prajurit dan pengawal telah berkumpul di pendapa. Yang tersisa di halaman adalah mereka yang bertugas dan para cantrik padepokan itu.

Mahisa Agni yang kemudian berbicara kepada para prajurit, pengawal dan putut itu pun menjelaskan, bahwa keadaan mereka akan menjadi semakin gawat.

“Bukan maksudku membuat kalian bertambah gelisah” berkata Mahisa Agni, “tetapi hal ini memerlukan pemecahan”

Para prajurit, pengawal dan putut di padepokan itu mendengarkan penjelasan itu dengan sungguh-sungguh. Namun mereka pun tidak melihat, jalan manakah yang paling baik dilalui untuk mengatasi kesulitan yang sungguh-sungguh itu.

Karena tidak ada seorang pun yang memberikan tanggapan, maka Mahisa Agni pun berkata, “Bagaimanakah jika aku mencoba untuk mencari jalan keluar”

Pemimpin padepokan itu memandanginya dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Bukankah itu yang kami tunggu-tunggu”

“Baiklah” berkata Mahisa Agni, “sudah sekian lama kami dicengkam oleh kegelisahan, kecemasan dan barangkali perasaan-perasaan lain di dalam hati kita karena orang-orang itu tiba-tiba saja telah mengepung kita. Kita tentu tahu pasti, siapakah mereka. Dan kita pun dapat membayangkan betapa besarnya kekuatan mereka. Tetapi kita pun bukan anak-anak yang hanya mampu merengek. Kita dapat berbuat sesuatu. Nah, kenapa kita tidak berbuat sesuatu untuk menghadapi mereka”

“Apakah yang kau maksud?” bertanya pemimpin padepokan.

“Selama ini kita dicengkam oleh ketegangan sambil menunggu, kapan orang-orang itu datang menyerang. Kenapa kita tidak mengambil sikap lain daripada sekedar menunggu. Misalnya, kenapa bukan kita saja yang menyerang mereka”

Pertanyaan itu bagaikan menghentak di setiap hati. Seorang perwira prajurit yang bertugas tinggal bersama beberapa orang kawannya dan para pengawal dengan serta merta menyahut, “Kita dapat melakukannya. Kita akan menyerang mereka justru di saat yang tidak mereka duga”

Kemungkinan itu ternyata telah menggerakkan hati setiap orang di pendapa itu. Karena itu, maka pemimpin padepokan itu pun berkata, “Aku kira hal itu dapat dipertimbangkan. Aku kira itu akan lebih baik daripada kita menunggu kelaparan di sini”

“Apakah ada yang menyatakan keberatan dengan pertimbangan yang lain?” bertanya Mahisa Agni.

“Kami sependapat” desis beberapa orang bersama-sama.

Mahisa Agni pun kemudian berpaling kepada Witantra dan Ki Wastu. Namun agaknya keduanya pun sependapat dengan rencana itu, sehingga keduanya mengangguk-angguk kecil. Dalam pada itu, Mahisa Agni pun berkata, “Jika semuanya telah setuju, maka biarlah kita segera bertindak. Kita tidak akan melangkah dengan lamban sekali seperti orang-orang itu. Tetapi kita akan melangkah dengan cepat”

“Kapan kita akan melakukannya?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Sebagian dari para cantrik memang kurang berlatih” berkata Mahisa Agni, “karena itu, maka lebih baik bagi kita untuk bertempur di siang hari. Karena itu, kita akan menunggu, apakah malam ini mereka akan menyerang atau tidak. Jika tidak, maka besok pagi-pagi menjelang matahari terbit, kitalah yang akan menyerang”

“Kenapa tidak sekarang?” bertanya perwira prajurit, yang tinggal di padepokan itu.

“Sebagian besar dari para cantrik belum terbiasa bertempur di malam hari. Bahkan di siang hari pun mereka masih akan banyak mengalami kesulitan” jawab Mahisa Agni.

Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka tidak mendahului kita. Kitalah yang akan menyerang mereka”

“Karena itu, biarlah para cantrik malam ini lebih banyak beristirahat. Kitalah yang akan mengawasi keadaan terus menerus. Kita akan dapat mengetahui, apakah persiapan mereka sudah sampai tingkat terakhir” berkata Mahisa Agni.

“Baiklah” berkata pemimpin para prajurit dan pengawal yang tinggal itu, “aku akan mengatur penjagaan malam ini”

Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal sudah mendapat perintah untuk, bersiap-sebaik-baiknya. Sementara itu, maka para cantrik pun diperintahkan untuk beristirahat seluruhnya.

“Meskipun demikian, jangan lengah. Kalian harus mendengarkan tanda sebaik-baiknya dengan cirinya masing-masing” berkata para putut, “nah, carilah tempat yang paling baik untuk tidur. Percayakan penjagaan malam ini kepada para prajurit dan pengawal.

Para cantrik itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena perintah itu nampaknya meyakinkan, maka mereka pun kemudian mencari tempat yang paling baik untuk tidur. Ada satu dua di antara mereka yang tidur di sebelah dapur. Tetapi ada pula yang tidur di bagian atas kandang.

Para prajurit dan pengawallah yang mengambil alih tugas penjagaan. Mereka pun harus membagi diri, sehingga mereka pun sempat beristirahat. Menjelang pagi mereka harus sudah bersiap untuk bertempur.

Justru karena pengawasan langsung dari sebelah regol, maka seisi padepokan itu merasa tenang untuk beristirahat. Orang-orang yang mengepung padepokan itu tidur berserakan, sementara beberapa orang di antara mereka sajalah yang berjaga-jaga di dekat perapian-perapian yang merekanyalakah untuk penghangat tubuh.

“Pasti bahwa mereka tidak akan menyerang malam ini” berkata seorang prajurit yang mengawasi mereka dari atas tangga.

Para prajurit dan pengawal yang lain pun percaya, seperti yang dikatakan oleh prajurit itu. Seseorang pengawal yang kemudian menjenguk pula, telah yakin, bahwa orang-orang itu justru tidak menghiraukan lagi kedudukan mereka yang sedang mengepung tempat lawan.

“Mereka menjadi lengah karena mereka merasa terlalu kuat” berkata seorang prajurit, “mudah-mudahan keadaan itu sampai pagi hari”

Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan padepokan dan kepada Mahisa Agni, maka Mahisa Agni pun telah memerlukan pula menjenguk mereka. Agaknya ia pun berkesimpulan serupa. Orang-orang itu menganggap bahwa di padepokan kecil itu sama sekali tidak ada lagi kekuatan yang akan dapat melindungi para penghuninya.

“Mereka menganggap kita terlalu lemah” berkata Mahisa Agni kemudian, “karena itu, beristirahatlah sebaik-baiknya sebelum pagi. Meskipun demikian, pengawasan harus berjalan terus”

Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin di padepokan itu pun ternyata sempat pula beristirahat. Mereka sempat tidur di ruang dalam. Namun mereka telah berpesan, bahwa para petugas jangan sampai lengah

“Meskipun nampaknya mereka tidur berserakan, tetapi dalam sekejap mereka telah mampu mempersiapkan diri untuk menyerang” berkata Mahisa Agni, “karena itu, jika kalian mendengar aba-aba yang dapat diartikan sebagai satu gerakan untuk menyerang, maka kalian harus segera melihat, apakah yang terjadi di luar. Seterusnya memberikan isyarat dengan kentongan”

Namun ternyata bahwa di luar padepokan itu tidak terjadi sesuatu. Orang yang mengepung padepokan itu masih saja tidur berserakan, sementara beberapa kelompok masih mengerumuni perapian yang menyala. Satu dua orang di antara mereka berjalan hilir mudik dari satu perapian keperapian yang lain. Betapapun juga, ternyata mereka pun masih merasa perlu untuk mengawasi keadaan.

Menjelang dini hari, maka Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin padepokan kecil itu telah bersiap-siap untuk melakukan rencana mereka. Mereka tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian, maka para cantrik akan menjadi semakin cemas dan ketegangan yang setiap hari mencengkam mereka, akan sangat mempengaruhi perasaan mereka.

Dengan hati-hati, Mahisa Agni memanggil pemimpin prajurit dan pengawal yang tinggal di padepokan itu. Bersamanya, telah dipanggil pula para putut padepokan itu. Dengan cermat mereka telah mendapat perintah dan pesan, apa yang harus mereka lakukan tanpa menimbulkan kegaduhan dan suara yang dapat menarik perhatian.

Demikianlah, dengan diam-diam maka para putut itu telah membangunkan para cantrik. Mereka telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Satu dua diantara mereka telah sempat mencuci muka di pakiwan untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Namun ketika mereka sadar, bahwa mereka akan bertempur, maka mereka pun telah menjadi berdebar-debar. Satu dua diantara mereka hampir menyatakan diri untuk menghindarinya dengan alasan apapun juga, karena bertempur itu akan dapat berakibat kematian.

Namun ketika mereka melihat para prajurit dan pengawal yang dengan penuh tekad telah bersiap pula. hati mereka menjadi kembang. Para prajurit dan pengawal itu bukan orang-orang yang paling berkepentingan dengan padepokan itu. Tetapi mereka tidak segan untuk melibatkan diri langsung ke dalam arena pertempuran.

Seperti yang diharapkan, persiapan itu sama sekali tidak menimbulkan keributan dan sama sekali tidak menarik perhatian. Semua pesan disampaikan kepada setiap pemimpin kelompok yang akan meneruskan kepada kelompok masing-masing.

“Dengan doa di dalam hati, kita akan melakukan kewajiban kita” berkata Mahisa Agni kepada para pemimpin kelompok yang akan meneruskan kepada kelompok masing-masing.

Dengan tertib Mahisa Agni pun kemudian mengatur jalan yang akan mereka lalui. Mereka semuanya tidak akan mengambil jalan pada pintu gerbang. Sebagian dari mereka akan keluar dari pintu-pintu butulan. Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Namun setelah melihat kesiagaan sepenuhnya, ternyata mereka lebih senang untuk ikut bertempur di luar padepokan dari pada harus tinggal sambil menunggu kemungkinan yang belum pasti akan terjadi.

“Sebagian dari para cantrik akan tinggal” berkata Mahisa Agni, “mereka harus menjaga padepokan ini. Adalah tugas kalian yang tinggal untuk melawan mereka. Kalian akan dibantu oleh para prajurit dan pengawal yang karena luka-lukanya tidak akan dapat bertempur di luar padepokan”

Tetapi mereka yang kemudian ditunjuk, tidak dapat ingkar lagi. Mereka harus tinggal bersama prajurit dan pengawal yang lukanya masih terlalu parah untuk ikut serta dalam pertempuran di luar padepokan.

Setelah semuanya selesai, maka para prajurit dan pengawal yang akan menjadi ujung pasukan, telah bersiap di beberapa pintu butulan dan pintu gerbang. Para cantrik yang sudah berada di dalam kelompoknya masing-masing itu pun telah bersiap pula di belakang para prajurit dan pengawal.

“Semua senjata harus telah disiapkan” para pemimpin kelompok masih memperingatkan.

Demikianlah ketika matahari mulai membayang di langit, Mahisa Agni sendiri telah menjenguk dari tangga di sebelah regol. Ia melihat, orang-orang yang berada di sekeliling padepokan itu sebagian tersebar telah bangun pula, meskipun masih ada satu dua di antara mereka yang berbaring dengan malasnya. Beberapa di antara mereka telah pergi ke sebuah mata air yang tidak terlalu jauh untuk mandi, sementara yang lain telah sibuk menanak nasi di atas perapian.

Di antara mereka, masih nampak beberapa orang yang bersiaga berjalan hilir mudik dengan senjata telanjang. Namun agaknya mereka sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orang di padepokan itu sedang merencanakan sesuatu yang akan sangat mengejutkan.

Setelah yakin akan keadaan lawan, maka Mahisa Agni pun kemudian membagi diri dengan Witantra dan Ki Wastu. menurut pendengarannya di antara orang-orang yang mengepung itu terdapat seorang yang disebut Rajawali Penakluk. Tetapi menurut Pangeran Kuda Padmadata, maka besar kemungkinannya, bahwa orang itu adalah Ki Dukut Pakering.

Sejenak kemudian, setelah semuanya siap, Mahisa Agni pun segera memberikan isyarat. Seseorang dengan cepat telah menarik selarak pintu regol dan pintu-pintu butulan. Serentak para prajurit yang ada di paling depan bersama para pengawal pun segera berlari menuju sasaran diikuti oleh para cantrik di belakang.

Ternyata hal itu benar-benar telah mengejutkan orang orang yang sedang mengepung padepokan itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa justru orang-orang di padepokan itulah yang keluar menyerang. Mereka menyangka, bahwa setelah hari-hari yang tegang itu, orang-orang di dalam padepokan kecil itu akan menjadi bingung, cemas, ketakutan dan akhirnya mereka akan menjadi putus-asa. Namun tiba-tiba mereka melihat satu kenyataan yang berlawanan sama sekali.

Para penjaga yang siap dengan senjata di tangan, segera berteriak memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Namun justru teriakan itu telah mengejutkan dan membuat mereka menjadi kebingungan. Namun, akhirnya mereka pun menyadari, bahwa mereka harus berbuat sesuatu. Berlari-larian mereka segera menempatkan diri. Yang sedang berada di perapian, segera meloncat meraih senjata masing-masing dan menariknya dari sarungnya. Sementara yang sedang mandi pun dengan tergesa-gesa telah mempersiapkan dirinya dan menggapai senjata masing-masing pula.

Tetapi kesiagaan yang tergesa-gesa itu ternyata mempengaruhi sikap dan ketahanan hati mereka. Ketika para prajurit dan pengawal mencapai tempat mereka, maka masih belum siap seluruhnya, sehingga pada benturan pertama, orang-orang yang mengepung padepokan itu telah terdesak. Para penjaga yang sudah bersiap sajalah yang dapat menyongsong para penyerang itu. Tetapi jumlah para penjaga itu tidak cukup banyak, sehingga mereka pun tidak banyak dapat berbuat.

Para cantrik yang berlari-larian di belakang para prajurit dan pengawal pun segera menyerang dengan senjata-senjata telanjang. Adalah satu kebetulan bahwa lawan mereka masih belum bersiap seluruhnya.

Pada benturan pertama, ternyata para penjaga telah dikejutkan oleh kesigapan para prajurit dan pengawal. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang cukup dalam olah senjata, sehingga karena itu, maka mereka pun segera terdesak pula. Bahkan karena mereka sebagian masih diliputi oleh kebingungan, maka satu dua telah jatuh korban di antara mereka yang mengepung padepokan itu.

Para cantrik yang sebenarnya merasa kekurangannya, justru ingin mempergunakan saat-saat lawan mereka masih lemah. Itulah sebabnya, mereka justru berbuat lebih garang. semata-mata karena usaha mereka untuk memperkecil kemungkinan yang paling pahit. Kecemasan merekalah yang telah mendorong mereka untuk bertingkah laku lebih garang dari para prajurit dan pengawal.

Tetapi, sebenarnyalah jumlah orang-orang yang mengepung padepokan itu lebih banyak dari para prajurit, pengawal dan para cantrik. Karena perhitungan itulah, maka para prajurit dan pengawal pun harus bergerak secepat-cepatnya. Jika lawan mereka sempat mengatur diri, maka kemungkinan yang sulit akan segera terjadi. Apalagi para prajurit dan pengawal itu mengerti, bahwa para cantrik masih belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi lawan yang ganas dan kasar itu.

Dalam pada itu, ternyata usaha para prajurit itu nampaknya akan berhasil. Mereka sempat membuat lawan mereka menjadi bingung. Mereka yang sedang dengan tergesa-gesa meninggalkan mata air telah disergap dengan tiba-tiba oleh para prajurit dan pengawal. Meskipun jumlah para prajurit dan pengawal itu jauh lebih sedikit, tetapi mereka lebih mapan sikap, sehingga karena itu, maka orang-orang yang sedang mandi pun menjadi kebingungan meskipun mereka telah berhasil menggapai senjata masing-masing.

Dalam saat yang pendek, maka para perampok dan penyamun yang menjadi pengikut Ki Dukut Pakering itu telah berjatuhan. Mereka kehilangan kesempatan untuk melawan. Mereka sadar akan keadaan ketika mereka telah terkapar dengan luka di tubuh mereka. Sejenak kemudian, tubuh-tubuh yang terluka telah berserakkan terbujur lintang. Meskipun para prajurit dan pengawal bukannya pembunuh-pembunuh yang kejam, namun meraka tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan menghabisi jiwa lawannya di dalam pertempuran brubuh itu.

Tetapi lambat laun, para perampok dan penyamun itu pun sedikit demi sedikit mampu menyusun diri. Meskipun sebagian dari mereka telah terluka, tetapi jumlah mereka masih cukup memadai untuk bertempur melawan orang-orang padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Para perampok yang penyamun yang marah itu pun kemudian bertempur sambil berteriak-teriak dengan kasarnya. Mereka mengayunkan senjata mereka dengan sepenuh tenaga, serta mengacung-acung-kannya dengan garang.

Tetapi kemenangan-kemenangan kecil pada benturan pertama itu telah membuat hati para cantrik menjadi berkembang. Mereka tidak lagi dicengkam oleh ketakutan. Ternyata bahwa lawan mereka itu pun dengan mudah dapat dilukai dengan senjata. Karena itu, maka gairah mereka pun segera meningkat semakin tinggi. Apalagi serba sedikit mereka telah memiliki kemampuan menggerakkan senjata, sehingga mereka pun kemudian telah memutar senjata mereka pula di bawah pimpinan beberapa orang putut yang memang memiliki ilmu yang cukup.

Sementara itu, para prajurit dan pengawal yang terpencar di antara para cantrik telah mengambil tempat yang menguntungkan. Mereka tidak saja berada pada garis perang yang datar, tetapi beberapa orang diantara mereka justru berada di antara lawan mereka. Namun tidak kehilangan kesempatan mendapat jalan segera mendesak maju mengikuti jejak mereka.

Di antara para prajurit, pengawal putut dan cantrik terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat dibandingkan dengan mareka, maupun lawan-lawan mereka. Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin padepokan kecil itu telah mengambil tempatnya masing-masing. Mereka tidak hanya tinggal diam melihat pertempuran yang semakin seru itu. Tetapi mereka pun telah melibatkan diri mereka di dalamnya.

Tetapi mereka bukannya orang yang termasuk haus akan kematian. Karena itu, apa yang mereka lakukan pun bukannya sekedar tindakan pembunuhan. Mereka tidak berniat membunuh lawan sebanyak-banyaknya tanpa mengingat akibatnya.

Meskipun demikian, mereka pun bukannya tinggal diam melihat para perampok dan penjahat itu membunuh para cantrik. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk melindungi para cantrik dengan mendorong lawan-lawan mereka surut, bahkan kadang-kadang mereka terpaksa melukai dan menitikkan darah satu dua orang lawan, sakedar untuk memperlemah tekanan mereka.

Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu pun seolah-olah telah mengitari daerah pertempuran itu. Mereka bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Jika mereka melihat beberapa orang cantrik yang terdesak, sementara para prajurit dan pengawal masih sibuk melayani lawan mereka masing masing, maka mereka pun telah mendekat dan membantu para cantrik itu untuk mendesak lawannya.

Namun kematian-kematian memang sulit dihindarkan dalam pertempuran seperti itu. Mahisa Agni, Witantra dari Ki Wastu pun tidak dapat menghindarkan diri sepenuhnya dari langkah yang dapat mengakibatkan kematian.

Dalam pada itu, ternyata di antara para perampok dan penyamun itu terdapat seorang tua yang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Orang itu berusaha untuk dapat memperhatikan setiap sudut arena pertempuran. Karena itu, maka dengan diam-diam, ia bergeser dari satu sisi kesisi yang lain dari padepokan itu. Tetapi karena pertempuran yang paling seru terjadi di bagian depan dari padepokan itu, maka ia pun berada di tempat itu.

Sekilas ia melihat beberapa orang prajurit dan pengawal dari Singasari dan Kediri. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mereka ternyata mampu menggetarkan jantung para perampok dan penyamun yang garang itu.

“Gila” geram Ki Dukut, “aku ternyata masih tertipu juga. Masih ada beberapa prajurit Singasari dan pengawal dari Kediri yang berada di padepokan ini. Jumlah mereka ternyata masih cukup banyak untuk mempengaruhi keadaan. Tanpa mereka, maka para cantrik itu tentu akan segera menjadi bagaikan tebasan batang ilalang”

Ki Dukut itu pun menggeretakkan giginya. Dengan suara yang dalam ia berdesis kepada diri sendiri, “Aku harus memusnahkannya tanpa belas kasihan”

Namun sebelum Ki Dukut berbuat sesuatu, ia melihat pemimpin padepokan kecil itu. Dengan tangkasnya ia bertempur di antara para cantriknya. Bersama dua orang prajurit, ia berhasil menahan pengikut Ki Dukut yang siap menyapu para cantrik.

“Orang inilah yang lebih dahulu harus dimusnahkan” berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

Dengan cermat ia melihat dua orang prajurit Singasari yang bertempur bersama pemimpin padepokan itu untuk melindungi para cantrik. Dengan tersenyum hambar ia berkata, “Bersama dua orang prajurit itu, mereka tidak akan berdaya. Aku dapat membunuhnya tidak sampai sepenginang”

Tetapi sebelum ia bertindak, ternyata Ki Dukut itu terkejut. Ia melihat bayangan yang sepintas menyusup di antara dentang senjata. Seperti pemimpin padepokan itu, maka ketika orang itu berhenti di satu sudut pertempuran, maka ia pun telah bertempur untuk melindungi para cantrik. Dengan sebilah pedang pendek, ia mampu berbuat terlalu banyak di antara para cantrik.

“Siapakah orang itu” desis Ki Dukut di dalam hatinya.

Tetapi orang itu benar-benar telah mendebarkan jantung Ki Dukut. Orang itu mampu bertempur dengan sikap yang aneh. Sekali-sekali ia mendesak lawannya, namun kemudian ia seakan-akan telah menahan senjatanya.

“Apakah ia orang gila?” bertanya Ki Dukut di dalam hatinya, “ia mampu membunuh berapa orang saja yang dikehendakinya. Tetapi ia tidak melakukannya”

Ki Dukut memandang orang itu dengan debar di dadanya, orang itu lebih berbahaya dari pemimpin padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka Ki Dukut pun berkata di dalam hatinya, “Aku akan menyelesaikan orang itu lebih dahulu”

Karena itulah maka Ki Dukut pun kemudian dengan diam-diam mendekati orang itu, menyusup di antara orang-orangnya. Ketika orang itu bergeser ia pun mengikuti pula, sehingga akhirnya orang itu telah berada di arena pertempuran di sisi padepokan itu. Sejenak Ki Dukut menanti. Kemudian ia pun bergeser lagi. Ia ingin memancing perhatian orang itu. Katanya kepada diri sendiri, “Jika aku membunuh cantrik sebanyak-banyaknya, maka orang itu tentu akan datang kepadaku”

Karena itulah Ki Dukut pun menggeram. Dengan lantang ia berteriak sambil meloncat ke arena. Pada tangannya sudah tergenggam sebilah pedang yang siap untuk membantai cantrik-cantrik yang masih belum memiliki kemampuan yang cukup, apalagi berhadapan dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Suaranya memang telah menarik perhatian. Orang yang diikuti oleh Ki Dukut itu pun masih berjarak beberapa puluh langkah. Sementara Ki Dukut sempat untuk melakukan pembantaian agar lawan-lawannya menjadi ngeri dan terpengaruh. Namun demikian ia tampil di arena, maka tiba-tiba saja seorang yang juga bersenjata pedang telah menghampirinya. Bukan orang yang diharapkannya.

“Jangan menakut-nakuti anak-anak” desis orang itu, “siapakah kau sebenarnya? Apakah kau yang disebut Rajawali Penakluk?”

Pertanyaan itu datang beruntun, sehingga Ki Dukut tidak sempat untuk menjawab.

“Katakan, siapa kau sebenarnya” bertanya orang itu.

Ki Dukut menggeram. Dengan marah ia berkata, “Apakah kau sudah jemu hidup? Akulah Rajawali Penakluk, aku akan membunuh siapa pun yang berdiri di hadapanku. Jika kau tidak minggir, maka kau adalah orang yang pertama akan mati”

Tetapi orang itu tertawa. Pertempuran di sekitarnya tidak dihiraukannya lagi.

“Bailah” berkata Ki. Dukut, “kau akan mati. Para cantrik di sekitarmu akan mati. Aku ingin mengundang orang yang bersenjata pedang pendek itu. Agaknya ia memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Aku ingin menunjukkan kepada orang-orangku, bagaimana aku akan membunuhnya”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ia akan menangkapmu. Bukan kau yang akan membunuhnya”

“Persetan. Kalian belum mengenal, siapakah aku” geram Rajawali Penakluk itu.

Akan tetapi sambil tertawa orang yang berdiri di hadapannya itu menjawab, “Tentu kami mengenalmu. Kau adalah Rajawali Penakluk. Tetapi apakah bukan lebih menggetarkan jika kau sebut namamu, Ki Dukut Pakering”

Kata-kata itu memang menggetarkan jantung Ki Dukut Pakering. Dengan suara bergetar ia berkata, “Siapa kau, bahwa kau tahu siapakah sebenarnya aku”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku adalah orang yang sama sekali tidak banyak dikenal. Aku bernama Witantra. Sedangkan orang yang ingin kau tarik perhatiannya itu bernama Mahisa Agni”

Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bergumam, “Kalian orang-orang Singasari?”

“Ya. Apakah kau pernah mendengar namaku?” bertanya Witantra.

“Persetan dengan orang-orang Singasari” Apakah kepentinganmu dengan padepokan ini sehingga kalian berada di sini?” bertanya Ki Dukut dengan geram.

“Tidak ada kepentingan khusus. Tetapi seperti orang-orang lain di tlatah Singasari, kita akan saling menolong” jawab Witantra.

Ki Dukut itu pun menggeram. Lalu katanya, “Baiklah. Aku justru berterima kasih bahwa aku akan dapat menunjukkan bahwa orang-orang Singasari bukannya orang-orang yang pinunjul tanpa dapat dikalahkan, seolah-olah Singasari adalah pengejawantahan dari istana para dewata yang memiliki kelebihan tanpa batas”

“Ah, kau keliru. Orang-orang Singasari tidak pernah merasa dirinya seperti itu. Kami adalah orang-orang biasa. Tidak lebih, tetapi juga tidak kurang. Karena itu, berhadapan dengan orang-orang lain, kami merasa diri kami sederajad dalam banyak hal. Juga dengan seorang yang bernama Ki Dukut Pakering”

“Gila” geram Ki Dukut, “ternyata bahwa aku akan membunuh orang-orang Singasari yang berada di sini, seorang demi seorang. Tetapi jika kau keberatan, ajaklah kawan-kawanmu yang ada di sini untuk bertempur berpasangan melawan Ki Dukut Pakering”

Witantra menggeleng sambil menjawab, “Tidak usah orang lain. Kita akan berhadapan hanya berdua saja”

“Jangan sombong orang Singasari. Kau bukan apa-apa bagi Ki Dukut Pakering” jawab Ki Dukut.

Witantra tidak menyahut. Ia pun kemudian bersiap menghadapi segala kemungkinan, sementara, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dan pengawal sibuk melayani para perampok dan penyamun yang semakin terdesak. Sementara beberapa orang yang lain masih harus bertempur bersama para cantrik yang belum memiliki bekal cukup.

Namun, ternyata bahwa para cantrik itu pun sudah mampu untuk melindungi diri sendiri terhadap serangan para penyamun yang kasar. Untunglah, bahwa di padepokan gambaran tentang kekasaran itu telah pernah mereka dengar. Para prajurit pun pernah mengajari mereka dengan laku yang kasar, agar para cantrik tidak terkejut apabila mereka harus berhadapan dengan perampok dan penyamun.

Sejanak kemudian, maka Ki Dukut yang marah itu pun tidak mengendalikan dirinya lagi. Dengan garangnya ia pun segera meloncat menyerang orang yang menyebut dirinya Witantra itu. Demikianlah, maka pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dihindarkan lagi. Dua orang yang memiliki kemampuan raksasa tauh bertemu di arena pertempuran.

Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu adalah orang yang luar biasa. Ia telah menggetarkan hati Pangeran Kuda Padmadata dan adiknya, sehingga keduanya telah menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi muridnya. Dan ternyata kemudian bahwa kedua Pangeran itu berkembang dengan pesatnya. Ki Dukut memang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menempa kedua Pangeran kakak beradik itu, sehingga keduanya telah menjadi dua orang yang pilih tanding di antara para bangsawan di Kediri.

