Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 24
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“TIDAK apa-apa Ki Sanak. Namun aku masih tetap menganggap kalian sebuah teka-teki, justru karena salah seorang dari kalian menamakan diri Mahisa Bungalan.”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Tetapi Linggapati yang menjawab lebih dahulu, “Sekali lagi kami mohon maaf. Sebenarnya itu adalah sekedar terdorong dari kebencian kami kepada orang-orang berilmu hitam, sehingga kami diluar sadar, telah meminjam nama-nama orang yang paling ditakuti pula oleh orang-orang berilmu hitam.”

Lembu Ampal tersenyum. Katanya, ”Tetapi aku tidak akan bertanya, siapakah kalian ini sebenarnya, karena agaknya kalian memang tidak ingin kami kenal. Baiklah, silahkanlah berjalan terus. Tetapi aku minta kalian agak berhati-hati menghadapi orang-orang berilmu hitam.”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi siapakah sebenarnya kedua anak muda yang berkuda bersama Ki Sanak di hutan perbuan itu?”

Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Ia sebenarnya agak ragu-ragu menyebut nama keduanya. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak akan menyembunyikan nama mereka, karena terlalu banyak orang yang sudah mengenalnya.”

Linggapati, Linggadadi dan pengiringnya termangu-mangu. Namun serasa ada ketegangan di dalam dadanya.

“Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal, “Keduanya adalah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Canipaka, Maharaja dan Ratu Angabhaya dari kerajaan Singasari.”

“O.“ Suatu hentakkan telah menggelepar di dada ketiga orang itu. Ternyata yang dihadapi adalah kedua orang anak muda yang sering disebut sepasang Ular Naga dalam Satu Sarang. Kedua anak muda yang memegang tampuk pimpinan tertinggi di Singasari.

“Sekali lagi aku mohon beribu ampun.“ berkata Linggapati, “Hanya karena kemurahannya saja aku tidak dihukumi mati.”

Lembu Ampal tersenyum melihat sikap Linggapati. Namun keningnya berkerut ketika ia memandang wajah Linggadadi yang buram. Agaknya Linggadadi yang menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan itu mempunyai sikap yang lain dari kakaknya.

Sebenarnyalah bahwa Linggadadi mempunyai sikap yang berbeda. Tetapi ia masih sekali tidak dapat menyatakannya. Karena itulah maka yang nampak di wajahnya hanyalah kemuraman yang gelap.

“Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal kemudian, “Tentu tidak begitu mudah untuk menjatuhkan hukuman mati. Juga atas Ki Sanak bertiga, sehingga bukannya karena kemurahanya semata-mata. Tetapi memang tidak sepantasnya kalian bertiga harus dihukum mati hanya karena salah paham semata-mata.”

“Tentu karena kemurahannya saja.“ sahut Linggapati, “Katakanlah bahwa kita masing-masing tidak mempunyai wewenang apapun untuk menjatuhkan hukuman kepada sesama. Tetapi tanpa kemurahannya, maka dalam perkelahian itu, kami bertiga memang sudah terbunuh. Dengan jujur kami mengakui, bahwa kami bertiga tidak mampu mempertahankan diri dari ilmu yang jauh diluar jangkauan kami itu.”

Lambu Ampal tersenyum. Tetapi ketika ia memandang wajah Linggadadi, maka Lembu Ampal pun menarik nafas dalam-dalam. “Sudahlah Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal kemudian, “Kita akan berpisah. Kali ini aku tidak bertanya siapakah kalian karena suasananya agaknya masih kurang tepat.”

“Ki Sanak menganggap bahwa kami masih akan bersembunyi dibalik nama yang asal saja kami sebut?”

Lembu Ampal tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnyalah bahwa kita masing-masing masih saling mencurigai. Itulah sebabnya, maka aku tidak bertanya, siapakah kalian sebenarnya, karena kalian tentu akan menyebut nama yang salah. Dan kami tidak akan mendapatkan bukti apapun juga untuk menyatakan kesalahan itu. Bahkan seandainya nama-nama itu adalah nama-nama kalian yang sebenarnya.”

Linggapati mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ki Sanak memang bijaksana. Baiklah. Tetapi berterima kasihlah kami bahwa kami diperkenankan mengetahui keadaan Ki Sanak yang sebenarnya, dan terlebih-lebih kedudukan kedua tuanku yang memimpin Singasari ini.”

Lembu Ampal masih tersenyum. Lalu, “Baiklah kita berpisah. Aku akan mengambil harimau yang masih hidup, yang berhasil ditangkap oleh tuanku Ranggawuni dengan tangannya tanpa luka segorespun pada kulit harimau itu.”

“Ha.“ Linggapati mengerutkan keningnya.

“Ya, demikianlah. Tuanku Ranggawuni menangkap harimau itu tanpa mempergunakan senjata apapun juga selain tangannya sendiri.”

Tetapi Lembu Ampal melihat sekilas senyum yang asam di bibir Linggadadi. Namun demikian, Lembu Ampal sama sekali tidak menghiraukannya, meskipun sebagai seorang yang memiliki ketajaman indera dapat menangkap bahwa sebenarnya persoalannya bukanlah persoalan yang dapat selesai tanpa menimbulkan akibat apapun juga. Namun demikian Lembu Ampal masih berharap bahwa orang yang agaknya mempunyai pengaruh yang lebih besar itu dapat mengendalikan orang yang menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan.

Demikianlah, maka Lembu Ampal pun kemudian melanjutkan perjalanannya diikuti oleh para prajurit yang terheran-heran, karena mereka tidak mengetahui apakah yang sebenarnya dibicarakan oleh Lembu Ampal dengan ketiga orang itu. Hanya kemudian, di perjalanan selanjutnya, Lembu Ampal sempat menceriterakan apakah yang sudah terjadi dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Perwira muda ilu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka ternyata terlampau baik hati. Aku masih tetap curiga terhadap orang yang kedua itu. Tatapan matanya sama sekali tidak meyakinkan, bahwa ia dapat mengerti terhadap persoalan yang sebenarnya dihadapinya.”

“Ya.” jawab Lembu Ampal, “Tetapi agaknya yang lain akan dapat meyakinkannya kemudian.”

“Atau sebaliknya.”

Lembu Ampal tertawa. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.

Dalam pada ilu, Linggapati, Linggadadi dan seorang pengiringnya masih termangu-mangu. Mereka memandang iring-iringan yang maju dengan lambatnya karena harus mengikuti pedati yang ditarik oleh sepasang lembu.

Dalam pada itu, Linggadadi yang menahan hati tidak dapat membiarkan dadanya retak. Karena itu, dengan suara yang berat ia berkata, “Kakang terlampau merendahkan diri. Apakah sudah selayaknya kita menganggap bahwa atas kemurahan anak-anak itu kita terlepas dari kematian?”

Linggapati tertawa. Jawabnya, “Marilah kita mencoba jujur terhadap diri sendiri. Aku kira, kita memang tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak seharusnya menimbulkan kesan, bahwa sebenarnya kita tidak ikhlas mengalami kekalahan itu.”

“Maksudmu?“

“Biarlah mereka mendapat kesan, bahwa tidak akan ada perlawanan apapun juga yang akan pecah di Singasari. Seolah-olah setiap orang sudah mengakui kebenaran dan kekuasaan kedua anak-anak itu. Juga orang-orang berilmu hitam itu tidak boleh menimbulkan kesan, bahwa Singasari pada suatu saat akan digoncang oleh gempa yang paling dahsyat.”

Linggadadi termenung sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Sementara itu kakaknya masih juga tertawa. Katanya kemudian, “Linggadadi, Kita ternyata harus lebih berhati-hati lagi setelah kita mengenal kedua anak muda itu, bahkan dengan langsung. Kita tidak usah malu mengakui bahwa kita memang tidak mempunyai ilmu yang timbang dengan kemampuan mereka. Pengakuan itu penting sekali bagi kita. Dengan demikian kita akan berusaha untuk meningkatkan ilmu kita. Jika kita sudah merasa memiliki kemampuan yang cukup, maka untuk seterusnya kita akan tetap seperti sekarang. Dan ternyata ilmu kita sekarang tidak banyak berarti bagi kedua anak-anak muda itu. Apalagi dengan dukungan kekuatan Mahisa Agni, Witantra Mahendra dan anak-anak muda yang tentu memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kakang benar. Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa kita harus berkecil hati. Kita masih memiliki beberapa orang tua yang dapat kita anggap tanpa tanding. Jika ternyata bahwa kita terbentur kepada kemampuan ilmu yang tidak terjangkau, maka kita tidak akan kehilangan kesempatan, sebab orang-orang tua yang selama ini berada di antara kita tentu tidak akan tinggal diam.”

“Kau tidak boleh berpikir begitu.“ jawab Linggapati “Kau selalu ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah dan cepat. Landasan pikiran kita sekarang, adalah meningkatkan ilmu sehingga kemampuan kita akan dapat memadai untuk melawan kedua anak-anak muda yang kebetulan saja lahir dalam garis keturunan raja-raja di Singasari.”

Linggadadi mengerutkan keningnya Tetapi ia tidak menjawab lagi.

“Baiklah.” berkata Linggapati kemudian, “Marilah kita meneruskan perjalanan kita. Kita akan singgah sebentar di Kota Raja.”

“Bagaimana jika kita bertemu dengan kedua anak muda itu?” bertanya Linggadadi.

“Kemungkinan itu akan kecil sekali terjadi. Di Kota Raja kedua anak-anak muda itu tidak akan dapat leluasa bergerak, justru karena keduanya adalah Maharaja dan Ratu Angabhaya. Apalagi mereka baru saja kembali dari sebuah perburuan yang lain dari kebiasaan para bangsawan.” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi justru itulah kelebihan kedua anak-anak muda itu. Mereka tidak berburu di atas tandu, diiringi oleh prajurit segelar sepapan yang akan menggiring binatang buruan agar lewat di muka tandunya. Perburuan yang demikian adalah perburuan yang tidak berarti.”

“Dan ternyata kedua anak muda itu tidak puas dengan cara yang demikian.” sahut Linggadadi, ”Bahkan menurut perwira yang mengawalnya. Ranggawuni telah menangkap hidup-hidup harimau itu dengan tangannya. Apakah kau percaya?”

Linggapati berpikir sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku percaya. Tentu tuanku Ranggawuni dapat melakukannya. Aku juga melihat beberapa goresan pada tubuhnya. Tentu luka-luka yang dideritanya saat ia berkelahi dengan harimau itu.”

“Goresan-goresan kecil. Apakah kuku macan itu tidak dapat menyobek perutnya.”

“Apakah tuanku Ranggawuni terlelang diam tanpa mengadakan perlawan.“

“Maksudku, karena ia tidak bersenjata apapun juga. Jika ia mempergunakan sebuah pisau belati seperti yang dipergunakannya melawan kita, aku masih dapat mengerti.”

Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Itupula kelebihannya.”

Linggadadi tidak menjawab lagi. la sudah meneruskan perjalanan mereka melalui Kota Raja, meskipun ia agak cemas pula. Karena mungkin sikap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berbeda dengan sikap Lembu Ampal. Tetapi Linggapati sama sekali tidak mencemaskannya. Bahkan seandainya di Kota Raja ia berjumpa dengan kedua anak muda yang sedang memerintah itu, karena keduanya tentu tidak akan berbeda sikap dengan Lembu Ampal.

Dalam pada itu, ketika Linggapati, adiknya dan pengiringnya melanjutkan perjalanannya ke Kota Raja, maka Lembu Ampal pun menjadi semakin dekat dengan hutan perburuan yang lebat itu. Namun perjalanan mereka benar-benar merupakan perjalanan yang lambat dan menjemukan. Bahkan prajurit-prajurit muda yg berkuda di belakang pedati itupun mulai mengeluh.

“Kudaku menjadi lelah sekali dengan perjalanan yang demikian.” desis seorang prajurit yang bertubuh tinggi.

Kawannya menarik nafas dalam. Jawabnya, “Nafasku menjadi sesak. Hampir-hampir tidak tertahan lagi.”

Seorang prajurit yang lebih tua di sebelahnya memandang keduanya berganti-ganti. Lalu, “Kalian telah melalui pendadaran. Agaknya kalian tidak menempuh pendadaran kesabaran seperti yang pernah aku alami.”

“Aku mengalami pendadaran yang keras di arena.” desis prajurit yang bertubuh tinggi itu.

“Nah itulah sebabnya. Aku saat itu mengalami dua macam pendadaran. Pendadaran jasmaniah dan pendadaran rohaniah.”

“Aku juga.” desis prajurit muda itu.

“Tetapi tentu berbeda dengan pengalaman yang pernah aku alami semasa aku memasuki masa pendadaran setelah untuk tiga bulan aku mengalami tempaan sebagai calon prajurit.”

“Tentu aku juga.” desis prajurit muda itu.

“Tetapi kalian sama sekali tidak memiliki kesabaran itu.“

“Ceriterakan, apakah yang pernah kau alami dalam pendadaran kesabaran itu.”

Prajurit yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berceritera. “Menarik sekali. Saat aku selesai pendadaran jasmaniah, maka aku bersama sekelompok calon prajurit yang dinyatakan berhasil dalam pendadaran jasmaniah, ditempatkan di sebuah tempat yang terpisah. Berhari-hari kami menunggu. Ketika kami sudah mulai menjadi jemu, maka perwira yang mengawasi kami itupun bertanya kepada kami, apakah kami masih bersedia untuk menunggu pendadaran yang terakhir. Ketika kami bertanya, kapan maka perwira itu tidak dapat mengatakan. Tergantung kedatangan perwira yang berwenang dari Pajang. Ketika kejemuan sudah memuncak, maka perwira itu berkata, “Kami minta maaf, bahwa perwira yg bertugas untuk menyelesaikan pendadaran itu masih belum datang. Kami tidak dapat mengatakan, kapan pendadaran itu akan diselenggarakan. Karena itu, daripada kalian kehilangan banyak waktu untuk menunggu dalam kejemuan, maka barang siapa yang tidak telaten lagi menunggu dipersilahkan meninggalkan tempat ini.”

“O, menarik sekali.” sahut prajurit-prajurit muda itu.

“Dan ternyata sebagian dari kami memang sudah tidak tahan lagi dalam kejemuan. Mereka pun kemudian meninggalkan tempat terpencil itu. Karena menurut mereka, pendadaran itu tidak akan berlangsung untuk waktu yang lama.”

“Jadi, kapan pendadaran itu diselenggarakan.”

“Tidak ada seorang perwira yang datang.”

“Jadi. tidak ada pedadaran lagi?”

“Tidak.”

“Bagaimana akhir dari pengasingan itu.”

“Itu sajalah. Tanpa ada pendadaran yang lain, kami pun dinyatakan diterima menjadi seorang prajurit. Karena pendadaran yang sebenarnya adalah ketahanan menunggu tanpa berbuat apa-apa itu.“

Prajurit-prajurit muda itu tersenyum sambil mengangguk-angguk Mereka pun mengalami pendadaran kesabaran sesuai dengan keadaan sesaat, dan dengan cara yang berbeda-beda.

Demikianlah iring-iringan itu maju terus dengan lambannya. Para prajurit itu mengisi waktunya dengan bercakap-cakap dan berceritera tentang berbagai macam hal yang mereka anggap menarik. Prajurit-prajurit muda di bagaian belakang kadang-kadang terdengar tertawa meskipun mereka mencoba menahan sekuat-kuatnya.

Lembu Ampal dan perwira muda di sampingnya pun ternyata telah tenggelam dalam pembicaraan yang asyik pula, sehingga mereka hampir tidak menghiraukan lagi prajurit-prajurit yang bercakap-cakap pula di antara mereka. Bahkan prajurit-prajurit muda yang di paling belakang sempat pula bergurau untuk mengisi kejemuan mereka mengikuti pedati yang merayap seperti siput yang paling malas.

Ketika mereka melintasi sebuah padukuhan kecil, dan melintasi sebuah bulak yang panjang, maka Lembu Ampal pun berkata kepada perwira muda itu, “Bulak ini adalah bulak yang terakhir. Kita akan segera sampai pada sebuah padang ilalang dan hutan perdu sebelum kita memasuki hutan yang sudah nampak di hadapan kita itu.”

Perwira muda ilu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa prajurit-prajuritnya sudah mulai menjadi jemu. Namun mereka tidak dapat berbuat lebih daripada melupakan kejemuan itu dengan bercakap-cakap dan bergurau.

Prajurit-prajurit yang ada di dalam iring-iringan itu baru memperhatikan hutan di hadapan mereka, setelah mereka melintasi bulak panjang itu. Meskipun jalan agak sulit dilalui oleh sebuah pedati, namun mereka pun kemudian memasuki hutan yang lebat itu. Tetapi terayata bahwa pada suatu saat, pedati itu tidak dapat maju lagi, sehingga Lembu Ampal harus mengambil kebijaksanaan lain.

“Kita tinggalkan pedati itu di sini, ditunggui oleh beberapa prajurit.” berkata Lembu Ampal.

“Apakah ada orang yang akan mencuri pedati ini.” bertanya seorang prajurit.

“Bukan orang yang akan mencurinya, tetapi mungkin seekor harimau yang garang, yang mencium bau lembu penarik pedati itu. akan datang dan menerkamnya.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Bahkan seorang prajurit muda berkata, “Jika diperintahkan, aku akan menunggui pedati itu. Jika ternyata ada seekor harimau yang datang, aku akan membunuhnya dan mengambil kulitnya.”

“Baiklah.” berkata perwira muda yg memimpin sekelompok prajurit itu, “Tetapi kau tidak boleh meninggalkan pedati ini sama sekali.”

Demikianlah maka empat orang prajurit telah mendapat perintah untuk menunggui pedati itu. Sedang yang lain akan berkuda memasuki hutan itu sampai ke sebuah lapangan kecil di dalam hutan itu.

“Mereka yang menunggui harimau itu tentu sudah menjadi jemu. Lebih jemu daripada kita yang berjalan mengikuti pedati yang merayap ini.” berkata Lembu Ampal kemudian.

Dalam pada itu, Empu Senggadaru memang sudah mulai gelisah menunggu. Tetapi ia masih menyabarkan dirinya. Sekali-sekali ia mendengar harimau yang terikat itu mengaum sambil meronta. Namun harimau itu seolah-olah menjadi putus asa, dan berdiam diri meskipun masih terdengar geramnya yang penuh kemarahan.

Dalam kesempatan itu, setiap kali Empu Baladatu mencoba menjajagi perasaan kakaknya, bagaimanakah sikapnya terhadap kedua anak muda yang sedang memegang pemerintah itu. Tetapi setiap kali ia menjadi kecewa, karena menilik pengamatannya, Empu Sanggadaru terlalu mengagumi kedua anak-anak muda itu. Bukan saja kemampuan dan ilmunya, tetapi juga sikap dan wataknya.

Sambil merenungi harimau loreng yang masih hidup dan terikat keempat kakinya erat-erat dengan janget itu, Empu Sanggadaru berkata, “Jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada seorang anak muda yang sebaya dengan Tuanku Ranggawuni, yang mampu melakukannya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Bagaimana dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan?”

“Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam?” bertanya Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu mengangguk, meskipun terasa getar yang keras mengguncang dadanya.

“Aku tidak tahu pasti tentang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Tetapi menurut pendengaranku, ia adalah anak muda yang luar biasa pula. Menilik bahwa ia adalah anak Mahendra, maka aku kira ia memang mempunyai kelebihan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu ia pun kemudian bertanya dengan ragu-ragu pula, “Kakang apakah kesetiaan rakyat Singasari terhadap kedua anak-anak muda itu cukup mantap?”

“Ya. Aku kira cukup mantap. Tidak ada alasan untuk menolak keduanya. Mereka adalah keturunan Ken Dedes, meskipun dari jalur suami yang berbeda.”

“Apakah pedengaran kakang benar, bahwa Ranggawuni adalah keturunan Tunggul Ametung. sedang Mahisa Cempaka adalah keturunan Ken Arok.”

“Tentu tidak ada orang yang tahu, apakah memang demikian? Tidak seorangpun yang dapat membantah atau membenarkan, bahwa semasa Ken Dedes masih menjadi isteri Akuwu Tunggul Ametung ia memang sudah berhubungan dengan Ken Arok yang waktu itu merupakan salah seorang hamba istana yang paling dekat dengan Akuwu dan Permaisurinya itu. Tetapi keadaan lahiriahnya menunjukkan bahwa saat Ken Dedes kawin dengan Ken Arok yang telah menguasai keadaan itu sedang mengandung. Ketika bayi itu lahir, maka setiap orang menganggapnya bahwa bayi itu adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bagaimanakah tanggapan kakang terhadap beberapa pendapat, bahwa kedua anak muda itu masih terlampau dungu untuk memegang tampuk pemerintahan, sehingga sebenarnya yang memerintah sekarang adalah orang lain sama sekali. Ia adalah Mahisa Agni, saudara angkat Ken Dedes itu.”

Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, ”Itu adalah wajar sekali. Anak-anak muda itu memerlukan seorang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan cukup. Mahisa Agni adalah seorang tua yang memenuhi syarat itu.”

“Tetapi kakang, bukanlah dengan demikian Mahisa Agni akan dapat berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri saja.”

Empu Sanggadaru tersenyum pula. Katanya, “Seandainya demikian, itupun wajar. Tetapi berapa besar perbandingan yang dapat kita lihat. Usaha yang nampak pada Mahisa Agni sampai sekarang adalah usaha yang sama sekali tidak menyinggung rasa keadilan bagi rakyat Singasari. Meskipun nampak jelas pengaruhnya pada kedua anak-anak muda itu, namun yang dilakukan adalah suatu usaha yang justru membuat Singasari bertambah besar.”

“Apakah itu bukan berarti menarik segala perhatian rakyat ke arahnya, bukan ke arah kedua anak-anak muda yang seharusnya memegang pemerintahan itu?“

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Bahkan iapun kemudian bertanya, “Kenapa kau bertanya demikian Baladatu? Apakah kau merasa, atau mendengar atau melihat sikap seperti itu? Menurut pendapatku, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang demikian. Bahkan orang tua yang bernama Mahisa Agni itu jarang sekali menampakkan dirinya di hadapan rakyat Singasari dengan menengadahkan dadanya, la tetap seorang yang rendah hati dan selalu mengingat akan asalnya. Ia selalu merasa bahwa sebenarnya ia adalah seorang anak padepokan terpencil. Padepokan kecil, sehingga ia tidak terpisah dari lapisan yang telah melahirkannya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia agaknya tidak mempunyai kesempatan untuk melihat kekurangan pada keluarga Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan orang-orang di sekitarnya. Namun demikian ia masih belum berputus asa. la masih akan tetap mencari kelemahan pada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dari segala segi.

Tetapi dalam pada itu. Empu Sanggadaru berkata, “Baladatu. Akupun sudah termasuk orang tua. Aku mengenal beberapa orang yang memerintah di Singasari, bahkan sejak jaman Tumapel. Tidak ada seorang pun yang berhasil memerintah dengan lunak tetapi mantap seperti kedua anak-anak muda ini. Tunggul Ametung adalah seorang Akuwu yang besar, tetapi ia lebih senang mementingkan kesenangan pribadi. Ken Arok adalah seorang yang berusaha untuk mempersatukan daerah yang luas sehingga Singasari menjadi kuat. Tetapi ia telah mengorbankan beberapa ribu jiwa untuk mencapai maksudnya itu. Ia menyiram tanamannya dengan darah meskipun tanamannya menjadi subur. Setelah itu, maka bertahtalah seorang Maharaja yang terlalu baik hati. Kelemahan Anusapati terletak pada kelemahan hatinya itu. Meskipun ia tahu bahwa adiknya, Tohjaya siap membalas dendam, namun ia sendirilah yang justru memberikan kesempatan untuk melakukannya. Perasaan bersalah dan rendah diri selalu mencengkamnya, sehingga ia tidak mampu menjadi besar. Yang terakhir sebelum kedua anak-anak muda ini adalah tuanku Tohjaya. Seorang anak muda yang keras hati, garang dan terlampau dikuasai oleh nafsunya. Ibundanyalah sumber dari kehancurannya itu.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia tidak mempunyai harapan lagi untuk memancing kakaknya, agar ia bersedia berdiri di pihaknya, atau setidak-tidaknya membantunya. Bahkan Empu Baladatu menjadi semakin berdebar-debar ketika kakaknya berkata,

“Baladatu. Aku kira pemerintahan kedua anak muda sekarang ini adalah pemerintahan yang paling mantap. Tidak ada alasan dari seorang pun di antara rakyat Singasari untuk tidak merasa puas atas pemerintahan yang dipimpinnya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Betapun perasaan kecewa menggelepar di dalam dadanya. Namun demikian, Empu Baladatu tidak dapat melupakan kinginannya untuk mencapai sesuatu. Ketika ia sempat melihat ke dalam hatinya, sebenarnyalah bahwa yang mendorongnya untuk melawan pimpinan tertinggi di Singasari bukanlah karena perasaan kecewa atas pemerintahan itu sendiri. Tetapi semata-mata didorong oleh nafsunya untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya paling berharga di muka bumi.

“Maharaja adalah jabatan yang paling utama Kebahagiaan tertinggi bagi seseorang adalah apabila ia dapat menjadi seorang raja yang besar dan memerintah daerah yang luas.“ berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Dan ternyata bahwa Empu Baladalu tidak berpikir terlalu sederhana. lapun mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapinya dalam ushanya memenuhi nafsu yang bergejolak di dalam hatinya. Ia juga mempertimbangkan hati rakyat Singasari dan memperhitungkan kekuatan yang dapat dihimpunnya.

Karena itulah, maka ia mulai dengan membangun kekuatan yang dianggapnya akan dapat menjadi kekuatan yang tidak terlawan. Tetapi sebelum ia berhasil, maka rasa-rasanya, awan yang gelap telah mengalir di atas perguruannya. Hadirnya nama-nama Mahasa Bungalan dan Linggadadi membuatnya menjadi suram.

“Aku harus mencari cara lain.” berkata Empu Baladatu. Dan iapun telah memikirkannya.

“Yang mula-mula harus aku lakukan adalah membinasakan keduanya. Jika aku dapat membujuk kakang Empu Sanggadaru untuk memusuhi keduanya, maka aku akan dapat meneruskan usahaku, merintis jalan ke Singgasana. Meskipun mungkin masih memerlukan waktu yang lama.”

Dalam pada itu, kejemuan benar-benar sudah hampir tidak teratasi lagi oleh Empu Sanggadaru. Rasanya tangannya sudah menjadi gatal, ia tidak biasa duduk termenung, apalagi dalam pakaian seorang pemburu. Meskipun ia dapat bersabar menunggu buruannya di dekat mata air, tetapi ia seolah-olah telah kehilangan kesabarannya itu, untuk menunggui seekor harimau yang masih hidup tetapi terikat keempat kakinya erat-erat.

Setiap kali ia memandangi adiknya, dilihatnya adiknya sedang termenung, memandang gerak dedaunan yang gelisah disentuh angin yang lembut. Namun dalam pada itu, selagi mereka merenungi kejemuan mereka, tetapi karena mereka sedang menjalani tugas yang dibebankan oleh kedua pemimpin tertinggi di Singasari meskipun tidak dalam kedudukannya, sehingga mereka tidak berani meninggalkannya, terasa sesuatu yang agak lain telah menyentuh firasat. Terutama Empu Sanggadaru.

Karena itulah maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah. Diluar sadarnya ia bangkit dan berjalan hilir mudik di antara kedua ekor harimau yang mereka dapatkan dalam perburuan itu. Yang seekor telah mati, sedang yang lain masih hidup meskipun terikat erat-erat.

“Kakang nampaknya gelisah sekali.” tiba-tiba Empu Baladatu bergumam.

“Aku menjadi jemu. Tetapi lebih dari itu, terasa ada sesuatu yang lain. Rasa-rasanya angin bertiup semakin gatal di kulit.”

“Apakah pakaian macanmu itulah yang gatal kakang?”

Empu Sanggadaru masih mengerutkan keningnya, ia masih sempat tersenyum sambil menjawab, “Tentu bukan. Tetapi mungkin pula karena sudah terlalu lama tidak aku pergunakan. Tetapi lebih dari itu, aku menjadi gelisah bukan saja karena kejemuan ini.”

“Apakah kira-kira ada sesuatu yang menyebabkan kakang gelisah? Mungkin kakang masih meninggalkan kuwajiban yang harus kakang lakukan? Atau barangkali karena kakang merasa bahwa sudah waktunya memasuki hutan yang lebat ini lebih dalam lagi“

“Tidak. Bukan itu. Tetapi memang ada persoalan yang belum selesai.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu, “Maksudmu?”

Empu Sanggadaru memandang adiknya sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku minta maaf kepadamu Baladatu. Justru pada saat kau berada di tempat ini. Kegelisahan ini mungkin hanyalah sekedar karena hatiku yang kecut.”

“Apakah sehenarnya yang telah terjadi?”

“Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang akan terjadi. Dan untung pulalah bahwa kedua anak-anak muda, pemimpin tertinggi dari pemerintahan di Singasari itu sudah kembali.”

“Aku tidak mengerti.”

Sekali lagi Empu Sanggadaru menarik nafas dalam sekali. Lalu, “Setiap orang dapat saja tergelincir dalam sikap dan perbuatan yang tidak dikehendakinya sendiri. Dan aku sudah melakukannya.”

”Apa yang sudah kau lakukan?” bertanya adiknya.

”Sikap permusuhan. Benar-benar tidak aku kehendaki. Tetapi itu sudah terjadi.”

Empu Baladatu telah menjadi gelisah pula. Meskipun ia tidak mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi dengan kakaknya, namun iapun dapat menduga, bahwa agaknya sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.

“Baladatu.” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “Tanganku telah terlanjur melakukan tindak kekerasan ketika sekelompok orang-orang yang tidak aku kenal lewat di sebelah padepokan.”

”Apa yang telah terjadi?”

“Empat orang singgah di padepokan. Aku mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang memerlukan persinggahan. Dan aku telah memberikannya. Tetapi ternyata mereka bukannya orang yang berhati bersih.”

“Apakah mereka telah mencuri?”

“Tidak.” Empu Sanggadaru mengeleng, “Aku kira mereka tidak menyadari bahwa mereka berada di dalam sebuah perguruan. Yang nampak pada mereka adalah sebuah padepokan dan hasil buruan itu. Itulah sebabnya, sejak mereka memasuki padepokanku sikapnya benar-benar memuakkan. Meskipun demikian kepada mereka kami berikan tempat untuk bermalam.“ Empu Sanggadaru berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sayang, bahwa salah seorang dari mereka menjumpai seorang endang kecil dari padepokan sedang mengambil air di sumur. Ternyata bahwa gadis itu sangat menarik perhatiannya. Bahkan ternyata kemudian, ia tidak dapat menahan untuk menyapanya. Pembicaraan yang pendek dan keramah-tamahan gadis itu membuat laki-laki itu kehilangan nalar, sehingga ia berusaha untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan peradaban manusia. Ketika gadis yang ramah itu menjerit, beberapa orang berlari-larian medatanginya. Dan yang terjadi kemudian, benar-benar tidak dapat dicegah lagi. Keempat orang itu menganggap para cantrik di padepokanku adalah tikus kecil yang hanya mengenal cangkul dan batang-batang jagung. Karena itulah, maka mereka sama sekali tidak minta maaf, bahkan menuntut agar gadis itu diserahkan kepada mereka. Itulah awal dari peristiwa yang sama sekali tidak aku kehendaki. Ketika aku datang ke tempat itu, karena aku berada di pategalan ketika seorang catrik berlari-lari mencariku, aku menjumpai dua sosok mayat dari keempat orang itu. Sedang yang dua lainnya berhasil melarikan diri. Baru pada mayat itu aku dapat mengenal bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang bersumber pada roh-roh jahat. Ilmu yang sering disebut ilmu hitam.”

