Petualang Asmara Jilid 50
AKHIRNYA terdengar tarikan napas panjang, kemudian disusul suara dara itu. Halus lirih dan mengandung isak tertahan, "Aku... aku cinta kepadamu bukan karena kebaikanmu... aku cinta padamu karena engkau... dan aku menerimamu dengan segala cacat celamu. Kau telah melakukan penyelewengan yang sudah kau sadari... sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi... dan anak itu... dia anakmu yang harus kita rawat baik-baik..."
"Hong Ing...!" Kun Liong terisak dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu. "Betapa mulia hatimu...!"
Sejenak Hong Ing berdiri menunduk, air matanya bercucuran, lalu dia juga menjatuhkan diri berlutut dan merangkul Kun Liong. Keduanya saling berpelukan, berciuman sambil menangis, keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu."Hong Ing, engkau dewiku, engkau mulia dan berbudi...!"
"Hushhh, aku merasa malu kepada Hwi Sian jika kau berkata demikian, terlalu memujiku. Dialah wanita yang amat mencintamu..."
"Keliru, Hong Ing. Dia telah mencelakakan diri sendiri. Dia mengira bahwa cinta hanyalah hubungan badan... tapi sudahlah, betapa pun juga, Hwi Sian telah membuktikan cintanya dengan mengorbankan diri untuk membantuku. Dan semua memang kesalahanku... aku dulu terlalu nakal suka menggoda wanita, sungguh pun godaanku tidak terlalu mendalam, tidak memancing hubungan badan namun telah mendatangkan akibat-akibat yang sangat menyedihkan. Dahulu sebelum aku berjumpa denganmu... ahh, harus kuceritakan semua kepadamu…"
Sambil duduk di atas rumput dan saling berangkulan, Kun Liong lalu menceritakan semua riwayatnya, semua petualangannya dengan banyak wanita yang dijumpainya, tentang Yo Bi Kiok yang kini menjadi guru adik kandungnya dan yang menunjukkan cinta terhadap dirinya, cinta yang garang dan mengerikan, kemudian dia bercerita pula tentang wanita lain yang dijumpainya, di antaranya mendiang Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Liem Hwi Sian dan Lauw Kim In, kemudian Pek Hong Ing sendiri. Menceritakan betapa dahulu dia menggoda mereka itu.
Setelah mendengarkan semua penuturan yang terus terang dari kekasihnya, Hong Ing tersenyum lalu berkata. "Dengan menceritakan semua itu kepadaku berarti bahwa mulai saat ini engkau telah menghentikan semua perbuatan itu."
"Memang dahulu aku bodoh dan dungu sesuai dengan kepalaku yang gundul. Akan tetapi sejak bertemu denganmu, perasaan yang luar biasa telah membuka mataku. Dahulu aku memang sombong dan pongah, bodoh dan..."
"Dan petualang asmara yang canggung!"
"Petualang asmara?"
"Ya, engkau seorang petualang asmara yang canggung dan yang sekarang terjerat oleh asmara itu sendiri. Sekarang, sudah mengertikah engkau apa artinya mencinta?"
Kun Liong memeluk. "Sudah mengerti, kekasihku. Karena engkau yang telah mengajarku, dengan sikapmu yang sederhana dan terbuka. Cintamu kepadaku begitu tulus dan polos bersih, dan biarlah aku mencontohmu. Aku cinta padamu karena engkau adalah engkau, Hong Ing, aku mencintamu dari ujung rambut kepalamu sampai ke kuku jari kakimu, tidak ada kecualinya, aku mencintamu dengan segala kebaikanmu dan semua keburukanmu, dengan segala kesempurnaanmu sampai kepada segala cacatmu, apa bila memang ada keburukan dan cacatmu. Karena dengan cinta kasih, tidak adalah cacat dan keburukan itu."
Hong Ing balas memeluk dan suaranya agak manja ketika dia berkata, "Dan aku hanyalah calon isterimu yang setia, bodoh dan penurut..."
"Suci Hong Ing...! Liong-twako...!"
Sepasang muda mudi yang sedang berpelukan itu cepat melepaskan diri masing-masing lantas meloncat berdiri. Sambil tersenyum mereka memandang Bun Houw yang sedang berlari-larian mendaki lereng itu dari bawah.
Cia Bun How, putera pendekar Cia Keng Hong ini masih berada di Tibet. Kok Beng Lama menuntut kepada Ketua Cin-ling-pai itu agar dia boleh menurunkan ilmu-ilmunya kepada Cia Bun Houw yang sudah menjadi muridnya. Tadinya, Biauw Eng merasa keberatan, akan tetapi karena suaminya merasa bahwa Bun Houw berhutang nyawa kepada kakek itu, pula melihat bahwa kakek itu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi, terpaksa meluluskan. Untuk menyenangkan hati isterinya, Cia Keng Hong menjanjikan kepada Kok Beng Lama untuk kelak mengirim Bun Houw ke Tibet dan berguru kepadanya setelah puteranya itu berusia lima belas tahun.
Kok Beng Lama maklum bahwa suami isteri pendekar yang lihai itu ingin menanamkan dasar-dasar kepandaian mereka kepada putera mereka lebih dulu, maka dia pun setuju, hanya minta agar anak itu diperbolehkan tinggal di situ dan kelak kembali ke Cin-ling-san bersama Kun Liong.
Demikianlah, Cia Keng Hong dan isterinya kembali ke Cin-ling-san dan meninggalkan Bun How di tempat itu. Pada pagi hari itu, Bun Houw berlari-lari dan memanggil-manggil Kun Liong dan Hong Ing yang sedang duduk bercakap-cakap di lereng bukit.
"Ehhh, Sute, ada apakah engkau berlari-lari menyusul kami?" Hong Ing bertanya setelah anak itu tiba di depannya.
"Suhu memanggil Suci dan Twako."
Mereka bertiga lalu menuruni lereng, kembali ke markas yang sedang dibangun kembali itu. Kok Beng Lama sudah menunggu mereka di bangunan samping yang masih utuh, dan setelah mereka menghadap, dia menyuruh Bun Houw untuk keluar dari ruangan dan bermain-main di luar.
"Kun Liong dan Hong Ing," katanya ramah, "pinceng sudah mengetahui akan hubungan kalian dan pinceng merasa gembira sekali serta memberi restu. Akan tetapi, mengingat bahwa umur Hong Ing sudah cukup, pinceng minta kepadamu mengirim pinangan agar hari pernikahan dapat ditetapkan dengan segera."
Mendengar ini, wajah Hong Ing menjadi merah sekali. "Ihhhh... Ayah...!" katanya sambil berlari keluar!
Kok Beng Lama tertawa. "Engkau tentu mengerti, Kun Liong, bahwa penghargaan yang terutama bagi seorang gadis adalah pinangan, karena hanya pinangan saja yang menjadi bukti bagi seorang pemuda bahwa dia mencinta gadis itu dan menghendakinya sebagai isterinya. Pinceng tahu bahwa selain kalian berdua sudah saling mencinta dengan penuh kesetiaan, juga bahwa engkau sudah tidak punya ayah bunda, dan pinceng pun sudah setuju, akan tetapi demi menghargai diri Hong Ing, engkau harus mengajukan pinangan secara resmi."
Kun Liong menunduk. "Hal itu sudah kami bicarakan tadi, Locianpwe. Saya akan pergi ke Cin-ling-san, mengajak Adik Bun Houw pulang ke sana, sekalian minta tolong kepada Supek dan Supek-bo untuk mengajukan pinangan secara resmi serta menetapkan hari pernikahan itu. Akan tetapi... saya hanyalah seorang pemuda sebatang kara yang... yang miskin dan..."
"Hushhh! Apa kau kira bahwa pinceng hendak menjodohkan anak pinceng dengan harta benda?"
"Maaf, Locianpwe."
"Sudahlah, kau berangkat hari ini juga dan ajaklah Bun Houw. Sampaikan pula salamku kepada Cia Keng Hong Taihiap dan isterinya."
"Maaf, saya tidak dapat berangkat hari ini karena ada satu urusan lagi yang harus saya selesaikan lebih dulu."
"Huh, apa lagi?!" kakek itu membentak.
Pada saat itu, Hong Ing datang berlari. Tadi dia tidak pergi jauh, hanya bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan percakapan antara kekasihnya dengan ayahnya, maka kini mendengar ucapan Kun Liong, dia cepat berlari masuk.
"Ayah, aku dan dia mau pergi ke Kuil Kwan-im-bio di rumah mendiang Gak-taihiap untuk mengambil seorang anak yang dititipkan di kuil itu."