Namun dalam pada itu, Ki Dukut yang jarang sekali terbentur pada ilmu yang setingkat itu, terkejut ketika benturan-benturan ilmu kemudian meningkat semakin seru. Ternyata orang Singasari yang bernama Witantra itu benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya. Bukan saja dalam ketrampilan dan kecepatan gerak, tetapi ketika ilmu mereka saling berbenturan, maka mereka pun saling menyadari, bahwa pertempuran yang terjadi itu adalah pertempuran yang akan berlangsung sangat seru. Meski pada benturan pertama keduanya masih belum mengerahkan seluruh kemampuan mereka, namun setingkat demi setingkat ilmu mereka pun segera berkembang.

Ki Dukut yang dibakar oleh dendam karena kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya itu pun segera berusaha untuk menumpahkan segala sakit hatinya kepada orang yang bernama Witantra itu. Setelah ia menyelesaikannya, maka Ki Dukut akan segera membunuh orang-orang lain, sehingga orang terakhir dari padepokan itu pun akan dibantainya.

Tetapi ternyata ilmunya telah membentur kemampuan ilmu yang tak mudah ditembusnya. Witantra yang menjadi tegang juga mengalami tekanan orang yang bernama Ki Dukut dan menyebut diriya Rajawali Penakluk itu, segera berusaha untuk menyesuaikan ilmunya. Ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya adalah benar-benar orang yang pilih tanding. Guru dari dua orang Pangeran kakak beradik yang mumpuni.

Karena itulah, maka pertempuran di antara keduanya telah menggetarkan padepokan kecil itu. Para pengikut Ki Dukut dan para prajurit serta pengawal, apalagi para antrik telah bergeser menjauhinya. Meskipun pertempuran di seluruh halaman itu masih berlangsung, tetapi mereka seolah-olah telah menjauhi arena pertempuran antara lua kekuatan raksasa yang sulit dicari bandingnya itu.

Ki Dukut yang semula merasa tidak terlampau sulit untuk mengakhiri pertempuran itu, ternyata menjadi semakin panas ketika ilmunya selapis demi selapis dapat diimbangi oleh lawannya. Bahkan ketika kemudian Ki Dukut telah mengerahkan segenap ilmunya, ternyata bahwa lawannya masih mampu mengimbanginya.

“Gila orang Singasari ini” geram Ki Dukut.

Namun Witantra pun harus mengerahkan kemampuan iya. Ia tidak boleh lengah, karena Ki Dukut memiliki kemampuan yang dapat meningkatkan getar geraknya, sehingga orang itu seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Tetapi Witantra pun memiliki ilmu yang luar biasa. Ilmu yang berkembang pada dirinya sehingga sulit untuk diimbangi dengan ilmu yang manapun juga. Hanya orang-orang mg memiliki tataran ilmu tertinggi sejalah yang akan apat melawan ilmu Witantra yang dahsyat.

Dengan demikian, maka kedua orang itu seakan-akan telah terpisah dari arena pertempuran dalam keseluruhan. Keduanya saling menyerang, saling mendesak dengan keuatan yang sulit dimengerti oleh para cantrik di padepokan itu.

Di tempat yang lain, beberapa orang telah tertarik perhatian mereka melihat pertempuran yang dahsyat itu. mereka pun segera mengerti, bahwa yang bertempur itu tentu pimpinan dari orang-orang yang menyerang padepokan yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.

Tetapi, baik Mahisa Agni maupun Ki Wastu serta pemimpin padepokan itu, tidak segera dapat meninggalkan tempat mereka untuk menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu, karena pertempuran masih menyala di halaman padepokan itu. Para perampok dan penyamun yang melihat bahwa Rajawali Penakluk itu telah terjun pula ke dalam arena pertempuran, seakan-akan menjadi mabuk. Merekapun tiba-tiba meningkatkan serangan-serangan mereka dengan kasar dan buas. Mereka berteriak-teriak tanpa terkendali lagi.

Para cantrik mulai dirayapi lagi oleh kengerian melihat sikap orang-orang yang menyerang padepokan. Tetapi jika mereka melihat para prajurit dan pengawal yang bertempur dengan gigihnya, maka gairah mereka segera timbul kembali. Mereka sadar, bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih berkepentingan untuk mempertahankan padepokan itu daripada para prajurit dan pengawal.

Sementara itu, Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan yang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, agar mereka berkesempatan untuk menyaksikan pertempuran yang sengit antara Witantra dan Ki Dukut, segera meningkatkan ilmu mereka. Meskipun mereka masih membatasi diri untuk melumpuhkan lawannya tanpa membunuhnya, namun yang mereka lakukan telah cukup mengagetkan hati para pengikut Ki Dukut.

Mahisa Agni yang bukan saja melindungi para cantrik itu, bagaikan menjelajahi satu sisi daerah pertempuran itu. Seakan-akan setiap ayunan tangan dan kakinya, ia telah melemparkan satu orang pengikut Ki Dukut keluar arena dengan luka yang parah. Di bagian lain, Ki Wastu telah banyak membungkam para perampok, penyamun dan pengikut-pengikut yang kasar dari Ki Dukut itu.

Sebenarnyalah, yang dilakukan oleh Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu telah sangat mempengaruhi pertempuran yang berlangsung di seputar padepokan itu. Beberapa orang pengikut Ki Dukut yang bergelar Rajawali itu telah terdesak sampai ke tempat yang semakin jauh dari padepokan, sementara yang lain justru terdorong ke dinding.

Dengan demikian, maka pertempuran itu telah menyebar. Tidak dapat lagi ditarik batas antara kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Di halaman luar padepokan itu telah berserak, lawan dan kawan dari kedua belah pihak. Beberapa orang yang tinggal di dalam lingkungan dinding padepokan, masih sempat menjenguk pertempuran yang terjadi diluar dinding padepokan itu. Sejenak mereka telah terpukau melihat arena yang menebar. Namun mereka pun kemudian melihat, betapa dua orang yang memiliki kamampuan yang luar biasa telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat.

Tetapi orang-orang yang mendapat perintah untuk tetap tinggal di dalam itu, tidak dapat meninggalkan tugas mereka. Beberapa orang cantrik dan prajurit serta pengawal yang dianggap masih terlalu lemah untuk bertempur di arena yang kasar dan buas. Namun, akhirnya para pengikut Ki Dukut itu pun menjadi semakin cemas. Mereka mulai merasa terdesak dan mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri.

Tetapi karena pemimpin mereka masih bertempur dengan sengitnya, maka mereka pun masih tetap berusaha untuk bertahan. Meskipun pertempuran itu sudah menebar semakin luas, namun ternyata kekasaran dan keliaran para perampok dan penyamun itu masih mampu membuat para cantrik menjadi ngeri.

Dalam pada itu, Ki Dukut Pakering masih bertempur dengan garangnya melawan Witantra yang harus menjadi sangat berhati-hati Ki Dukut ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu bergerak secepat tatit. Namun getar tangannya seakan-akan memiliki pancaran kekuatan yang tiada taranya.

“Luar biasa” desis Witantra. Tetapi Witantra pun bukan orang kebanyakan. Dalam keadaan yang gawat, maka tangannya mampu melepaskan aji pamungkas, yang dapat meremukkan bukit dan dapat memecahkan batu karang. Dengan demikian, maka dua ilmu yang dahsyat itu benar-benar telah mengguncangkan arena. Pepohonan bagaikan dihembus angin prahara, sementara bebatuan telah terlempar ke segenap penjuru.

Mahisa Agni yang masih belum berhasil menyelesaikan tugasnya, karena jumlah lawan yang cukup banyak masih saja berkeliaran di arena pertempuran. Namun daerah pertempuran yang menebar itu seakan-akan telar memperluas daerah yang harus dijelajahinya untuk melindungi para cantrik dari kekasaran para perampok dan penyamun itu.

Dalam pada itu, apa yang terjadi di arena itu, ternyata sempat pula diamati oleh Ki Dukut Pakering. Betapa dendam dan kemarahan menghentak-hentak di dadanya, namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, apa yang telah terjadi di halaman luar padepokan itu. Di dalam hati ia telah mengumpat-umpat, betapa ia sendiri telah menjadi lengah. Justru orang-orang di dalam dinding padepokan itulah yang telah keluar menyerang pada saat-saat yang tidak diduganya. Dengan demikian, maka pada benturan pertama, isi padepokan itu telah berhasil mendesak orang-orangnya dan menjatuhkan korban yang menentukan bagi pertempuran-pertempuran berikutnya.

Sambil bertempur, Ki Dukut sempat membuat pertimbangan. Agaknya ia masih belum ingin mati atau terhenti, sebelum ia berhasil melepaskan dendamnya atas lawan bebuyutannya. Apalagi setelah muridnya yang berhasil dipengaruhinya dan berdiri dipihaknya telah terbunuh, sementara muridnya yang lain, bagi Ki Dukut, ternyata telah berkhianat. Sejenak Ki Dukut masih bertempur terus. Namun ia sudah mulai membuat perhitungan-perhitungan lain. Ia berusaha menggeser arena pertempuran itu semakin jauh dari dinding padepokan, mendekati pategalan dan padang perdu yang berada di sekitar padepokan itu.

Mula-mula Witantra sama sekali tidak menduga, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Dukut. Karena ia harus memusatkan perlawanannya kepada orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu, maka ia tidak melihat kemungkinan yang dapat dilakukan oleh lawannya. Bahkan Witantra sama sekali tidak menduga, bahwa orang yang berilmu tinggi itu akan berbuat licik dan merendahkan harga dirinya.

Tetapi Ki Dukut tidak menghiraukan harga diri lagi. Yang menjadi tujuannya adalah lepasnya dendam yang justru semakin bertimbun di dalam hatinya. “Aku tidak mau mati dalam timbunan dendam seperti ini” geram Ki Dukut Pakering di dalam hatinya. Karena itulah, maka ia telah menyusun satu kesempatan untuk melepaskan diri dari arena pertempuran.

Adalah tidak diduga sama sekali oleh Witantra yang masih menghargai lawannya sebagai seorang jantan yang berilmu tinggi, bahwa tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering itu telah meneriakkan aba-aba yang melengking memenuhi arena pertempuran. Bahkan orang-orang yang berada di dalam lingkungan dinding padepokan pun dapat mendengarnya.

Karena itulah, maka sejenak kemudian, arena itu pun menjadi kisruh. Para pengikutnya tidak lagi memikirkan, bagaimana sebaiknya yang mereka lakukan. Tetapi mereka pun segera mencoba untuk melepaskan diri dari arena pertempuran yang sangat mendebarkan itu.

Ternyata suasana itulah yang memang dikehendaki oleh Ki Dukut Pakering. Dalam keadaan yang kisruh dan tidak menentu itulah, maka ia pun telah meninggalkan lawannya dan berbaur dalam suasana itu, Apalagi sejenak kemudian mereka telah terbenam dalam rimbunnya pepohonan di hutan perdu dan pategalan.

Kalau saja yang melarikan diri itu bukan Ki Dukut Pakering, maka Witantra dan apalagi bersama-sama dengan Mahisa Agni dan Ki Wastu, tentu tidak akan mengalami kesulitan untuk menangkapnya. Akan tetapi yang melarikan diri itu adalah orang yang mempunyai ilmu yang tinggi, yang mumpuni dan berlindung dibalik suasana yang kisruh dan diantara pepohonan pategalan dan perdu. Dengan demikian maka Witantra merasa bahwa tidak akan ada gunanya untuk mengejarnya.

Namun dalam pada itu, yang dilakukan oleh Witantra, Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu adalah berusaha untuk menenangkan para cantrik yang merasa telah memenangkan pertempuran itu. Mereka mengejar para perampok dan penyamun pengikut Rajawali Penakluk itu dengan senjata teracu. Bahkan kadang-kadang mereka benar-benar telah mengayunkan senjata mereka kearah lawannya yang sedang berusaha untuk melarikan diri itu.

Tetapi Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan Pemimpin padepokan itu pun menjadi cemas, bahwa apabila para cantrik itu mengejar lawannya semakin jauh terpisah dari kawan-kawannya, maka jika orang yang dikejarnya itu kemudian berbalik dan melawannya, maka cantrik itu tentu akan mengalami kesulitan.

Karena itulah, maka pemimpin padepokan itu pun segera berlari ke pintu gerbang padepokannya. Setelah pintu gerbang itu terbuka, maka ia pun segera memerintahkan untuk memukul kentongan seperti yang biasa mereka lakukan untuk mengumpulkan para cantrik.

Sejenak kemudian, maka suara kentongan itu pun bergema. Dengan demikian, para cantrik yang sudah menebar tanpa perhitungan itu pun segera menyadari keadaannya. Mereka pun kemudian bergegas untuk berkumpul di halaman luar padepokannya.

Sementara itu, para prajurit, pengawal dan para cantrik termasuk putut-pututnya telah berkumpul. Para prajurit dan pengawal yang dengan sadar menghadapi keadaan terakhir, telah berhasil menawan beberapa orang lawan. Selebihnya mereka yang terluka parah dan tidak mampu lagi melarikan diri akan menjadi tawanan pula. Bahkan akan menjadi beban bagi padepokan kecil itu.

Selintas terbayang kembali peristiwa yang telah terjadi. Di saat para prajurit dan pengawal membawa para tawanan ke Kediri. Tiba-tiba saja mereka telah disergap oleh pasukan yang dipimpin orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk.

Tetapi para prajurit dan pengawal itu tidak akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa sebaiknya setiap orang yang tertangkap akan dibinasakan saja untuk menghindari persoalan yang pernah terjadi. Namun mereka harus berpegangan kepada martabat kemanusiaan mereka dalam hubungan mereka dengan sesama.

Karena itulah, maka sekali lagi padepokan itu dihuni oleh beberapa orang yang dapat mereka tawan dalam pertempuran yang terjadi di luar dinding padepokan itu. Dalam keadaan terluka maupun yang sama sekali tidak tergores seujung duri pun oleh senjata lawan di medan pertempuran itu.

Demikianlah, maka para prajurit, pengawal dan para cantrik lalu membenahi padepokan yang baru saja dibakar oleh api pertempuran itu. Pertempurah yang bagi Ki Dukut dan para pengikutnya telah sangat mengejutkan. Yang tidak mereka sangka sama sekali telah terjadi. Justru orang-orang dari dalam dinding padepokan, yang mereka sangka sedang menggigil ketakutan itu, telah menyerang mereka dengan tiba-tiba.

Namun dalam pada itu, sekali lagi Ki Dukut Pakering berhasil melepaskan diri. Pada jarak yang cukup jauh, ia masih sempat berusaha mengumpulkan sisa orang-orangnya yang sudah tekoyak dan tercerai berai.

“Kita akan kembali” berkata Ki Dukut, “aku yakin, mereka belum mengetahui tempat kita. Kita akan melakukan segala macam usaha dalam waktu yang sangat singkat”

Beberapa orang pengikutnya pun segera dengan tergesa-gesa kembali bersama Ki Dukut. Bahkan beberapa orang yang tercerai berai telah langsung menuju ke persembunyian mereka tanpa menghiraukan orang-orang lain di antara mereka.

“Orang-orang yang tertawan tentu dapat menunjukkan persembunyian kita” berkata Ki Dukut Pakering yang dikenal bergelar Rajawali Penakluk, “karena itu, kita harus segera mengambil langkah. Meskipun aku tahu, mereka tidak akan dengan serta merta menyusul kita, karena sebenarnya kekuatan mereka pun tidak cukup besar untuk melakukannya. Yang mereka lakukan sebenarnya adalah sekedar mengejutkan kita, sehingga kita telah kehilangan pengamatan diri”

Pengikut tidak menjawab. Mereka masih dengan tergesa-gesa kembali ke sarang mereka. Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Ki Dukut, meskipun orang-orang di padepokan itu berusaha untuk mengetahui sarang orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu, namun mereka pun tidak dapat dengan serta merta menelusuri jejak lawan mereka. Karena mereka pun harus bertindak dengan hati-hati, dan tidak terjebak oleh perhitungan yang salah seperti yang dilakukan oleh Ki Dukut Pakering.

Karena itu, ketika Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu sampai ke sarangnya, maka ia masih sempat memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap-siap memindahkan sarang mereka dengan segala isinya, ke sarang gerombolan yang lain. Bahkan jika mungkin ke tempat yang baru sama sekali.

Ada beberapa orang yang sebenarnya agak berkeberatan dengan keputusan Rajawali Panakluk itu. Apalagi mereka yang berasal dari gerombolan yang memiliki sarang dan sebagian besar dari barang-barang yang ditimbun di tempat itu. Jika barang-barang itu dipindahkan, mungkin barang-barang itu akan lebur dengan milik gerombolan yang semula berbeda sumbernya.

Tetapi Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu pun kemudian menjelaskan, “Jika kita bertahan di tempat ini, maka kita akan mengalami kesulitan. Seperti yang aku katakan, bahwa orang-orang kita yang tertawan akan dapat menunjukkan tempat kita. Mungkin setelah mereka berhasil mengumpulkan kekuatan mereka, maka mereka akan datang kemari. Jika mereka datang dengan pasukan yang ada di padepokan itu beserta para cantrik, maka mereka akan binasa di sini. Tetapi jika mereka sempat memanggil beberapa orang prajurit dan pengawal dari Kediri dan Singasari, maka kitalah yang akan binasa. Sementara milik kita akan mereka rampas”

Orang-orang yang semula berkeberatan, akhirnya harus menerimanya pula. Namun mereka berpendapat, bahwa lebih baik mereka mencari tempat yang baru sama sekali.

“Jika kita hanya berpindah tempat dari sarang ini ke sarang yang lain, maka kemungkinan besar, orang-orang itu akan menelusuri jejak kita. Orang-orang yang mereka tawan tentu akan menunjukkan satu demi satu tempat-tempat yang mungkin kita pergunakan sebagai tempat persembunyian. Karena itu, sebaiknya kita mencari tempat yang baru sama sekali. Kita dapat mempergunakan goa di lereng bukit di tebing-tebing sungai, yang justru dekat dengan air. Atau di tengah hutan yang lebat, sehingga jika kita inginkan binatang buruan, kita tinggal duduk di muka barak sambil menarik busur” berkata salah seorang dari pengikutnya.

Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu pun mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia pun mengerti, ada beberapa keberatan bagi salah satu gerombolan yang telah menjadi pengikutnya untuk menggabungkan milik mereka dengan milik gerombolan yang semula terpisah itu.

“Baiklah” berkata Rajawali Penakluk, “masih ada waktu untuk mencari tempat. Aku kira kita mempunyai waktu sekitar dua tiga hari. Orang-orang padepokan itu tentu akan membenahi diri lebih dahulu. Baru kemudian, jika menurut perhitungan mereka, mereka akan dapat mengatasi, mereka akan datang kemari. Tetapi jika mereka tidak yakin untuk melakukannya, maka barulah pada saat lain mereka akan datang bersama orang-orang Kediri dan Singasari”

Orang-orangnya pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang, dikatakan oleh Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu. Namun seperti yang dikatakan oleh KiDukut, mereka tidak perlu terlalu tergesa-gesa.

Di hari berikutnya, setelah orang-orangnya berkumpul seluruhnya, termasuk mereka yang terluka tetapi sempat melarikan diri, mulailah Ki Dukut membagi tugas. Beberapa orang yang sama sekali tidak cidera di dalam pertempuran yang baru saja terjadi, telah diperintahkannya untuk mencari tempat yang penting bagi pusat kekuasaannya di antara para perampok dan penyamun itu. Mereka dipecah menjadi empat kelompok yang akan berjalan ke arah empat mata angin.

“Aku beri kalian waktu empat hari perjalanan berangkat dan kembali” berkata Ki Dukut, “dapat atau tidak dapat, kalian harus kembali pada hari keempat. Dua hari kalian berjalan mencari, dan dua hari kemudian perjalanan kalian kembali. Jarak itu sudah cukup jauh dari tempat ini, sementara menurut perhitunganku, selama empat hari, masih belum terjadi sesuatu di tempat ini”

Meskipun demikian, ketika orang-orang itu telah berangkat ke arah empat mata angin dengan bekal secukupnya, maka Ki Dukut pun telah memerintahkan penjagaan di segala arah pula.

“Kita harus mengawasi keadaan. Kita harus membagi diri selama sehari semalam terus menerus. Mungkin orang-orang gila itu akan menyergap kita, seperti yang dilakukannya tanpa kita duga-duga sebelumnya itu” berkata Rajawali Penakluk itu kepada orang-orangnya.

Demikianlah, maka para pengikut Ki Dukut itu telah membagi tugas dengan cepat. Mereka harus mengawasi setiap arah di setiap saat, agar mereka tidak lagi dapat disergap dengan tiba-tiba. Karena itu, maka para pengawas itu pun telah dilengkapi dengan alat dan tanda-tanda untuk mengirimkan isyarat. Mereka membawa panah api atau panah sendaren. Tetapi mereka pun telah membawa kentongan pula.

Dalam pada itu, Ki Dukut sendiri menjadi semakin berprihatin mengalami kegagalan yang langsung terjadi di depan hidungnya. Kepercayaannya kepada para perampok dan penyamun pun telah hampir lenyap sama sekali. Para perampok yeng kasar itu ternyata tidak banyak dapat membantunya. Mereka masih belum memiliki kemampuan yang memadai, jika mereka berhadapan dengan prajurit Singasari dan apalagi dengan para Senapatinya.

Prihatin dan dendam yang bercampur baur di dalam dirinya, telah mendorongnya untuk mencari jalan lain. Meskipun ia tidak melepaskan para perampok dan penyamun itu, namun ia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jika saja ia menempuh satu perjalanan panjang, menemui orang-orang yang dikenalnya meskipun dari golongan hitam sekalipun.

“Apa boleh buat” geramnya, “dendamku tidak akan dapat lenyap sebelum aku masih sempat merenunginya. Dendam itu akan hilang bersama pecatnya nyawaku, atau sasaran dendam itu sendiri”

Dalam pada itu, maka di padepokan kecil, yang telah ditinggalkan oleh Ki Dukut dan pengikutnya, yang telah mengalami sergapan yang tiba-tiba, sedang sibuk membenahi keadaan padepokan itu. Ternyata bahwa di antara para prajurit dan pengawal, ada juga yang terluka. Bahkan terluka parah. Sementara para cantrik pun tidak dapat, menghindarkan korban. Yang terluka parah dan bahkan ada dua orang cantrik yang telah gugur selama pertempuran itu. Yang ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah para perampok dan penyamun yang dengan tiba-tiba telah disergap sebelum mereka bersiap untuk melawan.

Dengan demikian maka peristiwanya bagaikan terulang kembali. Mereka yang tidak cidera apapun juga segera tenggelam dalam kesibukan mengurus kawan-kawannya yang terluka dan yang telah gugur.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Dukut Pakering adalah orang yang memang sangat berbahaya. Ia sama sekali tidak menghiraukan, apakah yang bakal terjadi atas diri orang-orang yang telah dipergunakan olehnya.

Sementara itu, orang-orang yang telah dikirim oleh Ki Dukut untuk mencari tempat persembunyian yang baru, telah berusaha sejauh dapat mereka lakukan Yang pergi kesebelan Barat, telah menemukan satu tempat yang bagus sekali di lereng bukit, di tengah-tengah hutan. Pada lereng itu terdapat dataran yang cukup luas bagi sebuah padepokan kecil.

Tempat itu akan dapat dibangun menjadi tempat persembunyian Rajawali Penakluk. Bukan saja untuk sementara, tetapi untuk waktu yang panjang. Untuk memenuhi waktu yang diberikan, orang itu masih melanjutkan sisa waktunya yang tinggal sedikit. Tetapi ia tidak menemukan tempat yang lebih baik dari tempat yang telah ditemukannya.

“Tempat itu cukup terlindung” katanya di dalam hati, “namun cukup menyenangkan. Di lereng bukit itu dapat dibuat tangga untuk memanjat sampai ke dataran itu. Namun dapat juga dibuat tangga untuk turun dari atas bukit itu”

Dalam pada itu, pada saatnya mereka kembali, maka mereka pun kembali dengan keyakinan, bahwa tempat yang diketemukannya adalah tempat yang paling baik.

Sementara itu, yang pergi ke Selatan, telah menemukan sebuah bukit kecil. Tidak mudah untuk memanjat. Di beberapa bagian terdapat lereng-lereng terjal. Namun dengan sedikit ketekunan, akan dapat dibuat tangga yang bersusun beberapa tingkat mendaki sampai kepuncak. Di puncak bukit itu terdapat sebuah dataran yang tidak terlalu luas, yang nampaknya akan dapat ditanami dengan beberapa jenis pepohonan. Yang lebih meyakinkan bagi mereka adalah sebuah mata air yang cukup besar dan jernih.

“Rajawali Penakluk itu tentu akan berkenan di hati” berkata orang itu.

Karena itulah, maka mereka pun dengan tergesa-gesa telah kembali. Mereka berpendapat, bahwa semakin cepat mereka meninggalkan sarang mereka yang lama, akan menjadi semakin baik.

Yang pergi kearah Timur, telah menemukan sebuah belumbang dicelah-celah lereng yang terjal. Memang agak sulit untuk mencapai tempat itu. Tetapi tempat yang agak tersembunyi itu akan memberikan perlindungan yang mapan. Untuk mencapai tempat itu, seolah-olah telah dibuat dua buah pintu ke dua arah yang berlawanan. Dalam keadaan bahaya, maka kedua pintu itu akan dapat ditutup. Tetapi jika perlu, maka satu pintu akan dapat dijadikan pintu rahasia untuk melarikan diri apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh.

“Tidak ada tempat yang lebih tenang dan aman dari tempat ini” berkata orang-orang yang menemukannya, “sementara itu belumbang itu akan memberikan lauk yang tidak akan ada habisnya”

Sementara mereka menghabiskan waktunya di tempat itu, ternyata mereka sempat menangkap ikan belumbang yang tersembunyi itu. Belumbang yang tidak pernah dijamah oleh tangan manusia. Namun dalam pada itu, di belumbang itu terdapat ikan yang tidak terhitung jumlahnya dari segala macam jenis ikan air tawar.

“Seluruh permukaan bumi, tidak ada pilihan yang akan melampaui tempat ini” berkata orang-orang yang nenemukannya itu diantara mereka.

Karena itu, maka pada saatnya mereka telah kembali dengan bangga, karena mereka menganggap, bahwa pilihan Rajawali Penakluk tentu akan jatuh kepada penemuan mereka.

Kelompok yang keempat adalah mereka yang pergi ke arah Utara. Semula kelompok ini merasa ragu-ragu, apakah mereka akan dapat menemukan tempat yang baik, karena mereka berjalan di sebuah padang rumput. Sejenak kemudian mereka memasuki hutan perdu yang kering, sehingga tempat itu tidak mungkin akan dapat dijadikan persembunyian yang baik. Namun akhirnya, mereka sampai kesebuah sungai, sungai yang nampaknya tidak terlampau besar, tetapi juga tidak terlampau kecil.

“Marilah, kita selusuri sungai ini” berkata pemimpin kelompok itu.

Adalah diluar dugaan mereka, bahwa akhirnya meeka menemukan sebuah goa di lereng sebuah bukit di pinggir sungai itu. Di muka goa itu terdapat sebuah halaman yang ukup luas. Penemuan itu ternyata telah membuat mereka berbangga. Mereka yakin, tidak ada tempat yang lebih baik ari penemuan mereka itu. Tempat yang tersembunyi, memadai dan di hadapannya air mengalir tanpa kering di musim kemarau.

Demikianlah maka orang-orang yang bertugas untuk menemukan tempat terbaik itu, berusaha kembali tepat pada waktu yang telah disediakan oleh pimpinan mereka, Rajawali Penakluk yang bagi mereka merupakan orang ajaib yang tidak ada bandingnya. Jika pada suatu saat Rajawali Penakluk itu harus menghindar dari medan pertempuran, itu karena ia mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri yang tidak dapat dimengerti oleh pengikut-pengikutnya.

Namun, ketika orang-orang yang merasa dirinya berjasa itu kembali ke tempat mereka yang akan mereka tinggalkan, mereka menjadi kecewa. Dari orang yang dianggap tertua di antara mereka, orang-orang itu mendapat keterangan, bahwa Rajawali Penakluk itu telah pergi meninggalkan mereka.

“Jangan bergurau” berkata salah seorang dari mereka yang menemukan lembah dengan belumbang yang panuh dengan ikan air tawar.

“Aku tidak bergurau. Sebenarnyalah bahwa Rajawali Penakluk sudah pergi” jawab orang tertua itu.