Empu Baladatu terkejut mendengar keterangan itu. la sudah terlanjur menerima julukan dari orang-orang yang tidak senang kepadanya, bahwa ilmu yang disadapnya adalah ilmu hitam. Dan kini ada golongan lain yang juga menyedap ilmu yang disebut ilmu hitam itu.

Karena itulah maka dengan serta merta ia bertanya, “Kakang, apakah kakang mengenal ciri-ciri dari orang-orang yang kakang sebut berilmu hitam itu?”

“Aku pernah menjumpai sebelumnya Baladatu. Aku pernah melihat ciri seperti yang nampak pada kedua sosok mayal itu.”

“Apakah ciri itu kakang?”

“Aku melihat kepala serigala yang sedang menganga.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tentu yang dimaksud bukanlah satu atau dua orang anak muridnya, karena tidak seorang pun yang mengenakan ciri-ciri semacam itu. Jika ada orang yang mengenal ciri-cirinya tentu dilihat dari segi tata gerak dan sikapnya. Bukan pada lukisan apapun juga.

“Baladatu.” berkata, Empu Sanggadaru kemudian, “Dua kali aku telah berbenturan dengan mereka. Yang pertama di perjalanan. Dan yang kedua adalah di padepokanku. Aku menduga bahwa dua peristiwa itu sudah cukup alasan bagi mereka untuk melepaskan dendamnya kepadaku.”

“Apakah kira-kira mereka akan menyerang padepokanmu kakang? sehingga kau berniat untuk segera pulang?”

“Aku mendapat firasat buruk. Tetapi aku tidak tahu, apa yang akan terjadi?”

Keduanya pun .kemudian terdiam sejenak. Angan-angan masing-masing melambung ke dalam kegelisahan. Bahkan kemudian Empu Sanggadarupun berkata, “Baladatu, beritahulah kepada kedua pengawalmu, agar mereka berhati-hati. Akupun akan memperingatkan kedua cantrikku pula.”

Empu Baladatu mengangguk. Jawabnya, “Baik kakang. Tetapi apakah menurut kakang ada kemungkinan, mereka akan datang kemari?“

“Aku adalah seorang pemburu, Baladatu. Hidungku sudah terbiasa dapat membedakan bau angin yang bertiup. Dan aku mencium bau yang lain dari bau hutan ini.”

“Ah, tentu orang-orang Singasari yang datang untuk mengambil harimau itu.”

Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, “Bukan. Aku dapat membedakannya.”

“Baiklah.” Empu Baladatu mengangguk sambil berdiri. “Aku akan memanggil kedua peugawalku.”

“Dan kedua cantrik itu sekaligus.“

Empu Baladatu termangu-mangu. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan memanggilnya kemari. Kakang sajalah yang memberitahukan kepada mereka, apa yang akan terjadi.”

Empu Sanggadaru tidak menjawab. Dipandanginya saja adiknya yang melangkah mendekati pengawal-pengawalnya yang sedang beristirahat. Kemudian dua orang cantrik yang sedang berbaring beberapa langkah dari kedua pengawal itu. Sejenak kemudian, maka mereka pun datang mendekat Empu Sanggadaru yang termangu-mangu.

Empu Baladatu pun kemudian duduk pula di sebelah kakaknya yang nampak gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena ia menunggu penjelasan yang akan diberikan oleh kakaknya itu.

“Apakah kalian ingat peristiwa yang telah terjadi di padepokan kita menjelang kedatangan Empu Baladatu?” bertanya Empu Sanggadaru kepada kedua cantriknya.

Kedua cantrik itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, aku ingat Empu. Pembunuhan yang sama sekali terjadi tanpa kami sengaja. Peristiwa itu demikian cepat berlangsung, sehingga ketika kesadaran kami timbul sepenuhnya, kami sudah melihat mayat-mayat yang terkapar.”

“Aku tidak menyalahkan kalian.“ desis Empu Sanggadaru, “Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang adalah akibat dari peristiwa itu.”

“Dendam.”

“Ya. Agaknya mereka akan datang untuk membalas dendam. Aku tidak tahu pasti, apakah mereka akan melakukannya di sini atau di padepokan.”

Kedua cantrik itu termangu-mangu.

“Baladatu.” berkata Empu Sanggadaru, “Peristiwa inilah yang membuat kita terlampau berhati-hati. Ketika kau datang, kau disambut dengan penuh kecurigaan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang kehadirannya di padepokan kakaknya terasa sekali, betapa padepokan itu diselubungi oleh suatu rahasia. Dan kini ia mengetahui, salah satu sebab kenapa seisi padepokan itu menjadi sangat berhati-hati.

“Empu.” berkata salah seorang cantriknya, “Jika demikian, apakah tidak sebaiknya kita segera kembali ke padepokan. Jika mereka menemukan padepokan itu kosong, maka mereka akan berbuat apa saja tanpa dapat dikendalikan.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita tidak perlu kembali ke padepokan. He, Baladatu. Apakah kau masih mengira bahwa yang datang itu orang-orang dari Singasari.”

Mata Empu Baladatu tiba-tiba saja terbelalak. Telinganya memang mendengar sesuatu, dan matanya melihat daun yang bergerak-gerak, tetapi tidak oleh angin. “Kau benar kakang.” jawabnya.

Tetapi Empu Sanggadru masih duduk dengari tenangnya. Katanya, “Mereka tidak usah kita sambut di padepokan. Agaknya mereka memang tidak sabar menunggu kehadiran kita dari perburuan.”

“Maksud Empu.“ desis salah seorang cantriknya.

“Perhatikanlah keadaan di sekitarmu. Mungkin kau akan segera mengetahui.”

Cantrik itu termangu-mangu. Demikian juga kedua pengawal Empu Baladatu. Namun mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki. Sejenak kemudian seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang meloncat dari dalam semak-semak. Kedua cantrik dan kedua pengawal Empu Baladatu terkejut. Mereka bergeser setapak. Namun kemudian mereka pun berloncatan pula sambil meraba hulu senjata masing-masing.

Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru masih tetap duduk di tempatnya. Mereka sama sekali tidak terkejut, karena mereka sudah mendengar dan melihat dedaunan yang bergerak. Namun demikian, dada mereka bergejolak ketika mereka melihat di sekitarnya beberapa orang yang berloncatan pula. Jumlahnya terlalu banyak dari dugaan mereka.

“Siapa di antara kalian yang bernama Sanggadaru.” geram orang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.

Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu berdiri sambil memandang berkeliling.

“Lima belas orang. Aku hanya membawa lima belas orang. Tetapi lima belas orang ini akan cukup membinasakan kalian semuanya, dan orang-orang di padepokanmu.”

Empu Sanggadaru maju selangkah. Jawabnya, “Akulah yang bernama Sanggadaru.”

“Aku sudah menyangka. Kau yang mengenakan pakaian aneh-aneh itulah yang bernama Sanggadaru, yang merasa dirinya jantan tanpa tanding.”

“Aku kurang mengerti. Tetapi menilik ciri gambar pada pergelangan tanganmu itu. aku sudah menduga, apakah yang telah mendorongmu mencari aku.”

“Kau benar-benar seorang yang jantan. Kau benar. Aku memang ingin menuntut balas. Kematian kedua muridku membuat perguruanku goncang.”

“Kau sudah datang ke padepokanku?”

“Ya.”

“Kau sudah membakar padepokan itu dan membunuh semua isinya.”

“Belum. Aku mendengar dari cantrik-cantrikmu yang menggigil ketakutan, bahwa kau sedang pergi berburu. Aku bukan pengecut. Aku sengaja mencarimu. Jika aku sudah membunuhmu, maka padepokanmu akan aku kuasai dengan seluruh isinya. juga gadis yang menumbuhkan persoalan itu. Bahkan semua perempuan yang ada.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya beberapa orang yang berdiri tegak di sebelah menyebelah orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.

“Mereka adalah orang-orang kepercayaanku.” kata orang bertubuh tinggi itu, “Meskipun jumlah kami hanya lima belas, tetapi kami dapat meratakan hutan ini.”

“Siapakah namamu Ki Sanak.“ bertanya Empu Sanggadaru tiba-tiba.

Orang itu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang Empu Baladatu. Dua orang cantrik dan dua orang pengawal. Baru kemudian ia berkata, “Tidak ada gunanya kau bertanya tentang namaku. Juga nama orang-orangku. Yang penting, kami adalah orang-orang yang tidak dapat dihina dengan cara apapun juga. Kami adalah orang-orang dari Perguruan Serigala Putih.”

“O.” desis Empu Sanggadaru “Ciri serigala itu menunjukkan siapakah kalian. Kalian adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam. Tetapi bahwa kau menyebut perguruamnu dengan nama serigala putih adalah sangat mengejutkan.”

Pemimpin perguruan serigala putih itu tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Kenapa kau persoalkan nama yang telah kami pilih. Serigala Putih. Bagus selagi. Meskipun orang lain menyebut kami berilmu hitam.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. “Memang tidak ada hubungan antara nama dan landasan ilmumu itu. Kau dapat memilih nama yang paling bagus sekali pun Menur putih misalnya. Atau barangkali nama sejenis burung yang paling indah.”

“Cukup.” bentak pemimipin Serigala Putih itu, ”Jangan mencoba bergurau untuk melunakkan hatiku. Sekarang aku akan menuntut tanggung jawabmu atas kematian orang-orangku di padepokanmu.”

“Baiklah.” Empu Sanggadaru menarik nafas, “Tetapi apakah kau sudah mengetahui sebab-sebabnya?“

“Orang-orangku sudah mengatakan kepadaku.”

“Apakah mereka berkata dengan jujur?”

“Orang-orangku adalah orang-orang yang jujur. Mereka mengatakan kepadaku, bahwa orang-orangmu marah karena orang-orangku yang kebetulan bermalam di padepokanmu menginginkan seorang gadis. Hanya seorang gadis yang tidak berarti. Tetapi kau membunuh orang-orangku. Orang laki-laki.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ya. Orang-orangmu ternyata jujur. Orang-orangmu ingin merampas seorang gadis. Dan itu menumhuhkan kemarahan pada kami.”

“Itu adalah alasan yang gila. Seharusnya kalian membiarkan gadis itu. Apalagi berakibat jatuhnya korban. Dan korban itu adalah laki-laki.”

“Aku tidak mengerti.” desis Empu Sanggadaru.

“Itulah kebodohanmu. Bagi kami. perempuan tidak ada harganya. Setiap perempuan yang masih belum dimiliki oleh siapapun juga, ia tidak berhak menolak keinginan seorang laki-laki atasnya. Perempuan bagi kami adalah beban. Jika mereka bukannya lantaran untuk melahirkan keturunan, maka mereka tentu akan kami musnahkan.”

Terasa sesuatu bergejolak di dalam dada Empu Sanggadaru. Sekilas ia memandang wajah Empu Baladatu yang berkerut. Ternyata Empu Baladatu pun menjadi heran. Bahkan hampir diluar sadarnya ia bertanya “Jadi, kalian benar-benar tidak menghargai perempuan?”

“Ilmu kami adalah ilmu yang paling baik di seluruh muka bumi. Bagi kami, perempuan adalah mahluk yang sama sekali tidak berharga. Tetapi meskipun demikian, kami memerlukannya, karena kami menginginkan anak. Terutama anak laki-laki, meskipun kami memelihara anak-anak perempuan pula.”

“Jadi, harga seorang perempuan tidak lebih dan tidak kurang dari yang kau katakan?”

“Masih ada nilai yang lain. Kadang-kadang kami memerlukan perempuan seperti yang terjadi pada orang-orangku yang kalian bunuh itu.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sebabnya, maka kalian disebut berilmu hitam. Tentu kalian pernah pula pada suatu kali mengorbankan seorang gadis untuk ilmumu yang sesat itu.”

“Darimana kau mengetahuinya?“ berkata pemimpin serigala putih itu.

“Aku pernah mendengar ilmu seperti yang kau anut sekarang. Tetapi masih ada jenis ilmu hitam yang lain. Ilmu yang mempergunakan titik darah seseorang bagi kekuatan tenaga yang terlontar dari ilmu itu. Dan sudah tentu, bahwa keduanya adalah ilmu yang biadab.”

Dada Empu Baladatu tergetar mendengar kata-kata kakaknya itu. la sadar, bahwa kakaknya banyak mengetahui tentang ilmu yang disebut ilmu hitam yang ternyata ada beberapa macam jenis dan cara penyadapannya.

Namun demikian, Empu Baladatu masih berusaha menyimpan gejolak perasaanya di dalam hatinya. Bahkan ia masih bertanya, "Ki Sanak. Seandainya kalian tidak menghargai perempuan, itu adalah tata cara di dalam lingkunganmu. Tetapi kau tidak dapat menerapkan adat itu pada orang lain yang memiliki tata cara dan adat yang berbeda.”

“Itu adalah perbuatan pengecut. Kau sangka bahwa aku merasa wajib menghargai tata cara dan adat orang lain. Ternyata kalian telah terperosok ke dalam kebodohan. Kalian menganggap bahwa kematian itu merupakan peringatan yang membuat kami jera. Tidak. Kami justru datang untuk menguasai kalian, padepokan kalian dan semua perempuan di dalamnya. Dan kalian tahu, apa gunanya kami masih juga memelihara perempuan-perempuan, seperti kami memelihara ternak, agar jenis manusia seperti juga jenis bermacam-macam binatang tidak punah karenanya.”

“Itu pikiran gila.” geram Empu Baladatu, “Mungkin aku juga termasuk orang liar seperti kalian, tetapi aku masih menghargai jenis manusia, apakah ia perempuan apakah laki-laki seperti kami masih merasa memerlukan kawan dari orang-orang yang harus memelihara anak keturunan kami.”

“Jangan mengigau. Aku tidak peduli anggapan orang-orangku. Karena yang bertanggung jawab adalah Sanggadaru, maka aku akan membunuhnya sekarang.”

Empu Sanggadaru menarik nafas. Dalam sekali. Sekilas dipandanginya Empu Baladatu dan kedua pengawalnya. Katanya kemudian, “Baladatu. Kau adalah tamu di sini. Kau seharusnya tidak terlibat dalam kesulitan semacam ini. Karena itu, jika kau merasa bahwa kau tidak ikut bertanggung jawab, tinggalkan tempat ini, Mudah-mudahan orang-orang berilmu hitam itu cukup jantan dengan membiarkan orang-orang yang tidak bersalah menyingkir.”

Tetapi Empu Baladatu bukanya seorang penakut meskipun ia cukup licik. Orang-orangnya pun pernah melakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang disebut kakaknya berilmu hitam itu. Bahkan ia sendiri pernah melakukan kebiadaban yang barangkali senada. Namun kini, ia merasa dirinya terikat pada jalur darah keturunan. Empu Sanggadaru adalah kakaknya, sehingga ia tentu tidak akan dapat membiarkannya terjerumus dalam kesulitan justru di depan hidungnya.

Karena itu, maka menjawab, “Kakang, aku sudah berada di sini. Aku kira, yang paling baik aku lakukan adalah bersamamu melawan orang-orang itu. Aku tidak menghiraukan apakah mereka benar atau salah. Tetapi yang penting, ia sudah memusuhi orang yang di sini bersamaku dalam perburuan ini. TerIebih lagi ia adalah kakakku.”

“Persetan “ geram pemimpin dari kelompok yang menyebut diri mereka Serigala Putih, “Aku akan membunuh kalian. Seandainya kau akan laripun tidak akan aku berijalan. Kalian, siapapun juga, harus mati di sini. Dan aku akan kembali ke padadepokanmu sambil.membawa kepalamu. Dengan demikian seisi padepokan itu akan menyerah dan menjadi orang-orangku. Mereka tentu tidak akan dapat mencegah lagi, apapun yang akan kami lakukan terhadap perempuan-perempuan di padepokan itu.”

Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Katanya, “Baiklah Ki Sinak. Sebenarnyalah bahwa kami pun bukan orang alim yang lembut. Kami juga orang liar dan mungkin juga biadab. Karena itu, seperti yang dikatakan adikku, marilah, seperti seekor harimau yang bertemu dengan kawanan serigala. Tentu saja di antara kami tidak akan dapat dengan lemah lembut mempersilahkan pihak lain menggigit leher, atau menyobek perut.”

Orang-orang dari kelompok Serigala Putih itu menjadi tegang. Dengan satu isyarat mereka pun kemudian menebar, lima belas orang dengan senjata telanjang di tangan.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya ketika terpandang olehnya seekor harimau hidup yang terikat. Harimau itu adalah milik Maharaja Singasari. Jika ia terbunuh, tidak mustahil harimau itupun akan dirampas pula oleh orang-orang yang mengaku diri bernama Serigala Putih. Sejenak kemudian, maka kelima belas orang berilmu hitam itu tiba-tiba telah melingkari keenam orang yg sedang menunggui dua ekor harimau hasil buruan itu.

Empu Baladatu menjadi bedebar-debar melihat sikap itu. Sepercik pertanyaan telah melonjak di dalam hatinya. “Apakah orang yang menyebut Serigala Putih itu juga mempergunakan ilmu yang serupa?“

Sejenak Empu Baladatu masih menunggu. Namun tangannya telah menggenggam sebatang tombak pendek. Dengan sengaja ia tidak mempergunakan pisau belatinya, agar ia tidak terjerat ke dalam tindakan yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai orang berilmu hitam pula. Kedua pengawal Empu Baladatu telah menggenggam pedangnya. Dengan isyarat kedua pengawalnya menyadari, bahwa mereka tidak langsung masuk ke dalam ilmu mereka yang paling mantap.

Sementara itu Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya telah bersiap pula. Mereka berdiri berdekatan. Agaknya cara itu adalah cara yang paling baik untuk melawan jumlah yang jauh lebih banyak.

“Jika kalian menyerah.” berkata pemimpin Serigala Putih itu, ”Mungkin aku masih mempunyai beberapa pertimbangan. Yang harus mati adalah Sanggadaru. Yang lain mungkin masih akan dapat melihat matahari terbit esok pagi.”

Tidak ada yang menjawab. Empu Baladatu berdiri tegak bagaikan patung dengan tombak bertangkai pendek di tangannya. Namun setiap kali diluar sadarnya, ia masih juga meraba pisau belati panjangnya.

Sejenak ketegangan telah mencengkam tempat itu. Orang-orang berilmu hitam dari kelompok Serigala Putih itu telah siap dengan senjata masing-masing. Ternyata senjata mereka bukanlah pisau-pisau belati pendek atau panjang atau pisau belati rangkap, tetapi sebagian besar dari mereka adalah bersenjata pedang. Pemimpinnya memegang senjata yang agak lain, sebuah bindi yang bergerigi. Sedangkan seorang yang lain, memegang sebilah keris yang besar dan panjang, seperti sebilah pedang.

Pemimpin Serigala Putih itu kemudian melekatkan jari-jarinya di mulutnya. Ketika terdengar mulut itu bersuit nyaring, maka mulailah kelima belas orang itu bergerak. Mereka melangkah maju dengan senjata yang teracu. Keenam orang yang berada di dalam lingkaran itu telah bersiap menghadapi kemungkinan. Senjata mereka bagaikan bergetar di tangan yang bergetar pula.

Sejenak kemudian, maka terdengar sebuah teriakan nyaring, bukan lagi sebuah suitan. Agaknya perintah itulah yang menentukan, kapan orang-orang Serigala Putih itu mulai berloncatan menyerang dengan dahsyatnya. Ternyata bukan senjata mereka sajalah yang bergerak menyambar, tetapi mulut mereka pun berteriak-teriak tidak keruan. Keras dan kasar.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya melihat sikap yang kasar dan keras itu. Tetapi ia tidak boleh membuat pertibangan-pertibangan terlalu banyak karena lawan-lawannya telah berloncatan menyerang dengdn garangnya.

Dengan hati-hati Empu Sanggadaru menempatkan dirinya dekat dengan kedua cantriknya. Mereka berdiri saling membelakangi. Beberapa langkah dari mereka Empu Baladatu telah mempersiapkan diri pula bersama kedua pengawalnya. Tetapi mereka pun bersikap lain dari Empu Sanggadaru. Mereka lebih senang bertempur di tempat yang luas, karena sudah menjadi kebiasaan mereka untuk mempergunakan tata gerak yang panjang meskipun untuk melayani lawannya kali ini, mereka tidak langsung berada di dalam sebuah lingkaran yang berputaran.

Ternyata orang-orang yang berilmu hitam yang tergabung di dalam kelompok yang disebut Serigala Putih itu tidak mempergunakan cara yang selama itu dipakai oleh Empu Baladatu, Mereka tidak bergerak dalam lingkaran yang berputaran.Tetapi mereka menyerang lawannya bersama-sama. Mereka telah membagi diri untuk menghadapi lawannya yang terpecah pula.

Pemimpin Serigala Putih itu bersama beberapa orang pengiringnya bersama-sama menyerang Empu Sanggadaru yang bertempur berpasangan dengan kedua cantriknya. Sementara itu beberapa orang yang lain telah menyerang Empu Baladatu dan kedua pengawalnya yang bertempur terpisah.

Dalam benturan pertama, sudah terasa, betapa Empu Sanggadaru mempunyai kekuatan yang tidak terduga oleh lawannya. Pemimpin Serigala Putih itu terkejut ketika senjatanya membentur senjata Empu Sanggadaru. Hampir saja senjatanya terlepas. Untunglah bahwa ia sempat meloncat surut dan memperbaiki keadaan, sementara beberapa orang-orangnya telah melindunginya.

Dengan demikian maka Empu Sanggadaru dapat menjajagi, bahwa meskipun lawannya berlipat jumlahnya, namun ia masih mempunyai kesempatan untuk keluar dari lingkaran maut itu. Dalam pada itu sekilas ia melihat adikmu yang sedang menghadapi tiga orang sekaligus. Dengan garangnya Empu Baladatu menangkis setiap serangan, dan bahkan kemudian ia pun menyerang dengan garangnya pula. Empu Sanggadaru menjadi agak tenang. Nampaknya adiknya tidak segera mengalami kesulitan.

“Mudah-mudahan kami mampu mempertahankan diri.” gumam Empu Sanggadaru di dalam hatinya.

Ternyata bahwa Empu Sanggadaru yang telah berhasil membunuh seekor harimau dengan tangannya itu benar-benar memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun masih nampak goresan-goresan luka di tubuhnya, yang sudah tidak mengalirkan darah lagi, namun itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Ia masih tetap lincah dan garang.

Namun dalam pada itu, kedua pengawal Empu Baladatu yang masing-masing harus bertempur melawan dua orang, ternyata pada permulaan perkelahian itu sudah nampak, bahwa mereka akan segera menemui kesulitan, justru karena mereka bertempur dengan cara yang tidak biasa mereka lakukan.

“Bertahanlah dengan caramu itu.” teriak Empu Baladatu.

Kedua pengawalnya tidak menyahut. Tetapi mereka terdesak mundur. Empu Baladatu yang kemudian mempergunakan setiap kesempatan untuk menolong kedua pengawalnya. Ia bertempur seperti seekor burung. Meskipun ia tidak berlari-lari melingkari lawannya, namun ia mempergunakan ruang yang luas untuk mengatasi kesulitannya.

Sikapnya memberikan contoh kepada kedua pengawalnya. Seperti Empu Baladatu, maka mereka pun mempergunakan cara yang serupa. Meskipun mereka tidak dapat melingkari lawannya, namun gerakan yang panjang itu rasa-rasanya telah memberikan nafas kepada mereka. Loncatan-loncatan yang jauh, dan sekali-sekali tidak dapat menyembunyikan unsur gerakan melingkar, telah membuat lawannya harus menyesuaikan diri.

Itulah kemenangan mereka. Mereka sudah terbiasa berkelahi dengan gerakan dan tenaga yang banyak. Berlari-lari berputaran untuk waktu yang lama. Dan kini mereka pun tidak segera diganggu oleh pernafasan mereka yang terlatih ketika mereka bertempur sambil berloncatan, dan bahkan berlari-lari.

“Licik.” tiba-tiba salah seorang dari kelompok Serigala Putih itu berteriak karena lawannya selalu menghindar menjauhkan kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan loncatan yang panjang.

“Siapkah yang lebih licik.“ jawab salah seorang pengawal Empu Baladatu, “Kalian bertempur berpasangan. Jika aku hanya menghadapi seorang lawan, aku akan mempergunakan cara yang lain.”

Lawannya menggeram. Mereka mencoba untuk mengurung gerak pengawal Empu Baladatu. Tetapi mereka tidak berhasil karena pengawal-pengawa itu mampu bergerak jauh lebih lincah dan cepat. Selebihnya pernafasan mereka pun lebih terlatih untuk melakukan gerakan yang jauh lebih banyak lagi.

Sementara itu, lawan Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya telah membelah kelompoknya dan mengepung mereka bertiga. Delapan orang yang dipimpin langsung oleh pimpinan gerombolan orang berilmu hitam yang bernama Serigala Putih itu.

Namun nampaknya Empu Sanggadaru memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan melampaui pemimpin gerombolan Serigala Putih itu, sehingga karena itu, maka setiap serangannya tentu telah menyibakkan lawan-lawannya.

Tetapi lawan terlalu banyak. Sebanyak yang menyibak, maka sebanyak itu pulalah yang datang menyerang, sehingga Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya harus bertempur mati-matian. Namun betapun mereka mengerahkan tenaganya, tetapi mereka tidak banyak dapat bernafas. Mereka bahkan kemudian hampir-hampir tidak sempat menyerang sama sekali. Yang dapat mereka lakukan adalah sekedar mempertahankan diri.

Meskipun demikian, Empu Sanggadaru masih berusaha. untuk melihat kelemahan kepungan lawannya. Jika dengan serta merta Empu Sanggadaru menyerang dinding kepungan yang hanya selapis itu. ia masih melihat kemungkinan untuk keluar. Tetapi ia tidak mau meninggalkan kedua cantriknya didalam kesulitan. Karena itulah, sebelum menemukan suatu cara yang paling baik untuk mematahkan kepungan itu, maka Empu Sanggadaru masih membatasi diri, sekedar bersama-sama dengan kedua cantriknya untuk bertahan.

Dalam pada itu, Empu Baladatu ternyata dapat lebih leluasa melakukan perlawan meskipun lebih banyak berloncatan dan berputar-putar. Bahkan dengan sengaja ia membuat lawan-lawannya menjadi semakin marah karena Empu Baladatu dan kedua pengawalnya telah membuat pepohonan menjadi perisai dan perlindungan. Mereka berlari-lari berputaran mengelilingi pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitarnya.

“Licik, gila.” teriak salah seorang lawannya, “Kenapa kau tidak bersikap jantan? Kemarilah. Kita bertempur di tempat yang lapang dan terbuka.”

“Jika kalian berjanji untuk berkelahi seorang melawan seorang, aku tidak berkeberatan. Aku akan melawan tiga orang berurutan, tidak sekaligus. Dan aku akan membunuh tiga orang itu pula berurutan.“ jawab Empu Baladatu.

“Persetan.” geram lawannya.

Dengan demikian, maka Empu Baladatu masih saja bertempur di antara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali ia berlari-larian di antara pepohonan, namun tiba-tiba ia meloncat menyerang dengan tiba-tiba. Bahkan tanpa dapat menghindarkan diri dari pengaruh ilmunya yang sebenarnya, kadang-kadang Baladatu pun berlari berputaran.

Demikian pula kedua pengawalnya. Mereka pun bertempur dengan cara yang sama. Tetapi karena mereka tidak memiliki ilmu semantap Empu Baladatu, maka mereka lebih banyak berlari-lari menghindar daripada menyerang. Namun demikian kadang-kadang mereka pun dapat menyerang dengan tiba-tiba dan membahayakan lawannya.

Empu Sanggadaru melihat cara bertempur adiknya dengan heran. Ia sama sekali tidak segera dapat melihat, ilmu yang manakah yang nampak pada adiknya itu. Ia mendapat ilmu dasar yang sama dengan Baladatu. Namun dalam perkembangannya menjadi sangat jauh berbeda.

Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat menilai adiknya lebih lama lagi. Ia mengambil kesimpulan, bahwa yang dilakukan oleh Baladatu adalah semata-mata untuk mengatasi kesulitan sesaat yang datang tidak terduga-duga itu. Memang tidak terlalu mudah untuk melawan tiga orang sekaligus. Seperti yang dialaminya, bahwa ia harus melawan delapan orang bersama-sama dengan dua orang cantriknya itu.

Namun bagaimanapun juga, karena orang-orang Serigala Putih itupun memang sudah membekali dirinya dengan ilmu pula, ternyata bahwa lawan-lawan mereka akan sulit dapat bertahan terlalu lama. Empu Baladatu yang berlari-larian pun akhirnya harus mengakui kelebihan tiga orang lawannya bersama-sama. Mereka kemudian menemukan cara untuk memotong setiap gerakan Empu Baladatu. Sementara itu kedua pengawalnya pun mengalami kesulitan pula.

Seperti Empu Baladatu, Empu Sangadaru pun mengalami tekanan yang sangat berat. Semakin lama terasa semakin berat. Apalagi pimpinan Serigala Putih itu ada di antara mereka yang beramai-ramai mengepung Empu Sanggadaru.

Sorak dan teriakan masih saja mengumandang di hutan itu. orang-orang berilmu hitam itu agaknya dengan sengaja mempengaruhi jiwanya dengan suara-suara yang mengejutkan dan keras. Sangat keras. Namun agaknya teriakan-teriakan itu juga memberikan tekanan dan dorongan pada setiap gerak yang mereka lakukan.

Jika untuk beberapa lama, keenam orang itu masih dapat bertahan, itu adalah karena ternyata mereka memiliki ilmu yang lebih baik dari lawan-lawannya. Tetapi perbedaan jumlah ternyata telah sangat menentukan pula.

Ketika desakan lawannya menjadi semakin berat, maka rasa-rasanya ujung senjata mereka telah mulai menyentuh kulit. Dengan mengerahkan ilmu dan tenaga, keenam orang itu masih dapat menghindar dan menangkis setiap serangan. Tetapi mereka pun mulai dirayapi oleh pengakuan, bahwa mereka menjadi sangat lelah karenanya, sehingga dengan demikian, maka perlawanan mereka pun mulai surut.

