Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 11
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

TERASA suasana yang jauh berbeda dengan suasana paseban di Singasari. Bukan karena tempatnya yang terlampau sederhana, tetapi hubungan yang rapat antara Ranggawuni, Mahisa Cempaka dengan para pembantunya. Dengan para Senapati dan pengawahnya.

“Kami memang menunggu kedatanganmu berdua,” berkata Ranggawuni kemudian, “Kami memang berharap, mudah-mudahan kami dapat bertemu dengan kalian. Jika tidak malam ini, mungkin besok atau lusa. Tapi pertemuan ini benar benar aku harapkan dalam waktu yang dekat ini.”

Kedua Senapati dari Singasari itu tidak menjawab. Tetapi mereka mengangguk-angguk kecil seakan-akan kata-kata yang diu­capkan oleh Ranggawuni itu memberikan harapan yang cerah bagi mereka.

“Kami berterima kasih atas kunjungan kalian,” kata Ranggawuni kemudian, “Kedatangan kalian berdua memberikan gambaran yang lebih baik bagi masa datang Singasari.”

“Tuanku,” kata salah seorang Senapati itu, “Hamba tidak tahu, apakah yang sepantasnya hamba katakan. Tetapi hamba mendapat tugas dari Panglima untuk menghadap tuan­ku, justru karena kunjungan Lembu Ampal yang menyebut dirinya sebagai utusan tuanku.”

“Ya. Akulah yang memerintahkan kepadanya untuk menghubungi kedua Panglima. Kami mengetahui apa yang terjadi dan apa yang berkembang di Singasari. Pertentangan, kecurigaan dan prasangka. Oleh karena itu aku tidak dapat menunggu terlampau lama. Penasehat-penasehatku memberikan petunjuk kepadaku bahwa aku harus segera berbuat sesuatu.”

Kedua Senapati itu menjadi heran. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih terlampau muda. Tetapi seakan-akan ia telah cukup masak untuk memimpin Singasari. Tetapi kedua Senapati itu pun kemudian dapat mengerti, jika di ruangan itu terdapat beberapa orang yang dianggapnya memiliki segala macam ilmu dan kepandaian di dalam olah pemerintahan.

“Sekarang kalian telah melihat keadaan kami,” kata Ranggawuni kemudian, “Terserahlah kepada kalian, keputusan apakah yang akan kalian ambil. Apakah kalian bersedia bekerja bersama kami, atau kalian akan menentukan sikap sen­diri.”

Salah seorang Senapati itu menjawab, “Tuanku, hamba akan laporkan apa yang hamba ketahui tentang tuanku berdua dan tentang kesiagaan tuanku. Selain kenyataan yang hamba lihat, hamba akan memberikan pertimbangan pula kepada Panglima hamba.”

“Terima kasih.” sahut Ranggawuni, “Tetapi agaknya yang kalian lihat belum lengkap jika kalian hanya melihat padukuhan ini saja. Padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa. Sebaiknya kalian melihat pedukuhan-pedukuhan yang lain, yang nanti akan diantarkan oleh Lembu Ampal.”

“Hamba sangat berterima kasih atas kesempatan ini tuanku.”

“Baiklah. Aku tahu kesempatan tidak terlampau banyak. Tetapi aku berpendapat, bahwa sebaiknya kalian kembali masuk kelingkungan kota Singasari besok malam saja. Sebentar lagi matahari akan terbit, dan kalian tidak akan dapat masuk dengan diam-diam.”

“Pergilah bersamaku.” berkata Mahisa Agni, “Tetapi jika kalian masih ingin melihat beberapa pedukuhan yang lain, biarlah seperti yang dikatakan tuanku Ranggawuni, kembali sajalah besok malam.”

“Apakah Tuan akan kembali?” bertanya salah seorang Senapati itu.

“Sebelum fajar, aku harus sudah berada di bangsalku.”

“Sebelum fajar?” Senapati itu heran.

“Ya. Sebelum fajar.”

Kedua Senapati itu saling berpandangan. Saat itu Mahisa Agni masih tenang-tenang saja di tempatnya dan sebelum fajar ia sudah berada kembali di bangsalnya.

“Apakah aku berada di tengah-tengah kumpulan hantu-hantu?” bertanya kedua Senapati itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun kemudian me­ngajak kedua Senapati itu untuk melihat padukuhan yang lain. Setelah mohon diri kepada Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Mahisa Agni dan orang-orang lain yang ada di ruang itu, maka kedua Senapati itu pun meninggalkan halaman yang tidak begi­tu luas itu.

Dengan menunggang kuda, maka mereka pun segera menyusuri jalan-jalan sempit di persawahan. Kemudian melintasi bu­lak-bulak panjang dan menembus gelapnya malam dan dingin­nya embun. Sesaat kemudian, maka mereka pun telah memasuki sebuah padukuhan kecil yang lain. Seperti padukuhan yang pernah dilihatnya, maka ia pun melihat beberapa kelompok prajurit yang berserakan di halaman-halaman.

Mereka kemudian menemui Senapati yang bertanggung jawab di padukuhan kecil itu. Mereka berbicara sejenak. Kemudian Senapati-Senapati itu pun meneruskan perjalanan me­reka bersama Lembu Ampal.

“Kita mengitari kota Singasari.” berkata Lembu Ampal.

Kedua Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku mengerti, bukan semuanya prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri, atau kesatuan-kesatuan yang ada di luar kota Singasari yang dapat dihimpun oleh tuanku Ranggawuni. Namun meskipun di antara mereka adalah rakyat kebanyakan, namun mereka telah bertekad untuk mengabdikan dirinya bagi Singasari di bawah pimpinan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kota Singasari sendiri memang sudah terkepung. Kami sengaja memilih tempat pada padukuhan-padukuhan kecil dan terpencil, agar kehadiran kami di seputar kota tidak segera diketahui. Di siang hari, mereka tidak pernah keluar dari padukuhan, apalagi berkeliaran. Sedang mereka yang masih mempunyai pekerjaan di rumah atau di sawah, dapat saja mereka lakukan. Tetapi di malam hari kami bersiap, dan terutama mengadakan latihan-latihan bagi mereka yang pada dasarnya bukan prajurit. Dan agaknya latihan-latihan itu telah menyenangkan hati mereka.”

Kedua Senapati yang menyertai Lembu Ampal itu meng­angguk-angguk. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang dilihatnya. Apalagi kemudian mereka pun telah di bawa oleh Lembu Ampal ke beberapa tempat lainnya. Kepadukuhan-padukuhan kecil di bulak-bulak yang luas atau ke tempat-tempat terpencil yang lain yang merupakan tempat yang menjadi pemusatan kekuatan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan di arah lain dari kota Singasari, mereka mendengar dari Senapati yang bertanggung jawab di tempat itu, bahwa sebagian besar dari orang-orangnya sedang kembali ke padukuhan masing-masing, karena kebetulan musim menuai padi baru saja mulai.

“Kami biarkan mereka berada di padukuhan masing-masing untuk satu dua hari. Tetapi mereka sudah berjanji, jika terdengar isyarat mereka akan segera bekumpul untuk tiga malam mereka tidak mengadakan latihan. Bahkan barang kali lebih lama lagi apabila mereka belum selesai dengan pe­kerjaan mereka di sawah. Bahkan jika mereka kembali kemari, beberapa pekan lagi mereka akan kembali lagi untuk mulai menggarap sawah dan menanam padi.”

“Jadi yang ada di sini sekarang?” bertanya Lembu Ampal.

“Yang tersisa adalah prajurit-prajurit yang sebenarnya prajurit. Merekalah yang memberikan latihan-latihan kepada orang-orang yang dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk membebaskan Singasari dari ketidak tentuan sekarang ini.”

Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka menda­pat gambaran yang lengkap tentang persiapan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dari para Senapati mereka pun mende­ngar bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah memperhitungkan pula persediaan makanan dan kesatuan-kesatuan cadangan jika diperlukan.

“Yang kita lihat adalah garis pertama jika perang tim­bul.” berkata Lembu Ampal, “Dan di belakang garis pertama ini, masih ada lapisan-lapisan yang lengkap. Persediaan per­lengkapan perang dan persediaan makanan, di samping tenaga-tenaga yang harus menghimpun kekuatan jika diperlukan, selain sudah disediakan tenaga cadangan khusus.”

Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Lembu Ampal. Apakah kita akan dapat mempercayai bahwa tuanku Ranggawuni dan tuan­ku Mahisa Cempaka yang masih terlampau muda itu mampu membuat persiapan seperti ini betapapun cemerlangnya daya pikir mereka?”

Lembu Ampal tersenyum. Dan ia pun bertanya, “Apakah kalian tidak percaya bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka memiliki kemampuan diluar jangkauan nalar?”

“Aku percaya. Tetapi aku lebih percaya jika kau kata­kan bahwa kaulah yang telah mempersiapkan ini semua. Kau­lah yang telah menyusun rencana ini dengan teliti, kemudian kau lakukan semuanya atas nama tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

Lembu Ampal tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas dugaanmu itu. Tetapi ingat, bahwa selain aku, masih ada seorang Senapati Besar Singasari yang dikuasakan di Kediri, dan yang sekarang berada di lingkungan tuanku Ranggawuni meskipun nampaknya ia berada di bangsalnya setiap saat. Selain Senapati Agung yang bernama Mahisa Agni itu, juga ada bekas seorang Panglima Pasukan Pengawal yang bernama Witantra, kemudian di antara mereka terdapat pula adik seperguruannya yang bernama Mahendra, yang memiliki kelebihan dari sesa­manya. Dan jika kau heran melihat Kesatria Putih yang ka­dang-kadang lebih dari seorang dan memiliki kemampuan melebihi para prajurit dan bahkan Senapati yang manapun, ma­ka dari mereka itulah yang kalian jumpai.”

“Benar-benar suatu susunan rencana yang rapi dan matang.” desis salah seorang dari kedua Senapati itu.

Dan sebelum salah seorang Senopati itu meneruskan, maka Lembu Ampal telah mendahului, “Sebenarnyalah kami harus menye­suaikan diri dengan rencana yang lain yang agaknya telah tersusun dengan masak pula. Kematian seorang prajurit dari golongan Rajasa yang kemudian disusul oleh terbunuhnya seorang dari golongan Sinelir, yang dapat dipergunakan seba­gai alasan untuk menarik prajurit-prajurit pendukung Tohjaya masuk ke dalam lingkungan istana, diikuti pula pembunuhan semena-mena yang dilakukan atas kedua Senapati dari kedua golongan itu, telah memaksa kami untuk bersiap. Menilik urut-urutan kejadian itu, maka Tohjaya telah mempersiapkan diri untuk menyapu setiap orang yang tidak sesuai dengan sikapnya selanjutnya. Terutama usahanya untuk membunuh tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sebenarnya sama sekali tidak bersalah dan semula tidak berhasrat untuk berbuat apapun juga. Tetapi tuanku Tohjaya telah dibayangi oleh ketakutan-ketakutan yang mendorongnya untuk melakukan usaha pembunuhan yang gagal itu.”

“Darimana kau mengetahui hal itu?”

“Aku adalah orangnya yang mendapat perintah lang­sung untuk melakukannya. Sudah barang tentu atas petunjuk Pranaraja dan ibunda tuanku Tohjaya.”

Kedua Senapati itu mengerutkan keningnya. Agaknya Lembu Ampal tidak berbohong bahwa ialah yang mendapat perin­tah untuk melakukan pembunuhan itu.

“Nah, sekarang kalian berdua sudah tahu segala-galanya. Terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian katakan kepada Panglima kalian masing-masing.” Lembu Ampal ber­henti sejenak, lalu, “Tetapi agaknya jelas bagi kalian untuk tidak dapat memasuki gerbang saat ini. Lihat, langit sudah menjadi merah.”

Kedua Senapati itu menengadahkan kepalanya. Mereka telah melihat warna merah yang membayang di langit. Warna fajar.

“Sebaiknya kalian kembali apabila malam berikutnya telah datang. Kau dapat berada di antara kami satu hari, se­hingga dengan demikian kalian akan melihat lebih banyak lagi dari persiapan kami yang mantap.”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata, “Sebenarnya aku senang sekali berada sehari lagi di antara kalian. Tetapi jika aku tidak segera meng­hadap Panglima, maka akan dapat menimbulkan salah paham. Mungkin Panglima mengira bahwa kami berdua telah terjebak dan tidak akan dapat kembali.”

“Tetapi jika saatnya kau datang, maka kedua Panglima itu akan mengerti.”

“Namun selama ini Panglima dapat mengambil langkah-langkah yang barangkali justru merugikan kita semuanya.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Te­tapi bagaimana kalian akan memasuki kota. Kalian keluar dengan diam-diam. Jika kalian memasuki kota lewat gerbang, mungkin kalian akan mendapat kesulitan, karena kalian tentu akan dicurigai oleh para prajurit yang bertugas di pintu ger­bang.”

Kedua Senapati itu terdiam sejenak. Tetapi mereka tidak segera mendapatkan jalan. Di siang hari mereka tidak akan dapat memasuki lingkungan kota dengan cara seperti di malam hari pada saat mereka keluar.

“Senapati.” berkata Lembu Ampal, “Jika kalian me­mang berkeras untuk memasuki kota, mungkin kalian dapat menempuh satu jalan. Berbuatlah seolah-olah kalian adalah rakyat kecil yang hilir mudik untuk menjual barang-barang dari anyaman bambu. Mungkin kalian dapat membawa bebe­rapa buah barang-barang anyaman seperti itu. Alat-alat dapur dan alat-alat rumah yang lain.”

Kedua Senapati itu saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka tersenyum dan berkata, “Itu baik sekali. Aku akan mencoba.”

“Tetapi cepatlah. Lepaskan pakaian Senapatimu. Orang-orang yang menjual barang-barang anyaman bambu itu memasuki kota pada saat menjelang fajar seperti sekarang ini.”

“Tetapi darimana kami mendapat barang-barang itu.” bertanya salah seorang Senapati itu.

“Jangan cemas. Aku akan dapat mengusahakan berapa saja kau dapat membawa. Tetapi kau harus mengikat barang-barangmu seperti orang-orang lain menjual dagangannya ke kota.”

“Aku akan belajar.” sahut salah seorang dari kedua Senapati itu.

Demikianlah kedua Senopati itu pun berganti pakaian. Sejenak mereka mempelajari bagaimana mereka harus membawa barang-barang anyaman yang akan dijual di dalam kota Singasari.

Ternyata Lembu Ampal sama sekali tidak mendapat ke­sulitan apapun untuk mendapatkan barang-barang yang kemudian akan dibawa oleh kedua Senapati itu. Bahkan Lembu Ampal pun telah mendapat pakaian yang akan dipakai oleh kedua Senapati itu pula.

Dengan beberapa pesan kepada orang-orang yang akan memasuki gerbang Lembu Ampal menitipkan kedua Senapati itu kepada mereka. Karena sebagian dari mereka adalah orang-orang yang telah menyatakan diri berada di dalam lingkungan pasukan yang dipersiapkan oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka kedua Senapati itu pun tidak akan mendapat kesulitan dari kawan-kawannya yang memasuki kota dalam iring-iringan.

Meskipun demikian, kedua Senapati itu harus berhati-hati. Mereka tidak biasa menjinjing seikat barang-barang anyaman bambu di atas kepala. Rasa-rasanya leher mereka menjadi sakit dan lelah. Tetapi mereka harus menahankannya. Ketika iring-iringan itu memasuki pintu gerbang induk, hati kedua Senapati itu menjadi tegang. Rasa-rasanya mata setiap prajurit yang berugas di gerbang itu memandanginya dengan tajamnya.

Namun ternyata bahwa iring-iringan itu berhasil mema­suki kota seperti biasanya. Agaknya para penjaga tidak mena­ruh kecurigaan apa-apa kepada setiap orang dalam iring-iringan itu, karena mereka tidak meneliti seorang demi seorang dari mereka. Cara mereka menjinjing barang-barang dagangannya di atas kepala. Pakaian mereka dari cara mereka berbicara.

Kedua Senapati itu menarik nafas lega ketika mereka telah berada di dalam kota. Tetapi mereka tidak segera memisahkan diri dari iring-iringan itu. Mereka berjalan terus ber­sama dengan orang-orang lain menjinjing barang-barangnya sampai ke tempat mereka biasa menjajakan barang-barang anya­man itu. Baru ketika barang-barang mereka telah diletakkan di antara barang-barang yang lain, maka kedua Senapati itu pun minta diri kepada orang-orang yang mendapat titipan dari Lembu Ampal.

“Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian.” berkata Senapati itu, “Mumpung masih belum pagi. Kami akan kem­bali ke rumah kami.”

“Silahkanlah.” jawab orang itu.

Kedua Senapati itu pun kemudian meninggalkan mereka setelah menitipkan barang-barangnya dan menyerahkan kepada mereka untuk menjualnya. Ternyata keduanya merasa betapa tinggi kesadaran orang-orang yang berada di bawah pengaruh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Untunglah bahwa hari masih remang-remang.” ber­kata seorang Senapati kepada kawannya.

Kawannya tersenyum. Lalu, “Seandainya hari telah men­jadi terang sekalipun, para prajurit di pintu gerbang tidak akan mencurigai kita.”

Dengan pakaian penjual barang-barang anyaman, mereka­ pun kemudian berjalan di sepanjang jalan kota ke rumah masing-masing. Dengan sengaja mereka membiarkan diri mereka berpapasan dengan orang-orang yang sudah mengenalnya Tetapi ternyata orang-orang itu sama sekali tidak memperhati­kannya, sehingga kadang-kadang kedua Senapati itu harus tersenyum sendiri sambil mengamat-amati pakaiannya.

Baru kemudian mereka sadari, bahwa pakaian yang mereka pakai, setelah hari menjadi terang, benar-benar pakaian yang kotor dan kumal. Pakaian yang sudah sobek di beberapa bagian, dan yang sudah tidak pantas dipakai lagi. Tiba-tiba saja tubuh mereka terasa menjadi gatal-gatal, seakan-akan pakaian itu penuh dengan kuman-kuman penyakit yang mulai menjalari tubuh mereka. Karena itulah maka mereka pun melangkah semakin cepat. Me­reka ingin segera sampai ke rumah, mandi dan berganti dengan pakaian yang bersih.

Tetapi, hampir bersamaan, keduanya mengalami perlaku­an yang menjengkelkan di regol halaman masing-masing. Seorang pengawal yang melihat kedatangan seorang berpakaian kumal, segera membentaknya, “He, kau mau kemana?”

Senapati itu memandang pengawalnya sambil tersenyum. Katanya, “Apakah kau mabuk, sehingga kau tidak mengenal aku lagi.”

Pengawalnya mengerutkan keningnya. Namun ia pun membentak pula, “Siapa kau dan apakah maksudmu?”

“He, kau benar-benar tidak mengenal aku.”

“Cepat, jawab. Atau aku putar kepalamu.”

“Buka matamu.” berkata Senapati itu, “Siapa aku he?”

Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian perlahan-lahan ia mulai mengenali Senapatinya. Karena itu, ia pun menjadi gemetar sambil berkata, “Tetapi tuan, kenapa tuan berpakai­an seperti orang-orang padesan yang miskin?”

“Tidak apa. Cepat pergi, dan jangan katakan kepada siapapun. Aku ingin cepat membuka pakaian yang membuat menjadi gatal-gatal.”

Pengawal itu tidak menjawab. Dipandanginya saja Sena­pati yang memakai pakaian yang aneh itu naik ke tangga pendapa. Sekilas pengawal itu mendengar isteri Senapati itu men­jerit kecil. Namun suara itu segera terdiam. Namun demikian beberapa orang dengan tergesa-tergesa menuju ke biliknya.

“Kenapa kau berteriak?” bertanya Senapati itu.

lsterinya menutup mulutnya dengan telapak tangannya. “Kenapa kakang memakai pakaian itu?”

“Aku sedang dalam tugas sandi.”

“O, maafkan aku.” berkata isterinya yang kemudian pergi ke luar biliknya sambil tersenyum dan berkata kepada pelayan-pelayannya yang berkerumun di luar pintu bilik, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya terkejut sedikit.”

Para pelayan menjadi heran. Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu, maka mereka pun segera meninggalkan bilik itu. Setelah para pelayan pergi, maka isteri Senapati itu kem­bali masuk ke dalam bilik. Dengan suara yang tertahan-tahan ia bertanya, “Kenapa kakang memakai pakaian seperti ini?”

“Aku dalam tugas sandi.”

“Tetapi sudah barang tentu tidak perlu dengan pakaian kumal dan kotor.”

Sambil melepas pakaian yang kotor itu, Senapati berkata, “Aku memerlukan pakaian ini.”

Isterinya yang menyediakan ganti pakaian itu pun kemudi­an menjadi bingung dan bertanya, “Apakah kakang akan langsung memakai pakaian ini?”

Senapati itu termangu-mangu. Lalu, “Aku harus mandi dahu­lu. Tetapi bagaimana aku akan pergi kepakiwan?”

Akhirnya Senapati itu memutuskan untuk mengorbankan satu pengadeg pakaiannya lagi, yang dipakainya dari biliknya sampai kepakiwan. Setelah ia selesai mandi dan keramas, maka ia pun berpesan, “Pakaianku yang aku pakai ke pakiwan itu pun harus dicuci dengan air panas, lerak dan dijemur selama tiga hari.”

“Kedatangan kakang dalam pakaian kumal itu sangat me­ngejutkan aku.” berkata isterinya, “Bukankah kakang kemarin pergi untuk bertugas bersama dengan Panglima atau barangkali di rumah Panglima?”

“Ya. Dan aku kemudian menjalankan tugas sandi yang aneh ini.”

“Apakah yang sudah kakang lakukan?”

Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun seperti biasanya jika ia menganggap persoalannya belum saatnya diketahui oleh orang lain walaupun isterinya sendiri, maka ia pun tersenyum sambil berkata, “Besok kau akan mengetahuinya.”

Isterinya pun mengerti. Jika suaminya menjawab demikian maka artinya, ia tidak boleh mengetahui tugas yang sedang di­lakukannya.

Demikianlah maka setelah berganti pakaian, mempersiap­kan diri maka Senapati itu pun segera minta diri kepada isterinya dan pergi menghadap Panglima masing-masing. Hampir bersamaan pula terjadinya ketika kedua Senapati itu menghadap Panglima masing-masing.

Dan hampir bersamaan pula apa yang telah mereka kata­kan kepada Panglimanya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi kedua Panglima itu kecuali menerima tawaran Lembu Ampal bekerja bersama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dalam tugas yang berat menghadapi masa depan Singasari.

Panglima Pasukan Pengawal yang saat itu dikawani oleh dua orang Senapati kepercayaannya yang lain mendengarkan keterangan dari Senapati yang melihat sendiri kesiagaan Rang­gawuni dengan seksama. Tidak ada sepatah kata pun yang tidak didengarkannya dengan baik.

“Kau yakin akan kekuatannya?” bertanya Panglima.

“Memang masih belum meyakinkan. Jika kita dan Pa­sukan Pelayan Dalam tidak pasti berada di pihak mereka, maka yang dapat terjadi adalah benturan kekuatan yang belum dapat diperhitungkan dengan pasti, siapakah yang akan menang. Te­tapi tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka berke­yakinan, bahwa rakyat Singasari akan berpihak kepada mereka. Dengan demikian, maka meskipun mereka bukan prajurit yang terlatih, tetapi kekuatan rakyat Singasari yang bangkit itu tidak akan dapat diabaikan. Apalagi di antara mereka terdapat Senapati seperti Mahisa Agni, Witantra dan adik seperguru­annya. Orang-orang yang sudah menjadi semakin tua itu agaknya masih akan mampu bergerak sebaik-baiknya di medan perang.”

Panglima Pasukan Pengawal itu mengangguk-angguk. Dengan suara yang datar ia bertanya kepada kedua Senapati yang lain, “Apa pendapatmu?”

Salah seorang dari keduanya menyahut. “Mungkin pendapatku bukan lagi berdasarkan kepada perhitungan murni seorang prajurit. Sebenarnyalah aku menjadi sangat kecewa ter­hadap sikap tuanku Tohjaya. Lebih-lebih sikapnya saat terakhir. Tanpa memeriksa lebih dalam, ia sudah menjatuhkan hukum­an mati kepada kedua Senapati dihadapan para pemimpin yang lain. Apalagi sikap para prajurit yang dengan semena-mena telah melepaskan anak panahnya yang agaknya sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.”

Yang lain pun berkata, “Demikianlah agaknya. Apakah yang dapat kita harapkan bagi masa depan Singasari dalam keadaan seperti ini. Kebimbangan, kecemasan dan tiada harap­an. Kematian demi kematian akan menyusul dalam lingkungan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Prajurit-prajurit yang seka­rang mendapat kepercayaan dari Tuanku Tohjaya akan merasa dirinya manusia-manusia yang paling tinggi kedudukannya di Singa­sari.”

Panglima Pasukan Pengawal itu pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita harus menghubungi Panglima Pelayan Da­lam. Kita harus mendapat kepastian, apakah kita akan bekerja bersama dan berpihak kepada tuanku Ranggawuni.”

“Tentu kami sependapat.” sahut para Senapati.

Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun segera mempersiapkan diri untuk pergi menemui Panglima Pelayan Dalam. Dengan beberapa orang pengawal ia pun berpacu di jalan kota. Panglima itu sadar sepenuhnya, bahwa tentu segala sikap dan tingkah lakunya itu sama sekali tidak terlepas dari pengawasan petugas-petugas sandi yang dikirim oleh Tohjaya. Namun ia sudah bersedia jawaban apabila Tohjaya bertanya kepadanya tentang hal itu. Tetapi lebih dari itu, ia sudah mempersiapkan dirinya baik-baik bersama seluruh pasukannya. Jika ia harus mati, maka akan timbul juga kematian-kematian yang jumlahnya tidak terhi­tung lagi. Ia kemudian diterima oleh Panglima Pelayan Dalam de­ngan penuh pengertian, karena Panglima Pelayan Dalam itu­ pun telah mendengar laporan sepenuhnya dari Senapatinya.

“Golongan Rajasa dan Sinelir agaknya benar-benar akan di­singkirkan.” berkata Panglima Pelayan Dalam.

“Jadi, apakah kita akan berkisar lagi dari garis perjua­ngan kita pada saat kita mendukung tuanku Tohjaya?” bertanya Panglima Pasukan Pengawal.

“Kita adalah orang-orang yang memang berhati lapuk. Kita seolah-olah berdiri menghadap kemana angin bertiup. Tidak lebih dari sebatang ilalang di padang yang luas. Namun dalam keadaaan seperti ini, sikap itu agaknya sikap yang paling baik.”

“Tetapi kita dapat mengatakannya dengan bahasa yang lain. Bukan pendirian dan hati kita yang lapuk. Tetapi sikap kitalah yang berkembang melihat kenyataan ini. Kita tidak akan dapat membiarkan diri kita sendiri tersesat semakin jauh dan terlebih-lebih lagi Singasari akan kita biarkan saja tenggelam kedalam kedung yang paling dalam tanpa harapan untuk da­pat timbul kembali.”

“Itu adalah istilah yang paling baik yang dapat kita pergunakan. Baiklah, yang manapun juga yang akan kita pa­kai, namun aku sependapat bahwa kita melepaskan kesetiaan kita kepada tuanku Tohjaya. Sejak aku mendapat perintah un­tuk memanggil Mahisa Agni dari Kediri, aku sudah meragu­kan, apakah Mahisa Agni akan berdiam diri saja menjalani ke­adaan yang diterapkan kepadanya? Nampaknya ia memang menerima segala keadaannya di bangsalnya dengan beberapa pengawalnya. Namun demikian, seperti pada saat ia berdiri di balik tabir kemenangan tuanku Anusapati atas tuanku Tohja­ya, kini Mahisa Agni pun telah melakukan hal yang sama. Ia seakan-akan dapat berada di dua tempat sekaligus. Di bangsalnya dan di tempat pemusatan pasukan tuanku Ranggawuni dan tu­anku Mahisa Cempaka.”

“Dengan demikian, bukankah kita telah sepakat?”

“Ya. Kita telah sepakat.”

Ternyata kedua Panglima itu pun telah menemukan kese­pakatan untuk bersikap terhadap Singasari. Akhirnya mereka tidak dapat berpijak pada kepentingan pribadi masing-masing. Teta­pi mereka harus memikirkan persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan pribadi mereka.

“Jika demikian, kita akan menyampaikannya kepada tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.” berkata Pangli­ma Pasukan Pengawal.

“Ya. Kapan kita akan menghadap?”

“Sebaiknya segera.” potong Senapati dari Pasukan Pe­ngawal, yang kemudian disahut oleh Senapati Pelayan Dalam yang telah menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. “Ya. Agaknya tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka pun sudah siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan berkembang. Dengan atau tidak dengan kita, tuanku Rangga­wuni dan Mahisa Cempaka akan segera bertindak.”

“Baiklah.” berkata Panglima Pelayan Dalam, “Besok kita menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kedua Senapati yang mendahului kita akan dapat menunjuk­kan jalan kepada kita.”

“Kita harus keluar dari kota ini malam hari.” berkata Senapati Pengawal, “Setiap lorong dan jalan mendapat pengawasan yang ketat sekali, sehingga sulit bagi kita untuk dapat keluar tanpa mereka ketahui di siang hari.”

“Tetapi kalian dapat memasuki kota dengan penyamar­an. Apakah kita tidak melakukan hal yang sama ketika kita berangkat keluar.”

“Kami berdua memasuki kota ketika masih remang-remang. Apalagi kami berada dalam iring-iringan yang cukup banyak dari orang-orang yang membawa barang dagangan mereka. Sebagian be­sar adalah barang-barang anyaman yang mereka bawa masuk kota sepekan sekali.”

Kedua Panglima itu mengangguk-angguk. Lalu Panglima Pela­yan Dalam berkata, “Jika demikian, nanti malam kita keluar kota.”

“Baiklah, kita akan menghadap langsung. Menurut pendapatku. Lembu Ampal pasti ada di sana pula.” berkata Sena­pati Pelayan Dalam.

Demikianlah kedua orang itu pun mempersiapkan diri mereka untuk menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka diiringi oleh Senapati masing-masing yang telah pernah meng­hadap lebih dahulu. Menjelang malam, mereka telah mempersiapkan diri se­baiknya. Mereka membawa senjata masing- masing di bawah pakaian mereka, agar tidak segera menarik perhatian.

Dalam pakaian rakyat kebanyakan mereka pun kemudian pergi ke tempat yang sudah mereka janjikan. Para Senapati yang pernah pergi bersama Lembu Ampal mengetahui dengan pasti, jalan manakah yang harus mereka lalui. Namun demikian mereka harus masih selalu berhati-hati karena setiap saat mere­ka dapat bertemu dengan bahaya yang bukan saja mengancam jiwa mereka, tetapi juga dapat menimbulkan huru hara yang lebih Iuas. Jika kepergian mereka diketahui oleh petugas-petugas san­di, maka pada saat mereka tidak ada di tempat, maka pasukan­nya akan dapat digilas oleh kekuatan-kekuatan lain yang ada di Singa­sari.

Meskipun kedua Panglima itu telah menyerahkan segala kebijaksanaan kepada Senapati yang terpercaya, tetapi mereka merasa lebih baik bahwa semuanya tidak terjadi lebih dahulu sebelum kedua Panglima itu bertemu langsung dengan Rang­gawuni dan Mahisa Cempaka.

Melalui jalan yang pernah mereka tempuh, maka kedua orang Senapati itu pun berhasil membawa kedua Panglimanya ke luar kota. Dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri jalan yang pernah mereka lalui pula, sehingga akhirnya mereka pun sampai ke sebuah pedukuhan kecil yang pernah mereka data­ngi bersama Lembu Ampal.

Ke empat orang itu terkejut ketika mereka memasuki pa­dukuhan kecil itu. Mereka sama sekali tidak menemukan seorang pun di mulut lorong. Bahkan ketika mereka memasuki pa­dukuhan itu, ternyata padukuhan itu kosong sama sekali. Yang ada hanyalah beberapa buah rumah kecil dengan pintu terbuka. Tetapi rumah-rumah itu sama sekali tidak berisi, dan bahkan tidak ada sebuah pelita pun yang menyala. Padukuhan kecil itu benar-benar bagaikan pekuburan. Kosong dan gelap.

“Apakah kau sudah gila?” bertanya Panglima Pasu­kan Pengawal, “Kenapa kami kau bawa ke tempat ini?”

“Tempat ini adalah tempat tuanku Ranggawuni dan tu­anku Mahisa Cempaka menerima kami. Aku ingat betul, inilah rumahnya, rumah ini. Regol itu aku kenal pula. Dan halamannya adalah halaman yang ini pula.”

“Tetapi padukuhan ini kosong sama sekali. Penghuninya pun sama sekali tidak ada.”

“Tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam berkata, “Apakah tuan­ku Tohjaya mengetahuinya dan menyergapnya sehingga padu­kuhan ini digilasnya sampai bersih.”

“Tidak ada bekas pertempuran.” desis Senapatinya.

“Ya. Tidak ada bekas pertempuran.”

Ke empatnya termangu-mangu sejenak di dalam kegelapan malam. Namun sebagai prajurit-prajurit pilihan mereka mendapat semacam firasat, bahwa di sekitar mereka ada beberapa orang yang sedang mengintai. Panglima Pasukan Pengawal yang berada di ujung tanpa sesadarnya telah meraba hulu senjatanya. Desisnya perIahan-lahan. “Aku merasa bahwa kita tidak hanya berempat.”

“Ya.” sahut Panglima Pelayan Dalam, “Ada orang di sekitar kita.”

Para Senapati pun merasakan sesuatu yang telah meraba dinding hati. Sebagai prajurit mereka pun segera dapat menanggapi firasat itu. Tanpa berjanji maka mereka berempat pun segera berdiri menghadap ke arah yang berlainan.

“Agaknya kita telah terjebak.” desis Panglima Pasu­kan Pengawal.

“Tentu bukan oleh tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka. Aku yakin akan keiklasan mereka.”

Mereka tidak berbicara lagi. Mereka kini mendengar sua­ra berdesir melangkah mendekat. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Keempat orang itu pun segera mempersiapkan diri meng­hadapi setiap kemungkinan. Tangan mereka telah siap mena­rik senjata mereka apabila diperlukan.

Namun sejenak kemudian mereka mendengar suara ter­tawa tertahan. “Maaf.” terdengar kata-kata itu di sela-sela derai tertawanya, “Kami tidak dapat menyambut kedatangan kali­an sebaiknya-baiknya.”

Ketika suara itu terhenti, nampaklah seseorang muncul dari dalam gerumbul dipinggir halaman. Ternyata orang itu adalah Lembu Ampal diikuti oleh beberapa orang pengawal­nya.

“Sebenarnya apalagi yang sedang kau lakukan sekarang, Lembu Ampal?” bertanya Panglima Pelayan Dalam.

“Maaf! Mungkin kalian terkejut melihat keadaan pa­dukuhan ini. Padukuhan ini benar-benar padukuhan yang pernah didatangi oleh kedua Senapati yang mewakili Panglima ma­sing-ma­sing.”

“Kenapa padukuhan ini sekarang kosong?”

