Panasnya Bunga Mekar Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 01
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

CERAHNYA matahari pagi telah mewarnai Singasari. Seolah-olah tak ada lagi kesulitan yang bakal mengabut di seluruh daerah Singasari sepeninggal Linggapati dan Empu Baladatu.

Niat sepasang anak muda yang sedang memerintah Singasari untuk mengangkat Mahisa Bungalan menjadi seorang Senapati, sudah diterima dengan senang hati. Bukan saja oleh Mahisa Bungalan dan ayahnya Mahendra, tetapi juga oleh para prajurit dan Senapati yang lain, yang telah melihat, apa yang pernah dilakukan oleh anak muda itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih mohon kesempatan untuk memuaskan masa-masa mudanya dengan bertualang. Apa bila ia sudah menerima pengangkatannya, maka ia akan terikat. Ia akan berada di suatu tempat bersama sepasukan prajurit untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Sulit baginya untuk meninggalkan pasukannya agar bisa menjelajahi padesan bagaikan menghitung setiap pintu rumah.

“Kau memerlukan waktu berapa hari?” bertanya Ranggawuni.

“Mungkin sebulan, tetapi mungkin setahun, Tuanku,” jawab Mahisa Bungalan.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyadari bahwa ia tidak akan dapat mengekang jiwa Mahisa Bungalan yang bagaikan burung di udara itu. Ia masih ingin mengarungi luasnya angkasa dan panjangnya lereng di pegunungan.

“Baiklah Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni, “seandainya aku memaksa mengikatmu dalam satu tugas tertentu, maka kau akan merasa tersiksa. Kau akan merasa seperti seekor burung yang bagaimanapun perkasa sayapnya, namun, hidup di dalam sangkar tertutup”

Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja.

“Bagaimana pendapat ayahmu, pamanmu Witantra dan pamanmu Mahisa Agni?” bertanya Mahisa Cempaka.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ampun Tuanku. Paman-paman hamba menyerahkan semuanya kepada hamba sendiri”

Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, benarlah kata kakanda Ranggawuni. Puaskanlah dengan petualangan yang panjang untuk menambah pengalaman dan mematangkan ilmu yag pernah kau miliki. Bahkan mungkin kau akan dapat menambah kemampuanmu dengan pengalamanmu yang mungkin tidak terduga sebelumnya. Namun demikian, jangan meninggalkan kewaspadaan. Kau harus selalu berhati-hati di perjalanan, karena bahaya akan dapat saja menyergapmu dari segala arah”

“Niat hamba bukannya mencari musuh Tuanku” berkata Mahisa Bungalan, “mungkin ada satu dua orang tua yang memiliki kelebihan pengetahuan lahir dan batin yang dapat hamba sadap ilmunya bila dikehendakinya”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Aku percaya akan niatmu itu. Tetapi kau yang tentu lebih banyak mempunyai pengalamanmu petualangan akan dapat mengerti, betapa kemungkinan yang tidak kita kehendaki dapat terjadi setiap saat dan di segala tempat”

Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya semakin dalam. Katanya, “Hamba, Tuanku. Dan hamba memang melihat kemungkinan-kemungkinan itu”

“Justru karena itu, maka petualangan memang sangat menarik bagi anak muda” sahut Mahisa Cempaka, “jika aku tidak terikat pada kedudukanku, alangkah senangnya mengikutimu”

“Ah, tentu tidak bagi Tuanku” jawab Mahisa Bungalan, “Tuanku sudah dilahirkan untuk berada di dalam istana. Ilmu yang bagaimanapun juga akan Tuanku dapatkan. Tuanku dapat memanggil siapa saja yang Tuanku kehendaki”

“Itulah sulitnya Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni, “aku dapat memanggil siapa saja. Tetapi siapa saja itulah yang tidak aku ketahui. Mungkin beberapa orang petugas sandi akan dapat menyebut. Tetapi apakah ada hubungan batin yang timbal balik antara aku dan orang-orang yang hanya disebut namanya itu, agaknya menjadi persoalan pula di dalam pewarisan ilmu. Seseorang yang karena terpaksa, bukan atas sentuhan batinnya, tentu tidak akan dapat mewariskan ilmunya sampai tuntas. Tentu masih ada yang tersisa di dalam dirinya yang sengaja atau tidak sengaja, tetap dirahasiakannya”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia sadar sepenuhnya bahwa yang dikatakan oleh Ranggawuni itu memang benar. Karena itu, maka ia tidak membantahnya.

“Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni selanjutnya, “aku hanya dapat memberimu bekal doa keselamatan. Tetapi kau tentu tidak akan meninggalkan Kota Raja sampai satu atau dua tahun tanpa menengoknya barang dua tiga kali”

“Tentu Tuanku. Seperti yang pernah aku lakukan, aku akan berada di rumah antara tiga atau empat bulan sekali. Beristirahat sebentar, kemudian berangkat kembali. Mungkin aku akan pergi bersama ayah dalam hubungan jual beli batu-batu dan permata serta besi-besi aji. Namun biasanya ayah selalu mamisahkan diri”

“Siapakah sebenarnya yang memisahkan diri?” bertanya Ranggawuni.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya, “Mungkin ayah, tetapi mungkin pula hamba”

“Baiklah Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni kemudian, “sebaiknya kau juga minta diri kepada Lembu Ampal yang menjadi semakin tua pula. Sebentar lagi ia akan menjadi pikun dan tidak lagi dapat mengendalikan prajurit-prajurit yang berada di bawah perintahnya”

“Hamba Tuanku. Hamba akan menemuinya dan minta diri kepadanya. Paman Lembu Ampal tentu masih akan bertahan pada keadaannya sampai beberapa tahun lagi”

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan ternyata masih mohon waktu beberapa saat, sebelum ia mengikat diri dalam lingkungan keprajuritan. Ia masih ingin mengikuti keinginannya untuk menjelajahi gunung dan ngarai. Bertemu dengan orang-orang yang jauh terpencil, tetapi juga berusaha menghadap para pertapa yang dapat memberikan banyak petunjuk kepadanya, lahir dan batin, untuk melengkapi bekal di hari-hari yang panjang.

Ketika Mahisa Bungalan bertemu dengan Lembu Ampal, maka orang tua itu berkata, “Ada-ada saja kau Mahisa Bungalan. Apakah masih kurang ilmu yang kau miliki, atau kau masih selalu dikuasai oleh keinginan untuk bertualang?”

“Aku akan menuruti keinginanku sampai tuntas agar aku tidak menyesal dikemudian hari. Baru kemudian aku akan mengikatkan diri pada kewajiban yang berat dan tidak dapat dilakukan sambil lalu saja. Seorang prajurit harus bertanggung jawab pada kewajibannya. Sementara aku masih ingin berbuat sesuatu atas keinginan pribadi semata-mata”

“Agaknya itu adalah keinginan wajar dari anak-anak muda”

“Tetapi kau wajib dapat mengendalikan dirimu. Jangan kau turuti saja kehendak hati, karena tidak terasa, umurmu akan semakin meningkat. Pada saatnya kau akan sampai pada batas kebebasan seorang anak muda. Kau akan berkeluarga, dan kau akan bertanggung jawab atas keluargamu, karena itu, maka kau harus mempertimbangkan banyak masalah. Juga masalah hidup berkeluarga. Kau tidak akan dapat menjalaninya dengan petualangan, meskipun ada juga yang melakukannya”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Aku akan selalu mengingatnya, paman. Aku akan mempersiapkan diri menghadapi masa-masa yang lain dari masa-masa muda ini. Tetapi tidak sekarang”

Lembu Ampal menepuk bahu anak muda itu. Sekilas teringat olehnya, seorang anak muda yang dengan petualangnya, justru telah membawanya kejalan lurus ke singgasana Tumapel dan seterusnya menguasai seluruh Singasari. Meskipun kemudian masih harus timbul pertumpuhan darah karena kutuk seorang Empu yang terbunuh oleh keris yang dibuatnya sendiri. Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Semuanya itu tinggal merupakan ceritera yang sangat menarik.

“Aku akan selalu berdoa untukmu” berkata Lembu Ampal ketika ia melepas Mahisa Bungalan pergi.

Di rumah Mahisa Bungalan masih harus mendengarkan nasehat ayahnya, pamannya Witantra dan Mahisa Agni. Bahkan semuanya menasehatkan agar ia tidak terlalu menuruti kata hatinya saja.

“Aku akan mengendalikan diri, ayah. Pada suatu saat aku akan terikat oleh beberapa kewajiban. Mungkin aku akan menjadi seorang prajurit seperti yang pernah aku sanggupkan kepada Tuanku berdua di istana Singasari. Tetapi di samping itu aku pun akan terikat dalam suatu ikatan keluarga. Pada saat itu, aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk bertualang, melihat luasnya bumi dan menyelusuri panjangnya sungai”

Tidak ada yang dapat mencegah Mahisa Bungalan. Karena itu, maka orang-orang tua yang melepasnya pergi, hanya dapat memberikan beberapa pesan dan petunjuk.

“Tidak lama lagi, ayah juga akan pergi” berkata Mahendra.

“Ayah beruntung dengan pekerjaan ayah” berkata Mahisa Bungalan, “Ada dua pekerjaan yang dapat ayah lakukan dalam satu perjalanan. Mencari nafkah, dan sekaligus bertualang ke tempat-tempat yang jauh”

“Ah” berkata Mahendra, “yang penting bagiku, bagaimana aku mendapat nafkah dengan perjalananku. Aku tidak pernah menganggap perjalanku sebagai suatu perulangan. Aku melakukan perjalanan dengan sungguh-sungguh dan perhitungan yang matang. Aku tidak sekedar mengikuti hasrat hati. Bahkan kadang-kadang aku harus pergi ke tempat yang tidak aku sukai, karena aku mendapat pesanan jenis batu-batu berharga atau semacam pusaka dari jenis senjata atau sekedar berupa wesi aji yang tidak berbentuk”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Tetapi itu lebih menyenangkan daripada harus memikul kewajiban di tempat tertentu dengan lingkungan tertentu pula”

“Kau dapat saja membuat berbagai macam alasan. Tetapi ingat, bahwa kau sudah berjanji kepada Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa pada suatu saat, kau akan mengabdi kepada Singasari dalam lingkungan keprajuritan”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan selalu mengingatnya. Tetapi perjalananku tentu akan banyak memberikan manfaat bagiku. Di beberapa tempat mungkin aku akan memperkenalkan diri sebagai putera Mahendra yang dapat menerima pesan batu-batu berharga dan berbagai jenis pusaka”

“Asal tidak kau salah gunakan dan kau salah artikan, aku tidak berkeberatan. Tetapi bukan berarti bahwa kau akan memilih usaha itu daripada janjimu kepada Tuanku Ranggawuni”

Mahisa Bungalan tertawa, Mahisa Agni dan Witantra tertawa pula.

“Nah, jika saatnya kau pergi, jagalah, agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengetahui alasan kepergianmu. Biarlah mereka menyangka bahwa kau sedang melakukan tugas yang dibebankan kepadamu, agar mereka tidak merengek untuk mengikutimu, atau kelak memaksa aku untuk menyusulmu meskipun aku tidak tahu dimana pada suatu saat kau berada”

“Aku akan selalu berusaha berhubungan dengan ayah” jawab Mahisa Bungalan, “entah cara apa yang dapat aku tempuh. Mungkin lewat kawan ayah, mungkin lewat petugas-petugas Singasari yang bertebaran, atau lewat cara apapun juga”

Mahendra tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan anaknya pergi. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Namun orang tuanya masih juga berdebar-debar karenanya.

Di hari berikutnya, ketika Matahari mulai melontarkan cahayanya yang kemerah-merahan, Mahisa Bungalan berjalan meninggalkan regol halaman rumahnya. Beberapa orang melepaskannya dengan dada yang berdebar-debar. Namun karena hal itu sudah dikehendakinya, maka yang dapat diiringkan kepadanya hanyalah doa agar Yang Maha Agung melindunginya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seperti yang diduga oleh ayahnya, hampir saja tidak dapat dicegah lagi. Tetapi seperti pesan ayahnya, Mahisa Bungalan akhirnya berhasil meyakinkan adiknya, bahwa ia sedang melakukan tugas yang dibebankan oleh Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka.

“Tugas yang sangat berat” berkata Mahisa Bungalan, “aku harus mencari sebuah kitab rontal yang hilang dari istana”

“Kitab apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kitab yang berisi ramalan tentang tanah ini. Setiap pemegang kekuasaan harus mempelajari isi kitab itu, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan ramalan yang terdapat di dalamnya, serta mengusahakan tumbal dan penolak jika ternyata akan datang malapetaka” jawab Mahisa Bungalan.

“Aku dapat membantu” berkata Mahisa Pukat.

“Tiga orang tentu lebih kuat dari kakang seorang diri” sambung Mahisa Murti.

“Aku tidak hanya sendiri” Mahisa Bungalan membantah dengan serta merta, “aku akan pergi bertiga dengan dua orang. Senapati dari istana. Mereka berdualah yang mengemban tugas pokok. Aku diperintahkan untuk membantu keduanya Sehingga karena itu, aku tidak akan dapat membawa kalian serta”

Keduanya nampaknya masih ragu-ragu. Tetapi akhirnya, atas nasehat Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni, keduanya melepaskan maksudnya untuk memaksa ikut bersama kakaknya.

Mahisa Bungalan sengaja meninggalkan rumahnya dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, ia akan dapat banyak melihat, mendengar dan mengalami. Ia dapat melalui jalan-jalan sempit dan jalan-jalan setapak. Bahkan sepanjang pematang. Di daerah yang sulit, kuda justru hanya akan menjadi beban semata-mata. Namun, Mahisa Bungalan pun sadar, bahwa dengan berjalan kaki jarak yang dijangkaunya akan lebih pendek dari jika ia berkuda.

Mula-mula ada niatnya untuk singgah di padepokan Empu Sanggadaru. Tetapi niat itu pun diurungkannya. Yang kemudian menarik perhatiannya adalah perjalanan ke Mahibit. Ada semacam keinginan yang mendesak untuk melihat Mahibit dan daerah-daerah pengaruhnya sepeninggal Linggapati dan Linggadadi.

Tetapi, Mahibit pun akhirnya bukan merupakan tujuan, utama. Ia akan berjalan saja ke arah Mahibit. Mungkin ia akan sampai kesana. Tetapi mungkin ada hal-hal lain yang menarik perhatiannya di perjalanan sehingga ia tidak meneruskan perjalanan ke arah bekas daerah pengaruh Linggapati itu.

Di perjalanan, Mahisa Bungalan benar-benar bagaikan seorang perantau. Meskipun ayahnya termasuk seseorang yang cukup, tetapi ia lebih senang mengenakan pakaian yang sederhana. Kelebihannya dari perantau yang sebenarnya adalah, bahwa Mahisa Bungalan serba sedikit membawa bekal uang di perjalanannya. Bahkan ia telah membawa beberapa buah batu berharga yang diberikan oleh ayahnya, yang akan dapat dijualnya di sepanjang jalan apabila ia terpaksa karena kehabisan bekal. Selebihnya, ada dua bentuk cincin yang dibawanya pula sebagai persediaan jika sangat diperlukan.

Perjalanan Mahisa Bungalan tidak banyak menarik perhatian orang-orang yang melihatnya di sepanjang jalan. Tidak ada tanda-tanda apapun padanya, yang dapat menimbulkan kecurigaan. Di padukuhan yang dilaluinya, kadang-kadang Mahisa Bungalan beristirahat di bayangan rimbunnya pepohonan sambil memperhatikan keadaan. Namun tidak ada yang perlu diperhatikannya. Orang-orang di padukuhan-padukuhan itu hidup seperti yang sudah mereka jalani untuk waktu yang lama. Bekerja di sawah dan ladang. Pulang ke rumah mereka, sementara isterinya telah menanak nasi atau merebus palawija. Dari hari kehari tanpa perubahan apapun juga.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun hanya melewati padukuhan itu tanpa berbuat sesuatu, kecuali angan di kepalanya, kapan orang-orang yang hidup dari tahun ke tahun dengan cara yang hampir tidak berubah itu, mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih banyak lagi cara-cara yang dapat dilakukan bagi sawah dan ladangnya. Kapan mereka mengenal usaha khusus untuk berternak ayam atau itik bahkan kambing, bukan sekedar kebiasaan memelihara saja. Kapan mereka berusaha memperpanjang jalur parit yang dapat mengairi sawah mereka di musim kering dengan membuat bendungan di sungai yang melintasi pedukuhan mereka.

Namun suasana yang berbeda dijumpai Mahisa Bungalan apabila ia memasuki sebuah padukuhan yang besar dan ramai. Padukuhan yang sudah banyak mendapat pengaruh kehidupan orang-orang yang hilir mudik ke Kota Raja untuk bermacam-macam kepentingan, atau ke tempat-tempat lain yang cukup ramai.

Tetapi di tempat-tempat yang demikian, jenis orang-orang yang tinggal dan ternyata lebih banyak pula. Mereka bukan saja petani-petani yang hidup matinya tergantung pada sawah ladang. Tetapi di antara mereka terdapat pula beberapa orang yang hidup dengan berjual beli barang-barang yang diperlukan bagi para petani, termasuk alat-alat pertanian. Beberapa orang pandai besi nampak sibuk dengan perapian masing-masing. Sedangkan di hari-hari tertentu, ada beberapa orang yang membawa ternak mereka ke tempat yang sudah disediakan untuk diperjual belikan. Tempat itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan. Dari orang-orang yang ditanyainya, ia mengetahui bahwa ia sudah berada di padukuhan yang besar yang bernama Watan.

“Dimanakah Ganter?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ganter sudah tidak terlalu jauh dari tempat ini” jawab yang ditanyainya.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ganter pernah dilihatnya pada suatu saat yang sudah agak lama. Rasa-rasanya ia pun ingin sekali lagi melihat tempat yang menjadi ramai, melebihi padukuhan Watan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka ia pun berhasrat untuk tinggal di Watan beberapa hari.

Oleh Ki Buyut di Watan, Mahisa Bungalan diperkenankan bermalam di banjar padukuhan. Karena Mahisa Bungalan nampaknya tidak lebih dari seorang perantau, maka tidak seorang pun yang menghiraukannya.

“Siapa namamu?” bertanya Ki Buyut.

“Dogol Ki Buyut” jawab Mahisa Bungalan.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Hampir tidak percaya ia bertanya, “Apakah itu benar namamu? Nampaknya meskipun kau seorang perantau, tetapi kau pantas mempunyai nama yang lebih baik”

“Aku tidak tahu Ki Buyut. Biyung menyebutkan demikian”

“Bagaimana dengan ayahmu?”

“Aku tidak pernah mengenal ayahku. Menurut biyung, ayah meninggal sejak aku belum lahir”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Ada kecurigaan terbersit di wajahnya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “He, apakah kau benar mempunyai seorang ayah?”

Mahisa Bungalan lah yang kemudian menjadi heran. Jawabnya, “Apakah ada seseorang yang tidak mempunyai ayah?”

“Maksudku, kau mempunyai ayah yang sah? Mungkin biyungmu telah ditinggal pergi oleh seorang laki-laki yang belum pernah menjadi suaminya”

“Ah” rasa-rasanya Mahisa Bungalan tersinggung. Untunglah ia segera menyadari, bahwa ialah yang telah memulai dengan suatu ceritera khayal yang memang dapat menimbulkan dugaan yang demikian. Namun demikian ia menjawab, “Menurut biyung, tidak Ki Buyut. Ayah meninggal sebelum aku lahir. Tetapi ia benar ayahku, karena aku mempunyai seorang kakak perempuan”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, singgahlah di Banjar. Tetapi jika kau seorang anak yang tidak berbapak, maka telapak kakimu akan membuat padukuhan ini terlalu kotor dan nafasmu akan menodai udara bersih di padukuhan Watan yang menjadi semakin besar. Padukuhan ini kemudian akan menjadi cengkar dan sawah-sawah akan kekeringan”

“Sebenarnyalah Ki Buyut. Kakakku lahir lebih dahulu. Ia sekarang hidup mengawani biyung yang sangat miskin, sehingga aku, anaknya yang laki-laki, tidak pantas menambah bebannya yang sudah terlalu berat”

“Dan kau tidak berusaha menolong biyung dan kakak perempuanmu?”

“Aku meninggalkan mereka setelah aku melihat kemungkinan sepeletik terang. Kakak perempuanku akan kawin dengan seorang laki-laki yang baik. Tetapi laki-laki itu pun laki-laki miskin yang tentu akan merasa sangat berat untuk menerima beban kehadiranku. Itulah sebabnya aku pergi merantau. Mungkin aku akan tersesat kedalam lingkungan yang dapat memberikan lapangan kehidupan baru bagiku”

Namun ternyata Ki Buyut hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak menawarkan apapun juga kecuali kesempatan bermalam. Ia tidak menawarkan untuk memberinya pekerjaan sebagai seorang pekatik sekalipun meskipun nampaknya Buyut di Watan hidup agak cukup.

Tetapi kesempatan untuk bermalam itu pun sudah terlalu cukup baginya. Ia akan mendapat kesempatan untuk melihat padukuhan yang besar itu, yang terdiri dari beberapa kelompok padesan yang terpencar di daerah yang cukup luas.

Di hari-hari pertama, tidak ada yang menarik perhatian Mahisa Bungalan. Di siang hari ia melihat-lihat keadaan dari regol banjar, atau sekali-sekali ia berjalan menyusuri lorong menuju ke pusat keramaian padukuhan Watan. Namun di malam harilah, Mahisa Bungalan justru banyak melihat. Hampir ia telah melihat dari dekat rumah di padukuhan induk. Rumah yang nampaknya lebih baik dari rumah-rumah di padesan- padesan yang lebih kecil.

Tetapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Rumah itu tidak memiliki sesuatu yang pantas diperhatikan, selain beberapa di antaranya yang mempunyai satu dua orang gadis yang menginjak masa remaja. Karena itu, maka padukuhan itu tidak lagi dapat mengikat Mahisa Bungalan lebih lama lagi. Ia sudah berniat untuk meneruskan perjalanannya ke Ganter.

Tetapi di hari berikutnya, justru terjadi sesuatu yang menahan Mahisa Bungalan. Ia mulai melihat keganjilan-keganjilan di warung-warung yang pernah dikunjunginya.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan kepada seorang perempuan penjual jagung ketika ia duduk bersila sambil mengunyah jagung di bawah sebatang pohon preh di depan sebuah warung yang cukup besar.

“Biasa” jawab perempuan penjual jagung itu lambat sekali.

Mahisa Bungalan tidak memaksanya untuk berbicara, karena agaknya perempuan itu menjadi ketakutan. Baru setelah beberapa orang meninggalkan warung itu, perempuan itu berkata, “Mereka adalah pemungut-pemungut pajak”

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, “wajar sekali. Dimanapun juga ada pemungut pajak”

“Itu pemungut pajak padukuhan yang menyerahkan uangnya kepada Ki Buyut dan bebahunya bagi perkembangan padukuhan ini. Tetapi di samping mereka, masih ada pemungut-pemungut pajak yang lain”

Wajah perempuan itu menjadi pucat. Namun Mahisa Bungalan tidak mendesaknya lagi. Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan masih duduk di tempatnya. Beberapa ontong jagung telah dikunyahnya habis. Beberapa orang lewat telah berhenti dan membeli jagung rebus itu pula. Mahisa Bungalan beringsut ketika seorang laki-laki setengah umur duduk di sampingnya setelah membuka capingnya yang besar.

“Belum habis?” bertanya laki-laki itu.

“Masih sedikit” jawab perempuan penjual jagung itu.

Laki-laki itu memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian sambil tersenyum ia bertanya, “Enak bukan jagung rebus ini?”

“Ya paman. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua” jawab Mahisa Bungalan.

“Ia suamiku” berkata perempuan penjual jagung itu. “Setiap saat seperti ini ia menjemputku”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja timbul niatnya untuk bertanya tentang para pemungut pajak. Mungkin suami penjual jagung itu lebih berani memberikan keterangan. Apalagi tidak ada lagi orang-orang yang mencurigakan di antara mereka yang masih berkeliaran.

“Paman” berkata Mahisa Buagalan kemudian, “Apakah paman mengetahui serba sedikit tentang pemungut-pemungut pajak itu?”

“He” wajah orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Dipandanginya beberapa orang di sekelilingnya. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah kita berbicara tentang hal yang lebih menarik. He? apakah kau orang asing disini?”

“Aku adalah seorang perantau. Aku singgah di desa Watan ini untuk beberapa hari”

“Kemanakah tujuanmu?”

“Aku tidak tahu paman. Aku berjalan asal saja berjalan. Aku meninggalkan keluargaku yang kesulitan” jawab Mahisa Bungalan.

Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Lalu katanya, “Sebaiknya kau tidak usah bertanya tentang pemungut pajak” lalu laki-laki itu berpaling kepada isterinya sambil bertanya, “Apakah mereka datang?”

Perempuan itu mendekat. Kemudian berbisik, “Kelompok Ki Branang”

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Tetapi kelompok Ki Branang masih lebih baik dari kelompok yang lain”

“Kelompok yang mana lagi?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kelompok Ki Lambun”

“Kenapa ada dua kelompok?” bertanya Mahisa Bungalan pula meskipun ia sudah dapat meraba.

Laki-laki ku terdiam. Dipandanginya bakul isterinya yang memang sudah hampir kosong. “Jangan bertanya. Jika kau masih ingin makan jagung, makanlah”

“Aku sudah kenyang”

“Kalau begitu pergilah. He, kau bermalam dimana di padukuhan ini?”

“Di Banjar paman, atas kemurahan Ki Buyut”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Pergilah ke banjar. Tidak ada gunanya kau mengetahui apapun juga tentang pemungut pajak itu”

Mahisa Bungalan terdiam, ia sadar, bahwa ada sesuatu yang kurang wajar. Kebanyakan dari orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan apapun lebih senang diam dan tidak berbicara tentang pemungut-pemungut pajak. Sejenak Mahisa Bungalan masih duduk bersila meskipun ia tidak mengunyah jagung lagi. Beberapa saat lamanya ia masih memandangi orang-orang yang berkeliaran untuk membeli bermacam-macam keperluan. Satu dua orang masih duduk di dalam warung yang seolah-olah memang tidak pernah kosong itu.

Penjual jagung itu masih duduk di belakang bakulnya, dan suaminya pun masih duduk tepekur di tempatnya. Wajah suami isteri penjual jagung itu tiba-tiba menjadi tegang. Sekilas mereka memandang seorang laki-laki muda yang mendekati warung itu diikuti oleh seorang yang sudah lebih tua. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu memandangi beberapa orang yang nampak seolah-olah menyibak. Namun kemudian ia pun memasuki pintu warung itu.

Mahisa Bungalan menjadi semakin curiga. Apalagi ketika satu dua orang yang berada di warung itu pun dengan tergesa-gesa pergi meskipun barangkali perut mereka belum kenyang.

“Nyi” berkata laki-laki yang duduk di dekat Mahisa Bungalan, “sudahlah. Jika jagungmu tinggal sedikit, marilah kita pulang”

Perempuan penjual jagung itu tidak menjawab. Ia pun kemudian mengemasi dagangannya dan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempatnya.

Mahisa Bungalan masih duduk di tempatnya. Perempuan penjual jagung itu menerima uangnya seolah-olah sambil berlari saja tanpa dihitungnya.

“Tentu ada sesuatu yang gawat” berkala Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun ia sudah dapat menerka, bahwa anak muda yang memasuki warung itu adalah seorang anak muda yang disegani. Tentu ada hubungannya dengan pungutan pajak yang lain dari yang sudah dilakukan oleh beberapa orang terdahulu.

“Aneh, Nampaknya Ki Buyut termasuk seorang yang baik dan sabar, bahkan pemurah. Tetapi menilai sikap pemungut pajaknya, ternyata ia termasuk orang yang keras dan barangkali suka memeras rakyat yang tinggal di dalam lingkungan kuasanya” Mahisa Bungalan berteka-teki dengan dirinya sendiri.

Namun justru karena itu, maka Mahisa Bungalanpun, tetap duduk di tempatnya. Ia ingin mengetahui, apa yang akan dilaksanakan oleh anak muda itu. Beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan duduk di tempatnya. Beberapa orang telah meninggalkan tempat itu, seperti penjual jagung yang seolah-olah menjadi ketakutan. Beberapa saat lamanya ia menunggu. Tetapi anak muda bersama kawannya itu masih saja berada di dalam warung.

“Apa saja yang dilakukannya?” pertanyaan itu rasanya mengganggu perasaan Mahisa Bungalan. Tetapi ia tidak dapat memasuki warung itu tanpa menumbuhkan kecurigaan. “Sampai kapan pun aku akan menunggu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun beringsut sedikit dan duduk bersandar pohon preh. Dengan demikian ia akan dapat menunggu untuk waktu yang lebih lama sambil bersandar dan memeluk lutut. Kegelisahan masih saja nampak pada orang-orang yang masih ada di sekitar tempat itu. Orang-orang yang tidak dapat pergi meninggalkan dagangan mereka yang masih cukup banyak. Namun ada juga satu dua orang yang lebih baik menyingkir daripada duduk di tempatnya dengan gelisah.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak menunggu lebih lama lagi. Anak muda itu pun kemudian keluar dari warung itu tanpa terjadi sesuatu. Sejenak anak muda itu berdiri di muka warung sambil memandang ke sekelilingnya. Agaknya sikap Mahisa Bungalan sangat menarik perhatiannya. Mahisa Bungalan sama sekali tidak menunjukkan sikap yang gelisah seperti kebanyakan orang yang ada di tempat itu.

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar karena ternyata anak muda itu melangkah mendekatinya diikuti oleh kawannya yang lebih tua. Di luar sadarnya Mahisa Bungalan telah melihat di pinggang anak muda itu melilit seutas rantai baja putih yang mengkilap.

“Ki Sanak” sapa anak muda itu, “apakah yang sedang kau lakukan disitu?”

Mahisa Bungalan tergagap. Ia mulai menyadari kesalahannya. Bahwa sikapnya telah menarik perhatian anak muda itu. Dengan demikian maka untuk selanjutnya Mahisa Bungalan nampak gelisah dan ketakutan. Dengan suara yang bergetar ia menjawab, “Aku, aku tidak apa-apa Ki Sanak”

“Apakah kau menunggu seseorang?”

“Tidak, Tidak Ki Sanak. Aku duduk disini melepaskan lelah. Aku sebenarnya hanya ingin melihat tempat yang termasuk ramai di padukuhan ini. Tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya”

“O” anak muda itu mengangguk-angguk, “jadi kau bukan orang Watan?”

Mahisa Bungalan menggeleng lemah, “Bukan. Bukan Ki Sanak. Aku bukan orang Watan”

Orang itu tersenyum. Lalu katanya, “Jika kau ingin duduk saja disitu, duduk sajalah. Kau akan melihat sesuatu terjadi. Tetapi agaknya aku datang terlampau pagi”

Mahisa Bungalan menjadi tegang. Bukan sekedar pura-pura. Tetapi keterangan anak muda itu benar-benar lelah menarik perhatiannya. “Apakah maksud Ki Sanak dengan sesuatu yang akan terjadi itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Beberapa hari yang lalu aku sudah berjanji akan datang di tempat ini di hari pasaran. Tetapi karena sesuatu hal, maka di hari pasaran yang lalu aku telah ingkar, sehingga aku tidak datang. Alasannya tidak perlu aku katakan kepadamu. Baru hari ini aku sempat datang. Tetapi pemungut pajak di hari pasaran itu nampaknya belum datang”

Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Di luar sadarnya ia bertanya, “Pemungut pajak di warung-warung itu?”

“Ya. Pemungut pajak di warung-warung”

“Beberapa orang laki-laki yang garang?”

“Ya. Beberapa orang laki-laki yang garang”

Di luar sadarnya Mahisa Bungalan bangkit. Tanpa prasangka apapun juga ia berkata, “Mereka sudah datang. Belum lama. Dan mereka kini sudah pergi”

“He” wajah anak muda itu menjadi tegang, “jadi mereka sudah datang?”

“Ya. Mereka sudah datang”

Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dipandanginya kawannya yang berdiri termangu-mangu. Geramnya kemudian, “Gila. Kali ini pun aku terlambat”

“Kemanakah mereka pergi anak muda?” bertanya kawannya.

“Kesana. Kearah padukuhan sebelah” jawab Mahisa Bungalan jujur.

“Orang-orang disini pun sudah gila. Menurut penjual di warung itu, mereka belum datang. Ia mencoba menipuku. He, apakah pemungut pajak itu justru menguntungkan orang-orang di sini?”