Pemimpin Serigala Putih itu melihat, bahwa Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya tidak lagi segarang sesaat ketika mereka mulai dengan pertempuran itu. Meskipun kekuatan Empu Sanggadaru masih menggoncangkan hati lawan-lawannya, namun, terutama pada kedua orang cantriknya, rasa-rasanya perlawan sudah menjadi kendor.

“Kami hanya menunggu saat itu datang.“ berkata pemimpin Serigala Putih itu. “Kematian memang sudah membayang. Tetapi agaknya kalian ingin disebut jantan. Mati dengan senjata di tanganku.”

Empu Sanggadaru tidak menyahut. Ia memusatkan perhatiannya pada usaha untuk memecahkan kepungan. “Apakah aku sendiri harus keluar dari kepungan itu dan membantu kedua cantrik itu dari luar lingkaran?” pertanyaan itu mulai menggelitik hatinya.

Tetapi Empu Sanggadaru tidak sampai hati meninggalkan kedua cantriknya yang setia itu. Jika ia terlambat, maka keduanya tidak akan tertolong lagi karena tekanan lawan seolah-olah sudah tidak terbendung lagi.

Demikian pula keadaan Empu Baladatu. Bagi Empu Baladatu sendiri, meskipun ia harus melawan tiga orang tetapi ia masih melihat kemungkinan baginya menyelamatkan diri di sela-sela pepohonan, meskipun seandainya ia harus melarikan diri. Tetapi kedua orang pengawalnya, benar-benar telah mengalami tekanan yang hampir tidak teratasi.

Yang kemudian terjadi adalah benar-benar mencemaskan. Seandainya pada saat yang dekat, Empu Baladatu dan Empu Sanggadam masih dapat bertahan, tetapi jika para pengawalnya dan cantriknya terbunuh, maka akan datang saatnya, keduanya pun akan terbunuh pula.

Tetapi Empu Sangggadaru tidak akan ingkar. Seandainya ia harus mati karena dendam yang menyala di hati lawan-lawannya itu, ia sudah ikhlas. Tetapi yang mendebarkan jantungnya justru akibat dari kematiannya. Orang-orangnya di padepokan tentu akan mengalami perlakukan yang sama sekali tidak diinginkan.

“Jika aku sempat mengumpulkan kekuatan di padepokan. maka tentu tidak akan dapat terjadi perlakuan serupa.“ desis Empu Sanggadaru di dalam hatinya. Tetapi yang terjadi sudah terlanjur terjadi. Ia tidak berada di antara anak buahnya.

“Adalah suatu kelengahan bahwa dalam keadaan yang gawat aku meniggalkan padepokanku.” ia melanjutkan di dalam hati, “Tetapi semata-mata karena keinginanku untuk mengantarkan adikku melihat isi hutan ini. Dan aku sama sekali tidak memperhitungkan bahwa hal itu akan terjadi saat ini, justru ketika aku sedang terpisah dari cantrik-cantrikku.”

Tetapi semuanya itu sekedar penyesalan yang tidak akan berarti apa-apa. Ia harus bertempur dan tanpa dapat lagi menghindari kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Namun dalam kesulitan itu, tiba-tiba semua pihak yang sedang bertempur terkejut ketika beberapa orang muncul dari balik gerumbulan-gerumbulan perdu di sekitar lapangan kecil yang menjadi arena perkelahian itu. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa yang datang itu adalah beberapa orang prajurit dalam pakaian keprajuritan.

“Apakah yang telah terjadi.” berkatanya seorang paling di antara mereka.

Empu Sanggadaru segera mengenal orang itu, meskipun ia berpakaian keprajuritan. Karena itu, ia pun menjawab, “Kami sedang menghadapi dendam yang membakar hati kelompok Serigala Putih. Sekelompok orang yang berilmu hitam.”

“He?” Lembu Ampal terkejut. Baru saja ia disangka oleh tiga orang yang tidak dikenalnya, sebagai orang-orang berilmu hitam. Dan kini ia benar-benar berhadapan dengan sekelompok orang yang disebut berilmu hitam.

Sejenak Lembu Ampal sempat mengamati pertempuran yang agaknya telah terganggu itu. Dengan kening yang berkerut ia berkata, “Aku sudah beberapa saat mengintip pertempuran ini dari balik gerumbul. Ketika aku mendekati tempat ini untuk mengambil harimau itu bersama beberapa orang prajurit, aku mendengar suara ribut. Orang-orang yang berteriak dan memaki-maki. Karena itulah, maka kami memutuskan untuk mendekati tempat ini dengan diam-diam. Dan sekarang, ternyata bahwa di tempat ini telah terjadi pertempuran.”

“Persetan.” geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu, “Jangan ganggu kami. Jika kalian ingin mengambil harimau itu, ambillah. Kami tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan kalian.”

“Mungkin. Tetapi kami mengenal Empu Sanggadaru. Karena itu, mau tidak mau, kami pun akan tersentuh juga oleh persoalan yang sedang terjadi sekarang ini.”

“Jika kau mengenalnya, itu bukan berarti bahwa kau telah terlibat dalam persoalannya. Sanggadaru telah membunuh beberapa orang dari padepokanku. Dan aku kini datang untuk menuntut balas.”

“Tetapi pembunuhan itu tidak terjadi dengan semena-mena.” sahut Empu Sanggadaru, “Orang-orangmu telah melanggar adab yang berlaku dalam pergaulan manusia.”

“Aku tidak mengakui peradaban orang lain, kecuali yang berlaku di dalam lingkungan kami. Karena itu, kami tidak dapat dipersalahkan. Apalagi dibunuh.”

Lembu Ampal yang mendengar keterangan itu, dapat mulai melihat meskipun samar, persoalan apakah yang sedang terjadi. Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Adalah kuwajiban kami untuk mencegah pertengkaran yang terjadi seperti sekarang ini. Karena itu, marilah kita selesaikan persoalan ini sebaik-baiknya.”

“Ia telah membunuh orang-orangku. Dan itu sudah terjadi. Penyelesaian yang paling baik bagiku adalah tebusan kematian dengan kematian.”

“Tetapi kematian itu tentu ada sebabnya. Jika sebabnya itu cukup besar, sehingga kematian itu tidak dapat dihindarkan, maka penilainya harus berbeda.“ jawab Lembu Ampal.

“Demikian juga kali ini. Jika terjadi pembantaian karena alasannya cukup kuat maka itupun tidak dapat dicegah dan harus mendapat penilan yang lain pula.“ teriak pemimpin Serigala Putih itu.

“Kami mempertahankan kehormatan seorang gadis.” tiba-tiba saja Empu Sanggadaru memotong, “Itulah sebabnya kami terpaksa membunuh beberapa saat yang lampau.”

“Kehormatan seorang perempuan tidak berarti apa-apa bagi kami.” teriak pemimpin Serigala Putih itu.

Lembu Ampal memandang wajah pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Serigala Putih itu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang datar ia bertanya, ”Apakah memang demikian penilaianmu terhadap seorang perempuan?“

“Ya.”

“Tetapi apakah kau menyadari bahwa kau juga dilahirkan oleh seorang perempuan? Bahkan ibumu yang mengasuhmu sejak bayi itupun seorang perempuan?”

Pemimpin Serigala Putih itu termangu-mangu sejenak. Tetapi karena ia sudah berdiri dialas suatu sikap yang keras, maka iapun berteriak, “Apa peduliku dengan ibuku? Ia memang seorang perempuan. Tetapi ia hanyalah sekedar alat untuk melahirkan aku dan memeliharaku karena kewajiban.“

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika itu pendirianmu, maka sebaiknya aku memperingatkanmu, jangan mempertahankan sikap dan pendirian yang salah itu dengan menambah kematian. Apakah itu anak buahmu sendiri, atau anak buah orang lain.”

“Persetan. Apa pedulimu?”

“Lihat Ki Sanak.” berkata Lembu Ampal, “Aku tidak sendiri.”

“Berapa banyak prajuritmu. Kami dengan lima belas orang akan membinasakan seisi hutan ini, termasuk prajurit-prajurit yang tersesat ke dalamnya.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu memang sudah mengeraskan hatinya, sehingga tidak dapat diajak berbincang lagi. “Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal, “Kami datang dengan lima orang prajurit. Bahkan jika kami memberikan isyarat, maka kawan-kawan kami yang aku perintahkan menunggu di ujung hutan ini akan segera berdatangan.”

Pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Serigala Putih itu justru tertawa. Katanya, “Kau mencoba menakut-nakuti aku. Aku bukan anak-anak lagi. Apapun yang akan kau lakukan, bahkan memanggil semua prajurit di seluruh Singasari, kami sama sekali tidak akan gentar.”

Lembu Ampal masih akan berbicara lagi. Tetapi perwira yang masih sangat muda, yang memimpin prajurit-prajurit Singasari itu sudah mendahului, “Kami adalah prajurit Singasari yang terucapkan adalah perintah. Kau kami anggap telah melanggar ketenteraman hidup rakyat Singasari. Karena itu, perbuatan kalian harus dicegah. Jika perlu dengan kekerasan.”

“Persetan?”

Perwira itu maju selangkah. Dengan wajah yang tegang ia berkata kepada Lembu Ampal, “Bagi kami sudah pasti. Orang inilah sebab dari pertengkaran yang telah terjadi, la sama sekali tidak bersedia mendengarkan pertimbangan kami.”

Lembu Ampal meng-angguk-angguk kecil. Katanya, “Masih ada kesempatan Ki Sanak. Aku sudah melihat, bahwa kau tidak segera dapat mengalahkan lawanmu yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah anak buahmnu. Kami akan membuat pertimbangan lebih jauh jika kau mau mengurungkan niatmu untuk membunuh, karena nampaknya tidak ada niatmu yang lain kecuali melepaskan dendam dan menaburkan kematian di sini.”

“Tepat. Dan tidak ada orang yang dapat melarang. Jika kau ikut campur maka kematian akan bertambah. Dan kalian pun terpaksa menyesali nasib kalian yang malang.”

“Tidak ada gunanya lagi kita berbicara.” perwira muda yang datang bersama Lembu Ampal itu tidak sabar lagi, “Jika kalian memang keras kepala, maka kami pun akan mencegah perbuatan kalian yang biadab itu dengan kekerasan. Mungkin benar sebutan bagi kalian, bahwa kalian adalah orang-orang yang berilmu hitam seperti yang dikatakan oleh pemburu itu.”

“Apapun yang kalian katakan, aku tidak peduli. Kami akan membunuh kalian dan melemparkan kalian ke mulut harimau yang terikat tetapi masih hidup itu. Bahkan mungkin akan datang pula serigala lapar jika mencium bangkai kalian yang membusuk di sini.”

Perwira muda itu menjadi marah. Selangkah ia maju dan berkata kepada Empu Sanggadaru, “Aku dan para prajurit yang ada bersamaku ada di pihakmu.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Bersama dengan Lembu Ampal, prajurit itu berjumlah enam orang. Dengan demikian maka jumlah mereka akan menjadi seimbang, meskipun masih berselisih beberapa orang.

“Besiaplah.” teriak pemimpin Serigala Putih ini, “Aku akan membunuh kalian. Jika kalian masih mempunyai kawan yang bersembunyi, berikan isyarat agar mereka segera membantu kalian. Karena dengan demikian tugasku akan segera selesai. Membunuh kalian semuanya. Kemudian menguasai padepokan pemburu gila itu bersama semua isinya termasuk perempuan-perempuan.”

Wajah Empu Sanggadaru rasa-rasanya menjadi panas seperti tersentuh bara. Dengan nada yang dalam tertahan-tahan ia menggeram, “Kalian memang biadab.”

Pemimpin Serigala Putih itu tidak menjawab. Dengan isyarat ia memerintahkan anak buahnya memencar dan siap menghadapi lawan yang lebih banyak. Prajurit-prajurit Singasari pun segera mempersiapkan diri, tetapi mereka tidak segera melepaskan isyarat untuk memanggil kawan-kawannya yang ditinggalkan saat mereka mendahului melihat apa yang terjadi, karena mereka mendengar teriakan, yang liar dan kasar.

Lembu Ampal masih termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak mendapat kesempatan karena pemimpin Serigala Putih itu sudah meloncat menyerang Empu Sanggadaru, sementara anak buahnya pun segera berloncatan pula menyerang setiap orang yang ada di dekat mereka termasuk Empu Baladatu dan Lembu Ampal.

Tetapi Lembu Ampal dan para prajurit, serta orang-orang lain yang mendapat serangan yang tiba-tiba itu masih sempat mengelak. Bahkan Lembu Ampal masih sempat berkata, “Ki Sanak, apakah kalian tidak dapat membuat pertimbangan? Sebelum kami turun di gelanggang, kalian sudah mendapat kesulitan untuk mengalahkan lawan-lawan kalian yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah kalian. Apalagi sekarang.”

“Persetan.” geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu, “Waktunya sebenarnya sudah, tiba untuk membinasakan pemburu gila yang menyebut dirinya bernama Empu Sanggadaru itu. Tetapi kalian telah mengganggu sehingga saat itu tertunda beberapa saat. Namun kalian tidak akan mampu mencegahnya. Bahkan kalian pun akan ikut serta binasa bersama mereka.“

“Seandainya kami tidak cukup kuat, maka kami dapat memanggil kawan-kawan kami yang berada tidak jauh dari tempat ini.”

“Sudah aku katakan, aku tidak takut. Jangan mencoba menakut-nakuti kami dengan ceritera bohongmu itu.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia meloncat surut ketika seorang lawannya menyerang dengan ujung pedangnya yang runcing. Namun dalam pada itu, Perwira prajurit yang masih muda itu sama sekali tidak dapat menahan hati lagi. Kesabarannya tidak selapang Lembu Ampal yang umurnya sudah hampir dua kali lipat dari umur perwira muda itu. Karena itulah, maka sambil berteriak ia menyerang,

“Baiklah. Aku akan memperlihatkan kepada kalian, bahwa aku tidak sedang membual.”

Serangannya pun tiba-tiba menjadi semakin garang. Senjatanya berputaran menyambar-nyambar. Agaknya ia benar-benar akan membuktikan ucapannya, bahwa ia tidak sedang bergurau.

Lembu Ampal sendiri tidak banyak mengalami kesulitan melayani dua orang lawannya sekaligus. Tetapi keduanya bukannya orang terkuat di dalam lingkungan Serigala Putih, sementara pemimpinnya yang mendendam sepanas api kepada Empu Sanggadaru dibantu oleh seorang pengawalnya, masih saja berusaha membunuh Empu Sanggadaru itu.

Kelebihan yang seorang lagi dari gerombolan Serigala Putih itu telah menggabungkan diri dengan seorang kawannya yang bertempur melawan Empu Baladatu. Agaknya mereka menyadari bahwa Empu Baladatu pun merupakan seorang yang pilih tanding.

Dengan demikian, maka orang-orang berilmu hitam dari gerombolan yang menyebut dirinya Serigala Putih ilu ternyata telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kesulitan. Ternyata bahwa dendam yang menyala membakar jantung mereka, telah memburamkan mata mereka yang tidak lagi dapat melihat kenyataan.

Dengan demikian, maka keadaan pun segera berbalik. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih pun segera mengalami tekanan yang berat. Dalam pertempuran seorang lawan seorang, maka mereka sama sekali tidak akan mampu mengalahkan para prajurit Singasari. Apalagi perwira muda yang marah itu. Sedangkan pengawal Empu Baladatu pun adalah pengawal yang terpilih. Demikian juga agaknya para cantrik yang mengikuti Empu Sanggadaru.

Yang mengalami kesulitan di antara mereka adalah Empu Sanggadaru sendiri, meskipun ia masih merasa mampu untuk mempertahankan dirinya. Ia harus melawan pemimpin gerombolan yang menyebut dirinya Serigala Putih itu dibantu oleh seorang anak buahnya yang tidak kalah buasnya dengan pemimpin kelompok itu sendiri. Karena itulah maka Empu Sanggadaru masih harus mengerahkan kemampuannya. Ia harus mempertahankan dirinya sejauh-jauh dapat dilakukan, sebelum kemudian dengan tiba-tiba ia mencari kesempatan untuk mengurangi jumlah lawannya.

Namun lawannya pun agaknya mempunyai pertimbangan yang cukup berbahaya baginya. Pemimpin Serigala Putih itu berusaha untuk dapat membunuh Empu Sanggadaru segera, sehingga ia kemudian dapat membantu kawan-kawannya, mengurangi jumlah lawannya seorang demi seorang. Karena itulah maka pemimpin gerombolan Serigala Putih itu dengan bernafsu sekali berusaha menghancurkan Empu Sanggadaru secepat-cepatnya.

Tekanan itu memang terasa semakin berat. Pemimpin gerombolan itu agaknya benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuannya. Ketika ia dikepung oleh beberapa orang Serigala Pulih barsama kedua cantrik, agaknya pemimpin gerombolan itu masih belum mengungkapkan ilmu puncaknya, seperti yang dialaminya saat itu.

Namun kelika sekilas ia memandang pertempuran di sekitarnya, ia merasa berlega hati, karena nampaknya tidak seorangpun dari mereka yang berada di pihaknya mengalami kesulitan. Adiknya, Empu Baladatu yang juga harus melawan dua orang, juga tidak mengalami kesulitan karena keduanya bukanlah orang-orang puncak dari kelompok Serigala Putih itu. Demikian pula Lembu Ampal. Bahkan Empu Sanggadaru dapat melihat dengau jelas, bahwa Lembu Ampal, akan segera dapat memenangkan perkelahian itu apabila dikehendaki.

Tetapi Empu Sanggadaru tidak dapat berteriak agar Lembu Ampal melakukannya dan kemudian membantunya, meskipun sebenarnya bahwa ia merasa sangat berat melawan pemimpin gerombolan yang mempergunakan segala kemampuan yang ada padnnya itu. Dengan baik kedua lawan Empu Sanggadaru itu dapat bekerja bersama, meskipun tingkat kemampuan mereka tidak sama. Setiap kali mereka berhasil saling melindungi dan mengisi kekurangan yang lain sehingga Empu Sanggadaru menjadi berdebar-debar.

Namun dalam pada itu, ketika pertempuran itu sedang berlangsung, tiba-tiba saja telah tumbuh sesuatu di hati Empu Baladatu. Jika benar orang-orang ini berilmu hitam, apapun jenisnya, maka mungkin pada suatu saat ia akan dapat menghubungi mereka. Mungkin mereka akan dapat diajak bekerja bersama. Bukan saja untuk mengembangkan niatnya, kekuasaan tertinggi di Singasari, tetapi juga ia akan dapat mengembangkan ilmunya dengan tata gerak yang memiliki nafas yang sejalan. meskipun ada beberapa perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat tertembus oleh kepentingan bersama.

Karena itu maka Empu Baladatu tidak segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan kedua lawannya meskipun ia mampu. Yang dilakukannya kemudian adalah sekedar mempertahankan diri. Bahkan kadang dengan sengaja ia menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia tidak ingin membunuh keduanya atau salah satu dari mereka.

Sementara itu. Lembu Ampal bertempur dengan sigapnya. Tetapi nampaknya iapun tidak bernafsu untuk membunuh. Yang dilakukannya adalah sekedar bertahan dan menghindar. Tapi tentu saja dengan latar belakang niat yang jauh berbeda dengan Empu Baladatu.

Yang harus bertempur dengan sekuat tenaga adalah Empu Sanggadaru. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Bahkan kedua cantriknya dan orang-orang yang berpihak kepadanya mampu mengimbangi kekuatan lawannya, bahwa sebagian dari mereka telah berhasil mendesaknya, ia sudah merasa bahwa separo kemenangan ada di tangannya. Karena itulah ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itupun agaknya mempengaruhi caranya bertempur melawan kedua lawannya yang berat itu.

Dalam pada itu perkelahian di antara Empu Sanggadaru dan kedua lawannya justru menjadi bertambah sengit. Bahkan pemimpin Sarigala Putih itu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya untuk membunuh Empu Sanggadaru. Demikian keras niatnya sehingga ia sama sekali tidak sempat memperhatikan anak buahnya yang semuanya telah terdesak.

Dengan kemarahan yang meluap-luap pemimpin Serigala Putih itu mengayunkan senjatanya semakin cepat. Sekali tanganya terjulur lurus. Namun kemudian dengan sigapnya ia menarik sebelah kakinya. Putaran mendatar yang berbahaya setiap kali disusul dengan serangan kawannya yang mematuk lurus. Betapun tangguhnya Empu Sanggadaru, namun ternyata bahwa ia harus mempergunakan segenap ilmu yang dimiliknya. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Sekali-sekali ia harus membenturkan senjatanya dengan senjata lawannya.

Namun, ketika kedua lawannya berhasil mengurungnya di dalam putaran senjata, maka Empu Sanggadaru telah kehilangan kesempatan untuk menghindari kedua senjata yang mematuk bersama. Ia berhasil menangkis serangan pemimpin Serigala Putih itu. Namun pada saat yang bersamaan, senjata yang lain telah terjulur pula mengarah ke lambungnya. Empu Sanggadaru hanya dapat menggeliat. Tetapi ujung senjata itu masih juga berhasil menyentuhnya meskipun tidak pada lambung, tetapi pada tangannya.

Kemarahan yang meluap telah menggetarkan dada Empu Sanggadaru. Luka di tangannya itu bagaikan api yang menyalakan minyak yang memang sudah tersiram di hatinya. Luka-luka yang digoreskan oleh kuku-kuku harimau itu rasa-rasanya masih pedih. Dan kini, tangannya sudah tergores oleh luka yang lain, luka oleh senjata.

Karena itu, maka Empu Sanggadaru tidak lagi mengekang dirinya. Kemarahannya sudah tidak terbendung lagi. Itulah sebabnya maka iapun segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Senjata Empu Sanggadaru pun segera berputar semakin cepat. Seolah-olah senjata itu telah berubah menjadi puluhan senjata serupa yang berterbangan tanpa dapat dikendalikan lagi mengerumuni pemimpin Serigala Putih itu dengan seorang kawannya.

Ternyata bahwa Empu Sanggadaru masih mampu meningkatkan tekanannya oleh kemarahan yang memuncak. Yang mula-mula menjadi sasaran kemarahannya justru adalah kawan pemimpin Serigala Putih yang telah melukainya itu. Dengan garangnya Empu Sanggaradu menyerang pemimpin Serigala Putih itu untuk memisahkannya dari kawannya. Ketika pemimpin kelompok orang-orang berilmu hitam itu terdesak beberapa langkah surut, maka tiba-tiba saja Empu Sanggadaru yang marah itu meloncat ke samping. Sebuah putaran yang tiba-tiba ternyata telah mengejutkan lawannya. Apalagi ketika ujung senjata Empu Sanggadaru bergerak dengan cepatnya mendatar di setinggi lambung.

Kawan pemimpin Serigala Putih itu sempat mengelak. Ia meloncat mundur sambil melindungi tubuhnya dengan senjatanya. Namun adalah diluar dugaannya. bahwa Empu Sanggadaru sempat meloncat begitu cepat dan panjang. Serangan berikutnya rasa-rasanya telah datang mematuk dada.

Tetapi ia masih sempat merendahkan dirinya. Sehinggga dengan demikian ujung senjata Empu Sanggadaru tidak sempat menyentuhnya. Namun lawannya benar-benar tidak melepaskannya. Bahkan kemudian serangan berikutnya adalah serangan yang tidak diduga-duga. Empu Sanggadaru tidak menyerang dengan senjatanya.

Karena lawannya itu masih tetap merendahkan dirinya sambil menyiapkan senjatanya untuk menangkis setiap serangan, maka Empu Sanggadaru telah mengangkat senjata dan terayun mengarah kepalanya. Tetapi ketika ia menyilangkan senjatanya di atas kepanya. Maka diluar dugaannya, tiba-tiba sebuah tendangaan yang keras telah menghantam dagunya sehingga orang itu seakan-akan terangkat dan terlempar surut.

Ternyata bahwa hantaman kaki Empu Sanggadaru itu demikian kuatnya, sehingga orang yang terlempar surut itu, terputar sekali di udara. Namun dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia berusaha untuk tidak jatuh pada kepalanya.

Pada saat, itu pemimpin gerombolan Serigala Putih merasa darahnya bagaikan mendidih. Ketika ia melihat Empu Sanggadaru mengejar kawannya yang seolah-olah masih belum dapat menguasai dirinya, maka ia pun langsung menyerang dengan senjatanya mengarah kepunggung lawannya.

Tetapi punggungnya Empu Sanggadaru seolah-olah mempunyai mata. Karena itu, seakan-akan ia dapat melihat serangan yang menerkam punggungnya itu. Dengan sigapnya ia meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga dengan demikian ia berhasil menyelamatkan diri. Namun, yang malang adalah orang Serigala Putih itu sendiri. Karena senjata pemimpinnya tidak mengenai Empu Sanggadaru, maka seolah-olah ujung senjata itu sengaja disiapkan untuk membunuhnya.

Terdengar sebuah pekik yang mengerikan. Orang Serigala Putih itu ternyata telah dikenai oleh senjata Pemimpinya sendiri. Pekik yang panjang itupun perlahan-lahan menghilang. Temannya masih terdengar sepintas. Namun kemudian lenyap ditelan oleh kesepian yang tegang.

Jerit itu seolah-olah telah menghentikan pertempuran itu untuk sejenak. Namun ternyata kemarahan pemimpin Serigala Putih itu tidak tertahankan lagi. Dengan sebuah teriakan yang seolah-olah memenuhi hutan, ia mulai menyerang dengan dahsyatnya.

Empu Sanggadaru yang sudah terluka oleh senjata itupun masih juga dibakar oleh kemarahannya. Kematian seorang anggauta Serigala Putih masih belum menenangkan kemarahannya. Apalagi ketika ia melihat pemimpin gerombolan itu seolah-olah menjadi gila dan benar-benar berusaha membunuhnya.

Dengan sepenuhnya kemampuan yang ada. Empu Sanggadaru pun tidak lagi ingin memaafkan lawannya. Itulah sebabnya maka serangannya datang beruntun bagaikan banjir bandang. Apalagi kini lawannya tinggal seorang diri. Tetapi yang seorang itu adalah pemimpin dari gerombolan Serigala Putih.

Empu Sanggadaru tidak mau lagi dicemaskan oleh masa depan yang berbahaya. Pemimpin Serigala Pulih itu adalah seorang pendendam yang mantap. Karena itu, untuk menghindarkan diri dari kesulitan masa depan, maka ia bertekad, untuk melenyapkan saja orang itu dari muka bumi. Dengan demikian maka padepokatrnya akan terhindar dari kesulitan di masa datang. Bahkan mungkin bukan saja padepokannya, tetapi juga padepokan-padepokan dan pedukuhan-pedukuhan yang lain.

Karena itulah, maka Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha sekedar mengalahkan lawannya. Tetapi serangannya kemudian langsung mengarahkan ke jantung lawan. Kedua orang itu bagaikan menjadi wuru. Masing-masing tidak melihat kemungkinan lain daripada membunuh lawannya. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun berlangsung semakin sengit.

Tetapi, semakin lama semakin nyata bahwa Empu Sanggadaru berhasil menguasai lawannya yang tinggal seorang itu. Senjata sudah semakin sering menyambar menyentuh pakaian lawannya, dan bahkan kemudian telah terjadi goresan-goresan kecil sehingga menitikkan darah.

Goresan-goresan kecil itu agaknya membuat lawannya menjadi semakin marah. Serangan-angannya datang seperti badai. Namun, Empu Sanggadaru mampu bergerak secepat kilat, sehingga serangan lawannya sama sekali tidak berhasil mengenainya.

Selain Empu Sanggadaru, yang tidak dapat menahan diri adalah perwira muda yang merasa wibawa prajurit Singasari telah tersinggung. Karena itulah, maka iapun dengan sekuat tenaganya berusaha untuk segera mengalahkan lawannya. Namun tidak seperti Empu Sanggadaru, perwira itu masih berusaha untuk dapat mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Lembu Ampal masih bertempur dengan caranya. hanya memacu lawannya untuk bertempur dengan sekuat tenaganya. Sekali-sekali saja ia menyerang jika lawannya menjadi kendor. Dan serangannya itu setiap kali memang berhasil membuat lawannya menjadi marah dan dengan sekuat tenaganya menyerang bersama-sama.

Tetapi perhitungan Lembu Ampal benar-benar telah masak. Ia yakin bahwa keduanya akan menjadi letih dan dengan demikian akan menjadi sangat mudah untuk dikalahkan. Namun ternyata orang-orang berilmu hitam itu bukannya jantan yang memilih mati daripada mengorbankan namanya. Itulah sebabnya, maka sebagian dari mereka telah bertempur sambil bergeser surut menepi.

Pertempuran itupun kemudian telah berubah sama sekali. Orang-orang berilmu hitam itu benar-benar sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Kehadiran prajurit Singasari meskipun tidak seluruhnya, telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Betapun pemimpin Serigala Putih berusaha, namun ia tidak mampu mengimbangi ilmu Empu Sanggadaru.

Ternyata bahwa pemimpin Serigala Putih itu telah salah hitung. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang berilmu hitam itu tidak mampu melawan musuh-musuhnya meskipun ia prajurit Singasari. Dan iapun tidak menyangka bahwa yang bernama Empu Sanggadaru dari padepokan yang tidak dikenal itu. ternyata memiliki ilmu yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui ilmunya yang dibangga-banggakan, meskipun beberapa orang yang tidak senang menyebutnya ilmu hitam.

Tetapi penyesalan yang betapun juga, tidak akan berarti sama sekali. Apabila lawannya, Empu Sanggadaru, benar-benar sudah tidak dapat mengekang diri lagi. Luka di tangannya telah membuatnya menjadi gelap hati. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian menyerang pemimpin Serigala Putih dengan segenap ilmu yang ada padanya. Bahkan tanpa ampun lagi, senjatanya benar-benar telah mengurung lawannya dalam lingkaran maut.

Pemimpin Serigala Putih itu masih berusaha melepaskan diri. Ia berusaha menembus lingkaran putaran senjata Sanggadaru. Namun yang terjadi adalah diluar kehendaknya, karena justru pada saat yang berbahaya itu, saat-saat pemimpin Serigala Putih berusaha membebaskan dirinya, Empu Sanggadaru telah sampai pada kemungkinan yang terakhir. Dengan garangnya ia menyerang lawannya tanpa ampun lagi.

Pemimpin Serigala Putih itu masih berhasil menagkis satu dua serangannya yang datang beruntun. Namun serangan-serangan berikutnya, membuat pemimpin Serigala Putih itu bagaikan kehilangan kesempatan. Sesaat kemudian terdengar sebuah keluhan tertahan. Darah yang merah memancar dari luka yang tiba-tiba saja telah menganga di dada pemimpin Serigala Putih itu.

Sesaat pertempuran itu seolah-olah telah terhenti. Setiap orang telah dikejutkan oleh peristiwa yang menyusul. Pemimpin Serigala Putih yang dibakar oleh dendam karena kematian anak buahnya itu ternyata tidak berhasil menuntut balas. Bahkan ia sendiri kemudian terlempar dan jatuh di tanah dengan darah yang membasahi seluruh tubuhnya. Anak buahnya yang melihat pemimpinnya mati terkapar itu menjadi bingung. Hatinya kuncup seperti dedaunan yang tersiram air yang mendidih.