“Waktu itu aku lupa mengatakan, bahwa setiap saat tempat kami dapat berpindah. Jika kami menganggap bahwa tempat yang kami pergunakan sudah tidak aman lagi, maka kami pun segera bergeser ke tempat yang lain.”

Panglima Pelayan Dalam itu memandang Lembu Ampal dengan tajamnya. Di dalam keremangan malam ia tidak dapat menangkap sorot mata Lembu Ampal. Tetapi agaknya yang dikatakan itu bukannya dibuat-buat.

“Jadi kalian telah berpindah tempat?” bertanya Se­napati Pelayan Dalam.

“Ya. Kami mendapat firasat, bahwa ada petugas sandi yang mencurigai pedukuhan ini. Kami pun segera berpindah tempat dengan berangsur-angsur. Ternyata bahwa sore tadi, seke­lompok prajurit benar-benar mendatangi tempat ini. Untunglah bahwa kami telah pergi. Jika tidak, maka mereka tidak akan pernah kembali ke Singasari. karena jumlah mereka tidak cu­kup banyak. Tetapi dengan demikian akan berarti perang se­gera akan mulai.”

“Tetapi kenapa kau berada di sini?” bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal.

“Aku yakin kalau kalian akan datang. Karena itu aku menunggu di sini. Jika malam ini kalian tidak datang, aku ma­sih akan menunggu beberapa malam lagi di sini.”

“Bagaimana dengan kelompok prajurit itu?”

“Mereka tidak melihat aku. Bahkan aku ada di sini pula ketika mereka tadi datang kemari. Tetapi mereka tidak menca­ri dengan teliti. Apalagi karena daerah ini benar-benar telah ko­song. Penghuni padukuhan ini pun telah mengungsi pula keti­ka kami meninggalkannya pergi.”

“Jadi prajurit Singasari mendapatkan daerah ini kosong sama sekali?”

“Ya. Dan hal itu tentu menumbuhkan kecurigaan mere­ka.”

“Mereka pasti akan kembali, besok atau lusa.”

“Ya.” jawab Lembu Ampal, “Kami pun sudah mendu­ga. Tetapi itu memang kami harapkan. Jika kami sudah mene­rima ketetapan hati kalian, maka semuanya akan segera dimu­lai.”

“Dimanakah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka sekarang?”

“Kami memang menunggu kalian untuk membawa ka­lian menghadap.”

Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak. Na­mun akhirnya keduanya menganggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun segera memba­wa mereka meninggalkan padukuhan kecil itu. Ternyata Lembu Ampal sudah menyediakan beberapa ekor kuda. Bahkan kuda yang disediakan melampaui jumlah orang yang hanya empat itu. Dengan diiringi oleh beberapa pengawal Lembu Ampal, maka mereka pun segera berpacu menuju ketempat yang sebenarnya tidak begitu jauh. Juga sebuah desa kecil yang berada di bulak yang luas.

Kedatangan kedua Panglima itu diterima dengan senang oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setelah mempersilahkan mereka duduk, maka mereka pun segera terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Seperti pada saat kedua Senapati mendahului menghadap, maka pada malam itu hadir juga Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra. Orang-orang yang meskipun sudah menjadi semakin tua, namun nampak masih memiliki pengaruh yang cukup besar di lingkungannya.

“Kami menyatakan diri berada di bawah perintah tuan­ku berdua.” berkata Panglima Pasukan Pengawal itu, “Dan kami bertanggung jawab bahwa semua orang di dalam pasu­kan kami masing-masing akan mentaati perintah kami.”

“Terima kasih.” berkata Ranggawuni, “Tetapi apakah hal ini sudah kau pikirkan masak-masak?”

Kedua Panglima itu tertegun sejenak. Seakan-akan mereka telah dihadapkan pada cermin yang bening. Kedua Panglima itu seolah-olah melihat dirinya sendiri pada saat mereka menentukan sikap mendukung Tohjaya kira-kira seta­hun yang lalu. Kematian Anusapati semula memberikan hara­pan kepada mereka, bagi kepentingan pribadi, untuk menda­patkan keuntungan vang sebesarnya. Jabatan dan harta du­niawi.

Namun akhirnya mereka menjadi kecewa. Kepentingan pribadi bagi mereka sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan Singasari, karena ternyata bahwa mereka betapa­ pun tipisnya masih disentuh oleh kecintaan kepada tanah kelahiran.

“Tuanku Ranggawuni.” Panglima Pasukan Pengawal itu pun kemudian berkata, “Sebenarnyalah bahwa kami seakan-akan telah kehilangan kepribadian kami. Kami pada masa tuanku Tohjaya merebut tahta, kami tidak mampu lagi melihat, manakah yang baik dan manakah yang buruk. Kini kami berdua tuanku hadapkan lagi pada persoalan itu. Tetapi kini kami sudah berdiri di tempat yang lebih mantap. Kami kini mulai mengenal, hakekat dari hidup kami sebagai prajurit Si­ngasari, yang harus melihat Singasari di atas segala kepenting­an. Terutama kepentingan pribadi.”

Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Mudah-mudahanan kau benar-benar telah menemukan kepribadianmu. Bukan lagi harapan-harapan seperti yang pernah kau impikan pada masa pamanda Tohjaya merebut tahta.”

“Ampun tuanku.” berkata Panglima Pelayan Dalam, “Kini hamba melihat dengan mata hati. Bukan sekedar mata wadag hamba, bahwa tuanku berdua akan benar-benar membuat Singa­sari menjadi semakin besar. Tuanku berdua akan dapat me­lanjutkan usaha tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, mempersatukan segenap isi Tanah Kelahiran ini.”

Ranggawuni tersenyum. Yang kemudian berkata adalah Mahisa Cempaka, “Aku percaya bahwa kau berbicara dengan nuranimu. Aku tidak pantas mencurigaimu lagi.”

“Jelasnya.” berkata Mahisa Agni, “Kalian diterima dalam lingkungan kami. Karena itu, kalian pun mempunyai pertanggungan jawab atas sikap kalian. Apakah kalian sudah mengerti?”

“Kami mengerti.” sahut Panglima Pasukan Pengawal, “Di belakang kami adalah seluruh pasukan kami.”

“Bagus.” desis Witantra, “Dengan demikian, maka semuanya akan dapat berlangsung dengan cepat.”

“Ya. Semakin cepat semakin baik.” sahut Mahisa Ag­ni.

Ranggawuni memandang Mahisa Cempaka sejenak, seolah-olah ingin mengetahui perasaannya. Namun kemudian dita­tapnya wajah Mahisa Agni dalam-dalam, karena sebenarnyalah bah­wa semua rencana telah disiapkan oleh Mahisa Agni, Lembu Ampal, dan Witantra.

“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, “Agaknya waktunya memang sudah tiba. Jika tuanku menghendaki, maka setiap saat tuanku dapat memerintahkan kepada kami untuk mulai dengan perjuangan kami, memulihkan kebesaran nama Singa­sari yang sudah dicemarkan oleh tuanku Tohjaya.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya, lalu, “Bagaimana menurut pertimbangan paman?”

“Bagi hamba, semuanya sudah siap.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Lembu Ampal, maka Lembu Ampal pun berkata, “Tidak ada ke­beratan apapun lagi tuanku. Selagi persoalan ini belum dike­tahui oleh lawan, kita harus segera bertindak. Dengan demi­kian korban akan dapat dibatasi. Tetapi jika kita harus berha­dapan di medan, maka korban akan bertimbun tanpa dapat di­hitung lagi.”

Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Dan Mahisa Agni pun kemudian berkata, “Kita dapat mempersiapkan seluruh pa­sukan semalam ini. Besok kita dapat memberikan penjelasan yang perlu, dan di malam hari kita dapat mendekati dinding kota. Menjelang fajar, kita bersama-sama memasuki kota, sedang yang ada di istana harus segera menguasai istana. Terutama pa­sukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Dengan demikian maka perhatian prajurit-prajurit yang ada di dalam kota akan terpecah. Se­bagian dari mereka harus membendung arus lawan yang me­masuki gerbang, sedang yang lain harus berhadapan dengan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam.”

Kedua Panglima itu pun mengangguk-angguk pula. Mereka me­ngerti rencana itu. Jika mereka dapat bertindak cepat, maka la­wan mereka akan segera menjadi bingung dan menyerah, se­hingga jumlah korban memang dapat dibatasi.

“Nah.” berkata Ranggawuni kemudian kepada kedua Panglima itu, “Kalian sudah mendengar rencana itu. Apakah kalian bersedia menjalankan?”

“Kami bersedia tuanku. Yang kami harapkan hanyalah tanda-tanda dan isyarat yang akan tuanku berikan sebagai aba-aba bagi kami untuk mulai bergerak di istana.”

“Kami akan melontarkan panah-panah api dan sendaren.” berbicara Witantra, “Pada saatnya kalian harus bergerak.”

“Baiklah. Kami sudah mengerti semuanya.”

Ranggawuni kemudian berkata, “Jika demikian, sebaik­nya kita segera mulai. Bagaimana menurut pertimbangan pamanda Mahisa Agni mengenai ketentuan waktu.”

“Sebaiknya kita tentukan tuanku. Seperti yang hamba katakan, malam ini kita mulai bersiap. Besok kita memberikan penjelasan kepada setiap pemimpin kelompok di luar dinding kota, sedang Panglima kedua pasukan itu akan menjelaskan­nya kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya. Malam hari kita maju dan mengepung kota, sedang yang ada di dalam harus mem­persiapkan semua kekuatan yang ada. Tanpa kekuatan cada­ngan, karena kami akan segera berada di dalam kota.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan setiap rencana Mahisa Agni, karena ia percaya sepenuhnya, bahwa perhitungan Mahisa Agni. Witantra, Mahendra dan bahkan kemudian Lembu Ampal, pada umumnya dapat berjalan baik. Namun kemudian Ranggawuni pun bertanya, “Lalu ba­gaimana dengan pamanda sendiri?”

“Hamba tetap berada di dalam bangsal dengan beberapa orang pengawal. Hamba harus mempersiapkan pamandamu yang lain, agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Tohjaya. Juga ibunda tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Wonga Teleng berdua. Juga neneknda Ken Dedes yang sudah hampir tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain berprihatin untuk cucu-cucunya.”

“Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam akan menda­pat perintah untuk melindungi mereka.” berkata Panglima Pasukan Pengawal.

“Terima kasih.” sahut Mahisa Agni, “Tetapi sebaiknya aku berada di arena yang paling gawat itu. Sedang pasukan yang akan memasuki kota akan dipimpin oleh Witantra dan Mahendra. Menurut pendapatku, Lembu Ampal pun sebaiknya berada di dalam kota bersama beberapa orang Senapati Pasu­kan Pengawal yang berada di luar halaman istana. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka akan segera mema­suki kota setelah keadaan kota dapat dikuasai.”

“Aku serahkan semuanya kepada pamanda semuanya.” berkata Ranggawuni.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mengada­kan beberapa persetujuan khusus. Isyarat yang harus diketahui segala pihak. Di dalam perang brubuh yang kisruh, maka isya­rat sandi sangat diperlukan. Para prajurit akan sangat sulit membedakan yang satu dengan yang lain di dalam perang bru­buh. Apalagi di malam hari. Mereka tidak akan mendapat ba­nyak kesempatan untuk mengenal ciri-ciri khusus mereka masing-masing. Bahkan selain isyarat sandi, mereka pun merasa perlu untuk mempergunakan tanda-tanda khusus.

“Setiap orang di dalam pasukan kita harus memperguna­kan gelang lawe berwarna putih di kedua pergelangan tangan mereka.” berkata Lembu Ampal kemudian.

Semua pemimpin pasukan yang ada di ruang itu sepen­dapat, sehingga akhirnya menjadi keputusan pula, bahwa ciri itu harus dipergunakan. Jika ada di antara mereka yang tidak mempergunakannya, juga setiap orang di dalam pasukan, maka apabila terjadi sesuatu atas mereka itu adalah karena kele­ngahan mereka sendiri.

Malam itu, semua persoalan telah diputuskan dan harus dilaksanakan. Para Panglima itu tidak dapat berada di tempat itu terlampau lama. Mereka malam itu juga harus kembali ke rumah masing-masing, karena setiap saat Tohjaya akan dapat me­manggil mereka. Setelah tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka pertemu­an itu diakhiri. Para Panglima dan Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, bersama-sama dengan Mahisa Agni, segera kembali masuk ke dalam kota.

Malam itu juga, beberapa orang utusan telah berpacu me­mencar kesetiap pemusatan pasukan di sekitar kota. Witantra tetap berada di antara pasukan induk bersama Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mahendra dan Lembu Ampal pun kemudian mengambil tempatnya masing-masing diarah yang berbeda.

Perintah yang dikeluarkan oleh Ranggawuni adalah mem­persiapkan semua pasukan dan kekuatan yang ada. Pagi-pagi be­nar, para pemimpin kelompok harus berkumpul di tempat tertentu. Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal akan memberi penjelasan kepada mereka di tempat masing-masing di arah yg berbeda di sekitar kota.

Setelah setiap pemimpin kelompok mendengarkan penje­lasan, maka mereka masih mendapat waktu sehari untuk mengatur segala persiapan. Pasukan yang belum lengkap segera dilengkapi. Para pengikut Ranggawuni yang masih bekerja di sawah, segera berkumpul di kelompok masing-masing.

Pada saat yang ditentukan, maka pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang berada di luar kota sudah siap un­tuk bergerak. Pasukan yang menjadi inti kekuatan mereka adalah prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan yang tersebar di tempat terpencil yang dapat dihimpun oleh Witantra.

Namun demikian, para pemimpin di dalam pasukan Rang­gawuni dan Mahisa Cempaka yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kedudukan Tohjaya dan menguasai seluruh ko­ta. Kemudian perIahan-Iahan mereka akan dapat pula mendapat kepercayaan dari daerah yang sudah dipersatukan oleh Sri Rajasa sebelumnya.

Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam kota pun segera menyebarkan orang-orang kepercayaan mereka. Mereka yakin bahwa di dalam keadaan itu, semua perintah mereka akan mendapat dukungan apabila perintah itu dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi mereka.

“Bergantian panggil para Senapati. Tiga mereka harus menghadap aku. Sebelum matahari sepenggalah aku berada di rumah. Kemudian sampai tengah hari, orang berikutnya ha­rus menghadap aku di alun-alun, justru agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tetapi ingat, tiga-tiga. Tidak boleh lebih. Setelah tengah hari, tiga-tiga berikutnya dapat menjumpai aku di halaman istana. Menjelang malam, sisanya dapat menemui aku di ­rumah lagi. Selanjutnya aku akan mengirimkan perintah-perintah beri­kutnya lewat petugas-petugas kepercayaanku.” berkata Panglima Pasukan Pengawal yang sudah bersepakat mempergunakan ca­ra yang sama dengan Panglima Pasukan Pengawal.

Kepada Senapati yang menghadap tiga-tiga, kedua Pang­lima itu memberikan penjelasan sampai masalah yang sekecilnya.

“Penjelasan hanya diberikan satu kali.” berkata Panglima-panglima itu.

Keterangan itu telah menyatakan kepada para Senapati, bahwa mereka harus memahami penjelasan yang mereka de­ngar itu sebaik-baiknya, karena mereka tidak akan mendapatkan penjelasan apapun lagi. Mereka kemudian tinggal melaksana­kan perintah itu sebaik-baiknya.

Para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu pun telah mendapat penjelasan pula, bahwa kedua pasukan yang semula bermusuhan itu harus dapat bekerja bersama. Me­reka agaknya telah menjadi korban adu domba sehingga di antara mereka timbul perasaan dendam dan benci.

Demikianlah, maka para Senapati dari kedua pasukan itu pun segera menghimpun anak buah mereka. Tetapi, karena jumlah pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam tidak begitu ba­nyak dibandingkan dengan pasukan yang kemudian ditarik ke dalam istana itu, maka usaha untuk menyampaikan perintah itu ke segenap telinga pun tidak memerlukan waktu terlampau panjang.

Sebelum tengah malam berikutnya, semua orang di dalam kedua pasukan itu telah mendengar perintah itu dengan sebaik-baiknya. Mereka pun telah menempatkan dirinya seperti yang dikehendaki oleh para pemimpin mereka. Dengan tan­pa menimbulkan kecurigaan, mereka menempatkan para Pe­ngawal dan Pelayan Dalam dalam jumlah yang cukup kuat di sekitar bangsal Ken Dedes, putera-puteranya dan ibu Ranggawuni. Yang lain berada di bangsal Mahisa Agni bersama para penga­wal Mahisa Agni sendiri.

Tetapi dalam pada itu, yang bertugas di bangsal Tohjaya menurut keinginan dan perintah Tohjaya sendiri, sama sekali bukannya lagi Pasukan Pengawal. Di dalam bangsal itu pun ti­dak ada lagi Pelayan Dalam yang melakukan tugasnya. Semua pekerjaan telah diambil alih oleh prajurit-prajurit yang mendapat ke­percayaan sepenuhnya dari Tohjaya.

Sebelumnyalah kecurigaan Tohjaya yang menjadi semakin besar sejak hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, ke­mudian Lembu Ampal, telah menempatkannya ke dalam pe­ngamatan yang ketat dari kepercayaannya. Tohjaya telah me­milih bangsal yang semula dipergunakan oleh Anusapati, yang dikelilingi oleh kolam buatan yang cukup dalam dan luas. Di ­luar lingkungan kolam itu selapis prajurit selalu berjaga-berjaga.

Ke­mudian setiap jembatan yang menghubungkan bagian luar dan dalam dari lingkaran kolam itu pun selalu dijaga sebaik-baiknya. Kemudian di setiap pintu bangsal ditempatkan beberapa orang prajurit pilihan. Tidak seekor jengkerik pun yang dapat mema­suki bangsal itu tanpa diketahui oleh para petugas di sekitar bangsal dan kolam itu.

Menjelang saat-saat yang telah ditentukan, maka kedua Pang­lima itu pun telah berada di halaman istana pula. Merekalah yang akan memimpin langsung benturan yang akan dapat ter­jadi di halaman istana itu. Dengan diam-diam mereka berhasil mendapat hubungan de­ngan Mahisa Agni yang sudah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.

Namun ternyata bahwa Senapati prajurit yang bertugas di halaman istana itu pun memiliki ketajaman penglihatan. Mereka melihat kesiagaan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam melampaui kebiasaannya. Mereka melihat para Pengawal ber­tugas dalam kelompok yang lebih besar dan hampir semua ke­kuatan dari Pasukan Pengawal telah dipusatkan di dalam hala­man.

Demikian pula Pelayan Dalam. Beberapa orang prajurit telah melaporkan bahwa di bangsal-bangsal tertentu nampak bebera­pa orang Pelayan Dalam mondar mandir di antara mereka. Nampak di antara Pelayan Dalam itu kesibukan yang mening­kat.

“Apakah dendam di antara kedua pasukan itu tetap me­nyala?” desis seorang Senapati.

“Mungkin.” sahut yang lain, “Tetapi mungkin pula tidak.”

Ketegangan di antara setiap pasukan di halaman ini te­lah meningkat. “Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu bagaikan minyak dengan api. Jika mereka bersentuhan lagi da­lam perkara yang paling kecil sekalipun, maka akan dapat berkobar pertentangan yang mengerikan.”

“Tetapi keduanya agaknya mencurigai kita pula.”

“Itu wajar, karena kehadiran kita di sini sama sekali ti­dak mereka kehendaki. Kita mengemban tugas khusus dari tu­anku Tohjaya, karena kedua pasukan itu tidak lagi dapat di­percaya.”

“Meskipun demikian kita tidak boleh lengah malam ini. Mungkin akan terjadi sesuatu. Seandainya kedua pasukan itu akan bertempur biarlah mereka bertempur. Tetapi jika mereka mulai menyentuh tubuh kita, maka kita akan membinasakan keduanya yang barangkali memang sudah tidak akan dipergu­nakan lagi oleh tuanku Tohjaya.”

Demikianlah, maka di jalur lain, Senapati itu pun telah me­merintahkan kepada setiap pemimpin kelompok untuk menga­wasi keadaan sebaik-baiknya. Kemudian mengambil sikap seperti yang diputuskan oleh Senapati yang bertanggung jawab ma­lam itu di halaman istana.

Halaman istana itu pun kemudian dicengkam oleh ketega­ngan. Ketika tengah malam telah lewat, maka setiap orang di dalam Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah menyedia­kan seutas lawe yang akan mereka belitkan di kedua pergelangan tangan mereka sebagai tanda.

“Jika telah terdengar isyarat, maka lawe itu harus sege­ra dikenakan. Jika terlambat dan tidak sempat lagi, maka akan dapat terjadi salah paham.” perintah setiap pemimpin kelom­pok, “Tetapi juga jangan sekarang. Lawe di pergelangan itu akan dapat menumbuhkan kecurigaan pada pihak-pihak yang lain di halaman ini. Apalagi jika mereka memperhatikan bahwa orang-orang Rajasa dan Sinelir memakai tanda yang bersamaan.”

Setiap prajurit yang termasuk di dalam Pasukan Pengawai dan Pelayan Dalam memperhatikan perintah itu baik-baik. Untuk sementara mereka belum mengenakan lawe yang berwarna putih itu di pergelangan tangannya.

Dalam pada itu, para prajurit yang tidak sedang bertugas pun telah berada di halaman. Mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat sesaat di gardu-gardu dan di tempat-tempat yang tidak begitu jelas dapat dilihat oleh pihak-pihak lain. Tetapi mereka tidak dapat beristirahat dengan tenang karena mereka menyadari bah­wa sesuatu akan segera terjadi.

Kesiagaan prajurit kepercayaan Tohjaya pun kemudian da­pat dilihat oleh para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Namun mereka pun yakin bahwa prajurit-prajurit itu be­lum menyadari apa yang akan terjadi sebenarnya. Mereka bersi­ap sekedar karena firasat keprajuritan mereka, dan barangkali sedikit kecurigaan karena jumlah Pasukan Pengawal dan Pela­yan Dalam malam itu agak lebih banyak dari malam sebelumnya.

Di luar halaman istana, para prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang tidak memasuki halaman karena per­timbangan-per­timbangan pengamanan rencana dalam keseluruhan, agar pihak lain tidak terlampau curiga karena jumlah Pengawal dan Pela­yan Dalam menjadi jauh melampaui kebiasaannya, telah siap pula beberapa ratus langkah dari mulut gerbang.

Mereka mempersiapkan diri di dalam kegelapan berpenca­ran sehingga tidak segera dapat dilihat. Beberapa orang di antara mereka berada di kebun-kebun dan halaman rumah yang dikelili­ngi dengan dinding batu. Mereka menunggu sambil duduk-duduk di antara pepohonan di bawah lindungan bayangan yang gelap.

Bukan saja prajurit-prajurit yang berada di regol dan yang sedang meronda di jalan-jalan sajalah yang tidak dapat melihat mereka, bahkan orang-orang yang memiliki halaman itu pun tidak mengetahui bahwa di halaman, di kebun belakang atau di halaman samping, terdapat beberapa orang yang bersembunyi di dalam gelap.

Para prajurit dari Pasukan Pengawai dan Pelayan Dalam itu memusatkan perhatian mereka pada halaman istana dan isi­nya. Mereka mempercayakan keadaan di luar dinding halaman istana kepada pasukan yang akan memasuki kota dari luar. Prajurit-prajurit yang menunggu itu hampir tidak sabar lagi. Apa­lagi ketika mereka sudah melihat bayangan kemerahan di ujung Timur.

“Apakah ada perubahan rencana?” bertanya seorang prajurit dari Pasukan Pengawal kepada pemimpin kelompoknya.

“Seharusnya tidak. Sebentar lagi kita tidak mempunyai waktu lagi untuk menarik diri. Jika jalan-jalan mulai ramai, kita harus bertindak dengan atau tanpa pasukan dari luar, karena ti­dak ada jalan lain bagi kita yang sudah terlanjur berada di sini dan di dalam dinding halaman itu.”

Para prajurit itu pun menyadari sepenuhnya apa yang dika­takan oleh pemimpin kelompok itu. Bahkan di antara mereka mulai tumbuh kecurigaan, bahwa mereka justru telah terjebak dan dengan demikian mereka harus bertempur sendiri di antara kekuatan-kekuatan yang ada di Singasari. Para Panglima yang ada di halaman istana pun mulai geli­sah. Mereka pun mulai dirayapi oleh prasangka yang serupa, bahwa Lembu Ampal telah mempermainkan mereka.

“Tetapi tatapan mata tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka itu meyakinkan. Bahkan Mahisa Agni pun te­lah bersiap pula. Saudara-saudara tuanku Anusapati telah mengetahui apa yang akan segera terjadi.” berkata Panglima itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak berbuat licik seperti yang dicemaskan itu. Mereka benar-benar telah bergerak mendekati dinding kota. Pa­sukan yang terpencar di seputar kota itu dipimpin oleh Senapa­ti terpercaya yang dikendalikan oleh Witantra, Mahendra dan Ranggawuni serta Mahisa Cempaka sendiri.

Menjelang pagi, para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam hampir tidak sabar lagi menunggu. Menurut perhitungan mereka, waktu yang direncanakan seharusnya su­dah lampau. Namun selagi mereka dicengkam oleh kegelisahan dan ke­raguan, mereka dikejutkan oleh hadirnya Lembu Ampal di antara mereka.

“Apakah ada perubahan?” bertanya seorang Senapati.

“Tidak.” sahut Lembu Ampal.

“Tetapi kita sudah terlambat.”

“Memang ada kelambatan sedikit. Tetapi tidak berarti.”

“Sebentar lagi, jalan-jalan kota menjadi ramai. Matahari akan segera terbit.”

“Masih ada waktu. Saat ini para prajurit sedang menyu­sup ke dalam kota lewat pintu gerbang.”

“Bagaimana dengan para penjaga?”

“Mereka mempergunakan penyamaran. Pengalaman yang telah terjadi atas kedua Senapati yang datang terdahulu membe­rikan pikiran kepada kami untuk melakukannya. Tidak lewat sebuah pintu gerbang, tetapi beberapa.”

“Jika jumlahnya terlampau banyak, mereka yang bertugas di gerbang akan segera menjadi curiga.”

“Memang. Tetapi dalam pada itu, prajurit-prajurit yang lain kini sudah siap mengelilingi dinding kota.”

Para Senapati itu pun mengangguk-angguk. Tetapi ketika mereka menengadahkan kepala, mereka melihat langit sudah menjadi semakin merah.

“Hampir pagi. Benar-benar hampir pagi.”

“Semuanya sudah siap. Sebentar lagi akan terdengar tan­da. Sementara aku berada di sini seperti yang direncanakan. Aku akan ikut memasuki halaman istana.”

Para prajurit masih saja merasa gelisah. Agaknya beberapa orang pedagang sudah memasuki gerbang sehingga apabila tim­bul perang yang memencar di kota, mereka akan dapat menjadi korban.

Meskipun hal itu tidak diucapkan, namun agaknya Lembu Ampal dapat mengetahuinya, sehingga ia pun berkata, “Jangan cemas terhadap para penjual barang-barang dari luar yang memasuki gerbang kota. Mereka seluruhnya adalah orang-orang kita.”

“Ah, tidak mungkin.”

“Percayalah. Kami telah menghentikan semua orang yang akan berjualan ke kota. Membeli barang-barang mereka dan ke­mudian membawanya masuk. Tetapi orang-orang kita pun yang ke­mudian mengangkutnya ke dalam kota dalam penyamaran yang rapi.”

Para prajurit yang sudah siap itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi sebentar lagi kota ini akan terbangun. Jalan-jalan akan menjadi ramai dan dengan de­mikian akan dapat timbul kericuhan dan korban yang tidak berarti.”

“Mudah-mudahan kita akan segera mulai.”

Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam halaman pun menjadi semakin gelisah. Hampir saja mereka berdua mengambil sikap tersendiri menghadapi keadaan yang mereka anggap sangat gawat itu.

Namun agaknya kelambatan itu tidak berkepanjangan. Sejenak kemudian para prajurit yang ada di dalam kota telah mendengar tanda bahaya yang meledak di gerbang sebelah Uta­ra vang kemudian menjalar keseluruh kota. Tanda yang jus­tru dibunyikan oleh prajurit-prajurit Singasari.

Memang tanda itulah yang dipergunakan sebagai isyarat bagi seluruh kekuatan yang ada di dalam kota. Seperti yang sudah mereka bicarakan, maka keributan akan dimulai dari gerbang Utara. Pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah memperhitungkan, bahwa akan terdengar bunyi tanda bahaya itu. Dan tanda itu pun dipergunakan pula oleh mereka sebagai isyarat, bahwa perjuangan mereka harus segera dimulai.

Namun demikian, untuk meyakinkan apakah pasukan me­mang sudah siap seluruhnya, di beberapa tempat akan dilontarkan panah-panah api dan panah sendaren dengan cirinya masing-masing. Tanda bahaya yang dibunyikan justru oleh prajurit Singa­sari itu benar-benar telah menggemparkan seluruh kota. Prajurit-prajurit yang tersebar itu pun segera mempersiapkan diri ditempat ma­sing-masing.

Pada saat itu pulalah, maka setiap prajurit dari pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam mengenakan lawe berwarna pu­tih di pergelangannya. Demikian pula setiap kekuatan yang mendukung Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Prajurit-prajurit yang dipercaya oleh Tohjaya pengawal halaman tstana pun segera bersiap pula. Tohjaya sendiri berada di bangsalnya, dikelilingi oleh pengawalnya yang terpercaya dan sen­jata telanjang di tangannya.

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Tohjaya kepada pengawalnya.

“Belum ada laporan yang kami terima tuanku.” jawab Senapati yang bertanggung jawab atas keamanannya.

“Cepat, usahakan untuk mengetahui, apa yang terjadi.”

Beberapa orang pun kemudian berlari-larian di halaman. Penghubung-penghubung berkuda berderap di jalan-jalan kota. Baru beberapa saat kemudian, Tohjaya mendengar lapo­ran bahwa sepasukan prajurit telah memasuki kota lewat gerbang sebelah Utara, disusul oleh mereka yang memasuki kota lewat pintu gerbang sebelah Barat dan prajurit-prajurit yang merem­bes melalui lorong-lorong sempit.

“Bagaimana dengan prajurit-prajurit Singasari?”

“Mereka sedang berusaha menahan arus prajurit-prajurit itu.”

“Prajurit-prajurit darimanakah mereka itu?”

“Belum ada kepastian. Namun sementara dapat ditang­kap keterangan bahwa mereka adalah pendukung-pendukung Ranggawu­ni dan Mahisa Cempaka.”

“Gila. Mereka harus dibinasakan. Perintahkan untuk menangkap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka hidup-hidup. Aku sendiri akan menghukum mereka. Aku akan menyayat kulit dan dagingnya dan membiarkan mereka mati perlahan-lahan.”

Perintah itu pun kemudian tersebar di antara para Senapa­ti. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka harus ditangkap hidup-hidup. Tetapi ternyata bahwa pasukan yang menyerbu ke dalam kota itu mendesak semakin dalam. Bahkan pada saatnya, para prajurit dikedua belah pihak melihat panah berapi yang me­lontar ke pusat kota, beberapa kali berturut-turut.

“Itu adalah isyarat, bahwa kekuatan yang ada di dalam kota pun harus mulai bergerak. Justru setelah sebagian besar pra­jurit Singasari dikirim ke perbatasan dan berhasil menahan arus kekuatan dari luar kota.”

“Kita harus segera mulai.” berkata Lembu Ampal.

Senapati yang bertanggung jawab pun kemudian memberi­kan isyarat. Beberapa orang segera berteriak bersama-sama, mene­riakkan aba-aba yang kemudian disahut oleh orang-orang lain yang ber­pencaran di halaman-halaman. Setiap aba yang didengar oleh kelompok-kelompok lain, segera di­tirukan. Dengan demikian maka aba-aba itu pun segera merata di seluruh kota.

Para prajurit yang ada di halaman itu pun segera berlonca­tan keluar dari persembunyiannya. Mereka dalam waktu yang dekat telah berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Karena jumlah mereka memang tidak begitu banyak, maka mereka pun segera memilih sasaran seperti yang sudah mereka rencanakan.

Kekisruhan segera terjadi di dalam kota. Pertempuran se­gera menjalar ke mana-mana. Kelompok-kelompok terpencil yang tidak mendengar teriakan aba-aba dari induk pasukannya, berpegangan kepada isyarat yang di­lihatnya. Dengan demikian, maka kota Singasari benar-benar bagaikan diaduk oleh benturan senjata. Di mana-mana telah terjadi perang dalam kelompok-kelompok kecil.

Prajurit Singasari menjadi bingung. Mereka mendapat perintah untuk pergi ke gerbang-gerbang kota. Tetapi tiba-tiba saja mere­ka telah berpapasan dengan lawan yang bertebaran.

“Orang Rajasa.” teriak seorang Senapati, “Mereka te­lah memberontak.”

“Marilah, kita hancurkan mereka.”

Prajurit-prajurit yang merasa dirinya mendapat kepercayaan Toh­jaya itu pun segera berusaha untuk menumpas orang-orang Rajasa. Tetapi dibagian lain, prajurit-prajurit itu berteriak, “Orang-orang Sinelir. Mereka mendendam karena seorang Senapatinya telah dibu­nuh oleh tuanku Tohjaya.”

“Binasakan mereka.”

Seorang Senapati kemudian memerintahkan seorang peng­hubung untuk menyampaikan kepada Senapati yang bertugas di halaman istana, bahwa di luar halaman telah terjadi benturan senjata antara orang Rajasa melawan para prajurit yang sedang, mendapat kepercayaan Maharaja di Singasari.

“Mereka iri hati dan dengki.”

Penghubung itu pun kemudian dengan hati-hati menyusup mendekati pintu gerbang istana. Ternyata bahwa halaman ista­na itu pun sudah menjadi sepanas bara. Isyarat yang dilihat oleh para prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah memperingatkan mereka, bahwa di luar halaman, perang telah berkobar.

“Kita harus menunggu sejenak.” perintah kedua Pang­lima yang ada di dalam halaman itu, “Kita menunggu prajurit yang ada di halaman ini berkurang.”

Seperti yang mereka perhitungkan, maka beberapa ke­lompok prajurit segera diperintahkan untuk membantu pengamanan di luar halaman. Tetapi Senapati yang sedang bertugas pun tidak lengah menghadapi kekuatan orang-orang Rajasa dan Si­nelir yang ada di dalam halaman.

Sejenak kemudian maka Senapati itu menerima penghu­bung yang lain dengan nafas terengah-engah memotong, “Orang-orang Sinelir telah mengangkat senjata.”

Senapati itu menjadi marah. Ia telah memerintahkan dua orang penghubung untuk menghubungi Panglimanya. Sementara itu ia berkata, “Tentu sudah diatur sebelumnya. Aku su­dah curiga sejak sore tadi. Jangan menjadi lengah. Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang ada di halaman ini pun te­lah bersiap. Karena itu jangan terpancing keluar semuanya. Kalian harus bersiaga di setiap pemusatan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam.”

Para prajurit itu pun ternyata mampu bergerak cepat. Ke­tika Panglima memasuki halaman istana, maka semua prajuritnya telah menempatkan diri menghadapi setiap kemungkinan disegala sudut halaman. Kedua Panglima yang telah bertekad untuk mendukung Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu pun harus berhati-hati. Me­reka pun menjadi kagum, bahwa Panglima prajurit kepercaya­an Tohjaya itu cepat mengambil sikap dengan menempatkan prajuritnya ditempat yang paling berbahaya.