“Tentu tidak” jawab kawannya, “agaknya mereka takut untuk mengatakannya dengan jujur”

Anak muda itu menjadi semakin tegang. Tiba-tiba ia menggeram, “Gila orang warung itu”

Namun ketika ia melangkah, kawannya mencegahnya, “Pertimbangkan baik-baik. Mungkin ia tidak sengaja menipumu. Kau harus tahu, bahwa orang-orang yang lemah itu selalu dibayangi oleh ketakutan”

Anak muda itu menarik, nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hanya akan bertanya, apakah maksudnya dengan menipuku”

Dengan tergesa-gesa anak muda itu kembali ke warung diikuti oleh kawannya. Mahisa Bungalan pun telah mengikutinya pula beberapa langkah di belakangnya. Dari luar, Mahisa Bungalan mendengar anak muda itu bercakap-cakap dengan nada yang agak keras.

“Kau ingin menyesatkan aku, he?” katanya.

“Tidak anak muda. Aku berkata sebenarnya”

“Menurut anak muda di luar warung ini, mereka sudah datang. Dan kini mereka justru telah pergi” ia berhenti sebentar, lalu, “kenapa kau menipuku?”

Penjual di warung itu menjadi pucat. Namun terdengar ia menjawab, “Siapakah yang mengatakan bahwa mereka telah pergi?”

“Itu, anak muda itu melihatnya”

Penjual di warung itu pun kemudian melangkah ke pintu. Dilihatnya Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Namun dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan pun bergeser surut. Ia harus memerankan penyamaran itu sebaik-baiknya, agar tidak menimbulkan masalah yang kemudian akan berkisar pada dirinya.

“Aku, aku memang melihat”

Penjual di warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin ia keliru, anak muda. Yang dikatakan itu tentu sekelompok petugas yang dipimpin oleh Ki Branang”

“Siapa mereka itu?” bertanya anak muda itu.

“Petugas-petugas yang memang mendapat perintah dari Ki Buyut. Tetapi bukankah yang kau maksudkan bukan orang-orang Ki Branang?”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Yang dahulu pernah aku sebutkan. Aku pernah mendapat laporan, bahwa sekelompok pemungut pajak telah mengadakan pemerasan di sini. He, apakah ada kelompok lain?”

“Kelompok Ki Lambun. Ya, tentu kelompok Ki Lambun. Karena itu aku mengatakan bahwa hari ini mereka belum nampak. Ki Lambun memang sering datang di hari pasaran. Memeras dengan semena-mena. Tetapi kadang-kadang ia tidak nampak. Dan sampai sekarang kami belum melihat kedatangannya”

“Gila” geram anak muda itu, “jadi ada dua kelompok, he?”

“Tetapi yang dipimpin oleh Ki Branang, adalah orang-orang Ki Buyut”

“Tetapi apakah kedua kelompok itu tidak saling bersaing dan saling bertengkar jika mereka bertemu?”

“Kelompok Ki Branang adalah petugas-petugas padukuhan. Mereka memang kasar dan kadang-kadang keras. Tetapi mereka tidak berbuat melampaui batas yang ditentukan oleh Ki Buyut. Sedangkan Ki Lambun…” orang itu berhenti sejenak, dipandanginya keadaan di sekelilingnya.

Karena ia tidak segera melanjutkan, maka anak muda itu mendesaknya, “Kau takut bahwa kata-katamu akan didengar oleh orang yang bernama Lambun itu?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia adalah seorang yang memiliki kekuatan jin di dalam dirinya”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi yang dimaksud anak muda itu bukannya orang-orang yang aku maksudkan”

“Tentu bukan Ki Sanak”

“Tetapi mereka menjadi ketakutan pula” sahut Mahisa Bungalan.

“Bukan saja orang-orang yang ada di sekitar tempat ini. Bahkan Ki Branang pun melakukan tugasnya dengan tergesa-gesa. Ia tidak berani berhadapan dengan Ki Lambun. Jika mereka berpapasan maka Ki Branang akan mengambil jalan lain”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sementara anak muda itu berkata. “Jika demikian, aku masih akan menunggu. Aku akan bertemu dengan orang yang bernama Ki Lambun. Mungkin aku dapat mengekang tindakannya yang biadab itu”

Penjual di warung ku menjadi pucat. Lalu katanya, “Tetapi sekali lagi aku mohon, jangan membuat keadaan kami semakin parah”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Aku minta maaf bahwa kehadiranku membuat kalian bertambah gelisah dan barangkali menjadi ketakutan. Tetapi jika aku berhasil, maka kalian akan bebas dari pemerasan lebih lama lagi. Tetapi jika aku gagal, maka mungkin aku mati di sini sekarang. Namun orang-orang Ganter tidak akan membiarkan mayatku diludahi oleh Ki Lambun. Ia tentu akan segera dimusnahkan seperti penjahat-penjahat yang pernah aku lumatkan”

Tetapi sekilas Mahisa Bungalan melihat kerut kening di wajah kawan anak muda itu, seolah-olah ada sesuatu yang tidak benar yang dikatakannya. Namun demikian. Mahisa Bungalan mengetahui bahwa anak muda itu tentu bersangkut paut dengan orang-orang Ganter yang menurut keterangan memang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Watan.

“Nah, aku akan menunggu di luar” berkata anak muda itu, lalu katanya kepada Mahisa Bungalan yang berdiri di luar warung itu, “Nah, kau sudah mengetahui persoalannya. Jika kau ingin duduk di bawah pohon preh itu duduklah. Mungkin kau akan melihat sesuatu terjadi di sini. Jika aku menang, kau dapat ikut bersorak. Tetapi jika aku kalah dan terbunuh, kau tidak usah menangis. Aku memang sudah sengaja melakukannya."

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia pun kemudian melangkah kembali ke bawah pohon preh dan duduk bersandar batangnya yang besar dan kukuh. “Siapakah anak muda itu” bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Bahkan kemudian timbullah keragu-raguannya atas sikap dan tingkah laku anak muda itu. Apakah ia akan dapat melakukan rencananya.

“Tetapi aku juga belum tahu, apakah orang yang bernama Ki Lambun itu benar-benar memiliki ilmu yang cukup”

Sejenak kemudian anak muda itu berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian mengitari warung dan beberapa penjual yang masih ada, tetapi yang sudah menjadi semakin sedikit. Satu-satu mereka meninggalkan tempatnya. Yang masih mempunyai banyak barang dagangan masih ada juga di tempatnya. Bahkan, ada di antara mereka yang bergeremang di antara kawannya, “Apa pula yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Jika ia tidak mengganggu Ki Lambun, maka aku kira tidak akan ada persoalan. Dengan memberi beberapa keping uang, ia akan pergi tanpa mengganggu kita”

“Tetapi, kadang-kadang Ki Lambun menuntut terlalu banyak” berkata yang lain.

“Biarlah dilakukan terhadap warung-warung yang besar” jawabnya.

Kawannya mengangguk-angguk. Sekilas dilihatnya anak muda yang nampaknya tidak sabar lagi menunggu. Sekali-sekali anak muda itu duduk di atas batu. Kemudian berjalan lagi hilir mudik. Sikapnya benar-benar membuat beberapa orang bertambah cemas, sehingga akhirnya tempat itu benar-benar menjadi semakin sepi.

Seorang penjual kedele yang duduk agak jauh dari warung-warung yang lain, merasa kesal karena peristiwa yang tidak di harapkannya itu. Ia lebih suka melihat Ki Lambun datang dan memaksa orang-orang yang mempunyai penghasilan yang lebih banyak dari dirinya untuk membayar lebih banyak.

Tetapi orang-orang yang pernah dikenai pungutan yang dilakukan oleh Ki Lambun, benar-benar mengharap bahwa pada suatu saat ada seseorang yang sanggup menghentikannya. Ki Lambun tidak segan-segan menyakiti mereka yang tidak mau memberikan uang yang dimintanya. Bahkan ia tidak segan-segan menyeret korbannya ke tengah-tengah bulak dan membiarkannya dibakar oleh terik matahari.

Namun nampaknya, ada beberapa orang yang tidak ingin mengalami peristiwa lain yang dapat mengungkat kemarahan Ki Lambun, sehingga ia akan bertindak lebih garang lagi. Bahkan mungkin Ki Lambun tidak saja bertindak kasar dan keras terhadap orang-orang yang dikiranya dapat memberikan uang banyak kepadanya, tetapi juga kepada penjual kecil hanya memiliki apa yang dibawanya saat itu.

“Mudah-mudahan Ki Lambun tidak datang” desis seseorang yang lain.

Tetapi yang lain lagi mengharap, “Mudah-mudahan kali ini ia datang. Anak muda itu tentu akan membinasakannya”

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan Ki Lambun tidak nampak datang, maka anak muda yang menunggunya itu menjadi semakin gelisah. Sementara kawannya yang tidak ikut hilir mudik bersamanya, telah duduk di bawah pohon preh di dekat Mahisa Bungalan.

Hampir di luar sadarnya orang itu bertanya, “Siapa namamu?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hampir tidak percaya ia bahkan bertanya, “Ki Sanak bertanya kepadaku?”

“Ya. Kau”

“Namaku Dogol” jawab Mahisa Bungalan.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Itu benar-benar namamu?”

“Ya. Memang namaku. Ki Buyut juga bertanya demikian kepadaku” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “siapakah nama Ki Sanak dan anak muda itu?”

“Namaku Makerti. Aku masih bersangkut paut kadang dari anak muda itu. Namanya Gemak Werdi. Ia murid seorang pertapa yang baru saja turun dari padepokannya. Ketika ia mendengar ceritera tentang Ki Lambun di daerah Watan, maka ia telah menawarkan diri untuk menghalaunya. Aku sudah memperingatkan, bahwa tugas ini bukan tugas yang ringan. Tetapi ia terlalu yakin akan ilmunya. Ilmu yang masih hangat” Namun orang itu kemudian berguman, “tetapi aku masih belum yakin, sehingga karena itu aku menyertainya”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa anak muda itu baru saja turun dari padepokan, sehingga ia merasa perlu untuk menguji ilmunya yang baru saja di terimanya dari tempatnya berguru.

Namun dengan demikian, justru orang yang mengikutinya itulah yang dinilai oleh Mahisa Bungalan sebagai seorang yang tentu memiliki ilmu yang cukup pula. Ia merasa perlu untuk menyertai salah seorang kadangnya yang telah terjun kedalam bahaya gawat. Tetapi ia tidak mencegahnya. Ia memberi kesempatan kepada anak muda yang bernama Gemak Werdi itu untuk mendapatkan pengalaman.

Tetapi sebuah pertanyaan telah tumbuh di dalam hati Mahisa Bungalan, kenapa justru ia mengatakannya kepadanya. Tetapi rasa-rasanya orang itu mengetahui pertanyaan yang melonjak di hati Mahisa Bungalan, sehingga orang itu berkata,

“Ki Sanak. Sikapmu yang aneh memberikan kesan yang aneh pula kepadaku. Aku belum mengenalmu. Mungkin kau justru anak buah Ki Lambun. Tetapi kau menunjukkan sesuatu yang lain dari orang kebanyakan, apalagi seorang yang bernama Dogol”

“Apakah yang lain?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kehadiranmu di sini, dan bahwa kau tidak berlari-lari kecil menyingkir, merupakan sesuatu yang aneh bagiku. Mungkin karena kau memang sangat dungu sehingga kau tidak mengerti bahaya yang gawat di tempat ini, tetapi mungkin pula bahwa kau terlalu yakin akan dirimu, bahwa kau akan dapat menghindarkan diri dari bahaya”

“Ah. apakah ada bahayanya duduk di sini?” bertanya Mahisa Bungalan, “bukankah aku tidak turut campur”

Tetapi Makerti tidak menjawab. Ia justru tersenyum.

Sementara itu, anak muda yang bernama Gemak Werdi itu menjadi semakin gelisah. Sejenak kemudian ia melangkah mendekati kawannya yang duduk di bawah pohon preh dekat Mahisa Bungalan sambil berkata, “Jika sebentar lagi orang itu tidak datang, kita akan kembali. Besok pada hari pasaran berikutnya aku akan datang. Aku akan memberikan tantangan langsung kepadanya. Jika ia menolak tantanganku, berarti ia akan menghentikan tindakan-tindakannya yang biadab itu”

Kawannya yang duduk iitu mengangguk. Jawabnya, “Baik. Kita kembali saja”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja, orang yang masih ada menjadi gelisah. Beberapa orang benar-benar telah, meninggalkan tempatnya. Penjual di warung di dekat pohon preh itu pun dengan tergesa-tergesa pula mengumpulkan dagangannya yang tersisa. Tetapi ia tidak berani menutup pintu warungnya.

Dari kejauhan mereka melihat sekelompok orang berjalan dengan tenang mendekati tempat itu. Sekelompok orang yang sudah banyak dikenal, karena pemimpin kelompok itulah yang disebut Ki Lambun.

Makerti yang juga melihat kehadiran orang-orang itu menjadi gelisah. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berbisik, “Gemak Werdi benar-benar orang baru sehingga ia masih harus menilai dirinya sendiri”

“Tetapi bagaimana jika ia gagal seperti yang dikatakannya?” bertanya Mahisa Bungalan sambil berbisik pula.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun di luar sadarnya ia telah memutar pedang pendek yang tergantung di pinggangnya. Mahisa Bungalan kemudian beringsut surut. Katanya, “Aku tidak mau terlibat. Aku akan pergi saja”

Gemak Werdi memandanginya sejenak. Lalu katanya, “Jika kau pergi, pergilah. Tetapi jika kau ingin melihat Lambun mati, tinggallah di sini”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bergeser menjauh, meskipun ia tidak meninggalkan tempat itu. Dengan tegang ia pun kemudian berdiri di sudut sebuah warung yang masih tetap terbuka, karena pemiliknya tidak berani menutup pintunya.

Sejenak kemudian, sekelompok orang yang berjalan dengan tenang itu pun sudah menjadi semakin dekat. Adalah mendebarkan, karena mereka justru mendekati warung tempat Mahisa Bungalan berdiri, beberapa langkah dari Gemak Werdi yang menunggu sambil bersandar dinding warung yang lain.

Sekilas Mahisa Bungalan dapat mengetahui, yang manakah yang menjadi pemimpin dari kelompok orang-orang yang namanya telah menghantui daerah Watan itu. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia melihat orang yang diduganya bernama Ki Lambun itu mengangguk hormat di muka pintu warung yang terbuka itu. Dengan ramah ia berkata,

“Selamat siang Ki Sanak. Aku mohon maaf bahwa aku datang agak terlambat”

“O” terdengar suara gemetar, “silahkan, silahkan Kiai”

Orang itu tertawa pendek. Sekali lagi ia mengangguk dalam-dalam. Bahkan terlalu dalam, sambil berkata, “Kedatanganku tidak ada ubahnya dengan kedatanganku sebelumnya. Kami adalah orang-orang miskin yang perlu dikasihani. Sebenarnyalah bahwa kami sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Ki Sanak. Namun apa boleh buat, bahwa kami masih harus datang lagi kali ini. Mudahkan kami untuk seterusnya tidak akan mengganggu Ki Sanak lagi”

Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tetapi, apakah yang dapat aku berikan kali ini. Masih belum banyak orang yang membeli sementara Ki Branang telah datang pula. Karena itu, aku mohon maaf, bahwa yang dapat aku sediakan tidak terlalu banyak”

Ki Lambun tertawa. Katanya, “Itu tidak menjadi soal Ki Sanak. Sedikit pun sudah cukup bagi, kami. Kami akan mengucapkan beribu terima kasih”

Mahisa Bungalan yang berdiri tegak di sudut warung itu menjadi termangu-mangu. Sejenak ia tidak mendengar sesuatu sementara Ki Lambun melangkah masuk ke dalam warung itu.

“Ini Kiai” terdengar kemudian suara pemilik warung itu.

“Apakah sudah tidak ada lagi yang dapat kami terima Ki Sanak?” bertanya Ki Lambun.

“Maaf Kiai Semua yang aku dapatkan hari ini sudah aku berikan semuanya. Sebagian kepada Ki Branang”

“Terima kasih Ki Sanak” jawab Ki Lambun, “tetapi kenapa Ki Sanak memberikan sebagian dari milik Ki Sanak kepada Ki Branang. Seharusnya Ki Sanak tidak melakukannya. Aku pun berusaha untuk dapat berjumpa dengan Ki Branang. Aku ingin memperingatkan kepadanya, agar ia tidak melakukannya lagi. Bukankah yang dilakukan itu sama sekali tidak berperi-kemanusiaan? Ki Sanak adalah orang-orang yang berusaha dengan susah payah. Ki Branang datang dengan tanpa berbuat apa-apa, mengambil uang Ki Sanak dan di berikannya kepada Ki Buyut” Ki Lambun berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku masih segan berurusan dengan orang itu lebih jauh lagi. Namun apabila pada suatu saat aku tidak dapat mengendalikan perasaan belas kasihanku kepada para pemilik warung disini, maka aku akan terpaksa bertindak”

Pemilik warung itu sama sekali tidak menyahut.

“Sudahlah Ki Sanak” berkata Ki Lambun, “aku mohon diri. Semua yang telah aku terima, akan aku pergunakan sebaik-baiknya bagi kepentingan kami sekeluarga. Kebaikan hati Ki Sanak tidak akan dapat aku lupakan”

“Silahkan Kiai” jawab pemilik warung itu.

“Tetapi” tiba-tiba saja Ki Lambun berkata, “nampan teko dari tembaga itu baik sekali Ki Sanak.

“O. Itu peninggalan orang tuaku Kiai. Nampan tembaga itu dengan teko dan mangkuk-mangkuknya”

“Ah manis sekali. Jika Ki Sanak bermurah hati, aku ingin memilikinya untuk kenang-kenangan, bahwa Ki Sanak telah menolong kami dan keluarga kami”

“Tetapi, tetapi Kiai telah membawa teko berselut perak itu beberapa hari yang lalu”

“Lupakan Ki Sanak. Lupakan saja yang sudah lalu. Sekarang aku berterima kasih sekali atas kebaikan hati Ki Sanak”

Tidak ada jawaban. Yang terdengar adalah gemerincing mangkuk dan nampan tembaga yang agaknya telah diambil oleh Ki Lambun.

“Gila” geram Mahisa Bungalan, “keramahan seekor serigala”

Sejenak kemudian Ki Lambun telah keluar dari warung itu. Ia berhenti termangu-mangu ketika ia mendengar Gemak Werdi yang berdiri bersandar dinding warung yang lain mendeham. Ki Lambun memandanginya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Apakah Ki Sanak tertarik kepadaku dan kawan-kawanku”

Gemak Werdi pun kemudian melangkah mendekat. Ia sama sekali tidak nampak ragu-ragu meskipun ia melihat bahwa kelompok yang dipimpin oleh Ki Lambun itu berjumlah lebih dari lima orang.

“Apakah Ki Sanak yang bernama Ki Lambun?” bertanya Gemak Werdi.

Ki Lambun memandang anak muda itu dengan tajamnya. Ia melihat sesuatu yang lain pada Gemak Werdi daripada orang-orang lain di daerah Watan yang pernah dikenalnya.

“Akulah orang yang disebut Ki Lambun” jawab Ki Lambun dengan kerut merut di dahinya.

“Ha” sahut Gemak Werdi, “sekarang aku berhasil menemuimu. Beberapa hari yang lalu, aku pernah berjanji kepada orang-orang Watan yang terlalu baik hati untuk datang menjumpaimu. Tetapi di hari pasaran yang lalu, aku berhalangan, sehingga, baru sekarang aku datang lagi memenuhi janji itu”

“O. Nampaknya kau memang sangat tertarik kepadaku” berkata Ki Lambun.

“Bukan tertarik kepadamu. Nampaknya kau seorang yang lumrah. Bahkan sudah lebih tua dari dugaanku. Yang menarik adalah tingkah lakumu. Ternyata kau mempunyai tingkah laku yang berbeda dari yang aku bayangkan. Aku kira kau adalah seorang yang dengan garang menendang pintu yang tertutup. Melemparkan tempat makanan dan mangkuk di paga warung itu. Kemudian dengan rakus mengambil semua uang yang ada sambil membentak-bentak dengan kasar” ia berhenti sejenak, lalu, “ternyata kau adalah seorang yang ramah, sopan, bahkan terlalu sopan, karena kau membungkukkan punggungmu terlalu dalam di muka pintu saat kau memasuki warung itu. Dengan ramah dan rendah hati kau minta belas kasihan kepada pemiliknya."

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Namun ia pun kmudian tertawa sambil berkata, “Bukankah itu lebih baik. Aku memang menghargai sopan santun. Aku menghormati adat dan mencoba untuk bertingkah laku sebaik-baiknya”

“Dan itu sudah kau lakukan dengan baik. Tetapi sayang, bahwa di balik tingkah lakumu yang baik, rendah hati, ramah dan sopan itu, tersembunyi maksudmu yang justru jauh lebih jahat dari orang-orang kasar yang menendang pintu dan menghamburkan makanan”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau terlalu banyak berbicara, anak muda. Aku mohon agar kau sudi berlalu dari tempat ini. Aku hargai perhatianmu atas kami sekelompok kecil ini. Tetapi agaknya waktu kami tidak terlalu banyak untuk melayanimu. Jika kau tidak sudi untuk meninggalkan tempat ini, baiklah kamilah yang akan mohon diri untuk melanjutkan tugas kami. Kami masih akan pergi ke warung sebelah dan yang lain lagi. Agar kami tidak kesiangan sampai di rumah, maka kami akan melanjutkannya sekarang. Isteri dan anak-anak kami yang perlu dikasihani, sudah menunggu kami. Tentu mereka belum makan karena mereka tidak mempunyai persediaan apapun juga, selalu menunggu kepergian kami untuk mendapat belas kasihan dari pada pemilik warung yang mempunyai uang berkelebihan”

Jawaban dan sikap Ki Lambun yang ternyata tidak mencerminkan sikapnya yang jujur itu, membuat dada Gemak Werdi semakin bergejolak. Bahkan tiba-tiba meledaklah perasaannya yang tertahan selama itu, “Gila. Kau masih mempertahankan sikapmu yang berlebih-lebihan itu? Kau kira itu bukan suatu penghinaan bagiku?”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Nampak kerut-marut ketegangan di wajahnya. Katanya, “Aku tidak mengerti, anak muda. Apakah maksudmu? Aku hanya sekedar minta belas kasihan disini. Apa salahku? Jika ada orang yang menaruh belas, akan memberinya dengan ikhlas. Jika tidak, maka aku pun tidak akan menyesali nasib karena aku harus menyadari bahwa sikap seseorang itu tidak harus sama yang satu dengan yang lain”

“Jangan berkicau lagi seperti burung kedasih. Kembalikan semuanya yang kau ambil dari warung itu. Apa saja. Tentu nampan tembaga itu juga kau ambil dari warung itu”

Wajah Ki Lambun menjadi semakin tegang. Katanya, “Anak muda. Selama aku berkeliaran di daerah Watan untuk mohon belas kasihan aku belum pernah menjumpai sikap seperti ini. Jika kau tidak mempunyai belas sedikitpun, baiklah, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi jangan membentak-bentak dan berlaku demikian kasar”

“Persetan” anak muda itu menggeram, “kembalikan barang-barang itu. Juga yang lain-lain yang tentu kau rampok dari warung-warung atau rumah-rumah yang kau jadikan sumber perahan seperti kau memerah kelapa untuk mendapatkan santannya. Sampai akhirnya menjadi ampas yang kering dan tidak berarti sama sekali”

“Sudahlah anak muda” potong Ki Lambun, “apakah maumu sebenarnya”

“Menghentikan ulahmu yang gila itu. Kau mengerti? Jika dan dapat diajak berbicara dan mengerti kata-kataku, maka tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi jika kau keras kepala, maka aku akan bertindak lebih kasar lagi”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi bertambah tegang. Katanya, “Kau memang tidak dapat dihargai dengan sikap yang baik dan adat yang lengkap. Kalau begitu, apakah aku harus bersikap kasar?”

“Bersikaplah seperti sikapmu yang sewajarnya. Kau adalah seorang perampok apapun alasanmu dan cara apapun yang kau lakukan”

Ki Lambun akhirnya tidak id!apat menguasai diri lagi. Sambil menggeram ia berkata, “Apa maumu sekarang?”

“Nah, itu adalah sikapmu yang jujur. Sikapmu sebagai seorang perampok. Dan aku pun akan menunjukkan sikapku yang jujur. Aku bukan anak muda yang berbudi pekerti seperti seorang perempuan. Aku akan memilih berkelahi untuk maksud baikku”

Ki Lambun pun kemudian menggeram. Selangkah ia surut. Kemudian ia pun menggeram, “Anak muda yang gila. Kau belum mengenal Lambun yang sebenarnya”

“Memang belum karena sikapmu yang pura-pura dan dibuat-buat Tetapi justru sangat memuakkan itu”

Wajah Ki Lambun menjadi merah. Ia belum pernah di perlakukan sekasar itu. Apalagi oleh seorang anak muda yang tidak dikenal. Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, “Anak muda. Jangan banyak tingkah. Aku dapat berbuat baik, sopan dan menurut adat. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar dan bahkan membunuh tanpa akibat apapun yang dapat dikenakan atasku, karena aku akan melawan siapapun juga yang menganggap aku bersalah. Apalagi seseorang yang akan menjatuhkan hukuman atasku. Akulah yang justru akan menghukum seseorang yang tidak menyetujui sikap dan perbuatanku. Termasuk kau”

Tetapi Gemak Werdi tertawa. Katanya, “Kau mempunyai sikap yang aneh. Tetapi kau kasar seperti aku. Karena itu, maka persoalan ini hanya dapat diselesaikan dengan perkelahian. Salah seorang dari kita harus kalah. Bahkan kekalahan itu harus jelas”

“Aku mengerti maksudmu. Salah seorang dari kita harus tidak berdaya lagi untuk melawan. Bahkan mati”

Sekali lagi Gemak Werdi tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang cerdas”

“Gila. Kau memang anak muda yang gila. Cepat, bersiaplah. Sekejap lagi kau akan mati. Dan aku akan memenggal kepala setiap korbanku”

“Bagus. Marilah kita berkelahi. Aku menghargai sikapmu jika kau menghadapi aku dalam perkelahian jantan. Seorang lawan seorang. Tetapi jika kau terbiasa berkelahi dalam kelompokan yang lebih dari lima orang itu, aku pun tidak akan gentar”

“Persetan. Bersiaplah”

Gemak Werdi meloncat surut, ketika ia melihat Ki Lambun yang marah itu melangkah maju. Dengan hati-hati ia berdiri menghadap lawannya yang seorang itu, tetapi ia tidak melepaskan perhatiannya kepada kawan-kawan Ki Lambun yang ternyata telah bersiap-siap pula.

“Aku akan membunuhnya” geram Ki Lambun sambil melangkah maju lagi.

Gemak Werdi melangkah selangkah surut. Tetapi ia masih tersenyum sambil berkata, “Kita benar-benar akan mulai. Bersiaplah. Jangan hanya marah-marah saja”

Ki Lambun menggeram. Namun ia pun terkejut ketika tiba-tiba saja anak muda itu meloncat menyerang dengan kecepatan yang tidak diduganya. Ki Lambun terlambat menghindar. Karena itu, maka serangan tangan Gemak Werdi berhasil menyentuh pundaknya sehingga Ki Lambun terdorong oleh kekuatan raksasa ke samping. Hampir saja ia terlempar jatuh. Untunglah bahwa orang itu masih sempat berputar dan memperbaiki keseimbangan dengan sebuah loncatan kecil. Namun dalam pada itu terdengar ia mengumpat dengan kasar, “Anak setan. Kau licik”

“Bukankah kita sudah bersiap untuk mulai” Gemak Werdi bertanya sambil tertawa kecil.

Sikap itu benar-benar menyakitkan hati Ki Lambun yang sudah melakukan pekerjaan itu untuk waktu yang lama tanpa seorang pun yang menghalanginya. Pada permulaan dari pekerjaannya, memang ada satu dua orang yang mencoba mencegahnya. Terutama orang-orang dan bebahu Watan yang merasa tersinggung atas perbuatannya. Tetapi dengan mudah mereka ditundukkannya dan bahkan untuk seterusnya tidak berani lagi menghalanginya.

“Kini aku tidak mempunyai pilihan lajni kecuali membunuhmu” geram Ki Lambun.

Namun jawab Gemak Werdi semakin menyakiti hatinya. Berkata anak muda itu, “Jangan hanya bicara saja seperti orang menggigau. Ayo, berbuatlah sesuatu”

Ki Lambun tidak dapat menahan hatinya yang terbakar. Dengan serta merta ia meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Gemak Werdi telah bersiap menghadapi serangan itu. Karena itu, dengan tangkasnya ia meloncat mengelak, sehingga setangan lawannya tidak menyentuhnya. Bahkan ia sudah memperhitungkannya sebelumnya. Kemarahan Ki Lambun adalah salah satu segi kelemahannya. Katena itu, demikian kakinya menyentuh tanah, Gemak Werdi langsung menyerang dengan putaran kakinya yang mendatar.

Ki Lambun terlambat menghindar. Karena itu maka serangan tangan Gemak Werdi berhasil menyentuh pundaknya, sehingga Ki Lambun terdorong oleh kekuatan raksasa ke samping. Serangan itu pun mengejutkan lawannya. Dengan tergesa-gesa Ki Lambun meloncat mengelak.

Namun ternyata bahwa Gemak Werdi mengubah sikapnya. Kakinya yang berputar mendatar itu tiba-tiba merapat. Seperti seekor bilalang ia melenting. Ketika kakinya terbuka, maka Ki Lambun tidak dapat menghindarinya lagi. Sekali lagi Ki Lambun tersentuh serangan Gemak Werdi sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.

Ki Lambun menggeram oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi, kegagalannya telah memperingatkannya, bahwa anak muda itu ternyata bukan anak muda kebanyakan yang hanya sekedar didorong oleh keinginannya menjadi seorang pahlawan. Tetapi anak muda yang sedang dihadapinya itu benar-benar memiliki bekal ilmu yang dapat dibanggakan.

Di luar arena, kawan-kawan Ki Lambun memperhatikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka ingin meloncat memasuki arena dan beramai-ramai mencincang anak muda yang sombong itu. Namun mereka masih harus menunggu perintah Ki Lambun, sehingga dengan demikian mereka hanya dapat memandang perkelahian itu dengan gigi gemeretak.

Di bawah pohon preh, kawan Gemak Werdi telah berdiri pula. Wajahnya pun menegang. Tangannya telah berada di hulu pedangnya dengan gemetar. Tetapi ia pun tidak berbuat sesuatu. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Bahkan sekali-sekali ia sempat memandang Mahisa Bungalan yang, memperhatikan perkelahian itu dengan saksama.

Sejenak kemudian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Ki Lambun tidak mau lagi membuat kesalahan-kesalahan yang akan dapat mencelakakannya. Ia sudah dikenai lebih dahulu serangan-serangan anak muda yang sombong itu. Rasa-rasanya sentuhan itu telah membuat darahnya menjadi mendidih.

Karena itu, maka perkelahian berikutnya benar-benar diperhitungkannya dengan cermat. Meskipun kemarahannya masih tetap menyala, namun ia tidak terseret tanpa perhitungan seperti yang telah dilakukannya.

Namun demikian, ternyata Gemak Werdi tidak terdesak karenanya. Meskipun ia tidak sempat lagi tersenyum dan apalagi tertawa, namun ia masih tetap dapat bertahan dari serangan Ki Lambun yang datang beruntun bagaikan badai.

Mahisa Bungalan yang berdiri tegak di tempatnya, memandang perkelahian itu dengan berdebar-debar. Ketajaman pengamatannya mencoba menilai, siapakah yang akan memenangkan perkelahian itu.

Sejenak kemudian Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda yang baru saja turun dari perguruannya itu memang memiliki kelebihan. Tenaganya tentu lebih kuat, dan tata gerak dasarnya benar-benar dikuasainya. Tetapi Ki Lambun nampaknya memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak. Kemampuan ilmu yang masih hangat itu, ternyata dapat diimbangi dengan pengalaman yang matang. Sekali-sekali anak muda itu berhasil mendesak lawannya, bahkan serangannya berhasil mengenai sasarannya.

Tetapi tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangan gerak, sehingga lawannya berhasil melepaskan diri dari libatan ilmunya. Bahkan kemudian, Ki Lambun berhasil memancing anak muda itu ke dalam suatu keadaan yang sulit baginya karena keterikatannya pada unsur-unsur tata gerak yang baru saja dikuasainya, namun belum mapan di dalam penggunaan yang kadang-kadang terlepas dari tuntunan tata gerak di padepokan.

Meskipun demikian, Mahisa Bungalan tidak melihat kesulitan yang berbahaya pada. anak muda itu. Meskipun sekali-sekali ia terdesak dan menjadi agak bingung, namun pada suatu saat, ia berhasil menemukan kembali imbangan perlawanannya.