“Gila. Apakah maksudnya? Apakah ia tidak percaya lagi kepada kami dan mencari tempat itu sendiri?” bertanya yang lain.

“Tidak” jawab orang tertua itu, “ia sama sekali tidak berpesan tentang tempat. Bahkan ia berkata, agar kita menentukan tempat itu menurut pendapat dan pertimbangan kita bersama”

“Jadi apa maksudnya?” bertanya yang lain tidak sabar.

“Ia telah pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Bukan karena ia takut menghadapi pasukan Singasari atau Kediri, tetapi ia merasa wajib untuk melakukan sesuatu karena dendamnya masih belum dapat ditumpahkannya” jawab orang tertua itu.

“Aku menjadi bingung” potong salah seorang dari mereka yang menemukan goa di lereng pinggir sungai itu, “apa maksudnya sebenarnya”

“Rajawali Penakluk nampak menjadi sangat gelisah. Tiba-tiba saja ia memanggil kami dan berpesan, agar kami menentukan tempat itu tanpa menunggunya” jawab orang tertua itu.

“Jika ia kembali?” bertanya yang lain.

“Ia akan mencarinya. Dan aku pun yakin, hal itu tidak akan merupakan kesulitan baginya” jawab, orang tertua itu.

Sejenak suasana menjadi tegang. Namun tiba-tiba orang yang menganggap sebuah lereng yang dilindungi oleh hutan itu tempat terbaik, berkata lantang, “Kita pindahkan semuanya ke tempat yang telah aku ketemukan. Tempat yang tidak ada duanya didunia ini”

“Omong kosong” berkata seorang yang lain, “aku menemukan sebuah bukit yang paling pantas kita pergunakan sebagai padepokan kita. Bukit yang mempunyai sebuah dataran yang rata dan subur, karena di atas bukit itu terdapat sebuah mata air”

Tetapi yang lain memotong kata-kata itu. Mereka berusaha untuk menjelaskan penemuan mereka masing-masing. Mereka menganggap bahwa yang mereka ketemukan masing-masing adalah tempat yang paling baik bagi mereka. Karena itu, maka mereka tidak segera menemukan kesepakatan. Masing-masing berusaha bertahan. Sehingga akhirnya seseorang yang bertubuh tinggi, kekar dan berwajah kasar berteriak,

“Persetan dengan semuanya itu. Aku akan kembali ke kelompokku semula. Aku akan melakukan pekerjaanku seperti yang selalu aku lakukan. Aku tidak peduli lagi dengan tempat-tempat yang tidak dikenal itu. Tetapi, karena aku sudah berada di tempat ini, maka aku akan pergi dengan membawa bekal secukupnya”

“Persetan” seorang bertubuh tinggi dan berkumis lebat menyahut, “bekal apa yang dapat kau bawa? Yang ada di sini adalah milik kelompok kami. Kalian datang untuk mengikuti perintah Rajawali Penakluk. Bukan untuk mendapat warisan dari kelompok kami”

“Semua yang ada di sini harus dipindahkan” tiba-tiba seorang bertubuh kecil berteriak melengking, “kalian jangan gila. Semuanya harus dibawa kesuatu tempat yang tidak dikenal, karena semua yang ada disini akan dapat dirampas oleh orang-orang Singasari dan orang-orang Kediri jika pada suatu saat mereka datang kemari”

“Biarlah kami sendiri yang memindahkannya” geram orang bertubuh tinggi itu.

“Persetan. Persetan. Kami akan kembali ke tempat kami. Tetapi barang-barang ini lebih baik kita bagi” teriak orang bertubuh gemuk, “apapun yang kalian katakan, kami sudah berada di sini”

Tetapi orang bertubuh tinggi itu pun segera meloncat memisahkan diri. Sementara orang-orang yang sekelompok dengan orang itu pun segera berloncatan pula. Karena tempat itu adalah tempat mereka, maka jumlah merekalah yang terbanyak. Tetapi agaknya orang-orang yang berada di tempat itu, yang terdiri dari beberapa kelompok itu, jumlahnya masih lebih banyak lagi apabila mereka akan bergabung.

Namun dalam pada itu, orang tertua itu pun berdiri pula sambil berkata, “Kalian sudah gila. Kalian sudah dijangkiti oleh kegilaan kalian yang lama. He, apa kalian mengira bahwa Rajawali Penakluk itu tidak akan kembali sama sekali? Jika ia mendengar apa yang telah kalian lakukan disini, maka ia tentu akan marah. Meskipun kalian merasa, bahwa dalam satu kelompok kalian akan dapat melawannya, tetapi kalian harus memikirkan, apakah jadinya, jika kalian seorang demi seorang akan mati tanpa diketahui sebabnya, Kapan dan dimana. Karena Rajawali itu akan dapat berbuat sesuatu diluar kemampuan nalar kita”

Kata-kata orang tertua itu ternyata telah menyentuh perasaan orang-orang kasar itu. Bagaimanapun juga mereka masih juga dijalari oleh perasaan takut dan ngeri. Mereka mengakui, bahwa Rajawali Penakluk memang orang yang luar biasa. Ia dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan.

Karena itu, maka oreng bertubuh tinggi itu pun bertanya, “Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan”

“Seperti yang dipesankan oleh Rajawali Penakluk itu”

“Berpindah tempat?” bertanya orang yang bertubuh gemuk.

“Kita akan memilih salah satu dari keempat tempat yang nampaknya sama-sama baik. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya” jawab orang tertua itu.

“Jadi, yang manakah yang akan kita pilih” bertanya orang bertubuh tinggi.

Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan membicarakan bersama”

"Tetapi karena kita masing-masing belum melihatnya, kecuali yang menemukannya, maka memang sulit bagi kita untuk membuat perbandingan. Yang sudah melihatpun, baru melihat satu dari yang empat”

“Kau sajalah yang menentukan” berkata seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah kasar.

“Ya, kau sajalah” sahut yeng bertubuh tinggi.

Beberapa orang pun sepakat untuk memberi kesempatan kepada orang itu untuk memilih tempat. Tetapi orang itu pun kemudian berkata, “Sulit bagiku untuk memilih. Marilah, kita akan mengadakan pilihan sesuai dengan keinginan kalian. Aku akan menyebut satu demi satu tempat yang sudah kita dengar sesuai dengan laporan mereka yang menemukannya. Kalianlah yeng akan memilih. Yang berkenan di hati kalian atau sebagian dari kalian, maka orang itu harus menyatakannya. Kita akan menghitung. Jumlah yang paling banyaklah yang akan kita taati. Dengan demikian kita tidak akan saling menyalahkan apabila ternyata pilihan itu salah. Tetapi satu hal yang harus kita lakukan, kita harus meninggalkan tempat ini”

Orang-orang yang berkumpul itu mengangguk-angguk. Mereka semuanya belum melihat tempat yang akan mereka bicarakan. Karena itu, semuanya hanya berdasarkan pada bayangan dan angan-angan, sesuai dengan pendengaran mereka dari penjelasan masing-masing kelompok yang menemukan tempat-tempat itu.

Sejenak kemudian, orang tertua itu sudah mulai. Disebutnya satu demi satu. Dan dihitungnya jumlah orang yang menyatakan perasaannya dan tanggapannya atas tempat-tempat yang disebutnya. Setelah semuanya menyatakan pendapatnya, dan dari hasil pernyataan itu, maka orang tertua itu berhasil menentukan tempat ke mana mereka harus pindah.

“Kita akan memindahkan sarang ini ke sebuan lembah yang diapit oleh lereng yang tinggi, yang hanya mempunyai dua pintu di ujung dan ujung. Tetapi kita akan mempunyai sebuah belumbang yang akan sangat penting artinya. Bukan karena ikan tawarnya, tetapi air itu agaknya memang tidak akan dapat dipisahkan dari kehidupan kita”

Demikianlah, maka telah menjadi Keputusan mereka, bahwa sarang mereka akan mereka pindahkan ke tempat yang baru, yang terlindung dari kemungkinan pelacakan jejak oleh para prajurit Singasari atau oleh para pengawal di Kediri.

Tetapi ternyata bahwa tidak semua orang akan ikut serta menempati tempat tinggal mereka yang baru. Yang terutama akan tinggal di tempat itu adalah kelompok yang berada di sarang mereka yang mungkin sekali akan menjadi pusat perhatian para prajurit dan pengawal, karena untuk terakhir kalinya Rajawali Penakluk berada di tempat itu, dan mempergunakan tempat itu sebagai tempat untuk memberikan perintah terakhir dalam perlawanannya terhadap prajurit Singasari dan para pengawal Kediri.

“Kami akan kembali ke dalam kelompok kami” berkata beberapa orang di antara mereka.

“Kami datang bersama banyak orang. Tetapi kami akan kembali dalam jumlah yang susut hampir separo” berkata yang lain.

“Tetapi kalian tidak akan dapat memisahkan diri” berkata orang tertua, “pada satu saat Rajawali Penakluk itu akan datang. Mungkin ia akan memerlukan kalian, seningga kalian akan dipanggil. Mungkin kalian, tetapi mungkin orang-orang baru dari kelompok kalian masing-masing”

Tidak ada yang akan dapat ingkar. Semua orang hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Demikianlah, maka pada satu malam yang ditentukan, seisi sarang yang sebenarnya sudah cukup tersembunyi itu telah berpindah tempat. Mereka membawa apa saja yang ada di dalam simpanan mereka. Hasil dalam malam-malam perampokan dan saat-saat mereka menyamun di bulak-bulak panjang. Namun setelah semuanya itu disimpan dalam tempat mereka yang baru. dalam barak-barak yang mereka dirikan dengan tergesa-gesa, maka sebagian dari orang-orang itu telah kembali ke kelompok masing-masing.

“Jika Rajawali Penakluk datang kepada kelompok kalian masing-masing, maka kalian akan dapat menunjukkan, di mana kami menunggu” berkata orang tertua.

“Tetapi mungkin pula pada suatu saat, sarang kamilah yang akan didatangi oleh prajurit-prajurit Singasari” berkata orang berwajah kasar dan bertubuh tinggi tegap.

“Kemungkinan itu memang ada, tetapi kecil sekali. Mungkin kawanmu yang tertangkap akan dipaksa untuk menyebut tempatnya. Tetapi aku kira perhatian utama adalah tempat tinggal Rajawali Penakluk itu sendiri” jawab orang tertua.

Orang berwajah kasar itu mengangguk-angguk. Namun orang tertua itu berpesan, “Meskipun demikian, kalian jangan meninggalkan kewaspadaan”

Demikianlah, orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok lain telah kembali. Namun mereka masih tetap menunggu kedatangan Rajawali Penakluk.

Dalam pada itu, di padepokan kecil yang baru saja berhasil mengusir orang-orang yang mengepung padepokan mereka, masih saja selalu sibuk dengan orang-orang mereka yang terluka. Suasana suram masih meliputi padepokan itu, karena terpaksa melepaskan beberapa orang cantrik yang tidak dapat tertolong lagi. Sementara itu, mereka masih harus mengurus orang-orang yang dapat mereka tangkap. Tetapi juga mereka yang tidak dapat lagi meninggalkan medan karena luka-luka yang parah.

Ada semacam dendam di hati para cantrik. Jika mereka harus melepaskan dua tiga orang kawan mereka yang gugur, alangkah pedih hati mereka, bahwa mereka harus mengobati lawan mereka yang luka parah.

“Kenapa mereka tidak dibiarkan saja mati seperti kawan-kawanku itu” berkata para cantrik di dalam hatinya.

Namun mereka pun mendapat ajaran dari pemimpin padepokan mereka, bahwa tidak seharusnya mereka dengan sengaja membiarkannyawa seseqrang hilang selagi masih ada kesempatan untuk menolongnya, siapa pun mereka, “Peperangan adalah salah satu ujud betapa manusia ini mempunyai tabiat aneh” berkata pemimpin padepokan itu.

Karena itu, maka para cantrik itu pun telah berbuat seperti yang diajarkan oleh pemimpin padepokan mereka. Betapa anehnya perasaan mereka, namun mereka berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya atas orang-orang yang terluka dan para tawanan dalam keseluruhan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu telah bersepakat untuk tidak dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu. Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Dendam yang menyala di hati Rajawali Penakluk, yang ternyata adalah Ki Dukut Pakering itu tentu bagaikan api yang disiram minyak. Kegagalan-kegagalan yang dialaminya rasa-rasanya tidak tertanggungkan lagi. Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu masih merasa wajib untuk melindungi padepokan kecil itu.

Namun dalam pada itu, terhadap orang-orang yang dapat ditawannya Mahisa Agni telah berhasil mengetahui dimanakah sarang orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu. Dari mereka yang tertawan Mahisa Agni mendapat gambaran, bagaimana Rajawali Penakluk itu mendapatkan banyak pengikut. Namun yang ternyata tidak dapat memenuhi harapannya. Orang-orang yang di angkatnya dari daerah hitam itu tidak berhasil dibentuk untuk memenuhi keinginannya. Adalah justru karena mereka harus berhadapan dengan beberapa orang prajurit Singasari dan Kediri.

"Pada suatu saat, kita akan mencarinya” berkata Mahisa Agni.

“Kita harus membuat perhitungan yang mapan” berkata Witantra, “kita sudah mengenal, bahwa orang yang semula mempunyai nama yang agung itu. kini telah berubah sama sekali, ia tidak lebih dari seorang yang licik dan tidak mempunyai harga diri”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Orang tua itu hampir menjadi putus asa. Itulah sebabnya, maka perubahan-perubahan itu terjadi demikian cepat pada dirinya”

“Ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya” desis Ki Wastu.

“Benar” sahut Witantra, “dalam keputusasaan, ia akan dapat berbuat apa saja, yang kadang-kadang tidak dapat dimengertinya sendiri”

“Tetapi untuk beberapa saat, ia tentu tidak akan bergerak lagi” berkata Ki Wastu, “ia sudah kehilangan banyak pengikutnya. Ia memerlukan waktu untuk membentuk satu pasukan yang dianggapnya cukup kuat”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian bergumam, “Mungkin ia akan berbuat demikian. Tetapi selama ia menyiapkan satu pasukan yang cukup kuat menurut perhitungannya, maka ia dapat berbuat apa saja di antara lingkungan hidup yang kemudian dibencinya”

Witantra dan Ki Wastu mengangguk-angguk. Bagi mereka sendiri, mungkin Ki Dukut yang putus asa itu tidak akan berbahaya. Mereka masing-masing akan dapat menolong diri mereka sendiri, jika mereka pada satu saat bertemu dengan Ki Dukut dimanapun. Tetapi ada lingkungan lain yang akan dapat menjadi sasaran dendamnya, meskipun lingkungan itu sama sekali tidak mengerti ujung-dan pangkalnya.

“Orang itu harus dapat dibatasi geraknya” desis Mahisa Agni tiba-tiba.

“Lebih baik jika kita dapat menangkapnya” sahut Ki Wastu.

“Sulit sekali” sahut Witantra, “betapapun orang itu kehilangan harga dirinya, maka untuk menangkapnya tentu akan mengalami kesulitan. Orang itu tentu akan memilih melarikan diri atau mati, daripada harus tertangkap hidup-hidup”

“Apa boleh buat” tiba-tiba saja Ki Wastu berdesis lambat.

Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-lalam. Mereka mengerti arti kata-kata itu. Memang tidak da pilihan lain. Apalagi bagi Ki Wastu yang tentu saja nasih terasa betapa pedihnya peristiwa yang menimpa anak perempuannya, justru karena sikap Ki Dukut Pakering. Hampir saja anak dan cucunya menjadi korban dengki dan ketamakannya.

Nampaknya sikap itulah yang akan diambil menghadapi Ki Dukut Pakering. Perburuan di padang yang sangat luas dan samar akan segera dilanjutkan, meskipun tidak dalam waktu yang terlalu pendek, karena rasa-rasanya nasih belum sampai hati meninggalkan padepokan yang nenjadi sasaran Ki Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.

Karena itulah, selain untuk melindungi langsung, maka Mahisa Agni pun memerintahkan para prajurit untuk memberikan latihan olah kanuragan kepada para cantrik. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berada untuk waktu yang tidak terbatas di padepokan itu. Ia pun harus berbuat sesuatu dalam perburuan yang harus dilakukannya.

Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera mengatur diri. Ia harus segera menghubungi Pangeran Kuda Padmadata di Kediri agar rencana perburuan itu segera dapat dilanjutkan. Akhirnya Mahisa Agni memutuskan untuk pergi ke Kediri bersama Witantra dan tidak lebih dari dua orang pengawal. Mereka harus dapat berhubungan dengan orang yang telah mendahului mereka ke Kediri. Segalanya akan diatur kemudian apabila Mahisa Agni telah bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata.

Mahisa Agni tidak menunggu lebih lama. Meskipun kemungkinan yang pahit dapat terjadi di perjalanan, namun tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukannya. Sementara Ki Wastu akan tetap berada di padepokan itu bersama beberapa orang prajurit dan Pengawal.

“Menurut perhitunganku, satu-satunya orang orang yang harus diperhitungkan adalah Ki Dukut Pakering itu seorang diri saja. Karena itu, kehadiran Ki Wastu di padepokan itu akan dapat akan dapat melawan Ki Dukut pakering, apabila orang itu akan datang kembali.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan Mahisa Agni dan Witantra sudah meninggalkan padepokan itu. Dengan laju mereka berkuda menuju Kediri. Bagaimanapun juga, mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi di sepanjang jalan. Namun ternyata bahwa perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Mereka sampai di Kediri dengan selamat.

Ternyata bahwa di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata pun telah menyiapkan sepasukan pengawal. Tidak terlalu banyak, tetapi mereka adalah orang-orang pilihan yang akan dilibatkan dalam perburuan di padang yang sangat luas.

“Ayah masih akan ikut serta” berkata Mahisa Bungalan kepada Mahisa Agni.

“Baiklah, Bagaimana dengan adik-adikmu?” bertanya Mahisa Agni.

“Mereka tidak mau ditinggalkan. Sebenarnya ayah ingin mengantar mereka kembali ke Singasari. Tetapi mereka lebih senang ikut dalam perburuan ini” jawab Mahisa Bungalan yang seolah-olah merasa tidak sabar lagi.

Ketika Mahisa Agni bertemu dengan Mahendra yang masih sempat mengurusi barang-barang dagangannya di Kediri, maka katanya. "Kau masih sempat mempergunakan setiap waktu yang bagimu sangat berharga”

Mahendra tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat duduk terkantuk-kantuk saja di Kediri. Aku mempunyai beberapa orang yang dapat bekerja bersama dengan aku disini. Hubungan kami sudah lama. jika aku datang ke Kediri dengan jenis-jenis batu akik dan wesi aji, maka orang-orang itulah yang aku hubungi mula-mula."

“Itu adalah ujud dari seorang pedagang yang sebenarnya" desis Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni pun tersenyum. Sementara Mahendra berkata, “Aku memang sudah terbiasa menggunakan setiap waktu yang terluang. Ah, apakah salahnya jika aku memanfaatkan waktu yang berlebihan disini?”

Mahisa Agni pun menjawab, “Tentu tidak ada salahnya. Agaknya Mahisa Bungalan sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat seorang pedagang”

“Ya” jawab Mahendra, “mudah-mudahan adik-adiknya kelak dapat membantu aku”

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menyahut. Ia tidak tertarik untuk berbicara tentang jual beli batu akik dan wesi aji. Ia lebih tertarik berbicara tentang Ki Dukut Pakering yang hilang dari pengamatan mereka. Yang mungkin telah keluar dari medan yang diduga sebelumnya oleh mereka yang memburunya.

Demikianlah, pada akhirnya Mahisa Agni, Witantra, Mahendra telah berbicara dengan Mahisa Bungalan dan pangeran Kuda Padmadata tentang perburuan yang akan mereka teruskan. Mereka bersepakat untuk bertemu lebih dahulu dengan Ki Wastu dan para prajurit serta pengawal yang mereka tinggalkan. Mereka akan mempergunakan segala macam petunjuk dan keterangan dari orang-orang yang dapat mereka tawan untuk mencari jejak Ki Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.

Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, ternyata kedua adiknya tidak mau ketinggalan. Mereka telah ikut pula bersama ayahnya kembali ke padepokan kecil yang menjadi sasaran pertama dari serangan Ki Dukut Pakering. Dari sanalah perburuan itu akan diatur lebih jauh.

Kehadiran kembali Pangeran Kuda Padmadata telah memberikan kegembiraan bagi para prajurit dan pengawal. Mereka merasa kawan-kawan mereka lebih banyak sehingga mereka akan dapat bergantian mengawasi orang-orang yang tertawan.

Sebenarnya Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Ialah yang bergerak lebih, cepat dari orang-orang yang dianggapnya sudah terlalu lamban karena umur mereka yang semakin tua. Kepada para tawanan, Mahisa Bungalan mendapat keterengan dimana Ki Dukut bersembunyi dan mengatur pasukannya.

“Besok aku akan pergi” berkata Mahisa Bungalan.

Orang-orang yang dianggapnya terlalu tua dan lamban itu tidak dapat mencegah. Bersama dengan Pangeran Kuda Padmadata ia telah menyiapkan pasukannya untuk pergi ke tempat persembunyian Ki Dukut Pakering.

“Jangan hanya berdua” berkata Witantra, yang kemudian menyatakan diri untuk ikut bersama kedua anak-anak muda yang ingin dengan segera menemukan tempat Ki Dukut mengatur pasukannya.

Ketika matahari terbit dipagi hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata telah bersiap untuk berangkat. Di antara mereka terdapat Witantra yang tidak sampai hati melepas keduanya menghadapi Ki Dukut.

Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mahendra pun tidak akan dapat menundanya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni, Mahendra, Ki Wastu dan kedua adik Mahisa Bungalan itu melepas pasukan itu sampai kedepan regol padepokan. Pemimpin padepokan itu bersama para putut dan cantrik pun mengantar mereka sampai di luar regol.

“Mudah-mudahan mereka berhasil” desis pemimpin padepokan itu. Dengan demikian, maka ia tidak akan selalu dibayangi oleh kemungkinan-kemungkinan yang pahit jika Ki Dukut datang, kepada mereka.

Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata yang tidak sabar lagi itu pun langsung membawa pasukannya sesuai dengan petunjuk orang-orang yang telah tertawan. Di antara pasukan itu terdapat dua orang dari mereka. Orang itu harus menunjukkan, dimanakah tempat Ki Dukut bersembunyi.

“Jangan mencoba mengelabui kami” berkata Mahisa Bungalan kepada kedua orang itu.

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka selalu dibayangi oleh kecemasan. Mereka tidak tahu, apa yang akan terjadi setelah pasukan itu sampai ke tempat Ki Dukut yang mereka kenal bergelar Rajawali Penakluk itu tinggal.

“Pasukan Rajawali Penakluk itu pun cukup banyak” berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Tetapi mereka pun mengakui, bahwa para prajurit itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kawan-kawannya. Meskipun kawan-kawannya berjumlah lebih banyak, namun agaknya mereka tidak akan dapat melawan sepasukan prajurit dan pengawal yang dipimpin langsung oleh Pangeran Kuda Padmadata itu.

“Apakah yang aku lakukan ini bukan pengkhianatan” pertanyaan itu timbul pula di hati orang-orang yang tertawan itu. Namun ternyata mereka memilih untuk melakukan perintah para prajurit daripada mereka harus mengalami perlakuan yang mendebarkan jantung.

Dalam pada itu, perjalanan pasukan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka beristirahat sejenak ketika matahari bagaikan membakar kulit setelah melampaui puncaknya. Namun mereka tidak menghiraukan lagi keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka.

“Apakah kita akan mendekati sarang mereka esok pagi?” bertanya Witantra.

“Sekarang” jawab Mahisa Bungalan.

“Ya, sekarang” desis Pangeran Kuda Padmadata.

“Menjelang gelap?” bertanya Witantra pula.

“Apa salahnya? Kita akan bertempur malam hari” sahut Pangeran Kuda Padmadata.

Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku sendiri tidak keberatan. Aku mampu bertempur tiga hari tiga malam demikian aku sampai diserang mereka. Tetapi entahlah dengan anak-anak itu”

Pangeran Kuda Padmadata dan Mahisa Bungalan tertegun, mereka mengerti maksud Witantra yang melanjutkan, “Tenaga mereka telah terperas di perjalanan yang terik. Mereka mendaki tebing dan menuruni jurang. Kalian dapat saja memaksa mereka untuk bertempur. Tetapi aku tidak yakin, bahwa mereka masih memiliki tiga perempat dari kemampuan mereka”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Sambil menatap Pangeran Kuda Padmadata itu berkata, “Apakah kita akan mulai dengan besok pagi-pagi benar Pangeran?”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Malam ini kita beristirahat di depan sarang mereka, tetapi jangan terjadi seperti yang kita dengar dan mereka yang bernasil menyergap lawan mereka justru sedang menunggui mereka di depan padepokan”

“Kita akan sempat melihat-lihat, apakah yang sebenarnya kita hadapi” berkata Witantra.

Dengan demikian, maka ketika mereka mendekati sarang Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu, maka pasukan itu pun segera menebar. Mereka tidak mau kehilangan lawan mereka. Karena itu, mereka pun mengawasi sarang itu dari segala arah.

Namun, menjelang senja, mereka masih sempat melihat, bahwa sarang itu nampaknya terlampau sepi. Mereka tidak melihat tanda-tanda apapun di muka barak yang terlindung bukit-bukit kecil. Namun yang justru dapat dilihat jelas dari bukit-bukit itu.

“Sepi sekali” desis Mahisa Bungalan.

“Ya. Tetapi apakah memang demikian” sahut Pangeran Kuda Padmadata yang mengawasi tempat itu dari atas bukit kecil.

“Kita panggil kedua orang itu” gumam Witantra hampir kepada diri sendiri.

Mahisa Bungalan pun kemudian memerintahkan memanggil kedua orang tawanan yang mereka bawa bersama pasukan itu. Dengan hati-hati keduanya pun mendekati Mahisa Bungalan. Namun seperti orang-orang lain, ia pun merasa bahwa barak itu terlampau sepi.

“Biasanya tidak demikian” berkata kedua orang itu, “Apakah kau ingin menjebak kami?” geram Mahisa Bungalan.

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku mengatakan yang benarnya. Barak itu tidak seperti biasanya”

Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi itu pun berata, “Marilah. Kita akan melihat”

“Berhati-hatilah” berkata Witantra, “siapkan pasukanmu. Beberapa orang akan bersama kita”

“Paman juga akan melihat barak itu?” berkata ahisa Bungalan”

“Ya. Aku juga akan pergi” jawab Witantra.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan, Pangeran Kuda Padmadata dan Witantra, diantar oleh beberapa orang ngawal, dengan hati-hati mendekati barak yang nampaknya sepi itu.

Sementara, Mahisa Bungalan mendekati barak, kedua orang tawanan itu pun berada di dalam pengawasan yang ketat. Sedangkan pasukan yang dibawanya pun telah bersiap. Setiap saat diperlukan, mereka akan segera dapat bertindak.

Mahisa Bungalan, Pangeran Kuda Padmadata, Witantra dan beberapa orang pengawal, dengan hati-hati mendekati barak itu. Selangkah demi selangkah mereka maju. Tangan-tangan mereka sudah siap mencabut senjata apabila diperlukan. Tetapi barak itu memang terlalu sepi. Nampaknya tidak ada seorang pun yang tinggal lagi di dalam barak itu. Pintu regol barak itu tampak terbuka. Pagar yang rapat dan tinggi yang mengelilingi barak itu pun nampaknya tidak terjaga sama sekali.

Dengan hati-hati, mereka pun kemudian memasuki regol yang terbuka. Demikian mereka menginjakkan kakinya ke halaman dalam barak itu, mereka merasa, bahwa barak itu memang sudah sepi.

“Gila” geram Mahisa Bungalan, “mereka sempat meninggalkan barak ini”

Wajah Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi tegang. Meskipun demikian ia berkata, “Marilah, kita akan melihat isi barak itu”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Ketika ia memandang Witantra, orang itu pun mengangguk pula. Demikianlah mereka pun kemudian mendekati pintu barak yang terbuka. Perlahan-lahan mereka melangkah masuk. Seperti ketika mereka memasuki halaman barak itu, mereka pun semakin yakin, barak itu memang sudah kosong.

Sebenarnyalah, ketika mereka berada di dalam setiap barak yang ada dilingkungan sarang itu, mereka sama kali tidak menemukan apapun juga. Mereka pun dapat menduga, bahwa orang-orang di dalam barak itu telah memindahkan sarang mereka, karena mereka yakin, bahwa pada suatu saat, pasukan Singasari dan Kediri akan datang untuk menangkap mereka.