"Huh? Apa? Anak siapa?"
Hong Ing yang merasa khawatir kalau-kalau kekasihnya yang jujur itu akan menceritakan rahasianya bersama mendiang Hwi Sian, cepat-cepat mendahului Kun Liong dan berkata, "Tahukah Ayah tentang suami isteri yang tewas di sini pada saat mereka membela kami berdua? Mereka itu adalah murid-murid Gak-taihiap di Secuan, sahabat-sahabat dari Kun Liong. Mereka telah mengorbankan diri demi kami berdua, dan pada saat terakhir mereka minta kepada Kun Liong agar kami berdua suka merawat anak mereka yang ditinggalkan di kuil itu. Bagaimana menurut pendapat Ayah? Sesudah ayah bundanya tewas demi membela kami, apakah kami tidak seharusnya memenuhi permintaan mereka itu?"
Kok Beng Lama termenung, mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk. "Tentu saja... tentu saja! Aku akan membencimu apa bila kau tidak memenuhi permintaan mereka itu. Nah, cepat ambil anak yang ditinggalkan itu. Kasihan dia!"
"Ayah, aku bersama Kun Liong akan ke Secuan menjemput anak itu dan selain itu..."
"Apa lagi?" Ayahnya membentak.
"Kami berhutang budi kepada orang tuanya, maka, kami berdua telah bersepakat untuk mengambil anak itu sebagai anak kami."
"Huh! Belum menikah sudah mempunyai anak! Tapi... aku akan benci kalian kalau kalian tidak melakukan itu!"
Hong Ing dan Kun Liong berlari ke luar dan setelah tiba di luar bangunan itu, Kun Liong merangkul kekasihnya dengan hati penuh keharuan.
"Hong Ing, engkau..., engkau seorang dewi yang berhati mulia..."
Hong Ing membalas pelukan Kun Liong, melingkarkan lengannya di pinggang pemuda itu dan berkata lirih manja, "Ahh, aku hanyalah calon isterimu yang bodoh..."
Maka berangkatlah Kun Liong dan Hong Ing ke Secuan. Setelah bertemu dengan Poa Su It yang berduka sekali mendengar mengenai kematian sute dan sumoi-nya, mereka lalu diajak oleh Poa Su It mengunjungi Kuil Kwan-im-bio kemudian dari ketua nikouw (pendeta wanita) mereka menerima seorang anak perempuan yang baru berusia tiga empat bulan!
Seorang anak perempuan yang mungil dan sehat sekali karena sejak kecil, juga sesudah ditinggalkan oleh ibunya, dia dipelihara secara baik oleh para nikouw di Kwan-im-bio yang memanggilkan seorang inang pengasuh, dibesarkan dengan air susu sapi.
Kun Liong memandang anak itu dengan jantung seperti ditusuk-tusuk rasanya. Anaknya! Keturunan dan darah dagingnya! Dia terharu sekali, apa lagi ketika melihat betapa Hong Ing meraih dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang!
Poa Su It merasa girang sekali dan berkali-kali menghaturkan terima kasih bahwa Kun Liong dan Hong Ing, calon suami isteri itu, suka mengambil Mei Lan, demikian nama anak itu, sebagai anak mereka! Tentu saja dia tidak pernah tahu bahwa anak itu sebenarnya adalah anak Kun Liong! Disangkanya bahwa anak itu adalah anak Hwi Sian dan Tan Swi Bu, hasil dari hubungan mereka sebagai suami isteri!
"Harap Poa-toako suka merahasiakan pemungutan anak ini supaya kelak anak ini tidak mengetahui bahwa dia hanyalah anak pungut," Kun Liong berkata.
"Tentu saja! Sejak hari ini namanya menjadi Yap Mei Lan, anak Ji-wi berdua,” Poa Su it menjawab. "Aku sudah merasa bingung sekali mendengar akan kematian ayah bundanya, sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan anak ini. Syukur bahwa Ji-wi sudi mengambilnya sebagai anak memenuhi pesan terakhir mereka."
Kun Liong dan Hong Ing lalu berpamit kembali ke Tibet membawa Mei Lan bersama inang pengasuhnya yang juga diajak untuk merawat anak itu, karena Hong Ing belum memiliki pengalaman merawat anak kecil sehingga merasa khawatir dan tidak berani.
Sesudah tiba kembali di Tibet, Kun Liong lalu meninggalkan anak itu bersama Hong Ing dan mengajak Bun Houw untuk meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Kok Beng Lama dan Hong Ing mengantar keberangkatan mereka sampai di ujung lereng pertama dan Kun Liong didesak sampai berkali-kali mengucapkan janji bahwa dia tidak akan lama pergi dan akan cepat mengajak Cia Keng Hong dan isterinya untuk datang mengajukan pinangan yang dinanti-nanti itu.
********************
Cia Giok Keng berjalan dengan wajah bersungut-sungut, ada pun Lie Kong Tek berjalan melangkah dengan langkah-langkah tetap di belakangnya. Keduanya tidak bicara, hanya berjalan dengan sunyi di dalam panas terik matahari siang itu.
Hati Giok Keng mendongkol bukan kepalang. Telah berhari-hari dia melakukan perjalanan bersama Kong Tek dan selama ini merasa betapa hatinya semakin tertarik dan semakin kagum terhadap pemuda tinggi besar ini. Tampak jelas olehnya alangkah jauh bedanya pribadi Kong Tek kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda lain seperti Kun Liong dan terutama sekali Bu Kong.
Pemuda ini gagah perkasa, kuat dan tahan menderita, juga jujur dan pendiam, tak banyak cakap, tidak pula suka menggodanya, bahkan sama sekali tidak pernah memujinya, apa lagi menjilat atau bermuka-muka! Hal ini yang menimbulkan rasa kesal dan mendongkol di hatinya.
Semua pemuda, bahkan semua laki-laki yang dijumpainya, sudah pasti akan memandang dirinya dengan sinar mata jelas membayangkan kekaguman, mata laki-laki yang bersinar kagum dan kurang ajar, yang ceriwis dan nakal, namun yang diam-diam memuaskan dan membuat hatinya bangga karena semua itu membuktikan kecantikan dan daya tariknya. Akan tetapi Kong Tek memandangnya biasa saja, tanpa sinar berapi dan kagum, bahkan seolah-olah dia dipandang sama seperti kalau pemuda itu memandang pohon, awan, atau tanah saja! Mengkal hatinya!
Sudah berkali-kali dia sengaja memancing perhatian Kong Tek, hanya untuk memancing pujian, memancing pandang mata penuh gairah dan kagum, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Betapa pun dia menggigiti bibirnya sampai menjadi merah dan basah hampir berdarah, betapa dia menyanggul rambutnya atau mengurainya hingga terlepas panjang sampai ke pinggul, betapa dia mengatur pakaiannya hingga serapi-rapinya, atau mencuci muka dan menggosoknya sampai kedua pipinya menjadi kemerahan dan segar laksana sepasang buah tomat, betapa dia bergaya sampai merasa menjadi seorang sripanggung pemain opera, hasilnya sia-sia saja! Sama halnya dengan bersolek dan bergaya di depan sebuah patung mati yang berhati batu!
Apa lagi pengalamannya tadi yang membuat dia cemberut dan bersungut-sungut, penuh kekecewaan dan kemendongkolan hati. Dia tadi sudah memancing pemuda itu dengan omongan dan masih terngiang di telinganya jawaban-jawaban Kong Tek yang membuat bibirnya makin cemberut.
Tadi mereka sedang duduk di bawah pohon rindang, berlindung dari terik panas matahari. Sambil mengusap peluhnya dari muka dan lehernya dengan sapu tangan, dia berkata, "Lie-toako, kalau aku teringat akan pengalaman-pengalamanku di Pek-lian-kauw, masih bergidik ngeri dan bangkit bulu tengkukku. Untung aku tertolong, kalau tidak... hemmm, entah apa jadinya dengan diriku."
"Memang kau beruntung sekali tidak jadi menjadi isteri Liong Bu Kong, Nona."
Sebutan nona itu sudah mulai membuat hatinya tidak senang. Sudah beberapa kali dia mengatakan bahwa pemuda itu tidak selayaknya menyebut dia nona sesudah mereka menjadi sahabat, akan tetapi pemuda itu selalu lupa dan menyebutnya nona sehingga dia tidak peduli lagi untuk menegurnya.
"Mengapa beruntung, Toako?" dia mendesak.
"Ya, beruntung karena tidak jadi isteri orang seperti dia."
"Lalu pantasnya aku menjadi isteri orang macam apa, Toako?"
"Hemm, pantasnya menjadi isteri seorang yang tidak seperti Liong Bu Kong."
"Siapa misalnya?" Giok Keng mendesak lagi.
Kong Tek menggerakkan kedua pundaknya yang lebar. "Entahlah, pendeknya yang tidak jahat dan palsu seperti Bu Kong."
Hening sejenak dan hati Giok Keng sudah mulai tidak puas. Sukar betul membongkar hati dan perasaan pemuda ini. Dari tindakan dan pembelaannya yang berani mempertaruhkan nyawa, dia merasa yakin bahwa pemuda ini cinta kepadanya. Akan tetapi dia tidak pernah menyatakannya, baik dari pandang mata, mau pun suara mulut atau gerak-geriknya. Hal inilah yang membuat dia penasaran dan tersinggung ‘harga dirinya’!
"Ehh, Toako, sekarang sudah berapakah usiamu?"
Ditanyai usianya, Kong Tek memandang kepadanya dengan mata terbelalak heran, akan tetapi lalu menjawab juga, "Sudah dua puluh lima tahun."
"Dan kau sudah menjadi duda."
"Aku belum menikah!"
"Tapi sudah bertunangan dengan Bu Li Cun."
"Ya, kasihan sungguh gadis itu..." Kong Tek menghela napas dan termenung.
Giok Keng mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda yang luar biasa ini sudah ‘patah hati’ karena kematian tunangannya itu, pikirnya.
"Lie-toako, cinta sekalikah engkau kepadanya?"
"Hah...?" Kong Tek balas bertanya, matanya terbelalak karena belum menangkap maksud pertanyaan itu.
"Engkau tentu amat mencinta mendiang Bu Li Cun itu..."
Kong Tek menghela napas panjang dan menyusut peluh dari dahinya sambil menggeleng kepalanya. "Nona, selama hidupku, baru satu kali itu aku bertemu dengan dia. Semenjak kecil kami ditunangkan oleh orang tua, aku tidak pernah kenal dengan dia, mana bisa mencinta."
Hening sampai lama, dan akhirnya suara Giok Keng kembali memecah kesunyian, "Akan tetapi, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau tentu telah mempunyai banyak pengalaman selama perantauanmu dengan suhu-mu yang lihai."
"Memang sudah banyak aku merantau, ikut bersama Suhu yang berbudi."
"Tentu sudah banyak, atau setidak-tidaknya ada wanita yang saling jatuh cinta denganmu, Toako."
Pemuda itu menunduk dan kulit mukanya agak merah, akan tetapi dia menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tidak ada, tidak pernah!"
"Ehh, kenapa kau marah?"
"Aku tidak marah."
"Akan tetapi jawabanmu kasar sekali."
"Aku memang belum pernah saling jatuh cinta dengan wanita."
"Hemmm, sungguh luar biasa. Engkau tampan dan gagah perkasa, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau belum pernah jatuh cinta. Hebat! Akan tetapi setidaknya tentu ada wanita yang pernah jatuh cinta kepadamu, Toako. Aku berani bertaruh tentu pernah ada!" Kembali Giok Keng mendesak dan memancing sambil menatap wajah itu dengan tajam dan penuh selidik.
"Tidak!" Kembali pemuda itu menggeleng kepala keras-keras. "Tidak, aku tak sempat...!" Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, seolah-olah tercekik oleh kata-katanya sendiri.
"Tidak sempat apa, Toako? Tidak sempat bermain cinta?" Giok Keng terus mendesak dan semakin berani menggoda ketika melihat betapa pemuda itu sibuk dan bingung.
"Tidak sempat memikirkan itu."
"Hemm, engkau memang aneh atau... engkau tidak jujur, Toako. Kalau aku, biar usiaku jauh lebih muda dari padamu, aku sudah sering kali dicinta orang."
Kong Tek mengangkat muka memandang, sinar matanya nampak biasa saja, akan tetapi dia melanjutkan, "...dan mencinta..."
Giok Keng tersenyum, diam-diam merasa tegang dan girang, mengharapkan pemuda itu akan merasa iri dan cemburu! "Ya, dan mencinta! Banyak sudah laki-laki yang tergila-gila dan mencintaku."
"Memang sudah semestinya, engkau... seorang gadis luar biasa, tentu banyak laki-laki yang jatuh hati dan mencintamu."
Giok Keng merasa kecelik mendengar ucapan ini. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak merasa iri atau cemburu, apa lagi panas hati!
"Aku tadinya saling mencinta dengan Liong Bu Kong, bahkan hampir menjadi isterinya."
"Engkau tertipu dan dikuasai ilmu sihir."
"Tapi, tadinya aku memang jatuh cinta kepada Bu Kong."
"Memang dia tampan dan menarik, sayang hatinya kotor sekali, dan sungguh beruntung engkau belum sampai terjatuh dalam perangkapnya, Nona."
"Jadi engkau tidak memandang rendah kepadaku, setelah aku... aku begitu bodoh jatuh hati kepada seorang seperti dia? Ayah sendiri sampai marah dan pernah mengusirku."
Kong Tek menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Kenapa harus memandang rendah? Aku malah kasihan kepadamu, Nona, dan aku kagum. Engkau telah salah pilih, bukan kesalahanmu kalau engkau jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang pada lahirnya tampak menarik, dan aku kagum bahwa di dalam cintamu itu, biar pun kemudian ternyata bahwa engkau telah salah pilih, tapi engkau berani bertanggung jawab dan menanggung semua akibatnya."
Giok Keng menarik napas panjang. Sungguh sukar sekali! Menghadapi pemuda ini sama halnya dengan menghadapi batu karang yang kokoh kuat, yang tidak goyah sedikit pun meski terjadi gempa bumi! Atau sebongkah bukit es yang dingin! Dia menjadi semakin penasaran.
Di antara segala macam pria yang telah dijumpainya di dalam hidupnya, hanya ada dua orang yang pernah menariknya. Pertama adalah Kun Liong dan kedua adalah Bu Kong. Akan tetapi, baru sekarang dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti Kong Tek! Kun Liong dan Bu Kong ternyata masih lemah, begitu jelas membuktikan kekaguman terhadap dirinya melalui pandang mata dan kata-kata, akan tetapi pemuda ini benar-benar seperti batu karang yang mati!
"Lie-Toako, kenapa engkau selalu membelaku mati-matian?"
Kalau tadi Kong Tek menghadapi semua pertanyaan gadis itu dengan tenang, sekarang dia kelihatan gelisah dan bingung!
"Kenapa? Hal itu sudah semestinya, Nona, sudah menjadi kewajibanku seperti diajarkan oleh Suhu untuk menolong sesama hidup yang dilanda bahaya."
"Tetapi engkau membelaku dengan pengorbanan diri, beberapa kali engkau menghadapi maut demi aku. Mengapa, Toako?"
Hening sejenak, kemudian terpaksa Kong Tek menjawab, "Aku sendiri tidak tahu, Nona. Akan tetapi aku tidak rela melihat engkau sengsara, aku tidak akan diam saja bila melihat engkau diancam bahaya, aku hanya ingin melihat engkau bahagia, Nona. Seorang seperti engkau ini... pantasnya hidup dalam kebahagiaan. Itulah agaknya yang menyebabkan aku selalu siap membelamu, Nona."
Jawaban ini keluar dari lubuk hati Kong Tek. Memang pemuda ini selama hidupnya tidak pernah membohong, akan tetapi ketika menghadapi desakan dan pertanyaan-pertanyaan dari Giok Keng dia merasa bingung untuk menjawab. Gurunya telah mengatakan bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, akan tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimanakah rasanya jatuh cinta itu! Gurunya malah hendak menjodohkan dia dengan gadis ini dan dia merasa betapa hidupnya akan bahagia kalau hal itu dapat terlaksana, namun betapa mungkin dia menyatakan hal ini kepada Giok Keng? Dia merasa malu dan khawatir kalau-kalau hal itu akan menyusahkan hati Giok Keng, hal yang paling tidak dikehendakinya.
"Toako, mengapa tidak bicara terus terang saja? Kalau memang engkau cinta kepadaku, mengapa tidak mau terus terang?"
Wajah Kong Tek berubah merah sekali. "Aku... aku..."
"Ya, kau cinta padaku, Toako. Kau cinta padaku!" Giok Keng berkata penuh desakan.
Ingin Giok Keng mendengar mulut pemuda itu mengaku cinta supaya dia dapat menebus rasa penasaran hatinya, dapat memuaskan kemendongkolan hatinya dengan mengejek dan mempermainkan pemuda yang seperti batu karang itu!
"Ahhh... aku... aku..."
"Toako, awas...!"
