PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 07
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 07
Karya Singgih Hadi Mintardja
MESKIPUN demikian Mahisa Agni melakukannya juga. Pada pagi-pagi hari, ketika langit mulai menjadi merah, Mahisa Agni telah mengambil kedua anak itu di bangsalnya masing-masing tanpa menghiraukan para prajurit yang mengawasinya. Kemudian membawa mereka ke taman dan mengajari mereka melakukan gerakan-gerakan yang masih sangat sederhana, namun akan sangat penting artinya bagi perkembangan jasmani mereka.
Kadang-kadang seorang Senapati yang sedang mengawasi mereka sama sekali tidak menganggap gerakan-gerakan itu akan membahayakan kelak. Tetapi Senapati yang lain menganggap, bahwa yang sedang mereka pelajari itu adalah dasar dari setiap ilmu yang akan menjadi sangat dahsyat di masa mendatang, seperti ilmu Mahisa Agni itu sendiri.
“Mereka hanya berlari, meloncat-loncat dan kadang-kadang berguling di atas rerumputan.” desis seorang prajurit.
“Itu adalah tata gerak dasar untuk membentuk jasmani kedua anak-anak itu. Jika jasmani mereka telah terbentuk maka barulah mereka memasuki latihan-latihan yang sebenarnya.” sahut seorang kawannya yang lebih mengenal gerak-gerak itu.
“Tetapi waktu yang kau sebutkan itu masih sangat panjang. Dengan demikian kita tidak usah tergesa-gesa mengambil tindakan atas mereka.”
“Tetapi hal ini pantas diketahui oleh tuanku Tohjaya.”
Mahisa Agni pun menyadari bahwa yang dilakukan itu tentu akan sangat menarik perhatian. Tetapi ia tidak dapat mencari jalan lain. Jika ia mencoba melakukannya sambil bersembunyi, maka para pengawas yang ketat itu akhirnya akan mengetahuinya juga, dan kecurigaan yang tumbuh tentu akan menjadi semakin besar.
Demikianlah, sejalan dengan perkembangan jasmani kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu. Singasari sedang mempersiapkan sebuah upacara untuk meresmikan Tohjaya menjadi seorang Maharaja di hadapan paseban agung. Para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati, para Akuwu dan keluarga kerajaan, akan menghadapi upacara itu.
Menjelang hari yang ditentukan, maka para Panglima menjadi semakin sibuk. Petugas-petugas sandi dikirimkan ke segala penjuru untuk mengetahui tanggapan rakyat Singasari. Namun agaknya rakyat Singasari tidak banyak menaruh perhatian. Apalagi usaha menentang peresmian itu.
“Kita berjalan di atas jalan yang licin.” berkata seorang Senapati kepada kawannya.
”Ya. Tidak ada kesulitan apapun. Di Kediri pun tidak ada usaha apapun yang pantas dicurigai. Apalagi Mahisa Agni masih tetap berada disini, sehingga yang ada di Kediri hanyalah seorang perwira yang diberi kuasa untuk melakukan tugas sehari-hari. Dan hal itu masih tetap dibiarkan saja oleh tuanku Tohjaya.”
Dalam pada itu, maka semua persiapannya sudah selesai. Para utusan sudah disebar ke segala penjuru untuk memanggil setiap orang yang akan hadir di dalam paseban agung yang pertama kali diselenggarakan oleh Tohjaya, yang kini menjadi Maharaja yang memerintah atas Singasari yang besar.
Pada saat paseban agung itu dilaksanakan, maka kota Singasari mendadak menjadi semakin ramai. Penginapan-penginapan, barak-barak dan bangsal-bangsal yang disediakan oleh para pemimpin pemerintahan di pusat kota Singasari telah penuh. Semua yang dipanggil menghadap memerlukan datang ke Singasari, agar mereka tidak dianggap telah menentang kekuasaan Tohjaya.
Namun ada juga diantara mereka yang datang untuk melihat, apakah sebenarnya yang dapat dilakukan oleh Tohjaya. Meskipun secara lahiriah mereka juga memenuhi perintah untuk hadir di dalam sidang agung untuk meresmikan kekuasaan Tohjaya, namun sebenarnya mereka tidak lebih dari melakukan penjajagan atas kemampuan Tohjaya memerintah.
Pada hari yang ditentukan, maka di bangsal paseban, para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati, para Akuwu dan keluarga kerajaan telah hadir menghadap Tohjaya yang akan menyatakan dirinya dengan resmi, bahwa ia telah menggantikan kakandanya Anusapati memegang pimpinan tertinggi pemerintahan di Kediri.
Seperti yang direncanakan, maka upacara itu pun berjalan lancar. Para pemimpin keagamaan yang bertugas dan para pemimpin pemerintahan yang menyaksikan upacara itu mengikuti rencana dengan sempurna. Tidak ada yang mengecewakan. Sambutan para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati dan keluarga kerajaan pun sangat membesarkan hati Tohjaya.
Namun ketika upacara itu sudah hampir selesai, ketika paseban agung itu sudah hampir dibubarkan, tiba-tiba saja terlihat oleh Tohjaya, dua orang anak-anak yang masih sangat muda duduk di sebelah menyebelah Mahisa Agni. Didorong oleh gejolak perasaannya yang sedang melambung, tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk menunjukkan kebesaran jiwanya. Karena itulah maka katanya kepada yang ada di bangsal paseban agung itu,
”Lihatlah. Keduanya adalah kemanakanku. Yang seorang adalah putera Kakanda Anusapati yang sudah tidak ada lagi di antara kita, sedang yang seorang adalah putera Adinda Mahisa Wonga Teleng. Keduanya adalah anak-anak muda yang baik. Dan aku adalah pamannya yang berkewajiban membesarkannya, memberinya bekal buat masa depannya sebagai anak muda yang berjiwa kesatria. Untuk sementara aku masih membiarkannya berada di bawah asuhan ibundanya masing-masing. Tetapi pada saatnya, aku akan menempatkannya ke tempat yang paling layak bagi kedua kesatria yang masih sangat muda itu.”
Mereka yang mendengar kata-kata Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah kagum melihat kebesaran jiwa Tohjaya yang sangat memperhatikan kedua kemanakannya itu, terutama putera Anusapati yang sudah tidak berayah lagi. Apalagi mereka yang mengetahui dengan pasti, bahwa kedua kakak beradik itu sejak masa hidup Anusapati bagaikan minyak dengan air.
Namun ternyata bahwa sikap Tohjaya itu telah menarik perhatian seorang pemimpin pemerintahan yang dekat sekali dengan Tohjaya. Dengan wajah yang tegang dipandanginya kedua kesatria yang masih sangat muda itu.
Mahisa Agni yang duduk di samping kedua kemanakannya sambil menundukkan kepalanya itu, sempat melihat dengan sudut matanya, pemimpin pemerintahan Singasari yg memandang kedua kemanakannya itu dengan pandangan yang mencurigakan. Mahisa Agni yang memiliki ketajaman indera yang luar biasa, rasa-rasanya dapat menangkap getar di dalam dada pemimpin yang satu itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati. Mungkin persoalannya tidak mulai dari dirinya sendiri, tetapi justru mulai dari kedua anak-anak yang masih sangat muda itu.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, paseban itu pun dibubarkannya. Semua yang hadirkembali kebarak, bangsal, dan penginapannya masing-masing. Selama itu di kota kerajaan akan dilangsungkan keramaian untuk menghormati peresmian Tohjaya yang duduk di atas tahta kerajaan. Namun dalam pada itu, semua orang yang bergembira itu pun tidak banyak lagi teringat akan kesulitan, keributan dan bahaya yang dapat timbul dengan tiba-tiba, sehingga mereka pun menjadi lengah karenanya.
Mahisa Agni yang menangkap firasat yang kurang baik di paseban karena tatapan mata seorang pemimpin yang terlalu dekat dengan Tohjaya itu pun harus segera berbuat sesuatu. Diperintahkannya salah seorang pengawalnya untuk menghubungi Witantra. Dalam saat-saat tertentu ia memerlukannya. Bahkan mungkin di rumahnya. Karena itu, untuk beberapa hari yang dekat, sebaiknya Witantra berada di Singasari.
“Biarlah Witantra berada di rumah yang sudah sejak lama dipakainya di dalam kota Singasari sebagai tempat berkumpul dengan beberapa orang yang sebagian kini sudah tidak ada lagi. Dengan demikian aku akan dapat cepat menghubunginya apabila diperlukan.” pesan Mahisa Agni.
Ternyata bahwa firasat yang menyentuh perasaan Mahisa Agni itu benar-benar terjadi. Sorelah paseban menjadi sepi, maka Pranaraja, pemimpin yang sangat dekat dengan Tohjaya itu pun datang menghadap untuk menyatakan perasaannya.
“Apa katamu tentang kedua kemanakanku itu? Bukankah mereka anak-anak yang baik, tampan?” bertanya Tohjaya.
“Hamba tuanku. Keduanya adalah kesatria yang sempurna ujud dan sikapnya. Namun keduanya dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut."
Tohyaja menganggukkan kepalanya. Memang kedua kemanakannya itu benar-benar anak-anak muda yang tampan dari sikapnya dapat dilihat, bahwa mereka akan menjadi anak-anak muda yang tangkas dan cekatan.
“Tetapi tuanku.” berkata Pranaraja kemudian, ”Kedua anak-anak muda yang cakap dan tampan itu, bagi tuanku dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya dengan hati berdebar-debar. ”Apa maksudmu?”
“Jika dibiarkan saja tuanku, anak-anak muda itu tumbuh menjadi dewasa, maka banyak yang dapat terjadi karenanya. Mereka memiliki pengaruh, ilmu dan darah keturunan tuan puteri, Ken Dedes.”
“Apa artinya semuanya itu?”
“Mereka adalah anak-anak yang cakap dan tampan, yang segera dapat menarik perhatian orang lain dalam sikap dan tingkah laku. Sedangkan di saat ini pamannya Mahisa Agni, telah mulai menyiapkan mereka secara jasmaniah untuk menerima warisan ilmu yang tiada duanya di Singasari. Dan yang terakhir keduanya adalah keturunan langsung dari ibunda Tuanku Anusapati.”
“Apa bedanya ibunda Ken Dedes dan ibunda Ken Umang?”
“Tuanku tentu mengetahui bahwa yang mewarisi tahta dari Akuwu Tunggul Ametung semula adalah tuan puteri Ken Dedes. Bukan tuanku Sri Rajasa yang lahir dari antara rakyat biasa seperti orang-orang kebanyakan.”
“Persetan. Tetapi ayahanda Sri Rajasa adalah orang yang berhasil mempersatukan Singasari. Apakah artinya Tumapel yang kecil itu dibandingkan dengan Singasari sekarang ini.”
“Namun modal kekuasaan tuanku Sri Rajasa pun dari Tumapel pula. Apalagi setiap prajurit mengetahui bahwa di samping Sri Rajasa masih ada Mahisa Agni. Tanpa Mahisa Agni, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi tidak akan dapat mengalahkan Kediri saat itu. Dengan demikian, maka setiap orang masih akan menghargai ibunda tuanku Ken Umang di bawah penilaian mereka terhadap tuan puteri Ken Dedes.”
“Cukup. Kau sudah menghinakan ibuku. Apakah kau tidak menyadari bahwa aku dapat menghukummu? Dapat menggantungmu di alun-alun.”
“Ampun tuanku. Bukan maksud hamba menghinakan ibunda tuanku. Tetapi hamba bermaksud baik. Hamba ingin pemerintahan tuanku akan kekal. Karena itu, jika tuanku sependapat dengan hamba, maka sebaiknya kedua anak-anak yang masih sangat muda itu disingkirkan saja.”
“Maksudmu?”
“Tuanku dapat memerintahkan seorang Senapati yang terpercaya untuk membunuh mereka berdua dan membuang bekas-bekasnya.”
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menganguk-angukkan kepalanya. Katanya, ”Kau memang seorang kejam yang tiada duanya di Singasari Pranaraja. Tetapi usulmu dapat aku mengerti.”
“Tuanku, sebenarnyalah kita adalah orang-orang yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Kematian Akuwu Tunggul Ametung, seperti desas-desus yang terakhir terdengar di Singasari sepeninggal tuanku Sri Rajasa, kemudian kematian beberapa orang sebagai akibatnya. Disusul oleh kematian tuanku Sri Rajasa sendiri dan Pengalasan dari Batil, dan yang terakhir adalah kematian tuanku Anusapati, adalah kenyataan bahwa kematian demi kematian telah terjadi. Dengan demikian jika kedua anak-anak yang masih sangat muda itu ditambahkan di belakang mereka yang mendahuluinya, maka agaknya tidak akan sangat mempengaruhi dan membebani perasaan kita.”
“Baiklah Pranaraja, panggilah Lembu Ampal. Aku akan berbicara dengan orang itu.”
Pranaraja pun kemudian memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil Lembu Ampal menghadap.
“Katakan, bahwa tuanku Tohjaya memerlukannya sekarang juga.” berkata Pranaraja kepada prajurit itu.
Demikianlah maka prajurit itu pun dengan tergesa-gesa mencari Lembu Ampal dan minta kepadanya agar saat itu juga pergi menghadap tuanku Tohjaya di istana. “Apakah ada masalah yang penting sekali?” bertanya Lembu Ampal kepada prajurit itu.
“Aku tidak tahu pasti.”
“Siapakah yang sedang menghadap?”
“Pranaraja.”
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, ”Tentu ada pendapatnya yang harus aku lakukan. Orang itu terlampau banyak akalnya. Sayang akal yang licik. Dan orang lain yang harus melakukannyalah yang akan mengalami kesulitan.”
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat menolak. Ia pun dengan segan pergi juga menghadap Tohjaya di istana. Ketika ia memasuki ruangan dan dilihatnya tidak ada orang lain kecuali Pranaraja, maka Lembu Ampal pun menyadari, bahwa ada tugas yang penting yang harus dilakukan. Dan tugas itu tentu usul dari Pranaraja yang licik itu.
“Kemarilah.” Tohjaya melambaikan tangannya memanggil Lembu Ampal mendekatinya.
Dengan kepala tunduk Lembu Ampal bergeser maju mendekati Tohjaya dan Pranaraja.
“Ada tugas yang penting yang harus kau lakukan.” berkata Tohjaya kemudian, ”Tidak ada orang lain yang pantas melakukannya kecuali kau.”
Lembu Ampal yang memang sudah menduga bahwa ia akan mendapat tugas penting, hanya mengangguk kecil tanpa mengangkat wajahnya. Namun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Jika aku harus berurusan dengan Mahisa Agni, maka riwayatkulah yang tentu akan berakhir.” katanya di dalam hati.
“Lembu Ampal.” berkata Tohjaya kemudian, ”Di dalam tugas ini kau dapat menunjuk kawan berapa saja kau butuhkan, dan siapa saja yang menurut pertimbanganmu akan akan dapat menyelesaikan persoalan.”
Lembu Ampal menjadi semakin berdebar-debar.
“Lembu Ampal.” Tohjaya melanjutkan, ”Menurut pertimbangan Pranaraja, maka sebaiknya aku melenyapkan bisul di pusat perutku. Kau tentu tahu bahwa di dalam paseban Agung, ada dua orang anak yang masih sangat muda. Keduanya adalah anak kakanda Anusapati dan adinda Mahisa Wonga Teleng. Jika aku biarkan saja mereka hidup di Singasari ini maka bagaikan memelihara seekor harimau yang pada suatu saat akan dapat menerkam aku sendiri.”
Lembu Ampal menahan nafasnya. Dan ia mendengar Tohjaya berkata selanjutnya, ”Karena itu Lembu Ampal. Menurut pertimbangan Pranaraja, maka keduanya harus dilenyapkan.”
Lembu Ampal tidak menyahut. Perasaannya dipenuhi oleh berbagai macam persoalan yang bercampur baur. Ia dapat mengerti jalan pikiran Pranaraja yang licik itu. Namun tugas yang dibebankan kepadanya saat itu adalah tugas yang sangat berat. Membunuh kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah pekerjaan yang tidak begitu sulit di dalam keadaan yang ribut ini. di seluruh kota sedang diadakan keramaian untuk menyambut peresmian Tohjaya sebagai seorang Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Bahkan di istana pun suasananya jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Karena itu di dalam keramaian ini dapat saja ia mengambil kesempatan untuk membawa kedua anak-anak muda yang hampir tidak pernah berpisah itu dan melenyapkannya. Meskipun keduanya sering tampak bersama Mahisa Agni, namun tidak terlalu sulit untuk mencari saat-saat yang dapat memberikannya peluang.
Namun yang terasa sangat berat adalah perjuangan melawan perasaannya sendiri. Sebenarnya ia tidak akan sampai hati melakukan pembunuhan itu. Kedua anak itu sama sekali tidak bersalah. Kesalahan mereka satu-satunya adalah karena mereka keturunan Ken Dedes. Dan itu sudah barang tentu bukan atas kehendak kedua anak-anak itu.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya Tohjaya, ”Apakah Lembu Ampal sekarang sudah berubah dan menjadi seorang pengecut?”
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, ”Ampun tuanku. Hamba adalah seorang prajurit. Hamba tidak dapat ingkar akan tugas tugas hamba. Karena itu, apapun yang harus hamba lakukan, akan hamba lakukan dengan baik. Namun tuanku, perkenankanlah hamba bertanya, apakah benar bahwa kedua anak-anak muda itu sangat berbahaya bagi tuanku?”
“Lembu Ampal, kau sudah mengatakan bahwa kau adalah seorang prajurit. Apapun yang diperintahkan akan kau jalankan. Karena itu tidak sewajarnya kau bertanya seperti itu.” Tohjaya berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi baiklah aku kali ini memberi penjelasan sedikit agar hatimu menjadi lapang. Aku tahu, kau merasa segan melakukan perintahku yang satu ini karena kau dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan. Karena itu, dengarlah baik-baik. Kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah keturunan ibunda Ken Dedes ang akan dapat menuntut haknya di masa mendatang. Hak yang sebenarnya hanya sekedar semu. Apalagi dengan dorongan Mahisa Agni, mereka melakukan perlawanan yang berbahaya bagi kedudukanku. Karena itu, selagi keduanya belum dapat berbuat apapun juga, bunuhlah mereka.”
Lembu Ampal masih ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menolak. Namun ia merasa sangat berat untuk melakukannya. “Kenapa tugas ini jatuh ke atas pundakku.” keluhnya di dalam hatinya.
“Lembu Ampal.” berkata Tohjaya kemudian yang melihat keragu-raguan membayang di wajah seperti itu, ”Dengarlah baik-baik. Aku memberimu waktu sampai purnama naik. Jika sampai saat purnama naik kau belum berhasil membinasakan kedua anak-anak itu, maka itu berarti bahwa kau justru melindunginya. Karena itu, maka kau sendiri akan mendapat hukuman dari padaku, karena kau mengingkari tugasmu. Kau akan dihukum picis di alun-alun.”
Wajah Lembu Ampal menjadi merah. Namun kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ancaman itu bermaksud agar ia melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
“Nah, masih ada waktu kira-kira dua puluh hari lagi. Lakukanlah tugasmu baik-baik Lembu Ampal. Kau harus selalu ingat bahwa Mahisa Agni ada di istana ini. Jika menurut pertimbanganmu Mahisa Agni perlu disingkirkan lebih dahulu, maka aku akan memerintahkannya pergi ke Kediri untuk beberapa saat lamanya dan memanggilnya kembali setelah semuanya selesai.“
“Tuanku, hamba tidak akan dapat ingkar. Biarlah hamba berpikir dua tiga hari, apakah yang sebaiknya hamba lakukan. Juga tentang Mahisa Agni itu. Ia harus mendapat perhatian dengan saksama.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Lembu Ampal yang telah dibebani dengan tugas yang berat itu pun diperkenankan meninggal kan ruangan itu.
Di sepanjang langkahnya Lembu Ampal selalu dibayangi oleh tugas yang baginya sangat berat. Kedua anak-anak muda itu sendiri tidak memiliki kekuatan apapun untuk menyelamatkan dirinya. Tetapi di sisinya ada Mahisa Agni dan lebih daripada itu, keduanya sama sekali tidak bersalah. Kematian yang meng hantui kedua anak-anak muda itu tentu sama sekali tidak mereka duga.
Selain perasaan iba kepada kedua anak-anak yang masih sangat muda itu, Lembu Ampal juga membayangkan, betapa pedihnya perasaan ibunya. Terlebih-lebih bekas Permaisuri tuanku Anusapati. Ia baru saja kehilangan suaminya. Dan sebentar kemudian ia kehilangan anaknya yang sangat dikasihinya. Padahal selama ini ia tidak pernah berbuat apa-apa untuk melawan ketidak adilan yang sudah terjadi atas suaminya.
Lembu Ampal benar-benar dicengkam oleh kesulitan perasaan, la mendapat waktu dua tiga hari untuk mengemukakan cara yang paling baik untuk melakukan tugasnya. Namun tugas itu sendiri merupakan beban yang hampir tidak tertanggungkan.
Di malam hari Lembu Ampal tidak dapat memejamkan matanya barang sekejap. Jika ia mencobanya, maka terbayanglah wajah kedua anak-anak yang masih sangat muda itu. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kedua anak-anak yang tampan, lincah dan lucu di masa kanak-anak. Setiap hari Lembu Ampal melihat keduanya berlari-larian. Kadang-kadang berdua saja, kadang-kadang bersama dengan Mahisa Agni. Di halaman belakang, sekilas Lembu Ampal sering melihat, bagaimana Mahisa Agni mengajar mereka berloncatan, berlari-larian dan berguling-guling.
“Memang di bawah asuhan Mahisa Agni mereka berdua akan dapat membahayakan kedudukan tuanku Tohjaya. Tetapi itu bukan alasan yang cukup kuat untuk mengambil keputusan yang tidak berperikemanusiaan itu.” berkata Lembu Ampal kepada diri sendiri, namun kemudian, ”Tetapi jika aku tidak melakukannya, maka akulah yang akan dihukum gantung, atau hukum picis atau hukuman apalagi yang paling buruk yang pernah dilakukan oleh Singasari.”
Demikianlah Lembu Ampal tidak dapat menemukan jawaban atas kegelisahan hatinya sendiri. Sehingga karena itu, maka ia pun berniat untuk menghadap seorang pendeta yang akan dapat memberinya petunjuk agar ia dapat berbuat sesuatu dengan hati yang tenang.
Pendeta istana yang mendengar keluhan Lembu Ampal itu menepuk bahunya. Katanya, ”Lembu Ampal. Kau benar-benar berdiri di simpang jalan yang rumit. Kemana pun kau melangkah kau akan melakukan kesalahan.”
“Itulah yang membuat aku tidak dapat tidur semalam suntuk. Dan tentu pada malam mendatang. Tugas itu terlampau berat bagiku. Bukan karena aku tidak mampu, tetapi perasaankulah yang menahan aku melakukannya.”
“Aku mengerti perasaanmu Lembu Ampal. Tetapi kau tidak dapat ingkar atas perintah Maharaja. Tetapi kau tidak akan mendapat ketenteraman hati untuk selanjutnya, jika kau terpaksa melakukannya. Apabila kau melihat tuan puteri Ken Dedes, bekas tuanku Permaisuri Anusapati, dan tuanku Mahisa Wonga Teleng suami isteri. Setiap kali kau akan dikejar oleh perasaan bersalah yang tidak akan dapat kau ingkari seperti kau tidak akan dapat mengingkari perintah tuanku Tohjaya.”
“Jadi, apakah yang harus aku lakukan? Apakah aku memang sudah diharuskan hidup dalam kegelisahan, ketidak tenangan dan dikejar oleh perasaan bersalah seumurku?” Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, ”Jika aku harus maju kepeprangan, aku tidak akan mengalami kesulitan perasaan seperti ini. Atau bahkan perintah itu berbunyi, agar aku membunuh Mahisa Agni, aku akan melakukannya dengan mantap meskipun aku tahu, bahwa akulah yang akan terbunuh.”
“Keadaan memang sulit. Tetapi jika sasaran yang harus kau bunuh itu tidak ada, maka itu bukan salahmu.”
“Aku tidak mengerti.”
Pendeta itu menarik nafas dalam-dalam. Ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi agaknya ia menjadi ragu-ragu.
”Tidak ada jalan untuk menghindar.” berkata Lembu Ampal selanjutnya, ”Jika aku gagal apapun alasannya, akulah yang akan dihukum picis di alun-alun.”
Pendeta istana itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, ”Heningkan hatimu untuk sehari dua hari Lembu Ampal.”
“Sehari dua hari lagi aku harus memberitahukan kepada tuanku Tohjaya, apakah yang harus aku lakukan. Jalan manakah yang harus aku pilih.”
“Tetapi yang satu dua hari itu mungkin akan datang terang di hatimu. Mungkin di dalam satu hari itu, aku dapat menemukan jalan yang dapat kau tempuh dan dapat kau setujui.”
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun mohon diri dan meninggalkan pendeta istana itu dengan kepala tunduk. Rasa-rasanya dunianya menjadi gelap. Sekali-sekali ia sempat mengutuk Pranaraja yang pasti telah mengusulkan kepada Tohjaya. Tetapi ia sendiri tidak sanggup melakukannya. Dan Lembu Ampallah yang mendapat beban yang hampir tidak terangkat olehnya itu.
“Tetapi aku tidak dapat ingkar.” setiap kali kata-kata itu terngiang di telinganya.
Namun dalam pada itu, sepeninggal Lembu Ampal, pendeta istana itu pun menjadi gelisah. Ia sudah terlanjur mendengar rencana pembunuhan itu. Meskipun maksud kedatangan Lembu Ampal untuk minta nasehatnya, untuk ketenteraman hatinya, namun pendeta itu telah dijalari penyakit yang sama seperti yang dialami oleh Lembu Ampal itu. Kegelisahan dan kecemasan. Setiap kali ia mendengar kata-katanya sendiri yang diucapkannya kepada Lembu Ampal, ”Tetapi kau tidak akan mendapat ketenteraman hati untuk selanjutnya.”
Dan ketidak tenteraman itu akan berlaku pula atasnya. Jika pada suatu saat ia mendengar berita bahwa kedua anak yang tidak bersalah itu terbunuh oleh Lembu Ampal, atau orang lain yang dipercayanya melakukan karena Lembu Ampal sendiri tidak sampai hati, maka ia akan merasa dikejar pula oleh kesalahan karena ia tidak berusaha untuk mengurungkannya.
Karena itu, maka pendeta itu sendiri menjadi bingung. Ia adalah seorang pendeta istana yang wajib melindungi rahasia pimpinan pemerintahan. Ia adalah salah seorang pendamping Maharaja Singasari yang manapun. Tetapi ia adalah seorang pendeta yang menyerahkan hidupnya kepada pengabdian yang tulus kepada Yang Maha Agung.
Namun kebingungan itu tidak terlampau lama menguasai hatinya. Berbeda dengan Lembu Ampal, maka pendeta istana itu pun kemudian berpegang pada nuraninya. Meskipun seandainya karena itu, ia dapat dihukum picis sekalipun, ia tidak menghiraukannya lagi.
“Tidak ada yang pantas aku turut selain nurani kependetaanku. Apakah arti keselamatanku, keselamatan wadagku daripada keselamatan jiwaku.” berkata pendeta itu kepada diri sendiri.
Dan ternyata kemudian bahwa pendeta itu benar-benar tidak menghiraukan dirinya sendiri. Meskipun ia tidak pergi dengan semata-mata tanpa usaha penyelamatan diri, maka ditemuinya Mahisa Agni di bangsalnya.
Ketika Mahisa Agni mendengar rencana itu, maka ia pun menggeretakkan giginya. Sebenarnya ia sudah menduga sejak ia melihat sikap ang aneh di paseban agung. Namun bahwa Tohjaya benar-benar telah memerintahkan untuk membunuh kedua kemanakannya itu telah membuat dada Mahisa Agni bagaikan terbakar.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Ia tetap menyadari betapa pentingnya ketenangan di Singasari pada saat-saat seperti ini. Saat-saat yang berbahaya karena ketidak pastian dan desas-desus yang bersimpang siur tentang perpindahan kekuasaan dari Anusapati kepada Tohjaya.
Tetapi Mahisa Agni tidak menyampaikan berita itu kepada Ken Dedes. Mahisa Agni tidak ingin Ken Dedes menjadi semakin sedih dan membuatnya semakin parah. Namun Mahisa Agni tidak dapat berdiam diri kepada Mahisa Wonga Teleng. Dengan hati-hati Mahisa Agni menyampaikan berita yang didengarnya dari pendeta istana itu kepada Mahisa Wonga Teleng.
Namun demikian, betapa pun Mahisa Agni berusaha, namun Mahisa Wonga Teleng hampir tidak dapat menahan diri lagi. Sambil berdiri tegak ia menggeram, ”Aku akan menantangnya berperang tanding, meskipun aku sadar, menang atau kalah aku tentu akan dibunuhnya di alun-alun. Tetapi biarlah aku mengenal sifat kekesatriaannya.”
“Sabarlah Mahisa Wonga Teleng.” berkata Mahisa Agni, ”Kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Jika kau berbuat demikian, akibatnya kematian anakmu akan menjadi semakin cepat.”
“Tetapi tidak ada cara lain paman. Jika Mahisa Cempaka harus mati, biarlah aku mati lebih dahulu.”
“Mahisa Wonga Teleng. Seperti aku, kiranya kau tidak akan berkeberatan untuk mati. Karena itu, tinggallah di sini. Jagalah ibumu baik-baik. Jagalah isterimu dan iparmu, isteri Anusapati yang sudah tidak ada lagi. Biarlah aku mencoba menyelamatkan anakmu dan anak Anusapati.”
“Paman. Jika rencana itu benar, maka istana ini tentu sudah dikepung. Kedua anak-anak itu tentu mendapat pengawasan yang ketat.”
“Biarlah aku berusaha. Berusaha tentu jauh lebih baik dari berdiam diri saja. Jika anak-anak itu dapat disingkirkan, maka biarlah, apa saja yang akan terjadi atas kita yang tua-tua ini.”
Mahisa Wonga Teleng masih saja dicengkam ketegangan.
“Aku akan menyingkirkan kedua anak-anak itu. Aku akan berusaha meyakinkan ibu Ranggawuni bahwa anaknya perlu diselamatkan bersama anakmu Mahisa Cempaka.”
Sejenak Mahisa Wonga Telenglah kepada paman. “Aku tidak menghiraukan keselamatanku sendiri. Jika kedua anak-anak ku dapat berhasil melepaskan diri dari maut, apapun tebusannya aku akan menjalaninya.” Mahisa Wonga Teleng termenung sejenak, lalu, ”tetapi bagaimana dengan adinda Agnibaya yang melihat sendiri pembunuhan itu? Apakah jiwanya juga tidak terancam?”
“Tentu tidak akan dilakukan dalam waktu pendek justru karena Agnibaya melihat peristiwa itu. Mungkin di waktu mendatang. Namun yang harus segera disingkirkan adalah kedua anak-anak itu. Keduanya merupakan hantu yang menakutkan bagi kedudukan Tohjaya sekarang, karena ia sadar, bahwa kesetiaan terhadap Anusapati masih cukup besar.”
Mahisa Wonga Teleng menundukkan kepalanya dalam-dalam. Akhirnya ia berkata dengan suara lemah, ”Paman Mahisa Agni. Terserahlah kepada paman. Aku akan menurut perintah paman asal anak-anak itu dapat diselamatkan. Seperti kata paman, aku tidak menghiraukan lagi, apa yang akan terjadi atas orang-orang tua ini.”
“Baiklah. Sementara ini jaga anakmu baik-baik. Jangan sampai ia lepas dari pengawasanmu. Aku akan membantumu, tetapi ada kalanya aku sibuk mengatur orang-orang yang akan berusaha melepaskan keduanya.”
‘Baiklah paman. Biarlah kedua anak-anak itu selalu bermain di halaman bangsal ini. Aku sendiri akan selalu mengawasi mereka.”
Demikianlah maka Mahisa Agni pun mulai berpikir dan berusaha untukmelepaskan kedua anak-anakitu dari kematian. Jalan satu-satunya bagi Mahisa Agni adalah menyingkirkan mereka dari halaman istana dan menyembunyikan mereka di tempat yang jauh dan terlindung.
“Tidak ada orang lain kecuali Witantra.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mengadakan hubungan dengan Witantra tanpa diketahui oleh siapapun. Bahkan Witantra sendiri sering memasuki istana Singasari seperti yang pernah dilakukannya meskipun di sekeliling dinding batu halaman para prajurit selalu berjaga-jaga.
“Anak-anak itu harus cepat kau bawa keluar Witantra. Agar tidak menimbulkan kesan bahwa aku yang membantu menying kirkannya, aku akan tetap berada di halaman istana saat-saat kau membawa kedua anak-anak itu.” berkata Mahisa Agni ketika Witantra memasuki bangsalnya.
“Aku akan berusaha. Tetapi jalan agak terlalu sulit. Aku sendiri dapat keluar masuk halaman ini. Tetapi dengan kedua anak-anak itu, aku harus mendapat jalan yang aman.”
“Aku percaya kepadamu. Kau dapat membawa beberapa orang pengawal yang kau percaya dari antara prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri. Jika ternyata kepergian kedua anak-anak itu diketahui oleh para penjaga, kau dapat mengamankannya dengan kekerasan.”
“Baiklah Mahisa Agni, aku akan berusaha. Memang tidak seharusnya kedua anak-anak itu mati. Bukan karena pamrih yang melonjak-lonjak di dalam hati ini, namun keduanya memang perlu mendapat perlindungan.”
“Aku berterima kasih kepadamu Witantra. Kedua anak-anak itu sebenarnyalah sama sekali tidak berdosa.”
“Baiklah Agni. Siapkan keduanya malam nanti. Aku akan membawanya keluar menjelang fajar. Malam ini biarlah seseorang menyiapkan sepasukan kecil pengawal dari Kediri Tetapi selain itu. aku merasa lebih tenang jika Mahendra ada bersamaku.”
“Jika Mahendra bersedia, aku akan senang sekali .Kedua anak-anak itu akan menjadi semakin aman di tangan kalian sampai saatnya aku menyusulmu.”
Demikianlah maka Witantra pun kemudian meninggalkan bangsal Mahisa Agni untuk memulai dengan rencananya. Betapapun ketatnya penjagaan di istana dan pengawasan atas Mahisa Agni, namun dengan tanda-tanda sandi yang sudah mereka buat bersama, Witantra tidak banyak menemui kesulitan untuk memasuki dan keluar dari bangsal Mahisa Agni, Karena perhatian para prajurit Singasari lebih tertuju kepada pengawal-pengawal Mahisa Agni yang kadang-kadang berkeliaran di depan bangsal daripada kepada bayangan di gerumbul yang gelap di belakang bangsal itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni mulai mengatur persiapan sebaik-baiknya. Bagaimanapun juga, jika keadaan memaksa, ia tidak akan tinggal diam dan sekedar menyembunyikan kesan bahwa ia sudah terlihat. Jika kedua anak itu benar-benar dalam bahaya, maka ia tidak akan segan-segan untuk langsung melindunginya, meskipun akibatnya akan sangat jauh karena ia sudah langsung terlibat.
Untunglah bahwa Lembu Ampal yang mendapat tugas untuk membunuh kedua anak-anak yang masih sangat muda itu pun telah dibayangi oleh keragu-raguan. Seandainya Lembu Ampal dengan membabi buta melakukan perintah Tohjaya, maka kedua anak-anak itu tentu sudah dibunuhnya dengan mudah meskipun di halaman istana itu ada Mahisa Agni dan ayah salah seorang dari kedua anak yang harus dibunuhnya. Dengan sedikit permainan kedua anak-anak itu tentu dipisahkan dari Mahisa Agni. Tidak usah mengirimkan Mahisa Agni ke Kediri. Disaat tertentu Mahisa Agni dapat dipanggil menghadap di paseban. Dan disaat yang demikian tugas itu bukannya tugas yang sulit.
Tetapi Lembu Ampal adalah seorang prajurit yang mempunyai nilai berpikir yang cukup. Ia bukan sekedar alat yang bergerak tanpa mengerti. Apalagi untuk membunuh kedua anak-anak yang tidak bersalah itu. Keragu-raguan Lembu Ampal yang bahkan telah menghadap pendeta istana itulah yang telah ikut menyelamatkan kedua anak-anak muda itu. Dua tiga hari yang diminta oleh Lembu Ampal ternyata merupakan peluang bagi Mahisa Agni yang bertindak cukup cepat.
Seperti yang dipesankan oleh Witantra, maka Mahisa Agni pun telah mempersiapkan kedua anak-anak muda itu dibantu oleh Mahisa Wonga Teleng. Dengan susah payah keduanya berusaha meyakinkan ibu Ranggawuni, bahwa tindakan itu semata-mata demi keselamatan anaknya.
“Apakah yang terjadi dengan Ranggawuni?” bertanya ibundanya.
Tetapi bekas Permaisuri Singasari yang telah ditinggalkan oleh Anusapati itu selalu ragu-ragu. Terbayang di wajahnya kecemasan yang mendalam. Mahisa Agni dapat mengerti. Ranggawuni adalah satu-satunya anaknya yang diharap dapat menyambung namanya dan terlebih-lebih lagi nama Anusapati. Sehingga dengan demikian rasa-rasanya ia tidak akan dapat melepaskan anaknya.
“Tuan Puteri.” berkata Mahisa Agni, ”Tidak ada jalan lain untuk melindungi Ranggawuni.”
“Kenapa anak itu harus pergi? Apakah di dalam istana ini Ranggawuni tidak mendapat perlindungan?”
“Tuan Puteri. Ranggawuni adalah putera tuanku Anusapati. Tuan Puteri mengetahui perkembangan terakhir dari pemerintahan Singasari ini. Juga mengenai tuanku Anusapati. Karena itu, Ranggawuni tentu selalu diancam oleh bahaya justru karena ia adalah putera tuanku Anusapati.”
“Tetapi aku tidak dapat berpisah dengan anak itu. Ia adalah satu-satunya hiburan bagiku. Dan hidup matiku sangat tergantung kepadanya.”
“Karena itu tuan puteri, Ranggawuni perlu diselamatkan.”
Ibunya termangu-mangu sejenak. Tetapi sangat berat rasanya untuk melepaskan Ranggawuni, karena ia tidak mau terpisah dari anak satu-satunya itu.
“Kakanda puteri.” berkata Mahisa Wonga Teleng yang datang bersama Mahisa Agni, ”Sebenarnya aku juga berat melepaskan Mahisa Cempaka. Tetapi bagi keselamatannya, apa boleh buat. Aku kira jalan yang paling baik adalah menyembunyikan anak-anak itu saat ini. Nanti jika keadaan sudah berubah dan menjadi berangsur baik, kita dapat mengambilnya kembali dan membawanya ke istana.”
Ibu Ranggawuni selalu termangu-mangu. Kebimbangan yang tajam telah melanda jantungnya. Namun ia menjadi cemas juga membiarkan Ranggawuni berada di istana. Agaknya ancaman pada anak itu bukan sekedar bergurau.
“Seandainya ancaman itu tidak sebenarnya ada.” berkata Mahisa Agni kemudian, ”Kepergian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menimbulkan kerugian apapun. Di daerah yang tersembunyi mereka akan mendapat latihan-latihan kanuragan yang penting bagi hari depan mereka kelak. Karena itu, menurut pertimbangan hamba, biarlah Ranggawuni pergi bersama Mahisa Cempaka. Hamba akan selalu mengawasi mereka berdua agar mereka berdua selalu selamat. Baik dalam perjalanan maupun di persembunyian.”
Akhirnya ibu Ranggawuni tidak dapat mengelak lagi. Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng berhasil meyakinkannya, bahwa kedua anak-anak itu harus menyingkir sejauh-jauhnya dari istana urtuk beberapa saat lamanya. Demikianlah maka dengan diam-diam Mahisa Agni mempersiapkan keduanya. Malam nanti Witantra akan mengambil mereka. Karena itu, maka kedua anak-anak itu harus berada di bangsal Mahisa Agni jauh sebelum gelap, justru untuk menghilangkan kecurigaan karena keduanya selalu mendapat pengawasan yang yang ketat.
Sehari itu kedua anak-anak muda itu berjalan hilir mudik berdua. Kadang-kadang mereka berada di bangsal Ranggawuni, kemudian ke bangsal Mahisa Cempaka, dan sebentar kemudian mereka berada di bangsal Mahisa Agni. Dengan demikian orang-orang yang mengawasinya menjadi agak bingung dan akhirnya keduanya seakan-akan hilang di dalam bangsal Mahisa Agni. Tetapi para pengawas tidak begitu banyak memperhatikannya lagi. Mereka menyangka bahwa ketiga masih saja hilir mudik di halaman.
“Jika senja turun, kita harus tahu pasti di manakah kedua anak-anak itu berada.” guman seorang prajurit yang bertugas mengawasi anak-anak itu.
“Mereka tidak akan dapat lari keluar halaman.” desis yang lain. ”Jika malam ini kita tidak mengetahui dimana mereka tidur, besok pagi-pagi kita tentu akan menemukannya bermain di halaman lagi.”
Kawannya mengangguk-angguk. Mereka terlalu percaya bahwa tidak akan ada jalan keluar halaman istana. Setiap regol sudah mendapat perintah untuk menahan kedua anak-anak itu jika mereka pergi keluar. Bahkan Mahisa Agni sekalipun, jika ia akan pergi keluar halaman harus ada ijin tersendiri dari tuanku Tohjaya. Dan mereka sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni sedang mempersiapkan keduanya untuk melarikan diri lewat jalan yang tidak pernah mereka duga pula.
Dengan tegang Mahisa Agni malam itu menyimpan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di bangsal. Keduanya telah siap untuk meninggalkan halaman. Meskipun demikian kedua anak-anak yang tidak terlampau banyak memikirkan bahaya yang dapat terjadi atas diri mereka itu, sempat tidur dengan nyenyaknya sebelum mereka nanti akan dibangunkan oleh Mahisa Agni.
Di bangsal masing-masing, ibu kedua anak-anak itu sama sekali tidak dapat tidur sekejappun. Bagaimanapun juga mereka selalu dibayang-bayangi oleh kecemasan dan ketakutan bahwa sesuatu akan terjadi atas anak-anak mereka.
Dalam pada itu di luar halaman istana, Witantra pun sudah menyiapkan diri untuk mengambil kedua anak-anak itu. Seperti yang dikatakannya, ia telah membawa Mahendra. Serta selain Mahendra, beberapa orang pengawal yang tepercaya dari Kediri telah siap pula melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka jika terjadi sesuatu atas mereka. Demikianlah malam rasa-rasanya berjalan terlampau lambat. Setiap saat Mahisa Agni selalu dicengkam oleh ketegangan dan kegelisahan.
Sementara itu beberapa orang pengawal Mahisa Agni yang datang bersamanya dari Kediri selalu berjaga-jaga pula. Jika niat kedua anak-anak itu untuk melarikan diri dapat diketahui, maka yang akan terjadi adalah kekerasan. Dan para pengawal itu memang sudah siap. Seperti yang selalu tampak di dalam sikap dan bahkan pakaian mereka, para pengawal itu benar-benar telah, pasrah diri pada pengabdian dan kesetiaannya kepada Mahisa Agni.
Lewat tengah malam, seisi bangsal itu menjadi semakin tegang ketika mereka mendengar isyarat di belakang bangsal. Isyarat yang sudah bersama-sama mereka setujui, jika Witantra datang untuk mengambil kedua anak-anak itu dan membawanya menjelang fajar. Dengan sangat hati-hati, Mahisa Agni pun menjawab isyarat itu dan membuka selarak pintu belakang.
Dalam pada itu, dua orang pengawalnya telah memancing perhatian para penjaga bangsal itu. Keduanya keluar dari bangsal dan berjalan di halaman depan hilir mudik. Pemimpin penjaga yang melihat keduanya menjadi curiga dan mendekatinya sambil bertanya, ”Ada apa kalian berjalan hilir mudik di halaman di tengah malam Ki Sanak?”
Keduanya tertawa. Salah seorang dari keduanya menjawab, ”Udara sangat panas di dalam. Kami tidak dapat tidur sama sekali. Sebenarnya kami ingin berjalan-jalan keluar halaman ini, bahkan keluar halaman istana. Tetapi kami menyadari kedudukan kami, sehingga kami hanya berjalan hilir mudik saja di sini.”
Pemimpin penjaga itu memandang keduanya berganti-ganti. Menilik sikapnya yang acuh tidak acuh saja, agaknya keduanya memang tidak mempunyai niat lain. Meskipun demikian, pemimpin penjaga itu tidak boleh lengah, sehingga katanya, ”Sebaiknya kalian berada di dalam bangsal saja Ki Sanak. Jika kalian berada di halaman, mungkin akan dapat menimbulkan tanggapan yang lain di dalam keadaan seperti sekarang.”
“Ah.” jawab salah seorang pengawal itu, ”Bukankah kami tidak berbuat apa-apa? Jika keringat kami sudah kering, kami memang akan masuk kembali dan mencoba untuk tidur. Di luar ternyata udaranya terasa agak sejuk.”
“Memang.” jawab pemimpin penjaga itu, ”Tetapi maaf Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak masuk saja.”
“Kami akan segera masuk jika kami sudah tidak merasa kepanasan lagi. Tentu kami tidak akan berada di halaman semalam suntuk.”
Pembicaraan itu memang menarik perhatian. Beberapa orang prajurit yang bertugas di sekitar bangsal itu memandang kedua orang yang sedang berbincang itu dengan saksama. Perhatian mereka benar-benar tercengkam oleh pembicaraan yang agaknya semakin lama menjadi semakin keras itu.
“Ki Sanak.” berkata pemimpin penjaga itu kemudian, ”Aku adalah orang yang malam ini bertugas memimpin penjagaan di sekitar bangsal ini. Kami terpaksa minta agar Ki Sanak berdua mematuhi permintaanku.”
Salah seorang pengawal Mahisa Agni itu kemudian bertanya, ”Ki Sanak, sebenarnya selama ini kami selalu bertanya-tanya di dalam hati. Apakah yang sebenarnya sedang kalian jaga di sini?”
“Kami menjaga keselamatan tuanku Mahisa Agni.”
“Itulah yang tidak aku mengerti. Jika kalian memang bertugas untuk menjaga keselamatan tuanku Mahisa Agni, maka kalian tidak usah berkeberatan jika kami berdua berada di sini. Kami pun sedang melakukan tugas yang sama seperti kalian.”
“Kami tidak menyangkal. Tetapi tugas kalian adalah di dalam bangsal. Tugas kami di luar bangsal. Ki Sanak tentu juga seorang prajurit. Dengan demikian Ki Sanak tentu mengetahui bahwa pembagian daerah pengawasan itu perlu, agar tidak terjadi salah paham di antara kita yang sebenarnya mempunyai tugas yang sama.”
Kedua pengawal itu termangu-mangu sejenak rasa-rasanya mereka sudah cukup lama berbantah. Ketika mereka menebarkan tatapan mata mereka berkeliling, dilihatnya di bawah cahaya obor di sudut-sudut ragol dan gardu, beberapa orang prajurit sedang memperhatikan mereka dengan saksama.
“Mudah-mudahan Pati-pati sudah berhasil memasuki bangsal.” mereka berharapan di dalam hati.
Karena itu, maka salah seorang dari keduanya itu pun kemudian berkata, ”Baiklah Ki Sanak. Agaknya memang tidak seharusnya kami berbantah. Apalagi di malam hari yang akan dapat menarik banyak perhatian para prajurit. Aku tidak akan berkeliaran di halaman. Tetapi minta ijin untuk duduk di depan pintu sambil membuka pintu bangsal bagian depan. Sampai saatnya kami merasa tubuh kami segar kembali dan keringat kami sudah kering, maka kami akan menutup pintu dan tidur dengan nyenyak.”
“Terserahlah kepada kalian.” berkata pemimpin penjaga itu.
Demikianlah maka kedua orang pengawal itu pun naik tangga bangsal dan kemudian duduk di pintu yang mereka buka lebar-lebar. Tetapi mereka telah memadamkan lampu minyak di ruang depan dari bangsal itu, sehingga ruang itu nampaknya hanya hitam pekat dari luar.
Di dalam bangsal, Witantra dan Mahisa Agni telah mempersiapkan segala keperluan kedua anak-anak itu. Bahkan ternyata Mahendra pun ikut memasuki bangsal itu pula.
“Kita harus mendukung anak-anak itu meloncat dinding.” desis Witantra, ”Karena itu aku membawa Mahendra serta.”
Setelah semua pembicaraan telah cukup, serta pesan-pesan dan rencana-rencana di saat yang akan datang, maka kedua anak-anak itu pun kemudian dibangunkannya.
“Apakah semuanya sudah siap?” bertanya Ranggawuni masih setengah tidur.
“Ssst, jangan berbicara apapun.” desis Mahisa Agni di telinga anak itu. ”Bangunlah dan bersiaplah.”
Kedua anak-anak itu pun kemudian membenahi diri. Sejenak mereka memulihkan kesadaran mereka. Kemudian setelah minum barang seteguk, maka Ranggawuni pun berkata, ”Aku sudah siap. Apakah kita akan pergi sekarang?”
“Kau akan pergi bersama Paman Pati-pati.” berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Dipandanginya Witantra yang beridir termangu-mangu di sisinya.
“Yang seorang adalah paman Mahendra.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalian harus percaya kepada mereka. Turutlah segala perintahnya. Aku tidak pergi bersama kalian agar tidak menimbulkan kecurigaan dan menimbulkan akibat yang amat jauh. Jika kalian pergi tanpa menyangkut namaku akibatnya akan dapat dibatasi pada Lembu Ampal saja.”
Kedua anak-anak itu tidak begitu mengerti maksud Mahisa Agni, namun keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian, maka saat yang mereka tunggu telah datang. Mahisa Agni pun kemudian memberikan isyarat kepada beberapa orang pengawalnya untuk memancing perhatian pera penjaga itu kembali kepintu depan.
Demikianlah maka beberapa orang pengawal pun kemudian berkumpul di muka pintu depan. Mereka berbicara dengan seenaknya saja sehingga sangat mengganggu para penjaga di regol halaman dan bahkan di sekitar bangsal itu.
Pemimpin penjaga bangsal itu menjadi kian curiga. Ternyata yang dua orang masih belum masuk kembali, bahkan kemudian disusul oleh beberapa orang lagi yang duduk di muka pintu yang terbuka. Dengan dada yang berdebar-debar pemimpin penjaga bangsal mendekatinya. Kemudian ia pun bertanya, ”Apakah yang kalian bercakapkan di malam hari begini?”
“Panas sekali. Ternyata di luar udara terasa sejuk. Namun menurut kedua kawanku ini, kami tidak boleh turun kehalaman.”
“Jangan membuat ribut. Seharusnya kalian masuk dan pintu itu pun ditutup.”
“Bagaimana jika aku minta ijin untuk berada di halaman. Tentu kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami tidak memakai pakaian lain kecuali selembar lancingan. Jika kami bersenjata, senjata itu tentu akan nampak.”
Pemimpin penjaga itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, ”Tidak Ki Sanak. Itu tidak perlu.”
“Udara panasnya bukan main.”
“Kau sudah beberapa malam berada di Singasari. Dan kau tidak pernah merasa kepanasan dan berbuat seperti ini.”
Para pengawal itu terdiam sejenak. Ternyata bahwa pemimpin penjaga itu cukup cermat mengamati keadaan, sehingga karena itu, para pengawal itu tidak memaksanya lagi, agar dengan demikian tidak akan menumbuhkan kecurigaan yang lebih besar dan bahkan mungkin akan dapat mengganggu usaha Witantra untuk melarikan kedua anak-anak dari lingkungan istana Singasari.
Namun waktu yang sedikit itu, telah dapat dipergunakan sebaiknya oleh Witantra dan Mahendra. Selagi para prajurit yang bertugas di sekitar bangsal itu tertarik kepada pembicaraan pemimpinnya dengan beberapa pengawal yang berkumpul di muka pintu, dan yang memang menumbuhkan kecurigaan sehingga diam-diam para prajurit itu pun bersiaga. Witantra dan Mahendra telah berhasil membawa kedua anak-anak muda dari bangsal, Witantra menyusup gerumbul dan pohon bunga-bungaan yang memang terdapat di sekitar bangsal Mahisa Agni itu.
Beberapa saat Mahisa Agni masih dicengkam oleh ketegangan. Namun ia pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika kepergian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu dapat diketahui oleh para penjaga, maka tidak ada jalan lain daripada kekerasan untuk melindunginya. Tetapi setelah beberapa saat tidak terdengar keributan maka Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa agak lapang dadanya, karena menurut perhitungannya Witantra sudah tidak berada di daerah pengawasan prajurit-prajurit di bangsalnya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih harus bersiapa. Jika Witantra gagal meloncat dinding karena ia membawa kedua anak-anak itu, maka persoalannya masih akan sama saja. Kekerasan.
Dalam pada itu Witantra dengan hati-hati membawa Ranggawuni merayap di dalam gelapnya malam, sedang Mahendra mengikuti di belakang sambil membimbing Mahisa Cempaka. Mereka menerobos petamanan yang penuh dengan pohon-pohon bunga di dalam sisa malam yang dingin. Menjelang fajar para penjaga di sekitar istana sudah merasa lelah dan kantuk. Dan biasanya menjelang fajar tidak akan terjadi apa-apa lagi, sehingga dengan demikian mereka menjadi sedikit lengah karenanya, dibandingkan saat-saat sebelumnya.
“Kita harus segera meloncat dinding.” desis Witantra.
“Aku tidak dapat.” sahut Ranggawuni.
Witantra memandang Ranggawuni sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, ”Aku akan mendukungmu.”
“Dan andinda Mahisa Cempaka?” bertanya Ranggawuni.
“Biarlah Mahendra yang mendukungnya.”
Ranggawuni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa kedua orang itu akan mampu melakukannya. Apalagi ia tidak begitu menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya sehingga karena itu, maka kedua anak-anak itu tidak begitu merasa kecemasan.
Berbeda dengan kedua anak-anak itu, maka baik Witantra maupun Mahendra telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka merasa dibebani oleh tanggung jawab yang sangat berat, karena kedua anak-anak itu bukan sekedar anak-anak kebanyakan yang harus diselamatkan nyawanya. Tetapi bagi Singasari kedua anak-anak itu mempunyai arti tersendiri. Ketika Witantra dan Mahendra sudah sampai di tepi halaman, maka mereka pun beristirahat sejenak. Dengan saksama mereka mengamati kadaan di sekitarnya. Namun agaknya malam terlampau sepi dan hening.
Dalam pada itu, selagi Witantra dan Mahendra diam melekat dinding halaman di balik bayangan gerumbul pohon-pohon bunga, Mahisa Agni telah keluar pula di pintu depan. Dengan lantang ia membentak-bentak pengawalnya dan menyuruh mereka masuk dan menutup pintu.
“Apakah kalian sangka, kalian berada di rumah kakekmu?” geram Mahisa Agni, ”Untunglah aku terbangun dan mengetahui bahwa kalian telah berbuat tidak sewajarnya malam ini. Coba kesan apakah yang terdapat pada para prajurit Singasari tentang kawan-kawannya yang selama ini berada di Kediri? Seakan-akan kalian telah kehilangan tata laku sebagai seorang prajurit. Duduk berdesakkan hampir telanjang di depan pintu bangsal ini, bangsalku, seorang yang mendapat kekuasaan Maharaja Singasari di Kediri.”
Para pengawal itu pun kemudian dengan tersipu-sipu masuk ke dalam dan menutup pintu bangsal itu kembali. Para prajurit memperhatikan keadaan itu dengan berdebar-debar. Ternyata Mahisa Agni dapat berbuat tegas pula terhadap para pengawalnya yang menurut para prajurit penjaga, memang berlaku agak berlebih-lebihan.
Sementara itu Witantra sudah siap untuk meloncat. Ia telah mendukung Ranggawuni di punggungnya dan mengikat tubuh anak itu pada tubuhnya dengan kain panjang agar anak itu tidak terjatuh selagi ia melayang. Demikian juga Mahendra telah mendukung Mahisa Cempaka di punggungnya pula.
“Hati-hatilah. Kita akan terbang sejenak.” desis Witantra.
“Paman akan terbang?” bertanya Ranggawuni. Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Sejenak ia berpaling dan memberi isyarat kepada Mahendra yang sudah siap pula. Dan dengan isyarat pula Mahendra memberitahukan bahwa ia akan mendahuluinya sambil melihat keadaan. Witantra mengiakannya, sehingga dengan demikian maka Mahendralah yang lebih dahulu bersiap untuk meloncat.
“Hati-hatilah dan berpeganglah baik-baik.” pesan Mahendra kepada Mahisa Cempaka.
Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah meloncat. Ranggawuni yang melihat Mahendra melayang sambil mendukung Mahisa Cempaka berdesis, ”Ya, paman Mahendra telah terbang seperti seekor burung. Apakah paman Witantra juga akan terbang?”
“Ya. Tetapi tidak seperti burung.”
“Seperti apa?” bertanya Ranggawuni.
“Seperti katak.”
Ranggawuni tertawa. Tetapi cepat-cepat Witantra berdesis, “Sssst, kita berada dalam bahaya?”
“O, bahaya apa paman?”
“Diamlah.”
Sejenak Witantra menunggu. Mahendra yang sudah ada di atas dinding batu yang mengelilingi istana itu pun berjongkok sambil mengawasi keadaan. Dan ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang mencurigakannya. Dengan isyarakat Mahendra pun kemudian memberi tahukan bahwa keadaan cukup aman. Dengan demikian maka Witantra pun kemudian meloncat pula keatas dinding batu. Kemudian keduanya meloncat bersama-sama turun.
Namun agaknya penjagaan di sekitar istana benar-benar sangat ketat. Itulah sebabnya, maka mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengamatan para penjaga. Jika saja mereka berdua tidak membawa beban di punggung masing-masing, maka mereka akan dengan mudah bersembunyi meskipun hanya sekedar menelungkup datar di atas tanah. Tetapi kini mereka masing-masing membawa bebannya sehingga tata gerak mereka agak menjadi lambat justru karena mereka menjaga agar kedua anak-anak itu tidak terjatuh.
Kelambatan yang hanya sekejap itulah yang telah mengganggu mereka. Seorang penjaga yang berkeliling melihat sekelebatan bayangan lari melintasi jalan yang mengelilingi istana di luar dinding batu.
“Kau melihat sesuatu?” desisnya kepada kawannya.
“Ya. Aku melihat sesuatu.”
“Seseorang berlari melintasi jalan?”
“Ya. Tetapi aku agak kurang yakin.”
Prajurit itu pun kemudian berpikir sejenak, lalu, ”Kau tetap di sini. Aku akan melaporkan kepada Ki Lurah.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya gerumbul-gerumbul di pinggir jalan. Jika benar yang mereka lihat, seseorang melintasi jalan, maka orang itu tentu masih ada di gerumbul itu. karena gerumbul itu terletak di daerah yang terbuka di sekitar dinding istana.
“He, bagaimana?” desak kawannya.
“Cepat. Aku akan mengawasinya di sini.”
Prajurit yang seorang itu pun dengan tergesa-gesa meninggalkan kawannya untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada para penjaga di regol.
Dalam pada itu, baik Witantra maupun Mahendra menyadari bahwa ada orang yang telah melihatnya. Karena itu. maka sejenak mereka berunding, apakah yang sebaiknya dilakukan sambil bersembunyi di balik gerumbul perdu di pinggir jalan itu.
“Kita harus mencapai tempat yang sudah ditentukan.” berkata Witantra.
“Ya. Mereka tentu telah menyediakan dua ekor kuda buat kita selain kuda yang mereka pergunakan sendiri.”
“Dan prajurit itu?”
“Biarlah. Jika ia mengejar, apa boleh buat.”
Demikianlah maka Witantra dan Mahendra pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu meskipun harus melintasi daerah terbuka. Namun dengan demikian mereka tentu akan diketahuinya oleh prajurit itu. Tetapi apaboleh buat. Mereka harus menyingkir dan berusaha melepaskan diri dari mereka. Sejenak Witantra memberikan pesan kepada kedua anak-anak yang masih saja mereka, dukung agar mereka berhati-hati dan berpegangan baik-baik.
“Kita akan berlomba lari.” berkata Witantra, ”Sudah lama paman Witantra dan paman Mahendra tidak melakukannya. Dan kalian pun akan ikut berlomba.”
Kedua anak-anak itu mengangguk. Tetapi kini mereka mulai dijalari oleh kecemasan bahwa sebenarnya mereka sedang menempuh perjalanan yang berbahaya. Meskipun Witantra dan Mahendra berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar tidak menambah kecemasan kedua anak-anak itu, namun peristiwa yang mereka hadapi menjadi semakin jelas. Setelah keduanya siap, maka dengan satu isyarat serentak mereka meloncat berlari meninggal gerumbul di pinggir jalan itu sekencang-kencangnya.
Prajurit yang melihat dua orang berlari-larian mendukung anak-anak muda, maka ia pun segera berteriak sambil berusaha mengejarnya, ”Berhenti, berhenti atau aku bunuh kalian”
Tetapi Witantra, Mahendra berlari terus. Apalagi keduanya tidak berlari sekedar dengan kecepatan gerak kakinya. Namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dari orang-orang kebanyakan. Karena itu, maka prajurit itu tidak dapat berbuat terlampau banyak. Jarak antara kedua orang yang dikejarnya menjadi semakin jauh dari dirinya.
Tetapi ternyata hal itu lebih baik baginya. Jika ia berhasil mendekati Witantra atau Mahendra, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari malam itu. Namun demikian teriakannya sudah menggemparkan para penjaga di luar istana. Mereka sadar, bahwa sesuatu telah terjadi, ditambah dengan laporan prajurit yang melihat bayangan itu melintasi jalan.
Sejenak kemudian beberapa orang prajurit pilihan telah berloncatan kepunggung kuda. Dengan sigapnya mereka pun melarikan kuda mereka kearah suara prajurit yang berteriak menghentikan orang yang dikejarnya.
“Kesana. Mereka berlari kesana.” teriak prajurit yang nafasnya menjadi terengah-engah tetapi tidak berhasil mendekati kedua orang yang dikejarnya, dua orang, dan masing-masing mendukung seorang anak atau apapun juga. Aku tidak begitu pasti di dalam gelap.
Kuda-kuda itu pun kemudian berderap kearah yang ditunjuk oleh prajurit itu. Bahkan kemudian beberapa ekor kuda yang lain menyusul di belakang. Ternyata hal itu segera menjalar sampai ketelinga para pemimpin prajurit yang sedang bertugas malam itu. Beberapa orang Senapati pun segera berloncatan kepunggung kuda dan ikut mengejar. Jika ada orang yang meninggalkan halaman istana, tentu orang itu mempunyai kepentingan yang mencurigakan.
Dengan demikian maka gelombang demi gelombang telah meninggalkan regol. Dengan mengikuti jejak kuda-kuda yang lebih dahulu maka para prajurit yang menyusul kemudian itu pun berhasil mengikuti kawan-kawannya yang terdahulu. Di depan setiap kelompok prajurit, seorang yang mengetahui tentang jejak mendahului sambil membawa obor di tangannya.
Berita itu pun segera tersebar di halaman istana. Para prajurit yang bertugas pun segera bersiaga menghadapi segala kemungkin yang dapat terjadi. Dalam pada itu, keributan itu pun terdengar oleh Mahisa Agni. Sejenak ia termangu-mangu. Jika Witantra dan Mahendra sudah berada di luar halaman, mereka mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri dari para prajurit, jika tidak terjadi kesalahan apapun.
Tetapi Mahisa Agni harus memikirkan dirinya sendiri pula. Bahkan Mahisa Wonga Teleng dan isterinya serta ibu Ranggawuni dan bahkan Ken Dedes. Jika Tohjaya menjadi mata gelap, maka sesuatu akan dapat terjadi atas mereka. Karena itu, maka dengan hati yang tegang Mahisa Agni pun kemudian membenahi dirinya dan memerintahkan semua pengawalnya berbuat demikian pula.
Para pengawal yang sudah menyadari tugas mereka sejak mereka meninggalkan Kediri, segera menyiapkan diri. Mereka sadar bahwa mereka bagaikan serangga dikelilingi oleh api yang menyala. Sayap mereka akan segera menjadi hangus dan kemudian hilang ditelan api. Tetapi mereka sudah bertekad menghadapi segala kemungkinan sampai desah nafas yang terakhir.
Dalam pada itu, para prajurit Singasari menjadi semakin sibuk. Beberapa ekor kuda berlari-larian susul menyusul. Sedang di halaman beberapa orang penghubung berlari-lari hilir mudik dari satu gardu ke gardu yang lain. Panglima prajurit Singasari yang selalu berada di halaman istana di saat terakhir sehubungan dengan perintah Tohjaya kepada Lembu Ampal, segera mendapat laporan pula. Karena itu, maka ingatannya atas dua orang beban dalam dukungan kedua orang yang sedang berlari setelah meloncat dari dinding istana itu adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan seorang Senapati dan beberapa orang prajurit untuk membuktikannya. “Pergi kebangsal Ranggawuni. Cari anak itu di sana.” perintahnya.
Senapati yang mendapat perintah itu pun segera melakukannya dengan tergesa-gesa. Dengan tegangnya ia pun segera mengetuk pintu bangsal Ranggawuni.
Ibu Ranggawuni yang sama sekali tidak dapat memejamkan matanya terkejut mendengar pintu bangsalnya diketuk orang. Dengan demikian, maka justru ia tidak dapat beranjak dari tempatnya oleh perasaan yang bergumul di dalam hatinya. Seorang emban yang terbangun mendengar ketukan pintu itu dengan ragu-ragu bangkit. Tetapi ia tidak segera pergi membukakan pintu itu. Perlahan-lahan ia berjalan menuju kebilik ibu Ranggawuni yang menjadi sangat cemas.
“Tuan Puteri.” bisik emban yang melihat ibunda Ranggawuni itu sudah terbangun, ”Pintu bangsal ini diketuk orang.”
Memang tidak ada pilihan lain daripada membuka pintu itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia berkata, ”Bukalah pintu itu.”
Sebenarnya emban itu pun menjadi ketakutan. Tetapi ia terpaksa membuka pintu dengan tangan gemetar.
“Dimana tuan puteri?” bertanya Senapati yang berdiri di muka pintu.
“Aku di sini.” sahut ibunda Ranggawuni yang dengan memaksa diri keluar dari biliknya.
“Ampun tuan puteri.” berkata Senapati itu kemudian, ”Hamba sekedar menjalankan perintah untuk mencari tuanku Ranggawuni. Apakah tuanku Ranggawuni ada di dalam biliknya?”
“O.” ibundanya menyahut dengan menyembunyikan kegelisahan, ”Ranggawuni berada bersama Mahisa Cempaka di bangsalnya. Sehari-harian mereka berdua bermain-main bersama. Sore tadi Ranggawuni minta ijin untuk tidur di bangsal pamandanya, Adinda Mahisa Wonga Teleng.” jawab ibundanya seperti pesan Mahisa Agni jika hal serupa itu terjadi.
Terasa sesuatu berdesir di dada Senapati itu. Rasa-rasanya Suatu permulaan yang suram dari usahanya mencari Ranggawuni. Namun demikian Senapati itu pun minta diri sambil berkata, ”Hamba akan menengoknya di bangsal tuanku Mahisa Wonga Teleng.”
“Baiklah. Bahkan aku pesan jika kau menemukannya di sana, aku minta diberi tahu. Aku menjadi berdebar-debar bahwa kalian mencari anak itu di malam hari begini. Tentu ada sesuatu yang penting telah terjadi.”
“Tidak tuan puteri. Tidak ada apa-apa yang terjadi.” Senapati itu pun kemudian meninggalkan bangsal itu.
Demikian pintu bangsal itu tertutup maka ibunda Ranggawuni itu pun berlari kedalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya menelungkup sambil menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Dan ia tidak dapat menahan air matanya mulai menetes dari pelupuknya.
“Tuan puteri menangis.” desis embannya yang kemudian duduk di sampingnya.
“Aku mencemaskan Ranggawuni.”
“Tuan Puteri tidak usah cemas. Serahkanlah kepada Yang Maha Agung agar tuanku Ranggawuni selalu mendapat perlindungannya.”
Ibunda Ranggawuni itu tidak menjawab. Ia mencoba menahan isaknya. Namun ia tidak berhasil.
Senapati yang meninggalkan pintu bangsal itu pun segera pergi kebangsal Mahisa Wonga Teleng. Seperti yang telah dilakukan, maka ia pun bertanya kepada Mahisa Wonga Teleng yang membukakan pintu bangsalnya, apakah Ranggawuni ada di bangsal itu bersama Mahisa Cempaka.
“O, aneh. Mahisa Cempaka minta diri untuk bermalam di bangsal kakandanya Ranggawuni. Mereka pergi sebelum senja.”
“Di bangsal itu, mereka berdua tidak ada. Bahkan tuanku Ranggawuni pun tidak ada.”
Mahisa Wonga Teleng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, ”Mungkin di bangsal pamanda Mahisa Agni. Marilah kita melihatnya.”
Mereka pun kemudian pergi beriringan dengan beberapa orang pengawal ke bangsal Mahisa Agni. Senapati itu pun berniat untuk melihat apakah Mahisa Agni ada di bangsalnya. Jika Mahisa Agni tidak ada, maka sudah dapat dipastikan bahwa Mahisa Agnilah salah seorang yang telah melarikan kedua anak-anak muda itu.
Namun Senapati itu menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa Agnilah yang ternyata membuka pintu bagi mereka. Sambil menggosok matanya Mahisa Agni bertanya, ”He, apakah perlu kalian malam-malam begini? Belum lama kami tidur karena udara yang panas sekali.”
Dengan demikian Senapati itu seolah-olah tidak dapat menemukan jalur untuk memulai pencahariannya lebih lanjut. Semula ia menyangka bahwa Mahisa Agnilah yang telah melarikan kedua anak-anak muda itu. Tetapi ternyata Mahisa Agni masih ada di bangsalnya.
“Tuan.” berkata Senapati itu, ”Kami baru mencari anak-anak itu?”
“Siapa maksudmu?” lalu Mahisa Agni pun bertanya kepada Mahisa Wonga Teleng, ”Siapa yang kalian cari? Dan kenapa kau datang pula kemari.”
“Paman, Mahisa Cempaka tidak ada. Aku kira Mahisa Cempaka berada di bangsal Ranggawuni, ternyata Ranggawuni pun tidak ada di bangsalnya. Aku kira keduanya ada di bangsal ini.”
Mahisa Agni terkejut. Kemudian katanya, ”Jadi kedua anak-anak itu tidak ada? Di sini pun keduanya tidak ada. Memang sore tadi anak-anak itu datang kemari, tetapi mereka pergi hilir mudik tidak menentu.”
“Kedua anak-anak itu hilang paman.”
“Kapan kalian mengetahui bahwa kedua anak itu hilang?”
“Baru saja. Justru para prajuritlah yang mencari mereka. Mereka melihat dua orang meloncat dinding sambil membawa dua orang anak-anak. Tentu mereka adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
Pemimpin prajurit yang meronda di bangsal Mahisa Agni yang ikut pula berkerumun di depan pintu itu mulai menghubungkan hilangnya kedua anak-anak itu dengan sikap yang mencurigakan dari para pengawal Mahisa Agni. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Mahisa Agni sudah mendahului,
”Rasa-rasanya memang ada firasat buruk. Tetapi alangkah bodohnya aku. Hampir semalaman kami di bangsal ini tidak dapat tidur. Rasanya kami berada di dalam tungku api. Beberapa orang di antara kami justru pergi keluar bangsal. Tetapi kami tidak dapat mengerti, bahwa sesuatu telah terjadi.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, ”Apakah tuanku Tohjaya sudah mengetahui bahwa kedua anak-anak itu hilang?”
“Sudah tuan.” jawab Senapati itu.
“Jika demikian kita dapat memohon perlindungan. Kedua anak-anak itu harus diketemukan. Jika tidak.”
“Tuan.” potong Senapati itu, ”Apakah dengan demikian tuanku Mahisa Agni menuduh bahwa hilangnya kedua anak-anak itu justru karena tuanku Tohjaya?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya dengan nada yang tinggi, ”Siapa yang mengatakannya demikian?”
Senapati itu tergagap karenanya. Sebenarnyalah karena ia mengetahui bahwa kedua anak itu harus diawasi sebaiknya, sehingga di dalam lubuk hatinya memang tersirat anggapan yang condong pada kebencian Tohjaya terhadap kedua anak-anak muda itu.
“Bukankah aku justru mengatakan bahwa aku akan mohon perlindungan kepada tuanku Tohjaya?”
Senapati itu masih termangu-mangu.
“Nah.” berkata Mahisa Agni kemudian, ”Marilah kita menghadap. Kita mohon agar diambil tindakan segera.”
“Tuanku Tohjaya sudah mengetahuinya dan memberikan perintah kepada para prajurit untuk mencarinya.”
“Aku akan mohon ijin bersama Mahisa Wonga Teleng untuk ikut mencarinya.”
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Terserahlah kepada tuanku Tohjaya.”
Mahisa Agni pun bergegas meninggalkan bangsalnya. Ia sama sekali tidak membawa seorang pengawal pun untuk menghindari kecurigaan. Bersama Mahisa Wonga Teleng ia menghadap Tohjaya untuk menyampaikan permohonan agar ia diijinkan untuk ikut mencari kedua anak-anak itu. Ternyata Tohjaya sendiri masih diliputi oleh suasana yang gelap. Ia tidak begitu mengerti keadaan yang sedang dihadapinya. Bahkan Tohjaya tidak pasti, apakah sebenarnya kedua anak-anak itu telah dilarikan orang.
Namun hanya di dalam hati Tohjaya berkata, ”Apakah Lembu Ampal sudah melakukan tugasnya, menyingkirkan anak itu tanpa diketahui oleh orang lain, bahkan oleh para prajurit agar ia tidak menjadi sasaran dendam Mahisa Agni apabila pada suatu saat ceritera tentang hal itu sampai ketelinganya?” Karena keragu-raguan itulah maka Tohjaya menjadi bingung. Untuk beberapa saat ia tidak dapat menanggapi permintaan Mahisa Agni.
“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, ”Hamba mohon beberapa orang kawan yang terpercaya. Mungkin orang-orang yang melarikan kedua anak-anak itu bukan orang kebanyakan.”
Tohjaya yang tidak ingin langsung dituduh terlibat jika ternyata kedua anak-anak itu benar-benar terbunuh, tidak dapat berbuat lain. Karena itu maka diperintahkannya saja langsung Senapati yang datang bersama Mahisa Agni itu untuk bersama-sama mencari kedua anak yang hilang itu.
Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng sudah berderap di atas punggung kuda menyusuri jalan kota. Namun kemudian seperti kepada diri sendiri Mahisa Agni bertanya, ”Kita akan kemana?”
“Kita kelilingi seluruh kota.” berkata Mahisa Wonga Teleng. “Jika kita tidak menemukannya, kita akan mencarinya kemana saja.”
“Baiklah.” sahut Mahisa Agni, ”Kita kelilingi semua jalan dan padukuhan.”
Demikianlah maka iring-iringan itu pun menembus gelapnya sisa malam di sepanjang jalan kota. Tetapi Mahisa Agni yang tahu pasti kemanakah kedua anak-anak itu dibawa, sengaja mencari jalan lain.
Namun dalam pada itu, sekelompok pasukan yang lain telah berhasil menemukan jejak Witantra dan Mahendra. Karena itu maka mereka pun berusaha untuk dapat menyusulnya. Witantra dan Mahendra dengan secepat dapat dilakukan nya betusaha mencapai kawan-kawannya yang telah menunggu. Mereka sadar, bahwa sekelompok prajurit sedang mengejarnya. Bahkan mungkin akan disusul oleh kelompok-kelompok yang lain. Karena itu, maka ia harus dengan segera meninggalkan kota.
Ternyata Witantra berhasil mencapai sekelompok kecil kawannya yang sudah menunggu dengan dua ekor kuda selain kuda-kuda yang mereka pergunakan sendiri. Ketika mereka melihat dua orang berlari-lari sambil masing-masing mendukung seorang anak maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Sambil meloncat kepunggung kuda yang sudah disediakan maka Witantra pun berkata, ”Kita harus segera meninggalkan tempat ini.”
Peringatkan itu jelas. Karena itu, sejenak kemudian maka kuda-kuda itu pun segera berderap menebarkan debu yang putih. Tetapi beberapa saat kemudian maka beberapa ekor kuda yang lain segera menyusulnya. Mereka adalah prajurit Singasari yang sedang mengejar orang-orang yang memang disangka melarikan Mahisa Cempaka dan Ranggawuni. Sejenak kemudian terjadilah perburuan yang dahsyat. Sekelompok orang-orang berkuda berusaha mengejar kelompok yang lain. Kelompok yang sama sekali tidak mereka ketahui, siapa dan kemana.
Namun di belakang kelompok yang sedang mengejar itu ternyata susul menyusul kelompok-kelompok yang lain yang menyadari bahwa halaman istana Singasari telah berhasil dijelajahi oleh orang-orang yang tidak dikehendaki, apapun yang mereka lakukan. Ternyata prajurit-prajurit Singasari adalah prajurit-prajurit yang tangkas. Kuda-kuda mereka pun adalah kuda yang baik dan tegar, sehingga perburuan itu merupakan perburuan yang menegangkan.
Witantra dan Mahendra kecuali berpegangan pada kendali kudanya juga harus menjaga agar anak-anak di pangkuan masing-masing tidak terjatuh. Karena itu, kadang-kadang kedua anak itu mengganggu kelincahan tangan mereka. Namun demikian kuda-kuda itu pun berlari kencang sekali. Ternyata Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah anak-anak yang berani. Mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan meskipun kuda-kuda mereka berlari kencang sekali. Bahkan sekali-sekali harus meloncati lubang-lubang kecil di tengah jalan.
Semetara itu, langit di ujung Timur menjadi semakin lama semakin semburat merah. Fajar mulai merekah dan malam pun perlahan-lahan terdesak oleh cahaya pagi. Dengan demikian maka kuda-kuda yang sedang berpacu itu pun menjadi semakin jelas dari jarak yang semakin jauh. Debu yang mengepul pun mulai tampak memutih. Sehingga dengan demikian maka akhirnya mereka yang sedang berkejaran itu saling dapat melihat jarak yang memisahkan mereka.
“Paman.” desis Ranggawuni, ”Kita telah dikejar.”
“Dan kita sudah lari kencang sekali.” sahut Witantra.
“Apakah mereka akan dapat menyusul kita?”
“Kita tidak tahu. Mudah-mudahan tidak. Bukankah kuda kita terbang secepat burung srigunting?”
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Namun anak itu justru tertawa sambil berkata, ”Lebih cepat paman. Cepat sedikit. Mereka tidak boleh menyusul kita.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Disentuhnya perut kudanya dengan sebuah cemeti pendek sehingga kuda itu seakan-akan terbang semakin cepat.
Ranggawuni tertawa. Tiba-tiba saja ia justru berteriak ke pada Mahisa Cempaka, ”Adinda Mahisa Cempaka. Ayo, kejarlah aku.”
Mahisa Cempaka yang berkuda bersama Mahendra di belakang Witantra pun menjawab sambil berteriak, ”Kami akan segera mendahului. Minggir.”
Tetapi Ranggawuni menjawab, ”Cari jalan sendiri.”
Witantra dan Mahendra hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak-anak itu kadang-kadang merasa cemas juga melihat beberapa ekor kuda yang mengejar mereka, namun kadang-kadang mereka merasa gembira karena mereka bagaikan terbang di atas punggung kuda.
Namun dalam pada itu, Witantra merasa bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari para prajurit yang sedang mengejarnya. Langit yang menjadi semakin cerah, membuat ia semakin sulit untuk melepaskan diri dari pengawasan orang-orang yang mengejarnya. Karena itu, maka ia pun memberi isyarat kepada Mahendra agar ia mendekat dan berpacu di sisinya.
“He. Aku akan mendahuluimu kakanda.” teriak Mahisa Cempaka.
“Cepat, cepat paman Witantra. Jangan didahului oleh Mahisa Cempaka.”
Witantra pun tersenyum. Jawabnya, ”Mereka tidak akan mendahului. Aku akan berbicara sedikit dengan pamanmu Mahendra.”
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sesaat kemudian Mahendra sudah berpacu di sebelah Witantra. sehingga Mahisa Cempaka menghentak-hentakkan kakinya sambil menepuk leher kudanya agar kudanya berlari semakin cepat.
“Cepat paman Mahendra. Cepat.”
Mahendra tidak dapat menahan senyumnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Mahendra.” berkata Witantra kemudian, ”Bagaimana pun juga kita memacu kuda kita, tetapi agaknya kita tidak akan dapat mehindarkan diri dari orang-orang itu.”
“Jadi maksud kakang Witantra?”
“Aku kira di belakang mereka, masih akan menyusul beberapa orang lagi. Bahkan mungkin berturut-turut.”
Mahendra tidak menyahut. “Mahendra. Bagaimana jika kita berhenti.”
Mahendra tidak segera menjawab. Tetapi ia masih berpikir sejenak. Sekali-sekali ia berpaling dan melihat debu putih terhambur dari kaki-kaki kuda yang mengejar iring-iringan mereka.
“Bagaimana?” bertanya Witantra.
Namun sebelum Mahendra menjawab, Ranggawuni sudah menyahut, ”Jadi paman bermaksud menyerah?”
“Tidak Ranggawuni. Tentu tidak.”
“Lalu?”
“Kita melawan. Kita akan membinasakan mereka.”
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata lantang, ”Kita akan bertempur paman?”
“Tetapi bukan kau. Kami, orang-orang tua inilah yang akan bertempur. Kau dan Mahisa Cempaka menunggu di punggung kuda.”
“Kami akan bertempur.” teriak Mahisa Cempaka.
Mahendra menepuk punggungnya sambil berkata, ”Kau masih terlampau kecil.”
“Jadi kapan aku boleh bertempur?” bertanya Mahisa Cempaka pula.
“Alangkah baiknya jika kau tidak perlu mengalaminya. Bertempur adalah cara terakhir bagi mereka yang sudah kehabisan akal.”
“Jadi paman juga kehabisan akal sekarang?” bertanya Ranggawuni.
“Ya Ranggawuni.” sahut Witantra, ”Kami sudah kehabisan akal. Tetapi kami menyadari bahwa kau berdua harus diselamatkan. Karena itu kami akan mempergunakan cara orang yang sudah tidak melihat jalan lain. Jalan yang sebenarnya harus dihindari.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menyahut lagi. Ia tidak mengerti arti kata Witantra yang dirasanya berputar-putar tidak menentu.
Dalam pada itu kuda-kuda itu masih berpacu terus. Di belakang mereka, para prajurit Singasari masih saja mengejar dengan kemarahan yang tertahan. Semakin terang cahaya pagi memancar di atas tanah persawahan dan bulak-bulak yang panjang, semakin jelas bagi para prajurit, bahwa yang dilarikan oleh orang-orang berkuda itu adalah dua orang anak-anak yang masih sangat muda. Dan sudah tentu mereka pun segera meyakini bahwa kedua anak itu adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, yang justru harus mereka awasi sebaik-baiknya meskipun sebagian dari para prajurit itu tidak mengetahui dengan pasti, karena keduanya harus selalu mendapat pengawasan.
Setelah berpikir sejenak, maka Mahendra pun kemudian berkata, ”Kakang, aku kira, memang lebih baik kita berhenti. Kita memang tidak akan mempunyai kesempatan untuk melenyapkan jejak ini. Kita tidak mempunyai tempat untuk bersembunyi.”
“Baiklah Mahendra. Jika demikian, kita akan segera menghentikan kuda-kuda kita.”
“Tetapi lebih baik jika kita mengambil jarak yang agak jauh dari kota.”
“Bukankah kita sudah jauh?”
“Beberapa puluh patok lagi.”
Witantra tidak menyahut. Kudanya masih saja berpacu di atas jalan berbatu-batu. Ketika Mahendra kemudian berpacu di belakang Witantra kembali, Mahisa Cempaka sudah tidak berteriak-berteriak lagi. Agaknya ia pun merasakan ketegangan di dada Witantra dan Mahendra.
Demikianlah Witantra masih berpacu beberapa saat lagi. Seperti laju anak panah kuda-kuda itu berlari melintasi sebuah padukuhan kecil. Beberapa orang yang sedang membersihkan jalan, berlari-lari dan berloncatan masuk kehalaman. Mereka menjadi ketakutan melihat beberapa ekor kuda berpacu dan saling memburu.
Setelah padukuhan itu mereka lampaui, dan setelah mereka berada kembali di sebuah bulak yang panjang, bahkan kemudian sampai kesebuah lapangan rumput yang agak luas dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah persawahan, Witantra memberikan tanda-tanda kepada anak buahnya. Tanda-tanda yang memang sudah disepakati lebih dahulu.
Ketika tangan Witantra terentang, maka kuda-kuda itu pun tiba-tiba saja menebar. Sebagian mengikuti Witantra berbelok ke kiri, yang lain mengikuti Mahendra berbelok kekanan. Dengan cekatan Witantra dan Mahendra meloncat kepunggung kuda yang lain, dan penunggangnya berganti berpindah ke kuda Witantra dan Mahendra untuk menjaga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Kau tenang saja di situ.” berkata Witantra, ”Paman akan menghalau orang itu.”
Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok kecil yang dipimpin langsung oleh Witantra dan Mahendra itu sama sekali tidak diduga oleh prajurit-prajurit Singasari yang mengejarnya, sehingga karena itu, kelambatan beberapa saat telah mendorong mereka masuk kedalam jebakan. Mereka kemudian seolah-olah berada di dalam kepungan. Belum lagi mereka dapat mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang tiba-tiba itu, Witantra dan Mahendra telah menyerang mereka diikuti oleh beberapa orang pengawalnya dari sebelah menyebelah.
Tidak banyak dapat mereka lakukan. Serangan itu begitu tiba-tiba, dan terlebih-lebih lagi dilakukan oleh Witantra dan Mahendra sendiri beserta beberapa pengawalnya. Prajurit Singasari yang terkejut itu, sebagai prajurit-prajurit terlatih secara naluriah segera mengadakan perlawanan. Namun seorang demi seorang mereka terluka dan bahkan beberapa orang telah terpental dari kudanya.
“Kita tinggalkan mereka.” Witantra kemudian memberikan perintah kepada anak buahnya yang dengan segera mempersiapkan diri melepaskan sisa-sisa lawannya.
Sejenak kemudian Witantra dan Mahendra diikuti oleh anak buahnya telah melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan lawannya yang termangu-mangu. Beberapa orang yang masih utuh menjadi ragu-ragu. Jumlah mereka tinggal tidak lebih dari separo. Karena itu maka mereka tidak ingin menyerahkan diri ketangan orang-orang yang mereka buru.
Tetapi dengan demikian mereka telah dapat memastikan bahwa sebenarnyalah yang dilarikan oleh orang-orang itu adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dalam keragu-raguan itu, para prajurit Singasari itu hampir saja bersorak ketika mereka melihat iringan kedua telah menyusul mereka di bawah pimpinan seorang Senapati pilihan.
“Kami telah menemukan mereka.” berkata pemimpin kelompok prajurit yang telah dilumpuhkan itu.
“Kenapa kalian berhenti?” bertanya Senapati itu.
“Kami tidak mampu melawan mereka. Sebagian dari kawan-kawan kami telah terluka. Lebih dari separo. Bahkan mungkin ada yang tidak tertolong lagi.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa orang yang terbaring berserakan. “Rawatlah mereka.” berkata Senapati itu, ”Sebagian dari kalian ikutilah bersama kami. Kami harus menemukan mereka.”
“Kami telah memastikan bahwa yang mereka larikan adalah tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Kami sudah menduga. Marilah. Kita tidak boleh kehilangan jejak.”
Demikianlah sekelompok pasukan itu pun segeta menyusul. Mereka mengikuti jejak kaki-kaki kuda Witantra dan anak buahnya, karena mereka bertekad untuk membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kembali.
Sementara itu, Lembu Ampal yang sedang dicengkam oleh keragu-raguan, terkejut bukan kepalang mendengar berita hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Belum lagi ia dapat mengambil sikap, ternyata kedua anak-anak itu telah hilang. Bagi Lembu Ampal, hilangnya kedua anak-anak itu tentu ada hubungannya dengan perintah yang diterima dari Tohjaya.
“Yang mendengar dengan pasti perintah tuanku Tohjaya hanyalah aku sendiri. Kemudian pendeta istana itu mendengar dari mulutku.” berkata Lembu Ampal kepada dirinya sendiri, ”Jika kedua anak-anak itu hilang dan aku gagal melakukan tugasku, maka akulah yang akan digantung.”
Justru karena kedua anak-anak itu telah hilang, maka sebuah hentakan telah mendorong Lembu Ampal untuk mengambil keputusan. Ia merasa tersinggung sekali karena kedua anak-anak yang diserahkan kepadanya itu hilang. Usaha menyelamatkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka oleh orang lain, adalah suatu tantangan baginya.
“Mungkin aku tidak akan sampai hati membunuh kedua anak-anak itu jika keduanya masih tetap berada di istana. Tetapi bahwa ada orang lain yang ikut campur itu benar-benar telah menghinaku.”
Namun bagi Lembu Ampal, orang yang pertama-pertama harus dihubungi adalah pendeta istana itu. Baginya tidak ada orang lain yang dapat merembeskan rahasia itu selain pendeta itu. Dengan tergesa-gesa Lembu Ampal memacu kudanya, pergi mendapatkan pendeta itu di sanggarnya. Dengan wajah yang tegang ia datang menghadap dan langsung bertanya, ”Apakah tuan sudah mendengar berita tentang hilangnya kedua anak-anak itu?”
Pendeta itu mengangguk perlahan, ”Aku sudah mendengarnya Lembu Ampal.”
“Tuan.” Lembu Ampal menggeram, ”Tidak ada orang lain yang mengetahui tugasku dengan pasti kecuali tuanku Tohjaya, aku dan tuan. Mungkin ada satu dua orang Senapati terpercaya yang mendapat tugas untuk membayangi kedua anak-anak itu. Namun perintah itu hanya diberikan kepadaku. Sedangkan para prajurit dan Senapati itu hanyalah sekedar mendapat perintah untuk mengawasi kedua anak-anak yang akan dijadikan korban ketenangan Singasari.”
“Memang tidak ada orang lain yang mendengar. Tetapi aku sudah memberitahukan hal itu kepada seseorang. Akulah yang melakukannya.”
“Tuan. Apakah tuan tahu artinya?”
“Kau akan dihukum mati. Tetapi jika kau berterus terang tentang keragu-raguanmu dan kedatanganmu kepadaku, juga tentang rahasia yang telah terbuka itu, maka kau akan dibebaskan. Dan akulah yang akan mengantikanmu. Mungkin aku akan digantung, dipacung atau hukuman apapun juga. Tetapi itu lebih baik dari pada kedua anak-anak yang tidak bersalah sama sekali itu.”
Terasa darah Lembu Ampal bagaikan mendidih. Ia menaruh hormat terhadap pendeta istana itu. Bahkan secara rohani ia banyak menggantungkan dirinya kepadanya. Sampai saatnya ia kehilangan akal karena ia mendapat perintah untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang tidak bersalah sama sekali.
Tetapi bahwa pendeta itu dengan sengaja telah memberitahukan akan hal itu, benar-benar telah menyinggung perasaannya sebagai seorang prajurit, sehingga ia akan mendapat noda karenanya. Bukan saja ia akan dihukum mati, tetapi tentu juga mencemarkan nama baiknya karena Tohjaya dapat mengambil alasan apapun untuk membunuhnya. Meskipun Lembu Ampal berkata terus terang, dan meskipun kemudian diketahui bahwa pendeta itulah yang telah membuka rahasia istana itu, namun tentu dirinyalah yang akan mendapat hukuman terberat, karena ialah yang pertama-tama telah membocorkannya kepada pendeta itu.
Karena itu maka dengan wajah yang tegang ia berkata, ”Tuan. Aku datang kepada tuan dengan penuh kepercayaan bahwa keragu-raguanku akan dapat berkurang. Aku akan menemukan ketetapan hati, apapun keputusanku. Jika aku ingin melaksanakan tugas itu dan membunuh keduanya, aku akan melakukan dengan ketenteraman hati. Jika tidak, aku akan menjalani hukuman dengan damai. Tetapi sekarang keadaannya sangat berbeda. Anak itu hilang sebelum aku dapat memastikan sikapku.”
“Tidak banyak bedanya Lembu Ampal. Aku telah mendesakmu untuk mengambil keputusan seperti kata nuraniku.”
“Tetapi tidak dengan nuraniku. Bagaimana jika aku kemudian memutuskan untuk membunuh keduanya.”
“Keduanya telah tidak ada lagi di istana.”
“Aku dapat menuntut karena persoalannya akan menyangkut bukan saja mati dan hidupku. Tetapi juga nama baikku.”
“Aku tidak keberatan. Sejak semula aku memutuskan untuk mengatakan hal itu kepada orang-orang yang akan dapat menyelamatkan, aku sudah menyediakan diriku, nyawaku dan apa saja yang dapat aku berikan. Aku bersedia menjalani hukuman mati, atau karena kemarahanmu yang tidak terkendali kau akan membunuhku.”
“O, tuan.” Lembu Ampal menunduk lesu, ”Tuan telah membuat aku semakin bingung. Aku dapat menjadi gila karena perintah ini.” namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, ”Siapakah yang telah tuan beritahu dan kemudian melarikan anak itu. Siapa?”
“Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi orang-orang itu ternyata telah berhasil.”
“Mahisa Agni?”
“Mahisa Agni masih ada di istana atau ikut serta mencarinya bersama Mahisa Wonga Teleng dan beberapa orang Senapati.”
“Jadi siapa?”
“Sudah aku katakan, aku tidak akan menyebut namanya.”
“Apakah tuan tahu bahwa dengan demikian tuan telah berkhianat?”
“Aku tidak berniat untuk berkhianat. Niatku semata-mata hanyalah melindungi dua nyawa yang tidak bersalah. Hanya itu.”
“Tetapi tuan harus mengatakan, siapakah orang yang telah berhasil melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Aku tidak dapat menyebutkan Lembu Ampal. Sudah berkali-kali aku katakan. Dan aku sudah siap menerima akibat apapun. Aku akan pasrah diri untuk menerima hukuman. Hukuman mati sekalipun dengan cara apapun.”
“O.” Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Terasa seakan-akan kepalanya berputar seperti baling-baling. “Tuan.” tiba-tiba Lembu Ampal berkata, ”Tuan telah berhasil melakukan sesuatu sesuai dengan nurani tuan, sehingga karena itu hati tuan menjadi damai. Tetapi aku tidak. Aku selalu dikejar oleh kegelisahan dan ketakutan.”
“Lembu Ampal. Kau masih mempunyai waktu untuk menentukan sikap.”
“Tidak. Kedua anak-anak itu sudah hilang.”
“Maksudku, kau dapat memastikan sikapmu. Apakah kau akan melaporkan semuanya kepada Tohjaya, atau kau akan pergi mencari kedua anak-anak itu sampai ketemu.”
Sejenak Lembu Ampal merenung. Namun kemudian ia berkata, ”Tidak. Aku tidak akan mencari kedua anak-anak itu. Biarlah mereka tetap hidup. Mereka benar-benar tidak tahu, apakah sebenarnya maka nyawa mereka terancam karenanya.”
“Jadi kau akan menghukum aku? Atau kau sendiri akan pasrah diri?”
Lembu Ampal tidak menyahut.
“Lembu Ampal. Memang ada bedanya antara seorang prajurit dan seorang pendeta. Aku adalah seorang pendeta yang tidak lagi diikat oleh persoalan hidup dan mati di dalam sikap yang didasari atas keyakinan sesuai dengan kata nuraniku. Tetapi kau tidak. Kau dapat bersikap lain justru karena kau adalah seorang kesatria yang wajib melindungi sesama dengan jalan yang jantan. Karena itu, kau dapat menghindari hukuman yang seharusnya kau jalani.”
“Maksud tuan?”
“Kau tidak perlu kembali menghadap tuanku Tohjaya.”
Lembu Ampal menegang sejenak. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, ”Aku mengerti tuan. Maksud tuan aku harus lari?”
“Bukan lari dalam arti seorang pengecut Lembu Ampal. Tetapi menghindari maut adalah perbuatan yang wajar.”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Terasa sebuah pergolakan telah terjadi di dalam dadanya. Sebagai seorang prajurit ia harus mempertanggung jawabkan beban yang dipikulkan dipundaknya. Kesetiaannya kepada raja dan Singasari membuatnya ragu-ragu untuk memenuhi anjuran Pendeta itu.
“Lembu Ampal.” berkata pendeta itu kemudian, ”Bagiku, keragu-raguanmu yang memberi kesempatan kepada kedua anak-anak itu untuk diselamatkan, adalah perbuatan yang lebih baik dari sikap seorang prajurit. Tentu saja ini berlawanan dengan pendirianmu. Juga usaha untuk menyelamatkan diri itu pun tentu tidak akan sesuai dengan sifat seorang prajurit. Namun barangkali kelak kau mempunyai kesempatan yang baik untuk membuktikan tugas kesatria yang harus kau pikul. Justru melindungi yang lemah dari kesewenang-wenangan.”
Lembu Ampal tidak segera menjawab.
“Tetapi jika kau menghadap tuanku Tohjaya, maka kau akan mendapat hukuman yang berat. Atau jika kau jujur dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, maka aku pun akan dihukum.” Pendeta itu berhenti sejenak, lalu, ”Lembu Ampal, bukan karena aku ingin membebaskan diri dari hukuman dengan membujukmu untuk pergi, sehingga dengan demikian kau tidak akan sempat menyebut namaku, tetapi mati bukanlah kebanggaan yang harus kau dambakan, meskipun kau seorang prajurit.”
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesempatan itu memang ada. Sebelum persoalan yang sebenarnya dapat di ketahui dengan pasti, maka Tohjaya pasti belum menjatuhkan perintah untuk menangkapnya. Karena itu, maka akhirnya Lembu Ampal berkata, ”Tuan. Aku memang akan mempertimbangkan tindakan apakah yang sebaiknya aku lakukan. Mungkin aku akan lari, tetapi mungkin pula aku memilih tiang gantungan.”
“Terserahlah kepadamu. Kau memang seorang prajurit. Dan aku pun tidak akan ingkar bahwa akulah yang telah menguakkan rahasia itu, sehingga kedua anak-anak itu diselamatkan oleh orang yang aku sendiri tidak mengetahuinya.”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Ia pun kemudian minta diri dan meninggalkan sanggar itu dengan persoalan yang semakin rumit di dalam dirinya. Pada pendeta istana itu ia sama sekali tidak menemukan ketenangan yang dicarinya. Pendeta itu tidak menunjukkan keputusan yang harus diambilnya atas kedua anak-anak itu. Bahkan kini ia telah menyebabkan kedua anak-anak itu diselamatkan oleh orang lain. Dan itu adalah suatu sentuhan pada perasaannya.
“Aku mengharap ia menunjukkan jalan bahwa aku dapat melakukan tugasku itu dengan tenang dan tidak selalu di bayangi oleh penyesalan. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Ia tidak memberikan ketenangan itu kepadaku seperti yang aku harapkan, bahkan ia telah mengacaukan segala-segalanya. Dan kini ia membujukku untuk lari menghindari tanggung jawab.”
Namun semakin dalam dipikirkannya, maka Lembu Ampal pun menemukan kesimpulan lain. Katanya kepada diri sendiri, ”Apakah artinya kesetiaanku kepada tuanku Tohjaya jika aku harus melakukan tugas yang bertentangan dengan nuraniku. Keragu-raguanku adalah pertanda bahwa yang harus aku lakukan itu tidak sejalan dengan kata-kata hatiku sendiri. Selama aku menjadi prajurit, aku menjalankan tugasku dengan patuh. Jika kadang-kadang ada keragu-raguan, maka aku segera dapat mengatasinya. Tetapi sekali ini, sebenarnyalah bahwa tuanku Tohjaya sudah berlaku tidak adil.” Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam, lalu, ”Apakah artinya kesetiaanku terhadap ketidak adilan itu?”
Sejenak Lembu Ampal menjadi bingung. Namun akhirnya Lembu Ampal pun berkata kepada diri sendiri, ”Apa salahnya jika aku berusaha menyelamatkan diri, sementara aku dapat mencari kedua anak-anak itu. Jika suatu saat aku memutuskan untuk membunuhnya, aku akan membunuh mereka dan menyerahkan persoalannya kepada tuanku Tohjaya. Tetapi jika aku tetap berpendapat, bahwa kematian kedua anak-anak itu tidak adil, aku tidak akan mempedulikan mereka lagi.”
Demikianlah, setelah dada Lembu Ampal bergejolak dengan dahsyatnya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggal kan pusat pemerintahan Singasari. “Aku dapat hidup dimana saja.” katanya.
Dengan tekad yang bulat akhirnya Lembu Ampal meninggalkan kota dengan diam-diam, justru ketika para prajurit sedang berusaha mengejar Witantra dan Mahendra yang telah melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sedang Mahisa Agni dan beberapa orang prajurit yang lain sedang mengelilingi kota untuk berpura-pura mencari kedua anak-anak itu pula.
Dengan lajunya Lembu Ampal pun melarikan kudanya. Ia meninggalkan Singasari dengan persoalan yang belum terpecahkan. Apakah ia akan tetap mencari dan membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk mendapatkan pengampunan, atau sama sekali tidak mempersoalkannya lagi, namun dengan demikian ia akan hidup dipelarian sepanjang umurnya.
Tetapi Lembu Ampal tidak cemas. Ia mempunyai banyak kawan yang dapat melindunginya di padepokan-padepokan terpencil. Ia dapat menyebut dirinya dengan nama lain dan dengan bentuk yang sedikit berbeda dengan bentuknya sekarang. Dan persoalan itulah yang masih harus dipertimbangkannya untuk waktu yang cukup lama. Namun agaknya hidup adalah keadaan yang paling baik baginya saat itu, sehingga dengan demikian maka Lembu Ampal pun memutuskan bahwa ia harus mempertahankan hidupnya lebih dahulu sebelum ia dapat memikirkan, apakah yang akan dilakukannya nanti.
Karena Lembu Ampal pun kemudian meninggalkan Singasari sebelum memberikan laporan tentang dirinya sendiri dan bahwa ia sama sekali belum melakukan tugasnya, maka Tohjaya pun tidak segera dapat memastikan, apakah yang sebenarnya terjadi. Bahkan ia menjadi cemas bahwa para prajurit yang mencari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan menghukum Lembu Ampal apabila benar-benar ia telah melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Kegelisahannya itulah yang mendorongnya untuk memanggil Pranaraja menghadap.
“Ampun tuanku, apakah titah tuanku kepada hamba?”
“Kau dengar keributan yang telah terjadi?”
“Hamba tuanku. Hamba mendengar bahwa tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah hilang.”
“Dan kau tahu pasti, siapakah yang telah mengambil mereka?”
“Hamba belum tahu dengan pasti tuanku. Tetapi pasti bukan tuanku Mahisa Agni.”
“Ya. Justru paman Mahisa Agni menuntut perlindungan keselamatan kedua kemanakannya itu.”
Pranaraja tertawa, katanya, ”Dan tuanku tentu menyanggupinya.”
“Ya, aku menyanggupinya.”
“Tetapi jika yang diketemukan adalah mayatnya, itu sama sekali bukan salah tuanku.”
“Paman Mahisa Agni dengan beberapa orang prajurit sedang mencarinya.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Lalu, “Bagaimana jika tuanku Mahisa Agni berhasil menyelamatkannya?”
“Jaraknya terlampau panjang. Sejak anak itu hilang sehingga paman Mahisa Agni meninggalkan istana, memerlukan waktu cukup lama bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi, siapakah sebenarnya yang telah membawanya pergi? Apakah kau sudah berhubungan dengan Lembu Ampal?”
“Belum tuanku. Tetapi menurut perhitungan hamba, tentu Lembu Ampallah yang melakukannya. Jika tidak, maka para prajurit dan Senapati tentu akan menemukannya,”
“Pranaraja. Ada beberapa persoalan yang mendesak di dalam hatiku. Jika yang melarikan bukan Lembu Ampal kita masih mempunyai harapan, bahwa keduanya dapat diketemukan. Tetapi bagaimana jika Lembu Ampallah yang telah membawanya.”
“Lembu Ampal akan membunuhnya.”
“Bagaimana jika terjadi salah paham, dan Lembu Ampal justru terbunuh oleh para prajurit dan Senapati yang mengejarnya?”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia justru tertawa sambil menjawab, ”Itu lebih baik tuanku.”
“Pranaraja.” Tohjaya tiba-tiba membentak, ”Kau jangan bergurau dalam keadaan seperti ini.”
“Hamba tidak bergurau tuanku.”
“Jadi apa maksudmu?”
“Tuanku. Jika mereka yang mengejar tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu membunuh Lembu Ampal, maka akan lenyaplah semua jalur penyelidikan yang mungkin dilakukan oleh Mahisa Agni. Dengan demikian maka tidak seorang pun yang dapat berceritera bahwa tuanku telah memerintahkan kepada Lembu Ampal untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
Tohjaya menjadi tegang. Sejenak ia merenungi kata-kata Pranaraja itu. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, ”Kau benar Pranaraja. Aku kira kita memang tidak memerlukan lagi orang seperti Lembu Ampal. Di Singasari masih banyak terdapat Senapati yang jauh lebih baik dari Lembu Ampal itu.”
“Demikianlah tuanku. Sebaiknya tuanku tidak usah menghiraukan lagi. Jika yang membawa lari itu bukan Lembu Ampal, kita dapat mengharapkan kedua anak-anak itu akan dibawa kembali oleh para Senapati. Jika kita dapat menangkap satu dua orang diantara mereka, kita akan dapat menyelediki siapakah orang yang berdiri di belakang mereka. Tetapi jika usaha itu adalah usaha Lembu Ampal melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, biarlah apa yang akan terjadi atasnya.”
“Tetapi.” tiba-tiba Tohjaya mengerutkan keningnya, ”Bagaimana jika karena tekanan para prajurit yang menangkapnya, Lembu Ampal justru mengatakan yang sebenarnya kepada mereka?”
“Jika demikian kitalah yang akan membunuhnya karena Lembu Ampal telah memberikan kesaksian palsu untuk menyelamatkan dirinya.”
“Yang manakah yang kau maksud kesaksian palsu itu Pranaraja?”
Pranaraja tertawa. Katanya, ”Tentu sebenarnya bukan palsu. Kitalah yang harus berlaku palsu. Kita ingkari perintah itu, dan kita bunuh saja Lembu Ampal.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Lalu, ”Baiklah. Aku mengerti. Tetapi sebaiknya kau pun pergi melihat apa yang sedang berlangsung sekarang ini. Jika keadaan kira-kira tidak menguntungkan kita, kau harus cepat memberitahukan kepadaku. Aku akan segera berbicara dengan para Panglima dan Senapati yang dapat kita percaya sepenuhnya.”
“Baiklah tuanku. Hamba mohon diri. Hamba akan pergi ke regol depan. Jika perlu hamba akan keluar halaman istana untuk mencari keterangan.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia dapat menyetujui pendapat Pranaraja dan membiarkan Lembu Ampal dibunuh oleh para prajurit jika ia tertangkap.
Dalam pada itu, para prajurit yang mengejar Witantra dan Mahendra, masih terus menyelusuri jejak yang semakin lama tampak semakin jelas. Meskipun Witantra melintasi padang rumput, batu-batu padas dan daerah yang basah, namun beberapa orang yang ahli mengenal jejak tidak dapat dikelabuinya, sehingga kemanapun Witantra pergi, para prajurit dapat mengikutinya. Bahkan kelompok yang berikutnya pun tetap mengikuti jejak itu sampai kemanapun.
Witantra pun sadar, bahwa seperti yang terdahulu, ia tidak akan dapat menghindar lagi. Pada suatu saat ia harus sekali lagi menjebak para prajurit. Namun Witantra pun mengetahui bahwa jumlah prajurit yang mengejarnya itu tentu bertambah semakin banyak.
“Kita mencari tempat yang cukup luas untuk bermain-main lagi.” berkata Witantra kepada Mahendra.
Ranggawuni yang kemudian berkuda dengan orang lain menyahut, ”Apakah masih ada orang lain yang mengejar kita paman?”
“Masih ada Ranggawuni. Tetapi jangan cemas. Kita akan menghalaunya lagi seperti tadi.”
“Tetapi setiap kali pengawal kita akan berkurang paman. Bukankah ada di antara kita yang terluka?”
“Kita akan berusaha.” sahut Witantra, ”Mudah-mudahan kita tidak perlu memberikan korban. Yang terluka di antara kita agaknya tidak begitu parah. Mereka sudah membalut luka-luka mereka sehingga darahnya sudah mampat.”
“Tetapi apakah mereka masih mampu bertempur?”
“Mereka akan mengawani kalian berdua. Hanya jika terpaksa mereka akan bertempur. Jika tidak, maka biarlah mereka beristirahat.”
Ranggawuni tidak begitu mengerti. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dahinyalah yang kemudian berkerut merut ketika kudanya menyeberangi sebuah rawa yang sempit. Tetapi ketika mereka sudah melintasi rawa-rawa itu dan berada di tempat yang agak terbuka, maka mereka pun mulai melihat prajurit-prajurit Singasari yang semakin mendekat. “Itulah mereka.” desis Mahendra.
“Seperti yang kita duga. Jumlah mereka lebih banyak.”
“Tetapi masih belum melampaui kemampuan kita.” sahut Mahendra.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandangi wajah-wajah para pengawal yang mengiringinya. Pengawal-pengawal terpilih dari antara prajurit yang ada di Kediri. Bahkan sebagian dari mereka adalah prajurit-prajurit Singasari juga. Demikianlah maka akhirnya Witantra harus mengatur siasat bersama Mahendra. Beberapa orang ditugaskan untuk melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di samping orang yang menjagainya di punggung kuda. Sedang Witantra dan Mahendra bersama orang-orang yang lain akan menjebak mereka seperti yang pernah terjadi.
“Mereka tentu telah mempersiapkan diri.” berkata Mahendra, ”Orang-orang yang telah terjebak itu tentu dapat memperingatkan kawan-kawannya yang datang kemudian.”
“Kita akan menghadapi mereka.” sahut Witantra, ”Tetapi memang sebaiknya kita berpencaran.”
Demikianlah maka setelah mereka sampai ketempat yang agak lapang, Witantra dan Mahendra sengaja memperlambat kuda mereka, sedang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendahului mereka beberapa puluh langkah di depan. Ketika jarak itu sudah dipandang cukup oleh Witantra, maka ia pun segera memberikan aba-aba kepada anak buahnya, Dengan cekatan anak buahnya menarik kendali kudanya dan berputar haluan. Dengan tiba-tiba mereka menghentakkan kudanya dan berlari menyerang lawannya yang sedang memburu mereka.
Serangan itu meskipun sudah diperhitungkan, namun cukup mengejutkan. Senapati yang memimpin prajurit Singasari itu menyangka bahwa Witantra dan anak buahnya akan menebar dan menyerang mereka dari lambung sebelah menyebelah seperti yang telah mereka lakukan. Tetapi kini ternyata bahwa Witantra dan Mahendra menyerang mereka langsung dari depan, sedang anak buahnyalah yang berpencaran di sebelah menyebelah.
Sejenak kemudian maka terjadilah benturan kedua kelompok itu dengan dahsyatnya. Keduanya adalah prajurit-prajurit yang sudah terlatih menghadapi medan yang berat, sehingga karena itu, maka pertempuran yang segera terjadi adalah pertempuran yang sengit. Namun kedua belah pihak segera dapat mengenal, bahwa sebenarnya mereka adalah prajurit-prajurit dari kesatuan yang sama. Meskipun ada di antara pengawal Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang terdiri dari orang-orang pilihan dari Kediri. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Singasari.
Yang mengejutkan para prajurit Singasari yang sedang berusaha mengambil kembali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah Witantra dan Mahendra. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang jauh berada di atas kemampuan para prajurit. Bahkan Senapati yang memimpin prajurit singasari itu pun merasa dirinya terlampau kecil menghadapi mereka.
Tetapi Senapati itu tidak dapat ingkar. Bersama beberapa orang prajurit yang dipilihnya, ia mencoba melawan Witantra dan memutar pedangnya seperti baling-baling. Namun dalam pada itu, Mahendra telah bertempur bagaikan harimau lapar. Banyak prajurit yang terpaksa menghindari dan dengan tergesa-gesa berusaha menyusun sebuah kelompok yang dapat membatasi gerak Mahendra. Namun para pengawal yang datang dari Kediri itu pun tidak tinggal diam. Mereka segera melibat para prajurit Singasari sehingga mereka tidak sempat berbuat apa-apa.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin kisruh. Para prajurit dari Singasari menjadi bingung menghadapi Witantra dan Mahendra. Meskipun mereka dapat membatasi gerak para pengawal yang datang dari Kediri, namun mereka tidak dapat berbuat banyak menghada pi Wintantra dan Mahendra. Karena itulah maka pasukan Singasari itu pun segera terdesak. Korbannya pun berjatuhan dan bahkan ada di antara mereka yang kehilangan nyawanya. Akhirnya Senapati yang memimpin prajurit dari Singasari itu harus menyadari keadaannya. Ia tidak akan dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya.
Untuk menghindari kemusnahan maka Senapati itu pun segera memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri sambil menunggu pasukan yang akan datang kemudian. Namun menurut perhitungan Senapati itu, meskipun ada dua gelombang pasukan yang bakal datang, tetapi mereka tidak akan dapat memaksa orang-orang yang diburunya itu untuk menyerahkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Witantra dan Mahendra tertegun sejenak, melihat lawannya menarik diri dengan tergesa-gesa. Tetapi keduanya kemudian bersepakat untuk tidak mengejar mereka. “Lebih baik kita menghindar.” berkata Witantra.
“Jejak kita akan selalu dapat diikuti.”
“Kita akan memilih jalan rawa-rawa. Jika cukup lama berada di daerah berair, maka jejak kita akan sulit diikuti. Sementara itu, kita melingkar dan menuju kepadepokanku.”
Mahendra menganggukakan kepalanya. Katanya kemudian, ”Baiklah kakang. Kita memilih jalan rawa-rawa meskipun agak sulit. Kemudian kita akan menyeberang sungai dan hilang di hutan-hutan perdu seberang.”
Demikianlah maka Witantra pun kemudian melanjutkan perjalanan. Ia masih memperhitungkan bahwa pasukan yang lebih besar masih akan mengejarnya. Karena itu seperti yang direncanakan, maka ia pun memilih jalan rawa-rawa. Ia mencoba menghilangkan jejak iring-iringan itu di dalam air. Beberapa kali kudanya hampir saja terperosok ke dalam endapan lumpur yang dalam. Namun akhirnya iring-iringan itu berhasil keluar dari rawa-rawa dan langsung turun ke dalam sungai yang tidak terlampau dalam. Namun dengan melawan arus air sebentar, mereka pun kemudian naik ke tebing sebelah.
Seperti yang diharapkannya, maka amat sulitlah untuk menemukan jejak iring-iringan itu. Di rawa-rawa jejak kuda-kuda mereka telah hilang-hilang timbul. Adalah terlampau lama untuk menemukan jalur jejak iring-iringan itu, karena sebagian dari jejak mereka telah hilang di dalam air yang keruh.
Di seberang Witantra berhenti sejenak sambil memandang rawa-rawa dan yang ditumbuhi ilalang setinggi tubuh, di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun. Sambil tersenyum ia berkata, ”Mereka tidak akan dapat mengikuti perjalanan kita. Bahkan mungkin satu dua dari kuda-kuda mereka seandainya mereka berusaha juga untuk mengikuti kita, akan terperosok ke dalam lumpur yang dalam-dalam. Tentu mereka tidak pernah mengenal daerah ini sebelumnya. Berbeda dengan aku yang mengenal jalan ini menuju kepadepokaku.”
Mahendra mengangguk-anggukan kepalanya. Ia pun yakin bahwa para prajurit itu tidak akan dapat menemukan jejak mereka lagi.
“Marilah.” berkata Witantra, ”Biarlah kita tinggalkan mereka.”
Sejenak mereka masih memandang arus sungai yang tidak begitu deras itu. Namun kemudian kuda-kuda itu pun mulai melangkahkan kaki mereka di atas pasir menjauhi batang sungai yang mengalirkan air yang jernih di sisi daerah-daerah rawa-rawa berlumpur yg kotor. Namun dalam pada itu, sesuatu telah menyentuh perasaan kedua anak-anak yang masih sangat muda itu. Rasa-rasanya mereka benar-benar akan pergi jauh sekali dan tidak akan pernah kembali ke Singasari.
Karena itu hampir di luar sadarnya Ranggawuni bertanya, ”Jika aku pergi jauh sekali, bagaimana dengan ibunda di Singasari?”
“Ya.” sahut Mahisa Cempaka, ”Bagaimana dengan ibunda, ayahanda dan neneknda Ken Dedes?”
“Di sana ada pamanmu Mahisa Agni.” berkata Witantra, ”Percayakan ibunda, ayahanda dan nenenda kepadanya. Pamanda Mahisa Agni akan menjaga mereka dengan baik.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terdiam. Namun sesuatu terasa menjadi semakin lama semakin jauh, bahkan seolah-olah tidak akan pernah dapat dicapainya lagi. Meskipun demikian mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun sudah dapat menyadari keadaan mereka. Bahaya yang setiap saat akan dapat menerkam mereka dari segala penjuru. Demikianlah iringan itu pun menembus hutan kecil menuju ketempat yang terpencil. Sebuah padepokan kecil yang terpisah dari padukuhan di sekitarnya. Padepokan itu adalah padepokan Witantra yang kemudian juga disebut Pati-pati.
Sementara itu, para prajurit Singasari yang merasa tidak mampu lagi melawan Witantra dan para pengawalnya mencoba menunggu pasukan yang bakal datang berikutnya. Dengan pasukan itu mereka menyusun kekuatan mereka kembali dan berusaha mengikuti jejak Witantra dan pengawalnya yang telah melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi yang mereka lakukan kemudian adalah kesiapan saja. Meskipun sekelompok pasukan berikutnya benar-benar datang, namun mereka tidak berhasil menemukan jejak Witantra dan Mahendra yang seakan-akan telah hilang di dalam rawa-rawa.
“Kita memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menyelusuri jejak mereka.” berkata seorang yang memahami berbagai jenis jejak manusia dan binatang.
“Tetapi mereka tidak akan dapat terbang. Jejak mereka tentu masih ada.” berkata Senopati yang bertanggung jawab atas pasukan yang kemudian bergabung itu.
“Tentu. Tetapi kita harus mencarinya di seberang rawa-rawa dan genangan-genangan air. Belum tentu satu dua kali kita dapat menemukan arah. Untuk maju sampai beberapa patok saja, kita sudah akan kemalaman di perjalanan.”
“Bodoh kau. Matahari baru saja naik.”
“Dan kerja mengikuti jejak itu akan maju selangkah demi selangkah secepat siput merangkak di tanah kering.”
Senapati itu termenung sejenak. Lalu, ”Jadi menurut pendapatmu, kita tidak akan dapat mengejar orang-orang yang telah melarikan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu?”
Pencari jejak itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Mungkin kita dapat mengikutinya sampai berhari-hari. Tetapi sementara itu mereka yang kita cari sudah sampai ke seberang gunung.”
“Gila.” bentak Senapati itu, ”Katakan saja bahwa kau sudah tidak sanggup lagi.”
Pencari jejak itu menundukkan kepalanya. Namun terdengar suaranya datar, ”Demikianlah. Tetapi penjelasan dari ketidak sanggupanku perlu.”
Senapati itu menggeretakkan gigiknya. Namun ia pun tidak dapat menolak kenyataan bahwa untuk dapat mengejar orang-orang yang melarikan kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah suatu kemustahilan. Karena itu, maka pasukan Singasari itu pun terpaksa menarik diri meninggalkan daerah yang berrawa-rawa.
“Kita kembali dan melaporkannya kepada tuanku Tohjaya.” berkata Senopati yang memimpin pasukan itu.
Demikianlah maka pasukan itu pun segera ditarik kembali ke Singasari. Iring-iringan dari beberapa kelompok pasukan yang kemudian bergabung itu terpaksa memasuki kota tanpa membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, tetapi balikan membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh.
“Tentu Mahisa Agni tidak dapat mencuci tangan.” berkata seorang perwira, ”Pada malam hari saat anak-anak itu hilang, para pengawalnya melakukan hal yang aneh-aneh. Dan ternyata pula di antara mereka yang melarikan kedua anak-anak itu terdapat prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri. Tentu mereka telah mendapat perintah lebih dahulu dari Mahisa Agni sebelum ia pergi ke Singasari.”
Yang lain hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun mereka masih dicengkam keheranan. ”Siapakah yang telah membawa kedua anak-anak itu. Mereka tentu bukan orang kebanyakan. Mereka mampu memasuki halamanan istana tanpa diketahui oleh para prajurit. Bahkan ketika mereka keluar dari istana mendukung Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun mereka masih dapat melepaskan diri.”
Demikianlah Senapati yang telah gagal membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kembali itu pun segera melaporkan semua peristiwa yang telah terjadi.
“Jadi kalian telah gagal?” bertanya Tohjaya.
“Ampun tuanku. Kami tidak dapat mengikuti mereka seterusnya. Mereka masuk ke dalam rawa-rawa dan jejak mereka pun menjadi kabur. Meskipun kemudian kami dapat menelusur terus, namun kami memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga orang-orang itu tentu sudah menjadi semakin jauh.”
“Siapakah mereka itu?” bertanya Tohjaya.
“Kami tidak dapat menyebutnya dengan pasti tuanku. Tetapi hamba yakin bahwa di antara mereka ada beberapa orang prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Apakah kalian melihat Lembu Ampal?” tiba-tiba saja Tohjaya bertanya.
Senapati itu menjadi bingung. Kemudian jawabnya, ”Tidak tuanku. Hamba tidak melihat Lembu Ampal. Tetapi apakah hubungannya hal ini dengan Lembu Ampal?”
Tohjaya terdiam sejenak. Ia menjadi agak bingung. Namun kemudian Pranarajalah yang menyahut, ”Lembu Ampal mempunyai banyak hubungan dengan prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Maksudmu dengan Mahisa Agni.” bertanya seorang perwira kepada Pranaraja.
Tetapi Pranaraja menggeleng. Katanya, ”Mereka mempunyai jalur yang berlainan.”
“Jika Lembu Ampal terlibat di dalamnya. apakah pamrihnya?” bertanya seorang Senapati yang lain.
Pranaraja menggelengkan kepalanya, ”Kita tidak tahu.”
“Jadi, kenapa tiba-tiba hal ini menyangkut Lembu Ampal?” seorang Senapati yang lain bertanya.
Pranaraja menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, ”Ada persoalan yang perlu dipecahkan dengan Lembu Ampal. Tetapi belum waktunya dibicarakan sekarang.” lalu katanya kepada Tohjaya, ”Bukankah begitu tuanku.”
“Ya. Persoalannya masih ada di tanganku. Tetapi jika ia kemudian tidak nampak lagi di istana, persoalan ini akan menjadi semakin jelas.”
Beberapa orang yang menghadap Tohjaya itu menjadi heran. Persoalan anak-anak yang hilang itu agaknya telah menyangkut Lembu Ampal. Tetapi Tohjaya tidak mau mengatakan persoalan itu kepada para Senapati.
Dalam pada itu, seorang Senapati telah bertanya, ”Dan bagaimana dengan tuanku Mahisa Agni?”
Tohjaya masih saja termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Aku sudah mendengar laporan kalian tentang orang-orang yang mengambil Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sekarang kalian boleh meninggalkan tempat ini.”
Senapati yang menghadap Tohjaya itu pun menjadi bingung. Mereka belum mendapat jawaban atas pertanyaan mereka tentang Mahisa Agni. Namun mereka tidak berani memaksa agar Tohjaya memberikan jawaban. Apalagi nampaknya Tohjaya sedang diliputi oleh kebingungan dan kecemasan.
Sepeninggal para Senapati itu, maka Tohjaya pun segera membicarakannya dengan Pranaraja. bahwa agaknya ada persoalan yang gawat sedang terjadi di Singasari. “Siapakah menurut pendapatmu yang telah melarikan anak-anak itu? Apakah mereka ada hubungannya dengan Lembu Ampa! atau Mahisa Agni?”
Pranaraja termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, ”Ampun tuanku, hamba memang menjadi bingung. Agaknya memang ada benarnya kita mencurigai Mahisa Agni.”
“Tetapi ia justru mohon perlindungan bagi kedua kemanakannya itu.”
“Hamba kira itu sekedar usahanya untuk membersihkan diri.”
“Jadi bagaimana dengan Lembu Ampal?” Pranaraja tidak menyahut.
“Pranaraja.” berkata Tohjaya dengan wajah yang tegang, ”Suruhlah memanggil Lembu Ampal sekarang. Aku harus mendapat penjelasan daripadanya. Jika ia tidak ada di rumahnya ia harus dicari di mana saja. Ia harus menghadap aku sekarang.”
Pranaraja pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit untuk memanggil Lembu Ampal. “Kau harus mencarinya sampai kau dapat menemukannya.”
Kedua prajurit itu pun kemudian dengan tergesa-gesa berkuda ke rumah Lembu Ampal. Karena Lembu Ampal tidak ada, maka mereka pun kemudian bertanya kepada setiap orang yang mengenal Lembu Ampal. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya kemana ia pergi.
“Kemana lagi kita harus mencarinya.” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
Keduanya menjadi bingung. Mereka harus menemukan Lembu Ampal. Padahal mereka sudah mencarinya hampir di seluruh kota. Hampir setiap orang yang mungkin dapat memberikan petunjuk kepada mereka, sudah mereka temui. Tetapi mereka tidak berhasil menemukan Lembu Ampal, seperti juga Mahisa Agni yang memasuki hampir setiap rumah, tetapi tidak diketemukan yang dicarinya. Akhirnya kedua prajurit itu memberanikan diri kembali Mereka tidak berani langsung melaporkannya kepada Tohjaya, tetapi mereka menghadap Pranaraja.
“Gila.” Pranaraja menggeram, ”Jadi Lembu Ampal tidak dapat kau ketemukan?”
“Kami sudah mengelilingi seluruh kota.”
“Kau masih harus mencarinya sampai ketemu. Malam nanti dan besok sehari penuh. Jika sampai besok malam kau tidak dapat menemukan Lembu Ampal, maka kita akan menghadap bersama-sama.”
“Tetapi apakah hal itu merupakan kesalahan kami?”
“Kalian tidak bersalah.”
Kedua prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian mereka masih tetap berdebar-debar. Jika besok malam Pranaraja berkata lain, maka nasib mereka akan menjadi sangat buruk. Adalah kebetulan saja mereka waktu itu sedang bertugas, pada saat Tohjaya memerlukan Lembu Ampal. Jika karena Lembu Ampal tidak ada, kemudian kesalahan itu ditimpakan kepada mereka, alangkah malangnya mereka berdua.
Ketika prajurit itu kemudian melanjutkan usahanya, Pranaraja sudah mendahului menghadap Tohjaya, dan mengatakan bahwa kedua prajurit itu tidak dapat menemukan Lembu Ampal, sedang keduanya masih terus melakukan usaha pencarian itu.
“Apakah Lembu Ampal memang sedang menunggu kedua anak-anak itu di suatu tempat?”
Pranaraja termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, ”Memang mungkin tuanku. Mungkin Lembu Ampal menyusul atau justru mendahului orang-orang yang telah mengambil kedua anak-anak itu. Di suatu tempat yang jauh, keduanya akan diselesaikannya agar tidak ada seorang pun yang melihat mereka”
“Tetapi memang mungkin Mahisa Agni telah menyingkirkan mereka karena ia tahu bahwa kedua anak-anak itu akan di bunuh.”
“Dari siapakah ia mendengarnya tuanku.” Tohjaya menggelengkan kepalanya, ”Aku tidak tahu.”
“Tidak ada orang lain yang mendengarnya.”
“Bahkan mungkin dari Lembu Ampal sendiri.” Wajah Pranaraja menegang sesaat, lalu, ”Apakah mungkin Lembu Ampal berkhianat?”
Tohjaya tidak segera menjawab. Tetapi nampak wajahnya sedang diliputi oleh ketegangan yang luar biasa. “Tidak mustahil para prajurit yang mendapat perintah berjaga itu menjadi curiga, dan mereka membuat perhitungan dan dugaan semacam itu.”
Pranaraja mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Tohjaya, bahwa prajurit-prajurit yang mendapat tugas untuk menjaga dan mengawasi Mahisa Agni, kemudian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mempunyai dugaan demikian, sehingga mereka tidak dengan sengaja saling berbicara di antara mereka sendiri. Namun bagaimanapun juga Tohjaya dan Pranaraja tidak dapat melepaskan kecurigaan mereka terhadap Mahisa Agni. Apalagi setelah mereka mendengar laporan bahwa pada malam itu para pengawal Mahisa Agni bersikap aneh. Mereka hampir tidak tidur semalam suntuk, bahkan ada di antara mereka yang berada di halaman.
“Tetapi mereka tidak pergi kemanapun.” berkata Pranaraja, ”Bahkan hamba sudah memerintahkan untuk menghitung para pengawal. Ternyata pengawal-pengawal Mahisa Agni jumlahnya masih tetap, sehingga orang yang melarikan kedua anak-anak itu tentu bukan pengawal-pengawal Mahisa Agni yang di bawanya dari Kediri, meskipun diketahui bahwa mereka sebagian adalah prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Baiklah.” berkata Tohjaya, ”Aku harus berbicara dengan Mahisa Agni. Jika ternyata Mahisa Agni pantas dicurigai, apa boleh buat. Ia harus ditangkap bersama para pengawalnya. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia tidak akan dapat melawan semua Panglima dan Senapati yang ada di Singasari.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Katanya, ”Tetapi tuanku. Hamba masih selalu mengingatkan kepada tuanku pendapat Panglima Pelayan Dalam yang pada saat itu pergi ke Kediri dan melihat sendiri apa yang tumbuh di sana.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata, ”Aku tidak peduli. Aku adalah Maharaja yang paling berkuasa di Singasari. Jika aku tidak berani bertindak terhadap seseorang, maka aku tidak akan dapat menegakkan keadilan di atas Singasari ini. Dengan demikian kedudukanku tidak akan ada artinya sama sekali.”
Pranaraja tidak berani membantah lagi. Karena itu ia hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
“Pranaraja.” berkata Tohjaya kemudian, ”Sekarang kau pergi kepada Senapati yang sedang bertugas. Kau minta laporan dari perkembangan keadaan. Apakah orang yang mencari Lembu Ampal sudah ketemu atau perkembangan yang lain. Aku akan menghadap ibunda untuk mohon pertimbangannya.”
Demikianlah, di dalam keadaan yang paling sulit, Tohjaya masih selalu datang kepada ibunya dan minta pertimbangannya.
“Kita pantas mencurigai Mahisa Agni.” berkata Ken Umang, ”Sejak dahulu Mahisa Agni adalah orang yang paling banyak membuat kesulitan. Sejak pada masa Akuwu Tunggul Ametung memerintah Tumapel. Ia adalah orang yang menentang Akuwu ketika Ken Dedes, gadis dari Panwijen itu diambil ke istana.”
“Bukankah ia saudara laki ibunda Ken Dedes?”
“Saudara angkatnya. Ia ingin mengawinkan Ken Dedes dengan putera Buyut Panawijen.”
“Bodoh sekali.”
“Nah, kau sudah dapat menilainya. Kemudian pada jaman ayahandamu memegang kekuasaan, Mahisa Agni pun selalu membuat kesulitan di Singasari. Anusapati ditempanya menjadi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian Mahisa Agni dengan sengaja telah berusaha menyingkirkan ayahandamu dan menempatkan Anusapati di atas tahta. Hanya di saat Anusapati berada di atas tahta Mahisa Agni tidak berbuat apa-apa. Sekarang, setelah kau menggantikan Anusapati, Mahisa Agni kembali melakukan pengacauan dengan caranya.”
“Jadi menurut ibunda, aku pantas menangkapnya?”
“Jika kau menangkapnya, bawa ia kepadaku. Aku akan memaksanya untuk berbicara.”
“Ibunda?”
“Ya.”
“Tetapi ibunda, Mahisa Agni memiliki kekuatan yang cukup di belakangnya.”
“Kekuatan yang manakah yang kau maksud?”
Tohjaya pun kemudian menceriterakan sikap para prajurit yang ada da Kediri.
“Dan itu adalah pertanda bahwa orang-orang yang melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah bagian dari mereka yang mendukung Mahisa Agni di Kediri.”
“Tetapi Lembu Ampal sampai saat ini belum diketemukan. Jika orang-orang yang melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu bukan orang-orang Lembu Ampal, maka Lembu Ampal tentu akan datang menghadap dan melaporkan peristiwa ini.”
“Kau pernah mengancamnya. Jika ia gagal, maka ia akan menerima hukuman yang sangat berat.”
Tohjaya merenung sejenak, lalu, ”Tetapi ia belum gagal. Bahkan ia belum melakukan apa-apa.”
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi nafsunya untuk menghinakan Mahisa Agni masih saja menyala di dadanya. Ia merasa bahwa hutang Mahisa Agni kepadanya, karena penolakannya di masa mudanya, bahkan setelah ia berada di istana, adalah penghinaan yang harus dibalas dengan penghinaan pula.
“Tohjaya.” berkata ibunya kemudian, ”Baiklah, jika kau tidak dapat menangkapnya, panggillah Mahisa Agni. Aku akan berbicara kepadanya.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Terasa persoalan ibundanya agaknya telah bergeser dari kepentingannya. Namun mungkin sekali akan dapat ditelusur pula lewat persoalan yang dikemukakan oleh ibunya, apakah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah disembunyikannya. Karena itu maka untuk memenuhi permintaan ibundanya Tohjaya pun segera memerintahkan memanggil Mahisa Agni. Ia harus menghadap Tdhjaya di bangsalnya.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Panggilan di dalam saat yang kabur itu membuatnya berprasangka sehingga karena itu maka ia pun segera berpesan kepada para pengawalnya yang masih ada di bangsalnya, ”Kalian harus melihat keadaan. Kalian dapat menentukan manakah yang baik kalian lakukan. Jika kalian harus berbuat sesuatu karena pertanda keadaan, maka lakukanlah dengan hati-hati. Tetapi kalian harus yakin bahwa kalian harus melakukannya. Dengan demikian kalian tidak boleh tergesa-gesa.”
Setelah memberikan pesan-pesan dan petunjuk, maka Mahisa Agni pun segera minta diri kepada para pengawalnya, katanya, ”Aku hlarus pergi sekarang. Tidak mustahil bahwa mereka telah mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka tentu akan memperhitungkan tingkah laku kalian semalam.”
Demikianlah maka Mahisa Agni pun segera pergi menghadap Tohjaya di bangsalnya. Bangsal yang pernah dipergunakan oleh Anusapati. Sebuah bangsal yang dikelilingi oleh kolam buatan dan kebun-kebun bunga yang sedang berkembang manis sekali. Para penjaga yang sudah mengetahui bahwa Mahisa Agni akan datang ke bangsal itu, menerima kedatangannya dengan penuh hormat, dan mempersilahkannya memasuki regol, jembatan di atas kolam yang dibuat pada masa kekuasaan Anusapati itu.
Di atas jembatan Mahisa Agni berhenti sejenak. Dilihatnya beberapa ekor ikan emas yang kekuning-kuningan sebesar telapak tangan berenang hilir mudik di sela-sela daun teratai. Dengan cekatan ikan-ikan emas itu menggeliat dan hilang di bawah dedaunan ketika idua ekor angsa nampak berenang dengan tenangnya mendekati mereka.
“Ikan pun secara naluriah berusaha menyelamatkan hidupnya.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, ”Apalagi seseorang.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling dilihatnya beberapa orang prajurit termangu-mangu di depan regol. Agaknya mereka menjadi curiga melihat Mahisa Agni berhenti dan berdiri bersandar pagar jembatan kecil itu. Mahisa Agni tersenyum. Bahkan ia pun melambaikan tangannya sehingga para prajurit itu justru menjadi tersipu-sipu. Sambil menundukkan kepala mereka pun segera bergeser menepi dan berlindung di balik tiang regol di mulut jembatan itu. Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya sejenak. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya menuju kepintu bangsal itu.
Seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas agaknya sudah mendapat pesan pula bahwa Mahisa Agni akan segera datang. Karena itu, maka ia pun segera mempersilahkannya masuk dan menyampaikannya kepada Tohjaya...
Kadang-kadang seorang Senapati yang sedang mengawasi mereka sama sekali tidak menganggap gerakan-gerakan itu akan membahayakan kelak. Tetapi Senapati yang lain menganggap, bahwa yang sedang mereka pelajari itu adalah dasar dari setiap ilmu yang akan menjadi sangat dahsyat di masa mendatang, seperti ilmu Mahisa Agni itu sendiri.
“Mereka hanya berlari, meloncat-loncat dan kadang-kadang berguling di atas rerumputan.” desis seorang prajurit.
“Itu adalah tata gerak dasar untuk membentuk jasmani kedua anak-anak itu. Jika jasmani mereka telah terbentuk maka barulah mereka memasuki latihan-latihan yang sebenarnya.” sahut seorang kawannya yang lebih mengenal gerak-gerak itu.
“Tetapi waktu yang kau sebutkan itu masih sangat panjang. Dengan demikian kita tidak usah tergesa-gesa mengambil tindakan atas mereka.”
“Tetapi hal ini pantas diketahui oleh tuanku Tohjaya.”
Mahisa Agni pun menyadari bahwa yang dilakukan itu tentu akan sangat menarik perhatian. Tetapi ia tidak dapat mencari jalan lain. Jika ia mencoba melakukannya sambil bersembunyi, maka para pengawas yang ketat itu akhirnya akan mengetahuinya juga, dan kecurigaan yang tumbuh tentu akan menjadi semakin besar.
Demikianlah, sejalan dengan perkembangan jasmani kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu. Singasari sedang mempersiapkan sebuah upacara untuk meresmikan Tohjaya menjadi seorang Maharaja di hadapan paseban agung. Para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati, para Akuwu dan keluarga kerajaan, akan menghadapi upacara itu.
Menjelang hari yang ditentukan, maka para Panglima menjadi semakin sibuk. Petugas-petugas sandi dikirimkan ke segala penjuru untuk mengetahui tanggapan rakyat Singasari. Namun agaknya rakyat Singasari tidak banyak menaruh perhatian. Apalagi usaha menentang peresmian itu.
“Kita berjalan di atas jalan yang licin.” berkata seorang Senapati kepada kawannya.
”Ya. Tidak ada kesulitan apapun. Di Kediri pun tidak ada usaha apapun yang pantas dicurigai. Apalagi Mahisa Agni masih tetap berada disini, sehingga yang ada di Kediri hanyalah seorang perwira yang diberi kuasa untuk melakukan tugas sehari-hari. Dan hal itu masih tetap dibiarkan saja oleh tuanku Tohjaya.”
Dalam pada itu, maka semua persiapannya sudah selesai. Para utusan sudah disebar ke segala penjuru untuk memanggil setiap orang yang akan hadir di dalam paseban agung yang pertama kali diselenggarakan oleh Tohjaya, yang kini menjadi Maharaja yang memerintah atas Singasari yang besar.
Pada saat paseban agung itu dilaksanakan, maka kota Singasari mendadak menjadi semakin ramai. Penginapan-penginapan, barak-barak dan bangsal-bangsal yang disediakan oleh para pemimpin pemerintahan di pusat kota Singasari telah penuh. Semua yang dipanggil menghadap memerlukan datang ke Singasari, agar mereka tidak dianggap telah menentang kekuasaan Tohjaya.
Namun ada juga diantara mereka yang datang untuk melihat, apakah sebenarnya yang dapat dilakukan oleh Tohjaya. Meskipun secara lahiriah mereka juga memenuhi perintah untuk hadir di dalam sidang agung untuk meresmikan kekuasaan Tohjaya, namun sebenarnya mereka tidak lebih dari melakukan penjajagan atas kemampuan Tohjaya memerintah.
Pada hari yang ditentukan, maka di bangsal paseban, para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati, para Akuwu dan keluarga kerajaan telah hadir menghadap Tohjaya yang akan menyatakan dirinya dengan resmi, bahwa ia telah menggantikan kakandanya Anusapati memegang pimpinan tertinggi pemerintahan di Kediri.
Seperti yang direncanakan, maka upacara itu pun berjalan lancar. Para pemimpin keagamaan yang bertugas dan para pemimpin pemerintahan yang menyaksikan upacara itu mengikuti rencana dengan sempurna. Tidak ada yang mengecewakan. Sambutan para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati dan keluarga kerajaan pun sangat membesarkan hati Tohjaya.
Namun ketika upacara itu sudah hampir selesai, ketika paseban agung itu sudah hampir dibubarkan, tiba-tiba saja terlihat oleh Tohjaya, dua orang anak-anak yang masih sangat muda duduk di sebelah menyebelah Mahisa Agni. Didorong oleh gejolak perasaannya yang sedang melambung, tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk menunjukkan kebesaran jiwanya. Karena itulah maka katanya kepada yang ada di bangsal paseban agung itu,
”Lihatlah. Keduanya adalah kemanakanku. Yang seorang adalah putera Kakanda Anusapati yang sudah tidak ada lagi di antara kita, sedang yang seorang adalah putera Adinda Mahisa Wonga Teleng. Keduanya adalah anak-anak muda yang baik. Dan aku adalah pamannya yang berkewajiban membesarkannya, memberinya bekal buat masa depannya sebagai anak muda yang berjiwa kesatria. Untuk sementara aku masih membiarkannya berada di bawah asuhan ibundanya masing-masing. Tetapi pada saatnya, aku akan menempatkannya ke tempat yang paling layak bagi kedua kesatria yang masih sangat muda itu.”
Mereka yang mendengar kata-kata Tohjaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah kagum melihat kebesaran jiwa Tohjaya yang sangat memperhatikan kedua kemanakannya itu, terutama putera Anusapati yang sudah tidak berayah lagi. Apalagi mereka yang mengetahui dengan pasti, bahwa kedua kakak beradik itu sejak masa hidup Anusapati bagaikan minyak dengan air.
Namun ternyata bahwa sikap Tohjaya itu telah menarik perhatian seorang pemimpin pemerintahan yang dekat sekali dengan Tohjaya. Dengan wajah yang tegang dipandanginya kedua kesatria yang masih sangat muda itu.
Mahisa Agni yang duduk di samping kedua kemanakannya sambil menundukkan kepalanya itu, sempat melihat dengan sudut matanya, pemimpin pemerintahan Singasari yg memandang kedua kemanakannya itu dengan pandangan yang mencurigakan. Mahisa Agni yang memiliki ketajaman indera yang luar biasa, rasa-rasanya dapat menangkap getar di dalam dada pemimpin yang satu itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati. Mungkin persoalannya tidak mulai dari dirinya sendiri, tetapi justru mulai dari kedua anak-anak yang masih sangat muda itu.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, paseban itu pun dibubarkannya. Semua yang hadirkembali kebarak, bangsal, dan penginapannya masing-masing. Selama itu di kota kerajaan akan dilangsungkan keramaian untuk menghormati peresmian Tohjaya yang duduk di atas tahta kerajaan. Namun dalam pada itu, semua orang yang bergembira itu pun tidak banyak lagi teringat akan kesulitan, keributan dan bahaya yang dapat timbul dengan tiba-tiba, sehingga mereka pun menjadi lengah karenanya.
Mahisa Agni yang menangkap firasat yang kurang baik di paseban karena tatapan mata seorang pemimpin yang terlalu dekat dengan Tohjaya itu pun harus segera berbuat sesuatu. Diperintahkannya salah seorang pengawalnya untuk menghubungi Witantra. Dalam saat-saat tertentu ia memerlukannya. Bahkan mungkin di rumahnya. Karena itu, untuk beberapa hari yang dekat, sebaiknya Witantra berada di Singasari.
“Biarlah Witantra berada di rumah yang sudah sejak lama dipakainya di dalam kota Singasari sebagai tempat berkumpul dengan beberapa orang yang sebagian kini sudah tidak ada lagi. Dengan demikian aku akan dapat cepat menghubunginya apabila diperlukan.” pesan Mahisa Agni.
Ternyata bahwa firasat yang menyentuh perasaan Mahisa Agni itu benar-benar terjadi. Sorelah paseban menjadi sepi, maka Pranaraja, pemimpin yang sangat dekat dengan Tohjaya itu pun datang menghadap untuk menyatakan perasaannya.
“Apa katamu tentang kedua kemanakanku itu? Bukankah mereka anak-anak yang baik, tampan?” bertanya Tohjaya.
“Hamba tuanku. Keduanya adalah kesatria yang sempurna ujud dan sikapnya. Namun keduanya dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut."
Tohyaja menganggukkan kepalanya. Memang kedua kemanakannya itu benar-benar anak-anak muda yang tampan dari sikapnya dapat dilihat, bahwa mereka akan menjadi anak-anak muda yang tangkas dan cekatan.
“Tetapi tuanku.” berkata Pranaraja kemudian, ”Kedua anak-anak muda yang cakap dan tampan itu, bagi tuanku dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya dengan hati berdebar-debar. ”Apa maksudmu?”
“Jika dibiarkan saja tuanku, anak-anak muda itu tumbuh menjadi dewasa, maka banyak yang dapat terjadi karenanya. Mereka memiliki pengaruh, ilmu dan darah keturunan tuan puteri, Ken Dedes.”
“Apa artinya semuanya itu?”
“Mereka adalah anak-anak yang cakap dan tampan, yang segera dapat menarik perhatian orang lain dalam sikap dan tingkah laku. Sedangkan di saat ini pamannya Mahisa Agni, telah mulai menyiapkan mereka secara jasmaniah untuk menerima warisan ilmu yang tiada duanya di Singasari. Dan yang terakhir keduanya adalah keturunan langsung dari ibunda Tuanku Anusapati.”
“Apa bedanya ibunda Ken Dedes dan ibunda Ken Umang?”
“Tuanku tentu mengetahui bahwa yang mewarisi tahta dari Akuwu Tunggul Ametung semula adalah tuan puteri Ken Dedes. Bukan tuanku Sri Rajasa yang lahir dari antara rakyat biasa seperti orang-orang kebanyakan.”
“Persetan. Tetapi ayahanda Sri Rajasa adalah orang yang berhasil mempersatukan Singasari. Apakah artinya Tumapel yang kecil itu dibandingkan dengan Singasari sekarang ini.”
“Namun modal kekuasaan tuanku Sri Rajasa pun dari Tumapel pula. Apalagi setiap prajurit mengetahui bahwa di samping Sri Rajasa masih ada Mahisa Agni. Tanpa Mahisa Agni, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi tidak akan dapat mengalahkan Kediri saat itu. Dengan demikian, maka setiap orang masih akan menghargai ibunda tuanku Ken Umang di bawah penilaian mereka terhadap tuan puteri Ken Dedes.”
“Cukup. Kau sudah menghinakan ibuku. Apakah kau tidak menyadari bahwa aku dapat menghukummu? Dapat menggantungmu di alun-alun.”
“Ampun tuanku. Bukan maksud hamba menghinakan ibunda tuanku. Tetapi hamba bermaksud baik. Hamba ingin pemerintahan tuanku akan kekal. Karena itu, jika tuanku sependapat dengan hamba, maka sebaiknya kedua anak-anak yang masih sangat muda itu disingkirkan saja.”
“Maksudmu?”
“Tuanku dapat memerintahkan seorang Senapati yang terpercaya untuk membunuh mereka berdua dan membuang bekas-bekasnya.”
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menganguk-angukkan kepalanya. Katanya, ”Kau memang seorang kejam yang tiada duanya di Singasari Pranaraja. Tetapi usulmu dapat aku mengerti.”
“Tuanku, sebenarnyalah kita adalah orang-orang yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Kematian Akuwu Tunggul Ametung, seperti desas-desus yang terakhir terdengar di Singasari sepeninggal tuanku Sri Rajasa, kemudian kematian beberapa orang sebagai akibatnya. Disusul oleh kematian tuanku Sri Rajasa sendiri dan Pengalasan dari Batil, dan yang terakhir adalah kematian tuanku Anusapati, adalah kenyataan bahwa kematian demi kematian telah terjadi. Dengan demikian jika kedua anak-anak yang masih sangat muda itu ditambahkan di belakang mereka yang mendahuluinya, maka agaknya tidak akan sangat mempengaruhi dan membebani perasaan kita.”
“Baiklah Pranaraja, panggilah Lembu Ampal. Aku akan berbicara dengan orang itu.”
Pranaraja pun kemudian memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil Lembu Ampal menghadap.
“Katakan, bahwa tuanku Tohjaya memerlukannya sekarang juga.” berkata Pranaraja kepada prajurit itu.
Demikianlah maka prajurit itu pun dengan tergesa-gesa mencari Lembu Ampal dan minta kepadanya agar saat itu juga pergi menghadap tuanku Tohjaya di istana. “Apakah ada masalah yang penting sekali?” bertanya Lembu Ampal kepada prajurit itu.
“Aku tidak tahu pasti.”
“Siapakah yang sedang menghadap?”
“Pranaraja.”
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, ”Tentu ada pendapatnya yang harus aku lakukan. Orang itu terlampau banyak akalnya. Sayang akal yang licik. Dan orang lain yang harus melakukannyalah yang akan mengalami kesulitan.”
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat menolak. Ia pun dengan segan pergi juga menghadap Tohjaya di istana. Ketika ia memasuki ruangan dan dilihatnya tidak ada orang lain kecuali Pranaraja, maka Lembu Ampal pun menyadari, bahwa ada tugas yang penting yang harus dilakukan. Dan tugas itu tentu usul dari Pranaraja yang licik itu.
“Kemarilah.” Tohjaya melambaikan tangannya memanggil Lembu Ampal mendekatinya.
Dengan kepala tunduk Lembu Ampal bergeser maju mendekati Tohjaya dan Pranaraja.
“Ada tugas yang penting yang harus kau lakukan.” berkata Tohjaya kemudian, ”Tidak ada orang lain yang pantas melakukannya kecuali kau.”
Lembu Ampal yang memang sudah menduga bahwa ia akan mendapat tugas penting, hanya mengangguk kecil tanpa mengangkat wajahnya. Namun debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Jika aku harus berurusan dengan Mahisa Agni, maka riwayatkulah yang tentu akan berakhir.” katanya di dalam hati.
“Lembu Ampal.” berkata Tohjaya kemudian, ”Di dalam tugas ini kau dapat menunjuk kawan berapa saja kau butuhkan, dan siapa saja yang menurut pertimbanganmu akan akan dapat menyelesaikan persoalan.”
Lembu Ampal menjadi semakin berdebar-debar.
“Lembu Ampal.” Tohjaya melanjutkan, ”Menurut pertimbangan Pranaraja, maka sebaiknya aku melenyapkan bisul di pusat perutku. Kau tentu tahu bahwa di dalam paseban Agung, ada dua orang anak yang masih sangat muda. Keduanya adalah anak kakanda Anusapati dan adinda Mahisa Wonga Teleng. Jika aku biarkan saja mereka hidup di Singasari ini maka bagaikan memelihara seekor harimau yang pada suatu saat akan dapat menerkam aku sendiri.”
Lembu Ampal menahan nafasnya. Dan ia mendengar Tohjaya berkata selanjutnya, ”Karena itu Lembu Ampal. Menurut pertimbangan Pranaraja, maka keduanya harus dilenyapkan.”
Lembu Ampal tidak menyahut. Perasaannya dipenuhi oleh berbagai macam persoalan yang bercampur baur. Ia dapat mengerti jalan pikiran Pranaraja yang licik itu. Namun tugas yang dibebankan kepadanya saat itu adalah tugas yang sangat berat. Membunuh kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah pekerjaan yang tidak begitu sulit di dalam keadaan yang ribut ini. di seluruh kota sedang diadakan keramaian untuk menyambut peresmian Tohjaya sebagai seorang Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Bahkan di istana pun suasananya jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Karena itu di dalam keramaian ini dapat saja ia mengambil kesempatan untuk membawa kedua anak-anak muda yang hampir tidak pernah berpisah itu dan melenyapkannya. Meskipun keduanya sering tampak bersama Mahisa Agni, namun tidak terlalu sulit untuk mencari saat-saat yang dapat memberikannya peluang.
Namun yang terasa sangat berat adalah perjuangan melawan perasaannya sendiri. Sebenarnya ia tidak akan sampai hati melakukan pembunuhan itu. Kedua anak itu sama sekali tidak bersalah. Kesalahan mereka satu-satunya adalah karena mereka keturunan Ken Dedes. Dan itu sudah barang tentu bukan atas kehendak kedua anak-anak itu.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya Tohjaya, ”Apakah Lembu Ampal sekarang sudah berubah dan menjadi seorang pengecut?”
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, ”Ampun tuanku. Hamba adalah seorang prajurit. Hamba tidak dapat ingkar akan tugas tugas hamba. Karena itu, apapun yang harus hamba lakukan, akan hamba lakukan dengan baik. Namun tuanku, perkenankanlah hamba bertanya, apakah benar bahwa kedua anak-anak muda itu sangat berbahaya bagi tuanku?”
“Lembu Ampal, kau sudah mengatakan bahwa kau adalah seorang prajurit. Apapun yang diperintahkan akan kau jalankan. Karena itu tidak sewajarnya kau bertanya seperti itu.” Tohjaya berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi baiklah aku kali ini memberi penjelasan sedikit agar hatimu menjadi lapang. Aku tahu, kau merasa segan melakukan perintahku yang satu ini karena kau dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan. Karena itu, dengarlah baik-baik. Kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah keturunan ibunda Ken Dedes ang akan dapat menuntut haknya di masa mendatang. Hak yang sebenarnya hanya sekedar semu. Apalagi dengan dorongan Mahisa Agni, mereka melakukan perlawanan yang berbahaya bagi kedudukanku. Karena itu, selagi keduanya belum dapat berbuat apapun juga, bunuhlah mereka.”
Lembu Ampal masih ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menolak. Namun ia merasa sangat berat untuk melakukannya. “Kenapa tugas ini jatuh ke atas pundakku.” keluhnya di dalam hatinya.
“Lembu Ampal.” berkata Tohjaya kemudian yang melihat keragu-raguan membayang di wajah seperti itu, ”Dengarlah baik-baik. Aku memberimu waktu sampai purnama naik. Jika sampai saat purnama naik kau belum berhasil membinasakan kedua anak-anak itu, maka itu berarti bahwa kau justru melindunginya. Karena itu, maka kau sendiri akan mendapat hukuman dari padaku, karena kau mengingkari tugasmu. Kau akan dihukum picis di alun-alun.”
Wajah Lembu Ampal menjadi merah. Namun kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ancaman itu bermaksud agar ia melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
“Nah, masih ada waktu kira-kira dua puluh hari lagi. Lakukanlah tugasmu baik-baik Lembu Ampal. Kau harus selalu ingat bahwa Mahisa Agni ada di istana ini. Jika menurut pertimbanganmu Mahisa Agni perlu disingkirkan lebih dahulu, maka aku akan memerintahkannya pergi ke Kediri untuk beberapa saat lamanya dan memanggilnya kembali setelah semuanya selesai.“
“Tuanku, hamba tidak akan dapat ingkar. Biarlah hamba berpikir dua tiga hari, apakah yang sebaiknya hamba lakukan. Juga tentang Mahisa Agni itu. Ia harus mendapat perhatian dengan saksama.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Lembu Ampal yang telah dibebani dengan tugas yang berat itu pun diperkenankan meninggal kan ruangan itu.
Di sepanjang langkahnya Lembu Ampal selalu dibayangi oleh tugas yang baginya sangat berat. Kedua anak-anak muda itu sendiri tidak memiliki kekuatan apapun untuk menyelamatkan dirinya. Tetapi di sisinya ada Mahisa Agni dan lebih daripada itu, keduanya sama sekali tidak bersalah. Kematian yang meng hantui kedua anak-anak muda itu tentu sama sekali tidak mereka duga.
Selain perasaan iba kepada kedua anak-anak yang masih sangat muda itu, Lembu Ampal juga membayangkan, betapa pedihnya perasaan ibunya. Terlebih-lebih bekas Permaisuri tuanku Anusapati. Ia baru saja kehilangan suaminya. Dan sebentar kemudian ia kehilangan anaknya yang sangat dikasihinya. Padahal selama ini ia tidak pernah berbuat apa-apa untuk melawan ketidak adilan yang sudah terjadi atas suaminya.
Lembu Ampal benar-benar dicengkam oleh kesulitan perasaan, la mendapat waktu dua tiga hari untuk mengemukakan cara yang paling baik untuk melakukan tugasnya. Namun tugas itu sendiri merupakan beban yang hampir tidak tertanggungkan.
Di malam hari Lembu Ampal tidak dapat memejamkan matanya barang sekejap. Jika ia mencobanya, maka terbayanglah wajah kedua anak-anak yang masih sangat muda itu. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kedua anak-anak yang tampan, lincah dan lucu di masa kanak-anak. Setiap hari Lembu Ampal melihat keduanya berlari-larian. Kadang-kadang berdua saja, kadang-kadang bersama dengan Mahisa Agni. Di halaman belakang, sekilas Lembu Ampal sering melihat, bagaimana Mahisa Agni mengajar mereka berloncatan, berlari-larian dan berguling-guling.
“Memang di bawah asuhan Mahisa Agni mereka berdua akan dapat membahayakan kedudukan tuanku Tohjaya. Tetapi itu bukan alasan yang cukup kuat untuk mengambil keputusan yang tidak berperikemanusiaan itu.” berkata Lembu Ampal kepada diri sendiri, namun kemudian, ”Tetapi jika aku tidak melakukannya, maka akulah yang akan dihukum gantung, atau hukum picis atau hukuman apalagi yang paling buruk yang pernah dilakukan oleh Singasari.”
Demikianlah Lembu Ampal tidak dapat menemukan jawaban atas kegelisahan hatinya sendiri. Sehingga karena itu, maka ia pun berniat untuk menghadap seorang pendeta yang akan dapat memberinya petunjuk agar ia dapat berbuat sesuatu dengan hati yang tenang.
Pendeta istana yang mendengar keluhan Lembu Ampal itu menepuk bahunya. Katanya, ”Lembu Ampal. Kau benar-benar berdiri di simpang jalan yang rumit. Kemana pun kau melangkah kau akan melakukan kesalahan.”
“Itulah yang membuat aku tidak dapat tidur semalam suntuk. Dan tentu pada malam mendatang. Tugas itu terlampau berat bagiku. Bukan karena aku tidak mampu, tetapi perasaankulah yang menahan aku melakukannya.”
“Aku mengerti perasaanmu Lembu Ampal. Tetapi kau tidak dapat ingkar atas perintah Maharaja. Tetapi kau tidak akan mendapat ketenteraman hati untuk selanjutnya, jika kau terpaksa melakukannya. Apabila kau melihat tuan puteri Ken Dedes, bekas tuanku Permaisuri Anusapati, dan tuanku Mahisa Wonga Teleng suami isteri. Setiap kali kau akan dikejar oleh perasaan bersalah yang tidak akan dapat kau ingkari seperti kau tidak akan dapat mengingkari perintah tuanku Tohjaya.”
“Jadi, apakah yang harus aku lakukan? Apakah aku memang sudah diharuskan hidup dalam kegelisahan, ketidak tenangan dan dikejar oleh perasaan bersalah seumurku?” Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, ”Jika aku harus maju kepeprangan, aku tidak akan mengalami kesulitan perasaan seperti ini. Atau bahkan perintah itu berbunyi, agar aku membunuh Mahisa Agni, aku akan melakukannya dengan mantap meskipun aku tahu, bahwa akulah yang akan terbunuh.”
“Keadaan memang sulit. Tetapi jika sasaran yang harus kau bunuh itu tidak ada, maka itu bukan salahmu.”
“Aku tidak mengerti.”
Pendeta itu menarik nafas dalam-dalam. Ada sesuatu yang akan dikatakannya, tetapi agaknya ia menjadi ragu-ragu.
”Tidak ada jalan untuk menghindar.” berkata Lembu Ampal selanjutnya, ”Jika aku gagal apapun alasannya, akulah yang akan dihukum picis di alun-alun.”
Pendeta istana itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, ”Heningkan hatimu untuk sehari dua hari Lembu Ampal.”
“Sehari dua hari lagi aku harus memberitahukan kepada tuanku Tohjaya, apakah yang harus aku lakukan. Jalan manakah yang harus aku pilih.”
“Tetapi yang satu dua hari itu mungkin akan datang terang di hatimu. Mungkin di dalam satu hari itu, aku dapat menemukan jalan yang dapat kau tempuh dan dapat kau setujui.”
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun mohon diri dan meninggalkan pendeta istana itu dengan kepala tunduk. Rasa-rasanya dunianya menjadi gelap. Sekali-sekali ia sempat mengutuk Pranaraja yang pasti telah mengusulkan kepada Tohjaya. Tetapi ia sendiri tidak sanggup melakukannya. Dan Lembu Ampallah yang mendapat beban yang hampir tidak terangkat olehnya itu.
“Tetapi aku tidak dapat ingkar.” setiap kali kata-kata itu terngiang di telinganya.
Namun dalam pada itu, sepeninggal Lembu Ampal, pendeta istana itu pun menjadi gelisah. Ia sudah terlanjur mendengar rencana pembunuhan itu. Meskipun maksud kedatangan Lembu Ampal untuk minta nasehatnya, untuk ketenteraman hatinya, namun pendeta itu telah dijalari penyakit yang sama seperti yang dialami oleh Lembu Ampal itu. Kegelisahan dan kecemasan. Setiap kali ia mendengar kata-katanya sendiri yang diucapkannya kepada Lembu Ampal, ”Tetapi kau tidak akan mendapat ketenteraman hati untuk selanjutnya.”
Dan ketidak tenteraman itu akan berlaku pula atasnya. Jika pada suatu saat ia mendengar berita bahwa kedua anak yang tidak bersalah itu terbunuh oleh Lembu Ampal, atau orang lain yang dipercayanya melakukan karena Lembu Ampal sendiri tidak sampai hati, maka ia akan merasa dikejar pula oleh kesalahan karena ia tidak berusaha untuk mengurungkannya.
Karena itu, maka pendeta itu sendiri menjadi bingung. Ia adalah seorang pendeta istana yang wajib melindungi rahasia pimpinan pemerintahan. Ia adalah salah seorang pendamping Maharaja Singasari yang manapun. Tetapi ia adalah seorang pendeta yang menyerahkan hidupnya kepada pengabdian yang tulus kepada Yang Maha Agung.
Namun kebingungan itu tidak terlampau lama menguasai hatinya. Berbeda dengan Lembu Ampal, maka pendeta istana itu pun kemudian berpegang pada nuraninya. Meskipun seandainya karena itu, ia dapat dihukum picis sekalipun, ia tidak menghiraukannya lagi.
“Tidak ada yang pantas aku turut selain nurani kependetaanku. Apakah arti keselamatanku, keselamatan wadagku daripada keselamatan jiwaku.” berkata pendeta itu kepada diri sendiri.
Dan ternyata kemudian bahwa pendeta itu benar-benar tidak menghiraukan dirinya sendiri. Meskipun ia tidak pergi dengan semata-mata tanpa usaha penyelamatan diri, maka ditemuinya Mahisa Agni di bangsalnya.
Ketika Mahisa Agni mendengar rencana itu, maka ia pun menggeretakkan giginya. Sebenarnya ia sudah menduga sejak ia melihat sikap ang aneh di paseban agung. Namun bahwa Tohjaya benar-benar telah memerintahkan untuk membunuh kedua kemanakannya itu telah membuat dada Mahisa Agni bagaikan terbakar.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Ia tetap menyadari betapa pentingnya ketenangan di Singasari pada saat-saat seperti ini. Saat-saat yang berbahaya karena ketidak pastian dan desas-desus yang bersimpang siur tentang perpindahan kekuasaan dari Anusapati kepada Tohjaya.
Tetapi Mahisa Agni tidak menyampaikan berita itu kepada Ken Dedes. Mahisa Agni tidak ingin Ken Dedes menjadi semakin sedih dan membuatnya semakin parah. Namun Mahisa Agni tidak dapat berdiam diri kepada Mahisa Wonga Teleng. Dengan hati-hati Mahisa Agni menyampaikan berita yang didengarnya dari pendeta istana itu kepada Mahisa Wonga Teleng.
Namun demikian, betapa pun Mahisa Agni berusaha, namun Mahisa Wonga Teleng hampir tidak dapat menahan diri lagi. Sambil berdiri tegak ia menggeram, ”Aku akan menantangnya berperang tanding, meskipun aku sadar, menang atau kalah aku tentu akan dibunuhnya di alun-alun. Tetapi biarlah aku mengenal sifat kekesatriaannya.”
“Sabarlah Mahisa Wonga Teleng.” berkata Mahisa Agni, ”Kita tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Jika kau berbuat demikian, akibatnya kematian anakmu akan menjadi semakin cepat.”
“Tetapi tidak ada cara lain paman. Jika Mahisa Cempaka harus mati, biarlah aku mati lebih dahulu.”
“Mahisa Wonga Teleng. Seperti aku, kiranya kau tidak akan berkeberatan untuk mati. Karena itu, tinggallah di sini. Jagalah ibumu baik-baik. Jagalah isterimu dan iparmu, isteri Anusapati yang sudah tidak ada lagi. Biarlah aku mencoba menyelamatkan anakmu dan anak Anusapati.”
“Paman. Jika rencana itu benar, maka istana ini tentu sudah dikepung. Kedua anak-anak itu tentu mendapat pengawasan yang ketat.”
“Biarlah aku berusaha. Berusaha tentu jauh lebih baik dari berdiam diri saja. Jika anak-anak itu dapat disingkirkan, maka biarlah, apa saja yang akan terjadi atas kita yang tua-tua ini.”
Mahisa Wonga Teleng masih saja dicengkam ketegangan.
“Aku akan menyingkirkan kedua anak-anak itu. Aku akan berusaha meyakinkan ibu Ranggawuni bahwa anaknya perlu diselamatkan bersama anakmu Mahisa Cempaka.”
Sejenak Mahisa Wonga Telenglah kepada paman. “Aku tidak menghiraukan keselamatanku sendiri. Jika kedua anak-anak ku dapat berhasil melepaskan diri dari maut, apapun tebusannya aku akan menjalaninya.” Mahisa Wonga Teleng termenung sejenak, lalu, ”tetapi bagaimana dengan adinda Agnibaya yang melihat sendiri pembunuhan itu? Apakah jiwanya juga tidak terancam?”
“Tentu tidak akan dilakukan dalam waktu pendek justru karena Agnibaya melihat peristiwa itu. Mungkin di waktu mendatang. Namun yang harus segera disingkirkan adalah kedua anak-anak itu. Keduanya merupakan hantu yang menakutkan bagi kedudukan Tohjaya sekarang, karena ia sadar, bahwa kesetiaan terhadap Anusapati masih cukup besar.”
Mahisa Wonga Teleng menundukkan kepalanya dalam-dalam. Akhirnya ia berkata dengan suara lemah, ”Paman Mahisa Agni. Terserahlah kepada paman. Aku akan menurut perintah paman asal anak-anak itu dapat diselamatkan. Seperti kata paman, aku tidak menghiraukan lagi, apa yang akan terjadi atas orang-orang tua ini.”
“Baiklah. Sementara ini jaga anakmu baik-baik. Jangan sampai ia lepas dari pengawasanmu. Aku akan membantumu, tetapi ada kalanya aku sibuk mengatur orang-orang yang akan berusaha melepaskan keduanya.”
‘Baiklah paman. Biarlah kedua anak-anak itu selalu bermain di halaman bangsal ini. Aku sendiri akan selalu mengawasi mereka.”
Demikianlah maka Mahisa Agni pun mulai berpikir dan berusaha untukmelepaskan kedua anak-anakitu dari kematian. Jalan satu-satunya bagi Mahisa Agni adalah menyingkirkan mereka dari halaman istana dan menyembunyikan mereka di tempat yang jauh dan terlindung.
“Tidak ada orang lain kecuali Witantra.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mengadakan hubungan dengan Witantra tanpa diketahui oleh siapapun. Bahkan Witantra sendiri sering memasuki istana Singasari seperti yang pernah dilakukannya meskipun di sekeliling dinding batu halaman para prajurit selalu berjaga-jaga.
“Anak-anak itu harus cepat kau bawa keluar Witantra. Agar tidak menimbulkan kesan bahwa aku yang membantu menying kirkannya, aku akan tetap berada di halaman istana saat-saat kau membawa kedua anak-anak itu.” berkata Mahisa Agni ketika Witantra memasuki bangsalnya.
“Aku akan berusaha. Tetapi jalan agak terlalu sulit. Aku sendiri dapat keluar masuk halaman ini. Tetapi dengan kedua anak-anak itu, aku harus mendapat jalan yang aman.”
“Aku percaya kepadamu. Kau dapat membawa beberapa orang pengawal yang kau percaya dari antara prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri. Jika ternyata kepergian kedua anak-anak itu diketahui oleh para penjaga, kau dapat mengamankannya dengan kekerasan.”
“Baiklah Mahisa Agni, aku akan berusaha. Memang tidak seharusnya kedua anak-anak itu mati. Bukan karena pamrih yang melonjak-lonjak di dalam hati ini, namun keduanya memang perlu mendapat perlindungan.”
“Aku berterima kasih kepadamu Witantra. Kedua anak-anak itu sebenarnyalah sama sekali tidak berdosa.”
“Baiklah Agni. Siapkan keduanya malam nanti. Aku akan membawanya keluar menjelang fajar. Malam ini biarlah seseorang menyiapkan sepasukan kecil pengawal dari Kediri Tetapi selain itu. aku merasa lebih tenang jika Mahendra ada bersamaku.”
“Jika Mahendra bersedia, aku akan senang sekali .Kedua anak-anak itu akan menjadi semakin aman di tangan kalian sampai saatnya aku menyusulmu.”
Demikianlah maka Witantra pun kemudian meninggalkan bangsal Mahisa Agni untuk memulai dengan rencananya. Betapapun ketatnya penjagaan di istana dan pengawasan atas Mahisa Agni, namun dengan tanda-tanda sandi yang sudah mereka buat bersama, Witantra tidak banyak menemui kesulitan untuk memasuki dan keluar dari bangsal Mahisa Agni, Karena perhatian para prajurit Singasari lebih tertuju kepada pengawal-pengawal Mahisa Agni yang kadang-kadang berkeliaran di depan bangsal daripada kepada bayangan di gerumbul yang gelap di belakang bangsal itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni mulai mengatur persiapan sebaik-baiknya. Bagaimanapun juga, jika keadaan memaksa, ia tidak akan tinggal diam dan sekedar menyembunyikan kesan bahwa ia sudah terlihat. Jika kedua anak itu benar-benar dalam bahaya, maka ia tidak akan segan-segan untuk langsung melindunginya, meskipun akibatnya akan sangat jauh karena ia sudah langsung terlibat.
Untunglah bahwa Lembu Ampal yang mendapat tugas untuk membunuh kedua anak-anak yang masih sangat muda itu pun telah dibayangi oleh keragu-raguan. Seandainya Lembu Ampal dengan membabi buta melakukan perintah Tohjaya, maka kedua anak-anak itu tentu sudah dibunuhnya dengan mudah meskipun di halaman istana itu ada Mahisa Agni dan ayah salah seorang dari kedua anak yang harus dibunuhnya. Dengan sedikit permainan kedua anak-anak itu tentu dipisahkan dari Mahisa Agni. Tidak usah mengirimkan Mahisa Agni ke Kediri. Disaat tertentu Mahisa Agni dapat dipanggil menghadap di paseban. Dan disaat yang demikian tugas itu bukannya tugas yang sulit.
Tetapi Lembu Ampal adalah seorang prajurit yang mempunyai nilai berpikir yang cukup. Ia bukan sekedar alat yang bergerak tanpa mengerti. Apalagi untuk membunuh kedua anak-anak yang tidak bersalah itu. Keragu-raguan Lembu Ampal yang bahkan telah menghadap pendeta istana itulah yang telah ikut menyelamatkan kedua anak-anak muda itu. Dua tiga hari yang diminta oleh Lembu Ampal ternyata merupakan peluang bagi Mahisa Agni yang bertindak cukup cepat.
Seperti yang dipesankan oleh Witantra, maka Mahisa Agni pun telah mempersiapkan kedua anak-anak muda itu dibantu oleh Mahisa Wonga Teleng. Dengan susah payah keduanya berusaha meyakinkan ibu Ranggawuni, bahwa tindakan itu semata-mata demi keselamatan anaknya.
“Apakah yang terjadi dengan Ranggawuni?” bertanya ibundanya.
Tetapi bekas Permaisuri Singasari yang telah ditinggalkan oleh Anusapati itu selalu ragu-ragu. Terbayang di wajahnya kecemasan yang mendalam. Mahisa Agni dapat mengerti. Ranggawuni adalah satu-satunya anaknya yang diharap dapat menyambung namanya dan terlebih-lebih lagi nama Anusapati. Sehingga dengan demikian rasa-rasanya ia tidak akan dapat melepaskan anaknya.
“Tuan Puteri.” berkata Mahisa Agni, ”Tidak ada jalan lain untuk melindungi Ranggawuni.”
“Kenapa anak itu harus pergi? Apakah di dalam istana ini Ranggawuni tidak mendapat perlindungan?”
“Tuan Puteri. Ranggawuni adalah putera tuanku Anusapati. Tuan Puteri mengetahui perkembangan terakhir dari pemerintahan Singasari ini. Juga mengenai tuanku Anusapati. Karena itu, Ranggawuni tentu selalu diancam oleh bahaya justru karena ia adalah putera tuanku Anusapati.”
“Tetapi aku tidak dapat berpisah dengan anak itu. Ia adalah satu-satunya hiburan bagiku. Dan hidup matiku sangat tergantung kepadanya.”
“Karena itu tuan puteri, Ranggawuni perlu diselamatkan.”
Ibunya termangu-mangu sejenak. Tetapi sangat berat rasanya untuk melepaskan Ranggawuni, karena ia tidak mau terpisah dari anak satu-satunya itu.
“Kakanda puteri.” berkata Mahisa Wonga Teleng yang datang bersama Mahisa Agni, ”Sebenarnya aku juga berat melepaskan Mahisa Cempaka. Tetapi bagi keselamatannya, apa boleh buat. Aku kira jalan yang paling baik adalah menyembunyikan anak-anak itu saat ini. Nanti jika keadaan sudah berubah dan menjadi berangsur baik, kita dapat mengambilnya kembali dan membawanya ke istana.”
Ibu Ranggawuni selalu termangu-mangu. Kebimbangan yang tajam telah melanda jantungnya. Namun ia menjadi cemas juga membiarkan Ranggawuni berada di istana. Agaknya ancaman pada anak itu bukan sekedar bergurau.
“Seandainya ancaman itu tidak sebenarnya ada.” berkata Mahisa Agni kemudian, ”Kepergian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menimbulkan kerugian apapun. Di daerah yang tersembunyi mereka akan mendapat latihan-latihan kanuragan yang penting bagi hari depan mereka kelak. Karena itu, menurut pertimbangan hamba, biarlah Ranggawuni pergi bersama Mahisa Cempaka. Hamba akan selalu mengawasi mereka berdua agar mereka berdua selalu selamat. Baik dalam perjalanan maupun di persembunyian.”
Akhirnya ibu Ranggawuni tidak dapat mengelak lagi. Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng berhasil meyakinkannya, bahwa kedua anak-anak itu harus menyingkir sejauh-jauhnya dari istana urtuk beberapa saat lamanya. Demikianlah maka dengan diam-diam Mahisa Agni mempersiapkan keduanya. Malam nanti Witantra akan mengambil mereka. Karena itu, maka kedua anak-anak itu harus berada di bangsal Mahisa Agni jauh sebelum gelap, justru untuk menghilangkan kecurigaan karena keduanya selalu mendapat pengawasan yang yang ketat.
Sehari itu kedua anak-anak muda itu berjalan hilir mudik berdua. Kadang-kadang mereka berada di bangsal Ranggawuni, kemudian ke bangsal Mahisa Cempaka, dan sebentar kemudian mereka berada di bangsal Mahisa Agni. Dengan demikian orang-orang yang mengawasinya menjadi agak bingung dan akhirnya keduanya seakan-akan hilang di dalam bangsal Mahisa Agni. Tetapi para pengawas tidak begitu banyak memperhatikannya lagi. Mereka menyangka bahwa ketiga masih saja hilir mudik di halaman.
“Jika senja turun, kita harus tahu pasti di manakah kedua anak-anak itu berada.” guman seorang prajurit yang bertugas mengawasi anak-anak itu.
“Mereka tidak akan dapat lari keluar halaman.” desis yang lain. ”Jika malam ini kita tidak mengetahui dimana mereka tidur, besok pagi-pagi kita tentu akan menemukannya bermain di halaman lagi.”
Kawannya mengangguk-angguk. Mereka terlalu percaya bahwa tidak akan ada jalan keluar halaman istana. Setiap regol sudah mendapat perintah untuk menahan kedua anak-anak itu jika mereka pergi keluar. Bahkan Mahisa Agni sekalipun, jika ia akan pergi keluar halaman harus ada ijin tersendiri dari tuanku Tohjaya. Dan mereka sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni sedang mempersiapkan keduanya untuk melarikan diri lewat jalan yang tidak pernah mereka duga pula.
Dengan tegang Mahisa Agni malam itu menyimpan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di bangsal. Keduanya telah siap untuk meninggalkan halaman. Meskipun demikian kedua anak-anak yang tidak terlampau banyak memikirkan bahaya yang dapat terjadi atas diri mereka itu, sempat tidur dengan nyenyaknya sebelum mereka nanti akan dibangunkan oleh Mahisa Agni.
Di bangsal masing-masing, ibu kedua anak-anak itu sama sekali tidak dapat tidur sekejappun. Bagaimanapun juga mereka selalu dibayang-bayangi oleh kecemasan dan ketakutan bahwa sesuatu akan terjadi atas anak-anak mereka.
Dalam pada itu di luar halaman istana, Witantra pun sudah menyiapkan diri untuk mengambil kedua anak-anak itu. Seperti yang dikatakannya, ia telah membawa Mahendra. Serta selain Mahendra, beberapa orang pengawal yang tepercaya dari Kediri telah siap pula melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka jika terjadi sesuatu atas mereka. Demikianlah malam rasa-rasanya berjalan terlampau lambat. Setiap saat Mahisa Agni selalu dicengkam oleh ketegangan dan kegelisahan.
Sementara itu beberapa orang pengawal Mahisa Agni yang datang bersamanya dari Kediri selalu berjaga-jaga pula. Jika niat kedua anak-anak itu untuk melarikan diri dapat diketahui, maka yang akan terjadi adalah kekerasan. Dan para pengawal itu memang sudah siap. Seperti yang selalu tampak di dalam sikap dan bahkan pakaian mereka, para pengawal itu benar-benar telah, pasrah diri pada pengabdian dan kesetiaannya kepada Mahisa Agni.
Lewat tengah malam, seisi bangsal itu menjadi semakin tegang ketika mereka mendengar isyarat di belakang bangsal. Isyarat yang sudah bersama-sama mereka setujui, jika Witantra datang untuk mengambil kedua anak-anak itu dan membawanya menjelang fajar. Dengan sangat hati-hati, Mahisa Agni pun menjawab isyarat itu dan membuka selarak pintu belakang.
Dalam pada itu, dua orang pengawalnya telah memancing perhatian para penjaga bangsal itu. Keduanya keluar dari bangsal dan berjalan di halaman depan hilir mudik. Pemimpin penjaga yang melihat keduanya menjadi curiga dan mendekatinya sambil bertanya, ”Ada apa kalian berjalan hilir mudik di halaman di tengah malam Ki Sanak?”
Keduanya tertawa. Salah seorang dari keduanya menjawab, ”Udara sangat panas di dalam. Kami tidak dapat tidur sama sekali. Sebenarnya kami ingin berjalan-jalan keluar halaman ini, bahkan keluar halaman istana. Tetapi kami menyadari kedudukan kami, sehingga kami hanya berjalan hilir mudik saja di sini.”
Pemimpin penjaga itu memandang keduanya berganti-ganti. Menilik sikapnya yang acuh tidak acuh saja, agaknya keduanya memang tidak mempunyai niat lain. Meskipun demikian, pemimpin penjaga itu tidak boleh lengah, sehingga katanya, ”Sebaiknya kalian berada di dalam bangsal saja Ki Sanak. Jika kalian berada di halaman, mungkin akan dapat menimbulkan tanggapan yang lain di dalam keadaan seperti sekarang.”
“Ah.” jawab salah seorang pengawal itu, ”Bukankah kami tidak berbuat apa-apa? Jika keringat kami sudah kering, kami memang akan masuk kembali dan mencoba untuk tidur. Di luar ternyata udaranya terasa agak sejuk.”
“Memang.” jawab pemimpin penjaga itu, ”Tetapi maaf Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak masuk saja.”
“Kami akan segera masuk jika kami sudah tidak merasa kepanasan lagi. Tentu kami tidak akan berada di halaman semalam suntuk.”
Pembicaraan itu memang menarik perhatian. Beberapa orang prajurit yang bertugas di sekitar bangsal itu memandang kedua orang yang sedang berbincang itu dengan saksama. Perhatian mereka benar-benar tercengkam oleh pembicaraan yang agaknya semakin lama menjadi semakin keras itu.
“Ki Sanak.” berkata pemimpin penjaga itu kemudian, ”Aku adalah orang yang malam ini bertugas memimpin penjagaan di sekitar bangsal ini. Kami terpaksa minta agar Ki Sanak berdua mematuhi permintaanku.”
Salah seorang pengawal Mahisa Agni itu kemudian bertanya, ”Ki Sanak, sebenarnya selama ini kami selalu bertanya-tanya di dalam hati. Apakah yang sebenarnya sedang kalian jaga di sini?”
“Kami menjaga keselamatan tuanku Mahisa Agni.”
“Itulah yang tidak aku mengerti. Jika kalian memang bertugas untuk menjaga keselamatan tuanku Mahisa Agni, maka kalian tidak usah berkeberatan jika kami berdua berada di sini. Kami pun sedang melakukan tugas yang sama seperti kalian.”
“Kami tidak menyangkal. Tetapi tugas kalian adalah di dalam bangsal. Tugas kami di luar bangsal. Ki Sanak tentu juga seorang prajurit. Dengan demikian Ki Sanak tentu mengetahui bahwa pembagian daerah pengawasan itu perlu, agar tidak terjadi salah paham di antara kita yang sebenarnya mempunyai tugas yang sama.”
Kedua pengawal itu termangu-mangu sejenak rasa-rasanya mereka sudah cukup lama berbantah. Ketika mereka menebarkan tatapan mata mereka berkeliling, dilihatnya di bawah cahaya obor di sudut-sudut ragol dan gardu, beberapa orang prajurit sedang memperhatikan mereka dengan saksama.
“Mudah-mudahan Pati-pati sudah berhasil memasuki bangsal.” mereka berharapan di dalam hati.
Karena itu, maka salah seorang dari keduanya itu pun kemudian berkata, ”Baiklah Ki Sanak. Agaknya memang tidak seharusnya kami berbantah. Apalagi di malam hari yang akan dapat menarik banyak perhatian para prajurit. Aku tidak akan berkeliaran di halaman. Tetapi minta ijin untuk duduk di depan pintu sambil membuka pintu bangsal bagian depan. Sampai saatnya kami merasa tubuh kami segar kembali dan keringat kami sudah kering, maka kami akan menutup pintu dan tidur dengan nyenyak.”
“Terserahlah kepada kalian.” berkata pemimpin penjaga itu.
Demikianlah maka kedua orang pengawal itu pun naik tangga bangsal dan kemudian duduk di pintu yang mereka buka lebar-lebar. Tetapi mereka telah memadamkan lampu minyak di ruang depan dari bangsal itu, sehingga ruang itu nampaknya hanya hitam pekat dari luar.
Di dalam bangsal, Witantra dan Mahisa Agni telah mempersiapkan segala keperluan kedua anak-anak itu. Bahkan ternyata Mahendra pun ikut memasuki bangsal itu pula.
“Kita harus mendukung anak-anak itu meloncat dinding.” desis Witantra, ”Karena itu aku membawa Mahendra serta.”
Setelah semua pembicaraan telah cukup, serta pesan-pesan dan rencana-rencana di saat yang akan datang, maka kedua anak-anak itu pun kemudian dibangunkannya.
“Apakah semuanya sudah siap?” bertanya Ranggawuni masih setengah tidur.
“Ssst, jangan berbicara apapun.” desis Mahisa Agni di telinga anak itu. ”Bangunlah dan bersiaplah.”
Kedua anak-anak itu pun kemudian membenahi diri. Sejenak mereka memulihkan kesadaran mereka. Kemudian setelah minum barang seteguk, maka Ranggawuni pun berkata, ”Aku sudah siap. Apakah kita akan pergi sekarang?”
“Kau akan pergi bersama Paman Pati-pati.” berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Dipandanginya Witantra yang beridir termangu-mangu di sisinya.
“Yang seorang adalah paman Mahendra.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalian harus percaya kepada mereka. Turutlah segala perintahnya. Aku tidak pergi bersama kalian agar tidak menimbulkan kecurigaan dan menimbulkan akibat yang amat jauh. Jika kalian pergi tanpa menyangkut namaku akibatnya akan dapat dibatasi pada Lembu Ampal saja.”
Kedua anak-anak itu tidak begitu mengerti maksud Mahisa Agni, namun keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian, maka saat yang mereka tunggu telah datang. Mahisa Agni pun kemudian memberikan isyarat kepada beberapa orang pengawalnya untuk memancing perhatian pera penjaga itu kembali kepintu depan.
Demikianlah maka beberapa orang pengawal pun kemudian berkumpul di muka pintu depan. Mereka berbicara dengan seenaknya saja sehingga sangat mengganggu para penjaga di regol halaman dan bahkan di sekitar bangsal itu.
Pemimpin penjaga bangsal itu menjadi kian curiga. Ternyata yang dua orang masih belum masuk kembali, bahkan kemudian disusul oleh beberapa orang lagi yang duduk di muka pintu yang terbuka. Dengan dada yang berdebar-debar pemimpin penjaga bangsal mendekatinya. Kemudian ia pun bertanya, ”Apakah yang kalian bercakapkan di malam hari begini?”
“Panas sekali. Ternyata di luar udara terasa sejuk. Namun menurut kedua kawanku ini, kami tidak boleh turun kehalaman.”
“Jangan membuat ribut. Seharusnya kalian masuk dan pintu itu pun ditutup.”
“Bagaimana jika aku minta ijin untuk berada di halaman. Tentu kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami tidak memakai pakaian lain kecuali selembar lancingan. Jika kami bersenjata, senjata itu tentu akan nampak.”
Pemimpin penjaga itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, ”Tidak Ki Sanak. Itu tidak perlu.”
“Udara panasnya bukan main.”
“Kau sudah beberapa malam berada di Singasari. Dan kau tidak pernah merasa kepanasan dan berbuat seperti ini.”
Para pengawal itu terdiam sejenak. Ternyata bahwa pemimpin penjaga itu cukup cermat mengamati keadaan, sehingga karena itu, para pengawal itu tidak memaksanya lagi, agar dengan demikian tidak akan menumbuhkan kecurigaan yang lebih besar dan bahkan mungkin akan dapat mengganggu usaha Witantra untuk melarikan kedua anak-anak dari lingkungan istana Singasari.
Namun waktu yang sedikit itu, telah dapat dipergunakan sebaiknya oleh Witantra dan Mahendra. Selagi para prajurit yang bertugas di sekitar bangsal itu tertarik kepada pembicaraan pemimpinnya dengan beberapa pengawal yang berkumpul di muka pintu, dan yang memang menumbuhkan kecurigaan sehingga diam-diam para prajurit itu pun bersiaga. Witantra dan Mahendra telah berhasil membawa kedua anak-anak muda dari bangsal, Witantra menyusup gerumbul dan pohon bunga-bungaan yang memang terdapat di sekitar bangsal Mahisa Agni itu.
Beberapa saat Mahisa Agni masih dicengkam oleh ketegangan. Namun ia pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika kepergian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu dapat diketahui oleh para penjaga, maka tidak ada jalan lain daripada kekerasan untuk melindunginya. Tetapi setelah beberapa saat tidak terdengar keributan maka Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa agak lapang dadanya, karena menurut perhitungannya Witantra sudah tidak berada di daerah pengawasan prajurit-prajurit di bangsalnya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih harus bersiapa. Jika Witantra gagal meloncat dinding karena ia membawa kedua anak-anak itu, maka persoalannya masih akan sama saja. Kekerasan.
Dalam pada itu Witantra dengan hati-hati membawa Ranggawuni merayap di dalam gelapnya malam, sedang Mahendra mengikuti di belakang sambil membimbing Mahisa Cempaka. Mereka menerobos petamanan yang penuh dengan pohon-pohon bunga di dalam sisa malam yang dingin. Menjelang fajar para penjaga di sekitar istana sudah merasa lelah dan kantuk. Dan biasanya menjelang fajar tidak akan terjadi apa-apa lagi, sehingga dengan demikian mereka menjadi sedikit lengah karenanya, dibandingkan saat-saat sebelumnya.
“Kita harus segera meloncat dinding.” desis Witantra.
“Aku tidak dapat.” sahut Ranggawuni.
Witantra memandang Ranggawuni sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, ”Aku akan mendukungmu.”
“Dan andinda Mahisa Cempaka?” bertanya Ranggawuni.
“Biarlah Mahendra yang mendukungnya.”
Ranggawuni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa kedua orang itu akan mampu melakukannya. Apalagi ia tidak begitu menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya sehingga karena itu, maka kedua anak-anak itu tidak begitu merasa kecemasan.
Berbeda dengan kedua anak-anak itu, maka baik Witantra maupun Mahendra telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka merasa dibebani oleh tanggung jawab yang sangat berat, karena kedua anak-anak itu bukan sekedar anak-anak kebanyakan yang harus diselamatkan nyawanya. Tetapi bagi Singasari kedua anak-anak itu mempunyai arti tersendiri. Ketika Witantra dan Mahendra sudah sampai di tepi halaman, maka mereka pun beristirahat sejenak. Dengan saksama mereka mengamati kadaan di sekitarnya. Namun agaknya malam terlampau sepi dan hening.
Dalam pada itu, selagi Witantra dan Mahendra diam melekat dinding halaman di balik bayangan gerumbul pohon-pohon bunga, Mahisa Agni telah keluar pula di pintu depan. Dengan lantang ia membentak-bentak pengawalnya dan menyuruh mereka masuk dan menutup pintu.
“Apakah kalian sangka, kalian berada di rumah kakekmu?” geram Mahisa Agni, ”Untunglah aku terbangun dan mengetahui bahwa kalian telah berbuat tidak sewajarnya malam ini. Coba kesan apakah yang terdapat pada para prajurit Singasari tentang kawan-kawannya yang selama ini berada di Kediri? Seakan-akan kalian telah kehilangan tata laku sebagai seorang prajurit. Duduk berdesakkan hampir telanjang di depan pintu bangsal ini, bangsalku, seorang yang mendapat kekuasaan Maharaja Singasari di Kediri.”
Para pengawal itu pun kemudian dengan tersipu-sipu masuk ke dalam dan menutup pintu bangsal itu kembali. Para prajurit memperhatikan keadaan itu dengan berdebar-debar. Ternyata Mahisa Agni dapat berbuat tegas pula terhadap para pengawalnya yang menurut para prajurit penjaga, memang berlaku agak berlebih-lebihan.
Sementara itu Witantra sudah siap untuk meloncat. Ia telah mendukung Ranggawuni di punggungnya dan mengikat tubuh anak itu pada tubuhnya dengan kain panjang agar anak itu tidak terjatuh selagi ia melayang. Demikian juga Mahendra telah mendukung Mahisa Cempaka di punggungnya pula.
“Hati-hatilah. Kita akan terbang sejenak.” desis Witantra.
“Paman akan terbang?” bertanya Ranggawuni. Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Sejenak ia berpaling dan memberi isyarat kepada Mahendra yang sudah siap pula. Dan dengan isyarat pula Mahendra memberitahukan bahwa ia akan mendahuluinya sambil melihat keadaan. Witantra mengiakannya, sehingga dengan demikian maka Mahendralah yang lebih dahulu bersiap untuk meloncat.
“Hati-hatilah dan berpeganglah baik-baik.” pesan Mahendra kepada Mahisa Cempaka.
Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah meloncat. Ranggawuni yang melihat Mahendra melayang sambil mendukung Mahisa Cempaka berdesis, ”Ya, paman Mahendra telah terbang seperti seekor burung. Apakah paman Witantra juga akan terbang?”
“Ya. Tetapi tidak seperti burung.”
“Seperti apa?” bertanya Ranggawuni.
“Seperti katak.”
Ranggawuni tertawa. Tetapi cepat-cepat Witantra berdesis, “Sssst, kita berada dalam bahaya?”
“O, bahaya apa paman?”
“Diamlah.”
Sejenak Witantra menunggu. Mahendra yang sudah ada di atas dinding batu yang mengelilingi istana itu pun berjongkok sambil mengawasi keadaan. Dan ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang mencurigakannya. Dengan isyarakat Mahendra pun kemudian memberi tahukan bahwa keadaan cukup aman. Dengan demikian maka Witantra pun kemudian meloncat pula keatas dinding batu. Kemudian keduanya meloncat bersama-sama turun.
Namun agaknya penjagaan di sekitar istana benar-benar sangat ketat. Itulah sebabnya, maka mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengamatan para penjaga. Jika saja mereka berdua tidak membawa beban di punggung masing-masing, maka mereka akan dengan mudah bersembunyi meskipun hanya sekedar menelungkup datar di atas tanah. Tetapi kini mereka masing-masing membawa bebannya sehingga tata gerak mereka agak menjadi lambat justru karena mereka menjaga agar kedua anak-anak itu tidak terjatuh.
Kelambatan yang hanya sekejap itulah yang telah mengganggu mereka. Seorang penjaga yang berkeliling melihat sekelebatan bayangan lari melintasi jalan yang mengelilingi istana di luar dinding batu.
“Kau melihat sesuatu?” desisnya kepada kawannya.
“Ya. Aku melihat sesuatu.”
“Seseorang berlari melintasi jalan?”
“Ya. Tetapi aku agak kurang yakin.”
Prajurit itu pun kemudian berpikir sejenak, lalu, ”Kau tetap di sini. Aku akan melaporkan kepada Ki Lurah.”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya gerumbul-gerumbul di pinggir jalan. Jika benar yang mereka lihat, seseorang melintasi jalan, maka orang itu tentu masih ada di gerumbul itu. karena gerumbul itu terletak di daerah yang terbuka di sekitar dinding istana.
“He, bagaimana?” desak kawannya.
“Cepat. Aku akan mengawasinya di sini.”
Prajurit yang seorang itu pun dengan tergesa-gesa meninggalkan kawannya untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada para penjaga di regol.
Dalam pada itu, baik Witantra maupun Mahendra menyadari bahwa ada orang yang telah melihatnya. Karena itu. maka sejenak mereka berunding, apakah yang sebaiknya dilakukan sambil bersembunyi di balik gerumbul perdu di pinggir jalan itu.
“Kita harus mencapai tempat yang sudah ditentukan.” berkata Witantra.
“Ya. Mereka tentu telah menyediakan dua ekor kuda buat kita selain kuda yang mereka pergunakan sendiri.”
“Dan prajurit itu?”
“Biarlah. Jika ia mengejar, apa boleh buat.”
Demikianlah maka Witantra dan Mahendra pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu meskipun harus melintasi daerah terbuka. Namun dengan demikian mereka tentu akan diketahuinya oleh prajurit itu. Tetapi apaboleh buat. Mereka harus menyingkir dan berusaha melepaskan diri dari mereka. Sejenak Witantra memberikan pesan kepada kedua anak-anak yang masih saja mereka, dukung agar mereka berhati-hati dan berpegangan baik-baik.
“Kita akan berlomba lari.” berkata Witantra, ”Sudah lama paman Witantra dan paman Mahendra tidak melakukannya. Dan kalian pun akan ikut berlomba.”
Kedua anak-anak itu mengangguk. Tetapi kini mereka mulai dijalari oleh kecemasan bahwa sebenarnya mereka sedang menempuh perjalanan yang berbahaya. Meskipun Witantra dan Mahendra berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar tidak menambah kecemasan kedua anak-anak itu, namun peristiwa yang mereka hadapi menjadi semakin jelas. Setelah keduanya siap, maka dengan satu isyarat serentak mereka meloncat berlari meninggal gerumbul di pinggir jalan itu sekencang-kencangnya.
Prajurit yang melihat dua orang berlari-larian mendukung anak-anak muda, maka ia pun segera berteriak sambil berusaha mengejarnya, ”Berhenti, berhenti atau aku bunuh kalian”
Tetapi Witantra, Mahendra berlari terus. Apalagi keduanya tidak berlari sekedar dengan kecepatan gerak kakinya. Namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dari orang-orang kebanyakan. Karena itu, maka prajurit itu tidak dapat berbuat terlampau banyak. Jarak antara kedua orang yang dikejarnya menjadi semakin jauh dari dirinya.
Tetapi ternyata hal itu lebih baik baginya. Jika ia berhasil mendekati Witantra atau Mahendra, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari malam itu. Namun demikian teriakannya sudah menggemparkan para penjaga di luar istana. Mereka sadar, bahwa sesuatu telah terjadi, ditambah dengan laporan prajurit yang melihat bayangan itu melintasi jalan.
Sejenak kemudian beberapa orang prajurit pilihan telah berloncatan kepunggung kuda. Dengan sigapnya mereka pun melarikan kuda mereka kearah suara prajurit yang berteriak menghentikan orang yang dikejarnya.
“Kesana. Mereka berlari kesana.” teriak prajurit yang nafasnya menjadi terengah-engah tetapi tidak berhasil mendekati kedua orang yang dikejarnya, dua orang, dan masing-masing mendukung seorang anak atau apapun juga. Aku tidak begitu pasti di dalam gelap.
Kuda-kuda itu pun kemudian berderap kearah yang ditunjuk oleh prajurit itu. Bahkan kemudian beberapa ekor kuda yang lain menyusul di belakang. Ternyata hal itu segera menjalar sampai ketelinga para pemimpin prajurit yang sedang bertugas malam itu. Beberapa orang Senapati pun segera berloncatan kepunggung kuda dan ikut mengejar. Jika ada orang yang meninggalkan halaman istana, tentu orang itu mempunyai kepentingan yang mencurigakan.
Dengan demikian maka gelombang demi gelombang telah meninggalkan regol. Dengan mengikuti jejak kuda-kuda yang lebih dahulu maka para prajurit yang menyusul kemudian itu pun berhasil mengikuti kawan-kawannya yang terdahulu. Di depan setiap kelompok prajurit, seorang yang mengetahui tentang jejak mendahului sambil membawa obor di tangannya.
Berita itu pun segera tersebar di halaman istana. Para prajurit yang bertugas pun segera bersiaga menghadapi segala kemungkin yang dapat terjadi. Dalam pada itu, keributan itu pun terdengar oleh Mahisa Agni. Sejenak ia termangu-mangu. Jika Witantra dan Mahendra sudah berada di luar halaman, mereka mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri dari para prajurit, jika tidak terjadi kesalahan apapun.
Tetapi Mahisa Agni harus memikirkan dirinya sendiri pula. Bahkan Mahisa Wonga Teleng dan isterinya serta ibu Ranggawuni dan bahkan Ken Dedes. Jika Tohjaya menjadi mata gelap, maka sesuatu akan dapat terjadi atas mereka. Karena itu, maka dengan hati yang tegang Mahisa Agni pun kemudian membenahi dirinya dan memerintahkan semua pengawalnya berbuat demikian pula.
Para pengawal yang sudah menyadari tugas mereka sejak mereka meninggalkan Kediri, segera menyiapkan diri. Mereka sadar bahwa mereka bagaikan serangga dikelilingi oleh api yang menyala. Sayap mereka akan segera menjadi hangus dan kemudian hilang ditelan api. Tetapi mereka sudah bertekad menghadapi segala kemungkinan sampai desah nafas yang terakhir.
Dalam pada itu, para prajurit Singasari menjadi semakin sibuk. Beberapa ekor kuda berlari-larian susul menyusul. Sedang di halaman beberapa orang penghubung berlari-lari hilir mudik dari satu gardu ke gardu yang lain. Panglima prajurit Singasari yang selalu berada di halaman istana di saat terakhir sehubungan dengan perintah Tohjaya kepada Lembu Ampal, segera mendapat laporan pula. Karena itu, maka ingatannya atas dua orang beban dalam dukungan kedua orang yang sedang berlari setelah meloncat dari dinding istana itu adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan seorang Senapati dan beberapa orang prajurit untuk membuktikannya. “Pergi kebangsal Ranggawuni. Cari anak itu di sana.” perintahnya.
Senapati yang mendapat perintah itu pun segera melakukannya dengan tergesa-gesa. Dengan tegangnya ia pun segera mengetuk pintu bangsal Ranggawuni.
Ibu Ranggawuni yang sama sekali tidak dapat memejamkan matanya terkejut mendengar pintu bangsalnya diketuk orang. Dengan demikian, maka justru ia tidak dapat beranjak dari tempatnya oleh perasaan yang bergumul di dalam hatinya. Seorang emban yang terbangun mendengar ketukan pintu itu dengan ragu-ragu bangkit. Tetapi ia tidak segera pergi membukakan pintu itu. Perlahan-lahan ia berjalan menuju kebilik ibu Ranggawuni yang menjadi sangat cemas.
“Tuan Puteri.” bisik emban yang melihat ibunda Ranggawuni itu sudah terbangun, ”Pintu bangsal ini diketuk orang.”
Memang tidak ada pilihan lain daripada membuka pintu itu. Karena itu, dengan suara gemetar ia berkata, ”Bukalah pintu itu.”
Sebenarnya emban itu pun menjadi ketakutan. Tetapi ia terpaksa membuka pintu dengan tangan gemetar.
“Dimana tuan puteri?” bertanya Senapati yang berdiri di muka pintu.
“Aku di sini.” sahut ibunda Ranggawuni yang dengan memaksa diri keluar dari biliknya.
“Ampun tuan puteri.” berkata Senapati itu kemudian, ”Hamba sekedar menjalankan perintah untuk mencari tuanku Ranggawuni. Apakah tuanku Ranggawuni ada di dalam biliknya?”
“O.” ibundanya menyahut dengan menyembunyikan kegelisahan, ”Ranggawuni berada bersama Mahisa Cempaka di bangsalnya. Sehari-harian mereka berdua bermain-main bersama. Sore tadi Ranggawuni minta ijin untuk tidur di bangsal pamandanya, Adinda Mahisa Wonga Teleng.” jawab ibundanya seperti pesan Mahisa Agni jika hal serupa itu terjadi.
Terasa sesuatu berdesir di dada Senapati itu. Rasa-rasanya Suatu permulaan yang suram dari usahanya mencari Ranggawuni. Namun demikian Senapati itu pun minta diri sambil berkata, ”Hamba akan menengoknya di bangsal tuanku Mahisa Wonga Teleng.”
“Baiklah. Bahkan aku pesan jika kau menemukannya di sana, aku minta diberi tahu. Aku menjadi berdebar-debar bahwa kalian mencari anak itu di malam hari begini. Tentu ada sesuatu yang penting telah terjadi.”
“Tidak tuan puteri. Tidak ada apa-apa yang terjadi.” Senapati itu pun kemudian meninggalkan bangsal itu.
Demikian pintu bangsal itu tertutup maka ibunda Ranggawuni itu pun berlari kedalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya menelungkup sambil menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Dan ia tidak dapat menahan air matanya mulai menetes dari pelupuknya.
“Tuan puteri menangis.” desis embannya yang kemudian duduk di sampingnya.
“Aku mencemaskan Ranggawuni.”
“Tuan Puteri tidak usah cemas. Serahkanlah kepada Yang Maha Agung agar tuanku Ranggawuni selalu mendapat perlindungannya.”
Ibunda Ranggawuni itu tidak menjawab. Ia mencoba menahan isaknya. Namun ia tidak berhasil.
Senapati yang meninggalkan pintu bangsal itu pun segera pergi kebangsal Mahisa Wonga Teleng. Seperti yang telah dilakukan, maka ia pun bertanya kepada Mahisa Wonga Teleng yang membukakan pintu bangsalnya, apakah Ranggawuni ada di bangsal itu bersama Mahisa Cempaka.
