Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 22
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“AKU Putut Kuda Santi.” Jawab orang itu, “Aku adalah salah seorang murid tertua dari padepokan ini."

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Jadi apakah benar aku berada di padepokan saudara tuaku yang bernama Empu Sanggadaru?”

“Ya, ya Empu. Disini adalah padepokan Empu Sanggadaru.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Terima kasih. Apakah kau dapat membawa aku menghadap kakang Sanggadaru?”

“Tentu Empu. Empu Sanggadaru telah berpesan kepadaku, agar aku membawa Empu untuk menghadap di sanggar pamujan”

“O” Empu Baladatu mengangguk-angguk, “Apakah kakang Empu Sanggadaru sedang mengadakan upacara?”

“Tidak. Empu Sanggadaru sedang berada di sanggar pamujan bersama tiga orang muridnya untuk memperbincangkan masalah ilmu kanuragan. Bukan ilmu kajiwan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Marilah Empu” Berkata Putut Kuda Santi, “Ikutlah aku ke sanggar pamujan.”

Empu Baladatu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun kemudian mengikuti orang yang menyebut dirinya Putut Kuda Santi itu masuk kepintu yang satu itu juga. Empu Baladatu mengerutkan keningnya ketika ia menginjakkan kakinya ke dalam sebuah ruang yang agak gelap. Namun kemudian lewat pintu yang lain ia sampai ke sebuah ruang di serambi samping. Di ujung serambi itu terdapat sebuah bilik yang tidak begitu luas. Agaknya bilik itulah yang disebutnya sanggar pamujan.

“Sanggar itu terlampau sempit” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, “Bagaimana mungkin kakang Sanggadaru mengolah ilmunya di dalam sanggar itu. Tetapi agaknya ia mempunyai sanggar yang lain yang khusus dipergunakannya untuk menempa murid-muridnya didalam olah kanuragan."

“Silahkan Empu menunggu” desis Putut Kuda Santi, “Aku akan menyampaikan kedatangan Empu kepada guru.”

Empu Baladatu hanya mengangguk saja. Sebenarnya ia sudah jemu untuk selalu menunggu. Tetapi ia masih harus memaksa diri berdiri termangu-mangu menunggu untuk mendapat kesempatan bertemu dengan kakaknya.

Tetapi kali ini ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian ia melihat seseorang turun dari tangga bilik yang tiba-tiba terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi, meskipun agak kekurus-kurusan. Tetapi menilik sikap dan gerak kakinya, menunjukkan, betapa ia menguasai ilmu kanuragan yang tinggi. Demikian ia lepas dari tangga bilik itu, ia berdiri sambil mengembangkan tangannya. Wajahnya menjadi cerah dan sorot matanya memancarkan kegembiraan di hatinya.

“Kau Baladatu” Desisnya, “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Marilah, masuklah ke ruang dalam. Tidak ke sanggar yang sempit dan pengab itu.”

Empu Baladatu mengangguk hormat. Katanya, “Salamku buat kakang. Aku memang sudah lama sekali tidak mengunjungi padepokan ini, sehingga aku menjadi ragu-ragu. Apakah benar aku telah memasuki padepokanmu yang nampak berubah sejak aku meninggalkannya beberapa tahun yang lalu.”

“Bukan hanya beberapa tahun, lebih dari sepuluh tahun. Kau pergi selagi rambutmu masih hitam lekam. Sekarang, ujung rambutmu yang berjuntai dari balik ikat kepalamu, sudah nampak mulai memulih. He, Baladatu, kau memang cepat menjadi tua. Aku kakakmu, rambutku masih tetap hitam pekat. Demikan juga kumis dan janggutku.”

Baladatu tertawa. Katanya, “Aku mempunyai persoalan yang jauh lebih banyak dari persoalanmu kakang. Agaknya kau hidup tenang dipadepokanmu tanpa memikirkan persoalan-persoalan yang rumit, yang tumbuh di sekitarmu dan di sekitar padepokan ini “

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Adalah salah sendiri jika seseorang harus menghadapi persoalan-persoalan yang rumit-rumit. Lihat, aku dapat hidup tenteram di padepokanku sekarang ini. Aku tidak pernah mengganggu dan juga diganggu oleh orang lain.”

Empu Baladatu pun tertawa juga. Jawabnya, “Aku akan mempelajari tata cara kehidupan seperti itu.”

Empu Sanggadaru tertawa semakin keras. Dan Empu Baladatu pun ikut juga tertawa. Sifat yang riang pada kakaknya itu ternyata masih dibawanya sampai umurnya yang semakin tua. “Tetapi” tiba-tiba Empu Sanggadaru berkata, “kau ternyata lebih gemuk daripadaku. Aku yang hidup tenang di sini, tidak dapat menjadi segemuk kau, meskipun aku makan cukup banyak”

Empu Baladatu masih tertawa. Katanya, “Apakah disini tidak terdapat bahan makanan yang memadai? Beras, jagung atau ketela rambat?“

“O, disini ada segalanya. Beras, jagung, juga ketela rambat dan ketela pohon. Ubi panjang dan ubi ungu. Semuanya ada. Mungkin aku justru terlalu banyak makan.”

Empu Baladatu masih tertawa. Dan ia mendengar kakaknya kemudian berkata, “Mari, marilah masuk keruang dalam.”

Mereka pun kemudian memasuki ruang dalam dari rumah yang tidak begitu besar itu. Namun nampak sekali seperti halamannya, rumah itu pun terawat baik. Disana-sini nampak berbagai jenis binatang buruan yang sudah dikeringkan pula, seperti yang sudah dilihat oleh Empu Baladatu di bagian lain dari ramah itu. Mereka pun kemudian dipersilahkan duduk di atas lembaran kulit berbagai macam binatang. Kulit harimau loreng, kulit kijang, kulit serigala, dan bahkan kulit badak air.

Empu Baladatu melihat hasil buruan yang telah mengering itu dengan kagum. Ruangan itu benar-benar telah memberikan kesan kebesaran seorang pemburu. Apalagi di dinding ruangan itu dihiasi pula dengan berbagai macam alat senjata untuk berburu. Busur, anak panah, tombak panjang, bandil dan alat-alat lain yang biasa dipergunakan dalam perburuan di hutan-hutan yang lebat

Empu Sanggadaru melihat kesan yang tersirat diwajah adik nya. Karena itu maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Semuanya ini hanyalah sekedar untuk mengisi waktu. Aku tidak dapat duduk termenung saja siang dan malam di padepokan ini. Sawah dan ladang telah dikerjakan oleh anak-anak. Bahkan mengisi jambangan dipakiwan pun telah dilakukan oleh mereka pula. Lalu aku tidak mendapat bagian kerja apapun juga di padepokan ini, sehingga aku harus mencarinya di luar padepokan.”

“Mengagumkan sekali kakang” berkata Empu Baladatu, “tentu bukan hanya sekedar untuk mengisi waktu. Menilik semua yang ada di ruangan ini dan di serambi belakang, kakang adalah pemburu yang ulung. Adalah jarang sekali pemburu yang manapun juga dapat menangkap seekor ular raksasa seperti yang kakang letakkan di serambi belakang itu.”

“Apa sulitnya menangkap ular?”

“Bagi kakang tentu tidak ada kesulitan. Tetapi bagi mereka yang belum terbiasa, tentu akan banyak mengalami rintangan dan bahkan mungkin membahayakan nyawanya.”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Kau selalu merendahkan dirimu. Tetapi jika kau mau, maka kau tentu akan dapat melakukan lebih baik dari yang aku lakukan sekarang ini. Sejak kanak-kanak, kau mempunyai banyak kelebihan daripada ku. Kau mampu memanjat pohon nyamplung yang batangnya jauh lebih besar dari tubuhmu saat itu. Tetapi aku tidak. Kau mampu menyeberangi sungai yang banjir di sebelah rumah kita, aku sama sekali tidak berani membasahi kakiku dengan airnya yang agak keruh, meskipun kita sama-sama dapat berenang.”

“Ah, kau memuji kakang. Tetapi kau mempunyai kecakapan membidik sejak kanak-kanak. Kau mampu melempar seekor burung dengan tanganmu. Dan agaknya kemampuanmu membidik itu tersalur pada kesenanganmu berburu binatang hutan.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “he, dimana kau berburu binatang-binatang itu kakang?”

“Tidak terlalu jauh” jawab Empu Sanggadaru, “di sebelah sungai itu terdapat hutan yang lebat. Jika kita memasu ki hutan itu, maka kita akan mendapatkan apa saja yang kita inginkan.”

“Sebelah sungai di ujung bulak ini?”

“Ya. Tidak ada yang harus disegani lagi didalam hutan itu. Semuanya dapat kita ambil menurut kebutuhan kita. Hutan itu adalah hutan lebat yang tidak mendapat perlindungan atau menjadi milik dan daerah berburuan dari keluarga istana Singasari meskipun letaknya tidak begitu jauh, justru karena hutan itu masih terlampau lebat dan pepat. Berbeda dengan hutan yang berada dibagian selatan dari Kota Raja. Hutan itu sudah banyak dirambah dan dirindangkan, sehingga menjadi daerah berburuan yang baik bagi keluarga istana. Tetapi sebaliknya, aku sama sekali tidak bergairah berburu di hujan seperti itu. Se-olah-olah hutan yang sudah dipersiapkan menjadi arena berburu perempuan dan kanak-kanak. Sebenarnya lebih baik keluarga istana itu berburu saja dikebun belakang dengan beberapa ekor binatang yang sudah diikat atau berada di dalam sangkar besi yang kuat. Mereka akan dapat memburu binatang itu dengan mudah dan tanpa bahaya apapun juga”

Empu Baladatu lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Tentu ada bedanya. Para bangsawan merasa dirinya lebih penting dari orang kebanyakan sehingga mereka merasa perlu dirinya mendapat perlindungan dan pengamanan lebih baik dari kebanyakan orang.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Tetapi berbeda dengan mereka adalah Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka sendiri.”

“Kenapa dengan keduanya?”

“Keduanya pun tidak puas berburu bersama keluarga mereka yang ketakutan memasuki hutan yang lebat. Mereka berdua, kadang-kadang bersama Mahisa Agni yang terkenal itu, tetapi kadang-kadang tidak, lebih senang berburu dihutan sebelah sungai itu.”

“Tidak sekedar melihat. Tetapi aku pernah bertemu di arena berburuan.”

“Kau disuruhnya menyingkir?”

“Sama sekali tidak. Bahkan Tuanku Ranggawuni mengajak berpacu. Kami sedang memburu seekor rusa yang besar. Siapakah di antara kami yang lebih tangkas.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Kedua orang tertinggi itu diiringi oleh pengawal segelar sepapan?”

“Tidak. Mereka tidak mempergunakan pasukan untuk menggiring binatang buruan agar memasuki jarak bidik panah mereka. Tetapi mereka benar-benar memburu seperti yang aku lakukan.” Empu Sanggadaru berhenti sejenak mengusap keringatnya.

Empu Baladatu mendengarkan ceritera kakaknya dengan saksama. Sekali-kali ia mengangguk-angguk, kemudian mengerutkan keningnya sambil berdesis. “Memang mengagumkan” berkata Empu Baladatu kemudian, “ternyata bahwa mereka bukan saja seorang Maharaja dan Ratu Angabhaya yang hanya dapat meneriakkan perintah-perintah, tetapi agaknya mereka juga prajurit-prajurit yang berani.”

“Ya” sahut Empu Sanggadaru, “keduanya adalah anak-anak muda yang mengagumkan. Mereka saat itu sama sekali belum mengenal aku. Demikian kita saling berkenalan di tengah hutan yang lebat, maka kami pun sudah berpacu dalam arena perburuan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mereka terbiasa duduk di atas Singgasana. Tentu mereka tidak akan menang.”

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, “Kau salah tebak. Ternyata bahwa keduanya adalah pemburu-pemburu yang sangat tangkas. Saat itu aku pun berdua dengan muridku yang paling tua. Namun kami berdua tidak dapat mendahuluinya. Keduanyalah yang berhasil mendapatkan rusa itu lebih dahulu. “

“Tetapi di hutan itu tentu banyak sekali berkeliaran rusa dan kijang. Apakah kalian dapat mengenal rusa yang sedang kalian pertaruhkan.”

“Tentu tidak. Tetapi kami bersetuju untuk saling mendahului mendapat rusa yang manapun juga “

Empu Baladatu berdesis, “Memang mengagumkan. Tetapi yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar berburu. Mungkin mereka tangkas bermain busur dan anak panah. Tetapi dalam persoalan yang lain tentu jauh berbeda.”

“Persoalan apa yang kau maksud?” bertanya Sanggadaru.

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jawabannya ternyata tertunda ketika seorang murid padepokan itu memasuki ruangan sambil membawa hidangan.

“Nah, kalian tentu haus” berkata Sanggadaru, “minumlah dan makanlah.”

“Terima kasih kakang” sahut Empu Baladatu.

Sejenak percakapan mereka terganggu. Namun tiba-tiba Empu Sanggadaru bertanya, “Apakah yang kau maksud dengan persoalan lain bagi kedua anak muda yang kebetulan memegang pimpinan pemerintahan itu?”

“Maksudku dalam olah kanuragan. Bukankah ketrampilan berburu belum merupakan ukuran untuk menentukan tingkat ilmunya?”

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, “Tentu saja tidak. Aku adalah seorang pemburu. Banyak orang menganggap bahwa aku adalah pemburu yang baik, meskipun tidak sebaik kedua anak muda yang disebut Sepasang Ular dalam satu Sarang itu, karena seolah-olah mereka tidak pernah berpisah. Tetapi dalam olah kanuragan, aku adalah seorang yang picik sekali. Bahkan hampir tidak berarti sama sekali.”

“Ah” dengan serta merta Empu Baladatu memotong, “kau selalu merendahkan dirimu.”

“Tentu tidak. Aku berkata sebenarnya.”

“Aku tahu, bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak ada duanya kakang.”

“Mungkin di padepokan ini. Tetapi sudah tentu tidak dapat dibanggakan serupa itu diluar padepokanku. Apabila dibandingkan dengan orang-orang yang sekarang berada di seputar kedua anak muda yang sedang memegang pimpinan pemerintahan itu. Bahkan, kedua anak muda itu pun kini tumbuh dengan pesatnya. Mereka memiliki sumber ilmu dari Mahisa Agni, Witantra dan Lembu Ampal. Didalam pengamatan orang-orang tua itulah keduanya meluluhkan ilmu yang berbeda-beda dalam satu watak yang utuh. Karena itulah, maka keduanya adalah anak-anak muda yang dahsyat. Bukan saja di arena berburuan, tetapi juga di medan. Nah, tentu jauh berbeda dengan aku.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Agaknya kakaknya menaruh hormat yang tinggi kepada, pimpinan pemerintahan di Singasari. “Apakah aku dapat mengatakan kesulitanku kepadanya?” Pertanyaan itu selalu saja mengganggunya.

Tetapi Empu Baladatu tidak tergesa-gesa. Ia ingin berada di padepokan itu untuk beberapa hari lamanya. Baru kemudian, setelah ia yakin, bahwa kakaknya akan bersedia membantunya, ia akan mengatakan keperluannya. Karena itulah, maka meskipun baginya kurang sedap, Empu Baladatu harus bersedia mendengarkan ceritera kakaknya tentang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang bagaikan Sepasang Ular dalam Satu Sarang itu. Keduanya hampir tidak pernah berpisah dalam regala peristiwa dan persoalan. Karena itulah maka pemerintahan mereka, nampak utuh dan bulat.

“Persetan dengan keduanya” geram Empu Baladatu di dalam hatinya, “Aku akan bangkit dengan perguruanku dam menyapu bersih semua yang mencoba menghalangiku. Termasuk kedua anak muda itu. Tentu kakang Empu Sanggadaru merendahkan dirinya dengan ceritera perburuannya.” Namun kemudian, “Tetapi aku tentu tidak akan dapat menyangkal ceriteranya tentang Mahisa Agni, Witantra, Lembu Ampal. Dan kakang Sanggadaru masih belum menyebut Mahisa Bungalan dan Linggadadi.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih selalu menahan diri, karena ia tidak mau merusak suasana pertemuannya dengan kakaknya, jika ternyata kakaknya tidak se jalan dengan sikap dan pendiriannya. Untuk mengetahui sikap kakaknya, maka Empu Baladatu memerlukan waktu beberapa hari.

Tetapi Empu Baladatu memang tidak tergesa-gesa. Meskipun ia harus berada di padepokan itu agak lama, tetapi niatnya dapat berhasil, maka itu tentu akan lebih baik daripada tergesa-gesa tetapi gagal, dan apalagi berselisih dengan kakaknya.

Karena itulah, maka di dalam pembicaraan berikutnya, Empu Baladatu lebih banyak mengiakan kata-kata kakaknya daripada menyatakan sikapnya. Meskipun hatinya kadang-kadang bergejolak mendengar pujian kakaknya atas orang-orang Singasari, namun ia sama sekali tidak membantah. Bahkan kadang-kadang timbul niatnya untuk mengetahui kemampuan kakaknya yang sebenarnya setelah bertahun-tahun mereka berpisah.

“Tetapi aku tidak mempunyai cara yang paling baik untuk melakukannya” berkata Empu Baladatu, “namun aku merasa perlu untuk mengetahui. Jika ternyata kakang Empu Sanggadaru tidak memiliki kelebihan apapun, apa gunanya aku datang bersimpuh di bawah kakinya? Buat apa aku merendahkan diri dan menangis minta belas kasihan, jika ia tidak lebih dari muridku yang paling dungu?”.

Namun demikian Empu Baladatu masih memerlukan waktu dan cara yang sebaik-baiknya untuk mengetahui kemampuan kakaknya. Meskipun binatang-binatang buruan yang banyak sekali terdapat di padepokan itu pun merupakan salah satu alat pengenal yang baik.

“Menilik hasil buruannya, ia adalah orang yang memiliki kelebihan. Tetapi yang dihadapinya adalah binatang-binatang yang bodoh dan tidak mampu berpikir. Agaknya berbeda jika yang dihadapi adalah seorang manusia yang apalagi berilmu.” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Demikianlah, maka setelah pembicaraan mereka bergeser kian kemari, maka Empu Sanggadaru bertanya, “Baladatu, bukankah kau akan bermalam di padepokan ini untuk beberapa hari?”

“Tentu kakang. Aku datang dari daerah yang jauh. Aku sangat rindu kepada kakang Empu Sanggadaru. Karena itu, jika kakang tidak berkeberatan, aku akan tinggal disini untuk beberapa hari lamanya. Mungkin aku perlu melihat-lihat suasana Kota Raja”“

“Perjalanmu sebenarnya tidak terlalu jauh.”

“Aku bermalam beberapa malam di perjalanan.”

“He?”

“O” Empu Baladatu segera memotong, “maksudku, karena aku tidak menempuh jalan lurus kepadepokan ini. Aku menempuh jalan yang agak melingkar, karena aku ingin melihat-lihat padukuhan dan kota-kota kecil yang berkembang demikian pesatnya di bawah pemerintahan Singasari yang sekarang.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian maka mungkin sekali perjalananmu disekat oleh beberapa malam di perjalanan. Dan bukankah yang kau lihat cukup menggembirakan menjelang hari depan Singasari yang cerah?”

Empu Baladatu mengangguk-angguk, betapa hatinya menjadi kusam. Bahkan di dalam hatinya itu ia berkata, “Singasari akan segera berganti wajah. Jika kekuatanku telah pulih kembali, dan kakang Sanggadaru bersedia membantuku, maka semuanya akan segera berubah.” Namun katanya kemudian kepada diri sendiri, “Tetapi aku tidak boleh tergesa-gesa, Setelah aku berhasil melenyapkan Mahisa Bungalan dan Linggadadi, maka perjuangan yang sebenarnya barulah aku mulai.”

Di padepokan itu, Empu Baladatu dan dua orang pengawalnya, telah mendapat tempat yang khusus bagi mereka. Sebuah rumah kecil dari antara beberapa buah rumah yang berada di seputar lapangan kecil dibagian belakang padepokan itu. justru sebuah rumah kecil di bagian samping padepokan, bahkan agak terpisah dari bagian-bagian yang lain.

“Dirumah itulah aku mempersilahkan semua tamuku untuk bermalam. Di rumah itu mereka tidak akan tergangu oleh hiruk pikuk anak-anak yang bodoh dipadukuhan ini” berkata kakaknya ketika ia mempersilahkan adiknya ke tempat yang telah disediakannya itu.

“Terima kasih kakang. Aku dapat bertempat dimanapun juga. Sudah menjadi kebiasaanku, tidur di sembarang tempat dan waktu. Diperjalanan aku dapat tidur nyenyak di dahan pepohonan.”

“Aku percaya” jawab kakaknya, “kau adalah petualang yang baik sejak kanak-kanak. Dan kau memang dapat tidur dimanapun juga. Bahkan dalam genangan air. He, bukankah di masa kanak-kanak kau selalu saja masuk kedalam jambangan, dan kemudian dengan pakaian basah kuyup tertidur di belakang kandang?” Keduanya tertawa. Bahkan para pengawal Empu Baladatu pun tertawa pula.

Beberapa saat kemudian, maka seorang murid dari perguruan Empu Sanggadaru itu pun mengantarkan Empu Baladatu ke rumah terpisah yang telah ditunjukkan. Sebuah rumah kecil, namun nampaknya menyenangkan sekali. Beberapa pohon bunga soka berwarna merah yang tumbuh dekat di muka pintu membuat rumah itu semakin segar. Di sisi sebelah kiri terdapat sebatang pohon bunga ceplok piring yang sedang berbunga lebat sekali, sehingga seolah-olah segerumbul pohon yang berdaun putih.

“Bukan main” desis Ki Baladatu, “padepokan ini rasa-rasanya sangat terawat. Namun dengan demikian aku menjadi ragu-ragu, apakah dibalik keterangan dan keteraturan padepokan ini masih juga tersimpan tenaga. Jika dipadepokan ini masih juga ada beberapa orang murid dari cantrik yang paling bodoh sehingga putut yang paling dipercaya, namun agaknya yang mereka dapatkan di sini tidak lebih dari pelajaran menari. Dan apakah yang akan aku dapatkan dari serombongan penari yang betapapun juga baiknya bagi perjuangan yang keras untuk merebut pimpinan tertinggi dari Singasari?”

Kedua pengawalnya tidak menjawab.

“Tetapi kita masih akan mencoba” berkata Empu Baladatu kemudian.

Kedua pengawalnya masih tetap berdiam diri. Rasa-rasanya mereka pun sedang mencoba menilai, apakah yang akan mereka dapatkan dipadepokan yang asri itu selain pohon-pohon bunga dan beberapa pasang angsa yang putih dikolam yang bening.

“Sudahlah” berkata Empu Baladatu kemudian, “sebaiknya kita tidak memikirkannya sekarang. Baiklah kita menikmati istirahat yang menyenangkan disini. Selama perjalanan kita tidak sempat berbaring dengan tenang dan makan dengan mapan. Sekarang adalah waktunya untuk melakukannya.”

Kedua pengawalnya mengangguk-angguk.

“Melihat sebuah amben bambu tutul yang dibentangi tikar pandan yang putih, rasa-rasanya aku ingin tertidur sejenak” Berkata Empu Baladatu.

“Jika Empu akan tidur, biarlah kami berdua berjaga-jaga” Berkata salah seorang pengawalnya.

“Kenapa harus berjaga-jaga? Tidak ada yang perlu dicemaskan di sini. Ini adalah dipadepokan kakakku. Selebihnya, yang ada dipadepokan ini hanyalah sekumpulan pemburu-pemburu.”

Kedua pengawalnya mengerutkan keningnya.

“Tidurlah jika kalian ingin tidur. Kau tutup sajalah pintu itu dan kau selarak dari dalam. Tetapi jika kalian ingat berjaga-jaga, biarlah pintu itu tetap terbuka.”

“Biarlah pintu itu tetap terbuka Empu” berkata salah seorang pengawalnya.

Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Kau masih juga mengenal unggah-ungguh. Kau masih merasa dirimu sebagai tamu di sini. Baiklah. Biarlah pintu itu terbuka, dan kau duduk di amben di luar pintu. Aku akan tidur di dalam bilik kecil itu.”

Empu Baladatu pun kemudian masuk ke dalam sebuah bilik kecil dengan sebuah amben kecil dari pering tutul. Diatas nya dibentangkan sebuah tikar pandan yang putih, bergaris-garis merah. Setelah menutup pintu dan menyelarakkan dari dalam, dan kemudian menggantungkan senjatanya, Empu Baladatu segera berbaring.

Namun ia pun tersenyum sendiri melihat selarak pintu itu. Dan berkata kepada diri sendiri, “Apakah sebenarnya yang aku cemaskan disini? Kakakku bersikap baik, dan agak nya di sini tidak akan ada kekuatan yang pantas dicemaskan.” Ia mengerutkan keningnya, lalu, “Tetapi apa salahnya aku berhati-hati. Padepokan ini nampaknya menyimpan sesuatu yang sulit dimengerti meskipun itu hanya sekedar prasangka saja.”

Tetapi ternyata bahwa Empu Baladatu tidak tertidur juga. la hanya sekedar berbaring sambil menganyam angan-angan. Sejenak saat itu, maka Empu Baladatu berada di padepokan kakaknya yang kurang dikenalnya dengan baik. Ketika ia terbangun di pagi hari menjelang matahari terbit, dan kemudian bersama kedua pengawalnya keluar dari rumah kecil yang diperuntukkan baginya, ia melihat empat orang berjalan dengan tenang melintasi halaman depan. Namun nampaknya mereka baru saja bekerja keras dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada. Ternyata dari langkah mereka yang lelah dan peluh yang bagaikan terperas dari tubuhnya.

“Apa saja yang telah mereka lakukan?” bertanya seorang pengawalnya.

Empu Baladatu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mungkin mereka haru saja melakukan sesuatu. Atau barangkali mereka haru saja berlatih.”

“Tetapi dimana saja mereka berlatih sepagi ini? Aku kira lapangan kecil di belakang itu adalah arena berlatih yang sangat baik.”

Empu Baladatu menggelengkan kepalanya.”Aku tidak mengerti.”

Sejenak mereka masih saja mengikuti empat orang yang kemudian hilang dibalik dinding penyekat yang menghubungkan bagian pendapa rumah induk yang kecil itu dengan gandoknya sebelah menyebelah.

“Mereka masuk ke rumah kecil itu.”

“Mungkin mereka menjumpai Empu Sanggadaru di sanggarnya.” Empu Baladatu mengangguk-angguk.

Sejenak mereka duduk di tangga pendapa kecil itu sambil termangu-mangu Mereka mengangkat wajahnya ketika mereka mendengar seekor kuda yang meringkik. Namun mereka tidak melihat kuda itu.

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Terasa banyak hal yang belum dimengertinya di padepokan itu. Namun Empu Baladatu mencoba menganggapnya wajar, karena ia baru sebentar berada di padepokan kakaknya.

“Pada suatu saat, aku akan banyak mengetahui tentang padepokan ini” Berkata Empu Baladatu.

Ketika matahari mulai naik di kaki langit, maka seorang pelayan telah membawa minuman dan makanan hangat kerumah terpencil itu. Dengan ramah mereka mempersilahkan ketiganya untuk menikmatinya.

“Selagi masih hangat” berkata pelayan itu.

“Terima kasih” jawab Empu Baladatu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Dimanakah kakang Empu Sanggadaru sepagi ini?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Empu Sanggadaru berada di sanggarnya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah ia selalu berada di sanggar?”

“Ya. Hampir setiap saat. Siang dan malam. Bahkan tidur pun sebagian besar dilakukannya di dalam sanggar.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Apakah kakang Sanggadaru sering berburu?”

Orang itu mengangguk., “Ya. Sering sekali. Agaknya berburu telah menjadi bagian dari hidup Empu Sanggadaru. Tetapi ia tidak pernah meninggalkan padepokan ini terlalu lama.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Hutan lebat itu memang tidak terlampau jauh dari padepokan. Apalagi menilik binatang buruan yang dikeringkan banyak terdapat di setiap bagian dari rumah induk di padepokan itu, maka wajarlah apa yang dikatakan oleh pelayan itu tentang Empu Sanggadaru.

Namun tiba-tiba Empu Baladatu teringat kepada empat orang yang lewat di halaman dengan keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya, Karena itu, maka seolah-olah sambil lalu saja Empu Baladatu bertanya, “Darimanakah keempat orang yang tadi lewat halaman ini?”

Pelayan itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia ber tanya, “Empat orang yang manakah yang Empu maksud?”

“Yang pagi-pagi tadi lewat halaman ini dengan keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya.”

Pelayan itu menggeleng., “Tidak ada orang yang lewat di halaman ini. Pagi-pagi benar aku sudah bangun dan membersihkan halaman ini. Halaman bagian depan. Seorang kawanku membersihkan halaman belakang dan yang lain di longkangan. Tetapi sepengetahuanku tidak ada orang yang lewat halaman depan ini sejak pagi sampai saat ini.”

“Ah” Empu Baladatu berdesah, “empat orang yang nampaknya baru saja bekerja keras. Mungkin berlatih, mungkin melakukan apa saja.” . Pelayan itu menggeleng. Katanya, “Aku mengenal setiap orang dalam padepokan ini. Semua cantrik, putut dan jejanggan aku kenal. Tetapi sejak pagi tadi tidak ada seorang pun yang lewat halaman ini selain aku sendiri.”

“Apakah tidak seorang pun diperkenankan keluar dari padepokan ini?”

“Kenapa tidak?” bertanya pelayan itu.

“Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang lewat dihalaman ini?”

“Bukan dilarang Empu, tetapi sudah menjadi kebiasaan setiap penghuni padepokan ini, untuk keluar masuk lewat pintu butulan di samping. Hanya Empu Sanggadaru dan para penjaga diregol itu sajalah yang melintasi halaman ini. Itu pun jarang sekali dilakukan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian empat orang yang aku lihat adalah mereka yang bertugas di regol semalam. Tetapi kenapa tubuh mereka basah oleh keringat yang bagaikan diperas?, “Apakah menjelang pergantian tugas, mereka sempat berlatih diluar regol?”

“Tidak ada pergantian tugas dipagi ini? Biasanya pergantian tugas itu belangsung di sore hari. Lima orang yang bertugas bukan saja di regol itu, selama sehari semalam. Mereka mengawasi seluruh padepokan, dari regol depan sampat kebagian yang paling belakang dan pintu-pintu butulan pada dinding padepokan.”

“Tugas yang berat.”

Pelayan itu menggeleng, katanya, “Tidak begitu berat. Padepokan ini adalah padepokan yang aman. Tidak ada orang lain yang menaruh perhatian, apalagi mengganggu. Lima orang yang bertugas itu masih sempat membagi waktunya. Setiap kali dua orang sempat tidur, sedangkan yang dua lagi berjaga-jaga dan sekali-kali mengelilingi padepokan ini. Sementara yang seorang adalah pimpinan kelompok itu.”

Empu Baladatu menjadi ragu-ragu atas keterangan itu. Ia merasa melihat dengan pasti, empat orang yang lewat dihalaman itu. Namun Empu Baladatu tidak mau bertanya lebih banyak lagi. Adalah mungkin sekali pelayan itu kebetulan tidak ada dihalaman ketika empat orang itu sedang lewat, sehingga ia tidak dapat melihatnya.

“Terima kasih” Berkata Empu Baladatu kemudian, “Kami akan minum dan makan hidangan yang kau bawa.”

“Silahkan Empu.”

Empu Baladatu kemudian menghadapi hidangan itu dengan pertanyaan yang membelit hatinya. Dengan kedua pengawalnya ia memperbincangkan hal-hal yang sulit dimengertinya di padepokan itu.

“Kau dengar ringkik kuda itu?” Bertanya Empu Baladatu.

“Ya. Mungkin kuda-kuda kita yang berada di kandang dan dibawah perawatan para pekatik di sini.”

“Aku jadi ragu-ragu. Apakah mereka benar-benar dapat merawat Kuda kita dengan baik?” desis Empu Baladatu.

Kedua pengawalnya saling berpandangan. Lalu, salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan menengoknya nanti. Apakah itu tidak diperbolehkan?“

“Kita tidak usah bertanya dan mempersoalkan boleh atau tidak boleh. Kita tidak mengetahui peraturan yang berlaku di sini. Karena itu kita dapat berbuat apa saja tanpa ragu-ragu.”

Kedua pengawalnya mengangguk-angguk. Demikianlah mereka menikmati makan pagi yang hangat, yang dihidangkan oleh pelayan itu, meskipun mereka tetap dicengkam oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu duduk termangu-mangu di tempatnya. Agaknya mereka masih tetap diselubungi oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya mereka lakukan di tempat yang nampaknya diselubungi oleh teka-teki itu.

“Aku akan mendapatkan kakang Empu” Berkata Empu Baladatu, “Aku akan mengajaknya berburu dan dengan demikian aku ingin mengetahui serba sedikit, apakah kakang Sanggadaru benar-benar memiliki kemampuan untuk membantu aku mencari cita-cita yang selama ini sudah mulai aku rintis, meskipun baru dalam tingkat persiapan.”

“Menyenangkan sekali” Sahut seorang pengawalnya, “Aku juga seorang pemburu di masa kanak-kanakku, meskipun hanya sekedar berburu kancil di hutan yang rindang. Tetapi berburu adalah selingan yang menyenangkan.”

Demikianlah, ketika seorang pelayan datang lagi untuk mengambil sisa makanan di rumah kecil itu, Empu Baladatu berkata kepadanya, “Aku akan bertemu dengan kakang Empu Sanggadaru. Apakah aku harus pergi ke sanggar itu?”

“O” Pelayan itu menjawab, “Aku akan menyampaikannya. Mungkin Empu akan diterima di sanggar, tetapi mungkin di tempat lain.”

“Baiklah. Katakanlah.”

Pelayan itu pun kemudian pergi sambil membawa sisa makanan sementara Empu Baladatu menunggu kesempatan untuk bertemu dengan kakaknya.

Sepeninggal pelayan itu, maka salah seorang pengawalnya terkata, “Apakah aku harus pergi kekandang kuda itu?”

