Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“TUANKU, bukanlah kita akan menjebak seseorang?”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya bagi Anusapati usaha mencelakakan dirinya tidak dapat dilakukan dengan mudah. Ia mempunyai kemampuan yang cukup dan indera yang tajam. Kalau ada seorang pelayan dalam yang ingin berkhianat, maka hal itu tidak akan dapat mereka lakukan. Bagi Anusapati, betapapun tinggi ilmu orang itu, ia akan sempat mengadakan perlawanan sementara untuk waktu yang cukup. Jika ia benar-benar tidak dapat mengimbangi lawannya, maka ia akan dapat memanggil para pengawal.

Tetapi Anusapati tidak mau menyakiti hati Mahisa Agni. Katanya di dalam hati, “Biar saja Paman tidur di atap jika memang dikehendakinya.”

Demikianlah, karena Anusapati tak pernah menyatakan keberatannya maka Mahisa Agni dibantu oleh Kuda Sempana pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak mau menunda lagi. Malam itu juga mereka harus sudah mulai dengan tugas mereka.

Ternyata bahwa mereka berhasil bertengger di atas atap tanpa seorang pun yang tahu. Dengan hati-hati mereka berbaring pada lekukan atap yang kehitam-hitaman di bawah bayangan sebatang pohon kemuning yang daunnya sedikit merunduk di atas bangsal. Dengan sabar mereka berdua duduk diam seperti seonggok sampah, tapi indera mereka telah bekerja sebaik-baiknya untuk menangkap setiap gerak dan desir di sekitar mereka. Beberapa saat mereka tak bergerak. Akan tetapi mereka juga tidak melihat apapun juga. Namun mereka tidak segera menjadi jemu. Bahkan setelah semalam suntuk mereka tidak menjumpai apapun.

“Apakah kita masuk saja lewat atap?” bisik Kuda Sempana.

“Kita di sini dahulu. Mungkin kita melihat pertanda sesuatu. Baru jika perlu kita masuk.”

Tetapi sampai saatnya fajar menyingsing mereka tidak melihat tanda-tanda, bahwa sesuatu akan terjadi. Karena itulah maka malam itu mereka menyelinap meninggalkan bangsal tanpa memperoleh hasil apapun.

Tetapi malam berikutnya mereka mengulangi usaha mereka meskipun ketika Mahisa Agni menghadap Anusapati sambil tersenyum maharaja itu bertanya, “Adakah Paman menemukan sesuatu?”

“Tidak Tuanku. Tetapi bahwa malam-malam masih akan berlangsung panjang. Dari ujung hari sampai ke ujung hari.”

Anusapati masih saja tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Paman memang seorang prajurit pinilih. Silakan Paman. Tetapi jika pada suatu saat Paman yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa, Paman dapat menghentikan usaha penyelamatan itu.”

“Baiklah Tuanku.”

Dan seperti yang direncanakan, maka pada malam hari itu Mahisa Agni telah berada di atas atap di bawah bayangan pohon kemuning itu lagi bersama Kuda Sempana tanpa seorang yang mengetahui. Tetapi juga pada malam kedua mereka tidak menjumpai apapun juga. Meskipun demikian pada malam ketiga, mereka telah mengulanginya kembali. Dengan sabar mereka duduk di bawah bayangan pohon kemuning yang menyuruk di atas atap bangsal Anusapati.

Seperti dua orang prajurit yang bertugas di daerah terpencil maka berganti-ganti mereka berjaga-jaga. Jika yang seorang tidur sambil memeluk lutut, maka yang lain mengawasi keadaan dengan seksama. Dengan demikian maka mereka akan dapat bertahan untuk waktu yang tidak menentu.

Tetapi pada malam ketika itu, lewat tengah malam, Mahisa Agni melihat sesuatu yang bergerak-gerak di halaman belakang bangsal itu. Hanya sekilas. Namun kemudian hilang di dalam kegelapan. Mahisa Agni tidak sempat meyakinkan, apakah yang telah bergerak-gerak di tengah malam itu. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin berhati-hati. Dengan dada yang berdebar-debar ia menunggu, mungkin sesuatu benar-benar akan terjadi.

Ia menggamit Kuda Sempana yang tertidur sambil duduk memeluk lutut. Ketika Kuda Sempana mengangkat wajahnya,Mahisa Agni meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. kuda Sempana mengerti, bahwa Mahisa Agni telah melihat sesuatu. Selagi mereka berdiam diri sambil menahan nafas, maka mereka pun mendengar sesuatu berdesir. Dekat hampir di bawah tempat duduk mereka.

Tetapi suara itu pun kemudian hilang. Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Kuda Sempana itu menjadi semakin yakin, bahwa sesuatu memang akan terjadi. Tiba-tiba mereka membelalakkan mata ketika mereka mendengar suara berbisik, “Bagaimana?”

“Tunggu,” terdengar suara yang lain. Suara itu kemudian terdiam. Untuk beberapa lamanya mereka tidak mendengar apapun juga. Meskipun demikian, mereka tidak dapat tenang lagi. Agaknya memang akan terjadi sesuatu malam itu juga.

Ketika malam kemudian menjadi semakin malam, Mahisa Agni dan Kuda Sempana mendengar dinding yang diketuk perlahan-lahan. Agaknya ketukan itu merupakan isyarat bagi seorang yang ada di luar dinding. Dan ternyata ketukan dinding itu diikuti oleh suara yang lain, seakan-akan seseorang telah melemparkan sebutir kerikil ke dalam semak-semak di belakang bangsal itu.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kuda Sempana pun mengerti pula bahwa sesuatu telah mulai terjadi di bangsal itu. Dari dalam gerumbul Mahisa Agni melihat dua orang mendekat. Perlahan-lahan sekali. Mereka menghindarkan diri dari pengawasan para prajurit yang bertugas mengawal bangsal itu. Malam yang kelam itu rasa-rasanya akan menjadi malam yang hiruk-pikuk. Jika terjadi sesuatu, maka para prajurit pun akan segera mengepung bangsal itu dan setiap orang di dalam bangsal itu pun tidak akan dapat melepaskan diri lagi. Juga Kuda Sempana.

“Kau akan disembunyikan di dalam bangsal oleh Tuanku Anusapati,” bisik Mahisa Agni ketika hal itu dikemukakan oleh Kuda Sempana. Karena Kuda Sempana pun menjadi cemas, bahwa para prajurit yang tidak mengenalnya akan menyangka bahwa ia adalah salah seorang dan mereka yang memasuki bangsal itu dengan diam-diam dengan maksud jahat. Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian mendengar pintu berderit, tentu seseorang telah membukanya dari dalam.

“Apakah semua orang di dalam bangsal ini telah berkhianat, atau pelayan dalam yang baru itu telah melumpuhkan kawan-kawannya yang lama?” Mahisa Agni dan Kuda Sempana bertanya kepada diri sendiri.

Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak mendengar suara apapun lagi. Karena itu, maka mereka berdua pun dengan sangat hati-hati telah membuka atap bangsal itu dan masuk pula ke dalamnya. Tetapi keduanya memperhitungkan pula, bahwa betapapun lambatnya, namun atap kayu itu tentu akan berdesir pula. Karena itu, mereka mencari tempat yang tidak berada tepat di atas orang-orang yang agaknya telah berkumpul di bangsal itu pula.

Mahisa Agni telah mengenal bangsal itu dengan baik, sehingga ia pun dapat memasuki sebuah ruangan yang jarang sekali dikunjungi orang. Ruangan yang sering dipergunakan oleh Anusapati untuk menyepikan diri jika ia sedang dicengkam oleh kegelisahan hati.

“Di sebelah adalah ruang yang dipergunakan oleh Tuanku Anusapati,” bisik Mahisa Agni.

Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita membangunkannya,” desis Mahisa Agni pula. Kuda Sempana tidak menyahut. Ia hanya memperhatikan saja Mahisa Agni menyentuh dinding dengan tangannya, sehingga menimbulkan desir yang lemah.

Tapi ternyata bahwa indera Anusapati cukup tajam. Suara itu telah membangunkannya, tetapi tidak mengejutkan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia memang merasa mendengar sesuatu. Tetapi suara itu telah lenyap. Mahisa Agni yang mempunyai indera yang tidak kalah tajamnya mendengar derit pembaringan Anusapati. Firasatnyalah yang mengatakan kemudian, bahwa Anusapati tentu telah terbangun oleh desir papan dinding yang memisahkan kedua ruangan itu.

Sejenak Anusapati masih mencoba mendengarkannya. Tetapi ia benar-benar tidak mendengar apapun. Desah nafas Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun tidak dapat didengarnya, karena keduanya telah menjaga pernafasannya baik-baik. Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Karena ia tidak mendengar suara apapun lagi, maka ia pun telah memejamkan matanya. Ia menganggap bahwa suara yang didengarnya adalah suara yang terjadi di dalam mimpi atau sepotong ranting kering yang terjatuh di atap.

Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak. Ia memang mendengar sesuatu. Karena itu, maka ia pun menahan nafasnya dan mencoba memasang telinganya tajam-tajam. Sebuah derit yang pendek telah menarik perhatian Maharaja Singasari itu. Kemudian ia mendengar desir langkah kaki, betapapun lambatnya. Tetapi tidak dari ruangan sebelah, ruangan yang seakan-akan merupakan sanggar kecilnya di samping sanggar yang sebenarnya. Dan suara itu memang bukan suara langkah Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

Perlahan-lahan Anusapati bangkit dari pembaringannya. Ia menjaga agar geraknya tidak menumbuhkan bunyi apapun. Bahkan ketika ia berdiri, dan kemudian melangkah ke tengah biliknya. Ketika suara itu terdengar lagi, maka Anusapati pun yakin bahwa ada seseorang di dalam ruangan dalam bangsal itu. Sehingga karena itu, maka sekilas ia teringat pesan Mahisa Agni, agar ia pun berhati-hati.

Tetapi Anusapati menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar langkah itu semakin jelas dan bahkan tanpa usaha untuk menghilangkan desir suaranya sama sekali langsung menuju ke pintu bilik Anusapati. Sejenak tidak terdengar suara apapun. Namun kemudian terdengar seseorang terbatuk-batuk.

“Hem,” Anusapati berdesah, “aku terlampau berprasangka. Agaknya seorang pelayan dalam yang mendekati bilik ini.”

Meskipun demikian, Anusapati menjadi berdebar-debar juga. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Yang pertama-tama terlintas di kepalanya adalah anak dan istrinya yang tidur di bilik yang terpisah. Mungkin anaknya telah diganggu oleh perasaan sakit dan badannya menjadi panas, seperti yang memang pernah terjadi.

“Tetapi aku tidak mendengar ia mengeluh dan apalagi mengaduh,” katanya di dalam hati. Lalu, “Mungkin Ranggawuni telah merasa dirinya menjadi semakin besar, sehingga, ia harus dapat menahan perasaannya.”

Meskipun demikian, Anusapati menjadi curiga juga. Ia tidak mendengar langkah emban yang keluar dari bilik sebelah bilik Ranggawuni dan bundanya, yang disediakan bagi para emban yang sedang bertugas berjaga-jaga bergantian. Langkah yang didengarnya adalah langkah kaki dari ruangan belakang dan batuk-batuk yang didengarnya betapapun ditahankannya adalah suara seorang laki-laki. Tetapi yang digelisahkan kemudian bukanlah bahaya yang mengancamnya lagi. Tetapi apakah yang sudah terjadi di luar biliknya atau di luar bangsalnya.

Ketika suara batuk yang tertahan-tahan itu didengarnya lagi, maka Anusapati itu pun bertanya, “Siapa itu?”

“Ampun Tuanku. Hamba memberanikan diri mendekat bilik peraduan Tuanku.”

“Ada apa?”

“Hamba adalah pelayan dalam yang bertugas di dalam bangsal ini. Hamba dan kawan-kawan hamba melihat sesuatu yang barangkali sangat ajaib bagi Tuanku dan hamba semuanya.”

“Apa yang kau lihat?”

“Dari sela-sela dinding mula-mula kami melihat seakan-akan ada perapian di luar bangsal. Karena hamba ingin tahu, maka hamba pun telah membuka pintu belakang untuk meyakinkan apakah penglihatan kami benar. Ternyata yang kami lihat adalah cahaya dari dalam air di kolam sebelah, Tuanku.”

“Ah. Apakah kau tidak bermimpi?”

“Semuanya dapat melihatnya Tuanku. Sampai saat ini cahaya itu masih ada.”

Mahisa Agni dan Kuda Sempana mendengar kata-kata pelayan dalam itu pula. Sejenak mereka saling memandang, seakan-akan mereka ingin menyesuaikan pendapat mereka tentang kata-kata pelayan dalam itu. Tanpa membicarakannya, mereka masing-masing dapat menebak, bahwa pelayan dalam itu berusaha memancing Anusapati ke luar dari biliknya. Tentu beberapa orang akan menyerangnya bersama-sama di ruang belakang bilik itu.

Ternyata Anusapati tidak segera menjawab. Dan pelayan dalam itu berkata seterusnya, “Tuanku. Sebenarnyalah hamba menjadi ketakutan. Cahaya apakah yang berada di dalam air itu. Mungkin hamba bukan seorang penakut, dan prajurit-prajurit yang bertugas itu pun bukan penakut. Tetapi menghadapi sesuatu yang tidak pernah hamba lihat, hamba menjadi berdebar-debar pula.”

“Kau masih melihat sebelum kau mendekat bilik ini?”

“Hamba Tuanku.”

“Kau mengharap aku melihatnya pula?”

“Ampun Tuanku. Terserahlah kepada Tuanku. Tetapi hamba ingin mendapat ketenteraman hati apabila Tuanku dapat memberikan penjelasan, apakah sebenarnya yang telah hamba lihat.”

Sesuatu telah merayap di dalam dada Anusapati. Sebenarnya ia sudah ingin membuka pintu dan melangkah keluar. Tetapi ia teringat lagi peringatan Mahisa Agni dan bahkan adiknya Mahisa Wonga Teleng, bahwa ia seharusnya selalu berhati-hati. Sejenak Anusapati termangu-mangu. Dilihatnya pusakanya masih tergantung di dinding di atas pembaringannya.

Perlahan-lahan ia mendekatinya. Sebilah keris yang ada di dinding itu diambilnya. Bahkan kemudian dilihatnya geledek kayu di dalam bilik itu. Di situlah keris Empu Gandring yang sakti disimpannya. Tetapi agaknya Anusapati tidak menggunakannya untuk kepentingan yang kurang berarti. Dengan hati yang bimbang Anusapati pun kemudian melangkah ke pintu. Jika orang itu berniat jahat, kenapa ia membangunkannya? Tetapi jika benar apa yang dikatakannya, maka apakah sebenarnya cahaya yang dimaksudkan itu?

“Jika ia bermaksud jahat, tentu ia tidak akan melakukan di luar bangsal ini, karena di luar ada prajurit yang sedang bertugas,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja ia teringat kepada permintaan Mahisa Agni untuk memasuki bilik ini lewat atap.

“Aku mendengar sesuatu sehingga aku terbangun sebelum aku mendengar desir langkah orang yang terbatuk-batuk itu,” katanya di dalam hati. Dan suara itu dihubungkannya dengan kemungkinan adanya Mahisa Agni di dalam bangsal itu.

Namun Anusapati adalah seorang prajurit. Ia ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi atasnya jika ia benar-benar keluar dari dalam bilik itu. Sejenak kemudian Anusapati pun mendekati pintu dengan ragu-ragu. Perlahan-lahan tangannya mengangkat selarak dan dengan hati-hati ia membuka pintu setelah ia yakin bahwa nafas yang didengarnya tidak terlampau dekat dengan daun pintu itu. Ketika pintu itu terbuka, Anusapati melihat seorang pelayan dalam duduk sambil menundukkan kepalanya di muka pintu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.

“Kaukah yang melihat cahaya di dalam air itu?”

“Hamba Tuanku. Justru karena hamba pernah mendengar cahaya Dewa Brama yang kemerah-merahan, maka hamba menghadap Tuanku meskipun Tuanku sedang beradu.”

“Di mana cahaya itu?”

“Di kolam Tuanku. Hamba melihatnya dari pintu belakang?”

“Kenapa pintu belakang?”

Pelayan dalam itu tergagap sejenak, lalu, “Cahaya itu ada di ujung belakang.”

Anusapati termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mendapat firasat, bahwa agaknya memang akan ada sesuatu yang terjadi. “Mungkin aku hanya bercuriga karena Paman Mahisa Agni den Mahisa Wonga Teleng sering memberi peringatan padaku,” katanya di dalam hati. Namun demikian ia pun kemudian berkata kepada pelayan dalam itu, “Baiklah, aku akan melihatnya. Marilah.”

Pelayan dalam itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia masih duduk saja di tempatnya.

“Marilah.”

“Hamba Tuanku. Hamba akan menyertai Tuanku.”

Anusapati termangu-mangu sejenak, ketika pelayan dalam itu memberi isyarat kepadanya untuk berjalan lebih dahulu. Setelah mempertimbangkan sejenak, maka Anusapati pun kemudian berjalan diiringi pelayan dalam itu melintasi ruangan dalam. Di bilik sebelah bilik permaisurinya ia melihat seorang emban yang duduk terkantuk-kantuk di sini kawannya yang tertidur nyenyak.

“Pelayan dalam itu benar,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “akukah yang harus berjalan di depan.

Namun langkah Anusapati pun rasa-rasanya selalu diberati oleh kewaspadaannya. Ia menjadi semakin termangu-mangu ketika ia melihat pintu yang sudah menganga. Pintu yang memisahkan ruang dalam dan ruang belakang bilik itu. Anusapati masih melangkah terus. Namun demikian, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya ia melihat sesuatu yang tidak wajar menunggu di balik pintu yang terbuka itu. Apalagi cahaya lampu di ruang belakang itu agak redup. Jauh lebih redup dari lampu di ruang dalam. Tiba-tiba saja langkah Anusapati menjadi semakin lambat. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah berhenti.

“Silakan Tuanku,” berkata pelayan dalam itu, “mumpung cahaya itu masih dapat dilihat. Tentu cahaya semacam itu tidak akan bertahan lama. Dewa Brahma tidak akan dapat berada di dunia wadag ini lebih dari batas waktu yang sangat singkat.”

Anusapati justru berhenti karenanya. Dan pelayan dalam itu mendesaknya, “Silakan Tuanku. Jangan terlambat.”

Anusapati melangkah maju. Tetapi tiba-tiba ia berbalik sambil melekatkan telunjuknya di bibirnya. Tetapi lebih dari itu ia ternyata telah mengacukan kerisnya hampir melekat di dada pelayan dalam itu. Pelayan dalam itu terkejut bukan buatan. Tetapi karena isyarat jari telunjuk Anusapati yang melekat di bibir itu, ia tidak berani berkata sepatah kata pun. Demikian juga, ketika Anusapati kemudian berputar dan mendorong orang itu untuk berjalan di depan.

Ternyata orang itu meronta. Dengan wajah yang pucat ia menggelengkan kepalanya. Namun Anusapati menekankan kerisnya di punggungnya sambil mendorongnya maju. Betapa berat langkah kakinya. Apalagi ketika mereka menghampiri pintu yang terbuka itu. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa lagi, karena tiba-tiba saja Anusapati mendorongnya sehingga orang itu terhuyung-huyung terdorong maju beberapa langkah melintasi pintu.

Tetapi begitu ia melampaui tlundak pintu, maka ia pun segera berteriak, “Jangan, jangan! Ini aku…”

Namun sudah terlambat. Suaranya itu terputus oleh tusukan dua bilah keris di lambungnya kiri dan kanan. Sejenak ia masih berdesah. Namun kemudian ia pun terjatuh menelungkup dan mati seketika. Dua buah luka menganga di lambung kiri dan kanannya, sedang darah mengalir membasahi lantai yang mengkilap.

Betapa terkejutnya kedua orang yang menusuk lambung kiri dan kanan pelayan dalam itu. Ketika mereka sadar bahwa yang jatuh menelungkup itu adalah kawan mereka sendiri, maka mereka pun menggeram sambil berloncatan dari balik dinding. Ternyata tiga orang telah menunggu Anusapati di balik dinding itu.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Anusapati perlahan-lahan. Katanya, “Ternyata kalian masih harus banyak belajar. Kalian tidak dapat membedakan, siapakah yang harus kalian bunuh di dalam bangsal ini, sehingga agaknya kawanmu sendiri, bahkan justru pimpinanmu sendirilah yang harus mati lebih dahulu.”

Orang-orang itu menggeram. Salah seorang dari mereka berkata, “Pelayan dalam itu sama sekali tidak berarti bagi kami. Meskipun kami keliru, namun kau pun akan mati di ujung keris kami. Kau tidak akan mampu melawan kami bertiga, karena kami, yang datang dari kaki Gunung Kendeng, adalah murid-murid terkasih dari Empu Badara. Empu yang namanya dikenal sampai jauh ke seberang lautan.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku belum pernah mendengar nama itu. Tetapi seandainya benar ia memiliki nama yang dikenal sampai ke seberang, apakah kepentingannya dengan aku? Aku sama sekali tidak mempunyai persoalan dengan orang yang menyebut dirinya Empu Badara.”

“Kau memang tidak melihat ke dirimu sendiri. Setiap orang mengetahui kecuranganmu dan bahkan tingkah lakumu yang menodai Singasari. Kau sudah membunuh ayahmu sendiri karena kau ingin menduduki tahtanya. Sekarang kau berpura-pura bertanya apakah persoalanmu. Setiap orang sebenarnya membencimu karena tingkah lakumu itu. Seorang anak yang telah membunuh ayahnya sendiri, adalah seorang anak yang paling durhaka.”

Wajah Anusapati menjadi panas dan kemerah-merahan. Tetapi ia masih mencoba menahan hati dan berkata, “Sebenarnya kau keliru. Jika benar kau murid orang yang menyebut dirinya Empu Badara, hendaknya kau kembali kepada gurumu dan katakan kepadanya bahwa tafsirannya itu keliru. Bukan aku yang membunuh Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi seperti yang telah diumumkan dengan resmi, bahwa Pangalasan dari Batil itulah yang membunuhnya, dan aku terpaksa membunuh orang dari Batil itu.”

Salah seorang dari ketiga orang itu tertawa sambil melangkah maju. Katanya, “Kau dapat membuat cerita apapun juga. Tetapi kau tidak dapat mengelabui Empu Badara, karena Empu Badara dapat melihat tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu. Dan ia telah melihat apa yang sebenarnya terjadi di istana Singasari itu.”

“Terserahlah kepada kalian. Terserah kepada tanggapan orang yang kau sebut bernama Badara itu. Tetapi sekarang kau terjebak di dalam bangsal ini. Dan aku akan menangkap kalian.”

“Kau?” orang itu tertawa, “Baiklah. Tetapi sayang, bahwa kami sudah sepakat, bahwa kau harus mati.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya, “Di sekitar bangsal ini terdapat beberapa orang prajurit peronda. Apakah kau tidak dapat memperhitungkan bahwa aku dapat berteriak memanggil mereka.”

“Kau tidak akan sempat berteriak.”

“Sekarang aku dapat berteriak.”

Tetapi sebenarnyalah bahwa Anusapati tidak sempat melakukannya. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah menyerangnya dengan dahsyatnya, disusul oleh kedua orang yang lain. Anusapati terkejut. Ternyata bahwa ketiga orang itu memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa, sehingga untuk menghindari serangan itu, Anusapati harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Namun serangan berikutnya adalah serangan yang dahsyat sekali.

Hanya dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan yang ada padanya Anusapati dapat menghindar. Tetapi sampai kapan ia berhasil memeras segenap ilmu yang ada padanya itu. Dalam pada itu, emban yang berjaga-jaga di sebelah bilik permaisuri itu pun terkejut. Mereka mendengar suara ribut di ruang belakang. Bahkan bukan hanya emban itu yang menjadi berdebar-debar, tetapi sebenarnyalah bahwa permaisuri pun telah terbangun pula. Tetapi sebelum ia sempat berteriak, dilihatnya Mahisa Agni berdiri di depan pintu sambil meletakkan jari telunjuknya di muka bibirnya.

Permaisuri itu percaya kepada Mahisa Agni, bahwa kehadirannya tentu akan memberikan perlindungan jika terjadi sesuatu. Itulah sebabnya, maka ia pun mengurungkan niatnya untuk berteriak memanggil prajurit yang bertugas, atau siapa pun jika suara ribut itu adalah merupakan bahaya bagi Anusapati.

Dalam pada itu Anusapati terpaksa meloncat jauh ke ruang dalam. Ia benar-benar mengalami kesulitan melawan ketiga orang itu, sehingga ia sudah memutuskan untuk memanggil para prajurit yang bertugas, meskipun rasa-rasanya hatinya terlampau berat. Apalagi kemampuan ketiga lawannya adalah jauh lebih tinggi dari para prajurit yang berjaga-jaga. Jika di antara mereka terdapat seorang atau dua orang perwira yang memiliki kemampuan cukup, maka agaknya ia akan dapat mempertahankan dirinya, dan para prajurit yang berjumlah cukup banyak itu pun akan dapat membantunya menangkap ketiga orang itu.

Tetapi agaknya ia tidak akan sempat melakukannya. Ketika orang yang semuanya bersenjata trisula itu sudah siap bersama-sama menerkam mereka. Tetapi ketiganya terkejut ketika mereka mendengar seseorang terbatuk-batuk di depan pintu bilik semadi Anusapati. Ketika mereka berpaling dilihatnya seorang berdiri bersandar di bibir pintu.

“Paman Kuda Sempana,” desis Anusapati.

“Hamba Tuanku. Hamba berani menampakkan diri karena pelayan dalam yang baru itu sudah mati oleh kawan-kawannya sendiri, karena hanya orang itulah yang pernah mengenal aku di sabungan ayam.”

“Oh.” “Dan karena itulah hamba selalu minta kepada Kakang Mahisa Agni untuk setiap kali memperingatkan Tuanku, bahwa di dalam istana ini tersembunyi bahaya yang setiap saat dapat meledak seperti malam ini.”

“Siapa kau?” salah seorang dari ketiga orang bersenjata trisula itu bertanya.

“Aku sudah mendengar bahwa kalian adalah murid Empu Badara. Aku tidak tahu, apakah kalian hanya sekedar berbohong dan meminjam nama itu, atau sebenarnya kalian murid orang yang kau sebut itu. Tetapi seperti Tuanku Anusapati aku pun belum pernah mendengar nama yang kau sebut itu.”

“Diam! Kau tidak usah turut campur, atau kau juga ingin mati?”

“Aku adalah murid Empu Sada. Mungkin kau juga belum pernah mendengar. Seorang Empu yang menyusuri jalan yang kelam, yang bersenjatakan tongkat panjang. Tetapi sekarang tinggal kenangan saja. Adik seperguruanku yang mewarisi tongkat itu pun telah meninggal, dan tongkat itu pun sekarang ada padaku. Apakah kau pernah mendengar?”

Ketiga orang itu menjadi tegang. Salah seorang berdesis, “Jadi kau murid Empu Sada yang bersenjata tongkat panjang itu?”

“Ya. Dan barangkali kau juga pernah mendengar, yang berdiri di sudut itu adalah murid seorang yang paling terkenal di telatah Kediri dan Singasari. Ia adalah murid Empu Purwa dan sekaligus kemenakan Empu Gandring, seorang empu keris yang terkenal.”

Dada ketiga orang itu semakin terguncang. Ketika mereka berpaling mereka melihat Mahisa Agni berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya.

“Bukan saja murid Empu Purwa,” berkata Kuda Sempana seterusnya, “ia juga murid Empu Sada, dan bahkan memiliki kemampuan dan kedahsyatan ilmu Wong Sarimpat dan Kebo Sindet jika kalian pernah mendengarnya.”

Wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Nama-nama itu memang pernah mereka dengar, dan nama-nama itu membuat kepala mereka menjadi pening. Tiba-tiba salah seorang berteriak, “Bohong! Kau dapat menyebut nama orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi seperti Empu Purwa, Empu Gandring, Empu Sada, Panji Bojong Santi dan siapa saja. Tetapi aku tidak percaya.”

“Terserahlah kepadamu. Tetapi yang kami katakan itu hanya sekedar peringatan agar kalian berhati-hati menghadapi kami bertiga. Nah, marilah kita saling memilih lawan. Tuanku Anusapati yang dikenal sebagai Kesatria Putih, Mahisa Agni yang berkuasa atas nama Maharaja Singasari di Kediri dan yang telah mengalahkan Maha Senapati Kediri dan barangkali hanya akulah yang tidak mempunyai kebanggaan apa-apa.”

“Persetan!” geram yang seorang lagi.

“Jangan keras-keras,” tiba-tiba Kuda Sempana tersenyum menyakitkan hati, “jika para prajurit yang bertugas di luar mendengar, mereka akan memasuki bangsal ini, dan umurmu akan menjadi semakin pendek. Setiap perwira di Singasari akan bernilai seperti kemampuan sepuluh orang biasa. Dan barangkali, kau memiliki kemampuan dua belas kali orang biasa.”

“Diam! Diam!” bentak yang lain. Tetapi Kuda Sempana justru tertawa. Sejenak ia memandang Mahisa Agni yang berdiri di sudut, dan sejenak kemudian Anusapati.

“Maaf,” katanya kemudian, “barangkali caraku tidak disukai oleh Kakang Mahisa Agni. Baiklah. Marilah kita tidak bergurau lagi. Tetapi apakah kalian bertiga tidak mempertimbangkan kemungkinan untuk menyerah saja?”

Ketiga orang itu menjadi tegang. Dan seolah-olah berjanji mereka memilih lawan rnasing-masing. Karena mereka belum dapat menjajaki kemampuan ketiga orang itu, maka mereka tidak dapat membuat pertimbangan, siapa-siapa yang harus mereka hadapi masing-masing. Sehingga dengan demikian, mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang berdiri di paling dekat.

Sejenak kemudian mereka bertiga sudah berhadapan dengan ketiga orang yang memang sudah menunggu di bangsal itu. Namun sebelum mereka terlibat dalam perkelahian. Mahisa Agni masih bertanya, “Apakah kalian tahu, di manakah para pelayan dalam yang bertugas di bangsal ini? Apakah pelayan dalam yang seorang ini telah membunuh mereka dengan licik?”

“Aku tidak peduli!” geram salah seorang dari mereka, “Itu sama sekali bukan urusanku. Aku hanya bertugas untuk membunuh Maharaja Kediri.”

“Siapa yang menugaskan kalian?”

“Empu Badara.”

“Kau menyebut nama itu lagi,” potong Kuda Sempana.

“Aku tidak peduli, apakah kau percaya atau tidak. Sekarang, siapa yang akan mati lebih dahulu.”

Anusapati pun kemudian mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Demikian juga Kuda Sempana dan Mahisa Agni. Bahkan Kuda Sempana masih sempat berkata, “Tuanku, sebaiknya Tuanku tidak memanggil prajurit peronda. Dengan demikian mereka akan membunyikan tengara, dan seisi istana akan terbangun dan menjadi ribut. Sebaiknya orang-orang ini kita tangkap sendiri dan kita ikat.”

“Persetan!” salah seorang dari mereka ternyata tidak sabar lagi. Ia segera meloncat menyerang Kuda Sempana dengan segenap kemampuan yang ada padanya.

Serangan itu datang bagaikan lidah api yang meloncat di langit. Cepat dan dahsyat sekali. Tetapi Kuda Sempana memang sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga ia pun sempat menghindarkan dirinya sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Ketika perkelahian itu sudah mulai, maka yang lain pun segera menyerang lawan masing-masing. Yang seorang menyerang Mahisa Agni yang lain menyerang Anusapati. Tetapi kedua orang itu pun sudah siap menghadapinya. Bahkan Mahisa Agni masih sempat menghindar sambil bergeser ke ruang belakang, sehingga dengan demikian maka perkelahian itu pun segera terjadi di tempat yang terpisah.

Keributan yang terjadi di dalam bangsal itu telah mencemaskan Permaisuri. Bahkan kemudian Ranggawuni pun terbangun pula, sehingga dengan susah payah permaisuri menahan agar Ranggawuni tidak berlari keluar melihat apa yang sedang terjadi.

“Ibunda, kenapa hamba tidak boleh melihat?” bertanya Ranggawuni. Lalu, “Apakah yang sedang terjadi?”

“Tidak apa-apa, Anakku.”

“Jika tidak ada apa-apa, kenapa hamba tidak boleh pergi keluar?”

“Tidurlah. Hari masih terlampau malam.”

Ranggawuni menjadi gelisah. Ia masih mendengar beberapa orang yang agaknya sedang terlibat dalam perkelahian, karena betapapun juga, ia pernah mengalami latihan-latihan di dalam olah kanuragan meskipun masih terlalu sederhana. “Ibunda, hamba akan pergi keluar.”

“Jangan Ranggawuni. Ayahanda sedang berlatih bersama Paman Mahisa Agni. Berlatih dalam ilmu kanuragan yang jauh di luar kemampuan daya tangkapmu, sehingga karena itu, jika kau melihat kau akan terganggu karenanya.”

“Hamba akan melihat Ibunda,” desak Ranggawuni.

“Jangan Ranggawuni. Jika kau memaksa, ibu akan bersedih, karena putranya tidak mau mendengarkan nasihatnya.”

Ranggawuni menarik nafas. Ia ingin sekali menyaksikan perkelahian yang disebut oleh ibunya sebagai latihan itu. Tetapi ia tidak berani memaksa, karena ibunya benar-benar tidak mengizinkannya. Namun dalam pada itu, hati Ibundanya pun dicengkam oleh kecemasan. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Ia tidak tahu, apakah Anusapati sedang di dalam bahaya yang sebenarnya atau masih ada kemungkinan yang lain. Tetapi kehadiran Mahisa Agni di bangsal itu membuat hati permaisuri itu agak tenang, karena ia tahu bahwa Mahisa Agni adalah pelindung Anusapati sejak kecilnya dan memiliki kemampuan yang hampir tidak ada duanya.

Dalam pada itu, perkelahian itu pun terjadi semakin sengit. Tetapi malanglah bagi mereka yang memilih Mahisa Agni dan Kuda Sempana sebagai lawannya. Karena dalam waktu yang singkat, mereka telah kehilangan setiap kesempatan untuk melakukan perlawanan, dan bahkan untuk melarikan diri sekalipun. Karena itu, maka betapapun mereka mengerahkan segenap kemampuannya, namun sebenarnyalah bahwa mereka tidak berdaya berbuat sesuatu.

Meskipun Mahisa Agni dan Kuda Sempana bertempur tidak dengan sepenuh tenaga, namun mereka segera berhasil mendesak lawannya dan bahkan kemudian tidak memberi mereka kesempatan berbuat sesuatu meskipun mereka sudah menggenggam senjata di tangan.

Dalam pada itu, Anusapati pun ternyata memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun tidak secepat Mahisa Agni dan Kuda Sempana, namun ia pun segera berhasil menguasai lawannya. Ketika lawannya kemudian menarik trisula di lambungnya, maka Anusapati pun menarik kerisnya, karena ternyata ia tidak dapat melawan trisula itu dengan tangannya seperti yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

Namun agaknya malang bagi lawannya. Justru karena lawannya bersenjata dan bertempur memeras segenap tenaganya, maka Anusapati pun harus mengimbanginya. Ketika lawannya menyerang dengan dahsyatnya dengan menjulurkan senjatanya, maka Anusapati pun menghindar. Ia merendahkan dirinya sedikit dengan menjulurkan kerisnya pula.

