Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 16
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ANAK MUDA itu tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja ia pun sudah siap untuk melepaskan ilmunya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat selangkah kedepan mendekati salah seorang pengawal yang agaknya sedang mempersiapkan diri.

Agaknya seperti yang telah diperhitungkan, kedua orang lawan yang tinggal itu tidak mau bertempur seorang demi seorang melawan anak muda itu. Apa bila salah seorang dari mereka harus menghadapinya, maka yang lainnya akan mempergunakan ilmunya untuk membinasakan siapa saja yang akan tersentuh tangannya. Namun tanpa berjanji agaknya mereka telah mempersiapkan diri untuk bersama-sama menghadapi anak muda itu.

Akan tetapi anak muda itu bergerak lebih cepat. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia telah meloncat menyerang seorang dari kedua orang pengawal yang tersisa itu. Lawannya tidak menduga bahwa anak muda itu akan bergerak begitu cepatnya. Karena itulah maka mereka menjadi agak bingung sekejap. Akan tetapi kemudian mereka sadar bahwa mereka harus melindungi diri mereka dengan ilmu puncak yang ada pada mereka.

Namun jarak mereka dengan anak muda itu ternyata tidak sama panjang. Yang seorang berdiri lebih jauh dari yang lain. Meskipun perbedaan jarak itu tidak terlalu berpengaruh, namun dengan demikian mereka tidak akan dapat membenturkan ilmu mereka berbareng dalam sekejap. Tapi dengan demikian maka benturan yang kemudian akan menjadi amat berbahaya bagi anak muda itu karena sebagian besar kekuatannya telah terhempas pada benturan yang pertama dengan puncak ilmu hitam salah seorang dari kedua iblis yang tinggal itu.

Anak muda itu tak sempat berbuat lain. Karena itu, maka ia pun akan menanggung akibat itu seandainya harus terjadi. Tetapi dalam pada itu, ternyata Tapak Lamba dan Ki Buyut beserta orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun tidak tinggal diam. Terutama Tapak Lamba dan ketiga kawannya serta Ki Buyut sendiri. Mereka pun mengerti, bahwa sangat berbahaya bagi anak muda itu untuk membentur dua kekuatan dalam waktu yang hampir bersamaan. Karena itulah, maka dengan kemampuan yang ada pada mereka, maka mereka pun mencoba untuk membantunya.

Pada saat, salah seorang dari kedua iblis itu siap menghadapi lawannya, maka Tapak Lamba dan kawan-kawannya serta Ki Buyut telah dengan serentak menyerang iblis yang lain dari segenap arah. Mereka melepaskan segenap kemampuan yang ada dalam diri mereka. Bahkan untuk mengikat mereka dalam waktu yang lebih panjang, maka kawan-kawan Tapak Lamba bukan saja menyerang, tetapi mereka telah melempar lawannya itu dengan senjata-senjata mereka.

Meskipun pengawal itu berada dalam puncak ilmunya, tetapi ia tidak menjadi kebal karenanya. Karena itu, maka ia harus menghindari lontaran-lontaran senjata yang mengarah ke tubuhnya. Agaknya saat-saat menghindarkan diri itu memerlukan waktu yang meskipun sangat pendek, tetapi cukup berpengaruh atas keseluruhan dari perkelahian itu.

Pada saat iblis yang seorang sibuk menghindari lemparan senjata itulah, telah terjadi benturan yang sangat dahsyat, Anak muda yang menyerang itu masih sempat menghindar sambaran senjata iblis yang berilmu hitam, karena hal itu memang sudah diperhitungkan. Dengan sisi telapak tangannya yang dilambari ilmu puncaknya ia berhasil mematahkan senjata iblis itu, dan kemudian ilmu mereka pun telah saling berbenturan.

Akibat yang terjadi memang sudah dapat diperhitungkan. Pengawal yang telah mengkhianati Ki Buyut itu terlempar jatuh di tanah untuk tidak bangun lagi selama-lamanya. Ternyata bahwa usaha Tapak Lamba dan Ki Buyut membawa pengaruh juga atas pertempuran itu. Kawannya yang seorang itu pun tiba-tiba mengumpat. Ia melihat kawannya telah meloncat, membentur lawannya, dan terlempar jatuh.

Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan lagi serangan Ki Buyut dan Tapak Lamba serta kawan-kawannya. Selagi anak muda itu masih belum dapat menghimpun kekuatannya kembali, maka ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Waktunya memang terlampau pendek bagi anak muda itu. Tetapi ia tidak sekedar dibakar oleh kemarahan dan nafsu semata-mata. Ia masih sempat mempergunakan pikirannya. Karena itulah, ia sama sekali tidak membenturkan dirinya pada serangan itu. Dengan serta merta, ia pun segera meloncat menghindar, dan bahkan meloncat jauh-jauh dari lawannya.

Agaknya lawannya pun mengetahui bahwa anak muda itu berusaha mendapatkan waktu untuk membangunkan kembali kekuatan puncaknya. Karena itu, maka ia pun cepat memburunya dengan serangan yang dahsyat. Senjatanya terayun deras segera dilambari oleh ilmu puncaknya. Namun anak muda itu menyadari, bahwa peranan senjata itu tidak begitu penting di dalam puncak ilmunya. Karena itu, maka ia pun sekedar menghindar pula dan sekali lagi meloncat menjauh.

Lawannya tidak melepaskannya. Ia pun memburu dengan senjata terjulur, hampir menembus perut anak muda itu. Namun tiba-tiba terasa tangannya menjadi nyeri oleh pukulan telapak tangan lawannya pada pergelangannya. Ketika senjatanya kemudian terlepas, maka ia tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan dahsyatnya ia memburu kemanapun anak muda itu menghindar.

Akhirnya, anak muda itu memang tidak dapat menghindar lagi. Meskipun ia belum berhasil membangunkan ilmunya sampat kepuncak, maka benturan tidak dapat dihindarkan lagi. Sekali lagi telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Setali lagi orang-orang yang ada di halaman itu melihat, betapa orang terakhir dari ketiga pengawal berilmu hitam itu jatuh di tanah. Namun agaknya kali ini ia tidak langsung terbunuh seperti kedua kawannya yang lain. Sambil memegangi dadanya ia berusaha untuk bangkit betapapun sulitnya.

Sementara itu, anak muda yang tidak dikenal namanya, baik oleh Ki Buyut maupun oleh Tapak Lamba itu terlempar beberapa langkah. Keletihan yang sangat, apalagi saat benturan itu terjadi, ia masih belum sampai kepada puncak kekuatannya, telah membuatnya tertatih-tatih. Bahkan kemudian ia pun jatuh terduduk, tepat pada saat lawannya berhasil berdiri dengan kesulitan.

Dengan wajah yang merah kebiru-biruan, orang itu melangkah satu-satu mendekati anak muda yang terduduk dengan lemahnya. Anak muda yang telah membenturkan ilmunya tiga kali berturut-turut, bahkan benturan ketiga terjadi terlampau cepat setelah benturan yang kedua, sehingga kekuatannya seolah-olah masih belum terungkat seluruhnya, setelah dilepaskannya sampai tuntas pada benturan sebelumnya.

Semua orang yang menyaksikan keadaan itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat pengawal yang seorang itu tertatih-tatih mendekati dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian. Anak muda yang terduduk di tanah itu masih tetap berada di tempatnya. Ia melihat lawannya datang mendekatinya. Namun agaknya tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga ia tidak dapat beringsut pergi.

Yang dapat dilakukan kemudian adalah justru duduk dengan tenangnya. Kedua kakinya disilangkan seperti kedua tangannya yang bersilang pula di dadanya. Matanya yang redup membayangkan hatinya yang pasrah menghadapi semua kemungkinan. Namun dengan sepenuh hati memanjatkan permohonan kepada Yang Maha Agung agar di diselamatkan dari tangan iblis yang hitam legam itu.

Anak muda itu masih belum dapat beringsut ketika orang yang mendekatinya setapak-setapak itu menjadi semakin dekat. Bahkan yang kemudian menjulurkan tangannya sambil menggeram, “Aku akan mencekikmu sampai mati.”

Tetapi ketika orang itu setapak lagi maju, ia menjadi terhuyung-huyung. Tangannya yang terjulur bagaikan telah merusak keseimbangan tubuhnya yang memang belum menjadi mantap. Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia bagaikan batang ilalang kering yang didorong oleh sentuhan angin yang kuat sehingga ketika kakinya selangkah lagi bergeser, maka ia pun telah jatuh terjerembab, tepat di hadapan anak muda yang masih duduk bersila, mengheningkan hati untuk memohon agar kekuatannya dipulihkan kembali.

Anak muda itu melihat lawannya terjatuh beberapa jengkal saja di hadapannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Juga seandainya lawannya itu bangkit lagi dan mencekiknya. Tetapi ternyata lawannya itu tidak bangun lagi. Ia masih menggeliat dan mencoba menggapai dengan tangannya yang kehitam-hitaman, dan jari-jarinya yang mengembang bagaikan hendak menerkam dan meremasnya. Tetapi tangan itu pun kemudian melemah dan kehilangan kekuatan setelah hampir menyentuh kulitnya.

Iblis yang terakhir itu pun kemudian mati di hadapan anak muda yang duduk diam sambil mencoba memulihkan kekuatannya. Sejenak halaman itu dicengkam oleh ketegangan. Semua orang berdiri tegak bagaikan patung. Nyai Buyut yang duduk di pendapa pun seolah-olah telah membeku di tempatnya.

Ia telah pernah menyaksikan berpuluh-puluh kali kematian bahkan dengan cara yang paling mengerikan. Namun baru saat itu ia menyadari, betapa kematian itu dapat menumbuhkan ketakutan dan kengerian. Setiap kali ia membunuh di bagian belakang rumahnya, dan yang sebenarnya dilakukan oleh ketiga iblis itu pula, ia tidak mengerti, betapa perasaan yang paling menyiksa telah menghinggapi korban-korbannya.

Ia baru menyadari, setelah ia sendiri mengalaminya. Betapa ia disiksa kecemasan dan bahkan ketakutan ketika ia melihat satu demi satu pengawalnya terkelupas oleh lingkaran iblis di halaman rumahnya itu. Betapa ia membayangkan saat kematian yang menjadi semakin dekat.

Terasa sesuatu telah menyumbat dadanya disaat terakhir. Disaat kematian itu rasa-rasanya sudah mulai meraba ujung rambutnya. Namun kini ia telah terlepas dari jari-jari maut itu. Ketiga pengawalnya yang berkhianat itu telah terbunuh oleh seorang anak muda yang tidak dikenalnya.

“Jika anak muda itu mengetahui siapakah kami, apakah ia mau menolongnya pula?” pertanyaan itu telah membersit di hati Nyi Buyut.

Tetapi ternyata bukan saja di hati Nyi Buyut, tetapi juga di hati Ki Buyut. Namun rasa-rasanya yang mendatang adalah suatu kesempatan baginya untuk melakukan cara hidup yang lain, yang barangkali lebih baik dari cara yang pernah ditempuhnya.

Sejenak kemudian orang-orang di halaman itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang dahsyat ketika mereka melihat anak muda itu terbatuk. Mereka melihat setitik darah di bibirnya. Namun kemudian anak muda itu mengusapnya dan sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, seolah-olah udara di seluruh padukuhan itu akan dihisapnya.

Perlahan-lahan anak muda itu pun berdiri. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi, seperti orang yang menggeliat dipagi hari demikian ia bangun dari pembaringan. Tidak seorang pun yang bertanya sesuatu kepadanya. Mereka hanya menyaksikan anak muda itu mengambil sesuatu dari sebuah bumbung kecil di kantong ikat pinggang kulit yang besar yang melilit di lambungnya.

Namun setiap orang menduga, bahwa anak muda itu sedang berusaha mengobati dirinya sendiri dengan obat yang dibawanya. Ternyata dugaan mereka tidak salah. Sejenak kemudian nampak anak muda itu menjadi semakin segar. Wajahnya yang pucat, perlahan-lahan menjadi kemerahan. Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dikembangkannya tangannya seolah-olah ia ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kekuatannya telah tumbuh kembali meskipun belum pulih sama sekali.

Ki Buyut dan Tapak Lamba menyaksikan sikap anak muda itu dengan berharap-harap cemas. Seolah-olah mereka pun menjadi bagian dari keadaan anak muda itu dalam keseluruhan. Jika anak muda itu menjadi bertambah baik, rasa-rasanya mereka pun akan menjadi bertambah baik pula.

Sejenak kemudian barulah anak muda itu melangkah mendekati mereka. Sambil memandang berkeliling ia berkata, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi disini?”

Ki Buyut menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ketiga orang itu adalah pengawal-pengawalku anak muda. Tetapi pada suatu saat, mereka telah melawanku.”

“Mereka adalah orang yang sangat berbahaya dengan ilmu hitamnya.”

“Kami mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Sanak telah menyelamatkan jiwa kami.”

“Kalian pun telah menyelamatkan aku. Jika kalian tidak berusaha menahan orang terakhir dari ketiga orang itu dengan mengganggunya saat ia memusatkan kekuatannya, maka aku kira aku pun telah mati pula. Setidak-tidaknya aku akan menjadi terluka parah.”

“Tetapi kedatangan anak muda di padukuhan ini telah menyebabkan beberapa jiwa terselamatkan. Jika Ki Sanak tidak datang ke padukuhan terpencil ini, maka kami semuanya akan menjadi bahan permainan ketiga iblis itu dengan cara yang sangat mengerikan.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Apakah ia pernah berbuat sesuatu di padukuhan ini sebelum ia berkhianat kepada ki Buyut?”

Ki Buyut menjadi bingung. Apakah ia harus berterus terang atas apa yang pernah dilakukannya selama ini bersama ketiga orang itu? Dalam kebimbangan ia memandang Tapak Lamba seolah-olah ingin mendapat petunjuk apakah yang sebaiknya dikatakan kepada anak muda yang telah menyelamatkan jiwa mereka itu.

Tapak Lamba pun ragu-ragu sejenak Namun kemudian ia berkata kepada Ki Buyut, “Ki Buyut. Bukankah anak muda ini pernah bertanya atau menyebut-nyebut daerah bayangan hantu. Dengan demikian, maka cara yang kalian tempuh selama ini untuk bersembunyi tidak berhasil seluruhnya, karena masih ada juga kecurigaan terhadap daerah ini. Ternyata ada segolongan orang yang telah memberikan nama yang tepat kepada padukuhan ini, daerah bayangan hantu.”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya kepada anak muda itu, “Darimanakah Ki Sanak mendapatkan nama itu?”

“Tetapi bukankah Ki Buyut telah membenarkan pada saat aku mendekati perkelahian yang sedang berlangsung bahwa daerah inilah yang disebut daerah bayangan hantu?”

“Anak muda, saat itu aku hanya bermaksud untuk menakutimu agar kau pergi dari tempat ini dan tidak terlibat perkelahian dengan ketiga iblis itu. Tetapi justru kaulah yang telah berhasil membinasakannya.”

“Terima kasih atas usahamu menyelamatkan aku Ki Buyut. Tetapi kenapa daerah ini merupakan daerah yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitar hutan di seberang.“ anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi menilik kehadiran ketiga iblis itu, daerah ini memang sepantasnya disebut daerah bayangan hantu.”

Ki Buyut tidak segera menjawab. Ia menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dikatakannya.

“Ki Buyut.“ berkata anak muda itu, “Aku ingin mendapat keterangan yang sebenarnya. Ketiga orang itu sudah mati. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Coba, katakanlah, apakah mereka sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dimengerti oleh kita pada umumnya, yang tidak menganut ilmu hitamnya yang mengerikan itu?”

“Maksud anak muda?”

“Ilmu hitam itu dibayangi oleh kebiasaan yang buruk sekali. Membunuh dengan cara yang tidak masuk akal.”

“O.“ Ki Buyut menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menyahut.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh isak tangis Nyai Buyut di pendapa. Ia tidak dapat beringsut dari tempatnya. Tetapi ia mendengar semua percakapan itu, sehingga akhirnya ia berkata, “Ya anak muda. Kau benar. Kami semuanya di sini telah dijangkiti oleh penyakit yang gila itu. Aku pun telah dijalari oleh kebiasaan membunuh dengan cara yang tidak masuk akal.”

“Jadi kalian juga pernah melakukannya.”

“Anak muda.“ potong Ki Buyut. Tetapi Nyi Buyut mendahului, “Ya. Tetapi sama sekali bukan maksud kami. Kami tiba-tiba saja telah terjerumus kedalam kebiasaan itu di luar kesadaran kami, karena kebiasaan itu rasa-rasanya memang sangat menyenangkan.”

Anak muda itu menjadi tegang. Lalu, “Jadi kalian juga memiliki ilmu iblis itu?”

Nyi Buyut termangu-mangu sejenak. Dipandanginya suaminya yang ragu-ragu. Namun kemudian Ki Buyut pun berkata, “Tidak Ki Sanak. Kami tidak memiliki ilmu itu. Kami hanya sekedar terseret oleh kebiasaannya membunuh dengan cara-cara yang mengerikan.”

“Kenapa kalian melakukannya?”

Ki Buyut tidak segera menyakut. Ia ragu-ragu untuk mengatakan alasan yang sebenarnya, bahwa mula-mula ia hanya didorong oleh keinginannya untuk menghilangkan jejak persembunyiannya. Agar tidak seorang pun yang dapat menceriterakan tentang dirinya, maka semua orang yang pernah menemukannya bersembunyi dipadukuhan itu harus dilenyapkan, dibumbui oleh kebiasaan pengawalnya, maka jadilah padukuhan itu daerah bayangan hantu.

Namun yang kemudian dikatakannya adalah, “Ki Sanak. Kami tidak tahu, kenapa kami pun terseret kepada kebiasaan itu. Mula-mula bukan maksud kami. Tetapi lambat laun, kami pun terbiasa membunuh.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa mula-mula Ki Buyut hanya sekedar ingin menyembunyikan diri. Namun ia pun tidak dapat mengatakannya kepada anak muda yang belum dikenalnya itu.

“Ki Buyut.“ berkata anak muda itu kemudian, “Apakah Ki Buyut kini menyadari bahwa yang pernah Ki Buyut lakukan adalah perbuatan yang salah?”

“Tentu Ki Sanak. Karena itu pulalah agaknya maka telah terjadi perkelahian di antara kami. Kedatangan kawanku itu agaknya telah membuka mataku, bahwa seharusnya aku tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan serupa itu. Tetapi ketiga pengawalku itu memaksaku untuk berbuat demikian seterusnya.”

“Tentu Ki Buyut. Ketiga iblis itu harus melakukannya terus. Adalah menjadi salah satu ketentuan bagi mereka, bahwa mereka harus membunuh dan membunuh. Mereka harus membiasakan diri melihat darah menitik dari tubuh korbannya, dan kadang-kadang dilakukannya dengan cara yang paling terkutuk. Untuk memperkuat ilmunya, maka seakan-akan mereka harus memberikan korban darah bagi kepercayaannya itu.”

“Gila.“ desis Nyi Buyut, “Ternyata kami telah menjadi alat yang paling baik bagi mereka untuk mendapatkan korban-korban baginya.”

“Agaknya memang demikian meskipun aku pun menjadi heran bahwa Ki Buyut dan para bebahu padukuhan ini dapat terseret ke dalam tingkah lakunya itu. Dan yang akhirnya Ki Buyut dan bebahu padukuhan ini tidak dapat lagi keluar dari dalamnya.”

“Ya. Itulah yang sangat aku sesali.“ sahut Ki Buyut, “Namun demikian, aku tidak pernah memberikan korban orang-orang ku sendiri.”

“Itulah sebabnya bagi orang diluar daerah ini menyebut daerah ini sebagai daerah yang dibayangi oleh hantu-hantu. Ternyata daerah ini memang tinggal tiga orang iblis yang berhasil membujuk Ki Buyut dan bebahu daerah ini untuk berbuat keji seperti tingkah laku hantu yang sebenarnya.”

“Ya. Kami menyesal sekali.“ Ki Buyut menundukkan kepalanya.

“Ki Buyut.“ berkata anak muda itu, “Apakah Ki Buyut dapat membawa aku ketempat pembantaian yang sering dilakukan oleh ketiga iblis itu?”

“O. jangan anak muda. Tempat itu mengerikan sekali. Aku yang sekarang menyadari betapa tingkah lakuku benar-benar bagaikan iblis itu, tidak berani lagi membayangkan apa yang ada di dalam ruang pembantaian itu.”

“Tetapi aku ingin melihatnya.”

Tapak Lamba pun tiba-tiba saja menyela, “Aku pun ingin melihatnya Ki Buyut.”

Anak muda itu memandang Tapak Lamba dengan heran. Bahkan kemudian ia pun bertanya, “Jadi kau bukan bebahu pedukuhan ini?”

“Aku bukan.“ jawab Tapak Lamba, “Aku datang berempat. Tetapi yang lain adalah bebahu padukuhan ini.”

“Justru ia nyaris menjadi korban terakhir anak muda.“ berkata Ki Buyut, “Ia adalah sahabatku yang sudah lama sekali tidak bertemu. Orang itulah yang memberikan kesadaran padaku, bahwa cara hidup ini tidak dapat berlangsung lebih lama lagi. Aku pun menjadi sadar, bahwa hal ini memang harus dihentikan.”

Anak muda itu mengangguk-angguk, dan sekali lagi meminta kepada Ki Buyut, “Aku benar-benar ingin melihat alat-alat yang tentu sudah diciptakan oleh iblis-iblis itu Ki Buyut.”

Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Meskipun ketika mereka mulai melangkah, Nyi Buyut di pendapa telah memekik kecil. Ki Buyut tertegun sejenak. Lalu katanya, “Ki Sanak. Isteriku telah lumpuh. Maaf, aku akan membawanya masuk lebih dahulu.”

Anak muda itu tidak berkeberatan. Dibiarkannya Ki Buyut membawa isterinya masuk lebih dahulu ke rumahnya.

“Kenapa kau bawa mereka.“ berkata Nyi Buyut kepada suaminya, “Tempat terkutuk itu harus dimusnakan. Semuanya. Aku muak melihatnya. Bahkan jika benda-benda itu masih ada, mungkin aku akan mempergunakannya untuk membunuh diri.”

“Aku akan memusnakannya Nyai.“ berkata Ki Buyut, yang kemudian meninggalkannya isterinya di dalam biliknya dan membawa tamu-tamunya kebagian belakang rumah. Tempat yang selama itu menjadi tempat yang sangat rahasia bagi orang lain.

Anak muda yang telah menolong Ki Buyut itu mengikutinya dengan hati yang berdebar-debar. Di belakangnya berjalan Tapak Lamba dan ketiga kawannya. Meskipun mereka adalah orang-orang yang tidak gentar melihat darah, namun hati mereka pun menjadi serasa menyempit. Ketika mereka semuanya memasuki sebuah bilik yang besar, di bagian belakang halaman rumah Ki Buyut, mereka hampir tidak percaya akan penglihatan mereka. Rasa-rasanya mereka benar-benar telah berada di dalam neraka yang paling jahanam.

Anak muda itu tidak dapat tinggal beberapa kejap saja di dalam bilik itu. Demikian ia masuk, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah melangkah keluar. Demikian juga Tapak Lamba dan ketiga kawan-kawannya. Bahkan Ki Buyut sendiri, tiba-tiba menjadi pening melihat segala macam benda yang ada di dalam bilik itu. Benda yang tidak pantas dibuat oleh tangan-tangan manusia yang mempunyai akal tetapi juga budi.

“Mengerikan sekali.“ desis anak muda itu.

“Ya anak muda.“ sahut Ki Buyut, “Tanpa tiga orang iblis itu, maka bilik yang besar itu akan segera musnah.”

“Jadi benar iblis itu yang menciptakannya?”

“Ya. Dibumbui oleh keadaan yang kalut dari keluarga kami. Ayah tiri isteriku yang serakah, dendam keluarga dan keadaanku sendiri yang gelap, merupakan tempat yang subur bagi ketiga iblis itu untuk menciptakan neraka yang mengerikan itu.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sudahlah Ki Buyut. Apa yang aku lihat telah mengatakan kepadaku, apa saja yang pernah terjadi disini. Padukuhan ini benar-benar menjadi daerah yang dapat disebut daerah bayangan hantu. Agaknya ada juga orang-orang yang berhasil mencium peristiwa yang telah terjadi disini. Mungkin tidak ada orang yang dapat keluar lagi dari padukuhan ini apabila ia telah memasukinya. Tetapi justru orang-orang padukuhan ini sendirilah yang telah menceriterakan kepada orang lain, apabila mereka memerlukan sesuatu di luar daerah ini.”

“Orang-orang dipadukuhan ini pun tidak banyak yang mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Agaknya memang satu dua orang saja. Tetapi mereka adalah orang-orang biasa yang dapat saja menjadi khilaf sehingga sepatah dua patah kata, terloncat dari bibir mereka, apakah yang telah terjadi di daerah ini, sehingga di balik hutan sebelah itu, diberitakan orang ada sebuah daerah yang disebut daerah bayangan hantu. Jalma mara, jalma mati, sato mara sato mati."

Ki Buyut mengangguk-angguk.

“Sudahlah Ki Buyut. Aku harap bahwa daerah ini tidak lagi menjadi daerah yang mengerikan itu. Biarlah padukuhan ini menjadi padukuhan yang sewajarnya. Dengan demikian maka padukuhan ini tentu akan dapat berkembang. Hutan di sebelah adalah hutan yang rindang. Bukan hutan lebat yang dapat membatasi perkembangan daerah terpencil ini.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak juga dapat mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang memang sengaja menyembunyikan diri dari pergaulan hidup. Namun akhirnya Ki Buyut itu pun bercermin pada Tapak Lamba. Meskipun ia justru tinggal di kota, namun ia berhasil menyingkirkan dirinya dari pengamatan prajurit-prajurit Singasari.

Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata, “Terima kasih anak muda. Aku akan mencoba untuk melakukannya. Mudah-mudahan padukuhan ini akan segera menjadi padukuhan yang sewajarnya seperti padukuhan-padukuhan lain. Namun demikian kami sadar, bahwa padukuhan ini tentu akan kehilangan ketenangannya.”

“Ya. Aku pun berpendapat demikian. Padukuhan ini akan kehilangan ketenangan dan kedamaiannya. Tetapi ketahuilah Ki Buyut, bahwa ketenangan dan kedamaian yang nampak pada wajah padukuhan ini adalah ketenangan dan kedamaian yang kelam, karena dibalik ketenangan dan kedamaian itu, telah terjadi peristiwa-peristiwa yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang berhati iblis.”

Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ki Buyut. Biarlah orang-orang Ki Buyut menguburkan korban-korban yang masih berserakan. Bilik itu memang harus dimusnahkan bersama segala isinya. Alat-alat yang telah diciptakan oleh ketiga orang itu tidak boleh dilihat oleh orang lain, sehingga tidak menimbulkan dorongan bagi mereka yang memiliki hati yang lemah untuk melakukan perbuatan serupa dalam pengaruh ilmu hitam. Karena ilmu itu memang memerlukan darah pada saat-saat tertentu.”

Kulit tubuh Ki Buyut meremang. Jika biasanya ia berada didalam bilik itu dengan kesenangan yang rasa-rasanya melonjak didasar hatinya, maka kini ia merasa bahwa saat-saat yang demikian adalah saat iblis berkuasa di dalam dirinya. “Aku akan membakar bilik itu.“ berkata Ki Buyut. “Sekarang juga aku akan melakukannya.”

“Itu akan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan banyak orang jika Ki Buyut melakukannya dengan tiba-tiba. Jika Ki Buyut memang akan membakarnya, Ki Buyut harus memberitahukannya kepada penduduk padukuhan ini.”

“Tetap mereka tidak tahu, bahwa di belakang rumah ini ada sebuah bilik seperti isi nereka ini.”

“Ki Buyut tidak perlu memberitahukannya. Ki Buyut. dapat mengatakan, bahwa Ki Buyut merasa perlu membakar rumah yang berada di halaman belakang karena sesuatu sebab.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia memang dapat mencari alasan apa saja yang dapat diterima oleh penduduk padukuhan itu. “Baiklah anak muda.“ katanya, “Aku akan mengatakan kepada penduduk di padukuhan ini, bahwa aku perlu membakar lumbungku yang sudah kosong, sebagai korban yang akan dapat membuat padukuhan ini menjadi lebih subur seperti perintah Dewa-Dewa yang aku dengar di dalam mimpi.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Kau memang terbiasa memperbodoh rakyatmu. Tetapi mudah-mudahan kali ini adalah kali yang terakhir Sebab jika kau terlampau sering melakukannya, maka nilai perintah Yang Maha Agung akan menjadi turun dimata mereka, karena setiap kali mereka mendengar ucapan semacam itu. padahal, sama sekali bukannya yang sebenarnya demikian.”

“Baiklah anak muda. Aku mengerti.”

“Lakukanlah. Aku akan minta diri meninggalkan daerah ini. Tetapi sepeninggalku, hati-hatilah Mungkin ada orang yang mencari ketiga iblis yang terbunuh itu. Katakanlah kepada mereka, bahwa akulah yang telah membunuhnya, agar mereka mencurahkan dendamnya kepadaku.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun kemudian bertanya, ”Siapakah anak muda ini sebenarnya? Anak muda sudah menolong kami. melepaskan kami dari kesulitan yang akan dapat membawa jiwa kami. Tetapi kami belum tahu si apakah Ki Sanak ini.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya namaku tidak penting bagi kalian. Jika bukan karena kemungkinan datang pembalasan dari keluarga atau saudara-saudara seperguruan ketiga iblis itu, aku tidak perlu menyebut namaku.”

“Nama Ki Sanak sangat penting bagi kami, agar kami setiap kati dapat menyebut nama Ki Sanak dihadapan anak cucu kami.”

Anak muda itu tertawa. Katanya kemudian, “Baiklah. Orang tuaku memberi nama kepadaku, Mahisa Bungalan.”

“Mahisa Bungalan, putera Mahendra.“ tiba-tiba saja Tapak Lamba menyebutnya dengan lantang di luar sadarnya.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dipandanginya Tapak Lamba sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Darimanakah kau pernah mendengar namaku dan nama ayahku?”

Barulah Tapak Lamba sadar akan keterlanjurannya. Karena itu untuk beberapa saat ia bingung. Dipandanginya Ki Buyut dan anak muda itu berganti-ganti. Namun mereka tidak memberikan kesan apapun yang dapat membuka jawaban bagi pertanyaan yang sulit itu. Namun akhirnya ia pun menjawab. “Anak muda, aku memang pernah mendengar nama Mahisa Bungalan putera Mahendra. Aku telah pernah mendengar pula nama orang-orang yang memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni.”

“Bukan setingkat dengan ayah Mahendra, tetapi keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu puncak di Singasari sekarang. Sedang ayah tentu bukan apa-apa bagi mereka.”

“Itu adalah ciri dari orang-orang mumpuni.“ berkata Tapak Lamba kemudian, “Anak muda adalah orang yang sangat rendah hati.”

“Ah. Sudahlah. Nama seseorang memang dapat saja didengar oleh orang lain. Nama ayah. nama pamanda Witantra yang juga bergelar Panji Pati-pati. Nama pamanda Mahisa Agni yang tidak ada duanya, nama pamanda Lembu Ampal dan mungkin masih banyak nama lagi.“ ia berhenti sejenak lalu, “Yang penting, katakan saja nama-nama itu kepada setiap orang yang akan membalas dendam kematian ketiga iblis berilmu hitam itu. Aku tidak berkeberatan. Setiap saat aku akan bersedia membuat perhitungan dengan perguruan mereka yang masih belum aku ketahui. Ilmu mereka adalah ilmu yang menurut pengamatanku sudah lama hilang dari Singasari, namun yang kini tiba-tiba saja telah muncul di daerah terpencil yang kemudian disebut daerah bayangan hantu.”

“Baiklah anak muda. Aku akan mencoba menyebut nama-nama itu. Terutama nama Mahisa Bungalan.”

“Pamanda Witantra dan pamanda Mahisa Agni tentu akan membantuku jika pada suatu saat aku menemui kesulitan dengan ilmu hitam itu. Ilmu yang sudah lama sekali hilang.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi Tapak Lamba nampak gelisah. Meskipun demikian ia berusaha untuk melenyapkan segala macam kesan dari wajahnya. Sejenak kemudian anak muda itu benar-benar meninggalkan rumah Ki Buyut. Meskipun Ki Buyut mencoba menahannya untuk sekedar memberikan semangkuk air untuk obat haus, namun anak muda itu menggelengkan kepalanya sambil berkata,

“Aku akan minta sebutir kelapa muda nanti diperjalanan. Sekarang aku tidak haus meskipun aku baru saja bertempur melawan iblis-iblis itu.”

“O.“ Ki Buyut dengan tergopoh-gopoh memanggil seorang pembantunya. “Ia akan memanjat sekarang juga anak muda.”

Sekali lagi Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak sekarang Ki Buyut. Nanti di perjalanan.”

“Sekarang Ki Sanak akan pergi kemana?“ bertanya Ki Buyut.

“Aku adalah seorang pengembara. Tetapi agaknya aku akan kembali menyeberangi hutan itu karena aku sudah melihat daerah yang disebut daerah bayangan hantu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu, “Aku berharap bahwa setiap kali anak muda dapat singgah kepadukuhan ini.”

Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun bertanya dengan nada datar, “Apakah gunanya setiap kali aku harus datang kemari?”

“Tidak apa-apa anak muda. Tetapi kau sudah pernah menyelamatkan kami dari terkaman iblis itu. Dengan demikian maka kau adalah orang yang mempunyai arti tersendiri bagi padukuhan ini.“ jawab Ki Buyut, lalu, “Selebihnya, mungkin kau dapat membantu melindungi kami jika tumbuh persoalan yang berkepanjangan dengan keluarga atau perguruan iblis yang mengerikan itu.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan. Jika mencari orang yang membunuh ketiga iblis itu. sebutlah namaku. Mahisa Bungalan, anak Mahendra.”

“Baiklah anak muda. Mudah-mudahan pengembaraanmu tidak mengalami kesulitan apapun di perjalanan. Demikian juga hendaknya kami yang kau tinggalkan.”

Mahisa Bungalan pun kemudian minta diri kepada setiap orang dihalaman itu. Kepada Ki Buyut ia berpesan agar disampaikan pula kepada Nyi Buyut salamnya dan bahwa ia terpaksa segera meninggalkan padukuhan itu.

Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka Ki Buyut pun segera memerintahkan orang-orangnya untuk membersihkan halaman. Menyingkirkan mayat-mayat yang berserakan dan kemudian mempersiapkan pembakaran bilik yang telah dibuatnya menjadi neraka yang paling mengerikan.

Sementara itu, Tapak Lamba yang duduk di serambi belakang rumah Ki Buyut itu pun berbisik, “Anak yang aneh. Ia datang dengan tiba-tiba, namun kemudian pergi pula dengan tergesa . Ia sama sekali tidak mau singgah barang sebentar. Bahkan minum pun tidak sempat.”

“Ya.“ sahut Ki Buyut, “Agaknya demikianlah wataknya. Ia datang untuk bertempur melawan kejahatan. Kemudian menghilang seperti asap yang ditiup angin.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku kini berada dalam keadaan yang sulit.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya, “Kenapa?”

Tapak Lamba tidak segera menjawab. Agaknya Ki Buyut pun harus berdiri pula dari tempatnya karena orang-orang yang menyiapkan pembakaran bilik itu, sudah siap.

“Baiklah.“ berkata Ki Buyut, “Kita tidak akan menyulutnya sekarang. Kalian beritahukan kepada penduduk padukuhan ini, bahwa Ki Buyut akan melakukan upacara korban, membakar sebuah lumbung kosong agar tanah di sekitar padukuhan ini menjadi semakin subur seperti perintah yang didengarnya dalam mimpi. Karena, itu, mereka tidak usah menjadi gelisah dan ketakutan.”

“Jadi kapan kita akan membakarnya?”