“Tetapi mereka berhasil lolos” geram Mahisa Bungalan keterlambatan yang sangat mengecewakan”

Witantra tidak manjawab. Sementara Pangeran Kuda Padmadata pun nampaknya sangat kecewa, bahwa kehadirannya di tempat itu sama sekali tidak memberikan hasil apapun juga.

“Paman” berkata Mahisa Bungalan kemudian kepada Witantra, “yang terjadi adalah satu pangalaman. Betapa lambatnya kami bertindak”

Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Yang terjadi atas Ki Dukut itu pun satu pengalaman, bagaimana cepatnya ia bertindak. Tetapi tanpa perhitungan yang mapan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Pangeran yang masih muda itu, ia pun melihat Pangeran itu menjadi sangat kecewa, namun kepalanya pun terangguk-angguk kecil mendengar jawaban Witantra itu.

“Baiklah” berkata Witantra kemudian, “kita datang setelah sarang ini menjadi kosong. Kita tidak dapat menyalahkan siapapun juga. Tetapi ini bukan akhir dari perburuan kita”

Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya, “Malam ini kita akan berada di dalam lingkungan halaman barak ini. Besok kita akan kembali ke padepokan itu tanpa membawa hasil apapun juga”

Witantra hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti bahwa anak-anak muda itu menjadi kecewa. Namun ia pun merasa wajib untuk kadang-kadang meredakan gejolak kemudaan mereka itu. Mahisa Bungalan pun kemudian memerintahkan pasukan yang dibawanya untuk memasuki halaman barak dan beristirahat semalam.

“Tetapi jangan lengah” berkata Pangeran Kuda Padmadata kepada para pemimpin kelompok, “mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita duga-duga sebelumnya. Jika orang-orang itu menyingkir tidak terlalu jauh dengan perhitungan tertentu, maka mungkin sekali malam nanti, merekalah yang akan manjebak kami...”

Panasnya Bunga Mekar Jilid 14

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 14
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

SETIAP gerak maju ternyata telah dihalangi oleh batu batu padas yang berguguran dan sisa-sisa senjata para perampok itu yang kemudian dilemparkannya pula.

Namun dalam pada itu, para prajurit dan pengawal itu tidak membiarkan lawannya meninggalkan arena begitu saja. Karena itulah, maka yang bersenjata panah, segera mengambil busur dan anak panah. Seperti pada saat para perampok itu datang menyerang, maka anak panahpun kemudian meluncur seperi hujan.

Beberapa orang tidak berhasil mencapai bibir tebing Bahkan sebagian lagi terguling jatuh, meluncur kembali ke arah para pengawal. Namun sejenak kemudian, maka para perampok itupun telah hilang di balik gerumbul-gerumbul di atas tebing.

Para prajurit dan pengawal itu pun segera menghenti usahanya ketika Senopati yang memimpin pasukan dari Kediri itu memberikan isyarat. Dalam waktu yang pendek, para prajurit dan pengawal itu telah berkumpul dalam barisan memanjang. Beberapa orang dari mereka ternyata telah menjadi korban. Bukan saja luka-luka tetapi ada beberapa orang yang ternyata telah terbunuh.

Kemarahan yang sangat membayang di wajah Senopati itu. Tetapi ia menyadari, bahwa ia tidak boleh sekedar menuruti perasaannya saja. Ia harus mempergunakan nalarnya sepenuhnya menghadapi keadaan yang berkembang diluar dugaan.

“Kumpulkan kawan-kawan kita yang terluka dan yang telah gugur” berkata Senopati itu, “kita tidak dapat meneruskan perjalanan. Para tawanan telah terlepas, kecuali beberapa orang yang terluka parah. Tetapi mereka harus kita bawa sebagai bahan pengusutan lebih lanjut”

Para prajurit dan pengawal itu pun segera mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur. Dengan kemarahan yang menghentak di setiap dada, maka mereka pun kemudian mengambil satu sikap untuk membawa orang-orang yang terluka kembali ke padepokan kecil. Demikian juga para tawanan yang tidak sempat melarikan diri karena luka-lukanya.

Namun demikian, para prajurit itu masih menyempatkan diri untuk mengubur kawan-kawan mereka yang gugur, sementara di bagian lain, mereka pun telah mengubur para perampok dan penyamun yang terbunuh.

“Pada saatnya kita akan memindahkan kawan-kawan kita untuk dapat diselenggarakan sebagaimana seharusnya” berkata Senopati itu.

Demikianlah, pasukan yang parah itu pun kemudian mengambil keputusan untuk kembali saja ke padepokan kecil. Mereka akan melaporkan apa yang telah terjadi. Tetapi lebih dari itu, mereka akan memberikan sekedar laporan sebagai peringatan, bahwa memang ada kekuatan yang membayangi mereka yang sedang bertugas memburu orang yang dianggap berbahaya bagi Kediri.

Ternyata perjalanan kembali itu memerlukan waktu yang lebih panjang dari saat mereka berangkat. Pada saat matahari sepenggalah, mereka telah sampai ke tempat itu. Namun ternyata mereka memerlukan waktu jauh lebih lama ketika mereka kembali ke padepokan, setelah bertempur beberapa lama di lembah itu.

Kedatangan pasukan itu kembali ke padepokan kecil dalam keadaan yang parah itu benar-benar mengejutkan Dalam sekejap, seisi padepokan telah tertumpah di halaman, sementara mereka yang datang sibuk menempatkan para prajurit dan pengawal yang terluka.

“Masih ada beberapa tawanan yang tertinggal” berkata Senopati yang memimpin pasukan itu” terutama mereka yang terluka. Tetapi sebagian terbesar dari mereka telah terlepas atau justru terbunuh di saat mereka melarikan diri”

Pangeran Kuda Padmadata menggeretakkan giginya. Kemalangan itu benar-benar telah menyinggung kehormatannya. “Bagaimana dengan kelompok yang kau tugaskan melawan pemimpin mereka?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Tidak banyak gunanya” jawab Senopati itu, “meskipun pemimpin mereka yang bagaikan iblis itu tidak dapat mengalahkan ke empat orang itu, namun ke empat orang itu sama sekali tidak berhasil mengikatnya dalam satu lingkaran pertempuran. Pemimpin mereka yang tua itu sempat melepaskan diri dan bertempur di segala tempat di perang brubuh yang kasar itu.

Mahisa Bungalan yang masih muda itu menggeram, “Kita akan mencarinya sekarang”

Tetapi Mahisa Agni menggeleng, “Jangan. Kita memerlukan keterangan lebih banyak lagi tentang mereka”

Mahisa Bungalan hanya menarik nafas dalam-dalam Namun nampak betapa wajahnya menjadi kecewa, Sementara di dalam hatinya ia berkata, “Paman Mahisa Agni selalu terlambat bertindak”

Tetapi ternyata Witantra dan Mahendra serta Ki Wastu pun sependapat, bahwa persoalannya memang harus dibicarakan lebih dahulu. Ternyata kekuatan yang tersembunyi itu mampu melawan sepasukan prajurit dan pengawal yang memang sudah dipersiapkan membawa para tawanan ke Kediri.

“Kalian akan beristirahat di sini untuk dua tiga hari” berkata Muhisa Agni, “jika sebagian besar kekuatan pasukanmu sudah pulih, maka kalian akan kembali ke Kediri. Tetapi dalam pada itu, kekuatan pasukan yang mencegat kalian itu pun telah pulih pula”

Senopati yang memimpin pasukan itu mengerti maksud Mahisa Agni, sehingga kerena itu, maka ia pun mengangguk angguk. Demikianlah, maka pasukan yang telah dirobek oleh serangan yang kuat dari para perampok dan penyamun itu untuk satu dua hari akan tetap tinggal di padepokan. Pasukan itu masih harus berusaha membenahi diri dan me ngobati luka-luka yang parah. Beberapa orang pengawal dan prajurit telah terluka parah. Mereka tidak akan mungkin dapat sembuh dalam waktu dua tiga hari saja. Karena itulah, maka para pemimpin prajurit dan pengawal serta yang berada di padepokan itupun harus mengambil satu sikap bagi pasukan itu.

“Tinggalkan yang terluka di padepokan ini, termasuk para tawanan” berkata Mahisa Agni, “aku akan menunggui mereka bersama Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata. Sementara perjalanan kalian ke Kediri akan diikuti oleh Mahisa Bungalan, Ki Wastu, Mahendra dan kedua anaknya yang lain”

“Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut kalian” berkata Mahendra.

“Apakah tidak sebaiknya aku ikut kembali ke Kediri” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “aku harus mempertanggung jawabkan keadaan para prajurit dan pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang ternyata telah gugur”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika Pangeran ingin kembali bersama pasukan itu, silahkan. Aku akan tinggal bersama Witantra. Mungkin dendam orang itu akan tertuju kembali kepada padepokan kecil ini”

“Baiklah” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “aku akan kembali ke Kediri. Biarlah Ki Wastu sajalah yang tinggal di sini”

Demikianlah, mereka pun mengambil keputusan, bahwa jika saatnya mereka akan kembali ke Kediri, maka Pangeran Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan, Mahendra dan kedua anaknya yang lain akan ikut bersama mereka. Namun karena keadaan pasukan yang masih parah itu, maka mereka tidak dapat tergesa-gesa kembali ke Kediri.

Sementara itu, Ki Dukut pun tidak kalah gelisah dari orang-orang Kediri yang berada di padepokan terpencil itu. Ternyata ketika Ki Dukut yang dikenal oleh para pangikutnya bernama Rajawali Penakluk itu berhasil mengumpulkan orang-orangnya, korban yang telah jatuh benar-benar membuatnya pening. Ia tidak mengira bahwa para prajurit dan pengawal itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga mereka berhasil membunuh demikian banyak orang-orangnya.

“Yang menjadi korban, ternyata lebih banyak dari yang berhasil dibebaskan” berkata Rajawali Panakluk itu kepada diri sendiri. Namun kemudian, “Tetapi orang-orang yang dapat dibebaskan itu mempunyai kemampuan yang lebih baik dari kawan-kawannya yang menjadi korban”

Tetapi para pengikut Rajawali itu mempunyai penilaian yang lain dari pimpinan tertingginya. Mereka tidak sempat memperhitungkan jumlah kawan-kawannya yang terbunuh. Yang mereka lihat adalah justru kemenangan mereka, karena mereka berhasil membebaskan kawan-kawan mereka yang tertawan ketika mereka, menyerang padepokan kecil itu.

Ki Dukut membiarkan saja kesan itu. Dengan demikian maka para pengikutnya akan merasa berbesar hati dengan akhir yang mereka anggap sebagai satu kemenangan itu. Perasaan menang itu akan sangat berpengaruh pada mereka, karena perasaan itu akan mendorong mereka menjadi semakin.berani dan percaya kepada diri sendiri.

Untuk satu dua hari, Ki Dukut yang dikenal bernama Rajawali Penakluk itu membiarkan keadaan orang-orangnya. Seolah-olah ia memberi mereka kesempatan untuk beristirahat. Makan dan tidur. Ki Dukut sengaja tidak memberikan tugas apapun kepada mereka. Apalagi persediaan mereka masih cukup banyak, sehingga mereka tidak perlu tergesa-gesa merampok dan menyamun.

Namun, ketika keadaan orang-orangnya menjadi semakin baik, maka Ki Dukut pun mulai berpikir, apakah prajurit dan pengawal dari Kediri itu akan segera kembali ke Kediri atau masih lama berada di padepokan itu.

“Korban yang jatuh di antara mereka akan membuat mereka marah” berkata Ki Dukut, “tetapi hal itu akan memberikan peringatan kepada mereka, bahwa prajurit dan pengawal dari Kediri itu pun terdiri dari manusia biasa yang dapat juga mati karena tubuhnya luka tertusuk pedang”

Sekilas melintas di dalam pikirannya untuk berbuat sasuatu. Apakah terhadap pasukan yang akan kembali ke Kediri, atau mereka yang berada di padepokan itu. “Apakah masih ada gunanya” pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya.

Tetapi menurut perhitungan Ki Dukut Pakering, orang-orangnya yang masih tertawan tentu tinggal sedikit. Itu pun mereka yang terluka, sehingga orang-orang itu tidak akan banyak berarti lagi.

Karena itu, jika ia akan menyerang pasukan Kediri yang kembali ke padepokan itu, yang pada saatnya akan kembali ke Kediri, bukan sekedar karena ia ingin membebaskan orang-orangnya. Tetapi niat itu harus dilambari dengan tujuan, untuk memusnahkan pasukan dari Kediri itu, atau seluruh isi padepokan yang sombong itu.

“Tetapi setiap langkah kini harus diperhitungkan lebih baik lagi” berkata Ki Dukut di dalam hatinya, “kegagalan berikutnya akan berakibat lebih parah lagi. Bahkan mungkin akan menghancurkan seluruh harapanku untuk membalas sakit hatiku”

Oleh karagu-raguan itu, maka Ki Dukut yang dikenal dengan gelar Rajawali Penakluk itu ingin mendengar bagai mana pendapat orang-orangnya. Karena itu, maka dengan sengaja ia memanggil beberapa orang dari kelompok yang barbeda

“Aku ingin mendengar pendapat kalian” berkata KiDukut.

“Tentang apa?” bertanya salah seorang dan mereka.

“Tentang orang-orang Kediri itu. Apakah kita sudah merasa puas satelah kita berhasil membebaskan sebagian dari kawan-kawan kita yang tertawan, meskipun ada juga korban yang jatuh di antara kita”

Seorang yang berwajah kasar, yang termasuk salah seorang yang telah dibebaskan berkata, “Mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka memiliki ilmu iblis yang tidak dapat dimengerti”

“Kau sudah jera?” bertanya Ki Dukut.

“Tetapi mereka tidak berada di dalam iring-iringan para prajurit dan pengawal yang membawa kami ke Kediri. Mereka semuanya tertinggal di padepokan itu” berkata orang itu, “jika mereka tetap tinggal di padepokan, maka iring-iringan itu sebaiknya kita hancurkan dengan kekuatan yang masih ada, karena pasukan itu pun telah mengalami luka-luka yang cukup parah. Tetapi jika orang-orang yang mempunyai ilmu iblis itu mengantar mereka ke Kediri, kita mempunyai peluang untuk menghancurkan isi padepokan kecil itu”

Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Pikiranmu baik sekali. Tetapi tentu hanya satu dua orang sajalah yang memiliki ilmu iblis itu. Sementara kita akan dapat mempersiapkan diri lebih baik. Beberapa orang yang telah mengalami tempaan yang keras telah dibebaskan. Bersama mereka, kekuatan kita sudah meningkat. Apalagi jika kita siapkan semuanya dengan lebih baik”

“Kita panggil kawan-kawan kita lebih banyak lagi” berkata seorang di antara mereka.

“Kita akan memanggil orang-orang terbaik yang tersisa. Tetapi bahwa mereka yang telah mendapat tempaan yang sungguh-sungguh itu ada di antara kita, maka kita pun sudah menjadi lebih kuat kedudukan kita” berkata Ki Dukut, “karena itu kita akan menyiapkan diri."

"Dua orang akan mengawasi keadaan bersama aku. Mudah-mudahan aku akan mendapat beberapa pertanda dari mereka”

Demikianlah Ki Dukut mempersiapkan orang-orangnya yang masih saja dibakar oleh dendam. Tetapi, Ki Dukut harus benar-benar meyakini, bahwa orang-orang terpenting yang disebut berilmu iblis itu tidak berada di antara mereka.

Ketika di malam hari, Ki Dukut yang mendekati padepokan itu melihat bahwa para prajurit dan pengawal sudah mengatur diri dan disibukkan oleh persiapan-persiapan perjalanan yang panjang, maka untuk beberapa saat Ki Dukut berusaha untuk mendengarkan satu percakapan di antara mereka. Seperti yang pernah dilakukan, maka ia pun mengendap di luar pintu gerbang, mendengarkan para pengawal itu berbicara untuk melenyapkan kejemuan.

Ketika Ki Dukut sudah hampir menjadi jemu dan tidak sabar lagi, tiba-tiba saja ia mendengar penjaga itu berkata, “Mungkin orang-orang gila itu akan mencegat kita lagi”

“Justru kita mengharap demikian. Jika kali ini mereka melakukannya, maka mereka akan tertumpas habis” sahut yang lain.

“Kita berharap demikian. Di saat matahari sepenggalah, kita akan sampai di lembah itu lagi” desis kawannya.

Percakapan itu sudah cukup memberi tahukan kepada Ki Dukut Pakering, apa yang bakal dilakukan oleh para prajurit dan Pengawal. Mereka tentu akan kembali ke Kediri bersama dengan orang-orang yang disebut berilmu iblis itu. Karena itu, maka Ki Dukut yeng disebut Rajawali Penakluk itu pun kemudian meninggalkan regol padepokan itu, kembali kepada orang-orangnya.

“Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap para prajurit dan pengawal yang akan kembali ke Kediri, “ barkata Ki Dukut kepada pengikut-pengikutnya. ”ternyata orang-orang yang kalian sebut berilmu iblis itu akan bersama mereka. Para prajurit dan pengawal itu justru berharap, agar kita besok mencegat mereka lagi, sehingga seperti saat kita dipadepokan kecil itu maka kita bagaikan serangga masuk ke dalam api”

“Jadi kita tidak akan berbuat apa-apa?” bertanya salah seorang dari pengikutnya.

“Jangan bodoh. Dengan demikian, padepokan itu akan merupakan sasaran yang baik bagi kita. Kita akan menyerang padepokan itu dan menghancurkannya”

“Besok pagi?” bertanya yang lain.

“Sesudah para prajurit meninggalkan padepokan itu” Jawab Ki Dukut.

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka merasakan satu sentuhan harapan untuk dapat melepaskan dendam mereka. Di padepokan itu hanya akan ditunggui para cantrik yang pada umumnya belum memiliki kemampuan bertempur.

“Sekarang kalian dapat beristirahat” berkata Ki Dukut, “besok kita akan mengerahkan kemampuan kita. Padepokan kecil itu akan menjadi karang abang. Mayat para cantrik dan pemimpin padepokan yena sombong itu pun akan terbakar bersama padepokan mereka”

Seperti yang didengar Ki Dukut Pakering, maka prajurit aan para pangawal dari Kediri itu telah bersiap-siap untuk kembali ke Kediri pada pagi hari berikutnya bersama Pangeran Kuda Padmadata, Mahendra, Mahisa Bungalan dan kedua adik-adiknya.

Namun atas berbagai macam pertimbangan, karena masih ada beberapa prajurit yang terluka dan beberapa orang tawanan, maka Pangeran Kuda Padmadata memutuskan, ada beberapa orang prajurit dan pengawal yang akan tinggal melayani kawan-kawannya yang terluka sambil mengawasi tawanan yang masih ada di padepokan itu.

Ketika fajar menyingsing, padepokan itu telah menjadi sibuk. Ketika semua parsiapan telah selesai, maka iring-iringan itu pun siap meninggalkan padepokan itu menuju ke Kediri.

“Jangan lengah,” pesan Pangeran Kuda Padmadata meskipun ia sendiri ikut serta dalam iring-iringan itu, “Yang pernah terjadi menjadi pengalaman yang tidak boleh terulang lagi”

Demikianlah, maka Pangeran Kuda Padmadata serta mereka yang akan kembali ke Kediri itu pun segera minta diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya tidak ingin segera kembali. Tetapi karena ayahnya menjanjikan bahwa setelah mereka sampai ke Kediri, maka akan kembali lagi untuk melakukan pemburuan yang besar, maka mereka pun telah bersedia ikut pula.

Dengan penuh kewaspadaan iring-iringan itu menyusuri jalan persawahan menjauhi padepokan kecil itu menuju ke Kediri. Seperti yang pernah dilakukan, maka iring-iringan itu pun semakin lama semakin mendekati lembah yang telah dipergunakan sebagai perangkap oleh Ki Dukut Pakering.

Tetapi iring-iringan yang dipimpin oleh Pangeran Kuda Padmadata itu tidak berjalan kaki seperti yang telah terjadi. Karena mereka tidak membawa tawanan, maka iring-iringan itu pun melaju di atas punggung kuda.

Ki Dukut Pakering dan beberapa pengiringnya, sengaja ingin membuktikan, apakah benar di dalam iring-iringan itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga orang-orangnya menyebutnya memiliki ilmu iblis. Dari jarak yang cukup, Ki Dukut pun melihat iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin dekat.

“Mereka lebih cepat sampai ke tempat ini” desis Ki Dukut yang dikenal oleh orang-orangnya bergelar Rajawali Penakluk.

“Mereka berkuda” desis yang lain.

“Ya. Mereka tidak membawa seorang tawanan pun, karena mereka telah kita bebaskan. Mungkin masih ada satu dua orang yang tertawan dan luka-luka, tetapi itu sudah tidak berarti sama sekali”

Pengikutnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Dukut memperhatikan dengan seksama, siapakah orang-orang yang disebut memiliki ilmu iblis itu.

Jantungnya berdesir ketika ia melihat Pangeran Kuda Padmadata berada di dalam iring-iringan itu. Tahulah Ki Dukut Pakering, bahwa permusuhannya dengan muridnya itu benar-benar telah mencengkam sampai kedasar jantung. Ia sendiri dan muridnya itu tidak akan dapat lagi menemukan jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka, karena pertentangan diantara mereka justru semakin lama menjadi semakin dalam.

Di sisi Pangeran Kuda Padmadata berkuda seorang anak muda yang pernah dikenal pula oleh Ki Dukut, telah membuat Ki Dukut semakin berdebar-debar. Bahkan diluar sadarnya ia mengumpat, “Gila. Agaknya iblis-iblis itulah yang telah menghancurkan orang-orangku. Kenapa tiba-tiba saja mereka berada di padepokan itu? Apakah mereka mengetahui bahwa aku berada di tempat ini?”

Namun Ki Dukut pun mengetahui, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tentu mengenal pengikutnya yang paling setia, yang telah terbunuh di padepokan itu.

“Dengan demikian, maka Pangeran itu tentu mengetahui, bahwa aku berada di sekitar tempat ini. Dan agaknya Pangeran itu pun mengetanui bahwa akulah yang telah mencegat prajurit dan pengawal Kediri yang membawa tawanan melalui lembah itu” berkata Ki Dukut di hatinya pula.

Dalam pada itu, iring-iringan itu melaju tanpa mengalami gangguan apapun juga. Pangeran Kuda Padmadata yang mengharap dapat bertemu dengan gurunya, menjadi kecewa, bahwa pasukan yang mencegat itu tidak melakukannya lagi. Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tetap berhati-hati. Mungkin pasukan yang diduganya dipimpin oleh Ki Dukut itu telah mengambil tempat yang lain.

Namun ternyata bahwa Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu hanya memandangi saja pasukan yang lewat, karena ia telah mempunyai rencana yang lain. Ketika iring-iringan itu menjadi semakin jauh. maka Ki Dukut itu pun tertawa sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu atas padepokan kecil itu”

Para pengikutnya pun tertawa. Seseorang yang pernah tertawan di padepokan itu pun berkata, “Ada beberapa orang yang memiliki ilmu iblis. Selain yang disebut Pangeran itu ada pula beberapa anak muda yang gila diantara mereka dan seorang tua. Tetapi agaknya masih ada satu dua orang yang tertinggal di padepokan”

“Ada beberapa orang mereka semuanya?” bertanya Ki Dukut.

Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak tahu pasti”

“Yang lewat bersama mereka, para prajurit dan pengawal itu ada beberapa?” bertanya Ki Dukut pula.

“Lima atau enam. Aku kurang pasti” jawab orang itu, “Agaknya semuanya telah kembali ke Kediri. Mungkin masih ada satu dua orang prajurit dan pengawal yang mengawasi para tawanan yang terluka. Tetapi itu tidak akan berarti apa-apa” desis Ki Dukut Pakering.

Dengan demikian, maka Ki Dukut telah mengambil satu keputusan untuk menyerang padepokan kecil yang telah di tinggalkan oleh para prajurit dan pengawal dari Kediri. Beberapa orang yang telah mendapat tempaan yang keras telah dibebaskan. Bersama dengan pengikatnya dalam jumlah yang besar, maka Ki Dukut Pakering yang dikenal sebagai Rajawali Penakluk itu merencanakan untuk melumatkan sama sekali padepokan yang telah dianggapnya menantang dan bahkan berkhianat itu.

Ketika Ki Dukut kemudian kembali ke sarangnya, maka ia pun segera menghimpun orang-orangnya. Memilih yang terbaik diantara mereka. Namun ia tidak mengabaikan pula jumlah yang akan dibawanya, sehingga semuanya sudah meyakinkannya, bahwa ia akan dapat menghancurkan padepokan itu.

“Kita tidak tergesa-gesa seperti saat kita menjebak iring-iringan itu” berkata Ki Dukut, “padepokan itu tidak akan pergi kemana-mana. Sedangkan iring-iringan pasukan itu harus diperhitungkan tempat dan waktu yang tepat, agar kita tidak terlambat”

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka pun mengerti, bahwa mereka dapat melangkah dengan perhitungan yang lebih cermat.

“Kita dapat berlaku sebagai seekor kucing terhadap seekor tikus” berkata Ki Dukut, “kita kepung padepokan itu. Kita akan menakut-nakuti mereka, sebelum kita berbuat sesuatu. Jika mereka semuanya telah menggigil ketakutan untuk beberapa lamanya, maka barulah kita memasuki padepokan itu. Mereka tentu akan mati membeku dengan sendirinya sebelum kita berbuat apa-apa”

Para pengikutnya tertawa. Agaknya memang menyenangkan. Setelah mereka dicengkam oleh ketegangan beberapa saat lamanya, maka mereka akan menyaksikan sesuatu yang akan sangat menyenangkan. Bermain-main dengan perasaan takut orang lain. Kemudian dengan sekehendak hati memperlakukan mereka yang sadang ketakutan itu.

“Kapan kita akan mulai” tiba-tiba seseorang tidak sabar lagi.

“Jangan tergesa-gesa” desis Ki Dukut.

“Sekarang kita dapat mulai” berkata yang lain.

Kita Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu tertawa. Ia menemukan cara yang paling baik untuk membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri bagi anak buahnya yang hampir saja menjadi putus asa dan kehilangan harapan. Bahwa mereka merasa diri mereka menang ketika mereka berhasil membebaskan kawan-kawan mereka, meskipun dengan korban yang sangat banyak, Ki Dukut sudah mulai berharap bahwa orang-orangnya itu akan bangkit. Cara yang akan menyenangkan pengikutnya menghadapi padepokan itu pun akan dapat mempertebal gairah perjuangan mereka.

“Sasaran utamaku adalah Kasang Jati” gumam Ki Dukut Pakering.

Dalam pada itu, maka Ki Dukut Pakering pun telah mempersiapkan pasukan yang kuat. Mereka yang tidak terpilih untuk ikut serta, merasa sangat kecewa. Rasa-rasanya mereka tidak akan dapat ikut melihat satu pertunjukkan yang akan sangat mengesankan dan jarang kali dapat dijumpainya pada waktu mendatang.

“Tentu tidak semuanya” berkata Ki Dukut, “sebagian dari kalian harus menunggui kekayaan yang telah kita kumpulkan. Meskipun untuk daerah yang luas, kita telah bersatu dan tidak akan saling mengganggu, tetapi masih perlu ada pengawasan atas segalanya yang telah kita kumpulkan”

Betapa perasaan kecewa mencengkeram jantung, tetapi mereka harus patuh. Tinggal di barak bersama beberapa orang tanpa berbuat sesuatu. Agaknya para pengikutnya tidak sabar untuk menunggu sampai hari berikutnya. Agar tidak mengecewakan, maka Ki Dukut pun kemudiain mempersiapkan pasukannya dan memberi tahukan kepada mereka,

“Sebaiknya hal ini kita lakukan di siang hari. Mereka akan dapat melihat kekuatan kita. Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan, sementara kita hanya duduk-duduk saja melingkari padepokan itu”

“Malam nanti kita berangkat” berkata seseorang, “ketika pagi-pagi mereka terbangun, maka mereka akan melihat bahwa padepokan mereka telah terkepung. Sebagian dari mereka tentu akan segera jatuh pingsan. Kita akan mengepung mereka tiga hari tiga malam, agar mereka merasakan ketakutan untuk waktu yang cukup sebelum jiwa mereka kita renggut dari batang tubuhnya”

Yang terdengar adalah suara tertawa berkepanjangan sambil teriak-teriakan gembira. Bahkan beberapa orang berteriak, “Setuju sekali dengan cara itu. Kita akan mendapat permainan yang menyenangkan”

Seperti yang direncanakan, maka Ki Dukut pun telah membawa pasukannya mendekati padepokan kecil itu, dan mereka pun segera mengatur diri, mengepung padepokan itu. Kini sebagian terbesar dari mereka berada di depan padepokan. Beberapa orang sudah mendapat tugas untuk mengawasi setiap pintu butulan dan sudut padepokan, agar tidak seorang pun yang sempat melarikan diri.