Trisula lawannya itu menyambar papan dinding yang membatasi ruangan itu dengan bilik Anusapati. Terdengar suara gemeretak. Namun ujung trisula itu seakan-akan terhunjam pada dinding itu. Sebelum orang itu sempat menarik trisulanya, maka keris Anusapati yang terjulur itu sudah menghunjam di lambungnya. Terdengar orang itu mengeluh pendek. Kemudian orang itu pun perlahan-lahan jatuh tertelungkup hampir menimpa Anusapati yang segera berkisar ke samping.

Dua orang temannya yang lain pun sama sekali tidak berdaya melawan Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Mereka yang juga bersenjata trisula itu, sama sekali tidak berhasil mempergunakan senjatanya. Setiap kali rasa-rasanya mereka kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu, karena lawannya yang selalu mendesaknya ke sudut.

Pada saatnya, maka senjata-senjata di tangan kedua orang itu benar-benar tidak berdaya. Tanpa banyak dapat berbuat maka senjata itu pun telah terlepas dari tangan masing-masing, sehingga dalam sekejap, maka pukulan Mahisa Agni dan Kuda Sempana benar-benar telah melumpuhkan mereka.

Namun dengan demikian, agaknya trisula yang menghantam dinding itu telah menimbulkan suara yang keras. Dinding yang berderak itu telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar. Namun mereka tidak segera berani masuk, karena mereka tidak mendengar Anusapati memanggilnya atau pelayan dalam yang diutus. Namun demikian mereka telah mendekati pintu butulan, yang setiap saat dengan mudah akan menerobos masuk jika terjadi sesuatu.

“Tidak ada apa-apa, “terdengar suara Anusapati dari dalam, “Ranggawuni telah memukul dinding.”

Kata-kata Anusapati itu telah menenangkan para prajurit di luar, meskipun mereka masih tetap curiga. Sehingga dengan demikian maka mereka pun masih tetap berkumpul di muka pintu. Baru sejenak kemudian pintu pun terbuka. Anusapati sendirilah yang berdiri di muka pintu sambil tersenyum.

Seorang perwira bertugas di regol depan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah Tuanku, bahwa tidak ada sesuatu di bangsal ini. Hamba sudah cemas sekali mendengar suara yang agaknya terlalu ribut di dalam.”

“Kenapa?”

“Hamba teringat saat-saat Tuanku Sri Rajasa yang telah terbunuh dengan curang tanpa diketahui oleh para penjaga.”

Anusapati tertawa. Katanya, “Masuklah.”

Perwira itu termangu-mangu.

“Masuklah!”

Perwira itu memandang kawannya yang berdiri di belakangnya.

“Marilah!”

Perwira itu pun kemudian melangkah masuk diikuti oleh beberapa orang prajurit yang lain. Namun perwira itu terkejut ketika ia melihat seorang yang tertelungkup dengan darah yang mengalir dari lambungnya membasahi lantai. “Tuanku?”

Anusapati tersenyum. Perwira itu menjadi gemetar. Ternyata bahwa hal yang dicemaskan itu telah terjadi.

“Lihatlah ke ruang sebelah! Ruang belakang dari bangsal ini.”

Perwira itu menjadi semakin berdebar-debar. Diikuti oleh para prajurit, mereka pun masuk ke ruang belakang. Dilihatnya Mahisa Agni berdiri di sudut ruangan itu. Di sebelahnya dua orang yang telah diikat tangannya berdiri bersandar di dinding.

“Oh,” perwira itu berdesis, “apakah yang telah terjadi Tuanku?”

“Seperti yang kau lihat. Tiga orang berhasil memasuki bangsal ini. Dan jika kau lihat orang mati di sudut itu, ia adalah seorang pelayan dalam. Kami sedang mencari pelayan dalam yang lain, yang ternyata kami temukan dia pingsan di bilik pelayanan, dan tiga orang yang tidak dikenal ini hampir saja merampas nyawaku, seperti yang pernah terjadi atas Ayahanda Sri Rajasa.”

Perwira itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa bersalah bahwa para prajurit yang berjaga-jaga sama sekali tidak melihat orang-orang itu menyusup masuk ke dalam bangsal. Mereka tidak melihat apakah ketiganya merusak dinding, atap atau dengan cara lain. Tetapi agaknya seorang pelayan dalam telah menjadi kaki tangan mereka yang berhasil menyusup di bangsal ini.

“Sudahlah,” berkata Anusapati, “jangan membuat seisi istana ini menjadi kacau. Karena itulah maka aku tidak memberikan tanda apapun agar tidak dibunyikan tanda bahaya. Kehadiran Pamanda Mahisa Agni telah menyelamatkan aku.”

Anusapati berhenti sejenak sambil memandang pintu bilik penyepen yang tertutup. Di dalam bilik itu Kuda Sempana yang tidak banyak dikenal oleh pada prajurit sedang memanjat naik. Kemudian dengan hati-hati ia memperbaiki atap yang dibukanya saat ia masuk meskipun tidak sempurna, namun atap itu sudah tampak tertutup kembali. Justru pada saat perhatian semua prajurit terpusat pada keributan di dalam bangsal, Kuda Sempana dengan hati-hati dapat lolos dari pengawasan mereka dan hilang dibalik kegelapan. Sesaat kemudian ia pun sudah meloncat dinding dan berada di luar lingkungan halaman istana Singasari.

Di dalam bangsal, para prajurit masih berdebar-debar. Meski pun Anusapati tidak terbunuh, tetapi mereka dapat dihukum, karena mereka jelas bersalah. Bangsal Maharaja Singasari yang dijaga ketat ternyata masih dapat disusupi oleh orang-orang tidak dikenal. Tetapi ternyata bukan pasukan pengawal saja yang akan menjadi sasaran kesalahan itu. Panglima pelayan dalam pun akan dituntut oleh sebuah pertanggungjawaban, bahwa ada orangnya yang berusaha berkhianat terhadap Maharaja Singasari.

“Sekarang,” berkata Anusapati, “jangan berada semuanya di dalam bangsal ini. Kalian akan kehilangan kewaspadaan lagi.”

“Oh,” perwira itu berdesis, “baiklah Tuanku. Hamba mohon ampun bahwa hamba dan kawan-kawan hamba telah menjadi lengah dan tidak mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang berhasil menyusup ke dalam bangsal ini.”

“Sudahlah,” jawab Anusapati, “sekarang, bersihkan bangsal ini. Korban-korban itu harus diselenggarakan sebaik-baiknya besok. Kalian dapat berhubungan dengan para pelayan di istana ini. Tetapi yang penting, penjagaan harus tetap berjalan seperti biasa, dan bangsal ini menjadi bersih. Agar jika Permaisuri keluar dari peraduannya, tidak dikejutkan oleh pemandangan yang mengerikan ini.”

Demikianlah maka para prajurit itu pun membagi tugas. Sebagian dari mereka segera mengangkat mayat-mayat itu dan membawanya keluar. Yang lain mengambil air dan membersihkan darah yang berceceran di lantai. Sedang sebagian dari mereka tetap berada di gardu penjagaan di regol bangsal itu.

Namun bagaimanapun juga, berita tentang usaha pembunuhan itu tidak dapat dirahasiakan lagi. Pada malam itu juga, berita itu sudah tersebar di seluruh halaman istana. Meskipun tidak menimbulkan kekacauan bagi mereka yang tertidur nyenyak di bangsal-bangsal, terutama Ibunda Tuanku Anusapati dan putra-putranya yang lain, Ibunda Ken Umang dan putranya, dan para penghuni yang lain, namun para prajurit dan pengawal yang lain pun bagaikan dipanggang di atas bara. Setiap petugas di halaman istana merasa bersalah, seperti pada saat Sri Rajasa terbunuh.

“Dahulu Tuanku Anusapati masih bersabar dan memaafkan kesalahan para petugas. Tetapi kini persoalannya menyangkut dirinya, meskipun ia masih sempat mengelak dan bahkan membunuh orang-orang yang berusaha membunuhnya,” berkata salah seorang prajurit.

Yang lain mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Ya. Tentu persoalannya akan berbeda. Justru Tuanku Anusapati masih tetap selamat. Jika ia tidak menjatuhkan hukuman, terutama kepada yang bertugas di bangsalnya itu, maka para penjaga berikutnya akan menjadi lengah pula.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Tentu orang-orang itu adalah orang-orang yang luar biasa, sehingga mereka mampu menghindarkan diri dari pengawasan para petugas di bangsal itu, dan para pelayan dalam di dalam bangsal.”

“Tetapi Tuanku Anusapati memang orang luar biasa. Ia berhasil mengalahkan ketiga orang itu.”

“Dan yang paling mengherankan Tuanku Mahisa Agni sudah berada di bangsal itu. Tentu Tuanku Mahisa Agni pulalah yang membunuh orang-orang yang berusaha membinasakan Tuanku Anusapati itu.”

“Memang aneh. Tetapi daya tangkap Tuanku Mahisa Agni atas peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dan bakal terjadi memang tajam sekali,” ia berhenti sejenak, “dan tentu ada hubungannya pula, mengapa dua orang kepercayaan Tuanku Anusapati beberapa saat yang lampau berada di bangsal itu. Agaknya saat itu memang sudah ada tanda-tanda pengkhianatan yang akan terjadi, meskipun alasannya berbeda. Tetapi selama kedua pelayan dalam kepercayaan itu ada di bangsal, tidak pernah terjadi sesuatu, sehingga akhirnya keduanya tidak lagi diperintahkan untuk berada di dalam bangsal setiap malam.”

“Ya, tentu bukan karena Tuanku Anusapati sedang sakit saat itu.”

Kedua prajurit itu pun kemudian terdiam. Mereka berusaha membayangkan apa yang telah terjadi di dalam bangsal itu, dan kenapa Mahisa Agni tiba-tiba saja sudah berada di sana. Tetapi pada umumnya, pertanyaan yang demikian itu menghinggapi setiap petugas. Tetapi hampir setiap orang di dalam istana itu pun menjawabnya sendiri,

“Mahisa Agni memang manusia luar biasa. Agaknya ia dapat melihat dan mengerti apa yang terjadi di dalam istana ini. Atau barangkali, ia memang setiap malam nganglang mengelilingi istana dan terutama bangsal kemenakannya yang sangat dikasihinya itu.”

Demikianlah maka bangsal Anusapati itu pun menjadi bersih. Bekas darah telah terhapus, dan para pelayan dalam yang pingsan telah sadar. Namun dalam pada itu, betapa terkejut Mahisa Agni dan Anusapati ketika mereka melihat kedua tawanannya yang diharapkan dapat memberikan keterangan tentang usaha pembunuhan itu telah mati di sudut bilik pelayanan, di mana keduanya di tempatkan.

Dengan wajah yang tegang Mahisa Agni mendekati keduanya sambil berkata, “Tuanku, keduanya agaknya sudah meninggal.”

“He,” Anusapati terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mendekati keduanya yang sudah membeku di sudut bilik itu. Tetapi ketika Anusapati akan meraba orang-orang itu, maka Mahisa Agni cepat menggamitnya.

“Ampun Tuanku. Kita masih belum tahu, apakah sebabnya keduanya mati,” berkata Mahisa Agni.

“Maksudmu?”

“Jika kematiannya disebabkan oleh sebangsa racun yang dapat menjalar karena sentuhan, maka Tuanku pun akan keracunan.”

“Oh,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa ternyata ia kurang berhati-hati. Jika keduanya benar-benar kena racun yang menyentuh dari luar tubuhnya, maka racun itu memang menjalar kepada orang lain yang menyentuhnya pula.

Beberapa orang pelayan dalam yang kini telah sadar itu pun kemudian diperintahkan oleh Mahisa Agni untuk mengambilkan beberapa buah lampu sehingga bilik itu menjadi terang benderang. Dengan demikian Mahisa Agni dapat melihat dengan jelas bahwa dua mayat itu memang keracunan. Tetapi menurut pengamatan Mahisa Agni, racun itu sama sekali bukan membunuhnya dari luar, tetapi justru dari dalam.

“Mungkin sebangsa paser itu lagi,” desis Mahisa Agni. Karena Mahisa Agni kemudian yakin, bahwa racun itu tidak membunuhnya dari luar, tetapi justru lewat saluran darah, maka ia pun kemudian berani meraba mayat-mayat itu dan mencari luka yang barangkali menjadi pintu masuk racun itu sehingga menyentuh darah.

Tapi kali ini Mahisa Agni tidak menemukannya. Sehingga dengan demikian ia mengambil kesimpulan, “Tuanku, menurut pengamatan hamba, agaknya kedua orang ini telah bunuh diri.”

“Bagaimana mungkin ia membunuh diri. Ketika kita menangkap mereka, mereka langsung kita ikat tangan dan kemudian kakinya.”

“Mereka tentu membawa semacam butiran racun. Agaknya mereka telah menelan racun itu demikian mereka merasa tidak dapat memenangkan perkelahian ini.”

“Aku kurang yakin. Apakah demikian besar kesetiaan mereka kepada orang yang memberikan perintah kepada mereka itu, sehingga mereka bersedia dengan suka rela mengorbankan nyawanya?”

“Agaknya demikian yang harus mereka lakukan. Mungkin mereka memang orang- yang setia. Tetapi mungkin juga karena di dalam perjanjian jual beli, tercantum ketentuan, bahwa jika mereka gagal, mereka harus mati.”

“Bagaimana jika mereka tidak usah membunuh diri dan menempatkan diri di dalam perlindungan kami?”

“Jika mereka bertiga langsung mengikat perjanjian dengan orang yang berkepentingan memang mungkin sekali Tuanku. Tetapi jika yang mengadakan perjanjian itu justru guru mereka, dan perintah bagi ketiganya benar-benar datang dari seorang yang disebutnya gurunya dan bernama Empu Badara, maka keadaannya akan lain. Tentu mereka tidak akan berani ingkar apapun yang harus mereka lakukan, termasuk bunuh diri.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dan Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Sebab bagi seorang murid, kata-kata gurunya adalah perintah yang tidak dapat dibantah lagi. Termasuk mati. Karena jika perintah itu tidak dijalankan, mungkin mereka akan mengalami bencana yang lebih dahsyat daripada mati.”

“Misalnya?”

“Cacat seumur hidup. Atau siksaan badaniah yang tidak tertanggungkan, dan masih banyak lagi yang akan dapat terjadi.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin sekali. Dan ketiga orang itu lebih takut kepada gurunya daripada kepada mati. Dan karena itulah maka mereka telah memilih mati.”

Dengan demikian, maka sekali lagi Singasari dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit. Beberapa kali Singasari kehilangan orang-orang yang mereka anggap penting sebagai sumber keterangan. Para perwira yang telah memberontak itu mati oleh paser-paser beracun, kemudian kini orang-orang yang sudah berhasil ditangkap itu telah membunuh diri dengan menelan racun pula.

Demikianlah, di pagi harinya, Singasari telah digemparkan oleh peristiwa malam itu. Betapapun hal itu dirahasiakan, namun berita itu pun tersebar di seluruh kota, bahkan kemudian di seluruh negeri. Bahwa sekelompok orang yang tidak dikenal telah berusaha membunuh langsung Tuanku Anusapati, setelah beberapa saat yang lampau, sekelompok prajurit mencoba berkhianat pula terhadap pemerintahannya.

Dengan demikian, maka Anusapati mulai menjadi cemas, bahwa dendam yang ada di antara keluarganya menjadi semakin besar. Meskipun tidak ada bukti-bukti yang dapat disebutkannya, namun dugaannya kuat bahwa yang telah menggerakkan semua kekacauan itu adalah keluarga sendiri. Namun demikian Anusapati masih menyimpannya saja di dalam hati. Ia tahu pasti, bahwa Mahisa Agni, bahkan adiknya, Mahisa Wonga Teleng juga berpendapat demikian.

Namun ia ingin menemukan bukti yang dapat dipakainya untuk menjadi alasan setiap tindakan yang akan dilakukannya, sehingga orang lain tidak akan dapat menuduhnya, sekedar karena dengki dan sakit hati, justru karena orang yang dicurigainya itu adalah saudara seayah tetapi lain ibu. Bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga.

Anusapati setiap kali hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang tua di Singasari pasti mengetahui bahwa pada saat Akuwu Tunggul Ametung terbunuh, Ibundanya, Ken Dedes sedang mengandung, dan kemudian lahirlah dirinya, Anusapati. Dengan demikian, pasti banyak orang yang sebenarnya tahu, bahwa ia sama sekali bukan putra Sri Rajasa. Dan karena itu pulalah, maka agaknya memang ada tuduhan, bahwa kematian Sri Rajasa, memang dikehendakinya.

Tetapi lebih daripada itu, ia tidak mau menerima akibat tuduhan bahwa jika ia menyangkutkan Tohjaya di dalam persoalan ini tanpa bukti yang nyata, maka apa yang dilakukan yaitu adalah fitnah semata-mata justru karena Tohjaya adalah putra Sri Rajasa apalagi lahir dari istrinya yang kedua, Ken Umang. Namun sudah dua kali ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan saksi, siapakah yang telah berbuat dibalik usaha pengancaman dan pembunuhan atas dirinya itu.

Di dalam paseban Agung yang diadakan kemudian, maka Anusapati sudah menunjukkan kemurahan hatinya lagi, bahwa ia tidak menjatuhkan hukuman yang setimpal atas para prajurit dan pelayan dalam yang bertugas di malam yang menggemparkan itu. Tetapi ia tetap memberikan peringatan, bahwa jika terjadi sekali lagi pada saat mereka itu bertugas, maka mereka akan disangkutkan pada kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkhianat itu.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih selalu mencemaskan nasib Baginda Anusapati itu pun tidak lagi melontarkan usulnya dengan diam-diam, langsung kepadanya, tetapi pendapatnya itu pun dinyatakannya di dalam paseban yang terbuka.

“Ampun Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “adalah demi keselamatan Tuanku dan kelangsungan pemerintahan Singasari, perkenankanlah hamba mengusulkan, agar keselamatan Tuanku terjaga, maka sebaiknya kolam yang kini merupakan hiasan yang indah di sebelah bangsal itu diperbesar lagi. Selain akan menambah keindahan pemandangan di seputar bangsal, maka hal itu akan mencegah terulangnya usaha pembunuhan seperti yang pernah terjadi.”

“Maksud Pamanda?”

“Kolam itu diperluas mengelilingi bangsal Tuanku.”

“Ah, apakah justru akan menghilangkan keindahan kolam itu sendiri?”

“Tidak Tuanku, bangsal Tuanku akan menjadi seolah-olah sebuah perahu yang berlayar di lautan. Tetapi lebih daripada itu, Tuanku dan putranda Tuanku, akan bebas, setidak-tidaknya akan memperkecil kemungkinan, terjadinya pengkhianatan.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah-wajah di paseban itu, dilihatnya beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian seorang senapati tidak saja mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi tanpa disadarinya terdengar ia berdesis, “Benar, sesungguhnya itu benar.”

“Apa yang benar?” bertanya Anusapati.

Senapati itu terkejut. Dengan gugup ia menjawab, “Ampun Tuanku. Sebenarnyalah yang dikatakan Tuanku Mahisa Agni itu benar.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya bahwa hampir semua orang sependapat, bahwa perlu diambil tindakan pengamanan atas dirinya.

“Tuanku,” seorang senapati yang lain, yang sudah beruban berkata, “apakah salahnya jika kita berhati-hati. Selebihnya bangsal itu benar-benar akan menjadi suatu pemandangan yang sedap di dalam halaman istana Singasari. Sebuah kolam yang mengelilingi bangsal agung, dan ditaburi dengan pohon-pohon bunga. Tetapi yang penting Tuanku, telah terbukti bahwa ada pihak yang memang akan berkhianat terhadap Tuanku.”

Anusapati pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bersabda, “Baiklah Pamanda Mahisa Agni. Jika memang tidak ada yang mengajukan keberatan, maka biarlah aku memerintahkan agar kolam itu diperluas sehingga mengelilingi bangsal. Dan apabila masih ada yang berkeberatan, maka aku masih akan mendengarkan dan mempertimbangkan pendapatnya.”

Sejenak paseban itu menjadi hening. Baru kemudian seorang panglima bergeser setapak. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia berkata, “Ampun Tuanku yang Maha Bijaksana. Sebenarnyalah hamba menjadi sangat prihatin atas peristiwa yang baru saja terjadi. Apalagi hamba adalah panglima pelayan dalam, yang tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungjawaban atas kelalaian yang tidak termaafkan dari beberapa orang pelayan dalam yang malam itu bertugas di dalam bangsal. Namun demikian Tuanku, bagi hamba kolam yang mengelilingi bangsal Tuanku itu kurang hamba pandang perlu, kecuali jika hal itu memang akan menyenangkan hati Tuanku. Semata-mata dari segi pengamanan, maka yang lebih penting adalah kesiagaan prajurit dan pelayan dalam yang lebih banyak. Dan itu adalah kewajiban para panglima. Panglima pasukan pengawal, panglima pasukan pengamanan dan panglima pelayan dalam yaitu hamba sendiri, dan pada senapati dan segenap prajurit.”

Terasa dada Anusapati berdesir. Demikian juga Mahisa Agni, dan terutama Mahisa Wonga Teleng yang masih lebih muda dari Anusapati sendiri. Tetapi untunglah bahwa Mahisa Agni sempat menggamitnya dan memberi isyarat, biarlah Anusapati sendiri yang menjawab.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Anusapati pun kemudian berkata, “Kau benar. Sebenarnyalah pengamanan semua yang ada di dalam istana ini bergantung kepada para panglima dan prajurit. Tetapi bagiku kolam itu tidak ada salahnya, seperti juga dinding yang melingkari halaman istana ini.”

Panglima pelayan dalam itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, namun ia tidak segera dapat menyahut. Dalam pada itu maka Anusapati pun melanjutkan kata-katanya, “Bagiku, kolam itu memang mempunyai dua arti. Aku memang senang melihat air di sekeliling bangsalku. Dan aku tidak dapat mengabaikan nasihat Pamanda Mahisa Agni. Jika para panglima dan prajurit tersinggung jika kolam itu dimaksudkan untuk mengamankan bangsal, maka seharusnya para panglima dan prajurit juga tersinggung melihat dinding batu halaman istana ini. Jika kita mempercayakan diri kepada para prajurit, dinding batu itu sama sekali tidak akan berarti.”

“Ampun Tuanku,” berkata panglima itu kemudian, “ternyata ada bedanya antara dinding batu dan kolam di seputar bangsal itu apabila kelak benar-benar akan dibuat. Dinding itu semata-mata untuk mempermudah pengawasan dan untuk menahan arus kekuatan lawan jika pada suatu saat kita terpaksa berperang. Dari atas dinding kita mempunyai kesempatan untuk melawan musuh dengan kesempatan yang lebih banyak daripada musuh yang datang dan terhalang oleh dinding itu.”

“Nah, bukankah tidak ada bedanya? Kolam itu pun bukan berarti, tidak ada tanggung jawab lagi dari para prajurit yang bertugas. Tetapi kolam itu sekedar mempermudah pengawasan dan memperkecil kemungkinan penyusupan seperti yang pernah terjadi.”

Panglima itu menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat membantah lagi. Sehingga karena itu, maka ia pun tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Baiklah,” berkata Anusapati, “yang harus kita lakukan kemudian adalah membuat kolam itu dan menyiapkan kesiagaan yang lebih besar. Pengawasan dan ketelitian. Bukan saja mereka yang bertugas di seputar bangsal dan kolam itu, tetapi juga di seluruh halaman, karena ternyata ada orang-orang di luar halaman istana yang berhasil menyusup masuk dan bahkan sampai ke dalam bangsal.”

Tidak seorang pun lagi yang mengajukan pendapatnya, sehingga paseban itu pun kemudian dibubarkan. Namun Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng masih tinggal beberapa lamanya di ruang dalam bangsal paseban itu. Masih ada yang mereka bicarakan secara khusus tentang setiap orang di dalam lingkungan pemerintahan dan keprajuritan.

“Panglima pelayan dalam itu pantas mendapat pengawasan,” berkata Mahisa Wonga Teleng yang tidak sadar lagi.

“Bagaimana pendapat Paman?” bertanya Anusapati.

“Ampun Tuanku. Sebenarnyalah bahwa orang itu memang harus mendapat perhatian. Ia adalah salah seorang dari mereka yang sering datang ke kalangan sabung ayam bersama Tuanku Tohjaya.”

“Apakah kau menarik garis hubungan antara keduanya?” bertanya Anusapati.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “Hamba Tuanku. Sebenarnyalah hamba berpendapat bahwa keduanya telah bekerja bersama untuk kepentingan ini.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika ia memandang adiknya, Mahisa Wonga Teleng, maka adiknya justru telah mendahului, “Tentu ada hubungan. Aku sependapat dengan Pamanda Mahisa Agni.”

“Baiklah,” berkata Anusapati, “kita harus mengawasinya. Dan yang tidak kalah berbahayanya adalah usaha setiap pihak yang ingin memecahkan hubungan baik antara golongan yang kini mendukung pemerintahan Singasari dengan golongan yang setia kepada Ayahanda Sri Rajasa, yang mengatakan bahwa akulah yang telah menyingkirkan Ayahanda itu. Ternyata orang-orang yang memasuki bangsal itu pun berpendapat demikian pula. Sehingga aku mengambil kesimpulan, bahwa usaha untuk mengacaukan dukungan terhadap pemerintahanku sekarang ini berjalan terus dan bahkan berhasil sebagian dari rakyat Singasari dan Kediri.”

“Hamba akan berusaha Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “namun agaknya sumbernyalah tidak dapat bergeser dari sumber yang sudah hamba sebutkan.”

“Tetapi Paman,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “bagaimanakah caranya kita dapat mengawasi orang-orang yang ada di dalam kalangan sabung ayam itu.”

“Memang sulit sekali. Tetapi ada seorang yang dapat dipercaya berada di dalam lingkungan mereka, meskipun sekedar di saat-saat sabung ayam. Tetapi kadang-kadang ia dapat melihat suasana. Dan agaknya kehadirannya itu bermanfaat pula bagi kita.”

Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Anusapati pun segera mengetahui bahwa yang dimaksudkannya adalah Kuda Sempana. Sekilas Anusapati mengenang orang-orang terpenting yang ada di belakangnya. Tetapi mereka tidak akan dapat dengan terbuka berada di istana. Witantra adalah orang yang memegang kendali pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, sehingga kehadirannya akan dapat menimbulkan pertanyaan pada mereka yang setia kepada Sri Rajasa. Demikian juga Kuda Sempana. Sehingga karena itu, maka mereka hanya selalu berada di belakang selubung saja.

Demikianlah, maka Anusapati pun segera memerintahkan untuk memperluas kolam di sekitar bangsalnya. Kolam itu melingkar di seputar bangsal. Di tepi kolam ditanaminya berbagai macam pohon-pohon bunga. Dua buah jembatan kecil menghubungkan bangsal itu dengan halaman istana di sekelilingnya. Di depan jembatan terdapat sebuah regol dan gardu penjaga, di samping gardu-gardu lain di segala penjuru.

Dengan demikian, bangsal istana yang dihuni oleh Maharaja Singasari itu bagaikan sebuah perahu yang terapung di lautan yang tenang, dihiasi berbagai macam pohon-pohon bunga. Pohon kemungi, pacar berwarna kuning dan putih, bunga soka berwarna putih dan jingga. Bunga ceplok piring dan bunga menur dan melati sungsun. Di dalam kolam terdapat bunga apung berwarna kemerah-merahan dan berdaun lebar. Bunga teratai dan jenis ikan berwarna-warni. Dengan demikian, bukan saja kolam itu berarti bagi keamanan Sri Maharaja, tetapi juga merupakan suatu hiasan yang sangat indah.

Tetapi dengan demikian, para abdi harus selalu waspada terhadap putra Anusapati yang bernama Ranggawuni. Anak itu ternyata nakal sekali. Kadang-kadang meskipun sudah diawasi dengan ketat, namun ia sempat juga melepaskan pakaiannya dan meloncat ke dalam kolam yang dihuni oleh berbagai jenis ikan itu. Terutama ikan hias yang berwarna emas.

“Kau tidak boleh mandi di kolam itu,” berkata Ibunda permaisuri setiap kali.

Dan setiap kali Ranggawuni hanya menundukkan kepalanya saja.

“Kau belum pandai berenang.”

“Kolam itu dangkal di tepi bagian dalam Ibunda.”

“Tetapi kau dapat tergelincir dan masuk ke bagian yang dalam.” “Tetapi hamba sekarang sudah pandai berenang.”

“He?”

“Ya Ibunda. Jika Ibunda tidak percaya, cobalah hamba menunjukkan bahwa hamba memang sudah pandai berenang,” berkata Ranggawuni sambil mencoba melemparkan pakaiannya.

“Jangan, jangan,” cegah Ibundanya, “kau tidak boleh mandi di kolam itu meskipun kau sudah pandai berenang. Kolam itu airnya tidak sebenarnya tidak sebersih yang nampak.”

“Oh, airnya bening sekali. Ikan emas dan jenis-jenis ikan yang lain itu tampak dari permukaan Ibunda.”

“Tetapi bukankah jika kau masuk ke dalamnya, lumpur di bawah kolam itu pun kemudian teraduk dan mengotori air itu? Selain daripada itu, air itu mengalir parit-parit di luar halaman istana. Orang dapat memasukkan apa saja ke dalam parit itu sebelum air itu masuk ke dalam kolam.”

“Maksud ibu?”

“Sampah atau semacamnya. Tetapi ada yang lebih berbahaya dari itu.”

“Tetapi ada semacam alat penyaring sebelum air itu masuk ke dalam kolam.”

“Ya. Yang tersaring adalah sampahnya. Tetapi jika seseorang menaburkan semacam racun ke dalam kolam itu?”

“Jika yang ditaburkan racun, maka ikan yang ada di kolam itu akan mati semuanya Ibunda.”

Permaisuri menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sulit menanggapi kemampuan berpikir putranya, sehingga kadang-kadang ia berdesis, “Anak-anak sekarang kadang-kadang sulit untuk ditertibkan. Ada-ada saja alasannya dan caranya untuk mempertahankan sikapnya.”

Namun demikian, akhirnya permaisuri itu berkata, “Ranggawuni, kau tidak boleh mandi di kolam yang kotor itu. Mungkin ada bibit penyakit yang hanya dapat menyerang manusia. Misalnya gatal-gatal, dan bahkan yang lebih dari itu, sehingga dapat membuat kulitmu luka.”

Ranggawuni menganggukkan kepalanya.

“Nah, baiklah. Kau boleh bermain-main di tepi kolam.”

Tetapi Ranggawuni sekali lagi mengangguk.

“Jangan mandi!”

Tetapi di hari lain, Ranggawuni ditemukan mandi pula di kolam itu bersama saudara sepupunya, putra Mahisa Wonga Teleng yang sedikit lebih muda daripadanya, tetapi nakalnya bukan main. Jika ia terlepas sedikit dari pengawasan pengasuhnya, maka ia pun segera berlari mendapatkan Ranggawuni dan bersama-sama menceburkan diri ke dalam kolam. Bahkan jika para pengasuhnya dengan tergesa-gesa mencoba mencegah sebelum mereka sempat membuka pakaian, maka mereka berdua bersama-sama meloncat dengan pakaian mereka sekaligus.

Para prajurit yang bertugas pun kadang-kadang terpaksa mengejar keduanya jika keduanya memasuki jembatan di atas kolam itu, karena jembatan itu merupakan papan loncat yang menyenangkan sekali. Kadang-kadang para prajurit hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya, karena para prajurit itu tidak berhasil menangkap mereka. Kadang-kadang Anusapati yang melihat dari kejauhan justru tersenyum. Ternyata menilik sikap dan geraknya, Ranggawuni adalah seorang anak laki-laki yang kuat dan tangkas. Demikian juga dengan saudara sepupunya itu.

“Mudah-mudahan mereka akan menjadi anak-anak muda yang memiliki kemampuan untuk meneruskan pemerintahan di atas Singasari ini,” berkata Anusapati di dalam hatinya.

Namun dalam pada iu, setelah kolam itu selesai, maka Mahisa Agni pun merasa, bahwa Anusapati telah menjadi semakin aman. Sebenarnya ilmunya yang semakin meningkat, dan mendekati kesempurnaan itu nilainya tidak kurang dari kolam yang melingkari bangsalnya. Namun usaha orang-orang yang tidak dikenal untuk menyusup ke dalam bangsal akan sangat sulit. Jika ada juga yang mencoba, maka asal para prajurit sempat membangunkan Anusapati, maka ia akan dapat menjaga dirinya. Apalagi jika kemudian datang membantunya para perwiranya yang setia.

Hal itulah yang kemudian membuat Mahisa Agni tidak lagi merasa wajib untuk berada di istana Singasari lebih lama lagi. Selain ia memang memiliki tugas di Kediri, maka baginya Anusapati tidak lagi membuatnya cemas. Tetapi berbeda dengan Mahisa Agni, justru Anusapati mulai merasa dirinya seakan-akan selalu diintai oleh bahaya. Bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengingkari, apakah yang sebenarnya telah terjadi atas Sri Rajasa. Kematian Sri Rajasa sebenarnya adalah karena tangannya.

Seperti Sri Rajasa, tiba-tiba Anusapati mulai merasa bahwa apa yang dapat dicapainya itu sama sekali tidak memberikan ketenteraman di hatinya. Ia seakan-akan dibayangi oleh dendam yang membara di hati saudaranya yang lahir dari Ibundanya Ken Umang. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah yang akan dikatakan oleh Mahisa Wonga Teleng tentang dirinya apabila adiknya itu mengetahui bahwa sebenarnya ia sendirilah yang telah membunuh Sri Rajasa, dengan keris Empu Gandring, apapun alasannya.”

Dalam pada itu, ketika kolam itu telah selesai dan memberikan kesegaran pada istana Singasari, beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Beberapa orang yang memang sedang berusaha untuk menyingkirkan Anusapati dari tahta dan membunuhnya sekalian. Kolam itu memang merupakan pagar yang sangat sulit dilintasi. Adalah lebih mudah seandainya di seputar bangsal itu di bangun dinding batu yang tebal dan tinggi. Masih ada kemungkinan untuk meloncatinya. Tetapi kolam yang luas itu terlampau sulit untuk di seberangi. Orang yang akan pergi ke bangsal itu harus melalui salah satu dari dua buah jembatan di atas kolam atau berenang sama sekali.

Sedangkan kedua jembatan itu tidak akan terlepas dari pengawasan para penjaga karena di ujung jembatan itu terdapat regol dan gardu. Sedang mereka yang berenang, tidak akan dapat menghindarkan diri dari gejolaknya air. Seandainya seseorang berenang di bawah permukaan air, maka ketika ia masuk dan kemudian keluar dari air, tentu akan sangat sulit untuk menghindarkan diri dari pengamatan para petugas yang selalu waspada. Apalagi, tentu tidak ada seorang pun yang dapat berenang di bawah air dari tepi sampai ke tepi melintasi kolam yang luas itu.

“Kita harus mendapatkan cara lain,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita akan mempelajari apakah sebenarnya yang dapat kita lakukan.”