Setelah hampir setiap orang mengetahuinya. Beritahukan beberapa orang yang terpencar. Dan pesan kepada tetangga-tetangga mereka terdekat, sambung bersambung. Beberapa orang pun kemudian pergi untuk memberitahukan, bahwa Ki Buyut telah bermimpi, agar sebuah dari lumbungnya yang telah kosong dibakar, sebagai korban untuk kesuburan sawah mereka. Baru setelah orang-orang itu pergi berpencar, maka Ki Buyut bertanya kepada Tapak Lamba, “Kenapa kau kini justru berada dalam kesulitan?”

“Ki Buyut.“ berkata Tapak Lamba, “Aku bukanlah orang yang bersih sama sekali dari tindak kejahatan. Seperti yang aku katakan, aku pun seorang pembunuh yang tidak tanggung-tanggung. Tetapi aku tidak mempergunakan cara seperti yang kau lakukan disini, dan tujuan yang tidak menentu, sekedar untuk melepaskan nafsu kekejian. Jika kau mempunyai alasan untuk melenyapkan jejak pelarianmu dan sekedar dendam yang tersimpan di dalam hati, maka alasan itu kemudian menjadi kabur dengan sekedar sebuah kesenangan. Kesenangan melihat darah mengucur dan wajah yang ketakutan menjelang maut. Bahkan kemudian jerit dan sesambat kau anggap bagaikan dendang yang merdu mengiringi lepasnya nyawa dari badannya.“

“Sudahlah. Apakah yang sebenarnya ingin kau katakan?”

“Ki Buyut. Di Singasari aku pernah berusaha membunuh dua orang anak muda. Tetapi gagal karena Linggadadi telah menghalangi aku. Namun demikian, sama sekali bukan karena Linggadadi menentang tindak kejahatan serupa itu. Ia mencegah aku melakukan pembunuhan karena ia tidak mau mengusik prajurit Singasari. Ia mengharap agar Singasari untuk waktu yang lama tetap tenang dan tenteram, sehingga para Senapatinya menjadi lengah.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Suatu cara yang baik.”

“Ya. Dan aku memang gagal membunuh kedua anak muda itu. Bahkan aku menerima sebuah tawaran yang sangat menarik, Bekerja bersama dengan saudara tua Linggadadi, Linggapati dari Mahibit.“

“Sudah pernah kau singgung.”

“Ya. Tetapi sekarang tiba-tiba Mahisa Bungalan telah menyelamatkan nyawaku.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Sedangkan kedua anak muda yang hampir saja menjadi korban dendamku adalah kedua adiknya.”

“He?”

“Ya. Kedua anak muda itu adalah anak-anak Mahendra pula. Adik Mahisa Bungalan itu.”

Ki Buyut dan orang-orang yang mendengar keterangan Tapak Lamba itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat merasakan langsung kebimbangan yang membelit hati Tapak Lamba. Namun mereka dapat membayangkan, bahwa Tapak Lamba seolah-olah berdiri ditengah-tengah simpang jalan yang sulit untuk menentukan, jalan manakah yang harus dipilih.

“Siapakah kedua adik Mahisa Bungalan itu?“ bertanya Ki Buyut kemudian.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.“ jawab Tapak Lamba.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara Tapak Lamba menceriterakan apa yang sudah dilakukan oleh ketiga orang kawannya dan dirinya sendiri. Dan yang kemudian muncul seorang yang bernama Linggadadi.

“Aku tidak tahu, siapakah yang lebih tinggi ilmunya. Linggadadi dan Linggapati atau Mahisa Bungalan.“ berkata Tapak Lamba kemudian, “Bagiku kedua belah pihak adalah orang-orang yang memiliki kelebihan yang sukar dinilai. Apalagi keduanya menunjukkan kemampuannya dalam suasana yang sangat berbeda.”

Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, Linggapati dari Mahibit tidak akan dapat banyak berbuat. Yang kita lihat adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan. Apalagi jika kemudian Mahendra sendiri ikut campur. Sedangkan Mahendra biasanya tidak berdiri sendiri. Tetapi di sampingnya ada Mahisa Agni, Panji Pati-pati dan beberapa orang kuat lainnya yang sekarang berada di Singasari mengelilingi dan menjadi perisai kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah ia berkata, “Aku memang menjadi bingung.”

“Kau berhutang budi kepada Mahisa Bungalan. Tetapi kau mempunyai cita-cita yang sudah kau jalin sebelum kau datang kemari. Bukankah kedatanganmu itu ada hubungannya dengan rencanamu untuk bekerja bersama dengan orang-orang dari Mahabit itu?”

“Ya. Tetapi benar-benar membingungkan sekarang.”

“Sudahlah. Kita akan memikirkannya kelak. Sekarang, kita tunggu, apakah orang-orang yang memberitahukan pembakaran bilik itu sudah merata.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Sekilas terbayang, isi dari bilik yang mengerikan itu. Benar-benar seperti isi neraka yang paling seram. Di dalamnya terdapat berbagai macam alat untuk menyakiti dan menyiksa orang. Kemudian cara-cara membunuh yang paling biadap dan terkutuk. Selebihnya adalah korban-korban yang dengan tanpa perasaan disimpan dalam bentuk yang beraneka macam.

Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang berpencar mengelilingi padukuhan itu pun sudah berkumpul kembali. Mereka sudah memberitahukan rencana itu kepada hampir setiap orang sehingga jika pembakaran itu dilakukan, maka isi padukuhan itu tidak akan terkejut lagi.

“Beberapa orang mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Buyut telah mengorbankan sebuah lumbung bagi kemakmuran mereka.“ berkata orang-orang kepercayaan Ki Buyut itu.

“Lalu apa katamu?“ bertanya Ki Buyut.

“Aku katakan kepada mereka, bahwa semua milik Ki Buyut pun dapat dikorbankan untuk kepentingan padukuhan ini.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya semuanya itu sebagai suatu gurau yang segar. Tetapi rasa-rasanya jantung Ki Buyut bagaikan ditusuk dengan duri. Selama ini, ia adalah yang paling terkutuk di padukuhannya. Jangankan mengorbankan semua miliknya. Yang dilakukan adalah pelanggaran atas asas-asas kemanusiannya. Namun dalam pada itu, maka ia pun sadar, bahwa bilik di belakang rumahnya itu memang harus dimusnakan. Ia harus melenyapkan semua kenangan dan bekas-bekas yang dapat menumbuhkan kenangan buruk tentang tingkah lakunya itu.

“Baiklah.“ berkata Ki Buyut kemudian, “Marilah kita bakar tempat terkutuk itu. Yang paling dekat dengan rumah ini harus dirobohkan lebih dahulu, agar api tidak terlampau dekat dan bahkan dapat menjilat rumah ini.”

Orang-orangnya pun kemudian mulai melakukan perintahnya. Bagian yang paling dekat dengan rumah Ki Buyut, mulai dirobohkan dan dilemparkan menjauh, agar jika bagian itu terbakar, api tidak menjilat rumah Ki Buyut.

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun mulai menyalakan obor minyak jarak. Perlahan-lahan ia melangkah masuk kedalam biliknya yang sebagian sudah dirobohkannya itu. Disiramnya seonggok kayu dengan minyak jarak dan kemudian dinyalakannya. Api mulai menyala pada bagian dinding yang sudah ber¬serakan itu. Perlahan-lahan api itu pun menjalar ke sekitarnya. Beberapa potong kayu yang menjadi tulang-tulang dinding bambu itu pun telah terbakar pula. Semakin lama semakin besar, semakin besar.

Akhirnya, rumah hantu itu pun merupakan segumpal api raksasa yang bagaikan menari-nari menjilat langit. Warna merah yang menyeramkan telah menelan bilik yang bagaikan neraka. Dan kini bilik itu telah dilengkapi dengan nyala api yang dahsyat. Tetapi api itu bukan bagian dari neraka yang jahanam itu. Namun api itulah justru yang akan menelan dan memusnakannya hingga menjadi debu lembut dengan segenap isinya.

Dan di antara yang terbakar dari isi bilik itu adalah mayat ketiga iblis yang telah menciptakan bilik itu dengan segala kelengkapannya. Ketika api mulai surut, Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ada sesuatu beban yang hilang dari bahunya, sehingga sepercik ketenangan telah menyentuh hatinya.

“Mudah-mudahan lenyaplah bilik itu dapat menumbuhkan kedamaian di hatiku.“ desis Ki Buyut.

“Tetapi kita akan segera terjerumus kedalam persoalan-persoalan lain.“ desis Tapak Lamba.

“Persoalannya tentu berbeda. Jika kita berjuang untuk suatu cita-cita, maka kita bukannya sejenis orang-orang yang telah terbunuh itu. Kita melakukannya dengan sadar dan mempunyai tujuan tertentu.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya, tumbuh semacam keragu-raguan. Apakah ada bedanya, pembunuhan-pembunuhan yang bakal dilakukan dengan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh Ki Buyut dengan ketiga iblis itu.

“Peperangan pasti akan menimbulkan kekejaman-kekejaman yang barangkali tidak terlampau banyak terpaut dengan yang dilakukan oleh iblis-iblis itu.“ berkata Tapak Lamba didalam hatinya, “Bilik itu adalah gambaran dari watak peperangan. Pembunuhan tanpa pertimbangan akal, siksaan dan tindak kekejaman yang lain, yang kadang-kadang diluar jangkauan nalar sehat bahwa hal itu dapat terjadi.”

Tetapi seperti Ki Buyut yang kemudian mengajak Tapak Lamba masuk ke dalam rumahnya setelah membersihkan diri Tapak Lamba dan kawan-kawannnya mencoba untuk mengesampingkan semua persoalannnya.

“Beristirahatlah disini dengan tenang.“ berkata Ki Buyut, “Untuk sementara kita tidak usah memikirkan, apakah kita akan berpihak kepada orang-orang Mahibit atau berdiam diri saja disini.”

Tapak Lamba mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Baiklah Aku akan tinggal disini untuk beberapa lamanya.”

“Mudah-mudahan aku akan menemukan jalan keluar yang paling baik dari lingkaran kekalutan ini.”

Sementara Tapak Lamba dan kawan-kawannya tinggal di padukuhan itu, Mahisa Bungalan telah jauh meninggalkannya. Ia telah berhasil menemukan daerah yang disebut daerah bayangan hantu, dan bahkan telah menghapusnya sama sekali.

“Mudah-mudahan orang-orang di padukuhan itu tidak kambuh lagi setelah ketiga iblis itu terbunuh.“ berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sementara itu dalam perjalanan menjauh, ia masih sempat melihat api yang mengepul tinggi. Dan ia pun tahu, bahwa Ki Buyut dari daerah bayangan hantu, telah membakar alat-alat yang selama beberapa saat yang lalu dipergunakannya untuk memberikan kepuasan kepada salah satu bentuk nafsu yang tidak terkendali di dalam dirinya, didorong oleh kehadiran tiga orang iblis berilmu hitam yang memang setiap kali memerlukan darah untuk menyegarkan ilmunya itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Akan tetapi ia meneruskan perjalanannya. Kudanya berlari tidak terlampau kencang tetapi juga tidak lambat sekali. Untuk beberapa hari kemudian ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih saja di perjalanan petualangannya. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Kepada orang-orang yang pernah menyebut daerah bayangan hantu, Mahisa Bungalan mengatakan bahwa daerah itu sebenarnya tidak ada.

Baru beberapa hari kemudian ia sampai di rumahnya. Ayahnya dan kedua adik-adiknya yang pergi ke Singasari rintuk menghadiri upacara wafatnya seorang permaisuri dari seorang Raja yang besar telah kembali pula. Ketika saat senggang di sore hari, Mahisa Bungalan yang duduk bersama ayahnya mulai menceriterakan perjalanannya. Perjalanan yang sudah sering dilakukannya tentu tidak mempunyai persoalan yang dapat menarik hati ayahnya, jika ia tidak menyebut tiga orang iblis yang berilmu hitam itu.

Mahendra mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau benar-benar yakin, bahwa yang kau lihat adalah ilmu hitam yang pernah disebarkan oleh Empu Paguh kira-kira seratus tahun yang lalu.”

“Ayah. Aku belum pernah melihat keturunan atau mu¬rid orang yang bernama Empu Paguh. Tetapi ayah pernah menceriterakan kepadaku, ciri-ciri dari ilmu hitam semacam itu. Dan yang aku lihat adalah ciri-ciri seperti yang ayah ceriterakan kepadaku. Dan seperti yang ayah ajarkan kepadaku pula, aku mencoba untuk memecahkan ilmu itu.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku pernah mengalami pula. Tetapi sudah berpuluh tahun yang lalu, ketika aku masih muda. Seperti ajaran yang aku terima pula, bagaimana melawan ilmu itu, maka aku pun memberikan kepadamu karena sebenarnya aku pun kadang-kadang masih menyangsikan, bahwa ilmu itu benar-benar telah punah. Ternyata seperti saat aku menjumpai ilmu semacam itu, kau pun telah menjumpainya pula. Untunglah bahwa yang kau temui bukannya puncak dari ilmu itu. Jika kau temui puncak dari ilmu itu, maka aku kira kau tidak akan mampu memecahkannya begitu mudah.”

“Apakah dengan demikian berarti, bahwa masih ada orang yang memiliki ilmu hitam yang lebih tinggi dari ketiga orang itu?”

Mahendra termenung sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat, apa yang pernah dilakukannya saat itu, selagi ia masih muda. Pada saat ia merasa bahwa ia sudah berada di antara jajaran orang-orang yang memiliki ilmu sempurna, namun yang sebenarnya barulah sekedar impian saja.

“Ketika aku tiba-tiba saja terlempar ke Panawijen dan bertemu dengan seorang anak muda yang mengaku bernama Wiraprana, tetapi yang ternyata adalah Mahisa Agni, barulah aku merasa bahwa aku bukan orang terkuat di dunia.“ katanya di dalam hati. Karena saat itu, Mahendra sama sekali tidak dapat memenangkan perkelahian seorang lawan seorang melawan Mahisa Agni. Masih terbayang, bagaimana adik seperguruannya, Kebo Ijo mencoba untuk menolongnnya, tetapi justru oleh saudara seperguruannya yang tertua, Witantra, usaha itu telah dicegahnya.

Mahisa, Bungalan termangu-mangu sejenak melihat ayahnya termenung. Namun kemudian ia mendengar ayahnya itu berkata, “Mahisa Bungalan, aku kira masih ada orang yang lebih dalam menguasai ilmu semacam itu. Pada saat aku masih muda, aku sudah menjumpainya. Tentu orang itu pulalah yang kemudian berusaha menurunkan ilmunya kepada murid-muridnya. Aku tidak tahu apakah orang yang pernah aku jumpai itu masih hidup atau sudah mati. Tetapi untuk sementara kau harus tetap beranggapan bahwa masih ada orang yang lebih tinggi ilmurnya dari ketiga orang itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Karena itu, tidak mustahil bahwa orang itu pada suatu saat akan mencarimu. Bukan saja kau, tetapi juga adik-adikmu dan aku. Bukankah kau menyebut-nyebut namaku.”

“Ya, ayah.”

“Bagiku, sama sekali tidak berkeberatan jika pada suatu saat dihari tua ini, aku masih harus menghadapi iblis-iblis dari neraka itu. Tetapi yang penting adalah persiapanmu sendiri dan barangkali kedua adik-adikmu yang tidak tahu menahu itu pun akan mengalami akibatnya.”

“Mereka masih terlampau muda.”

Mahendra menggelengkan kepalanya. Katanya, “Di Singasari adikmu hampir saja mengalami kesulitan.”

“Ya.“ sahut Mahendra, “Mereka sudah menceriterakan kepadaku, bahwa mereka berdua telah dicegat oleh tiga orang yang tidak dikenal.”

“Nah, jika demikian, maka kau dan adik-adikmu harus mempersiapkan dirimu baik-baik. Mungkin masih ada sedikit kesempatan dihari tua ini untuk membimbingmu memperdalam ilmu yang telah kau miliki.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya sambil menundukkan kepalanya “Maaf ayah. Bahwa sampai saat aku dewasa, aku masih selalu mengganggu ketenangan ayah. Seharusnya aku dapat mengolah bakal yang sudah ayah berikan tanpa menyulitkan ayah lagi, karena memang sudah saatnya ayah beristirahat.“

Mahendra tersenyum. Katanya, “Aku memang tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan memberikan beberapa petunjuk. Kau sendirilah yang harus menyempurnakan ilmumu.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Dan sebuah peringatan bagimu, bahwa kau masih harus merasa, dan selalu merasa, bahwa yang kau miliki itu sama sekali belum sempurna. Kau masih harus berusaha untuk meningkatkannya setiap saat. Karena aku pernah mengalami suatu masa dimasa mudaku, merasa bahwa seakan-akan aku adalah orang yang tidak terkalahkan. Tetapi ternyata bahwa ilmuku masih terlampau rendah dibandingkan dengan orang-orang lain yang lebih tekun daripadaku.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Untuk melengkapi diri.“ berkata Mahendra kemudian, “Kau pun harus menjumpai pamanmu Mahisa Agni. Ia memiliki dasar ilmu yang berbeda dengan dasar ilmu kita dan pamanmu Witantra. Selama ini kau sudah menyadapnya serba sedikit dan telah berhasil kau luluhkan dengan ilmumu. Namun kau wajib berterus terang bahwa kau telah menjumpai sedikit kesulitan dengan ilmu hitam yang kau jumpai itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Mudah-mudahan ilmu iblis tidak cepat menjalar karena kematian ketiga orang itu.”

“Maksud ayah?” “Untuk mencari pengikut, mereka mengumpulkan orang sebanyak-banyaknya dan sadar atau tidak sadar, mereka akan mengajari orang-orangnya dengan ilmu semacam itu untuk membantu mereka menghadapi lawan-lawannya. Dan lawan yang dianggap bebuyutan sudah barang tentu kau, aku dan adik-adikmu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula.

“Nah, pada suatu saat yang pendek, kau harus memberi lakukan kepada paman-pamanmu agar mereka bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan karena nama mereka telah kau sebut-sebut pula.”

“Baiklah, ayah.“ jawab Mahisa Bungalan, “Aku akan segera pergi ke Singasari.”

“Kau jangan membawa adik-adikmu agar tidak timbul persoalan yang lain lagi. Aku menduga, bahwa ketiga orang yang menyerang adik-adikmu itu sama sekali bukan ketiga orang yang kau maksud memiliki ilmu hitam itu.“ Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Dengan demikian tidak akan membuatmu bermusuhan dengan banyak pihak yang mungkin tidak dapat kau duga kekuatannya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ayahnya. Jika ia pergi bersama adiknya, maka ia pun akan terlibat dalam permusuhan dengan ketiga orang yang pernah menyerang adiknya tanpa sebab. Dan itu berarti bahwa musuhnya telak bertambah. Mahisa Bungalan sama sekali tidak mengetahui, bahwa tiga orang yang menyerang adiknya itu adalah orang-orang yang justru pernah ditolongnya di daerah yang disebut daerah bayang-bayang hantu, yang hampir saja ikut terkelupas oleh ilmu hitam iblis yang tidak dikenalnya sebelumnya itu.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun bersiap-siap untuk pergi ke Singasari menghadap Mahisa Agni. Namun sementara ia masih berada di rumahnya, maka ayahnya telah membawanya setiap malam ke dalam sanggarnya untuk memperdalam ilmu yang pada dasarnya seluruhnya telah diberikan kepada anaknya. Tetapi masa pematangan dan sentuhan pengalaman yang masih jauh dari mencukupi, maka masih banyak yang harus dipelajari oleh Mahisa Bungalan.

“Kau dapat mengambil makna dari keadaan di sekitarmu.“ berkata ayahnya, “Dan kemudian kau terapkan di dalam perkembangan ilmumu.”

“Aku akan mencoba ayah.”

“Kehidupan yang luas dari segenap mahluk yang ada dapat kau pelajari dan kau sadap bagi ilmumu. Pada dasarnya setiap yang hidup akan mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Setiap jenis mempunyai caranya sendiri-sendiri.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Kau dapat melihat binatang kecil yang berusaha melepaskan dirinya dari binatang-binatang yang jauh lebih besar daripada¬nya untuk tetap hidup. Dan kau melihat bahkan kadang mereka pun dapat berhasil.”

Mahisa Bungalan masih saja mengangguk-angguk. Terbayang sekilas betapa seekor cacing menggeliat jika ujung ekornya terinjak kaki. Dan betapa lemahnya seekor tikus menghadapi seekor kucing. Namun kadang-kadang seekor kucing tidak juga berhasil menangkapnya. Dengan tekun Mahisa Bungalan melatih diri, menyempurnakan ilmu yang dasarnya sudah dikuasainya. Beberapa petunjuk telah diberikan oleh ayahnya khusus menghadapi ilmu iblis yang ganas itu.

Bahkan untuk menyempurnakan ilmunya, Mahisa Bungalan harus melawan ayahnya yang bertempur dengan cara yang dipergunakan oleh ketiga orang iblis seperti yang diceriterakan oleh Mahisa Bungalan dan yang memang pernah dilihatnya dan dilawannya pada saat Mahendra masih muda.

“Ayah mampu menirukan ilmu itu.” desis Mahisa Bungalan.

Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Tentu hanya gerak lahiriahnya saja. Tetapi barangkali dapat kau pergunakan sebagai bahan untuk menyusun perlawananmu.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi seperti yang pernah kau alami sendiri, ilmu hitam itu mempunyai ciri watak tersendiri. Kau sudah berhasil memecahkan tata gerak dari tiga orang iblis itu. Tetapi menurut perhitunganku, mereka bukannya orang-orang yang memiliki ilmu tertinggi, sehingga kau masih harus menyusun cara-cara yang lebih rumit untuk memecahkannya.”

Mahisa Bungalan menyadari kata-kata ayahnya. Karena itu maka ia pun menjadi semakin tekun berlatih di bawah petunjuk-petunjuk ayahnya yang serba sedikit dapat menirukan gerak-gerak lahiriah ilmu hitam itu. Namun yang sedikit itu sudah cukup bagi Mahendra dan Mahisa Bungalan untuk memantapkan ilmu perlawanan mereka, jika pada suatu saat mereka harus bertempur melawan orang-orang yang memiliki ilmu hitam yang lebih tinggi tingkatnya.

Setelah Mahisa Bungalan menjadi semakin masak, khususnya menghadapi ilmu hitam itu, maka Mahendra pun menganjurkan untuk pergi menemui Mahisa Agni. Selain memberitahukan kemungkinan munculnya orang-orang lain lagi dengan ilmu itu, maka Mahisa Bungalan harus memperdalam pula ilmunya dengan gerak dasar yang pernah diperolehnya dari Mahisa Agni.

“Pamanmu tentu tidak akan berkeberatan.“ berkata Mahendra kemudian.

Mahisa Bungalan pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat. Kedua adiknya semula ingin mengikutinya. Tetapi ayahnya menahannya agar mereka tidak justru mengganggu kakaknya diperjalanan.

“Kakakmu tidak pergi bertamasya ke Singasari.“ ber¬kata ayahnya, “Tetapi kepergian kakakmu kali ini seperti juga kepergiannya di saat-saat yang lalu, adalah untuk memperbanyak pengalamannya, agar ia dapat mengetrapkan ilmu di dalam kenyataan hidup yang akan dihadapinya di hari-hari mendatang.”

“Bukankah hal itu perlu juga bagi kami?“ bertanya Mahisa Murti.

“Tentu. Tetapi tidak sekarang. Kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Lebih-lebih lagi dengan munculnya ilmu hitam yang sudah lama hilang itu.”

“Bukankah kami sudah cukup dewasa?“ bertanya Mahisa Pukat.

Ayahnya tersenyum. Katanya, “Kalian harus tinggal di rumah bersama ayah. Pada saatnya kalian pun akan mengalami masa seperti kakakmu. Tetapi kalian masih harus tekun belajar, sehingga bekalmu mencukupi, sebanyak bekal yang dimiliki kakakmu sekarang.”

Kedua anak muda itu pun menjadi sangat kecewa. Tetapi mereka tidak dapat memaksa agar ayahnya mengijinkannya. Karena itu, maka sambil bersungut-sungut Mahisa Murti bertanya, “Kapankah bekalku menjadi cukup seperti bekal kakang Mahisa Bungalan?”

“Sebentar lagi. Tidak lama. Kau sudah memiliki separoh lebih.”

Mahisa Murti tidak membantah lagi, meskipun ia tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewanya. Dengan beberapa pesan, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berangkat ke Singasari menemui Mahisa Agni. Tetapi seperti perintah ayahnya, ia akan singgah di rumah Witantra, untuk memberitahukan pula kepadanya, bahwa ternyata ilmu hitam itu masih belum lenyap sama sekali. Bahkan dengan tiba-tiba telah menjumpainya meskipun belum pada tataran yang tinggi.

Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka kedua adiknya pun segera merengek minta agar ayahnya mempercepat waktu penurunan ilmunya kepada mereka.

“Aku sudah cukup dewasa, dan aku masih belum mampu berbuat apa-apa.“ desah Mahisa Pukat.

Mahendra tertawa. Katanya, “Itu pertanda bahwa jiwamu masih belum masak. Jika kau benar-benar sudah dewasa, kau tidak akan dapat minta agar aku mempercepat penurunan ilmu itu kepadamu. Kau bukan pelembungan getah jarak yang dapat ditiup dan melembung menjadi besar. Bahkan pelembuan getah jarak itu pun akan pecah jika kita tidak berhati-hati meniup. Apalagi kau.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti maksud ayahnya. Namun karena keinginan yang melonjak-lonjak di dalam dada kedua anak-anak muda itu, maka mereka pun kemudian berlatih semakin tekun. Kapan saja mereka mempunyai kesempatan, maka mereka pun mempergunakannya sebaik-baiknya.

Tetapi ayahnya selalu memperingatkan, “Jangan kalian memaksakan diri untuk mempercepat meningkatkan ilmu kalian dengan cara yang berlebih-lebihan. Dengan demikian, maka kau akan melampaui kemampuan jasmaniahmu, sehingga justru kau akan kehilangan pengamatan atas beberapa segi pemeliharaan tubuh dan kematangan ilmu menurut lapis yang sewajarnya.”

Karena itulah, maka akhirnya betapa pun mereka ingin, namun mereka harus berlatih sesuai dengan petunjuk dan tuntunan ayahnya, setingkat demi setingkat. Namun karena desakan hasrat dan gairah yang mantap, maka semuanya dapat berjalan dengan lancar, secepat rencana ayahnya bagi kedua anak-anak nya yang muda itu.

“Kalian pun harus dapat menjaga diri sehingga pada suatu saat kalian bertemu dengan iblis semacam yang pernah dijumpai oleh kakakmu, kalian akan dapat menyelamatkan diri sendiri, selebihnya dapat menolong orang lain jika mereka memerlukannya.“ berkata Mahendra kepada kedua anaknya yang muda itu.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak mengecewakannya. Mereka bukan saja berlatih dengan tekun, namun pada diri mereka memang mengalir darah Mahendra yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang mengagumkan.

Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berada di rumah pamannya. Dengan singkat ia menceriterakan pertemuannya dengan orang-orang berilmu hitam itu. Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Memang sebaiknya pamanmu Mahisa Agni kau beritahu tentang orang-orang itu. Bahkan sampaikan pesanku, bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka pun harus mengetahui pula, bahwa di Singasari masih hidup ilmu semacam itu.”

Setelah bermalam beberapa malam di rumah Witantra, dan serba sedikit mendapatkan petunjuk-petunjuk yang berguna baginya bukan saja menghadapi orang-orang berilmu hitam, tetapi juga kekuatan-kekuatan yang mungkin akan mengganggunya selama ia mengembara mencari pengalaman yang bermanfaat bagi masa: mendatang, maka Mahisa Bungalan pun segera minta diri.

“Ilmumu sudah meyakinkan.“ berkata Witantra, “Kau tinggal mematangkannya. Jika kau ingin serba sedikit mendapat bahan dari pamanmu Mahisa Agni, maka kau harus berhasil memadukannya sehingga tidak justru saling mengganggu. Sebelumnya kau memang pernah mempelajari beberapa tata gerak dasar yang pernah diberikan oleh pamanmu Mahisa Agni dalam warna yang lain dari ilmu yang kita miliki, namun jika kau ingin memperdalam, maka kau memerlukan waktu untuk menyesuaikan ilmu kita dan ilmu perguruan Panawijen itu dengan wataknya masing-masing. Perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Mahisa Agni pun pernah mendalami beberapa jenis ilmu dari cabang perguruan yang berbeda-beda. Ia pernah menekuni ilmu sudah barang tentu dari gurunya, Empu Purwa dari Panawijen, kemudian juga ilmu dari Empu Sada dan bahkan dari cabang perguruan kita. Maka, agaknya pamanmu Mahisa Agni akan dengan senang hati memberikan beberapa petunjuk dan bahkan arah yang harus kau tempuh untuk meluluhkan ilmu itu, agar kau menjadi orang yang memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak kita kehendaki di atas dunia yang penuh dengan rahasia ini.”

“Aku mohon doa paman, agar aku dapat memenuhi harapan paman dan ayah.”

“Dan harapan banyak orang yang lemah. Karena mereka memang memerlukanmu. Kau mengerti?”

Mahisa Bungalan mengangguk, “Aku mengerti paman.”

Witantra mengangguk. Ia berbangga atas anak muda itu. Anak adik seperguruannya itu agaknya akan dapat menjadi seorang yang memiliki bukan saja kelebihan jasmaniah, tetapi juga rohaniah. Jika ia kemudian menjadi masak lahir dan ba¬tinnya, maka ia akan menjadi seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi juga seorang yang memiliki pengabdian yang tinggi bagi sesamanya.

Ketika kemudian Mahisa Bungalan berangkat meninggalkannya menuju ke Kota Raja, maka rasa-rasanya Witantra melihat bayangan dari masa lampau. Seorang anak muda yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya kepada sesama, Mahisa Agni. Ia berbuat apa saja tanpa pamrih bagi dirinya sendiri. Bahkan kadang-kadang dengan mempertaruhkan nyawanya.

Tetapi ada sesuatu yang tidak dimengerti oleh Witantra. Bahwa, Mahisa Agni pernah terlempar dari gapaian cita-citanya untuk memetik bunga di lereng Gunung Kawi. Untunglah bahwa ia mampu mengendapkan kekecewaannya, dan menyalurkannya pada garis perjuangan hidup yang bermanfaat bagi sesamanya. Seandainya ia gagal dengan penguasaan diri dan kehilangan arah, maka ia adalah orang yang paling berbahaya di dunia pada waktu itu, melampaui Kuda Sempana yang menjadi seolah-olah gila setelah ia kehilangan kemungkinan untuk memiliki Ken Dedes. Namun untung pulalah, bahwa pada saat terakhir Kuda Sempana pun menemukan arah hidupnya yang benar dan berbuat bagi kebenaran, meskipun ia harus mengorbankan hidupnya.

Kenangan jang demikian itulah yang kadang-kadang menimbulkan kebanggaan tetapi juga kerisauan di hati Witantra. Ia pernah mengalami pahit getirnya perkembangan Singasari sejak jaman pemerintahan Akuwu di Tumapel. Ia pernah terlempar dari percaturan pemerintahan setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni, karena ia membela nama baik adik seperguruannya yang dituduh telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan dihukum mati, serta namanya telah dihinakan orang.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu berjalan seperti peristiwa-peristiwa yang sebenarnya pernah terjadi, hingga pada suatu saat Mahisa Agni datang kepadanya untuk minta maaf atas segala kekhilafannya. Namun bagaimanapun juga, Mahisa Agni telah berbuat untuk suatu pengabdian apapun alasannya. Karena ia masih seorang manusia biasa, maka ia pun dapat juga berbuat kesalahan. Dan memang Mahisa Agni pernah berbuat kesalahan. Terapi dalam perbandingan keseluruhan hidupnya, Mahisa Agni adalah seorang manusia yang baik.

“Mudah-mudahan Mahisa Bungalan akan mewarisi sifat-sifat itu jika ia berada dibawah bimbingan Mahisa Agni untuk waktu yang agak lama.“ berkata Witantra di dalam hatinya.

Dalam pada itu, dengan hati yang mantap, Mahisa Bungalan menuju ke Singasari. Ia akan menghadap Mahisa Agni, dan seperti pesan ayahnya dan pamannya Witantra, ia harus bersedia untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Mahisa Agni. Seperti yang diduga sebelumnya, bahwa Mahisa Agni telah menerimanya dengan senang hati. Kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari, telah memberikan kegembiraan kepadanya.

Disaat-saat terakhir hidupnya terasa menjadi semakin sepi. Setelah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dinobatkan menjadi Maharaja dan Ratu Angabhaya, maka ia tidak lagi dapat bermain-main dan bercanda lagi dengan keduanya seperti masa-masa sebelumnya. Keduanya telah dikenakan ketentuan-ketentuan yang harus mereka taati. Meskipun pada saat-saat tertentu keduanya masih juga berlatih dibawah bimbingan Mahisa Agni, namun waktunya menjadi semakin terbatas. Semakin tinggi ilmu yang telah dituangkan kepada kedua pimpinan pemerintahan di Singasari itu, maka semakin jarang pula ia bertemu. Bahkan kadang-kadang pertemuannya menjadi bersifat terlampau resmi.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sendiri sebenarnya tidak ingin membatasi diri pada ketentuan-ketentuan yang demikian. Sejauh mungkin mereka berdua telah melepaskan diri dari segala macam peraturan dan membiarkan Mahisa Agni selalu dekat pada mereka. Namun waktu itu pun rasa-rasanya menjadi sangat terbatas.

Kehadiran Mahisa Bungalan, rasa-rasanya dapat menjadi isi bagi kekosongan yang kadang-kadang terasa di hati Mahisa Agni. Meninggalnya Ken Dedes, terasa membekas juga di hatinya. Meskipun menilik hubungan lahiriah, Mahisa Agni adalah saudara angkat puteri itu, namun sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam daripada itu, yang tersimpan saja di hati Mahisa Agni sejak masa mudanya.

“Kau sebaiknya tinggal di Singasari saja Bungalan.“ minta Mahisa Agni, “Disini kau akan banyak mendapat pengalaman dan sudah barang tentu kemajuan.”

“Terima kasih paman. Memang menyenangkan sekali tinggal bersama paman disini.“ jawab Mahisa Bungalan.

“Kalian akan segera, berkenalan dengan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Aku pernah menghadap paman.”

“Tetapi untuk selanjutnya kau dapat mengabdikan diri disini.”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia senang sekali jika ia dapat mengabdikan dirinya di Singasari. Namun sementara itu, ia pun tidak lupa menyampaikan pesan ayahnya dan pamannya tentang orang-orang yang memiliki ilmu hitam yang ternyata masih tetap berkeliaran. Mahisa Agni agaknya memang sudah menduga, bahwa ilmu itu tentu masih belum punah sama sekali. Seperti Mahendra, Mahisa Agni pun pernah pada suatu kali melihat dan mengalami benturan dengan ilmu semacam itu, meskipun pada tataran yang tidak terlampau tinggi.

Namun itu bukan berarti bahwa tidak ada tataran ilmu hitam yang lebih tinggi dari yang dijumpainya. Jika didaerah terpencil dan yang disebut daerah bayangan hantu itu ada tiga orang yang memiliki ilmu itu, dan yang karenanya mereka seolah-olah iblis yang tidak dapat dicegah segala kehendaknya, maka di belakang ketiga orang itu tentu masih ada orang-orang lain lagi yang memiliki ilmu semacam itu dan yang bahkan lebih tinggi daripada mereka bertiga, karena tidak mustahil bahwa orang itu adalah gurunya.

“Memang mungkin sekali kematian ketiga orang itu bukan merupakan akhir dari perbuatan-perbuatan serupa.“ berkata Mahisa Agni, “Karena itu, adalah benar pesan ayahmu dan pamanmu Witantra bahwa kita wajib bersiaga. Jika kau memang meninggalkan nama dan hubungan keluargamu di daerah yang semula disebut daerah bayangan hantu itu, maka kita semuanya memang harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan dapat terjadi.”

