Dewi Maut Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
RAJA Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi dalam hatinya dia masih sangsi dan amat mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya merupakan kekasih nona Hong yang sangat disukai oleh isterinya itu.

Sementara itu diam-diam Yo Bi Kiok mulai percaya terhadap pemuda yang dicinta oleh muridnya ini. Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus menghadapi ketua Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengan sebatang ranting kayu oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah!

Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu memang seorang sakti yang memiliki kepandaian amat tinggi, dan pemuda ini hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan tasbih di tangan Hok Hosiang itu agaknya berbahaya bukan main.

"Orang muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?" Hok Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggota pengawal yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya sangat lihai ini juga ikut tertawa.

"Majulah, Hok Hosiang, sudah semenjak tadi aku siap dan ingin merasakan bagaimana kerasnya tanganmu, dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa lagi nanti!" kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya.

Ucapan ini membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa).

"Lihat senjata!" bentaknya.

Kini tubuhnya sudah menerjang ke depan. Meski pun kakek berkepala gundul ini gendut tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan dan pada waktu tubuhnya bergerak, ada angin menyambar dari arahnya, menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga besar.

Dalam serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan cahaya hijau yang menyilaukan mata, yaitu gulungan sinar dari senjata tasbihnya yang sudah menyambar ganas dengan gerakan melengkung ke atas lantas menghantam ke arah kepala Bun Houw, sedangkan tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sinkang-nya yang membuat dia terkenal dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan sebuah pukulan dengan jari-jari terbuka mengarah ke pusar pemuda itu!

Jelas dari gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam gebrakan pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak mau bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia sudah melakukan serangan maut dan telah mengerahkan tenaganya.

Raja Sabutai sendiri yang dapat melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, secara diam-diam merasa ngeri sebab agaknya sulitlah bagi orang muda yang hanya memegang gagang tombak kayu pendek itu untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut itu. Juga In Hong memandang dengan jantung berdebar dan diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun Houw yang terlalu memaksa diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu.

Akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa lawan semacam Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang lunak dan tidak ada artinya bagi pemuda itu!

Cia Bun Houw adalah murid terkasih dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar ilmu-ilmu pendeta Lama yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah putera ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang sakti. Karena itu, jangankan memegang sebatang senjata kayu, andai kata dia tetap bertangan kosong sekali pun, tentu saja dia masih sanggup mengatasi dan mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima Bayangan Dewa itu!

Melihat gerakan lawannya dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini maklum bahwa dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbih hijau, melainkan pukulan dengan tangan kiri itu. Memang tampaknya tasbih hijau itu melakukan serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor harimau yang menubruk dengan ancaman maut hendak menghancurkan kepalanya, akan tetapi serangan yang terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka agar perhatian lawan tersedot semua ke situ dan yang sesungguhnya mengancam nyawanya adalah pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari yang terbuka itu mengandung getaran tenaga sinkang sepenuhnya. Jari-jari tangan kakek gundul ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu!

"Wirrrrr... wuuuttttt...!"

Tasbih hijau itu menyambar ganas, dan tangan kiri meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam hatinya dan tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya pendiam ini untuk mempermainkan lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin akibat kegembiraan hatinya bisa melihat Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia memperoleh kesempatan membalaskan kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga orang musuh besarnya ini, atau mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ. Dia teringat betapa dalam pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal seorang pemilik rumah judi, yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaiannnya. Teringat akan hal ini, Bun Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara menyolok.

"Syetttt... cessss...!”

“Augghhhhhh...!" Kakek gundul itu memekik kesakitan dan meloncat ke belakang sambil menarik tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung kayu runcing itu!

Pemuda itu tadi mengelak dari sambaran tasbih hijau sehingga hati Hok Hosiang sudah menjadi gembira sekali karena tepat seperti yang dikehendakinya, pemuda itu agaknya sudah mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbih sehingga kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbih sambil mengelak, maka dengan girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang olehnya betapa tangan itu segera akan ‘memasuki’ pusar dan pemuda itu akan roboh dan tewas dalam segebrakan saja!

Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan menarik tangannya terus meloncat mundur karena ternyata punggung tangannya ‘digigit’ oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia melihatnya, ternyata punggung tangan kirinya itu berdarah.

Bukan main marahnya dia. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa kalau pemuda itu dengan kayunya sanggup melukai punggung tangannya yang penuh terisi sinkang tadi, berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal ini dan saking marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa kelaparan, lalu menyerang dengan tubrukan maut, tasbihnya diputar dan dalam sekali terjang saja tasbihnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke tujuh bagian tubuh yang lemah dari lawannya.

In Hong menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa bila dibandingkan dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas, maka kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit. Akan tetapi, biar pun gerakan tasbih itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu yang benar-benar sangat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya dan tidak teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga.

Terdengar suara keras berkali-kali dan serangan tasbih semuanya berhasil dihalau oleh tangkisan pedang-pedangan kayu! Semua orang terkejut dan merasa heran, akan tetapi In Hong merasa makin khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw semakin kacau-balau dan agaknya semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan dirinya itu hanya soal kebetulan saja.

"Sri baginda, pemuda itu lihai bukan main..." terdengar oleh Raja Sabutai bisikan gurunya dan dia terkejut.

Menurut penglihatannya sendiri, pemuda itu sedang terdesak hebat dan hanya dengan susah payah saja dapat menyelamatkan dirinya, akan tetapi ketika dia menoleh, ternyata gurunya itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum! Bagaimana gurunya bisa memuji permainan silat kacau-balau yang lebih mirip dengan orang ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi dia tahu bahwa di dunia ini jarang ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-li atau Pek-hiat Mo-ko, dan kini mereka berdua memuji!

"In, Hong, kau telah dipermainkan oleh kekasihmu itu! Hi-hik-hik, engkau jangan khawatir, muridku. Kekasihmu jauh lebih lihai dari pada lawannya." Yo Bi Kiok juga berbisik kepada muridnya.

Akan tetapi In Hong tetap merasa tegang. Memang, biar pun gadis ini juga mempunyai tingkat kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan gurunya, tetapi dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam ilmu silat.

Dia melihat betapa pemuda itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar tasbih yang hijau, dan agaknya robohnya Bun Houw tinggal menanti saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus menangkis, bahkan semua jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbih yang mengelilinginya.

"Cuuusssss...!”

“Auuuttttthhh...!" Tiba-tiba saja kakek gundul itu mencelat ke belakang dan tangan kirinya meraba hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan darah bercucuran.

Makin teganglah para penonton sesudah mulai melihat darah. Mereka masih belum tahu bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tiba-tiba saja bisa robek dan berdarah seperti itu!

Bahkan Hok Hosiang sendiri pun tak mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan pedang-pedangan kayu itu terus-menerus bergerak menangkis dan melindungi tubuh pemuda itu dari kurungan sinar tasbih, bagaimana tahu-tahu dapat ‘menyelonong’ sehingga merobek hidungnya?

"Hati-hati, Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbih sampai melukai hidung sendiri!"

Ucapan pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena sebenarnya para penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang dan mendesak telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan tasbihhya! Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu sudah dirobek oleh ujung pedang-pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan guru-gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok.

Akan tetapi tetap saja In Hong masih belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung lawan bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip gerakan kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian lawan.

"Keparat busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!" bentak Hok Hosiang.

"Omitohud... betapa besar dosamu, Hok Hosiang!" Bun Houw menjawab hingga kembali terdengar suara orang tertawa sebab sungguh menyolok sekali sikap dan kata-kata kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedangkan pemuda itu mengambil sikap seorang alim!