Dengan gembira para pengikut Ki Dukut itu berharap, agar pagi segera terbit. Mereka seolah-olah tidak sabar lagi menunggu, isi padepokan itu menjadi ketakutan dan menggigil sambil memohon ampun.

“Tetapi tidak ada ampun. Mereka akan mati dalam keadaan yang paling pahit” berkata salah seorang dari mereka.

“Kami akan membunuh mereka dengan perlahan-lahan” berkata yang lain.

“Apapun dapat kita lakukan. Jika kita mengepung mereka tiga hari tiga malam, maka sebagian mereka tentu sudah mati dengan sendiri dalam keadaan yang sangat ketakutan”

Orang-orang itu tertawa. Mereka sama sekali tidak mengekang diri, seperti sepasukan prajurit yang dengan diam-diam mengepung benteng lawan. Tetapi mereka seolah-olah telah dengan sengaja menunjukkan kepada orang-orang di dalam dinding padepokan itu, bahwa mereka telah datang.

Para penjaga regol di padepokan itu pun akhirnya mendengar kegaduhan di luar meskipun tidak terlalu dekat. Tetapi mereka tidak segera dapat mengetahui, apakah yang telah terjadi. Seorang dari antara mereka telah memasang tangga, untuk melihat, siapakah yang berada di luar dinding. Dari sisi gapura, seseorang menjenguk keluar. Tetapi gelapnya malam masih belum dapat ditembusnya dengan tatapan mata.

“Siapa?” bertanya kawannya., “Tidak tahu” jawab yang memanjat, “aku tidak melihat dengan jelas, tetapi aku kira sekelompok orang yang tidak kita kenal berada di depan padepokan ini”

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing” sahut yang lain, “kita akan segara melihat. Namun mungkin sukali sebelum fajar telah terjadi sesuatu atas padepokan ini”

“Jadi, apakah yang akan Kita lakukan? Memukul tanda bahaya?” bertanya kawannya.

“Belum tentu. Aku akan melaporkan saja kepada kawan-kawan agar mareka bersiaga”

Salah seorang dari para cantrik yang berjaga-jaga di regol itu pun segera pergi ke barak. Ia membangunkan beberapa orang kawannya dan mengatakan apa yang diketahuinya.

“Kau sudah melaporkannya kepada pemimpin kita dan para tamu itu” bertanya seorang cantrik.

“Belum” jawab kawannya, “kukira masih belum perlu sebelum kita yakin, apa yang terjadi”

Beberapa orang cantrik itu pun telah bersiaga. Bahkan kemudian dua orang putut Yang memimpin para cantrik itu pun telah terbangun pula. Ternyata keduanya pun berpendapat, bahwa sebaiknya, mereka tidak usah melaporkannya lebih dahulu, karena mereka masih belum jelas mengetahui persoalannya.

“Kita sajalah yang berjaga-jaga” berkata kedua orang putut itu kepada para cantrik yang telah terbangun.

Para cantrik yang telah terbangun itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka sadar, bahwa mereka masih belum memiliki dasar yang cukup. Tetapi kemenangan yang pernah mereka saksikan di padepokan itu, telah membuat hati mereka berkembang. Beberapa orang di antara mereka pun kemudian berpencar. Namun mereka pun telah bersiap dengan tanda tanda siasat apabila keadaan menjadi semakin gawat.

Dengan diam-diam, para cantrik itu duduk bersandar dinding di beberapa bagian halaman padepokan mereka. Satiap kelompok telah tersedia sebuah kentongan kecil yang setiap saat dapat mereka bunyikan.

Tetapi ternyata menjelang pagi, tidak terjadi sesuatu atas padepokan itu. Namun demikian gelap malam terkuak maka seseorang di antara para cantrik yang memanjat tangga di sebelah regol itu pun segera melihat, bahwa padepokan mereka telah dikepung.

Cantrik itu memang benar-benar hampir saja menjadi pingsan. Namun dengan kata-kata gagap, ia masih sempat menceriterakan kepada kawan-kawannya, apa yang telah dilihatnya.

“Kau tidak bermimpi?” bertanya salah seorang putut.

“Kau lihatlah sendiri” berkata cantrik itu.

Seorang Putut yang terbaik di antara kawan-kawannya itu pun kemudian memanjat tangga di sebelah regol. Ternyata ia pun melihat, beberapa kelompok orang sedang duduk-duduk berpencar di depan padepokan. Sedang beberapa yang lain tersebar mengelilingi padepokan itu.

“Kita benar-benar menghadapi bahaya yang gawat” katanya bersungguh-sungguh.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan?” bertanya seorang cantrik.

“Bukan kita yang mengambil keputusan. tetapi pimpinan padepokan ini” jawab putut itu.

Putut itu pun dengan tergesa-gesa telah menemui pemimpin padepokannya yang telah bangun pula dan membersihkan diri. Laporan itu memang mengejutkannya, Namun ia pun berusaha untuk tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Ketika ia masuk ke ruang dalam, dilihatnya seorang cantrik yang lain sedang mencarinya.

“Ada apa?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Nampaknya mereka sedang bersiap sekarang. Mungkin mereka sudah akan mulai bergerak” berkata cantrik itu.

“Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan” perintah pemimpin padepokan itu, “bagaimanapun juga, kita harus mempertahankan padepokan ini sejauh dapat kita lakukan”

Para cantrik itu kembali kepada kawan-kawannya. Atas perintah pemimpin padepokan itu, maka semua orang yang berada di dalam lingkungan padepokan itu telah mempersiapkan diri. Para cantrik, para pembantu yang setiap hari juga berada di padepokan itu, meskipun mereka bukan cantrik yang dengan sengaja menyadap ilmu kanuragan dan kajiwan.

“Dendam mereka telah membakar jantung” berkata pemimpin padepokan itu, “karena itu, kita justru harus bersikap jantan. Jika kita menyerah, maka leher kita akan mereka patahkan. Tetapi jika kita melawan, seandainya kita akan mati juga namun kematian kita adalah kemati seorang laki-laki”

Kata-kata itu telah menumbuhkan gairah perjuangan bagi para cantrik yang semula merasa cemas menghadapi perkembangan keadaan. Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu pun segera menemui Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu yang masih tinggal. Ia pun segera menyampaikan, apa yang telah terjadi diluar dinding padepokan.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia menyadari, betapa keadaan memang menjadi gawat. Karena itulah, maka ia pun segera memanggil beberapa orang prajurit yang masih tinggal untuk membantu kawan-kawan mereka yang terluka dan mengawasi beberapa orang tawanan yang tidak sempat melarikan diri, namun yang justru telah terluka pula.

“Kita menghadapi keadaan yang gawat” berkata Mahisa Agni.

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Jumlah mereka memang terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang yang dilaporkan berada di luar dinding. Tetapi mereka mempunyai kemampuan untuk mempertahankan, diri. Sementara di antara mereka terdapat para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu kecil.

“Bersiaplah” berkata Mahisa Agni, “sisihkan kawan-kawanmu yang terluka, dan simpanlah para tawanan baik-baik”

“Sebagian dari kawan-kawan yang terluka, masih mampu bertempur pula” berkata pemimpin prajurit dan pengawal yang ditinggal di padepokan itu.

“Jangan paksa mereka” berkata Mahisa Agni, “dengan demikian, maka luka-luka yang sudah akan berangsur baik akan menjadi parah lagi”

“Tetapi itu masih lebih baik daripada kita harus menyerahkan leher kita” jawab pemimpin prajurit itu.

“Meskipun demikian, kalian dapat memperhitungkan, siapakah yang akan dapat turun ke arena, dan siapa yang harus tetap tinggal diam” berkata Mahisa Agni kemudian.

Pemimpin prajurit dan pengawal itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian meninggalkan Mahisa Agni dan menemui kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah agar mereka bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Agak berbeda dengan para cantrik, meskipun para prajurit dan pengawal itu menjadi berdebar-debar juga, namun mereka sudah cukup terlatih dan ditempa badani dan jiwani menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, mereka masih nampak selalu tenang.

Beberapa orang yang terluka, yang merasa dirinya sudah berangsur baik, telah bertekad untuk ikut serta mempertahankan padepokan itu dengan senjata di tangan. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin prajurit dan pengawal itu, bahwa bertempur akan jauh lebih baik dari pada menyerahkan leher tanpa perlawanan apapun.

“Aku akan membubuhkan obat yang cukup pada lukaku, agar darah tidak lagi mengalir dari luka itu meskipun aku harus bertempur sambil mengerahkan tenaga” berkata salah seorang dari antara mereka.

Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal pun segera bersiap. Yang terluka telah mencoba untuk menjaga luka-luka mereka sebaik-baiknya. Sementara orang yang mereka anggap sebagai tawanan dan terluka pula, telah mereka singkirkan.

“Kami terpaksa mengikat kalian” berkata seorang pengawal.

Dalam pada itu, maka di dalam dinding padepokan itu, para putut, para cantrik, para pengawal dan prajurit pun telah bersiaga sepenuhnya. Mereka menunggu, orang-orang yang mengepung di luar dinding itu akan segera menyerang.

Tetapi ternyata Ki Dukut Pakering tidak segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang. Mereka justru berada di luar dinding dengan tingkah laku yang aneh. Mereka makan, minum dan bergembira, seolah-olah mereka tidak sedang menghadapi dinding padepokan yang akan dihancurkannya.

“Tentu tikus-tikus itu menjadi gelisah dan ketakutan” berkata orang-orang itu, “kita akan menunggui mereka sampai tiga hari tiga malam. Pada hari keempat, mereka telah membeku karena ketakutan dan kecemasan”

Karena itu, di hari pertama itu, yang mereka lakukan justru sekedar menarik perhatian. Kegelisahan orang-orang yang berada di dalam dinding padepokan menjadi semakin menghunjam ke dasar jantung. Satu dua di antara mereka yang sempat menjenguk mereka dari atas tangga merasa betapa orang-orang yang mengepung mereka itu telah memastikan, bahwa mereka akan dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Mereka dapat melakukan kapan saja sesuai dengan keinginan mereka.

Kadang-kadang terdengar suara tertawa meninggi di antara gurau yang kasar. Bahkan sekali-sekali satu dua orang yang berada di luar dinding itu telah melemparkan satu dua butir batu kearah padepokan diiringi suara tertawa berkepanjangan. Tingkah laku mereka benar-benar membuat para cantrik menjadi kecut. Hati mereka kuncup semakin kecil. Setiap kali mereka bagaikan terhenyak ke dalam sebuah mimpi yang paling buruk.

“Tetapi bukan sekedar mimpi” desis seseorang, “ketika ia memanjat dinding dan melihat keluar, ternyata yang selalu mengelisahkan itu masih ada. Memang bukan sekedar mimpi yang akan segera hilang jika mereka terbangun.

Di hari pertama, para cantrik dengan gelisah mencoba untuk mendapatkan penjelasan dari putut yang lebih tua dari mereka. Namun putut-putut itu pun sama sekali tidak dapat memberikan penjelasan, selain pesan, agar mereka selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika matahari kemudian turun di ujung Barat, kegelisahan pun menjadi semakin memuncak. Seisi padepokan itu memperhitungkan,, bahwa apabila malam turun maka orang-orang itu akan menyerang padepokan yang mereka anggap terlalu lemah itu.

“Kita akan memasang obor di segala sudut, “berkata putut yang tertua, “dengan demikian, kita akan dapat mengamati keadaan sebaik-baiknya. Kita akan dapat mengamati keadaan orang yang memanjat dan meloncat turun di halaman”

“Itu akan menghahiskan minyak” desis seorang cantrik.

“Tetapi itu lebih baik” jawab Putut itu, “besok kalian akan memanjat kelapa sebanyak-banyaknya. Kita akan membuat minyak kelapa yang cukup selain kita harus mengumpulkan biji jarak, kelenteng randu dan apa pun yang dapat kita krengseng menjadi minyak”

Para cantrik tidak membantah. Bagaimanapun mereka menghargai minyak kelapa yang dapat mereka pergunakan untuk kepentingan dapur, namun dalam keadaan yang gawat mereka tidak dapat menyimpannya saja.

Karena itulah, maka para cantrik telah membuat obor-obor kecil yang akan mereka pasang dibeberapa tempat di sudut-sudul halaman. Dengan tangkai-tangkai panjang, mereka menempatkan obor-obor kecil itu di dekat dinding, agar mereka dapat mengawasi setiap kemungkinan seseorang meloncat masuk.

“Tidak perlu dengan obor-obor itu” desis Mahisa Agni yang melihat seorang cantrik memasang obor.

“Tetapi putut-putut itu memerintahkannya” jawah cantrik itu.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi karena-perintah itu telah diberikan, maka ia tidak mencegahnya lagi. Bagi Mahisa Agni dan para prajurit dan pengawal, lampu-lampu obor itu memang tidak perlu. Tetapi mereka harus langsung mengawasi setiap jengkal dinding padepokan semalam suntuk, meskipun berganti-ganti.

Demikianlah, ketika gelap malam mulai turun, maka beberapa obor telah dinyalakan. Meskipun tidak terlalu terang, tetapi cahaya obor itu memang dapat menerangi bibir dinding padepokan, sehingga jika ada satu dua orang yang meloncat turun ke halaman, maka orang itu akan segera dapat dilihat.

Sementara itu beberapa orang cantrik telah membagi diri dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh para putut di padepokan itu. Selain daerah pengawasan, mereka pun telah menentukan saat-saat mereka berjaga-jaga. Para cantrik telah membagi malam menjadi tiga kerat waktu. Namun meskipun mereka yang tidak sedang bertugas, para cantrik itu harus berada di tempat yang telah ditentukan dengan senjata masing-masing.

Selain para cantrik, maka para pengawal dan prajurit telah menentukan waktu dan tempat tersendiri. Dalam pada itu Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu akan selalu berada di pendapa untuk melihat setiap perkembangan yang terjadi, sementara pemimpin padepokan itu akan selalu mengelilingi padepokannya untuk memberikan dorongan gairah perjuangan bagi para cantrik dan putut yang sedang diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak.

Namun dalam pada itu, justru karena para cantrik, para prajurit dan pengawal harus berjaga-jaga sepenuhnya, maka perapian di dapur pun tidak pernah padam. Petugas-petugas yang khusus di dapur telah menyediakan air panas semalam suntuk agar mereka yang bersiaga tetap segar.

Dengan hati yang berdebar-debar para cantrik menunggu. Obor-obor yang menyala di sudut-sudut halaman dan hampir di seputar padepokan itu nyalanya mulai redup. Satu dua di antara obor-obor itu telah padam. Namun yang lain telah diisi lagi dengan minyak tanah, atau diganti dengan biji-biji jarak kering yang dirangkai dengan lidi. Tetapi biji-biji jarak itu tidak dapat mencapai waktu terlalu lama, sehingga harus diganti yang baru pula.

Menjelang pagi, kegelisahan para cantrik hampir tidak dapat ditahan lagi. Meskipun mereka yang sebenarnya mendapat kesempatan untuk tidur, ternyata sama sekali tidak dapai memejamkan mata, karena mereka cemas, bahwa tiba-tiba saja di dalam tidurnya, sehelai pedang telah menghunjam keperutnya.

“Tidurlah” berkata Mahisa Agni yang kemudian, memutari halaman itu bersama pemimpin padepokan, “jangan cemas”

Para cantrik itu memandang Mahisa Agni dengan sorot mata penuh kebimbangan. Seolah-olah mereka ingin menyaksikan, apakah yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu benar.

Mahisa Agni dapat menangkap keragu-raguan itu. Karena itu. maka katanya, “Beristirahatlah. Biarlah para pengawal dan prajurit sajalah yang berjaga-jaga menjelang pagi. jika orang-orang itu ingin bertempur di dalam kegelapan malam, mereka tentu sudah menyerang. Bukan saat seperti ini, karena sehentar lagi, matahari sudah akan terbit”

Para cantrik tidak menjawab. Dan Mahisa Agni pun meneruskan, “Tetapi jika kalian sama sekali tidak beristirahat, maka jika nanti matahari terbit, dan orang-orang itu datang menyerang, kalian sudah kehabisan tenaga untuk melawan”

Para cantrik itu saling berpandangan. Sementara Mahisa Agni berkata terus, “Para pengawal dan prajurit sudah terlatih untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Meskipun demikian, mereka pun telah membagi diri pula, sehingga masing-masing akan sempat beristirahat, jika keadaan menjadi gawat, maka mereka akan memukul kentongan, dan kalian akan segera terbangun”

Para cantrik itu masih ragu-ragu. Namun pemimpin padepokan itu pun menegaskan, “Percayakan pengamatan padepokan ini kepada para prajurit, pengawal dan kami”

Penegasan itu membuat para cantrik agak tenang. Karena itu, mereka pun segera mencari tempat yang paling haik untuk beristirahat. Bahkan ada di antara mereka yang tidur di tempat yang tersembunyi.

“Kenapa kau tidur disitu?” bertanya kawannya.

“Disini aku merasa aman. Seandainya dengan cepat sekali orang-orang itu memasuki halaman padepokan, mereka tidak segera dapat menemukan aku. Dengan demikian, aku akan sempat terbangun dan memberikan perlawanan. Meskipun aku akan mati juga, tetapi aku sudah melawan” berkata cantrik itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian berusaha, untuk mendapat tempat yang paling baik pula menurut perhitungan mereka. Ternyata para cantrik itu tidak menyadari, berapa lamanya mereka tertidur oleh telah dan kantuk, justru karena tempat mereka tersembunyi, maka kawan-kawannya yang lain tidak segera melihat mereka dan membangun kan ketika matahari sudah memanjat naik tanpa terjadi sesuatu.

Baru ketika terasa udara menjadi semakin panas, mereka telah terhangun dengan sendirinya. Namun mereka mengumpat ketika mereka sadar, bahwa matahari telah naik sepenggalah.

“Kau tidak mau membangunkan aku” geramnya ketika ia bertemu dengan kawannya yang melintas dengan pedang dilamhung.

“Kau tidur di mana?” bertanya kawannya itu.

Tetapi cantrik itu tidak menjawab. Ia pun kemudian langsung menuju kepakiwan. Namun agaknya ada juga satu dua orang yang baru saja terbangun pula.

Ternyata bahwa orang-orang yang berada di luar dinding itu sama sekali belum berbuat sesuatu. Mereka masih duduk-duduk saja sambil bergurau dan mengumpat- mengumpat. Dengan sengaja mereka berteriak-teriak agar suara mereka dapat di dengar dari dalam dinding. Seorang cantrik yang menjenguk mereka dengan memanjat tangga melihat, bahwa mereka telah membuat perapian untuk merebus air dan menanak nasi.

“Gila” geram cantrik itu, “apakah-sebenarnya yang ingin mereka lakukan”

Kawan-kawannya tidak dapat menjawab. Namun setiap cantrik di dalam padepokan itu merasa, betapa kegelisahan semakin mencengkam dada mereka. Seolah-olah berada di ambang pintu bilik hantu yang sangat menakutkan.

“Mereka membuat kita di sini hampir gila” berkata seorang cantrik kepada kawannya.

“Ya. Agaknya mereka memang dengan sengaja berbuat demikian sehingga akhirnya mereka akan dengan sangat mudah membinasakan kita” desis seorang putut.

Para cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengusir ketegangan yang mencengkam hati. Meskipun para prajurit dan pengawal masih tetap tenang, tetapi sebenarnyalah hati mereka pun mulai dirayapi oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Setiap kali mereka mendengar teriakan-teriakan dan suara tertawa yang meledak, jantung mereka rasa-rasanya akan pecah oleh kemarahan yang meluap.

Tetapi para prajurit dan pengawal masih dapat menahan diri. Mereka masih tetap tenang biarpun hati mereka bergejolak dan dengan seksama mengikuti perkembangan keadaan. Satu dua di antara mereka pun sudah menjenguk lewat tangga di sebelah gerbang untuk mengamati apa yang dilakukan oleh-orang yang herada diluar dinding. Di siang hari yang terik, orang-orang yang mengepung padepokari itu telah berkerumun di bawah bayangan pohon rindang. Mereka berbaring sambil berkelakar. Ada yang berdendang dengan suara parau, dan bahkan ada yang berteriak-teriak tanpa arti.

“Nampaknya ada juga kejemuan di hati mereka” desis seorang prajurit.

“Tentu. Mereka pun tentu akan merasa jemu. Namun jantung mereka tidak terasa setegang kita di sini, karena mereka dapat menentukan, apa yang akan mereka lakukan. Agak berbeda dengan kita. Kejemuan yang paling mencengkam adalah, bahwa kita harus menunggu, apa yang akan mereka lakukan atas kita” jawab kawannya.

Yang lain mengangguk-angguk. Mereka benar-benar menjadi tegang, gelisah dan juga kamarahan yang tertahan. Tetapi tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu dengan jantung yang berdentangan semakin cepat. Para cantrik yang gelisah, setiap kali telah memanjat tangga dan manjenguk orang-orang yang berada di luar dinding. Mereka masih saja berpencar dan berteduh di bawah bayangan pepohonan.

“Beruntunglah bahwa mereka tidak menyerang kita sekarang” seorang prajurit yang terluka berdesis

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Jika mereka menyerang kemarin saat matahari terbit, atau pagi-pagi tadi, maka lukaku tentu masih terasa sakit. Tetapi ternyata aku masih mempunyai waktu untuk menyembuhkan luka-lukaku. Kini lukaku sudah berangsur baik. Malam nanti, dan besok pagi, aku sudah dapat bertempur seperti sebelum aku terluka” jawab prajurit yang terluka itu.

Para prajurit dan pengawal yang lain pun mengiakannya. Seorang yang terluka di lambung berkata, “Jika aku mendapat kesempatan sampai besok saja. maka aku sudah siap untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Lukaku tidak akan mengganggu aku lagi”

“Ternyata mereka bodoh” berkata yang terluka di pundak dan punggung, “aku pun merasa sudah sembuh sama sekali sekarang. Apa lagi waktu yang satu malam lagi”

Para pemimpin dan prajurit yang tidak terluka dan di tinggalkan untuk mengawasi dan melayani mereka tidak membantah. Mereka pun sadar, bahwa para prajurit yang terluka itu sekedar menghibur diri dalam kejemuan yang mencengkam, meskipun sebenarnyalah bahwa waktu satu dua hari akan sangat berarti bagi mereka yang terluka itu.

Hari-hari yang menjemukan itu berlangsung sangat lamban. Para cantrik mengisi kejemuan itu dengan tingkah laku yang kadang-kadang nampak aneh. Namun para prajurit yang juga ingin mengisi waktunya telah mengajak para cantrik itu untuk berlatih olah kanuragan.

“Satu dua hari ini dapat kalian pergunakan sebaik-baiknya” berkata para prajurit, “kau akan dapat memperdalam cara kalian mempergunakan senjata. Meskipun hampir tidak berarti, tetapi daripada kalian duduk dengan gelisah”

Para cantrik dan putut itu pun melakukannya dengan penuh minat. Kecuali untuk mengisi waktu, mereka pun menganggap bahwa hal itu akan dapat beguna bagi mereka. Dalam kelompok-kelompok kecil para cantrik itu pun berlatih dengan sungguh-sungguh. Mereka ingin memperdalam pengetahuan mereka tentang jenis-jenis senjata mereka masing-masing.

Ternyata cara mereka mengisi waktu itu benar-benar dapat mengurangi kejemuan dan kegelisahan. Bahkan mereka mulai mengharap, agar orang-orang yang mengepung padepokan itu tidak segera menyerang, sehingga mereka akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk melatih diri.

Meskipun kemudian malam turun menyelubungi padepokan itu, namun para cantrik itu masih tetap berlatih dengan sungguh-sungguh. Menjelang malam mereka beristirahat sebentar untuk makan. Namun kemudian mereka pun mulai lagi dengan latihan-latihan meskipun para prajurit telah mendapat pesan, agar mereka tidak menghabiskan tenaga mereka dalam latihan-latihan itu.

“Jika kalian telah menjadi sangat letih, maka untuk benar-benar turun ke arena pertempuran, kalian telah kehabisan tenaga” berkata Mahisa Agni.

Dengan demikian, maka baik para prajurit, maupun para cantrik telah mematuhinya. Mereka berlatih sekedar untuk membiasakan gerak tangan dan kaki mereka tanpa memeras tenaga.

Ketika obor-obor sudah dipasang, maka latihan-latihan pun menjadi semakin susut. Beberapa orang mulai mengatur diri dalam kelompok-kelompok seperti malam sebelumnya. Mereka mulai lagi dengan pengawasan yang teliti di seputar padepokan. Tidak seorang pun boleh meloncat masuk.

Di saat keringat sudah kering, maka kegelisahan pun telah mulai merayapi hati para cantrik itu lagi. Sebenarnya mereka lebih senang berlatih menggerakkan senjata. Tetapi mereka pun menyadari, bahwa mereka tidak sebaiknya memeras tenaga mereka, sehingga mereka menjadi letih.

Dalam pada itu, kegelisahan pemimpin padepokan itu bukan saja karena mereka, harus menunggu saat-saat yang mendebarkan, apabila orang-orang yang mengepung padepokan itu datang menyerang. Namun pada satu saat, maka persediaan bahan mentah di padepokan itu akan menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya habis sama sekali. Meskipun di lumbung masih ada padi, tetapi jika persediaan garam dan kepentingan-kepentingan lain sudah habis, maka mereka akan mengalami kesulitan.

“Itu pun harus mendapat perhatian” berkata Mahisa Agni kepada pemimpin padepokan itu.

“Kita masih akan dapat bertahan dua hari lagi” berkata pemimpin padepokan itu, “selebihnya kita akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan garam”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Hal itu harus mereka perhatikan karena pada suatu saat pertempuran akan berkobar, mereka pun merasa gelisah pula setiap kali mereka masak di dapur, karena persediaan yang semakin tipis.

“Kita harus membicarakannya dengan sungguh-sungguh” berkata Mahisa Agni, “sebaiknyalah kita mengumpulkan para prajurit, pengawal dan para putut di padepokan ini. Aku akan memberikan sedikit persoalan yang akan dapat mereka pecahkan bersama”

Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan berbicara di pendapa sekarang juga”

Sejenak kemudian, maka para putut, prajurit dan pengawal telah berkumpul di pendapa. Yang tersisa di halaman adalah mereka yang bertugas dan para cantrik padepokan itu.

Mahisa Agni yang kemudian berbicara kepada para prajurit, pengawal dan putut itu pun menjelaskan, bahwa keadaan mereka akan menjadi semakin gawat.

“Bukan maksudku membuat kalian bertambah gelisah” berkata Mahisa Agni, “tetapi hal ini memerlukan pemecahan”

Para prajurit, pengawal dan putut di padepokan itu mendengarkan penjelasan itu dengan sungguh-sungguh. Namun mereka pun tidak melihat, jalan manakah yang paling baik dilalui untuk mengatasi kesulitan yang sungguh-sungguh itu.

Karena tidak ada seorang pun yang memberikan tanggapan, maka Mahisa Agni pun berkata, “Bagaimanakah jika aku mencoba untuk mencari jalan keluar”

Pemimpin padepokan itu memandanginya dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Bukankah itu yang kami tunggu-tunggu”

“Baiklah” berkata Mahisa Agni, “sudah sekian lama kami dicengkam oleh kegelisahan, kecemasan dan barangkali perasaan-perasaan lain di dalam hati kita karena orang-orang itu tiba-tiba saja telah mengepung kita. Kita tentu tahu pasti, siapakah mereka. Dan kita pun dapat membayangkan betapa besarnya kekuatan mereka. Tetapi kita pun bukan anak-anak yang hanya mampu merengek. Kita dapat berbuat sesuatu. Nah, kenapa kita tidak berbuat sesuatu untuk menghadapi mereka”

“Apakah yang kau maksud?” bertanya pemimpin padepokan.