“Aku memang meninggalkan nama paman. Tetapi bukan sekali-sekali niatku untuk menyombongkan diri. Aku mempunyai perhitungan bahwa dengan demikian orang-orang yang mendendam atas kematian ketiga orang yang berilmu iblis itu tidak akan mencelakai orang-orang yang ada di padukuhan itu. Karena menurut pengamatanku, meskipun semula Ki Buyut pun terlibat dalam perbuatan yang terkutuk, namun ia bersama bebahu yang lain masih belum terhisap dalam ilmu hitam itu, sehingga mereka menurut penglihatanku, akan melepaskan diri dari pengaruh ilmu itu.”

“Bagaimana jika ada beberapa orang yang kemudian menetap di padukuhan itu?”

“Maksud paman, orang-orang yang berilmu hitam itu?“

“Ya.”

“Tentu akan merupakan persoalan paman. Tetapi apa salahnya jika sekali-sekali kita pergi ke tempat itu?”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya. Tetapi sebelum kita akan pergi juga kesana, kau harus menempa dirimu lebih dahulu, sehingga kau akan menjadi seorang anak muda yang benar-benar dapat dilepaskan untuk suatu pengabdian.”

“Agaknya memang untuk itulah aku telah dikirim ayah kemari.”

“Sebenarnya kau sudah memiliki segala-galanya. Aku hanya dapat memberikan beberapa kelengkapan dan sudah barang tentu petunjuk-petunjuk yang sebenarnya tidak lebih baik dari yang dapat diberikan oleh ayahmu. Bedanya, bahwa yang dapat aku berikan mempunyai beberapa kelainan ujud dan watak dari yang sudah kau miliki dari ayahmu. Itulah yang menarik, sehingga dengan demikian kau akan mempunyai ilmu yang lebih baik dari yang lain.”

“Itulah yang aku inginkan paman. Seperti paman Mahisa Agni yang memiliki ilmu bukan saja dari perguruan Panawijen tetapi juga dari perguruan yang lain, yang kemudian luluh manunggal menjadi satu di dalam diri paman.”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Tetapi puncak-puncak ilmu masing-masing agaknya tidak berada di bawah ilmu yang bercampur baur itu.”

“Tentu ada bedanya paman. Dan perbedaan itulah agaknya yang membuat paman Mahisa Agni mempunyai kelainan pula dari ayah dan paman Wtiantra.”

“Kau benar. Aku memiliki kelainan. Tetapi yang lain itu seperti sudah aku katakan, belum tentu lebih baik dari yang sudah kau miliki.”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Paman selalu merendahkan diri. Ayah dan paman Witantra pun berkata demikian.”

“Satu pujian yang terlampau tinggi bagiku, Bungalan.”

“Ayah menceriterakan segala-galanya. Bahkan menurut penilaian ayah, paman memiliki beberapa kelebihan dari Maharaja yang besar di Singasari, Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi.”

Mahisa Agni tertawa. Lalu katanya, “Sudahlah. Kau ternyata mendapat beberapa keterangan yang berlebih-lebihan tentang aku dari ayah dan pamanmu. Baiklah. Kau akan membuktikan sendiri, bahwa yang kau hadapi tidak lebih dari aku yang tidak banyak dapat membantumu. Sebaiknya kau beristirahatlah beberapa saat disini, sebelum kau mulai dengan segalanya. Mungkin besok atau lusa, aku dapat membawamu menghadap Maharaja tuanku Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana dan Ratu Angabhaya, tuanku Mahisa Cempaka yang bergelar Narasimha.”

“Menyenangkan sekali.“ desis Mahisa Bungalan. Terbayang di angan-angannya bahwa pada suatu saat ia akan dapat mengabdikan dirinya di Singasari. Bukan lagi sekedar bertualang tanpa tujuan. Tetapi pengabdiannya akan menjadi terarah.

Karena itulah maka kehadirannya di Singasari membawa banyak harapan dan angan-angan. Bukan karena dengan demikian ia akan mendapat pangkat yang tinggi dan kedudukan yang baik. Namun dengan demikian ia adalah salah satu dari mereka yang sempat mengabdi kepada Singasari.

Demikianlah maka selama dua hari ia berada di Singasari, Mahisa Bungalan benar-benar beristirahat dari segala macam kegiatan. Ia mempergunakan waktunya untuk mengenal kota itu bersama pamannya Mahisa Agni. Namun dari pamannya itu pulalah Mahisa Bungalan mengetahui lebih jelas bahwa pernah terjadi kedua adiknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diserang oleh tiga orang yang tidak dikenal disuatu tempat dalam kota itu.

“Persoalan dan alasan penyerangan itu pun masih merupakan teka-teki sampai sekarang.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “Mungkin karena orang itu mendendam kepada ayahmu, mungkin kepadaku atau pamanmu Witantra. Tetapi mungkin pula karena salah paham.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia pun menyadari, bahwa pusat pemerintahan yang nampaknya tenang dan damai itu, merupakan tempat yang cukup menegangkan. Didalam ketenangan dan kedamaian itu justru tersimpan seribu macam kemungkinan, seperti tenangnya sebuah kedung, maka sulitlah untuk dijajagi betapa dalamnya.

“Kau pun harus berhati-hati.“ berkata Mahisa Agni, “Di dalam kota ini bercampur baur sikap dan sifat manusia. Keluhuran budi, pengabdian, tetapi juga ketamakan dan pura-pura. Untuk sesaat sikap dan sifat itu dapat menyesuaikan diri dengan serasi, sehingga kota ini nampaknya menjadi tenang dan damai. Tetapi jika terdapat sedikit perubahan pada keseimbangan itu, maka akan dengan mudahnya timbul keributan yang kadang-kadang sulit dikendalikan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Menilik ceritera pamannya, ternyata kota ini tidak ubahnya dengan daerah yang disebut daerah bayangan hantu. Daerah yang menilik wajannya sepintas merupakan daerah yang tenang dan damai, tetapi isinya adalah kengerian yang tiada taranya. Tanpa disadarinya Mahisa Bungalan memandang rumah-rumah yang megah yang berdiri di pinggir-pinggir jalan raya. Rumah yang berhalaman luas dan beregol tinggi, dilingkungi oleh dinding batu yang rapat. Tetapi seperti yang dikatakan pamannya, dibalik dinding batu dan daun pintu regol itu, terdapat rahasia yang seolah-olah tidak dapat dipecahkannya.

“Nampaknya mereka menerima kehadiran tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dengan senang hati. Tetapi kita tidak tahu isi hati seseorang. Mudah-mudahan aku adalah orang tua yang banyak dipengaruhi oleh ketuaanku yang hampir pikun, sehingga kecurigaanku pun sekedar akibat dari gejala-gejala kepikunanku itu.”

“Agaknya kecurigaan paman cukup beralasan.“ sahut Mahisa Bungalan, “Tetapi sudah barang tentu, masih harus dinilai dengan saksama. Apakah yang sebenarnya ada di dalam pusaran Kota Raja yang ramai, sibuk dan gelisah ini, di bawah wajahnya yang tenang dan damai.”

“Itu sudah lebih dari cukup bagimu Mahisa Bungalan.” sahut Mahisa Agni, “Ternyata tanggapan perasaanmu atas Kota Raja ini cukup tajam. Kota yang berisi seribu satu macam persoalan, yang masih menunggu urutan pemecahannya. Namun sementara itu akan timbul persoalan-persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. Namun demikian, kami masih beruntung bahwa kota besar ini nampaknya tetap tenang dan damai.”

Dengan demikian maka pada waktu yang pendek itu, Mahisa Bungalan sudah melihat kota itu sepenuhnya. Dari pintu gerbang kota yang satu sampai kepintu gerbang kota yang lain. Ditelusurinya setiap lorong dan jalan yang simpang siur di dalam Kota Raja itu, seolah-olah ia ingin mengetahui segala-gala nya tanpa terlampaui.

Baru pada hari berikutnya, Mahisa Agni sempat mengajak Mahisa Bungalan menghadap Maharaja Singasari dan Ratu Angabhaya, tuanku Ranggawuni dan bergelar Wisnuwardhana dan tuanku Mahisa Cempaka yang bergelar Narasimka. Ternyata kehadiran Mahisa Bungalan membuat kedua pemimpin pemerintahan yang masih muda itu bergembira. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa yang datang itu adalah putera Mahendra.

“Ayahmu telah banyak memberikan sumbangsih bagi Singasari.“ berkata Ranggawuni, “Kami mengharap bahwa kau pun akan dapat berbuat serupa.”

“Hamba akan mencoba, tuanku. Tetapi sudah tentu hanya sejauh dapat dilakukan oleh kemampuan hamba yang kerdil.”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tersenyum. Di antara senyumnya Mahisa Cempaka berkata, “Seperti ayahmu, kau adalah seorang anak muda yang rendah hati. Tetapi justru karena itulah maka kami mempunyai harapan besar padamu dikemudian hari.”

Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja, sementara Mahisa Agni berkata, “Tuanku berdua. Mahisa Bungalan ternyata telah dititipkan kepada hamba. Ia membawa pemberitahuan tentang orang-orang yang berilmu hitam yang perlu juga tuanku ketahui. Namun selebihnya, sebagai anak-anak muda, maka tuanku berdua akan mendapat kawan dalam mesu diri dan olah kanuragan, karena Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang hampir sempurna dari ayahnya, namun yang masih memerlukan penyesuaian pengetrapan dengan persoalan-persoalan yang akan dihadapinya.”

Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Katanya, “Banyak kemungkinan yang akan kau hadapi Bungalan. Ceriterakan tentang orang-orang berilmu hitam itu.”

Dengan singkat Mahisa Bungalan pun segera menceriterakannya penglihatannya atas orang-orang berilmu hitam itu.

“Singasari memang wajib memperhatikan paman.“ berkata Ranggawuni kemudian.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa, orang berilmu hitam itu harus mendapat perhatian khusus. Untuk beberapa lamanya, mereka tentu akan bergerak di bawah bayangan yang gelap. Tetapi pada suatu saat, jika mereka merasa sudah kuat, maka mereka tentu akan muncul dan melakukan kegiatan yang membahayakan ketenangan Singasari.

“Namun demikian.“ berkata Mahisa Agni kemudian kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “Kita tidak perlu cemas. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri, karena mereka pun tentu tidak akan dengan tiba-tiba saja muncul dan mengganggu tlatah Singasari. Namun demikian, sudah barang tentu bahwa kita harus tetap waspada menghadapi setiap kemungkinan.”

Demikianlah maka kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari telah memberikan kesibukan baru bagi Mahisa Agni, tetapi juga bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka didalam olah kanuragan. Kadang-kadang mereka mencari kesempatan di antara kesibukan mereka di dalam pemerintahan, untuk berlatih bersama-sama. Dengan demikian mereka mendapatkan pengalaman baru yang dapat saling menguntungkan. Dengan langsung kedua belah pihak mendapat sentuhan baru pada ilmu masing-masing. Sedangkan Mahisa Agni mencoba untuk mengemukakan unsur baru dari luluhnya kedua ilmu yang bersumber dari perguruan yang berbeda.

Namun ternyata kemudian bahwa Mahisa Agni tidak saja menuntun mereka pada landasan yang sempit. Seperti Mahisa Agni sendiri, maka mereka pun mendapatkan beberapa unsur dasar dari beberapa cabang perguruan yang berbeda, sehingga dengan demikian, kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari bukannya tanpa arti bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Para pemimpin pemerintahan yang membantu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kadang-kadang menjadi bingung karena keduanya telah meninggalkan bangsalnya tanpa diketahui oleh siapa pun juga, selain satu dua orang kepercayaannya. Tidak seorang pun yang mengetahui, bahwa keduanya telah pergi bersama Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan, mencari tempat yang sepi untuk memperdalam ilmu mereka masing-masing.

Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni mencoba untuk meningkatkan ilmu ketiga anak-anak muda itu, maka di ujung hutan di kaki Gunung Lawu, berkumpul beberapa orang yang nampaknya memang sedang mengasingkan diri. Seorang yang berambut putih, bertongkat sepotong besi baja, dekerumuni oleh beberapa orang muridnya yang sedang mendengarkan penjelasannya.

“Siapakah yang membawa kabar itu?“ orang berambut putih itu bertanya.

“Empu Baladatu.“ sahut seseorang di antara mereka yang berkerumun itu, “Aku sengaja mencari mereka bertiga seperti yang Empu perintahkan. Gejala-gejala kehadirannya dapat aku cium di suatu padukuhan yang disebut daerah bayangan hantu. Daerah yang tidak dapat dikenal oleh siapa pun juga. Siapa yang tersesat masuk ke daerah itu, maka ia tidak akan dapat keluar lagi.”

“Hem.“ Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Yang nampak hanyalah sudut lorong kecil di tengah- tengah hutan. Jika kita memasukinya, maka kita akan sampai ke seberang hutan, ke sebuah padukuhan. Padukuhan yang berada di daerah bayangan hantu.”

“Hem.“ orang berambut putih itu berdesis lagi.

“Daerah yang disebut daerah bayangan hantu itulah yang memberikan pertanda kehadiran ketiga orang saudara kami yang hilang itu.”

“Dan kau berhasil menemukan mereka?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak Empu. Kami tidak menemukun mereka. Beberapa hari kami berempat bersembunyi di hutan itu untuk melihat kebenaran dugaan kami. Tetapi yang kami ketemukan adalah asap pembakaran sebuah bangsal pemujaan yang telah dibakar oleh Ki Buyut padukuhan itu, bersama dengan hilangnya ketiga saudara kami itu untuk selama-lamanya.”

“Gila.“ Empu Baladatu menggeram, “Dan kau tidak berbuat apa-apa.”

“Aku menunggu perkembangan keadaan. Aku datang kepadukuhan itu sebagai orang-orang yang lembut. Namun dengan demikian kami dapat menyadap rahasia padukuhan itu. Ketiga saudara kami memang ada di sana. Mereka berhasil mempengaruhi Ki Buyut yang sedang diamuk oleh dendam dan kecewa. Demikian juga isterinya yang menjadi hampir gila karena selalu diburu oleh ayah tirinya. Dengan memanfaatkan keadaan itulah, maka Ki Buyut telah membuat sebuah bangsal pemujaan lengkap dengan peralatannya.”

“Agaknya ketiga saudaramu ini ingin menyaingi aku.”

“Itulah dosa dan kesalahan mereka, sehingga tidak terampuni lagi. Mereka mati terbunuh oleh seorang anak muda yang tiba-tiba saja hadir di daerah bayangan hantu itu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Bangsal itu telah lengkap, sebelum menjadi abu.“ berkata salah seorang murid Baladatu itu, “Berbagai alat untuk memeras darah dari tubuh seseorang yang masih tetap hidup dapat diketemukan di dalam bangsal itu.”

“Hem. Aku memerlukan bangsal semacam itu.”

“Yang tinggal adalah abunya.”

“Siapakah yang membunuh ketiga orang yang memang sudah sepantasnya mati itu?”

“Namanya Mahisa Bungalan.”

“Orang yang tidak banyak dikenal namanya. Memalukan sekali. Tiga orang murid-muridku, meskipun mereka lari dari perguruannya, dapat dikalahkan oleh seseorang yang tidak berarti sama sekali.”

Murid-murid Empu Baladatu tidak menyahut. Mereka pun menjadi panas karena kematian ketiga saudara seperguruannya. Meskipun ketiga orang itu lari dari perguruannya, dan beberapa orang diantara mereka mendapat perintah untuk menangkapnya hidup atau mati, namun kekalahan yang dialaminya dari orang yang tidak banyak disebut namanya, membuat mereka menjadi merasa terhina.

Namun dalam pada itu, salah serang dari mereka yang mencari ketiga saudara seperguruan yang lari itu berkata, “Guru menurut pendengaran kami kemudian, orang yang telah membunuh ketiga saudara kami itu adalah anak seorang yang dekat dengan istana Singasari. Namanya Mahendra.”

“Mahendra.“ desis Empu Baladatu, “Aku memang pernah mendengar nama itu. Tetapi nama itu pun sama sekali tidak penting bagiku.”

“Mahendra tentu mempunyai hubungan dengan beberapa orang Singasari lainnya.“ sahut muridnya yang lain. “Orang-orang dari padukuhan yang ditinggalkan itu mengatakan bahwa Mahendra mempunyai saudara seperguruan yang bernama Witantra dan bergelar Panji Pati-pati. Sedangkan nama-nama lain yang disebutnya adalah Mahisa Agni, Lembu Ampal dan aku tidak ingat lagi yang lain.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah mendengar nama Mahisa Agni dan Panji Pati-pati. Mereka adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kemampuan mereka adalah kemampuan manusia sewajarnya. Sedangkan kita memiliki kemampuan yang lain dari bekal kemampuan kita sendiri. Ada masalah gaib yang membuat kita menjadi orang-orang yang sempurna. Jika ilmu kalian sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi maka kalian akan dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Tangan kalian akan dapat menyemburkan api, dan dari mulut kalian akan dapat memancar bisa setajam bisa ular. Pada saatnya kita akan menguasai Singasari dan bahkan seluruh muka bumi. Tidak ada lagi orang yang dapat mempelajari ilmu seperti yang sedang kita pelajari sekarang, meskipun dengan taruhan yang agak mahal. Dengan mengorbankan beberapa nyawa setiap waktu tertentu. Tetapi tidak ada usaha yang tanpa mempertaruhkan korban.”

Murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita tidak berkecil hati bahwa tiga orang murid perguruan ini terbunuh, meskipun kita tersinggung karenanya. Mereka belum memiliki ilmu yang cukup untuk menyombongkan diri seperti yang mereka lakukan. Akibatnya harus mereka tanggungkan sendiri. Mati tanpa arti apapun juga bagi dirinya sendiri, dan bagi kita semuanya. Jika mereka tertangkap hidup oleh kalian, maka mereka adalah korban yang paling baik bagi kita karena dalam diri mereka pun telah tersimpan ilmu seperti yang sedang kalian sadap.”

Murid-muridnya masih saja mengangguk-angguk.

“Karena itu.“ berkata gurunya pula, “Kalian harus bekerja lebih keras. Ada tanda-tanda bahwa ilmu kita telah tercium oleh orang-orang yang bernama Mahendra, Panji Pati-pati, Mahisa Agni, Lembu Ampal dan lain-lainnya. Tetapi pada suatu saat mereka harus mengakui, bahwa mereka akan mati karena kesombongan mereka, seolah-olah tidak ada orang lain yang pada suatu kesempatan akan membunuh mereka dengan cara yang paling baik.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Sejak saat ini kita akan berlatih semakin tekun dengan korban yang semakin teratur. Kita memerlukan darah yang menitik dari luka.“ sekali lagi ia berhenti sambil menarik nafas, “Namun kita tidak dapat menahan diri dengan tidak berbuat apa-apa atas kematian tiga orang murid-muridku yang gila itu. Meskipun aku akan membunuhnya juga, tetapi aku tetap akan menuntut balas atas kematian mereka. Setidak-tidaknya Mahisa Bungalan itulah yang harus dibunuh, sebelum Mahendra, Witantra, Mahisa Agni dan yang lain-lain.”

“Mahisa Bungalan adalah korban yang sangat baik buat kita, guru.”

“Itulah yang sedang aku pikirkan. Jika kita dapat menangkapnya hidup, maka ia akan menitikkan darah yang sangat berharga bagi kalian.”

“Jadi, apakah maksud guru ada beberapa orang di antara kami yang harus mencari anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu?”

“Tetapi kalian harus mengukur diri. Yang akan berangkat adalah dua orang yang memiliki bekal cukup. Ingat, Mahisa Bungalan dapat membunuh tiga orang saudara seperguruanmu. Sehingga dengan demikian, yang pergi mencarinya harus murid-muridku yang lebih tinggi tingkatnya dari ketiga orang yang telah terbunuh itu.”

Dari antara beberapa orang murid itu, seseorang yang bertubuh pendek, namun berdada bidang dan hampir diseluruh tubuhnya dijalari oleh otot-otot yang kuat, berkumis lebat dan melintang hampir sampai ketelinganya, mengacungkan tangannya sambil berkata, “Apakah guru akan mempercayakan tugas ini kepadaku?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Orang itu adalah muridnya yang terpercaya. Namun demikian ia menjawab, “Jika kau akan pergi, janganlah pergi seorang diri. Jika kau tidak berhasil menyingkirkan dirimu dari Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra, maka kau harus bertempur. Karena itu, kau harus membawa seorang atau dua orang kawan. Kawan yang dapat kau percaya.”

Orang berkumis lebat itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada saudara seperguruannya yang hampir setingkat dengan dirinya. Seorang yang bertubuh sedang, meskipun agak kekurus-kurusan sedikit.

Orang yang agak kekurus-kurusan itu sadar, bahwa agaknya saudara seperguruannya itu telah memilihnya untuk mengawani perjalanannya. Karena itu, maka ia pun mengangkat wajahnya sambil bertanya, “Apakah aku mendapat kehormatan untuk pergi bersamamu kakang Wangkir?”

Orang bertubuh pendek yang disebut Wangkir itu pun mengangguk. Tetapi kemudian ia berpaling kepada gurunya sambil berkata, “Semuanya terserah kepada guru.”

Empu Baladatu memandang orang yang kekurus-kurusan itu sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Geneng, kau sudah tahu, jika kaulah yang akan pergi, siapa dan apa saja yang akan kau hadapi.”

“Empu. Aku adalah murid yang tidak pernah ingkar akan kuwajiban apapun yang akan aku hadapi. Selama ini aku memang pernah mendengar nama Mahisa Agni, Witantra dan yang lain-lain. Tetapi aku belum pernah menyaksikan sendiri, berapa tinggi ilmu yang ada pada mereka itu. Karena itu sudah barang tentu bahwa aku tidak akan ingkar, jika sekiranya guru memerintahkan aku untuk pergi bersama kakang Wangkir.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk, dan Geneng berkata seterusnya, “Jangankah orang-orang yang sudah guru kenal sehingga guru dapat menjajagi kemampuannya. Siapa pun juga yang harus aku hadapi, jika guru memerintahkan, aku akan melakukannya dengan senang hati. Terlebih-lebih lagi aku akan berusaha untuk menangkap mereka hidup-hidup, agar darahnya dapat menambah kemampuan kita bersama di perguruan ini.”

“Kaki Gunung Lawu akan menjadi saksi, bahwa kami akan membawa orang-orang yang ditakuti di Singasari itu hidup hidup.“ berkata Wangkir.

Tetapi Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Kita memang terlampau yakin akan kemampuan kita. Memang ilmu yang sedang kalian pelajari mempunyai beberapa kelebihan. Kalian tidak pernah ragu-ragu mempergunakan senjata dan mempergunakan cara apapun untuk memenangkan setiap perkelahian. Namun ingat, yang membunuh ketiga orang saudara-saudaramu itu adalah anak Mahendra. Sedang orang yang mungkin kalian hadapi di samping anak itu adalah Mahendra sendiri dan Mahisa Agni serta beberapa orang lain yang memiliki ilmu sudah barang tentu jauh lebih baik dari Mahisa Bungalan itu sendiri.”

Tetapi Wangkir pun kemudian berkata, “Tetapi bukankah guru mengetahuinya, sampai berapa jauh tiga orang anak yang terbunuh itu menyadap ilmu guru disini? Mereka terlampau dungu untuk mengetahui tentang diri mereka sendiri. Mereka yang baru mulai itu merasa bahwa ilmu mereka sudah cukup sempurna, sehingga pada suatu saat mereka terbentur pada kenyataan, bahwa di luar diri mereka, masih terdapat ilmu yang lebih tinggi, meskipun belum memadai dibanding dengan ilmu perguruan Empu Baladatu.”

“Aku berharap bahwa kau berdua tidak terjerumus dalam anggapan yang demikian itu pula. Jika kalian menganggap bahwa ilmu kalian telah sempurna, maka yang akan terjadi tidak jauh berbeda dengan ketiga anak-anak dungu itu.”

“Tidak Empu. Kami merasa bahwa kemampuan kami masih jauh di bawah sempurna itu. Karena itu kami akan selalu ingat peristiwa yang telah menimpa ketiga saudara-saudara kami yang telah sesat jalan, dan memilih cara hidupnya sendiri meskipun masih selalu berusaha mempergunakan cara dari perguruan ini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku percaya kepada kalian berdua. Meskipun demikian aku masih selalu berpesan agar kalian tetap hati-hati. Aku sebenarnya tidak tahu pasti, betapa tingginya ilmu orang-orang itu. Tetapi sebagai ukuran dapat aku ceriterakan, bahwa pada masa pemerintahan Sri Rajasa, Mahisa Agni sudah merupakan orang penting di istana Singasari. Nah, kalian wajib mengetahui, bahwa Sri Rajasa memiliki ilmu yang tidak ada taranya.”

Kedua orang muridnya itu mengangguk-angguk. “Dengan bekal yang ada padamu, pergilah. Kalian harus terap berada di atas jalan yang sudah kalian pilih. Tidak ada manusia yang pantas kalian kasihani selain keluarga kita sendiri, karena pada dasarnya, setiap kelompok manusia adalah binatang yang paling buas bagi manusia lainnya. Ternyata bahwa ketiga orang saudaramu yang terbunuh itu tidak berhasil membunuh lawannya lebih dahulu. Dan orang yang bernama Mahisa Bungalan itu pun sama sekali tidak menaruh belas kasihan dan pengampunan bagi saudara-saudaramu yang sesat jalan itu. Apakah kalian mengerti?”

“Mengerti guru.”

“Mungkin kita tidak menghiraukan sekelompok manusia lainnya, karena kami belum bersentuhan kepentingan. Tetapi pada dasarnya, kita adalah pusat dari sikap hidup kita. Kepentingan kita bersama harus berada di atas kepentingan siapa pun dan apapun juga tanpa ragu-ragu. Kau mengerti?”

“Mengerti guru.”

“Itu dasar dari sikap hidup kita. Dengan demikian barulah kita dapat menguasai orang lain jika kita masih memerlukannya. Tetapi jika tidak, pada suatu saat mereka pun akan kita perlukan darahnya bagi kesegaran ilmu kita.”

“Kami akan melakukannya. Kami akan selalu ingat, bahwa hanya ada satu pusat kehidupan. Di kaki Gunung Lawu ini.”

“Ya. Ketiga orang saudaramu yang menganggap ada pusat kehidupan yang lain, dan mencoba menyempurnakan ilmunya tanpa aku telah mendapat hukuman, lantaran tangan Mahisa Bungalan. Kau ingat.”

”Baik guru. Aku akan selalu ingat semuanya.”

“Pergilah ke Singasari. Tetapi sekali lagi kau harus menyadari, Singasari bukan pusat dari kehidupan. Jika ada kelebihan yang nampak pada wajah kota itu, itu adalah ujud lahiriahnya saja. Dan itu bukan tujuan kita. Kita akan menguasai seisi bumi dan memilikinya.”

Dengan beberapa pesan yang lain, yang berisi sanjungan atas kemampuan kedua orang muridnya itu, tetapi juga ancaman jika mereka lupa diri dan apalagi mempunyai niat untuk memisahkan diri dari induknya, maka kedua orang dari perguruan ilmu hitam itu meninggalkan padepokannya. Mereka menyusuri jalan setapak, menuruni jurang mendaki perbukitan, menyusup diantara hutan yang lebat, menuju kepusat pemerintahan, Kota Raja.

Meskipun tugas yang dibebankan kepada mereka adalah tugas yang berat, namun agaknya tidak terlampau mengikat. Jika mereka merasa terlampau sulit untuk membawa orang-orang yang terlibat dalam dendam atas kematian tiga orang saudara seperguruan mereka, terutama Mahisa Bungalan, dalam keadaan hidup, mereka diberi wewenang untuk membunuhnya dengan cara apapun juga. Kasar atau dengan diam-diam dan bersembunyi. Semua cara dapat ditempuh dan dibenarkan oleh gurunya, Empu Baladatu.

Namun yang sebenarnya tidak kalah pentingnya bagi Empu Baladatu adalah penjajagan tentang kekuatan Singasari. Karena itulah, maka kegagalan yang mutlak pun dari kedua muridnya itu, masih juga ada gunanya. Jika keduanya tidak berhasil menangkap hidup, dan juga tidak berhasil membunuh seorang pun diantara nama-nama yang disebut, maka itu pun tidak mengapa, asal dengan demikian kedua muridnya itu dapat mengetahui, betapa jauh jalan yang harus dilaluinya untuk sampai kepada kekuasaan mutlak atas bumi seisinya.

Karena Empu Baladatu yakin, bahwa pada suatu saat usaha itu pasti akan berhasil. Bukan saja membunuh orang-orang yang namanya pernah disebut oleh orang-orang yang berhasil menemukan daerah bayangan hantu, dan mengetahui bahwa ketiga saudara seperguruannya yang lari itu mati terbunuh, tetapi juga pasti akan berhasil menguasai Maharaja dan Ratu Angabhaya Singasari.

Kemudian menebarkan kekuasaannya ke Barat sampai ke ujung Kulon, dan dengan kekuatan yang tidak terlawan menyeberang lautan kesegala penjuru bumi. Empu Baladatu memang mempunyai satu kelebihan yang di ajarkan kepada murid-muridnya. Tidak ragu-ragu mempergunakan segala cara. Yang licik, yang jantan, yang kejam dan segala macam cara yang lain.

Demikianlah maka kedua orang murid Empu Baladatu itu berjalan tanpa mengenal lelah. Mereka tidak merasa perlu untuk singgah di daerah bayangan hantu. Bagi mereka, yang ada dipadukuhan itu tinggallah cucurut-cucurut yang tidak berarti. Tetapi orang-orang yang penting menurut perhitungan mereka tentu berada di Singasari. Terutama Mahisa Agni. Seandainya Mahisa Bungalan dan Mahendra tidak berada di Singasari maka mereka tentu akan mendapat petunjuk, dimanakah mereka itu berada.

Sementara kedua orang itu menuju Singasari, maka telah terjadi beberapa perubahan didaerah yang semula disebut daerah bayangan hantu. Ki Buyut didaerah itu, yang menyebut dirinya Kidang Pengasih, benar-benar telah berubah. Ia berhasil membuat dirinya menjadi manusia wajar. Seperti yang disangka oleh penghuni padukuhannya, yang tidak tahu sama sekali cara hidupnya disaat lampau, Ki Buyut berada di antara mereka dengan penuh perhatian dan pengarahan bagi tata kehidupan di padukuhan kecil itu.

Sementara itu, Tapak Lamba dan ketiga kawan-kawannya masih tetap pula berada bersama mereka. Keempat orang itu pun membantu dengan sepenuh hati, membuat padukuhan kecil itu menjadi semakin berkembang.

“Kita harus mempunyai nama yang serasi bagi pedukuhan ini.“ berkata Ki Buyut.

“Berilah nama.“ berkata Tapak Lamba, “Bukan lagi daerah bayangan hantu.”

“Aku sebut daerah ini seperti namamu. Padukuhan Tapak Lamba.”

Tapak Lamba menggeleng. Katanya, “Itu tidak baik. Kenapa tidak kau sebut saja dengan nama yang lebih baik bagi suatu pedukuhan? Namamu sendiri misalnya.”

“Tidak. Namaku bukan nama yang baik buat padukuhan. Kidang Pengasih.”

“Pengasih. Padukuhan Pengasih.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk. Katanya, “Ya. padukuhan ini bernama padukuhan Pengasih. Aku tidak keberatan menggunakannya.”

Tapak Lamba tersenyum. Katanya, “Nah, sekarang setiap orang akan menyebut padukuhan ini bernama Pengasih. Tidak lagi dengan nama yang mendirikan bulu roma. Daerah bayangan hantu.”

Penghuni padukuhan itu tidak banyak menghiraukannya. Mereka merasa bahwa hidup mereka menjadi semakin baik. Bahwa mereka merasa lebih lapang untuk bernafas. Meskipun mereka tidak mengetahui, namun terasa bahwa dimasa lampau, mereka dihadapkan pada suatu teka-teki yang tidak terpecahkan. Halaman rumah Ki Buyut yang nampaknya selalu terbuka itu, namun rasa-rasanya memang tertutup bagi mereka. Tetapi kini halaman itu rasa-rasanya benar-benar telah terbuka.

Namun demikian, selagi ketenangan yang sebenarnya mulai tumbuh didaerah yang disebut Pengasih itu, mulailah para pemimpinnya berbicara tentang hidup dan cita-cita. Tapak Lamba mulai menyinggung lagi pembicaraannya dengan orang-orang yang menyebut dirinya Linggapati dan Linggadadi.

“Orang-orang Mahibit itu selalu mempengaruhi angan-anganku.“ berkata Tapak Lamba, “Meskipun aku belum pasti, tetapi agaknya ada sesuatu yang menarik.”

“Apakah mereka tidak termasuk orang-orang berilmu hitam itu?”

Tapak Lamba menggeleng, “Menilik cara dan sikapnya, aku berpendapat bahwa mereka bukan dari golongan ilmu hitam.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu setelah ia mengalami peristiwa yang untuk mengenang pun rasa-rasanya seluruh rambutnya meremang.

“Tapak Lamba.“ berkata Ki Buyut, “Sebenarnya aku ingin membuat perhitungan dengan diriku sendiri. Aku memang seorang prajurit yang setia kepada tuanku Tohjaya. Aku pernah bersumpah, bahwa apapun yang akan terjadi, aku akan tetap berpihak kepadanya. Juga sampai tuanku Tohjaya itu terbunuh. Seperti yang kau lihat, aku lebih baik menyingkir dan tinggal jauh terpisah dengan menyimpan dendam di dalam hati. Setiap kali aku bermimpi bagaimana aku membalas dendam atas kematian tuanku Tohjaya yang telah banyak memberikan kurnia kepadaku.“ Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “Namun pada suatu saat datang orang lain yang telah menyelamatkan jiwaku. Seorang anak muda yang dengan tidak aku duga, telah berhasil membunuh tiga orang iblis berilmu hitam itu.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang kita berada dalam kedudukan yang sulit. Tetapi apakah kita tidak dapat memisahkan dendam dan hutang budi itu?”

“Bagaimana kita akan memisahkannya? Yang telah menyelamatkan kita adalah Mahisa Bungalan, anak Mahendra. Sedangkan jika kita turutkan hati yang mendendam ini, kita akan berhadapan dengan Singasari. Sedangkan di Singasari kita akan bertemu lagi dengan Mahendra dan sudah barang tentu Mahisa Bungalan.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Ki Buyut. Yang pernah menolong kita adalah Mahisa Bungalan. Aku pun merasa diriku telah diselamatkan. Jika anak nuda itu tidak datang kemari, maka barangkali aku pun sudah terkapar di halaman rumahmu ini dengan kulit terkelupas. Tetapi hutang budi ini tidak akan aku lupakan. Jiki pada suatu saat, Linggapati dan orang-orangnya berhasil menguasai Singasari, maka kita dapat mempergunakan hak dan wewenang yang ada pada kita untuk menyelamatkan Mahisa Bungalan, apabila ternyata ia benar-benar berada dan berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya.

“Cobalah kau pikirkan.“ desis Tapak Lamba kemudian, “Seandainya kita tidak berada diantara Linggapati dan Linggadadi, apakah kira-kira mereka akan mengurungkan niatnya?”

Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Aku kira tidak. Mereka tentu akan melanjutkan rencana mereka untuk menguasai Singasari. Jika usaha itu berhasil, atau setidak-tidaknya mereka berhasil memasuki Kota Raja, maka Mahisa Bungalan itu pun akan dibunuhnya pula. Tetapi jika kita ada diantara pasukan Linggapati, mungkin kita akan dapat membayar hutang budi kepadanya.”

“Tapak Lamba.“ desis Ki Buyut, “Apakah kau dapat mengatakan, siapakah yang lebih tinggi ilmunya, Linggadadi dan Linggapati atau Mahisa Bungalan?”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Setelah merenung sejenak maka ia pun berkata sambil menggeleng, “Aku tidak tahu. Adalah sangat sulit untuk membandingkan dua orang yang dalam keadaan yang jauh berbeda.”

