Dewi Maut Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA pihak kerajaan mendengar tentang gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja mereka pun langsung bergerak mengirimkan bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan berjumpa dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong bersama puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak mempedulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan.

Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa di kota raja sudah terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan, apa lagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar telah mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan!

Sebetulnya, di dalam hati Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena dia pun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar ini pun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!

Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Meski pun mendapat bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat!

Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apa lagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Pihak kerajaan terlalu memandang rendah terhadap Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh dari pada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para prajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari prajurit-prajurit gemblengan yang di samping telah terlatih kehidupan yang keras dan sulit, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang dahulu pernah menjadi bangsa yang jaya.

Memang hebat gerakan Sabutai dan ternyata tak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang dahulu pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia menggunakan siasat yang amat hebat hingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan seluruh rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!

Cia Keng Hong sangat prihatin melihat keadaan ini. Dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat dari pada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini disebabkan kerajaan sedang dalam keadaan kacau balau dan para pembesar militer pun sudah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.

Setelah datangnya bala bantuan, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, barulah kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai bisa dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja.

Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa, yang selalu dalam saat-saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka guna menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong!

Walau pun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar ini pun cepat melupakan semua urusan pribadinya dan langsung saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.

Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan hingga akhirnya dia menarik mundur sisa-sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang sudah dirampasnya ketika dia menyerbu ke selatan.

Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol semakin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta supaya mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar.

"Kasihan sekali sri baginda kaisar," pada suatu petang In Hong sengaja memancing di depan Khamila. "Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan."

Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian dia bertanya lirih, "Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan memiliki ilmu tinggi. Bagaimana pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah tertawan, akan tetapi dia tak pernah sudi menyerah, tak pernah mau tunduk dan sama sekali tidak takut mati."

Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia lalu menjawab, "Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang amat mengagumkan." In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan lagi, "Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan."

"Maksudmu... sepatutnya dia bebas?"

In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila membuka mulut berkata,

"Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?"

In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguh pun pendekar wanita ini mimpi pun tidak bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar yang menjadi tawanan itu!

"Bagaimana saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah saya dan pula... sungguh pun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus menjaga keselamatan paduka..."

"Kau bebaskanlah beliau, biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-apa..." kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.

"Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?"

"Ehhh...?" Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. "Apa maksudmu...?"

"Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah atau bercuriga. Kemudian, bila mana saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja Sabutai."

"Ahhh...!" Sejenak sepasang mata itu berseri-seri dan bersinar mengingat bahwa dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang tengah dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena betapa pun juga, dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati itu. "Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subo-nya bagaikan iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu..."

"Kita harus cerdik, dan kita bergerak sesudah mereka itu keluar dari benteng menyambut musuh."

Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu, bukti yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Maka dia segera setuju dan dua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat.

Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan.

Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung datang tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang sudah menyelidiki bahwa musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu. Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.

Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, sesudah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng tengah sibuk menghadapi musuh, terdengar suara bising di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu.

Para penjaga di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apa lagi dikawal sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang prajurit biasa. Tidak ada seorang pun berani membantah atau menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam keadaan yang berbahaya seperti itu.

"Justru karena keadaan amat berbahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!" jawab In Hong dan kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi.

Dengan mudah saja In Hong dan ‘prajurit pengawal’ yang bukan lain orangnya adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat atau pintu rahasia yang terdapat di tempat tersembunyi di belakang benteng itu. Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar mau pun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.

"Cepat kita lari ke hutan itu...!" In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu.

Kaisar yang menyamar sebagai prajurit itu segera menarik kereta joli yang diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka lalu menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan yang gelap.

"Heiiii...! Tunggu...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang prajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi!

"Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!" In Hong berbisik.

Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang tapi dengan hati bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka.

"Hemmm, kalian mau apa?" In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan sikap marah menantang.

"Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan sudah lenyap!" kata kepala jaga sambil memandang dengan penuh kecurigaan. Segera obor-obor yang dibawa oleh para prajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.

"Tawanan siapa?" In Hong berkata dengan suara nyaring dan disengaja agar kaisar yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.

"Kaisar itu! Dia telah lenyap."

"Hemm, biar pun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak berada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa mengejar aku?"

"Lihiap... ehhh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama seorang prajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa di dalam benteng tidak ada prajurit pengawal seperti itu. Di manakah mereka? Di manakah prajurit itu dan sang ratu?"

"Kurang ajar! Kau menuduh aku...?"
"Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, aku harap lihiap suka memperlihatkan surat perintah sri baginda!"

"Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah aku menyelamatkan ratu!"

"Hemmm, sikap lihiap sungguh mencurigakan sekali! Di mana sang ratu? Dan di mana pula tawanan itu kau sembunyikan?" Kepala jaga itu memberi isyarat sambil melangkah maju dan selosin prajurit itu lalu mengurung In Hong.

"Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian inilah yang mencurigakan, tentu kalian adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!" sambil berkata begitu, In Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekali berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kemudian terdengar pekik susul-menyusul ketika dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah roboh dan tewas!

Kepala penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat hingga dapat dikejar oleh pasukan besar, dan tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah.

Pedang Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah, sinarnya bergulung-gulung, lantas para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan susul menyusul dan dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga belas orang itu sudah roboh dan tewas!

In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor yang masih bernyala.

"Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!" serunya perlahan ke arah semak-semak itu.

Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa kaisar tawanan itu merangkul leher Khamila, ada pun ratu itu merangkul pinggang kaisar, In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini?

Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biar pun ada baiknya kalau ratu ini bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih yang begitu mesra!

"Sekarang dengan cepat kita pergi memasuki hutan," katanya singkat dan dia mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para prajurit penjaga.

Dapatlah dibayangkan alangkah sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan pada waktu malam gelap, melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung...!

Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang menuntunnya, menghibur dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.

"Aduh... kakiku rasanya seperti mau patah-patah...," Khamila mengeluh dan dia duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.

Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa yang berada di hadapannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja Sabutai, tentu dia telah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi tanpa peduli akan mereka lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, tanpa menoleh dia berkata,

"Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi." Suaranya dingin dan datar.

Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan tetapi dia tidak peduli dan dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan kiranya Khamila yang duduk di sebelahnya dan kemudian merangkulnya.

"Hong-lihiap... ehh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggap engkau sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kau maafkanlah kami berdua..."

In Hong mengerutkan sepasang alisnya dan membuang muka. "Urusan kalian tidak ada sangkut pautnya dengan aku!" katanya lirih dan dingin.

Khamila menarik napas panjang. "Tentu engkau akan menganggap bahwa kami berdua tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama..."

"Ehhh? Bagaimana...?" In Hong terkejut juga mendengar ini.

"Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan sebaliknya beliau juga cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya. Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban sampai seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian... aku akan turut denganmu dan kembali kepada suamiku." Suaranya menjadi berduka sekali.

"Hemmm..." In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk. Melihat In Hong memandang kepadanya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih.

"Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan...," kata In Hong dan dia lalu bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.

Sampai dua hari dua malam mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu menjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw! Membayangkan dia berkasih-kasihan dengan Bun Houw seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri sendiri.

"Sungguh tidak tahu malu kau!" bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan.

Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang sangat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar dan Khamila yang mengumpulkan daun-daun kering, mendadak terdengar suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang membuat In Hong terkejut sekali hingga pendekar wanita ini melepaskan ranting yang dipegangnya. Di hadapannya sudah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam Wang Cin itu!

Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia bahkan bersikap tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin, lalu terdengarlah dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, "Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?"

"Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?"

Sebelum In Hong sempat menjawab, tiba-tiba saja kaisar yang telah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan suaranya yang lantang, "Kami melihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian belum menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha si pengkhianat Wang Cin telah mengalami kegagalan dan berada di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!"

Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya, semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak keempat orang tua itu tak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya kembali dan dengan suara yang kurang galak dia berkata,

"Kami mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng."

Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, sebuah gerakan yang juga mengandung wibawa, kemudian dia berkata lantang, "Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai dari pada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?"

In Hong langsung mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga semakin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah sikapnya. "Tentu saja hamba berani!" jawabnya tegas.

"Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!" kata pula kaisar.

Dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan. Meski pun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Enci Hong, hati-hatilah...!" Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.

In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia semakin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka.

Apa lagi dia sendiri memang semenjak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik jelita yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu.

In Hong lalu melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata, "Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanya terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, sam-wi boleh pergi meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!"

Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena meski pun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!

"Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kau kira menghadapi kami akan semudah itu? Kau kira membunuh kami akan semudah engkau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh-heh, jangan mimpi!"

Ucapan Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang semenjak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berubah, lalu dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya semakin tercurah karena hatinya tertarik sekali.

Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba saja laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia sudah lenyap ke dalam semak-semak belukar.

Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu.

In Hong dan empat orang tua yang tengah dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di hadapan masing-masing. Andai kata tidak sedang demikian, betapa pun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai.

Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, lantas matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. "Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutar balikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tak ada alasan bagiku kenapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguh pun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju jika muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina..."

"Bocah setan, makanlah tongkatku!" teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur cepat sekali, digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.

"Huhh!" In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh.

Go-bi Sin-kouw sudah terlampau tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya telah banyak berkurang maka biar pun dia masih sangat lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkannya dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.

Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan mata pada waktu melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apa lagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok!

Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alis, dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikit pun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!

"Gila... sungguh gila benar!" Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri. "Gila dan aneh." Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru.

Gadis cantik itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat.

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitamnya dengan hati penuh penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya seperti puluhan tahun yang lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan ginkang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda.

Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini sangat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang telah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya.

Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Meski pun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong.

In Hong dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali senjata bertemu, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau senjata mereka terpental, dan Hwa Hwa Cinjin pun dengan susah payah baru dapat mengimbangi tenaganya. Akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, In Hong merasa betapa telapak tangannya tergetar!

Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, bahkan mendesak pun tidak mampu dan dara itu dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tak kalah ampuhnya. Malah ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat pahanya terasa nyeri.

Marahlah Hwa Hwa Cinjin. Dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan sesudah menggunakan ilmu ini, mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat tangguh.

Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan bajunya menjadi lebih antep dan kuat.

In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan berbareng tongkat hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya.

"Cring-cring...! Singgggg...!"

Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu.

"Wuutttttt...! Plakkk!"

Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat ‘memasuki’ lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sinkang keras hingga rambut itu menjadi kaku dan hudtim itu seolah-olah berubah menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya!

Kagetlah In Hong karena pada saat itu pedangnya telah diputarnya lagi untuk menghalau sinar hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai untuk menangkis hudtim yang mengancam ulu hatinya, sedangkan untuk mengelak, kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak dan otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagai ‘hadiah’ dari Kok Beng Lama.

"Wuuuttttt...! Plakkk! Dessss...!”

“Aughhhhhh...!" Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang dan terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur dan berhasil menggempur dada kakek itu.

Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah dan agaknya di saat itu juga nyawanya sudah hampir putus. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang!

Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang secara nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diselingi dengan totokan-totokan maut yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya.

In Hong yang juga tergetar pada waktu melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te Sin-ciang tadi, sekarang langsung memutar pedangnya menangkis. Dia harus cepat-cepat menggerakkan pedang karena kedua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan marah sekali hingga dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua senjata nenek itu.

Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan hudtim-nya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur deras bagai anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas.

In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu masih dapat menyerang demikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya.

Akan tetapi pada saat itu pula, Bouw Thaisu yang sangat penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, lantas kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya!

Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong saja! Akan tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka, karena itu dari pada tubuhnya ‘dimakan’ oleh senjata ujung lengan baju, lebih baik dia mencoba tangan kirinya.

"Desss...! Plakk...!"

Tubuh Bouw Thaisu berputaran dengan terhuyung. Kakek ini kaget setengah mati karena tangan kiri dara itu ternyata dapat menangkis bahkan mengembalikan lengan baju kirinya dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga tubuhnya ikut berputar. Akan tetapi In Hong mengeluh karena pundaknya kena diserempet ujung lengan baju kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia berjungkir-balik untuk menghindarkan serbuan musuh.

In Hong menggigit bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan baju dan nyerinya bukan main. Walau pun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi pundak kiri itu terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah lumpuh!

Bouw Thaisu dan dua orang nenek itu menerjang kembali, akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon terdengar seruan, "Tua bangka-tua bangka pengecut!"

Sesosok bayangan wanita menyambar turun dan tahu-tahu Yo Bi Kiok sudah berada di situ!

"Kalian hanya berani mengeroyok seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya, majulah kalau kalian sudah bosan hidup!"

Hek I Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sahabatnya, dan juga kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak tewas, maka tanpa mempedulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu amat lihai itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In Hong!

Melihat ini, Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga ikut menerjang maju menghadapi Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang yang sudah mencabut keluar Lui-kong-kiam di tangan kanan dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah kini pertandingan dua rombongan yang sangat seru.

In Hong hanya menghadapi seorang lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya masih agak lumpuh, maka tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya mengandalkan gerakan pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya menjadi seimbang juga dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara mati-matian.

Walau pun Yo Bi Kiok sangat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya, akan tetapi pertandingan antara dia dan dua orang tua itu pun hebat dan seru sekali. Boleh jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih kalah jauh olehnya, akan tetapi tingkat Bouw Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia hanya menang cepat dan juga mempunyai dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni, warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga sesudah bertanding lima puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung!

Bouw Thaisu terkejut dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khikang dan kedua tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak dan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-kouw yang cepat-cepat menangkis.

"Trakkk!"

Tongkat butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat meloncat jauh ke belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan tahu-tahu dia sudah berada di belakang kaisar dan Khamila, menodongkan sisa tongkatnya yang tinggal sepotong itu kemudian membentak,

"Tahan senjata! Kalau tidak, akan kubunuh kaisar!"

"Subo, harap mundur...!" In Hong berteriak kaget. Dia sendiri cepat mundur meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi.

"Jangan mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek iblis ini. Biarlah kalau dia mau membunuh kami!" Kaisar berkata, sedikit pun tidak takut biar pun tongkat itu sudah menodong kepalanya.

"Subo... harap mundur...!" kembali In Hong berteriak.

Dengan ketawa mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini dapat bernapas lega. Tadi dia sudah terdesak hebat, nyaris tewas oleh sinar pedang kilat yang bergulung-gulung.

"Hemm, tua bangka curang!" Yo Bi Kiok berseru. "Akan tetapi memang cukup berharga kalau sri baginda kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian bertiga!"

"Sri baginda akan kubunuh apa bila kalian tidak mau membiarkan kami pergi," kata Go-bi Sin-kouw. "Yo-pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau berjanjilah bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan kaisar! Hayo berjanji!"