“Ya. Pergilah” Jawab Empu Baladatu, “Sudah aku katakan. Kita tidak tahu apa-apa tentang padepokan ini. Karena itu kita tidak usah ragu-ragu.”

Pengawalnya termangu-mangu. Meskipun Empu Baladatu mengatakan agar mereka tidak ragu-ragu, tetapi kata-kata itu diucapkannya dengan keragu-raguan. Meskipun demikian kedua pengawalnya itu mengangguk-angguk sambil berpandangan. Salah seorang dari keduanya berkata, “Marilah. Sementara Empu menunggu keterangan dari Empu Sanggadaru.”

Keduanya pun kemudian melangkah turun ke halaman. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun keduanya pun kemudian melangkah ke belakang gandok rumah induk yang tidak begitu besar, menuju ke halaman belakang. Dari sanalah mereka mendengar suara kuda meringkik. Ketika mereka sampai di belakang rumah induk itu, mereka bertemu dengan seorang cantrik yang sedang menyiangi pohon bunga pacar banyu yang bergerumbul.

Dengan ragu-ragu salah seorang dari pengawal Empu Baladatu itu mendekatinya sambil bertanya, “Ki Sanak, dimanakah letaknya kandang kuda? Aku seolah-olah mendengar ringkik kuda itu dari tempat ini. Tetapi agaknya di sini sama sekali tidak terdapat kandang kuda.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia bertanya, ”Apakah Ki Sanak akan mempergunakan kuda-kuda Ki Sanak sekarang?”

“Tidak. Tetapi aku hanya ingin melihat.”

“Marilah. Ikutlah dengan aku.”

Kedua pengawal Empu Baladatu itu pun segera mengikuti cantrik yang dengan tergesa-gesa menuju ke bagian belakang dan padepokan itu. Sambil melangkah di belakang cantrik itu, kedua pengawal itu pun menjadi heran. Kandang kuda itu ternyata terletak di tempat yang agak jauh, di belakang salah sebuah rumah yang berada di sekeliling lapangan kecil itu.

“Seorang pekatik telah memelihara ketiga ekor kuda itu dengan baik” Berkata cantrik itu.

Ternyata yang dikatakan oleh cantrik itu memang benar Seorang pekatik telah memelihara tiga ekor kuda itu sebaik-baiknya. Pagi itu, ketiga ekor kuda itu sudah dimandikannya dan disediakan rumput yang hijau segar.

“O, silahkanlah Ki Sanak” Berkata pekatik yang memelihara kuda itu ketika ia melihat kedua pengawal Empu Baladatu itu mendekatinya.

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Terima kasih. Ki Sanak sudah memelihara kuda kami sebaik-baiknya.”

“Itu adalah pekerjaanku. Disini aku memelihara beberapa ekor kuda pula.”

“Seorang diri?” Bertanya salah seorang pengawal itu

“Tidak. Disini ada tiga orang pekatik. Sedang beberapa orang cantrik dapat membantu kami. Tetapi kuda di padepokan ini memang tidak terlalu banyak.”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Yang tampak di kandang itu kecuali tiga ekor kuda mereka hanyalah dua ekor kuda yang lain.

Agaknya pekatik itu mengerti bahwa kedua orang itu ingin bertanya kepada mereka, apakah dipadepokan itu hanya ada dua ekor kuda, maka pekatik itu berkata, “Di sini ada lima ekor kuda yang khusus disediakan bagi Empu Sanggadaru, ia adalah seorang penggemar kuda yang mengerti benar akan katuranggan kuda. Lima ekor kuda itu adalah kuda pilihan, tiga ekor diantaranya sekarang sedang dilepas di lapangan rumput sambil melemaskan kakinya karena sudah beberapa hari tidak digembalakan, dan tidak dipergunakan oleh Empu Sanggadaru.”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Namun masih ada pertanyaan yang terselip di sorot matanya, apakah kecuali lima ekor kuda itu masih ada kuda yang lain.

Ternyata pekatik itu berceritera tanpa ditanya, “Selain lima ekor kuda itu, masih ada beberapa ekor kuda yang lain, tetapi kuda-kuda itu tidak sebaik kelima ekor itu.”

“Ada berapa ekor lagi?” Salah seorang pengawal itu tidak dapat menahan pertanyaannya lagi.

“Sebelas ekor kuda. Semuanya ada di belakang rumah sebelah pohon kemuning itu. Disana ada sebuah kandang yang agak panjang.”

“Siapa sajakah yang sering mempergunakan ke sebelas ekor kuda itu?”

“Siapa saja penghuni padepokan ini. Kuda-kuda itu memang disediakan bagi siapa saja“

Kedua pengawal itu termangu-mangu. Tanpa disengaja mereka memandang ke belakang rumah induk yang tidak begitu besar. Agaknya ringkik kuda itu adalah salah seekor dari tiga ekor kuda yang sedang dilepas di lapangan rumput ketika kuda itu dituntun melewati tempat itu.

Kedua orang pengawal Empu Baladatu itu pun terkejut ketikaa pekatik itu bertanya, “Apakah Ki Sanak akan membawa kuda-kuda ini ke lapangan rumput untuk dilepas sebentar?”

Kedua pengawal itu menggeleng. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tidak. Mungkin Empu Baladatu mempunyai rencana tersendiri,“

Pekatik itu mengangguk-angguk.

“Sudahlah Ki Sanak” Berkata salah seorang dari kedua pengawal itu, “aku akan kembali kepada Empu Baladatu yang mungkin sudah siap untuk melakukan sesuatu. Aku titipkan kuda-kuda itu kepadamu.”

Pekatik itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu?”

“Maksudku, mungkin Empu ingin melihat-lihat daerah ini atau rencana-rencana lain bersama Empu Sanggadaru.”

Pekatik itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan menjaga kudamu baik-baik.”

Kedua pengawal itu pun kemudian kembali ke tempat yang disediakan bagi mereka. Namun dengan demikian mereka tidak juga dapat menghapus teka-teki yang masih saja terasa di sekitar padepokan yang asri itu. Ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka melihat seorang cantrik sedang bercakap-cakap dengan Empu Baladatu. Namun agaknya mereka dapat ikut berbicara pula, karena ternyata Empu Baladatu memanggilnya.

“Kemarilah” Desisnya. “Kakang Empu Sanggadaru dapat menerima aku pagi ini. Tetapi agaknya badannya agak kurang enak sehingga aku dipanggilnya ke sanggar.”

“Apakah kami harus ikut?” Bertanya salah seorang pepengawalnya.

Empu Baladatu memandang cantrik itu seolah-olah bertanya apakah pengawalnya diperkenankan ikut. Cantrik itu seolah-olah mengerti apa yang tersirat pada sorot mata Empu Baladatu, sehingga ia pun segera menjawab, “Tentu saja Ki Sanak. Tidak ada keberatan apapun jika Ki Sanak berdua akan menghadap bersama Empu Baladatu.”

Tetapi Empu Baladatu lah yang kemudian berkata, “Biarlah aku sendiri menghadap kakang Sanggadaru. Kalian dapat menunggu aku disini.”

Kedua pengawal itu bertanya lagi. Namun nampaknya mereka memang lebih senang menunggu daripada ikut berada di dalam sanggar tanpa berbuat apa-apa, karena mereka berdua tentu hanya harus mendengarkan saja pembicaraan kedua kakak beradik itu.

Dengan demikian, maka kedua orang itu pun sempat beristirahat sepuas-puas nya. Mereka dapat berbaring, duduk sambil mengangkat kakinya atau berjalan-jalan di halaman, karena mereka tentu tidak akan dapat berbuat demikian jika mereka berada bersama Empu Baladatu.

Dalam pada itu, Empu Baladatu pun segera mengikuti cantrik yang datang menjemputnya, menghadap kakaknya. Empu Sanggadaru. Dengan ragu-ragu Empu Baladatu memasuki sanggar yang memang nampaknya terlampau sempit untuk melakukan sesuatu, dengan pintu yang rendah dan sempit.

“Marilah” terdengar suara Empu Sanggadaru ketika ia melihat adiknya dimuka pintu.

Empu Baladatu pun segera membungkukkan badannya dan menyusup masuk kedalam sanggar, langsung naik keatas sebuah amben yang seolah-olah memenuhi ruang sanggar itu. Ketika Empu Baladatu telah duduk, dan sekali ia berpaling ia sudah tidak melihat lagi bayangan cantrik yang membawanya ke sanggar itu.

“Aku lebih senang menemuimu di sini meskipun barangkali agak pengab dan panas” Berkata Empu Sanggadaru.

“Menyenangkan” Jawab Empu Baladatu, “Meskipun ruang ini sempit, tetapi udaranya terasa sejuk. Sama sekali tidak panas seperti yang kau katakan”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Dibawah sanggar ini terdapat sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih. He, apakah kau tidak mendengar gemericiknya?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Baru kemudian ia tersenyum, “Tentu saja aku mendengar arus air yang mengalir. Bukan hanya gemericik, tetapi tentu sebuah aliran air yang cukup deras. Tetapi aku tidak mengira bahwa arus air itu lewat di bawah sanggarmu ini kakang.

“O, telingamu memang tajam sekali. Aku sudah memerintahkan membuat plempem tanah liat yang rapat agar suara air itu tidak terdengar. Tetapi sudah barang tentu, tidak akan dapat dilakukan dengan sempurna, sehingga suaranya masih juga dapat kau dengar, bahkan dengan tepat kau menebak, bahwa arus air di bawah sanggar ini cukup besar.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Arus air ini sama sekali tidak muncul dipermukaan tanah di dalam padepokan ini, tetapi langsung masuk kedalam sungai di sebelah.” Berkata Empu Sanggadaru kemudian,

“Dan kakang membuat plempem tanah liat sepanjang itu?”

Empu Sanggadaru tidak segera menjawab. Namun kemudian ia mengangguk. Katanya, “Plempem itu memang aku buat untuk kepentingan arus air di bawah tanah ini. Mula-mula di padepokan ini terdapat sebuah parit yang deras dan dalam-dalam. Agar padepokan ini tidak terbelah, maka aku membuat plernpem itu, dan kemudian menimbun parit yang dalam itu, sehingga parit itu pun kemudian terdapat di bawah tanah, tepat di bawah sanggar ini. Tidak banyak orang yang dapat mendengar aliran arusnya yang memang agak deras, selain orang-orang yang memiliki pendengaran yang sangat tajam.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia memang mendengar arus air yang deras. Tetapi semula ia tidak tahu, bahwa yang didengarnya lamat-lamat itu adalah arus air. Semula ia menyangka bahwa di dekat rumah itu terdapat arus yang kuat, yang mengalir dalam parit yang dalam. Namun ternyata bahwa arus air itu justru berada di bawah kakinya,

“Tetapi dengan demikian” Berkata Empu Baladatu, “Arus air itu sama sekali tidak dapat dipergunakan dipadepokan Ini.”

Empu Sanggadaru menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Memang tidak ada manfaat langsung dari air yang kuat itu. Tetapi di beberapa tempat terdapat lubang-lubang semacam sumur yang tembus ke dalam arus air itu.”

“Apakah lubang-lubang semacam itu berguna?” Bertanya Empu Baladatu.

Kakaknya tersenyum. Jawabnya, “Memang tidak ada gunanya. Tetapi kadang-kadang kami melemparkan sampah kedalam lubang-lubang semacam itu.”

“Sampah?” Empu Baladatu mengerutkan keningnya.

“Ya, Sampah yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi bagi padukuhan ini.”

Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Ia mulai membayangkan lubang-lubang yang tidak begitu dalam, namun rasa-rasanya lubang-lubang semacam itu nampaknya mengerikan sekali. Bukan saja sampah yang dimasukkan ke dalamnya akan langsung hanyut dalam arus yang kuat, tapi jika seseorang terperosok masuk ke dalamnya, betapapun juga tinggi ilmunya, maka ia akan hanyut pula tanpa dapat berbuat apa pun juga dengan ilmunya itu.

Terasa bulu-bulu Empu Baladatu meremang. Tetapi sejak ia berada dipadepokan itu, ia belum pernah melihat lubang serupa itu, meskipun ia tahu, bahwa letak lubang semacam itu tentu di sepanjang jalur parit di bawah tanah yang berarus kuat itu.

“Apakah kakang pernah mempergunakan lubang-lubang semacam itu untuk kepentingan-kepentingan khusus” pertanyaan itu pun telah terloncat dari mulut Empu Baladatu diluat sadarnya.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya, “Sampai saat ini aku tidak pernah mempergunakan untuk keperluan yang khusus selain untuk membuang sampah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Termasuk sampah yang bukan saja berasal dari tumbuh-tumbuhan.”

Empu Biladatu termangu-mangu sejenak, dan Empu Sanggadaru melanjutkannya, “Para cantrik pernah memasukkan seekor kuda yang mati kedalam lubang itu. Ternyata bahwa kuda itu pun dapat hanyut tanpa menyumbat lubang parit itu.”

Dada Empu Baladatu berdesir. Bahkan seekor kuda pun dapat hanyut. Empu Baladatu terkejut ketika tiba-tiba saja Empu Sanggadaru bertanya, “Apakah kau pernah melihat lubang-lubang itu seurut arus air dibawah tanah itu?”

Empu Baladatu menggeleng. Jawabnya, “Belum kakang.”

“O” Empu Sanggadaru mengangguk-angguk, “Lubang-lubang itu telah dibuat seperti sebuah sumur yang aman. Plempem tanah itu mencuat hampir sedada, sehingga tidak mungkin seseorang terperosok kedalamnya tanpa disengajanya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Jadi plempem tanah liat yang kan tanam di sepanjang halaman ini merupakan plempem-plempem yang besar sebesar lubang sumur dihalaman padepokanmu ini?”

“Ya. Aku telah membuat plempem-plempem tanah liat sebesar itu. Karena arus yang kuat, maka plempem yang lebih kecil tentu akan menghambat aliran airnya, dan akan menahan arus itu, sehingga dapat menimbulkan genangan, bahkan rawa kecil di luar padepokan ini.

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia mencoba mengusir prasangka buruk yang tumbuh dikepalanya karena sumur-sumur itu, meskipun kakaknya sudah mengatakan, bahwa sumur-sumur itu cukup diberi pengaman sehingga tidak mungkin seseorang terperosok kedalamnya tanpa disengaja.

“Mungkin aku adalah orang yang berpikiran paling busuk di muka bumi ini” Berkata Empu Baladatu didalam hatinya, “Sehingga aku langsung berprasangka bahwa lubang-lubang semacam itu akan dapat disalah gunakan oleh kakang Empu Sanggadaru.”

Namun ketika terpandang olehnya wajah kakaknya yang cerah, maka ia pun bergumam, “Tentu kakang Sanggadaru tidak akan berbuat serupa itu.”

Empu Baladatu terkejut ketika tiba-tiba saja kakaknya bertanya, “Agaknya kau menaruh perhatian terhadap parit di bawah Sanggarku ini. Baiklah, jika kau sempat, pada suatu saat kita akan melihat. Diluar padepokan ini, kau akan dapat melihat parit itu sebelum aku jinakkan dengan plempem tanah liat. Kemudian kau dapat melihat lubang plempem yang sebagian tidak tertimbun, sehingga kau dapat membayangkan, betapa kerja berat pernah kami lakukan untuk menimbuni lereng yang dalam yang membelah padepokan ini meskipun tidak begitu lebar. Kemudian kau pun dapat melihat, kemana air ini tertumpah dibagian bawah, juga diluar padepokan ini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menjawabnya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Tetapi kakang, yang lebih menarik lagi bagiku adalah medan perburuanmu yang menghasilkan binatang-binatang yang kau keringkan di padepokan ini.”

“O” Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sudah menduga. Kau tentu tertarik pada hutan belukar itu. Baiklah. Aku akan mempersiapkan perburuan yang paling besar yang pernah aku lakukan. Besok kita akan pergi berburu bersama beberapa orang muridku. Kau tentu akan senang sekali.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mengharap bahwa kakaknya tidak akan berkeberatan membawanya berburu. Dengan demikian maka ia pun akan dapat melibat, betapa tangkasnya kakaknya mengejar binatang- buruan dan melontarkan senjata untuk membunuhnya.

“Setidak-tidaknya aku akan dapat mengetahui kecepatan gerak yang dimilikinya” berkata Empu Baladatu didalam hatinya.

“Tetapi kakang” berkata Empu Baladatu kemudian, “Aku mendengar dari seorang cantrik bahwa kakang agak tidak enak badan bari ini.“

Empu Sanggadaru tersenyum, jawabnya, “Ya. Sedikit. Tetapi itu tidak akan mengganggu. Dalam daerah perburuan aku selalu merasa sehat.”

“Baiklah kakang. Tetapi apakah kedua pengawalku itu diperkenankan ikut pula?”

“Apa salahnya. Biarlah mereka ikut berburu bersama kami besok. Mereka pun tentu akan senang melihat binatang buruan yang berkeliaran di hutan. Dari jenis binatang yang paling ganas, sampai binatang yang paling lemah, tetapi betapa lincahnya. Jenis kijang adalah binatang yang seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi binatang buruan semata-mata. Baik oleh binatang-binatang buas, maupun oleh manusia. Tetapi kijang pun mempunyai kelebihan. Kecepatannya bergerak memang sangat mengagumkan.”

“Menyenangkan sekali kakang.” Desis Empu Baladatu, “Tetapi aku sama sekali tidak mempunyai perlengkapan berburu, karena sejak dari padepokan, aku tidak mengira bahwa kita akan berburu di hutan yang lebat.”

“Aku mempunyai beberapa busur dan kelengkapannya. Aku juga mempunyai bandil dan tombak pendek. Kalian dapat memilih senjata manakah yang paling lepat untuk berburu bagi kalian.”

“Kami belum berpengalaman. Kakang akan dapat memberikan petunjuk.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan memilih senjata untuk kalian.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Berbenahlah. Besok kita akan berangkat pagi-pagi benar. Tetapi kita akan mulai berburu di siang hari, disaat binatang mulai haus dan turun mencari air “

“Kijang?” Bertanya Empu Baladatu.

“Ya. Jika kita ingin mendapatkan binatang buas, maka kita akan menunggu mereka keluar mencari mangsa di malam hari. Tetapi sekali-kali kita dapat menjumpainya pula di siang hari,”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Jika orang-orang kita cukup banyak, maka kita akan dapat memencar mereka untuk mengejutkan binatang-binatang yang sedang bersembunyi. Disaat binatang itu berlari-larian, maka pengejaran pun akan segera mulai.”

“Menyenangkan sekali” desis Empu Baladatu. Lalu, “Baiklah kakang. Aku akan memberitahukan kepada kedua pengawalku bahwa mereka besok diperkenankan untuk ikut berburu. Mereka tentu senang sekali. Bahkan salah seorang dari mereka mengatakan, bahwa dimasa kecil ia mendapat kesempatan untuk berburu pula meskipun hanya berburu burung.”

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, “Berburu burung memerlukan ketangkasan tersendiri. Tetapi baiklah. Kita besok akan pergi bersama-sama. Aku akan memberitahukan beberapa orang cantrik yang akan aku bawa serta.”

Empu Baladatu pun kemudian minta diri. Namun ia tertegun ketika kakaknya bertanya, “Jadi apakah sebenarnya keperluanmu hari ini? Bukankah kau berpesan kepada seorang pelayan untuk menjumpaiku?”

“O, tidak. Tidak ada keperluan khusus” Jawab Empu Baladatu, “Namun sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah aku juga dapat mencari binatang seperti yang kau keringkan di padukuhan ini.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Tentu dapat. Dan adalah kebetulan, aku sudah lama tidak berburu.”

Tiba-tiba saja teringat oleh Empu Baladatu seekor ular yang besar yang membelit pengeret di bagian belakang rumah ini. Tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk menangkap ular sebesar itu. Karena itu, tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kakang sendiri yang menangkap ular sebesar yang berada di serambi belakang itu?”

Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, “Ya Aku sendirilah yang menangkapnya“

“Mengagumkan sekali.”

“Kenapa?”

“Aku tidak dapat membayangkan, bagaimana kakang dapat menangkapnya.”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Mudah seakli. Aku menemukan ular itu sedang tertidur nyenyak. Ekornya tergantung pada sebatang dahan yang sangat besar, sedang kepalanya menjulur kebawah dan terletak di atas segunduk tanah di bawah pohon raksasa itu."

“Kakang langsung membunuhnya“

“Tentu sulit untuk membunuhnya meskipun ular itu tidur. Jika gagal, maka ia akan bangun dan sekali patuk, aku akan masuk ke dalam mulutnya.”

“jadi?”

“Aku mencari akar jenu sebanyak-banyaknya. Kemudian setelah akar itu aku remuk dan aku benam di dalam air, maka dengan hati-hati aku memasukkan kepala ular itu kedalam belanga yang besar berisi air jenu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Akibatnya sudah aku bayangkan. Dalam keadaan mabuk ular itu mengamuk sejadi-jadinya setelah ia terbangun. Dihempas-hempaskannya tubuhnya pada batang-batang raksasa disekitarnya.”

Empu Baladatu mengernyitkan keningnya. Nampaknya ceritera kakaknya itu, seperti ceritera bagi anak-anak yang mulai berbaring dipembaringan.

Terapi Empu Sanggadaru agaknya dapat meraba perasaan adiknya. Maka katanya, “Memang sulit dibayangkan.”

“Ya” Jawab Empu Baladatu, “Memang agak sulit membayangkan. Aku mengerti, bahwa ular yang tertidur, amat sulit untuk bangun. Jika tidak ada sesuatu yang mengejutkannya, ular dapat tidur sampai berhari-hari. Tetapi aku tidak tahu, apakah ular yang sedang tidur membiarkan kepalanya yang terletak di tanah itu diangkat dan dimasukkan ke dalam belanga yang besar sekali.”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya” Tentu saja ular itu tidak akan segera terbangun. Jangankan diangkat kepalanya, bahkan diinjak-injak pun ular itu tidak akan segera terbangun.”

Empu Baladatu memandang wajah kakaknya dengan sorot mata yang aneh. Apalagi ketika Empu Sanggadaru kemudian tertawa berkepanjangan.

“Baladatu” Katanya, “Aku akan menunjukkan kepadamu, betapa ular yang tertidur nyenyak tidak mudah terbangun. Tetapi jarang sekali kita menjumpai kemungkinan itu. Seratus kali aku berburu, baru pertama kali itulah aku menjumpai ular sebesar itu tertidur nyenyak.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi masih ada keragu-raguan di dalam hatinya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian ia pun minta diri kepada kakaknya, untuk kembali ke tempat yang disediakan baginya.

“Baiklah. Berbenahlah. Besuk kita akan berburu. Aku mempunyai cukup senjata untuk kalian bertiga.”

“Terima kasih kakang. Kami akan senang sekali mendapat kesempatan itu.”

Seperti yang direncanakan, maka di pagi hari berikutnya, Empu Baladatu dan kedua pengawalnya telah bersiap didini harti. Menjelang matahari terbit, seorang cantrik telah memanggil mereka ke sanggar.

“Empu Sanggadaru telah menunggu di sanggar” Berkata cantrik itu.

“Kami akan segera menghadap” Jawab Empu Baladatu.

Sepeninggal cantrik itu, Empu Baladatu berkata kepada ke dua pengawalnya, “Bersiaplah. Meskipun kakang Sanggadaru menyediakan senjata berburu, tetapi jangan kau lepaskan senjatamu sendiri.”

Kedua pengawalnya mengangguk. Salah seorang dari mereka bertanya. ”Apakah kita pantas mencurigai Empu Sanggadaru?”

“Kita harus selalu berhati-hati” Jawab Empu Baladatu.

Kedua pengawalnya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak bertanya apapun lagi. Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah menghadap Empu Sanggadaru di sanggarnya. Dan ternyata bahwa Empu Sanggadaru pun telah siap pula dengan kelengkapan berburunya.

Empu Baladatu yang melihat kakaknya dalam kelengkapan berburu tersenyum sambil berkata, “Kakang pantas sekali mengenakan pakaian itu.”

Empu Sanggadaru tersenyum.

“Pakaian kulit harimau, busur menyilang punggung, endong anak panah di lambung, membuat kakang Empu Sanggadaru benar-benar seorang pemburu yang mengagumkan.” Desis Empu Baladatu.

"Tetapi seorang pemburu tidak ditentukan oleh pakaian dan kelengkapannya. Pemburu yang baik diungkapkan didalam tingkah laku dan ketangkasannya di medan perburuan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kakang benar. Tetapi pakaian kakang telah menggambarkan, bahwa kakang benar-benar seorang pemburu yang mengadakan kelengkapan khusus disaat-saat ia berburu. Berhasil atau tidak berhasil, tetapi ia sudah menempatkan dirinya.”

“Ya” Sahut Empu Sanggadaru masih sambil tertawa”

"Marilah kita bersiap. Kudamu dan kedua kawanmu itu sudah disiapkan pula. Kita akan pergi berenam. Kau bertiga dan aku juga bertiga.”

“O” nampak kerut merut di kening Empu Baladatu. Tetapi ia berusaha untuk melenyapkan semua kesan dari wajahnya. Bahkan ia tersenyum sambil berkata, “Apakah kita hanya berenam? Jika kita mempunyai banyak kawan, mereka akan dapat mengejutkan binatang-binatang yang sedang tidur atau bersembunyi di gerumbul-gerumbul.”

“Itu tidak perlu. Memang kadang-kadang keluarga istana pergi bersama hamba-hambanya untuk nggrapyak binatang buruan. Tetapi bagiku sama sekali tidak menarik. Tidak ada perjuangan yang dapat memberikan kepuasan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia mendapat gambaran, betapa kakaknya yang telah lebih tua dari padanya itu masib mempunyai gairah berjuang di lapangan yang digemari. Benar-benar sebagai kegemaran. Bukan dalam suatu perjuangan atas sesuatu yang dicita-citakan.

“Mungkin aku dapat menyalurkan gairah perjuangannya”

“Namun kemudian. Atau bahkan sebaliknya. Aku akan di gilas oleh gairah yang menyala di hatinya itu.”

Demikianlah maka sejenak kemudian, mereka berenam telah bersiap untuk berangkat ke hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan kecil itu. Di kuda masing-masing selain perlengkapan berburu, juga tersangkut bekal di sepanjang perjalanan.

“Bekal itu cukup untuk sehari” Berkata Empu Sanggadaru, “Dihari kedua dan berikutnya, sepanjang kita masih ingin tetap berburu dapat dicari di hutan itu. Mungkin binatang buruan. Mungkin buah-buahan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa cara berburu yang dilakukan oleb Empu Sanggadaru bukanlah cara yang lunak. Mereka harus benar-benar bekerja keras selama berada di daerah perburuan. Setidak-tidaknya untuk mendapatkan makan mereka selama mereka berada di medan.

Sesaat kemudian maka mereka pun telah meninggalkan regol padepokan. Langit yang cerah dan angin pagi yang lembut terasa betapa segarnya. Marahari yang mulai naik ketepi langit melontarkan cahayanya yang kemerah-merahan.

“Perjalanan yang menyenangkan” Desis Empu Sanggadaru, “Hutan itu tidak terlalu jauh. Menjelang tengah hari kita sudah akan berada di medan. Kita dapat beristirahat sejenak di pinggir sebuah mata air. Kadang-kadang ada binatang yang haus turun untuk minum. Adalah nasib yang buruk bagi binatang itu jika ia tidak akan dapat meninggalkan mata air itu karena anak panah seorang pemburu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Hutan itu adalah hutan yang jarang dijamah. Baik oleh para pemburu maupun oleh orang-orang lain dalam kepentingan mereka masing-masing. Tetapi justru Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lah yang sering pergi berburu ke hutan yang lebat itu, karena mereka tidak puas berburu di hutan yang sudah disediakan.”

Empu Baladatu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia bertanya, “Bagaimana jika dimedan perburuan kita nanti bertemu dengan rombongan mereka?”

“Mereka tidak terlalu sering berburu. Tetapi jika kita bertemu dengan mereka, tidak ada keberatannya. Mereka adalah orang yang baik, yang tidak merasa diri mereka memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga seperti yang pernah aku ceriterakan, bahwa aku pernah mereka ajak berpacu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun terasa ada sepercik kekecewaan dihatinya. Agaknya Empu Sanggadaru menganggap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah dua orang yang baik, yang justru pantas memegang kendali pemerintahan.

“Kakang Sanggadaru tidak mengetahui, bahwa aku sedang mempersiapkan sebuah kekuatan tandingan” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya “Jika murid-muridku mencapai kesempurnaan ilmu, maka mereka akan menjadi sepasukan prajurit yang tidak akan terbendung di medan perang. Mereka akan menjadi Senapati yang disegani, yang bersama dengan orang-yang akan aku himpun, maka akan tersusunlah kekuatan yang akan dapat menandingi kekuatan Singasari sekarang, meskipun untuk jangka waktu yang agak panjang.”

Demikianlah mereka berpacu terus mendekati daerah yang semakin rimbun oleh batang-batang perdu. Ketika mereka kemudian melintasi ujung bulak yang digarap sebagai tanah persawahan, maka mereka pun mulai memasuki hutan ilalang dan perdu yang semakin lama menjadi semakin tebal.

Empu Baladatu yang belum pernah memasuki hutan itu menjadi ragu-ragu. Hutan itu benar-benar sebuah hutan yang lebat. Dan kejauhan sudah nampak pepohonan raksasa yang dibelit oleh batang-batang yang menjalar. Bahkan gerumbul-gerumbul berduri di antara semak-semak belukar yang padat.

“Kita akan memasuki hutan itu” Desis Empu Baladatu.

“Ya. Ada sebuah lorong sempit yang masuk ke dalamnya. Tetapi hanya beberapa ratus langkah. Kemudian kita harus mencari jalan di antara pepohonan raksasa dan melangkahi batang-batang yang rebah.”

“Bagaimana dengan kuda kita?”

“Kudaku sudah terbiasa aku pergunakan untuk berburu. Mungkin kudamu belum. Tetapi kita dapat mencari jalan yang lebih baik dari yang aku katakan, karena justru semakin dalam kita memasuki hutan itu, rasa-rasanya justru menjadi semakin lapang. Hanya pohon-pohon besar sajalah yang tumbuh, sementara semak-semak menjadi semakin tipis dan berkurang. Namun bukan berarti bahwa tidak ada semak sama sekali.”

“Bagaimana jika kudaku tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di hutan itu?”

“Tentu dapat. Tidak ada kesulitan apapun juga. Hanya mungkin kudamu tidak selincah kudaku jika kita harus mengejar binatang buruan.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. la tidak dapat membayangkan, betapa dalam hutan yang lebat itu, seekor kuda dapat berlari mengejar binatang buruan. Apalagi seekor rusa yang mampu berlari secepat angin.

“Tetapi rusa itu pun dapat berlari-larian di tengah hutan. Bahkan harimau dan binatang-binatang besar lainnya. Banteng, badak dan kuda-kuda liar.” Empu Baladatu mencoba untuk menjawab persoalan dihatinya, karena ia melihat binatang semacam itu yang sudah dikeringkan di rumah kakaknya, Empu Sanggadaru.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu berada dipaling depan. Kemudian seorang pengawal Empu Baladatu bersama seorang cantrik dan demikian pula di paling belakang. Seperti Empu Baladatu, maka kedua pengawalnya pun memberikan pertanyaan-pertanyaan yang serupa kepada para cantrik. Dan jawaban mereka pun hampir sama pula dengan jawaban Empu Sanggadaru.

“Kita dapat mengejar buruan kita melalui celah-celah pohon raksasa, di antara semak-semak yang tidak selebat di luar hutan.” Berkata salah seorang cantrik kepada pengawal Empu Baladatu

“Apakah kau sudah sering pergi berburu?” bertanya pengawal itu.

“Sering sekali. Adalah kegemaran Empu Sanggadaru untuk pergi berburu di hutan itu. Kadang-kadang tanpa direncanakan sama sekali.”

Pengawal Empu Baladatu itu pun mengangguk-angguk. Nampaknya Empu Sanggadaru memang terbiasa sekali berburu di tengah hutan, sehingga ia mempunyai perlengkapan yang memadai bagi kegemarannya itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah memasuki bagian hutan yang mulai padat. Namun mereka masih dapat menelusuri jalan setapak yang nampaknya sering dilalui oleh manusia.

“Siapakah yang sering memasuki hutan lewat lorong kecil ini?” bertanya Empu Baladatu.

“Tidak ada selain para pemburu. Itu pun para pemburu yang berani, yang tidak puas berburu di hutan-hutan kecil yang rindang.”

“Apakah pemburu yang demikian cukup banyak jumlahnya?”

“Tidak. Tetapi karena hutan ini adalah hutan yang menyimpan banyak binatang buruan, maka hampir setiap pemburu yang berani, datang berburu di hutan ini.”

“Dari segala penjuru?”

“Maksudku, orang-orang yang tinggal di Kota Raja. Juga termasuk para bangsawan. Seperti yang aku katakan, juga Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi bagi para bangsawan yang kurang berani, agaknya lebih senang berburu di hutan yang memang sudah disediakan di sebelah Kota Raja itu. Hutan yang seolah-olah sudah menjadi sebuah kebun yang dihuni oleh binatang-binatang yang jinak, meskipun jumlahnya menjadi semakin berkurang dan hampir punah sama sekali, sehingga karena itu, berburu di hutan itu sudah tidak menarik lagi, kecuali sebuah tamasya dengan para puteri dan anak-anak.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia menjadi cemas, bahwa pada suatu saat mereka akan bertemu dengan sebuah kelompok pemburu dari istana Singasari. Karena itu di luar sadarnya ia berkata, “Tetapi apakah selain Maharaja dan pengiringnya, ada kelompok-kelompok lain yang kakang kenal sering berburu di hutan itu?”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya Lalu katanya, “Aku tidak mengenalnya secara langsung. Tetapi aku pernah mendengar nama-nama mereka yang memang bersangkut paut dengan istana.”

“Mereka adalah pengiring-pengiring Maharaja.”

“Ya “

“Maksudku kelompok-kelompok yang lain.”