“Tetapi kau pernah melihat bagaimana keduanya bertempur.”

“Aku pernah dikalahkan oleh Linggadadi dengan mudah. Bahkan aku tidak seorang diri. Dan ternyata bahwa Mahisa Bungalan pun dengan perjuangan yang sengit dapat membunuh tiga orang iblis itu. Nah, apakah dengan demikian akan dapat memperbandingkan keduanya?”

“Mahisa Bungalan dapat mengalahkan ketiga iblis itu. Sedangkan kau sama sekali bukan lawan ketiga iblis itu. Bukankah itu berarti bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari kita?”

“Memang mungkin dapat diambil kesimpulan yang demikian.“ jawab Tapak Lamba, “Sehingga keduanya berada di atas kemampuan kita masing-masing.”

“Nah, jika demikian kau dapat membayangkan. Bahwa jika benar-benar orang Mahibit itu akan melawan Singasari mereka tidak akan berarti apa-apa bagi ayah Mahisa Bungalan. Karena bagaimanapun juga aku masih mempunyai perhitungan, bahwa Mahendra masih jauh lebih kuat dari anaknya. Apalagi Witantra dan Mahisa Agni.”

“Kau menganggap bahwa Linggapati adalah puncak kekuatan orang-orang Mahibit? Aku tidak yakin. Tentu mereka masih mempunyai seorang guru atau bahkan lebih yang dengan pasti dapat mengimbangi kemampuan Witantra, Mahendra dan Mahisa Agni.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kemudian setelah ia menimbang-nimbang sejenak, “Maaf Tapak Lamba. Aku masih belum memutuskan untuk pergi kepada Linggapati.”

“Ki Buyut Kidang Pengasih.“ berkata Tapak Lamba, “Kau sudah sekian lama bersembunyi. Sudah barang tentu kau mempunyai niat yang kuat untuk kembali ke Singasari dengan kedudukanmu sebagai Senapati itu kembali lagi padamu. Karena itu jangan sia-siakan kesempatan ini meskipun kita masih harus menjajagi lebih jauh, karena kita tidak akan menyediakan diri buat umpan kail, sedang hasilnya akan dinikmati oleh orang lain setelah kita dikorbankan.”

“Karena itu Tapak Lamba, sebaiknya aku meyakini dahulu, apakah yang sebenarnya akan kita dapatkan jika kita benar-benar berada dipihaknya.”

Tapak Lamba termangu sejenak, namun kemudian, “Baiklah. Memang sebaiknya kita tidak tergesa-gesa. Karena itu, biarlah aku dan ketiga kawanku mencoba menjajaginya. Apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh Linggapati itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun ada perasaan yang di dalam hatinya. Ia tidak dapat melupakan pertolongan yang telah diberikan oleh Mahisa Bungalan kepadanya. Sedang ia tahu bahwa Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra dan sudah pasti akan berpihak kepada Singasari jika terjadi pertentangan antara Singasari dan Mahibit.

“Tapak Lamba.“ berkata Ki Buyut, “Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat ikut dalam penjajaganmu. Aku masih ingin menikmati kedamaian dipadukuhan ini. Kedamaian yang sebenarnya.”

Tapak Lamba mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku tahu, bahwa perubahan ini telah menumbuhkan perubahan pula di dalam sikap dan caramu menghadapi persoalan Singasari. Tetapi agaknya pada suatu saat, kau akan menemukan kembali sikapmu yang sebenarnya terhadap kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

“Aku menyadari Tapak Lamba, bahwa jika kita berbuat sesuatu, maka kita akan dapat mengumpulkan beberapa puluh orang bekas prajurit yang agaknya masih tetap setia kepada Tohjaya karena limpahan kekuasaan yang pernah diberikan kepada mereka disamping pemberian yang mengalir hampir setiap saat, sehingga memang akan dapat membangun suatu kekuatan yang dapat diperhitungkan didalam gerakan Linggapati. Tetapi apakah itu bukan sekedar pemanfaatan yang dilakukan oleh Linggapati kepada orang-orang yang pernah mengalami kekecewaan dan tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru? Aku menyadari, bahwa orang-orang berilmu hitam itu dengan mudah dapat menguasai sikap dan perbuatanku, sehingga dengan tidak sadar aku telah menjadi budak mereka, meskipun nampaknya mereka adalah pengawal-pengawalku yang setia dan tunduk atas segala perintahku, karena perasaan dendam dan kebencianku kepada pimpinan pemerintahan Singasari yang kini dipegang oleh dua orang anak-anak muda itu.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Apalah hal itu tidak akan terulang kembali jika kita mengadakan hubungan dengan orang-orang yang berada dibawah pengaruh Linggapati? Mereka akan memanfaatkan kita dan kawan-kawan kita yang merasa kecewa dan dendam karena kematian tuanku Tohjaya. Tetapi apakah hasil terbesar nanti tidak ada pada mereka jika mereka berhasil mengalahkan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka? Dan tidak akan banyak memberikan apa-apa kepada kita?”

“Kita memang masih berteka-teki Ki Buyut.“ berkata Tapak Lamba, “Tetapi pengalamanmu membuat kau menjadi terlampau berhati-hati. Namun hal itu memang dapat dimengerti. Karena itu biarlah aku dan ketiga kawan-kawanku sajalah yang akan menjajagi keadaan. Pada saatnya aku akan datang lagi kemari.”

“Mudah-mudahan kau mendapatkan gambaran yang jelas dan wajar tentang kekuatan, niat dan cara yang akan ditempuh oleh Linggapati dan orang-orangnya.”

Tapak Lamba dan ketiga kawannya pun kemudian mempersiapkan diri mereka, untuk segera mulai dengan perjalanan baru menemui Linggapati dan Linggadadi untuk menjajagi kemungkinan yang dapat dilakukannya bersama mereka. Ia ingin meyakinkan diri, apakah benar-benar ada kekuatan yang mendukung kedua orang itu, jika saatnya tiba untuk menggulingkan Singasari.

“Tetapi Linggapati pun harus mengetahui bahwa ada. kekuatan hitam yang masih tersisa. Kekuatan itu agaknya mempunyai pertimbangan tujuan tersendiri yang akan dapat menghambat usaha Linggapati dan Linggadadi.“ berkata Tapak Lamba di dalam hati.

Demikianlah maka pada saatnya, setelah beristirahat beberapa lamanya di padukuhan yang kemudian disebut Pengasih, maka keempat orang itu pun minta diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka berjanji untuk pada suatu saat kembali lagi untuk memberikan gambaran, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.

“Kita tidak boleh tenggelam dalam ketenangan yang diam seperti yang kau bayangkan.“ berkata Tapak Lamba, “Jika demikian, maka kau akan tetap berada dalam keadaanmu sekarang. Seorang Buyut padukuhan kecil terpencil yang tenang dan damai, tetapi sama sekali tidak berkembang. Sebenarnya kau lebih tepat berdiri dimuka sebuah pasukan segelar sepapan dengan pedang terhunus sambil meneriakkan aba-aba menghadapi lawan. Kau adalah Senapati yang memiliki keberanian dan kemampuan di medan perang.”

“Tetapi ternyata keberanian dan kemampuan itu tidak memberikan arti apa-apa bagiku. Aku tidak berani menghadapi kenyataan dan bersembunyi di padukuhan ini. Sedangkan kemampuanku tidak berarti apa-apa, dibandingkan dengan tiga orang iblis berilmu hitam itu, dan terlebih-lebih lagi dibandingkan dengan Mahisa Bungalan.”

“Tidak semua orang seperti Mahisa Bungalan dan ayahnya Mahendra. Senapati Singasari yang sekarang pun tentu tidak ada bedanya dengan kita pada masa kekuasaan tuanku Tohjaya. Hanya satu dua orang sajalah yang memiliki kelebihan. Dan itu dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan barangkali Lembu Ampal, Mahisa Bungalan. Sedang yang lain belum melampaui kekuatan Senapati biasa.”

“Mungkin. Tetapi jumlah mereka terlalu besar untuk dilawan.”

“Karena itu pulalah kita memerlukan kawan-kawan seperti Linggapati. Baiklah. Aku minta diri. Mudah-mudahan perjalananku berhasil.”

Keempat orang itu pun kemudian minta diri dan meninggalkan padukuhan yang tenang dan damai itu. Mereka menuju ke tempat yang bergejolak untuk menemukan gerak yang barangkali sesuai dengan jiwa mereka. Terlebih-lebih lagi gejolak kenangan mereka atas masa lampau dan harapan mereka atas masa datang.

Sepeninggal Tapak Lamba, rasa-rasanya padukuhan Pengasih memang menjadi sepi. Tidak ada orang yang dapat diajak memperbincangkan masalah yang menyangkut persoalan-persoalan di luar padukuhan itu. Para bebahu agaknya memang sangat picik pengetahuannya. Mereka sekedar mengerti serba sedikit tentang lingkungan hidup disekitarnya.

Namun, mereka adalah orang-orang yang taat dan patuh. Sepeninggal Tapak Lamba dan ketiga orang kawannya, Ki Buyut mengajak bebahunya untuk mencoba membuat kekuatan yang dapat sekedar melindungi padukuhan kecil itu dari kekuatan yang terbatas.

“Jika saudara-saudara seperguruan iblis itu benar-benar datang, dan mereka tidak menghiraukan nama Mahisa Bungalan dan keluarganya, maka kita akan menjadi debu bersama-sama. Tetapi kita memang wajib untuk mencoba melindungi padukuhan ini. Sejauh kemampuan yang dapat kita himpun.“ Ki Buyut selalu mencoba membesarkan hati bebahu-bebahunya. Lalu, “Karena itu, kita harus mencoba menyusun kekuatan yang ada pada kita. Ketenangan dan kedamaian yang telah kita capai ini, harus kita isi dengan usaha untuk mempertahankannya.”

Bebahu padukuhan Pengasih itu pun mematuhinya. Terutama mereka yang mengetahui, apa yang sebenarnya pernah terjadi di rumah Ki Buyut. Kematian tiga orang iblis dan bahkan hasil kerja selama mereka berhasil menguasai hati dan perasaan Ki Buyut. Tetapi seperti pesan Ki Buyut, pada umumnya mereka masih tetap mempertahankan rahasia itu. Jika ada satu dua masalah yang merembes keluar lewat mulut mereka, adalah persoalan-persoalan yang sudah disaring selembutnya.

Demikianlah, setiap hari bebahu padukuhan Pengasih selalu melatih diri dibawah pimpinan Ki Buyut sendiri. Mereka yang serba sedikit sudah mengenal olah kanuragan dengan tekun memperdalam pengetahuan mereka yang terbatas itu. Sedang yang lain, yang sama sekali belum mengenalnya, telah mulai mempelajarinya serba sedikit. Anak-anak mudanya pun rasa-rasanya mulai bangun. Beberapa orang di antara mereka, dengan sepenuh hati mempelajari ilmu kanuragan, yang ditangani oleh Ki Buyut sendiri pula.

Dengan demikian, maka rasa-rasanya padukuhan Pengasih itu masih saja tetap tenang dan tenteram, namun terasa hidup. Mereka tidak lagi menunggu masa-masa panen dengan duduk-duduk saja di simpang tiga. Tetapi mereka mempunyai kesibukan.

Karena Ki Buyut adalah bekas seorang Senapati prajurit, maka olah kanuragan diberikan kepada anak-anak muda dan bebahu padukuhan Pengasih sebenarnya adalah ilmu keprajuritan. Ilmu kanuragan bagi seorang seorang, dan juga bagi kelompok-kelompok kecil dan besar. Mereka mendapat tuntunan untuk berkelahi dalam lingkungan kecil, tetapi juga bersama-sama dalam lingkungan yang besar.

Namun agaknya usaha Ki Buyut tidak terbatas pada tuntunan olah kanuragan itu saja. Untuk mengamankan padukuhan barunya yang sedang berkembang itu, Ki Buyut berhasrat untuk menghubungi beberapa orang yang pernah dikenalnya pada masa kekuasaan Tohjaya. Para prajurit dan Senapati yang menyingkir dan bersembunyi karena mereka takut kepada balas dendam yang mungkin akan dilakukan oleh prajurit-prajurit dan Senapati-Senapati yang setia kepada Ranggawuni dan Mahisa Campaka.

Namun ternyata bahwa Ranggawuni dan Mahisa Campaka agaknya tidak menganjurkan dan bahkan mencegah dendam yang berkepanjangan di antara keluarga sendiri. Karena itulah, maka ketika beberapa orang bebahu dan anak-anak muda padukuhan Pengasih sudah mulai berhasil menguasai serba sedikit ilmu kanuragan itu, maka Ki Buyut pun berniat untuk meninggalkan padukuhan itu beberapa lama.

“Tunggulah padukuhan ini baik-baik. Mudah-mudahan aku berhasil menemui beberapa orang kawan, dan membujuknya untuk tinggal bersama kita. Di sini tanah subur dan luas. Tidak ada lagi kecemasan tentang masa lampau yang buram.”

Isterinya tidak mencegahnya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa kepergian suaminya adalah semata-mata karena keinginannya untuk melindungi padukuhan itu dari kemungkinan-kemungkinan yang buruk.

Pada saat yang ditentukan, maka Ki Buyut dan dua orang pengawalnya pun meninggalkan padukuhannya menuju ke Kota Raja. Dengan pakaian petani-petani biasa, mereka berniat untuk menemui beberapa orang yang mungkin masih berada di tempat yang pernah mereka ketahui besama. Selagi mereka masing-masing berusaha menyembunyikan diri, mereka telah menentukan tempat masing-masing untuk dapat saling bertemu.

“Mungkin sudah ada perubahan.“ desis Ki Buyut, “Perubahan tempat, dan barangkali perubahan sikap sehingga usahaku tidak akan berhasil. Tetapi aku akan tetap berusaha.”

Karena itulah, maka Ki Buyut pun dengan tekad yang bulat pergi ke daerah yang baginya menyimpan harapan untuk dapat menjadikan padukuhannya semakin tentram. Tidak ada persoalan apapun di perjalanan. Rasa-rasanya daerah Singasari memang sudah menjadi aman dan damai. Tidak ada gangguan di sepanjang jalan, dan dengan aman mereka memasuki Kota Raja setelah merena menempuh perjalanan yang cukup jauh, sehingga mereka harus bermalam di luar kota.

Namun pada saat yang bersamaan, dua orang berjalan semakin mendekati kota itu juga. Mereka adalah murid-murid Empu Baladatu yang ingin melihat-lihat, apakah yang ada di dalam kota Singasari. Kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan dipusat pemerintahan itu. Seperti Ki Buyut di Pengasih, kedua orang itu pun tidak menjumpai kesulitan apapun untuk memasuki kota. Demikian mereka menginjakkan kakinya melangkahi gerbang terasa seolah-olah udara memang menjadi sangat sejuk.

Namun yang berbeda adalah apa yang akan mereka lakukan kemudian. Kedua orang murid Empu Baladatu tidak mempunyai tujuan sama sekali di dalam kota yang besar itu. Mereka tidak mempunyai tempat yang langsung dapat mereka tuju untuk sekedar melepaskan lelah, apalagi menumpang tidur. Karena itu, ketika mereka sudah berada di dalam Kota Raja, maka mereka pun terpaksa mencari tempat berteduh di bawah pohon yang rindang, dan berpikir bagaimanakah dengan malam yang bakal datang. Apakah mereka akan tidur di tempat-tempat yang sepi dan tidak dilalui orang?

Mungkin sehari dua hari dapat mereka lakukan tanpa menumbuhkan kecurigaan. Tetapi jika mereka berada di kota untuk waktu yang agak lama, maka mungkin sekali pada suatu ketika kehadiran mereka itu menumbuhkan kecurigaan pada satu dua orang, sehingga akhirnya menjalar kepada sebagian isi kota itu.

“Kita harus mendapatkan tempat beristirahat yang baik.“ berkata Wangkir.

“Kita belum mengenal seorang pun di tempat ini.“ sahut Geneng.

“Kita akan mendatangi rumah di ujung jalan. Rumah yang agaknya dihuni oleh sekeluarga yang miskin. Kita datang kepada mereka, dan minta tempat untuk menumpang.”

“Kenapa kita memilih ditempat keluarga yang miskin?”

“Ada beberapa pertimbangan. Di antaranya, bahwa di tempat itu kita tidak akan banyak mendapat perhatian, karena biasanya orang miskin tidak dihiraukan oleh orang di sekitarnya. Kemudian, dengan sedikit memberikan uang atau imbalan apapun kita akan dapat mereka terima, asal sikap kita tidak men-curigakan. Kita harus pura-pura bersikap baik dan berhasil membuat mereka percaya kepada kita.”

Geneng mengerutkan keningnya. Ia mencoba membayangkan bagaimana ia harus bersikap. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku menurut apa saja yang baik menurut kakang Wangkir. Tetapi untuk bersikap lembut agaknya memang agak sulit. Meskipun demikian aku akan mencobanya.“

“Kita harus dapat manjing ajur-ajer. Jangankan sekedar bersikap lembut. Jika perlu kita harus dapat bersikap seperti seorang pendeta yang paling suci.”

“Ya, aku mengerti.”

“Nah, jika demikian, marilah kita coba. Selain sikap yang baik dan meyakinkan, kita akan memberikan sekedar imbalan kepada keluarga itu.”

“Apa yang akan kita berikan?“ bertanya Geneng, “Kita tidak mempunyai apapun juga. Uang, perhiasan atau barang-barang berharga lainnya apalagi.”

Wangkir mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Malam nanti kita akan berusaha sesuatu yang dapat kita berikan kepada keluarga itu.”

Geneng memandang Wangkir dengan heran. Ia tidak mengerti, bagaimana mereka harus berusaha mendapatkan sesuatu nanti malam. Tetapi sebelum ia bertanya, agaknya Wangkir mengetahui perasaannya itu. Sambil tertawa Wangkir berkata, “Geneng. Dikota ini tersebar kekayaan yang melimpah. Jika kita hanya sekedar menginginkan perhiasan atau uang yang tidak begitu banyak, maka aku kira kita tidak akan mengalami kesulitan.”

“Maksudmu?”

“Kita, masuk saja kerumah seseorang yang kita anggap berada. Sudah tentu yang tinggal agak jauh dari rumah di ujung jalan, sehingga kehadiran kita yang tiba-tiba ditempat itu tidak di curigai dan dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang mungkin mengejutkan bagi kota ini?”

“Merampok?”

“Sekedar mengambil uang dalam jumlah yang terbatas. Kita memerlukan uang itu. Karena menurut pendapatku, uang adalah barang yang paling aman kita berikan kepada keluarga miskin itu. Jika kita ambil perhiasan atau benda apapun juga, mungkin akan dapat dikenal oleh pemiliknya jika pada suatu saat barang itu dijual oleh keluarga miskin itu. Jika kita masih nanti malam ada di rumah itu, maka kita pun akan segera tertangkap pula sebelum kita mendapat keterangan apapun juga mengenai Mahisa Bungalan.”

Geneng mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kemana kita akan merampok?”

“Sudah barang tentu di ujung kota yang lain.“ berkata Wangkir, “Meskipun banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi di kota ini, tetapi kita akan menemukan rumah yang tidak akan dapat melawan kita. Sehari dua hari, dapat kita pergunakan untuk melihat-lihat, rumah yang manakah yang paling baik kita singgahi untuk mengambil uangnya sebagian saja.”

“Selama sehari dua hari, dimanakah kita akan tinggal?”

“Kita dapat berada di segala tempat. Dimana saja. Bukankah kita dapat berada di tempat yang bagaimanapun juga?”

Geneng mengangguk.

“Apa kau kira bahwa karena kita berada di dalam kota, maka tidak ada sejemput tempat pun yang sepi dan tidak banyak disentuh kaki manusia?”

“Ya. Ya. Aku mengerti. Baiklah. Kita akan mencari dua tempat.”

“Kenapa dua?“ justru Wangkirlah yang bertanya.

“Yang satu tempat untuk tinggal. Yang lain tempat yang akan kita rampok. Bukankah begitu?”

Wangkir mengerutkan keningnya. Namun ia pun tersenyum. “Ya. Begitulah.“ jawabnya, “Namun kita harus berhati-hati agar tidak terjebak pada langkah pertama. Sebab yang akan kita lakukan merupakan tugas yang panjang. Kau mengerti?”

Demikianlah maka kedua orang itu pun segera mengelilingi kota. Mereka mengamat-amati rumah yang pantas dimasukinya untuk mendapatkan uang. Pada hari yang pertama mereka hanya sekedar melihat-lihat saja. Mereka memilih beberapa rumah yang masih akan mereka amat-amati dua tiga hari lagi, sehingga mereka yakin bahwa rumah itu cukup baik mereka jadikan sasaran perampokan.

Karena mereka masih belum mempunyai apa-apa, maka dalam dua malam mereka masih tidur di tempat yang sepi, yang tidak dilihat oleh seorangpun, sehingga tidak menumbuhkan kecurigaan. Namun yang dua malam itu telah mereka pergunakan sebaiknya untuk mengamati rumah yang telah mereka pilih menjadi sasaran itu.

“Rumah yang berada di sudut tikungan itu sajalah.“ berkata Wangkir.

“Kenapa kau pilih itu?“ bertanya Geneng.

“Rumah itu agaknya mempunyai banyak hal yang menguntungkan. Rumah itu tidak terlampau banyak penghuninya. Tempatnya agak jauh dari rumah-rumah yang lain, dan lebih-lebih lagi, agaknya rumah itu memang banyak tersimpan uang dan perhiasan. Tetapi seperti yang sudah kita rencanakan, kita hanya akan mengambil uang. Tidak perhiasan atau barang-barang apapun yang akan dapat dijadikan petunjuk untuk menjerat kita.”

Geneng mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Penghuni rumah itu tidak berbahaya sama sekali nampaknya.”

Demikianlah maka pada malam ketiga, dua orang itu menunggu malam menjadi sepi. Mereka duduk di tempat yang gelap di balik pagar batu. Untuk beberapa saat lamanya mereka duduk diam. Dikejauhan nampak lampu-lampu minyak menyala di regol-regol halaman. Dan beberapa buah obor terpancang di tepi jalan. Malam yang semakin lama menjadi semakin sepi, rasa-rasanya juga menjadi semakin dingin. Di langit bintang-bintang gemerlapan memenuhi cakrawala.

“Agaknya malam sudah menjadi sepi.“ desis Geneng.

“Ya. Tetapi masih terlampau sore. Mungkin di rumah sebelah menyebelah, tetangga-tetangga masih belum tidur.”

Geneng menarik nafas dalam Namun kemudian ia pun mengumpat ketika justru terdengar suara tembang dari rumah sebelah. Agaknya salah seorang penghuninya sedang membaca kidung yang menarik.

“Apa kita menunggu sampai mulutnya diam.“ desis Geneng yang hampir kehilangan kesabaran.

Tetapi Wangkir menggeleng. Jawabnya, “Itu tidak perlu. Kita dapat melakukannya sekarang. Biarlah yang membaca kidung itu membaca terus. Kita akan mengambil uang secukupnya saja.”

“Semua yang ada di rumah itu.”

“Tidak perlu. Kecuali jika yang ada itu tidak terlalu banyak.”

Keduanya berdiam diri sejenak. Lalu, Wangkir pun bangkit sambil berdesis, “Marilah. Sekarang kita memasuki halaman rumah itu.”

Kedua orang itu pun kemudian dengan sangat berhati-hati meninggalkan halaman tempat mereka bersembunyi. Setelah yakin tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka mereka pun segera berlari menyeberang jalan dan dengan cepat meloncat pula masuk ke halaman. Beberapa saat lamanya mereka termangu-mangu. Baru kemudian mereka merayap mendekati dinding rumah itu. Agaknya rumah itu pun telah menjadi sepi. Tidak ada lagi orang yang masih terbangun. Dengan telinga yang tajam, kedua orang itu mendengar tarikan nafas yang teratur di beberapa tempat di dalam rumah itu.

“Mereka tidur ditempat yang berpencar.“ desis Wangkir.

“Ya. Di sudut-sudut rumah itu terdapat sentong-sentong kecil.”

“Kita akan mengetuk pintu.”

“Itu akan membangunkan seisi rumah.”

“Itu lebih baik. Kita dapat minta agar mereka tidak membuat gaduh. Kita minta mereka dengan tenang mengambil uang sebanyak-banyaknya, dan dengan tenang pula kita akan pergi.”

Geneng mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kita memang tidak dapat mengambilnya sendiri, karena kita tidak tahu dimana mereka menyimpan.”

“Yang paling mudah bagi kita, mempersilahkan pemiliknya mengambil untuk kita.”

Geneng mengangguk-angguk pula. Lalu, “Marilah kita mengetuk pintu rumah itu.”

Keduanya kemudian melangkah mendekati pintu. Namun Wangkir masih berkata, “Aku akan menutupi kumisku dahulu agar besok atau lusa aku tidak mudah dikenal oleh pemilik rumah ini.”

Geneng termangu-mangu sejenak. Dipandanginya saja ketika Wangkir melepas ikat kepalanya dan menutup sebagian wajahnya, terutama kumisnya. “Aku juga.“ berkata Geneng kemudian, “Mungkin memang lebih aman demikian.”

Sambil menutup wajah-wajah mereka dengan ikat kepala, maka kedua orang itu pun kemudian mengetuk pintu perlahan-lahan. Ternyata ketukan itu telah membangunkan pemilik rumah itu. Terdengar langkah ragu-ragu di dalam, dan sebuah sapa yang lirih, “Siapa diluar?”

“Aku, aku Kiai.“ terdengar jawaban tersendat-sendat.

“Siapa?”

“Aku. Aku membawa kabar buruk buat Kiai.“ suara Wangkir terdengar bergetar dalam nada yang tinggi.

Kabar buruk memang cepat menimbulkan keinginan untuk segera mengetahui. Demikian pula penghuni rumah itu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kepintu. Tetapi ketika ia sudah berada dimuka pintu itu, ia menjadi ragu-ragu pula.

“Kiai.“ berkata Wangkir, “Mungkin berita ini penting buat Kiai.”

Pemilik rumah itu masih ragu-ragu. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya, “Siapakah kau?”

“Aku Kiai.”

“Ya, siapa?”

“Dari rumah sebelah.”

“Namamu?”

Wangkir menjadi bingung. Karena itu untuk beberapa saat ia terdiam.

“Sebut namamu.“ pemilik rumah itu mendesak.

Tetapi Wangkir tidak dapat segera menyebut sebuah nama. Bahkan sejenak ia saling memandang saja dengan Geneng yang termangu-mangu. Wangkir dan Geneng menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar langkah menjauh. Dengan cemas Geneng berbisik, “He, apakah yang akan dilakukannya?”

Wangkir menggelengkan kepalanya. Dan sekali lagi ia berdesis, “Kiai, bukalah pintunya. Aku akan mengatakan sesuatu.”

Tidak ada jawaban. Namun mereka pun kemudian mendengar langkah itu kembali mendekati pintu. Wangkir dan Geneng lah yang kemudian menjadi curiga. Karena itu, maka mereka pun segera mundur selangkah. Tetapi pintu itu masih belum terbuka.

“Bukalah pintunya.“ Wangkir menjadi tidak sabar.

“Kau belum menyebut namamu.”

Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak. Tetapi dalam pada itu Geneng lah yang sudah tidak dapat menahan hati lagi. Tiba-tiba saja tangannya terjulur dan sebuah hentakan yang menghantam pintu itu pun segera mengejutkan seisi rumah. Sejenak kemudian maka pintu itu pun telah terbuka dengan paksa. Dengan garangnya maka kedua orang yang berada di luar rumah itu pun segera berloncatan masuk.

“Siapa kau.“ orang itu bertanya dengan ragu-ragu.

Wangkir dan Geneng tidak mempunyai waktu lagi. Ia tidak ingin membuat keributan yang dapat membangunkan tetangga-tetangga penghuni rumah itu. Karena itu dengan suara berat dan datar Wangkir berkata, “Aku memerlukan uang. Hanya itu. Aku tidak akan merampas milikmu selain uang.”

Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak. Dengan tajamnya ia memandang kedua orang yang telah memecah pintunya dengan paksa. Tetapi sejenak ia bagaikan diam mematung saja.

“He, Kiai.“ bentak Wangkir sambil mengamat-amati orang itu. Penghuni rumah itu adalah seorang laki-laki separo baya yang bertubuh tinggi tegap dan kekar. Bahkan dilambungnya terselip sehelai pedang yang panjang. “Sekali lagi aku mengharap agar Kiai dapat mengerti. Aku memerlukan uang. Sekehendak Kiai, berapa Kiai akan memberi.”

Penghuni rumah itu tiba-tiba menggeram. Katanya, “Ki Sanak. Kau telah mengejutkan aku dan keluargaku. Kau merusak pintu rumahku yang memang ringkih. Tetapi hal ini adalah suatu hal yang tidak tersangka-sangka. Aku kira tidak seorang pun di dalam Kota Raja ini yang pada saat seperti ini bermimpi bahwa ada orang yang mencoba merampok seperti Ki Sanak berdua. Selama ini kami sedang menyusun tata kehidupan yang tenang, damai dan dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk membuat kehidupan kita, sejahtera betsama-sama. Tiba-tiba Ki Sanak berdua datang untuk merampok.”

“Tutup mulutmu.“ Genenglah yang membentak, “Berikan uangmu. Gepat, sebelum aku memaksa.”

Orang itu beringsut setapak. Katanya, “Ki Sanak. Aku bukan orang yang cukup kaya untuk memberikan sejumlah uang kepada orang yang tidak aku kenal.”

“Kau jangan asal membuka mulutmu Kiai.“ bentak Geneng, “Aku sudah berbaik hati untuk tidak minta apapun selain uang. Dan sekarang kau agaknya ingin membuat kami marah.”

“Sama sekali tidak Ki Sanak. Tetapi adalah aneh sekali, bahwa seseorang dengan rela hati memberikan uang kepada orang seperti Ki Sanak berdua.”

“Cepat. Tegasnya, berikan uang itu sekarang, atau kami akan memaksa dengan kekerasan.”

Orang itu mundur setapak. Sekali ia berpaling untuk melihat keluarganya yang masih berkumpul di dalam bilik dengan tubuh gemetar. Isterinya dan dua orang anaknya yang sudah menjelang usia remaja.

“Ki Sanak.“ berkata orang itu, “Aku berusaha mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Sekarang aku mempunyai simpanan yang tidak seberapa. Karena itu, sudah tentu aku tidak akan dapat memberikan kepadamu.”

Geneng menggeram. Wajahnya menjadi merah. Katanya, “Tidak ada pilihan lain kakang.”

Tetapi Wangkir masih mencoba untuk bersabar. Katanya, “Jangan membuat aku marah. Aku masih dapat berbuat baik. Tetapi jika kau berkeras, maka aku akan bertindak kasar.”

“Jangan memaksa Ki Sanak. Meskipun aku bukan orang yang berilmu, tetapi adalah hakku untuk mempertahankan milikku.”

“Gila.“ Geneng membentak, “Kau berani melawan kami berdua?”

“Sebenarnya tidak. Tetapi apa boleh buat. Jika kalian memaksa, aku tidak mempunyai cara lain.”

“Gila. Kau akan mati terkelupas seperti pisang.“ Namun kata-kata Geneng itu terputus ketika Wangkir menggamitnya. Katanya, “Jangan terlampau kasar. Kami datang dengan maksud baik.”

Geneng memandang Wangkir dengan heran. Tetapi Wangkir justru tersenyum sambil berkata kepada penghuni rumah itu. “Kau memang seorang yang berani. Tetapi itu tidak mustahil. Semua orang Singasari adalah orang yang berani. Tetapi kau harus mengerti bahwa perlawananmu akan sia-sia.”

“Seandainya perlawananku sia-sia Ki Sanak, aku dapat berteriak. Istri dan anak-anakku pun dapat berteriak pula.”

“Tetapi itu hanya akan mempercepat kematianmu.“ sahut Wangkir, “Sebaiknya kita memilih jalan yang paling singkat dan aman Kiai. Berikan uang berapa saja kau ingin memberi.”

Tetapi penghuni rumah itu mengeleng sambil melangkah surut, “Tidak. Aku tidak akan memberi.”

“Kau memang harus dibunuh.“ desis Geneng.

Tetapi sekali lagi Wangkir menggeleng. “Aku tidak ingin membunuh siapapun. Membunuh tidak akan memberikan manfaat apapun juga. Justru akan menjauhkan kita dari tujuan kita yang hanya sekedar memerlukan uang.”

Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ia pun bukan seorang pengecut sehingga karena itu ia sama sekali tidak gentar karenanya. Bahkan katanya, “Ki Sanak Sekarang aku minta Ki Sanak meninggalkan rumah ini. Mumpung aku masih mempunyai kesempatan untuk berpikir. Jika aku sudah menjadi bingung, maka yang dapat aku lakukan hanyalah berteriak dan memanggil tetangga-tetanggaku.”

“Kau jangan memperpanjang pembicaraan.“ berkata Wangkir yang agaknya sudah mulai gelisah “Cepatlah sedikit Kiai.”

“Maaf. Aku tidak dapat berbuat lebih baik dari mengusir kalian.”

Geneng benar-benar sudah tidak dapat menahan diri. Jika saja Wangkir tidak selalu menahannya, maka ia pasti sudah menerkam orang itu. Tetapi ternyata bahwa orang itu telah mendahuluinya. Dengan serta merta menarik pedang yang terselip di lambungnya sambil berkata, “Milikku akan aku pertahankan dengan sekuat tenagaku. Jika kau datang dengan cara yang lebih baik dari merusak pintu di malam hari, mungkin aku dapat mempertimbangkannya.”

“Persetan.“ tiba-tiba Geneng meloncat maju. Dengan ga¬rangnya ia berdiri dengan sebelah kakinya ditarik setengah langkah surut. Sambil sedikit merendah pada lututnya ia mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari mengembang.

Wangkir menjadi cemas karenanya, sehingga karena itu ia pun segera mendesaknya pinggir sambil berkata, “Aku sajalah yang memaksanya untuk menyerahkan uang itu.”

“Kenapa harus kau kakang…“ kata-katanya terpotong karena Wangkir segera membentaknya,

“Minggir.”

Geneng tidak dapat berbuat lain. Kakak seperguruan baginya tidak banyak berbeda dengan gurunya sendiri. Tetapi ia menjadi sangat kecewa karenanya. Yang kemudian menghadapi pemilik rumah itu kemudian adalah Wangkir. Tetapi ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun. Agaknya ia terlampau percaya akan kekuatan dan ilmunya.

Sejenak kemudian, di dalam rumah itu telah terjadi perkelahian antara pemilik rumah itu dengan Wangkir. Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung lama. Dengan tangkasnya Wangkir segera berhasil menguasai lawannya dan memukul pergelangan tangannya sehingga senjatanya terlepas.

“Kiai.” berkata Wangkir kemudian, “Aku dapat membunuhmu. Tetapi itu bukan kebiasaanku. Hanya karena terpaksa sekali aku datang minta uang kepadamu. Itu saja. Sekarang, aku minta kau mengambil uang itu.”

Pemilik rumah itu menjadi gemetar. Ia tidak menyangka, bahwa lawannya yang seorang itu dengan cepat berhasil mengalahkannya tanpa menyakitinya. Geraknya yang cepat, tetapi sama sekali tidak menunjukkan kesan yang kasar seperti yang seorang lagi, membuatnya menjadi kagum dan segan.

“Cepatlah sedikit Kiai.“ berkata Wangkir sambil mendorong pemilik rumah itu...

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 16

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 16
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

ANAK MUDA itu tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja ia pun sudah siap untuk melepaskan ilmunya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat selangkah kedepan mendekati salah seorang pengawal yang agaknya sedang mempersiapkan diri.

Agaknya seperti yang telah diperhitungkan, kedua orang lawan yang tinggal itu tidak mau bertempur seorang demi seorang melawan anak muda itu. Apa bila salah seorang dari mereka harus menghadapinya, maka yang lainnya akan mempergunakan ilmunya untuk membinasakan siapa saja yang akan tersentuh tangannya. Namun tanpa berjanji agaknya mereka telah mempersiapkan diri untuk bersama-sama menghadapi anak muda itu.