Dalam pada itu, di luar halaman, pertempuran menjadi semakin seru. Tetapi ternyata bahwa jumlah Pasukan Penga­wal dan Pelayan Dalam tidak sebanyak prajurit-prajurit yang sudah dipersiapkan untuk melindungi kekuasaan Tohjaya.

Lembu Ampal menjadi cemas melihat pertempuran di dalam kota, tetapi di luar halaman istana itu. Karena itu, maka ia pun segera berusaha untuk menghubungi Pasukan yang ada di dalam halaman, untuk segera mulai agar prajurit-prajurit yang ber­ada di luar halaman, sebagian terpaksa ditarik masuk ke dalam. Tetapi Lembu Ampal pun menyadari bahwa jumlah praju­rit kepercayaan Tohjaya yang berada di halaman memang cukup banyak.

Isyarat yang diberikan oleh Lembu Ampal telah dapat di tangkap oleh kedua Panglima yang ada di dalam halaman keti­ka tiga buah panah sendaren menyambar pepohonan di hala­man. Karena itu, maka mereka pun tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka yakin bahwa di luar halaman dan di luar kota, pertempuran sudah berkobar dengan sengitnya.

Halaman istana itu pun bagaikan terbakar oleh api den­dam yang menyala di setiap dada prajurit-prajurit Singasari dikedua belah pihak. Hampir di setiap sudut dan regol telah terjadi pertempuran. Perang brubuh yang kisruh. Satu-satunya tanda di antara mereka adalah, bahwa prajurit-prajurit yang berpihak pada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mempergunakan gelang la­we berwarna putih di pergelangan tangannya.

Ketika kemudian langit menjadi cerah, maka ciri itu pun menjadi semakin jelas. Namun dengan demikian menjadi sema­kin jelas pula, bahwa jumlah prajurit yang berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ternyata lebih sedikit dari. jumlah prajurit-prajurit yang sudah dipersiapkan oleh Tohjaya, kare­na kecemasannya akan kesetiaan para Pengawal dan Pelayan Dalam.

Dalam pada itu, Tohjaya yang dikelilingi oleh prajurit-prajurit yang melindungi di istananya itu pun mengumpat-umpat tidak ada habis- habisnya. Setiap kali ia mendengar laporan tentang pertempu­ran yang terjadi, ia menggeram dengan garangnya.

Betapapun jarak antara Tohjaya dan ibunya serasa menja­di semakin jauh, namun dalam keadaan itu, ia berteriak kepada Panglima prajurit yang sudah ada di istana pula, “Lindu­ngi ibunda Ken Umang sebaik-baiknya.”

“Hamba sudah mengirimkan sepasukan prajurit ke bangsal ibunda tuanku.” sahut Panglima itu, lalu, “Bagaimana dengan ibunda tuanku Ken Dedes, adinda tuanku yang lahir dari tuan puteri Ken Dedes dan keluarganya.”

Tohjaya merenung sejenak, lalu, “Biarlah mereka diba­kar oleh peperangan. Tentu merekalah yang telah berkhianat. Ada firasat mengatakan, bahwa ini adalah pokal pamanda Ma­hisa Agni.” ia berhenti sejenak, lalu, “He, dimana pamanda Mahisa Agni?”

“Masih berada di bangsalnya. Di kawal oleh beberapa orang pengawal setia yang dibawanya dari Kediri.”

“Apakah ia tidak ikut dalam pertempuran di halaman dan di luar halaman?”

“Masih harus dilihat tuanku.”

“Persetan.” ia menggeram. Lalu, “Aku tidak peduli dengan mereka. Aku tidak membutuhkan mereka lagi. Ternya­ta sepanjang hidup mereka, tidak ada lain daripada menggang­gu saja.”

“Maksud tuanku.”

“Panglima.” berkata Tohjaya, “Kita masih belum tahu pasti, siapakah yang telah membakar Singasari dengan peperangan ini. Aku tidak peduli siapa pun yang bersalah, tetapi da­lam kekalutan ini kita dapat bertindak sekaligus. Kalian harus menyingkirkan ibunda Ken Dedes dengan segala keturunan­nya, pamanda Mahisa Agni dengan semua pengawalnya dan siapa pun yang berpihak kepada mereka. Aku yakin bahwa me­reka terlihat ke dalam kejahatan yang terjadi ini. Tetapi bagiku perang ini akan bermanfaat. Semua orang yang tidak sejalan dengan aku, akan aku bersihkan.”

“Tuanku.” Panglima itu termangu-mangu, “Bukankah putera-putera tuan Puteri Ken Dedes itu adalah Saudara-saudara tuanku sendiri. Saudara seayah meskipun berlainan ibu.”

“Aku tidak perduli. Mereka adalah orang-orang yang dengki dan jahat. Mereka tentu mengharap aku terbakar dalam api peperangan ini.”

Panglima itu tidak berani membantah lagi. Dalam keada­an yang demikian hati Tohjaya akan sangat mudah terbakar. Karena itu maka katanya, “Baiklah tuanku, semua perintah tuanku akan hamba laksanakan.”

Panglima itu pun kemudian ke luar dari dalam biliknya. Tetapi ia masih saja ragu-ragu akan perintah Tohjaya.

“Aku tidak peduli.” akhirnya ia pun menggeram, “Aku sekedar menjalankan perintah. Mungkin memang mereka­lah yang telah menghasut orang Rajasa dan Sinelir untuk mem­berontak. Sayang, mereka adalah orang-orang yang dungu, yang ti­dak dapat membuat pertimbangan kekuatan. Orang-orang Sinelir dan Kajasa itu jumlahnya sama sekali tidak berarti dibanding­kan dengan jumlah prajurit Singasari yang ada.”

Dalam pada itu, Mahisa Wonga Teleng yang sudah dihu­bungi bahwa hal itu akan terjadi, telah mengumpulkan adik-adiknya di bangsal ibundanya Ken Dedes. Dibawah perlindungan beberapa orang pengawal terpilih, mereka pun telah bersiap dengan senjata masing-masing untuk menghadapi segala, kemungki­nan.

Pertempuran yang berkobar di halaman itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun sebagian dari para prajurit telah keluar dari halaman untuk melawan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di luar halaman, namun ternyata ke­kuatan mereka di halaman itu masih cukup besar untuk mene­kan orang-orang Rajasa dan Sinelir.

Kedua orang Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pe­layan Dalam itu pun telah turun sendiri kedalam medan pertempuran, sehingga karena itu, maka keduanya bersama bebe­rapa orang pengawalnya telah mengikat dua kelompok prajurit lawan untuk menahan mereka.

Sementara itu, Mahisa Agni masih tetap berada di bangsal­nya. Tetapi ia sudah menyiapkan diri menghadapi setiap ke­mungkinan yang dapat terjadi. Ia sudah memerintahkan kepa­da pengawal-pengawalnya khususnya untuk memperhatikan isyarat yang akan diberikan oleh Mahisa Wonga Teleng apabila keadaan memaksa.

Namun ternyata bahwa sesuai dengan perintah Tohjaya, sekelompok prajurit pilihan telah menyerbu ke dalam bangsal itu, bersamaan waktunya dengan kelompok yang lain yang me­nyerang bangsal Ken Dedes yang dipertahankan oleh pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang terpilih bersama Mahisa Wonga Teleng dan adik-adiknya.

Mahisa Agni yang memang sudah siap itu pun segera me­merintahkan pengawalnya untuk menyambut serbuan itu. Bukan saja orang Rajasa dan Sinelir, tetapi bahwa Mahisa Agni sendiri bersama para pengawal khususnya, telah berada di gerbang bangsalnya pula.

“Bukan kita yang menyerang, tetapi Tohjaya.” berka­ta Mahisa Agni, “Karena itu, kita harus mempertahankan diri sebaiknya. Aku sendiri akan memimpin perlawanan itu di sini.”

Para Pengawal dan Pelayan Dalam yang jumlahnya tidak begitu banyak itu pun menjadi berbesar hati. Mereka mengenal baik-baik, siapakah Mahisa Agni itu. Pertempuran di halaman yang menjadi semakin sengit itu­ pun menjadi bertambah-tambah lagi. Sekelompok prajurit telah me­nyerbu langsung ke pintu gerbang bangsal Mahisa Agni.

Tetapi para prajurit yang mempertahankan bangsal itu­ pun telah siap menyambut mereka. Beberapa orang pengawal khusus yang selama itu berada bersama Mahisa Agni, segera berpencar. Selain tanda yang sudah disetujui bersama, gelang lawe wenang yang berwarna putih, maka di leher mereka masih tetap membelit sehelai kain putih sebagai pertanda bahwa perang yang mereka lakukan adalah perang tanpa mengenal su­rut. Yang mereka pilih adalah dua kemungkinan. Menang atau mati. Tanpa pilihan ketiga, mengundurkan diri.

Demikianlah pertempuran telah pecah pula di depan bang­sal Mahisa Agni. Seorang Senapati yang memimpin prajurit-prajurit yang menyerang bangsal itu, berusaha untuk sekaligus memu­kul para pengawal dan membinasakannya sebelum mereka sempat berbuat terlampau banyak.

Tetapi para prajurit itu ternyata menjumpai perlawanan yang mengejutkan. Orang-orang berkalung sehelai kain putih itu ternyata langsung menyergap mereka dan menusuk ke dalam barisan prajurit-prajurit yang menyerang itu. Disusul oleh sergapan para prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang merasa dirinya seakan-akan telah mengenakan selembar kain putih melilit dileher mereka pula. Di antara mereka itu terdapat seorang yang untuk sejenak mengamati pertempuran itu dengan kening yang berkerut merut.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sen­diri, “Alangkah rakusnya manusia. Mereka yang mempunyai akal budi, masih harus menyelesaikan persoalan di antara me­reka dengan kekerasan. Seakan-akan manusia itu tidak dapat ber­bicara yang satu dengan yang lain untuk menyesuaikan kepen­tingan masing-masing.” Namun kemudian Mahisa Agni meraba da­danya sendiri sambil berkata, “Termasuk aku sendiri.”

Mahisa Agni yang sedang merenung itu tiba-tiba terkejut ke­tika sebuah tombak terjulur ke dadanya. Dengan cekatan ia bergeser setapak sambil memiringkan tubuhnya. Namun de­ngan demikian ujung tombak itu meluncur tanpa menyentuh sasarannya sama sekali.

Ketika orang yang menyerangnya itu kemudian menarik tombak pendeknya dan melangkah surut, maka Mahisa Agni pun melihat bahwa orang itu adalah Senapati yang bertugas mempimpin pasukan yang menyerang bangsalnya. Bersama dengan dua orang pengawalnya mereka berusaha untuk me­ngurung Mahisa Agni, agar tidak mengacaukan pasukannya yang sedang bertempur di muka bangsal itu.

“Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan?” bertanya Mahisa Agni.

Senapati itu tidak menjawab. Dengan garangnya ia me­nyerang, disusul dengan serangan beruntun dari kedua orang pengawalnya. Namun Mahisa Agni masih sempat mengelak­kan serangan itu. Dengan sigapnya ia bergeser dan meloncat. Kemudian hampir di luar pengamatan lawannya ia sudah ber­ada di luar kepungan ketiga orang itu.

“Aku masih ingin berbicara.” berkata Mahisa Agni yang belum memegang senjata apapun, “Apakah kalian mau mendengar?”

Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia menye­rang sekali lagi dengan dahsyatnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak berarti.

“Hentikan sejenak. Aku akan berbicara.” berkata Ma­hisa Agni pula.

Tetapi, Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia semakin merasa terhina dengan sikap Mahisa Agni itu. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri untuk menyerangnya pula dengan tombak pendeknya. Namun dalam pada itu, kedua pengawalnya menjadi he­ran melihat sikap Mahisa Agni. la sama sekali tidak me­megang senjata apapun di medan perang yang semakin seru itu. Bahkan ia masih saja mengelak sambil berusaha untuk ber­bicara kepada lawannya.

“Dengarlah.” desis Mahisa Agni.

“Tidak ada yang dibicarakan.” teriak Senapati itu, lalu, “Bunuh semua orang Rajasa dan Sinelir. Bunuh semua pe­ngawal berkalung kain putih itu. Aku akan membunuh Mahi­sa Agni.”

“Jadi kau tidak mau berbicara lagi.” bertanya Mahisa Agni.

Senapati itu tidak menyahut. Tetapi ia berteriak kepada kedua pengawalnya, “Jangan tidur. Orang ini harus dibunuh.”

“Kalian tidak akan dapat membunuh aku.” berkata Mahisa Agni, “Jika kau berkeras hati, maka kau dan seluruh anak buahmu akan terbunuh di sini.”

“Persetan. Jangan terlampau sombong.”

“Akulah yang telah menaklukkan Kediri bersama Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Tidak ada orang lain yang dapat mengalahkan aku di seluruh Singasari. Yang dapat menyamaiku hanyalah Sri Rajasa, dan kini tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

Kata-kata itu menyentuh hati Senapati yang bersikap melawan­nya membabi buta. Namun kemudian ia menggeram, “Jangan sombong. Kau pun akan mati. Aku adalah Senapati terpercaya. Aku mendapat tugas untuk membunuhmu. Dan kau jangan mencoba menakut-nakuti aku.”

Mahisa Agni menarik nafas. Ia sudah berusaha. Bahkan dengan menakut-nakuti dan menyebut-nyebut nama Sri Rajasa agar Sena­pati itu mau diajak berbicara. Tetapi prajurit-prajurit itu pun agaknya seorang prajurit yang keras hati. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Mahisa Agni dari pada bertempur. Dan ia pun kemudian sudah siap untuk melakukannya setelah usahanya untuk berbicara sia-sia.

Karena itulah maka Mahisa Agni pun kemudian menarik pedangnya yang disarungkannya di lambung kirinya. Sekejap kemudian, maka Senapati pun itu pun telah mengu­lang serangannya bersama kedua pengawalnya. Hampir bersa­maan dari arah yang berlainan. Tetapi kini Mahisa Agni tidak lagi sekedar menghindar dan berloncatan. Ia sudah memegang senjata ditangannya. Karena itulah, maka ia pun segera mempergunakannya.

Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelak sekaligus me­nangkis serangan yang lain. Namun hampir diluar kemampu­an pengamatan lawannya, pedang Mahisa Agni pun segera ber­putar. Sebuah benturan yang keras segera terjadi. Terdengar se­buah keluhan tertahan. Seorang dari ketiga lawan Mahisa Agni itu segera meloncat mundur sambil memegang pergelangan tangannya yang berdarah, sedang senjatanya telah terlempar beberapa langkah daripadanya.

“Menyingkirlah.” geram Mahisa Agni, “Jika kau ti­dak mendekat aku lagi, dan tidak ikut campur di dalam pertem­puran ini kau akan mendapat kesempatan hidup.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara itu lawan-lawan Mahisa Agni yang lain telah menyerangnya pula. Tetapi serangan me­reka sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Orang yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika dilihatnya seorang prajurit yang terkapar di tanah dengan sebu­ah tombak masih digenggamnya, maka ia pun segera memu­ngut tombak itu.

Sejenak ia termangu. Kemudian dengan hati-hati ia mendeka­ti Mahisa Agni. Tombak yang dipungutnya itu pun dipeganginya dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya yang ter­luka. Tiba-tiba, ketika ia sudah membidik dengan saksama, tombak itu dilemparkannya kearah punggung Mahisa Agni yang se­dang berusaha menangkis serangan seorang lawannya.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni tidak lengah. Ia da­pat melihat sekilas lontaran tombak itu, sehingga ia sempat memiringkan tubuhnya sambil bergeser sejengkal. Tetapi tombak itu tidak terlempar dengan sia-sia. Sejenak kemudian terdengar teriakan nyaring. Tombak itu ternyata telah terhunjam ke dalam perut kawan prajurit yang melontar­kannya itu sendiri. Seketika orang itu terlempar dan terbanting di tanah, un­tuk tidak bangkit lagi seIama-Iamanya.

“Gila, gila.” prajurit yang melontarkan tombak itu ber­teriak. Kemarahan yang memuncak telah mencengkam otaknya. Demikian pula Senapati yang bersama mereka telah mela­wan Mahisa Agni itu.

Tetapi kemarahan mereka tidak banyak memberikan arti Mahisa Agni pun kemudian melihat kenyataan, bahwa jumlah orang-orang Rajasa dan Sinelir yang tidak begitu banyak itu mulai terdesak. Bukan saja dihadapan bangsal Mahisa Agni. Tetapi agaknya di mana-mana, di seluruh sudut halaman istana itu.

Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada mengu­rangi jumlah lawannya. Dan jika di antara mereka itu terbunuh, hal itu tentu tidak akan dapat dihindarinya lagi. Juga apabila pada suatu saat, ia sendirilah yang terbunuh di peperangan itu.

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni pun telah melibat­kan diri benar-benar di dalam pertempuran dan pertumpahan darah. Apalagi ketika ia melihat seorang pengawalnya yang berciri sehelai kain putih dilehernya telah terbaring di tanah. Lambungnya menganga tersayat oleh ujung pedang, sedang darahnya mengalir bagaikan terperas dari tubuhnya. Mahisa Agni menggeram. Ia sempat melihat pengawalnya yang lain masih bertem­pur dengan gigihnya di antara orang-orang Rajasa dan Sinelir yang berciri lawe di tangannya.

Ketika Mahisa Agni dengan tidak sengaja melihat ujung tombak seorang prajurit lawannya, menyentuh punggung seo­rang pengawalnya yang lain, sehingga pengawalnya itu terluka parah, dan kemudian seorang Rajasa berdesis menahan sakit ketika lengannya nyaris putus oleh sabetan pedang, dada Ma­hisa Agni bagaikan mendidih. Perlahan-lahan Mahisa Agni hanyut di dalam arus kekerasan yang terjadi diarena peperangan itu.

Bahkan kemudian Mahisa Agni tidak dapat menahan ha­tinya lagi ketika seorang lagi Pelayan Dalam yang jatuh di ta­nah karena lambungnya ditembus oleh ujung tombak. Mahisa Agni menggeram. Ia harus menghentikan jatuh­nya korban-korban baru dipihaknya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat dengan garangnya sambil menggerakkan pedangnya.

Ia tidak memerlukan waktu yang lama untuk mengakhiri perlawanan Senapati yang menahan serangannya. Senapati itu pun segera terlempar sambil mengerang. Mahisa Agni tidak menghiraukannya lagi, apakah Sena­pati itu mati atau sekedar terluka. Mahisa Agni pun kemudian dengan sengitnya bertempur melawan prajurit-prajurit yang telah menyerang bangsalnya itu.

Sesaat setelah Mahisa Agni ikut langsung di dalam pepe­rangan itu, segera terjadi perubahan di arena. Prajurit-prajurit itu ti­dak lagi berhasil mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir beserta pengawal khusus Mahisa Agni yang bertempur tanpa menghi­raukan dirinya sendiri. Apalagi ketika mereka menyadari bah­wa Senapatinya telah terbunuh atau terluka parah dan terba­ring di pinggir arena tanpa bergerak sama sekali.

Prajurit itu bagaikan kehilangan ikatan. Mereka seolah-olah bertempur menurut kemauan masing-masing. Sehingga dengan demi­kian maka ikatan kesatuan mereka pun menjadi retak dan akhirnya pecah sama sekali. Pengawal-pengawal Mahisa Agni bersama orang-orang Rajasa dan Sine­lir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendesak lawan­nya.

Dengan demikian, maka pertempuran di depan bangsal Mahisa Agni itu pun mempunyai akhir yang agak berbeda dengan pertempuran-pertempuran yang lain. Pada umumnya para prajurit yang mendukung Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Tetapi mere­ka yang melawan Mahisa Agni dengan pengawalnya yang di lehernya dibelitkan kain putih yang bertempur bersama-sama de­ngan orang-orang Rajasa dan Sinelir, telah terdesak dan bahkan ke­pungan mereka telah dipecahkan.

Namun ternyata bukan pecahnya kepungan para prajurit itu tidak hanya terjadi dibangsal Mahisa Agni. Dimuka gardu peronda di sudut halaman dalam, kepungan para prajurit itu­ pun dapat dipatahkan. Di regol itu berjaga-jaga sekelompok prajurit dari Pasukan Pengawal yang langsung dipimpin oleh Panglimanya sendiri, sehingga dengan demikian maka mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Seperti para pengawal yang bertempur bersama Mahisa Agni, maka mereka pun hanya mempunyai dua pilihan. Menang atau mati.

Tetapi masih ada satu tempat lagi yang berhasil menyo­bek kepungan para prajurit. Didepan bangsal Tuan Puteri Ken Dedes, Mahisa Wonga Teleng bertempur mati-matian. Bersa­manya adalah Panglima Pelayan Dalam yang dengan cemas telah berusaha untuk melindungi keluarga Ken Dedes yang agaknya menjadi sasaran kemarahan Tohjaya.

Mahisa Wonga Teleng memang tidak mempunyai pilihan lain. Bersama adik-adiknya dan Panglima Pelayan Dalam ia me­mimpin orang-orang Rajasa dan Sinelir menghancurkan prajurit vang mencoba menyergap bangsal itu.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang sudah bebas dari anca­man para prajurit itu pun kemudian memanggil Senapati yang ditugaskan oleh orang-orang Rajasa dan Sinelir. Dengan singkat me­reka berunding untuk mengatasi kesulitan yang timbul di hala­man itu.

“Kita tidak akan dapat tinggal diam. Setelah kita berha­sil mengusir prajurit-prajurit itu, kita harus bertindak lebih jauh.” berkata Mahisa Agni, “Kita tidak yakin apakah kawan-kawan kita berhasil mempertahankan diri.”

“Jadi maksud tuan?” bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal.

“Kita pergi kebangsal Tuan Puteri Ken Dedes.”

“Aku sependapat tuan.” potong Senapati Pelayan Da­lam, “Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan.”

Mahisa Agni pun kemudian memimpin sekelompok pasu­kannya melintasi halaman. Di beberapa tempat mereka memang harus berhenti sejenak. Tetapi mereka mencoba menghindari pertempuran yang dapat mengikat mereka. “Cepat.” berkata Mahisa Agni.

Tetapi sekelompok prajurit yang melihatnya tidak mele­paskannya. Mereka pun dengan serta merta telah mengejar sekelompok lawan yang mengikuti Mahisa Agni. “Jangan hiraukan. Adalah kebetulan sekali jika mereka mengikuti kita. Lawannya akan sedikit mendapat keringanan.”

Pengikut-pengikut Mahisa Agni itu tidak menjawab. Tetapi mere­ka pun sependapat. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Agni, maka orang-orang Sinelir dan Rajasa yang sedang bertempur dan ditinggalkan oleh sebagian dari lawan-lawannya menjadi agak lapang. Mereka tidak harus memeras keringat sampai titik terakhir, dan kemudian dengan terengah-engah mencoba menyelamatkan hidup mereka.

Ketika Mahisa Agni mendekati bangsal Tuan Puteri Ken Dedes, maka hatinya menjadi lega. Ia melihat bahwa Mahisa Wonga Teleng dan Panglima Dalam yang bertempur di sekitar bangsal itu telah berhasil mendesak lawannya sehingga sebagi­an besar dari mereka telah terusir. Yang masih ada hanyalah orang-orang yang keras kepala dan tidak mau melihat kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat berhasil menerobos memasuki bangsal itu.

Kedatangan Mahisa Agni telah menambah mantap orang-orang Rajasa dan Sinelir yang sedang bertempur bersama Mahisa Wonga Teleng. Karena itu, maka mereka pun bertempur sema­kin gigih. Senjata mereka berputaran dan korban pun berjatu­han semakin banyak.

“Bagaimana keadaan tuan?” bertanya Mahisa Agni.

“Kami berhasil paman.” jawab Mahisa Wonga Teleng.

“Jika demikian, baiklah. Aku akan menahan prajurit yang mengejarku.” berkata Mahisa Agni.

Dengan serta merta maka Mahisa Agni pun kemudian me­merintahkan pengikutnya untuk menyiapkan diri melawan sekelompok prajurit yang mengejarnya. Namun mereka bukan lawan yang cukup kuat. Sejenak kemudian mereka pun telah pecah dan berlari-larian memencar mencari kawan-kawannya yang lain dan menggabungkan diri di arena pertempuran yang lain.

Dalam pada itu, Panglima Pasukan Pengawal pun telah meninggalkan tempatnya pula untuk menolong pasukannya yang terdesak di beberapa bagian dari arena di halaman istana itu. Bahkan sebagian besar dari lingkaran-lingkaran pertempuran benar-benar telah dikuasai oleh prajurit yang setia kepada Tohjaya.

Sementara itu, Lembu Ampal yang bertempur di luar din­ding istana pun harus berjuang mati-matian untuk dapat bertahan. Jumlah orang-orang Rajasa dan Sinelir memang tidak cukup banyak. Sebenarnyalah, bahwa mereka mengharapkan bantuan yang da­tang dari luar kota, untuk membantu menahan sergapan prajurit-prajurit yang sedang marah sekaligus mencari muka.

Betapa usaha Lembu Ampal untuk menolong orang-orang Ra­jasa dan Sinelir, namun mereka tidak akan dapat berbuat me­lampaui kemampuan mereka. Karena itu, maka orang-orang Rajasa dan Sinelir semakin lama menjadi semakin terdesak menjauhi dinding istana.

Dalam pada itu, di dalam istana, Mahisa Agni, kedua Pa­nglima, Mahisa Wonga Teleng dan orang-orang terpilih hanya mam­pu menolong Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang ber­ada disekitarnya dan terbatas sekali. Tetapi keadaannya masih agak lebih baik dengan kawan-kawannya yang berada di luar dinding istana.

Namun dalam pada itu, pertempuran di pintu gerbang dan regol-regol lorong di dinding kota pun terjadi dengan sengitnya. Pa­sukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka melanda prajurit Si­ngasari yang mempertahankan kota itu dengan dahsyatnya.

Tetapi sebenarnyalah, bahwa pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bukannya yang berada di mulut gerbang dap regol itu sajalah yang akan menerobos memasuki kota. Seba­gian dari mereka, justru telah berada memasuki kota. Sebagian dari mereka, justru telah berada di dalam. Mereka memasuki kota tanpa bertempur sama sekali, karena mereka menyamar sebagai orang-orang yang akan berjualan hasil kerja mereka dan hasil bumi dari luar kota.

Orang-orang itulah yang sudah berada di dalam. Mereka men­cari tempat untuk menanggalkan pakaian penyamaran mereka dan mengenakan pakaian tempur yang sudah mereka bawa ter­sembunyi di bawah barang dagangan. Dengan tergesa-gesa mereka mengenakan lawe di pergelangan tangan sebagai ciri yang su­dah ditentukan.

Barulah kemudian mereka memencar. Mereka merayap mendekati dinding halaman istana dari segala jurusan. Bahkan mereka tidak langsung terjun ke arena pertempuran, karena be­berapa orang di antara mereka sempat memasuki pintu-pintu rumah yang tertutup rapat. Dengan agak memaksa pintu-pintu itu pun ter­buka. Penghuninya dengan gemetar menatap orang-orang yang tidak dikenalnya berdiri di depan pintu.

“Jangan takut.” berkata pengikut Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “Aku adalah prajurit-prajurit Singasari yang setia kepada sumbernya pemimpin pemerintahan yang sebenarnya. Kami adalah pendukung-pendukung tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka, keturunan Ken Dedes.”

Orang-orang itu bagaikan membeku sambil mendengar ketera­ngan itu.

“Nah, tenanglah. Kami akan berjuang bagi kalian mela­wan Tohjaya yang tamak.”

Sepeninggal orang-orang yang berdiri dengan senjata di tangan di muka pintu rumah-rumah mereka itu, barulah mereka mulai ber­pikir. Dan sebagaian besar dari mereka mulai disentuh oleh harapan, “Bukankah tuanku Ranggawuni itu putera tuanku Anusapati, sedangkan tuanku Mahisa Cempaka adalah putera tuanku Mahisa Wonga Teleng?”

Orang-orang yang mendatangi pintu-pintu rumah yang tertutup itu ternyata terkejut ketika mereka melihat seorang yang terluka berIari-Iari memasuki halaman dan berusaha bersembunyi di balik dinding. Tetapi ketika orang yang terluka itu sedang berusaha menahan darah yang keluar dengan kain panjangnya, ia terke­jut melihat beberapa orang mendatanginya. Meskipun ia sudah terluka, namun dengan sigapnya ia meloncat dan mengacukan senjatanya.

“Kenapa kau ki Sanak?” bertanya orang-orang yang baru datang.

Orang yang terluka itu heran. Apakah orang-orang itu tidak mengetahui bahwa sedang terjadi perang di seluruh bagian kota di sekitar dinding istana? Namun tiba-tiba ketika terpandang olehnya gelang lawe di pergelangan tangannya maka orang yang terluka itu pun berkata, “Apakah kau menyadari bahwa lawe di tanganmu itu mempunyai arti?”

“Tentu.” jawab orang-orang itu. Dan hampir di luar kesada­ran mereka, mereka pun serentak memandang pergelangan tangan orang yang terluka itu. Orang itu pun mengenakan lawe di tangannya meskipun sudah menjadi merah oleh darah.

“Kau orang Rajasa atau Sinelir?”

“Bukan. Tetapi aku berada dipihaknya. Aku adalah pembantu di rumah seorang Senapati Pasukan Pengawal. Aku ada­lah pekatiknya.”

“O.” sahut orang yang baru datang itu, “Dimana Se­napatimu sekarang?”

“Bertempur. Tetapi agaknya orang-orang Rajasa dan Sinelir terdesak, dan bahkan hampir tidak dapat bertahan lagi.”

Orang-orang itu terkejut. Dengan serta merta salah seorang da­ri mereka bertanya, “Jadi orang-orang Rajasa dan Sinelir sudah ter­desak?”

“Ya. Berat sekali.”

Mereka berpandangan sejenak, lalu salah seorang bergu­mah, “Kita memang sudah menduga. Tetapi tidak secepat itu. Karena itu, marilah, kita segera saja turun ke medan.”

Orang yang terluka itu termangu-mangu. Lalu katanya, “Jika kalian segera membantu, keadaan tentu akan berubah. Aku pun akan memampatkan luka ini. Seterusnya aku akan me­manggil para pelayan dan pembantu yang lain. Siapapun, asal ia seorang laki. Demikian juga yang dilakukan oleh Senapati-Senapati yang lain.”

Orang-orang itu tidak menyahut. Segera mereka berlari-larian me­nyusur lorong menuju ke arah istana. Hampir bersamaan waktunya, kawamnya yang tersebar pun mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah menjadi gawat sekali. Sebenarnya, bahwa pada saat itu orang-orang Rajasa dan Sine­lir sudah terdesak semakin jauh. Mereka bertempur sambil menarik diri. Bahkan sebagaian dari mereka telah bertempur di padesan yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun.

Dalam keadaan yang demikian itulah beberapa orang muncul dari lorong-lorong sempit, justru dari padesan-padesan. Beberapa kali terdengar suitan-suitan nyaring sebagai isyarat kehadiran mere­ka dan sekaligus perintah dan isyarat bagi kawan-kawan mereka agar segera turun ke medan.

Beberapa orang Rajasa dan Sinelir yang melihat kehadir­an mereka bersorak dengan serta merta. Orang-orang yang mempu­nyai tanda lawe berwarna putih di pergelangannya itu tentu pasukan yang telah berhasil menyusup memasuki kota dan se­gera akan bertempur bersama mereka.

Demikianlah yang sebenarnya segera terjadi. Orang-orang yang bermunculan dari lorong-lorong sempit dari segala arah di seputar dinding halaman istana itu pun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.

Prajurit-prajurit yang sedang mendesak dan bahkan mulai menge­jar orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terpaksa menarik diri itu pun terkejut. Semula mereka menyangka bahwa yang datang itu hanyalah beberapa orang yang tidak berarti. Tetapi ternyata bahwa beberapa orang itu muncul di setiap lorong, sehingga jumlah mereka seluruhnya tentu akan mempengaruhi pertem­puran di sekitar istana itu.

Dalam pada itu, orang- Rajasa dan Sinelir yang semakin mundur itu pun seolah-olah mendapatkan tenaga baru di dalam diri mereka. Dengan sepenuh kemampuan mereka berusaha untuk bertahan.

Sejenak kemudian, orang-orang yang bermunculan dari lorong-lorong itu pun telah terjun pula kemedan. Prajurit-prajurit yang semula men­desak orang-orang Rajasa dan Sinelir, terpaksa membagi diri. Seba­gian dari mereka terus berusaha mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir, sedang yang lain melawan musuh-musuh mereka yang baru.

Namun dengan demikian, maka kekuatan mereka mulai terpecah. Apalagi orang-orang Rajasa dan Sinelir mulai bertahan dengan sekuat kemampuan. Karena lawan mereka menjadi ber­kurang, maka mereka tidak lagi harus mundur terus menerus dan apalagi bersembunyi dan bertempur sambil berlari-lari di kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan.

Karena itulah maka pertempuran di luar halaman istana itu menjadi semakin riuh. Perlahan-lahan orang-orang Rajasa dan Sine­lir yang telah mendapat kekuatan baru itu berhasil menghen­tikan desakan lawan-lawannya. Bahkan kemudian pertempuran yang terjadi di luar dinding itu seolah-olah menjadi seimbang.

Namun dalam pada itu, di dalam dinding halaman, orang-orang Rajasa dan Sinelir masih mendapatkan kesulitan. Prajurit Si­ngasari yang setia kepada Tohjaya, dengan kemarahan yang meluap-luap dibumbui oleh harapan untuk mendapatkan hadiah atau pujian telah membuat mereka bagaikan liar. Senjata me­reka seolah-olah menjadi binatang buas yang kehausan. Sedang­kan darah adalah minuman yang sangat menggairahkan.

Mahisa Agni yang semula masih mempertimbangkan se­mua tingkah lakunya, walaupun di peperangan, mulai menjadi semakin garang. Ia telah didorong oleh perhitungan tentang kemungkinan-kemungkinan yang paling pahit akan terjadi pada Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang semakin terdesak.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun kemudian beru­saha untuk melemahkan musuhnya sebanyak-banyaknya. Meskipun ia tidak berhasrat membunuh semata-mata, tetapi jika kemudian terjadi kematian, adalah akibat dari perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan peradaban manusia yang seharus­nya menjadi semakin berkembang.

Kegarangan Mahisa Agni itu ternyata mempunyai penga­ruh yang luas. Bersama-sama dengan para pengawal khususnya yang membelitkan sehelai kain putih di lehernya, Mahisa Agni mengamuk seperti benteng yang terluka. Setiap kelompok la­wan yang dilanda olehnya bersama kelompok kecilnya, menja­di pecah berserakan.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka orang-orang Rajasa dan Sinelir mengambil keuntungan. Selagi prajurit-prajurit itu belum dapat menyesuaikan dirinya, maka mereka pun harus dilum­puhkannya sama sekali. Demikian juga kedua Panglima yang ada dihalaman itu. Mereka pun bertempur dengan gigihnya, tanpa memperhati­kan nasib mereka sendiri.