Kini Hok Hosiang kembali menyerang dengan penuh kemarahan sehingga tasbih hijaunya lenyap bentuknya, berubah menjadi cahaya hijau bergulung-gulung. Akan tetapi anehnya, tak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan oleh pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu, bahkan setiap kali tasbihnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Kini mulailah dia mengerti bahwa lawannya yang muda ini ternyata memang lihai bukan main dan memiliki tenaga yang amat kuat, sungguh pun hal itu tidak diperlihatkannya.

Ketika Bun Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk ke sekian kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini lalu memekik keras. Kayu di tangannya menyambut, lantas membuat gerakan memutar sehingga tanpa dapat dipertahankan lagi tasbih itu membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu dan tidak dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang! Beberapa kali pendeta gendut ini mengerahkan tenaga untuk menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbihnya sudah membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali.

"Mampus kau...!" bentaknya.

Tiba-tiba tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang sekuatnya itu menghantam ke arah dada kiri Bun Houw. Pemuda ini mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia ‘mengisi’ tangan kirinya dengan tenaga dari ilmu mukjijat Thian-te Sin-ciang.

"Plakkkk! Krekkkk... pyuuurrr...!"

Dua tangan bertemu secara hebat, tubuh hwesio tergetar, tasbih itu putus untaiannya dan berjatuhan ke atas tanah, kemudian tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan biar pun dia mempertahankannya, tetap saja dia roboh terguling saking hebatnya tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu tadi.

"Eiiihhh...?!" In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang dilakukan oleh Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang?

Sementara itu, dengan muka amat pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, sekarang tubuhnya merendah seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan hiasan kepala yang memakai hiasan runcing itu menuding ke arah lawan, matanya melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan uap putih.

"Sute, jangan...!" Pat-pi Lo-sian berseru akan tetapi terlambat sudah, karena Hok Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw!

"Bun-ko, awas...!" In Hong menjerit karena kini dia maklum mengapa hiasan kepala itu mengandung baja runcing.

Ternyata hwesio ini mempunyai ilmu aneh yang jarang digunakan orang, yaitu serangan dengan serudukan kepala! Dulu pernah dia mendengar dari subo-nya bahwa siapa yang melakukan serangan dengan kepala, berarti dia telah melatih kepalanya menjadi senjata yang amat berbahaya dan bahwa serangan kepala merupakan serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan.

Bun Houw juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, dia pun segera maklum bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Bila dia mengelak lalu menggunakan kayu di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya.

Akan tetapi dia hendak memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang bahwa murid Cin-ling-pai bukan seorang penakut yang jeri menghadapi serangan seperti itu. Maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan kaki terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu.

"Bun-ko...!" In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan semua orang memandang dengan hati tegang.

"Dessssss...!"

Pertemuan antara kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-olah terasa oleh semua yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah menggetarkan ruangan itu. Semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang dihias alat runcing itu seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih berdiri tegak. Tubuh gendut hwesio itu bagai sebatang balok yang menancap, kakinya lurus ke belakang dan sama sekali tidak bergerak.

"Uhhhhhh!" Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan.

Tubuh hwesio itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu!

Ternyata bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw cepat mengerahkan sinkang mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam kepala pemiliknya sendiri. Kemudian perut itu berubah lunak hingga kepala hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga!

Sorak-sorai menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai sendiri sampai bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan melihat kakek dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga kagum bukan main.

In Hong duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan dia sendiri merasa heran kenapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi kini dia pun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik dan keraguan.

Benarkah dia itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu? Melihat permainan silatnya tadi memang tidak seberapa hebat, akan tetapi dia bergidik ngeri membayangkan cara pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia sendiri takkan berani menempuh bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja jelas membuktikan bahwa Bun Houw memiliki lweekang yang amat kuat, bahkan agaknya tidak kalah kuatnya kalau dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia sendiri! Diam-diam dia merasa kagum, juga bangga, juga... penasaran!

Atas isyarat Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu setelah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sute-nya itu. Kemudian Phang Tui Lok dan Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan dan menghadapi Bun Houw yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali lalu berdiri dengan sikap tenang.

"Orang she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan kami akan mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam sekalian nama kami sebagai Bayangan Dewa. Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin dibantu oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu."

Phang Tui Lok adalah orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan pemuda tadi, dia sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak seberapa hebat ini kiranya lihai juga.

Kalau dia membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sute-nya ini pun akan kalah. Oleh karena itu, dia sengaja maju bersama supaya dapat membantu sute-nya, dan andai kata pemuda itu dibantu oleh In Hong sekali pun, dia tidak takut karena dia dengan sute-nya lebih dapat bekerja sama dari pada pemuda itu dan In Hong yang tidak mempunyai hubungan apa pun.

Dengan bekerja sama, dia dan sute-nya pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In Hong karena dia dan sute-nya akan dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding secara campuran, bukan satu lawan satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan, dia dan sute-nya sudah terlatih.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah ruangan itu dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya yang manis itu tersenyum mengejek.

"Agaknya kau ingin sekali mati di tanganku, kakek sombong. Majulah!" dia menantang.

Akan tetapi Bun Houw sudah menghadapi In Hong. "Hong-moi, harap, kau suka mundur. Aku akan menghadapi mereka berdua seorang diri."

"Bun-ko!" In Hong membantah.
"Aku tidak takut, Hong-moi!"

"Akan tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai..."

"Ha-ha-ha-ha, orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala? Nona ini ingin sekali menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?" Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar.

Bun Houw tidak mempedulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat ke arah Raja Sabutai dan berkata lantang, "Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda. Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima Bayangan Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan urusan pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan oleh kebijaksanaan paduka kedua fihak telah diperkenankan untuk menyelesaikan urusan dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap kebijaksanaan paduka supaya paduka melarang campur tangan dari fihak luar."

Raja Sabutai mengangkat tangannya dan menjawab, "Pernyataanmu itu benar dan tepat, Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba, nona."

In Hong cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah.

"Hong-moi, maafkan aku. Kau percayalah, aku mampu mengatasi musuh-musuhku," kata Bun Houw perlahan.

"Kau... kau... pakailah pedang ini..."

Bun Houw menggelengkan kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu itu. "Senjata ini sudah cukup ampuh."

In Hong membanting kaki kanannya. "Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru aku akan membunuh mereka!" Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk di tempatnya kembali, disambut oleh subo-nya dengan senyum.

"Jangan khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya," bisik gurunya.

"Jangan, subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!"

Sementara itu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan berkata, "Paduka telah menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi kami berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok, sri baginda."

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw, "Bun-sicu, benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua? Apa bila kau keberatan, tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu."

Bun Houw memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. "Sri baginda, ketika Lima Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka juga sudah menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya yang sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut besar yang setelah melakukan perbuatannya itu, lalu melarikan diri dan bersembunyi di sini, menggunakan nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut besar, akan tetapi Cin-ling-pai tidak pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu, sebagai wakil dari Cin-ling-pai, tentu saja saya akan menghadapi mereka, apa pun kehendak mereka. Jangankan baru mereka berdua, andai kata yang tiga lagi di antara mereka bangkit dari neraka dan ikut pula mengeroyok, saya tidak akan mundur, sri baginda!"

Raja Sabutai tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau benar-benar seorang gagah dan pantas sekali menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar, Bun-sicu." Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata, "Nah, kalian sudah mendengar sendiri, majulah."

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan sepasang lengan tangannya sehingga terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua lengannya itu bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala hingga kuncirnya yang panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. Lalu, dengan gerakan perlahan tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah cahaya kemerahan berkelebat menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya saking cepatnya dia mencabut pedang itu.

Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari terbuka dan tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang berjuluk Iblis Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga yang besar sekali, dan senjata potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di ujung kedua lengan bajunya. Tampaknya saja dia tidak bersenjata, hanya menggunakan kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sebenarnya kedua ujung lengan bajunya itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang menyambar secara tidak terduga dan karenanya amatlah berbahaya bagi fihak lawan.

Bun Houw bersikap tenang, akan tetapi dia sama sekali tidak memandang rendah kedua orang lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang sangat tangguh, terutama sekali orang pertama dari musuh-musuhnya ini.

Dia sudah mendengar keterangan dari ayahnya tentang musuh-musuhnya, karena itu dia bersikap waspada dan bermaksud untuk mengukur terlebih dulu sampai di mana tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan jalan membiarkan mereka menyerang. Dari cara mereka menyerang pun dia sudah akan dapat mengukur kepandaian dan tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-kelemahan mereka.

Pemuda ini hanya memasang kuda-kuda yang sederhana saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan tubuh miring sehingga menghadapi dua orang lawan itu di kanan kirinya, bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di depan dada seperti orang menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat ke atas dengan pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak, dan hanya kedua matanya saja yang hidup, bergerak ke kanan kiri, dan melihat ujung jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, maka kagumlah In Hong.

Kini gadis itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang sembarangan dan dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam kewaspadaan, dan bahwa seluruh tubuh pemuda itu sekarang sedang dialiri oleh hawa tenaga sakti yang hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya sendiri karena dia mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang sakti, yang hanya memiliki kepandaian sederhana saja.

"Hyaaaatttt...!" Liok-te Sin-mo membentak.

"Heeeeiiiitttt...!" Pat-pi Lo-sian juga memekik keras.

Keduanya sudah menerjang dengan cepat. Dua tangan Liok-te Sin-mo menyerang secara bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar dari atas dan bawah dari lain jurusan.

"Wut-wut-wut, plak-plak-cringgg... tranggg...!"

Dengan gerakan yang sigap bukan main, bahkan terlalu cepat sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan tepat, indah dan kuat.

Setelah dia berhasil menghalau serangan gelombang pertama, kini tubuhnya sudah diam lagi dan kembali dia menghadapi kedua orang lawan di kanan kirinya. Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah menjadi terkejut bukan main.

Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan membuat pedang ular itu terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat, sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja yang disembunyikan di dalam lengan baju dan setiap tangkisan tadi membuat ujung lengan baju itu membalik keras!

In Hong terbelalak. Dia merasa kagum bukan main. Meski pun baru satu gebrakan, akan tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya! Tadi pada waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru sekarang gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat dan juga sangat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi.

Siapakah sebenarnya pemuda ini? Dia menduga-duga dan hatinya makin kagum sungguh pun kekhawatiran masih belum meninggalkan hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya.

Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka dia pun tidak berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkan potongan gagang tombak di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut bukan main dan berseru keras.

Juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru! Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi sinar kehijauan dan kini seakan-akan dua orang Bayangan Dewa itu bukan mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang!

In Hong terbelalak. Gerakan kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw memainkan Ilmu Pedang Thian-te Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, namun karena tangannya sedang memegang sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja, sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dari ayahnya!

Ilmu pemuda itu memang sangat tinggi, apa lagi dia memainkan dua ilmu yang digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya dan bingung.

Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak serta menghujankan serangan, sekarang malah berbalik didesak hebat, dihimpit oleh serangan yang datang dari delapan penjuru. Kini mereka berdua itu dengan muka pucat hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur.

Bun Houw mempercepat gerakan ‘pedangnya’. Kini pemuda itu menambah serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang yang mengandung hawa mukjijat sepenuhnya!

Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong makin terbelalak dan sekarang dia tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas menggunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mukjijat yang pernah dia pelajari dari pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat sekali!

Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta Lama itu?

Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo semakin terdesak. Kini keringat dingin membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu langsung terpental. Demikian pula dengan ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu atau dengan tangan kiri pemuda itu.

"Bersiap-siaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-han di alam baka!" Tiba-tiba Bun Houw berseru dan gerakannya menjadi makin cepat dan makin kuat.

Pat-pi Lo-sian mengeluarkan suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itu bergerak hidup seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw!

Hebat bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bun Houw bersikap tenang.

Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu cepat dihindarkan dengan gerakan tubuh yang dimiringkan dengan mengubah kuda-kuda kaki, sehingga pedang itu hanya menyeleweng ke samping kiri tubuhnya. Kemudian, dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut yang mengancam matanya dan sebelum Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sempat menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelangan tangan itu dengan tangan kirinya.

"Augghhhhhhh...!" Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya.

Rasa nyeri dan kemarahan membuat dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan Gu Lo It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw.

"Trakkk! Krekkkk...!”

“Aiiihhhh...!" Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan, sedangkan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram.

"Bukkk! Bukkk!"

Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw setelah dia melindungi punggungnya dengan sinkang-nya yang amat kuat. Kemudian dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu Lo It dengan amat kuatnya.

"Brressssss...!"

Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu menimpa tubuh Gu Lo It hingga keduanya jatuh tunggang langgang. Sebelum mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan mampu bangkit kembali, nampak sinar hijau berkelebat dua kali dan terdengar pekik-pekik mengerikan.

Dua orang Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas seketika. Hanya ada sedikit darah yang mengucur keluar dari tengkuk mereka yang ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.

Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak tersangka-sangka itu. Akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji, terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang sangat meriah dan di antara mereka yang bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega bukan main!

Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik pada muridnya, "Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang sangat berbahaya, muridku. Kau harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya..."

Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, "Pemuda itu amat mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid sembarangan..."

Akan tetapi Bun Houw tidak mempedulikan sorak-sorai pujian itu. Dia membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata,

"Terima kasih atas kemurahan hati paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh-musuh saya. Sesudah kini mereka semua tewas, saya mohon kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari tempat ini."

"Bocah she Bun, nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok telah berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap menantang! "Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa yang kepandaiannya paling tinggi, dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-bhok-kiam! Bukankah demikian, sri baginda?"

Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak mempedulikan urusan pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu. Bagi raja ini, siapa pun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya. "Siapa pun yang memiliki urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh diselesaikan sekarang di sini," jawabnya mengangguk.

Bun Houw memutar tubuhnya perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berubah merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi Kiok ini.

Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari enci-nya! Baru sekarang dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampas Siang-bhok-kiam!

"Subo... Bun-ko... jangan...!" terdengar suara In Hong khawatir.

Akan tetapi Bun Houw tidak peduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya. Gadis yang ternyata juga amat kejam! Agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah dia kepada Yo Bi Kiok.

Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.

"Orang muda she Bun," Yo Bi Kik berkata. "Demi persahabatanmu dengan muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding."

Namun pada waktu itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi. "Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah pusaka Cin-ling-pai dan siapa pun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!"

Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu, kemudian dagu yang runcing manis itu diangkat. "Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?"

"Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih penting lagi! Aku mendengar tadi bahwa engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?"

"Bocah she Bun, tidak perlu engkau lancang hendak mencampuri urusan orang lain! Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu saja, mengerti? Sebagai sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau juga harus menjadi seorang... kekasih yang baik, jangan menjadi seorang lelaki yang berhati palsu. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi mereka itu. Tidak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?"

Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketahui oleh siapa pun juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya terhadap In Hong, agaknya sudah diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja!

Kedua, wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Maka lapanglah hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini. Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenek itu, yang tadi menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan pedang pusaka itu!

"Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan dulu sebab yang penting sekarang adalah persoalan yang engkau lakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?"

"Kalau benar, kau mau apa?" Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek karena hatinya menjadi jengkel sekali.

Ia teringat akan Lie Seng, bocah yang telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta Lama yang sangat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia balas menyerang anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus!

"Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!" Bun Houw membentak marah.

"Bun-ko...!" In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!"

"Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"

"Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo..."

"Hong-moi!" Bun Houw membentak.

"Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko."

"Hong-moi...!" Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.

Pada saat itu, tedengar seruan. "Tahan...!"

Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.

"Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun Houw.

"Suheng...!" Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati pemuda ini masih penasaran bertemu dengan Yap Kun Liong, orang yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga enci-nya.

In Hong juga terkejut bukan main melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu digunakannya untuk mundur dengan hati lega karena dia pun melihat Bun Houw mundur dengan muka berubah. In Hong semakin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.

Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berubah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.

Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong. Saat mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sute-nya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka dia pun lalu menyusul.

Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Sang.

Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi terkejut dan marah sekali, maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.

Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang sudah mundur dari menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu dan berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang."

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andai kata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia sudah memberi isyarat untuk menangkap penyelundup itu.

Ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya menjadi sangat tertarik. Namun kini mendengar ucapan Yap Kun Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak, "Siapakah engkau?!"

"Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata.

Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada lagi kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan dari pada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.

"Adikku...!" Dia berbisik dengan hati terharu.

Akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.

Memang dugaan In Hong tepat sekali. Mendengar seruan gadis yang amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.

"Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.

"Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di sini..."

"Ouhhhh...!" Yang menjerit ini adalah In Hong.

Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan muka bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera dari ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan!

Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang demikian lihai, tentu saja Cia Bun Houw!

Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya dara yang amat mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!

"Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacau benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Sesudah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Karena itu saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."

Melihat sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.

"Baik, silakan."

Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandangan matanya penuh selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang kuharap engkau suka berterus terang apa saja yang sudah kau lakukan di Sin-yang, dan ke mana engkau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."

Sejenak Yo Bi Kiok memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu, memandang merana, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa pedulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?"

"Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"

"Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"

"Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.

"Sute, biar aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku sudah bersumpah kepada enci-mu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya," kata Kun Liong kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"

"Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku akan memaksamu."

"Kun Liong... ah, Kun Liong, kenapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu."

Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya terasa menusuk, "Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie Seng?"

Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. "Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu dari pada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"

"Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."

"Singgggg...!" Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam.

"Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong.

Pendekar ini cepat mengelak. Akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.

"Plakkk!"

Dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.

Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak mempergunakan senjata, dan sebenarnya, di dalam hatinya Yap Kun Liong merasa sangat kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih saja tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya.

Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat ini, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang.

Walau pun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dengan keluarga enci-nya terjadi hal yang sangat hebat, akan tetapi melihat Kun Liong sekarang bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong.

Maka, melihat pendekar ini menghadapi ketua Giok-hong-pang itu dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi sangat gelisah. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, secara diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya sangat memuji-muji suheng-nya ini. Gerakan suheng-nya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikit pun kesalahan. Perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.

Semua orang, juga termasuk kakek serta nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh kedua orang yang sedang bertanding itu adalah benar-benar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak mempunyai kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!

Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya sudah ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima, dan sekarang dia bahkan menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dengan gurunya!

Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perubahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami peristiwa yang sangat hebat!

Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan antara kakaknya dan gurunya, sebenarnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.

Betapa pun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah sekali. Dia tahu betapa lihai gurunya, apa lagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong.

Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tak berfihak pada siapa pun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...!

Tiba-tiba saja hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko, pakailah ini, baru adil!"

Sesungguhnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.

Kalau perlu, dengan mengandalkan Thi-khi I-beng, dengan menggunakannya sedemikian rupa sehingga lawannya tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya yang sudah digemblengnya dengan dasar ilmu mukjijat dari kitab Keng-lun Tai-pun peninggalan Bun Ong, maka dia percaya bahwa akhirnya dia akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya.

Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perubahan pada adiknya.

Dahulu, pada waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berubah, bahkan sudah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut sekali karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang ampuhnya bukan main! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.

Terdengar suara mengaung-aung, bagaikan ada ribuan lebah beterbangan sehingga baik Bun Houw mau pun In Hong memandang kagum sekali. Setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini pedang Hong-cu-kiam itu seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amat banyaknya sehingga selain nampak amat indah, juga sangat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!

Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong!

Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantu dirinya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.

"Murid durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!

"Ihhhhh...!" In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.

"Subo...!" In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.

"Bi Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.

"Cringg... cringg... tranggg!"

Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa mempedulikan dirinya sendiri.

"Singgg... Wuuuttt!"

"Murid durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang cepat meloncat mundur.

"Bukkk...!”

“Aiihhhh!" In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling.

Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun batin gadis itu memang sedang tertekan hebat. Hanya dengan hati berat dan sakit saja dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi.

Tadi dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, serta menyayanginya. Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menduga akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya!

"Bi Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik dari pada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.

"Cringggg... ceppp!"

"Aihhhh...!" Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.

"Bi Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut di dekat tubuh wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!"

Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Bagaimana pun juga, kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apa lagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.

Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jemari tangannya, membasahi bajunya.

"Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."

Wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan Kun Liong langsung menangkap tangan itu, mendekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."

Tiba-tiba wanita itu tertawa. "Hi-hik-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."

"Maafkan aku, ampunkan aku..."

"Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguh pun... aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu... ahhh, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh, kau terkejut...? Aku… aku sudah membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha-ha, putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"

"Bi Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan rasa penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berubah menjadi iblis yang demikian kejamnya. "Kau... kau kejam sekali!"

"Heh-heh-heh... aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak akan... ahhhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!"

"Suheng...!"

"Koko, awas...!"

Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapa pun cepatnya Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!

"Yap-suheng...!" Bun Houw langsung menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suheng-nya.

Akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, "Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw.

Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil namun kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang telah penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.

"Lekas kau carikan tempat untuk memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw.

Pemuda itu cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah pada dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, kemudian mengerahkan tenaga saktinya menyedot.

Tidak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali sudah menempel pada telapak tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Pada saat Bun Houw datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.

"Uhhhh...!" Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.

"Koko, engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.

Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang, kemudian dia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo Bi Kiok.

Dia menghampiri mayat itu. Dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan sinkang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.

"Hebat...!" Tiba-tiba saja terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi mencekam keadaan di situ sejak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!"

Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Sekarang semua urusan pribadi sudah selesai dan musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.

Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, kini terserah kepada suhu Pek-hiat Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.

Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan dia pun tidak tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat dua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya tentang pedang itu.

Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. "Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dengan Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."

"Ho-ho-ho, nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa kemudian melangkah maju, sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur."

"Silakan bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu. Dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.

"Siapakah namamu yang sesungguhnya?"

"Nama saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong.

Akan tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa dara itu pun tadinya hanya dikenalnya sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!

"Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.

"Benar."

"Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka mayat.

Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.

"Benar," jawabnya pula. "Bahkan, walau pun mendiang Panglima Besar The Hoo telah meninggal dunia, tiap saat ayahku tetap setia menyediakan jiwa raganya untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."

"Ho-ho-ho, baguslah kalau begitu! Nah, kini dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pedang Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan apa bila Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"

Bun Houw terbelalak dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan ketegangan hatinya, Bun Houw baru menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran. "Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo sudah meninggal dunia, bagaimana dapat menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.

"Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.

"Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil bila tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil menunggu wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."

Bun Houw menjadi marah sekali. "Biar sekarang juga aku menjadi wakilnya!" bentaknya.

"Dan aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat pula ke dekat Bun Houw yang mengerlingnya. Gadis itu juga melirik dan mereka saling bertemu pandang dalam kerling mereka.

"Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.

"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.

Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia sudah memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.

"Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-hiat Mo-ko berkata mengejek...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 28

Dewi Maut Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
RAJA Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi dalam hatinya dia masih sangsi dan amat mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya merupakan kekasih nona Hong yang sangat disukai oleh isterinya itu.

Sementara itu diam-diam Yo Bi Kiok mulai percaya terhadap pemuda yang dicinta oleh muridnya ini. Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus menghadapi ketua Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengan sebatang ranting kayu oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah!

Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu memang seorang sakti yang memiliki kepandaian amat tinggi, dan pemuda ini hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan tasbih di tangan Hok Hosiang itu agaknya berbahaya bukan main.

"Orang muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?" Hok Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggota pengawal yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya sangat lihai ini juga ikut tertawa.

"Majulah, Hok Hosiang, sudah semenjak tadi aku siap dan ingin merasakan bagaimana kerasnya tanganmu, dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa lagi nanti!" kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya.

Ucapan ini membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa).

"Lihat senjata!" bentaknya.

Kini tubuhnya sudah menerjang ke depan. Meski pun kakek berkepala gundul ini gendut tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan dan pada waktu tubuhnya bergerak, ada angin menyambar dari arahnya, menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga besar.

Dalam serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan cahaya hijau yang menyilaukan mata, yaitu gulungan sinar dari senjata tasbihnya yang sudah menyambar ganas dengan gerakan melengkung ke atas lantas menghantam ke arah kepala Bun Houw, sedangkan tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sinkang-nya yang membuat dia terkenal dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan sebuah pukulan dengan jari-jari terbuka mengarah ke pusar pemuda itu!

Jelas dari gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam gebrakan pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak mau bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia sudah melakukan serangan maut dan telah mengerahkan tenaganya.

Raja Sabutai sendiri yang dapat melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, secara diam-diam merasa ngeri sebab agaknya sulitlah bagi orang muda yang hanya memegang gagang tombak kayu pendek itu untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut itu. Juga In Hong memandang dengan jantung berdebar dan diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun Houw yang terlalu memaksa diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu.

Akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa lawan semacam Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang lunak dan tidak ada artinya bagi pemuda itu!

Cia Bun Houw adalah murid terkasih dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar ilmu-ilmu pendeta Lama yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah putera ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang sakti. Karena itu, jangankan memegang sebatang senjata kayu, andai kata dia tetap bertangan kosong sekali pun, tentu saja dia masih sanggup mengatasi dan mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima Bayangan Dewa itu!

Melihat gerakan lawannya dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini maklum bahwa dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbih hijau, melainkan pukulan dengan tangan kiri itu. Memang tampaknya tasbih hijau itu melakukan serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor harimau yang menubruk dengan ancaman maut hendak menghancurkan kepalanya, akan tetapi serangan yang terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka agar perhatian lawan tersedot semua ke situ dan yang sesungguhnya mengancam nyawanya adalah pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari yang terbuka itu mengandung getaran tenaga sinkang sepenuhnya. Jari-jari tangan kakek gundul ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu!

"Wirrrrr... wuuuttttt...!"

Tasbih hijau itu menyambar ganas, dan tangan kiri meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam hatinya dan tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya pendiam ini untuk mempermainkan lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin akibat kegembiraan hatinya bisa melihat Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia memperoleh kesempatan membalaskan kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga orang musuh besarnya ini, atau mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ. Dia teringat betapa dalam pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal seorang pemilik rumah judi, yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaiannnya. Teringat akan hal ini, Bun Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara menyolok.

"Syetttt... cessss...!”

“Augghhhhhh...!" Kakek gundul itu memekik kesakitan dan meloncat ke belakang sambil menarik tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung kayu runcing itu!

Pemuda itu tadi mengelak dari sambaran tasbih hijau sehingga hati Hok Hosiang sudah menjadi gembira sekali karena tepat seperti yang dikehendakinya, pemuda itu agaknya sudah mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbih sehingga kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbih sambil mengelak, maka dengan girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang olehnya betapa tangan itu segera akan ‘memasuki’ pusar dan pemuda itu akan roboh dan tewas dalam segebrakan saja!

Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan menarik tangannya terus meloncat mundur karena ternyata punggung tangannya ‘digigit’ oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia melihatnya, ternyata punggung tangan kirinya itu berdarah.

Bukan main marahnya dia. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa kalau pemuda itu dengan kayunya sanggup melukai punggung tangannya yang penuh terisi sinkang tadi, berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal ini dan saking marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa kelaparan, lalu menyerang dengan tubrukan maut, tasbihnya diputar dan dalam sekali terjang saja tasbihnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke tujuh bagian tubuh yang lemah dari lawannya.

In Hong menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa bila dibandingkan dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas, maka kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit. Akan tetapi, biar pun gerakan tasbih itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu yang benar-benar sangat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya dan tidak teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga.

Terdengar suara keras berkali-kali dan serangan tasbih semuanya berhasil dihalau oleh tangkisan pedang-pedangan kayu! Semua orang terkejut dan merasa heran, akan tetapi In Hong merasa makin khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw semakin kacau-balau dan agaknya semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan dirinya itu hanya soal kebetulan saja.

"Sri baginda, pemuda itu lihai bukan main..." terdengar oleh Raja Sabutai bisikan gurunya dan dia terkejut.

Menurut penglihatannya sendiri, pemuda itu sedang terdesak hebat dan hanya dengan susah payah saja dapat menyelamatkan dirinya, akan tetapi ketika dia menoleh, ternyata gurunya itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum! Bagaimana gurunya bisa memuji permainan silat kacau-balau yang lebih mirip dengan orang ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi dia tahu bahwa di dunia ini jarang ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-li atau Pek-hiat Mo-ko, dan kini mereka berdua memuji!

"In, Hong, kau telah dipermainkan oleh kekasihmu itu! Hi-hik-hik, engkau jangan khawatir, muridku. Kekasihmu jauh lebih lihai dari pada lawannya." Yo Bi Kiok juga berbisik kepada muridnya.

Akan tetapi In Hong tetap merasa tegang. Memang, biar pun gadis ini juga mempunyai tingkat kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan gurunya, tetapi dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam ilmu silat.

Dia melihat betapa pemuda itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar tasbih yang hijau, dan agaknya robohnya Bun Houw tinggal menanti saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus menangkis, bahkan semua jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbih yang mengelilinginya.

"Cuuusssss...!”

“Auuuttttthhh...!" Tiba-tiba saja kakek gundul itu mencelat ke belakang dan tangan kirinya meraba hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan darah bercucuran.

Makin teganglah para penonton sesudah mulai melihat darah. Mereka masih belum tahu bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tiba-tiba saja bisa robek dan berdarah seperti itu!

Bahkan Hok Hosiang sendiri pun tak mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan pedang-pedangan kayu itu terus-menerus bergerak menangkis dan melindungi tubuh pemuda itu dari kurungan sinar tasbih, bagaimana tahu-tahu dapat ‘menyelonong’ sehingga merobek hidungnya?

"Hati-hati, Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbih sampai melukai hidung sendiri!"

Ucapan pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena sebenarnya para penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang dan mendesak telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan tasbihhya! Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu sudah dirobek oleh ujung pedang-pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan guru-gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok.

Akan tetapi tetap saja In Hong masih belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung lawan bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip gerakan kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian lawan.

"Keparat busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!" bentak Hok Hosiang.

"Omitohud... betapa besar dosamu, Hok Hosiang!" Bun Houw menjawab hingga kembali terdengar suara orang tertawa sebab sungguh menyolok sekali sikap dan kata-kata kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedangkan pemuda itu mengambil sikap seorang alim!