“O, aneh. Mahisa Cempaka minta diri untuk bermalam di bangsal kakandanya Ranggawuni. Mereka pergi sebelum senja.”
“Di bangsal itu, mereka berdua tidak ada. Bahkan tuanku Ranggawuni pun tidak ada.”
Mahisa Wonga Teleng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, ”Mungkin di bangsal pamanda Mahisa Agni. Marilah kita melihatnya.”
Mereka pun kemudian pergi beriringan dengan beberapa orang pengawal ke bangsal Mahisa Agni. Senapati itu pun berniat untuk melihat apakah Mahisa Agni ada di bangsalnya. Jika Mahisa Agni tidak ada, maka sudah dapat dipastikan bahwa Mahisa Agnilah salah seorang yang telah melarikan kedua anak-anak muda itu.
Namun Senapati itu menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa Agnilah yang ternyata membuka pintu bagi mereka. Sambil menggosok matanya Mahisa Agni bertanya, ”He, apakah perlu kalian malam-malam begini? Belum lama kami tidur karena udara yang panas sekali.”
Dengan demikian Senapati itu seolah-olah tidak dapat menemukan jalur untuk memulai pencahariannya lebih lanjut. Semula ia menyangka bahwa Mahisa Agnilah yang telah melarikan kedua anak-anak muda itu. Tetapi ternyata Mahisa Agni masih ada di bangsalnya.
“Tuan.” berkata Senapati itu, ”Kami baru mencari anak-anak itu?”
“Siapa maksudmu?” lalu Mahisa Agni pun bertanya kepada Mahisa Wonga Teleng, ”Siapa yang kalian cari? Dan kenapa kau datang pula kemari.”
“Paman, Mahisa Cempaka tidak ada. Aku kira Mahisa Cempaka berada di bangsal Ranggawuni, ternyata Ranggawuni pun tidak ada di bangsalnya. Aku kira keduanya ada di bangsal ini.”
Mahisa Agni terkejut. Kemudian katanya, ”Jadi kedua anak-anak itu tidak ada? Di sini pun keduanya tidak ada. Memang sore tadi anak-anak itu datang kemari, tetapi mereka pergi hilir mudik tidak menentu.”
“Kedua anak-anak itu hilang paman.”
“Kapan kalian mengetahui bahwa kedua anak itu hilang?”
“Baru saja. Justru para prajuritlah yang mencari mereka. Mereka melihat dua orang meloncat dinding sambil membawa dua orang anak-anak. Tentu mereka adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
Pemimpin prajurit yang meronda di bangsal Mahisa Agni yang ikut pula berkerumun di depan pintu itu mulai menghubungkan hilangnya kedua anak-anak itu dengan sikap yang mencurigakan dari para pengawal Mahisa Agni. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Mahisa Agni sudah mendahului,
”Rasa-rasanya memang ada firasat buruk. Tetapi alangkah bodohnya aku. Hampir semalaman kami di bangsal ini tidak dapat tidur. Rasanya kami berada di dalam tungku api. Beberapa orang di antara kami justru pergi keluar bangsal. Tetapi kami tidak dapat mengerti, bahwa sesuatu telah terjadi.” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, ”Apakah tuanku Tohjaya sudah mengetahui bahwa kedua anak-anak itu hilang?”
“Sudah tuan.” jawab Senapati itu.
“Jika demikian kita dapat memohon perlindungan. Kedua anak-anak itu harus diketemukan. Jika tidak.”
“Tuan.” potong Senapati itu, ”Apakah dengan demikian tuanku Mahisa Agni menuduh bahwa hilangnya kedua anak-anak itu justru karena tuanku Tohjaya?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya dengan nada yang tinggi, ”Siapa yang mengatakannya demikian?”
Senapati itu tergagap karenanya. Sebenarnyalah karena ia mengetahui bahwa kedua anak itu harus diawasi sebaiknya, sehingga di dalam lubuk hatinya memang tersirat anggapan yang condong pada kebencian Tohjaya terhadap kedua anak-anak muda itu.
“Bukankah aku justru mengatakan bahwa aku akan mohon perlindungan kepada tuanku Tohjaya?”
Senapati itu masih termangu-mangu.
“Nah.” berkata Mahisa Agni kemudian, ”Marilah kita menghadap. Kita mohon agar diambil tindakan segera.”
“Tuanku Tohjaya sudah mengetahuinya dan memberikan perintah kepada para prajurit untuk mencarinya.”
“Aku akan mohon ijin bersama Mahisa Wonga Teleng untuk ikut mencarinya.”
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Terserahlah kepada tuanku Tohjaya.”
Mahisa Agni pun bergegas meninggalkan bangsalnya. Ia sama sekali tidak membawa seorang pengawal pun untuk menghindari kecurigaan. Bersama Mahisa Wonga Teleng ia menghadap Tohjaya untuk menyampaikan permohonan agar ia diijinkan untuk ikut mencari kedua anak-anak itu. Ternyata Tohjaya sendiri masih diliputi oleh suasana yang gelap. Ia tidak begitu mengerti keadaan yang sedang dihadapinya. Bahkan Tohjaya tidak pasti, apakah sebenarnya kedua anak-anak itu telah dilarikan orang.
Namun hanya di dalam hati Tohjaya berkata, ”Apakah Lembu Ampal sudah melakukan tugasnya, menyingkirkan anak itu tanpa diketahui oleh orang lain, bahkan oleh para prajurit agar ia tidak menjadi sasaran dendam Mahisa Agni apabila pada suatu saat ceritera tentang hal itu sampai ketelinganya?” Karena keragu-raguan itulah maka Tohjaya menjadi bingung. Untuk beberapa saat ia tidak dapat menanggapi permintaan Mahisa Agni.
“Tuanku.” berkata Mahisa Agni, ”Hamba mohon beberapa orang kawan yang terpercaya. Mungkin orang-orang yang melarikan kedua anak-anak itu bukan orang kebanyakan.”
Tohjaya yang tidak ingin langsung dituduh terlibat jika ternyata kedua anak-anak itu benar-benar terbunuh, tidak dapat berbuat lain. Karena itu maka diperintahkannya saja langsung Senapati yang datang bersama Mahisa Agni itu untuk bersama-sama mencari kedua anak yang hilang itu.
Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng sudah berderap di atas punggung kuda menyusuri jalan kota. Namun kemudian seperti kepada diri sendiri Mahisa Agni bertanya, ”Kita akan kemana?”
“Kita kelilingi seluruh kota.” berkata Mahisa Wonga Teleng. “Jika kita tidak menemukannya, kita akan mencarinya kemana saja.”
“Baiklah.” sahut Mahisa Agni, ”Kita kelilingi semua jalan dan padukuhan.”
Demikianlah maka iring-iringan itu pun menembus gelapnya sisa malam di sepanjang jalan kota. Tetapi Mahisa Agni yang tahu pasti kemanakah kedua anak-anak itu dibawa, sengaja mencari jalan lain.
Namun dalam pada itu, sekelompok pasukan yang lain telah berhasil menemukan jejak Witantra dan Mahendra. Karena itu maka mereka pun berusaha untuk dapat menyusulnya. Witantra dan Mahendra dengan secepat dapat dilakukan nya betusaha mencapai kawan-kawannya yang telah menunggu. Mereka sadar, bahwa sekelompok prajurit sedang mengejarnya. Bahkan mungkin akan disusul oleh kelompok-kelompok yang lain. Karena itu, maka ia harus dengan segera meninggalkan kota.
Ternyata Witantra berhasil mencapai sekelompok kecil kawannya yang sudah menunggu dengan dua ekor kuda selain kuda-kuda yang mereka pergunakan sendiri. Ketika mereka melihat dua orang berlari-lari sambil masing-masing mendukung seorang anak maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Sambil meloncat kepunggung kuda yang sudah disediakan maka Witantra pun berkata, ”Kita harus segera meninggalkan tempat ini.”
Peringatkan itu jelas. Karena itu, sejenak kemudian maka kuda-kuda itu pun segera berderap menebarkan debu yang putih. Tetapi beberapa saat kemudian maka beberapa ekor kuda yang lain segera menyusulnya. Mereka adalah prajurit Singasari yang sedang mengejar orang-orang yang memang disangka melarikan Mahisa Cempaka dan Ranggawuni. Sejenak kemudian terjadilah perburuan yang dahsyat. Sekelompok orang-orang berkuda berusaha mengejar kelompok yang lain. Kelompok yang sama sekali tidak mereka ketahui, siapa dan kemana.
Namun di belakang kelompok yang sedang mengejar itu ternyata susul menyusul kelompok-kelompok yang lain yang menyadari bahwa halaman istana Singasari telah berhasil dijelajahi oleh orang-orang yang tidak dikehendaki, apapun yang mereka lakukan. Ternyata prajurit-prajurit Singasari adalah prajurit-prajurit yang tangkas. Kuda-kuda mereka pun adalah kuda yang baik dan tegar, sehingga perburuan itu merupakan perburuan yang menegangkan.
Witantra dan Mahendra kecuali berpegangan pada kendali kudanya juga harus menjaga agar anak-anak di pangkuan masing-masing tidak terjatuh. Karena itu, kadang-kadang kedua anak itu mengganggu kelincahan tangan mereka. Namun demikian kuda-kuda itu pun berlari kencang sekali. Ternyata Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah anak-anak yang berani. Mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan meskipun kuda-kuda mereka berlari kencang sekali. Bahkan sekali-sekali harus meloncati lubang-lubang kecil di tengah jalan.
Semetara itu, langit di ujung Timur menjadi semakin lama semakin semburat merah. Fajar mulai merekah dan malam pun perlahan-lahan terdesak oleh cahaya pagi. Dengan demikian maka kuda-kuda yang sedang berpacu itu pun menjadi semakin jelas dari jarak yang semakin jauh. Debu yang mengepul pun mulai tampak memutih. Sehingga dengan demikian maka akhirnya mereka yang sedang berkejaran itu saling dapat melihat jarak yang memisahkan mereka.
“Paman.” desis Ranggawuni, ”Kita telah dikejar.”
“Dan kita sudah lari kencang sekali.” sahut Witantra.
“Apakah mereka akan dapat menyusul kita?”
“Kita tidak tahu. Mudah-mudahan tidak. Bukankah kuda kita terbang secepat burung srigunting?”
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Namun anak itu justru tertawa sambil berkata, ”Lebih cepat paman. Cepat sedikit. Mereka tidak boleh menyusul kita.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Disentuhnya perut kudanya dengan sebuah cemeti pendek sehingga kuda itu seakan-akan terbang semakin cepat.
Ranggawuni tertawa. Tiba-tiba saja ia justru berteriak ke pada Mahisa Cempaka, ”Adinda Mahisa Cempaka. Ayo, kejarlah aku.”
Mahisa Cempaka yang berkuda bersama Mahendra di belakang Witantra pun menjawab sambil berteriak, ”Kami akan segera mendahului. Minggir.”
Tetapi Ranggawuni menjawab, ”Cari jalan sendiri.”
Witantra dan Mahendra hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak-anak itu kadang-kadang merasa cemas juga melihat beberapa ekor kuda yang mengejar mereka, namun kadang-kadang mereka merasa gembira karena mereka bagaikan terbang di atas punggung kuda.
Namun dalam pada itu, Witantra merasa bahwa ia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dari para prajurit yang sedang mengejarnya. Langit yang menjadi semakin cerah, membuat ia semakin sulit untuk melepaskan diri dari pengawasan orang-orang yang mengejarnya. Karena itu, maka ia pun memberi isyarat kepada Mahendra agar ia mendekat dan berpacu di sisinya.
“He. Aku akan mendahuluimu kakanda.” teriak Mahisa Cempaka.
“Cepat, cepat paman Witantra. Jangan didahului oleh Mahisa Cempaka.”
Witantra pun tersenyum. Jawabnya, ”Mereka tidak akan mendahului. Aku akan berbicara sedikit dengan pamanmu Mahendra.”
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sesaat kemudian Mahendra sudah berpacu di sebelah Witantra. sehingga Mahisa Cempaka menghentak-hentakkan kakinya sambil menepuk leher kudanya agar kudanya berlari semakin cepat.
“Cepat paman Mahendra. Cepat.”
Mahendra tidak dapat menahan senyumnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Mahendra.” berkata Witantra kemudian, ”Bagaimana pun juga kita memacu kuda kita, tetapi agaknya kita tidak akan dapat mehindarkan diri dari orang-orang itu.”
“Jadi maksud kakang Witantra?”
“Aku kira di belakang mereka, masih akan menyusul beberapa orang lagi. Bahkan mungkin berturut-turut.”
Mahendra tidak menyahut. “Mahendra. Bagaimana jika kita berhenti.”
Mahendra tidak segera menjawab. Tetapi ia masih berpikir sejenak. Sekali-sekali ia berpaling dan melihat debu putih terhambur dari kaki-kaki kuda yang mengejar iring-iringan mereka.
“Bagaimana?” bertanya Witantra.
Namun sebelum Mahendra menjawab, Ranggawuni sudah menyahut, ”Jadi paman bermaksud menyerah?”
“Tidak Ranggawuni. Tentu tidak.”
“Lalu?”
“Kita melawan. Kita akan membinasakan mereka.”
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata lantang, ”Kita akan bertempur paman?”
“Tetapi bukan kau. Kami, orang-orang tua inilah yang akan bertempur. Kau dan Mahisa Cempaka menunggu di punggung kuda.”
“Kami akan bertempur.” teriak Mahisa Cempaka.
Mahendra menepuk punggungnya sambil berkata, ”Kau masih terlampau kecil.”
“Jadi kapan aku boleh bertempur?” bertanya Mahisa Cempaka pula.
“Alangkah baiknya jika kau tidak perlu mengalaminya. Bertempur adalah cara terakhir bagi mereka yang sudah kehabisan akal.”
“Jadi paman juga kehabisan akal sekarang?” bertanya Ranggawuni.
“Ya Ranggawuni.” sahut Witantra, ”Kami sudah kehabisan akal. Tetapi kami menyadari bahwa kau berdua harus diselamatkan. Karena itu kami akan mempergunakan cara orang yang sudah tidak melihat jalan lain. Jalan yang sebenarnya harus dihindari.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menyahut lagi. Ia tidak mengerti arti kata Witantra yang dirasanya berputar-putar tidak menentu.
Dalam pada itu kuda-kuda itu masih berpacu terus. Di belakang mereka, para prajurit Singasari masih saja mengejar dengan kemarahan yang tertahan. Semakin terang cahaya pagi memancar di atas tanah persawahan dan bulak-bulak yang panjang, semakin jelas bagi para prajurit, bahwa yang dilarikan oleh orang-orang berkuda itu adalah dua orang anak-anak yang masih sangat muda. Dan sudah tentu mereka pun segera meyakini bahwa kedua anak itu adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, yang justru harus mereka awasi sebaik-baiknya meskipun sebagian dari para prajurit itu tidak mengetahui dengan pasti, karena keduanya harus selalu mendapat pengawasan.
Setelah berpikir sejenak, maka Mahendra pun kemudian berkata, ”Kakang, aku kira, memang lebih baik kita berhenti. Kita memang tidak akan mempunyai kesempatan untuk melenyapkan jejak ini. Kita tidak mempunyai tempat untuk bersembunyi.”
“Baiklah Mahendra. Jika demikian, kita akan segera menghentikan kuda-kuda kita.”
“Tetapi lebih baik jika kita mengambil jarak yang agak jauh dari kota.”
“Bukankah kita sudah jauh?”
“Beberapa puluh patok lagi.”
Witantra tidak menyahut. Kudanya masih saja berpacu di atas jalan berbatu-batu. Ketika Mahendra kemudian berpacu di belakang Witantra kembali, Mahisa Cempaka sudah tidak berteriak-berteriak lagi. Agaknya ia pun merasakan ketegangan di dada Witantra dan Mahendra.
Demikianlah Witantra masih berpacu beberapa saat lagi. Seperti laju anak panah kuda-kuda itu berlari melintasi sebuah padukuhan kecil. Beberapa orang yang sedang membersihkan jalan, berlari-lari dan berloncatan masuk kehalaman. Mereka menjadi ketakutan melihat beberapa ekor kuda berpacu dan saling memburu.
Setelah padukuhan itu mereka lampaui, dan setelah mereka berada kembali di sebuah bulak yang panjang, bahkan kemudian sampai kesebuah lapangan rumput yang agak luas dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah persawahan, Witantra memberikan tanda-tanda kepada anak buahnya. Tanda-tanda yang memang sudah disepakati lebih dahulu.
Ketika tangan Witantra terentang, maka kuda-kuda itu pun tiba-tiba saja menebar. Sebagian mengikuti Witantra berbelok ke kiri, yang lain mengikuti Mahendra berbelok kekanan. Dengan cekatan Witantra dan Mahendra meloncat kepunggung kuda yang lain, dan penunggangnya berganti berpindah ke kuda Witantra dan Mahendra untuk menjaga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Kau tenang saja di situ.” berkata Witantra, ”Paman akan menghalau orang itu.”
Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok kecil yang dipimpin langsung oleh Witantra dan Mahendra itu sama sekali tidak diduga oleh prajurit-prajurit Singasari yang mengejarnya, sehingga karena itu, kelambatan beberapa saat telah mendorong mereka masuk kedalam jebakan. Mereka kemudian seolah-olah berada di dalam kepungan. Belum lagi mereka dapat mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang tiba-tiba itu, Witantra dan Mahendra telah menyerang mereka diikuti oleh beberapa orang pengawalnya dari sebelah menyebelah.
Tidak banyak dapat mereka lakukan. Serangan itu begitu tiba-tiba, dan terlebih-lebih lagi dilakukan oleh Witantra dan Mahendra sendiri beserta beberapa pengawalnya. Prajurit Singasari yang terkejut itu, sebagai prajurit-prajurit terlatih secara naluriah segera mengadakan perlawanan. Namun seorang demi seorang mereka terluka dan bahkan beberapa orang telah terpental dari kudanya.
“Kita tinggalkan mereka.” Witantra kemudian memberikan perintah kepada anak buahnya yang dengan segera mempersiapkan diri melepaskan sisa-sisa lawannya.
Sejenak kemudian Witantra dan Mahendra diikuti oleh anak buahnya telah melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan lawannya yang termangu-mangu. Beberapa orang yang masih utuh menjadi ragu-ragu. Jumlah mereka tinggal tidak lebih dari separo. Karena itu maka mereka tidak ingin menyerahkan diri ketangan orang-orang yang mereka buru.
Tetapi dengan demikian mereka telah dapat memastikan bahwa sebenarnyalah yang dilarikan oleh orang-orang itu adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dalam keragu-raguan itu, para prajurit Singasari itu hampir saja bersorak ketika mereka melihat iringan kedua telah menyusul mereka di bawah pimpinan seorang Senapati pilihan.
“Kami telah menemukan mereka.” berkata pemimpin kelompok prajurit yang telah dilumpuhkan itu.
“Kenapa kalian berhenti?” bertanya Senapati itu.
“Kami tidak mampu melawan mereka. Sebagian dari kawan-kawan kami telah terluka. Lebih dari separo. Bahkan mungkin ada yang tidak tertolong lagi.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa orang yang terbaring berserakan. “Rawatlah mereka.” berkata Senapati itu, ”Sebagian dari kalian ikutilah bersama kami. Kami harus menemukan mereka.”
“Kami telah memastikan bahwa yang mereka larikan adalah tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Kami sudah menduga. Marilah. Kita tidak boleh kehilangan jejak.”
Demikianlah sekelompok pasukan itu pun segeta menyusul. Mereka mengikuti jejak kaki-kaki kuda Witantra dan anak buahnya, karena mereka bertekad untuk membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kembali.
Sementara itu, Lembu Ampal yang sedang dicengkam oleh keragu-raguan, terkejut bukan kepalang mendengar berita hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Belum lagi ia dapat mengambil sikap, ternyata kedua anak-anak itu telah hilang. Bagi Lembu Ampal, hilangnya kedua anak-anak itu tentu ada hubungannya dengan perintah yang diterima dari Tohjaya.
“Yang mendengar dengan pasti perintah tuanku Tohjaya hanyalah aku sendiri. Kemudian pendeta istana itu mendengar dari mulutku.” berkata Lembu Ampal kepada dirinya sendiri, ”Jika kedua anak-anak itu hilang dan aku gagal melakukan tugasku, maka akulah yang akan digantung.”
Justru karena kedua anak-anak itu telah hilang, maka sebuah hentakan telah mendorong Lembu Ampal untuk mengambil keputusan. Ia merasa tersinggung sekali karena kedua anak-anak yang diserahkan kepadanya itu hilang. Usaha menyelamatkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka oleh orang lain, adalah suatu tantangan baginya.
“Mungkin aku tidak akan sampai hati membunuh kedua anak-anak itu jika keduanya masih tetap berada di istana. Tetapi bahwa ada orang lain yang ikut campur itu benar-benar telah menghinaku.”
Namun bagi Lembu Ampal, orang yang pertama-pertama harus dihubungi adalah pendeta istana itu. Baginya tidak ada orang lain yang dapat merembeskan rahasia itu selain pendeta itu. Dengan tergesa-gesa Lembu Ampal memacu kudanya, pergi mendapatkan pendeta itu di sanggarnya. Dengan wajah yang tegang ia datang menghadap dan langsung bertanya, ”Apakah tuan sudah mendengar berita tentang hilangnya kedua anak-anak itu?”
Pendeta itu mengangguk perlahan, ”Aku sudah mendengarnya Lembu Ampal.”
“Tuan.” Lembu Ampal menggeram, ”Tidak ada orang lain yang mengetahui tugasku dengan pasti kecuali tuanku Tohjaya, aku dan tuan. Mungkin ada satu dua orang Senapati terpercaya yang mendapat tugas untuk membayangi kedua anak-anak itu. Namun perintah itu hanya diberikan kepadaku. Sedangkan para prajurit dan Senapati itu hanyalah sekedar mendapat perintah untuk mengawasi kedua anak-anak yang akan dijadikan korban ketenangan Singasari.”
“Memang tidak ada orang lain yang mendengar. Tetapi aku sudah memberitahukan hal itu kepada seseorang. Akulah yang melakukannya.”
“Tuan. Apakah tuan tahu artinya?”
“Kau akan dihukum mati. Tetapi jika kau berterus terang tentang keragu-raguanmu dan kedatanganmu kepadaku, juga tentang rahasia yang telah terbuka itu, maka kau akan dibebaskan. Dan akulah yang akan mengantikanmu. Mungkin aku akan digantung, dipacung atau hukuman apapun juga. Tetapi itu lebih baik dari pada kedua anak-anak yang tidak bersalah sama sekali itu.”
Terasa darah Lembu Ampal bagaikan mendidih. Ia menaruh hormat terhadap pendeta istana itu. Bahkan secara rohani ia banyak menggantungkan dirinya kepadanya. Sampai saatnya ia kehilangan akal karena ia mendapat perintah untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang tidak bersalah sama sekali.
Tetapi bahwa pendeta itu dengan sengaja telah memberitahukan akan hal itu, benar-benar telah menyinggung perasaannya sebagai seorang prajurit, sehingga ia akan mendapat noda karenanya. Bukan saja ia akan dihukum mati, tetapi tentu juga mencemarkan nama baiknya karena Tohjaya dapat mengambil alasan apapun untuk membunuhnya. Meskipun Lembu Ampal berkata terus terang, dan meskipun kemudian diketahui bahwa pendeta itulah yang telah membuka rahasia istana itu, namun tentu dirinyalah yang akan mendapat hukuman terberat, karena ialah yang pertama-tama telah membocorkannya kepada pendeta itu.
Karena itu maka dengan wajah yang tegang ia berkata, ”Tuan. Aku datang kepada tuan dengan penuh kepercayaan bahwa keragu-raguanku akan dapat berkurang. Aku akan menemukan ketetapan hati, apapun keputusanku. Jika aku ingin melaksanakan tugas itu dan membunuh keduanya, aku akan melakukan dengan ketenteraman hati. Jika tidak, aku akan menjalani hukuman dengan damai. Tetapi sekarang keadaannya sangat berbeda. Anak itu hilang sebelum aku dapat memastikan sikapku.”
“Tidak banyak bedanya Lembu Ampal. Aku telah mendesakmu untuk mengambil keputusan seperti kata nuraniku.”
“Tetapi tidak dengan nuraniku. Bagaimana jika aku kemudian memutuskan untuk membunuh keduanya.”
“Keduanya telah tidak ada lagi di istana.”
“Aku dapat menuntut karena persoalannya akan menyangkut bukan saja mati dan hidupku. Tetapi juga nama baikku.”
“Aku tidak keberatan. Sejak semula aku memutuskan untuk mengatakan hal itu kepada orang-orang yang akan dapat menyelamatkan, aku sudah menyediakan diriku, nyawaku dan apa saja yang dapat aku berikan. Aku bersedia menjalani hukuman mati, atau karena kemarahanmu yang tidak terkendali kau akan membunuhku.”
“O, tuan.” Lembu Ampal menunduk lesu, ”Tuan telah membuat aku semakin bingung. Aku dapat menjadi gila karena perintah ini.” namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, ”Siapakah yang telah tuan beritahu dan kemudian melarikan anak itu. Siapa?”
“Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi orang-orang itu ternyata telah berhasil.”
“Mahisa Agni?”
“Mahisa Agni masih ada di istana atau ikut serta mencarinya bersama Mahisa Wonga Teleng dan beberapa orang Senapati.”
“Jadi siapa?”
“Sudah aku katakan, aku tidak akan menyebut namanya.”
“Apakah tuan tahu bahwa dengan demikian tuan telah berkhianat?”
“Aku tidak berniat untuk berkhianat. Niatku semata-mata hanyalah melindungi dua nyawa yang tidak bersalah. Hanya itu.”
“Tetapi tuan harus mengatakan, siapakah orang yang telah berhasil melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Aku tidak dapat menyebutkan Lembu Ampal. Sudah berkali-kali aku katakan. Dan aku sudah siap menerima akibat apapun. Aku akan pasrah diri untuk menerima hukuman. Hukuman mati sekalipun dengan cara apapun.”
“O.” Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Terasa seakan-akan kepalanya berputar seperti baling-baling. “Tuan.” tiba-tiba Lembu Ampal berkata, ”Tuan telah berhasil melakukan sesuatu sesuai dengan nurani tuan, sehingga karena itu hati tuan menjadi damai. Tetapi aku tidak. Aku selalu dikejar oleh kegelisahan dan ketakutan.”
“Lembu Ampal. Kau masih mempunyai waktu untuk menentukan sikap.”
“Tidak. Kedua anak-anak itu sudah hilang.”
“Maksudku, kau dapat memastikan sikapmu. Apakah kau akan melaporkan semuanya kepada Tohjaya, atau kau akan pergi mencari kedua anak-anak itu sampai ketemu.”
Sejenak Lembu Ampal merenung. Namun kemudian ia berkata, ”Tidak. Aku tidak akan mencari kedua anak-anak itu. Biarlah mereka tetap hidup. Mereka benar-benar tidak tahu, apakah sebenarnya maka nyawa mereka terancam karenanya.”
“Jadi kau akan menghukum aku? Atau kau sendiri akan pasrah diri?”
Lembu Ampal tidak menyahut.
“Lembu Ampal. Memang ada bedanya antara seorang prajurit dan seorang pendeta. Aku adalah seorang pendeta yang tidak lagi diikat oleh persoalan hidup dan mati di dalam sikap yang didasari atas keyakinan sesuai dengan kata nuraniku. Tetapi kau tidak. Kau dapat bersikap lain justru karena kau adalah seorang kesatria yang wajib melindungi sesama dengan jalan yang jantan. Karena itu, kau dapat menghindari hukuman yang seharusnya kau jalani.”
“Maksud tuan?”
“Kau tidak perlu kembali menghadap tuanku Tohjaya.”
Lembu Ampal menegang sejenak. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, ”Aku mengerti tuan. Maksud tuan aku harus lari?”
“Bukan lari dalam arti seorang pengecut Lembu Ampal. Tetapi menghindari maut adalah perbuatan yang wajar.”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Terasa sebuah pergolakan telah terjadi di dalam dadanya. Sebagai seorang prajurit ia harus mempertanggung jawabkan beban yang dipikulkan dipundaknya. Kesetiaannya kepada raja dan Singasari membuatnya ragu-ragu untuk memenuhi anjuran Pendeta itu.
“Lembu Ampal.” berkata pendeta itu kemudian, ”Bagiku, keragu-raguanmu yang memberi kesempatan kepada kedua anak-anak itu untuk diselamatkan, adalah perbuatan yang lebih baik dari sikap seorang prajurit. Tentu saja ini berlawanan dengan pendirianmu. Juga usaha untuk menyelamatkan diri itu pun tentu tidak akan sesuai dengan sifat seorang prajurit. Namun barangkali kelak kau mempunyai kesempatan yang baik untuk membuktikan tugas kesatria yang harus kau pikul. Justru melindungi yang lemah dari kesewenang-wenangan.”
Lembu Ampal tidak segera menjawab.
“Tetapi jika kau menghadap tuanku Tohjaya, maka kau akan mendapat hukuman yang berat. Atau jika kau jujur dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, maka aku pun akan dihukum.” Pendeta itu berhenti sejenak, lalu, ”Lembu Ampal, bukan karena aku ingin membebaskan diri dari hukuman dengan membujukmu untuk pergi, sehingga dengan demikian kau tidak akan sempat menyebut namaku, tetapi mati bukanlah kebanggaan yang harus kau dambakan, meskipun kau seorang prajurit.”
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesempatan itu memang ada. Sebelum persoalan yang sebenarnya dapat di ketahui dengan pasti, maka Tohjaya pasti belum menjatuhkan perintah untuk menangkapnya. Karena itu, maka akhirnya Lembu Ampal berkata, ”Tuan. Aku memang akan mempertimbangkan tindakan apakah yang sebaiknya aku lakukan. Mungkin aku akan lari, tetapi mungkin pula aku memilih tiang gantungan.”
“Terserahlah kepadamu. Kau memang seorang prajurit. Dan aku pun tidak akan ingkar bahwa akulah yang telah menguakkan rahasia itu, sehingga kedua anak-anak itu diselamatkan oleh orang yang aku sendiri tidak mengetahuinya.”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Ia pun kemudian minta diri dan meninggalkan sanggar itu dengan persoalan yang semakin rumit di dalam dirinya. Pada pendeta istana itu ia sama sekali tidak menemukan ketenangan yang dicarinya. Pendeta itu tidak menunjukkan keputusan yang harus diambilnya atas kedua anak-anak itu. Bahkan kini ia telah menyebabkan kedua anak-anak itu diselamatkan oleh orang lain. Dan itu adalah suatu sentuhan pada perasaannya.
“Aku mengharap ia menunjukkan jalan bahwa aku dapat melakukan tugasku itu dengan tenang dan tidak selalu di bayangi oleh penyesalan. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Ia tidak memberikan ketenangan itu kepadaku seperti yang aku harapkan, bahkan ia telah mengacaukan segala-segalanya. Dan kini ia membujukku untuk lari menghindari tanggung jawab.”
Namun semakin dalam dipikirkannya, maka Lembu Ampal pun menemukan kesimpulan lain. Katanya kepada diri sendiri, ”Apakah artinya kesetiaanku kepada tuanku Tohjaya jika aku harus melakukan tugas yang bertentangan dengan nuraniku. Keragu-raguanku adalah pertanda bahwa yang harus aku lakukan itu tidak sejalan dengan kata-kata hatiku sendiri. Selama aku menjadi prajurit, aku menjalankan tugasku dengan patuh. Jika kadang-kadang ada keragu-raguan, maka aku segera dapat mengatasinya. Tetapi sekali ini, sebenarnyalah bahwa tuanku Tohjaya sudah berlaku tidak adil.” Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam, lalu, ”Apakah artinya kesetiaanku terhadap ketidak adilan itu?”
Sejenak Lembu Ampal menjadi bingung. Namun akhirnya Lembu Ampal pun berkata kepada diri sendiri, ”Apa salahnya jika aku berusaha menyelamatkan diri, sementara aku dapat mencari kedua anak-anak itu. Jika suatu saat aku memutuskan untuk membunuhnya, aku akan membunuh mereka dan menyerahkan persoalannya kepada tuanku Tohjaya. Tetapi jika aku tetap berpendapat, bahwa kematian kedua anak-anak itu tidak adil, aku tidak akan mempedulikan mereka lagi.”
Demikianlah, setelah dada Lembu Ampal bergejolak dengan dahsyatnya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggal kan pusat pemerintahan Singasari. “Aku dapat hidup dimana saja.” katanya.
Dengan tekad yang bulat akhirnya Lembu Ampal meninggalkan kota dengan diam-diam, justru ketika para prajurit sedang berusaha mengejar Witantra dan Mahendra yang telah melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sedang Mahisa Agni dan beberapa orang prajurit yang lain sedang mengelilingi kota untuk berpura-pura mencari kedua anak-anak itu pula.
Dengan lajunya Lembu Ampal pun melarikan kudanya. Ia meninggalkan Singasari dengan persoalan yang belum terpecahkan. Apakah ia akan tetap mencari dan membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka untuk mendapatkan pengampunan, atau sama sekali tidak mempersoalkannya lagi, namun dengan demikian ia akan hidup dipelarian sepanjang umurnya.
Tetapi Lembu Ampal tidak cemas. Ia mempunyai banyak kawan yang dapat melindunginya di padepokan-padepokan terpencil. Ia dapat menyebut dirinya dengan nama lain dan dengan bentuk yang sedikit berbeda dengan bentuknya sekarang. Dan persoalan itulah yang masih harus dipertimbangkannya untuk waktu yang cukup lama. Namun agaknya hidup adalah keadaan yang paling baik baginya saat itu, sehingga dengan demikian maka Lembu Ampal pun memutuskan bahwa ia harus mempertahankan hidupnya lebih dahulu sebelum ia dapat memikirkan, apakah yang akan dilakukannya nanti.
Karena Lembu Ampal pun kemudian meninggalkan Singasari sebelum memberikan laporan tentang dirinya sendiri dan bahwa ia sama sekali belum melakukan tugasnya, maka Tohjaya pun tidak segera dapat memastikan, apakah yang sebenarnya terjadi. Bahkan ia menjadi cemas bahwa para prajurit yang mencari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan menghukum Lembu Ampal apabila benar-benar ia telah melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Kegelisahannya itulah yang mendorongnya untuk memanggil Pranaraja menghadap.