Sementara itu, Mahisa Wonga Teleng, oleh Mahisa Agni dimintanya untuk tetap berada di bangsalnya sambil melindungi ibundanya Ken Dedes dan keluarganya. Mereka masih ha­rus tetap berwaspada. Setiap saat kelompok-kelompok yang lain akan datang dan berusaha membinasakan seluruh keluarga itu.

Usaha Mahisa Agni dan para Panglima itu sedikit dapat menolong suasana. Bukan saja Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang mengalami tekanan yang berat, tetapi prajurit-prajurit la­wannya kadang-kadang harus berlarian bercerai berai dilanggar oleh pasukan Mahisa Agni yang tidak saja berada di arena tertentu.

Tetapi meskipun demikian, adalah sangat sulit bagi orang orang Rajasa dan Sinelir untuk tetap bertahan. Tekanan yang rasa-rasanya semakin berat, hampir tidak tertanggungkan lagi. Se­dangkan regol-regol halaman dan gerbang di depan istana sudah di tutup rapat-rapat oleh prajurit-prajurit yang bertugas.

Dengan demikian maka para prajurit dari Pasukan Pe­ngawal dan Pelayan Dalam yang ada di dalam, tidak akan da­pat menarik diri keluar dari halaman. Sedangkan yang ada di ­luar tidak akan dapat masuk. Tetapi keadaan itu justru membuat orang-orang Rajasa dan Sinelir bagaikan kehilangan pilihan. Tidak ada cara lain daripa­da bertempur sampai mati.

Mereka yang berhati kecil, kadang-kadang hampir menjadi pu­tus asa. Tetapi jika mereka melihat Mahisa Agni dan para pe­ngawal khususnya mengamuk dan memecah setiap kelompok prajurit yang mencoba menghalanginya, maka keberanian me­reka pun menjadi berkembang kembali. Dengan serta merta mereka menyerbu dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Prajurit yang sedang tercerai berai itu pun kemudian, di­serang tanpa ragu-ragu, sehingga korban pun berjatuhan.

Namun sekali lagi orang-orang Rajasa dan Sinelir harus me­ngakui kelebihan kekuatan para prajurit. Mereka selalu mene­kan orang-orang Rajasa dan Sinelir dengan jumlah yang seolah-olah tidak pernah berkurang, justru bertambah-tambah. Apalagi kemudian Panglima prajurit itu yang berada di bangsal Tohjaya, setelah menerima laporan dari penghubung­nya, segera mengambil keputusan,

“Perang ini harus cepat selesai. Jika tidak, maka Mahisa Agni akan mengurangi jum­lah prajurit kita sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya men­jadi lemah.”

“Jadi, bagaimana maksudmu?”

“Ampun tuanku. Jika berkenan, maka hamba akan me­lepaskan prajurit-prajurit cadangan di sekitar bangsal ini. Mereka ha­rus bergerak serentak untuk menumpas lawan dalam waktu yang dekat.”

“Jadi bagaimana dengan bangsal ini.”

“Hamba akan meninggalkan pengawal secukupnya.”

“Dan kau!”

“Hamba harus menahan sergapan Mahisa Agni di seluruh medan. Ia berada di mana-mana dan memungut korban sebanyak–banyaknya. Karena itu hamba harus menahannya agar ia terikat disatu tempat. Biarlah Senapati pilihan menghentikan gerak kedua Panglima yang berkhianat, sedang yang lain harus me­nyelesaikan tuanku Mahisa Wonga Teleng.”

“Dan ibunda Ken Dedes. Anak-anaknya dan menantunya.”

“Hamba tuanku.”

“Tetapi kau harus meninggalkan prajurit yang cukup di sekitar bangsal ini.”

“Tentu tuanku.”

“Pergilah, dan cepat kembali.”

Panglima itu pun kemudian keluar dari bangsal dengan pengawal-pengawal pilihan. Ia sudah bertekad untuk mencoba kemam­puan Mahisa Agni yang seolah-olah seperti dongengan tentang dewa-dewa yang turun dari langit, dan tidak terkalahkan oleh ma­nusia yang manapun juga. Selain ia sendiri turun kemedan, maka ia pun telah mele­paskan sebagian dari kelompok-kelompok pasukan cadangannya yang ditempatkan di sekitar bangsal Tohjaya.

Dengan demikian maka keadaan medan menjadi semakin berat sebelah. Orang-orang Rajasa dan Sinelir menjadi semakin ter­desak. Bahkan kemudian sekelompok prajurit telah berniat untuk membinasakan Mahisa Wonga Teleng dan saudaranya, sekaligus Ken Dedes dan menantunya, ibu Ranggawuni. Mahisa Agni dan kedua Panglima yang berada di pihak Ranggawuni menjadi gelisah. Mereka melihat gelombang yang seakan-akan bergulung-gulung datang melanda pasukan orang-orang Rajasa dan Sinelir.

Beberapa orang Senapati memang menjadi seakan-akan ber­putus asa Bahkan ada di antara mereka yang menjadi kecewa, seolah-olah mereka telah terjebak oleh rencana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Kita harus hancur lebih dahulu. Baru kemudian mere­ka akan memetik buahnya.”

Namun dengan demikian, mereka yang menjadi berputus asa itu pun justru menjadi sangat berbahaya. Mereka bertem­pur tanpa pengekangan diri lagi. Bagi mereka sudah tidak ada pilihan lain kecuali mati.

Dalam pada itu, di luar dinding istana, prajurit-prajurit dan rak­yat yang berpihak kepada Ranggawuni semakin banyak berda­tangan. Ketika salah satu pertahanan para prajurit yang men­jaga pintu gerbang dapat dipecahkan, maka bagaikan bendu­ngan yang tersobek oleh banjir bandang, maka pasukan yang berada di luar dinding kota pun berdesakan masuk. Mereka langsung berIari-Iarian menyerbu ke arah istana.

Baru kemudian mereka menyadari, bahwa baru sebuah pintu gerbang yang dapat mereka susupi. Dengan demikian, maka mereka pun kemudian memencar kebeberapa arah untuk membantu kawannya yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Sementara itu, Lembu Ampal menjadi agak berlega hati. Ia mulai yakin bahwa prajurit-prajurit yang mempertahankan istana itu pun akan segera dapat dipecahkan. Tetapi ternyata pertahanan dipintu-pintu gerbang halaman is­tana cukup rapat. Pintu-pintu besi yang besar telah diturunkan. Bu­kan saja digerbang induk, tetapi di setiap pintu yang menem­bus keluar dinding halaman.

Namun Lembu Ampal tidak saja dapat menikmati keme­nangan yang perlahan-lahan mulai nampak di luar dinding istana. Tetapi ia mulai membayangkan, bagaimanakah nasib orang-orang Rajasa dan Sinelir di dalam dinding istana. Tetapi Lembu Ampal sama sekali tidak menemukan sebu­ah regol pun yang terbuka.

Untuk beberapa saat lamanya, Lembu Ampal mencari ca­ra yang sebaik-baiknya, agar ia dapat membantu pasukan yang ada di dalam halaman. Meskipun di dalam halaman itu ada Mahisa Agni, kedua Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, Mahisa Wonga Teleng dan adik-adiknya, namun jumlah pasukannya tentu belum memadai untuk melawan prajurit yang terlampau kuat di dalam halaman itu.

Di luar halaman, keadaan orang-orang Rajasa dan Sinelir menja di semakin baik. Jumlah mereka semakin lama menjadi sema­kin bertambah dengan pasukan yang berhasil menyusup ke dalam kota. Meskipun jumlah mereka tidak melonjak terlampau cepat, karena baru sebuah regol yang dapat ditembus, namun keadaan mereka yang bertempur di luar kota sudah menjadi semakin baik dan meyakinkan.

Dalam pada itu, Tiba-tiba Lembu Ampal teringat, bagaimana ia di malam hari memasuki halaman tidak melalui regol yang manapun juga. Karena itu, maka ia pun segera menemui beberapa orang pemimpin kelompok dan memberikan beberapa petunjuk kepada mereka.

“Kita harus segera memasuki halaman. Jika tidak, kea­daan kawan-kawan kita di dalam tentu akan menjadi sangat parah.” berkata Lembu Ampal.

“Bagaimana kita dapat memasuki halaman istana itu?” bertanya seorang pemimpin kelompok.

“Memang tidak ada pintu regol yang dapat kita buka dari luar. Tetapi dinding itu tidak terlampau tinggi. Kita akan meloncatinya.”

“Tidak terlampau tinggi? Tetapi kami tidak akan da­pat meloncat begitu saja.”

Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Memang keba­nyakan prajurit tidak akan dapat meloncat begitu saja. De­ngan ilmu yang wantah maka dinding itu memang terlampau tinggi.

“Carilah sebatang bambu. Kita akan memanjat naik, ke mudian meloncat turun.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Mak­sudku sebatang untuk kelompok, agar dapat bersama-sama meloncat beberapa orang sekaligus. Jika kita meloncat masuk se­orang demi seorang, maka dada kita akan diterima oleh ujung tombak tanpa perlawanan. Tetapi jika lima enam orang bersama-sama, maka keadaannya akan berbeda.”

Kawan-kawannya termenung sejenak. Mereka menyadari baha­ya yang ada dibalik dinding itu. Bahkan terbayang diangan-diangan mereka ujung tombak yang mencuat seperti daun ilalang yang yang tumbuh dengan lebatnya.

“Tetapi kita harus masuk.” desis seorang prajurit muda.

“Ya.” sahut yang lain, “Kita mencari beberapa batang bambu atau kayu yang cukup panjang.”

“Di padesan itu.”

Beberapa orang pun kemudian berlari-larian mencari batang-batang bambu. Mereka tidak menghiraukan lagi pertempuran yang terjadi di luar dinding halaman, karena kawan-kawan mereka agaknya akan segera berhasil menguasai keadaan. Sejenak kemudian maka mereka pun telah kembali sambil membawa batang-batang bambu yang akan mereka pakai untuk me­manjat.

“Hati-hatilah.” berkata Lembu Ampal, “Jagalah jangan sampai ujung bambumu mencuat dan nampak dari dalam. Ji­ka mereka melihat lebih dahulu, maka mereka akan siap me­nunggu dengan ujung senjatanya.”

Prajurit-prajurit itu berpandangan sejenak. Namun mereka pun segera menyadari keadaan. Karena itu, dengan tangkasnya me­reka menarik pedang mereka dan memotong bambu-bambu itu seting­gi dinding halaman. Prajurit-prajurit Singasari tidak sempat berbuat apa pun juga karena mereka harus mempertahankan diri dari tekanan lawannya. Jumlah mereka yg berpihak kepada Ranggawuni dan Ma­hisa Cempaka menjadi semakin lama semakin bertambah-tambah.

Sesaat kemudian bambu-bambu itu pun telah tersandar pada dinding. Lembu Ampallah yang pertama-pertama siap untuk memanjat sambil berkata, “Marilah. Kita harus segera membantu ka­wan kawan kita yang pasti mendapatkan kesulitan di dalam halaman itu.”

Beberapa orang pun segera bersiap. Mereka masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika mereka melihat Lembu Ampal mulai memanjat, maka yang lain pun segera memanjat pula. Sebenarnya Lembu Ampal tidak memerlukan bambu-bambu itu tetapi seolah-olah ia sengaja memberikan contoh kepada kawan-kawan nya, bagaimana mereka memasuki dinding halaman istana itu.

Ketika mereka sampai di bibir dinding halaman itu, maka Lembu Ampal pun segera memberikan isyarat. Kawan-kawannya segera berloncatan turun memasuki halaman dengan senjata terhunus. Beberapa orang prajurit yang sedang menekan dengan yakin akan dapat membinasakan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terdorong sampai ke sudut halaman itu pun terkejut bu­kan buatan. Mereka melihat beberapa orang tiba-tiba saja telah meloncat turun dengan senjata di tangan.

Bahkan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka orang kedua telah memanjat pada setiap batang bambu yang tersan­dar pada dinding batu itu, dan yang sejenak kemudin telah meloncat masuk pula. Sejenak kemudian, seorang Senapati yang menyadari keadaan, segera meneriakkan aba-aba. Beberapa orang prajurit pun segera menyerbu menyerang orang-orang yang meloncat memasuk halaman itu.

“Binasakan mereka, selagi jumlah mereka belum ber­tambah lagi.”

Namun ketika aba-aba itu diteriakkan, dan gemanya masih belum lenyap, maka orang-orang berikutnya telah memasuki hala­man pula. Dengan demikian maka sekelompok prajurit dengan tergesa-gesa menyerang mereka. Mereka berdatangan dari segala arah. Meskipun demikian sebagian dari prajurit-prajurit itu masih ha­rus tetap di tempatnya, karena mereka sedang terlibat di dalam pertempuran.

Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang tertekan sampai kesudut, dan yang semula sudah tidak mengharapkan dapat lolos dari maut, sehingga mereka bertempur membabi buta karena putus asa, merasa sedikit berpengharapan. Yang pasti adalah lawan mereka berkurang, sehingga jika mereka harus mati, maka me­reka akan dapat memperpanjang umurnya beberapa saat lagi.

Pertempuran yang kemudian timbul antara para prajurit dan orang-orang yang berloncatan masuk itu pun menjadi semakin sengit. Prajurit yang kemudian mengepung mereka yang me­loncat turun dari atas dinding batu itu menjadi semakin ba­nyak pula. Satu dua orang masih berloncatan turun terus me­nerus.

Namun pada suatu saat, arus orang-orang yang meloncat din­ding itu pun terhenti. Orang-orang yang sudah ada di dalam, dipim­pin langsung oleh Lembu Ampal menjadi heran. Jumlah yang sudah ada di dalam itu masih terlampau sedikit. Sedang yang lain tiba-tiba saja menghentikan bantuannya.

“Belum banyak artinya.” berkata Lembu Ampal di dalam hati.

Namun bagi mereka yang sejak semula merasakan tekanan yang sangat berat di dalam halaman itu, merasa bahwa bantuan itu telah dapat menumbuhkan tekad yang baru di dalam dada masing-masing. Terlebih adalah mereka yang bertempur didekat orang orang itu meloncat dari luar halaman. Lembu Ampal menjadi termangu-mangu sejenak. Apakah orang orang yang ada diluar dinding telah dapat ditekan pula sehinga mereka tidak dapat membantu pasukan yang ada di dalam. Tetapi Lembu Ampal tidak dapat merenungi hal itu te­rus menerus. Ia pun segera sadar, bahwa ia harus bertempur. Bukan merenung.

Ternyata bahwa ketika Lembu Ampal mulai mengayun­kan senjatanya dengan segenap kemampuannya, maka orang-orang yang mengepungnya terdesak surut meskipun tidak segera ter­pecah. Tetapi kemampuan Lembu Ampal benar-benar mereka sega­ni. Senjatanya bagaikan angin prahara yang menyambar-nyambar ti­dak henti-hentinya.

Dengan demikian maka kelompok yang dipimpin oleh Lembu Ampal dan yang masih terkepung melekat dinding itu telah menghisap kekuatan yang cukup besar dari prajurit Si­ngasari yang sedang berjuang mempertahankan kekuasaan Tohjaya itu.

Tetapi jumlah kelompok kecil yang memasuki halaman itu masih belum memadai. Betapa gigihnya mereka bertempur, dan betapa besar kemampuan Lembu Ampal, namun dibawah pimpinan dua orang Senapati yang sekaligus melawan Lembu Ampal, maka kelompok kecil itu benar-benar telah terkepung rapat rapat, seperti sekelompok orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ma­sih saja tersudut tidak begitu jauh dari kelompok yang dipim­pin oleh Lembu Ampal. Namun orang-orang Rajasa dan Sinelir itu merasa bahwa tekanan atas mereka sudah menjadi berkurang meskipun mereka belum berhasil memecahkan kepungan atas mereka.

Namun yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan para prajurit dan bahkan Lembu Ampal sendiri. Ternyata pasukan yang ada d:luar dinding halaman, tidak berniat menghentikan usahanya membantu orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di dalam. Namun salah seorang dari mereka berpendapat, bahwa sebaiknya mereka berpindah tempat, agar pasukan yang mema­suki halaman itu agak terpencar.

Dengan demikian maka mereka pun segera mengangkat bambu-bambu yang tersandar pada dinding halaman, dan memindah­kannya beberapa puluh langkah ke samping. Baru sejenak kemudian maka beberapa orang mulai me­manjat bambu itu, dan sambil berteriak nyaring berloncatan turun beberapa puluh langkah dari pasukan yang dipimpin oleh Lembu Ampal.

Kehadiran mereka pun masih juga mengejutkan orang-orang yang ada di dalam. Namun para prajurit pun segera menyadari bahwa orang-orang itu pun dapat menjadi sangat berbahaya bagi me­reka sehingga sekejap kemudian sebagian dari mereka pun sege­ra menyerbu dan mengepungnya.

Tetapi yang sudah terjadi itu pun segera terulang lagi. Se­telah beberapa orang meloncat masuk dan terlibat dalam perkelahian yang seru, maka batang-batang bambu itu pun bergeser lagi, dan beberapa orang telah berloncatan pula memasuki halaman.

Lembu Ampal yang melihat cara yang dipilih oleh pasu­kannya itu tersenyum di dalam hati. Ia memuji kecerdikan me­reka, sehingga dengan demikian, maka musuh pun seakan-akan te­lah terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil.

Dalam pada itu. sejenak kemudian keadaan di satu sisi itu segera berubah. Tetapi kedatangan pasukan yang berloncatan dari dinding itu belum mempengaruhi keseluruban dari per­tempuran. Prajurit-prajurit yang dilepas dari tugasnya di sekitar bang­sal Tohjaya pun telah turun kedalam pertempuran, sehingga seolah-olah jumlah mereka pun menjadi bertambah-tambah banyak.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berloncatan masuk itu pun ternyata mengalir tidak henti-hentinya di tempat yang selalu bergeser di seputar halaman istana Singasari itu. Para prajruit yang setia kepada Tohjaya mulai menjadi berdebar-debar. Mereka mencoba membagi diri untuk menahan arus orang-orang yang berloncatan masuk. Meskipun mereka tidak lebih dari enam atau tujuh orang setiap kali, namun berturut-turut tidak ada henti-hentinya.

Akhirnya prajurit-prajurit Singasari yang mempertahankan kedu­dukan Tohjaya itu pun tidak dapat menahan orang-orang yang me­rembes semakin banyak itu. Beberapa orang di antara mereka berhasil lolos dan langsung menusuk kepusat halaman istana Singasari.

Yang membuat prajurit-prajurit Singasari menjadi cemas adalah karena sebagian dari mereka yang memasuki halaman itu ada­lah prajurit-prajurit Singasari pula yang telah beberapa lama bertu­gas di Kediri, ditambah dengan anak-anak muda yang dengan lati­han khusus telah menggabungkan diri kedalam pasukan Rang­gawuni dan Mahisa Cempaka.

Keadaan pertempuran dihalaman itu mulai berubah. Di mana-mana mulai terasa ada perubahan. Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terkepung di mana-mana, merasakan kepungan itu menjadi kendor. Baru kemudian mereka menyadari, bahwa tentu ada ban­tuan yang sudah berhasil memasuki halaman dalam jumlah yang cukup, sehingga prajurit-prajurit Tohjaya itu harus melawan mu­suh yang lebih banyak.

Sementara itu Panglima prajurit yang setia kepada Tohja­ya menyusup di antara pertempuran dihalaman untuk mencari Mahisa Agni. Bagi Panglima itu. Mahisa Agni adalah orang yang paling berbahaya yang harus lebih dahulu dibinasakan. Dengan pengawal yang cukup banyak, dan beberapa orang Senapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna, Panglima itu berhasrat untuk membinasakan Mahisa Agni terlebih dahulu sebelum pengikut-pengikutnya.

“Betapapun tinggi ilmunya, ia tidak akan dapat mela­wan kita berlima.” berkata Panglima itu kepada empat orang Senapatinya yang memiliki ilmu yang melampaui kawan-kawannya. Bahkan di antara Senapati yang lain, keempat orang itu beserta Panglimanya merupakan sekelompok prajurit yang tidak akan dapat dikalahkan oleh siapapun juga.

Sejenak mereka menyusuri daerah pertempuran yang se­makin seru. Tetapi Panglima beserta keempat Senapati terpilih itu, bersama pengawalnya tidak menghiraukaan lagi lawan-lawannya yang lain. Hanya kadang-kadang mereka berhenti sejenak, meng­gilas orang-orang yang mencoba menghalangi langkah mereka.

Dalam pada itu, Panglima Pelayan Dalam yang bertempur dengan sengitnya, melihat sekelompok prajurit pilihan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Ia menyadari arti kelima orang yang pilih tanding itu, sehingga dengan demikian, maka ia ti­dak mau dengan tergesa-gesa menghalanginya. Tetapi dengan di­am-di­am ia berusaha mengikuti kemana ia pergi.

Pengawalnya menjadi terheran-heran. Tetapi ketika mereka melihat Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu melintas bersama empat Senapati dan para pengawalnya, maka para pengawal Panglima Pelayan Dalam itu pun menyadari, bahwa di arena itu telah turun lawan yang sangat berat. Kare­na itu, para pengawal itu pun sekedar mengikuti Panglimanya tanpa berbuat sesuatu. Hanya kadang-kadang mereka bertempur me­lawan prajurit-prajurit yang menyerang mereka dengan tiba-tiba.

Tetapi agaknya nasib mereka agak kurang baik. Dengan tanpa disadari, maka Panglima prajurit itu telah melihat Pang­lima Pelayan Dalam itu, sehingga dengan menggeram ia ber­kata, “Kita selesaikan tikus itu, sebelum kita bertemu dengan Mahisa Agni.”

Keempat Senapati yang menyertainya melihat Panglima Pelayan Dalam itu pula. Salah seorang dari mereka berkata, “Silahkan Panglima mencari Mahisa Agni. Biarlah aku singgah sejenak untuk menyelesaikannya.”

“Ia cukup berbahaya. Karena itu agar pekerjaan kita menjadi cepat selesai, biarlah kita pergi bersama-sama.”

Keempat Senapati dan para pengawalnya tidak ada yang membantah lagi. Mereka mengikuti saja ketika Panglima itu berbelok dan menuju kearah Panglima Pelayan Dalam yang menjadi berdebar-debar.

“Ia melihat aku.” berkata Panglima itu.

“Ya.” sahut pengawalnya, “Ia datang bersama para Senapati berwajah hantu yang empat itu.”

“Apa boleh buat.” geram Panglima Pelayan Dalam, “Sebenarnya aku tidak gentar melawan Panglima itu seorang la­wan seorang. Tetapi bersama-sama dengan empat Senapati berhati iblis itu, mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa.”

“Kami sudah siap.” desis seorang pengawalnya, “Memang tidak ada pilihan lagi. Kita harus bertempur.”

Dalam pada itu, Panglima prajurit yang setia kepada Toh­jaya itu semakin lama menjadi semakin dekat. Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang mencoba menghalanginya, seakan-akan dengan mudahnya disibakkan seperti daun ilalang.

Panglima Pelayan Dalam itu pun segera mempersiapkan diri. Meskipun ia sadar, melawan mereka berlima adalah suatu pekerjaan yg tidak mungkin. Seandainya pengawalnya mampu menahan pengawal-pengawal Panglima itu, tetapi keempat Senapati itu tentu akan berhasil lepas dan bersama-sama mencincangnya.

“Hanya Mahisa Agni lah yang mungkin dapat melawan mereka berlima sakaligus. Itu pun jika memang Mahisa Agni mempunyai ilmu ajaib yang disebut Gundala Sasra.” berkata Panglima itu di dalam hatinya.

Sementara itu, Panglima dan empat orang Senapati yang disebut berhati iblis itu pun menjadi semakin dekat. Wajah mereka menjadi tegang dan menakutkan, mencerminkan warna hati iblis mereka.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam merasa seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihat­nya Panglima Pasukan Pengawal telah berdiri dibelakangnya bersama beberapa orang pengawalnya.

“He, apakah kau akan melawannya?” bertanya Pang­lima Pasukan Pengawal.

“Tidak ada pilihan lain.” desis Panglima Pelayan Da­lam.

“Sebaiknya kau mengelak lebih dahulu sebelum kau mendapat kekuatan yang cukup. Mereka berlima adalah keku­atan yang tidak ada bandingnya.”

“Semula aku hanya mengamatinya dari kejauhan. Tetapi mereka melihat aku dan mereka mendatangi. Aku tidak akan ingkar akan tugas keprajuritanku.”

Panglima pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Lalu katanya, “Memang. Tidak seharusnya kita ingkar.” ia termenung sejenak, lalu, “Baiklah. Aku bersamamu sekarang.”

Panglima Pelayan Dalam itu memandanginya sejenak. De­sisnya, “Apakah kau akan melawan mereka pula.”

“Apa boleh buat.”

Kedua Panglima itu pun kemudian mengambil jarak. Ka­rena jumlah pengawal mereka bertambah, maka masing-masing telah menyiapkan sekelompok kecil prajurit yang paling baik untuk bersama-sama melawan kelima orang lawan yang tidak ada ban­dingnya itu.

“Setidak–tidaknya kita harus berusaha menahan mereka.” berkata Panglima Pasukan Pengawal kepada prajurit-prajurit terpilih yang mengawalnya, “Karena itu. kita harus bertempur sebaik–baiknya. Mereka tentu akan terbagi dan melawan kami berdua. Tetapi aku dan Panglima Pelayan Dalam harus melawan me­reka dalam kelompok pula.”

Prajuritnya mengangguk-angguk. Tetapi mereka pun sadar, sia­pakah Panglima dan keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu. Namun mereka adalah prajurit juga. Prajurit yang pernah mendapatkan ilmu keprajuritan. Bukan saja dari pimpinan me­reka tetapi sejak mereka memasuki lapangan keprajuritan, me­reka merasa sudah memiliki bekal dari perguruan masing-masing. Itulah sebabnya, mereka bahwa mereka bukan hanya seke­dar akan membunuh diri. Apalagi dalam jumlah yang lebih banyak.

Namun dalam pada itu, Panglima Pelayan Dalam dengan diam-diam telah memerintahkan dua orang penghubungnya untuk mencari Mahisa Agni, dengan pesan, “Panglima prajurit ber­sama keempat Senapati berhati iblis itu tidak dapat dibatasi tingkah lakunya.”

Sementara itu. Panglima yang diikuti oleh keempat Sena­patinya itu pun menjadi semakin dekat. Wajah mereka nampak tegang dan memancarkan kebencian tiada taranya. Keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu pun segera bergeser salig menjauh, seakan-akan mereka akan mengepung kedua Panglima bersama pengawalnya.

“Pengkhianat.” geram Panglima yang setia kepada Tohjaya itu, “Kalian begitu bernafsu membunuh pengikut–pengikut Anusapati saat itu. Sekarang kalian mencoba melawan tuanku Tohjaya dan seluruh kekuatan Singasari.”

Panglima Pasukan Pengawal melangkah maju sambil men­jawab, “Semuanya sudah berubah. Tuanku Tohjaya pun sudah berubah. Itulah sebabnya maka pendirianku pun berubah.”

“Persetan. Apakah kau sadar, bahwa pengkhianatanmu itu harus kau tebus dengan nyawamu dan nyawa semua pengikutmu.”

“Kau bermimpi.” sahut Panglima Pelayan Dalam, “Keadaan pertempuran di halaman ini pun sudah berubah. Pasu­kanmu mulai terdesak di mana-mana. Lihat, orang-orang yang memasuki halaman ini dengan meloncati dinding semakin lama menjadi semakin banyak.”

“Tetapi mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mampu berperang.”

“Mereka adalah anak buahmu. Mereka adalah prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri dan yang lain adalah prajurit-prajurit yang tersebar di beberapa daerah Singasari yang lain.”

“Pengkianat mereka juga pengkhianat seperti kau.”

“Mereka dapat memilih, manakah yang benar dan yang manakah yang salah.”

Panglima itu menggeram. Lalu katanya, “Itulah sebab­nya kau tidak berani berbuat apa-apa terhadap Mahisa Agni.”

“Akulah yang membawanya dari Kediri.” berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “Tetapi aku menyadari kekuatan yang ada di belakangnya.”

“Dan kekuatan itu sekarang kau pergunakan untuk ber­khianat.”

“Salah.” potong Panglima Pasukan Pengawal, “Tuan­ku Tohjaya lah yang memaksa kami untuk melawannya.”

“Persetan, Aku tidak peduli. Sekarang kau berdua harus mengalami akibat yang sangat buruk dari pengkhianatanmu. Kau berdua akan mengalami nasib seperti kedua Senapatimu yang mati dan dibuang kekali untuk menjadi makanan burung–burung liar pemakan bangkai.”

Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak, seakan-akan masing-masing ingin mengetahui, apakah mereka sudah bersiap.

“Marilah.” berkata Panglima prajurit yang setia kepa­da Tohjaya itu, “Kita akan segera mulai.”

Panglima Pelayan Dalam memandang keempat Senapati lawan itu sekilas. Namun disebelah menyebelahnya, pengawal-pengawalnya pun sudah bersiap sepenuhnya. Dan mereka bukannya prajurit yang baru kemarin siang mendapat wisuda, tetapi mere­ka prajurit-prajurit pilihan yang berpengalaman pula. Meskipun demikian, kedua Panglima itu harus mengakui, bahwa pengawalnya tidak akan dapat menyamai keempat Senapati berhati iblis itu.

Tetapi tidak ada pilihan lain. Adalah wajar sekali apabila kedua Panglima itulah yang harus melawan mereka. Jika yang harus menghadapi kelima orang itu hanyalah prajurit-prajurit dan Senapati-Senapati yang lain, maka korban tentu akan berjatuhan seper­ti menebang batang ilalang saja.

Sejenak kemudian, mereka masih saling mempersiapkan diri. Keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu pun sege­ra membagi diri. Yang seorang akan bertempur bersama Panglimanya, dan yang tiga orang akan bertempur berpasangan.

Panglima Pasukan Pengawal menyadari, agaknya Pangli­ma prajurit yang telah mendesak kedudukan Pasukan Penga­wal itu telah bersiaga melawannya bersama seorang Senapati­nya, sedang ketiga Senapati yang lain telah bersiap untuk ber­tempur melawan Panglima Pelayan Dalam.

Kedua belah pihak ternyata benar-benar telah bersiaga. Mereka agaknya sudah tidak akan berbicara lagi. Selangkah demi se­langkah mereka saling mendekati, sehingga akhirnya, senjata-senjata pun mulai bergerak.

Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu pun se­gera mengayunkan senjatanya. Sebilah pedang yang tajam di kedua belah sisinya. Sedang Senapati pembantunya yang seo­rang itu pun telah meloncat pula dengan garrangnya. Ditangannya tergenggam sebuah canggah bertangkai pendek.

Dilingkaran yang lain, ketiga Senapati yang berhati iblis itu pun telah mulai menyerang pula. Senjata mereka pun sangat mendebarkan hati. Yang seorang membawa sebilah tongkat besi yang bergerigi seperti duri pada daun pandan dalam em­pat jalur. Yang seorang lagi membawa sebuah bindi kayu ga­lih asem ditangan kanan, sedang ditangan kirinya tergenggam sebilah pedang pendek. Sedang yang seorang lagi hanya meme­gang sebilah pedang biasa yang tidak terlampau besar.

Kedua Panglima yang melawan mereka itu pun telah meng­genggam senjata pula di tangan masing-masing. Sehelai pedang pan­jang. Sejenak kemudian, maka pertempuran segera terjadi dengan sengitnya. Ternyata bahwa Panglima Pasukan Penga­wal dan Panglima Pelayan Dalam, tidak harus melawan mu­suhnya seorang diri. Beberapa orang pengawal pilihan pun se­gera mendampinginya melawan prajurit-prajurit berhati iblis itu.

Agaknya para pengawal pilihan itu pun mempunyai ke­banggaan mereka masing-masing. Senjata mereka ternyata bukannya senjata yang biasa dipergunakan oleh prajurit Singasari, apa­lagi bagi Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang memper­gunakan senjata seragam. Tetapi di dalam perang yang dah­syat dan di dalam mempertaruhkan nyawa, mereka lebih senang mempergunakan senjata yang mereka pelajari diperguruan ma­sing-ma­sing sebelum mereka memasuki lingkungan keprajuritan.

Bahkan ada di antara mereka yang bersenjatakan sebatang tombak, pendek yang ujungnya bergerigi. Ada pula yang membawa sepasang rongkat besi yang dihubungkan dengan rantai baja. Dan ada pula yang bersenjatakan tongkat pendek yang tajam dikedua ujungnya.

Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin la­ma semakin seru. Berbagai macam jenis senjata telah beradu. Apalagi mereka yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan. Para Panglima dan Senapati. Sejenak kemudian pertempuran ditempat itu pun segera menarik perhatian. Beberapa orang prajurit justru tertegun menyaksikan. Namun sementara itu. mereka masing-masing masih ha­rus bertempur pula di dalam lingkaran pertempuran mereka sendiri.

Lembu Ampal yang sudah ada dihalaman itu pun segera tertarik pula oleh pertempuran yang sengit itu. Karena itulah maka ia pun kemudian meninggalkan daerah pertempurannya sendiri, karena kawamnya sudah semakin banyak berdatangan. Ia ingin melihat, siapakah yang terlibat di dalam pertemputan itu. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka hatinya pun men­jadi semakin berdebar-debar. Ia melihat tiga orang Panglima dan empat orang Senapati yang disebut berhati iblis itu sedang bersabung.

“Panglima Pasukan Pengawal dan Panglima Pelayan Da­lam itu tentu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.” ber­kata Lembu Ampal, karena ia pun tahu kemampuan kelima orang itu. Sedangkan para pengawal hanya dapat sekedar mem­bantu dan merupakan pelarian sementara jika kedua Panglima itu sudah menjadi sangat terdesak.

“Mereka tidak boleh dibiarkan.” berkata Lembu Ampal pula kepada diri sendiri, meskipun ia masih tetap ragu-ragu, apakah kehadirannya akan dapat menolong kedua Panglima iru. Namun setidak-tidaknya, kehadirannya diarena itu akan mam­pu memperingan beban kedua Panglima itu. atau salah seorang dari mereka. Demikianlah, maka Lembu Ampal pun segera mendekati arena itu. Kemudian dengan serta merta ia meloncat memasuki arena dengan pedang ditangannya.

“Lembu Ampal.” desis Panglima parjurit yang setia kepada Tohjaya itu.

“Ya, aku adalah Lembu Ampal.”

“Kau turut berkhianat?”

“Tidak. Aku berdiri dipihak yang benar. Aku menolak untuk menjalankan perintah tuanku Tohjaya, membunuh tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka yang tidak bersalah.”

Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu tertegun sejenak. Dipandanginya Lembu Ampal dengan sorot mata yang memancarkan kebencian. “Kau datang untuk menyerahkan nyawamu Lembu Ampal. Memang sudah menjadi nasib seorang pengkhianat untuk mati dimanapun juga.”

“Jika demikian, marilah kita lihat, siapakah yang akan mati di antara kita. Yang mati itu adalah pengkhianat.”

“Bagus.” teriak Panglima itu sambil meloncat menyerang Lembu Ampal.

Lembu Ampal memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan Panglima itu pun tidak mengejutkannya. Dengan tangkasnya Lembu Ampal mengelak. Namun ia pun segera membalas serangan itu dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya...