“Kita sudah menunggu terlalu lama,” berkata yang lain. Namun mereka bersepakat, bahwa mereka harus berhati-hati melakukan usaha yang gawat itu.

Dalam pada itu, Anusapati pun justru menjadi semakin waspada. Seakan-akan bahaya yang mengancamnya semakin lama menjadi semakin besar dan semakin dekat. Anusapati yang gelisah itu terperanjat ketika pada suatu hari adiknya Mahisa Wonga Teleng datang kepadanya dengan sikap wajah yang agak lain dari kebiasaannya.

“Apa yang terjadi Adinda?” bertanya Anusapati.

Mahisa Wonga Teleng mencoba mengedapkan perasaannya. Kemudian dengan suara yang sendat ia berkata, “Ampunkan Adinda ini. Sebenarnya Adinda tidak perlu datang kepada Kakanda Anusapati karena aku harus dapat menyaring, manakah yang pantas aku dengarkan dan mana yang tidak.”

Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. ”Apakah yang meragukanmu Mahisa Wonga Teleng?” bertanya Anusapati kemudian.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “jika aku mengatakannya kepada Kakanda, sebenarnya sekedar untuk melepaskan keragu-raguan di dalam hati. Karena aku yakin bahwa aku sudah dapat menjawabnya sendiri meskipun aku tidak mengatakannya.”

“Katakan Adinda.”

“Kakanda Anusapati,” berkata Mahisa Wonga Teleng dengan ragu-ragu, “beberapa hari yang lampau seseorang telah datang kepadaku. Aku tidak tahu, siapakah orang itu. Tetapi ia membawa cerita seperti yang pernah tersebar di antara beberapa orang yang membenci Kakanda.”

“Maksudmu?”

“Orang itu mengatakan, bahwa Kakanda adalah yang telah membunuh Ayahanda Sri Rajasa.”

Dada Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia berhasil menguasai perasaannya. Katanya, “Aku juga mendengar Mahisa Wonga Teleng. Bahkan seseorang pernah melontarkan tuduhan itu langsung kepadaku. Dan aku telah memaafkannya karena ia tidak mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi. Dan seperti yang kau katakan, memang ada golongan yang dengan sengaja menyebarkan berita semacam itu. Jadi yang kau dengar bukanlah berita yang pertama kali tersebut di daerah ini dan bahkan di luar kota Singasari.”

“Aku tahu Kakanda. Dan sudah sejak lama aku tidak memercayainya.”

“Dan kenapa tiba-tiba saja sekarang kau menjadi ragu?”

“Itulah yang aneh Kakanda. Tetapi sebenarnya aku yakin bahwa berita itu hanyalah fitnah semata-mata. Tetapi di samping berita yang pernah aku dengar sejak beberapa waktu itu, aku mendengar berita lain yang sangat menggelisahkan jika sampai tersebar di antara rakyat Singasari.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Terasa dadanya men-jadi berdebar-debar. Karena itu, maka wajahnya pun tampak menegang. “Adinda Mahisa Wonga Teleng. Kau benar-benar telah membuat aku menjadi gelisah,” berkata Anusapati kemudian.

“Bukan maksudku menggelisahkan Kakanda. Tetapi biarlah Kakanda tidak terkejut kelak apabila Kakanda mendengarnya. Daripada Kakanda mendengar dari orang lain, maka aku menganggap bahwa lebih baik Kakanda mendengar dari aku sendiri,” berkata Mahisa Wonga Teleng.

“Katakanlah Adinda. Barangkali aku memang perlu mendengarnya.”

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian setelah ia bergeser setapak. Tampak wajahnya masih saja dibayangi oleh keragu-raguan, “akhir-akhir ini aku benar-benar telah dibingungkan oleh keterangan orang yang tidak aku kenal itu.”

Anusapati menganggukkan kepalanya, “Katakanlah.”

Mahisa Wonga Teleng menelan ludahnya. Tetapi dipaksanya juga untuk berkata, “Kakanda. Orang itu mengatakan, bahwa bukan saja Kakanda telah membunuh Ayahanda Sri Rajasa, dengan meminjam tangan Pengalasan dari Batil itu dan kemudian Kakanda membunuhnya, namun orang itu juga mengatakan bahwa Kakanda bukanlah putra Ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”

Pertanyaan itu bagaikan petir yang meledak di ujung telinga Anusapati. Karena itu sejenak wajahnya menjadi merah dan terasa mulutnya terbungkam. Dipandanginya wajah adiknya dengan sorot mata yang aneh, sehingga Mahisa Wonga Teleng menjadi kecut hatinya. Ada semacam penyesalan melonjak di hatinya bahwa ia sudah mengatakannya. Jika Anusapati menjadi marah, maka mungkin ia akan mengalami sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Anusapati yang dikejutkan oleh pertanyaan itu, dengan susah payah mencoba menenangkan hatinya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, maka Anusapati pun kemudian berkata, “Kau sudah melakukan sesuatu yang benar menurut penilaianku Adinda. Memang sebaiknya aku mendengar darimu daripada orang lain.”

Mahisa Wonga Teleng tidak mengetahui, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati Kakandanya itu, sehingga karena itu untuk beberapa lamanya ia masih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.

“Adinda Mahisa Wonga Teleng,” berkata Anusapati, “tentu berita yang kau dengar itu belum kau katakan seluruhnya. Maksudku, menurut pendengaranmu dari orang yang belum kau kenal itu.”

Anusapati berhenti sejenak, lalu, “berita itu tentu ada kelanjutannya Adinda. Jika aku bukan putra Ayahanda Sri Rajasa, maka menurut orang itu, siapakah sebenarnya aku ini? Maksudku, menurut ceritanya, anak siapakah aku ini?”

“Maafkan aku Kakanda. Aku hanya mengatakan apa yang dikatakan oleh orang itu.”

“Ya. Aku tahu.”

“Katanya, Kakanda adalah putra seorang akuwu yang dahulu memerintah daerah yang kini disebut Singasari. Pada waktu itu daerah ini masih bernama Tumapel. Dan akuwu itu bernama Tunggul Ametung.”

Anusapati mencoba menahan perasaan yang bergejolak. Bahkan kemudian ditekankannya tangannya di dadanya. Katanya, “Adinda. Berita itu memang mengejutkan aku. Aku mengerti urut-urutan cerita orang itu. Karena aku bukan putra Ayahanda Sri Rajasa, dan karena aku putra akuwu yang dahulu memerintah daerah ini, maka aku menuntut hakku dan membunuh Ayahanda Sri Rajasa. Begitu?”

“Begitulah kira-kira, Kakanda.”

“Adinda. Jika demikian coba katakan, siapakah ibuku?”

Mahisa Wonga Teleng mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ibundamu juga Ibunda Ken Dedes.”

Tetapi jawaban itu ternyata telah menggetarkan hatinya sendiri. Ken Dedes adalah ibundanya, sehingga dengan demikian maka ibundanya pernah menjadi seorang istri dari orang lain, atau jika mempergunakan istilah lebih kasar maka sebelum ibundanya menjadi permaisuri di Singasari, ibundanya mencintai laki-laki lain selain ayahandanya.

“Oh, tidak, tidak,” desisnya sebelum Anusapati mengatakan sesuatu.

“Apa yang tidak Adinda?”

“Tentu tidak. Bahwa Ibunda pernah mencintai laki-laki lain selain Ayahanda. Tentu tidak bahwa Ibunda pernah berhubungan dengan laki-laki lain sebelum Ayahanda menjadi istri Ayahanda sehingga mengandung dan melahirkan seorang anak.”

“Tenanglah Adinda,” berkata Anusapati, “memang kabar itu sangat pahit bagi kita, terutama apabila Ibunda yang sudah tua itu mendengarnya. Tentu berita itu bukannya sekedar fitnah, tetapi juga hinaan atas kesetiaan Ibunda. Berita itu berarti bahwa aku adalah anak seorang laki-laki lain daripada Ayahanda Sri Rajasa. Dan itu adalah hinaan atas kesetiaan Ibunda.”

“Ya Kakanda. Itu tentu fitnah yang sangat keji atas Ibunda.”

“Dan kau tahu maksudku?”

“Untuk memisahkan kita berdua. Maksudnya agar aku mendendam atas kematian Ayahandaku, dan adalah lebih baik jika aku bertindak atas Kakanda, karena Kakanda bukan saudaraku seayah.”

Anusapati menganggukkan kepalanya. Ia berharap agar ia berhasil meyakinkan Mahisa Wonga Teleng bahwa cerita itu hanyalah fitnah semata-mata.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “aku minta maaf bahwa aku telah menyampaikan hal ini kepada Kakanda. Seharusnya aku tahu, bahwa tidak sepantasnya aku memikirkannya. Apalagi meragukannya, dan menyampaikannya kepada Kakanda. Seharusnya aku tahu, bahwa Kakanda terlampau sibuk dan banyak hal yang harus dipikirkan, sehingga yang aku sampaikan hanya akan menambah kesibukan Kakanda.”

“Tidak Adinda,” berkata Anusapati, “sebaiknya hal ini memang harus kau sampaikan. Dengan demikian hatimu segera menjadi terang. Kau tidak perlu lagi berteka-teki tentang diriku dan tentang hubungan keluarga di antara kita.”

Mahisa Wonga Teleng mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku memang dungu sekali. Tetapi biarlah lain kali aku dapat menyelesaikan masalah-masalah seperti ini tanpa mengganggu Kakanda.”

Anusapati hanya tersenyum saja. Ia mulai yakin, bahwa Mahisa Wonga Teleng dapat dikuasainya, sehingga adindanya itu tidak akan meragukan lagi kebenaran ceritanya. Namun sepeninggal Mahisa Wong Teleng, Anusapati merasakan sesuatu yang pahit di dalam hatinya. Meskipun ia berhasil meyakinkan adindanya itu, dan barangkali juga beberapa perihal di Singasari, namun bahwa seseorang telah berusaha mengungkit kebenaran tentang dirinya, adalah sangat mendebarkan hati.

Anusapati yang berhasil menguasai tahta Singasari itu merasa, bahwa ia harus hidup di dalam suatu keadaan yang tidak dikehendakinya sendiri. Kebimbangan, kecemasan, pura-pura dan bahkan kepalsuan seperti itu. Ia harus mengingkari kebenaran tentang dirinya sendiri. Ia harus mengingkari ayahandanya sendiri yang sebenarnya.

“Alangkah pahitnya hidup seperti ini,” katanya di dalam hati.

Dan kadang-kadang Anusapati harus menelusuri jalan yang pernah dilaluinya. Sejak ia masih muda. Hidupnya yang seakan-akan terasing dari kasih sayang orang tua. Hidup yang seakan-akan selalu diancam oleh bahaya. Bahkan usaha-usaha untuk menyingkirkannya. Puncak dari semuanya itu adalah kematian Sri Rajasa yang menggetarkan itu. Dan ia harus mengingkari semuanya. Mengingkari ayahandanya yang menurunkannya, mengingkari kematian Sri Rajasa. Mengingkari kebaikan hati Sumekar, mengingkari banyak hal yang menyiksa dirinya.

Dengan demikian, maka Anusapati pun menjadi sangat prihatin. Seakan-akan hidup yang dihayatinya adalah hidup yang semu semata-mata, karena semuanya disaput oleh kepalsuan dan pura-pura. Dengan demikian, maka seakan-akan Anusapati merasa dirinya berjalan di jalan yang sangat panjang, melalui kesulitan demi kesulitan, melalui kepalsuan demi kepalsuan. Dan jalan itu rasa-rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Ia harus menyembunyikan setiap kepalsuan dengan kepalsuan yang lain, mengingkari kebohongan dengan kebohongan yang lain.

Namun Anusapati merasa bahwa ia tidak akan dapat kembali. Baginya Singasari adalah pusat dari segalanya, sehingga apapun yang akan terjadi atas dirinya, maka ia harus berusaha agar Singasari tidak pernah guncang. Bahwa apa yang pernah dicapai oleh ayahandanya, meskipun bukan yang sebenarnya, harus dipertahankannya.

“Apa yang sudah ada ini tidak boleh terlepas,” berkata Anusapati di dalam hatinya, karena ia merasa bahwa ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya.

“Kenapa aku merasa diriku terbelenggu oleh sesuatu?” tiba-tiba Anusapati mencoba menghentakkan diri dari bayangan-bayangan yang suram dari hidupnya itu, “aku sudah bertekad untuk melakukannya. Aku harus berani mempertahankannya dan bertanggung jawab. Aku adalah Maharaja Singasari.”

Namun di dalam kegelisahannya, Anusapati tidak dapat lari dari kejaran pengakuan di dalam dirinya sendiri, sehingga ia terpaksa memanggil Mahisa Agni ke Singasari. Satu-satunya orang yang paling dipercayainya, dan orang yang memang mengetahui segala rahasianya.

“Pamanda,” berkata Anusapati, “aku selalu dikejar oleh bayangan yang suram tentang diriku sendiri. Apakah di dalam kelanjutan hidupku ini, aku akan selalu dikejar oleh kepalsuan yang harus aku pertahankan?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Semuanya sudah terjadi. Seperti Anusapati sendiri, maka yang dihadapi adalah yang tidak diharapkannya sama sekali. “Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian. Ia tidak mendapat jalan lain, kecuali berusaha menenteramkan hati Anusapati, “dahulu Ayahanda Sri Rajasa pun hidup di dalam dunia yang lain dari kebenaran itu. Ayahanda Sri Rajasa justru dengan sengaja dan diperhitungkan lebih dahulu, hidup di dalam dunia yang lain dari kebenaran itu. Ayahanda Sri Rajasa justru dengan sengaja dan diperhitungkan lebih dahulu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kepalsuan. Kematian pamanku Empu Gandring, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian perkawinannya dengan Ken Umang, dan kepura-puraannya yang paling gila adalah mengangkat Tuanku menjadi Putra Mahkota. Karena di satu pihak Sri Rajasa bersikap jujur karena Tuanku adalah putra permaisuri yang tertua, namun di lain pihak, Sri Rajasa ingin menyingkirkan Tuanku dengan cara apapun, karena Sri Rajasa ingin memaksa niatnya, mengangkat Tuanku Tohjaya menjadi Pangeran Pati.”

Mahisa Agni berhenti sejenak, “Namun di dalam waktu yang lama itu, Sri Rajasa berhasil menguasai keadaan dan dirinya sendiri.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa juga Sri Rajasa hidup di dalam dunia yang palsu. Namun ia berhasil menguasainya sehingga ia berhasil memanfaatkan dunianya yang dibayangi oleh kepura-puraan itu untuk kerja yang besar. Mempersatukan Singasari, Kediri dan daerah-daerah lain di sepanjang pulau.

“Aku harus mempertahankannya,” Anusapati menarik nafas sambil berkata kepada diri sendiri, “aku harus hidup di dalam dunia yang pernah dihuni oleh ayahanda Sri Rajasa dan berbuat seperti Ayahanda Sri Rajasa pula.”

Demikianlah Anusapati mencoba untuk dapat melupakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Ia mencoba berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh ayahandanya, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Tetapi ternyata bahwa Anusapati mempunyai sifat dan watak yang berbeda. Sri Rajasa, yang semasa kecilnya bernama Ken Arok, dan yang hidup di padang belantara itu, sudah terbiasa hidup di dalam bayangan yang kelam.

Adalah sudah menjadi kebiasaannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang kasar. Merampok, menyamun, memerkosa dan bahkan membunuh. Dengan demikian, maka kematian demi kematian yang direncanakan tidak terlampau banyak membekas di hatinya, meskipun di saat-saat yang khusus Sri Rajasa tidak berhasil menghindarkan diri dari kejaran dosa-dosanya itu.

Berbeda dengan Sri Rajasa, Anusapati di masa kecilnya hidup dalam suasana yang sepi, meskipun di dalam keramaian suasana istana Singasari. Namun ia menjadi dekat dengan perasaannya lebih dari nalarnya. Ia memandang manusia dari segi yang lain dari Ken Arok. Ken Arok adalah orang yang hidup dalam dunia wadagnya yang kasatmata. Kekuatan, kemampuan berkelahi, perang dan keris Empu Gandring. Sedang Anusapati memandang manusia lebih banyak dari segi pribadi dan hidup mereka yang tidak kasatmata.

Meskipun Anusapati juga mempelajari ilmu kanuragan, namun baginya manusia adalah kesatuan yang utuh. Bagi Anusapati, yang kasatmata justru sekedar bayangan dari yang tidak kasatmata wadagnya. Sehingga dengan demikian Anusapati lebih menghargai manusia pada segi rohaniahnya, bukan jasmaniahnya. Itulah sebabnya ia tidak semudah Ken Arok untuk melupakan apa yang pernah terjadi. Bahkan keris di tangannya pernah menusuk orang yang bernama Ken Arok dan bergelar Sri Rajasa yang diakunya sebagai ayahnya sendiri.

Dan karena itu pulalah ia tidak segera dapat melupakan, bahwa ia telah berbohong kepada rakyat Singasari. Jika setiap orang menyebut nama pengalasan dari Batil sambil meludah, maka alangkah perih hati Anusapati, karena ia menyebut nama Sumekar dengan menundukkan kepala dan hormat yang setinggi-tingginya. Dan itu pun merupakan kebohongan yang besar dan tidak berperikemanusiaan. Selesainya ia harus mempertahankan kebohongannya itu kepada adiknya seibu, Mahisa Wonga Teleng. Ia menolak kebenaran yang pernah dikatakan oleh adiknya.

“Kenapa aku menjadi ketakutan mengaku bahwa aku adalah putra Akuwu Tunggul Ametung di hadapan Mahisa Wonga Teleng?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun sebenarnyalah bahwa Anusapati yang pernah dikenal dengan gelar Kesatria Putih, dan yang berani menyusuri kehidupan malam yang penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mengakui di hadapan adiknya tentang dirinya sendiri. Tentang ayah yang sebenarnya menitikkan darah keturunan ke dalam dirinya.

Dengan demikian, maka ternyata kolam yang sudah dibangunnya mengelilingi bangsalnya itu hanya mampu mengamankan badannya, tubuhnya saja. Tetapi tidak berhasil mengamankan kegelisahan hatinya. Kolam itu berhasil menyingkirkan kecemasan bahwa ia akan terancam oleh orang-orang yang tidak dikenal, dan barangkali oleh adiknya, Tohjaya, yang sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan dirinya. Tetapi tidak berhasil membentengi dirinya dari pengakuan betapa hidupnya dibayangi oleh kepalsuan dan pura-pura.

Dengan demikian, maka Anusapati semakin lama justru semakin dalam tenggelam suasana yang buram. Ia menjadi semakin sering merenungi dirinya sendiri dan Singasari. Rasa-rasanya tidak ada yang pantas lagi dilakukan selain menyerahkan segalanya bagi Singasari. Rasa-rasanya hidupnya akan menjadi terlampau sempit, sehingga ia mempergunakan segala yang ada padanya bagi kebesaran negerinya.

Tetapi karena hati yang suram, maka yang memancar pun bukannya cahaya yang cerah. Anusapati lebih senang melihat Singasari tenang, tenteram dan damai. Ia lebih senang memelihara yang sudah ada sambil merenungi kepedihan di dalam diri. Namun dengan demikian Singasari tetap seperti Singasari sejak ia naik ke atas tahta. Singasari yang tenang dan damai, yang sawahnya menjadi hijau dari ujung sampai ke ujung cakrawala. Yang lembah dan ngarainya dialiri oleh sungai-sungai yang jernih, di sela-sela pegunungan yang menjulang ke langit.

Dengan demikian maka Singasari bagaikan seorang bayi yang sedang berbaring di dalam buaian. Ia tidak bergejolak dan tidak menggelegak seperti saat Sri Rajasa naik ke atas tahta. Singasari tidak berhias dan membenahi dirinya. Apalagi menimang senjata, menebas hutan, membendung bengawan, lebih-lebih mengarungi lautan.

Meskipun demikian, sebenarnyalah Singasari tidak seluruhnya tenggelam di dalam hidup yang tenang dan terhenti. Di dalam dada Ranggawuni yang meningkat dewasa, sebenarnyalah menggelegak gejolak yang belum kasatmata. Kenakalan dan kelincahannya, memberikan harapan bagi masa depannya. Di dalam umurnya yang masih sangat muda, telah tampak pada anak itu, bahwa ia memiliki kelebihan dari anak-anak sebayanya. Bukan saja karena ia adalah putra seorang maharaja yang berkuasa di Singasari, tetapi Ranggawuni memang memiliki sesuatu yang lain.

Dan Mahisa Agni yang memiliki pengamatan yang tajam itu dapat melihat kelebihan itu. Itulah sebabnya maka ia menaruh harapan pada anak itu. Dengan telaten Mahisa Agni membimbing anak itu, selain Anusapati sendiri. Tetapi karena ilmu Anusapati juga bersumber dari Mahisa Agni, maka sama sekali tidak ada persoalan di dalam latihan-latihan yang dilakukan oleh anak itu. Apalagi setelah ia mendapat kawan yang hampir sebaya, meskipun agak lebih muda. Adik sepupunya ternyata juga seorang anak laki-laki yang nakal seperti dirinya sendiri, sehingga keduanya adalah dua orang yang memiliki hampir kesamaan di banyak hal.

Anusapati sendiri melihat anak laki-lakinya dengan sepenuh harapan. Bahkan kadang-kadang jika ia sedang merenungi dirinya dirinya sendiri, selalu berakhir dengan sebuah tarikan nafas, “Mudah-mudahan Ranggawuni tidak mengalami kesuraman di dalam hidupnya. Ia tidak boleh hidup di dalam dunia yang palsu dan pura-pura ia harus berada di tempatnya seperti yang ada padanya.”

Demikianlah, maka tumpuan harapan Anusapati semata-mata ada pada anak laki-lakinya. Ia sendiri tidak lagi berhasrat untuk berbuat banyak atas Singasari, selain memelihara ketenteraman dan kedamaian. Yang sudah ada itulah yang dipeliharanya. Meskipun demikian, ia berharap bahwa kelak Ranggawuni akan berhasil membuat Singasari menjadi jauh lebih besar, lebih baik dan lebih kuat. Sawah-sawah yang ada harus menjadi berlipat, air harus semakin banyak naik ke sawah dan pategalan. Jalan-jalan yang menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain. Jembatan-jembatan dan bendungan-bendungan.

Agaknya Ranggawuni pun menaruh perhatian atas cita-cita yang demikian. Setiap kali ayahandanya mengatakan tentang masa depan Singasari, Ranggawuni selalu mendengarkan dengan seksama. Meskipun umurnya belum menginjak dewasa, tetapi ternyata ia sudah tertarik kepada persoalan-persoalan yang besar. Namun dalam pada itu, selagi Anusapati mencurahkan harapannya pada masa depan, karena ia merasa tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengatasi kekalutan di dalam dirinya, beberapa orang selalu mencari jalan untuk menyingkirkannya.

Kolam di sekeliling bangsal memang merupakan rintangan besar bagi setiap usaha untuk membunuhnya. Tak mudah menembus kolam itu betapapun tinggi ilmu seseorang, karena di sekitar kolam itu pun diletakkan pengawal-pengawal yang mumpuni. Setiap gejolak air yang tidak sewajarnya takkan terlepas dari pengamatan mereka, sehingga seakan-akan seekor itik pun tidak akan dapat menyeberangi tanpa diketahui oleh para penjaga. Dengan demikian maka cara yang paling baik yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan Anusapati, Maharaja Singasari, adalah dengan memancingnya keluar. Di malam hari atau siang hari.

Tetapi dengan demikian, maka tidak akan mungkin dapat merahasiakan lagi, siapakah yang melakukannya atau atas perintah siapa. Jika para pengawal bertindak dengan cepat, maka semuanya akan terbongkar, dan usaha yang sudah dilakukan itu tidak akan gunanya.

“Para pengawal itulah yang harus dipisahkan dari Anusapati,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab yang lain, “Kita baru memiliki seorang panglima.”

“Tetapi panglima itu adalah panglima pelayan dalam. Semua usahanya akan sangat bermanfaat.”

“Dan bagaimana dengan panglima pasukan pengawal?”

Tidak seorang pun yang dapat menjawab. Meskipun panglima pasukan pengawal itu adalah seorang yang setia kepada Sri Rajasa, namun ia tidak dapat dengan mudah dipengaruhi untuk memusuhi Anusapati yang kini duduk di atas tahtanya.

“Aku akan berusaha,” berkata salah seorang dari mereka.

Semua orang berpaling kepadanya. Kepada seorang perempuan yang meskipun umurnya sudah semakin tua, namun ia masih tetap tampak sebagai seorang perempuan muda yang cantik.

“Apakah yang akan Ibunda lakukan?” bertanya anak laki-lakinya.

Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Jangan takut. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku dapat mencari dua tiga orang gadis yang sangat cantik. Aku akan mencoba menundukkannya.”

Semua orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih melihat perempuan itu tersenyum sambil mengangkat wajahnya, “Jika aku berhasil, apakah yang harus dilakukan oleh panglima itu?”

“Tidak apa-apa. Ia hanya diharuskannya berdiam diri saja.”

“Kenapa berdiam diri?”

“Berdiam diri dengan seluruh pasukannya. Jika terjadi sesuatu di istana ini, Pasukan pengawal sebaiknya tidak bertindak apapun juga. Dan dengan demikian, maka pasukan penempur yang ada di dalam istana tidak akan banyak dapat berbuat sesuatu. Mereka akan segera dapat dikuasai oleh pasukan pengawal dan pelayan dalam.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti. Karena kalian tidak mungkin lagi membunuh Anusapati dengan diam-diam, maka kalian akan membunuhnya di hadapan penghuni istana ini tanpa tedeng aling-aling. Tetapi untuk itu kedua pasukan terkuat di istana ini harus dikuasai lebih dahulu.”

Orang-orang yang ada ditempai itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula seperti perempuan itu. Sepercik harapan memang telah timbul di hati mereka. Jika kedua panglima yang paling berkuasa di dalam istana ini dapat dikuasai, maka semuanya akan dapat berjalan dengan lancar. Tidak akan ada seorang pun yang berani berbuat sesuatu apapun yang akan terjadi.

Namun demikian salah seorang dari mereka bertanya, “Tetapi bagaimana dengan para prajurit di luar istana. Jika mereka tidak mau tunduk kepada perintah kita, apakah kita dapat menundukkan mereka? Dan bagaimana jika tiba-tiba mereka mengepung istana ini?”

“Kita akan dapat mempengaruhi sebagian dari mereka. Jika mereka tidak sependirian lagi, maka kekuatan mereka tidak akan menggetarkan dinding istana. Apalagi jika kita dapat mengumumkan harapan yang dapat kita berikan kepada mereka dan kutukan atas segala kejahatan yang pernah dilakukan oleh Anusapati.”

“Semua usaha akan kita jalankan.”

Demikianlah maka pertemuan itu telah sepakat, bahwa mereka akan menempuh jalan terakhir. Jalan yang paling kasar yang pernah mereka pikirkan. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai jalan lain. Ternyata bahwa mereka tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Dengan tertib mereka mulai melakukan tugas masing-masing. Dan berhasillah mereka mendapatkan tiga orang gadis yang paling cantik, yang menyediakan diri menjadi umpan bagi yang mereka namakan suatu perjuangan untuk merebut keadilan dari tangan Maharaja Anusapati.

Dengan pesan yang meyakinkan, maka ketiga orang gadis yang paling cantik itu mendapat tugas untuk menguasai panglima pasukan pengawal yang memiliki pengaruh yang besar bagi keamanan di dalam lingkungan halaman istana dan keluarga maharaja. Adalah kebetulan sekali bahwa salah seorang dari ketiga gadis itu berhasil mendekatkan diri dengan panglima itu yang secara kebetulan sedang berada di halaman istana, di antara beberapa orang pengawal.

Tetapi ia baru berhasil mendapat perhatian saja dari panglima itu. Panglima itu masih belum menegurnya dan apalagi bertanya tentang sesuatu. Namun akhirnya, gadis yang lain berhasil pula memancingnya dalam suatu pembicaraan. Ketika panglima itu memasuki halaman istana, maka dengan serta-merta, gadis yang sedang berada di semak-semak itu berlari-lari sehingga terjatuh.

“Kenapa?” tanpa berpikir lagi panglima itu pun bertanya.

“Ampun Tuan,” gadis itu terengah-engah, “ada seekor ular. Hamba sedang mencari sekuntum bunga yang indah di dalam taman ini. Tetapi ternyata hamba diganggu oleh seekor ular berbisa.”

Dengan usaha yang sungguh-sungguh, untuk kepentingan perjuangan yang menurut mereka adalah perjuangan yang luhur, maka akhirnya ketiga orang gadis itu berhasil memperkenalkan diri, justru ketika panglima pasukan pengawal itu sedang dilihat kesepian. Sebagai seorang prajurit kadang-kadang ia terpisah dari keluarganya untuk waktu yang tidak tertentu. Dan itulah yang memungkinkan ia kehilangan keseimbangan. Agaknya usaha yang lain telah dilakukan pula. Ketika panglima itu mendengar bahwa istrinya yang ditinggalkan di rumah terlibat dalam hubungan yang tidak sewajarnya dengan seorang laki-laki.

Alangkah dangkalnya perasaannya. Meskipun nalarnya masih dapat menahan agar ia tidak segera bertindak, karena mungkin yang didengar itu sekedar fitnah, namun kehadiran gadis-gadis cantik itu telah mempengaruhinya. Seakan-akan ia tidak mau lagi melihat apakah yang didengarnya itu suatu kebenaran atau sekedar fitnah semata-mata. Bahkan di dalam gejolak nafsu butanya, ia mengharap bahwa ia tidak akan sempat melihat pembuktian bahwa istrinya tidak bersalah.

Dengan demikian, maka kekebalan dinding hatinya menjadi semakin luluh, Kehadiran ketiga orang gadis yang cantik itu benar-benar telah mencengkamnya. Apalagi dengan sengaja ketiga orang gadis itu mengganggunya dengan segala cara..Tidak ada yang dapat dilakukan, selain pasrah diri di dalam cengkeraman nafsu yang gila itu. Ia benar-benar kehilangan pengamatan diri, ketika gadis-gadis itu seakan-akan dengan ikhlas menyerahkan dirinya. Meskipun dari ketiga orang itu yang paling dibutuhkan hanya seorang, namun yang seorang itu sudah cukup kuat mencengkam dan membelenggu tangan dan kakinya.

Seperti disambar petir rasanya, ketika pada saat ia kehilangan kendali atas dirinya, tiba-tiba saja pintu rumah gadis itu terbuka. Dengan wajah yang pucat panglima itu berdiri dengan tubuh gemetar. Di sampingnya gadis yang cantik itu justru semakin melingkar di pembaringan. Di muka pintu berdiri Tohjaya dengan sepasukan pengawal.

“Apa yang kau lakukan di sini?” bertanya Tohjaya.

Jari-jari yang menunjuk hidungnya itulah yang membuka kesadarannya, bahwa sebenarnya ia sudah terjebak. Dengan wajah yang semakin pucat, akhirnya ia pasrah sambil bertanya, “Apakah yang sebenarnya Tuanku kehendaki. Hamba memang tidak akan dapat ingkar, karena di hadapan hamba ada beberapa orang saksi yang tidak akan dapat hamba hapuskan.”

“Apakah kau akan mencoba membunuh orang-orang yang melihat dengan mata kepala sendiri atas peristiwa ini?”

“Tidak mungkin Tuanku. Karena itu Tuanku akan berhasil memeras hamba. Dan itulah yang hamba tanyakan, apakah yang akan aku lakukan?”

Tohjaya mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia tertawa sambil melangkah masuk. Kepada gadis yang masih ada di dalam bilik itu ia berkata, “Pergilah! Tugasmu sudah selesai.”

Gadis itu memandang panglima yang telah ditundukkan itu dengan senyum yang paling menyakitkan hati. Sambil melangkah pergi ia berkata, “Maaf Tuan. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba. Apa yang terjadi memang akan tetap menjadi kenangan bagi hamba. Dan hamba tidak akan pernah melupakan Tuan. Bahkan seandainya kelak hamba sudah bersuami sekalipun.”

Panglima itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya saja gadis yang meninggalkan bilik itu dengan tanpa berkedip. Tetapi gadis itu terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kuat memegang lengannya dan tanpa berkata apapun juga lengan itu ditariknya

“Tuan,” gadis itu memekik kecil, tetapi suaranya terdengar dari dalam bilik yang ditinggalkannya, “apa artinya ini?”

Panglima yang ada di dalam bilik itu mendengar juga suara gadis itu, sehingga ia menggeram, “Jadi Tuankulah yang akan menghapuskan jejak dan saksi? Apakah Tuanku akan melenyapkan gadis itu?”

“Ia akan menerima hadiahnya. Dan sudah barang tentu ia masih sangat aku perlukan. Jika kau ingkar, ia adalah saksi yang pertama yang akan mengatakan kepada sidang para pemimpin Singasari yang sembilan, bahwa kau adalah seorang panglima yang tidak pantas menjadi teladan rakyat dan prajurit di seluruh Singasari.”

“Hamba mengerti. Tetapi hamba tidak yakin bahwa gadis itu akan menerima hadiah yang sebenarnya. Tetapi tuan tentu akan menyingkirkannya untuk selama-lamanya, karena gadis itu akan dapat bercerita, bahwa Tuankulah yang telah memberikan tugas kepadanya menjebak hamba di dalam rencana pemerasan ini.”

Tiba-tiba Tohjaya tertawa. Hanya perlahan-lahan. Katanya, “Aku tidak tergesa-gesa. Tetapi sebaiknya kau bekerja bersama dengan aku, agar kau tidak menjadi tumpuan caci dan maki karena tindakanmu yang liar ini. Aku kira istrimu masih belum membayangkan apa yang telah terjadi. Jika kau anggap istrimu benar-benar telah berbuat salah karena melanggar pagar ayu, maka berita yang sampai ke telingamu itu pun sekedar berita yang sejalan dengan semua rencanaku. Istrimu adalah istri yang setia. Istri yang baik. Nah, apakah kau sampai hati merusak kesetiaannya karena berita yang akan didengarnya tentang apa yang kau lakukan, dan apakah ia akan sampai hati melihat kau diarak ke alun-alun dan dilempari batu sampai mati karena kau berzina?”

“Hamba mengerti Tuanku. Karena itu, sebaiknya Tuanku mengatakan saja, apakah yang harus hamba lakukan?”

Tohjaya tersenyum bagaikan senyuman iblis di atas tanah perkuburan yang baru. Katanya, “Baiklah Panglima. Aku ingin bertemu dengan kau malam nanti di ujung jalan yang memotong ujung dinding halaman istana ke arah barat.”

“Baiklah Tuanku. Hamba akan datang. Dan sekarang, apakah Tuanku bersedia meninggalkan hamba, atau membiarkan hamba pergi dari tempat ini?”

“Tentu. Aku akan segera pergi. Kau dapat tetap tinggal di sini. Tetapi sendiri. Gadis itu dilindungi oleh para pengawalku. Demikian juga kedua gadis yang lain.”

“Hamba tidak berkepentingan lagi dengan gadis-gadis itu. Tetapi hamba justru menjadi cemas, bahwa gadis itu akan mengalami nasib yang sangat buruk di dalam perlindungan pengawal-pengawal Tuanku.”

