Petualang Asmara Jilid 47 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 47
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
GIOK KENG memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha supaya darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia pun berseru girang, "Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!"

Kong Tek yang kehabisan tenaga langsung menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah. "Berkat pertolonganmu, Nona," katanya terengah.

Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan sapu tangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, sungguh pun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.

Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biar pun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seakan-akan pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang sudah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan dengan seorang teman biasa saja yang tak ada keistimewaannya apa pun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria.

********************

"Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!" Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat mengenai diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.

Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya. "Aku akan segera mengejar ke sana!"

"Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu sangat lihai, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Pada waktu aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada di dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dahulu dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet."

Dengan panjang lebar Biauw Eng kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan sering kali menggeleng kepala dan mengepal tinju.

Sesudah cerita isterinya mengenai diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya. "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."

"Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?" Biauw Eng bertanya.

Wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua, kini ditambah pula dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

"Hehhhh..." Keng Hong menghela napas. "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!"

"Apa? Giok Keng... menikah?"

"Hampir saja!" Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu.

Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya kini telah ‘berbaik kembali’ dengan puteri mereka.

"Sekarang, di mana dia?"

"Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong."

"Aihh, berbahaya kalau begitu."

"Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya."

"Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong..."

Kembali Keng Hong menghela napas. "Sebaiknya kita tak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, bahkan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain."

"Siapa?"

"Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir saja kubunuh." Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.

Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pihak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan pada ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dulu Keng-ji telah kunasehati agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinahan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta birahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinahan yang akibatnya mesti ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun... betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tak ada gunanya sama sekali!"

Melihat isterinya bicara secara amat bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan dua orang anak mereka.

"Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu."

Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subo-nya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhu-nya.

"Dari kota raja?" Keng Hong berseru dengan kaget.

"Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun."

"Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!"

Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang sudah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

"Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!"

Tio Hok Gwan memberi hormat, dibalas oleh Keng Hong dan isterinya. "Mudah-mudahan saja keadaan Taihiap dan Lihiap selama ini baik-baik saia," katanya.

Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan ketiga orang tamunya duduk di ruangan dalam, lalu para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.

"Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Taihiap. Silakan Taihiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan." Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat.

Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut baru menerima surat itu dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat, lalu membaca isi surat yang singkat itu.

"Ke Tibet...?!" Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.

Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya lantas membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.

"Sungguh kebetulan!" Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. "Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!"

"Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat." Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga sebab keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu?

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu.

"Di antara sahabat baik tidak ada rahasia," kata Keng Hong, "karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!"

Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. "Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!"

Cia Keng Hong dan isterinya menjadi sangat terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan. "Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet."

Tio Hok Gwan segera bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan negara-negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sebenarnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka saja.

Untuk mempererat hubungan baik ini, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri salah seorang pangeran putera Kaisar. Selain urusan keluarga yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet ini, masih ada urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw.

Mereka ini merencanakan persekutuan untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya, kelak kerajaan Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

"Sebenarnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting," Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

"Akan tetapi, kenapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Kenapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?"

"Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet sangat peka terhadap penyerbuan tentara asing sehingga kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biar pun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang syah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itulah penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Tapi atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu."

"Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!" kata Biauw Eng. "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"

"Hemm..." Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. "Kalau aku tak salah mereka merupakan tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang bernama Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?"

"Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah."

"Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?"

"Justru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini," kata Keng Hong.

"Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap."

"Bila kita berangkat ke Tibet?"

"Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama."

Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya ketiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong serta isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andai kata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka telah memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi para Lama Jubah Merah yang hendak memberontak.

********************

Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa amat berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan gembira karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang sudah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas.

Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentosa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andai kata adiknya itu memilih dia dan ikut bersama dengannya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andai kata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya.

Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanya wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.

"Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu..." Ia menghela napas pada saat teringat akan kekasihnya itu kemudian dia mempercepat langkahnya.

Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya pada waktu dulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya.

Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinahan mereka di dalam sebuah kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!

"Hwi Sian... kau maafkanlah aku..." Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua.

Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sulit mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman hendak membunuh setiap wanita yang mencintanya, wanita yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.

Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya segera berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram apa bila dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu.

Terbayang kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan ‘nikouw’ itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan segala ketololannya, dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya!

Bahkan dalam saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang sangat menyakitkan hati, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu.

Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu memiliki maksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak. Betapa pun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat.

Dua orang pendeta Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan matanya sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat.

Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, kenapa harus susah payah mengajak dara itu pergi? Apa bila mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, siapa yang akan dapat mencegah mereka ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.

Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri, karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu dan dua orang suheng-nya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja, kemudian mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya sudah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan.

Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak.

Memang benar seperti dugaannya bahwa tidaklah sulit mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang sudah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat hingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur.

Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali. Memang sekarang setelah tua Gak Liong tak lagi mencampuri urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya berupa sebuah bangunan kayu yang sederhana, namun suasana di situ hening dan menyenangkan.

Sesudah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di pinggir sungai dan sudah tampak pula bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang sangat sunyi namun tampak menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai.

Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suheng-nya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang sekarang menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah?

Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadaan dara itu selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang sudah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia segera dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.

Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari pada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, maka akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya sangat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan, tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu.

Begitu dia tiba di seberang, tepat di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!

"Singggg... ehhhh...!"

Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang pada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang lelaki yang usianya telah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.

"Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku..."

"Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?" Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.

Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan suara kaku, "Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam..."

"Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukanlah iblis Pek-lian-kauw, apa lagi temannya Tok-jiauw Lo-mo!"

Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga tindak kemudian memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan serta kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, "Siapakah engkau...?"

Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. "Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toako, sute-mu Tan Swi Bu dan sumoi-mu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong."

"Aihhh...!" Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan kembali pedangnya, lalu menjura, "Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)! Biar pun baru satu kali berjumpa, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku."

"Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menunggu kedatangan musuh?"

Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang, "Mari kita masuk ke dalam dulu, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi."

Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk lantas mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang terlihat amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita,

"Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku mengira engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersemedhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh menggunakan tenaga khikang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu."

"Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?"

Poa Su It menghela napas panjang, "Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku supaya aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu."

"Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik," kata Kun Liong.

"Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?"

Kun Liong mengangguk dan berkata lagi, "Apa bila dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Karena itu, sesudah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka."

Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri-seri dan dia memegang lengan Kun Liong. "Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!"

Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.

"Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoi-mu?"

"Suami istri itu sedang pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan pada saat Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi pemberontak dan para penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi"

Hati Kun Liong terasa lega. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian sudah menikah dengan ji-suheng-nya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang dulu sudah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayang dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.

"Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?"

"Menyelidiki ke Tibet."

Jawaban ini amat mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. "Ada terjadi apakah di Tibet?"

"Panglima The menugaskan Suhu supaya menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya sudah mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng."

Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Bila mana terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?

"Memang Tok-jiauw Lo-mo adalah seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dulu aku pernah ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya."

Poa Su It menghela napas. "Itulah yang sangat menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu sudah berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu."

"Urusan pribadi?"

"Ya, akan tetapi aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, karena itu aku khawatir sekali."

"Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhu-mu itu tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan tampaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apa lagi menghadapi lawan berat seperti suhu-mu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako."

"Benar, dan sungguh beruntung bagiku bahwa engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram."

Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar juga rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang selamanya tidak pernah menikah ini mempunyai dasar watak pendekar tulen.

Oleh karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu sedang menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali.

"Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kau ceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, juga menyamar sebagai penduduk biasa yang hendak bersembahyang dan minta berkah."

Hari berganti malam dan datanglah mereka yang ditunggu-tunggu! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khikang yang cukup kuat,

"Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!"

Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Semenjak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-lampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini.

Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong.

Walau pun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam. Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang mempunyai rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum.

Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi hati pendekar ini sama sekali tidak merasa takut. Dia segera memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu.

Ada sepuluh orang banyaknya, dan melihat mereka berpakaian berwarna kuning seperti pendeta dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Pendekar yang telah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, akan tetapi tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo.

Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktif dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya.

Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai pada waktu mereka masih muda dahulu. Pada waktu muda Tok-jiauw Lo-mo adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar.

Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, pada saat Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu!

Gak Liong menjadi sangat marah dan sakit hati, lalu mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tidak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri.

Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng diri dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya.

Pada saat Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apa lagi mengingat bahwa pendekar itu merupakan pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.

"Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!" Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh.

Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, "Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!"

Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali. "Kau mampuslah!"

Tongkatnya lantas menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Baginya, sikap serta teguran Kun Liong tadi sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!
"Plak! Plak!"

"Uughhhh...!" Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu.

Hampir dia tak dapat mempercayai bila tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik sesudah bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!

"Kau... kau siapakah?" bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.

"Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kau bohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!"

Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.

"Ketika itu kepalaku tidak berambut..."

"Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!" Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.

"Tahan...!" Tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti seorang petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.