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 11

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 11
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

TERASA suasana yang jauh berbeda dengan suasana paseban di Singasari. Bukan karena tempatnya yang terlampau sederhana, tetapi hubungan yang rapat antara Ranggawuni, Mahisa Cempaka dengan para pembantunya. Dengan para Senapati dan pengawahnya.

“Kami memang menunggu kedatanganmu berdua,” berkata Ranggawuni kemudian, “Kami memang berharap, mudah-mudahan kami dapat bertemu dengan kalian. Jika tidak malam ini, mungkin besok atau lusa. Tapi pertemuan ini benar benar aku harapkan dalam waktu yang dekat ini.”

Kedua Senapati dari Singasari itu tidak menjawab. Tetapi mereka mengangguk-angguk kecil seakan-akan kata-kata yang diu­capkan oleh Ranggawuni itu memberikan harapan yang cerah bagi mereka.

“Kami berterima kasih atas kunjungan kalian,” kata Ranggawuni kemudian, “Kedatangan kalian berdua memberikan gambaran yang lebih baik bagi masa datang Singasari.”

“Tuanku,” kata salah seorang Senapati itu, “Hamba tidak tahu, apakah yang sepantasnya hamba katakan. Tetapi hamba mendapat tugas dari Panglima untuk menghadap tuan­ku, justru karena kunjungan Lembu Ampal yang menyebut dirinya sebagai utusan tuanku.”

“Ya. Akulah yang memerintahkan kepadanya untuk menghubungi kedua Panglima. Kami mengetahui apa yang terjadi dan apa yang berkembang di Singasari. Pertentangan, kecurigaan dan prasangka. Oleh karena itu aku tidak dapat menunggu terlampau lama. Penasehat-penasehatku memberikan petunjuk kepadaku bahwa aku harus segera berbuat sesuatu.”

Kedua Senapati itu menjadi heran. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka masih terlampau muda. Tetapi seakan-akan ia telah cukup masak untuk memimpin Singasari. Tetapi kedua Senapati itu pun kemudian dapat mengerti, jika di ruangan itu terdapat beberapa orang yang dianggapnya memiliki segala macam ilmu dan kepandaian di dalam olah pemerintahan.

“Sekarang kalian telah melihat keadaan kami,” kata Ranggawuni kemudian, “Terserahlah kepada kalian, keputusan apakah yang akan kalian ambil. Apakah kalian bersedia bekerja bersama kami, atau kalian akan menentukan sikap sen­diri.”

Salah seorang Senapati itu menjawab, “Tuanku, hamba akan laporkan apa yang hamba ketahui tentang tuanku berdua dan tentang kesiagaan tuanku. Selain kenyataan yang hamba lihat, hamba akan memberikan pertimbangan pula kepada Panglima hamba.”

“Terima kasih.” sahut Ranggawuni, “Tetapi agaknya yang kalian lihat belum lengkap jika kalian hanya melihat padukuhan ini saja. Padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa. Sebaiknya kalian melihat pedukuhan-pedukuhan yang lain, yang nanti akan diantarkan oleh Lembu Ampal.”

“Hamba sangat berterima kasih atas kesempatan ini tuanku.”

“Baiklah. Aku tahu kesempatan tidak terlampau banyak. Tetapi aku berpendapat, bahwa sebaiknya kalian kembali masuk kelingkungan kota Singasari besok malam saja. Sebentar lagi matahari akan terbit, dan kalian tidak akan dapat masuk dengan diam-diam.”

“Pergilah bersamaku.” berkata Mahisa Agni, “Tetapi jika kalian masih ingin melihat beberapa pedukuhan yang lain, biarlah seperti yang dikatakan tuanku Ranggawuni, kembali sajalah besok malam.”

“Apakah Tuan akan kembali?” bertanya salah seorang Senapati itu.

“Sebelum fajar, aku harus sudah berada di bangsalku.”

“Sebelum fajar?” Senapati itu heran.

“Ya. Sebelum fajar.”

Kedua Senapati itu saling berpandangan. Saat itu Mahisa Agni masih tenang-tenang saja di tempatnya dan sebelum fajar ia sudah berada kembali di bangsalnya.

“Apakah aku berada di tengah-tengah kumpulan hantu-hantu?” bertanya kedua Senapati itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun kemudian me­ngajak kedua Senapati itu untuk melihat padukuhan yang lain. Setelah mohon diri kepada Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Mahisa Agni dan orang-orang lain yang ada di ruang itu, maka kedua Senapati itu pun meninggalkan halaman yang tidak begi­tu luas itu.

Dengan menunggang kuda, maka mereka pun segera menyusuri jalan-jalan sempit di persawahan. Kemudian melintasi bu­lak-bulak panjang dan menembus gelapnya malam dan dingin­nya embun. Sesaat kemudian, maka mereka pun telah memasuki sebuah padukuhan kecil yang lain. Seperti padukuhan yang pernah dilihatnya, maka ia pun melihat beberapa kelompok prajurit yang berserakan di halaman-halaman.

Mereka kemudian menemui Senapati yang bertanggung jawab di padukuhan kecil itu. Mereka berbicara sejenak. Kemudian Senapati-Senapati itu pun meneruskan perjalanan me­reka bersama Lembu Ampal.

“Kita mengitari kota Singasari.” berkata Lembu Ampal.

Kedua Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku mengerti, bukan semuanya prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri, atau kesatuan-kesatuan yang ada di luar kota Singasari yang dapat dihimpun oleh tuanku Ranggawuni. Namun meskipun di antara mereka adalah rakyat kebanyakan, namun mereka telah bertekad untuk mengabdikan dirinya bagi Singasari di bawah pimpinan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kota Singasari sendiri memang sudah terkepung. Kami sengaja memilih tempat pada padukuhan-padukuhan kecil dan terpencil, agar kehadiran kami di seputar kota tidak segera diketahui. Di siang hari, mereka tidak pernah keluar dari padukuhan, apalagi berkeliaran. Sedang mereka yang masih mempunyai pekerjaan di rumah atau di sawah, dapat saja mereka lakukan. Tetapi di malam hari kami bersiap, dan terutama mengadakan latihan-latihan bagi mereka yang pada dasarnya bukan prajurit. Dan agaknya latihan-latihan itu telah menyenangkan hati mereka.”

Kedua Senapati yang menyertai Lembu Ampal itu meng­angguk-angguk. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang dilihatnya. Apalagi kemudian mereka pun telah di bawa oleh Lembu Ampal ke beberapa tempat lainnya. Kepadukuhan-padukuhan kecil di bulak-bulak yang luas atau ke tempat-tempat terpencil yang lain yang merupakan tempat yang menjadi pemusatan kekuatan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

Ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan di arah lain dari kota Singasari, mereka mendengar dari Senapati yang bertanggung jawab di tempat itu, bahwa sebagian besar dari orang-orangnya sedang kembali ke padukuhan masing-masing, karena kebetulan musim menuai padi baru saja mulai.

“Kami biarkan mereka berada di padukuhan masing-masing untuk satu dua hari. Tetapi mereka sudah berjanji, jika terdengar isyarat mereka akan segera bekumpul untuk tiga malam mereka tidak mengadakan latihan. Bahkan barang kali lebih lama lagi apabila mereka belum selesai dengan pe­kerjaan mereka di sawah. Bahkan jika mereka kembali kemari, beberapa pekan lagi mereka akan kembali lagi untuk mulai menggarap sawah dan menanam padi.”

“Jadi yang ada di sini sekarang?” bertanya Lembu Ampal.

“Yang tersisa adalah prajurit-prajurit yang sebenarnya prajurit. Merekalah yang memberikan latihan-latihan kepada orang-orang yang dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk membebaskan Singasari dari ketidak tentuan sekarang ini.”

Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka menda­pat gambaran yang lengkap tentang persiapan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dari para Senapati mereka pun mende­ngar bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah memperhitungkan pula persediaan makanan dan kesatuan-kesatuan cadangan jika diperlukan.

“Yang kita lihat adalah garis pertama jika perang tim­bul.” berkata Lembu Ampal, “Dan di belakang garis pertama ini, masih ada lapisan-lapisan yang lengkap. Persediaan per­lengkapan perang dan persediaan makanan, di samping tenaga-tenaga yang harus menghimpun kekuatan jika diperlukan, selain sudah disediakan tenaga cadangan khusus.”

Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Lembu Ampal. Apakah kita akan dapat mempercayai bahwa tuanku Ranggawuni dan tuan­ku Mahisa Cempaka yang masih terlampau muda itu mampu membuat persiapan seperti ini betapapun cemerlangnya daya pikir mereka?”

Lembu Ampal tersenyum. Dan ia pun bertanya, “Apakah kalian tidak percaya bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka memiliki kemampuan diluar jangkauan nalar?”

“Aku percaya. Tetapi aku lebih percaya jika kau kata­kan bahwa kaulah yang telah mempersiapkan ini semua. Kau­lah yang telah menyusun rencana ini dengan teliti, kemudian kau lakukan semuanya atas nama tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

Lembu Ampal tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas dugaanmu itu. Tetapi ingat, bahwa selain aku, masih ada seorang Senapati Besar Singasari yang dikuasakan di Kediri, dan yang sekarang berada di lingkungan tuanku Ranggawuni meskipun nampaknya ia berada di bangsalnya setiap saat. Selain Senapati Agung yang bernama Mahisa Agni itu, juga ada bekas seorang Panglima Pasukan Pengawal yang bernama Witantra, kemudian di antara mereka terdapat pula adik seperguruannya yang bernama Mahendra, yang memiliki kelebihan dari sesa­manya. Dan jika kau heran melihat Kesatria Putih yang ka­dang-kadang lebih dari seorang dan memiliki kemampuan melebihi para prajurit dan bahkan Senapati yang manapun, ma­ka dari mereka itulah yang kalian jumpai.”

“Benar-benar suatu susunan rencana yang rapi dan matang.” desis salah seorang dari kedua Senapati itu.

Dan sebelum salah seorang Senopati itu meneruskan, maka Lembu Ampal telah mendahului, “Sebenarnyalah kami harus menye­suaikan diri dengan rencana yang lain yang agaknya telah tersusun dengan masak pula. Kematian seorang prajurit dari golongan Rajasa yang kemudian disusul oleh terbunuhnya seorang dari golongan Sinelir, yang dapat dipergunakan seba­gai alasan untuk menarik prajurit-prajurit pendukung Tohjaya masuk ke dalam lingkungan istana, diikuti pula pembunuhan semena-mena yang dilakukan atas kedua Senapati dari kedua golongan itu, telah memaksa kami untuk bersiap. Menilik urut-urutan kejadian itu, maka Tohjaya telah mempersiapkan diri untuk menyapu setiap orang yang tidak sesuai dengan sikapnya selanjutnya. Terutama usahanya untuk membunuh tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sebenarnya sama sekali tidak bersalah dan semula tidak berhasrat untuk berbuat apapun juga. Tetapi tuanku Tohjaya telah dibayangi oleh ketakutan-ketakutan yang mendorongnya untuk melakukan usaha pembunuhan yang gagal itu.”

“Darimana kau mengetahui hal itu?”

“Aku adalah orangnya yang mendapat perintah lang­sung untuk melakukannya. Sudah barang tentu atas petunjuk Pranaraja dan ibunda tuanku Tohjaya.”

Kedua Senapati itu mengerutkan keningnya. Agaknya Lembu Ampal tidak berbohong bahwa ialah yang mendapat perin­tah untuk melakukan pembunuhan itu.

“Nah, sekarang kalian berdua sudah tahu segala-galanya. Terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian katakan kepada Panglima kalian masing-masing.” Lembu Ampal ber­henti sejenak, lalu, “Tetapi agaknya jelas bagi kalian untuk tidak dapat memasuki gerbang saat ini. Lihat, langit sudah menjadi merah.”

Kedua Senapati itu menengadahkan kepalanya. Mereka telah melihat warna merah yang membayang di langit. Warna fajar.

“Sebaiknya kalian kembali apabila malam berikutnya telah datang. Kau dapat berada di antara kami satu hari, se­hingga dengan demikian kalian akan melihat lebih banyak lagi dari persiapan kami yang mantap.”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata, “Sebenarnya aku senang sekali berada sehari lagi di antara kalian. Tetapi jika aku tidak segera meng­hadap Panglima, maka akan dapat menimbulkan salah paham. Mungkin Panglima mengira bahwa kami berdua telah terjebak dan tidak akan dapat kembali.”

“Tetapi jika saatnya kau datang, maka kedua Panglima itu akan mengerti.”

“Namun selama ini Panglima dapat mengambil langkah-langkah yang barangkali justru merugikan kita semuanya.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Te­tapi bagaimana kalian akan memasuki kota. Kalian keluar dengan diam-diam. Jika kalian memasuki kota lewat gerbang, mungkin kalian akan mendapat kesulitan, karena kalian tentu akan dicurigai oleh para prajurit yang bertugas di pintu ger­bang.”

Kedua Senapati itu terdiam sejenak. Tetapi mereka tidak segera mendapatkan jalan. Di siang hari mereka tidak akan dapat memasuki lingkungan kota dengan cara seperti di malam hari pada saat mereka keluar.

“Senapati.” berkata Lembu Ampal, “Jika kalian me­mang berkeras untuk memasuki kota, mungkin kalian dapat menempuh satu jalan. Berbuatlah seolah-olah kalian adalah rakyat kecil yang hilir mudik untuk menjual barang-barang dari anyaman bambu. Mungkin kalian dapat membawa bebe­rapa buah barang-barang anyaman seperti itu. Alat-alat dapur dan alat-alat rumah yang lain.”

Kedua Senapati itu saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka tersenyum dan berkata, “Itu baik sekali. Aku akan mencoba.”

“Tetapi cepatlah. Lepaskan pakaian Senapatimu. Orang-orang yang menjual barang-barang anyaman bambu itu memasuki kota pada saat menjelang fajar seperti sekarang ini.”

“Tetapi darimana kami mendapat barang-barang itu.” bertanya salah seorang Senapati itu.

“Jangan cemas. Aku akan dapat mengusahakan berapa saja kau dapat membawa. Tetapi kau harus mengikat barang-barangmu seperti orang-orang lain menjual dagangannya ke kota.”

“Aku akan belajar.” sahut salah seorang dari kedua Senapati itu.

Demikianlah kedua Senopati itu pun berganti pakaian. Sejenak mereka mempelajari bagaimana mereka harus membawa barang-barang anyaman yang akan dijual di dalam kota Singasari.

Ternyata Lembu Ampal sama sekali tidak mendapat ke­sulitan apapun untuk mendapatkan barang-barang yang kemudian akan dibawa oleh kedua Senapati itu. Bahkan Lembu Ampal pun telah mendapat pakaian yang akan dipakai oleh kedua Senapati itu pula.

Dengan beberapa pesan kepada orang-orang yang akan memasuki gerbang Lembu Ampal menitipkan kedua Senapati itu kepada mereka. Karena sebagian dari mereka adalah orang-orang yang telah menyatakan diri berada di dalam lingkungan pasukan yang dipersiapkan oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka kedua Senapati itu pun tidak akan mendapat kesulitan dari kawan-kawannya yang memasuki kota dalam iring-iringan.

Meskipun demikian, kedua Senapati itu harus berhati-hati. Mereka tidak biasa menjinjing seikat barang-barang anyaman bambu di atas kepala. Rasa-rasanya leher mereka menjadi sakit dan lelah. Tetapi mereka harus menahankannya. Ketika iring-iringan itu memasuki pintu gerbang induk, hati kedua Senapati itu menjadi tegang. Rasa-rasanya mata setiap prajurit yang berugas di gerbang itu memandanginya dengan tajamnya.

Namun ternyata bahwa iring-iringan itu berhasil mema­suki kota seperti biasanya. Agaknya para penjaga tidak mena­ruh kecurigaan apa-apa kepada setiap orang dalam iring-iringan itu, karena mereka tidak meneliti seorang demi seorang dari mereka. Cara mereka menjinjing barang-barang dagangannya di atas kepala. Pakaian mereka dari cara mereka berbicara.

Kedua Senapati itu menarik nafas lega ketika mereka telah berada di dalam kota. Tetapi mereka tidak segera memisahkan diri dari iring-iringan itu. Mereka berjalan terus ber­sama dengan orang-orang lain menjinjing barang-barangnya sampai ke tempat mereka biasa menjajakan barang-barang anya­man itu. Baru ketika barang-barang mereka telah diletakkan di antara barang-barang yang lain, maka kedua Senapati itu pun minta diri kepada orang-orang yang mendapat titipan dari Lembu Ampal.

“Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian.” berkata Senapati itu, “Mumpung masih belum pagi. Kami akan kem­bali ke rumah kami.”

“Silahkanlah.” jawab orang itu.

Kedua Senapati itu pun kemudian meninggalkan mereka setelah menitipkan barang-barangnya dan menyerahkan kepada mereka untuk menjualnya. Ternyata keduanya merasa betapa tinggi kesadaran orang-orang yang berada di bawah pengaruh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Untunglah bahwa hari masih remang-remang.” ber­kata seorang Senapati kepada kawannya.

Kawannya tersenyum. Lalu, “Seandainya hari telah men­jadi terang sekalipun, para prajurit di pintu gerbang tidak akan mencurigai kita.”

Dengan pakaian penjual barang-barang anyaman, mereka­ pun kemudian berjalan di sepanjang jalan kota ke rumah masing-masing. Dengan sengaja mereka membiarkan diri mereka berpapasan dengan orang-orang yang sudah mengenalnya Tetapi ternyata orang-orang itu sama sekali tidak memperhati­kannya, sehingga kadang-kadang kedua Senapati itu harus tersenyum sendiri sambil mengamat-amati pakaiannya.

Baru kemudian mereka sadari, bahwa pakaian yang mereka pakai, setelah hari menjadi terang, benar-benar pakaian yang kotor dan kumal. Pakaian yang sudah sobek di beberapa bagian, dan yang sudah tidak pantas dipakai lagi. Tiba-tiba saja tubuh mereka terasa menjadi gatal-gatal, seakan-akan pakaian itu penuh dengan kuman-kuman penyakit yang mulai menjalari tubuh mereka. Karena itulah maka mereka pun melangkah semakin cepat. Me­reka ingin segera sampai ke rumah, mandi dan berganti dengan pakaian yang bersih.

Tetapi, hampir bersamaan, keduanya mengalami perlaku­an yang menjengkelkan di regol halaman masing-masing. Seorang pengawal yang melihat kedatangan seorang berpakaian kumal, segera membentaknya, “He, kau mau kemana?”

Senapati itu memandang pengawalnya sambil tersenyum. Katanya, “Apakah kau mabuk, sehingga kau tidak mengenal aku lagi.”

Pengawalnya mengerutkan keningnya. Namun ia pun membentak pula, “Siapa kau dan apakah maksudmu?”

“He, kau benar-benar tidak mengenal aku.”

“Cepat, jawab. Atau aku putar kepalamu.”

“Buka matamu.” berkata Senapati itu, “Siapa aku he?”

Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian perlahan-lahan ia mulai mengenali Senapatinya. Karena itu, ia pun menjadi gemetar sambil berkata, “Tetapi tuan, kenapa tuan berpakai­an seperti orang-orang padesan yang miskin?”

“Tidak apa. Cepat pergi, dan jangan katakan kepada siapapun. Aku ingin cepat membuka pakaian yang membuat menjadi gatal-gatal.”

Pengawal itu tidak menjawab. Dipandanginya saja Sena­pati yang memakai pakaian yang aneh itu naik ke tangga pendapa. Sekilas pengawal itu mendengar isteri Senapati itu men­jerit kecil. Namun suara itu segera terdiam. Namun demikian beberapa orang dengan tergesa-tergesa menuju ke biliknya.

“Kenapa kau berteriak?” bertanya Senapati itu.

lsterinya menutup mulutnya dengan telapak tangannya. “Kenapa kakang memakai pakaian itu?”

“Aku sedang dalam tugas sandi.”

“O, maafkan aku.” berkata isterinya yang kemudian pergi ke luar biliknya sambil tersenyum dan berkata kepada pelayan-pelayannya yang berkerumun di luar pintu bilik, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya terkejut sedikit.”

Para pelayan menjadi heran. Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu, maka mereka pun segera meninggalkan bilik itu. Setelah para pelayan pergi, maka isteri Senapati itu kem­bali masuk ke dalam bilik. Dengan suara yang tertahan-tahan ia bertanya, “Kenapa kakang memakai pakaian seperti ini?”

“Aku dalam tugas sandi.”

“Tetapi sudah barang tentu tidak perlu dengan pakaian kumal dan kotor.”

Sambil melepas pakaian yang kotor itu, Senapati berkata, “Aku memerlukan pakaian ini.”

Isterinya yang menyediakan ganti pakaian itu pun kemudi­an menjadi bingung dan bertanya, “Apakah kakang akan langsung memakai pakaian ini?”

Senapati itu termangu-mangu. Lalu, “Aku harus mandi dahu­lu. Tetapi bagaimana aku akan pergi kepakiwan?”

Akhirnya Senapati itu memutuskan untuk mengorbankan satu pengadeg pakaiannya lagi, yang dipakainya dari biliknya sampai kepakiwan. Setelah ia selesai mandi dan keramas, maka ia pun berpesan, “Pakaianku yang aku pakai ke pakiwan itu pun harus dicuci dengan air panas, lerak dan dijemur selama tiga hari.”

“Kedatangan kakang dalam pakaian kumal itu sangat me­ngejutkan aku.” berkata isterinya, “Bukankah kakang kemarin pergi untuk bertugas bersama dengan Panglima atau barangkali di rumah Panglima?”

“Ya. Dan aku kemudian menjalankan tugas sandi yang aneh ini.”

“Apakah yang sudah kakang lakukan?”

Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun seperti biasanya jika ia menganggap persoalannya belum saatnya diketahui oleh orang lain walaupun isterinya sendiri, maka ia pun tersenyum sambil berkata, “Besok kau akan mengetahuinya.”

Isterinya pun mengerti. Jika suaminya menjawab demikian maka artinya, ia tidak boleh mengetahui tugas yang sedang di­lakukannya.

Demikianlah maka setelah berganti pakaian, mempersiap­kan diri maka Senapati itu pun segera minta diri kepada isterinya dan pergi menghadap Panglima masing-masing. Hampir bersamaan pula terjadinya ketika kedua Senapati itu menghadap Panglima masing-masing.

Dan hampir bersamaan pula apa yang telah mereka kata­kan kepada Panglimanya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi kedua Panglima itu kecuali menerima tawaran Lembu Ampal bekerja bersama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dalam tugas yang berat menghadapi masa depan Singasari.

Panglima Pasukan Pengawal yang saat itu dikawani oleh dua orang Senapati kepercayaannya yang lain mendengarkan keterangan dari Senapati yang melihat sendiri kesiagaan Rang­gawuni dengan seksama. Tidak ada sepatah kata pun yang tidak didengarkannya dengan baik.

“Kau yakin akan kekuatannya?” bertanya Panglima.

“Memang masih belum meyakinkan. Jika kita dan Pa­sukan Pelayan Dalam tidak pasti berada di pihak mereka, maka yang dapat terjadi adalah benturan kekuatan yang belum dapat diperhitungkan dengan pasti, siapakah yang akan menang. Te­tapi tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka berke­yakinan, bahwa rakyat Singasari akan berpihak kepada mereka. Dengan demikian, maka meskipun mereka bukan prajurit yang terlatih, tetapi kekuatan rakyat Singasari yang bangkit itu tidak akan dapat diabaikan. Apalagi di antara mereka terdapat Senapati seperti Mahisa Agni, Witantra dan adik seperguru­annya. Orang-orang yang sudah menjadi semakin tua itu agaknya masih akan mampu bergerak sebaik-baiknya di medan perang.”

Panglima Pasukan Pengawal itu mengangguk-angguk. Dengan suara yang datar ia bertanya kepada kedua Senapati yang lain, “Apa pendapatmu?”

Salah seorang dari keduanya menyahut. “Mungkin pendapatku bukan lagi berdasarkan kepada perhitungan murni seorang prajurit. Sebenarnyalah aku menjadi sangat kecewa ter­hadap sikap tuanku Tohjaya. Lebih-lebih sikapnya saat terakhir. Tanpa memeriksa lebih dalam, ia sudah menjatuhkan hukum­an mati kepada kedua Senapati dihadapan para pemimpin yang lain. Apalagi sikap para prajurit yang dengan semena-mena telah melepaskan anak panahnya yang agaknya sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.”

Yang lain pun berkata, “Demikianlah agaknya. Apakah yang dapat kita harapkan bagi masa depan Singasari dalam keadaan seperti ini. Kebimbangan, kecemasan dan tiada harap­an. Kematian demi kematian akan menyusul dalam lingkungan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Prajurit-prajurit yang seka­rang mendapat kepercayaan dari Tuanku Tohjaya akan merasa dirinya manusia-manusia yang paling tinggi kedudukannya di Singa­sari.”

Panglima Pasukan Pengawal itu pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita harus menghubungi Panglima Pelayan Da­lam. Kita harus mendapat kepastian, apakah kita akan bekerja bersama dan berpihak kepada tuanku Ranggawuni.”

“Tentu kami sependapat.” sahut para Senapati.

Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun segera mempersiapkan diri untuk pergi menemui Panglima Pelayan Dalam. Dengan beberapa orang pengawal ia pun berpacu di jalan kota. Panglima itu sadar sepenuhnya, bahwa tentu segala sikap dan tingkah lakunya itu sama sekali tidak terlepas dari pengawasan petugas-petugas sandi yang dikirim oleh Tohjaya. Namun ia sudah bersedia jawaban apabila Tohjaya bertanya kepadanya tentang hal itu. Tetapi lebih dari itu, ia sudah mempersiapkan dirinya baik-baik bersama seluruh pasukannya. Jika ia harus mati, maka akan timbul juga kematian-kematian yang jumlahnya tidak terhi­tung lagi. Ia kemudian diterima oleh Panglima Pelayan Dalam de­ngan penuh pengertian, karena Panglima Pelayan Dalam itu­ pun telah mendengar laporan sepenuhnya dari Senapatinya.

“Golongan Rajasa dan Sinelir agaknya benar-benar akan di­singkirkan.” berkata Panglima Pelayan Dalam.

“Jadi, apakah kita akan berkisar lagi dari garis perjua­ngan kita pada saat kita mendukung tuanku Tohjaya?” bertanya Panglima Pasukan Pengawal.

“Kita adalah orang-orang yang memang berhati lapuk. Kita seolah-olah berdiri menghadap kemana angin bertiup. Tidak lebih dari sebatang ilalang di padang yang luas. Namun dalam keadaaan seperti ini, sikap itu agaknya sikap yang paling baik.”

“Tetapi kita dapat mengatakannya dengan bahasa yang lain. Bukan pendirian dan hati kita yang lapuk. Tetapi sikap kitalah yang berkembang melihat kenyataan ini. Kita tidak akan dapat membiarkan diri kita sendiri tersesat semakin jauh dan terlebih-lebih lagi Singasari akan kita biarkan saja tenggelam kedalam kedung yang paling dalam tanpa harapan untuk da­pat timbul kembali.”

“Itu adalah istilah yang paling baik yang dapat kita pergunakan. Baiklah, yang manapun juga yang akan kita pa­kai, namun aku sependapat bahwa kita melepaskan kesetiaan kita kepada tuanku Tohjaya. Sejak aku mendapat perintah un­tuk memanggil Mahisa Agni dari Kediri, aku sudah meragu­kan, apakah Mahisa Agni akan berdiam diri saja menjalani ke­adaan yang diterapkan kepadanya? Nampaknya ia memang menerima segala keadaannya di bangsalnya dengan beberapa pengawalnya. Namun demikian, seperti pada saat ia berdiri di balik tabir kemenangan tuanku Anusapati atas tuanku Tohja­ya, kini Mahisa Agni pun telah melakukan hal yang sama. Ia seakan-akan dapat berada di dua tempat sekaligus. Di bangsalnya dan di tempat pemusatan pasukan tuanku Ranggawuni dan tu­anku Mahisa Cempaka.”

“Dengan demikian, bukankah kita telah sepakat?”

“Ya. Kita telah sepakat.”

Ternyata kedua Panglima itu pun telah menemukan kese­pakatan untuk bersikap terhadap Singasari. Akhirnya mereka tidak dapat berpijak pada kepentingan pribadi masing-masing. Teta­pi mereka harus memikirkan persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan pribadi mereka.

“Jika demikian, kita akan menyampaikannya kepada tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.” berkata Pangli­ma Pasukan Pengawal.

“Ya. Kapan kita akan menghadap?”

“Sebaiknya segera.” potong Senapati dari Pasukan Pe­ngawal, yang kemudian disahut oleh Senapati Pelayan Dalam yang telah menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. “Ya. Agaknya tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka pun sudah siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan berkembang. Dengan atau tidak dengan kita, tuanku Rangga­wuni dan Mahisa Cempaka akan segera bertindak.”

“Baiklah.” berkata Panglima Pelayan Dalam, “Besok kita menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kedua Senapati yang mendahului kita akan dapat menunjuk­kan jalan kepada kita.”

“Kita harus keluar dari kota ini malam hari.” berkata Senapati Pengawal, “Setiap lorong dan jalan mendapat pengawasan yang ketat sekali, sehingga sulit bagi kita untuk dapat keluar tanpa mereka ketahui di siang hari.”

“Tetapi kalian dapat memasuki kota dengan penyamar­an. Apakah kita tidak melakukan hal yang sama ketika kita berangkat keluar.”

“Kami berdua memasuki kota ketika masih remang-remang. Apalagi kami berada dalam iring-iringan yang cukup banyak dari orang-orang yang membawa barang dagangan mereka. Sebagian be­sar adalah barang-barang anyaman yang mereka bawa masuk kota sepekan sekali.”

Kedua Panglima itu mengangguk-angguk. Lalu Panglima Pela­yan Dalam berkata, “Jika demikian, nanti malam kita keluar kota.”

“Baiklah, kita akan menghadap langsung. Menurut pendapatku. Lembu Ampal pasti ada di sana pula.” berkata Sena­pati Pelayan Dalam.

Demikianlah kedua orang itu pun mempersiapkan diri mereka untuk menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka diiringi oleh Senapati masing-masing yang telah pernah meng­hadap lebih dahulu. Menjelang malam, mereka telah mempersiapkan diri se­baiknya. Mereka membawa senjata masing- masing di bawah pakaian mereka, agar tidak segera menarik perhatian.

Dalam pakaian rakyat kebanyakan mereka pun kemudian pergi ke tempat yang sudah mereka janjikan. Para Senapati yang pernah pergi bersama Lembu Ampal mengetahui dengan pasti, jalan manakah yang harus mereka lalui. Namun demikian mereka harus masih selalu berhati-hati karena setiap saat mere­ka dapat bertemu dengan bahaya yang bukan saja mengancam jiwa mereka, tetapi juga dapat menimbulkan huru hara yang lebih Iuas. Jika kepergian mereka diketahui oleh petugas-petugas san­di, maka pada saat mereka tidak ada di tempat, maka pasukan­nya akan dapat digilas oleh kekuatan-kekuatan lain yang ada di Singa­sari.

Meskipun kedua Panglima itu telah menyerahkan segala kebijaksanaan kepada Senapati yang terpercaya, tetapi mereka merasa lebih baik bahwa semuanya tidak terjadi lebih dahulu sebelum kedua Panglima itu bertemu langsung dengan Rang­gawuni dan Mahisa Cempaka.

Melalui jalan yang pernah mereka tempuh, maka kedua orang Senapati itu pun berhasil membawa kedua Panglimanya ke luar kota. Dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri jalan yang pernah mereka lalui pula, sehingga akhirnya mereka pun sampai ke sebuah pedukuhan kecil yang pernah mereka data­ngi bersama Lembu Ampal.

Ke empat orang itu terkejut ketika mereka memasuki pa­dukuhan kecil itu. Mereka sama sekali tidak menemukan seorang pun di mulut lorong. Bahkan ketika mereka memasuki pa­dukuhan itu, ternyata padukuhan itu kosong sama sekali. Yang ada hanyalah beberapa buah rumah kecil dengan pintu terbuka. Tetapi rumah-rumah itu sama sekali tidak berisi, dan bahkan tidak ada sebuah pelita pun yang menyala. Padukuhan kecil itu benar-benar bagaikan pekuburan. Kosong dan gelap.

“Apakah kau sudah gila?” bertanya Panglima Pasu­kan Pengawal, “Kenapa kami kau bawa ke tempat ini?”

“Tempat ini adalah tempat tuanku Ranggawuni dan tu­anku Mahisa Cempaka menerima kami. Aku ingat betul, inilah rumahnya, rumah ini. Regol itu aku kenal pula. Dan halamannya adalah halaman yang ini pula.”

“Tetapi padukuhan ini kosong sama sekali. Penghuninya pun sama sekali tidak ada.”

“Tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam berkata, “Apakah tuan­ku Tohjaya mengetahuinya dan menyergapnya sehingga padu­kuhan ini digilasnya sampai bersih.”

“Tidak ada bekas pertempuran.” desis Senapatinya.

“Ya. Tidak ada bekas pertempuran.”

Ke empatnya termangu-mangu sejenak di dalam kegelapan malam. Namun sebagai prajurit-prajurit pilihan mereka mendapat semacam firasat, bahwa di sekitar mereka ada beberapa orang yang sedang mengintai. Panglima Pasukan Pengawal yang berada di ujung tanpa sesadarnya telah meraba hulu senjatanya. Desisnya perIahan-lahan. “Aku merasa bahwa kita tidak hanya berempat.”

“Ya.” sahut Panglima Pelayan Dalam, “Ada orang di sekitar kita.”

Para Senapati pun merasakan sesuatu yang telah meraba dinding hati. Sebagai prajurit mereka pun segera dapat menanggapi firasat itu. Tanpa berjanji maka mereka berempat pun segera berdiri menghadap ke arah yang berlainan.

“Agaknya kita telah terjebak.” desis Panglima Pasu­kan Pengawal.

“Tentu bukan oleh tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka. Aku yakin akan keiklasan mereka.”

Mereka tidak berbicara lagi. Mereka kini mendengar sua­ra berdesir melangkah mendekat. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Keempat orang itu pun segera mempersiapkan diri meng­hadapi setiap kemungkinan. Tangan mereka telah siap mena­rik senjata mereka apabila diperlukan.

Namun sejenak kemudian mereka mendengar suara ter­tawa tertahan. “Maaf.” terdengar kata-kata itu di sela-sela derai tertawanya, “Kami tidak dapat menyambut kedatangan kali­an sebaiknya-baiknya.”

Ketika suara itu terhenti, nampaklah seseorang muncul dari dalam gerumbul dipinggir halaman. Ternyata orang itu adalah Lembu Ampal diikuti oleh beberapa orang pengawal­nya.

“Sebenarnya apalagi yang sedang kau lakukan sekarang, Lembu Ampal?” bertanya Panglima Pelayan Dalam.

“Maaf! Mungkin kalian terkejut melihat keadaan pa­dukuhan ini. Padukuhan ini benar-benar padukuhan yang pernah didatangi oleh kedua Senapati yang mewakili Panglima ma­sing-ma­sing.”

“Kenapa padukuhan ini sekarang kosong?”

“Waktu itu aku lupa mengatakan, bahwa setiap saat tempat kami dapat berpindah. Jika kami menganggap bahwa tempat yang kami pergunakan sudah tidak aman lagi, maka kami pun segera bergeser ke tempat yang lain.”