“Kasihan sekali. Tetapi mereka adalah bebanten dari perjuangan ini, seperti Kakanda Anusapati harus mengorbankan pengalasan dari Batil itu.”

Sepercik gugatan nampak di wajah panglima itu. Tetapi ia pun kemudian menundukkan kepalanya. Agaknya nasib ketiga gadis itu pun tidak akan lebih baik dari nasibnya sendiri. Panglima itu pun kemudian tidak mendengar lagi gadis itu meronta-ronta di tangan para prajurit. Salah seorang dari mereka berkata,

“Jangan ribut. Kau tidak akan diapa-apakan. Kau hanya akan dilindungi dari kemungkinan yang dapat mengancam nyawamu. Jika panglima itu berbuat licik, maka ia akan dapat memerintahkan orang-orangnya membunuhmu, agar tidak ada saksi yang utama apabila persoalannya terpaksa dihadapkan kepada para pemimpin di Singasari.”

“Aku tidak akan membuka rahasia ini. Tetapi jangan kau seret aku seperti menyeret kambing.”

Tetapi pengawal itu tertawa. Katanya, “Sayang, kau bukan gadis lagi. Tetapi jangan takut bahwa kau tidak akan mendapatkan seorang suami karena kau sangat cantik. Jasamu tentu akan selalu diingat oleh Tuanku Tohjaya yang masih jejaka itu. Kecuali jika Tuanku Tohjaya tidak memerlukannya dan memberikan kau kepadaku, agar aku dapat selalu melindungimu dari ancaman maut.”

“Diam, diam. Aku tidak sudi.”

Pengawal itu tertawa. Benar-benar menyakitkan hati, sehingga gadis itu mengumpatnya. Tetapi gadis yang malang itu tidak dapat melawan ketika ia kemudian dibawa dengan pengawalan yang kuat ke tempat yang tidak diketahuinya.

“Kau benar-benar sekedar kita amankan,” seorang pengawal masih sempat berkata kepadanya ketika pintu biliknya kemudian ditutup dari luar.

Ternyata di dalam bilik itu telah berkumpul ketiga gadis yang telah menyerahkan diri, mengorbankan kehormatannya untuk suatu perjuangan yang mereka anggap luhur. Namun yang akhirnya mereka terlempar ke dalam suatu tempat yang tidak mereka kenal. Karena itu, maka ketiga gadis itu hampir berbareng telah memukul-mukul pintu bilik itu sekuat tenaga mereka sambil berteriak-teriak,

“Lepaskan kami! Kami telah berjasa bagi kalian.”

Tetapi pintu itu masih tetap tertutup. Dan bahkan bergetar pun tidak, sehingga ketiga gadis itu semakin lama menjadi semakin lelah, dan akhirnya mereka terhenti dengan sendirinya. Namun dalam pada itu, selagi mereka terduduk sambil menangis, tiba-tiba pintu bilik itu berderit. Perlahan-lahan pintu itu terbuka, sehingga ketiga gadis itu terkejut. Serentak mereka mengangkat wajah sambil memandang ke arah pintu yang terbuka itu.

Sepercik harapan telah melonjak di dalam hati mereka ketika mereka melihat seorang putri masuk ke dalam bilik mereka sehingga serentak pula mereka meloncat dan bersujud di hadapannya.

“Ampun Tuanku. Hanya kepada Tuanku Ken Umang, hamba bersama-sama mohon perlindungan,” dan gadis yang telah berhasil meruntuhkan hati panglima itu melanjutkan, “hamba telah berhasil melakukan perintah Tuanku. Namun akhirnya hamba justru dimasukkan ke dalam bilik ini.”

Ken Umang tersenyum hambar. Kemudian ia pun duduk di atas sebuah dingklik kayu di sudut ruangan itu. “Anak-anakku,” berkata Ken Umang, “kalian memang sudah memberikan pengorbanan yang tiada taranya bagi Singasari. Karena itu aku datang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian.”

“Hamba sekedar melakukan kewajiban hamba,” jawab salah seorang dari mereka, “namun hamba tidak mengerti, kenapa hamba justru harus berada di tempat ini?”

Ken Umang justru tertawa sambil berkata, “Jangan berbuat setengah-setengah anak-anakku. Lakukanlah pengorbananmu dengan sempurna. Kau sudah berhasil menaklukkan panglima pasukan pengawal itu dengan mutlak. Karena itu, maka kalian dituntut untuk memberikan pengorbanan yang lebih banyak lagi. Aku kira kalian tidak akan berkeberatan.”

“Maksud Tuan Putri?”

“Apa boleh buat anak-anakku. Pengorbanan berikutnya adalah kesediaan kalian tinggal di sini untuk sementara.”

“Oh,” hampir bersamaan mereka merayap mendekat, “ampun Tuanku. Apakah Tuanku tidak dapat memerintahkan kepada para prajurit, agar hamba dapat dilepaskan? Apa yang hamba lakukan semata-mata demi kepentingan Singasari, sehingga hamba tidak pernah mengharapkan hadiah atau semacam itu yang bagaimanapun bentuknya. Hamba sudah berkorban dengan ikhlas sehingga apa yang hamba lakukan adalah berdasarkan pada kesadaran hamba untuk mengabdi. Jika dicemaskan bahwa hamba akan berkhianat, tentu tidak mungkin sama sekali. Berbeda jika hamba mengharapkan untuk mendapatkan hadiah. Hamba tentu akan memilih siapakah yang akan memberi lebih banyak dari yang hamba terima sebelumnya.”

Ken Umang masih saja tertawa. Katanya, “Karena itulah maka kalian masih harus berkorban lagi. Pengorbanan yang kalian berikan, kalian sandarkan kepada pengabdian. Dan kalian masih harus memberikan pengorbanan atas dasar yang sama. Tidak terlampau berat. Kalian harus berada di dalam bilik ini untuk sementara. Jika keadaan telah memungkinkan, maka kalian akan dapat kami lepaskan lagi.”

“Tetapi ampun Tuanku, untuk sementara di dalam bilik yang dikelilingi oleh prajurit-prajurit yang kasar, adalah berbahaya sekali bagi perempuan-perempuan seperti hamba bertiga.”

“Ah, kenapa kalian berpikir demikian? Bukankah hal itu sudah kalian lakukan demi pengorbanan kalian untuk Singasari.”

“Tetapi tidak seperti ini, Tuan Putri.”

Ken Umang memandang perempuan-perempuan yang menangis itu sejenak. Namun yang tampak di dalam angan-angannya adalah perbuatannya sendiri. Ia berhasil memaksa Ken Arok mengawininya, karena ia lebih dahulu telah berhasil memancing kekhilafannya di hutan perburuan, sehingga Ken Arok yang merasa dirinya seorang pemimpin pada waktu itu, tidak mau ingkar dari tanggung jawab. Karena itu maka sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Apakah salahnya jika semuanya terjadi. Kalian harus menyerahkan apa saja yang ada pada kalian untuk suatu tujuan yang besar. Untuk kepentingan diri kalian masing-masing, dan apalagi untuk kepentingan Singasari.”

“Oh,” tangis ketiga perempuan itu pun bagaikan meledak. Tetapi agaknya sama sekali tidak tersentuh perasaan belas kasihan di dalam hati Ken Umang. Ia merasa berhak menuntut pengorbanan yang serupa, karena ia pun harus melakukannya meskipun untuk kepentingannya sendiri.

“Jangan cengeng!” berkata Ken Umang, “Lakukanlah dengan ikhlas, agar kalian tidak menjadi sakit hati. Pada saatnya kalian akan bebas dari tempat ini, dan kalian akan mendapat hadiah yang cukup. Kau harus mengetahui bahwa rencana ini akan dilakukan dengan cermat. Anusapati harus disingkirkan dan bahkan dibunuh. Agar rencana ini tidak dapat disadap oleh siapa pun, maka kalian terpaksa berada di tempat ini. Jika Anusapati telah terbunuh, maka kalian akan bebas pergi ke manapun.”

Ketiga gadis itu menangis semakin keras, sehingga Ken Umang merasa bahwa telinganya menjadi bising. Sambil mengerutkan keningnya ia pun kemudian berdiri. Ia mengibaskan kain panjangnya ketika salah seorang gadis itu memeganginya sambil berteriak, “Jangan pergi Tuanku, jangan pergi. Hamba bertiga memerlukan perlindungan Tuanku.”

Tetapi Ken Umang pun melangkah keluar.

“Tuan Putri, Tuan Putri,” gadis-gadis itu berteriak semakin keras. Tetapi Ken Umang justru menjadi semakin cepat pergi.

Hampir di luar sadarnya, ketiga gadis itu pun berpegangan pada kain panjang, kaki dan bahkan tangan Ken Umang sehingga Ken Umang harus membentak, “Lepaskan! Lepaskan!”

Tetapi di dalam kebingungan gadis- itu berpegangan semakin erat.

“Jangan bodoh. Jika kalian tidak mau melepaskan, maka aku akan memanggil prajurit-prajurit itu dan memegangimu. Setelah aku pergi, aku tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan atasmu.”

“Oh, tidak, tidak.”

“Jika tidak, lepaskan aku!”

Ketiganya tidak dapat berbuat lain. Mereka terpaksa melepaskan Ken Umang dan membiarkan ia pergi keluar dari bilik itu. Sepeninggal Ken Umang, maka pintu bilik itu pun tertutup kembali. Rasa-rasanya lebih rapat daripada sebelum Ken Umang itu mengunjunginya, karena mereka pun kemudian yakin, bahwa yang terjadi itu bukannya karena para prajurit berbuat atas kehendak dan kepentingan mereka sendiri, tetapi memang demikianlah yang harus mereka lakukan menurut rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya.

“Jika aku tahu sebelumnya,” kata seorang gadis di antara isak tangisnya.

Kedua kawannya tidak menyahut. Penyesalan yang sudah terlambat sekali. Apalagi seorang di antara mereka bertiga yang sudah terlanjur mengorbankan dirinya lebih dari kedua kawannya yang lain. Tetapi mereka tidak dapat menolak lagi nasib yang menerkam mereka. Bahkan terbayang, bahwa yang akan terjadi adalah saat-saat yang mengerikan di dalam hidup mereka. Mereka tidak dapat mengharap lagi untuk keluar dari bilik ini dan hidup dengan wajar. Jika pada suatu saat mereka keluar juga dari sekapan, maka mereka adalah sampah buangan yang tidak ada harganya sama sekali.

“Aku harus menebus pengkhianatanku kepada Tuanku Anusapati,” keluh mereka di dalam hati masing-masing. Dan rasa-rasanya yang terjadi adalah petunjuk bagi mereka, bahwa sebenarnya yang mereka dengar tentang perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan hak di atas Singasari itu keliru.

“Jika benar Tuanku Anusapati berbuat salah, tentu aku tidak akan mengalami nasib begini buruk. Jika aku mati karena perjuanganku di medan yang aku pilih ini, adalah wajar sekali. Tetapi aku justru telah dikhianati oleh Tuan Putri Ken Umang,” perasaan itu tumbuh di hati ketiga gadis itu.

Tetapi tidak ada jalan untuk kembali. Mereka harus berjalan terus, betapapun tajamnya batu berserakan di sepanjang perjalanan mereka.

Dalam pada itu, seperti yang sudah dijanjikan, maka pada malam harinya, panglima yang sudah dalam jebakan itu tidak dapat mengelak lagi. Ia harus pergi ke ujung jalan yang memotong ujung dinding halaman yang menuju ke barat. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia berada semakin dekat dengan tempat yang ditujunya, sehingga akhirnya ia berhenti di ujung jalan yang sepi.

“Apakah yang harus aku lakukan di sini?” ia bertanya kepada diri sendiri, karena ia tidak melihat seorang pun yang berada di tempat itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Bahkan kemudian berjalan mondar-mandir.

“Apakah aku harus mengalami perlakuan semacam ini?” katanya di dalam hati. Sebagai seorang panglima ia mempunyai harga diri yang teguh. Tetapi ia pun harus melindungi namanya dari perbuatan yang paling hina, yang hampir di luar sadar telah dilakukannya. Baru sejenak kemudian ia mendengar sesuatu berdesir. Naluri keprajuritannya telah membuatnya bersikap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Tuan,” tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggilnya.

“Siapa kau?”

“Aku Tuan. Aku adalah utusan Tuanku Tohjaya untuk membawa Tuan ke tempat Tuanku Tohjaya menunggu.”

“Kenapa Tuanku Tohjaya tidak berada di tempat ini?”

“Tidak Tuan. Tuanku Tohjaya masih harus mengatur rencananya di tempat yang tersembunyi. Karena itu, marilah Tuan ikut bersama aku.”

Tidak ada pilihan lain, daripada mengikuti orang itu ke manapun ia pergi. Ternyata mereka pergi menyusup jalan kecil melewati halaman kosong yang luas dan gelap, sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah gubuk kecil yang terpencil.

“Di dalam gubuk itu Tuanku Tohjaya menunggu tuan.”

Panglima pasukan Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun sebenarnya ia sudah meraba, apa yang harus dilakukannya, karena ia mengetahui latar belakang dari perebutan kekuasaan di Singasari. Perlahan-lahan ia mendekati gubuk kecil itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit bertebaran di sekitar gubuk kecil itu, sehingga ia pun menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Tetapi ia harus menemui Tohjaya, sehingga betapapun ia dicengkam oleh keragu-raguan, maka ia pun melangkah perlahan-lahan mendekati gubuk itu.

Di depan pintu seseorang telah menunggunya dan mempersilakan, “Tuan, silakan masuk. Tuanku Tohjaya sudah lama menunggu.”

Panglima pasukan pengawal itu menarik nafas. Tetapi ia pun kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk kecil itu. Karena pintu gubuk itu terlampau rendah, maka panglima itu harus menundukkan kepalanya ketika ia melangkah tlundak pintu. Demikian ia berada di dalam rumah itu, ia pun terkejut. Di dalam rumah itu ternyata selain Tohjaya terdapat seorang panglima yang lain pula. Panglima pelayan dalam. Dengan wajah yang tegang ia memperhatikan seorang demi seorang yang duduk di sebuah amben yang besar. Beberapa orang senapati telah ada di dalam gubuk itu pula.

“Marilah,” Tohjaya mempersilakannya, “untuk sementara kita memerintah Singasari dari gubuk yang kecil ini. Tetapi sebentar lagi, akulah yang akan berada di paseban di hadapan para panglima, senapati dan para pemimpin pemerintahan di Singasari.”

Panglima pasukan Pengawal itu memandang Tohjaya sejenak, lalu katanya kepada panglima pelayan dalam, “Apakah kau terjebak seperti aku?”

Panglima pelayan dalam itu tidak segera menjawab. Sejenak ia memandang Tohjaya yang tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kau tidak mempersoalkan lagi, kenapa kita masing-masing terdampar sampai ke tempat ini.”

“Kita berkumpul di sini karena kita masing-masing merasa wajib untuk menyelamatkan Singasari dari bencana yang lebih besar lagi. Akhirnya aku memutuskan bahwa kita tidak dapat memaafkan lagi atas semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh Kakanda Anusapati. Dan kini pun aku sudah mengetahui dari orang-orang tua, bahwa sebenarnya aku dan Kakanda Anusapati tidak mempunyai sangkut paut dalam hubungan darah. Tegasnya, aku dan Kakanda Anusapati memang orang lain. Demikian juga Kakanda Anusapati dan Ayahanda Sri Rajasa sama sekali tidak bersangkut paut keluarga,” kata Tohjaya.

Panglima pasukan pengawal itu tidak menjawab. Sebenarnya ia pun mengetahui bahwa saat yang paling buruk ini akhirnya memang akan datang. Orang-orang tua yang mengetahui bahwa Anusapati bukannya putra Sri Rajasa, pada suatu ketika akan mengatakannya juga kepada orang-orang yang akan terlibat di dalam persoalan itu sendiri.

“Nah, duduklah,” sekali lagi Tohjaya mempersilakan.

Dengan ragu-ragu panglima pasukan pengawal itu pun kemudian duduk bersama dengan mereka yang telah datang lebih dahulu di atas amben yang besar itu. Ia menarik nafas ketika amben itu berderik seolah-olah merintih karena beban yang terlalu memberati punggungnya.

“Nah, kita sekarang sudah berada di dalam satu rumah. Di bawah satu atap. Sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah mendorong kita masing-masing sampai ke tempat ini. Sebaiknya kita memandang ke depan, bahwa Singasari harus menjadi semakin cerah.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Aku masih belum tahu, cara yang manakah yang akan aku tempuh. Kita tahu, bahwa Kakanda Anusapati adalah seorang yang pilih tanding. Sedang di sampingnya ada seorang yang tidak ada duanya di Singasari, yaitu Mahisa Agni. Karena itu, untuk menguasai Singasari, kita harus bergerak serentak. Tidak tanggung-tanggung. Jika kita kehilangan kesempatan untuk menguasai dengan mutlak, maka kita tentu akan gagal.”

Masih belum ada yang menyahut. Dan Tohjaya pun berkata selanjutnya, “Karena itu kita harus membulatkan hati. Kita harus yakin, bahwa kita akan berhasil.”

Beberapa orang senapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau pun harus yakin,” berkata Tohjaya kepada panglima pasukan pengawal, “kau harus mempersiapkan orang-orangmu, sehingga mereka tidak akan menghalangi rencana kita. Kau dapat membicarakan dengan beberapa orang kepercayaanmu. Tentu saja dengan sangat hati-hati. Kau dapat menjanjikan kenaikan pangkat dan kedudukan. Meskipun barangkali kau sendiri tidak memerlukan kenaikan pangkat dan kedudukan karena kau di dalam kesatuanmu adalah seorang yang berpangkat paling tinggi dan berkedudukan paling tinggi. Tetapi kaudapat mengharapkan yang lain dari kedudukan dan pangkat. Aku masih menyimpan ketiga orang gadis yang barangkali kau perlukan setelah perjuangan ini selesai.”

“Cukup Tuanku. Hamba sudah mencoba untuk tidak mengingat lagi kenapa hamba terlempar ke dalam gubuk ini. Hamba berharap bahwa Tuanku pun tidak akan mengungkitnya lagi.”

Tohjaya tertawa. Katanya, “Baik, baik. Aku tidak akan mengungkit yang telah lalu. Tetapi aku hanya ingin mengatakan kepadamu, bahwa kau akan mendapat hadiah yang lain kecuali pangkat dan kedudukan.”

“Aku tidak memerlukan pangkat dan kedudukan yang lain Tuanku. Jika aku akan melakukan perintah Tuanku, karena Tuanku telah berhasil menjebak aku. Aku kira di antara kita di sini, hal ini bukannya suatu rahasia lagi. Dan aku pun tidak akan merahasiakannya pula.”

“Kau benar-benar seorang senapati yang jujur terhadap dirimu sendiri. Baiklah. Perintah yang pertama yang harus kaujalankan adalah mempengaruhi setiap senapati terpenting dari pasukan pengawal agar mereka pada suatu saat dapat melindungi gerakanku. Terserah kepadamu, dan mungkin kau memang akan mengatur pasukanmu lebih tertib dari sebelumnya.”

Panglima itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya membayangkan perasaannya yang pahit mengalami peristiwa yang hitam di dalam hidupnya. Sebenarnya panglima itu bukannya seorang yang berhati lemah. Tetapi memang ada katanya ia berada di puncak kelemahannya menghadapi persoalan yang semula tidak pernah dibayangkan. Namun kini panglima itu tahu pasti. Tentu ada di antara senapatinya yang memang sudah mengetahui rencana ini sejak lama. Perubahan-perubahan yang terjadi di istana, menurut dugaan panglima itu adalah rangkaian dari rencana Tohjaya. Senapati yang mendapat kepercayaan daripadanya, yang bertugas mengatur kesiagaan di halaman istana, agaknya sadar atau tidak, telah terpengaruh pula oleh orang-orang yang berada di dalam jalur rencana Tohjaya itu.

“Mungkin masih ada satu dua orang perwira tertinggi yang terjebak seperti aku, atau akan terjebak di hari-hari yang akan datang,” berkata panglima itu di dalam hatinya.

Karena panglima itu masih saja berdiam diri, maka Tohjaya pun kemudian berkata, “Panglima yang besar. Kau tidak boleh ragu-ragu lagi. Di dalam pergolakan yang akan terjadi kau harus berdiri di tempat yang pasti. Karena jika kau goyah, maka kau akan terlindas di tengah-tengah. Atau kau akan memilih rahasiamu itu diungkapkan? Aku masih menyimpan gadis-gadis itu. Dan dengan sedikit janji ia akan mengatakan apa yang sudah terjadi di atas diri mereka.”

“Tuan memang sangat bijaksana,” panglima itu bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tuanku tahu betapa lemahnya hati hamba. Dan setiap kali Tuanku mempergunakan kelemahan hati hamba untuk memaksakan kehendak Tuanku. Sebenarnya Tuanku tidak usah mengancam berulang kali, karena hamba yang berhati kecil dan hitam ini tidak akan dapat menolak apapun yang harus hamba lakukan.”

“Nada kesanggupanmu bukannya nada yang ikhlas.”

“Tentu Tuanku mengetahui bahwa hamba melakukannya bukan karena hamba hendak melakukannya. Hamba melakukan sekedar karena hamba tidak berani melihat kesalahan hamba diketahui oleh orang yang lebih banyak lagi dari sekarang. Meskipun aku sadar, bahwa pada suatu saat seluruh Singasari akan mengetahuinya juga.”

Tohjaya menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku memang harus berpendirian demikian. Kau memang tidak membantu kami dengan ikhlas. Tetapi apa boleh buat. Sebaiknya aku tidak mempertimbangkan lagi, ikhlas atau tidak, asal semua perintahku dilaksanakan sebaik-baiknya.”

Tohjaya berhenti sejenak, lalu, “Nah, kalian tentu tahu, bahwa orang yang bernama Mahisa Agni itu tidak ada yang mengalahkan di dalam perang tanding di seluruh permukaan bumi, setidaknya di seluruh Singasari.”

Hampir semua orang yang ada di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dengan demikian maka orang itulah yang harus mendapat pengawasan yang sebaik-baiknya selain Anusapati sendiri. Nah, tugas kalian memang berat jika Mahisa Agni berada di istana.”

Para senapati itu mengangguk-angguk.

“Karena itu, kita harus dapat memilih waktu yang sebaik-baiknya. Kita harus dapat memperhitungkan kesempatan selagi Mahisa Agni berada di Kediri.”

Sekali lagi mereka yang mendengarkan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, agaknya pertemuan kita kali ini sudah cukup. Yang penting, kalian harus dapat mempengaruhi pasukan masing-masing, sehingga pada saatnya kita tidak akan terjebak dan mengalami kegagalan lagi. Dengan kolam itu kita tidak mempunyai banyak kesempatan. Dan aku sudah memutuskan untuk menyeretnya keluar dan membunuhnya dengan dada terbuka. Setelah itu, kita akan membereskan Mahisa Agni itu sendiri.”

Demikianlah maka pertemuan di gubuk yang kecil itu pun berakhir. Tetapi para panglima dan senapati itu tidak bubar bersama-sama. Seorang demi seorang meninggalkan gubuk itu agar tidak menarik perhatian..Demikian pula panglima pasukan pengawal itu. Ia pun melangkah dengan kepala tunduk meninggalkan tempat itu, melalui beberapa halaman kosong seperti hatinya yang kosong pula.

Di rumah, panglima pasukan pengawal itu pun menjadi murung. Setiap kali ia melihat istrinya yang setia, hatinya berdesir. Ia merasa telah melakukan suatu kesalahan yang besar bagi keluarganya. Dan kesalahannya itu telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang pahit. Pahit sekali. Tetapi ia tidak dapat menarik diri dari keadaan yang telah membelenggunya itu. Ia harus berjalan terus, apapun yang akan sampai ke daerah yang sama sekali tidak diharapkannya.

Meskipun demikian, ia terpaksa juga melakukannya. Dengan hati yang luka ia mulai mempengaruhi beberapa orang senapatinya Mula-mula disebarkan cerita tentang Anusapati seperti yang memang pernah didengarnya, bahwa sebenarnya Anusapati bukan putra Sri Rajasa. Dan berita itu memang mengejutkan bagi sebagian orang, karena yang sebagian memang sudah mengetahuinya meskipun hanya disimpannya di dalam hati.

Tetapi setiap kali ia mencoba meyakinkan kepada orang lain, bahwa Anusapati tidak berhak menggantikan Sri Rajasa, maka ada sebagian dari kesetiaannya yang ikut serta terseret dan hanyut ke dalam ceritanya sendiri, sehingga akhirnya panglima itu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah memang sebenarnya Anusapati tidak berhak menjadi Maharaja di Singasari?”

Apalagi panglima pasukan pengawal itu sudah mendengar sejak lama bahwa Anusapati memang bukan putra Sri Rajasa. Karena itu, maka lambat laun, ia pun justru menjadi percaya akan cerita yang disebarkannya sendiri, seperti kehendak yang dipaksakan dari Tohjaya, bahwa Anusapatilah yang sebenarnya menyuruh Pengalasan Batil untuk membunuh Sri Rajasa, dan kemudian pengalasan itu telah dibunuhnya sendiri.

Kepercayaan itu semakin lama justru menjadi semakin tebal. Dengan demikian, maka ia pun menjadi semakin bernafsu untuk meyakinkan orang lain, bahwa sebenarnyalah Anusapati tidak berhak untuk menggantikan Sri Rajasa, karena Anusapati memang bukan putra Sri Rajasa.

“Tetapi Anusapati adalah putra Akuwu dari Tumapel,” berkata salah seorang tua kepada kawannya ketika orang-orang itu mendengar desas-desus yang menjadi semakin tersebar itu.

“Ya, dan Sri Rajasa sebenarnya hanyalah mewarisi kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, karena Sri Rajasa mengawini Ken Dedes. Jika kemudian Kekuasaan itu berkembang, kita memang menaruh hormat kepadanya. Tetapi tidak boleh dilupakan dari mana ia mendapatkan sumber kekuasaan, sehingga jika Tuanku Anusapati yang mewarisi kekuasaan atas Singasari, adalah wajar sekali.”

Namun demikian, kekuasaan keprajuritan di dalam istana sebenarnya sudah mulai beralih. Perlahan-lahan tetapi pasti, maka pengikut Tohjaya mulai menguasai kedudukan penting di dalam istana, terutama di bidang pengamanan. Hampir setiap senapati yang ada di dalam istana dari pasukan pengawal adalah orang-orang yang sudah berdiri di pihak Tohjaya. Dengan licik panglima pasukan pengawal berhasil menyingkirkan orang-orang yang dianggapnya tidak dapat bekerja bersamanya.

Seperti yang dilakukan oleh panglima pasukan pengawal, maka panglima pelayan dalam pun telah bekerja sebaik-baiknya. Apalagi ketika kedua panglima itu hampir di luar sadarnya telah terlempar ke dalam sebuah bilik sempit di luar halaman istana. Meskipun gadis yang berada di dalam bilik itu sudah bersikap lain, namun semakin sering mereka berada di dalam bilik itu, maka semakin dalam mereka terperosok ke dalam perangkap Tohjaya.

Ternyata gadis-gadis yang berada di dalam bilik itu, meskipun masih juga gadis-gadis yang pernah menjebak panglima pasukan pengawal itu, namun mereka sudah kehilangan gairah perjuangannya. Mereka tidak lagi dengan segala usaha menjerumuskan panglima itu ke dalam lumpur dengan mengorbankan diri sendiri, tetapi kini ia tidak lebih dari barang yang tidak kuasa berbuat sesuatu selain membiarkan dirinya diperlakukan apapun juga. Dan betapa dalam penyesalan menyesak dada, namun ketiga orang gadis itu tidak dapat lagi mengubah nasibnya yang buruk.

Persiapan yang dilakukan oleh Tohjaya ternyata semakin lama menjadi semakin mapan dan rapat. Tidak seorang pun di luar mereka yang mengetahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.

Dalam pada itu, Anusapati sendiri, yang meskipun merasa bahwa kolam itu berhasil untuk sementara menenteramkan hatinya, namun semacam kegelisahan yang semakin lama semakin dalam, telah mencengkam hatinya. Perasaan bersalah atas kematian Sri Rajasa, dan penyesalan atas pengorbanan yang terlampau besar yang telah diberikan oleh Sumekar, membuatnya selalu dibayangi oleh peristiwa-peristiwa yang buram itu.

“Ternyata aku tidak berhasil mengatasinya seperti Ayahanda Sri Rajasa,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “bayangan hitam itu selalu mengejarku ke mana aku pergi.”

Dan akhirnya Anusapati jatuh ke dalam kelemahannya. Ia memang bukan seorang yang pantas berdiri di atas tetesan darah orang lain, karena hatinya lembut. Dan karena itulah, maka tiba-tiba ia terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak seharusnya dilakukan. Pasrah diri terhadap nasib yang manapun yang akan menimpanya. Dengan demikian di dalam kegelapan Anusapati tidak lagi ingin mengganggu pamannya, Mahisa Agni. Semua kekalutan dicobanya untuk menelannya, betapa pahitnya.

Meskipun demikian, ada juga usahanya yang dilakukannya. Anusapati telah menempa anak laki-lakinya untuk menjadi seorang laki-laki. Anusapati mencoba mempelajari sifat-sifat yang ada di dalam dirinya, kelemahan dan kekuatan pamannya, yang juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ayahandanya Sri Rajasa, Sumekar dan orang-orang lain. Dengan meresapi setiap sifat dan watak, maka ia berusaha membentuk anak laki-lakinya menjadi seorang yang baik, lahir dan batinnya. Kepada Ranggawuni lah, Anusapati menggantungkan seluruh harapannya. Harapan bagi kelanjutan namanya, dan harapan bagi Singasari.

“Pada saatnya, awan akan berlalu. Tetapi matahari akan tetap mengarungi jalur jalannya. Jika aku pergi, Ranggawuni harus siap berada di atas cakrawala,” katanya di dalam hati, “dan jika aku terlampau cepat pergi, aku harap Pamanda Mahisa Agni masih sanggup melakukan pekerjaan besar yang lain, membuat Ranggawuni menjadi seorang maharaja yang besar.”

Dan rasa-rasanya hidup ini menjadi terlampau tergesa-gesa. Sehingga ada semacam firasat, bahwa hari terakhir bagi Anusapati memang menjadi semakin dekat. Dan inilah ujud dari perasaan putus asa itu, kadang-kadang Anusapati menyadari. Tetapi ia tidak dapat menghindarkan dirinya. Untuk beberapa lamanya, Anusapati masih dapat berusaha untuk menenteramkan hatinya. Tetapi lambat laun ia tidak dapat bersembunyi lagi. Kolam yang mengelilingi bangsalnya hanya mampu membentengi keselamatan jasmaniahnya untuk beberapa lamanya. Tetapi tidak mampu untuk membentengi hatinya dari perasaan bersalah.

Agaknya Tohjaya melihat perubahan yang terjadi pada diri Anusapati. Meskipun secara lahiriah ia selalu bersujud dan seakan-akan tidak lagi ingin berbuat sesuatu, namun ternyata ia mampu menangkap perkembangan jiwa yang terjadi pada Anusapati. Apalagi ia berhasil mengatur beberapa orang yang berada di sekeliling Maharaja Singasari itu.

Sebenarnya Anusapati yang memang sudah menaruh kecurigaan kepada Tohjaya itu merasakan juga sikap yang berlebih-lebihan. Bukan watak Tohjaya menjadi seorang penurut dan sekedar menundukkan kepalanya. Namun demikian, kelemahan di dalam diri Anusapati selalu menahannya apabila ia ingin berbuat sesuatu. Sehingga pada puncaknya, Anusapati hanya sekedar dapat merenungi kesalahannya sendiri.

Dengan rendah hati Tohjaya selalu mengemukakan kepedihannya atas kematian ayahandanya, bahkan seakan-akan Tohjaya telah menggantungkan dirinya kepada Anusapati sebagai saudara tuanya. “Kakanda Anusapati,” berkata Tohjaya, “tidak ada orang lain yang dapat menjadi pengganti Ayahanda Sri Rajasa daripada Kakanda Anusapati.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan beberapa orang yang sengaja memasuki biliknya. Beberapa kelompok prajurit yang memberontak, yang terbunuh di dalam bilik tahanannya, dan hal-hal lain yang mencurigakan. Namun di hadapan Tohjaya, Anusapati selalu menunjukkan wajah yang bersih dan cerah.

“Adinda Tohjaya,” katanya, “aku memang menganggap adik-adikku sebagai keluarga yang berada di bawah tanggung jawabku sepeninggal Ayahanda, karena aku adalah saudara yang tertua di antara kalian.”

“Terima kasih Kakanda,” berkata Tohjaya, “tetapi untuk selanjutnya barangkali aku akan sering mengganggu Kakanda di dalam banyak hal, karena aku akan mengadukan semua persoalan dan kebutuhanku kepada Kakanda.”

“Aku tidak berkeberatan Adinda.”

Dan Tohjaya pun ternyata membuktikan kata-katanya. Kadang-kadang ia datang menghadap dan mohon sesuatu kepada Anusapati. Terutama berhubungan dengan kegemarannya menyabung ayam, sehingga kadang-kadang ia memerlukan berbagai macam kelengkapan bagi lapangan sabung ayamnya. Dan seperti yang sudah dikatakannya, Anusapati pun tidak pernah menaruh keberatan. Seakan-akan ia memang ingin membiarkan Tohjaya tenggelam di dalam sabungan ayam dan tidak memikirkan lagi persoalan-persoalan yang menyangkut pemerintahan.

“Itu suatu kelemahan Kakanda,” Mahisa Wonga Teleng lah yang kadang-kadang terpaksa memperingatkannya, “aku tidak pernah merasa tenteram apabila Kakanda Tohjaya masih saja leluasa berbuat sesuatu di istana ini.”

“Aku tidak dapat melarangnya Adinda,” berkata Anusapati, “ia adalah putra Ayahanda Sri Rajasa juga. Karena itu maka ia pun berhak untuk berbuat sesuatu di dalam halaman istana peninggalan ayahandanya.”

“Tetapi sudah barang tentu bila tidak menentang kekuasaan yang ada di Singasari,” sahut Mahisa Wonga Teleng, “seperti yang Kakanda rasakan, apakah Kakanda Tohjaya berlaku jujur menghadapi keadaan yang berkembang di Singasari sekarang ini.”

“Kita hanya sekedar berprasangka Adinda.”

“Tidak Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng, “sebaiknya Kakanda selalu ingat nasihat Pamanda Mahisa Agni. Dan aku yakin, bahwa sumber dari setiap bencana yang terjadi atau pun tanda-tanda bahwa hal itu akan terjadi, tentulah lapangan sabungan ayam itu.”

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng, “aku kira saatnya sudah tiba bagi Kakanda untuk mengambil sikap. Kakanda dapat mengusir lapangan sabung ayam itu keluar halaman istana. Adalah tidak pantas sekali bahwa sebagian dari halaman istana ini menjadi arena sabungan ayam...”

Sepasang Ular Naga Disatu Sarang 03

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 03: Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 03
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“TUANKU, bukanlah kita akan menjebak seseorang?”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya bagi Anusapati usaha mencelakakan dirinya tidak dapat dilakukan dengan mudah. Ia mempunyai kemampuan yang cukup dan indera yang tajam. Kalau ada seorang pelayan dalam yang ingin berkhianat, maka hal itu tidak akan dapat mereka lakukan. Bagi Anusapati, betapapun tinggi ilmu orang itu, ia akan sempat mengadakan perlawanan sementara untuk waktu yang cukup. Jika ia benar-benar tidak dapat mengimbangi lawannya, maka ia akan dapat memanggil para pengawal.