Ki Lambun yang menjadi semakin marah, akhirnya tidak telaten lagi. bertempur dengan tangan dan kakinya. Ia tidak dapat mengendalikan diri lagi sehingga ia pun kemudian berteriak nyaring, “Tidak ada kesempatan lagi bagimu anak muda. Aku sudah cukup sabar dan berbaik hati. Meskipun aku sekedar mencari belas kasihan orang di daerah Watan, namun aku masih juga mempunyai harga diri, dan masih sanggup membunuh orang yang paling garang sekalipun di muka bumi ini. Karena itu, maka kau pun akan segera mati karena pedangku ini”

Gemak Werdi meloncat surut ketika ia melihat ditangan Ki Lambun tergenggam sebilah pedang yang tajam di kedua sisinya, berujung runcing dan berjalur berjajar tiga di sepanjang batangnya.

“Kau memang sepantasnya mati anak muda” berkata Ki Lambun dengan wajah yang merah padam.

Gemak Werdi memandang pedang itu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Aku juga mempunyai senjata yang dapat melawan senjatamu itu”

Ki Lambun menggeram, “Aku sudah tahu. Karena itu, jangan banyak berkicau”

Gemak Werdi meloncat surut ketika ia melihat ditangan sebuah pedang. Tidak terlalu panjang, tetapi pedang itu adalah pedang yang berat.

Ketika Ki Lambun kemudian melangkah maju, maka Gemak Werdi pun menyilangkan senjatanya di muka dadanya sambil berkata, “Pedangku tidak semanis pedangmu. Tetapi pedangku adalah pedang yang selalu haus”

Ki Lambun tidak menjawab. Tiba-tiba saja pedangnya terjulur lurus mengarah ke leher Gemak Werdi. Gemak Werdi tidak menangkis. Ia tahu, lawannya ingin menjajagi tentang pedangnya. Karena itu, ia hanya bergeser surut sambil memiringkan tubuhnya.

“Jangan tergesa-gesa” berkata Gemak Werdi, “kau tentu akan mengetahui, bahwa pedangku terbuat dari baja pilihan”

“Persetan” geram Ki Lambun, “kau memang harus segera mati karena kesombonganmu itu”

Serangan Ki Lambun pun kemudian datang membadai. Padangnya berputaran seperti baling-baling. Namun kadang-kadang pedang itu terjulur mematuk dengan dahsyatnya.

Dalam pertempuran yang kemudian menjadi semakin sengit, Gemak Werdi tidak dapat lagi menghindari benturan senjata. Ketika senjata Ki Lambun terayun deras menebas ke arah leher, maka dengan kekuatan dorong yang menghentak, Gemak Werdi membenturkan pedangnya menangkis serangan lawannya. Benturan yang terjadi adalah benturan yang keras dari dua kekuatan yang besar, sehingga bunga api pun berloncatan di udara.

Ternyata kedua pedang itu memang terbuat dari besi baja pilihan. Pedang Ki Lambun yang berjalur tiga jajar ternyata merupakan pedang yang bukan saja tajamnya bagaikan welat bambu wulung, tetapi juga pedang yang kuat. Sementara pedang Gemak Werdi adalah pedang pilihan yang kokoh kuat seolah-olah terbuat dari besi baja berlapis sembilan.

Dalam pada itu, perkelahian antara kedua orang itu menjadi semakin lama semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan kemampuan mereka dalam ilmu pedang yang tinggi. Namun untuk beberapa saat kemudian, masih belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari keduanya akan terdesak, dan apalagi dikalahkan. Namun bahwa mereka telah bertempur dengan senjata, adalah pertanda bahwa perkelahian itu tentu akan menjalar semakin luas diantara kawan masing-masing.

Ki Lambun yang sudah melakukan pekerjaan untuk waktu yang lama tanpa ada seorang pun yang berani merintangi-nya, merasa betapa sombongan anak muda yang bernama Gemak Werdi itu. Dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk segera mengakhiri perkelahian meskipun ia harus membunuh. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun seorang anak muda yang tangguh, dan tidak mudah dikalahkannya.

Dalam kemarahan yang memuncak, Ki Lambun berteriak, “He anak gila. Masih ada kesempatan bagimu untuk minta maaf. Jika tidak, maka aku akan segera mengakhiri perlawananmu. Mungkin kau tidak akan sempat menyesali kesombonganmu, karena kepalamu akan terpisah dari batang lehermu”

“Persetan” bentak Gemak Werdi, “Matilah jika kau sendiri akan mati”

“Aku tidak sabar lagi” geram Ki Lambun, “orang-orangku pun tidak sabar lagi karena kami masih mempunyai banyak pekerjaan”

Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa ia pun telah terbentur pada suatu kenyataan yang di luar dugaannya. Disangkanya orang yang bernama Ki Lambun adalah seorang perampok kecil yang hanya dapat menakut-nakuti orang-orang padukuhan. Disangkanya bahwa dalam satu dua benturan senjata, orang itu akan segera kehilangan keseimbangan dan perlawanannya, sehingga ia akan segera dapat menyelesaikan anak buahnya meskipun akan mengeroyoknya bersama-sama. Namun ternyata bahwa Ki Lambun adalah orang tua yang tangguh dan mampu mengimbanginya.

Dalam pada itu, Ki Lambun sendiri merasa, meskipun pengalamannya memungkinkannya untuk mempertahankan diri dari ilmu anak muda yang baru saja turun dari perguruan itu, namun kemudian bahwa pernafasannya mulai terganggu setelah ia memeras segenap kemampuannya dalam perkelahian pedang. Ilmu pedang anak muda itu ternyata mempunyai beberapa segi kekuatan dan tata gerak yang berbahaya. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya, maka Ki Lambun pun menjadi semakin terengah-engah.

Gemak Werdi melihat kenyataan itu. Tetapi ia pun tidak dapat ingkar, bahwa kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi lawannya yang memiliki kemampuan yang kadang-kadang di luar jangkauan perhitungannya karena pengalaman orang tua itu telah jauh lebih banyak.

Dalam padia itu, ternyata Ki Lambun tidak lagi mempunyai pertimbangan lain. Ia merasa orang yang paling ditakuti di daerah Watan dan sekitarnya. Bahkan orang-orang Ganter tidak ada yang berani menghalanginya. Kini tiba-tiba saja anak muda itu datang dengan tangan di pinggang. Kemudian menghalanginya dengan pedang dan kesombongan.

Sejenak kemudian, ketika tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukannya, maka tiba-tiba saja Ki Lambun itu pun bersuit nyaring. Gemak Werdi terkejut mendengar suitan ku. Sementara kawannya yang berdiri di bawah pohon preh itu pun bergeser setapak. Mereka sudah menduga, bahwa suitan itu tentu berarti sebuah perintah.

Dengan demikian, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Dengan tajam Makerti yang masih berdiri di bawah pohon preh itu memperhatikan setiap gerak dari orang-orang Ki Lambun. Ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat semua orang yang datang bersama-sama dengan Ki Lambun telah bergeser. Bahkan kemudian mereka pun mulai melangkah melingkar, mengepung Gemak Werdi.

“Ha” Gemak Werdi yang melihat gerakan itu berteriak nyaring, “sekarang baru menyenangkan bagiku. Marilah bersama-sama menari dengan irama maut yang mendebarkan”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Ternyata anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan, meskipun anak muda itu tahu bahwa Ki Lambun seorang diri tidak dapat dikalahkannya.

“Apakah anak muda ini memang ingin membunuh diri tetapi mencari satu dua orang kawan untuk mati bersama?” bertanya Ki Lambun di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak mempedulikan lagi apapun alasannya. Sejenak kemudian ketika orang-orangnya sudah mengepung rapat, maka Ki Lambun pun berkata, “Anak muda, sayang sekali bahwa kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi keluar dari lingkaran maut ini. Kami akan membunuhmu apapun alasan yang aku sebutkan. Jika kau mati maka mayatmu akan menjadi pertanda, bahwa tidak seorang pun untuk selanjutnya yang boleh melawan segala kemauan Ki Lambun. Dengan tingkah lakumu yang tidak pantas itu, akibatnya akan menimpa setiap orang di Watan. Aku untuk seterusnya tidak hanya akan minta belas kasihan, tetapi aku akan menentukan apa saja yang harus disediakan oleh orang-orang Watan jika aku datang kapanpun. Bukan saja di hari-hari tertentu”

“Kau tidak akan dapat melakukannya” jawab Gemak Werdi, “sebentar lagi kau akan mati bersama orang-orangmu”

“Kau salah hitung anak muda. Mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka tidak terpaut banyak dengan aku sendiri. Karena itu, jika kau tidak dapat mengalahkan aku, maka kau memerlukan lebih dari lima orang lagi setingkat dengan ilmumu untuk melawan kami”

Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jangan menakut-nakuti seperti kepada anak-anak. Siapapun kalian, tetapi kalian akan aku hancurkan disini agar kalian tidak akan dapat mengganggu orang-orang Watan lagi. Dengan demikian maka kehidupan di padukuhan ini akan menjadi pulih seperti saat-saat kalian belum merampok daerah ini di hari-hari tertentu dan justru di saat yang paling ramai”

Ki Lambun menggemeretakkan giginya. Dengan keras ia menggeram, “Bunuh anak gila itu tanpa ampun”

Orang-orang yang mengepung Gemak Werdi pun mulai bergerak. Mereka bergeser merapat dengan senjata masing-masing sudah di dalam genggaman. Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Bagaimanapun juga ia menjadi berdebar-debar pula menghadapi orang-orang yang mengepungnya. Namun demikian, ia masih berhasil memulas wajahnya, sehingga kecemasan itu tidak nampak sama sekali.

Tetapi, ketika para pengikut Ki Lambun itu telah bergeser semakin mendekat, maka hampir di luar sadarnya ia pun memandang Makerti yang masih berdiri di tempatnya.

“Sekarang kau baru mengerti” berkata Makerti di dalam hatinya, “bahwa di luar padepokanmu masih banyak orang-orang yang memiliki kemampuan seimbang dengan kemampuanmu. Jika orang-orang Ki Lambun benar-benar memiliki ilmu yang hanya terpaut sedikit daripadanya, maka Gemak Werdi benar-benar terlibat kedalam kesulitan. Demikian pula aku sendiri, jika aku terlibat pula kedalamnya. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melepaskan anak itu seorang diri apapun yang akan terjadi”

Karena itu, ketika orang-orang yang mengepung Gemak Werdi bergerak semakin dekat, maka Makerti pun tiba-tiba berkata lantang, “Bagus sekali. Sekarang aku sudah melihat, apa yang mampu dilakukan oleh seorang yang bersama Ki Lambun. Seorang yang aku kira benar-benar seorang jantan yang berani dan jujur menghadapi lawan”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Dipandanginya Makerti yang melangkah mendekati arena dengan tangan yang melekat di hulu pedangnya. “Aku sudah menduga, bahwa kau adalah kawan anak muda itu” jawab Ki Lambun, “jika tidak, kau tidak akan berdiri saja di sana”

“Sebenarnya aku tidak ingin turut campur. Aku ingin melihat Gemak Werdi menyelesaikan masalahnya dengan orang besar yang menyebut dirinya Ki Lambun”

“Persetan” gertak Ki Lambun, “jangan mencari belas kasihan dengan cara itu. Aku tidak akan tersinggung dan aku tidak akan mempertahankan harga diriku dengan memerintahkan orang-orangku pergi. Yang akan terjadi adalah, kami bersama-sama akan beramai-ramai mencincang anak muda itu dan kau sekali. Meskipun orang lain akan menyebutkan apa saja aku tidak peduli. Aku memang seorang pengemis yang selalu mohon belas kasihan disini. Tetapi sayang, bahwa aku sendiri tidak mempunyai belas kasihan terhadap kalian berdua”

Makerti menarik nafas panjang sementara kakinya masih melangkah mendekat, “Kau cerdik. Aku mencoba menggelitikmu, sehingga kau menjadi marah dan berteriak. Biarkan aku berperang tanding. Tetapi ternyata aku tidak berhasil, karena hatimu benar-benar sudah menjadi kebal dan tidak mempedulikan lagi dengan harga dirimu yang memang tidak pantas dihargai. Tetapi aku kagum melihat sikapmu. Kau tidak tanggung-tanggung menginjak-injak namamu sendiri. Kau sebut dirimu peminta-minta atau pengemis atau apa saja. Tetapi yang lebih jantan, kau berani mengaku dengan terus terang, bahwa kau memang tidak berani berperang tanding dengan Gemak Werdi”

Jawab Ki Lambun adalah di luar dugaan, “Ya Ki Sanak. Aku memang tidak berani bertanding seorang diri? meskipun mungkin aku akan dapat memenangkan perang tanding itu. Yang penting bagiku, anak muda itu cepat mati. Dan kau pun cepat mati”

Makerti sudah berdiri beberapa langkah saja dari orang-orang yang mengepung Gemak Werdi. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, marilah kita teruskan pertempuran ini. Aku akan berpihak pada Gemak Werdi. Kami berdua akan melawan kalian bersama-sama. Mungkin pekerjaan kalian akan cepat selesai. Tetapi mungkin pula tidak”

Adalah di luar dugaan, bahwa belum lagi mulut Makerti tertutup rapat, dengan gerak yang tidak kasat mata, ia sudah mencabut pedangnya, langsung menyerang orang-orang yang terdekat.

Tidak seorang pun yang mengira bahwa hal itu akan di lakukannya. Karena itu, tidak seorang pun yang bersiap menghadapi kemungkinan itu. Dalam sekejap, dua orang pengikut Ki Lainbun telah terdorong surut. Seorang lagi mengaduh pendek.

“He, kau memang gila” teriak Ki Lambun.

Pada saat itulah, Gemak Werdi pun bagaikan orang kesurupan telah mengamuk dengan senjatanya. “Seorang pengikutmu mati. Seorang luka parah. Dan seorang lagi telah menitikkan darah” teriak Makerti. Sementara itu Gemak Werdi telah berhasil melukai seorang lawannya lagi dengan geraknya yang tiba-tiba pula.

Ki Lambun menggeram sambil memutar senjatanya. Dengan suara lantang ia berteriak pula, “Kalian orang-orang licik dan pengecut”

Sebelum Gemak Werdi menjawab, Makerti berteriak sambil bertempur, “Ya. Kita masing-masing adalah orang-orang yang tidak tahu malu dan tidak mempunyai harga diri”

Pertempuran pun segera berkobar dengan dahsyatnya. Meskipun dua orang pengikut Ki Lambun tidak lagi berada di arena, sementara dua orang lainnya sudah terluka, namun segera mereka berhasil mengepung Makerti dan Gemak Werdi yang bertempur beradu punggung.

Dari sudut warung di dekat arena perkelahian itu, Mahisa Bungalan segera melihat, bahwa sebenarnyalah Makerti memiliki ilmu yang lebih matang dari Gemak Werdi. Meskipun unsur-unsur gerak yang dikuasai oleh Gemak Werdi lebih lengkap, namun kematangan penguasaan Makerti lebih manyak menolongnya menghadapi lawannya yang berjumlah lebih banyak, bahkan berlipat ganda.

“Mereka adalah orang-orang gila” gumam Mahisa Bungalan. Ia heran melihat Ki Lambun yang sama sekali tidak mengenal malu. Tetapi ia pun heran melihat sikap Makerti yang gila dan di luar dugaan itu.

Yang telah terjadi itu membuat Ki Lambun dan pengikutnya menjadi sangat marah. Mereka pun kemudian bertempur bagaikan orang gila. Dua orang dliantara mereka telah tergelak di pinggir arena. Dua orang yang terluka masih dapat ikut serta dalam pertempuran. Justru mereka menjadi buas, seperti seekor harimau yang tersobek kulitnya.

Makerti dan Gemak Werdi bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Namun karena lawan terlalu banyak, maka segera mereka pun terdesak karenanya. Makerti yang bertempur beradu punggung dengan Gemak Werdi mengeluh di dalam hatinya, meskipun kadang-kadang masih terdengar ia berteriak nyaring.

“Aku sudah memperingatkan Gemak Werdi” katanya di dalam hati, “tetapi anak itu terlalu keras kepala. Kemampuan yang didapatnya di padepokan itu membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia ingin cepat dikenal sebagai seorang pahlawan”

Namun semuanya sudah terjadi. Makerti tidak dapat mengelak lagi dari akibat yang sudah ditimbulkan oleh tingkah laku Gemak Werdi. Namun, akibat itu agaknya menjadi terlalu parah. Ki Lambun dan pengikutnya, benar-benar sudah mengancam jiwanya. Apalagi salah seorang pengikutnya sudah terbunuh.

Tetapi perhitungan Makerti itu ternyata cukup cermat. Jika ia tidak mendahului dengan cara yang licik, maka dengan licik Ki Lambun akan lebih cepat membunuhnya, karena orang-orangnya masih utuh. Dua orang di antara mereka dan dua orang lagi terluka, telah mengurangi kekuatan Ki Lambun sehingga perlawanan mereka pun susut pula.

Meskipun demikian, karena jumlah mereka masih terlalu banyak, maka Gemak Werdi dan Makerti tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melepaskan diri dari kemarahan Ki Lambun dan orang-orangnya.

Pemilik warung yang mengintip pertempuran itu dengan tubuh gemetar melihat, bagaimana Ki Lambun yang marah bersama dengan orang-orangnya telah mengepung kedua lawannya dengan rapat.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar Ki Lambun berteriak nyaring, “Mampus kau. Jangan mengeluh lagi, bahwa umurmu sudah mendekati akhirnya”

Gemak Werdi menggeram. Segores luka telah menyobek lengan kirinya. Namun masih terdengar anak muda itu tertawa. Katanya, “Darah adalah pertanda kekuatanku akan tercurah di arena ini. Sejenak kemudian akan ternyata bahwa titik darahku akan menjadi isyarat kematianmu”

Tetapi Gemak Werdi terdiam ketika segores lagi luka membekas dipundaknya. Makerti mendengar Gemak Werdi berdesis. Dan ia pun mengerti bahwa Gemak Werdi telah terluka. Karena itulah, maka kecemasannya pun telah membakar jantungnya, meskipun ia berusaha untuk memulai dengan sikap dan tingkah laku yang gila.

Semakin lama semakin jelas, bahwa Gemak Werdi dan Makerti menjadi semakin terdesak. Gemak, Werdi pun merasa salah hitung atas kekuatan Ki Lambun. Ia menyangka bahwa perampok kecil itu tidak akan mampu mengimbangi ilmunya. Tetapi ternyata bahwa Ki Lambun pun memiliki pengalaman yang cukup untuk melawan ilmu Gemak Werdi yang masih hangat itu. Betapapun banyak jenis dan pengenalan unsur gerak, tetapi pengalamannya masih sangat muda, sehingga pertempuran yang sebenarnya benar-benar mengejutkannya.

Tetapi Gemak Werdi ternyata adalah anak muda yang keras kepala. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia masih berjuang untuk menebus luka-lukanya. Namun sebenarnyalah ia sudah tidak dapat berbuat lain. Tidak ada jalan lagi baginya untuk melepaskan diri dari kepungan Ki Lambun dan orang-orangnya, sehingga pertempuran itu harus diselesaikannya dengan tuntas.

Mahisa Bungalan melihat perkelahian itu dengan jantung yang bagaikan berdenyut semakin cepat. Ia melihat Gemak Werdi sudah mulai kehilangan keseimbangannya. Makerti pun sudah banyak membuat kesalahan, sehingga sentuhan senjata lawannya telah menitikkan darah pula dari kulitnya.

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun terasa di dalam dadanya gejolak perasaannya bagaikan meretakkan tulang-tulangnya., “Orang-orang gila itu semakin dekat dengan batas umurnya” desis Mahisa Bungalan.

Meskipun ujung senjata Makerti dan Gemak Werdi masih sempat melukai lawannya, tetapi pengaruhnya tidak banyak lagi bagi keseimbangan pertempuran itu. Ki Lambun sudah meyakini kemenangan yang bakal dicapainya. Dan ia pun sudah membayangkan, kedua lawannya itu akan dicincangnya sampai lumat.

Hampir di luar sadarnya ia berkata lantang, “Nasibmu sangat buruk orang-orang gila. Kalian akan menjadi makanan anjing lapar. Sementara orang-orang Watan akan menjadi semakin menderita karena tingkah lakumu. Satu kematian dari orang-orangku akan ditebus dengan seribu keping uang perak oleh orang Watan. Aku akan datang setiap hari untuk memungut uang pengganti itu sampai lunas. Aku akan mempergunakan cemeti dan cambuk untuk memaksa orang-orang Watan membayar upeti karena kematian orang-orangku sebagai tebusan kesalahan mereka, karena mereka sama sekali tidak berusaha membantuku sekarang ini”

Orang-orang Watan yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Pemilik warung itu mengumpati Gemak Werdi dan Makerti tidak habis-habisnya.

“Apa boleh buat” Ki Lambun berkata semakin keras, “semuanya memang harus terjadi. Tidak seorang pun dapat menghindarkan diri dari nasib buruk seperti kawanku yang terbunuh dan terluka parah itu. Demikian pula anak muda dan kawannya itu serta orang Watan seluruhnya”

Jantung Mahisa Bungalan menjadi semakin cepat berdenyut. Ia melihat saat-saat terakhir dari perlawanan Makerti dan Gemak Werdi. Luka-luka mereka menjadi semakin banyak mengalirkan darah, sedangkan kekuatan mereka pun sudah jauh menyusut dari saat-saat mereka mulai dengan pertempuran itu.

“Menyerahlah” teriak Ki Lambun, “berbaringlah dengan tenang. Kami akan mengakhiri hidup kalian dengan sebaik-baiknya dan tak menimbulkan rasa sakit”

“Persetan” geram Makerti. Namun ia sudah tidak mampu berbuat lebih banyak dari sekedar menangkis dan menghindar.

Pada saat demikian itulah Mahisa Bungalan tidak dapat menahan hati lagi. Betapapun juga gilanya Gemak Werdi dan Makerti, namun sebenarnya mereka mempunyai maksud yang baik. Bahkan Makerti nampaknya sudah banyak memberikan pertimbangan kepada Gemak Werdi. Tetapi agaknya anak muda itu tidak menghiraukannya. Anak muda itu ingin menilai, betapa dahsyat ilmu yang telah diterimanya di padepokan tempat ia berguru. Ilmu pedang yang dikuasainya, dikiranya adalah ilmu yang paling sempurna di muka bumi.

Namun berhadapan dengan Ki Lambun yang berpengalaman, ternyata anak muda itu harus mulai memperhitungkan kenyataan. Agaknya jalan kembali telah tertutup sama sekali. Ada niat Mahisa Bungalan untuk meninggalkan tempat itu tanpa melibatkan diri, agar orang-orang Watan tetap menganggapnya sebagai seorang perantau yang tidak berarti.

Tetapi ketika ia melihat jiwa yang terancam, maka ia menjadi ragu-ragu. Apalagi ketika ia mendengar, bahwa ternyata Ki Lambun justru telah mengancam orang-orang Watan pula yang sebenarnya sudah cukup menderita karena tingkah lakunya. Baru pada saat-saat terakhir Mahisa Bungalan mengambil keputusan. Ia tidak sampai hati membiarkan Gemak Werdi yang masih muda itu terkapar di tanah di samping Makerti yang sekedar membelanya.

Karena itu, maka perlahan-lahan ia mulai bergerak. Mula-mula ia maju selangkah. Diamatinya orang-orang yang terluka dan bahkan yang telah terbunuh. Namun ketika keadaan sudah sedemikian gawatnya bagi Gemak Werdi dan Makerti, bahkan saat-saat kematian itu telah membayang, Mahisa Bungalan itu pun meloncat memungut senjata pengikut Ki Lambun yang telah mati sambil berkata,

“Aku terpaksa ikut campur. Tidak adil bahwa dua orang harus melawan jumlah yang berlipat. Aku akan menempatkan diri pada jumlah yang kecil dan melawan jumlah ang besar”

“Gila” teriak Ki Lambun, “he, siapa kau pengemis?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Dalam pada itu, Makerti berkata dengan suara berat disela-sela nafasnya yang tersengal, “Aku sudah menduga, bahwa namamu bukan Dogol”

Ki Lambun dan para pengikutnya hampir tidak percaya melihat kehadiran Mahisa Bungalan itu. Karena itu maka sejenak mereka justru termangu-mangu. Namun Ki Lambun yang kemudian segera menguasai perasaannya berteriak, “Persetan dengan pengemis dungu itu. Siapapun ia namun jika benar-benar ia ikut campur, maka ia pun akan mengalami kematian yang mengerikan”

Mahisa Bungalan seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan ialah yang kemudian berkata, “Gemak Werdi. Ternyata kau memang terlalu bangga akan ilmumu yang baru saja kau sadap dari perguruanmu, sehingga kau tergesa-gesa untuk mencari lawan. Tetapi kebetulan yang kau jumpai adalah serigala Watan yang bernama Ki Lambun sehingga kau agaknya telah terperosok ke dalam kesulitan”

Gemak Werdi menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Di saat darahnya sudah menitik, ia sulit untuk menelusuri kebenaran kata-kata Mahisa Bungalan itu.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah menggenggam senjata pengikut Ki Lambun yang sudah terbunuh oleh kegilaan Makerti di saat ia mulai dengan pertempuran itu. Meskipun ia tidak terbiasa mempergunakan senjata itu, namun kemampuannya menguasai segala macam senjata segera dapat menyesuaikannya dengan pedang pendek yang seolah-olah tanpa sisi yang tajam. Tetapi kekuatan ayunlah yang diperlukan oleh senjata semacam itu. Senjata yang seolah-olah tidak lebih dari sepotong besi yang pipih.

“Persetan” geram Ki Lambun, “bunuh anak itu sama sekali”

Mahisa Bungalan masih berdiri tegak di luar arena. Namun kemudian ia melangkah mendekat. Dua orang pengikut Ki Lambun telah menyongsongnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya Makerti dan Gemak Werdi dapat bernafas lagi. Mereka tidak lagi merasa di himpit oleh kekuatan yang tidak terlawan. Apalagi karena lawan mereka pun telah sama-sama menitikkan darah.

Dalam sesaat, setelah kedua orang pengikut Ki Lambun bertempur melawan Mahisa Bungalan, segera ternyata bahwa keduanya tidak mampu berbuat sesuatu. Ketika salah seorang dari keduanya mengayunkan senjatanya, maka dengan sebuah putaran ujung pedang tumpulnya, Mahisa Bungalan seolah-olah telah menghisap senjata lawannya sehingga terlempar beberapa langkah.

“Gila” orang itu berteriak.

Ternyata Ki Lambun pun melihat hal itu. Segera ia menyadari bahwa anak muda itu adalah anak muda yang justru paling berbahaya dari kedua lawannya yang terdahulu. Karena itulah maka ia pun menggeram, “Lepaskan anak muda itu. Akulah yang akan mencincangnya”

Mahisa Bungalan mengerutkan kening. Ia melihat Ki Lambun meloncat dengan garangnya memasuki arena untuk melawan Mahisa Bungalan bersama seorang pengikutnya, sementara pengikutnya yang lain, telah menempatkan diri untuk melawan Makerti.

Namun sejenak kemudian, pertempuran itu pun mulai dibayangi oleh kegelisahan bagi Ki Lambun dan pengikut-pengikutnya. Ternyata anak muda yang memasuki arena itu justru memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari kedua lawannya yang terdahulu.

“He, siapakah kau sebenarnya anak gila?” teriak Ki Lambun.

“Jangan bertanya” sahut Mahisa Bungalan, “menyerahlah. Dan berjanjilah bahwa kau tidak akan berbuat sesuatu atas orang-orang Watan untuk selanjutnya”

“Persetan” teriak Ki Lambun, “aku bunuh kau tanpa mengenal namamu”

Tetapi Mahisa Bungalan ternyata lebih cepat bergerak dan mempunyai perhitungan yang mapan. Sebelum Ki Lambun mengerahkan segenap kekuatannya di saat-saat terakhir, maka Mahisa Bungalanlah yang lebih dahulu menekannya dengan gerak yang membingungkan.

Seorang kawan Ki Lambun yang bertempur bersamanya, seakan-akan tidak dapat lagi menyesuaikan diri dengan perkelahian yang menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia merasa kehilangan arah dan kehilangan sasaran. Bahkan kadang-kadang ia merasa bahwa lawannya berada di mana-mana di sekitarnya.

Karena itulah, maka akhirnya, ia tidak dapat mengelak lagi akibat yang memang mungkin terjadi atasnya dalam pertempuran itu. Ia terloncat surut ketika terasa ujung senjata lawannya menyengat pundaknya. Pedang tumpul itu bagaikan telah meremukkan tulang-tulangnya. Karena itu, tangannya bagaikan menjadi lumpuh, sehingga tidak mampu lagi menggerakkan pedang, apalagi bertempur melawan anak muda yang luar biasa itu.

Dalam pada itu, maka Gemak Werdi dan Makerti pun telah berhasil menguasai lawannya. Adalah merupakan kegilaan yang justru menjengkelkan Mahisa Bungalan ketika Gemak Werdi sambil berteriak telah menghunjamkan ujung senjatanya kedada lawannya yang sudah tidak berdaya.

“Jangan gila anak muda” teriak Mahisa Bungalan sambil bertempur, “jangan menjadi pembunuh yang buas karena bau darah”

“Persetan” teriak Gemak Werdi” perampok-perampok semacam ini harus dibunuh sampai orang terakhir”

“Kau tidak perlu membunuh” jawab Mahisa Bungalan sambil bertempur, “kau sebaikpun mempertimbangkan penyelesaian yang lain”

“Hanya dengan kematian mereka akan berhenti merampok” teriaknya.

Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan meloncat surut dari arena sehingga Ki Lambun yaing sudah kehilangan kesempatan untuk membebaskan diri menjadi heran.

“Jika kau bersikap demikian, aku tidak akan ikut campur” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan membiarkan semuanya terjadi”

“Pergilah, jika kau akan pergi” teriak Gemak Werdi, “kami berdua akan dapat menyelesaikan persoalan kami sendiri”

Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Dipandanginya wajah anak muda yang bernama Gemak Werdi itu. Anak muda yang merasa dirinya memiliki ilmu yang mumpuni. Jika Mahisa Bungalan meninggalkan karena, maka anak muda itu tentu akan dapat memenangkan perkelahian berikutnya, karena Ki Lambun sudah tidak mempunyai kekuatan. Yang masih belum terluka parah tinggal seorang kawannya dan dirinya sendiri Sedangkan Gemak Werdi dan Makerti, meskipun sudah diwarnai oleh titik darahnya, namun mereka masih cukup tangkas untuk bertempur.

Sejenak mereka yang sedang bertempur itu menjadi termangu Ki Lambun pun menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan. Seorang kawannya yang berhadapan dengan Makerti sudah dicengkam oleh kecemasan.

“Anak gila” teriak Gemak Werdi kemudian, “jangan ganggu kami. Jika kau tidak ingin melihat aku membunuh semua lawanku, maka pergilah. Aku tidak akan mengganggumu”

“Jangan gila” teriak Mahisa Bungalan, “apakah kau tidak mengerti apakah yang sebenarnya terjadi?”

“Yang terjadi adalah, bahwa aku sudah membunuh lawan-lawanku dan menyelesaikan pertempuran ini seperti yang aku kehendaki”

Mahisa Bungalan tiba-tiba saja menggeretakkan giginya. Namun ia terkejut ketika ia mendengar Makerti berkata, “Gemak Werdi. Jika kau berkeras hati dengan nafasmu untuk menunjukkan kehangatan ilmumu, akhirnya aku akan melepaskanmu. Aku lebih senang mengikuti anak muda itu saja dari pada mengikutimu dan mencoba membantumu dalam kesulitan-kesulitan yang parah”

Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Katanya, “Jadi kau ingin menghianati aku? Jika demikian, aku akan menyampaikannya kepada guru. Paman tidak setia. Tidak setia kepadaku dan tidak setia kepada perguruanku”

“Kaulah yang tidak setia kepada ajaran-ajaran yang pernah kau terima”

Dalam pada itu, Ki Lambun menjadi heran mendengar perbantahan itu. Ia memang tidak mengira, bahwa akhirnya ia menghadapi suatu sikap yang sulit dimengerti. Bahwa dalam keadaan yang demikian, seseorang masih berbicara tentang kesempatan memberi jalan lain pada lawannya tanpa membunuhnya.

Namun dalam pada itu Gemak Werdi berkata, “Ki Makerti. Jangan ingkar akan kesetiaanmu”

“Jangan artikan sikapku ini sebagai suatu sikap yang mati. Tetapi terserahlah, bagaimana kau menilai tentang dirimu”

“Jadi apakah yang kau maksud?”