Akan tetapi anak muda itu bergerak lebih cepat. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia telah meloncat menyerang seorang dari kedua orang pengawal yang tersisa itu. Lawannya tidak menduga bahwa anak muda itu akan bergerak begitu cepatnya. Karena itulah maka mereka menjadi agak bingung sekejap. Akan tetapi kemudian mereka sadar bahwa mereka harus melindungi diri mereka dengan ilmu puncak yang ada pada mereka.

Namun jarak mereka dengan anak muda itu ternyata tidak sama panjang. Yang seorang berdiri lebih jauh dari yang lain. Meskipun perbedaan jarak itu tidak terlalu berpengaruh, namun dengan demikian mereka tidak akan dapat membenturkan ilmu mereka berbareng dalam sekejap. Tapi dengan demikian maka benturan yang kemudian akan menjadi amat berbahaya bagi anak muda itu karena sebagian besar kekuatannya telah terhempas pada benturan yang pertama dengan puncak ilmu hitam salah seorang dari kedua iblis yang tinggal itu.

Anak muda itu tak sempat berbuat lain. Karena itu, maka ia pun akan menanggung akibat itu seandainya harus terjadi. Tetapi dalam pada itu, ternyata Tapak Lamba dan Ki Buyut beserta orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun tidak tinggal diam. Terutama Tapak Lamba dan ketiga kawannya serta Ki Buyut sendiri. Mereka pun mengerti, bahwa sangat berbahaya bagi anak muda itu untuk membentur dua kekuatan dalam waktu yang hampir bersamaan. Karena itulah, maka dengan kemampuan yang ada pada mereka, maka mereka pun mencoba untuk membantunya.

Pada saat, salah seorang dari kedua iblis itu siap menghadapi lawannya, maka Tapak Lamba dan kawan-kawannya serta Ki Buyut telah dengan serentak menyerang iblis yang lain dari segenap arah. Mereka melepaskan segenap kemampuan yang ada dalam diri mereka. Bahkan untuk mengikat mereka dalam waktu yang lebih panjang, maka kawan-kawan Tapak Lamba bukan saja menyerang, tetapi mereka telah melempar lawannya itu dengan senjata-senjata mereka.

Meskipun pengawal itu berada dalam puncak ilmunya, tetapi ia tidak menjadi kebal karenanya. Karena itu, maka ia harus menghindari lontaran-lontaran senjata yang mengarah ke tubuhnya. Agaknya saat-saat menghindarkan diri itu memerlukan waktu yang meskipun sangat pendek, tetapi cukup berpengaruh atas keseluruhan dari perkelahian itu.

Pada saat iblis yang seorang sibuk menghindari lemparan senjata itulah, telah terjadi benturan yang sangat dahsyat, Anak muda yang menyerang itu masih sempat menghindar sambaran senjata iblis yang berilmu hitam, karena hal itu memang sudah diperhitungkan. Dengan sisi telapak tangannya yang dilambari ilmu puncaknya ia berhasil mematahkan senjata iblis itu, dan kemudian ilmu mereka pun telah saling berbenturan.

Akibat yang terjadi memang sudah dapat diperhitungkan. Pengawal yang telah mengkhianati Ki Buyut itu terlempar jatuh di tanah untuk tidak bangun lagi selama-lamanya. Ternyata bahwa usaha Tapak Lamba dan Ki Buyut membawa pengaruh juga atas pertempuran itu. Kawannya yang seorang itu pun tiba-tiba mengumpat. Ia melihat kawannya telah meloncat, membentur lawannya, dan terlempar jatuh.

Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan lagi serangan Ki Buyut dan Tapak Lamba serta kawan-kawannya. Selagi anak muda itu masih belum dapat menghimpun kekuatannya kembali, maka ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Waktunya memang terlampau pendek bagi anak muda itu. Tetapi ia tidak sekedar dibakar oleh kemarahan dan nafsu semata-mata. Ia masih sempat mempergunakan pikirannya. Karena itulah, ia sama sekali tidak membenturkan dirinya pada serangan itu. Dengan serta merta, ia pun segera meloncat menghindar, dan bahkan meloncat jauh-jauh dari lawannya.

Agaknya lawannya pun mengetahui bahwa anak muda itu berusaha mendapatkan waktu untuk membangunkan kembali kekuatan puncaknya. Karena itu, maka ia pun cepat memburunya dengan serangan yang dahsyat. Senjatanya terayun deras segera dilambari oleh ilmu puncaknya. Namun anak muda itu menyadari, bahwa peranan senjata itu tidak begitu penting di dalam puncak ilmunya. Karena itu, maka ia pun sekedar menghindar pula dan sekali lagi meloncat menjauh.

Lawannya tidak melepaskannya. Ia pun memburu dengan senjata terjulur, hampir menembus perut anak muda itu. Namun tiba-tiba terasa tangannya menjadi nyeri oleh pukulan telapak tangan lawannya pada pergelangannya. Ketika senjatanya kemudian terlepas, maka ia tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan dahsyatnya ia memburu kemanapun anak muda itu menghindar.

Akhirnya, anak muda itu memang tidak dapat menghindar lagi. Meskipun ia belum berhasil membangunkan ilmunya sampat kepuncak, maka benturan tidak dapat dihindarkan lagi. Sekali lagi telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Setali lagi orang-orang yang ada di halaman itu melihat, betapa orang terakhir dari ketiga pengawal berilmu hitam itu jatuh di tanah. Namun agaknya kali ini ia tidak langsung terbunuh seperti kedua kawannya yang lain. Sambil memegangi dadanya ia berusaha untuk bangkit betapapun sulitnya.

Sementara itu, anak muda yang tidak dikenal namanya, baik oleh Ki Buyut maupun oleh Tapak Lamba itu terlempar beberapa langkah. Keletihan yang sangat, apalagi saat benturan itu terjadi, ia masih belum sampai kepada puncak kekuatannya, telah membuatnya tertatih-tatih. Bahkan kemudian ia pun jatuh terduduk, tepat pada saat lawannya berhasil berdiri dengan kesulitan.

Dengan wajah yang merah kebiru-biruan, orang itu melangkah satu-satu mendekati anak muda yang terduduk dengan lemahnya. Anak muda yang telah membenturkan ilmunya tiga kali berturut-turut, bahkan benturan ketiga terjadi terlampau cepat setelah benturan yang kedua, sehingga kekuatannya seolah-olah masih belum terungkat seluruhnya, setelah dilepaskannya sampai tuntas pada benturan sebelumnya.

Semua orang yang menyaksikan keadaan itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat pengawal yang seorang itu tertatih-tatih mendekati dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian. Anak muda yang terduduk di tanah itu masih tetap berada di tempatnya. Ia melihat lawannya datang mendekatinya. Namun agaknya tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga ia tidak dapat beringsut pergi.

Yang dapat dilakukan kemudian adalah justru duduk dengan tenangnya. Kedua kakinya disilangkan seperti kedua tangannya yang bersilang pula di dadanya. Matanya yang redup membayangkan hatinya yang pasrah menghadapi semua kemungkinan. Namun dengan sepenuh hati memanjatkan permohonan kepada Yang Maha Agung agar di diselamatkan dari tangan iblis yang hitam legam itu.

Anak muda itu masih belum dapat beringsut ketika orang yang mendekatinya setapak-setapak itu menjadi semakin dekat. Bahkan yang kemudian menjulurkan tangannya sambil menggeram, “Aku akan mencekikmu sampai mati.”

Tetapi ketika orang itu setapak lagi maju, ia menjadi terhuyung-huyung. Tangannya yang terjulur bagaikan telah merusak keseimbangan tubuhnya yang memang belum menjadi mantap. Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia bagaikan batang ilalang kering yang didorong oleh sentuhan angin yang kuat sehingga ketika kakinya selangkah lagi bergeser, maka ia pun telah jatuh terjerembab, tepat di hadapan anak muda yang masih duduk bersila, mengheningkan hati untuk memohon agar kekuatannya dipulihkan kembali.

Anak muda itu melihat lawannya terjatuh beberapa jengkal saja di hadapannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Juga seandainya lawannya itu bangkit lagi dan mencekiknya. Tetapi ternyata lawannya itu tidak bangun lagi. Ia masih menggeliat dan mencoba menggapai dengan tangannya yang kehitam-hitaman, dan jari-jarinya yang mengembang bagaikan hendak menerkam dan meremasnya. Tetapi tangan itu pun kemudian melemah dan kehilangan kekuatan setelah hampir menyentuh kulitnya.

Iblis yang terakhir itu pun kemudian mati di hadapan anak muda yang duduk diam sambil mencoba memulihkan kekuatannya. Sejenak halaman itu dicengkam oleh ketegangan. Semua orang berdiri tegak bagaikan patung. Nyai Buyut yang duduk di pendapa pun seolah-olah telah membeku di tempatnya.

Ia telah pernah menyaksikan berpuluh-puluh kali kematian bahkan dengan cara yang paling mengerikan. Namun baru saat itu ia menyadari, betapa kematian itu dapat menumbuhkan ketakutan dan kengerian. Setiap kali ia membunuh di bagian belakang rumahnya, dan yang sebenarnya dilakukan oleh ketiga iblis itu pula, ia tidak mengerti, betapa perasaan yang paling menyiksa telah menghinggapi korban-korbannya.

Ia baru menyadari, setelah ia sendiri mengalaminya. Betapa ia disiksa kecemasan dan bahkan ketakutan ketika ia melihat satu demi satu pengawalnya terkelupas oleh lingkaran iblis di halaman rumahnya itu. Betapa ia membayangkan saat kematian yang menjadi semakin dekat.

Terasa sesuatu telah menyumbat dadanya disaat terakhir. Disaat kematian itu rasa-rasanya sudah mulai meraba ujung rambutnya. Namun kini ia telah terlepas dari jari-jari maut itu. Ketiga pengawalnya yang berkhianat itu telah terbunuh oleh seorang anak muda yang tidak dikenalnya.

“Jika anak muda itu mengetahui siapakah kami, apakah ia mau menolongnya pula?” pertanyaan itu telah membersit di hati Nyi Buyut.

Tetapi ternyata bukan saja di hati Nyi Buyut, tetapi juga di hati Ki Buyut. Namun rasa-rasanya yang mendatang adalah suatu kesempatan baginya untuk melakukan cara hidup yang lain, yang barangkali lebih baik dari cara yang pernah ditempuhnya.

Sejenak kemudian orang-orang di halaman itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang dahsyat ketika mereka melihat anak muda itu terbatuk. Mereka melihat setitik darah di bibirnya. Namun kemudian anak muda itu mengusapnya dan sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, seolah-olah udara di seluruh padukuhan itu akan dihisapnya.

Perlahan-lahan anak muda itu pun berdiri. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi, seperti orang yang menggeliat dipagi hari demikian ia bangun dari pembaringan. Tidak seorang pun yang bertanya sesuatu kepadanya. Mereka hanya menyaksikan anak muda itu mengambil sesuatu dari sebuah bumbung kecil di kantong ikat pinggang kulit yang besar yang melilit di lambungnya.

Namun setiap orang menduga, bahwa anak muda itu sedang berusaha mengobati dirinya sendiri dengan obat yang dibawanya. Ternyata dugaan mereka tidak salah. Sejenak kemudian nampak anak muda itu menjadi semakin segar. Wajahnya yang pucat, perlahan-lahan menjadi kemerahan. Sejenak kemudian anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dikembangkannya tangannya seolah-olah ia ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kekuatannya telah tumbuh kembali meskipun belum pulih sama sekali.

Ki Buyut dan Tapak Lamba menyaksikan sikap anak muda itu dengan berharap-harap cemas. Seolah-olah mereka pun menjadi bagian dari keadaan anak muda itu dalam keseluruhan. Jika anak muda itu menjadi bertambah baik, rasa-rasanya mereka pun akan menjadi bertambah baik pula.

Sejenak kemudian barulah anak muda itu melangkah mendekati mereka. Sambil memandang berkeliling ia berkata, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi disini?”

Ki Buyut menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ketiga orang itu adalah pengawal-pengawalku anak muda. Tetapi pada suatu saat, mereka telah melawanku.”

“Mereka adalah orang yang sangat berbahaya dengan ilmu hitamnya.”

“Kami mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Sanak telah menyelamatkan jiwa kami.”

“Kalian pun telah menyelamatkan aku. Jika kalian tidak berusaha menahan orang terakhir dari ketiga orang itu dengan mengganggunya saat ia memusatkan kekuatannya, maka aku kira aku pun telah mati pula. Setidak-tidaknya aku akan menjadi terluka parah.”

“Tetapi kedatangan anak muda di padukuhan ini telah menyebabkan beberapa jiwa terselamatkan. Jika Ki Sanak tidak datang ke padukuhan terpencil ini, maka kami semuanya akan menjadi bahan permainan ketiga iblis itu dengan cara yang sangat mengerikan.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Apakah ia pernah berbuat sesuatu di padukuhan ini sebelum ia berkhianat kepada ki Buyut?”

Ki Buyut menjadi bingung. Apakah ia harus berterus terang atas apa yang pernah dilakukannya selama ini bersama ketiga orang itu? Dalam kebimbangan ia memandang Tapak Lamba seolah-olah ingin mendapat petunjuk apakah yang sebaiknya dikatakan kepada anak muda yang telah menyelamatkan jiwa mereka itu.

Tapak Lamba pun ragu-ragu sejenak Namun kemudian ia berkata kepada Ki Buyut, “Ki Buyut. Bukankah anak muda ini pernah bertanya atau menyebut-nyebut daerah bayangan hantu. Dengan demikian, maka cara yang kalian tempuh selama ini untuk bersembunyi tidak berhasil seluruhnya, karena masih ada juga kecurigaan terhadap daerah ini. Ternyata ada segolongan orang yang telah memberikan nama yang tepat kepada padukuhan ini, daerah bayangan hantu.”

Ki Buyut termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya kepada anak muda itu, “Darimanakah Ki Sanak mendapatkan nama itu?”

“Tetapi bukankah Ki Buyut telah membenarkan pada saat aku mendekati perkelahian yang sedang berlangsung bahwa daerah inilah yang disebut daerah bayangan hantu?”

“Anak muda, saat itu aku hanya bermaksud untuk menakutimu agar kau pergi dari tempat ini dan tidak terlibat perkelahian dengan ketiga iblis itu. Tetapi justru kaulah yang telah berhasil membinasakannya.”

“Terima kasih atas usahamu menyelamatkan aku Ki Buyut. Tetapi kenapa daerah ini merupakan daerah yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitar hutan di seberang.“ anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi menilik kehadiran ketiga iblis itu, daerah ini memang sepantasnya disebut daerah bayangan hantu.”

Ki Buyut tidak segera menjawab. Ia menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dikatakannya.

“Ki Buyut.“ berkata anak muda itu, “Aku ingin mendapat keterangan yang sebenarnya. Ketiga orang itu sudah mati. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Coba, katakanlah, apakah mereka sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dimengerti oleh kita pada umumnya, yang tidak menganut ilmu hitamnya yang mengerikan itu?”

“Maksud anak muda?”

“Ilmu hitam itu dibayangi oleh kebiasaan yang buruk sekali. Membunuh dengan cara yang tidak masuk akal.”

“O.“ Ki Buyut menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menyahut.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh isak tangis Nyai Buyut di pendapa. Ia tidak dapat beringsut dari tempatnya. Tetapi ia mendengar semua percakapan itu, sehingga akhirnya ia berkata, “Ya anak muda. Kau benar. Kami semuanya di sini telah dijangkiti oleh penyakit yang gila itu. Aku pun telah dijalari oleh kebiasaan membunuh dengan cara yang tidak masuk akal.”

“Jadi kalian juga pernah melakukannya.”

“Anak muda.“ potong Ki Buyut. Tetapi Nyi Buyut mendahului, “Ya. Tetapi sama sekali bukan maksud kami. Kami tiba-tiba saja telah terjerumus kedalam kebiasaan itu di luar kesadaran kami, karena kebiasaan itu rasa-rasanya memang sangat menyenangkan.”

Anak muda itu menjadi tegang. Lalu, “Jadi kalian juga memiliki ilmu iblis itu?”

Nyi Buyut termangu-mangu sejenak. Dipandanginya suaminya yang ragu-ragu. Namun kemudian Ki Buyut pun berkata, “Tidak Ki Sanak. Kami tidak memiliki ilmu itu. Kami hanya sekedar terseret oleh kebiasaannya membunuh dengan cara-cara yang mengerikan.”

“Kenapa kalian melakukannya?”

Ki Buyut tidak segera menyakut. Ia ragu-ragu untuk mengatakan alasan yang sebenarnya, bahwa mula-mula ia hanya didorong oleh keinginannya untuk menghilangkan jejak persembunyiannya. Agar tidak seorang pun yang dapat menceriterakan tentang dirinya, maka semua orang yang pernah menemukannya bersembunyi dipadukuhan itu harus dilenyapkan, dibumbui oleh kebiasaan pengawalnya, maka jadilah padukuhan itu daerah bayangan hantu.

Namun yang kemudian dikatakannya adalah, “Ki Sanak. Kami tidak tahu, kenapa kami pun terseret kepada kebiasaan itu. Mula-mula bukan maksud kami. Tetapi lambat laun, kami pun terbiasa membunuh.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa mula-mula Ki Buyut hanya sekedar ingin menyembunyikan diri. Namun ia pun tidak dapat mengatakannya kepada anak muda yang belum dikenalnya itu.

“Ki Buyut.“ berkata anak muda itu kemudian, “Apakah Ki Buyut kini menyadari bahwa yang pernah Ki Buyut lakukan adalah perbuatan yang salah?”

“Tentu Ki Sanak. Karena itu pulalah agaknya maka telah terjadi perkelahian di antara kami. Kedatangan kawanku itu agaknya telah membuka mataku, bahwa seharusnya aku tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan serupa itu. Tetapi ketiga pengawalku itu memaksaku untuk berbuat demikian seterusnya.”

“Tentu Ki Buyut. Ketiga iblis itu harus melakukannya terus. Adalah menjadi salah satu ketentuan bagi mereka, bahwa mereka harus membunuh dan membunuh. Mereka harus membiasakan diri melihat darah menitik dari tubuh korbannya, dan kadang-kadang dilakukannya dengan cara yang paling terkutuk. Untuk memperkuat ilmunya, maka seakan-akan mereka harus memberikan korban darah bagi kepercayaannya itu.”

“Gila.“ desis Nyi Buyut, “Ternyata kami telah menjadi alat yang paling baik bagi mereka untuk mendapatkan korban-korban baginya.”

“Agaknya memang demikian meskipun aku pun menjadi heran bahwa Ki Buyut dan para bebahu padukuhan ini dapat terseret ke dalam tingkah lakunya itu. Dan yang akhirnya Ki Buyut dan bebahu padukuhan ini tidak dapat lagi keluar dari dalamnya.”

“Ya. Itulah yang sangat aku sesali.“ sahut Ki Buyut, “Namun demikian, aku tidak pernah memberikan korban orang-orang ku sendiri.”

“Itulah sebabnya bagi orang diluar daerah ini menyebut daerah ini sebagai daerah yang dibayangi oleh hantu-hantu. Ternyata daerah ini memang tinggal tiga orang iblis yang berhasil membujuk Ki Buyut dan bebahu daerah ini untuk berbuat keji seperti tingkah laku hantu yang sebenarnya.”

“Ya. Kami menyesal sekali.“ Ki Buyut menundukkan kepalanya.

“Ki Buyut.“ berkata anak muda itu, “Apakah Ki Buyut dapat membawa aku ketempat pembantaian yang sering dilakukan oleh ketiga iblis itu?”

“O. jangan anak muda. Tempat itu mengerikan sekali. Aku yang sekarang menyadari betapa tingkah lakuku benar-benar bagaikan iblis itu, tidak berani lagi membayangkan apa yang ada di dalam ruang pembantaian itu.”

“Tetapi aku ingin melihatnya.”

Tapak Lamba pun tiba-tiba saja menyela, “Aku pun ingin melihatnya Ki Buyut.”

Anak muda itu memandang Tapak Lamba dengan heran. Bahkan kemudian ia pun bertanya, “Jadi kau bukan bebahu pedukuhan ini?”

“Aku bukan.“ jawab Tapak Lamba, “Aku datang berempat. Tetapi yang lain adalah bebahu padukuhan ini.”

“Justru ia nyaris menjadi korban terakhir anak muda.“ berkata Ki Buyut, “Ia adalah sahabatku yang sudah lama sekali tidak bertemu. Orang itulah yang memberikan kesadaran padaku, bahwa cara hidup ini tidak dapat berlangsung lebih lama lagi. Aku pun menjadi sadar, bahwa hal ini memang harus dihentikan.”

Anak muda itu mengangguk-angguk, dan sekali lagi meminta kepada Ki Buyut, “Aku benar-benar ingin melihat alat-alat yang tentu sudah diciptakan oleh iblis-iblis itu Ki Buyut.”

Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Meskipun ketika mereka mulai melangkah, Nyi Buyut di pendapa telah memekik kecil. Ki Buyut tertegun sejenak. Lalu katanya, “Ki Sanak. Isteriku telah lumpuh. Maaf, aku akan membawanya masuk lebih dahulu.”

Anak muda itu tidak berkeberatan. Dibiarkannya Ki Buyut membawa isterinya masuk lebih dahulu ke rumahnya.

“Kenapa kau bawa mereka.“ berkata Nyi Buyut kepada suaminya, “Tempat terkutuk itu harus dimusnakan. Semuanya. Aku muak melihatnya. Bahkan jika benda-benda itu masih ada, mungkin aku akan mempergunakannya untuk membunuh diri.”

“Aku akan memusnakannya Nyai.“ berkata Ki Buyut, yang kemudian meninggalkannya isterinya di dalam biliknya dan membawa tamu-tamunya kebagian belakang rumah. Tempat yang selama itu menjadi tempat yang sangat rahasia bagi orang lain.

Anak muda yang telah menolong Ki Buyut itu mengikutinya dengan hati yang berdebar-debar. Di belakangnya berjalan Tapak Lamba dan ketiga kawannya. Meskipun mereka adalah orang-orang yang tidak gentar melihat darah, namun hati mereka pun menjadi serasa menyempit. Ketika mereka semuanya memasuki sebuah bilik yang besar, di bagian belakang halaman rumah Ki Buyut, mereka hampir tidak percaya akan penglihatan mereka. Rasa-rasanya mereka benar-benar telah berada di dalam neraka yang paling jahanam.

Anak muda itu tidak dapat tinggal beberapa kejap saja di dalam bilik itu. Demikian ia masuk, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah melangkah keluar. Demikian juga Tapak Lamba dan ketiga kawan-kawannya. Bahkan Ki Buyut sendiri, tiba-tiba menjadi pening melihat segala macam benda yang ada di dalam bilik itu. Benda yang tidak pantas dibuat oleh tangan-tangan manusia yang mempunyai akal tetapi juga budi.

“Mengerikan sekali.“ desis anak muda itu.

“Ya anak muda.“ sahut Ki Buyut, “Tanpa tiga orang iblis itu, maka bilik yang besar itu akan segera musnah.”

“Jadi benar iblis itu yang menciptakannya?”

“Ya. Dibumbui oleh keadaan yang kalut dari keluarga kami. Ayah tiri isteriku yang serakah, dendam keluarga dan keadaanku sendiri yang gelap, merupakan tempat yang subur bagi ketiga iblis itu untuk menciptakan neraka yang mengerikan itu.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sudahlah Ki Buyut. Apa yang aku lihat telah mengatakan kepadaku, apa saja yang pernah terjadi disini. Padukuhan ini benar-benar menjadi daerah yang dapat disebut daerah bayangan hantu. Agaknya ada juga orang-orang yang berhasil mencium peristiwa yang telah terjadi disini. Mungkin tidak ada orang yang dapat keluar lagi dari padukuhan ini apabila ia telah memasukinya. Tetapi justru orang-orang padukuhan ini sendirilah yang telah menceriterakan kepada orang lain, apabila mereka memerlukan sesuatu di luar daerah ini.”

“Orang-orang dipadukuhan ini pun tidak banyak yang mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Agaknya memang satu dua orang saja. Tetapi mereka adalah orang-orang biasa yang dapat saja menjadi khilaf sehingga sepatah dua patah kata, terloncat dari bibir mereka, apakah yang telah terjadi di daerah ini, sehingga di balik hutan sebelah itu, diberitakan orang ada sebuah daerah yang disebut daerah bayangan hantu. Jalma mara, jalma mati, sato mara sato mati."

Ki Buyut mengangguk-angguk.

“Sudahlah Ki Buyut. Aku harap bahwa daerah ini tidak lagi menjadi daerah yang mengerikan itu. Biarlah padukuhan ini menjadi padukuhan yang sewajarnya. Dengan demikian maka padukuhan ini tentu akan dapat berkembang. Hutan di sebelah adalah hutan yang rindang. Bukan hutan lebat yang dapat membatasi perkembangan daerah terpencil ini.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak juga dapat mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang memang sengaja menyembunyikan diri dari pergaulan hidup. Namun akhirnya Ki Buyut itu pun bercermin pada Tapak Lamba. Meskipun ia justru tinggal di kota, namun ia berhasil menyingkirkan dirinya dari pengamatan prajurit-prajurit Singasari.

Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata, “Terima kasih anak muda. Aku akan mencoba untuk melakukannya. Mudah-mudahan padukuhan ini akan segera menjadi padukuhan yang sewajarnya seperti padukuhan-padukuhan lain. Namun demikian kami sadar, bahwa padukuhan ini tentu akan kehilangan ketenangannya.”

“Ya. Aku pun berpendapat demikian. Padukuhan ini akan kehilangan ketenangan dan kedamaiannya. Tetapi ketahuilah Ki Buyut, bahwa ketenangan dan kedamaian yang nampak pada wajah padukuhan ini adalah ketenangan dan kedamaian yang kelam, karena dibalik ketenangan dan kedamaian itu, telah terjadi peristiwa-peristiwa yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang berhati iblis.”

Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ki Buyut. Biarlah orang-orang Ki Buyut menguburkan korban-korban yang masih berserakan. Bilik itu memang harus dimusnahkan bersama segala isinya. Alat-alat yang telah diciptakan oleh ketiga orang itu tidak boleh dilihat oleh orang lain, sehingga tidak menimbulkan dorongan bagi mereka yang memiliki hati yang lemah untuk melakukan perbuatan serupa dalam pengaruh ilmu hitam. Karena ilmu itu memang memerlukan darah pada saat-saat tertentu.”

Kulit tubuh Ki Buyut meremang. Jika biasanya ia berada didalam bilik itu dengan kesenangan yang rasa-rasanya melonjak didasar hatinya, maka kini ia merasa bahwa saat-saat yang demikian adalah saat iblis berkuasa di dalam dirinya. “Aku akan membakar bilik itu.“ berkata Ki Buyut. “Sekarang juga aku akan melakukannya.”

“Itu akan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan banyak orang jika Ki Buyut melakukannya dengan tiba-tiba. Jika Ki Buyut memang akan membakarnya, Ki Buyut harus memberitahukannya kepada penduduk padukuhan ini.”

“Tetap mereka tidak tahu, bahwa di belakang rumah ini ada sebuah bilik seperti isi nereka ini.”

“Ki Buyut tidak perlu memberitahukannya. Ki Buyut. dapat mengatakan, bahwa Ki Buyut merasa perlu membakar rumah yang berada di halaman belakang karena sesuatu sebab.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia memang dapat mencari alasan apa saja yang dapat diterima oleh penduduk padukuhan itu. “Baiklah anak muda.“ katanya, “Aku akan mengatakan kepada penduduk di padukuhan ini, bahwa aku perlu membakar lumbungku yang sudah kosong, sebagai korban yang akan dapat membuat padukuhan ini menjadi lebih subur seperti perintah Dewa-Dewa yang aku dengar di dalam mimpi.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Kau memang terbiasa memperbodoh rakyatmu. Tetapi mudah-mudahan kali ini adalah kali yang terakhir Sebab jika kau terlampau sering melakukannya, maka nilai perintah Yang Maha Agung akan menjadi turun dimata mereka, karena setiap kali mereka mendengar ucapan semacam itu. padahal, sama sekali bukannya yang sebenarnya demikian.”

“Baiklah anak muda. Aku mengerti.”

“Lakukanlah. Aku akan minta diri meninggalkan daerah ini. Tetapi sepeninggalku, hati-hatilah Mungkin ada orang yang mencari ketiga iblis yang terbunuh itu. Katakanlah kepada mereka, bahwa akulah yang telah membunuhnya, agar mereka mencurahkan dendamnya kepadaku.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun kemudian bertanya, ”Siapakah anak muda ini sebenarnya? Anak muda sudah menolong kami. melepaskan kami dari kesulitan yang akan dapat membawa jiwa kami. Tetapi kami belum tahu si apakah Ki Sanak ini.”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya namaku tidak penting bagi kalian. Jika bukan karena kemungkinan datang pembalasan dari keluarga atau saudara-saudara seperguruan ketiga iblis itu, aku tidak perlu menyebut namaku.”

“Nama Ki Sanak sangat penting bagi kami, agar kami setiap kati dapat menyebut nama Ki Sanak dihadapan anak cucu kami.”

Anak muda itu tertawa. Katanya kemudian, “Baiklah. Orang tuaku memberi nama kepadaku, Mahisa Bungalan.”

“Mahisa Bungalan, putera Mahendra.“ tiba-tiba saja Tapak Lamba menyebutnya dengan lantang di luar sadarnya.

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dipandanginya Tapak Lamba sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Darimanakah kau pernah mendengar namaku dan nama ayahku?”

Barulah Tapak Lamba sadar akan keterlanjurannya. Karena itu untuk beberapa saat ia bingung. Dipandanginya Ki Buyut dan anak muda itu berganti-ganti. Namun mereka tidak memberikan kesan apapun yang dapat membuka jawaban bagi pertanyaan yang sulit itu. Namun akhirnya ia pun menjawab. “Anak muda, aku memang pernah mendengar nama Mahisa Bungalan putera Mahendra. Aku telah pernah mendengar pula nama orang-orang yang memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni.”

“Bukan setingkat dengan ayah Mahendra, tetapi keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu puncak di Singasari sekarang. Sedang ayah tentu bukan apa-apa bagi mereka.”

“Itu adalah ciri dari orang-orang mumpuni.“ berkata Tapak Lamba kemudian, “Anak muda adalah orang yang sangat rendah hati.”

“Ah. Sudahlah. Nama seseorang memang dapat saja didengar oleh orang lain. Nama ayah. nama pamanda Witantra yang juga bergelar Panji Pati-pati. Nama pamanda Mahisa Agni yang tidak ada duanya, nama pamanda Lembu Ampal dan mungkin masih banyak nama lagi.“ ia berhenti sejenak lalu, “Yang penting, katakan saja nama-nama itu kepada setiap orang yang akan membalas dendam kematian ketiga iblis berilmu hitam itu. Aku tidak berkeberatan. Setiap saat aku akan bersedia membuat perhitungan dengan perguruan mereka yang masih belum aku ketahui. Ilmu mereka adalah ilmu yang menurut pengamatanku sudah lama hilang dari Singasari, namun yang kini tiba-tiba saja telah muncul di daerah terpencil yang kemudian disebut daerah bayangan hantu.”

“Baiklah anak muda. Aku akan mencoba menyebut nama-nama itu. Terutama nama Mahisa Bungalan.”

“Pamanda Witantra dan pamanda Mahisa Agni tentu akan membantuku jika pada suatu saat aku menemui kesulitan dengan ilmu hitam itu. Ilmu yang sudah lama sekali hilang.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi Tapak Lamba nampak gelisah. Meskipun demikian ia berusaha untuk melenyapkan segala macam kesan dari wajahnya. Sejenak kemudian anak muda itu benar-benar meninggalkan rumah Ki Buyut. Meskipun Ki Buyut mencoba menahannya untuk sekedar memberikan semangkuk air untuk obat haus, namun anak muda itu menggelengkan kepalanya sambil berkata,

“Aku akan minta sebutir kelapa muda nanti diperjalanan. Sekarang aku tidak haus meskipun aku baru saja bertempur melawan iblis-iblis itu.”

“O.“ Ki Buyut dengan tergopoh-gopoh memanggil seorang pembantunya. “Ia akan memanjat sekarang juga anak muda.”

Sekali lagi Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak sekarang Ki Buyut. Nanti di perjalanan.”

“Sekarang Ki Sanak akan pergi kemana?“ bertanya Ki Buyut.

“Aku adalah seorang pengembara. Tetapi agaknya aku akan kembali menyeberangi hutan itu karena aku sudah melihat daerah yang disebut daerah bayangan hantu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu, “Aku berharap bahwa setiap kali anak muda dapat singgah kepadukuhan ini.”

Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun bertanya dengan nada datar, “Apakah gunanya setiap kali aku harus datang kemari?”

“Tidak apa-apa anak muda. Tetapi kau sudah pernah menyelamatkan kami dari terkaman iblis itu. Dengan demikian maka kau adalah orang yang mempunyai arti tersendiri bagi padukuhan ini.“ jawab Ki Buyut, lalu, “Selebihnya, mungkin kau dapat membantu melindungi kami jika tumbuh persoalan yang berkepanjangan dengan keluarga atau perguruan iblis yang mengerikan itu.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan. Jika mencari orang yang membunuh ketiga iblis itu. sebutlah namaku. Mahisa Bungalan, anak Mahendra.”

“Baiklah anak muda. Mudah-mudahan pengembaraanmu tidak mengalami kesulitan apapun di perjalanan. Demikian juga hendaknya kami yang kau tinggalkan.”

Mahisa Bungalan pun kemudian minta diri kepada setiap orang dihalaman itu. Kepada Ki Buyut ia berpesan agar disampaikan pula kepada Nyi Buyut salamnya dan bahwa ia terpaksa segera meninggalkan padukuhan itu.

Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka Ki Buyut pun segera memerintahkan orang-orangnya untuk membersihkan halaman. Menyingkirkan mayat-mayat yang berserakan dan kemudian mempersiapkan pembakaran bilik yang telah dibuatnya menjadi neraka yang paling mengerikan.

Sementara itu, Tapak Lamba yang duduk di serambi belakang rumah Ki Buyut itu pun berbisik, “Anak yang aneh. Ia datang dengan tiba-tiba, namun kemudian pergi pula dengan tergesa . Ia sama sekali tidak mau singgah barang sebentar. Bahkan minum pun tidak sempat.”

“Ya.“ sahut Ki Buyut, “Agaknya demikianlah wataknya. Ia datang untuk bertempur melawan kejahatan. Kemudian menghilang seperti asap yang ditiup angin.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku kini berada dalam keadaan yang sulit.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya, “Kenapa?”

Tapak Lamba tidak segera menjawab. Agaknya Ki Buyut pun harus berdiri pula dari tempatnya karena orang-orang yang menyiapkan pembakaran bilik itu, sudah siap.

“Baiklah.“ berkata Ki Buyut, “Kita tidak akan menyulutnya sekarang. Kalian beritahukan kepada penduduk padukuhan ini, bahwa Ki Buyut akan melakukan upacara korban, membakar sebuah lumbung kosong agar tanah di sekitar padukuhan ini menjadi semakin subur seperti perintah yang didengarnya dalam mimpi. Karena, itu, mereka tidak usah menjadi gelisah dan ketakutan.”

“Jadi kapan kita akan membakarnya?”

Setelah hampir setiap orang mengetahuinya. Beritahukan beberapa orang yang terpencar. Dan pesan kepada tetangga-tetangga mereka terdekat, sambung bersambung. Beberapa orang pun kemudian pergi untuk memberitahukan, bahwa Ki Buyut telah bermimpi, agar sebuah dari lumbungnya yang telah kosong dibakar, sebagai korban untuk kesuburan sawah mereka. Baru setelah orang-orang itu pergi berpencar, maka Ki Buyut bertanya kepada Tapak Lamba, “Kenapa kau kini justru berada dalam kesulitan?”

“Ki Buyut.“ berkata Tapak Lamba, “Aku bukanlah orang yang bersih sama sekali dari tindak kejahatan. Seperti yang aku katakan, aku pun seorang pembunuh yang tidak tanggung-tanggung. Tetapi aku tidak mempergunakan cara seperti yang kau lakukan disini, dan tujuan yang tidak menentu, sekedar untuk melepaskan nafsu kekejian. Jika kau mempunyai alasan untuk melenyapkan jejak pelarianmu dan sekedar dendam yang tersimpan di dalam hati, maka alasan itu kemudian menjadi kabur dengan sekedar sebuah kesenangan. Kesenangan melihat darah mengucur dan wajah yang ketakutan menjelang maut. Bahkan kemudian jerit dan sesambat kau anggap bagaikan dendang yang merdu mengiringi lepasnya nyawa dari badannya.“

“Sudahlah. Apakah yang sebenarnya ingin kau katakan?”

“Ki Buyut. Di Singasari aku pernah berusaha membunuh dua orang anak muda. Tetapi gagal karena Linggadadi telah menghalangi aku. Namun demikian, sama sekali bukan karena Linggadadi menentang tindak kejahatan serupa itu. Ia mencegah aku melakukan pembunuhan karena ia tidak mau mengusik prajurit Singasari. Ia mengharap agar Singasari untuk waktu yang lama tetap tenang dan tenteram, sehingga para Senapatinya menjadi lengah.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Suatu cara yang baik.”

“Ya. Dan aku memang gagal membunuh kedua anak muda itu. Bahkan aku menerima sebuah tawaran yang sangat menarik, Bekerja bersama dengan saudara tua Linggadadi, Linggapati dari Mahibit.“

“Sudah pernah kau singgung.”

“Ya. Tetapi sekarang tiba-tiba Mahisa Bungalan telah menyelamatkan nyawaku.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Sedangkan kedua anak muda yang hampir saja menjadi korban dendamku adalah kedua adiknya.”

“He?”

“Ya. Kedua anak muda itu adalah anak-anak Mahendra pula. Adik Mahisa Bungalan itu.”

Ki Buyut dan orang-orang yang mendengar keterangan Tapak Lamba itu termangu-mangu. Mereka tidak dapat merasakan langsung kebimbangan yang membelit hati Tapak Lamba. Namun mereka dapat membayangkan, bahwa Tapak Lamba seolah-olah berdiri ditengah-tengah simpang jalan yang sulit untuk menentukan, jalan manakah yang harus dipilih.

“Siapakah kedua adik Mahisa Bungalan itu?“ bertanya Ki Buyut kemudian.

“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.“ jawab Tapak Lamba.

Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara Tapak Lamba menceriterakan apa yang sudah dilakukan oleh ketiga orang kawannya dan dirinya sendiri. Dan yang kemudian muncul seorang yang bernama Linggadadi.

“Aku tidak tahu, siapakah yang lebih tinggi ilmunya. Linggadadi dan Linggapati atau Mahisa Bungalan.“ berkata Tapak Lamba kemudian, “Bagiku kedua belah pihak adalah orang-orang yang memiliki kelebihan yang sukar dinilai. Apalagi keduanya menunjukkan kemampuannya dalam suasana yang sangat berbeda.”

Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, Linggapati dari Mahibit tidak akan dapat banyak berbuat. Yang kita lihat adalah kemampuan yang ditunjukkan oleh Mahisa Bungalan. Apalagi jika kemudian Mahendra sendiri ikut campur. Sedangkan Mahendra biasanya tidak berdiri sendiri. Tetapi di sampingnya ada Mahisa Agni, Panji Pati-pati dan beberapa orang kuat lainnya yang sekarang berada di Singasari mengelilingi dan menjadi perisai kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah ia berkata, “Aku memang menjadi bingung.”

“Kau berhutang budi kepada Mahisa Bungalan. Tetapi kau mempunyai cita-cita yang sudah kau jalin sebelum kau datang kemari. Bukankah kedatanganmu itu ada hubungannya dengan rencanamu untuk bekerja bersama dengan orang-orang dari Mahabit itu?”

“Ya. Tetapi benar-benar membingungkan sekarang.”

“Sudahlah. Kita akan memikirkannya kelak. Sekarang, kita tunggu, apakah orang-orang yang memberitahukan pembakaran bilik itu sudah merata.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Sekilas terbayang, isi dari bilik yang mengerikan itu. Benar-benar seperti isi neraka yang paling seram. Di dalamnya terdapat berbagai macam alat untuk menyakiti dan menyiksa orang. Kemudian cara-cara membunuh yang paling biadap dan terkutuk. Selebihnya adalah korban-korban yang dengan tanpa perasaan disimpan dalam bentuk yang beraneka macam.

Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang berpencar mengelilingi padukuhan itu pun sudah berkumpul kembali. Mereka sudah memberitahukan rencana itu kepada hampir setiap orang sehingga jika pembakaran itu dilakukan, maka isi padukuhan itu tidak akan terkejut lagi.

“Beberapa orang mengucapkan terima kasih, bahwa Ki Buyut telah mengorbankan sebuah lumbung bagi kemakmuran mereka.“ berkata orang-orang kepercayaan Ki Buyut itu.

“Lalu apa katamu?“ bertanya Ki Buyut.

“Aku katakan kepada mereka, bahwa semua milik Ki Buyut pun dapat dikorbankan untuk kepentingan padukuhan ini.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya semuanya itu sebagai suatu gurau yang segar. Tetapi rasa-rasanya jantung Ki Buyut bagaikan ditusuk dengan duri. Selama ini, ia adalah yang paling terkutuk di padukuhannya. Jangankan mengorbankan semua miliknya. Yang dilakukan adalah pelanggaran atas asas-asas kemanusiannya. Namun dalam pada itu, maka ia pun sadar, bahwa bilik di belakang rumahnya itu memang harus dimusnakan. Ia harus melenyapkan semua kenangan dan bekas-bekas yang dapat menumbuhkan kenangan buruk tentang tingkah lakunya itu.

“Baiklah.“ berkata Ki Buyut kemudian, “Marilah kita bakar tempat terkutuk itu. Yang paling dekat dengan rumah ini harus dirobohkan lebih dahulu, agar api tidak terlampau dekat dan bahkan dapat menjilat rumah ini.”

Orang-orangnya pun kemudian mulai melakukan perintahnya. Bagian yang paling dekat dengan rumah Ki Buyut, mulai dirobohkan dan dilemparkan menjauh, agar jika bagian itu terbakar, api tidak menjilat rumah Ki Buyut.

Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun mulai menyalakan obor minyak jarak. Perlahan-lahan ia melangkah masuk kedalam biliknya yang sebagian sudah dirobohkannya itu. Disiramnya seonggok kayu dengan minyak jarak dan kemudian dinyalakannya. Api mulai menyala pada bagian dinding yang sudah ber¬serakan itu. Perlahan-lahan api itu pun menjalar ke sekitarnya. Beberapa potong kayu yang menjadi tulang-tulang dinding bambu itu pun telah terbakar pula. Semakin lama semakin besar, semakin besar.

Akhirnya, rumah hantu itu pun merupakan segumpal api raksasa yang bagaikan menari-nari menjilat langit. Warna merah yang menyeramkan telah menelan bilik yang bagaikan neraka. Dan kini bilik itu telah dilengkapi dengan nyala api yang dahsyat. Tetapi api itu bukan bagian dari neraka yang jahanam itu. Namun api itulah justru yang akan menelan dan memusnakannya hingga menjadi debu lembut dengan segenap isinya.

Dan di antara yang terbakar dari isi bilik itu adalah mayat ketiga iblis yang telah menciptakan bilik itu dengan segala kelengkapannya. Ketika api mulai surut, Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ada sesuatu beban yang hilang dari bahunya, sehingga sepercik ketenangan telah menyentuh hatinya.

“Mudah-mudahan lenyaplah bilik itu dapat menumbuhkan kedamaian di hatiku.“ desis Ki Buyut.

“Tetapi kita akan segera terjerumus kedalam persoalan-persoalan lain.“ desis Tapak Lamba.

“Persoalannya tentu berbeda. Jika kita berjuang untuk suatu cita-cita, maka kita bukannya sejenis orang-orang yang telah terbunuh itu. Kita melakukannya dengan sadar dan mempunyai tujuan tertentu.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya, tumbuh semacam keragu-raguan. Apakah ada bedanya, pembunuhan-pembunuhan yang bakal dilakukan dengan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh Ki Buyut dengan ketiga iblis itu.

“Peperangan pasti akan menimbulkan kekejaman-kekejaman yang barangkali tidak terlampau banyak terpaut dengan yang dilakukan oleh iblis-iblis itu.“ berkata Tapak Lamba didalam hatinya, “Bilik itu adalah gambaran dari watak peperangan. Pembunuhan tanpa pertimbangan akal, siksaan dan tindak kekejaman yang lain, yang kadang-kadang diluar jangkauan nalar sehat bahwa hal itu dapat terjadi.”

Tetapi seperti Ki Buyut yang kemudian mengajak Tapak Lamba masuk ke dalam rumahnya setelah membersihkan diri Tapak Lamba dan kawan-kawannnya mencoba untuk mengesampingkan semua persoalannnya.

“Beristirahatlah disini dengan tenang.“ berkata Ki Buyut, “Untuk sementara kita tidak usah memikirkan, apakah kita akan berpihak kepada orang-orang Mahibit atau berdiam diri saja disini.”

Tapak Lamba mengangguk sambil tersenyum. Jawabnya, “Baiklah Aku akan tinggal disini untuk beberapa lamanya.”

“Mudah-mudahan aku akan menemukan jalan keluar yang paling baik dari lingkaran kekalutan ini.”

Sementara Tapak Lamba dan kawan-kawannya tinggal di padukuhan itu, Mahisa Bungalan telah jauh meninggalkannya. Ia telah berhasil menemukan daerah yang disebut daerah bayangan hantu, dan bahkan telah menghapusnya sama sekali.

“Mudah-mudahan orang-orang di padukuhan itu tidak kambuh lagi setelah ketiga iblis itu terbunuh.“ berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sementara itu dalam perjalanan menjauh, ia masih sempat melihat api yang mengepul tinggi. Dan ia pun tahu, bahwa Ki Buyut dari daerah bayangan hantu, telah membakar alat-alat yang selama beberapa saat yang lalu dipergunakannya untuk memberikan kepuasan kepada salah satu bentuk nafsu yang tidak terkendali di dalam dirinya, didorong oleh kehadiran tiga orang iblis berilmu hitam yang memang setiap kali memerlukan darah untuk menyegarkan ilmunya itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Akan tetapi ia meneruskan perjalanannya. Kudanya berlari tidak terlampau kencang tetapi juga tidak lambat sekali. Untuk beberapa hari kemudian ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih saja di perjalanan petualangannya. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Kepada orang-orang yang pernah menyebut daerah bayangan hantu, Mahisa Bungalan mengatakan bahwa daerah itu sebenarnya tidak ada.

Baru beberapa hari kemudian ia sampai di rumahnya. Ayahnya dan kedua adik-adiknya yang pergi ke Singasari rintuk menghadiri upacara wafatnya seorang permaisuri dari seorang Raja yang besar telah kembali pula. Ketika saat senggang di sore hari, Mahisa Bungalan yang duduk bersama ayahnya mulai menceriterakan perjalanannya. Perjalanan yang sudah sering dilakukannya tentu tidak mempunyai persoalan yang dapat menarik hati ayahnya, jika ia tidak menyebut tiga orang iblis yang berilmu hitam itu.

Mahendra mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau benar-benar yakin, bahwa yang kau lihat adalah ilmu hitam yang pernah disebarkan oleh Empu Paguh kira-kira seratus tahun yang lalu.”

“Ayah. Aku belum pernah melihat keturunan atau mu¬rid orang yang bernama Empu Paguh. Tetapi ayah pernah menceriterakan kepadaku, ciri-ciri dari ilmu hitam semacam itu. Dan yang aku lihat adalah ciri-ciri seperti yang ayah ceriterakan kepadaku. Dan seperti yang ayah ajarkan kepadaku pula, aku mencoba untuk memecahkan ilmu itu.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku pernah mengalami pula. Tetapi sudah berpuluh tahun yang lalu, ketika aku masih muda. Seperti ajaran yang aku terima pula, bagaimana melawan ilmu itu, maka aku pun memberikan kepadamu karena sebenarnya aku pun kadang-kadang masih menyangsikan, bahwa ilmu itu benar-benar telah punah. Ternyata seperti saat aku menjumpai ilmu semacam itu, kau pun telah menjumpainya pula. Untunglah bahwa yang kau temui bukannya puncak dari ilmu itu. Jika kau temui puncak dari ilmu itu, maka aku kira kau tidak akan mampu memecahkannya begitu mudah.”

“Apakah dengan demikian berarti, bahwa masih ada orang yang memiliki ilmu hitam yang lebih tinggi dari ketiga orang itu?”

Mahendra termenung sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat, apa yang pernah dilakukannya saat itu, selagi ia masih muda. Pada saat ia merasa bahwa ia sudah berada di antara jajaran orang-orang yang memiliki ilmu sempurna, namun yang sebenarnya barulah sekedar impian saja.

“Ketika aku tiba-tiba saja terlempar ke Panawijen dan bertemu dengan seorang anak muda yang mengaku bernama Wiraprana, tetapi yang ternyata adalah Mahisa Agni, barulah aku merasa bahwa aku bukan orang terkuat di dunia.“ katanya di dalam hati. Karena saat itu, Mahendra sama sekali tidak dapat memenangkan perkelahian seorang lawan seorang melawan Mahisa Agni. Masih terbayang, bagaimana adik seperguruannya, Kebo Ijo mencoba untuk menolongnnya, tetapi justru oleh saudara seperguruannya yang tertua, Witantra, usaha itu telah dicegahnya.

Mahisa, Bungalan termangu-mangu sejenak melihat ayahnya termenung. Namun kemudian ia mendengar ayahnya itu berkata, “Mahisa Bungalan, aku kira masih ada orang yang lebih dalam menguasai ilmu semacam itu. Pada saat aku masih muda, aku sudah menjumpainya. Tentu orang itu pulalah yang kemudian berusaha menurunkan ilmunya kepada murid-muridnya. Aku tidak tahu apakah orang yang pernah aku jumpai itu masih hidup atau sudah mati. Tetapi untuk sementara kau harus tetap beranggapan bahwa masih ada orang yang lebih tinggi ilmurnya dari ketiga orang itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Karena itu, tidak mustahil bahwa orang itu pada suatu saat akan mencarimu. Bukan saja kau, tetapi juga adik-adikmu dan aku. Bukankah kau menyebut-nyebut namaku.”

“Ya, ayah.”

“Bagiku, sama sekali tidak berkeberatan jika pada suatu saat dihari tua ini, aku masih harus menghadapi iblis-iblis dari neraka itu. Tetapi yang penting adalah persiapanmu sendiri dan barangkali kedua adik-adikmu yang tidak tahu menahu itu pun akan mengalami akibatnya.”

“Mereka masih terlampau muda.”

Mahendra menggelengkan kepalanya. Katanya, “Di Singasari adikmu hampir saja mengalami kesulitan.”

“Ya.“ sahut Mahendra, “Mereka sudah menceriterakan kepadaku, bahwa mereka berdua telah dicegat oleh tiga orang yang tidak dikenal.”

“Nah, jika demikian, maka kau dan adik-adikmu harus mempersiapkan dirimu baik-baik. Mungkin masih ada sedikit kesempatan dihari tua ini untuk membimbingmu memperdalam ilmu yang telah kau miliki.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya sambil menundukkan kepalanya “Maaf ayah. Bahwa sampai saat aku dewasa, aku masih selalu mengganggu ketenangan ayah. Seharusnya aku dapat mengolah bakal yang sudah ayah berikan tanpa menyulitkan ayah lagi, karena memang sudah saatnya ayah beristirahat.“

Mahendra tersenyum. Katanya, “Aku memang tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan memberikan beberapa petunjuk. Kau sendirilah yang harus menyempurnakan ilmumu.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Dan sebuah peringatan bagimu, bahwa kau masih harus merasa, dan selalu merasa, bahwa yang kau miliki itu sama sekali belum sempurna. Kau masih harus berusaha untuk meningkatkannya setiap saat. Karena aku pernah mengalami suatu masa dimasa mudaku, merasa bahwa seakan-akan aku adalah orang yang tidak terkalahkan. Tetapi ternyata bahwa ilmuku masih terlampau rendah dibandingkan dengan orang-orang lain yang lebih tekun daripadaku.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Untuk melengkapi diri.“ berkata Mahendra kemudian, “Kau pun harus menjumpai pamanmu Mahisa Agni. Ia memiliki dasar ilmu yang berbeda dengan dasar ilmu kita dan pamanmu Witantra. Selama ini kau sudah menyadapnya serba sedikit dan telah berhasil kau luluhkan dengan ilmumu. Namun kau wajib berterus terang bahwa kau telah menjumpai sedikit kesulitan dengan ilmu hitam yang kau jumpai itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Mudah-mudahan ilmu iblis tidak cepat menjalar karena kematian ketiga orang itu.”

“Maksud ayah?” “Untuk mencari pengikut, mereka mengumpulkan orang sebanyak-banyaknya dan sadar atau tidak sadar, mereka akan mengajari orang-orangnya dengan ilmu semacam itu untuk membantu mereka menghadapi lawan-lawannya. Dan lawan yang dianggap bebuyutan sudah barang tentu kau, aku dan adik-adikmu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula.

“Nah, pada suatu saat yang pendek, kau harus memberi lakukan kepada paman-pamanmu agar mereka bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan karena nama mereka telah kau sebut-sebut pula.”

“Baiklah, ayah.“ jawab Mahisa Bungalan, “Aku akan segera pergi ke Singasari.”

“Kau jangan membawa adik-adikmu agar tidak timbul persoalan yang lain lagi. Aku menduga, bahwa ketiga orang yang menyerang adik-adikmu itu sama sekali bukan ketiga orang yang kau maksud memiliki ilmu hitam itu.“ Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Dengan demikian tidak akan membuatmu bermusuhan dengan banyak pihak yang mungkin tidak dapat kau duga kekuatannya.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ayahnya. Jika ia pergi bersama adiknya, maka ia pun akan terlibat dalam permusuhan dengan ketiga orang yang pernah menyerang adiknya tanpa sebab. Dan itu berarti bahwa musuhnya telak bertambah. Mahisa Bungalan sama sekali tidak mengetahui, bahwa tiga orang yang menyerang adiknya itu adalah orang-orang yang justru pernah ditolongnya di daerah yang disebut daerah bayang-bayang hantu, yang hampir saja ikut terkelupas oleh ilmu hitam iblis yang tidak dikenalnya sebelumnya itu.

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun bersiap-siap untuk pergi ke Singasari menghadap Mahisa Agni. Namun sementara ia masih berada di rumahnya, maka ayahnya telah membawanya setiap malam ke dalam sanggarnya untuk memperdalam ilmu yang pada dasarnya seluruhnya telah diberikan kepada anaknya. Tetapi masa pematangan dan sentuhan pengalaman yang masih jauh dari mencukupi, maka masih banyak yang harus dipelajari oleh Mahisa Bungalan.

“Kau dapat mengambil makna dari keadaan di sekitarmu.“ berkata ayahnya, “Dan kemudian kau terapkan di dalam perkembangan ilmumu.”

“Aku akan mencoba ayah.”

“Kehidupan yang luas dari segenap mahluk yang ada dapat kau pelajari dan kau sadap bagi ilmumu. Pada dasarnya setiap yang hidup akan mempertahankan hidupnya dengan cara apapun. Setiap jenis mempunyai caranya sendiri-sendiri.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

“Kau dapat melihat binatang kecil yang berusaha melepaskan dirinya dari binatang-binatang yang jauh lebih besar daripada¬nya untuk tetap hidup. Dan kau melihat bahkan kadang mereka pun dapat berhasil.”

Mahisa Bungalan masih saja mengangguk-angguk. Terbayang sekilas betapa seekor cacing menggeliat jika ujung ekornya terinjak kaki. Dan betapa lemahnya seekor tikus menghadapi seekor kucing. Namun kadang-kadang seekor kucing tidak juga berhasil menangkapnya. Dengan tekun Mahisa Bungalan melatih diri, menyempurnakan ilmu yang dasarnya sudah dikuasainya. Beberapa petunjuk telah diberikan oleh ayahnya khusus menghadapi ilmu iblis yang ganas itu.

Bahkan untuk menyempurnakan ilmunya, Mahisa Bungalan harus melawan ayahnya yang bertempur dengan cara yang dipergunakan oleh ketiga orang iblis seperti yang diceriterakan oleh Mahisa Bungalan dan yang memang pernah dilihatnya dan dilawannya pada saat Mahendra masih muda.

“Ayah mampu menirukan ilmu itu.” desis Mahisa Bungalan.

Mahendra tersenyum. Jawabnya, “Tentu hanya gerak lahiriahnya saja. Tetapi barangkali dapat kau pergunakan sebagai bahan untuk menyusun perlawananmu.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi seperti yang pernah kau alami sendiri, ilmu hitam itu mempunyai ciri watak tersendiri. Kau sudah berhasil memecahkan tata gerak dari tiga orang iblis itu. Tetapi menurut perhitunganku, mereka bukannya orang-orang yang memiliki ilmu tertinggi, sehingga kau masih harus menyusun cara-cara yang lebih rumit untuk memecahkannya.”

Mahisa Bungalan menyadari kata-kata ayahnya. Karena itu maka ia pun menjadi semakin tekun berlatih di bawah petunjuk-petunjuk ayahnya yang serba sedikit dapat menirukan gerak-gerak lahiriah ilmu hitam itu. Namun yang sedikit itu sudah cukup bagi Mahendra dan Mahisa Bungalan untuk memantapkan ilmu perlawanan mereka, jika pada suatu saat mereka harus bertempur melawan orang-orang yang memiliki ilmu hitam yang lebih tinggi tingkatnya.

Setelah Mahisa Bungalan menjadi semakin masak, khususnya menghadapi ilmu hitam itu, maka Mahendra pun menganjurkan untuk pergi menemui Mahisa Agni. Selain memberitahukan kemungkinan munculnya orang-orang lain lagi dengan ilmu itu, maka Mahisa Bungalan harus memperdalam pula ilmunya dengan gerak dasar yang pernah diperolehnya dari Mahisa Agni.

“Pamanmu tentu tidak akan berkeberatan.“ berkata Mahendra kemudian.

Mahisa Bungalan pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat. Kedua adiknya semula ingin mengikutinya. Tetapi ayahnya menahannya agar mereka tidak justru mengganggu kakaknya diperjalanan.

“Kakakmu tidak pergi bertamasya ke Singasari.“ ber¬kata ayahnya, “Tetapi kepergian kakakmu kali ini seperti juga kepergiannya di saat-saat yang lalu, adalah untuk memperbanyak pengalamannya, agar ia dapat mengetrapkan ilmu di dalam kenyataan hidup yang akan dihadapinya di hari-hari mendatang.”

“Bukankah hal itu perlu juga bagi kami?“ bertanya Mahisa Murti.

“Tentu. Tetapi tidak sekarang. Kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Lebih-lebih lagi dengan munculnya ilmu hitam yang sudah lama hilang itu.”

“Bukankah kami sudah cukup dewasa?“ bertanya Mahisa Pukat.

Ayahnya tersenyum. Katanya, “Kalian harus tinggal di rumah bersama ayah. Pada saatnya kalian pun akan mengalami masa seperti kakakmu. Tetapi kalian masih harus tekun belajar, sehingga bekalmu mencukupi, sebanyak bekal yang dimiliki kakakmu sekarang.”

Kedua anak muda itu pun menjadi sangat kecewa. Tetapi mereka tidak dapat memaksa agar ayahnya mengijinkannya. Karena itu, maka sambil bersungut-sungut Mahisa Murti bertanya, “Kapankah bekalku menjadi cukup seperti bekal kakang Mahisa Bungalan?”

“Sebentar lagi. Tidak lama. Kau sudah memiliki separoh lebih.”

Mahisa Murti tidak membantah lagi, meskipun ia tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewanya. Dengan beberapa pesan, maka Mahisa Bungalan pun kemudian berangkat ke Singasari menemui Mahisa Agni. Tetapi seperti perintah ayahnya, ia akan singgah di rumah Witantra, untuk memberitahukan pula kepadanya, bahwa ternyata ilmu hitam itu masih belum lenyap sama sekali. Bahkan dengan tiba-tiba telah menjumpainya meskipun belum pada tataran yang tinggi.

Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka kedua adiknya pun segera merengek minta agar ayahnya mempercepat waktu penurunan ilmunya kepada mereka.

“Aku sudah cukup dewasa, dan aku masih belum mampu berbuat apa-apa.“ desah Mahisa Pukat.

Mahendra tertawa. Katanya, “Itu pertanda bahwa jiwamu masih belum masak. Jika kau benar-benar sudah dewasa, kau tidak akan dapat minta agar aku mempercepat penurunan ilmu itu kepadamu. Kau bukan pelembungan getah jarak yang dapat ditiup dan melembung menjadi besar. Bahkan pelembuan getah jarak itu pun akan pecah jika kita tidak berhati-hati meniup. Apalagi kau.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti maksud ayahnya. Namun karena keinginan yang melonjak-lonjak di dalam dada kedua anak-anak muda itu, maka mereka pun kemudian berlatih semakin tekun. Kapan saja mereka mempunyai kesempatan, maka mereka pun mempergunakannya sebaik-baiknya.

Tetapi ayahnya selalu memperingatkan, “Jangan kalian memaksakan diri untuk mempercepat meningkatkan ilmu kalian dengan cara yang berlebih-lebihan. Dengan demikian, maka kau akan melampaui kemampuan jasmaniahmu, sehingga justru kau akan kehilangan pengamatan atas beberapa segi pemeliharaan tubuh dan kematangan ilmu menurut lapis yang sewajarnya.”

Karena itulah, maka akhirnya betapa pun mereka ingin, namun mereka harus berlatih sesuai dengan petunjuk dan tuntunan ayahnya, setingkat demi setingkat. Namun karena desakan hasrat dan gairah yang mantap, maka semuanya dapat berjalan dengan lancar, secepat rencana ayahnya bagi kedua anak-anak nya yang muda itu.

“Kalian pun harus dapat menjaga diri sehingga pada suatu saat kalian bertemu dengan iblis semacam yang pernah dijumpai oleh kakakmu, kalian akan dapat menyelamatkan diri sendiri, selebihnya dapat menolong orang lain jika mereka memerlukannya.“ berkata Mahendra kepada kedua anaknya yang muda itu.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak mengecewakannya. Mereka bukan saja berlatih dengan tekun, namun pada diri mereka memang mengalir darah Mahendra yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang mengagumkan.

Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berada di rumah pamannya. Dengan singkat ia menceriterakan pertemuannya dengan orang-orang berilmu hitam itu. Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Memang sebaiknya pamanmu Mahisa Agni kau beritahu tentang orang-orang itu. Bahkan sampaikan pesanku, bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka pun harus mengetahui pula, bahwa di Singasari masih hidup ilmu semacam itu.”

Setelah bermalam beberapa malam di rumah Witantra, dan serba sedikit mendapatkan petunjuk-petunjuk yang berguna baginya bukan saja menghadapi orang-orang berilmu hitam, tetapi juga kekuatan-kekuatan yang mungkin akan mengganggunya selama ia mengembara mencari pengalaman yang bermanfaat bagi masa: mendatang, maka Mahisa Bungalan pun segera minta diri.

“Ilmumu sudah meyakinkan.“ berkata Witantra, “Kau tinggal mematangkannya. Jika kau ingin serba sedikit mendapat bahan dari pamanmu Mahisa Agni, maka kau harus berhasil memadukannya sehingga tidak justru saling mengganggu. Sebelumnya kau memang pernah mempelajari beberapa tata gerak dasar yang pernah diberikan oleh pamanmu Mahisa Agni dalam warna yang lain dari ilmu yang kita miliki, namun jika kau ingin memperdalam, maka kau memerlukan waktu untuk menyesuaikan ilmu kita dan ilmu perguruan Panawijen itu dengan wataknya masing-masing. Perlu kau ketahui bahwa sebenarnya Mahisa Agni pun pernah mendalami beberapa jenis ilmu dari cabang perguruan yang berbeda-beda. Ia pernah menekuni ilmu sudah barang tentu dari gurunya, Empu Purwa dari Panawijen, kemudian juga ilmu dari Empu Sada dan bahkan dari cabang perguruan kita. Maka, agaknya pamanmu Mahisa Agni akan dengan senang hati memberikan beberapa petunjuk dan bahkan arah yang harus kau tempuh untuk meluluhkan ilmu itu, agar kau menjadi orang yang memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi kenyataan yang kadang-kadang tidak kita kehendaki di atas dunia yang penuh dengan rahasia ini.”

“Aku mohon doa paman, agar aku dapat memenuhi harapan paman dan ayah.”

“Dan harapan banyak orang yang lemah. Karena mereka memang memerlukanmu. Kau mengerti?”

Mahisa Bungalan mengangguk, “Aku mengerti paman.”

Witantra mengangguk. Ia berbangga atas anak muda itu. Anak adik seperguruannya itu agaknya akan dapat menjadi seorang yang memiliki bukan saja kelebihan jasmaniah, tetapi juga rohaniah. Jika ia kemudian menjadi masak lahir dan ba¬tinnya, maka ia akan menjadi seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi juga seorang yang memiliki pengabdian yang tinggi bagi sesamanya.

Ketika kemudian Mahisa Bungalan berangkat meninggalkannya menuju ke Kota Raja, maka rasa-rasanya Witantra melihat bayangan dari masa lampau. Seorang anak muda yang dengan sepenuh hati mengabdikan dirinya kepada sesama, Mahisa Agni. Ia berbuat apa saja tanpa pamrih bagi dirinya sendiri. Bahkan kadang-kadang dengan mempertaruhkan nyawanya.

Tetapi ada sesuatu yang tidak dimengerti oleh Witantra. Bahwa, Mahisa Agni pernah terlempar dari gapaian cita-citanya untuk memetik bunga di lereng Gunung Kawi. Untunglah bahwa ia mampu mengendapkan kekecewaannya, dan menyalurkannya pada garis perjuangan hidup yang bermanfaat bagi sesamanya. Seandainya ia gagal dengan penguasaan diri dan kehilangan arah, maka ia adalah orang yang paling berbahaya di dunia pada waktu itu, melampaui Kuda Sempana yang menjadi seolah-olah gila setelah ia kehilangan kemungkinan untuk memiliki Ken Dedes. Namun untung pulalah, bahwa pada saat terakhir Kuda Sempana pun menemukan arah hidupnya yang benar dan berbuat bagi kebenaran, meskipun ia harus mengorbankan hidupnya.

Kenangan jang demikian itulah yang kadang-kadang menimbulkan kebanggaan tetapi juga kerisauan di hati Witantra. Ia pernah mengalami pahit getirnya perkembangan Singasari sejak jaman pemerintahan Akuwu di Tumapel. Ia pernah terlempar dari percaturan pemerintahan setelah ia dikalahkan oleh Mahisa Agni, karena ia membela nama baik adik seperguruannya yang dituduh telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan dihukum mati, serta namanya telah dihinakan orang.

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu berjalan seperti peristiwa-peristiwa yang sebenarnya pernah terjadi, hingga pada suatu saat Mahisa Agni datang kepadanya untuk minta maaf atas segala kekhilafannya. Namun bagaimanapun juga, Mahisa Agni telah berbuat untuk suatu pengabdian apapun alasannya. Karena ia masih seorang manusia biasa, maka ia pun dapat juga berbuat kesalahan. Dan memang Mahisa Agni pernah berbuat kesalahan. Terapi dalam perbandingan keseluruhan hidupnya, Mahisa Agni adalah seorang manusia yang baik.

“Mudah-mudahan Mahisa Bungalan akan mewarisi sifat-sifat itu jika ia berada dibawah bimbingan Mahisa Agni untuk waktu yang agak lama.“ berkata Witantra di dalam hatinya.

Dalam pada itu, dengan hati yang mantap, Mahisa Bungalan menuju ke Singasari. Ia akan menghadap Mahisa Agni, dan seperti pesan ayahnya dan pamannya Witantra, ia harus bersedia untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Mahisa Agni. Seperti yang diduga sebelumnya, bahwa Mahisa Agni telah menerimanya dengan senang hati. Kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari, telah memberikan kegembiraan kepadanya.

Disaat-saat terakhir hidupnya terasa menjadi semakin sepi. Setelah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dinobatkan menjadi Maharaja dan Ratu Angabhaya, maka ia tidak lagi dapat bermain-main dan bercanda lagi dengan keduanya seperti masa-masa sebelumnya. Keduanya telah dikenakan ketentuan-ketentuan yang harus mereka taati. Meskipun pada saat-saat tertentu keduanya masih juga berlatih dibawah bimbingan Mahisa Agni, namun waktunya menjadi semakin terbatas. Semakin tinggi ilmu yang telah dituangkan kepada kedua pimpinan pemerintahan di Singasari itu, maka semakin jarang pula ia bertemu. Bahkan kadang-kadang pertemuannya menjadi bersifat terlampau resmi.

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sendiri sebenarnya tidak ingin membatasi diri pada ketentuan-ketentuan yang demikian. Sejauh mungkin mereka berdua telah melepaskan diri dari segala macam peraturan dan membiarkan Mahisa Agni selalu dekat pada mereka. Namun waktu itu pun rasa-rasanya menjadi sangat terbatas.

Kehadiran Mahisa Bungalan, rasa-rasanya dapat menjadi isi bagi kekosongan yang kadang-kadang terasa di hati Mahisa Agni. Meninggalnya Ken Dedes, terasa membekas juga di hatinya. Meskipun menilik hubungan lahiriah, Mahisa Agni adalah saudara angkat puteri itu, namun sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam daripada itu, yang tersimpan saja di hati Mahisa Agni sejak masa mudanya.

“Kau sebaiknya tinggal di Singasari saja Bungalan.“ minta Mahisa Agni, “Disini kau akan banyak mendapat pengalaman dan sudah barang tentu kemajuan.”

“Terima kasih paman. Memang menyenangkan sekali tinggal bersama paman disini.“ jawab Mahisa Bungalan.

“Kalian akan segera, berkenalan dengan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

“Aku pernah menghadap paman.”

“Tetapi untuk selanjutnya kau dapat mengabdikan diri disini.”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia senang sekali jika ia dapat mengabdikan dirinya di Singasari. Namun sementara itu, ia pun tidak lupa menyampaikan pesan ayahnya dan pamannya tentang orang-orang yang memiliki ilmu hitam yang ternyata masih tetap berkeliaran. Mahisa Agni agaknya memang sudah menduga, bahwa ilmu itu tentu masih belum punah sama sekali. Seperti Mahendra, Mahisa Agni pun pernah pada suatu kali melihat dan mengalami benturan dengan ilmu semacam itu, meskipun pada tataran yang tidak terlampau tinggi.

Namun itu bukan berarti bahwa tidak ada tataran ilmu hitam yang lebih tinggi dari yang dijumpainya. Jika didaerah terpencil dan yang disebut daerah bayangan hantu itu ada tiga orang yang memiliki ilmu itu, dan yang karenanya mereka seolah-olah iblis yang tidak dapat dicegah segala kehendaknya, maka di belakang ketiga orang itu tentu masih ada orang-orang lain lagi yang memiliki ilmu semacam itu dan yang bahkan lebih tinggi daripada mereka bertiga, karena tidak mustahil bahwa orang itu adalah gurunya.

“Memang mungkin sekali kematian ketiga orang itu bukan merupakan akhir dari perbuatan-perbuatan serupa.“ berkata Mahisa Agni, “Karena itu, adalah benar pesan ayahmu dan pamanmu Witantra bahwa kita wajib bersiaga. Jika kau memang meninggalkan nama dan hubungan keluargamu di daerah yang semula disebut daerah bayangan hantu itu, maka kita semuanya memang harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan dapat terjadi.”

“Aku memang meninggalkan nama paman. Tetapi bukan sekali-sekali niatku untuk menyombongkan diri. Aku mempunyai perhitungan bahwa dengan demikian orang-orang yang mendendam atas kematian ketiga orang yang berilmu iblis itu tidak akan mencelakai orang-orang yang ada di padukuhan itu. Karena menurut pengamatanku, meskipun semula Ki Buyut pun terlibat dalam perbuatan yang terkutuk, namun ia bersama bebahu yang lain masih belum terhisap dalam ilmu hitam itu, sehingga mereka menurut penglihatanku, akan melepaskan diri dari pengaruh ilmu itu.”

“Bagaimana jika ada beberapa orang yang kemudian menetap di padukuhan itu?”

“Maksud paman, orang-orang yang berilmu hitam itu?“

“Ya.”

“Tentu akan merupakan persoalan paman. Tetapi apa salahnya jika sekali-sekali kita pergi ke tempat itu?”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya. Tetapi sebelum kita akan pergi juga kesana, kau harus menempa dirimu lebih dahulu, sehingga kau akan menjadi seorang anak muda yang benar-benar dapat dilepaskan untuk suatu pengabdian.”

“Agaknya memang untuk itulah aku telah dikirim ayah kemari.”

“Sebenarnya kau sudah memiliki segala-galanya. Aku hanya dapat memberikan beberapa kelengkapan dan sudah barang tentu petunjuk-petunjuk yang sebenarnya tidak lebih baik dari yang dapat diberikan oleh ayahmu. Bedanya, bahwa yang dapat aku berikan mempunyai beberapa kelainan ujud dan watak dari yang sudah kau miliki dari ayahmu. Itulah yang menarik, sehingga dengan demikian kau akan mempunyai ilmu yang lebih baik dari yang lain.”

“Itulah yang aku inginkan paman. Seperti paman Mahisa Agni yang memiliki ilmu bukan saja dari perguruan Panawijen tetapi juga dari perguruan yang lain, yang kemudian luluh manunggal menjadi satu di dalam diri paman.”

Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Tetapi puncak-puncak ilmu masing-masing agaknya tidak berada di bawah ilmu yang bercampur baur itu.”

“Tentu ada bedanya paman. Dan perbedaan itulah agaknya yang membuat paman Mahisa Agni mempunyai kelainan pula dari ayah dan paman Wtiantra.”

“Kau benar. Aku memiliki kelainan. Tetapi yang lain itu seperti sudah aku katakan, belum tentu lebih baik dari yang sudah kau miliki.”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Paman selalu merendahkan diri. Ayah dan paman Witantra pun berkata demikian.”

“Satu pujian yang terlampau tinggi bagiku, Bungalan.”

“Ayah menceriterakan segala-galanya. Bahkan menurut penilaian ayah, paman memiliki beberapa kelebihan dari Maharaja yang besar di Singasari, Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabhumi.”

Mahisa Agni tertawa. Lalu katanya, “Sudahlah. Kau ternyata mendapat beberapa keterangan yang berlebih-lebihan tentang aku dari ayah dan pamanmu. Baiklah. Kau akan membuktikan sendiri, bahwa yang kau hadapi tidak lebih dari aku yang tidak banyak dapat membantumu. Sebaiknya kau beristirahatlah beberapa saat disini, sebelum kau mulai dengan segalanya. Mungkin besok atau lusa, aku dapat membawamu menghadap Maharaja tuanku Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana dan Ratu Angabhaya, tuanku Mahisa Cempaka yang bergelar Narasimha.”

“Menyenangkan sekali.“ desis Mahisa Bungalan. Terbayang di angan-angannya bahwa pada suatu saat ia akan dapat mengabdikan dirinya di Singasari. Bukan lagi sekedar bertualang tanpa tujuan. Tetapi pengabdiannya akan menjadi terarah.

Karena itulah maka kehadirannya di Singasari membawa banyak harapan dan angan-angan. Bukan karena dengan demikian ia akan mendapat pangkat yang tinggi dan kedudukan yang baik. Namun dengan demikian ia adalah salah satu dari mereka yang sempat mengabdi kepada Singasari.

Demikianlah maka selama dua hari ia berada di Singasari, Mahisa Bungalan benar-benar beristirahat dari segala macam kegiatan. Ia mempergunakan waktunya untuk mengenal kota itu bersama pamannya Mahisa Agni. Namun dari pamannya itu pulalah Mahisa Bungalan mengetahui lebih jelas bahwa pernah terjadi kedua adiknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diserang oleh tiga orang yang tidak dikenal disuatu tempat dalam kota itu.

“Persoalan dan alasan penyerangan itu pun masih merupakan teka-teki sampai sekarang.“ berkata Mahisa Agni kemudian, “Mungkin karena orang itu mendendam kepada ayahmu, mungkin kepadaku atau pamanmu Witantra. Tetapi mungkin pula karena salah paham.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia pun menyadari, bahwa pusat pemerintahan yang nampaknya tenang dan damai itu, merupakan tempat yang cukup menegangkan. Didalam ketenangan dan kedamaian itu justru tersimpan seribu macam kemungkinan, seperti tenangnya sebuah kedung, maka sulitlah untuk dijajagi betapa dalamnya.

“Kau pun harus berhati-hati.“ berkata Mahisa Agni, “Di dalam kota ini bercampur baur sikap dan sifat manusia. Keluhuran budi, pengabdian, tetapi juga ketamakan dan pura-pura. Untuk sesaat sikap dan sifat itu dapat menyesuaikan diri dengan serasi, sehingga kota ini nampaknya menjadi tenang dan damai. Tetapi jika terdapat sedikit perubahan pada keseimbangan itu, maka akan dengan mudahnya timbul keributan yang kadang-kadang sulit dikendalikan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Menilik ceritera pamannya, ternyata kota ini tidak ubahnya dengan daerah yang disebut daerah bayangan hantu. Daerah yang menilik wajannya sepintas merupakan daerah yang tenang dan damai, tetapi isinya adalah kengerian yang tiada taranya. Tanpa disadarinya Mahisa Bungalan memandang rumah-rumah yang megah yang berdiri di pinggir-pinggir jalan raya. Rumah yang berhalaman luas dan beregol tinggi, dilingkungi oleh dinding batu yang rapat. Tetapi seperti yang dikatakan pamannya, dibalik dinding batu dan daun pintu regol itu, terdapat rahasia yang seolah-olah tidak dapat dipecahkannya.

“Nampaknya mereka menerima kehadiran tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dengan senang hati. Tetapi kita tidak tahu isi hati seseorang. Mudah-mudahan aku adalah orang tua yang banyak dipengaruhi oleh ketuaanku yang hampir pikun, sehingga kecurigaanku pun sekedar akibat dari gejala-gejala kepikunanku itu.”

“Agaknya kecurigaan paman cukup beralasan.“ sahut Mahisa Bungalan, “Tetapi sudah barang tentu, masih harus dinilai dengan saksama. Apakah yang sebenarnya ada di dalam pusaran Kota Raja yang ramai, sibuk dan gelisah ini, di bawah wajahnya yang tenang dan damai.”

“Itu sudah lebih dari cukup bagimu Mahisa Bungalan.” sahut Mahisa Agni, “Ternyata tanggapan perasaanmu atas Kota Raja ini cukup tajam. Kota yang berisi seribu satu macam persoalan, yang masih menunggu urutan pemecahannya. Namun sementara itu akan timbul persoalan-persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. Namun demikian, kami masih beruntung bahwa kota besar ini nampaknya tetap tenang dan damai.”

Dengan demikian maka pada waktu yang pendek itu, Mahisa Bungalan sudah melihat kota itu sepenuhnya. Dari pintu gerbang kota yang satu sampai kepintu gerbang kota yang lain. Ditelusurinya setiap lorong dan jalan yang simpang siur di dalam Kota Raja itu, seolah-olah ia ingin mengetahui segala-gala nya tanpa terlampaui.

Baru pada hari berikutnya, Mahisa Agni sempat mengajak Mahisa Bungalan menghadap Maharaja Singasari dan Ratu Angabhaya, tuanku Ranggawuni dan bergelar Wisnuwardhana dan tuanku Mahisa Cempaka yang bergelar Narasimka. Ternyata kehadiran Mahisa Bungalan membuat kedua pemimpin pemerintahan yang masih muda itu bergembira. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa yang datang itu adalah putera Mahendra.

“Ayahmu telah banyak memberikan sumbangsih bagi Singasari.“ berkata Ranggawuni, “Kami mengharap bahwa kau pun akan dapat berbuat serupa.”

“Hamba akan mencoba, tuanku. Tetapi sudah tentu hanya sejauh dapat dilakukan oleh kemampuan hamba yang kerdil.”

Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tersenyum. Di antara senyumnya Mahisa Cempaka berkata, “Seperti ayahmu, kau adalah seorang anak muda yang rendah hati. Tetapi justru karena itulah maka kami mempunyai harapan besar padamu dikemudian hari.”

Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja, sementara Mahisa Agni berkata, “Tuanku berdua. Mahisa Bungalan ternyata telah dititipkan kepada hamba. Ia membawa pemberitahuan tentang orang-orang yang berilmu hitam yang perlu juga tuanku ketahui. Namun selebihnya, sebagai anak-anak muda, maka tuanku berdua akan mendapat kawan dalam mesu diri dan olah kanuragan, karena Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang hampir sempurna dari ayahnya, namun yang masih memerlukan penyesuaian pengetrapan dengan persoalan-persoalan yang akan dihadapinya.”

Mahisa Cempaka mengangguk-angguk. Katanya, “Banyak kemungkinan yang akan kau hadapi Bungalan. Ceriterakan tentang orang-orang berilmu hitam itu.”

Dengan singkat Mahisa Bungalan pun segera menceriterakannya penglihatannya atas orang-orang berilmu hitam itu.

“Singasari memang wajib memperhatikan paman.“ berkata Ranggawuni kemudian.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa, orang berilmu hitam itu harus mendapat perhatian khusus. Untuk beberapa lamanya, mereka tentu akan bergerak di bawah bayangan yang gelap. Tetapi pada suatu saat, jika mereka merasa sudah kuat, maka mereka tentu akan muncul dan melakukan kegiatan yang membahayakan ketenangan Singasari.

“Namun demikian.“ berkata Mahisa Agni kemudian kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “Kita tidak perlu cemas. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri, karena mereka pun tentu tidak akan dengan tiba-tiba saja muncul dan mengganggu tlatah Singasari. Namun demikian, sudah barang tentu bahwa kita harus tetap waspada menghadapi setiap kemungkinan.”

Demikianlah maka kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari telah memberikan kesibukan baru bagi Mahisa Agni, tetapi juga bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka didalam olah kanuragan. Kadang-kadang mereka mencari kesempatan di antara kesibukan mereka di dalam pemerintahan, untuk berlatih bersama-sama. Dengan demikian mereka mendapatkan pengalaman baru yang dapat saling menguntungkan. Dengan langsung kedua belah pihak mendapat sentuhan baru pada ilmu masing-masing. Sedangkan Mahisa Agni mencoba untuk mengemukakan unsur baru dari luluhnya kedua ilmu yang bersumber dari perguruan yang berbeda.

Namun ternyata kemudian bahwa Mahisa Agni tidak saja menuntun mereka pada landasan yang sempit. Seperti Mahisa Agni sendiri, maka mereka pun mendapatkan beberapa unsur dasar dari beberapa cabang perguruan yang berbeda, sehingga dengan demikian, kehadiran Mahisa Bungalan di Singasari bukannya tanpa arti bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Para pemimpin pemerintahan yang membantu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kadang-kadang menjadi bingung karena keduanya telah meninggalkan bangsalnya tanpa diketahui oleh siapa pun juga, selain satu dua orang kepercayaannya. Tidak seorang pun yang mengetahui, bahwa keduanya telah pergi bersama Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan, mencari tempat yang sepi untuk memperdalam ilmu mereka masing-masing.

Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni mencoba untuk meningkatkan ilmu ketiga anak-anak muda itu, maka di ujung hutan di kaki Gunung Lawu, berkumpul beberapa orang yang nampaknya memang sedang mengasingkan diri. Seorang yang berambut putih, bertongkat sepotong besi baja, dekerumuni oleh beberapa orang muridnya yang sedang mendengarkan penjelasannya.

“Siapakah yang membawa kabar itu?“ orang berambut putih itu bertanya.

“Empu Baladatu.“ sahut seseorang di antara mereka yang berkerumun itu, “Aku sengaja mencari mereka bertiga seperti yang Empu perintahkan. Gejala-gejala kehadirannya dapat aku cium di suatu padukuhan yang disebut daerah bayangan hantu. Daerah yang tidak dapat dikenal oleh siapa pun juga. Siapa yang tersesat masuk ke daerah itu, maka ia tidak akan dapat keluar lagi.”

“Hem.“ Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Yang nampak hanyalah sudut lorong kecil di tengah- tengah hutan. Jika kita memasukinya, maka kita akan sampai ke seberang hutan, ke sebuah padukuhan. Padukuhan yang berada di daerah bayangan hantu.”

“Hem.“ orang berambut putih itu berdesis lagi.

“Daerah yang disebut daerah bayangan hantu itulah yang memberikan pertanda kehadiran ketiga orang saudara kami yang hilang itu.”

“Dan kau berhasil menemukan mereka?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak Empu. Kami tidak menemukun mereka. Beberapa hari kami berempat bersembunyi di hutan itu untuk melihat kebenaran dugaan kami. Tetapi yang kami ketemukan adalah asap pembakaran sebuah bangsal pemujaan yang telah dibakar oleh Ki Buyut padukuhan itu, bersama dengan hilangnya ketiga saudara kami itu untuk selama-lamanya.”

“Gila.“ Empu Baladatu menggeram, “Dan kau tidak berbuat apa-apa.”

“Aku menunggu perkembangan keadaan. Aku datang kepadukuhan itu sebagai orang-orang yang lembut. Namun dengan demikian kami dapat menyadap rahasia padukuhan itu. Ketiga saudara kami memang ada di sana. Mereka berhasil mempengaruhi Ki Buyut yang sedang diamuk oleh dendam dan kecewa. Demikian juga isterinya yang menjadi hampir gila karena selalu diburu oleh ayah tirinya. Dengan memanfaatkan keadaan itulah, maka Ki Buyut telah membuat sebuah bangsal pemujaan lengkap dengan peralatannya.”

“Agaknya ketiga saudaramu ini ingin menyaingi aku.”

“Itulah dosa dan kesalahan mereka, sehingga tidak terampuni lagi. Mereka mati terbunuh oleh seorang anak muda yang tiba-tiba saja hadir di daerah bayangan hantu itu.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk.

“Bangsal itu telah lengkap, sebelum menjadi abu.“ berkata salah seorang murid Baladatu itu, “Berbagai alat untuk memeras darah dari tubuh seseorang yang masih tetap hidup dapat diketemukan di dalam bangsal itu.”

“Hem. Aku memerlukan bangsal semacam itu.”

“Yang tinggal adalah abunya.”

“Siapakah yang membunuh ketiga orang yang memang sudah sepantasnya mati itu?”

“Namanya Mahisa Bungalan.”

“Orang yang tidak banyak dikenal namanya. Memalukan sekali. Tiga orang murid-muridku, meskipun mereka lari dari perguruannya, dapat dikalahkan oleh seseorang yang tidak berarti sama sekali.”

Murid-murid Empu Baladatu tidak menyahut. Mereka pun menjadi panas karena kematian ketiga saudara seperguruannya. Meskipun ketiga orang itu lari dari perguruannya, dan beberapa orang diantara mereka mendapat perintah untuk menangkapnya hidup atau mati, namun kekalahan yang dialaminya dari orang yang tidak banyak disebut namanya, membuat mereka menjadi merasa terhina.

Namun dalam pada itu, salah serang dari mereka yang mencari ketiga saudara seperguruan yang lari itu berkata, “Guru menurut pendengaran kami kemudian, orang yang telah membunuh ketiga saudara kami itu adalah anak seorang yang dekat dengan istana Singasari. Namanya Mahendra.”

“Mahendra.“ desis Empu Baladatu, “Aku memang pernah mendengar nama itu. Tetapi nama itu pun sama sekali tidak penting bagiku.”

“Mahendra tentu mempunyai hubungan dengan beberapa orang Singasari lainnya.“ sahut muridnya yang lain. “Orang-orang dari padukuhan yang ditinggalkan itu mengatakan bahwa Mahendra mempunyai saudara seperguruan yang bernama Witantra dan bergelar Panji Pati-pati. Sedangkan nama-nama lain yang disebutnya adalah Mahisa Agni, Lembu Ampal dan aku tidak ingat lagi yang lain.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah mendengar nama Mahisa Agni dan Panji Pati-pati. Mereka adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kemampuan mereka adalah kemampuan manusia sewajarnya. Sedangkan kita memiliki kemampuan yang lain dari bekal kemampuan kita sendiri. Ada masalah gaib yang membuat kita menjadi orang-orang yang sempurna. Jika ilmu kalian sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi maka kalian akan dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Tangan kalian akan dapat menyemburkan api, dan dari mulut kalian akan dapat memancar bisa setajam bisa ular. Pada saatnya kita akan menguasai Singasari dan bahkan seluruh muka bumi. Tidak ada lagi orang yang dapat mempelajari ilmu seperti yang sedang kita pelajari sekarang, meskipun dengan taruhan yang agak mahal. Dengan mengorbankan beberapa nyawa setiap waktu tertentu. Tetapi tidak ada usaha yang tanpa mempertaruhkan korban.”

Murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita tidak berkecil hati bahwa tiga orang murid perguruan ini terbunuh, meskipun kita tersinggung karenanya. Mereka belum memiliki ilmu yang cukup untuk menyombongkan diri seperti yang mereka lakukan. Akibatnya harus mereka tanggungkan sendiri. Mati tanpa arti apapun juga bagi dirinya sendiri, dan bagi kita semuanya. Jika mereka tertangkap hidup oleh kalian, maka mereka adalah korban yang paling baik bagi kita karena dalam diri mereka pun telah tersimpan ilmu seperti yang sedang kalian sadap.”

Murid-muridnya masih saja mengangguk-angguk.

“Karena itu.“ berkata gurunya pula, “Kalian harus bekerja lebih keras. Ada tanda-tanda bahwa ilmu kita telah tercium oleh orang-orang yang bernama Mahendra, Panji Pati-pati, Mahisa Agni, Lembu Ampal dan lain-lainnya. Tetapi pada suatu saat mereka harus mengakui, bahwa mereka akan mati karena kesombongan mereka, seolah-olah tidak ada orang lain yang pada suatu kesempatan akan membunuh mereka dengan cara yang paling baik.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Sejak saat ini kita akan berlatih semakin tekun dengan korban yang semakin teratur. Kita memerlukan darah yang menitik dari luka.“ sekali lagi ia berhenti sambil menarik nafas, “Namun kita tidak dapat menahan diri dengan tidak berbuat apa-apa atas kematian tiga orang murid-muridku yang gila itu. Meskipun aku akan membunuhnya juga, tetapi aku tetap akan menuntut balas atas kematian mereka. Setidak-tidaknya Mahisa Bungalan itulah yang harus dibunuh, sebelum Mahendra, Witantra, Mahisa Agni dan yang lain-lain.”

“Mahisa Bungalan adalah korban yang sangat baik buat kita, guru.”

“Itulah yang sedang aku pikirkan. Jika kita dapat menangkapnya hidup, maka ia akan menitikkan darah yang sangat berharga bagi kalian.”

“Jadi, apakah maksud guru ada beberapa orang di antara kami yang harus mencari anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu?”

“Tetapi kalian harus mengukur diri. Yang akan berangkat adalah dua orang yang memiliki bekal cukup. Ingat, Mahisa Bungalan dapat membunuh tiga orang saudara seperguruanmu. Sehingga dengan demikian, yang pergi mencarinya harus murid-muridku yang lebih tinggi tingkatnya dari ketiga orang yang telah terbunuh itu.”

Dari antara beberapa orang murid itu, seseorang yang bertubuh pendek, namun berdada bidang dan hampir diseluruh tubuhnya dijalari oleh otot-otot yang kuat, berkumis lebat dan melintang hampir sampai ketelinganya, mengacungkan tangannya sambil berkata, “Apakah guru akan mempercayakan tugas ini kepadaku?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Orang itu adalah muridnya yang terpercaya. Namun demikian ia menjawab, “Jika kau akan pergi, janganlah pergi seorang diri. Jika kau tidak berhasil menyingkirkan dirimu dari Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra, maka kau harus bertempur. Karena itu, kau harus membawa seorang atau dua orang kawan. Kawan yang dapat kau percaya.”

Orang berkumis lebat itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada saudara seperguruannya yang hampir setingkat dengan dirinya. Seorang yang bertubuh sedang, meskipun agak kekurus-kurusan sedikit.

Orang yang agak kekurus-kurusan itu sadar, bahwa agaknya saudara seperguruannya itu telah memilihnya untuk mengawani perjalanannya. Karena itu, maka ia pun mengangkat wajahnya sambil bertanya, “Apakah aku mendapat kehormatan untuk pergi bersamamu kakang Wangkir?”

Orang bertubuh pendek yang disebut Wangkir itu pun mengangguk. Tetapi kemudian ia berpaling kepada gurunya sambil berkata, “Semuanya terserah kepada guru.”

Empu Baladatu memandang orang yang kekurus-kurusan itu sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Geneng, kau sudah tahu, jika kaulah yang akan pergi, siapa dan apa saja yang akan kau hadapi.”

“Empu. Aku adalah murid yang tidak pernah ingkar akan kuwajiban apapun yang akan aku hadapi. Selama ini aku memang pernah mendengar nama Mahisa Agni, Witantra dan yang lain-lain. Tetapi aku belum pernah menyaksikan sendiri, berapa tinggi ilmu yang ada pada mereka itu. Karena itu sudah barang tentu bahwa aku tidak akan ingkar, jika sekiranya guru memerintahkan aku untuk pergi bersama kakang Wangkir.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk, dan Geneng berkata seterusnya, “Jangankah orang-orang yang sudah guru kenal sehingga guru dapat menjajagi kemampuannya. Siapa pun juga yang harus aku hadapi, jika guru memerintahkan, aku akan melakukannya dengan senang hati. Terlebih-lebih lagi aku akan berusaha untuk menangkap mereka hidup-hidup, agar darahnya dapat menambah kemampuan kita bersama di perguruan ini.”

“Kaki Gunung Lawu akan menjadi saksi, bahwa kami akan membawa orang-orang yang ditakuti di Singasari itu hidup hidup.“ berkata Wangkir.

Tetapi Empu Baladatu tertawa. Katanya, “Kita memang terlampau yakin akan kemampuan kita. Memang ilmu yang sedang kalian pelajari mempunyai beberapa kelebihan. Kalian tidak pernah ragu-ragu mempergunakan senjata dan mempergunakan cara apapun untuk memenangkan setiap perkelahian. Namun ingat, yang membunuh ketiga orang saudara-saudaramu itu adalah anak Mahendra. Sedang orang yang mungkin kalian hadapi di samping anak itu adalah Mahendra sendiri dan Mahisa Agni serta beberapa orang lain yang memiliki ilmu sudah barang tentu jauh lebih baik dari Mahisa Bungalan itu sendiri.”

Tetapi Wangkir pun kemudian berkata, “Tetapi bukankah guru mengetahuinya, sampai berapa jauh tiga orang anak yang terbunuh itu menyadap ilmu guru disini? Mereka terlampau dungu untuk mengetahui tentang diri mereka sendiri. Mereka yang baru mulai itu merasa bahwa ilmu mereka sudah cukup sempurna, sehingga pada suatu saat mereka terbentur pada kenyataan, bahwa di luar diri mereka, masih terdapat ilmu yang lebih tinggi, meskipun belum memadai dibanding dengan ilmu perguruan Empu Baladatu.”

“Aku berharap bahwa kau berdua tidak terjerumus dalam anggapan yang demikian itu pula. Jika kalian menganggap bahwa ilmu kalian telah sempurna, maka yang akan terjadi tidak jauh berbeda dengan ketiga anak-anak dungu itu.”

“Tidak Empu. Kami merasa bahwa kemampuan kami masih jauh di bawah sempurna itu. Karena itu kami akan selalu ingat peristiwa yang telah menimpa ketiga saudara-saudara kami yang telah sesat jalan, dan memilih cara hidupnya sendiri meskipun masih selalu berusaha mempergunakan cara dari perguruan ini.”

Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Aku percaya kepada kalian berdua. Meskipun demikian aku masih selalu berpesan agar kalian tetap hati-hati. Aku sebenarnya tidak tahu pasti, betapa tingginya ilmu orang-orang itu. Tetapi sebagai ukuran dapat aku ceriterakan, bahwa pada masa pemerintahan Sri Rajasa, Mahisa Agni sudah merupakan orang penting di istana Singasari. Nah, kalian wajib mengetahui, bahwa Sri Rajasa memiliki ilmu yang tidak ada taranya.”

Kedua orang muridnya itu mengangguk-angguk. “Dengan bekal yang ada padamu, pergilah. Kalian harus terap berada di atas jalan yang sudah kalian pilih. Tidak ada manusia yang pantas kalian kasihani selain keluarga kita sendiri, karena pada dasarnya, setiap kelompok manusia adalah binatang yang paling buas bagi manusia lainnya. Ternyata bahwa ketiga orang saudaramu yang terbunuh itu tidak berhasil membunuh lawannya lebih dahulu. Dan orang yang bernama Mahisa Bungalan itu pun sama sekali tidak menaruh belas kasihan dan pengampunan bagi saudara-saudaramu yang sesat jalan itu. Apakah kalian mengerti?”

“Mengerti guru.”

“Mungkin kita tidak menghiraukan sekelompok manusia lainnya, karena kami belum bersentuhan kepentingan. Tetapi pada dasarnya, kita adalah pusat dari sikap hidup kita. Kepentingan kita bersama harus berada di atas kepentingan siapa pun dan apapun juga tanpa ragu-ragu. Kau mengerti?”

“Mengerti guru.”

“Itu dasar dari sikap hidup kita. Dengan demikian barulah kita dapat menguasai orang lain jika kita masih memerlukannya. Tetapi jika tidak, pada suatu saat mereka pun akan kita perlukan darahnya bagi kesegaran ilmu kita.”

“Kami akan melakukannya. Kami akan selalu ingat, bahwa hanya ada satu pusat kehidupan. Di kaki Gunung Lawu ini.”

“Ya. Ketiga orang saudaramu yang menganggap ada pusat kehidupan yang lain, dan mencoba menyempurnakan ilmunya tanpa aku telah mendapat hukuman, lantaran tangan Mahisa Bungalan. Kau ingat.”

”Baik guru. Aku akan selalu ingat semuanya.”

“Pergilah ke Singasari. Tetapi sekali lagi kau harus menyadari, Singasari bukan pusat dari kehidupan. Jika ada kelebihan yang nampak pada wajah kota itu, itu adalah ujud lahiriahnya saja. Dan itu bukan tujuan kita. Kita akan menguasai seisi bumi dan memilikinya.”

Dengan beberapa pesan yang lain, yang berisi sanjungan atas kemampuan kedua orang muridnya itu, tetapi juga ancaman jika mereka lupa diri dan apalagi mempunyai niat untuk memisahkan diri dari induknya, maka kedua orang dari perguruan ilmu hitam itu meninggalkan padepokannya. Mereka menyusuri jalan setapak, menuruni jurang mendaki perbukitan, menyusup diantara hutan yang lebat, menuju kepusat pemerintahan, Kota Raja.

Meskipun tugas yang dibebankan kepada mereka adalah tugas yang berat, namun agaknya tidak terlampau mengikat. Jika mereka merasa terlampau sulit untuk membawa orang-orang yang terlibat dalam dendam atas kematian tiga orang saudara seperguruan mereka, terutama Mahisa Bungalan, dalam keadaan hidup, mereka diberi wewenang untuk membunuhnya dengan cara apapun juga. Kasar atau dengan diam-diam dan bersembunyi. Semua cara dapat ditempuh dan dibenarkan oleh gurunya, Empu Baladatu.

Namun yang sebenarnya tidak kalah pentingnya bagi Empu Baladatu adalah penjajagan tentang kekuatan Singasari. Karena itulah, maka kegagalan yang mutlak pun dari kedua muridnya itu, masih juga ada gunanya. Jika keduanya tidak berhasil menangkap hidup, dan juga tidak berhasil membunuh seorang pun diantara nama-nama yang disebut, maka itu pun tidak mengapa, asal dengan demikian kedua muridnya itu dapat mengetahui, betapa jauh jalan yang harus dilaluinya untuk sampai kepada kekuasaan mutlak atas bumi seisinya.

Karena Empu Baladatu yakin, bahwa pada suatu saat usaha itu pasti akan berhasil. Bukan saja membunuh orang-orang yang namanya pernah disebut oleh orang-orang yang berhasil menemukan daerah bayangan hantu, dan mengetahui bahwa ketiga saudara seperguruannya yang lari itu mati terbunuh, tetapi juga pasti akan berhasil menguasai Maharaja dan Ratu Angabhaya Singasari.

Kemudian menebarkan kekuasaannya ke Barat sampai ke ujung Kulon, dan dengan kekuatan yang tidak terlawan menyeberang lautan kesegala penjuru bumi. Empu Baladatu memang mempunyai satu kelebihan yang di ajarkan kepada murid-muridnya. Tidak ragu-ragu mempergunakan segala cara. Yang licik, yang jantan, yang kejam dan segala macam cara yang lain.

Demikianlah maka kedua orang murid Empu Baladatu itu berjalan tanpa mengenal lelah. Mereka tidak merasa perlu untuk singgah di daerah bayangan hantu. Bagi mereka, yang ada dipadukuhan itu tinggallah cucurut-cucurut yang tidak berarti. Tetapi orang-orang yang penting menurut perhitungan mereka tentu berada di Singasari. Terutama Mahisa Agni. Seandainya Mahisa Bungalan dan Mahendra tidak berada di Singasari maka mereka tentu akan mendapat petunjuk, dimanakah mereka itu berada.

Sementara kedua orang itu menuju Singasari, maka telah terjadi beberapa perubahan didaerah yang semula disebut daerah bayangan hantu. Ki Buyut didaerah itu, yang menyebut dirinya Kidang Pengasih, benar-benar telah berubah. Ia berhasil membuat dirinya menjadi manusia wajar. Seperti yang disangka oleh penghuni padukuhannya, yang tidak tahu sama sekali cara hidupnya disaat lampau, Ki Buyut berada di antara mereka dengan penuh perhatian dan pengarahan bagi tata kehidupan di padukuhan kecil itu.

Sementara itu, Tapak Lamba dan ketiga kawan-kawannya masih tetap pula berada bersama mereka. Keempat orang itu pun membantu dengan sepenuh hati, membuat padukuhan kecil itu menjadi semakin berkembang.

“Kita harus mempunyai nama yang serasi bagi pedukuhan ini.“ berkata Ki Buyut.

“Berilah nama.“ berkata Tapak Lamba, “Bukan lagi daerah bayangan hantu.”

“Aku sebut daerah ini seperti namamu. Padukuhan Tapak Lamba.”

Tapak Lamba menggeleng. Katanya, “Itu tidak baik. Kenapa tidak kau sebut saja dengan nama yang lebih baik bagi suatu pedukuhan? Namamu sendiri misalnya.”

“Tidak. Namaku bukan nama yang baik buat padukuhan. Kidang Pengasih.”

“Pengasih. Padukuhan Pengasih.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk. Katanya, “Ya. padukuhan ini bernama padukuhan Pengasih. Aku tidak keberatan menggunakannya.”

Tapak Lamba tersenyum. Katanya, “Nah, sekarang setiap orang akan menyebut padukuhan ini bernama Pengasih. Tidak lagi dengan nama yang mendirikan bulu roma. Daerah bayangan hantu.”

Penghuni padukuhan itu tidak banyak menghiraukannya. Mereka merasa bahwa hidup mereka menjadi semakin baik. Bahwa mereka merasa lebih lapang untuk bernafas. Meskipun mereka tidak mengetahui, namun terasa bahwa dimasa lampau, mereka dihadapkan pada suatu teka-teki yang tidak terpecahkan. Halaman rumah Ki Buyut yang nampaknya selalu terbuka itu, namun rasa-rasanya memang tertutup bagi mereka. Tetapi kini halaman itu rasa-rasanya benar-benar telah terbuka.

Namun demikian, selagi ketenangan yang sebenarnya mulai tumbuh didaerah yang disebut Pengasih itu, mulailah para pemimpinnya berbicara tentang hidup dan cita-cita. Tapak Lamba mulai menyinggung lagi pembicaraannya dengan orang-orang yang menyebut dirinya Linggapati dan Linggadadi.

“Orang-orang Mahibit itu selalu mempengaruhi angan-anganku.“ berkata Tapak Lamba, “Meskipun aku belum pasti, tetapi agaknya ada sesuatu yang menarik.”

“Apakah mereka tidak termasuk orang-orang berilmu hitam itu?”

Tapak Lamba menggeleng, “Menilik cara dan sikapnya, aku berpendapat bahwa mereka bukan dari golongan ilmu hitam.”

Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu setelah ia mengalami peristiwa yang untuk mengenang pun rasa-rasanya seluruh rambutnya meremang.

“Tapak Lamba.“ berkata Ki Buyut, “Sebenarnya aku ingin membuat perhitungan dengan diriku sendiri. Aku memang seorang prajurit yang setia kepada tuanku Tohjaya. Aku pernah bersumpah, bahwa apapun yang akan terjadi, aku akan tetap berpihak kepadanya. Juga sampai tuanku Tohjaya itu terbunuh. Seperti yang kau lihat, aku lebih baik menyingkir dan tinggal jauh terpisah dengan menyimpan dendam di dalam hati. Setiap kali aku bermimpi bagaimana aku membalas dendam atas kematian tuanku Tohjaya yang telah banyak memberikan kurnia kepadaku.“ Ki Buyut berhenti sejenak, lalu, “Namun pada suatu saat datang orang lain yang telah menyelamatkan jiwaku. Seorang anak muda yang dengan tidak aku duga, telah berhasil membunuh tiga orang iblis berilmu hitam itu.”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang kita berada dalam kedudukan yang sulit. Tetapi apakah kita tidak dapat memisahkan dendam dan hutang budi itu?”

“Bagaimana kita akan memisahkannya? Yang telah menyelamatkan kita adalah Mahisa Bungalan, anak Mahendra. Sedangkan jika kita turutkan hati yang mendendam ini, kita akan berhadapan dengan Singasari. Sedangkan di Singasari kita akan bertemu lagi dengan Mahendra dan sudah barang tentu Mahisa Bungalan.”

Tapak Lamba mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Ki Buyut. Yang pernah menolong kita adalah Mahisa Bungalan. Aku pun merasa diriku telah diselamatkan. Jika anak nuda itu tidak datang kemari, maka barangkali aku pun sudah terkapar di halaman rumahmu ini dengan kulit terkelupas. Tetapi hutang budi ini tidak akan aku lupakan. Jiki pada suatu saat, Linggapati dan orang-orangnya berhasil menguasai Singasari, maka kita dapat mempergunakan hak dan wewenang yang ada pada kita untuk menyelamatkan Mahisa Bungalan, apabila ternyata ia benar-benar berada dan berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Ki Buyut mengerutkan keningnya.

“Cobalah kau pikirkan.“ desis Tapak Lamba kemudian, “Seandainya kita tidak berada diantara Linggapati dan Linggadadi, apakah kira-kira mereka akan mengurungkan niatnya?”

Ki Buyut menggeleng. Katanya, “Aku kira tidak. Mereka tentu akan melanjutkan rencana mereka untuk menguasai Singasari. Jika usaha itu berhasil, atau setidak-tidaknya mereka berhasil memasuki Kota Raja, maka Mahisa Bungalan itu pun akan dibunuhnya pula. Tetapi jika kita ada diantara pasukan Linggapati, mungkin kita akan dapat membayar hutang budi kepadanya.”

“Tapak Lamba.“ desis Ki Buyut, “Apakah kau dapat mengatakan, siapakah yang lebih tinggi ilmunya, Linggadadi dan Linggapati atau Mahisa Bungalan?”

Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Setelah merenung sejenak maka ia pun berkata sambil menggeleng, “Aku tidak tahu. Adalah sangat sulit untuk membandingkan dua orang yang dalam keadaan yang jauh berbeda.”

“Tetapi kau pernah melihat bagaimana keduanya bertempur.”

“Aku pernah dikalahkan oleh Linggadadi dengan mudah. Bahkan aku tidak seorang diri. Dan ternyata bahwa Mahisa Bungalan pun dengan perjuangan yang sengit dapat membunuh tiga orang iblis itu. Nah, apakah dengan demikian akan dapat memperbandingkan keduanya?”

“Mahisa Bungalan dapat mengalahkan ketiga iblis itu. Sedangkan kau sama sekali bukan lawan ketiga iblis itu. Bukankah itu berarti bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari kita?”

“Memang mungkin dapat diambil kesimpulan yang demikian.“ jawab Tapak Lamba, “Sehingga keduanya berada di atas kemampuan kita masing-masing.”

“Nah, jika demikian kau dapat membayangkan. Bahwa jika benar-benar orang Mahibit itu akan melawan Singasari mereka tidak akan berarti apa-apa bagi ayah Mahisa Bungalan. Karena bagaimanapun juga aku masih mempunyai perhitungan, bahwa Mahendra masih jauh lebih kuat dari anaknya. Apalagi Witantra dan Mahisa Agni.”

“Kau menganggap bahwa Linggapati adalah puncak kekuatan orang-orang Mahibit? Aku tidak yakin. Tentu mereka masih mempunyai seorang guru atau bahkan lebih yang dengan pasti dapat mengimbangi kemampuan Witantra, Mahendra dan Mahisa Agni.”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kemudian setelah ia menimbang-nimbang sejenak, “Maaf Tapak Lamba. Aku masih belum memutuskan untuk pergi kepada Linggapati.”

“Ki Buyut Kidang Pengasih.“ berkata Tapak Lamba, “Kau sudah sekian lama bersembunyi. Sudah barang tentu kau mempunyai niat yang kuat untuk kembali ke Singasari dengan kedudukanmu sebagai Senapati itu kembali lagi padamu. Karena itu jangan sia-siakan kesempatan ini meskipun kita masih harus menjajagi lebih jauh, karena kita tidak akan menyediakan diri buat umpan kail, sedang hasilnya akan dinikmati oleh orang lain setelah kita dikorbankan.”

“Karena itu Tapak Lamba, sebaiknya aku meyakini dahulu, apakah yang sebenarnya akan kita dapatkan jika kita benar-benar berada dipihaknya.”

Tapak Lamba termangu sejenak, namun kemudian, “Baiklah. Memang sebaiknya kita tidak tergesa-gesa. Karena itu, biarlah aku dan ketiga kawanku mencoba menjajaginya. Apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh Linggapati itu.”

Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun ada perasaan yang di dalam hatinya. Ia tidak dapat melupakan pertolongan yang telah diberikan oleh Mahisa Bungalan kepadanya. Sedang ia tahu bahwa Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra dan sudah pasti akan berpihak kepada Singasari jika terjadi pertentangan antara Singasari dan Mahibit.

“Tapak Lamba.“ berkata Ki Buyut, “Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat ikut dalam penjajaganmu. Aku masih ingin menikmati kedamaian dipadukuhan ini. Kedamaian yang sebenarnya.”

Tapak Lamba mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku tahu, bahwa perubahan ini telah menumbuhkan perubahan pula di dalam sikap dan caramu menghadapi persoalan Singasari. Tetapi agaknya pada suatu saat, kau akan menemukan kembali sikapmu yang sebenarnya terhadap kekuasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

“Aku menyadari Tapak Lamba, bahwa jika kita berbuat sesuatu, maka kita akan dapat mengumpulkan beberapa puluh orang bekas prajurit yang agaknya masih tetap setia kepada Tohjaya karena limpahan kekuasaan yang pernah diberikan kepada mereka disamping pemberian yang mengalir hampir setiap saat, sehingga memang akan dapat membangun suatu kekuatan yang dapat diperhitungkan didalam gerakan Linggapati. Tetapi apakah itu bukan sekedar pemanfaatan yang dilakukan oleh Linggapati kepada orang-orang yang pernah mengalami kekecewaan dan tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru? Aku menyadari, bahwa orang-orang berilmu hitam itu dengan mudah dapat menguasai sikap dan perbuatanku, sehingga dengan tidak sadar aku telah menjadi budak mereka, meskipun nampaknya mereka adalah pengawal-pengawalku yang setia dan tunduk atas segala perintahku, karena perasaan dendam dan kebencianku kepada pimpinan pemerintahan Singasari yang kini dipegang oleh dua orang anak-anak muda itu.“ ia berhenti sejenak, lalu, “Apalah hal itu tidak akan terulang kembali jika kita mengadakan hubungan dengan orang-orang yang berada dibawah pengaruh Linggapati? Mereka akan memanfaatkan kita dan kawan-kawan kita yang merasa kecewa dan dendam karena kematian tuanku Tohjaya. Tetapi apakah hasil terbesar nanti tidak ada pada mereka jika mereka berhasil mengalahkan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka? Dan tidak akan banyak memberikan apa-apa kepada kita?”

“Kita memang masih berteka-teki Ki Buyut.“ berkata Tapak Lamba, “Tetapi pengalamanmu membuat kau menjadi terlampau berhati-hati. Namun hal itu memang dapat dimengerti. Karena itu biarlah aku dan ketiga kawan-kawanku sajalah yang akan menjajagi keadaan. Pada saatnya aku akan datang lagi kemari.”

“Mudah-mudahan kau mendapatkan gambaran yang jelas dan wajar tentang kekuatan, niat dan cara yang akan ditempuh oleh Linggapati dan orang-orangnya.”

Tapak Lamba dan ketiga kawannya pun kemudian mempersiapkan diri mereka, untuk segera mulai dengan perjalanan baru menemui Linggapati dan Linggadadi untuk menjajagi kemungkinan yang dapat dilakukannya bersama mereka. Ia ingin meyakinkan diri, apakah benar-benar ada kekuatan yang mendukung kedua orang itu, jika saatnya tiba untuk menggulingkan Singasari.

“Tetapi Linggapati pun harus mengetahui bahwa ada. kekuatan hitam yang masih tersisa. Kekuatan itu agaknya mempunyai pertimbangan tujuan tersendiri yang akan dapat menghambat usaha Linggapati dan Linggadadi.“ berkata Tapak Lamba di dalam hati.

Demikianlah maka pada saatnya, setelah beristirahat beberapa lamanya di padukuhan yang kemudian disebut Pengasih, maka keempat orang itu pun minta diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka berjanji untuk pada suatu saat kembali lagi untuk memberikan gambaran, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.

“Kita tidak boleh tenggelam dalam ketenangan yang diam seperti yang kau bayangkan.“ berkata Tapak Lamba, “Jika demikian, maka kau akan tetap berada dalam keadaanmu sekarang. Seorang Buyut padukuhan kecil terpencil yang tenang dan damai, tetapi sama sekali tidak berkembang. Sebenarnya kau lebih tepat berdiri dimuka sebuah pasukan segelar sepapan dengan pedang terhunus sambil meneriakkan aba-aba menghadapi lawan. Kau adalah Senapati yang memiliki keberanian dan kemampuan di medan perang.”

“Tetapi ternyata keberanian dan kemampuan itu tidak memberikan arti apa-apa bagiku. Aku tidak berani menghadapi kenyataan dan bersembunyi di padukuhan ini. Sedangkan kemampuanku tidak berarti apa-apa, dibandingkan dengan tiga orang iblis berilmu hitam itu, dan terlebih-lebih lagi dibandingkan dengan Mahisa Bungalan.”

“Tidak semua orang seperti Mahisa Bungalan dan ayahnya Mahendra. Senapati Singasari yang sekarang pun tentu tidak ada bedanya dengan kita pada masa kekuasaan tuanku Tohjaya. Hanya satu dua orang sajalah yang memiliki kelebihan. Dan itu dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan barangkali Lembu Ampal, Mahisa Bungalan. Sedang yang lain belum melampaui kekuatan Senapati biasa.”

“Mungkin. Tetapi jumlah mereka terlalu besar untuk dilawan.”

“Karena itu pulalah kita memerlukan kawan-kawan seperti Linggapati. Baiklah. Aku minta diri. Mudah-mudahan perjalananku berhasil.”

Keempat orang itu pun kemudian minta diri dan meninggalkan padukuhan yang tenang dan damai itu. Mereka menuju ke tempat yang bergejolak untuk menemukan gerak yang barangkali sesuai dengan jiwa mereka. Terlebih-lebih lagi gejolak kenangan mereka atas masa lampau dan harapan mereka atas masa datang.

Sepeninggal Tapak Lamba, rasa-rasanya padukuhan Pengasih memang menjadi sepi. Tidak ada orang yang dapat diajak memperbincangkan masalah yang menyangkut persoalan-persoalan di luar padukuhan itu. Para bebahu agaknya memang sangat picik pengetahuannya. Mereka sekedar mengerti serba sedikit tentang lingkungan hidup disekitarnya.

Namun, mereka adalah orang-orang yang taat dan patuh. Sepeninggal Tapak Lamba dan ketiga orang kawannya, Ki Buyut mengajak bebahunya untuk mencoba membuat kekuatan yang dapat sekedar melindungi padukuhan kecil itu dari kekuatan yang terbatas.

“Jika saudara-saudara seperguruan iblis itu benar-benar datang, dan mereka tidak menghiraukan nama Mahisa Bungalan dan keluarganya, maka kita akan menjadi debu bersama-sama. Tetapi kita memang wajib untuk mencoba melindungi padukuhan ini. Sejauh kemampuan yang dapat kita himpun.“ Ki Buyut selalu mencoba membesarkan hati bebahu-bebahunya. Lalu, “Karena itu, kita harus mencoba menyusun kekuatan yang ada pada kita. Ketenangan dan kedamaian yang telah kita capai ini, harus kita isi dengan usaha untuk mempertahankannya.”

Bebahu padukuhan Pengasih itu pun mematuhinya. Terutama mereka yang mengetahui, apa yang sebenarnya pernah terjadi di rumah Ki Buyut. Kematian tiga orang iblis dan bahkan hasil kerja selama mereka berhasil menguasai hati dan perasaan Ki Buyut. Tetapi seperti pesan Ki Buyut, pada umumnya mereka masih tetap mempertahankan rahasia itu. Jika ada satu dua masalah yang merembes keluar lewat mulut mereka, adalah persoalan-persoalan yang sudah disaring selembutnya.

Demikianlah, setiap hari bebahu padukuhan Pengasih selalu melatih diri dibawah pimpinan Ki Buyut sendiri. Mereka yang serba sedikit sudah mengenal olah kanuragan dengan tekun memperdalam pengetahuan mereka yang terbatas itu. Sedang yang lain, yang sama sekali belum mengenalnya, telah mulai mempelajarinya serba sedikit. Anak-anak mudanya pun rasa-rasanya mulai bangun. Beberapa orang di antara mereka, dengan sepenuh hati mempelajari ilmu kanuragan, yang ditangani oleh Ki Buyut sendiri pula.

Dengan demikian, maka rasa-rasanya padukuhan Pengasih itu masih saja tetap tenang dan tenteram, namun terasa hidup. Mereka tidak lagi menunggu masa-masa panen dengan duduk-duduk saja di simpang tiga. Tetapi mereka mempunyai kesibukan.

Karena Ki Buyut adalah bekas seorang Senapati prajurit, maka olah kanuragan diberikan kepada anak-anak muda dan bebahu padukuhan Pengasih sebenarnya adalah ilmu keprajuritan. Ilmu kanuragan bagi seorang seorang, dan juga bagi kelompok-kelompok kecil dan besar. Mereka mendapat tuntunan untuk berkelahi dalam lingkungan kecil, tetapi juga bersama-sama dalam lingkungan yang besar.

Namun agaknya usaha Ki Buyut tidak terbatas pada tuntunan olah kanuragan itu saja. Untuk mengamankan padukuhan barunya yang sedang berkembang itu, Ki Buyut berhasrat untuk menghubungi beberapa orang yang pernah dikenalnya pada masa kekuasaan Tohjaya. Para prajurit dan Senapati yang menyingkir dan bersembunyi karena mereka takut kepada balas dendam yang mungkin akan dilakukan oleh prajurit-prajurit dan Senapati-Senapati yang setia kepada Ranggawuni dan Mahisa Campaka.

Namun ternyata bahwa Ranggawuni dan Mahisa Campaka agaknya tidak menganjurkan dan bahkan mencegah dendam yang berkepanjangan di antara keluarga sendiri. Karena itulah, maka ketika beberapa orang bebahu dan anak-anak muda padukuhan Pengasih sudah mulai berhasil menguasai serba sedikit ilmu kanuragan itu, maka Ki Buyut pun berniat untuk meninggalkan padukuhan itu beberapa lama.

“Tunggulah padukuhan ini baik-baik. Mudah-mudahan aku berhasil menemui beberapa orang kawan, dan membujuknya untuk tinggal bersama kita. Di sini tanah subur dan luas. Tidak ada lagi kecemasan tentang masa lampau yang buram.”

Isterinya tidak mencegahnya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa kepergian suaminya adalah semata-mata karena keinginannya untuk melindungi padukuhan itu dari kemungkinan-kemungkinan yang buruk.

Pada saat yang ditentukan, maka Ki Buyut dan dua orang pengawalnya pun meninggalkan padukuhannya menuju ke Kota Raja. Dengan pakaian petani-petani biasa, mereka berniat untuk menemui beberapa orang yang mungkin masih berada di tempat yang pernah mereka ketahui besama. Selagi mereka masing-masing berusaha menyembunyikan diri, mereka telah menentukan tempat masing-masing untuk dapat saling bertemu.

“Mungkin sudah ada perubahan.“ desis Ki Buyut, “Perubahan tempat, dan barangkali perubahan sikap sehingga usahaku tidak akan berhasil. Tetapi aku akan tetap berusaha.”

Karena itulah, maka Ki Buyut pun dengan tekad yang bulat pergi ke daerah yang baginya menyimpan harapan untuk dapat menjadikan padukuhannya semakin tentram. Tidak ada persoalan apapun di perjalanan. Rasa-rasanya daerah Singasari memang sudah menjadi aman dan damai. Tidak ada gangguan di sepanjang jalan, dan dengan aman mereka memasuki Kota Raja setelah merena menempuh perjalanan yang cukup jauh, sehingga mereka harus bermalam di luar kota.

Namun pada saat yang bersamaan, dua orang berjalan semakin mendekati kota itu juga. Mereka adalah murid-murid Empu Baladatu yang ingin melihat-lihat, apakah yang ada di dalam kota Singasari. Kekuatan apakah yang sebenarnya tersimpan dipusat pemerintahan itu. Seperti Ki Buyut di Pengasih, kedua orang itu pun tidak menjumpai kesulitan apapun untuk memasuki kota. Demikian mereka menginjakkan kakinya melangkahi gerbang terasa seolah-olah udara memang menjadi sangat sejuk.

Namun yang berbeda adalah apa yang akan mereka lakukan kemudian. Kedua orang murid Empu Baladatu tidak mempunyai tujuan sama sekali di dalam kota yang besar itu. Mereka tidak mempunyai tempat yang langsung dapat mereka tuju untuk sekedar melepaskan lelah, apalagi menumpang tidur. Karena itu, ketika mereka sudah berada di dalam Kota Raja, maka mereka pun terpaksa mencari tempat berteduh di bawah pohon yang rindang, dan berpikir bagaimanakah dengan malam yang bakal datang. Apakah mereka akan tidur di tempat-tempat yang sepi dan tidak dilalui orang?

Mungkin sehari dua hari dapat mereka lakukan tanpa menumbuhkan kecurigaan. Tetapi jika mereka berada di kota untuk waktu yang agak lama, maka mungkin sekali pada suatu ketika kehadiran mereka itu menumbuhkan kecurigaan pada satu dua orang, sehingga akhirnya menjalar kepada sebagian isi kota itu.

“Kita harus mendapatkan tempat beristirahat yang baik.“ berkata Wangkir.

“Kita belum mengenal seorang pun di tempat ini.“ sahut Geneng.

“Kita akan mendatangi rumah di ujung jalan. Rumah yang agaknya dihuni oleh sekeluarga yang miskin. Kita datang kepada mereka, dan minta tempat untuk menumpang.”

“Kenapa kita memilih ditempat keluarga yang miskin?”

“Ada beberapa pertimbangan. Di antaranya, bahwa di tempat itu kita tidak akan banyak mendapat perhatian, karena biasanya orang miskin tidak dihiraukan oleh orang di sekitarnya. Kemudian, dengan sedikit memberikan uang atau imbalan apapun kita akan dapat mereka terima, asal sikap kita tidak men-curigakan. Kita harus pura-pura bersikap baik dan berhasil membuat mereka percaya kepada kita.”

Geneng mengerutkan keningnya. Ia mencoba membayangkan bagaimana ia harus bersikap. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku menurut apa saja yang baik menurut kakang Wangkir. Tetapi untuk bersikap lembut agaknya memang agak sulit. Meskipun demikian aku akan mencobanya.“

“Kita harus dapat manjing ajur-ajer. Jangankan sekedar bersikap lembut. Jika perlu kita harus dapat bersikap seperti seorang pendeta yang paling suci.”

“Ya, aku mengerti.”

“Nah, jika demikian, marilah kita coba. Selain sikap yang baik dan meyakinkan, kita akan memberikan sekedar imbalan kepada keluarga itu.”

“Apa yang akan kita berikan?“ bertanya Geneng, “Kita tidak mempunyai apapun juga. Uang, perhiasan atau barang-barang berharga lainnya apalagi.”

Wangkir mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Malam nanti kita akan berusaha sesuatu yang dapat kita berikan kepada keluarga itu.”

Geneng memandang Wangkir dengan heran. Ia tidak mengerti, bagaimana mereka harus berusaha mendapatkan sesuatu nanti malam. Tetapi sebelum ia bertanya, agaknya Wangkir mengetahui perasaannya itu. Sambil tertawa Wangkir berkata, “Geneng. Dikota ini tersebar kekayaan yang melimpah. Jika kita hanya sekedar menginginkan perhiasan atau uang yang tidak begitu banyak, maka aku kira kita tidak akan mengalami kesulitan.”

“Maksudmu?”

“Kita, masuk saja kerumah seseorang yang kita anggap berada. Sudah tentu yang tinggal agak jauh dari rumah di ujung jalan, sehingga kehadiran kita yang tiba-tiba ditempat itu tidak di curigai dan dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang mungkin mengejutkan bagi kota ini?”

“Merampok?”

“Sekedar mengambil uang dalam jumlah yang terbatas. Kita memerlukan uang itu. Karena menurut pendapatku, uang adalah barang yang paling aman kita berikan kepada keluarga miskin itu. Jika kita ambil perhiasan atau benda apapun juga, mungkin akan dapat dikenal oleh pemiliknya jika pada suatu saat barang itu dijual oleh keluarga miskin itu. Jika kita masih nanti malam ada di rumah itu, maka kita pun akan segera tertangkap pula sebelum kita mendapat keterangan apapun juga mengenai Mahisa Bungalan.”

Geneng mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kemana kita akan merampok?”

“Sudah barang tentu di ujung kota yang lain.“ berkata Wangkir, “Meskipun banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi di kota ini, tetapi kita akan menemukan rumah yang tidak akan dapat melawan kita. Sehari dua hari, dapat kita pergunakan untuk melihat-lihat, rumah yang manakah yang paling baik kita singgahi untuk mengambil uangnya sebagian saja.”

“Selama sehari dua hari, dimanakah kita akan tinggal?”

“Kita dapat berada di segala tempat. Dimana saja. Bukankah kita dapat berada di tempat yang bagaimanapun juga?”

Geneng mengangguk.

“Apa kau kira bahwa karena kita berada di dalam kota, maka tidak ada sejemput tempat pun yang sepi dan tidak banyak disentuh kaki manusia?”

“Ya. Ya. Aku mengerti. Baiklah. Kita akan mencari dua tempat.”

“Kenapa dua?“ justru Wangkirlah yang bertanya.

“Yang satu tempat untuk tinggal. Yang lain tempat yang akan kita rampok. Bukankah begitu?”

Wangkir mengerutkan keningnya. Namun ia pun tersenyum. “Ya. Begitulah.“ jawabnya, “Namun kita harus berhati-hati agar tidak terjebak pada langkah pertama. Sebab yang akan kita lakukan merupakan tugas yang panjang. Kau mengerti?”

Demikianlah maka kedua orang itu pun segera mengelilingi kota. Mereka mengamat-amati rumah yang pantas dimasukinya untuk mendapatkan uang. Pada hari yang pertama mereka hanya sekedar melihat-lihat saja. Mereka memilih beberapa rumah yang masih akan mereka amat-amati dua tiga hari lagi, sehingga mereka yakin bahwa rumah itu cukup baik mereka jadikan sasaran perampokan.

Karena mereka masih belum mempunyai apa-apa, maka dalam dua malam mereka masih tidur di tempat yang sepi, yang tidak dilihat oleh seorangpun, sehingga tidak menumbuhkan kecurigaan. Namun yang dua malam itu telah mereka pergunakan sebaiknya untuk mengamati rumah yang telah mereka pilih menjadi sasaran itu.

“Rumah yang berada di sudut tikungan itu sajalah.“ berkata Wangkir.

“Kenapa kau pilih itu?“ bertanya Geneng.

“Rumah itu agaknya mempunyai banyak hal yang menguntungkan. Rumah itu tidak terlampau banyak penghuninya. Tempatnya agak jauh dari rumah-rumah yang lain, dan lebih-lebih lagi, agaknya rumah itu memang banyak tersimpan uang dan perhiasan. Tetapi seperti yang sudah kita rencanakan, kita hanya akan mengambil uang. Tidak perhiasan atau barang-barang apapun yang akan dapat dijadikan petunjuk untuk menjerat kita.”

Geneng mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Penghuni rumah itu tidak berbahaya sama sekali nampaknya.”

Demikianlah maka pada malam ketiga, dua orang itu menunggu malam menjadi sepi. Mereka duduk di tempat yang gelap di balik pagar batu. Untuk beberapa saat lamanya mereka duduk diam. Dikejauhan nampak lampu-lampu minyak menyala di regol-regol halaman. Dan beberapa buah obor terpancang di tepi jalan. Malam yang semakin lama menjadi semakin sepi, rasa-rasanya juga menjadi semakin dingin. Di langit bintang-bintang gemerlapan memenuhi cakrawala.

“Agaknya malam sudah menjadi sepi.“ desis Geneng.

“Ya. Tetapi masih terlampau sore. Mungkin di rumah sebelah menyebelah, tetangga-tetangga masih belum tidur.”

Geneng menarik nafas dalam Namun kemudian ia pun mengumpat ketika justru terdengar suara tembang dari rumah sebelah. Agaknya salah seorang penghuninya sedang membaca kidung yang menarik.

“Apa kita menunggu sampai mulutnya diam.“ desis Geneng yang hampir kehilangan kesabaran.

Tetapi Wangkir menggeleng. Jawabnya, “Itu tidak perlu. Kita dapat melakukannya sekarang. Biarlah yang membaca kidung itu membaca terus. Kita akan mengambil uang secukupnya saja.”

“Semua yang ada di rumah itu.”

“Tidak perlu. Kecuali jika yang ada itu tidak terlalu banyak.”

Keduanya berdiam diri sejenak. Lalu, Wangkir pun bangkit sambil berdesis, “Marilah. Sekarang kita memasuki halaman rumah itu.”

Kedua orang itu pun kemudian dengan sangat berhati-hati meninggalkan halaman tempat mereka bersembunyi. Setelah yakin tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka mereka pun segera berlari menyeberang jalan dan dengan cepat meloncat pula masuk ke halaman. Beberapa saat lamanya mereka termangu-mangu. Baru kemudian mereka merayap mendekati dinding rumah itu. Agaknya rumah itu pun telah menjadi sepi. Tidak ada lagi orang yang masih terbangun. Dengan telinga yang tajam, kedua orang itu mendengar tarikan nafas yang teratur di beberapa tempat di dalam rumah itu.

“Mereka tidur ditempat yang berpencar.“ desis Wangkir.

“Ya. Di sudut-sudut rumah itu terdapat sentong-sentong kecil.”

“Kita akan mengetuk pintu.”

“Itu akan membangunkan seisi rumah.”

“Itu lebih baik. Kita dapat minta agar mereka tidak membuat gaduh. Kita minta mereka dengan tenang mengambil uang sebanyak-banyaknya, dan dengan tenang pula kita akan pergi.”

Geneng mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kita memang tidak dapat mengambilnya sendiri, karena kita tidak tahu dimana mereka menyimpan.”

“Yang paling mudah bagi kita, mempersilahkan pemiliknya mengambil untuk kita.”

Geneng mengangguk-angguk pula. Lalu, “Marilah kita mengetuk pintu rumah itu.”

Keduanya kemudian melangkah mendekati pintu. Namun Wangkir masih berkata, “Aku akan menutupi kumisku dahulu agar besok atau lusa aku tidak mudah dikenal oleh pemilik rumah ini.”

Geneng termangu-mangu sejenak. Dipandanginya saja ketika Wangkir melepas ikat kepalanya dan menutup sebagian wajahnya, terutama kumisnya. “Aku juga.“ berkata Geneng kemudian, “Mungkin memang lebih aman demikian.”

Sambil menutup wajah-wajah mereka dengan ikat kepala, maka kedua orang itu pun kemudian mengetuk pintu perlahan-lahan. Ternyata ketukan itu telah membangunkan pemilik rumah itu. Terdengar langkah ragu-ragu di dalam, dan sebuah sapa yang lirih, “Siapa diluar?”

“Aku, aku Kiai.“ terdengar jawaban tersendat-sendat.

“Siapa?”

“Aku. Aku membawa kabar buruk buat Kiai.“ suara Wangkir terdengar bergetar dalam nada yang tinggi.

Kabar buruk memang cepat menimbulkan keinginan untuk segera mengetahui. Demikian pula penghuni rumah itu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kepintu. Tetapi ketika ia sudah berada dimuka pintu itu, ia menjadi ragu-ragu pula.

“Kiai.“ berkata Wangkir, “Mungkin berita ini penting buat Kiai.”

Pemilik rumah itu masih ragu-ragu. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya, “Siapakah kau?”

“Aku Kiai.”

“Ya, siapa?”

“Dari rumah sebelah.”

“Namamu?”

Wangkir menjadi bingung. Karena itu untuk beberapa saat ia terdiam.

“Sebut namamu.“ pemilik rumah itu mendesak.

Tetapi Wangkir tidak dapat segera menyebut sebuah nama. Bahkan sejenak ia saling memandang saja dengan Geneng yang termangu-mangu. Wangkir dan Geneng menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar langkah menjauh. Dengan cemas Geneng berbisik, “He, apakah yang akan dilakukannya?”

Wangkir menggelengkan kepalanya. Dan sekali lagi ia berdesis, “Kiai, bukalah pintunya. Aku akan mengatakan sesuatu.”

Tidak ada jawaban. Namun mereka pun kemudian mendengar langkah itu kembali mendekati pintu. Wangkir dan Geneng lah yang kemudian menjadi curiga. Karena itu, maka mereka pun segera mundur selangkah. Tetapi pintu itu masih belum terbuka.

“Bukalah pintunya.“ Wangkir menjadi tidak sabar.

“Kau belum menyebut namamu.”

Wangkir menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaannya yang mulai bergejolak. Tetapi dalam pada itu Geneng lah yang sudah tidak dapat menahan hati lagi. Tiba-tiba saja tangannya terjulur dan sebuah hentakan yang menghantam pintu itu pun segera mengejutkan seisi rumah. Sejenak kemudian maka pintu itu pun telah terbuka dengan paksa. Dengan garangnya maka kedua orang yang berada di luar rumah itu pun segera berloncatan masuk.

“Siapa kau.“ orang itu bertanya dengan ragu-ragu.

Wangkir dan Geneng tidak mempunyai waktu lagi. Ia tidak ingin membuat keributan yang dapat membangunkan tetangga-tetangga penghuni rumah itu. Karena itu dengan suara berat dan datar Wangkir berkata, “Aku memerlukan uang. Hanya itu. Aku tidak akan merampas milikmu selain uang.”

Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak. Dengan tajamnya ia memandang kedua orang yang telah memecah pintunya dengan paksa. Tetapi sejenak ia bagaikan diam mematung saja.

“He, Kiai.“ bentak Wangkir sambil mengamat-amati orang itu. Penghuni rumah itu adalah seorang laki-laki separo baya yang bertubuh tinggi tegap dan kekar. Bahkan dilambungnya terselip sehelai pedang yang panjang. “Sekali lagi aku mengharap agar Kiai dapat mengerti. Aku memerlukan uang. Sekehendak Kiai, berapa Kiai akan memberi.”

Penghuni rumah itu tiba-tiba menggeram. Katanya, “Ki Sanak. Kau telah mengejutkan aku dan keluargaku. Kau merusak pintu rumahku yang memang ringkih. Tetapi hal ini adalah suatu hal yang tidak tersangka-sangka. Aku kira tidak seorang pun di dalam Kota Raja ini yang pada saat seperti ini bermimpi bahwa ada orang yang mencoba merampok seperti Ki Sanak berdua. Selama ini kami sedang menyusun tata kehidupan yang tenang, damai dan dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk membuat kehidupan kita, sejahtera betsama-sama. Tiba-tiba Ki Sanak berdua datang untuk merampok.”

“Tutup mulutmu.“ Genenglah yang membentak, “Berikan uangmu. Gepat, sebelum aku memaksa.”

Orang itu beringsut setapak. Katanya, “Ki Sanak. Aku bukan orang yang cukup kaya untuk memberikan sejumlah uang kepada orang yang tidak aku kenal.”

“Kau jangan asal membuka mulutmu Kiai.“ bentak Geneng, “Aku sudah berbaik hati untuk tidak minta apapun selain uang. Dan sekarang kau agaknya ingin membuat kami marah.”

“Sama sekali tidak Ki Sanak. Tetapi adalah aneh sekali, bahwa seseorang dengan rela hati memberikan uang kepada orang seperti Ki Sanak berdua.”

“Cepat. Tegasnya, berikan uang itu sekarang, atau kami akan memaksa dengan kekerasan.”

Orang itu mundur setapak. Sekali ia berpaling untuk melihat keluarganya yang masih berkumpul di dalam bilik dengan tubuh gemetar. Isterinya dan dua orang anaknya yang sudah menjelang usia remaja.

“Ki Sanak.“ berkata orang itu, “Aku berusaha mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Sekarang aku mempunyai simpanan yang tidak seberapa. Karena itu, sudah tentu aku tidak akan dapat memberikan kepadamu.”

Geneng menggeram. Wajahnya menjadi merah. Katanya, “Tidak ada pilihan lain kakang.”

Tetapi Wangkir masih mencoba untuk bersabar. Katanya, “Jangan membuat aku marah. Aku masih dapat berbuat baik. Tetapi jika kau berkeras, maka aku akan bertindak kasar.”

“Jangan memaksa Ki Sanak. Meskipun aku bukan orang yang berilmu, tetapi adalah hakku untuk mempertahankan milikku.”

“Gila.“ Geneng membentak, “Kau berani melawan kami berdua?”

“Sebenarnya tidak. Tetapi apa boleh buat. Jika kalian memaksa, aku tidak mempunyai cara lain.”

“Gila. Kau akan mati terkelupas seperti pisang.“ Namun kata-kata Geneng itu terputus ketika Wangkir menggamitnya. Katanya, “Jangan terlampau kasar. Kami datang dengan maksud baik.”

Geneng memandang Wangkir dengan heran. Tetapi Wangkir justru tersenyum sambil berkata kepada penghuni rumah itu. “Kau memang seorang yang berani. Tetapi itu tidak mustahil. Semua orang Singasari adalah orang yang berani. Tetapi kau harus mengerti bahwa perlawananmu akan sia-sia.”

“Seandainya perlawananku sia-sia Ki Sanak, aku dapat berteriak. Istri dan anak-anakku pun dapat berteriak pula.”

“Tetapi itu hanya akan mempercepat kematianmu.“ sahut Wangkir, “Sebaiknya kita memilih jalan yang paling singkat dan aman Kiai. Berikan uang berapa saja kau ingin memberi.”

Tetapi penghuni rumah itu mengeleng sambil melangkah surut, “Tidak. Aku tidak akan memberi.”

“Kau memang harus dibunuh.“ desis Geneng.

Tetapi sekali lagi Wangkir menggeleng. “Aku tidak ingin membunuh siapapun. Membunuh tidak akan memberikan manfaat apapun juga. Justru akan menjauhkan kita dari tujuan kita yang hanya sekedar memerlukan uang.”

Penghuni rumah itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ia pun bukan seorang pengecut sehingga karena itu ia sama sekali tidak gentar karenanya. Bahkan katanya, “Ki Sanak Sekarang aku minta Ki Sanak meninggalkan rumah ini. Mumpung aku masih mempunyai kesempatan untuk berpikir. Jika aku sudah menjadi bingung, maka yang dapat aku lakukan hanyalah berteriak dan memanggil tetangga-tetanggaku.”

“Kau jangan memperpanjang pembicaraan.“ berkata Wangkir yang agaknya sudah mulai gelisah “Cepatlah sedikit Kiai.”

“Maaf. Aku tidak dapat berbuat lebih baik dari mengusir kalian.”

Geneng benar-benar sudah tidak dapat menahan diri. Jika saja Wangkir tidak selalu menahannya, maka ia pasti sudah menerkam orang itu. Tetapi ternyata bahwa orang itu telah mendahuluinya. Dengan serta merta menarik pedang yang terselip di lambungnya sambil berkata, “Milikku akan aku pertahankan dengan sekuat tenagaku. Jika kau datang dengan cara yang lebih baik dari merusak pintu di malam hari, mungkin aku dapat mempertimbangkannya.”

“Persetan.“ tiba-tiba Geneng meloncat maju. Dengan ga¬rangnya ia berdiri dengan sebelah kakinya ditarik setengah langkah surut. Sambil sedikit merendah pada lututnya ia mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari mengembang.

Wangkir menjadi cemas karenanya, sehingga karena itu ia pun segera mendesaknya pinggir sambil berkata, “Aku sajalah yang memaksanya untuk menyerahkan uang itu.”

“Kenapa harus kau kakang…“ kata-katanya terpotong karena Wangkir segera membentaknya,

“Minggir.”

Geneng tidak dapat berbuat lain. Kakak seperguruan baginya tidak banyak berbeda dengan gurunya sendiri. Tetapi ia menjadi sangat kecewa karenanya. Yang kemudian menghadapi pemilik rumah itu kemudian adalah Wangkir. Tetapi ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun. Agaknya ia terlampau percaya akan kekuatan dan ilmunya.

Sejenak kemudian, di dalam rumah itu telah terjadi perkelahian antara pemilik rumah itu dengan Wangkir. Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung lama. Dengan tangkasnya Wangkir segera berhasil menguasai lawannya dan memukul pergelangan tangannya sehingga senjatanya terlepas.

“Kiai.” berkata Wangkir kemudian, “Aku dapat membunuhmu. Tetapi itu bukan kebiasaanku. Hanya karena terpaksa sekali aku datang minta uang kepadamu. Itu saja. Sekarang, aku minta kau mengambil uang itu.”

Pemilik rumah itu menjadi gemetar. Ia tidak menyangka, bahwa lawannya yang seorang itu dengan cepat berhasil mengalahkannya tanpa menyakitinya. Geraknya yang cepat, tetapi sama sekali tidak menunjukkan kesan yang kasar seperti yang seorang lagi, membuatnya menjadi kagum dan segan.

“Cepatlah sedikit Kiai.“ berkata Wangkir sambil mendorong pemilik rumah itu...