“Ampun tuanku, apakah titah tuanku kepada hamba?”
“Kau dengar keributan yang telah terjadi?”
“Hamba tuanku. Hamba mendengar bahwa tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah hilang.”
“Dan kau tahu pasti, siapakah yang telah mengambil mereka?”
“Hamba belum tahu dengan pasti tuanku. Tetapi pasti bukan tuanku Mahisa Agni.”
“Ya. Justru paman Mahisa Agni menuntut perlindungan keselamatan kedua kemanakannya itu.”
Pranaraja tertawa, katanya, ”Dan tuanku tentu menyanggupinya.”
“Ya, aku menyanggupinya.”
“Tetapi jika yang diketemukan adalah mayatnya, itu sama sekali bukan salah tuanku.”
“Paman Mahisa Agni dengan beberapa orang prajurit sedang mencarinya.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Lalu, “Bagaimana jika tuanku Mahisa Agni berhasil menyelamatkannya?”
“Jaraknya terlampau panjang. Sejak anak itu hilang sehingga paman Mahisa Agni meninggalkan istana, memerlukan waktu cukup lama bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi, siapakah sebenarnya yang telah membawanya pergi? Apakah kau sudah berhubungan dengan Lembu Ampal?”
“Belum tuanku. Tetapi menurut perhitungan hamba, tentu Lembu Ampallah yang melakukannya. Jika tidak, maka para prajurit dan Senapati tentu akan menemukannya,”
“Pranaraja. Ada beberapa persoalan yang mendesak di dalam hatiku. Jika yang melarikan bukan Lembu Ampal kita masih mempunyai harapan, bahwa keduanya dapat diketemukan. Tetapi bagaimana jika Lembu Ampallah yang telah membawanya.”
“Lembu Ampal akan membunuhnya.”
“Bagaimana jika terjadi salah paham, dan Lembu Ampal justru terbunuh oleh para prajurit dan Senapati yang mengejarnya?”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia justru tertawa sambil menjawab, ”Itu lebih baik tuanku.”
“Pranaraja.” Tohjaya tiba-tiba membentak, ”Kau jangan bergurau dalam keadaan seperti ini.”
“Hamba tidak bergurau tuanku.”
“Jadi apa maksudmu?”
“Tuanku. Jika mereka yang mengejar tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu membunuh Lembu Ampal, maka akan lenyaplah semua jalur penyelidikan yang mungkin dilakukan oleh Mahisa Agni. Dengan demikian maka tidak seorang pun yang dapat berceritera bahwa tuanku telah memerintahkan kepada Lembu Ampal untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
Tohjaya menjadi tegang. Sejenak ia merenungi kata-kata Pranaraja itu. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, ”Kau benar Pranaraja. Aku kira kita memang tidak memerlukan lagi orang seperti Lembu Ampal. Di Singasari masih banyak terdapat Senapati yang jauh lebih baik dari Lembu Ampal itu.”
“Demikianlah tuanku. Sebaiknya tuanku tidak usah menghiraukan lagi. Jika yang membawa lari itu bukan Lembu Ampal, kita dapat mengharapkan kedua anak-anak itu akan dibawa kembali oleh para Senapati. Jika kita dapat menangkap satu dua orang diantara mereka, kita akan dapat menyelediki siapakah orang yang berdiri di belakang mereka. Tetapi jika usaha itu adalah usaha Lembu Ampal melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, biarlah apa yang akan terjadi atasnya.”
“Tetapi.” tiba-tiba Tohjaya mengerutkan keningnya, ”Bagaimana jika karena tekanan para prajurit yang menangkapnya, Lembu Ampal justru mengatakan yang sebenarnya kepada mereka?”
“Jika demikian kitalah yang akan membunuhnya karena Lembu Ampal telah memberikan kesaksian palsu untuk menyelamatkan dirinya.”
“Yang manakah yang kau maksud kesaksian palsu itu Pranaraja?”
Pranaraja tertawa. Katanya, ”Tentu sebenarnya bukan palsu. Kitalah yang harus berlaku palsu. Kita ingkari perintah itu, dan kita bunuh saja Lembu Ampal.”
Tohjaya mengangguk-angguk. Lalu, ”Baiklah. Aku mengerti. Tetapi sebaiknya kau pun pergi melihat apa yang sedang berlangsung sekarang ini. Jika keadaan kira-kira tidak menguntungkan kita, kau harus cepat memberitahukan kepadaku. Aku akan segera berbicara dengan para Panglima dan Senapati yang dapat kita percaya sepenuhnya.”
“Baiklah tuanku. Hamba mohon diri. Hamba akan pergi ke regol depan. Jika perlu hamba akan keluar halaman istana untuk mencari keterangan.”
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia dapat menyetujui pendapat Pranaraja dan membiarkan Lembu Ampal dibunuh oleh para prajurit jika ia tertangkap.
Dalam pada itu, para prajurit yang mengejar Witantra dan Mahendra, masih terus menyelusuri jejak yang semakin lama tampak semakin jelas. Meskipun Witantra melintasi padang rumput, batu-batu padas dan daerah yang basah, namun beberapa orang yang ahli mengenal jejak tidak dapat dikelabuinya, sehingga kemanapun Witantra pergi, para prajurit dapat mengikutinya. Bahkan kelompok yang berikutnya pun tetap mengikuti jejak itu sampai kemanapun.
Witantra pun sadar, bahwa seperti yang terdahulu, ia tidak akan dapat menghindar lagi. Pada suatu saat ia harus sekali lagi menjebak para prajurit. Namun Witantra pun mengetahui bahwa jumlah prajurit yang mengejarnya itu tentu bertambah semakin banyak.
“Kita mencari tempat yang cukup luas untuk bermain-main lagi.” berkata Witantra kepada Mahendra.
Ranggawuni yang kemudian berkuda dengan orang lain menyahut, ”Apakah masih ada orang lain yang mengejar kita paman?”
“Masih ada Ranggawuni. Tetapi jangan cemas. Kita akan menghalaunya lagi seperti tadi.”
“Tetapi setiap kali pengawal kita akan berkurang paman. Bukankah ada di antara kita yang terluka?”
“Kita akan berusaha.” sahut Witantra, ”Mudah-mudahan kita tidak perlu memberikan korban. Yang terluka di antara kita agaknya tidak begitu parah. Mereka sudah membalut luka-luka mereka sehingga darahnya sudah mampat.”
“Tetapi apakah mereka masih mampu bertempur?”
“Mereka akan mengawani kalian berdua. Hanya jika terpaksa mereka akan bertempur. Jika tidak, maka biarlah mereka beristirahat.”
Ranggawuni tidak begitu mengerti. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dahinyalah yang kemudian berkerut merut ketika kudanya menyeberangi sebuah rawa yang sempit. Tetapi ketika mereka sudah melintasi rawa-rawa itu dan berada di tempat yang agak terbuka, maka mereka pun mulai melihat prajurit-prajurit Singasari yang semakin mendekat. “Itulah mereka.” desis Mahendra.
“Seperti yang kita duga. Jumlah mereka lebih banyak.”
“Tetapi masih belum melampaui kemampuan kita.” sahut Mahendra.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandangi wajah-wajah para pengawal yang mengiringinya. Pengawal-pengawal terpilih dari antara prajurit yang ada di Kediri. Bahkan sebagian dari mereka adalah prajurit-prajurit Singasari juga. Demikianlah maka akhirnya Witantra harus mengatur siasat bersama Mahendra. Beberapa orang ditugaskan untuk melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di samping orang yang menjagainya di punggung kuda. Sedang Witantra dan Mahendra bersama orang-orang yang lain akan menjebak mereka seperti yang pernah terjadi.
“Mereka tentu telah mempersiapkan diri.” berkata Mahendra, ”Orang-orang yang telah terjebak itu tentu dapat memperingatkan kawan-kawannya yang datang kemudian.”
“Kita akan menghadapi mereka.” sahut Witantra, ”Tetapi memang sebaiknya kita berpencaran.”
Demikianlah maka setelah mereka sampai ketempat yang agak lapang, Witantra dan Mahendra sengaja memperlambat kuda mereka, sedang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendahului mereka beberapa puluh langkah di depan. Ketika jarak itu sudah dipandang cukup oleh Witantra, maka ia pun segera memberikan aba-aba kepada anak buahnya, Dengan cekatan anak buahnya menarik kendali kudanya dan berputar haluan. Dengan tiba-tiba mereka menghentakkan kudanya dan berlari menyerang lawannya yang sedang memburu mereka.
Serangan itu meskipun sudah diperhitungkan, namun cukup mengejutkan. Senapati yang memimpin prajurit Singasari itu menyangka bahwa Witantra dan anak buahnya akan menebar dan menyerang mereka dari lambung sebelah menyebelah seperti yang telah mereka lakukan. Tetapi kini ternyata bahwa Witantra dan Mahendra menyerang mereka langsung dari depan, sedang anak buahnyalah yang berpencaran di sebelah menyebelah.
Sejenak kemudian maka terjadilah benturan kedua kelompok itu dengan dahsyatnya. Keduanya adalah prajurit-prajurit yang sudah terlatih menghadapi medan yang berat, sehingga karena itu, maka pertempuran yang segera terjadi adalah pertempuran yang sengit. Namun kedua belah pihak segera dapat mengenal, bahwa sebenarnya mereka adalah prajurit-prajurit dari kesatuan yang sama. Meskipun ada di antara pengawal Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang terdiri dari orang-orang pilihan dari Kediri. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Singasari.
Yang mengejutkan para prajurit Singasari yang sedang berusaha mengambil kembali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah Witantra dan Mahendra. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang jauh berada di atas kemampuan para prajurit. Bahkan Senapati yang memimpin prajurit singasari itu pun merasa dirinya terlampau kecil menghadapi mereka.
Tetapi Senapati itu tidak dapat ingkar. Bersama beberapa orang prajurit yang dipilihnya, ia mencoba melawan Witantra dan memutar pedangnya seperti baling-baling. Namun dalam pada itu, Mahendra telah bertempur bagaikan harimau lapar. Banyak prajurit yang terpaksa menghindari dan dengan tergesa-gesa berusaha menyusun sebuah kelompok yang dapat membatasi gerak Mahendra. Namun para pengawal yang datang dari Kediri itu pun tidak tinggal diam. Mereka segera melibat para prajurit Singasari sehingga mereka tidak sempat berbuat apa-apa.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin kisruh. Para prajurit dari Singasari menjadi bingung menghadapi Witantra dan Mahendra. Meskipun mereka dapat membatasi gerak para pengawal yang datang dari Kediri, namun mereka tidak dapat berbuat banyak menghada pi Wintantra dan Mahendra. Karena itulah maka pasukan Singasari itu pun segera terdesak. Korbannya pun berjatuhan dan bahkan ada di antara mereka yang kehilangan nyawanya. Akhirnya Senapati yang memimpin prajurit dari Singasari itu harus menyadari keadaannya. Ia tidak akan dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya.
Untuk menghindari kemusnahan maka Senapati itu pun segera memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri sambil menunggu pasukan yang akan datang kemudian. Namun menurut perhitungan Senapati itu, meskipun ada dua gelombang pasukan yang bakal datang, tetapi mereka tidak akan dapat memaksa orang-orang yang diburunya itu untuk menyerahkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Witantra dan Mahendra tertegun sejenak, melihat lawannya menarik diri dengan tergesa-gesa. Tetapi keduanya kemudian bersepakat untuk tidak mengejar mereka. “Lebih baik kita menghindar.” berkata Witantra.
“Jejak kita akan selalu dapat diikuti.”
“Kita akan memilih jalan rawa-rawa. Jika cukup lama berada di daerah berair, maka jejak kita akan sulit diikuti. Sementara itu, kita melingkar dan menuju kepadepokanku.”
Mahendra menganggukakan kepalanya. Katanya kemudian, ”Baiklah kakang. Kita memilih jalan rawa-rawa meskipun agak sulit. Kemudian kita akan menyeberang sungai dan hilang di hutan-hutan perdu seberang.”
Demikianlah maka Witantra pun kemudian melanjutkan perjalanan. Ia masih memperhitungkan bahwa pasukan yang lebih besar masih akan mengejarnya. Karena itu seperti yang direncanakan, maka ia pun memilih jalan rawa-rawa. Ia mencoba menghilangkan jejak iring-iringan itu di dalam air. Beberapa kali kudanya hampir saja terperosok ke dalam endapan lumpur yang dalam. Namun akhirnya iring-iringan itu berhasil keluar dari rawa-rawa dan langsung turun ke dalam sungai yang tidak terlampau dalam. Namun dengan melawan arus air sebentar, mereka pun kemudian naik ke tebing sebelah.
Seperti yang diharapkannya, maka amat sulitlah untuk menemukan jejak iring-iringan itu. Di rawa-rawa jejak kuda-kuda mereka telah hilang-hilang timbul. Adalah terlampau lama untuk menemukan jalur jejak iring-iringan itu, karena sebagian dari jejak mereka telah hilang di dalam air yang keruh.
Di seberang Witantra berhenti sejenak sambil memandang rawa-rawa dan yang ditumbuhi ilalang setinggi tubuh, di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun. Sambil tersenyum ia berkata, ”Mereka tidak akan dapat mengikuti perjalanan kita. Bahkan mungkin satu dua dari kuda-kuda mereka seandainya mereka berusaha juga untuk mengikuti kita, akan terperosok ke dalam lumpur yang dalam-dalam. Tentu mereka tidak pernah mengenal daerah ini sebelumnya. Berbeda dengan aku yang mengenal jalan ini menuju kepadepokaku.”
Mahendra mengangguk-anggukan kepalanya. Ia pun yakin bahwa para prajurit itu tidak akan dapat menemukan jejak mereka lagi.
“Marilah.” berkata Witantra, ”Biarlah kita tinggalkan mereka.”
Sejenak mereka masih memandang arus sungai yang tidak begitu deras itu. Namun kemudian kuda-kuda itu pun mulai melangkahkan kaki mereka di atas pasir menjauhi batang sungai yang mengalirkan air yang jernih di sisi daerah-daerah rawa-rawa berlumpur yg kotor. Namun dalam pada itu, sesuatu telah menyentuh perasaan kedua anak-anak yang masih sangat muda itu. Rasa-rasanya mereka benar-benar akan pergi jauh sekali dan tidak akan pernah kembali ke Singasari.
Karena itu hampir di luar sadarnya Ranggawuni bertanya, ”Jika aku pergi jauh sekali, bagaimana dengan ibunda di Singasari?”
“Ya.” sahut Mahisa Cempaka, ”Bagaimana dengan ibunda, ayahanda dan neneknda Ken Dedes?”
“Di sana ada pamanmu Mahisa Agni.” berkata Witantra, ”Percayakan ibunda, ayahanda dan nenenda kepadanya. Pamanda Mahisa Agni akan menjaga mereka dengan baik.”
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terdiam. Namun sesuatu terasa menjadi semakin lama semakin jauh, bahkan seolah-olah tidak akan pernah dapat dicapainya lagi. Meskipun demikian mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun sudah dapat menyadari keadaan mereka. Bahaya yang setiap saat akan dapat menerkam mereka dari segala penjuru. Demikianlah iringan itu pun menembus hutan kecil menuju ketempat yang terpencil. Sebuah padepokan kecil yang terpisah dari padukuhan di sekitarnya. Padepokan itu adalah padepokan Witantra yang kemudian juga disebut Pati-pati.
Sementara itu, para prajurit Singasari yang merasa tidak mampu lagi melawan Witantra dan para pengawalnya mencoba menunggu pasukan yang bakal datang berikutnya. Dengan pasukan itu mereka menyusun kekuatan mereka kembali dan berusaha mengikuti jejak Witantra dan pengawalnya yang telah melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi yang mereka lakukan kemudian adalah kesiapan saja. Meskipun sekelompok pasukan berikutnya benar-benar datang, namun mereka tidak berhasil menemukan jejak Witantra dan Mahendra yang seakan-akan telah hilang di dalam rawa-rawa.
“Kita memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menyelusuri jejak mereka.” berkata seorang yang memahami berbagai jenis jejak manusia dan binatang.
“Tetapi mereka tidak akan dapat terbang. Jejak mereka tentu masih ada.” berkata Senopati yang bertanggung jawab atas pasukan yang kemudian bergabung itu.
“Tentu. Tetapi kita harus mencarinya di seberang rawa-rawa dan genangan-genangan air. Belum tentu satu dua kali kita dapat menemukan arah. Untuk maju sampai beberapa patok saja, kita sudah akan kemalaman di perjalanan.”
“Bodoh kau. Matahari baru saja naik.”
“Dan kerja mengikuti jejak itu akan maju selangkah demi selangkah secepat siput merangkak di tanah kering.”
Senapati itu termenung sejenak. Lalu, ”Jadi menurut pendapatmu, kita tidak akan dapat mengejar orang-orang yang telah melarikan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu?”
Pencari jejak itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Mungkin kita dapat mengikutinya sampai berhari-hari. Tetapi sementara itu mereka yang kita cari sudah sampai ke seberang gunung.”
“Gila.” bentak Senapati itu, ”Katakan saja bahwa kau sudah tidak sanggup lagi.”
Pencari jejak itu menundukkan kepalanya. Namun terdengar suaranya datar, ”Demikianlah. Tetapi penjelasan dari ketidak sanggupanku perlu.”
Senapati itu menggeretakkan gigiknya. Namun ia pun tidak dapat menolak kenyataan bahwa untuk dapat mengejar orang-orang yang melarikan kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah suatu kemustahilan. Karena itu, maka pasukan Singasari itu pun terpaksa menarik diri meninggalkan daerah yang berrawa-rawa.
“Kita kembali dan melaporkannya kepada tuanku Tohjaya.” berkata Senopati yang memimpin pasukan itu.
Demikianlah maka pasukan itu pun segera ditarik kembali ke Singasari. Iring-iringan dari beberapa kelompok pasukan yang kemudian bergabung itu terpaksa memasuki kota tanpa membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, tetapi balikan membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh.
“Tentu Mahisa Agni tidak dapat mencuci tangan.” berkata seorang perwira, ”Pada malam hari saat anak-anak itu hilang, para pengawalnya melakukan hal yang aneh-aneh. Dan ternyata pula di antara mereka yang melarikan kedua anak-anak itu terdapat prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri. Tentu mereka telah mendapat perintah lebih dahulu dari Mahisa Agni sebelum ia pergi ke Singasari.”
Yang lain hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun mereka masih dicengkam keheranan. ”Siapakah yang telah membawa kedua anak-anak itu. Mereka tentu bukan orang kebanyakan. Mereka mampu memasuki halamanan istana tanpa diketahui oleh para prajurit. Bahkan ketika mereka keluar dari istana mendukung Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun mereka masih dapat melepaskan diri.”
Demikianlah Senapati yang telah gagal membawa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kembali itu pun segera melaporkan semua peristiwa yang telah terjadi.
“Jadi kalian telah gagal?” bertanya Tohjaya.
“Ampun tuanku. Kami tidak dapat mengikuti mereka seterusnya. Mereka masuk ke dalam rawa-rawa dan jejak mereka pun menjadi kabur. Meskipun kemudian kami dapat menelusur terus, namun kami memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga orang-orang itu tentu sudah menjadi semakin jauh.”
“Siapakah mereka itu?” bertanya Tohjaya.
“Kami tidak dapat menyebutnya dengan pasti tuanku. Tetapi hamba yakin bahwa di antara mereka ada beberapa orang prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Apakah kalian melihat Lembu Ampal?” tiba-tiba saja Tohjaya bertanya.
Senapati itu menjadi bingung. Kemudian jawabnya, ”Tidak tuanku. Hamba tidak melihat Lembu Ampal. Tetapi apakah hubungannya hal ini dengan Lembu Ampal?”
Tohjaya terdiam sejenak. Ia menjadi agak bingung. Namun kemudian Pranarajalah yang menyahut, ”Lembu Ampal mempunyai banyak hubungan dengan prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Maksudmu dengan Mahisa Agni.” bertanya seorang perwira kepada Pranaraja.
Tetapi Pranaraja menggeleng. Katanya, ”Mereka mempunyai jalur yang berlainan.”
“Jika Lembu Ampal terlibat di dalamnya. apakah pamrihnya?” bertanya seorang Senapati yang lain.
Pranaraja menggelengkan kepalanya, ”Kita tidak tahu.”
“Jadi, kenapa tiba-tiba hal ini menyangkut Lembu Ampal?” seorang Senapati yang lain bertanya.
Pranaraja menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, ”Ada persoalan yang perlu dipecahkan dengan Lembu Ampal. Tetapi belum waktunya dibicarakan sekarang.” lalu katanya kepada Tohjaya, ”Bukankah begitu tuanku.”
“Ya. Persoalannya masih ada di tanganku. Tetapi jika ia kemudian tidak nampak lagi di istana, persoalan ini akan menjadi semakin jelas.”
Beberapa orang yang menghadap Tohjaya itu menjadi heran. Persoalan anak-anak yang hilang itu agaknya telah menyangkut Lembu Ampal. Tetapi Tohjaya tidak mau mengatakan persoalan itu kepada para Senapati.
Dalam pada itu, seorang Senapati telah bertanya, ”Dan bagaimana dengan tuanku Mahisa Agni?”
Tohjaya masih saja termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Aku sudah mendengar laporan kalian tentang orang-orang yang mengambil Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sekarang kalian boleh meninggalkan tempat ini.”
Senapati yang menghadap Tohjaya itu pun menjadi bingung. Mereka belum mendapat jawaban atas pertanyaan mereka tentang Mahisa Agni. Namun mereka tidak berani memaksa agar Tohjaya memberikan jawaban. Apalagi nampaknya Tohjaya sedang diliputi oleh kebingungan dan kecemasan.
Sepeninggal para Senapati itu, maka Tohjaya pun segera membicarakannya dengan Pranaraja. bahwa agaknya ada persoalan yang gawat sedang terjadi di Singasari. “Siapakah menurut pendapatmu yang telah melarikan anak-anak itu? Apakah mereka ada hubungannya dengan Lembu Ampa! atau Mahisa Agni?”
Pranaraja termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya, ”Ampun tuanku, hamba memang menjadi bingung. Agaknya memang ada benarnya kita mencurigai Mahisa Agni.”
“Tetapi ia justru mohon perlindungan bagi kedua kemanakannya itu.”
“Hamba kira itu sekedar usahanya untuk membersihkan diri.”
“Jadi bagaimana dengan Lembu Ampal?” Pranaraja tidak menyahut.
“Pranaraja.” berkata Tohjaya dengan wajah yang tegang, ”Suruhlah memanggil Lembu Ampal sekarang. Aku harus mendapat penjelasan daripadanya. Jika ia tidak ada di rumahnya ia harus dicari di mana saja. Ia harus menghadap aku sekarang.”
Pranaraja pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit untuk memanggil Lembu Ampal. “Kau harus mencarinya sampai kau dapat menemukannya.”
Kedua prajurit itu pun kemudian dengan tergesa-gesa berkuda ke rumah Lembu Ampal. Karena Lembu Ampal tidak ada, maka mereka pun kemudian bertanya kepada setiap orang yang mengenal Lembu Ampal. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya kemana ia pergi.
“Kemana lagi kita harus mencarinya.” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
Keduanya menjadi bingung. Mereka harus menemukan Lembu Ampal. Padahal mereka sudah mencarinya hampir di seluruh kota. Hampir setiap orang yang mungkin dapat memberikan petunjuk kepada mereka, sudah mereka temui. Tetapi mereka tidak berhasil menemukan Lembu Ampal, seperti juga Mahisa Agni yang memasuki hampir setiap rumah, tetapi tidak diketemukan yang dicarinya. Akhirnya kedua prajurit itu memberanikan diri kembali Mereka tidak berani langsung melaporkannya kepada Tohjaya, tetapi mereka menghadap Pranaraja.
“Gila.” Pranaraja menggeram, ”Jadi Lembu Ampal tidak dapat kau ketemukan?”
“Kami sudah mengelilingi seluruh kota.”
“Kau masih harus mencarinya sampai ketemu. Malam nanti dan besok sehari penuh. Jika sampai besok malam kau tidak dapat menemukan Lembu Ampal, maka kita akan menghadap bersama-sama.”
“Tetapi apakah hal itu merupakan kesalahan kami?”
“Kalian tidak bersalah.”
Kedua prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian mereka masih tetap berdebar-debar. Jika besok malam Pranaraja berkata lain, maka nasib mereka akan menjadi sangat buruk. Adalah kebetulan saja mereka waktu itu sedang bertugas, pada saat Tohjaya memerlukan Lembu Ampal. Jika karena Lembu Ampal tidak ada, kemudian kesalahan itu ditimpakan kepada mereka, alangkah malangnya mereka berdua.
Ketika prajurit itu kemudian melanjutkan usahanya, Pranaraja sudah mendahului menghadap Tohjaya, dan mengatakan bahwa kedua prajurit itu tidak dapat menemukan Lembu Ampal, sedang keduanya masih terus melakukan usaha pencarian itu.
“Apakah Lembu Ampal memang sedang menunggu kedua anak-anak itu di suatu tempat?”
Pranaraja termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, ”Memang mungkin tuanku. Mungkin Lembu Ampal menyusul atau justru mendahului orang-orang yang telah mengambil kedua anak-anak itu. Di suatu tempat yang jauh, keduanya akan diselesaikannya agar tidak ada seorang pun yang melihat mereka”
“Tetapi memang mungkin Mahisa Agni telah menyingkirkan mereka karena ia tahu bahwa kedua anak-anak itu akan di bunuh.”
“Dari siapakah ia mendengarnya tuanku.” Tohjaya menggelengkan kepalanya, ”Aku tidak tahu.”
“Tidak ada orang lain yang mendengarnya.”
“Bahkan mungkin dari Lembu Ampal sendiri.” Wajah Pranaraja menegang sesaat, lalu, ”Apakah mungkin Lembu Ampal berkhianat?”
Tohjaya tidak segera menjawab. Tetapi nampak wajahnya sedang diliputi oleh ketegangan yang luar biasa. “Tidak mustahil para prajurit yang mendapat perintah berjaga itu menjadi curiga, dan mereka membuat perhitungan dan dugaan semacam itu.”
Pranaraja mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Tohjaya, bahwa prajurit-prajurit yang mendapat tugas untuk menjaga dan mengawasi Mahisa Agni, kemudian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mempunyai dugaan demikian, sehingga mereka tidak dengan sengaja saling berbicara di antara mereka sendiri. Namun bagaimanapun juga Tohjaya dan Pranaraja tidak dapat melepaskan kecurigaan mereka terhadap Mahisa Agni. Apalagi setelah mereka mendengar laporan bahwa pada malam itu para pengawal Mahisa Agni bersikap aneh. Mereka hampir tidak tidur semalam suntuk, bahkan ada di antara mereka yang berada di halaman.
“Tetapi mereka tidak pergi kemanapun.” berkata Pranaraja, ”Bahkan hamba sudah memerintahkan untuk menghitung para pengawal. Ternyata pengawal-pengawal Mahisa Agni jumlahnya masih tetap, sehingga orang yang melarikan kedua anak-anak itu tentu bukan pengawal-pengawal Mahisa Agni yang di bawanya dari Kediri, meskipun diketahui bahwa mereka sebagian adalah prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri.”
“Baiklah.” berkata Tohjaya, ”Aku harus berbicara dengan Mahisa Agni. Jika ternyata Mahisa Agni pantas dicurigai, apa boleh buat. Ia harus ditangkap bersama para pengawalnya. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi ia tidak akan dapat melawan semua Panglima dan Senapati yang ada di Singasari.”
Pranaraja mengerutkan keningnya. Katanya, ”Tetapi tuanku. Hamba masih selalu mengingatkan kepada tuanku pendapat Panglima Pelayan Dalam yang pada saat itu pergi ke Kediri dan melihat sendiri apa yang tumbuh di sana.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata, ”Aku tidak peduli. Aku adalah Maharaja yang paling berkuasa di Singasari. Jika aku tidak berani bertindak terhadap seseorang, maka aku tidak akan dapat menegakkan keadilan di atas Singasari ini. Dengan demikian kedudukanku tidak akan ada artinya sama sekali.”
Pranaraja tidak berani membantah lagi. Karena itu ia hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
“Pranaraja.” berkata Tohjaya kemudian, ”Sekarang kau pergi kepada Senapati yang sedang bertugas. Kau minta laporan dari perkembangan keadaan. Apakah orang yang mencari Lembu Ampal sudah ketemu atau perkembangan yang lain. Aku akan menghadap ibunda untuk mohon pertimbangannya.”
Demikianlah, di dalam keadaan yang paling sulit, Tohjaya masih selalu datang kepada ibunya dan minta pertimbangannya.
“Kita pantas mencurigai Mahisa Agni.” berkata Ken Umang, ”Sejak dahulu Mahisa Agni adalah orang yang paling banyak membuat kesulitan. Sejak pada masa Akuwu Tunggul Ametung memerintah Tumapel. Ia adalah orang yang menentang Akuwu ketika Ken Dedes, gadis dari Panwijen itu diambil ke istana.”
“Bukankah ia saudara laki ibunda Ken Dedes?”
“Saudara angkatnya. Ia ingin mengawinkan Ken Dedes dengan putera Buyut Panawijen.”
“Bodoh sekali.”
“Nah, kau sudah dapat menilainya. Kemudian pada jaman ayahandamu memegang kekuasaan, Mahisa Agni pun selalu membuat kesulitan di Singasari. Anusapati ditempanya menjadi seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian Mahisa Agni dengan sengaja telah berusaha menyingkirkan ayahandamu dan menempatkan Anusapati di atas tahta. Hanya di saat Anusapati berada di atas tahta Mahisa Agni tidak berbuat apa-apa. Sekarang, setelah kau menggantikan Anusapati, Mahisa Agni kembali melakukan pengacauan dengan caranya.”
“Jadi menurut ibunda, aku pantas menangkapnya?”
“Jika kau menangkapnya, bawa ia kepadaku. Aku akan memaksanya untuk berbicara.”
“Ibunda?”
“Ya.”
“Tetapi ibunda, Mahisa Agni memiliki kekuatan yang cukup di belakangnya.”
“Kekuatan yang manakah yang kau maksud?”
Tohjaya pun kemudian menceriterakan sikap para prajurit yang ada da Kediri.
“Dan itu adalah pertanda bahwa orang-orang yang melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah bagian dari mereka yang mendukung Mahisa Agni di Kediri.”
“Tetapi Lembu Ampal sampai saat ini belum diketemukan. Jika orang-orang yang melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu bukan orang-orang Lembu Ampal, maka Lembu Ampal tentu akan datang menghadap dan melaporkan peristiwa ini.”
“Kau pernah mengancamnya. Jika ia gagal, maka ia akan menerima hukuman yang sangat berat.”
Tohjaya merenung sejenak, lalu, ”Tetapi ia belum gagal. Bahkan ia belum melakukan apa-apa.”
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi nafsunya untuk menghinakan Mahisa Agni masih saja menyala di dadanya. Ia merasa bahwa hutang Mahisa Agni kepadanya, karena penolakannya di masa mudanya, bahkan setelah ia berada di istana, adalah penghinaan yang harus dibalas dengan penghinaan pula.
“Tohjaya.” berkata ibunya kemudian, ”Baiklah, jika kau tidak dapat menangkapnya, panggillah Mahisa Agni. Aku akan berbicara kepadanya.”
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Terasa persoalan ibundanya agaknya telah bergeser dari kepentingannya. Namun mungkin sekali akan dapat ditelusur pula lewat persoalan yang dikemukakan oleh ibunya, apakah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah disembunyikannya. Karena itu maka untuk memenuhi permintaan ibundanya Tohjaya pun segera memerintahkan memanggil Mahisa Agni. Ia harus menghadap Tdhjaya di bangsalnya.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Panggilan di dalam saat yang kabur itu membuatnya berprasangka sehingga karena itu maka ia pun segera berpesan kepada para pengawalnya yang masih ada di bangsalnya, ”Kalian harus melihat keadaan. Kalian dapat menentukan manakah yang baik kalian lakukan. Jika kalian harus berbuat sesuatu karena pertanda keadaan, maka lakukanlah dengan hati-hati. Tetapi kalian harus yakin bahwa kalian harus melakukannya. Dengan demikian kalian tidak boleh tergesa-gesa.”
Setelah memberikan pesan-pesan dan petunjuk, maka Mahisa Agni pun segera minta diri kepada para pengawalnya, katanya, ”Aku hlarus pergi sekarang. Tidak mustahil bahwa mereka telah mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka tentu akan memperhitungkan tingkah laku kalian semalam.”
Demikianlah maka Mahisa Agni pun segera pergi menghadap Tohjaya di bangsalnya. Bangsal yang pernah dipergunakan oleh Anusapati. Sebuah bangsal yang dikelilingi oleh kolam buatan dan kebun-kebun bunga yang sedang berkembang manis sekali. Para penjaga yang sudah mengetahui bahwa Mahisa Agni akan datang ke bangsal itu, menerima kedatangannya dengan penuh hormat, dan mempersilahkannya memasuki regol, jembatan di atas kolam yang dibuat pada masa kekuasaan Anusapati itu.
Di atas jembatan Mahisa Agni berhenti sejenak. Dilihatnya beberapa ekor ikan emas yang kekuning-kuningan sebesar telapak tangan berenang hilir mudik di sela-sela daun teratai. Dengan cekatan ikan-ikan emas itu menggeliat dan hilang di bawah dedaunan ketika idua ekor angsa nampak berenang dengan tenangnya mendekati mereka.
“Ikan pun secara naluriah berusaha menyelamatkan hidupnya.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, ”Apalagi seseorang.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling dilihatnya beberapa orang prajurit termangu-mangu di depan regol. Agaknya mereka menjadi curiga melihat Mahisa Agni berhenti dan berdiri bersandar pagar jembatan kecil itu. Mahisa Agni tersenyum. Bahkan ia pun melambaikan tangannya sehingga para prajurit itu justru menjadi tersipu-sipu. Sambil menundukkan kepala mereka pun segera bergeser menepi dan berlindung di balik tiang regol di mulut jembatan itu. Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya sejenak. Kemudian ia pun melangkahkan kakinya menuju kepintu bangsal itu.
Seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas agaknya sudah mendapat pesan pula bahwa Mahisa Agni akan segera datang. Karena itu, maka ia pun segera mempersilahkannya masuk dan menyampaikannya kepada Tohjaya...