Pada saat yang mencengkam itulah, maka tiba-tiba saja terdengar suara Empu Baladatu, “He, orang-orang berilmu hitam, ternyata masih ada satu kesempatan yang dapat kami berikan kepada kalian. Sepeninggal pemimpinmu maka kalian sebaiknya menyerah tanpa perlawanan, karena tidak ada kesempatan yang lain yang dapat kalian peroleh setelah kami kehilangan kesabaran kami.”

Orang-orang yang mendengar suara Empu Baladatu itu bagaikan membeku. Bahkan Empu Sanggadaru sendiri berdiri termangu-mangu dengan senjata yang merah oleh darah di tangannya. Suasana diarena itu seolah-olah bagaikan membeku. Lembu Ampal berdiri diam di tempatnya. Ia memang tidak bernafsu untuk bertempur lebih lama lagi. Yang dihadapinya bukannya sebuah perlawanan terhadap pemerintah Singasari. Tetapi yang dihadapinya adalah dendam dari dua perguruan yang seharusnya dapat dicegahnya.

Namun yang terjadi adalah diluar kemampuannya untuk mencegahnya. Dan pertempuran itu sudah terjadi. Bahkan telah menelan dua orang korban lagi. Dan korban-korban itu tentu akan mempertajam dendam yg telah tumbuh di hati orang-orang berilmu hitam itu.

Tetapi bagi Lembu Ampal, kata-kata Empu Baladatu itu dianggapnya akan membuka kemungkinan baru bagi orang-orang berilmu hitam itu. Ternyata bahwa kata-kata Empu Baladatu itu berpengaruh juga pada lawan-lawannya. Mereka masih berdiri termangu-mangu tanpa berbuat sesuatu meskipun senjata mereka tetap tergenggam di tangan.

Empu Baladatu yang melihat pengaruh kata-katanya itu mengena pada orang-orang berilmu hitam itupun kemudian mengulanginya Nyatakan bahwa kalian tidak akan memberikan perlawanan lagi. “Nyatakan bahwa kalian telah menghentikan semua niat untuk membalas dendam karena kalian tidak akan dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kalian lah yang justru akan punah jika kalian masih berkeras untuk melanjutkan pertempuran ini.”

Semua orang masih membeku di tempatnya.

“Lakukanlah, atau kami harus bertempur terus dan membunuh kalian semuanya?”

Tiba-tiba saja salah seorang dari gerombolan Serigala Putih itu dengan ragu-ragu berkata, “Apakah yang harus kami lakukan, jika kami menyatakan diri untuk menghentikan usaha pelepasan dendam kami.”

“Prajurit-prajurit Singasari akan menjadi saksi, bahwa kami tidak ingkar. Letakkan senjata kalian dan berkumpullah di hadapan kakang Empu Sanggadaru. Salah seorang dari kalian harus menyatakan pengakuan kalian dengan jujur.”

Orang-orang itu masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian mereka pun segera melemparkan senjata mereka di tanah. Perlahan-perlahan mereka mulai bergerak mendekati Empu Sangadaru. Empu Sanggadaru bagaikan membeku melihat orang-orang yang bergerak mendekatinya. Kemudian berdiri termangu-mangu seolah-olah mereka menggantungkan harapan mereka kepadanya.

Empu Sanggadaru menarik nafas. ia pun kemudian sadar, bahwa ia harus, menanggapi perkembangan keadaan itu. Sekilas dilihatnya prajurit-prajurit Singasari pun telah bergerak mengumpul. Perwira muda itupun nampaknya telah berusaha mengendalikan dirinya pula.

“Lakukanlah jika kalian ingin melakukan.” berkata Empu Baladatu. Lalu katanya kepada Lembu Ampal, “Kami mohon, agar prajurit Singasari menjadi saksi, bahwa dendam kami dari kedua belah pihak akan terhapus saat ini juga.”

Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berpaling kepada perwira muda itu seolah-olah minta pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya. Apakah permintaan Empu Baladatu itu dapat dipenuhi atau prajurit Singasari akan mengambil sikap yang lain.

Perwira muda itupun ragu-ragu sejenak. Dilihatnya orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu berdiri termangu-mangu dengan penuh harap untuk dapat tetap hidup. Sebagai seorang prajurit maka perwira itu harus menentukan sikap, la tidak boleh terseret oleh arus perasannya. Apalagi sebagai seorang anak muda.

Karena itulah, maka ketika dilihatnya kawan-kawannya pun masih utuh, maka iapun berkata, “Aku, perwira yang memimpin serombongan prajurit Singasari, menyatakan bahwa aku tidak berkeberatan untuk menarik segala akibat yang timbul dari perlawanan orang-orang dari Serigala Pulih kepada perintah kami, yang juga berarti perlawanan kepada pimpinan pemerintah, jika mereka benar-benar telah menyesal dan menyatakan diri menyerah.”

Orang-orang dari anggauta gerombolan Serigala Putih itu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa mereka benar-benar berhadapan dengan beberapa orang prajurit yang memegang teguh tugas dan kewajibannya, tetapi juga mengingat segi-segi pertimbangan yang lain.

Empu Sanggadaru yang masih menggenggam senjata yang basah oleh darah berkata dengan nada yang datar, “Kalian dengar? Apakah kalian menyesal dan menyatakan diri menyerah?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sepercik ketidak puasan nampak membayang di wajahnya. Bahkan ia pun kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Kepada siapa orang-orang itu menyatakan menyerah? Jumlah prajurit itu tidak lebih banyak dari jumlah kami. Kamilah yang pantas menentukan sikap. Bukan mereka.”

Tetapi Empu Baladatu tidak mengatakan. Ia menyimpan perasaan itu di dalam hatinya. Salah seorang dari orang-orang Serigala Putih itu pun kemudian menghadap kepada perwira muda itu sambil berkata, “Kami menyerah. Dan kami menyatakan menyesal bahwa kami telah terlibat ke dalam dendam.”

Perwira itu menjawab, “Baiklah. Aku maafkan kalian dan aku bebaskan kalian dari segala tuntutan karena perlawanan kalian. Namun demikian, terserah kepada Empu Sanggadaru, apakah yang akan dilakukannya.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku pun memaafkan kalian. Tetapi kami adalah orang-orang yang mempunyai kesabaran yang terbatas. Karena itu, jika kalian ternyata kelak melakukan pelanggaran atas penyesalan kalian sekarang ini, mungkin kami sudah tidak dapat lagi memaafkannya.”

“Terima kasih.” sahut salah seorang dari mereka.

“Kalian terpaksa pulang dengan membawa korban lagi. Tetapi kalian sudah berjanji untuk tidak mendendamnya lagi. Mudah-mudahan kawan-kawan kalian dapat mengerti, karena seperti yang aku katakan, kesabaran kami sangat terbatas.”

Orang-orang Serigala Putih itu menundukkan kepalanya. Mereka merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengiakan dan menyatakan kesanggupan.

Empu Sanggadaru pun kemudian berkata, “Nah, sekarang pergilah. Bawalah kedua mayat kawan kalian ini.”

Orang-orang itu pun berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka mulai bergerak dan mengangkat kedua mayat kawan-kawan mereka. Namun demikian, ketika mereka mulai bergerak, nampaklah, bahwa mereka masih saja ragu-ragu. Beberapa orang dengan tidak sadar memandangi senjata mereka yang tergolek di tanah.

“Kalian sudah melemparkan senjata kalian.” desis Empu Sanggadaru.

Salah seorang dari mereka dengan ragu-ragu menjawab. "Kami sudah menyatakan, bahwa kami menyerah dan menyesali perbuatan kami. Tetapi kami merasa cemas bahwa di perjalanan kembali ke padepokan kami. Di perjalanan kami akan menemui kesulitan.“

“Kenapa?“

“Gerombolan kami telah saling mendendam pula dengan gerombolan orang-orang berilmu hitam yang menamakan dirinya gerombolan Macan Kumbang. Jika kami dengan tidak sengaja bertemu dengan mereka tanpa sehelai senjatapun di tangan, maka kami akan musnah.“

“Itu adalah akibat dari perbuatan kalian sendiri. Kalian ternyata mempunyai dendam di mana-mana. Kalian bermusuhan dengan siapapun juga.” jawab Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu tertarik dengan keterangan itu. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Tetapi apakah kalian berjanji, bahwa senjata-senjata kalian hanya akan kalian pergunakan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk menyerang?”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu memandang Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru berganti-ganti. Salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Kami bersumpah. Kami tidak akan mempergunakan senjata kami, selain untuk mempertahankan hidup kami jika kami di serang.”

“Ambillah. Aku kira kakang Empu Sanggadaru dan para prajurit Singasari tidak akan berkeberatan, karena sebenarnya senjata semacam itu bukannya satu-satunya senjata yang kalian miliki, meskipun senjata itu kalian tinggalkan, tetapi jika jiwa kalian masih tetap kelam, maka besok kalian tentu sudah akan menggenggam senjata serupa.”

Orang-orang Serigala Putih masih termangu-mangu. Empu Sanggadaru pun kemudian tidak dapat berbuat lain karena adiknya seolah-olah sudah menghadapkannya kepada suatu sikap tertentu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Tetapi kalian harus benar-benar memegang janji dan sumpah kalian, bahwa kalian hanya akan mempergunakan untuk mempertahankan diri.”

Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata dengan nada yang dalam, “Terima kasih. Kami mengucapkan terima kasih tiada taranya. Dengan demikian maka jiwa kami seolah-olah telah kalian selamatkan dua kali. Yang pertama bahwa kami tidak terbunuh di dalam pertempuran ini. Kedua, bahwa kami diperkenankan membawa senjata kami, meskipun dengan janji bahwa senjata-senjata itu hanya akan kami pergunakan untuk mempertahankan diri.”

“Pergilah.” jawab Empu Sanggadaru, “Dan cobalah mengenal diri sendiri sebaik-baiknya.”

“Ya Empu.” jawab orang itu pula, “Kami akan mohon diri. Mudah-mudahan kami mendapat kesempatan unuk memandang ke dalam diri kami masing-masing. Mengenang apa yang telah kami perbuat dan mengambil sikap yang benar di hari-hari mendatang.”

“Bagus. Pertahankan sikap dan pandangan itu.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun mengangguk-angguk seakan-akan mereka telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa mereka akan berbuat sebaik-baiknya di kemudian hari. Demikianlah maka mereka pun kemudian minta diri sambil membawa mayat kawan-kawan mereka dan memungut senjata masing-masing.

“Pergilah.” berkata Empu Baladatu, “Tetapi dimanakah padepokan kalian? Aku ingin mengetahuinya. Bahkan mungkin pada suatu saat aku singgah ke padepokanmu.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun nampak keragu-raguan membayang di wajah mereka.

“Jika kalian jujur sampai ke dalam hati, kalian tidak akan berkeberatan menunjukkan padepokanmu.” desak Empu Baladatu.

Salah seorang dari mereka pun kemudian menjawab, “Sebenarnya kami tidak tinggal dalam satu padepokan. Namun kami memang terdiri dari satu perguruan. Guru kami adalah pemimpin kami yang terbunuh. Tetapi ia bukan seorang yang langsung mengajari kami. Di bawah pemimpin kami yang terbunuh ada beberapa orang yang telah mendapat kepercayaannya untuk mengajar kami.”

“Siapakah mereka. Tentu ada di antara kalian.”

Orang yang menjawab itu melanjutkan, “Baiklah aku tidak bersembunyi lagi, karena aku merasa bahwa nyawaku telah diselamatkan. Di antara mereka adalah aku dan empat orang lagi. Sedang seorang dari kami telah terbunuh bersama pemimpin kami itu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa perbedaan tingkat mereka tidak begitu jelas nampak pada kelima belas orang, yang sudah barang tentu orang-orang pilihan itu. “Kau belum menyebutkan, di mana padepokanmu.”

Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, “Kami berasal dari padepokan Semuwun di sebelah hutan Dandarau.”

Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu. Ia mengulang, “Dandarau. Jadi kalian adalah orang dari daerah Hutan Dandarau.”

“Ya.”

Lembu Ampal memandang orang-orang itu seorang demi seorang. Lalu katanya, “Apakah benar katamu, bahwa pemimpinmu yang terbunuh itu orang pertama di padepokanmu?”

Orang itu ragu-ragu. Lalu jawabnya, “Ya. Ia adalah orang pertama.”

Lembu Ampal tidak membantah. Tetapi ia bertanya pula, “Dan apakah kalian masih mempunyai jalur yang sama dari perguruan kalian dengan orang-orang yang kalian sebut dari gerombolan Macan Kumbang?”

Orang itu ragu-ragu pula. Namun iapun menjawab, “Agaknya memang demikian. Tetapi kami terpisah oleh kepentingan yang sama, sehingga kami saling berebut dan bersaing. Itulah sebabnya kami menjadi saling mendendam.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Demikianlah orang-orang berilmu hitam itupun kemudian meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat kawan-kawan mereka. Sekali-sekali mereka masih sempat berpaling sebelum mereka hilang di balik dedaunan.

Demikian mereka hilang dari pandangan mata orang-orang yang telah mengalahkannya mutlak salah seorang dari mereka mengumpat, “Anak setan. Ternyata kita terbentur pada orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa.”

Orang yang nampaknya mengambil alih pimpinan dan yang selalu memberikan keterangan kepada lawan mereka yang ternyata memiliki kelebihan itu menyahut, “Kali ini kita tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Kita memang kalah mutlak.”

“Tetapi prajurit-prajurit Singasari itulah yang menyebabkan kita hampir saja punah jika tidak ada orang yang berhasil menyabarkan Empu Sanggadaru.”

“Ia adalah adiknya.”

“Nampaknya sikapnya cukup baik. Ilmunya pun cukup matang dan berbahaya.”

Yang lain mengerutkan keningnya. Tetapi masih ada yang mengumpat, “Aku ingin membunuh mereka semua. Mungkin pada suatu saat, maksud itu akan dapat aku lakukan.”

Tetapi kawan-kawannya tertawa. Salah seorang berkata, “Kau mimpi sambil berjalan. Kita tidak mempunyai pemimpin yang tangguh lagi. Bahkan pemimpin kami yang kami kagumi itu pun ternyata tidak dapat mengalahkan Empu Sanggadaru meskipun ia bertempur berdua. Apalagi seorang diri.”

Kawannya yang masih mendendam itu menarik nafas dalam-dalam. “Kita memang sudah berputus asa. Seandainya kita bertemu dengan orang-orang Macan Kumbang pun kita akan mereka telan sekarang ini.”

Kawannya memandang orang itu sambil mengerutkan dahinya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah benar begitu pendirianmu.”

“Tidak ada lagi yang berani mempertanggung jawabkan setiap tindakan yang akan kita ambil karena pemimpin kita sudah tidak ada lagi.”

“Kita akan membicarakannya.” berkata seorang yang paling tua di antara mereka. “Setelah kita sampai kepadepokan, kita akan menyusun diri dengan kekuatan yang masih ada. Tetapi sudah barang tentu bahwa kita tidak akan dapat melepaskan pengalaman yang baru saja kita hadapi. Kita harus menyadari bahwa ilmu yang kita miliki ternyata adalah ilmu yang masih jauh dari tingkat yang sempurna. Kita sebelumnya telah salah menilai diri kita. seolah-olah kita adalah orang-orang yg paling kuat di muka bumi ini. Setidak-tidaknya di Singasari. Tetapi ternyata bahwa kita bukannya apa-apa. Apalagi bagi para prajurit. Aku merasa bahwa prajurit yang sudah tua itu seolah-olah tidak bertempur bersungguh-sungguh. Ia sekedar membela dirinya dan sama sekali tidak berniat untuk membunuh.”

“Juga orang yang di sebut adik Empu Sanggadaru itu.” sahut yang lain, “Jika ia ingin membunuh, maka ia banyak mempunyai kesempatan.”

Yang lain lagi berkata, “Empu Sanggadarupun agaknya bukan seorang pembunuh. Tetapi luka di tangannya itu membuatnya lupa diri. Apalagi di tubuhnya masih tergores luka-luka yang agaknya karena kuku harimau yang dibunuhnya itu.”

Orang yang mengutuki keadaan itupun terdiam. Ternyata kawan-kawannya telah berusaha melihat kenyatan. Meskipun demikian ia masih bertanya tanpa ditunjukan kepada siapapun juga. “Jadi jika kita bertemu dengan orang-orang Macan Kumbang, apa yang akan kita lakukan?”

“Kita masih bersenjata.” berkata orang tertua di antara mereka.

Orang yang bertanya itu terdiam. Namun masih nampak bahwa di wajahnya membayang kekecewaan yang mendalam. Iring-iringan itupun kemudian menyusup hutan itu semakin jauh. Tetapi mereka pun kemudian mencari jalan menepi, karena mereka akan berjalan di bagian yang tidak terlampau pepat. Meskipun mereka akan tetap berada di dalam hutan, namun mereka ingin perjalanan mereka semakin cepat. Apalagi mereka menyadari bahwa setiap saat, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang akan dapat melihat mereka.

Jika orang-orang Macan Kumbang itu mengetahui, bahwa pemimpinnya telah terbunuh, maka mereka pun akan segera mengambil kesempatan untuk melepaskan dendam yang sudah saling tertanam dikedua belab pihak. Karena itulah, maka Serigala Putih yang selama itu tidak pernah merasa gentar, sepeninggal pemimpinnya menjadi agak cemas juga. Meskipun demikian, karena mereka masih tetap menggenggam senjata di tangan, maka mereka pun masih mempunyai kesempatan untuk mempertahankan diri.

Dalam pada itu, sepeninggal orang-orang dari gerombolan Serigala Putih, maka Empu Sanggadaru pun menjadi termangu. Sepercik penyesalan nampak membayang di wajahnya, bahwa telah terjadi pembunuhan oleh tangannya. Namun ia tidak dapat menghindari kemungkinan itu. karena keadaan yang telah memaksanya.

“Sudahlah.” berkata Lembu Ampal, “Nampaknya mereka telali menyadari kesalahan mereka. Jika di dalam pertempuran timbul korban jiwa, itu bukannya suatu hal yang aneh dan berlebihan.”

Empu Sanggadaru mengangguk.

“Sekarang, aku akan melakukan tugasku yang lain.” berkata Lembu Ampal.

“Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka memerintahkan mengambil harimaunya?“ bertanya Empu Baladatu.

“Ya Empu. Dan kami datang membawa sebuah pedati.”

Lembu Ampal pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit untuk menjemput kawan-kawannya serta pedati yang mereka bawa dari Sangasari.

“Itulah sebabnya, kami menunggu terlampau lama di sini.”

Lembu Ampal tersenyum. Katanya, “Kami berjalan seperti siput yang merambat.”

“Dan dengan demikian kalian terpaksa bermalam di sini.” berkata Empu Sanggadaru.

Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Jawabnya. “Tidak. Kami akan berjalan lagi seperti siput. Kapan pun kami akan sampai di Singasari. Kami akan bergantian tidur di sepanjang jalan di dalam pedati itu bersama dengan harimau yang sudah terikat itu.”

“Jika yang sedang tidur itu lengah dan tangannya terjulur ke mulut harimau yang marah itu. maka tangan itu akan segera putus.”

Lembu Ampal tertawa. Lalu katanya kepada perwira muda yang memimpin para prajurit itu. ”Bukankah kita dapat tidur sambil duduk di punggung kuda yg berjalan perlahan-lahan.”

Perwira itu tersenyum. Setelah mereka menunggu sejenak, maka iring- iringan prajurit Singasari yang lebih banyak jumlahnya telah datang bersama sebuah pedati yang berjalan lamban sekali.

“Masukkanlah harimau yang masih hidup itu ke dalam pedati.“ perintah perwira muda yang memimpin para prajurit Singasari itu.

Para prajurit itupun kemudian dengan hati-hati mengangkat harimau yang terikat itu. Sebuah auman yang dahsyat terdengar. Harimau itu meronta dengan sekuat tenaganya. Tetapi ikatan janget itu tidak dapat diputuskannya. Bahkan kaki-kakinya merasa menjadi sakit dan nyeri sehingga akhirnya harimau itu berdiam diri.

Para prajurit itu tidak terlalu lama tinggal di hutan. Mereka pun setelah menaikkan harimau yang terikat kaki-kakinya itu dengan hati-hati, segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Singasari. Mereka sudah bertekad untuk berjalan meskipun senja turun dan malam pun akan segera menyelubungi seluruh wilayah Singasari yang luas.

Sepeniggal para prajurit Singasari setelah mereka sempat beristirahat sejenak, maka Empu Sanggadaru pun mulai berpikir apakah ia akan meneruskan perburuan atau tidak. “Aku akan mengeringkan harimau itu sebelum membusuk.“ berkata Empu Sanggadaru.

“Jadi kita kembali ke padepokan?” bertanya empu Baladatu.

Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, “Rasa-rasanya aku ingin segera melihat padepokan. Apakah benar orang-orang Serigala Putih tidak mengganggu padepokanku.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Katanya, “Agaknya baik juga kita kembali ke padepokanmu kakang. Jika ternyata tidak ada gangguan suatu apa, kita dapat kembali lagi memburu harimau di kesempatan lain.”

Demikianlah maka mereka pun memutuskan untuk kembali saja kepadepokan dengan membawa harimau yang telah mati itu. Ternyata membawa seekor harimau yang sudah mati jauh lebih mudah daripada membawa seekor harimau yang masih hidup. Apalagi jika dengan niat bahwa harimau itu akan dipelihara di dalam kandang.

Dengan berdebar-debar Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu pun kemudian mendekati padepokannya, setelah matahari terbenam. Namun ketika mereka melihat cahaya lampu dari kejauhan, mereka merasa tenang. Lampu itu adalah pertanda bahwa padepokannya masih tetap hidup meskipun barangkali dicengkam oleh kegelisahan dan ketakutan.

Ketika Empu Sanggadaru memasuki regol, maka seperti kanak-anak yang ingin mengadu kepada ayahnya, maka beberapa orang pun segera berkumpul. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Agaknya mereka pun sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi Empu Sanggadaru pun menyadari, tanpa Empu Sanggadaru sendiri, maka jika orang-orang Serigala Putih memilih menghancurkan padepokannya lebih dahulu, maka orang-orangnya itupun akan mengalami kesulitan meskipun akan jatuh korban pula dikedua belah pihak.

“Jika Empu tidak segera datang, kami sudah bersiap-siap untuk menyusul.” berkata salah seorang dari mereka.

“Kenapa?“ berkata salah seorang dari mereka.

“Sekelompok orang-orang yang menyebut dirinya dari gerombolan Serigala Putih telah datang.”

“Apa yang mereka lakukan?”

“Mereka mencari Empu. Karena mula-mula kami kurang tahu maksudnya, kami telah menunjukkan di mana Empu berada.”

“Lalu, mereka meninggalkan kalian tanpa berbuat apa-apa?”

“Ya. Tetapi kami menjadi curiga. Nampaknya di mata mereka menyala dendam. Ketika kami bertanya apakah keperluan mereka dengan Empu, maka mereka pun menyatakan dendam mereka.”

“Berapa orang jumlah mereka saat mereka mendatangi padepokan ini?"

“Lima atau enam orang.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ada beberapa kemungkinan yang sudah terjadi. Mereka tidak semuanya menampakkan diri di padukuhan ini, atau orang-orang Serigala Putih itu telah kembali terlebih dahulu untuk memanggil orang-orangnya yang lain, karena pemimpinnya ingin melakukan pekerjaannya dengan meyakinkan, bahwa mereka tidak akan mengulangi lagi untuk kedua kalinya.

“Apakah Empu telah bertemu dengan mereka?”

“Ya.”

“Dan terjadi perselisihan.”

“Ya.”

“Empu berhasil mengalahkan mereka.”

“Ya.”

“Kami sudah menduga, bahwa Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu akan dapat mengatasi kesulitan itu.”

“Tidak sederhana seperti yang kalian duga. Sebenarnya kami tidak dapat melawan mereka, karena ketika mereka mengepung kami jumlahnya menjadi lima belas orang.”

“Lima belas?”

“Ya. Dan kami berenam tidak mampu melawan lima belas orang, meskipun mereka bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi jumlah mereka yang banyak itu telah menyulitkan kami.“

“Jadi?”

“Adalah kebetulan sekali, bahwa prajurit-prajurit Singasari sedang berada di hutan.”

Orang-orang padepokan itu termangu-mangu. Empu Sanggadaru yang kemudian turun dari kudanya dan berdiri di antara orang-orangnya yang tidak sabar, terpaksa menceriterakan apa yang telah terjadi di hutan perburuan itu. Baru setelah orang-orangnya mengangguk-angguk sambil menarik nafas lega, Empu Sanggadaru berkata, “Aku akan mengeringkan harimau. Sediakan alat-alat dan reramuan yang aku perlukan.”

“Sekarang Empu?”

“Ya, sekarang. Aku ingin menunjukkan kepada adikku, bagaimana aku mengawetkan binatang buruanku.”

Beberapa orang cantrikpun menjadi sibuk. Mereka yang sudah terbiasa menyediakan reramuanpun segera melakukannya meskipun malam menjadi semakin galap. Halaman belakang padepokan yang luar itu pun segera menjadi terang. Beberapa obor dipancangkan di sekitar reramuan yang telah disiapkan untuk mengawetkan harimau yang sangat besar itu.

Para cantrik yang sudah biasa melihat Empu Sanggadaru membawa hasil buruan kembali dari hutan, masih juga heran melihat seekor harimau loreng yang sangat besar itu. Apalagi mereka kemudian mengetahui bahwa kulit harimau itu sama sekali tidak luka oleh senjata.

“Empu Sanggadaru telah menangkap harimau itu dengan tangannya.“ desis salah seorang cantriknya.

Yang lain mengangguk sambil menyahut, “Ya. Dan ternyata Empu Sanggadaru mampu meskipun pada tubuhnya terdapat beberapa gores luka.”

Dalam pada itu, Empu Sanggadaru pun segera mulai dengan pekerjaan yang sudah sering kali dilakukan. Mengawetkan binatang buruannya.

Empu Baladatu menunggui kerja kakaknya dengan asyiknya. Ia pun ternyata tertarik untuk mempelajarinya. Apabila pada suatu saat ada kesempatan, maka Empu Baladatu berniat untuk belajar, reramuan apa saja yang diperlukan dan cara yang agak rumit untuk melakukan pengawetan itu. Tetapi yang lebih menarik bagi Empu Baladatu adalah orang-orang berilmu hitam itu sendiri. Rasa-rasanya ada suatu dorongan padanya untuk datang mengunjungi orang-orang yang disebut berilmu hitam, tetapi yang mempunyai beberapa kelainan dari ilmunya.

Meskipun demikian, mata Empu Baladatu yang tajam dan mengenalnya yang baik terhadap ilmu hitam itu, ia dapat menangkap beberapa kesemaan pada sumber geraknya. Karena itulah, maka nampaknya orang-orang berilmu hitam itu sangat menarik perhatiannya. Malam itu, Empu Baladatu telah menyaksikan bagaimana kakaknya mengawetkan binatang buruannya, sehingga jumlah binatang yang berjajar di rumahnya telah bertambah dengan seekor harimau loreng yang sangat besar.

Namun demikian, Empu Baladatu merasa seolah-olah kedatangannya itu sia-sia. Ia tidak dapat mengemukakan maksudnya, setelah ia mengetahui, bagaimana tanggapan kakaknya yang sebenarnya terhadap pimpinan pemerintahan Singasari yang sedang berjalan. Ternyata kakaknya sangat mengagumi kedua anak-anak muda yang memegang pemerintahan itu. Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Dan iapun telah melihat sendiri, bagaimana anak muda yang bernama Ranggawuni itu mampu menangkap seekor harimau, melampaui kemampuan kakaknya. Jika kakaknya berhasil menangkap harimau itu mati, maka Ranggawuni berhasil menangkap harimau itu hidup-hidup.

Tetapi Empu Baladatu bukan orang yang mudah berputus asa. Ia sudah berada dalam tenggelam di dala angan-angannya, bahwa ia akan menemukan jalan untuk menjangkau ke tempat yang bagi orang lain hanya sekedar mimpi.

“Aku tidak peduli apakah aku dijangkiti oleh penyakit gila. Tetapi aku tidak akan mundur. Betapapun dahsyatnya ilmu Ranggawuni dan Mahisa Campaka. namun pada suatu saat aku tentu akan dapat mengimbanginya, asal dengan tekun meningkatkan ilmuku yang pada dasarnya tidak ada bandingnya di muka bumi.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Ternyata Empu Baladatu telah mempunyai rencananya sendiri. Itulah sebabnya maka ia tidak dapat terlalu lama tinggal bersama kakaknya. Setelah ia melihat bagaimana caranya kakaknya menganwetkan binatang-binatang buruannya, dan yang penting karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa di padopokan itu, maka ia tidak betah tinggal terlalu lama. Di hari berikutnya, maka Empu Baladatu pun minta diri untuk meninggalkan padepokan kakaknya itu.

“He, kenapa kau pergi begitu cepat?” bertanya Empu Sanggadar.

“Aku sudah lama meninggalkan padepokanku kakang. Kedatangan orang-orang Serigala Putih mengingatkan aku kepada padepokanku. Meskipun aku tidak mempunyai lawan yang mungkin mendendamku, tetapi rasa-rasanya aku menjadi gelisah jika aku mengenangkan ceriteramu tentang orang-orang Serigala Putih yang singgah di padepokan ini dan yang ternyata kemudian menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.”

“Tetapi bukankah ada orang-orangmu yang menunggui padepokan?”

“Tidak banyak. Padepokanku adalah padepokan yang terlalu kecil dibandingkan dengan padepokanmu.”

“Tetapi bukankah kau masih akan pergi berburu lagi?”

“Lain kali aku akan datang kemari lagi kakang. Aku masih mempunyai beberapa keinginan. Tetapi rasa-rasanya aku sekarang selalu digelisahkan oleh keadaan padepokanku yang sudah cukup lama aku tinggalkan itu.”

Empu Sanggadaru hanya dapal mengaugguk-auggukkan kepalanya, la tidak akan dapat menahan adiknya terlalu lama. Jika benar-benar terjadi sesuatu, maka adiknya tentu akan menyalahkannya. “Baiklah Baladatu. Jika kau akan kembali, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan kau tidak menemui kesulitan di perjalanan.”

“Terima kasih kakang. Aku akan datang pada saatnya.”

Empu Sanggadaru tidak dapat menahan lagi. Di pagi hari berikutnya, Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan padepokan kakaknya yang ternyata masih saja diliputi oleh kesiagaan. Apalagi ketika penghuni padepokan itu menyadari bahwa orang-orang Serigala Putih adalah orang-orang yang telah menggemparkan padepokan itu meskipun mereka harus meninggalkan beberapa orang korban. Dan mereka pun segera teringat kepada ciri-ciri yang pernah mereka lihat pada korban korban itu...

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 24

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 24
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“TIDAK apa-apa Ki Sanak. Namun aku masih tetap menganggap kalian sebuah teka-teki, justru karena salah seorang dari kalian menamakan diri Mahisa Bungalan.”