Panglima Pelayan Dalam itu memandang Lembu Ampal dengan tajamnya. Di dalam keremangan malam ia tidak dapat menangkap sorot mata Lembu Ampal. Tetapi agaknya yang dikatakan itu bukannya dibuat-buat.

“Jadi kalian telah berpindah tempat?” bertanya Se­napati Pelayan Dalam.

“Ya. Kami mendapat firasat, bahwa ada petugas sandi yang mencurigai pedukuhan ini. Kami pun segera berpindah tempat dengan berangsur-angsur. Ternyata bahwa sore tadi, seke­lompok prajurit benar-benar mendatangi tempat ini. Untunglah bahwa kami telah pergi. Jika tidak, maka mereka tidak akan pernah kembali ke Singasari. karena jumlah mereka tidak cu­kup banyak. Tetapi dengan demikian akan berarti perang se­gera akan mulai.”

“Tetapi kenapa kau berada di sini?” bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal.

“Aku yakin kalau kalian akan datang. Karena itu aku menunggu di sini. Jika malam ini kalian tidak datang, aku ma­sih akan menunggu beberapa malam lagi di sini.”

“Bagaimana dengan kelompok prajurit itu?”

“Mereka tidak melihat aku. Bahkan aku ada di sini pula ketika mereka tadi datang kemari. Tetapi mereka tidak menca­ri dengan teliti. Apalagi karena daerah ini benar-benar telah ko­song. Penghuni padukuhan ini pun telah mengungsi pula keti­ka kami meninggalkannya pergi.”

“Jadi prajurit Singasari mendapatkan daerah ini kosong sama sekali?”

“Ya. Dan hal itu tentu menumbuhkan kecurigaan mere­ka.”

“Mereka pasti akan kembali, besok atau lusa.”

“Ya.” jawab Lembu Ampal, “Kami pun sudah mendu­ga. Tetapi itu memang kami harapkan. Jika kami sudah mene­rima ketetapan hati kalian, maka semuanya akan segera dimu­lai.”

“Dimanakah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka sekarang?”

“Kami memang menunggu kalian untuk membawa ka­lian menghadap.”

Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak. Na­mun akhirnya keduanya menganggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun segera memba­wa mereka meninggalkan padukuhan kecil itu. Ternyata Lembu Ampal sudah menyediakan beberapa ekor kuda. Bahkan kuda yang disediakan melampaui jumlah orang yang hanya empat itu. Dengan diiringi oleh beberapa pengawal Lembu Ampal, maka mereka pun segera berpacu menuju ketempat yang sebenarnya tidak begitu jauh. Juga sebuah desa kecil yang berada di bulak yang luas.

Kedatangan kedua Panglima itu diterima dengan senang oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setelah mempersilahkan mereka duduk, maka mereka pun segera terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Seperti pada saat kedua Senapati mendahului menghadap, maka pada malam itu hadir juga Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra. Orang-orang yang meskipun sudah menjadi semakin tua, namun nampak masih memiliki pengaruh yang cukup besar di lingkungannya.

“Kami menyatakan diri berada di bawah perintah tuan­ku berdua.” berkata Panglima Pasukan Pengawal itu, “Dan kami bertanggung jawab bahwa semua orang di dalam pasu­kan kami masing-masing akan mentaati perintah kami.”

“Terima kasih.” berkata Ranggawuni, “Tetapi apakah hal ini sudah kau pikirkan masak-masak?”

Kedua Panglima itu tertegun sejenak. Seakan-akan mereka telah dihadapkan pada cermin yang bening. Kedua Panglima itu seolah-olah melihat dirinya sendiri pada saat mereka menentukan sikap mendukung Tohjaya kira-kira seta­hun yang lalu. Kematian Anusapati semula memberikan hara­pan kepada mereka, bagi kepentingan pribadi, untuk menda­patkan keuntungan vang sebesarnya. Jabatan dan harta du­niawi.

Namun akhirnya mereka menjadi kecewa. Kepentingan pribadi bagi mereka sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan Singasari, karena ternyata bahwa mereka betapa­ pun tipisnya masih disentuh oleh kecintaan kepada tanah kelahiran.

“Tuanku Ranggawuni.” Panglima Pasukan Pengawal itu pun kemudian berkata, “Sebenarnyalah bahwa kami seakan-akan telah kehilangan kepribadian kami. Kami pada masa tuanku Tohjaya merebut tahta, kami tidak mampu lagi melihat, manakah yang baik dan manakah yang buruk. Kini kami berdua tuanku hadapkan lagi pada persoalan itu. Tetapi kini kami sudah berdiri di tempat yang lebih mantap. Kami kini mulai mengenal, hakekat dari hidup kami sebagai prajurit Si­ngasari, yang harus melihat Singasari di atas segala kepenting­an. Terutama kepentingan pribadi.”

Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Mudah-mudahanan kau benar-benar telah menemukan kepribadianmu. Bukan lagi harapan-harapan seperti yang pernah kau impikan pada masa pamanda Tohjaya merebut tahta.”

“Ampun tuanku.” berkata Panglima Pelayan Dalam, “Kini hamba melihat dengan mata hati. Bukan sekedar mata wadag hamba, bahwa tuanku berdua akan benar-benar membuat Singa­sari menjadi semakin besar. Tuanku berdua akan dapat me­lanjutkan usaha tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, mempersatukan segenap isi Tanah Kelahiran ini.”

Ranggawuni tersenyum. Yang kemudian berkata adalah Mahisa Cempaka, “Aku percaya bahwa kau berbicara dengan nuranimu. Aku tidak pantas mencurigaimu lagi.”

“Jelasnya.” berkata Mahisa Agni, “Kalian diterima dalam lingkungan kami. Karena itu, kalian pun mempunyai pertanggungan jawab atas sikap kalian. Apakah kalian sudah mengerti?”

“Kami mengerti.” sahut Panglima Pasukan Pengawal, “Di belakang kami adalah seluruh pasukan kami.”

“Bagus.” desis Witantra, “Dengan demikian, maka semuanya akan dapat berlangsung dengan cepat.”

“Ya. Semakin cepat semakin baik.” sahut Mahisa Ag­ni.

Ranggawuni memandang Mahisa Cempaka sejenak, seolah-olah ingin mengetahui perasaannya. Namun kemudian dita­tapnya wajah Mahisa Agni dalam-dalam, karena sebenarnyalah bah­wa semua rencana telah disiapkan oleh Mahisa Agni, Lembu Ampal, dan Witantra.

“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, “Agaknya waktunya memang sudah tiba. Jika tuanku menghendaki, maka setiap saat tuanku dapat memerintahkan kepada kami untuk mulai dengan perjuangan kami, memulihkan kebesaran nama Singa­sari yang sudah dicemarkan oleh tuanku Tohjaya.”

Ranggawuni mengerutkan keningnya, lalu, “Bagaimana menurut pertimbangan paman?”

“Bagi hamba, semuanya sudah siap.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Lembu Ampal, maka Lembu Ampal pun berkata, “Tidak ada ke­beratan apapun lagi tuanku. Selagi persoalan ini belum dike­tahui oleh lawan, kita harus segera bertindak. Dengan demi­kian korban akan dapat dibatasi. Tetapi jika kita harus berha­dapan di medan, maka korban akan bertimbun tanpa dapat di­hitung lagi.”

Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Dan Mahisa Agni pun kemudian berkata, “Kita dapat mempersiapkan seluruh pa­sukan semalam ini. Besok kita dapat memberikan penjelasan yang perlu, dan di malam hari kita dapat mendekati dinding kota. Menjelang fajar, kita bersama-sama memasuki kota, sedang yang ada di istana harus segera menguasai istana. Terutama pa­sukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Dengan demikian maka perhatian prajurit-prajurit yang ada di dalam kota akan terpecah. Se­bagian dari mereka harus membendung arus lawan yang me­masuki gerbang, sedang yang lain harus berhadapan dengan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam.”

Kedua Panglima itu pun mengangguk-angguk pula. Mereka me­ngerti rencana itu. Jika mereka dapat bertindak cepat, maka la­wan mereka akan segera menjadi bingung dan menyerah, se­hingga jumlah korban memang dapat dibatasi.

“Nah.” berkata Ranggawuni kemudian kepada kedua Panglima itu, “Kalian sudah mendengar rencana itu. Apakah kalian bersedia menjalankan?”

“Kami bersedia tuanku. Yang kami harapkan hanyalah tanda-tanda dan isyarat yang akan tuanku berikan sebagai aba-aba bagi kami untuk mulai bergerak di istana.”

“Kami akan melontarkan panah-panah api dan sendaren.” berbicara Witantra, “Pada saatnya kalian harus bergerak.”

“Baiklah. Kami sudah mengerti semuanya.”

Ranggawuni kemudian berkata, “Jika demikian, sebaik­nya kita segera mulai. Bagaimana menurut pertimbangan pamanda Mahisa Agni mengenai ketentuan waktu.”

“Sebaiknya kita tentukan tuanku. Seperti yang hamba katakan, malam ini kita mulai bersiap. Besok kita memberikan penjelasan kepada setiap pemimpin kelompok di luar dinding kota, sedang Panglima kedua pasukan itu akan menjelaskan­nya kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya. Malam hari kita maju dan mengepung kota, sedang yang ada di dalam harus mem­persiapkan semua kekuatan yang ada. Tanpa kekuatan cada­ngan, karena kami akan segera berada di dalam kota.”

Ranggawuni mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan setiap rencana Mahisa Agni, karena ia percaya sepenuhnya, bahwa perhitungan Mahisa Agni. Witantra, Mahendra dan bahkan kemudian Lembu Ampal, pada umumnya dapat berjalan baik. Namun kemudian Ranggawuni pun bertanya, “Lalu ba­gaimana dengan pamanda sendiri?”

“Hamba tetap berada di dalam bangsal dengan beberapa orang pengawal. Hamba harus mempersiapkan pamandamu yang lain, agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Tohjaya. Juga ibunda tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Wonga Teleng berdua. Juga neneknda Ken Dedes yang sudah hampir tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain berprihatin untuk cucu-cucunya.”

“Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam akan menda­pat perintah untuk melindungi mereka.” berkata Panglima Pasukan Pengawal.

“Terima kasih.” sahut Mahisa Agni, “Tetapi sebaiknya aku berada di arena yang paling gawat itu. Sedang pasukan yang akan memasuki kota akan dipimpin oleh Witantra dan Mahendra. Menurut pendapatku, Lembu Ampal pun sebaiknya berada di dalam kota bersama beberapa orang Senapati Pasu­kan Pengawal yang berada di luar halaman istana. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka akan segera mema­suki kota setelah keadaan kota dapat dikuasai.”

“Aku serahkan semuanya kepada pamanda semuanya.” berkata Ranggawuni.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mengada­kan beberapa persetujuan khusus. Isyarat yang harus diketahui segala pihak. Di dalam perang brubuh yang kisruh, maka isya­rat sandi sangat diperlukan. Para prajurit akan sangat sulit membedakan yang satu dengan yang lain di dalam perang bru­buh. Apalagi di malam hari. Mereka tidak akan mendapat ba­nyak kesempatan untuk mengenal ciri-ciri khusus mereka masing-masing. Bahkan selain isyarat sandi, mereka pun merasa perlu untuk mempergunakan tanda-tanda khusus.

“Setiap orang di dalam pasukan kita harus memperguna­kan gelang lawe berwarna putih di kedua pergelangan tangan mereka.” berkata Lembu Ampal kemudian.

Semua pemimpin pasukan yang ada di ruang itu sepen­dapat, sehingga akhirnya menjadi keputusan pula, bahwa ciri itu harus dipergunakan. Jika ada di antara mereka yang tidak mempergunakannya, juga setiap orang di dalam pasukan, maka apabila terjadi sesuatu atas mereka itu adalah karena kele­ngahan mereka sendiri.

Malam itu, semua persoalan telah diputuskan dan harus dilaksanakan. Para Panglima itu tidak dapat berada di tempat itu terlampau lama. Mereka malam itu juga harus kembali ke rumah masing-masing, karena setiap saat Tohjaya akan dapat me­manggil mereka. Setelah tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka pertemu­an itu diakhiri. Para Panglima dan Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, bersama-sama dengan Mahisa Agni, segera kembali masuk ke dalam kota.

Malam itu juga, beberapa orang utusan telah berpacu me­mencar kesetiap pemusatan pasukan di sekitar kota. Witantra tetap berada di antara pasukan induk bersama Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Mahendra dan Lembu Ampal pun kemudian mengambil tempatnya masing-masing diarah yang berbeda.

Perintah yang dikeluarkan oleh Ranggawuni adalah mem­persiapkan semua pasukan dan kekuatan yang ada. Pagi-pagi be­nar, para pemimpin kelompok harus berkumpul di tempat tertentu. Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal akan memberi penjelasan kepada mereka di tempat masing-masing di arah yg berbeda di sekitar kota.

Setelah setiap pemimpin kelompok mendengarkan penje­lasan, maka mereka masih mendapat waktu sehari untuk mengatur segala persiapan. Pasukan yang belum lengkap segera dilengkapi. Para pengikut Ranggawuni yang masih bekerja di sawah, segera berkumpul di kelompok masing-masing.

Pada saat yang ditentukan, maka pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang berada di luar kota sudah siap un­tuk bergerak. Pasukan yang menjadi inti kekuatan mereka adalah prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan yang tersebar di tempat terpencil yang dapat dihimpun oleh Witantra.

Namun demikian, para pemimpin di dalam pasukan Rang­gawuni dan Mahisa Cempaka yakin bahwa mereka akan berhasil merebut kedudukan Tohjaya dan menguasai seluruh ko­ta. Kemudian perIahan-Iahan mereka akan dapat pula mendapat kepercayaan dari daerah yang sudah dipersatukan oleh Sri Rajasa sebelumnya.

Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam kota pun segera menyebarkan orang-orang kepercayaan mereka. Mereka yakin bahwa di dalam keadaan itu, semua perintah mereka akan mendapat dukungan apabila perintah itu dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi mereka.

“Bergantian panggil para Senapati. Tiga mereka harus menghadap aku. Sebelum matahari sepenggalah aku berada di rumah. Kemudian sampai tengah hari, orang berikutnya ha­rus menghadap aku di alun-alun, justru agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tetapi ingat, tiga-tiga. Tidak boleh lebih. Setelah tengah hari, tiga-tiga berikutnya dapat menjumpai aku di halaman istana. Menjelang malam, sisanya dapat menemui aku di ­rumah lagi. Selanjutnya aku akan mengirimkan perintah-perintah beri­kutnya lewat petugas-petugas kepercayaanku.” berkata Panglima Pasukan Pengawal yang sudah bersepakat mempergunakan ca­ra yang sama dengan Panglima Pasukan Pengawal.

Kepada Senapati yang menghadap tiga-tiga, kedua Pang­lima itu memberikan penjelasan sampai masalah yang sekecilnya.

“Penjelasan hanya diberikan satu kali.” berkata Panglima-panglima itu.

Keterangan itu telah menyatakan kepada para Senapati, bahwa mereka harus memahami penjelasan yang mereka de­ngar itu sebaik-baiknya, karena mereka tidak akan mendapatkan penjelasan apapun lagi. Mereka kemudian tinggal melaksana­kan perintah itu sebaik-baiknya.

Para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu pun telah mendapat penjelasan pula, bahwa kedua pasukan yang semula bermusuhan itu harus dapat bekerja bersama. Me­reka agaknya telah menjadi korban adu domba sehingga di antara mereka timbul perasaan dendam dan benci.

Demikianlah, maka para Senapati dari kedua pasukan itu pun segera menghimpun anak buah mereka. Tetapi, karena jumlah pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam tidak begitu ba­nyak dibandingkan dengan pasukan yang kemudian ditarik ke dalam istana itu, maka usaha untuk menyampaikan perintah itu ke segenap telinga pun tidak memerlukan waktu terlampau panjang.

Sebelum tengah malam berikutnya, semua orang di dalam kedua pasukan itu telah mendengar perintah itu dengan sebaik-baiknya. Mereka pun telah menempatkan dirinya seperti yang dikehendaki oleh para pemimpin mereka. Dengan tan­pa menimbulkan kecurigaan, mereka menempatkan para Pe­ngawal dan Pelayan Dalam dalam jumlah yang cukup kuat di sekitar bangsal Ken Dedes, putera-puteranya dan ibu Ranggawuni. Yang lain berada di bangsal Mahisa Agni bersama para penga­wal Mahisa Agni sendiri.

Tetapi dalam pada itu, yang bertugas di bangsal Tohjaya menurut keinginan dan perintah Tohjaya sendiri, sama sekali bukannya lagi Pasukan Pengawal. Di dalam bangsal itu pun ti­dak ada lagi Pelayan Dalam yang melakukan tugasnya. Semua pekerjaan telah diambil alih oleh prajurit-prajurit yang mendapat ke­percayaan sepenuhnya dari Tohjaya.

Sebelumnyalah kecurigaan Tohjaya yang menjadi semakin besar sejak hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, ke­mudian Lembu Ampal, telah menempatkannya ke dalam pe­ngamatan yang ketat dari kepercayaannya. Tohjaya telah me­milih bangsal yang semula dipergunakan oleh Anusapati, yang dikelilingi oleh kolam buatan yang cukup dalam dan luas. Di ­luar lingkungan kolam itu selapis prajurit selalu berjaga-berjaga.

Ke­mudian setiap jembatan yang menghubungkan bagian luar dan dalam dari lingkaran kolam itu pun selalu dijaga sebaik-baiknya. Kemudian di setiap pintu bangsal ditempatkan beberapa orang prajurit pilihan. Tidak seekor jengkerik pun yang dapat mema­suki bangsal itu tanpa diketahui oleh para petugas di sekitar bangsal dan kolam itu.

Menjelang saat-saat yang telah ditentukan, maka kedua Pang­lima itu pun telah berada di halaman istana pula. Merekalah yang akan memimpin langsung benturan yang akan dapat ter­jadi di halaman istana itu. Dengan diam-diam mereka berhasil mendapat hubungan de­ngan Mahisa Agni yang sudah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.

Namun ternyata bahwa Senapati prajurit yang bertugas di halaman istana itu pun memiliki ketajaman penglihatan. Mereka melihat kesiagaan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam melampaui kebiasaannya. Mereka melihat para Pengawal ber­tugas dalam kelompok yang lebih besar dan hampir semua ke­kuatan dari Pasukan Pengawal telah dipusatkan di dalam hala­man.

Demikian pula Pelayan Dalam. Beberapa orang prajurit telah melaporkan bahwa di bangsal-bangsal tertentu nampak bebera­pa orang Pelayan Dalam mondar mandir di antara mereka. Nampak di antara Pelayan Dalam itu kesibukan yang mening­kat.

“Apakah dendam di antara kedua pasukan itu tetap me­nyala?” desis seorang Senapati.

“Mungkin.” sahut yang lain, “Tetapi mungkin pula tidak.”

Ketegangan di antara setiap pasukan di halaman ini te­lah meningkat. “Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu bagaikan minyak dengan api. Jika mereka bersentuhan lagi da­lam perkara yang paling kecil sekalipun, maka akan dapat berkobar pertentangan yang mengerikan.”

“Tetapi keduanya agaknya mencurigai kita pula.”

“Itu wajar, karena kehadiran kita di sini sama sekali ti­dak mereka kehendaki. Kita mengemban tugas khusus dari tu­anku Tohjaya, karena kedua pasukan itu tidak lagi dapat di­percaya.”

“Meskipun demikian kita tidak boleh lengah malam ini. Mungkin akan terjadi sesuatu. Seandainya kedua pasukan itu akan bertempur biarlah mereka bertempur. Tetapi jika mereka mulai menyentuh tubuh kita, maka kita akan membinasakan keduanya yang barangkali memang sudah tidak akan dipergu­nakan lagi oleh tuanku Tohjaya.”

Demikianlah, maka di jalur lain, Senapati itu pun telah me­merintahkan kepada setiap pemimpin kelompok untuk menga­wasi keadaan sebaik-baiknya. Kemudian mengambil sikap seperti yang diputuskan oleh Senapati yang bertanggung jawab ma­lam itu di halaman istana.

Halaman istana itu pun kemudian dicengkam oleh ketega­ngan. Ketika tengah malam telah lewat, maka setiap orang di dalam Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah menyedia­kan seutas lawe yang akan mereka belitkan di kedua pergelangan tangan mereka sebagai tanda.

“Jika telah terdengar isyarat, maka lawe itu harus sege­ra dikenakan. Jika terlambat dan tidak sempat lagi, maka akan dapat terjadi salah paham.” perintah setiap pemimpin kelom­pok, “Tetapi juga jangan sekarang. Lawe di pergelangan itu akan dapat menumbuhkan kecurigaan pada pihak-pihak yang lain di halaman ini. Apalagi jika mereka memperhatikan bahwa orang-orang Rajasa dan Sinelir memakai tanda yang bersamaan.”

Setiap prajurit yang termasuk di dalam Pasukan Pengawai dan Pelayan Dalam memperhatikan perintah itu baik-baik. Untuk sementara mereka belum mengenakan lawe yang berwarna putih itu di pergelangan tangannya.

Dalam pada itu, para prajurit yang tidak sedang bertugas pun telah berada di halaman. Mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat sesaat di gardu-gardu dan di tempat-tempat yang tidak begitu jelas dapat dilihat oleh pihak-pihak lain. Tetapi mereka tidak dapat beristirahat dengan tenang karena mereka menyadari bah­wa sesuatu akan segera terjadi.

Kesiagaan prajurit kepercayaan Tohjaya pun kemudian da­pat dilihat oleh para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Namun mereka pun yakin bahwa prajurit-prajurit itu be­lum menyadari apa yang akan terjadi sebenarnya. Mereka bersi­ap sekedar karena firasat keprajuritan mereka, dan barangkali sedikit kecurigaan karena jumlah Pasukan Pengawal dan Pela­yan Dalam malam itu agak lebih banyak dari malam sebelumnya.

Di luar halaman istana, para prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang tidak memasuki halaman karena per­timbangan-per­timbangan pengamanan rencana dalam keseluruhan, agar pihak lain tidak terlampau curiga karena jumlah Pengawal dan Pela­yan Dalam menjadi jauh melampaui kebiasaannya, telah siap pula beberapa ratus langkah dari mulut gerbang.

Mereka mempersiapkan diri di dalam kegelapan berpenca­ran sehingga tidak segera dapat dilihat. Beberapa orang di antara mereka berada di kebun-kebun dan halaman rumah yang dikelili­ngi dengan dinding batu. Mereka menunggu sambil duduk-duduk di antara pepohonan di bawah lindungan bayangan yang gelap.

Bukan saja prajurit-prajurit yang berada di regol dan yang sedang meronda di jalan-jalan sajalah yang tidak dapat melihat mereka, bahkan orang-orang yang memiliki halaman itu pun tidak mengetahui bahwa di halaman, di kebun belakang atau di halaman samping, terdapat beberapa orang yang bersembunyi di dalam gelap.

Para prajurit dari Pasukan Pengawai dan Pelayan Dalam itu memusatkan perhatian mereka pada halaman istana dan isi­nya. Mereka mempercayakan keadaan di luar dinding halaman istana kepada pasukan yang akan memasuki kota dari luar. Prajurit-prajurit yang menunggu itu hampir tidak sabar lagi. Apa­lagi ketika mereka sudah melihat bayangan kemerahan di ujung Timur.

“Apakah ada perubahan rencana?” bertanya seorang prajurit dari Pasukan Pengawal kepada pemimpin kelompoknya.

“Seharusnya tidak. Sebentar lagi kita tidak mempunyai waktu lagi untuk menarik diri. Jika jalan-jalan mulai ramai, kita harus bertindak dengan atau tanpa pasukan dari luar, karena ti­dak ada jalan lain bagi kita yang sudah terlanjur berada di sini dan di dalam dinding halaman itu.”

Para prajurit itu pun menyadari sepenuhnya apa yang dika­takan oleh pemimpin kelompok itu. Bahkan di antara mereka mulai tumbuh kecurigaan, bahwa mereka justru telah terjebak dan dengan demikian mereka harus bertempur sendiri di antara kekuatan-kekuatan yang ada di Singasari. Para Panglima yang ada di halaman istana pun mulai geli­sah. Mereka pun mulai dirayapi oleh prasangka yang serupa, bahwa Lembu Ampal telah mempermainkan mereka.

“Tetapi tatapan mata tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka itu meyakinkan. Bahkan Mahisa Agni pun te­lah bersiap pula. Saudara-saudara tuanku Anusapati telah mengetahui apa yang akan segera terjadi.” berkata Panglima itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak berbuat licik seperti yang dicemaskan itu. Mereka benar-benar telah bergerak mendekati dinding kota. Pa­sukan yang terpencar di seputar kota itu dipimpin oleh Senapa­ti terpercaya yang dikendalikan oleh Witantra, Mahendra dan Ranggawuni serta Mahisa Cempaka sendiri.

Menjelang pagi, para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam hampir tidak sabar lagi menunggu. Menurut perhitungan mereka, waktu yang direncanakan seharusnya su­dah lampau. Namun selagi mereka dicengkam oleh kegelisahan dan ke­raguan, mereka dikejutkan oleh hadirnya Lembu Ampal di antara mereka.

“Apakah ada perubahan?” bertanya seorang Senapati.

“Tidak.” sahut Lembu Ampal.

“Tetapi kita sudah terlambat.”

“Memang ada kelambatan sedikit. Tetapi tidak berarti.”

“Sebentar lagi, jalan-jalan kota menjadi ramai. Matahari akan segera terbit.”

“Masih ada waktu. Saat ini para prajurit sedang menyu­sup ke dalam kota lewat pintu gerbang.”

“Bagaimana dengan para penjaga?”

“Mereka mempergunakan penyamaran. Pengalaman yang telah terjadi atas kedua Senapati yang datang terdahulu membe­rikan pikiran kepada kami untuk melakukannya. Tidak lewat sebuah pintu gerbang, tetapi beberapa.”

“Jika jumlahnya terlampau banyak, mereka yang bertugas di gerbang akan segera menjadi curiga.”

“Memang. Tetapi dalam pada itu, prajurit-prajurit yang lain kini sudah siap mengelilingi dinding kota.”

Para Senapati itu pun mengangguk-angguk. Tetapi ketika mereka menengadahkan kepala, mereka melihat langit sudah menjadi semakin merah.

“Hampir pagi. Benar-benar hampir pagi.”

“Semuanya sudah siap. Sebentar lagi akan terdengar tan­da. Sementara aku berada di sini seperti yang direncanakan. Aku akan ikut memasuki halaman istana.”

Para prajurit masih saja merasa gelisah. Agaknya beberapa orang pedagang sudah memasuki gerbang sehingga apabila tim­bul perang yang memencar di kota, mereka akan dapat menjadi korban.

Meskipun hal itu tidak diucapkan, namun agaknya Lembu Ampal dapat mengetahuinya, sehingga ia pun berkata, “Jangan cemas terhadap para penjual barang-barang dari luar yang memasuki gerbang kota. Mereka seluruhnya adalah orang-orang kita.”

“Ah, tidak mungkin.”

“Percayalah. Kami telah menghentikan semua orang yang akan berjualan ke kota. Membeli barang-barang mereka dan ke­mudian membawanya masuk. Tetapi orang-orang kita pun yang ke­mudian mengangkutnya ke dalam kota dalam penyamaran yang rapi.”

Para prajurit yang sudah siap itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi sebentar lagi kota ini akan terbangun. Jalan-jalan akan menjadi ramai dan dengan de­mikian akan dapat timbul kericuhan dan korban yang tidak berarti.”

“Mudah-mudahan kita akan segera mulai.”

Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam halaman pun menjadi semakin gelisah. Hampir saja mereka berdua mengambil sikap tersendiri menghadapi keadaan yang mereka anggap sangat gawat itu.

Namun agaknya kelambatan itu tidak berkepanjangan. Sejenak kemudian para prajurit yang ada di dalam kota telah mendengar tanda bahaya yang meledak di gerbang sebelah Uta­ra vang kemudian menjalar keseluruh kota. Tanda yang jus­tru dibunyikan oleh prajurit-prajurit Singasari.

Memang tanda itulah yang dipergunakan sebagai isyarat bagi seluruh kekuatan yang ada di dalam kota. Seperti yang sudah mereka bicarakan, maka keributan akan dimulai dari gerbang Utara. Pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah memperhitungkan, bahwa akan terdengar bunyi tanda bahaya itu. Dan tanda itu pun dipergunakan pula oleh mereka sebagai isyarat, bahwa perjuangan mereka harus segera dimulai.

Namun demikian, untuk meyakinkan apakah pasukan me­mang sudah siap seluruhnya, di beberapa tempat akan dilontarkan panah-panah api dan panah sendaren dengan cirinya masing-masing. Tanda bahaya yang dibunyikan justru oleh prajurit Singa­sari itu benar-benar telah menggemparkan seluruh kota. Prajurit-prajurit yang tersebar itu pun segera mempersiapkan diri ditempat ma­sing-masing.

Pada saat itu pulalah, maka setiap prajurit dari pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam mengenakan lawe berwarna pu­tih di pergelangannya. Demikian pula setiap kekuatan yang mendukung Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Prajurit-prajurit yang dipercaya oleh Tohjaya pengawal halaman tstana pun segera bersiap pula. Tohjaya sendiri berada di bangsalnya, dikelilingi oleh pengawalnya yang terpercaya dan sen­jata telanjang di tangannya.

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Tohjaya kepada pengawalnya.

“Belum ada laporan yang kami terima tuanku.” jawab Senapati yang bertanggung jawab atas keamanannya.

“Cepat, usahakan untuk mengetahui, apa yang terjadi.”

Beberapa orang pun kemudian berlari-larian di halaman. Penghubung-penghubung berkuda berderap di jalan-jalan kota. Baru beberapa saat kemudian, Tohjaya mendengar lapo­ran bahwa sepasukan prajurit telah memasuki kota lewat gerbang sebelah Utara, disusul oleh mereka yang memasuki kota lewat pintu gerbang sebelah Barat dan prajurit-prajurit yang merem­bes melalui lorong-lorong sempit.

“Bagaimana dengan prajurit-prajurit Singasari?”

“Mereka sedang berusaha menahan arus prajurit-prajurit itu.”

“Prajurit-prajurit darimanakah mereka itu?”

“Belum ada kepastian. Namun sementara dapat ditang­kap keterangan bahwa mereka adalah pendukung-pendukung Ranggawu­ni dan Mahisa Cempaka.”

“Gila. Mereka harus dibinasakan. Perintahkan untuk menangkap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka hidup-hidup. Aku sendiri akan menghukum mereka. Aku akan menyayat kulit dan dagingnya dan membiarkan mereka mati perlahan-lahan.”

Perintah itu pun kemudian tersebar di antara para Senapa­ti. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka harus ditangkap hidup-hidup. Tetapi ternyata bahwa pasukan yang menyerbu ke dalam kota itu mendesak semakin dalam. Bahkan pada saatnya, para prajurit dikedua belah pihak melihat panah berapi yang me­lontar ke pusat kota, beberapa kali berturut-turut.

“Itu adalah isyarat, bahwa kekuatan yang ada di dalam kota pun harus mulai bergerak. Justru setelah sebagian besar pra­jurit Singasari dikirim ke perbatasan dan berhasil menahan arus kekuatan dari luar kota.”

“Kita harus segera mulai.” berkata Lembu Ampal.

Senapati yang bertanggung jawab pun kemudian memberi­kan isyarat. Beberapa orang segera berteriak bersama-sama, mene­riakkan aba-aba yang kemudian disahut oleh orang-orang lain yang ber­pencaran di halaman-halaman. Setiap aba yang didengar oleh kelompok-kelompok lain, segera di­tirukan. Dengan demikian maka aba-aba itu pun segera merata di seluruh kota.

Para prajurit yang ada di halaman itu pun segera berlonca­tan keluar dari persembunyiannya. Mereka dalam waktu yang dekat telah berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Karena jumlah mereka memang tidak begitu banyak, maka mereka pun segera memilih sasaran seperti yang sudah mereka rencanakan.

Kekisruhan segera terjadi di dalam kota. Pertempuran se­gera menjalar ke mana-mana. Kelompok-kelompok terpencil yang tidak mendengar teriakan aba-aba dari induk pasukannya, berpegangan kepada isyarat yang di­lihatnya. Dengan demikian, maka kota Singasari benar-benar bagaikan diaduk oleh benturan senjata. Di mana-mana telah terjadi perang dalam kelompok-kelompok kecil.

Prajurit Singasari menjadi bingung. Mereka mendapat perintah untuk pergi ke gerbang-gerbang kota. Tetapi tiba-tiba saja mere­ka telah berpapasan dengan lawan yang bertebaran.

“Orang Rajasa.” teriak seorang Senapati, “Mereka te­lah memberontak.”

“Marilah, kita hancurkan mereka.”

Prajurit-prajurit yang merasa dirinya mendapat kepercayaan Toh­jaya itu pun segera berusaha untuk menumpas orang-orang Rajasa. Tetapi dibagian lain, prajurit-prajurit itu berteriak, “Orang-orang Sinelir. Mereka mendendam karena seorang Senapatinya telah dibu­nuh oleh tuanku Tohjaya.”

“Binasakan mereka.”

Seorang Senapati kemudian memerintahkan seorang peng­hubung untuk menyampaikan kepada Senapati yang bertugas di halaman istana, bahwa di luar halaman telah terjadi benturan senjata antara orang Rajasa melawan para prajurit yang sedang, mendapat kepercayaan Maharaja di Singasari.

“Mereka iri hati dan dengki.”

Penghubung itu pun kemudian dengan hati-hati menyusup mendekati pintu gerbang istana. Ternyata bahwa halaman ista­na itu pun sudah menjadi sepanas bara. Isyarat yang dilihat oleh para prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah memperingatkan mereka, bahwa di luar halaman, perang telah berkobar.

“Kita harus menunggu sejenak.” perintah kedua Pang­lima yang ada di dalam halaman itu, “Kita menunggu prajurit yang ada di halaman ini berkurang.”

Seperti yang mereka perhitungkan, maka beberapa ke­lompok prajurit segera diperintahkan untuk membantu pengamanan di luar halaman. Tetapi Senapati yang sedang bertugas pun tidak lengah menghadapi kekuatan orang-orang Rajasa dan Si­nelir yang ada di dalam halaman.

Sejenak kemudian maka Senapati itu menerima penghu­bung yang lain dengan nafas terengah-engah memotong, “Orang-orang Sinelir telah mengangkat senjata.”

Senapati itu menjadi marah. Ia telah memerintahkan dua orang penghubung untuk menghubungi Panglimanya. Sementara itu ia berkata, “Tentu sudah diatur sebelumnya. Aku su­dah curiga sejak sore tadi. Jangan menjadi lengah. Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang ada di halaman ini pun te­lah bersiap. Karena itu jangan terpancing keluar semuanya. Kalian harus bersiaga di setiap pemusatan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam.”

Para prajurit itu pun ternyata mampu bergerak cepat. Ke­tika Panglima memasuki halaman istana, maka semua prajuritnya telah menempatkan diri menghadapi setiap kemungkinan disegala sudut halaman. Kedua Panglima yang telah bertekad untuk mendukung Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu pun harus berhati-hati. Me­reka pun menjadi kagum, bahwa Panglima prajurit kepercaya­an Tohjaya itu cepat mengambil sikap dengan menempatkan prajuritnya ditempat yang paling berbahaya.