“Jarang sekali. Dan aku kurang mengenal mereka secara pribadi.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia pun masih tetap cemas, bahwa mereka bertemu dengan kelompok-kelompok yang, tidak dikehendakinya. Menilik jalur jalan sempit itu, maka agaknya memang sering terjadi, sekelompok pemburu memasuki hutan yang lebat, yang seolah-olah menyimpan binatang yang tidak ada habisnya.

Sejenak kemudian kelompok kecil itu pun telah memasuki hutan yang lebih lebat. Gerumbul-gerumbul liar berserakan di antara pepohonan. Seolah-olah mereka memasuki daerah yang penuh dengan jenis kehidupan yang lain sama sekali. Namun demikian mereka masih tetap berjalan menyusuri jalan sempit menusuk semakin dalam. Jalan yang seolah-olah memang sudah disediakan bagi para pemburu.

“Kita akan sampai di suatu tempat yang baik sekali untuk beristirahat. Dari tempat itu, kita dapat melihat keadaan di sekitar kita yang cukup lapang.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Kita dapat membuat perapian jika diperlukan. Tetapi kita harus berhati-hati. Api yang sepercik dapat membakar seluruh hutan ini tanpa terkendali.” Empu Sanggadaru berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnya menurut sopan santun, kita tidak boleh menyalakan api di sini. Tetapi biasanya kita tidak begitu menghiraukannya, meskipun kita tahu bahayanya,“

“Asal kita berhati-hati” Sahut Empu Baladatu.

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan kuda mereka maju terus menusuk semakin dalam di antara pepohonan yang seolah-olah menjadi semakin rapat dan semakin besar.

Empu Baladatu tidak banyak bertanya lagi. Ia mulai memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Sebagai seorang petualang ia pun sering memasuki hutan-hutan lebat seperti itu. Tetapi ia tidak pernah dengan sengaja berburu. Jika sekali-kali ia berkelahi melawan binatang buas, biasanya justru karena binatang itu menjelangnya. Namun dengan kemampuannya, ia selain dapat melepaskan diri dari terkaman binatang yang paling buas sekalipun. Seekor harimau loreng yang besar, tidak akan dapat membunuhnya meskipun ia hanya bersenjatakan sebilah pisau

Namun demikian, Empu Baladatu selalu menghindarkan diri dari serangan gerombolan anjing-anjing liar dan apalagi serigala. Karena betapapun tinggi ilmunya, namun serigala dalam kelompoknya hampir lidak akan dapat dikalahkan. Meskipun demikian, agaknya pengetahuannya tentang binatang buruan jauh berada di bawah pengetahuan kakaknya yang memang mempunyai kegemaran berburu. Karena itulah, maka ia tidak banyak menentukan sikap, bahkan seolah-olah tergantung sama sekali kepada kakaknya itu.

Sebelum tengah hari mereka telah berada di dalam hutan yang lebat. Sinar matahari yang mulai terik, seakan-akan terhenti didedaunan yang lebat, sehingga tanah di dalam hutan itu rasa-rasanya tetap lembab.

“Kita hampir sampai” Desis Empu Sanggadaru.

“Maksudmu tempat untuk beristirahat itu kakang?” Bertanya Empu Baladatu.

“Ya.” Jawah Sanggadaru, “Kita akan beristirahat, makan dan kemudian mengintai binatang buruan di mata air itu.”

Sejenak mereka masih herjalan menembus hutan yang lebat itu sepanjang jalan sempit yang panjang. Mereka menyusup di sela-sela pohon raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu yang memang justru menjadi semakin jarang.

“Itulah” Berkata Empu Sanggadaru kemudian ketika mereka memasuki sebuah tempat yang seolah-olah memang sudah disediakan bagi para pemburu untuk beristirahat.

“Apakah kau heran melihat tempat yang seolah-olah sudah tersedia bagi perkemahan ini?” Bertanya Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu mengangguk, jawabnya, “Ya kakang. Tetapi agaknya seseorang telah menebang beberapa batang pobon sehingga tempat ini menjadi semacam lapangan sempit yang baik untuk perkemahan para pemburu.”

“Mungkin. Tetapi aku menemukan tempat ini sudah seperti yang kita lihat sekarang. Namun menilik keadaan di sekelilingnya, memang mungkin seseorang, atau sekelompok pemburu pada masa yang lama lalu, membuat tempai ini tempat perkemahan mereka.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Disinilah kita akan berhenti dan beristirahat. Dari tempat inilah kita akan melakukan perburuan yang keras. Kita akan masuk semakin dalam dan memburu binatang di antara semak belukar. Di malam hari, jika perburuan kita selesai, kita akan kembali ke tempat ini menunggu masa berikutnya.”

Empu Baladatu masih mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya dirinya menjadi kecil di antara pepohonan yang besar di sekitarnya. Seperti yang dikatakan oleh kakaknya, memang mungkin berburu di atas punggung kuda didaerah yang luas itu. Namun demikian, jika kurang dapat menguasai kudanya dan mungkin juga kuda itu sendiri kurang terbiasa menempuh perjalanan di hutan lebat seperti itu, maka akan dapat mengalami kesulitan.

Demikianlah maka mereka pun kemudian memasuki sebuah lapangan kecil di tengah hutan yang luas. Dari celah-celah pepohonan yang terpisah oleh lapangan itu, maka sorot matahari dapat menembus dan jatuh diatas tanah yang berumput tebal. Disana-sini terdapat beberapa rumpun semak-semak diantara pohon-pohon yang tidak begitu tinggi.

“Setiap kali kami selalu menebang pohon-pohon kayu yang menjadi semakin besar dilapangan sempit ini, agar tempat ini tetap merupakan tempat berkemah yang baik bagi para pemburu.” Berkata Empu Sanggadaru.

“Apakah pemburu-pemburu yang lain juga melakukan hal yang serupa?”

“Nampaknya memang demikian. Jika kami untuk waktu yang agak lama tidak pergi berburu, kadang-kadang kami pun menjumpai batang-batang pohon yang di tebang orang disini. Bekas-bekas perapian dan bekas-bekas yang lain. Menurut dugaan kami, maka pemburu-pemburu itu pun tanpa bersepakat lebih dahulu telah melakukan kewajiban yang sama disini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian. maka ia mulai membayangkan, bahwa hutan yang luas dan lebat ini bukannya hutan yang sepi. Justru karena beberapa orang petualang tidak lagi puas berburu dihutan perburuan, termasuk keluarga istana yang memiliki keberanian untuk memasuki daerah berbahaya ini, maka hutan ini menjadi ramai. Hutan yang lebat dan berisi banyak binatang buruan, dan terletak tidak terlalu jauh dari Kota Raja.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah mengikat kuda mereka di batang-batang perdu. Kemudian dengan langkah yang lambat, Empu Sanggadaru berjalan menuju ketengah lapangan kecil di tengah hutan itu.

“Matahari ternyata telah tergelincir ke Barat. Perjalanan kami kali ini termasuk agak lambat. Biasanya aku sampai di tempat ini menjelang tengah hari.“

“O” Empu Baladatu mengangguk, “mungkin akulah yang memperlambat perjalanan. Tetapi dengan demikian aku dapat melihat hutan ini lebih saksama“

“Aku mengerti. Karena itulah maka aku pun tidak berkeberatan berjalan lebih lambat dari biasanya” Jawab Empu Sanggadaru.

Namun tiba-tiba saja Empu Sanggadaru berhenti termangu-mangu. Katanya, “Perapian ini masih baru. Tentu ada orang lain yang juga sedang berburu.“

“Ya.” Jawab pengawalnya, “Kuda mereka tentu di tambatkan di sini.”

Empu Sanggadaru dengan tergesa-gesa mendekati cantrik yang berdiri di bawah sebatang pohon yang meskipun tidak begitu besar, tetapi daunnya nampak rimbun. Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya kepada adiknya, “Kita mendapat kawan berburu. Agaknya lebih dari empat atau lima ekor kuda.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi biasanya di saat begini mereka masih tetap berada disini. Mereka biasanya memburu binatang menjelang senja. Kadang-kadang di malam hari, tetapi tanpa mempergunakan kuda mereka.”

“Dimanakah kuda mereka ditinggalkan?”

“Disini. Dua atau tiga orang menungguinya. Sedang yang lain pergi mengintai binatang buruan. Kadang-kadang kita harus nyanggong di pepohonan. Tetapi kadang-kadang kita harus menelusuri semak-semak”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. la tidak pernah berburu binatang buas. Bahkan kadang-kadang ialah yang diburu jika ia melalui pinggiran hutan dalam petualangannya. Namun jika ia membunuh seekor harimau, ia sama sekali tidak pernah memikirkan untuk mendapatkan kulitnya, atau kepalanya atau bahkan mengeringkannya seutuhnya seperti yang dilakukan oleh kakaknya.

“Mungkin pemburu-pemburu ini telah meninggalkan hutan ini” Desis Empu Sanggadaru.

“Tetapi tidak ada jejak baru yang keluar hutan hari ini“ Sahut seorang cantrik.

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. la percaya kepada keterangan cantriknya itu, karena cantrik yang seorang itu memang memiliki ketajaman penglihatan atas berbagai macam jejak, termasuk jejak kuda dan jejak binatang buruan.

“Kalau begitu” Berkata Empu Sanggadaru “Di hutan ini masih ada sekelompok pemburu.”

“Ya.”

“Tetapi tidak ada sesuatu lagi yang tertinggal di sini kecuali perapian yang masih baru ini.”

“Mungkin mereka akan berburu dan menembus hutan ini sampai ke sisi yang lain.”

“Ah, itu adalah suatu perburuan yang sangat berat. Mungkin mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari, dan bahkan mungkin akan terhenti sama sekali. Di tengah-tengah hutan ini, rerungkutan tidak dapat disusupi. Jika daerah ini memungkinkan kita berkejaran dengan binatang buruan dengan seekor kuda, maka hal itu karena daerah ini sudah sering kali didatangi pemburu. Jika pada suatu saat kita tidak puas lagi berburu ditempat yang menjadi semakin lengang karena binatang buruan, yang bersembunyi semakin ke dalam, kita pun akan menyusulnya semakin dalam pula, dan daerah yang terbuka pun menjadi semakin luas.”

“Mungkin demikian pula alasan pemburu yang sekarang tidak kita jumpai disini. Tetapi mungkin mereka berharap untuk dapat keluar dari hutan ini lewat sisi yang lain.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku tidak peduli, siapa pun yang berburu kali ini. Tidak ada keberatannya jika dua kelompok atau lebih berburu bersama-sama, bahkan bersama Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Campaka sekalipun.”

Empu Baladatu tidak menyambung pembicaraan itu. Ia memang tidak mengerti setiap kata yang diucapkan. Bahkan mungkin timbul pula kecemasan dihatinya, bahwa yang sedang berburu di hutan itu adalah orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan golongan yang disebut orang-orang berilmu hitam yang dipimpinnya.

“Mudah-mudahan bukan Mahisa Bungalan” Desisnya, “Tetapi seandainya Mahisa Bungalan, ia sama sekali belum mengenal aku. Dan adalah suatu keuntungan bahwa aku akan dapat mengenalnya lebih dekat.”

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah duduk bertebaran dilapangan kecil ditengah-tengah hutan itu, sambil menunggu saat mereka akan mengintai binatang buruan di sebuah mata air yang tidak jauh dari tempat itu.

“Matahari sudah condong” Desis seorang cantrik, “Saat binatang-binatang buruan mencari air sebenarnya sudah lewat. Meskipun demikian mungkin masih ada binatang yang muncul dimata air itu sekarang.”

Empu Sanggadaru mengangguk. Lalu katanya, “Sebenarnya aku malas memburu binatang-binatang kecil itu. Tetapi barangkali perlu juga untuk makan kita malam nanti sebelum kita berhasil menangkap binatang-binatang buruan yang sebenarnya.” Ia berhenti sejenak lalu, “Baiklah. Marilah kita berburu kijang atau menjangan di mata air itu. Biasanya binatang-binatang itu menjadi haus di saat begini atau justru sudah lewat beberapa saat meskipun barangkali masih mungkin untuk mendapatkannya.”

Empu Baladatu pun mengangguk. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah kita akan berkuda juga?”

“Tidak. Kita akan berjalan kaki. Jarak itu tidak terlampau jauh. Biarlah dua orang tinggal disini untuk menjaga kuda-kuda kita.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya, lalu, “Biarlah orang-orangku tinggal disini.”

Empu Sanggadaru menggeleng sambil tersenyum” Bukankah mereka ingin berburu? Biarlah seorang cantrik dan seorang pengawalmu tinggal di sini. Di kesempatan lain, bergantian pengawalmu dan cantrikku yang lain.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya ”Baiklah. Mana yang baik menurut pertimbanganmu,”

Mereka pun kemudian bersiap dan membenahi senjata mereka. Empu Sanggadaru kemudian melangkah lebih dahulu sambil berkata, “Marilah. Ikutilah aku”

Empat orang di antara mereka segera meninggalkan lapangan kecil itu menyusup ke dalam semak-semak dan melintasi daerah yang rasa-rasanya menjadi semakin rimbun.

“Semak-semak tumbuh amat subur disini. Semakin dekat dengan mata air maka gerumbul-gerumbul menjadi semakin pepat, karena akarnya selalu dibasahi oleh mata air di sebelah“

Empu Baladatu hanya mengangguk-angguk saja. Ia menduga bahwa di balik gerumbul-gerumbul itulah terdapat mata air yang mereka tuju. Tetapi ternyata mereka masih melintasi gerumbul-gerumbul yang lain. Jika mereka melalui sebuah gerumbul, mereka masih harus menyusup gerumbul berikutnya, sehingga akhirnya Empu Baladatu bertanya, “Apakah mata air itu sudah dekat?”

“Ya. Beberapa langkah lagi kita akan sampai.” Tetapi yang beberapa langkah itu ternyata adalah langkah-langkah yang amat panjang."

Namun akhirnya Empu Sanggadaru pun berhenti. Sambil menunjuk ke sebatang pohon raksasa ia berkata, “Di bawah pohon itulah terletak mata air yang selalu basah di segala musim. Kita akan mengambil tempat yang baik untuk menunggu seekor binatang yang terlambat minum pada hari ini,“

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan saksama ia memperhatikan daerah di sekitarnya. Bahkan kemudian tatapan matanya merayap memanjat ke batang raksasa yang tumbuh di atas mata air itu. Terasa kulitnya meremang ketika terlihat olehnya dahan-dahan yang bersilang melintang. Sulur-sulur yang meskipun tidak terlalu lebat, namun nampaknya bagaikan jari-jari yang siap untuk menerkam.

Empu Baladatu adalah seorang yang berhati batu. Ia tidak tersentuh sama sekali perasaannya, meskipun ia melihat mayat yang bagaikan lumat sekalipun. Bahkan dengan hati yang mantap ia mengorbankan darah sesama untuk kepentingan ilmunya yang hitam. Namun melihat pepohonan di hutan itu, rasanya ia menjadi bertambah kecil.

“He,” desis Empu Sanggadaru, “Apakah yang kau perhatikan itu?”

Empu Baladatu menarik nafas. Desisnya, “Pohon itu. Terutama yang satu itu. Aku belum pernah melihat sebatang pohon sebesar dan setinggi itu.”

“Masih ada beberapa batang pohon yang bahkan lebih besar dari pohon itu di bagian hutan yang lebih ketengah. Pada sebatang pohon yang agak lebih besar dari pohon itulah aku menemukan ular raksasa yang aku hawa kepadepokan itu.”

“O” Desis Empu Baladatu. Namun terbayang kemudian ular raksasa itu tergantung dengan kepalanya dibawah dan ekornya yang membelit dahan yang terbawah.

“Tetapi darimana kakang mendapatkan belanga di tengah hutan selebat ini?” Pertanyaan yang sederhana itu telah terbersit dihatinya. Namun yang sebenarnya bukanlah masalah belanga itu sendiri yang menjadi pokok pertanyaannya. Namun pada dasarnya Empu Baladatu memang agak kurang percaya dengan ceritera kakaknya, bagaimana ia menangkap ular raksasa itu.

Tetapi Empu Baladatu tidak menanyakan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Bukan main. Mudahkan kita akan dapat bertemu ular sebesar itu lagi. Jika aku dapat membawa pulang kepadepokanku, meskipun hanya kulitnya, maka tentu akan menggemparkan sekali”

Kakaknya tertawa. Katanya, ”Hanya suatu kesempatan yang datang satu diantara seribu. Mungkin aku tidak akan pernah menjumpai ular yang tertidur seperti itu lagi sepanjang umurku.”

Empu Baladatu tidak menyahut. Meskipun kepalanya terangguk-angguk, namun hatinya masih tetap ragu-ragu.

“Marilah kita mendekat” Berkata Empu Sanggadaru, “Kita akan berada dibalik sebuah batu yang besar untuk menunggu. Kita kali ini harus berada di sebelah selatan mata air itu, karena angin bertiup ke selatan. Dengan demikian binatang yang mendekati mata air itu tidak segera mencium bau manusia atau yang dianggapnya mahluk asing yang dapat membahayakan keselamatan mereka.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Diikutinya Empu Sanggadaru berjalan menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun dan bahkan berduri. Tetapi nampaknya Empu Sanggadaru sama sekali tidak menghiraukannya.

“Pakaiannya cukup tebal” Desis Empu Baladatu di dalam hatinya. “Jika aku tidak berhati-hati seperti kakang Sanggadaru, maka mungkin pakaianku akan segera menjadi compang-camping meskipun duri tidak dapat melukai kulitku.

Demikianlah mereka pun kemudian duduk di balik sebongkah batu padas yang besar. Namun nampaknya tempat itu memang sudah sering dipergunakan untuk menunggu binatang buruan yang kehausan dan mencari minum dimata air yang nampak di bawah pohon raksasa itu.

Empu Baladatu yang baru pertama kali itu sengaja duduk menunggui binatang buruan, tidak dapat duduk dengan, tenang. Sekali-kali ia bergeser dan memperhatikan mata air yang seolah-olah memancar dari bawah akar-akar batang raksasa yang mendebarkan Itu, kemudian tergenang di dalam sebuah belumbang kecil yang bening.

“Kemanakah air itu mengalir?” Tiba-tiba saja ia bertanya.

“Melalui bawah tanah. Air itu menyusup ke dalam timbunan sampah dedaunan yang sudah bertahun-tahun menumpuk di sekitar pohon raksasa ini, dan mengalir menjadi sebuah parit di bawah tanah. Di luar hutan ini air itu akan memancar pula sebagai mata air seperti mata air di bawah pohon raksasa itu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun nampaknya ia masih terpukau melihat akar-akar raksasa yang seolah-olah menahan tegaknya batang pohon yang sangat besar dan. tinggi itu. Ujung-ujungnya jauh mencengkam ke dalam tanah yang gembur, namun demikian ternyata cukup kuat, sehingga batang raksasa itu tidak dapat roboh oleh angin yang kencang sekalipun.

“Duduklah” Desis Empu Sanggadaru kemudian, “Jika kita selalu gelisah, mereka tidak akan ada binatang yg berani mendekat.”

Empu Beladatu pun kemudian duduk di samping kakaknya meskipun agaknya ia sudah mulai tidak telaten.

“Awasilah mata air itu” Desis Empu Sanggadaru kepada cantriknya,

Namun cantrik itu menjawab, “Empu, agaknya sudah ada seseorang yang berhasil mendapatkan seekor binatang atau lebih di sini.”

“He” Empu Sanggadaru terloncat dengan serta merta.

“Aku melihat darah.”

“Dimana” Bertanya Empu Sanggadaru.

Cantrik itu pun kemudian menunjuk noda yang terdapat di tepi belumbang itu, “Bukankah itu noda darah?”

Empu Sanggadaru menarik nafas. Jawabnya, “Ya. Itu adalah noda darah. Tentu ada seseorang atau sekelompok pemburu yang telah mendahului kita.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia juga melihat warna yang lain pada tanah yang gembur di tepi belumbang itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyebut bahwa noda yang nampak itu adalah noda-noda darah.

“Marilah kita mendekat. Kita akan meyakinkan, apakah yang nampak itu memang darah.”

“Kita jangan mendekati belumbang itu Empu” Berkata cantrik itu, “Dengan demikian, maka bau yang kita tinggalkan akan membuat binatang-binatang buruan itu segan untuk mendekat.”

“Kita tidak akan mendekat sampai ke belumbang itu” Sahut Empu Sanggadaru, “Tetapi kita akan melihat noda yang agaknya merupakan urutan dari noda yang terdapat di pinggir belumbang itu.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian mereka pun mendekati noda-noda yang agaknya memang noda darah yang berceceran. Dengan kerut merut di kening, Empu Sanggadaru berkata, “Pemburu itu tidak berhasil membunuh korbannya. Binatang buruan itu sempat melarikan diri dengan luka-luka di tubuhnya. Darahnya berceceran sepanjang jejak pelariannya, “

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Setelah menjadi semakin dekat, maka diapun segera mengenal warna-warna darah yang telah mengering itu.

“Darah ini akan mengundang jenis binatang buas yang akan membunuhnya” Desis Empu Sanggadaru, “Jika pemburu yang gagal membunuh binatang ini tidak menelusuri jejaknya dan kemudian membunuhnya, maka seekor harimau atau sekelompok anjing liar akan mencarinya dengan mengikuti ceceran darah itu.”

“Jika binatang itu menjadi lemah, maka ia akan kehilangan kekuatannya untuk melarikan diri dari cengkeraman maut, siapa pun yang membawa mendekat. Apakah pemburu itu, ataupun binatang buas yang lain.”

Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Biarlah binatang itu menemui nasibnya. Kita akan menunggu binatang yang lain.”

Empu Baladatu hanya dapat mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak bisa menentukan sikapnya sendiri, karena ia adalah orang yang tidak mempunyai mengalaman yang cukup di medan perburuan.

Namun dalam pada itu, selagi mereka akan meninggalkan tempat itu, kembali cantrik itu berkata, “Aku melihat sesuatu yang agak lain pada gerumbul-gerumbul itu.”

“Apa yang kau lihat?” Bertanya Empu Sanggadaru, “Kau adalah seorang pencari jejak yang baik. Barangkali kau melihat sesuatu.”

“Empu” Berkata cantrik itu, “Ternyata selain jejak kijang yang terluka itu, aku melihat jejak beberapa ekor kuda.”

Empu Sanggadaru mendekati cantrik yang menyusup di belakang gerumbul itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Pemburu itu langsung membawa kudanya kemari.”

“Aneh” Desis cantrik itu, “Tentu seorang pemburu yang benar-benar mampu menguasai kudanya, sedang kudanya pun tentu kuda yang sudah terbiasa. Ia mengejar buruannya dengan kudanya yang semula ditaruh di belakang gerumbul-gerumbul itu.”

“Apakah itu mungkin” Desis Empu Baladatu tiba-tiba.

“Bukankah sudah aku katakan, bahwa jika waktunya Telah tiba, kita pun akan berburu dengan kuda-kuda kita? Mungkin kudamu masih harus menyesuaikan diri. Tetapi kita akan mencoba. Kali ini kita tidak perlu memaksa diri untuk mendapatkan binatang buruan sebanyak-banyaknya. Kita akan menangkap binatang yang kita perlukan untuk makan kita selama kita di hutan ini. Selebihnya, apa saja yang kita dapatkan tanpa melakukan sesuatu yang sulit dan berbahaya sekali karena bagimu kali ini adalah pengalaman yang mungkin pertama kali.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Kita akah melakukannya sesuai dengan kemampuan kita” Empu Sanggadaru melanjutkan.

Empu Baladatu masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba cantrik yang banyak pengetahuannya tentang jejak itu berkata, “Empu. Kita mengenal, siapakah yang berburu dengan cara yang berani dan tidak mengenal bahaya itu.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu, “Siapa menurut ingatanmu?”

“Keluarga istana Singasari.”

“He?”

“Tentu Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka.”

“Ah” Desis Empu Sanggadaru, “Jika yang ada di hutan ini Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka, tentu ada tanda-tanda khusus, dan beberapa orang pengawal tentu ada di lapangan kecil itu. Bagaimanapun juga mereka adalah Maharaja dan Ratu Angabhaya. Betapapun berani dan mungkin agak kekanak-kanakan, namun para penasehatnya tidak akan melepaskannya begitu saja. Bukankah kau tidak melihat di mulut lorong itu janur kuning dan lawe wenang sebagai pertanda kehadiraa kedua anak muda. yang sedang memegang kekuasaan tertinggi itu?”

Cantrik itu mengangguk-angguk Katanya, “Ya. Aku memang tidak melihatnya. Tetapi aku belum mengenal orang lain yang melakukannya kecuali kedua anak muda itu, dan orang ketiga adalah Empu Sanggadaru.”

“Mungkin kita sajalah yang belum mengenalnya. Tetapi tentu ada orang lain yang dapat melakukannya.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin demikian. Dan kali ini kita akan bertemu dengan, orang-orang itu. Orang-orang yang barangkali belum kita kenal.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dipandanginya hutan yang lebat itu seolah-olah ingin memandang langsung kedalamnya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Siapakah mereka, aku tidak peduli. Sekarang, marilah kita kembali bersembunyi. Kita akan menunggu binatang yang mungkin masih akan pergi mencari air.”

Mereka pun kemudian kembali bersembunyi di balik batu, sedang cantrik itu pun dengan hati-hati mengintai jika pada suatu saat seekor binatang turun untuk minum di belumbang kecil itu.

“Apakah belumbang itu tempat satu-satunya binatang buruan mencari minum?”

“Ya di daerah ini” Jawab Empu Sanggadaru, Lalu, “Tetapi di tempat lain, terdapat pula sebuah mata air yang lebih besar. Bahkan terdapat sebuah parit yang mengalir dari sendang itu sampai keluar hutan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sementara itu, cantrik yang mengintai binatang buruan yang mungkin masih mencari air dibelumbang itu pun masih tetap di tempatnya. Nampaknya ia sama sekali tidak beranjak dan bahkan tidak berkedip. Tetapi dalam pada itu Empu Baladatu dan pengawalnya telah mulai menjadi jemu. Mereka duduk dengan gelisah, dan bahkan sekali-kali menggeliat

Empu Sanggadaru melihat kegelisahan itu. Namun ia tidak menegur adiknya. Dibiarkannya adiknya sekali-kali bergeser, sekali menarik nafas dan bahkan kadang-kadang mengeluh. Tetapi suasana tiba-tiba menjadi tegang ketika cantrik yang sedang mengintai belumbang itu berdesis. Dengan isyarat ia memberitahukan, bahwa ada seekor binatang yang mendekati belumbang itu.

Empu Baladatu hampir saja meloncat dari tempatnya. Untunglah kakaknya sempat memberikan isyarat agar ia berhati-hati, sehingga tidak mengejutkan binatang itu. Empu Sanggadaru pun kemudian bergeser mendekati cantriknya. Dari tempatnya mengintai, Empu Sanggadaru menjengukkan kepalanya.

Wajah Empu Sanggadaru menjadi tegang. Dengan isyarat pula ia memanggil adiknya yang ikut mengintai pula. Tetapi Empu Baladatu tidak sempat bertanya karena Empu Sanggadaru meletakkan jari-jarinya di muka mulutnya. Yang nampak oleh Empu Baladatu justru seekor harimau loreng yang besar sekali. Agaknya hal itu tidak merupakan kebiasaan, karena nampaknya Empu Sanggadaru pun menjadi heran melihat hadirnya harimau itu.

“Aneh” Bahkan Empu Sanggadaru pun berdesis, “Jarang sekali dapat ditemui seekor harimau loreng sebesar itu.”

Cantrik yang melihat pertama kali harimau itu pun nampaknya menjadi sangat heran. Dengan hati-hati ia pun berbisik, “Agaknya titik darah itulah yang telah mengundangnya kemari.”

Empu Sanggadaru mengangguk. Dan memang ternyata bahwa agaknya harimau loreng itu sedang asyik mencium bau darah binatang yang agaknya sudah terluka, namun masih sempat melarikan diri.

“Tetapi binatang itu tentu sudah menjadi sangat lapar, sehingga nampaknya ia berbuat sesuatu yang kurang lajim dilakukan sesuai dengan naluri mereka”

Tiba-tiba cantrik yang agaknya memahami benar-benar tentang medan perburuan itu pun berdesis, “Agaknya pemburu-pemburu yang berani itu telah melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi tata kehidupan binatang hutan.”

“Maksudmu.”

“Berhari-hari ia sudah berada di daerah ini. Ketakutan dan kecemasan telah menghinggapi hutan ini sehingga binatang-binatang telah melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Desisnya, “Aku tidak peduli. Tetapi binatang itu adalah binatang yang manis sekali. Aku ingin menangkapnya dan mendapatkan kulitnya. Aku akan menangkap tanpa melukanya dengan senjata tajam, sehingga belulangnya kelak akan utuh tanpa cacat “

“Maksud Empu” Desis cantrik itu.

Empu Sanggadaru tersenyum. Lalu, “Berikan sepotong galih asem yang tergantung diikat pinggangmu itu,"

“Empu” Desis cantrik itu dengan cemas .”Empu tidak boleh melakukannya atas seekor harimau sebesar itu. Apalagi seekor harimau yang lapar.”

Empu Baladatu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang akan kakang lakukan?”

“Aku akan menangkapnya. Cepat, sebelum binatang itu mengetahui kehadiran kita dan lari masuk kedalam semak-semak.”

“Empu. Ujung panah tidak akan merusakkan kulitnya. Jika Empu tepat membidiknya, maka hanya ada sebuah lubang pada kulit binatang itu.”

“Aku ingin kulitnya tetap utuh. Aku akan mematahkan tulang belakangnya dengan alat pemukul ini, tanpa melukai kulitnya yang manis itu.”

Cantrik itu nampaknya menjadi tegang. Namun ia sadar, bahwa Empu Sanggadaru tidak akan dapat dicegahnya lagi. “Empu” Desis cantrik itu, “Aku mohon ijin, jika perlu aku akan melukainya. Hanya jika perlu”“

Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya perlahan-lahan, “Aku mengerti. Kau tidak ingin melihat aku mati dicengkeraman harimau itu. Terserahlah kepadamu jika kau memandang perlu. Kau tahu, bahwa aku ingin mendapatkan kulitnya yang utuh. Tetapi jika aku tidak akan dapat menguasainya, maka terserahlah, apa yang akan kau lakukan”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Nampaknya kecemasan yang membayang diwajahnya. Empu Saggadaru pun kemudian berkata, “Aku akan melakukannya sekarang. Tunggulah aku disini.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Sekali-kali dipandanginya wajah Empu Baladatu, seolah-olah ia minta bantuannya untuk mencegah kakaknya agar mengurungkan niatnya. Tetapi Empu Baladatu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Meskipun ada ketegangan yang nampak diwajahnya, namun sepercik keinginan untuk melihat kemampuan kakaknya telah tersirat di hatinya. Karena itu maka ia seolah-olah telah berdiri diatas keragu-raguan yang semakin dalam.

Namun Empu Sanggadaru sendiri kemudian tersenyum sambil menepuk bahu cantriknya, “Selagi harimau itu belum pergi. Tunggulah, dan jika kau menganggap perlu berbuatlah sesuatu untuk ketenanganmu.”

Cantrik itu mengangguk kecil. Sejenak kemudian maka Empu Sanggadaru pun segera mempersiapkan diri. Ia sama sekali tidak menarik pisau belatinya karena ia tidak ingin melukai harimau itu. Karena itu, ia akan mempergunakan sepotong galih asem yang berwarna kehitam-hitaman. Sejenak kemudian maka Empu Sanggadaru pun telah siap melakukan rencananya. Tiba-tiba saja ia pun meloncat keatas sebongkah batu padas, dan berteriak nyaring.

Harimau yang sedang termangu-mangu mencium bau darah itu pun terkejut. Bahkan bukan harimau itu sajalah yang terkejut. Empu Baladatu yang ada di sebelah batu itu pun terkejut pula sehingga ia bergeser surut. Bahkan seorang pengawalnya yang ada di belakangnya, telah menjadi gemetar karena suara itu banar-benar tidak disangkanya.

Sejenak kemudian, selagi gema suaranya telah lenyap, maka Empu Sanggadaru pun segera meloncat berlari menuruni tanah yang miring ke arah belumbang di bawah pohon raksasa itu. Sejenak harimau loreng yang besar itu justru termangu-mangu. la agaknya melihat sesosok mahluk yang aneh, yang mengenakan kulit seperti kulit seekor barimau tetapi yang berjalan di atas kedua kakinya.

Namun sejenak kemudian terdengar harimau itu mengaum. Keras sekali. Suaranya menggetarkan dedaunan di sekitarnya dan bahkan menggetarkan isi dada orang-orang yang mendengarnya. Sejenak Empu Sanggadaru tertegun memandang harimau yang mulai merundukkan kepalanya. Namun kemudian ia pun justru melangkah dengan hati-hati mendekatinya.

Empu Baladatu memandang kakaknya dengan hati yang berdebar-debar. Demikian pula pengawalnya. Sedangkan cantrik padepokan kakaknya itu pun agaknya telah dicengkam oleh ketegangan. Bahkan seolah-olah di luar sadarnya, ia telah mempersiapkan busurnya dan memasang sebuah anak panah yang siap untuk dilepaskan apabila diperlukan.

Tetapi agaknya ia tidak akan dapat membidik dari jarak yang agak jauh itu jika terjadi pergulatan antara Empu Sanggadaru dan harimau loreng yang sangat besar itu, agar tidak salah sasaran. Karena itu, maka ia pun kemudian tanpa menghiraukan Empu Baladatu dan pengawalnya, perlahan-lahan bergeser mendekat.

Empu Baladatu pun bergeser pula di luar sadarnya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat harimau itu mulai merunduk. Sejenak kemudian terdengarlah auman yang dahsyat sekali lagi. Berbareng dengan itu, maka harimau itu pun telah meloncat menerkam Empu Sanggadaru.

Tetapi Empu Sanggadaru telah bersiap. Ketika kedua kaki depan harimau yang terjulur dengan kukuhnya yang runcing itu hampir menyentuhnya, maka Empu Sanggadaru telah melenting dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat dengan tatapan mata biasa. Seolah-olah ia telah hilang dari tempatnya dan tiba-tiba saja telah muncul disisi harimau yang kehilangan lawannya.