Linggadadi mengerutkan keningnya. Tetapi Linggapati yang menjawab lebih dahulu, “Sekali lagi kami mohon maaf. Sebenarnya itu adalah sekedar terdorong dari kebencian kami kepada orang-orang berilmu hitam, sehingga kami diluar sadar, telah meminjam nama-nama orang yang paling ditakuti pula oleh orang-orang berilmu hitam.”

Lembu Ampal tersenyum. Katanya, ”Tetapi aku tidak akan bertanya, siapakah kalian ini sebenarnya, karena agaknya kalian memang tidak ingin kami kenal. Baiklah, silahkanlah berjalan terus. Tetapi aku minta kalian agak berhati-hati menghadapi orang-orang berilmu hitam.”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi siapakah sebenarnya kedua anak muda yang berkuda bersama Ki Sanak di hutan perbuan itu?”

Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Ia sebenarnya agak ragu-ragu menyebut nama keduanya. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak akan menyembunyikan nama mereka, karena terlalu banyak orang yang sudah mengenalnya.”

Linggapati, Linggadadi dan pengiringnya termangu-mangu. Namun serasa ada ketegangan di dalam dadanya.

“Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal, “Keduanya adalah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Canipaka, Maharaja dan Ratu Angabhaya dari kerajaan Singasari.”

“O.“ Suatu hentakkan telah menggelepar di dada ketiga orang itu. Ternyata yang dihadapi adalah kedua orang anak muda yang sering disebut sepasang Ular Naga dalam Satu Sarang. Kedua anak muda yang memegang tampuk pimpinan tertinggi di Singasari.

“Sekali lagi aku mohon beribu ampun.“ berkata Linggapati, “Hanya karena kemurahannya saja aku tidak dihukumi mati.”

Lembu Ampal tersenyum melihat sikap Linggapati. Namun keningnya berkerut ketika ia memandang wajah Linggadadi yang buram. Agaknya Linggadadi yang menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan itu mempunyai sikap yang lain dari kakaknya.

Sebenarnyalah bahwa Linggadadi mempunyai sikap yang berbeda. Tetapi ia masih sekali tidak dapat menyatakannya. Karena itulah maka yang nampak di wajahnya hanyalah kemuraman yang gelap.

“Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal kemudian, “Tentu tidak begitu mudah untuk menjatuhkan hukuman mati. Juga atas Ki Sanak bertiga, sehingga bukannya karena kemurahanya semata-mata. Tetapi memang tidak sepantasnya kalian bertiga harus dihukum mati hanya karena salah paham semata-mata.”

“Tentu karena kemurahannya saja.“ sahut Linggapati, “Katakanlah bahwa kita masing-masing tidak mempunyai wewenang apapun untuk menjatuhkan hukuman kepada sesama. Tetapi tanpa kemurahannya, maka dalam perkelahian itu, kami bertiga memang sudah terbunuh. Dengan jujur kami mengakui, bahwa kami bertiga tidak mampu mempertahankan diri dari ilmu yang jauh diluar jangkauan kami itu.”

Lambu Ampal tersenyum. Tetapi ketika ia memandang wajah Linggadadi, maka Lembu Ampal pun menarik nafas dalam-dalam. “Sudahlah Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal kemudian, “Kita akan berpisah. Kali ini aku tidak bertanya siapakah kalian karena suasananya agaknya masih kurang tepat.”

“Ki Sanak menganggap bahwa kami masih akan bersembunyi dibalik nama yang asal saja kami sebut?”

Lembu Ampal tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnyalah bahwa kita masing-masing masih saling mencurigai. Itulah sebabnya, maka aku tidak bertanya, siapakah kalian sebenarnya, karena kalian tentu akan menyebut nama yang salah. Dan kami tidak akan mendapatkan bukti apapun juga untuk menyatakan kesalahan itu. Bahkan seandainya nama-nama itu adalah nama-nama kalian yang sebenarnya.”

Linggapati mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ki Sanak memang bijaksana. Baiklah. Tetapi berterima kasihlah kami bahwa kami diperkenankan mengetahui keadaan Ki Sanak yang sebenarnya, dan terlebih-lebih kedudukan kedua tuanku yang memimpin Singasari ini.”

Lembu Ampal masih tersenyum. Lalu, “Baiklah kita berpisah. Aku akan mengambil harimau yang masih hidup, yang berhasil ditangkap oleh tuanku Ranggawuni dengan tangannya tanpa luka segorespun pada kulit harimau itu.”

“Ha.“ Linggapati mengerutkan keningnya.

“Ya, demikianlah. Tuanku Ranggawuni menangkap harimau itu tanpa mempergunakan senjata apapun juga selain tangannya sendiri.”

Tetapi Lembu Ampal melihat sekilas senyum yang asam di bibir Linggadadi. Namun demikian, Lembu Ampal sama sekali tidak menghiraukannya, meskipun sebagai seorang yang memiliki ketajaman indera dapat menangkap bahwa sebenarnya persoalannya bukanlah persoalan yang dapat selesai tanpa menimbulkan akibat apapun juga. Namun demikian Lembu Ampal masih berharap bahwa orang yang agaknya mempunyai pengaruh yang lebih besar itu dapat mengendalikan orang yang menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan.

Demikianlah, maka Lembu Ampal pun kemudian melanjutkan perjalanannya diikuti oleh para prajurit yang terheran-heran, karena mereka tidak mengetahui apakah yang sebenarnya dibicarakan oleh Lembu Ampal dengan ketiga orang itu. Hanya kemudian, di perjalanan selanjutnya, Lembu Ampal sempat menceriterakan apakah yang sudah terjadi dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Perwira muda ilu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka ternyata terlampau baik hati. Aku masih tetap curiga terhadap orang yang kedua itu. Tatapan matanya sama sekali tidak meyakinkan, bahwa ia dapat mengerti terhadap persoalan yang sebenarnya dihadapinya.”

“Ya.” jawab Lembu Ampal, “Tetapi agaknya yang lain akan dapat meyakinkannya kemudian.”

“Atau sebaliknya.”

Lembu Ampal tertawa. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apapun juga.

Dalam pada ilu, Linggapati, Linggadadi dan seorang pengiringnya masih termangu-mangu. Mereka memandang iring-iringan yang maju dengan lambatnya karena harus mengikuti pedati yang ditarik oleh sepasang lembu.

Dalam pada itu, Linggadadi yang menahan hati tidak dapat membiarkan dadanya retak. Karena itu, dengan suara yang berat ia berkata, “Kakang terlampau merendahkan diri. Apakah sudah selayaknya kita menganggap bahwa atas kemurahan anak-anak itu kita terlepas dari kematian?”

Linggapati tertawa. Jawabnya, “Marilah kita mencoba jujur terhadap diri sendiri. Aku kira, kita memang tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak seharusnya menimbulkan kesan, bahwa sebenarnya kita tidak ikhlas mengalami kekalahan itu.”

“Maksudmu?“

“Biarlah mereka mendapat kesan, bahwa tidak akan ada perlawanan apapun juga yang akan pecah di Singasari. Seolah-olah setiap orang sudah mengakui kebenaran dan kekuasaan kedua anak-anak itu. Juga orang-orang berilmu hitam itu tidak boleh menimbulkan kesan, bahwa Singasari pada suatu saat akan digoncang oleh gempa yang paling dahsyat.”

Linggadadi termenung sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Sementara itu kakaknya masih juga tertawa. Katanya kemudian, “Linggadadi, Kita ternyata harus lebih berhati-hati lagi setelah kita mengenal kedua anak muda itu, bahkan dengan langsung. Kita tidak usah malu mengakui bahwa kita memang tidak mempunyai ilmu yang timbang dengan kemampuan mereka. Pengakuan itu penting sekali bagi kita. Dengan demikian kita akan berusaha untuk meningkatkan ilmu kita. Jika kita sudah merasa memiliki kemampuan yang cukup, maka untuk seterusnya kita akan tetap seperti sekarang. Dan ternyata ilmu kita sekarang tidak banyak berarti bagi kedua anak-anak muda itu. Apalagi dengan dukungan kekuatan Mahisa Agni, Witantra Mahendra dan anak-anak muda yang tentu memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan.”

Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kakang benar. Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa kita harus berkecil hati. Kita masih memiliki beberapa orang tua yang dapat kita anggap tanpa tanding. Jika ternyata bahwa kita terbentur kepada kemampuan ilmu yang tidak terjangkau, maka kita tidak akan kehilangan kesempatan, sebab orang-orang tua yang selama ini berada di antara kita tentu tidak akan tinggal diam.”

“Kau tidak boleh berpikir begitu.“ jawab Linggapati “Kau selalu ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah dan cepat. Landasan pikiran kita sekarang, adalah meningkatkan ilmu sehingga kemampuan kita akan dapat memadai untuk melawan kedua anak-anak muda yang kebetulan saja lahir dalam garis keturunan raja-raja di Singasari.”

Linggadadi mengerutkan keningnya Tetapi ia tidak menjawab lagi.

“Baiklah.” berkata Linggapati kemudian, “Marilah kita meneruskan perjalanan kita. Kita akan singgah sebentar di Kota Raja.”

“Bagaimana jika kita bertemu dengan kedua anak muda itu?” bertanya Linggadadi.

“Kemungkinan itu akan kecil sekali terjadi. Di Kota Raja kedua anak-anak muda itu tidak akan dapat leluasa bergerak, justru karena keduanya adalah Maharaja dan Ratu Angabhaya. Apalagi mereka baru saja kembali dari sebuah perburuan yang lain dari kebiasaan para bangsawan.” Linggapati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi justru itulah kelebihan kedua anak-anak muda itu. Mereka tidak berburu di atas tandu, diiringi oleh prajurit segelar sepapan yang akan menggiring binatang buruan agar lewat di muka tandunya. Perburuan yang demikian adalah perburuan yang tidak berarti.”

“Dan ternyata kedua anak muda itu tidak puas dengan cara yang demikian.” sahut Linggadadi, ”Bahkan menurut perwira yang mengawalnya. Ranggawuni telah menangkap hidup-hidup harimau itu dengan tangannya. Apakah kau percaya?”

Linggapati berpikir sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku percaya. Tentu tuanku Ranggawuni dapat melakukannya. Aku juga melihat beberapa goresan pada tubuhnya. Tentu luka-luka yang dideritanya saat ia berkelahi dengan harimau itu.”

“Goresan-goresan kecil. Apakah kuku macan itu tidak dapat menyobek perutnya.”

“Apakah tuanku Ranggawuni terlelang diam tanpa mengadakan perlawan.“

“Maksudku, karena ia tidak bersenjata apapun juga. Jika ia mempergunakan sebuah pisau belati seperti yang dipergunakannya melawan kita, aku masih dapat mengerti.”

Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Itupula kelebihannya.”

Linggadadi tidak menjawab lagi. la sudah meneruskan perjalanan mereka melalui Kota Raja, meskipun ia agak cemas pula. Karena mungkin sikap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berbeda dengan sikap Lembu Ampal. Tetapi Linggapati sama sekali tidak mencemaskannya. Bahkan seandainya di Kota Raja ia berjumpa dengan kedua anak muda yang sedang memerintah itu, karena keduanya tentu tidak akan berbeda sikap dengan Lembu Ampal.

Dalam pada itu, ketika Linggapati, adiknya dan pengiringnya melanjutkan perjalanannya ke Kota Raja, maka Lembu Ampal pun menjadi semakin dekat dengan hutan perburuan yang lebat itu. Namun perjalanan mereka benar-benar merupakan perjalanan yang lambat dan menjemukan. Bahkan prajurit-prajurit muda yg berkuda di belakang pedati itupun mulai mengeluh.

“Kudaku menjadi lelah sekali dengan perjalanan yang demikian.” desis seorang prajurit yang bertubuh tinggi.

Kawannya menarik nafas dalam. Jawabnya, “Nafasku menjadi sesak. Hampir-hampir tidak tertahan lagi.”

Seorang prajurit yang lebih tua di sebelahnya memandang keduanya berganti-ganti. Lalu, “Kalian telah melalui pendadaran. Agaknya kalian tidak menempuh pendadaran kesabaran seperti yang pernah aku alami.”

“Aku mengalami pendadaran yang keras di arena.” desis prajurit yang bertubuh tinggi itu.

“Nah itulah sebabnya. Aku saat itu mengalami dua macam pendadaran. Pendadaran jasmaniah dan pendadaran rohaniah.”

“Aku juga.” desis prajurit muda itu.

“Tetapi tentu berbeda dengan pengalaman yang pernah aku alami semasa aku memasuki masa pendadaran setelah untuk tiga bulan aku mengalami tempaan sebagai calon prajurit.”

“Tentu aku juga.” desis prajurit muda itu.

“Tetapi kalian sama sekali tidak memiliki kesabaran itu.“

“Ceriterakan, apakah yang pernah kau alami dalam pendadaran kesabaran itu.”

Prajurit yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berceritera. “Menarik sekali. Saat aku selesai pendadaran jasmaniah, maka aku bersama sekelompok calon prajurit yang dinyatakan berhasil dalam pendadaran jasmaniah, ditempatkan di sebuah tempat yang terpisah. Berhari-hari kami menunggu. Ketika kami sudah mulai menjadi jemu, maka perwira yang mengawasi kami itupun bertanya kepada kami, apakah kami masih bersedia untuk menunggu pendadaran yang terakhir. Ketika kami bertanya, kapan maka perwira itu tidak dapat mengatakan. Tergantung kedatangan perwira yang berwenang dari Pajang. Ketika kejemuan sudah memuncak, maka perwira itu berkata, “Kami minta maaf, bahwa perwira yg bertugas untuk menyelesaikan pendadaran itu masih belum datang. Kami tidak dapat mengatakan, kapan pendadaran itu akan diselenggarakan. Karena itu, daripada kalian kehilangan banyak waktu untuk menunggu dalam kejemuan, maka barang siapa yang tidak telaten lagi menunggu dipersilahkan meninggalkan tempat ini.”

“O, menarik sekali.” sahut prajurit-prajurit muda itu.

“Dan ternyata sebagian dari kami memang sudah tidak tahan lagi dalam kejemuan. Mereka pun kemudian meninggalkan tempat terpencil itu. Karena menurut mereka, pendadaran itu tidak akan berlangsung untuk waktu yang lama.”

“Jadi, kapan pendadaran itu diselenggarakan.”

“Tidak ada seorang perwira yang datang.”

“Jadi. tidak ada pedadaran lagi?”

“Tidak.”

“Bagaimana akhir dari pengasingan itu.”

“Itu sajalah. Tanpa ada pendadaran yang lain, kami pun dinyatakan diterima menjadi seorang prajurit. Karena pendadaran yang sebenarnya adalah ketahanan menunggu tanpa berbuat apa-apa itu.“

Prajurit-prajurit muda itu tersenyum sambil mengangguk-angguk Mereka pun mengalami pendadaran kesabaran sesuai dengan keadaan sesaat, dan dengan cara yang berbeda-beda.

Demikianlah iring-iringan itu maju terus dengan lambannya. Para prajurit itu mengisi waktunya dengan bercakap-cakap dan berceritera tentang berbagai macam hal yang mereka anggap menarik. Prajurit-prajurit muda di bagaian belakang kadang-kadang terdengar tertawa meskipun mereka mencoba menahan sekuat-kuatnya.

Lembu Ampal dan perwira muda di sampingnya pun ternyata telah tenggelam dalam pembicaraan yang asyik pula, sehingga mereka hampir tidak menghiraukan lagi prajurit-prajurit yang bercakap-cakap pula di antara mereka. Bahkan prajurit-prajurit muda yang di paling belakang sempat pula bergurau untuk mengisi kejemuan mereka mengikuti pedati yang merayap seperti siput yang paling malas.

Ketika mereka melintasi sebuah padukuhan kecil, dan melintasi sebuah bulak yang panjang, maka Lembu Ampal pun berkata kepada perwira muda itu, “Bulak ini adalah bulak yang terakhir. Kita akan segera sampai pada sebuah padang ilalang dan hutan perdu sebelum kita memasuki hutan yang sudah nampak di hadapan kita itu.”

Perwira muda ilu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa prajurit-prajuritnya sudah mulai menjadi jemu. Namun mereka tidak dapat berbuat lebih daripada melupakan kejemuan itu dengan bercakap-cakap dan bergurau.

Prajurit-prajurit yang ada di dalam iring-iringan itu baru memperhatikan hutan di hadapan mereka, setelah mereka melintasi bulak panjang itu. Meskipun jalan agak sulit dilalui oleh sebuah pedati, namun mereka pun kemudian memasuki hutan yang lebat itu. Tetapi terayata bahwa pada suatu saat, pedati itu tidak dapat maju lagi, sehingga Lembu Ampal harus mengambil kebijaksanaan lain.

“Kita tinggalkan pedati itu di sini, ditunggui oleh beberapa prajurit.” berkata Lembu Ampal.

“Apakah ada orang yang akan mencuri pedati ini.” bertanya seorang prajurit.

“Bukan orang yang akan mencurinya, tetapi mungkin seekor harimau yang garang, yang mencium bau lembu penarik pedati itu. akan datang dan menerkamnya.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Bahkan seorang prajurit muda berkata, “Jika diperintahkan, aku akan menunggui pedati itu. Jika ternyata ada seekor harimau yang datang, aku akan membunuhnya dan mengambil kulitnya.”

“Baiklah.” berkata perwira muda yg memimpin sekelompok prajurit itu, “Tetapi kau tidak boleh meninggalkan pedati ini sama sekali.”

Demikianlah maka empat orang prajurit telah mendapat perintah untuk menunggui pedati itu. Sedang yang lain akan berkuda memasuki hutan itu sampai ke sebuah lapangan kecil di dalam hutan itu.

“Mereka yang menunggui harimau itu tentu sudah menjadi jemu. Lebih jemu daripada kita yang berjalan mengikuti pedati yang merayap ini.” berkata Lembu Ampal kemudian.

Dalam pada itu, Empu Senggadaru memang sudah mulai gelisah menunggu. Tetapi ia masih menyabarkan dirinya. Sekali-sekali ia mendengar harimau yang terikat itu mengaum sambil meronta. Namun harimau itu seolah-olah menjadi putus asa, dan berdiam diri meskipun masih terdengar geramnya yang penuh kemarahan.

Dalam kesempatan itu, setiap kali Empu Baladatu mencoba menjajagi perasaan kakaknya, bagaimanakah sikapnya terhadap kedua anak muda yang sedang memegang pemerintah itu. Tetapi setiap kali ia menjadi kecewa, karena menilik pengamatannya, Empu Sanggadaru terlalu mengagumi kedua anak-anak muda itu. Bukan saja kemampuan dan ilmunya, tetapi juga sikap dan wataknya.

Sambil merenungi harimau loreng yang masih hidup dan terikat keempat kakinya erat-erat dengan janget itu, Empu Sanggadaru berkata, “Jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada seorang anak muda yang sebaya dengan Tuanku Ranggawuni, yang mampu melakukannya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Bagaimana dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan?”

“Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam?” bertanya Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu mengangguk, meskipun terasa getar yang keras mengguncang dadanya.

“Aku tidak tahu pasti tentang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Tetapi menurut pendengaranku, ia adalah anak muda yang luar biasa pula. Menilik bahwa ia adalah anak Mahendra, maka aku kira ia memang mempunyai kelebihan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu ia pun kemudian bertanya dengan ragu-ragu pula, “Kakang apakah kesetiaan rakyat Singasari terhadap kedua anak-anak muda itu cukup mantap?”

“Ya. Aku kira cukup mantap. Tidak ada alasan untuk menolak keduanya. Mereka adalah keturunan Ken Dedes, meskipun dari jalur suami yang berbeda.”

“Apakah pedengaran kakang benar, bahwa Ranggawuni adalah keturunan Tunggul Ametung. sedang Mahisa Cempaka adalah keturunan Ken Arok.”

“Tentu tidak ada orang yang tahu, apakah memang demikian? Tidak seorangpun yang dapat membantah atau membenarkan, bahwa semasa Ken Dedes masih menjadi isteri Akuwu Tunggul Ametung ia memang sudah berhubungan dengan Ken Arok yang waktu itu merupakan salah seorang hamba istana yang paling dekat dengan Akuwu dan Permaisurinya itu. Tetapi keadaan lahiriahnya menunjukkan bahwa saat Ken Dedes kawin dengan Ken Arok yang telah menguasai keadaan itu sedang mengandung. Ketika bayi itu lahir, maka setiap orang menganggapnya bahwa bayi itu adalah putera Akuwu Tunggul Ametung.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bagaimanakah tanggapan kakang terhadap beberapa pendapat, bahwa kedua anak muda itu masih terlampau dungu untuk memegang tampuk pemerintahan, sehingga sebenarnya yang memerintah sekarang adalah orang lain sama sekali. Ia adalah Mahisa Agni, saudara angkat Ken Dedes itu.”

Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, ”Itu adalah wajar sekali. Anak-anak muda itu memerlukan seorang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan cukup. Mahisa Agni adalah seorang tua yang memenuhi syarat itu.”

“Tetapi kakang, bukanlah dengan demikian Mahisa Agni akan dapat berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri saja.”

Empu Sanggadaru tersenyum pula. Katanya, “Seandainya demikian, itupun wajar. Tetapi berapa besar perbandingan yang dapat kita lihat. Usaha yang nampak pada Mahisa Agni sampai sekarang adalah usaha yang sama sekali tidak menyinggung rasa keadilan bagi rakyat Singasari. Meskipun nampak jelas pengaruhnya pada kedua anak-anak muda itu, namun yang dilakukan adalah suatu usaha yang justru membuat Singasari bertambah besar.”

“Apakah itu bukan berarti menarik segala perhatian rakyat ke arahnya, bukan ke arah kedua anak-anak muda yang seharusnya memegang pemerintahan itu?“

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Bahkan iapun kemudian bertanya, “Kenapa kau bertanya demikian Baladatu? Apakah kau merasa, atau mendengar atau melihat sikap seperti itu? Menurut pendapatku, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang demikian. Bahkan orang tua yang bernama Mahisa Agni itu jarang sekali menampakkan dirinya di hadapan rakyat Singasari dengan menengadahkan dadanya, la tetap seorang yang rendah hati dan selalu mengingat akan asalnya. Ia selalu merasa bahwa sebenarnya ia adalah seorang anak padepokan terpencil. Padepokan kecil, sehingga ia tidak terpisah dari lapisan yang telah melahirkannya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia agaknya tidak mempunyai kesempatan untuk melihat kekurangan pada keluarga Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan orang-orang di sekitarnya. Namun demikian ia masih belum berputus asa. la masih akan tetap mencari kelemahan pada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dari segala segi.

Tetapi dalam pada itu. Empu Sanggadaru berkata, “Baladatu. Akupun sudah termasuk orang tua. Aku mengenal beberapa orang yang memerintah di Singasari, bahkan sejak jaman Tumapel. Tidak ada seorang pun yang berhasil memerintah dengan lunak tetapi mantap seperti kedua anak-anak muda ini. Tunggul Ametung adalah seorang Akuwu yang besar, tetapi ia lebih senang mementingkan kesenangan pribadi. Ken Arok adalah seorang yang berusaha untuk mempersatukan daerah yang luas sehingga Singasari menjadi kuat. Tetapi ia telah mengorbankan beberapa ribu jiwa untuk mencapai maksudnya itu. Ia menyiram tanamannya dengan darah meskipun tanamannya menjadi subur. Setelah itu, maka bertahtalah seorang Maharaja yang terlalu baik hati. Kelemahan Anusapati terletak pada kelemahan hatinya itu. Meskipun ia tahu bahwa adiknya, Tohjaya siap membalas dendam, namun ia sendirilah yang justru memberikan kesempatan untuk melakukannya. Perasaan bersalah dan rendah diri selalu mencengkamnya, sehingga ia tidak mampu menjadi besar. Yang terakhir sebelum kedua anak-anak muda ini adalah tuanku Tohjaya. Seorang anak muda yang keras hati, garang dan terlampau dikuasai oleh nafsunya. Ibundanyalah sumber dari kehancurannya itu.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia tidak mempunyai harapan lagi untuk memancing kakaknya, agar ia bersedia berdiri di pihaknya, atau setidak-tidaknya membantunya. Bahkan Empu Baladatu menjadi semakin berdebar-debar ketika kakaknya berkata,

“Baladatu. Aku kira pemerintahan kedua anak muda sekarang ini adalah pemerintahan yang paling mantap. Tidak ada alasan dari seorang pun di antara rakyat Singasari untuk tidak merasa puas atas pemerintahan yang dipimpinnya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Betapun perasaan kecewa menggelepar di dalam dadanya. Namun demikian, Empu Baladatu tidak dapat melupakan kinginannya untuk mencapai sesuatu. Ketika ia sempat melihat ke dalam hatinya, sebenarnyalah bahwa yang mendorongnya untuk melawan pimpinan tertinggi di Singasari bukanlah karena perasaan kecewa atas pemerintahan itu sendiri. Tetapi semata-mata didorong oleh nafsunya untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya paling berharga di muka bumi.

“Maharaja adalah jabatan yang paling utama Kebahagiaan tertinggi bagi seseorang adalah apabila ia dapat menjadi seorang raja yang besar dan memerintah daerah yang luas.“ berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Dan ternyata bahwa Empu Baladalu tidak berpikir terlalu sederhana. lapun mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapinya dalam ushanya memenuhi nafsu yang bergejolak di dalam hatinya. Ia juga mempertimbangkan hati rakyat Singasari dan memperhitungkan kekuatan yang dapat dihimpunnya.

Karena itulah, maka ia mulai dengan membangun kekuatan yang dianggapnya akan dapat menjadi kekuatan yang tidak terlawan. Tetapi sebelum ia berhasil, maka rasa-rasanya, awan yang gelap telah mengalir di atas perguruannya. Hadirnya nama-nama Mahasa Bungalan dan Linggadadi membuatnya menjadi suram.

“Aku harus mencari cara lain.” berkata Empu Baladatu. Dan iapun telah memikirkannya.

“Yang mula-mula harus aku lakukan adalah membinasakan keduanya. Jika aku dapat membujuk kakang Empu Sanggadaru untuk memusuhi keduanya, maka aku akan dapat meneruskan usahaku, merintis jalan ke Singgasana. Meskipun mungkin masih memerlukan waktu yang lama.”

Dalam pada itu, kejemuan benar-benar sudah hampir tidak teratasi lagi oleh Empu Sanggadaru. Rasanya tangannya sudah menjadi gatal, ia tidak biasa duduk termenung, apalagi dalam pakaian seorang pemburu. Meskipun ia dapat bersabar menunggu buruannya di dekat mata air, tetapi ia seolah-olah telah kehilangan kesabarannya itu, untuk menunggui seekor harimau yang masih hidup tetapi terikat keempat kakinya erat-erat.

Setiap kali ia memandangi adiknya, dilihatnya adiknya sedang termenung, memandang gerak dedaunan yang gelisah disentuh angin yang lembut. Namun dalam pada itu, selagi mereka merenungi kejemuan mereka, tetapi karena mereka sedang menjalani tugas yang dibebankan oleh kedua pemimpin tertinggi di Singasari meskipun tidak dalam kedudukannya, sehingga mereka tidak berani meninggalkannya, terasa sesuatu yang agak lain telah menyentuh firasat. Terutama Empu Sanggadaru.

Karena itulah maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah. Diluar sadarnya ia bangkit dan berjalan hilir mudik di antara kedua ekor harimau yang mereka dapatkan dalam perburuan itu. Yang seekor telah mati, sedang yang lain masih hidup meskipun terikat erat-erat.

“Kakang nampaknya gelisah sekali.” tiba-tiba Empu Baladatu bergumam.

“Aku menjadi jemu. Tetapi lebih dari itu, terasa ada sesuatu yang lain. Rasa-rasanya angin bertiup semakin gatal di kulit.”

“Apakah pakaian macanmu itulah yang gatal kakang?”

Empu Sanggadaru masih mengerutkan keningnya, ia masih sempat tersenyum sambil menjawab, “Tentu bukan. Tetapi mungkin pula karena sudah terlalu lama tidak aku pergunakan. Tetapi lebih dari itu, aku menjadi gelisah bukan saja karena kejemuan ini.”

“Apakah kira-kira ada sesuatu yang menyebabkan kakang gelisah? Mungkin kakang masih meninggalkan kuwajiban yang harus kakang lakukan? Atau barangkali karena kakang merasa bahwa sudah waktunya memasuki hutan yang lebat ini lebih dalam lagi“

“Tidak. Bukan itu. Tetapi memang ada persoalan yang belum selesai.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu, “Maksudmu?”

Empu Sanggadaru memandang adiknya sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku minta maaf kepadamu Baladatu. Justru pada saat kau berada di tempat ini. Kegelisahan ini mungkin hanyalah sekedar karena hatiku yang kecut.”

“Apakah sehenarnya yang telah terjadi?”

“Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang akan terjadi. Dan untung pulalah bahwa kedua anak-anak muda, pemimpin tertinggi dari pemerintahan di Singasari itu sudah kembali.”

“Aku tidak mengerti.”

Sekali lagi Empu Sanggadaru menarik nafas dalam sekali. Lalu, “Setiap orang dapat saja tergelincir dalam sikap dan perbuatan yang tidak dikehendakinya sendiri. Dan aku sudah melakukannya.”

”Apa yang sudah kau lakukan?” bertanya adiknya.

”Sikap permusuhan. Benar-benar tidak aku kehendaki. Tetapi itu sudah terjadi.”

Empu Baladatu telah menjadi gelisah pula. Meskipun ia tidak mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi dengan kakaknya, namun iapun dapat menduga, bahwa agaknya sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.

“Baladatu.” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “Tanganku telah terlanjur melakukan tindak kekerasan ketika sekelompok orang-orang yang tidak aku kenal lewat di sebelah padepokan.”

”Apa yang telah terjadi?”

“Empat orang singgah di padepokan. Aku mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang memerlukan persinggahan. Dan aku telah memberikannya. Tetapi ternyata mereka bukannya orang yang berhati bersih.”

“Apakah mereka telah mencuri?”

“Tidak.” Empu Sanggadaru mengeleng, “Aku kira mereka tidak menyadari bahwa mereka berada di dalam sebuah perguruan. Yang nampak pada mereka adalah sebuah padepokan dan hasil buruan itu. Itulah sebabnya, sejak mereka memasuki padepokanku sikapnya benar-benar memuakkan. Meskipun demikian kepada mereka kami berikan tempat untuk bermalam.“ Empu Sanggadaru berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sayang, bahwa salah seorang dari mereka menjumpai seorang endang kecil dari padepokan sedang mengambil air di sumur. Ternyata bahwa gadis itu sangat menarik perhatiannya. Bahkan ternyata kemudian, ia tidak dapat menahan untuk menyapanya. Pembicaraan yang pendek dan keramah-tamahan gadis itu membuat laki-laki itu kehilangan nalar, sehingga ia berusaha untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan peradaban manusia. Ketika gadis yang ramah itu menjerit, beberapa orang berlari-larian medatanginya. Dan yang terjadi kemudian, benar-benar tidak dapat dicegah lagi. Keempat orang itu menganggap para cantrik di padepokanku adalah tikus kecil yang hanya mengenal cangkul dan batang-batang jagung. Karena itulah, maka mereka sama sekali tidak minta maaf, bahkan menuntut agar gadis itu diserahkan kepada mereka. Itulah awal dari peristiwa yang sama sekali tidak aku kehendaki. Ketika aku datang ke tempat itu, karena aku berada di pategalan ketika seorang catrik berlari-lari mencariku, aku menjumpai dua sosok mayat dari keempat orang itu. Sedang yang dua lainnya berhasil melarikan diri. Baru pada mayat itu aku dapat mengenal bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang bersumber pada roh-roh jahat. Ilmu yang sering disebut ilmu hitam.”

