Dewi Maut Jilid 41 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 41
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
In Hong! Dara yang sudah membetot semangatnya, yang merampas hatinya, dara yang dicintanya, namun... bagaimana kalau ternyata gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa dari pada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam semedhi.

Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya hingga membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak mempedulikan dia, apa lagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

"Tio-twako...!"

Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

"Ehhh, kau menangis, Beng-te?" tanyanya kaget dan kecewa karena tidak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

"Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."

Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati."

"Twako, aku menderita sekali..."

Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Aku mengerti, Beng-te, aku pun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?"

"Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."

"Maksudmu?"

"Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako."

Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia dengan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan semakin menebal dugaannya bahwa besar kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

"Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan engkau tidak bernasib seperti aku..."

"Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?"

Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun bagaikan orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?

"Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"

Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

"Ahh, maaf, twako... sungguh kasihan kau...," Kwi Beng berkata dengan hati terharu.

Akan tetapi Tio Sun sudah berhasil menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, kemudian memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. "Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andai kata begitu, andai kata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiaan dia."

Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang kala dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

"Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali memiliki seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."

"Terima kasih, Beng-te."

Sekarang mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi angkasa di atas kepala mereka, seakan-akan mereka itu hendak memeriksa apakah sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba!

Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya sehingga seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

"Twako... lihat...," dia berbisik.

"Sstttt...!" Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar ini pun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat mendatangi ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka.

Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak, yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!

Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat pada tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.

Pada waktu mengenali dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Ternyata kedua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itu pun bukan orang Lembah Naga!

Betapa pun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang memiliki ilmu yang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.

Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. "Nona, lekas kau tinggalkan kami... harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!"

Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apa lagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini?

Dia mengangguk kemudian cepat pergi dari situ, berlari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga.

Sedangkan Lie Seng terus melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak-anak buah Lembah Naga yang memang bertugas menjaga ‘umpan’ itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

"Tangkap bocah itu!"

"Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"

Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Salah seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil ‘dipancing’ hanyalah dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri!

"Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!" bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa lebih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasar anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!

Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

"Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!"

Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu sangat mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.

"Ehh, adik kecil. Kau tidak takut?"

Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, bibirnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. "Takut? Takut apa?"

"Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."

"Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?" Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

"Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dengan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."

Bocah ini mempunyai watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.

"Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?" tanyanya.

"Bukan. Aku pun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."

"Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas semua usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal sekali..."

"Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan."

Tio Sun kembali tertegun. "Kau tidak menyesal? Dan juga tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"

Lie Seng menjawab singkat, "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andai kata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

"Adik kecil, engkau sungguh luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari keluarga mana?" Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.

Lie Seng menatap bergantian pada mereka berdua. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apa lagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat.

"Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku."

"Ohhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai...!

********************

Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Dua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah sering kali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga.

Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan, seolah-olah tidak ada batasnya. Dan lorong yang kecil dan berupa jalan setapak itu sudah membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!

"Ini tentunya merupakan jalan rahasia yang menyesatkan," akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. "Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!" Sambil berkata begitu, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

"Ihhhh...!" Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan.

Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk maka belitannya pun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa yang datang dan menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

"Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!" kata Kun Liong.

Biar pun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.

Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

"Aihhhh... indah sekali!" Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. "Kita dapat melakukan perjalanan cepat jika begini," katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

"Clupp...!”

“Aihhh...! Suheng...!" Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak hingga sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapa pun dia telah mengerahkan ginkang-nya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

"Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikit pun juga!" Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia pun akan ikut terjeblos pula. "Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!"

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan. Pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengarlah wanita itu berseru. "Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kau sambut ini...!"

Tangan Giok Keng telah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggangnya sebab benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan lantas ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

"Pegang kuat-kuat, sumoi!" kata Kun Liong, kemudian pendekar ini mulai mengerahkan tenaganya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.

Walau pun agak susah payah dan hati-hati sekali supaya sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh,

"Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!"

Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel pada betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!

Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian dia memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

"Ahhh, suheng...!" Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong.

Sejenak mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang semenjak dahulu saling tertarik akan tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

"Sumoi..."

"Suheng, aku cinta padamu, suheng... ahh, baru sekarang aku merasakan hal itu..."

"Sumoi, aku pun cinta kepadamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkau pun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku..."

"Suheng, aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh..." Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.

Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia membersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, biar pun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingsan.

Kun Liong cepat mencuci pakaian Giok Keng yang penuh lumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.

Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, maka sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi sudah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya sudah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.

Akan tetapi kedua pipinya berubah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.

"Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi," kata Kun Liong.

Giok Keng menarik nafas panjang. "Hemm, sungguh berbahaya sekali... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kau lakukan untukku, suheng."

Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu kemudian menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, "Masih perlukah sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?"

Dengan saling berpegangan tangan mereka diam tanpa bergerak, hanya saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot hingga ke dasar lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

"Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi."

"Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya."

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegangan tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andai kata tadi mereka saling bergandengan pada saat kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya.

Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat berhati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melewati Padang Bangkai, memasuki perkampungan, kemudian menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah Lembah Naga.

Sekarang kedua orang itu merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni dari pada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu birahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih dari pada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri.

Matahari sudah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya lantas menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon.

Kun Liong juga memandang dan berkata, "Agaknya itu adalah burung-burung rajawali..."

"Bukan, suheng. Burung rajawali lebih besar, seperti burung elang."

Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

"Ahh, burung nazar, burung pemakan bangkai!" kata Kun Liong.

"Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan untuk menanti bila di bawah terdapat makhluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi."

"Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!"

Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, akan tetapi masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

"Ahh, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati," kata Kun Liong.

Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh kelihatan oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat pada tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.

Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

"Seng-ji...!" teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

"Ibu...!" Lie Seng juga berteriak girang.

"Sumoi, nanti dulu...!" Kun Liong berseru.

Akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu pula dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!

Tentu saja wanita itu tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat-cepat mencabut Gin-hwa-kiam lalu memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga langsung meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka hingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang.

Ketika Kun Liong memandang, dia melihat orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, serta dua orang lain yang tidak dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!

Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah supaya dia dapat membebaskan puteranya. Akan tetapi, Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya.

Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi dia pun segera disambut oleh Bouw Thaisu yang langsung menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang sudah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh sangat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah mempergunakan gerakan-gerakan dari ilmu mukjijat yang didapatkannya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga baru dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak peduli dan terus mendesak, sekarang dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mukjijat.

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.

"Ahhhh...!" Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat pada waktu tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi dia pun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.

"Plakkk!"

Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi I-beng.

"Aughhhh... lepaskan...!" Bouw Thaisu berseru keras saat merasa betapa tenaga sinkang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapa pun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.

"Wuuttt... pyarrr...!"

Terpaksa Kun Liong harus melepaskan Bouw Thaisu karena guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya ada pun dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya.

Bouw Thaisu terhuyung dan mukanya agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.

Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Akan tetapi, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, bagai seekor harimau betina diganggu anaknya.

Juga Kun Liong, meski pun dikeroyok oleh banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, segera mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti.

"Ayah...!" tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.

"Mei Lan...!" Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main.

Dia merasa girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.

Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li.

Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak berbicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangan kata untuk bercakap-cakap, bahkan untuk melirik ke arah puterinya itu saja dia kekurangan waktu!

Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama ‘Mei Lan’, cepat menengok dan dia pun girang bukan kepalang melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ.

"Plakkk!"
Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak segera berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan seorang anak buah Lembah Naga yang tadi sempat menghantam punggungnya dengan ruyung. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah sesudah dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!

Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, maka kedua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi.

Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekali pun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi bersama isterinya sampai terdorong ke belakang akibat sambaran angin pukulan-pukulan sepasang tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga yang terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik,

"Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!"

Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia segera tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang begitu banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak mempedulikan apa-apa lagi, melainkan ‘bermesraan’ berdua di dalam kamar!

Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa yang terjadi ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dengan dua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Oleh karena itu, setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus dia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.

Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan ginkang, berlari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, serta Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa ia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, semakin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.

"Terima kasih, adik yang baik, terima kasih...," suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan.

"Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!" Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dirinya gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu!

Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju pada waktu mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Maka Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu lebih dahulu.

Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan pada saat golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu lantas membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannya pun berubah ke bawah.

"Crokkkk!”

“Aduhh...!" Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah sebab yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.

"Trangg-tranggg...!"

Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka!

Mei Lan cepat-cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah, dan pada waktu tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng langsung memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali.

Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.

Pemegang tombak itu menjadi sangat gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan.

Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya. Maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya kemudian dengan lincahnya dia cepat miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar.

"Bocah setan!" teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya.

Akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba, kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia langsung menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.

Pada saat itu pula pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya, dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba.

"Desss…!"

Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran.

"Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!" Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya kembali karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan!

Sekali ini keadaan Mei Lan betul-betul terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya terkena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.

"Suhu...!" Lie Seng berteriak girang. "Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!"

Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap kali digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua atau tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!

"Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko beserta Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat.

Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bangun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang sangat berbahaya, maka begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya sempat mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.

"Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!" Lie Seng berteriak.

Sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng, dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan kedua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!

Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.

Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Telah beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dahulu pernah dia gunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu.

Akan tetapi, sekali ini Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!

"Ha-ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak mampu melukai kami lagi!" Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya.

Tentu saja Kok Beng Lama menjadi sangat terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Dia segera mengerahkan semua tenaganya dan kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang....
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 41

Dewi Maut Jilid 41
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
In Hong! Dara yang sudah membetot semangatnya, yang merampas hatinya, dara yang dicintanya, namun... bagaimana kalau ternyata gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa dari pada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam semedhi.

Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya hingga membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak mempedulikan dia, apa lagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

"Tio-twako...!"

Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

"Ehhh, kau menangis, Beng-te?" tanyanya kaget dan kecewa karena tidak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

"Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."

Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati."

"Twako, aku menderita sekali..."

Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Aku mengerti, Beng-te, aku pun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?"

"Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya bila dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."

"Maksudmu?"

"Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako."

Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia dengan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan semakin menebal dugaannya bahwa besar kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

"Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan engkau tidak bernasib seperti aku..."

"Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?"

Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun bagaikan orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?

"Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"

Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

"Ahh, maaf, twako... sungguh kasihan kau...," Kwi Beng berkata dengan hati terharu.

Akan tetapi Tio Sun sudah berhasil menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, kemudian memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. "Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andai kata begitu, andai kata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiaan dia."

Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang kala dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

"Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali memiliki seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."

"Terima kasih, Beng-te."

Sekarang mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi angkasa di atas kepala mereka, seakan-akan mereka itu hendak memeriksa apakah sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba!

Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya sehingga seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

"Twako... lihat...," dia berbisik.

"Sstttt...!" Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar ini pun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat mendatangi ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka.

Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak, yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!

Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat pada tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.

Pada waktu mengenali dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Ternyata kedua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itu pun bukan orang Lembah Naga!

Betapa pun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang memiliki ilmu yang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.

Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. "Nona, lekas kau tinggalkan kami... harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!"

Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apa lagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini?

Dia mengangguk kemudian cepat pergi dari situ, berlari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga.

Sedangkan Lie Seng terus melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak-anak buah Lembah Naga yang memang bertugas menjaga ‘umpan’ itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

"Tangkap bocah itu!"

"Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"

Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Salah seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil ‘dipancing’ hanyalah dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri!

"Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!" bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa lebih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasar anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!

Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

"Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!"

Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu sangat mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.

"Ehh, adik kecil. Kau tidak takut?"

Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, bibirnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. "Takut? Takut apa?"

"Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."

"Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?" Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

"Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?"

"Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dengan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."

Bocah ini mempunyai watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.

"Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?" tanyanya.

"Bukan. Aku pun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."

"Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas semua usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal sekali..."

"Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan."

Tio Sun kembali tertegun. "Kau tidak menyesal? Dan juga tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"

Lie Seng menjawab singkat, "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andai kata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

"Adik kecil, engkau sungguh luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari keluarga mana?" Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.

Lie Seng menatap bergantian pada mereka berdua. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apa lagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat.

"Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku."

"Ohhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai...!

********************

Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Dua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah sering kali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga.

Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan, seolah-olah tidak ada batasnya. Dan lorong yang kecil dan berupa jalan setapak itu sudah membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!

"Ini tentunya merupakan jalan rahasia yang menyesatkan," akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. "Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!" Sambil berkata begitu, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

"Ihhhh...!" Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan.

Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk maka belitannya pun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa yang datang dan menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

"Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!" kata Kun Liong.

Biar pun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.

Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

"Aihhhh... indah sekali!" Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. "Kita dapat melakukan perjalanan cepat jika begini," katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

"Clupp...!”

“Aihhh...! Suheng...!" Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak hingga sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapa pun dia telah mengerahkan ginkang-nya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

"Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikit pun juga!" Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia pun akan ikut terjeblos pula. "Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!"

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan. Pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengarlah wanita itu berseru. "Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kau sambut ini...!"

Tangan Giok Keng telah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggangnya sebab benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan lantas ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

"Pegang kuat-kuat, sumoi!" kata Kun Liong, kemudian pendekar ini mulai mengerahkan tenaganya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.

Walau pun agak susah payah dan hati-hati sekali supaya sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh,

"Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!"

Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel pada betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!

Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian dia memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

"Ahhh, suheng...!" Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong.

Sejenak mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang semenjak dahulu saling tertarik akan tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

"Sumoi..."

"Suheng, aku cinta padamu, suheng... ahh, baru sekarang aku merasakan hal itu..."

"Sumoi, aku pun cinta kepadamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkau pun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku..."

"Suheng, aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh..." Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.

Kun Liong kaget bukan main. Cepat dia membersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, biar pun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingsan.

Kun Liong cepat mencuci pakaian Giok Keng yang penuh lumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.

Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, maka sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi sudah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya sudah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.

Akan tetapi kedua pipinya berubah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.

"Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi," kata Kun Liong.

Giok Keng menarik nafas panjang. "Hemm, sungguh berbahaya sekali... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kau lakukan untukku, suheng."

Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu kemudian menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, "Masih perlukah sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?"

Dengan saling berpegangan tangan mereka diam tanpa bergerak, hanya saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot hingga ke dasar lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

"Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi."

"Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya."

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegangan tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andai kata tadi mereka saling bergandengan pada saat kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya.

Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat berhati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melewati Padang Bangkai, memasuki perkampungan, kemudian menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah Lembah Naga.

Sekarang kedua orang itu merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni dari pada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu birahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih dari pada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri.

Matahari sudah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya lantas menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon.

Kun Liong juga memandang dan berkata, "Agaknya itu adalah burung-burung rajawali..."

"Bukan, suheng. Burung rajawali lebih besar, seperti burung elang."

Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

"Ahh, burung nazar, burung pemakan bangkai!" kata Kun Liong.

"Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan untuk menanti bila di bawah terdapat makhluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi."

"Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!"

Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, akan tetapi masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

"Ahh, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati," kata Kun Liong.

Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh kelihatan oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat pada tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.

Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

"Seng-ji...!" teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

"Ibu...!" Lie Seng juga berteriak girang.

"Sumoi, nanti dulu...!" Kun Liong berseru.

Akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu pula dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!

Tentu saja wanita itu tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat-cepat mencabut Gin-hwa-kiam lalu memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga langsung meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka hingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang.

Ketika Kun Liong memandang, dia melihat orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, serta dua orang lain yang tidak dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembang Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!

Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah supaya dia dapat membebaskan puteranya. Akan tetapi, Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya.

Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi dia pun segera disambut oleh Bouw Thaisu yang langsung menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang sudah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh sangat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah mempergunakan gerakan-gerakan dari ilmu mukjijat yang didapatkannya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga baru dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak peduli dan terus mendesak, sekarang dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mukjijat.

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.

"Ahhhh...!" Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat pada waktu tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi dia pun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.

"Plakkk!"

Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi I-beng.

"Aughhhh... lepaskan...!" Bouw Thaisu berseru keras saat merasa betapa tenaga sinkang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapa pun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.

"Wuuttt... pyarrr...!"

Terpaksa Kun Liong harus melepaskan Bouw Thaisu karena guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya ada pun dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya.

Bouw Thaisu terhuyung dan mukanya agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.

Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Akan tetapi, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, bagai seekor harimau betina diganggu anaknya.

Juga Kun Liong, meski pun dikeroyok oleh banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, segera mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti.

"Ayah...!" tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.

"Mei Lan...!" Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main.

Dia merasa girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.

Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li.

Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak berbicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangan kata untuk bercakap-cakap, bahkan untuk melirik ke arah puterinya itu saja dia kekurangan waktu!

Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama ‘Mei Lan’, cepat menengok dan dia pun girang bukan kepalang melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ.

"Plakkk!"
Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak segera berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan seorang anak buah Lembah Naga yang tadi sempat menghantam punggungnya dengan ruyung. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah sesudah dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!

Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, maka kedua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi.

Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekali pun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi bersama isterinya sampai terdorong ke belakang akibat sambaran angin pukulan-pukulan sepasang tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga yang terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik,

"Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!"

Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia segera tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang begitu banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak mempedulikan apa-apa lagi, melainkan ‘bermesraan’ berdua di dalam kamar!

Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa yang terjadi ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dengan dua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Oleh karena itu, setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus dia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.

Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan ginkang, berlari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, serta Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa ia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, semakin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.

"Terima kasih, adik yang baik, terima kasih...," suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan.

"Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!" Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dirinya gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu!

Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju pada waktu mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Maka Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu lebih dahulu.

Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan pada saat golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu lantas membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannya pun berubah ke bawah.

"Crokkkk!”

“Aduhh...!" Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah sebab yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.

"Trangg-tranggg...!"

Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka!

Mei Lan cepat-cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah, dan pada waktu tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng langsung memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali.

Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.

Pemegang tombak itu menjadi sangat gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan.

Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya. Maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya kemudian dengan lincahnya dia cepat miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar.

"Bocah setan!" teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya.

Akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba, kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia langsung menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.

Pada saat itu pula pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya, dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba.

"Desss…!"

Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran.

"Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!" Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya kembali karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan!

Sekali ini keadaan Mei Lan betul-betul terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya terkena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.

"Suhu...!" Lie Seng berteriak girang. "Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!"

Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap kali digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua atau tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!

"Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawamu!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko beserta Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat.

Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bangun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang sangat berbahaya, maka begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya sempat mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.

"Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!" Lie Seng berteriak.

Sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng, dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan kedua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!

Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.

Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Telah beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dahulu pernah dia gunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu.

Akan tetapi, sekali ini Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!

"Ha-ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak mampu melukai kami lagi!" Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya.

Tentu saja Kok Beng Lama menjadi sangat terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Dia segera mengerahkan semua tenaganya dan kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang....
Selanjutnya,