“Selama ini kita dicengkam oleh ketegangan sambil menunggu, kapan orang-orang itu datang menyerang. Kenapa kita tidak mengambil sikap lain daripada sekedar menunggu. Misalnya, kenapa bukan kita saja yang menyerang mereka”

Pertanyaan itu bagaikan menghentak di setiap hati. Seorang perwira prajurit yang bertugas tinggal bersama beberapa orang kawannya dan para pengawal dengan serta merta menyahut, “Kita dapat melakukannya. Kita akan menyerang mereka justru di saat yang tidak mereka duga”

Kemungkinan itu ternyata telah menggerakkan hati setiap orang di pendapa itu. Karena itu, maka pemimpin padepokan itu pun berkata, “Aku kira hal itu dapat dipertimbangkan. Aku kira itu akan lebih baik daripada kita menunggu kelaparan di sini”

“Apakah ada yang menyatakan keberatan dengan pertimbangan yang lain?” bertanya Mahisa Agni.

“Kami sependapat” desis beberapa orang bersama-sama.

Mahisa Agni pun kemudian berpaling kepada Witantra dan Ki Wastu. Namun agaknya keduanya pun sependapat dengan rencana itu, sehingga keduanya mengangguk-angguk kecil. Dalam pada itu, Mahisa Agni pun berkata, “Jika semuanya telah setuju, maka biarlah kita segera bertindak. Kita tidak akan melangkah dengan lamban sekali seperti orang-orang itu. Tetapi kita akan melangkah dengan cepat”

“Kapan kita akan melakukannya?” bertanya pemimpin padepokan itu.

“Sebagian dari para cantrik memang kurang berlatih” berkata Mahisa Agni, “karena itu, maka lebih baik bagi kita untuk bertempur di siang hari. Karena itu, kita akan menunggu, apakah malam ini mereka akan menyerang atau tidak. Jika tidak, maka besok pagi-pagi menjelang matahari terbit, kitalah yang akan menyerang”

“Kenapa tidak sekarang?” bertanya perwira prajurit, yang tinggal di padepokan itu.

“Sebagian besar dari para cantrik belum terbiasa bertempur di malam hari. Bahkan di siang hari pun mereka masih akan banyak mengalami kesulitan” jawab Mahisa Agni.

Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka tidak mendahului kita. Kitalah yang akan menyerang mereka”

“Karena itu, biarlah para cantrik malam ini lebih banyak beristirahat. Kitalah yang akan mengawasi keadaan terus menerus. Kita akan dapat mengetahui, apakah persiapan mereka sudah sampai tingkat terakhir” berkata Mahisa Agni.

“Baiklah” berkata pemimpin para prajurit dan pengawal yang tinggal itu, “aku akan mengatur penjagaan malam ini”

Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal sudah mendapat perintah untuk, bersiap-sebaik-baiknya. Sementara itu, maka para cantrik pun diperintahkan untuk beristirahat seluruhnya.

“Meskipun demikian, jangan lengah. Kalian harus mendengarkan tanda sebaik-baiknya dengan cirinya masing-masing” berkata para putut, “nah, carilah tempat yang paling baik untuk tidur. Percayakan penjagaan malam ini kepada para prajurit dan pengawal.

Para cantrik itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena perintah itu nampaknya meyakinkan, maka mereka pun kemudian mencari tempat yang paling baik untuk tidur. Ada satu dua di antara mereka yang tidur di sebelah dapur. Tetapi ada pula yang tidur di bagian atas kandang.

Para prajurit dan pengawallah yang mengambil alih tugas penjagaan. Mereka pun harus membagi diri, sehingga mereka pun sempat beristirahat. Menjelang pagi mereka harus sudah bersiap untuk bertempur.

Justru karena pengawasan langsung dari sebelah regol, maka seisi padepokan itu merasa tenang untuk beristirahat. Orang-orang yang mengepung padepokan itu tidur berserakan, sementara beberapa orang di antara mereka sajalah yang berjaga-jaga di dekat perapian-perapian yang merekanyalakah untuk penghangat tubuh.

“Pasti bahwa mereka tidak akan menyerang malam ini” berkata seorang prajurit yang mengawasi mereka dari atas tangga.

Para prajurit dan pengawal yang lain pun percaya, seperti yang dikatakan oleh prajurit itu. Seseorang pengawal yang kemudian menjenguk pula, telah yakin, bahwa orang-orang itu justru tidak menghiraukan lagi kedudukan mereka yang sedang mengepung tempat lawan.

“Mereka menjadi lengah karena mereka merasa terlalu kuat” berkata seorang prajurit, “mudah-mudahan keadaan itu sampai pagi hari”

Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan padepokan dan kepada Mahisa Agni, maka Mahisa Agni pun telah memerlukan pula menjenguk mereka. Agaknya ia pun berkesimpulan serupa. Orang-orang itu menganggap bahwa di padepokan kecil itu sama sekali tidak ada lagi kekuatan yang akan dapat melindungi para penghuninya.

“Mereka menganggap kita terlalu lemah” berkata Mahisa Agni kemudian, “karena itu, beristirahatlah sebaik-baiknya sebelum pagi. Meskipun demikian, pengawasan harus berjalan terus”

Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin di padepokan itu pun ternyata sempat pula beristirahat. Mereka sempat tidur di ruang dalam. Namun mereka telah berpesan, bahwa para petugas jangan sampai lengah

“Meskipun nampaknya mereka tidur berserakan, tetapi dalam sekejap mereka telah mampu mempersiapkan diri untuk menyerang” berkata Mahisa Agni, “karena itu, jika kalian mendengar aba-aba yang dapat diartikan sebagai satu gerakan untuk menyerang, maka kalian harus segera melihat, apakah yang terjadi di luar. Seterusnya memberikan isyarat dengan kentongan”

Namun ternyata bahwa di luar padepokan itu tidak terjadi sesuatu. Orang yang mengepung padepokan itu masih saja tidur berserakan, sementara beberapa kelompok masih mengerumuni perapian yang menyala. Satu dua orang di antara mereka berjalan hilir mudik dari satu perapian keperapian yang lain. Betapapun juga, ternyata mereka pun masih merasa perlu untuk mengawasi keadaan.

Menjelang dini hari, maka Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin padepokan kecil itu telah bersiap-siap untuk melakukan rencana mereka. Mereka tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian, maka para cantrik akan menjadi semakin cemas dan ketegangan yang setiap hari mencengkam mereka, akan sangat mempengaruhi perasaan mereka.

Dengan hati-hati, Mahisa Agni memanggil pemimpin prajurit dan pengawal yang tinggal di padepokan itu. Bersamanya, telah dipanggil pula para putut padepokan itu. Dengan cermat mereka telah mendapat perintah dan pesan, apa yang harus mereka lakukan tanpa menimbulkan kegaduhan dan suara yang dapat menarik perhatian.

Demikianlah, dengan diam-diam maka para putut itu telah membangunkan para cantrik. Mereka telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Satu dua diantara mereka telah sempat mencuci muka di pakiwan untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Namun ketika mereka sadar, bahwa mereka akan bertempur, maka mereka pun telah menjadi berdebar-debar. Satu dua diantara mereka hampir menyatakan diri untuk menghindarinya dengan alasan apapun juga, karena bertempur itu akan dapat berakibat kematian.

Namun ketika mereka melihat para prajurit dan pengawal yang dengan penuh tekad telah bersiap pula. hati mereka menjadi kembang. Para prajurit dan pengawal itu bukan orang-orang yang paling berkepentingan dengan padepokan itu. Tetapi mereka tidak segan untuk melibatkan diri langsung ke dalam arena pertempuran.

Seperti yang diharapkan, persiapan itu sama sekali tidak menimbulkan keributan dan sama sekali tidak menarik perhatian. Semua pesan disampaikan kepada setiap pemimpin kelompok yang akan meneruskan kepada kelompok masing-masing.

“Dengan doa di dalam hati, kita akan melakukan kewajiban kita” berkata Mahisa Agni kepada para pemimpin kelompok yang akan meneruskan kepada kelompok masing-masing.

Dengan tertib Mahisa Agni pun kemudian mengatur jalan yang akan mereka lalui. Mereka semuanya tidak akan mengambil jalan pada pintu gerbang. Sebagian dari mereka akan keluar dari pintu-pintu butulan. Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Namun setelah melihat kesiagaan sepenuhnya, ternyata mereka lebih senang untuk ikut bertempur di luar padepokan dari pada harus tinggal sambil menunggu kemungkinan yang belum pasti akan terjadi.

“Sebagian dari para cantrik akan tinggal” berkata Mahisa Agni, “mereka harus menjaga padepokan ini. Adalah tugas kalian yang tinggal untuk melawan mereka. Kalian akan dibantu oleh para prajurit dan pengawal yang karena luka-lukanya tidak akan dapat bertempur di luar padepokan”

Tetapi mereka yang kemudian ditunjuk, tidak dapat ingkar lagi. Mereka harus tinggal bersama prajurit dan pengawal yang lukanya masih terlalu parah untuk ikut serta dalam pertempuran di luar padepokan.

Setelah semuanya selesai, maka para prajurit dan pengawal yang akan menjadi ujung pasukan, telah bersiap di beberapa pintu butulan dan pintu gerbang. Para cantrik yang sudah berada di dalam kelompoknya masing-masing itu pun telah bersiap pula di belakang para prajurit dan pengawal.

“Semua senjata harus telah disiapkan” para pemimpin kelompok masih memperingatkan.

Demikianlah ketika matahari mulai membayang di langit, Mahisa Agni sendiri telah menjenguk dari tangga di sebelah regol. Ia melihat, orang-orang yang berada di sekeliling padepokan itu sebagian tersebar telah bangun pula, meskipun masih ada satu dua di antara mereka yang berbaring dengan malasnya. Beberapa di antara mereka telah pergi ke sebuah mata air yang tidak terlalu jauh untuk mandi, sementara yang lain telah sibuk menanak nasi di atas perapian.

Di antara mereka, masih nampak beberapa orang yang bersiaga berjalan hilir mudik dengan senjata telanjang. Namun agaknya mereka sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orang di padepokan itu sedang merencanakan sesuatu yang akan sangat mengejutkan.

Setelah yakin akan keadaan lawan, maka Mahisa Agni pun kemudian membagi diri dengan Witantra dan Ki Wastu. menurut pendengarannya di antara orang-orang yang mengepung itu terdapat seorang yang disebut Rajawali Penakluk. Tetapi menurut Pangeran Kuda Padmadata, maka besar kemungkinannya, bahwa orang itu adalah Ki Dukut Pakering.

Sejenak kemudian, setelah semuanya siap, Mahisa Agni pun segera memberikan isyarat. Seseorang dengan cepat telah menarik selarak pintu regol dan pintu-pintu butulan. Serentak para prajurit yang ada di paling depan bersama para pengawal pun segera berlari menuju sasaran diikuti oleh para cantrik di belakang.

Ternyata hal itu benar-benar telah mengejutkan orang orang yang sedang mengepung padepokan itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa justru orang-orang di padepokan itulah yang keluar menyerang. Mereka menyangka, bahwa setelah hari-hari yang tegang itu, orang-orang di dalam padepokan kecil itu akan menjadi bingung, cemas, ketakutan dan akhirnya mereka akan menjadi putus-asa. Namun tiba-tiba mereka melihat satu kenyataan yang berlawanan sama sekali.

Para penjaga yang siap dengan senjata di tangan, segera berteriak memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Namun justru teriakan itu telah mengejutkan dan membuat mereka menjadi kebingungan. Namun, akhirnya mereka pun menyadari, bahwa mereka harus berbuat sesuatu. Berlari-larian mereka segera menempatkan diri. Yang sedang berada di perapian, segera meloncat meraih senjata masing-masing dan menariknya dari sarungnya. Sementara yang sedang mandi pun dengan tergesa-gesa telah mempersiapkan dirinya dan menggapai senjata masing-masing pula.

Tetapi kesiagaan yang tergesa-gesa itu ternyata mempengaruhi sikap dan ketahanan hati mereka. Ketika para prajurit dan pengawal mencapai tempat mereka, maka masih belum siap seluruhnya, sehingga pada benturan pertama, orang-orang yang mengepung padepokan itu telah terdesak. Para penjaga yang sudah bersiap sajalah yang dapat menyongsong para penyerang itu. Tetapi jumlah para penjaga itu tidak cukup banyak, sehingga mereka pun tidak banyak dapat berbuat.

Para cantrik yang berlari-larian di belakang para prajurit dan pengawal pun segera menyerang dengan senjata-senjata telanjang. Adalah satu kebetulan bahwa lawan mereka masih belum bersiap seluruhnya.

Pada benturan pertama, ternyata para penjaga telah dikejutkan oleh kesigapan para prajurit dan pengawal. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang cukup dalam olah senjata, sehingga karena itu, maka mereka pun segera terdesak pula. Bahkan karena mereka sebagian masih diliputi oleh kebingungan, maka satu dua telah jatuh korban di antara mereka yang mengepung padepokan itu.

Para cantrik yang sebenarnya merasa kekurangannya, justru ingin mempergunakan saat-saat lawan mereka masih lemah. Itulah sebabnya, mereka justru berbuat lebih garang. semata-mata karena usaha mereka untuk memperkecil kemungkinan yang paling pahit. Kecemasan merekalah yang telah mendorong mereka untuk bertingkah laku lebih garang dari para prajurit dan pengawal.

Tetapi, sebenarnyalah jumlah orang-orang yang mengepung padepokan itu lebih banyak dari para prajurit, pengawal dan para cantrik. Karena perhitungan itulah, maka para prajurit dan pengawal pun harus bergerak secepat-cepatnya. Jika lawan mereka sempat mengatur diri, maka kemungkinan yang sulit akan segera terjadi. Apalagi para prajurit dan pengawal itu mengerti, bahwa para cantrik masih belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi lawan yang ganas dan kasar itu.

Dalam pada itu, ternyata usaha para prajurit itu nampaknya akan berhasil. Mereka sempat membuat lawan mereka menjadi bingung. Mereka yang sedang dengan tergesa-gesa meninggalkan mata air telah disergap dengan tiba-tiba oleh para prajurit dan pengawal. Meskipun jumlah para prajurit dan pengawal itu jauh lebih sedikit, tetapi mereka lebih mapan sikap, sehingga karena itu, maka orang-orang yang sedang mandi pun menjadi kebingungan meskipun mereka telah berhasil menggapai senjata masing-masing.

Dalam saat yang pendek, maka para perampok dan penyamun yang menjadi pengikut Ki Dukut Pakering itu telah berjatuhan. Mereka kehilangan kesempatan untuk melawan. Mereka sadar akan keadaan ketika mereka telah terkapar dengan luka di tubuh mereka. Sejenak kemudian, tubuh-tubuh yang terluka telah berserakkan terbujur lintang. Meskipun para prajurit dan pengawal bukannya pembunuh-pembunuh yang kejam, namun meraka tidak dapat menghindarkan diri dari kemungkinan menghabisi jiwa lawannya di dalam pertempuran brubuh itu.

Tetapi lambat laun, para perampok dan penyamun itu pun sedikit demi sedikit mampu menyusun diri. Meskipun sebagian dari mereka telah terluka, tetapi jumlah mereka masih cukup memadai untuk bertempur melawan orang-orang padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Para perampok yang penyamun yang marah itu pun kemudian bertempur sambil berteriak-teriak dengan kasarnya. Mereka mengayunkan senjata mereka dengan sepenuh tenaga, serta mengacung-acung-kannya dengan garang.

Tetapi kemenangan-kemenangan kecil pada benturan pertama itu telah membuat hati para cantrik menjadi berkembang. Mereka tidak lagi dicengkam oleh ketakutan. Ternyata bahwa lawan mereka itu pun dengan mudah dapat dilukai dengan senjata. Karena itu, maka gairah mereka pun segera meningkat semakin tinggi. Apalagi serba sedikit mereka telah memiliki kemampuan menggerakkan senjata, sehingga mereka pun kemudian telah memutar senjata mereka pula di bawah pimpinan beberapa orang putut yang memang memiliki ilmu yang cukup.

Sementara itu, para prajurit dan pengawal yang terpencar di antara para cantrik telah mengambil tempat yang menguntungkan. Mereka tidak saja berada pada garis perang yang datar, tetapi beberapa orang diantara mereka justru berada di antara lawan mereka. Namun tidak kehilangan kesempatan mendapat jalan segera mendesak maju mengikuti jejak mereka.

Di antara para prajurit, pengawal putut dan cantrik terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat dibandingkan dengan mareka, maupun lawan-lawan mereka. Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin padepokan kecil itu telah mengambil tempatnya masing-masing. Mereka tidak hanya tinggal diam melihat pertempuran yang semakin seru itu. Tetapi mereka pun telah melibatkan diri mereka di dalamnya.

Tetapi mereka bukannya orang yang termasuk haus akan kematian. Karena itu, apa yang mereka lakukan pun bukannya sekedar tindakan pembunuhan. Mereka tidak berniat membunuh lawan sebanyak-banyaknya tanpa mengingat akibatnya.

Meskipun demikian, mereka pun bukannya tinggal diam melihat para perampok dan penjahat itu membunuh para cantrik. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk melindungi para cantrik dengan mendorong lawan-lawan mereka surut, bahkan kadang-kadang mereka terpaksa melukai dan menitikkan darah satu dua orang lawan, sakedar untuk memperlemah tekanan mereka.

Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu pun seolah-olah telah mengitari daerah pertempuran itu. Mereka bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Jika mereka melihat beberapa orang cantrik yang terdesak, sementara para prajurit dan pengawal masih sibuk melayani lawan mereka masing masing, maka mereka pun telah mendekat dan membantu para cantrik itu untuk mendesak lawannya.

Namun kematian-kematian memang sulit dihindarkan dalam pertempuran seperti itu. Mahisa Agni, Witantra dari Ki Wastu pun tidak dapat menghindarkan diri sepenuhnya dari langkah yang dapat mengakibatkan kematian.

Dalam pada itu, ternyata di antara para perampok dan penyamun itu terdapat seorang tua yang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Orang itu berusaha untuk dapat memperhatikan setiap sudut arena pertempuran. Karena itu, maka dengan diam-diam, ia bergeser dari satu sisi kesisi yang lain dari padepokan itu. Tetapi karena pertempuran yang paling seru terjadi di bagian depan dari padepokan itu, maka ia pun berada di tempat itu.

Sekilas ia melihat beberapa orang prajurit dan pengawal dari Singasari dan Kediri. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mereka ternyata mampu menggetarkan jantung para perampok dan penyamun yang garang itu.

“Gila” geram Ki Dukut, “aku ternyata masih tertipu juga. Masih ada beberapa prajurit Singasari dan pengawal dari Kediri yang berada di padepokan ini. Jumlah mereka ternyata masih cukup banyak untuk mempengaruhi keadaan. Tanpa mereka, maka para cantrik itu tentu akan segera menjadi bagaikan tebasan batang ilalang”

Ki Dukut itu pun menggeretakkan giginya. Dengan suara yang dalam ia berdesis kepada diri sendiri, “Aku harus memusnahkannya tanpa belas kasihan”

Namun sebelum Ki Dukut berbuat sesuatu, ia melihat pemimpin padepokan kecil itu. Dengan tangkasnya ia bertempur di antara para cantriknya. Bersama dua orang prajurit, ia berhasil menahan pengikut Ki Dukut yang siap menyapu para cantrik.

“Orang inilah yang lebih dahulu harus dimusnahkan” berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

Dengan cermat ia melihat dua orang prajurit Singasari yang bertempur bersama pemimpin padepokan itu untuk melindungi para cantrik. Dengan tersenyum hambar ia berkata, “Bersama dua orang prajurit itu, mereka tidak akan berdaya. Aku dapat membunuhnya tidak sampai sepenginang”

Tetapi sebelum ia bertindak, ternyata Ki Dukut itu terkejut. Ia melihat bayangan yang sepintas menyusup di antara dentang senjata. Seperti pemimpin padepokan itu, maka ketika orang itu berhenti di satu sudut pertempuran, maka ia pun telah bertempur untuk melindungi para cantrik. Dengan sebilah pedang pendek, ia mampu berbuat terlalu banyak di antara para cantrik.

“Siapakah orang itu” desis Ki Dukut di dalam hatinya.

Tetapi orang itu benar-benar telah mendebarkan jantung Ki Dukut. Orang itu mampu bertempur dengan sikap yang aneh. Sekali-sekali ia mendesak lawannya, namun kemudian ia seakan-akan telah menahan senjatanya.

“Apakah ia orang gila?” bertanya Ki Dukut di dalam hatinya, “ia mampu membunuh berapa orang saja yang dikehendakinya. Tetapi ia tidak melakukannya”

Ki Dukut memandang orang itu dengan debar di dadanya, orang itu lebih berbahaya dari pemimpin padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka Ki Dukut pun berkata di dalam hatinya, “Aku akan menyelesaikan orang itu lebih dahulu”

Karena itulah maka Ki Dukut pun kemudian dengan diam-diam mendekati orang itu, menyusup di antara orang-orangnya. Ketika orang itu bergeser ia pun mengikuti pula, sehingga akhirnya orang itu telah berada di arena pertempuran di sisi padepokan itu. Sejenak Ki Dukut menanti. Kemudian ia pun bergeser lagi. Ia ingin memancing perhatian orang itu. Katanya kepada diri sendiri, “Jika aku membunuh cantrik sebanyak-banyaknya, maka orang itu tentu akan datang kepadaku”

Karena itulah Ki Dukut pun menggeram. Dengan lantang ia berteriak sambil meloncat ke arena. Pada tangannya sudah tergenggam sebilah pedang yang siap untuk membantai cantrik-cantrik yang masih belum memiliki kemampuan yang cukup, apalagi berhadapan dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Suaranya memang telah menarik perhatian. Orang yang diikuti oleh Ki Dukut itu pun masih berjarak beberapa puluh langkah. Sementara Ki Dukut sempat untuk melakukan pembantaian agar lawan-lawannya menjadi ngeri dan terpengaruh. Namun demikian ia tampil di arena, maka tiba-tiba saja seorang yang juga bersenjata pedang telah menghampirinya. Bukan orang yang diharapkannya.

“Jangan menakut-nakuti anak-anak” desis orang itu, “siapakah kau sebenarnya? Apakah kau yang disebut Rajawali Penakluk?”

Pertanyaan itu datang beruntun, sehingga Ki Dukut tidak sempat untuk menjawab.

“Katakan, siapa kau sebenarnya” bertanya orang itu.

Ki Dukut menggeram. Dengan marah ia berkata, “Apakah kau sudah jemu hidup? Akulah Rajawali Penakluk, aku akan membunuh siapa pun yang berdiri di hadapanku. Jika kau tidak minggir, maka kau adalah orang yang pertama akan mati”

Tetapi orang itu tertawa. Pertempuran di sekitarnya tidak dihiraukannya lagi.

“Bailah” berkata Ki. Dukut, “kau akan mati. Para cantrik di sekitarmu akan mati. Aku ingin mengundang orang yang bersenjata pedang pendek itu. Agaknya ia memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Aku ingin menunjukkan kepada orang-orangku, bagaimana aku akan membunuhnya”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ia akan menangkapmu. Bukan kau yang akan membunuhnya”

“Persetan. Kalian belum mengenal, siapakah aku” geram Rajawali Penakluk itu.

Akan tetapi sambil tertawa orang yang berdiri di hadapannya itu menjawab, “Tentu kami mengenalmu. Kau adalah Rajawali Penakluk. Tetapi apakah bukan lebih menggetarkan jika kau sebut namamu, Ki Dukut Pakering”

Kata-kata itu memang menggetarkan jantung Ki Dukut Pakering. Dengan suara bergetar ia berkata, “Siapa kau, bahwa kau tahu siapakah sebenarnya aku”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku adalah orang yang sama sekali tidak banyak dikenal. Aku bernama Witantra. Sedangkan orang yang ingin kau tarik perhatiannya itu bernama Mahisa Agni”

Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia bergumam, “Kalian orang-orang Singasari?”

“Ya. Apakah kau pernah mendengar namaku?” bertanya Witantra.

“Persetan dengan orang-orang Singasari” Apakah kepentinganmu dengan padepokan ini sehingga kalian berada di sini?” bertanya Ki Dukut dengan geram.

“Tidak ada kepentingan khusus. Tetapi seperti orang-orang lain di tlatah Singasari, kita akan saling menolong” jawab Witantra.

Ki Dukut itu pun menggeram. Lalu katanya, “Baiklah. Aku justru berterima kasih bahwa aku akan dapat menunjukkan bahwa orang-orang Singasari bukannya orang-orang yang pinunjul tanpa dapat dikalahkan, seolah-olah Singasari adalah pengejawantahan dari istana para dewata yang memiliki kelebihan tanpa batas”

“Ah, kau keliru. Orang-orang Singasari tidak pernah merasa dirinya seperti itu. Kami adalah orang-orang biasa. Tidak lebih, tetapi juga tidak kurang. Karena itu, berhadapan dengan orang-orang lain, kami merasa diri kami sederajad dalam banyak hal. Juga dengan seorang yang bernama Ki Dukut Pakering”

“Gila” geram Ki Dukut, “ternyata bahwa aku akan membunuh orang-orang Singasari yang berada di sini, seorang demi seorang. Tetapi jika kau keberatan, ajaklah kawan-kawanmu yang ada di sini untuk bertempur berpasangan melawan Ki Dukut Pakering”

Witantra menggeleng sambil menjawab, “Tidak usah orang lain. Kita akan berhadapan hanya berdua saja”

“Jangan sombong orang Singasari. Kau bukan apa-apa bagi Ki Dukut Pakering” jawab Ki Dukut.

Witantra tidak menyahut. Ia pun kemudian bersiap menghadapi segala kemungkinan, sementara, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dan pengawal sibuk melayani para perampok dan penyamun yang semakin terdesak. Sementara beberapa orang yang lain masih harus bertempur bersama para cantrik yang belum memiliki bekal cukup.

Namun, ternyata bahwa para cantrik itu pun sudah mampu untuk melindungi diri sendiri terhadap serangan para penyamun yang kasar. Untunglah, bahwa di padepokan gambaran tentang kekasaran itu telah pernah mereka dengar. Para prajurit pun pernah mengajari mereka dengan laku yang kasar, agar para cantrik tidak terkejut apabila mereka harus berhadapan dengan perampok dan penyamun.

Sejanak kemudian, maka Ki Dukut yang marah itu pun tidak mengendalikan dirinya lagi. Dengan garangnya ia pun segera meloncat menyerang orang yang menyebut dirinya Witantra itu. Demikianlah, maka pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dihindarkan lagi. Dua orang yang memiliki kemampuan raksasa tauh bertemu di arena pertempuran.

Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu adalah orang yang luar biasa. Ia telah menggetarkan hati Pangeran Kuda Padmadata dan adiknya, sehingga keduanya telah menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi muridnya. Dan ternyata kemudian bahwa kedua Pangeran itu berkembang dengan pesatnya. Ki Dukut memang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menempa kedua Pangeran kakak beradik itu, sehingga keduanya telah menjadi dua orang yang pilih tanding di antara para bangsawan di Kediri.

Namun dalam pada itu, Ki Dukut yang jarang sekali terbentur pada ilmu yang setingkat itu, terkejut ketika benturan-benturan ilmu kemudian meningkat semakin seru. Ternyata orang Singasari yang bernama Witantra itu benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya. Bukan saja dalam ketrampilan dan kecepatan gerak, tetapi ketika ilmu mereka saling berbenturan, maka mereka pun saling menyadari, bahwa pertempuran yang terjadi itu adalah pertempuran yang akan berlangsung sangat seru. Meski pada benturan pertama keduanya masih belum mengerahkan seluruh kemampuan mereka, namun setingkat demi setingkat ilmu mereka pun segera berkembang.

Ki Dukut yang dibakar oleh dendam karena kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya itu pun segera berusaha untuk menumpahkan segala sakit hatinya kepada orang yang bernama Witantra itu. Setelah ia menyelesaikannya, maka Ki Dukut akan segera membunuh orang-orang lain, sehingga orang terakhir dari padepokan itu pun akan dibantainya.

Tetapi ternyata ilmunya telah membentur kemampuan ilmu yang tak mudah ditembusnya. Witantra yang menjadi tegang juga mengalami tekanan orang yang bernama Ki Dukut dan menyebut diriya Rajawali Penakluk itu, segera berusaha untuk menyesuaikan ilmunya. Ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya adalah benar-benar orang yang pilih tanding. Guru dari dua orang Pangeran kakak beradik yang mumpuni.

Karena itulah, maka pertempuran di antara keduanya telah menggetarkan padepokan kecil itu. Para pengikut Ki Dukut dan para prajurit serta pengawal, apalagi para antrik telah bergeser menjauhinya. Meskipun pertempuran di seluruh halaman itu masih berlangsung, tetapi mereka seolah-olah telah menjauhi arena pertempuran antara lua kekuatan raksasa yang sulit dicari bandingnya itu.