Empu Baladatu terkejut mendengar keterangan itu. la sudah terlanjur menerima julukan dari orang-orang yang tidak senang kepadanya, bahwa ilmu yang disadapnya adalah ilmu hitam. Dan kini ada golongan lain yang juga menyedap ilmu yang disebut ilmu hitam itu.

Karena itulah maka dengan serta merta ia bertanya, “Kakang, apakah kakang mengenal ciri-ciri dari orang-orang yang kakang sebut berilmu hitam itu?”

“Aku pernah menjumpai sebelumnya Baladatu. Aku pernah melihat ciri seperti yang nampak pada kedua sosok mayal itu.”

“Apakah ciri itu kakang?”

“Aku melihat kepala serigala yang sedang menganga.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tentu yang dimaksud bukanlah satu atau dua orang anak muridnya, karena tidak seorang pun yang mengenakan ciri-ciri semacam itu. Jika ada orang yang mengenal ciri-cirinya tentu dilihat dari segi tata gerak dan sikapnya. Bukan pada lukisan apapun juga.

“Baladatu.” berkata, Empu Sanggadaru kemudian, “Dua kali aku telah berbenturan dengan mereka. Yang pertama di perjalanan. Dan yang kedua adalah di padepokanku. Aku menduga bahwa dua peristiwa itu sudah cukup alasan bagi mereka untuk melepaskan dendamnya kepadaku.”

“Apakah kira-kira mereka akan menyerang padepokanmu kakang? sehingga kau berniat untuk segera pulang?”

“Aku mendapat firasat buruk. Tetapi aku tidak tahu, apa yang akan terjadi?”

Keduanya pun .kemudian terdiam sejenak. Angan-angan masing-masing melambung ke dalam kegelisahan. Bahkan kemudian Empu Sanggadarupun berkata, “Baladatu, beritahulah kepada kedua pengawalmu, agar mereka berhati-hati. Akupun akan memperingatkan kedua cantrikku pula.”

Empu Baladatu mengangguk. Jawabnya, “Baik kakang. Tetapi apakah menurut kakang ada kemungkinan, mereka akan datang kemari?“

“Aku adalah seorang pemburu, Baladatu. Hidungku sudah terbiasa dapat membedakan bau angin yang bertiup. Dan aku mencium bau yang lain dari bau hutan ini.”

“Ah, tentu orang-orang Singasari yang datang untuk mengambil harimau itu.”

Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, “Bukan. Aku dapat membedakannya.”

“Baiklah.” Empu Baladatu mengangguk sambil berdiri. “Aku akan memanggil kedua peugawalku.”

“Dan kedua cantrik itu sekaligus.“

Empu Baladatu termangu-mangu. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan memanggilnya kemari. Kakang sajalah yang memberitahukan kepada mereka, apa yang akan terjadi.”

Empu Sanggadaru tidak menjawab. Dipandanginya saja adiknya yang melangkah mendekati pengawal-pengawalnya yang sedang beristirahat. Kemudian dua orang cantrik yang sedang berbaring beberapa langkah dari kedua pengawal itu. Sejenak kemudian, maka mereka pun datang mendekat Empu Sanggadaru yang termangu-mangu.

Empu Baladatu pun kemudian duduk pula di sebelah kakaknya yang nampak gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena ia menunggu penjelasan yang akan diberikan oleh kakaknya itu.

“Apakah kalian ingat peristiwa yang telah terjadi di padepokan kita menjelang kedatangan Empu Baladatu?” bertanya Empu Sanggadaru kepada kedua cantriknya.

Kedua cantrik itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, aku ingat Empu. Pembunuhan yang sama sekali terjadi tanpa kami sengaja. Peristiwa itu demikian cepat berlangsung, sehingga ketika kesadaran kami timbul sepenuhnya, kami sudah melihat mayat-mayat yang terkapar.”

“Aku tidak menyalahkan kalian.“ desis Empu Sanggadaru, “Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang adalah akibat dari peristiwa itu.”

“Dendam.”

“Ya. Agaknya mereka akan datang untuk membalas dendam. Aku tidak tahu pasti, apakah mereka akan melakukannya di sini atau di padepokan.”

Kedua cantrik itu termangu-mangu.

“Baladatu.” berkata Empu Sanggadaru, “Peristiwa inilah yang membuat kita terlampau berhati-hati. Ketika kau datang, kau disambut dengan penuh kecurigaan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang kehadirannya di padepokan kakaknya terasa sekali, betapa padepokan itu diselubungi oleh suatu rahasia. Dan kini ia mengetahui, salah satu sebab kenapa seisi padepokan itu menjadi sangat berhati-hati.

“Empu.” berkata salah seorang cantriknya, “Jika demikian, apakah tidak sebaiknya kita segera kembali ke padepokan. Jika mereka menemukan padepokan itu kosong, maka mereka akan berbuat apa saja tanpa dapat dikendalikan.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kita tidak perlu kembali ke padepokan. He, Baladatu. Apakah kau masih mengira bahwa yang datang itu orang-orang dari Singasari.”

Mata Empu Baladatu tiba-tiba saja terbelalak. Telinganya memang mendengar sesuatu, dan matanya melihat daun yang bergerak-gerak, tetapi tidak oleh angin. “Kau benar kakang.” jawabnya.

Tetapi Empu Sanggadru masih duduk dengari tenangnya. Katanya, “Mereka tidak usah kita sambut di padepokan. Agaknya mereka memang tidak sabar menunggu kehadiran kita dari perburuan.”

“Maksud Empu.“ desis salah seorang cantriknya.

“Perhatikanlah keadaan di sekitarmu. Mungkin kau akan segera mengetahui.”

Cantrik itu termangu-mangu. Demikian juga kedua pengawal Empu Baladatu. Namun mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki. Sejenak kemudian seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang meloncat dari dalam semak-semak. Kedua cantrik dan kedua pengawal Empu Baladatu terkejut. Mereka bergeser setapak. Namun kemudian mereka pun berloncatan pula sambil meraba hulu senjata masing-masing.

Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru masih tetap duduk di tempatnya. Mereka sama sekali tidak terkejut, karena mereka sudah mendengar dan melihat dedaunan yang bergerak. Namun demikian, dada mereka bergejolak ketika mereka melihat di sekitarnya beberapa orang yang berloncatan pula. Jumlahnya terlalu banyak dari dugaan mereka.

“Siapa di antara kalian yang bernama Sanggadaru.” geram orang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.

Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu berdiri sambil memandang berkeliling.

“Lima belas orang. Aku hanya membawa lima belas orang. Tetapi lima belas orang ini akan cukup membinasakan kalian semuanya, dan orang-orang di padepokanmu.”

Empu Sanggadaru maju selangkah. Jawabnya, “Akulah yang bernama Sanggadaru.”

“Aku sudah menyangka. Kau yang mengenakan pakaian aneh-aneh itulah yang bernama Sanggadaru, yang merasa dirinya jantan tanpa tanding.”

“Aku kurang mengerti. Tetapi menilik ciri gambar pada pergelangan tanganmu itu. aku sudah menduga, apakah yang telah mendorongmu mencari aku.”

“Kau benar-benar seorang yang jantan. Kau benar. Aku memang ingin menuntut balas. Kematian kedua muridku membuat perguruanku goncang.”

“Kau sudah datang ke padepokanku?”

“Ya.”

“Kau sudah membakar padepokan itu dan membunuh semua isinya.”

“Belum. Aku mendengar dari cantrik-cantrikmu yang menggigil ketakutan, bahwa kau sedang pergi berburu. Aku bukan pengecut. Aku sengaja mencarimu. Jika aku sudah membunuhmu, maka padepokanmu akan aku kuasai dengan seluruh isinya. juga gadis yang menumbuhkan persoalan itu. Bahkan semua perempuan yang ada.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya beberapa orang yang berdiri tegak di sebelah menyebelah orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.

“Mereka adalah orang-orang kepercayaanku.” kata orang bertubuh tinggi itu, “Meskipun jumlah kami hanya lima belas, tetapi kami dapat meratakan hutan ini.”

“Siapakah namamu Ki Sanak.“ bertanya Empu Sanggadaru tiba-tiba.

Orang itu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang Empu Baladatu. Dua orang cantrik dan dua orang pengawal. Baru kemudian ia berkata, “Tidak ada gunanya kau bertanya tentang namaku. Juga nama orang-orangku. Yang penting, kami adalah orang-orang yang tidak dapat dihina dengan cara apapun juga. Kami adalah orang-orang dari Perguruan Serigala Putih.”

“O.” desis Empu Sanggadaru “Ciri serigala itu menunjukkan siapakah kalian. Kalian adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam. Tetapi bahwa kau menyebut perguruamnu dengan nama serigala putih adalah sangat mengejutkan.”

Pemimpin perguruan serigala putih itu tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Kenapa kau persoalkan nama yang telah kami pilih. Serigala Putih. Bagus selagi. Meskipun orang lain menyebut kami berilmu hitam.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. “Memang tidak ada hubungan antara nama dan landasan ilmumu itu. Kau dapat memilih nama yang paling bagus sekali pun Menur putih misalnya. Atau barangkali nama sejenis burung yang paling indah.”

“Cukup.” bentak pemimipin Serigala Putih itu, ”Jangan mencoba bergurau untuk melunakkan hatiku. Sekarang aku akan menuntut tanggung jawabmu atas kematian orang-orangku di padepokanmu.”

“Baiklah.” Empu Sanggadaru menarik nafas, “Tetapi apakah kau sudah mengetahui sebab-sebabnya?“

“Orang-orangku sudah mengatakan kepadaku.”

“Apakah mereka berkata dengan jujur?”

“Orang-orangku adalah orang-orang yang jujur. Mereka mengatakan kepadaku, bahwa orang-orangmu marah karena orang-orangku yang kebetulan bermalam di padepokanmu menginginkan seorang gadis. Hanya seorang gadis yang tidak berarti. Tetapi kau membunuh orang-orangku. Orang laki-laki.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ya. Orang-orangmu ternyata jujur. Orang-orangmu ingin merampas seorang gadis. Dan itu menumhuhkan kemarahan pada kami.”

“Itu adalah alasan yang gila. Seharusnya kalian membiarkan gadis itu. Apalagi berakibat jatuhnya korban. Dan korban itu adalah laki-laki.”

“Aku tidak mengerti.” desis Empu Sanggadaru.

“Itulah kebodohanmu. Bagi kami. perempuan tidak ada harganya. Setiap perempuan yang masih belum dimiliki oleh siapapun juga, ia tidak berhak menolak keinginan seorang laki-laki atasnya. Perempuan bagi kami adalah beban. Jika mereka bukannya lantaran untuk melahirkan keturunan, maka mereka tentu akan kami musnahkan.”

Terasa sesuatu bergejolak di dalam dada Empu Sanggadaru. Sekilas ia memandang wajah Empu Baladatu yang berkerut. Ternyata Empu Baladatu pun menjadi heran. Bahkan hampir diluar sadarnya ia bertanya “Jadi, kalian benar-benar tidak menghargai perempuan?”

“Ilmu kami adalah ilmu yang paling baik di seluruh muka bumi. Bagi kami, perempuan adalah mahluk yang sama sekali tidak berharga. Tetapi meskipun demikian, kami memerlukannya, karena kami menginginkan anak. Terutama anak laki-laki, meskipun kami memelihara anak-anak perempuan pula.”

“Jadi, harga seorang perempuan tidak lebih dan tidak kurang dari yang kau katakan?”

“Masih ada nilai yang lain. Kadang-kadang kami memerlukan perempuan seperti yang terjadi pada orang-orangku yang kalian bunuh itu.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sebabnya, maka kalian disebut berilmu hitam. Tentu kalian pernah pula pada suatu kali mengorbankan seorang gadis untuk ilmumu yang sesat itu.”

“Darimana kau mengetahuinya?“ berkata pemimpin serigala putih itu.

“Aku pernah mendengar ilmu seperti yang kau anut sekarang. Tetapi masih ada jenis ilmu hitam yang lain. Ilmu yang mempergunakan titik darah seseorang bagi kekuatan tenaga yang terlontar dari ilmu itu. Dan sudah tentu, bahwa keduanya adalah ilmu yang biadab.”

Dada Empu Baladatu tergetar mendengar kata-kata kakaknya itu. la sadar, bahwa kakaknya banyak mengetahui tentang ilmu yang disebut ilmu hitam yang ternyata ada beberapa macam jenis dan cara penyadapannya.

Namun demikian, Empu Baladatu masih berusaha menyimpan gejolak perasaanya di dalam hatinya. Bahkan ia masih bertanya, "Ki Sanak. Seandainya kalian tidak menghargai perempuan, itu adalah tata cara di dalam lingkunganmu. Tetapi kau tidak dapat menerapkan adat itu pada orang lain yang memiliki tata cara dan adat yang berbeda.”

“Itu adalah perbuatan pengecut. Kau sangka bahwa aku merasa wajib menghargai tata cara dan adat orang lain. Ternyata kalian telah terperosok ke dalam kebodohan. Kalian menganggap bahwa kematian itu merupakan peringatan yang membuat kami jera. Tidak. Kami justru datang untuk menguasai kalian, padepokan kalian dan semua perempuan di dalamnya. Dan kalian tahu, apa gunanya kami masih juga memelihara perempuan-perempuan, seperti kami memelihara ternak, agar jenis manusia seperti juga jenis bermacam-macam binatang tidak punah karenanya.”

“Itu pikiran gila.” geram Empu Baladatu, “Mungkin aku juga termasuk orang liar seperti kalian, tetapi aku masih menghargai jenis manusia, apakah ia perempuan apakah laki-laki seperti kami masih merasa memerlukan kawan dari orang-orang yang harus memelihara anak keturunan kami.”

“Jangan mengigau. Aku tidak peduli anggapan orang-orangku. Karena yang bertanggung jawab adalah Sanggadaru, maka aku akan membunuhnya sekarang.”

Empu Sanggadaru menarik nafas. Dalam sekali. Sekilas dipandanginya Empu Baladatu dan kedua pengawalnya. Katanya kemudian, “Baladatu. Kau adalah tamu di sini. Kau seharusnya tidak terlibat dalam kesulitan semacam ini. Karena itu, jika kau merasa bahwa kau tidak ikut bertanggung jawab, tinggalkan tempat ini, Mudah-mudahan orang-orang berilmu hitam itu cukup jantan dengan membiarkan orang-orang yang tidak bersalah menyingkir.”

Tetapi Empu Baladatu bukanya seorang penakut meskipun ia cukup licik. Orang-orangnya pun pernah melakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang disebut kakaknya berilmu hitam itu. Bahkan ia sendiri pernah melakukan kebiadaban yang barangkali senada. Namun kini, ia merasa dirinya terikat pada jalur darah keturunan. Empu Sanggadaru adalah kakaknya, sehingga ia tentu tidak akan dapat membiarkannya terjerumus dalam kesulitan justru di depan hidungnya.

Karena itu, maka menjawab, “Kakang, aku sudah berada di sini. Aku kira, yang paling baik aku lakukan adalah bersamamu melawan orang-orang itu. Aku tidak menghiraukan apakah mereka benar atau salah. Tetapi yang penting, ia sudah memusuhi orang yang di sini bersamaku dalam perburuan ini. TerIebih lagi ia adalah kakakku.”

“Persetan “ geram pemimpin dari kelompok yang menyebut diri mereka Serigala Putih, “Aku akan membunuh kalian. Seandainya kau akan laripun tidak akan aku berijalan. Kalian, siapapun juga, harus mati di sini. Dan aku akan kembali ke padadepokanmu sambil.membawa kepalamu. Dengan demikian seisi padepokan itu akan menyerah dan menjadi orang-orangku. Mereka tentu tidak akan dapat mencegah lagi, apapun yang akan kami lakukan terhadap perempuan-perempuan di padepokan itu.”

Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Katanya, “Baiklah Ki Sinak. Sebenarnyalah bahwa kami pun bukan orang alim yang lembut. Kami juga orang liar dan mungkin juga biadab. Karena itu, seperti yang dikatakan adikku, marilah, seperti seekor harimau yang bertemu dengan kawanan serigala. Tentu saja di antara kami tidak akan dapat dengan lemah lembut mempersilahkan pihak lain menggigit leher, atau menyobek perut.”

Orang-orang dari kelompok Serigala Putih itu menjadi tegang. Dengan satu isyarat mereka pun kemudian menebar, lima belas orang dengan senjata telanjang di tangan.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya ketika terpandang olehnya seekor harimau hidup yang terikat. Harimau itu adalah milik Maharaja Singasari. Jika ia terbunuh, tidak mustahil harimau itupun akan dirampas pula oleh orang-orang yang mengaku diri bernama Serigala Putih. Sejenak kemudian, maka kelima belas orang berilmu hitam itu tiba-tiba telah melingkari keenam orang yg sedang menunggui dua ekor harimau hasil buruan itu.

Empu Baladatu menjadi bedebar-debar melihat sikap itu. Sepercik pertanyaan telah melonjak di dalam hatinya. “Apakah orang yang menyebut Serigala Putih itu juga mempergunakan ilmu yang serupa?“

Sejenak Empu Baladatu masih menunggu. Namun tangannya telah menggenggam sebatang tombak pendek. Dengan sengaja ia tidak mempergunakan pisau belatinya, agar ia tidak terjerat ke dalam tindakan yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai orang berilmu hitam pula. Kedua pengawal Empu Baladatu telah menggenggam pedangnya. Dengan isyarat kedua pengawalnya menyadari, bahwa mereka tidak langsung masuk ke dalam ilmu mereka yang paling mantap.

Sementara itu Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya telah bersiap pula. Mereka berdiri berdekatan. Agaknya cara itu adalah cara yang paling baik untuk melawan jumlah yang jauh lebih banyak.

“Jika kalian menyerah.” berkata pemimpin Serigala Putih itu, ”Mungkin aku masih mempunyai beberapa pertimbangan. Yang harus mati adalah Sanggadaru. Yang lain mungkin masih akan dapat melihat matahari terbit esok pagi.”

Tidak ada yang menjawab. Empu Baladatu berdiri tegak bagaikan patung dengan tombak bertangkai pendek di tangannya. Namun setiap kali diluar sadarnya, ia masih juga meraba pisau belati panjangnya.

Sejenak ketegangan telah mencengkam tempat itu. Orang-orang berilmu hitam dari kelompok Serigala Putih itu telah siap dengan senjata masing-masing. Ternyata senjata mereka bukanlah pisau-pisau belati pendek atau panjang atau pisau belati rangkap, tetapi sebagian besar dari mereka adalah bersenjata pedang. Pemimpinnya memegang senjata yang agak lain, sebuah bindi yang bergerigi. Sedangkan seorang yang lain, memegang sebilah keris yang besar dan panjang, seperti sebilah pedang.

Pemimpin Serigala Putih itu kemudian melekatkan jari-jarinya di mulutnya. Ketika terdengar mulut itu bersuit nyaring, maka mulailah kelima belas orang itu bergerak. Mereka melangkah maju dengan senjata yang teracu. Keenam orang yang berada di dalam lingkaran itu telah bersiap menghadapi kemungkinan. Senjata mereka bagaikan bergetar di tangan yang bergetar pula.

Sejenak kemudian, maka terdengar sebuah teriakan nyaring, bukan lagi sebuah suitan. Agaknya perintah itulah yang menentukan, kapan orang-orang Serigala Putih itu mulai berloncatan menyerang dengan dahsyatnya. Ternyata bukan senjata mereka sajalah yang bergerak menyambar, tetapi mulut mereka pun berteriak-teriak tidak keruan. Keras dan kasar.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya melihat sikap yang kasar dan keras itu. Tetapi ia tidak boleh membuat pertibangan-pertibangan terlalu banyak karena lawan-lawannya telah berloncatan menyerang dengdn garangnya.

Dengan hati-hati Empu Sanggadaru menempatkan dirinya dekat dengan kedua cantriknya. Mereka berdiri saling membelakangi. Beberapa langkah dari mereka Empu Baladatu telah mempersiapkan diri pula bersama kedua pengawalnya. Tetapi mereka pun bersikap lain dari Empu Sanggadaru. Mereka lebih senang bertempur di tempat yang luas, karena sudah menjadi kebiasaan mereka untuk mempergunakan tata gerak yang panjang meskipun untuk melayani lawannya kali ini, mereka tidak langsung berada di dalam sebuah lingkaran yang berputaran.

Ternyata orang-orang yang berilmu hitam yang tergabung di dalam kelompok yang disebut Serigala Putih itu tidak mempergunakan cara yang selama itu dipakai oleh Empu Baladatu, Mereka tidak bergerak dalam lingkaran yang berputaran.Tetapi mereka menyerang lawannya bersama-sama. Mereka telah membagi diri untuk menghadapi lawannya yang terpecah pula.

Pemimpin Serigala Putih itu bersama beberapa orang pengiringnya bersama-sama menyerang Empu Sanggadaru yang bertempur berpasangan dengan kedua cantriknya. Sementara itu beberapa orang yang lain telah menyerang Empu Baladatu dan kedua pengawalnya yang bertempur terpisah.

Dalam benturan pertama, sudah terasa, betapa Empu Sanggadaru mempunyai kekuatan yang tidak terduga oleh lawannya. Pemimpin Serigala Putih itu terkejut ketika senjatanya membentur senjata Empu Sanggadaru. Hampir saja senjatanya terlepas. Untunglah bahwa ia sempat meloncat surut dan memperbaiki keadaan, sementara beberapa orang-orangnya telah melindunginya.

Dengan demikian maka Empu Sanggadaru dapat menjajagi, bahwa meskipun lawannya berlipat jumlahnya, namun ia masih mempunyai kesempatan untuk keluar dari lingkaran maut itu. Dalam pada itu sekilas ia melihat adikmu yang sedang menghadapi tiga orang sekaligus. Dengan garangnya Empu Baladatu menangkis setiap serangan, dan bahkan kemudian ia pun menyerang dengan garangnya pula. Empu Sanggadaru menjadi agak tenang. Nampaknya adiknya tidak segera mengalami kesulitan.

“Mudah-mudahan kami mampu mempertahankan diri.” gumam Empu Sanggadaru di dalam hatinya.

Ternyata bahwa Empu Sanggadaru yang telah berhasil membunuh seekor harimau dengan tangannya itu benar-benar memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun masih nampak goresan-goresan luka di tubuhnya, yang sudah tidak mengalirkan darah lagi, namun itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Ia masih tetap lincah dan garang.

Namun dalam pada itu, kedua pengawal Empu Baladatu yang masing-masing harus bertempur melawan dua orang, ternyata pada permulaan perkelahian itu sudah nampak, bahwa mereka akan segera menemui kesulitan, justru karena mereka bertempur dengan cara yang tidak biasa mereka lakukan.

“Bertahanlah dengan caramu itu.” teriak Empu Baladatu.

Kedua pengawalnya tidak menyahut. Tetapi mereka terdesak mundur. Empu Baladatu yang kemudian mempergunakan setiap kesempatan untuk menolong kedua pengawalnya. Ia bertempur seperti seekor burung. Meskipun ia tidak berlari-lari melingkari lawannya, namun ia mempergunakan ruang yang luas untuk mengatasi kesulitannya.

Sikapnya memberikan contoh kepada kedua pengawalnya. Seperti Empu Baladatu, maka mereka pun mempergunakan cara yang serupa. Meskipun mereka tidak dapat melingkari lawannya, namun gerakan yang panjang itu rasa-rasanya telah memberikan nafas kepada mereka. Loncatan-loncatan yang jauh, dan sekali-sekali tidak dapat menyembunyikan unsur gerakan melingkar, telah membuat lawannya harus menyesuaikan diri.

Itulah kemenangan mereka. Mereka sudah terbiasa berkelahi dengan gerakan dan tenaga yang banyak. Berlari-lari berputaran untuk waktu yang lama. Dan kini mereka pun tidak segera diganggu oleh pernafasan mereka yang terlatih ketika mereka bertempur sambil berloncatan, dan bahkan berlari-lari.

“Licik.” tiba-tiba salah seorang dari kelompok Serigala Putih itu berteriak karena lawannya selalu menghindar menjauhkan kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan loncatan yang panjang.

“Siapkah yang lebih licik.“ jawab salah seorang pengawal Empu Baladatu, “Kalian bertempur berpasangan. Jika aku hanya menghadapi seorang lawan, aku akan mempergunakan cara yang lain.”

Lawannya menggeram. Mereka mencoba untuk mengurung gerak pengawal Empu Baladatu. Tetapi mereka tidak berhasil karena pengawal-pengawa itu mampu bergerak jauh lebih lincah dan cepat. Selebihnya pernafasan mereka pun lebih terlatih untuk melakukan gerakan yang jauh lebih banyak lagi.

Sementara itu, lawan Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya telah membelah kelompoknya dan mengepung mereka bertiga. Delapan orang yang dipimpin langsung oleh pimpinan gerombolan orang berilmu hitam yang bernama Serigala Putih itu.

Namun nampaknya Empu Sanggadaru memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan melampaui pemimpin gerombolan Serigala Putih itu, sehingga karena itu, maka setiap serangannya tentu telah menyibakkan lawan-lawannya.

Tetapi lawan terlalu banyak. Sebanyak yang menyibak, maka sebanyak itu pulalah yang datang menyerang, sehingga Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya harus bertempur mati-matian. Namun betapun mereka mengerahkan tenaganya, tetapi mereka tidak banyak dapat bernafas. Mereka bahkan kemudian hampir-hampir tidak sempat menyerang sama sekali. Yang dapat mereka lakukan adalah sekedar mempertahankan diri.

Meskipun demikian, Empu Sanggadaru masih berusaha. untuk melihat kelemahan kepungan lawannya. Jika dengan serta merta Empu Sanggadaru menyerang dinding kepungan yang hanya selapis itu. ia masih melihat kemungkinan untuk keluar. Tetapi ia tidak mau meninggalkan kedua cantriknya didalam kesulitan. Karena itulah, sebelum menemukan suatu cara yang paling baik untuk mematahkan kepungan itu, maka Empu Sanggadaru masih membatasi diri, sekedar bersama-sama dengan kedua cantriknya untuk bertahan.

Dalam pada itu, Empu Baladatu ternyata dapat lebih leluasa melakukan perlawan meskipun lebih banyak berloncatan dan berputar-putar. Bahkan dengan sengaja ia membuat lawan-lawannya menjadi semakin marah karena Empu Baladatu dan kedua pengawalnya telah membuat pepohonan menjadi perisai dan perlindungan. Mereka berlari-lari berputaran mengelilingi pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitarnya.

“Licik, gila.” teriak salah seorang lawannya, “Kenapa kau tidak bersikap jantan? Kemarilah. Kita bertempur di tempat yang lapang dan terbuka.”

“Jika kalian berjanji untuk berkelahi seorang melawan seorang, aku tidak berkeberatan. Aku akan melawan tiga orang berurutan, tidak sekaligus. Dan aku akan membunuh tiga orang itu pula berurutan.“ jawab Empu Baladatu.

“Persetan.” geram lawannya.

Dengan demikian, maka Empu Baladatu masih saja bertempur di antara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali ia berlari-larian di antara pepohonan, namun tiba-tiba ia meloncat menyerang dengan tiba-tiba. Bahkan tanpa dapat menghindarkan diri dari pengaruh ilmunya yang sebenarnya, kadang-kadang Baladatu pun berlari berputaran.

Demikian pula kedua pengawalnya. Mereka pun bertempur dengan cara yang sama. Tetapi karena mereka tidak memiliki ilmu semantap Empu Baladatu, maka mereka lebih banyak berlari-lari menghindar daripada menyerang. Namun demikian kadang-kadang mereka pun dapat menyerang dengan tiba-tiba dan membahayakan lawannya.

Empu Sanggadaru melihat cara bertempur adiknya dengan heran. Ia sama sekali tidak segera dapat melihat, ilmu yang manakah yang nampak pada adiknya itu. Ia mendapat ilmu dasar yang sama dengan Baladatu. Namun dalam perkembangannya menjadi sangat jauh berbeda.

Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat menilai adiknya lebih lama lagi. Ia mengambil kesimpulan, bahwa yang dilakukan oleh Baladatu adalah semata-mata untuk mengatasi kesulitan sesaat yang datang tidak terduga-duga itu. Memang tidak terlalu mudah untuk melawan tiga orang sekaligus. Seperti yang dialaminya, bahwa ia harus melawan delapan orang bersama-sama dengan dua orang cantriknya itu.

Namun bagaimanapun juga, karena orang-orang Serigala Putih itupun memang sudah membekali dirinya dengan ilmu pula, ternyata bahwa lawan-lawan mereka akan sulit dapat bertahan terlalu lama. Empu Baladatu yang berlari-larian pun akhirnya harus mengakui kelebihan tiga orang lawannya bersama-sama. Mereka kemudian menemukan cara untuk memotong setiap gerakan Empu Baladatu. Sementara itu kedua pengawalnya pun mengalami kesulitan pula.

Seperti Empu Baladatu, Empu Sangadaru pun mengalami tekanan yang sangat berat. Semakin lama terasa semakin berat. Apalagi pimpinan Serigala Putih itu ada di antara mereka yang beramai-ramai mengepung Empu Sanggadaru.

Sorak dan teriakan masih saja mengumandang di hutan itu. orang-orang berilmu hitam itu agaknya dengan sengaja mempengaruhi jiwanya dengan suara-suara yang mengejutkan dan keras. Sangat keras. Namun agaknya teriakan-teriakan itu juga memberikan tekanan dan dorongan pada setiap gerak yang mereka lakukan.

Jika untuk beberapa lama, keenam orang itu masih dapat bertahan, itu adalah karena ternyata mereka memiliki ilmu yang lebih baik dari lawan-lawannya. Tetapi perbedaan jumlah ternyata telah sangat menentukan pula.

Ketika desakan lawannya menjadi semakin berat, maka rasa-rasanya ujung senjata mereka telah mulai menyentuh kulit. Dengan mengerahkan ilmu dan tenaga, keenam orang itu masih dapat menghindar dan menangkis setiap serangan. Tetapi mereka pun mulai dirayapi oleh pengakuan, bahwa mereka menjadi sangat lelah karenanya, sehingga dengan demikian, maka perlawanan mereka pun mulai surut.