Bahkan agaknya Empu Sanggadaru tidak hanya sekedar membuat harimau itu kebingungan. Namun dengan tangkasnya ia pun telah meloncat ke punggung harimau itu seperti ia meloncat ke atas punggung kuda. Tangan kirinya pun kemudian dengan kerasnya telah memeluk leher harimau itu sambil mencengkam pada bulu-bulunya. Kemudian dengan serta merta ia mengayunkan sepotong galih asem ditangannya, memukul tengkuk harimau itu berulang-ulang.

Tetapi harimau itu tidak menyerah begitu saja. Sambil meraung dengan dahsyatnya, binatang itu meronta-ronta. Sekali harimau itu meloncat, kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling-guling di tanah. Tetapi Empu Sanggadaru berpegangan dengan eratnya. Seolah-olah ia telah melekat pada punggung harimau itu. Betapapun juga harimau itu berusaha, namun ternyata bahwa Empu Sanggadaru tidak dapat dilepaskannya.

Namun harimau yang bagaikan gila itu masih saja berusaha. Bahkan kemudian harimau itu pun meloncat-loncat dan sekali-kali membenturkan dirinya pada batang pepohonan. Empu Sanggadaru yang berada di punggung harimau itu berusaha untuk tetap berada di tempatnya. Bahkan kemudian, ia tidak sempat lagi memukul dengan sepotong galih asemnya, karena kedua tangannya harus berpegangan erat-erat agar ia tidak terlepas dari punggung harimau itu.

Tetapi ternyata bahwa harimau itu pun memiliki kekuatan yang tidak terkira. Setelah beberapa kali ia berusaha, maka pegangan Empu Sanggadaru pun menjadi kendor. Ketika binatang itu meloncat dan membenturkan tubuhnya pada sebatang pohon, kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali, ternyata tangan Empu Sanggadaru telah terlepas. Dengan serta merta, harimau itu mengibaskan dirinya sehingga Empu Sanggadaru pun kemudian terlempar beberapa langkah.

Terdengar aum harimau itu menggema. Agaknya harimau itu pun mengerti, bahwa yang melekat dipunggungnya telah terlepas dan jatuh beberapa langkah daripadanya. Namun demikian, harimau itu pun telah menjadi letih. Apalagi karena kemarahan dan kebingungan yang mencekamnya, beberapa kali ia telah membenturkan tubuhnya dan bahkan kepalanya pada batang-batang pohon yang ada disekitarnya tanpa dikehendakinya sendiri.

Meskipun demikian harimau itu masih tetap garang. Dengan gigi-giginya yang menyeringai tajam, ia siap untuk menyobek lawannya yang untuk beberapa saat masih terbaring diam. Agaknya Empu Sanggadaru pun merasa pening. Tetapi ia masih mampu menguasai dirinya, sehingga dengan sadar ia memperhatikan harimau yang siap untuk menerkamnya. Bahkan sekilas ia masih melihat cantriknya menarik tali busurnya, siap untuk melepaskan anak panahnya, justru pada saat ia sudah terpisah dari harimau itu.

“Jangan” Empu Sanggadaru masih sempat berteriak sehingga cantriknya menjadi tertegun diam. Justru pada saat itu, harimau loreng itu sudah mulai bersiap-siap. Kepalanya menjadi semakin rendah dan ekornya yang mengkibas itu pun menjadi semakin cepat.

Namun pada saat itulah Empu Sanggadaru melenting berdiri. Dan tepat pada saat harimau itu meloncat menerkamnya, Empu Sanggadaru meloncat menggapai dahan kayu yang menyilang atasnya. Dengan tangan kirinya ia menggantung pada dahan itu. Namun ketika harimau yang kehilangan lawannya itu menjejakkan kakinya di tanah, maka Empu Sanggadaru sempat memutar diri dan meloncat sekali lagi di atas punggung harimau yang ganas itu.

Harimau loreng itu pun kemudian menjadi seolah-olah gila. Terdengar auman yang dahsyat dan sekali lagi binatang itu berusaha melepaskan diri. Tetapi tangan Empu Sanggadaru telah mencengkam kulit dan bulu-bulunya. Berkali-kali Empu Sanggadaru sempat memukul kepala harimau itu dengan galih asemnya, sehingga agaknya harimau itu pun menjadi semakin pening. Dengan demikian maka geraknya pun menjadi bertambah liar dan tidak terkendali.

Dengan ganasnya harimau itu meloncat dan menjatuhkan dirinya berulang kali. Berguling-guling dan mengaum tidak hentinya. Sekali lagi Empu Sanggadaru kehilangan keseimbangannya. Perlahan-lahan tangannya menjadi kendor. Justru pada saat ia mencoba memperbaiki pegangannya, maka sekali lagi ia terlempar dan jatuh tepat disamping harimau itu.

Harimau yang bagaikan gila itu menggeram. Ia tidak sempat merunduk dan menerkam lawannya. Tetapi dengan serta merta ia langsung menerkam lawannya yang hanya selangkah daripadanya. Empu Sanggadaru tidak sempat meloncat bangkit. Yang di lakukan kemudian adalah berguling dengan cepatnya menghindari kuku-kuku harimau yang tajam itu.

Empu Sanggadaru ternyata mampu bergerak secepat kilat, la berhasil melepaskan diri dari cengkeraman harimau itu. Tetapi, ternyata bahwa ia tidak terbebas seluruhnya. Ketika ia ke mudian bangkit berdiri, ternyata bahwa lengan dan pahanya bagaikan digores oleh beberapa bilah pisau berbareng. Darah yang merah mengalir dari luka-lukanya itu.

Ternyata harimau itu sama sekali tidak memberinya kesempatan. Begitu Empu Sanggadaru berdiri, maka harimau itu pun telah siap pula. Dengan garangnya ia menerkam kearah kepala lawannya. Kedua kaki depannya terangkat tinggi, seolah-olah harimau itu telah berdiri tegak dengan kaki belakangnya.

Empu Sanggadaru bergeser sejauh dapat dilakukan. Tetapi semuanya itu berlangsung cepat sekali. Yang dapar dilakukan kemudian mengayunkan galih asem ditangannya sekeras-kerasnya mengarah ke kening harimau itu, tepat di antara kedua matanya. Sekali lagi terdengar aum yang dahsyat. Harimau itu agaknya merasa kesakitan dan bergeser mundur.

Empu Baladatu berdiri ditempatnya seolah-olah membeku. Ia telah melihat perkelahian yang dahsyat antara seekor harimau loreng melawan kakaknya yang semula masih diragukan kemampuannya. Namun yang kemudian ternyata, bahwa kakaknya memiliki kemampuan bergerak cepat sekali. Lebih cepat dari yang diduganya. Namun demikian, Empu Baladatu masih belum dapat menjajagi betapa besar kekuatan yang sebenarnya dan kakaknya itu.

Sejenak kemudian, maka perkelahian itu pun berlangsung kembali. Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha meloncat dan melekat ke punggung harimau itu. Tetapi ia kemudian mempergunakan kecepatannya untuk membingungkan lawannya. Sekali-kali ia meloncat dan berpegangan pada dahan yang menyilang diatas kepalanya. Kemudian turun sambil menyerang dengan galih asemnya. Ketika harimau itu berputar dan berusaha mencengkam dengan kukunya, Empu Sanggadaru meloncat surut.

Dalam perkelahian yang demikian, Empu Baladatu mulai melihat perbedaan sifat dan watak yang ada pada kakaknya. Jika semula ia menjadi bimbang, bahwa kakaknya adalah seorang yang lembut dan selalu tersenyum dan tertawa didalam gurau yang segar, maka perlahan-lahan Empu Sanggadaru telah berubah menjadi seorang yang garang dan bahkan kasar. Geraknya yang semula masih terkendali, telah berubah, seperti tata gerak, harimau yang liar itu sendiri.

Namun demikian, Empu Sanggadaru masih belum melepaskan keinginannya untuk menangkap harimau itu tanpa melukai kulitnya meskipun ia dapat mematahkan tulangnya dengan sepotong galih asem ditangan kanannya. Cantrik yang memegang busur dan anak panah itu pun menjadi semakin tegang. Sekali-kali ia membidikkan anak panahnya, namun kemudian sambil menarik nafas ia menurunkan busurnya. Sekali-kali ia bergeser namun kemudian ia menjadi bingung pula karena perkelahian yang semakin seru.

Luka dilengan goresan-goresan pada punggung dan bahkan didadanya. Kuku harimau yang tajam itu, berkali-kali berhasil menyentuh tubuh Empu Sanggadaru betapapun lincahnya ia bergerak. Melihat darah yang mengalir semakin banyak, cantrik yang memegang busur itu pun menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian ia melangkah semakin dekat sambil mengangkat busur dan anak panahnya.

Empu Baladatu pun ikut bergeser mendekat. Betapapun juga, ia tidak akan sampai hati melihat kakaknya berkelahi melawan seekor harimau loreng yang demikian besarnya. Meskipun agaknya Empu Sanggadaru masih ingin menyelesaikan kerja itu seperti yang dikehendaki, maka apabila pada suatu saat keadaan sangat membahayakan, maka Empu Baladatu pun telah menyiapkan tombak pendeknya. Tombak pendek yang dibawa dari padepokan kakaknya pula sebagai kelengkapan untuk berburu.

Namun dalam pada itu, baik cantrik yang membawa busur itu. maupun Empu Baladatu dan pengawalnya terkejut ketika mereka melihat Empu Sanggadaru meloncat jauh-jauh dari harimau yang semakin ganas, karena kepalanya benar-benar telah menjadi pening, karena setiap kali terantuk dengan galih asem yang sekeras batu hitam. Bahkan punggungnya serasa retak oleh pukulan-pukulan itu pula. Agaknya harimau itu tidak mau melepaskan mangsanya. Karena itu, ketika Empu Sanggadaru menjauhinya, harimau itu pun meloncat dengan kaki terjulur siap menyobek dadanya.

Mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Bahkan cantrik yang membawa busur itu sudah mulai menarik busurnya. Sementara itu Empu Baladatu pun telah bergeser semakin dekat. Jika terjadi sesuatu, maka ia pun akan segera meloncat dan betapapun tidak dikehendaki oleh kakaknya, ia terpaksa akan menghunjamkan ujung tombaknya ketubuh harimau itu meskipun dengan demikian berarti, kulit harimau itu akan menjadi cacat. Tetapi baginya jiwa Empu Sanggadaru tentu akan lebih berharga dari selembar kulit harimau yang manapun juga. Apalagi Empu Baladatu masih berharap, bahwa ia akan mendapatkan bantuan kakaknya menghadapi kekuasaan Singasari yang tidak disukainya itu.

Namun dalam pada itu, Empu Baladatu pun tertegun. Juga cantrik yang memegang busur itu. Mereka melihat Empu Sanggadaru yang sudah berhasil membuat jarak dari harimau loreng itu pun telah berdiri tegang sambil merentangkan tangannya.

“O” gumam cantrik yang membawa busur itu

“Kenapa?”

Cantrik itu tidak menjawab. Namun tatapan matanya yang, tegang terpukau pada tata gerak Empu Sanggadaru selanjutnya. Ketika kuku-kuku harimau yang tajam itu hampir menyentuh kulitnya, tiba-tiba saja Empu Sanggadaru bergeser. Dengan tangkasnya ia menangkap kaki depan harimau itu sebelah. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Empu Baladatu dan pengawalnya. Bahkan mereka sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan menyaksikan kekuatan yang luar biasa yang ada pada Empu Sanggadaru.

Dengan sebelah tangannya, Empu Sanggadaru memutar harimau itu di atas kepalanya. Semakin lama semakin cepat, berbareng dengan auman yang dahsyat dari harimau yang kehilangan kesempatan untuk melawan, justru karena putaran yang semakin cepat.

Selagi mereka yang menyaksikan masih termangu-mangu, mereka telah dikejutkan oleh sebuah benturan yang dahsyar pada sebatang pohon raksasa. Ternyata Empu Sanggadaru telah melontarkan harimau itu dan membenturkannya pada pohon raksasa itu dengan kekuatan yang tidak terduga besarnya.

“Aji Bayu Seketi” desis cantrik yang masih menggenggam busur itu.

“He” desis Empu Baladatu tanpa berpaling. Ia masih mengagumi apa yang baru saja terjadi. Dilihatnya harimau itu hanya sempat menggeliat dan mencoba berdiri. Tetapi kemudian binatang itu pun terjatuh. Mati. Tanpa luka pada tubuhnya. Namun agaknya tulanganya telah remuk didalam tubuhnya.

“Apakah kau menyebut aji Bayu Seketi?” bertanya Empu Baladatu kepada cantrik itu.

“Ya Empu. Empu Sanggadaru menyebut kekuatan yang tidak ternilai besarnya itu Aji Bayu Seketi.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa kedatangannya kepada kakaknya itu agaknya akan sangat bermanfaat. “Tetapi apakah kakang Empu Sanggadaru akan bersedia membantuku?” bertanya Empu Baladatu didalam hatinya.

Sementara itu, Empu Sanggadaru yang hampir di seluruh tubuhnya telah menjadi merah karena darahnya, melangkah perlahan-lahan mendekati harimau yang tergolek mati itu. Dalam pada itu, cantrik yang membawa busur, Empu Baladatu dan pengawalnya pun dengan tergesa-gesa mendekatinya pula. Tetapi sebelum mereka menyatakan sesuatu, mereka telah dikejutkan oleh suara tertawa pendek di balik gerumbul yang lebat di sebarang belumbang itu.

Empu Sanggadaru yang masih terengah-engah pun memandang ke arah suara tertawa itu pula dengan kerut merut di keningniya. Bahkan kemudinan dengan suara yang dalam ia bertanya, “Siapakah yang berada di balik gerumbul itu?”

Tidak ada jawaban. Namun suara tertawa itu masih terdengar berkepanjangan. Empu Sanggadaru yang masih dibasahi oleh keringat dan darahnya itu menjadi tegang. Bahkan tiba-tiba ia telah meloncat dengan loncatan yang panjang menuju kegerumbul itu. Cantrik, Empu Baladatu dan pengawalnya tidak membiarkan Empu Sanggadaru pergi seorang diri. Mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa berlari mengikutinya.

Tetapi langkah Empu Sanggadaru segera terhenti. Bahkan ia pun kemudian melangkah surut sambil membungkuk dalam? Empu Baladatu dan pengawalnya menjadi heran. Tetapi cantrik yang membawa busur itu pun segera mengetahui, siapakah yang berada dibalik gerumbul itu.

“Ampun tuanku” desis Empu Sanggadaru sambil membungkuk dalam-dalam ketika dilihatnya dua orang anak muda berdiri memandanginya.

“Siapa?” desis Empu Baladatu ditelinga cantrik.

“Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“He” Empu Baladatu terkejut bukan kepalang. Ternyata ia telah bertemu muka dengan kedua anak muda yang selama ini menjadi sasaran keinginannya untuk mendesak kedudukan mereka. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu pun mengangguk pula dalam-dalam seperti Empu Sanggadaru dan cantrik yang membawa busur itu,

“Hamba sama sekali tidak menyangka bahwa tuanku berdua ada didalam hutan ini.”

“Aku tidak hanya berdua” sahut Ranggawuni.

“Ya, maksud hamba bahwa tuanku sedang berburu dengan beberapa orang pengawal.”

“Aku berburu bersama paman Lembu Ampal.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah tuanku hanya bertiga saja?”

“Ya.”

Empu Sanggadaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Bukan main tuanku. Sebenarnya tentu berbahaya sekali jika Tuanku hanya pergi bertiga ketengah-tengah hutan yang lebat ini.”

“Kenapa berbahaya? Aku sudah sering pergi berburu.”

“Tetapi kehadiran tuanku tentu diikuti oleh sekelompok pengawal pilihan. Dan pemburu-pemburu yang lain sama sekali tidak akan berani memasuki hutan ini, karena di beberapa tempat terpancang tanda, janur kuning atau lawe wenang. Tetapi kali ini hamba sama sekali tidak melihat tanda apapun.“

Ranggawuni tertawa. Jawabnya “Aku bosan dengan cara yang sama sekali tidak menyenangkan itu. Aku lebih senang berburu sebagai seorang pemburu. Namun ternyata bahwa kau adalah pemburu yang jauh lebih baik daripada kami bertiga. Beberapa saat yang lalu, aku masih memenangkan pertandingan berpacu mendapatkan binatang buruan. Tetapi kali ini agaknya aku harus mengaku kalah, karena kau sudah berhasil membunuh harimau itu dengan cara yang dahsyat sekali.”

“Ah, hanya suatu permainan kanak-kanak yang tidak berarti” jawab Empu Sanggadaru.

“Sudahlah. Rawatlah luka-lukamu. Aku tahu, bahwa luka-luka itu tidak akan memberikan pengaruh apa-apa padamu. Tetapi sebaiknya kau bersihkan dan kau obati. Bukankah kau mempunyai obat yang dapat menyembuhkan luka-lukamu itu dengan segera?”

“Ampun Tuanku. Hamba memang membawa obat-obat yang mungkin diperlukan, dalam perburuan seperti ini.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Namun kemudian dipandanginya Empu Baladatu yang termangu-mangu. “Siapakah orang itu Empu. Agaknya aku belum pernah melihatnya. Namun menillik wajahnya yang mirip dengan wajahmu, tentu ia mempunyai hubungan keluarga dengan kau.”

“Ia adalah adikku Tuanku. Ia datang kepadepokan hamba, dan agaknya ia ingin berburu di tengah-hutan yang lebat ini, sehingga ia hamba bawa bersama hamba sekarang ini.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula, “Siapakah namanya?”

“Baladatu Tuanku. Empu Baladatu.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bertanya kepada Empu Baladatu, “Apakah kau tidak tinggal bersama kakakmu?”

“Ampun Tuanku, hamba tinggal ditempat yang jauh. Tetapi karena kerinduan hamba kepada satu-satunya saudara laki, maka hamba pun memerlukan menengoknya.

Ranggawuni tertawa. Katanya, “Dan sekarang kalian berdua telah berburu di tengah-tengah hutan ini. Sungguh mengagumkan cara kakakmu menangkap harimau itu. Aku tahu, kakakmu adalah seorang yang suka sekali mengumpulkan kulit binatang buruan. Ia tentu lebih senang mendapatkan kulit yang utuh daripada yang telah cacat karena senjata. Itulah sebabnya, ia lebih senang membunuh harimau itu dengan caranya, meskipun ia sendiri telah terluka.”

“Hamba Tuanku.”

“Dan apakah kau juga ingin mencobanya?”

“Ampun Tuanku. Hamba sama sekali tidak berkemampuan apapun juga. Karena itu, hamba hanyalah sekedar mengikut di belakang.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum, “Kau kakak beradik memang suka merendahkan diri. Sikapmu tidak dapat mengelabui aku. Tatapi baiklah. Obatilah lukamu lebih dahulu. Aku akan melihat harimau yang telah kau bunuh itu.”

Empu Sanggadaru pun kemudian melangkah surut. Sementara itu Ranggawuni dan Mahisa Campaka diiringi seseorang yang telah melampaui separo baya, dan yang disebutnya Lembu Ampai itu melangkah mendekati harimau yang tergolek mati.

“Tuanku tidak berkuda?” Bertanya Empu Sanggadaru tiba-tiba.

“Tidak” Jawab Ranggawuni.

Empu Sanggadaru menjadi terheran-heran. Karena itu justru sejenak ia termangu-mangu memandang Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal berganti-ganti.

“Kenapa kau heran?” Bertanya Ranggawuni, “Tentu kau berpikir bahwa jarak antara istanaku di Kota Raja sampai kehutan ini cukup jauh.”

“Hamba Tuanku.”

“Aku memang berkuda sampai ke hutan ini. Tetapi aku perintahkan para pengawalku pergi. Aku minta mereka menjemputku dua malam lagi, sehingga aku akan berada di tempat ini tiga hari dua malam.”

“O, jadi Tuanku baru hari ini juga mulai berburu.”

“Agaknya kita tidak terpaut lama. Kau datang lebih dahulu.”

“He” Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung, “O, ampun Tuanku. Hamba tidak mengerti.”

Ranggawunilah yang kemudian menjadi heran. Namun kemudian katanya, “Kau belum mengobati lukamu. Lakukanlah. Nanti kita akan berbicara tentang saat kehadiran kita masing-masing.

Empu Sanggadaru mengangguk dalam-dalam. Katanya “Hamba Tuanku. Hamba mohon maaf, bahwa hamba akan mengobati luka-luka hamba.”

Ranggawuni dan Mahisa Campaka pun kemudian melangkah mendekati harimau yg terkapar mati. Nampaknya harimau itu benar-benar masih utuh. Hanya dari mulutnya mengalir darah dari dalam tubuhnya yang agaknya telah remuk. “Bukan main” Desis Ranggawuni, “Harimau loreng yang jarang terdapat.”

“Terlampau besar bagi harimau biasa” Desis Mahisa Campaka.

“Suatu keuntungan bagi Empu Sanggadaru meskipun ia harus mengalami luka-luka.”

Lembu Ampal berdiri dengan menyilangkan tangan didadanya. Meskipun ia memperhatikan harimau itu pula, namun ia tidak kehilangan kewaspadaan, karena yang dikawal itu adalah orang yang sedang memerintah Singasari. Memang kadang-kadang kedua anak muda itu berbuat aneh. Sekali-kali mereka ingin melepaskan diri dari kungkungan jabatan. Oleh ketentuan-ketentuan yang menjemukan. Karena itu pulalah maka mereka kemudian telah pergi berburu dengan caranya, meskipun seperti yang dikatakan oleh Empu Sanggadaru adalah berbahaya sekali.

Dalam pada itu, Empu Sanggadaru dibantu oleh cantriknya telah mengobati lukanya. Empu Baladatu yang menungguinya sempat bertanya, “Apakah cara itu sering kali dilakukan oleh kedua anak muda itu?”

“Mereka memang sering berburu” Jawab Empu Sanggadaru, “Tetapi tidak dengan cara ini. Cara yang sangat berbahaya dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Semua orang akan menyalahkannya jika terjadi sesuatu atas mereka.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka ia telah bertemu dengan kedua orang anak muda yang berada di puncak pemerintahan Singasari itu. “Kesempatan seperti ini jarang sekali dapat aku temukan” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Sepercik keinginan telah menyala di dalam hatinya, untuk melakukan sesuatu atas kedua orang itu. Namun ia masih belum sempat berkata apapun juga dengan kakaknya. Jika saja kakaknya sependapat, maka kedua anak muda itu bersama seorang pengawalnya akan dapat diselesaikannya tanpa ada orang yang mengetahuinya.

“Masih ada dua hari” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, selagi perhatian Empu Baladatu terpusat kepada kedua anak muda itu, tiba-tiba saja ia terkejut mendengar Empu Sanggadaru bertanya, “Jika Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka tidak mempergunakan kuda di dalam hutan perburuan ini, jejak kuda siapakah yang baru saja kita ketemukan? Dan jika keduanya datang sesudah kita, siapakah yang sudah melukai binatang buruan di tepi belumbang itu?”

Empu Baladatu berpaling kepada cantrik yang membantu mengobati luka-luka Empu Sanggadaru. Agaknya cantrik itu pun juga berpikir tentang hal itu.

“Memang agak menarik perhatian Empu” berkata cantrik itu, “Meskipun kedua anak-anak muda itu senang sekali bergurau, tetapi agaknya mereka tidak bergurau tentang masa perburuan mereka kali ini. Agaknya keduanya benar-benar tidak berkuda dan datang setelah kita. Agaknya keduanya menemukan kawan-kawan kita yang menjaga kuda-kuda kita, dan dari merekalah kedua anak muda itu mengetahui hahwa Empu sudah berada di arena perburuan.”

“Mungkin juga demikian. Tetapi bukankah dengan demikian masih ada pertanyaan yang harus dijawab? Siapakah yang telah datang lebih dahulu dan berburu dengan kuda seperti yang sering dilakukan oleh Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka?”

Cantriknya mengangguk-angguk. Desisnya, “Itulah yang menarik. Bukankah selama ini kami belum pernah bertemu dengan orang lain yang berburu dengan cara itu, atau cara yang serupa dengan itu.”

Empu Sanggadaru termenung sejenak Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Baiklah. Kita akan mendapat kawan lagi untuk berlomba dalam perburuan. Mungkin kita akan dapat mengatur waktu bersama untuk menentukan masa perlombaan yang menarik di daerah perburuan ini.”

Cantrik itu pun menyahut, “Mungkin Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka mengetahui, siapakah yang telah mendahului kita. Atau bahkan para Senapati dari istana Singasari.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Memang mungkin ada orang lain yang berhuru seperti yang dilakukan oleh kedua anak muda itu. Mungkin Senapati yang pernah mengawalnya atau justru mereka memang mendapat perintah untuk mendahuluinya. “Nanti aku akan bertanya kepadanya” Gumam Empu Sanggadaru kemudian.

Setelah selesai mengobati lukanya, maka iapun kemudian mengemasi dirinya. Dari tempatnya ia melihat kedua anak muda yang sedang memperhatikan harimau yang telah dibunuhnya itu dengan saksama.

“Mereka menjadi heran” Berkata Empu Baladatu, “Tentu mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana kau berhasil membunuh harimau itu“

“O” Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya, “Tentu tidak. Keduanya memiliki kemampuan yang tidak dapat di gambarkan. Karena itu, maka mereka pun tentu tidak menjadi heran melihat harimau itu terbunuh. Yang justru mengherankan mereka adalah bahwa di hutan ini terdapat harimau loreng sebesar itu.”

Empu Baladatu lah yang menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kedua anak muda itu memiliki kemampuan untuk melakukannya?”

Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengelakkan pertanyaan itu dan berkata, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa.”

Empu Baladatu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, tiba-tiba saja Empu Sanggadaru berkata, ”Masih ada kemungkinan kita menemukan harimau loreng yang lain,“

“Darimana kakang mengetahuinya.”

“Harimau yang terbunuh itu adalah harimau betina. Jika ada harimau jantan yang mendampinginya, tentu harimau itu akan mencarinya. Harimau itu tahu benar apa yang telah terjadi dengan betinanya.”

“O” Empu Baladatu mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja mereka melihat kedua anak muda yang sedang mengamat-amati harimau yang terbunuh itu dengan tergesa-gesa mendekati Empu Sanggadaru. Dengan lantang Ranggawuni berkata, “Empu Sanggadaru, kau sudah mendapatkannya seekor. Jika masih ada seekor yang lain, aku mengingininya”

“Maksud Tuanku, jika harimau jantan itu mencarinya?"

“Ya. Biarkan harimau itu di tempatnya sampai malam nanti. Aku akan menungguinya di sini.”

“Tuanku akan menangkap harimau jantan itu?”

“Ya.”

Empu Baladatu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya wajah kakaknya yang ragu-ragu. Sebenarnyalah Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin memperingatkan, bahwa harimau itu memang berbahaya sekali, apalagi di malam hari. Tetapi jika ia berbuat demikian, maka jika kedua anak muda itu menjadi salah paham, mereka tentu menyangka, betapa sombongnya ia. Bahwa sesudah ia berhasil membunuh harimau itu, maka ia menganggap orang lain tidak akan dapat melakukannya.

Karena Empu Sanggadaru nampak ragu-ragu, maka Ranggawuni mendesaknya, “Kenapa kau ragu-ragu? Aku inginkan harimau yang seekor lagi.”

Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu berpikir lain. Kebetulan sekali jika anak muda itu berniat untuk menangkap harimau itu seperti yang dilakukan oleh Empu Sanggadaru. Bahkan ia pun kemudian bertanya, “Apakah Tuanku akan mempergunakan cara seperti yang dilakukan oleh kakang Sanggadaru?”

“Ya. Aku akan menangkap harimau jantan itu tanpa melukainya. Aku juga harus mempunyai kulit harimau loreng sebesar kepunyaan Empu Sanggadaru tanpa cacat. Dimasa perburuan yang lampau aku telah memenangkan perlombaan. Saat kami berpacu menangkap binatang buruan, akulah yang pertama. Sekarang aku pun harus dapat menyamainya jika ada kesempatan. Kecuali jika harimau itu tidak pernah ada lagi di hutan ini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Tuanku adalah anak muda yang perkasa. Tentu rakyat Singasari akan berbangga mempunyai seorang Maharaja yang memiliki kemampuan yang luar biasa.”

“Lupakan. Aku sedang berusaha melupakan segala-galanya dari kedudukanku. Aku kini adalah pemburu seperti kakakmu. Jika aku masih dibebani kedudukan istana itu, maka aku tidak akan berani berbuat apa-apa. Dan aku akan memanggil pengawal segelar sepapan hanya untuk menangkap seekor harimau “

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda ini memang mempunyai sifat yang agak aneh. Namun dalam pada itu Empu Baladatu berkata, “Ampun Tuanku. Hamba tidak mengerti maksud Tuanku. Tetapi agaknya Tuanku ingin melupakan tugas sehari-hari yang menjemukan di istana.”

“Ya.”

“Bukan main. Namun demikian, setidaknya hambalah yang akan menjadi saksi atas kebanggaan rakyat Singasari jika hamba dapat, melihat kemampuan Tuanku yang tidak ada taranya itu.”

“Aku baru akan mencoba” Sahut Ranggawuni.

“Ampun Tuanku.” Potong Lembu Ampal “Jika hamba boleh mengajukan permohonan, janganlah Tuanku lakukan. Sebenarnyalah sangat berbahaya untuk bertempur melawan seekor binatang buas. Apalagi di malam hari.”

Ranggawuni memandang Lembu Ampal dengan kerut merut dikeningnya. Lalu, “Tetapi kesempatan serupa itu tidak akan aku temui lagi paman.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Ranggawuni adalah orang yang keras bati, sehingga jika la berkemauan, sulitlah kiranya untuk mengurungkannya. Namun sekali ini, maksudnya benar berbahaya. Bertempur dengan seekor harimau yang besar dimalam hari.

“Paman” Berkata Ranggawuni kemudian, “Paman jangan cepat menjadi cemas. Harimau itu belum tentu ada.”

“Tetapi jika ada?”

“Apa salahnya aku menjajagi kemampuanku.”

“Tetapi tidak dengan seekor harimau loreng sebesar ini dan tanpa senjata. Jika Tuanku berkenan membawa sebatang tombak pendek atau pedang, atau bahkan hanya sebilah pisau aku tidak akan cemas. Aku yakin Tuanku akan dapat membunuh harimau sebesar apapun juga. Tetapi usaha membunuh harimau dengan tanpa melukainya adalah suatu pekerjaan yang sangat berat.”

Ranggawuni justru tertawa. Katanya, “Memang kebiasaan orang-orang tua adalah sangat berhati-hati. Tetapi juga sedikit tidak mempercayai anak-anak muda. Cobalah paman mempercayai aku.”

Lembu Ampal menjadi bimbang. Sekilas dipandanginya Mahisa Campaka yang sedang berdiri termangu-mangu, seolah-olah ia ingin berkata, “Kenapa tidak Tuanku berdua?”

Tetapi Mahisa Campaka yang merasa dipandang oleh Lembu Ampal justru berkata, “Jika kakanda Ranggawuni memberikan kesempatan itu kepadaku, aku akan menerima dengan senang hati.”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Aku lebih tua daripadamu adinda. Sebaiknya aku sajalah yang melakukannya.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung.

“Tuanku” Empu Baladatu lah yang kemudian berkata, “Kenapa Tuanku ragu-ragu. Seluruh Singasari akan berbangga dengan kemampuan Tuanku.”

“Ah. Jangan memuji seperti terhadap anak-anak yang segan mandi begitu mPu. Aku memang tidak ragu-ragu. Tetapi bukan karena aku mengharapkan pujian dari siapapun. Aku sekedar ingin menjajagi kemampuanku. Tidak sebagai kebanggaan dan apalagi untuk memperkuat kedudukanku.”

Wajah Empu Baladatu menjadi kemerah-merahan. Ternyata anak muda itu memiliki tanggapan yang tajam. Meskipun demikian ia berkata, “Ampun Tuanku. Bukan maksud hamba memuji Tuanku seperti memuji kanak-kanak. Setidaknya hamba sendiri benar-benar telah mengagumi Tuanku, meskipun baru niat yang terbesit dihati Tuanku. Dengan demikian hamba mengetahui, betapa kuatnya kemauan yang tersimpan di dalam dada Tuanku seperti juga kemauan untuk memerintah dengan sebaik-baiknya.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Ampal telah mendahului. “Empu. Agaknya kau pun orang yang luar biasa seperti kakakmu, Empu Sanggadaru. Kau selalu ingin menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Setelah kau menyaksikan pekelahian antara Empu Sanggadaru dengan seekor harimau raksasa ini, maka kau masih menunggu peristiwa yang serupa?”

“Ah” Desis Empu Baladatu, “Bukan maksudku. Tetapi semuanya itu terdorong oleh kekagumanku kepada Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka.”

“Maaf Empu” Sahut Ranggawuni, “Aku melakukannya tidak atas pengaruh perhatian orang lain. Aku melakukan karena keinginanku sendiri. Jika keinginanku tidak mendesak, justru sikap Empu telah mengendorkan niatku.”

Empu Baladatu akhirnya menyadari, bahwa tanggapan yang tajam itu pada suatu saat akan dapat mengungkap niatnya yang sebenarnya apabila ia masih saja berkeras ingin memuji dan mendorong niat itu.

Sebenarnyalah Lembu Ampal pun merasakan sesuatu yang kurang wajar pada Empu Baladatu. Namun ia mencoba membatasi dirinya dengan prasangka yang baik. Ia membatasi dirinya dengan dugaan, bahwa Empu Baladatu memang hanya sekedar ingin melihat perkelahian yang tentu akan dahsyat sekali...

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 22

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 22
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“AKU Putut Kuda Santi.” Jawab orang itu, “Aku adalah salah seorang murid tertua dari padepokan ini."

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Jadi apakah benar aku berada di padepokan saudara tuaku yang bernama Empu Sanggadaru?”

“Ya, ya Empu. Disini adalah padepokan Empu Sanggadaru.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Terima kasih. Apakah kau dapat membawa aku menghadap kakang Sanggadaru?”

“Tentu Empu. Empu Sanggadaru telah berpesan kepadaku, agar aku membawa Empu untuk menghadap di sanggar pamujan”

“O” Empu Baladatu mengangguk-angguk, “Apakah kakang Empu Sanggadaru sedang mengadakan upacara?”

“Tidak. Empu Sanggadaru sedang berada di sanggar pamujan bersama tiga orang muridnya untuk memperbincangkan masalah ilmu kanuragan. Bukan ilmu kajiwan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Marilah Empu” Berkata Putut Kuda Santi, “Ikutlah aku ke sanggar pamujan.”

Empu Baladatu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun kemudian mengikuti orang yang menyebut dirinya Putut Kuda Santi itu masuk kepintu yang satu itu juga. Empu Baladatu mengerutkan keningnya ketika ia menginjakkan kakinya ke dalam sebuah ruang yang agak gelap. Namun kemudian lewat pintu yang lain ia sampai ke sebuah ruang di serambi samping. Di ujung serambi itu terdapat sebuah bilik yang tidak begitu luas. Agaknya bilik itulah yang disebutnya sanggar pamujan.

“Sanggar itu terlampau sempit” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, “Bagaimana mungkin kakang Sanggadaru mengolah ilmunya di dalam sanggar itu. Tetapi agaknya ia mempunyai sanggar yang lain yang khusus dipergunakannya untuk menempa murid-muridnya didalam olah kanuragan."

“Silahkan Empu menunggu” desis Putut Kuda Santi, “Aku akan menyampaikan kedatangan Empu kepada guru.”

Empu Baladatu hanya mengangguk saja. Sebenarnya ia sudah jemu untuk selalu menunggu. Tetapi ia masih harus memaksa diri berdiri termangu-mangu menunggu untuk mendapat kesempatan bertemu dengan kakaknya.

Tetapi kali ini ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian ia melihat seseorang turun dari tangga bilik yang tiba-tiba terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi, meskipun agak kekurus-kurusan. Tetapi menilik sikap dan gerak kakinya, menunjukkan, betapa ia menguasai ilmu kanuragan yang tinggi. Demikian ia lepas dari tangga bilik itu, ia berdiri sambil mengembangkan tangannya. Wajahnya menjadi cerah dan sorot matanya memancarkan kegembiraan di hatinya.

“Kau Baladatu” Desisnya, “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Marilah, masuklah ke ruang dalam. Tidak ke sanggar yang sempit dan pengab itu.”

Empu Baladatu mengangguk hormat. Katanya, “Salamku buat kakang. Aku memang sudah lama sekali tidak mengunjungi padepokan ini, sehingga aku menjadi ragu-ragu. Apakah benar aku telah memasuki padepokanmu yang nampak berubah sejak aku meninggalkannya beberapa tahun yang lalu.”

“Bukan hanya beberapa tahun, lebih dari sepuluh tahun. Kau pergi selagi rambutmu masih hitam lekam. Sekarang, ujung rambutmu yang berjuntai dari balik ikat kepalamu, sudah nampak mulai memulih. He, Baladatu, kau memang cepat menjadi tua. Aku kakakmu, rambutku masih tetap hitam pekat. Demikan juga kumis dan janggutku.”

Baladatu tertawa. Katanya, “Aku mempunyai persoalan yang jauh lebih banyak dari persoalanmu kakang. Agaknya kau hidup tenang dipadepokanmu tanpa memikirkan persoalan-persoalan yang rumit, yang tumbuh di sekitarmu dan di sekitar padepokan ini “

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Adalah salah sendiri jika seseorang harus menghadapi persoalan-persoalan yang rumit-rumit. Lihat, aku dapat hidup tenteram di padepokanku sekarang ini. Aku tidak pernah mengganggu dan juga diganggu oleh orang lain.”

Empu Baladatu pun tertawa juga. Jawabnya, “Aku akan mempelajari tata cara kehidupan seperti itu.”

Empu Sanggadaru tertawa semakin keras. Dan Empu Baladatu pun ikut juga tertawa. Sifat yang riang pada kakaknya itu ternyata masih dibawanya sampai umurnya yang semakin tua. “Tetapi” tiba-tiba Empu Sanggadaru berkata, “kau ternyata lebih gemuk daripadaku. Aku yang hidup tenang di sini, tidak dapat menjadi segemuk kau, meskipun aku makan cukup banyak”

Empu Baladatu masih tertawa. Katanya, “Apakah disini tidak terdapat bahan makanan yang memadai? Beras, jagung atau ketela rambat?“

“O, disini ada segalanya. Beras, jagung, juga ketela rambat dan ketela pohon. Ubi panjang dan ubi ungu. Semuanya ada. Mungkin aku justru terlalu banyak makan.”

Empu Baladatu masih tertawa. Dan ia mendengar kakaknya kemudian berkata, “Mari, marilah masuk keruang dalam.”

Mereka pun kemudian memasuki ruang dalam dari rumah yang tidak begitu besar itu. Namun nampak sekali seperti halamannya, rumah itu pun terawat baik. Disana-sini nampak berbagai jenis binatang buruan yang sudah dikeringkan pula, seperti yang sudah dilihat oleh Empu Baladatu di bagian lain dari ramah itu. Mereka pun kemudian dipersilahkan duduk di atas lembaran kulit berbagai macam binatang. Kulit harimau loreng, kulit kijang, kulit serigala, dan bahkan kulit badak air.

Empu Baladatu melihat hasil buruan yang telah mengering itu dengan kagum. Ruangan itu benar-benar telah memberikan kesan kebesaran seorang pemburu. Apalagi di dinding ruangan itu dihiasi pula dengan berbagai macam alat senjata untuk berburu. Busur, anak panah, tombak panjang, bandil dan alat-alat lain yang biasa dipergunakan dalam perburuan di hutan-hutan yang lebat

Empu Sanggadaru melihat kesan yang tersirat diwajah adik nya. Karena itu maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Semuanya ini hanyalah sekedar untuk mengisi waktu. Aku tidak dapat duduk termenung saja siang dan malam di padepokan ini. Sawah dan ladang telah dikerjakan oleh anak-anak. Bahkan mengisi jambangan dipakiwan pun telah dilakukan oleh mereka pula. Lalu aku tidak mendapat bagian kerja apapun juga di padepokan ini, sehingga aku harus mencarinya di luar padepokan.”

“Mengagumkan sekali kakang” berkata Empu Baladatu, “tentu bukan hanya sekedar untuk mengisi waktu. Menilik semua yang ada di ruangan ini dan di serambi belakang, kakang adalah pemburu yang ulung. Adalah jarang sekali pemburu yang manapun juga dapat menangkap seekor ular raksasa seperti yang kakang letakkan di serambi belakang itu.”

“Apa sulitnya menangkap ular?”

“Bagi kakang tentu tidak ada kesulitan. Tetapi bagi mereka yang belum terbiasa, tentu akan banyak mengalami rintangan dan bahkan mungkin membahayakan nyawanya.”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Kau selalu merendahkan dirimu. Tetapi jika kau mau, maka kau tentu akan dapat melakukan lebih baik dari yang aku lakukan sekarang ini. Sejak kanak-kanak, kau mempunyai banyak kelebihan daripada ku. Kau mampu memanjat pohon nyamplung yang batangnya jauh lebih besar dari tubuhmu saat itu. Tetapi aku tidak. Kau mampu menyeberangi sungai yang banjir di sebelah rumah kita, aku sama sekali tidak berani membasahi kakiku dengan airnya yang agak keruh, meskipun kita sama-sama dapat berenang.”

“Ah, kau memuji kakang. Tetapi kau mempunyai kecakapan membidik sejak kanak-kanak. Kau mampu melempar seekor burung dengan tanganmu. Dan agaknya kemampuanmu membidik itu tersalur pada kesenanganmu berburu binatang hutan.” Empu Baladatu berhenti sejenak, lalu, “he, dimana kau berburu binatang-binatang itu kakang?”

“Tidak terlalu jauh” jawab Empu Sanggadaru, “di sebelah sungai itu terdapat hutan yang lebat. Jika kita memasu ki hutan itu, maka kita akan mendapatkan apa saja yang kita inginkan.”

“Sebelah sungai di ujung bulak ini?”

“Ya. Tidak ada yang harus disegani lagi didalam hutan itu. Semuanya dapat kita ambil menurut kebutuhan kita. Hutan itu adalah hutan lebat yang tidak mendapat perlindungan atau menjadi milik dan daerah berburuan dari keluarga istana Singasari meskipun letaknya tidak begitu jauh, justru karena hutan itu masih terlampau lebat dan pepat. Berbeda dengan hutan yang berada dibagian selatan dari Kota Raja. Hutan itu sudah banyak dirambah dan dirindangkan, sehingga menjadi daerah berburuan yang baik bagi keluarga istana. Tetapi sebaliknya, aku sama sekali tidak bergairah berburu di hujan seperti itu. Se-olah-olah hutan yang sudah dipersiapkan menjadi arena berburu perempuan dan kanak-kanak. Sebenarnya lebih baik keluarga istana itu berburu saja dikebun belakang dengan beberapa ekor binatang yang sudah diikat atau berada di dalam sangkar besi yang kuat. Mereka akan dapat memburu binatang itu dengan mudah dan tanpa bahaya apapun juga”

Empu Baladatu lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Tentu ada bedanya. Para bangsawan merasa dirinya lebih penting dari orang kebanyakan sehingga mereka merasa perlu dirinya mendapat perlindungan dan pengamanan lebih baik dari kebanyakan orang.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Tetapi berbeda dengan mereka adalah Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka sendiri.”

“Kenapa dengan keduanya?”

“Keduanya pun tidak puas berburu bersama keluarga mereka yang ketakutan memasuki hutan yang lebat. Mereka berdua, kadang-kadang bersama Mahisa Agni yang terkenal itu, tetapi kadang-kadang tidak, lebih senang berburu dihutan sebelah sungai itu.”

“Tidak sekedar melihat. Tetapi aku pernah bertemu di arena berburuan.”

“Kau disuruhnya menyingkir?”

“Sama sekali tidak. Bahkan Tuanku Ranggawuni mengajak berpacu. Kami sedang memburu seekor rusa yang besar. Siapakah di antara kami yang lebih tangkas.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Kedua orang tertinggi itu diiringi oleh pengawal segelar sepapan?”

“Tidak. Mereka tidak mempergunakan pasukan untuk menggiring binatang buruan agar memasuki jarak bidik panah mereka. Tetapi mereka benar-benar memburu seperti yang aku lakukan.” Empu Sanggadaru berhenti sejenak mengusap keringatnya.

Empu Baladatu mendengarkan ceritera kakaknya dengan saksama. Sekali-kali ia mengangguk-angguk, kemudian mengerutkan keningnya sambil berdesis. “Memang mengagumkan” berkata Empu Baladatu kemudian, “ternyata bahwa mereka bukan saja seorang Maharaja dan Ratu Angabhaya yang hanya dapat meneriakkan perintah-perintah, tetapi agaknya mereka juga prajurit-prajurit yang berani.”

“Ya” sahut Empu Sanggadaru, “keduanya adalah anak-anak muda yang mengagumkan. Mereka saat itu sama sekali belum mengenal aku. Demikian kita saling berkenalan di tengah hutan yang lebat, maka kami pun sudah berpacu dalam arena perburuan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mereka terbiasa duduk di atas Singgasana. Tentu mereka tidak akan menang.”

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, “Kau salah tebak. Ternyata bahwa keduanya adalah pemburu-pemburu yang sangat tangkas. Saat itu aku pun berdua dengan muridku yang paling tua. Namun kami berdua tidak dapat mendahuluinya. Keduanyalah yang berhasil mendapatkan rusa itu lebih dahulu. “

“Tetapi di hutan itu tentu banyak sekali berkeliaran rusa dan kijang. Apakah kalian dapat mengenal rusa yang sedang kalian pertaruhkan.”

“Tentu tidak. Tetapi kami bersetuju untuk saling mendahului mendapat rusa yang manapun juga “

Empu Baladatu berdesis, “Memang mengagumkan. Tetapi yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar berburu. Mungkin mereka tangkas bermain busur dan anak panah. Tetapi dalam persoalan yang lain tentu jauh berbeda.”

“Persoalan apa yang kau maksud?” bertanya Sanggadaru.

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jawabannya ternyata tertunda ketika seorang murid padepokan itu memasuki ruangan sambil membawa hidangan.

“Nah, kalian tentu haus” berkata Sanggadaru, “minumlah dan makanlah.”

“Terima kasih kakang” sahut Empu Baladatu.

Sejenak percakapan mereka terganggu. Namun tiba-tiba Empu Sanggadaru bertanya, “Apakah yang kau maksud dengan persoalan lain bagi kedua anak muda yang kebetulan memegang pimpinan pemerintahan itu?”

“Maksudku dalam olah kanuragan. Bukankah ketrampilan berburu belum merupakan ukuran untuk menentukan tingkat ilmunya?”

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, “Tentu saja tidak. Aku adalah seorang pemburu. Banyak orang menganggap bahwa aku adalah pemburu yang baik, meskipun tidak sebaik kedua anak muda yang disebut Sepasang Ular dalam satu Sarang itu, karena seolah-olah mereka tidak pernah berpisah. Tetapi dalam olah kanuragan, aku adalah seorang yang picik sekali. Bahkan hampir tidak berarti sama sekali.”

“Ah” dengan serta merta Empu Baladatu memotong, “kau selalu merendahkan dirimu.”

“Tentu tidak. Aku berkata sebenarnya.”

“Aku tahu, bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak ada duanya kakang.”

“Mungkin di padepokan ini. Tetapi sudah tentu tidak dapat dibanggakan serupa itu diluar padepokanku. Apabila dibandingkan dengan orang-orang yang sekarang berada di seputar kedua anak muda yang sedang memegang pimpinan pemerintahan itu. Bahkan, kedua anak muda itu pun kini tumbuh dengan pesatnya. Mereka memiliki sumber ilmu dari Mahisa Agni, Witantra dan Lembu Ampal. Didalam pengamatan orang-orang tua itulah keduanya meluluhkan ilmu yang berbeda-beda dalam satu watak yang utuh. Karena itulah, maka keduanya adalah anak-anak muda yang dahsyat. Bukan saja di arena berburuan, tetapi juga di medan. Nah, tentu jauh berbeda dengan aku.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Agaknya kakaknya menaruh hormat yang tinggi kepada, pimpinan pemerintahan di Singasari. “Apakah aku dapat mengatakan kesulitanku kepadanya?” Pertanyaan itu selalu saja mengganggunya.

Tetapi Empu Baladatu tidak tergesa-gesa. Ia ingin berada di padepokan itu untuk beberapa hari lamanya. Baru kemudian, setelah ia yakin, bahwa kakaknya akan bersedia membantunya, ia akan mengatakan keperluannya. Karena itulah, maka meskipun baginya kurang sedap, Empu Baladatu harus bersedia mendengarkan ceritera kakaknya tentang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang bagaikan Sepasang Ular dalam Satu Sarang itu. Keduanya hampir tidak pernah berpisah dalam regala peristiwa dan persoalan. Karena itulah maka pemerintahan mereka, nampak utuh dan bulat.

“Persetan dengan keduanya” geram Empu Baladatu di dalam hatinya, “Aku akan bangkit dengan perguruanku dam menyapu bersih semua yang mencoba menghalangiku. Termasuk kedua anak muda itu. Tentu kakang Empu Sanggadaru merendahkan dirinya dengan ceritera perburuannya.” Namun kemudian, “Tetapi aku tentu tidak akan dapat menyangkal ceriteranya tentang Mahisa Agni, Witantra, Lembu Ampal. Dan kakang Sanggadaru masih belum menyebut Mahisa Bungalan dan Linggadadi.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih selalu menahan diri, karena ia tidak mau merusak suasana pertemuannya dengan kakaknya, jika ternyata kakaknya tidak se jalan dengan sikap dan pendiriannya. Untuk mengetahui sikap kakaknya, maka Empu Baladatu memerlukan waktu beberapa hari.

Tetapi Empu Baladatu memang tidak tergesa-gesa. Meskipun ia harus berada di padepokan itu agak lama, tetapi niatnya dapat berhasil, maka itu tentu akan lebih baik daripada tergesa-gesa tetapi gagal, dan apalagi berselisih dengan kakaknya.

Karena itulah, maka di dalam pembicaraan berikutnya, Empu Baladatu lebih banyak mengiakan kata-kata kakaknya daripada menyatakan sikapnya. Meskipun hatinya kadang-kadang bergejolak mendengar pujian kakaknya atas orang-orang Singasari, namun ia sama sekali tidak membantah. Bahkan kadang-kadang timbul niatnya untuk mengetahui kemampuan kakaknya yang sebenarnya setelah bertahun-tahun mereka berpisah.

“Tetapi aku tidak mempunyai cara yang paling baik untuk melakukannya” berkata Empu Baladatu, “namun aku merasa perlu untuk mengetahui. Jika ternyata kakang Empu Sanggadaru tidak memiliki kelebihan apapun, apa gunanya aku datang bersimpuh di bawah kakinya? Buat apa aku merendahkan diri dan menangis minta belas kasihan, jika ia tidak lebih dari muridku yang paling dungu?”.

Namun demikian Empu Baladatu masih memerlukan waktu dan cara yang sebaik-baiknya untuk mengetahui kemampuan kakaknya. Meskipun binatang-binatang buruan yang banyak sekali terdapat di padepokan itu pun merupakan salah satu alat pengenal yang baik.

“Menilik hasil buruannya, ia adalah orang yang memiliki kelebihan. Tetapi yang dihadapinya adalah binatang-binatang yang bodoh dan tidak mampu berpikir. Agaknya berbeda jika yang dihadapi adalah seorang manusia yang apalagi berilmu.” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Demikianlah, maka setelah pembicaraan mereka bergeser kian kemari, maka Empu Sanggadaru bertanya, “Baladatu, bukankah kau akan bermalam di padepokan ini untuk beberapa hari?”

“Tentu kakang. Aku datang dari daerah yang jauh. Aku sangat rindu kepada kakang Empu Sanggadaru. Karena itu, jika kakang tidak berkeberatan, aku akan tinggal disini untuk beberapa hari lamanya. Mungkin aku perlu melihat-lihat suasana Kota Raja”“

“Perjalanmu sebenarnya tidak terlalu jauh.”

“Aku bermalam beberapa malam di perjalanan.”

“He?”

“O” Empu Baladatu segera memotong, “maksudku, karena aku tidak menempuh jalan lurus kepadepokan ini. Aku menempuh jalan yang agak melingkar, karena aku ingin melihat-lihat padukuhan dan kota-kota kecil yang berkembang demikian pesatnya di bawah pemerintahan Singasari yang sekarang.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian maka mungkin sekali perjalananmu disekat oleh beberapa malam di perjalanan. Dan bukankah yang kau lihat cukup menggembirakan menjelang hari depan Singasari yang cerah?”

Empu Baladatu mengangguk-angguk, betapa hatinya menjadi kusam. Bahkan di dalam hatinya itu ia berkata, “Singasari akan segera berganti wajah. Jika kekuatanku telah pulih kembali, dan kakang Sanggadaru bersedia membantuku, maka semuanya akan segera berubah.” Namun katanya kemudian kepada diri sendiri, “Tetapi aku tidak boleh tergesa-gesa, Setelah aku berhasil melenyapkan Mahisa Bungalan dan Linggadadi, maka perjuangan yang sebenarnya barulah aku mulai.”

Di padepokan itu, Empu Baladatu dan dua orang pengawalnya, telah mendapat tempat yang khusus bagi mereka. Sebuah rumah kecil dari antara beberapa buah rumah yang berada di seputar lapangan kecil dibagian belakang padepokan itu. justru sebuah rumah kecil di bagian samping padepokan, bahkan agak terpisah dari bagian-bagian yang lain.

“Dirumah itulah aku mempersilahkan semua tamuku untuk bermalam. Di rumah itu mereka tidak akan tergangu oleh hiruk pikuk anak-anak yang bodoh dipadukuhan ini” berkata kakaknya ketika ia mempersilahkan adiknya ke tempat yang telah disediakannya itu.

“Terima kasih kakang. Aku dapat bertempat dimanapun juga. Sudah menjadi kebiasaanku, tidur di sembarang tempat dan waktu. Diperjalanan aku dapat tidur nyenyak di dahan pepohonan.”

“Aku percaya” jawab kakaknya, “kau adalah petualang yang baik sejak kanak-kanak. Dan kau memang dapat tidur dimanapun juga. Bahkan dalam genangan air. He, bukankah di masa kanak-kanak kau selalu saja masuk kedalam jambangan, dan kemudian dengan pakaian basah kuyup tertidur di belakang kandang?” Keduanya tertawa. Bahkan para pengawal Empu Baladatu pun tertawa pula.

Beberapa saat kemudian, maka seorang murid dari perguruan Empu Sanggadaru itu pun mengantarkan Empu Baladatu ke rumah terpisah yang telah ditunjukkan. Sebuah rumah kecil, namun nampaknya menyenangkan sekali. Beberapa pohon bunga soka berwarna merah yang tumbuh dekat di muka pintu membuat rumah itu semakin segar. Di sisi sebelah kiri terdapat sebatang pohon bunga ceplok piring yang sedang berbunga lebat sekali, sehingga seolah-olah segerumbul pohon yang berdaun putih.

“Bukan main” desis Ki Baladatu, “padepokan ini rasa-rasanya sangat terawat. Namun dengan demikian aku menjadi ragu-ragu, apakah dibalik keterangan dan keteraturan padepokan ini masih juga tersimpan tenaga. Jika dipadepokan ini masih juga ada beberapa orang murid dari cantrik yang paling bodoh sehingga putut yang paling dipercaya, namun agaknya yang mereka dapatkan di sini tidak lebih dari pelajaran menari. Dan apakah yang akan aku dapatkan dari serombongan penari yang betapapun juga baiknya bagi perjuangan yang keras untuk merebut pimpinan tertinggi dari Singasari?”

Kedua pengawalnya tidak menjawab.

“Tetapi kita masih akan mencoba” berkata Empu Baladatu kemudian.

Kedua pengawalnya masih tetap berdiam diri. Rasa-rasanya mereka pun sedang mencoba menilai, apakah yang akan mereka dapatkan dipadepokan yang asri itu selain pohon-pohon bunga dan beberapa pasang angsa yang putih dikolam yang bening.

“Sudahlah” berkata Empu Baladatu kemudian, “sebaiknya kita tidak memikirkannya sekarang. Baiklah kita menikmati istirahat yang menyenangkan disini. Selama perjalanan kita tidak sempat berbaring dengan tenang dan makan dengan mapan. Sekarang adalah waktunya untuk melakukannya.”

Kedua pengawalnya mengangguk-angguk.

“Melihat sebuah amben bambu tutul yang dibentangi tikar pandan yang putih, rasa-rasanya aku ingin tertidur sejenak” Berkata Empu Baladatu.

“Jika Empu akan tidur, biarlah kami berdua berjaga-jaga” Berkata salah seorang pengawalnya.

“Kenapa harus berjaga-jaga? Tidak ada yang perlu dicemaskan di sini. Ini adalah dipadepokan kakakku. Selebihnya, yang ada dipadepokan ini hanyalah sekumpulan pemburu-pemburu.”

Kedua pengawalnya mengerutkan keningnya.

“Tidurlah jika kalian ingin tidur. Kau tutup sajalah pintu itu dan kau selarak dari dalam. Tetapi jika kalian ingat berjaga-jaga, biarlah pintu itu tetap terbuka.”

“Biarlah pintu itu tetap terbuka Empu” berkata salah seorang pengawalnya.

Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Kau masih juga mengenal unggah-ungguh. Kau masih merasa dirimu sebagai tamu di sini. Baiklah. Biarlah pintu itu terbuka, dan kau duduk di amben di luar pintu. Aku akan tidur di dalam bilik kecil itu.”

Empu Baladatu pun kemudian masuk ke dalam sebuah bilik kecil dengan sebuah amben kecil dari pering tutul. Diatas nya dibentangkan sebuah tikar pandan yang putih, bergaris-garis merah. Setelah menutup pintu dan menyelarakkan dari dalam, dan kemudian menggantungkan senjatanya, Empu Baladatu segera berbaring.

Namun ia pun tersenyum sendiri melihat selarak pintu itu. Dan berkata kepada diri sendiri, “Apakah sebenarnya yang aku cemaskan disini? Kakakku bersikap baik, dan agak nya di sini tidak akan ada kekuatan yang pantas dicemaskan.” Ia mengerutkan keningnya, lalu, “Tetapi apa salahnya aku berhati-hati. Padepokan ini nampaknya menyimpan sesuatu yang sulit dimengerti meskipun itu hanya sekedar prasangka saja.”

Tetapi ternyata bahwa Empu Baladatu tidak tertidur juga. la hanya sekedar berbaring sambil menganyam angan-angan. Sejenak saat itu, maka Empu Baladatu berada di padepokan kakaknya yang kurang dikenalnya dengan baik. Ketika ia terbangun di pagi hari menjelang matahari terbit, dan kemudian bersama kedua pengawalnya keluar dari rumah kecil yang diperuntukkan baginya, ia melihat empat orang berjalan dengan tenang melintasi halaman depan. Namun nampaknya mereka baru saja bekerja keras dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada. Ternyata dari langkah mereka yang lelah dan peluh yang bagaikan terperas dari tubuhnya.

“Apa saja yang telah mereka lakukan?” bertanya seorang pengawalnya.

Empu Baladatu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Mungkin mereka haru saja melakukan sesuatu. Atau barangkali mereka haru saja berlatih.”

“Tetapi dimana saja mereka berlatih sepagi ini? Aku kira lapangan kecil di belakang itu adalah arena berlatih yang sangat baik.”

Empu Baladatu menggelengkan kepalanya.”Aku tidak mengerti.”

Sejenak mereka masih saja mengikuti empat orang yang kemudian hilang dibalik dinding penyekat yang menghubungkan bagian pendapa rumah induk yang kecil itu dengan gandoknya sebelah menyebelah.

“Mereka masuk ke rumah kecil itu.”

“Mungkin mereka menjumpai Empu Sanggadaru di sanggarnya.” Empu Baladatu mengangguk-angguk.

Sejenak mereka duduk di tangga pendapa kecil itu sambil termangu-mangu Mereka mengangkat wajahnya ketika mereka mendengar seekor kuda yang meringkik. Namun mereka tidak melihat kuda itu.

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Terasa banyak hal yang belum dimengertinya di padepokan itu. Namun Empu Baladatu mencoba menganggapnya wajar, karena ia baru sebentar berada di padepokan kakaknya.

“Pada suatu saat, aku akan banyak mengetahui tentang padepokan ini” Berkata Empu Baladatu.

Ketika matahari mulai naik di kaki langit, maka seorang pelayan telah membawa minuman dan makanan hangat kerumah terpencil itu. Dengan ramah mereka mempersilahkan ketiganya untuk menikmatinya.

“Selagi masih hangat” berkata pelayan itu.

“Terima kasih” jawab Empu Baladatu. Namun kemudian ia pun bertanya, “Dimanakah kakang Empu Sanggadaru sepagi ini?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Empu Sanggadaru berada di sanggarnya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah ia selalu berada di sanggar?”

“Ya. Hampir setiap saat. Siang dan malam. Bahkan tidur pun sebagian besar dilakukannya di dalam sanggar.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Apakah kakang Sanggadaru sering berburu?”

Orang itu mengangguk., “Ya. Sering sekali. Agaknya berburu telah menjadi bagian dari hidup Empu Sanggadaru. Tetapi ia tidak pernah meninggalkan padepokan ini terlalu lama.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Hutan lebat itu memang tidak terlampau jauh dari padepokan. Apalagi menilik binatang buruan yang dikeringkan banyak terdapat di setiap bagian dari rumah induk di padepokan itu, maka wajarlah apa yang dikatakan oleh pelayan itu tentang Empu Sanggadaru.

Namun tiba-tiba Empu Baladatu teringat kepada empat orang yang lewat di halaman dengan keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya, Karena itu, maka seolah-olah sambil lalu saja Empu Baladatu bertanya, “Darimanakah keempat orang yang tadi lewat halaman ini?”

Pelayan itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia ber tanya, “Empat orang yang manakah yang Empu maksud?”

“Yang pagi-pagi tadi lewat halaman ini dengan keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya.”

Pelayan itu menggeleng., “Tidak ada orang yang lewat di halaman ini. Pagi-pagi benar aku sudah bangun dan membersihkan halaman ini. Halaman bagian depan. Seorang kawanku membersihkan halaman belakang dan yang lain di longkangan. Tetapi sepengetahuanku tidak ada orang yang lewat halaman depan ini sejak pagi sampai saat ini.”

“Ah” Empu Baladatu berdesah, “empat orang yang nampaknya baru saja bekerja keras. Mungkin berlatih, mungkin melakukan apa saja.” . Pelayan itu menggeleng. Katanya, “Aku mengenal setiap orang dalam padepokan ini. Semua cantrik, putut dan jejanggan aku kenal. Tetapi sejak pagi tadi tidak ada seorang pun yang lewat halaman ini selain aku sendiri.”

“Apakah tidak seorang pun diperkenankan keluar dari padepokan ini?”

“Kenapa tidak?” bertanya pelayan itu.

“Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang lewat dihalaman ini?”

“Bukan dilarang Empu, tetapi sudah menjadi kebiasaan setiap penghuni padepokan ini, untuk keluar masuk lewat pintu butulan di samping. Hanya Empu Sanggadaru dan para penjaga diregol itu sajalah yang melintasi halaman ini. Itu pun jarang sekali dilakukan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian empat orang yang aku lihat adalah mereka yang bertugas di regol semalam. Tetapi kenapa tubuh mereka basah oleh keringat yang bagaikan diperas?, “Apakah menjelang pergantian tugas, mereka sempat berlatih diluar regol?”

“Tidak ada pergantian tugas dipagi ini? Biasanya pergantian tugas itu belangsung di sore hari. Lima orang yang bertugas bukan saja di regol itu, selama sehari semalam. Mereka mengawasi seluruh padepokan, dari regol depan sampat kebagian yang paling belakang dan pintu-pintu butulan pada dinding padepokan.”

“Tugas yang berat.”

Pelayan itu menggeleng, katanya, “Tidak begitu berat. Padepokan ini adalah padepokan yang aman. Tidak ada orang lain yang menaruh perhatian, apalagi mengganggu. Lima orang yang bertugas itu masih sempat membagi waktunya. Setiap kali dua orang sempat tidur, sedangkan yang dua lagi berjaga-jaga dan sekali-kali mengelilingi padepokan ini. Sementara yang seorang adalah pimpinan kelompok itu.”

Empu Baladatu menjadi ragu-ragu atas keterangan itu. Ia merasa melihat dengan pasti, empat orang yang lewat dihalaman itu. Namun Empu Baladatu tidak mau bertanya lebih banyak lagi. Adalah mungkin sekali pelayan itu kebetulan tidak ada dihalaman ketika empat orang itu sedang lewat, sehingga ia tidak dapat melihatnya.

“Terima kasih” Berkata Empu Baladatu kemudian, “Kami akan minum dan makan hidangan yang kau bawa.”

“Silahkan Empu.”

Empu Baladatu kemudian menghadapi hidangan itu dengan pertanyaan yang membelit hatinya. Dengan kedua pengawalnya ia memperbincangkan hal-hal yang sulit dimengertinya di padepokan itu.

“Kau dengar ringkik kuda itu?” Bertanya Empu Baladatu.

“Ya. Mungkin kuda-kuda kita yang berada di kandang dan dibawah perawatan para pekatik di sini.”

“Aku jadi ragu-ragu. Apakah mereka benar-benar dapat merawat Kuda kita dengan baik?” desis Empu Baladatu.

Kedua pengawalnya saling berpandangan. Lalu, salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan menengoknya nanti. Apakah itu tidak diperbolehkan?“

“Kita tidak usah bertanya dan mempersoalkan boleh atau tidak boleh. Kita tidak mengetahui peraturan yang berlaku di sini. Karena itu kita dapat berbuat apa saja tanpa ragu-ragu.”

Kedua pengawalnya mengangguk-angguk. Demikianlah mereka menikmati makan pagi yang hangat, yang dihidangkan oleh pelayan itu, meskipun mereka tetap dicengkam oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu duduk termangu-mangu di tempatnya. Agaknya mereka masih tetap diselubungi oleh keragu-raguan, apakah yang sebaiknya mereka lakukan di tempat yang nampaknya diselubungi oleh teka-teki itu.

“Aku akan mendapatkan kakang Empu” Berkata Empu Baladatu, “Aku akan mengajaknya berburu dan dengan demikian aku ingin mengetahui serba sedikit, apakah kakang Sanggadaru benar-benar memiliki kemampuan untuk membantu aku mencari cita-cita yang selama ini sudah mulai aku rintis, meskipun baru dalam tingkat persiapan.”

“Menyenangkan sekali” Sahut seorang pengawalnya, “Aku juga seorang pemburu di masa kanak-kanakku, meskipun hanya sekedar berburu kancil di hutan yang rindang. Tetapi berburu adalah selingan yang menyenangkan.”

Demikianlah, ketika seorang pelayan datang lagi untuk mengambil sisa makanan di rumah kecil itu, Empu Baladatu berkata kepadanya, “Aku akan bertemu dengan kakang Empu Sanggadaru. Apakah aku harus pergi ke sanggar itu?”

“O” Pelayan itu menjawab, “Aku akan menyampaikannya. Mungkin Empu akan diterima di sanggar, tetapi mungkin di tempat lain.”

“Baiklah. Katakanlah.”

Pelayan itu pun kemudian pergi sambil membawa sisa makanan sementara Empu Baladatu menunggu kesempatan untuk bertemu dengan kakaknya.

Sepeninggal pelayan itu, maka salah seorang pengawalnya terkata, “Apakah aku harus pergi kekandang kuda itu?”

“Ya. Pergilah” Jawab Empu Baladatu, “Sudah aku katakan. Kita tidak tahu apa-apa tentang padepokan ini. Karena itu kita tidak usah ragu-ragu.”

Pengawalnya termangu-mangu. Meskipun Empu Baladatu mengatakan agar mereka tidak ragu-ragu, tetapi kata-kata itu diucapkannya dengan keragu-raguan. Meskipun demikian kedua pengawalnya itu mengangguk-angguk sambil berpandangan. Salah seorang dari keduanya berkata, “Marilah. Sementara Empu menunggu keterangan dari Empu Sanggadaru.”

Keduanya pun kemudian melangkah turun ke halaman. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun keduanya pun kemudian melangkah ke belakang gandok rumah induk yang tidak begitu besar, menuju ke halaman belakang. Dari sanalah mereka mendengar suara kuda meringkik. Ketika mereka sampai di belakang rumah induk itu, mereka bertemu dengan seorang cantrik yang sedang menyiangi pohon bunga pacar banyu yang bergerumbul.

Dengan ragu-ragu salah seorang dari pengawal Empu Baladatu itu mendekatinya sambil bertanya, “Ki Sanak, dimanakah letaknya kandang kuda? Aku seolah-olah mendengar ringkik kuda itu dari tempat ini. Tetapi agaknya di sini sama sekali tidak terdapat kandang kuda.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia bertanya, ”Apakah Ki Sanak akan mempergunakan kuda-kuda Ki Sanak sekarang?”

“Tidak. Tetapi aku hanya ingin melihat.”

“Marilah. Ikutlah dengan aku.”

Kedua pengawal Empu Baladatu itu pun segera mengikuti cantrik yang dengan tergesa-gesa menuju ke bagian belakang dan padepokan itu. Sambil melangkah di belakang cantrik itu, kedua pengawal itu pun menjadi heran. Kandang kuda itu ternyata terletak di tempat yang agak jauh, di belakang salah sebuah rumah yang berada di sekeliling lapangan kecil itu.

“Seorang pekatik telah memelihara ketiga ekor kuda itu dengan baik” Berkata cantrik itu.

Ternyata yang dikatakan oleh cantrik itu memang benar Seorang pekatik telah memelihara tiga ekor kuda itu sebaik-baiknya. Pagi itu, ketiga ekor kuda itu sudah dimandikannya dan disediakan rumput yang hijau segar.

“O, silahkanlah Ki Sanak” Berkata pekatik yang memelihara kuda itu ketika ia melihat kedua pengawal Empu Baladatu itu mendekatinya.

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Terima kasih. Ki Sanak sudah memelihara kuda kami sebaik-baiknya.”

“Itu adalah pekerjaanku. Disini aku memelihara beberapa ekor kuda pula.”

“Seorang diri?” Bertanya salah seorang pengawal itu

“Tidak. Disini ada tiga orang pekatik. Sedang beberapa orang cantrik dapat membantu kami. Tetapi kuda di padepokan ini memang tidak terlalu banyak.”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Yang tampak di kandang itu kecuali tiga ekor kuda mereka hanyalah dua ekor kuda yang lain.

Agaknya pekatik itu mengerti bahwa kedua orang itu ingin bertanya kepada mereka, apakah dipadepokan itu hanya ada dua ekor kuda, maka pekatik itu berkata, “Di sini ada lima ekor kuda yang khusus disediakan bagi Empu Sanggadaru, ia adalah seorang penggemar kuda yang mengerti benar akan katuranggan kuda. Lima ekor kuda itu adalah kuda pilihan, tiga ekor diantaranya sekarang sedang dilepas di lapangan rumput sambil melemaskan kakinya karena sudah beberapa hari tidak digembalakan, dan tidak dipergunakan oleh Empu Sanggadaru.”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Namun masih ada pertanyaan yang terselip di sorot matanya, apakah kecuali lima ekor kuda itu masih ada kuda yang lain.

Ternyata pekatik itu berceritera tanpa ditanya, “Selain lima ekor kuda itu, masih ada beberapa ekor kuda yang lain, tetapi kuda-kuda itu tidak sebaik kelima ekor itu.”

“Ada berapa ekor lagi?” Salah seorang pengawal itu tidak dapat menahan pertanyaannya lagi.

“Sebelas ekor kuda. Semuanya ada di belakang rumah sebelah pohon kemuning itu. Disana ada sebuah kandang yang agak panjang.”

“Siapa sajakah yang sering mempergunakan ke sebelas ekor kuda itu?”

“Siapa saja penghuni padepokan ini. Kuda-kuda itu memang disediakan bagi siapa saja“

Kedua pengawal itu termangu-mangu. Tanpa disengaja mereka memandang ke belakang rumah induk yang tidak begitu besar. Agaknya ringkik kuda itu adalah salah seekor dari tiga ekor kuda yang sedang dilepas di lapangan rumput ketika kuda itu dituntun melewati tempat itu.

Kedua orang pengawal Empu Baladatu itu pun terkejut ketikaa pekatik itu bertanya, “Apakah Ki Sanak akan membawa kuda-kuda ini ke lapangan rumput untuk dilepas sebentar?”

Kedua pengawal itu menggeleng. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tidak. Mungkin Empu Baladatu mempunyai rencana tersendiri,“

Pekatik itu mengangguk-angguk.

“Sudahlah Ki Sanak” Berkata salah seorang dari kedua pengawal itu, “aku akan kembali kepada Empu Baladatu yang mungkin sudah siap untuk melakukan sesuatu. Aku titipkan kuda-kuda itu kepadamu.”

Pekatik itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu?”

“Maksudku, mungkin Empu ingin melihat-lihat daerah ini atau rencana-rencana lain bersama Empu Sanggadaru.”

Pekatik itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan menjaga kudamu baik-baik.”

Kedua pengawal itu pun kemudian kembali ke tempat yang disediakan bagi mereka. Namun dengan demikian mereka tidak juga dapat menghapus teka-teki yang masih saja terasa di sekitar padepokan yang asri itu. Ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka melihat seorang cantrik sedang bercakap-cakap dengan Empu Baladatu. Namun agaknya mereka dapat ikut berbicara pula, karena ternyata Empu Baladatu memanggilnya.

“Kemarilah” Desisnya. “Kakang Empu Sanggadaru dapat menerima aku pagi ini. Tetapi agaknya badannya agak kurang enak sehingga aku dipanggilnya ke sanggar.”

“Apakah kami harus ikut?” Bertanya salah seorang pepengawalnya.

Empu Baladatu memandang cantrik itu seolah-olah bertanya apakah pengawalnya diperkenankan ikut. Cantrik itu seolah-olah mengerti apa yang tersirat pada sorot mata Empu Baladatu, sehingga ia pun segera menjawab, “Tentu saja Ki Sanak. Tidak ada keberatan apapun jika Ki Sanak berdua akan menghadap bersama Empu Baladatu.”

Tetapi Empu Baladatu lah yang kemudian berkata, “Biarlah aku sendiri menghadap kakang Sanggadaru. Kalian dapat menunggu aku disini.”

Kedua pengawal itu bertanya lagi. Namun nampaknya mereka memang lebih senang menunggu daripada ikut berada di dalam sanggar tanpa berbuat apa-apa, karena mereka berdua tentu hanya harus mendengarkan saja pembicaraan kedua kakak beradik itu.

Dengan demikian, maka kedua orang itu pun sempat beristirahat sepuas-puas nya. Mereka dapat berbaring, duduk sambil mengangkat kakinya atau berjalan-jalan di halaman, karena mereka tentu tidak akan dapat berbuat demikian jika mereka berada bersama Empu Baladatu.

Dalam pada itu, Empu Baladatu pun segera mengikuti cantrik yang datang menjemputnya, menghadap kakaknya. Empu Sanggadaru. Dengan ragu-ragu Empu Baladatu memasuki sanggar yang memang nampaknya terlampau sempit untuk melakukan sesuatu, dengan pintu yang rendah dan sempit.

“Marilah” terdengar suara Empu Sanggadaru ketika ia melihat adiknya dimuka pintu.

Empu Baladatu pun segera membungkukkan badannya dan menyusup masuk kedalam sanggar, langsung naik keatas sebuah amben yang seolah-olah memenuhi ruang sanggar itu. Ketika Empu Baladatu telah duduk, dan sekali ia berpaling ia sudah tidak melihat lagi bayangan cantrik yang membawanya ke sanggar itu.

“Aku lebih senang menemuimu di sini meskipun barangkali agak pengab dan panas” Berkata Empu Sanggadaru.

“Menyenangkan” Jawab Empu Baladatu, “Meskipun ruang ini sempit, tetapi udaranya terasa sejuk. Sama sekali tidak panas seperti yang kau katakan”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Dibawah sanggar ini terdapat sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih. He, apakah kau tidak mendengar gemericiknya?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Baru kemudian ia tersenyum, “Tentu saja aku mendengar arus air yang mengalir. Bukan hanya gemericik, tetapi tentu sebuah aliran air yang cukup deras. Tetapi aku tidak mengira bahwa arus air itu lewat di bawah sanggarmu ini kakang.

“O, telingamu memang tajam sekali. Aku sudah memerintahkan membuat plempem tanah liat yang rapat agar suara air itu tidak terdengar. Tetapi sudah barang tentu, tidak akan dapat dilakukan dengan sempurna, sehingga suaranya masih juga dapat kau dengar, bahkan dengan tepat kau menebak, bahwa arus air di bawah sanggar ini cukup besar.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Arus air ini sama sekali tidak muncul dipermukaan tanah di dalam padepokan ini, tetapi langsung masuk kedalam sungai di sebelah.” Berkata Empu Sanggadaru kemudian,

“Dan kakang membuat plempem tanah liat sepanjang itu?”

Empu Sanggadaru tidak segera menjawab. Namun kemudian ia mengangguk. Katanya, “Plempem itu memang aku buat untuk kepentingan arus air di bawah tanah ini. Mula-mula di padepokan ini terdapat sebuah parit yang deras dan dalam-dalam. Agar padepokan ini tidak terbelah, maka aku membuat plernpem itu, dan kemudian menimbun parit yang dalam itu, sehingga parit itu pun kemudian terdapat di bawah tanah, tepat di bawah sanggar ini. Tidak banyak orang yang dapat mendengar aliran arusnya yang memang agak deras, selain orang-orang yang memiliki pendengaran yang sangat tajam.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia memang mendengar arus air yang deras. Tetapi semula ia tidak tahu, bahwa yang didengarnya lamat-lamat itu adalah arus air. Semula ia menyangka bahwa di dekat rumah itu terdapat arus yang kuat, yang mengalir dalam parit yang dalam. Namun ternyata bahwa arus air itu justru berada di bawah kakinya,

“Tetapi dengan demikian” Berkata Empu Baladatu, “Arus air itu sama sekali tidak dapat dipergunakan dipadepokan Ini.”

Empu Sanggadaru menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Memang tidak ada manfaat langsung dari air yang kuat itu. Tetapi di beberapa tempat terdapat lubang-lubang semacam sumur yang tembus ke dalam arus air itu.”

“Apakah lubang-lubang semacam itu berguna?” Bertanya Empu Baladatu.

Kakaknya tersenyum. Jawabnya, “Memang tidak ada gunanya. Tetapi kadang-kadang kami melemparkan sampah kedalam lubang-lubang semacam itu.”

“Sampah?” Empu Baladatu mengerutkan keningnya.

“Ya, Sampah yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi bagi padukuhan ini.”

Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Ia mulai membayangkan lubang-lubang yang tidak begitu dalam, namun rasa-rasanya lubang-lubang semacam itu nampaknya mengerikan sekali. Bukan saja sampah yang dimasukkan ke dalamnya akan langsung hanyut dalam arus yang kuat, tapi jika seseorang terperosok masuk ke dalamnya, betapapun juga tinggi ilmunya, maka ia akan hanyut pula tanpa dapat berbuat apa pun juga dengan ilmunya itu.

Terasa bulu-bulu Empu Baladatu meremang. Tetapi sejak ia berada dipadepokan itu, ia belum pernah melihat lubang serupa itu, meskipun ia tahu, bahwa letak lubang semacam itu tentu di sepanjang jalur parit di bawah tanah yang berarus kuat itu.

“Apakah kakang pernah mempergunakan lubang-lubang semacam itu untuk kepentingan-kepentingan khusus” pertanyaan itu pun telah terloncat dari mulut Empu Baladatu diluat sadarnya.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya, “Sampai saat ini aku tidak pernah mempergunakan untuk keperluan yang khusus selain untuk membuang sampah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Termasuk sampah yang bukan saja berasal dari tumbuh-tumbuhan.”

Empu Biladatu termangu-mangu sejenak, dan Empu Sanggadaru melanjutkannya, “Para cantrik pernah memasukkan seekor kuda yang mati kedalam lubang itu. Ternyata bahwa kuda itu pun dapat hanyut tanpa menyumbat lubang parit itu.”

Dada Empu Baladatu berdesir. Bahkan seekor kuda pun dapat hanyut. Empu Baladatu terkejut ketika tiba-tiba saja Empu Sanggadaru bertanya, “Apakah kau pernah melihat lubang-lubang itu seurut arus air dibawah tanah itu?”

Empu Baladatu menggeleng. Jawabnya, “Belum kakang.”

“O” Empu Sanggadaru mengangguk-angguk, “Lubang-lubang itu telah dibuat seperti sebuah sumur yang aman. Plempem tanah itu mencuat hampir sedada, sehingga tidak mungkin seseorang terperosok kedalamnya tanpa disengajanya.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Jadi plempem tanah liat yang kan tanam di sepanjang halaman ini merupakan plempem-plempem yang besar sebesar lubang sumur dihalaman padepokanmu ini?”

“Ya. Aku telah membuat plempem-plempem tanah liat sebesar itu. Karena arus yang kuat, maka plempem yang lebih kecil tentu akan menghambat aliran airnya, dan akan menahan arus itu, sehingga dapat menimbulkan genangan, bahkan rawa kecil di luar padepokan ini.

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia mencoba mengusir prasangka buruk yang tumbuh dikepalanya karena sumur-sumur itu, meskipun kakaknya sudah mengatakan, bahwa sumur-sumur itu cukup diberi pengaman sehingga tidak mungkin seseorang terperosok kedalamnya tanpa disengaja.

“Mungkin aku adalah orang yang berpikiran paling busuk di muka bumi ini” Berkata Empu Baladatu didalam hatinya, “Sehingga aku langsung berprasangka bahwa lubang-lubang semacam itu akan dapat disalah gunakan oleh kakang Empu Sanggadaru.”

Namun ketika terpandang olehnya wajah kakaknya yang cerah, maka ia pun bergumam, “Tentu kakang Sanggadaru tidak akan berbuat serupa itu.”

Empu Baladatu terkejut ketika tiba-tiba saja kakaknya bertanya, “Agaknya kau menaruh perhatian terhadap parit di bawah Sanggarku ini. Baiklah, jika kau sempat, pada suatu saat kita akan melihat. Diluar padepokan ini, kau akan dapat melihat parit itu sebelum aku jinakkan dengan plempem tanah liat. Kemudian kau dapat melihat lubang plempem yang sebagian tidak tertimbun, sehingga kau dapat membayangkan, betapa kerja berat pernah kami lakukan untuk menimbuni lereng yang dalam yang membelah padepokan ini meskipun tidak begitu lebar. Kemudian kau pun dapat melihat, kemana air ini tertumpah dibagian bawah, juga diluar padepokan ini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menjawabnya. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Tetapi kakang, yang lebih menarik lagi bagiku adalah medan perburuanmu yang menghasilkan binatang-binatang yang kau keringkan di padepokan ini.”

“O” Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sudah menduga. Kau tentu tertarik pada hutan belukar itu. Baiklah. Aku akan mempersiapkan perburuan yang paling besar yang pernah aku lakukan. Besok kita akan pergi berburu bersama beberapa orang muridku. Kau tentu akan senang sekali.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mengharap bahwa kakaknya tidak akan berkeberatan membawanya berburu. Dengan demikian maka ia pun akan dapat melibat, betapa tangkasnya kakaknya mengejar binatang- buruan dan melontarkan senjata untuk membunuhnya.

“Setidak-tidaknya aku akan dapat mengetahui kecepatan gerak yang dimilikinya” berkata Empu Baladatu didalam hatinya.

“Tetapi kakang” berkata Empu Baladatu kemudian, “Aku mendengar dari seorang cantrik bahwa kakang agak tidak enak badan bari ini.“

Empu Sanggadaru tersenyum, jawabnya, “Ya. Sedikit. Tetapi itu tidak akan mengganggu. Dalam daerah perburuan aku selalu merasa sehat.”

“Baiklah kakang. Tetapi apakah kedua pengawalku itu diperkenankan ikut pula?”

“Apa salahnya. Biarlah mereka ikut berburu bersama kami besok. Mereka pun tentu akan senang melihat binatang buruan yang berkeliaran di hutan. Dari jenis binatang yang paling ganas, sampai binatang yang paling lemah, tetapi betapa lincahnya. Jenis kijang adalah binatang yang seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi binatang buruan semata-mata. Baik oleh binatang-binatang buas, maupun oleh manusia. Tetapi kijang pun mempunyai kelebihan. Kecepatannya bergerak memang sangat mengagumkan.”

“Menyenangkan sekali kakang.” Desis Empu Baladatu, “Tetapi aku sama sekali tidak mempunyai perlengkapan berburu, karena sejak dari padepokan, aku tidak mengira bahwa kita akan berburu di hutan yang lebat.”

“Aku mempunyai beberapa busur dan kelengkapannya. Aku juga mempunyai bandil dan tombak pendek. Kalian dapat memilih senjata manakah yang paling lepat untuk berburu bagi kalian.”

“Kami belum berpengalaman. Kakang akan dapat memberikan petunjuk.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan memilih senjata untuk kalian.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Berbenahlah. Besok kita akan berangkat pagi-pagi benar. Tetapi kita akan mulai berburu di siang hari, disaat binatang mulai haus dan turun mencari air “

“Kijang?” Bertanya Empu Baladatu.

“Ya. Jika kita ingin mendapatkan binatang buas, maka kita akan menunggu mereka keluar mencari mangsa di malam hari. Tetapi sekali-kali kita dapat menjumpainya pula di siang hari,”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Jika orang-orang kita cukup banyak, maka kita akan dapat memencar mereka untuk mengejutkan binatang-binatang yang sedang bersembunyi. Disaat binatang itu berlari-larian, maka pengejaran pun akan segera mulai.”

“Menyenangkan sekali” desis Empu Baladatu. Lalu, “Baiklah kakang. Aku akan memberitahukan kepada kedua pengawalku bahwa mereka besok diperkenankan untuk ikut berburu. Mereka tentu senang sekali. Bahkan salah seorang dari mereka mengatakan, bahwa dimasa kecil ia mendapat kesempatan untuk berburu pula meskipun hanya berburu burung.”

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, “Berburu burung memerlukan ketangkasan tersendiri. Tetapi baiklah. Kita besok akan pergi bersama-sama. Aku akan memberitahukan beberapa orang cantrik yang akan aku bawa serta.”

Empu Baladatu pun kemudian minta diri. Namun ia tertegun ketika kakaknya bertanya, “Jadi apakah sebenarnya keperluanmu hari ini? Bukankah kau berpesan kepada seorang pelayan untuk menjumpaiku?”

“O, tidak. Tidak ada keperluan khusus” Jawab Empu Baladatu, “Namun sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah aku juga dapat mencari binatang seperti yang kau keringkan di padukuhan ini.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Tentu dapat. Dan adalah kebetulan, aku sudah lama tidak berburu.”

Tiba-tiba saja teringat oleh Empu Baladatu seekor ular yang besar yang membelit pengeret di bagian belakang rumah ini. Tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk menangkap ular sebesar itu. Karena itu, tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kakang sendiri yang menangkap ular sebesar yang berada di serambi belakang itu?”

Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, “Ya Aku sendirilah yang menangkapnya“

“Mengagumkan sekali.”

“Kenapa?”

“Aku tidak dapat membayangkan, bagaimana kakang dapat menangkapnya.”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, “Mudah seakli. Aku menemukan ular itu sedang tertidur nyenyak. Ekornya tergantung pada sebatang dahan yang sangat besar, sedang kepalanya menjulur kebawah dan terletak di atas segunduk tanah di bawah pohon raksasa itu."

“Kakang langsung membunuhnya“

“Tentu sulit untuk membunuhnya meskipun ular itu tidur. Jika gagal, maka ia akan bangun dan sekali patuk, aku akan masuk ke dalam mulutnya.”

“jadi?”

“Aku mencari akar jenu sebanyak-banyaknya. Kemudian setelah akar itu aku remuk dan aku benam di dalam air, maka dengan hati-hati aku memasukkan kepala ular itu kedalam belanga yang besar berisi air jenu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Akibatnya sudah aku bayangkan. Dalam keadaan mabuk ular itu mengamuk sejadi-jadinya setelah ia terbangun. Dihempas-hempaskannya tubuhnya pada batang-batang raksasa disekitarnya.”

Empu Baladatu mengernyitkan keningnya. Nampaknya ceritera kakaknya itu, seperti ceritera bagi anak-anak yang mulai berbaring dipembaringan.

Terapi Empu Sanggadaru agaknya dapat meraba perasaan adiknya. Maka katanya, “Memang sulit dibayangkan.”

“Ya” Jawab Empu Baladatu, “Memang agak sulit membayangkan. Aku mengerti, bahwa ular yang tertidur, amat sulit untuk bangun. Jika tidak ada sesuatu yang mengejutkannya, ular dapat tidur sampai berhari-hari. Tetapi aku tidak tahu, apakah ular yang sedang tidur membiarkan kepalanya yang terletak di tanah itu diangkat dan dimasukkan ke dalam belanga yang besar sekali.”

Empu Sanggadaru tertawa. Katanya” Tentu saja ular itu tidak akan segera terbangun. Jangankan diangkat kepalanya, bahkan diinjak-injak pun ular itu tidak akan segera terbangun.”

Empu Baladatu memandang wajah kakaknya dengan sorot mata yang aneh. Apalagi ketika Empu Sanggadaru kemudian tertawa berkepanjangan.

“Baladatu” Katanya, “Aku akan menunjukkan kepadamu, betapa ular yang tertidur nyenyak tidak mudah terbangun. Tetapi jarang sekali kita menjumpai kemungkinan itu. Seratus kali aku berburu, baru pertama kali itulah aku menjumpai ular sebesar itu tertidur nyenyak.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi masih ada keragu-raguan di dalam hatinya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian ia pun minta diri kepada kakaknya, untuk kembali ke tempat yang disediakan baginya.

“Baiklah. Berbenahlah. Besuk kita akan berburu. Aku mempunyai cukup senjata untuk kalian bertiga.”

“Terima kasih kakang. Kami akan senang sekali mendapat kesempatan itu.”

Seperti yang direncanakan, maka di pagi hari berikutnya, Empu Baladatu dan kedua pengawalnya telah bersiap didini harti. Menjelang matahari terbit, seorang cantrik telah memanggil mereka ke sanggar.

“Empu Sanggadaru telah menunggu di sanggar” Berkata cantrik itu.

“Kami akan segera menghadap” Jawab Empu Baladatu.

Sepeninggal cantrik itu, Empu Baladatu berkata kepada ke dua pengawalnya, “Bersiaplah. Meskipun kakang Sanggadaru menyediakan senjata berburu, tetapi jangan kau lepaskan senjatamu sendiri.”

Kedua pengawalnya mengangguk. Salah seorang dari mereka bertanya. ”Apakah kita pantas mencurigai Empu Sanggadaru?”

“Kita harus selalu berhati-hati” Jawab Empu Baladatu.

Kedua pengawalnya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak bertanya apapun lagi. Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah menghadap Empu Sanggadaru di sanggarnya. Dan ternyata bahwa Empu Sanggadaru pun telah siap pula dengan kelengkapan berburunya.

Empu Baladatu yang melihat kakaknya dalam kelengkapan berburu tersenyum sambil berkata, “Kakang pantas sekali mengenakan pakaian itu.”

Empu Sanggadaru tersenyum.

“Pakaian kulit harimau, busur menyilang punggung, endong anak panah di lambung, membuat kakang Empu Sanggadaru benar-benar seorang pemburu yang mengagumkan.” Desis Empu Baladatu.

"Tetapi seorang pemburu tidak ditentukan oleh pakaian dan kelengkapannya. Pemburu yang baik diungkapkan didalam tingkah laku dan ketangkasannya di medan perburuan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kakang benar. Tetapi pakaian kakang telah menggambarkan, bahwa kakang benar-benar seorang pemburu yang mengadakan kelengkapan khusus disaat-saat ia berburu. Berhasil atau tidak berhasil, tetapi ia sudah menempatkan dirinya.”

“Ya” Sahut Empu Sanggadaru masih sambil tertawa”

"Marilah kita bersiap. Kudamu dan kedua kawanmu itu sudah disiapkan pula. Kita akan pergi berenam. Kau bertiga dan aku juga bertiga.”

“O” nampak kerut merut di kening Empu Baladatu. Tetapi ia berusaha untuk melenyapkan semua kesan dari wajahnya. Bahkan ia tersenyum sambil berkata, “Apakah kita hanya berenam? Jika kita mempunyai banyak kawan, mereka akan dapat mengejutkan binatang-binatang yang sedang tidur atau bersembunyi di gerumbul-gerumbul.”

“Itu tidak perlu. Memang kadang-kadang keluarga istana pergi bersama hamba-hambanya untuk nggrapyak binatang buruan. Tetapi bagiku sama sekali tidak menarik. Tidak ada perjuangan yang dapat memberikan kepuasan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia mendapat gambaran, betapa kakaknya yang telah lebih tua dari padanya itu masib mempunyai gairah berjuang di lapangan yang digemari. Benar-benar sebagai kegemaran. Bukan dalam suatu perjuangan atas sesuatu yang dicita-citakan.

“Mungkin aku dapat menyalurkan gairah perjuangannya”

“Namun kemudian. Atau bahkan sebaliknya. Aku akan di gilas oleh gairah yang menyala di hatinya itu.”

Demikianlah maka sejenak kemudian, mereka berenam telah bersiap untuk berangkat ke hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan kecil itu. Di kuda masing-masing selain perlengkapan berburu, juga tersangkut bekal di sepanjang perjalanan.

“Bekal itu cukup untuk sehari” Berkata Empu Sanggadaru, “Dihari kedua dan berikutnya, sepanjang kita masih ingin tetap berburu dapat dicari di hutan itu. Mungkin binatang buruan. Mungkin buah-buahan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa cara berburu yang dilakukan oleb Empu Sanggadaru bukanlah cara yang lunak. Mereka harus benar-benar bekerja keras selama berada di daerah perburuan. Setidak-tidaknya untuk mendapatkan makan mereka selama mereka berada di medan.

Sesaat kemudian maka mereka pun telah meninggalkan regol padepokan. Langit yang cerah dan angin pagi yang lembut terasa betapa segarnya. Marahari yang mulai naik ketepi langit melontarkan cahayanya yang kemerah-merahan.

“Perjalanan yang menyenangkan” Desis Empu Sanggadaru, “Hutan itu tidak terlalu jauh. Menjelang tengah hari kita sudah akan berada di medan. Kita dapat beristirahat sejenak di pinggir sebuah mata air. Kadang-kadang ada binatang yang haus turun untuk minum. Adalah nasib yang buruk bagi binatang itu jika ia tidak akan dapat meninggalkan mata air itu karena anak panah seorang pemburu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Hutan itu adalah hutan yang jarang dijamah. Baik oleh para pemburu maupun oleh orang-orang lain dalam kepentingan mereka masing-masing. Tetapi justru Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lah yang sering pergi berburu ke hutan yang lebat itu, karena mereka tidak puas berburu di hutan yang sudah disediakan.”

Empu Baladatu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia bertanya, “Bagaimana jika dimedan perburuan kita nanti bertemu dengan rombongan mereka?”

“Mereka tidak terlalu sering berburu. Tetapi jika kita bertemu dengan mereka, tidak ada keberatannya. Mereka adalah orang yang baik, yang tidak merasa diri mereka memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga seperti yang pernah aku ceriterakan, bahwa aku pernah mereka ajak berpacu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun terasa ada sepercik kekecewaan dihatinya. Agaknya Empu Sanggadaru menganggap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah dua orang yang baik, yang justru pantas memegang kendali pemerintahan.

“Kakang Sanggadaru tidak mengetahui, bahwa aku sedang mempersiapkan sebuah kekuatan tandingan” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya “Jika murid-muridku mencapai kesempurnaan ilmu, maka mereka akan menjadi sepasukan prajurit yang tidak akan terbendung di medan perang. Mereka akan menjadi Senapati yang disegani, yang bersama dengan orang-yang akan aku himpun, maka akan tersusunlah kekuatan yang akan dapat menandingi kekuatan Singasari sekarang, meskipun untuk jangka waktu yang agak panjang.”

Demikianlah mereka berpacu terus mendekati daerah yang semakin rimbun oleh batang-batang perdu. Ketika mereka kemudian melintasi ujung bulak yang digarap sebagai tanah persawahan, maka mereka pun mulai memasuki hutan ilalang dan perdu yang semakin lama menjadi semakin tebal.

Empu Baladatu yang belum pernah memasuki hutan itu menjadi ragu-ragu. Hutan itu benar-benar sebuah hutan yang lebat. Dan kejauhan sudah nampak pepohonan raksasa yang dibelit oleh batang-batang yang menjalar. Bahkan gerumbul-gerumbul berduri di antara semak-semak belukar yang padat.

“Kita akan memasuki hutan itu” Desis Empu Baladatu.

“Ya. Ada sebuah lorong sempit yang masuk ke dalamnya. Tetapi hanya beberapa ratus langkah. Kemudian kita harus mencari jalan di antara pepohonan raksasa dan melangkahi batang-batang yang rebah.”

“Bagaimana dengan kuda kita?”

“Kudaku sudah terbiasa aku pergunakan untuk berburu. Mungkin kudamu belum. Tetapi kita dapat mencari jalan yang lebih baik dari yang aku katakan, karena justru semakin dalam kita memasuki hutan itu, rasa-rasanya justru menjadi semakin lapang. Hanya pohon-pohon besar sajalah yang tumbuh, sementara semak-semak menjadi semakin tipis dan berkurang. Namun bukan berarti bahwa tidak ada semak sama sekali.”

“Bagaimana jika kudaku tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di hutan itu?”

“Tentu dapat. Tidak ada kesulitan apapun juga. Hanya mungkin kudamu tidak selincah kudaku jika kita harus mengejar binatang buruan.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. la tidak dapat membayangkan, betapa dalam hutan yang lebat itu, seekor kuda dapat berlari mengejar binatang buruan. Apalagi seekor rusa yang mampu berlari secepat angin.

“Tetapi rusa itu pun dapat berlari-larian di tengah hutan. Bahkan harimau dan binatang-binatang besar lainnya. Banteng, badak dan kuda-kuda liar.” Empu Baladatu mencoba untuk menjawab persoalan dihatinya, karena ia melihat binatang semacam itu yang sudah dikeringkan di rumah kakaknya, Empu Sanggadaru.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu berada dipaling depan. Kemudian seorang pengawal Empu Baladatu bersama seorang cantrik dan demikian pula di paling belakang. Seperti Empu Baladatu, maka kedua pengawalnya pun memberikan pertanyaan-pertanyaan yang serupa kepada para cantrik. Dan jawaban mereka pun hampir sama pula dengan jawaban Empu Sanggadaru.

“Kita dapat mengejar buruan kita melalui celah-celah pohon raksasa, di antara semak-semak yang tidak selebat di luar hutan.” Berkata salah seorang cantrik kepada pengawal Empu Baladatu

“Apakah kau sudah sering pergi berburu?” bertanya pengawal itu.

“Sering sekali. Adalah kegemaran Empu Sanggadaru untuk pergi berburu di hutan itu. Kadang-kadang tanpa direncanakan sama sekali.”

Pengawal Empu Baladatu itu pun mengangguk-angguk. Nampaknya Empu Sanggadaru memang terbiasa sekali berburu di tengah hutan, sehingga ia mempunyai perlengkapan yang memadai bagi kegemarannya itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah memasuki bagian hutan yang mulai padat. Namun mereka masih dapat menelusuri jalan setapak yang nampaknya sering dilalui oleh manusia.

“Siapakah yang sering memasuki hutan lewat lorong kecil ini?” bertanya Empu Baladatu.

“Tidak ada selain para pemburu. Itu pun para pemburu yang berani, yang tidak puas berburu di hutan-hutan kecil yang rindang.”

“Apakah pemburu yang demikian cukup banyak jumlahnya?”

“Tidak. Tetapi karena hutan ini adalah hutan yang menyimpan banyak binatang buruan, maka hampir setiap pemburu yang berani, datang berburu di hutan ini.”

“Dari segala penjuru?”

“Maksudku, orang-orang yang tinggal di Kota Raja. Juga termasuk para bangsawan. Seperti yang aku katakan, juga Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi bagi para bangsawan yang kurang berani, agaknya lebih senang berburu di hutan yang memang sudah disediakan di sebelah Kota Raja itu. Hutan yang seolah-olah sudah menjadi sebuah kebun yang dihuni oleh binatang-binatang yang jinak, meskipun jumlahnya menjadi semakin berkurang dan hampir punah sama sekali, sehingga karena itu, berburu di hutan itu sudah tidak menarik lagi, kecuali sebuah tamasya dengan para puteri dan anak-anak.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia menjadi cemas, bahwa pada suatu saat mereka akan bertemu dengan sebuah kelompok pemburu dari istana Singasari. Karena itu di luar sadarnya ia berkata, “Tetapi apakah selain Maharaja dan pengiringnya, ada kelompok-kelompok lain yang kakang kenal sering berburu di hutan itu?”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya Lalu katanya, “Aku tidak mengenalnya secara langsung. Tetapi aku pernah mendengar nama-nama mereka yang memang bersangkut paut dengan istana.”

“Mereka adalah pengiring-pengiring Maharaja.”

“Ya “

“Maksudku kelompok-kelompok yang lain.”

“Jarang sekali. Dan aku kurang mengenal mereka secara pribadi.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia pun masih tetap cemas, bahwa mereka bertemu dengan kelompok-kelompok yang, tidak dikehendakinya. Menilik jalur jalan sempit itu, maka agaknya memang sering terjadi, sekelompok pemburu memasuki hutan yang lebat, yang seolah-olah menyimpan binatang yang tidak ada habisnya.

Sejenak kemudian kelompok kecil itu pun telah memasuki hutan yang lebih lebat. Gerumbul-gerumbul liar berserakan di antara pepohonan. Seolah-olah mereka memasuki daerah yang penuh dengan jenis kehidupan yang lain sama sekali. Namun demikian mereka masih tetap berjalan menyusuri jalan sempit menusuk semakin dalam. Jalan yang seolah-olah memang sudah disediakan bagi para pemburu.

“Kita akan sampai di suatu tempat yang baik sekali untuk beristirahat. Dari tempat itu, kita dapat melihat keadaan di sekitar kita yang cukup lapang.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Kita dapat membuat perapian jika diperlukan. Tetapi kita harus berhati-hati. Api yang sepercik dapat membakar seluruh hutan ini tanpa terkendali.” Empu Sanggadaru berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnya menurut sopan santun, kita tidak boleh menyalakan api di sini. Tetapi biasanya kita tidak begitu menghiraukannya, meskipun kita tahu bahayanya,“

“Asal kita berhati-hati” Sahut Empu Baladatu.

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan kuda mereka maju terus menusuk semakin dalam di antara pepohonan yang seolah-olah menjadi semakin rapat dan semakin besar.

Empu Baladatu tidak banyak bertanya lagi. Ia mulai memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Sebagai seorang petualang ia pun sering memasuki hutan-hutan lebat seperti itu. Tetapi ia tidak pernah dengan sengaja berburu. Jika sekali-kali ia berkelahi melawan binatang buas, biasanya justru karena binatang itu menjelangnya. Namun dengan kemampuannya, ia selain dapat melepaskan diri dari terkaman binatang yang paling buas sekalipun. Seekor harimau loreng yang besar, tidak akan dapat membunuhnya meskipun ia hanya bersenjatakan sebilah pisau

Namun demikian, Empu Baladatu selalu menghindarkan diri dari serangan gerombolan anjing-anjing liar dan apalagi serigala. Karena betapapun tinggi ilmunya, namun serigala dalam kelompoknya hampir lidak akan dapat dikalahkan. Meskipun demikian, agaknya pengetahuannya tentang binatang buruan jauh berada di bawah pengetahuan kakaknya yang memang mempunyai kegemaran berburu. Karena itulah, maka ia tidak banyak menentukan sikap, bahkan seolah-olah tergantung sama sekali kepada kakaknya itu.

Sebelum tengah hari mereka telah berada di dalam hutan yang lebat. Sinar matahari yang mulai terik, seakan-akan terhenti didedaunan yang lebat, sehingga tanah di dalam hutan itu rasa-rasanya tetap lembab.

“Kita hampir sampai” Desis Empu Sanggadaru.

“Maksudmu tempat untuk beristirahat itu kakang?” Bertanya Empu Baladatu.

“Ya.” Jawah Sanggadaru, “Kita akan beristirahat, makan dan kemudian mengintai binatang buruan di mata air itu.”

Sejenak mereka masih herjalan menembus hutan yang lebat itu sepanjang jalan sempit yang panjang. Mereka menyusup di sela-sela pohon raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu yang memang justru menjadi semakin jarang.

“Itulah” Berkata Empu Sanggadaru kemudian ketika mereka memasuki sebuah tempat yang seolah-olah memang sudah disediakan bagi para pemburu untuk beristirahat.

“Apakah kau heran melihat tempat yang seolah-olah sudah tersedia bagi perkemahan ini?” Bertanya Empu Sanggadaru.

Empu Baladatu mengangguk, jawabnya, “Ya kakang. Tetapi agaknya seseorang telah menebang beberapa batang pobon sehingga tempat ini menjadi semacam lapangan sempit yang baik untuk perkemahan para pemburu.”

“Mungkin. Tetapi aku menemukan tempat ini sudah seperti yang kita lihat sekarang. Namun menilik keadaan di sekelilingnya, memang mungkin seseorang, atau sekelompok pemburu pada masa yang lama lalu, membuat tempai ini tempat perkemahan mereka.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Disinilah kita akan berhenti dan beristirahat. Dari tempat inilah kita akan melakukan perburuan yang keras. Kita akan masuk semakin dalam dan memburu binatang di antara semak belukar. Di malam hari, jika perburuan kita selesai, kita akan kembali ke tempat ini menunggu masa berikutnya.”

Empu Baladatu masih mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya dirinya menjadi kecil di antara pepohonan yang besar di sekitarnya. Seperti yang dikatakan oleh kakaknya, memang mungkin berburu di atas punggung kuda didaerah yang luas itu. Namun demikian, jika kurang dapat menguasai kudanya dan mungkin juga kuda itu sendiri kurang terbiasa menempuh perjalanan di hutan lebat seperti itu, maka akan dapat mengalami kesulitan.

Demikianlah maka mereka pun kemudian memasuki sebuah lapangan kecil di tengah hutan yang luas. Dari celah-celah pepohonan yang terpisah oleh lapangan itu, maka sorot matahari dapat menembus dan jatuh diatas tanah yang berumput tebal. Disana-sini terdapat beberapa rumpun semak-semak diantara pohon-pohon yang tidak begitu tinggi.

“Setiap kali kami selalu menebang pohon-pohon kayu yang menjadi semakin besar dilapangan sempit ini, agar tempat ini tetap merupakan tempat berkemah yang baik bagi para pemburu.” Berkata Empu Sanggadaru.

“Apakah pemburu-pemburu yang lain juga melakukan hal yang serupa?”

“Nampaknya memang demikian. Jika kami untuk waktu yang agak lama tidak pergi berburu, kadang-kadang kami pun menjumpai batang-batang pohon yang di tebang orang disini. Bekas-bekas perapian dan bekas-bekas yang lain. Menurut dugaan kami, maka pemburu-pemburu itu pun tanpa bersepakat lebih dahulu telah melakukan kewajiban yang sama disini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian. maka ia mulai membayangkan, bahwa hutan yang luas dan lebat ini bukannya hutan yang sepi. Justru karena beberapa orang petualang tidak lagi puas berburu dihutan perburuan, termasuk keluarga istana yang memiliki keberanian untuk memasuki daerah berbahaya ini, maka hutan ini menjadi ramai. Hutan yang lebat dan berisi banyak binatang buruan, dan terletak tidak terlalu jauh dari Kota Raja.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah mengikat kuda mereka di batang-batang perdu. Kemudian dengan langkah yang lambat, Empu Sanggadaru berjalan menuju ketengah lapangan kecil di tengah hutan itu.

“Matahari ternyata telah tergelincir ke Barat. Perjalanan kami kali ini termasuk agak lambat. Biasanya aku sampai di tempat ini menjelang tengah hari.“

“O” Empu Baladatu mengangguk, “mungkin akulah yang memperlambat perjalanan. Tetapi dengan demikian aku dapat melihat hutan ini lebih saksama“

“Aku mengerti. Karena itulah maka aku pun tidak berkeberatan berjalan lebih lambat dari biasanya” Jawab Empu Sanggadaru.

Namun tiba-tiba saja Empu Sanggadaru berhenti termangu-mangu. Katanya, “Perapian ini masih baru. Tentu ada orang lain yang juga sedang berburu.“

“Ya.” Jawab pengawalnya, “Kuda mereka tentu di tambatkan di sini.”

Empu Sanggadaru dengan tergesa-gesa mendekati cantrik yang berdiri di bawah sebatang pohon yang meskipun tidak begitu besar, tetapi daunnya nampak rimbun. Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya kepada adiknya, “Kita mendapat kawan berburu. Agaknya lebih dari empat atau lima ekor kuda.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi biasanya di saat begini mereka masih tetap berada disini. Mereka biasanya memburu binatang menjelang senja. Kadang-kadang di malam hari, tetapi tanpa mempergunakan kuda mereka.”

“Dimanakah kuda mereka ditinggalkan?”

“Disini. Dua atau tiga orang menungguinya. Sedang yang lain pergi mengintai binatang buruan. Kadang-kadang kita harus nyanggong di pepohonan. Tetapi kadang-kadang kita harus menelusuri semak-semak”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. la tidak pernah berburu binatang buas. Bahkan kadang-kadang ialah yang diburu jika ia melalui pinggiran hutan dalam petualangannya. Namun jika ia membunuh seekor harimau, ia sama sekali tidak pernah memikirkan untuk mendapatkan kulitnya, atau kepalanya atau bahkan mengeringkannya seutuhnya seperti yang dilakukan oleh kakaknya.

“Mungkin pemburu-pemburu ini telah meninggalkan hutan ini” Desis Empu Sanggadaru.

“Tetapi tidak ada jejak baru yang keluar hutan hari ini“ Sahut seorang cantrik.

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. la percaya kepada keterangan cantriknya itu, karena cantrik yang seorang itu memang memiliki ketajaman penglihatan atas berbagai macam jejak, termasuk jejak kuda dan jejak binatang buruan.

“Kalau begitu” Berkata Empu Sanggadaru “Di hutan ini masih ada sekelompok pemburu.”

“Ya.”

“Tetapi tidak ada sesuatu lagi yang tertinggal di sini kecuali perapian yang masih baru ini.”

“Mungkin mereka akan berburu dan menembus hutan ini sampai ke sisi yang lain.”

“Ah, itu adalah suatu perburuan yang sangat berat. Mungkin mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari, dan bahkan mungkin akan terhenti sama sekali. Di tengah-tengah hutan ini, rerungkutan tidak dapat disusupi. Jika daerah ini memungkinkan kita berkejaran dengan binatang buruan dengan seekor kuda, maka hal itu karena daerah ini sudah sering kali didatangi pemburu. Jika pada suatu saat kita tidak puas lagi berburu ditempat yang menjadi semakin lengang karena binatang buruan, yang bersembunyi semakin ke dalam, kita pun akan menyusulnya semakin dalam pula, dan daerah yang terbuka pun menjadi semakin luas.”

“Mungkin demikian pula alasan pemburu yang sekarang tidak kita jumpai disini. Tetapi mungkin mereka berharap untuk dapat keluar dari hutan ini lewat sisi yang lain.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku tidak peduli, siapa pun yang berburu kali ini. Tidak ada keberatannya jika dua kelompok atau lebih berburu bersama-sama, bahkan bersama Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Campaka sekalipun.”

Empu Baladatu tidak menyambung pembicaraan itu. Ia memang tidak mengerti setiap kata yang diucapkan. Bahkan mungkin timbul pula kecemasan dihatinya, bahwa yang sedang berburu di hutan itu adalah orang-orang yang mempunyai sangkut paut dengan golongan yang disebut orang-orang berilmu hitam yang dipimpinnya.

“Mudah-mudahan bukan Mahisa Bungalan” Desisnya, “Tetapi seandainya Mahisa Bungalan, ia sama sekali belum mengenal aku. Dan adalah suatu keuntungan bahwa aku akan dapat mengenalnya lebih dekat.”

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah duduk bertebaran dilapangan kecil ditengah-tengah hutan itu, sambil menunggu saat mereka akan mengintai binatang buruan di sebuah mata air yang tidak jauh dari tempat itu.

“Matahari sudah condong” Desis seorang cantrik, “Saat binatang-binatang buruan mencari air sebenarnya sudah lewat. Meskipun demikian mungkin masih ada binatang yang muncul dimata air itu sekarang.”

Empu Sanggadaru mengangguk. Lalu katanya, “Sebenarnya aku malas memburu binatang-binatang kecil itu. Tetapi barangkali perlu juga untuk makan kita malam nanti sebelum kita berhasil menangkap binatang-binatang buruan yang sebenarnya.” Ia berhenti sejenak lalu, “Baiklah. Marilah kita berburu kijang atau menjangan di mata air itu. Biasanya binatang-binatang itu menjadi haus di saat begini atau justru sudah lewat beberapa saat meskipun barangkali masih mungkin untuk mendapatkannya.”

Empu Baladatu pun mengangguk. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah kita akan berkuda juga?”

“Tidak. Kita akan berjalan kaki. Jarak itu tidak terlampau jauh. Biarlah dua orang tinggal disini untuk menjaga kuda-kuda kita.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya, lalu, “Biarlah orang-orangku tinggal disini.”

Empu Sanggadaru menggeleng sambil tersenyum” Bukankah mereka ingin berburu? Biarlah seorang cantrik dan seorang pengawalmu tinggal di sini. Di kesempatan lain, bergantian pengawalmu dan cantrikku yang lain.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya ”Baiklah. Mana yang baik menurut pertimbanganmu,”

Mereka pun kemudian bersiap dan membenahi senjata mereka. Empu Sanggadaru kemudian melangkah lebih dahulu sambil berkata, “Marilah. Ikutilah aku”

Empat orang di antara mereka segera meninggalkan lapangan kecil itu menyusup ke dalam semak-semak dan melintasi daerah yang rasa-rasanya menjadi semakin rimbun.

“Semak-semak tumbuh amat subur disini. Semakin dekat dengan mata air maka gerumbul-gerumbul menjadi semakin pepat, karena akarnya selalu dibasahi oleh mata air di sebelah“

Empu Baladatu hanya mengangguk-angguk saja. Ia menduga bahwa di balik gerumbul-gerumbul itulah terdapat mata air yang mereka tuju. Tetapi ternyata mereka masih melintasi gerumbul-gerumbul yang lain. Jika mereka melalui sebuah gerumbul, mereka masih harus menyusup gerumbul berikutnya, sehingga akhirnya Empu Baladatu bertanya, “Apakah mata air itu sudah dekat?”

“Ya. Beberapa langkah lagi kita akan sampai.” Tetapi yang beberapa langkah itu ternyata adalah langkah-langkah yang amat panjang."

Namun akhirnya Empu Sanggadaru pun berhenti. Sambil menunjuk ke sebatang pohon raksasa ia berkata, “Di bawah pohon itulah terletak mata air yang selalu basah di segala musim. Kita akan mengambil tempat yang baik untuk menunggu seekor binatang yang terlambat minum pada hari ini,“

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan saksama ia memperhatikan daerah di sekitarnya. Bahkan kemudian tatapan matanya merayap memanjat ke batang raksasa yang tumbuh di atas mata air itu. Terasa kulitnya meremang ketika terlihat olehnya dahan-dahan yang bersilang melintang. Sulur-sulur yang meskipun tidak terlalu lebat, namun nampaknya bagaikan jari-jari yang siap untuk menerkam.

Empu Baladatu adalah seorang yang berhati batu. Ia tidak tersentuh sama sekali perasaannya, meskipun ia melihat mayat yang bagaikan lumat sekalipun. Bahkan dengan hati yang mantap ia mengorbankan darah sesama untuk kepentingan ilmunya yang hitam. Namun melihat pepohonan di hutan itu, rasanya ia menjadi bertambah kecil.

“He,” desis Empu Sanggadaru, “Apakah yang kau perhatikan itu?”

Empu Baladatu menarik nafas. Desisnya, “Pohon itu. Terutama yang satu itu. Aku belum pernah melihat sebatang pohon sebesar dan setinggi itu.”

“Masih ada beberapa batang pohon yang bahkan lebih besar dari pohon itu di bagian hutan yang lebih ketengah. Pada sebatang pohon yang agak lebih besar dari pohon itulah aku menemukan ular raksasa yang aku hawa kepadepokan itu.”

“O” Desis Empu Baladatu. Namun terbayang kemudian ular raksasa itu tergantung dengan kepalanya dibawah dan ekornya yang membelit dahan yang terbawah.

“Tetapi darimana kakang mendapatkan belanga di tengah hutan selebat ini?” Pertanyaan yang sederhana itu telah terbersit dihatinya. Namun yang sebenarnya bukanlah masalah belanga itu sendiri yang menjadi pokok pertanyaannya. Namun pada dasarnya Empu Baladatu memang agak kurang percaya dengan ceritera kakaknya, bagaimana ia menangkap ular raksasa itu.

Tetapi Empu Baladatu tidak menanyakan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Bukan main. Mudahkan kita akan dapat bertemu ular sebesar itu lagi. Jika aku dapat membawa pulang kepadepokanku, meskipun hanya kulitnya, maka tentu akan menggemparkan sekali”

Kakaknya tertawa. Katanya, ”Hanya suatu kesempatan yang datang satu diantara seribu. Mungkin aku tidak akan pernah menjumpai ular yang tertidur seperti itu lagi sepanjang umurku.”

Empu Baladatu tidak menyahut. Meskipun kepalanya terangguk-angguk, namun hatinya masih tetap ragu-ragu.

“Marilah kita mendekat” Berkata Empu Sanggadaru, “Kita akan berada dibalik sebuah batu yang besar untuk menunggu. Kita kali ini harus berada di sebelah selatan mata air itu, karena angin bertiup ke selatan. Dengan demikian binatang yang mendekati mata air itu tidak segera mencium bau manusia atau yang dianggapnya mahluk asing yang dapat membahayakan keselamatan mereka.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Diikutinya Empu Sanggadaru berjalan menyusup gerumbul-gerumbul yang rimbun dan bahkan berduri. Tetapi nampaknya Empu Sanggadaru sama sekali tidak menghiraukannya.

“Pakaiannya cukup tebal” Desis Empu Baladatu di dalam hatinya. “Jika aku tidak berhati-hati seperti kakang Sanggadaru, maka mungkin pakaianku akan segera menjadi compang-camping meskipun duri tidak dapat melukai kulitku.

Demikianlah mereka pun kemudian duduk di balik sebongkah batu padas yang besar. Namun nampaknya tempat itu memang sudah sering dipergunakan untuk menunggu binatang buruan yang kehausan dan mencari minum dimata air yang nampak di bawah pohon raksasa itu.

Empu Baladatu yang baru pertama kali itu sengaja duduk menunggui binatang buruan, tidak dapat duduk dengan, tenang. Sekali-kali ia bergeser dan memperhatikan mata air yang seolah-olah memancar dari bawah akar-akar batang raksasa yang mendebarkan Itu, kemudian tergenang di dalam sebuah belumbang kecil yang bening.

“Kemanakah air itu mengalir?” Tiba-tiba saja ia bertanya.

“Melalui bawah tanah. Air itu menyusup ke dalam timbunan sampah dedaunan yang sudah bertahun-tahun menumpuk di sekitar pohon raksasa ini, dan mengalir menjadi sebuah parit di bawah tanah. Di luar hutan ini air itu akan memancar pula sebagai mata air seperti mata air di bawah pohon raksasa itu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun nampaknya ia masih terpukau melihat akar-akar raksasa yang seolah-olah menahan tegaknya batang pohon yang sangat besar dan. tinggi itu. Ujung-ujungnya jauh mencengkam ke dalam tanah yang gembur, namun demikian ternyata cukup kuat, sehingga batang raksasa itu tidak dapat roboh oleh angin yang kencang sekalipun.

“Duduklah” Desis Empu Sanggadaru kemudian, “Jika kita selalu gelisah, mereka tidak akan ada binatang yg berani mendekat.”

Empu Beladatu pun kemudian duduk di samping kakaknya meskipun agaknya ia sudah mulai tidak telaten.

“Awasilah mata air itu” Desis Empu Sanggadaru kepada cantriknya,

Namun cantrik itu menjawab, “Empu, agaknya sudah ada seseorang yang berhasil mendapatkan seekor binatang atau lebih di sini.”

“He” Empu Sanggadaru terloncat dengan serta merta.

“Aku melihat darah.”

“Dimana” Bertanya Empu Sanggadaru.

Cantrik itu pun kemudian menunjuk noda yang terdapat di tepi belumbang itu, “Bukankah itu noda darah?”

Empu Sanggadaru menarik nafas. Jawabnya, “Ya. Itu adalah noda darah. Tentu ada seseorang atau sekelompok pemburu yang telah mendahului kita.”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia juga melihat warna yang lain pada tanah yang gembur di tepi belumbang itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyebut bahwa noda yang nampak itu adalah noda-noda darah.

“Marilah kita mendekat. Kita akan meyakinkan, apakah yang nampak itu memang darah.”

“Kita jangan mendekati belumbang itu Empu” Berkata cantrik itu, “Dengan demikian, maka bau yang kita tinggalkan akan membuat binatang-binatang buruan itu segan untuk mendekat.”

“Kita tidak akan mendekat sampai ke belumbang itu” Sahut Empu Sanggadaru, “Tetapi kita akan melihat noda yang agaknya merupakan urutan dari noda yang terdapat di pinggir belumbang itu.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian mereka pun mendekati noda-noda yang agaknya memang noda darah yang berceceran. Dengan kerut merut di kening, Empu Sanggadaru berkata, “Pemburu itu tidak berhasil membunuh korbannya. Binatang buruan itu sempat melarikan diri dengan luka-luka di tubuhnya. Darahnya berceceran sepanjang jejak pelariannya, “

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Setelah menjadi semakin dekat, maka diapun segera mengenal warna-warna darah yang telah mengering itu.

“Darah ini akan mengundang jenis binatang buas yang akan membunuhnya” Desis Empu Sanggadaru, “Jika pemburu yang gagal membunuh binatang ini tidak menelusuri jejaknya dan kemudian membunuhnya, maka seekor harimau atau sekelompok anjing liar akan mencarinya dengan mengikuti ceceran darah itu.”

“Jika binatang itu menjadi lemah, maka ia akan kehilangan kekuatannya untuk melarikan diri dari cengkeraman maut, siapa pun yang membawa mendekat. Apakah pemburu itu, ataupun binatang buas yang lain.”

Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Biarlah binatang itu menemui nasibnya. Kita akan menunggu binatang yang lain.”

Empu Baladatu hanya dapat mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak bisa menentukan sikapnya sendiri, karena ia adalah orang yang tidak mempunyai mengalaman yang cukup di medan perburuan.

Namun dalam pada itu, selagi mereka akan meninggalkan tempat itu, kembali cantrik itu berkata, “Aku melihat sesuatu yang agak lain pada gerumbul-gerumbul itu.”

“Apa yang kau lihat?” Bertanya Empu Sanggadaru, “Kau adalah seorang pencari jejak yang baik. Barangkali kau melihat sesuatu.”

“Empu” Berkata cantrik itu, “Ternyata selain jejak kijang yang terluka itu, aku melihat jejak beberapa ekor kuda.”

Empu Sanggadaru mendekati cantrik yang menyusup di belakang gerumbul itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Pemburu itu langsung membawa kudanya kemari.”

“Aneh” Desis cantrik itu, “Tentu seorang pemburu yang benar-benar mampu menguasai kudanya, sedang kudanya pun tentu kuda yang sudah terbiasa. Ia mengejar buruannya dengan kudanya yang semula ditaruh di belakang gerumbul-gerumbul itu.”

“Apakah itu mungkin” Desis Empu Baladatu tiba-tiba.

“Bukankah sudah aku katakan, bahwa jika waktunya Telah tiba, kita pun akan berburu dengan kuda-kuda kita? Mungkin kudamu masih harus menyesuaikan diri. Tetapi kita akan mencoba. Kali ini kita tidak perlu memaksa diri untuk mendapatkan binatang buruan sebanyak-banyaknya. Kita akan menangkap binatang yang kita perlukan untuk makan kita selama kita di hutan ini. Selebihnya, apa saja yang kita dapatkan tanpa melakukan sesuatu yang sulit dan berbahaya sekali karena bagimu kali ini adalah pengalaman yang mungkin pertama kali.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Kita akah melakukannya sesuai dengan kemampuan kita” Empu Sanggadaru melanjutkan.

Empu Baladatu masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba cantrik yang banyak pengetahuannya tentang jejak itu berkata, “Empu. Kita mengenal, siapakah yang berburu dengan cara yang berani dan tidak mengenal bahaya itu.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu, “Siapa menurut ingatanmu?”

“Keluarga istana Singasari.”

“He?”

“Tentu Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka.”

“Ah” Desis Empu Sanggadaru, “Jika yang ada di hutan ini Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka, tentu ada tanda-tanda khusus, dan beberapa orang pengawal tentu ada di lapangan kecil itu. Bagaimanapun juga mereka adalah Maharaja dan Ratu Angabhaya. Betapapun berani dan mungkin agak kekanak-kanakan, namun para penasehatnya tidak akan melepaskannya begitu saja. Bukankah kau tidak melihat di mulut lorong itu janur kuning dan lawe wenang sebagai pertanda kehadiraa kedua anak muda. yang sedang memegang kekuasaan tertinggi itu?”

Cantrik itu mengangguk-angguk Katanya, “Ya. Aku memang tidak melihatnya. Tetapi aku belum mengenal orang lain yang melakukannya kecuali kedua anak muda itu, dan orang ketiga adalah Empu Sanggadaru.”

“Mungkin kita sajalah yang belum mengenalnya. Tetapi tentu ada orang lain yang dapat melakukannya.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin demikian. Dan kali ini kita akan bertemu dengan, orang-orang itu. Orang-orang yang barangkali belum kita kenal.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dipandanginya hutan yang lebat itu seolah-olah ingin memandang langsung kedalamnya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Siapakah mereka, aku tidak peduli. Sekarang, marilah kita kembali bersembunyi. Kita akan menunggu binatang yang mungkin masih akan pergi mencari air.”

Mereka pun kemudian kembali bersembunyi di balik batu, sedang cantrik itu pun dengan hati-hati mengintai jika pada suatu saat seekor binatang turun untuk minum di belumbang kecil itu.

“Apakah belumbang itu tempat satu-satunya binatang buruan mencari minum?”

“Ya di daerah ini” Jawab Empu Sanggadaru, Lalu, “Tetapi di tempat lain, terdapat pula sebuah mata air yang lebih besar. Bahkan terdapat sebuah parit yang mengalir dari sendang itu sampai keluar hutan.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sementara itu, cantrik yang mengintai binatang buruan yang mungkin masih mencari air dibelumbang itu pun masih tetap di tempatnya. Nampaknya ia sama sekali tidak beranjak dan bahkan tidak berkedip. Tetapi dalam pada itu Empu Baladatu dan pengawalnya telah mulai menjadi jemu. Mereka duduk dengan gelisah, dan bahkan sekali-kali menggeliat

Empu Sanggadaru melihat kegelisahan itu. Namun ia tidak menegur adiknya. Dibiarkannya adiknya sekali-kali bergeser, sekali menarik nafas dan bahkan kadang-kadang mengeluh. Tetapi suasana tiba-tiba menjadi tegang ketika cantrik yang sedang mengintai belumbang itu berdesis. Dengan isyarat ia memberitahukan, bahwa ada seekor binatang yang mendekati belumbang itu.

Empu Baladatu hampir saja meloncat dari tempatnya. Untunglah kakaknya sempat memberikan isyarat agar ia berhati-hati, sehingga tidak mengejutkan binatang itu. Empu Sanggadaru pun kemudian bergeser mendekati cantriknya. Dari tempatnya mengintai, Empu Sanggadaru menjengukkan kepalanya.

Wajah Empu Sanggadaru menjadi tegang. Dengan isyarat pula ia memanggil adiknya yang ikut mengintai pula. Tetapi Empu Baladatu tidak sempat bertanya karena Empu Sanggadaru meletakkan jari-jarinya di muka mulutnya. Yang nampak oleh Empu Baladatu justru seekor harimau loreng yang besar sekali. Agaknya hal itu tidak merupakan kebiasaan, karena nampaknya Empu Sanggadaru pun menjadi heran melihat hadirnya harimau itu.

“Aneh” Bahkan Empu Sanggadaru pun berdesis, “Jarang sekali dapat ditemui seekor harimau loreng sebesar itu.”

Cantrik yang melihat pertama kali harimau itu pun nampaknya menjadi sangat heran. Dengan hati-hati ia pun berbisik, “Agaknya titik darah itulah yang telah mengundangnya kemari.”

Empu Sanggadaru mengangguk. Dan memang ternyata bahwa agaknya harimau loreng itu sedang asyik mencium bau darah binatang yang agaknya sudah terluka, namun masih sempat melarikan diri.

“Tetapi binatang itu tentu sudah menjadi sangat lapar, sehingga nampaknya ia berbuat sesuatu yang kurang lajim dilakukan sesuai dengan naluri mereka”

Tiba-tiba cantrik yang agaknya memahami benar-benar tentang medan perburuan itu pun berdesis, “Agaknya pemburu-pemburu yang berani itu telah melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi tata kehidupan binatang hutan.”

“Maksudmu.”

“Berhari-hari ia sudah berada di daerah ini. Ketakutan dan kecemasan telah menghinggapi hutan ini sehingga binatang-binatang telah melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Desisnya, “Aku tidak peduli. Tetapi binatang itu adalah binatang yang manis sekali. Aku ingin menangkapnya dan mendapatkan kulitnya. Aku akan menangkap tanpa melukanya dengan senjata tajam, sehingga belulangnya kelak akan utuh tanpa cacat “

“Maksud Empu” Desis cantrik itu.

Empu Sanggadaru tersenyum. Lalu, “Berikan sepotong galih asem yang tergantung diikat pinggangmu itu,"

“Empu” Desis cantrik itu dengan cemas .”Empu tidak boleh melakukannya atas seekor harimau sebesar itu. Apalagi seekor harimau yang lapar.”

Empu Baladatu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa yang akan kakang lakukan?”

“Aku akan menangkapnya. Cepat, sebelum binatang itu mengetahui kehadiran kita dan lari masuk kedalam semak-semak.”

“Empu. Ujung panah tidak akan merusakkan kulitnya. Jika Empu tepat membidiknya, maka hanya ada sebuah lubang pada kulit binatang itu.”

“Aku ingin kulitnya tetap utuh. Aku akan mematahkan tulang belakangnya dengan alat pemukul ini, tanpa melukai kulitnya yang manis itu.”

Cantrik itu nampaknya menjadi tegang. Namun ia sadar, bahwa Empu Sanggadaru tidak akan dapat dicegahnya lagi. “Empu” Desis cantrik itu, “Aku mohon ijin, jika perlu aku akan melukainya. Hanya jika perlu”“

Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya perlahan-lahan, “Aku mengerti. Kau tidak ingin melihat aku mati dicengkeraman harimau itu. Terserahlah kepadamu jika kau memandang perlu. Kau tahu, bahwa aku ingin mendapatkan kulitnya yang utuh. Tetapi jika aku tidak akan dapat menguasainya, maka terserahlah, apa yang akan kau lakukan”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Nampaknya kecemasan yang membayang diwajahnya. Empu Saggadaru pun kemudian berkata, “Aku akan melakukannya sekarang. Tunggulah aku disini.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Sekali-kali dipandanginya wajah Empu Baladatu, seolah-olah ia minta bantuannya untuk mencegah kakaknya agar mengurungkan niatnya. Tetapi Empu Baladatu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Meskipun ada ketegangan yang nampak diwajahnya, namun sepercik keinginan untuk melihat kemampuan kakaknya telah tersirat di hatinya. Karena itu maka ia seolah-olah telah berdiri diatas keragu-raguan yang semakin dalam.

Namun Empu Sanggadaru sendiri kemudian tersenyum sambil menepuk bahu cantriknya, “Selagi harimau itu belum pergi. Tunggulah, dan jika kau menganggap perlu berbuatlah sesuatu untuk ketenanganmu.”

Cantrik itu mengangguk kecil. Sejenak kemudian maka Empu Sanggadaru pun segera mempersiapkan diri. Ia sama sekali tidak menarik pisau belatinya karena ia tidak ingin melukai harimau itu. Karena itu, ia akan mempergunakan sepotong galih asem yang berwarna kehitam-hitaman. Sejenak kemudian maka Empu Sanggadaru pun telah siap melakukan rencananya. Tiba-tiba saja ia pun meloncat keatas sebongkah batu padas, dan berteriak nyaring.

Harimau yang sedang termangu-mangu mencium bau darah itu pun terkejut. Bahkan bukan harimau itu sajalah yang terkejut. Empu Baladatu yang ada di sebelah batu itu pun terkejut pula sehingga ia bergeser surut. Bahkan seorang pengawalnya yang ada di belakangnya, telah menjadi gemetar karena suara itu banar-benar tidak disangkanya.

Sejenak kemudian, selagi gema suaranya telah lenyap, maka Empu Sanggadaru pun segera meloncat berlari menuruni tanah yang miring ke arah belumbang di bawah pohon raksasa itu. Sejenak harimau loreng yang besar itu justru termangu-mangu. la agaknya melihat sesosok mahluk yang aneh, yang mengenakan kulit seperti kulit seekor barimau tetapi yang berjalan di atas kedua kakinya.

Namun sejenak kemudian terdengar harimau itu mengaum. Keras sekali. Suaranya menggetarkan dedaunan di sekitarnya dan bahkan menggetarkan isi dada orang-orang yang mendengarnya. Sejenak Empu Sanggadaru tertegun memandang harimau yang mulai merundukkan kepalanya. Namun kemudian ia pun justru melangkah dengan hati-hati mendekatinya.

Empu Baladatu memandang kakaknya dengan hati yang berdebar-debar. Demikian pula pengawalnya. Sedangkan cantrik padepokan kakaknya itu pun agaknya telah dicengkam oleh ketegangan. Bahkan seolah-olah di luar sadarnya, ia telah mempersiapkan busurnya dan memasang sebuah anak panah yang siap untuk dilepaskan apabila diperlukan.

Tetapi agaknya ia tidak akan dapat membidik dari jarak yang agak jauh itu jika terjadi pergulatan antara Empu Sanggadaru dan harimau loreng yang sangat besar itu, agar tidak salah sasaran. Karena itu, maka ia pun kemudian tanpa menghiraukan Empu Baladatu dan pengawalnya, perlahan-lahan bergeser mendekat.

Empu Baladatu pun bergeser pula di luar sadarnya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat harimau itu mulai merunduk. Sejenak kemudian terdengarlah auman yang dahsyat sekali lagi. Berbareng dengan itu, maka harimau itu pun telah meloncat menerkam Empu Sanggadaru.