Ki Dukut yang semula merasa tidak terlampau sulit untuk mengakhiri pertempuran itu, ternyata menjadi semakin panas ketika ilmunya selapis demi selapis dapat diimbangi oleh lawannya. Bahkan ketika kemudian Ki Dukut telah mengerahkan segenap ilmunya, ternyata bahwa lawannya masih mampu mengimbanginya.

“Gila orang Singasari ini” geram Ki Dukut.

Namun Witantra pun harus mengerahkan kemampuan iya. Ia tidak boleh lengah, karena Ki Dukut memiliki kemampuan yang dapat meningkatkan getar geraknya, sehingga orang itu seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Tetapi Witantra pun memiliki ilmu yang luar biasa. Ilmu yang berkembang pada dirinya sehingga sulit untuk diimbangi dengan ilmu yang manapun juga. Hanya orang-orang mg memiliki tataran ilmu tertinggi sejalah yang akan apat melawan ilmu Witantra yang dahsyat.

Dengan demikian, maka kedua orang itu seakan-akan telah terpisah dari arena pertempuran dalam keseluruhan. Keduanya saling menyerang, saling mendesak dengan keuatan yang sulit dimengerti oleh para cantrik di padepokan itu.

Di tempat yang lain, beberapa orang telah tertarik perhatian mereka melihat pertempuran yang dahsyat itu. mereka pun segera mengerti, bahwa yang bertempur itu tentu pimpinan dari orang-orang yang menyerang padepokan yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.

Tetapi, baik Mahisa Agni maupun Ki Wastu serta pemimpin padepokan itu, tidak segera dapat meninggalkan tempat mereka untuk menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu, karena pertempuran masih menyala di halaman padepokan itu. Para perampok dan penyamun yang melihat bahwa Rajawali Penakluk itu telah terjun pula ke dalam arena pertempuran, seakan-akan menjadi mabuk. Merekapun tiba-tiba meningkatkan serangan-serangan mereka dengan kasar dan buas. Mereka berteriak-teriak tanpa terkendali lagi.

Para cantrik mulai dirayapi lagi oleh kengerian melihat sikap orang-orang yang menyerang padepokan. Tetapi jika mereka melihat para prajurit dan pengawal yang bertempur dengan gigihnya, maka gairah mereka segera timbul kembali. Mereka sadar, bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih berkepentingan untuk mempertahankan padepokan itu daripada para prajurit dan pengawal.

Sementara itu, Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan yang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, agar mereka berkesempatan untuk menyaksikan pertempuran yang sengit antara Witantra dan Ki Dukut, segera meningkatkan ilmu mereka. Meskipun mereka masih membatasi diri untuk melumpuhkan lawannya tanpa membunuhnya, namun yang mereka lakukan telah cukup mengagetkan hati para pengikut Ki Dukut.

Mahisa Agni yang bukan saja melindungi para cantrik itu, bagaikan menjelajahi satu sisi daerah pertempuran itu. Seakan-akan setiap ayunan tangan dan kakinya, ia telah melemparkan satu orang pengikut Ki Dukut keluar arena dengan luka yang parah. Di bagian lain, Ki Wastu telah banyak membungkam para perampok, penyamun dan pengikut-pengikut yang kasar dari Ki Dukut itu.

Sebenarnyalah, yang dilakukan oleh Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu telah sangat mempengaruhi pertempuran yang berlangsung di seputar padepokan itu. Beberapa orang pengikut Ki Dukut yang bergelar Rajawali itu telah terdesak sampai ke tempat yang semakin jauh dari padepokan, sementara yang lain justru terdorong ke dinding.

Dengan demikian, maka pertempuran itu telah menyebar. Tidak dapat lagi ditarik batas antara kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Di halaman luar padepokan itu telah berserak, lawan dan kawan dari kedua belah pihak. Beberapa orang yang tinggal di dalam lingkungan dinding padepokan, masih sempat menjenguk pertempuran yang terjadi diluar dinding padepokan itu. Sejenak mereka telah terpukau melihat arena yang menebar. Namun mereka pun kemudian melihat, betapa dua orang yang memiliki kamampuan yang luar biasa telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat.

Tetapi orang-orang yang mendapat perintah untuk tetap tinggal di dalam itu, tidak dapat meninggalkan tugas mereka. Beberapa orang cantrik dan prajurit serta pengawal yang dianggap masih terlalu lemah untuk bertempur di arena yang kasar dan buas. Namun, akhirnya para pengikut Ki Dukut itu pun menjadi semakin cemas. Mereka mulai merasa terdesak dan mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri.

Tetapi karena pemimpin mereka masih bertempur dengan sengitnya, maka mereka pun masih tetap berusaha untuk bertahan. Meskipun pertempuran itu sudah menebar semakin luas, namun ternyata kekasaran dan keliaran para perampok dan penyamun itu masih mampu membuat para cantrik menjadi ngeri.

Dalam pada itu, Ki Dukut Pakering masih bertempur dengan garangnya melawan Witantra yang harus menjadi sangat berhati-hati Ki Dukut ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu bergerak secepat tatit. Namun getar tangannya seakan-akan memiliki pancaran kekuatan yang tiada taranya.

“Luar biasa” desis Witantra. Tetapi Witantra pun bukan orang kebanyakan. Dalam keadaan yang gawat, maka tangannya mampu melepaskan aji pamungkas, yang dapat meremukkan bukit dan dapat memecahkan batu karang. Dengan demikian, maka dua ilmu yang dahsyat itu benar-benar telah mengguncangkan arena. Pepohonan bagaikan dihembus angin prahara, sementara bebatuan telah terlempar ke segenap penjuru.

Mahisa Agni yang masih belum berhasil menyelesaikan tugasnya, karena jumlah lawan yang cukup banyak masih saja berkeliaran di arena pertempuran. Namun daerah pertempuran yang menebar itu seakan-akan telar memperluas daerah yang harus dijelajahinya untuk melindungi para cantrik dari kekasaran para perampok dan penyamun itu.

Dalam pada itu, apa yang terjadi di arena itu, ternyata sempat pula diamati oleh Ki Dukut Pakering. Betapa dendam dan kemarahan menghentak-hentak di dadanya, namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, apa yang telah terjadi di halaman luar padepokan itu. Di dalam hati ia telah mengumpat-umpat, betapa ia sendiri telah menjadi lengah. Justru orang-orang di dalam dinding padepokan itulah yang telah keluar menyerang pada saat-saat yang tidak diduganya. Dengan demikian, maka pada benturan pertama, isi padepokan itu telah berhasil mendesak orang-orangnya dan menjatuhkan korban yang menentukan bagi pertempuran-pertempuran berikutnya.

Sambil bertempur, Ki Dukut sempat membuat pertimbangan. Agaknya ia masih belum ingin mati atau terhenti, sebelum ia berhasil melepaskan dendamnya atas lawan bebuyutannya. Apalagi setelah muridnya yang berhasil dipengaruhinya dan berdiri dipihaknya telah terbunuh, sementara muridnya yang lain, bagi Ki Dukut, ternyata telah berkhianat. Sejenak Ki Dukut masih bertempur terus. Namun ia sudah mulai membuat perhitungan-perhitungan lain. Ia berusaha menggeser arena pertempuran itu semakin jauh dari dinding padepokan, mendekati pategalan dan padang perdu yang berada di sekitar padepokan itu.

Mula-mula Witantra sama sekali tidak menduga, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Dukut. Karena ia harus memusatkan perlawanannya kepada orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu, maka ia tidak melihat kemungkinan yang dapat dilakukan oleh lawannya. Bahkan Witantra sama sekali tidak menduga, bahwa orang yang berilmu tinggi itu akan berbuat licik dan merendahkan harga dirinya.

Tetapi Ki Dukut tidak menghiraukan harga diri lagi. Yang menjadi tujuannya adalah lepasnya dendam yang justru semakin bertimbun di dalam hatinya. “Aku tidak mau mati dalam timbunan dendam seperti ini” geram Ki Dukut Pakering di dalam hatinya. Karena itulah, maka ia telah menyusun satu kesempatan untuk melepaskan diri dari arena pertempuran.

Adalah tidak diduga sama sekali oleh Witantra yang masih menghargai lawannya sebagai seorang jantan yang berilmu tinggi, bahwa tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering itu telah meneriakkan aba-aba yang melengking memenuhi arena pertempuran. Bahkan orang-orang yang berada di dalam lingkungan dinding padepokan pun dapat mendengarnya.

Karena itulah, maka sejenak kemudian, arena itu pun menjadi kisruh. Para pengikutnya tidak lagi memikirkan, bagaimana sebaiknya yang mereka lakukan. Tetapi mereka pun segera mencoba untuk melepaskan diri dari arena pertempuran yang sangat mendebarkan itu.

Ternyata suasana itulah yang memang dikehendaki oleh Ki Dukut Pakering. Dalam keadaan yang kisruh dan tidak menentu itulah, maka ia pun telah meninggalkan lawannya dan berbaur dalam suasana itu, Apalagi sejenak kemudian mereka telah terbenam dalam rimbunnya pepohonan di hutan perdu dan pategalan.

Kalau saja yang melarikan diri itu bukan Ki Dukut Pakering, maka Witantra dan apalagi bersama-sama dengan Mahisa Agni dan Ki Wastu, tentu tidak akan mengalami kesulitan untuk menangkapnya. Akan tetapi yang melarikan diri itu adalah orang yang mempunyai ilmu yang tinggi, yang mumpuni dan berlindung dibalik suasana yang kisruh dan diantara pepohonan pategalan dan perdu. Dengan demikian maka Witantra merasa bahwa tidak akan ada gunanya untuk mengejarnya.

Namun dalam pada itu, yang dilakukan oleh Witantra, Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu adalah berusaha untuk menenangkan para cantrik yang merasa telah memenangkan pertempuran itu. Mereka mengejar para perampok dan penyamun pengikut Rajawali Penakluk itu dengan senjata teracu. Bahkan kadang-kadang mereka benar-benar telah mengayunkan senjata mereka kearah lawannya yang sedang berusaha untuk melarikan diri itu.

Tetapi Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan Pemimpin padepokan itu pun menjadi cemas, bahwa apabila para cantrik itu mengejar lawannya semakin jauh terpisah dari kawan-kawannya, maka jika orang yang dikejarnya itu kemudian berbalik dan melawannya, maka cantrik itu tentu akan mengalami kesulitan.

Karena itulah, maka pemimpin padepokan itu pun segera berlari ke pintu gerbang padepokannya. Setelah pintu gerbang itu terbuka, maka ia pun segera memerintahkan untuk memukul kentongan seperti yang biasa mereka lakukan untuk mengumpulkan para cantrik.

Sejenak kemudian, maka suara kentongan itu pun bergema. Dengan demikian, para cantrik yang sudah menebar tanpa perhitungan itu pun segera menyadari keadaannya. Mereka pun kemudian bergegas untuk berkumpul di halaman luar padepokannya.

Sementara itu, para prajurit, pengawal dan para cantrik termasuk putut-pututnya telah berkumpul. Para prajurit dan pengawal yang dengan sadar menghadapi keadaan terakhir, telah berhasil menawan beberapa orang lawan. Selebihnya mereka yang terluka parah dan tidak mampu lagi melarikan diri akan menjadi tawanan pula. Bahkan akan menjadi beban bagi padepokan kecil itu.

Selintas terbayang kembali peristiwa yang telah terjadi. Di saat para prajurit dan pengawal membawa para tawanan ke Kediri. Tiba-tiba saja mereka telah disergap oleh pasukan yang dipimpin orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk.

Tetapi para prajurit dan pengawal itu tidak akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa sebaiknya setiap orang yang tertangkap akan dibinasakan saja untuk menghindari persoalan yang pernah terjadi. Namun mereka harus berpegangan kepada martabat kemanusiaan mereka dalam hubungan mereka dengan sesama.

Karena itulah, maka sekali lagi padepokan itu dihuni oleh beberapa orang yang dapat mereka tawan dalam pertempuran yang terjadi di luar dinding padepokan itu. Dalam keadaan terluka maupun yang sama sekali tidak tergores seujung duri pun oleh senjata lawan di medan pertempuran itu.

Demikianlah, maka para prajurit, pengawal dan para cantrik lalu membenahi padepokan yang baru saja dibakar oleh api pertempuran itu. Pertempurah yang bagi Ki Dukut dan para pengikutnya telah sangat mengejutkan. Yang tidak mereka sangka sama sekali telah terjadi. Justru orang-orang dari dalam dinding padepokan, yang mereka sangka sedang menggigil ketakutan itu, telah menyerang mereka dengan tiba-tiba.

Namun dalam pada itu, sekali lagi Ki Dukut Pakering berhasil melepaskan diri. Pada jarak yang cukup jauh, ia masih sempat berusaha mengumpulkan sisa orang-orangnya yang sudah tekoyak dan tercerai berai.

“Kita akan kembali” berkata Ki Dukut, “aku yakin, mereka belum mengetahui tempat kita. Kita akan melakukan segala macam usaha dalam waktu yang sangat singkat”

Beberapa orang pengikutnya pun segera dengan tergesa-gesa kembali bersama Ki Dukut. Bahkan beberapa orang yang tercerai berai telah langsung menuju ke persembunyian mereka tanpa menghiraukan orang-orang lain di antara mereka.

“Orang-orang yang tertawan tentu dapat menunjukkan persembunyian kita” berkata Ki Dukut Pakering yang dikenal bergelar Rajawali Penakluk, “karena itu, kita harus segera mengambil langkah. Meskipun aku tahu, mereka tidak akan dengan serta merta menyusul kita, karena sebenarnya kekuatan mereka pun tidak cukup besar untuk melakukannya. Yang mereka lakukan sebenarnya adalah sekedar mengejutkan kita, sehingga kita telah kehilangan pengamatan diri”

Pengikut tidak menjawab. Mereka masih dengan tergesa-gesa kembali ke sarang mereka. Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Ki Dukut, meskipun orang-orang di padepokan itu berusaha untuk mengetahui sarang orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu, namun mereka pun tidak dapat dengan serta merta menelusuri jejak lawan mereka. Karena mereka pun harus bertindak dengan hati-hati, dan tidak terjebak oleh perhitungan yang salah seperti yang dilakukan oleh Ki Dukut Pakering.

Karena itu, ketika Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu sampai ke sarangnya, maka ia masih sempat memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap-siap memindahkan sarang mereka dengan segala isinya, ke sarang gerombolan yang lain. Bahkan jika mungkin ke tempat yang baru sama sekali.

Ada beberapa orang yang sebenarnya agak berkeberatan dengan keputusan Rajawali Panakluk itu. Apalagi mereka yang berasal dari gerombolan yang memiliki sarang dan sebagian besar dari barang-barang yang ditimbun di tempat itu. Jika barang-barang itu dipindahkan, mungkin barang-barang itu akan lebur dengan milik gerombolan yang semula berbeda sumbernya.

Tetapi Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu pun kemudian menjelaskan, “Jika kita bertahan di tempat ini, maka kita akan mengalami kesulitan. Seperti yang aku katakan, bahwa orang-orang kita yang tertawan akan dapat menunjukkan tempat kita. Mungkin setelah mereka berhasil mengumpulkan kekuatan mereka, maka mereka akan datang kemari. Jika mereka datang dengan pasukan yang ada di padepokan itu beserta para cantrik, maka mereka akan binasa di sini. Tetapi jika mereka sempat memanggil beberapa orang prajurit dan pengawal dari Kediri dan Singasari, maka kitalah yang akan binasa. Sementara milik kita akan mereka rampas”

Orang-orang yang semula berkeberatan, akhirnya harus menerimanya pula. Namun mereka berpendapat, bahwa lebih baik mereka mencari tempat yang baru sama sekali.

“Jika kita hanya berpindah tempat dari sarang ini ke sarang yang lain, maka kemungkinan besar, orang-orang itu akan menelusuri jejak kita. Orang-orang yang mereka tawan tentu akan menunjukkan satu demi satu tempat-tempat yang mungkin kita pergunakan sebagai tempat persembunyian. Karena itu, sebaiknya kita mencari tempat yang baru sama sekali. Kita dapat mempergunakan goa di lereng bukit di tebing-tebing sungai, yang justru dekat dengan air. Atau di tengah hutan yang lebat, sehingga jika kita inginkan binatang buruan, kita tinggal duduk di muka barak sambil menarik busur” berkata salah seorang dari pengikutnya.

Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu pun mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia pun mengerti, ada beberapa keberatan bagi salah satu gerombolan yang telah menjadi pengikutnya untuk menggabungkan milik mereka dengan milik gerombolan yang semula terpisah itu.

“Baiklah” berkata Rajawali Penakluk, “masih ada waktu untuk mencari tempat. Aku kira kita mempunyai waktu sekitar dua tiga hari. Orang-orang padepokan itu tentu akan membenahi diri lebih dahulu. Baru kemudian, jika menurut perhitungan mereka, mereka akan dapat mengatasi, mereka akan datang kemari. Tetapi jika mereka tidak yakin untuk melakukannya, maka barulah pada saat lain mereka akan datang bersama orang-orang Kediri dan Singasari”

Orang-orangnya pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang, dikatakan oleh Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu. Namun seperti yang dikatakan oleh KiDukut, mereka tidak perlu terlalu tergesa-gesa.

Di hari berikutnya, setelah orang-orangnya berkumpul seluruhnya, termasuk mereka yang terluka tetapi sempat melarikan diri, mulailah Ki Dukut membagi tugas. Beberapa orang yang sama sekali tidak cidera di dalam pertempuran yang baru saja terjadi, telah diperintahkannya untuk mencari tempat yang penting bagi pusat kekuasaannya di antara para perampok dan penyamun itu. Mereka dipecah menjadi empat kelompok yang akan berjalan ke arah empat mata angin.

“Aku beri kalian waktu empat hari perjalanan berangkat dan kembali” berkata Ki Dukut, “dapat atau tidak dapat, kalian harus kembali pada hari keempat. Dua hari kalian berjalan mencari, dan dua hari kemudian perjalanan kalian kembali. Jarak itu sudah cukup jauh dari tempat ini, sementara menurut perhitunganku, selama empat hari, masih belum terjadi sesuatu di tempat ini”

Meskipun demikian, ketika orang-orang itu telah berangkat ke arah empat mata angin dengan bekal secukupnya, maka Ki Dukut pun telah memerintahkan penjagaan di segala arah pula.

“Kita harus mengawasi keadaan. Kita harus membagi diri selama sehari semalam terus menerus. Mungkin orang-orang gila itu akan menyergap kita, seperti yang dilakukannya tanpa kita duga-duga sebelumnya itu” berkata Rajawali Penakluk itu kepada orang-orangnya.

Demikianlah, maka para pengikut Ki Dukut itu telah membagi tugas dengan cepat. Mereka harus mengawasi setiap arah di setiap saat, agar mereka tidak lagi dapat disergap dengan tiba-tiba. Karena itu, maka para pengawas itu pun telah dilengkapi dengan alat dan tanda-tanda untuk mengirimkan isyarat. Mereka membawa panah api atau panah sendaren. Tetapi mereka pun telah membawa kentongan pula.

Dalam pada itu, Ki Dukut sendiri menjadi semakin berprihatin mengalami kegagalan yang langsung terjadi di depan hidungnya. Kepercayaannya kepada para perampok dan penyamun pun telah hampir lenyap sama sekali. Para perampok yeng kasar itu ternyata tidak banyak dapat membantunya. Mereka masih belum memiliki kemampuan yang memadai, jika mereka berhadapan dengan prajurit Singasari dan apalagi dengan para Senapatinya.

Prihatin dan dendam yang bercampur baur di dalam dirinya, telah mendorongnya untuk mencari jalan lain. Meskipun ia tidak melepaskan para perampok dan penyamun itu, namun ia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jika saja ia menempuh satu perjalanan panjang, menemui orang-orang yang dikenalnya meskipun dari golongan hitam sekalipun.

“Apa boleh buat” geramnya, “dendamku tidak akan dapat lenyap sebelum aku masih sempat merenunginya. Dendam itu akan hilang bersama pecatnya nyawaku, atau sasaran dendam itu sendiri”

Dalam pada itu, maka di padepokan kecil, yang telah ditinggalkan oleh Ki Dukut dan pengikutnya, yang telah mengalami sergapan yang tiba-tiba, sedang sibuk membenahi keadaan padepokan itu. Ternyata bahwa di antara para prajurit dan pengawal, ada juga yang terluka. Bahkan terluka parah. Sementara para cantrik pun tidak dapat, menghindarkan korban. Yang terluka parah dan bahkan ada dua orang cantrik yang telah gugur selama pertempuran itu. Yang ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah para perampok dan penyamun yang dengan tiba-tiba telah disergap sebelum mereka bersiap untuk melawan.

Dengan demikian maka peristiwanya bagaikan terulang kembali. Mereka yang tidak cidera apapun juga segera tenggelam dalam kesibukan mengurus kawan-kawannya yang terluka dan yang telah gugur.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Dukut Pakering adalah orang yang memang sangat berbahaya. Ia sama sekali tidak menghiraukan, apakah yang bakal terjadi atas diri orang-orang yang telah dipergunakan olehnya.

Sementara itu, orang-orang yang telah dikirim oleh Ki Dukut untuk mencari tempat persembunyian yang baru, telah berusaha sejauh dapat mereka lakukan Yang pergi kesebelan Barat, telah menemukan satu tempat yang bagus sekali di lereng bukit, di tengah-tengah hutan. Pada lereng itu terdapat dataran yang cukup luas bagi sebuah padepokan kecil.

Tempat itu akan dapat dibangun menjadi tempat persembunyian Rajawali Penakluk. Bukan saja untuk sementara, tetapi untuk waktu yang panjang. Untuk memenuhi waktu yang diberikan, orang itu masih melanjutkan sisa waktunya yang tinggal sedikit. Tetapi ia tidak menemukan tempat yang lebih baik dari tempat yang telah ditemukannya.

“Tempat itu cukup terlindung” katanya di dalam hati, “namun cukup menyenangkan. Di lereng bukit itu dapat dibuat tangga untuk memanjat sampai ke dataran itu. Namun dapat juga dibuat tangga untuk turun dari atas bukit itu”

Dalam pada itu, pada saatnya mereka kembali, maka mereka pun kembali dengan keyakinan, bahwa tempat yang diketemukannya adalah tempat yang paling baik.

Sementara itu, yang pergi ke Selatan, telah menemukan sebuah bukit kecil. Tidak mudah untuk memanjat. Di beberapa bagian terdapat lereng-lereng terjal. Namun dengan sedikit ketekunan, akan dapat dibuat tangga yang bersusun beberapa tingkat mendaki sampai kepuncak. Di puncak bukit itu terdapat sebuah dataran yang tidak terlalu luas, yang nampaknya akan dapat ditanami dengan beberapa jenis pepohonan. Yang lebih meyakinkan bagi mereka adalah sebuah mata air yang cukup besar dan jernih.

“Rajawali Penakluk itu tentu akan berkenan di hati” berkata orang itu.

Karena itulah, maka mereka pun dengan tergesa-gesa telah kembali. Mereka berpendapat, bahwa semakin cepat mereka meninggalkan sarang mereka yang lama, akan menjadi semakin baik.

Yang pergi kearah Timur, telah menemukan sebuah belumbang dicelah-celah lereng yang terjal. Memang agak sulit untuk mencapai tempat itu. Tetapi tempat yang agak tersembunyi itu akan memberikan perlindungan yang mapan. Untuk mencapai tempat itu, seolah-olah telah dibuat dua buah pintu ke dua arah yang berlawanan. Dalam keadaan bahaya, maka kedua pintu itu akan dapat ditutup. Tetapi jika perlu, maka satu pintu akan dapat dijadikan pintu rahasia untuk melarikan diri apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh.

“Tidak ada tempat yang lebih tenang dan aman dari tempat ini” berkata orang-orang yang menemukannya, “sementara itu belumbang itu akan memberikan lauk yang tidak akan ada habisnya”

Sementara mereka menghabiskan waktunya di tempat itu, ternyata mereka sempat menangkap ikan belumbang yang tersembunyi itu. Belumbang yang tidak pernah dijamah oleh tangan manusia. Namun dalam pada itu, di belumbang itu terdapat ikan yang tidak terhitung jumlahnya dari segala macam jenis ikan air tawar.

“Seluruh permukaan bumi, tidak ada pilihan yang akan melampaui tempat ini” berkata orang-orang yang nenemukannya itu diantara mereka.

Karena itu, maka pada saatnya mereka telah kembali dengan bangga, karena mereka menganggap, bahwa pilihan Rajawali Penakluk tentu akan jatuh kepada penemuan mereka.

Kelompok yang keempat adalah mereka yang pergi ke arah Utara. Semula kelompok ini merasa ragu-ragu, apakah mereka akan dapat menemukan tempat yang baik, karena mereka berjalan di sebuah padang rumput. Sejenak kemudian mereka memasuki hutan perdu yang kering, sehingga tempat itu tidak mungkin akan dapat dijadikan persembunyian yang baik. Namun akhirnya, mereka sampai kesebuah sungai, sungai yang nampaknya tidak terlampau besar, tetapi juga tidak terlampau kecil.

“Marilah, kita selusuri sungai ini” berkata pemimpin kelompok itu.

Adalah diluar dugaan mereka, bahwa akhirnya meeka menemukan sebuah goa di lereng sebuah bukit di pinggir sungai itu. Di muka goa itu terdapat sebuah halaman yang ukup luas. Penemuan itu ternyata telah membuat mereka berbangga. Mereka yakin, tidak ada tempat yang lebih baik ari penemuan mereka itu. Tempat yang tersembunyi, memadai dan di hadapannya air mengalir tanpa kering di musim kemarau.

Demikianlah maka orang-orang yang bertugas untuk menemukan tempat terbaik itu, berusaha kembali tepat pada waktu yang telah disediakan oleh pimpinan mereka, Rajawali Penakluk yang bagi mereka merupakan orang ajaib yang tidak ada bandingnya. Jika pada suatu saat Rajawali Penakluk itu harus menghindar dari medan pertempuran, itu karena ia mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri yang tidak dapat dimengerti oleh pengikut-pengikutnya.

Namun, ketika orang-orang yang merasa dirinya berjasa itu kembali ke tempat mereka yang akan mereka tinggalkan, mereka menjadi kecewa. Dari orang yang dianggap tertua di antara mereka, orang-orang itu mendapat keterangan, bahwa Rajawali Penakluk itu telah pergi meninggalkan mereka.

“Jangan bergurau” berkata salah seorang dari mereka yang menemukan lembah dengan belumbang yang panuh dengan ikan air tawar.

“Aku tidak bergurau. Sebenarnyalah bahwa Rajawali Penakluk sudah pergi” jawab orang tertua itu.

“Gila. Apakah maksudnya? Apakah ia tidak percaya lagi kepada kami dan mencari tempat itu sendiri?” bertanya yang lain.

“Tidak” jawab orang tertua itu, “ia sama sekali tidak berpesan tentang tempat. Bahkan ia berkata, agar kita menentukan tempat itu menurut pendapat dan pertimbangan kita bersama”

“Jadi apa maksudnya?” bertanya yang lain tidak sabar.

“Ia telah pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Bukan karena ia takut menghadapi pasukan Singasari atau Kediri, tetapi ia merasa wajib untuk melakukan sesuatu karena dendamnya masih belum dapat ditumpahkannya” jawab orang tertua itu.

“Aku menjadi bingung” potong salah seorang dari mereka yang menemukan goa di lereng pinggir sungai itu, “apa maksudnya sebenarnya”

“Rajawali Penakluk nampak menjadi sangat gelisah. Tiba-tiba saja ia memanggil kami dan berpesan, agar kami menentukan tempat itu tanpa menunggunya” jawab orang tertua itu.

“Jika ia kembali?” bertanya yang lain.

“Ia akan mencarinya. Dan aku pun yakin, hal itu tidak akan merupakan kesulitan baginya” jawab, orang tertua itu.