Pemimpin Serigala Putih itu melihat, bahwa Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya tidak lagi segarang sesaat ketika mereka mulai dengan pertempuran itu. Meskipun kekuatan Empu Sanggadaru masih menggoncangkan hati lawan-lawannya, namun, terutama pada kedua orang cantriknya, rasa-rasanya perlawan sudah menjadi kendor.

“Kami hanya menunggu saat itu datang.“ berkata pemimpin Serigala Putih itu. “Kematian memang sudah membayang. Tetapi agaknya kalian ingin disebut jantan. Mati dengan senjata di tanganku.”

Empu Sanggadaru tidak menyahut. Ia memusatkan perhatiannya pada usaha untuk memecahkan kepungan. “Apakah aku sendiri harus keluar dari kepungan itu dan membantu kedua cantrik itu dari luar lingkaran?” pertanyaan itu mulai menggelitik hatinya.

Tetapi Empu Sanggadaru tidak sampai hati meninggalkan kedua cantriknya yang setia itu. Jika ia terlambat, maka keduanya tidak akan tertolong lagi karena tekanan lawan seolah-olah sudah tidak terbendung lagi.

Demikian pula keadaan Empu Baladatu. Bagi Empu Baladatu sendiri, meskipun ia harus melawan tiga orang tetapi ia masih melihat kemungkinan baginya menyelamatkan diri di sela-sela pepohonan, meskipun seandainya ia harus melarikan diri. Tetapi kedua orang pengawalnya, benar-benar telah mengalami tekanan yang hampir tidak teratasi.

Yang kemudian terjadi adalah benar-benar mencemaskan. Seandainya pada saat yang dekat, Empu Baladatu dan Empu Sanggadam masih dapat bertahan, tetapi jika para pengawalnya dan cantriknya terbunuh, maka akan datang saatnya, keduanya pun akan terbunuh pula.

Tetapi Empu Sangggadaru tidak akan ingkar. Seandainya ia harus mati karena dendam yang menyala di hati lawan-lawannya itu, ia sudah ikhlas. Tetapi yang mendebarkan jantungnya justru akibat dari kematiannya. Orang-orangnya di padepokan tentu akan mengalami perlakukan yang sama sekali tidak diinginkan.

“Jika aku sempat mengumpulkan kekuatan di padepokan. maka tentu tidak akan dapat terjadi perlakuan serupa.“ desis Empu Sanggadaru di dalam hatinya. Tetapi yang terjadi sudah terlanjur terjadi. Ia tidak berada di antara anak buahnya.

“Adalah suatu kelengahan bahwa dalam keadaan yang gawat aku meniggalkan padepokanku.” ia melanjutkan di dalam hati, “Tetapi semata-mata karena keinginanku untuk mengantarkan adikku melihat isi hutan ini. Dan aku sama sekali tidak memperhitungkan bahwa hal itu akan terjadi saat ini, justru ketika aku sedang terpisah dari cantrik-cantrikku.”

Tetapi semuanya itu sekedar penyesalan yang tidak akan berarti apa-apa. Ia harus bertempur dan tanpa dapat lagi menghindari kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Namun dalam kesulitan itu, tiba-tiba semua pihak yang sedang bertempur terkejut ketika beberapa orang muncul dari balik gerumbulan-gerumbulan perdu di sekitar lapangan kecil yang menjadi arena perkelahian itu. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa yang datang itu adalah beberapa orang prajurit dalam pakaian keprajuritan.

“Apakah yang telah terjadi.” berkatanya seorang paling di antara mereka.

Empu Sanggadaru segera mengenal orang itu, meskipun ia berpakaian keprajuritan. Karena itu, ia pun menjawab, “Kami sedang menghadapi dendam yang membakar hati kelompok Serigala Putih. Sekelompok orang yang berilmu hitam.”

“He?” Lembu Ampal terkejut. Baru saja ia disangka oleh tiga orang yang tidak dikenalnya, sebagai orang-orang berilmu hitam. Dan kini ia benar-benar berhadapan dengan sekelompok orang yang disebut berilmu hitam.

Sejenak Lembu Ampal sempat mengamati pertempuran yang agaknya telah terganggu itu. Dengan kening yang berkerut ia berkata, “Aku sudah beberapa saat mengintip pertempuran ini dari balik gerumbul. Ketika aku mendekati tempat ini untuk mengambil harimau itu bersama beberapa orang prajurit, aku mendengar suara ribut. Orang-orang yang berteriak dan memaki-maki. Karena itulah, maka kami memutuskan untuk mendekati tempat ini dengan diam-diam. Dan sekarang, ternyata bahwa di tempat ini telah terjadi pertempuran.”

“Persetan.” geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu, “Jangan ganggu kami. Jika kalian ingin mengambil harimau itu, ambillah. Kami tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan kalian.”

“Mungkin. Tetapi kami mengenal Empu Sanggadaru. Karena itu, mau tidak mau, kami pun akan tersentuh juga oleh persoalan yang sedang terjadi sekarang ini.”

“Jika kau mengenalnya, itu bukan berarti bahwa kau telah terlibat dalam persoalannya. Sanggadaru telah membunuh beberapa orang dari padepokanku. Dan aku kini datang untuk menuntut balas.”

“Tetapi pembunuhan itu tidak terjadi dengan semena-mena.” sahut Empu Sanggadaru, “Orang-orangmu telah melanggar adab yang berlaku dalam pergaulan manusia.”

“Aku tidak mengakui peradaban orang lain, kecuali yang berlaku di dalam lingkungan kami. Karena itu, kami tidak dapat dipersalahkan. Apalagi dibunuh.”

Lembu Ampal yang mendengar keterangan itu, dapat mulai melihat meskipun samar, persoalan apakah yang sedang terjadi. Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Adalah kuwajiban kami untuk mencegah pertengkaran yang terjadi seperti sekarang ini. Karena itu, marilah kita selesaikan persoalan ini sebaik-baiknya.”

“Ia telah membunuh orang-orangku. Dan itu sudah terjadi. Penyelesaian yang paling baik bagiku adalah tebusan kematian dengan kematian.”

“Tetapi kematian itu tentu ada sebabnya. Jika sebabnya itu cukup besar, sehingga kematian itu tidak dapat dihindarkan, maka penilainya harus berbeda.“ jawab Lembu Ampal.

“Demikian juga kali ini. Jika terjadi pembantaian karena alasannya cukup kuat maka itupun tidak dapat dicegah dan harus mendapat penilan yang lain pula.“ teriak pemimpin Serigala Putih itu.

“Kami mempertahankan kehormatan seorang gadis.” tiba-tiba saja Empu Sanggadaru memotong, “Itulah sebabnya kami terpaksa membunuh beberapa saat yang lampau.”

“Kehormatan seorang perempuan tidak berarti apa-apa bagi kami.” teriak pemimpin Serigala Putih itu.

Lembu Ampal memandang wajah pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Serigala Putih itu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang datar ia bertanya, ”Apakah memang demikian penilaianmu terhadap seorang perempuan?“

“Ya.”

“Tetapi apakah kau menyadari bahwa kau juga dilahirkan oleh seorang perempuan? Bahkan ibumu yang mengasuhmu sejak bayi itupun seorang perempuan?”

Pemimpin Serigala Putih itu termangu-mangu sejenak. Tetapi karena ia sudah berdiri dialas suatu sikap yang keras, maka iapun berteriak, “Apa peduliku dengan ibuku? Ia memang seorang perempuan. Tetapi ia hanyalah sekedar alat untuk melahirkan aku dan memeliharaku karena kewajiban.“

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika itu pendirianmu, maka sebaiknya aku memperingatkanmu, jangan mempertahankan sikap dan pendirian yang salah itu dengan menambah kematian. Apakah itu anak buahmu sendiri, atau anak buah orang lain.”

“Persetan. Apa pedulimu?”

“Lihat Ki Sanak.” berkata Lembu Ampal, “Aku tidak sendiri.”

“Berapa banyak prajuritmu. Kami dengan lima belas orang akan membinasakan seisi hutan ini, termasuk prajurit-prajurit yang tersesat ke dalamnya.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu memang sudah mengeraskan hatinya, sehingga tidak dapat diajak berbincang lagi. “Ki Sanak.“ berkata Lembu Ampal, “Kami datang dengan lima orang prajurit. Bahkan jika kami memberikan isyarat, maka kawan-kawan kami yang aku perintahkan menunggu di ujung hutan ini akan segera berdatangan.”

Pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Serigala Putih itu justru tertawa. Katanya, “Kau mencoba menakut-nakuti aku. Aku bukan anak-anak lagi. Apapun yang akan kau lakukan, bahkan memanggil semua prajurit di seluruh Singasari, kami sama sekali tidak akan gentar.”

Lembu Ampal masih akan berbicara lagi. Tetapi perwira yang masih sangat muda, yang memimpin prajurit-prajurit Singasari itu sudah mendahului, “Kami adalah prajurit Singasari yang terucapkan adalah perintah. Kau kami anggap telah melanggar ketenteraman hidup rakyat Singasari. Karena itu, perbuatan kalian harus dicegah. Jika perlu dengan kekerasan.”

“Persetan?”

Perwira itu maju selangkah. Dengan wajah yang tegang ia berkata kepada Lembu Ampal, “Bagi kami sudah pasti. Orang inilah sebab dari pertengkaran yang telah terjadi, la sama sekali tidak bersedia mendengarkan pertimbangan kami.”

Lembu Ampal meng-angguk-angguk kecil. Katanya, “Masih ada kesempatan Ki Sanak. Aku sudah melihat, bahwa kau tidak segera dapat mengalahkan lawanmu yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah anak buahmnu. Kami akan membuat pertimbangan lebih jauh jika kau mau mengurungkan niatmu untuk membunuh, karena nampaknya tidak ada niatmu yang lain kecuali melepaskan dendam dan menaburkan kematian di sini.”

“Tepat. Dan tidak ada orang yang dapat melarang. Jika kau ikut campur maka kematian akan bertambah. Dan kalian pun terpaksa menyesali nasib kalian yang malang.”

“Tidak ada gunanya lagi kita berbicara.” perwira muda yang datang bersama Lembu Ampal itu tidak sabar lagi, “Jika kalian memang keras kepala, maka kami pun akan mencegah perbuatan kalian yang biadab itu dengan kekerasan. Mungkin benar sebutan bagi kalian, bahwa kalian adalah orang-orang yang berilmu hitam seperti yang dikatakan oleh pemburu itu.”

“Apapun yang kalian katakan, aku tidak peduli. Kami akan membunuh kalian dan melemparkan kalian ke mulut harimau yang terikat tetapi masih hidup itu. Bahkan mungkin akan datang pula serigala lapar jika mencium bangkai kalian yang membusuk di sini.”

Perwira muda itu menjadi marah. Selangkah ia maju dan berkata kepada Empu Sanggadaru, “Aku dan para prajurit yang ada bersamaku ada di pihakmu.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Bersama dengan Lembu Ampal, prajurit itu berjumlah enam orang. Dengan demikian maka jumlah mereka akan menjadi seimbang, meskipun masih berselisih beberapa orang.

“Besiaplah.” teriak pemimpin Serigala Putih ini, “Aku akan membunuh kalian. Jika kalian masih mempunyai kawan yang bersembunyi, berikan isyarat agar mereka segera membantu kalian. Karena dengan demikian tugasku akan segera selesai. Membunuh kalian semuanya. Kemudian menguasai padepokan pemburu gila itu bersama semua isinya termasuk perempuan-perempuan.”

Wajah Empu Sanggadaru rasa-rasanya menjadi panas seperti tersentuh bara. Dengan nada yang dalam tertahan-tahan ia menggeram, “Kalian memang biadab.”

Pemimpin Serigala Putih itu tidak menjawab. Dengan isyarat ia memerintahkan anak buahnya memencar dan siap menghadapi lawan yang lebih banyak. Prajurit-prajurit Singasari pun segera mempersiapkan diri, tetapi mereka tidak segera melepaskan isyarat untuk memanggil kawan-kawannya yang ditinggalkan saat mereka mendahului melihat apa yang terjadi, karena mereka mendengar teriakan, yang liar dan kasar.

Lembu Ampal masih termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak mendapat kesempatan karena pemimpin Serigala Putih itu sudah meloncat menyerang Empu Sanggadaru, sementara anak buahnya pun segera berloncatan pula menyerang setiap orang yang ada di dekat mereka termasuk Empu Baladatu dan Lembu Ampal.

Tetapi Lembu Ampal dan para prajurit, serta orang-orang lain yang mendapat serangan yang tiba-tiba itu masih sempat mengelak. Bahkan Lembu Ampal masih sempat berkata, “Ki Sanak, apakah kalian tidak dapat membuat pertimbangan? Sebelum kami turun di gelanggang, kalian sudah mendapat kesulitan untuk mengalahkan lawan-lawan kalian yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah kalian. Apalagi sekarang.”

“Persetan.” geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu, “Waktunya sebenarnya sudah, tiba untuk membinasakan pemburu gila yang menyebut dirinya bernama Empu Sanggadaru itu. Tetapi kalian telah mengganggu sehingga saat itu tertunda beberapa saat. Namun kalian tidak akan mampu mencegahnya. Bahkan kalian pun akan ikut serta binasa bersama mereka.“

“Seandainya kami tidak cukup kuat, maka kami dapat memanggil kawan-kawan kami yang berada tidak jauh dari tempat ini.”

“Sudah aku katakan, aku tidak takut. Jangan mencoba menakut-nakuti kami dengan ceritera bohongmu itu.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia meloncat surut ketika seorang lawannya menyerang dengan ujung pedangnya yang runcing. Namun dalam pada itu, Perwira prajurit yang masih muda itu sama sekali tidak dapat menahan hati lagi. Kesabarannya tidak selapang Lembu Ampal yang umurnya sudah hampir dua kali lipat dari umur perwira muda itu. Karena itulah, maka sambil berteriak ia menyerang,

“Baiklah. Aku akan memperlihatkan kepada kalian, bahwa aku tidak sedang membual.”

Serangannya pun tiba-tiba menjadi semakin garang. Senjatanya berputaran menyambar-nyambar. Agaknya ia benar-benar akan membuktikan ucapannya, bahwa ia tidak sedang bergurau.

Lembu Ampal sendiri tidak banyak mengalami kesulitan melayani dua orang lawannya sekaligus. Tetapi keduanya bukannya orang terkuat di dalam lingkungan Serigala Putih, sementara pemimpinnya yang mendendam sepanas api kepada Empu Sanggadaru dibantu oleh seorang pengawalnya, masih saja berusaha membunuh Empu Sanggadaru itu.

Kelebihan yang seorang lagi dari gerombolan Serigala Putih itu telah menggabungkan diri dengan seorang kawannya yang bertempur melawan Empu Baladatu. Agaknya mereka menyadari bahwa Empu Baladatu pun merupakan seorang yang pilih tanding.

Dengan demikian, maka orang-orang berilmu hitam dari gerombolan yang menyebut dirinya Serigala Putih ilu ternyata telah menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kesulitan. Ternyata bahwa dendam yang menyala membakar jantung mereka, telah memburamkan mata mereka yang tidak lagi dapat melihat kenyataan.

Dengan demikian, maka keadaan pun segera berbalik. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih pun segera mengalami tekanan yang berat. Dalam pertempuran seorang lawan seorang, maka mereka sama sekali tidak akan mampu mengalahkan para prajurit Singasari. Apalagi perwira muda yang marah itu. Sedangkan pengawal Empu Baladatu pun adalah pengawal yang terpilih. Demikian juga agaknya para cantrik yang mengikuti Empu Sanggadaru.

Yang mengalami kesulitan di antara mereka adalah Empu Sanggadaru sendiri, meskipun ia masih merasa mampu untuk mempertahankan dirinya. Ia harus melawan pemimpin gerombolan yang menyebut dirinya Serigala Putih itu dibantu oleh seorang anak buahnya yang tidak kalah buasnya dengan pemimpin kelompok itu sendiri. Karena itulah maka Empu Sanggadaru masih harus mengerahkan kemampuannya. Ia harus mempertahankan dirinya sejauh-jauh dapat dilakukan, sebelum kemudian dengan tiba-tiba ia mencari kesempatan untuk mengurangi jumlah lawannya.

Namun lawannya pun agaknya mempunyai pertimbangan yang cukup berbahaya baginya. Pemimpin Serigala Putih itu berusaha untuk dapat membunuh Empu Sanggadaru segera, sehingga ia kemudian dapat membantu kawan-kawannya, mengurangi jumlah lawannya seorang demi seorang. Karena itulah maka pemimpin gerombolan Serigala Putih itu dengan bernafsu sekali berusaha menghancurkan Empu Sanggadaru secepat-cepatnya.

Tekanan itu memang terasa semakin berat. Pemimpin gerombolan itu agaknya benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuannya. Ketika ia dikepung oleh beberapa orang Serigala Pulih barsama kedua cantrik, agaknya pemimpin gerombolan itu masih belum mengungkapkan ilmu puncaknya, seperti yang dialaminya saat itu.

Namun kelika sekilas ia memandang pertempuran di sekitarnya, ia merasa berlega hati, karena nampaknya tidak seorangpun dari mereka yang berada di pihaknya mengalami kesulitan. Adiknya, Empu Baladatu yang juga harus melawan dua orang, juga tidak mengalami kesulitan karena keduanya bukanlah orang-orang puncak dari kelompok Serigala Putih itu. Demikian pula Lembu Ampal. Bahkan Empu Sanggadaru dapat melihat dengau jelas, bahwa Lembu Ampal, akan segera dapat memenangkan perkelahian itu apabila dikehendaki.

Tetapi Empu Sanggadaru tidak dapat berteriak agar Lembu Ampal melakukannya dan kemudian membantunya, meskipun sebenarnya bahwa ia merasa sangat berat melawan pemimpin gerombolan yang mempergunakan segala kemampuan yang ada padnnya itu. Dengan baik kedua lawan Empu Sanggadaru itu dapat bekerja bersama, meskipun tingkat kemampuan mereka tidak sama. Setiap kali mereka berhasil saling melindungi dan mengisi kekurangan yang lain sehingga Empu Sanggadaru menjadi berdebar-debar.

Namun dalam pada itu, ketika pertempuran itu sedang berlangsung, tiba-tiba saja telah tumbuh sesuatu di hati Empu Baladatu. Jika benar orang-orang ini berilmu hitam, apapun jenisnya, maka mungkin pada suatu saat ia akan dapat menghubungi mereka. Mungkin mereka akan dapat diajak bekerja bersama. Bukan saja untuk mengembangkan niatnya, kekuasaan tertinggi di Singasari, tetapi juga ia akan dapat mengembangkan ilmunya dengan tata gerak yang memiliki nafas yang sejalan. meskipun ada beberapa perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat tertembus oleh kepentingan bersama.

Karena itu maka Empu Baladatu tidak segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan kedua lawannya meskipun ia mampu. Yang dilakukannya kemudian adalah sekedar mempertahankan diri. Bahkan kadang dengan sengaja ia menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia tidak ingin membunuh keduanya atau salah satu dari mereka.

Sementara itu. Lembu Ampal bertempur dengan sigapnya. Tetapi nampaknya iapun tidak bernafsu untuk membunuh. Yang dilakukannya adalah sekedar bertahan dan menghindar. Tapi tentu saja dengan latar belakang niat yang jauh berbeda dengan Empu Baladatu.

Yang harus bertempur dengan sekuat tenaga adalah Empu Sanggadaru. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Bahkan kedua cantriknya dan orang-orang yang berpihak kepadanya mampu mengimbangi kekuatan lawannya, bahwa sebagian dari mereka telah berhasil mendesaknya, ia sudah merasa bahwa separo kemenangan ada di tangannya. Karena itulah ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itupun agaknya mempengaruhi caranya bertempur melawan kedua lawannya yang berat itu.

Dalam pada itu perkelahian di antara Empu Sanggadaru dan kedua lawannya justru menjadi bertambah sengit. Bahkan pemimpin Sarigala Putih itu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya untuk membunuh Empu Sanggadaru. Demikian keras niatnya sehingga ia sama sekali tidak sempat memperhatikan anak buahnya yang semuanya telah terdesak.

Dengan kemarahan yang meluap-luap pemimpin Serigala Putih itu mengayunkan senjatanya semakin cepat. Sekali tanganya terjulur lurus. Namun kemudian dengan sigapnya ia menarik sebelah kakinya. Putaran mendatar yang berbahaya setiap kali disusul dengan serangan kawannya yang mematuk lurus. Betapun tangguhnya Empu Sanggadaru, namun ternyata bahwa ia harus mempergunakan segenap ilmu yang dimiliknya. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Sekali-sekali ia harus membenturkan senjatanya dengan senjata lawannya.

Namun, ketika kedua lawannya berhasil mengurungnya di dalam putaran senjata, maka Empu Sanggadaru telah kehilangan kesempatan untuk menghindari kedua senjata yang mematuk bersama. Ia berhasil menangkis serangan pemimpin Serigala Putih itu. Namun pada saat yang bersamaan, senjata yang lain telah terjulur pula mengarah ke lambungnya. Empu Sanggadaru hanya dapat menggeliat. Tetapi ujung senjata itu masih juga berhasil menyentuhnya meskipun tidak pada lambung, tetapi pada tangannya.

Kemarahan yang meluap telah menggetarkan dada Empu Sanggadaru. Luka di tangannya itu bagaikan api yang menyalakan minyak yang memang sudah tersiram di hatinya. Luka-luka yang digoreskan oleh kuku-kuku harimau itu rasa-rasanya masih pedih. Dan kini, tangannya sudah tergores oleh luka yang lain, luka oleh senjata.

Karena itu, maka Empu Sanggadaru tidak lagi mengekang dirinya. Kemarahannya sudah tidak terbendung lagi. Itulah sebabnya maka iapun segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Senjata Empu Sanggadaru pun segera berputar semakin cepat. Seolah-olah senjata itu telah berubah menjadi puluhan senjata serupa yang berterbangan tanpa dapat dikendalikan lagi mengerumuni pemimpin Serigala Putih itu dengan seorang kawannya.

Ternyata bahwa Empu Sanggadaru masih mampu meningkatkan tekanannya oleh kemarahan yang memuncak. Yang mula-mula menjadi sasaran kemarahannya justru adalah kawan pemimpin Serigala Putih yang telah melukainya itu. Dengan garangnya Empu Sanggaradu menyerang pemimpin Serigala Putih itu untuk memisahkannya dari kawannya. Ketika pemimpin kelompok orang-orang berilmu hitam itu terdesak beberapa langkah surut, maka tiba-tiba saja Empu Sanggadaru yang marah itu meloncat ke samping. Sebuah putaran yang tiba-tiba ternyata telah mengejutkan lawannya. Apalagi ketika ujung senjata Empu Sanggadaru bergerak dengan cepatnya mendatar di setinggi lambung.

Kawan pemimpin Serigala Putih itu sempat mengelak. Ia meloncat mundur sambil melindungi tubuhnya dengan senjatanya. Namun adalah diluar dugaannya. bahwa Empu Sanggadaru sempat meloncat begitu cepat dan panjang. Serangan berikutnya rasa-rasanya telah datang mematuk dada.

Tetapi ia masih sempat merendahkan dirinya. Sehinggga dengan demikian ujung senjata Empu Sanggadaru tidak sempat menyentuhnya. Namun lawannya benar-benar tidak melepaskannya. Bahkan kemudian serangan berikutnya adalah serangan yang tidak diduga-duga. Empu Sanggadaru tidak menyerang dengan senjatanya.

Karena lawannya itu masih tetap merendahkan dirinya sambil menyiapkan senjatanya untuk menangkis setiap serangan, maka Empu Sanggadaru telah mengangkat senjata dan terayun mengarah kepalanya. Tetapi ketika ia menyilangkan senjatanya di atas kepanya. Maka diluar dugaannya, tiba-tiba sebuah tendangaan yang keras telah menghantam dagunya sehingga orang itu seakan-akan terangkat dan terlempar surut.

Ternyata bahwa hantaman kaki Empu Sanggadaru itu demikian kuatnya, sehingga orang yang terlempar surut itu, terputar sekali di udara. Namun dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia berusaha untuk tidak jatuh pada kepalanya.

Pada saat, itu pemimpin gerombolan Serigala Putih merasa darahnya bagaikan mendidih. Ketika ia melihat Empu Sanggadaru mengejar kawannya yang seolah-olah masih belum dapat menguasai dirinya, maka ia pun langsung menyerang dengan senjatanya mengarah kepunggung lawannya.

Tetapi punggungnya Empu Sanggadaru seolah-olah mempunyai mata. Karena itu, seakan-akan ia dapat melihat serangan yang menerkam punggungnya itu. Dengan sigapnya ia meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga dengan demikian ia berhasil menyelamatkan diri. Namun, yang malang adalah orang Serigala Putih itu sendiri. Karena senjata pemimpinnya tidak mengenai Empu Sanggadaru, maka seolah-olah ujung senjata itu sengaja disiapkan untuk membunuhnya.

Terdengar sebuah pekik yang mengerikan. Orang Serigala Putih itu ternyata telah dikenai oleh senjata Pemimpinya sendiri. Pekik yang panjang itupun perlahan-lahan menghilang. Temannya masih terdengar sepintas. Namun kemudian lenyap ditelan oleh kesepian yang tegang.

Jerit itu seolah-olah telah menghentikan pertempuran itu untuk sejenak. Namun ternyata kemarahan pemimpin Serigala Putih itu tidak tertahankan lagi. Dengan sebuah teriakan yang seolah-olah memenuhi hutan, ia mulai menyerang dengan dahsyatnya.

Empu Sanggadaru yang sudah terluka oleh senjata itupun masih juga dibakar oleh kemarahannya. Kematian seorang anggauta Serigala Putih masih belum menenangkan kemarahannya. Apalagi ketika ia melihat pemimpin gerombolan itu seolah-olah menjadi gila dan benar-benar berusaha membunuhnya.

Dengan sepenuhnya kemampuan yang ada. Empu Sanggadaru pun tidak lagi ingin memaafkan lawannya. Itulah sebabnya maka serangannya datang beruntun bagaikan banjir bandang. Apalagi kini lawannya tinggal seorang diri. Tetapi yang seorang itu adalah pemimpin dari gerombolan Serigala Putih.

Empu Sanggadaru tidak mau lagi dicemaskan oleh masa depan yang berbahaya. Pemimpin Serigala Pulih itu adalah seorang pendendam yang mantap. Karena itu, untuk menghindarkan diri dari kesulitan masa depan, maka ia bertekad, untuk melenyapkan saja orang itu dari muka bumi. Dengan demikian maka padepokatrnya akan terhindar dari kesulitan di masa datang. Bahkan mungkin bukan saja padepokannya, tetapi juga padepokan-padepokan dan pedukuhan-pedukuhan yang lain.

Karena itulah, maka Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha sekedar mengalahkan lawannya. Tetapi serangannya kemudian langsung mengarahkan ke jantung lawan. Kedua orang itu bagaikan menjadi wuru. Masing-masing tidak melihat kemungkinan lain daripada membunuh lawannya. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun berlangsung semakin sengit.

Tetapi, semakin lama semakin nyata bahwa Empu Sanggadaru berhasil menguasai lawannya yang tinggal seorang itu. Senjata sudah semakin sering menyambar menyentuh pakaian lawannya, dan bahkan kemudian telah terjadi goresan-goresan kecil sehingga menitikkan darah.

Goresan-goresan kecil itu agaknya membuat lawannya menjadi semakin marah. Serangan-angannya datang seperti badai. Namun, Empu Sanggadaru mampu bergerak secepat kilat, sehingga serangan lawannya sama sekali tidak berhasil mengenainya.

Selain Empu Sanggadaru, yang tidak dapat menahan diri adalah perwira muda yang merasa wibawa prajurit Singasari telah tersinggung. Karena itulah, maka iapun dengan sekuat tenaganya berusaha untuk segera mengalahkan lawannya. Namun tidak seperti Empu Sanggadaru, perwira itu masih berusaha untuk dapat mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Lembu Ampal masih bertempur dengan caranya. hanya memacu lawannya untuk bertempur dengan sekuat tenaganya. Sekali-sekali saja ia menyerang jika lawannya menjadi kendor. Dan serangannya itu setiap kali memang berhasil membuat lawannya menjadi marah dan dengan sekuat tenaganya menyerang bersama-sama.

Tetapi perhitungan Lembu Ampal benar-benar telah masak. Ia yakin bahwa keduanya akan menjadi letih dan dengan demikian akan menjadi sangat mudah untuk dikalahkan. Namun ternyata orang-orang berilmu hitam itu bukannya jantan yang memilih mati daripada mengorbankan namanya. Itulah sebabnya, maka sebagian dari mereka telah bertempur sambil bergeser surut menepi.

Pertempuran itupun kemudian telah berubah sama sekali. Orang-orang berilmu hitam itu benar-benar sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Kehadiran prajurit Singasari meskipun tidak seluruhnya, telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Betapun pemimpin Serigala Putih berusaha, namun ia tidak mampu mengimbangi ilmu Empu Sanggadaru.

Ternyata bahwa pemimpin Serigala Putih itu telah salah hitung. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang berilmu hitam itu tidak mampu melawan musuh-musuhnya meskipun ia prajurit Singasari. Dan iapun tidak menyangka bahwa yang bernama Empu Sanggadaru dari padepokan yang tidak dikenal itu. ternyata memiliki ilmu yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui ilmunya yang dibangga-banggakan, meskipun beberapa orang yang tidak senang menyebutnya ilmu hitam.

Tetapi penyesalan yang betapun juga, tidak akan berarti sama sekali. Apabila lawannya, Empu Sanggadaru, benar-benar sudah tidak dapat mengekang diri lagi. Luka di tangannya telah membuatnya menjadi gelap hati. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian menyerang pemimpin Serigala Putih dengan segenap ilmu yang ada padanya. Bahkan tanpa ampun lagi, senjatanya benar-benar telah mengurung lawannya dalam lingkaran maut.

Pemimpin Serigala Putih itu masih berusaha melepaskan diri. Ia berusaha menembus lingkaran putaran senjata Sanggadaru. Namun yang terjadi adalah diluar kehendaknya, karena justru pada saat yang berbahaya itu, saat-saat pemimpin Serigala Putih berusaha membebaskan dirinya, Empu Sanggadaru telah sampai pada kemungkinan yang terakhir. Dengan garangnya ia menyerang lawannya tanpa ampun lagi.

Pemimpin Serigala Putih itu masih berhasil menagkis satu dua serangannya yang datang beruntun. Namun serangan-serangan berikutnya, membuat pemimpin Serigala Putih itu bagaikan kehilangan kesempatan. Sesaat kemudian terdengar sebuah keluhan tertahan. Darah yang merah memancar dari luka yang tiba-tiba saja telah menganga di dada pemimpin Serigala Putih itu.

Sesaat pertempuran itu seolah-olah telah terhenti. Setiap orang telah dikejutkan oleh peristiwa yang menyusul. Pemimpin Serigala Putih yang dibakar oleh dendam karena kematian anak buahnya itu ternyata tidak berhasil menuntut balas. Bahkan ia sendiri kemudian terlempar dan jatuh di tanah dengan darah yang membasahi seluruh tubuhnya. Anak buahnya yang melihat pemimpinnya mati terkapar itu menjadi bingung. Hatinya kuncup seperti dedaunan yang tersiram air yang mendidih.