Yo Bi Kiok kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang telah amat ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh kaisar serta Khamila, In Hong cepat berkata,

"Subo, berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk dikorbankan!"

Yo Bi Kiok mendengus, kemudian dengan perasaan gemas dia berkata, "Nenek iblis tua bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi apa bila kau membebaskan kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku, kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!"

"Nona In Hong, kau pun berjanji yang sama?" Go-bi Sin-kouw bertanya kembali, ditujukan kepada In Hong.

Gadis ini mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat cerdik, karena kalau saja dia tidak disuruh berjanji, begitu kaisar dibebaskan tentu dia akan menyerang nenek itu! Karena nenek itu ternyata cerdik dan menanyanya, terpaksa dia mengangguk.

"Aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi asal sri baginda dibebaskan."

Tiba-tiba saja nenek dari Go-bi itu terkekeh girang, "Bagus, kalian tentu orang-orang yang selalu memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah yang menjadi gara-gara sampai kaisar dapat lolos, maka aku tak akan mengampunimu!" Dia lantas mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu.

"Go-bi Sin-kouw! Tadi kau telah berjanji...!" Akan tetapi In Hong menjadi pucat karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri kaisar, sama sekali tidak menyebut nama Khamila!

"Heh-heh, siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?" Dia mengangkat tongkatnya.

Yo Bi Kiok hanya memandang dengan senyum mengejek, ada pun In Hong berdiri terlalu jauh untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila.

"Mampuslah kau!" Go-bi Sin-kouw lalu menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala Khamila.

Pada saat itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat bayangan putih dan orang itu adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya diangkat menangkis dengan pengerahan tenaga.

"Plakkk... krakkkk!"

Tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya pecah karena ternyata tangkisan kakek itu sedemikian kuatnya hingga pukulan tongkat itu membalik mengenai kepalanya sendiri sampai pecah!

In Hong memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai itu, yang bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Ada pun kaisar sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka dia lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak muda dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti itu, maka dia lalu berkata girang,

"Ahhhh…, ternyata Cia-taihiap ketua Cin-ling-pai yang sudah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila! Sungguh kami merasa girang sekali, Cia-taihiap!"

Cia Keng Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaisar itu dan memberi hormat. Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh pendekar sakti itu berdiri lagi.

Sementara itu, Yo Bi Kiok menjadi marah bukan main karena kemunculan Cia Keng Hong itu seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Karena itu, dengan marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.

"Kalian ini anjing-anjing tua harus mampus!"

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap menghadapi wanita sakti yang galak itu.

"Subo, kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!" In Hong memperingatkan.

Yo Bi Kiok meragu. Sementara itu Cia Keng Hong, kakek yang diam-diam merasa kagum akan sepak terjang Yap In Hong, kini baru tahu mengapa gadis puteri sahabat baiknya itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak terjangnya. Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya ini!

Di dalam pengintaiannya tadi dia dapat mengenali dasar watak In Hong yang baik, tidak seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tidak mengenal ampun. Maka dia pun berkata, suaranya berwibawa, "Orang yang tidak memegang janjinya adalah orang yang wataknya rendah!"

Yo Bi Kiok bagaikan disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-ling-pai itu dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal watak gurunya yang amat keras, cepat menggunakan kesempatan itu berkata kepada Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw,

"Ji-wi locianpwe harap segera pergi dan membawa jenazah mereka."

Sejenak Bouw Thaisu memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata, "Kiranya engkau yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai." Dia mengangguk-angguk. "Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu."

Bouw Thaisu lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw. Sebentar saja bayangan dua orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu.

Yo Bi Kiok sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata mendelik dan muka merah. Dia tidak mempedulikan lagi kakek dan nenek yang melarikan diri itu. Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandangan mata itu menoleh kepadanya, Yo Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali.

Melihat ini, berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan baik dan tahu benar bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan terjadi hal yang hebat. Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Hong, kakek ketua Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya. Maka dia pun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati kaisar dan Khamila yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang.

"Hemmm, kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-ling-pai yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!" Terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya mengandung penuh ejekan.

Cia Keng Hong tersenyum. Dia adalah seorang pendekar sakti, pendekar besar, ketua perkumpulan yang telah sangat terkenal akan kegagahannya, maka dia pun bukan seperti kanak-kanak yang hatinya mudah dibakar. Mendengar kata-kata itu, dia memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal.

"Dan kiranya engkaulah yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap Kun Liong ini..."

"Aku merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, engkau peduli apa? Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?" Yo Bi Kiok membentak makin marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati karena menolaknya.

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak hendak membela siapa-siapa, hanya amat disayangkan bahwa engkau sudah menyeleweng, padahal ternyata engkaulah yang telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo itu."

Yo Bi Kiok tertawa. "Tidak kau sangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk yang dulu pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang sudah kuperoleh ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!"

"Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?" In Hong yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, kini tidak dapat tinggal diam lagi dan menegur dengan halus.

Yo Bi Kiok menoleh kepadanya. "Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai." Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung.

Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok. "Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!"

Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya lantas membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong. "Orang tua..." geramnya. "Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!"

"Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota raja."

"Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai."

"Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu."

"Subo, biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita akan mengantar Ratu Khamila kembali," In Hong berkata dan Cia Keng Hong menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.

Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali dari arah Yo Bi Kiok berdiri, maka tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan sudah mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari bokor emas itu.

Yo Bi Kiok kini telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung tenaga sakti yang sangat hebat. Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah pukulan ini, maka pendekar ini juga mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan dua tangannya menangkis.

"Wuuuutttt...! Plak-plak-duk-duk-dukk!"

Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya! Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dirinya terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!

"Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!"

"Singggg...!" Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut.

Cia Keng Hong lantas memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya. "Yo-pangcu, bukankah itu Lui-kong-kiam yang dulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?" tanyanya sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu.

Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. "Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kau keluarkan pedangmu Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!"

Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak kecil saja. "Yo Bi Kiok, sembarang ranting pun sudah cukuplah untuk menghadapi pedangmu itu."

Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja ia merasa dipandang rendah dan dihina sekali. Maka, sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang, tubuhnya lalu menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung.

In Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subo-nya, benar-benar merupakan bunuh diri!

Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek!

Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis, kemudian kemarahannya memuncak. Dia menjerit panjang dan langsung menyerang lebih hebat dari pada tadi.

"Subo... jangaaaan...!" In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut yang sekaligus merupakan serangan mengadu nyawa, karena dalam serangan ini seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama sekali.

"Cringgg... ceppppp!"

Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok.

Sejenak wanita itu terbelalak, hampir dia tidak mempercayai pandangan matanya sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, maka dia menjadi malu bukan main. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari dari sana dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu suara ketawa ataukah suara menangis!

Cia Keng Hong menghela napas lantas menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan penuh kagum. "Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan," katanya.

"Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun Liong koko," kata In Hong.

"Ahhhhh... begitukah...?" Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya.

Dia tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan bencana kepada manusia, semenjak jaman gurunya masih muda sampai pengalamannya sendiri.

"In Hong," katanya teringat kepada orang tua gadis itu kemudian memanggil nama gadis itu dengan mesra. "Engkau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar kembali ke kota raja."

In Hong mengangguk. Sekarang dia tunduk dan kagum terhadap kakek ini, tidak hanya kagum dengan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum dengan sikapnya.

"Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai."

Cia Keng Hong menghampiri sri baginda kemudian menjura dengan hormat. "Marilah, sri baginda, hamba akan mengawal paduka kembali ke kota raja."

Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila, sementara wanita cantik itu sudah bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan sangat berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka pun saling rangkul.

In Hong menundukkan kepala, sementara Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan dia pun tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap saja mendengar isak tangis Khamila.

"Sri baginda... terpaksa saya harus... harus meninggalkan paduka...," terdengar Khamila terisak.

"Khamila, tidak bisakah... engkau ikut dengan aku untuk selamanya?" suara kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan membujuk kekasihnya.

"Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda."

"Khamila... ahhh, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita dapat berjumpa kembali...?"

"Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di dunia ini kita tak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi..."

"Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu, Khamila..." Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah kalung dari lehernya, kemudian mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil barbisik, "Khamila, kalung ini adalah pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan kepada permaisuriku."

Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, kedua matanya yang berair memandang terbelalak. "Tapi... tapi... kita..."

"Tubuh kita terpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang wanita sekali pun."

"Ahhh, sri baginda..." Khamila menangis, maka makin terharu dan beratlah hatinya untuk berpisah.

"Kau mintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar kalau engkau melahirkan seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku, yaitu Ceng Han Houw."

Sambil mengangguk Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya, kemudian dia berbisik, "Kalau perempuan?"

"Terserah kepadamu."

Setelah mendekap sekali lagi, mereka pun berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In Hong dan pergi dari situ, dlikuti pandang mata kaisar yang berdiri dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari kembali pada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong.

Sesudah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih setia menantinya itu, "Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan dari pada dua orang yang saling mencinta akan tetapi terpaksa harus berpisah?"

Cia Keng Hong yang pada masa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat memaklumi perasaan kaisar di saat itu, akan tetapi dengan jujur dia mengingatkan. "Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria dan wanita pun hanya merupakan sebagian saja dari pada hidup yang luas ini, terlebih lagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di situ masih menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang oleh lain orang."

Ini merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang tajam dan bertanya, "Siapa dia?"

"Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Ceng Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya itu."

Kaisar mengerutkan alisnya. "Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang telah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa, ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai."

Cia Keng Hong kemudian menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui penyelidikannya selama ini. Diceritakannya pula betapa pasukan orang-orang Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian bahkan mereka itu menentang para pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Ceng Ti sebagai pengganti kaisar.

Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Sekarang pikirannya terisi penuh dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali.

Begitulah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan sebaliknya menjauhi yang tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita, maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain.

Padahal setiap kesenangan itu selalu bersanding dengan kekecewaan, kebosanan, dan kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain. Sumber segala kedukaan berada dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan mukjijat dalam diri kita.


"Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?" kaisar bertanya.

"Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, mereka tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin mengantar paduka kepada mereka di kota raja."

"Hemmm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe..."

Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai.

Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong. "Paduka sudah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?"

Khamila menarik napas panjang. "Enci Hong, engkau benar. Aku sudah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi... ahh, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa aku pun harus berpisah darinya... yang ada hanya ini..." Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapa pun juga, karena itu tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. "Hanya ini yang diserahkan padaku...," katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.

"Untuk siapa?" tanyanya.

"Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai." Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Aihhh, tiap kali aku memandangmu, sering timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong."

"Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara."

"Justru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke mana pun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama sekali bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ahhh, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang sangat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang hanya akan mendatangkan duka saja."

Kata-kata itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang semenjak dahulu bebas tidak lagi dapat menikmati kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang-orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri?

Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu?

Tanpa disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh. Kini dia tidak lagi marah terhadap pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak secara sembarangan saja menuduhnya membunuh orang, bukan fitnah kosong belaka, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subo-nya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia.

Namun, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri bersama pasukannya tidak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu kemudian melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya sesudah mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu!

Oleh karena keinginan yang timbul dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya, "Hong-moi...!"

In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu sangat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.

"Hong-moi...!"

In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak marah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir.

"Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?"

Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapi pada saat dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata, "Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?"

Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian kemudian dia mengangguk. "Enci Hong, siapakah dia ini?"

"Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya," jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi, "Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?"

"Aku... aku sudah mendengar semua perbuatanmu yang sangat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!"

In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali.

"Hemm, kalau sudah begitu mengapa?" tanyanya, dingin dan angkuh.

Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, "Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apa lagi aku pun mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!"

"Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?" Tiba-tiba saja Khamila bertanya.

Bun Houw mengangguk membenarkan.

"Bagaimana kesehatan beliau?" tanya pula ratu itu.

Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan oleh suaminya! Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya belum menceritakan secara lengkap, apa lagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan kaisar.

"Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja."

"Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?" kini In Hong bertanya.

"Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apa bila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang telah mengutus aku karena beliau sedang tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal."

"Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?"

Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. "Akan tetapi... sebagai penyelamat kaisar... engkau harus dibantu..."

"Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?"

"Hemm... tentang itu... ehh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tak mau membicarakan hal itu lagi. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe."

In Hong menjadi marah. "Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku adalah seorang pembunuh. Nih, kau terima kembali pedangmu, bisa kotor bila terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!"

Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dulu dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisahkan. "Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!"

"Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!"

"Tidak, aku pun tidak mau menerimanya kembali."

Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sebenarnya amat disayangnya itu.

"Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kau katakan?" Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya.

"Mari kita pergi saja!" Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw.

Pemuda ini masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia kini memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa?

Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengarlah suara berisik dan tahu-tahu tempat itu sudah dikurung oleh ratusan orang prajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri tegak memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata,

"Hamba diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng."

Puteri Khamila mengerutkan alisnya. "Kini aku pun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini." Puteri Khamila memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengan sinar mata melindungi, kemudian mengangguk kepada mereka. "Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, marilah ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai sehingga semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan."

Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah bersiap untuk melawan, akan tetapi diam-diam In Hong amat khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apa lagi di situ masih ada ratusan orang prajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka dia pun mengangguk.

Bun Houw juga tak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biar pun disuruh memasuki neraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang prajurit yang seakan-akan ‘mengawal’ mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti.

Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri-seri sesudah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia segera bangkit berdiri dan memegang tangan isterinya, kemudian menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata,

"Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin."

Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik, "...hamba... kaisar..."

Raja Sabutai tersenyum kemudian menyentuh tangan isterinya. "Aku memang bermaksud membebaskannya..." Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 26

Dewi Maut Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA pihak kerajaan mendengar tentang gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja mereka pun langsung bergerak mengirimkan bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan berjumpa dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong bersama puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak mempedulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan.

Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa di kota raja sudah terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan, apa lagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar telah mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan!

Sebetulnya, di dalam hati Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena dia pun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar ini pun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!

Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Meski pun mendapat bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat!

Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apa lagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Pihak kerajaan terlalu memandang rendah terhadap Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh dari pada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para prajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari prajurit-prajurit gemblengan yang di samping telah terlatih kehidupan yang keras dan sulit, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang dahulu pernah menjadi bangsa yang jaya.

Memang hebat gerakan Sabutai dan ternyata tak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang dahulu pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia menggunakan siasat yang amat hebat hingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan seluruh rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!

Cia Keng Hong sangat prihatin melihat keadaan ini. Dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat dari pada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini disebabkan kerajaan sedang dalam keadaan kacau balau dan para pembesar militer pun sudah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.

Setelah datangnya bala bantuan, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, barulah kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai bisa dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja.

Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa, yang selalu dalam saat-saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka guna menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong!

Walau pun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar ini pun cepat melupakan semua urusan pribadinya dan langsung saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.

Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan hingga akhirnya dia menarik mundur sisa-sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang sudah dirampasnya ketika dia menyerbu ke selatan.

Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol semakin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta supaya mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar.

"Kasihan sekali sri baginda kaisar," pada suatu petang In Hong sengaja memancing di depan Khamila. "Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan."

Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian dia bertanya lirih, "Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan memiliki ilmu tinggi. Bagaimana pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah tertawan, akan tetapi dia tak pernah sudi menyerah, tak pernah mau tunduk dan sama sekali tidak takut mati."

Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia lalu menjawab, "Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang amat mengagumkan." In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan lagi, "Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan."

"Maksudmu... sepatutnya dia bebas?"

In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila membuka mulut berkata,

"Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?"

In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguh pun pendekar wanita ini mimpi pun tidak bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar yang menjadi tawanan itu!

"Bagaimana saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah saya dan pula... sungguh pun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus menjaga keselamatan paduka..."

"Kau bebaskanlah beliau, biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-apa..." kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.

"Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?"

"Ehhh...?" Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. "Apa maksudmu...?"

"Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah atau bercuriga. Kemudian, bila mana saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja Sabutai."

"Ahhh...!" Sejenak sepasang mata itu berseri-seri dan bersinar mengingat bahwa dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang tengah dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena betapa pun juga, dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati itu. "Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subo-nya bagaikan iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu..."

"Kita harus cerdik, dan kita bergerak sesudah mereka itu keluar dari benteng menyambut musuh."

Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu, bukti yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Maka dia segera setuju dan dua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat.

Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan.

Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung datang tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang sudah menyelidiki bahwa musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu. Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.

Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, sesudah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng tengah sibuk menghadapi musuh, terdengar suara bising di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu.

Para penjaga di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apa lagi dikawal sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang prajurit biasa. Tidak ada seorang pun berani membantah atau menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam keadaan yang berbahaya seperti itu.

"Justru karena keadaan amat berbahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!" jawab In Hong dan kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi.

Dengan mudah saja In Hong dan ‘prajurit pengawal’ yang bukan lain orangnya adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat atau pintu rahasia yang terdapat di tempat tersembunyi di belakang benteng itu. Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar mau pun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.

"Cepat kita lari ke hutan itu...!" In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu.

Kaisar yang menyamar sebagai prajurit itu segera menarik kereta joli yang diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka lalu menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan yang gelap.

"Heiiii...! Tunggu...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang prajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi!

"Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!" In Hong berbisik.

Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang tapi dengan hati bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka.

"Hemmm, kalian mau apa?" In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan sikap marah menantang.

"Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan sudah lenyap!" kata kepala jaga sambil memandang dengan penuh kecurigaan. Segera obor-obor yang dibawa oleh para prajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.

"Tawanan siapa?" In Hong berkata dengan suara nyaring dan disengaja agar kaisar yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.

"Kaisar itu! Dia telah lenyap."

"Hemm, biar pun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak berada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa mengejar aku?"

"Lihiap... ehhh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama seorang prajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa di dalam benteng tidak ada prajurit pengawal seperti itu. Di manakah mereka? Di manakah prajurit itu dan sang ratu?"

"Kurang ajar! Kau menuduh aku...?"
"Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, aku harap lihiap suka memperlihatkan surat perintah sri baginda!"

"Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah aku menyelamatkan ratu!"

"Hemmm, sikap lihiap sungguh mencurigakan sekali! Di mana sang ratu? Dan di mana pula tawanan itu kau sembunyikan?" Kepala jaga itu memberi isyarat sambil melangkah maju dan selosin prajurit itu lalu mengurung In Hong.

"Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian inilah yang mencurigakan, tentu kalian adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!" sambil berkata begitu, In Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekali berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kemudian terdengar pekik susul-menyusul ketika dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah roboh dan tewas!

Kepala penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat hingga dapat dikejar oleh pasukan besar, dan tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah.

Pedang Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah, sinarnya bergulung-gulung, lantas para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan susul menyusul dan dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga belas orang itu sudah roboh dan tewas!

In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor yang masih bernyala.

"Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!" serunya perlahan ke arah semak-semak itu.

Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa kaisar tawanan itu merangkul leher Khamila, ada pun ratu itu merangkul pinggang kaisar, In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini?

Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biar pun ada baiknya kalau ratu ini bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih yang begitu mesra!

"Sekarang dengan cepat kita pergi memasuki hutan," katanya singkat dan dia mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para prajurit penjaga.

Dapatlah dibayangkan alangkah sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan pada waktu malam gelap, melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung...!

Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang menuntunnya, menghibur dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.

"Aduh... kakiku rasanya seperti mau patah-patah...," Khamila mengeluh dan dia duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.

Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa yang berada di hadapannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja Sabutai, tentu dia telah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi tanpa peduli akan mereka lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, tanpa menoleh dia berkata,

"Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi." Suaranya dingin dan datar.

Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan tetapi dia tidak peduli dan dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan kiranya Khamila yang duduk di sebelahnya dan kemudian merangkulnya.

"Hong-lihiap... ehh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggap engkau sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kau maafkanlah kami berdua..."

In Hong mengerutkan sepasang alisnya dan membuang muka. "Urusan kalian tidak ada sangkut pautnya dengan aku!" katanya lirih dan dingin.

Khamila menarik napas panjang. "Tentu engkau akan menganggap bahwa kami berdua tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama..."

"Ehhh? Bagaimana...?" In Hong terkejut juga mendengar ini.

"Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan sebaliknya beliau juga cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya. Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban sampai seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian... aku akan turut denganmu dan kembali kepada suamiku." Suaranya menjadi berduka sekali.

"Hemmm..." In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk. Melihat In Hong memandang kepadanya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih.

"Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan...," kata In Hong dan dia lalu bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.

Sampai dua hari dua malam mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu menjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw! Membayangkan dia berkasih-kasihan dengan Bun Houw seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri sendiri.

"Sungguh tidak tahu malu kau!" bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan.

Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang sangat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar dan Khamila yang mengumpulkan daun-daun kering, mendadak terdengar suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang membuat In Hong terkejut sekali hingga pendekar wanita ini melepaskan ranting yang dipegangnya. Di hadapannya sudah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam Wang Cin itu!

Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia bahkan bersikap tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin, lalu terdengarlah dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, "Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?"

"Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?"

Sebelum In Hong sempat menjawab, tiba-tiba saja kaisar yang telah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan suaranya yang lantang, "Kami melihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian belum menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha si pengkhianat Wang Cin telah mengalami kegagalan dan berada di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!"

Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya, semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak keempat orang tua itu tak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya kembali dan dengan suara yang kurang galak dia berkata,

"Kami mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng."

Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, sebuah gerakan yang juga mengandung wibawa, kemudian dia berkata lantang, "Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai dari pada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?"

In Hong langsung mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga semakin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah sikapnya. "Tentu saja hamba berani!" jawabnya tegas.

"Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!" kata pula kaisar.

Dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan. Meski pun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Enci Hong, hati-hatilah...!" Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.

In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia semakin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka.

Apa lagi dia sendiri memang semenjak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik jelita yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu.

In Hong lalu melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata, "Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanya terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, sam-wi boleh pergi meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!"

Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena meski pun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!

"Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kau kira menghadapi kami akan semudah itu? Kau kira membunuh kami akan semudah engkau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh-heh, jangan mimpi!"

Ucapan Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang semenjak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berubah, lalu dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya semakin tercurah karena hatinya tertarik sekali.

Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba saja laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia sudah lenyap ke dalam semak-semak belukar.

Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu.

In Hong dan empat orang tua yang tengah dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di hadapan masing-masing. Andai kata tidak sedang demikian, betapa pun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai.

Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, lantas matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. "Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutar balikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tak ada alasan bagiku kenapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguh pun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju jika muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina..."

"Bocah setan, makanlah tongkatku!" teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur cepat sekali, digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.

"Huhh!" In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh.

Go-bi Sin-kouw sudah terlampau tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya telah banyak berkurang maka biar pun dia masih sangat lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkannya dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.

Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan mata pada waktu melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apa lagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok!

Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alis, dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikit pun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!

"Gila... sungguh gila benar!" Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri. "Gila dan aneh." Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru.

Gadis cantik itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat.

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitamnya dengan hati penuh penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya seperti puluhan tahun yang lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan ginkang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda.

Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini sangat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang telah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya.

Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Meski pun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong.

In Hong dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali senjata bertemu, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau senjata mereka terpental, dan Hwa Hwa Cinjin pun dengan susah payah baru dapat mengimbangi tenaganya. Akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, In Hong merasa betapa telapak tangannya tergetar!

Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, bahkan mendesak pun tidak mampu dan dara itu dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tak kalah ampuhnya. Malah ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat pahanya terasa nyeri.

Marahlah Hwa Hwa Cinjin. Dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan sesudah menggunakan ilmu ini, mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat tangguh.

Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan bajunya menjadi lebih antep dan kuat.

In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan berbareng tongkat hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya.

"Cring-cring...! Singgggg...!"

Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu.

"Wuutttttt...! Plakkk!"

Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat ‘memasuki’ lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sinkang keras hingga rambut itu menjadi kaku dan hudtim itu seolah-olah berubah menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya!

Kagetlah In Hong karena pada saat itu pedangnya telah diputarnya lagi untuk menghalau sinar hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai untuk menangkis hudtim yang mengancam ulu hatinya, sedangkan untuk mengelak, kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak dan otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagai ‘hadiah’ dari Kok Beng Lama.

"Wuuuttttt...! Plakkk! Dessss...!”

“Aughhhhhh...!" Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang dan terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur dan berhasil menggempur dada kakek itu.

Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah dan agaknya di saat itu juga nyawanya sudah hampir putus. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang!

Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang secara nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diselingi dengan totokan-totokan maut yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya.

In Hong yang juga tergetar pada waktu melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te Sin-ciang tadi, sekarang langsung memutar pedangnya menangkis. Dia harus cepat-cepat menggerakkan pedang karena kedua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan marah sekali hingga dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua senjata nenek itu.

Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan hudtim-nya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur deras bagai anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas.

In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu masih dapat menyerang demikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya.

Akan tetapi pada saat itu pula, Bouw Thaisu yang sangat penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, lantas kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya!

Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong saja! Akan tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka, karena itu dari pada tubuhnya ‘dimakan’ oleh senjata ujung lengan baju, lebih baik dia mencoba tangan kirinya.

"Desss...! Plakk...!"

Tubuh Bouw Thaisu berputaran dengan terhuyung. Kakek ini kaget setengah mati karena tangan kiri dara itu ternyata dapat menangkis bahkan mengembalikan lengan baju kirinya dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga tubuhnya ikut berputar. Akan tetapi In Hong mengeluh karena pundaknya kena diserempet ujung lengan baju kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia berjungkir-balik untuk menghindarkan serbuan musuh.

In Hong menggigit bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan baju dan nyerinya bukan main. Walau pun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi pundak kiri itu terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah lumpuh!

Bouw Thaisu dan dua orang nenek itu menerjang kembali, akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon terdengar seruan, "Tua bangka-tua bangka pengecut!"

Sesosok bayangan wanita menyambar turun dan tahu-tahu Yo Bi Kiok sudah berada di situ!

"Kalian hanya berani mengeroyok seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya, majulah kalau kalian sudah bosan hidup!"

Hek I Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sahabatnya, dan juga kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak tewas, maka tanpa mempedulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu amat lihai itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In Hong!

Melihat ini, Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga ikut menerjang maju menghadapi Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang yang sudah mencabut keluar Lui-kong-kiam di tangan kanan dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah kini pertandingan dua rombongan yang sangat seru.

In Hong hanya menghadapi seorang lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya masih agak lumpuh, maka tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya mengandalkan gerakan pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya menjadi seimbang juga dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara mati-matian.

Walau pun Yo Bi Kiok sangat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya, akan tetapi pertandingan antara dia dan dua orang tua itu pun hebat dan seru sekali. Boleh jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih kalah jauh olehnya, akan tetapi tingkat Bouw Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia hanya menang cepat dan juga mempunyai dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni, warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga sesudah bertanding lima puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung!

Bouw Thaisu terkejut dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khikang dan kedua tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak dan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-kouw yang cepat-cepat menangkis.

"Trakkk!"

Tongkat butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat meloncat jauh ke belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan tahu-tahu dia sudah berada di belakang kaisar dan Khamila, menodongkan sisa tongkatnya yang tinggal sepotong itu kemudian membentak,

"Tahan senjata! Kalau tidak, akan kubunuh kaisar!"

"Subo, harap mundur...!" In Hong berteriak kaget. Dia sendiri cepat mundur meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi.

"Jangan mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek iblis ini. Biarlah kalau dia mau membunuh kami!" Kaisar berkata, sedikit pun tidak takut biar pun tongkat itu sudah menodong kepalanya.

"Subo... harap mundur...!" kembali In Hong berteriak.

Dengan ketawa mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini dapat bernapas lega. Tadi dia sudah terdesak hebat, nyaris tewas oleh sinar pedang kilat yang bergulung-gulung.

"Hemm, tua bangka curang!" Yo Bi Kiok berseru. "Akan tetapi memang cukup berharga kalau sri baginda kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian bertiga!"

"Sri baginda akan kubunuh apa bila kalian tidak mau membiarkan kami pergi," kata Go-bi Sin-kouw. "Yo-pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau berjanjilah bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan kaisar! Hayo berjanji!"

Yo Bi Kiok kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang telah amat ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh kaisar serta Khamila, In Hong cepat berkata,

"Subo, berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk dikorbankan!"

Yo Bi Kiok mendengus, kemudian dengan perasaan gemas dia berkata, "Nenek iblis tua bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi apa bila kau membebaskan kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku, kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!"

"Nona In Hong, kau pun berjanji yang sama?" Go-bi Sin-kouw bertanya kembali, ditujukan kepada In Hong.

Gadis ini mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat cerdik, karena kalau saja dia tidak disuruh berjanji, begitu kaisar dibebaskan tentu dia akan menyerang nenek itu! Karena nenek itu ternyata cerdik dan menanyanya, terpaksa dia mengangguk.

"Aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi asal sri baginda dibebaskan."

Tiba-tiba saja nenek dari Go-bi itu terkekeh girang, "Bagus, kalian tentu orang-orang yang selalu memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah yang menjadi gara-gara sampai kaisar dapat lolos, maka aku tak akan mengampunimu!" Dia lantas mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu.

"Go-bi Sin-kouw! Tadi kau telah berjanji...!" Akan tetapi In Hong menjadi pucat karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri kaisar, sama sekali tidak menyebut nama Khamila!

"Heh-heh, siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?" Dia mengangkat tongkatnya.

Yo Bi Kiok hanya memandang dengan senyum mengejek, ada pun In Hong berdiri terlalu jauh untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila.

"Mampuslah kau!" Go-bi Sin-kouw lalu menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala Khamila.

Pada saat itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat bayangan putih dan orang itu adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya diangkat menangkis dengan pengerahan tenaga.

"Plakkk... krakkkk!"

Tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya pecah karena ternyata tangkisan kakek itu sedemikian kuatnya hingga pukulan tongkat itu membalik mengenai kepalanya sendiri sampai pecah!

In Hong memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai itu, yang bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Ada pun kaisar sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka dia lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak muda dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti itu, maka dia lalu berkata girang,

"Ahhhh…, ternyata Cia-taihiap ketua Cin-ling-pai yang sudah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila! Sungguh kami merasa girang sekali, Cia-taihiap!"

Cia Keng Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaisar itu dan memberi hormat. Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh pendekar sakti itu berdiri lagi.

Sementara itu, Yo Bi Kiok menjadi marah bukan main karena kemunculan Cia Keng Hong itu seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Karena itu, dengan marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.

"Kalian ini anjing-anjing tua harus mampus!"

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap menghadapi wanita sakti yang galak itu.

"Subo, kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!" In Hong memperingatkan.

Yo Bi Kiok meragu. Sementara itu Cia Keng Hong, kakek yang diam-diam merasa kagum akan sepak terjang Yap In Hong, kini baru tahu mengapa gadis puteri sahabat baiknya itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak terjangnya. Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya ini!

Di dalam pengintaiannya tadi dia dapat mengenali dasar watak In Hong yang baik, tidak seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tidak mengenal ampun. Maka dia pun berkata, suaranya berwibawa, "Orang yang tidak memegang janjinya adalah orang yang wataknya rendah!"

Yo Bi Kiok bagaikan disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-ling-pai itu dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal watak gurunya yang amat keras, cepat menggunakan kesempatan itu berkata kepada Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw,

"Ji-wi locianpwe harap segera pergi dan membawa jenazah mereka."

Sejenak Bouw Thaisu memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata, "Kiranya engkau yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai." Dia mengangguk-angguk. "Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu."

Bouw Thaisu lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw. Sebentar saja bayangan dua orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu.

Yo Bi Kiok sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata mendelik dan muka merah. Dia tidak mempedulikan lagi kakek dan nenek yang melarikan diri itu. Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandangan mata itu menoleh kepadanya, Yo Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali.

Melihat ini, berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan baik dan tahu benar bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan terjadi hal yang hebat. Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Hong, kakek ketua Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya. Maka dia pun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati kaisar dan Khamila yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang.

"Hemmm, kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-ling-pai yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!" Terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya mengandung penuh ejekan.

Cia Keng Hong tersenyum. Dia adalah seorang pendekar sakti, pendekar besar, ketua perkumpulan yang telah sangat terkenal akan kegagahannya, maka dia pun bukan seperti kanak-kanak yang hatinya mudah dibakar. Mendengar kata-kata itu, dia memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal.

"Dan kiranya engkaulah yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap Kun Liong ini..."

"Aku merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, engkau peduli apa? Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?" Yo Bi Kiok membentak makin marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati karena menolaknya.

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak hendak membela siapa-siapa, hanya amat disayangkan bahwa engkau sudah menyeleweng, padahal ternyata engkaulah yang telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo itu."

Yo Bi Kiok tertawa. "Tidak kau sangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk yang dulu pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang sudah kuperoleh ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!"

"Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?" In Hong yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, kini tidak dapat tinggal diam lagi dan menegur dengan halus.

Yo Bi Kiok menoleh kepadanya. "Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai." Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung.

Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok. "Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!"

Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya lantas membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong. "Orang tua..." geramnya. "Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!"

"Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota raja."

"Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai."

"Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu."

"Subo, biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita akan mengantar Ratu Khamila kembali," In Hong berkata dan Cia Keng Hong menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.

Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali dari arah Yo Bi Kiok berdiri, maka tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan sudah mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari bokor emas itu.

Yo Bi Kiok kini telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung tenaga sakti yang sangat hebat. Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah pukulan ini, maka pendekar ini juga mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan dua tangannya menangkis.

"Wuuuutttt...! Plak-plak-duk-duk-dukk!"

Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya! Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dirinya terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!

"Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!"

"Singggg...!" Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut.

Cia Keng Hong lantas memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya. "Yo-pangcu, bukankah itu Lui-kong-kiam yang dulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?" tanyanya sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu.

Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. "Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kau keluarkan pedangmu Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!"

Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak kecil saja. "Yo Bi Kiok, sembarang ranting pun sudah cukuplah untuk menghadapi pedangmu itu."

Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja ia merasa dipandang rendah dan dihina sekali. Maka, sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang, tubuhnya lalu menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung.

In Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subo-nya, benar-benar merupakan bunuh diri!

Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek!

Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis, kemudian kemarahannya memuncak. Dia menjerit panjang dan langsung menyerang lebih hebat dari pada tadi.

"Subo... jangaaaan...!" In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut yang sekaligus merupakan serangan mengadu nyawa, karena dalam serangan ini seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama sekali.

"Cringgg... ceppppp!"

Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok.

Sejenak wanita itu terbelalak, hampir dia tidak mempercayai pandangan matanya sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, maka dia menjadi malu bukan main. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari dari sana dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu suara ketawa ataukah suara menangis!

Cia Keng Hong menghela napas lantas menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan penuh kagum. "Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan," katanya.

"Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun Liong koko," kata In Hong.

"Ahhhhh... begitukah...?" Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya.

Dia tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan bencana kepada manusia, semenjak jaman gurunya masih muda sampai pengalamannya sendiri.

"In Hong," katanya teringat kepada orang tua gadis itu kemudian memanggil nama gadis itu dengan mesra. "Engkau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar kembali ke kota raja."

In Hong mengangguk. Sekarang dia tunduk dan kagum terhadap kakek ini, tidak hanya kagum dengan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum dengan sikapnya.

"Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai."

Cia Keng Hong menghampiri sri baginda kemudian menjura dengan hormat. "Marilah, sri baginda, hamba akan mengawal paduka kembali ke kota raja."

Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila, sementara wanita cantik itu sudah bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan sangat berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka pun saling rangkul.

In Hong menundukkan kepala, sementara Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan dia pun tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap saja mendengar isak tangis Khamila.

"Sri baginda... terpaksa saya harus... harus meninggalkan paduka...," terdengar Khamila terisak.

"Khamila, tidak bisakah... engkau ikut dengan aku untuk selamanya?" suara kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan membujuk kekasihnya.

"Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda."

"Khamila... ahhh, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita dapat berjumpa kembali...?"

"Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di dunia ini kita tak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi..."

"Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu, Khamila..." Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah kalung dari lehernya, kemudian mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil barbisik, "Khamila, kalung ini adalah pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan kepada permaisuriku."

Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, kedua matanya yang berair memandang terbelalak. "Tapi... tapi... kita..."

"Tubuh kita terpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang wanita sekali pun."

"Ahhh, sri baginda..." Khamila menangis, maka makin terharu dan beratlah hatinya untuk berpisah.

"Kau mintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar kalau engkau melahirkan seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku, yaitu Ceng Han Houw."

Sambil mengangguk Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya, kemudian dia berbisik, "Kalau perempuan?"

"Terserah kepadamu."

Setelah mendekap sekali lagi, mereka pun berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In Hong dan pergi dari situ, dlikuti pandang mata kaisar yang berdiri dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari kembali pada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong.

Sesudah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih setia menantinya itu, "Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan dari pada dua orang yang saling mencinta akan tetapi terpaksa harus berpisah?"

Cia Keng Hong yang pada masa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat memaklumi perasaan kaisar di saat itu, akan tetapi dengan jujur dia mengingatkan. "Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria dan wanita pun hanya merupakan sebagian saja dari pada hidup yang luas ini, terlebih lagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di situ masih menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang oleh lain orang."

Ini merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang tajam dan bertanya, "Siapa dia?"

"Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Ceng Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya itu."

Kaisar mengerutkan alisnya. "Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang telah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa, ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai."

Cia Keng Hong kemudian menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui penyelidikannya selama ini. Diceritakannya pula betapa pasukan orang-orang Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian bahkan mereka itu menentang para pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Ceng Ti sebagai pengganti kaisar.

Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Sekarang pikirannya terisi penuh dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali.

Begitulah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan sebaliknya menjauhi yang tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita, maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain.

Padahal setiap kesenangan itu selalu bersanding dengan kekecewaan, kebosanan, dan kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain. Sumber segala kedukaan berada dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan mukjijat dalam diri kita.


"Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?" kaisar bertanya.

"Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, mereka tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin mengantar paduka kepada mereka di kota raja."

"Hemmm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe..."

Kita tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju kota raja untuk memulihkan kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali ke benteng Sabutai.

Di dalam perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan dihibur oleh In Hong. "Paduka sudah melakukan hal yang baik sekali dengan membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?"

Khamila menarik napas panjang. "Enci Hong, engkau benar. Aku sudah membebaskan orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi... ahh, perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku. Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa aku pun harus berpisah darinya... yang ada hanya ini..." Dia mengelus perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya itu dari siapa pun juga, karena itu tangannya yang mengusap perut itu terus menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. "Hanya ini yang diserahkan padaku...," katanya pula dan In Hong kini baru mengerti bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.

"Untuk siapa?" tanyanya.

"Untuk suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima kasih atas kebaikan Sabutai." Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Aihhh, tiap kali aku memandangmu, sering timbul rasa iri di dalam hatiku, enci Hong."

"Iri hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia pengembara."

"Justru itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke mana pun menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri, bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama sekali bebas memilih kawan hidupmu sendiri. Aku? Ahhh, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tak pernah mengenal cinta kasih sebelum berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang sangat terlambat, yang hanya mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang hanya akan mendatangkan duka saja."

Kata-kata itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang benar akan tetapi dia yang semenjak dahulu bebas tidak lagi dapat menikmati kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang-orang yang tidak bebas seperti Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas! Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri?

Otomatis tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw. Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat kepada pemuda itu?

Tanpa disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh. Kini dia tidak lagi marah terhadap pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak secara sembarangan saja menuduhnya membunuh orang, bukan fitnah kosong belaka, melainkan karena semua itu adalah perbuatan subo-nya yang mungkin saja oleh Bun Houw disangka dia.

Namun, Bun Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri bersama pasukannya tidak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu dengan pemuda itu kemudian melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya sesudah mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu!

Oleh karena keinginan yang timbul dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara yang sudah amat dikenalnya, "Hong-moi...!"

In Hong segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu sangat memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia masih menyimpan kemarahannya dahulu.

"Hong-moi...!"

In Hong memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu. Heran dia, karena wajah itu kini tidak marah lagi seperti dulu, pandang matanya tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang terakhir.

"Hemm, mau apa engkau menghadang perjalanan kami?"

Bun Houw hendak membuka mulut, akan tetapi pada saat dia melihat Khamila, dia cepat menjura dan berkata, "Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja Sabutai?"

Khamila memandang wajah tampan itu penuh perhatian kemudian dia mengangguk. "Enci Hong, siapakah dia ini?"

"Dia orang she Bun, dia... dia kenalan saya," jawab In Hong sederhana. Lalu dia bertanya lagi, "Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?"

"Aku... aku sudah mendengar semua perbuatanmu yang sangat gagah berani dan mulia, engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu, Hong-moi!"

In Hong menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali.

"Hemm, kalau sudah begitu mengapa?" tanyanya, dingin dan angkuh.

Dengan wajah berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, "Perbuatanmu itu hebat dan mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apa lagi aku pun mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!"

"Bun-taihiap, apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?" Tiba-tiba saja Khamila bertanya.

Bun Houw mengangguk membenarkan.

"Bagaimana kesehatan beliau?" tanya pula ratu itu.

Bun Houw terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan oleh suaminya! Dia memang sudah berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya belum menceritakan secara lengkap, apa lagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh itu dengan kaisar.

"Terima kasih, kesehatan beliau baik-baik saja."

"Hemm, jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?" kini In Hong bertanya.

"Benar, Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini untuk membantumu apa bila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe juga yang telah mengutus aku karena beliau sedang tergesa-gesa berangkat ke kota raja bersama semua pengawal."

"Perlu apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku. Lupakah engkau?"

Bun Houw mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. "Akan tetapi... sebagai penyelamat kaisar... engkau harus dibantu..."

"Dan engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?"

"Hemm... tentang itu... ehh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan... sudahlah, Hong-moi, aku tak mau membicarakan hal itu lagi. Yang penting sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe."

In Hong menjadi marah. "Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku adalah seorang pembunuh. Nih, kau terima kembali pedangmu, bisa kotor bila terjatuh ke tangan seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan padaku!"

Bun Houw mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dulu dia terima dari gadis itu selalu dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisahkan. "Tidak akan kukembalikan. Tidak boleh!"

"Huh, kalau begitu nih terima pedangmu!"

"Tidak, aku pun tidak mau menerimanya kembali."

Sejenak mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sebenarnya amat disayangnya itu.

"Huh, sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci, jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kau katakan?" Dada gadis itu makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw kepadanya.

"Mari kita pergi saja!" Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw.

Pemuda ini masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia kini memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya, benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis dusun yang lemah tak berdosa?

Dia mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak membentak, tiba-tiba terdengarlah suara berisik dan tahu-tahu tempat itu sudah dikurung oleh ratusan orang prajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang berdiri tegak memandang seperti patung yang hidup, menyeramkan sekali. Mereka berdua tak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata,

"Hamba diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng."

Puteri Khamila mengerutkan alisnya. "Kini aku pun sedang hendak kembali ke benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini." Puteri Khamila memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengan sinar mata melindungi, kemudian mengangguk kepada mereka. "Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, marilah ikut bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai sehingga semua hal akan menjadi terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau kalian dipersalahkan."

Tadinya In Hong dan Bun Houw sudah bersiap untuk melawan, akan tetapi diam-diam In Hong amat khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apa lagi di situ masih ada ratusan orang prajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka dia pun mengangguk.

Bun Houw juga tak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biar pun disuruh memasuki neraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka, berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang prajurit yang seakan-akan ‘mengawal’ mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti.

Wajah Sabutai yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri-seri sesudah dia melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia segera bangkit berdiri dan memegang tangan isterinya, kemudian menuntunnya duduk di atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata,

"Engkau harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin."

Khamila memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu berbisik, "...hamba... kaisar..."

Raja Sabutai tersenyum kemudian menyentuh tangan isterinya. "Aku memang bermaksud membebaskannya..." Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati Khamila.
Selanjutnya,