“Hentikan tingkahmu yang kegila-gilaan itu. Kau harus mulai melihat kenyataan dengan sikap yang lebih matang”

Gamak Werdi menggeretakkan giginya. Dengan loncatan panjang ditinggalkannya lawannya yang terkapar dengan darah yang bercucuran dari lukanya, mendekati Ki Makerti. Dengan garang ia berkata, “Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari kesetiaanmu kepada perguruan. Kau harus menurut perintahku. Semua orang yang ada di sini harus dibunuh. Baru dengan demikian padukuhan ini menjadi aman dan tenang”

Makerti memandang wajah Gemak Werdi yang kemerah-merahan. Katanya, “Kau sudah membunuh Gemak Werdi. Permulaan dari perkelahian ini adalah kegilaanmu yang tidak berperi-kemanusiaan. Tetapi itu kau lakukan karena menurut perhitunganmu, kita akan dapat melawan Ki Lambun dan pengikut-pengikutnya. Kita sudah meyakini kemenangan kita. Karena itu, kita harus bersikap lain”

“Kau harus melakukan perintahku. Bunuh semua orang yang ada”

Ki Makerti menggeleng. Jawabnya, “Tidak Gemak Werdi. Meskipun seandainya tidak kau perintahkan, dan perkelahian ini berjalan terus, mungkin aku akan membunuh mereka pula. Tetapi justru karena sikapmu, aku berpendirian lain”

Wajah Gemak Werdi menjadi semakin tegang. Sekilas dipandanginya Mahisa Bungalan yang berdiri tegak dihadap an Ki Lambun yang kebingungan. “Kau adalah sumber dari pengkhianatan ini” geram Gemak Werdi.

“Jangan menuduh aku dengan tuduhan yang menyakitkan hati. Aku memang merasa wajib membantumu. Tetapi sampai pada batas-batas yang sesuai dengan sikap batinku. Selebihnya, aku tidak akan dapat mencampurinya”

“Persetan. Pergilah, jika kau akan pergi. Biarlah aku akan membunuh iblis yang tersisa itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Lambun yang berdiri termangu-mangu. Dengan nada datar tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya kepada Ki Lambun, “Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa ini?”

Ki Lambun tergagap. Ia tidak mengira bahwa Mahisa Bungalan akan bertanya kepadanya. Karena itu, dengan terputus-putus ia menjawab, “Aku, aku tidak mengerti”

“Kenapa kau bertanya kepadanya” bentak Gemak Werdi.

“Sudahlah Gemak Werdi” cegah Makerti, “hentikan kegilaanmu. Kita akan berbicara. Ki Lambun sudah melihat kenyataan ini. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi”

“Ia harus dibunuh”

“Tidak perlu” berkata Mahisa Bungalan, “aku memerlukan orang ini”

Wajah Gemak Werdi yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku akan menentukan segala-galanya”

“Tidak” sahut Makerti, “sudah aku katakan. Aku berdiri di pihak anak muda yang bernama Dogol itu”

Gemak Werdi menggeram. Dipandanginya Mahisa Bungalan dan Makerti berganti-ganti. Namun kemudian katanya, “Persetan dengan kau. Jika itu yang kau inginkan, maka aku akan menghadap guru. Aku dapat mengatakan apapun sesuai dengan pendapatku atas kau, paman”

“Jangan menjadi gila” teriak Makerti.

“Tetapi” jawab Gemak Werdi, “Aku tidak peduli. Aku akan menghadap guru. Anak muda ini tentu sudah kau kenal sebelumnya. Kau tentu telah berjanji untuk berbuat sesuatu atasku disini seperti sekarang ini”

“Gemak Werdi” potong Makerti.

Tetapi Gemak Werdi tidak menghiraukannya. Bahkan hampir berteriak ia berkata, “Kegagalanku untuk membunuh Ki Lambun kali ini adalah karena tingkah lakumu paman Makerti. Guru tentu akan mengambil sikap dan anak muda itu pun akan dihukumnya sesuai dengan kesalahannya”

“Dengarlah. Aku harus menjelaskan” berkata Makerti.

Tetapi Gemak Werdi sudah meloncat pergi meninggalkan Makerti dan Mahisa Bungalan yang termangu-mangu. “Aku akan menjumpai gurunya” berkata Makerti, “aku akan mencoba menjelaskannya. Gurunya adalah orang baik. Ia dapat diajak berbicara dan tentu ia akan mengerti”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan datang bersamamu. Mudah-mudahan aku dapat membantu menjernihkan keadaan”

“Baiklah, terima kasih. Sekarang, bagaimana dengan orang ini?”

Mahisa Bungalan memandang Ki Lambun yang termangu-mangu. Di sekitar tempat itu terdapat beberapa orang yang terkapar. Diantara mereka terdapat para pengikut Ki Lambun yang terbunuh, dan ada di antara mereka yang terluka parah.

“Ki Lambun” berkata Mahisa Bungalan, “apakah kau menyadari keadaan?”

Ki Lambun yang terombang-ambing oleh kebingungan itu menjawab seolah-olah di luar sadarnya, “Ya anak muda. Aku menyadari bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadapmu”

“Nah, seperti yang aku katakan, aku memerlukan kau bagi padukuhan Watan. Kau akan aku bawa menghadap Ki Buyut di Watan berkata Mahisa Bungalan.

“Untuk apa? Apakah kau akan membiarkan aku dibantai di rumah Ki Buyut, atau justru malah dihukum picis?” Ki Lambun menjadi ber-debar-debar.

“Aku tahu, kau adalah orang yang tidak mengenal takut. Kau mempunyai kemampuan dan kau memiliki ilmu yang cukup. Kau ditakuti dan kau mempunyai beberapa orang pengikut” berkata Mahisa Bungalan.

Ki Lambun menjadi semakin bingung. Karena itu, maka untuk sejenak ia justru termangu-mangu. Ia tidak tahu apakah yang sebenarnya dimaksud oleh anak muda itu.

“Ki Lambun” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya, “apa yang kau miliki itu adalah senjata yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi seperti senjata-senjata lainnya, maka tergantung sekali kepada siapa yang memegangnya. Senjata itu dapat diarahkan untuk memerangi kegelapan dan kekhilafan, tetapi dapat juga untuk melumpuhkan kebenaran”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengerti arah pembicaraan Mahisa Bungalan.

“Nah, kau masih mempunyai kesempatan untuk memilih. Setelah kau sekarang terbangun dari sebuah mimpi yang buruk, maka kau dapat menentukan, apakah yang akan kau lakukan kemudian”

Ki Lambun tidak segera menjawab. Direnunginya dirinya sendiri, kemudian dipandanginya beberapa orang pengikutnya yang terbaring diam. Diantaranya telah terbunuh, sementara yang lain terluka parah.

“Kau dapat menyamakan dirimu sebagai api, atau sebagai air, atau angin. Api merupakan sahabat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari, seperti air dan angin. Tetapi api dapat menjadi bencana yang dahsyat bagi manusia seperti juga air dan angin. Kebakaran dapat memusnahkan hutan dan padang ilalang. Membakar padukuhan dan rumah-rumah. Lumbung-lumbung pangan dan banjar. Sedangkan air yang berlimpah-limpah dapat menghanyutkan tanggul dan bahkan padukuhan. Sawah ladang dan ternak dapat hanyut dan terbenam, sementara angin dapat menyapu seisi kota raja, dan menerbangkan istana sekalipun”

Ki Lambun memandang Mahisa Bungalan sejenak.

Dari kerut keningnya Mahisa Bungalan dapat menerawang perasaan Ki Lambun sehingga katanya, “Mungkin kau tidak begitu senang mendengar kata-kataku, yang seolah-olah mengguruimu. Tetapi pikirkan, dan pertimbangan baik-baik. Aku tidak berhak berkata dan mengguruimu jika aku tidak dapat berbuat apa-apa atasmu. Tetapi aku adalah orang yang sanggup memadamkan api yang berkobar betapapun besarnya. Aku dapat membendung banjir bandang yang betapapun derasnya, dan aku adalah orang yang dapat menguasai angin betapapun dahsyatnya”

Tiba-tiba saja Ki Lambun membungkuk hormat sambil berkata dengan nada yang dalam, “Aku mengerti anak muda. Dan aku menyerah di bawah kuasamu. Aku tidak dapat menolak kenyataan yang aku hadapi. Sebenarnyalah sejak semula kau menggerakkan senjatamu, aku sudah mengira, bahwa aku memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapimu. Karena itu, katakan, apa yang kau kehendaki sebenarnya”

“Ki Lambun. Aku akan membawamu kepada Ki Buyut. Aku akan mengatakan kepada Ki Buyut, bahwa Ki Lambun sudah menyadari keadaannya. Sudah mengakui segala kesalahannya dan bahkan bersedia menebus kesalahannya itu. Karena itu, sebaliknya Ki Buyut memberikan tempat kepadamu. Kau dapat membantu Ki Branang dalam tugasnya, tetapi dengan pengabdian yang berbeda dengan yang kau lakukan sampai sekarang”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah benar kau bermaksud demikian anak muda”

“Marilah. Kita akan melihat bersama” berkata Mahisa Bungalan, “jika aku ingin mencelakaimu, aku tidak perlu membawamu kemana saja. Aku dapat mencincangmu di sini. Aku dapat mengikatmu di pohon preh itu dan memicismu dengan cara yang paling tidak berperi-kemanusiaan”

Ki Lambun mengangguk-angguk.

“Marilah. Dan berjanjilah” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya, “kau tidak akan dapat ingkar untuk seterusnya, karena aku mempunyai cara untuk mengawasimu. Aku setiap saat dapat mengirimkan sekelompok prajurit untuk mengetahui, apakah kau benar-benar melakukan seperti yang kau janjikan. Mungkin sekelompok prajurit dengan pakaian kebesaran prajuritnya, tetapi mungkin prajurit-prajurit sandi seperti yang aku lakukan sekarang”

“Kau prajurit Sandi“ Ki Lambun terbata-bata. Bahkan Makerti pun terkejut pula.

“Tentu aneh bahwa seorang petugas sandi dengan suka rela menyebut dirinya sendiri di hadapan kalian. Tetapi aku tidak berkeberatan. Meskipun sebenarnya aku bukan sepenuhnya petugas sandi seperti yang barangkali kau gambarkan, tetapi aku dapat berbuat seperti petugas sandi yang sebenarnya. Karena itu lakukanlah seperti yang sudah kau janjikan Ki Lambun, agar kelak kau tidak menemui kesulitan yang lebih parah. Mungkin kau dapat melakukan kejahatan yang besar dan kemudian melarikan diri. Tetapi hidup dalam pelarian benar-benar tidak menyenangkan. Apalagi kekuasaan Singasari yang besar akan selalu membayangimu kemana kau pergi. Dan sebenarnyalah bahwa kau adalah penjahat yang terlalu kecil untuk menghayalkan melakukan kejahatan yang besar yang akan dapat mendukung hidupmu sekeluarga sepanjang umurmu”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah di hadapkan pada sebuah pintu gerbang yang sempit, yang mau tidak mau harus di masukinya. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga jiwanya yang sudah dibebani oleh sebuah pengakuan. Karena itu, maka katanya, “Aku akan menurut segala perintahmu anak muda”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian sambil memandang Makerti ia berkata, “Marilah. Kita akan menghadap Ki Buyut di Watan. Seterusnya aku akan pergi bersamamu ke padepokan Gemak Werdi untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, agar guru Gemak Werdi tidak menjadi salah paham karenanya.

“Baiklah anak muda, aku akan mengikutimu. Dan aku akan mengantarmu menghadap guru Gemak Werdi di padepokan yang agak jauh letaknya dari padukuhan ini”

Demikianlah maka Mahisa Bungalan dan Makerti telah membawa Ki Lambun menghadap Ki Buyut. Dengan ikhlas ia telah menyerahkan dirinya untuk ikut serta membantu para bebahu menjalankan tugasnya.

“Ia tidak akan ingkar Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan membayanginya”

“Terima kasih ngger” berkata Ki Buyut, “ternyata bahwa kau telah berbuat sesuatu yang sangat penting artinya bagi padukuhan ini. Sejak semula aku sudah menduga, bahwa kau bukannya seorang perantau bernama Dogol yang sekedar memerlukan belas kasihan”

“Aku memang bernama Dogol Ki Buyut”

Ki Buyut tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa Mahisa Bungalan menyebut nama lain. Sebab bagi Ki Buyut anak muda itu akan dapat menyebut nama apa saja. Bahkan seandai pun Mahisa Bungalan menyebut namanya sendiri, mungkin banyak orang yang tidak mempercayainya pula.

Ternyata Mahisa Bungalan tidak akan tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu. Ia merasa wajib untuk memberikan penjelasan kepada Gemak Werdi atau kepada gurunya, agar tidak tumbuh salah paham. Karena itu, setelah menyerahkan Ki Lambun dan setelah Ki Buyut memerintahkan untuk menyelenggarakan mayat-mayat yang terdapat di arena perkelahian, maka Mahisa Bungalan pun segera minta diri bersama Ki Makerti.

“Aku akan pergi ke Ganter” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan berusaha bertemu dengan Gemak Werdi. Mudah-mudahan segala salah paham akan dapat dihapuskan”

Ki Buyut tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Sebenarnya ia masih menghendaki agar Mahisa Bungalan tinggal satu dua hari di Watan, dengan penerimaan sesuai dengan keadaan yang sekuatnya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memenuhinya.

“Selama kau disini ngger, kau kami anggap seorang perantau yang perlu mendapat belas kasihan, sehingga kau aku persilahkan tinggal di banjar. Tetapi ternyata sambutan kami itu keliru”

“Tidak Ki Buyut. Justru yang Ki Buyut lakukan adalah tindakan yang tepat. Dan aku sangat berterima kasih karena hal itu” berkata Mahisa Bungalan yang kemudilan sekali lagi mohon diri untuk meninggalkan padukuhan Watan.

“Pada suatu saat aku akan kembali” berkata Mahisa Bungalan, “aku ingin melihat Watan yang lebih baik, dan melihat apakah Ki Lambun tidak ingkar janji”

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan dan Ki Makerti pun meninggalkan Watan menuju ke Ganter. Mahisa Bungalan ingin menjernihkan kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Gemak Werdi. Bahkan mungkin dengan gurunya. Ganter memang tidak terlalu jauh dari Watan. Karena itu, maka mereka tidak perlu berjalan terlalu lama, meskipun sampai di Ganter matahari telah jauh condong di sebelah Barat.

“Marilah” berkata Makerti, “singgahlah di rumahku. Nanti kita akan mengunjungi Gemak Werdi”

Mahisa Bungalan tidak menolak. Ia pun ikut Makerti singgah di rumahnya. Rumah Makerti bukanlah yang besar. Tetapi cukup menarik. Halamannya terasa sejuk oleh tetumbuhan dan pohon-pohon bunga. Sebatang Kembang Kemuning tumbuh di sudut rumah. Bunganya yang kembang, membuat seluruh batangnya menjadi hijau kekuning-kuningan. Di dekat regol tumbuh sebatang pohon bunga Soka merah, sedangkan bunga arum dalu nampak mekar di sudut halaman.

“Kau telaten memelihara halaman rumahmu” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku tidak mempunyai kerja lain. Sepeninggal isteriku, aku sibukkan diriku dengan kerja disawah dan di kebun serta halaman” jawab Makerti.

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Isteriku meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku tidak mempunyai seorang anak pun”

“Jadi kau tinggal di rumah ini seorang diri?”

“Dengan adikku. Ia seorang laki-laki muda yang rajin. Tetapi ia tidak tertarik pada olah kanuragan meskipun ia mempelajarinya pula. Umurnya lebih muda sedikit dari Gemak Werdi. Ia adalah adikku yang sulung. Diantara aku dan adikku masih terdapat tiga orang saudaraku. Semuanya perempuan dan ikut bersama suami masing-masing”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebelum ia bertanya, Makerti telah melanjutkannya, “Adikku pandai masak dan memelihara rumah, sementara aku sendiri mempergunakan waktu senggangku untuk berbuat serupa”

Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Itulah sebabnya, maka Makerti sempat melakukan petuatangan-petualangan kecil bersama Gemak Werdi. Agaknya ia merasa kesepian di rumahnya, sehingga timbullah keinginannya untuk berbuat sesuatu.

Kedatangan Mahisa Bungalan di rumah itu, seolah-olah telah membantu membangkitkan suasana yang sepi. Ternyata adik Makerti yang masih muda itu merasa senang sekali mendapat kunjungan seseorang yang pantas dihormati. Ia segera mendengar segala sesuatu tentang Mahisa Bungalan dari kakaknya, sehingga karena itu, maka adik Makerti itu pun menjadi sangat hormat kepada tamunya.

“Jangan berlebih-lebihan” desis Mahisa Bungalan kepada Makerti, “beri tahu adikmu, aku bukan orang penting di Singasari. Adalah kebetulan bahwa aku sering datang ke Kota Raja. Rumahku sendiri tidak di Kota Raja”

Makerti tersenyum, jawabnya, “Aku mengajarinya hormat kepada para tamu siapa pun mereka itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Adalah wajar bahwa seorang kakak mengajar adiknya berbuat baik Tetapi rasa-rasanya segan juga untuk menerima penghormatan yang berlebihan.

Setelah beristirahat sejenak, maka ketika Ganter mulai diselubungi oleh kegelapan, Mahisa Bungalan diantar oleh Makerti pergi ke rumah Gemak Werdi yang masih bersangkut paut sanak meskipun sudah agak jauh. Tetapi keduanya ternyata tidak menjumpai Gemak Werdi di rumah. Ayahnya yang menerima keduanya mempersilahkan mereka masuk. Namun dengan menyesal ayah Gemak Werdi itu berkata,

“Gemak Werdi baru pergi menghadap gurunya. Sayang kau tidak dapat bertemu dengan anak itu”

Makerti mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kakang mengetahui, persoalan apakah yang telah mendorongnya pergi menghadap gurunya?”

“Mana aku tahu Makerti. Seharusnya kaulah yang memberi-tahukan kepadaku, kenapa anak itu tiba-tiba saja ingin menghadap gurunya. Apakah ia tidak mengatakannya kepadamu?”

Makerti menjadi berdebar-debar. Namun jawabnya, “Gemak Werdi tidak mengatakan kepadaku kakang, bahwa ia akan menghadap guru hari ini”

Makerti hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi orang tua itu pun merasa aneh, karena biasanya Gemak Werdi lebih banyak bergaul dengan Makerti daripada dengan orang tuanya. Makerti pun kemudian mengajak Mahisa Bungalan meninggalkan rumah Gemak Werdi. Malam itu, Mahisa Bungalan dipersilahkan bermalam di rumah Makerti.

Terhadap Makerti, Mahisa Bungalan tidak dapat ingkar lagi tentang dirinya. Makerti adalah orang yang baik menurut penilaian Mahisa Bungalan, sehingga terhadapnya ia pun kemudian berterus terang.

“Besok pagi-pagi kita menyusul Gemak Werdi” berkata Makerti kepada Mahisa Bungalan, “Kita akan berkuda, agar kita tidak kehilangan banyak waktu di perjalanan”

“Apakah padepokannya sangat jauh dari padukuhan ini?” bertanya Mahjsa Bungalan.

“Tidak terlalu jauh. Jika kita berkuda, kita akan bermalam satu hari di perjalanan. Tetapi aku tahu tempat menginap yang paling baik, karena aku dan Gemak Werdi selalu menginap di padukuhan itu. Aku kenal benar dengan seorang Buyut yang baik yang selalu memberikan tempat menginap kepadaku dan Gemak Werdi” jawab Makerti.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ternyata padepokan ku tidak terlalu dekat, sehingga diperlukan waktu bermalam diperjalanan, meskipun Makerti sudah terbiasa menginap di tempat tertentu jika ia pergi ke padepokan itu.

Ketika fajar menyingsing, maka adik Makerti telah menyiapkan dua ekor kuda, yang akan dipergunakan oleh Makerti dan Mahisa Bungalan pergi ke padepokan tempat Gemak Werdi berguru. Setelah makan pagi, dan dengan sekedar bekal di perjalanan maka Makerti pun, meninggalkan rumahnya bersama Mahisa Bungalan untuk suatu perjalanan yang mendebarkan.

“Mudah-mudahan guru tidak salah paham” berkata Makerti.

Mahiisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun kemudian mengetahui bahwa Makerti dan Gemak Werdi adalah dua orang saudara seperguruan, meskipun Makerti menurut urutan darah meskipun sudah tidak terlalu dekat, adalah paman Gemak Werdi.

“Aku sudah lama meninggalkan padepokan itu” berkata Makerti, “aku telah mencoba mematangkan ilmuku menurut kemampuanku, meskipun ternyata sama sekali tidak berarti. Tetapi bekal yang diberikan kepada Gemak Werdi oleh guru, agaknya lebih banyak dari yang diberikan kepadaku, meskipun ia masih belum sempat mengembangkannya. Tetapi sesuai dengan sifat dan kemudaannya, maka ia telah berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Ia ingin menyatakan kepada orang lain, bahwa ia baru saja turun dari perguruan”

“Agaknya itu sudah sewajarnya terjadi” berkata Mahisa Bungalan.

“Apakah kau berbuat serupa pula ketika kau baru saja menyelesaikan masa berguru?” bertanya Makerti.

“Aku masih belum selesai berguru. Masa ini adalah masa pemantapan ilmu yang sudah aku terima dari guruku. Tetapi pada suatu saat, aku akan kembali lagi untuk menekuni ilmu yang masih belum dilimpahkan kepadaku oleh guruku”

“Gurumu tentu orang yang luar biasa” desis Makerti.

“Tidak. Guruku bukan orang luar biasa. Jika luar biasa itu hanyalah dalam hubungan darah. Guruku yang seorang adalah ayahku sendiri” jawab Mahisa Bungalan.

“O” Makerti mengangguk. Tetapi ia bertanya, “Berapa orang guru yang menuntun kau dalam olah kanuragan?”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya kemudian, “Aku menyadap ilmu dari siapapun. Bahkan dari Ki Lambun pun aku mencoba berguru. Sebenarnyalah bahwa pengalaman adalah guru yang sangat baik”

Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan masih belum bersedia menyebut nama guru-gurunya. Karena itu, maka ia pun tidak memaksa.

Perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh. Matahari yang kemudian memanjat langit, sinarnya terasa semakin panas membakar kulit. Namun ternyata bahwa keduanya adalah dua orang yang sudah terbiasa dipanggang di panasnya matahari dan direndam di dinginnya embun malam, sehingga panasnya matahari tidak terasa mengganggu perjalanan mereka.

Bahkan perjalanan itu terasa menarik bagi Mahisa Bungalan, karena daerah yang dilaluinya itu belum pernah dilihatnya sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Makerti, bahwa mereka akan bermalam satu malam diperjalanan. Seperti biasanya, maka Makerti telah membawa Mahisa Bungalan menuju ke padukuhan di tempat ia sering singgah.

Ketika matahari menjadi semakin condong, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan tempat Makerti biasa bermalam. Di perjalanan mereka pun terpaksa beristirahat untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat pula.

Padukuhan yang mereka tuju sebagai tempat untuk singgah, adalah padukuhan yang tidak begitu besar. Penduduknya tidak terlalu banyak, tersebar pada beberapa padukuhan kecil. Yang terbesar dari padukuhan-padukuhan itu adalah padukuhan induk, yang merupakan pusat dari padukuhan itu. Di padukuhan induk itu terdapat sebuah pasar kecil dengan beberapa buah warung di pinggir jalan yang cukup banyak dilalui orang. Bukan saja orang yang bepergian dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain di sekitar padukuhan induk itu, tetapi jalan itu pun merupakan jalur jalan yang panjang, yang menghubungkan banyak padukuhan di daerah yang luas.

Sebelum matahari tenggelam, maka mereka berdua telah berada di regol halaman rumah Ki Buyut. Sambil turun dari punggung kudanya Makerti berkata, “Ki Buyut sudah agak tua. Tetapi ia masih seorang Buyut yang bekerja keras bagi padukuhan dan rakyatnya”

Kedatangan Makerti disambut dengan gembira oleh Ki Buyut yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pun kemudian diterima dipendapa rumahnya yang cukup besar dibanding dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Setelah memperkenalkan Mahisa Bungalan dan menyatakan keselamatan perjalanannya, maka Makerti pun bertanya, “Apakah semalam Gemak Werdi singgah disini pula Ki Buyut?”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertaya, “Gemak Werdi tidak singgah sama sekali. Apakah ia pergi ke padepokan Kenanga?”

Makerti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk. Jawabnya, “Menurut ayahnya, ia pergi ke padepokan guru. Ia pergi tanpa memberitahukannya kepadaku”

“Aneh, biasanya Ki Makerti selalu bersama angger Gemak Werdi” desis Ki Buyut.

“Ada sesuatu yang telah mengganggu perasaannya Ki Buyut, sehingga ia pergi tanpa aku. Tetapi bahwa ia tidak singgah dan bermalam di sini, rasa-rasanya telah menggelisahkan sekali. Mudah-mudahanan ia tidak sempat beristirahat disini karena tergesa-tergesa saja”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Tetapi bukankah aku tidak melakukan kesalahan terhadap angger Gemak Werdi?”

“Tentu tidak Ki Buyut. Tentu tidak” jawab Makerti dengan serta merta, “yang terjadi adalah, Gemak Werdi nampaknya kurang senang atas peristiwa yang terjadi di Watan, sehingga ia ingin menghadap guru dan mungkin untuk mendapatkan pertimbangan”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Gumamnya, “Mudah-mudahan ia tidak marah kepadaku karena sesuatu yang tidak aku sadari”

“Ki Buyut selalu berbuat baik kepadaku dan kepada Gemak Werdi. Nampaknya peristiwa yang terjadi di Watan itu begitu mencengkam hatinya, sehingga ia tergesa-gesa sekali untuk segera bertemu dengan guru”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun masih membayang kekhawatirannya bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tidak disenangi oleh Gemak Werdi.

Dalam itu, Makerti dan Mahisa Bungalan telah bermalam di rumah Ki Buyut dengan mendapat tempat dan pelayanan sebaik-baiknya seperti biasanya. Bahkan nampaknya Ki Buyut bersikap terlalu baik karena kekhawatirannya tentang Gemak Werdi.

Setelah makan malam, Makerti dan Mahisa Bungalan tidak segera pergi ke bilik yang sudah disediakan. Mereka masih duduk sejenak, bercakap-cakap dengan Ki Buyut berserta keluarganya. Bahkan demikian asyiknya mereka berbicara di ruang dalam, sehingga malam pun menjadi semakin larut.

“Ki Makerti” berkata Ki Buyut kemudian, “malam sudah larut. Silahkan Ki Makerti dan angger Mahisa Bungalan beristirahat. Bukankah besok kalian masih akan melanjutkan perjalanan”

Ki Makerti tersenyum. Nampaknya Ki Buyut memang sudah sangat mengantuk. Bahkan matanya kadang-kadang telah terkatup dan pembicaraannya pun kadang-kadang telah menjadi kabur.

“Terima kasih Ki Buyut” berkata Makerti kemudaan, “kami akan beristirahat agar besok pagi-pagi benar kami dapat bangun dan berangkat untuk meneruskan perjalanan”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi kadang-kadang matanya telah terkatub. Demikian Makerti dan Mahisa Bungalan memasuki biliknya, Ki Buyut pun segera masuk pula ke bilik tidurnya. Begitu ia merebahkan diri, maka tiba-tiba saja telah terdengar ia mendengkur.

Di dalam biliknya Makerti pun rasa-rasanya telah dicekam oleh perasaan kantuk yang sangat. Bahkan kemudian ia menjadi curiga, apakah yang telah menyebabkannya. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Bungalan yang masih duduk di dingklik kayu di dalam bilik itu, ia melihat anak muda itu sedang merenungi sesuatu.

“Mahisa Bungalan, apakah kau sedang memperhitungkan sesuatu yang asing malam ini?”

“Ya Ki Makerti. Ada sesuatu yang agaknya telah mengganggu kesadaranku”

Ki Makerti mengangguk-angguk. Kemudian ia pun beringsut mendekati Mahisa Bungalan sambil berbisik, “Guru ada di sini sekarang”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar kata-kata Makerti itu. Tetapi sebelum ia bertanya Makerti telah berbisik pula, “Aku mengenal ilmu semacam ini. Guru tentu sedang menjajagi, apakah orang yang diceriterakan oleh Gemak Werdi mampu mengatasi ilmunya yang langsung menyentuh kesadaran orang lain”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya Ki Buyut tidak dapat bertahan lebih lama lagi untuk duduk dan berbincang.

“Bagaimana perasaanmu Mahisa Bungalan? bertanya Makerti”

“Aku akan mencoba mengatasi. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku pernah mempelajari juga dari guru. Dan aku telah berusaha mengembangkannya sendiri, sehingga mudah-mudahan aku pun dapat mengatasinya”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku tidak merasa perlu untuk menanggapinya, agar kesalah pahaman itu tidak menjadi semakin meluas”

Makerti mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, bahwa Gemak Werdi tentu sudah menghadap gurunya dan menceritakan apa yang sudah terjadi. Agaknya gurunya pun yakin, bahwa Makerti akan menyusui Gemak Werdi bersama Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka gurunya telah datang ke tempat Makerti selalu menginap untuk menjajagi kemampuan orang yang tentu sudah diceritakan oleh Gemak Werdi.

Mahisa Bungalan dan Makerti yang masih duduk di dalam bilik yang disediakan bagi mereka. Dengan mengerahkan kemampuan daya tahan mereka, keduanya berusaha mengatasi ilmu yang meliputi rumah Ki Buyut. Dengan susah payah Ki Makerti mencoba bertahan. Tetapi karena lontaran ilmu gurunya terasa menjadi semakin kuat, maka lambat laun, daya tahannya pun rasa-rasanya menjadi semakin menurun. Bahkan matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Tetapi Makerti mencoba bertahan terus. Dengan segenap kekuatan lahir dan batinnya, ia justru mencoba berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.

“Luar biasa” desisnya ketika ia berdiri dekat dihadapan Mahisa Bungalan, “aku tidak tahan lagi. Mungkin guru kini telah berada di pendapa atau di pringgitan. Ilmu ini semakin mencekik”

Mahisa Bungalan memandanginya. Perlahan-lahan ia berbisik, “Apakah Ki Makerti merasa bahwa tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi?”

“Mungkin aku akan terjerembab dan tertidur sebentar lagi” desisnya, “aku tidak tahan lagi”

“Duduklah di sisiku” desis Mahisa Bungalan.

Ki Makerti termangu-mangu sejenak. Tetapi matanya terasa menjadi semakin berat. Karena Ki Makerti masih bertahan untuk berdiri meskipun nampaknya keseimbangannya sudah mulai terganggu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian menarik tangannya dan mempersilahkannya duduk di sisinya.

“Tenanglah” berkata Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak melepaskan tangan Ki Makerti.

Sejenak Ki Makerti masih harus bertahan dengan sekuat tenaga. Namun kemudian terasa dari tangan Mahisa Bungalan seolah-olah tersalur arus panas ke urat darahnya dan perlahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya. Meskipun Ki Makerti sudah menjadi sangat mengantuk, tetapi ia masih merasa arus panas di tubuhnya itu. Bahkan kemudian jantungnya pun serasa menjadi panas pula. Perlahan-lahan namun pasti, maka perasaan kantuknya bagaikan terusir dari dirinya.

“Luar biasa” Ki Makerti berdesis.

Mahisa Bungalan memberi isyarat agar Ki Makerti diam sejenak. Ki Makerti pun kemudian terdiam. Seperti Mahisa Bungalan ia mencoba mendengarkan setiap desir yang paling lembut sekalipun.

Kedua orang di dalam bilik itu rasa-rasanya telah membeku. Ki Makerti mengerti maksud Mahisa Bungalan, agar di dalam bilik itu tidak terdengar suara apapun. Bahkan sejenak kemudian Mahisa Bungalan yang duduk sambil memegang tangan Ki Makerti itu, telah mengatur pernafasannya, sehingga suaranya teratur seperti orang yang sedang tertidur nyenyak.

Sebenarnyalah bahwa di luar rumah Ki Buyut dua orang telah berdiri di pringgitan. Mereka berusaha untuk mengetahui apakah seisi rumah itu sudah tertidur nyenyak.

“Sulit untuk mengerti” desis salah seorang dari mereka, “mereka berada di dalam bilik yang berada di ruang dalam”

Yang seorang dari keduanya adalah Gemak Werdi. Ternyata ia tidak berhasil menguasai tubuhnya seperti gurunya. Langkahnya pun masih terdengar berdesir di atas lantai, sementara suaranya pun bergetar sampai ke telinga Mahisa Bungalan yang sangat tajam, “Tetapi aku tidak mendengar suara apapun lagi guru”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil, sementara Ki Makerti yang juga mendengar, meskipun hanya desis lambat mengangguk pula.

“Tetapi tidak seorang pun yang dapat menolak ilmuku” berkata guru Gemak Werdi.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan” bertanya Gemak Werdi...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 01

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 01
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

CERAHNYA matahari pagi telah mewarnai Singasari. Seolah-olah tak ada lagi kesulitan yang bakal mengabut di seluruh daerah Singasari sepeninggal Linggapati dan Empu Baladatu.