Kini Hok Hosiang kembali menyerang dengan penuh kemarahan sehingga tasbih hijaunya lenyap bentuknya, berubah menjadi cahaya hijau bergulung-gulung. Akan tetapi anehnya, tak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan oleh pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu, bahkan setiap kali tasbihnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Kini mulailah dia mengerti bahwa lawannya yang muda ini ternyata memang lihai bukan main dan memiliki tenaga yang amat kuat, sungguh pun hal itu tidak diperlihatkannya.

Ketika Bun Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk ke sekian kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini lalu memekik keras. Kayu di tangannya menyambut, lantas membuat gerakan memutar sehingga tanpa dapat dipertahankan lagi tasbih itu membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu dan tidak dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang! Beberapa kali pendeta gendut ini mengerahkan tenaga untuk menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbihnya sudah membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali.

"Mampus kau...!" bentaknya.

Tiba-tiba tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang sekuatnya itu menghantam ke arah dada kiri Bun Houw. Pemuda ini mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia ‘mengisi’ tangan kirinya dengan tenaga dari ilmu mukjijat Thian-te Sin-ciang.

"Plakkkk! Krekkkk... pyuuurrr...!"

Dua tangan bertemu secara hebat, tubuh hwesio tergetar, tasbih itu putus untaiannya dan berjatuhan ke atas tanah, kemudian tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan biar pun dia mempertahankannya, tetap saja dia roboh terguling saking hebatnya tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu tadi.

"Eiiihhh...?!" In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang dilakukan oleh Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang?

Sementara itu, dengan muka amat pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, sekarang tubuhnya merendah seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan hiasan kepala yang memakai hiasan runcing itu menuding ke arah lawan, matanya melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan uap putih.

"Sute, jangan...!" Pat-pi Lo-sian berseru akan tetapi terlambat sudah, karena Hok Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw!

"Bun-ko, awas...!" In Hong menjerit karena kini dia maklum mengapa hiasan kepala itu mengandung baja runcing.

Ternyata hwesio ini mempunyai ilmu aneh yang jarang digunakan orang, yaitu serangan dengan serudukan kepala! Dulu pernah dia mendengar dari subo-nya bahwa siapa yang melakukan serangan dengan kepala, berarti dia telah melatih kepalanya menjadi senjata yang amat berbahaya dan bahwa serangan kepala merupakan serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan.

Bun Houw juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, dia pun segera maklum bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Bila dia mengelak lalu menggunakan kayu di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya.

Akan tetapi dia hendak memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang bahwa murid Cin-ling-pai bukan seorang penakut yang jeri menghadapi serangan seperti itu. Maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan kaki terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu.

"Bun-ko...!" In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan semua orang memandang dengan hati tegang.

"Dessssss...!"

Pertemuan antara kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-olah terasa oleh semua yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah menggetarkan ruangan itu. Semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang dihias alat runcing itu seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih berdiri tegak. Tubuh gendut hwesio itu bagai sebatang balok yang menancap, kakinya lurus ke belakang dan sama sekali tidak bergerak.

"Uhhhhhh!" Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan.

Tubuh hwesio itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu!

Ternyata bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw cepat mengerahkan sinkang mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam kepala pemiliknya sendiri. Kemudian perut itu berubah lunak hingga kepala hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga!

Sorak-sorai menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai sendiri sampai bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan melihat kakek dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga kagum bukan main.

In Hong duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan dia sendiri merasa heran kenapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi kini dia pun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik dan keraguan.

Benarkah dia itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu? Melihat permainan silatnya tadi memang tidak seberapa hebat, akan tetapi dia bergidik ngeri membayangkan cara pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia sendiri takkan berani menempuh bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja jelas membuktikan bahwa Bun Houw memiliki lweekang yang amat kuat, bahkan agaknya tidak kalah kuatnya kalau dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia sendiri! Diam-diam dia merasa kagum, juga bangga, juga... penasaran!

Atas isyarat Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu setelah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sute-nya itu. Kemudian Phang Tui Lok dan Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan dan menghadapi Bun Houw yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali lalu berdiri dengan sikap tenang.

"Orang she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan kami akan mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam sekalian nama kami sebagai Bayangan Dewa. Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin dibantu oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu."

Phang Tui Lok adalah orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan pemuda tadi, dia sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak seberapa hebat ini kiranya lihai juga.

Kalau dia membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sute-nya ini pun akan kalah. Oleh karena itu, dia sengaja maju bersama supaya dapat membantu sute-nya, dan andai kata pemuda itu dibantu oleh In Hong sekali pun, dia tidak takut karena dia dengan sute-nya lebih dapat bekerja sama dari pada pemuda itu dan In Hong yang tidak mempunyai hubungan apa pun.

Dengan bekerja sama, dia dan sute-nya pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In Hong karena dia dan sute-nya akan dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding secara campuran, bukan satu lawan satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan, dia dan sute-nya sudah terlatih.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah ruangan itu dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya yang manis itu tersenyum mengejek.

"Agaknya kau ingin sekali mati di tanganku, kakek sombong. Majulah!" dia menantang.

Akan tetapi Bun Houw sudah menghadapi In Hong. "Hong-moi, harap, kau suka mundur. Aku akan menghadapi mereka berdua seorang diri."

"Bun-ko!" In Hong membantah.
"Aku tidak takut, Hong-moi!"

"Akan tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai..."

"Ha-ha-ha-ha, orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala? Nona ini ingin sekali menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?" Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar.

Bun Houw tidak mempedulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat ke arah Raja Sabutai dan berkata lantang, "Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda. Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima Bayangan Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan urusan pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan oleh kebijaksanaan paduka kedua fihak telah diperkenankan untuk menyelesaikan urusan dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap kebijaksanaan paduka supaya paduka melarang campur tangan dari fihak luar."

Raja Sabutai mengangkat tangannya dan menjawab, "Pernyataanmu itu benar dan tepat, Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba, nona."

In Hong cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah.

"Hong-moi, maafkan aku. Kau percayalah, aku mampu mengatasi musuh-musuhku," kata Bun Houw perlahan.

"Kau... kau... pakailah pedang ini..."

Bun Houw menggelengkan kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu itu. "Senjata ini sudah cukup ampuh."

In Hong membanting kaki kanannya. "Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru aku akan membunuh mereka!" Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk di tempatnya kembali, disambut oleh subo-nya dengan senyum.

"Jangan khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya," bisik gurunya.

"Jangan, subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!"

Sementara itu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan berkata, "Paduka telah menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi kami berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok, sri baginda."

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw, "Bun-sicu, benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua? Apa bila kau keberatan, tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu."

Bun Houw memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. "Sri baginda, ketika Lima Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka juga sudah menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya yang sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut besar yang setelah melakukan perbuatannya itu, lalu melarikan diri dan bersembunyi di sini, menggunakan nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut besar, akan tetapi Cin-ling-pai tidak pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu, sebagai wakil dari Cin-ling-pai, tentu saja saya akan menghadapi mereka, apa pun kehendak mereka. Jangankan baru mereka berdua, andai kata yang tiga lagi di antara mereka bangkit dari neraka dan ikut pula mengeroyok, saya tidak akan mundur, sri baginda!"

Raja Sabutai tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau benar-benar seorang gagah dan pantas sekali menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar, Bun-sicu." Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata, "Nah, kalian sudah mendengar sendiri, majulah."

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan sepasang lengan tangannya sehingga terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua lengannya itu bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala hingga kuncirnya yang panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. Lalu, dengan gerakan perlahan tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah cahaya kemerahan berkelebat menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya saking cepatnya dia mencabut pedang itu.

Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari terbuka dan tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang berjuluk Iblis Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga yang besar sekali, dan senjata potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di ujung kedua lengan bajunya. Tampaknya saja dia tidak bersenjata, hanya menggunakan kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sebenarnya kedua ujung lengan bajunya itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang menyambar secara tidak terduga dan karenanya amatlah berbahaya bagi fihak lawan.

Bun Houw bersikap tenang, akan tetapi dia sama sekali tidak memandang rendah kedua orang lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang sangat tangguh, terutama sekali orang pertama dari musuh-musuhnya ini.

Dia sudah mendengar keterangan dari ayahnya tentang musuh-musuhnya, karena itu dia bersikap waspada dan bermaksud untuk mengukur terlebih dulu sampai di mana tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan jalan membiarkan mereka menyerang. Dari cara mereka menyerang pun dia sudah akan dapat mengukur kepandaian dan tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-kelemahan mereka.

Pemuda ini hanya memasang kuda-kuda yang sederhana saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan tubuh miring sehingga menghadapi dua orang lawan itu di kanan kirinya, bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di depan dada seperti orang menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat ke atas dengan pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak, dan hanya kedua matanya saja yang hidup, bergerak ke kanan kiri, dan melihat ujung jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, maka kagumlah In Hong.

Kini gadis itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang sembarangan dan dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam kewaspadaan, dan bahwa seluruh tubuh pemuda itu sekarang sedang dialiri oleh hawa tenaga sakti yang hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya sendiri karena dia mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang sakti, yang hanya memiliki kepandaian sederhana saja.

"Hyaaaatttt...!" Liok-te Sin-mo membentak.

"Heeeeiiiitttt...!" Pat-pi Lo-sian juga memekik keras.

Keduanya sudah menerjang dengan cepat. Dua tangan Liok-te Sin-mo menyerang secara bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar dari atas dan bawah dari lain jurusan.

"Wut-wut-wut, plak-plak-cringgg... tranggg...!"

Dengan gerakan yang sigap bukan main, bahkan terlalu cepat sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan tepat, indah dan kuat.

Setelah dia berhasil menghalau serangan gelombang pertama, kini tubuhnya sudah diam lagi dan kembali dia menghadapi kedua orang lawan di kanan kirinya. Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah menjadi terkejut bukan main.

Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan membuat pedang ular itu terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat, sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja yang disembunyikan di dalam lengan baju dan setiap tangkisan tadi membuat ujung lengan baju itu membalik keras!

In Hong terbelalak. Dia merasa kagum bukan main. Meski pun baru satu gebrakan, akan tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya! Tadi pada waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru sekarang gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat dan juga sangat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi.

Siapakah sebenarnya pemuda ini? Dia menduga-duga dan hatinya makin kagum sungguh pun kekhawatiran masih belum meninggalkan hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya.

Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka dia pun tidak berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkan potongan gagang tombak di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut bukan main dan berseru keras.

Juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru! Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi sinar kehijauan dan kini seakan-akan dua orang Bayangan Dewa itu bukan mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang!

In Hong terbelalak. Gerakan kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw memainkan Ilmu Pedang Thian-te Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, namun karena tangannya sedang memegang sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja, sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dari ayahnya!

Ilmu pemuda itu memang sangat tinggi, apa lagi dia memainkan dua ilmu yang digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya dan bingung.

Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak serta menghujankan serangan, sekarang malah berbalik didesak hebat, dihimpit oleh serangan yang datang dari delapan penjuru. Kini mereka berdua itu dengan muka pucat hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur.

Bun Houw mempercepat gerakan ‘pedangnya’. Kini pemuda itu menambah serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang yang mengandung hawa mukjijat sepenuhnya!

Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong makin terbelalak dan sekarang dia tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas menggunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mukjijat yang pernah dia pelajari dari pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat sekali!

Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta Lama itu?

Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo semakin terdesak. Kini keringat dingin membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu langsung terpental. Demikian pula dengan ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu atau dengan tangan kiri pemuda itu.

"Bersiap-siaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-han di alam baka!" Tiba-tiba Bun Houw berseru dan gerakannya menjadi makin cepat dan makin kuat.

Pat-pi Lo-sian mengeluarkan suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itu bergerak hidup seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw!

Hebat bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bun Houw bersikap tenang.

Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu cepat dihindarkan dengan gerakan tubuh yang dimiringkan dengan mengubah kuda-kuda kaki, sehingga pedang itu hanya menyeleweng ke samping kiri tubuhnya. Kemudian, dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut yang mengancam matanya dan sebelum Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sempat menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelangan tangan itu dengan tangan kirinya.

"Augghhhhhhh...!" Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya.

Rasa nyeri dan kemarahan membuat dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan Gu Lo It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw.

"Trakkk! Krekkkk...!”

“Aiiihhhh...!" Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan, sedangkan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram.

"Bukkk! Bukkk!"

Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw setelah dia melindungi punggungnya dengan sinkang-nya yang amat kuat. Kemudian dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu Lo It dengan amat kuatnya.

"Brressssss...!"

Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu menimpa tubuh Gu Lo It hingga keduanya jatuh tunggang langgang. Sebelum mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan mampu bangkit kembali, nampak sinar hijau berkelebat dua kali dan terdengar pekik-pekik mengerikan.

Dua orang Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas seketika. Hanya ada sedikit darah yang mengucur keluar dari tengkuk mereka yang ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.

Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak tersangka-sangka itu. Akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji, terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang sangat meriah dan di antara mereka yang bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega bukan main!

Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik pada muridnya, "Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang sangat berbahaya, muridku. Kau harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya..."

Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, "Pemuda itu amat mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid sembarangan..."

Akan tetapi Bun Houw tidak mempedulikan sorak-sorai pujian itu. Dia membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata,

"Terima kasih atas kemurahan hati paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh-musuh saya. Sesudah kini mereka semua tewas, saya mohon kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari tempat ini."

"Bocah she Bun, nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok telah berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap menantang! "Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa yang kepandaiannya paling tinggi, dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-bhok-kiam! Bukankah demikian, sri baginda?"

Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak mempedulikan urusan pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu. Bagi raja ini, siapa pun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya. "Siapa pun yang memiliki urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh diselesaikan sekarang di sini," jawabnya mengangguk.

Bun Houw memutar tubuhnya perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berubah merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi Kiok ini.

Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari enci-nya! Baru sekarang dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampas Siang-bhok-kiam!

"Subo... Bun-ko... jangan...!" terdengar suara In Hong khawatir.

Akan tetapi Bun Houw tidak peduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya. Gadis yang ternyata juga amat kejam! Agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah dia kepada Yo Bi Kiok.

Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.

"Orang muda she Bun," Yo Bi Kik berkata. "Demi persahabatanmu dengan muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding."

Namun pada waktu itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi. "Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah pusaka Cin-ling-pai dan siapa pun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!"

Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu, kemudian dagu yang runcing manis itu diangkat. "Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?"

"Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih penting lagi! Aku mendengar tadi bahwa engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?"

"Bocah she Bun, tidak perlu engkau lancang hendak mencampuri urusan orang lain! Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu saja, mengerti? Sebagai sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau juga harus menjadi seorang... kekasih yang baik, jangan menjadi seorang lelaki yang berhati palsu. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi mereka itu. Tidak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?"

Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketahui oleh siapa pun juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya terhadap In Hong, agaknya sudah diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja!

Kedua, wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Maka lapanglah hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini. Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenek itu, yang tadi menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan pedang pusaka itu!

"Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan dulu sebab yang penting sekarang adalah persoalan yang engkau lakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?"

"Kalau benar, kau mau apa?" Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek karena hatinya menjadi jengkel sekali.

Ia teringat akan Lie Seng, bocah yang telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta Lama yang sangat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia balas menyerang anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus!

"Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!" Bun Houw membentak marah.

"Bun-ko...!" In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!"

"Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"

"Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo..."

"Hong-moi!" Bun Houw membentak.

"Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko."

"Hong-moi...!" Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.

Pada saat itu, tedengar seruan. "Tahan...!"

Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.

"Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun Houw.

"Suheng...!" Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati pemuda ini masih penasaran bertemu dengan Yap Kun Liong, orang yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga enci-nya.

In Hong juga terkejut bukan main melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu digunakannya untuk mundur dengan hati lega karena dia pun melihat Bun Houw mundur dengan muka berubah. In Hong semakin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.

Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berubah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.

Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong. Saat mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sute-nya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka dia pun lalu menyusul.

Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Sang.

Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi terkejut dan marah sekali, maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.

Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang sudah mundur dari menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu dan berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang."

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andai kata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia sudah memberi isyarat untuk menangkap penyelundup itu.

Ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya menjadi sangat tertarik. Namun kini mendengar ucapan Yap Kun Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak, "Siapakah engkau?!"

"Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata.

Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada lagi kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan dari pada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.

"Adikku...!" Dia berbisik dengan hati terharu.

Akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.

Memang dugaan In Hong tepat sekali. Mendengar seruan gadis yang amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.

"Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.

"Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di sini..."

"Ouhhhh...!" Yang menjerit ini adalah In Hong.

Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan muka bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera dari ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan!

Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang demikian lihai, tentu saja Cia Bun Houw!

Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya dara yang amat mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!

"Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacau benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Sesudah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Karena itu saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."

Melihat sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.

"Baik, silakan."

Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandangan matanya penuh selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang kuharap engkau suka berterus terang apa saja yang sudah kau lakukan di Sin-yang, dan ke mana engkau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."

Sejenak Yo Bi Kiok memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu, memandang merana, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa pedulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?"

"Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"

"Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"

"Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.

"Sute, biar aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku sudah bersumpah kepada enci-mu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya," kata Kun Liong kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"

"Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku akan memaksamu."

"Kun Liong... ah, Kun Liong, kenapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu."

Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya terasa menusuk, "Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie Seng?"

Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. "Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu dari pada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"

"Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."

"Singgggg...!" Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam.

"Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong.

Pendekar ini cepat mengelak. Akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.

"Plakkk!"

Dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.

Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak mempergunakan senjata, dan sebenarnya, di dalam hatinya Yap Kun Liong merasa sangat kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih saja tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya.

Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat ini, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang.

Walau pun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dengan keluarga enci-nya terjadi hal yang sangat hebat, akan tetapi melihat Kun Liong sekarang bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong.

Maka, melihat pendekar ini menghadapi ketua Giok-hong-pang itu dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi sangat gelisah. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, secara diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya sangat memuji-muji suheng-nya ini. Gerakan suheng-nya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikit pun kesalahan. Perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.

Semua orang, juga termasuk kakek serta nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh kedua orang yang sedang bertanding itu adalah benar-benar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak mempunyai kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!

Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya sudah ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima, dan sekarang dia bahkan menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dengan gurunya!

Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perubahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami peristiwa yang sangat hebat!

Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan antara kakaknya dan gurunya, sebenarnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.

Betapa pun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah sekali. Dia tahu betapa lihai gurunya, apa lagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong.

Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tak berfihak pada siapa pun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...!

Tiba-tiba saja hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko, pakailah ini, baru adil!"

Sesungguhnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.

Kalau perlu, dengan mengandalkan Thi-khi I-beng, dengan menggunakannya sedemikian rupa sehingga lawannya tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya yang sudah digemblengnya dengan dasar ilmu mukjijat dari kitab Keng-lun Tai-pun peninggalan Bun Ong, maka dia percaya bahwa akhirnya dia akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya.

Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perubahan pada adiknya.

Dahulu, pada waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berubah, bahkan sudah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut sekali karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang ampuhnya bukan main! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.

Terdengar suara mengaung-aung, bagaikan ada ribuan lebah beterbangan sehingga baik Bun Houw mau pun In Hong memandang kagum sekali. Setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini pedang Hong-cu-kiam itu seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amat banyaknya sehingga selain nampak amat indah, juga sangat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!

Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong!

Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantu dirinya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.

"Murid durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!

"Ihhhhh...!" In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.

"Subo...!" In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.

"Bi Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.

"Cringg... cringg... tranggg!"

Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa mempedulikan dirinya sendiri.

"Singgg... Wuuuttt!"

"Murid durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang cepat meloncat mundur.

"Bukkk...!”

“Aiihhhh!" In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling.

Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun batin gadis itu memang sedang tertekan hebat. Hanya dengan hati berat dan sakit saja dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi.

Tadi dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, serta menyayanginya. Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menduga akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya!

"Bi Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik dari pada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.

"Cringggg... ceppp!"

"Aihhhh...!" Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.

"Bi Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut di dekat tubuh wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!"

Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Bagaimana pun juga, kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apa lagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.

Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jemari tangannya, membasahi bajunya.

"Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."

Wanita itu mengulurkan tangan kanannya dan Kun Liong langsung menangkap tangan itu, mendekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."

Tiba-tiba wanita itu tertawa. "Hi-hik-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."

"Maafkan aku, ampunkan aku..."

"Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguh pun... aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu... ahhh, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh, kau terkejut...? Aku… aku sudah membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha-ha, putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"

"Bi Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan rasa penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berubah menjadi iblis yang demikian kejamnya. "Kau... kau kejam sekali!"

"Heh-heh-heh... aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak akan... ahhhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!"

"Suheng...!"

"Koko, awas...!"

Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapa pun cepatnya Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!

"Yap-suheng...!" Bun Houw langsung menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suheng-nya.

Akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, "Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw.

Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil namun kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang telah penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.

"Lekas kau carikan tempat untuk memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw.

Pemuda itu cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah pada dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, kemudian mengerahkan tenaga saktinya menyedot.

Tidak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali sudah menempel pada telapak tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Pada saat Bun Houw datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.

"Uhhhh...!" Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.

"Koko, engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.

Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang, kemudian dia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo Bi Kiok.

Dia menghampiri mayat itu. Dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan sinkang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.

"Hebat...!" Tiba-tiba saja terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi mencekam keadaan di situ sejak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!"

Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Sekarang semua urusan pribadi sudah selesai dan musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.

Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, kini terserah kepada suhu Pek-hiat Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.

Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan dia pun tidak tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat dua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya tentang pedang itu.

Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. "Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dengan Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."

"Ho-ho-ho, nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa kemudian melangkah maju, sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur."

"Silakan bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu. Dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.

"Siapakah namamu yang sesungguhnya?"

"Nama saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong.

Akan tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa dara itu pun tadinya hanya dikenalnya sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!

"Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.

"Benar."

"Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka mayat.

Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.

"Benar," jawabnya pula. "Bahkan, walau pun mendiang Panglima Besar The Hoo telah meninggal dunia, tiap saat ayahku tetap setia menyediakan jiwa raganya untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."

"Ho-ho-ho, baguslah kalau begitu! Nah, kini dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pedang Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan apa bila Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"

Bun Houw terbelalak dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan ketegangan hatinya, Bun Houw baru menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran. "Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo sudah meninggal dunia, bagaimana dapat menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.

"Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.

"Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil bila tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil menunggu wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."

Bun Houw menjadi marah sekali. "Biar sekarang juga aku menjadi wakilnya!" bentaknya.

"Dan aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat pula ke dekat Bun Houw yang mengerlingnya. Gadis itu juga melirik dan mereka saling bertemu pandang dalam kerling mereka.

"Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.

"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.

Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia sudah memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.

"Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-hiat Mo-ko berkata mengejek...
Selanjutnya,