"Suhu...!" Poa Su It berkata. "Biarlah teecu dan Yap-enghiong saja yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!"

Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya. "Su It, kau mundurlah." Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, "Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain."

Kun Liong membungkuk dan berkata hormat, "Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako apa bila iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok."

"He-he-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong."

"Lo-mo, kita sudah sama-sama tua, maka marilah kila selesaikan urusan lama tanpa perlu membawa-bawa yang muda. Kalau ternyata para anggota Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula."

"Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!" Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong.

Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.

"Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Marilah kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita."

"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!" Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan.

"Tranggg! Trakkk!"

Pendekar dari Secuan itu sudah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Maka terjadilah pertandingan yang sangat seru dan mati-matian.

Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipuan. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga tiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, meski pun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat.

Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya kemudian berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak langsung bergerak sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk mengamuk!

Andai kata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri.

Dia tahu bahwa Gak Liong sangat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Maka, dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya pula.

Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biar pun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.

"Eeaaaghhh...!" Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka. Itulah pukulan baru yang sudah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh besar ini.

Gak Liong agak terkejut, tidak menduga bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya lantas meluncur ke depan.

"Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!"

Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, ada pun pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan dengan sinkang yang mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu.

Sejenak tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan, kemudian dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-putus, "Aku... aku cinta padanya... kau sudah merampasnya... maka kubunuh... dia... hanya kalungnya... yang jadi penggantinya... ini... ini... kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong..."

Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, terbayang keharuan pada wajah Gak Liong. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.

"Gak-locianpwe, awas...!" Kun Liong berteriak namun terlambat.

Ketika Gak Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat sehingga pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa lalu berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi.

"Suhu...!" Poa Su It berteriak.

Akan tetapi pada saat itu sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukanlah orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw.

Kun Liong juga dikeroyok. Karena orang-orang Pek-lian-kauw itu tadi sudah menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw mengepungnya. Akan tetapi, dengan tenang Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis dengan sangat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya.

Semenjak dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi Tosu sudah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul menyelamatkannya.

Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia kini bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak.

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina dengan cara pendidikan yang telah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk memiliki cita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita.

Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, semenjak kecil bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing hingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, sebab cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, akan tetapi semua itu hanya sekedar kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu: mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir mau pun batin!

Kalau saja kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau keinginan untuk mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia.

Sekelompok anak-anak pun, kalau sedang melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang paling penting! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi sebab seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.

Karena kita mementingkan cita-cita yang berupa khayalan karena belum ada, maka kita tak mengacuhkan caranya, tak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan waktu sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita.

Bahkan ada pendapat yang sangat menyesatkan bahwa ‘cita-cita menghalalkan segala cara’. Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?

Demikian halnya dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan sebagainya, maka terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya.

Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak pula terdapat cita-cita yang baik. Baik mau pun buruk tetap saja cita-cita, tetap berupa keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan hingga terjadilah bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si ‘aku’ dan penonjolan si ‘aku’ dan si ‘kamu’ tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya.

Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan mendapatkan sesuatu yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup pada saat ini?

Hidup pada saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan. Apa bila kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya jika mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang ‘sana’ yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari ‘sini’? Mengapa kita menginginkan yang ‘begitu’ dan tidak menghayati yang ‘begini’? Yang ‘begitu’ adalah khayal, sedangkan yang ‘begini’, saat ini, barulah nyata dan hidup!


Karena sudah begitu sering bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang menggunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi hati lagi.

"Kalian orang-orang jahat!" bentaknya.

Bentakan ini disusul dengan berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi amat terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas karena tubuh pemuda itu seakan-akan sudah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh.

Mereka berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi. Akan tetapi Kun Liong sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, patah tulang pundaknya, dan ada pula yang benjol-benjol kepalanya.

Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi. Akan tetapi, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam waktu singkat!

"Pergilah...!" Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah menangkap tongkat seorang lawan, sedangkan tangan kanan menampar pangkal lengan kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh.

Habis sudah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu, bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian pergi meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak.

"Biarkan mereka pergi," kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar.

Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong lalu berlari menghampiri mayat suhu-nya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan penuh duka. Sudah puluhan tahun orang tua itu menjadi gurunya dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapatlah dimengerti betapa sedih hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu.

Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu, maka berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian barulah dia berpamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan keterangan dari Poa Su It mengenai perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama Lama Jubah Merah...

********************

Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 47

Petualang Asmara Jilid 47
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
GIOK KENG memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha supaya darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia pun berseru girang, "Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!"

Kong Tek yang kehabisan tenaga langsung menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah. "Berkat pertolonganmu, Nona," katanya terengah.

Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan sapu tangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, sungguh pun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.

Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biar pun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seakan-akan pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang sudah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan dengan seorang teman biasa saja yang tak ada keistimewaannya apa pun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria.

********************

"Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!" Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat mengenai diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.

Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya. "Aku akan segera mengejar ke sana!"

"Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu sangat lihai, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Pada waktu aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada di dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dahulu dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet."

Dengan panjang lebar Biauw Eng kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan sering kali menggeleng kepala dan mengepal tinju.

Sesudah cerita isterinya mengenai diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya. "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."

"Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?" Biauw Eng bertanya.

Wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua, kini ditambah pula dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

"Hehhhh..." Keng Hong menghela napas. "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!"

"Apa? Giok Keng... menikah?"

"Hampir saja!" Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu.

Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya kini telah ‘berbaik kembali’ dengan puteri mereka.

"Sekarang, di mana dia?"

"Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong."

"Aihh, berbahaya kalau begitu."

"Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya."

"Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong..."

Kembali Keng Hong menghela napas. "Sebaiknya kita tak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, bahkan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain."

"Siapa?"

"Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir saja kubunuh." Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.

Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pihak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan pada ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dulu Keng-ji telah kunasehati agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinahan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta birahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinahan yang akibatnya mesti ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun... betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tak ada gunanya sama sekali!"

Melihat isterinya bicara secara amat bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan dua orang anak mereka.

"Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu."

Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subo-nya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhu-nya.

"Dari kota raja?" Keng Hong berseru dengan kaget.

"Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun."

"Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!"

Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang sudah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

"Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!"

Tio Hok Gwan memberi hormat, dibalas oleh Keng Hong dan isterinya. "Mudah-mudahan saja keadaan Taihiap dan Lihiap selama ini baik-baik saia," katanya.

Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan ketiga orang tamunya duduk di ruangan dalam, lalu para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.

"Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Taihiap. Silakan Taihiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan." Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat.

Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut baru menerima surat itu dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat, lalu membaca isi surat yang singkat itu.

"Ke Tibet...?!" Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.

Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya lantas membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.

"Sungguh kebetulan!" Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. "Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!"

"Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat." Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga sebab keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu?

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu.

"Di antara sahabat baik tidak ada rahasia," kata Keng Hong, "karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!"

Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. "Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!"

Cia Keng Hong dan isterinya menjadi sangat terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan. "Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet."

Tio Hok Gwan segera bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan negara-negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sebenarnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka saja.

Untuk mempererat hubungan baik ini, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri salah seorang pangeran putera Kaisar. Selain urusan keluarga yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet ini, masih ada urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw.

Mereka ini merencanakan persekutuan untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya, kelak kerajaan Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

"Sebenarnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting," Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

"Akan tetapi, kenapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Kenapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?"

"Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet sangat peka terhadap penyerbuan tentara asing sehingga kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biar pun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang syah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itulah penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Tapi atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu."

"Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!" kata Biauw Eng. "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"

"Hemm..." Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. "Kalau aku tak salah mereka merupakan tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang bernama Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?"

"Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah."

"Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?"

"Justru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini," kata Keng Hong.

"Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap."

"Bila kita berangkat ke Tibet?"

"Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama."

Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya ketiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong serta isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andai kata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka telah memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi para Lama Jubah Merah yang hendak memberontak.

********************

Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa amat berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan gembira karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang sudah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas.

Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentosa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andai kata adiknya itu memilih dia dan ikut bersama dengannya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andai kata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya.

Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanya wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.

"Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu..." Ia menghela napas pada saat teringat akan kekasihnya itu kemudian dia mempercepat langkahnya.

Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya pada waktu dulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya.

Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinahan mereka di dalam sebuah kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!

"Hwi Sian... kau maafkanlah aku..." Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua.

Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sulit mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman hendak membunuh setiap wanita yang mencintanya, wanita yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.

Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya segera berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram apa bila dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu.

Terbayang kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan ‘nikouw’ itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan segala ketololannya, dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya!

Bahkan dalam saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang sangat menyakitkan hati, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu.

Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu memiliki maksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak. Betapa pun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat.

Dua orang pendeta Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan matanya sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat.

Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, kenapa harus susah payah mengajak dara itu pergi? Apa bila mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, siapa yang akan dapat mencegah mereka ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.

Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri, karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu dan dua orang suheng-nya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja, kemudian mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya sudah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan.

Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak.

Memang benar seperti dugaannya bahwa tidaklah sulit mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang sudah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat hingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur.

Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali. Memang sekarang setelah tua Gak Liong tak lagi mencampuri urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya berupa sebuah bangunan kayu yang sederhana, namun suasana di situ hening dan menyenangkan.

Sesudah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di pinggir sungai dan sudah tampak pula bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang sangat sunyi namun tampak menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai.

Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suheng-nya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang sekarang menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah?

Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadaan dara itu selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang sudah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia segera dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.

Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari pada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, maka akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya sangat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan, tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu.

Begitu dia tiba di seberang, tepat di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!

"Singggg... ehhhh...!"

Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang pada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang lelaki yang usianya telah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.

"Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku..."

"Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?" Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.

Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan suara kaku, "Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam..."

"Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukanlah iblis Pek-lian-kauw, apa lagi temannya Tok-jiauw Lo-mo!"

Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga tindak kemudian memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan serta kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, "Siapakah engkau...?"

Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. "Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toako, sute-mu Tan Swi Bu dan sumoi-mu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong."

"Aihhh...!" Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan kembali pedangnya, lalu menjura, "Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)! Biar pun baru satu kali berjumpa, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku."

"Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menunggu kedatangan musuh?"

Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang, "Mari kita masuk ke dalam dulu, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi."

Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk lantas mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang terlihat amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita,

"Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku mengira engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersemedhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh menggunakan tenaga khikang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu."

"Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?"

Poa Su It menghela napas panjang, "Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku supaya aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu."

"Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik," kata Kun Liong.

"Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?"

Kun Liong mengangguk dan berkata lagi, "Apa bila dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Karena itu, sesudah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka."

Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri-seri dan dia memegang lengan Kun Liong. "Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!"

Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.

"Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoi-mu?"

"Suami istri itu sedang pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan pada saat Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi pemberontak dan para penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi"

Hati Kun Liong terasa lega. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian sudah menikah dengan ji-suheng-nya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang dulu sudah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayang dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.

"Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?"

"Menyelidiki ke Tibet."

Jawaban ini amat mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. "Ada terjadi apakah di Tibet?"

"Panglima The menugaskan Suhu supaya menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya sudah mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng."

Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Bila mana terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?

"Memang Tok-jiauw Lo-mo adalah seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dulu aku pernah ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya."

Poa Su It menghela napas. "Itulah yang sangat menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu sudah berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu."

"Urusan pribadi?"

"Ya, akan tetapi aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, karena itu aku khawatir sekali."

"Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhu-mu itu tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan tampaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apa lagi menghadapi lawan berat seperti suhu-mu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako."

"Benar, dan sungguh beruntung bagiku bahwa engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram."

Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar juga rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang selamanya tidak pernah menikah ini mempunyai dasar watak pendekar tulen.

Oleh karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu sedang menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali.

"Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kau ceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, juga menyamar sebagai penduduk biasa yang hendak bersembahyang dan minta berkah."

Hari berganti malam dan datanglah mereka yang ditunggu-tunggu! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khikang yang cukup kuat,

"Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!"

Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Semenjak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-lampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini.

Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong.

Walau pun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam. Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang mempunyai rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum.

Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi hati pendekar ini sama sekali tidak merasa takut. Dia segera memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu.

Ada sepuluh orang banyaknya, dan melihat mereka berpakaian berwarna kuning seperti pendeta dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Pendekar yang telah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, akan tetapi tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo.

Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktif dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya.

Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai pada waktu mereka masih muda dahulu. Pada waktu muda Tok-jiauw Lo-mo adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar.

Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, pada saat Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu!

Gak Liong menjadi sangat marah dan sakit hati, lalu mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tidak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri.

Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng diri dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya.

Pada saat Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apa lagi mengingat bahwa pendekar itu merupakan pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.

"Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!" Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh.

Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata, "Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!"

Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali. "Kau mampuslah!"

Tongkatnya lantas menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Baginya, sikap serta teguran Kun Liong tadi sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!
"Plak! Plak!"

"Uughhhh...!" Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu.

Hampir dia tak dapat mempercayai bila tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik sesudah bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!

"Kau... kau siapakah?" bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.

"Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kau bohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!"

Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.

"Ketika itu kepalaku tidak berambut..."

"Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!" Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.

"Tahan...!" Tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di sana telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti seorang petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.

"Suhu...!" Poa Su It berkata. "Biarlah teecu dan Yap-enghiong saja yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!"

Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya. "Su It, kau mundurlah." Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata, "Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain."

Kun Liong membungkuk dan berkata hormat, "Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako apa bila iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok."

"He-he-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong."

"Lo-mo, kita sudah sama-sama tua, maka marilah kila selesaikan urusan lama tanpa perlu membawa-bawa yang muda. Kalau ternyata para anggota Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula."

"Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!" Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong.

Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.

"Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Marilah kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita."

"Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!" Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan.

"Tranggg! Trakkk!"

Pendekar dari Secuan itu sudah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Maka terjadilah pertandingan yang sangat seru dan mati-matian.

Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipuan. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga tiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, meski pun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat.

Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya kemudian berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak langsung bergerak sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk mengamuk!

Andai kata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri.

Dia tahu bahwa Gak Liong sangat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Maka, dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya pula.

Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biar pun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.

"Eeaaaghhh...!" Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka. Itulah pukulan baru yang sudah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh besar ini.

Gak Liong agak terkejut, tidak menduga bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya lantas meluncur ke depan.

"Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!"

Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, ada pun pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan dengan sinkang yang mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu.

Sejenak tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan, kemudian dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-putus, "Aku... aku cinta padanya... kau sudah merampasnya... maka kubunuh... dia... hanya kalungnya... yang jadi penggantinya... ini... ini... kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong..."

Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, terbayang keharuan pada wajah Gak Liong. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.

"Gak-locianpwe, awas...!" Kun Liong berteriak namun terlambat.

Ketika Gak Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat sehingga pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa lalu berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi.

"Suhu...!" Poa Su It berteriak.

Akan tetapi pada saat itu sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukanlah orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw.

Kun Liong juga dikeroyok. Karena orang-orang Pek-lian-kauw itu tadi sudah menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw mengepungnya. Akan tetapi, dengan tenang Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis dengan sangat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya.

Semenjak dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi Tosu sudah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul menyelamatkannya.

Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia kini bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak.

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina dengan cara pendidikan yang telah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk memiliki cita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita.

Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, semenjak kecil bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing hingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, sebab cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi. Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, akan tetapi semua itu hanya sekedar kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu: mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir mau pun batin!

Kalau saja kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau keinginan untuk mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia.

Sekelompok anak-anak pun, kalau sedang melakukan suatu permainan di mana terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang paling penting! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi sebab seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.

Karena kita mementingkan cita-cita yang berupa khayalan karena belum ada, maka kita tak mengacuhkan caranya, tak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan waktu sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita.

Bahkan ada pendapat yang sangat menyesatkan bahwa ‘cita-cita menghalalkan segala cara’. Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?

Demikian halnya dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan sebagainya, maka terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya.

Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak pula terdapat cita-cita yang baik. Baik mau pun buruk tetap saja cita-cita, tetap berupa keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan hingga terjadilah bentrokan dan pertentangan. Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si ‘aku’ dan penonjolan si ‘aku’ dan si ‘kamu’ tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya.

Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan mendapatkan sesuatu yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup pada saat ini?

Hidup pada saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan. Apa bila kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya jika mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang ‘sana’ yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari ‘sini’? Mengapa kita menginginkan yang ‘begitu’ dan tidak menghayati yang ‘begini’? Yang ‘begitu’ adalah khayal, sedangkan yang ‘begini’, saat ini, barulah nyata dan hidup!


Karena sudah begitu sering bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang menggunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi hati lagi.

"Kalian orang-orang jahat!" bentaknya.

Bentakan ini disusul dengan berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi amat terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas karena tubuh pemuda itu seakan-akan sudah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh.

Mereka berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi. Akan tetapi Kun Liong sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, patah tulang pundaknya, dan ada pula yang benjol-benjol kepalanya.

Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi. Akan tetapi, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam waktu singkat!

"Pergilah...!" Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah menangkap tongkat seorang lawan, sedangkan tangan kanan menampar pangkal lengan kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh.

Habis sudah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu, bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian pergi meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak.

"Biarkan mereka pergi," kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar.

Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong lalu berlari menghampiri mayat suhu-nya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan penuh duka. Sudah puluhan tahun orang tua itu menjadi gurunya dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapatlah dimengerti betapa sedih hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu.

Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu, maka berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian barulah dia berpamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan keterangan dari Poa Su It mengenai perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama Lama Jubah Merah...

********************

Selanjutnya,