Niat sepasang anak muda yang sedang memerintah Singasari untuk mengangkat Mahisa Bungalan menjadi seorang Senapati, sudah diterima dengan senang hati. Bukan saja oleh Mahisa Bungalan dan ayahnya Mahendra, tetapi juga oleh para prajurit dan Senapati yang lain, yang telah melihat, apa yang pernah dilakukan oleh anak muda itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih mohon kesempatan untuk memuaskan masa-masa mudanya dengan bertualang. Apa bila ia sudah menerima pengangkatannya, maka ia akan terikat. Ia akan berada di suatu tempat bersama sepasukan prajurit untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Sulit baginya untuk meninggalkan pasukannya agar bisa menjelajahi padesan bagaikan menghitung setiap pintu rumah.

“Kau memerlukan waktu berapa hari?” bertanya Ranggawuni.

“Mungkin sebulan, tetapi mungkin setahun, Tuanku,” jawab Mahisa Bungalan.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menyadari bahwa ia tidak akan dapat mengekang jiwa Mahisa Bungalan yang bagaikan burung di udara itu. Ia masih ingin mengarungi luasnya angkasa dan panjangnya lereng di pegunungan.

“Baiklah Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni, “seandainya aku memaksa mengikatmu dalam satu tugas tertentu, maka kau akan merasa tersiksa. Kau akan merasa seperti seekor burung yang bagaimanapun perkasa sayapnya, namun, hidup di dalam sangkar tertutup”

Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja.

“Bagaimana pendapat ayahmu, pamanmu Witantra dan pamanmu Mahisa Agni?” bertanya Mahisa Cempaka.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ampun Tuanku. Paman-paman hamba menyerahkan semuanya kepada hamba sendiri”

Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, benarlah kata kakanda Ranggawuni. Puaskanlah dengan petualangan yang panjang untuk menambah pengalaman dan mematangkan ilmu yag pernah kau miliki. Bahkan mungkin kau akan dapat menambah kemampuanmu dengan pengalamanmu yang mungkin tidak terduga sebelumnya. Namun demikian, jangan meninggalkan kewaspadaan. Kau harus selalu berhati-hati di perjalanan, karena bahaya akan dapat saja menyergapmu dari segala arah”

“Niat hamba bukannya mencari musuh Tuanku” berkata Mahisa Bungalan, “mungkin ada satu dua orang tua yang memiliki kelebihan pengetahuan lahir dan batin yang dapat hamba sadap ilmunya bila dikehendakinya”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Aku percaya akan niatmu itu. Tetapi kau yang tentu lebih banyak mempunyai pengalamanmu petualangan akan dapat mengerti, betapa kemungkinan yang tidak kita kehendaki dapat terjadi setiap saat dan di segala tempat”

Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya semakin dalam. Katanya, “Hamba, Tuanku. Dan hamba memang melihat kemungkinan-kemungkinan itu”

“Justru karena itu, maka petualangan memang sangat menarik bagi anak muda” sahut Mahisa Cempaka, “jika aku tidak terikat pada kedudukanku, alangkah senangnya mengikutimu”

“Ah, tentu tidak bagi Tuanku” jawab Mahisa Bungalan, “Tuanku sudah dilahirkan untuk berada di dalam istana. Ilmu yang bagaimanapun juga akan Tuanku dapatkan. Tuanku dapat memanggil siapa saja yang Tuanku kehendaki”

“Itulah sulitnya Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni, “aku dapat memanggil siapa saja. Tetapi siapa saja itulah yang tidak aku ketahui. Mungkin beberapa orang petugas sandi akan dapat menyebut. Tetapi apakah ada hubungan batin yang timbal balik antara aku dan orang-orang yang hanya disebut namanya itu, agaknya menjadi persoalan pula di dalam pewarisan ilmu. Seseorang yang karena terpaksa, bukan atas sentuhan batinnya, tentu tidak akan dapat mewariskan ilmunya sampai tuntas. Tentu masih ada yang tersisa di dalam dirinya yang sengaja atau tidak sengaja, tetap dirahasiakannya”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia sadar sepenuhnya bahwa yang dikatakan oleh Ranggawuni itu memang benar. Karena itu, maka ia tidak membantahnya.

“Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni selanjutnya, “aku hanya dapat memberimu bekal doa keselamatan. Tetapi kau tentu tidak akan meninggalkan Kota Raja sampai satu atau dua tahun tanpa menengoknya barang dua tiga kali”

“Tentu Tuanku. Seperti yang pernah aku lakukan, aku akan berada di rumah antara tiga atau empat bulan sekali. Beristirahat sebentar, kemudian berangkat kembali. Mungkin aku akan pergi bersama ayah dalam hubungan jual beli batu-batu dan permata serta besi-besi aji. Namun biasanya ayah selalu mamisahkan diri”

“Siapakah sebenarnya yang memisahkan diri?” bertanya Ranggawuni.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Jawabnya, “Mungkin ayah, tetapi mungkin pula hamba”

“Baiklah Mahisa Bungalan” berkata Ranggawuni kemudian, “sebaiknya kau juga minta diri kepada Lembu Ampal yang menjadi semakin tua pula. Sebentar lagi ia akan menjadi pikun dan tidak lagi dapat mengendalikan prajurit-prajurit yang berada di bawah perintahnya”

“Hamba Tuanku. Hamba akan menemuinya dan minta diri kepadanya. Paman Lembu Ampal tentu masih akan bertahan pada keadaannya sampai beberapa tahun lagi”

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan ternyata masih mohon waktu beberapa saat, sebelum ia mengikat diri dalam lingkungan keprajuritan. Ia masih ingin mengikuti keinginannya untuk menjelajahi gunung dan ngarai. Bertemu dengan orang-orang yang jauh terpencil, tetapi juga berusaha menghadap para pertapa yang dapat memberikan banyak petunjuk kepadanya, lahir dan batin, untuk melengkapi bekal di hari-hari yang panjang.

Ketika Mahisa Bungalan bertemu dengan Lembu Ampal, maka orang tua itu berkata, “Ada-ada saja kau Mahisa Bungalan. Apakah masih kurang ilmu yang kau miliki, atau kau masih selalu dikuasai oleh keinginan untuk bertualang?”

“Aku akan menuruti keinginanku sampai tuntas agar aku tidak menyesal dikemudian hari. Baru kemudian aku akan mengikatkan diri pada kewajiban yang berat dan tidak dapat dilakukan sambil lalu saja. Seorang prajurit harus bertanggung jawab pada kewajibannya. Sementara aku masih ingin berbuat sesuatu atas keinginan pribadi semata-mata”

“Agaknya itu adalah keinginan wajar dari anak-anak muda”

“Tetapi kau wajib dapat mengendalikan dirimu. Jangan kau turuti saja kehendak hati, karena tidak terasa, umurmu akan semakin meningkat. Pada saatnya kau akan sampai pada batas kebebasan seorang anak muda. Kau akan berkeluarga, dan kau akan bertanggung jawab atas keluargamu, karena itu, maka kau harus mempertimbangkan banyak masalah. Juga masalah hidup berkeluarga. Kau tidak akan dapat menjalaninya dengan petualangan, meskipun ada juga yang melakukannya”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Aku akan selalu mengingatnya, paman. Aku akan mempersiapkan diri menghadapi masa-masa yang lain dari masa-masa muda ini. Tetapi tidak sekarang”

Lembu Ampal menepuk bahu anak muda itu. Sekilas teringat olehnya, seorang anak muda yang dengan petualangnya, justru telah membawanya kejalan lurus ke singgasana Tumapel dan seterusnya menguasai seluruh Singasari. Meskipun kemudian masih harus timbul pertumpuhan darah karena kutuk seorang Empu yang terbunuh oleh keris yang dibuatnya sendiri. Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Semuanya itu tinggal merupakan ceritera yang sangat menarik.

“Aku akan selalu berdoa untukmu” berkata Lembu Ampal ketika ia melepas Mahisa Bungalan pergi.

Di rumah Mahisa Bungalan masih harus mendengarkan nasehat ayahnya, pamannya Witantra dan Mahisa Agni. Bahkan semuanya menasehatkan agar ia tidak terlalu menuruti kata hatinya saja.

“Aku akan mengendalikan diri, ayah. Pada suatu saat aku akan terikat oleh beberapa kewajiban. Mungkin aku akan menjadi seorang prajurit seperti yang pernah aku sanggupkan kepada Tuanku berdua di istana Singasari. Tetapi di samping itu aku pun akan terikat dalam suatu ikatan keluarga. Pada saat itu, aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk bertualang, melihat luasnya bumi dan menyelusuri panjangnya sungai”

Tidak ada yang dapat mencegah Mahisa Bungalan. Karena itu, maka orang-orang tua yang melepasnya pergi, hanya dapat memberikan beberapa pesan dan petunjuk.

“Tidak lama lagi, ayah juga akan pergi” berkata Mahendra.

“Ayah beruntung dengan pekerjaan ayah” berkata Mahisa Bungalan, “Ada dua pekerjaan yang dapat ayah lakukan dalam satu perjalanan. Mencari nafkah, dan sekaligus bertualang ke tempat-tempat yang jauh”

“Ah” berkata Mahendra, “yang penting bagiku, bagaimana aku mendapat nafkah dengan perjalananku. Aku tidak pernah menganggap perjalanku sebagai suatu perulangan. Aku melakukan perjalanan dengan sungguh-sungguh dan perhitungan yang matang. Aku tidak sekedar mengikuti hasrat hati. Bahkan kadang-kadang aku harus pergi ke tempat yang tidak aku sukai, karena aku mendapat pesanan jenis batu-batu berharga atau semacam pusaka dari jenis senjata atau sekedar berupa wesi aji yang tidak berbentuk”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Tetapi itu lebih menyenangkan daripada harus memikul kewajiban di tempat tertentu dengan lingkungan tertentu pula”

“Kau dapat saja membuat berbagai macam alasan. Tetapi ingat, bahwa kau sudah berjanji kepada Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa pada suatu saat, kau akan mengabdi kepada Singasari dalam lingkungan keprajuritan”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan selalu mengingatnya. Tetapi perjalananku tentu akan banyak memberikan manfaat bagiku. Di beberapa tempat mungkin aku akan memperkenalkan diri sebagai putera Mahendra yang dapat menerima pesan batu-batu berharga dan berbagai jenis pusaka”

“Asal tidak kau salah gunakan dan kau salah artikan, aku tidak berkeberatan. Tetapi bukan berarti bahwa kau akan memilih usaha itu daripada janjimu kepada Tuanku Ranggawuni”

Mahisa Bungalan tertawa, Mahisa Agni dan Witantra tertawa pula.

“Nah, jika saatnya kau pergi, jagalah, agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengetahui alasan kepergianmu. Biarlah mereka menyangka bahwa kau sedang melakukan tugas yang dibebankan kepadamu, agar mereka tidak merengek untuk mengikutimu, atau kelak memaksa aku untuk menyusulmu meskipun aku tidak tahu dimana pada suatu saat kau berada”

“Aku akan selalu berusaha berhubungan dengan ayah” jawab Mahisa Bungalan, “entah cara apa yang dapat aku tempuh. Mungkin lewat kawan ayah, mungkin lewat petugas-petugas Singasari yang bertebaran, atau lewat cara apapun juga”

Mahendra tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan anaknya pergi. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Namun orang tuanya masih juga berdebar-debar karenanya.

Di hari berikutnya, ketika Matahari mulai melontarkan cahayanya yang kemerah-merahan, Mahisa Bungalan berjalan meninggalkan regol halaman rumahnya. Beberapa orang melepaskannya dengan dada yang berdebar-debar. Namun karena hal itu sudah dikehendakinya, maka yang dapat diiringkan kepadanya hanyalah doa agar Yang Maha Agung melindunginya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seperti yang diduga oleh ayahnya, hampir saja tidak dapat dicegah lagi. Tetapi seperti pesan ayahnya, Mahisa Bungalan akhirnya berhasil meyakinkan adiknya, bahwa ia sedang melakukan tugas yang dibebankan oleh Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka.

“Tugas yang sangat berat” berkata Mahisa Bungalan, “aku harus mencari sebuah kitab rontal yang hilang dari istana”

“Kitab apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kitab yang berisi ramalan tentang tanah ini. Setiap pemegang kekuasaan harus mempelajari isi kitab itu, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan ramalan yang terdapat di dalamnya, serta mengusahakan tumbal dan penolak jika ternyata akan datang malapetaka” jawab Mahisa Bungalan.

“Aku dapat membantu” berkata Mahisa Pukat.

“Tiga orang tentu lebih kuat dari kakang seorang diri” sambung Mahisa Murti.

“Aku tidak hanya sendiri” Mahisa Bungalan membantah dengan serta merta, “aku akan pergi bertiga dengan dua orang. Senapati dari istana. Mereka berdualah yang mengemban tugas pokok. Aku diperintahkan untuk membantu keduanya Sehingga karena itu, aku tidak akan dapat membawa kalian serta”

Keduanya nampaknya masih ragu-ragu. Tetapi akhirnya, atas nasehat Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni, keduanya melepaskan maksudnya untuk memaksa ikut bersama kakaknya.

Mahisa Bungalan sengaja meninggalkan rumahnya dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, ia akan dapat banyak melihat, mendengar dan mengalami. Ia dapat melalui jalan-jalan sempit dan jalan-jalan setapak. Bahkan sepanjang pematang. Di daerah yang sulit, kuda justru hanya akan menjadi beban semata-mata. Namun, Mahisa Bungalan pun sadar, bahwa dengan berjalan kaki jarak yang dijangkaunya akan lebih pendek dari jika ia berkuda.

Mula-mula ada niatnya untuk singgah di padepokan Empu Sanggadaru. Tetapi niat itu pun diurungkannya. Yang kemudian menarik perhatiannya adalah perjalanan ke Mahibit. Ada semacam keinginan yang mendesak untuk melihat Mahibit dan daerah-daerah pengaruhnya sepeninggal Linggapati dan Linggadadi.

Tetapi, Mahibit pun akhirnya bukan merupakan tujuan, utama. Ia akan berjalan saja ke arah Mahibit. Mungkin ia akan sampai kesana. Tetapi mungkin ada hal-hal lain yang menarik perhatiannya di perjalanan sehingga ia tidak meneruskan perjalanan ke arah bekas daerah pengaruh Linggapati itu.

Di perjalanan, Mahisa Bungalan benar-benar bagaikan seorang perantau. Meskipun ayahnya termasuk seseorang yang cukup, tetapi ia lebih senang mengenakan pakaian yang sederhana. Kelebihannya dari perantau yang sebenarnya adalah, bahwa Mahisa Bungalan serba sedikit membawa bekal uang di perjalanannya. Bahkan ia telah membawa beberapa buah batu berharga yang diberikan oleh ayahnya, yang akan dapat dijualnya di sepanjang jalan apabila ia terpaksa karena kehabisan bekal. Selebihnya, ada dua bentuk cincin yang dibawanya pula sebagai persediaan jika sangat diperlukan.

Perjalanan Mahisa Bungalan tidak banyak menarik perhatian orang-orang yang melihatnya di sepanjang jalan. Tidak ada tanda-tanda apapun padanya, yang dapat menimbulkan kecurigaan. Di padukuhan yang dilaluinya, kadang-kadang Mahisa Bungalan beristirahat di bayangan rimbunnya pepohonan sambil memperhatikan keadaan. Namun tidak ada yang perlu diperhatikannya. Orang-orang di padukuhan-padukuhan itu hidup seperti yang sudah mereka jalani untuk waktu yang lama. Bekerja di sawah dan ladang. Pulang ke rumah mereka, sementara isterinya telah menanak nasi atau merebus palawija. Dari hari kehari tanpa perubahan apapun juga.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun hanya melewati padukuhan itu tanpa berbuat sesuatu, kecuali angan di kepalanya, kapan orang-orang yang hidup dari tahun ke tahun dengan cara yang hampir tidak berubah itu, mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih banyak lagi cara-cara yang dapat dilakukan bagi sawah dan ladangnya. Kapan mereka mengenal usaha khusus untuk berternak ayam atau itik bahkan kambing, bukan sekedar kebiasaan memelihara saja. Kapan mereka berusaha memperpanjang jalur parit yang dapat mengairi sawah mereka di musim kering dengan membuat bendungan di sungai yang melintasi pedukuhan mereka.

Namun suasana yang berbeda dijumpai Mahisa Bungalan apabila ia memasuki sebuah padukuhan yang besar dan ramai. Padukuhan yang sudah banyak mendapat pengaruh kehidupan orang-orang yang hilir mudik ke Kota Raja untuk bermacam-macam kepentingan, atau ke tempat-tempat lain yang cukup ramai.

Tetapi di tempat-tempat yang demikian, jenis orang-orang yang tinggal dan ternyata lebih banyak pula. Mereka bukan saja petani-petani yang hidup matinya tergantung pada sawah ladang. Tetapi di antara mereka terdapat pula beberapa orang yang hidup dengan berjual beli barang-barang yang diperlukan bagi para petani, termasuk alat-alat pertanian. Beberapa orang pandai besi nampak sibuk dengan perapian masing-masing. Sedangkan di hari-hari tertentu, ada beberapa orang yang membawa ternak mereka ke tempat yang sudah disediakan untuk diperjual belikan. Tempat itu telah menarik perhatian Mahisa Bungalan. Dari orang-orang yang ditanyainya, ia mengetahui bahwa ia sudah berada di padukuhan yang besar yang bernama Watan.

“Dimanakah Ganter?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ganter sudah tidak terlalu jauh dari tempat ini” jawab yang ditanyainya.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ganter pernah dilihatnya pada suatu saat yang sudah agak lama. Rasa-rasanya ia pun ingin sekali lagi melihat tempat yang menjadi ramai, melebihi padukuhan Watan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka ia pun berhasrat untuk tinggal di Watan beberapa hari.

Oleh Ki Buyut di Watan, Mahisa Bungalan diperkenankan bermalam di banjar padukuhan. Karena Mahisa Bungalan nampaknya tidak lebih dari seorang perantau, maka tidak seorang pun yang menghiraukannya.

“Siapa namamu?” bertanya Ki Buyut.

“Dogol Ki Buyut” jawab Mahisa Bungalan.

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Hampir tidak percaya ia bertanya, “Apakah itu benar namamu? Nampaknya meskipun kau seorang perantau, tetapi kau pantas mempunyai nama yang lebih baik”

“Aku tidak tahu Ki Buyut. Biyung menyebutkan demikian”

“Bagaimana dengan ayahmu?”

“Aku tidak pernah mengenal ayahku. Menurut biyung, ayah meninggal sejak aku belum lahir”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Ada kecurigaan terbersit di wajahnya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “He, apakah kau benar mempunyai seorang ayah?”

Mahisa Bungalan lah yang kemudian menjadi heran. Jawabnya, “Apakah ada seseorang yang tidak mempunyai ayah?”

“Maksudku, kau mempunyai ayah yang sah? Mungkin biyungmu telah ditinggal pergi oleh seorang laki-laki yang belum pernah menjadi suaminya”

“Ah” rasa-rasanya Mahisa Bungalan tersinggung. Untunglah ia segera menyadari, bahwa ialah yang telah memulai dengan suatu ceritera khayal yang memang dapat menimbulkan dugaan yang demikian. Namun demikian ia menjawab, “Menurut biyung, tidak Ki Buyut. Ayah meninggal sebelum aku lahir. Tetapi ia benar ayahku, karena aku mempunyai seorang kakak perempuan”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, singgahlah di Banjar. Tetapi jika kau seorang anak yang tidak berbapak, maka telapak kakimu akan membuat padukuhan ini terlalu kotor dan nafasmu akan menodai udara bersih di padukuhan Watan yang menjadi semakin besar. Padukuhan ini kemudian akan menjadi cengkar dan sawah-sawah akan kekeringan”

“Sebenarnyalah Ki Buyut. Kakakku lahir lebih dahulu. Ia sekarang hidup mengawani biyung yang sangat miskin, sehingga aku, anaknya yang laki-laki, tidak pantas menambah bebannya yang sudah terlalu berat”

“Dan kau tidak berusaha menolong biyung dan kakak perempuanmu?”

“Aku meninggalkan mereka setelah aku melihat kemungkinan sepeletik terang. Kakak perempuanku akan kawin dengan seorang laki-laki yang baik. Tetapi laki-laki itu pun laki-laki miskin yang tentu akan merasa sangat berat untuk menerima beban kehadiranku. Itulah sebabnya aku pergi merantau. Mungkin aku akan tersesat kedalam lingkungan yang dapat memberikan lapangan kehidupan baru bagiku”

Namun ternyata Ki Buyut hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak menawarkan apapun juga kecuali kesempatan bermalam. Ia tidak menawarkan untuk memberinya pekerjaan sebagai seorang pekatik sekalipun meskipun nampaknya Buyut di Watan hidup agak cukup.

Tetapi kesempatan untuk bermalam itu pun sudah terlalu cukup baginya. Ia akan mendapat kesempatan untuk melihat padukuhan yang besar itu, yang terdiri dari beberapa kelompok padesan yang terpencar di daerah yang cukup luas.

Di hari-hari pertama, tidak ada yang menarik perhatian Mahisa Bungalan. Di siang hari ia melihat-lihat keadaan dari regol banjar, atau sekali-sekali ia berjalan menyusuri lorong menuju ke pusat keramaian padukuhan Watan. Namun di malam harilah, Mahisa Bungalan justru banyak melihat. Hampir ia telah melihat dari dekat rumah di padukuhan induk. Rumah yang nampaknya lebih baik dari rumah-rumah di padesan- padesan yang lebih kecil.

Tetapi tidak ada yang menarik perhatiannya. Rumah itu tidak memiliki sesuatu yang pantas diperhatikan, selain beberapa di antaranya yang mempunyai satu dua orang gadis yang menginjak masa remaja. Karena itu, maka padukuhan itu tidak lagi dapat mengikat Mahisa Bungalan lebih lama lagi. Ia sudah berniat untuk meneruskan perjalanannya ke Ganter.

Tetapi di hari berikutnya, justru terjadi sesuatu yang menahan Mahisa Bungalan. Ia mulai melihat keganjilan-keganjilan di warung-warung yang pernah dikunjunginya.

“Apa yang mereka lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan kepada seorang perempuan penjual jagung ketika ia duduk bersila sambil mengunyah jagung di bawah sebatang pohon preh di depan sebuah warung yang cukup besar.

“Biasa” jawab perempuan penjual jagung itu lambat sekali.

Mahisa Bungalan tidak memaksanya untuk berbicara, karena agaknya perempuan itu menjadi ketakutan. Baru setelah beberapa orang meninggalkan warung itu, perempuan itu berkata, “Mereka adalah pemungut-pemungut pajak”

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, “wajar sekali. Dimanapun juga ada pemungut pajak”

“Itu pemungut pajak padukuhan yang menyerahkan uangnya kepada Ki Buyut dan bebahunya bagi perkembangan padukuhan ini. Tetapi di samping mereka, masih ada pemungut-pemungut pajak yang lain”

Wajah perempuan itu menjadi pucat. Namun Mahisa Bungalan tidak mendesaknya lagi. Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan masih duduk di tempatnya. Beberapa ontong jagung telah dikunyahnya habis. Beberapa orang lewat telah berhenti dan membeli jagung rebus itu pula. Mahisa Bungalan beringsut ketika seorang laki-laki setengah umur duduk di sampingnya setelah membuka capingnya yang besar.

“Belum habis?” bertanya laki-laki itu.

“Masih sedikit” jawab perempuan penjual jagung itu.

Laki-laki itu memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian sambil tersenyum ia bertanya, “Enak bukan jagung rebus ini?”

“Ya paman. Tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua” jawab Mahisa Bungalan.

“Ia suamiku” berkata perempuan penjual jagung itu. “Setiap saat seperti ini ia menjemputku”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja timbul niatnya untuk bertanya tentang para pemungut pajak. Mungkin suami penjual jagung itu lebih berani memberikan keterangan. Apalagi tidak ada lagi orang-orang yang mencurigakan di antara mereka yang masih berkeliaran.

“Paman” berkata Mahisa Buagalan kemudian, “Apakah paman mengetahui serba sedikit tentang pemungut-pemungut pajak itu?”

“He” wajah orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Dipandanginya beberapa orang di sekelilingnya. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Marilah kita berbicara tentang hal yang lebih menarik. He? apakah kau orang asing disini?”

“Aku adalah seorang perantau. Aku singgah di desa Watan ini untuk beberapa hari”

“Kemanakah tujuanmu?”

“Aku tidak tahu paman. Aku berjalan asal saja berjalan. Aku meninggalkan keluargaku yang kesulitan” jawab Mahisa Bungalan.

Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Lalu katanya, “Sebaiknya kau tidak usah bertanya tentang pemungut pajak” lalu laki-laki itu berpaling kepada isterinya sambil bertanya, “Apakah mereka datang?”

Perempuan itu mendekat. Kemudian berbisik, “Kelompok Ki Branang”

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Tetapi kelompok Ki Branang masih lebih baik dari kelompok yang lain”

“Kelompok yang mana lagi?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kelompok Ki Lambun”

“Kenapa ada dua kelompok?” bertanya Mahisa Bungalan pula meskipun ia sudah dapat meraba.

Laki-laki ku terdiam. Dipandanginya bakul isterinya yang memang sudah hampir kosong. “Jangan bertanya. Jika kau masih ingin makan jagung, makanlah”

“Aku sudah kenyang”

“Kalau begitu pergilah. He, kau bermalam dimana di padukuhan ini?”

“Di Banjar paman, atas kemurahan Ki Buyut”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Pergilah ke banjar. Tidak ada gunanya kau mengetahui apapun juga tentang pemungut pajak itu”

Mahisa Bungalan terdiam, ia sadar, bahwa ada sesuatu yang kurang wajar. Kebanyakan dari orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan apapun lebih senang diam dan tidak berbicara tentang pemungut-pemungut pajak. Sejenak Mahisa Bungalan masih duduk bersila meskipun ia tidak mengunyah jagung lagi. Beberapa saat lamanya ia masih memandangi orang-orang yang berkeliaran untuk membeli bermacam-macam keperluan. Satu dua orang masih duduk di dalam warung yang seolah-olah memang tidak pernah kosong itu.

Penjual jagung itu masih duduk di belakang bakulnya, dan suaminya pun masih duduk tepekur di tempatnya. Wajah suami isteri penjual jagung itu tiba-tiba menjadi tegang. Sekilas mereka memandang seorang laki-laki muda yang mendekati warung itu diikuti oleh seorang yang sudah lebih tua. Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu memandangi beberapa orang yang nampak seolah-olah menyibak. Namun kemudian ia pun memasuki pintu warung itu.

Mahisa Bungalan menjadi semakin curiga. Apalagi ketika satu dua orang yang berada di warung itu pun dengan tergesa-gesa pergi meskipun barangkali perut mereka belum kenyang.

“Nyi” berkata laki-laki yang duduk di dekat Mahisa Bungalan, “sudahlah. Jika jagungmu tinggal sedikit, marilah kita pulang”

Perempuan penjual jagung itu tidak menjawab. Ia pun kemudian mengemasi dagangannya dan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempatnya.

Mahisa Bungalan masih duduk di tempatnya. Perempuan penjual jagung itu menerima uangnya seolah-olah sambil berlari saja tanpa dihitungnya.

“Tentu ada sesuatu yang gawat” berkala Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun ia sudah dapat menerka, bahwa anak muda yang memasuki warung itu adalah seorang anak muda yang disegani. Tentu ada hubungannya dengan pungutan pajak yang lain dari yang sudah dilakukan oleh beberapa orang terdahulu.

“Aneh, Nampaknya Ki Buyut termasuk seorang yang baik dan sabar, bahkan pemurah. Tetapi menilai sikap pemungut pajaknya, ternyata ia termasuk orang yang keras dan barangkali suka memeras rakyat yang tinggal di dalam lingkungan kuasanya” Mahisa Bungalan berteka-teki dengan dirinya sendiri.

Namun justru karena itu, maka Mahisa Bungalanpun, tetap duduk di tempatnya. Ia ingin mengetahui, apa yang akan dilaksanakan oleh anak muda itu. Beberapa saat lamanya Mahisa Bungalan duduk di tempatnya. Beberapa orang telah meninggalkan tempat itu, seperti penjual jagung yang seolah-olah menjadi ketakutan. Beberapa saat lamanya ia menunggu. Tetapi anak muda bersama kawannya itu masih saja berada di dalam warung.

“Apa saja yang dilakukannya?” pertanyaan itu rasanya mengganggu perasaan Mahisa Bungalan. Tetapi ia tidak dapat memasuki warung itu tanpa menumbuhkan kecurigaan. “Sampai kapan pun aku akan menunggu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Karena itu, maka ia pun beringsut sedikit dan duduk bersandar pohon preh. Dengan demikian ia akan dapat menunggu untuk waktu yang lebih lama sambil bersandar dan memeluk lutut. Kegelisahan masih saja nampak pada orang-orang yang masih ada di sekitar tempat itu. Orang-orang yang tidak dapat pergi meninggalkan dagangan mereka yang masih cukup banyak. Namun ada juga satu dua orang yang lebih baik menyingkir daripada duduk di tempatnya dengan gelisah.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak menunggu lebih lama lagi. Anak muda itu pun kemudian keluar dari warung itu tanpa terjadi sesuatu. Sejenak anak muda itu berdiri di muka warung sambil memandang ke sekelilingnya. Agaknya sikap Mahisa Bungalan sangat menarik perhatiannya. Mahisa Bungalan sama sekali tidak menunjukkan sikap yang gelisah seperti kebanyakan orang yang ada di tempat itu.

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar karena ternyata anak muda itu melangkah mendekatinya diikuti oleh kawannya yang lebih tua. Di luar sadarnya Mahisa Bungalan telah melihat di pinggang anak muda itu melilit seutas rantai baja putih yang mengkilap.

“Ki Sanak” sapa anak muda itu, “apakah yang sedang kau lakukan disitu?”

Mahisa Bungalan tergagap. Ia mulai menyadari kesalahannya. Bahwa sikapnya telah menarik perhatian anak muda itu. Dengan demikian maka untuk selanjutnya Mahisa Bungalan nampak gelisah dan ketakutan. Dengan suara yang bergetar ia menjawab, “Aku, aku tidak apa-apa Ki Sanak”

“Apakah kau menunggu seseorang?”

“Tidak, Tidak Ki Sanak. Aku duduk disini melepaskan lelah. Aku sebenarnya hanya ingin melihat tempat yang termasuk ramai di padukuhan ini. Tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya”

“O” anak muda itu mengangguk-angguk, “jadi kau bukan orang Watan?”

Mahisa Bungalan menggeleng lemah, “Bukan. Bukan Ki Sanak. Aku bukan orang Watan”

Orang itu tersenyum. Lalu katanya, “Jika kau ingin duduk saja disitu, duduk sajalah. Kau akan melihat sesuatu terjadi. Tetapi agaknya aku datang terlampau pagi”

Mahisa Bungalan menjadi tegang. Bukan sekedar pura-pura. Tetapi keterangan anak muda itu benar-benar lelah menarik perhatiannya. “Apakah maksud Ki Sanak dengan sesuatu yang akan terjadi itu?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Beberapa hari yang lalu aku sudah berjanji akan datang di tempat ini di hari pasaran. Tetapi karena sesuatu hal, maka di hari pasaran yang lalu aku telah ingkar, sehingga aku tidak datang. Alasannya tidak perlu aku katakan kepadamu. Baru hari ini aku sempat datang. Tetapi pemungut pajak di hari pasaran itu nampaknya belum datang”

Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Di luar sadarnya ia bertanya, “Pemungut pajak di warung-warung itu?”

“Ya. Pemungut pajak di warung-warung”

“Beberapa orang laki-laki yang garang?”

“Ya. Beberapa orang laki-laki yang garang”

Di luar sadarnya Mahisa Bungalan bangkit. Tanpa prasangka apapun juga ia berkata, “Mereka sudah datang. Belum lama. Dan mereka kini sudah pergi”

“He” wajah anak muda itu menjadi tegang, “jadi mereka sudah datang?”

“Ya. Mereka sudah datang”

Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dipandanginya kawannya yang berdiri termangu-mangu. Geramnya kemudian, “Gila. Kali ini pun aku terlambat”

“Kemanakah mereka pergi anak muda?” bertanya kawannya.

“Kesana. Kearah padukuhan sebelah” jawab Mahisa Bungalan jujur.

“Orang-orang disini pun sudah gila. Menurut penjual di warung itu, mereka belum datang. Ia mencoba menipuku. He, apakah pemungut pajak itu justru menguntungkan orang-orang di sini?”

“Tentu tidak” jawab kawannya, “agaknya mereka takut untuk mengatakannya dengan jujur”

Anak muda itu menjadi semakin tegang. Tiba-tiba ia menggeram, “Gila orang warung itu”

Namun ketika ia melangkah, kawannya mencegahnya, “Pertimbangkan baik-baik. Mungkin ia tidak sengaja menipumu. Kau harus tahu, bahwa orang-orang yang lemah itu selalu dibayangi oleh ketakutan”

Anak muda itu menarik, nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hanya akan bertanya, apakah maksudnya dengan menipuku”

Dengan tergesa-gesa anak muda itu kembali ke warung diikuti oleh kawannya. Mahisa Bungalan pun telah mengikutinya pula beberapa langkah di belakangnya. Dari luar, Mahisa Bungalan mendengar anak muda itu bercakap-cakap dengan nada yang agak keras.