Tetapi Anusapati tidak mau menyakiti hati Mahisa Agni. Katanya di dalam hati, “Biar saja Paman tidur di atap jika memang dikehendakinya.”

Demikianlah, karena Anusapati tak pernah menyatakan keberatannya maka Mahisa Agni dibantu oleh Kuda Sempana pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak mau menunda lagi. Malam itu juga mereka harus sudah mulai dengan tugas mereka.

Ternyata bahwa mereka berhasil bertengger di atas atap tanpa seorang pun yang tahu. Dengan hati-hati mereka berbaring pada lekukan atap yang kehitam-hitaman di bawah bayangan sebatang pohon kemuning yang daunnya sedikit merunduk di atas bangsal. Dengan sabar mereka berdua duduk diam seperti seonggok sampah, tapi indera mereka telah bekerja sebaik-baiknya untuk menangkap setiap gerak dan desir di sekitar mereka. Beberapa saat mereka tak bergerak. Akan tetapi mereka juga tidak melihat apapun juga. Namun mereka tidak segera menjadi jemu. Bahkan setelah semalam suntuk mereka tidak menjumpai apapun.

“Apakah kita masuk saja lewat atap?” bisik Kuda Sempana.

“Kita di sini dahulu. Mungkin kita melihat pertanda sesuatu. Baru jika perlu kita masuk.”

Tetapi sampai saatnya fajar menyingsing mereka tidak melihat tanda-tanda, bahwa sesuatu akan terjadi. Karena itulah maka malam itu mereka menyelinap meninggalkan bangsal tanpa memperoleh hasil apapun.

Tetapi malam berikutnya mereka mengulangi usaha mereka meskipun ketika Mahisa Agni menghadap Anusapati sambil tersenyum maharaja itu bertanya, “Adakah Paman menemukan sesuatu?”

“Tidak Tuanku. Tetapi bahwa malam-malam masih akan berlangsung panjang. Dari ujung hari sampai ke ujung hari.”

Anusapati masih saja tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Paman memang seorang prajurit pinilih. Silakan Paman. Tetapi jika pada suatu saat Paman yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa, Paman dapat menghentikan usaha penyelamatan itu.”

“Baiklah Tuanku.”

Dan seperti yang direncanakan, maka pada malam hari itu Mahisa Agni telah berada di atas atap di bawah bayangan pohon kemuning itu lagi bersama Kuda Sempana tanpa seorang yang mengetahui. Tetapi juga pada malam kedua mereka tidak menjumpai apapun juga. Meskipun demikian pada malam ketiga, mereka telah mengulanginya kembali. Dengan sabar mereka duduk di bawah bayangan pohon kemuning yang menyuruk di atas atap bangsal Anusapati.

Seperti dua orang prajurit yang bertugas di daerah terpencil maka berganti-ganti mereka berjaga-jaga. Jika yang seorang tidur sambil memeluk lutut, maka yang lain mengawasi keadaan dengan seksama. Dengan demikian maka mereka akan dapat bertahan untuk waktu yang tidak menentu.

Tetapi pada malam ketika itu, lewat tengah malam, Mahisa Agni melihat sesuatu yang bergerak-gerak di halaman belakang bangsal itu. Hanya sekilas. Namun kemudian hilang di dalam kegelapan. Mahisa Agni tidak sempat meyakinkan, apakah yang telah bergerak-gerak di tengah malam itu. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin berhati-hati. Dengan dada yang berdebar-debar ia menunggu, mungkin sesuatu benar-benar akan terjadi.

Ia menggamit Kuda Sempana yang tertidur sambil duduk memeluk lutut. Ketika Kuda Sempana mengangkat wajahnya,Mahisa Agni meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. kuda Sempana mengerti, bahwa Mahisa Agni telah melihat sesuatu. Selagi mereka berdiam diri sambil menahan nafas, maka mereka pun mendengar sesuatu berdesir. Dekat hampir di bawah tempat duduk mereka.

Tetapi suara itu pun kemudian hilang. Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Kuda Sempana itu menjadi semakin yakin, bahwa sesuatu memang akan terjadi. Tiba-tiba mereka membelalakkan mata ketika mereka mendengar suara berbisik, “Bagaimana?”

“Tunggu,” terdengar suara yang lain. Suara itu kemudian terdiam. Untuk beberapa lamanya mereka tidak mendengar apapun juga. Meskipun demikian, mereka tidak dapat tenang lagi. Agaknya memang akan terjadi sesuatu malam itu juga.

Ketika malam kemudian menjadi semakin malam, Mahisa Agni dan Kuda Sempana mendengar dinding yang diketuk perlahan-lahan. Agaknya ketukan itu merupakan isyarat bagi seorang yang ada di luar dinding. Dan ternyata ketukan dinding itu diikuti oleh suara yang lain, seakan-akan seseorang telah melemparkan sebutir kerikil ke dalam semak-semak di belakang bangsal itu.

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kuda Sempana pun mengerti pula bahwa sesuatu telah mulai terjadi di bangsal itu. Dari dalam gerumbul Mahisa Agni melihat dua orang mendekat. Perlahan-lahan sekali. Mereka menghindarkan diri dari pengawasan para prajurit yang bertugas mengawal bangsal itu. Malam yang kelam itu rasa-rasanya akan menjadi malam yang hiruk-pikuk. Jika terjadi sesuatu, maka para prajurit pun akan segera mengepung bangsal itu dan setiap orang di dalam bangsal itu pun tidak akan dapat melepaskan diri lagi. Juga Kuda Sempana.

“Kau akan disembunyikan di dalam bangsal oleh Tuanku Anusapati,” bisik Mahisa Agni ketika hal itu dikemukakan oleh Kuda Sempana. Karena Kuda Sempana pun menjadi cemas, bahwa para prajurit yang tidak mengenalnya akan menyangka bahwa ia adalah salah seorang dan mereka yang memasuki bangsal itu dengan diam-diam dengan maksud jahat. Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun kemudian mendengar pintu berderit, tentu seseorang telah membukanya dari dalam.

“Apakah semua orang di dalam bangsal ini telah berkhianat, atau pelayan dalam yang baru itu telah melumpuhkan kawan-kawannya yang lama?” Mahisa Agni dan Kuda Sempana bertanya kepada diri sendiri.

Sejenak mereka menunggu. Tetapi mereka tidak mendengar suara apapun lagi. Karena itu, maka mereka berdua pun dengan sangat hati-hati telah membuka atap bangsal itu dan masuk pula ke dalamnya. Tetapi keduanya memperhitungkan pula, bahwa betapapun lambatnya, namun atap kayu itu tentu akan berdesir pula. Karena itu, mereka mencari tempat yang tidak berada tepat di atas orang-orang yang agaknya telah berkumpul di bangsal itu pula.

Mahisa Agni telah mengenal bangsal itu dengan baik, sehingga ia pun dapat memasuki sebuah ruangan yang jarang sekali dikunjungi orang. Ruangan yang sering dipergunakan oleh Anusapati untuk menyepikan diri jika ia sedang dicengkam oleh kegelisahan hati.

“Di sebelah adalah ruang yang dipergunakan oleh Tuanku Anusapati,” bisik Mahisa Agni.

Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita membangunkannya,” desis Mahisa Agni pula. Kuda Sempana tidak menyahut. Ia hanya memperhatikan saja Mahisa Agni menyentuh dinding dengan tangannya, sehingga menimbulkan desir yang lemah.

Tapi ternyata bahwa indera Anusapati cukup tajam. Suara itu telah membangunkannya, tetapi tidak mengejutkan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia memang merasa mendengar sesuatu. Tetapi suara itu telah lenyap. Mahisa Agni yang mempunyai indera yang tidak kalah tajamnya mendengar derit pembaringan Anusapati. Firasatnyalah yang mengatakan kemudian, bahwa Anusapati tentu telah terbangun oleh desir papan dinding yang memisahkan kedua ruangan itu.

Sejenak Anusapati masih mencoba mendengarkannya. Tetapi ia benar-benar tidak mendengar apapun. Desah nafas Mahisa Agni dan Kuda Sempana pun tidak dapat didengarnya, karena keduanya telah menjaga pernafasannya baik-baik. Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Karena ia tidak mendengar suara apapun lagi, maka ia pun telah memejamkan matanya. Ia menganggap bahwa suara yang didengarnya adalah suara yang terjadi di dalam mimpi atau sepotong ranting kering yang terjatuh di atap.

Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak. Ia memang mendengar sesuatu. Karena itu, maka ia pun menahan nafasnya dan mencoba memasang telinganya tajam-tajam. Sebuah derit yang pendek telah menarik perhatian Maharaja Singasari itu. Kemudian ia mendengar desir langkah kaki, betapapun lambatnya. Tetapi tidak dari ruangan sebelah, ruangan yang seakan-akan merupakan sanggar kecilnya di samping sanggar yang sebenarnya. Dan suara itu memang bukan suara langkah Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

Perlahan-lahan Anusapati bangkit dari pembaringannya. Ia menjaga agar geraknya tidak menumbuhkan bunyi apapun. Bahkan ketika ia berdiri, dan kemudian melangkah ke tengah biliknya. Ketika suara itu terdengar lagi, maka Anusapati pun yakin bahwa ada seseorang di dalam ruangan dalam bangsal itu. Sehingga karena itu, maka sekilas ia teringat pesan Mahisa Agni, agar ia pun berhati-hati.

Tetapi Anusapati menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar langkah itu semakin jelas dan bahkan tanpa usaha untuk menghilangkan desir suaranya sama sekali langsung menuju ke pintu bilik Anusapati. Sejenak tidak terdengar suara apapun. Namun kemudian terdengar seseorang terbatuk-batuk.

“Hem,” Anusapati berdesah, “aku terlampau berprasangka. Agaknya seorang pelayan dalam yang mendekati bilik ini.”

Meskipun demikian, Anusapati menjadi berdebar-debar juga. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar. Yang pertama-tama terlintas di kepalanya adalah anak dan istrinya yang tidur di bilik yang terpisah. Mungkin anaknya telah diganggu oleh perasaan sakit dan badannya menjadi panas, seperti yang memang pernah terjadi.

“Tetapi aku tidak mendengar ia mengeluh dan apalagi mengaduh,” katanya di dalam hati. Lalu, “Mungkin Ranggawuni telah merasa dirinya menjadi semakin besar, sehingga, ia harus dapat menahan perasaannya.”

Meskipun demikian, Anusapati menjadi curiga juga. Ia tidak mendengar langkah emban yang keluar dari bilik sebelah bilik Ranggawuni dan bundanya, yang disediakan bagi para emban yang sedang bertugas berjaga-jaga bergantian. Langkah yang didengarnya adalah langkah kaki dari ruangan belakang dan batuk-batuk yang didengarnya betapapun ditahankannya adalah suara seorang laki-laki. Tetapi yang digelisahkan kemudian bukanlah bahaya yang mengancamnya lagi. Tetapi apakah yang sudah terjadi di luar biliknya atau di luar bangsalnya.

Ketika suara batuk yang tertahan-tahan itu didengarnya lagi, maka Anusapati itu pun bertanya, “Siapa itu?”

“Ampun Tuanku. Hamba memberanikan diri mendekat bilik peraduan Tuanku.”

“Ada apa?”

“Hamba adalah pelayan dalam yang bertugas di dalam bangsal ini. Hamba dan kawan-kawan hamba melihat sesuatu yang barangkali sangat ajaib bagi Tuanku dan hamba semuanya.”

“Apa yang kau lihat?”

“Dari sela-sela dinding mula-mula kami melihat seakan-akan ada perapian di luar bangsal. Karena hamba ingin tahu, maka hamba pun telah membuka pintu belakang untuk meyakinkan apakah penglihatan kami benar. Ternyata yang kami lihat adalah cahaya dari dalam air di kolam sebelah, Tuanku.”

“Ah. Apakah kau tidak bermimpi?”

“Semuanya dapat melihatnya Tuanku. Sampai saat ini cahaya itu masih ada.”

Mahisa Agni dan Kuda Sempana mendengar kata-kata pelayan dalam itu pula. Sejenak mereka saling memandang, seakan-akan mereka ingin menyesuaikan pendapat mereka tentang kata-kata pelayan dalam itu. Tanpa membicarakannya, mereka masing-masing dapat menebak, bahwa pelayan dalam itu berusaha memancing Anusapati ke luar dari biliknya. Tentu beberapa orang akan menyerangnya bersama-sama di ruang belakang bilik itu.

Ternyata Anusapati tidak segera menjawab. Dan pelayan dalam itu berkata seterusnya, “Tuanku. Sebenarnyalah hamba menjadi ketakutan. Cahaya apakah yang berada di dalam air itu. Mungkin hamba bukan seorang penakut, dan prajurit-prajurit yang bertugas itu pun bukan penakut. Tetapi menghadapi sesuatu yang tidak pernah hamba lihat, hamba menjadi berdebar-debar pula.”

“Kau masih melihat sebelum kau mendekat bilik ini?”

“Hamba Tuanku.”

“Kau mengharap aku melihatnya pula?”

“Ampun Tuanku. Terserahlah kepada Tuanku. Tetapi hamba ingin mendapat ketenteraman hati apabila Tuanku dapat memberikan penjelasan, apakah sebenarnya yang telah hamba lihat.”

Sesuatu telah merayap di dalam dada Anusapati. Sebenarnya ia sudah ingin membuka pintu dan melangkah keluar. Tetapi ia teringat lagi peringatan Mahisa Agni dan bahkan adiknya Mahisa Wonga Teleng, bahwa ia seharusnya selalu berhati-hati. Sejenak Anusapati termangu-mangu. Dilihatnya pusakanya masih tergantung di dinding di atas pembaringannya.

Perlahan-lahan ia mendekatinya. Sebilah keris yang ada di dinding itu diambilnya. Bahkan kemudian dilihatnya geledek kayu di dalam bilik itu. Di situlah keris Empu Gandring yang sakti disimpannya. Tetapi agaknya Anusapati tidak menggunakannya untuk kepentingan yang kurang berarti. Dengan hati yang bimbang Anusapati pun kemudian melangkah ke pintu. Jika orang itu berniat jahat, kenapa ia membangunkannya? Tetapi jika benar apa yang dikatakannya, maka apakah sebenarnya cahaya yang dimaksudkan itu?

“Jika ia bermaksud jahat, tentu ia tidak akan melakukan di luar bangsal ini, karena di luar ada prajurit yang sedang bertugas,” berkata Anusapati di dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja ia teringat kepada permintaan Mahisa Agni untuk memasuki bilik ini lewat atap.

“Aku mendengar sesuatu sehingga aku terbangun sebelum aku mendengar desir langkah orang yang terbatuk-batuk itu,” katanya di dalam hati. Dan suara itu dihubungkannya dengan kemungkinan adanya Mahisa Agni di dalam bangsal itu.

Namun Anusapati adalah seorang prajurit. Ia ingin mengetahui, apakah yang akan terjadi atasnya jika ia benar-benar keluar dari dalam bilik itu. Sejenak kemudian Anusapati pun mendekati pintu dengan ragu-ragu. Perlahan-lahan tangannya mengangkat selarak dan dengan hati-hati ia membuka pintu setelah ia yakin bahwa nafas yang didengarnya tidak terlampau dekat dengan daun pintu itu. Ketika pintu itu terbuka, Anusapati melihat seorang pelayan dalam duduk sambil menundukkan kepalanya di muka pintu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.

“Kaukah yang melihat cahaya di dalam air itu?”

“Hamba Tuanku. Justru karena hamba pernah mendengar cahaya Dewa Brama yang kemerah-merahan, maka hamba menghadap Tuanku meskipun Tuanku sedang beradu.”

“Di mana cahaya itu?”

“Di kolam Tuanku. Hamba melihatnya dari pintu belakang?”

“Kenapa pintu belakang?”

Pelayan dalam itu tergagap sejenak, lalu, “Cahaya itu ada di ujung belakang.”

Anusapati termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mendapat firasat, bahwa agaknya memang akan ada sesuatu yang terjadi. “Mungkin aku hanya bercuriga karena Paman Mahisa Agni den Mahisa Wonga Teleng sering memberi peringatan padaku,” katanya di dalam hati. Namun demikian ia pun kemudian berkata kepada pelayan dalam itu, “Baiklah, aku akan melihatnya. Marilah.”

Pelayan dalam itu mengangkat wajahnya. Tetapi ia masih duduk saja di tempatnya.

“Marilah.”

“Hamba Tuanku. Hamba akan menyertai Tuanku.”

Anusapati termangu-mangu sejenak, ketika pelayan dalam itu memberi isyarat kepadanya untuk berjalan lebih dahulu. Setelah mempertimbangkan sejenak, maka Anusapati pun kemudian berjalan diiringi pelayan dalam itu melintasi ruangan dalam. Di bilik sebelah bilik permaisurinya ia melihat seorang emban yang duduk terkantuk-kantuk di sini kawannya yang tertidur nyenyak.

“Pelayan dalam itu benar,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “akukah yang harus berjalan di depan.

Namun langkah Anusapati pun rasa-rasanya selalu diberati oleh kewaspadaannya. Ia menjadi semakin termangu-mangu ketika ia melihat pintu yang sudah menganga. Pintu yang memisahkan ruang dalam dan ruang belakang bilik itu. Anusapati masih melangkah terus. Namun demikian, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya ia melihat sesuatu yang tidak wajar menunggu di balik pintu yang terbuka itu. Apalagi cahaya lampu di ruang belakang itu agak redup. Jauh lebih redup dari lampu di ruang dalam. Tiba-tiba saja langkah Anusapati menjadi semakin lambat. Bahkan kemudian seakan-akan ia telah berhenti.

“Silakan Tuanku,” berkata pelayan dalam itu, “mumpung cahaya itu masih dapat dilihat. Tentu cahaya semacam itu tidak akan bertahan lama. Dewa Brahma tidak akan dapat berada di dunia wadag ini lebih dari batas waktu yang sangat singkat.”

Anusapati justru berhenti karenanya. Dan pelayan dalam itu mendesaknya, “Silakan Tuanku. Jangan terlambat.”

Anusapati melangkah maju. Tetapi tiba-tiba ia berbalik sambil melekatkan telunjuknya di bibirnya. Tetapi lebih dari itu ia ternyata telah mengacukan kerisnya hampir melekat di dada pelayan dalam itu. Pelayan dalam itu terkejut bukan buatan. Tetapi karena isyarat jari telunjuk Anusapati yang melekat di bibir itu, ia tidak berani berkata sepatah kata pun. Demikian juga, ketika Anusapati kemudian berputar dan mendorong orang itu untuk berjalan di depan.

Ternyata orang itu meronta. Dengan wajah yang pucat ia menggelengkan kepalanya. Namun Anusapati menekankan kerisnya di punggungnya sambil mendorongnya maju. Betapa berat langkah kakinya. Apalagi ketika mereka menghampiri pintu yang terbuka itu. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa lagi, karena tiba-tiba saja Anusapati mendorongnya sehingga orang itu terhuyung-huyung terdorong maju beberapa langkah melintasi pintu.

Tetapi begitu ia melampaui tlundak pintu, maka ia pun segera berteriak, “Jangan, jangan! Ini aku…”

Namun sudah terlambat. Suaranya itu terputus oleh tusukan dua bilah keris di lambungnya kiri dan kanan. Sejenak ia masih berdesah. Namun kemudian ia pun terjatuh menelungkup dan mati seketika. Dua buah luka menganga di lambung kiri dan kanannya, sedang darah mengalir membasahi lantai yang mengkilap.

Betapa terkejutnya kedua orang yang menusuk lambung kiri dan kanan pelayan dalam itu. Ketika mereka sadar bahwa yang jatuh menelungkup itu adalah kawan mereka sendiri, maka mereka pun menggeram sambil berloncatan dari balik dinding. Ternyata tiga orang telah menunggu Anusapati di balik dinding itu.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Anusapati perlahan-lahan. Katanya, “Ternyata kalian masih harus banyak belajar. Kalian tidak dapat membedakan, siapakah yang harus kalian bunuh di dalam bangsal ini, sehingga agaknya kawanmu sendiri, bahkan justru pimpinanmu sendirilah yang harus mati lebih dahulu.”

Orang-orang itu menggeram. Salah seorang dari mereka berkata, “Pelayan dalam itu sama sekali tidak berarti bagi kami. Meskipun kami keliru, namun kau pun akan mati di ujung keris kami. Kau tidak akan mampu melawan kami bertiga, karena kami, yang datang dari kaki Gunung Kendeng, adalah murid-murid terkasih dari Empu Badara. Empu yang namanya dikenal sampai jauh ke seberang lautan.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku belum pernah mendengar nama itu. Tetapi seandainya benar ia memiliki nama yang dikenal sampai ke seberang, apakah kepentingannya dengan aku? Aku sama sekali tidak mempunyai persoalan dengan orang yang menyebut dirinya Empu Badara.”

“Kau memang tidak melihat ke dirimu sendiri. Setiap orang mengetahui kecuranganmu dan bahkan tingkah lakumu yang menodai Singasari. Kau sudah membunuh ayahmu sendiri karena kau ingin menduduki tahtanya. Sekarang kau berpura-pura bertanya apakah persoalanmu. Setiap orang sebenarnya membencimu karena tingkah lakumu itu. Seorang anak yang telah membunuh ayahnya sendiri, adalah seorang anak yang paling durhaka.”

Wajah Anusapati menjadi panas dan kemerah-merahan. Tetapi ia masih mencoba menahan hati dan berkata, “Sebenarnya kau keliru. Jika benar kau murid orang yang menyebut dirinya Empu Badara, hendaknya kau kembali kepada gurumu dan katakan kepadanya bahwa tafsirannya itu keliru. Bukan aku yang membunuh Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi seperti yang telah diumumkan dengan resmi, bahwa Pangalasan dari Batil itulah yang membunuhnya, dan aku terpaksa membunuh orang dari Batil itu.”

Salah seorang dari ketiga orang itu tertawa sambil melangkah maju. Katanya, “Kau dapat membuat cerita apapun juga. Tetapi kau tidak dapat mengelabui Empu Badara, karena Empu Badara dapat melihat tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu. Dan ia telah melihat apa yang sebenarnya terjadi di istana Singasari itu.”

“Terserahlah kepada kalian. Terserah kepada tanggapan orang yang kau sebut bernama Badara itu. Tetapi sekarang kau terjebak di dalam bangsal ini. Dan aku akan menangkap kalian.”

“Kau?” orang itu tertawa, “Baiklah. Tetapi sayang, bahwa kami sudah sepakat, bahwa kau harus mati.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya, “Di sekitar bangsal ini terdapat beberapa orang prajurit peronda. Apakah kau tidak dapat memperhitungkan bahwa aku dapat berteriak memanggil mereka.”

“Kau tidak akan sempat berteriak.”

“Sekarang aku dapat berteriak.”

Tetapi sebenarnyalah bahwa Anusapati tidak sempat melakukannya. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah menyerangnya dengan dahsyatnya, disusul oleh kedua orang yang lain. Anusapati terkejut. Ternyata bahwa ketiga orang itu memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa, sehingga untuk menghindari serangan itu, Anusapati harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Namun serangan berikutnya adalah serangan yang dahsyat sekali.

Hanya dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan yang ada padanya Anusapati dapat menghindar. Tetapi sampai kapan ia berhasil memeras segenap ilmu yang ada padanya itu. Dalam pada itu, emban yang berjaga-jaga di sebelah bilik permaisuri itu pun terkejut. Mereka mendengar suara ribut di ruang belakang. Bahkan bukan hanya emban itu yang menjadi berdebar-debar, tetapi sebenarnyalah bahwa permaisuri pun telah terbangun pula. Tetapi sebelum ia sempat berteriak, dilihatnya Mahisa Agni berdiri di depan pintu sambil meletakkan jari telunjuknya di muka bibirnya.

Permaisuri itu percaya kepada Mahisa Agni, bahwa kehadirannya tentu akan memberikan perlindungan jika terjadi sesuatu. Itulah sebabnya, maka ia pun mengurungkan niatnya untuk berteriak memanggil prajurit yang bertugas, atau siapa pun jika suara ribut itu adalah merupakan bahaya bagi Anusapati.

Dalam pada itu Anusapati terpaksa meloncat jauh ke ruang dalam. Ia benar-benar mengalami kesulitan melawan ketiga orang itu, sehingga ia sudah memutuskan untuk memanggil para prajurit yang bertugas, meskipun rasa-rasanya hatinya terlampau berat. Apalagi kemampuan ketiga lawannya adalah jauh lebih tinggi dari para prajurit yang berjaga-jaga. Jika di antara mereka terdapat seorang atau dua orang perwira yang memiliki kemampuan cukup, maka agaknya ia akan dapat mempertahankan dirinya, dan para prajurit yang berjumlah cukup banyak itu pun akan dapat membantunya menangkap ketiga orang itu.

Tetapi agaknya ia tidak akan sempat melakukannya. Ketika orang yang semuanya bersenjata trisula itu sudah siap bersama-sama menerkam mereka. Tetapi ketiganya terkejut ketika mereka mendengar seseorang terbatuk-batuk di depan pintu bilik semadi Anusapati. Ketika mereka berpaling dilihatnya seorang berdiri bersandar di bibir pintu.

“Paman Kuda Sempana,” desis Anusapati.

“Hamba Tuanku. Hamba berani menampakkan diri karena pelayan dalam yang baru itu sudah mati oleh kawan-kawannya sendiri, karena hanya orang itulah yang pernah mengenal aku di sabungan ayam.”

“Oh.” “Dan karena itulah hamba selalu minta kepada Kakang Mahisa Agni untuk setiap kali memperingatkan Tuanku, bahwa di dalam istana ini tersembunyi bahaya yang setiap saat dapat meledak seperti malam ini.”

“Siapa kau?” salah seorang dari ketiga orang bersenjata trisula itu bertanya.

“Aku sudah mendengar bahwa kalian adalah murid Empu Badara. Aku tidak tahu, apakah kalian hanya sekedar berbohong dan meminjam nama itu, atau sebenarnya kalian murid orang yang kau sebut itu. Tetapi seperti Tuanku Anusapati aku pun belum pernah mendengar nama yang kau sebut itu.”

“Diam! Kau tidak usah turut campur, atau kau juga ingin mati?”

“Aku adalah murid Empu Sada. Mungkin kau juga belum pernah mendengar. Seorang Empu yang menyusuri jalan yang kelam, yang bersenjatakan tongkat panjang. Tetapi sekarang tinggal kenangan saja. Adik seperguruanku yang mewarisi tongkat itu pun telah meninggal, dan tongkat itu pun sekarang ada padaku. Apakah kau pernah mendengar?”

Ketiga orang itu menjadi tegang. Salah seorang berdesis, “Jadi kau murid Empu Sada yang bersenjata tongkat panjang itu?”

“Ya. Dan barangkali kau juga pernah mendengar, yang berdiri di sudut itu adalah murid seorang yang paling terkenal di telatah Kediri dan Singasari. Ia adalah murid Empu Purwa dan sekaligus kemenakan Empu Gandring, seorang empu keris yang terkenal.”

Dada ketiga orang itu semakin terguncang. Ketika mereka berpaling mereka melihat Mahisa Agni berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya.

“Bukan saja murid Empu Purwa,” berkata Kuda Sempana seterusnya, “ia juga murid Empu Sada, dan bahkan memiliki kemampuan dan kedahsyatan ilmu Wong Sarimpat dan Kebo Sindet jika kalian pernah mendengarnya.”

Wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Nama-nama itu memang pernah mereka dengar, dan nama-nama itu membuat kepala mereka menjadi pening. Tiba-tiba salah seorang berteriak, “Bohong! Kau dapat menyebut nama orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi seperti Empu Purwa, Empu Gandring, Empu Sada, Panji Bojong Santi dan siapa saja. Tetapi aku tidak percaya.”

“Terserahlah kepadamu. Tetapi yang kami katakan itu hanya sekedar peringatan agar kalian berhati-hati menghadapi kami bertiga. Nah, marilah kita saling memilih lawan. Tuanku Anusapati yang dikenal sebagai Kesatria Putih, Mahisa Agni yang berkuasa atas nama Maharaja Singasari di Kediri dan yang telah mengalahkan Maha Senapati Kediri dan barangkali hanya akulah yang tidak mempunyai kebanggaan apa-apa.”

“Persetan!” geram yang seorang lagi.

“Jangan keras-keras,” tiba-tiba Kuda Sempana tersenyum menyakitkan hati, “jika para prajurit yang bertugas di luar mendengar, mereka akan memasuki bangsal ini, dan umurmu akan menjadi semakin pendek. Setiap perwira di Singasari akan bernilai seperti kemampuan sepuluh orang biasa. Dan barangkali, kau memiliki kemampuan dua belas kali orang biasa.”

“Diam! Diam!” bentak yang lain. Tetapi Kuda Sempana justru tertawa. Sejenak ia memandang Mahisa Agni yang berdiri di sudut, dan sejenak kemudian Anusapati.

“Maaf,” katanya kemudian, “barangkali caraku tidak disukai oleh Kakang Mahisa Agni. Baiklah. Marilah kita tidak bergurau lagi. Tetapi apakah kalian bertiga tidak mempertimbangkan kemungkinan untuk menyerah saja?”

Ketiga orang itu menjadi tegang. Dan seolah-olah berjanji mereka memilih lawan rnasing-masing. Karena mereka belum dapat menjajaki kemampuan ketiga orang itu, maka mereka tidak dapat membuat pertimbangan, siapa-siapa yang harus mereka hadapi masing-masing. Sehingga dengan demikian, mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang berdiri di paling dekat.

Sejenak kemudian mereka bertiga sudah berhadapan dengan ketiga orang yang memang sudah menunggu di bangsal itu. Namun sebelum mereka terlibat dalam perkelahian. Mahisa Agni masih bertanya, “Apakah kalian tahu, di manakah para pelayan dalam yang bertugas di bangsal ini? Apakah pelayan dalam yang seorang ini telah membunuh mereka dengan licik?”

“Aku tidak peduli!” geram salah seorang dari mereka, “Itu sama sekali bukan urusanku. Aku hanya bertugas untuk membunuh Maharaja Kediri.”

“Siapa yang menugaskan kalian?”

“Empu Badara.”

“Kau menyebut nama itu lagi,” potong Kuda Sempana.

“Aku tidak peduli, apakah kau percaya atau tidak. Sekarang, siapa yang akan mati lebih dahulu.”

Anusapati pun kemudian mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Demikian juga Kuda Sempana dan Mahisa Agni. Bahkan Kuda Sempana masih sempat berkata, “Tuanku, sebaiknya Tuanku tidak memanggil prajurit peronda. Dengan demikian mereka akan membunyikan tengara, dan seisi istana akan terbangun dan menjadi ribut. Sebaiknya orang-orang ini kita tangkap sendiri dan kita ikat.”

“Persetan!” salah seorang dari mereka ternyata tidak sabar lagi. Ia segera meloncat menyerang Kuda Sempana dengan segenap kemampuan yang ada padanya.

Serangan itu datang bagaikan lidah api yang meloncat di langit. Cepat dan dahsyat sekali. Tetapi Kuda Sempana memang sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu, sehingga ia pun sempat menghindarkan dirinya sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Ketika perkelahian itu sudah mulai, maka yang lain pun segera menyerang lawan masing-masing. Yang seorang menyerang Mahisa Agni yang lain menyerang Anusapati. Tetapi kedua orang itu pun sudah siap menghadapinya. Bahkan Mahisa Agni masih sempat menghindar sambil bergeser ke ruang belakang, sehingga dengan demikian maka perkelahian itu pun segera terjadi di tempat yang terpisah.

Keributan yang terjadi di dalam bangsal itu telah mencemaskan Permaisuri. Bahkan kemudian Ranggawuni pun terbangun pula, sehingga dengan susah payah permaisuri menahan agar Ranggawuni tidak berlari keluar melihat apa yang sedang terjadi.

“Ibunda, kenapa hamba tidak boleh melihat?” bertanya Ranggawuni. Lalu, “Apakah yang sedang terjadi?”

“Tidak apa-apa, Anakku.”

“Jika tidak ada apa-apa, kenapa hamba tidak boleh pergi keluar?”

“Tidurlah. Hari masih terlampau malam.”

Ranggawuni menjadi gelisah. Ia masih mendengar beberapa orang yang agaknya sedang terlibat dalam perkelahian, karena betapapun juga, ia pernah mengalami latihan-latihan di dalam olah kanuragan meskipun masih terlalu sederhana. “Ibunda, hamba akan pergi keluar.”

“Jangan Ranggawuni. Ayahanda sedang berlatih bersama Paman Mahisa Agni. Berlatih dalam ilmu kanuragan yang jauh di luar kemampuan daya tangkapmu, sehingga karena itu, jika kau melihat kau akan terganggu karenanya.”

“Hamba akan melihat Ibunda,” desak Ranggawuni.

“Jangan Ranggawuni. Jika kau memaksa, ibu akan bersedih, karena putranya tidak mau mendengarkan nasihatnya.”

Ranggawuni menarik nafas. Ia ingin sekali menyaksikan perkelahian yang disebut oleh ibunya sebagai latihan itu. Tetapi ia tidak berani memaksa, karena ibunya benar-benar tidak mengizinkannya. Namun dalam pada itu, hati Ibundanya pun dicengkam oleh kecemasan. Ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Ia tidak tahu, apakah Anusapati sedang di dalam bahaya yang sebenarnya atau masih ada kemungkinan yang lain. Tetapi kehadiran Mahisa Agni di bangsal itu membuat hati permaisuri itu agak tenang, karena ia tahu bahwa Mahisa Agni adalah pelindung Anusapati sejak kecilnya dan memiliki kemampuan yang hampir tidak ada duanya.

Dalam pada itu, perkelahian itu pun terjadi semakin sengit. Tetapi malanglah bagi mereka yang memilih Mahisa Agni dan Kuda Sempana sebagai lawannya. Karena dalam waktu yang singkat, mereka telah kehilangan setiap kesempatan untuk melakukan perlawanan, dan bahkan untuk melarikan diri sekalipun. Karena itu, maka betapapun mereka mengerahkan segenap kemampuannya, namun sebenarnyalah bahwa mereka tidak berdaya berbuat sesuatu.

Meskipun Mahisa Agni dan Kuda Sempana bertempur tidak dengan sepenuh tenaga, namun mereka segera berhasil mendesak lawannya dan bahkan kemudian tidak memberi mereka kesempatan berbuat sesuatu meskipun mereka sudah menggenggam senjata di tangan.

Dalam pada itu, Anusapati pun ternyata memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun tidak secepat Mahisa Agni dan Kuda Sempana, namun ia pun segera berhasil menguasai lawannya. Ketika lawannya kemudian menarik trisula di lambungnya, maka Anusapati pun menarik kerisnya, karena ternyata ia tidak dapat melawan trisula itu dengan tangannya seperti yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan Kuda Sempana.

Namun agaknya malang bagi lawannya. Justru karena lawannya bersenjata dan bertempur memeras segenap tenaganya, maka Anusapati pun harus mengimbanginya. Ketika lawannya menyerang dengan dahsyatnya dengan menjulurkan senjatanya, maka Anusapati pun menghindar. Ia merendahkan dirinya sedikit dengan menjulurkan kerisnya pula.

Trisula lawannya itu menyambar papan dinding yang membatasi ruangan itu dengan bilik Anusapati. Terdengar suara gemeretak. Namun ujung trisula itu seakan-akan terhunjam pada dinding itu. Sebelum orang itu sempat menarik trisulanya, maka keris Anusapati yang terjulur itu sudah menghunjam di lambungnya. Terdengar orang itu mengeluh pendek. Kemudian orang itu pun perlahan-lahan jatuh tertelungkup hampir menimpa Anusapati yang segera berkisar ke samping.

Dua orang temannya yang lain pun sama sekali tidak berdaya melawan Mahisa Agni dan Kuda Sempana. Mereka yang juga bersenjata trisula itu, sama sekali tidak berhasil mempergunakan senjatanya. Setiap kali rasa-rasanya mereka kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu, karena lawannya yang selalu mendesaknya ke sudut.

Pada saatnya, maka senjata-senjata di tangan kedua orang itu benar-benar tidak berdaya. Tanpa banyak dapat berbuat maka senjata itu pun telah terlepas dari tangan masing-masing, sehingga dalam sekejap, maka pukulan Mahisa Agni dan Kuda Sempana benar-benar telah melumpuhkan mereka.

Namun dengan demikian, agaknya trisula yang menghantam dinding itu telah menimbulkan suara yang keras. Dinding yang berderak itu telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar. Namun mereka tidak segera berani masuk, karena mereka tidak mendengar Anusapati memanggilnya atau pelayan dalam yang diutus. Namun demikian mereka telah mendekati pintu butulan, yang setiap saat dengan mudah akan menerobos masuk jika terjadi sesuatu.

“Tidak ada apa-apa, “terdengar suara Anusapati dari dalam, “Ranggawuni telah memukul dinding.”

Kata-kata Anusapati itu telah menenangkan para prajurit di luar, meskipun mereka masih tetap curiga. Sehingga dengan demikian maka mereka pun masih tetap berkumpul di muka pintu. Baru sejenak kemudian pintu pun terbuka. Anusapati sendirilah yang berdiri di muka pintu sambil tersenyum.

Seorang perwira bertugas di regol depan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah Tuanku, bahwa tidak ada sesuatu di bangsal ini. Hamba sudah cemas sekali mendengar suara yang agaknya terlalu ribut di dalam.”

“Kenapa?”

“Hamba teringat saat-saat Tuanku Sri Rajasa yang telah terbunuh dengan curang tanpa diketahui oleh para penjaga.”

Anusapati tertawa. Katanya, “Masuklah.”

Perwira itu termangu-mangu.

“Masuklah!”

Perwira itu memandang kawannya yang berdiri di belakangnya.

“Marilah!”

Perwira itu pun kemudian melangkah masuk diikuti oleh beberapa orang prajurit yang lain. Namun perwira itu terkejut ketika ia melihat seorang yang tertelungkup dengan darah yang mengalir dari lambungnya membasahi lantai. “Tuanku?”

Anusapati tersenyum. Perwira itu menjadi gemetar. Ternyata bahwa hal yang dicemaskan itu telah terjadi.

“Lihatlah ke ruang sebelah! Ruang belakang dari bangsal ini.”

Perwira itu menjadi semakin berdebar-debar. Diikuti oleh para prajurit, mereka pun masuk ke ruang belakang. Dilihatnya Mahisa Agni berdiri di sudut ruangan itu. Di sebelahnya dua orang yang telah diikat tangannya berdiri bersandar di dinding.

“Oh,” perwira itu berdesis, “apakah yang telah terjadi Tuanku?”

“Seperti yang kau lihat. Tiga orang berhasil memasuki bangsal ini. Dan jika kau lihat orang mati di sudut itu, ia adalah seorang pelayan dalam. Kami sedang mencari pelayan dalam yang lain, yang ternyata kami temukan dia pingsan di bilik pelayanan, dan tiga orang yang tidak dikenal ini hampir saja merampas nyawaku, seperti yang pernah terjadi atas Ayahanda Sri Rajasa.”

Perwira itu menjadi semakin gemetar. Ia merasa bersalah bahwa para prajurit yang berjaga-jaga sama sekali tidak melihat orang-orang itu menyusup masuk ke dalam bangsal. Mereka tidak melihat apakah ketiganya merusak dinding, atap atau dengan cara lain. Tetapi agaknya seorang pelayan dalam telah menjadi kaki tangan mereka yang berhasil menyusup di bangsal ini.

“Sudahlah,” berkata Anusapati, “jangan membuat seisi istana ini menjadi kacau. Karena itulah maka aku tidak memberikan tanda apapun agar tidak dibunyikan tanda bahaya. Kehadiran Pamanda Mahisa Agni telah menyelamatkan aku.”

Anusapati berhenti sejenak sambil memandang pintu bilik penyepen yang tertutup. Di dalam bilik itu Kuda Sempana yang tidak banyak dikenal oleh pada prajurit sedang memanjat naik. Kemudian dengan hati-hati ia memperbaiki atap yang dibukanya saat ia masuk meskipun tidak sempurna, namun atap itu sudah tampak tertutup kembali. Justru pada saat perhatian semua prajurit terpusat pada keributan di dalam bangsal, Kuda Sempana dengan hati-hati dapat lolos dari pengawasan mereka dan hilang dibalik kegelapan. Sesaat kemudian ia pun sudah meloncat dinding dan berada di luar lingkungan halaman istana Singasari.

Di dalam bangsal, para prajurit masih berdebar-debar. Meski pun Anusapati tidak terbunuh, tetapi mereka dapat dihukum, karena mereka jelas bersalah. Bangsal Maharaja Singasari yang dijaga ketat ternyata masih dapat disusupi oleh orang-orang tidak dikenal. Tetapi ternyata bukan pasukan pengawal saja yang akan menjadi sasaran kesalahan itu. Panglima pelayan dalam pun akan dituntut oleh sebuah pertanggungjawaban, bahwa ada orangnya yang berusaha berkhianat terhadap Maharaja Singasari.

“Sekarang,” berkata Anusapati, “jangan berada semuanya di dalam bangsal ini. Kalian akan kehilangan kewaspadaan lagi.”

“Oh,” perwira itu berdesis, “baiklah Tuanku. Hamba mohon ampun bahwa hamba dan kawan-kawan hamba telah menjadi lengah dan tidak mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang berhasil menyusup ke dalam bangsal ini.”

“Sudahlah,” jawab Anusapati, “sekarang, bersihkan bangsal ini. Korban-korban itu harus diselenggarakan sebaik-baiknya besok. Kalian dapat berhubungan dengan para pelayan di istana ini. Tetapi yang penting, penjagaan harus tetap berjalan seperti biasa, dan bangsal ini menjadi bersih. Agar jika Permaisuri keluar dari peraduannya, tidak dikejutkan oleh pemandangan yang mengerikan ini.”

Demikianlah maka para prajurit itu pun membagi tugas. Sebagian dari mereka segera mengangkat mayat-mayat itu dan membawanya keluar. Yang lain mengambil air dan membersihkan darah yang berceceran di lantai. Sedang sebagian dari mereka tetap berada di gardu penjagaan di regol bangsal itu.

Namun bagaimanapun juga, berita tentang usaha pembunuhan itu tidak dapat dirahasiakan lagi. Pada malam itu juga, berita itu sudah tersebar di seluruh halaman istana. Meskipun tidak menimbulkan kekacauan bagi mereka yang tertidur nyenyak di bangsal-bangsal, terutama Ibunda Tuanku Anusapati dan putra-putranya yang lain, Ibunda Ken Umang dan putranya, dan para penghuni yang lain, namun para prajurit dan pengawal yang lain pun bagaikan dipanggang di atas bara. Setiap petugas di halaman istana merasa bersalah, seperti pada saat Sri Rajasa terbunuh.

“Dahulu Tuanku Anusapati masih bersabar dan memaafkan kesalahan para petugas. Tetapi kini persoalannya menyangkut dirinya, meskipun ia masih sempat mengelak dan bahkan membunuh orang-orang yang berusaha membunuhnya,” berkata salah seorang prajurit.

Yang lain mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Ya. Tentu persoalannya akan berbeda. Justru Tuanku Anusapati masih tetap selamat. Jika ia tidak menjatuhkan hukuman, terutama kepada yang bertugas di bangsalnya itu, maka para penjaga berikutnya akan menjadi lengah pula.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Tentu orang-orang itu adalah orang-orang yang luar biasa, sehingga mereka mampu menghindarkan diri dari pengawasan para petugas di bangsal itu, dan para pelayan dalam di dalam bangsal.”

“Tetapi Tuanku Anusapati memang orang luar biasa. Ia berhasil mengalahkan ketiga orang itu.”

“Dan yang paling mengherankan Tuanku Mahisa Agni sudah berada di bangsal itu. Tentu Tuanku Mahisa Agni pulalah yang membunuh orang-orang yang berusaha membinasakan Tuanku Anusapati itu.”

“Memang aneh. Tetapi daya tangkap Tuanku Mahisa Agni atas peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dan bakal terjadi memang tajam sekali,” ia berhenti sejenak, “dan tentu ada hubungannya pula, mengapa dua orang kepercayaan Tuanku Anusapati beberapa saat yang lampau berada di bangsal itu. Agaknya saat itu memang sudah ada tanda-tanda pengkhianatan yang akan terjadi, meskipun alasannya berbeda. Tetapi selama kedua pelayan dalam kepercayaan itu ada di bangsal, tidak pernah terjadi sesuatu, sehingga akhirnya keduanya tidak lagi diperintahkan untuk berada di dalam bangsal setiap malam.”

“Ya, tentu bukan karena Tuanku Anusapati sedang sakit saat itu.”

Kedua prajurit itu pun kemudian terdiam. Mereka berusaha membayangkan apa yang telah terjadi di dalam bangsal itu, dan kenapa Mahisa Agni tiba-tiba saja sudah berada di sana. Tetapi pada umumnya, pertanyaan yang demikian itu menghinggapi setiap petugas. Tetapi hampir setiap orang di dalam istana itu pun menjawabnya sendiri,

“Mahisa Agni memang manusia luar biasa. Agaknya ia dapat melihat dan mengerti apa yang terjadi di dalam istana ini. Atau barangkali, ia memang setiap malam nganglang mengelilingi istana dan terutama bangsal kemenakannya yang sangat dikasihinya itu.”

Demikianlah maka bangsal Anusapati itu pun menjadi bersih. Bekas darah telah terhapus, dan para pelayan dalam yang pingsan telah sadar. Namun dalam pada itu, betapa terkejut Mahisa Agni dan Anusapati ketika mereka melihat kedua tawanannya yang diharapkan dapat memberikan keterangan tentang usaha pembunuhan itu telah mati di sudut bilik pelayanan, di mana keduanya di tempatkan.

Dengan wajah yang tegang Mahisa Agni mendekati keduanya sambil berkata, “Tuanku, keduanya agaknya sudah meninggal.”

“He,” Anusapati terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mendekati keduanya yang sudah membeku di sudut bilik itu. Tetapi ketika Anusapati akan meraba orang-orang itu, maka Mahisa Agni cepat menggamitnya.

“Ampun Tuanku. Kita masih belum tahu, apakah sebabnya keduanya mati,” berkata Mahisa Agni.

“Maksudmu?”

“Jika kematiannya disebabkan oleh sebangsa racun yang dapat menjalar karena sentuhan, maka Tuanku pun akan keracunan.”

“Oh,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa ternyata ia kurang berhati-hati. Jika keduanya benar-benar kena racun yang menyentuh dari luar tubuhnya, maka racun itu memang menjalar kepada orang lain yang menyentuhnya pula.

Beberapa orang pelayan dalam yang kini telah sadar itu pun kemudian diperintahkan oleh Mahisa Agni untuk mengambilkan beberapa buah lampu sehingga bilik itu menjadi terang benderang. Dengan demikian Mahisa Agni dapat melihat dengan jelas bahwa dua mayat itu memang keracunan. Tetapi menurut pengamatan Mahisa Agni, racun itu sama sekali bukan membunuhnya dari luar, tetapi justru dari dalam.

“Mungkin sebangsa paser itu lagi,” desis Mahisa Agni. Karena Mahisa Agni kemudian yakin, bahwa racun itu tidak membunuhnya dari luar, tetapi justru lewat saluran darah, maka ia pun kemudian berani meraba mayat-mayat itu dan mencari luka yang barangkali menjadi pintu masuk racun itu sehingga menyentuh darah.

Tapi kali ini Mahisa Agni tidak menemukannya. Sehingga dengan demikian ia mengambil kesimpulan, “Tuanku, menurut pengamatan hamba, agaknya kedua orang ini telah bunuh diri.”

“Bagaimana mungkin ia membunuh diri. Ketika kita menangkap mereka, mereka langsung kita ikat tangan dan kemudian kakinya.”

“Mereka tentu membawa semacam butiran racun. Agaknya mereka telah menelan racun itu demikian mereka merasa tidak dapat memenangkan perkelahian ini.”

“Aku kurang yakin. Apakah demikian besar kesetiaan mereka kepada orang yang memberikan perintah kepada mereka itu, sehingga mereka bersedia dengan suka rela mengorbankan nyawanya?”

“Agaknya demikian yang harus mereka lakukan. Mungkin mereka memang orang- yang setia. Tetapi mungkin juga karena di dalam perjanjian jual beli, tercantum ketentuan, bahwa jika mereka gagal, mereka harus mati.”

“Bagaimana jika mereka tidak usah membunuh diri dan menempatkan diri di dalam perlindungan kami?”

“Jika mereka bertiga langsung mengikat perjanjian dengan orang yang berkepentingan memang mungkin sekali Tuanku. Tetapi jika yang mengadakan perjanjian itu justru guru mereka, dan perintah bagi ketiganya benar-benar datang dari seorang yang disebutnya gurunya dan bernama Empu Badara, maka keadaannya akan lain. Tentu mereka tidak akan berani ingkar apapun yang harus mereka lakukan, termasuk bunuh diri.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dan Mahisa Agni berkata selanjutnya, “Sebab bagi seorang murid, kata-kata gurunya adalah perintah yang tidak dapat dibantah lagi. Termasuk mati. Karena jika perintah itu tidak dijalankan, mungkin mereka akan mengalami bencana yang lebih dahsyat daripada mati.”

“Misalnya?”

“Cacat seumur hidup. Atau siksaan badaniah yang tidak tertanggungkan, dan masih banyak lagi yang akan dapat terjadi.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin sekali. Dan ketiga orang itu lebih takut kepada gurunya daripada kepada mati. Dan karena itulah maka mereka telah memilih mati.”

Dengan demikian, maka sekali lagi Singasari dihadapkan pada suatu persoalan yang rumit. Beberapa kali Singasari kehilangan orang-orang yang mereka anggap penting sebagai sumber keterangan. Para perwira yang telah memberontak itu mati oleh paser-paser beracun, kemudian kini orang-orang yang sudah berhasil ditangkap itu telah membunuh diri dengan menelan racun pula.

Demikianlah, di pagi harinya, Singasari telah digemparkan oleh peristiwa malam itu. Betapapun hal itu dirahasiakan, namun berita itu pun tersebar di seluruh kota, bahkan kemudian di seluruh negeri. Bahwa sekelompok orang yang tidak dikenal telah berusaha membunuh langsung Tuanku Anusapati, setelah beberapa saat yang lampau, sekelompok prajurit mencoba berkhianat pula terhadap pemerintahannya.

Dengan demikian, maka Anusapati mulai menjadi cemas, bahwa dendam yang ada di antara keluarganya menjadi semakin besar. Meskipun tidak ada bukti-bukti yang dapat disebutkannya, namun dugaannya kuat bahwa yang telah menggerakkan semua kekacauan itu adalah keluarga sendiri. Namun demikian Anusapati masih menyimpannya saja di dalam hati. Ia tahu pasti, bahwa Mahisa Agni, bahkan adiknya, Mahisa Wonga Teleng juga berpendapat demikian.

Namun ia ingin menemukan bukti yang dapat dipakainya untuk menjadi alasan setiap tindakan yang akan dilakukannya, sehingga orang lain tidak akan dapat menuduhnya, sekedar karena dengki dan sakit hati, justru karena orang yang dicurigainya itu adalah saudara seayah tetapi lain ibu. Bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga.

Anusapati setiap kali hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang tua di Singasari pasti mengetahui bahwa pada saat Akuwu Tunggul Ametung terbunuh, Ibundanya, Ken Dedes sedang mengandung, dan kemudian lahirlah dirinya, Anusapati. Dengan demikian, pasti banyak orang yang sebenarnya tahu, bahwa ia sama sekali bukan putra Sri Rajasa. Dan karena itu pulalah, maka agaknya memang ada tuduhan, bahwa kematian Sri Rajasa, memang dikehendakinya.

Tetapi lebih daripada itu, ia tidak mau menerima akibat tuduhan bahwa jika ia menyangkutkan Tohjaya di dalam persoalan ini tanpa bukti yang nyata, maka apa yang dilakukan yaitu adalah fitnah semata-mata justru karena Tohjaya adalah putra Sri Rajasa apalagi lahir dari istrinya yang kedua, Ken Umang. Namun sudah dua kali ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan saksi, siapakah yang telah berbuat dibalik usaha pengancaman dan pembunuhan atas dirinya itu.

Di dalam paseban Agung yang diadakan kemudian, maka Anusapati sudah menunjukkan kemurahan hatinya lagi, bahwa ia tidak menjatuhkan hukuman yang setimpal atas para prajurit dan pelayan dalam yang bertugas di malam yang menggemparkan itu. Tetapi ia tetap memberikan peringatan, bahwa jika terjadi sekali lagi pada saat mereka itu bertugas, maka mereka akan disangkutkan pada kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkhianat itu.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih selalu mencemaskan nasib Baginda Anusapati itu pun tidak lagi melontarkan usulnya dengan diam-diam, langsung kepadanya, tetapi pendapatnya itu pun dinyatakannya di dalam paseban yang terbuka.

“Ampun Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “adalah demi keselamatan Tuanku dan kelangsungan pemerintahan Singasari, perkenankanlah hamba mengusulkan, agar keselamatan Tuanku terjaga, maka sebaiknya kolam yang kini merupakan hiasan yang indah di sebelah bangsal itu diperbesar lagi. Selain akan menambah keindahan pemandangan di seputar bangsal, maka hal itu akan mencegah terulangnya usaha pembunuhan seperti yang pernah terjadi.”

“Maksud Pamanda?”

“Kolam itu diperluas mengelilingi bangsal Tuanku.”

“Ah, apakah justru akan menghilangkan keindahan kolam itu sendiri?”

“Tidak Tuanku, bangsal Tuanku akan menjadi seolah-olah sebuah perahu yang berlayar di lautan. Tetapi lebih daripada itu, Tuanku dan putranda Tuanku, akan bebas, setidak-tidaknya akan memperkecil kemungkinan, terjadinya pengkhianatan.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah-wajah di paseban itu, dilihatnya beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian seorang senapati tidak saja mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi tanpa disadarinya terdengar ia berdesis, “Benar, sesungguhnya itu benar.”

“Apa yang benar?” bertanya Anusapati.

Senapati itu terkejut. Dengan gugup ia menjawab, “Ampun Tuanku. Sebenarnyalah yang dikatakan Tuanku Mahisa Agni itu benar.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya bahwa hampir semua orang sependapat, bahwa perlu diambil tindakan pengamanan atas dirinya.

“Tuanku,” seorang senapati yang lain, yang sudah beruban berkata, “apakah salahnya jika kita berhati-hati. Selebihnya bangsal itu benar-benar akan menjadi suatu pemandangan yang sedap di dalam halaman istana Singasari. Sebuah kolam yang mengelilingi bangsal agung, dan ditaburi dengan pohon-pohon bunga. Tetapi yang penting Tuanku, telah terbukti bahwa ada pihak yang memang akan berkhianat terhadap Tuanku.”

Anusapati pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bersabda, “Baiklah Pamanda Mahisa Agni. Jika memang tidak ada yang mengajukan keberatan, maka biarlah aku memerintahkan agar kolam itu diperluas sehingga mengelilingi bangsal. Dan apabila masih ada yang berkeberatan, maka aku masih akan mendengarkan dan mempertimbangkan pendapatnya.”

Sejenak paseban itu menjadi hening. Baru kemudian seorang panglima bergeser setapak. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia berkata, “Ampun Tuanku yang Maha Bijaksana. Sebenarnyalah hamba menjadi sangat prihatin atas peristiwa yang baru saja terjadi. Apalagi hamba adalah panglima pelayan dalam, yang tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungjawaban atas kelalaian yang tidak termaafkan dari beberapa orang pelayan dalam yang malam itu bertugas di dalam bangsal. Namun demikian Tuanku, bagi hamba kolam yang mengelilingi bangsal Tuanku itu kurang hamba pandang perlu, kecuali jika hal itu memang akan menyenangkan hati Tuanku. Semata-mata dari segi pengamanan, maka yang lebih penting adalah kesiagaan prajurit dan pelayan dalam yang lebih banyak. Dan itu adalah kewajiban para panglima. Panglima pasukan pengawal, panglima pasukan pengamanan dan panglima pelayan dalam yaitu hamba sendiri, dan pada senapati dan segenap prajurit.”

Terasa dada Anusapati berdesir. Demikian juga Mahisa Agni, dan terutama Mahisa Wonga Teleng yang masih lebih muda dari Anusapati sendiri. Tetapi untunglah bahwa Mahisa Agni sempat menggamitnya dan memberi isyarat, biarlah Anusapati sendiri yang menjawab.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Anusapati pun kemudian berkata, “Kau benar. Sebenarnyalah pengamanan semua yang ada di dalam istana ini bergantung kepada para panglima dan prajurit. Tetapi bagiku kolam itu tidak ada salahnya, seperti juga dinding yang melingkari halaman istana ini.”

Panglima pelayan dalam itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir, namun ia tidak segera dapat menyahut. Dalam pada itu maka Anusapati pun melanjutkan kata-katanya, “Bagiku, kolam itu memang mempunyai dua arti. Aku memang senang melihat air di sekeliling bangsalku. Dan aku tidak dapat mengabaikan nasihat Pamanda Mahisa Agni. Jika para panglima dan prajurit tersinggung jika kolam itu dimaksudkan untuk mengamankan bangsal, maka seharusnya para panglima dan prajurit juga tersinggung melihat dinding batu halaman istana ini. Jika kita mempercayakan diri kepada para prajurit, dinding batu itu sama sekali tidak akan berarti.”

“Ampun Tuanku,” berkata panglima itu kemudian, “ternyata ada bedanya antara dinding batu dan kolam di seputar bangsal itu apabila kelak benar-benar akan dibuat. Dinding itu semata-mata untuk mempermudah pengawasan dan untuk menahan arus kekuatan lawan jika pada suatu saat kita terpaksa berperang. Dari atas dinding kita mempunyai kesempatan untuk melawan musuh dengan kesempatan yang lebih banyak daripada musuh yang datang dan terhalang oleh dinding itu.”

“Nah, bukankah tidak ada bedanya? Kolam itu pun bukan berarti, tidak ada tanggung jawab lagi dari para prajurit yang bertugas. Tetapi kolam itu sekedar mempermudah pengawasan dan memperkecil kemungkinan penyusupan seperti yang pernah terjadi.”

Panglima itu menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat membantah lagi. Sehingga karena itu, maka ia pun tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Baiklah,” berkata Anusapati, “yang harus kita lakukan kemudian adalah membuat kolam itu dan menyiapkan kesiagaan yang lebih besar. Pengawasan dan ketelitian. Bukan saja mereka yang bertugas di seputar bangsal dan kolam itu, tetapi juga di seluruh halaman, karena ternyata ada orang-orang di luar halaman istana yang berhasil menyusup masuk dan bahkan sampai ke dalam bangsal.”

Tidak seorang pun lagi yang mengajukan pendapatnya, sehingga paseban itu pun kemudian dibubarkan. Namun Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng masih tinggal beberapa lamanya di ruang dalam bangsal paseban itu. Masih ada yang mereka bicarakan secara khusus tentang setiap orang di dalam lingkungan pemerintahan dan keprajuritan.

“Panglima pelayan dalam itu pantas mendapat pengawasan,” berkata Mahisa Wonga Teleng yang tidak sadar lagi.

“Bagaimana pendapat Paman?” bertanya Anusapati.

“Ampun Tuanku. Sebenarnyalah bahwa orang itu memang harus mendapat perhatian. Ia adalah salah seorang dari mereka yang sering datang ke kalangan sabung ayam bersama Tuanku Tohjaya.”

“Apakah kau menarik garis hubungan antara keduanya?” bertanya Anusapati.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “Hamba Tuanku. Sebenarnyalah hamba berpendapat bahwa keduanya telah bekerja bersama untuk kepentingan ini.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ketika ia memandang adiknya, Mahisa Wonga Teleng, maka adiknya justru telah mendahului, “Tentu ada hubungan. Aku sependapat dengan Pamanda Mahisa Agni.”

“Baiklah,” berkata Anusapati, “kita harus mengawasinya. Dan yang tidak kalah berbahayanya adalah usaha setiap pihak yang ingin memecahkan hubungan baik antara golongan yang kini mendukung pemerintahan Singasari dengan golongan yang setia kepada Ayahanda Sri Rajasa, yang mengatakan bahwa akulah yang telah menyingkirkan Ayahanda itu. Ternyata orang-orang yang memasuki bangsal itu pun berpendapat demikian pula. Sehingga aku mengambil kesimpulan, bahwa usaha untuk mengacaukan dukungan terhadap pemerintahanku sekarang ini berjalan terus dan bahkan berhasil sebagian dari rakyat Singasari dan Kediri.”

“Hamba akan berusaha Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “namun agaknya sumbernyalah tidak dapat bergeser dari sumber yang sudah hamba sebutkan.”

“Tetapi Paman,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “bagaimanakah caranya kita dapat mengawasi orang-orang yang ada di dalam kalangan sabung ayam itu.”

“Memang sulit sekali. Tetapi ada seorang yang dapat dipercaya berada di dalam lingkungan mereka, meskipun sekedar di saat-saat sabung ayam. Tetapi kadang-kadang ia dapat melihat suasana. Dan agaknya kehadirannya itu bermanfaat pula bagi kita.”

Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Anusapati pun segera mengetahui bahwa yang dimaksudkannya adalah Kuda Sempana. Sekilas Anusapati mengenang orang-orang terpenting yang ada di belakangnya. Tetapi mereka tidak akan dapat dengan terbuka berada di istana. Witantra adalah orang yang memegang kendali pada masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, sehingga kehadirannya akan dapat menimbulkan pertanyaan pada mereka yang setia kepada Sri Rajasa. Demikian juga Kuda Sempana. Sehingga karena itu, maka mereka hanya selalu berada di belakang selubung saja.

Demikianlah, maka Anusapati pun segera memerintahkan untuk memperluas kolam di sekitar bangsalnya. Kolam itu melingkar di seputar bangsal. Di tepi kolam ditanaminya berbagai macam pohon-pohon bunga. Dua buah jembatan kecil menghubungkan bangsal itu dengan halaman istana di sekelilingnya. Di depan jembatan terdapat sebuah regol dan gardu penjaga, di samping gardu-gardu lain di segala penjuru.

Dengan demikian, bangsal istana yang dihuni oleh Maharaja Singasari itu bagaikan sebuah perahu yang terapung di lautan yang tenang, dihiasi berbagai macam pohon-pohon bunga. Pohon kemungi, pacar berwarna kuning dan putih, bunga soka berwarna putih dan jingga. Bunga ceplok piring dan bunga menur dan melati sungsun. Di dalam kolam terdapat bunga apung berwarna kemerah-merahan dan berdaun lebar. Bunga teratai dan jenis ikan berwarna-warni. Dengan demikian, bukan saja kolam itu berarti bagi keamanan Sri Maharaja, tetapi juga merupakan suatu hiasan yang sangat indah.

Tetapi dengan demikian, para abdi harus selalu waspada terhadap putra Anusapati yang bernama Ranggawuni. Anak itu ternyata nakal sekali. Kadang-kadang meskipun sudah diawasi dengan ketat, namun ia sempat juga melepaskan pakaiannya dan meloncat ke dalam kolam yang dihuni oleh berbagai jenis ikan itu. Terutama ikan hias yang berwarna emas.

“Kau tidak boleh mandi di kolam itu,” berkata Ibunda permaisuri setiap kali.

Dan setiap kali Ranggawuni hanya menundukkan kepalanya saja.

“Kau belum pandai berenang.”

“Kolam itu dangkal di tepi bagian dalam Ibunda.”

“Tetapi kau dapat tergelincir dan masuk ke bagian yang dalam.” “Tetapi hamba sekarang sudah pandai berenang.”

“He?”

“Ya Ibunda. Jika Ibunda tidak percaya, cobalah hamba menunjukkan bahwa hamba memang sudah pandai berenang,” berkata Ranggawuni sambil mencoba melemparkan pakaiannya.

“Jangan, jangan,” cegah Ibundanya, “kau tidak boleh mandi di kolam itu meskipun kau sudah pandai berenang. Kolam itu airnya tidak sebenarnya tidak sebersih yang nampak.”

“Oh, airnya bening sekali. Ikan emas dan jenis-jenis ikan yang lain itu tampak dari permukaan Ibunda.”

“Tetapi bukankah jika kau masuk ke dalamnya, lumpur di bawah kolam itu pun kemudian teraduk dan mengotori air itu? Selain daripada itu, air itu mengalir parit-parit di luar halaman istana. Orang dapat memasukkan apa saja ke dalam parit itu sebelum air itu masuk ke dalam kolam.”

“Maksud ibu?”

“Sampah atau semacamnya. Tetapi ada yang lebih berbahaya dari itu.”

“Tetapi ada semacam alat penyaring sebelum air itu masuk ke dalam kolam.”

“Ya. Yang tersaring adalah sampahnya. Tetapi jika seseorang menaburkan semacam racun ke dalam kolam itu?”

“Jika yang ditaburkan racun, maka ikan yang ada di kolam itu akan mati semuanya Ibunda.”

Permaisuri menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sulit menanggapi kemampuan berpikir putranya, sehingga kadang-kadang ia berdesis, “Anak-anak sekarang kadang-kadang sulit untuk ditertibkan. Ada-ada saja alasannya dan caranya untuk mempertahankan sikapnya.”

Namun demikian, akhirnya permaisuri itu berkata, “Ranggawuni, kau tidak boleh mandi di kolam yang kotor itu. Mungkin ada bibit penyakit yang hanya dapat menyerang manusia. Misalnya gatal-gatal, dan bahkan yang lebih dari itu, sehingga dapat membuat kulitmu luka.”

Ranggawuni menganggukkan kepalanya.

“Nah, baiklah. Kau boleh bermain-main di tepi kolam.”

Tetapi Ranggawuni sekali lagi mengangguk.

“Jangan mandi!”

Tetapi di hari lain, Ranggawuni ditemukan mandi pula di kolam itu bersama saudara sepupunya, putra Mahisa Wonga Teleng yang sedikit lebih muda daripadanya, tetapi nakalnya bukan main. Jika ia terlepas sedikit dari pengawasan pengasuhnya, maka ia pun segera berlari mendapatkan Ranggawuni dan bersama-sama menceburkan diri ke dalam kolam. Bahkan jika para pengasuhnya dengan tergesa-gesa mencoba mencegah sebelum mereka sempat membuka pakaian, maka mereka berdua bersama-sama meloncat dengan pakaian mereka sekaligus.

Para prajurit yang bertugas pun kadang-kadang terpaksa mengejar keduanya jika keduanya memasuki jembatan di atas kolam itu, karena jembatan itu merupakan papan loncat yang menyenangkan sekali. Kadang-kadang para prajurit hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya, karena para prajurit itu tidak berhasil menangkap mereka. Kadang-kadang Anusapati yang melihat dari kejauhan justru tersenyum. Ternyata menilik sikap dan geraknya, Ranggawuni adalah seorang anak laki-laki yang kuat dan tangkas. Demikian juga dengan saudara sepupunya itu.

“Mudah-mudahan mereka akan menjadi anak-anak muda yang memiliki kemampuan untuk meneruskan pemerintahan di atas Singasari ini,” berkata Anusapati di dalam hatinya.

Namun dalam pada iu, setelah kolam itu selesai, maka Mahisa Agni pun merasa, bahwa Anusapati telah menjadi semakin aman. Sebenarnya ilmunya yang semakin meningkat, dan mendekati kesempurnaan itu nilainya tidak kurang dari kolam yang melingkari bangsalnya. Namun usaha orang-orang yang tidak dikenal untuk menyusup ke dalam bangsal akan sangat sulit. Jika ada juga yang mencoba, maka asal para prajurit sempat membangunkan Anusapati, maka ia akan dapat menjaga dirinya. Apalagi jika kemudian datang membantunya para perwiranya yang setia.

Hal itulah yang kemudian membuat Mahisa Agni tidak lagi merasa wajib untuk berada di istana Singasari lebih lama lagi. Selain ia memang memiliki tugas di Kediri, maka baginya Anusapati tidak lagi membuatnya cemas. Tetapi berbeda dengan Mahisa Agni, justru Anusapati mulai merasa dirinya seakan-akan selalu diintai oleh bahaya. Bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengingkari, apakah yang sebenarnya telah terjadi atas Sri Rajasa. Kematian Sri Rajasa sebenarnya adalah karena tangannya.

Seperti Sri Rajasa, tiba-tiba Anusapati mulai merasa bahwa apa yang dapat dicapainya itu sama sekali tidak memberikan ketenteraman di hatinya. Ia seakan-akan dibayangi oleh dendam yang membara di hati saudaranya yang lahir dari Ibundanya Ken Umang. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah yang akan dikatakan oleh Mahisa Wonga Teleng tentang dirinya apabila adiknya itu mengetahui bahwa sebenarnya ia sendirilah yang telah membunuh Sri Rajasa, dengan keris Empu Gandring, apapun alasannya.”

Dalam pada itu, ketika kolam itu telah selesai dan memberikan kesegaran pada istana Singasari, beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Beberapa orang yang memang sedang berusaha untuk menyingkirkan Anusapati dari tahta dan membunuhnya sekalian. Kolam itu memang merupakan pagar yang sangat sulit dilintasi. Adalah lebih mudah seandainya di seputar bangsal itu di bangun dinding batu yang tebal dan tinggi. Masih ada kemungkinan untuk meloncatinya. Tetapi kolam yang luas itu terlampau sulit untuk di seberangi. Orang yang akan pergi ke bangsal itu harus melalui salah satu dari dua buah jembatan di atas kolam atau berenang sama sekali.

Sedangkan kedua jembatan itu tidak akan terlepas dari pengawasan para penjaga karena di ujung jembatan itu terdapat regol dan gardu. Sedang mereka yang berenang, tidak akan dapat menghindarkan diri dari gejolaknya air. Seandainya seseorang berenang di bawah permukaan air, maka ketika ia masuk dan kemudian keluar dari air, tentu akan sangat sulit untuk menghindarkan diri dari pengamatan para petugas yang selalu waspada. Apalagi, tentu tidak ada seorang pun yang dapat berenang di bawah air dari tepi sampai ke tepi melintasi kolam yang luas itu.

“Kita harus mendapatkan cara lain,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita akan mempelajari apakah sebenarnya yang dapat kita lakukan.”

“Kita sudah menunggu terlalu lama,” berkata yang lain. Namun mereka bersepakat, bahwa mereka harus berhati-hati melakukan usaha yang gawat itu.

Dalam pada itu, Anusapati pun justru menjadi semakin waspada. Seakan-akan bahaya yang mengancamnya semakin lama menjadi semakin besar dan semakin dekat. Anusapati yang gelisah itu terperanjat ketika pada suatu hari adiknya Mahisa Wonga Teleng datang kepadanya dengan sikap wajah yang agak lain dari kebiasaannya.

“Apa yang terjadi Adinda?” bertanya Anusapati.

Mahisa Wonga Teleng mencoba mengedapkan perasaannya. Kemudian dengan suara yang sendat ia berkata, “Ampunkan Adinda ini. Sebenarnya Adinda tidak perlu datang kepada Kakanda Anusapati karena aku harus dapat menyaring, manakah yang pantas aku dengarkan dan mana yang tidak.”

Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. ”Apakah yang meragukanmu Mahisa Wonga Teleng?” bertanya Anusapati kemudian.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “jika aku mengatakannya kepada Kakanda, sebenarnya sekedar untuk melepaskan keragu-raguan di dalam hati. Karena aku yakin bahwa aku sudah dapat menjawabnya sendiri meskipun aku tidak mengatakannya.”

“Katakan Adinda.”

“Kakanda Anusapati,” berkata Mahisa Wonga Teleng dengan ragu-ragu, “beberapa hari yang lampau seseorang telah datang kepadaku. Aku tidak tahu, siapakah orang itu. Tetapi ia membawa cerita seperti yang pernah tersebar di antara beberapa orang yang membenci Kakanda.”

“Maksudmu?”

“Orang itu mengatakan, bahwa Kakanda adalah yang telah membunuh Ayahanda Sri Rajasa.”

Dada Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia berhasil menguasai perasaannya. Katanya, “Aku juga mendengar Mahisa Wonga Teleng. Bahkan seseorang pernah melontarkan tuduhan itu langsung kepadaku. Dan aku telah memaafkannya karena ia tidak mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi. Dan seperti yang kau katakan, memang ada golongan yang dengan sengaja menyebarkan berita semacam itu. Jadi yang kau dengar bukanlah berita yang pertama kali tersebut di daerah ini dan bahkan di luar kota Singasari.”

“Aku tahu Kakanda. Dan sudah sejak lama aku tidak memercayainya.”

“Dan kenapa tiba-tiba saja sekarang kau menjadi ragu?”

“Itulah yang aneh Kakanda. Tetapi sebenarnya aku yakin bahwa berita itu hanyalah fitnah semata-mata. Tetapi di samping berita yang pernah aku dengar sejak beberapa waktu itu, aku mendengar berita lain yang sangat menggelisahkan jika sampai tersebar di antara rakyat Singasari.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Terasa dadanya men-jadi berdebar-debar. Karena itu, maka wajahnya pun tampak menegang. “Adinda Mahisa Wonga Teleng. Kau benar-benar telah membuat aku menjadi gelisah,” berkata Anusapati kemudian.

“Bukan maksudku menggelisahkan Kakanda. Tetapi biarlah Kakanda tidak terkejut kelak apabila Kakanda mendengarnya. Daripada Kakanda mendengar dari orang lain, maka aku menganggap bahwa lebih baik Kakanda mendengar dari aku sendiri,” berkata Mahisa Wonga Teleng.

“Katakanlah Adinda. Barangkali aku memang perlu mendengarnya.”

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian setelah ia bergeser setapak. Tampak wajahnya masih saja dibayangi oleh keragu-raguan, “akhir-akhir ini aku benar-benar telah dibingungkan oleh keterangan orang yang tidak aku kenal itu.”

Anusapati menganggukkan kepalanya, “Katakanlah.”

Mahisa Wonga Teleng menelan ludahnya. Tetapi dipaksanya juga untuk berkata, “Kakanda. Orang itu mengatakan, bahwa bukan saja Kakanda telah membunuh Ayahanda Sri Rajasa, dengan meminjam tangan Pengalasan dari Batil itu dan kemudian Kakanda membunuhnya, namun orang itu juga mengatakan bahwa Kakanda bukanlah putra Ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”

Pertanyaan itu bagaikan petir yang meledak di ujung telinga Anusapati. Karena itu sejenak wajahnya menjadi merah dan terasa mulutnya terbungkam. Dipandanginya wajah adiknya dengan sorot mata yang aneh, sehingga Mahisa Wonga Teleng menjadi kecut hatinya. Ada semacam penyesalan melonjak di hatinya bahwa ia sudah mengatakannya. Jika Anusapati menjadi marah, maka mungkin ia akan mengalami sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Anusapati yang dikejutkan oleh pertanyaan itu, dengan susah payah mencoba menenangkan hatinya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, maka Anusapati pun kemudian berkata, “Kau sudah melakukan sesuatu yang benar menurut penilaianku Adinda. Memang sebaiknya aku mendengar darimu daripada orang lain.”

Mahisa Wonga Teleng tidak mengetahui, apakah yang sebenarnya tersimpan di hati Kakandanya itu, sehingga karena itu untuk beberapa lamanya ia masih tetap berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.

“Adinda Mahisa Wonga Teleng,” berkata Anusapati, “tentu berita yang kau dengar itu belum kau katakan seluruhnya. Maksudku, menurut pendengaranmu dari orang yang belum kau kenal itu.”

Anusapati berhenti sejenak, lalu, “berita itu tentu ada kelanjutannya Adinda. Jika aku bukan putra Ayahanda Sri Rajasa, maka menurut orang itu, siapakah sebenarnya aku ini? Maksudku, menurut ceritanya, anak siapakah aku ini?”

“Maafkan aku Kakanda. Aku hanya mengatakan apa yang dikatakan oleh orang itu.”

“Ya. Aku tahu.”

“Katanya, Kakanda adalah putra seorang akuwu yang dahulu memerintah daerah yang kini disebut Singasari. Pada waktu itu daerah ini masih bernama Tumapel. Dan akuwu itu bernama Tunggul Ametung.”

Anusapati mencoba menahan perasaan yang bergejolak. Bahkan kemudian ditekankannya tangannya di dadanya. Katanya, “Adinda. Berita itu memang mengejutkan aku. Aku mengerti urut-urutan cerita orang itu. Karena aku bukan putra Ayahanda Sri Rajasa, dan karena aku putra akuwu yang dahulu memerintah daerah ini, maka aku menuntut hakku dan membunuh Ayahanda Sri Rajasa. Begitu?”

“Begitulah kira-kira, Kakanda.”

“Adinda. Jika demikian coba katakan, siapakah ibuku?”

Mahisa Wonga Teleng mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ibundamu juga Ibunda Ken Dedes.”

Tetapi jawaban itu ternyata telah menggetarkan hatinya sendiri. Ken Dedes adalah ibundanya, sehingga dengan demikian maka ibundanya pernah menjadi seorang istri dari orang lain, atau jika mempergunakan istilah lebih kasar maka sebelum ibundanya menjadi permaisuri di Singasari, ibundanya mencintai laki-laki lain selain ayahandanya.

“Oh, tidak, tidak,” desisnya sebelum Anusapati mengatakan sesuatu.

“Apa yang tidak Adinda?”

“Tentu tidak. Bahwa Ibunda pernah mencintai laki-laki lain selain Ayahanda. Tentu tidak bahwa Ibunda pernah berhubungan dengan laki-laki lain sebelum Ayahanda menjadi istri Ayahanda sehingga mengandung dan melahirkan seorang anak.”

“Tenanglah Adinda,” berkata Anusapati, “memang kabar itu sangat pahit bagi kita, terutama apabila Ibunda yang sudah tua itu mendengarnya. Tentu berita itu bukannya sekedar fitnah, tetapi juga hinaan atas kesetiaan Ibunda. Berita itu berarti bahwa aku adalah anak seorang laki-laki lain daripada Ayahanda Sri Rajasa. Dan itu adalah hinaan atas kesetiaan Ibunda.”

“Ya Kakanda. Itu tentu fitnah yang sangat keji atas Ibunda.”

“Dan kau tahu maksudku?”

“Untuk memisahkan kita berdua. Maksudnya agar aku mendendam atas kematian Ayahandaku, dan adalah lebih baik jika aku bertindak atas Kakanda, karena Kakanda bukan saudaraku seayah.”

Anusapati menganggukkan kepalanya. Ia berharap agar ia berhasil meyakinkan Mahisa Wonga Teleng bahwa cerita itu hanyalah fitnah semata-mata.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “aku minta maaf bahwa aku telah menyampaikan hal ini kepada Kakanda. Seharusnya aku tahu, bahwa tidak sepantasnya aku memikirkannya. Apalagi meragukannya, dan menyampaikannya kepada Kakanda. Seharusnya aku tahu, bahwa Kakanda terlampau sibuk dan banyak hal yang harus dipikirkan, sehingga yang aku sampaikan hanya akan menambah kesibukan Kakanda.”

“Tidak Adinda,” berkata Anusapati, “sebaiknya hal ini memang harus kau sampaikan. Dengan demikian hatimu segera menjadi terang. Kau tidak perlu lagi berteka-teki tentang diriku dan tentang hubungan keluarga di antara kita.”

Mahisa Wonga Teleng mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku memang dungu sekali. Tetapi biarlah lain kali aku dapat menyelesaikan masalah-masalah seperti ini tanpa mengganggu Kakanda.”

Anusapati hanya tersenyum saja. Ia mulai yakin, bahwa Mahisa Wonga Teleng dapat dikuasainya, sehingga adindanya itu tidak akan meragukan lagi kebenaran ceritanya. Namun sepeninggal Mahisa Wong Teleng, Anusapati merasakan sesuatu yang pahit di dalam hatinya. Meskipun ia berhasil meyakinkan adindanya itu, dan barangkali juga beberapa perihal di Singasari, namun bahwa seseorang telah berusaha mengungkit kebenaran tentang dirinya, adalah sangat mendebarkan hati.

Anusapati yang berhasil menguasai tahta Singasari itu merasa, bahwa ia harus hidup di dalam suatu keadaan yang tidak dikehendakinya sendiri. Kebimbangan, kecemasan, pura-pura dan bahkan kepalsuan seperti itu. Ia harus mengingkari kebenaran tentang dirinya sendiri. Ia harus mengingkari ayahandanya sendiri yang sebenarnya.

“Alangkah pahitnya hidup seperti ini,” katanya di dalam hati.

Dan kadang-kadang Anusapati harus menelusuri jalan yang pernah dilaluinya. Sejak ia masih muda. Hidupnya yang seakan-akan terasing dari kasih sayang orang tua. Hidup yang seakan-akan selalu diancam oleh bahaya. Bahkan usaha-usaha untuk menyingkirkannya. Puncak dari semuanya itu adalah kematian Sri Rajasa yang menggetarkan itu. Dan ia harus mengingkari semuanya. Mengingkari ayahandanya yang menurunkannya, mengingkari kematian Sri Rajasa. Mengingkari kebaikan hati Sumekar, mengingkari banyak hal yang menyiksa dirinya.

Dengan demikian, maka Anusapati pun menjadi sangat prihatin. Seakan-akan hidup yang dihayatinya adalah hidup yang semu semata-mata, karena semuanya disaput oleh kepalsuan dan pura-pura. Dengan demikian, maka seakan-akan Anusapati merasa dirinya berjalan di jalan yang sangat panjang, melalui kesulitan demi kesulitan, melalui kepalsuan demi kepalsuan. Dan jalan itu rasa-rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Ia harus menyembunyikan setiap kepalsuan dengan kepalsuan yang lain, mengingkari kebohongan dengan kebohongan yang lain.

Namun Anusapati merasa bahwa ia tidak akan dapat kembali. Baginya Singasari adalah pusat dari segalanya, sehingga apapun yang akan terjadi atas dirinya, maka ia harus berusaha agar Singasari tidak pernah guncang. Bahwa apa yang pernah dicapai oleh ayahandanya, meskipun bukan yang sebenarnya, harus dipertahankannya.

“Apa yang sudah ada ini tidak boleh terlepas,” berkata Anusapati di dalam hatinya, karena ia merasa bahwa ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya.

“Kenapa aku merasa diriku terbelenggu oleh sesuatu?” tiba-tiba Anusapati mencoba menghentakkan diri dari bayangan-bayangan yang suram dari hidupnya itu, “aku sudah bertekad untuk melakukannya. Aku harus berani mempertahankannya dan bertanggung jawab. Aku adalah Maharaja Singasari.”

Namun di dalam kegelisahannya, Anusapati tidak dapat lari dari kejaran pengakuan di dalam dirinya sendiri, sehingga ia terpaksa memanggil Mahisa Agni ke Singasari. Satu-satunya orang yang paling dipercayainya, dan orang yang memang mengetahui segala rahasianya.

“Pamanda,” berkata Anusapati, “aku selalu dikejar oleh bayangan yang suram tentang diriku sendiri. Apakah di dalam kelanjutan hidupku ini, aku akan selalu dikejar oleh kepalsuan yang harus aku pertahankan?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Semuanya sudah terjadi. Seperti Anusapati sendiri, maka yang dihadapi adalah yang tidak diharapkannya sama sekali. “Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian. Ia tidak mendapat jalan lain, kecuali berusaha menenteramkan hati Anusapati, “dahulu Ayahanda Sri Rajasa pun hidup di dalam dunia yang lain dari kebenaran itu. Ayahanda Sri Rajasa justru dengan sengaja dan diperhitungkan lebih dahulu, hidup di dalam dunia yang lain dari kebenaran itu. Ayahanda Sri Rajasa justru dengan sengaja dan diperhitungkan lebih dahulu hidup di dalam dunia yang penuh dengan kepalsuan. Kematian pamanku Empu Gandring, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian perkawinannya dengan Ken Umang, dan kepura-puraannya yang paling gila adalah mengangkat Tuanku menjadi Putra Mahkota. Karena di satu pihak Sri Rajasa bersikap jujur karena Tuanku adalah putra permaisuri yang tertua, namun di lain pihak, Sri Rajasa ingin menyingkirkan Tuanku dengan cara apapun, karena Sri Rajasa ingin memaksa niatnya, mengangkat Tuanku Tohjaya menjadi Pangeran Pati.”

Mahisa Agni berhenti sejenak, “Namun di dalam waktu yang lama itu, Sri Rajasa berhasil menguasai keadaan dan dirinya sendiri.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa juga Sri Rajasa hidup di dalam dunia yang palsu. Namun ia berhasil menguasainya sehingga ia berhasil memanfaatkan dunianya yang dibayangi oleh kepura-puraan itu untuk kerja yang besar. Mempersatukan Singasari, Kediri dan daerah-daerah lain di sepanjang pulau.

“Aku harus mempertahankannya,” Anusapati menarik nafas sambil berkata kepada diri sendiri, “aku harus hidup di dalam dunia yang pernah dihuni oleh ayahanda Sri Rajasa dan berbuat seperti Ayahanda Sri Rajasa pula.”

Demikianlah Anusapati mencoba untuk dapat melupakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Ia mencoba berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh ayahandanya, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Tetapi ternyata bahwa Anusapati mempunyai sifat dan watak yang berbeda. Sri Rajasa, yang semasa kecilnya bernama Ken Arok, dan yang hidup di padang belantara itu, sudah terbiasa hidup di dalam bayangan yang kelam.

Adalah sudah menjadi kebiasaannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang kasar. Merampok, menyamun, memerkosa dan bahkan membunuh. Dengan demikian, maka kematian demi kematian yang direncanakan tidak terlampau banyak membekas di hatinya, meskipun di saat-saat yang khusus Sri Rajasa tidak berhasil menghindarkan diri dari kejaran dosa-dosanya itu.

Berbeda dengan Sri Rajasa, Anusapati di masa kecilnya hidup dalam suasana yang sepi, meskipun di dalam keramaian suasana istana Singasari. Namun ia menjadi dekat dengan perasaannya lebih dari nalarnya. Ia memandang manusia dari segi yang lain dari Ken Arok. Ken Arok adalah orang yang hidup dalam dunia wadagnya yang kasatmata. Kekuatan, kemampuan berkelahi, perang dan keris Empu Gandring. Sedang Anusapati memandang manusia lebih banyak dari segi pribadi dan hidup mereka yang tidak kasatmata.

Meskipun Anusapati juga mempelajari ilmu kanuragan, namun baginya manusia adalah kesatuan yang utuh. Bagi Anusapati, yang kasatmata justru sekedar bayangan dari yang tidak kasatmata wadagnya. Sehingga dengan demikian Anusapati lebih menghargai manusia pada segi rohaniahnya, bukan jasmaniahnya. Itulah sebabnya ia tidak semudah Ken Arok untuk melupakan apa yang pernah terjadi. Bahkan keris di tangannya pernah menusuk orang yang bernama Ken Arok dan bergelar Sri Rajasa yang diakunya sebagai ayahnya sendiri.

Dan karena itu pulalah ia tidak segera dapat melupakan, bahwa ia telah berbohong kepada rakyat Singasari. Jika setiap orang menyebut nama pengalasan dari Batil sambil meludah, maka alangkah perih hati Anusapati, karena ia menyebut nama Sumekar dengan menundukkan kepala dan hormat yang setinggi-tingginya. Dan itu pun merupakan kebohongan yang besar dan tidak berperikemanusiaan. Selesainya ia harus mempertahankan kebohongannya itu kepada adiknya seibu, Mahisa Wonga Teleng. Ia menolak kebenaran yang pernah dikatakan oleh adiknya.

“Kenapa aku menjadi ketakutan mengaku bahwa aku adalah putra Akuwu Tunggul Ametung di hadapan Mahisa Wonga Teleng?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun sebenarnyalah bahwa Anusapati yang pernah dikenal dengan gelar Kesatria Putih, dan yang berani menyusuri kehidupan malam yang penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mengakui di hadapan adiknya tentang dirinya sendiri. Tentang ayah yang sebenarnya menitikkan darah keturunan ke dalam dirinya.

Dengan demikian, maka ternyata kolam yang sudah dibangunnya mengelilingi bangsalnya itu hanya mampu mengamankan badannya, tubuhnya saja. Tetapi tidak berhasil mengamankan kegelisahan hatinya. Kolam itu berhasil menyingkirkan kecemasan bahwa ia akan terancam oleh orang-orang yang tidak dikenal, dan barangkali oleh adiknya, Tohjaya, yang sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan dirinya. Tetapi tidak berhasil membentengi dirinya dari pengakuan betapa hidupnya dibayangi oleh kepalsuan dan pura-pura.

Dengan demikian, maka Anusapati semakin lama justru semakin dalam tenggelam suasana yang buram. Ia menjadi semakin sering merenungi dirinya sendiri dan Singasari. Rasa-rasanya tidak ada yang pantas lagi dilakukan selain menyerahkan segalanya bagi Singasari. Rasa-rasanya hidupnya akan menjadi terlampau sempit, sehingga ia mempergunakan segala yang ada padanya bagi kebesaran negerinya.

Tetapi karena hati yang suram, maka yang memancar pun bukannya cahaya yang cerah. Anusapati lebih senang melihat Singasari tenang, tenteram dan damai. Ia lebih senang memelihara yang sudah ada sambil merenungi kepedihan di dalam diri. Namun dengan demikian Singasari tetap seperti Singasari sejak ia naik ke atas tahta. Singasari yang tenang dan damai, yang sawahnya menjadi hijau dari ujung sampai ke ujung cakrawala. Yang lembah dan ngarainya dialiri oleh sungai-sungai yang jernih, di sela-sela pegunungan yang menjulang ke langit.

Dengan demikian maka Singasari bagaikan seorang bayi yang sedang berbaring di dalam buaian. Ia tidak bergejolak dan tidak menggelegak seperti saat Sri Rajasa naik ke atas tahta. Singasari tidak berhias dan membenahi dirinya. Apalagi menimang senjata, menebas hutan, membendung bengawan, lebih-lebih mengarungi lautan.

Meskipun demikian, sebenarnyalah Singasari tidak seluruhnya tenggelam di dalam hidup yang tenang dan terhenti. Di dalam dada Ranggawuni yang meningkat dewasa, sebenarnyalah menggelegak gejolak yang belum kasatmata. Kenakalan dan kelincahannya, memberikan harapan bagi masa depannya. Di dalam umurnya yang masih sangat muda, telah tampak pada anak itu, bahwa ia memiliki kelebihan dari anak-anak sebayanya. Bukan saja karena ia adalah putra seorang maharaja yang berkuasa di Singasari, tetapi Ranggawuni memang memiliki sesuatu yang lain.

Dan Mahisa Agni yang memiliki pengamatan yang tajam itu dapat melihat kelebihan itu. Itulah sebabnya maka ia menaruh harapan pada anak itu. Dengan telaten Mahisa Agni membimbing anak itu, selain Anusapati sendiri. Tetapi karena ilmu Anusapati juga bersumber dari Mahisa Agni, maka sama sekali tidak ada persoalan di dalam latihan-latihan yang dilakukan oleh anak itu. Apalagi setelah ia mendapat kawan yang hampir sebaya, meskipun agak lebih muda. Adik sepupunya ternyata juga seorang anak laki-laki yang nakal seperti dirinya sendiri, sehingga keduanya adalah dua orang yang memiliki hampir kesamaan di banyak hal.

Anusapati sendiri melihat anak laki-lakinya dengan sepenuh harapan. Bahkan kadang-kadang jika ia sedang merenungi dirinya dirinya sendiri, selalu berakhir dengan sebuah tarikan nafas, “Mudah-mudahan Ranggawuni tidak mengalami kesuraman di dalam hidupnya. Ia tidak boleh hidup di dalam dunia yang palsu dan pura-pura ia harus berada di tempatnya seperti yang ada padanya.”

Demikianlah, maka tumpuan harapan Anusapati semata-mata ada pada anak laki-lakinya. Ia sendiri tidak lagi berhasrat untuk berbuat banyak atas Singasari, selain memelihara ketenteraman dan kedamaian. Yang sudah ada itulah yang dipeliharanya. Meskipun demikian, ia berharap bahwa kelak Ranggawuni akan berhasil membuat Singasari menjadi jauh lebih besar, lebih baik dan lebih kuat. Sawah-sawah yang ada harus menjadi berlipat, air harus semakin banyak naik ke sawah dan pategalan. Jalan-jalan yang menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain. Jembatan-jembatan dan bendungan-bendungan.

Agaknya Ranggawuni pun menaruh perhatian atas cita-cita yang demikian. Setiap kali ayahandanya mengatakan tentang masa depan Singasari, Ranggawuni selalu mendengarkan dengan seksama. Meskipun umurnya belum menginjak dewasa, tetapi ternyata ia sudah tertarik kepada persoalan-persoalan yang besar. Namun dalam pada itu, selagi Anusapati mencurahkan harapannya pada masa depan, karena ia merasa tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengatasi kekalutan di dalam dirinya, beberapa orang selalu mencari jalan untuk menyingkirkannya.

Kolam di sekeliling bangsal memang merupakan rintangan besar bagi setiap usaha untuk membunuhnya. Tak mudah menembus kolam itu betapapun tinggi ilmu seseorang, karena di sekitar kolam itu pun diletakkan pengawal-pengawal yang mumpuni. Setiap gejolak air yang tidak sewajarnya takkan terlepas dari pengamatan mereka, sehingga seakan-akan seekor itik pun tidak akan dapat menyeberangi tanpa diketahui oleh para penjaga. Dengan demikian maka cara yang paling baik yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan Anusapati, Maharaja Singasari, adalah dengan memancingnya keluar. Di malam hari atau siang hari.

Tetapi dengan demikian, maka tidak akan mungkin dapat merahasiakan lagi, siapakah yang melakukannya atau atas perintah siapa. Jika para pengawal bertindak dengan cepat, maka semuanya akan terbongkar, dan usaha yang sudah dilakukan itu tidak akan gunanya.

“Para pengawal itulah yang harus dipisahkan dari Anusapati,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab yang lain, “Kita baru memiliki seorang panglima.”

“Tetapi panglima itu adalah panglima pelayan dalam. Semua usahanya akan sangat bermanfaat.”

“Dan bagaimana dengan panglima pasukan pengawal?”

Tidak seorang pun yang dapat menjawab. Meskipun panglima pasukan pengawal itu adalah seorang yang setia kepada Sri Rajasa, namun ia tidak dapat dengan mudah dipengaruhi untuk memusuhi Anusapati yang kini duduk di atas tahtanya.

“Aku akan berusaha,” berkata salah seorang dari mereka.

Semua orang berpaling kepadanya. Kepada seorang perempuan yang meskipun umurnya sudah semakin tua, namun ia masih tetap tampak sebagai seorang perempuan muda yang cantik.

“Apakah yang akan Ibunda lakukan?” bertanya anak laki-lakinya.

Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Jangan takut. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku dapat mencari dua tiga orang gadis yang sangat cantik. Aku akan mencoba menundukkannya.”

Semua orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih melihat perempuan itu tersenyum sambil mengangkat wajahnya, “Jika aku berhasil, apakah yang harus dilakukan oleh panglima itu?”

“Tidak apa-apa. Ia hanya diharuskannya berdiam diri saja.”

“Kenapa berdiam diri?”

“Berdiam diri dengan seluruh pasukannya. Jika terjadi sesuatu di istana ini, Pasukan pengawal sebaiknya tidak bertindak apapun juga. Dan dengan demikian, maka pasukan penempur yang ada di dalam istana tidak akan banyak dapat berbuat sesuatu. Mereka akan segera dapat dikuasai oleh pasukan pengawal dan pelayan dalam.”

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti. Karena kalian tidak mungkin lagi membunuh Anusapati dengan diam-diam, maka kalian akan membunuhnya di hadapan penghuni istana ini tanpa tedeng aling-aling. Tetapi untuk itu kedua pasukan terkuat di istana ini harus dikuasai lebih dahulu.”

Orang-orang yang ada ditempai itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula seperti perempuan itu. Sepercik harapan memang telah timbul di hati mereka. Jika kedua panglima yang paling berkuasa di dalam istana ini dapat dikuasai, maka semuanya akan dapat berjalan dengan lancar. Tidak akan ada seorang pun yang berani berbuat sesuatu apapun yang akan terjadi.

Namun demikian salah seorang dari mereka bertanya, “Tetapi bagaimana dengan para prajurit di luar istana. Jika mereka tidak mau tunduk kepada perintah kita, apakah kita dapat menundukkan mereka? Dan bagaimana jika tiba-tiba mereka mengepung istana ini?”

“Kita akan dapat mempengaruhi sebagian dari mereka. Jika mereka tidak sependirian lagi, maka kekuatan mereka tidak akan menggetarkan dinding istana. Apalagi jika kita dapat mengumumkan harapan yang dapat kita berikan kepada mereka dan kutukan atas segala kejahatan yang pernah dilakukan oleh Anusapati.”

“Semua usaha akan kita jalankan.”

Demikianlah maka pertemuan itu telah sepakat, bahwa mereka akan menempuh jalan terakhir. Jalan yang paling kasar yang pernah mereka pikirkan. Tetapi mereka benar-benar tidak mempunyai jalan lain. Ternyata bahwa mereka tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Dengan tertib mereka mulai melakukan tugas masing-masing. Dan berhasillah mereka mendapatkan tiga orang gadis yang paling cantik, yang menyediakan diri menjadi umpan bagi yang mereka namakan suatu perjuangan untuk merebut keadilan dari tangan Maharaja Anusapati.

Dengan pesan yang meyakinkan, maka ketiga orang gadis yang paling cantik itu mendapat tugas untuk menguasai panglima pasukan pengawal yang memiliki pengaruh yang besar bagi keamanan di dalam lingkungan halaman istana dan keluarga maharaja. Adalah kebetulan sekali bahwa salah seorang dari ketiga gadis itu berhasil mendekatkan diri dengan panglima itu yang secara kebetulan sedang berada di halaman istana, di antara beberapa orang pengawal.

Tetapi ia baru berhasil mendapat perhatian saja dari panglima itu. Panglima itu masih belum menegurnya dan apalagi bertanya tentang sesuatu. Namun akhirnya, gadis yang lain berhasil pula memancingnya dalam suatu pembicaraan. Ketika panglima itu memasuki halaman istana, maka dengan serta-merta, gadis yang sedang berada di semak-semak itu berlari-lari sehingga terjatuh.

“Kenapa?” tanpa berpikir lagi panglima itu pun bertanya.

“Ampun Tuan,” gadis itu terengah-engah, “ada seekor ular. Hamba sedang mencari sekuntum bunga yang indah di dalam taman ini. Tetapi ternyata hamba diganggu oleh seekor ular berbisa.”

Dengan usaha yang sungguh-sungguh, untuk kepentingan perjuangan yang menurut mereka adalah perjuangan yang luhur, maka akhirnya ketiga orang gadis itu berhasil memperkenalkan diri, justru ketika panglima pasukan pengawal itu sedang dilihat kesepian. Sebagai seorang prajurit kadang-kadang ia terpisah dari keluarganya untuk waktu yang tidak tertentu. Dan itulah yang memungkinkan ia kehilangan keseimbangan. Agaknya usaha yang lain telah dilakukan pula. Ketika panglima itu mendengar bahwa istrinya yang ditinggalkan di rumah terlibat dalam hubungan yang tidak sewajarnya dengan seorang laki-laki.

Alangkah dangkalnya perasaannya. Meskipun nalarnya masih dapat menahan agar ia tidak segera bertindak, karena mungkin yang didengar itu sekedar fitnah, namun kehadiran gadis-gadis cantik itu telah mempengaruhinya. Seakan-akan ia tidak mau lagi melihat apakah yang didengarnya itu suatu kebenaran atau sekedar fitnah semata-mata. Bahkan di dalam gejolak nafsu butanya, ia mengharap bahwa ia tidak akan sempat melihat pembuktian bahwa istrinya tidak bersalah.

Dengan demikian, maka kekebalan dinding hatinya menjadi semakin luluh, Kehadiran ketiga orang gadis yang cantik itu benar-benar telah mencengkamnya. Apalagi dengan sengaja ketiga orang gadis itu mengganggunya dengan segala cara..Tidak ada yang dapat dilakukan, selain pasrah diri di dalam cengkeraman nafsu yang gila itu. Ia benar-benar kehilangan pengamatan diri, ketika gadis-gadis itu seakan-akan dengan ikhlas menyerahkan dirinya. Meskipun dari ketiga orang itu yang paling dibutuhkan hanya seorang, namun yang seorang itu sudah cukup kuat mencengkam dan membelenggu tangan dan kakinya.

Seperti disambar petir rasanya, ketika pada saat ia kehilangan kendali atas dirinya, tiba-tiba saja pintu rumah gadis itu terbuka. Dengan wajah yang pucat panglima itu berdiri dengan tubuh gemetar. Di sampingnya gadis yang cantik itu justru semakin melingkar di pembaringan. Di muka pintu berdiri Tohjaya dengan sepasukan pengawal.

“Apa yang kau lakukan di sini?” bertanya Tohjaya.

Jari-jari yang menunjuk hidungnya itulah yang membuka kesadarannya, bahwa sebenarnya ia sudah terjebak. Dengan wajah yang semakin pucat, akhirnya ia pasrah sambil bertanya, “Apakah yang sebenarnya Tuanku kehendaki. Hamba memang tidak akan dapat ingkar, karena di hadapan hamba ada beberapa orang saksi yang tidak akan dapat hamba hapuskan.”

“Apakah kau akan mencoba membunuh orang-orang yang melihat dengan mata kepala sendiri atas peristiwa ini?”

“Tidak mungkin Tuanku. Karena itu Tuanku akan berhasil memeras hamba. Dan itulah yang hamba tanyakan, apakah yang akan aku lakukan?”

Tohjaya mengerutkan keningnya sejenak. Namun kemudian ia tertawa sambil melangkah masuk. Kepada gadis yang masih ada di dalam bilik itu ia berkata, “Pergilah! Tugasmu sudah selesai.”

Gadis itu memandang panglima yang telah ditundukkan itu dengan senyum yang paling menyakitkan hati. Sambil melangkah pergi ia berkata, “Maaf Tuan. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba. Apa yang terjadi memang akan tetap menjadi kenangan bagi hamba. Dan hamba tidak akan pernah melupakan Tuan. Bahkan seandainya kelak hamba sudah bersuami sekalipun.”

Panglima itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya saja gadis yang meninggalkan bilik itu dengan tanpa berkedip. Tetapi gadis itu terkejut ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kuat memegang lengannya dan tanpa berkata apapun juga lengan itu ditariknya

“Tuan,” gadis itu memekik kecil, tetapi suaranya terdengar dari dalam bilik yang ditinggalkannya, “apa artinya ini?”

Panglima yang ada di dalam bilik itu mendengar juga suara gadis itu, sehingga ia menggeram, “Jadi Tuankulah yang akan menghapuskan jejak dan saksi? Apakah Tuanku akan melenyapkan gadis itu?”

“Ia akan menerima hadiahnya. Dan sudah barang tentu ia masih sangat aku perlukan. Jika kau ingkar, ia adalah saksi yang pertama yang akan mengatakan kepada sidang para pemimpin Singasari yang sembilan, bahwa kau adalah seorang panglima yang tidak pantas menjadi teladan rakyat dan prajurit di seluruh Singasari.”

“Hamba mengerti. Tetapi hamba tidak yakin bahwa gadis itu akan menerima hadiah yang sebenarnya. Tetapi tuan tentu akan menyingkirkannya untuk selama-lamanya, karena gadis itu akan dapat bercerita, bahwa Tuankulah yang telah memberikan tugas kepadanya menjebak hamba di dalam rencana pemerasan ini.”

Tiba-tiba Tohjaya tertawa. Hanya perlahan-lahan. Katanya, “Aku tidak tergesa-gesa. Tetapi sebaiknya kau bekerja bersama dengan aku, agar kau tidak menjadi tumpuan caci dan maki karena tindakanmu yang liar ini. Aku kira istrimu masih belum membayangkan apa yang telah terjadi. Jika kau anggap istrimu benar-benar telah berbuat salah karena melanggar pagar ayu, maka berita yang sampai ke telingamu itu pun sekedar berita yang sejalan dengan semua rencanaku. Istrimu adalah istri yang setia. Istri yang baik. Nah, apakah kau sampai hati merusak kesetiaannya karena berita yang akan didengarnya tentang apa yang kau lakukan, dan apakah ia akan sampai hati melihat kau diarak ke alun-alun dan dilempari batu sampai mati karena kau berzina?”

“Hamba mengerti Tuanku. Karena itu, sebaiknya Tuanku mengatakan saja, apakah yang harus hamba lakukan?”

Tohjaya tersenyum bagaikan senyuman iblis di atas tanah perkuburan yang baru. Katanya, “Baiklah Panglima. Aku ingin bertemu dengan kau malam nanti di ujung jalan yang memotong ujung dinding halaman istana ke arah barat.”

“Baiklah Tuanku. Hamba akan datang. Dan sekarang, apakah Tuanku bersedia meninggalkan hamba, atau membiarkan hamba pergi dari tempat ini?”

“Tentu. Aku akan segera pergi. Kau dapat tetap tinggal di sini. Tetapi sendiri. Gadis itu dilindungi oleh para pengawalku. Demikian juga kedua gadis yang lain.”

“Hamba tidak berkepentingan lagi dengan gadis-gadis itu. Tetapi hamba justru menjadi cemas, bahwa gadis itu akan mengalami nasib yang sangat buruk di dalam perlindungan pengawal-pengawal Tuanku.”

“Kasihan sekali. Tetapi mereka adalah bebanten dari perjuangan ini, seperti Kakanda Anusapati harus mengorbankan pengalasan dari Batil itu.”

Sepercik gugatan nampak di wajah panglima itu. Tetapi ia pun kemudian menundukkan kepalanya. Agaknya nasib ketiga gadis itu pun tidak akan lebih baik dari nasibnya sendiri. Panglima itu pun kemudian tidak mendengar lagi gadis itu meronta-ronta di tangan para prajurit. Salah seorang dari mereka berkata,

“Jangan ribut. Kau tidak akan diapa-apakan. Kau hanya akan dilindungi dari kemungkinan yang dapat mengancam nyawamu. Jika panglima itu berbuat licik, maka ia akan dapat memerintahkan orang-orangnya membunuhmu, agar tidak ada saksi yang utama apabila persoalannya terpaksa dihadapkan kepada para pemimpin di Singasari.”

“Aku tidak akan membuka rahasia ini. Tetapi jangan kau seret aku seperti menyeret kambing.”

Tetapi pengawal itu tertawa. Katanya, “Sayang, kau bukan gadis lagi. Tetapi jangan takut bahwa kau tidak akan mendapatkan seorang suami karena kau sangat cantik. Jasamu tentu akan selalu diingat oleh Tuanku Tohjaya yang masih jejaka itu. Kecuali jika Tuanku Tohjaya tidak memerlukannya dan memberikan kau kepadaku, agar aku dapat selalu melindungimu dari ancaman maut.”

“Diam, diam. Aku tidak sudi.”

Pengawal itu tertawa. Benar-benar menyakitkan hati, sehingga gadis itu mengumpatnya. Tetapi gadis yang malang itu tidak dapat melawan ketika ia kemudian dibawa dengan pengawalan yang kuat ke tempat yang tidak diketahuinya.

“Kau benar-benar sekedar kita amankan,” seorang pengawal masih sempat berkata kepadanya ketika pintu biliknya kemudian ditutup dari luar.

Ternyata di dalam bilik itu telah berkumpul ketiga gadis yang telah menyerahkan diri, mengorbankan kehormatannya untuk suatu perjuangan yang mereka anggap luhur. Namun yang akhirnya mereka terlempar ke dalam suatu tempat yang tidak mereka kenal. Karena itu, maka ketiga gadis itu hampir berbareng telah memukul-mukul pintu bilik itu sekuat tenaga mereka sambil berteriak-teriak,

“Lepaskan kami! Kami telah berjasa bagi kalian.”

Tetapi pintu itu masih tetap tertutup. Dan bahkan bergetar pun tidak, sehingga ketiga gadis itu semakin lama menjadi semakin lelah, dan akhirnya mereka terhenti dengan sendirinya. Namun dalam pada itu, selagi mereka terduduk sambil menangis, tiba-tiba pintu bilik itu berderit. Perlahan-lahan pintu itu terbuka, sehingga ketiga gadis itu terkejut. Serentak mereka mengangkat wajah sambil memandang ke arah pintu yang terbuka itu.

Sepercik harapan telah melonjak di dalam hati mereka ketika mereka melihat seorang putri masuk ke dalam bilik mereka sehingga serentak pula mereka meloncat dan bersujud di hadapannya.

“Ampun Tuanku. Hanya kepada Tuanku Ken Umang, hamba bersama-sama mohon perlindungan,” dan gadis yang telah berhasil meruntuhkan hati panglima itu melanjutkan, “hamba telah berhasil melakukan perintah Tuanku. Namun akhirnya hamba justru dimasukkan ke dalam bilik ini.”

Ken Umang tersenyum hambar. Kemudian ia pun duduk di atas sebuah dingklik kayu di sudut ruangan itu. “Anak-anakku,” berkata Ken Umang, “kalian memang sudah memberikan pengorbanan yang tiada taranya bagi Singasari. Karena itu aku datang untuk mengucapkan terima kasih kepada kalian.”

“Hamba sekedar melakukan kewajiban hamba,” jawab salah seorang dari mereka, “namun hamba tidak mengerti, kenapa hamba justru harus berada di tempat ini?”

Ken Umang justru tertawa sambil berkata, “Jangan berbuat setengah-setengah anak-anakku. Lakukanlah pengorbananmu dengan sempurna. Kau sudah berhasil menaklukkan panglima pasukan pengawal itu dengan mutlak. Karena itu, maka kalian dituntut untuk memberikan pengorbanan yang lebih banyak lagi. Aku kira kalian tidak akan berkeberatan.”

“Maksud Tuan Putri?”

“Apa boleh buat anak-anakku. Pengorbanan berikutnya adalah kesediaan kalian tinggal di sini untuk sementara.”

“Oh,” hampir bersamaan mereka merayap mendekat, “ampun Tuanku. Apakah Tuanku tidak dapat memerintahkan kepada para prajurit, agar hamba dapat dilepaskan? Apa yang hamba lakukan semata-mata demi kepentingan Singasari, sehingga hamba tidak pernah mengharapkan hadiah atau semacam itu yang bagaimanapun bentuknya. Hamba sudah berkorban dengan ikhlas sehingga apa yang hamba lakukan adalah berdasarkan pada kesadaran hamba untuk mengabdi. Jika dicemaskan bahwa hamba akan berkhianat, tentu tidak mungkin sama sekali. Berbeda jika hamba mengharapkan untuk mendapatkan hadiah. Hamba tentu akan memilih siapakah yang akan memberi lebih banyak dari yang hamba terima sebelumnya.”

Ken Umang masih saja tertawa. Katanya, “Karena itulah maka kalian masih harus berkorban lagi. Pengorbanan yang kalian berikan, kalian sandarkan kepada pengabdian. Dan kalian masih harus memberikan pengorbanan atas dasar yang sama. Tidak terlampau berat. Kalian harus berada di dalam bilik ini untuk sementara. Jika keadaan telah memungkinkan, maka kalian akan dapat kami lepaskan lagi.”

“Tetapi ampun Tuanku, untuk sementara di dalam bilik yang dikelilingi oleh prajurit-prajurit yang kasar, adalah berbahaya sekali bagi perempuan-perempuan seperti hamba bertiga.”

“Ah, kenapa kalian berpikir demikian? Bukankah hal itu sudah kalian lakukan demi pengorbanan kalian untuk Singasari.”

“Tetapi tidak seperti ini, Tuan Putri.”

Ken Umang memandang perempuan-perempuan yang menangis itu sejenak. Namun yang tampak di dalam angan-angannya adalah perbuatannya sendiri. Ia berhasil memaksa Ken Arok mengawininya, karena ia lebih dahulu telah berhasil memancing kekhilafannya di hutan perburuan, sehingga Ken Arok yang merasa dirinya seorang pemimpin pada waktu itu, tidak mau ingkar dari tanggung jawab. Karena itu maka sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Apakah salahnya jika semuanya terjadi. Kalian harus menyerahkan apa saja yang ada pada kalian untuk suatu tujuan yang besar. Untuk kepentingan diri kalian masing-masing, dan apalagi untuk kepentingan Singasari.”

“Oh,” tangis ketiga perempuan itu pun bagaikan meledak. Tetapi agaknya sama sekali tidak tersentuh perasaan belas kasihan di dalam hati Ken Umang. Ia merasa berhak menuntut pengorbanan yang serupa, karena ia pun harus melakukannya meskipun untuk kepentingannya sendiri.

“Jangan cengeng!” berkata Ken Umang, “Lakukanlah dengan ikhlas, agar kalian tidak menjadi sakit hati. Pada saatnya kalian akan bebas dari tempat ini, dan kalian akan mendapat hadiah yang cukup. Kau harus mengetahui bahwa rencana ini akan dilakukan dengan cermat. Anusapati harus disingkirkan dan bahkan dibunuh. Agar rencana ini tidak dapat disadap oleh siapa pun, maka kalian terpaksa berada di tempat ini. Jika Anusapati telah terbunuh, maka kalian akan bebas pergi ke manapun.”

Ketiga gadis itu menangis semakin keras, sehingga Ken Umang merasa bahwa telinganya menjadi bising. Sambil mengerutkan keningnya ia pun kemudian berdiri. Ia mengibaskan kain panjangnya ketika salah seorang gadis itu memeganginya sambil berteriak, “Jangan pergi Tuanku, jangan pergi. Hamba bertiga memerlukan perlindungan Tuanku.”

Tetapi Ken Umang pun melangkah keluar.

“Tuan Putri, Tuan Putri,” gadis-gadis itu berteriak semakin keras. Tetapi Ken Umang justru menjadi semakin cepat pergi.

Hampir di luar sadarnya, ketiga gadis itu pun berpegangan pada kain panjang, kaki dan bahkan tangan Ken Umang sehingga Ken Umang harus membentak, “Lepaskan! Lepaskan!”

Tetapi di dalam kebingungan gadis- itu berpegangan semakin erat.

“Jangan bodoh. Jika kalian tidak mau melepaskan, maka aku akan memanggil prajurit-prajurit itu dan memegangimu. Setelah aku pergi, aku tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan atasmu.”

“Oh, tidak, tidak.”

“Jika tidak, lepaskan aku!”

Ketiganya tidak dapat berbuat lain. Mereka terpaksa melepaskan Ken Umang dan membiarkan ia pergi keluar dari bilik itu. Sepeninggal Ken Umang, maka pintu bilik itu pun tertutup kembali. Rasa-rasanya lebih rapat daripada sebelum Ken Umang itu mengunjunginya, karena mereka pun kemudian yakin, bahwa yang terjadi itu bukannya karena para prajurit berbuat atas kehendak dan kepentingan mereka sendiri, tetapi memang demikianlah yang harus mereka lakukan menurut rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya.

“Jika aku tahu sebelumnya,” kata seorang gadis di antara isak tangisnya.

Kedua kawannya tidak menyahut. Penyesalan yang sudah terlambat sekali. Apalagi seorang di antara mereka bertiga yang sudah terlanjur mengorbankan dirinya lebih dari kedua kawannya yang lain. Tetapi mereka tidak dapat menolak lagi nasib yang menerkam mereka. Bahkan terbayang, bahwa yang akan terjadi adalah saat-saat yang mengerikan di dalam hidup mereka. Mereka tidak dapat mengharap lagi untuk keluar dari bilik ini dan hidup dengan wajar. Jika pada suatu saat mereka keluar juga dari sekapan, maka mereka adalah sampah buangan yang tidak ada harganya sama sekali.

“Aku harus menebus pengkhianatanku kepada Tuanku Anusapati,” keluh mereka di dalam hati masing-masing. Dan rasa-rasanya yang terjadi adalah petunjuk bagi mereka, bahwa sebenarnya yang mereka dengar tentang perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan hak di atas Singasari itu keliru.

“Jika benar Tuanku Anusapati berbuat salah, tentu aku tidak akan mengalami nasib begini buruk. Jika aku mati karena perjuanganku di medan yang aku pilih ini, adalah wajar sekali. Tetapi aku justru telah dikhianati oleh Tuan Putri Ken Umang,” perasaan itu tumbuh di hati ketiga gadis itu.

Tetapi tidak ada jalan untuk kembali. Mereka harus berjalan terus, betapapun tajamnya batu berserakan di sepanjang perjalanan mereka.

Dalam pada itu, seperti yang sudah dijanjikan, maka pada malam harinya, panglima yang sudah dalam jebakan itu tidak dapat mengelak lagi. Ia harus pergi ke ujung jalan yang memotong ujung dinding halaman yang menuju ke barat. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia berada semakin dekat dengan tempat yang ditujunya, sehingga akhirnya ia berhenti di ujung jalan yang sepi.

“Apakah yang harus aku lakukan di sini?” ia bertanya kepada diri sendiri, karena ia tidak melihat seorang pun yang berada di tempat itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Bahkan kemudian berjalan mondar-mandir.

“Apakah aku harus mengalami perlakuan semacam ini?” katanya di dalam hati. Sebagai seorang panglima ia mempunyai harga diri yang teguh. Tetapi ia pun harus melindungi namanya dari perbuatan yang paling hina, yang hampir di luar sadar telah dilakukannya. Baru sejenak kemudian ia mendengar sesuatu berdesir. Naluri keprajuritannya telah membuatnya bersikap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Tuan,” tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggilnya.

“Siapa kau?”

“Aku Tuan. Aku adalah utusan Tuanku Tohjaya untuk membawa Tuan ke tempat Tuanku Tohjaya menunggu.”

“Kenapa Tuanku Tohjaya tidak berada di tempat ini?”

“Tidak Tuan. Tuanku Tohjaya masih harus mengatur rencananya di tempat yang tersembunyi. Karena itu, marilah Tuan ikut bersama aku.”

Tidak ada pilihan lain, daripada mengikuti orang itu ke manapun ia pergi. Ternyata mereka pergi menyusup jalan kecil melewati halaman kosong yang luas dan gelap, sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah gubuk kecil yang terpencil.

“Di dalam gubuk itu Tuanku Tohjaya menunggu tuan.”

Panglima pasukan Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun sebenarnya ia sudah meraba, apa yang harus dilakukannya, karena ia mengetahui latar belakang dari perebutan kekuasaan di Singasari. Perlahan-lahan ia mendekati gubuk kecil itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit bertebaran di sekitar gubuk kecil itu, sehingga ia pun menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Tetapi ia harus menemui Tohjaya, sehingga betapapun ia dicengkam oleh keragu-raguan, maka ia pun melangkah perlahan-lahan mendekati gubuk itu.

Di depan pintu seseorang telah menunggunya dan mempersilakan, “Tuan, silakan masuk. Tuanku Tohjaya sudah lama menunggu.”

Panglima pasukan pengawal itu menarik nafas. Tetapi ia pun kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk kecil itu. Karena pintu gubuk itu terlampau rendah, maka panglima itu harus menundukkan kepalanya ketika ia melangkah tlundak pintu. Demikian ia berada di dalam rumah itu, ia pun terkejut. Di dalam rumah itu ternyata selain Tohjaya terdapat seorang panglima yang lain pula. Panglima pelayan dalam. Dengan wajah yang tegang ia memperhatikan seorang demi seorang yang duduk di sebuah amben yang besar. Beberapa orang senapati telah ada di dalam gubuk itu pula.

“Marilah,” Tohjaya mempersilakannya, “untuk sementara kita memerintah Singasari dari gubuk yang kecil ini. Tetapi sebentar lagi, akulah yang akan berada di paseban di hadapan para panglima, senapati dan para pemimpin pemerintahan di Singasari.”

Panglima pasukan Pengawal itu memandang Tohjaya sejenak, lalu katanya kepada panglima pelayan dalam, “Apakah kau terjebak seperti aku?”

Panglima pelayan dalam itu tidak segera menjawab. Sejenak ia memandang Tohjaya yang tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kau tidak mempersoalkan lagi, kenapa kita masing-masing terdampar sampai ke tempat ini.”

“Kita berkumpul di sini karena kita masing-masing merasa wajib untuk menyelamatkan Singasari dari bencana yang lebih besar lagi. Akhirnya aku memutuskan bahwa kita tidak dapat memaafkan lagi atas semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh Kakanda Anusapati. Dan kini pun aku sudah mengetahui dari orang-orang tua, bahwa sebenarnya aku dan Kakanda Anusapati tidak mempunyai sangkut paut dalam hubungan darah. Tegasnya, aku dan Kakanda Anusapati memang orang lain. Demikian juga Kakanda Anusapati dan Ayahanda Sri Rajasa sama sekali tidak bersangkut paut keluarga,” kata Tohjaya.

Panglima pasukan pengawal itu tidak menjawab. Sebenarnya ia pun mengetahui bahwa saat yang paling buruk ini akhirnya memang akan datang. Orang-orang tua yang mengetahui bahwa Anusapati bukannya putra Sri Rajasa, pada suatu ketika akan mengatakannya juga kepada orang-orang yang akan terlibat di dalam persoalan itu sendiri.

“Nah, duduklah,” sekali lagi Tohjaya mempersilakan.

Dengan ragu-ragu panglima pasukan pengawal itu pun kemudian duduk bersama dengan mereka yang telah datang lebih dahulu di atas amben yang besar itu. Ia menarik nafas ketika amben itu berderik seolah-olah merintih karena beban yang terlalu memberati punggungnya.

“Nah, kita sekarang sudah berada di dalam satu rumah. Di bawah satu atap. Sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah mendorong kita masing-masing sampai ke tempat ini. Sebaiknya kita memandang ke depan, bahwa Singasari harus menjadi semakin cerah.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Aku masih belum tahu, cara yang manakah yang akan aku tempuh. Kita tahu, bahwa Kakanda Anusapati adalah seorang yang pilih tanding. Sedang di sampingnya ada seorang yang tidak ada duanya di Singasari, yaitu Mahisa Agni. Karena itu, untuk menguasai Singasari, kita harus bergerak serentak. Tidak tanggung-tanggung. Jika kita kehilangan kesempatan untuk menguasai dengan mutlak, maka kita tentu akan gagal.”

Masih belum ada yang menyahut. Dan Tohjaya pun berkata selanjutnya, “Karena itu kita harus membulatkan hati. Kita harus yakin, bahwa kita akan berhasil.”

Beberapa orang senapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau pun harus yakin,” berkata Tohjaya kepada panglima pasukan pengawal, “kau harus mempersiapkan orang-orangmu, sehingga mereka tidak akan menghalangi rencana kita. Kau dapat membicarakan dengan beberapa orang kepercayaanmu. Tentu saja dengan sangat hati-hati. Kau dapat menjanjikan kenaikan pangkat dan kedudukan. Meskipun barangkali kau sendiri tidak memerlukan kenaikan pangkat dan kedudukan karena kau di dalam kesatuanmu adalah seorang yang berpangkat paling tinggi dan berkedudukan paling tinggi. Tetapi kaudapat mengharapkan yang lain dari kedudukan dan pangkat. Aku masih menyimpan ketiga orang gadis yang barangkali kau perlukan setelah perjuangan ini selesai.”

“Cukup Tuanku. Hamba sudah mencoba untuk tidak mengingat lagi kenapa hamba terlempar ke dalam gubuk ini. Hamba berharap bahwa Tuanku pun tidak akan mengungkitnya lagi.”

Tohjaya tertawa. Katanya, “Baik, baik. Aku tidak akan mengungkit yang telah lalu. Tetapi aku hanya ingin mengatakan kepadamu, bahwa kau akan mendapat hadiah yang lain kecuali pangkat dan kedudukan.”

“Aku tidak memerlukan pangkat dan kedudukan yang lain Tuanku. Jika aku akan melakukan perintah Tuanku, karena Tuanku telah berhasil menjebak aku. Aku kira di antara kita di sini, hal ini bukannya suatu rahasia lagi. Dan aku pun tidak akan merahasiakannya pula.”

“Kau benar-benar seorang senapati yang jujur terhadap dirimu sendiri. Baiklah. Perintah yang pertama yang harus kaujalankan adalah mempengaruhi setiap senapati terpenting dari pasukan pengawal agar mereka pada suatu saat dapat melindungi gerakanku. Terserah kepadamu, dan mungkin kau memang akan mengatur pasukanmu lebih tertib dari sebelumnya.”

Panglima itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya membayangkan perasaannya yang pahit mengalami peristiwa yang hitam di dalam hidupnya. Sebenarnya panglima itu bukannya seorang yang berhati lemah. Tetapi memang ada katanya ia berada di puncak kelemahannya menghadapi persoalan yang semula tidak pernah dibayangkan. Namun kini panglima itu tahu pasti. Tentu ada di antara senapatinya yang memang sudah mengetahui rencana ini sejak lama. Perubahan-perubahan yang terjadi di istana, menurut dugaan panglima itu adalah rangkaian dari rencana Tohjaya. Senapati yang mendapat kepercayaan daripadanya, yang bertugas mengatur kesiagaan di halaman istana, agaknya sadar atau tidak, telah terpengaruh pula oleh orang-orang yang berada di dalam jalur rencana Tohjaya itu.

“Mungkin masih ada satu dua orang perwira tertinggi yang terjebak seperti aku, atau akan terjebak di hari-hari yang akan datang,” berkata panglima itu di dalam hatinya.

Karena panglima itu masih saja berdiam diri, maka Tohjaya pun kemudian berkata, “Panglima yang besar. Kau tidak boleh ragu-ragu lagi. Di dalam pergolakan yang akan terjadi kau harus berdiri di tempat yang pasti. Karena jika kau goyah, maka kau akan terlindas di tengah-tengah. Atau kau akan memilih rahasiamu itu diungkapkan? Aku masih menyimpan gadis-gadis itu. Dan dengan sedikit janji ia akan mengatakan apa yang sudah terjadi di atas diri mereka.”

“Tuan memang sangat bijaksana,” panglima itu bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tuanku tahu betapa lemahnya hati hamba. Dan setiap kali Tuanku mempergunakan kelemahan hati hamba untuk memaksakan kehendak Tuanku. Sebenarnya Tuanku tidak usah mengancam berulang kali, karena hamba yang berhati kecil dan hitam ini tidak akan dapat menolak apapun yang harus hamba lakukan.”

“Nada kesanggupanmu bukannya nada yang ikhlas.”

“Tentu Tuanku mengetahui bahwa hamba melakukannya bukan karena hamba hendak melakukannya. Hamba melakukan sekedar karena hamba tidak berani melihat kesalahan hamba diketahui oleh orang yang lebih banyak lagi dari sekarang. Meskipun aku sadar, bahwa pada suatu saat seluruh Singasari akan mengetahuinya juga.”

Tohjaya menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku memang harus berpendirian demikian. Kau memang tidak membantu kami dengan ikhlas. Tetapi apa boleh buat. Sebaiknya aku tidak mempertimbangkan lagi, ikhlas atau tidak, asal semua perintahku dilaksanakan sebaik-baiknya.”

Tohjaya berhenti sejenak, lalu, “Nah, kalian tentu tahu, bahwa orang yang bernama Mahisa Agni itu tidak ada yang mengalahkan di dalam perang tanding di seluruh permukaan bumi, setidaknya di seluruh Singasari.”

Hampir semua orang yang ada di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dengan demikian maka orang itulah yang harus mendapat pengawasan yang sebaik-baiknya selain Anusapati sendiri. Nah, tugas kalian memang berat jika Mahisa Agni berada di istana.”

Para senapati itu mengangguk-angguk.

“Karena itu, kita harus dapat memilih waktu yang sebaik-baiknya. Kita harus dapat memperhitungkan kesempatan selagi Mahisa Agni berada di Kediri.”

Sekali lagi mereka yang mendengarkan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, agaknya pertemuan kita kali ini sudah cukup. Yang penting, kalian harus dapat mempengaruhi pasukan masing-masing, sehingga pada saatnya kita tidak akan terjebak dan mengalami kegagalan lagi. Dengan kolam itu kita tidak mempunyai banyak kesempatan. Dan aku sudah memutuskan untuk menyeretnya keluar dan membunuhnya dengan dada terbuka. Setelah itu, kita akan membereskan Mahisa Agni itu sendiri.”

Demikianlah maka pertemuan di gubuk yang kecil itu pun berakhir. Tetapi para panglima dan senapati itu tidak bubar bersama-sama. Seorang demi seorang meninggalkan gubuk itu agar tidak menarik perhatian..Demikian pula panglima pasukan pengawal itu. Ia pun melangkah dengan kepala tunduk meninggalkan tempat itu, melalui beberapa halaman kosong seperti hatinya yang kosong pula.

Di rumah, panglima pasukan pengawal itu pun menjadi murung. Setiap kali ia melihat istrinya yang setia, hatinya berdesir. Ia merasa telah melakukan suatu kesalahan yang besar bagi keluarganya. Dan kesalahannya itu telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang pahit. Pahit sekali. Tetapi ia tidak dapat menarik diri dari keadaan yang telah membelenggunya itu. Ia harus berjalan terus, apapun yang akan sampai ke daerah yang sama sekali tidak diharapkannya.

Meskipun demikian, ia terpaksa juga melakukannya. Dengan hati yang luka ia mulai mempengaruhi beberapa orang senapatinya Mula-mula disebarkan cerita tentang Anusapati seperti yang memang pernah didengarnya, bahwa sebenarnya Anusapati bukan putra Sri Rajasa. Dan berita itu memang mengejutkan bagi sebagian orang, karena yang sebagian memang sudah mengetahuinya meskipun hanya disimpannya di dalam hati.

Tetapi setiap kali ia mencoba meyakinkan kepada orang lain, bahwa Anusapati tidak berhak menggantikan Sri Rajasa, maka ada sebagian dari kesetiaannya yang ikut serta terseret dan hanyut ke dalam ceritanya sendiri, sehingga akhirnya panglima itu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah memang sebenarnya Anusapati tidak berhak menjadi Maharaja di Singasari?”

Apalagi panglima pasukan pengawal itu sudah mendengar sejak lama bahwa Anusapati memang bukan putra Sri Rajasa. Karena itu, maka lambat laun, ia pun justru menjadi percaya akan cerita yang disebarkannya sendiri, seperti kehendak yang dipaksakan dari Tohjaya, bahwa Anusapatilah yang sebenarnya menyuruh Pengalasan Batil untuk membunuh Sri Rajasa, dan kemudian pengalasan itu telah dibunuhnya sendiri.

Kepercayaan itu semakin lama justru menjadi semakin tebal. Dengan demikian, maka ia pun menjadi semakin bernafsu untuk meyakinkan orang lain, bahwa sebenarnyalah Anusapati tidak berhak untuk menggantikan Sri Rajasa, karena Anusapati memang bukan putra Sri Rajasa.

“Tetapi Anusapati adalah putra Akuwu dari Tumapel,” berkata salah seorang tua kepada kawannya ketika orang-orang itu mendengar desas-desus yang menjadi semakin tersebar itu.

“Ya, dan Sri Rajasa sebenarnya hanyalah mewarisi kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, karena Sri Rajasa mengawini Ken Dedes. Jika kemudian Kekuasaan itu berkembang, kita memang menaruh hormat kepadanya. Tetapi tidak boleh dilupakan dari mana ia mendapatkan sumber kekuasaan, sehingga jika Tuanku Anusapati yang mewarisi kekuasaan atas Singasari, adalah wajar sekali.”

Namun demikian, kekuasaan keprajuritan di dalam istana sebenarnya sudah mulai beralih. Perlahan-lahan tetapi pasti, maka pengikut Tohjaya mulai menguasai kedudukan penting di dalam istana, terutama di bidang pengamanan. Hampir setiap senapati yang ada di dalam istana dari pasukan pengawal adalah orang-orang yang sudah berdiri di pihak Tohjaya. Dengan licik panglima pasukan pengawal berhasil menyingkirkan orang-orang yang dianggapnya tidak dapat bekerja bersamanya.

Seperti yang dilakukan oleh panglima pasukan pengawal, maka panglima pelayan dalam pun telah bekerja sebaik-baiknya. Apalagi ketika kedua panglima itu hampir di luar sadarnya telah terlempar ke dalam sebuah bilik sempit di luar halaman istana. Meskipun gadis yang berada di dalam bilik itu sudah bersikap lain, namun semakin sering mereka berada di dalam bilik itu, maka semakin dalam mereka terperosok ke dalam perangkap Tohjaya.

Ternyata gadis-gadis yang berada di dalam bilik itu, meskipun masih juga gadis-gadis yang pernah menjebak panglima pasukan pengawal itu, namun mereka sudah kehilangan gairah perjuangannya. Mereka tidak lagi dengan segala usaha menjerumuskan panglima itu ke dalam lumpur dengan mengorbankan diri sendiri, tetapi kini ia tidak lebih dari barang yang tidak kuasa berbuat sesuatu selain membiarkan dirinya diperlakukan apapun juga. Dan betapa dalam penyesalan menyesak dada, namun ketiga orang gadis itu tidak dapat lagi mengubah nasibnya yang buruk.

Persiapan yang dilakukan oleh Tohjaya ternyata semakin lama menjadi semakin mapan dan rapat. Tidak seorang pun di luar mereka yang mengetahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.

Dalam pada itu, Anusapati sendiri, yang meskipun merasa bahwa kolam itu berhasil untuk sementara menenteramkan hatinya, namun semacam kegelisahan yang semakin lama semakin dalam, telah mencengkam hatinya. Perasaan bersalah atas kematian Sri Rajasa, dan penyesalan atas pengorbanan yang terlampau besar yang telah diberikan oleh Sumekar, membuatnya selalu dibayangi oleh peristiwa-peristiwa yang buram itu.

“Ternyata aku tidak berhasil mengatasinya seperti Ayahanda Sri Rajasa,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “bayangan hitam itu selalu mengejarku ke mana aku pergi.”

Dan akhirnya Anusapati jatuh ke dalam kelemahannya. Ia memang bukan seorang yang pantas berdiri di atas tetesan darah orang lain, karena hatinya lembut. Dan karena itulah, maka tiba-tiba ia terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak seharusnya dilakukan. Pasrah diri terhadap nasib yang manapun yang akan menimpanya. Dengan demikian di dalam kegelapan Anusapati tidak lagi ingin mengganggu pamannya, Mahisa Agni. Semua kekalutan dicobanya untuk menelannya, betapa pahitnya.

Meskipun demikian, ada juga usahanya yang dilakukannya. Anusapati telah menempa anak laki-lakinya untuk menjadi seorang laki-laki. Anusapati mencoba mempelajari sifat-sifat yang ada di dalam dirinya, kelemahan dan kekuatan pamannya, yang juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ayahandanya Sri Rajasa, Sumekar dan orang-orang lain. Dengan meresapi setiap sifat dan watak, maka ia berusaha membentuk anak laki-lakinya menjadi seorang yang baik, lahir dan batinnya. Kepada Ranggawuni lah, Anusapati menggantungkan seluruh harapannya. Harapan bagi kelanjutan namanya, dan harapan bagi Singasari.

“Pada saatnya, awan akan berlalu. Tetapi matahari akan tetap mengarungi jalur jalannya. Jika aku pergi, Ranggawuni harus siap berada di atas cakrawala,” katanya di dalam hati, “dan jika aku terlampau cepat pergi, aku harap Pamanda Mahisa Agni masih sanggup melakukan pekerjaan besar yang lain, membuat Ranggawuni menjadi seorang maharaja yang besar.”

Dan rasa-rasanya hidup ini menjadi terlampau tergesa-gesa. Sehingga ada semacam firasat, bahwa hari terakhir bagi Anusapati memang menjadi semakin dekat. Dan inilah ujud dari perasaan putus asa itu, kadang-kadang Anusapati menyadari. Tetapi ia tidak dapat menghindarkan dirinya. Untuk beberapa lamanya, Anusapati masih dapat berusaha untuk menenteramkan hatinya. Tetapi lambat laun ia tidak dapat bersembunyi lagi. Kolam yang mengelilingi bangsalnya hanya mampu membentengi keselamatan jasmaniahnya untuk beberapa lamanya. Tetapi tidak mampu untuk membentengi hatinya dari perasaan bersalah.

Agaknya Tohjaya melihat perubahan yang terjadi pada diri Anusapati. Meskipun secara lahiriah ia selalu bersujud dan seakan-akan tidak lagi ingin berbuat sesuatu, namun ternyata ia mampu menangkap perkembangan jiwa yang terjadi pada Anusapati. Apalagi ia berhasil mengatur beberapa orang yang berada di sekeliling Maharaja Singasari itu.

Sebenarnya Anusapati yang memang sudah menaruh kecurigaan kepada Tohjaya itu merasakan juga sikap yang berlebih-lebihan. Bukan watak Tohjaya menjadi seorang penurut dan sekedar menundukkan kepalanya. Namun demikian, kelemahan di dalam diri Anusapati selalu menahannya apabila ia ingin berbuat sesuatu. Sehingga pada puncaknya, Anusapati hanya sekedar dapat merenungi kesalahannya sendiri.

Dengan rendah hati Tohjaya selalu mengemukakan kepedihannya atas kematian ayahandanya, bahkan seakan-akan Tohjaya telah menggantungkan dirinya kepada Anusapati sebagai saudara tuanya. “Kakanda Anusapati,” berkata Tohjaya, “tidak ada orang lain yang dapat menjadi pengganti Ayahanda Sri Rajasa daripada Kakanda Anusapati.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan beberapa orang yang sengaja memasuki biliknya. Beberapa kelompok prajurit yang memberontak, yang terbunuh di dalam bilik tahanannya, dan hal-hal lain yang mencurigakan. Namun di hadapan Tohjaya, Anusapati selalu menunjukkan wajah yang bersih dan cerah.

“Adinda Tohjaya,” katanya, “aku memang menganggap adik-adikku sebagai keluarga yang berada di bawah tanggung jawabku sepeninggal Ayahanda, karena aku adalah saudara yang tertua di antara kalian.”

“Terima kasih Kakanda,” berkata Tohjaya, “tetapi untuk selanjutnya barangkali aku akan sering mengganggu Kakanda di dalam banyak hal, karena aku akan mengadukan semua persoalan dan kebutuhanku kepada Kakanda.”

“Aku tidak berkeberatan Adinda.”

Dan Tohjaya pun ternyata membuktikan kata-katanya. Kadang-kadang ia datang menghadap dan mohon sesuatu kepada Anusapati. Terutama berhubungan dengan kegemarannya menyabung ayam, sehingga kadang-kadang ia memerlukan berbagai macam kelengkapan bagi lapangan sabung ayamnya. Dan seperti yang sudah dikatakannya, Anusapati pun tidak pernah menaruh keberatan. Seakan-akan ia memang ingin membiarkan Tohjaya tenggelam di dalam sabungan ayam dan tidak memikirkan lagi persoalan-persoalan yang menyangkut pemerintahan.

“Itu suatu kelemahan Kakanda,” Mahisa Wonga Teleng lah yang kadang-kadang terpaksa memperingatkannya, “aku tidak pernah merasa tenteram apabila Kakanda Tohjaya masih saja leluasa berbuat sesuatu di istana ini.”

“Aku tidak dapat melarangnya Adinda,” berkata Anusapati, “ia adalah putra Ayahanda Sri Rajasa juga. Karena itu maka ia pun berhak untuk berbuat sesuatu di dalam halaman istana peninggalan ayahandanya.”

“Tetapi sudah barang tentu bila tidak menentang kekuasaan yang ada di Singasari,” sahut Mahisa Wonga Teleng, “seperti yang Kakanda rasakan, apakah Kakanda Tohjaya berlaku jujur menghadapi keadaan yang berkembang di Singasari sekarang ini.”

“Kita hanya sekedar berprasangka Adinda.”

“Tidak Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng, “sebaiknya Kakanda selalu ingat nasihat Pamanda Mahisa Agni. Dan aku yakin, bahwa sumber dari setiap bencana yang terjadi atau pun tanda-tanda bahwa hal itu akan terjadi, tentulah lapangan sabungan ayam itu.”

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng, “aku kira saatnya sudah tiba bagi Kakanda untuk mengambil sikap. Kakanda dapat mengusir lapangan sabung ayam itu keluar halaman istana. Adalah tidak pantas sekali bahwa sebagian dari halaman istana ini menjadi arena sabungan ayam...”