Sejenak suasana menjadi tegang. Namun tiba-tiba orang yang menganggap sebuah lereng yang dilindungi oleh hutan itu tempat terbaik, berkata lantang, “Kita pindahkan semuanya ke tempat yang telah aku ketemukan. Tempat yang tidak ada duanya didunia ini”

“Omong kosong” berkata seorang yang lain, “aku menemukan sebuah bukit yang paling pantas kita pergunakan sebagai padepokan kita. Bukit yang mempunyai sebuah dataran yang rata dan subur, karena di atas bukit itu terdapat sebuah mata air”

Tetapi yang lain memotong kata-kata itu. Mereka berusaha untuk menjelaskan penemuan mereka masing-masing. Mereka menganggap bahwa yang mereka ketemukan masing-masing adalah tempat yang paling baik bagi mereka. Karena itu, maka mereka tidak segera menemukan kesepakatan. Masing-masing berusaha bertahan. Sehingga akhirnya seseorang yang bertubuh tinggi, kekar dan berwajah kasar berteriak,

“Persetan dengan semuanya itu. Aku akan kembali ke kelompokku semula. Aku akan melakukan pekerjaanku seperti yang selalu aku lakukan. Aku tidak peduli lagi dengan tempat-tempat yang tidak dikenal itu. Tetapi, karena aku sudah berada di tempat ini, maka aku akan pergi dengan membawa bekal secukupnya”

“Persetan” seorang bertubuh tinggi dan berkumis lebat menyahut, “bekal apa yang dapat kau bawa? Yang ada di sini adalah milik kelompok kami. Kalian datang untuk mengikuti perintah Rajawali Penakluk. Bukan untuk mendapat warisan dari kelompok kami”

“Semua yang ada di sini harus dipindahkan” tiba-tiba seorang bertubuh kecil berteriak melengking, “kalian jangan gila. Semuanya harus dibawa kesuatu tempat yang tidak dikenal, karena semua yang ada disini akan dapat dirampas oleh orang-orang Singasari dan orang-orang Kediri jika pada suatu saat mereka datang kemari”

“Biarlah kami sendiri yang memindahkannya” geram orang bertubuh tinggi itu.

“Persetan. Persetan. Kami akan kembali ke tempat kami. Tetapi barang-barang ini lebih baik kita bagi” teriak orang bertubuh gemuk, “apapun yang kalian katakan, kami sudah berada di sini”

Tetapi orang bertubuh tinggi itu pun segera meloncat memisahkan diri. Sementara orang-orang yang sekelompok dengan orang itu pun segera berloncatan pula. Karena tempat itu adalah tempat mereka, maka jumlah merekalah yang terbanyak. Tetapi agaknya orang-orang yang berada di tempat itu, yang terdiri dari beberapa kelompok itu, jumlahnya masih lebih banyak lagi apabila mereka akan bergabung.

Namun dalam pada itu, orang tertua itu pun berdiri pula sambil berkata, “Kalian sudah gila. Kalian sudah dijangkiti oleh kegilaan kalian yang lama. He, apa kalian mengira bahwa Rajawali Penakluk itu tidak akan kembali sama sekali? Jika ia mendengar apa yang telah kalian lakukan disini, maka ia tentu akan marah. Meskipun kalian merasa, bahwa dalam satu kelompok kalian akan dapat melawannya, tetapi kalian harus memikirkan, apakah jadinya, jika kalian seorang demi seorang akan mati tanpa diketahui sebabnya, Kapan dan dimana. Karena Rajawali itu akan dapat berbuat sesuatu diluar kemampuan nalar kita”

Kata-kata orang tertua itu ternyata telah menyentuh perasaan orang-orang kasar itu. Bagaimanapun juga mereka masih juga dijalari oleh perasaan takut dan ngeri. Mereka mengakui, bahwa Rajawali Penakluk memang orang yang luar biasa. Ia dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan.

Karena itu, maka oreng bertubuh tinggi itu pun bertanya, “Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan”

“Seperti yang dipesankan oleh Rajawali Penakluk itu”

“Berpindah tempat?” bertanya orang yang bertubuh gemuk.

“Kita akan memilih salah satu dari keempat tempat yang nampaknya sama-sama baik. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya” jawab orang tertua itu.

“Jadi, yang manakah yang akan kita pilih” bertanya orang bertubuh tinggi.

Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan membicarakan bersama”

"Tetapi karena kita masing-masing belum melihatnya, kecuali yang menemukannya, maka memang sulit bagi kita untuk membuat perbandingan. Yang sudah melihatpun, baru melihat satu dari yang empat”

“Kau sajalah yang menentukan” berkata seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berwajah kasar.

“Ya, kau sajalah” sahut yeng bertubuh tinggi.

Beberapa orang pun sepakat untuk memberi kesempatan kepada orang itu untuk memilih tempat. Tetapi orang itu pun kemudian berkata, “Sulit bagiku untuk memilih. Marilah, kita akan mengadakan pilihan sesuai dengan keinginan kalian. Aku akan menyebut satu demi satu tempat yang sudah kita dengar sesuai dengan laporan mereka yang menemukannya. Kalianlah yeng akan memilih. Yang berkenan di hati kalian atau sebagian dari kalian, maka orang itu harus menyatakannya. Kita akan menghitung. Jumlah yang paling banyaklah yang akan kita taati. Dengan demikian kita tidak akan saling menyalahkan apabila ternyata pilihan itu salah. Tetapi satu hal yang harus kita lakukan, kita harus meninggalkan tempat ini”

Orang-orang yang berkumpul itu mengangguk-angguk. Mereka semuanya belum melihat tempat yang akan mereka bicarakan. Karena itu, semuanya hanya berdasarkan pada bayangan dan angan-angan, sesuai dengan pendengaran mereka dari penjelasan masing-masing kelompok yang menemukan tempat-tempat itu.

Sejenak kemudian, orang tertua itu sudah mulai. Disebutnya satu demi satu. Dan dihitungnya jumlah orang yang menyatakan perasaannya dan tanggapannya atas tempat-tempat yang disebutnya. Setelah semuanya menyatakan pendapatnya, dan dari hasil pernyataan itu, maka orang tertua itu berhasil menentukan tempat ke mana mereka harus pindah.

“Kita akan memindahkan sarang ini ke sebuan lembah yang diapit oleh lereng yang tinggi, yang hanya mempunyai dua pintu di ujung dan ujung. Tetapi kita akan mempunyai sebuah belumbang yang akan sangat penting artinya. Bukan karena ikan tawarnya, tetapi air itu agaknya memang tidak akan dapat dipisahkan dari kehidupan kita”

Demikianlah, maka telah menjadi Keputusan mereka, bahwa sarang mereka akan mereka pindahkan ke tempat yang baru, yang terlindung dari kemungkinan pelacakan jejak oleh para prajurit Singasari atau oleh para pengawal di Kediri.

Tetapi ternyata bahwa tidak semua orang akan ikut serta menempati tempat tinggal mereka yang baru. Yang terutama akan tinggal di tempat itu adalah kelompok yang berada di sarang mereka yang mungkin sekali akan menjadi pusat perhatian para prajurit dan pengawal, karena untuk terakhir kalinya Rajawali Penakluk berada di tempat itu, dan mempergunakan tempat itu sebagai tempat untuk memberikan perintah terakhir dalam perlawanannya terhadap prajurit Singasari dan para pengawal Kediri.

“Kami akan kembali ke dalam kelompok kami” berkata beberapa orang di antara mereka.

“Kami datang bersama banyak orang. Tetapi kami akan kembali dalam jumlah yang susut hampir separo” berkata yang lain.

“Tetapi kalian tidak akan dapat memisahkan diri” berkata orang tertua, “pada satu saat Rajawali Penakluk itu akan datang. Mungkin ia akan memerlukan kalian, seningga kalian akan dipanggil. Mungkin kalian, tetapi mungkin orang-orang baru dari kelompok kalian masing-masing”

Tidak ada yang akan dapat ingkar. Semua orang hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Demikianlah, maka pada satu malam yang ditentukan, seisi sarang yang sebenarnya sudah cukup tersembunyi itu telah berpindah tempat. Mereka membawa apa saja yang ada di dalam simpanan mereka. Hasil dalam malam-malam perampokan dan saat-saat mereka menyamun di bulak-bulak panjang. Namun setelah semuanya itu disimpan dalam tempat mereka yang baru. dalam barak-barak yang mereka dirikan dengan tergesa-gesa, maka sebagian dari orang-orang itu telah kembali ke kelompok masing-masing.

“Jika Rajawali Penakluk datang kepada kelompok kalian masing-masing, maka kalian akan dapat menunjukkan, di mana kami menunggu” berkata orang tertua.

“Tetapi mungkin pula pada suatu saat, sarang kamilah yang akan didatangi oleh prajurit-prajurit Singasari” berkata orang berwajah kasar dan bertubuh tinggi tegap.

“Kemungkinan itu memang ada, tetapi kecil sekali. Mungkin kawanmu yang tertangkap akan dipaksa untuk menyebut tempatnya. Tetapi aku kira perhatian utama adalah tempat tinggal Rajawali Penakluk itu sendiri” jawab orang tertua.

Orang berwajah kasar itu mengangguk-angguk. Namun orang tertua itu berpesan, “Meskipun demikian, kalian jangan meninggalkan kewaspadaan”

Demikianlah, orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok lain telah kembali. Namun mereka masih tetap menunggu kedatangan Rajawali Penakluk.

Dalam pada itu, di padepokan kecil yang baru saja berhasil mengusir orang-orang yang mengepung padepokan mereka, masih saja selalu sibuk dengan orang-orang mereka yang terluka. Suasana suram masih meliputi padepokan itu, karena terpaksa melepaskan beberapa orang cantrik yang tidak dapat tertolong lagi. Sementara itu, mereka masih harus mengurus orang-orang yang dapat mereka tangkap. Tetapi juga mereka yang tidak dapat lagi meninggalkan medan karena luka-luka yang parah.

Ada semacam dendam di hati para cantrik. Jika mereka harus melepaskan dua tiga orang kawan mereka yang gugur, alangkah pedih hati mereka, bahwa mereka harus mengobati lawan mereka yang luka parah.

“Kenapa mereka tidak dibiarkan saja mati seperti kawan-kawanku itu” berkata para cantrik di dalam hatinya.

Namun mereka pun mendapat ajaran dari pemimpin padepokan mereka, bahwa tidak seharusnya mereka dengan sengaja membiarkannyawa seseqrang hilang selagi masih ada kesempatan untuk menolongnya, siapa pun mereka, “Peperangan adalah salah satu ujud betapa manusia ini mempunyai tabiat aneh” berkata pemimpin padepokan itu.

Karena itu, maka para cantrik itu pun telah berbuat seperti yang diajarkan oleh pemimpin padepokan mereka. Betapa anehnya perasaan mereka, namun mereka berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya atas orang-orang yang terluka dan para tawanan dalam keseluruhan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu telah bersepakat untuk tidak dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu. Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Dendam yang menyala di hati Rajawali Penakluk, yang ternyata adalah Ki Dukut Pakering itu tentu bagaikan api yang disiram minyak. Kegagalan-kegagalan yang dialaminya rasa-rasanya tidak tertanggungkan lagi. Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu masih merasa wajib untuk melindungi padepokan kecil itu.

Namun dalam pada itu, terhadap orang-orang yang dapat ditawannya Mahisa Agni telah berhasil mengetahui dimanakah sarang orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu. Dari mereka yang tertawan Mahisa Agni mendapat gambaran, bagaimana Rajawali Penakluk itu mendapatkan banyak pengikut. Namun yang ternyata tidak dapat memenuhi harapannya. Orang-orang yang di angkatnya dari daerah hitam itu tidak berhasil dibentuk untuk memenuhi keinginannya. Adalah justru karena mereka harus berhadapan dengan beberapa orang prajurit Singasari dan Kediri.

"Pada suatu saat, kita akan mencarinya” berkata Mahisa Agni.

“Kita harus membuat perhitungan yang mapan” berkata Witantra, “kita sudah mengenal, bahwa orang yang semula mempunyai nama yang agung itu. kini telah berubah sama sekali, ia tidak lebih dari seorang yang licik dan tidak mempunyai harga diri”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Orang tua itu hampir menjadi putus asa. Itulah sebabnya, maka perubahan-perubahan itu terjadi demikian cepat pada dirinya”

“Ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya” desis Ki Wastu.

“Benar” sahut Witantra, “dalam keputusasaan, ia akan dapat berbuat apa saja, yang kadang-kadang tidak dapat dimengertinya sendiri”

“Tetapi untuk beberapa saat, ia tentu tidak akan bergerak lagi” berkata Ki Wastu, “ia sudah kehilangan banyak pengikutnya. Ia memerlukan waktu untuk membentuk satu pasukan yang dianggapnya cukup kuat”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian bergumam, “Mungkin ia akan berbuat demikian. Tetapi selama ia menyiapkan satu pasukan yang cukup kuat menurut perhitungannya, maka ia dapat berbuat apa saja di antara lingkungan hidup yang kemudian dibencinya”

Witantra dan Ki Wastu mengangguk-angguk. Bagi mereka sendiri, mungkin Ki Dukut yang putus asa itu tidak akan berbahaya. Mereka masing-masing akan dapat menolong diri mereka sendiri, jika mereka pada satu saat bertemu dengan Ki Dukut dimanapun. Tetapi ada lingkungan lain yang akan dapat menjadi sasaran dendamnya, meskipun lingkungan itu sama sekali tidak mengerti ujung-dan pangkalnya.

“Orang itu harus dapat dibatasi geraknya” desis Mahisa Agni tiba-tiba.

“Lebih baik jika kita dapat menangkapnya” sahut Ki Wastu.

“Sulit sekali” sahut Witantra, “betapapun orang itu kehilangan harga dirinya, maka untuk menangkapnya tentu akan mengalami kesulitan. Orang itu tentu akan memilih melarikan diri atau mati, daripada harus tertangkap hidup-hidup”

“Apa boleh buat” tiba-tiba saja Ki Wastu berdesis lambat.

Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-lalam. Mereka mengerti arti kata-kata itu. Memang tidak da pilihan lain. Apalagi bagi Ki Wastu yang tentu saja nasih terasa betapa pedihnya peristiwa yang menimpa anak perempuannya, justru karena sikap Ki Dukut Pakering. Hampir saja anak dan cucunya menjadi korban dengki dan ketamakannya.

Nampaknya sikap itulah yang akan diambil menghadapi Ki Dukut Pakering. Perburuan di padang yang sangat luas dan samar akan segera dilanjutkan, meskipun tidak dalam waktu yang terlalu pendek, karena rasa-rasanya nasih belum sampai hati meninggalkan padepokan yang nenjadi sasaran Ki Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.

Karena itulah, selain untuk melindungi langsung, maka Mahisa Agni pun memerintahkan para prajurit untuk memberikan latihan olah kanuragan kepada para cantrik. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berada untuk waktu yang tidak terbatas di padepokan itu. Ia pun harus berbuat sesuatu dalam perburuan yang harus dilakukannya.

Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera mengatur diri. Ia harus segera menghubungi Pangeran Kuda Padmadata di Kediri agar rencana perburuan itu segera dapat dilanjutkan. Akhirnya Mahisa Agni memutuskan untuk pergi ke Kediri bersama Witantra dan tidak lebih dari dua orang pengawal. Mereka harus dapat berhubungan dengan orang yang telah mendahului mereka ke Kediri. Segalanya akan diatur kemudian apabila Mahisa Agni telah bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata.

Mahisa Agni tidak menunggu lebih lama. Meskipun kemungkinan yang pahit dapat terjadi di perjalanan, namun tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukannya. Sementara Ki Wastu akan tetap berada di padepokan itu bersama beberapa orang prajurit dan Pengawal.

“Menurut perhitunganku, satu-satunya orang orang yang harus diperhitungkan adalah Ki Dukut Pakering itu seorang diri saja. Karena itu, kehadiran Ki Wastu di padepokan itu akan dapat akan dapat melawan Ki Dukut pakering, apabila orang itu akan datang kembali.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan Mahisa Agni dan Witantra sudah meninggalkan padepokan itu. Dengan laju mereka berkuda menuju Kediri. Bagaimanapun juga, mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi di sepanjang jalan. Namun ternyata bahwa perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Mereka sampai di Kediri dengan selamat.

Ternyata bahwa di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata pun telah menyiapkan sepasukan pengawal. Tidak terlalu banyak, tetapi mereka adalah orang-orang pilihan yang akan dilibatkan dalam perburuan di padang yang sangat luas.

“Ayah masih akan ikut serta” berkata Mahisa Bungalan kepada Mahisa Agni.

“Baiklah, Bagaimana dengan adik-adikmu?” bertanya Mahisa Agni.

“Mereka tidak mau ditinggalkan. Sebenarnya ayah ingin mengantar mereka kembali ke Singasari. Tetapi mereka lebih senang ikut dalam perburuan ini” jawab Mahisa Bungalan yang seolah-olah merasa tidak sabar lagi.

Ketika Mahisa Agni bertemu dengan Mahendra yang masih sempat mengurusi barang-barang dagangannya di Kediri, maka katanya. "Kau masih sempat mempergunakan setiap waktu yang bagimu sangat berharga”

Mahendra tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat duduk terkantuk-kantuk saja di Kediri. Aku mempunyai beberapa orang yang dapat bekerja bersama dengan aku disini. Hubungan kami sudah lama. jika aku datang ke Kediri dengan jenis-jenis batu akik dan wesi aji, maka orang-orang itulah yang aku hubungi mula-mula."

“Itu adalah ujud dari seorang pedagang yang sebenarnya" desis Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni pun tersenyum. Sementara Mahendra berkata, “Aku memang sudah terbiasa menggunakan setiap waktu yang terluang. Ah, apakah salahnya jika aku memanfaatkan waktu yang berlebihan disini?”

Mahisa Agni pun menjawab, “Tentu tidak ada salahnya. Agaknya Mahisa Bungalan sama sekali tidak mewarisi sifat-sifat seorang pedagang”

“Ya” jawab Mahendra, “mudah-mudahan adik-adiknya kelak dapat membantu aku”

Mahisa Bungalan sama sekali tidak menyahut. Ia tidak tertarik untuk berbicara tentang jual beli batu akik dan wesi aji. Ia lebih tertarik berbicara tentang Ki Dukut Pakering yang hilang dari pengamatan mereka. Yang mungkin telah keluar dari medan yang diduga sebelumnya oleh mereka yang memburunya.

Demikianlah, pada akhirnya Mahisa Agni, Witantra, Mahendra telah berbicara dengan Mahisa Bungalan dan pangeran Kuda Padmadata tentang perburuan yang akan mereka teruskan. Mereka bersepakat untuk bertemu lebih dahulu dengan Ki Wastu dan para prajurit serta pengawal yang mereka tinggalkan. Mereka akan mempergunakan segala macam petunjuk dan keterangan dari orang-orang yang dapat mereka tawan untuk mencari jejak Ki Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.

Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, ternyata kedua adiknya tidak mau ketinggalan. Mereka telah ikut pula bersama ayahnya kembali ke padepokan kecil yang menjadi sasaran pertama dari serangan Ki Dukut Pakering. Dari sanalah perburuan itu akan diatur lebih jauh.

Kehadiran kembali Pangeran Kuda Padmadata telah memberikan kegembiraan bagi para prajurit dan pengawal. Mereka merasa kawan-kawan mereka lebih banyak sehingga mereka akan dapat bergantian mengawasi orang-orang yang tertawan.

Sebenarnya Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Ialah yang bergerak lebih, cepat dari orang-orang yang dianggapnya sudah terlalu lamban karena umur mereka yang semakin tua. Kepada para tawanan, Mahisa Bungalan mendapat keterengan dimana Ki Dukut bersembunyi dan mengatur pasukannya.

“Besok aku akan pergi” berkata Mahisa Bungalan.

Orang-orang yang dianggapnya terlalu tua dan lamban itu tidak dapat mencegah. Bersama dengan Pangeran Kuda Padmadata ia telah menyiapkan pasukannya untuk pergi ke tempat persembunyian Ki Dukut Pakering.

“Jangan hanya berdua” berkata Witantra, yang kemudian menyatakan diri untuk ikut bersama kedua anak-anak muda yang ingin dengan segera menemukan tempat Ki Dukut mengatur pasukannya.

Ketika matahari terbit dipagi hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata telah bersiap untuk berangkat. Di antara mereka terdapat Witantra yang tidak sampai hati melepas keduanya menghadapi Ki Dukut.

Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mahendra pun tidak akan dapat menundanya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni, Mahendra, Ki Wastu dan kedua adik Mahisa Bungalan itu melepas pasukan itu sampai kedepan regol padepokan. Pemimpin padepokan itu bersama para putut dan cantrik pun mengantar mereka sampai di luar regol.

“Mudah-mudahan mereka berhasil” desis pemimpin padepokan itu. Dengan demikian, maka ia tidak akan selalu dibayangi oleh kemungkinan-kemungkinan yang pahit jika Ki Dukut datang, kepada mereka.

Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata yang tidak sabar lagi itu pun langsung membawa pasukannya sesuai dengan petunjuk orang-orang yang telah tertawan. Di antara pasukan itu terdapat dua orang dari mereka. Orang itu harus menunjukkan, dimanakah tempat Ki Dukut bersembunyi.

“Jangan mencoba mengelabui kami” berkata Mahisa Bungalan kepada kedua orang itu.

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka selalu dibayangi oleh kecemasan. Mereka tidak tahu, apa yang akan terjadi setelah pasukan itu sampai ke tempat Ki Dukut yang mereka kenal bergelar Rajawali Penakluk itu tinggal.

“Pasukan Rajawali Penakluk itu pun cukup banyak” berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Tetapi mereka pun mengakui, bahwa para prajurit itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kawan-kawannya. Meskipun kawan-kawannya berjumlah lebih banyak, namun agaknya mereka tidak akan dapat melawan sepasukan prajurit dan pengawal yang dipimpin langsung oleh Pangeran Kuda Padmadata itu.

“Apakah yang aku lakukan ini bukan pengkhianatan” pertanyaan itu timbul pula di hati orang-orang yang tertawan itu. Namun ternyata mereka memilih untuk melakukan perintah para prajurit daripada mereka harus mengalami perlakuan yang mendebarkan jantung.

Dalam pada itu, perjalanan pasukan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka beristirahat sejenak ketika matahari bagaikan membakar kulit setelah melampaui puncaknya. Namun mereka tidak menghiraukan lagi keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka.

“Apakah kita akan mendekati sarang mereka esok pagi?” bertanya Witantra.

“Sekarang” jawab Mahisa Bungalan.

“Ya, sekarang” desis Pangeran Kuda Padmadata.

“Menjelang gelap?” bertanya Witantra pula.

“Apa salahnya? Kita akan bertempur malam hari” sahut Pangeran Kuda Padmadata.

Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku sendiri tidak keberatan. Aku mampu bertempur tiga hari tiga malam demikian aku sampai diserang mereka. Tetapi entahlah dengan anak-anak itu”

Pangeran Kuda Padmadata dan Mahisa Bungalan tertegun, mereka mengerti maksud Witantra yang melanjutkan, “Tenaga mereka telah terperas di perjalanan yang terik. Mereka mendaki tebing dan menuruni jurang. Kalian dapat saja memaksa mereka untuk bertempur. Tetapi aku tidak yakin, bahwa mereka masih memiliki tiga perempat dari kemampuan mereka”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Sambil menatap Pangeran Kuda Padmadata itu berkata, “Apakah kita akan mulai dengan besok pagi-pagi benar Pangeran?”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Malam ini kita beristirahat di depan sarang mereka, tetapi jangan terjadi seperti yang kita dengar dan mereka yang bernasil menyergap lawan mereka justru sedang menunggui mereka di depan padepokan”

“Kita akan sempat melihat-lihat, apakah yang sebenarnya kita hadapi” berkata Witantra.

Dengan demikian, maka ketika mereka mendekati sarang Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu, maka pasukan itu pun segera menebar. Mereka tidak mau kehilangan lawan mereka. Karena itu, mereka pun mengawasi sarang itu dari segala arah.

Namun, menjelang senja, mereka masih sempat melihat, bahwa sarang itu nampaknya terlampau sepi. Mereka tidak melihat tanda-tanda apapun di muka barak yang terlindung bukit-bukit kecil. Namun yang justru dapat dilihat jelas dari bukit-bukit itu.

“Sepi sekali” desis Mahisa Bungalan.

“Ya. Tetapi apakah memang demikian” sahut Pangeran Kuda Padmadata yang mengawasi tempat itu dari atas bukit kecil.

“Kita panggil kedua orang itu” gumam Witantra hampir kepada diri sendiri.

Mahisa Bungalan pun kemudian memerintahkan memanggil kedua orang tawanan yang mereka bawa bersama pasukan itu. Dengan hati-hati keduanya pun mendekati Mahisa Bungalan. Namun seperti orang-orang lain, ia pun merasa bahwa barak itu terlampau sepi.

“Biasanya tidak demikian” berkata kedua orang itu, “Apakah kau ingin menjebak kami?” geram Mahisa Bungalan.

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku mengatakan yang benarnya. Barak itu tidak seperti biasanya”

Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi itu pun berata, “Marilah. Kita akan melihat”

“Berhati-hatilah” berkata Witantra, “siapkan pasukanmu. Beberapa orang akan bersama kita”

“Paman juga akan melihat barak itu?” berkata ahisa Bungalan”

“Ya. Aku juga akan pergi” jawab Witantra.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan, Pangeran Kuda Padmadata dan Witantra, diantar oleh beberapa orang ngawal, dengan hati-hati mendekati barak yang nampaknya sepi itu.

Sementara, Mahisa Bungalan mendekati barak, kedua orang tawanan itu pun berada di dalam pengawasan yang ketat. Sedangkan pasukan yang dibawanya pun telah bersiap. Setiap saat diperlukan, mereka akan segera dapat bertindak.

Mahisa Bungalan, Pangeran Kuda Padmadata, Witantra dan beberapa orang pengawal, dengan hati-hati mendekati barak itu. Selangkah demi selangkah mereka maju. Tangan-tangan mereka sudah siap mencabut senjata apabila diperlukan. Tetapi barak itu memang terlalu sepi. Nampaknya tidak ada seorang pun yang tinggal lagi di dalam barak itu. Pintu regol barak itu tampak terbuka. Pagar yang rapat dan tinggi yang mengelilingi barak itu pun nampaknya tidak terjaga sama sekali.

Dengan hati-hati, mereka pun kemudian memasuki regol yang terbuka. Demikian mereka menginjakkan kakinya ke halaman dalam barak itu, mereka merasa, bahwa barak itu memang sudah sepi.

“Gila” geram Mahisa Bungalan, “mereka sempat meninggalkan barak ini”

Wajah Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi tegang. Meskipun demikian ia berkata, “Marilah, kita akan melihat isi barak itu”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Ketika ia memandang Witantra, orang itu pun mengangguk pula. Demikianlah mereka pun kemudian mendekati pintu barak yang terbuka. Perlahan-lahan mereka melangkah masuk. Seperti ketika mereka memasuki halaman barak itu, mereka pun semakin yakin, barak itu memang sudah kosong.

Sebenarnyalah, ketika mereka berada di dalam setiap barak yang ada dilingkungan sarang itu, mereka sama kali tidak menemukan apapun juga. Mereka pun dapat menduga, bahwa orang-orang di dalam barak itu telah memindahkan sarang mereka, karena mereka yakin, bahwa pada suatu saat, pasukan Singasari dan Kediri akan datang untuk menangkap mereka.

“Tetapi mereka berhasil lolos” geram Mahisa Bungalan keterlambatan yang sangat mengecewakan”

Witantra tidak manjawab. Sementara Pangeran Kuda Padmadata pun nampaknya sangat kecewa, bahwa kehadirannya di tempat itu sama sekali tidak memberikan hasil apapun juga.

“Paman” berkata Mahisa Bungalan kemudian kepada Witantra, “yang terjadi adalah satu pangalaman. Betapa lambatnya kami bertindak”

Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Yang terjadi atas Ki Dukut itu pun satu pengalaman, bagaimana cepatnya ia bertindak. Tetapi tanpa perhitungan yang mapan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah Pangeran yang masih muda itu, ia pun melihat Pangeran itu menjadi sangat kecewa, namun kepalanya pun terangguk-angguk kecil mendengar jawaban Witantra itu.

“Baiklah” berkata Witantra kemudian, “kita datang setelah sarang ini menjadi kosong. Kita tidak dapat menyalahkan siapapun juga. Tetapi ini bukan akhir dari perburuan kita”

Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya, “Malam ini kita akan berada di dalam lingkungan halaman barak ini. Besok kita akan kembali ke padepokan itu tanpa membawa hasil apapun juga”

Witantra hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti bahwa anak-anak muda itu menjadi kecewa. Namun ia pun merasa wajib untuk kadang-kadang meredakan gejolak kemudaan mereka itu. Mahisa Bungalan pun kemudian memerintahkan pasukan yang dibawanya untuk memasuki halaman barak dan beristirahat semalam.

“Tetapi jangan lengah” berkata Pangeran Kuda Padmadata kepada para pemimpin kelompok, “mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita duga-duga sebelumnya. Jika orang-orang itu menyingkir tidak terlalu jauh dengan perhitungan tertentu, maka mungkin sekali malam nanti, merekalah yang akan manjebak kami...”