“Kau ingin menyesatkan aku, he?” katanya.

“Tidak anak muda. Aku berkata sebenarnya”

“Menurut anak muda di luar warung ini, mereka sudah datang. Dan kini mereka justru telah pergi” ia berhenti sebentar, lalu, “kenapa kau menipuku?”

Penjual di warung itu menjadi pucat. Namun terdengar ia menjawab, “Siapakah yang mengatakan bahwa mereka telah pergi?”

“Itu, anak muda itu melihatnya”

Penjual di warung itu pun kemudian melangkah ke pintu. Dilihatnya Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Namun dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan pun bergeser surut. Ia harus memerankan penyamaran itu sebaik-baiknya, agar tidak menimbulkan masalah yang kemudian akan berkisar pada dirinya.

“Aku, aku memang melihat”

Penjual di warung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin ia keliru, anak muda. Yang dikatakan itu tentu sekelompok petugas yang dipimpin oleh Ki Branang”

“Siapa mereka itu?” bertanya anak muda itu.

“Petugas-petugas yang memang mendapat perintah dari Ki Buyut. Tetapi bukankah yang kau maksudkan bukan orang-orang Ki Branang?”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Yang dahulu pernah aku sebutkan. Aku pernah mendapat laporan, bahwa sekelompok pemungut pajak telah mengadakan pemerasan di sini. He, apakah ada kelompok lain?”

“Kelompok Ki Lambun. Ya, tentu kelompok Ki Lambun. Karena itu aku mengatakan bahwa hari ini mereka belum nampak. Ki Lambun memang sering datang di hari pasaran. Memeras dengan semena-mena. Tetapi kadang-kadang ia tidak nampak. Dan sampai sekarang kami belum melihat kedatangannya”

“Gila” geram anak muda itu, “jadi ada dua kelompok, he?”

“Tetapi yang dipimpin oleh Ki Branang, adalah orang-orang Ki Buyut”

“Tetapi apakah kedua kelompok itu tidak saling bersaing dan saling bertengkar jika mereka bertemu?”

“Kelompok Ki Branang adalah petugas-petugas padukuhan. Mereka memang kasar dan kadang-kadang keras. Tetapi mereka tidak berbuat melampaui batas yang ditentukan oleh Ki Buyut. Sedangkan Ki Lambun…” orang itu berhenti sejenak, dipandanginya keadaan di sekelilingnya.

Karena ia tidak segera melanjutkan, maka anak muda itu mendesaknya, “Kau takut bahwa kata-katamu akan didengar oleh orang yang bernama Lambun itu?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia adalah seorang yang memiliki kekuatan jin di dalam dirinya”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi yang dimaksud anak muda itu bukannya orang-orang yang aku maksudkan”

“Tentu bukan Ki Sanak”

“Tetapi mereka menjadi ketakutan pula” sahut Mahisa Bungalan.

“Bukan saja orang-orang yang ada di sekitar tempat ini. Bahkan Ki Branang pun melakukan tugasnya dengan tergesa-gesa. Ia tidak berani berhadapan dengan Ki Lambun. Jika mereka berpapasan maka Ki Branang akan mengambil jalan lain”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sementara anak muda itu berkata. “Jika demikian, aku masih akan menunggu. Aku akan bertemu dengan orang yang bernama Ki Lambun. Mungkin aku dapat mengekang tindakannya yang biadab itu”

Penjual di warung ku menjadi pucat. Lalu katanya, “Tetapi sekali lagi aku mohon, jangan membuat keadaan kami semakin parah”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Aku minta maaf bahwa kehadiranku membuat kalian bertambah gelisah dan barangkali menjadi ketakutan. Tetapi jika aku berhasil, maka kalian akan bebas dari pemerasan lebih lama lagi. Tetapi jika aku gagal, maka mungkin aku mati di sini sekarang. Namun orang-orang Ganter tidak akan membiarkan mayatku diludahi oleh Ki Lambun. Ia tentu akan segera dimusnahkan seperti penjahat-penjahat yang pernah aku lumatkan”

Tetapi sekilas Mahisa Bungalan melihat kerut kening di wajah kawan anak muda itu, seolah-olah ada sesuatu yang tidak benar yang dikatakannya. Namun demikian. Mahisa Bungalan mengetahui bahwa anak muda itu tentu bersangkut paut dengan orang-orang Ganter yang menurut keterangan memang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Watan.

“Nah, aku akan menunggu di luar” berkata anak muda itu, lalu katanya kepada Mahisa Bungalan yang berdiri di luar warung itu, “Nah, kau sudah mengetahui persoalannya. Jika kau ingin duduk di bawah pohon preh itu duduklah. Mungkin kau akan melihat sesuatu terjadi di sini. Jika aku menang, kau dapat ikut bersorak. Tetapi jika aku kalah dan terbunuh, kau tidak usah menangis. Aku memang sudah sengaja melakukannya."

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia pun kemudian melangkah kembali ke bawah pohon preh dan duduk bersandar batangnya yang besar dan kukuh. “Siapakah anak muda itu” bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Bahkan kemudian timbullah keragu-raguannya atas sikap dan tingkah laku anak muda itu. Apakah ia akan dapat melakukan rencananya.

“Tetapi aku juga belum tahu, apakah orang yang bernama Ki Lambun itu benar-benar memiliki ilmu yang cukup”

Sejenak kemudian anak muda itu berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian mengitari warung dan beberapa penjual yang masih ada, tetapi yang sudah menjadi semakin sedikit. Satu-satu mereka meninggalkan tempatnya. Yang masih mempunyai banyak barang dagangan masih ada juga di tempatnya. Bahkan, ada di antara mereka yang bergeremang di antara kawannya, “Apa pula yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Jika ia tidak mengganggu Ki Lambun, maka aku kira tidak akan ada persoalan. Dengan memberi beberapa keping uang, ia akan pergi tanpa mengganggu kita”

“Tetapi, kadang-kadang Ki Lambun menuntut terlalu banyak” berkata yang lain.

“Biarlah dilakukan terhadap warung-warung yang besar” jawabnya.

Kawannya mengangguk-angguk. Sekilas dilihatnya anak muda yang nampaknya tidak sabar lagi menunggu. Sekali-sekali anak muda itu duduk di atas batu. Kemudian berjalan lagi hilir mudik. Sikapnya benar-benar membuat beberapa orang bertambah cemas, sehingga akhirnya tempat itu benar-benar menjadi semakin sepi.

Seorang penjual kedele yang duduk agak jauh dari warung-warung yang lain, merasa kesal karena peristiwa yang tidak di harapkannya itu. Ia lebih suka melihat Ki Lambun datang dan memaksa orang-orang yang mempunyai penghasilan yang lebih banyak dari dirinya untuk membayar lebih banyak.

Tetapi orang-orang yang pernah dikenai pungutan yang dilakukan oleh Ki Lambun, benar-benar mengharap bahwa pada suatu saat ada seseorang yang sanggup menghentikannya. Ki Lambun tidak segan-segan menyakiti mereka yang tidak mau memberikan uang yang dimintanya. Bahkan ia tidak segan-segan menyeret korbannya ke tengah-tengah bulak dan membiarkannya dibakar oleh terik matahari.

Namun nampaknya, ada beberapa orang yang tidak ingin mengalami peristiwa lain yang dapat mengungkat kemarahan Ki Lambun, sehingga ia akan bertindak lebih garang lagi. Bahkan mungkin Ki Lambun tidak saja bertindak kasar dan keras terhadap orang-orang yang dikiranya dapat memberikan uang banyak kepadanya, tetapi juga kepada penjual kecil hanya memiliki apa yang dibawanya saat itu.

“Mudah-mudahan Ki Lambun tidak datang” desis seseorang yang lain.

Tetapi yang lain lagi mengharap, “Mudah-mudahan kali ini ia datang. Anak muda itu tentu akan membinasakannya”

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan Ki Lambun tidak nampak datang, maka anak muda yang menunggunya itu menjadi semakin gelisah. Sementara kawannya yang tidak ikut hilir mudik bersamanya, telah duduk di bawah pohon preh di dekat Mahisa Bungalan.

Hampir di luar sadarnya orang itu bertanya, “Siapa namamu?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hampir tidak percaya ia bahkan bertanya, “Ki Sanak bertanya kepadaku?”

“Ya. Kau”

“Namaku Dogol” jawab Mahisa Bungalan.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Itu benar-benar namamu?”

“Ya. Memang namaku. Ki Buyut juga bertanya demikian kepadaku” Mahisa Bungalan berhenti sejenak, lalu, “siapakah nama Ki Sanak dan anak muda itu?”

“Namaku Makerti. Aku masih bersangkut paut kadang dari anak muda itu. Namanya Gemak Werdi. Ia murid seorang pertapa yang baru saja turun dari padepokannya. Ketika ia mendengar ceritera tentang Ki Lambun di daerah Watan, maka ia telah menawarkan diri untuk menghalaunya. Aku sudah memperingatkan, bahwa tugas ini bukan tugas yang ringan. Tetapi ia terlalu yakin akan ilmunya. Ilmu yang masih hangat” Namun orang itu kemudian berguman, “tetapi aku masih belum yakin, sehingga karena itu aku menyertainya”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa anak muda itu baru saja turun dari padepokan, sehingga ia merasa perlu untuk menguji ilmunya yang baru saja di terimanya dari tempatnya berguru.

Namun dengan demikian, justru orang yang mengikutinya itulah yang dinilai oleh Mahisa Bungalan sebagai seorang yang tentu memiliki ilmu yang cukup pula. Ia merasa perlu untuk menyertai salah seorang kadangnya yang telah terjun kedalam bahaya gawat. Tetapi ia tidak mencegahnya. Ia memberi kesempatan kepada anak muda yang bernama Gemak Werdi itu untuk mendapatkan pengalaman.

Tetapi sebuah pertanyaan telah tumbuh di dalam hati Mahisa Bungalan, kenapa justru ia mengatakannya kepadanya. Tetapi rasa-rasanya orang itu mengetahui pertanyaan yang melonjak di hati Mahisa Bungalan, sehingga orang itu berkata,

“Ki Sanak. Sikapmu yang aneh memberikan kesan yang aneh pula kepadaku. Aku belum mengenalmu. Mungkin kau justru anak buah Ki Lambun. Tetapi kau menunjukkan sesuatu yang lain dari orang kebanyakan, apalagi seorang yang bernama Dogol”

“Apakah yang lain?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kehadiranmu di sini, dan bahwa kau tidak berlari-lari kecil menyingkir, merupakan sesuatu yang aneh bagiku. Mungkin karena kau memang sangat dungu sehingga kau tidak mengerti bahaya yang gawat di tempat ini, tetapi mungkin pula bahwa kau terlalu yakin akan dirimu, bahwa kau akan dapat menghindarkan diri dari bahaya”

“Ah. apakah ada bahayanya duduk di sini?” bertanya Mahisa Bungalan, “bukankah aku tidak turut campur”

Tetapi Makerti tidak menjawab. Ia justru tersenyum.

Sementara itu, anak muda yang bernama Gemak Werdi itu menjadi semakin gelisah. Sejenak kemudian ia melangkah mendekati kawannya yang duduk di bawah pohon preh dekat Mahisa Bungalan sambil berkata, “Jika sebentar lagi orang itu tidak datang, kita akan kembali. Besok pada hari pasaran berikutnya aku akan datang. Aku akan memberikan tantangan langsung kepadanya. Jika ia menolak tantanganku, berarti ia akan menghentikan tindakan-tindakannya yang biadab itu”

Kawannya yang duduk iitu mengangguk. Jawabnya, “Baik. Kita kembali saja”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja, orang yang masih ada menjadi gelisah. Beberapa orang benar-benar telah, meninggalkan tempatnya. Penjual di warung di dekat pohon preh itu pun dengan tergesa-tergesa pula mengumpulkan dagangannya yang tersisa. Tetapi ia tidak berani menutup pintu warungnya.

Dari kejauhan mereka melihat sekelompok orang berjalan dengan tenang mendekati tempat itu. Sekelompok orang yang sudah banyak dikenal, karena pemimpin kelompok itulah yang disebut Ki Lambun.

Makerti yang juga melihat kehadiran orang-orang itu menjadi gelisah. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berbisik, “Gemak Werdi benar-benar orang baru sehingga ia masih harus menilai dirinya sendiri”

“Tetapi bagaimana jika ia gagal seperti yang dikatakannya?” bertanya Mahisa Bungalan sambil berbisik pula.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun di luar sadarnya ia telah memutar pedang pendek yang tergantung di pinggangnya. Mahisa Bungalan kemudian beringsut surut. Katanya, “Aku tidak mau terlibat. Aku akan pergi saja”

Gemak Werdi memandanginya sejenak. Lalu katanya, “Jika kau pergi, pergilah. Tetapi jika kau ingin melihat Lambun mati, tinggallah di sini”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bergeser menjauh, meskipun ia tidak meninggalkan tempat itu. Dengan tegang ia pun kemudian berdiri di sudut sebuah warung yang masih tetap terbuka, karena pemiliknya tidak berani menutup pintunya.

Sejenak kemudian, sekelompok orang yang berjalan dengan tenang itu pun sudah menjadi semakin dekat. Adalah mendebarkan, karena mereka justru mendekati warung tempat Mahisa Bungalan berdiri, beberapa langkah dari Gemak Werdi yang menunggu sambil bersandar dinding warung yang lain.

Sekilas Mahisa Bungalan dapat mengetahui, yang manakah yang menjadi pemimpin dari kelompok orang-orang yang namanya telah menghantui daerah Watan itu. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia melihat orang yang diduganya bernama Ki Lambun itu mengangguk hormat di muka pintu warung yang terbuka itu. Dengan ramah ia berkata,

“Selamat siang Ki Sanak. Aku mohon maaf bahwa aku datang agak terlambat”

“O” terdengar suara gemetar, “silahkan, silahkan Kiai”

Orang itu tertawa pendek. Sekali lagi ia mengangguk dalam-dalam. Bahkan terlalu dalam, sambil berkata, “Kedatanganku tidak ada ubahnya dengan kedatanganku sebelumnya. Kami adalah orang-orang miskin yang perlu dikasihani. Sebenarnyalah bahwa kami sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Ki Sanak. Namun apa boleh buat, bahwa kami masih harus datang lagi kali ini. Mudahkan kami untuk seterusnya tidak akan mengganggu Ki Sanak lagi”

Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tetapi, apakah yang dapat aku berikan kali ini. Masih belum banyak orang yang membeli sementara Ki Branang telah datang pula. Karena itu, aku mohon maaf, bahwa yang dapat aku sediakan tidak terlalu banyak”

Ki Lambun tertawa. Katanya, “Itu tidak menjadi soal Ki Sanak. Sedikit pun sudah cukup bagi, kami. Kami akan mengucapkan beribu terima kasih”

Mahisa Bungalan yang berdiri tegak di sudut warung itu menjadi termangu-mangu. Sejenak ia tidak mendengar sesuatu sementara Ki Lambun melangkah masuk ke dalam warung itu.

“Ini Kiai” terdengar kemudian suara pemilik warung itu.

“Apakah sudah tidak ada lagi yang dapat kami terima Ki Sanak?” bertanya Ki Lambun.

“Maaf Kiai Semua yang aku dapatkan hari ini sudah aku berikan semuanya. Sebagian kepada Ki Branang”

“Terima kasih Ki Sanak” jawab Ki Lambun, “tetapi kenapa Ki Sanak memberikan sebagian dari milik Ki Sanak kepada Ki Branang. Seharusnya Ki Sanak tidak melakukannya. Aku pun berusaha untuk dapat berjumpa dengan Ki Branang. Aku ingin memperingatkan kepadanya, agar ia tidak melakukannya lagi. Bukankah yang dilakukan itu sama sekali tidak berperi-kemanusiaan? Ki Sanak adalah orang-orang yang berusaha dengan susah payah. Ki Branang datang dengan tanpa berbuat apa-apa, mengambil uang Ki Sanak dan di berikannya kepada Ki Buyut” Ki Lambun berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku masih segan berurusan dengan orang itu lebih jauh lagi. Namun apabila pada suatu saat aku tidak dapat mengendalikan perasaan belas kasihanku kepada para pemilik warung disini, maka aku akan terpaksa bertindak”

Pemilik warung itu sama sekali tidak menyahut.

“Sudahlah Ki Sanak” berkata Ki Lambun, “aku mohon diri. Semua yang telah aku terima, akan aku pergunakan sebaik-baiknya bagi kepentingan kami sekeluarga. Kebaikan hati Ki Sanak tidak akan dapat aku lupakan”

“Silahkan Kiai” jawab pemilik warung itu.

“Tetapi” tiba-tiba saja Ki Lambun berkata, “nampan teko dari tembaga itu baik sekali Ki Sanak.

“O. Itu peninggalan orang tuaku Kiai. Nampan tembaga itu dengan teko dan mangkuk-mangkuknya”

“Ah manis sekali. Jika Ki Sanak bermurah hati, aku ingin memilikinya untuk kenang-kenangan, bahwa Ki Sanak telah menolong kami dan keluarga kami”

“Tetapi, tetapi Kiai telah membawa teko berselut perak itu beberapa hari yang lalu”

“Lupakan Ki Sanak. Lupakan saja yang sudah lalu. Sekarang aku berterima kasih sekali atas kebaikan hati Ki Sanak”

Tidak ada jawaban. Yang terdengar adalah gemerincing mangkuk dan nampan tembaga yang agaknya telah diambil oleh Ki Lambun.

“Gila” geram Mahisa Bungalan, “keramahan seekor serigala”

Sejenak kemudian Ki Lambun telah keluar dari warung itu. Ia berhenti termangu-mangu ketika ia mendengar Gemak Werdi yang berdiri bersandar dinding warung yang lain mendeham. Ki Lambun memandanginya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Apakah Ki Sanak tertarik kepadaku dan kawan-kawanku”

Gemak Werdi pun kemudian melangkah mendekat. Ia sama sekali tidak nampak ragu-ragu meskipun ia melihat bahwa kelompok yang dipimpin oleh Ki Lambun itu berjumlah lebih dari lima orang.

“Apakah Ki Sanak yang bernama Ki Lambun?” bertanya Gemak Werdi.

Ki Lambun memandang anak muda itu dengan tajamnya. Ia melihat sesuatu yang lain pada Gemak Werdi daripada orang-orang lain di daerah Watan yang pernah dikenalnya.

“Akulah orang yang disebut Ki Lambun” jawab Ki Lambun dengan kerut merut di dahinya.

“Ha” sahut Gemak Werdi, “sekarang aku berhasil menemuimu. Beberapa hari yang lalu, aku pernah berjanji kepada orang-orang Watan yang terlalu baik hati untuk datang menjumpaimu. Tetapi di hari pasaran yang lalu, aku berhalangan, sehingga, baru sekarang aku datang lagi memenuhi janji itu”

“O. Nampaknya kau memang sangat tertarik kepadaku” berkata Ki Lambun.

“Bukan tertarik kepadamu. Nampaknya kau seorang yang lumrah. Bahkan sudah lebih tua dari dugaanku. Yang menarik adalah tingkah lakumu. Ternyata kau mempunyai tingkah laku yang berbeda dari yang aku bayangkan. Aku kira kau adalah seorang yang dengan garang menendang pintu yang tertutup. Melemparkan tempat makanan dan mangkuk di paga warung itu. Kemudian dengan rakus mengambil semua uang yang ada sambil membentak-bentak dengan kasar” ia berhenti sejenak, lalu, “ternyata kau adalah seorang yang ramah, sopan, bahkan terlalu sopan, karena kau membungkukkan punggungmu terlalu dalam di muka pintu saat kau memasuki warung itu. Dengan ramah dan rendah hati kau minta belas kasihan kepada pemiliknya."

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Namun ia pun kmudian tertawa sambil berkata, “Bukankah itu lebih baik. Aku memang menghargai sopan santun. Aku menghormati adat dan mencoba untuk bertingkah laku sebaik-baiknya”

“Dan itu sudah kau lakukan dengan baik. Tetapi sayang, bahwa di balik tingkah lakumu yang baik, rendah hati, ramah dan sopan itu, tersembunyi maksudmu yang justru jauh lebih jahat dari orang-orang kasar yang menendang pintu dan menghamburkan makanan”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau terlalu banyak berbicara, anak muda. Aku mohon agar kau sudi berlalu dari tempat ini. Aku hargai perhatianmu atas kami sekelompok kecil ini. Tetapi agaknya waktu kami tidak terlalu banyak untuk melayanimu. Jika kau tidak sudi untuk meninggalkan tempat ini, baiklah kamilah yang akan mohon diri untuk melanjutkan tugas kami. Kami masih akan pergi ke warung sebelah dan yang lain lagi. Agar kami tidak kesiangan sampai di rumah, maka kami akan melanjutkannya sekarang. Isteri dan anak-anak kami yang perlu dikasihani, sudah menunggu kami. Tentu mereka belum makan karena mereka tidak mempunyai persediaan apapun juga, selalu menunggu kepergian kami untuk mendapat belas kasihan dari pada pemilik warung yang mempunyai uang berkelebihan”

Jawaban dan sikap Ki Lambun yang ternyata tidak mencerminkan sikapnya yang jujur itu, membuat dada Gemak Werdi semakin bergejolak. Bahkan tiba-tiba meledaklah perasaannya yang tertahan selama itu, “Gila. Kau masih mempertahankan sikapmu yang berlebih-lebihan itu? Kau kira itu bukan suatu penghinaan bagiku?”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Nampak kerut-marut ketegangan di wajahnya. Katanya, “Aku tidak mengerti, anak muda. Apakah maksudmu? Aku hanya sekedar minta belas kasihan disini. Apa salahku? Jika ada orang yang menaruh belas, akan memberinya dengan ikhlas. Jika tidak, maka aku pun tidak akan menyesali nasib karena aku harus menyadari bahwa sikap seseorang itu tidak harus sama yang satu dengan yang lain”

“Jangan berkicau lagi seperti burung kedasih. Kembalikan semuanya yang kau ambil dari warung itu. Apa saja. Tentu nampan tembaga itu juga kau ambil dari warung itu”

Wajah Ki Lambun menjadi semakin tegang. Katanya, “Anak muda. Selama aku berkeliaran di daerah Watan untuk mohon belas kasihan aku belum pernah menjumpai sikap seperti ini. Jika kau tidak mempunyai belas sedikitpun, baiklah, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Tetapi jangan membentak-bentak dan berlaku demikian kasar”

“Persetan” anak muda itu menggeram, “kembalikan barang-barang itu. Juga yang lain-lain yang tentu kau rampok dari warung-warung atau rumah-rumah yang kau jadikan sumber perahan seperti kau memerah kelapa untuk mendapatkan santannya. Sampai akhirnya menjadi ampas yang kering dan tidak berarti sama sekali”

“Sudahlah anak muda” potong Ki Lambun, “apakah maumu sebenarnya”

“Menghentikan ulahmu yang gila itu. Kau mengerti? Jika dan dapat diajak berbicara dan mengerti kata-kataku, maka tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi jika kau keras kepala, maka aku akan bertindak lebih kasar lagi”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menjadi bertambah tegang. Katanya, “Kau memang tidak dapat dihargai dengan sikap yang baik dan adat yang lengkap. Kalau begitu, apakah aku harus bersikap kasar?”

“Bersikaplah seperti sikapmu yang sewajarnya. Kau adalah seorang perampok apapun alasanmu dan cara apapun yang kau lakukan”

Ki Lambun akhirnya tidak id!apat menguasai diri lagi. Sambil menggeram ia berkata, “Apa maumu sekarang?”

“Nah, itu adalah sikapmu yang jujur. Sikapmu sebagai seorang perampok. Dan aku pun akan menunjukkan sikapku yang jujur. Aku bukan anak muda yang berbudi pekerti seperti seorang perempuan. Aku akan memilih berkelahi untuk maksud baikku”

Ki Lambun pun kemudian menggeram. Selangkah ia surut. Kemudian ia pun menggeram, “Anak muda yang gila. Kau belum mengenal Lambun yang sebenarnya”

“Memang belum karena sikapmu yang pura-pura dan dibuat-buat Tetapi justru sangat memuakkan itu”

Wajah Ki Lambun menjadi merah. Ia belum pernah di perlakukan sekasar itu. Apalagi oleh seorang anak muda yang tidak dikenal. Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, “Anak muda. Jangan banyak tingkah. Aku dapat berbuat baik, sopan dan menurut adat. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar dan bahkan membunuh tanpa akibat apapun yang dapat dikenakan atasku, karena aku akan melawan siapapun juga yang menganggap aku bersalah. Apalagi seseorang yang akan menjatuhkan hukuman atasku. Akulah yang justru akan menghukum seseorang yang tidak menyetujui sikap dan perbuatanku. Termasuk kau”

Tetapi Gemak Werdi tertawa. Katanya, “Kau mempunyai sikap yang aneh. Tetapi kau kasar seperti aku. Karena itu, maka persoalan ini hanya dapat diselesaikan dengan perkelahian. Salah seorang dari kita harus kalah. Bahkan kekalahan itu harus jelas”

“Aku mengerti maksudmu. Salah seorang dari kita harus tidak berdaya lagi untuk melawan. Bahkan mati”

Sekali lagi Gemak Werdi tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang cerdas”

“Gila. Kau memang anak muda yang gila. Cepat, bersiaplah. Sekejap lagi kau akan mati. Dan aku akan memenggal kepala setiap korbanku”

“Bagus. Marilah kita berkelahi. Aku menghargai sikapmu jika kau menghadapi aku dalam perkelahian jantan. Seorang lawan seorang. Tetapi jika kau terbiasa berkelahi dalam kelompokan yang lebih dari lima orang itu, aku pun tidak akan gentar”

“Persetan. Bersiaplah”

Gemak Werdi meloncat surut, ketika ia melihat Ki Lambun yang marah itu melangkah maju. Dengan hati-hati ia berdiri menghadap lawannya yang seorang itu, tetapi ia tidak melepaskan perhatiannya kepada kawan-kawan Ki Lambun yang ternyata telah bersiap-siap pula.

“Aku akan membunuhnya” geram Ki Lambun sambil melangkah maju lagi.

Gemak Werdi melangkah selangkah surut. Tetapi ia masih tersenyum sambil berkata, “Kita benar-benar akan mulai. Bersiaplah. Jangan hanya marah-marah saja”

Ki Lambun menggeram. Namun ia pun terkejut ketika tiba-tiba saja anak muda itu meloncat menyerang dengan kecepatan yang tidak diduganya. Ki Lambun terlambat menghindar. Karena itu, maka serangan tangan Gemak Werdi berhasil menyentuh pundaknya sehingga Ki Lambun terdorong oleh kekuatan raksasa ke samping. Hampir saja ia terlempar jatuh. Untunglah bahwa orang itu masih sempat berputar dan memperbaiki keseimbangan dengan sebuah loncatan kecil. Namun dalam pada itu terdengar ia mengumpat dengan kasar, “Anak setan. Kau licik”

“Bukankah kita sudah bersiap untuk mulai” Gemak Werdi bertanya sambil tertawa kecil.

Sikap itu benar-benar menyakitkan hati Ki Lambun yang sudah melakukan pekerjaan itu untuk waktu yang lama tanpa seorang pun yang menghalanginya. Pada permulaan dari pekerjaannya, memang ada satu dua orang yang mencoba mencegahnya. Terutama orang-orang dan bebahu Watan yang merasa tersinggung atas perbuatannya. Tetapi dengan mudah mereka ditundukkannya dan bahkan untuk seterusnya tidak berani lagi menghalanginya.

“Kini aku tidak mempunyai pilihan lajni kecuali membunuhmu” geram Ki Lambun.

Namun jawab Gemak Werdi semakin menyakiti hatinya. Berkata anak muda itu, “Jangan hanya bicara saja seperti orang menggigau. Ayo, berbuatlah sesuatu”

Ki Lambun tidak dapat menahan hatinya yang terbakar. Dengan serta merta ia meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Gemak Werdi telah bersiap menghadapi serangan itu. Karena itu, dengan tangkasnya ia meloncat mengelak, sehingga setangan lawannya tidak menyentuhnya. Bahkan ia sudah memperhitungkannya sebelumnya. Kemarahan Ki Lambun adalah salah satu segi kelemahannya. Katena itu, demikian kakinya menyentuh tanah, Gemak Werdi langsung menyerang dengan putaran kakinya yang mendatar.

Ki Lambun terlambat menghindar. Karena itu maka serangan tangan Gemak Werdi berhasil menyentuh pundaknya, sehingga Ki Lambun terdorong oleh kekuatan raksasa ke samping. Serangan itu pun mengejutkan lawannya. Dengan tergesa-gesa Ki Lambun meloncat mengelak.

Namun ternyata bahwa Gemak Werdi mengubah sikapnya. Kakinya yang berputar mendatar itu tiba-tiba merapat. Seperti seekor bilalang ia melenting. Ketika kakinya terbuka, maka Ki Lambun tidak dapat menghindarinya lagi. Sekali lagi Ki Lambun tersentuh serangan Gemak Werdi sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.

Ki Lambun menggeram oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi, kegagalannya telah memperingatkannya, bahwa anak muda itu ternyata bukan anak muda kebanyakan yang hanya sekedar didorong oleh keinginannya menjadi seorang pahlawan. Tetapi anak muda yang sedang dihadapinya itu benar-benar memiliki bekal ilmu yang dapat dibanggakan.

Di luar arena, kawan-kawan Ki Lambun memperhatikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka ingin meloncat memasuki arena dan beramai-ramai mencincang anak muda yang sombong itu. Namun mereka masih harus menunggu perintah Ki Lambun, sehingga dengan demikian mereka hanya dapat memandang perkelahian itu dengan gigi gemeretak.

Di bawah pohon preh, kawan Gemak Werdi telah berdiri pula. Wajahnya pun menegang. Tangannya telah berada di hulu pedangnya dengan gemetar. Tetapi ia pun tidak berbuat sesuatu. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Bahkan sekali-sekali ia sempat memandang Mahisa Bungalan yang, memperhatikan perkelahian itu dengan saksama.

Sejenak kemudian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Ki Lambun tidak mau lagi membuat kesalahan-kesalahan yang akan dapat mencelakakannya. Ia sudah dikenai lebih dahulu serangan-serangan anak muda yang sombong itu. Rasa-rasanya sentuhan itu telah membuat darahnya menjadi mendidih.

Karena itu, maka perkelahian berikutnya benar-benar diperhitungkannya dengan cermat. Meskipun kemarahannya masih tetap menyala, namun ia tidak terseret tanpa perhitungan seperti yang telah dilakukannya.

Namun demikian, ternyata Gemak Werdi tidak terdesak karenanya. Meskipun ia tidak sempat lagi tersenyum dan apalagi tertawa, namun ia masih tetap dapat bertahan dari serangan Ki Lambun yang datang beruntun bagaikan badai.

Mahisa Bungalan yang berdiri tegak di tempatnya, memandang perkelahian itu dengan berdebar-debar. Ketajaman pengamatannya mencoba menilai, siapakah yang akan memenangkan perkelahian itu.

Sejenak kemudian Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda yang baru saja turun dari perguruannya itu memang memiliki kelebihan. Tenaganya tentu lebih kuat, dan tata gerak dasarnya benar-benar dikuasainya. Tetapi Ki Lambun nampaknya memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak. Kemampuan ilmu yang masih hangat itu, ternyata dapat diimbangi dengan pengalaman yang matang. Sekali-sekali anak muda itu berhasil mendesak lawannya, bahkan serangannya berhasil mengenai sasarannya.

Tetapi tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangan gerak, sehingga lawannya berhasil melepaskan diri dari libatan ilmunya. Bahkan kemudian, Ki Lambun berhasil memancing anak muda itu ke dalam suatu keadaan yang sulit baginya karena keterikatannya pada unsur-unsur tata gerak yang baru saja dikuasainya, namun belum mapan di dalam penggunaan yang kadang-kadang terlepas dari tuntunan tata gerak di padepokan.

Meskipun demikian, Mahisa Bungalan tidak melihat kesulitan yang berbahaya pada. anak muda itu. Meskipun sekali-sekali ia terdesak dan menjadi agak bingung, namun pada suatu saat, ia berhasil menemukan kembali imbangan perlawanannya.