Tetapi Empu Sanggadaru telah bersiap. Ketika kedua kaki depan harimau yang terjulur dengan kukuhnya yang runcing itu hampir menyentuhnya, maka Empu Sanggadaru telah melenting dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat dengan tatapan mata biasa. Seolah-olah ia telah hilang dari tempatnya dan tiba-tiba saja telah muncul disisi harimau yang kehilangan lawannya.

Bahkan agaknya Empu Sanggadaru tidak hanya sekedar membuat harimau itu kebingungan. Namun dengan tangkasnya ia pun telah meloncat ke punggung harimau itu seperti ia meloncat ke atas punggung kuda. Tangan kirinya pun kemudian dengan kerasnya telah memeluk leher harimau itu sambil mencengkam pada bulu-bulunya. Kemudian dengan serta merta ia mengayunkan sepotong galih asem ditangannya, memukul tengkuk harimau itu berulang-ulang.

Tetapi harimau itu tidak menyerah begitu saja. Sambil meraung dengan dahsyatnya, binatang itu meronta-ronta. Sekali harimau itu meloncat, kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling-guling di tanah. Tetapi Empu Sanggadaru berpegangan dengan eratnya. Seolah-olah ia telah melekat pada punggung harimau itu. Betapapun juga harimau itu berusaha, namun ternyata bahwa Empu Sanggadaru tidak dapat dilepaskannya.

Namun harimau yang bagaikan gila itu masih saja berusaha. Bahkan kemudian harimau itu pun meloncat-loncat dan sekali-kali membenturkan dirinya pada batang pepohonan. Empu Sanggadaru yang berada di punggung harimau itu berusaha untuk tetap berada di tempatnya. Bahkan kemudian, ia tidak sempat lagi memukul dengan sepotong galih asemnya, karena kedua tangannya harus berpegangan erat-erat agar ia tidak terlepas dari punggung harimau itu.

Tetapi ternyata bahwa harimau itu pun memiliki kekuatan yang tidak terkira. Setelah beberapa kali ia berusaha, maka pegangan Empu Sanggadaru pun menjadi kendor. Ketika binatang itu meloncat dan membenturkan tubuhnya pada sebatang pohon, kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali, ternyata tangan Empu Sanggadaru telah terlepas. Dengan serta merta, harimau itu mengibaskan dirinya sehingga Empu Sanggadaru pun kemudian terlempar beberapa langkah.

Terdengar aum harimau itu menggema. Agaknya harimau itu pun mengerti, bahwa yang melekat dipunggungnya telah terlepas dan jatuh beberapa langkah daripadanya. Namun demikian, harimau itu pun telah menjadi letih. Apalagi karena kemarahan dan kebingungan yang mencekamnya, beberapa kali ia telah membenturkan tubuhnya dan bahkan kepalanya pada batang-batang pohon yang ada disekitarnya tanpa dikehendakinya sendiri.

Meskipun demikian harimau itu masih tetap garang. Dengan gigi-giginya yang menyeringai tajam, ia siap untuk menyobek lawannya yang untuk beberapa saat masih terbaring diam. Agaknya Empu Sanggadaru pun merasa pening. Tetapi ia masih mampu menguasai dirinya, sehingga dengan sadar ia memperhatikan harimau yang siap untuk menerkamnya. Bahkan sekilas ia masih melihat cantriknya menarik tali busurnya, siap untuk melepaskan anak panahnya, justru pada saat ia sudah terpisah dari harimau itu.

“Jangan” Empu Sanggadaru masih sempat berteriak sehingga cantriknya menjadi tertegun diam. Justru pada saat itu, harimau loreng itu sudah mulai bersiap-siap. Kepalanya menjadi semakin rendah dan ekornya yang mengkibas itu pun menjadi semakin cepat.

Namun pada saat itulah Empu Sanggadaru melenting berdiri. Dan tepat pada saat harimau itu meloncat menerkamnya, Empu Sanggadaru meloncat menggapai dahan kayu yang menyilang atasnya. Dengan tangan kirinya ia menggantung pada dahan itu. Namun ketika harimau yang kehilangan lawannya itu menjejakkan kakinya di tanah, maka Empu Sanggadaru sempat memutar diri dan meloncat sekali lagi di atas punggung harimau yang ganas itu.

Harimau loreng itu pun kemudian menjadi seolah-olah gila. Terdengar auman yang dahsyat dan sekali lagi binatang itu berusaha melepaskan diri. Tetapi tangan Empu Sanggadaru telah mencengkam kulit dan bulu-bulunya. Berkali-kali Empu Sanggadaru sempat memukul kepala harimau itu dengan galih asemnya, sehingga agaknya harimau itu pun menjadi semakin pening. Dengan demikian maka geraknya pun menjadi bertambah liar dan tidak terkendali.

Dengan ganasnya harimau itu meloncat dan menjatuhkan dirinya berulang kali. Berguling-guling dan mengaum tidak hentinya. Sekali lagi Empu Sanggadaru kehilangan keseimbangannya. Perlahan-lahan tangannya menjadi kendor. Justru pada saat ia mencoba memperbaiki pegangannya, maka sekali lagi ia terlempar dan jatuh tepat disamping harimau itu.

Harimau yang bagaikan gila itu menggeram. Ia tidak sempat merunduk dan menerkam lawannya. Tetapi dengan serta merta ia langsung menerkam lawannya yang hanya selangkah daripadanya. Empu Sanggadaru tidak sempat meloncat bangkit. Yang di lakukan kemudian adalah berguling dengan cepatnya menghindari kuku-kuku harimau yang tajam itu.

Empu Sanggadaru ternyata mampu bergerak secepat kilat, la berhasil melepaskan diri dari cengkeraman harimau itu. Tetapi, ternyata bahwa ia tidak terbebas seluruhnya. Ketika ia ke mudian bangkit berdiri, ternyata bahwa lengan dan pahanya bagaikan digores oleh beberapa bilah pisau berbareng. Darah yang merah mengalir dari luka-lukanya itu.

Ternyata harimau itu sama sekali tidak memberinya kesempatan. Begitu Empu Sanggadaru berdiri, maka harimau itu pun telah siap pula. Dengan garangnya ia menerkam kearah kepala lawannya. Kedua kaki depannya terangkat tinggi, seolah-olah harimau itu telah berdiri tegak dengan kaki belakangnya.

Empu Sanggadaru bergeser sejauh dapat dilakukan. Tetapi semuanya itu berlangsung cepat sekali. Yang dapar dilakukan kemudian mengayunkan galih asem ditangannya sekeras-kerasnya mengarah ke kening harimau itu, tepat di antara kedua matanya. Sekali lagi terdengar aum yang dahsyat. Harimau itu agaknya merasa kesakitan dan bergeser mundur.

Empu Baladatu berdiri ditempatnya seolah-olah membeku. Ia telah melihat perkelahian yang dahsyat antara seekor harimau loreng melawan kakaknya yang semula masih diragukan kemampuannya. Namun yang kemudian ternyata, bahwa kakaknya memiliki kemampuan bergerak cepat sekali. Lebih cepat dari yang diduganya. Namun demikian, Empu Baladatu masih belum dapat menjajagi betapa besar kekuatan yang sebenarnya dan kakaknya itu.

Sejenak kemudian, maka perkelahian itu pun berlangsung kembali. Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha meloncat dan melekat ke punggung harimau itu. Tetapi ia kemudian mempergunakan kecepatannya untuk membingungkan lawannya. Sekali-kali ia meloncat dan berpegangan pada dahan yang menyilang diatas kepalanya. Kemudian turun sambil menyerang dengan galih asemnya. Ketika harimau itu berputar dan berusaha mencengkam dengan kukunya, Empu Sanggadaru meloncat surut.

Dalam perkelahian yang demikian, Empu Baladatu mulai melihat perbedaan sifat dan watak yang ada pada kakaknya. Jika semula ia menjadi bimbang, bahwa kakaknya adalah seorang yang lembut dan selalu tersenyum dan tertawa didalam gurau yang segar, maka perlahan-lahan Empu Sanggadaru telah berubah menjadi seorang yang garang dan bahkan kasar. Geraknya yang semula masih terkendali, telah berubah, seperti tata gerak, harimau yang liar itu sendiri.

Namun demikian, Empu Sanggadaru masih belum melepaskan keinginannya untuk menangkap harimau itu tanpa melukai kulitnya meskipun ia dapat mematahkan tulangnya dengan sepotong galih asem ditangan kanannya. Cantrik yang memegang busur dan anak panah itu pun menjadi semakin tegang. Sekali-kali ia membidikkan anak panahnya, namun kemudian sambil menarik nafas ia menurunkan busurnya. Sekali-kali ia bergeser namun kemudian ia menjadi bingung pula karena perkelahian yang semakin seru.

Luka dilengan goresan-goresan pada punggung dan bahkan didadanya. Kuku harimau yang tajam itu, berkali-kali berhasil menyentuh tubuh Empu Sanggadaru betapapun lincahnya ia bergerak. Melihat darah yang mengalir semakin banyak, cantrik yang memegang busur itu pun menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian ia melangkah semakin dekat sambil mengangkat busur dan anak panahnya.

Empu Baladatu pun ikut bergeser mendekat. Betapapun juga, ia tidak akan sampai hati melihat kakaknya berkelahi melawan seekor harimau loreng yang demikian besarnya. Meskipun agaknya Empu Sanggadaru masih ingin menyelesaikan kerja itu seperti yang dikehendaki, maka apabila pada suatu saat keadaan sangat membahayakan, maka Empu Baladatu pun telah menyiapkan tombak pendeknya. Tombak pendek yang dibawa dari padepokan kakaknya pula sebagai kelengkapan untuk berburu.

Namun dalam pada itu, baik cantrik yang membawa busur itu. maupun Empu Baladatu dan pengawalnya terkejut ketika mereka melihat Empu Sanggadaru meloncat jauh-jauh dari harimau yang semakin ganas, karena kepalanya benar-benar telah menjadi pening, karena setiap kali terantuk dengan galih asem yang sekeras batu hitam. Bahkan punggungnya serasa retak oleh pukulan-pukulan itu pula. Agaknya harimau itu tidak mau melepaskan mangsanya. Karena itu, ketika Empu Sanggadaru menjauhinya, harimau itu pun meloncat dengan kaki terjulur siap menyobek dadanya.

Mereka yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Bahkan cantrik yang membawa busur itu sudah mulai menarik busurnya. Sementara itu Empu Baladatu pun telah bergeser semakin dekat. Jika terjadi sesuatu, maka ia pun akan segera meloncat dan betapapun tidak dikehendaki oleh kakaknya, ia terpaksa akan menghunjamkan ujung tombaknya ketubuh harimau itu meskipun dengan demikian berarti, kulit harimau itu akan menjadi cacat. Tetapi baginya jiwa Empu Sanggadaru tentu akan lebih berharga dari selembar kulit harimau yang manapun juga. Apalagi Empu Baladatu masih berharap, bahwa ia akan mendapatkan bantuan kakaknya menghadapi kekuasaan Singasari yang tidak disukainya itu.

Namun dalam pada itu, Empu Baladatu pun tertegun. Juga cantrik yang memegang busur itu. Mereka melihat Empu Sanggadaru yang sudah berhasil membuat jarak dari harimau loreng itu pun telah berdiri tegang sambil merentangkan tangannya.

“O” gumam cantrik yang membawa busur itu

“Kenapa?”

Cantrik itu tidak menjawab. Namun tatapan matanya yang, tegang terpukau pada tata gerak Empu Sanggadaru selanjutnya. Ketika kuku-kuku harimau yang tajam itu hampir menyentuh kulitnya, tiba-tiba saja Empu Sanggadaru bergeser. Dengan tangkasnya ia menangkap kaki depan harimau itu sebelah. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Empu Baladatu dan pengawalnya. Bahkan mereka sama sekali tidak menduga, bahwa mereka akan menyaksikan kekuatan yang luar biasa yang ada pada Empu Sanggadaru.

Dengan sebelah tangannya, Empu Sanggadaru memutar harimau itu di atas kepalanya. Semakin lama semakin cepat, berbareng dengan auman yang dahsyat dari harimau yang kehilangan kesempatan untuk melawan, justru karena putaran yang semakin cepat.

Selagi mereka yang menyaksikan masih termangu-mangu, mereka telah dikejutkan oleh sebuah benturan yang dahsyar pada sebatang pohon raksasa. Ternyata Empu Sanggadaru telah melontarkan harimau itu dan membenturkannya pada pohon raksasa itu dengan kekuatan yang tidak terduga besarnya.

“Aji Bayu Seketi” desis cantrik yang masih menggenggam busur itu.

“He” desis Empu Baladatu tanpa berpaling. Ia masih mengagumi apa yang baru saja terjadi. Dilihatnya harimau itu hanya sempat menggeliat dan mencoba berdiri. Tetapi kemudian binatang itu pun terjatuh. Mati. Tanpa luka pada tubuhnya. Namun agaknya tulanganya telah remuk didalam tubuhnya.

“Apakah kau menyebut aji Bayu Seketi?” bertanya Empu Baladatu kepada cantrik itu.

“Ya Empu. Empu Sanggadaru menyebut kekuatan yang tidak ternilai besarnya itu Aji Bayu Seketi.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa kedatangannya kepada kakaknya itu agaknya akan sangat bermanfaat. “Tetapi apakah kakang Empu Sanggadaru akan bersedia membantuku?” bertanya Empu Baladatu didalam hatinya.

Sementara itu, Empu Sanggadaru yang hampir di seluruh tubuhnya telah menjadi merah karena darahnya, melangkah perlahan-lahan mendekati harimau yang tergolek mati itu. Dalam pada itu, cantrik yang membawa busur, Empu Baladatu dan pengawalnya pun dengan tergesa-gesa mendekatinya pula. Tetapi sebelum mereka menyatakan sesuatu, mereka telah dikejutkan oleh suara tertawa pendek di balik gerumbul yang lebat di sebarang belumbang itu.

Empu Sanggadaru yang masih terengah-engah pun memandang ke arah suara tertawa itu pula dengan kerut merut di keningniya. Bahkan kemudinan dengan suara yang dalam ia bertanya, “Siapakah yang berada di balik gerumbul itu?”

Tidak ada jawaban. Namun suara tertawa itu masih terdengar berkepanjangan. Empu Sanggadaru yang masih dibasahi oleh keringat dan darahnya itu menjadi tegang. Bahkan tiba-tiba ia telah meloncat dengan loncatan yang panjang menuju kegerumbul itu. Cantrik, Empu Baladatu dan pengawalnya tidak membiarkan Empu Sanggadaru pergi seorang diri. Mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa berlari mengikutinya.

Tetapi langkah Empu Sanggadaru segera terhenti. Bahkan ia pun kemudian melangkah surut sambil membungkuk dalam? Empu Baladatu dan pengawalnya menjadi heran. Tetapi cantrik yang membawa busur itu pun segera mengetahui, siapakah yang berada dibalik gerumbul itu.

“Ampun tuanku” desis Empu Sanggadaru sambil membungkuk dalam-dalam ketika dilihatnya dua orang anak muda berdiri memandanginya.

“Siapa?” desis Empu Baladatu ditelinga cantrik.

“Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“He” Empu Baladatu terkejut bukan kepalang. Ternyata ia telah bertemu muka dengan kedua anak muda yang selama ini menjadi sasaran keinginannya untuk mendesak kedudukan mereka. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu pun mengangguk pula dalam-dalam seperti Empu Sanggadaru dan cantrik yang membawa busur itu,

“Hamba sama sekali tidak menyangka bahwa tuanku berdua ada didalam hutan ini.”

“Aku tidak hanya berdua” sahut Ranggawuni.

“Ya, maksud hamba bahwa tuanku sedang berburu dengan beberapa orang pengawal.”

“Aku berburu bersama paman Lembu Ampal.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah tuanku hanya bertiga saja?”

“Ya.”

Empu Sanggadaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Bukan main tuanku. Sebenarnya tentu berbahaya sekali jika Tuanku hanya pergi bertiga ketengah-tengah hutan yang lebat ini.”

“Kenapa berbahaya? Aku sudah sering pergi berburu.”

“Tetapi kehadiran tuanku tentu diikuti oleh sekelompok pengawal pilihan. Dan pemburu-pemburu yang lain sama sekali tidak akan berani memasuki hutan ini, karena di beberapa tempat terpancang tanda, janur kuning atau lawe wenang. Tetapi kali ini hamba sama sekali tidak melihat tanda apapun.“

Ranggawuni tertawa. Jawabnya “Aku bosan dengan cara yang sama sekali tidak menyenangkan itu. Aku lebih senang berburu sebagai seorang pemburu. Namun ternyata bahwa kau adalah pemburu yang jauh lebih baik daripada kami bertiga. Beberapa saat yang lalu, aku masih memenangkan pertandingan berpacu mendapatkan binatang buruan. Tetapi kali ini agaknya aku harus mengaku kalah, karena kau sudah berhasil membunuh harimau itu dengan cara yang dahsyat sekali.”

“Ah, hanya suatu permainan kanak-kanak yang tidak berarti” jawab Empu Sanggadaru.

“Sudahlah. Rawatlah luka-lukamu. Aku tahu, bahwa luka-luka itu tidak akan memberikan pengaruh apa-apa padamu. Tetapi sebaiknya kau bersihkan dan kau obati. Bukankah kau mempunyai obat yang dapat menyembuhkan luka-lukamu itu dengan segera?”

“Ampun Tuanku. Hamba memang membawa obat-obat yang mungkin diperlukan, dalam perburuan seperti ini.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Namun kemudian dipandanginya Empu Baladatu yang termangu-mangu. “Siapakah orang itu Empu. Agaknya aku belum pernah melihatnya. Namun menillik wajahnya yang mirip dengan wajahmu, tentu ia mempunyai hubungan keluarga dengan kau.”

“Ia adalah adikku Tuanku. Ia datang kepadepokan hamba, dan agaknya ia ingin berburu di tengah-hutan yang lebat ini, sehingga ia hamba bawa bersama hamba sekarang ini.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula, “Siapakah namanya?”

“Baladatu Tuanku. Empu Baladatu.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bertanya kepada Empu Baladatu, “Apakah kau tidak tinggal bersama kakakmu?”

“Ampun Tuanku, hamba tinggal ditempat yang jauh. Tetapi karena kerinduan hamba kepada satu-satunya saudara laki, maka hamba pun memerlukan menengoknya.

Ranggawuni tertawa. Katanya, “Dan sekarang kalian berdua telah berburu di tengah-tengah hutan ini. Sungguh mengagumkan cara kakakmu menangkap harimau itu. Aku tahu, kakakmu adalah seorang yang suka sekali mengumpulkan kulit binatang buruan. Ia tentu lebih senang mendapatkan kulit yang utuh daripada yang telah cacat karena senjata. Itulah sebabnya, ia lebih senang membunuh harimau itu dengan caranya, meskipun ia sendiri telah terluka.”

“Hamba Tuanku.”

“Dan apakah kau juga ingin mencobanya?”

“Ampun Tuanku. Hamba sama sekali tidak berkemampuan apapun juga. Karena itu, hamba hanyalah sekedar mengikut di belakang.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum, “Kau kakak beradik memang suka merendahkan diri. Sikapmu tidak dapat mengelabui aku. Tatapi baiklah. Obatilah lukamu lebih dahulu. Aku akan melihat harimau yang telah kau bunuh itu.”

Empu Sanggadaru pun kemudian melangkah surut. Sementara itu Ranggawuni dan Mahisa Campaka diiringi seseorang yang telah melampaui separo baya, dan yang disebutnya Lembu Ampai itu melangkah mendekati harimau yang tergolek mati.

“Tuanku tidak berkuda?” Bertanya Empu Sanggadaru tiba-tiba.

“Tidak” Jawab Ranggawuni.

Empu Sanggadaru menjadi terheran-heran. Karena itu justru sejenak ia termangu-mangu memandang Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal berganti-ganti.

“Kenapa kau heran?” Bertanya Ranggawuni, “Tentu kau berpikir bahwa jarak antara istanaku di Kota Raja sampai kehutan ini cukup jauh.”

“Hamba Tuanku.”

“Aku memang berkuda sampai ke hutan ini. Tetapi aku perintahkan para pengawalku pergi. Aku minta mereka menjemputku dua malam lagi, sehingga aku akan berada di tempat ini tiga hari dua malam.”

“O, jadi Tuanku baru hari ini juga mulai berburu.”

“Agaknya kita tidak terpaut lama. Kau datang lebih dahulu.”

“He” Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung, “O, ampun Tuanku. Hamba tidak mengerti.”

Ranggawunilah yang kemudian menjadi heran. Namun kemudian katanya, “Kau belum mengobati lukamu. Lakukanlah. Nanti kita akan berbicara tentang saat kehadiran kita masing-masing.

Empu Sanggadaru mengangguk dalam-dalam. Katanya “Hamba Tuanku. Hamba mohon maaf, bahwa hamba akan mengobati luka-luka hamba.”

Ranggawuni dan Mahisa Campaka pun kemudian melangkah mendekati harimau yg terkapar mati. Nampaknya harimau itu benar-benar masih utuh. Hanya dari mulutnya mengalir darah dari dalam tubuhnya yang agaknya telah remuk. “Bukan main” Desis Ranggawuni, “Harimau loreng yang jarang terdapat.”

“Terlampau besar bagi harimau biasa” Desis Mahisa Campaka.

“Suatu keuntungan bagi Empu Sanggadaru meskipun ia harus mengalami luka-luka.”

Lembu Ampal berdiri dengan menyilangkan tangan didadanya. Meskipun ia memperhatikan harimau itu pula, namun ia tidak kehilangan kewaspadaan, karena yang dikawal itu adalah orang yang sedang memerintah Singasari. Memang kadang-kadang kedua anak muda itu berbuat aneh. Sekali-kali mereka ingin melepaskan diri dari kungkungan jabatan. Oleh ketentuan-ketentuan yang menjemukan. Karena itu pulalah maka mereka kemudian telah pergi berburu dengan caranya, meskipun seperti yang dikatakan oleh Empu Sanggadaru adalah berbahaya sekali.

Dalam pada itu, Empu Sanggadaru dibantu oleh cantriknya telah mengobati lukanya. Empu Baladatu yang menungguinya sempat bertanya, “Apakah cara itu sering kali dilakukan oleh kedua anak muda itu?”

“Mereka memang sering berburu” Jawab Empu Sanggadaru, “Tetapi tidak dengan cara ini. Cara yang sangat berbahaya dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Semua orang akan menyalahkannya jika terjadi sesuatu atas mereka.”

Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka ia telah bertemu dengan kedua orang anak muda yang berada di puncak pemerintahan Singasari itu. “Kesempatan seperti ini jarang sekali dapat aku temukan” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Sepercik keinginan telah menyala di dalam hatinya, untuk melakukan sesuatu atas kedua orang itu. Namun ia masih belum sempat berkata apapun juga dengan kakaknya. Jika saja kakaknya sependapat, maka kedua anak muda itu bersama seorang pengawalnya akan dapat diselesaikannya tanpa ada orang yang mengetahuinya.

“Masih ada dua hari” Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, selagi perhatian Empu Baladatu terpusat kepada kedua anak muda itu, tiba-tiba saja ia terkejut mendengar Empu Sanggadaru bertanya, “Jika Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka tidak mempergunakan kuda di dalam hutan perburuan ini, jejak kuda siapakah yang baru saja kita ketemukan? Dan jika keduanya datang sesudah kita, siapakah yang sudah melukai binatang buruan di tepi belumbang itu?”

Empu Baladatu berpaling kepada cantrik yang membantu mengobati luka-luka Empu Sanggadaru. Agaknya cantrik itu pun juga berpikir tentang hal itu.

“Memang agak menarik perhatian Empu” berkata cantrik itu, “Meskipun kedua anak-anak muda itu senang sekali bergurau, tetapi agaknya mereka tidak bergurau tentang masa perburuan mereka kali ini. Agaknya keduanya benar-benar tidak berkuda dan datang setelah kita. Agaknya keduanya menemukan kawan-kawan kita yang menjaga kuda-kuda kita, dan dari merekalah kedua anak muda itu mengetahui hahwa Empu sudah berada di arena perburuan.”

“Mungkin juga demikian. Tetapi bukankah dengan demikian masih ada pertanyaan yang harus dijawab? Siapakah yang telah datang lebih dahulu dan berburu dengan kuda seperti yang sering dilakukan oleh Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka?”

Cantriknya mengangguk-angguk. Desisnya, “Itulah yang menarik. Bukankah selama ini kami belum pernah bertemu dengan orang lain yang berburu dengan cara itu, atau cara yang serupa dengan itu.”

Empu Sanggadaru termenung sejenak Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Baiklah. Kita akan mendapat kawan lagi untuk berlomba dalam perburuan. Mungkin kita akan dapat mengatur waktu bersama untuk menentukan masa perlombaan yang menarik di daerah perburuan ini.”

Cantrik itu pun menyahut, “Mungkin Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka mengetahui, siapakah yang telah mendahului kita. Atau bahkan para Senapati dari istana Singasari.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Memang mungkin ada orang lain yang berhuru seperti yang dilakukan oleh kedua anak muda itu. Mungkin Senapati yang pernah mengawalnya atau justru mereka memang mendapat perintah untuk mendahuluinya. “Nanti aku akan bertanya kepadanya” Gumam Empu Sanggadaru kemudian.

Setelah selesai mengobati lukanya, maka iapun kemudian mengemasi dirinya. Dari tempatnya ia melihat kedua anak muda yang sedang memperhatikan harimau yang telah dibunuhnya itu dengan saksama.

“Mereka menjadi heran” Berkata Empu Baladatu, “Tentu mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana kau berhasil membunuh harimau itu“

“O” Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya, “Tentu tidak. Keduanya memiliki kemampuan yang tidak dapat di gambarkan. Karena itu, maka mereka pun tentu tidak menjadi heran melihat harimau itu terbunuh. Yang justru mengherankan mereka adalah bahwa di hutan ini terdapat harimau loreng sebesar itu.”

Empu Baladatu lah yang menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kedua anak muda itu memiliki kemampuan untuk melakukannya?”

Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengelakkan pertanyaan itu dan berkata, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa.”

Empu Baladatu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, tiba-tiba saja Empu Sanggadaru berkata, ”Masih ada kemungkinan kita menemukan harimau loreng yang lain,“

“Darimana kakang mengetahuinya.”

“Harimau yang terbunuh itu adalah harimau betina. Jika ada harimau jantan yang mendampinginya, tentu harimau itu akan mencarinya. Harimau itu tahu benar apa yang telah terjadi dengan betinanya.”

“O” Empu Baladatu mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja mereka melihat kedua anak muda yang sedang mengamat-amati harimau yang terbunuh itu dengan tergesa-gesa mendekati Empu Sanggadaru. Dengan lantang Ranggawuni berkata, “Empu Sanggadaru, kau sudah mendapatkannya seekor. Jika masih ada seekor yang lain, aku mengingininya”

“Maksud Tuanku, jika harimau jantan itu mencarinya?"

“Ya. Biarkan harimau itu di tempatnya sampai malam nanti. Aku akan menungguinya di sini.”

“Tuanku akan menangkap harimau jantan itu?”

“Ya.”

Empu Baladatu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya wajah kakaknya yang ragu-ragu. Sebenarnyalah Empu Sanggadaru menjadi ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin memperingatkan, bahwa harimau itu memang berbahaya sekali, apalagi di malam hari. Tetapi jika ia berbuat demikian, maka jika kedua anak muda itu menjadi salah paham, mereka tentu menyangka, betapa sombongnya ia. Bahwa sesudah ia berhasil membunuh harimau itu, maka ia menganggap orang lain tidak akan dapat melakukannya.

Karena Empu Sanggadaru nampak ragu-ragu, maka Ranggawuni mendesaknya, “Kenapa kau ragu-ragu? Aku inginkan harimau yang seekor lagi.”

Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung. Namun dalam pada itu, Empu Baladatu berpikir lain. Kebetulan sekali jika anak muda itu berniat untuk menangkap harimau itu seperti yang dilakukan oleh Empu Sanggadaru. Bahkan ia pun kemudian bertanya, “Apakah Tuanku akan mempergunakan cara seperti yang dilakukan oleh kakang Sanggadaru?”

“Ya. Aku akan menangkap harimau jantan itu tanpa melukainya. Aku juga harus mempunyai kulit harimau loreng sebesar kepunyaan Empu Sanggadaru tanpa cacat. Dimasa perburuan yang lampau aku telah memenangkan perlombaan. Saat kami berpacu menangkap binatang buruan, akulah yang pertama. Sekarang aku pun harus dapat menyamainya jika ada kesempatan. Kecuali jika harimau itu tidak pernah ada lagi di hutan ini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Tuanku adalah anak muda yang perkasa. Tentu rakyat Singasari akan berbangga mempunyai seorang Maharaja yang memiliki kemampuan yang luar biasa.”

“Lupakan. Aku sedang berusaha melupakan segala-galanya dari kedudukanku. Aku kini adalah pemburu seperti kakakmu. Jika aku masih dibebani kedudukan istana itu, maka aku tidak akan berani berbuat apa-apa. Dan aku akan memanggil pengawal segelar sepapan hanya untuk menangkap seekor harimau “

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda ini memang mempunyai sifat yang agak aneh. Namun dalam pada itu Empu Baladatu berkata, “Ampun Tuanku. Hamba tidak mengerti maksud Tuanku. Tetapi agaknya Tuanku ingin melupakan tugas sehari-hari yang menjemukan di istana.”

“Ya.”

“Bukan main. Namun demikian, setidaknya hambalah yang akan menjadi saksi atas kebanggaan rakyat Singasari jika hamba dapat, melihat kemampuan Tuanku yang tidak ada taranya itu.”

“Aku baru akan mencoba” Sahut Ranggawuni.

“Ampun Tuanku.” Potong Lembu Ampal “Jika hamba boleh mengajukan permohonan, janganlah Tuanku lakukan. Sebenarnyalah sangat berbahaya untuk bertempur melawan seekor binatang buas. Apalagi di malam hari.”

Ranggawuni memandang Lembu Ampal dengan kerut merut dikeningnya. Lalu, “Tetapi kesempatan serupa itu tidak akan aku temui lagi paman.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Ranggawuni adalah orang yang keras bati, sehingga jika la berkemauan, sulitlah kiranya untuk mengurungkannya. Namun sekali ini, maksudnya benar berbahaya. Bertempur dengan seekor harimau yang besar dimalam hari.

“Paman” Berkata Ranggawuni kemudian, “Paman jangan cepat menjadi cemas. Harimau itu belum tentu ada.”

“Tetapi jika ada?”

“Apa salahnya aku menjajagi kemampuanku.”

“Tetapi tidak dengan seekor harimau loreng sebesar ini dan tanpa senjata. Jika Tuanku berkenan membawa sebatang tombak pendek atau pedang, atau bahkan hanya sebilah pisau aku tidak akan cemas. Aku yakin Tuanku akan dapat membunuh harimau sebesar apapun juga. Tetapi usaha membunuh harimau dengan tanpa melukainya adalah suatu pekerjaan yang sangat berat.”

Ranggawuni justru tertawa. Katanya, “Memang kebiasaan orang-orang tua adalah sangat berhati-hati. Tetapi juga sedikit tidak mempercayai anak-anak muda. Cobalah paman mempercayai aku.”

Lembu Ampal menjadi bimbang. Sekilas dipandanginya Mahisa Campaka yang sedang berdiri termangu-mangu, seolah-olah ia ingin berkata, “Kenapa tidak Tuanku berdua?”

Tetapi Mahisa Campaka yang merasa dipandang oleh Lembu Ampal justru berkata, “Jika kakanda Ranggawuni memberikan kesempatan itu kepadaku, aku akan menerima dengan senang hati.”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Aku lebih tua daripadamu adinda. Sebaiknya aku sajalah yang melakukannya.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Empu Sanggadaru menjadi semakin bingung.

“Tuanku” Empu Baladatu lah yang kemudian berkata, “Kenapa Tuanku ragu-ragu. Seluruh Singasari akan berbangga dengan kemampuan Tuanku.”

“Ah. Jangan memuji seperti terhadap anak-anak yang segan mandi begitu mPu. Aku memang tidak ragu-ragu. Tetapi bukan karena aku mengharapkan pujian dari siapapun. Aku sekedar ingin menjajagi kemampuanku. Tidak sebagai kebanggaan dan apalagi untuk memperkuat kedudukanku.”

Wajah Empu Baladatu menjadi kemerah-merahan. Ternyata anak muda itu memiliki tanggapan yang tajam. Meskipun demikian ia berkata, “Ampun Tuanku. Bukan maksud hamba memuji Tuanku seperti memuji kanak-kanak. Setidaknya hamba sendiri benar-benar telah mengagumi Tuanku, meskipun baru niat yang terbesit dihati Tuanku. Dengan demikian hamba mengetahui, betapa kuatnya kemauan yang tersimpan di dalam dada Tuanku seperti juga kemauan untuk memerintah dengan sebaik-baiknya.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Ampal telah mendahului. “Empu. Agaknya kau pun orang yang luar biasa seperti kakakmu, Empu Sanggadaru. Kau selalu ingin menyaksikan peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Setelah kau menyaksikan pekelahian antara Empu Sanggadaru dengan seekor harimau raksasa ini, maka kau masih menunggu peristiwa yang serupa?”

“Ah” Desis Empu Baladatu, “Bukan maksudku. Tetapi semuanya itu terdorong oleh kekagumanku kepada Tuanku Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Campaka.”

“Maaf Empu” Sahut Ranggawuni, “Aku melakukannya tidak atas pengaruh perhatian orang lain. Aku melakukan karena keinginanku sendiri. Jika keinginanku tidak mendesak, justru sikap Empu telah mengendorkan niatku.”

Empu Baladatu akhirnya menyadari, bahwa tanggapan yang tajam itu pada suatu saat akan dapat mengungkap niatnya yang sebenarnya apabila ia masih saja berkeras ingin memuji dan mendorong niat itu.

Sebenarnyalah Lembu Ampal pun merasakan sesuatu yang kurang wajar pada Empu Baladatu. Namun ia mencoba membatasi dirinya dengan prasangka yang baik. Ia membatasi dirinya dengan dugaan, bahwa Empu Baladatu memang hanya sekedar ingin melihat perkelahian yang tentu akan dahsyat sekali...