Pada saat yang mencengkam itulah, maka tiba-tiba saja terdengar suara Empu Baladatu, “He, orang-orang berilmu hitam, ternyata masih ada satu kesempatan yang dapat kami berikan kepada kalian. Sepeninggal pemimpinmu maka kalian sebaiknya menyerah tanpa perlawanan, karena tidak ada kesempatan yang lain yang dapat kalian peroleh setelah kami kehilangan kesabaran kami.”

Orang-orang yang mendengar suara Empu Baladatu itu bagaikan membeku. Bahkan Empu Sanggadaru sendiri berdiri termangu-mangu dengan senjata yang merah oleh darah di tangannya. Suasana diarena itu seolah-olah bagaikan membeku. Lembu Ampal berdiri diam di tempatnya. Ia memang tidak bernafsu untuk bertempur lebih lama lagi. Yang dihadapinya bukannya sebuah perlawanan terhadap pemerintah Singasari. Tetapi yang dihadapinya adalah dendam dari dua perguruan yang seharusnya dapat dicegahnya.

Namun yang terjadi adalah diluar kemampuannya untuk mencegahnya. Dan pertempuran itu sudah terjadi. Bahkan telah menelan dua orang korban lagi. Dan korban-korban itu tentu akan mempertajam dendam yg telah tumbuh di hati orang-orang berilmu hitam itu.

Tetapi bagi Lembu Ampal, kata-kata Empu Baladatu itu dianggapnya akan membuka kemungkinan baru bagi orang-orang berilmu hitam itu. Ternyata bahwa kata-kata Empu Baladatu itu berpengaruh juga pada lawan-lawannya. Mereka masih berdiri termangu-mangu tanpa berbuat sesuatu meskipun senjata mereka tetap tergenggam di tangan.

Empu Baladatu yang melihat pengaruh kata-katanya itu mengena pada orang-orang berilmu hitam itupun kemudian mengulanginya Nyatakan bahwa kalian tidak akan memberikan perlawanan lagi. “Nyatakan bahwa kalian telah menghentikan semua niat untuk membalas dendam karena kalian tidak akan dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kalian lah yang justru akan punah jika kalian masih berkeras untuk melanjutkan pertempuran ini.”

Semua orang masih membeku di tempatnya.

“Lakukanlah, atau kami harus bertempur terus dan membunuh kalian semuanya?”

Tiba-tiba saja salah seorang dari gerombolan Serigala Putih itu dengan ragu-ragu berkata, “Apakah yang harus kami lakukan, jika kami menyatakan diri untuk menghentikan usaha pelepasan dendam kami.”

“Prajurit-prajurit Singasari akan menjadi saksi, bahwa kami tidak ingkar. Letakkan senjata kalian dan berkumpullah di hadapan kakang Empu Sanggadaru. Salah seorang dari kalian harus menyatakan pengakuan kalian dengan jujur.”

Orang-orang itu masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian mereka pun segera melemparkan senjata mereka di tanah. Perlahan-perlahan mereka mulai bergerak mendekati Empu Sangadaru. Empu Sanggadaru bagaikan membeku melihat orang-orang yang bergerak mendekatinya. Kemudian berdiri termangu-mangu seolah-olah mereka menggantungkan harapan mereka kepadanya.

Empu Sanggadaru menarik nafas. ia pun kemudian sadar, bahwa ia harus, menanggapi perkembangan keadaan itu. Sekilas dilihatnya prajurit-prajurit Singasari pun telah bergerak mengumpul. Perwira muda itupun nampaknya telah berusaha mengendalikan dirinya pula.

“Lakukanlah jika kalian ingin melakukan.” berkata Empu Baladatu. Lalu katanya kepada Lembu Ampal, “Kami mohon, agar prajurit Singasari menjadi saksi, bahwa dendam kami dari kedua belah pihak akan terhapus saat ini juga.”

Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berpaling kepada perwira muda itu seolah-olah minta pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya. Apakah permintaan Empu Baladatu itu dapat dipenuhi atau prajurit Singasari akan mengambil sikap yang lain.

Perwira muda itupun ragu-ragu sejenak. Dilihatnya orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu berdiri termangu-mangu dengan penuh harap untuk dapat tetap hidup. Sebagai seorang prajurit maka perwira itu harus menentukan sikap, la tidak boleh terseret oleh arus perasannya. Apalagi sebagai seorang anak muda.

Karena itulah, maka ketika dilihatnya kawan-kawannya pun masih utuh, maka iapun berkata, “Aku, perwira yang memimpin serombongan prajurit Singasari, menyatakan bahwa aku tidak berkeberatan untuk menarik segala akibat yang timbul dari perlawanan orang-orang dari Serigala Pulih kepada perintah kami, yang juga berarti perlawanan kepada pimpinan pemerintah, jika mereka benar-benar telah menyesal dan menyatakan diri menyerah.”

Orang-orang dari anggauta gerombolan Serigala Putih itu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa mereka benar-benar berhadapan dengan beberapa orang prajurit yang memegang teguh tugas dan kewajibannya, tetapi juga mengingat segi-segi pertimbangan yang lain.

Empu Sanggadaru yang masih menggenggam senjata yang basah oleh darah berkata dengan nada yang datar, “Kalian dengar? Apakah kalian menyesal dan menyatakan diri menyerah?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sepercik ketidak puasan nampak membayang di wajahnya. Bahkan ia pun kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Kepada siapa orang-orang itu menyatakan menyerah? Jumlah prajurit itu tidak lebih banyak dari jumlah kami. Kamilah yang pantas menentukan sikap. Bukan mereka.”

Tetapi Empu Baladatu tidak mengatakan. Ia menyimpan perasaan itu di dalam hatinya. Salah seorang dari orang-orang Serigala Putih itu pun kemudian menghadap kepada perwira muda itu sambil berkata, “Kami menyerah. Dan kami menyatakan menyesal bahwa kami telah terlibat ke dalam dendam.”

Perwira itu menjawab, “Baiklah. Aku maafkan kalian dan aku bebaskan kalian dari segala tuntutan karena perlawanan kalian. Namun demikian, terserah kepada Empu Sanggadaru, apakah yang akan dilakukannya.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku pun memaafkan kalian. Tetapi kami adalah orang-orang yang mempunyai kesabaran yang terbatas. Karena itu, jika kalian ternyata kelak melakukan pelanggaran atas penyesalan kalian sekarang ini, mungkin kami sudah tidak dapat lagi memaafkannya.”

“Terima kasih.” sahut salah seorang dari mereka.

“Kalian terpaksa pulang dengan membawa korban lagi. Tetapi kalian sudah berjanji untuk tidak mendendamnya lagi. Mudah-mudahan kawan-kawan kalian dapat mengerti, karena seperti yang aku katakan, kesabaran kami sangat terbatas.”

Orang-orang Serigala Putih itu menundukkan kepalanya. Mereka merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengiakan dan menyatakan kesanggupan.

Empu Sanggadaru pun kemudian berkata, “Nah, sekarang pergilah. Bawalah kedua mayat kawan kalian ini.”

Orang-orang itu pun berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka mulai bergerak dan mengangkat kedua mayat kawan-kawan mereka. Namun demikian, ketika mereka mulai bergerak, nampaklah, bahwa mereka masih saja ragu-ragu. Beberapa orang dengan tidak sadar memandangi senjata mereka yang tergolek di tanah.

“Kalian sudah melemparkan senjata kalian.” desis Empu Sanggadaru.

Salah seorang dari mereka dengan ragu-ragu menjawab. "Kami sudah menyatakan, bahwa kami menyerah dan menyesali perbuatan kami. Tetapi kami merasa cemas bahwa di perjalanan kembali ke padepokan kami. Di perjalanan kami akan menemui kesulitan.“

“Kenapa?“

“Gerombolan kami telah saling mendendam pula dengan gerombolan orang-orang berilmu hitam yang menamakan dirinya gerombolan Macan Kumbang. Jika kami dengan tidak sengaja bertemu dengan mereka tanpa sehelai senjatapun di tangan, maka kami akan musnah.“

“Itu adalah akibat dari perbuatan kalian sendiri. Kalian ternyata mempunyai dendam di mana-mana. Kalian bermusuhan dengan siapapun juga.” jawab Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu tertarik dengan keterangan itu. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Tetapi apakah kalian berjanji, bahwa senjata-senjata kalian hanya akan kalian pergunakan untuk mempertahankan diri dan bukan untuk menyerang?”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu memandang Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru berganti-ganti. Salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Kami bersumpah. Kami tidak akan mempergunakan senjata kami, selain untuk mempertahankan hidup kami jika kami di serang.”

“Ambillah. Aku kira kakang Empu Sanggadaru dan para prajurit Singasari tidak akan berkeberatan, karena sebenarnya senjata semacam itu bukannya satu-satunya senjata yang kalian miliki, meskipun senjata itu kalian tinggalkan, tetapi jika jiwa kalian masih tetap kelam, maka besok kalian tentu sudah akan menggenggam senjata serupa.”

Orang-orang Serigala Putih masih termangu-mangu. Empu Sanggadaru pun kemudian tidak dapat berbuat lain karena adiknya seolah-olah sudah menghadapkannya kepada suatu sikap tertentu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Tetapi kalian harus benar-benar memegang janji dan sumpah kalian, bahwa kalian hanya akan mempergunakan untuk mempertahankan diri.”

Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata dengan nada yang dalam, “Terima kasih. Kami mengucapkan terima kasih tiada taranya. Dengan demikian maka jiwa kami seolah-olah telah kalian selamatkan dua kali. Yang pertama bahwa kami tidak terbunuh di dalam pertempuran ini. Kedua, bahwa kami diperkenankan membawa senjata kami, meskipun dengan janji bahwa senjata-senjata itu hanya akan kami pergunakan untuk mempertahankan diri.”

“Pergilah.” jawab Empu Sanggadaru, “Dan cobalah mengenal diri sendiri sebaik-baiknya.”

“Ya Empu.” jawab orang itu pula, “Kami akan mohon diri. Mudah-mudahan kami mendapat kesempatan unuk memandang ke dalam diri kami masing-masing. Mengenang apa yang telah kami perbuat dan mengambil sikap yang benar di hari-hari mendatang.”

“Bagus. Pertahankan sikap dan pandangan itu.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun mengangguk-angguk seakan-akan mereka telah berjanji kepada diri sendiri, bahwa mereka akan berbuat sebaik-baiknya di kemudian hari. Demikianlah maka mereka pun kemudian minta diri sambil membawa mayat kawan-kawan mereka dan memungut senjata masing-masing.

“Pergilah.” berkata Empu Baladatu, “Tetapi dimanakah padepokan kalian? Aku ingin mengetahuinya. Bahkan mungkin pada suatu saat aku singgah ke padepokanmu.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun nampak keragu-raguan membayang di wajah mereka.

“Jika kalian jujur sampai ke dalam hati, kalian tidak akan berkeberatan menunjukkan padepokanmu.” desak Empu Baladatu.

Salah seorang dari mereka pun kemudian menjawab, “Sebenarnya kami tidak tinggal dalam satu padepokan. Namun kami memang terdiri dari satu perguruan. Guru kami adalah pemimpin kami yang terbunuh. Tetapi ia bukan seorang yang langsung mengajari kami. Di bawah pemimpin kami yang terbunuh ada beberapa orang yang telah mendapat kepercayaannya untuk mengajar kami.”

“Siapakah mereka. Tentu ada di antara kalian.”

Orang yang menjawab itu melanjutkan, “Baiklah aku tidak bersembunyi lagi, karena aku merasa bahwa nyawaku telah diselamatkan. Di antara mereka adalah aku dan empat orang lagi. Sedang seorang dari kami telah terbunuh bersama pemimpin kami itu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa perbedaan tingkat mereka tidak begitu jelas nampak pada kelima belas orang, yang sudah barang tentu orang-orang pilihan itu. “Kau belum menyebutkan, di mana padepokanmu.”

Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, “Kami berasal dari padepokan Semuwun di sebelah hutan Dandarau.”

Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu. Ia mengulang, “Dandarau. Jadi kalian adalah orang dari daerah Hutan Dandarau.”

“Ya.”

Lembu Ampal memandang orang-orang itu seorang demi seorang. Lalu katanya, “Apakah benar katamu, bahwa pemimpinmu yang terbunuh itu orang pertama di padepokanmu?”

Orang itu ragu-ragu. Lalu jawabnya, “Ya. Ia adalah orang pertama.”

Lembu Ampal tidak membantah. Tetapi ia bertanya pula, “Dan apakah kalian masih mempunyai jalur yang sama dari perguruan kalian dengan orang-orang yang kalian sebut dari gerombolan Macan Kumbang?”

Orang itu ragu-ragu pula. Namun iapun menjawab, “Agaknya memang demikian. Tetapi kami terpisah oleh kepentingan yang sama, sehingga kami saling berebut dan bersaing. Itulah sebabnya kami menjadi saling mendendam.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Demikianlah orang-orang berilmu hitam itupun kemudian meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat kawan-kawan mereka. Sekali-sekali mereka masih sempat berpaling sebelum mereka hilang di balik dedaunan.

Demikian mereka hilang dari pandangan mata orang-orang yang telah mengalahkannya mutlak salah seorang dari mereka mengumpat, “Anak setan. Ternyata kita terbentur pada orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa.”

Orang yang nampaknya mengambil alih pimpinan dan yang selalu memberikan keterangan kepada lawan mereka yang ternyata memiliki kelebihan itu menyahut, “Kali ini kita tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Kita memang kalah mutlak.”

“Tetapi prajurit-prajurit Singasari itulah yang menyebabkan kita hampir saja punah jika tidak ada orang yang berhasil menyabarkan Empu Sanggadaru.”

“Ia adalah adiknya.”

“Nampaknya sikapnya cukup baik. Ilmunya pun cukup matang dan berbahaya.”

Yang lain mengerutkan keningnya. Tetapi masih ada yang mengumpat, “Aku ingin membunuh mereka semua. Mungkin pada suatu saat, maksud itu akan dapat aku lakukan.”

Tetapi kawan-kawannya tertawa. Salah seorang berkata, “Kau mimpi sambil berjalan. Kita tidak mempunyai pemimpin yang tangguh lagi. Bahkan pemimpin kami yang kami kagumi itu pun ternyata tidak dapat mengalahkan Empu Sanggadaru meskipun ia bertempur berdua. Apalagi seorang diri.”

Kawannya yang masih mendendam itu menarik nafas dalam-dalam. “Kita memang sudah berputus asa. Seandainya kita bertemu dengan orang-orang Macan Kumbang pun kita akan mereka telan sekarang ini.”

Kawannya memandang orang itu sambil mengerutkan dahinya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah benar begitu pendirianmu.”

“Tidak ada lagi yang berani mempertanggung jawabkan setiap tindakan yang akan kita ambil karena pemimpin kita sudah tidak ada lagi.”

“Kita akan membicarakannya.” berkata seorang yang paling tua di antara mereka. “Setelah kita sampai kepadepokan, kita akan menyusun diri dengan kekuatan yang masih ada. Tetapi sudah barang tentu bahwa kita tidak akan dapat melepaskan pengalaman yang baru saja kita hadapi. Kita harus menyadari bahwa ilmu yang kita miliki ternyata adalah ilmu yang masih jauh dari tingkat yang sempurna. Kita sebelumnya telah salah menilai diri kita. seolah-olah kita adalah orang-orang yg paling kuat di muka bumi ini. Setidak-tidaknya di Singasari. Tetapi ternyata bahwa kita bukannya apa-apa. Apalagi bagi para prajurit. Aku merasa bahwa prajurit yang sudah tua itu seolah-olah tidak bertempur bersungguh-sungguh. Ia sekedar membela dirinya dan sama sekali tidak berniat untuk membunuh.”

“Juga orang yang di sebut adik Empu Sanggadaru itu.” sahut yang lain, “Jika ia ingin membunuh, maka ia banyak mempunyai kesempatan.”

Yang lain lagi berkata, “Empu Sanggadarupun agaknya bukan seorang pembunuh. Tetapi luka di tangannya itu membuatnya lupa diri. Apalagi di tubuhnya masih tergores luka-luka yang agaknya karena kuku harimau yang dibunuhnya itu.”

Orang yang mengutuki keadaan itupun terdiam. Ternyata kawan-kawannya telah berusaha melihat kenyatan. Meskipun demikian ia masih bertanya tanpa ditunjukan kepada siapapun juga. “Jadi jika kita bertemu dengan orang-orang Macan Kumbang, apa yang akan kita lakukan?”

“Kita masih bersenjata.” berkata orang tertua di antara mereka.

Orang yang bertanya itu terdiam. Namun masih nampak bahwa di wajahnya membayang kekecewaan yang mendalam. Iring-iringan itupun kemudian menyusup hutan itu semakin jauh. Tetapi mereka pun kemudian mencari jalan menepi, karena mereka akan berjalan di bagian yang tidak terlampau pepat. Meskipun mereka akan tetap berada di dalam hutan, namun mereka ingin perjalanan mereka semakin cepat. Apalagi mereka menyadari bahwa setiap saat, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang akan dapat melihat mereka.

Jika orang-orang Macan Kumbang itu mengetahui, bahwa pemimpinnya telah terbunuh, maka mereka pun akan segera mengambil kesempatan untuk melepaskan dendam yang sudah saling tertanam dikedua belab pihak. Karena itulah, maka Serigala Putih yang selama itu tidak pernah merasa gentar, sepeninggal pemimpinnya menjadi agak cemas juga. Meskipun demikian, karena mereka masih tetap menggenggam senjata di tangan, maka mereka pun masih mempunyai kesempatan untuk mempertahankan diri.

Dalam pada itu, sepeninggal orang-orang dari gerombolan Serigala Putih, maka Empu Sanggadaru pun menjadi termangu. Sepercik penyesalan nampak membayang di wajahnya, bahwa telah terjadi pembunuhan oleh tangannya. Namun ia tidak dapat menghindari kemungkinan itu. karena keadaan yang telah memaksanya.

“Sudahlah.” berkata Lembu Ampal, “Nampaknya mereka telali menyadari kesalahan mereka. Jika di dalam pertempuran timbul korban jiwa, itu bukannya suatu hal yang aneh dan berlebihan.”

Empu Sanggadaru mengangguk.

“Sekarang, aku akan melakukan tugasku yang lain.” berkata Lembu Ampal.

“Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka memerintahkan mengambil harimaunya?“ bertanya Empu Baladatu.

“Ya Empu. Dan kami datang membawa sebuah pedati.”

Lembu Ampal pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit untuk menjemput kawan-kawannya serta pedati yang mereka bawa dari Sangasari.

“Itulah sebabnya, kami menunggu terlampau lama di sini.”

Lembu Ampal tersenyum. Katanya, “Kami berjalan seperti siput yang merambat.”

“Dan dengan demikian kalian terpaksa bermalam di sini.” berkata Empu Sanggadaru.

Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Jawabnya. “Tidak. Kami akan berjalan lagi seperti siput. Kapan pun kami akan sampai di Singasari. Kami akan bergantian tidur di sepanjang jalan di dalam pedati itu bersama dengan harimau yang sudah terikat itu.”

“Jika yang sedang tidur itu lengah dan tangannya terjulur ke mulut harimau yang marah itu. maka tangan itu akan segera putus.”

Lembu Ampal tertawa. Lalu katanya kepada perwira muda yang memimpin para prajurit itu. ”Bukankah kita dapat tidur sambil duduk di punggung kuda yg berjalan perlahan-lahan.”

Perwira itu tersenyum. Setelah mereka menunggu sejenak, maka iring- iringan prajurit Singasari yang lebih banyak jumlahnya telah datang bersama sebuah pedati yang berjalan lamban sekali.

“Masukkanlah harimau yang masih hidup itu ke dalam pedati.“ perintah perwira muda yang memimpin para prajurit Singasari itu.

Para prajurit itupun kemudian dengan hati-hati mengangkat harimau yang terikat itu. Sebuah auman yang dahsyat terdengar. Harimau itu meronta dengan sekuat tenaganya. Tetapi ikatan janget itu tidak dapat diputuskannya. Bahkan kaki-kakinya merasa menjadi sakit dan nyeri sehingga akhirnya harimau itu berdiam diri.

Para prajurit itu tidak terlalu lama tinggal di hutan. Mereka pun setelah menaikkan harimau yang terikat kaki-kakinya itu dengan hati-hati, segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Singasari. Mereka sudah bertekad untuk berjalan meskipun senja turun dan malam pun akan segera menyelubungi seluruh wilayah Singasari yang luas.

Sepeniggal para prajurit Singasari setelah mereka sempat beristirahat sejenak, maka Empu Sanggadaru pun mulai berpikir apakah ia akan meneruskan perburuan atau tidak. “Aku akan mengeringkan harimau itu sebelum membusuk.“ berkata Empu Sanggadaru.

“Jadi kita kembali ke padepokan?” bertanya empu Baladatu.

Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, “Rasa-rasanya aku ingin segera melihat padepokan. Apakah benar orang-orang Serigala Putih tidak mengganggu padepokanku.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Katanya, “Agaknya baik juga kita kembali ke padepokanmu kakang. Jika ternyata tidak ada gangguan suatu apa, kita dapat kembali lagi memburu harimau di kesempatan lain.”

Demikianlah maka mereka pun memutuskan untuk kembali saja kepadepokan dengan membawa harimau yang telah mati itu. Ternyata membawa seekor harimau yang sudah mati jauh lebih mudah daripada membawa seekor harimau yang masih hidup. Apalagi jika dengan niat bahwa harimau itu akan dipelihara di dalam kandang.

Dengan berdebar-debar Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu pun kemudian mendekati padepokannya, setelah matahari terbenam. Namun ketika mereka melihat cahaya lampu dari kejauhan, mereka merasa tenang. Lampu itu adalah pertanda bahwa padepokannya masih tetap hidup meskipun barangkali dicengkam oleh kegelisahan dan ketakutan.

Ketika Empu Sanggadaru memasuki regol, maka seperti kanak-anak yang ingin mengadu kepada ayahnya, maka beberapa orang pun segera berkumpul. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata. Agaknya mereka pun sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi Empu Sanggadaru pun menyadari, tanpa Empu Sanggadaru sendiri, maka jika orang-orang Serigala Putih memilih menghancurkan padepokannya lebih dahulu, maka orang-orangnya itupun akan mengalami kesulitan meskipun akan jatuh korban pula dikedua belah pihak.

“Jika Empu tidak segera datang, kami sudah bersiap-siap untuk menyusul.” berkata salah seorang dari mereka.

“Kenapa?“ berkata salah seorang dari mereka.

“Sekelompok orang-orang yang menyebut dirinya dari gerombolan Serigala Putih telah datang.”

“Apa yang mereka lakukan?”

“Mereka mencari Empu. Karena mula-mula kami kurang tahu maksudnya, kami telah menunjukkan di mana Empu berada.”

“Lalu, mereka meninggalkan kalian tanpa berbuat apa-apa?”

“Ya. Tetapi kami menjadi curiga. Nampaknya di mata mereka menyala dendam. Ketika kami bertanya apakah keperluan mereka dengan Empu, maka mereka pun menyatakan dendam mereka.”

“Berapa orang jumlah mereka saat mereka mendatangi padepokan ini?"

“Lima atau enam orang.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ada beberapa kemungkinan yang sudah terjadi. Mereka tidak semuanya menampakkan diri di padukuhan ini, atau orang-orang Serigala Putih itu telah kembali terlebih dahulu untuk memanggil orang-orangnya yang lain, karena pemimpinnya ingin melakukan pekerjaannya dengan meyakinkan, bahwa mereka tidak akan mengulangi lagi untuk kedua kalinya.

“Apakah Empu telah bertemu dengan mereka?”

“Ya.”

“Dan terjadi perselisihan.”

“Ya.”

“Empu berhasil mengalahkan mereka.”

“Ya.”

“Kami sudah menduga, bahwa Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu akan dapat mengatasi kesulitan itu.”

“Tidak sederhana seperti yang kalian duga. Sebenarnya kami tidak dapat melawan mereka, karena ketika mereka mengepung kami jumlahnya menjadi lima belas orang.”

“Lima belas?”

“Ya. Dan kami berenam tidak mampu melawan lima belas orang, meskipun mereka bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi jumlah mereka yang banyak itu telah menyulitkan kami.“

“Jadi?”

“Adalah kebetulan sekali, bahwa prajurit-prajurit Singasari sedang berada di hutan.”

Orang-orang padepokan itu termangu-mangu. Empu Sanggadaru yang kemudian turun dari kudanya dan berdiri di antara orang-orangnya yang tidak sabar, terpaksa menceriterakan apa yang telah terjadi di hutan perburuan itu. Baru setelah orang-orangnya mengangguk-angguk sambil menarik nafas lega, Empu Sanggadaru berkata, “Aku akan mengeringkan harimau. Sediakan alat-alat dan reramuan yang aku perlukan.”

“Sekarang Empu?”

“Ya, sekarang. Aku ingin menunjukkan kepada adikku, bagaimana aku mengawetkan binatang buruanku.”

Beberapa orang cantrikpun menjadi sibuk. Mereka yang sudah terbiasa menyediakan reramuanpun segera melakukannya meskipun malam menjadi semakin galap. Halaman belakang padepokan yang luar itu pun segera menjadi terang. Beberapa obor dipancangkan di sekitar reramuan yang telah disiapkan untuk mengawetkan harimau yang sangat besar itu.

Para cantrik yang sudah biasa melihat Empu Sanggadaru membawa hasil buruan kembali dari hutan, masih juga heran melihat seekor harimau loreng yang sangat besar itu. Apalagi mereka kemudian mengetahui bahwa kulit harimau itu sama sekali tidak luka oleh senjata.

“Empu Sanggadaru telah menangkap harimau itu dengan tangannya.“ desis salah seorang cantriknya.

Yang lain mengangguk sambil menyahut, “Ya. Dan ternyata Empu Sanggadaru mampu meskipun pada tubuhnya terdapat beberapa gores luka.”

Dalam pada itu, Empu Sanggadaru pun segera mulai dengan pekerjaan yang sudah sering kali dilakukan. Mengawetkan binatang buruannya.

Empu Baladatu menunggui kerja kakaknya dengan asyiknya. Ia pun ternyata tertarik untuk mempelajarinya. Apabila pada suatu saat ada kesempatan, maka Empu Baladatu berniat untuk belajar, reramuan apa saja yang diperlukan dan cara yang agak rumit untuk melakukan pengawetan itu. Tetapi yang lebih menarik bagi Empu Baladatu adalah orang-orang berilmu hitam itu sendiri. Rasa-rasanya ada suatu dorongan padanya untuk datang mengunjungi orang-orang yang disebut berilmu hitam, tetapi yang mempunyai beberapa kelainan dari ilmunya.

Meskipun demikian, mata Empu Baladatu yang tajam dan mengenalnya yang baik terhadap ilmu hitam itu, ia dapat menangkap beberapa kesemaan pada sumber geraknya. Karena itulah, maka nampaknya orang-orang berilmu hitam itu sangat menarik perhatiannya. Malam itu, Empu Baladatu telah menyaksikan bagaimana kakaknya mengawetkan binatang buruannya, sehingga jumlah binatang yang berjajar di rumahnya telah bertambah dengan seekor harimau loreng yang sangat besar.

Namun demikian, Empu Baladatu merasa seolah-olah kedatangannya itu sia-sia. Ia tidak dapat mengemukakan maksudnya, setelah ia mengetahui, bagaimana tanggapan kakaknya yang sebenarnya terhadap pimpinan pemerintahan Singasari yang sedang berjalan. Ternyata kakaknya sangat mengagumi kedua anak-anak muda yang memegang pemerintahan itu. Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Dan iapun telah melihat sendiri, bagaimana anak muda yang bernama Ranggawuni itu mampu menangkap seekor harimau, melampaui kemampuan kakaknya. Jika kakaknya berhasil menangkap harimau itu mati, maka Ranggawuni berhasil menangkap harimau itu hidup-hidup.

Tetapi Empu Baladatu bukan orang yang mudah berputus asa. Ia sudah berada dalam tenggelam di dala angan-angannya, bahwa ia akan menemukan jalan untuk menjangkau ke tempat yang bagi orang lain hanya sekedar mimpi.

“Aku tidak peduli apakah aku dijangkiti oleh penyakit gila. Tetapi aku tidak akan mundur. Betapapun dahsyatnya ilmu Ranggawuni dan Mahisa Campaka. namun pada suatu saat aku tentu akan dapat mengimbanginya, asal dengan tekun meningkatkan ilmuku yang pada dasarnya tidak ada bandingnya di muka bumi.” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Ternyata Empu Baladatu telah mempunyai rencananya sendiri. Itulah sebabnya maka ia tidak dapat terlalu lama tinggal bersama kakaknya. Setelah ia melihat bagaimana caranya kakaknya menganwetkan binatang-binatang buruannya, dan yang penting karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa di padopokan itu, maka ia tidak betah tinggal terlalu lama. Di hari berikutnya, maka Empu Baladatu pun minta diri untuk meninggalkan padepokan kakaknya itu.

“He, kenapa kau pergi begitu cepat?” bertanya Empu Sanggadar.

“Aku sudah lama meninggalkan padepokanku kakang. Kedatangan orang-orang Serigala Putih mengingatkan aku kepada padepokanku. Meskipun aku tidak mempunyai lawan yang mungkin mendendamku, tetapi rasa-rasanya aku menjadi gelisah jika aku mengenangkan ceriteramu tentang orang-orang Serigala Putih yang singgah di padepokan ini dan yang ternyata kemudian menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.”

“Tetapi bukankah ada orang-orangmu yang menunggui padepokan?”

“Tidak banyak. Padepokanku adalah padepokan yang terlalu kecil dibandingkan dengan padepokanmu.”

“Tetapi bukankah kau masih akan pergi berburu lagi?”

“Lain kali aku akan datang kemari lagi kakang. Aku masih mempunyai beberapa keinginan. Tetapi rasa-rasanya aku sekarang selalu digelisahkan oleh keadaan padepokanku yang sudah cukup lama aku tinggalkan itu.”

Empu Sanggadaru hanya dapal mengaugguk-auggukkan kepalanya, la tidak akan dapat menahan adiknya terlalu lama. Jika benar-benar terjadi sesuatu, maka adiknya tentu akan menyalahkannya. “Baiklah Baladatu. Jika kau akan kembali, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan kau tidak menemui kesulitan di perjalanan.”

“Terima kasih kakang. Aku akan datang pada saatnya.”

Empu Sanggadaru tidak dapat menahan lagi. Di pagi hari berikutnya, Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan padepokan kakaknya yang ternyata masih saja diliputi oleh kesiagaan. Apalagi ketika penghuni padepokan itu menyadari bahwa orang-orang Serigala Putih adalah orang-orang yang telah menggemparkan padepokan itu meskipun mereka harus meninggalkan beberapa orang korban. Dan mereka pun segera teringat kepada ciri-ciri yang pernah mereka lihat pada korban korban itu...