Ki Lambun yang menjadi semakin marah, akhirnya tidak telaten lagi. bertempur dengan tangan dan kakinya. Ia tidak dapat mengendalikan diri lagi sehingga ia pun kemudian berteriak nyaring, “Tidak ada kesempatan lagi bagimu anak muda. Aku sudah cukup sabar dan berbaik hati. Meskipun aku sekedar mencari belas kasihan orang di daerah Watan, namun aku masih juga mempunyai harga diri, dan masih sanggup membunuh orang yang paling garang sekalipun di muka bumi ini. Karena itu, maka kau pun akan segera mati karena pedangku ini”

Gemak Werdi meloncat surut ketika ia melihat ditangan Ki Lambun tergenggam sebilah pedang yang tajam di kedua sisinya, berujung runcing dan berjalur berjajar tiga di sepanjang batangnya.

“Kau memang sepantasnya mati anak muda” berkata Ki Lambun dengan wajah yang merah padam.

Gemak Werdi memandang pedang itu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Aku juga mempunyai senjata yang dapat melawan senjatamu itu”

Ki Lambun menggeram, “Aku sudah tahu. Karena itu, jangan banyak berkicau”

Gemak Werdi meloncat surut ketika ia melihat ditangan sebuah pedang. Tidak terlalu panjang, tetapi pedang itu adalah pedang yang berat.

Ketika Ki Lambun kemudian melangkah maju, maka Gemak Werdi pun menyilangkan senjatanya di muka dadanya sambil berkata, “Pedangku tidak semanis pedangmu. Tetapi pedangku adalah pedang yang selalu haus”

Ki Lambun tidak menjawab. Tiba-tiba saja pedangnya terjulur lurus mengarah ke leher Gemak Werdi. Gemak Werdi tidak menangkis. Ia tahu, lawannya ingin menjajagi tentang pedangnya. Karena itu, ia hanya bergeser surut sambil memiringkan tubuhnya.

“Jangan tergesa-gesa” berkata Gemak Werdi, “kau tentu akan mengetahui, bahwa pedangku terbuat dari baja pilihan”

“Persetan” geram Ki Lambun, “kau memang harus segera mati karena kesombonganmu itu”

Serangan Ki Lambun pun kemudian datang membadai. Padangnya berputaran seperti baling-baling. Namun kadang-kadang pedang itu terjulur mematuk dengan dahsyatnya.

Dalam pertempuran yang kemudian menjadi semakin sengit, Gemak Werdi tidak dapat lagi menghindari benturan senjata. Ketika senjata Ki Lambun terayun deras menebas ke arah leher, maka dengan kekuatan dorong yang menghentak, Gemak Werdi membenturkan pedangnya menangkis serangan lawannya. Benturan yang terjadi adalah benturan yang keras dari dua kekuatan yang besar, sehingga bunga api pun berloncatan di udara.

Ternyata kedua pedang itu memang terbuat dari besi baja pilihan. Pedang Ki Lambun yang berjalur tiga jajar ternyata merupakan pedang yang bukan saja tajamnya bagaikan welat bambu wulung, tetapi juga pedang yang kuat. Sementara pedang Gemak Werdi adalah pedang pilihan yang kokoh kuat seolah-olah terbuat dari besi baja berlapis sembilan.

Dalam pada itu, perkelahian antara kedua orang itu menjadi semakin lama semakin seru. Masing-masing telah mengerahkan kemampuan mereka dalam ilmu pedang yang tinggi. Namun untuk beberapa saat kemudian, masih belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari keduanya akan terdesak, dan apalagi dikalahkan. Namun bahwa mereka telah bertempur dengan senjata, adalah pertanda bahwa perkelahian itu tentu akan menjalar semakin luas diantara kawan masing-masing.

Ki Lambun yang sudah melakukan pekerjaan untuk waktu yang lama tanpa ada seorang pun yang berani merintangi-nya, merasa betapa sombongan anak muda yang bernama Gemak Werdi itu. Dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk segera mengakhiri perkelahian meskipun ia harus membunuh. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun seorang anak muda yang tangguh, dan tidak mudah dikalahkannya.

Dalam kemarahan yang memuncak, Ki Lambun berteriak, “He anak gila. Masih ada kesempatan bagimu untuk minta maaf. Jika tidak, maka aku akan segera mengakhiri perlawananmu. Mungkin kau tidak akan sempat menyesali kesombonganmu, karena kepalamu akan terpisah dari batang lehermu”

“Persetan” bentak Gemak Werdi, “Matilah jika kau sendiri akan mati”

“Aku tidak sabar lagi” geram Ki Lambun, “orang-orangku pun tidak sabar lagi karena kami masih mempunyai banyak pekerjaan”

Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa ia pun telah terbentur pada suatu kenyataan yang di luar dugaannya. Disangkanya orang yang bernama Ki Lambun adalah seorang perampok kecil yang hanya dapat menakut-nakuti orang-orang padukuhan. Disangkanya bahwa dalam satu dua benturan senjata, orang itu akan segera kehilangan keseimbangan dan perlawanannya, sehingga ia akan segera dapat menyelesaikan anak buahnya meskipun akan mengeroyoknya bersama-sama. Namun ternyata bahwa Ki Lambun adalah orang tua yang tangguh dan mampu mengimbanginya.

Dalam pada itu, Ki Lambun sendiri merasa, meskipun pengalamannya memungkinkannya untuk mempertahankan diri dari ilmu anak muda yang baru saja turun dari perguruan itu, namun kemudian bahwa pernafasannya mulai terganggu setelah ia memeras segenap kemampuannya dalam perkelahian pedang. Ilmu pedang anak muda itu ternyata mempunyai beberapa segi kekuatan dan tata gerak yang berbahaya. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya, maka Ki Lambun pun menjadi semakin terengah-engah.

Gemak Werdi melihat kenyataan itu. Tetapi ia pun tidak dapat ingkar, bahwa kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi lawannya yang memiliki kemampuan yang kadang-kadang di luar jangkauan perhitungannya karena pengalaman orang tua itu telah jauh lebih banyak.

Dalam padia itu, ternyata Ki Lambun tidak lagi mempunyai pertimbangan lain. Ia merasa orang yang paling ditakuti di daerah Watan dan sekitarnya. Bahkan orang-orang Ganter tidak ada yang berani menghalanginya. Kini tiba-tiba saja anak muda itu datang dengan tangan di pinggang. Kemudian menghalanginya dengan pedang dan kesombongan.

Sejenak kemudian, ketika tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukannya, maka tiba-tiba saja Ki Lambun itu pun bersuit nyaring. Gemak Werdi terkejut mendengar suitan ku. Sementara kawannya yang berdiri di bawah pohon preh itu pun bergeser setapak. Mereka sudah menduga, bahwa suitan itu tentu berarti sebuah perintah.

Dengan demikian, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Dengan tajam Makerti yang masih berdiri di bawah pohon preh itu memperhatikan setiap gerak dari orang-orang Ki Lambun. Ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat semua orang yang datang bersama-sama dengan Ki Lambun telah bergeser. Bahkan kemudian mereka pun mulai melangkah melingkar, mengepung Gemak Werdi.

“Ha” Gemak Werdi yang melihat gerakan itu berteriak nyaring, “sekarang baru menyenangkan bagiku. Marilah bersama-sama menari dengan irama maut yang mendebarkan”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Ternyata anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan, meskipun anak muda itu tahu bahwa Ki Lambun seorang diri tidak dapat dikalahkannya.

“Apakah anak muda ini memang ingin membunuh diri tetapi mencari satu dua orang kawan untuk mati bersama?” bertanya Ki Lambun di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak mempedulikan lagi apapun alasannya. Sejenak kemudian ketika orang-orangnya sudah mengepung rapat, maka Ki Lambun pun berkata, “Anak muda, sayang sekali bahwa kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi keluar dari lingkaran maut ini. Kami akan membunuhmu apapun alasan yang aku sebutkan. Jika kau mati maka mayatmu akan menjadi pertanda, bahwa tidak seorang pun untuk selanjutnya yang boleh melawan segala kemauan Ki Lambun. Dengan tingkah lakumu yang tidak pantas itu, akibatnya akan menimpa setiap orang di Watan. Aku untuk seterusnya tidak hanya akan minta belas kasihan, tetapi aku akan menentukan apa saja yang harus disediakan oleh orang-orang Watan jika aku datang kapanpun. Bukan saja di hari-hari tertentu”

“Kau tidak akan dapat melakukannya” jawab Gemak Werdi, “sebentar lagi kau akan mati bersama orang-orangmu”

“Kau salah hitung anak muda. Mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka tidak terpaut banyak dengan aku sendiri. Karena itu, jika kau tidak dapat mengalahkan aku, maka kau memerlukan lebih dari lima orang lagi setingkat dengan ilmumu untuk melawan kami”

Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jangan menakut-nakuti seperti kepada anak-anak. Siapapun kalian, tetapi kalian akan aku hancurkan disini agar kalian tidak akan dapat mengganggu orang-orang Watan lagi. Dengan demikian maka kehidupan di padukuhan ini akan menjadi pulih seperti saat-saat kalian belum merampok daerah ini di hari-hari tertentu dan justru di saat yang paling ramai”

Ki Lambun menggemeretakkan giginya. Dengan keras ia menggeram, “Bunuh anak gila itu tanpa ampun”

Orang-orang yang mengepung Gemak Werdi pun mulai bergerak. Mereka bergeser merapat dengan senjata masing-masing sudah di dalam genggaman. Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Bagaimanapun juga ia menjadi berdebar-debar pula menghadapi orang-orang yang mengepungnya. Namun demikian, ia masih berhasil memulas wajahnya, sehingga kecemasan itu tidak nampak sama sekali.

Tetapi, ketika para pengikut Ki Lambun itu telah bergeser semakin mendekat, maka hampir di luar sadarnya ia pun memandang Makerti yang masih berdiri di tempatnya.

“Sekarang kau baru mengerti” berkata Makerti di dalam hatinya, “bahwa di luar padepokanmu masih banyak orang-orang yang memiliki kemampuan seimbang dengan kemampuanmu. Jika orang-orang Ki Lambun benar-benar memiliki ilmu yang hanya terpaut sedikit daripadanya, maka Gemak Werdi benar-benar terlibat kedalam kesulitan. Demikian pula aku sendiri, jika aku terlibat pula kedalamnya. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melepaskan anak itu seorang diri apapun yang akan terjadi”

Karena itu, ketika orang-orang yang mengepung Gemak Werdi bergerak semakin dekat, maka Makerti pun tiba-tiba berkata lantang, “Bagus sekali. Sekarang aku sudah melihat, apa yang mampu dilakukan oleh seorang yang bersama Ki Lambun. Seorang yang aku kira benar-benar seorang jantan yang berani dan jujur menghadapi lawan”

Ki Lambun mengerutkan keningnya. Dipandanginya Makerti yang melangkah mendekati arena dengan tangan yang melekat di hulu pedangnya. “Aku sudah menduga, bahwa kau adalah kawan anak muda itu” jawab Ki Lambun, “jika tidak, kau tidak akan berdiri saja di sana”

“Sebenarnya aku tidak ingin turut campur. Aku ingin melihat Gemak Werdi menyelesaikan masalahnya dengan orang besar yang menyebut dirinya Ki Lambun”

“Persetan” gertak Ki Lambun, “jangan mencari belas kasihan dengan cara itu. Aku tidak akan tersinggung dan aku tidak akan mempertahankan harga diriku dengan memerintahkan orang-orangku pergi. Yang akan terjadi adalah, kami bersama-sama akan beramai-ramai mencincang anak muda itu dan kau sekali. Meskipun orang lain akan menyebutkan apa saja aku tidak peduli. Aku memang seorang pengemis yang selalu mohon belas kasihan disini. Tetapi sayang, bahwa aku sendiri tidak mempunyai belas kasihan terhadap kalian berdua”

Makerti menarik nafas panjang sementara kakinya masih melangkah mendekat, “Kau cerdik. Aku mencoba menggelitikmu, sehingga kau menjadi marah dan berteriak. Biarkan aku berperang tanding. Tetapi ternyata aku tidak berhasil, karena hatimu benar-benar sudah menjadi kebal dan tidak mempedulikan lagi dengan harga dirimu yang memang tidak pantas dihargai. Tetapi aku kagum melihat sikapmu. Kau tidak tanggung-tanggung menginjak-injak namamu sendiri. Kau sebut dirimu peminta-minta atau pengemis atau apa saja. Tetapi yang lebih jantan, kau berani mengaku dengan terus terang, bahwa kau memang tidak berani berperang tanding dengan Gemak Werdi”

Jawab Ki Lambun adalah di luar dugaan, “Ya Ki Sanak. Aku memang tidak berani bertanding seorang diri? meskipun mungkin aku akan dapat memenangkan perang tanding itu. Yang penting bagiku, anak muda itu cepat mati. Dan kau pun cepat mati”

Makerti sudah berdiri beberapa langkah saja dari orang-orang yang mengepung Gemak Werdi. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, marilah kita teruskan pertempuran ini. Aku akan berpihak pada Gemak Werdi. Kami berdua akan melawan kalian bersama-sama. Mungkin pekerjaan kalian akan cepat selesai. Tetapi mungkin pula tidak”

Adalah di luar dugaan, bahwa belum lagi mulut Makerti tertutup rapat, dengan gerak yang tidak kasat mata, ia sudah mencabut pedangnya, langsung menyerang orang-orang yang terdekat.

Tidak seorang pun yang mengira bahwa hal itu akan di lakukannya. Karena itu, tidak seorang pun yang bersiap menghadapi kemungkinan itu. Dalam sekejap, dua orang pengikut Ki Lainbun telah terdorong surut. Seorang lagi mengaduh pendek.

“He, kau memang gila” teriak Ki Lambun.

Pada saat itulah, Gemak Werdi pun bagaikan orang kesurupan telah mengamuk dengan senjatanya. “Seorang pengikutmu mati. Seorang luka parah. Dan seorang lagi telah menitikkan darah” teriak Makerti. Sementara itu Gemak Werdi telah berhasil melukai seorang lawannya lagi dengan geraknya yang tiba-tiba pula.

Ki Lambun menggeram sambil memutar senjatanya. Dengan suara lantang ia berteriak pula, “Kalian orang-orang licik dan pengecut”

Sebelum Gemak Werdi menjawab, Makerti berteriak sambil bertempur, “Ya. Kita masing-masing adalah orang-orang yang tidak tahu malu dan tidak mempunyai harga diri”

Pertempuran pun segera berkobar dengan dahsyatnya. Meskipun dua orang pengikut Ki Lambun tidak lagi berada di arena, sementara dua orang lainnya sudah terluka, namun segera mereka berhasil mengepung Makerti dan Gemak Werdi yang bertempur beradu punggung.

Dari sudut warung di dekat arena perkelahian itu, Mahisa Bungalan segera melihat, bahwa sebenarnyalah Makerti memiliki ilmu yang lebih matang dari Gemak Werdi. Meskipun unsur-unsur gerak yang dikuasai oleh Gemak Werdi lebih lengkap, namun kematangan penguasaan Makerti lebih manyak menolongnya menghadapi lawannya yang berjumlah lebih banyak, bahkan berlipat ganda.

“Mereka adalah orang-orang gila” gumam Mahisa Bungalan. Ia heran melihat Ki Lambun yang sama sekali tidak mengenal malu. Tetapi ia pun heran melihat sikap Makerti yang gila dan di luar dugaan itu.

Yang telah terjadi itu membuat Ki Lambun dan pengikutnya menjadi sangat marah. Mereka pun kemudian bertempur bagaikan orang gila. Dua orang dliantara mereka telah tergelak di pinggir arena. Dua orang yang terluka masih dapat ikut serta dalam pertempuran. Justru mereka menjadi buas, seperti seekor harimau yang tersobek kulitnya.

Makerti dan Gemak Werdi bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Namun karena lawan terlalu banyak, maka segera mereka pun terdesak karenanya. Makerti yang bertempur beradu punggung dengan Gemak Werdi mengeluh di dalam hatinya, meskipun kadang-kadang masih terdengar ia berteriak nyaring.

“Aku sudah memperingatkan Gemak Werdi” katanya di dalam hati, “tetapi anak itu terlalu keras kepala. Kemampuan yang didapatnya di padepokan itu membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia ingin cepat dikenal sebagai seorang pahlawan”

Namun semuanya sudah terjadi. Makerti tidak dapat mengelak lagi dari akibat yang sudah ditimbulkan oleh tingkah laku Gemak Werdi. Namun, akibat itu agaknya menjadi terlalu parah. Ki Lambun dan pengikutnya, benar-benar sudah mengancam jiwanya. Apalagi salah seorang pengikutnya sudah terbunuh.

Tetapi perhitungan Makerti itu ternyata cukup cermat. Jika ia tidak mendahului dengan cara yang licik, maka dengan licik Ki Lambun akan lebih cepat membunuhnya, karena orang-orangnya masih utuh. Dua orang di antara mereka dan dua orang lagi terluka, telah mengurangi kekuatan Ki Lambun sehingga perlawanan mereka pun susut pula.

Meskipun demikian, karena jumlah mereka masih terlalu banyak, maka Gemak Werdi dan Makerti tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melepaskan diri dari kemarahan Ki Lambun dan orang-orangnya.

Pemilik warung yang mengintip pertempuran itu dengan tubuh gemetar melihat, bagaimana Ki Lambun yang marah bersama dengan orang-orangnya telah mengepung kedua lawannya dengan rapat.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar Ki Lambun berteriak nyaring, “Mampus kau. Jangan mengeluh lagi, bahwa umurmu sudah mendekati akhirnya”

Gemak Werdi menggeram. Segores luka telah menyobek lengan kirinya. Namun masih terdengar anak muda itu tertawa. Katanya, “Darah adalah pertanda kekuatanku akan tercurah di arena ini. Sejenak kemudian akan ternyata bahwa titik darahku akan menjadi isyarat kematianmu”

Tetapi Gemak Werdi terdiam ketika segores lagi luka membekas dipundaknya. Makerti mendengar Gemak Werdi berdesis. Dan ia pun mengerti bahwa Gemak Werdi telah terluka. Karena itulah, maka kecemasannya pun telah membakar jantungnya, meskipun ia berusaha untuk memulai dengan sikap dan tingkah laku yang gila.

Semakin lama semakin jelas, bahwa Gemak Werdi dan Makerti menjadi semakin terdesak. Gemak, Werdi pun merasa salah hitung atas kekuatan Ki Lambun. Ia menyangka bahwa perampok kecil itu tidak akan mampu mengimbangi ilmunya. Tetapi ternyata bahwa Ki Lambun pun memiliki pengalaman yang cukup untuk melawan ilmu Gemak Werdi yang masih hangat itu. Betapapun banyak jenis dan pengenalan unsur gerak, tetapi pengalamannya masih sangat muda, sehingga pertempuran yang sebenarnya benar-benar mengejutkannya.

Tetapi Gemak Werdi ternyata adalah anak muda yang keras kepala. Ia tidak mau melihat kenyataan. Ia masih berjuang untuk menebus luka-lukanya. Namun sebenarnyalah ia sudah tidak dapat berbuat lain. Tidak ada jalan lagi baginya untuk melepaskan diri dari kepungan Ki Lambun dan orang-orangnya, sehingga pertempuran itu harus diselesaikannya dengan tuntas.

Mahisa Bungalan melihat perkelahian itu dengan jantung yang bagaikan berdenyut semakin cepat. Ia melihat Gemak Werdi sudah mulai kehilangan keseimbangannya. Makerti pun sudah banyak membuat kesalahan, sehingga sentuhan senjata lawannya telah menitikkan darah pula dari kulitnya.

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun terasa di dalam dadanya gejolak perasaannya bagaikan meretakkan tulang-tulangnya., “Orang-orang gila itu semakin dekat dengan batas umurnya” desis Mahisa Bungalan.

Meskipun ujung senjata Makerti dan Gemak Werdi masih sempat melukai lawannya, tetapi pengaruhnya tidak banyak lagi bagi keseimbangan pertempuran itu. Ki Lambun sudah meyakini kemenangan yang bakal dicapainya. Dan ia pun sudah membayangkan, kedua lawannya itu akan dicincangnya sampai lumat.

Hampir di luar sadarnya ia berkata lantang, “Nasibmu sangat buruk orang-orang gila. Kalian akan menjadi makanan anjing lapar. Sementara orang-orang Watan akan menjadi semakin menderita karena tingkah lakumu. Satu kematian dari orang-orangku akan ditebus dengan seribu keping uang perak oleh orang Watan. Aku akan datang setiap hari untuk memungut uang pengganti itu sampai lunas. Aku akan mempergunakan cemeti dan cambuk untuk memaksa orang-orang Watan membayar upeti karena kematian orang-orangku sebagai tebusan kesalahan mereka, karena mereka sama sekali tidak berusaha membantuku sekarang ini”

Orang-orang Watan yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Pemilik warung itu mengumpati Gemak Werdi dan Makerti tidak habis-habisnya.

“Apa boleh buat” Ki Lambun berkata semakin keras, “semuanya memang harus terjadi. Tidak seorang pun dapat menghindarkan diri dari nasib buruk seperti kawanku yang terbunuh dan terluka parah itu. Demikian pula anak muda dan kawannya itu serta orang Watan seluruhnya”

Jantung Mahisa Bungalan menjadi semakin cepat berdenyut. Ia melihat saat-saat terakhir dari perlawanan Makerti dan Gemak Werdi. Luka-luka mereka menjadi semakin banyak mengalirkan darah, sedangkan kekuatan mereka pun sudah jauh menyusut dari saat-saat mereka mulai dengan pertempuran itu.

“Menyerahlah” teriak Ki Lambun, “berbaringlah dengan tenang. Kami akan mengakhiri hidup kalian dengan sebaik-baiknya dan tak menimbulkan rasa sakit”

“Persetan” geram Makerti. Namun ia sudah tidak mampu berbuat lebih banyak dari sekedar menangkis dan menghindar.

Pada saat demikian itulah Mahisa Bungalan tidak dapat menahan hati lagi. Betapapun juga gilanya Gemak Werdi dan Makerti, namun sebenarnya mereka mempunyai maksud yang baik. Bahkan Makerti nampaknya sudah banyak memberikan pertimbangan kepada Gemak Werdi. Tetapi agaknya anak muda itu tidak menghiraukannya. Anak muda itu ingin menilai, betapa dahsyat ilmu yang telah diterimanya di padepokan tempat ia berguru. Ilmu pedang yang dikuasainya, dikiranya adalah ilmu yang paling sempurna di muka bumi.

Namun berhadapan dengan Ki Lambun yang berpengalaman, ternyata anak muda itu harus mulai memperhitungkan kenyataan. Agaknya jalan kembali telah tertutup sama sekali. Ada niat Mahisa Bungalan untuk meninggalkan tempat itu tanpa melibatkan diri, agar orang-orang Watan tetap menganggapnya sebagai seorang perantau yang tidak berarti.

Tetapi ketika ia melihat jiwa yang terancam, maka ia menjadi ragu-ragu. Apalagi ketika ia mendengar, bahwa ternyata Ki Lambun justru telah mengancam orang-orang Watan pula yang sebenarnya sudah cukup menderita karena tingkah lakunya. Baru pada saat-saat terakhir Mahisa Bungalan mengambil keputusan. Ia tidak sampai hati membiarkan Gemak Werdi yang masih muda itu terkapar di tanah di samping Makerti yang sekedar membelanya.

Karena itu, maka perlahan-lahan ia mulai bergerak. Mula-mula ia maju selangkah. Diamatinya orang-orang yang terluka dan bahkan yang telah terbunuh. Namun ketika keadaan sudah sedemikian gawatnya bagi Gemak Werdi dan Makerti, bahkan saat-saat kematian itu telah membayang, Mahisa Bungalan itu pun meloncat memungut senjata pengikut Ki Lambun yang telah mati sambil berkata,

“Aku terpaksa ikut campur. Tidak adil bahwa dua orang harus melawan jumlah yang berlipat. Aku akan menempatkan diri pada jumlah yang kecil dan melawan jumlah ang besar”

“Gila” teriak Ki Lambun, “he, siapa kau pengemis?”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Dalam pada itu, Makerti berkata dengan suara berat disela-sela nafasnya yang tersengal, “Aku sudah menduga, bahwa namamu bukan Dogol”

Ki Lambun dan para pengikutnya hampir tidak percaya melihat kehadiran Mahisa Bungalan itu. Karena itu maka sejenak mereka justru termangu-mangu. Namun Ki Lambun yang kemudian segera menguasai perasaannya berteriak, “Persetan dengan pengemis dungu itu. Siapapun ia namun jika benar-benar ia ikut campur, maka ia pun akan mengalami kematian yang mengerikan”

Mahisa Bungalan seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan ialah yang kemudian berkata, “Gemak Werdi. Ternyata kau memang terlalu bangga akan ilmumu yang baru saja kau sadap dari perguruanmu, sehingga kau tergesa-gesa untuk mencari lawan. Tetapi kebetulan yang kau jumpai adalah serigala Watan yang bernama Ki Lambun sehingga kau agaknya telah terperosok ke dalam kesulitan”

Gemak Werdi menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Di saat darahnya sudah menitik, ia sulit untuk menelusuri kebenaran kata-kata Mahisa Bungalan itu.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah menggenggam senjata pengikut Ki Lambun yang sudah terbunuh oleh kegilaan Makerti di saat ia mulai dengan pertempuran itu. Meskipun ia tidak terbiasa mempergunakan senjata itu, namun kemampuannya menguasai segala macam senjata segera dapat menyesuaikannya dengan pedang pendek yang seolah-olah tanpa sisi yang tajam. Tetapi kekuatan ayunlah yang diperlukan oleh senjata semacam itu. Senjata yang seolah-olah tidak lebih dari sepotong besi yang pipih.

“Persetan” geram Ki Lambun, “bunuh anak itu sama sekali”

Mahisa Bungalan masih berdiri tegak di luar arena. Namun kemudian ia melangkah mendekat. Dua orang pengikut Ki Lambun telah menyongsongnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya Makerti dan Gemak Werdi dapat bernafas lagi. Mereka tidak lagi merasa di himpit oleh kekuatan yang tidak terlawan. Apalagi karena lawan mereka pun telah sama-sama menitikkan darah.

Dalam sesaat, setelah kedua orang pengikut Ki Lambun bertempur melawan Mahisa Bungalan, segera ternyata bahwa keduanya tidak mampu berbuat sesuatu. Ketika salah seorang dari keduanya mengayunkan senjatanya, maka dengan sebuah putaran ujung pedang tumpulnya, Mahisa Bungalan seolah-olah telah menghisap senjata lawannya sehingga terlempar beberapa langkah.

“Gila” orang itu berteriak.

Ternyata Ki Lambun pun melihat hal itu. Segera ia menyadari bahwa anak muda itu adalah anak muda yang justru paling berbahaya dari kedua lawannya yang terdahulu. Karena itulah maka ia pun menggeram, “Lepaskan anak muda itu. Akulah yang akan mencincangnya”

Mahisa Bungalan mengerutkan kening. Ia melihat Ki Lambun meloncat dengan garangnya memasuki arena untuk melawan Mahisa Bungalan bersama seorang pengikutnya, sementara pengikutnya yang lain, telah menempatkan diri untuk melawan Makerti.

Namun sejenak kemudian, pertempuran itu pun mulai dibayangi oleh kegelisahan bagi Ki Lambun dan pengikut-pengikutnya. Ternyata anak muda yang memasuki arena itu justru memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari kedua lawannya yang terdahulu.

“He, siapakah kau sebenarnya anak gila?” teriak Ki Lambun.

“Jangan bertanya” sahut Mahisa Bungalan, “menyerahlah. Dan berjanjilah bahwa kau tidak akan berbuat sesuatu atas orang-orang Watan untuk selanjutnya”

“Persetan” teriak Ki Lambun, “aku bunuh kau tanpa mengenal namamu”

Tetapi Mahisa Bungalan ternyata lebih cepat bergerak dan mempunyai perhitungan yang mapan. Sebelum Ki Lambun mengerahkan segenap kekuatannya di saat-saat terakhir, maka Mahisa Bungalanlah yang lebih dahulu menekannya dengan gerak yang membingungkan.

Seorang kawan Ki Lambun yang bertempur bersamanya, seakan-akan tidak dapat lagi menyesuaikan diri dengan perkelahian yang menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia merasa kehilangan arah dan kehilangan sasaran. Bahkan kadang-kadang ia merasa bahwa lawannya berada di mana-mana di sekitarnya.

Karena itulah, maka akhirnya, ia tidak dapat mengelak lagi akibat yang memang mungkin terjadi atasnya dalam pertempuran itu. Ia terloncat surut ketika terasa ujung senjata lawannya menyengat pundaknya. Pedang tumpul itu bagaikan telah meremukkan tulang-tulangnya. Karena itu, tangannya bagaikan menjadi lumpuh, sehingga tidak mampu lagi menggerakkan pedang, apalagi bertempur melawan anak muda yang luar biasa itu.

Dalam pada itu, maka Gemak Werdi dan Makerti pun telah berhasil menguasai lawannya. Adalah merupakan kegilaan yang justru menjengkelkan Mahisa Bungalan ketika Gemak Werdi sambil berteriak telah menghunjamkan ujung senjatanya kedada lawannya yang sudah tidak berdaya.

“Jangan gila anak muda” teriak Mahisa Bungalan sambil bertempur, “jangan menjadi pembunuh yang buas karena bau darah”

“Persetan” teriak Gemak Werdi” perampok-perampok semacam ini harus dibunuh sampai orang terakhir”

“Kau tidak perlu membunuh” jawab Mahisa Bungalan sambil bertempur, “kau sebaikpun mempertimbangkan penyelesaian yang lain”

“Hanya dengan kematian mereka akan berhenti merampok” teriaknya.

Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan meloncat surut dari arena sehingga Ki Lambun yaing sudah kehilangan kesempatan untuk membebaskan diri menjadi heran.

“Jika kau bersikap demikian, aku tidak akan ikut campur” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan membiarkan semuanya terjadi”

“Pergilah, jika kau akan pergi” teriak Gemak Werdi, “kami berdua akan dapat menyelesaikan persoalan kami sendiri”

Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Dipandanginya wajah anak muda yang bernama Gemak Werdi itu. Anak muda yang merasa dirinya memiliki ilmu yang mumpuni. Jika Mahisa Bungalan meninggalkan karena, maka anak muda itu tentu akan dapat memenangkan perkelahian berikutnya, karena Ki Lambun sudah tidak mempunyai kekuatan. Yang masih belum terluka parah tinggal seorang kawannya dan dirinya sendiri Sedangkan Gemak Werdi dan Makerti, meskipun sudah diwarnai oleh titik darahnya, namun mereka masih cukup tangkas untuk bertempur.

Sejenak mereka yang sedang bertempur itu menjadi termangu Ki Lambun pun menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan. Seorang kawannya yang berhadapan dengan Makerti sudah dicengkam oleh kecemasan.

“Anak gila” teriak Gemak Werdi kemudian, “jangan ganggu kami. Jika kau tidak ingin melihat aku membunuh semua lawanku, maka pergilah. Aku tidak akan mengganggumu”

“Jangan gila” teriak Mahisa Bungalan, “apakah kau tidak mengerti apakah yang sebenarnya terjadi?”

“Yang terjadi adalah, bahwa aku sudah membunuh lawan-lawanku dan menyelesaikan pertempuran ini seperti yang aku kehendaki”

Mahisa Bungalan tiba-tiba saja menggeretakkan giginya. Namun ia terkejut ketika ia mendengar Makerti berkata, “Gemak Werdi. Jika kau berkeras hati dengan nafasmu untuk menunjukkan kehangatan ilmumu, akhirnya aku akan melepaskanmu. Aku lebih senang mengikuti anak muda itu saja dari pada mengikutimu dan mencoba membantumu dalam kesulitan-kesulitan yang parah”

Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Katanya, “Jadi kau ingin menghianati aku? Jika demikian, aku akan menyampaikannya kepada guru. Paman tidak setia. Tidak setia kepadaku dan tidak setia kepada perguruanku”

“Kaulah yang tidak setia kepada ajaran-ajaran yang pernah kau terima”

Dalam pada itu, Ki Lambun menjadi heran mendengar perbantahan itu. Ia memang tidak mengira, bahwa akhirnya ia menghadapi suatu sikap yang sulit dimengerti. Bahwa dalam keadaan yang demikian, seseorang masih berbicara tentang kesempatan memberi jalan lain pada lawannya tanpa membunuhnya.

Namun dalam pada itu Gemak Werdi berkata, “Ki Makerti. Jangan ingkar akan kesetiaanmu”

“Jangan artikan sikapku ini sebagai suatu sikap yang mati. Tetapi terserahlah, bagaimana kau menilai tentang dirimu”

“Jadi apakah yang kau maksud?”