Dalam pada itu, di luar halaman, pertempuran menjadi semakin seru. Tetapi ternyata bahwa jumlah Pasukan Penga­wal dan Pelayan Dalam tidak sebanyak prajurit-prajurit yang sudah dipersiapkan untuk melindungi kekuasaan Tohjaya.

Lembu Ampal menjadi cemas melihat pertempuran di dalam kota, tetapi di luar halaman istana itu. Karena itu, maka ia pun segera berusaha untuk menghubungi Pasukan yang ada di dalam halaman, untuk segera mulai agar prajurit-prajurit yang ber­ada di luar halaman, sebagian terpaksa ditarik masuk ke dalam. Tetapi Lembu Ampal pun menyadari bahwa jumlah praju­rit kepercayaan Tohjaya yang berada di halaman memang cukup banyak.

Isyarat yang diberikan oleh Lembu Ampal telah dapat di tangkap oleh kedua Panglima yang ada di dalam halaman keti­ka tiga buah panah sendaren menyambar pepohonan di hala­man. Karena itu, maka mereka pun tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka yakin bahwa di luar halaman dan di luar kota, pertempuran sudah berkobar dengan sengitnya.

Halaman istana itu pun bagaikan terbakar oleh api den­dam yang menyala di setiap dada prajurit-prajurit Singasari dikedua belah pihak. Hampir di setiap sudut dan regol telah terjadi pertempuran. Perang brubuh yang kisruh. Satu-satunya tanda di antara mereka adalah, bahwa prajurit-prajurit yang berpihak pada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mempergunakan gelang la­we berwarna putih di pergelangan tangannya.

Ketika kemudian langit menjadi cerah, maka ciri itu pun menjadi semakin jelas. Namun dengan demikian menjadi sema­kin jelas pula, bahwa jumlah prajurit yang berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ternyata lebih sedikit dari. jumlah prajurit-prajurit yang sudah dipersiapkan oleh Tohjaya, kare­na kecemasannya akan kesetiaan para Pengawal dan Pelayan Dalam.

Dalam pada itu, Tohjaya yang dikelilingi oleh prajurit-prajurit yang melindungi di istananya itu pun mengumpat-umpat tidak ada habis- habisnya. Setiap kali ia mendengar laporan tentang pertempu­ran yang terjadi, ia menggeram dengan garangnya.

Betapapun jarak antara Tohjaya dan ibunya serasa menja­di semakin jauh, namun dalam keadaan itu, ia berteriak kepada Panglima prajurit yang sudah ada di istana pula, “Lindu­ngi ibunda Ken Umang sebaik-baiknya.”

“Hamba sudah mengirimkan sepasukan prajurit ke bangsal ibunda tuanku.” sahut Panglima itu, lalu, “Bagaimana dengan ibunda tuanku Ken Dedes, adinda tuanku yang lahir dari tuan puteri Ken Dedes dan keluarganya.”

Tohjaya merenung sejenak, lalu, “Biarlah mereka diba­kar oleh peperangan. Tentu merekalah yang telah berkhianat. Ada firasat mengatakan, bahwa ini adalah pokal pamanda Ma­hisa Agni.” ia berhenti sejenak, lalu, “He, dimana pamanda Mahisa Agni?”

“Masih berada di bangsalnya. Di kawal oleh beberapa orang pengawal setia yang dibawanya dari Kediri.”

“Apakah ia tidak ikut dalam pertempuran di halaman dan di luar halaman?”

“Masih harus dilihat tuanku.”

“Persetan.” ia menggeram. Lalu, “Aku tidak peduli dengan mereka. Aku tidak membutuhkan mereka lagi. Ternya­ta sepanjang hidup mereka, tidak ada lain daripada menggang­gu saja.”

“Maksud tuanku.”

“Panglima.” berkata Tohjaya, “Kita masih belum tahu pasti, siapakah yang telah membakar Singasari dengan peperangan ini. Aku tidak peduli siapa pun yang bersalah, tetapi da­lam kekalutan ini kita dapat bertindak sekaligus. Kalian harus menyingkirkan ibunda Ken Dedes dengan segala keturunan­nya, pamanda Mahisa Agni dengan semua pengawalnya dan siapa pun yang berpihak kepada mereka. Aku yakin bahwa me­reka terlihat ke dalam kejahatan yang terjadi ini. Tetapi bagiku perang ini akan bermanfaat. Semua orang yang tidak sejalan dengan aku, akan aku bersihkan.”

“Tuanku.” Panglima itu termangu-mangu, “Bukankah putera-putera tuan Puteri Ken Dedes itu adalah Saudara-saudara tuanku sendiri. Saudara seayah meskipun berlainan ibu.”

“Aku tidak perduli. Mereka adalah orang-orang yang dengki dan jahat. Mereka tentu mengharap aku terbakar dalam api peperangan ini.”

Panglima itu tidak berani membantah lagi. Dalam keada­an yang demikian hati Tohjaya akan sangat mudah terbakar. Karena itu maka katanya, “Baiklah tuanku, semua perintah tuanku akan hamba laksanakan.”

Panglima itu pun kemudian ke luar dari dalam biliknya. Tetapi ia masih saja ragu-ragu akan perintah Tohjaya.

“Aku tidak peduli.” akhirnya ia pun menggeram, “Aku sekedar menjalankan perintah. Mungkin memang mereka­lah yang telah menghasut orang Rajasa dan Sinelir untuk mem­berontak. Sayang, mereka adalah orang-orang yang dungu, yang ti­dak dapat membuat pertimbangan kekuatan. Orang-orang Sinelir dan Kajasa itu jumlahnya sama sekali tidak berarti dibanding­kan dengan jumlah prajurit Singasari yang ada.”

Dalam pada itu, Mahisa Wonga Teleng yang sudah dihu­bungi bahwa hal itu akan terjadi, telah mengumpulkan adik-adiknya di bangsal ibundanya Ken Dedes. Dibawah perlindungan beberapa orang pengawal terpilih, mereka pun telah bersiap dengan senjata masing-masing untuk menghadapi segala, kemungki­nan.

Pertempuran yang berkobar di halaman itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun sebagian dari para prajurit telah keluar dari halaman untuk melawan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di luar halaman, namun ternyata ke­kuatan mereka di halaman itu masih cukup besar untuk mene­kan orang-orang Rajasa dan Sinelir.

Kedua orang Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pe­layan Dalam itu pun telah turun sendiri kedalam medan pertempuran, sehingga karena itu, maka keduanya bersama bebe­rapa orang pengawalnya telah mengikat dua kelompok prajurit lawan untuk menahan mereka.

Sementara itu, Mahisa Agni masih tetap berada di bangsal­nya. Tetapi ia sudah menyiapkan diri menghadapi setiap ke­mungkinan yang dapat terjadi. Ia sudah memerintahkan kepa­da pengawal-pengawalnya khususnya untuk memperhatikan isyarat yang akan diberikan oleh Mahisa Wonga Teleng apabila keadaan memaksa.

Namun ternyata bahwa sesuai dengan perintah Tohjaya, sekelompok prajurit pilihan telah menyerbu ke dalam bangsal itu, bersamaan waktunya dengan kelompok yang lain yang me­nyerang bangsal Ken Dedes yang dipertahankan oleh pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang terpilih bersama Mahisa Wonga Teleng dan adik-adiknya.

Mahisa Agni yang memang sudah siap itu pun segera me­merintahkan pengawalnya untuk menyambut serbuan itu. Bukan saja orang Rajasa dan Sinelir, tetapi bahwa Mahisa Agni sendiri bersama para pengawal khususnya, telah berada di gerbang bangsalnya pula.

“Bukan kita yang menyerang, tetapi Tohjaya.” berka­ta Mahisa Agni, “Karena itu, kita harus mempertahankan diri sebaiknya. Aku sendiri akan memimpin perlawanan itu di sini.”

Para Pengawal dan Pelayan Dalam yang jumlahnya tidak begitu banyak itu pun menjadi berbesar hati. Mereka mengenal baik-baik, siapakah Mahisa Agni itu. Pertempuran di halaman yang menjadi semakin sengit itu­ pun menjadi bertambah-tambah lagi. Sekelompok prajurit telah me­nyerbu langsung ke pintu gerbang bangsal Mahisa Agni.

Tetapi para prajurit yang mempertahankan bangsal itu­ pun telah siap menyambut mereka. Beberapa orang pengawal khusus yang selama itu berada bersama Mahisa Agni, segera berpencar. Selain tanda yang sudah disetujui bersama, gelang lawe wenang yang berwarna putih, maka di leher mereka masih tetap membelit sehelai kain putih sebagai pertanda bahwa perang yang mereka lakukan adalah perang tanpa mengenal su­rut. Yang mereka pilih adalah dua kemungkinan. Menang atau mati. Tanpa pilihan ketiga, mengundurkan diri.

Demikianlah pertempuran telah pecah pula di depan bang­sal Mahisa Agni. Seorang Senapati yang memimpin prajurit-prajurit yang menyerang bangsal itu, berusaha untuk sekaligus memu­kul para pengawal dan membinasakannya sebelum mereka sempat berbuat terlampau banyak.

Tetapi para prajurit itu ternyata menjumpai perlawanan yang mengejutkan. Orang-orang berkalung sehelai kain putih itu ternyata langsung menyergap mereka dan menusuk ke dalam barisan prajurit-prajurit yang menyerang itu. Disusul oleh sergapan para prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang merasa dirinya seakan-akan telah mengenakan selembar kain putih melilit dileher mereka pula. Di antara mereka itu terdapat seorang yang untuk sejenak mengamati pertempuran itu dengan kening yang berkerut merut.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sen­diri, “Alangkah rakusnya manusia. Mereka yang mempunyai akal budi, masih harus menyelesaikan persoalan di antara me­reka dengan kekerasan. Seakan-akan manusia itu tidak dapat ber­bicara yang satu dengan yang lain untuk menyesuaikan kepen­tingan masing-masing.” Namun kemudian Mahisa Agni meraba da­danya sendiri sambil berkata, “Termasuk aku sendiri.”

Mahisa Agni yang sedang merenung itu tiba-tiba terkejut ke­tika sebuah tombak terjulur ke dadanya. Dengan cekatan ia bergeser setapak sambil memiringkan tubuhnya. Namun de­ngan demikian ujung tombak itu meluncur tanpa menyentuh sasarannya sama sekali.

Ketika orang yang menyerangnya itu kemudian menarik tombak pendeknya dan melangkah surut, maka Mahisa Agni pun melihat bahwa orang itu adalah Senapati yang bertugas mempimpin pasukan yang menyerang bangsalnya. Bersama dengan dua orang pengawalnya mereka berusaha untuk me­ngurung Mahisa Agni, agar tidak mengacaukan pasukannya yang sedang bertempur di muka bangsal itu.

“Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan?” bertanya Mahisa Agni.

Senapati itu tidak menjawab. Dengan garangnya ia me­nyerang, disusul dengan serangan beruntun dari kedua orang pengawalnya. Namun Mahisa Agni masih sempat mengelak­kan serangan itu. Dengan sigapnya ia bergeser dan meloncat. Kemudian hampir di luar pengamatan lawannya ia sudah ber­ada di luar kepungan ketiga orang itu.

“Aku masih ingin berbicara.” berkata Mahisa Agni yang belum memegang senjata apapun, “Apakah kalian mau mendengar?”

Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia menye­rang sekali lagi dengan dahsyatnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak berarti.

“Hentikan sejenak. Aku akan berbicara.” berkata Ma­hisa Agni pula.

Tetapi, Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia semakin merasa terhina dengan sikap Mahisa Agni itu. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri untuk menyerangnya pula dengan tombak pendeknya. Namun dalam pada itu, kedua pengawalnya menjadi he­ran melihat sikap Mahisa Agni. la sama sekali tidak me­megang senjata apapun di medan perang yang semakin seru itu. Bahkan ia masih saja mengelak sambil berusaha untuk ber­bicara kepada lawannya.

“Dengarlah.” desis Mahisa Agni.

“Tidak ada yang dibicarakan.” teriak Senapati itu, lalu, “Bunuh semua orang Rajasa dan Sinelir. Bunuh semua pe­ngawal berkalung kain putih itu. Aku akan membunuh Mahi­sa Agni.”

“Jadi kau tidak mau berbicara lagi.” bertanya Mahisa Agni.

Senapati itu tidak menyahut. Tetapi ia berteriak kepada kedua pengawalnya, “Jangan tidur. Orang ini harus dibunuh.”

“Kalian tidak akan dapat membunuh aku.” berkata Mahisa Agni, “Jika kau berkeras hati, maka kau dan seluruh anak buahmu akan terbunuh di sini.”

“Persetan. Jangan terlampau sombong.”

“Akulah yang telah menaklukkan Kediri bersama Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Tidak ada orang lain yang dapat mengalahkan aku di seluruh Singasari. Yang dapat menyamaiku hanyalah Sri Rajasa, dan kini tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”

Kata-kata itu menyentuh hati Senapati yang bersikap melawan­nya membabi buta. Namun kemudian ia menggeram, “Jangan sombong. Kau pun akan mati. Aku adalah Senapati terpercaya. Aku mendapat tugas untuk membunuhmu. Dan kau jangan mencoba menakut-nakuti aku.”

Mahisa Agni menarik nafas. Ia sudah berusaha. Bahkan dengan menakut-nakuti dan menyebut-nyebut nama Sri Rajasa agar Sena­pati itu mau diajak berbicara. Tetapi prajurit-prajurit itu pun agaknya seorang prajurit yang keras hati. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Mahisa Agni dari pada bertempur. Dan ia pun kemudian sudah siap untuk melakukannya setelah usahanya untuk berbicara sia-sia.

Karena itulah maka Mahisa Agni pun kemudian menarik pedangnya yang disarungkannya di lambung kirinya. Sekejap kemudian, maka Senapati pun itu pun telah mengu­lang serangannya bersama kedua pengawalnya. Hampir bersa­maan dari arah yang berlainan. Tetapi kini Mahisa Agni tidak lagi sekedar menghindar dan berloncatan. Ia sudah memegang senjata ditangannya. Karena itulah, maka ia pun segera mempergunakannya.

Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelak sekaligus me­nangkis serangan yang lain. Namun hampir diluar kemampu­an pengamatan lawannya, pedang Mahisa Agni pun segera ber­putar. Sebuah benturan yang keras segera terjadi. Terdengar se­buah keluhan tertahan. Seorang dari ketiga lawan Mahisa Agni itu segera meloncat mundur sambil memegang pergelangan tangannya yang berdarah, sedang senjatanya telah terlempar beberapa langkah daripadanya.

“Menyingkirlah.” geram Mahisa Agni, “Jika kau ti­dak mendekat aku lagi, dan tidak ikut campur di dalam pertem­puran ini kau akan mendapat kesempatan hidup.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara itu lawan-lawan Mahisa Agni yang lain telah menyerangnya pula. Tetapi serangan me­reka sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Orang yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika dilihatnya seorang prajurit yang terkapar di tanah dengan sebu­ah tombak masih digenggamnya, maka ia pun segera memu­ngut tombak itu.

Sejenak ia termangu. Kemudian dengan hati-hati ia mendeka­ti Mahisa Agni. Tombak yang dipungutnya itu pun dipeganginya dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya yang ter­luka. Tiba-tiba, ketika ia sudah membidik dengan saksama, tombak itu dilemparkannya kearah punggung Mahisa Agni yang se­dang berusaha menangkis serangan seorang lawannya.

Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni tidak lengah. Ia da­pat melihat sekilas lontaran tombak itu, sehingga ia sempat memiringkan tubuhnya sambil bergeser sejengkal. Tetapi tombak itu tidak terlempar dengan sia-sia. Sejenak kemudian terdengar teriakan nyaring. Tombak itu ternyata telah terhunjam ke dalam perut kawan prajurit yang melontar­kannya itu sendiri. Seketika orang itu terlempar dan terbanting di tanah, un­tuk tidak bangkit lagi seIama-Iamanya.

“Gila, gila.” prajurit yang melontarkan tombak itu ber­teriak. Kemarahan yang memuncak telah mencengkam otaknya. Demikian pula Senapati yang bersama mereka telah mela­wan Mahisa Agni itu.

Tetapi kemarahan mereka tidak banyak memberikan arti Mahisa Agni pun kemudian melihat kenyataan, bahwa jumlah orang-orang Rajasa dan Sinelir yang tidak begitu banyak itu mulai terdesak. Bukan saja dihadapan bangsal Mahisa Agni. Tetapi agaknya di mana-mana, di seluruh sudut halaman istana itu.

Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada mengu­rangi jumlah lawannya. Dan jika di antara mereka itu terbunuh, hal itu tentu tidak akan dapat dihindarinya lagi. Juga apabila pada suatu saat, ia sendirilah yang terbunuh di peperangan itu.

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni pun telah melibat­kan diri benar-benar di dalam pertempuran dan pertumpahan darah. Apalagi ketika ia melihat seorang pengawalnya yang berciri sehelai kain putih dilehernya telah terbaring di tanah. Lambungnya menganga tersayat oleh ujung pedang, sedang darahnya mengalir bagaikan terperas dari tubuhnya. Mahisa Agni menggeram. Ia sempat melihat pengawalnya yang lain masih bertem­pur dengan gigihnya di antara orang-orang Rajasa dan Sinelir yang berciri lawe di tangannya.

Ketika Mahisa Agni dengan tidak sengaja melihat ujung tombak seorang prajurit lawannya, menyentuh punggung seo­rang pengawalnya yang lain, sehingga pengawalnya itu terluka parah, dan kemudian seorang Rajasa berdesis menahan sakit ketika lengannya nyaris putus oleh sabetan pedang, dada Ma­hisa Agni bagaikan mendidih. Perlahan-lahan Mahisa Agni hanyut di dalam arus kekerasan yang terjadi diarena peperangan itu.

Bahkan kemudian Mahisa Agni tidak dapat menahan ha­tinya lagi ketika seorang lagi Pelayan Dalam yang jatuh di ta­nah karena lambungnya ditembus oleh ujung tombak. Mahisa Agni menggeram. Ia harus menghentikan jatuh­nya korban-korban baru dipihaknya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat dengan garangnya sambil menggerakkan pedangnya.

Ia tidak memerlukan waktu yang lama untuk mengakhiri perlawanan Senapati yang menahan serangannya. Senapati itu pun segera terlempar sambil mengerang. Mahisa Agni tidak menghiraukannya lagi, apakah Sena­pati itu mati atau sekedar terluka. Mahisa Agni pun kemudian dengan sengitnya bertempur melawan prajurit-prajurit yang telah menyerang bangsalnya itu.

Sesaat setelah Mahisa Agni ikut langsung di dalam pepe­rangan itu, segera terjadi perubahan di arena. Prajurit-prajurit itu ti­dak lagi berhasil mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir beserta pengawal khusus Mahisa Agni yang bertempur tanpa menghi­raukan dirinya sendiri. Apalagi ketika mereka menyadari bah­wa Senapatinya telah terbunuh atau terluka parah dan terba­ring di pinggir arena tanpa bergerak sama sekali.

Prajurit itu bagaikan kehilangan ikatan. Mereka seolah-olah bertempur menurut kemauan masing-masing. Sehingga dengan demi­kian maka ikatan kesatuan mereka pun menjadi retak dan akhirnya pecah sama sekali. Pengawal-pengawal Mahisa Agni bersama orang-orang Rajasa dan Sine­lir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendesak lawan­nya.

Dengan demikian, maka pertempuran di depan bangsal Mahisa Agni itu pun mempunyai akhir yang agak berbeda dengan pertempuran-pertempuran yang lain. Pada umumnya para prajurit yang mendukung Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Tetapi mere­ka yang melawan Mahisa Agni dengan pengawalnya yang di lehernya dibelitkan kain putih yang bertempur bersama-sama de­ngan orang-orang Rajasa dan Sinelir, telah terdesak dan bahkan ke­pungan mereka telah dipecahkan.

Namun ternyata bukan pecahnya kepungan para prajurit itu tidak hanya terjadi dibangsal Mahisa Agni. Dimuka gardu peronda di sudut halaman dalam, kepungan para prajurit itu­ pun dapat dipatahkan. Di regol itu berjaga-jaga sekelompok prajurit dari Pasukan Pengawal yang langsung dipimpin oleh Panglimanya sendiri, sehingga dengan demikian maka mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Seperti para pengawal yang bertempur bersama Mahisa Agni, maka mereka pun hanya mempunyai dua pilihan. Menang atau mati.

Tetapi masih ada satu tempat lagi yang berhasil menyo­bek kepungan para prajurit. Didepan bangsal Tuan Puteri Ken Dedes, Mahisa Wonga Teleng bertempur mati-matian. Bersa­manya adalah Panglima Pelayan Dalam yang dengan cemas telah berusaha untuk melindungi keluarga Ken Dedes yang agaknya menjadi sasaran kemarahan Tohjaya.

Mahisa Wonga Teleng memang tidak mempunyai pilihan lain. Bersama adik-adiknya dan Panglima Pelayan Dalam ia me­mimpin orang-orang Rajasa dan Sinelir menghancurkan prajurit vang mencoba menyergap bangsal itu.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang sudah bebas dari anca­man para prajurit itu pun kemudian memanggil Senapati yang ditugaskan oleh orang-orang Rajasa dan Sinelir. Dengan singkat me­reka berunding untuk mengatasi kesulitan yang timbul di hala­man itu.

“Kita tidak akan dapat tinggal diam. Setelah kita berha­sil mengusir prajurit-prajurit itu, kita harus bertindak lebih jauh.” berkata Mahisa Agni, “Kita tidak yakin apakah kawan-kawan kita berhasil mempertahankan diri.”

“Jadi maksud tuan?” bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal.

“Kita pergi kebangsal Tuan Puteri Ken Dedes.”

“Aku sependapat tuan.” potong Senapati Pelayan Da­lam, “Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan.”

Mahisa Agni pun kemudian memimpin sekelompok pasu­kannya melintasi halaman. Di beberapa tempat mereka memang harus berhenti sejenak. Tetapi mereka mencoba menghindari pertempuran yang dapat mengikat mereka. “Cepat.” berkata Mahisa Agni.

Tetapi sekelompok prajurit yang melihatnya tidak mele­paskannya. Mereka pun dengan serta merta telah mengejar sekelompok lawan yang mengikuti Mahisa Agni. “Jangan hiraukan. Adalah kebetulan sekali jika mereka mengikuti kita. Lawannya akan sedikit mendapat keringanan.”

Pengikut-pengikut Mahisa Agni itu tidak menjawab. Tetapi mere­ka pun sependapat. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Agni, maka orang-orang Sinelir dan Rajasa yang sedang bertempur dan ditinggalkan oleh sebagian dari lawan-lawannya menjadi agak lapang. Mereka tidak harus memeras keringat sampai titik terakhir, dan kemudian dengan terengah-engah mencoba menyelamatkan hidup mereka.

Ketika Mahisa Agni mendekati bangsal Tuan Puteri Ken Dedes, maka hatinya menjadi lega. Ia melihat bahwa Mahisa Wonga Teleng dan Panglima Dalam yang bertempur di sekitar bangsal itu telah berhasil mendesak lawannya sehingga sebagi­an besar dari mereka telah terusir. Yang masih ada hanyalah orang-orang yang keras kepala dan tidak mau melihat kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat berhasil menerobos memasuki bangsal itu.

Kedatangan Mahisa Agni telah menambah mantap orang-orang Rajasa dan Sinelir yang sedang bertempur bersama Mahisa Wonga Teleng. Karena itu, maka mereka pun bertempur sema­kin gigih. Senjata mereka berputaran dan korban pun berjatu­han semakin banyak.

“Bagaimana keadaan tuan?” bertanya Mahisa Agni.

“Kami berhasil paman.” jawab Mahisa Wonga Teleng.

“Jika demikian, baiklah. Aku akan menahan prajurit yang mengejarku.” berkata Mahisa Agni.

Dengan serta merta maka Mahisa Agni pun kemudian me­merintahkan pengikutnya untuk menyiapkan diri melawan sekelompok prajurit yang mengejarnya. Namun mereka bukan lawan yang cukup kuat. Sejenak kemudian mereka pun telah pecah dan berlari-larian memencar mencari kawan-kawannya yang lain dan menggabungkan diri di arena pertempuran yang lain.

Dalam pada itu, Panglima Pasukan Pengawal pun telah meninggalkan tempatnya pula untuk menolong pasukannya yang terdesak di beberapa bagian dari arena di halaman istana itu. Bahkan sebagian besar dari lingkaran-lingkaran pertempuran benar-benar telah dikuasai oleh prajurit yang setia kepada Tohjaya.

Sementara itu, Lembu Ampal yang bertempur di luar din­ding istana pun harus berjuang mati-matian untuk dapat bertahan. Jumlah orang-orang Rajasa dan Sinelir memang tidak cukup banyak. Sebenarnyalah, bahwa mereka mengharapkan bantuan yang da­tang dari luar kota, untuk membantu menahan sergapan prajurit-prajurit yang sedang marah sekaligus mencari muka.

Betapa usaha Lembu Ampal untuk menolong orang-orang Ra­jasa dan Sinelir, namun mereka tidak akan dapat berbuat me­lampaui kemampuan mereka. Karena itu, maka orang-orang Rajasa dan Sinelir semakin lama menjadi semakin terdesak menjauhi dinding istana.

Dalam pada itu, di dalam istana, Mahisa Agni, kedua Pa­nglima, Mahisa Wonga Teleng dan orang-orang terpilih hanya mam­pu menolong Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang ber­ada disekitarnya dan terbatas sekali. Tetapi keadaannya masih agak lebih baik dengan kawan-kawannya yang berada di luar dinding istana.

Namun dalam pada itu, pertempuran di pintu gerbang dan regol-regol lorong di dinding kota pun terjadi dengan sengitnya. Pa­sukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka melanda prajurit Si­ngasari yang mempertahankan kota itu dengan dahsyatnya.

Tetapi sebenarnyalah, bahwa pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bukannya yang berada di mulut gerbang dap regol itu sajalah yang akan menerobos memasuki kota. Seba­gian dari mereka, justru telah berada memasuki kota. Sebagian dari mereka, justru telah berada di dalam. Mereka memasuki kota tanpa bertempur sama sekali, karena mereka menyamar sebagai orang-orang yang akan berjualan hasil kerja mereka dan hasil bumi dari luar kota.

Orang-orang itulah yang sudah berada di dalam. Mereka men­cari tempat untuk menanggalkan pakaian penyamaran mereka dan mengenakan pakaian tempur yang sudah mereka bawa ter­sembunyi di bawah barang dagangan. Dengan tergesa-gesa mereka mengenakan lawe di pergelangan tangan sebagai ciri yang su­dah ditentukan.

Barulah kemudian mereka memencar. Mereka merayap mendekati dinding halaman istana dari segala jurusan. Bahkan mereka tidak langsung terjun ke arena pertempuran, karena be­berapa orang di antara mereka sempat memasuki pintu-pintu rumah yang tertutup rapat. Dengan agak memaksa pintu-pintu itu pun ter­buka. Penghuninya dengan gemetar menatap orang-orang yang tidak dikenalnya berdiri di depan pintu.

“Jangan takut.” berkata pengikut Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, “Aku adalah prajurit-prajurit Singasari yang setia kepada sumbernya pemimpin pemerintahan yang sebenarnya. Kami adalah pendukung-pendukung tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka, keturunan Ken Dedes.”

Orang-orang itu bagaikan membeku sambil mendengar ketera­ngan itu.

“Nah, tenanglah. Kami akan berjuang bagi kalian mela­wan Tohjaya yang tamak.”

Sepeninggal orang-orang yang berdiri dengan senjata di tangan di muka pintu rumah-rumah mereka itu, barulah mereka mulai ber­pikir. Dan sebagaian besar dari mereka mulai disentuh oleh harapan, “Bukankah tuanku Ranggawuni itu putera tuanku Anusapati, sedangkan tuanku Mahisa Cempaka adalah putera tuanku Mahisa Wonga Teleng?”

Orang-orang yang mendatangi pintu-pintu rumah yang tertutup itu ternyata terkejut ketika mereka melihat seorang yang terluka berIari-Iari memasuki halaman dan berusaha bersembunyi di balik dinding. Tetapi ketika orang yang terluka itu sedang berusaha menahan darah yang keluar dengan kain panjangnya, ia terke­jut melihat beberapa orang mendatanginya. Meskipun ia sudah terluka, namun dengan sigapnya ia meloncat dan mengacukan senjatanya.

“Kenapa kau ki Sanak?” bertanya orang-orang yang baru datang.

Orang yang terluka itu heran. Apakah orang-orang itu tidak mengetahui bahwa sedang terjadi perang di seluruh bagian kota di sekitar dinding istana? Namun tiba-tiba ketika terpandang olehnya gelang lawe di pergelangan tangannya maka orang yang terluka itu pun berkata, “Apakah kau menyadari bahwa lawe di tanganmu itu mempunyai arti?”

“Tentu.” jawab orang-orang itu. Dan hampir di luar kesada­ran mereka, mereka pun serentak memandang pergelangan tangan orang yang terluka itu. Orang itu pun mengenakan lawe di tangannya meskipun sudah menjadi merah oleh darah.

“Kau orang Rajasa atau Sinelir?”

“Bukan. Tetapi aku berada dipihaknya. Aku adalah pembantu di rumah seorang Senapati Pasukan Pengawal. Aku ada­lah pekatiknya.”

“O.” sahut orang yang baru datang itu, “Dimana Se­napatimu sekarang?”

“Bertempur. Tetapi agaknya orang-orang Rajasa dan Sinelir terdesak, dan bahkan hampir tidak dapat bertahan lagi.”

Orang-orang itu terkejut. Dengan serta merta salah seorang da­ri mereka bertanya, “Jadi orang-orang Rajasa dan Sinelir sudah ter­desak?”

“Ya. Berat sekali.”

Mereka berpandangan sejenak, lalu salah seorang bergu­mah, “Kita memang sudah menduga. Tetapi tidak secepat itu. Karena itu, marilah, kita segera saja turun ke medan.”

Orang yang terluka itu termangu-mangu. Lalu katanya, “Jika kalian segera membantu, keadaan tentu akan berubah. Aku pun akan memampatkan luka ini. Seterusnya aku akan me­manggil para pelayan dan pembantu yang lain. Siapapun, asal ia seorang laki. Demikian juga yang dilakukan oleh Senapati-Senapati yang lain.”

Orang-orang itu tidak menyahut. Segera mereka berlari-larian me­nyusur lorong menuju ke arah istana. Hampir bersamaan waktunya, kawamnya yang tersebar pun mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah menjadi gawat sekali. Sebenarnya, bahwa pada saat itu orang-orang Rajasa dan Sine­lir sudah terdesak semakin jauh. Mereka bertempur sambil menarik diri. Bahkan sebagaian dari mereka telah bertempur di padesan yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun.

Dalam keadaan yang demikian itulah beberapa orang muncul dari lorong-lorong sempit, justru dari padesan-padesan. Beberapa kali terdengar suitan-suitan nyaring sebagai isyarat kehadiran mere­ka dan sekaligus perintah dan isyarat bagi kawan-kawan mereka agar segera turun ke medan.

Beberapa orang Rajasa dan Sinelir yang melihat kehadir­an mereka bersorak dengan serta merta. Orang-orang yang mempu­nyai tanda lawe berwarna putih di pergelangannya itu tentu pasukan yang telah berhasil menyusup memasuki kota dan se­gera akan bertempur bersama mereka.

Demikianlah yang sebenarnya segera terjadi. Orang-orang yang bermunculan dari lorong-lorong sempit dari segala arah di seputar dinding halaman istana itu pun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.

Prajurit-prajurit yang sedang mendesak dan bahkan mulai menge­jar orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terpaksa menarik diri itu pun terkejut. Semula mereka menyangka bahwa yang datang itu hanyalah beberapa orang yang tidak berarti. Tetapi ternyata bahwa beberapa orang itu muncul di setiap lorong, sehingga jumlah mereka seluruhnya tentu akan mempengaruhi pertem­puran di sekitar istana itu.

Dalam pada itu, orang- Rajasa dan Sinelir yang semakin mundur itu pun seolah-olah mendapatkan tenaga baru di dalam diri mereka. Dengan sepenuh kemampuan mereka berusaha untuk bertahan.

Sejenak kemudian, orang-orang yang bermunculan dari lorong-lorong itu pun telah terjun pula kemedan. Prajurit-prajurit yang semula men­desak orang-orang Rajasa dan Sinelir, terpaksa membagi diri. Seba­gian dari mereka terus berusaha mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir, sedang yang lain melawan musuh-musuh mereka yang baru.

Namun dengan demikian, maka kekuatan mereka mulai terpecah. Apalagi orang-orang Rajasa dan Sinelir mulai bertahan dengan sekuat kemampuan. Karena lawan mereka menjadi ber­kurang, maka mereka tidak lagi harus mundur terus menerus dan apalagi bersembunyi dan bertempur sambil berlari-lari di kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan.

Karena itulah maka pertempuran di luar halaman istana itu menjadi semakin riuh. Perlahan-lahan orang-orang Rajasa dan Sine­lir yang telah mendapat kekuatan baru itu berhasil menghen­tikan desakan lawan-lawannya. Bahkan kemudian pertempuran yang terjadi di luar dinding itu seolah-olah menjadi seimbang.

Namun dalam pada itu, di dalam dinding halaman, orang-orang Rajasa dan Sinelir masih mendapatkan kesulitan. Prajurit Si­ngasari yang setia kepada Tohjaya, dengan kemarahan yang meluap-luap dibumbui oleh harapan untuk mendapatkan hadiah atau pujian telah membuat mereka bagaikan liar. Senjata me­reka seolah-olah menjadi binatang buas yang kehausan. Sedang­kan darah adalah minuman yang sangat menggairahkan.

Mahisa Agni yang semula masih mempertimbangkan se­mua tingkah lakunya, walaupun di peperangan, mulai menjadi semakin garang. Ia telah didorong oleh perhitungan tentang kemungkinan-kemungkinan yang paling pahit akan terjadi pada Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang semakin terdesak.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun kemudian beru­saha untuk melemahkan musuhnya sebanyak-banyaknya. Meskipun ia tidak berhasrat membunuh semata-mata, tetapi jika kemudian terjadi kematian, adalah akibat dari perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan peradaban manusia yang seharus­nya menjadi semakin berkembang.

Kegarangan Mahisa Agni itu ternyata mempunyai penga­ruh yang luas. Bersama-sama dengan para pengawal khususnya yang membelitkan sehelai kain putih di lehernya, Mahisa Agni mengamuk seperti benteng yang terluka. Setiap kelompok la­wan yang dilanda olehnya bersama kelompok kecilnya, menja­di pecah berserakan.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka orang-orang Rajasa dan Sinelir mengambil keuntungan. Selagi prajurit-prajurit itu belum dapat menyesuaikan dirinya, maka mereka pun harus dilum­puhkannya sama sekali. Demikian juga kedua Panglima yang ada dihalaman itu. Mereka pun bertempur dengan gigihnya, tanpa memperhati­kan nasib mereka sendiri.