Giok Keng menjerit dan dia sudah melempar tubuhnya ke belakang sambil menyambar lengan Kong Tek sehingga pemuda itu pun melempar tubuh ke belakang.
"Wirrr... wirrrrr...!"
Dua cahaya putih menyambar dan lewat. Ternyata itu adalah dua batang hui-to (golok terbang) yang dilemparkan orang untuk menyerang mereka, atau mungkin hanya untuk menggertak belaka.
Giok Keng dan Kong Tek sudah meloncat bangun dan bersiap menghadapi lawan. Ketika mereka memandang, mereka berdua terkejut bukan main mengenal tiga orang itu yang ternyata adalah Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur, Bong Khi Tosu pendeta Pek-lian-kauw kurus seperti tengkorak hidup, dan Hwa-i Lojin kakek ahli pedang pesolek yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Tentu saja mereka berdua amat terkejut karena maklum bahwa mereka berhadapan dengan tiga orang lawan yang amat tangguh, terutama sekali Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang amat lihai ilmu silatnya, juga amat lihai ilmu sihirnya itu!
"Ha-ha-ha-ha, engkau sudah mengagetkan dua ekor burung ini, Lojin!" Thian Hwa Cinjin tertawa girang karena memang hatinya senang sekali bertemu dengan puteri pendekar Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu. Dia mendendam kepada Ketua Cin-ling-pai dan kalau dia berhasil menangkap puterinya ini, dia akan dapat membalas dendam, bahkan akan dapat memaksa kepada pendekar itu untuk membantu Pek-lian-kauw!
"Heh-heh-heh-heh, janda kembang ini masih muda dan cantik bukan main!" Hwa-i Lojin berkata sambil memandang kepada Giok Keng.
"Janda apa? Dia masih perawan, belum sempat disentuh oleh Liong Bu Kong yang tolol, heh-heh-heh!" Thian Hwa Cinjin yang berwatak cabul itu berkata, "Hati-hati, jangan kalian sampai melukainya, kita harus dapat menangkap dia hidup-hidup! Sayang sekali jika kulit yang halus itu ada yang lecet!"
"Pendeta-pendeta palsu! Munafik-munafik keparat, lahirnya saja menjadi pendeta akan tetapi batinnya kotor dan cabul!" Lie Kong Tek sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi ketika mendengar percakapan antara Thian Hwa Cinjin dan Hwa-i Lojin itu. Dia sudah mencabut Gin-hong-kiam dan segera menyerang Thian Hwa Cinjin sebab dia tahu bahwa di antara mereka bertiga itu, Ketua Pek-lian-kauw inilah yang merupakan pemimpin dan kepalanya.
"Cringgg...!"
Lie Kong Tek melompat mundur. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat saat pedangnya ditangkis oleh pedang Hwa-i Lojin.
"Ha-ha-ha. Kauwcu (Ketua), biarkan aku menghadapi pemuda ini agar Ji-wi berdua dapat menangkap gadis itu baik-baik," kata kakek berbaju kembang dan bersikap sombong itu sambil meloncat ke depan dan memutar pedangnya menghadapi Kong Tek.
Pemuda ini pun mengeluarkan gerengan marah, pedang Gin-hong-kiam langsung diputar cepat hingga tampaklah segulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Namun sambil tertawa, Hwa-i Lojin si ahli pedang itu menyambut serangan ini dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian.
Kembali secara diam-diam hati Giok Keng merasa terharu menyaksikan kegagahan Kong Tek yang selalu tanpa ragu-ragu menyerang musuh serta membelanya mati-matian. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa dengan mereka.
"Thian Hwa Cinjin, biarlah aku mengadu nyawa dengan engkau tua bangka busuk yang jahat!" bentaknya.
Dara ini pun sudah memutar pedangnya yang seperti pedang di tangan Kong Tek, juga mengeluarkan cahaya perak yang tentu saja jauh lebih cemerlang dan hebat dari pada gerakan Kong Tek karena memang tingkat kepandaian puteri Cin-ling-pai ini masih jauh lebih tinggi.
"Tranggg…! Trakkk!"
Pedang Gin-hwa-kiam di tangan Giok Keng telah ditangkis oleh tongkat di tangan Thian Hwa Cinjin yang tertawa-tawa. Ketika melihat pembantunya, Bong Khi Tosu maju pula untuk membantunya, Ketua Pek-lian-kauw itu berkata,
"Jangan bantu aku, lebih baik engkau cepat membantu Hwa-i Lojin merobohkan pemuda nekat itu!"
Bong Khi Tosu menarik kembali tongkatnya lalu menyerbu Kong Tek, membantu Hwa-i Lojin yang sudah mulai mendesak sehingga keadaan Kong Tek menjadi terancam sekali. Akan tetapi pemuda itu tidak kelihatan gentar, bahkan mengamuk semakin hebat sambil memutar pedangnya sambil beberapa kali mengeluarkan suara bentakan hebat bagaikan gerengan seekor singa marah.
Ada pun Giok Keng juga repot sekali menghadapi desakan tongkat hitam di tangan Ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu. Yang membuat hatinya semakin gelisah lagi adalah melihat kenyataan betapa Kong Tek dikepung dan didesak hebat, dan dia tahu bahwa dua orang kakek yang mengepung Kong Tek itu berniat untuk membunuh pemuda itu.
Hatinya menjadi gelisah sekali. Kong Tek tentu akan tewas, mana mungkin pemuda itu dapat melawan dua orang kakek itu! Ngeri dia memikirkan Kong Tek tewas, pemuda yang dikaguminya dan yang makin lama makin merampas perhatian dan hatinya itu. Sekarang melihat betapa pemuda itu terancam dan betapa hatinya gelisah bukan main, barulah dia sadar bahwa sebenarnya dia jatuh cinta kepada pemuda yang dianggapnya dingin kaku dan yang hendak digodanya itu!
"Dessss... auggghhh...!"
"Toako...!" Giok Keng menjerit pada saat dia mendengar keluhan pemuda itu dan melihat betapa pemuda itu roboh bergulingan dikejar oleh dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Pedang di tangan Hwa-i Lojin menyambar-nyambar, sedangkan tongkat Bong Khi Tosu kembali menghantam dan hampir saja mengenai kepala Kong Tek kalau pemuda itu tidak cepat menggelindingkan tubuhnya.
"Toako...!" Giok Keng segera meloncat, meninggalkan lawannya untuk menolong pemuda itu, akan tetapi tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Thian Hwa Cinjin sudah menghadang di depannya sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, Nona Cia yang manis. Untuk apa pemuda tolol itu. Biarkan dia mampus dan disiksa oleh Bong Khi Tosu dan Hwa-i Lojin, sedangkan kau lebih baik menyerah dan ikut bersama pinto ke Pek-lian-kauw. Percayalah, pinto tidak hendak mengganggumu asalkan engkau suka menurut dan menyerah."
Sementara, itu Kong Tek sudah meloncat bangun, namun terjungkal kembali oleh tusukan pedang Hwa-i Lojin yang sengaja hendak mempermainkannya sehingga tusukan pedang itu hanya menyerempet paha dan menimbulkan luka berdarah, akan tetapi sama sekali belum membahayakan nyawanya.
"Toako... ahh...! Thian Hwa Cinjin, dengarkan aku! Aku menyerah, aku tidak melawan asal Lie-toako tidak dibunuh. Bebaskan dia dan aku menyerah!"
"Nona Cia, jangan...!" Kong Tek membentak dan kembali memutar pedangnya.
Akan tetapi, Thian Hwa Cinjin sudah menjawab, "Baik!"
Dia lalu meloncat dekat Kong Tek, tongkatnya bergerak dan pedang di tangan Kong Tek terlempar, kemudian pemuda itu roboh oleh totokan ujung tongkat hitam yang lihai.
"Ha-ha-ha, serahkan pedangmu, Nona. Kami tidak akan membunuhnya!" berkata Ketua Pek-lian-kauw itu.
Giok Keng sudah mengenal kakek ini, maklum akan kekejaman dan kepalsuan hatinya, maka dia berkata, "Aku menyerah, akan tetapi dia harus ditawan bersamaku pula. Baru aku yakin bahwa kalian tidak akan membunuhnya. Kalau tidak, aku akan melawan sampai mati!"
"Hemmm... hemmm... untuk apa orang macam dia ini?" Ketua Pek-lian-kauw itu masih merasa mendongkol terhadap pemuda itu yang dianggapnya sebagai penyebab kematian Bu Li Cun, gadis yang menjadi korbannya dan yang masih dicintanya.
"Pendeknya, mau atau tidak? Kalau tidak mau, biar aku mengadu nyawa denganmu!"
"Baiklah, baiklah!" Lalu dia berkata kepada Bong Khi Tosu, "Bawa dia bersama kita."
Giok Keng terpaksa menyerahkan pedangnya dan dia mengikuti tiga orang kakek itu yang mengajaknya ke sarang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Kali ini dia terpaksa mengalah dan menyerah demi keselamatan Kong Tek, selain itu dia juga maklum bahwa andai kata dia tidak menyerah dia tentu akan tewas bersama Kong Tek di bawah senjata tiga orang kakek lihai itu! Harapannya timbul ketika di dalam perjalanan menuju ke sarang Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin menyatakan maksud hatinya menawan Giok Keng, yaitu untuk membujuk Ketua Cin-ling-pai untuk membantu Pek-lian-kauw.
"Asal engkau tidak mengganggu kami berdua, aku pun tidak akan melawan, dan mungkin Ayah akan mempertimbangkan uluran tanganmu untuk bekerja sama asal engkau tidak mengganggu kami," demikian jawabnya.
Dan Giok Keng benar-benar tidak melawan sampai dia bersama Kong Tek tiba di sarang Pek-lian-kauw. Kong Tek dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang terjaga kuat, ada pun Giok Keng mendapat kamar di sebelahnya, juga terjaga kuat. Giok Keng diperbolehkan pula untuk merawat dan menjenguk sahabatnya itu.
"Ahhh... di mana kita...?" Inilah ucapan Kong Tek pertama kalinya ketika dia siuman dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan di dalam sebuah kamar, sedangkan Giok Keng duduk di atas bangku dekat pembaringannya.
"Sssttt...!" Giok Keng menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Kita telah kalah dan tertawan."
Mendengar ini, Kong Tek melompat turun dan menyeringai kesakitan. Dia telah menderita luka-luka akibat pertandingan melawan dua orang kakek lihai, namun sambil menahan sakit dan mengepal tinjunya dia berkata, "Mari kita lawan mereka!"
Giok Keng memegang lengan pemuda itu. "Tenanglah, Toako. Kau perlu istirahat supaya luka-lukamu sembuh dulu. Aku memang telah menyerah kepada mereka setelah melihat engkau hendak dibunuh."
"Ahhh!" Kong Tek sekarang teringat dan dia merasa tidak setuju sama sekali. "Nona, lebih baik mereka membunuh aku dari pada engkau menyerah dan menjadi tawanan."
"Hushh, jangan begitu, Toako. Aku pun tidak suka melihat engkau terbunuh. Kau kira aku orang macam apa? Kalau kau terbunuh... aku... aku..."
"Kenapa, Nona?" Aneh sekali. Baru sekarang suara pemuda ini dicekam keharuan dan terdengar agak gemetar.
"Aku juga akan melawan sampai mati!"
Kini tiba-tiba saja Kong Tek memegang kedua tangan gadis itu. Baru sekali ini dia berani melakukan hal seperti ini, dan suaranya gemetar ketika dia berkata tergagap, "Keng-moi (Adik Keng), kau... kau...?" Mulutnya tidak berani melanjutkan, namun sikap dan pandang matanya merupakan pertanyaan yang amat jelas.
Giok Keng tersenyum, mengangguk, dua titik air mata menuruni pipinya dan dia berbisik, "Kalau kau tidak melihatnya, berati kau... tolol atau buta, Toako...!"
"Ehh... siapa berani mengharapkan kehormatan itu...? Ehh… Keng-moi, aku... aku pun..." Kembali kata-katanya macet.
"Aku tahu, Toako, aku pun tidak buta."
Mereka saling berpegangan tangan, kini tanpa kata-kata, hanya sinar mata mereka yang mengandung seribu satu macam pernyataan hati yang penuh kasih sayang!
"Mereka menawanku untuk memancing Ayah datang ke sini sebab hendak diajak bekerja sama. Maka biarlah kita menunggu, melawan pun tiada gunanya. Hanya Ayah yang akan dapat membebaskan kita, maka kuminta agar kau menurut saja dan tidak memberontak."
Kong Tek mengangguk, masih terharu oleh kenyataan bahwa gadis yang dipuja-puja dan dikagumi, yang dicintanya semenjak pertama kali melihatnya itu, ternyata juga jatuh cinta kepadanya!
Bong Khi Tosu memasuki kamar tahanan itu dan minta supaya Giok Keng keluar dari situ, kembali ke kamarnya sendiri. "Dia sudah tak perlu dirawat lagi, sudah sembuh dan sudah kami beri obat untuk menyembuhkan semua luka-lukanya." kata pendeta Pek-lian-kauw itu sambil menyerahkan beberapa macam obat luka yang diterima oleh Kong Tek tanpa banyak kata-kata lagi karena pemuda ini khawatir bahwa kalau dia mengeluarkan suara terhadap musuh ini, dia tak akan dapat menahan kemarahannya dan akan bersikap kasar kemudian memberontak.
Mereka berdua harus sabar menanti. Selama mereka tidak diganggu Thian Hwa Cinjin, mereka mengambil keputusan untuk diam saja dan tidak membuat keributan, menunggu hingga munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dan betapa pun mengilarnya hati yang penuh nafsu birahi dari Ketua Pek-lian-kauw itu terhadap Giok Keng, akan tetapi dia lebih mementingkan ‘perjuangan perkumpulannya, maka dia tidak mau mengganggu gadis itu dengan harapan agar ayah gadis itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, berikut semua anak buah Cin-ling-pai, akan suka membantu Pek-lian-kauw.
********************
Kalau kebetulan ada yang melihat mereka, tentu orang yang melihatnya itu akan menjadi ketakutan dan mengira bahwa dia melihat setan. Demikian cepatnya gerakan tiga orang itu sehingga yang tampak hanya bayangan mereka saja yang berkelebatan cepat sekali di antara pohon-pohon, menuju ke sarang Pek-lian-kauw yang terletak di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning itu.
Mereka melakukan perjalanan cepat bukan main, bagaikan terbang saja, tanpa banyak cakap namun wajah mereka membayangkan ketegangan, kesungguhan, dan kemarahan. Mereka bertiga bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, isterinya yang gagah perkasa Sie Biauw Eng, dan yang ke tiga adalah Yap Kun Liong, pemuda yang sudah mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi itu, bahkan tingkatnya sudah menandingi tingkat Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri!
Pada saat suami isteri dari Cin-ling-san ini menerima surat Thian Hwa Cinjin yang isinya membujuk Cin-ling-pai agar mau bekerja sama untuk ‘membalas budi’ Pek-lian-kauw yang menawan Cia Giok Keng namun tidak mau mengganggu puteri mereka itu, kebetulan Yap Kun Liong yang membawa pulang Bun Houw sudah tiba di Cin-ling-san.
Pasangan suami isteri itu sedang bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Kok Beng Lama untuk membicarakan tentang perjodohan Kun Liong dan Hong Ing, menjadi wali pemuda ini. Akan tetapi tiba-tiba muncul utusan Pek-lian-kauw yang menyerahkan surat itu.
Dapatlah dibayangkan betapa terkejut dan marah hati suami isteri itu sesudah mereka membaca surat dari Thian Hwa Cinjin. Maklumlah Keng Hong bahwa surat itu merupakan surat yang hendak memaksa dia untuk membantu Pek-lian-kauw, dengan puterinya yang dijadikan sandera. Dengan menahan kemarahannya karena dia tidak ingin mengganggu seorang utusan, Keng Hong berkata singkat kepada utusan Pek-lian-kauw itu,
"Katakan kepada Thian Hwa Cinjin bahwa aku akan segera datang ke sana!"
Pada waktu Kun Liong mendengar tentang isi surat itu, seketika dia menyatakan hendak membantu dan menyerbu Pek-lian-kauw untuk membebaskan Giok Keng. Tentu bantuan pemuda yang lihai itu amat diharapkan oleh suami isteri Cin-ling-san dan Keng Hong lalu berkata,
"Kita harus berangkat sekarang juga, mendahului utusan itu dan menyerbu Pek-lian-kauw selagi mereka belum siap-siap sehingga mereka tidak sempat mengganggu Giok Keng."
Maka berangkatlah tiga orang berilmu tinggi itu dengan cepat, meninggalkan Bun Houw yang dijaga oleh para anak buah murid Cin-ling-pai, berangkat dan melakukan perjalanan amat cepat mendahului utusan yang telah kembali itu. Di sepanjang perjalanan, mereka mengatur siasat penyerbuan, yaitu suami isteri itu akan menyerbu dengan berterang dari pintu gerbang depan setelah memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk menyelinap melalui jalan belakang sehingga pemuda itu akan dapat mencari serta melindungi Giok Keng. Selanjutnya perjalanan dilakukan cepat tanpa banyak cakap lagi dan tentu saja mereka dapat jauh mendahului utusan itu.
Tepat seperti telah mereka rencanakan, mereka tiba di sarang Pek-lian-kauw itu di malam hari yang gelap. Suami isteri itu membiarkan Kun Liong menyelinap dan berkelebat ke arah belakang sarang itu. Mereka percaya penuh bahwa pemuda itu pasti akan berhasil memasuki sarang musuh dari belakang. Setelah menunggu kurang lebih seperempat jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada Kun Liong memasuki markas dan mencari Giok Keng, Keng Hong bersama isterinya lalu dengan terang-terangan menghampiri pintu gerbang yang dijaga oleh enam orang anggota Pek-lian-kauw dan menerobos masuk.
Tentu saja para penjaga itu cepat menghadang. "Heiii, siapa kalian...?"
Seruan ini terhenti ketika mereka mengenali Keng Hong sebagai pendekar Cin-ling-san yang pernah menyerbu sarang itu, akan tetapi mereka tak sempat berbuat banyak karena suami isteri itu telah bergerak cepat. Maka robohlah enam orang itu berturut-turut tanpa dapat melawan.
Akan tetapi keributan tadi telah menarik perhatian para penjaga di sebelah dalam. Mereka melihat betapa enam orang penjaga itu roboh, maka cepat memukul kentungan sebagai tanda bahaya. Keadaan menjadi gempar dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw lari berserabutan, ada yang baru bangun tidur dan saling tabrak, semuanya berlarian hendak mempersiapkan senjata untuk menghadapi serbuan musuh. Mereka menyangka bahwa tentu pasukan pemerintah yang datang menyerbu.
Sementara itu. Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sudah mengamuk dengan hebatnya. Para anggota Pek-lian-kauw bagaikan daun-daun kering tertiup angin, terlempar ke sana sini dan keadaan menjadi semakin kacau balau.
Thian Hwa Cinjin tentu saja terkejut bukan main sesudah mendengar kentungan tanda bahaya dan kemudian melihat mengamuknya sepasang suami istri itu. Dia merasa heran sekali. Utusannya belum kembali dan menurut perhitungannya pun tentu belum kembali dari perjalanan jauh itu, akan tetapi mengapa suami isteri itu sudah datang mengamuk? Cepat dia mempersiapkan diri dan sejenak berunding dengan Bong Khi Tosu dan Hwa-i Lojin.
"Kau cepat jalankan alat rahasia di dua kamar itu agar mereka terjeblos ke dalam kamar bawah tanah, kemudian bantu kami di luar!" katanya kepada Bong Khi Tosu.
Tosu ini mengangguk dan cepat lari ke belakang. Pada waktu itu, dia mengira bahwa Cia Giok Keng dan Lie Kong Tek tentu berada di kamar masing-masing yang terjaga kuat, dan alat untuk menjalankan alat rahasia itu berada di luar kamar. Sekali menekan tombol, lantai kamar itu akan terjeblos ke bawah, membawa mereka berdua terjatuh ke dalam kamar-kamar rahasia di bawah tanah yang sukar dicari oleh orang luar.
Akan tetapi, ketika Bong Khi Tosu sampai di tempat itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat sekali. Belasan orang penjaga kedua kamar itu sudah menggeletak di luar kamar tanpa bergerak lagi! Pintu kedua kamar itu sudah terbuka, dan kamar-kamar itu telah kosong!
Selagi dia hendak lari ke luar, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang tahanan itu, Giok Keng dan Kong Tek, sudah berdiri di hadapannya dengan muka penuh ancaman!
Dua orang ini tadi memang telah dibebaskan oleh Kun Liong setelah pemuda perkasa ini berhasil merobohkan semua penjaga sebelum mereka sempat membuat ribut.
"Harap kalian membantu dari dalam, aku hendak membantu Supek dan Supek-bo di luar." Kun Liong berkata kepada mereka tanpa banyak cakap lagi, lalu segera berkelebat pergi karena dia sudah mendengar suara ribut-ribut di luar sarang itu, tanda bahwa suami isteri Cin-ling-san itu telah turun tangan.
Ada pun Giok Keng dan Kong Tek segera bersembunyi dan baru muncul ketika Bong Khi Tosu datang. Dengan kemarahan meluap kedua orang itu lalu meloncat keluar sehingga mengejutkan tosu itu.
Maklum bahwa tidak ada gunanya lagi untuk bicara, Bong Khi Tosu sudah menggerakkan tongkatnya dan mengeluarkan suara menggereng yang amat hebat. Itulah ilmunya Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikeluarkan dengan pengerahan khikang kuat sekali dan yang menggetarkan jantung lawan. Lawan yang kurang kuat sinkang-nya akan langsung roboh hanya oleh gerengan ini saja.
Namun, tentu saja Kong Tek, apa lagi Giok Keng, tidak mudah digertak oleh ilmu ini dan mereka langsung menerjang maju dengan tangan kosong karena pedang mereka sudah dirampas dan entah disimpan di mana oleh Thian Hwa Cinjin.
Bong Khi Tosu memutar tongkat dengan ganas, juga beberapa kali kakinya menyambar dengan jurus-jurus tendangan Soan-hong-tui yang sangat dahsyat. Memang hebat ilmu tendangan kakek ini. Kong Tek yang masih belum sembuh benar dari luka-lukanya akibat pertandingan yang lalu, kurang cepat mengelak sehingga lambungnya tercium tendangan, membuat dia terhuyung-huyung.
"Toako, mundurlah, biar aku yang menandingi tua bangka ini!" Giok Keng berkata dan cepat dara ini mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang amat hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri.
Dengan gerakan indah, sesudah mengelak dan membiarkan tongkat lawan lewat di atas pundak kirinya, dia lalu menyerang dengan jurus In-keng Hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Pukulan tangan kirinya mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat menyambar ke arah dada lawan disusul dorongan tangan ke arah kepala!
Bong Khi Tosu terkejut dan segera meloncat ke belakang sambil memutar tongkatnya. Pukulan dara tadi membuat tubuhnya tergetar dan kalau dia tidak cepat meloncat mundur, tentulah dia akan terkena pukulan dahsyat itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tanah, tubuh dara itu sudah mencelat ke depan dan kini Giok Keng sudah menghantam iganya dengan kedua tangan dilonjorkan, menyerang dengan jurus ke tiga dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat, yaitu jurus Siang-in Twi-san (Sepasang Awan Mendorong Bukit).
Kembali kakek itu terkejut. Dari kedua tangan dara yang masih muda itu tampak uap putih yang amat kuat, bahkan ketika dia memutar tongkat melindungi tubuhnya, dua tangannya tergetar hebat dan kembali dia terpaksa melompat ke belakang.
Pada saat itu, Kong Tek yang merasa tidak tenang membiarkan kekasihnya maju sendiri menghadapi musuh, sudah menubruk dari samping, lantas mengirim pukulan. Bong Khi Tosu cepat menggerakkan tongkatnya memukul ke samping untuk menyambut serangan pemuda yang baginya jauh lebih lunak dibandingkan dengan dara itu. Akan tetapi sekali ini Kong Tek berlaku nekat, melihat tongkat menyambar, dia cepat menangkap tongkat itu dengan kedua tangannya!
Bong Khi Tosu terkejut, cepat menarik kembali tongkatnya, namun Kong Tek tidak mau melepaskannya. Terjadilah tarik-menarik dan Bong Khi Tosu sudah menggerakkan kaki kanannya mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya menuju pusar lawan!
"Wirrrr... krekkkk!"
Bong Khi Tosu memekik keras karena kakinya telah patah tulangnya, disambar pukulan tangan Giok Keng dari samping pada saat kaki itu tadi menendang. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu karena rasa nyeri itu membuat dia seperti lumpuh, Kong Tek sudah merampas tongkatnya dan sekali tusuk, tongkat itu menancap memasuki dada tosu itu sampai hampir tembus ke punggung saking kerasnya pemuda itu menusuk.
Bong Khi Tosu mengeluarkan suara menggereng hebat dan tubuhnya roboh terjengkang ketika Kong Tek mencabut tongkat sambil menendang, dan tosu itu tewas seketika.
"Mari kita menerjang keluar!" kata Kong Tek pada waktu melihat datangnya belasan orang anggota Pek-lian-kauw berbondong datang ke tempat itu.
Giok Keng mengangguk dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, langsung menyambut rombongan anggota Pek-lian-kauw terdepan, merampas pedang dan mengamuk seperti seekor naga sakti. Juga Kong Tek menggerakkan tongkat rampasannya tadi, merobohkan siapa saja yang berani menghadang di depan mereka!
Pertempuran di luar sarang itu masih berlangsung dengan hebatnya. Kini Cia Keng Hong berhadapan dengan Thian Hwa Cinjin, sedangkan Sie Biauw Eng bertanding melawan Hwa-i Lojin. Kalau saja tidak terdapat begitu banyaknya anggota Pek-lian-kauw yang mengeroyok, tentu dengan mudahnya suami isteri itu akan dapat mengalahkan dua orang kakek itu.
Akan tetapi pengeroyokan belasan orang tokoh Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buahnya membuat suami isteri itu kewalahan juga! Apa lagi karena Keng Hong masih tidak tega untuk menyebarkan maut di antara mereka, hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
Tapi berbeda dengan Biauw Eng yang tidak mempunyai pantangan lagi saking marahnya. Sabuk sutera putihnya dan dibantu dengan pukulan beracun Ngo-tok-ciang (Pukulan Lima Racun) yang sudah lama tidak dipergunakannya lagi namun masih dilatihnya, menyebar maut di antara para pengeroyoknya.
Nyonya ini tidak peduli bahwa di bawah pengeroyokan ketat itu dia telah menderita dua kali bacokan golok yang membuat pundak kirinya serta paha kanannya terluka sehingga berdarah. Bahkan rasa nyeri di kedua tempat ini membuat dia menjadi makin ganas dan mengamuk makin hebat.
"Supek, teecu sudah berhasil membebaskan Sumoi dan Lie-toako yang mengamuk dari dalam!"
Munculnya Kun Liong dengan seruannya ini membuat hati suami isteri itu lega sekali, dan Kun Liong tidak dapat bicara lebih banyak lagi karena dia pun sudah harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali anggota Pek-lian-kauw. Seperti juga Keng Hong, pemuda ini mengamuk sambil menjaga jangan sampai dia sembarangan membunuh orang.
Pertempuran itu tentu akan berlangsung lebih lama lagi kalau saja tidak terjadi hal yang mengejutkan hati Thian Hwa Cinjin dan anak buahnya. Terdengar suara teriakan-teriakan tinggi nyaring dan menyerbulah dua puluh orang wanita yang dipimpin oleh seorang gadis cantik yang gerakannya amat ganas dan lihai sekali! Mereka ini langsung menyerang para anggota Pek-lian-kauw sehingga mereka itu terkejut dan kepungan mereka menjadi cerai berai, sedangkan pemimpin rombongan wanita itu sendiri langsung membantu Kun Liong mengamuk!
"Bi Kiok...!" Kun Liong berseru. Dia merasa kaget, heran dan juga gembira karena gadis bersama rombongannya ini datang-datang sudah membantunya. "Mengapa kau berada di sini dan siapa mereka itu?"
Bi Kiok tersenyum. Dengan tenang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat berkelebat tiga kali, maka robohlah tiga orang pengeroyok dengan kepala terpisah dari tubuhnya! Kun Liong bergidik menyaksikan keganasan ini.
"Mereka adalah anak buahku, dan aku sengaja datang untuk menghajar Pek-lian-kauw yang sudah berani menculik seorang anak buahku. Kebetulan kita dapat berjumpa di sini. Ini namanya jodoh!"
Kun Liong bergidik, teringat akan desakan dara ini untuk mengajak hidup bersama. Maka dia tidak banyak cakap lagi dan segera menerjang ke depan, melempar-lemparkan dua orang pengeroyok yang terdekat.
Kini Keng Hong dan Biauw Eng dapat mendesak kedua orang lawannya. Bahkan dengan pekik melengking nyaring, sabuk sutera di tangan Biauw Eng menyambar-nyambar dan sekaligus mengirim serangan totokan ke tujuh belas bagian jalan darah yang terpenting di tubuh Hwa-i Lojin.
Kakek ini terkejut, menangkis dengan pedangnya dan berusaha menangkap ujung sabuk dengan tangan kirinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Setelah kini langsung berhadapan sendiri dengan kakek itu, tanpa ada pengeroyok lainnya, Biauw Eng dapat mencurahkan perhatiannya sehingga daya serangnya amat hebat. Terdengar kakek itu memekik keras ketika jalan darah di pinggangnya terkena totokan ujung sabuk sutera. Dia terhuyung dan pada saat itu, ujung sabuk sutera sudah menyambar lagi.
"Cratttt...!"
Tidak begitu jelas bagaimana caranya ujung sabuk itu menghantam, akan tetapi tahu-tahu Hwa-i Lojin roboh terguling dan berkelojotan sekarat. Ternyata bahwa ujung sabuk sutera tadi telah mengenai pelipis kepalanya, membuat bagian kepala yang lemah itu retak dan tentu saja nyawanya melayang tak lama kemudian!
Melihat ini, Thian Hwa Cinjin terkejut dan cepat dia mengeluarkan seruan keras. Tiba-tiba dari ujung tongkatnya keluar asap hitam yang tebal. Keng Hong cepat-cepat meloncat ke belakang, maklum betapa licik dan curangnya Ketua Pek-lian-kauw ini.
"Semuanya berhenti...! Jangan berkelahi...! Aku, Thian Hwa Cinjin memerintahkan kalian! Berhenti berkelahi...!"
Suara ini bergema menyeramkan dan mengandung kekuatan mukjijat yang menggetarkan jantung. Keng Hong sendiri sampai tercengang dan sejenak seperti tak mampu bergerak, demikian pula mereka yang sedang bertanding tiba-tiba berhenti dan memandang ke arah kakek itu seperti patung-patung hidup!
"Kalian semua berlututlah...! Berlutut dan taat terhadap semua perintahku! Dengarkanlah baik-baik…!" Kembali suara ini memaksa banyak orang menekuk lutut di luar kehendak mereka sendiri. Hanya Kun Liong, Keng Hong, Biauw Eng serta Yo Bi Kiok yang masih belum bertekuk lutut sungguh pun mereka juga terpesona oleh pengaruh mukjijat dalam suara Thian Hwa Cinjin yang kini berdiri di dalam selubungan uap hitam itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa nyaring dan muncullah seorang kakek aneh yang pakaiannya kedodoran terlalu besar, celananya kotak-kotak bajunya kembang-kembang, kepalanya memakai kopyah bayi! Dia ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, kakek ahil Hoatsut (sihir), guru dari Lie Kong Tek.
"Ha-ha-ha, si tukang sulap kembali mengeluarkan ilmu hitamnya untuk menyelamatkan diri. Ha-ha-ha-ha, betapa tidak gagahnya, alangkah curangnya. Cu-wi sekalian mengapa berlutut? Dia hanya main gertak belaka!" Suara ketawa dari kakek ini terdengar aneh dan mengandung kekuatan luar biasa pula yang seakan-akan membuyarkan pengaruh ajalb yang ditimbulkan oleh suara Thian Hwa Cinjin tadi.
Semua orang terkejut dan insyaf, lalu meloncat bangun dan mulai menyerang lagi kepada para anggota Pek-lian-kauw!
"Hong Khi Hoatsu keparat...!" Ketua Pek-lian-kauw itu membentak marah dan tongkatnya digerakkan secara hebat sambil meloncat ke arah kakek itu, menerjang dengan pukulan maut!
"Trakkk... krekkk!"
Tongkat itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) di tangan Cia Keng Hong yang sudah sadar dan melindungi Hong Khi Hoatsu.
Thian Hwa Cinjin terkejut sekali, cepat dia meloncat ke belakang dan lari masuk ke dalam sarangnya, dengan niat untuk bersembunyi dan melarikan diri melalui lorong rahasia.
"Sing-singgg...!" Sinar-sinar menyilaukan mata menyambar dan mengejar kakek ini.
"Aduhhhh...!" Thian Hwa Cinjin tidak berhasil mengelak dari semua senjata rahasia yang dilontarkan oleh Biauw Eng kepadanya ketika dia lari. Tengkuknya kena dihantam oleh bola putih berduri dan punggungnya menjadi sarang sebatang tusuk konde bunga bwe. Dia terhuyung namun masih dapat berlari terus meloncat ke ruangan depan dan pada saat itu, dari dalam muncullah Giok Keng dan Lie Kong Tek.
Ketika mereka melihat kakek yang amat dibencinya ini hendak lari ke dalam dan sudah terluka dan terhuyung-huyung, mereka segera menubruk ke depan dan menyerang. Giok Keng menusukkan pedangnya dan Kong Tek menghantamkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu.
"Trakk! Blesss... aughhhh...!"
Kakek itu dapat menerima hantaman tongkat di kepalanya, membuat tongkat itu terpental bahkan terlepas dari tangan Kong Tek, akan tetapi tusukan pedang yang dilakukan oleh Giok Keng dengan pengerahan tenaga sinkang, menancap di ulu hatinya dan menembus sampai ke punggungnya.
"Keparat... kau harus mampus...!" Kakek itu masih dapat memaki dan tangannya diulur ke depan hendak mencengkeram dada Giok Keng.
"Dessss...!"
"Lie-toako...!"
Kiranya melihat kakek itu masih sanggup menyerang bahkan mengancam keselamatan Giok Keng, Kong Tek cepat mempergunakan lengannya menangkis sehingga lengannya yang kena dicengkeram oleh tangan kakek itu. Biar pun pemuda ini sudah mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tulang lengannya patah dan kakek itu tergelimpang, tewas.
"Ahhh, lenganmu...!" Giok Keng menghampiri Kong Tek dan memeriksa lengannya yang berlumuran darah.
"Tidak apa-apa... untung engkau selamat." Kong Tek berkata sambil tersenyum menahan sakit.
"Toako... kau... kau selalu berkorban untukku..."
"Hemmm, sudah semestinya..."
Giok Keng merobek ujung bajunya lalu membalut erat-erat luka pada lengan pemuda itu. Ketika ayah bundanya dan Hong Khi Hoatsu menghampiri, dia masih membalut dengan sikap penuh perhatian sehingga diam-diam Hong Khi Hoatsu tertawa dan Cia Keng Hong bertukar pandang dengan isterinya.
Para anggota Pek-lian-kauw membuyar dan melarikan diri setelah melihat tewasnya ketua mereka dan para pimpinan mereka. Biauw Eng memeluk puterinya dan Giok Keng yang merasa sudah membuat banyak kesusahan kepada orang tuanya itu, menangis di dalam pelukan ibunya.
"Ha-ha-ha-ha-ha, pinto sudah melihat semuanya dan kini, di depan puterimu dan isterimu, Cia-taihiap, pinto mengulangi pinangan pinto untuk menjodohkan murid pinto Lie Kong Tek dan puterimu Cia Giok Keng. Bagaimana?"
"Aku menyerahkan keputusannya kepada isteriku," jawab Keng Hong sambil melirik ke arah isterinya.
"Dan aku menyerahkan jawabannya kepada Keng-ji," kata Biauw Eng.
"Ha-ha-ha-ha, ehh, Kong Tek, bagaimana pendapatmu? Apakah Nona ini sudah setuju?"
"Kami sudah saling setuju, Suhu..." Kong Tek menjawab singkat sambil menunduk. "Keng-moi, harap kau suka menjawab agar melegakan hati para orang tua."
Giok Keng mengangkat mukanya yang merah sekali. "Aku... aku menyerahkan kepada Ayah dan Ibu saja."
Keng Hong dan isterinya saling pandang, kemudian sinar kegembiraan terpancar di wajah mereka. "Bagus, memang sudah semestinya kalau anak selalu berunding dengan orang tua mengenai hari depannya, karena pandangan orang tua tentu lebih mendalam dan luas. Kami sudah setuju sekali mempunyai mantu seperti Lie Kong Tek ini, Keng-ji." kata Keng Hong. "Marilah kita semua pergi ke Cin-ling-san untuk membicarakan persoalan ini, dan Kong Tek harus pula beristirahat dan berobat. Dan Kun Liong... ehh, mana dia...?"
Semua mata menoleh dan mencari. Ternyata Kun Liong sedang berdebat dengan Bi Kiok!
"Kun Liong. Kau tahu bahwa adikmu tidak mau berpisah dari aku, dan dia akan menjadi murid tunggal dan ahil waris dari semua ilmuku. Kau tahu pula bahwa aku cinta padamu, maka demi kebahagiaan kita bertiga, aku mengulang lagi permintaanku agar engkau suka hidup bersama-sama."
Kun Liong memandang Bi Kiok dengan wajah terharu dan dia menggelengkan kepala. "Bi Kiok, kau maafkanlah aku. Kau terlampau memudahkan urusan jodoh. Jodoh tak mungkin dapat dilaksanakan apa bila cinta kasih hanya datang dari sepihak saja. Jika dipaksakan, kelak hanya akan mendatangkan kekecewaan dan penyesalan belaka. Aku suka padamu sebagai sahabat atau saudara, akan tetapi aku sudah jatuh cinta kepada seorang wanita lain, Bi Kiok. Aku hanya titip adikku agar kau rawat dan didik baik-baik."
Bi Kiok menyusut air matanya. "Baiklah, kalau kau tidak mau menjadi suamiku, ingatlah bahwa kau akan mempunyai seorang musuh untuk selama hidupmu, yaitu Yo Bi Kiok!" Setelah berkata demikian, wanita ini menggerakkan pedangnya memberi isyarat kepada dua puluh anak buahnya untuk pergi dari situ.
"Bi Kiok...!" Kun Liong memanggil. Akan tetapi gadis itu sudah pergi tanpa menoleh lagi, sambil mengusap air matanya.
Mereka menghampiri Kun Liong yang masih berdiri termenung memandang bayangan Bi Kiok.
"Kun Liong, apakah yang telah terjadi? Siapa dia yang membantu kita?"
Kun Liong baru sadar ketika mendengar suara supek-nya itu. Mukanya menjadi merah sekali. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi, karena semua itu hanya akan membuka rahasianya sebagai seorang pemuda petualang asmara yang ceriwis dan mendatangkan banyak akibat yang baru dirasakannya sekarang!
Andai kata dia dahulu tidak suka menggoda wanita, andai kata dia tidak bersikap ceriwis dan menggoda Bi Kiok, tidak mungkin Bi Kiok menjadi jatuh hati kepadanya dan mengira bahwa dia pun mencinta dara itu!
"Supek, dia adalah bekas muridnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang sudah bertobat dan menjadi orang baik-baik, dahulu adalah sahabat saya. Bahkan... adik kandung saya, Yap In Hong kini telah menjadi muridnya."
Ohhh...!" Biauw Eng berseru kaget.
Mengerti akan kekagetan dan keheranan nyonya ini, Kun Liong lalu berkata, "Saya telah bertemu dengan Adik In Hong secara kebetulan. Akan tetapi ternyata Adik In Hong lebih senang tinggal bersama gurunya yang sudah menolongnya itu. Yo Bi Kiok tadi datang bersama-sama anak buahnya secara kebetulan saja karena dia pun bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang telah berani menculik salah seorang anak buahnya." Setelah menutur demikian Kun Liong tidak mau membuka mulut lebih lebar lagi tentang diri Bi Kiok, yang berarti akan mengungkapkan semua rahasia pribadinya.
Beramai-ramai mereka semua lalu meninggalkan Pek-lian-kauw, menuju ke Cin-ling-san. Kun Liong merasa lega dan gembira sekali mendengar bahwa Giok Keng akan berjodoh dengan Kong Tek yang dianggapnya seorang pemuda gagah perkasa dan sangat pantas menjadi menantu Ketua Cin-ling-pai.
Perjodohan yang tadinya diusulkan oleh supek-nya, yang kemudian diputuskan oleh dia dan Giok Keng, selama ini selalu mengganggu hatinya, membuatnya merasa tidak enak hati terhadap supek-nya. Akan tetapi, sesudah kini Giok Keng memperoleh jodoh, hal itu tentu saja tidak menjadikan gangguan lagi.
********************
Beberapa bulan kemudian, dilangsungkanlah pernikahan ganda yang dirayakan secara meriah di Cin-ling-san, yaitu pernikahan antara Yap Kun Liong dengan Pek Hong Ing, dan Lie Kong Tek dengan Cia Giok Keng. Perayaan ini disaksikan oleh banyak tamu yang terdiri dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, bahkan Yang Mulia Menteri The Hoo sendiri berkenan menghadiri perayaan pernikahan itu dan memberikan restunya! Tidak ketinggalan tokoh-tokoh tua terhormat seperti Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai, Tio Hok Gwan pengawal setia dari The Hoo, Kok Beng Lama, Hong Khi Hoatsu, dan para pimpinan partai-partai persilatan besar.
Hanya satu hal yang membuat hati Kun Liong merasa agak gelisah dan tidak nyaman, yaitu ketidak hadiran adik kandungnya beserta gurunya, yaitu Yo Bi Kiok yang bersumpah akan menjadi musuhnya selama hidup.
TAMAT
Selanjutnya seri ke 3,