“Hentikan tingkahmu yang kegila-gilaan itu. Kau harus mulai melihat kenyataan dengan sikap yang lebih matang”

Gamak Werdi menggeretakkan giginya. Dengan loncatan panjang ditinggalkannya lawannya yang terkapar dengan darah yang bercucuran dari lukanya, mendekati Ki Makerti. Dengan garang ia berkata, “Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari kesetiaanmu kepada perguruan. Kau harus menurut perintahku. Semua orang yang ada di sini harus dibunuh. Baru dengan demikian padukuhan ini menjadi aman dan tenang”

Makerti memandang wajah Gemak Werdi yang kemerah-merahan. Katanya, “Kau sudah membunuh Gemak Werdi. Permulaan dari perkelahian ini adalah kegilaanmu yang tidak berperi-kemanusiaan. Tetapi itu kau lakukan karena menurut perhitunganmu, kita akan dapat melawan Ki Lambun dan pengikut-pengikutnya. Kita sudah meyakini kemenangan kita. Karena itu, kita harus bersikap lain”

“Kau harus melakukan perintahku. Bunuh semua orang yang ada”

Ki Makerti menggeleng. Jawabnya, “Tidak Gemak Werdi. Meskipun seandainya tidak kau perintahkan, dan perkelahian ini berjalan terus, mungkin aku akan membunuh mereka pula. Tetapi justru karena sikapmu, aku berpendirian lain”

Wajah Gemak Werdi menjadi semakin tegang. Sekilas dipandanginya Mahisa Bungalan yang berdiri tegak dihadap an Ki Lambun yang kebingungan. “Kau adalah sumber dari pengkhianatan ini” geram Gemak Werdi.

“Jangan menuduh aku dengan tuduhan yang menyakitkan hati. Aku memang merasa wajib membantumu. Tetapi sampai pada batas-batas yang sesuai dengan sikap batinku. Selebihnya, aku tidak akan dapat mencampurinya”

“Persetan. Pergilah, jika kau akan pergi. Biarlah aku akan membunuh iblis yang tersisa itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Lambun yang berdiri termangu-mangu. Dengan nada datar tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya kepada Ki Lambun, “Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa ini?”

Ki Lambun tergagap. Ia tidak mengira bahwa Mahisa Bungalan akan bertanya kepadanya. Karena itu, dengan terputus-putus ia menjawab, “Aku, aku tidak mengerti”

“Kenapa kau bertanya kepadanya” bentak Gemak Werdi.

“Sudahlah Gemak Werdi” cegah Makerti, “hentikan kegilaanmu. Kita akan berbicara. Ki Lambun sudah melihat kenyataan ini. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi”

“Ia harus dibunuh”

“Tidak perlu” berkata Mahisa Bungalan, “aku memerlukan orang ini”

Wajah Gemak Werdi yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku akan menentukan segala-galanya”

“Tidak” sahut Makerti, “sudah aku katakan. Aku berdiri di pihak anak muda yang bernama Dogol itu”

Gemak Werdi menggeram. Dipandanginya Mahisa Bungalan dan Makerti berganti-ganti. Namun kemudian katanya, “Persetan dengan kau. Jika itu yang kau inginkan, maka aku akan menghadap guru. Aku dapat mengatakan apapun sesuai dengan pendapatku atas kau, paman”

“Jangan menjadi gila” teriak Makerti.

“Tetapi” jawab Gemak Werdi, “Aku tidak peduli. Aku akan menghadap guru. Anak muda ini tentu sudah kau kenal sebelumnya. Kau tentu telah berjanji untuk berbuat sesuatu atasku disini seperti sekarang ini”

“Gemak Werdi” potong Makerti.

Tetapi Gemak Werdi tidak menghiraukannya. Bahkan hampir berteriak ia berkata, “Kegagalanku untuk membunuh Ki Lambun kali ini adalah karena tingkah lakumu paman Makerti. Guru tentu akan mengambil sikap dan anak muda itu pun akan dihukumnya sesuai dengan kesalahannya”

“Dengarlah. Aku harus menjelaskan” berkata Makerti.

Tetapi Gemak Werdi sudah meloncat pergi meninggalkan Makerti dan Mahisa Bungalan yang termangu-mangu. “Aku akan menjumpai gurunya” berkata Makerti, “aku akan mencoba menjelaskannya. Gurunya adalah orang baik. Ia dapat diajak berbicara dan tentu ia akan mengerti”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan datang bersamamu. Mudah-mudahan aku dapat membantu menjernihkan keadaan”

“Baiklah, terima kasih. Sekarang, bagaimana dengan orang ini?”

Mahisa Bungalan memandang Ki Lambun yang termangu-mangu. Di sekitar tempat itu terdapat beberapa orang yang terkapar. Diantara mereka terdapat para pengikut Ki Lambun yang terbunuh, dan ada di antara mereka yang terluka parah.

“Ki Lambun” berkata Mahisa Bungalan, “apakah kau menyadari keadaan?”

Ki Lambun yang terombang-ambing oleh kebingungan itu menjawab seolah-olah di luar sadarnya, “Ya anak muda. Aku menyadari bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa terhadapmu”

“Nah, seperti yang aku katakan, aku memerlukan kau bagi padukuhan Watan. Kau akan aku bawa menghadap Ki Buyut di Watan berkata Mahisa Bungalan.

“Untuk apa? Apakah kau akan membiarkan aku dibantai di rumah Ki Buyut, atau justru malah dihukum picis?” Ki Lambun menjadi ber-debar-debar.

“Aku tahu, kau adalah orang yang tidak mengenal takut. Kau mempunyai kemampuan dan kau memiliki ilmu yang cukup. Kau ditakuti dan kau mempunyai beberapa orang pengikut” berkata Mahisa Bungalan.

Ki Lambun menjadi semakin bingung. Karena itu, maka untuk sejenak ia justru termangu-mangu. Ia tidak tahu apakah yang sebenarnya dimaksud oleh anak muda itu.

“Ki Lambun” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya, “apa yang kau miliki itu adalah senjata yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi seperti senjata-senjata lainnya, maka tergantung sekali kepada siapa yang memegangnya. Senjata itu dapat diarahkan untuk memerangi kegelapan dan kekhilafan, tetapi dapat juga untuk melumpuhkan kebenaran”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengerti arah pembicaraan Mahisa Bungalan.

“Nah, kau masih mempunyai kesempatan untuk memilih. Setelah kau sekarang terbangun dari sebuah mimpi yang buruk, maka kau dapat menentukan, apakah yang akan kau lakukan kemudian”

Ki Lambun tidak segera menjawab. Direnunginya dirinya sendiri, kemudian dipandanginya beberapa orang pengikutnya yang terbaring diam. Diantaranya telah terbunuh, sementara yang lain terluka parah.

“Kau dapat menyamakan dirimu sebagai api, atau sebagai air, atau angin. Api merupakan sahabat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari, seperti air dan angin. Tetapi api dapat menjadi bencana yang dahsyat bagi manusia seperti juga air dan angin. Kebakaran dapat memusnahkan hutan dan padang ilalang. Membakar padukuhan dan rumah-rumah. Lumbung-lumbung pangan dan banjar. Sedangkan air yang berlimpah-limpah dapat menghanyutkan tanggul dan bahkan padukuhan. Sawah ladang dan ternak dapat hanyut dan terbenam, sementara angin dapat menyapu seisi kota raja, dan menerbangkan istana sekalipun”

Ki Lambun memandang Mahisa Bungalan sejenak.

Dari kerut keningnya Mahisa Bungalan dapat menerawang perasaan Ki Lambun sehingga katanya, “Mungkin kau tidak begitu senang mendengar kata-kataku, yang seolah-olah mengguruimu. Tetapi pikirkan, dan pertimbangan baik-baik. Aku tidak berhak berkata dan mengguruimu jika aku tidak dapat berbuat apa-apa atasmu. Tetapi aku adalah orang yang sanggup memadamkan api yang berkobar betapapun besarnya. Aku dapat membendung banjir bandang yang betapapun derasnya, dan aku adalah orang yang dapat menguasai angin betapapun dahsyatnya”

Tiba-tiba saja Ki Lambun membungkuk hormat sambil berkata dengan nada yang dalam, “Aku mengerti anak muda. Dan aku menyerah di bawah kuasamu. Aku tidak dapat menolak kenyataan yang aku hadapi. Sebenarnyalah sejak semula kau menggerakkan senjatamu, aku sudah mengira, bahwa aku memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapimu. Karena itu, katakan, apa yang kau kehendaki sebenarnya”

“Ki Lambun. Aku akan membawamu kepada Ki Buyut. Aku akan mengatakan kepada Ki Buyut, bahwa Ki Lambun sudah menyadari keadaannya. Sudah mengakui segala kesalahannya dan bahkan bersedia menebus kesalahannya itu. Karena itu, sebaliknya Ki Buyut memberikan tempat kepadamu. Kau dapat membantu Ki Branang dalam tugasnya, tetapi dengan pengabdian yang berbeda dengan yang kau lakukan sampai sekarang”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah benar kau bermaksud demikian anak muda”

“Marilah. Kita akan melihat bersama” berkata Mahisa Bungalan, “jika aku ingin mencelakaimu, aku tidak perlu membawamu kemana saja. Aku dapat mencincangmu di sini. Aku dapat mengikatmu di pohon preh itu dan memicismu dengan cara yang paling tidak berperi-kemanusiaan”

Ki Lambun mengangguk-angguk.

“Marilah. Dan berjanjilah” berkata Mahisa Bungalan selanjutnya, “kau tidak akan dapat ingkar untuk seterusnya, karena aku mempunyai cara untuk mengawasimu. Aku setiap saat dapat mengirimkan sekelompok prajurit untuk mengetahui, apakah kau benar-benar melakukan seperti yang kau janjikan. Mungkin sekelompok prajurit dengan pakaian kebesaran prajuritnya, tetapi mungkin prajurit-prajurit sandi seperti yang aku lakukan sekarang”

“Kau prajurit Sandi“ Ki Lambun terbata-bata. Bahkan Makerti pun terkejut pula.

“Tentu aneh bahwa seorang petugas sandi dengan suka rela menyebut dirinya sendiri di hadapan kalian. Tetapi aku tidak berkeberatan. Meskipun sebenarnya aku bukan sepenuhnya petugas sandi seperti yang barangkali kau gambarkan, tetapi aku dapat berbuat seperti petugas sandi yang sebenarnya. Karena itu lakukanlah seperti yang sudah kau janjikan Ki Lambun, agar kelak kau tidak menemui kesulitan yang lebih parah. Mungkin kau dapat melakukan kejahatan yang besar dan kemudian melarikan diri. Tetapi hidup dalam pelarian benar-benar tidak menyenangkan. Apalagi kekuasaan Singasari yang besar akan selalu membayangimu kemana kau pergi. Dan sebenarnyalah bahwa kau adalah penjahat yang terlalu kecil untuk menghayalkan melakukan kejahatan yang besar yang akan dapat mendukung hidupmu sekeluarga sepanjang umurmu”

Ki Lambun menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah di hadapkan pada sebuah pintu gerbang yang sempit, yang mau tidak mau harus di masukinya. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga jiwanya yang sudah dibebani oleh sebuah pengakuan. Karena itu, maka katanya, “Aku akan menurut segala perintahmu anak muda”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian sambil memandang Makerti ia berkata, “Marilah. Kita akan menghadap Ki Buyut di Watan. Seterusnya aku akan pergi bersamamu ke padepokan Gemak Werdi untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, agar guru Gemak Werdi tidak menjadi salah paham karenanya.

“Baiklah anak muda, aku akan mengikutimu. Dan aku akan mengantarmu menghadap guru Gemak Werdi di padepokan yang agak jauh letaknya dari padukuhan ini”

Demikianlah maka Mahisa Bungalan dan Makerti telah membawa Ki Lambun menghadap Ki Buyut. Dengan ikhlas ia telah menyerahkan dirinya untuk ikut serta membantu para bebahu menjalankan tugasnya.

“Ia tidak akan ingkar Ki Buyut” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan membayanginya”

“Terima kasih ngger” berkata Ki Buyut, “ternyata bahwa kau telah berbuat sesuatu yang sangat penting artinya bagi padukuhan ini. Sejak semula aku sudah menduga, bahwa kau bukannya seorang perantau bernama Dogol yang sekedar memerlukan belas kasihan”

“Aku memang bernama Dogol Ki Buyut”

Ki Buyut tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa Mahisa Bungalan menyebut nama lain. Sebab bagi Ki Buyut anak muda itu akan dapat menyebut nama apa saja. Bahkan seandai pun Mahisa Bungalan menyebut namanya sendiri, mungkin banyak orang yang tidak mempercayainya pula.

Ternyata Mahisa Bungalan tidak akan tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu. Ia merasa wajib untuk memberikan penjelasan kepada Gemak Werdi atau kepada gurunya, agar tidak tumbuh salah paham. Karena itu, setelah menyerahkan Ki Lambun dan setelah Ki Buyut memerintahkan untuk menyelenggarakan mayat-mayat yang terdapat di arena perkelahian, maka Mahisa Bungalan pun segera minta diri bersama Ki Makerti.

“Aku akan pergi ke Ganter” berkata Mahisa Bungalan, “aku akan berusaha bertemu dengan Gemak Werdi. Mudah-mudahan segala salah paham akan dapat dihapuskan”

Ki Buyut tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Sebenarnya ia masih menghendaki agar Mahisa Bungalan tinggal satu dua hari di Watan, dengan penerimaan sesuai dengan keadaan yang sekuatnya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memenuhinya.

“Selama kau disini ngger, kau kami anggap seorang perantau yang perlu mendapat belas kasihan, sehingga kau aku persilahkan tinggal di banjar. Tetapi ternyata sambutan kami itu keliru”

“Tidak Ki Buyut. Justru yang Ki Buyut lakukan adalah tindakan yang tepat. Dan aku sangat berterima kasih karena hal itu” berkata Mahisa Bungalan yang kemudilan sekali lagi mohon diri untuk meninggalkan padukuhan Watan.

“Pada suatu saat aku akan kembali” berkata Mahisa Bungalan, “aku ingin melihat Watan yang lebih baik, dan melihat apakah Ki Lambun tidak ingkar janji”

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan dan Ki Makerti pun meninggalkan Watan menuju ke Ganter. Mahisa Bungalan ingin menjernihkan kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Gemak Werdi. Bahkan mungkin dengan gurunya. Ganter memang tidak terlalu jauh dari Watan. Karena itu, maka mereka tidak perlu berjalan terlalu lama, meskipun sampai di Ganter matahari telah jauh condong di sebelah Barat.

“Marilah” berkata Makerti, “singgahlah di rumahku. Nanti kita akan mengunjungi Gemak Werdi”

Mahisa Bungalan tidak menolak. Ia pun ikut Makerti singgah di rumahnya. Rumah Makerti bukanlah yang besar. Tetapi cukup menarik. Halamannya terasa sejuk oleh tetumbuhan dan pohon-pohon bunga. Sebatang Kembang Kemuning tumbuh di sudut rumah. Bunganya yang kembang, membuat seluruh batangnya menjadi hijau kekuning-kuningan. Di dekat regol tumbuh sebatang pohon bunga Soka merah, sedangkan bunga arum dalu nampak mekar di sudut halaman.

“Kau telaten memelihara halaman rumahmu” berkata Mahisa Bungalan.

“Aku tidak mempunyai kerja lain. Sepeninggal isteriku, aku sibukkan diriku dengan kerja disawah dan di kebun serta halaman” jawab Makerti.

“O” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Isteriku meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku tidak mempunyai seorang anak pun”

“Jadi kau tinggal di rumah ini seorang diri?”

“Dengan adikku. Ia seorang laki-laki muda yang rajin. Tetapi ia tidak tertarik pada olah kanuragan meskipun ia mempelajarinya pula. Umurnya lebih muda sedikit dari Gemak Werdi. Ia adalah adikku yang sulung. Diantara aku dan adikku masih terdapat tiga orang saudaraku. Semuanya perempuan dan ikut bersama suami masing-masing”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebelum ia bertanya, Makerti telah melanjutkannya, “Adikku pandai masak dan memelihara rumah, sementara aku sendiri mempergunakan waktu senggangku untuk berbuat serupa”

Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Itulah sebabnya, maka Makerti sempat melakukan petuatangan-petualangan kecil bersama Gemak Werdi. Agaknya ia merasa kesepian di rumahnya, sehingga timbullah keinginannya untuk berbuat sesuatu.

Kedatangan Mahisa Bungalan di rumah itu, seolah-olah telah membantu membangkitkan suasana yang sepi. Ternyata adik Makerti yang masih muda itu merasa senang sekali mendapat kunjungan seseorang yang pantas dihormati. Ia segera mendengar segala sesuatu tentang Mahisa Bungalan dari kakaknya, sehingga karena itu, maka adik Makerti itu pun menjadi sangat hormat kepada tamunya.

“Jangan berlebih-lebihan” desis Mahisa Bungalan kepada Makerti, “beri tahu adikmu, aku bukan orang penting di Singasari. Adalah kebetulan bahwa aku sering datang ke Kota Raja. Rumahku sendiri tidak di Kota Raja”

Makerti tersenyum, jawabnya, “Aku mengajarinya hormat kepada para tamu siapa pun mereka itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Adalah wajar bahwa seorang kakak mengajar adiknya berbuat baik Tetapi rasa-rasanya segan juga untuk menerima penghormatan yang berlebihan.

Setelah beristirahat sejenak, maka ketika Ganter mulai diselubungi oleh kegelapan, Mahisa Bungalan diantar oleh Makerti pergi ke rumah Gemak Werdi yang masih bersangkut paut sanak meskipun sudah agak jauh. Tetapi keduanya ternyata tidak menjumpai Gemak Werdi di rumah. Ayahnya yang menerima keduanya mempersilahkan mereka masuk. Namun dengan menyesal ayah Gemak Werdi itu berkata,

“Gemak Werdi baru pergi menghadap gurunya. Sayang kau tidak dapat bertemu dengan anak itu”

Makerti mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kakang mengetahui, persoalan apakah yang telah mendorongnya pergi menghadap gurunya?”

“Mana aku tahu Makerti. Seharusnya kaulah yang memberi-tahukan kepadaku, kenapa anak itu tiba-tiba saja ingin menghadap gurunya. Apakah ia tidak mengatakannya kepadamu?”

Makerti menjadi berdebar-debar. Namun jawabnya, “Gemak Werdi tidak mengatakan kepadaku kakang, bahwa ia akan menghadap guru hari ini”

Makerti hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi orang tua itu pun merasa aneh, karena biasanya Gemak Werdi lebih banyak bergaul dengan Makerti daripada dengan orang tuanya. Makerti pun kemudian mengajak Mahisa Bungalan meninggalkan rumah Gemak Werdi. Malam itu, Mahisa Bungalan dipersilahkan bermalam di rumah Makerti.

Terhadap Makerti, Mahisa Bungalan tidak dapat ingkar lagi tentang dirinya. Makerti adalah orang yang baik menurut penilaian Mahisa Bungalan, sehingga terhadapnya ia pun kemudian berterus terang.

“Besok pagi-pagi kita menyusul Gemak Werdi” berkata Makerti kepada Mahisa Bungalan, “Kita akan berkuda, agar kita tidak kehilangan banyak waktu di perjalanan”

“Apakah padepokannya sangat jauh dari padukuhan ini?” bertanya Mahjsa Bungalan.

“Tidak terlalu jauh. Jika kita berkuda, kita akan bermalam satu hari di perjalanan. Tetapi aku tahu tempat menginap yang paling baik, karena aku dan Gemak Werdi selalu menginap di padukuhan itu. Aku kenal benar dengan seorang Buyut yang baik yang selalu memberikan tempat menginap kepadaku dan Gemak Werdi” jawab Makerti.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ternyata padepokan ku tidak terlalu dekat, sehingga diperlukan waktu bermalam diperjalanan, meskipun Makerti sudah terbiasa menginap di tempat tertentu jika ia pergi ke padepokan itu.

Ketika fajar menyingsing, maka adik Makerti telah menyiapkan dua ekor kuda, yang akan dipergunakan oleh Makerti dan Mahisa Bungalan pergi ke padepokan tempat Gemak Werdi berguru. Setelah makan pagi, dan dengan sekedar bekal di perjalanan maka Makerti pun, meninggalkan rumahnya bersama Mahisa Bungalan untuk suatu perjalanan yang mendebarkan.

“Mudah-mudahan guru tidak salah paham” berkata Makerti.

Mahiisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun kemudian mengetahui bahwa Makerti dan Gemak Werdi adalah dua orang saudara seperguruan, meskipun Makerti menurut urutan darah meskipun sudah tidak terlalu dekat, adalah paman Gemak Werdi.

“Aku sudah lama meninggalkan padepokan itu” berkata Makerti, “aku telah mencoba mematangkan ilmuku menurut kemampuanku, meskipun ternyata sama sekali tidak berarti. Tetapi bekal yang diberikan kepada Gemak Werdi oleh guru, agaknya lebih banyak dari yang diberikan kepadaku, meskipun ia masih belum sempat mengembangkannya. Tetapi sesuai dengan sifat dan kemudaannya, maka ia telah berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Ia ingin menyatakan kepada orang lain, bahwa ia baru saja turun dari perguruan”

“Agaknya itu sudah sewajarnya terjadi” berkata Mahisa Bungalan.

“Apakah kau berbuat serupa pula ketika kau baru saja menyelesaikan masa berguru?” bertanya Makerti.

“Aku masih belum selesai berguru. Masa ini adalah masa pemantapan ilmu yang sudah aku terima dari guruku. Tetapi pada suatu saat, aku akan kembali lagi untuk menekuni ilmu yang masih belum dilimpahkan kepadaku oleh guruku”

“Gurumu tentu orang yang luar biasa” desis Makerti.

“Tidak. Guruku bukan orang luar biasa. Jika luar biasa itu hanyalah dalam hubungan darah. Guruku yang seorang adalah ayahku sendiri” jawab Mahisa Bungalan.

“O” Makerti mengangguk. Tetapi ia bertanya, “Berapa orang guru yang menuntun kau dalam olah kanuragan?”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya kemudian, “Aku menyadap ilmu dari siapapun. Bahkan dari Ki Lambun pun aku mencoba berguru. Sebenarnyalah bahwa pengalaman adalah guru yang sangat baik”

Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan masih belum bersedia menyebut nama guru-gurunya. Karena itu, maka ia pun tidak memaksa.

Perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh. Matahari yang kemudian memanjat langit, sinarnya terasa semakin panas membakar kulit. Namun ternyata bahwa keduanya adalah dua orang yang sudah terbiasa dipanggang di panasnya matahari dan direndam di dinginnya embun malam, sehingga panasnya matahari tidak terasa mengganggu perjalanan mereka.

Bahkan perjalanan itu terasa menarik bagi Mahisa Bungalan, karena daerah yang dilaluinya itu belum pernah dilihatnya sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Makerti, bahwa mereka akan bermalam satu malam diperjalanan. Seperti biasanya, maka Makerti telah membawa Mahisa Bungalan menuju ke padukuhan di tempat ia sering singgah.

Ketika matahari menjadi semakin condong, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan tempat Makerti biasa bermalam. Di perjalanan mereka pun terpaksa beristirahat untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat pula.

Padukuhan yang mereka tuju sebagai tempat untuk singgah, adalah padukuhan yang tidak begitu besar. Penduduknya tidak terlalu banyak, tersebar pada beberapa padukuhan kecil. Yang terbesar dari padukuhan-padukuhan itu adalah padukuhan induk, yang merupakan pusat dari padukuhan itu. Di padukuhan induk itu terdapat sebuah pasar kecil dengan beberapa buah warung di pinggir jalan yang cukup banyak dilalui orang. Bukan saja orang yang bepergian dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain di sekitar padukuhan induk itu, tetapi jalan itu pun merupakan jalur jalan yang panjang, yang menghubungkan banyak padukuhan di daerah yang luas.

Sebelum matahari tenggelam, maka mereka berdua telah berada di regol halaman rumah Ki Buyut. Sambil turun dari punggung kudanya Makerti berkata, “Ki Buyut sudah agak tua. Tetapi ia masih seorang Buyut yang bekerja keras bagi padukuhan dan rakyatnya”

Kedatangan Makerti disambut dengan gembira oleh Ki Buyut yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pun kemudian diterima dipendapa rumahnya yang cukup besar dibanding dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Setelah memperkenalkan Mahisa Bungalan dan menyatakan keselamatan perjalanannya, maka Makerti pun bertanya, “Apakah semalam Gemak Werdi singgah disini pula Ki Buyut?”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertaya, “Gemak Werdi tidak singgah sama sekali. Apakah ia pergi ke padepokan Kenanga?”

Makerti mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mengangguk. Jawabnya, “Menurut ayahnya, ia pergi ke padepokan guru. Ia pergi tanpa memberitahukannya kepadaku”

“Aneh, biasanya Ki Makerti selalu bersama angger Gemak Werdi” desis Ki Buyut.

“Ada sesuatu yang telah mengganggu perasaannya Ki Buyut, sehingga ia pergi tanpa aku. Tetapi bahwa ia tidak singgah dan bermalam di sini, rasa-rasanya telah menggelisahkan sekali. Mudah-mudahanan ia tidak sempat beristirahat disini karena tergesa-tergesa saja”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Tetapi bukankah aku tidak melakukan kesalahan terhadap angger Gemak Werdi?”

“Tentu tidak Ki Buyut. Tentu tidak” jawab Makerti dengan serta merta, “yang terjadi adalah, Gemak Werdi nampaknya kurang senang atas peristiwa yang terjadi di Watan, sehingga ia ingin menghadap guru dan mungkin untuk mendapatkan pertimbangan”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Gumamnya, “Mudah-mudahan ia tidak marah kepadaku karena sesuatu yang tidak aku sadari”

“Ki Buyut selalu berbuat baik kepadaku dan kepada Gemak Werdi. Nampaknya peristiwa yang terjadi di Watan itu begitu mencengkam hatinya, sehingga ia tergesa-gesa sekali untuk segera bertemu dengan guru”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun masih membayang kekhawatirannya bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tidak disenangi oleh Gemak Werdi.

Dalam itu, Makerti dan Mahisa Bungalan telah bermalam di rumah Ki Buyut dengan mendapat tempat dan pelayanan sebaik-baiknya seperti biasanya. Bahkan nampaknya Ki Buyut bersikap terlalu baik karena kekhawatirannya tentang Gemak Werdi.

Setelah makan malam, Makerti dan Mahisa Bungalan tidak segera pergi ke bilik yang sudah disediakan. Mereka masih duduk sejenak, bercakap-cakap dengan Ki Buyut berserta keluarganya. Bahkan demikian asyiknya mereka berbicara di ruang dalam, sehingga malam pun menjadi semakin larut.

“Ki Makerti” berkata Ki Buyut kemudian, “malam sudah larut. Silahkan Ki Makerti dan angger Mahisa Bungalan beristirahat. Bukankah besok kalian masih akan melanjutkan perjalanan”

Ki Makerti tersenyum. Nampaknya Ki Buyut memang sudah sangat mengantuk. Bahkan matanya kadang-kadang telah terkatup dan pembicaraannya pun kadang-kadang telah menjadi kabur.

“Terima kasih Ki Buyut” berkata Makerti kemudaan, “kami akan beristirahat agar besok pagi-pagi benar kami dapat bangun dan berangkat untuk meneruskan perjalanan”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi kadang-kadang matanya telah terkatub. Demikian Makerti dan Mahisa Bungalan memasuki biliknya, Ki Buyut pun segera masuk pula ke bilik tidurnya. Begitu ia merebahkan diri, maka tiba-tiba saja telah terdengar ia mendengkur.

Di dalam biliknya Makerti pun rasa-rasanya telah dicekam oleh perasaan kantuk yang sangat. Bahkan kemudian ia menjadi curiga, apakah yang telah menyebabkannya. Ketika ia berpaling kepada Mahisa Bungalan yang masih duduk di dingklik kayu di dalam bilik itu, ia melihat anak muda itu sedang merenungi sesuatu.

“Mahisa Bungalan, apakah kau sedang memperhitungkan sesuatu yang asing malam ini?”

“Ya Ki Makerti. Ada sesuatu yang agaknya telah mengganggu kesadaranku”

Ki Makerti mengangguk-angguk. Kemudian ia pun beringsut mendekati Mahisa Bungalan sambil berbisik, “Guru ada di sini sekarang”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar kata-kata Makerti itu. Tetapi sebelum ia bertanya Makerti telah berbisik pula, “Aku mengenal ilmu semacam ini. Guru tentu sedang menjajagi, apakah orang yang diceriterakan oleh Gemak Werdi mampu mengatasi ilmunya yang langsung menyentuh kesadaran orang lain”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya Ki Buyut tidak dapat bertahan lebih lama lagi untuk duduk dan berbincang.

“Bagaimana perasaanmu Mahisa Bungalan? bertanya Makerti”

“Aku akan mencoba mengatasi. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku pernah mempelajari juga dari guru. Dan aku telah berusaha mengembangkannya sendiri, sehingga mudah-mudahan aku pun dapat mengatasinya”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku tidak merasa perlu untuk menanggapinya, agar kesalah pahaman itu tidak menjadi semakin meluas”

Makerti mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, bahwa Gemak Werdi tentu sudah menghadap gurunya dan menceritakan apa yang sudah terjadi. Agaknya gurunya pun yakin, bahwa Makerti akan menyusui Gemak Werdi bersama Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka gurunya telah datang ke tempat Makerti selalu menginap untuk menjajagi kemampuan orang yang tentu sudah diceritakan oleh Gemak Werdi.

Mahisa Bungalan dan Makerti yang masih duduk di dalam bilik yang disediakan bagi mereka. Dengan mengerahkan kemampuan daya tahan mereka, keduanya berusaha mengatasi ilmu yang meliputi rumah Ki Buyut. Dengan susah payah Ki Makerti mencoba bertahan. Tetapi karena lontaran ilmu gurunya terasa menjadi semakin kuat, maka lambat laun, daya tahannya pun rasa-rasanya menjadi semakin menurun. Bahkan matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Tetapi Makerti mencoba bertahan terus. Dengan segenap kekuatan lahir dan batinnya, ia justru mencoba berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.

“Luar biasa” desisnya ketika ia berdiri dekat dihadapan Mahisa Bungalan, “aku tidak tahan lagi. Mungkin guru kini telah berada di pendapa atau di pringgitan. Ilmu ini semakin mencekik”

Mahisa Bungalan memandanginya. Perlahan-lahan ia berbisik, “Apakah Ki Makerti merasa bahwa tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi?”

“Mungkin aku akan terjerembab dan tertidur sebentar lagi” desisnya, “aku tidak tahan lagi”

“Duduklah di sisiku” desis Mahisa Bungalan.

Ki Makerti termangu-mangu sejenak. Tetapi matanya terasa menjadi semakin berat. Karena Ki Makerti masih bertahan untuk berdiri meskipun nampaknya keseimbangannya sudah mulai terganggu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian menarik tangannya dan mempersilahkannya duduk di sisinya.

“Tenanglah” berkata Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak melepaskan tangan Ki Makerti.

Sejenak Ki Makerti masih harus bertahan dengan sekuat tenaga. Namun kemudian terasa dari tangan Mahisa Bungalan seolah-olah tersalur arus panas ke urat darahnya dan perlahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya. Meskipun Ki Makerti sudah menjadi sangat mengantuk, tetapi ia masih merasa arus panas di tubuhnya itu. Bahkan kemudian jantungnya pun serasa menjadi panas pula. Perlahan-lahan namun pasti, maka perasaan kantuknya bagaikan terusir dari dirinya.

“Luar biasa” Ki Makerti berdesis.

Mahisa Bungalan memberi isyarat agar Ki Makerti diam sejenak. Ki Makerti pun kemudian terdiam. Seperti Mahisa Bungalan ia mencoba mendengarkan setiap desir yang paling lembut sekalipun.

Kedua orang di dalam bilik itu rasa-rasanya telah membeku. Ki Makerti mengerti maksud Mahisa Bungalan, agar di dalam bilik itu tidak terdengar suara apapun. Bahkan sejenak kemudian Mahisa Bungalan yang duduk sambil memegang tangan Ki Makerti itu, telah mengatur pernafasannya, sehingga suaranya teratur seperti orang yang sedang tertidur nyenyak.

Sebenarnyalah bahwa di luar rumah Ki Buyut dua orang telah berdiri di pringgitan. Mereka berusaha untuk mengetahui apakah seisi rumah itu sudah tertidur nyenyak.

“Sulit untuk mengerti” desis salah seorang dari mereka, “mereka berada di dalam bilik yang berada di ruang dalam”

Yang seorang dari keduanya adalah Gemak Werdi. Ternyata ia tidak berhasil menguasai tubuhnya seperti gurunya. Langkahnya pun masih terdengar berdesir di atas lantai, sementara suaranya pun bergetar sampai ke telinga Mahisa Bungalan yang sangat tajam, “Tetapi aku tidak mendengar suara apapun lagi guru”

Mahisa Bungalan mengangguk kecil, sementara Ki Makerti yang juga mendengar, meskipun hanya desis lambat mengangguk pula.

“Tetapi tidak seorang pun yang dapat menolak ilmuku” berkata guru Gemak Werdi.

“Lalu, apakah yang akan kita kerjakan” bertanya Gemak Werdi...