Sementara itu, Mahisa Wonga Teleng, oleh Mahisa Agni dimintanya untuk tetap berada di bangsalnya sambil melindungi ibundanya Ken Dedes dan keluarganya. Mereka masih ha­rus tetap berwaspada. Setiap saat kelompok-kelompok yang lain akan datang dan berusaha membinasakan seluruh keluarga itu.

Usaha Mahisa Agni dan para Panglima itu sedikit dapat menolong suasana. Bukan saja Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang mengalami tekanan yang berat, tetapi prajurit-prajurit la­wannya kadang-kadang harus berlarian bercerai berai dilanggar oleh pasukan Mahisa Agni yang tidak saja berada di arena tertentu.

Tetapi meskipun demikian, adalah sangat sulit bagi orang orang Rajasa dan Sinelir untuk tetap bertahan. Tekanan yang rasa-rasanya semakin berat, hampir tidak tertanggungkan lagi. Se­dangkan regol-regol halaman dan gerbang di depan istana sudah di tutup rapat-rapat oleh prajurit-prajurit yang bertugas.

Dengan demikian maka para prajurit dari Pasukan Pe­ngawal dan Pelayan Dalam yang ada di dalam, tidak akan da­pat menarik diri keluar dari halaman. Sedangkan yang ada di ­luar tidak akan dapat masuk. Tetapi keadaan itu justru membuat orang-orang Rajasa dan Sinelir bagaikan kehilangan pilihan. Tidak ada cara lain daripa­da bertempur sampai mati.

Mereka yang berhati kecil, kadang-kadang hampir menjadi pu­tus asa. Tetapi jika mereka melihat Mahisa Agni dan para pe­ngawal khususnya mengamuk dan memecah setiap kelompok prajurit yang mencoba menghalanginya, maka keberanian me­reka pun menjadi berkembang kembali. Dengan serta merta mereka menyerbu dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Prajurit yang sedang tercerai berai itu pun kemudian, di­serang tanpa ragu-ragu, sehingga korban pun berjatuhan.

Namun sekali lagi orang-orang Rajasa dan Sinelir harus me­ngakui kelebihan kekuatan para prajurit. Mereka selalu mene­kan orang-orang Rajasa dan Sinelir dengan jumlah yang seolah-olah tidak pernah berkurang, justru bertambah-tambah. Apalagi kemudian Panglima prajurit itu yang berada di bangsal Tohjaya, setelah menerima laporan dari penghubung­nya, segera mengambil keputusan,

“Perang ini harus cepat selesai. Jika tidak, maka Mahisa Agni akan mengurangi jum­lah prajurit kita sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya men­jadi lemah.”

“Jadi, bagaimana maksudmu?”

“Ampun tuanku. Jika berkenan, maka hamba akan me­lepaskan prajurit-prajurit cadangan di sekitar bangsal ini. Mereka ha­rus bergerak serentak untuk menumpas lawan dalam waktu yang dekat.”

“Jadi bagaimana dengan bangsal ini.”

“Hamba akan meninggalkan pengawal secukupnya.”

“Dan kau!”

“Hamba harus menahan sergapan Mahisa Agni di seluruh medan. Ia berada di mana-mana dan memungut korban sebanyak–banyaknya. Karena itu hamba harus menahannya agar ia terikat disatu tempat. Biarlah Senapati pilihan menghentikan gerak kedua Panglima yang berkhianat, sedang yang lain harus me­nyelesaikan tuanku Mahisa Wonga Teleng.”

“Dan ibunda Ken Dedes. Anak-anaknya dan menantunya.”

“Hamba tuanku.”

“Tetapi kau harus meninggalkan prajurit yang cukup di sekitar bangsal ini.”

“Tentu tuanku.”

“Pergilah, dan cepat kembali.”

Panglima itu pun kemudian keluar dari bangsal dengan pengawal-pengawal pilihan. Ia sudah bertekad untuk mencoba kemam­puan Mahisa Agni yang seolah-olah seperti dongengan tentang dewa-dewa yang turun dari langit, dan tidak terkalahkan oleh ma­nusia yang manapun juga. Selain ia sendiri turun kemedan, maka ia pun telah mele­paskan sebagian dari kelompok-kelompok pasukan cadangannya yang ditempatkan di sekitar bangsal Tohjaya.

Dengan demikian maka keadaan medan menjadi semakin berat sebelah. Orang-orang Rajasa dan Sinelir menjadi semakin ter­desak. Bahkan kemudian sekelompok prajurit telah berniat untuk membinasakan Mahisa Wonga Teleng dan saudaranya, sekaligus Ken Dedes dan menantunya, ibu Ranggawuni. Mahisa Agni dan kedua Panglima yang berada di pihak Ranggawuni menjadi gelisah. Mereka melihat gelombang yang seakan-akan bergulung-gulung datang melanda pasukan orang-orang Rajasa dan Sinelir.

Beberapa orang Senapati memang menjadi seakan-akan ber­putus asa Bahkan ada di antara mereka yang menjadi kecewa, seolah-olah mereka telah terjebak oleh rencana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.

“Kita harus hancur lebih dahulu. Baru kemudian mere­ka akan memetik buahnya.”

Namun dengan demikian, mereka yang menjadi berputus asa itu pun justru menjadi sangat berbahaya. Mereka bertem­pur tanpa pengekangan diri lagi. Bagi mereka sudah tidak ada pilihan lain kecuali mati.

Dalam pada itu, di luar dinding istana, prajurit-prajurit dan rak­yat yang berpihak kepada Ranggawuni semakin banyak berda­tangan. Ketika salah satu pertahanan para prajurit yang men­jaga pintu gerbang dapat dipecahkan, maka bagaikan bendu­ngan yang tersobek oleh banjir bandang, maka pasukan yang berada di luar dinding kota pun berdesakan masuk. Mereka langsung berIari-Iarian menyerbu ke arah istana.

Baru kemudian mereka menyadari, bahwa baru sebuah pintu gerbang yang dapat mereka susupi. Dengan demikian, maka mereka pun kemudian memencar kebeberapa arah untuk membantu kawannya yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Sementara itu, Lembu Ampal menjadi agak berlega hati. Ia mulai yakin bahwa prajurit-prajurit yang mempertahankan istana itu pun akan segera dapat dipecahkan. Tetapi ternyata pertahanan dipintu-pintu gerbang halaman is­tana cukup rapat. Pintu-pintu besi yang besar telah diturunkan. Bu­kan saja digerbang induk, tetapi di setiap pintu yang menem­bus keluar dinding halaman.

Namun Lembu Ampal tidak saja dapat menikmati keme­nangan yang perlahan-lahan mulai nampak di luar dinding istana. Tetapi ia mulai membayangkan, bagaimanakah nasib orang-orang Rajasa dan Sinelir di dalam dinding istana. Tetapi Lembu Ampal sama sekali tidak menemukan sebu­ah regol pun yang terbuka.

Untuk beberapa saat lamanya, Lembu Ampal mencari ca­ra yang sebaik-baiknya, agar ia dapat membantu pasukan yang ada di dalam halaman. Meskipun di dalam halaman itu ada Mahisa Agni, kedua Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, Mahisa Wonga Teleng dan adik-adiknya, namun jumlah pasukannya tentu belum memadai untuk melawan prajurit yang terlampau kuat di dalam halaman itu.

Di luar halaman, keadaan orang-orang Rajasa dan Sinelir menja di semakin baik. Jumlah mereka semakin lama menjadi sema­kin bertambah dengan pasukan yang berhasil menyusup ke dalam kota. Meskipun jumlah mereka tidak melonjak terlampau cepat, karena baru sebuah regol yang dapat ditembus, namun keadaan mereka yang bertempur di luar kota sudah menjadi semakin baik dan meyakinkan.

Dalam pada itu, Tiba-tiba Lembu Ampal teringat, bagaimana ia di malam hari memasuki halaman tidak melalui regol yang manapun juga. Karena itu, maka ia pun segera menemui beberapa orang pemimpin kelompok dan memberikan beberapa petunjuk kepada mereka.

“Kita harus segera memasuki halaman. Jika tidak, kea­daan kawan-kawan kita di dalam tentu akan menjadi sangat parah.” berkata Lembu Ampal.

“Bagaimana kita dapat memasuki halaman istana itu?” bertanya seorang pemimpin kelompok.

“Memang tidak ada pintu regol yang dapat kita buka dari luar. Tetapi dinding itu tidak terlampau tinggi. Kita akan meloncatinya.”

“Tidak terlampau tinggi? Tetapi kami tidak akan da­pat meloncat begitu saja.”

Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Memang keba­nyakan prajurit tidak akan dapat meloncat begitu saja. De­ngan ilmu yang wantah maka dinding itu memang terlampau tinggi.

“Carilah sebatang bambu. Kita akan memanjat naik, ke mudian meloncat turun.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Mak­sudku sebatang untuk kelompok, agar dapat bersama-sama meloncat beberapa orang sekaligus. Jika kita meloncat masuk se­orang demi seorang, maka dada kita akan diterima oleh ujung tombak tanpa perlawanan. Tetapi jika lima enam orang bersama-sama, maka keadaannya akan berbeda.”

Kawan-kawannya termenung sejenak. Mereka menyadari baha­ya yang ada dibalik dinding itu. Bahkan terbayang diangan-diangan mereka ujung tombak yang mencuat seperti daun ilalang yang yang tumbuh dengan lebatnya.

“Tetapi kita harus masuk.” desis seorang prajurit muda.

“Ya.” sahut yang lain, “Kita mencari beberapa batang bambu atau kayu yang cukup panjang.”

“Di padesan itu.”

Beberapa orang pun kemudian berlari-larian mencari batang-batang bambu. Mereka tidak menghiraukan lagi pertempuran yang terjadi di luar dinding halaman, karena kawan-kawan mereka agaknya akan segera berhasil menguasai keadaan. Sejenak kemudian maka mereka pun telah kembali sambil membawa batang-batang bambu yang akan mereka pakai untuk me­manjat.

“Hati-hatilah.” berkata Lembu Ampal, “Jagalah jangan sampai ujung bambumu mencuat dan nampak dari dalam. Ji­ka mereka melihat lebih dahulu, maka mereka akan siap me­nunggu dengan ujung senjatanya.”

Prajurit-prajurit itu berpandangan sejenak. Namun mereka pun segera menyadari keadaan. Karena itu, dengan tangkasnya me­reka menarik pedang mereka dan memotong bambu-bambu itu seting­gi dinding halaman. Prajurit-prajurit Singasari tidak sempat berbuat apa pun juga karena mereka harus mempertahankan diri dari tekanan lawannya. Jumlah mereka yg berpihak kepada Ranggawuni dan Ma­hisa Cempaka menjadi semakin lama semakin bertambah-tambah.

Sesaat kemudian bambu-bambu itu pun telah tersandar pada dinding. Lembu Ampallah yang pertama-pertama siap untuk memanjat sambil berkata, “Marilah. Kita harus segera membantu ka­wan kawan kita yang pasti mendapatkan kesulitan di dalam halaman itu.”

Beberapa orang pun segera bersiap. Mereka masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika mereka melihat Lembu Ampal mulai memanjat, maka yang lain pun segera memanjat pula. Sebenarnya Lembu Ampal tidak memerlukan bambu-bambu itu tetapi seolah-olah ia sengaja memberikan contoh kepada kawan-kawan nya, bagaimana mereka memasuki dinding halaman istana itu.

Ketika mereka sampai di bibir dinding halaman itu, maka Lembu Ampal pun segera memberikan isyarat. Kawan-kawannya segera berloncatan turun memasuki halaman dengan senjata terhunus. Beberapa orang prajurit yang sedang menekan dengan yakin akan dapat membinasakan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terdorong sampai ke sudut halaman itu pun terkejut bu­kan buatan. Mereka melihat beberapa orang tiba-tiba saja telah meloncat turun dengan senjata di tangan.

Bahkan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka orang kedua telah memanjat pada setiap batang bambu yang tersan­dar pada dinding batu itu, dan yang sejenak kemudin telah meloncat masuk pula. Sejenak kemudian, seorang Senapati yang menyadari keadaan, segera meneriakkan aba-aba. Beberapa orang prajurit pun segera menyerbu menyerang orang-orang yang meloncat memasuk halaman itu.

“Binasakan mereka, selagi jumlah mereka belum ber­tambah lagi.”

Namun ketika aba-aba itu diteriakkan, dan gemanya masih belum lenyap, maka orang-orang berikutnya telah memasuki hala­man pula. Dengan demikian maka sekelompok prajurit dengan tergesa-gesa menyerang mereka. Mereka berdatangan dari segala arah. Meskipun demikian sebagian dari prajurit-prajurit itu masih ha­rus tetap di tempatnya, karena mereka sedang terlibat di dalam pertempuran.

Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang tertekan sampai kesudut, dan yang semula sudah tidak mengharapkan dapat lolos dari maut, sehingga mereka bertempur membabi buta karena putus asa, merasa sedikit berpengharapan. Yang pasti adalah lawan mereka berkurang, sehingga jika mereka harus mati, maka me­reka akan dapat memperpanjang umurnya beberapa saat lagi.

Pertempuran yang kemudian timbul antara para prajurit dan orang-orang yang berloncatan masuk itu pun menjadi semakin sengit. Prajurit yang kemudian mengepung mereka yang me­loncat turun dari atas dinding batu itu menjadi semakin ba­nyak pula. Satu dua orang masih berloncatan turun terus me­nerus.

Namun pada suatu saat, arus orang-orang yang meloncat din­ding itu pun terhenti. Orang-orang yang sudah ada di dalam, dipim­pin langsung oleh Lembu Ampal menjadi heran. Jumlah yang sudah ada di dalam itu masih terlampau sedikit. Sedang yang lain tiba-tiba saja menghentikan bantuannya.

“Belum banyak artinya.” berkata Lembu Ampal di dalam hati.

Namun bagi mereka yang sejak semula merasakan tekanan yang sangat berat di dalam halaman itu, merasa bahwa bantuan itu telah dapat menumbuhkan tekad yang baru di dalam dada masing-masing. Terlebih adalah mereka yang bertempur didekat orang orang itu meloncat dari luar halaman. Lembu Ampal menjadi termangu-mangu sejenak. Apakah orang orang yang ada diluar dinding telah dapat ditekan pula sehinga mereka tidak dapat membantu pasukan yang ada di dalam. Tetapi Lembu Ampal tidak dapat merenungi hal itu te­rus menerus. Ia pun segera sadar, bahwa ia harus bertempur. Bukan merenung.

Ternyata bahwa ketika Lembu Ampal mulai mengayun­kan senjatanya dengan segenap kemampuannya, maka orang-orang yang mengepungnya terdesak surut meskipun tidak segera ter­pecah. Tetapi kemampuan Lembu Ampal benar-benar mereka sega­ni. Senjatanya bagaikan angin prahara yang menyambar-nyambar ti­dak henti-hentinya.

Dengan demikian maka kelompok yang dipimpin oleh Lembu Ampal dan yang masih terkepung melekat dinding itu telah menghisap kekuatan yang cukup besar dari prajurit Si­ngasari yang sedang berjuang mempertahankan kekuasaan Tohjaya itu.

Tetapi jumlah kelompok kecil yang memasuki halaman itu masih belum memadai. Betapa gigihnya mereka bertempur, dan betapa besar kemampuan Lembu Ampal, namun dibawah pimpinan dua orang Senapati yang sekaligus melawan Lembu Ampal, maka kelompok kecil itu benar-benar telah terkepung rapat rapat, seperti sekelompok orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ma­sih saja tersudut tidak begitu jauh dari kelompok yang dipim­pin oleh Lembu Ampal. Namun orang-orang Rajasa dan Sinelir itu merasa bahwa tekanan atas mereka sudah menjadi berkurang meskipun mereka belum berhasil memecahkan kepungan atas mereka.

Namun yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan para prajurit dan bahkan Lembu Ampal sendiri. Ternyata pasukan yang ada d:luar dinding halaman, tidak berniat menghentikan usahanya membantu orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di dalam. Namun salah seorang dari mereka berpendapat, bahwa sebaiknya mereka berpindah tempat, agar pasukan yang mema­suki halaman itu agak terpencar.

Dengan demikian maka mereka pun segera mengangkat bambu-bambu yang tersandar pada dinding halaman, dan memindah­kannya beberapa puluh langkah ke samping. Baru sejenak kemudian maka beberapa orang mulai me­manjat bambu itu, dan sambil berteriak nyaring berloncatan turun beberapa puluh langkah dari pasukan yang dipimpin oleh Lembu Ampal.

Kehadiran mereka pun masih juga mengejutkan orang-orang yang ada di dalam. Namun para prajurit pun segera menyadari bahwa orang-orang itu pun dapat menjadi sangat berbahaya bagi me­reka sehingga sekejap kemudian sebagian dari mereka pun sege­ra menyerbu dan mengepungnya.

Tetapi yang sudah terjadi itu pun segera terulang lagi. Se­telah beberapa orang meloncat masuk dan terlibat dalam perkelahian yang seru, maka batang-batang bambu itu pun bergeser lagi, dan beberapa orang telah berloncatan pula memasuki halaman.

Lembu Ampal yang melihat cara yang dipilih oleh pasu­kannya itu tersenyum di dalam hati. Ia memuji kecerdikan me­reka, sehingga dengan demikian, maka musuh pun seakan-akan te­lah terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil.

Dalam pada itu. sejenak kemudian keadaan di satu sisi itu segera berubah. Tetapi kedatangan pasukan yang berloncatan dari dinding itu belum mempengaruhi keseluruban dari per­tempuran. Prajurit-prajurit yang dilepas dari tugasnya di sekitar bang­sal Tohjaya pun telah turun kedalam pertempuran, sehingga seolah-olah jumlah mereka pun menjadi bertambah-tambah banyak.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang berloncatan masuk itu pun ternyata mengalir tidak henti-hentinya di tempat yang selalu bergeser di seputar halaman istana Singasari itu. Para prajruit yang setia kepada Tohjaya mulai menjadi berdebar-debar. Mereka mencoba membagi diri untuk menahan arus orang-orang yang berloncatan masuk. Meskipun mereka tidak lebih dari enam atau tujuh orang setiap kali, namun berturut-turut tidak ada henti-hentinya.

Akhirnya prajurit-prajurit Singasari yang mempertahankan kedu­dukan Tohjaya itu pun tidak dapat menahan orang-orang yang me­rembes semakin banyak itu. Beberapa orang di antara mereka berhasil lolos dan langsung menusuk kepusat halaman istana Singasari.

Yang membuat prajurit-prajurit Singasari menjadi cemas adalah karena sebagian dari mereka yang memasuki halaman itu ada­lah prajurit-prajurit Singasari pula yang telah beberapa lama bertu­gas di Kediri, ditambah dengan anak-anak muda yang dengan lati­han khusus telah menggabungkan diri kedalam pasukan Rang­gawuni dan Mahisa Cempaka.

Keadaan pertempuran dihalaman itu mulai berubah. Di mana-mana mulai terasa ada perubahan. Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terkepung di mana-mana, merasakan kepungan itu menjadi kendor. Baru kemudian mereka menyadari, bahwa tentu ada ban­tuan yang sudah berhasil memasuki halaman dalam jumlah yang cukup, sehingga prajurit-prajurit Tohjaya itu harus melawan mu­suh yang lebih banyak.

Sementara itu Panglima prajurit yang setia kepada Tohja­ya menyusup di antara pertempuran dihalaman untuk mencari Mahisa Agni. Bagi Panglima itu. Mahisa Agni adalah orang yang paling berbahaya yang harus lebih dahulu dibinasakan. Dengan pengawal yang cukup banyak, dan beberapa orang Senapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna, Panglima itu berhasrat untuk membinasakan Mahisa Agni terlebih dahulu sebelum pengikut-pengikutnya.

“Betapapun tinggi ilmunya, ia tidak akan dapat mela­wan kita berlima.” berkata Panglima itu kepada empat orang Senapatinya yang memiliki ilmu yang melampaui kawan-kawannya. Bahkan di antara Senapati yang lain, keempat orang itu beserta Panglimanya merupakan sekelompok prajurit yang tidak akan dapat dikalahkan oleh siapapun juga.

Sejenak mereka menyusuri daerah pertempuran yang se­makin seru. Tetapi Panglima beserta keempat Senapati terpilih itu, bersama pengawalnya tidak menghiraukaan lagi lawan-lawannya yang lain. Hanya kadang-kadang mereka berhenti sejenak, meng­gilas orang-orang yang mencoba menghalangi langkah mereka.

Dalam pada itu, Panglima Pelayan Dalam yang bertempur dengan sengitnya, melihat sekelompok prajurit pilihan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Ia menyadari arti kelima orang yang pilih tanding itu, sehingga dengan demikian, maka ia ti­dak mau dengan tergesa-gesa menghalanginya. Tetapi dengan di­am-di­am ia berusaha mengikuti kemana ia pergi.

Pengawalnya menjadi terheran-heran. Tetapi ketika mereka melihat Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu melintas bersama empat Senapati dan para pengawalnya, maka para pengawal Panglima Pelayan Dalam itu pun menyadari, bahwa di arena itu telah turun lawan yang sangat berat. Kare­na itu, para pengawal itu pun sekedar mengikuti Panglimanya tanpa berbuat sesuatu. Hanya kadang-kadang mereka bertempur me­lawan prajurit-prajurit yang menyerang mereka dengan tiba-tiba.

Tetapi agaknya nasib mereka agak kurang baik. Dengan tanpa disadari, maka Panglima prajurit itu telah melihat Pang­lima Pelayan Dalam itu, sehingga dengan menggeram ia ber­kata, “Kita selesaikan tikus itu, sebelum kita bertemu dengan Mahisa Agni.”

Keempat Senapati yang menyertainya melihat Panglima Pelayan Dalam itu pula. Salah seorang dari mereka berkata, “Silahkan Panglima mencari Mahisa Agni. Biarlah aku singgah sejenak untuk menyelesaikannya.”

“Ia cukup berbahaya. Karena itu agar pekerjaan kita menjadi cepat selesai, biarlah kita pergi bersama-sama.”

Keempat Senapati dan para pengawalnya tidak ada yang membantah lagi. Mereka mengikuti saja ketika Panglima itu berbelok dan menuju kearah Panglima Pelayan Dalam yang menjadi berdebar-debar.

“Ia melihat aku.” berkata Panglima itu.

“Ya.” sahut pengawalnya, “Ia datang bersama para Senapati berwajah hantu yang empat itu.”

“Apa boleh buat.” geram Panglima Pelayan Dalam, “Sebenarnya aku tidak gentar melawan Panglima itu seorang la­wan seorang. Tetapi bersama-sama dengan empat Senapati berhati iblis itu, mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa.”

“Kami sudah siap.” desis seorang pengawalnya, “Memang tidak ada pilihan lagi. Kita harus bertempur.”

Dalam pada itu, Panglima prajurit yang setia kepada Toh­jaya itu semakin lama menjadi semakin dekat. Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang mencoba menghalanginya, seakan-akan dengan mudahnya disibakkan seperti daun ilalang.

Panglima Pelayan Dalam itu pun segera mempersiapkan diri. Meskipun ia sadar, melawan mereka berlima adalah suatu pekerjaan yg tidak mungkin. Seandainya pengawalnya mampu menahan pengawal-pengawal Panglima itu, tetapi keempat Senapati itu tentu akan berhasil lepas dan bersama-sama mencincangnya.

“Hanya Mahisa Agni lah yang mungkin dapat melawan mereka berlima sakaligus. Itu pun jika memang Mahisa Agni mempunyai ilmu ajaib yang disebut Gundala Sasra.” berkata Panglima itu di dalam hatinya.

Sementara itu, Panglima dan empat orang Senapati yang disebut berhati iblis itu pun menjadi semakin dekat. Wajah mereka menjadi tegang dan menakutkan, mencerminkan warna hati iblis mereka.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam merasa seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihat­nya Panglima Pasukan Pengawal telah berdiri dibelakangnya bersama beberapa orang pengawalnya.

“He, apakah kau akan melawannya?” bertanya Pang­lima Pasukan Pengawal.

“Tidak ada pilihan lain.” desis Panglima Pelayan Da­lam.

“Sebaiknya kau mengelak lebih dahulu sebelum kau mendapat kekuatan yang cukup. Mereka berlima adalah keku­atan yang tidak ada bandingnya.”

“Semula aku hanya mengamatinya dari kejauhan. Tetapi mereka melihat aku dan mereka mendatangi. Aku tidak akan ingkar akan tugas keprajuritanku.”

Panglima pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Lalu katanya, “Memang. Tidak seharusnya kita ingkar.” ia termenung sejenak, lalu, “Baiklah. Aku bersamamu sekarang.”

Panglima Pelayan Dalam itu memandanginya sejenak. De­sisnya, “Apakah kau akan melawan mereka pula.”

“Apa boleh buat.”

Kedua Panglima itu pun kemudian mengambil jarak. Ka­rena jumlah pengawal mereka bertambah, maka masing-masing telah menyiapkan sekelompok kecil prajurit yang paling baik untuk bersama-sama melawan kelima orang lawan yang tidak ada ban­dingnya itu.

“Setidak–tidaknya kita harus berusaha menahan mereka.” berkata Panglima Pasukan Pengawal kepada prajurit-prajurit terpilih yang mengawalnya, “Karena itu. kita harus bertempur sebaik–baiknya. Mereka tentu akan terbagi dan melawan kami berdua. Tetapi aku dan Panglima Pelayan Dalam harus melawan me­reka dalam kelompok pula.”

Prajuritnya mengangguk-angguk. Tetapi mereka pun sadar, sia­pakah Panglima dan keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu. Namun mereka adalah prajurit juga. Prajurit yang pernah mendapatkan ilmu keprajuritan. Bukan saja dari pimpinan me­reka tetapi sejak mereka memasuki lapangan keprajuritan, me­reka merasa sudah memiliki bekal dari perguruan masing-masing. Itulah sebabnya, mereka bahwa mereka bukan hanya seke­dar akan membunuh diri. Apalagi dalam jumlah yang lebih banyak.

Namun dalam pada itu, Panglima Pelayan Dalam dengan diam-diam telah memerintahkan dua orang penghubungnya untuk mencari Mahisa Agni, dengan pesan, “Panglima prajurit ber­sama keempat Senapati berhati iblis itu tidak dapat dibatasi tingkah lakunya.”

Sementara itu. Panglima yang diikuti oleh keempat Sena­patinya itu pun menjadi semakin dekat. Wajah mereka nampak tegang dan memancarkan kebencian tiada taranya. Keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu pun segera bergeser salig menjauh, seakan-akan mereka akan mengepung kedua Panglima bersama pengawalnya.

“Pengkhianat.” geram Panglima yang setia kepada Tohjaya itu, “Kalian begitu bernafsu membunuh pengikut–pengikut Anusapati saat itu. Sekarang kalian mencoba melawan tuanku Tohjaya dan seluruh kekuatan Singasari.”

Panglima Pasukan Pengawal melangkah maju sambil men­jawab, “Semuanya sudah berubah. Tuanku Tohjaya pun sudah berubah. Itulah sebabnya maka pendirianku pun berubah.”

“Persetan. Apakah kau sadar, bahwa pengkhianatanmu itu harus kau tebus dengan nyawamu dan nyawa semua pengikutmu.”

“Kau bermimpi.” sahut Panglima Pelayan Dalam, “Keadaan pertempuran di halaman ini pun sudah berubah. Pasu­kanmu mulai terdesak di mana-mana. Lihat, orang-orang yang memasuki halaman ini dengan meloncati dinding semakin lama menjadi semakin banyak.”

“Tetapi mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mampu berperang.”

“Mereka adalah anak buahmu. Mereka adalah prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri dan yang lain adalah prajurit-prajurit yang tersebar di beberapa daerah Singasari yang lain.”

“Pengkianat mereka juga pengkhianat seperti kau.”

“Mereka dapat memilih, manakah yang benar dan yang manakah yang salah.”

Panglima itu menggeram. Lalu katanya, “Itulah sebab­nya kau tidak berani berbuat apa-apa terhadap Mahisa Agni.”

“Akulah yang membawanya dari Kediri.” berkata Panglima Pelayan Dalam itu, “Tetapi aku menyadari kekuatan yang ada di belakangnya.”

“Dan kekuatan itu sekarang kau pergunakan untuk ber­khianat.”

“Salah.” potong Panglima Pasukan Pengawal, “Tuan­ku Tohjaya lah yang memaksa kami untuk melawannya.”

“Persetan, Aku tidak peduli. Sekarang kau berdua harus mengalami akibat yang sangat buruk dari pengkhianatanmu. Kau berdua akan mengalami nasib seperti kedua Senapatimu yang mati dan dibuang kekali untuk menjadi makanan burung–burung liar pemakan bangkai.”

Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak, seakan-akan masing-masing ingin mengetahui, apakah mereka sudah bersiap.

“Marilah.” berkata Panglima prajurit yang setia kepa­da Tohjaya itu, “Kita akan segera mulai.”

Panglima Pelayan Dalam memandang keempat Senapati lawan itu sekilas. Namun disebelah menyebelahnya, pengawal-pengawalnya pun sudah bersiap sepenuhnya. Dan mereka bukannya prajurit yang baru kemarin siang mendapat wisuda, tetapi mere­ka prajurit-prajurit pilihan yang berpengalaman pula. Meskipun demikian, kedua Panglima itu harus mengakui, bahwa pengawalnya tidak akan dapat menyamai keempat Senapati berhati iblis itu.

Tetapi tidak ada pilihan lain. Adalah wajar sekali apabila kedua Panglima itulah yang harus melawan mereka. Jika yang harus menghadapi kelima orang itu hanyalah prajurit-prajurit dan Senapati-Senapati yang lain, maka korban tentu akan berjatuhan seper­ti menebang batang ilalang saja.

Sejenak kemudian, mereka masih saling mempersiapkan diri. Keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu pun sege­ra membagi diri. Yang seorang akan bertempur bersama Panglimanya, dan yang tiga orang akan bertempur berpasangan.

Panglima Pasukan Pengawal menyadari, agaknya Pangli­ma prajurit yang telah mendesak kedudukan Pasukan Penga­wal itu telah bersiaga melawannya bersama seorang Senapati­nya, sedang ketiga Senapati yang lain telah bersiap untuk ber­tempur melawan Panglima Pelayan Dalam.

Kedua belah pihak ternyata benar-benar telah bersiaga. Mereka agaknya sudah tidak akan berbicara lagi. Selangkah demi se­langkah mereka saling mendekati, sehingga akhirnya, senjata-senjata pun mulai bergerak.

Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu pun se­gera mengayunkan senjatanya. Sebilah pedang yang tajam di kedua belah sisinya. Sedang Senapati pembantunya yang seo­rang itu pun telah meloncat pula dengan garrangnya. Ditangannya tergenggam sebuah canggah bertangkai pendek.

Dilingkaran yang lain, ketiga Senapati yang berhati iblis itu pun telah mulai menyerang pula. Senjata mereka pun sangat mendebarkan hati. Yang seorang membawa sebilah tongkat besi yang bergerigi seperti duri pada daun pandan dalam em­pat jalur. Yang seorang lagi membawa sebuah bindi kayu ga­lih asem ditangan kanan, sedang ditangan kirinya tergenggam sebilah pedang pendek. Sedang yang seorang lagi hanya meme­gang sebilah pedang biasa yang tidak terlampau besar.

Kedua Panglima yang melawan mereka itu pun telah meng­genggam senjata pula di tangan masing-masing. Sehelai pedang pan­jang. Sejenak kemudian, maka pertempuran segera terjadi dengan sengitnya. Ternyata bahwa Panglima Pasukan Penga­wal dan Panglima Pelayan Dalam, tidak harus melawan mu­suhnya seorang diri. Beberapa orang pengawal pilihan pun se­gera mendampinginya melawan prajurit-prajurit berhati iblis itu.

Agaknya para pengawal pilihan itu pun mempunyai ke­banggaan mereka masing-masing. Senjata mereka ternyata bukannya senjata yang biasa dipergunakan oleh prajurit Singasari, apa­lagi bagi Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang memper­gunakan senjata seragam. Tetapi di dalam perang yang dah­syat dan di dalam mempertaruhkan nyawa, mereka lebih senang mempergunakan senjata yang mereka pelajari diperguruan ma­sing-ma­sing sebelum mereka memasuki lingkungan keprajuritan.

Bahkan ada di antara mereka yang bersenjatakan sebatang tombak, pendek yang ujungnya bergerigi. Ada pula yang membawa sepasang rongkat besi yang dihubungkan dengan rantai baja. Dan ada pula yang bersenjatakan tongkat pendek yang tajam dikedua ujungnya.

Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin la­ma semakin seru. Berbagai macam jenis senjata telah beradu. Apalagi mereka yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan. Para Panglima dan Senapati. Sejenak kemudian pertempuran ditempat itu pun segera menarik perhatian. Beberapa orang prajurit justru tertegun menyaksikan. Namun sementara itu. mereka masing-masing masih ha­rus bertempur pula di dalam lingkaran pertempuran mereka sendiri.

Lembu Ampal yang sudah ada dihalaman itu pun segera tertarik pula oleh pertempuran yang sengit itu. Karena itulah maka ia pun kemudian meninggalkan daerah pertempurannya sendiri, karena kawamnya sudah semakin banyak berdatangan. Ia ingin melihat, siapakah yang terlibat di dalam pertemputan itu. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka hatinya pun men­jadi semakin berdebar-debar. Ia melihat tiga orang Panglima dan empat orang Senapati yang disebut berhati iblis itu sedang bersabung.

“Panglima Pasukan Pengawal dan Panglima Pelayan Da­lam itu tentu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.” ber­kata Lembu Ampal, karena ia pun tahu kemampuan kelima orang itu. Sedangkan para pengawal hanya dapat sekedar mem­bantu dan merupakan pelarian sementara jika kedua Panglima itu sudah menjadi sangat terdesak.

“Mereka tidak boleh dibiarkan.” berkata Lembu Ampal pula kepada diri sendiri, meskipun ia masih tetap ragu-ragu, apakah kehadirannya akan dapat menolong kedua Panglima iru. Namun setidak-tidaknya, kehadirannya diarena itu akan mam­pu memperingan beban kedua Panglima itu. atau salah seorang dari mereka. Demikianlah, maka Lembu Ampal pun segera mendekati arena itu. Kemudian dengan serta merta ia meloncat memasuki arena dengan pedang ditangannya.

“Lembu Ampal.” desis Panglima parjurit yang setia kepada Tohjaya itu.

“Ya, aku adalah Lembu Ampal.”

“Kau turut berkhianat?”

“Tidak. Aku berdiri dipihak yang benar. Aku menolak untuk menjalankan perintah tuanku Tohjaya, membunuh tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka yang tidak bersalah.”

Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu tertegun sejenak. Dipandanginya Lembu Ampal dengan sorot mata yang memancarkan kebencian. “Kau datang untuk menyerahkan nyawamu Lembu Ampal. Memang sudah menjadi nasib seorang pengkhianat untuk mati dimanapun juga.”

“Jika demikian, marilah kita lihat, siapakah yang akan mati di antara kita. Yang mati itu adalah pengkhianat.”

“Bagus.” teriak Panglima itu sambil meloncat menyerang Lembu Ampal.

Lembu Ampal memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan Panglima itu pun tidak mengejutkannya. Dengan tangkasnya Lembu Ampal mengelak. Namun ia pun segera membalas serangan itu dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya...